PETUALANG
SAKTI
Oleh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: Tuti S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
T. Hidayat
Serial Pendekar Naga Putih
dalam episode: Petualang Sakti
128 hal. ; 12 x 18 cm
SATU
Suara gemericik air terdengar menggoda telinga. Di-
tingkahi dengan celoteh manja gadis-gadis desa yang
tengah mencuci dan membersihkan tubuh di sungai.
Semua menyatu dengan kebeningan dan kesegaran
udara pagi itu.
Namun, keceriaan dan kebeningan pagi yang indah
itu tiba-tiba dirusak oleh suara tawa parau yang tidak
enak didengar. Karuan saja gadis-gadis yang tengah
berada di sungai terkejut! Mereka segera membenahi
cuciannya ke dalam keranjang dan bergegas melang-
kah meninggalkan tempat itu. Karena....
“Hua ha ha...!”
Bersamaan dengan suara tawanya yang kembali
terdengar, muncullah sesosok tubuh dari balik semak-
semak. Dengan pongah, lelaki berwajah kasar yang se-
belah matanya tertutup kulit binatang dan diikatkan
ke kepalanya itu berdiri tegak sambil bertolak ping-
gang. Matanya yang tinggal sebelah memandang ke
arah gadis-gadis yang tengah berlarian seraya berte-
riak-teriak ketakutan.
“Gayatri, cepat benahi pakaianmu! Kita harus sege-
ra pergi sebelum orang jahat itu menghampiri tempat
ini...!” seorang gadis yang hendak berlari meninggalkan
tempat itu berusaha mengingatkan kawannya akan
adanya bahaya.
“Sebentar! Aduuuhhh...!”
Karena terburu-buru melangkah di atas bebatuan
yang licin berlumut, gadis bernama Gayatri itu terpele-
set dan jatuh ke sungai.
“Tolooong...!”
Gayatri berteriak dan berusaha menggapai apa saja
yang terjangkau tangannya. Meskipun sungai itu tidak
begitu dalam, hanya sebatas pinggang, namun dasar-
nya berbatu licin. Hingga gadis desa itu sulit untuk
bangkit berdiri. Apalagi dalam keadaan panik seperti
itu. Akibatnya, Gayatri terseret arus yang cukup deras.
Tak satu pun dari kawan-kawannya yang mempe-
dulikan nasib Gayatri. Mereka sibuk menyelamatkan
diri masing-masing. Tinggallah gadis manis berkulit
kuning langsat itu sendirian terbawa arus.
Nasib gadis desa itu rupanya masih cukup baik. Se-
telah terseret sejauh dua batang tombak, ia berhasil
menjangkau sebuah batu yang menonjol di atas per-
mukaan air. Cepat gadis itu menarik tubuhnya dan
bersandar pada batu yang cukup besar itu.
Dengan napas terengah-engah dan tubuh terasa
lemas tak bertulang, Gayatri berpegangan erat meme-
luk batu itu. Sepasang matanya yang bening menatap
berkeliling mencari tumpuan agar bisa naik ke tepi.
Tapi....
“Ohhh...?!”
Gayatri menutup mulutnya menahan jeritan ketika
sepasang matanya membentur sesosok tubuh berwa-
jah beringas. Wajah gadis itu langsung pucat pasi! Se-
pasang matanya berputar liar bagai seekor kelinci ke-
takutan!
“Naiklah, Gayatri. Aku akan menolongmu...,” ujar
lelaki berwajah beringas dan bermata liar. Kendati ma-
tanya tinggal sebelah, tapi kelihatan menakutkan. Le-
laki itu mengulur tangannya hendak menolong Gayatri.
“Tidak! Jangan dekati aku...! Pergi...!”
Rasa takut Gayatri semakin memuncak ketika lelaki
itu mengulurkan tangannya. Gadis itu berteriak-teriak.
Langkahnya surut ke belakang. Kepalanya digeleng-
gelengkan dengan air mata mengalir turun membasahi
wajahnya yang sudah basah oleh air sungai. Kasihan
sekali gadis itu. Jelas ia sangat ketakutan dan hampir
jatuh pingsan karena hebatnya rasa takut yang me-
nyergapnya.
Tapi, lelaki berwajah beringas itu tidak peduli. Ia
tertawa-tawa seperti mendapat mainan yang sangat
menyenangkan. Ketika melihat gadis itu menjauh, le-
laki itu pun turun ke sungai menghampiri gadis itu.
“Pergiii...! Pergiii...!”
Gayatri mengibas-ngibaskan tangannya mengusir
lelaki beringas itu. la merasa serba salah. Mundur ke
belakang dan melepaskan pegangannya pada batu itu
jelas tubuhnya akan terseret arus sungai. Gayatri tidak
menginginkan hal itu terjadi lagi. Sedangkan untuk
maju, lelaki beringas itu sudah menanti dan siap me-
nerkamnya seperti seekor harimau lapar! Akhirnya,
Gayatri hanya bisa diam menunggu apa yang akan
menimpa dirinya.
“Kena!”
Lelaki berwajah beringas itu berteriak kegirangan.
Ia berhasil mencekal lengan gadis malang itu. Tawa
paraunya terdengar saat lelaki itu menyeret tubuh
Gayatri ke tepi sungai.
“Jangan, Kakang...! Kasihani aku...!”
Sambil berusaha melepaskan lengannya dari ceka-
lan lelaki itu, Gayatri merintih memilukan. Untuk ber-
teriak ia tidak sanggup lagi. Suaranya sudah habis dan
serak. Gadis malang itu hanya bisa merintih dengan
suara memelas mengharapkan lelaki itu mau mele-
paskannya.
“Jangan menangis, Gayatri. Aku tidak akan menya-
kitimu. Aku sayang dan suka kepadamu. Kita akan
pergi ke dalam hutan agar tidak ada orang yang meng-
ganggu...!” tanpa mempedulikan isak tangis gadis itu,
dipondongnya tubuh Gayatri dan dibawa pergi dari
tempat itu. Dekapannya demikian kuat, membuat
usaha Gayatri untuk melepaskan diri sia-sia belaka.
Caranya bergerak dapat diketahui lelaki bermata
satu itu memiliki kepandaian yang tidak rendah. Se-
lang beberapa saat saja sosoknya sudah merupakan
bayangan samar di kejauhan. Kemudian lenyap menu-
ju arah tenggara.
***
Serombongan penduduk Desa Jatilarang berlarian
melintasi jalan setapak yang di kiri dan kanannya di-
tumbuhi ilalang setinggi lutut Kemudian mereka berge-
rak turun ke dataran yang lebih rendah. Terdengar
gemericik air yang menandakan kalau di tempat itu
terdapat sungai.
“Gayatriii...!”
Seorang anggota rombongan yang memegang golok
pada tangan kanannya melompat sambil memanggil
nama seorang gadis. Lalu berdiri tegak mengedarkan
pandangannya ke sekeliling. Namun, sosok yang dica-
rinya tidak terlihat.
“Di mana tadi kau meninggalkan putriku...?” karena
tidak juga menemukan orang yang dicarinya, lelaki
berwajah kehitaman itu mengalihkan pandangannya
kepada seorang gadis. Dan bertanya dengan nada ting-
gi.
“Tadi ia terjatuh ke sungai...,” sahut gadis itu sedi-
kit terkejut dengan pertanyaan bernada tinggi itu. Ia
meremas jemari tangannya yang agak gemetar.
“Cepat menyebar ke timur! Barangkali Gayatri ter-
bawa arus...!” perintah itu datang dari laki-laki lain
yang berusia kira-kira empat puluh tahun. Tangan ka-
nannya yang memegang pedang menuding ke arah ti-
mur.
Tanpa membuang-buang waktu, beberapa pendu-
duk bergerak menuju arah yang ditunjuk. Sedang se-
bagian lainnya melangkah ke arah yang berlawanan.
Sementara itu, ayah Gayatri melangkah turun ke
sungai. Diambilnya beberapa potong pakaian yang ter-
cecer di atas bebatuan.
“Gayatri...,” lelaki itu mengeluh pendek dengan sua-
ra serak. Ia mengenali pakaian yang dibawa putrinya.
Karena tidak juga menemukan tanda-tanda adanya
Gayatri di sungai itu, ia kembali bergerak naik. Kemu-
dian mengedarkan pandangannya ke atas tepian sun-
gai yang berupa hamparan semak belukar dan rerum-
putan. Ada gambaran putus asa dalam wajah tua yang
kehitaman itu.
“Paman...,” gadis yang datang bersama rombongan
penduduk menghampiri lelaki tua itu. “Mungkin Gaya-
tri dilarikan Mantara...,” sambungnya takut-takut.
Jelas terlihat orang tua itu terkejut ketika gadis itu
menyebutkan nama Mantra. Dipandanginya gadis itu
lekat-lekat Membuat yang ditatap semakin dalam me-
nundukkan kepala.
Sebelum lelaki tua itu mengucapkan sesuatu, ter-
dengar langkah orang banyak mendatangi dari dua
arah. Pancaran wajah mereka menunjukkan Gayatri
belum diketemukan.
“Putri dibawa lari Mantara...!” ujar lelaki tua itu seo-
lah hendak memberi laporan kepada kawan- kawan-
nya.
“Hm.... Benarkah orang gila itu muncul lagi di desa
ini...?” laki-laki bertubuh gagah yang memegang pe-
dang bergumam dengan kening berkerut. Setelah ter
diam sesaat, ia kembali melanjutkan ucapannya.
“Kalau benar Gayatri dilarikan Mantara, mari kalian
semua ikut aku....”
Tanpa banyak cakap, rombongan penduduk itu pun
bergerak menuju arah tenggara. Tampaknya lelaki ga-
gah yang membawa pedang itu tahu di mana Mantara
tinggal.
Sementara yang lainnya menuju sebuah hutan di
sebelah tenggara Desa Jatilarang, gadis berlesung pipit
yang ikut dalam rombongan diantar pulang oleh salah
seorang penduduk.
Tanpa setahu rombongan penduduk Desa Jatila-
rang, ada sesosok tubuh tegap mengikuti mereka sejak
dari desa. Rupanya ia tertarik melihat rombongan
orang desa berlarian dengan sebagian besar membawa
senjata. Sosok itu mengikutinya sampai ke sungai.
Bahkan saat rombongan penduduk bergerak menuju
tenggara, ia masih mengikuti. Melihat gerakannya yang
gesit, agaknya sosok terbungkus pakaian merah darah
itu bukan orang sembarangan!
***
“Hua ha ha...!”
Lelaki berwajah beringas dan bertubuh tinggi kekar
dengan sebelah mata tertutup itu memperdengarkan
tawanya yang parau. Langkahnya terdengar agak ber-
debum saat telapaknya yang besar bergantian menje-
jak tanah. Dan baru berhenti di sebuah gubuk seder-
hana tempat persinggahan para pemburu.
“Nah, kita sudah sampai, Adik Gayatri yang can-
tik...,” ujar lelaki bermata satu dengan suara parau
dan berat Kemudian melempar tubuh Gayatri ke atas
tumpukan jerami kering.
Gayatri mengeluh pendek. Walau tubuhnya tidak
merasa sakit, namun hatinya terluka saat lelaki ber-
mata satu itu melemparkannya ke atas tumpukan je-
rami kering.
“Kasihani aku, Kakang Mantara.... Jangan sakiti
aku...,”
Sambil menelungkupkan wajahnya di atas tumpu-
kan jerami, Gayatri terus merintih dengan air mata
berlinang membasahi wajahnya. Tapi, Mantara hanya
tertawa dan melompat-lompat seperti anak kecil. Meli-
hat matanya yang liar serta sikapnya yang kurang ajar,
jelas Mantara agak kurang waras.
Dengan langkah lebar, Mantara bergerak meng-
hampiri Gayatri. Pakaian rompinya dilepaskan, sehing-
ga memperlihatkan dadanya yang kekar berotot dan di-
tumbuhi bulu-bulu halus. Kemudian tubuhnya dija-
tuhkan di samping gadis itu, yang menjadi semakin
ketakutan. Apalagi ketika lengan yang besar dan ber-
bulu itu melingkari tubuhnya. Gadis itu meronta dan
berusaha melepaskan diri.
Perlawanan yang dilakukan Gayatri malah mem-
buat Mantara semakin bernafsu. Jari-jari tangannya
yang kasar menggerayangi tempat-tempat terlarang di
tubuh gadis desa itu. Pakaian Gayatri pun direnggut-
nya!
Brettt..!
“Auuuwww...!”
Gayatri berteriak ngeri merasakan pakaian pada
bagian dadanya terkoyak, menampakkan dua bukit
kembar yang putih mulus. Mantara pun semakin ber-
tambah ganas dan kasar. Tidak dipedulikannya teria-
kan maupun sumpah-serapah gadis malang itu. Man-
tara benar-benar telah kerasukan setan!
Apalah daya gadis lemah seperti Gayatri menghada-
pi Mantara yang bertubuh kekar dan memiliki tenaga
raksasa. Akhirnya gadis itu tak bisa lagi berteriak dan
memberontak. Tubuhnya terasa lemas oleh pelukan
Mantara. Suaranya pun sudah serak, nyaris tak ter-
dengar lagi.
Tapi pada saat Mantara hampir berhasil memua-
skan nafsu setannya, tiba-tiba terdengar bentakan ke-
ras!
“Jahanam...!”
Bersamaan dengan bentakan itu, seorang lelaki tua
datang menerjang dengan golok telanjang! Senjata ber-
kilat itu terayun deras ke punggung Mantara!
Wuttt, crakkk...!
“Aaakh...!”
Mantara memekik kesakitan! Darah meleleh dari
luka akibat bacokan itu. Tapi, ketajaman golok itu se-
pertinya tidak terlalu berarti bagi Mantara. Luka yang
diderita lelaki kekar itu tak ubahnya sayatan pisau.
Mirip sebuah goresan sepanjang setengah jengkal.
Meskipun luka bacokan di punggungnya tidak begi-
tu berarti, namun sudah cukup membuat Mantara me-
raung murka. Seketika itu juga nafsu iblisnya lenyap,
berganti dengan kemarahan yang menggelegak dan
menyesakkan dada. Mantara melompat bangkit dan
berbalik dengan wajah merah padam!
“Ayaaah...?!”
Gayatri yang nyaris menjadi korban kebiadaban
Mantara berseru lirih. Tubuhnya diseret merapat ke
dinding pondok. Kedua tangannya sibuk menaikkan
pakaiannya yang terkoyak. Gadis itu berhasil menutu-
pi bagian dadanya yang terbuka.
Sedangkan orang tua itu sendiri tidak lagi memper-
hatikan putrinya. Ia benar-benar marah melihat perbuatan lelaki kekar itu terhadap Gayatri. Dan tidak la-
gi teringat akan rasa takutnya pada orang gila itu.
“Kau sungguh biadab, Mantara! Rupanya keper-
gianmu selama ini bukannya membuat pikiranmu wa-
ras! Kegilaanmu malah semakin menjadi-jadi! Orang
sepertimu tidak pantas dibiarkan hidup di atas muka
bumi ini...!” bantah ayah Gayatri yang kemarahannya
sudah mencapai ubun-ubun. Golok di tangan kanan-
nya tampak bergerak, dan siap dihujamkan ke tubuh
lelaki kekar yang kurang waras itu.
Mantara menggeram bagai banteng luka. Matanya
yang hanya sebelah berputar liar. Saat itu ia sudah
terkurung oleh kurang lebih dua puluh orang bersenja-
ta!
“Hmh...!”
Dengan menggeram keras, Mantara bergerak ke de-
pan mengayunkan kepalan kanannya ke arah orang
tua Gayatri. Rupanya ia ingin membalas perbuatan
orang tua itu.
Namun, orang tua yang tengah dilanda kemarahan
hebat itu sedikit pun tidak merasa gentar. Disambut-
nya kepalan Mantara dengan tebasan golok. Ia ingin
membabat putus lengan lelaki kekar itu. Dan....
Takkk!
“Uhhh...?!”
Tebasan golok orang tua itu tepat mengenai perge-
langan tangan Mantara. Tapi yang terjadi kemudian
benar-benar membuat penduduk Desa Jatilarang ter-
peranjat dengan wajah pucat! Lengan Mantara tetap
utuh! Justru golok lawanlah yang terpental balik. Tu-
buh orang tua itu terjajar mundur beberapa langkah!
“Gila...! Dia..., kebal terhadap senjata tajam...?!” se-
ru salah seorang penduduk yang bergerak mundur
dengan hati gentar!
“Kurang ajar...!” rupanya setelah menjalani kehidu-
pan liar di dalam hutan, tubuhnya bertambah kuat...!”
lelaki gagah yang memegang pedang pun terperanjat
kaget melihat kejadian yang tidak pernah disangkanya
itu.
Mantara sedikit pun tidak mempedulikan seruan-
seruan kaget pengepungnya. Ia segera menerkam tu-
buh lawan dengan sepasang lengan terkembang. Dan...
“Hekh !!.!”
Sepasang lengan berjari-jari kokoh itu mencekik ba-
tang leher lawan. Orang tua itu meleletkan lidah mera-
sakan jalan nafasnya tersumbat cekalan sekeras japi-
tan baja!
“Hattt...!”
Untunglah lelaki gagah itu tidak tinggal diam. Pe-
dang di tangannya langsung disabetkan ke lengan
Mantara.
Wuttt.., takkk!
Lagi-lagi lelaki gagah itu harus menerima kenyataan
yang mengejutkan! Kendati cekalan Mantara berhasil
lepas, namun lengan lelaki kekar itu tetap utuh! Hanya
terdapat bilur-bilur merah bekas tebasan mata pedang.
Jelas sudah Mantara memiliki kekebalan tubuh yang
hebat!
Tapi meskipun kulit tubuhnya tidak mudah terluka,
terutama saat Mantara mengerahkan tenaga, tapi rasa
sakit tetap dirasakannya. Terbukti ia sempat mengu-
sap lengannya yang terkena babatan pedang. Wajah-
nya pun berkerut seperti sedang menahan sakit
Mantara menatap garang lelaki gagah yang kini ber-
diri di hadapannya. Mulutnya bergerak-gerak seperti
hendak mengatakan sesuatu. Tapi, yang terdengar
hanya geraman kemarahan.
Lelaki gagah itu rupanya tahu apa yang hendak di
ucapkan Mantara. Sebab kemudian ia berkata kepada
lelaki kekar yang tidak waras itu.
“Kau masih ingat kepadaku, Mantara,” tegur lelaki
gagah yang dijawab Mantara dengan menggeram keras!
Urat-urat wajah lelaki kekar itu tampak mengembung.
Sinar matanya memancarkan dendam yang dalam!
“Menyesal aku tidak membunuhmu pada waktu itu!
Aku sengaja membuangmu ke dalam hutan. Karena
aku masih berharap kau dapat sembuh dan kembali
hidup normal. Ternyata setelah berdiam di hutan se-
lama setahun lebih, kegilaanmu semakin menjadi-jadi!
Sifatmu yang suka mengganggu dan menyakiti orang
lain malah meningkat! Sekarang kau hendak menyakiti
dan menodai kehormatan Gayatri! Untuk perbuatan
biadab mu itu terpaksa kau harus dilenyapkan!” lanjut
lelaki gagah itu yang rupanya pernah mengalahkan
dan menghajar Mantara setahun yang silam, lalu
membuangnya ke dalam hutan.
Sebenarnya sosok Mantara tidak asing lagi bagi me-
reka. Lelaki kekar itu adalah penduduk Desa Jatila-
rang. Pada dasarnya lelaki kekar itu memang sangat
sombong dan sering berkelahi. Sehingga tidak ada satu
pun penduduk yang berani menentangnya. Terlebih se-
telah Mantara gila. Setelah gagal mengikuti ujian men-
jadi perwira kerajaan. Meskipun kegilaannya hanya
kadang-kadang, namun sangat mengganggu ketente-
raman penduduk. Sehingga, lelaki gagah yang menjadi
tangan kanan Kepala Desa Jatilarang terpaksa turun
tangan. Lelaki tinggi kekar itu akhirnya dibuang ke da-
lam hutan, dan diancam bila berani kembali ke desa.
Tapi setelah setahun lebih berdiam di dalam hutan,
kegilaan Mantara semakin menjadi-jadi. Tidak jarang
ia menghadang orang-orang yang lewat di pinggir hu-
tan. Kemudian lari bersembunyi saat lelaki gagah itu
datang bersama penduduk. Siapa sangka kalau akhir-
nya Mantara berani memasuki desa. Malah menculik
Gayatri, dan nyaris menodai gadis malang itu. Bahkan
kali ini ia tidak kelihatan gentar menghadapi orang
yang pernah menghajarnya. Selain itu, tubuh Mantara
pun bertambah kuat Sehingga, tidak mudah untuk di-
lukai senjata tajam bila sedang mengerahkan tena-
ganya. Kalau tadi punggungnya dapat terbeset golok,
itu karena Mantara lengah.
Mantara tentu saja tidak lupa dengan orang yang
telah menghajarnya habis-habisan itu. Dendam di da-
lam dadanya semakin dalam ketika kembali berhada-
pan dengan lelaki gagah yang bernama Ki Kalayan. Le-
laki gagah itulah yang telah melenyapkan sebelah ma-
tanya setahun yang lalu. Maka tidak aneh jika saat ini
Mantara siap membalas perlakuan Ki Kalayan. Itu ter-
lihat jelas pada tatapan matanya.
Kali ini Ki Kalayan kelihatan tidak berani meman-
dang remah Mantara. Ia telah merasakan kekebalan
tubuh laki-laki kekar itu. Sikapnya sangat hati-hati
melihat pancaran dendam dalam mata Mantara. Ki Ka-
layan dapat menduga Mantara siap membalas kekala-
hannya setahun silam.
“Grrmg...!”
Mantara kembali memperdengarkan geraman- nya
yang menakutkan. Wajahnya tampak beringas, dan
siap melumat Ki Kalayan. Kaki-kakinya bergeser mem-
bentuk kuda-kuda kokoh. Meski kegilaannya semakin
menjadi, Mantara tidak melupakan kepandaiannya.
Bahkan Ki Kalayan menduga Mantara sekarang telah
memiliki gerakan yang jauh lebih kokoh dan sempurna
dibanding setahun silam.
Melihat Mantara sudah mempersiapkan jurusnya,
Ki Kalayan pun bergerak ke kanan. Siap menghadapi
lelaki gila itu.
***
DUA
“Hakhhh...!”
Dengan berteriak aneh, Mantara melesat menerjang
Ki Kalayan. Sepasang kepalanya yang besar dan mam-
pu meremukkan batu sebesar kepala kerbau mencari
sasaran dengan disertai sambaran angin menderu.
Ki Kalayan terkejut melihat kecepatan dan kekua-
tan Mantara. Cepat langkahnya digeser menghindari
kepalan maut itu. Kemudian langsung membalas den-
gan sambaran pedang yang tajam. Sebentar saja kedua
orang itu telah saling terjang dengan hebatnya!
Mantara kelihatan sangat bernafsu merobohkan la-
wan yang pernah mengalahkannya itu. Serangannya
datang bertubi-tubi mengancam bagian-bagian terle-
mah tubuh lawan. Sehingga, dalam lima belas jurus
saja Ki Kalayan mulai dibuat kewalahan. Hal itu tidak
aneh. Ki Kalayan telah bertambah tua. Sedangkan
Mantara yang hidup di alam liar semakin gesit dan
kuat Ki Kalayan tahu ia akan kalah juga akhirnya.
“Hei, mengapa kalian diam saja seperti patung?
Bantu aku melumpuhkan orang gila ini...!”
Sadar dirinya berada dalam ancaman maut, Ki Ka-
layan berteriak kepada penduduk yang hanya menon-
ton. Mereka pun segera bergerak memasuki arena
membantu Ki Kalayan.
Datangnya bantuan di pihak lawan, sempat mem-
buat tubuh Mantara dihujani beberapa bacokan. Meski
tidak sampai melukai, namun Mantara menjadi gusar.
Bacokan itu menimbulkan rasa nyeri. Bukan tidak
mungkin lama-lama kulitnya akan robek juga.
“Hahhh...!”
Rasa nyeri yang sedikit-sedikit itu membuat Manta-
ra bertambah gusar. Teriakannya kembali membaha-
na. Kepalan-kepalannya kali ini diselingi tendangan
keras yang sanggup menjebolkan dada.
Dan...!
Bukk, desss...!
Dua orang pengeroyok yang terlambat menyela-
matkan diri terlempar deras terkena tendangan dan
pukulan Mantara yang bagaikan palu godam! Kedua
orang itu memutahkan darah segar. Nyawanya me-
layang seketika!
“Keparat...!”
Melihat kejadian itu, Ki Kalayan marah bukan main!
Pedangnya diputar sekuat tenaga, hingga mendatang-
kan deruan angin keras! Kemudian....
“Haaat..!”
Dibarengi teriakan keras, tubuh Ki Kalayan me-
layang ke udara! Pedangnya melancarkan serangkaian
serangan yang mendatangkan angin tajam!
Cwittt, cwittt, wuttt...!
Serangkaian serangan mematikan itu memaksa
Mantara berlompatan menyelamatkan diri. Kendati ku-
rang waras, namun pikirannya masih dapat digunakan
dengan baik. Ia merebut senjata seorang lawannya
yang dirobohkan dengan pukulan keras di kepala. Ka-
ruan saja orang itu jatuh ke tanah dan tewas tanpa
ampun!
Trang! Trang!
Dengan golok di tangan, Mantara berani menyam-
but serangan Ki Kalayan. Bahkan mampu melancar-
kan serangan balasan yang tidak kalah berbahaya. Ke
cepatan geraknya pun pantas diperhitungkan Ki Ka-
layan.
“Yeaaah...!”
“Haaat..!”
Dua orang penduduk melesat dengan babatan sen-
jatanya ketika melihat Ki Kalayan terdesak gempuran
orang gila itu. Siapa sangka perbuatannya malah men-
celakakan dirinya sendiri. Mantara yang mendengar te-
riakan itu langsung berbalik disertai kelebatan golok-
nya yang cepat bukan main!
Brettt, brettt..!
Dua orang malang itu menjerit lagi saat golok Man-
tara merobek perut dan lambung mereka. Darah segar
menyembur keluar seiring dengan robohnya tubuh me-
reka.
Melihat kedua lawannya berkelojotan, Mantara ce-
pat berlari memburu. Dengan buas, ia mengayunkan
goloknya berkali-kali. Sehingga, kedua orang itu me-
raung setinggi langit. Mereka tewas dengan tubuh di-
penuhi luka bacokan yang dalam, membuat wajah me-
reka tidak bisa dikenali lagi!
“Iblisss...! Kubunuh kauuu...!”
Melihat kekejaman Mantara, Ki Kalayan melupakan
keselamatan dirinya. Tubuhnya langsung melayang
dengan sambaran-sambaran mata pedangnya. Ki Ka-
layan telah bertindak nekat dan tidak lagi mempeduli-
kan nyawanya untuk melenyapkan lelaki gila itu.
“Heaaahhh .!”
Mantara yang memang sangat dendam kepada
orang tua itu sedikit pun tidak gentar. Ia bergerak ma-
ju menyambut serangan Ki Kalayan. Dan mampu
mendesak lelaki gagah itu. Ki Kalayan terpaksa ber-
main mundur. Gerakannya kalah cepat dengan orang
gila itu!
Wuttt...!
Golok Mantara melesat dengan kekuatan penuh.
Tampaknya kali ini Ki Kalayan sulit untuk menyela-
matkan diri. Kedudukannya sangat lemah!
“Aaahhh...?!”
Lelaki tua itu memekik ngeri melihat cahaya perak
datang mengancam tenggorokannya. Dan....
Plakkk, brettt...!
“Aaakh...?!”
Kejadian yang berlangsung sekejapan itu benar-
benar mengejutkan! Pada saat nyawa Ki Kalayan ham-
pir terbang, sesosok bayangan merah berkelebat lak-
sana sambaran kilat! Ia bukan saja dapat menggagal-
kan serangan Mantara. Bahkan sempat mengirimkan
sebuah gedoran telapak tangan ke dada lelaki kekar
itu. Akibatnya, tubuh Mantara terjengkang ke bela-
kang.
“Haaahhh...!”
Begitu tubuhnya terbanting ke tanah, Mantara
langsung melenting bangkit. Wajahnya menyeringai
sambil menekan dada kirinya yang terasa sesak. Ge-
raman kemarahannya kembali terdengar. Mata yang
tinggal sebelah itu menatap ke depan, tempat sesosok
bayangan merah meluncur turun.
Ki Kalayan menarik napas lega setelah sadar dirinya
telah diselamatkan orang. Sayang sosok berpakaian
merah darah itu berdiri membelakangi. Sehingga, Ki
Kalayan tidak dapat melihat wajah penolongnya. Tapi,
sosok penolongnya yang tegap membuat Ki Kalayan
yakin orang itu berusia tidak lebih dari dua puluh lima
tahun.
Dugaan Ki Kalayan tidak meleset jauh. Sosok ber-
pakaian merah darah itu memang masih muda dan
berwajah tampan. Alis matanya tebal dan hitam.
Sayang pemuda itu memiliki sinar mata yang dingin.
Hingga wajahnya terkesan murung dan agak suram.
Pemuda itu berdiri tegak menatap Mantara dengan se-
pasang mata esnya.
Mantara kelihatannya marah besar terhadap lelaki
muda berpakaian serba merah itu. Ia segera bergerak
maju dengan golok di tangan. Dan langsung melancar-
kan serangan bertubi-tubi. Sayang semua dapat di-
elakkan lawan tanpa mengalami kesulitan yang berarti.
Bahkan pemuda itu kembali menyarangkan sebuah
tendangan ke perut Mantara.
Desss...!
“Hukh...!”
Tendangan yang cepat dan kuat itu melemparkan
tubuh Mantara dengan perut tertekuk. Sehingga, lelaki
kekar itu tidak bisa lagi menguasai keseimbangan tu-
buhnya. Dan....
Gusrakkk!
Tanpa ampun lagi, tubuh kekar itu jatuh berdebum
di tanah berumput Mantara menyeringai kesakitan.
Kemudian menggeliat bangkit dengan perut masih me-
nekuk. Agaknya tendangan barusan telah membuat-
nya mulas!
“Setan keparat..!” karena marahnya, Mantara men-
geluarkan makian kasar. Lalu menyumpah-nyumpah
sambil menyemburkan ludah.
“Hm.... Rupanya kau belum merasa jera juga, Rak-
sasa Gila...?” desis pemuda tampan itu datar tanpa te-
kanan. Sinar matanya tetap dingin membeku.
“Kisanak. Orang gila itu berbahaya sekali! Sebaik-
nya dilenyapkan saja agar tidak lagi mengganggu orang
banyak...!” mendengar ucapan penolongnya. Ki Ka-
layan segera datang mendekat. Ucapan orang berpa-
kaian merah itu menunjukkan ia tidak berniat membunuh Mantara. Tentu saja Ki Kalayan tidak mengin-
ginkan hal itu terjadi.
“Hm....”
Pemuda tampan itu bergumam tak jelas. Bahkan
tanpa tekanan. Hingga Ki Kalayan ragu.
“Kami sudah lama mengenalnya, Kisanak. Ia tidak
pernah jera mengganggu dan menyakiti siapa saja. Ka-
lau hari ini dilepaskan, besok pasti ia akan membuat
ulah lagi...,” tukas Ki Kalayan berusaha meyakinkan
penolongnya.
Pemuda itu tetap tidak memberikan jawaban. Tapi
melihat kakinya melangkah mendekati Mantara, Ki Ka-
layan menduga penolongnya akan mengikuti anjuran-
nya. Dan ketika Mantara kembali menerjang maju, Ki
Kalayan bergerak menepi, la berdiri menonton bersama
penduduk yang masih selamat
Kali ini pertarungan berlangsung lebih seru! Manta-
ra mengeluarkan seluruh kemampuannya untuk me-
robohkan pemuda tampan berpakaian serba merah.
Serangan-serangannya datang demikian deras bagai
gelombang lautan yang tak pernah putus.
Tapi lawan dapat menghadapi dengan baik. Bahkan
beberapa kali pukulan pemuda berpakaian serba me-
rah mendarat di tubuh Mantara. Hebatnya, setiap kali
terdorong atau terjatuh, Mantara langsung bangkit dan
kembali menerjang tanpa mengenal lelah! Rupanya le-
laki kekar itu hendak bertarung mati-matian!
Kebandelan dan kekuatan daya tahan Mantara
sempat menimbulkan rasa kagum pemuda tampan itu.
Tapi, di balik kekaguman itu ia merasa penasaran.
Sampai akhirnya kesabarannya habis! Pemuda itu
mengerahkan kekuatannya untuk merobohkan Manta-
ra!
“Haaat...!”
Dengan sebuah teriakan keras yang menggetarkan
jantung, pemuda tampan berpakaian serba merah
mendorongkan kedua telapak tangannya saat Mantara
kembali menerjang ganas. Sehingga....
Bressshhh...!
“Aaarghhh...!”
Raungan Mantara meningkahi suara pukulan yang
menghantam tubuhnya. Tanpa dapat ditahan lagi, tu-
buh kekar itu terdorong ke belakang membentur po-
hon besar di belakangnya, yang langsung berderak ro-
boh!
Tubuh Mantara menggelepar sejenak bersandar pa-
da patahan batang pohon. Lalu kepalanya terkulai.
Nyawa lelaki tinggi kekar itu pergi meninggalkan ra-
ganya dengan dada remuk. Dapat dibayangkan betapa
dahsyatnya pukulan pemuda tampan berpakaian serba
merah.
“Kisanak, tunggu...!”
Ki Kalayan segera berteriak mencegah ketika meli-
hat pemuda berpakaian serba merah beranjak pergi
tanpa berkata sepatah pun. Langkah pemuda itu tam-
pak terhenti. Kendati demikian, tubuhnya tidak berba-
lik. Ia menunggu Ki Kalayan datang menghampiri.
“Mengapa begitu terburu-buru, Kisanak? Tidakkah
sebaiknya singgah sebentar di desa kami? Kami ingin
mengucapkan terima kasih atas pertolongan Kisanak
kepada penduduk Desa Jatilarang,” ujar Ki Kalayan
menghadang pemuda itu.
“Aku tidak membutuhkan ucapan terima kasih ka-
lian. Selain itu aku sudah singgah di Desa Jatilarang.
Kuminta biarkan aku lewat...,” tukas pemuda tampan
berpakaian serba merah dingin. Matanya menatap lu-
rus ke depan.
Kaget juga hati Ki Kalayan mendengar jawaban yang
sedikit pun tidak menunjukkan sikap bersahabat. Tapi
karena pemuda itu telah menyelamatkan nyawanya, Ki
Kalayan berusaha tetap tersenyum untuk menyembu-
nyikan kejengkelannya.
“Kisanak hendak pergi ke mana...?”
“Ke mana saja kakiku melangkah. Aku tidak mem-
punyai tujuan...,” sahut pemuda tampan itu tanpa te-
kanan. Keramahan Ki Kalayan tidak merubah, baik si-
kap maupun suaranya.
“Mmm.... Kalau boleh kami tahu, siapakah nama
besar Kisanak yang gagah...?” kembali Ki Kalayan ber-
tanya tanpa memperlihatkan sikap tersinggung sedikit
pun.
“Panggil saja aku Kelana,” jawab pemuda itu singkat
“Aku harus pergi sekarang....”
“Kelana...,” gumam Ki Kalayan mengerutkan kening
mendengar nama yang cukup aneh itu. Lelaki tua itu
kemudian menepi dan membiarkan Kelana lewat
“Mungkin nama itu diambil karena dirinya yang se-
lalu berpetualang? Bukankah Kelana berarti petua-
lang? Hm...,” Ki Kalayan termenung sambil bergumam
seorang diri. Kemudian berbalik dan memandang so-
sok Ki Kalayan yang semakin menjauh.
“Kalau begitu, aku akan menyebutmu Petualang
Sakti...!”
Pemuda berpakaian serba merah menghentikan
langkahnya sejenak. Lalu kembali mengayunkan lang-
kah tanpa menoleh sekejap pun.
“Petualang Sakti...,” gumamnya mengulang julukan
yang diberikan Ki Kalayan. ‘Terserah kau sajalah,
Orang Tua...,” lanjutnya tersenyum tipis. Rupanya ju-
lukan itu cukup mengena di hatinya.
Ki Kalayan masih berdiri menatap tempat sosok Pe-
tualang Sakti menghilang. Beberapa saat kemudian, ia
membalikkan tubuh dan mengajak kawan- kawannya
kembali ke desa. Hatinya merasa lega karena peng-
ganggu ketenteraman penduduk Desa Jatilarang su-
dah tiada.
***
“Berhenti! Hendak lari ke mana kau, Setan Beti-
na...!”
Belasan orang prajurit yang dipimpin seorang per-
wira berteriak marah sambil berlari mengejar seorang
gadis muda berwajah cantik. Tentu saja peristiwa itu
membuat orang-orang menyingkir dan menatap heran.
Beberapa di antaranya menatap tak senang kepada be-
lasan prajurit itu. Karena yang mereka kejar seorang
perempuan muda berwajah cantik. Orang-orang yang
menyaksikan kejar-mengejar itu lebih berpihak kepada
perempuan cantik itu.
Gadis cantik itu terus mempercepat larinya. Teria-
kan-teriakan di belakangnya yang bagai tidak pernah
berhenti sama sekali tidak dipedulikan. Gadis itu terus
berlari menuju gerbang kadipaten.
“Tangkap setan betina itu...!”
Perwira berkumis lebat itu kembali berteriak saat
buruannya hendak keluar kadipaten. Teriakan itu di-
tujukan kepada para penjaga pintu gerbang.
Enam orang penjaga pintu gerbang timur pun sege-
ra bergerak. Tombaknya ditodongkan ke arah sosok
gadis muda yang dua tombak lagi melewati gerbang.
“Kurang ajar...!”
Terdengar gadis muda itu menyumpah. Enam orang
prajurit berjajar menutup jalan keluarnya. Sadar kalau
ia tidak mungkin dapat lolos tanpa jalan kekerasan,
gadis itu memperlambat larinya. Senyum sinis meng-
hias wajahnya yang cantik. Tampaknya ia mendapat
jalan keluar yang baik untuk menghadapi para penjaga
pintu gerbang.
“Berhenti...!” salah seorang dari keenam penjaga
membentak. Tombaknya tetap disiapkan untuk berja-
ga-jaga jika gadis muda itu melakukan perlawanan.
Apa yang diperkirakan prajurit-prajurit itu ternyata
meleset! Gadis itu tidak menunjukkan tanda-tanda
akan melawan. Malah larinya berhenti sama sekali.
Wajah cantiknya terlihat muram. Dan langkahnya te-
rayun lesu.
Tiga di antara keenam prajurit penjaga bergerak
mendekat. Tombak mereka siap memanggang tubuh
gadis itu bila ia melawan.
“Mengapa kau melarikan diri seperti pencuri, Nisa-
nak? Kesalahan apa yang telah kau perbuat sampai
diburu kawan-kawan kami..?” tegur salah seorang pra-
jurit mewakili dua kawannya. Mereka berdiri berhada-
pan dalam jarak kurang dari satu tombak.
“Mereka hendak berbuat kurang ajar kepadaku!
Tentu saja aku tidak terima dan terpaksa melawan.
Habis mereka terlalu memaksa...,” kata gadis muda itu
dengan manja sambil menggoyang-goyangkan tubuh-
nya ke kiri dan kanan. Kepalanya ditundukkan. Dan
jari-jari tangannya mempermainkan ujung baju. Kela-
kuan itu membuat tiga orang prajurit yang mengha-
dangnya menjadi heran, dan saling bertukar pandang
satu sama lain.
“Kami bisa memaklumi sikap mereka, Nisanak. Kau
terlalu cantik dan menggairahkan...,” ujar prajurit itu.
Keisengannya timbul ketika melihat sikap manja gadis
muda itu. Sambil berkata begitu, ia melangkah maju
dan mengulurkan tangannya hendak menyentuh dagu
gadis itu.
“Aaa....”
Gadis cantik merengek manja dan menggeser tu-
buhnya ke samping. Sehingga prajurit itu penasaran.
Melihat sikap manja itu, ketiganya tertawa menye-
ringai. Kewaspadaan mereka hilang. Begitu pula tiga
penjaga yang berdiri di depan pintu gerbang. Mereka
tertawa melihat perbuatan kawan-kawannya.
“Hei, hati-hati...!”
Perwira yang hampir tiba di tempat itu berseru
memperingatkan kawan-kawannya. Sayang peringatan
itu terlambat! Karena tiba-tiba....
“Haiiit..!”
Laksana seekor burung camar, gadis cantik itu me-
layang dengan tamparan yang cepat dan mendatang-
kan angin keras!
Plakkk, plakkk, plakkk!
Karena tidak menduga gadis manja itu bisa berubah
ganas, ketiga prajurit itu tidak sempat menyelamatkan
diri. Tubuh mereka terlontar ke kiri dan kanan. Jatuh
mencium tanah dengan wajah bengkak.
Perwira yang berada dua tombak di belakang gadis
muda itu terkejut! Apalagi saat gadis berpakaian serba
merah itu melayang ke arah tiga penjaga lainnya, yang
juga tidak bersiaga. Sehingga....
“Hiyaaat..!”
Gadis cantik itu membagi-bagi tamparannya, mem-
buat ketiga prajurit itu terpelanting roboh! Hebat dan
cepat bukan main gerakan gadis cantik yang lincah
dan banyak akal itu. Padahal kalau keenam penjaga
itu tidak terpengaruh sikap gadis itu belum tentu me-
reka dapat dirobohkan semudah itu. Paling tidak gadis
itu memerlukan lima enam jurus untuk merobohkan
lawan-lawannya. Dan itu berarti pengejarnya sudah
keburu tiba. Kemungkinan itu yang hendak dihindar-
kan gadis cantik berpakaian serba merah.
“Sampai jumpa lagi...!’” gadis cantik itu masih sem-
pat melambaikan tangan sebelum lenyap di kejauhan.
“Bodoh...! Mengapa kalian sampai dapat diakali ga-
dis setan itu!” perwira berkumis tebal yang tiba di pin-
tu gerbang memaki dengan geram. Bukan cuma mu-
lutnya saja yang berbicara. Tangannya pun melayang
berkali-kali.
Plakkk, plakkk, plakkk!
Keenam prajurit itu masing-masing mendapat ba-
gian di wajahnya. Mereka mengaduh kesakitan. Bekas
tamparan gadis berpakaian serba merah tadi belum la-
gi hilang. Kini ditambah dengan tamparan perwira me-
reka. Karuan saja prajurit itu menyumpah-nyumpah
gadis kurang ajar itu. Tapi tentu saja sumpah-serapah
itu hanya mereka sendiri yang dengar. Karena dite-
riakkan di dalam hati.
“Kalau lain kali kalian masih juga melakukan kesa-
lahan seperti tadi, aku akan memecat kalian semua!
Mengerti...!”
“Mengerti....”
Keenam prajurit itu menjawab serempak sambil
menyeringai menahan sakit di wajahnya.
“Ketahuilah. Perempuan cantik tadi telah membu-
nuh pemilik kedai di persimpangan jalan, tempat ka-
lian biasa singgah! Jadi bila lain kali kalian melihat-
nya, langsung tangkap saja tidak perlu banyak tanya
lagi...!” lanjut perwira itu menumpahkan kejengkelan
hatinya. Setelah berkata begitu, perwira berkumis le-
bat itu memerintahkan mereka kembali bertugas. Ia
sendiri meninggalkan tempat itu bersama belasan pra-
jurit yang datang bersamanya tadi.
Tinggallah keenam prajurit pintu gerbang menyum
pahi nasibnya yang sial. Tak ada orang lain, yang bisa
disalahkan kecuali diri mereka, yang kena diakali oleh
seorang gadis muda. Itu merupakan pelajaran agar lain
kali tak mudah tergoda wajah cantik atau sikap manja
yang memikat
***
TIGA
Siang yang teriak. Matahari memancar garang men-
jilati permukaan bumi. Hembusan angin yang sesekali
keras membawa hawa pengap, membuat orang berpe-
luh. Jalan utama Desa Alur tampak sepi. Hanya satu
dua orang saja yang terlihat melintas di jalan itu. Ke-
banyakan penduduk lebih suka tinggal di dalam ru-
mah atau beristirahat di kedai minum.
“Hufff.... Panas sekali siang ini....”
Seorang dara jelita berpakaian serba hijau menge-
luh pendek sambil menyusut lelehan peluh yang mem-
basahi kening dan lehernya. Wajahnya yang mempeso-
na tampak kemerahan. Dalam keadaan seperti itu, ke-
cantikannya justru terlihat semakin menonjol.
Dara jelita itu rupanya tidak sendiri. Di sebelahnya
melangkah sosok lain. Seorang pemuda tampan bertu-
buh sedang, namun tegap dan berisi. Pakaiannya yang
berupa jubah terbuat dari kain sederhana dan berwar-
na putih. Langkahnya tenang dengan sorot mata tajam
menatap lurus ke depan. Ia hanya bergumam pelan
menimpali keluhan dara jelita di sebelahnya.
Saat itu keduanya tengah bergerak memasuki mu-
lut Desa Alur. Jalan desa yang sepi tidak membuat
mereka heran. Udara siang itu memang sangat panas.
“Kita singgah di kedai minum itu...,” ujar pemuda
tampan berjubah putih menunjuk sebuah kedai di se-
belah kiri jalan.
Gadis jelita itu mengangguk, dan mengikuti langkah
kawannya. Mereka berhenti di ambang pintu kedai,
memperhatikan ruangan kedai yang tampak dipadati
pengunjung.
“Wah, kelihatannya tidak ada tempat lagi untuk ki-
ta, Kakang...,” gumam dara jelita berpakaian serba hi-
jau kecewa. Semua kursi telah terisi. Tidak ada lagi
tempat yang kosong.
Kelihatannya begitu...,” sahut pemuda tampan ber-
jubah putih setelah memperhatikan ruangan kedai.
“Mari kita cari kedai lain...,” lanjutnya. Lalu berbalik
dan meninggalkan kedai.
Tapi, baru saja keduanya melangkah setindak seo-
rang pelayan kedai berlari-lari kecil menghampiri pa-
sangan muda itu. Terdengar ia berteriak mencegah.
“Kisanak, Tungguuu...!”
Tahu kalau teriakan itu ditujukan kepada mereka,
keduanya segera berbalik. Kemudian menunggu pe-
layan itu tiba.
‘Tidak perlu tergesa-gesa. Bukankah Kisanak ber-
dua hendak singgah di sini...?” tegur pelayan itu terse-
nyum ramah. Lalu bergerak menyisi memberikan jalan
kepada kedua orang tamunya.
“Hm.... Kulihat semua kursi sudah terisi, Paman?
Di mana kami akan duduk...?” ujar pemuda berjubah
putih dengan kening agak berkerut Kendati demikian,
nada bicaranya tenang dan tidak tinggi.
“Ha ha ha.... Jangan khawatir! Kami menyediakan
tempat lain yang bisa kalian pergunakan. Mari ikut
aku...,” tukas pelayan kedai kemudian melangkah di-
ikuti kedua tamunya.
Beberapa pasang mata yang semula sibuk dengan
hidangannya, menyempatkan diri memperhatikan pa-
sangan muda itu. Wajah dan penampilan keduanya
terlalu menarik. Terutama gadis berpakaian serba hi-
jau. Parasnya yang jelita seperti bidadari mengundang
mata laki-laki untuk menikmati dan mengaguminya.
Meskipun secara sembunyi- sembunyi.
Pasangan muda itu tahu mereka diperhatikan.
Tapi keduanya tetap melangkah tenang, tidak mem-
pedulikan pandangan yang tertuju ke arah mereka.
Dan terus mengikuti langkah pelayan kedai menuju
ruangan lain. Rupanya kedai minum itu menyediakan
dua ruangan yang dibatasi sebuah pintu tertutup kain
bercorak kembang-kembang dengan warna dasar me-
rah. Ke ruangan itulah si pelayan membawa kedua ta-
munya.
Tapi baru saja pasangan muda itu duduk, tiba-tiba
dari luar terdengar ribut-ribut Suara bentakan-
bentakan kasar itu membuat keduanya saling berpan-
dangan. Lalu menoleh ke arah pelayan yang juga keli-
hatan terkejut
“Sepertinya di luar ada keributan, Paman...?” ujar
pemuda tampan berjubah putih menatap pelayan ke-
dai yang kebingungan. Ia tidak tahu apa yang menye-
babkan keributan itu.
“Kisanak berdua tidak perlu khawatir. Tetaplah di
sini. Biar aku yang melihatnya sekalian mengambilkan
pesanan kalian...,” sahut pelayan kedai agak terburu-
buru. Kemudian bergegas pergi sebelum pasangan
muda itu kembali bertanya.
Pasangan muda yang tidak lain Kenanga yang lebih
dikenal sebagai Dewi Kipas Emas dan Panji yang juga
lebih dikenal berjuluk Pendekar Naga Putih bertukar
pandang sejenak. Seperti telah mendapat kata sepakat,
mereka bangkit hendak melihat penyebab keributan
dan bentakan kasar tadi.
Apa yang kemudian terlihat di ruangan depan kedai
membuat kening Kenanga dan Panji berkerut Mereka
melihat seorang lelaki berkepala botak dan bertubuh
tinggi besar membentak-bentak pemilik kedai. Dua
buah meja yang terbalik menumpahkan hidangan di
atasnya ke lantai. Sudah pasti itu perbuatan lelaki
berkepala botak. Bahkan salah seorang pelayan kedai
tergeletak di sudut dengan wajah biru dan berdarah!
“Hei, Peot! Apa kau ingin aku mengusir semua
orang yang berada di dalam ruangan ini! Ayo, jawab!”
bentakan lelaki botak bertubuh tinggi besar itu kemba-
li terdengar. Hingga tubuh pemilik kedai terlonjak sak-
ing kagetnya.
“Jangan, Tuan.... Jangan....”
Pemilik kedai berkata terbata-bata dengan tubuh
menggigil dan wajah seputih kertas. Kemudian tubuh-
nya dijatuhkan dan berlutut memeluk sebelah kaki le-
laki tinggi besar itu.
“Kalau begitu, cepat berikan apa yang kuingin-
kan...!” bentak lelaki berkepala botak tanpa memperli-
hatkan rasa kasihan sedikit pun.
Sikap lelaki berkepala botak yang semakin beringas
membuat beberapa pengunjung ketakutan dan siap
meninggalkan tempat itu. Sedang yang lainnya hanya
memandang dengan gelisah. Rupanya mereka telah
mengenal lelaki botak itu, dan tahu apa yang diingin-
kannya. Terbukti mereka tidak bergerak dari kursinya.
Menunggu kelanjutan sikap lelaki tinggi besar itu.
“Berhenti! Mau ke mana kalian...!”
Bentakan menggelegar yang sanggup membuat
orang berpenyakit jantung tewas seketika itu juga
menghentikan langkah pengunjung yang hendak meninggalkan tempat itu. Lalu menoleh takut-takut ke
arah lelaki tinggi besar berkepala botak.
“Kami sudah selesai, Tuan.... Dan..., kami hendak
melanjutkan perjalanan...,” salah seorang dari mereka
menjawab takut-takut
“Hm....”
Lelaki berkepala botak menggumam dengan nada
mengejek dan tersenyum sinis. Langkahnya terayun
menghampiri orang-orang itu, yang semakin ketaku-
tan.
“Jadi kalian bukan penduduk desa ini...?” tanya le-
laki botak sambil merayapi wajah mereka satu persatu,
membuat yang dipandang menjadi pucat dan gemetar.
“Be..., tul..., Tuan...,” kembali orang yang barusan
berkata menyahuti.
“Apakah kalian sudah membayar pesanan ka-
lian...?”
“Su..., dah. Kami sudah membayarnya, Tuan...,” le-
laki bertubuh kurus itu kembali menjawab gugup.
“Kalau begitu, kuminta kalian tinggalkan uang se-
besar pembayaranmu untukku...,” ujar lelaki botak
menadahkan tangannya dengan telapak membuka le-
bar.
‘Tapi..., kami sudah membayarnya tadi...?!” sambil
menjawab, lelaki kurus melemparkan pandangan ke
arah pemilik kedai. Seperti ingin meminta dukungan
pemilik kedai itu. Tapi, yang ditatapnya malah mema-
lingkan wajah tanpa berani menjawab.
“Hm.... Cepat lakukan apa yang kuminta! Siapa saja
yang berani membantah, akan tahu akibatnya...!” an-
cam lelaki botak dengan sepasang mata berkilat tajam.
Jari-jari tangan kirinya mengusap gagang pedang yang
tersembul di pinggang. Seolah ia siap membuktikan
ucapannya.
Melihat gelagat tidak baik, beberapa di antaranya
langsung menyiapkan permintaan lelaki botak. Jelas
mereka lebih sayang nyawa daripada uang yang tidak
seberapa. Karena uang dapat mereka cari. Sedangkan
nyawa, tak seorang pun yang menjualnya.
Lelaki botak bertubuh tinggi besar itu memperden-
garkan tawanya dengan sombong. Tangan kanannya
tetap menadah. Sedangkan kepalanya mendongak me-
natap langit-langit. Sebelah kakinya bergerak-gerak,-
membuat tubuhnya bergoyang- goyang.
Tapi.... Sebelum lelaki botak menerima uang itu, ti-
ba-tiba....
‘Tunggu...!”
Terdengar bentakan halus, namun berpengaruh he-
bat! Karena meskipun terdengar pelan, tapi membuat
jantung orang-orang di ruangan kedai itu berdetak le-
bih cepat. Langsung saja seluruh mata di ruangan ke-
dai itu menoleh ke arah asal suara. Dan....
Hampir setengah pengunjung kedai menggelengkan
kepala sambil membuang napas berat Yang mengelua-
rkan bentakan tadi hanya seorang pemuda tampan.
Meskipun tubuh pemuda itu kelihatan padat berisi,
tapi bila dibandingkan dengan lelaki botak masih jauh
berbeda. Pemuda itu kelihatan kurus dan lemah. Se-
pertinya akan jatuh hanya dengan sekali pukul saja.
Lain yang dipikirkan sebagian pengunjung kedai,
lain pula pikiran lelaki botak itu. Yang menjadi perha-
tiannya bukanlah pemuda tampan berjubah putih
yang mencegah tindakannya. Tapi, sosok di samping
pemuda tampan itu yang membuat matanya melotot
dan mulutnya menyeringai seperti singa lapar. Lelaki
botak sampai menelan air liur berkali- kali!
“Haihhh.... Tidak kusangka hari ini aku menerima
karunia yang sangat besar! Siapa sangka kedai jelek
seperti ini menjadi tempat persinggahan seorang bida-
dari...! Benar-benar merupakan hari baikku
Setelah berkata demikian, lelaki botak mengayun-
kan langkahnya. Rupanya sosok Kenanga yang mem-
buatnya demikian gembira.
Kenanga sendiri tidak berbuat apa-apa. Pendekar
Naga Putih telah mengingatkannya agar jangan men-
gambil tindakan, dan menyerahkan persoalan itu ke-
padanya. Maka meskipun hatinya panas dan dadanya
sesak oleh kemarahannya, Kenanga diam saja.
Lelaki botak mengayunkan langkahnya lebar-lebar
tanpa mengalihkan pandangannya dari sosok Kenan-
ga. Tapi pada saat hendak melewati Pendekar Naga Pu-
tih, pemuda itu langsung mengangkat tangan kanan-
nya menghadang jalan. Tentu saja perbuatan itu
membuat kening lelaki botak berkerut tak senang!
“Menyingkirlah, Bocah! Kalau saja tidak mengingat
peruntunganku hari ini, lenganmu akan kupatahkan.
Tapi, untuk hari ini aku akan memaafkan tindakanmu.
Nah, menyingkirlah sebelum kau menyesali perbua-
tanmu!” ujar lelaki botak tanpa mengalihkan pandan-
gan matanya dari sosok Kenanga yang sangat mempe-
sona. Bahkan sekejap pun matanya tidak berkedip!
Seolah khawatir Kenanga akan lenyap bila ia menge-
japkan matanya, meski hanya sekali.
“Kisanak,” sahut Panji tenang dengan tatapan lurus
ke depan, tanpa melihat wajah lelaki botak. “Kalau kau
memang ingin lewat, singkirkanlah sendiri olehmu.
Menurutku kau pasti tak akan mampu melakukan-
nya....”
“Hua ha ha...!”
Ucapan Pendekar Naga Putih membuat lelaki botak
tergelak! Baginya apa yang dikatakan pemuda itu tera-
sa sangat lucu. Mana mungkin ia tidak sanggup menyingkirkan lengan yang menghadang jalannya itu?
Jangankan lengan, tubuh pemuda itu pun sanggup ia
lemparkan keluar kedai. Apalagi cuma sebatang lengan
yang menurutnya sekali cekal dapat dipatahkannya
itu.
“Kau jangan main-main, Bocah! Sekali lagi kuperin-
gatkan! Menyingkirlah! Atau aku terpaksa mematah-
kan lenganmu...!”
“Hm.... Tidak perlu mengumbar kesombongan. Se-
baiknya perlihatkan saja kekuatanmu. Kalau kau me-
mang sanggup menyingkirkan lenganku, lakukanlah!
Kalau tidak, segera tinggalkan tempat ini, dan jangan
perlihatkan lagi wajahmu di depanku...!” tukas Panji
tanpa memandang wajah lelaki botak di hadapannya.
“Kurang ajar! Kau mencari penyakit, Bocah...!” me-
rah padam wajah lelaki botak mendengar tantangan
Panji. Terdengar geramannya yang menggetarkan jan-
tung. Membuat semua orang yang berada di dalam ke-
dai menjadi tegang!
Perbuatan Pendekar Naga Putih yang bagi sebagian
pengunjung dianggap sangat berani telah mendatang-
kan berbagai pendapat Beberapa di antara langsung
berpihak kepada pemuda tampan berjubah putih itu,
dan berharap agar lelaki botak dapat ditaklukkan. Se-
dang sebagian mencemooh, dan menyayangkan tinda-
kan pemuda itu yang mereka anggap hanya mencari
penyakit Meskipun demikian, semua pengunjung ingin
segera menyaksikan kelanjutan peristiwa itu.
“Hmh...!”
Lelaki botak mendengus kasar. Lengan kirinya teru-
lur dan mencekal pergelangan tangan Panji. Tapi....
“Ehhhh...?!”
Sepasang mata lelaki botak tampak terbelalak! Len-
gan itu tidak dapat digesernya. Lengan yang memalangi jalannya itu seperti sebuah palang baja yang sangat
berat. Hingga lelaki botak menjadi penasaran!
Kali ini lelaki bertubuh tinggi besar itu menambah-
kan kekuatannya. Kemudian menyentakkan lengan
pemuda berjubah putih ke atas dengan dibarengi ben-
takan keras dan menulikan telinga!
“Hahhh...!”
Apa yang terjadi kemudian benar-benar membuat
para pengunjung terbelalak! Mereka yang semula
membayangkan lengan pemuda itu akan terlepas dari
sambungan bahunya ternyata salah! Lengan itu tetap
terbentang. Tidak bergeming sedikit pun! Padahal lela-
ki botak sudah menambah kekuatannya. Kenyataan
itu membuat pengunjung kedai ternganga heran!
“Keparat...!”
Lelaki botak gusar bukan main! Sayang kenyataan
itu tak membuatnya sadar kalau yang dihadapinya
bukan pemuda sembarangan! Rasa malu mendengar
beberapa pengunjung kedai tertawa, membuat wajah-
nya semakin merah padam! Sehingga kali ini ia tidak
menggunakan sebelah tangannya.
“Hahhh...!”
Sambil membentak keras, lelaki botak menyentak-
kan tangan kirinya yang mencekal pergelangan Pende-
kar Naga Putih. Bersamaan dengan itu, tangan kanan-
nya bergerak memukul dari atas ke bawah! Karuan sa-
ja para pengunjung kedai berseru kaget!
“Habislah pemuda itu sekarang...?!” gumam seorang
pengunjung yang tegang bukan main! Ia tidak tega
membayangkan lengan pemuda tampan itu patah. Apa
yang dilakukan lelaki botak membuatnya menahan
napas! Dan....
Wuttt, desss...!
“Aaa...!”
Semua mata memandang tidak percaya ketika tu-
buh lelaki berkepala botak terpental diiringi jerit kesa-
kitan. Bahkan beberapa di antaranya sampai menger-
japkan mata berulang-ulang. Kenyataan itu benar-
benar di luar dugaan!
“Luar biasa...!”
“Mustahil...!”
Terdengar seruan-seruan pengunjung yang me-
nyaksikan kejadian aneh itu. Betapa tidak? Apa yang
mereka khawatirkan justru terjadi sebaliknya! Pemuda
tampan berjubah putih tetap berdiri tegak dengan len-
gan kanan terkembang ke samping. Sedang tubuh le-
laki botak yang memukul lengannya terpental seperti
dilempar tangan-tangan raksasa yang tidak tampak!
Padahal mereka melihat dengan jelas pemuda berjubah
putih itu sama sekali tidak melakukan apa-apa saat
lengannya disentakkan dan dipukul! Jelas itu sangat
mustahil!
***
“Ilmu setan...!”
Lelaki berkepala botak memaki sambil bergerak
bangkit dengan pinggang serasa hampir patah! Tu-
buhnya jatuh di atas meja, yang langsung patah ber-
keping-keping! Wajahnya kelihatan pucat! Bahkan len-
gan kanannya yang tadi digunakan untuk memukul,
membengkak dan berwarna merah. Hingga mulut lela-
ki botak itu tidak henti-hentinya berdesis menahan
sakit
“Apa.... Apa yang kau lakukan padaku, Bocah Kepa-
rat..!” geram lelaki botak yang rupanya tidak tahu ba-
gaimana ia dapat terlempar sampai menimpa meja di
belakangnya.
Pendekar Naga Putih tersenyum tipis menanggapi
pertanyaan bodoh lelaki botak. Sebab Panji yakin
orang itu tahu ia tidak melakukan apa-apa. Orang-
orang yang berada di dalam kedai pun melihatnya
dengan jelas. Meskipun begitu, Panji tetap menjawab-
nya dengan tenang.
“Hm.... Kau lihat sendiri bukan? Aku sama sekali
tidak melakukan gerakan apa-apa. Justru kau sendiri-
lah yang telah memukul dan menyentakkan lenganku
ke atas. Nah, mengapa masih bertanya...?”
“Bohong...!” bentak lelaki botak yang kini sudah
berdiri dan menatap Panji lekat-lekat.
Rupanya ia belum menyadari kebodohan dirinya.
Padahal seharusnya lelaki botak itu tahu kalau yang
dihadapinya bukanlah pemuda sembarangan, dan
memiliki kepandaian yang lebih tinggi darinya. Tapi,
semua tertutup oleh kesombongan dan kemarahannya.
Apalagi peristiwa itu terjadi di hadapan orang banyak.
Ia tidak bisa menerima kenyataan itu.
“Hm.... Terserah bagaimana pendapatmu, Kisa-
nak...,” tukas Panji seraya menatap tajam lelaki botak
itu. Karena orang itu belum juga menyadari kebodo-
hannya.
“Keparat! Hendak kulihat sampai di mana keheba-
tan ilmu setanmu itu...!”
Rupanya lelaki botak itu masih penasaran! Setelah
berkata demikian, tangannya, bergerak. Dan....
Srattt...!
Seberkas sinar putih berkilauan ketika pedang di
pinggang lelaki botak itu tercabut keluar dari sarung-
nya. Perbuatan itu membuat pengunjung kedai keta-
kutan! Beberapa di antara mereka berhamburan ke-
luar meninggalkan tempat itu. Mereka tidak ingin menjadi sasaran kemarahan lelaki botak yang telah kalap
itu.
“Hm....”
Pendekar Naga Putih hanya bergumam pelan. Sedi-
kit pun ia tidak khawatir, meski lawannya kali ini
menggunakan senjata. Panji tahu lelaki botak itu
hanya orang biasa yang memiliki tenaga besar. Untuk
menghadapi orang seperti itu Pendekar Naga Putih da-
pat mengatasinya tanpa harus mencelakai orang lain.
***
EMPAT
“Kakang, lelaki itu sudah melewati batas! Kuminta
Kakang menyingkir. Biar aku memberi pelajaran kepa-
danya...!” Kenanga marah melihat lelaki botak itu
mencabut pedang. Gadis itu melangkah maju hendak
melewati Panji.
‘Tahan amarahmu, Kenanga...,” karena tidak ingin
persoalan semakin berlarut, Panji menghadang jalan
Kenanga dengan memalangkan lengannya. Sehingga
langkah dara jelita itu tertunda.
Sadar Panji tidak dapat menyerahkan persoalan itu
kepadanya, Kenanga bergerak mundur. Tapi sepasang
matanya tetap menyorot tajam ke arah lelaki botak di
depannya.
Sementara lelaki botak bertubuh tinggi besar itu te-
lah menggeser langkahnya ke kanan. Sepasang ma-
tanya berkilat memancarkan hawa membunuh. Pedang
di tangannya bergerak menyilang menimbulkan kilatan
sinar putih yang mengaung tajam. Meja di kiri dan ka-
nannya dihempaskan agar ia dapat bergerak lebih leluasa. Sesaat kemudian....
“Haaattt...!”
Disertai geraman keras, lelaki botak itu melompat
ke depan. Pedang di tangannya menyambar cepat den-
gan kedudukan mendatar!
Bwettt...!
Untuk menghindari serangan itu, Pendekar Naga
Putih hanya memiringkan tubuh dengan menarik kaki
kanannya ke belakang. Bersamaan dengan itu, tangan
kirinya menampar pergelangan tangan lawan. Meski-
pun sebenarnya gerakan itu hanya perlahan, tapi lain
bagi pandangan lawan. Sehingga....
Plakkk!
“Uhhh...?!”
Bukan main kagetnya hati lelaki botak ketika mata
pedangnya membalik dan mengancam tenggorokan-
nya. Cepat ia melompat mundur. Wajahnya terlihat
pucat dengan butir-butir keringat dingin mengalir di
keningnya. Hampir saja nyawanya terbang. Kejadian
itu membuat kemarahannya semakin menjadi-jadi!
“Keparat! Kubunuh kauuu...!”
Sambil memekik marah, lelaki botak kembali me-
nerjang membabi buta! Serangan pedangnya tidak lagi
terarah. Hal itu justru membuat Panji semakin mudah
menundukkannya.
Ancaman mata pedang yang datang bertubi-tubi itu
hanya dielakkan Panji dengan geseran tubuhnya ke ki-
ri dan kanan. Kemudian mengirimkan sebuah tampa-
ran keras ke bahu.
Pakkk...!
“Aaakh...?!”
Tamparan Pendekar Naga Putih berakibat cukup
parah! Tubuh tinggi besar itu melintir dan jatuh me-
nimpa meja di belakangnya. Meskipun masih mampu
bangkit, namun wajahnya menggambarkan rasa sakit
yang dideritanya. Tamparan Pendekar Naga Putih
membuat bahunya terasa ngilu. Bahkan lengan ka-
nannya sukar digerakkan.
“Kuharap peringatan itu sudah lebih dari cukup,
Kisanak. Sebaiknya tinggalkanlah pekerjaan burukmu
selama ini yang hanya membuat susah orang lain. Ku-
kira masih banyak pekerjaan baik yang dapat kau la-
kukan...,” ujar Panji menentang pandangan mata la-
wannya yang sibuk memijat-mijat bahu.
“Hmh...! Keparat sombong! Kau kira aku sudah da-
pat kau taklukkan! Kau salah besar, Bocah! Aku baru
menyerah kalau nyawaku sudah meninggalkan ba-
dan...!”
Benar-benar keras kepala lelaki botak itu. Peringa-
tan Pendekar Naga Putih tidak membuatnya jera. Bah-
kan ia masih belum mau menyerah. Terbukti dari si-
kapnya yang telah siap melanjutkan perkelahian.
“Kerbau tolol...!”
Kenanga mengumpat jengkel melihat sikap keras
kepala lelaki itu. Hatinya benar-benar kesal. Lelaki bo-
tak itu masih juga tak sadar kalau lawannya jauh lebih
kuat Tapi dara jelita itu tak bisa berbuat apa-apa.
Lain halnya dengan Panji. Pemuda tampan itu
hanya tersenyum. Sikapnya sedikit pun tidak berubah.
Tenang dan tanpa kemarahan. Panji ingin melihat
sampai di mana kebandelan lelaki botak itu.
Para pengunjung kedai yang menyaksikan perkela-
hian itu menggelengkan kepala. Mereka menyesalkan
tindakan lelaki botak yang belum juga mau mengakui
kekalahannya. Padahal jelas kelihatan pemuda tampan
berjubah putih itu bersikap mengalah. Kebandelan le-
laki botak membuat mereka menunggu apa yang akan
dilakukan pemuda tampan itu selanjutnya.
“Heiii...?!”
Beberapa pengunjung terpekik kaget! Pendekar Na-
ga Putih sama sekali tidak mengelakkan serangan la-
wan! Tubuhnya berkali-kali menjadi sasaran pukulan.
Dan....
“Aaah...?!”
Kembali terdengar teriakan-teriakan pengunjung.
Kali ini kekagetan mereka bercampur keheranan besar!
Mata mereka terbelalak menyaksikan kejadian yang
sukar dapat diterima akal! Tubuh pemuda berjubah
putih yang menurut mereka akan babak belur oleh
pukulan dan tendangan lelaki botak ternyata yang ter-
jadi justru kebalikannya!
“Kau.... Menggunakan ilmu setan...!” lagi-lagi lelaki
botak itu mengumpat lawannya. Tangan dan kakinya
yang digunakan memukul dan menendang bengkak-
bengkak dan sakit bukan main! Lelaki botak itu tak
henti-hentinya berdesis dengan wajah berkerut-kerut
menahan sakit.
“Hm.... Kau sudah puas memukuli tubuhku, bu-
kan? Nah, sekarang aku yang akan memukulmu se-
puas hati....”
“Hahhh...?!”
Lelaki botak terperangah. Langkahnya tersurut
mundur. Kemudian menoleh ke kiri dan kanan hendak
mencari selamat. Namun, sepasang matanya memben-
tur wajah-wajah mencemooh, yang membuat harga di-
rinya bangkit seketika.
“Apa.... Apa yang akan kau lakukan...?” pertanyaan
bodoh itu meluncur begitu saja.
“Sama seperti yang baru saja kau perbuat kepada-
ku...,” jawab Panji tanpa senyum sedikit pun. Kakinya
melangkah perlahan. Dan sinar matanya mengancam,
siap membuktikan ucapannya.
Bayangan wajah-wajah mencemooh pengunjung ke-
dai membuat lelaki botak mencoba bersikap tenang.
Dadanya dibusungkan dengan bibir menyunggingkan
senyum mengejek. Lelaki botak itu tidak mau meneri-
ma pukulan lawan begitu saja. Ia menyiapkan jurus
untuk menghadapi serangan Panji.
Pendekar Naga Putih sendiri tampak tidak peduli
dengan persiapan lawan. Ia terus melangkah dengan
tenang. Kedua tangannya dikepalkan. Hingga wajah le-
laki botak itu kembali dijalari ketegangan. Dan....
“Awaaas...!”
Sambil membentak mengingatkan, Panji datang
dengan pukulan pertamanya. Lelaki botak mencoba
menggelak. Tapi....
Bukkk!
“Aaakh...?!”
Meskipun serangan itu hanya menggunakan kece-
patan, namun lelaki botak berteriak kesakitan. Tu-
buhnya terjajar empat langkah ke belakang. Saat itu
pukulan kedua Pendekar Naga Putih kembali melun-
cur datang!
Lagi-lagi lelaki botak berteriak keras kesakitan! Pu-
kulan tanpa pengerahan tenaga dalam itu terasa se-
perti sengatan lebah. Serangan itu sangat sukar di-
elakkan maupun ditangkis. Sampai akhirnya lelaki bo-
tak menjatuhkan diri berlutut di hadapan Pendekar
Naga Putih.
“Ampun.... Aku menyerah.... Aku menyerah...!” lela-
ki botak merintih menghiba. Berkali-kali keningnya di-
benturkan ke lantai dengan kedua tangan dirangkap-
nya di atas kepala.
“Hm....”
Panji hanya bergumam perlahan. Ia tidak melan-
jutkan serangannya. Langkahnya berhenti tepat di depan kepala lelaki botak.
“Bangkitlah!”
Lelaki botak mengangkat kepalanya mendengar pe-
rintah Pendekar Naga Putih. Lalu bergerak bangkit
dengan perlahan. Dan saat tubuhnya tegak di hadapan
Panji, kepalanya ditundukkan menekuri lantai.
“Angkat kepalamu dan pandang aku...!” kembali
Panji memberi perintah dengan suara mengandung
perbawa kuat Kepala lelaki botak itu pun terangkat
Sepasang matanya menatap wajah Panji dengan ragu-
ragu dan menyembunyikan kegentaran hatinya.
“Benar kau sudah mengaku kalah...?”
“Be..., nar...,” sahut lelaki botak itu kembali me-
nundukkan kepala, la tidak sanggup berlama-lama
menentang pandangan mata pemuda tampan berjubah
putih itu.
“Hm.... Apakah pengakuanmu itu juga berarti kau
tidak akan mengulangi segala perbuatan jahatmu...?”
kembali Pendekar Naga Putih melontarkan pertanyaan.
Lelaki botak itu mengangguk pasti. Tapi Panji belum
puas dengan jawaban itu.
“Jawab pertanyaanku...,” desak Panji menuntut ja-
waban yang lebih pasti.
“Aku tidak akan mengulangi perbuatan jahat lagi.
Dan akan mencoba mencari pekerjaan yang lebih
baik...,” akhirnya lelaki botak itu menyahut dan me-
mandang wajah Panji sekilas. Kemudian kembali me-
nekuri lantai.
“Bisakah ucapanmu itu dipertanggungjawabkan...?”
“Nyawaku sebagai taruhannya...,” sahut lelaki botak
itu yang rupanya sudah benar-benar takluk.
“Bagus! Jika demikian, kembalikanlah uang yang
telah kau minta dari pengunjung kedai. Kemudian,
mintalah maaf kepada pemilik kedai dan pelayan yang
telah kau sakiti...,” perintah Panji ingin menguji kesa-
daran lelaki botak.
Kelihatannya tukang peras itu memang benar- be-
nar hendak meninggalkan kejahatannya. Perintah
Pendekar Naga Putih langsung dipatuhi. Uang pengun-
jung yang tadi dirampas, dikembalikannya tanpa diku-
rangi sepeser pun. Dan tanpa ragu-ragu ia meminta
maaf kepada pemilik kedai serta pelayan kedai. Melihat
itu Panji tersenyum lega dan puas.
“Mulai hari ini carilah pekerjaan yang baik. Aku ya-
kin banyak orang bersedia menerimamu. Satu hal yang
perlu kau ingat! Bila kudengar kau kembali melakukan
perbuatan seperti ini, nyawamulah yang menjadi taru-
hannya...!” ujar Panji tegas, saat lelaki botak itu kem-
bali menghampirinya.
“Aku berjanji...!” ujar lelaki botak itu tanpa kera-
guan sedikit pun.
“Hm....”
Pendekar Naga Putih bergumam pelan. Kemudian
bergerak meninggalkan kedai bersama Kenanga, den-
gan diiringi pandangan mata kagum dan penuh terima
kasih semua orang yang berada di dalam kedai.
“Kisanak, tungguuu...!”
Pendekar Naga Putih menoleh ke arah lelaki botak.
Dilihatnya orang itu berlari mengejar. Panji dan Ke-
nanga yang baru beberapa langkah meninggalkan pin-
tu kedai menghentikan langkahnya dan menunggu.
“Ada apa lagi, Kisanak...?” tanya Panji begitu lelaki
botak itu tiba di hadapannya.
“Kau pasti seorang pendekar. Bolehkah aku menge-
tahui julukanmu, agar dapat mengingat mu...?” tanya
lelaki botak itu menatap Panji dengan sorot mata ka-
gum dan tunduk.
“Apalah arti sebuah julukan, Kisanak. Kami berdua
pengembara yang tidak memiliki kelebihan apa-apa...,”
sahut Panji merendah dan tidak ingin menyebutkan
julukannya.
Lelaki botak itu tersenyum kecut. Ia tidak berani
memaksa. Mungkin saja jawaban pemuda tampan ber-
jubah putih itu benar, pikirnya. Sehingga saat Pende-
kar Naga Putih dan Kenanga berbalik dan melangkah
pergi, lelaki botak itu hanya bisa memandang sampai
bayangan pasangan pendekar muda itu lenyap dari
pandangan.
***
“Kisanak, harap perlahan sedikit..!”
Pendekar Naga Putih dan Kenanga yang baru saja
melewati perbatasan desa menunda langkahnya. Mata
keduanya bergerak mencari sumber suara tadi. Dan
berhenti ketika membentur sosok yang tengah duduk
di atas sebuah batu sebesar rumah di sebelah kanan
jalan.
“Kaukah yang menegur kami, Kisanak...?” tanya
Panji meneliti sosok yang bergerak bangkit tanpa men-
galihkan pandangan matanya dari sosok Pendekar Na-
ga Putih. Tahulah Panji kalau dirinya yang dituju so-
sok pemuda tegap dan menarik itu.
Pemuda tampan berwajah dingin itu meluncur tu-
run dengan ringan. Dan mendarat tanpa menimbulkan
suara di hadapan Panji dan Kenanga. Melihat hal itu
pasangan pendekar muda itu maklum kalau pemuda
tampan beralis mata tebal itu ahli dalam ilmu merin-
gankan tubuh.
“Siapa kau, Kisanak? Ada perlu apa menghadang
perjalanan kami...?” tanya Panji lagi.
Tapi, pemuda bermata dingin itu tidak menghirau
kan pertanyaan Pendekar Naga Putih. Kakinya me-
langkah sambil meneliti sosok Panji dari ujung rambut
sampai ujung kaki.
“Ciri-cirimu sangat mirip dengan orang yang kucari-
cari selama ini...,” gumam pemuda tampan beralis teb-
al tanpa senyum sedikit pun. Bahkan sikapnya keliha-
tan meremehkan Panji. Padahal sepanjang ingatan
Pendekar Naga Putih, ia belum pernah berjumpa den-
gan pemuda beralis tebal itu.
“Maaf kalau aku tidak ingat kepadamu, Kisanak.
Tapi, rasanya kita belum pernah berjumpa...,” ujar
Panji tetap tenang. Meskipun setiap pertanyaan yang
dilontarkannya tidak pernah mendapat jawaban.
“Memang belum...,” sahut pemuda tegap itu dingin.
Kenanga tentu saja tidak bisa terima ada orang
yang meremehkan kekasihnya. Tanpa sempat dicegah
Pendekar Naga Putih, dara jelita itu melangkah maju
sambil menudingkan telunjuknya yang runcing.
“Heh, Orang Gila! Seenaknya kau menghadang per-
jalanan orang! Mulutmu pun bicara tanpa tujuan!
Apakah kau tuli hingga tidak mendengar pertanyaan
yang diajukan kepadamu? Atau kau memang sengaja
hendak mencari gara-gara dengan kami...!” bentak Ke-
nanga. Sepasang matanya berkilat marah. Kalau tidak
bersama Panji, Kenanga sudah menerjang pemuda te-
gap yang tidak tahu sopan-santun itu.
“Hm.... Cantik bagai bidadari, namun galak seperti
perempuan liar...,” gumam pemuda bertubuh tegap se-
raya meneliti sosok Kenanga dengan pandang matanya
yang dingin. Kali ini bibirnya menyunggingkan senyum
sinis. Kata-katanya itu demikian pedas didengar telin-
ga. Hingga wajah Kenanga menjadi merah.
“Kurang ajar...!”
“Kenanga, tahan...!”
Panji segera menangkap lengan kekasihnya yang
siap menghajar pemuda tegap itu. Tapi dara jelita itu
mencoba melepaskan cekalan kekasihnya. Kenanga
benar-benar jengkel oleh tingkah dan ucapan pemuda
tampan bertubuh tegap itu. Tapi hal itu tidak dibiar-
kan Pendekar Naga Putih. Ditatapnya dengan tajam
dara jelita itu saat menoleh kepadanya.
“Tenanglah. Kita belum tahu apa yang diinginkan
orang itu. Kelihatannya ia mempunyai persoalan den-
ganku,” bisik Panji di telinga kekasihnya. Akhirnya Ke-
nanga terpaksa mengalah dan membiarkan kekasihnya
menangani persoalan itu.
“Hm.... Sungguh pasangan yang sangat serasi, dan
patut dijadikan contoh. Sayang kalian orang-orang
yang berhati kejam. Meskipun aku tahu kalian berdua
bukan orang sembarangan...,” ujar pemuda tampan
bertubuh tegap dengan nada yang sangat menyakitkan
dan tidak enak didengar.
“Apa sebenarnya maksudmu, Kisanak...?” tanya
Panji masih tetap bersabar. Karena ia belum tahu
maksud pemuda tegap itu menghadang jalannya.
“Kepandaianmu memang mengagumkan, Kisanak.
Aku telah menyaksikan sewaktu kau mempermainkan
lelaki botak di kedai tadi,” kembali pemuda bertubuh
tegap itu berkata tanpa menjawab pertanyaan Panji.
Ucapan pemuda itu tidak membuat Pendekar Naga
Putih heran. Ia memang tidak memperhatikan orang-
orang yang singgah di kedai. Satu hal yang membuat-
nya waspada. Pemuda tegap itu tiba lebih dulu di luar
desa tanpa diketahuinya. Meskipun ia dan Kenanga
hanya berjalan biasa saat meninggalkan Desa Alur.
Setelah beberapa kali bertanya, namun tidak men-
dapat sambutan seperti yang diharapkannya, Pendekar
Naga Putih mulai kehilangan senyumnya. Sesabar
sabarnya manusia tentu mempunyai batas. Dan Panji
mulai kehilangan kesabaran. Pemuda itu tidak peduli
lagi dengan lawan bicaranya. Diajaknya Kenanga sege-
ra melanjutkan perjalanan.
“Berhenti...!”
Pemuda tampan bertubuh tegap itu membentak
saat melihat Pendekar Naga Putih dan Kenanga berge-
rak tanpa mempedulikan dirinya. Tubuhnya langsung
melayang dengan kecepatan mengagumkan. Dan me-
luncur turun satu tombak lebih di hadapan pasangan
pendekar muda itu setelah berputar beberapa kali di
udara.
Tapi langkah Pendekar Naga Putih dan Kenanga ti-
dak terhenti. Keduanya bergeser ke tepi. Dan terus me-
langkah seolah bentakan itu tidak didengar mereka.
Bahkan sosok di depannya tidak ditoleh sekejap pun!
“Kurang ajar...!”
Pemuda tampan beralis tebal itu menjadi jengkel.
Merasa dirinya disepelekan, tubuhnya kembali mence-
lat ke kiri menghadang jalan pasangan pendekar muda
itu.
Namun, Pendekar Naga Putih tetap tidak mempedu-
likan. Saat pemuda tegap itu melompat menghadang,
Panji langsung menjejak tanah sambil menggenggam
lengan kekasihnya. Seketika itu juga, tubuh pasangan
pendekar muda itu melayang melewati kepala pengha-
dangnya. Kemudian meluncur turun tiga tombak dari
tempat semula, dan terus melangkah tanpa menoleh
sedikit pun!
“Setan...!”
Pemuda bertubuh tegap menggeram marah. Cepat
ia melesat mengejar. Namun begitu jarak mereka ting-
gal satu tombak lagi, Pendekar Naga Putih kembali me-
lambung ke udara bersama kekasihnya. Kemudian meluncur turun dalam jarak semula. Sehingga, wajah
dingin pemuda bertubuh tegap menjadi kemerahan.
Sinar matanya berkilat marah.
“Haaat...!”
Dibarengi sebuah teriakan nyaring, tubuh pemuda
tegap itu melayang ke udara. Kemudian berputaran
beberapa kali. Begitu menjejak tanah, kembali melam-
bung tinggi. Gerakan itu dilakukan berulang-ulang.
Hingga akhirnya....
Jliggg!
“Hm.... Jangan bermimpi dapat pergi begitu saja da-
riku..!” desis pemuda tegap yang telah berdiri satu se-
tengah tombak di hadapan Panji dan Kenanga.
“Apa sebenarnya yang kau kehendaki dari kami, Ki-
sanak...?” tanya Panji. Akhirnya menghentikan lang-
kah, dan menatap sosok di depannya dengan sorot ma-
ta mencorong tajam.
Untuk sesaat pemuda tegap itu terkejut melihat so-
rot mata Pendekar Naga Putih. Namun sikapnya kem-
bali biasa. Rupanya ia dapat melawan pengaruh yang
terpancar dari mata Pendekar Naga Putih. Itu mem-
buktikan bahwa pemuda tampan bertubuh tegap itu
memang bukan orang sembarangan. Sebab, tidak ba-
nyak orang yang mampu berlama-lama menentang
pandang mata Panji.
“Huh! Rupanya kau ingin lari dari tanggung jawab,
Pengecut!” desis pemuda itu lagi-lagi tidak menjawab
pertanyaan Panji.
Ucapan pemuda tegap itu pembuat Pendekar Naga
Putih menghela napas menekan kemarahan dalam da-
danya. Kendati demikian, suaranya terdengar biasa
saat ia berbicara.
“Kisanak. Kalau aku hendak menghindar darimu,
apa kau kira dapat mencegah kepergianku? Jika sekarang kau bisa menghadang, itu karena aku menghen-
dakinya. Kalau tidak, jangan harap kau dapat menyu-
sulku...!” karena merasa harga dirinya tersinggung.
Pendekar Naga Putih terpaksa mengucapkan kata-kata
yang belum pernah diucapkannya. Ucapan itu menyi-
ratkan kesombongan. Padahal Panji hanya ingin pe-
muda tegap itu tahu apa yang dilakukannya. Tapi pe-
muda tegap itu seperti buta, dan tetap merasa lebih
tinggi dari Panji. Itu yang Pendekar Naga Putih tidak
suka.
“Hua ha ha...!”
Mendengar ucapan Panji, pemuda tegap itu tertawa
terbahak-bahak. Seolah ucapan itu sebuah lelucon.
Sikap itu membuat Pendekar Naga Putih ingin mem-
buktikan ucapannya. Dan....
***
LIMA
“Heiii...?!”
Pemuda tampan bertubuh tegap itu berseru kaget!
Tawanya langsung lenyap. Tahu-tahu saja tubuh pa-
sangan pendekar muda yang ada di hadapannya le-
nyap dengan tiupan angin besar yang membuat ram-
butnya berkibar!
“Kurang ajar...!” lagi-lagi pemuda tegap itu men-
gumpat marah. Begitu kepalanya menoleh, tampak
dua sosok bayangan samar berada beberapa belas
tombak di depannya. Tahulah ia kalau kedua orang
yang dihadangnya telah melarikan diri.
“Jangan harap kalian dapat lolos dariku...!”
Sambil berteriak-teriak, pemuda tegap itu mengerahkan seluruh ilmu lari cepatnya untuk mengejar
Panji dan Kenanga. Sebentar saja tubuhnya melesat
bagai kilat Sehingga yang terlihat hanya bayangan sa-
mar yang kian menjauh.
Pendekar Naga Putih tidak lagi mempedulikan te-
riakan pemuda yang dianggapnya tidak waras itu.
Dengan membawa Kenanga tubuhnya terus melesat
secepat terbang. Kedua pasang kaki mereka bagai ti-
dak menyentuh tanah! Bahkan bayangannya pun su-
kar dilihat. Panji ingin membuktikan bahwa dirinya
dapat pergi bila memang menghendaki.
Dalam ilmu lari cepat, tampaknya Pendekar Naga
Putih memang sangat sukar dicari tandingannya. Buk-
tinya pemuda tegap itu tidak mampu mengejarnya. Pa-
dahal ilmu lari cepat pemuda tegap itu cukup tinggi.
Bahkan bisa dikatakan lebih tinggi dari Kenanga. Tapi
bukan berarti ia dapat menyamai Pendekar Naga Pu-
tih. Terlebih jalan yang dilalui agak berbelok-belok dan
tidak jarang mendaki. Akibatnya pemuda tegap itu ke-
hilangan bayangan yang dikejarnya.
“Keparat..!”
Setelah beberapa belas tombak lagi berlari tidak ju-
ga menemukan bayangan di depannya, pemuda tegap
itu menghentikan larinya. Makiannya terlontar saat ia
membanting kaki kanannya ke tanah. Lalu melangkah
gontai sambil menyusut peluh yang membasahi wa-
jahnya. Nafasnya terdengar agak memburu. Tampak-
nya pemuda tegap itu telah mengerahkan seluruh ke-
mampuannya untuk mengejar Panji dan Kenanga.
‘Tidak kusangka ilmu pemuda keparat itu demikian
tinggi...,” desis pemuda tegap itu seraya melanjutkan
langkahnya tanpa tujuan. Jalan di depannya terpecah
menjadi tiga. Dan ia tidak tahu ke mana jalan yang di-
ambil buruannya.
“Hik hik hik...!”
“Ehhh!”
Bukan main terkejutnya hati pemuda itu menden-
gar suara tawa perempuan. Sepasang matanya berpu-
tar liar mencari sumber suara itu. Kemarahannya
bangkit seketika. Ia mengira suara itu adalah tawa ga-
dis jelita yang bersama pemuda tampan berjubah pu-
tih. Dugaan itu membuat semangatnya bangkit kemba-
li.
“Hm.... Pantas kalian begitu cepat menghilang. Ru-
panya bersembunyi di sekitar tempat ini...,” gumam
pemuda tegap tersenyum sinis. Tubuhnya berputar
mencari tempat persembunyian buruannya.
“Hik hik hik...!”
Kembali suara tawa itu terdengar, membuat kening
pemuda tegap itu berkerut dalam. Tubuhnya berputar.
Suara tawa itu seperti datang dari delapan penjuru.
Merasa dipermainkan, kemarahannya pun meledak!
“Hm.... Hendak kulihat apakah kalian masih tetap
bersembunyi!” geram pemuda tegap itu. Lalu menyedot
udara banyak-banyak! Maka....
Blarrr...!
Semak belukar di kanan jalan berhamburan dengan
disertai ledakan keras saat pemuda tegap itu melon-
tarkan pukulan udara kosongnya. Berkali-kali pukulan
itu dilakukan. Hingga....
“Hik hik hik...!”
Pemuda tampan bertubuh tegap itu berbalik secepat
kilat! Suara tawa kali ini datang dari belakangnya. Pu-
kulannya siap terlontar. Tapi....
‘Tunggu dulu sahabat yang tampan...!”
Pukulan jarak jauhnya tertahan. Di depannya ber-
diri seorang gadis cantik dengan senyum menggoda.
Wanita itu bukanlah orang yang dicarinya. Pemuda tegap itu tertegun. Pakaian yang dikenakan gadis cantik
itu berwarna sama dengan pakaiannya.
“Siapa kau...?” tegur pemuda bertubuh tegap mena-
tap penuh selidik.
“Aku...? Ya tentu saja manusia! Apa kau pikir aku
ini kuntilanak? Atau memang rupaku begitu jelek,
hingga kau menyangka aku kuntilanak...?” enak saja
gadis cantik berpakaian serba merah itu menjawab.
Dan mengakhiri ucapannya dengan kekeh yang re-
nyah, membuat pemuda tegap gelagapan.
“Huh, aku tidak peduli siapa kau! Mau kuntilanak
kek, kuntilnenek kek. Aku tidak mau tahu!” balas pe-
muda tegap berpakaian serba merah itu tidak mau ka-
lah. Ia menarik pulang tenaga pukulannya yang telah
dipersiapkan. Kemudian berbalik hendak meninggal-
kan tempat itu.
“Duh, galaknya. Apa kau tidak ingin tahu ke mana
perginya dua orang yang berlari secepat setan tadi...?”
tukas gadis cantik itu tidak meninggalkan senyum
manisnya. Bahkan sepasang mata beningnya menger-
jap berkali-kali saat pemuda tegap itu berbalik dan
menatapnya dengan wajah penasaran.
“Hm.... Katakan ke mana mereka pergi...,” ujar pe-
muda tegap itu berusaha menyembunyikan perasaan
hatinya yang agak tertarik pada gadis cantik yang lin-
cah dan suka menggoda itu.
“Kau akan memberikan hadiah apa bila aku mem-
beritahukan ke mana mereka pergi...?” tukas gadis
cantik itu dengan sinar mata jenaka.
“Hadiah.:.?!”
“Ya, hadiah. Kau tentu tahu setiap perbuatan harus
ada imbalannya, bukan...?” lanjut gadis cantik itu.
Pemuda tegap itu pun bingung seperti orang tolol. Ia
tidak mengerti dengan sikap gadis itu. Untuk beberapa
saat, pemuda itu tidak mampu menjawab. Hanya me-
mandang wajah cantik yang masih dihiasi senyum
manis.
“Wah, tidak kusangka pemuda setampan dan sete-
gap ini ternyata sangat tolol! Padahal yang kukatakan
tidak sulit untuk dimengerti....”
Setelah berkata demikian, gadis cantik itu melang-
kah jenaka dan berbelok ke jalan sebelah kiri.
“Hei, tunggu...,” pemuda tegap itu berseru mence-
gah. Rupanya ia baru sadar akan keadaan dirinya saat
gadis cantik itu melangkah pergi.
Tapi gadis cantik itu tidak menghentikan langkah-
nya. Telapak kakinya yang mungil terus bergerak me-
nyusuri jalan berbatu. Seolah seruan itu tidak diden-
garnya. Bahkan menunjukkan sikap tidak peduli saat
mendengar suara langkah orang mengejar di bela-
kangnya.
“Nisanak, tungguuu..!” kembali pemuda tegap ber-
seru. Dan bergegas menghadang jalan gadis cantik
berpakaian serba merah itu.
“Hm.... Ada apa...?” tanya gadis cantik itu.
Sikapnya berubah jauh. Kali ini tampak tenang.
Bahkan hampir mendekati dingin dan tidak peduli.
Senyumnya pun tidak terlihat lagi. Sementara sepa-
sang mata beningnya menatap tajam pemuda di de-
pannya.
Perubahan sikap gadis itu membuat pemuda dide-
pannya kelabakan. Tingkahnya jadi serba salah. Ru-
panya ia tidak menyangka akan mendapat sambutan
yang jauh berbeda.
Gila! Gadis itu benar-benar aneh dan sukar ditebak
perasaannya. Sikapnya tadi demikian hangat dan pe-
nuh godaan. Tapi sekarang..., gumam pemuda tegap
itu dalam hati. Tanpa sadar dia terbengong-bengong di
depan gadis cantik itu.
“Hik hik hik...!”
“Ehhh?!”
Pemuda bertubuh tegap itu tersadar ketika men-
dengar kekeh gadis cantik itu di depannya. Wajahnya
bersemu merah.
“Kau ini benar-benar aneh! Aku tanya, kau kehera-
nan! Aku pergi malah mengejar. Apa sebenarnya yang
kau pikirkan? Kau tertarik padaku, ya?” ujar gadis itu
tertawa renyah.
Gila...! Desis pemuda itu dalam hati. Gadis ini
sungguh luar biasa! Enak saja berkata demikian tanpa
dipikir lagi! Siapa gadis ini sebenarnya? Apa hadiah
yang dimaksudkannya itu....?
“Nah, bengong lagi....”
“Eh! Oh.... Maaf...,” ujar pemuda tegap itu tidak sa-
dar kembali terbengong di depan gadis cantik itu.
“Mmm.... Apa hadiah yang kau maksud tadi, Nisa-
nak?” tanya pemuda tegap itu mengalihkan pembica-
raan.
“Namaku bukan Nisanak, tapi Savitri,” tukas gadis
cantik itu memperkenalkan diri tanpa malu- malu.
“Eh.... Ya, Savitri. Mmm....”
“Apa yang ingin kau katakan? Sebutkan dulu na-
mamu. Bukankah aku sudah memperkenalkan nama-
ku...?” potong gadis cantik itu.
“Baik, baik. Namaku Kelana...,” sahut pemuda tegap
terpaksa memperkenalkan namanya.
“Wah namamu aneh. Tapi terdengar gagah seperti
orangnya...,” puji Savitri. Belum lagi pemuda itu sem-
pat berkata, Savitri sudah melanjutkan ucapannya.
“Aku tidak mendengar kau memuji namaku? Apa-
kah namaku jelek dan tidak enak didengar...?”
Deggg!
Bukan main gadis cantik bernama Savitri ini, Kela-
na benar-benar tidak berdaya dibuatnya. Wajahnya
kembali dijalari warna merah. Ia tidak tahu harus
menjawab apa.
“Namaku pasti jelek. Kau tidak suka mendengarnya,
kan?” Savitri kembali menyambung, membuat Kelana
semakin salah tingkah.
“Ah, tidak.... Tidak begitu...,” potong Kelana serba
salah.
“Maksudmu tentu tidak begitu bagus, bukan?”
“Bukan.... Bukan begitu maksudku....”
“Jadi...?” Savitri tersenyum manis melihat Kelana
kelabakan. Tapi, ia terus saja mendesaknya. Tampak-
nya ia memang ingin mendengar pengakuan Kelana.
“Namamu tentu saja bagus...,” ucap Kelana meski
agak risi mengatakannya.
“Kalau begitu, kau menyukainya...?” desak Savitri
lagi.
“Ya.... Aku menyukainya....”
“Jadi kau menyukaiku...?”
Mati aku! Desis Kelana dalam hati. Pertanyaan yang
sama sekali tidak diduganya itu membuat Kelana ter-
bengong tak tahu harus menjawab apa. Kalau ia bilang
‘tidak’, sudah pasti Savitri akan marah. Sedangkan un-
tuk menjawab ‘ya’ jelas tidak mudah. Meski ia tahu di-
rinya merasa tertarik dengan gadis yang tampak demi-
kian polos itu. Kelana kembali bengong seperti ayam
sakit.
“Huh! Rupanya kau tidak suka kepadaku...!” meli-
hat Kelana terbengong-bengong seperti itu, Savitri me-
rajuk dan memonyongkan bibirnya yang tipis. Kemu-
dian melangkah meninggalkan Kelana yang semakin
kebingungan.
Kelana sendiri tidak mengerti mengapa ia mau saja
diperlakukan demikian oleh gadis cantik itu. Pemuda
itu belum sadar sepenuhnya kalau ia sudah terpikat
oleh kecantikan dan keanehan sifat Savitri. Kalau tak,
bagaimana mungkin Kelana yang selalu bersikap din-
gin itu dapat dibuat kelabakan dan ‘mati kutu’.
Melihat Savitri hendak pergi, Kelana mengembang-
kan kedua lengannya. Aneh? Ia yang selama hidupnya
hampir tidak pernah tersenyum, tiba-tiba bisa terse-
nyum begitu manisnya. Hingga Savitri tertawa kecil.
“Aiiih.... Tidak kusangka kau memiliki senyum yang
manis seperti itu, Kelana...,” ujarnya polos tanpa malu-
malu.
“Kau cantik, Savitri. Aku..., menyukaimu...,” Kelana
akhirnya terpaksa mengucapkan kalimat itu. Meski ia
belum yakin benar akan perasaan hatinya. Kalau ka-
limat itu ia ucapkan, karena ia tidak ingin melihat Sa-
vitri marah dan pergi meninggalkannya. Padahal itu
memerlukan gadis cantik itu untuk mencari dua orang
buruannya. Panji dan Kenanga.
“Hm.... Ucapan itu pasti terpaksa kau katakan, bu-
kan? Karena kau ingin mengetahui ke mana perginya
orang-orang yang kau cari itu...,” tukas Savitri seperti
bisa membaca jalan pikiran Kelana. ‘Tapi tidak apa.
Aku sudah cukup senang mendengar ucapanmu. Lagi
pula hadiah yang kuminta sudah kau berikan...,” lan-
jut Savitri tersenyum.
“Ehhh...?!”
Lagi-lagi Kelana terheran-heran. Ia tidak merasa te-
lah memberikan hadiah kepada gadis cantik itu. Uca-
pannya semakin membuat Kelana yakin kalau gadis
cantik yang dihadapinya memang sulit ditebak, dan
mempunyai banyak keanehan yang tak terduga.
“Kau tentu merasa heran, bukan? Hadiah itu me-
mang sudah kau berikan. Aku sudah mengenal namamu...,” ujar gadis cantik itu tanpa peduli keheranan
di wajah Kelana.
Kelana hanya bisa menghela napas mendengar pen-
gakuan Savitri. Anehnya, Kelana merasa semakin me-
nyukai gadis cantik berpakaian serba merah itu. Kare-
na memang tidak sulit untuk menyukai gadis cantik
dan selincah Savitri. Apalagi gadis itu pandai berbicara
dan bertingkah memikat Sehingga, Kelana yang bi-
asanya selalu bersikap dingin terhadap siapa pun kini
dapat tertawa lepas. Semua itu karena Savitri.
“Sekarang mari ikut aku...,” ajak Savitri melangkah
mendahului pemuda tegap itu.
“Ke mana...?” tanya Kelana yang tanpa sadar men-
geluarkan pertanyaan bodoh itu.
“Wah, sifat ketololanmu masih belum hilang juga
rupanya...,” ujar Savitri tanpa menghentikan langkah-
nya.
“Mengapa kau berkata demikian...?” tanya Kelana
berusaha menyejajari langkah gadis cantik itu.
“Nah, masih juga bertanya,” tukas Savitri menoleh
dan tersenyum. “Bukankah kau ingin menemukan ke-
dua orang yang kau cari itu...?”
“Benar?!”
“Ketahuilah, sekarang aku hendak membawamu
bertemu dengan mereka. Aku melihat kedua orang
yang kau cari itu berlari melewati jalan ini Tentu saja
mereka tidak tahu aku bersembunyi di balik semak-
semak. Aku curiga mereka tengah menghindari sesua-
tu. Habis lari mereka demikian cepat seperti setan...,”
jelas Savitri dengan manja. Bahkan enak saja me-
nyambar dan menggenggam jemari Kelana. Pemuda itu
terpaksa mendiamkan, takut gadis cantik itu marah
lagi.
“Kau tahu siapa mereka...?” tanya Savitri tanpa
menghentikan langkahnya.
“Tidak....”
“Pemuda berjubah putih yang sekelebatan kulihat
itu adalah Pendekar Naga Putih! Hanya pemuda itulah
yang mampu berlari demikian cepatnya....”
“Pendekar Naga Putih...?!” Kelana tampak tidak
menduga orang yang dikejarnya pendekar muda yang
saat itu namanya menggetarkan rimba persilatan.
Ucapan Savitri membuatnya terkejut!
“Kau terkejut..? Pendekar muda itu memang hebat
sekali. Jarang ada yang bisa menandinginya. Kalau bo-
leh tahu, apa yang membuatmu bermusuhan dengan-
nya...?” tanya Savitri.
“Pemuda itu telah membunuh kedua orang- tua-
ku...,” jawab Kelana yang merasa tidak perlu meraha-
siakan hal itu kepada Savitri. Apalagi kini mereka telah
saling mengenal.
“Jadi Pendekar Naga Putih telah membunuh kedua
orangtua mu...?” tanya Savitri setengah tak percaya.
‘Tadinya aku tidak tahu pembunuh orangtua ku
orang yang berjuluk Pendekar Naga Putih. Kalau saja
kau tidak memberitahu, mungkin aku tidak akan per-
nah tahu...,” jawab Kelana yang kelihatan agak tegang
ketika mengetahui siapa pemuda tampan berjubah pu-
tih yang menjadi musuhnya.
“Lalu, bagaimana kau bisa tahu pendekar muda itu
yang telah membunuh orangtua mu...?”
“Aku hanya mendapat keterangan tentang ciri-ciri si
pembunuh. Dan, pemuda tampan berjubah putih itu
mirip dengan gambaran pembunuh kedua orangtua
ku. Sayang dia berhasil lolos. Padahal sudah setahun
lebih aku berkelana mencarinya...,” jawab Kelana men-
jelaskan dari mana ia tahu tentang pembunuh orang-
tuanya.
“Hm.... Jangan khawatir, Kelana. Pendekar Naga
Putih memang sangat sombong! Aku akan memban-
tumu membalas sakit hati kedua orang- tuamu...!” tu-
kas Savitri dengan suara mengandung kemarahan dan
kebencian. Sehingga Kelana agak kaget
“Apakah kau juga mempunyai dendam pada Pende-
kar Naga Putih?” tanya Kelana menegasi.
“Ya, meskipun bukan dendam pribadi...,” jawab Sa-
vitri tidak menyebutkan dendam yang ada dalam ha-
tinya.
“Apa yang membuatmu mendendam pada Pendekar
Naga Putih, Savitri...?” Kelana mencoba menegasi apa
yang membuat gadis cantik itu kelihatan sangat mem-
benci Pendekar Naga Putih.
“Hm.... Kita sudah hampir sampai di perbatasan de-
sa. Sebaiknya kita jangan muncul terang- terangan.”
Savitri dengan pandai mengalihkan pembicaraan.
“Sebaiknya kita tidak perlu sembunyi-sembunyi.
Aku akan langsung menghajarnya...!” tandas Kelana.
Tanpa diketahuinya Savitri tersenyum.
“Baiklah, kalau begitu kemauanmu...,” ujarnya me-
lanjutkan langkah memasuki batas desa.
***
ENAM
Savitri gadis yang lincah dan banyak akal itu lang-
sung bertanya pada seorang penduduk desa yang di-
temuinya. Ia yakin orang yang tengah duduk di depan
rumahnya itu pasti melihat bila ada orang asing lewat
jalan utama desa itu. Dan perhitungannya tidak mele-
set Savitri mendapat jawaban yang memuaskan!
“Memang belum lama ada pemuda tampan berjubah
putih dan seorang gadis seperti bidadari lewat di desa
ini. Kelihatannya mereka tidak berniat singgah...,” jelas
lelaki berusia empat puluh lima tahun itu kepada Savi-
tri.
Tanpa mengucapkan terima kasih, Savitri segera
menoleh ke arah Kelana. Kemudian berkata agak per-
lahan.
“Mereka baru saja lewat di jalan ini. Ayo kita ke-
jar...!”
Selesai berkata demikian, Savitri berkelebat menge-
rahkan ilmu lari cepatnya. Ternyata kepandaian gadis
cantik itu sangat tinggi. Ilmu lari cepatnya tidak kalah
dengan Kelana. Hingga rasa suka dan kekaguman pe-
muda tegap itu semakin bertambah.
“Gadis itu tidak saja cantik, tapi juga memiliki ke-
pandaian tinggi. Jarang ada gadis seperti dia. Berun-
tung sekali aku bertemu dan berkenalan dengannya.
Bantuannya jelas akan sangat berarti...,” gumam Kela-
na segera bergerak mengejar Savitri. Sebentar saja ia
dapat menyejajari langkah gadis cantik itu.
Tinggallah lelaki setengah baya kebingungan! Wa-
jahnya agak pucat ketika pasangan muda yang baru
saja berada di depannya tiba-tiba lenyap seperti meng-
hilang. Tubuhnya tampak gemetar!
“Mereka pasti setan-setan penasaran...!” desisnya
segera bangkit dan bergegas masuk ke dalam rumah.
Kemudian mengunci pintu rapat-rapat.
Sementara itu Savitri dan Kelana hampir tiba di
perbatasan desa. Dari kejauhan keduanya melihat dua
sosok bayangan tengah melangkah meninggalkan desa
itu. Dari warna pakaiannya, Kelana langsung menge-
tahui kalau kedua orang itu adalah buruannya yang
sempat lolos.
“Hei, mau lari ke mana pengecut...!” teriak Kelana
menambah kecepatan larinya untuk menyusul Kenan-
ga dan Panji.
Sebenarnya Panji sudah mendengar suara langkah
orang berlari di belakangnya. Seruan itu membuat
Panji dan Kenanga menoleh. Kening keduanya tampak
berkerut. Mereka mengenali sosok pemuda tegap ber-
pakaian serba merah yang tengah berlari itu.
“Hm.... Rupanya sekarang ia membawa teman...,”
gumam Panji tidak berusaha melarikan diri. Pasangan
pendekar muda itu hendak melihat apa yang akan di-
lakukan pemuda tegap berpakaian serba merah itu.
“Hm.... Kalian pikir dapat lolos begitu saja dari tan-
ganku...!” geram Kelana begitu tiba dan menghentikan
langkahnya satu tombak di hadapan Panji dan Kenan-
ga.
“Kisanak, apa sebenarnya yang kau inginkan dari
kami? Setahuku di antara kita tidak pernah berjumpa.
Apa lagi mempunyai permusuhan...?” kembali Panji
menegur ingin mendapat penjelasan tentang sikap pe-
muda tegap itu.
‘Tidak perlu banyak bicara! Sebaiknya kau bersiap-
siap menyusul kedua orangtua ku di akherat..!” kemu-
dian Kelana melompat dengan serangan mautnya yang
datang bertubi-tubi laksana gelombang lautan!
“Orang gila...!” desis Panji jengkel merasa tidak
mempunyai permusuhan dengan Kelana. Namun ka-
rena serangan itu tidak bisa dibuat main-main, Panji
segera menggeser langkahnya ke kiri dan kanan
menghindari.
Kalau pada pertemuan pertama, sewaktu di Desa
Alur, Panji tidak mau meladeni sebelum mendapat
penjelasan, kali ini ia bersikap lain. Serangan Kelana
langsung dibalas dengan jurus-jurus ampuhnya. Sehingga, sebentar saja kedua pemuda tampan itu sudah
terlibat perkelahian yang seru dan mendebarkan!
“Haiiittt..!”
Kelana yang kelihatan sangat mendendam terhadap
Panji tidak memberikan kesempatan kepadanya untuk
membangun serangan. Gempuran-gempurannya yang
mendatangkan sambaran angin tajam membuktikan
pemuda tegap berpakaian serba merah itu mengingin-
kan kematian Panji. Tentu saja Panji tidak sudi menye-
rahkan tubuhnya untuk dijadikan sasaran lawan.
Sehebat apa pun serangan Kelana selalu dapat di-
atasi Panji dengan baik. Bahkan sesekali Panji melon-
tarkan serangan balasan. Tapi Kelana dapat melaya-
ninya dengan baik. Kelana memang bukan pemuda
sembarangan!
“Yeaaahhh...!”
Sadar kalau lawan menginginkan nyawanya, Panji
tidak tinggal diam. Apalagi ketika serangan lawan se-
makin ganas. Jurus-jurus yang digunakan Kelana ada-
lah jurus-jurus ampuh yang sangat hebat! Sayang,
Pendekar Naga Putih tidak bisa menebak dari mana
asal ilmu silat itu. Panji melihat jurus-jurus lawan
campuran dari berbagai sumber. Agaknya Kelana telah
mempelajari banyak jenis ilmu silat. Tidak aneh bila
kepandaiannya sukar dicari tandingannya.
Ketika pertarungan menginjak jurus kelima puluh
tiga, Panji menggunakan jurus ‘Ilmu Silat Naga Sak-
ti’nya. Sebab serangan lawan semakin berbahaya. Dan
Panji tidak ingin tubuhnya dijadikan sasaran pukulan
lawan.
Plakkk...!
Suatu saat, lengan keduanya berbenturan keras
hingga menimbulkan suara berdentang nyaring, seper-
ti benturan dua batang besi.
“Uhhh.?!”
Tubuh Kelana terjajar mundur sejauh enam lang-
kah. Wajahnya tampak menggambarkan keheranan
besar. Ia tidak menyangka tenaga dalam lawan demi-
kian kuat!
Demikian pula dengan Panji. Benturan keras itu
membuat kuda-kudanya tergempur! Tubuhnya terjajar
sejauh empat langkah! Ia pun tidak menduga kekuatan
pemuda tegap berpakaian serba merah itu sangat he-
bat. Tidak banyak tokoh persilatan yang sanggup me-
nandingi tenaga dalamnya.
“Hm.... Kau masih tidak mau menyebutkan masa-
lahmu, Kisanak...?” tanya Panji penasaran. Karena
sampai sejauh ini belum mengetahui penyebab pemu-
da tegap itu demikian dendam kepadanya.
“Jangan berpura-pura bodoh, Pendekar Naga Putih!
Sebelum mayatmu mencium tanah, aku tidak akan te-
nang menjalani hidup di dunia ini...!” geram Kelana ti-
dak juga mengatakan penyebab kebenciannya terha-
dap pendekar muda itu. Tampaknya ia menghendaki
lawannya tewas dengan penasaran.
“Hm....”
Melihat lawan sudah menyiapkan ilmu-ilmunya
yang lebih tinggi, Panji tidak bertanya lagi. Ia tahu itu
hanya akan menambah rasa penasaran di hatinya.
Dan bukan mustahil ia bisa lengah karena memikirkan
penyebab pertarungan itu. Tentu saja Panji tidak men-
ginginkan hal itu terjadi.
‘“Tenaga Sakti Gerhana Bulan’...?!” desis Kelana.
Rupanya Kelana telah mendengar tentang tenaga muk-
jizat Pendekar Naga Putih. Sosok Panji tampak diseli-
muti lapisan kabut bersinar putih keperakan. Itu ada-
lah ciri-ciri ‘Tenaga Sakti Gerhana Bulan’!
“Hm. .. Mari kita buktikan, apakah tenaga sakti
mukjizatmu mampu mengungguli ‘Tenaga Sakti Ge-
lombang Samudera’ milikku ini...!”
Setelah berkata demikian, Kelana menghirup napas
banyak-banyak, angin keras berhembus saat sepasang
lengan Kelana berputar ke kiri dan kanan. Kemudian
dilanjutkan dengan gerakan seperti ombak berkejaran
ke pantai. Jelas kekuatan yang dimiliki Kelana meru-
pakan tenaga dalam pilihan. Panji sadar akan hal itu.
Pemuda berpakaian serba merah ini memang hebat
sekali...! Kelihatannya ia memiliki pengalaman yang
sangat luas. Mungkinkah ia yang dijuluki orang Petua-
lang Sakti...?! Tapi, apa yang membuatnya demikian
mendendam kepadaku? Mengapa ia menuduhku seba-
gai pembunuh kejam...? Panji segera menepiskan se-
mua pertanyaan yang mengganggu pikirannya. Saat
itu Kelana telah datang dengan serangan mautnya!
“Haaat..!”
Bettt, bettt, bettt..!
Serangan Kelana datang disertai gulungan angin ke-
ras yang membuat arena pertarungan laksana diamuk
badai lautan. Sepasang tangannya yang selalu beru-
bah-ubah bergerak cepat mencari sasaran. Memang
hebat serangan yang dilancarkan Kelana. Rasanya ju-
lukan Petualang Sakti bukan nama kosong belaka!
Tapi Panji bukanlah pemuda sembarangan! Julukan
Pendekar Naga Putih yang disandangnya merupakan
salah satu bukti ketangguhan pemuda berjubah putih
itu. Serangan Kelana sedikit pun tidak membuatnya
berkecil hati. Tubuhnya mencelat menyambut seran-
gan lawan.
“Hiyaaat..!”
Dengan ilmu ‘Silat Naga Putih’nya yang telah ba-
nyak menjatuhkan lawan, Panji bergerak maju. Sepa-
sang tangannya yang memiliki kecepatan gerak luar
biasa merupakan benteng ampuh, yang sekaligus se-
bagai tangan-tangan maut perenggut nyawa! Pertarun-
gan pun berjalan semakin hebat dan mengerikan!
Jurus demi jurus berlalu cepat Menginjak jurus ke-
delapan puluh sembilan, Pendekar Naga Putih meme-
kik keras! Tubuhnya bergerak bagai baling-baling,
yang terlihat hanya kilauan sinar putih keperakan. Da-
ri lingkaran sinar itu mencuat cakar-cakar dan telapak
tangan yang menimbulkan deruan angin dingin menu-
suk tulang! Hingga Kelana terkejut dibuatnya!
“Yeaaahhh...!”
Plakkk!
Mata Kelana rupanya cukup tajam, dan dapat meli-
hat serangan telapak tangan yang mengancam da-
danya. Cepat pemuda tegap itu menepiskan serangan
itu. Sayang gerakan lawan terlampau cepat. Sehing-
ga....
Desss, desss...!
Cakar Panji yang melenceng kembali berputar cepat
dan langsung bersarang di bahu lawan. Tidak cukup
hanya dengan tangan kiri, tangan kanannya menyusul
dengan hantaman yang mengenai lambung Kelana!
“Hukhhh...!”
Tubuh Kelana terlempar deras sejauh dua tombak
lebih. Semburan darah segar membasahi permukaan
tanah. Kendati demikian, pemuda tegap itu masih
sanggup mempertahankan keseimbangan tubuhnya
dengan berputar dua kali di udara. Tapi, tubuhnya
terhuyung delapan langkah ketika menjejak tanah.
Dan baru berhenti karena ditahan oleh Savitri.
“Pemuda itu benar-benar hebat, Savitri.... Rasanya
kau tidak mungkin dapat melawannya...,” ujar Kelana
sambil menyeringai menahan sakit
“Mungkin Pendekar Naga Putih terlalu kuat untuk
mu, Kelana. Tapi belum tentu bagi kita berdua...,” ujar
Savitri. Sepasang matanya memancarkan kemarahan.
“Sebaiknya kita pergi saja,” Savitri. Gadis berpa-
kaian serba hijau itu tidak mungkin akan tinggal diam
bila kita mengeroyoknya. Kurasa kepandaian gadis itu
sangat tinggi,” bantah Kelana tidak ingin melanjutkan
perkelahian.
“Belum tentu, Kelana. Kita lihat saja...,” Savitri me-
langkah maju menghadapi Panji, yang menatap gadis
cantik itu dengan kening berkerut.
“Hm.... Siapa lagi gadis berpakaian serba merah
itu...? Persoalan apa pula yang membuatnya memusu-
hiku...?” gumam Panji seraya meneliti sosok gadis can-
tik di hadapannya.
Melihat gadis cantik berpakaian serba merah ikut
maju ke arena, Kenanga segera mendekati kekasihnya.
Tangan dara jelita itu sudah gatal, ingin segera turun
tangan.
“Yang ini biar menjadi bagianku, Kakang...,” pinta
dara jelita itu menatap kekasihnya dengan pandangan
memohon.
“Sabar, Kenanga. Aku ingin tahu lebih dulu apa
yang membuat gadis itu memusuhiku...,” ujar Panji be-
lum mau menyerahkan gadis itu kepada Kenanga.
“Pendekar Naga Putih! Bersiaplah untuk menerima
kematianmu...!” begitu kata-katanya terucap....
Srattt...!
Pedang bersinar kemerahan yang menerbitkan hawa
panas tercabut keluar dari sarungnya, dan tergenggam
di tangan Savitri. Kelihatannya senjata gadis itu bukan
pedang sembarangan.
“Harap bersabar dulu, Nisanak!” ujar Panji perlahan
dengan sorot mata setajam pisau.
“Hm.... Kau ingin meninggalkan pesan terakhir sebelum kematianmu?” tukas Savitri tajam.
“Anggaplah begitu. Kuharap kau bersedia menjawab
pertanyaanku,” jawab Panji sambil tetap meneliti sosok
Savitri. Kalau-kalau ia pernah bertemu sebelumnya
dengan gadis cantik itu.
“Cepat katakan...!” tandas Savitri tajam.
“Apa sebenarnya yang membuatmu demikian den-
dam terhadapku...?” tanya Panji menunggu jawaban.
“Hm.... Cukup kau ketahui bahwa kita bersilangan
jalan. Titik!” sahut Savitri membuat Panji tak mengerti.
Ia sama sekali tidak mengenal gadis cantik itu. Selain
itu, alasan yang dikemukakan Savitri tidak kuat Meski
sudah bisa diraba, namun semua itu belum dapat di-
pastikan.
“Bisakah kau jelaskan lebih jauh, Nisanak...?”
‘Tidak! Jawaban itu sudah lebih dari cukup! Kau
pasti mengerti ke mana arah jawabanku...!” tegas Savi-
tri tidak ingin berpanjang kata lagi.
Kelana yang telah berada di samping Savitri tidak
berkata apa-apa. Sepasang matanya menatap Panji
dengan penuh dendam. Tangan pemuda itu menggeng-
gam sebilah pedang yang kelihatannya juga merupa-
kan senjata pilihan. Karena pemegangnya seorang ahli
ilmu silat
“Kakang, mereka hendak mengeroyokmu...,” bisik
Kenanga khawatir ketika melihat kedua orang itu su-
dah siap untuk menghadapi Panji.
‘Tidak, usah khawatir. Aku masih sanggup menga-
tasi mereka berdua...,” jawab Panji membuat Kenanga
terdiam. Ia tahu akan percuma memaksa kekasihnya
untuk mundur atau menyerahkan salah seorang lawan
kepadanya. Kenanga menelan kedongkolan hatinya.
Savitri yang cerdik segera menggunakan kesempa-
tan itu. Terdengar ucapannya yang tajam, dan membuat selebar wajah Kenanga menjadi merah.
“Hm.... Mengapa harus ragu untuk maju berdua,
Pendekar Naga Putih? Biarkanlah kekasihmu mem-
bantu, agar kau tidak terlalu sulit menghadapi ka-
mi...,” kendati mulutnya berkata demikian, namun hati
Savitri berkata lain. Ia memang hanya ingin memanc-
ing pasangan pendekar muda itu.
Mendengar ucapan itu, Kenanga tidak dapat lagi
menahan kedongkolan hatinya. Dengan mata berapi-
api ditudingnya wajah Savitri yang menyunggingkan
senyum mengejek.
“Huh! Jangan kau kira kami suka mengandalkan
keroyokan seperti yang kau lakukan, Perempuan Liar!
Tanpa kubantu pun kalian tidak akan dapat berbuat
banyak! Kalau kalian tidak percaya, silakan membuk-
tikannya sendiri! Aku tidak akan turun ke arena...!” te-
gas Kenanga membuat hati Savitri lega. Biar bagaima-
napun ia menganggap lebih baik hanya menghadapi
Pendekar Naga Putih, daripada gadis jelita itu ikut ter-
jun ke arena dan menyulitkan mereka berdua.
“Bagus! Seorang gagah pasti akan memegang jan-
jinya sampai mati! Aku percaya kepadamu, Perempuan
Gagah...,” tandas Savitri menyunggingkan senyum
puas di bibirnya. Tubuhnya kemudian bergerak ke ka-
nan. Sedang Kelana bergeser ke kiri. Mereka menge-
pung Pendekar Naga Putih dari dua arah yang berla-
wanan.
“Kalau kalian masih tetap bersikeras tidak ingin
memberitahukan penyebab permusuhan ini, jangan
salahkan aku bila kalian meninggalkan dunia dengan
hati penasaran...!” ujar Panji
Kuda-kudanya direndahkan tanpa menggeser lang-
kahnya. Sepasang matanya bergerak meneliti langkah-
langkah kedua lawannya. Panji siap menghadapi keroyokan mereka dengan mengandalkan tangan kosong.
Ia memang jarang sekali menggunakan senjata pusa-
kanya kalau tidak dalam keadaan terdesak atau
menghadapi lawan yang benar-benar tangguh dan sulit
ditaklukkan.
***
TUJUH
“Bersiaplah menerima kematianmu, Pendekar Naga
Putih...!”
Dibarengi bentakan nyaring membahana, Savitri
melesat ke depan. Pedang di tangannya membentuk
gulungan sinar merah yang memancarkan hawa panas
menyengat. Sebentar saja tempat itu bagai dipenuhi ji-
latan api.
Wuttt, wuttt...!
Serangan yang dilancarkan Savitri ternyata tidak
bisa dipandang remeh. Ilmu pedang gadis cantik ber-
pakaian serba merah itu jelas ilmu pilihan. Panji tidak
berani bertindak gegabah dalam mengatasi serangan
itu.
“Haiiit!”
Belum lagi serangan pedang Savitri tiba, Kelana te-
lah menyusuli dengan putaran pedangnya. Terdengar
suara mengaung tajam seperti ratusan lebah marah!
Sadar akan kehebatan kedua serangan lawan, Panji
menghimpun tenaga. Seketika itu juga tubuhnya dila-
pisi kabut bersinar putih keperakan. Hawa dingin yang
menyebar membuat tubuhnya tidak merasakan hawa
panas yang datang dari pedang Savitri.
“Yeaaahhh...!”
Cwittt...!
Dengan memiringkan tubuhnya, Pendekar Naga Pu-
tih berhasil menghindari tusukan pedang Savitri. Ke-
mudian langsung menepis dengan tangan kirinya saat
senjata itu berputar ke atas mengancam leher
Plakkk...!
Tangkisan Pendekar Naga Putih yang dilakukan
dengan mengerahkan ‘Tenaga Sakti Gerhana Bulan’
mendorong tubuh Savitri beberapa langkah. Namun
gadis-cantik itu mampu mengatasi keseimbangan tu-
buhnya. Bahkan kembali melesat dengan sambaran
pedangnya yang bergerak menyilang dari bawah ke
atas! Gerakan itu menunjukkan betapa tangguh dan
cekatannya gadis cantik itu.
Panji yang saat itu tengah menghadapi gempuran
Kelana terpaksa melompat jauh ke belakang. Kemu-
dian mempersiapkan ilmu ‘Silat Naga Sakti’nya yang
ampuh dan jarang menemui tandingan.
“Heaaat...!”
Dengan ‘Pekikan Naga Marah’, tubuh Pendekar Na-
ga Putih melesat ke depan. Sepasang tangannya berge-
rak susul-menyusul dengan kecepatan yang sukar di-
tangkap mata. Sehingga, baik Savitri maupun Kelana
harus menguras seluruh kepandaiannya untuk men-
gimbangi kehebatan Pendekar Naga Putih yang terken-
al kepandaiannya itu.
Kenanga yang menyaksikan perkelahian itu dari
tempat agak jauh sempat menggeleng kagum. Ia sedikit
pun tidak menyangka orang-orang muda yang menge-
royok kekasihnya, adalah tokoh-tokoh tangguh rimba
persilatan. Sehingga, pertarungan berjalan seru dan
mendebarkan.
“Hm.... Mungkinkah Kakang Panji terpaksa meng-
gunakan Pedang Naga Langit untuk menghadapi kedua
orang itu...?” gumam Kenanga menduga-duga. Karena
meski telah memasuki jurus ketujuh puluh, bellum
tampak tanda-tanda siapa yang akan keluar sebagai
pemenang.
Ternyata bukan hanya Kenanga yang merasa ka-
gum akan kehebatan Kelana dan Savitri. Panji sendiri
yang bertarung lebih dari tujuh puluh jurus harus
mengakui ketangguhan kedua lawannya. Mereka dapat
bekerja sama dengan baik dan saling menutupi kele-
mahan lawan setiap kali serangan Panji datang men-
gancam. Kerja sama mereka membuat Panji sulit un-
tuk mendesak. Karena mereka selalu dapat menanggu-
langi setiap serangannya.
Ketika pertarungan menginjak jurus kedelapan pu-
luh, timbul rasa penasaran di hati Panji. Apalagi kedua
lawannya kelihatan sangat menginginkan kematian-
nya. Panji harus mengerahkan seluruh kekuatan tena-
ga dalamnya. Itu kalau ia masih ingin selamat dari
kematian.
“Hiyaaat..!”
Dengan didahului lengkingan panjang, Pendekar
Naga Putih melesat ke belakang. Begitu kakinya me-
nyentuh tanah, secepat itu pula tubuhnya kembali me-
layang ke depan dengan teriakan yang menggetarkan
jantung!
Wusss...!.. . ,
Badai salju yang membawa hawa dingin luar biasa
tercipta saat Panji mendorongkan sepasang telapak
tangannya ke depan.
Hebat luar biasa serangan yang kali ini dilancarkan
Panji! Pepohonan di sekitarnya berderak ribut bagai
hendak tumbang! Dedaunan berguguran saat pemuda
itu lewat di bawahnya. Dapat dibayangkan betapa dah-
syatnya gempuran Panji!
“Savitri, hati-hati...!”
Kelana sadar akan kedahsyatan serangan Pendekar
Naga Putih. Cepat ia berseru memperingatkan gadis
cantik berpakaian merah yang berada satu tombak di
sebelah kirinya. Savitri terlihat mengangguk. Rupanya
gadis cantik itu pun maklum akan bahaya yang tengah
datang mengancam mereka berdua.
“Kelana, pusatkan seluruh kekuatanmu ke badan
pedang! Kita sambut serangan bersamaan...!” Savitri
mengajukan usul. Kelana hanya mengangguk tipis. Ia
juga mengerti bagaimana cara mengatasi serangan
dahsyat itu.
“Yeaaa...!”
“Haiiit...!”
Saat hembusan angin dingin membekukan itu se-
makin dekat, Kelana dan Savitri berteriak melengking
merobek angkasa. Tubuh keduanya meluncur dengan
putaran pedang yang. tidak lagi terlihat bentuknya,
namun mendatangkan angin ribut yang sangat hebat.
Sehingga....
Bressshhh...!
Tanpa dapat dicegah lagi, terjadilah benturan dah-
syat yang merontokkan dedaunan. Arena pertarungan
bergoyang laksana dilanda gempa!
“Aiii...?!”
Kelana maupun Savitri berteriak ngeri! Tubuh me-
reka terlempar deras bagai dilontarkan tangan- tangan
raksasa yang tak nampak! Dan jatuh bergulingan di
tanah berdebu.
“Huakhhh...!”
“Hoekhhh...!”
Hampir berbarengan, Savitri dan Kelana memun-
tahkan darah kental kehitaman. Sadarlah mereka ka-
lau benturan itu telah menyebabkan luka dalam yang
cukup parah! Kendati tidak sampai mencemaskan,
namun paling tidak mereka harus beristirahat selama
beberapa belas hari.
Panji pun tidak luput dari bahaya. Tubuhnya yang
juga terdorong akibat benturan dua gelombang tenaga
dalam berputaran dan meluncur turun ke tanah. Tu-
buh Panji bergoyang-goyang beberapa saat. Dari kedua
lengannya menetes cairan merah.
“Kakang;..?!”
Kenanga terkejut melihat tetesan darah keluar dari
kedua lengan kekasihnya. Cepat ia melesat memburu
Panji. Dara jelita itu tidak tahu seberapa parah luka
kekasihnya, dan apa yang membuat Panji terluka.
‘Tidak perlu cemas, Kenanga. Aku hanya tergores
mata pedang mereka...,” Jelas Panji seraya memperli-
hatkan garis sepanjang setengah jengkal pada bagian
luar kedua lengannya. Rupanya pada saat berbenturan
kedua pedang lawan sempat menggores, kendati tidak
terlalu dalam. Tenaga gabungan Kelana dan Savitri
dapat menembus lapisan ‘Tenaga Sakti Gerhana Bu-
lan’!
Tanpa banyak bicara, Kenanga segera melepas ikat
pinggangnya. Lalu dipotong menjadi dua dan diba-
lutkan ke kedua lengan Panji yang terluka. Panji sendi-
ri tidak berusaha menolak. Ia tidak ingin membuat da-
ra jelita itu semakin cemas.
“Biar kuhabisi mereka sekarang juga, Kakang...!”
geram dara jelita itu selesai membalut kedua luka di
lengan kekasihnya. Kenanga bergerak menghampiri
Kelana dan Savitri yang tengah menatap pasangan
pendekar muda itu dengan sorot dendam yang sema-
kin parah!
“Kali ini kami terpaksa mengakui kehebatanmu,
Pendekar Naga Putih, lain kali kami akan membalas
kekalahan ini...!” ancaman itu keluar dari mulut Kela-
na. Tampaknya kekalahan itu membuatnya semakin
dendam kepada Pendekar Naga Putih.
“Benar. Lain kali kami akan mencarimu untuk
membuat perhitungan!” timpal Savitri dengan sorot
mata menyala bagai bara api.
“Jangan harap ada kesempatan lain bagi kalian...!”
geram Kenanga seraya melangkah maju dan melo-
loskan Pedang Sinar Bulan yang melilit di pinggang-
nya. Terdengar suara mengaung saat pedang berhawa
dingin itu berputar dengan kecepatan mengagumkan!
“Hm.... Jadi kau hendak membunuh lawan yang
sudah tidak berdaya? Hebat sekali...! Mari. Majulah,
Perempuan Haus Darah! Silakan bunuh kami ber-
dua...!” tantang Savitri sedikit pun tidak kelihatan gen-
tar.
Ucapan itu membuat langkah Kenanga tertahan.
Diam-diam Kenanga mengutuk kelicikan gadis cantik
berpakaian serba merah itu. Karena untuk membunuh
lawan yang sudah tidak berdaya merupakan pantan-
gan bagi orang-orang gagah. Rupanya Savitri cukup
tahu akan peraturan tak tertulis itu. Hingga tidak me-
rasa takut dengan ancaman dara jelita berpakaian ser-
ba hijau itu.
“Apa yang dikatakannya benar, Kenanga...,” ujar
Panji melangkah dan berdiri di samping kekasihnya.
“Kita tidak bisa berbuat apa-apa kalau mereka tidak
melakukan perlawanan....”
‘Tidak!” bantah Kenanga dengan mata berapi-api.
“Ingin kulihat apakah mereka benar-benar pasrah me-
nerima tusukan pedangku...!”
Baru saja ucapan itu selesai, tubuh Kenanga men-
celat ke . depan. Sinar putih keperakan berkilauan
dengan ditandai suara mengaung tajam laksana ratu
san lebah marah! Dan. ..
Wuttt...!
Ujung pedang Kenanga meluncur dengan kecepatan
kilat Panji terlambat mencegah. Ia hanya bisa me-
nunggu apa yang akan terjadi.
Tapi, Savitri memang seorang gadis yang memiliki
kepandaian dan keberanian tidak lumrah, di samping
keanehannya; Ancaman ujung pedang Kenanga sedikit
pun tidak berusaha dielakkan. Bahkan sepasang ma-
tanya tidak berkedip. Dan senyum mengejek tersungg-
ing di bibirnya yang tipis menggemaskan!
“Aaah...?!”
Sikap pasrah Savitri membuat Kenanga terkejut se-
tengah mati! Ujung pedangnya terhenti setengah jeng-
kal dari sasaran. Kenanga tidak sanggup melakukan
perbuatan itu. Savitri memang tidak melakukan gera-
kan perlawanan sedikit pun!
“Setan licik...!” Kenanga hanya bisa mengumpat
jengkel. Pedang Sinar Bulan kembali ditarik pulang
dan tergantung lemas di sisi tubuhnya.
“Mari kita pergi, Kelana...,” ajak Savitri yang sempat
mendengus ke arah Kenanga. Kemudian bergerak me-
ninggalkan tempa itu dengan mengajak Kelana yang
tentu saja semakin kagum dan suka pada Savitri.
“Biarkan mereka pergi Kenanga. Siapa tahu di ten-
gah jalan mereka berubah pikiran dan melupakan
permusuhan ini...,” hibur Panji menepuk perlahan ba-
hu dara jelita itu, yang tidak mengalihkan pandangan-
nya dari sosok Kelana dan Savitri yang kian menjauh.
‘Tapi mereka merupakan ancaman bagi kita, Ka-
kang...,” keluh Kenanga menghela napas panjang. Ia
sadar pasangan orang muda musuh yang tangguh dan
licik. Perjalanan mereka selanjutnya pasti akan selalu
dibayangi maut!
“Yahhh.... Tapi yang lebih berbahaya gadis berpa-
kaian serba merah itu. Ia jelas-jelas dari golongan se-
sat Ilmu silat yang dimilikinya sangat keji dan men-
gandung tipuan-tipuan jahat Tampaknya gadis itu mu-
rid seorang tokoh sesat tingkat tinggi. Namun yang
membuatku heran. Pemuda berpakaian serba merah
itu mempunyai kepandaian yang beragam dan sulit di-
tebak. Tidak sedikit ilmu-ilmu sesat mewarnai gera-
kannya. Entah dari golongan mana sebenarnya pemu-
da tampan dan tegap itu? Sayang ia tidak menjelaskan
mengapa sampai demikian menaruh dendam kepada-
ku...?”
“Mengapa ia tidak mengatakannya kepada kita, Ka-
kang...?”
“Hm.... Mungkin ia ingin membuatku penasaran.
Dengan begitu, ia berharap dapat mengganggu kete-
nangan pikiranku. Bahkan mungkin ia akan tetap me-
rahasiakannya meski aku sampai tewas di tangannya.
Dari menjadi hantu penasaran...,” jelas Panji dapat
menebak apa yang diinginkan pemuda tegap berpa-
kaian serba merah itu.
“Kalau benar begitu, jelas ia sama kejam dan jahat-
nya dengan kuntilanak berpakaian merah itu...,” tukas
Kenanga semakin geram. Sebab teka-teki kedua orang
musuhnya itu masih juga belum terjawab.
“Sudahlah. Untuk apa memikirkan orang-orang gila
seperti mereka. Kita harus segera melanjutkan perjala-
nan. Dengan adanya kejadian ini, kemungkinan besar
maut akan selalu membayangi. Sebaiknya kita mencari
tempat bermalam di perkampungan...,” ujar Panji yang
menyadari sejak kejadian ini, kehidupan mereka te-
rancam. Kelana dan Savitri telah mengucapkan anca-
man itu.
Tanpa banyak tanya, Kenanga segera mengayun langkah menjajari Panji. Keduanya bergerak menjauhi
perbatasan desa. Untuk menginap di desa yang telah
mereka lewati jelas tidak mungkin. Bukan mustahil
kedua lawannya bermalam di desa itu. Mereka tentu
tidak menginginkan hal itu sampai terjadi.
***
Setelah beberapa hari melakukan perjalanan, hati
Kenanga dan Panji mulai terasa tenang. Apa yang me-
reka khawatirkan ternyata tidak terbukti. Gangguan-
gangguan yang mereka sangka akan muncul tidak
pernah datang. Sehingga, keduanya menduga sepa-
sang orang muda berpakaian serba merah itu telah
melupakan dendamnya.
“Kurang ajar...! Mereka benar-benar membuatku
penasaran dan tak bisa tidur nyenyak...!” Kenanga me-
rasa kesal dengan ancaman yang tidak pernah terbukti
itu. Rupanya ia sangat mengharapkan orang-orang itu
muncul mencari mereka berdua.
“Sudah kukatakan sebaiknya lupakan saja tentang
mereka. Menurutku ucapan itu terlontar karena ama-
rah yang tidak terkendali. “Mungkin saat ini mereka
sudah melupakannya...,” tukas Panji menenangkan
Kenanga.
“Belum tentu, Kakang. Siapa tahu mereka tengah
mempersiapkan kekuatan untuk mencelakakan kita.
Kalau mereka datang terang-terangan, jelas aku tidak
takut menghadapinya. Yang aku khawatirkan kelicikan
gadis berpakaian serba merah itu. Ia akan melakukan
kecurangan-kecurangan untuk mencelakakan kita...,”
bantah Kenanga merasa yakin musuh-musuh mereka
masih menyimpan dendam. Kendati sampai hari ini belum terbukti, tapi suatu hari kelak Kenanga yakin me-
reka akan datang untuk melenyapkan mereka berdua.
“Hm....”
Pendekar Naga Putih kelihatannya mulai dapat me-
nerima kekhawatiran dara jelita itu. Mengingat gadis
berpakaian merah itu golongan sesat, bukan mustahil
perbuatannya akan diwarnai dengan kelicikan dan tipu
muslihat serta segala macam cara untuk membalas
dendamnya. Bisa jadi mereka akan muncul bersama
tokoh-tokoh lain yang juga menaruh dendam pada
Pendekar Naga Putih.
“Apa yang kau khawatirkan mungkin ada benarnya.
Bukan mustahil gadis licik itu akan mempergunakan
tangan orang lain untuk menghadapi kita...,” ujar Panji
akhirnya menyetujui dugaan kekasihnya.
“Itu berarti kita belum terbebas dari ancaman sam-
pai mereka dapat kita lenyapkan dari atas muka bumi
ini...,” tukas Kenanga.
Suaranya terdengar demikian geram seperti mena-
ruh dendam kepada kedua musuhnya itu. Ancaman
orang-orang itu membuat perjalanan mereka selalu di-
warnai kewaspadaan. Terutama saat malam datang.
Saat ini cahaya bulan memancar redup. Bulan sabit
menggantung di langit kelam. Panji dan Kenanga yang
terjebak di dalam hutan, saat malam datang, terpaksa
melewati malam di tempat itu. Mereka memilih daerah
yang agak terbuka dan jarang ditumbuhi pepohonan.
“Hm...., Di tempat seperti inilah mungkin kedua
orang jahat itu akan memulai ancamannya...,” sebelum
membaringkan tubuhnya dengan berbantalkan bunta-
lan pakaian,, dara; jelita itu bergumam mengingatkan
Panji.
“Sebaiknya kau. beristirahat Kenanga. Buang piki-
ran itu jauh-jauh agar tidurmu tidak terganggu. Mengenai ancaman itu, kalau benar terbukti, biar aku yang
menghadapi...,” hibur Panji yang sudah menyalakan
api untuk mengusir dingin dan nyamuk-nyamuk hu-
tan.
Kenanga hanya menghela napas perlahan. Kemu-
dian mencoba membuang segala ancaman yang meng-
hantui pikirannya. Matanya terpejam rapat ingin me-
nikmati waktu istirahat dengan sebaik-baiknya.
Pendekar Naga Putih menoleh sekilas dan terse-
nyum melihat dara jelita itu telah memejamkan ma-
tanya. Beberapa saat kemudian, terdengar dengkurnya
yang halus. Melihat jalan napas gadis itu, Panji yakin
kekasihnya telah terlelap. Kenanga telah mematuhi pe-
tunjuknya. Dan mempercayakan segala sesuatu kepa-
da kekasihnya.
Pendekar Naga Putih yang tetap berjaga-jaga sese-
kali menambah kayu bakar agar tetap menyala. Sejauh
itu ia tidak mendengar sesuatu yang mencurigakan.
Kendati demikian, pendengarannya dikerahkan agar
dapat menangkap suara dalam jarak puluhan tombak.
Malam terus beranjak tenang tanpa ada sesuatu yang
dikhawatirkan Kenanga.
Tapi, saat menjelang tengah malam Panji menang-
kap langkah-langkah halus menghampiri tempatnya
bermalam. Kening pemuda itu berkerut ketika sadar
langkah-langkah itu datang dari sekelilingnya. Tahulah
Panji kalau tempat itu akan langsung terkepung saat
pemilik langkah datang menampakkan diri.
“Hm.... Mendengar suara langkah kakinya, mereka
pasti tidak kurang dari lima puluh orang. Anehnya,
suara langkah mereka tidak menggambarkan ilmu
yang tinggi. Kepandaian orang-orang itu hanya bertaraf
lumayan, meski cukup terlatih untuk bergerak di ma-
lam hari. Mungkinkah mereka pengikut-pengikut sepasang orang muda yang dendam kepadaku...?” gu-
mam Panji tetap memasang indera pendengarannya
untuk berjaga-jaga. Kemudian bergerak perlahan
menghampiri kekasihnya yang sedang terlelap.
“Ada apa, Kakang...?” tanya Kenanga tersentak ka-
get ketika Panji membangunkannya.
“Waspadalah. Kita akan kedatangan tamu yang ti-
dak diundang...,” jawab Panji segera memberikan isya-
rat agar dara jelita itu tidak menimbulkan gerakan
yang mencurigakan. Dan menunggu kemunculan pe-
milik suara langkah-langkah itu.
***
DELAPAN
Suara burung malam terdengar saling bersahutan.
Seolah-olah memberi pertanda tidak baik bagi pasan-
gan pendekar muda itu. Hembusan angin malam yang
dingin menyentuh kulit sesekali bertiup keras meng-
goyangkan ranting-ranting pohon. Namun suara geme-
risik dedaunan tidak mengganggu pendengaran Panji.
Telinganya tetap dapat membedakan suara langkah
kaki. yang didengarnya.
“Hm.... Sepertinya jumlah mereka cukup banyak,
Kakang. Jangan-jangan mereka hanya gerombolan pe-
rampok tengik...,” bisik Kenanga ketika telinganya mu-
lai mendengar suara langkah kaki orang banyak itu.
“Ku perkirakan jumlah mereka tidak kurang dari
lima puluh orang. Rata-rata memiliki kepandaian yang
lumayan...,” ujar Panji menduga-duga.
Kenanga tidak berkata apa-apa. Demikian pula Pan-
ji. Keduanya tetap waspada menanti kemunculan gerombolan yang diduganya lawan. Mereka baru me-
layang ke atas sebuah pohon besar saat langkah kaki
itu terdengar semakin dekat.
Tidak berapa lama kemudian yang dinantikan pun
muncul. Satu persatu sosok-sosok bayangan hitam
bermunculan dari sekeliling tempat Panji dan Kenanga
bermalam. Panji yakin mereka berdualah yang dituju
orang-orang itu. Terbukti mereka seperti tengah men-
cari-cari sesuatu.
‘‘Aneh.!.? Ke mana perginya kedua orang itu...? Pa-
dahal jelas-jelas bermalam di tempat ini. Buktinya api
itu belum dipadamkan. Mungkinkah mereka telah per-
gi...?” terdengar salah satu dari sosok-sosok tubuh itu
berkata dengan heran.
‘Tidak mungkin mereka dapat pergi tanpa setahu ki-
ta. Sekitar tempat ini telah terkurung...!” bantah sosok
lainnya tak setuju. Meskipun demikian ada keraguan
dalam ucapannya. Orang yang mereka cari memang ti-
dak terlihat di sekitar tempat itu.
“Percuma! Mereka pasti telah pergi. Sebaiknya kita
segera kembali. Tidak ada gunanya membuang-buang
waktu...!” sosok bayangan hitam bertubuh tinggi kurus
memerintah dengan suara lantang. Kemudian mengge-
rakkan tangan kanannya memberi isyarat untuk pergi
dari tempat itu.
Tanpa banyak cakap, sosok-sosok bayangan hitam
yang jumlahnya ternyata hanya belasan orang itu ber-
gerak pergi. Dalam sekejapan tempat itu kembali sepi.
Hanya suara binatang malam dan siliran angin yang
sesekali keras mengisi keheningan malam.
“Hm.... Mungkinkah pendengaranku salah? Padahal
ku perkirakan jumlah mereka paling tidak lima puluh
orang? Mengapa yang muncul cuma beberapa belas sa-
ja...?” desis Panji heran. Pemuda itu termenung beberapa saat lamanya.
“Kelihatannya memang ada yang tidak wajar...,” de-
sis Kenanga sependapat dengan Panji.
“Kalau begitu, kau tetaplah di sini. Aku akan turun
memeriksanya...,” ujar Panji menatap kenanga me-
nunggu jawaban.
“Baiklah, Kakang. Hati-hati.,..”
Setelah mendapat jawaban dari kekasihnya, Panji
meluncur turun dari tempat persembunyian. Tubuh-
nya mendarat ringan tanpa menimbulkan bunyi sedikit
pun. Setelah berdiam sesaat memperhatikan sekeli-
lingnya, Panji melangkah perlahan. Tapi....
Wuttt, wuttt, wuttt...!
Pendekar Naga Putih menahan langkahnya ketika
mendengar suara desingan menuju ke arahnya. Suara
itu datang dari empat penjuru! Cepat ia menoleh untuk
mengetahui benda apa yang menimbulkan suara de-
ruan angin itu. Dan....
“Haiiit..!”
Dengan gerakan yang sukar diikuti mata, tubuh
Pendekar Naga Putih melenting ke udara. Ia sempat
menangkap adanya benda-benda panjang seperti ular
meluncur ke arahnya. Pemuda itu baru bergerak turun
setelah yakin benda-benda panjang itu tidak akan da-
pat menjangkaunya. Baru saja kedua kakinya menyen-
tuh tanah, tiba-tiba....
Rrrt, rrrt, rrt..!
Terkejut bukan main hati Panji ketika merasakan
ada sesuatu melilit kedua kakinya. Lalu kedua tan-
gannya pun tak luput dari lilitan benda panjang itu.
“Kurang ajar...!” desis Panji ketika menyadari di-
rinya memang telah ditunggu-tunggu lawan-lawannya
yang bersembunyi. Ia telah masuk ke dalam perangkap
lawan.
Kendati kaki dan tangannya telah terlilit benda-
benda panjang yang ternyata tali-tali sebesar ibu jari.
Pendekar Naga Putih tidak panik Yang pertama dila-
kukannya adalah menyentakkan tali yang melilit ke-
dua tangannya.
“Heaaah...!”
Dua sosok tubuh yang bersembunyi di atas pepo-
honan langsung tersentak keluar dari tempat persem-
bunyian. Tapi hal itu tampaknya memang disengaja.
Sosok-sosok tubuh yang tersentak keluar itu terus
menyeberang melewati tubuh Panji.
“Hm....”
Pendekar Naga Putih bergumam jengkel. Dengan
lompatan-lompatan orang-orang itu, tubuhnya sema-
kin erat terlibat tali. Sadarlah Panji kalau orang-orang
itu hendak mengikat tubuhnya.
“Haiiit..!”
Belum lagi Panji sempat melakukan gerakan kem-
bali terdengar suara teriakan. Disusul kemudian den-
gan tubuh-tubuh yang berloncatan melewati kepa-
lanya. Panji kagum. Mereka rata-rata memiliki ilmu
meringankan tubuh cukup tinggi. Sehingga, apa yang
mereka kehendaki menunjukkan hasil yang baik!
Semula Pendekar Naga Putih tidak khawatir. Ia
mengira tali yang mengikat dirinya tidak memiliki keis-
timewaan apa-apa. Tapi saat hendak memberontak
memutuskan tali-tali itu betapa terkejut Pendekar Na-
ga Putih. Meski mengerahkan ‘Tenaga Sakti Gerhana
Bulan’ tali itu tidak mampu diputuskan! Tahulah Panji
kalau tali itu terbuat dari jalinan kulit binatang yang
telah direndam sejenis ramuan hingga tidak dapat di-
putuskan dengan senjata tajam sekalipun.
“Gila...! Mengapa aku bertindak seceroboh ini...!”
desis Panji segera mempertahankan kedua kakinya
agar tidak terikat seperti kedua tangannya yang tidak
lagi dapat digerakkan.
“Heaaahhh...!”
“Hahhh...!”
Empat sosok tubuh yang melibatkan tali ke paha
dan pergelangan kaki Panji bergerak memutari tubuh
pemuda itu. Mereka hendak mengikat kedua kaki Pen-
dekar Naga Putih, agar pemuda itu lumpuh dan terikat
seluruh tubuhnya.
Pendekar Naga Putih tentu saja tidak ingin mengu-
lang kecerobohannya. Ia merendahkan kuda-kudanya
dan menekuk kedua lututnya. Sehingga meski tali-tali
itu melibat kedua kakinya, namun tidak mampu me-
nyatukan kedua kaki pemuda itu. Tubuh Panji berdiri
dengan kedua kaki menekuk.
Saat Panji tengah mempertahankan diri agar tidak,
dapat dilumpuhkan lawan, tiba-tiba terdengar sebuah
jeritan. Terkejut bukan main pemuda itu. Jeritan itu
sangat dikenalinya dengan baik!
“Kenanga...?!” desis Panji. Wajahnya berubah. Dari
jeritannya, Pendekar. Naga Putih tahu kekasihnya ten-
gah terdesak atau dalam bahaya. Seketika itu juga
kemarahannya timbul.
Sadar kekasihnya tengah terancam, Panji segera
memejamkan mata rapat-rapat Jalan satu-satunya un-
tuk membebaskan diri hanyalah dengan menggunakan
‘Tenaga Sakti Inti Panas Bumi’. Tinggal kekuatan muk-
jizat berhawa panas itulah harapannya. Maka....
“Hiyaaat..!”
Dibarengi ‘Pekikan Naga Marah’, muncullah sinar
kuning keemasan membungkus tubuh Panji. Seketika
itu juga....
Brrrlll...!
Tali-tali yang mengikat tubuh Pendekar Naga Putih
memperdengarkan bunyi berkeretekan terbakar. Bah-
kan menjalar dengan cepat ke tangan pemiliknya. Se-
hingga....
“Aaa...!”
Delapan lelaki yang berada di sekeliling Panji lang-
sung melepaskan tali yang tergenggam di tangannya.
Mereka berlompatan mundur dengan wajah pucat
sambil meniup-niup telapak tangannya yang terjilat
api.
“Ilmu setan ..!”
“Iblisss..!”
Terdengar desisan kedelapan orang itu, Kelihatan
sekali pancaran kegentaran pada wajah-wajah mereka.
Apa yang dilakukan Panji sangat mustahil!
Pendekar Naga Putih sendiri tidak mempedulikan
kedelapan orang. itu. Yang dipikirkannya hanya kese-
lamatan Kenanga. Maka seketika itu juga tubuhnya
melayang meninggalkan tempat itu. Ia memang telah
terseret jauh dari tempat semula.
Zing, zing, zing...!”
Gerakan Panji dihalangi suara berdesingan yang da-
tang dari segala penjuru. Mendengar suara desingan-
nya, sadarlah Pendekar Naga Putih kalau dirinya dihu-
jani anak panah. Cepat ia mengibaskan kedua lengan-
nya ke kiri dan kanan. Hembusan angin keras berhawa
panas membakar bertiup!
“Heaaa...!”
Hebat sekali akibat pengerahan ‘Tenaga Sakti Inti
Panas Bumi’ itu! Puluhan batang anak panah yang da-
tang mengancam runtuh dalam keadaan hangus ter-
bakar. Padahal jaraknya masih setengah tombak dari
tubuh Panji. Dapat dibayangkan betapa dahsyatnya
kekuatan tenaga mukjizat itu!
Tanpa mempedulikan anak-anak panah yang runtuh ke tanah, Pendekar Naga Putih terus melanjutkan
niatnya hendak melihat keadaan kekasihnya. Meski ti-
dak mengerti mengapa Kenanga sampai berada jauh
dari tempat persembunyiannya, semua itu tidak lagi
dipikirkan. Yang penting ia harus segera tahu bagai-
mana keadaan dari jelita itu.
***
“Haaat..!”
Tapi, lagi-lagi Pendekar Naga Putih harus menahan
kegeraman Hatinya. Dari semak-semak di sekitar tem-
pat itu, berlompatan sosok-sosok tubuh dengan men-
genggam senjata terhunus! Mereka langsung mener-
jang pemuda itu.
“Kurang ajar...!”
Lagi-lagi Panji hanya bisa mengumpat geram. Tu-
buhnya berkelebatan di antara sambaran pedang la-
wan. Sehingga, tak satu pun mata pedang dapat me-
nyentuh tubuhnya. Para pengeroyok menjadi penasa-
ran!
‘Terima ini...!”
Merasa jengkel dengan sikap keras kepala lawan-
lawannya, Pendekar Naga Putih mulai kehilangan ke-
sabaran. Tangan dan kakinya bergerak menghajar la-
wan. Sebentar saja empat sosok tubuh terjungkal te-
was mencium tanah. Dalam kecemasannya akan nasib
Kenanga, Pendekar Naga Putih telah menggunakan se-
tengah dari tenaga mukjizatnya untuk menghajar la-
wan. Karuan saja tubuh keempat orang itu terpang-
gang hangus!
Tapi meskipun korban telah berjatuhan, semangat
serta keberanian para pengeroyok itu tidak berkurang.
Mereka tetap nekat mencegah tubuh pemuda itu yang
hendak melewati mereka. Sehingga, mengamuklah
Pendekar Naga Putih dengan pukulan-pukulan mau-
pun tendangannya yang membawa hawa panas mem-
bakar!
“Aaa...!”
Lagi tiga orang lawan terjungkal dengan tubuh han-
gus! Kepalan serta tamparan Pendekar Naga Putih te-
lah mengirim mereka ke neraka. Dan, hal itu terus ber-
lanjut
“Haiiit...!”
Di saat Panji tengah mengamuk bagai naga murka
terdengar pekikan melengking. Disusul suara ledakan
memekakkan telinga!
Jtarrr, ctarrr...!
Pendekar Naga Putih melompat ke samping meng-
hindari sebuah patukan benda panjang yang mengan-
cam pelipisnya. Dari sambaran anginnya yang laksana
dengung lebah marah, Panji tahu penyerangnya bu-
kanlah orang sembarangan! Ia tidak berani bertindak
gegabah sebelum mengetahui benda yang digunakan
lawan untuk menyerang dirinya.
Darrr...!
“Haiiit..!”
Kembali Pendekar Naga Putih melompat jauh ke be-
lakang. Untunglah gerakannya masih lebih cepat dari
sambaran benda berbentuk mata tombak itu. Kalau ti-
dak, besar kemungkinan tubuhnya berlubang seperti
tanah tempatnya semula berpijak.
“Gila...!-’ desis Panji takjub melihat kehebatan sen-
jata lawan. Kepalanya tengadah hendak melihat pemi-
lik senjata yang belum diketahui bentuk keseluruhan-
nya itu.
“Kau...! Bukankah kau yang berjuluk Cambuk Penakluk Naga...?!” seru Panji rupanya telah mengenal
baik lawannya.. Itu diketahuinya setelah melihat cam-
buk yang pada bagian ujungnya berbentuk mata tom-
bak. Siapa lagi tokoh itu kalau bukan Cambuk Penak-
luk Naga!
“Heh heh heh...! Sudah lama aku ingin merasakan
kehebatanmu yang telah mengguncangkan rimba per-
silatan! Tidak tahunya kabar itu bukan isapan jempol
belaka! Kau memang pantas menyandang gelar itu.
Pendekar Naga Putih! Tapi, kali ini nagamu akan sege-
ra bertekuk lutut oleh ujung cambukku...!”
Terdengar suara tawa menggelegar dan suara parau
tokoh berusia kira-kira tujuh puluh tahun itu. Tubuh-
nya tidak terlalu tinggi. Bercambang bauk yang meng-
hiasi hampir seluruh wajahnya. Memang pantas kalau
kakek berpenampilan menyeramkan itu menyandang
julukan Cambuk Penakluk Naga. Permainan cambuk-
nya sulit dicari tandingannya.
“Hm ... Mengapa kau memusuhiku, Cambuk Penak-
luk Naga? Bukankah di antara kita tidak mempunyai
urusan...?” tegur Panji dengan sorot mata mencorong
tajam, membuat kakek itu bergidik juga menatapnya.
“Heh heh heh.... Mengapa masih bertanya lagi, Pen-
dekar Naga Putih? Bukankah jalan kita bertentangan?
Jadi tidak mungkin kita dapat hidup berdampingan,
bukan?, Nah, salahkah kalau aku hendak mele-
nyapkanmu...?” tukas Cambuk Penakluk Naga mem-
perdengarkan tawanya yang menyebalkan.
“Jadi kedatanganmu dengan membawa pengikut
bukan atas kehendak orang lain...?” tegas Panji ingin
mengetahui apakah ada orang yang berdiri di belakang
tokoh sesat itu.
“Cukup, Pendekar Naga Putih! Aku datang ke tem-
pat ini bukan untuk melayani pertanyaanmu! Sebaik
nya kau bersiaplah agar kematianmu tidak sia-sia...!”
tandas Cambuk Penakluk Naga tak mau menjawab
pertanyaan Panji. Tampaknya ia ingin melenyapkan
Pendekar Naga Putih secepatnya.
Mendengar ucapan itu, Panji kembali teringat akan
kekasihnya yang belum diketahui nasibnya. Maka tan-
pa membuang-buang waktu lagi, segera dipersiapkan-
nya serangan untuk menghadapi Cambuk Penakluk
Naga yang telah ia dengar kehebatannya.
“Haaat..!”
Begitu membuka serangan, Panji langsung menge-
rahkan lebih dari tiga perempat ketaatan mukjizatnya.
Sepasang tangannya mendorong ke depan dengan pu-
kulan jarak jauh!
Wusss.... Bummm...!
Tanah di sekitar arena pertarungan bergoncang ba-
gai terjadi gempar! Untunglah Cambuk Penakluk Naga
telah lebih dulu meninggalkan tempatnya berpijak. Ka-
lau tidak, niscaya tubuhnya hancur berkeping-keping
oleh pukulan maut Pendekar Naga Putih.
Sebelum kepulan debu tebal itu menipis dan hilang
terbawa hembusan angin malam, Panji berkelebat ke
arah pertempuran lain yang tertangkap pendengaran-
nya. Tentu saja perbuatan pemuda itu tidak didiamkan
lawannya.
“Hendak lari ke mana kau, Pendekar Naga Putih...!”
seru Cambuk Penakluk Naga segera melesat melaku-
kan pengejaran. Dari belakang, cambuk mata tombak-
nya meluncur dengan cepat!
Sadar ada serangan yang datang mengancam dari
belakang, Panji mengibaskan lengan kanannya dengan
sepenuh tenaga tanpa menoleh. Sehingga....
Darrr...!
Ujung cambuk bertemu dengan lengan Panji menimbulkan ledakan keras! Tubuh Cambuk Penakluk
Naga terlempar mundur sejauh satu tombak. Namun,
tokoh sesat itu dapat menggunakan keseimbangan tu-
buhnya dengan baik. Dan mendarat dengan kedua ka-
ki lebih dulu. Kendati demikian, wajahnya terlihat agak
pucat Nafasnya pun agak memburu.
Pendekar Naga Putih sendiri tidak mempedulikan
lengannya yang terasa nyeri. Tubuhnya terus melun-
cur ke depan. Apa yang dilihatnya kemudian benar-
benar membuat pemuda itu menggeram marah! Pen-
dekar Naga Putih menyaksikan Kenanga tengah dide-
sak habis-habisan oleh dua orang tubuh berpakaian
serba merah. Siapa lagi kedua orang itu kalau bukan
Kelana dan Savitri.
“Hiyaaat..!”
Tanpa membuang-buang waktu, Pendekar Naga Pu-
tih mengeluarkan pekikan naga marah! Tubuhnya me-
lesat dengan kecepatan laksana sambaran kilat di
angkasa. Sepasang tangannya bergerak susul-
menyusul menyambut sebuah pukulan berbahaya
yang saat itu mengancam tubuh kekasihnya!
Breshhh...!
“Aaakh...!”
Savitri yang pukulannya nyaris mengenai sasaran
terpekik kaget! Tubuhnya terlempar dan jatuh bergu-
lingan di atas tanah. Pendekar Naga Putih telah men-
gerahkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya untuk
menyelamatkan nyawa kekasihnya.
“Kakang...!”
Kenanga berseru lemah dengan napas memburu.
Keringat membasahi tubuh dan wajah dara jelita itu.
Kelihatan sekali betapa dara jelita itu sudah sangat
kepayahan. Untunglah Panji datang pada saat yang te-
pat!
“Kenanga. …… Kau tidak apa-apa...?” tanya Panji
memeluk tubuh kekasihnya dengan lengan kiri. Wajah
pemuda itu kelihatan cemas ketika mendapati lelehan
darah pada sudut bibir kekasihnya. Kenanga telah
menerima beberapa pukulan lawan. Hal itu menda-
tangkan kemarahan di hati Panji.
“Kalian benar-benar manusia tak tahu diri! Rasanya
hanya kematian yang dapat menyadarkan kalian dari
kesesatan...!” geram Panji melepas rangkulan pada tu-
buh Kenanga. Kemudian mempersiapkan jurus meng-
hadapi lawan-lawannya.
Saat itu Cambuk Penakluk Naga telah mendaratkan
kakinya di arena pertempuran. Tampaknya kakek itu
membantu Kelana dan Savitri untuk membalaskan
dendamnya kepada Pendekar Naga Putih. Tapi Panji
tidak tahu ada hubungan apa antara kedua orang mu-
da berpakaian serba merah itu dengan Cambuk Penak-
luk Naga.
Panji menatap lawan-lawannya satu persatu. Ketiga
orang itu jelas tidak bisa dipandang remeh. Belum lagi
para pengikut Cambuk Penakluk Naga yang bukan
mustahil akan berbuat curang saat ia bertempur
menghadapi pemimpin mereka. Ia harus memperhi-
tungkan segalanya dengan cermat.
“Kali ini riwayatmu akan tamat, Pendekar Naga Pu-
tih..!” geram pemuda tampan bertubuh tegap yang ti-
dak lain Kelana. “Dengan begitu dendam ku terluna-
si...!”
“Persetan dengan dendammu, Kisanak! Tapi, jangan
harap kalian dapat menundukkan ku...!” tukas Panji
merasa tidak perlu lagi bertanya tentang penyebab
dendam pemuda tegap itu. Ia tahu itu sia-sia saja. Ke-
lana tidak akan pernah menjawabnya.
“Hm...!”
Begitu ucapannya selesai, Pendekar Naga Putih me-
lipat kedua tangan dengan telapak melekat di dada.
Sepasang matanya terpejam rapat memanggil senjata
mukjizatnya. Untuk menghadapi ketiga lawannya yang
berbahaya itu, ia harus menggunakan Pedang Naga
Langit!
“Hahhh...!”
Dibarengi bentakan menggelegar yang membuat la-
wan-lawannya terlongong, di tangan Pendekar Naga
Putih tahu-tahu tercipta sebilah pedang terbungkus
sinar kuning keemasan.
“Pedang Naga Langit...?!”
Cambuk Penakluk Naga dan Savitri berseru kaget
Sedangkan Kelana hanya memandang penuh takjub.
Pemuda tegap itu memang belum mengetahui menge-
nai pedang mukjizat itu.
“Hm.... Sekarang bersiaplah untuk melayat ke akhe-
rat...!” ujar Panji memutar pedangnya dengan gerakan
menyilang. Terdengar suara mengaung disertai hawa
panas membakar memenuhi arena pertarungan.
“Haaat.!”
Ketika melihat lawan-lawannya telah merenggang
mengepung dirinya, Pendekar Naga Putih membuka
serangan dengan lengkingan menggeledek! Tubuhnya
melayang disertai sambaran pedang mukjizatnya.
Dan....
“Aaa...!”
Enam orang pengikut Cambuk Penakluk Naga me-
mekik ngeri saat. tubuhnya terpapas mata pedang
Pendekar Naga Putih. Sedangkan ketiga lawan Panji te-
lah berlompatan menjauh, Mereka cukup sadar akan
kelebatan Pedang Naga Langit.
Wukkk, wukkk...!
Pendekar Naga Putih memutar pedangnya di atas
kepala. Dedaunan langsung berguguran hangus bagai
terbakar. Menyaksikan kejadian itu semakin gentarlah
hati lawan-lawannya.
Cambuk Penakluk Naga menggeser langkahnya
mendekati Kelana. Terdengar bisikannya kepada pe-
muda tegap beralis tebal itu.
“Rasanya kita tidak bisa mengatasi pemuda gila itu,
Kelana. Sebaiknya kita cari bantuan lebih banyak un-
tuk melenyapkan Pendekar Naga Putih....”
“Tapi, kelihatannya ia tidak akan membiarkan kita
pergi begitu saja...,” bantah Kelana setuju dengan pen-
dapat Cambuk Penakluk Naga.
‘Tidak perlu khawatir. Sebaiknya kau pergi bersama
yang lain. Aku menyusul belakangan. Jangan cemas.
Aku pasti dapat mengelabuinya...,” ujar Cambuk Pe-
nakluk Naga membuat Pemuda itu menganggukkan
kepala.
“Hei! Mau pergi ke mana kalian, Manusia- manusia
Pengecut..!” seru Panji ketika melihat lawan-lawannya
bergerak mundur. Tahulah Pendekar Naga Putih kalau
mereka hendak melarikan diri.
“Jangan hiraukan mereka Pendekar Naga Putih! Se-
baiknya kau sambut seranganku...!”
Cambuk Penakluk Naga segera mengalihkan perha-
tian Panji. Kakek itu memutar cambuknya sedemikian
rupa hingga menimbulkan suara mengaung bagai ra-
tusan lebah marah. Dan….
Jdarrr...!
Pendekar Naga Putih melompat ke belakang ketika
ujung cambuk berbentur mata tombak itu mengancam
tubuhnya. Tanah tempat ia berpijak berhamburan,
membuat arena pertarungan gelap seketika.
“Jaga kekasihmu, Pendekar Naga Putih...!”
Pendekar Naga Putih tersentak kaget mendengar seruan Cambuk Penakluk Naga! Telinganya menangkap
suara berdesir menuju ke arah Kenanga. Sementara
dara jelita itu tengah bersandar kelelahan pada seba-
tang pohon besar.
“Keparat licik” Sambil mengumpat marah, Pendekar
Naga Putih melesat ke arah kekasihnya. Pedang di
pangannya, mengibas dengan raungan tajam. Bebera-
pa jarum halus yang dilepaskan Cambuk Penakluk
Naga jatuh ke tanah. Tapi....
“Aaakh...?!”
“Kenanga...!”
Bukan main terkejut hati Panji mendengar teriakan
kekasihnya. Jeritan itu menunjukkan ada beberapa
batang jarum mengenai sasaran.
“Kenanga...!” panggil Panji cemas. Tidak dipeduli-
kannya Cambuk Penakluk Naga yang melesat pergi
sambil memperdengarkan tawa. Pendekar Naga Putih
lebih mementingkan keselamatan kekasihnya. Lawan-
lawannya dapat dicari kemudian.
“Kakang...,” rintih Kenanga dengan bibir mulai me-
mucat. Panji terlihat kaget melihat cara kerja racun itu
yang sangat cepat
Tanpa ragu-ragu, Pendekar Naga Putih menempel-
kan kedua telapak tangannya ke punggung Kenanga.
Kemudian mengerahkan tenaga dalamnya untuk men-
geluarkan jarum-jarum halus itu. Hal itu tidak sulit di-
lakukan Panji. Tenaga dalamnya telah mencapai taraf
sempurna. Sebentar saja jarum-jarum yang menancap
di beberapa bagian tubuh Kenanga berlompatan ke-
luar. Kemudian Pendekar Naga Putih memberikan pil
penawar racun kepada dara jelita itu.
“Hm….Kelak aku akan mencari kalian Manusia-
manusia Durjana...!” tekad Panji segera memondong
tubuh kekasihnya, dan melesat pergi ke arah yang berlawanan dengan Cambuk Penakluk Naga dan teman-
temannya.
Sebentar saja tubuh Pendekar Naga Putih lenyap di-
telan kegelapan malam....
Sampai di sini episode: “Petualang Sakti”. Untuk
mengetahui penyebab dendam Kelana, Savitri dan to-
koh berjuluk Cambuk Penakluk Naga, serta rahasia-
rahasia lainnya, silakan ikuti episode selanjutnya yang
berjudul : “Pertarungan Dua Naga”.
Siapakah sebenarnya pemuda bernama Kelana yang
berjuluk Petualang Sakti? Dari mana pemuda itu be-
rasal? Benarkah orang tuanya dibunuh Pendekar Naga
Putih? Lalu, apa penyebabnya? Semua itu akan terja-
wab dalam episode: “Pertarungan Dua Naga”.
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar