RAJA KERA IBLIS
oleh Teguh Suprianto
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Gambar Sampul : Tony G.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Rajawali Sakti
dalam episode 032:
Raja Kera Iblis
128 hal ; 12 x 18 cm
SATU
Glarrr!
Ledakan keras menggelegar terdengar begitu
dahsyat bagai hendak menghancurkan angkasa.
Tampak semburan cahaya api disertai gumpalan asap
hitam membumbung tinggi, menggetarkan seluruh
rumah yang ada di kaki Gunung Weling.
Gemuruh batu-batu yang longsor dari lereng
gunung itu terdengar keras. Debu berkepul, seakan-
akan ingin menyatu dengan semburan api dan
gumpalan asap hitam yang menyembur dari puncak
gunung ini. Ledakan dahsyat yang disertai guncangan
begitu hebat membuat panik seluruh penduduk di
Desa Weling. Mereka semua berhamburan keluar,
dan langsung memadati jalan. Wajah mereka
seketika memucat begitu melihat api dan asap hitam
menggumpal menjadi satu dengan awan dan debu
dari puncak Gunung Weling.
Glarrr!
Kembali terdengar ledakan keras yang sangat
dahsyat. Asap hitam semakin banyak menggumpal
dan menyebar menutupi langit di sekitar kaki Gunung
Weling. Siang yang semula terasa begitu panas dan
terik kini menjadi gelap bagai malam. Seluruh
angkasa sudah terselimut awan tebal yang meng-
gumpal membentuk awan panas. Slart..!
Beberapa kali terlihat kilatan cahaya membelah
gumpalan asap hitam yang membentuk awan itu.
Bumi terus bergetar, membuat beberapa rumah mulai
roboh. Semua orang yang memadati jalan di Desa
Weling semakin terlihat panik. Awan hitam yang
menggumpal semakin tebal itu mulai terasa
menyebarkan hawa panas, membuat dada sesak dan
sulit untuk bernapas.
“Ha ha ha...!”
Tiba-tiba terdengar tawa yang begitu keras dan
mengejutkan. Semua orang yang tengah dihinggapi
kepanikan, seketika tertegun dan langsung memucat
wajahnya. Suara tawa yang demikian keras itu
menyebar dan menggema bagai datang dari langit
yang tertutup gumpalan awan hitam yang sangat
tebal ini.
Namun, mendadak suara tawa yang begitu keras
dan menggelegar memekakkan telinga tadi lenyap
bersamaan dengan menghilangnya suara gemuruh
serta getaran bumi. Semburan api dan awan hitam
pun seketika lenyap tak terlihat lagi di puncak
Gunung Weling. Dan, perlahan-lahan awan hitam yang
menggumpal menyelimuti seluruh kaki gunung itu
pun menghilang tertiup angin yang tiba-tiba ber-
hembus kencang.
Cepat sekali keadaan kembali tenang. Tapi, tak
ada seorang pun penduduk Desa Weling yang
kembali ke rumahnya masing-masing. Mereka masih
tetap berada di luar dan terus memandangi puncak
gunung yang kini sudah kembali kelihatan tenang.
Alam benar-benar kembali tenang, bagai tidak pernah
terjadi sesuatu.
***
Memang hanya sebentar peristiwa itu terjadi.
Namun, ada sekitar lima rumah yang roboh akibat
guncangan yang ditimbulkan dari Gunung Weling tadi.
Bahkan dua di antaranya hangus terbakar. Dan, api
masih menyala meliuk-liuk mengikuti hembusan
angin.
Sementara itu, di dalam sebuah rumah yang
berukuran besar dan berhalaman luas, tampak empat
orang laki-laki berusia lanjut duduk melingkar di lantai
beranda depan, dengan hanya beralaskan selembar
tikar dari daun pandan. Mereka semua mengenakan
jubah panjang berwarna putih, dengan ikat kepala
yang juga putih. Wajah-wajah mereka kelihatan begitu
suram, bagai malam yang tidak ditaburi cahaya
bintang dan rembulan. Mereka adalah Kepala Desa
Weling dan para pemuka desa ini.
Mereka semua mengenakan jubah putih yang
bersih dan panjang. Untuk membedakan antara satu
orang dan lainnya, bisa dilihat dari senjata yang
mereka sandang. Senjata-senjata Itu memiliki bentuk
yang berlainan. Tampaknya, mereka bukanlah orang-
orang biasa, atau setidak-tidaknya memiliki
kepandaian yang cukup tinggi. Ini bisa dilihat dari
bentuk senjata yang mereka bawa.
“Getaran hatiku mengatakan kalau ini bukan
kejadian gempa biasa...,” ujar Ki Rakonta dengan
suara menggumam perlahan. Dialah Kepala Desa
Weling.
“Benar. Seumur hidup aku tinggal di sini, belum
pernah terjadi gempa satu kali pun,” sambung salah
seorang pemuka Desa Weling.
Pemuka desa itu tampak memegang sebuah
cambuk berwarna hitam, yang tergulung di tangan
kirinya. Seluruh cambuk itu dipenuhi bulu-bulu halus,
dan pada bagian ujungnya terdapat bulatan besi baja
berwarna hitam sebesar mata kucing yang berduri
halus. Semua orang di Desa Weling mengenal lelaki
tua ini dengan nama Ki Ampar.
“Pasti kalian semua mendengar suara tawa keras
itu tadi...,” ujar Ki Rakonta lagi, seraya memandangi
tiga orang laki-laki tua yang sebaya dengannya.
Semua kepala terangguk, dan semua mata
menatap pada kepala desa ini. Tentu saja mereka
tadi mendengar tawa yang teRatnat keras dan meng-
gelegar, sebelum gempa yang datang begitu tiba-tiba
dan mengejutkan ini berakhir. Tak ada seorang pun
yang tidak mendengar. Dan, tawa keras menggelegar
itu juga membuat mereka bertanya-tanya.
“Aku yakin, gempa tadi adalah ciptaan seseorang,
atau...,” Ki Rakonta tidak melanjutkan kata-katanya.
“Atau apa, Ki?” desak Ki Bantur, yang meng-
genggam sebilah pedang pendek pada tangan
kanannya.
Pedang Ki Bantur berwarna kuning keemasan, dan
sepertinya memang terbuat dari emas murn. Gagang
pedang pendek itu berbentuk sekuntum bunga yang
terkembang mekar, dengan sebuah batu mutiara di
tengah-tengah kelopak bunga pada ujungnya.
“Kalian masih ingat cerita orang-orang tua kita
dulu...?”
Ki Rakonta malah balik bertanya, sambil merayapi
wajah ketiga orang yang duduk bersila di depannya.
Tapi, tak ada seorang pun yang menjawab pertanyaan
itu. Mereka malah saling melemparkan pandangan.
Dan, kening mereka tampak berkerut begitu sama-
sama menatap Ki Rakonta, seakan-akan meminta
penjelasan.
“Memang sudah lama sekali. Dan tidak ada lagi
yang pernah bercerita atau mengingatnya. Tapi
kejadian ini membuatku teringat pada cerita orang-
orang tua kita. Cerita yang dulu kita anggap hanya
sebagai dongeng dan tidak ada kenyataannya sama
sekali. Tapi begitu meresap, seperti sebuah kenyata-
an yang pernah ada dan pernah terjadi di sekitar
kita,” kata Ki Rakonta.
Masih belum ada yang membuka suara sedikit
pun. Mereka masih belum mengerti akan arah kata-
kata kepala desa ini. Tapi, dari sikap dan raut wajah
mereka, tampak semuanya sedang menebak-nebak.
Begitu banyak cerita yang sulit untuk dipercaya dan
masuk ke dalam akal pikiran yang sehat Dan, mereka
masih belum tahu, cerita mana yang dimaksud oleh
Ki Rakonta.
“Sebenarnya aku sendiri belum yakin. Tapi melihat
kejadian tadi, aku jadi teringat cerita ayahku dulu,”
kata Ki Rakonta lagi.
Masih belum ada seorang pun yang membuka
suara. Semua masih menduga-duga, apa sebenarnya
maksud kepala desa itu. Tak seorang pun yang bisa
menangkapnya. Dan, mereka terus menduga-duga
sampai Ki Rakonta melanjutkan pembicaraannya.
“Kejadian tadi mirip sekali dengan tanda-tanda
bangkitnya Raja Kera Iblis...?!”
“Apa...?!”
“Raja Kera Iblis...?!”
Ketiga pemuka Desa Weling itu terperanjat
setengah mati begitu Ki Rakonta menyebut nama
Raja Kera Iblis. Betapa tidak? Mereka memang sudah
sering mendengar cerita tentang makhluk mengeri-
kan yang sangat dahsyat dan kejam itu. Tapi, semua
cerita itu kini sudah tidak pernah lagi terdengar.
Bahkan, cerita itu selalu dianggap dongeng belaka.
Karena, makhluk itu memang tidak pernah muncul,
dan tak seorang pun yang pernah melihatnya, kecuali
orang-orang yang hidup seratus tahun lalu. Namun,
para pemuka desa itu memang pernah mendengar
Raja Kera Iblis hanya menampakkan diri seratus
tahun sekali. Dan, setiap kali muncul, dia selalu
menimbulkan malapetaka, sampai ada seseorang
yang bisa membinasakannya kembali. Seratus tahun
kemudian, dia pun akan muncul kembali dengan
kekuatan yang lebih dahsyat, dan dengan kekejaman
yang tidak akan pernah terbayangkan oleh siapa pun
juga. Setiap orang yang mendengar cerita itu selalu
membayangkan Raja Kera Iblis sebagai sosok
makhluk mengerikan, yang entah bagaimana bentuk
rupanya.
Para pemuka Desa Weling terkejut setengah mati
dan tidak pernah menduga bahwa pikiran Ki Rakonta
akan sampai ke sana. Kejadian yang baru saja
menimpa desa ini memang mirip sekali dengan cerita-
cerita yang pernah mereka dengar ketika masih anak-
anak. Bahkan, ketika menginjak usia remaja pun
mereka masih sering mendengar cerita tentang
makhluk itu. Tapi, sama sekali mereka tidak menduga
kalau cerita tentang Raja Kera Iblis yang hanya
dianggap dongeng itu bisa menjadi kenyataan.
***
Dua hari pun berlalu sejak peristiwa aneh dan
mengejutkan terjadi di Desa Weling. Tapi, peristiwa itu
tak ada kelanjutannya lagi seperti yang diduga kepala
desa dan para pemuka Desa Weling. Keadaan di desa
ini masih tetap tenang, walaupun peristiwa dua hari
lalu masih terlalu hangat untuk dilupakan begitu saja.
Dan, tak ada seorang pun yang berpikir tentang Raja
Kera Iblis. Hanya Ki Rakonta dan ketiga orang
pemuka desa yang terus membicarakan makhluk
yang selama ini hanya dianggap sebagai cerita
dongeng belaka itu.
Siang ini udara di sekitar kaki Gunung Weling
terasa amat panas. Matahari bersinar begitu terik,
seakan-akan ingin membakar apa saja yang ada di
atas permukaan bumi. Namun, panasnya sengatan
sang mentari tidak membuat seorang pemuda
tampan berbaju kulit harimau menghentikan langkah-
nya. Dia terus berjalan mantap menyusuri jalan tanah
yang berdebu dan berbatu kerikil. Seekor monyet
kecil berbulu hitam tampak duduk nangkring di
pundak kanannya. Dan tidak jauh di belakangnya,
terlihat seorang gadis cantik berjalan mengikutinya.
Jelas sekali terlihat, gadis itu begitu kelelahan
mengikuti ayunan kaki pemuda berbaju kulit harimau
di depannya.
“Kakang....”
Pemuda tampan berbaju kulit harimau itu meng-
hentikan langkahnya. Dia berpaling ke belakang.
Ditatapnya gadis cantik yang berjalan pada jarak
sekitar tiga batang tombak di belakangnya. Dia
menunggu sampai gadis itu berada dekat di
sampingnya.
“Istirahat dulu, Kakang. Aku lelah sekali...,” pinta
gadis cantik itu, sambil menyeka keringat yang
bercucuran di wajah dan lehernya dengan punggung
tangan.
Sementara, pemuda berbaju kulit harimau hanya
menepuk-nepuk kepala monyet kecil di pundaknya.
“Nguk!”
“Tidak ada tempat yang enak untuk beristirahat di
di sini, Wulan,” kata pemuda itu sambil mengedarkan
pandangannya ke sekeliling.
“Tapi aku lelah sekali, Kakang. Rasanya sudah
tidak sanggup lagi...,” rengek gadis yang memang ber-
nama Ratna Wulan itu.
“Tidak jauh lagi ada desa, Wulan. Kau pasti bisa
bertahan sedikit sampai ke sana,” kata pemuda
tampan itu seraya menunjuk ke satu arah d ujung
jalan.
Ratna Wulan diam saja. Memang, kalau sudah
berada di jalan seperti ini, tidak seberapa jauh lagi
mereka akan menemukan sebuah desa. Tapi, Ratna
Wulan tampak tidak yakin bahwa desa itu bisa
ditempuh dalam waktu sebentar. Dia sudah benar-
benar tidak mampu lagi berjalan jauh. Terlebih lagi,
sengatan matahari yang begitu terik membuatnya
semakin cepat merasa lelah.
“Hhh...!”
Sambil menghembuskan napas panjang dan berat,
Ratna Wulan kembali mengayunkan kakinya. Di-
susunnya jalan tanah berdebu yang berkerikil yang
semakin terasa panas, bagai di atas jembatan
neraka! Mereka terus melangkah tanpa ada yang
bicara lagi. Namun, belum begitu jauh berjalan, tiba-
tiba....
“Aaa...!”
“Heh...?!”
Mereka terkejut setengah mati begitu mendengar
jeritan panjang yang melengking tinggi. Jeritan itu
demikian jelas terdengar. Sejenak mereka saling
berpandangan. Lalu, bagaikan kilat pemuda berbaju
kulit harimau itu melesat menuju arah datangnya
jeritan tadi. Dan, gadis yang bersamanya tidak mau
ketinggalan. Meskipun terasa begitu lelah, dia segera
mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya untuk
menyusul pemuda tampan itu.
Begitu sempurnanya ilmu meringankan tubuh yang
dimiliki pemuda berbaju kulit harimau itu, sehingga
sebentar saja dia sudah sampai di tempat datangnya
jeritan tadi. Dan betapa terkejutnya dia. Dilihatnya
sesosok makhluk tengah mengoyak dada seorang
laki-laki tua bertubuh kurus kering. Darah tampak
berceceran di mana-mana.
Makhluk itu pun tampak terkejut melihat ke-
munculan pemuda berbaju kulit harimau itu.
Memang, pemuda ini tak lain dari Bayu Hanggara,
atau yang lebih dikenal dengan julukan Pendekar
Pulau Neraka.
“Ghrrr...!”
“Dewata Yang Agung..., makhluk apa ini...?” desis
Bayu, hampir tidak percaya dengan penglihatannya
sendiri.
“Ghraugkh...!”
Tiba-tiba makhluk yang bertubuh manusia tapi
seluruh badannya berbulu hitam dan wajahnya
seperti kera itu menggerung dahsyat. Dan, bagaikan
kilat, dia melompat cepat menerjang Bayu.
“Craaakh...!”
Monyet kecil di pundak Bayu langsung melompat
turun, lalu bertari menjauh sambil mencerecet ribut.
Tangkas sekali gerakannya ketika dia memanjat naik
ke atas sebatang pohon.
“Heh...?! Ufs...!”
Cepat-cepat Pendekar Pulau Neraka membanting
tubuhnya ke samping, lalu bergulingan beberapa kali
menghindari makhluk aneh dan mengerikan itu. Dan,
cepat pula dia melompat bangkit berdiri. Namun, baru
saja kedua kakinya menjejak tanah, makhluk seperti
kera yang bertubuh tinggi besar melebihi manusia itu
sudah kembali melesat cepat sambil mengibaskan
tangan kanannya, yang berbulu tebal, hitam, dan
berkuku runcing bagai mata pisau.
“Ghraugkh...!”
Wukkk!
“Uts!”
Untung saja Bayu cepat merundukkan kepalanya,
sehingga kibasan tangan yang sangat besar ukuran-
nya itu lewat di atas kepalanya. Bergegas kakinya
ditarik ke belakang beberapa langkah.
Dan, belum juga Bayu sempat melakukan sesuatu,
mendadak tangan kiri makhluk seperti kera raksasa
itu sudah mengibas cepat sekali. Pemuda berbaju
kulit harimau itu tidak sempat lagi menghindar. Dan...
Plak!
“Akh...!”
Begitu kerasnya kibasan tangan berukuran
sebesar dua kali tangan manusia biasa itu. Sehingga,
tubuh Bayu terpental deras ke belakang. Keras sekali
punggung pemuda itu menghantam sebatang pohon,
hingga pohon yang berukuran cukup besar itu hancur
berkeping-keping.
“Ghraaagh...!”
Sambil menggenang dahsyat, makhluk kera
raksasa itu kembali melompat dengan jari-jari tangan
terkam bang menjulur ke depan. Hendak diterkamnya
Bayu.
“Hup! Yeaaah...!”
Namun Pendekar Pulau Neraka cepat-cepat me-
lentingkan tubuhnya. Dihindarinya terkaman makhluk
kera raksasa itu dengan cepat Dan, makhluk itu pun
hanya menerkam reruntuhan pohon.
Beberapa kali pemuda tampan berbaju kulit
harimau itu berjumpalitan dan berputaran di udara,
lalu kembali menjejakkan kakinya di tanah dengan
kokoh dan mantap sekali. Sedangkan makhluk kera
raksasa itu sudah kembali memutar tubuhnya dengan
cepat Dia menggerung dahsyat Dipandanginya tajam-
tajam pemuda tampan berbaju kulit harimau yang
berada sekitar dua batang tombak di depannya.
Pada saat itu, gadis jelita berbaju merah muda
yang tadi berjalan bersama Bayu sudah sampai di
tempat ini. Dia juga terperanjat setengah mati begitu
melihat makhluk mengerikan yang tinggi dan besar
tubuhnya dua kali manusia biasa itu.
“Ghrrr...!”
Makhluk kera raksasa itu meraung sambil
menyeringai lebar, memperlihatkan baris-baris giginya
yang bertaring tajam, begitu melihat kedatangan
gadis cantik itu. Dan, tiba-tiba....
“Wulan, awas...!”
Wusss!
“Haft...!”
Gadis itu segera melentingkan tubuhnya ke udara
ketika tiba-tiba makhluk kera raksasa itu melompat
cepat ke arahnya sambil menggerung dahsyat dan
mengerikan. Tinggi sekali lentingannya, hingga dia
dapat lewat di atas kepala makhluk itu. Dan, setelah
beberapa kali putaran di udara, dengan manis sekali
dia menjejakkan kembali kakinya di tanah, tepat di
samping Bayu.
“Ghraaagkh...!”
***
DUA
“Cepat menyingkir, Wulan!” seru Baya
Pada saat itu, makhluk kera raksasa sudah
melompat kembali dengan cepat menerjang mereka.
Ratna Wulan pun bergegas melesat ke samping. Pada
saat yang bersamaan, Pendekar Pula Neraka menarik
tubuhnya hingga doyong ke kiri, dengan tangan kanan
tersilang di depan dada. Dan, secepat kilat pula
dikibaskan tangannya ke depan.
“Hiyaaa...!”
Wusss!
Secercah cahaya keperakan tiba-tiba melesat
cepat dari pergelangan tangan kanan Baya Dan
makhluk kera raksasa itu pun tidak sempat lagi
menghindar. Lalu....
Crab!
“Aaargkh...!”
“Hup!”
Bagaikan kilat, Pendekar Pulau Neraka melenting-
kan tubuhnya ke udara sambil menghentakkan
tangan kanannya ke atas kepala. Tampak cahaya
keperakan melesat ke arah pergelangan tangan
kanannya. Dan, tahu-tahu sebuah benda berbentuk
lingkaran bersegi enam yang ujung-ujungnya runcing
sudah menempel di pergelangan tangan itu.
