SATU
HUTAN-HUTAN di sebelah timur daerah Mata Air
Kembar Tiga telah nampak suram dan agaknya patut-
lah kalau tempat itu menjadi sarang bahaya dan maut.
Pohon-pohon yang besar, perkasa, tegak dengan
megahnya bagai pencakar-pencakar langit yang me-
nimbulkan perasaan ngeri dan seram bagi siapapun.
Dan maut memang tengah bergulat di situ. Sebab di
tepi tanah tanggul rawa berlumpur hidup, terlihatlah
dua orang yang berusaha mati-matian agar mereka ti-
dak terseret masuk ke dalam rawa maut itu. Kedua
orang itu yang tidak lain adalah Daeng Matoa serta ga-
dis Sandai mencoba menahan tarikan dari jari-jemari
tangan pendekar Seguntur yang telah mengunci pada
pergelangan tangan Daeng Matoa.
Seguntur kini telah tenggelam ke dalam lumpur liat
yang menyedot segala sesuatu yang tercebur di situ.
Apalagi bila benda tadi mempunyai jumlah berat cu-
kup banyak serta bergerak-gerak. Hal ini akan mem-
percepat daya penyedotan yang hebat oleh lumpur ta-
di.
Dari keseluruhan tubuh Seguntur, cuma tangannya
saja yang masih berada di permukaan lumpur karena
bergantung pada lengan Daeng Matoa. Rupanya sisa-
sisa tenaga terakhir dari Seguntur masih tersalur pada
jari-jari tadi sehingga benar-benar mengunci pada per-
gelangan tangan si pendekar Bugis bagaikan berse-
nyawa dan melekat menjadi satu.
Daeng Matoa sendiri tak dapat berbuat apa-apa oleh
hal ini. Pikirannya menjadi bingung lantaran dua per-
soalan yang tengah dihadapinya. Pertama ia harus ber-
usaha melepaskan jari-jari Seguntur bila ia tidak ingin
terseret serta turut tenggelam ke dalam rawa berlum-
pur hidup. Kedua, ialah pernyataan gadis Sandai yang
mengatakan bahwa dirinya telah dicintai oleh gadis ini
dan bersedia mati berbareng di dalam rawa maut ini.
Nah, kedua hal inilah yang membuat Daeng Matoa
menjadi buntu pikirannya. Kalau toh kematian itu ha-
rus dihadapinya seorang diri, itu tak menjadi soal, se-
bab sudah menjadi jamak lumrahnya bila seorang pen-
dekar akan mati pada suatu ketika.
Tetapi jika pada waktu-waktu yang setegang itu ia
mendengar pencurahan cinta seorang gadis, akan
menjadi lain soalnya. Rasa bahagia tapi juga bercam-
pur rasa cemas serta menyesal bercampur aduk, ber-
putar di dalam benaknya.
Yah, siapa tak bakal merasa bahagia bila dirinya te-
lah dicurahi cinta seorang gadis yang semanis Sandai
ini. Rasa dada akan meledak saking bangganya. Hanya
sayangnya pernyataan cinta tadi terlahir dalam suasa-
na pergulatan dengan maut.
“Sandai, mengapa tidak kau tinggalkan diriku, agar
engkau terhindar dari maut yang bakal merenggut
nyawaku!” ujar Daeng Matoa dengan nada parau serta
terharu.
“Tidak, kekasih! Jika kau mati, aku akan tinggal
seorang diri serta merana sepanjang hidupku. Maka ja-
lan yang terbaik adalah ikut mati bersamamu!” seru
Sandai seraya kedua tangannya masih memeluk pung-
gung Daeng Matoa agar mereka tidak lekas terseret ke
dalam rawa itu.
“Ternyata usaha Sandai ini tidak banyak faedahnya,
sebab sedikit demi sedikit bersama tubuh Daeng Ma-
toa, Sandai telah makin terenggut dari tanah tanggul
di tepi rawa dan pastilah sebentar kemudian mereka
berdua akan tercebur pula ke dalam rawa berlumpur
hidup itu.
“Demi cintaku padamu, tinggalkanlah aku sendiri,
Sandai!” sekali lagi Daeng Matoa terdengar berseru pa-
rau.
“Tidak, Daeng! Tidak!” sahut gadis Sandai dengan
wajah pucat serta dada turun naik terengah-engah.
“Aku lebih senang mati bersamamu, Daeng!”
Sekonyong-konyong dalam saat yang sedemikian te-
gangnya itu, di mana maut tengah mengancam nyawa
Daeng Matoa serta Sandai, melesatlah satu bayangan
manusia dari sebelah barat rawa maut lalu melintas di
depan kepala Daeng Matoa serta Sandai dengan berte-
riak nyaring.
“Hyaaaat!”
Dalam saat yang pendek serta kecepatan yang su-
kar dilihat oleh mata, bayangan tadi menebaskan pe-
dang di tangannya setengah lingkaran ke bawah di-
susul oleh bunyi benda terpenggal gemeretak menga-
getkan Daeng Matoa serta Sandai.
Craaas!
Pergelangan tangan Seguntur terputus lepas dan
darah menyembur ke segala arah, membasahi lumpur-
lumpur di sekitarnya.
Sebentar kemudian lengan Seguntur yang terputus
tadi telah tersedot seluruhnya ke dalam lumpur dan
lenyaplah sudah tubuh Seguntur bersama Patung In-
tan tanpa bekas kecuali beberapa gelembung udara
yang timbul di permukaan lumpur, tepat di mana Se-
guntur tenggelam.
“Oookh!” seru Daeng Matoa kaget dan cepat ia me-
ngibas-ibaskan tangannya disertai perasaan ngeri, se-
bab telapak tangan beserta jari-jari Seguntur masih
melekat pada pergelangan tangannya.
Dengan bunyi berkecopak, potongan telapak tangan
Seguntur tadi tercebur pula ke tengah rawa berlumpur
hidup ini, dan sesaat kemudian lenyaplah pula benda
itu dari permukaan rawa.
Gadis Sandai terpekik serta bersedu-sedan sambil
merebahkan kepalanya ke dada Daeng Matoa yang se-
ketika disambut oleh pendekar ini dengan penuh kasih
sayang.
“Oh, kita telah selamat, Daeng. Kita telah terhindar
dari maut. Pastilah arwah nenek moyangku telah
memberikan pertolongan,” seru Sandai terisak-isak.
“Terima kasih, Sandai,” ujar Daeng Matoa seraya
membelai-belai rambut Sandai dengan mesranya. “Kita
telah selamat sekarang dan ketamakan telah meneng-
gelamkan Seguntur ke dalam rawa maut ini.”
Kiranya akan betahlah untuk lebih lama menyan-
darkan kepalanya ke dada pendekar Daeng Matoa, bila
saja Sandai tidak terkejut oleh seruan dari tepi rawa
sebelah timur sana.
“Daeng! Haai! Engkau baik-baik saja?!”
Mendengar seruan ini Daeng Matoa serta Sandai
cepat berpaling ke sebelah timur dan terperanjatlah
mereka berdua, karena di tepi rawa sebelah timur, ter-
lihatlah Mahesa Wulung tengah membersihkan pe-
dangnya yang merah oleh darah dengan beberapa lem-
bar daun.
Maka seketika itu tahulah mereka bahwa yang me-
menggal putus pergelangan tangan Seguntur adalah
Mahesa Wulung itu sendiri! Kemudian Daeng Matoa
serta Sandai cepat-cepat melangkah ke arah tepi rawa
sebelah timur untuk mendapatkan sahabatnya.
“Kami berdua mengucapkan terima kasih kepada
Andika, Saudara Wulung,” ujar Daeng Matoa seraya
memegang lengan Mahesa Wulung. “Jika Anda tidak
muncul, mungkin kami akan terkubur di dasar rawa
berlumpur hidup ini.”
Sambil bergumam Mahesa Wulung mengangguk-
angguk oleh kata-kata Daeng Matoa tadi. “Yah, aku
terpaksa memapas lengan Seguntur itu, dan rasanya
hal ini agak kelewat kejam. Kemungkinan lain untuk
menyelamatkan kalian berdua dari tarikan jari-jari Se-
guntur tidak ada dan hanya itulah satu-satunya cara
yang dapat kukerjakan.”
“Sudah selayaknya Anda berbuat itu, sebab Segun-
tur bukanlah orang yang patut kita kasihani,” ujar
Daeng Matoa.
“Dan lagi, dia telah berkomplot dengan gerombolan
Bengara serta sisa-sisa anak buah Kapal Hantu,” sam-
bung gadis Sandai. “Ternyata dia pulalah yang menda-
langi pencurian Patung Intan itu.”
“Sayang. Kini lenyaplah Patung Intan itu dan ter-
kubur di dasar rawa maut. Tetapi bersama itu berarti
lenyap pula Kutukan Patung Intan yang selama ini te-
lah menghantui Lembah Sampit,” ujar Mahesa Wulung
dengan wajah agak kecewa.
Dalam pada itu, dari sebelah barat muncullah se-
rombongan orang dari balik semak-semak lebat. Me-
reka adalah pendekar Bontang bersama Goro, kemu-
dian Tagoh Hulu, si tua Tawau dengan dada terbalut,
dan Pandan Arum serta beberapa orang anak buah
Tawau.
Sesaat kemudian mereka telah saling menceritakan
pengalaman masing-masing. Ketika mendengar penu-
turan akan kematian Seguntur yang tenggelam ke da-
sar rawa bersama Patung Intan itu, si tua Tawau agak
terkejut pula.
Mendadak ia lalu teringat akan pengalamannya ke-
tika mereka tersesat di taman bunga maut pemakan
daging. Bukankah waktu itu jalan yang mereka tem
puh telah lenyap dan ia telah menduga bila yang ber-
buat demikian, melenyapkan jejak-jejak tadi, adalah
Seguntur sendiri. Kini percayalah ia sekarang bahwa
dugaan tadi tidak keliru lagi. Segunturlah yang selama
ini telah merupakan duri dalam daging, seorang mu-
suh yang tinggal di dalam selimut. Pada lahirnya ia se-
perti kawan, tapi di baliknya ia adalah musuh yang
sangat licin!
“Patung Intan itu telah lenyap dan kembali ke asal-
nya, ke dalam bumi yang telah mengandungnya semu-
la,” ujar si tua Tawau kepada Mahesa Wulung yang
berdiri di sebelahnya. “Kita tak patut menyesalinya la-
gi. Anda tahu pegunungan-pegunungan di sebelah ti-
mur sana?” bertanya Tawau seraya menunjuk ke arah
timur.
“Mengapa, Bapak?” sahut Mahesa Wulung.
“Di sanalah terletak daerah Purukcahu, tempat asal
bahan-bahan permata intan banyak ditemukan orang.
Dan Anda tentu masih ingat akan ceritaku dulu, bah-
wa bahan permata dari Patung Intan itupun berasal
dari sana.”
Mahesa Wulung mengangguk mengerti dan si tua
Tawau berkata pula, “Marilah kita pulang, sebelum
malam tiba.”
“Maaf aku tak dapat menyertai kalian,” sela pende-
kar tua Bontang kepada sahabat-sahabatnya. “Kami
berdua mengucapkan selamat jalan dan semoga kalian
selamat tak kurang suatu apa.”
“Terima kasih, sahabat. Anda telah cukup banyak
membantu kami,” ujar Tawau seraya menjabat tangan
si Bontang dengan eratnya. “Kami serombongan meng-
ucapkan selamat jalan pula kepada Anda berdua.”
Setelah saling meminta diri, Bontang bersama Goro
melesat ke cabang pohon dan mereka berdua dengan
lincahnya meloncat dari satu pohon ke pohon yang lain
dan lenyaplah sebentar saja di sebelah selatan. Sedang
Tawau dan rombongannya segera bergerak ke arah ba-
rat untuk kembali ke Lembah Sampit.
Tawau bersama Tagoh Hulu berjalan paling depan,
kemudian menyusul Mahesa Wulung serta Pandan
Arum, sedang di belakangnya, berjalan berdampingan,
si gadis Sandai bersama Daeng Matoa. Kemudian pa-
ling akhir adalah beberapa anak buah si tua Tawau.
Rombongan kecil itu berjalan beriring menempuh
jalan rintisan dengan enaknya. Mereka kini telah me-
rasa lega setelah pengganggu-pengganggu keamanan
kampung Lembah Sampit telah binasa.
Meskipun Patung Intan itu turut tenggelam bersa-
ma Seguntur ke dalam rawa maut, namun mereka tak
menyesalinya. Sebab dengan begitu berarti lenyap pula
Kutukan Patung Intan yang selalu membawa bencana.
Bila mereka meninjau dari nilai kebendaan, me-
mang Patung Intan tadi sangat berharga, bahkan
mungkin tak terukur jika dinilai dengan mata uang.
Selain bahan patung itu sendiri terbuat dari permata
intan yang besar, juga halnya si pencipta patung terse-
but sungguh sangat berharga dan patut terpuji.
Kini kaki-kaki mereka melangkah dengan mantap-
nya memapaki tanah-tanah hutan itu tanpa merasa
was-was ataupun kuatir lagi. Rasanya buat mereka ini
sekarang menjadi lebih indah daripada dahulu. Kalau
dahulu mereka tak sempat menikmati hutan-hutan be-
lantara ini lantaran rasa cemas ataupun takut, kini
mereka tidak begitu lagi.
Mereka benar-benar merasa segar menghirup udara
sore yang bercampur bau bunga-bungaan yang mekar
di waktu senja, seperti anggrek-anggrek kelarat dan
bunga-bunga liar lainnya. Maka perjalanan pulang inipun tak terasa melelahkan buat mereka. Dan menje-
lang sang malam turun ke bumi, si tua Tawau beserta
rombongan telah tiba di kampung Lembah Sampit de-
ngan selamat.
Sekali lagi Mahesa Wulung dapat menyaksikan be-
tapa keakraban serta rasa kekeluargaan yang sangat
dalam terjalin di antara mereka para penduduk Lem-
bah Sampit ini.
Ketika Tawau beserta rombongan kecil itu tiba, ti-
dak sedikit para penduduk yang berbondong, berlarian
menyambut mereka dan akhirnya malam itu pula si
tua Tawau lalu bercerita panjang lebar tentang kisah
pencarian Patung Intan sampai pertempuran mereka
melawan si liar pendekar Bengara serta sisa-sisa anak
buah Kapal Hantu. Sewaktu cerita Tawau sampai pada
pengkhianatan pendekar Seguntur, mereka hampir tak
mau percaya akan hal itu, namun setelah orang tua itu
menjelaskan panjang lebar tentang segala sesuatu
yang menyangkut diri Seguntur, barulah orang-orang
tadi memakluminya.
Sementara itu, Mahesa Wulung yang duduk ber-
dampingan bersama Pandan Arum, tampak beberapa
kali saling berbisik sambil melemparkan lirikan ke
arah Daeng Matoa yang lagi asyik bercakap-cakap de-
ngan Sandai. Keduanya tampak sangat mesra dan pe-
nuh kasih sayang, sehingga hal itulah yang menye-
babkan Mahesa Wulung berbisik-bisik kepada Pandan
Arum tadi.
“Stt, Adi Pandan Arum. Lihatlah, betapa mesra dan
asyiknya mereka bercakap-cakap bersama,” terdengar
Mahesa Wulung berbisik.
“Heh, akupun melihatnya, Kakang. Rupanya hati
mereka mulai bertemu,” jawab Pandan Arum dengan
setengah berbisik disertai senyum penuh arti.
“Aku telah lama melihat pendekatan mereka. Sejak
kita dulu tersesat di taman pohon-pohon pemakan
daging itulah aku telah tahu bahwa Sandai telah jatuh
hati kepada Daeng Matoa dan karenanya aku merasa
syukur pula.”
“Aku pun ikut gembira, Kakang. Mereka berdua aku
rasa sangat cocok dan sepadan, serta patutlah jika ke-
duanya telah saling berjodoh.”
“Dan aku juga tak perlu cemas lagi, Adi,” bisik Ma-
hesa Wulung dan ini membuat Pandan Arum agak ter-
tegun.
“Eh, apa yang Kakang cemaskan semula?!”
“Heh, heh, heh. Semula aku cemas, bahwa Adi Pan-
dan Arum akan mencemburukan aku dengan si gadis
Sandai ini!”
“Eeh... mmm... hih! Ini rasakan, kalau orang suka
menggodaku!” desah Pandan Arum seraya jari-jari ta-
ngannya beraksi mencari sasaran ke lengan Mahesa
Wulung serta mencubitnya.
“Usss... aduh... aduuuuh! Ah, jangan diulang, Adi
Pandan. Cubitanmu bagai bara api panasnya dan
membuat dadaku bergoncang,” ujar Mahesa Wulung
seraya tangan kanannya cepat-cepat mencegah serta
menggenggam jari-jari Pandan Arum tadi, hingga keka-
sihnya ini tak dapat mengulang cubitannya kembali,
kecuali diam tak berdaya serta membiarkan jari-
jarinya tetap dalam genggaman tangan Mahesa Wu-
lung. Dan kemudian pendekar muda ini tergetar pula
dadanya ketika Pandan Arum menyandarkan kepala-
nya ke bahu kiri Mahesa Wulung.
“Kakang Wulung, kapankah kita pulang ke De-
mak?!” terdengar tiba-tiba Pandan Arum bertanya lirih.
“Aku rasa tak lama lagi, Adi Pandan. Bukankah
persoalan di sini telah selesai, Adi? Dan tentunya Adi
Jagayuda serta orang-orangnya telah cukup lama me-
nunggu kita di Teluk Sampit di selatan sana.”
Sementara Mahesa Wulung serta Pandan Arum ber-
cakap-cakap itu, tak antara lama si tua Tawau pun te-
lah rampung mengakhiri ceritanya kepada para pen-
duduk tadi. Dengan demikian, sejurus lagi menjadi
sunyilah kembali tempat itu. Si tua Tawau serta para
penduduk kembali ke rumah mereka masing-masing.
Begitu pula dengan Mahesa Wulung, Pandan Arum,
Daeng Matoa serta Sandai.
Semenjak malam itu dan hari-hari berikutnya, hu-
bungan Daeng Matoa serta Sandai kian bertambah
erat dan agaknya di antara keduanya telah ada kata
sepakat untuk membina keluarga dan perkawinan me-
reka. Hal itu tentu saja sangat menggembirakan bagi
seluruh penduduk kampung Lembah Sampit.
***
Selang beberapa hari, kelihatanlah kesibukan di
pantai Teluk Sampit. Sebuah kapal jung berbendera
Makara kuning emas di atas dasar biru laut tengah
bersiap untuk bertolak ke tengah laut. Sedang di pan-
tai, berpuluh-puluh orang manusia berderet meman-
dang kapal jung itu dengan asyiknya.
Di antara puluhan manusia itu, si tua Tawau, Ta-
goh Hulu, Sandai, Mahesa Wulung, Pandan Arum serta
Daeng Matoa dan juga Jagayuda tampak saling berja-
bat tangan dengan mesranya.
Yah, hari itu adalah saat perpisahan yang mengha-
rukan setiap orang yang berada di pantai itu. Si tua
Tawau yang menahan perasaan harunya tadi berkali-
kali menghapus butir-butir air mata yang meluncur
dari sudut matanya.
Begitu pula Sandai tiba-tiba saja memeluk Pandan
Arum dengan terisak-isak dan berkata dengan nada
bergetar. “Nona Pandan Arum, Anda akan pergi... kita
akan berpisah. Aku akan selalu mengenang kebaikan
Anda selama kita bergaul sebagai dua orang saudara di
pulau ini.”
Pandan Arum terharu pula oleh kata-kata itu dan
membuat pelukannya kepada gadis Sandai semakin
erat. Lalu jawabnya, “Aku pun akan senantiasa menge-
nangmu, Sandai. Aku turut berdoa semoga perkawi-
nanmu dengan Saudara Daeng, akan selamat dan ber-
bahagia serta terimalah salamku.” Pandan Arum ke-
mudian mengecup pipi Sandai.
“Sayang, jika Anda tak dapat menghadiri perkawi-
nan kami nanti,” ujar Sandai dengan manja.
“Yah, memang sayang. Tetapi bukankah itu masih
sebulan lagi? Sedang kami harus segera kembali ke
Demak,” ujar Pandan Arum seraya mengelus-elus
punggung Sandai. “Sebab kami telah cukup lama ting-
gal di sini”
Dalam pada itu terdengarlah hiruk-pikuk sebentar,
dan ketika beberapa orang tampak menepi, muncullah
pendekar tua Bontang beserta sahabatnya si Goro,
seekor orang utan yang berperawakan kekar dan selalu
menemaninya ke mana saja.
Mahesa Wulungpun cepat menyambut Bontang ser-
ta merangkulnya dengan kata yang bernada haru un-
tuk meminta diri kepada bekas gurunya itu. Keruan
saja orang tua inipun ikut terharu pula dan ia meni-
tikkan air matanya.
“Selamat jalan, anakku,” ujar Bontang pelan. “Kami
berterima kasih kepadamu, sebab kedatanganmu ke
mari telah menjernihkan suasana, menghancurkan se-
tiap tindak kejahatan. Pergilah anakku, tugas-tugas
lainnya tentu telah menantimu. Pergilah dan kami
akan menantimu setiap masa. Kita berpisah di sini, te-
tapi hati kita akan tetap bertaut selamanya.”
Perpisahan yang mengharukan itupun berakhir ke-
tika Mahesa Wulung bersama Pandan Arum dan Ja-
gayuda serta para anak buah kapal satu demi satu
naik ke atas kapal.
Sesaat kemudian dayung-dayung kapal mulai ber-
gerak berbareng seirama membelah air laut dengan
lincahnya, dan kapal jung itu sedikit demi sedikit ma-
kin merenggang dari pantai Teluk Sampit, diiringi lam-
baian tangan serta teriakan-teriakan selamat jalan
yang sambung-menyambung memenuhi udara pagi di
pantai. Beberapa burung camar dan bangau terkejut
dan terbang dari balik rumpun-rumpun pohon bakau,
dan di bawah, ikan gelodogpun berlarian masuk ke da-
lam lubang-lubang rumahnya saking kaget akan so-
rak-sorai dari mulut orang-orang di pantai Teluk Sam-
pit.
Mahesa Wulung, Jagayuda dan Pandan Arum berdi-
ri di buritan kapal serta memandang ke arah pantai
Teluk Sampit yang kelihatannya semakin mengecil dan
menjauh.
Agaknya di pantaipun si tua Tawau, Daeng Matoa,
Sandai serta yang lain-lainnya masih berdiri pula me-
mandang ke arah laut, mengikuti Kapal Barong Maka-
ra yang semakin mengecil dan seolah-olah menjadi ti-
tik hitam untuk kemudian lenyap di cakrawala selatan
bagai ditelan oleh ujung laut yang menganga luas tak
bertepi itu.
Kapal jung berbendera Makara kuning emas itu kini
telah berlayar dengan laju, sementara layar-layarpun
telah dikembangkan sepenuhnya.
Mahesa Wulung yang masih berdiri di buritan itu,
tiba-tiba saja terkejut oleh permata kalung milik Pandan Arum yang tersembul dari balik bajunya.
Permata kalung itu berbentuk setengah lingkaran
terbuat dari batu permata hijau yang diikat dengan lo-
gam emas berukir sangat indahnya. Ya, ia pernah pula
melihatnya beberapa waktu yang lalu. Pandangan ma-
ta Mahesa Wulung tak hentinya terpaku pada benda
itu sampai akhirnya Pandan Arum merasa resah di-
pandang secara demikian oleh kekasihnya.
“Idiiih, mengapa Kakang Wulung memandang dada-
ku seperti itu? Apakah aku keliru memakai baju?”
“Eh... uh... tidak, Adi Pandan,” sahut Mahesa Wu-
lung dengan tergagap-gagap saking kaget dan tersadar
dari sikapnya.
“Aku... eh... bukan bajumu yang membuatku terce-
nung sedemikian itu, tetapi permata kalungmu itulah
sebabnya.”
“Mengapa, Kakang?!” sambung Pandan Arum kehe-
ranan. “Aku ingat pula bahwa beberapa waktu yang la-
lu, Kakang Wulung pun pernah terpesona oleh perma-
ta kalungku ini, bukan?!”
“Benar, benar,” ujar Mahesa Wulung. “Sebab ada
suatu keganjilan yang aku lihat pada permata kalung-
mu itu.”
“Keganjilan?!” seru Pandan Arum lebih kaget. “Aku
rasa biasa saja, Kakang Wulung. Kalung ini adalah
pemberian ayahku dari Asemarang.”
“Adi Pandan Arum tak percaya?” sela Mahesa Wu-
lung pula. “Bagaimana kalau aku dapat menunjukkan
keganjilan itu?!”
“Silakan, Kakang Wulung,” ujar Pandan Arum sera-
ya mengikuti sikap Mahesa Wulung yang memasukkan
tangannya ke balik bajunya sendiri dan kemudian
tampaknya menggenggam sesuatu yang diambil dari
balik baju tadi.
“Nah, Adi Pandan Arum, sekarang cobalah lihat ser-
ta perhatikan baik-baik, apa yang engkau lihat pada
telapak tanganku ini!” berkata Mahesa Wulung seraya
membuka genggaman tangannya dengan segera dan
karenanya Pandan Arum terpekik saking herannya,
sebab pada telapak tangan kekasihnya itu terdapat
seuntai kalung emas dengan permata hijau setengah
bulat persis kepunyaan Pandan Arum itu sendiri.
“Oookh! Kalung itu!” seru Pandan Arum takjub. “Ka-
lung itu persis kepunyaanku ini.” Berkata demikian
gadis ini seraya melepaskan kalung yang sama dari le-
hernya lalu diulurkan kepada Mahesa Wulung.
“Luar biasa!” desis Mahesa Wulung seraya menja-
jarkan kedua kalung tersebut masing-masing dengan
tangan kiri dan kanannya, lalu bagian permata kalung
hijau yang merupakan irisan garis tengah lurus dan
rata ditempelkan pada bagian yang sama dari kalung
yang sebuah lagi sampai kedua permata kalung itu be-
tul-betul sekarang berbentuk satu lingkaran penuh.”
“Lihatlah, Adi Pandan Arum! Perhatikan baik-baik.
Bukankah hal ini benar-benar merupakan satu kegan-
jilan yang tiada taranya?!” ujar Mahesa Wulung.
“Dari mana Kakang Wulung memperoleh kalung se-
perti ini?” tanya Pandan Arum segera. “Tentu permata
kalung ini berasal dari batu yang sama, yakni sebuah
bulatan yang kemudian dipecah atau dipotong menjadi
dua bagian.”
“Tak salah lagi, Adi Pandan Arum,” ujar Mahesa
Wulung sambil mengamati permata dua kalung itu.
“Guratan-guratan pada permukaan permata hijau in-
ipun saling melengkapi antara yang satu dengan yang
lain. Aku rasa, guratan-guratan ini pasti ada artinya
bagi kita. Dan ketahuilah Adi Pandan, bahwa kalung
ini aku terima dari Endang Seruni.”
“Siapa Endang Seruni itu, Kakang Wulung?!” tanya
Pandan Arum setengah curiga terhadap keterangan
kekasihnya.
“Dia adalah putri dari Ki Lurah Mijen yang aku se-
lamatkan dari tangan para penjahat dan ia menye-
rahkan kalung permata hijau ini sebagai pernyataan
terima kasihnya,” demikianlah Mahesa Wulung berce-
rita kepada kekasihnya, Pandan Arum, dan selanjut-
nya diceritakan pula segala pengalamannya ketika ia
tinggal di Desa Mijen beberapa waktu yang lewat.
“Mmm, aku ingin berkenalan dengan dia,” ujar Pan-
dan Arum. “Tentu Kakang tidak akan berkeberatan un-
tuk mengajakku ke Desa Mijen kelak.”
“Ah, dengan senang hati aku akan membawamu ke
sana, Adi Pandan Arum,” kata Mahesa Wulung kepada
kekasihnya. “Sebab memang sedari semula, ketika aku
melihat permata kalungmu itu, aku bermaksud menye-
lidiki serta menanyakannya kepada Ki Lurah Mijen.”
“Ooh, itu bagus, Kakang Wulung! Aku sangat setuju
dengan pikiranmu tadi. Semoga persoalan kalung
kembar bermata hijau ini segera dapat dipecahkan.”
Tampak wajah Pandan Arum bersinar.
“Begitulah harapanku, Adi Pandan,” sambung Ma-
hesa Wulung pula. “Aku kira, guratan-guratan pada
permukaan permata kalung ini mengandung suatu ra-
hasia.”
“Suatu rahasia?!” ulang Pandan Arum dengan ka-
getnya demi mendengar penuturan kekasihnya ini.
“Maksud Kakang, goresan-goresan ini mengandung se-
suatu arti?”
“Tepatnya begitu, Adi,” jawab Mahesa Wulung se-
raya memberikan kalung milik Pandan Arum kembali.
“Seolah-olah guratan-guratan ini merupakan sebuah
peta atau tulisan-tulisan tersembunyi.”
Pandan Arum yang telah menerima kalungnya kem-
bali segera mengamati permata kalung hijau tersebut,
sementara hatinya dapat membenarkan ketajaman
otak Mahesa Wulung.
“Hmm, hatiku kini seperti terbuka oleh pendapat-
mu, Kakang Wulung,” berkata Pandan Arum kepada
pendekar muda di sampingnya. “Tetapi jika demikian,
sama artinya bahwa kedua kalung ini saling meleng-
kapi dan membutuhkan antara yang satu dengan yang
lain.”
“Nah, jika demikian maksud Adi Pandan, itu berarti
bahwa menguasai sebelah kalung hijau saja, tak akan
ada manfaatnya bagi si pemakai,” ujar Mahesa Wu-
lung.
“Kalau begitu, kita harus menjaga baik-baik kalung
kembar ini sampai kita tiba di Desa Mijen serta me-
nanyakan rahasia kalung ini kepada Ki Lurah,” Pan-
dan Arum berkata seraya memakai kalungnya kembali.
Kapal jung Barong Makara kini berlayar ke arah
tenggara dan angin bertiup dengan derasnya mengem-
bangkan layar-layar dengan penuh, hingga kapal mela-
ju dengan lancarnya.
Sesekali beberapa ikan terbang muncul ke permu-
kaan air dan mencutat lalu melayang-layang di atas
gelombang laut bagaikan ingin berlomba dengan kapal
ini.
Betapa rindunya seluruh awak kapal terhadap sa-
nak-keluarga yang telah beberapa waktu berpisah, tak
dapat terlukiskan. Namun kini mereka merasa lega se-
telah tugas-tugas mereka berhasil dan kembali ber-
layar menuju Demak.
***
DUA
MUARA KALI SERANG yang bertemu dengan Laut
Jawa kelihatan amat tenangnya. Air sungai yang me-
ngalir ke utara lalu bersatu dan bercampur dengan air
laut. Sore itu udara amat panasnya terasa di pori-pori
kulit. Untunglah angin pantai bertiup cukup menye-
garkan.
Tetapi di balik ketenangan muara Kali Serang itu
terlihatlah dua sosok bayangan yang berkelebatan
amat serunya. Gerakan mereka sedemikian gesit hing-
ga kadang-kadang sampai sukar ditangkap oleh mata
dan merupakan bayang-bayang atau sinar hitam yang
bergulung-gulung saling melibat.
Kedua manusia ini sesungguhnya tengah bertempur
dengan tangan-tangan kosong belaka, sebab setiap kali
cuma telapak-telapak tangan atau totokan-totokan ja-
ri-jari tangan yang kelihatan saling beradu atau ber-
benturan.
Setiap kali mereka menangkis dan memukul, setiap
kali pula mulut mereka berdua meneriakkan jeritan
yang dahsyat memantul dan menggetarkan udara dari
muara Kali Serang.
Yang seorang masih kelihatan cukup muda dan ber-
tubuh kekar dengan kumis tebal melintang di atas bi-
bir, sedang dagunya dihiasi pula oleh bulu-bulu jang-
gut yang hitam legam. Sedang lawan yang seorang lagi,
sudah agak tua, yang terlihat dari kumis dan jenggot-
nya yang sudah agak keputihan kelabu. Rambutnya
yang tanpa ikat kepala itu cuma tumbuh pada sisi ke-
pala serta bagian belakang saja. Bagian kepala sebelah
atas gundul, tanpa selembar rambutpun yang tumbuh
di situ. Orang tua ini bersenjatakan sebilah gada pemukul yang ujungnya berduri-duri runcing tajam, dan
tergantung pada pinggang kirinya.
Agaknya mereka telah bertempur mengadu tenaga
dalam puluhan jurus, dan keduanya mencucurkan ke-
ringat berleleran di tubuhnya.
Ketika matahari makin merendah ke cakrawala ba-
rat, dan keduanya masih bertempur sengit tanpa me-
nunjukkan tanda-tanda adanya pihak yang kalah atau
yang menang, sekonyong-konyong meloncatlah si
orang botak tadi surut ke belakang hampir sepuluh
langkah jauhnya.
“Hyaaat!” teriakan nyaring terdengar dan kedua ka-
ki si botak tadi mendarat di tanah dan berdiri dengan
kokohnya bagai tugu karang.
Taaap!
Begitu pula si orang muda menghentikan gerakan-
nya dan berdiri dengan tangguh dalam sikap yang sa-
ma dengan si botak tadi.
“Hua, ha, ha, ha kowe memang bocah hebat, La-
wunggana! Tak kecewa aku mengangkatmu sebagai
murid tunggal Bango Wadas!”
“Terima kasih, Guru!” ujar si orang muda yang di-
panggil dengan nama Lawunggana tadi. — Namun,
mengapa guru menghentikan latihan kita ini?!”
“Hua, ha, ha, ha, kau memang cukup tangguh, La-
wunggana. Tetapi kita selama ini hanya bertempur de-
ngan tangan kosong belaka. Maka jurus berikutnya,
pakailah sepasang pisau cagakmu sebagai senjata un-
tuk melawanku!”
Lawunggana sejenak merasa ragu-ragu oleh kata-
kata Ki Bango Wadas ini, sehingga sesaat iapun tak bi-
sa berkata-kata.
“Lawunggana!” bentak Bango Wadas dengan marah-
nya. “Kau dengar kata-kataku tadi?! Cabutlah senjata
mu itu!”
“Maksud Guru, aku harus melawanmu dengan sen-
jata andalanku ini?!” berkata Lawunggana setengah
ragu seraya meraba kedua hulu senjatanya yang ter-
sembul dari ikat pinggangnya. “Apakah ini berarti bah-
wa aku harus pula melukaimu dengan senjataku?!”
“Berbuatlah sesuka hatimu, Lawunggana!” sahut
Bango Wadas dengan meringis garang. “Hadapilah aku,
seperti engkau betul-betul menghadapi seorang lawan
yang bakal mengganyangmu! Hua, ha, ha, ha.”
Lawunggana tanpa ragu-ragu lagi segera mencabut
kedua senjata pisau cagaknya sambil berkata, “Baik-
lah, Guru. Aku terpaksa menggunakan senjataku ini
atas permintaanmu. Semoga saja tidak akan benar-
benar menggores kulit dagingmu, Ki Bango Wadas.”
“Keparat! Ha, ha, ha, ha. Jangan terlalu manja La-
wunggana! Sebab sesungguhnya tak ada seorang mu-
suh yang betul-betul menaruh belas kasihan terhadap
lawannya,” seru Bango Wadas seraya melototkan mata.
“Kalau kau tak bersedia menggores kulit dagingku,
maka giliran senjataku inilah yang bakal menyobek tu-
buhmu!”
Bango Wadas kemudian mencabut gada berduri da-
ri pinggang kirinya serta memutar-mutar dengan ta-
ngan kanannya, sampai menimbulkan suara berdesau
serta cahaya berkeredipan dari ujung-ujung duri sen-
jata yang terbuat dari baja runcing.
“Majulah Lawunggana, kata-kataku adalah juga pe-
rintahku dan tak ada alasan buat menolaknya!”
Lawunggana mulai membuka jurus serangannya.
Kedua tangannya yang masing-masing bersenjata pi-
sau bercabang dua itu bergerak dengan lincah bagai
cakar-cakar rajawali yang menyerang mangsanya. Mu-
la-mula gerakan tersebut adalah setempat dan kedua
kaki Lawunggana tanpa berubah dari tempatnya.
Namun, bersamaan teriakan dahsyat yang keluar
dari mulut Lawunggana, melesatlah ia ke arah Ki Ba-
ngo Wadas dan langsung menyerangnya dengan dah-
syat.
Laksana terkaman seekor harimau kelaparan, La-
wunggana melesat, tapi bersamaan itu pula Bango
Wadas telah bersedia. Direndahkannya tubuhnya se-
rendah mungkin sementara senjata gada berduri di ta-
ngan kanannya berputar tak kalah hebat.
Kedua sosok bayangan tadi saling berbentrok dan
senjata-senjata mereka saling bergempur dengan bunyi
gemerincing dibarengi lidah-lidah api bertebaran me-
loncat ke udara sore.
Traaang!
Lawunggana kemudian melesat ke samping sete-
ngah terpental oleh tenaga benturan tadi, sedang Ban-
go Wadas masih tetap berdiri tegak pada tempatnya
sambil tertawa terkekeh-kekeh.
Melihat kenyataan ini, Lawunggana tidak menjadi
berkecil hati. Dan selagi gurunya tadi masih tertawa
panjang, ia kembali berteriak seraya melesat menye-
rang kembali ke arah Bango Wadas.
Sekali lagi si botak ini berkelit ke samping seraya
menyabetkan penggadanya ke arah kedua senjata pi-
sau cagak yang terjulur menyambar ke tubuhnya.
Crang!
Kembali Lawunggana terpental, tapi ia dengan lin-
cahnya melenting ke udara tiga putaran dan cepat
mendarat kembali ke tanah.
“Bagus! Bagus! Kini giliranku menyerang!” seru
Bango Wadas dengan berseru hebat. “Hyaaaat!”
Lawunggana yang baru saja mendarat itu sangat
terkejut, begitu penggada berduri logam runcing itu
menyambar lambungnya dalam kecepatan tak terduga.
Untunglah Lawunggana adalah murid gemblengan
dari si botak Bango Wadas yang sakti, maka sebelum
perutnya tersobek oleh sambaran senjata gurunya, ia
terlebih dulu melontarkan diri ke atas sebuah pokok
kayu yang kering dan hinggap berdiri di atasnya, lak-
sana seekor elang.
Tentu saja si botak Bango Wadas tidak mau mem-
beri hati kepada muridnya ini. Biarpun ia telah berha-
sil lolos dari serangannya ia masih tetap ingin menguji
kemampuan muridnya, si Lawunggana.
Penggada berdurinya sekali lagi menghajar ke arah
pokok kayu yang kering tadi dan menimbulkan suara
berderak keras hingga Lawunggana yang berdiri di atas
pokok kayu tadi sangat terkejut. Pendekar berkumis
lebat ini melihat bahwa pokok kayu kering yang di-
hinggapinya ini bergoyang keras dan kemudian roboh
ke bawah.
Sangat mujur bahwa Lawunggana ini telah bersiaga,
maka begitu pokok kayu kering itu roboh ia cepat me-
loncat ke belakang beberapa jauhnya.
Bango Wadas secara diam-diam mengagumi segala
ketrampilan muridnya, meski ada beberapa kekeliruan
kecil yang tidak berarti.
Lawunggana terpaksa mengerahkan segenap tena-
ganya, sebab dirasanya bahwa gurunya benar-benar
menyerangnya dengan pukulan-pukulan dan jurus-
jurus maut.
“Benarkah Ki Bango Wadas ingin membunuhku?”
pikir Lawunggana setengah ragu. “Hmm, bagaimana-
pun juga aku harus menghadapinya. Memang ia ka-
dang-kadang berwatak aneh dan keras.”
Itulah sebabnya maka Lawunggana mengerahkan
segenap tenaga dan ilmu serta jurus-jurus ajaran gurunya, maka tak heran bila tubuhnya kadang-kadang
melesat menerkam bagai seekor harimau tetapi mam-
pu pula berloncatan dengan lincah menghindari setiap
serangan gada berduri logam milik Ki Bango Wadas.
Benar-benar Lawunggana dapat bergerak selincah tu-
pai.
Namun betapapun pandainya seorang murid, toh
dia akan masih selalu di bawah kemampuan gurunya
beberapa tingkat jauhnya. Ini terlihat pada jurus-jurus
berikutnya.
Sambaran-sambaran gada berduri logam dari Bango
Wadas semakin rapat mengurung serta mencecar La-
wunggana, sehingga sebentar saja pendekar berkumis
tebal tadi telah dikurung oleh gumpalan sinar putih
gemerlapan yang mengandung hawa maut.
Bagaimanapun kedua pisau cagaknya bergerak un-
tuk mengimbangi sambaran-sambaran senjata guru-
nya, namun Lawunggana semakin jauh dan tenggelam
oleh lawannya.
Dalam setiap benturan senjata, setiap itu pula La-
wunggana terkejut, sebab jari-jarinya terasa pedih de-
ngan rasa yang menyengat-nyengat ke segenap bagian
tubuhnya.
Lawunggana jadi berkeringat. Peluhnya mengalir
menganak sungai dan badannya mulai terasa penat-
penat. Entah, selama bertempur ini ia telah mengha-
biskan beberapa puluh atau ratusan jurus, ia tak sem-
pat menghitung lagi.
Kini ia tak mampu lagi membalas serangan-se-
rangan gurunya, jadi semua jurusnya hanyalah jurus
mempertahankan diri atau menangkis saja. Lebih dari-
pada itu ia tak tahan, serta tidak mampu.
Demikianlah, pada suatu saat ketika gada berduri
logam itu meluncur deras ke arah dadanya, Lawung
gana cepat memapaki dengan kedua pisau cagaknya
dan terjadilah benturan paling dahsyat.
Craaang!
“Aaaakh!”
Sebuah jeritan kecil terlontar dari bibir bersamaan
tubuh Lawunggana ini terpental dan rebah ke tanah.
Saat itu pula Lawunggana tak dapat berkutik lagi.
Sambil duduk di atas rumput, ia masih tetap meng-
genggam kedua pisaunya dan siap menghadapi setiap
kemungkinan yang bakal terjadi.
Melihat itu semua, Bango Wadas jadi tertawa ter-
kekeh-kekeh panjang.
“Hua, ha, ha, ha. Bagus, Lawunggana! Bagus! Aku
puas melihatmu dan aku tak kuatir lagi seandainya
kamu betul-betul bertempur melawan seorang musuh.”
“Jadi, Guru tidak betul-betul bermaksud membu-
nuhku?!” seru Lawunggana ragu-ragu.
“Hah, kau jangan terlalu bodoh, Lawunggana! Mana
ada seekor macan memakan anaknya sendiri!” bentak
Ki Bango Wadas dengan wajah tegang dan menyebab-
kan Lawunggana tertunduk ke tanah dengan hati ke-
cut dan berdebar-debar.
Ya, memang sudah sepatutnya bila Ki Bango Wadas
menjadi marah oleh perkataan muridnya itu. Masakan
seorang guru dapat sampai hati membunuh muridnya
yang baik dan tunggal itu.
Entah kalau dengan murid yang murtad dan me-
nyeleweng, pasti seorang guru akan menghajarnya
sendiri.
Akan tetapi, Lawunggana bukan terbilang dalam go-
longan itu. Ia adalah murid yang patuh dan setia pada
gurunya. Dengan demikian, maka perkataannya yang
gegabah serta sembrono itu membuat Bango Wadas
menjadi marah.
Kendati demikian, Ki Bango Wadas adalah seorang
yang berpengetahuan luas, dan ia dapat memaklumi
bila perkataan Lawunggana tadi keluar berdasarkan
dorongan rasa takut maupun panik. Maka betapapun
marahnya Bango Wadas yang botak itu, dapat me-
maafkan kesalahan muridnya ini.
“Maaf, Guru. Aku memang murid yang tolol dan An-
dika sudah patut memberi hukuman kepadaku!” ujar
Lawunggana seraya masih tertunduk ke bawah.
“Tak apa, Lawunggana,” sahut Ki Bango Wadas.
“Aku telah memaafkanmu, dan marilah kita beristira-
hat sejenak.” Demikian ajak si botak itu kepada mu-
ridnya.
Kedua orang itu kemudian berjalan menuju ke po-
hon kering yang roboh oleh penggada Bango Wadas
beberapa saat yang lewat, dan selanjutnya mereka du-
duk berdampingan.
Dalam pada itu, langit di sebelah barat telah dis-
epuh oleh warna merah kelam, sedang awan kehita-
man beberapa gumpal tampak mengalir ke selatan de-
ngan malasnya.
“Lawunggana,” ujar Bango Wadas sambil menoleh
ke arah muridnya, “kau telah cukup aku beri ilmu dan
kau telah aku pandang cukup untuk menghadapi la-
wan yang bagaimanapun tangguhnya.”
“Terima kasih, Guru,” sahut Lawunggana seraya
menghela nafas. “Dan kini aku telah rindu benar de-
ngan desaku, Mijen.”
“Hmmm, yah, yah. Aku masih ingat benar. Kau
hampir empat tahun tinggal bersamaku sejak perte-
muan kita yang pertama. Bahkan aku masih ingat se-
waktu kau datang dengan babak belur dan bercerita
kepadaku, bahwa dirimu habis dihajar oleh Sela Gan-
den, pendekar jagoan dari Desa Mijen.”
“Hehhh,” desah Lawunggana dengan mata meman-
dangi langit senja di sebelah barat. “Itu semua terjadi,
sebab aku masih sangat hijau di waktu itu, sehingga
aku tak berdaya melawan Sela Ganden.” Lawunggana
sejenak berhenti berkata dan matanya menatap terus
ke langit barat, seakan-akan mencoba mengingat selu-
ruh kejadian yang telah dialaminya.
Warna langit barat yang merah kelam, semerah
warna darah yang dulu pernah keluar dari mulutnya
ketika ia dihajar oleh Sela Ganden beberapa tahun
yang lalu.
Waktu itu ia ingat betul dan kini gambaran-gam-
baran peristiwa yang silam seolah-olah bangkit dan
terpancang di ruang matanya kembali.
***
Saat senja hari di Desa Mijen, dan lebih tepatnya di
pekarangan belakang rumah Ki Lurah Mijen. Dengan
asyiknya ia tengah asyik bercakap-cakap dan bercanda
dengan Endang Seruni, si gadis mungil dan lincah pu-
tri dari Ki Lurah Mijen. Ia mengenal gadis ini sejak ma-
sa kecil, dan sampai besarpun ia masih mengenalnya
dengan baik.
Kalau dahulu Lawunggana selalu menganggap En-
dang Seruni sebagai teman bermain saja, kini tidak
begitu lagi. Wajah dan tubuh Endang Seruni yang ma-
kin meningkat ke alam dewasa itu membuat La-
wunggana berpikir lain.
Yah, ia tak tahu, mengapa tiba-tiba pandangannya
terhadap Endang Seruni berubah dengan sendirinya.
Ia heran bila setiap kali bertemu dan bercakap-cakap
dengan gadis itu hatinya seolah-olah berdebar-debar
dan bersorak dengan gemuruhnya.
Namun lama-kelamaan sadarlah Lawunggana bah
wa ia telah jatuh cinta dan kasmaran terhadap Endang
Seruni itu.
Senja telah turun dan kedua muda-mudi ini tengah
asyik bercakap-cakap. Apa yang terasa oleh Lawung-
gana kemudian adalah keindahan yang begitu sem-
purna.
Langit senja yang berwarna lembayung itu, begitu
indah dan kini bersatu dengan keindahan wajah En-
dang Seruni, menjadikan Lawunggana terasa bagai ter-
lambung oleh alam mimpi.
Hanya saja, Lawunggana tidak sadar bahwa di balik
dedaunan rumpun pisang, beberapa pasang mata te-
ngah menatap mereka berdua dan inilah pangkal uta-
ma bahwa senja itu, adalah senja yang terakhir bagi
Lawunggana di Desa Mijen.
Demikianlah, sesudah senja makin menggelap, ma-
ka iapun meminta diri kepada Endang Seruni dan se-
jurus kemudian gadis inipun berlari ke dalam rumah.
Lawunggana segera meninggalkan pekarangan itu
dan berjalan dengan tenangnya tanpa menaruh rasa
cemas ataupun curiga sedikitpun. Ia tidak tahu bahwa
dirinya tengah diintai.
Ketika kemudian Lawunggana sampai di dekat pe-
pohonan rindang, tiba-tiba telinganya menangkap bu-
nyi berdesing yang menuju ke arahnya disertai seleret
sinar putih yang menyambar cepat sekali.
“Oh, apa ini?” keluh Lawunggana seraya mengendap
ke bawah. Sebagai pemuda yang masih kurang berisi
di dalam ilmu persilatan tentu saja ia merasa gentar
menghadapi hal ini.
Craaaap!
Terdengar bunyi menancap dan alangkah kagetnya
demi mata Lawunggana melihat sebuah pisau belati
panjang menancap hampir separuh lebih pada batang
pohon di dekatnya.
Seketika Lawunggana bergemetaran dan cepat-ce-
pat ia bangkit serta kemudian berlari menjauhi tempat
itu. Akan tetapi, belum lagi dua tombak jauhnya ia be-
lari, mendadak berlompatanlah tiga bayangan tubuh
manusia dari balik rumpun-rumpun pisang yang ge-
lap.
“Berhenti, pengecut!” bentak seorang di antara me-
reka yang bertubuh tinggi kekar menghadang di ten-
gah jalan dengan berkacak pinggang. “Kau berani me-
masuki pekarangan Ki Lurah Mijen dalam waktu yang
tidak semestinya, haah?!”
“Dan lagi dia berani bercanda dengan Endang Se-
runi secara sembunyi-sembunyi!” seorang lainnya dari
mereka, ikut berbicara pula. “Akan kita apakan dia,
Kakang Sela Ganden?”
“Heh, heh, heh, heh. Baiknya kita beri pelajaran se-
cukupnya kepada bocah ingusan ini!” seru si tubuh
kekar yang dipanggil dengan nama Sela Ganden itu!
“Adi Pakisan dan Sorogenen, bersiaplah jangan sampai
cecunguk ini dapat lolos dari tangan kita!”
“Bagus!” seru kedua orang lainnya hampir berba-
reng, sambil memperdengarkan suara gigi-gigi mereka
yang bergemeretak berkerot-kerot menakutkan.
Lawunggana masih saja bergemetaran tanpa dapat
berbuat apa-apa. Makin lama makin dekatlah jarak ke-
tiga manusia tadi menghampiri ke arah dirinya.
Yang paling tengah adalah Sela Ganden yang me-
langkah dengan tegapnya seraya menatap tajam de-
ngan mata yang berapi penuh kemarahan.
“Ooh, berhenti kalian!” ujar Lawunggana dengan
paniknya. “Endang Seruni adalah sahabatku dan aku
tak berbuat kurang sopan kepadanya.”
“Hiah, hah, hah, hah,” Sela Ganden terdengar lagi
tertawa serta melangkah terus ke arah pemuda tadi
berdiri. “Kau boleh menangis minta ampun serta men-
cium telapak kakiku supaya aku menaruh belas kasi-
han kepadamu, cecunguk!”
Lawunggana tak dapat berbuat apa-apa. Untuk me-
lawan ketiga orang ini tak bakal mungkin terlaksana.
Bukankah ia telah mengenal bahwa ketiga orang ini
adalah jagoan-jagoan dari desanya yang juga merupa-
kan pengawal Ki Lurah?
Biarpun begitu akhirnya Lawunggana tak punya pi-
lihan lain dan ia telah bersiap-siap untuk berbuat se-
perti apa yang diminta oleh Sela Ganden tadi, yakni
meminta ampun kepadanya. Namun dalam hati kecil-
nya timbullah bisikan yang menentang keputusannya
tadi. “Ah, aku laki-laki dan tak berbeda dengan me-
reka. Aku tak sudi meminta ampun ataupun menyem-
bah di hadapannya. Itu adalah perbuatan yang hina!
Bagaimanapun aku akan menolaknya!”
“Hei, lekas meminta ampun kepadaku!” bentak Sela
Ganden dengan garang. “Atau kau pilih aku hajar?!”
Lawunggana tak berkata-kata lagi, kecuali ia melon-
cat ke arah Sela Ganden dengan mengirim satu ten-
dangan kaki yang mengancam kepala orang ini.
Ternyata Sela Ganden memang bukan orang yang
sembarangan serta mudah diremehkan, maka sera-
ngan tiba-tiba tersebut ditangkisnya dengan kibasan
tangan kirinya ke arah luar dan saat itu pula terde-
ngarlah benturan cukup keras dibarengi suara meng-
aduh.
Bruuk!
“Aduuuh!”
Lawunggana terpental dan jatuh ke atas tanah ce-
kakaran sambil peringisan menahan rasa sakit dan
pedih pada kakinya.
Kini iapun sadar betapa hebatnya tenaga Sela Gan-
den ini. Rasa takut, patah semangat serta nekad berge-
lut di dalam dadanya. Memang sebagai seorang lelaki
tidak boleh mundur setapak bila menghadapi bahaya
yang timbul di hadapannya. Maka melesatlah kembali
Lawunggana ke arah Sela Ganden yang masih saja
berdiri dengan tenangnya serta melirik ke arah Soro-
genen yang mengangguk-angguk sambil tersenyum pe-
nuh arti.
Begitu loncatan Lawunggana tadi mencapai separuh
tujuan, sekonyong-konyong kaki Sorogenen menyelo-
nong ke depan dan tepat mengait kaki Lawunggana.
Dengan disusul sebuah hentakan kecil maka sudah
cukup membuat loncatan pemuda tanggung ini kehi-
langan keseimbangan serta terjungkal ke tanah.
Tubuh Lawunggana seperti menghunjam ke bawah
dengan kepala lebih dulu, sesaat kemudian disusul
bunyi berkecopak serta air lumpur yang berterbangan
muncrat ke mana-mana.
“Ha, ha, ha, ha,” terdengar ledakan ketawa mengge-
ma di udara malam. “Lihat! Ada celurut mandi lum-
pur!”
Lawunggana tertelungkup di atas tanah, tepat di
atas kubangan lumpur dengan muka yang kehitaman
coklat karena tertutup lumpur. Pandangan matanya
terasa kabur, serta berkunang-kunang.
Ketika ia melongok ke atas, tampaklah ketiga mulut
lawannya terbuka lebar serta tertawa terbahak-bahak.
Melihat ini, Lawunggana sangatlah marahnya. Suara
tertawa serta hinaan seperti merasuk sampai ke otak-
nya melalui kedua telinga, membuat Lawunggana ma-
kin marah.
“Heh, heh, heh, bocah ingusan! Kalau kau belum
pandai bersilat jangan sekali-kali berani mendekati
seorang gadis, apalagi yang cantik seperti Nyi Endang
Seruni tadi!” kata Sela Ganden sambil memilin kumis-
nya. “Lekas berlalu dari tempat ini sebelum hilang ke-
sabaranku!”
“Hi, hi, hi, hi! Lucu! Sangat lucu! Bocah ini betul-
betul sekarang mirip dengan hantu penjaga sawah! Hi,
hi, hi,” terdengar pula Pakisan mengejek kepada La-
wunggana yang kini masih terhenyak di atas kubangan
lumpur itu dengan tubuh yang masih lemas dan kesa-
kitan.
“Keparat!” teriak Lawunggana dengan geram seraya
kedua belah tangannya meraup lumpur di dekatnya,
serta sekaligus dilemparkannya ke arah ketiga orang
lawannya. “Ini, makanlah olehmu!”
Bukan main terkejutnya Sela Ganden beserta kedua
temannya, sebab serangan Lawunggana tadi sangatlah
tiba-tiba datangnya, sehingga ketiganya tak sempat
mengelak lagi dan tahu-tahu muka mereka telah ber-
lepotan oleh lumpur.
Bahkan lebih dari itu, mulut Sela Gandenpun terke-
na lumpur pula, dan karenanya pendekar jagoan ini
mengumpat-umpat serta meludah-ludahkan lumpur
yang sedikit masuk ke dalam mulutnya.
“Kurang ajar! Setan ingusan! Bocah tidak tahu di-
kasih belas kasihan! Sorogenen dan Pakisan! Ayo,
tangkap celurut edan ini!” teriak Sela Ganden, dan se-
jurus kemudian mereka bertiga telah berloncatan ke
arah Lawunggana.
Sebagai seorang pemuda, sudah barang tentu La-
wunggana tidak mau begitu saja menyerah pada kea-
daan. Maka sebelum ketiga lawannya terlalu dekat, ia
secepat kilat bangkit berdiri serta menerjang ke arah
mereka bertiga.
Baik Sela Ganden, Pakisan ataupun Sorogenen jadi
terperanjat melihat terjangan Lawunggana itu, mes-
kipun cuma sesaat saja. Mereka bertiga sadar bahwa
Lawunggana itu adalah pemuda yang bandel, tak takut
oleh ancaman mereka.
“Haaaet!” Lawunggana setengah meloncat serta me-
ngirim pukulan tangannya ke arah kepala Sela Ganden
sedang kakinya menerjang ke bahu Pakisan. Maka se-
saat kemudian terjadilah benturan-benturan seru dan
menggentarkan hati siapa saja yang menyaksikan.
Tubuh Pakisan tergetar beberapa langkah ke sam-
ping, terkena tendangan kaki Lawunggana. Tapi ber-
samaan itu pula Sela Ganden dengan dahsyatnya me-
nangkis pukulan pemuda ini dan disusul ia melancar-
kan pukulan sisi telapak tangannya ke lambung La-
wunggana.
Plaaak!
“Heekkk!”
Keluhan pendek terdengar dari bibir Lawunggana
disusul oleh tubuhnya terpelanting ke samping dan
terhempas kembali ke tanah becek dengan nafas ter-
sengal-sengal.
Tubuh Lawunggana sekarang kelihatan lemas ba-
gaikan tak bertenaga sama sekali. Dengan susah
payah akhirnya ia berusaha untuk bangun, tetapi tiba-
tiba Sela Ganden menyambar leher bajunya serta men-
cengkeramnya sekali dan menggoncang-goncang de-
ngan keras, tak ubahnya seorang petani yang tengah
menggoncang buah kelapa yang baru saja dipetiknya.
“Tahu rasa kau, hah!” teriak Sela Ganden dengan
geramnya dan kemudian tangan kanannya beraksi
menampari pipi pemuda yang dalam cengkeramannya
tadi dengan geramnya berkali-kali sampai kepala La-
wunggana ini tergolek ke kiri dan ke kanan berulang-ulang.
Sejurus kemudian, dari sudut mulut Lawunggana
mengalir darah merah dan ini membuat Sela Ganden
makin beringas. Tamparannya makin ganas bertubi-
tubi melanda kepala Lawunggana.
Mengalami hal ini, Lawunggana yang sudah tak
berdaya itu lalu meludahkan cairan darah mulutnya
ke arah muka Sela Ganden. Keruan saja pendekar ja-
goan ini bukan kepalang marahnya, setelah mukanya
berlepotan darah akibat semprotan dari mulut La-
wunggana.
“Kurang ajar!” teriak Sela Ganden sangat marah.
“Pakisan dan Sorogenen! Ayo jangan tinggal diam! Kita
buat pesta bocah bandel ini!”
Sela Ganden berteriak seraya memukul dagu La-
wunggana hingga pemuda itu terhuyung-huyung dan
secepat itu pula Pakisan menyongsongnya dengan se-
buah tendangan telapak kakinya dan akibatnya La-
wunggana terpelanting ke samping.
Sekali ini Sorogenen mengambil bagian. Begitu tu-
buh pemuda tersebut terhuyung-huyung pula, ia me-
nyambutnya pula dengan sebuah kibasan telapak ta-
ngan dan tepat menghajar pelipis Lawunggana.
Tak ampun lagi pemuda ini terjajar ke samping se-
mentara dari mulutnya keluar kata-kata yang terpu-
tus-putus.
“Aaakh... bagus, kau main keroyok, pengecut bu-
suk. Awas suatu waktu aku akan membalas....”
Kata-kata ini meskipun terucap dengan terputus-
putus, sudah cukup membuat telinga ketiga orang itu
menjadi merah!
“Celurut bandel! Sudah tak berdaya begitu masih
berani mengancam, ha?! Ayoh teman-teman, hajar ce-
lurut ini lebih hebat!” seru Sela Ganden dan kembali
Lawunggana menjadi bulan-bulanan pukulan serta
tendangan ataupun dupakan dari Sela Ganden, Pa-
kisan dan Sorogenen.
Tubuh Lawunggana kini tak ubahnya sebuah bola
mainan yang sebentar tercampak ke sana dan sebentar
pula terpelanting ke mari, tanpa berdaya untuk menge-
lak ataupun lari.
Sebentar kemudian Lawunggana tergeletak rebah ke
tanah. Tubuhnya babak-belur dan ia cuma sempat
mengeluh lemah. Sementara itu ketiga orang tadi ter-
tawa terkekeh-kekeh mengelilingi tubuh Lawunggana
yang terkulai di tanah becek berlumpur.
Agaknya Sela Ganden masih belum reda dendam-
nya, sebab meski tubuh pemuda itu telah tak berdaya,
beberapa kali ia masih menyepak Lawunggana terse-
but dengan ujung kakinya, sampai korbannya mengge-
liat-geliat kesakitan.
“Nah, kau tahu rasa sekarang, hah?! Bocah ingusan
yang sombong!” seru Sela Ganden kembali seraya me-
ludah ke bawah, ke tubuh Lawunggana.
“Pakisan dan Sorogenen! Mari kita tinggalkan celu-
rut ini. Biar dia mengenangkan kehangatan pukulan-
pukulan kita tadi!”
Ketiga orang tersebut segera berlalu meninggalkan
tempat itu serta membiarkan tubuh Lawunggana terge-
letak di comberan berlumpur. Mereka lenyap di sebe-
lah timur, menerobos semak-semak bambu sambil tak
ketinggalan memperdengarkan suara tertawanya yang
terkekeh-kekeh memuakkan.
Sampai beberapa saat Lawunggana tak sadarkan di-
ri dan malampun berlalu dengan tenangnya, seperti ti-
dak pernah terjadi apa-apa di situ. Udara dingin mulai
merayap ke segenap sudut pepohonan dan seluruh
Desa Mijen yang telah membisu, sepi.
Perlahan-lahan dan sangat lemahnya, Lawunggana
mulai sadar dan bergerak-gerak lalu mencoba bangkit.
Tapi karena saking lemah dan rasa sakit yang masih
menyengat-nyengat pada lambungnya, maka rebahlah
ia kembali ke atas comberan lumpur dengan merintih
kesakitan.
Dengan sangat bersusah payah, pemuda ini mera-
yap bangkit, sementara kepalanya dipenuhi rasa den-
dam yang menyala-nyala berkobar bagai api tersiram
minyak.
Wajah Sela Ganden serta kedua temannya tadi ma-
sih tergambar dengan jelasnya di ruang matanya dan
setiap kali pula ia bersumpah untuk membalas den-
dam kepada mereka atas pengeroyokan terhadap diri-
nya ini!
Akhirnya Lawunggana dapat berdiri dan berjalan
dengan sempoyongan ke arah barat laut. Ia tiba di tepi
Sungai Serang dan berhenti sejenak di atas sebuah ba-
tu besar.
“Hmmm, aku tak akan kembali ke Desa Mijen. Aku
akan pergi entah ke mana. Biarlah aku menyusuri
Sungai Serang ini sampai ke muaranya sana. Aku be-
lum akan kembali, sebelum aku mempunyai kesaktian
dan ilmu silat yang dapat mengalahkan Sela Ganden
bertiga!” demikian kata Lawunggana di dalam hatinya.
Di kala itu, malam makin bertambah larut sedang
bintang-bintang di angkasa bertaburan memancarkan
sinarnya yang berkedip-kedip. Bulan yang cuma sepa-
ruh bulat itu menyinarkan cahayanya yang lemah me-
nerangi muka bumi dengan suasana yang samar-
samar redup.
Lawunggana terus berjalan menyusuri aliran Sungai
Serang ke arah muara sambil terhuyung-huyung serta
sebentar-sebentar terpaksa istirahat. Telah beberapa
jauhnya ia berjalan, tak dapatlah ia mengetahuinya de
ngan pasti, dan apa yang bakal menimpa dirinya ia tak
perduli lagi. Bahaya apapun ia tak akan takut. Bina-
tang buas? Atau hantu pemakan manusia barangkali,
ia tak gentar menghadapinya.
Langkah-langkah kaki Lawunggana makin sem-
poyongan dan pandangan matanya sebentar-sebentar
kabur kembali.
“Ah, apakah aku akan pingsan kembali?” desis La-
wunggana seraya terus melangkahkan kakinya. Teli-
nganya masih mendengar aliran air Sungai Serang
yang gemercik merdu, namun suara gemercik air su-
ngai itupun akhirnya lenyap pula, bersamaan tubuh-
nya makin terhuyung lemah. Dan di saat itulah La-
wunggana melihat dalam kekaburan pandangannya,
sebuah bayangan berkelebat ke arah tubuhnya yang
hampir rebah disertai suara ketawa yang terkekeh-
kekeh menyeramkan.
Maka selanjutnya terasalah bahwa tubuhnya dipon-
dong oleh orang ini, serta dibawanya melesat ke arah
muara. Dan selanjutnya sampai sekarang ia mengenal
bahwa si penolong ini tidak lain adalah Ki Bango Wa-
das yang sekarang menjadi gurunya sendiri.
***
Lawunggana masih duduk di samping gurunya, Ki
Bango Wadas. Mereka saling berdiam diri, dan Ki Ba-
ngo Wadas yang telah banyak pengalaman itu tahulah
agaknya bahwa murid tunggalnya tengah melamun.
“Apa yang engkau lamunkan, Lawunggana?!” berta-
nya si botak itu kepada muridnya. “Mengenang masa-
masa yang lalu?”
Lawunggana seperti tersentak dari mimpi oleh per-
tanyaan Ki Bango Wadas, lalu segera menjawabnya.
“Maaf, Guru. Memang benar bahwa aku tengah mela
munkan pengalaman yang silam. Aku ingin benar me-
nengok desaku, Mijen. Telah cukup lama aku tinggal-
kan.”
“Hmm, aku maklum akan hal itu, Lawunggana,”
ujar Bango Wadas. “Aku tak akan menghalang-hala-
ngimu, sebab tak akan ada bahaya yang perlu engkau
kuatirkan. Engkau sudah cukup mendapat ilmu dari-
ku dan aku percaya, bahwa segala persoalan akan da-
pat engkau pecahkan sendiri.”
“Beribu-ribu terima kasih, Guru,” sambung La-
wunggana. “Kini aku akan dapat membalas sakit hati-
ku kepada Sela Ganden, Pakisan dan Sorogenen.”
“Yah, jadi kau sungguh-sungguh akan menghajar
mereka bertiga?!” seru Ki Bango Wadas dengan girang-
nya. “Bagus, bagus. Aku sangat gembira mendengar
maksudmu tadi dan semoga engkau akan berhasil. De-
ngan begitu mereka akan segera tahu, siapakah eng-
kau ini. Yakni si Lawunggana murid tunggal Ki Bango
Wadas ini! Dan mereka kita gentarkan dengan segera.
Yah, nama Bango Wadas akan segera menggoncang-
kan dada mereka dan muncul kembali setelah hampir
tujuh tahunan lenyap dari otak mereka!”
Mendengar kata-kata itu, sudah barang tentu kalau
Lawunggana terperanjat dan pikirannya yang tajam
segera dapat mengambil kesimpulan bahwa gurunya
ini pasti mempunyai satu rahasia. Mengapakah Ki Ba-
ngo Wadas telah mengasingkan diri selama hampir tu-
juh tahun, seperti yang baru saja dikatakannya tadi?!
“Lawunggana, berangkatlah engkau besok pagi ke
desa itu dan engkau pasti akan dapat menemui gadis-
mu lagi, yakni si Endang Seruni!” Ki Bango Wadas ber-
kata lagi seraya menepuk-nepuk pundak Lawunggana,
murid tunggalnya ini.
Mendengar kata-kata gurunya, Lawunggana seketika menjadi berseri-seri wajahnya dan roman muka
Endang Seruni seperti terbayang di hadapannya de-
ngan wajah cantik dan menggairahkan.
“Ah, hampir empat tahun ia tak kulihat lagi,” begitu
bisik Lawunggana dalam hati. “Pasti sekarang ia lebih
cantik.”
Dari wajah yang cerah itu, Ki Bango Wadas tahulah
akan keadaan muridnya, dan tak lama kemudian ia-
pun bangkit berdiri serta berkata pula — Lawunggana,
bersabarlah untuk menjumpai kekasihmu itu. Seka-
rang, ayolah kita pulang dulu. Hari telah cukup gelap!”
“Eh... baik, Guru,” berkata Lawunggana agak terga-
gap dan cepat-cepat ia bangkit serta melangkah meng-
ikuti gurunya ke arah barat.
Mereka berjalan beriring melewati semak-semak be-
lukar dan sesudah melewati ladang kecil bertanaman
jagung, merekapun tiba di sebuah hutan kecil dengan
pepohonan-pepohonan yang rindang dan lebat.
Akhirnya setelah sampai pada sebuah batu besar,
keduanya berjalan melingkar ke utara dan tibalah ke
sebuah pondok bambu yang kecil tapi cukup rapi dan
kelihatan bersih.
Sementara Ki Bango Wadas membuka pintu, La-
wunggana segera menyalakan dian minyak dengan ba-
tu apinya, maka terang-benderanglah ruangan itu. Pa-
da dinding-dinding bambu, tergantunglah beberapa
macam senjata, seperti tombak, golok dan keris serta
beberapa kantong kain putih yang berisi obat-obatan,
selembar kulit yang berisi tulisan-tulisan terpasang
pula pada dinding tadi dengan rapi.
Sesudah Ki Bango Wadas serta Lawunggana mem-
bersihkan diri, mereka berdua menyiapkan makan ma-
lamnya yang terdiri dari nasi jagung dengan lauknya
ikan sungai yang telah dibakar disertai sejumput cabai
dan garam.
Terasalah oleh Lawunggana betapa lelah dan lapar-
nya setelah ia menempuh latihan tataran terberat dari
gurunya. Hidangan malam tadi dilahapnya dengan se-
gera, sesuap demi sesuap.
“Segeralah engkau tidur, Lawunggana,” ujar Ki Ba-
ngo Wadas kepada muridnya. “Agar engkau bisa ba-
ngun pagi-pagi besok, sebab perjalananmu cukup
jauh.”
Lawunggana mengangguk perlahan sambil menyele-
saikan makannya, demikian pula Ki Bango Wadas.
Di luar, malampun semakin larut dan embun meng-
hiasi dedaunan berbutir-butir gemerlapan laksana per-
mata intan, sedang kabut malam perlahan-lahan me-
rayapi permukaan tanah seolah-olah hendak menelan
hutan kecil muara Kali Serang ini.
***
TIGA
PULUHAN KAPAL dan perahu-perahu berlabuh di
Bandar Jepara dengan tenangnya. Terkadang satu dua
kapal bertolak dan ada juga yang datang untuk berla-
buh.
Suara gemericik ombak-ombak kecil yang memecah
ke tepi pantai terdengar silih-berganti diseling jeritan-
jeritan burung camar laut yang terbang merendah dan
berputar di angkasa.
Di pendapa Tamtama yang terletak tidak jauh dari
Bandar Jepara, duduklah Mahesa Wulung, Pandan
Arum dan Jagayuda serta beberapa tamtama lainnya
seperti Ki Tambakbayan dan Ranujaya. Juga Wira Sengkala serta Sandi Pradangga tampak pula duduk-
duduk bersama mereka.
“Angger Mahesa Wulung,” ujar Ki Tambakbayan de-
ngan hormatnya, “syukurlah bahwa Angger telah ber-
hasil menghancurkan Kapal Hantu itu. Laporan telah
aku kirimkan ke Demak dan lengkap menceritakan se-
gala pengalaman Angger ketika berada di pulau Bor-
neo.”
“Terima kasih, Bapak,” jawab Mahesa Wulung. “Ki
Rikma Rembyak belum terdengar kabar beritanya se-
dang Kapal Hantu tadi memang menggunakan senjata-
senjata panah Braja Kencar dalam setiap pengacau-
annya, seperti yang telah berhasil aku rampas serta
kuserahkan kepada Bapak kemarin.”
“Yah, memang Ki Rikma Rembyak sukar dicari je-
jaknya. Tapi Angger tak usah kuatir, sebab suatu keti-
ka pastilah ia akan dapat kita bekuk batang lehernya!”
demikian kata Ki Tambakbayan. “Sekarang Angger bo-
leh beristirahat beberapa saat, sampai ada tugas baru
bagimu nanti.”
“Ke manakah rencana Andika sekarang?” tanya
Sandi Pradangga yang bermata tajam tapi berwajah
ramah itu.
“Mmm, kami akan berkunjung ke Desa Mijen untuk
menengok Ki Lurah Mijen. Di samping itu, ada sesuatu
hal yang perlu aku tanyakan kepada Ki Lurah tadi.”
Sandi Pradangga agak berkerut oleh penuturan Ma-
hesa Wulung, namun kemudian iapun tersenyum. “Ke
Desa Mijen? Ah, agaknya ada urusan pribadi?!”
Mahesa Wulungpun tersenyum seraya berkata, “Be-
nar, Kakang Sandi. Aku bersama Adi Pandan Arum
akan datang menemui Ki Lurah Mijen, selama waktu
istirahat itu.”
“Itu pilihan yang baik,” ujar Sandi Pradangga pula.
“Semoga liburan Andika akan menyenangkan.”
“Terima kasih,” kata Mahesa Wulung pula. “Kami
akan berangkat besok pagi dengan berkuda ke sana.”
Demikianlah, Mahesa Wulung, Pandan Arum, Ja-
gayuda dan Ki Tambakbayan serta yang lain-lainnya
masih asyik bercakap-cakap di Pendapa Tamtama itu
sampai sang matahari condong ke langit barat.
Tepat sang senja mulai hadir, selesailah sudah per-
cakapan mereka dan masing-masing lalu kembali ke
tempat tinggalnya. Mereka boleh dikatakan telah me-
rasa puas dengan hancurnya Kapal Hantu itu, sebab
sejak itu pula terasalah bahwa pelayaran serta lalu-lin-
tas perniagaan di lautan telah lancar kembali, pulih
seperti sediakala. Nama Kapal Hantu telah lenyap dari
percaturan dan dilupakan untuk selama-lamanya se-
perti juga nama Monyong Iblis yang pernah mengge-
gerkan kalangan tamtama serta prajurit Demak seba-
gai seorang golongan hitam yang telah berkali-kali
mengacau keamanan.
Keesokan harinya, di pagi yang berhawa segar, ber-
paculah dua ekor kuda ke arah selatan meninggalkan
Pendapa Tamtama dengan derapan yang cepat.
Ketika mereka berdua melewati pintu gerbang sela-
tan kota Jepara, beberapa prajurit kawal segera meng-
angguk dan memberi hormat kepada kedua penung-
gangnya yang tidak lain adalah Mahesa Wulung serta
Pandan Arum.
Debu serta kerikil berloncatan ke tepi jalan oleh de-
rapan kaki-kaki kuda mereka. Di sepanjang jalan terli-
hatlah para petani yang berangkat untuk menggarap
sawahnya di daerah selatan kota Jepara.
Semula mereka agak terkejut melihat dua orang
berpacu tadi. Tapi setelah dekat, orang-orang inipun
seketika melambai-lambaikan tangannya serta mengangguk hormat kepada kedua penunggang kuda ini.
Yah, siapakah yang tidak mengenal Mahesa Wu-
lung, pendekat utama, serta Perwira Laut dari Armada
Demak ini?
Mereka terus berpacu menuruti jalan yang menuju
ke selatan, menyusuri pantai Jepara dengan hiasan
ombak berdebur memecah ke pantai.
Sementara itu pula, jauh lebih ke sebelah selatan
sana, sebuah perahu sampan yang kecil dan cukup
hanya ditempati oleh seorang penumpang tengah me-
luncur menentang arah aliran Kali Serang menuju ke
arah tenggara.
Air sungai yang tenang mengalir menuju ke muara
di sebelah barat laut, tidaklah merupakan halangan
bagi si pendayung. Pemuda yang berdayung dan ber-
kumis tebal ini tidak lain adalah Lawunggana, si murid
tunggal dari si botak sakti Ki Bango Wadas. Tangan
yang kokoh dan cekatan itu dapat berdayung dengan
lincah dan silih berganti dari sisi kiri dan kanan.
Pantulan cahaya matahari yang menimpa permuka-
an air, bergemerlapan menambah keindahan suasana
pagi. Lawunggana kadangkala tersenyum sendiri bila
memikirkan Desa Mijen yang akan ditujunya. Wajah
Endang Seruni berkali-kali melintas di depan pelupuk
matanya, sehingga Lawunggana semakin cepat men-
dayung sampannya ini, sedang hatinya berkata-kata
sendiri.
“Endang Seruni... hampir empat tahun aku tak me-
lihatnya. Tapi cintaku kepadanya terasa makin subur
dan mendalam. Ohh, mudah-mudahan iapun demikian
pula tidak mengkhianati prasetya cintanya kepadaku.”
Sangat lajunya sampan pendekar berkumis tebal ini
mengarungi air, ringan bagaikan selembar daun kering
dan cepat laksana ikan berenang.
Peluhpun mengalir dari dahi Lawunggana kemudian
mengalir ke bawah bercucuran, namun kesemuanya
itu tidaklah mengurangi semangat Lawunggana. Mala-
han boleh dikata bahwa keringat-keringat tadi mem-
persegar tubuhnya.
Tiba-tiba saja, sewaktu ia sampai pada bagian su-
ngai yang kiri-kanannya bertebing pepohonan semak
ilalang, bambu dan gelagah, hatinya merasa berden-
tang-dentang dan seolah-olah ada beberapa pasang
mata yang tengah mengawasinya.
Tebing pepohonan bambu, gelagah dan ilalang itu
ternyata cukup panjang, dan inilah yang membuat La-
wunggana semakin berdebar-debar dadanya.
Suara gemercik air yang terdengar sepanjang perja-
lanan Lawunggana mendadak dipecahkan oleh suara
berdebur dari tepi sungai sebelah kiri disusul oleh air
memercik beberapa saat ke atas.
Mata Lawunggana yang tajam segera dapat melihat
adanya bahaya yang mendatang.
“Hemm, inilah agaknya makhluk-makhluk yang
mengintaiku sejak tadi,” gumam Lawunggana seorang
diri. Ia melihat sebuah benda bergerak cepat, sedikit di
bawah permukaan air dengan menimbulkan arus dan
gelombang kecil ke arah sampannya.
“Buaya!” desis Lawunggana. “Sekarang aku harus
berhati-hati menghadapinya!” Selesai berkata, ia cepat
melolos pedangnya. “Aku harus mendahului menye-
rangnya lebih dulu sebelum ekornya memukul badan
perahuku yang kecil ini.”
Byuuur!
Sekali lagi terdengar suara dari tebing sebelah ka-
nan. Pendekar berkumis tebal itu segera dapat melihat
tubuh seekor buaya terjun ke dalam air, sedang buaya
lainnya yang masih bermalas-malas acuh tak acuh kepada temannya yang terjun ke dalam air tadi.
Lawunggana terperanjat bukan main, ketika dua
ekor binatang air itu dengan cepat berenang ke arah
perahunya dari samping kiri dan kanan.
“Serangan berbareng!” desah Lawunggana seraya
meletakkan pedang yang telah dilolosnya tadi dan ce-
pat-cepat ia berdayung kembali disertai pengerahan se-
luruh tenaga. Maka sejurus kemudian, perahu sampan
Lawunggana meluncur ke depan lebih cepat dan aki-
batnya, kedua ekor buaya tadi cuma menerkam air be-
laka dan saling bertubrukan.
Buaya-buaya lainnya agaknya melihat bahwa se-
rangan kedua temannya tadi menemui kegagalan dan
mereka berterjunan ke dalam air, menimbulkan gelom-
bang-gelombang kecil dan riak air bergejolak menye-
ramkan.
Sepintas lalu Lawunggana teringat akan cerita Jaka
Tingkir yang bertempur melawan buaya-buaya di Ke-
dung Srengenge. Tetapi apakah itu cerita sesungguh-
nya atau hanya cerita kiasan saja, ia tidaklah tahu de-
ngan pasti.
Alangkah terkejutnya pendekar berkumis tebal ini
apabila dari sebelah depanpun terlihat beberapa ekor
buaya mencegat arah sampannya, sehingga sesaat La-
wunggana seperti orang linglung terbengong-bengong
tanpa tahu apa yang harus diperbuatnya.
Dan waktu sesaat ini cukup bagi binatang air itu
melakukan serangannya. Seekor di antaranya segera
menabrakkan tubuhnya yang berkulit keras bergerigi
sampai sampan Lawunggana yang kecil itu bergoncang
hebat.
Untunglah pendekar muda ini tidak kehilangan ke-
seimbangan dan ia cepat-cepat menyambar pedangnya
dengan tangan kanan, sementara tangan kirinya
menggenggam dayung.
Kembali seekor buaya menyerangnya dari sebelah
kiri dengan benturan punggung dan kali ini Lawung-
gana tidak tinggal diam. Cepat ia menyabetkan
dayungnya ke bawah, ke arah punggung si penyerang
dan buaya menggeliat serta berputar di air, tetapi
dayung di tangan kirinya seketika patah menjadi dua.
Tepat di saat itu seekor buaya lain tiba-tiba menya-
betkan ekornya yang kokoh dan tebal dari sisi kanan
perahu. Maka akibatnya sampan perahu kecil ini ber-
goncangan keras dan oleng ke kiri lalu terbalik! Dan di
sekitarnya beberapa ekor buaya telah mengapung.
“Hyaaat!” Lawunggana berteriak keras dan ia melen-
ting ke atas berbareng perahu kecilnya itu terbalik. De-
ngan sebuah loncatan yang manis, ia melayang turun
dan mendarat di atas sebuah punggung seekor buaya.
Merasa punggungnya kena injak ini, si raja air se-
gera menyabetkan ekornya. Tetapi Lawunggana yang
selalu waspada secepat kilat melesat dari punggung
buaya tersebut sambil tak lupa menghunjamkan pe-
dangnya ke lekukan leher sebelah belakang binatang
air ini.
Buaya tadi menggeliat hebat dan dari punggungnya
menyembur darah merah pekat ke permukaan air su-
ngai dan menyebar bercampur dengan raungan dari
mulut lebarnya.
Tap!
Kedua kaki Lawunggana mendarat pula pada pung-
gung buaya yang lain, untuk kemudian melenting pula
ke arah punggung buaya lainnya sambil memutar pe-
dangnya secepat angin lesus serta sekali-sekali dihun-
jamkan ke punggung si raja air ini. Sebentar saja bebe-
rapa ekor buaya telah berhasil dilukainya.
“Aku harus menepi selekasnya!” desis Lawunggana
seraya bergerak ke arah tepi sungai sebelah kanan.
Demikianlah, dengan meloncat dari satu punggung
buaya ke punggung buaya yang lainnya, Lawunggana
segera tiba di tepi sungai sebelah kanan.
Ketika tiba di darat, ia masih melayangkan panda-
ngannya ke tengah sungai dan terlihatlah beberapa
ekor buaya berputar menggeliat-geliat akibat luka-luka
tikaman pedang Lawunggana tadi, sedang buaya-bua-
ya lainnya rupanya telah membenamkan diri dalam-
dalam ke dasar sungai.
Akhirnya Lawunggana bergegas meninggalkan teb-
ing sungai itu serta mendaki ke arah tanggul. Di de-
pannya, jauh di antara hutan-hutan kecil di sebelah
sana, terhamparlah petak-petak sawah yang kehijauan
subur.
“Di sanalah terletak Desa Mijen!” desis Lawunggana.
Iapun berjalan menuju ke arah petak-petak sawah itu.
Di langit matahari bersinar dengan teriknya dan be-
berapa awan putih bagaikan gumpalan-gumpalan ka-
pas raksasa mengalir ke arah selatan.
Hutan kecil makin bertambah dekat dan Lawung-
gana masih ingat betul-betul akan masa-masa kecil-
nya. Di tepi hutan kecil itulah terdapat sebuah mata
air yang jernih, tempat ia dahulu bermain-main ber-
sama Endang Seruni di masa kecil dahulu.
Sebuah dorongan batin yang kuat, seolah-olah me-
merintahkan agar ia menengok mata air itu dan kare-
nanya Lawunggana kemudian membelok ke barat, ke
tepi selatan hutan kecil.
Tiba-tiba saja telinga Lawunggana menangkap se-
buah alunan tembang, lagu Asmarandana yang me-
nyayat, menggayut-gayut melambangkan sebuah hati
yang rindu dan jatuh cinta tapi kemudian mencerita-
kan kepatahan, hati yang hancur dan rusak. Hal ini
membuat Lawunggana terhenyak, sampai ia terhenti
langkahnya.
Ia sendiri seperti terkena dan dapat merasakan isi
dari nyanyian yang mengharukan tadi. Akan tetapi,
yang lebih membuat heran Lawunggana, adalah suara
si penembang itu. Yah, ia seperti pernah mendengar
suara itu, tapi siapakah orang itu?
Maka, secepatnyalah Lawunggana berlari ke arah
mata air di sebelah selatan hutan kecil ini.
Ia ingin mengetahui, siapakah kiranya si penem-
bang ini, dan itulah sebabnya ia menguakkan bebe-
rapa dedaunan semak belukar di depannya. Sama se-
kali ia tak bermaksud membuat kaget orang ini, se-
hingga Lawunggana mengambil keputusan untuk
mengintip terlebih dahulu.
Bersamaan terkuaknya dedaunan itu, tampaklah
olehnya seorang gadis duduk membelakang berambut
hitam bersanggul kecil dan ujungnya terurai ke bawah
sampai ke punggung. Lehernya yang jenjang berkulit
sawo matang itu, berkilatan terkena pantulan cahaya
matahari yang menimpa air sendang.
Gadis tersebut duduk di atas sebuah batu hitam
yang besar, dan menjorok di atas permukaan mata air
ini, sedang tangannya memegang serta mempermain-
kan setangkai bunga mawar merah.
Lawunggana semakin berdebar hatinya dan ia ingin
mengenal serta melihat wajah gadis itu. Dengan me-
langkah perlahan-lahan serta hati-hati sekali ia, meng-
ambil arah memutar dan berjalan mengendap-endap
ke arah samping gadis itu duduk. Sebentar berhenti
dan sebentar melangkah kembali.
Namun entah apa sebabnya bila tahu-tahu kakinya
telah salah memilih jalan sehingga terinjaklah seba-
tang dahan kering yang seketika patah berderak!
Maka seketika itu pula si gadis berpaling ke arah-
nya dengan pandangan mata yang tajam sesaat, dan
kemudian terbeliak lebar. Begitu pulalah dengan La-
wunggana sendiri. Ia menatap gadis itu dengan mata
tak berkedip seperti seorang yang terkena sihir dah-
syat.
Kedua orang itu saling berpandangan beberapa la-
ma tanpa kata-kata yang keluar dari mulut mereka.
Lawunggana mulai melangkahkan kakinya ke de-
pan, sementara gadis itupun telah bangkit dan berja-
lan ke arah Lawunggana mendatang. Keduanya masih
saja saling berpandangan.
Ketika jarak antara mereka berdua semakin dekat
dan kira-kira tinggal tiga tombak lagi, keduanya segera
berlari saling menyongsong.
“Endang Seruniiii!” seru Lawunggana dengan suara
bergetar parau.
“Kakang Lawunggana!” teriak lirih gadis itu dengan
suara yang bergetar pula.
Jarak semakin dekat dan seperti digerakkan oleh
tenaga yang sama, mereka berdua sama-sama me-
ngembangkan kedua belah tangannya ke depan.
Sesaat kemudian terjadilah adegan yang mesra, tapi
juga mengharukan. Endang Seruni, yakni gadis yang
bermain-main dengan setangkai bunga mawar merah
tadi kini mendekap Lawunggana dan memeluknya sa-
ngat erat.
Begitu juga pendekar berkumis lebat itupun tak ke-
tinggalan. Dipeluknya pula gadis bertubuh sintal dan
padat ini dengan mesranya, seolah ia ingin menjadi sa-
tu dan tak berpisah lagi. Yah, empat tahun perpisahan
bukanlah waktu yang pendek bagi dua orang yang
berkasih-kasihan.
“Kakang Lawunggana, oookh,” desah Endang Seruni
seraya merebahkan kepalanya ke dada pendekar ber-
kumis lebat ini, dan di situ merasakan ketenangan
yang mendalam.
“Adi Endang Seruni,” bisik Lawunggana sambil
membelai rambut gadis itu dengan usapan yang penuh
kemesraan. “Aku selalu merindukanmu selama empat
tahun ini.”
Endang Seruni menengadahkan kepalanya menatap
wajah Lawunggana.
“Aku pun begitu... Kakang,” ujar gadis ini dan ta-
ngannya menahan jari-jari pendekar muda yang me-
narik dagunya ke atas. “Mmm engkau mulai nakal,
Kakang.”
“Kau semakin cantik saja, Adi Seruni,” bisik La-
wunggana setengah menggoda, membuat gadis itu ter-
senyum dan memejamkan matanya yang berbulu hi-
tam melengkung. Iapun tak tahu bahwa Lawunggana
menundukkan kepalanya dan alampun seperti impian
bagi kedua kekasih itu.
Sesaat kemudian, Endang Seruni berontak, mele-
paskan pelukan pendekar muda itu serta meraba bi-
birnya yang baru saja merasakan kehangatan mesra
dari kekasihnya.
Gadis itu berpaling membelakangi Lawunggana di-
sertai isakan-isakan kecil dengan tiba-tiba. Pikirannya
menjadi bingung karena pertemuannya dengan La-
wunggana yang telah berpisah sekian lama tanpa ka-
bar beritanya.
Memang sebenarnya ia masih mengharap akan per-
temuannya dengan Lawunggana ini. Tetapi bukankah
ia belum lama sembuh dari kepatahan hatinya serta
cintanya kepada Mahesa Wulung beberapa waktu yang
lalu?
Lawunggana menjadi terperanjat oleh perubahan
sikap Endang Seruni yang tiba-tiba, dan iapun berkata
pelan.
“Adi Seruni,” ujarnya, “mengapakah engkau, Adi?
Adakah seseorang yang telah merebut cintamu kepa-
daku?”
Oleh pertanyaan tadi, Endang Seruni tak dapat ber-
kata apa-apa, melainkan membisu saja sampai dide-
ngarnya kembali Lawunggana berkata pula.
“Adi Seruni, ketahuilah bahwa aku tak pernah me-
lupakanmu selama ini. Aku masih tetap mencintaimu,
Adi!”
“Cinta?!” desis Endang Seruni dengan setengah me-
ncibir dan bernada sumbang. “Huh, aku tidak sudi me-
ngenal cinta lagi! Cinta telah membuatku hidup seng-
sara!”
Sehabis berkata demikian, Endang Seruni kemu-
dian berlari meninggalkan mata air itu, menuju ke
arah jalan ke Desa Mijen, meninggalkan Lawunggana
seorang diri terbengong keheranan.
“Seruni! Adi Seruni... tunggu dulu!” teriak Lawung-
gana serta berusaha menahan Endang Seruni, tetapi
gadis ini segera berseru dengan lantangnya.
“Jangan sentuh aku lagi! Biarlah aku merasakan
kehancuran hatiku. Pergilah engkau, Kakang Lawung-
gana. Biarkan aku seorang diri!”
Lawunggana terhenyak antara sadar dan ragu-ragu.
Apa yang ditemuinya, adalah peristiwa yang mula-
mula menyenangkan, mesra, penuh harapan hidup
kemudian hancur oleh kenyataan yang penuh tanda
tanya dan kegelisahan hidup, bercampur-aduk menja-
di satu, membuat kepalanya seperti pusing dan akan
meledak!
Ia masih dapat melihat arah lari gadis itu yang me-
nuju ke arah gerbang Desa Mijen.
“Apakah yang menyebabkan Endang Seruni mende-
rita perasaan seburuk itu?! Heh, bagaimanapun juga
aku harus mengetahui sebab musababnya!” desah La-
wunggana. “Dan satu-satunya jalan untuk mengeta-
huinya ialah bertanya langsung kepada Ki Lurah Mijen
sendiri. Pasti ayah Endang Seruni itu akan bersedia
menjelaskan duduk perkaranya!”
Dan akhirnya Lawunggana menyadari bahwa apa
yang dialaminya saat ini adalah kejadian yang benar-
benar ada dan bukanlah cuma sekadar mimpi belaka.
Pendekar muda inipun segera berlari ke arah jalan
yang baru saja dilewati oleh Endang Seruni menuju ke
gerbang Desa Mijen dengan cepatnya.
Beberapa orang yang melihat kejadian ini agak ter-
cengang-cengang. Mereka merasa janggal bahwa seo-
rang gadis seperti Endang Seruni ini, apalagi dia seba-
gai putri seorang kepala desa telah berlari-lari di se-
panjang jalan desa, ketika pulang ke rumahnya.
Tetapi orang-orang desa tadi akan lebih terkejut
apabila ia melihat pula seorang pemuda berkumis teb-
al dan berjenggot tampan juga berlari-lari kecil agak
jauh di belakang Endang Seruni. Beberapa orang yang
agak tertarik segera membuntuti mereka.
Demikianlah, tak lama kemudian Endang Seruni te-
lah memasuki halaman pendapa kelurahan dan bebe-
rapa orang yang tengah duduk di situ segera terkejut
karenanya.
Ki Lurah Mijen dan istrinya serta beberapa abdi pe-
layan yang berada di situ dengan tergopoh-gopoh me-
nyambut putrinya seraya berseru.
“Endang Seruni... lho mengapa engkau berlari-lari,
Nak?!”
Yang ditanya tidak lekas menjawab, melainkan ia
merangkul ibunya dan merebahkan kepalanya pada
pangkuan Nyi Lurah.
“Karena aku terkejut, Ibu,” ujar Endang Seruni de-
ngan manja. “Ketika aku main-main di sendang, tiba-
tiba datanglah Kakang Lawunggana menemuiku.”
“Lawunggana?! Pemuda yang telah sekian lama
menghilang itu muncul kembali?” ujar Ki Lurah Mijen
sambil tersentak kaget. “Di mana dia sekarang, Nak?”
“Aku lihat dia juga berlari mengikuti dan mungkin
akan ke mari, Bapak,” kata Endang Seruni pula.
Nyi Lurah dapat merasakan bahwa anak gadisnya
ini terengah serta berdebar-debar hatinya. Maka iapun
mengajak putrinya ini untuk masuk ke dalam. “Ayo,
Nduk. Marilah minum air dulu, biar hatimu tenang.”
“Baik, Bu,” kata Endang Seruni serta melangkah ke
dalam rumah dalam rangkulan mesra ibunya, Nyi Lu-
rah Mijen.
Ki Lurah segera bergegas ke luar halaman untuk
menyatakan cerita putrinya, Endang Seruni. Jika
seandainya benar bahwa Lawunggana datang ke ru-
mahnya, ia akan menyambutnya dengan baik, sebab
sebagai orang tua yang bijaksana ia telah tahu bahwa
sejak kecil mula, antara Lawunggana dan Endang Se-
runi telah terjalin persahabatan yang erat, bahkan
orang tua inipun tahu bila persahabatan mereka ber-
dua ini telah berkembang menjadi jalinan cinta yang
pertama.
Sejak semula, Ki Lurah Mijen telah cocok dengan
pemuda Lawunggana yang berperangai halus, lagi so-
pan itu. Tetapi sayang beberapa tahun yang lalu, ia te-
lah pergi meninggalkan desa ini tanpa ia tahu sebab
mulanya.
Dalam penuh tanda tanya itu, serta ketidak-tahuan
itu, Ki Lurah telah mengira bila antara Lawunggana
dengan Endang Seruni, terjadi suatu pertengkaran.
Namun dugaan inipun akhirnya keliru sama sekali.
Sebab Endang Seruni sendiri telah berkata kepadanya
bahwa antara mereka berdua tidak ada pertengkaran
ataupun perselisihan.
Lebih heran lagi Ki Lurah Mijen, demi Endang Se-
runi bercerita pula kalau sesungguhnya ia telah berca-
kap-cakap di pekarangan rumah pada suatu sore, se-
belum Lawunggana, akhirnya menghilang sama sekali
beberapa tahun lamanya. Nah, jika demikian, pastilah
terjadi sesuatu yang menyebabkan pemuda itu pergi
dari desa ini!
Begitulah, kejadian yang telah hampir empat tahun
terjadi itu membuat Ki Lurah Mijen teringat kembali
akan segala kejadian dan peristiwa yang silam.
“Permisi, Ki Lurah!” terdengar suara yang bergetar
dari luar halaman, menjadikan orang tua ini geragapan
bagai terbangun dari mimpi.
“Eh, ooo... engkau adalah Lawunggana, bukan?”
bertanya Ki Lurah Mijen seraya mempersilakan tamu
mudanya ini masuk ke halaman. “Marilah masuk, Nak.
Wah, engkau sekarang amat gagah.”
Yang dipuji sangat berdebar dan tertunduk malu,
kemudian berjalan di samping Ki Lurah menuju ke
pendapa rumah. Mereka kemudian duduk di ruang
pendapa dan Ki Lurah yang telah tidak sabar itu lekas-
lekas membuka percakapan.
“Angger Lawunggana,” ujar Ki Lurah Mijen, “keda-
tanganmu sangat mengejutkan kami, tetapi kamipun
merasa senang pula.”
“Terima kasih, Ki Lurah. Tapi harap dimaafkan ka-
lau aku telah mengejutkan orang-orang di desa ini.”
“Tak apa, Ngger. Tak apa. Meskipun Andika telah
pergi menghilang dari desa ini beberapa tahun la-
manya, bagi kami Angger masih kami anggap pendu
duk desa ini,” berkata Ki Lurah Mijen dengan ramah.
“Sekarang, katakanlah kepadaku, Angger Lawunggana.
Agaknya ada sesuatu yang amat penting, menilik keda-
tanganmu langsung ke mari dengan peluh yang bercu-
curan.”
“Memang penting, Bapak,” jawab Lawunggana. “Se-
belum di desa ini, aku telah melewati sebuah mata air.
Di situ aku bertemu seorang gadis yang ternyata ada-
lah Adi Endang Seruni. Pertemuan kami yang tiba-tiba
itu sangat menggembirakan bagi kami. Tetapi sayang,
suasana gembira tadi berubah ketika aku berkata ke-
padanya bahwa aku masih tetap mencintainya. De-
ngan tiba-tiba saja Adi Endang Seruni berlari mening-
galkanku seorang diri seraya berkata bahwa ia tidak
ingin mendengar kata-kata cinta lagi.”
Ki Lurah Mijen mengangguk-angguk oleh ketera-
ngan dan tutur kata Lawunggana tadi. Setelah berdiam
sesaat kembali ia berkata, “Angger Lawunggana, semo-
ga Angger tidak lantas terkejut oleh sikap Endang Se-
runi tadi, dan maafkanlah dia seluas-luasnya. Me-
mang, sudah agak beberapa lama Endang Seruni se-
ring bersikap begitu dan suka melamun, menyendiri di
tempat-tempat yang sunyi. Hal ini tentu menyusahkan
kami sekeluarga, dan orang-orang kampungpun juga
turut berprihatin karenanya.”
“Eh maaf, Bapak. Adakah sebab-sebabnya sampai
Adi Endang Seruni bersikap demikian itu?”
“Memang, Angger. Ada sebab-sebabnya, namun per-
soalan ini tidak dapat dipersalahkan terhadap orang
lain semata-mata. Sebab begitu sulit dan menyusah-
kan.”
“Jika diijinkan, aku ingin mengetahuinya, Bapak,”
ujar Lawunggana pula. “Sebab bagaimanapun juga,
aku masih mengharapkan Adi Endang Seruni.”
“Sekarang dengarlah, Angger. Beberapa waktu yang
lalu, di daerah ini pernah dikacau oleh orang-orang ja-
hat dari gerombolan Topeng Reges. Mereka sering me-
ngacau dan membuat bencana di sana-sini. Malah ak-
hirnya dengan kurang ajar mereka berani menculik
Endang Seruni.”
“Jadi Adi Endang Seruni pernah diculik?!” ujar La-
wunggana.
“Benar, Angger. Secara kebetulan seorang perwira
dari Demak telah menolongnya. Dan dengan begitu,
seharusnya dialah yang menjadi calon suaminya. Se-
bab sejak diculiknya Endang Seruni, Bapak telah me-
ngadakan sayembara, bahwa siapa yang berhasil
membebaskan Endang Seruni dari tangan orang-orang
Topeng Reges itu, ia akan kujadikan suaminya.”
“Tetapi, mengapakah selanjutnya, Bapak?” potong
Lawunggana dengan hati berdebar-debar.
“Perwira Demak tadi ternyata menolak keputusan
sayembara tadi, sebab ada dua hal yang membuatnya
bersikap begitu. Pertama, ia tidak sengaja memasuki
sayembaraku itu dan pertolongannya tadi hanyalah
terdorong oleh suatu kewajiban belaka. Kedua ia telah
dicintai oleh seorang gadis lain dan iapun telah men-
cintainya pula. Nah, kedua hal itulah yang menyebab-
kan Endang Seruni tidak jadi kawin dengan perwira
Demak tadi, sehingga selanjutnya menyebabkan En-
dang Seruni berkelakuan pemurung dan pelamun. Ka-
dang-kadang ia lekas marah dan mudah tersinggung.”
“Heh, keterlaluan si Perwira Demak itu,” ujar La-
wunggana setengah jengkel. “Seharusnya ia tak me-
nolak keputusan sayembara itu. Meskipun hal tadi ju-
ga berarti bahwa aku akan kehilangan Adi Endang Se-
runi. Namun toh aku tak akan menyesal, karena En-
dang Seruni akan mendapatkan seorang suami yang
berpangkat.”
“Memang benar. Akan tetapi kami juga tidak bisa
menyalahkan dia. Dia punya alasan-alasan yang dapat
kita pahami, Angger.”
“Siapa nama Perwira Demak itu, Bapak?”
“Dia bernama Mahesa Wulung,” ujar Ki Lurah Mi-
jen. “Dan dia pulalah yang dapat membinasakan Ki
Topeng Reges!”
“Hebat! Luar biasa!” desis Lawunggana kaget sete-
ngah kagum. “Nama kedua orang tadi telah terkenal di
daerah sekitar Asemarang, Demak dan Jepara. Mereka
adalah orang-orang yang sakti, Ki Lurah.”
“Memang benar, Angger Lawunggana.”
“Itulah sebabnya aku ingin bertemu dengan Mahesa
Wulung.”
“Apakah perlunya, Angger?” Ki Lurah Mijen berkata
dengan suara yang mengandung rasa cemas. “Apakah
Angger....”
“Aku kepingin mengukur tenagaku dengan dia, Ba-
pak,” sahut Lawunggana tajam. “Supaya aku tahu
sampai dimanakah kesaktian seorang Perwira Demak
yang telah berani menolak seorang gadis secantik En-
dang Seruni!”
“Ah, janganlah menambah kesulitan sendiri, Ang-
ger,” desah Ki Lurah Mijen. “Kami sendiri telah menco-
ba melupakan kejadian itu dan lagi alasan-alasan Ma-
hesa Wulung dapat kami pahami. Andapun pasti men-
gerti, bahwa cinta dan perkawinan tidak selalu harus
dipaksakan.”
“Itu benar. Tetapi apakah kedudukan Bapak tidak
merasa diremehkan oleh sikap Mahesa Wulung tadi?”
“Sebagai seorang yang berpikir dangkal, sikap Ma-
hesa Wulung tadi memang membuatku marah. Namun
sebagai seorang kepala desa dan seorang tua yang berpikir luas aku tidak merasa dihinakan olehnya.”
“Itu pendapat Bapak! Akan tetapi pendapatku lain
lagi,” kata Lawunggana dengan suara keras. Agaknya
pengaruh didikan Ki Bango Wadas yang keras dan ta-
jam benar-benar telah merasuk dan meresap ke tulang
sumsum dan hatinya. “Ketahuilah, Ki Lurah. Sebagai
seorang yang mencintai Endang Seruni, perbuatan ser-
ta sikap Mahesa Wulung tadi sangat menyakitkan ha-
tiku. Maka aku wajib membalaskan perbuatannya itu.”
“Janganlah kau turuti bisikan hati dendammu itu,
Angger Lawunggana. Sangat berbahaya, dan lagi tidak
akan membawa faedah bagimu,” ujar Ki Lurah Mijen
kecemasan.
Meskipun telah dibujuk-bujuk, Lawunggana tidak
mau mengerti akan kemauan orang tua ini. Bahkan
dengan jengkelnya ia telah menggenggam sebuah
cangkir tembikar yang ada di sampingnya dan kemu-
dian meremasnya sekali, sehingga hancur dengan sua-
ra berkeretakan lalu ditaburkan ke lantai dalam ben-
tuk taburan serbuk tanah hitam kemerahan.
Keruan saja Ki Lurah Mijen terkejut bukan main
melihat hal ini. Tidak dikiranya sama sekali Lawung-
gana mampu berbuat sehebat begitu dan mengerikan
hatinya. Jika seandainya cangkir tadi adalah tangan
manusia, pastilah bisa dibayangkan kalau tangan ter-
sebut akan lumat!
“Biar, aku akan mencari Mahesa Wulung serta
mengadu kekuatan dengan dia. Aku akan menghajar-
nya!” teriak Lawunggana seraya bergegas melangkah
ke luar halaman.
“Tunggu, Angger Lawunggana!” seru Ki Lurah Mijen,
sehingga Lawunggana terhenti langkahnya di ambang
pintu. “Engkau jangan berbuat menuruti kehendak
nafsu amarah, Angger. Itu tidak akan baik jadinya dan
engkau akan menyesal nantinya!”
“Menyesal? Tidak! Aku tidak akan-menyesal!” ben-
tak Lawunggana dengan suara keras. “Apa yang aku
ucapkan akan betul-betul kulaksanakan!”
“Ingatlah, Angger Lawunggana. Mahesa Wulung
adalah seorang Perwira Kerajaan dan dia bukan orang
sembarangan!”
“Justru itulah, Bapak. Seorang Perwira Kerajaan
harus betul-betul berlaku bijaksana!”
“Tak ada seorang manusia yang bersifat sempurna,
Angger. Baik Mahesa Wulung, aku sendiri ataupun
Angger Lawunggana pula. Sebagai seorang ayah aku
telah bersalah karena menyayembarakan anakku, dan
Angger sebagai seorang yang mencintai Endang Seruni,
terlalu lama Angger meninggalkannya tanpa kabar be-
rita apapun. Nah, itulah sekadar contoh kecil akan ke-
salahan-kesalahan kita.”
“Betul! Memang semua itu benar!” sahut Lawung-
gana. “Tak ada manusia yang sempurna. Akan tetapi
ketidak-sempurnaan jangan terlalu menghalangi ma-
nusia untuk berbuat bijaksana!”
“Angger Lawunggana, apakah maksudmu yang se-
benarnya? Apakah maksudmu untuk mengadu tenaga
dengan Mahesa Wulung tidak semata-mata didorong
oleh nafsu amarahmu saja?”
“Itu bukan menjadi soal! Pokoknya dia akan kusu-
ruh meminta maaf kepadaku dan kepada Adi Endang
Seruni. Dan kemudian dia harus mengembalikan cinta
Adi Endang Seruni kepadaku!”
Lawunggana sangat jengkel dan marah tampaknya,
maka segera ia akan bergegas ke luar. Namun tepat di
saat itu pula dari dalam rumah muncullah Endang Se-
runi serta Nyi Lurah.
“Kakang Lawunggana, janganlah kau turuti kemarahan hatimu itu!” seru Endang Seruni seraya mena-
han lengan Lawunggana. Dan untuk kedua kalinya pu-
la Lawunggana terhenti langkahnya. “Engkau ingin
membuatku lebih bingung dan lebih menderita lagi?!”
“Mengapa engkau berkata demikian, Adi Seruni?
Apakah itu berarti engkau melarangku untuk berta-
rung melawan Mahesa Wulung?”
“Yah, memang aku melarangmu, Kakang!”
“Nah, kalau begitu artinya engkau masih mengha-
rapkan cinta dari Mahesa Wulung!” bentak Lawungga-
na.
“Salah! Engkau terlalu kejam jika berkata demikian.
Memang mula-mula aku mengharapkan begitu karena
kekosongan hatiku dan mengingat jasa-jasanya. Tetapi
sekarang tidak lagi,” ujar Endang Seruni sambil ter-
isak-isak. “Sekarang antara aku dan Mahesa Wulung
tidak ada apa-apa lagi, sebab sesungguhnya dia telah
mempunyai seorang kekasih dan sudah sepantasnya-
lah bila ia menolakku. Kami menghargai sikapnya itu.”
“Jadi engkau sendiri tidak merasa dihinakan oleh-
nya, Adi Seruni?!” potong Lawunggana dengan sete-
ngah heran.
“Sama sekali tidak! Jika ia menerimanya, itu berarti
Kakang Mahesa Wulung mengkhianati kekasihnya,”
ujar Endang Seruni.
“Hmmm!” desah Lawunggana manggut-manggut
dan mulai memahami keadaan yang dihadapinya.
Meskipun demikian, dia adalah murid Ki Bango Wadas
yang beradat keras dan tidak suka mengalah, lebih-
lebih lagi dia adalah murid tunggalnya. Maka dengan
sendirinya dia tidak mau begitu saja mencabut mak-
sudnya dan berkatalah Lawunggana kemudian. “Baik-
lah Adi Seruni, aku berjanji tidak akan mencari Ma-
hesa Wulung. Akan tetapi jika aku sampai berjumpa
dengan dia, di suatu tempat di mana saja, aku akan
tetap membuat perhitungan serta mengadu tenaga de-
ngan dia.”
Mendengar keterangan Lawunggana ini, baik Ki Lu-
rah Mijen, istrinya maupun Endang Seruni sendiri me-
rasa sedikit lega. Dalam hati mereka berharap, semoga
antara Mahesa Wulung dan Lawunggana tidak akan
pernah saling berjumpa. Terutama dengan Endang Se-
runi yang tidak menginginkan terjadinya bentrokan di
antara mereka berdua.
Ia telah tahu bahwa Mahesa Wulung adalah seorang
Perwira Demak yang sakti, sedang Lawunggana pun
juga seorang yang berilmu tinggi. Telah dilihatnya be-
tapa dengan mudahnya Lawunggana meremas sebuah
cangkir tembikar sampai hancur. Ini sudah cukup se-
bagai bukti akan kehebatan tenaga dalam Lawungga-
na.
Pendapa kelurahan ini sesaat menjadi lengang, sepi
dan masing-masing manusia yang ada di situ terdiam
membisu seperti tenggelam dalam renungannya sen-
diri-sendiri.
Angin sejuk bertiup dengan lembut menyapu pu-
cuk-pucuk pepohonan di halaman Kelurahan Mijen
dan udara panas segera tersapu bersih. Kini hawa se-
gar terasa melonggarkan dada dan menyegarkan kulit.
Dalam hati kecil Endang Seruni merasa gembira ju-
ga oleh kedatangan kembali Lawunggana di Desa Mijen
ini. Hanya saja ia masih bercemas hati pula, jika men-
gingat akan tekad Lawunggana yang ingin mengadu
tenaga dengan Mahesa Wulung.
Sementara itu Ki Lurah Mijen sendiri merasa agak
senang dengan munculnya kembali si Lawunggana, se-
bab ia berhadap mudah-mudahan dengan jalan inilah
Endang Seruni dapat menjadi sembuh dari penyakit
murung dan melamunnya. Bukankah semasa dulu ke-
dua anak muda ini saling bergaul erat dan saling men-
cinta?
Kebisuan tadi tidak berlangsung lama, sebab tiba-
tiba saja dari arah jalanan di muka halaman kelura-
han, terdengarlah suara menggeledek keras, membuat
semua orang yang berada di pendapa kelurahan terke-
jut semuanya.
“Cecunguk Lawunggana! Kau berani menginjak ta-
nah pedesaan Mijen ini serta membuat keributan di si-
ni hee!?” terdengar teriakan seorang berperawakan ke-
kar yang ternyata adalah Sorogenen.
“Oooh, ayah! Lihatlah, Paman Sorogenen telah me-
ngetahui kedatangan Kakang Lawunggana!” ujar En-
dang Seruni dengan sangat cemasnya.
“Tenang sajalah, Nak. Engkau tak perlu cemas de-
ngan hal ini. Serahkan semuanya kepada Tuhan Yang
Maha Esa,” ujar Ki Lurah Mijen dengan tenangnya.
“Benar, Pak. Semoga tidak akan ada korban apa-
apa serta tidak terjadi pertumpahan darah,” desah En-
dang Seruni kecemasan.
Tiba-tiba saja Lawunggana telah meloncat ke luar
halaman sambil berteriak garang. “Sorogenen! Heh,
heh, heh, heh. Ternyata engkau masih mengingatku
dengan baik dan engkau tentunya masih mengingat
ketika engkau menghajar serta menjebloskanku ke da-
lam lumpur comberan!”
“Memang aku tak pernah melupakanmu, cecunguk!
Meskipun engkau telah berhias kumis tebal serta jeng-
got yang bagus, tetapi aku tak pernah lupa akan tam-
pangmu! Sayang, kedua temanku telah tidak ada lagi.
Kalau masih ada, pasti mereka akan bersenang hati
menghajarmu kembali!” teriak Sorogenen.
“Bah! Engkau jangan menganggap seperti dulu-dulu
lagi! Sekarang engkau boleh mencoba tenagaku dan
jangan menyesal bila engkau akan segera dapat aku
robohkan!”
“Heh, besar sangat mulut kosongmu itu! Sebelum
bermain-main denganku coba lihat dulu permainan
pedangku ini!” teriak Sorogenen sekaligus melolos pe-
dangnya serta melihat ke atas sebuah pohon mangga
di mana buahnya tengah melebat tumbuh.
“Hyaaat!” Sorogenen meloncat ke atas dengan si-
gapnya seraya melibatkan pedangnya dan berbareng
tubuhnya tiba di tanah kembali, berjatuhlah sebutir
buah mangga dengan terbelah menjadi empat bagian
dan terserak di atas tanah.
“Heh, heh, heh, aku kagum akan kepandaianmu,
sobat! Tapi jangan keburu berbangga sebelum melihat
jurus pedangku pula!” demikian Lawunggana berkata
seraya memetik tiga lembar daun mangga sekaligus di-
lemparnya ke udara. Setelah itu dengan secepat kilat
tangannya bergerak mencabut pedangnya, disusul oleh
tebasan yang dilakukannya amat cepat.
“Hyaaaat!”
Sebuah sinar kilatan pedang Lawunggana melintas
di udara, kemudian ketiga lembar daun tadi melayang
ke atas tanah, masing-masing terpotong tiga bagian!
Melihat ini semua, orang-orang di halaman kelura-
han serentak terperanjat kagum. Begitu pula Soroge-
nen sendiri ikut terperanjat pula, sedang dalam ha-
tinya ia mengumpat-umpat oleh pameran yang dilaku-
kan oleh Lawunggana ini.
Namun Sorogenen sama sekali tidak mau menun-
jukkan kekalahannya dalam hal olah senjata ini. Seba-
gai seorang yang pernah bersahabat serta berjuang
bersama-sama dengan Mahesa Wulung, sedikit banyak
ia telah banyak mengetahui serta belajar dari permainan pedang Mahesa Wulung yang terkenal dengan
nama Sigar Maruta.
“Lawunggana!” sekali lagi Sorogenen berteriak.
“Tunjukkan semua kepandaianmu supaya aku bisa
mengukur sampai di mana aku harus mengatasi ke-
saktianmu!”
Mendengar kata-kata ini, wajah Lawunggana seke-
tika berubah menjadi warna merah membara, me-
nunjukkan betapa ia marah dan geramnya. Ia melang-
kah ke samping sedikit lagi, lalu berhenti tepat di ba-
wah sebuah dahan pohon.
“Sorogenen!” terdengar Lawunggana berteriak nya-
ring. “Lihatlah kecepatan pedangku ini untuk terakhir
kalinya. Setelah itu kau akan merasakan sendiri kehe-
batannya!”
Semua orang berdebar-debar mendengar kata-kata
Lawunggana ini, lalu disusul sebuah teriakan melengk-
ing dibarengi tubuh Lawunggana melesat ke atas, se-
mentara pedangnya sekaligus menebas ke atas dengan
bunyi berdesing.
Sejurus kemudian, Lawunggana melayang turun
sambil menyarungkan pedangnya kembali dan orang-
orang di situ masih saja terpesona melihatnya. Tam-
paknya pedang Lawunggana tak mengenai apa-apa.
“Nah, sekarang lihatlah ke atas dahan pohon di
atasku ini,” Lawunggana berkata kepada Sorogenen.
“Aku kuatir kau tidak akan dapat menyamainya, so-
bat!”
Sorogenen serta orang-orang yang berada di hala-
man itu serentak terhenyak kaget demi sesaat kemu-
dian mata mereka melihat bagaimana daun-daun hijau
dahan tersebut satu demi satu, selembar demi selem-
bar, jatuh melayang ke bawah dengan tangkai daun-
nya berbekas irisan terpotong oleh mata pedang La
wunggana, tidak kurang dari lima belas lembar daun
jumlahnya!
Sorogenen mendesis penuh kagum. Ia tak mengira
bahwa anak muda yang dulu pernah dihajar oleh Sela
Ganden habis-habisan, kini telah mencapai kepan-
daian yang begitu luar biasa hebatnya. Sesungguhnya
saja Sorogenen tidak ingin mengungkap-ungkapkan
peristiwa yang lama. Jika ia menegur Lawunggana, itu
hanyalah sekadar untuk memperingatkan agar pemu-
da ini tidak membuat keributan-keributan. Benar-
benar ia menguatirkan akan hal ini dan agaknya saja
ia telah menduga kalau peristiwa ini akan berlarut-
larut.
Bagaimanapun saja kekuatiran Sorogenen, sebagai
seorang jagabaya atau penjaga keamanan desa ia tidak
mudah dipertakuti oleh permainan senjata dari seo-
rang anak muda seperti Lawunggana ini. Itulah sebab-
nya iapun berseru kepada Lawunggana dengan keras-
nya, “Heh, Lawunggana! Kau kira aku tak mampu ber-
buat seperti itu pula?!”
“Hah, ha, ha, ha. Panas hatimu ya!?” ejek Lawung-
gana kepada Sorogenen. — Sekarang, tunjukkanlah
kemampuanmu pula!”
“Bagus! Akan kutunjukkan permainan yang tidak
kalah baiknya, supaya kaupun sadar dengan siapa
engkau berhadapan!”
Sorogenen mengakhiri kata-katanya dan tahu-tahu
ia dengan sebat melenting ke atas seraya menyabetkan
pedangnya.
Wesss! Trak!
Terdengarlah sebuah benturan, disusul kemudian
tubuh Sorogenen tiba kembali di tanah dengan enak-
nya.
Beberapa saat kemudian tidak juga terlihat adanya
kejadian apa-apa. Maka Lawunggana seketika berte-
riak mencemoohkan. “Hah, mana, Sorogenen? Mana
kehebatan ilmu pedangmu itu?! Kalau tak becus, ja-
nganlah sekali-sekali mencoba beraksi di depan hi-
dungku!”
“Bersombonglah sesukamu, Lawunggana. Akan te-
tapi, lihatlah lebih dulu dahan pohon di atasku ini!”
sahut Sorogenen tajam. “Setelah itu kau boleh tertawa
semaumu!”
Lawunggana terpaksa melihat ke atas, ke arah da-
han pohon yang tumbuh menjulur tepat di atas Soro-
genen, sedang orang-orang lainpun juga memperhati-
kan dahan itu.
Tiba-tiba.... Pletaaak!
Dahan pohon itu terbelah menjadi dua, dengan ma-
sing-masing bagian membuka keluar dan bergetar.
“Ookh!” Orang-orang di situ termasuk Lawunggana
terguman lirih melihat dahan yang mula-mula tampak
tidak apa-apa, tahu-tahu telah terbelah.
Dengan begitu tahulah mereka bahwa sebenarnya
dahan tadi telah beberapa saat terbelah, tetapi baru
saat inilah ia kelihatan dengan jelas dan gamblang!
Dada Lawunggana bergoncang pula oleh kejadian
itu dan ia mengakui diam-diam bahwa ilmu pedangnya
dengan ilmu pedang Sorogenen ini tidaklah terpaut ter-
lalu banyak. Tetapi tentang ilmu silat bertangan ko-
song, belum tentulah demikian.
“Nah, kau bisa lihat, Lawunggana, bahwa ilmu pe-
dangku tidak terlalu jauh ketinggalan dari ilmu pe-
dangmu! Maka lebih baik kau lekas berlalu saja dari
Desa Mijen ini!”
“Kurang ajar!” teriak Lawunggana demi mendengar
kata-kata pengusiran dari Sorogenen tadi. Serentak
marahnya meluap bagaikan air bah yang tak terbendung lagi dan kemudian meledaklah kata-katanya.
“Sorogenen! Kau tak dapat memperlakukanku seperti
dulu-dulu lagi. Kalau kau masih ingin juga menco-
banya, marilah lakukan maksudmu itu!”
“Haaa, jadi dengan kata-kata kau tak dapat aku pe-
ringatkan, hee! Rupanya kau menghendaki keke-
rasan?!” teriak Sorogenen dengan marahnya.
“Yah, dengan kekerasan sekalipun aku tak akan ta-
kut menghadapimu!” seru Lawunggana menantang.
“Celurut busuk!” Sorogenen berteriak sekaligus me-
lesat ke arah pendekar muda berkumis lebat ini.
“Matilah engkau, Lawunggana!”
Tak ubahnya sebuah kitiran maut, pedang Soroge-
nen berputar sangat cepatnya melanda ke arah La-
wunggana diiringi bunyi suitan nyaring mengiris hati.
“Hyaaat!”
Lawunggana terperanjat bukan main! Pedang Soro-
genen itu dilihatnya sangat cepat meluncur ke arah di-
rinya. Namun Lawunggana masih sadar dan secepat
pedang itu meluncur, ia mengendap serendah mungkin
ke samping.
Syraaat! Trak! Tak! Tak!
Terdengar bunyi serentetan yang mengejutkan dan
tiba-tiba tiga potongan dahan pohon di dekat Lawung-
gana tertebas patah.
Melihat demikian hebat serangan Sorogenen, La-
wunggana sambil mengendap melolos pedangnya seka-
ligus menyabetkan ke arah kaki Sorogenen.
“Haap!” Dengan lincah Sorogenen melenting ke atas
hingga pedang Lawunggana berlalu menebas angin dan
kedua kakinya selamat!
Akan tetapi Lawunggana cepat merubah serangan-
nya lagi. Pedangnya yang tadi mengancam kaki Soro-
genen bergerak ke atas, menusuk ke dada lawannya.
Orang-orang yang menyaksikan terpekik berbareng
melihat betapa ujung pedang itu meluncur deras ke-
dada Sorogenen. Mereka membayangkan bahwa seben-
tar lagi dada Sorogenen akan berlubang tembus sam-
pai ke punggung! Tampaklah Endang Seruni meme-
jamkan mata kengerian.
“Uuuh!”
Desah terkejut keluar dari mulut orang-orang yang
ada di halaman kelurahan, sampai Endang Seruni ter-
paksa membuka matanya kembali.
Mereka melongo ketika tubuh Sorogenen berjumpa-
litan ke belakang beberapa kali dan kini giliran kedua
kalinya pedang Lawunggana menusuk udara kosong!
Oleh serangan-serangannya yang gagal, Lawungga-
na segera menjadi lebih meluap marahnya dan mener-
janglah ia menyerbu ke arah Sorogenen.
Tentu saja Sorogenen amat terperanjat melihat de-
sakan Lawunggana yang tanpa memberi kesempatan
kepada dirinya, maka secepat kilat ia menangkis teba-
san pedang lawannya.
Traaang!
Terdengar sebuah benturan nyaring dan terasa
bahwa pedang Sorogenen tergetar, memedihkan jari-
jemarinya dan hampir-hampir saja pedangnya terlepas!
Sedang Lawungganapun terhenyak kaget oleh ben-
turan tadi. Ia merasa kalau tebasan pedangnya seolah-
olah menghantam sebuah tembok karang, sehingga ia
terpental ke belakang beberapa langkah.
Sekarang, mereka berdua masing-masing sadar, ka-
lau kekuatan mereka hampir seimbang dan sama
kuatnya.
Itulah sebabnya Lawunggana tidak lekas-lekas me-
nyerang kembali, sementara Sorogenen dengan cepat
bersiaga kembali. Keduanya berhadapan sesaat tak
ubahnya dua ekor jago yang tengah bersiap-siap untuk
berlaga, sementara kedua mata mereka saling tentang-
menentang dengan tajamnya.
Lawunggana sadar bahwa Sorogenen mempunyai
kekuatan yang luar biasa dan untuk selanjutnya ia ha-
rus berhati-hati. Sebaliknya, Sorogenen tahu kalau La-
wunggana mempunyai tenaga dalam yang hebat juga.
Hal ini terasa ketika ia berbentur pedang dengan dia,
seluruh buku jari-jarinya menjadi pedih dan hampir
saja pedangnya terlempar jatuh!
Sejurus kemudian sesudah keduanya saling bersia-
ga, mendadak Lawunggana menerjang ke arah Soroge-
nen, langsung dengan tusukan mematikan ke arah
tenggorokannya.
Hampir saja Sorogenen terlengah bila ia tidak men-
dengar bunyi desing pedang lawannya yang deras me-
luncur ke arahnya. Untungnya ia cepat berkelit dan
ganti pedangnya dengan cepat menebas ke arah lengan
Lawunggana.
Tentu saja pendekar berkumis tebal ini secepat kilat
menarik lengannya kembali seraya mengutuk jengkel.
“Setan alas!”
Selanjutnya ia membalasnya dengan sebuah sabe-
tan mendatar ke arah lambung Sorogenen membuat
lawannya ini cekakaran bergulingan ke belakang me-
nyelamatkan perutnya. Dengan begitu mereka menjadi
lebih beringas dan pertempuran berlangsung tambah
sengit.
Suatu kali Lawunggana berhasil melenting ke udara
menghindari tebasan pedang Sorogenen, meskipun
akhirnya ujung pedang itu sempat menyobek kain ba-
tiknya.
Alangkah marahnya Lawunggana dan tiba-tiba pula
ia menyambar ke bawah sekaligus menetakkan pedangnya menuju kepala Sorogenen.
Claaang!
Sorogenen buru-buru menangkis dengan pedangnya
pula dan sekali ini celakalah dirinya, sebab oleh geta-
ran pedang-pedang itu, kembali jari-jemari menjadi pe-
dih dan terlepaslah pedangnya, terpelanting jatuh ke
tanah.
Maka terdesaklah Sorogenen dan sebelum sempat ia
bergerak lebih lanjut, tahu-tahu ujung pedang La-
wunggana ini telah menempel di dadanya.
“Heh, heh, heh, nyawamu sudah berada di ujung
pedang ini, Sorogenen! Tahu kau, hah?! Tapi aku bu-
kan seorang pengecut yang suka membunuh orang tak
bersenjata ataupun suka main keroyok seperti tam-
pangmu itu!”
“Jangan cerewet! Kalau mau bunuh aku, bunuh-
lah!” seru Sorogenen keras-keras.
“Hah, tak perlu kau berkaok-kaok, Sorogenen,” ujar
Lawunggana seraya menyarungkan kembali pedang-
nya, dan secepat kilat ia menyabetkan sisi telapak ta-
ngannya ke arah kepala Sorogenen.
Plaaak!
Demikian cepatnya serangan ini sampai ia tak sem-
pat menghindar sama sekali dari serangan Lawungga-
na, maka terkaparlah Sorogenen jatuh ke tanah sete-
lah pelipisnya kena hajaran Lawunggana tadi.
Seluruh pandangan mata Sorogenen seketika ber-
kunang-kunang dan sebelum ia sempat berbuat sesua-
tu, kepalan tinju Lawunggana telah menyambar da-
gunya.
Praak!
Sorogenen terpelanting kembali ke atas tanah dan
dari sudut bibirnya mengalirlah setetes darah segar,
diiringi rintihan pelan. Pandangan matanya sebentar
kabur, sebentar jelas menatap ke arah Lawunggana
yang meringis kepuasan melihat dirinya terhampar di
tanah, di halaman Kelurahan Mijen.
“Nah, begitulah rasanya kalau orang dihajar, Soro-
genen!” seru Lawunggana geram. “Kau masih ingat ke-
tika engkau mengeroyok serta menghajarku?!”
Duuk!
Habis berkata itu, Lawunggana sekali lagi melan-
carkan tendangan kaki ke pundak Sorogenen, sehingga
tubuhnya terjerembab terguling di tanah dengan me-
rintih-rintih. Tetapi rupanya Lawunggana masih meng-
anggap belum cukup balasan yang diterima oleh Soro-
genen. Itulah sebabnya beberapa pukulan lagi yang
sangat deras bersarang pada kepala dan tubuh Soro-
genen, sampai orang ini berlepotan darah dan megap-
megap.
“Tahan kemarahanmu, Kakang Lawunggana!” tiba-
tiba terdengar ucapan lembut bernada cemas dari arah
belakang tubuh Lawunggana, membuat pendekar mu-
da ini seperti terbangun dari mimpi buruknya, lalu ia
lekas berpaling ke belakang.
“Janganlah kau teruskan perbuatanmu ini, Ka-
kang,” ujar Endang Seruni yang berada di belakang La-
wunggana seraya memegang pundaknya. “Bukankah ia
telah tak berdaya sama sekali?!”
“Mmm, memang benar, Adi Seruni,” ujar Lawung-
gana kemudian. “Urusan pribadiku dengan Sorogenen
telah selesai. Aku telah puas dengan menghajarnya,
dan aku minta maaf karena telah membuat keributan
di sini.”
“Ya, aku dapat memaklumi maksudmu, Kakang La-
wunggana,” ujar Endang Seruni dengan nada sedih.
“Kini, biarlah aku berlalu dari sini, Adi Seruni,” ber-
kata Lawunggana. “Aku akan kembali ke pondokku, di
muara Kali Serang.”
“Kau akan pergi?” tanya Endang Seruni.
“Mudah-mudahan aku bisa menengokmu kembali.”
Lawunggana kemudian mengangguk hormat kepada
Ki Lurah Mijen serta orang-orang desa yang telah
menggerombol di situ.
“Bapak Ki Lurah Mijen, serta para kisanak seka-
lian,” ujar Lawunggana halus, “sekali lagi aku minta
maaf, bahwa perbuatan lancangku menghajar Kisanak
Sorogenen ini adalah sekadar memenuhi sumpahku
untuk membalas perbuatannya beberapa tahun yang
lalu. Sekarang ijinkanlah aku meminta diri.”
Mendengar ini, Ki Lurah Mijen menganggukkan ke-
pala, namun beberapa orang yang menggerombol di
halaman kelurahan ini, tampak bergegas untuk me-
ngepung serta menghalang-halangi Lawunggana. Un-
tunglah Ki Lurah Mijen cepat melihat gelagat yang ku-
rang baik ini dan lekas-lekas ia berseru, “Kertipana,
dan Kisanak-kisanak sekalian! Janganlah menambah
keributan lagi. Biarlah Angger Lawunggana segera ber-
lalu dari tempat ini.”
Kertipana serta orang-orang lainnya lalu menyingkir
serta memberi jalan kepada Lawunggana yang berjalan
dengan enaknya meninggalkan halaman kelurahan.
Biarpun begitu ia masih tetap berwaspada menghadapi
setiap kemungkinan yang bisa terjadi.
Setelah keluar dari halaman, Lawunggana berbelok
ke barat dan dengan beberapa lompatan panjangnya ia
telah lenyap di balik pohon-pohon besar.
***
EMPAT
HALAMAN KELURAHAN Desa Mijen sepi kembali.
Beberapa orang yang ada di situ satu demi satu me-
ninggalkan halaman, sedang Kertipana dan tiga orang
lainnya lalu menggotong tubuh Sorogenen dan diba-
wanya ke pendapa kelurahan.
Ki Lurah Mijen, Nyi Lurah serta Endang Seruni ber-
gegas untuk masuk ke dalam. Akan tetapi, mendadak
terdengar derap-derap kaki kuda dari arah utara.
Keruan saja mereka yang ada di halaman terperan-
jat melihat di sebelah utara. Dalam cahaya matahari
sore yang telah sangat rendah itu, terlihatlah debu-
debu putih berkepul-kepul naik ke atas dan dua sosok
bayangan kuda dengan penunggangnya berderap me-
nuju ke arah pendapa kelurahan.
Ki Lurah Mijen serta orang-orang lainnya menanti
serta ingin melihat, siapakah gerangan yang berkuda
menuju ke arah mereka ini?
Perlahan-lahan kedua penunggang kuda tadi makin
mendekat dan bertambah dekat. Kuda-kuda mereka
tidak berpacu lagi melainkan berlari-lari kecil.
Ki Lurah Mijen kelihatan mengangkat dahi seperti
berusaha mengingat akan kedua penunggang kuda itu.
Salah seorang di antaranya, ia seperti pernah menge-
nalnya. Bentuk tubuh serta gerakan tubuhnya seolah-
olah ia pernah melihatnya.
Oleh keremangan senja, wajah kedua penunggang
kuda itu tidak dikenalnya, namun tak lama kemudian
wajah Ki Lurah Mijen berseri dan mulutnya mendesis,
“Angger Mahesa Wulung!”
Memang benarlah terkaan Ki Lurah Mijen itu. Piki-
rannya yang tajam dan daya ingatnya yang baik tidak
keliru lagi. Kedua penunggang kuda itu adalah Mahesa
Wulung dan Pandan Arum.
Ketika mereka tiba di depan halaman kelurahan, Ki
Lurah telah datang menyambutnya sementara itu di
belakangnya, tampaklah Endang Seruni berlari-lari ke-
cil ikut menyambut kedua tamu itu.
“Selamat sore, Ki Lurah Mijen,” ujar Mahesa Wu-
lung seraya meloncat turun dari punggung kudanya,
demikian pula dengan Pandan Arum yang dengan
amat lincahnya turun dari kuda.
“Ooh, Angger Mahesa Wulung, selamat datang ke
Desa Mijen, Angger,” sapa Ki Lurah dengan ramah dan
hormatnya.
“Terima kasih, Bapak,” ujar Mahesa Wulung. “Kami
berdua datang ke mari karena ada sesuatu perkara
dan sesuatu hal yang akan kutanyakan kepada Ba-
pak.”
“Eeeh, tentulah itu sangat penting bagi Angger,” Ki
Lurah Mijen berkata. “Dengan senang hati tentulah
Bapak akan membantumu, Angger. Baiklah nanti akan
kita bicarakan di dalam.”
“Kakang Mahesa Wulung, lama benar Kakang tidak
mengunjungi kami?” berkata Endang Seruni dengan
nada manja. “Agaknya ada kesibukan-kesibukan tugas
di Demak?”
“Benar, Adi. Banyak tugas-tugas yang harus kami
rampungkan di sana.”
Dalam pada itu, Pandan Arum merasa berdebar-de-
bar hatinya. Melihat sikap manja dan lincah dari En-
dang Seruni tadi, ia sedikit merasa cemburu kepada-
nya. Apalagi jika ia mengingat bahwa kekasihnya, Ma-
hesa Wulung pernah tinggal cukup lama di Desa Mijen
ini.
Tetapi yang membuat Pandan Arum lebih berdebar
lagi adalah wajah gadis itu. Wajah itu seolah-olah ada-
lah cermin dari wajahnya sendiri. Entah mengapa ia
merasakan ada sesuatu rahasia yang tersembunyi pa-
da diri Endang Seruni ini. Terutama kalung permata
hijau yang telah diberikan gadis itu ternyata sama dan
kembar dengan kalungnya sendiri.
Begitulah maka keganjilan-keganjilan itu membuat
Pandan Arum lebih tertarik akan gadis tersebut.
Ketika itu pula rupanya Endang Seruni merasakan
apa yang dirasakan oleh Pandan Arum, yakni kemiri-
pan wajah mereka berdua. Bedanya, Pandan Arum ke-
lihatan lebih tua sedikit daripadanya.
Mahesa Wulung memahami kekakuan ini, maka ia
berkata dengan ramahnya kepada Endang Seruni. “Adi
Endang Seruni, mari aku perkenalkan dengan gadis
ini. Ia bernama Pandan Arum.”
Pandan Arum tersenyum, begitu pula Endang Se-
runi.
“Nama yang bagus,” gumam Endang Seruni seraya
mengulurkan tangannya kepada Pandan Arum. “Perke-
nalkan, namaku Endang Seruni.”
“Nama Andika pun sangat bagusnya,” kata Pandan
Arum.
“Bagaimana kalau aku memanggil yunda kepada
Nona?” tanya Endang Seruni seraya tersenyum manis.
“Dengan senang hati aku terima dan tentunya aku
juga menyebut Andika sebagai Adi Seruni.”
“Terima kasih,” Endang Seruni berkata sambil me-
natap Pandan Arum dari kepala sampai ke bawah.
“Ooh, rupanya Yunda seorang pendekar pula agaknya,”
berkata pula Endang Seruni karena ia melihat sebilah
pedang tergantung di pinggang kiri Pandan Arum.
“Ooo, ini cuma sekadar untuk menjaga diri saja, Adi
Seruni,” Pandan Arum berkata dengan merendahkan
diri. “Dan seseorang yang bersenjata bukan berarti ia
seorang pendekar.”
Endang Seruni tersenyum gemas mendengar kata-
kata Pandan Arum, dan tiba-tiba saja ia mencubit le-
ngan gadis itu. “Mmm, Yunda Arum memang pintar
mengelak, tapi aku yakin Andika adalah seorang pen-
dekar.”
Mereka berempat segera melangkah masuk ke pen-
dapa kelurahan dan kemudian mereka duduk di se-
buah balai-balai besar di ruangan itu.
“Bapak Ki Lurah Mijen,” Mahesa Wulung membuka
percakapan, “aku tadi melihat dari jauh ada kesibukan
orang-orang di halaman kelurahan ini. Aku seperti me-
lihat seseorang digotong-gotong dan dibawa ke dalam
rumah.”
“Aaakh, itu cuma peristiwa kecil, Angger Mahesa
Wulung,” berkata Ki Lurah Mijen. “Yang digotong tadi
adalah Sorogenen. Ia kepayahan setelah berkelahi
mengadu tenaga dengan Lawunggana dan ia dikalah-
kan.”
“Lawunggana?!” ulang Mahesa Wulung kaget. Sia-
pakah dia, Ki Lurah?”
Oleh pertanyaan ini, terpaksalah Ki Lurah Mijen
bercerita secara singkat tentang Lawunggana, tentang
Sela Ganden, Pakisan, Sorogenen serta segala peristi-
wa dan persoalan mereka.
Tampaklah Mahesa Wulung manggut-manggut pe-
nuh pengertian, lalu berkata, “Jangan kuatir, Ki Lurah.
Biarlah nanti aku membantu mengobati Sorogenen.”
“Terima kasih, Angger Mahesa Wulung,” sambung
Ki Lurah Mijen. “Sekarang silakan Angger mengatakan
apa-apa yang harus aku bantukan kepada Angger Ma-
hesa Wulung.”
Mahesa Wulung segera merogoh sesuatu dari balik
bajunya dan terlihatlah seuntai kalung dengan perma-
ta hijau di atas telapak tangannya.
“Lihatlah, Ki Lurah Mijen. Kalung ini diberikan oleh
Adi Endang Seruni beberapa waktu yang lalu.”
“Yah, aku pun telah diberitahu oleh Nini Endang
Seruni tentang kalung tersebut, dan aku tak keberatan
bahwa kalung itu sekarang berada di tangan Angger.”
“Terima kasih, Ki Lurah. Namun karena kalung itu
pulalah yang membawaku sampai ke mari.”
“Mengapa, Angger Mahesa Wulung?”
“Ternyata kami berdua merasa ada sesuatu yang
ganjil dalam kalung ini. Nah, sekarang Adi Pandan
Arum pun akan menunjukkan kalungnya, Ki Lurah.”
Pandan Arum segera membuka untaian kalung dari
lehernya dan diserahkannya kepada Mahesa Wulung.
Lalu kedua kalung itu ditimang di atas kedua telapak
tangannya.
“Inilah kalung milik Adi Endang Seruni dan Adi
Pandan Arum. Kedua-duanya ternyata kembar, Ki Lu-
rah!”
“Kalung itu?! Ookh, kalung Soca Wilis yang telah
sekian lama hilang dan terpisah kini bertemu kembali!”
seru Ki Lurah Mijen dengan mata terbelalak keheranan
dan mulut ternganga.
Demikian pula Mahesa Wulung, Pandan Arum dan
Endang Seruni sendiri ikut terperanjat oleh kata-kata
Ki Lurah Mijen itu.
Ki Lurah Mijen kemudian menatap wajah Pandan
Arum lama-lama dan lalu bertanya kepada gadis itu.
“Benarkah Angger yang memiliki kalung permata hijau
tadi?”
“Begitulah sesungguhnya, Bapak Ki Lurah Mijen.”
“Apakah kalung ini tidak Angger peroleh dari pem-
belian?” bertanya kembali Ki Lurah Mijen.
“Ooooo, tidak, Bapak Ki Lurah. Kalung ini aku teri-
ma dari ayahku sendiri,” ujar Pandan Arum.
Ki Lurah Mijen menjadi berseri-seri wajahnya dan
kembali bertanya, “Kalau begitu, siapakah ayahmu itu,
Nona?”
“Beliau bernama Ki Soratani.”
“Ki Soratani?! Tidak keliru lagi! Yah tidak keliru la-
gi!” seru Ki Lurah Mijen dengan gembira, membuat
Mahesa Wulung, Pandan Arum dan Endang Seruni ter-
peranjat serta ingin mengetahui apakah sebab-sebab
yang membuat Ki Lurah Mijen segembira itu.
“Kami tidak mengetahui, Ki Lurah Mijen, apakah
yang membuat Bapak juga sangat tertarik oleh kedua
kalung kembar ini?” ujar Mahesa Wulung. “Dan tadi
Andika menyebutnya dengan nama Soca Wilis?!”
“Hmm, ketahuilah, Angger Wulung. Sesungguhnya
kedua kalung itu berasal dari diriku sendiri!”
“Berarti kedua kalung itu adalah kepunyaan Ki Lu-
rah?!” Pandan Arum bertanya pula dengan wajah pe-
nuh tanda tanya.
“Bagaimanakah itu bisa terjadi, Bapak?” bertanya
pula Endang Seruni. “Bukankah Yunda Pandan Arum
telah bercerita bahwa kalung itu pemberian ayahnya
sendiri?!”
“Nah, kalian bertiga, ketahuilah pula. Sebelum per-
mata kalung ini dibuat sebagai perhiasan untuk kedua
kalung ini, semula adalah berasal dari sebuah batu
yang sama, dari sebuah permata yang tadi aku sebut
dengan nama Soca Wilis, artinya Mata Hijau. Permata
tadi kemudian dipecah menjadi dua bagian dan kami
jadikan permata untuk kalung tersebut.”
“Tetapi mengapakah kalung yang sebuah tadi sam-
pai berada di tangan Ki Soratani?” bertanya Mahesa
Wulung.
“Aakh, itu ada ceritanya, Angger Wulung! Dan sa-
ngat panjang serta ada hal-hal yang pasti bakal mem-
buat kalian bertiga akan terkejut dan mungkin tidak
percaya,” ujar Ki Lurah Mijen dengan tenangnya.
“Kalau demikian, dapatkah kami bertiga mendengar
cerita atau riwayat kalung kembar Soca Wilis itu?” ber-
tanya kembali Mahesa Wulung.
“Ya, berceritalah, Bapak!” Endang Seruni mendesak
pula. “Aku ingin tahu siapakah Ki Soratani dan siapa-
kah Yunda Pandan Arum ini sesungguhnya!”
“Baiklah, Angger Wulung, Pandan Arum dan kau
Endang Seruni. Dengarlah baik-baik ceritaku ini su-
paya jelas dan kalian memahaminya,” Ki Lurah Mijen
berkata membuka ceritanya.
Dahulu kala adalah seorang saudagar kaya yang
terkenal ramah, berbudi baik dan suka menolong se-
samanya. Ia berdagang emas intan dan perhiasan yang
berharga tinggi. Kekayaannya yang banyak serta kelu-
huran budinya ternyata membawa dirinya banyak di-
kenal oleh orang-orang dari kalangan pemerintahan
kerajaan Demak dan daerah-daerah lainnya.
Ia sering keluar masuk daerah-daerah untuk mem-
perdagangkan perhiasan emas intannya tadi. Tidak ja-
rang untuk perjalanan yang jauh itu ia membawa serta
keluarga serta pengawal-pengawalnya. Ia telah menje-
lajah hampir seluruh pesisir utara Jawa serta kota-
kota besar yang terdapat di situ. Agaknya memang ia
mempunyai darah pengembara yang mengalir dalam
tubuhnya.
Ia mempunyai dua orang anak perempuan yang
waktu itu masih mungil-mungil dan manis. Kedua
anak itu dibawanya serta dalam pengembaraannya ke
mana-mana.
Pada suatu kali, aku sempat berjumpa dengannya
di kota Jepara dalam perjalanannya ke daerah timur.
Begitu berkenalan, kami segera menjadi akrab dan ia
lalu memintaku untuk menyertainya selama perjala-
nan itu serta bersedia membayarku dengan layak.
Agaknya iapun tahu bahwa aku banyak berpenga-
laman serta mengetahui perihal permata dan batu-ba-
tu mulia. Hal itu tentu penting bagi perdagangannya.
Untuk penawarannya itu, aku menyatakan bersedia
dan ini membuatnya ia menjadi senang. Begitulah ka-
mi akhirnya bekerja sama dan kami terus menyusuri
pantai Jepara ke utara dan selanjutnya akan mengitari
pantai daerah Jepara tadi ke timur dan akan terus
mengembara sampai ke daerah Surabaya.
Selama perjalanan itu, kami bersahabat semakin
erat dan akhirnya ia telah menganggapku sebagai sau-
dara ataupun keluarganya sendiri.
Yang paling menarik hatiku ialah kedua anak pe-
rempuannya yang masih kecil itu.
Kedua anak itu sangat manja dengan aku. Mereka
kadang-kadang aku gendong ke mana-mana dan se-
ring aku ajak bermain-main. Meskipun aku masih be-
lum berkeluarga pada waktu itu, namun kesayangan-
ku pada kedua anak kecil tersebut tidak berbeda de-
ngan anak kandungku sendiri.
Entah mengapa sebabnya, terkadang aku telah
menganggap mereka sebagai anakku sendiri. Dan ka-
rena kasih sayangku kepada kedua anak kecil itu, aku
menghadiahkan sebuah permata hijau yang aku sebut
dengan nama Soca Wilis tadi kepada saudagar kaya
tersebut. Aku meminta agar permata tadi menjadi mi-
lik kedua anak perempuannya yang mungil.
Atas persetujuan kami, akhirnya permata Soca Wilis
itu kami potong menjadi dua bagian dan berbentuk se-
tengah lingkaran. Begitu baiknya permata hijau tersebut yang menurut kata orang tergolong batu permata
giok berasal dari tanah seberang utara, menjadi sangat
indahnya meskipun telah terpotong dua bagian.
Oleh saudagar kaya sahabatku itu, kedua permata
bagus yang kini telah menjadi dua bagian, dipasang
pada dua buah kalung emas sebagai hiasannya.
Kalung kembar tadi lalu dikalungkan pada leher
kedua anak perempuan mungilnya yang masing-ma-
sing bernama Pandan Arum dan Pandan Sari.
Saudagar kaya tadi di samping banyak mempunyai
sahabat-sahabat, tak jarang pula mempunyai musuh-
musuh yang selalu mengintai harta bendanya. Dan
memang begitulah kehidupan di dunia ini, selalu diser-
tai dua kemungkinan. Makin banyak seseorang mem-
punyai harta atau pangkat, makin banyak pula ia
mempunyai musuh atau saingan. Dan seharusnya
memang manusia tidaklah boleh begitu lakunya.
Seorang bijaksana dan berbudi luhur seharusnya
akan senang bila melihat seseorang atau sahabatnya
memperoleh kekayaan atau pangkat yang baik. Tapi
manusia begini memang jarang dicari. Biasanya ia
akan malah menjadi iri atau dengki karenanya.
Nah, sesungguhnya itulah yang biasa pula menjadi
sumber bencana bagi ketentraman dan kehidupan be-
brayan manusia. Karena dengki dan iri tadi kadang-
kadang sebuah negeri menyerang dan menghancurkan
negeri lain. Seorang pendekar membinasakan pende-
kar lainnya dan begitu masih banyak contohnya.
Begitulah pada suatu ketika, kami telah tiba di dae-
rah Tanjung Jati yaitu pesisir utara daerah Jepara. Di
situ kami merasa akan adanya seseorang yang selalu
membayangi rombongan kami. Hal itu telah dilaporkan
oleh beberapa orang pengawal kepada kami.
“Bahaya!” desis saudagar tadi. “Lagi-lagi bahaya selalu membuntuti kita, sahabat!”
“Tapi Andika tak perlu kuatir. Bukankah kita mem-
punyai pengawal-pengawal yang cukup tangguh?!”
“Memang, itu benar. Hanya saja kita harus mengi-
ngat bila sampai terjadi sesuatu keributan atau per-
tumpahan darah akibat harta bendaku ini, pastilah
aku akan sangat menyesal karenanya.”
“Hmm, Andika mempunyai pendapat yang benar, Ki
Saudagar. Akan tetapi Ki Saudagar harus pula meng-
ingat bahwa bukanlah semata-mata kesalahan kita ka-
lau orang sampai mengiri atau dengki karena melihat
harta benda kita. Seharusnya kesalahan itu berasal
dari diri mereka sendiri, Ki Saudagar, yaitu kesalahan
mereka yang tidak dapat mengatur nafsunya.”
“Sahabat,” ujar saudagar kaya tadi kepadaku, “ada-
kalanya aku ingin berhenti sebagai pedagang harta
perhiasan emas intan dan beralih sebagai seorang pe-
tani saja.”
Mendengar pendapat Ki Saudagar itu, aku sesaat
menjadi kaget, namun akupun dapat memakluminya
pula.
“Ki Saudagar,” aku berkata kepadanya. “Pikiran An-
dika itu sangat bijaksana. Tapi di manakah Ki Sauda-
gar akan menetap sebagai petani kelak?”
“Aku belum tahu, sahabat,” ujar Ki Saudagar tadi.
“Biarlah akan aku pikirkan lebih dahulu. Dan kelak
aku memilih nama Soratani.”
Begitulah percakapanku dengan Ki Saudagar saha-
batku, dan dari situlah aku tahu betapa luhurnya dia.
Perjalananpun kami teruskan ke timur dan rombongan
Ki Saudagar ini tidak mendapat rintangan sesuatu
apa.
Walaupun begitu, sesungguhnya bahaya selalu
mengancam kami serombongan, dan akhirnya kami
mendapat laporan bahwa di belakang kami terlihat pu-
la segerombolan manusia yang kami duga adalah
orang-orang jahat!
Berita ini sangat mengejutkan kami. Akan berbalik?
Itu tak mungkin, sebab berarti akan langsung berha-
dapan dengan gerombolan tadi! Lari ke selatan? Itu
sama sulitnya, sebab di selatan terdapat tanah pegu-
nungan dan Gunung Muria yang menjulang tinggi dan
merupakan dinding penghalang yang sukar ditembus!
Maka jalan satu-satunya adalah terus menempuh
jalan ke timur menyusuri pantai utara Jawa. Kami
berharap setelah tiba di Juwana akan mendapat perto-
longan dari laskar keamanan di kota itu.
Dalam pada itu rombongan orang-orang yang meng-
ikuti kami rupanya punya siasat pula. Terkadang jarak
mereka terlalu dekat dan kadang-kadang pula mereka
menghilang seperti berhenti menguntit kami. Namun
besoknya mereka muncul pula jauh di belakang kami.
Akhirnya tibalah kami di daerah Tanjung Bugel, dan
Ki Saudagar mempunyai keputusan yang tiba-tiba. Ia
memerintahkan para pengawal untuk berjaga-jaga se-
dang sebagian pengawal lainnya membantu kami un-
tuk menanam barang dagangan kami yang berujud
benda-benda perhiasan emas intan yang kami taruh di
dalam sebuah guci berukir indah.
Setelah harta benda tadi kami tanam, kemudian
kami memberi tanda serta membuat peta rahasia pada
kedua permata kalung hijau tadi secara cepat dan se-
derhana.
Nah, itulah sebabnya kalian akan mendapatkan
goresan-goresan pada permukaan kalung permata hi-
jau kembar ini. Kedua batu hijau tadi masing-masing
berisi sebuah bagian dari peta harta itu. Jika kedua
batu permata hijau ini disatukan tepat pada sisi yang
semula, maka akan kita dapatlah peta harta yang se-
lengkapnya.
Malam itu kami selesai menanam harta perhiasan
tersebut di pantai Tanjung Bugel dan secepatnya kami
meneruskan perjalanan ke arah selatan.
Malampun makin bertambah larut dan beberapa
orang telah ada yang menguap karena lelah dan me-
ngantuk. Namun apa daya, kami harus secepatnya
berjalan dan tiba di daerah Juwana.
Ki Saudagar berkuda sambil mendukung Pandan
Arum dan di belakangnya berkuda Nyi Saudagar de-
ngan wajah cemas dan murung. Sedang aku sendiri
berkuda pula sambil mendukung si kecil—Pandan Sa-
ri. Kedua anak perempuan mungil inipun telah tertidur
kelelahan di punggung kuda pada dukungan kami
masing-masing.
Suatu bencana memang tidak dapat diperkirakan
datangnya. Kami cuma membawa kuda enam ekor dan
pengawal-pengawal lainnya berjalan kaki mengiringi
kami.
Di pagi buta, menjelang subuh, mendadak kami te-
lah dikepung dan diserang oleh segerombolan orang-
orang bersenjata. Kami dapat memastikan bahwa para
penyerang itu adalah orang-orang yang selalu mengun-
tit rombongan kami.
Pertempuranpun berlangsung dengan seru. Dentang
senjata dan percikan bunga api dari senjata-senjata
yang beradu memenuhi udara di situ.
Kadangkala terdengar jeritan menyayat hati dari
arah yang tidak aku ketahui. Udara masih terlalu gelap
bagi kami sehingga pertempuran menjadi sangat kalut.
Sambil berkuda dan mendukung si kecil mungil
Pandan Sari tadi, akupun menebaskan pedangku ke
kiri-kanan untuk menangkis setiap senjata yang me
nyerang kami.
Beberapa orang yang berhasil aku robohkan dengan
pedangku, aku tak tahu dengan pasti, kecuali terasa
dalam pedangku telah membentur beberapa benda lu-
nak diiringi jerit kesakitan.
Di samping itu terdengar pula olehku kuda yang
meringkik-ringkik dan berpacu menjauhi tempat per-
tempuran ini. Sedang aku sendiri tak bisa bertahan te-
rus-terusan begini. Di samping merepotkan, juga sa-
ngat membahayakan si kecil mungil yang aku dukung
ini. Lebih-lebih lagi setelah si mungil Pandan Sari ini
terbangun dan menangis ketakutan.
Saat itulah aku merasa bahaya telah benar-benar
mengancam diri kami berdua. Segera aku derapkan
kudaku ke arah selatan sementara pedangku terus
berputar sebagai baling-baling menghalau setiap peng-
halang.
Kudaku terus kupacu ke arah selatan. Aku tak tahu
bagaimana nasib Ki Saudagar beserta istri dan si kecil
mungil Pandan Arum ataupun para pengawal kami.
Tetapi dalam hati kecilku aku berdoa dan berharap
semoga bunyi derap kaki-kaki kuda yang semula aku
dengar tadi adalah derap kuda-kuda Ki Saudagar dan
istri serta ketiga pengawalnya. Yah, aku mencemaskan
sekali nasib mereka. Namun aku tak dapat berbuat
banyak kecuali menyelamatkan si kecil Pandan Sari
yang berada dalam dukunganku ini.
Dalam udara subuh itulah aku terus berpacu dan
berpacu ke arah selatan sampai akhirnya tiba di dae-
rah Juwana. Dengan segera aku melaporkan kejadian
itu kepada pasukan pengawal kota dan pagi itu juga
bersama-sama pasukan tadi kami memeriksa tempat
terjadinya pertempuran semalam.
Ternyata di situ cuma menggeletak beberapa mayat
pengawal rombongan kami serta orang-orang dari pi-
hak penyerang. Adapun mayat Ki Saudagar, istrinya,
ataupun si mungil Pandan Arum tidak kami temukan.
Dengan demikian yakinlah kami bahwa Ki Saudagar
masih selamat dan inilah yang benar-benar kami ha-
rapkan. Tetapi ke manakah mereka ini?
Setelah kejadian itu, aku mengembara mencari jejak
hilangnya Ki Saudagar tadi. Tetapi sampai sekian lama
kami tak menemukannya, sehingga akhirnya kami me-
netap di Desa Mijen ini.
Adapun nama si mungil Pandan Sari telah kuganti
dengan Endang Seruni dengan maksud agar kenangan
pahit dan memilukan itu lenyap dari benak kepalaku,
dan sejak itu pula Endang Seruni telah kuanggap se-
bagai anak kandungku sendiri sampai sekarang.
Begitulah Ki Lurah Mijen menyudahi ceritanya se-
raya memandang ke wajah Endang Seruni dan berkata
pula kemudian, “Maaf, Angger Seruni. Maafkanlah bila
akhirnya aku telah menceritakan hal ini kepadamu.
Bukan maksudku untuk melukai hatimu, Nak. Bukan.
Aku menceritakan hal itu karena aku merasa gembira
bila sesungguhnya Pandan Arum masih selamat dan
sekarang duduk bersamamu ini!”
Mata Endang Seruni berkaca-kaca sambil mencoba
menahan isak tangisnya lalu katanya, “Tap... tapi, Ba-
pak, bagaimana aku dapat yakin bahwa Yunda Pandan
Arum ini adalah kakakku yang sesungguhnya, kakak
kandungku sendiri?”
“Aku masih ingat dengan gamblang, Angger Seruni,
bahwa pada lekukan lengan kiri si mungil Pandan
Arum terdapat sebuah tahi lalat hitam.”
Begitu mendengar kata-kata Ki Lurah Mijen ini,
Pandan Arum seperti digerakkan oleh tenaga batinnya
dan secepat kilat ia menyingsingkan lengan baju kiri
nya serta menatapnya dengan tajam.
“Oooh, ada tahi lalat di sini!” desis Pandan Arum
tertegun.
Ia melihat sendiri dan juga Ki Lurah Mijen, Mahesa
Wulung dan Endang Seruni juga menatap sebuah tahi
lalat yang terdapat pada lelukan lengan kiri Pandan
Arum itu.
“Jadi... jadi kau adalah adikku sendiri, Endang Se-
runi?!” seru Pandan Arum seraya memeluk Endang Se-
runi yang segera itu pula disambut oleh Endang Seruni
dengan dekapan mesra dan disertai isak tangis keha-
ruan.
“Yunda... Pandan Arum... akulah adikmu si Pandan
Sari.... Ooh...,” rintih Endang Seruni seraya mendekap
tubuh Pandan Arum lebih erat.
“Adikku sayang...,” terdengar isak Pandan Arum
sambil mengusap membelai-belai kepala Endang Se-
runi dan kemudian menciumi pipi gadis itu. “Ooh, aku
sudah merasakannya sejak semula, Adi Seruni. Sejak
aku melihat wajahmu yang sangat mirip dengan wa-
jahku sendiri.”
Di tengah saat yang mengharukan ini, Nyi Lurah ke-
luar dari ruang dalam diiringi seorang wanita memba-
wa talam berisi cangkir-cangkir tembikar berisi minu-
man dan sepiring ketela rebus. Iapun semula terkejut
melihat anak gadisnya bertangis-tangisan dengan ga-
dis tetamu ini. Namun iapun akhirnya terharu serta te-
risak-isak setelah mendapat penjelasan singkat dari Ki
Lurah Mijen tentang duduk perkara yang sesungguh-
nya dan terpendam selama ini.
“Syukurlah bila Ki Saudagar sekeluarga masih se-
lamat,” ujar Ki Lurah Mijen bersyukur.
Sekonyong-konyong di tengah keharuan ini, Mahesa
Wulung secara tiba-tiba telah mencabut pisau belati
kecil dari balik bajunya serta sekaligus melemparkan-
nya ke atas langit-langit genting sirap.
Claaap!
“Aaaaakh!”
Semua orang di situ terkejut dan telinga mereka
mendengar langkah-langkah pincang di atas genting
atap dan berlari menjauh dan kemudian lenyap tak
terdengar lagi!
Pisau belati yang menancap pada langit-langit atas
itu sesaat kemudian menetes-neteskan cairan darah
segar ke atas lantai membuat mereka terpekik ngeri.
“Percakapan kita telah didengar oleh si pengintai ge-
lap, Ki Lurah!” ujar Mahesa Wulung. “Dengan begitu
maka berarti kedua kalung Soca Kumala ini berada da-
lam bahaya!”
“Ooh, celaka! Kata-katamu benar, Angger Wulung.
Maka, aku minta agar Andika menjaga keduanya!”
“Jangan takut, Ki Lurah. Akan kujaga baik-baik ke-
dua kalung ini!” berkata Mahesa Wulung dengan te-
nangnya, membuat mereka menjadi tenang pula serta
hilang cemasnya.
Malam makin larut, dan sunyi senyap penuh kehe-
ningan segera menelan suasana Desa Mijen.
***
LIMA
DI PAGI CERAH, tampaklah tiga sosok tubuh ma-
nusia tengah berjalan-jalan di tepi Kali Serang tak jauh
dari Desa Mijen. Mereka adalah Mahesa Wulung, Pan-
dan Arum dan Endang Seruni atau Pandan Sari itu.
Ketiganya tampak berwajah cerah, secerah sinar mata
hari pagi yang memanahkan sinar-sinarnya.
“Kakang Wulung,” ujar Pandan Arum dengan te-
nangnya, “siapakah kiranya si pengintai gelap pada
malam yang lalu itu?!”
“Hmm, pasti dari gerombolan yang bermaksud jahat
dan menaruh minat pada persoalan kita, lebih-lebih
terhadap kalung kembar ini,” berkata Mahesa Wulung.
“Serta rahasia yang tersembunyi di belakangnya.”
“Dan sekarang, kalung yang telah aku berikan ke-
pada Kakang Wulung, juga harus aku pakai kembali?”
bertanya Endang Seruni. Mengapa Kakang Wulung?”
“Aku ingin supaya kedua kalung itu tetap berada
pada masing-masing pemiliknya semula, dan aku cu-
kup menjaganya dari luar saja,” Mahesa Wulung ber-
kata.
“Terima kasih, Kakang Wulung,” ujar Endang Se-
runi.
Mereka bertiga meneruskan perjalanannya, berja-
lan-jalan menghirup udara pagi yang masih segar ini.
Pohon-pohon besar yang banyak bertumbuhan di se-
panjang jalan itu daunnya beriak-riak tersapu angin
pagi yang sejuk. Dan ketika mereka tiba di depan se-
buah pohon asam yang sangat lebatnya, tiba-tiba Ma-
hesa Wulung berhenti serta memberi isyarat pula ke-
pada Pandan Arum dan Endang Seruni supaya berhen-
ti.
“Hati-hati!” ujar Mahesa Wulung. “Aku merasa bah-
wa di atas pohon asam di depan kita itu ada gerakan-
gerakan manusia!”
“Oookh,” desah Pandan Arum dan Endang Seruni
berbareng. Keduanya berdebar-debar oleh perkataan
Mahesa Wulung.
“Heeei, sobat!” seru Mahesa Wulung dengan lan-
tangnya. “Apakah maksudmu yang sebenarnya?! Apa
kah perlumu pagi-pagi begini memanjat-manjat pohon
asam?!”
Tepat selesainya kata-kata Mahesa Wulung, sebuah
bayangan tiba-tiba pula melesat turun dari atas pohon
asam tersebut dan mendarat di tanah.
“Lawunggana!” berdesis Endang Seruni dengan ce-
masnya.
“Eeeh, dialah orang yang bernama Lawunggana
itu?” bertanya Mahesa Wulung kepada Endang Seruni.
“Benar, Kakang Wulung. Berhati-hatilah!”
Suasana menjadi tegang. Lawunggana berdiri berto-
lak pinggang di hadapan mereka bertiga. Sorot mata-
nya tajam mengawasi Mahesa Wulung dan Endang Se-
runi berganti-ganti.
“Sobat, apakah engkau yang bernama Lawungga-
na?”
“Hah, engkau sudah tahu namaku, kisanak!” ujar
Lawunggana. “Bagus! sekarang sebutlah pula nama-
mu!”
“Aku Mahesa Wulung!”
“Mahesa Wulung? Ha, ha, ha, ha. Pucuk dicinta,
ulam tiba!” seru Lawunggana gembira sambil tertawa
terbahak-bahak kesenangan. “Kebetulan sekali. Aku
telah lama menunggu-nunggu saat pertemuan ini! Aku
ingin mengukur tenaga melawanmu!”
“Apakah ini berarti sobat berusaha mencari kesuli-
tan?” bertanya Mahesa Wulung. “Dan apa alasan-ala-
san Anda dalam hal ini?!”
“Engkau pernah membuat kecewa terhadap Endang
Seruni kekasihku itu! Kau tahu, itu sama artinya de-
ngan menghina diriku!” teriak Lawunggana dengan ke-
rasnya serta bersinar-sinar sorot mata kemarahannya.
“Kakang Lawunggana! Jangan kau teruskan mak-
sudmu!” Seru Endang Seruni kecemasan. “Hal itu te
lah berlalu dan selesai.”
“Tapi bagi diriku belum berarti selesai, Adi Seruni,”
seru Lawunggana. “Aku telah bersumpah untuk ber-
tempur melawan Mahesa Wulung! Maka janganlah
menghalangi maksudku!”
Mahesa Wulung yang pernah mendengar perihal
Lawunggana dari Ki Lurah Mijen segera bersiaga dan ia
tidak terkejut ketika Lawunggana itu melesat ke arah
dirinya.
“Haaaet!”
Sambaran pedang di tangan Lawunggana bagai kilat
menyambar leher Mahesa Wulung. Tapi pendekar De-
mak ini dengan tenangnya mengegoskan bahunya ke
kanan, dan lalulah pedang lawan tadi dengan menebas
angin. Dalam waktu yang sependek itu pula, secara ki-
lat Mahesa Wulung mencabut pedangnya sekali mene-
tak ke punggung pedang Lawunggana tadi.
“Craaaang!”
Bukan main terkejutnya Lawunggana akibat bentu-
ran pedang Mahesa Wulung itu. Seakan-akan ia diben-
tur oleh satu pukulan tenaga raksasa yang membuat-
nya seketika terpental ke samping beberapa langkah,
tunggang-langgang.
Meskipun begitu Lawunggana tidak lupa menge-
trapkan ilmu mengentengkan tubuh sehingga iapun
berjumpalitan tanpa menyinggung tanah dan selamat-
lah kepalanya.
Sambil bersiaga kembali, Lawunggana menggeram
marah, bagaikan seekor harimau melihat mangsanya.
Sementara itu Mahesa Wulung berdiri dengan tang-
guhnya laksana tonggak besi yang tak goyah oleh gem-
pa sedahsyat apapun.
Dengan sebuah teriakan dahsyat, Lawunggana me-
nerjang kembali ke arah Mahesa Wulung, lalu berulanglah pertarungan sengit. Terkadang tubuh mereka
berdua hanya tampak sebagai bayang-bayang hitam
yang berputaran dengan dua gulungan sinar pedang
yang putih kebiruan berkilatan ditimpa sinar matahari
pagi yang kini mulai bergeser meninggi. Pertempuran-
pun semakin bertambah lebih hebat lagi.
Pada suatu ketika Mahesa Wulung berhasil mende-
sak kedudukan Lawunggana yang kini telah bermandi
peluh itu. Sebuah tebasan pedang Mahesa Wulung
yang disertai segenap himpunan tenaga dalam telah
berhasil menggetarkan pedang lawannya dan akhirnya
dengan bacokan ke bawah secara tiba-tiba membuat
Lawunggana cekakaran menangkis serangan tersebut.
Claaang!
Terdengar sebuah benturan yang amat keras dan
terpental lepaslah pedang Lawunggana dari jari-jema-
rinya disertai jerit kesakitan dari mulutnya.
“Eaaakh!”
Namun begitu senjatanya lepas, si pendekar kumis
lebat segera meloncat ke samping sekaligus melolos
kedua pisau bercabang dari ikat pinggangnya.
Dengan senjatanya ini, Lawunggana seperti menjadi
lebih bergairah dan lebih beringas dalam melancarkan
serangan-serangannya terhadap lawannya. Kedua pi-
sau cagak atau bercabang tadi seperti benar-benar hi-
dup bersambaran susul-menyusul seperti cakar raja-
wali yang tengah kelaparan menyerang mangsanya.
Kini Mahesa Wulung terpaksa terkejut melihat ke-
dua senjata Lawunggana itu. Kekagetannya itu ternya-
ta ada benarnya pula, sebab pada jurus-jurus berikut-
nya terasa olehnya bahwa kedua pisau bercabang itu
selalu mencecar dan mengurung dirinya.
Bila saja yang diserang itu bukan Mahesa Wulung,
mungkin sudah sejak jurus yang pertama orangnya
akan pecundang atau paling sedikit sudah bertekuk
lutut. Akan tetapi lawan Lawunggana kali ini adalah
Mahesa Wulung, seorang perwira laut dari Armada
Demak yang telah sekian kali bertempur, bertualang
mengarungi laut-laut serta menghadapi berbagai-bagai
rintangan serta bahaya. Maka pertempuran antara ke-
dua pendekar ini kelihatan seimbang dan seru.
Gulungan sinar pedang Mahesa Wulung berdesir
mengerikan siapa saja, termasuk Pandan Arum dan
Endang Seruni yang menonton pertempuran mereka
dengan dada berdegupan. Keduanya melihat bahwa
kedua senjata pisau bercabang milik Lawunggana ber-
desingan di antara gulungan sinar pedang Mahesa Wu-
lung, tak ubahnya dua ekor burung seriti yang berlon-
catan di antara gulungan tubuh seekor ular yang hen-
dak mencaploknya.
“Uuh, ini berbahaya!” desis Mahesa Wulung sambil
berloncatan menindas setiap serangan Lawunggana
yang semakin ganas.
Pada jurus yang keempat puluh dan jurus-jurus be-
rikutnya, Mahesa Wulung mau tak mau harus menga-
kui bahwa senjata pisau bercabang yang sangat aneh
milik Lawunggana itu benar-benar luar biasa ampuh
dan hebat gerakannya.
Kalau semula kedua pisau bercabang itu cuma me-
nyerang ke arah bagian-bagian tubuh Mahesa Wulung
saja, sekarang lebih meningkat lagi dengan menyerang
pedang pendekar Demak ini. Maka justru hal inilah
yang lebih berbahaya lagi.
Begitulah, pada suatu ketika tebasan pedang Ma-
hesa Wulung berhasil ditangkis oleh pisau bercabang
tadi tepat jatuh di antara sela-sela cabang pisau terse-
but. Dengan begitu terjepitlah pedang Mahesa Wulung
tadi!
Mahesa Wulung segera sadar akan bahaya yang kini
telah mengancam di depan hidungnya. Maka secepat ia
berusaha menarik pedangnya, namun belum lagi ber-
hasil pisau cabang yang sebuah lagi segera menjepit
pula terhadap pedangnya! Sekali lagi Mahesa Wulung
terkejut karenanya.
“Hia, ha, ha, ha,” terdengar Lawunggana terkekeh-
kekeh kegirangan. “Kau kaget, sobat?! Kasihan! Itulah
jurus Kepiting Menjepit Bulan yang tak terkalahkan!”
Habis berkata demikian, Lawunggana kemudian
memutar dan memelintir kedua pisau cabangnya, se-
hingga pedang yang berada di sela-sela jepitan itu ter-
getar hebat!
Dengan sekuatnya Mahesa Wulung berusaha me-
nahan pedangnya yang ikut terputar itu, tapi alangkah
sukarnya. Kemudian tangannya terasa ikut bergetar
dan jari-jarinya merasa kesemutan.
“Lepaaas!”
Terdengar Lawunggana membentak dengan suara
menggeledek diiringi hentakan dan pelintiran sepasang
pisau cabangnya berbareng.
Akibatnya, terlepas dan terbetotlah pedang Mahesa
Wulung itu dari tangannya, membuat pendekar Demak
ini terkejut bagai orang mimpi di siang bolong. Ia ham-
pir-hampir tak percaya begitu melihat pedangnya te-
rampas serta kemudian tercampak di atas rerumpu-
tan.
“Heei, sobat Mahesa Wulung!” seru Lawunggana se-
raya mengangkat muka menyombong. “Berhati-hatilah
kowe! Mungkin sebentar lagi kedua lengan atau kaki-
mu akan terbetot lepas oleh pisau cabangku ini! Ha,
ha, ha, ha!”
“Hyaaat!” Lawunggana kemudian berteriak seru
sambil melesat menyerang ke arah Mahesa Wulung.
Kedua pisau cabang Lawunggana tersebut menyerang
kembali, mengurung seluruh bagian-bagian lemah dari
tubuh Mahesa Wulung.
Melihat ini Pandan Arum serta Endang Seruni men-
jadi kecemasan. Pandan Arum bermaksud menolong
Mahesa Wulung itu, tapi bagaimana caranya serta apa
yang harus diperbuatnya, ia tidaklah tahu.
Mahesa Wulung segera terpaksa berloncatan, me-
lenting kesana-kemari menghindari serangan-serangan
pisau bercabang di tangan Lawunggana itu, karena ia
tak berpedang lagi.
“Berhenti, Kakang Lawunggana! Sudahilah pertem-
puran ini!” Terdengar Endang Seruni berseru kepada
Lawunggana, sementara dalam hati ia merintih penuh
sesal, sebab semua peristiwa ini tidak sedikit ber-
sumber pada dirinya.
“Ha, ha, ha, jangan turut campur, kekasih. Lihatlah
saja nanti. Aku bersedia berhenti serta berdamai asal
sobat Mahesa Wulung bersedia meminta maaf serta
bertekuk lutut kepadamu, wong ayu!”
“Perkataanmu itu tak mungkin, Kakang Lawungga-
na! Kau lihat aku sekarang berdiri di samping gadis
ini?! Dialah kekasih Mahesa Wulung sendiri. Di antara
kami tidak ada lagi persoalan dendam ataupun bersa-
lah!” kembali Endang Seruni berseru.
“Haaah, aku belum puas dengan ceritamu saja, Adi
Seruni. Aku ingin lihat dengan mata kepalaku sendiri
bahwa sobat Mahesa Wulung benar-benar berlutut di
depanmu dan di depanku sekarang!”
Mahesa Wulung sedikit tersinggung mendengar ka-
ta-kata Lawunggana yang sangat tajam ini. Tiba-tiba
saja ia meloloskan sebuah cambuk berwarna biru kehi-
jauan dari balik bajunya seraya menggumam.
“Hmmm, biarlah aku pakai cambuk pusaka ini lebih
dulu. Aku kepingin mencobanya di depan Lawunggana.
Namun aku harus berusaha agar pendekar ini tidak
sampai celaka oleh cambuk Naga Geniku!”
“Lawunggana, marilah kita lanjutkan permainan ki-
ta tadi secepatnya!” seru Mahesa Wulung lantang.
“Haaaet!” Lawunggana tanpa berkata-kata lagi lalu
melesat ke depan menerjang Mahesa Wulung kembali.
Tapi sekali ini Lawunggana ganti terkejut pula, apa-
bila ia terpaksa mundur karena ia melihat bahwa Ma-
hesa Wulung telah memutar cambuk Naga Geninya
sampai lawannya cuma melihat sebuah lingkaran men-
desis-desis berwarna biru kehijauan.
Dan lebih terkejut lagilah Lawunggana, sebab seko-
nyong-konyong ujung cambuk Naga Geni menyambar
dan melilit pada lengan kirinya. Saat itu terasa len-
gannya seperti dirambati oleh aliran hawa panas me-
nyerikan sendi-sendi tulang, dan apabila ujung cam-
buk tadi ditarik oleh Mahesa Wulung, membekaslah
pada kulit lengannya lingkaran-lingkaran merah seper-
ti bekas terbakar.
Lawunggana menyerang kembali, tapi tak ada fae-
dahnya lagi. Keampuhan kedua pisau cabangnya se-
perti tertelan oleh kehebatan perbawa dan kesaktian
cambuk Naga Geni.
Akhirnya ujung cambuk itu menyambar dan mem-
bentur kedua ujung pisau cabang Lawunggana dengan
dua ledakan berturutan.
Daar! Daaar!
“Eeeaah!”
Lawunggana melepaskan kedua pisau cabangnya,
yang tiba-tiba saja terasa sebagai bara api panas dan
terpelanting ke atas tanah. Belum lagi ia sempat mem-
perbaiki sikap, tiba-tiba ujung cambuk Mahesa Wu-
lung meledak-ledak di sekitar kepalanya dengan suara
yang sekeras petir mengurung dengan rapatnya.
“Aaaaduh!” Lawunggana merintih serta menutup
kedua belah telinganya dengan tangan, namun suara
ledakan cambuk itu terasa masih saja menyengat-
nyengat telinganya. Hingga pendekar ini rebah berguli-
ngan di tanah, cambuk Naga Geni masih saja meledak-
ledak.
“Kakang Wulung, jangan kau celakai dia! Kasihan
Kakang Lawunggana itu!” ujar Endang Seruni seraya
memeluk lengan Mahesa Wulung dengan eratnya.
“Jangan kuatir, Adi Seruni. Ia tak akan celaka atau
mati. Aku tahu kau masih mencintainya, bukan? Syu-
kurlah! Tapi aku harus memberi sedikit pelajaran ke-
padanya, agar sifat keras kepala dan mau menang
sendiri itu terkikis habis dari relung hatinya!” ujar Ma-
hesa Wulung dengan tenang.
“Oh, jika begitu aku berterima kasih!” ujar Endang
Seruni dengan hati lega.
Sementara itu Mahesa Wulung segera menyimpan
kembali cambuk pusaka Naga Geni ke dalam bajunya
serta iapun lalu memungut kembali pedangnya yang
tadi tercampak jatuh di atas rumput.
Sekonyong-konyong mereka dikejutkan oleh sesosok
tubuh yang berkelebat cepat dari sebelah utara dan
langsung menerjang Mahesa Wulung dengan samba-
ran-sambaran penggada berduri.
Wesss! Wees! Syaaat!
Penggada berujung duri-duri tersebut mengurung
Mahesa Wulung dengan bertubi-tubi. Untunglah pen-
dekar Demak ini cukup tangkas dan iapun mene-
baskan pedangnya ke sana-ke mari menyambut setiap
serangan lawan dengan gigih dan tangkas.
“Busyet! Keparat!” teriak si penyerang yang berke-
pala botak mirip burung bangau itu dan berputaran di
udara lalu mendarat di atas tanah dengan ringannya.
“Setan! Kau mencampuri urusan kami?!” seru Ma-
hesa Wulung.
“Mengapa tidak! Kau telah mencelakai muridku! Be-
lum tahu kau, haa?! Akulah si Bango Wadas dari Mua-
ra Serang!” teriak si penyerang itu membuat Mahesa
Wulung setengah kaget dan cemas. “Sekarang kau ha-
rus mati di tanganku, keparat!”
Ki Bango Wadas melesat dan menerjang kembali ke
arah Mahesa Wulung dan terjadilah pertempuran dah-
syat untuk kedua kalinya di tepi Kali Serang ini. Mas-
ing-masing menumpahkan segala ilmu dan kepan-
daiannya, membuat pertempuran tersebut semakin
hebat serta mencemaskan siapa saja yang melihatnya.
Sampai di sini, berakhirlah cerita seri Naga Geni
“Bentrok di Kali Serang” dan segera akan sampai ke-
pada Anda, seri Naga Geni yang berikutnya yakni “Har-
ta Tanjung Bugel”. Di sini para pembaca akan tahu
siapakah sesungguhnya Ki Bango Wadas dan bagai-
mana dengan Lawunggana serta Harta Tanjung Bugel itu!
TAMAT
0 comments:
Posting Komentar