“Hup! Yeaaah...!”
Dua kali Bayu melakukan putaran di udara, lalu
dengan cepat sekali dia melesat ke arah makhluk
kera raksasa. Satu tendangan keras menggeledek
pun langsung mendarat dengan tepat di kepala
makhluk itu.
Plak!
“Aaargkh...!”
“Hup!”
Kembali Pendekar Pulau Neraka melentingkan
tubuhnya ke belakang. Dilakukannya beberapa kali
putaran. Dan, dengan manis sekali dijejakkan kakinya
di tanah. Lalu, langsung dimiringkan tubuhnya I lingga
doyong ke kiri. Disilangkannya tangan kanannya di
depan dada, kemudian dikibaskannya tangan itu ke
depan.
“Hiyaaa...!”
Wusss!
Benda berbentuk cakra bersegi enam yang me-
nempel di pergelangan tangan kanannya secepat kilat
melesat ke depan. Begitu cepat lesatannya, sehingga
makhluk kera raksasa tidak dapat lagi menghindar.
Dan....
Crab!
“Aaargkh...!
Kembali cakra keperakan bersegi enam itu
menghunjam di dada yang berbulu hitam tebal itu.
Dan, ketika tangan Bayu terangkat ke atas kepala,
cakra keperakan bersegi enam itu melesat balik dari
dalam dada makhluk kera raksasa. Darah seketika
menyembur deras dari dua lubang di dada, akibat
dua kali tertembus cakra keperakan bersegi enam
yang kini sudah kembali menempel erat di per-
gelangan tangan kanan pemiliknya.
Makhluk kera raksasa itu menggerung-gerung
dahsyat. Darah bercucuran dengan deras dari dua
lubang di dadanya. Tapi, tiba-tiba dia melesat cepat
bagai kilat dan tahu-tahu sudah lenyap begitu
tubuhnya masuk ke dalam hutan yang cukup lebat
Bayu hendak lompat mengejar, tapi...
“Kakang Bayu...!”
Pendekar Pulau Neraka segera mengurungkan;
niatnya. Dia segera berpaling. Ditatapnya gadis cantik
berbaju merah muda yang berlari-lari kecil meng-
hampirinya. Gadis itu berdiri dekat di depan Bayu.
Sedikit Bayu menepuk pundak gadis itu. Kemudian
kakinya melangkah menghampiri sosok mayat yang
sudah tidak bernyawa lagi dengan seluruh tubuh
tercabik dan dada terkoyak sangat lebar. Kening
Pendekar Pulau Neraka jadi berkerut melihat dada
yang berlubang besar itu.
“Nguk! Nguk! Craaakh...!”
Bayu mengulurkan tangannya ketika monyet kecil
yang selalu dipanggil Tiren itu segera berlari-lari men-
dekatinya. Monyet kecil berbulu hitam ini segera naik
ke pundak Pendekar Pulau Neraka.
“Hm..., makhluk itu mengambil jantungnya,”
gumam Bayu perlahan, seperti berbicara pada dirinya
sendiri.
Ratna Wulan, yang berdiri di samping kanan,
hanya diam memandangi laki-laki tua bertubuh kurus
kering yang sudah tak bernyawa lagi itu. Kemudian
dia menarik napas panjang. Ditatapnya wajah tampan
Pendekar Pulau Neraka yang bersimbah keringat Dan,
beberapa saat mereka hanya membisu.
“Ayo kita pergi, Kakang.”
“Kita kuburkan mayat orang tua ini dulu, Wulan.”
Ratna Wulan hanya mengangkat bahunya. Sedang-
kan Bayu sudah mencari tempat yang teduh untuk
menggali lubang kuburan. Didapatkannya tempat di
bawah sebatang pohon beringin yang cukup rimbun
daunnya. Tempat yang cocok untuk peristirahatan
terakhir laki-laki tua malang itu.
***
Matahari sudah condong ke arah Barat ketika
Bayu selesai menguburkan laki-laki tua yang malang
itu. Dia kemudian mengajak Ratna Wulan me-
ninggalkan tepian hutan di kaki Gunung WeBng ini.
Tanpa berbicara lagi, mereka pun melangkah
perlahan-lahan kembali ke jalan tanah berdebu yang
dipenuhi batu kerikil. Mereka terus berjalan menuju
ke arah matahari tenggelam. Di ujung jalan, sudah
terlihat sebuah perkampungan yang kelihatan agak
sunyi.
“Desa apa itu, Kakang?” tanya Ratna Wulan, tanpa
memalingkan pandangannya sedikit pun ke arah
desa yang berada di depan sana.
“Desa Weling,” sahut Bayu, yang juga meng-
arahkan pandangannya ke desa itu.
“Sepi sekali kelihatannya,” ujar Ratna Wulan agak
menggumam, seakan-akan berbicara pada dirinya
sendiri.
“Hm...,” gumam Bayu perlahan.
Memang, desa yang mereka lihat di depan
tampaknya begitu sunyi seperti tidak berpenghuni.
Tak ada seorang pun terlihat berada di luar rumah.
Namun, Bayu dan Ratna Wulan terus saja melangkah
memasuki desa yang tampak amat sunyi itu. Tapi,
belum begitu jauh mereka masuk ke dalam desa
itu....
“Hm...,” gumam Bayu perlahan.
Pendekar Pulau Neraka menghentikan ayunan
langkahnya. Ratna Wulan yang berjalan di sebelah
kanannya juga segera berhenti melangkah. Dia
memandangi wajah tampan Pendekar Pulau Neraka
itu. Tapi, sebentar kemudian keningnya berkerut dan
kelopak matanya terlihat menyipit. Belum juga
mereka membuka mulut untuk bicara, mendadak....
Wusss!
“Awas, Wulan...!” seru Bayu.
“Hup!”
“Hak..!”
Ratna Wulan dan Pendekar Pulau Neraka cepat-
cepat melompat ke belakang ketika tiba-tiba
sebatang tombak yang panjang meluruk deras ke
arah mereka. Dan, tombak itu langsung menancap
dalam di tengah jalan tanah berdebu ini, tepat di
tempat Bayu dan Ratna Wulan berdiri tadi.
Pada saat itu, terlihat sebuah bayangan putih
berkelebat cepat dari atas atap sebuah rumah. Dan
tahu-tahu, tepat dfi depan Pendekar Pulau Neraka,
sudah berdiri seorang laki-laki tua yang berjubah
putih panjang dan longgar. Laki-laki itu tampak
menggenggam sebatang tombak pendek putih yang
ujungnya berwarna kuning keemasan. Tampak pula
rambut dan kumisnya yang menyatu dengan jenggot-
nya sudah berwarna putih semua.
“Nguk...! Nguk...!”
“Ada apa, Tiren?” tanya Bayu.
Belum juga pertanyaan Pendekar Pulau Neraka
terjawab, tiba-tiba dia dikejutkan lagi dengan muncul-
nya tiga orang laki-laki berusia lanjut yang semuanya
mengenakan jubah putih yang panjang dan longgar.
Ketiganya mengambil tempat di belakang laki-laki tua
yang muncul pertama kali tadi. Mereka tampak
memegang senjata yang berlainan bentuknya.
Dari pakaian, senjata, dan sorot mata yang tajam,
bisa dipastikan bahwa mereka berempat bukanlah
orang-orang sembarangan. Paling tidak, semuanya
memiliki tingkat kepandaian yang tinggi. Mereka
adalah Ki Rakonta dan tiga orang pemuka Desa
Weling yang bertugas mengatur seluruh wilayah desa
ini.
“Hm...,” gumam Bayu perlahan.
“Siapa kalian? Ada urusan apa kalian datang ke
Desa Weling ini?” tanya Ki Rakonta dengan nada
suara yang tegas.
“Aku Bayu dan ini Ratna Wulan. Kami berdua
hanya pengembara yang kebetulan lewat di desa ini,”
sahut Bayu memperkenalkan diri.
“Hm..., apa kau ini bukannya Raja Kera Iblis?”
Jelas sekali dari nada suaranya, laki-laki tua ber-
ubah putih yang juga Kepala Desa Weling itu
menaruh curiga kepada Bayu dan Ratna Wulan.
Pertanyaan itu membuat Bayu dan Ratna Wulan
mengerutkan kening. Mereka saling berpandangan
sejenak, laki sama-sama melangkah maju beberapa
tindak. Dan, langkah mereka baru berhenti setelah
jaraknya tinggal sekitar enam langkah lagi dari
keempat orang tua berjubah putih itu.
“Aku tidak mengerti dengan apa yang kau katakan,
Kisanak. Kami berdua hanyalah pengembara yang
kebetulan lewat dan ingin mencari penginapan untuk
malam ini,” kata Bayu, mencoba menjelaskan.
Memang Bayu tidak mengerti akan kata-kata yang
dilontarkan Ki Rakonta barusan. Bahkan dia tidak
tahu, siapa yang dimaksud dengan sebutan Raja Kera
Iblis itu. Mendengarnya saja baru kali ini. Dan, Bayu
langsung bisa menebak bahwa Desa Weling ini
sedang tertimpa suatu musibah yang ditimbulkan
oleh Raja Kera Iblis itu. Dari pengalamannya melang-
lang buana sebagai seorang pendekar kelana, dia
sudah bisa meraba keadaan yang terjadi di desa ini.
Namun, Bayu juga tidak mau gegabah untuk Ikut
campur sebelum tahu benar apa masalahnya.
Pendekar Pulau Neraka melirik sedikit pada Ratna
Wulan.
“Anak muda, kami di sini tidak ingin menambah
persoalan. Sebaiknya kalian segera tinggalkan desa
ini sebelum terjadi sesuatu yang tidak menyenang-
kan. Aku harap, kalian bisa mengerti, jika kalian
memang orang baik-baik dan hanya pengembara,”
selak Ki Suta, yang mulai ikut berbicara.
Di tangan kanan laki-laki tua berwajah bening itu
tergenggam sebuah tameng berbentuk bulat dan ber-
warna putih keperakan. Ada sebuah ukiran ber-
gambar bintang pada bagian tengahnya.
Kembali Bayu melirik pada Ratna Wulan, yang saat
itu juga sedang menatap dengan sudut ekor matanya.
Mereka kemudian sama-sama mengangkat pundak.
Lalu, setelah memberi salam penghormatan, kedua-
nya memutar tubuh dan melangkah pergi tanpa
berkata sedikit pun. Mereka berjalan kembali ke arah
hutan.
***
Malam sudah jatuh menyelimuti seluruh
permukaan bumi di kaki Gunung Weling. Dan, Desa
Weling pun sudah terselimut kegelapan. Tak sedikit
pun terlihat cahaya dari bulan ataupun bintang.
Malam ini langit kelihatan begitu kelam. Awan hitam
yang tebal dan bergulung-gulung membuat suasana
di Desa Weling semakin bertambah tidak nyaman.
Belum lagi, angin yang bertiup begitu kencang
menebarkan udara dingin menggigit sampai ke
tulang.
Hari sudah jauh melewati tengah malam, tapi di
beranda rumahnya, Ki Rakonta masih duduk bersila
di atas selembar tikar anyaman dari daun pandan.
Tak ada seorang pun terlihat di sekitar halaman
rumahnya yang luas ini. Begitu sunyi di sekelilingnya.
Sedangkan di dekat pintu yang senga-ja dibiarkan
terbuka, terlihat tiga laki-laki tua lain yang semuanya
mengenakan jubah panjang berwarna putih bersih.
Mereka adalah tiga orang pemuka utama Desa
Weling.
“Sudah lebih dari satu pekan, Ki. Tidak ada satu
pun peristiwa penting yang terjadi,” ujar Ki Ampar.
Suara Ki Ampar agak menggumam dan perlahan
sekali, hampir tidak terdengar oleh yang lainnya. Dia
seakan-akan berbicara pada dirinya sendiri. Sedang-
kan Ki Rakonta yang diajak bicara tidak berpaling
sedikit pun. Dia tetap mengarahkan pandangannya
ke arah puncak Gunung Weling, yang menghitam
pekat dan berselimut kabut tebal. Dua orang laki-laki
tua lainnya juga diam saja.
Memang, sejak terjadi peristiwa gempa yang
mengejutkan itu, mereka selalu bersikap waspada.
Terlebih lagi, mereka menduga bahwa gempa yang
terjadi itu merupakan tanda munculnya Raja Kera
Iblis, yang ceritanya seringkah mereka dengar sejak
masih anak-anak dulu.
“Hm...,” gumam Ki Rakonta tiba-tiba, agak keras.
Dan, begitu dia beranjak hendak bangkit, tiba-
tiba....
Bruk!
“Heh...?!”
Bukan hanya Ki Rakonta saja yang terperanjat, tapi
tiga orang laki-laki tua yang berada di beranda depan
rumah kepala desa itu juga terkejut setengah mati.
Begitu terkejutnya mereka, sampai langsung ter
lompat berdiri. Dan, bola mata mereka terbeliak
ketika tiba-tiba dari atap beranda jatuh sesosok
tubuh laki-laki tua yang sudah rusak tercabik.
Empat orang laki-laki tua yang sama-sama
mengenakan jubah panjang warna putih itu segera
berlompatan ke luar. Dan, pada saat itu, tiba-tiba
terdengar tawa keras menggelegar yang begitu
mengejutkan.
“Ha ha ha...!”
“Hm...,” gumam Ki Rakonta lagi, agak keras.
Tawa itu demikian keras terdengar. Tapi, sulit
untuk diketahui dari mana arah datangnya. Tawa itu
seakan-akan datang dari seluruh penjuru mata angin.
Keempat laki-laki tua berjubah putih itu pun langsung
mempersiapkan senjata masing-masing. Mereka
berdiri melingkar saling beradu punggung.
Clarrrk...!
“Awas...!” seru Ki Rakonta tiba-tiba. “Hap...!”
“Hup!”
“Yeaaah...!”
“Hiyaaa...!”
Mereka langsung berlompatan menyebar begitu
tiba-tiba terlihat secercah cahaya merah seperti bola
api meluncur deras dari atas atap rumah. Bola cahaya
merah itu langsung menghantam tanah tempat
keempat laki-laki tua itu berdiri tadi.
Glarrr...!
Seketika itu juga terdengar ledakan keras yang
amat dahsyat Tanah bergetar hebat bagai diguncang
gempa. Rumah kepala desa itu pun bergetar dan
berderak bagai hendak runtuh. Sementara itu empat
laki-laki tua berjubah putih berjumpalitan di udara.
Dan, hampir bersamaan mereka menjejakkan kakinya
kembali di tanah. Sedangkan tanah yang terhantam
cahaya merah tadi terlihat sudah berlubang cukup
besar. Debu tampak membumbung tinggi ke angkasa.
“Gila...!” desis Ki Bantur, yang sempat terbeliak
melihat lubang menganga cukup lebar dan dalam di
tengah-tengah halaman rumah kepala desa ini.
“Ki Bantur, awas...!” teriak Ki Rakonta.
“Heh...?! Hup!”
Ki Bantur terperanjat setengah mati. Cepat-cepat
dia melentingkan tubuhnya ke samping dan langsung
bergulingan di tanah beberapa kafi. Dilihatnya tadi
sebuah bayangan hitam meluruk deras bagai kilat ke
arahnya. Bergegas kemudian dia melompat bangkit
berdiri. Namun, baru saja kakinya dijejakkan di tanah,
bayangan hitam itu kembali melesat cepat ke
arahnya.
“Hiyaaa...!”
Ctar!
Terdengar suara lecutan sebuah cambuk, yang
diikuti dengan berpijamya bunga api di depan dada Ki
Bantur. Pada saat yang bersamaan, bayangan hitam
itu kembali melenting ke belakang. Dijauhinya Ki
Bantur yang tengah terpana. Bergegas Ki Bantur
melompat ke belakang beberapa tindak. Dia sempat
melirik Ki Ampar yang baru saja menarik cambuknya
kembali.
Kemudian, secara bersamaan keempat laki-laki
tua itu cepat berlompatan. Mereka kini berdiri ber-
jajar, tepat sekitar tiga batang tombak di depan
sesosok tubuh hitam dan besar, yang tingginya dua
kali lipat manusia biasa. Hampir mereka tidak
percaya dengan pandangan mata sendiri. Betapa
tidak? Mereka kini berhadapan dengan sesosok
makhluk yang seluruh tubuhnya berbulu hitam pekat
agak berkilat. Dan, wajah makhluk itu begitu mirip
seekor kera!
“Ghrrr...!”
Makhluk kera raksasa itu menggerung sambil
menatap tajam pada empat laki-laki tua. berjubah
putih ini, dengan sepasang bola matanya yang merah
dan bercahaya bagai sepasang bola api. Dia meng-
gerung sambil menyeringai, bagai hendak memamer-
kan baris-baris giginya yang hitam dan bertaring
runcing.
“Dewata Yang Agung.....Makhluk apa ini...?” desah
Ki Rakonta, yang tak berpaling sedikit pun
memandangi makhluk kera raksasa yang berada
sekitar tiga batang tombak di depannya.
“Kalian semua pemuka desa ini...?”
Terdengar begitu besar dan berat suara makhluk
kera raksasa itu. Telinga keempat laki-laki tua itu pun
terasa sakit dibuatnya.
“Siapa di antara kalian kepala desanya?” tanya
makhluk kera raksasa itu lagi, dengan suaranya ang
tetap besar menyakitkan telinga.
“Aku,” sahut Ki Rakonta seraya melangkah ke
depan dua tindak. “Mereka bertiga memang para
tetua Desa Weling. Dan siapa kau ini sebenarnya?”
“Ha ha ha...!”
Makhluk kera raksasa itu malah tertawa terbahak-
bahak. Begitu keras suara tawanya, membuat tanah
yang mereka pijak bergetar. Ki Rakonta dan ketiga
orang pemuka desa itu cepat-cepat mengerahkan
tenaga dalam, untuk menahan gempuran suara keras
yang menggetarkan jantung dan membalikkan aliran
darah di dalam tubuh mereka. Suara tawa itu seakan-
akan dikeluarkan dengan pengerahan tenaga dalam
yang teRatnat tinggi tingkatannya, begitu keras meng-
gelegar dan sangat menyakitkan telinga.
“Aku adalah raja yang menguasai seluruh bumi ini
Dan kalian adalah hamba sahaya yang harus tunduk
pada perintahku. Ha ha ha...!”
“Raja Kera Iblis...,” desis Ki Rakonta, langsung bisa
mengenali, walaupun makhluk kera raksasa itu tidak
menyebutkan siapa dirinya secara langsung.
Sedangkan Ki Ampar dan yang lainnya hanya diam
memandangi makhluk kera raksasa yang begitu
mengerikan ini Meskipun begitu, mereka juga sudah
bisa menduga, siapa makhluk yang bentuknya begitu
menyeramkan ini. Sulit dikatakan kalau makhluk ini
adalah manusia. Juga sukar untuk dikatakan kalau
dia adalah seekor kera.
Meskipun wajahnya seperti kera dan seluruh
tubuhnya berbulu, bentuk badannya tidak ubahnya
seperti manusia. Tapi, tingginya mungkin dua kali
manusia biasa, atau mungkin juga bisa lebih tinggi
lagi. Dan, dia tampak mengenakan celana sebatas
lutut yang merah menyala. Tidak dikenakannya baju
sama sekali, sehingga tubuhnya yang berbulu tebal
dapat terlihat jelas. Terlihat pula, tidak ada satu
senjata pun yang disandangnya.
“Dengar, jika kalian berani membangkang dan idak
mematuhi perintahku, nasib kalian akan sama seperti
dia!” kata makhluk kera raksasa itu lagi, sambil
menunjuk sesosok mayat laki-laki tua yang
menggeletak tepat di depan tangga beranda rumah
kepala desa.
“Kau yang membunuhnya? Kenapa...?” tanya Ki
Rakonta setelah melirik sedikit pada mayat laki-laki
tua yang seluruh tubuhnya tercabik dan tidak
mengenakan baju itu.
“Dia mencoba melawan dan membangkang
perintahku. Jika kalian juga berani membangkang,
aku tidak segan-segan mencabik tubuh kalian.
Mengerti...?!” ujar makhluk kera raksasa itu dengan
keras dan tegas.
“Apa yang kau inginkan dari kami?” tanya Ki
Rakonta lagi.
“Ha ha ha...! Kau sebagai kepala desa di sini tentu
sudah tahu apa yang kuinginkan. Dan aku tidak perlu
menyebutkan keinginanku lagi,” sahut makhluk kera
raksasa yang dikenal sebagai si Raja Kera Iblis ini.
Setelah berkata demikian, tiba-tiba Raja Kera Iblis
melesat cepat, dan langsung lenyap dari pandangan
mata. Begitu cepatnya dia melesat, seolah-olah
tenggelam masuk ke dalam bumi, tidak bisa lagi
diketahui ke mana arah perginya. Ki Rakonta dan
yang lainnya langsung saling melempar pandang. Apa
yang mereka khawatirkan selama ini, sekarang sudah
menjadi kenyataan. Raja Kera Iblis, yang selama ini
menjadi dongeng sejak puluhan tahun yang lalu,
sekarang benar-benar muncul. Dan, kemunculannya
ini sudah pasti merupakan malapetaka besar bagi
kelangsungan hidup penduduk Desa Weling.
***
“Dia benar-benar sudah muncul. Apa yang harus
kita lakukan sekarang, Ki...?” desah Ki Ampar,
seakan-akan bicara pada dirinya sendiri.
Ki Rakonta hanya diam membisu. Perlahan dia
menarik napasnya dalam-dalam, lalu menghembus-
kannya kuat-kuat. Memang tidak mudah menjawab
pertanyaan Ki Ampar barusan. Dia sendiri tidak tahu
lagi, apa yang harus dilakukan sekarang ini. Raja Kera
Iblis benar-benar ada dan sudah muncul. Dan mereka
semua tahu, apa yang dikehendaki raja iblis dari
dasar neraka itu.
Tak ada seorang pun yang bisa menentang
kehendak Raja Kera Iblis, kecuali yang memang
benar-benar ingin mati secara mudah. Mereka semua
menyadari, tidak mungkin melawan makhluk kera
raksasa yang sangat sakti dan digdaya itu. Tidak ada
seorang pun yang bisa menandingi kesaktiannya,
yang tidak jauh berbeda dengan iblis penghuni dasar
neraka. Dia bisa berbuat apa saja, semudah mem-
balikkan telapak tangan. Apa pun yang di-
kehendakinya tidak bisa lagi ditolak. Semuanya harus
dituruti jika mereka masih ingin melihat matahari
esok pagi. Hal ini membuat Ki Rakonta begitu gelisah.
Dia menyadari bahwa dirinya benar-benar tidak
berani menentang kehendak Raja Kera iblis, apalagi
melawannya.
“Kita tidak mungkin memenuhi kehendak hati
iblisnya itu, Ki. Aku tidak bisa melihat mereka yang
tidak berdosa sama sekali menjadi korban ke-
buasannya,” desis Ki Bantur, geram.
“Meskipun kita berempat menghadapinya
sekaligus, tidak akan mungkin kita bisa mengalah-
kannya. Malah dia bisa membunuh kita dengan
mudah,” kata Ki Rakonta, perlahan sekali.
“Tapi, Ki...,” ucapan Ki Bantur terputus.
“Kita memang tidak begitu saja menyerah. Paling
tidak, kita harus menyelamatkan seluruh penduduk
dari keangkaramurkaan Raja Kera Iblis. Aku minta,
kalian mencari cara terbaik untuk menyelamatkan
mereka. Kita semua bertanggung jawab atas nyawa
dan keselamatan mereka,” kata Ki Rakonta, tegas.
“Apa yang akan lata lakukan, Ki? Sekarang saja
sudah jatuh satu korban,” selak Ki Suta, yang sejak
tadi hanya diam mendengarkan.
“Hm....”
Ki Rakonta hanya menggumam perlahan. Dia
melirik sedikit pada mayat laki-laki tua yang masih
menggeletak di dekat ujung tangga beranda rumah-
nya. Sungguh mengerikan keadaan mayat itu. Seluruh
tubuhnya tercabik. Leher dan dadanya berlubang
begitu besar. Bahkan, seluruh isi rongga dadanya
sudah lenyap. Dan, tak terlihat setetes darah pun
yang melekat
“Kalian kenal dengan orang itu?” tanya Ki Rakonta
sambil menunjuk mayat laki-laki yang menggeletak di
dekat tangga beranda rumahnya.
“Dia si Penjarah Hutan, Ki. Sehari-hari pekerjaan-
nya mencari kayu bakar dan berburu,” sahut Ki Suta,
yang mengenali mayat laki-laki tua itu.
“Dia penduduk desa ini?” tanya Ki Rakonta lagi.
“Benar, Ki. Dia mempunyai cucu perempuan yang
masih berusia sepuluh tahun. Tidak ada lagi sanak
keluarganya di desa ini. Dia hanya hidup berdua
dengan cucunya,” jelas Ki Suta.
“Ki Suta, sebaiknya kau urus saja mayat itu.
Antarkan ke rumahnya dan kubur sebagaimana
biasanya. Nanti aku pikirkan bagaimana caranya
menyelamatkan seluruh penduduk desa ini,” perinlah
Ki Rakonta dengan tegas.
“Baik, Ki,” sahut Ki Suta. Tanpa diperintah dua
kali, Ki Suta segera rgegas mengambil dua ekor kuda
dari samping rumah. Dinaikkannya mayat laki-laki tua
yang dikenalinya sebagai si Penjarah Hutan itu ke
atas punggung kuda. Kemudian dia sendiri melompat
naik ke atas punggung kuda satunya lagi. Setelah
mengangguk sedikit ke arah Ki Rakonta, laki-laki tua
berjubah putih yang memegang tameng baja ber-
warna keperakan itu segera menggebah kudanya.
Ki Rakonta kemudian mengajak pemuka desa
vang lainnya masuk kembali ke dalam beranda
rumahnya. Mereka duduk di tengah-tengah beranda
dengan alas selembar tikar anyaman daun pandan.
Cukup lama juga mereka berdiam diri. Beberapa kali
terdengar tarikan napas yang panjang dan berat.
“Dia sudah datang. Besok malam dia pasti datang
lagi untuk mengambil pesanannya,” desah Ki Rakonta
perlahan, hampir tidak terdengar.
“Kita tidak mungkin memberikannya, Ki,” kata Ki
Ampar.
“Yaaah..., itu juga yang aku tidak inginkan, Ki
Ampar. Aku tidak ingin mengorbankan pendudukku
sendiri.”
“Ki, apa tidak sebaiknya kita ungsikan saja seluruh
penduduk malam ini juga?” usul Ki Bantur tiba-tiba.
“Maksudmu...?” tanya Ki Rakonta tidak mengerti.
“Kita kosongkan desa ini, Ki. Kita cari tempat yang
jauh dari Gunung Weling. Dan kita dirikan desa baru.
Aku rasa, masih banyak tempat yang bisa dibuka
untuk dijadikan desa baru,” ujar Ki Bantur, mencoba
menjelaskan usulnya tadi.
“Ke mana kita pergi?” selak Ki Ampar.
“Benar, Ki Bantur. Ke manapun kita pergi, Raja
Kera Iblis pasti bisa tahu dengan cepat Dia bukan
makhluk biasa. Dia raja segala iblis dari dasar neraka.
Tidak mudah menghindarinya, terlebih lagi melawan-
nya. Kita semua bisa mati konyol,” ujar Ki Rakonta.
“Hhh..., memang sulit juga. Kita ini seperti berada
di ujung tanduk,” desah Ki Bantur, perlahan.
“Ki, bagaimana kalau kita coba menentangnya...?”
selak Ki Ampar tiba-tiba.
“Jangan berpikiran sempit, Ki. Tidak ada yang bisa
kita andalkan untuk melawannya. Apa kekuatan kita
untuk menghadapi Raja Kera Iblis...?” kata Ki
Rakonta, sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Tapi kita tidak boleh tinggal diam begitu saja, Ki.
Dia sudah datang ke sini dan memberi peringatan. Itu
tidak bisa dianggap main-main lagi. Besok dia pasti
datang lagi untuk mengambil korban. Dan, tiap hari
dia akan mengambil korban sampai semua orang di
desa ini habis. Apa kita tega melihat mereka yang
tidak tahu apa-apa harus menjadi korban iblis itu...?
Tidak, Ki! Aku tidak rela...!” seru Ki Ampar agak keras.
“Lalu, apa yang akan kau lakukan?” tanya Ki
Rakonta.
“Aku akan menantangnya bertarung, Ki,” sahut Ki
Ampar, tegas.
“Ha ha ha...!”
“Oh...?!”
“Hah...?!”
Mereka terkejut setengah mati ketika tiba-tiba
terdengar tawa yang begitu keras menggema seperti
datang dari segala penjuru mata angin. Ketiga laki-
laki tua yang tengah duduk di beranda rumah itu pun
saling melempar pandang. Dan belum juga ida yang
membuka suara, tiba-tiba....
***
TIGA
Ki Rakonta, Ki Ampar, dan Ki Bantur terkejut
setengah mati ketika tiba-riba terdengar tawa yang
begitu keras menggelegar, tepat di saat Ki Ampar
baru selesai mengucapkan tantangannya kepada
Raja Kera Iblis. Dan pada saat tawa itu menghilang
dari pendengaran, tiba-tiba saja...
Clrasss!
Secercah cahaya kilat menyambar dan membelah
angkasa kelam yang terselimut gumpalan tebal awan
hitam. Di antara kilatan cahaya terang yang hanya
sesaat itu, terlihat sesosok tubuh tinggi besar dan
berbulu hitam berdiri tegak di tengah-tengah halaman
depan rumah kepala desa itu. Kemunculan sosok
tinggi besar bagai raksasa ini tentu saja membuat
ketiga orang tua yang berada di beranda itu terkejut
setengah mati. Sungguh mereka tidak tahu, kapan
dan bagaimana makhluk tinggi besar berbulu hitam
yang diketahui sebagai Raja Kera Iblis itu sudah
berdiri tegak di tengah-tengah halaman rumah.
“Siapa yang menantangku? Cepat ke sini...!”
bentak Raja Kera Iblis, keras.
Ki Rakonta dan Ki Bantur langsung menatap Ki
Ampar. Sinar mata mereka memancarkan penyesalan
terhadap sikap Ki Ampar, yang begitu sembrononya
mengucapkan kata-kata tantangan. Tentu saja
tantangan itu bisa didengar oleh Raja Kera Iblis,
walaupun mereka tidak tahu, di mana makhluk kera
raksasa itu berada.
“Hup...!”
Tiba-tiba Ki Ampar melompat ke luar dengan
mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya. Begitu
indah dan ringan gerakannya, sehingga dalam
sekejap dia sudah berdiri sekitar tiga batang tombak
lagi di depan Raja Kera Iblis. Sementara itu, Ki
Rakonta dan Ki Bantur juga bergegas keluar dari
beranda. Namun, mereka tertahan sekitar beberapa
langkah di depan tangga beranda depan.
“Kau yang hendak menantangku rupanya,
heh...?.'“ ujar Raja Kera Iblis, lantang.
“Ya, aku yang menantangmu bertarung! Aku tidak
akan membiarkan kau membantai semua orang di
desa ini!” tegas Ki Ampar.
Dari raut wajah dan sorot matanya, tampak tidak
ada lagi kegentaran sedikit pun terselip di hati Ki
Ampar. Dia benar-benar sudah bertekad menantang
Raja Kera Iblis, walaupun tahu apa akibatnya yang
akan terjadi pada dirinya nanti. Dia sesungguhnya
memang sadar bahwa kepandaian yang dimilikianya
tidak ada artinya dibanding kesaktian makhluk ber-
hati iblis ini.
Perlahan-lahan Ki Ampar menggeser kakinya ke
kanan beberapa langkah. Direntangkan cambuknya
yang berbulu halus. Sorot matanya begitu tajam dan
rahangnya terkatup rapat. Sedangkan makhluk tinggi
besar berbulu hitam yang hanya mengenakan celana
merah sebatas lutut itu hanya diam memperhatikan
setiap gerakan yang dilakukannya.
“Hiyaaa...!”
Ctar!
Tiba-tiba Ki Ampar mengecutkan cambuknya
dengan keras sekali ke depan. Begitu tinggi tenaga
dalam yang dikerahkannya, sehingga ujung cambuk
yang berbentuk bola kecil berduri tajam itu
mengeluarkan percikan bunga api yang langsung
menyebar ke seluruh tubuh Raja Kera Iblis.
“Hep!”
Namun, tanpa diduga sama sekali, makhluk ber-
tubuh tinggi besar dan berbulu hitam itu menge-
butkan tangan kanannya ke depan. Tindakan Raja
Kera Iblis itu membuat Ki Ampar terperanjat setengah
mati. Buru-buru cambuknya ditarik kembali.
“Hup!”
Bergegas pula laki-laki tua berjubah putih itu
melompat ke belakang, hingga sambaran tangan.
kanan Raja Kera Iblis tidak sampai menyambar ujung
cambuknya. Tapi, tanpa diduga sama sekali, tiba-
tiba....
“Ghraaagkh...!”
Derrr!
“Hoooh...!”
Ki Ampar terkejut setengah mati ketika tiba-tiba
Raja Kera Iblis menghentakkan kakinya ke tanah.
Seketika itu juga bumi yang mereka pijak bergetar
begitu hebat Dan....
“Heh...!”
Ki Ampar terbeliak setengah mati begitu melihat
tiba-tiba tanah di depannya terbelah. “Hup...!”
Buru-buru tubuhnya dilentingkan ke udara. Dan,
dilakukannya beberapa kali putaran. Namun, pada
saat yang bersamaan, Raja Kera Iblis juga melesat
mengejarnya ke udara. Secepat kilat pula dilepaskan-
nya satu pukulan keras yang diarahkan ke dada laki-
laki tua berjubah putih itu.
“Hap! Yeaaah...!”
Ctar!
“Aaargkh...!';
Raja Kera Iblis menggerung dahsyat begitu ujung
cambuk Ki Ampar menghantam pergelangan tangan-
nya. Cepat-cepat dia melentingkan tubuhnya ke
belakang, berputaran beberapa kali, lalu menjejakkan
kakinya kembali dengan ringan sekali di tanah.
Meskipun tubuhnya begitu tinggi dan besar, tampak
gerakannya sangat ringan.
“Ghreaaah...!”
Secepat itu pula Raja Kera Iblis menghentakkan
tangan kanannya ke atas, tepat mengarah ke tubuh
Ki Ampar yang masih berjumpalitan di udara. Dari
telapak tangan itu tiba-tiba melesat bulatan merah
sebesar kepalan bayi yang memancarkan api. Bola
api itu meluncur deras ke arah Ki Ampar.
“Hiyaaa...!”
Ctar!
Kembali Ki Ampar mengecutkan cambuknya yang
terkenal ampuh. Ujung cambuk itu langsung meng-
hantam bola api yang meluncur cepat ke arahnya.
Glarrr!
Ledakan keras menggelegar yang begitu dahsyat
seketika terdengar memecah keheningan malam,
saat ujung cambuk yang berbandul bola besi baja
kecil berduri itu menghantam bola api yang dilepas-
kan Raja Kera IbHs.
“Hup!”
Ki Ampar cepat-cepat melentingkan tubuhnya ke
belakang. Dan, dengan manis sekali kakinya
dijejakkan kembali di tanah. Namun, baru saja kedua
kakinya menyentuh tanah, mendadak Raja Kera Iblis
sudah menghentakkan kedua tangannya ke depan
dengan cepat dan bergantian beberapa kali.
“Ghruaaaghk...!”
Siap!
***
Ki Ampar harus berjumpalitan lagi di udara.
Dihindarinya bola-bola api yang meluncur deras ke
arahnya. Ledakan keras menggelegar terdengar
beberapa kali dan saling susul begitu bola-bola api itu
menghantam tanah dan pepohonan. Malam yang
semula gelap gulita pun menjadi terang benderang
oleh cahaya api yang timbul dari bola-bola api yang
membakar pepohonan.
Pertarungan itu memang sungguh dahsyat.
Masing-masing mencoba menjatuhkan lawannya.
Entah sudah berapa jurus yang sudah dikeluarkan Ki
Ampar, tapi masih belum juga bisa mendesak Raja
Kera Iblis. Bahkan, semakin lama pertarungan itu
berlangsung, Ki Ampar semakin kewalahan meng-
hadapi serangan-serangan yang dilancarkan makhluk
kera raksasa itu. Meskipun tubuhnya sangat besar,
namun gerakan-gerakan yang dilakukan Raja Kera
Iblis sungguh cepat dan ringan.
“Ghraugkh...!”
Tiba-tiba Raja Kera Iblis menggerung dahsyat
eketika itu juga, tubuhnya dilentingkan ke atas
dengan cepat sekali. Secepat kilat pula kaki kanan-
nya dihentakkan ke depan, tepat mengarah ke dada
Ki Ampar. Begitu cepatnya serangan itu, sehingga Ki
Ampar tidak dapat lagi berkelit menghindar, terlebih
lagi, padak saat itu dia baru saja menghindari satu
pukulan keras menggeledek yang ditenarkan makhluk
kera raksasa ini. Dan...
Bugkh!
“Aaakh...!”
Ki Ampar menjerit keras melengking tinggi.
Tubuhnya terpental deras ke belakang. Sebatang
pohon yang berdiri tidak jauh di belakangnya seketika
hancur berkeping-keping terlanda tubuh laki-laki tua
berjubah putih itu. Begitu kerasnya dia erbanting ke
tanah, hingga mengeluarkan pekikan keras agak
tertahan. Beberapa kali Ki Ampar bergulingan di
tanah.
“Hoeeek...!”
Segumpal darah kental agak kehitaman terlontar
dari mulut Ki Ampar ketika dia mencoba bangkit
meskipun tubuhnya terhuyung-huyung dan dadanya
terasa begitu sesak, Ki Ampar tetap mencoba bangkit.
Dan, begitu dia bisa berdiri dengan tubuh terhuyung,
mendadak saja....
“Ghraaagkh...!”
Wusss! Bugkh!
“Aaakh...!”
Lagi-lagi Ki Ampar menjerit keras dan terpental ke
belakang. Dengan kecepatan bagai kilat Raja Kera
Iblis kembali melepaskan satu tendangan keras
menggeledek sambil melompat ke udara, dan tepat
menghantam dada laki-laki tua itu.
Dan belum juga tubuh Ki Ampar mencapai tanah,
Raja Kera Iblis sudah memberikan satu pukulan
keras dengan tangan kanannya. Pukulan itu tepat
menghantam kepala Ki Ampar. Laki-laki tua itu pun
kembali menjerit melengking tinggi. Terdengar suara
berderak dari kepala yang pecah terkena pukulan
keras bertenaga dalam tinggi.
Bruk!
“Ohhh...!”
Ki Ampar menggelepar di tanah sambil mengerang
lirih. Darah bercucuran deras dari kepalanya yang
pecah. Dari mulutnya pun mengalir darah kental agak
kehitaman. Sementara Ku, Raja Kera Iblis sudah
berdiri dekat di samping tubuh laki-laki tua berjubah
putih itu. Tiba-tiba....
Jlegkh!
“Aaakh...!”
Ki Ampar berkelojotan begitu kaki kanan Raja Kera
Iblis yang berukuran sangat besar itu menjejak
dadanya. Darah langsung muncrat dari mulutnya.
Sebentar tubuhnya berkelojotan, kemudian diam tak
bergerak lagi. Begitu Raja Kera Iblis mengangkat
kakinya, tampak dada Ki Ampar sudah gepeng seperti
tertindih sebongkah batu yang amat berat.
“Ghrrr! Ha ha ha...!”
Slap!
Cepat sekali Raja Kera Iblis melesat pergi. Dan,
dalam sekejap dia sudah lenyap dari pandangan.
Sementara, Ki Rakonta dan Ki Bantur yang sejak tadi
diam saja memperhatikan pertarungan itu, tergegas
menghampiri Ki Ampar yang sudah menggeletak tak
bernyawa lagi. Kepala Ki Ampar tampak pecah dan
dadanya remuk akibat jejakan kaki Raja Kera Iblis
yang berukuran sangat besar itu.
“Kejam...,” desis Ki Rakonta, hampir tidak sanggup
melihat keadaan Ki Ampar.
Ki Bantur hanya diam memandangi mayat Ki
Ampar yang sungguh mengenaskan itu. Gerahamnya
terdengar bergemeletuk menahan geram. Dadanya
bergemuruh, tapi tidak mampu berbuat sesuatu.
Meskipun kemarahannya sudah memuncak sampai
ke batas dada, dia harus berpikir seribu kali jika mau
berbuat nekat seperti Ki Ampar yang menantang Raja
Kera Iblis tadi.
***
Seluruh penduduk Desa Weling benar-benar
dicekam perasaan takut Peristiwa terbunuhnya Ki
Ampar semalam membuat mereka diliputi ke-
gelisahan dan ketakutan yang tak bisa dilukiskan lagi
dengan kata-kata. Terlebih lagi, mereka sudah sering
mendengar cerita tentang Raja Kera Iblis, yang
selama ini dianggap sebagai dongeng belaka. Dan
sekarang, tokoh sakti yang sangat kejam itu benar-
benar muncul menjadi kenyataan. Bahkan, sudah
mengambil dua korban dalam kemunculannya
pertama kali.
Seluruh penduduk tahu bahwa Ki Ampar bukanlah
orang sembarangan. Mereka pun tahu bahwa Ki
Ampar memiliki tingkat kepandaian yang tinggi. Tapi,
ternyata dia bisa dikalahkan oleh Raja Kera Iblis.
Bahkan, dia ditewaskan dengan cara yang begitu keji,
walaupun lewat pertarungan yang sangat jujur.
Peristiwa ini memang cepat sekali tersebar, meskipun
baru terjadi semalam.
Kemunculan Raja Kera Iblis membuat seluruh
penduduk Desa Weling tidak berani keluar dari
rumahnya. Meskipun sekarang ini matahari sudah
naik cukup tinggi, keadaan desa itu terlihat masih
begitu sunyi. Tak ada seorang pun yang terlihat
berada di luar rumahnya. Bahkan, jalan yang mem-
belah desa itu pun tampak sangat sunyi. Desa Weling
benar-benar bagaikan sebuah desa mati yang tidak
berpenghuni lagi.
Dalam kesunyian itu, terlihat seorang laki-laki tua
bertubuh kurus kering dan tidak mengenakan baju
berjalan tertatih-tatih di bawah teriknya sang mentari.
Dia hanya mengenakan celana merah sebatas lutut
Tampak dia terus melangkah menyusuri jalan tanah
yang berdebu, seakan-akan tidak peduli dengan
panasnya sengatan sinar matahari pada kulit
tubuhnya yang kering dan hitam legam. Dia kemudian
berhenti di depan sebuah rumah yang pintu dan
jendelanya tertutup rapat.
Tok, tok, tok...!
Jari-jari tangannya yang kurus kering seperti hanya
tulang terbalut kulit itu mengetuk pintu yang terbuat
dari kayu yang sudah rapuh. Tak ada jawaban sedikit
pun. Dia pun mengetuk lagi lebih keras. Dan tidak
lama kemudian, terdengar langkah kaki yang terseret
dari dalam.
“Siapa...?” terdengar suara agak serak dari Salam
rumah berukuran kecil ini.
“Aku...!” sahut laki-laki tua itu.
Perlahan pintu terbuka sedikit Dan, dari balik
pintal kayu yang sudah rapuh itu muncul seorang
wanita tua berusia lebih dari tujuh puluh tahun.
“Oh...! Siapa kau, Ki?” tanya wanita tua itu, yang
tampak agak terkejut melihat laki-laki yang sebaya
dengannya berada di depan pintu rumahnya.
Laki-laki tua itu tidak menjawab sedikit pun.
Perlahan dia mengangkat kepalanya. Sepasang bola
matanya terlihat merah menyala, bagai sepasang
bola api. Dan, perlahan bibirnya bergerak membentuk
sebuah seringai, seakan-akan ingin memperlihatkan
baris-baris giginya yang bertaring sangat runcing.
“Oh...?!”
“Ghrrr...!”
Bettt!
Tiba-tiba laki-laki tua itu mengebutkan tangannya
ke depan. Dan....
Brak!
“Akh...!” pekik perempuan tua itu.
Sekali hentak saja, pintu kayu itu hancur ber
keping-keping. Dan, sebelum perempuan tua itu
menyadari siapa yang berada di hadapannya, tiba-tiba
laki-laki tua itu sudah melompat masuk ke dalam.
Secepat itu pula, tiba-tiba tubuhnya yang kurus kering
langsung berubah.
“Oh...?!”
“Ghraaagkh...!”
Bret!
“Aaakh...!”
Bagaikan kilat, tangan kurus kering yang berubah
menjadi besar dan berbulu hitam itu mengibas dan
langsung menyambar leher perempuan tua itu.
Sungguh cepat gerakannya. Dan tahu-tahu leher
perempuan tua itu sudah terpenggal, seperti dibabat
sebilah pedang yang amat tajam. Kepala perempuan
tua itu pun terpental, lalu jauh bergulingan di lantai
tanah rumah ini. “
Ghrrr...!”
Melihat darah yang muncrat dari leher tak
berkepala itu, sinar mata makhluk bertubuh tinggi .
besar dan berbulu hitam itu tampak berbinar-binar.
Cepat-cepat tubuh yang sudah menggeletak di tanah
itu diterkamnya. Lalu, dengan kuku-kuku jari tangan-
nya yang tajam dan runcing, dicabik-cabik-nya dada
perempuan tua itu hingga berlubang besar.
Lalu sambil menggerung-gerung, dikeluarkannya
jantung di dalam dada itu. Dan langsung dikunyah-
nya. Dan setelah puas, darah yang bercucuran itu
dihirupnya dengan rakus sekali.
“Ghrrr...!”
Tidak berapa lama, makhluk berbentuk kera
raksasa itu sudah menguras habis darah yang
bercucuran dari tubuh perempuan tua ini. Tak ada
lagi setetes darah pun yang tersisa. Namun, sama
sekati dia tidak tahu, semua perbuatannya diawasi
oleh sepasang mata bersimbah air bening yang
bersembunyi di balik sebuah pintu yang sedikit
terbuka.
“Ghraaaugkh...!”
Setelah puas menghisap darah korbannya,
makhluk kera raksasa berbulu hitam itu langsung
melesat keluar dengan cepat sekali. Dan dalam
sekejap bayangannya sudah lenyap tak terlihat lagi
Tinggallah kini tubuh korbannya yang sudah tercabik
hancur dengan darah tak tersisa sedikit pun.
“Nek...!”
Saat itu, dari balik pintu sebuah kamar, keluar
seorang bocah laki-laki berusia sekitar sepuluh tahun.
Bocah kecil itu langsung menghambur dan memeluk
tubuh perempuan tua itu sambil menangis
sesenggukan. Tidak dipedulikannya kalau tubuh tua
yang dipeluknya sudah hancur dan tak berkepala lagi.
***
EMPAT
“Iblis...! Ini benar-benar sudah keterlaluan!” desis Ki
Rakonta geram setengah mati. Matanya tidak ber-
kedip memandangi mayat perempuan tua yang
tubuhnya hancur dan kepalanya buntung itu.
Di sudut ruangan depan rumah kecil ini, terlihat Ki
Bantur duduk di kursi kayu, sambil memangku bocah
berusia sepuluh tahun yang menangis sesenggukan
menyembunyikan kepala di dada laki-laki tua itu.
Sedangkan Ki Suta tampak sibuk membereskan
mayat perempuan tua itu, dibantu beberapa pemuda
Desa Weling.
Saat Ki Suta selesai membereskan mayat
perempuan tua itu, Ki Bantur bangkit dari kursi yang
didudukinya. Diserahkannya bocah kecil itu kepada
seorang perempuan separuh baya yang berada dekat
dengannya. Kemudian kakinya melangkah meng-
hampiri Ki Rakonta, yang masih tetap berdiri di depan
jendela dengan pandangan tertuju langsung ke luar.
Terlihat di sekitar rumah kecil ini masih banyak orang
yang ingin mengetahui peristiwa yang terjadi. Ki
Bantur kini berdiri di samping Kepala Desa Weling.
“Anak itu melihat semua kejadiannya, Ki,” kata Ki
Bantur, dengan suara yang terdengar berbisik.
Ki Rakonta hanya menggumam perlahan, sambil
melirik pada bocah laki-laki yang kini berada dalam
pangkuan seorang perempuan setengah baya. Bocah
itu masih menangis sesenggukan. Perempuan
setengah baya itu pun kerepotan mendiamkannya. Ki
Rakonta kembali mengarahkan pandangannya ke
luar.
“Apa katanya?” tanya Ki Rakonta, dengan suara
yang juga perlahan.
“Katanya, semalam datang laki-laki tua, yang
kemudian berubah menjadi makhluk raksasa yang
mengerikan,” sahut Ki Bantur.
“Hm..., rupanya dia sudah mulai mengubah dirinya
untuk mencari korban,” gumam Ki Rakonta, seperti
bicara pada dirinya sendiri.
“Apa itu berarti dia tidak perlu lagi menekan kita
untuk menyediakan korban, Ki?” tanya Ki Bantur.
“Kau benar, Ki Bantur. Dia sudah tidak sabar dan
sekarang mencari korbannya sendiri dengan meng-
ubah dirinya. Itu berarti kita akan menghadapi
kesulitan yang lebih besar lagi. Kita tidak tahu lagi,
kapan kemunculannya tiba. Bahkan dia bisa saja
berada di antara orang-orang kita,” sahut Ki Rakonta.
“Terlalu berbahaya bagi kita semua kalau begitu,
Ki. Desa ini seringkah dimasuki para pendatang. Kita
tidak mungkin mencurigai mereka yang datang ke
sini, Ki. Lagi pula, tidak semua orang di desa ini kita
kenali satu persatu,” kata Ki Bantur, langsung bisa
membaca kesulitan yang bakal dihadapi.
Seluruh penduduk desa ini benar-benar sudah
terancam keselamatannya. Raja Kera Iblis tidak akan
berhenti sebelum seluruh penduduk habis menjadi
korbannya. Dia akan terus mencari manusia untuk
dijadikan korban. Bahkan, bukan tidak mungkin,
kemunculannya akan dimanfaatkan oleh orang-orang
rimba persilatan yang beraliran hitam. Mereka akan
menyembah dan mendapatkan perlindungan, dengan
imbalan mencarikan manusia untuk santapan iblis
raksasa berbentuk kera itu. Dunia pun terancam
kehancuran kalau hal ini benar-benar terjadi.
Di saat kedua orang tua itu terdiam, tiba-tiba....
Glarrr...!
“Heh...?!”
“Hah...?!”
Bukan hanya Ki Rakonta dan Ki Bantur yang
terkejut ketika tiba-tiba terdengar ledakan keras
menggelegar yang begitu dahsyat. Semua orang yang
memadati rumah ini juga tersentak kaget setengah
mati. Seketika itu juga, mereka yang berada di sekitar
rumah ini berhamburan sambil berteriak-teriak panik.
Suasana pun seketika menjadi gaduh.
Ki Suta yang sedang mengurus mayat perempuan
tua di rumah ini juga langsung menghentikan peker-
jaannya. Dia cepat melompat mendekati Ki Rakonta
dan Ki Bantur yang masih berdiri di depan jendela.
Sementara itu, semua orang yang berada di luar
sebentar saja sudah menghilang ke dalam rumah
masing-masing. Suasana gaduh pun seketika lenyap.
Keadaan pun jadi begitu sunyi. Saat itu....
Glarrr...!
Kembali terdengar ledakan yang begitu keras dan
dahsyat Jelas sekali ledakan itu datang dari sebelah
Timur lereng Gunung Weling.
“Ki Suta, kau tetap di sini. Aku dan Ki Bantur akan
melihat ledakan itu,” kata Ki Rakonta.
“Baik, Ki,” sahut Ki Suta.
Bagaikan kilat Ki Rakonta dan Ki Bantur melesat
melalui jendela yang sejak tadi terbuka lebar.
Sementara itu Ki Suta bergegas menutup jendela dan
pintu rumah ini. Sekilas dia melirik pada beberapa
orang yang masih berada di dalam rumah. Mereka
tidak berani keluar untuk kembali ke rumah masing-
masing. Mereka juga memandangi Ki Suta, seakan-
akan meminta perlindungan dari laki-laki tua yang
mengenakan jubah putih itu.
“Kalian tetap saja di sini sampai Ki Rakonta dan Ki
Bantur kembali,” kata Ki Suta.
Semua orang yang berada di dalam rumah ha-iya
mengangguk. Tak ada seorang pun yang
mengeluarkan suara. Sedangkan Ki Suta kembali
nengurus mayat perempuan tua pemilik rumah ini,
«bantu empat orang pemuda.
Ki Rakonta dan Ki Bantur terus berlari cepat
mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah
mencapai tingkat tinggi. Tingkat kepandaian mereka
setara, sehingga keduanya selalu tampak ber-
dampingan tanpa saling mendahului. Mereka menuju
arah sebelah Timur lereng Gunung Weling. Beberapa
kali masih terdengar ledakan, yang semakin keras
memekakkan telinga.
“Ki, lihat..!” seru Ki Bantur sambil menunjuk ke
sebuah padang rumput yang berada di lereng Gunung
Weling sebelah Timur.
“Oh.,.,” desah Ki Rakonta.
Mereka bergegas ke padang rumput yang tidak
begitu besar itu. Tampak di sana, seorang pemuda
berbaju kulit harimau tengah bertarung sengit me-
lawan sesosok makhluk, bertubuh tinggi besar dan
berbulu kehitaman. Wajah makhluk itu begitu
mengerikan, mirip seekor kera. Dan, dia hanya
mengenakan celana warna merah sebatas lutut Tidak
jauh dari situ, terlihat seorang gadis cantik berbaju
merah muda sedang memperhatikan jalannya per-
tarungan itu. Tampak pula seekor monyet kecil ber-
bulu hitam di samping kanan gadis itu, yang berpaling
begitu Ki Rakonta dan Ki Bantur sampai di padang
rumput lereng-Gunung Weling ini.
“Nguk...!”
Ki Rakonta agak terkejut begitu melihat gadis
cantik berbaju merah muda itu. Kemudian pan-
dangannya diarahkan pada pertarungan sengit yang
sedang berlangsung. Dan, kembali dipandangnya
gadis cantik yang juga tengah menatapnya. Perlahan
Ki Rakonta dan Ki Bantur menghampiri gadis itu. Ki
Rakonta ingat gadis inilah yang datang ke Desa
Weling tempo hari bersama pemuda berbaju kulit
harimau, yang kini tengah bertarung melawan
makhluk kera raksasa yang tak lain dari Raja Kera
Iblis. Ki Rakonta pun ingat, mereka pernah mem-
perkenalkan diri. Gadis ini bernama Ratna Wulan.
Dan pemuda yang sedang bertarung itu adalah Bayu,
yang di kalangan rimba persilatan lebih dikenal ber-
juluk Pendekar Pulau Neraka.
“Sudah berapa lama mereka bertarung?” tanya Ki
Rakonta.
“Belum lama,” sahut Ratna Wulan.
Ratna Wulan membungkukkan tubuhnya sedikit
lalu mengangkat Tiren. Monyet kecil m berbulu hitam
itu langsung memeluk leher yang putih njang ketika
gadis itu menempatkan di pundaknya. Tampaknya
Tiren juga mengenali Ki Rakonta. Dan, binatang itu
terus memandang Ki Rakonta sambil sesekali menge-
luarkan suaranya yang kecil di telinga Ratna Wulan.
“Kenapa sampai bisa bertarung?” tanya Ki Bantur.
“Makhluk itu tiba-tiba saja muncul dan langsung
menyerang,” sahut Ratna Wulan lagi.
“Anak itu bisa celaka, Ki,” bisik Ki Bantur.
“Hm...,” gumam Ki Rakonta.
Kemudian tidak ada yang berbicara lagi. Mereka
memperhatikan pelannya pertarungan yang semakin
terlihat sengit itu. Tampak jelas bahwa Bayu masih
bisa menandingi Raja Kera Iblis. Bahkan, sudah
beberapa kali pukulan Pendekar Pulau Neraka
mengenai tubuh makhluk berbentuk kera raksasa
berbulu hitam itu. Tapi, tampaknya Raja Kera Iblis
benar-benar sulit ditundukkan. Walaupun pukulan
Pendekar Pulau Neraka mengandung pengerahan
tenaga dalam tinggi, tetap saja Raja Kera Iblis tidak
mundur setapak pun, bahkan semakin kelihatan
ganas.
“Hiyaaa...!”
Tiba-tiba Bayu melentingkan tubuhnya ke udara
dan berjumpalitan beberapa kali ke belakang.
Dengan gerakan yang indah dan ringan sekali,
Pendekar Pulau Neraka menjejakkan kakinya kembali
di tanah sejauh tiga batang tombak dari makhluk kera
raksasa berbulu hitam pekat itu.
“Phuih...!”
“Ghrrr...!”
Raja Kera Iblis menggerung agak keras. Dan begitu
dia melompat hendak menerjang pemuda berbaju
kulit harimau itu, dengan cepat sekali Pendekar Pulau
Neraka memiringkan tubuhnya ke kiri dengan sedikit
membungkuk. Lalu, tangan kanannya ditarik hingga
sejajar dada. Dan....
“Hiyaaa...!”
Sambil berteriak keras menggelegar, Bayu meng-
hentakkan tangan kanannya ke depan, tepat di saat
Raja Kera Iblis berada di udara dan begitu dekat
dengannya. Pada saat itu juga, Cakra Maut yang
berada di pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau
Neraka melesat cepat bagai kilat
Wusss!
Senjata maut 'andalan Pendekar Pulau Neraka
langsung menghantam dada Raja Kera Iblis yang
tidak sempat lagi menyadari serangan pemuda ber
baju kulit harimau itu.
“Aaargh...!”
Raungan keras terdengar dahsyat menggelegar.
Seluruh lereng Gunung Weling pun bergentar. Tampak
Raja Kera Iblis terjatuh ke tanah dan bergulingan
beberapa kali. Namun, dia cepat melenting dan
kembali bangkit berdiri. Saat itu pun Bayu meng-
hentakkan tangan kanannya ke atas kepala. Cakra
Maut berwarna keperakan dan bersegi enam yang
tertanam di dada Raja Kera Iblis langsung melesat
balik dan menempel kembali di pergelangan tangan
kanan Pendekar Pulau Neraka.
“Ghraaaugkh...!”
“Hup!”
Bayu cepat-cepat melompat ke belakang sejauh
dua batang tombak. Tampak Raja Kera Iblis meraung-
raung keras sambil mengangkat kedua tangannya ke
atas. Dari dadanya yang berlubang, terlihat darah
segar bercucuran. Dan, mendadak dia diam sambil
menatap tajam pada Pendekar Pulau Neraka dengan
matanya yang merah menyala bagai sepasang bola
api.
“Ghrrr...!”
Siap!
Tiba-tiba makhluk kera raksasa itu melesat cepat
bagai kilat. Dan dalam sekejap dia sudah tak terlihat
lagi, masuk ke dalam hutan di lereng Gunung Weling
yang,sangat lebat ini. Namun, Bayu sempat melihat
kalau makhluk kera raksasa yang sangat mengerikan
itu menuju ke puncak Gunung Weling.
“Kakang...!”
“Nguk! Chraaak...!”
Bayu cepat berpaling saat mendengar suara
memanggil namanya dari arah belakang. Terdengar
juga seruan nyaring dari seekor monyet kecil.
Perlahan Bayu memutar tubuhnya berbalik. Dilihatnya
Ratna Wulan berjalan cepat menghampirinya, diikuti
dua laki-laki tua yang mengenakan jubah panjang
berwarna putih bersih. Sedangkan Tiren langsung
melompat turun dari pundak Ratna Wulan, lalu berlari
cepat sambil mencerecet menghampiri Pendekar
Pulau Neraka.
Tiren langsung melompat begitu Bayu mengulur-
kan tangannya, lalu segera memeluk leher yang
bersimbah keringat itu. Sedangkan Ratna Wulan, Ki
Rakonta, dan Ki Bantur terus berjalan cepat
menghampiri Pendekar Pulau Neraka.
“Nguk! Nguk...!”
Bayu tersenyum sambil menepuk-nepuk kaki Tiren
yang kini sudah nangkring di pundak kanannya. Dia
seakan-akan bisa mengerti, apa yang dikatakan
monyet kecil ini.
“Kau tidak apa-apa, Kakang?” tanya Ratna Wulan,
sambil merayapi wajah tampan Pendekar Pulau
Neraka.
Bayu hanya tersenyum. Pandangannya langsung
tertuju pada dua orang laki-laki tua berjubah putih
yang kini juga sudah berada dekat di depannya.
Sedangkan Ratna Wulan sudah berdiri di samping
kanan Pendekar Pulau Neraka. Beberapa saat
mereka terdiam. Mereka memang sudah bertemu
sebelumnya di Desa Weling, tapi perjumpaan itu tidak
mengenakkan sekali. Ki Rakonta waktu itu tidak
menghendaki kehadiran seorang pendatang pun di
Desa Weling. Sehingga, ketika Bayu dan Ratna Wulan
datang, mereka langsung diusir begitu saja. Namun,
hal ini bisa dimaklumi, karena dia harus selalu
waspada sejak Raja Kera Iblis muncul.
***
Sungguh dahsyat akibat yang ditimbulkan
pertarungan tadi. Tidak sedikit pohon yang tumbang.
Tanah pun tampak terbongkar terkena pukulan-
pukulan bola api Raja Kera Iblis yang tidak mengenai
sasaran. Keadaan di lereng Gunung Weling ini seperti
baru teramuk oleh ratusan gajah.
“Aku benar-benar kagum. Kau mampu melukai,
bahkan membuatnya kabur,” ujar Ki Rakonta,
memecah kekakuan yang terjadi di antara mereka.
“Tampaknya kau tahu tentang makhluk itu, Ki...?”
ujar Bayu, agak menggumam.
Sinar mata Pendekar Pulau Neraka begitu dalam
dan tertuju langsung ke bola mata laki-laki tua yang
berada di depannya. Sedangkan Ki Rakonta, yang
dipandangi seperti itu hanya tersenyum. Dia bisa
merasakan bahwa pemuda berbaju kulit harimau ini
menaruh curiga padanya. Hal ini bisa dimaklumi,
karena pertemuan pertama mereka memang tidak
mengenakkan.
“Ya, aku tahu makhluk itu. Bahkan beberapa orang
penduduk desaku sudah menjadi korbannya,” kata Ki
Rakonta.
Tampak jelas bahwa Bayu dan Ratna Wulan ter-
kejut mendengar kata-kata Ki Rakonta barusan.
Sungguh mereka tidak menyangka, makhluk kera
raksasa itu sudah menjarah ke Desa Weling dan
mengambil beberapa korban manusia. Beberapa saat
keduanya saling melempar pandang. Kemudian
mereka kembali menatap pada dua orang laki-laki tua
berjubah putih dari Desa Weling itu.
“Dia memang bukan makhluk biasa. Dia iblis yang
datang dari dasar neraka. Setiap kali muncul, dia
selalu menimbulkan bencana yang tidak kecil. Dia
selalu mencari manusia untuk santapannya,” kata Ki
Rakonta lagi
“Santapan...? Maksudmu, Ki?” tanya Ratna Wulan,
tidak mengerti.
“Dia selalu membunuh orang hanya untuk meng-
hirup darah dan memakan jantungnya,” jelas Ki
Rakonta.
“Oh...,” desah Ratna Wulan panjang.
Tubuh Ratna Wulan tampak bergidik sedikit. Tidak
pernah terbayangkan olehnya sama sekali kalau
makhluk mengerikan berbentuk kera raksasa itu
adalah makhluk peminum darah dan pemakan
jantung manusia. Dan sukar juga untuk dibayangkan,
bagaimana cara makhluk itu menghirup darah dan
memakan jantung manusia yang menjadi korbannya.
Pantas kera raksasa itu sangat ganas saat bertarung
melawan Pendekar Pulau Neraka tadi. Meskipun
senjata Cakra Maut Pendekar Pulau Neraka berhasil
melukainya dan membuatnya kabur dari tempat ini.
Tapi, hal itu bukan berarti Raja Kera Ibtis telah
jera. Dia pasti akan datang lagi membawa
malapetaka yang lebih besar. Hal ini sudah bisa
ditebak Ki Rakonta dan Ki Bantur. Kekalahan kecilnya
dari Pendekar Pulau Neraka akan membuat Raja
Kera Iblis semakin bertambah murka. Dan, neraka
pun akan tersebar di atas permukaan bumi ini.
“Bagaimana kalau kalian berdua menetap di desa
kami. Sumbangan tenaga kalian tentu sangat
diperlukan untuk menghadapi Raja Kera Iblis,” kata
Ki Rakonta, tanpa sungkan-sungkan lagi.
Bayu melirik sedikit pada Ratna Wulan. Sedangkan
gadis itu hanya mengangkat bahu. Tampaknya dia
menyerahkan keputusan pada Pendekar Pulau
Neraka.
“Aku tahu, kalian masih sungkan. Maaf atas
perilaku yang tidak mengenakkan dariku waktu itu,”
kata Ki Rakonta, yang langsung teringat kalau dia
pernah tidak mau menerima pendekar-pendekar
muda ini.
“Bukan itu masalahnya, Ki. Aku dan Wulan bisa
memakluminya. Tapi, apa mungkin makhluk itu hanya
menjarah ke Desa Weling? Aku rasa, masih ada desa-
desa lain di sekitar kaki Gunung Weling ini,” kata
Bayu cepat-cepat
“Dia tidak akan meninggalkan satu desa sebelum
seluruh penduduknya habis,” ujar Ki Rakonta. “Dan
kebetulan, dia muncul pertama kali di Desa Weling.
Tidak mungkin dia ke desa lain, karena masih banyak
penduduk di Desa Weling yang bisa dijadikan
korbannya.”
“Tampaknya kau memang tahu banyak tentang
ala, Ki,” kata Bayu lagi.
“Memang, cerita tentang Raja Kera Iblis sudah
tidak asing lagi di Desa Weling. Cerita itu sudah sering
didengar sejak zaman nenek moyang kami dulu.
Mungkin sudah ratusan tahun lalu cerita itu sudah
ada. Selama ini kami memang selalu menganggapnya
sebagai dongeng belaka. Tapi ternyata Raja Kera Iblis
benar-benar ada dan sekarang muncul dengan mem-
bawa malapetaka yang tidak mungkin bisa kami
hadapi sendiri,” jelas Ki Rakonta lagi.
Lagi-lagi Bayu dan Ratna Wulan saling ber-
pandangan. Mereka benar-benar tidak menyangka
kalau makhluk kera raksasa yang dijuluki Raja Kera
iblis itu sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu.
“Melihat kau bertarung tadi, aku yakin, kau pasti
mampu menandingi Raja Kera Iblis,” selak Ki Bantur,
yang sejak tadi diam saja.
“Terus terang, aku sendiri tadi hampir saja tidak
sanggup menghadapinya. Aku rasa, dia memiliki ilmu
kebal pada tubuhnya. Semua pukulanku tampak tidak
ada artinya sama sekali,” kata Bayu, merendah.
“Tapi kau memiliki senjata yang sanggup melukai-
ya, Anak Muda. Aku yakin, senjatamu itu bisa mem-
bunuhnya pula. Dan, sepanjang yang kutahu, dia
memang kebal terhadap segala jenis senjata,” ujar Ki
Rakonta.
Bayu melirik pada Cakra Maut di pergelangan
tangan kanannya dengan kening agak berkerut Dia
sendiri tadi tidak mengerti, kenapa Cakra Maut ini
berhasil menembus dada makhluk kera raksasa itu.
Padahal, pukulan-pukulan mautnya yang bertenaga
dalam tinggi tidak bisa menggoyahkan pertahanan
makhluk kera raksasa itu.
Bayu tidak menyadari kalau Cakra Maut miliknya
adalah senjata pusaka yang sangat langka. Benda
sekeras apa pun mampu ditembusnya. Senjata
pusaka peninggalan Eyang Gardika itu memang
dibuat dari baja putih pilihan yang direndam dengan
ramu-ramuan yang terdapat di Pulau Neraka. Dan,
sampai saat ini Bayu pun masih belum bisa mengerti
sepenuhnya tentang Cakra Maut miliknya itu.
“Mari, Kisanak, Nini.... Sebaiknya kita ke Desa
Weling saja. Aku khawatir, dia mengamuk di sana
sekarang ini,” ajak Ki Rakonta.
“Nguk...!”
Malah Tiren yang menyahuti ajakan kepala desa
itu. Tingkah Tiren yang lucu dan seperti mengerti akan
semua yang mereka bicarakan barusan, membuat Ki
Rakonta dan Ki Bantur tersenyum senyum geli di
dalam hati. Seringkah Tiren menyelak pembicaraan
mereka. Dan tampaknya pula, Bayu bisa memahami
setiap suara yang dikeluarkan monyet kecil itu. Inilah
persahabatan yang sangat langka, antara manusia
dan binatang. Dan yang lebih mengherankan, mereka
tampak bisa mengerti satu sama lain.
“Bagaimana, Bayu...?” desak Ki Rakonta.
Kali ini Bayu dan Ratna Wulan tidak bisa lagi
menolak. Terlebih lagi, mereka sudah cukup banyak
mendengar cerita tentang makhluk kera raksasa itu.
Tanpa ada yang berbicara lagi, mereka kemudian
melangkah meninggalkan lereng Gunung Weling. Dan
dalam perjalanan menuju Desa Weling, Ki Rakonta
dan Ki Bantur secara bergantian menceritakan
keadaan di desa itu, termasuk mengenai makhluk
mengerikan yang berjuluk Raja Kera Iblis. Sedangkan
Bayu dan Ratna Wulan hanya mendengarkan.
***
LIMA
Dua hari sudah Bayu dan Ratna Wulan berada di
Desa Weling. Tapi, selama dua hari ini tidak lagi
mereka bertemu dengan Raja Kera Iblis. Dan, selama
dua hari ini pula, Ki Rakonta mengungsikan
penduduknya ke desa-desa lain yang dianggap lebih
aman. Tindakan Ki Rakonta ini tentu saja membuat
berita kemunculan Raja Kera Iblis cepat tersebar ke
desa-desa lain yang berada di sekitar kaki Gunung
Weling.
Tidak heran, dalam dua hari saja, banyak
pendekar dari sekitar kaki Gunung Weling ber-
datangan ke desa ini Desa Weling pun sekarang
tampak ramai, karena terus-menerus didatangi para
pendekar yang ingin melenyapkan makhluk kera
raksasa itu.
“Cepat sekali berita tentang makhluk kera itu
tersebar...,” gumam Ratna Wulan perlahan, seperti
bicara pada dirinya, sendiri.
Sejak pagi tadi gadis itu berdiri di depan jendela
ruangan depan rumah Ki Rakonta. Di depan matanya
kini tampak orang-orang persilatan semakin banyak
berdatangan ke desa ini. Desa yang semula kelihatan
sunyi sepi dicekam ketakutan, sekarang berubah
menjadi ramai. Para pendekar dari rimba persilatan
itu sengaja datang untuk menjajal ketangguhan Raja
Kera Iblis.
“Cerita tentang Raja Kera Iblis memang sudah
tersebar dan diketahui banyak orang. Bahkan tidak
sedikit yang sengaja menunggu kemunculannya
hanya untuk menjajal kesaktiannya,” ujar Ki Rakonta.
“Aku rasa, keadaan ini akan menarik perhatian
mereka yang bergolongan hitam, Ki,” kata Ratna
Wulan.
“Itu sudah pasti, Nini Wulan. Lihat saja, baru dua
hari sudah terjadi beberapa kali keributan dan
pertarungan. Bahkan sudah beberapa orang yang
tewas akibat saling bertarung. Memang, pengaruh
Raja Kera Iblis sangat luar biasa,” kata Ki Rakonta.
“Keadaan semakin bertambah parah, Ki,” desah
Ratna Wulan.
“Yaaah..., bisa lebih parah lagi kalau Raja Kera
Iblis tidak segera dienyahkan,” sahut Ki Rakonta,
yang juga mendesah perlahan.
Mereka terdiam membisu, sama-sama me-
mandang ke luar melalui jendela yang sengaja dibiar-
kan terbuka. Tak ada orang di dalam ruangan ini
kecuali mereka berdua. Cukup lama juga mereka
berdiam diri memandangi orang-orang yang hilir-
mudik memadati jalan yang membelah Desa Weling.
Di antara orang-orang itu tak terlihat seorang pun
penduduk desa ini. Mereka semua pendatang, orang-
orang dari kalangan dunia persilatan yang sengaja
datang ke desa ini hanya untuk bertemu Raja Kera
Iblis.
“Tadi Bayu bilang ke mana perginya?” tanya Ki
Rakonta.
“Tidak, Ki,” sahut Ratna Wulan.
“Dengan siapa dia pergi?”
“Sendiri.”
“Apa dia selalu begitu? Pergi sendiri tanpa mem-
beritahu ke mana tujuannya, Nini Wulan?” tanya Ki
Rakonta lagi.
Ratna Wulan hanya mengangkat bahunya sedikit
Dia sendiri belum begitu mengenal pribadi Pendekar
Pulau Neraka itu. Dia belum lama ikut berjalan
bersama-sama. Jadi, belum tahu betul akan watak
dan kebiasaannya. Dan, tentu saja Ratna Wulan tidak
bisa menjawab pertanyaan Ki Rakonta tadi. Karena,
gadis itu sendiri tidak tahu, ke mana Pendekar Pulau
Neraka pergi. Dia memang tidak bertanya kepada
Bayu, ke mana tujuannya, ketika pemuda itu ber-
pamitan tadi.
“Itu dia datang, Ki...!” seru Ratna Wulan sambil
menunjuk ke luar jendela.
Ki Rakonta menjulurkan kepalanya, melewati bahu
gadis ini. Dilihatnya Bayu, yang selalu mengenakan
baju kulit harimau, berjalan melenggang melintasi
halaman depan rumah ini. Monyet kecilnya tampak
berlari-lari kecil mengitari langkah pemuda itu.
Sebentar saja mereka menunggu, Pendekar Pulau
Neraka sudah berada di ambang pintu yang sejak tadi
dibiarkan terbuka lebar. Pemuda berbaju kulit
harimau itu terus melangkah. Dan, tubuhnya
dihempaskan di kursi sebelah kanan Ratna Wulan.
“Nguk...!”
“Ke sini, Tiren,” kata Ratna Wulan sambil men-
julurkan tangan kanannya.
“Nguk...!”
Sekali lompatan saja, monyet kecil itu sudah
berada di pangkuan Ratna Wulan. Sedangkan Bayu
masih mengatur napasnya. Dia kelihatan begitu lelah,
seperti baru melakukan perjalanan yang sangat
panjang. Keringat pun tampak bercucuran mem-
basahi sekujur tubuhnya.
Ki Rakonta menghampiri dan menarik kursi ke
depan Pendekar Pulau Neraka. Kemudian dia duduk
di sana. Diperhatikannya wajah Bayu yang memerah
bersimbah keringat.
Dengan punggung tangannya, Pendekar Pulau
Neraka menyeka keringat yang mengucur membasahi
lehernya. Dia melirik sedikit pada Ratna Wulan yang
sejak tadi memperhatikannya. Kini gadis itu sudah
duduk di sampingnya.
“Ke mana kau tadi, Kakang?” tanya Ratna Wulan,
membuka suara lebih dahulu.
Lembut sekali gadis itu mengelus-elus kepala Tiren
dengan jari-jari tangannya yang halus dan lentik.
Sedangkan monyet kecil itu tampak kesenangan.
Kepalanya direbahkan di dada yang membusung
indah ini. Dia memang selalu manja bila berdekatan
dengan wanita, terlebih lagi bila berada di pangkuan
gadis cantik seperti Ratna Wulan ini. Matanya tampak
terpejam begitu dinikmatinya kelembutan kulit jari-jari
tangan yang halus ini.
“Ke lereng Gunung Weling,” sahut Bayu.
“Mau apa ke sana?” tanya Ratna Wulan lagi.
“Nguk...!”
Tiren lebih dulu menyahuti sebelum Bayu mem-
buka mulutnya.
“Hanya melihat keadaan.”
“Lalu, apa yang kau dapatkan di sana?” selak Ki
Rakonta.
“Semakin parah, Ki,” sahut Bayu, seraya menatap
laki-laki tua berjubah putih yang duduk di depannya
ini.
“Semakin parah...? Maksudmu?” tanya Ki
Rakonta.
“Ya..., kita sekarang tidak hanya menghadapi Raja
Kera Iblis, tapi juga orang-orang persilatan beraliran
sesat yang ingin bergabung dengan Raja Kera Iblis.
Mereka sekarang berkumpul di lereng Gunung
Weling. Mereka tampaknya hendak ke puncak
gunung menemui Raja Kera Iblis,” jelas Bayu.
“Bahkan tadi aku sempat bertarung dengan
mereka....”
“Jagat Dewa Batara.... Inilah yang aku khawatirkan
sejak semula,” desah Ki Rakonta, memotong ucapan
Bayu yang belum selesai.
Bayu terdiam. Ratna Wulan pun diam saja. Lalu,
dengan usil, bulu-bulu halus di tubuh Tiren dicabuti-
nya. Monyet kecil itu pun menggelinjang, kemudian
melompat, berpindah ke pundak Pendekar Pulau
Neraka.
“Kalau saja aku tidak gegabah mengungsikan
penduduk...,” desah Ki Rakonta lagi.
“Kau tidak perlu menyesal, Ki. Tindakanmu
mengungsikan penduduk ke tempat yang lebih aman
itu sangat tepat dan bijaksana,” kata Bayu cepat,
sebelum Ki Rakonta menyelesaikan kalimatnya.
“Tapi tindakanku itu malah mengundang mereka,
Bayu.”
“Sama sekali tidak benar, Ki. Mereka memang
sudah tahu sejak semula,” bantah Bayu.
“Maksudmu...?” tanya Ki Rakonta, yang tampak
tidak mengerti.
“Tadi aku sempat mendengar pembicaraan
mereka yang datang ke sini, Ki. Mereka memang
sudah melihat tanda-tanda kemunculan Raja Kera
Iblis. Dan, mereka memang sebenarnya sedang
mencari, di mana munculnya Raja Kera Iblis. Mereka
sudah menjelajahi seluruh kaki Gunung Weling ini.
Dan secara kebetulan, kau mengungsikan penduduk
ke tempat yang lebih aman pada saat mereka sedang
menuju ke sini, Ki. Jadi mereka semakin yakin kalau
Raja Kera Iblis sudah bangkit dan sekarang berada di
sekitar desa ini. Dan itu berarti bukan kesalahanmu
kalau mereka sekarang berada di sini, Ki,” jelas Bayu
dengan gamblang.
“Dongeng itu sekarang telah menjadi kenyataan,
Bayu. Iblis itu kini semakin kuat. Tidak mungkin kita
bisa melawannya lagi,” ujar Ki Rakonta, perlahan.
Lemas seluruh tubuh Ki Rakonta mendengar
keterangan yang baru dikatakan Bayu tadi. Sungguh
tidak disangka kalau berita tentang kemunculan Raja
Kera Iblis demikian cepat tersebar. Bahkan, tokoh-
tokoh golongan hitam sudah mulai berdatangan ke
puncak Gunung Weling untuk menemui makhluk kera
raksasa itu. Bergabungnya mereka tentu saja akan
menambah kekuatan Raja Kera Iblis. Dia bisa
membentuk sebuah pasukan yang tidak akan
tertandingi oleh siapa pun. Dia benar-benar akan
menguasai seluruh mayapada ini, tanpa da seorang
pun yang mampu lagi melenyapkannya.
***
Keadaan di sekitar kaki Gunung Weling se-nakin
bertambah buruk. Tokoh persilatan beraliran putih
kini bukan lagi harus berhadapan dengan Raja Kera
Iblis. Mereka juga terpaksa harus berhadapan dengan
tokoh-tokoh persilatan beraliran hitam, yang sudah
menggabungkan diri dengan makhluk iblis kera
raksasa itu.
Tidak hanya di Desa Weling, tokoh-tokoh dunia
hitam itu pun ternyata sudah mulai menjarah ke desa-
desa lain di sekitar kaki Gunung Weling. Mereka terus
menculik para penduduk untuk dipersembahkan
kepara Raja Kera Iblis sebagai korban santapannya.
Bahkan, Bayu dan Ratna Wulan sendiri sudah
beberapa kali harus bertarung dengan mereka, ketika
tokoh-tokoh sesat itu hendak menculik penduduk
Desa Weling.
“Keadaan semakin memburuk saja, Kakang. Tidak
ada jalan lain, kita harus menantang Raja Kera Iblis,”
kata Ratna Wulan, saat mereka baru saja meng-
gagalkan tiga orang pengikut Raja Kera Iblis yang
hendak membawa seorang penduduk Desa Weling.
“Tidak mudah untuk mencapai tempatnya, Wulan.
Terlalu banyak pengikut Raja Kera Iblis yang menjaga
sekitar lereng gunung,” sahut Bayu.
“Tapi kalau didiamkan terus, pengikutnya akan
semakin bertambah banyak, Kakang. Dan dia akan
semakin kuat,” kata Ratna Wulan, penuh semangat
Bayu hanya diam.
“Kakang, bagaimana kalau kita kumpulkan semua
pendekar yang ada di sini, lalu kita serang puncak
Gunung Weling,” usul Ratna Wulan.
Bayu masih tetap diam. Memang tidak sedikit
jumlah pendekar berjiwa luhur yang ada di sekitar
kaki Gunung Weling ini. Tapi, itu tidaklah cukup untuk
menggempur tempat kediaman Raja Kera Iblis di
puncak Gunung Weling. Lagi pula, mereka yang
menggabungkan diri menjadi pengikut Raja Kera Ibfis
pun tidak sedikit jumlahnya. Dan, mereka rata-rata
memiliki tingkat kepandaian yang cukup tinggi.
Bayu mengerti, bukan hal yang mudah untuk
mencapai puncak Gunung Weling. Baru sampai di
lerengnya saja, mereka pasti harus berhadapan
dengan para pengikut Raja Kera Ibfis. Dan, pasti tidak
mudah melewatinya. Keadaan seperti ini membuat
Bayu semakin berpikir keras. Harus dicari jalan yang
paling tepat untuk menghadapi Raja Kera Iblis yang
semakin kuat karena dibantu tokoh-tokoh persilatan
golongan hitam.
Saat itu terlihat Ki Rakonta datang menghampiri
dengan setengah berlari. Tampak kepala desa itu
tergopoh-gopoh, seperti sedang mengejar sesuatu.
Bayu dan .Ratna Wulan memperhatikan orang tua itu
sampai tiba di dekat mereka. Napas Ki Rakonta
terdengar tersengal dan menggemuruh. Keringat
bercucuran di leher dan wajahnya yang memerah.
“Ada apa, Ki?” tanya Bayu langsung.
“Aduh..., celaka, Bayu. Celaka...,” ujar Ki Rakonta
dengan napas yang masih memburu.
“Celaka...?! Ada apa, Ki? Apa yang terjadi...?”
desak Bayu, tidak mengerti.
“Ki Bantur dan Ki Suta serta beberapa orang
pendekar sekarang sedang menuju ke puncak
Gunung Weling. Mereka hendak menggempur sarang
Raja Kera Iblis.”
“Edan...!” desis Bayu, agak mendengus.
Sementara itu Ratna Wulan hanya diam.
Dipandanginya Ki Rakonta dan Pendekar Pulau
Neraka secara bergantian. Baru saja dia tadi
menyarankan pada Bayu untuk menyerang puncak
Gunung Weling. Bibirnya pun belum kering meng-
ucapkan hal itu. Dan sekarang, Ki Rakonta malah
membawa kabar kalau Ki Bantur dan Ki Suta serta
bebara orang pendekar beraliran putih tengah
menuju ke puncak Gunung Weling.
“Kapan mereka pergi, Ki?” tanya Bayu.
“Sudah sejak tadi, Bayu. Mereka tidak mau
mendengarkan kata-kataku. Mereka tetap nekat pergi
ke sana. Padahal, kau sudah mengatakan kalau
sekitar lereng Gunung Weling kini dijaga ketat.”
“Kau di sini saja, Wulan,” kata Bayu.
“Kau mau ke mana, Kakang...?”
Bayu tidak sempat lagi mendengar pertanyaan
Ratna Wulan sampai habis. Dia sudah melesat cepat
bagai kilat Begitu sempurnanya ilmu meringankan
tubuh yang dimilikinya, sehingga dalam sekejap Bayu
sudah lenyap dari pandangan.
***
ENAM
Bayu terus berlari cepat mempergunakan ilmu
meringankan tubuhnya yang sudah mencapai
tingkatan yang sempurna. Kedua kakinya seakan-
akan tidak menjejak tanah sama sekali. Pendekar
Pulau Neraka terus berlari mendaki lereng Gunung
Weling sebelah Umur. Tapi, tak ada seorang pun yang
dijumpainya sampai dia berada cukup tinggi di lereng
gunung ini. Dan, Bayu langsung menghentikan larinya
ketika mulai merasakan kejanggalan.
Tapi, belum juga Pendekar Pulau Neraka sempat
berpikir lebih jauh, mendadak....
Wusss!
“Heh...?”
“Uts!”
Cepat-cepat Bayu melompat ke samping ketika
tiba-tiba dari arah depannya meluncur sebatang
tombak yang cukup panjang. Tombak itu tampaknya
terbuat dari kayu yang berwarna hitam pekat, dengan
mata putih keperakan. Manis sekali Bayu meng-
hindarinya.
Creb!
Tombak itu langsung menancap di tanah, tepat di
samping kiri kaki Pendekar Pulau Neraka. Dan baru
saja Pendekar Pulau Neraka menjulurkan tangannya
hendak meraih tombak bergagang hitam itu, kembali
dia dikejutkan dengan terdengarnya desingan halus
dari arah belakang.
“Hup...!”
Cepat-cepat Bayu melentingkan tubuhnya ke
samping. Pada saat yang bersamaan, terlihat sebuah
bayangan hitam berkelebat cepat di samping tubuh
Pendekar Pulau Neraka itu. Manis sekali Bayu men-
jejakkah kakinya kembali di tanah. Dan, di depannya
kini sudah berdiri seorang laki-laki setengah baya,
yang mengenakan baju berwarna hitam pekat,
dengan ikat kepala yang juga hitam. Di tangan kanan
laki-laki itu tergenggam sebatang tombak berukuran
panjang yang juga berwarna hitam.
Kelopak mata Bayu tampak menyipit memper-
hatikan laki-laki separuh baya yang tiba-tiba muncul
dan langsung menyerangnya tadi. Dia sama sekali
tidak mengenalnya. Dan, baru kali ini dia bertemu
dengannya. Perlahan Bayu menggeser kakinya ke
kanan. Matanya tajam memperhatikan gerakan kaki
orang berbaju serba hitam itu, yang juga tampak
menggeser arah gerakannya secara berlawanan.
“Mau apa kau datang ke sini? Tempat ini bukan
untuk main-main!” ujar orang berbaju serba hitam itu
dengan kasar sekali.
“Aku mencari sahabat-sahabatku,” sahut Bayu
dengan kening sedikit berkerut.
“Tidak ada orang yang datang ke sini. Sebaiknya
kau cepat pergi!” dengus orang berbaju serba hitam
itu dengan nada suara yang tetap kasar.
“Tapi tadi mereka...!”
“Setan alas...! Mau melawan, heh...?!” sentak laki-
laki separuh baya itu sengit.
Bayu terdiam.
“Cepat pergi...!”
Pendekar Pulau Neraka tetap diam. Ditatapnya
tajam-tajam laki-laki separuh baya yang mengenakan
baju serba hitam dan membawa tombak ini.
“Eee..., malah menantang...! Apa kau belum tahu
siapa aku, heh?! Akulah si Tombak Iblis! Rasakan ini.
Hih...!”
Wukkk!
Tiba-tiba laki-laki separuh baya berbaju hitam yang
mengaku berjuluk si Tombak Iblis itu menge-butkan
tombaknya yang panjang dan berwarna hitam, tepat
mengarah ke kepala pemuda berbaju kulit harimau
itu.
“Uts...!”
Dengan sedikit saja menarik kepalanya ke
belakang, Bayu berhasil mengelakkan ujung mata
tombak yang berkilatan tajam itu.
“Setan...! Rupanya kau punya kebolehan juga,
heh...! Bagus! Terima ini, Bocah Keparat! Hiyaaa...!”
“Menyingkir, Tiren,” kata Bayu sambil menepuk
monyet kecil yang sejak tadi berada di pundak
kanannya.
“Nguk!”
“Hup! Yeaaah...!”
Cepat sekali Bayu melompat ke belakang begit si
Tombak Iblis melompat sambil memberikan satu
pukulan keras menggeledek dengan tangan kanan-
nya. Tepat pada saat itu, monyet kecil di pundak
Pendekar Pulau Neraka juga melompat turun. Ringan
sekali gerakannya. Monyet kecil itu langsung berlari
menjauh begitu kedua kaki dan tangannya
menyentuh tanah.
“Hiyaaa...!”
Beri
Sambil berteriak keras, si Tombak Iblis kembali
melakukan serangan, setelah pukulannya yang begitu
keras dan mengandung pengerahan tenaga dalam
tinggi tadi dapat dielakkan Pendekar Pulau Neraka.
Kafi ini tombaknya disodokkan tepat ke arah
lambung.
“Haiiit..!”
Namun, dengan sedikit saja mengegoskan tubuh-
nya ke samping, ujung tombak itu berhasil dielakkan
Bayu. Dan, pada saat tombak itu berada di samping
pinggangnya, dengan cepat sekali Pendekar Pulau
Neraka mengebutkan tangannya ke samping.
“Yeaaah...!”
Tap!
“Hih...?!”
Si Tombak Ibfis terkejut setengah mati. Cepat-
cepat dia berusaha menarik kembali tombaknya.
Namun, gerakannya kalah cepat Batang tombak yang
berwarna hitam itu telah berada dalam genggaman
tangan kanan Pendekar Pulau Neraka. Belum lagi si
Tombak Iblis bisa berbuat lebih banyak, Bayu sudah
menghentakkan tangannya ke atas, sambil menge-
rahkan kekuatan tenaga dalamnya.
“Hiyaaa...!”
“Heh...?!”
Si Tombak Ibfis kembali terbeliak setengah mati.
Tidak ada lagi kesempatan baginya untuk bertahan.
Seketika itu juga tubuhnya terangkat ke udara begitu
Bayu menyentakkan tangannya ke atas. Dan pada
saat itu juga, dengan kecepatan bagai kilat, Pendekar
Pulau Neraka melentingkan tubuhnya ke udara
sambil menghentakkan tangannya yang meng-
genggam ujung tombak ke belakang tubuhnya. Dan
tepat di saat tubuh si Tombak Iblis tertarik ke depan,
Bayu melepaskan satu tendangan keras meng-
geledek, disertai pengerahan tenaga dalam yang
sudah mencapai tingkat sempurna.
“Yeaaah...!”
Begitu cepat serangan yang dilakukan Pendekar
Pulau Neraka, sehingga...
Begkh!
“Aaakh...!”
***
Tendangan keras yang dilancarkan Bayu tepat
menghantam dada laki-laki separuh baya berbaju
serba hitam itu. Tak pelak lagi, si Tombak Iblis ter-
pental ke belakang sambil menjerit keras. Pegangan
pada tombaknya terlepas. Dan, dengan keras tubuh-
nya jatuh menghantam tanah hingga bergulingan
beberapa kali. Laki-laki separuh baya berbaju serba
hitam itu baru berhenti bergulingan setelah
punggungnya menghantam sebongkah batu yang
cukup besar.
Brak!
Batu berwarna hitam kelam dan berlumut tebal itu
seketika terpental ke belakang, terlanda tubuh si
Tombak Iblis. Pada saat itu, Bayu sudah menjejakkan
kakinya kembali ke tanah. Di tangan kanan Pendekar
Pulau Neraka kini tergenggam sebatang tombak
berukuran panjang dan berwarna hitam pekat
Si Tombak Iblis berusaha bangkit. Mulut dan
hidungnya mengeluarkan darah segar dan agak
kental. Meskipun bisa bangkit kembali, tampak dia
tidak bisa lagi berdiri tegak. Dia terhuyung-huyung
beberapa saat akibat terkena tendangan yang begitu
keras dan mengandung pengerahan tenaga dalam
sempurna tadi.
“Setan keparat..!” geram si Tombak Iblis sambil
menyeka darah di mulutnya dengan punggung
tangan.
Sementara Bayu sudah berdiri tegak menatap
tajam pada laki-laki separuh baya berbaju serba
hitam itu. Ditimang-timangnya tombak panjang ber-
warna hitam yang tadi berhasil dirampasnya dari si
Tombak Iblis.
“Kau ingin tombakmu kembali, orang tua...?” tanya
Bayu, agak sinis nada suaranya.
Perlahan Pendekar Pulau Neraka mengangkat
tombak itu hingga ujungnya sejejar dengan
pandangan matanya. Sedangkan si Tombak Iblis
tampak memucat wajahnya melihat pemuda berbaju
kulit harimau itu sudah siap melemparkan tombak
bermata putih keperakan itu. Sementara Bayu
perlahan-lahan melangkah mendekati si Tombak Iblis.
Sinar matanya tajam menusuk langsung ke bola mata
laki-laki separuh baya itu. Sementara, si Tombak Iblis
bergerak ke belakang perlahan-lahan, sambil mencari
celah untuk dapat lolos dari incaran ujung tombaknya
sendiri, yang kini berada di tangan Pendekar Pulau
Neraka.
Bayu berhenti melangkah setelah jaraknya tinggal
sekitar dua batang tombak lagi di depan si Tombak
Iblis. Sinar matanya masih tetap bersorot tajam,
seakan-akan hendak menembus langsung ke lubuk
hati lawannya.
Si Tombak Iblis benar-benar terpojok. Dia tidak
bisa lagi bergerak menjauhi Pendekar Pulau Neraka.
Punggungnya sudah menempel erat pada sebatang
pohon yang cukup besar.
“Kenapa kau melarangku datang ke sini?” tanya
Bayu dengan suara yang begitu dingin.
“Tidak seorang pun boleh datang ke gunung ini,”
sahut si Tombak Iblis, tajam.
“Kenapa...?”
“Ini perintah!”
“Perintah siapa?” desak Bayu.
Si Tombak Iblis tidak menjawab. Dia malah
menatap pemuda berbaju kulit harimau di depannya
ini dengan sinar mata tajam. Namun, terlihat sorot
keheranan pada cahaya matanya itu. Dia seakan-
akan tidak percaya, Pendekar Pulau Neraka ini tidak
tahu bahwa ada larangan bagi siapa pun untuk
menginjak daerah Gunung Weling ini.
“Katakan, siapa yang melarang orang datang ke
Gunung Weling ini?” desak Bayu lagu
“Raja Kera...,” sahut si Tombak Iblis.
“Hm..., rupanya dia mau jadi raja di sini,” gumam
Bayu perlahan, seperti bicara pada dirinya sendiri.
Perlahan Bayu menurunkan tangannya yang meng-
genggam tombak. Kemudian dilemparkannya tombak
itu ke samping. Tampak si Tombak Iblis menarik
napas panjang, lalu menghembuskannya kuat-kuat
Dia melirik sedikit pada senjatanya, yang kini
menggeletak di tanah sekitar sepuluh langkah dari
Pendekar Pulau Neraka.
“Hup...!”
Tiba-tiba si Tombak Iblis melompat ke arah
tombaknya yang menggeletak di tanah. Namun,
belum juga dia bisa mencapai senjatanya, mendadak
Bayu melesat cepat bagai kilat Dan, satu tendangan
keras menggeledek dilepaskan tepat mengarah ke
lambung kiri laki-laki berusia separuh baya yang
mengenakan baju serba hitam itu.
“Yeaaah...!”
Begkh!
“Akh...!”
Begitu cepatnya tendangan yang dilepaskan
Pendekar Pulau Neraka. Sehingga si Tombak Iblis
tidak sempat lagi berkelit menghindar. Lambungnya
terpaksa menerima tendangan keras menggeledek
yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi.
Tak pelak lagi, si Tombak Iblis jatuh terlempar
beberapa tombak jauhnya. Tiap! Yeaaah...!”
Pada saat itu, Bayu juga menjatuhkan diri ke
tanah, laki bergulingan beberapa kali. Cepat sekali
tangannya menyambar tombak berukuran panjang
dan berwarna hitam itu. Dan secepat kilat pula
dilemparkannya tombak itu ke arah pemiliknya.
“Hiyaaa...!”
Wusss!
Tombak itu meluncur deras bagai anak panah
terlepas dari busurnya. Si Tombak Iblis tidak dapat
lagi menghindari senjatanya sendiri. Dan....
Jleb!
“Aaa...!”
Jeritan panjang yang melengking tinggi terdengar
keras dan menyayat Tombak yang dilemparkan Bayu
dengan pengerahan tenaga dalam itu tepat
menembus dada si Tombak Iblis, dan langsung
menyembul lagi ke luar dari punggungnya. Si Tombak
Iblis seketika itu juga menggeletak di tanah. Darah
bercucuran dari dadanya.
“Hhh...!”
Bayu menghembuskan napas panjangnya yang
terasa begitu berat Kemudian dihampirinya si
Tombak Iblis. Ujung jari tangan lawannya itu
ditempelkan ke leher. Dan, kembali Pendekar Pulau
Neraka menghembuskan napas panjang begitu
mengetahui si Tombak Iblis sudah tidak bernyawa
lagi. Sebentar pandangannya diedarkan berkeliling.
Tapi, tak terlihat seorang pun di sini. Pandangannya
kemudian tertuju pada seekor monyet kecil yang
berlari-lari sambil mencerecet .ribut menghampirinya.
Bayu mengulurkan tangannya. Dibantunya monyet
kecil itu naik ke pundaknya.
“Kau melihat ada orang lain di sekitar sini, Tiren?”
tanya Bayu.
“Nguk!” sahut Tiren sambil menggeleng-gelengkan
kepala.
Bayu menepuk-nepuk kepala monyet kecil itu.
Kemudian kakinya diayunkan meninggalkan tempat
ini.
Pendekar Pulau Neraka bertanya-tanya sendiri
dalam hati. Dia berada di Gunung Weling ini karena
mendapat laporan dari Ki Rakonta bahwa Ki Bantur
dan Ki Suta serta orang-orang dari kalangan rimba
persilatan telah datang ke sini. Tapi, kini tidak ada
seorang pun yang terlihat. Dia hanya menjumpai si
Tombak Iblis yang langsung menyerangnya.
Bayu terus mengayunkan kakinya mendaki lereng
Gunung Weling. Pendekar Pulau Neraka berharap
bisa bertemu dengan Ki Suta atau Ki Bantur di sekitar
lereng gunung ini.
***
Hari menjelang senja, tapi Bayu belum juga
bertemu dengan Ki Bantur dan Ki Suta. Malah
sebaliknya, beberapa kali dia harus bertarung dengan
para pengikut si Raja Kera Iblis. Hal ini tentu saja
membuat Pendekar Pulau Neraka lelah. Dia harus
menguras tenaga dan kemampuan agar tidak mati
konyol di Gunung Weling ini.
Pendekar Pulau Neraka berdiri tegak memandangi
sang mentari yang sebentar lagi hampir tenggelam di
cakrawala belahan Barai Cahaya mentari yang
semula terik itu kini terasa begitu lembut dan indah.
Tampak Tiren berdiri dekat di sebelah kaki kanan
Bayu. Monyet kecil itu memandangnya. Seakan-akan
ikut merasakan masalah yang tengah melanda
pemuda berbaju kulit harimau ini
“Aku benar-benar tidak mengerti dengan keadaan
ini, Tiren. Semuanya seakan-akan seperti mimpi.
Bahkan aku tidak tahu lagi, di mana bisa menemukan
Ki Bantur dan Ki Suta,” gumam Bayu, seperti bicara
pada dirinya sendiri.
Monyet kecil berbulu hitam yang diajak bicara itu
hanya diam memandangi wajah tampan Pendekar
Pulau Neraka. Sedangkan Bayu, sambil meng-
hembuskan napas panjang, menghenyakkan tubuh-
nya. Dia duduk bersandar di bawah pohon yang cukup
rindang. Pandangannya masih tetap tertuju pada
matahari yang hampir tenggelam di kaki langit
“Tiren....”
Baru saja Bayu membuka mulutnya hendak bicara
lagi, mendadak pendengarannya yang setajam mata
pisau itu mendengar suara yang begitu halus. Suara
itu terdengar sangat jauh dari tempatnya beristirahat
ini. Pendekar Pulau Neraka segera berdiri. Sementara
Tiren langsung melompat ke pundak pemuda berbaju
kulit harimau itu.
“Kau dengar itu, Tiren...?”
“Nguk!”
“Ya, seperti suara pertarungan....”
“Chraaagkh...!”
“Hup! Hiyaaa...!”
Tanpa membuang-buang waktu. Bayu langsung
melesat cepat ke arah datangnya suara yang
terdengar semakin jelas itu. Dia yakin, itu adalah
suara orang yang sedang bertarung.
Begitu sempurnanya ilmu meringankan tubuh yang
dimiliki Pendekar Pulau Neraka, sehingga dia bisa
berlari secepat angin. Kedua kakinya yang bergerak
lincah bagai tidak menapak lagi di atas permukaan
tanah. Sedangkan Tiren yang berada di pundaknya
memeluk leher pemuda itu erat-erat Bayu terus
berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan
tubuhnya. Dan sebentar saja, dia sudah sampai di
sebuah tempat yang agak lapang. Namun penuh
bebatuan cadas yang berserakan.
“Ki Suta...!” desis Bayu terkejut begitu melihat
seorang laki-laki tua berjubah putih dengan sebuah
tameng putih keperakan tengah bertarung melawan
sekitar sepuluh orang.
Ki Suta tampak kewalahan sekali menghadapi
sepuluh orang lawannya. Baru beberapa saat Bayu
sampai, sudah terlihat Ki Suta mendapat pukulan dan
tendangan beberapa kali yang begitu keras. Laki-laki
tua itu tampak terhuyung-huyung dan kehilangan
penguasaan dirinya.
“Menyingkir dulu, Tiren,” kata Bayu.
“Nguk...!”
“Hiyaaa...!”
Melihat kedaan Ki Suta yang sudah meng-
khawatirkan itu, Bayu langsung melesat cepat dan
segera terjun ke dalam kancah pertarungan. Secepat
kilat dilepaskannya beberapa pukulan keras meng-
geledek dan beruntun disertai pengerahan tenaga
dalam yang tinggi.
Desss!
Bugkh!
“Aaa...!”
“Akh...!”
Dua orang langsung terpental-sambil menjerit
melengking begitu terkena pukulan yang dilepaskan
Bayu. Tapi, Pendekar Pulau Neraka tidak berhenti
sampai di situ saja. Sambil berjumpalitan, dilepas-
kannya pukulan-pukulan maut yang begitu dahsyat
luar biasa, disertai gerakan tubuh yang lincah dan
cepat. Orang-orang yang mengeroyok Ki Suta pun
langsung kelabakan setengah mati.
***
TUJUH
Dalam waktu tidak berapa lama, sudah tujuh orang
yang bergelimpangan tidak bangun-bangun lagi.
Bahkan beberapa di antaranya terlihat kepalanya
pecah. Darah pun menggenang membasahi bebatuan
yang berserakan di lereng Gunung Weling sebelah
Barat ini.
Sedangkan tiga orang lainnya yang masih berdiri
tampak gentar melihat kedahsyatan jurus-jurus
pemuda berbaju kulit harimau itu. Mereka segera
berlompatan mundur sejauh dua batang tombak.
Sementara itu, Bayu menggeser kakinya men-
dekati Ki Suta yang tampak tengah duduk bersila
melakukan semadi. Laki-laki tua berjubah putih itu
membuka matanya saat merasakan ada orang di
dekatnya.
“Syukur kau cepat datang. Bayu,” ujar Ki Suta,
perlahan sekali.
“Parah lukamu, Ki?” tanya Bayu, tanpa berpaling
sedikit pun dari tiga orang yang masih saja terlongong
seperti tidak percaya bahwa tujuh orang temannya
sudah tewas dalam waktu singkat.
“Hanya luka dalam sedikit,” sahut.Ki Suta,
mencoba tersenyum.
“Siapa mereka, Ki?” tanya Bayu.
Tapi, belum juga Ki Suta menjawab, tiba-tiba ...
“Awas...! Mereka menyerang, Bayu!” seru Ki Suta,
keras.
“Hup! Yeaaah...!”
Bayu langsung melompat dan menyongsong ketiga
orang bersenjata golok itu. Dan begitu dekat dengan
mereka, manis sekali Pendekar Pulau Neraka
melentingkan tubuhnya ke udara. Dilewatinya kepala
ketiga orang itu. Dan dengan cepat sekali dilepas-
kannya dua kali pukulan, yang disusul dengan satu
tendangan.
“Hiya! Hiya! Yeaaah...!”
Begkh!
Desss!
Plak!
Jeritan-jeritan panjang yang melengking tinggi
seketika terdengar begitu menyayat saat pukulan dan
tendangan yang dilepaskan Pendekar Pulau Neraka
mendarat telak di rubuh ketiga orang itu. Tampak
mereka jatuh bergulingan di tanah yang .berbatu ini.
Bayu masih melakukan beberapa kali putaran di
udara. Kemudian, dengan manis sekali kakinya
dijejakkan kembali di atas hamparan batu-batu cadas
ini. Sedangkan ketiga lawannya sudah menggeletak
diam tak bernyawa lagi. Memang sungguh keras
pukulan dan tendangan yang dilepaskan Pendekar
Pulau Neraka tadi. Terlebih lagi, dia melakukannya
disertai pengerahan tenaga dalam yang sempurna.
Sebentar Bayu memandangi kesepuluh orang yang
sudah menggeletak menjadi mayat di sekitarnya,
kemudian dihampirinya Ki Suta. Laki-laki tua berjubah
putih itu kini sudah berdiri tegak, setelah beberapa
saat melakukan semadi. Bayu baru menghentikan
langkahnya setelah dia berada sekitar tiga langkah
lagi di depan laki-laki tua berjubah putih yang ber-
senjatakan sebuah tameng berwarna putih
keperakan ini.
“Mana yang lainnya, Ki?” tanya Bayu sambil
mengedarkan pandangannya berkeliling.
“Yang lain..?” tanya Ki Suta, kebingungan.
“Kau datang ke sini tidak sendirian, bukan...?”
tanya Bayu lagi yang juga keheranan melihat mimik
wajah Ki Suta yang tampak tidak mengerti akan
pertanyaannya barusan.
“Apa maksudmu bertanya begitu, Bayu?”
Bayu terdiam. Kini malah dia yang tampak
kebingungan. Mereka pun sama-sama terdiam dan
saling tidak mengerti akan apa yang dibicarakan
barusan. Bayu kemudian mengulurkan tangannya
pada Tiren yang sudah berada di dekatnya. Lalu
diangkatnya monyet kecil itu dan diletakkannya di
pundak kanan.
“Ki Suta..., aku datang ke sini karena Ki Rakonta
memberitahuku kalau kau dan Ki Bantur datang ke
gunung ini bersama-sama dengan para pandekar
lainnya. Tapi kenyataannya, aku hanya bertemu kau
seorang diri,” kata Bayu, mencoba menjelaskan.
“Justru aku datang ke sini karena diberi tahu Ki
Rakonta bahwa kau, Ratna Wulan, dan Ki Bantur
telah ke sini hendak menantang Raja Kera Iblis. Aku
khawatir, kera siluman itu terlalu sukar ditandingi.
Terlebih lagi, sekarang ini dia memiliki pengikut yang
tidak sedikit jumlahnya,” kata Ki Suta, juga men-
jelaskan.
“Jadi...?” ujar Bayu, bengong. Pendekar Pulau
Neraka mulai sadar, Ki Rakonta yang dijumpainya
tadi bukanlah Ki Rakonta yang sesungguhnya, tapi
penjelmaan dari Raja Kera Iblis.
“Aku memang datang sendiri ke sini. Maka dari itu
aku begitu terkejut sewaktu kau menanyakan yang
lain, Bayu,” kata Ki Suta lagi.
“Hm...,” gumam Bayu perlahan.
Tiba-tiba saja Pendekar Pulau Neraka tersentak.
“Wulan...”
Begitu teringat kepada Ratna Wulan yang ditinggal-
kannya bersama Ki Rakonta, Pendekar Pulau Neraka
langsung melesat cepat
“Bayu, tunggu...!” seru Ki Suta.
“Hup!”
Laki-laki tua berjubah putih yang membawa
tameng keperakan itu segera melesat cepat mengejar
Pendekar Pulau Neraka. Sedangkan Bayu terus
berlari sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuh-
nya yang sudah mencapai tingkatan sempurna. Ki
Suta, yang juga mengerahkan ilmu meringankan
tubuh, mengikuti beberapa tombak di belakangnya.
Tapi, masih sulit bagi Ki Suta untuk mengejar
Pendekar Pulau Neraka. Karena, ilmu meringankan
tubuh yang dimilikinya memang tidak sesempurna
Pendekar Pulau Neraka. Jaraknya dengan Bayu pun
semakin bertambah jauh, walaupun ilmu meringan-
kan tubuhnya telah dikerahkan seluruhnya.
Bayu baru berhenti berlari setelah sampai di depan
rumah Ki Rakonta, yang berukuran besar dan ber-
halaman luas. Pada saat itu Ki Suta juga sudah
sampai di samping Bayu. Napasnya terdengar keras
dan memburu. Keringat bercucuran deras mem-
basahi sekujur tubuhnya. Dia tadi memang menge-
rahkan seluruh kemampuan ilmu meringankan
tubuhnya, agar tidak tertinggal jauh oleh Pendekar
Pulau Neraka.
Mereka berdiri tegak di depan pintu pagar rumah
Ki Rakonta, sambil mengatur jalan pernapasan
masing-masing. Perlahan-lahan kemudian mereka
melangkah, melintasi halaman yang sangat hias dan
berumput bagai permadani terhampar ini. Tak
seorang pun terlihat Keadaannya begitu sunyi Desiran
senja pun kini terasa begitu jelas, seperti bermain-
main di gendang telinga. Mereka kembali berhenti
setelah sampai di depan tangga masuk ke dalam
rumah kepala desa ini.
“Kau merasakan ada keanehan di sini, Bayu?”
tanya Ki Suta, pelan sekali suaranya.
“Hm...,” gumam Bayu.
“Aku merasa, telah terjadi sesuatu di sini,” kata Ki
Suta lagi.
Baru saja Bayu hendak membuka mulutnya, tiba-
tiba....
Wusss!
“Awas...!”
Cepat sekali Bayu memiringkan tubuhnya ke
samping begitu dilihatnya sebuah benda meluncur
deras dari dalam rumah. Ki Suta, yang juga melihat,
segera melompat satu langkah ke samping. Benda
yang bersinar kemerahan itu pun lewat di antara
tubuh Ki Suta dan Pendekar Pulau Neraka.
Belum lagi mereka bisa menarik napas lega,
mendadak dari dalam rumah itu berlompatan orang-
orang bersenjata golok. Ada sekitar sepuluh orang.
Dan, mereka tahu-tahu sudah berdiri tegak di depan
Ki Suta dan Pendekar Pulau Neraka. Tanpa ada yang
berbicara sedikit pun, mereka langsung berlompatan
menyerang dengan cepat sekali.
“Hiya!”
“Yeaaah...!”
Bayu dan Ki Suta harus berjumpalitan menghindari
serangan orang-orang ini. Mata-mata golok yang
berkilatan tajam berkelebatan di sekitar tubuh
mereka. Namun, serangan-serangan yang dilancarkan
kesepuluh orang yang semuanya bersenjata golok ini
tampak sama sekali tidak berarti bagi Ki Suta dan
Bayu.
“Hiyaaa...!”
Sambil berteriak keras menggelegar, Bayu segera
melentingkan tubuhnya. Dan, secepat kilat dilepas-
kannya beberapa pukulan dahsyat. Begitu cepat
serangan yang dilancarkannya, sehingga para
pengeroyoknya kelabakan setengah mati. Dan....
Bugkh!
“Akh...!”
Saat itu juga terdengar benturan-benturan keras
yang disusul jeritan melengking serta keluhan
tertahan. Tampak Bma orang yang mengeroyok
Pendekar Pulau Neraka berpelantingan, lalu ambruk
menggelepar di tanah yang berumput tebal bagai
permadani ini.
“Hiyaaa...!”
Sementara pada saat yang bersamaan, Ki Suta
juga sudah berhasil, merobohkan lawan-lawannya.
Senjatanya yang berbentuk perisai itu memang
sangat dahsyat. Tak ada satu senjata pun yang bisa
menembus dirinya.
Tanpa mendapatkan kesulitan yang berarti, Ki
Suta dan Pendekar Pulau Neraka berhasil meroboh-
kan kesepuluh orang penyerangnya. Tampak para
pengeroyok itu tidak mampu lagi bangkit berdiri.
“Hati-hati, Ki,” ujar Bayu memperingatkan, ketika
mereka kembali melangkah mendekati beranda
rumah Ki Rakonta.
Keadaan sekitar rumah itu demikian sunyi. Bayu
dan Ki Suta pun semakin waspada. Mereka kembali
berhenti melangkah setelah sampai di depan anak
tangga pertama di beranda rumah kepala desa ini.
Sebentar mereka saling berpandangan. Kemudian
Bayu melangkah menaiki tangga itu.
Ketika Pendekar Pulau Neraka sampai di tengah-
tengah beranda depan, belum juga terlihat seorang
pun di sini. Sedangkan Ki Suta mulai melangkah
menaiki tangga perlahan-lahan.
Bayu kini sudah berada di depan pintu yang sedikit
terbuka. Perlahan-lahan Pendekar Pulau Neraka men-
dorongnya hingga terbuka lebar. Bunyi berderit
membuat Bayu semakin berhati-hati untuk memasuki
rumah ini.
Sepi.... Tak seorang pun terlihat di dalam ruangan
depan yang berukuran cukup besar ini. Perlahan-
lahan Pendekar Pulau Neraka memasuki ruangan
depan ini. Sementara itu Ki Suta sampai di ambang
pintu yang sudah terbuka cukup lebar. Pandangannya
diedarkan ke setiap sudut ruangan depan ini.
Sedangkan Bayu sudah berdiri tegak di tengah-tengah
ruangan. Tak sedikit pun suara terdengar. Keadaan
begitu sunyi, bagaikan di tengah-tengah kuburan.
“Bayu...,” panggil Ki Suta, pelan.
Bayu berpaling sedikit Ditatapnya laki-laki tua
berjubah putih yang membawa perisai putih
keperakan yang masih berdiri di ambang pintu itu.
“Ada apa, Ki?” tanya Bayu.
“Aku rasa, rumah ini sudah ditinggalkan,” kata Ki
Suta, masih pelan suaranya.
“Hm...,” gumam Bayu perlahan.
Kembali mereka terdiam. Ki Suta kemudian meng-
hampiri Pendekar Pulau Neraka. Dia berhenti setelah
sampai di samping kanan pemuda berbaju kulit
harimau mi. Beberapa saat mereka masih membisu
dan mengedarkan pandangan ke sekeliling.
“Bayu, apa tidak sebaiknya kita ke puncak Gunung
WeBng saja...?” usul Ki Suta.
Bayu menatap laki-laki tua itu dalam-dalam.
Sungguh dia tidak, menyangka, Ki Suta ternyata
benar-benar mencurigai Ki Rakonta ikut terlibat
dalam persoalan ini Ki Suta-balas memandang
dengan dalam pula. Beberapa saat mereka terdiam
dan saling berpandangan. Seakan-akan sedang
menyelidiki isi hati masing-masing.
“Baiklah, Ki. Ayo, kita berangkat sekarang,” ajak
Bayu.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, mereka
segera meninggalkan rumah kepala desa yang
tampak sunyi itu. Mereka berjalan cepat, tidak peduli
kalau saat itu matahari sudah mulai tenggelam d
batik cakrawala belahan Barat.
***
Malam terus merayap menyelimuti seluruh
permukaan Gunung Weling. Keadaan di gunung ini
begitu sunyi dan gelap. Hanya jerit binatang-binatang
malam saja yang terdengar. Deru angin yang begitu
kencang meningkahi dengan membawa udara dingin
menggigilkan tubuh. Di antara lebatnya pepohonan
dan gelapnya malam, terlihat Bayu dan Ki Suta terus
bergerak cepat mendaki lereng Gunung Weling ini.
Tak ada seorang pun yang mereka temui sejak
mulai mendaki gunung tadi. Mereka terus bergerak
cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh.
Bayu tampak mengurangi sedikit kecepatan larinya,
agar Ki Suta tidak tertinggal jauh di belakangnya.
Belum sampai setengah malam, mereka sudah tiba di
puncak Gunung Weling.
“Berhenti dulu, Ki,” ujar Bayu seraya meng-
hentikan langkahnya.
Ki Suta ikut berhenti melangkah. Mereka berdiri
berdampingan sambil mengedarkan pandangan
berkeliling. Tak ada seorang pun yang terlihat. Hanya
kegelapan dan pepohonan menghitam yang ada di
sekitar mereka. Begitu pekat suasananya. Tidak
sedikit pun terlihat cahaya bulan. Langit tampak
kelam terselimut awan hitam yang menggumpal.
Udara di sekitar puncak Gunung Weling pun semakin
terasa dingin.
“Di mana tempat persembunyian Raja Kera Iblis,
Ki?” tanya Bayu.
“Menurut cerita, dia tinggal di dalam gua. Di depan
gua ada tiga pohon jati yang berjajar dan ada sebuah
kolam kecil di sampingnya,” jelas Ki Suta.
“Hm... Bukankah itu yang kau maksudkan, Ki?”
ujar Bayu seraya menunjuk ke depan.
“Benar!” sahut Ki Suta. Tidak jauh di depan
mereka memang terlihat sebuah mulut gua yang
sangat besar. Di depan gua itu tampak tiga pohon jati
yang tumbuh berjajar. Di samping pohon itu tampak
pula sebuah kolam kecil yang dikelilingi batu-batu
kecil, seperti sebuah taman di dalam istana. Namun,
keadaannya tidak terawat, sehingga kelihatan kotor
dan penuh dengan semak belukar yang tumbuh liar.
Perlahan Bayu dan Ki Suta melangkah meng-
hampiri gua itu. Semakin dekat detak jantung mereka
semakin terdengar keras. Keadaan yang begitu sunyi
dan mencekam membuat mereka semakin mening-
katkan kewaspadaan. Bayu dan Ki Suta kembali
berhenti setelah jarak dengan gua itu tinggal sekitar
dua batang tombak lagi.
“Hati-hati, Ki. Aku merasakan, ada banyak orang di
sekeliling tempat ini,” ujar Bayu dengan suara yang
begitu pelan.
Belum juga Ki Suta menyahuti peringatan
Pendekar Pulau Neraka, tiba-tiba dari balik
pepohonan bermunculan orang-orang dengan cepat
sekali. Sebentar saja Bayu dan Ki Suta sudah
terkepung oleh tidak kurang dari tiga puluh orang
yang semuanya menghunus senjata dalam berbagai
bentuk dan ukuran. Dan tampaknya mereka sudah
siap menyerang.
“Seraaang...!”
Tiba-tiba terdengar suara keras menggelegar
memberi perintah. Dan seketika itu juga...
“Hiyaaa...!” “Yeaaah...!”
Namun pada saat orang-orang itu berlompatan
hendak menyerang Ki Suta dan Pendekar Pulau
Neraka, mendadak dari atas pepohonan ber-
hamburan puluhan anak panah yang langsung
menyerang mereka. Begitu cepatnya anak-anak
panah itu meluncur berhamburan, sehingga orang-
orang itu kelabakan setengah mati. Jeritan-jeritan
panjang melengking tinggi seketika itu juga terdengar
saling sambut, yang disusul berjatuhannya tubuh-
tubuh terhunjam anak panah.
“Ada apa ini...?” desis Bayu, terkejut melihat
kejadian yang begitu tiba-tiba sekali itu.
Belum lagi pertanyaan Pendekar Pulau Neraka itu
terjawab, tiba-tiba bermunculan orang-orang dari atas
pepohonan yang tumbuh agak rapat di sekitar tempat
ini. Mereka langsung menyerang orang-orang yang
mengepung Bayu dan Ki Suta tadi. Di antara mereka
terlihat pula Ki Bantur. Laki-laki tua berjubah putih
yang membawa pedang berwarna keemasan itu
segera mendekati Ki Suta dan Pendekar Pulau
Neraka.
“Syukur, kalian datang tepat pada waktunya,” kata
Ki Bantur.
“Apa arti semua ini, Ki?” tanya Bayu, meminta
penjelasan.
Pandangan Pendekar Pulau Neraka tertuju pada
pertarungan yang terjadi di sekitarnya. Sulit untuk
membedakan mana lawan dan mana kawan di antara
mereka yang bertarung. Karena, mereka sama-sama
berasal dari rimba persilatan, yang datang ke puncak
Gunung Weling ini dengan tujuan yang berbeda.
“Sudah sejak siang tadi kami semua mengepung
tempat ini, dan...,” Ki Bantur tidak meneruskan kata-
katanya.
“Kenapa, Ki?” desak Bayu. “Aku melihat Ki
Rakonta dan Ratna Wulan dibawa masuk ke dalam
sana. Mereka diikat dan digiring oleh pengikut-
pengikut Raja Kera Iblis,” lanjut Ki Bantur.
“Hm...,” gumam Bayu perlahan seraya melirik
sedikit pada Ki Suta. “
Hiyaaa...!”
Saat itu juga, Ki Suta melompat cepat menerjang
orang-orang yang bertarung di sekitar mulut gua.
Secepat kilat pula senjatanya yang berbentuk perisai
keperakan itu diayun-ayunkan. Beberapa orang yang
terkena hantaman perisai itu langsung menjerit dan
jatuh menggelepar dengan kepala pecah berlumuran
darah.
Bagaikan seekor banteng terluka, laki-laki tua itu
mengamuk. Dicobanya untuk menerobos orang-orang
yang tampaknya menjaga mulut gua itu. Pada saat itu
juga, terlihat orang-orang bermunculan lagi dari
dalam gua. Begitu banyak jumlahnya, seperti
sepasukan prajurit kerajaan. Bayu dan Ki Bantur
saling berpandangan sesaat, kemudian langsung
melompat cepat. Mereka membantu Ki Suta, yang
masih mengamuk bagai banteng terluka.
Pertarungan di sekitar puncak Gunung Weling
semakin bertambah sengit. Karena, semakin banyak
orang yang bermunculan dari kedua belah pihak.
Pekikan keras dan jeritan-jeritan melengking tinggi
terdengar saling susul. Tubuh-tubuh berlumuran
darah terus berjatuhan saling rumpang tindih tak
tentu arah.
Sementara itu Bayu berlompatan cepat sambil
melepaskan pukulan keras beruntun, yang disertai
pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai
tingkatan sempurna. Pendekar Pulau Neraka semakin
dekat dengan mulut gua berukuran besar itu.
“Hiyaaa...!”
Sambil berteriak keras menggelegar, tiba-tiba
Pendekar Pulau Neraka melentingkan tubuhnya
tinggi-tinggi ke udara. Lalu, dengan manis sekali dia
hinggap di atas sebuah cabang pohon yang cukup
tinggi. Dan dengan satu gerakan yang indah,
Pendekar Pulau Neraka kembali melenting turun
sambil mengebutkan tangan kanannya.
“Yeaaah...!”
Wusss!
Seketika itu juga dari pergelangan tangan kanan
Bayu melesat secercah cahaya keperakan dari
sebuah senjata berbentuk cakra yang bersegi enam.
Senjata maut Pendekar Pulau Neraka itu ber-
kelebatan cepat mengikuti gerakan tangannya. Dan
dihajarnya orang-orang yang berada paling dekat
dengan mulut gua.
Cras!
Bret!
“Aaa...!”
Jeritan-jeritan panjang melengking tinggi langsung
terdengar, yang disusul ambruknya beberapa orang
dengan darah berhamburan. Tubuh mereka telah
tersabet senjata maut Pendekar Pulau Neraka. Bayu
kemudian menjejakkan kakinya di tanah, tidak jauh
dari mulut gua itu. Dan....
“Hiyaaa...!”
***
DELAPAN
Sambil berteriak keras menggelegar, Bayu melompat
cepat bagai kilat. Dilontarkannya pukulan keras
beruntun, disertai pengerahan tenaga dalam yang
sudah mencapai tingkat sempurna. Kemudian tubuh-
nya dilentingkan, dan berputaran beberapa kali di
udara. Lalu, manis sekali kakinya menjejak tanah,
tepat di depan mulut gua itu. Cepat sekali Pendekar
Pulau Neraka mengangkat tangan kanannya. Cakra
Maut pun melesat cepat dan langsung menempel di
pergelangan tangan kanannya.
Namun, belum sempat Pendekar Pulau Neraka
mengayunkan kakinya memasuki gua batu itu,
mendadak....
“Ghraaaugkh...!”
Wusss...!
“Oh...?! Hup!”
Cepat-cepat Bayu melentingkan tubuhnya ke
samping ketika tiba-tiba dari dalam gua itu melesat
sesosok tubuh yang tinggi dan hitam pekat Pendekar
Pulau Neraka lalu menjatuhkan tubuhnya dan
beberapa kali bergulingan di tanah. Kemudian
dengan cepat dan ringan sekali, dia melompat
bangkit berdiri. Dan di depannya kini sudah berdiri
sesosok makhluk bertubuh tinggi besar dan berbulu
hitam pekat Wajah makhluk itu begitu mengerikan,
dan mirip seekor kera raksasa.
“Nguk! Chraaakh...!”
Tiren, yang sejak tadi berada di pundak kanan
Pendekar Pulau Neraka, langsung melompat ke atas
pohon begitu Raja Kera Iblis muncul dari dalam gua
tempat tinggalnya. Monyet kecil berbulu hitam itu
tampak ketakutan melihat kera iblis raksasa itu. Dia
langsung memanjat dan menyembunyikan tubuhnya
di balik sebatang pohon yang cukup besar dan tinggi.
Sementara itu, Bayu menggeser kakinya perlahan-
lahan ke samping. Dijauhinya pohon yang dinaiki
Tiren. Sedangkan Raja Kera Iblis bergerak perlahan
mendekatinya. Tidak jauh dari depan gua, per-
tarungan masih terus berlangsung sengit. Jeritan-
jeritan panjang yang melengking tinggi dan teriakan-
teriakan yang ditingkahi dentingan senjata masih
terdengar memecah kesunyian malam di puncak
Gunung Weling.
“Ghraaaugkh...!”
Sambil menggerung dahsyat bagai kilat Raja Kera
Iblis melompat dan menerjang Pendekar Pulau
Neraka. Kedua tangannya, yang berukuran sangat
besar dan berbulu hitam lebat, bergerak cepat
melepaskan pukulan keras beruntun. Saat itu juga
Bayu berlompatan sambil meliuk-liukkan tubuhnya
menghindari pukulan beruntun itu.
“Hiyaaa...!”
Cepat sekali Pendekar Pulau Neraka melompat ke
belakang. Langsung tubuhnya dibungkukkan sedikit
ke kiri. Lalu, tangan kanannya ditarik hingga
menyilang di depan dada. Dan, dengan seketika
dikebutkannya tangan itu ke depan sambil berteriak .
keras menggelegar.
“Hiyaaa...!”
Wusss!
Bagaikan kilat Cakra Maut yang menempel di
pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka
melesat ke depan. Dan pada saat yang bersamaan,
Raja Kera Iblis juga melompat ke depan hendak
menerjang Pendekar Pulau Neraka. Sehingga, dia
tidak sempat lagi menghindari senjata andalan
Pendekar Pulau Neraka itu. Tak pelak lagi...
Crab!
“Aaargkh...!”
Raja Kera Iblis meraung dahsyat begitu Cakra
Maut menghunjam dadanya dengan keras sekali.
Begitu kerasnya lontaran senjata yang dilakukan
Pendekar Pulau Neraka tadi, sehingga makhluk kera
iblis raksasa itu terpental ke belakang sejauh dua
batang tombak. Pada saat itu juga, Bayu meng-
hentakkan tangan kanannya ke atas kepala.
“Hup!”
Siap!
Cakra Maut yang terbenam begitu dalam di dalam
dada Raja Kera Iblis langsung melesat keluar dan
kembali menempel di pergelangan tangan kanan
Pendekar Pulau Neraka. Tampak dari dada Raja Kera
Iblis yang berlubang, mengucur darah kental agak
kehitaman yang berbau busuk memualkan perut
“Ghrrr...!”
Sambil menggerung-gerung marah. Raja Kera Iblis
kembali bangkit berdiri. Tanpa mempedulikan darah
yang bercucuran deras dari dadanya yang berlubang
akibat tertembus Cakra Maut dia kembali bergerak
cepat menyerang Pendekar Pulau Neraka.
“Ghraaaugkh...!”
“Hup! Yeaaah...!”
Kembali Bayu harus berjumpalitan di udara.
Dihindarinya serangan-serangan yang dilakukan Raja
Kera Iblis. Kali ini makhluk kera raksasa itu melancar-
kan serangan-serangan mautnya yang begitu dahsyat
Semua pukulannya yang terlontar selalu mengeluar
kan bulatan cahaya merah bagai bola api.
Glarrr...!
Ledakan-ledakan dahsyat pun terdengar setiap kali
bulatan cahaya merah yang keluar dari pukulan Raja
Kera Iblis menghantam tanah, bebatuan, atau
pepohonan. Bahkan, beberapa kali cahaya bulatan
merah itu menghantam orang-orang yang sedang
bertarung. Dan, sungguh dahsyat akibatnya! Mereka
yang terkena sasaran pukulan maut Raja Kera Iblis
seketika tubuhnya hancur berkeping-keping, seperti
sebongkah batu yang terhantam gada. Serangan-
serangan Raja Kera Iblis yang membabi buta ini
membuat suasana pertarungan tampak berantakan.
Bahkan tidak sedikit yang berlarian menyelamatkan
diri.
Sebentar saja, tempat di sekitar pertarungan itu
benar-benar hancur berantakan. Malam yang begitu
pekat tanpa sedikit pun cahaya bulan semakin
bertambah pekat dan pengap oleh debu yang
berhamburan memenuhi udara di puncak Gunung
Weling ini. Sedangkan Raja Kera Iblis masih terus
melontarkan pukulan-pukulan mautnya. Dicecarnya
Pendekar Pulau Neraka yang tenis berpelantingan
menghindari setiap serangan yang dilancarkannya.
“Ki Suta, cepat cari Ki Rakonta dan Wulan di
dalam...!” seru Bayu begitu sempat melihat Ki Suta
berdiri saja memperhatikan jalannya pertarungan
dahsyat itu.
Tanpa menunggu perintah dua kali, laki-laki tua
berjubah putih itu segera melompat ke dalam gua.
Sementara Ki Bantur, yang berada di sampingnya,
juga bergegas mengikuti Ki Suta memasuki tempat
tinggal Raja Kera Iblis.
“Hup! Yeaaah...!”
Bayu masih terus berjumpalitan di udara, meng-
hindari serangan-serangan dahsyat yang dilancarkan
Raja Kera Iblis. Pendekar Pulau Neraka sengaja
bergerak menjauhi mulut gua. Dan rupanya hal ini
tidak disadari olah Raja Kera Iblis, yang sudah begitu
marah karena Pendekar Pulau Neraka berhasil
melukai dadanya dengan senjata Cakra Mautnya tadi.
“Ghraaaugkh...!”
Cras!
Glarrr...!
“Hup! Yeaaah...!”
Cepat sekali Bayu melentingkan tubuhnya ke
udara ketika satu pukulan dahsyat yang me-
mancarkan cahaya bulatan merah dikirimkan Raja
Kera Iblis kepadanya. Bulatan cahaya merah itu pun
menghantam tanah tempat Bayu berdiri tadi. Dan
seketika tanah itu terbongkar, hingga menimbulkan
kepulan debu yang membumbung tinggi ke angkasa.
“Hiyaaa...!”
Sambil berputaran di udara, Bayu mengebutkan
tangan kanannya. Saat itu juga Cakra Maut yang
selalu menempel di pergelangan tangannya melesat
cepat dap langsung mengarah ke kepala Raja Kera
Iblis. Begitu cepat Cakra Maut itu melesat, sehingga
Raja Kera Iblis tidak sempat lagi menghindar. Terlebih
lagi, pada saat itu dia sedang melepaskan satu
pukulan mautnya ke arah Bayu yang sudah berada di
atas sebuah cabang pohon yang cukup tinggi..
Crab!
Glarrr!
“Aaargh...!”
Bersamaan dengan terdengarnya ledakan keras
menggelegar, terdengar pula raungan keras begitu
Cakra Maut menghantam tepat di antara kedua bola
mata makhluk kera raksasa itu. Sementara itu, Bayu
terlihat berputaran di udara beberapa kali. Dan,
dengan manis sekali kakinya dijejakkan di tanah,
tepat lima langkah lagi di depan Raja Kera Iblis.
“Hiyaaa...!”
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Pendekar
Pulau Neraka melompat cepat sambil melepaskan
satu tendangan keras menggeledek yang mengan-
dung pengerahan tenaga dalam tinggi.
Bugkh!
“Aaargh...!”
Kembali Raja Kera Iblis meraung keras. Dadanya
yang berlubang dan mengucurkan darah telah
terkena tendangan keras yang bertenaga dalam
sempurna. Tak pelak lagi, tubuh besar dan berbulu
hitam itu terbanting keras di tanah. Sekitar puncak
Gunung Weling pun bergetar bagai terkena
guncangan gempa. Sedangkan Bayu sudah kembali
menjejakkan kakinya di tanah.
“Hih!”
Cepat-cepat Pendekar Pulau Neraka menarik
tangan kanannya ke atas kepala. Cakra Maut yang
terbenam di kening Raja Kera Iblis seketika itu juga
tercabut, melesat cepat, laki kembali menempel di
pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka.
Sedangkan Raja Kera Iblis bergulingan sambil
menggerung-gerung dahsyat Beberapa batu dan
pohon hancur bertumbangan terlanda tubuhnya yang
besar dan berbulu hitam itu. Dan, ketika dia bisa
bangkit seketika itu juga....
“Hiyaaa...!”
Bagaikan kilat Bayu menghentakkan tangan
kanannya ke depan. Dan pada saat Cakra Maut
kembali melesat secepat kilat secepat itu pula Bayu
melompat sambil melepaskan dua pukulan beruntun
yang disusul satu tendangan keras menggeledek.
Crab!
Begkh!
Desss!
“Aaargh...!”
Sungguh dahsyat serangan kilat yang dilancarkan
Pendekar Pulau Neraka. Tepat ketika Cakra Maut
merobek tenggorokan Raja Kera Iblis, secepat itu pula
Bayu mendaratkan dua pukulan keras beruntun dan
satu tendangan menggeledek yang mengandung
pengerahan tenaga dalam dengan tingkatan yang
sempurna. Tak pelak lagi, tubuh Raja Kera Iblis pun
terpental jauh ke belakang. Dan beberapa batang
pohon yang tertabrak, langsung hancur berkeping-
keping.
“Hup...!”
Setelah melakukan dua kali putaran di udara. Bayu
kembali menjejakkan kakinya dengan manis sekali di
tanah. Saat tangan kanannya terangkat di atas
kepala, Cakra Maut kembali menempel di per-
gelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka itu.
“Haaap...! Yeaaah...!”
Cepat sekali Bayu kembali melompat ketika Raja
Kera Iblis bisa bangkit lagi. Serangan yang begitu
cepat yang dilancarkan Pendekar Pulau Neraka kari
ini membuat Raja Kera Iblis tidak mampu lagi
bergerak menghindar. Dan....
“Hiyaaa...!”
Begkh!
Glarrr...!
Sungguh dahsyat pukulan yang dilepaskan
Pendekar Pulau Neraka kali ini. Begitu pukulannya
mendarat di dada Raja Kera Iblis, seketika itu juga
terdengar ledakan keras menggelegar yang
memekakkan telinga.
“Hiyaaa...!”
Saat itu juga Bayu melesat ke udara. Dan langsung
kedua tangannya dihantamkan ke kepala Raja Kera
Iblis. Hingga....
Prak!
“Ghhhraaagkh...!”
“Hup!”
Cepat-cepat Bayu melentingkan tubuhnya ke
belakang sambil melakukan dua kali putaran di
udara. Sungguh manis gerakan Pendekar Pulau
Neraka. Tanpa menimbulkan suara sedikit pun,
kedua kakinya menjejak tanah sekitar dua batang
tombak di depan Raja Kera Iblis.
Tampak makhluK kera raksasa itu berdiri tegak
dengan dada berlubang besar dan kepala retak
berlumuran darah. Dari lehernya yang berlubang juga
mengucur darah kental kehitaman yang berbau
busuk. Tak lama kemudian, tubuh yang tinggi besar
dan berbulu hitam itu terlihat limbung, lalu ambruk ke
tanah tanpa suara sedikit pun keluar dari mulutnya.
Dan, tak ada gerakan sedikit pun yang terlihat
Makhluk kera raksasa yang selama ini ditakuti itu
seketika tewas begitu tubuhnya menghantam bumi
“Hhh...!” Bayu menghembuskan napas panjang.
Dengan punggung tangannya, Pendekar Pulau
Neraka menyeka keringat yang membanjiri wajah dan
lehernya. Perlahan-lahan dihampirinya mayat raksasa
yang berbulu hitam dan berwajah kera itu. Tubuhnya
dibungkukkan sedikit, dan diperiksanya mayat Raja
Kera Iblis.
“Hhh....”
Bayu kembali menghembuskan napas panjang
begitu merasa pasti bahwa Raja Kera Iblis sudah
tewas. Perlahan tubuhnya ditegakkan kembali.
“Kakang...!”
Bayu memutar tubuhnya saat mendengar suara
memanggil namanya. Tampak Ratna Wulan berlari-lari
menghampiri, diikuti Ki Rakonta, Ki Suta, dan Ki
Bantur. Puluhan orang dari rimba persilatan yang
memenuhi puncak Gunung Weling juga tampak ber-
gerak menghampiri Pendekar Pulau Neraka.
Sementara itu, tak terlihat seorang pun tokoh
persilatan golongan hitam. Semuanya memang telah
melarikan diri saat Raja Kera Iblis mulai kewalahan
menghadapi Pendekar Pulau Neraka.
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar