..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Selasa, 04 Februari 2025

PENDEKAR PULAU NERAKA EPISODE RAJA KERA IBLIS

Raja Kera Iblis

 

RAJA KERA IBLIS 
oleh Teguh Suprianto 
Cetakan pertama 
Penerbit Cintamedia, Jakarta 
Gambar Sampul : Tony G. 
Hak cipta pada Penerbit 
Dilarang mengcopy atau memperbanyak 
sebagian atau seluruh isi buku ini 
tanpa izin tertulis dari penerbit 
Teguh Suprianto 
Serial Pendekar Rajawali Sakti 
dalam episode 032: 
Raja Kera Iblis 
128 hal ; 12 x 18 cm

SATU

Glarrr! 
Ledakan keras menggelegar terdengar begitu 
dahsyat bagai hendak menghancurkan angkasa. 
Tampak semburan cahaya api disertai gumpalan asap 
hitam membumbung tinggi, menggetarkan seluruh 
rumah yang ada di kaki Gunung Weling. 
Gemuruh batu-batu yang longsor dari lereng 
gunung itu terdengar keras. Debu berkepul, seakan-
akan ingin menyatu dengan semburan api dan 
gumpalan asap hitam yang menyembur dari puncak 
gunung ini. Ledakan dahsyat yang disertai guncangan 
begitu hebat membuat panik seluruh penduduk di 
Desa Weling. Mereka semua berhamburan keluar, 
dan langsung memadati jalan. Wajah mereka 
seketika memucat begitu melihat api dan asap hitam 
menggumpal menjadi satu dengan awan dan debu 
dari puncak Gunung Weling. 
Glarrr! 
Kembali terdengar ledakan keras yang sangat 
dahsyat. Asap hitam semakin banyak menggumpal 
dan menyebar menutupi langit di sekitar kaki Gunung 
Weling. Siang yang semula terasa begitu panas dan 
terik kini menjadi gelap bagai malam. Seluruh 
angkasa sudah terselimut awan tebal yang meng-
gumpal membentuk awan panas. Slart..! 
Beberapa kali terlihat kilatan cahaya membelah 
gumpalan asap hitam yang membentuk awan itu. 
Bumi terus bergetar, membuat beberapa rumah mulai 
roboh. Semua orang yang memadati jalan di Desa

Weling semakin terlihat panik. Awan hitam yang 
menggumpal semakin tebal itu mulai terasa 
menyebarkan hawa panas, membuat dada sesak dan 
sulit untuk bernapas. 
“Ha ha ha...!” 
Tiba-tiba terdengar tawa yang begitu keras dan 
mengejutkan. Semua orang yang tengah dihinggapi 
kepanikan, seketika tertegun dan langsung memucat 
wajahnya. Suara tawa yang demikian keras itu 
menyebar dan menggema bagai datang dari langit 
yang tertutup gumpalan awan hitam yang sangat 
tebal ini. 
Namun, mendadak suara tawa yang begitu keras 
dan menggelegar memekakkan telinga tadi lenyap 
bersamaan dengan menghilangnya suara gemuruh 
serta getaran bumi. Semburan api dan awan hitam 
pun seketika lenyap tak terlihat lagi di puncak 
Gunung Weling. Dan, perlahan-lahan awan hitam yang 
menggumpal menyelimuti seluruh kaki gunung itu 
pun menghilang tertiup angin yang tiba-tiba ber-
hembus kencang. 
Cepat sekali keadaan kembali tenang. Tapi, tak 
ada seorang pun penduduk Desa Weling yang 
kembali ke rumahnya masing-masing. Mereka masih 
tetap berada di luar dan terus memandangi puncak 
gunung yang kini sudah kembali kelihatan tenang. 
Alam benar-benar kembali tenang, bagai tidak pernah 
terjadi sesuatu. 
*** 
Memang hanya sebentar peristiwa itu terjadi. 
Namun, ada sekitar lima rumah yang roboh akibat 
guncangan yang ditimbulkan dari Gunung Weling tadi.

Bahkan dua di antaranya hangus terbakar. Dan, api 
masih menyala meliuk-liuk mengikuti hembusan 
angin. 
Sementara itu, di dalam sebuah rumah yang 
berukuran besar dan berhalaman luas, tampak empat 
orang laki-laki berusia lanjut duduk melingkar di lantai 
beranda depan, dengan hanya beralaskan selembar 
tikar dari daun pandan. Mereka semua mengenakan 
jubah panjang berwarna putih, dengan ikat kepala 
yang juga putih. Wajah-wajah mereka kelihatan begitu 
suram, bagai malam yang tidak ditaburi cahaya 
bintang dan rembulan. Mereka adalah Kepala Desa 
Weling dan para pemuka desa ini. 
Mereka semua mengenakan jubah putih yang 
bersih dan panjang. Untuk membedakan antara satu 
orang dan lainnya, bisa dilihat dari senjata yang 
mereka sandang. Senjata-senjata Itu memiliki bentuk 
yang berlainan. Tampaknya, mereka bukanlah orang-
orang biasa, atau setidak-tidaknya memiliki 
kepandaian yang cukup tinggi. Ini bisa dilihat dari 
bentuk senjata yang mereka bawa. 
“Getaran hatiku mengatakan kalau ini bukan 
kejadian gempa biasa...,” ujar Ki Rakonta dengan 
suara menggumam perlahan. Dialah Kepala Desa 
Weling. 
“Benar. Seumur hidup aku tinggal di sini, belum 
pernah terjadi gempa satu kali pun,” sambung salah 
seorang pemuka Desa Weling. 
Pemuka desa itu tampak memegang sebuah 
cambuk berwarna hitam, yang tergulung di tangan 
kirinya. Seluruh cambuk itu dipenuhi bulu-bulu halus, 
dan pada bagian ujungnya terdapat bulatan besi baja 
berwarna hitam sebesar mata kucing yang berduri 
halus. Semua orang di Desa Weling mengenal lelaki

tua ini dengan nama Ki Ampar. 
“Pasti kalian semua mendengar suara tawa keras 
itu tadi...,” ujar Ki Rakonta lagi, seraya memandangi 
tiga orang laki-laki tua yang sebaya dengannya. 
Semua kepala terangguk, dan semua mata 
menatap pada kepala desa ini. Tentu saja mereka 
tadi mendengar tawa yang teRatnat keras dan meng-
gelegar, sebelum gempa yang datang begitu tiba-tiba 
dan mengejutkan ini berakhir. Tak ada seorang pun 
yang tidak mendengar. Dan, tawa keras menggelegar 
itu juga membuat mereka bertanya-tanya. 
“Aku yakin, gempa tadi adalah ciptaan seseorang, 
atau...,” Ki Rakonta tidak melanjutkan kata-katanya. 
“Atau apa, Ki?” desak Ki Bantur, yang meng-
genggam sebilah pedang pendek pada tangan 
kanannya. 
Pedang Ki Bantur berwarna kuning keemasan, dan 
sepertinya memang terbuat dari emas murn. Gagang 
pedang pendek itu berbentuk sekuntum bunga yang 
terkembang mekar, dengan sebuah batu mutiara di 
tengah-tengah kelopak bunga pada ujungnya. 
“Kalian masih ingat cerita orang-orang tua kita 
dulu...?” 
Ki Rakonta malah balik bertanya, sambil merayapi 
wajah ketiga orang yang duduk bersila di depannya. 
Tapi, tak ada seorang pun yang menjawab pertanyaan 
itu. Mereka malah saling melemparkan pandangan. 
Dan, kening mereka tampak berkerut begitu sama-
sama menatap Ki Rakonta, seakan-akan meminta 
penjelasan. 
“Memang sudah lama sekali. Dan tidak ada lagi 
yang pernah bercerita atau mengingatnya. Tapi 
kejadian ini membuatku teringat pada cerita orang-
orang tua kita. Cerita yang dulu kita anggap hanya

sebagai dongeng dan tidak ada kenyataannya sama 
sekali. Tapi begitu meresap, seperti sebuah kenyata-
an yang pernah ada dan pernah terjadi di sekitar 
kita,” kata Ki Rakonta. 
Masih belum ada yang membuka suara sedikit 
pun. Mereka masih belum mengerti akan arah kata-
kata kepala desa ini. Tapi, dari sikap dan raut wajah 
mereka, tampak semuanya sedang menebak-nebak. 
Begitu banyak cerita yang sulit untuk dipercaya dan 
masuk ke dalam akal pikiran yang sehat Dan, mereka 
masih belum tahu, cerita mana yang dimaksud oleh 
Ki Rakonta. 
“Sebenarnya aku sendiri belum yakin. Tapi melihat 
kejadian tadi, aku jadi teringat cerita ayahku dulu,” 
kata Ki Rakonta lagi. 
Masih belum ada seorang pun yang membuka 
suara. Semua masih menduga-duga, apa sebenarnya 
maksud kepala desa itu. Tak seorang pun yang bisa 
menangkapnya. Dan, mereka terus menduga-duga 
sampai Ki Rakonta melanjutkan pembicaraannya. 
“Kejadian tadi mirip sekali dengan tanda-tanda 
bangkitnya Raja Kera Iblis...?!” 
“Apa...?!” 
“Raja Kera Iblis...?!” 
Ketiga pemuka Desa Weling itu terperanjat 
setengah mati begitu Ki Rakonta menyebut nama 
Raja Kera Iblis. Betapa tidak? Mereka memang sudah 
sering mendengar cerita tentang makhluk mengeri-
kan yang sangat dahsyat dan kejam itu. Tapi, semua 
cerita itu kini sudah tidak pernah lagi terdengar. 
Bahkan, cerita itu selalu dianggap dongeng belaka. 
Karena, makhluk itu memang tidak pernah muncul, 
dan tak seorang pun yang pernah melihatnya, kecuali 
orang-orang yang hidup seratus tahun lalu. Namun,

para pemuka desa itu memang pernah mendengar 
Raja Kera Iblis hanya menampakkan diri seratus 
tahun sekali. Dan, setiap kali muncul, dia selalu 
menimbulkan malapetaka, sampai ada seseorang 
yang bisa membinasakannya kembali. Seratus tahun 
kemudian, dia pun akan muncul kembali dengan 
kekuatan yang lebih dahsyat, dan dengan kekejaman 
yang tidak akan pernah terbayangkan oleh siapa pun 
juga. Setiap orang yang mendengar cerita itu selalu 
membayangkan Raja Kera Iblis sebagai sosok 
makhluk mengerikan, yang entah bagaimana bentuk 
rupanya. 
Para pemuka Desa Weling terkejut setengah mati 
dan tidak pernah menduga bahwa pikiran Ki Rakonta 
akan sampai ke sana. Kejadian yang baru saja 
menimpa desa ini memang mirip sekali dengan cerita-
cerita yang pernah mereka dengar ketika masih anak-
anak. Bahkan, ketika menginjak usia remaja pun 
mereka masih sering mendengar cerita tentang 
makhluk itu. Tapi, sama sekali mereka tidak menduga 
kalau cerita tentang Raja Kera Iblis yang hanya 
dianggap dongeng itu bisa menjadi kenyataan. 
*** 
Dua hari pun berlalu sejak peristiwa aneh dan 
mengejutkan terjadi di Desa Weling. Tapi, peristiwa itu 
tak ada kelanjutannya lagi seperti yang diduga kepala 
desa dan para pemuka Desa Weling. Keadaan di desa 
ini masih tetap tenang, walaupun peristiwa dua hari 
lalu masih terlalu hangat untuk dilupakan begitu saja. 
Dan, tak ada seorang pun yang berpikir tentang Raja 
Kera Iblis. Hanya Ki Rakonta dan ketiga orang 
pemuka desa yang terus membicarakan makhluk

yang selama ini hanya dianggap sebagai cerita 
dongeng belaka itu. 
Siang ini udara di sekitar kaki Gunung Weling 
terasa amat panas. Matahari bersinar begitu terik, 
seakan-akan ingin membakar apa saja yang ada di 
atas permukaan bumi. Namun, panasnya sengatan 
sang mentari tidak membuat seorang pemuda 
tampan berbaju kulit harimau menghentikan langkah-
nya. Dia terus berjalan mantap menyusuri jalan tanah 
yang berdebu dan berbatu kerikil. Seekor monyet 
kecil berbulu hitam tampak duduk nangkring di 
pundak kanannya. Dan tidak jauh di belakangnya, 
terlihat seorang gadis cantik berjalan mengikutinya. 
Jelas sekali terlihat, gadis itu begitu kelelahan 
mengikuti ayunan kaki pemuda berbaju kulit harimau 
di depannya. 
“Kakang....” 
Pemuda tampan berbaju kulit harimau itu meng-
hentikan langkahnya. Dia berpaling ke belakang. 
Ditatapnya gadis cantik yang berjalan pada jarak 
sekitar tiga batang tombak di belakangnya. Dia 
menunggu sampai gadis itu berada dekat di 
sampingnya. 
“Istirahat dulu, Kakang. Aku lelah sekali...,” pinta 
gadis cantik itu, sambil menyeka keringat yang 
bercucuran di wajah dan lehernya dengan punggung 
tangan. 
Sementara, pemuda berbaju kulit harimau hanya 
menepuk-nepuk kepala monyet kecil di pundaknya. 
“Nguk!” 
“Tidak ada tempat yang enak untuk beristirahat di 
di sini, Wulan,” kata pemuda itu sambil mengedarkan 
pandangannya ke sekeliling. 
“Tapi aku lelah sekali, Kakang. Rasanya sudah


tidak sanggup lagi...,” rengek gadis yang memang ber-
nama Ratna Wulan itu. 
“Tidak jauh lagi ada desa, Wulan. Kau pasti bisa 
bertahan sedikit sampai ke sana,” kata pemuda 
tampan itu seraya menunjuk ke satu arah d ujung 
jalan. 
Ratna Wulan diam saja. Memang, kalau sudah 
berada di jalan seperti ini, tidak seberapa jauh lagi 
mereka akan menemukan sebuah desa. Tapi, Ratna 
Wulan tampak tidak yakin bahwa desa itu bisa 
ditempuh dalam waktu sebentar. Dia sudah benar-
benar tidak mampu lagi berjalan jauh. Terlebih lagi, 
sengatan matahari yang begitu terik membuatnya 
semakin cepat merasa lelah. 
“Hhh...!” 
Sambil menghembuskan napas panjang dan berat, 
Ratna Wulan kembali mengayunkan kakinya. Di-
susunnya jalan tanah berdebu yang berkerikil yang 
semakin terasa panas, bagai di atas jembatan 
neraka! Mereka terus melangkah tanpa ada yang 
bicara lagi. Namun, belum begitu jauh berjalan, tiba-
tiba.... 
“Aaa...!” 
“Heh...?!” 
Mereka terkejut setengah mati begitu mendengar 
jeritan panjang yang melengking tinggi. Jeritan itu 
demikian jelas terdengar. Sejenak mereka saling 
berpandangan. Lalu, bagaikan kilat pemuda berbaju 
kulit harimau itu melesat menuju arah datangnya 
jeritan tadi. Dan, gadis yang bersamanya tidak mau 
ketinggalan. Meskipun terasa begitu lelah, dia segera 
mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya untuk 
menyusul pemuda tampan itu. 
Begitu sempurnanya ilmu meringankan tubuh yang

dimiliki pemuda berbaju kulit harimau itu, sehingga 
sebentar saja dia sudah sampai di tempat datangnya 
jeritan tadi. Dan betapa terkejutnya dia. Dilihatnya 
sesosok makhluk tengah mengoyak dada seorang 
laki-laki tua bertubuh kurus kering. Darah tampak 
berceceran di mana-mana. 
Makhluk itu pun tampak terkejut melihat ke-
munculan pemuda berbaju kulit harimau itu. 
Memang, pemuda ini tak lain dari Bayu Hanggara, 
atau yang lebih dikenal dengan julukan Pendekar 
Pulau Neraka. 
“Ghrrr...!” 
“Dewata Yang Agung..., makhluk apa ini...?” desis 
Bayu, hampir tidak percaya dengan penglihatannya 
sendiri. 
“Ghraugkh...!” 
Tiba-tiba makhluk yang bertubuh manusia tapi 
seluruh badannya berbulu hitam dan wajahnya 
seperti kera itu menggerung dahsyat. Dan, bagaikan 
kilat, dia melompat cepat menerjang Bayu. 
“Craaakh...!” 
Monyet kecil di pundak Bayu langsung melompat 
turun, lalu bertari menjauh sambil mencerecet ribut. 
Tangkas sekali gerakannya ketika dia memanjat naik 
ke atas sebatang pohon. 
“Heh...?! Ufs...!” 
Cepat-cepat Pendekar Pulau Neraka membanting 
tubuhnya ke samping, lalu bergulingan beberapa kali 
menghindari makhluk aneh dan mengerikan itu. Dan, 
cepat pula dia melompat bangkit berdiri. Namun, baru 
saja kedua kakinya menjejak tanah, makhluk seperti 
kera yang bertubuh tinggi besar melebihi manusia itu 
sudah kembali melesat cepat sambil mengibaskan 
tangan kanannya, yang berbulu tebal, hitam, dan

berkuku runcing bagai mata pisau. 
“Ghraugkh...!” 
Wukkk! 
“Uts!” 
Untung saja Bayu cepat merundukkan kepalanya, 
sehingga kibasan tangan yang sangat besar ukuran-
nya itu lewat di atas kepalanya. Bergegas kakinya 
ditarik ke belakang beberapa langkah. 
Dan, belum juga Bayu sempat melakukan sesuatu, 
mendadak tangan kiri makhluk seperti kera raksasa 
itu sudah mengibas cepat sekali. Pemuda berbaju 
kulit harimau itu tidak sempat lagi menghindar. Dan... 
Plak! 
“Akh...!” 
Begitu kerasnya kibasan tangan berukuran 
sebesar dua kali tangan manusia biasa itu. Sehingga, 
tubuh Bayu terpental deras ke belakang. Keras sekali 
punggung pemuda itu menghantam sebatang pohon, 
hingga pohon yang berukuran cukup besar itu hancur 
berkeping-keping. 
“Ghraaagh...!” 
Sambil menggenang dahsyat, makhluk kera 
raksasa itu kembali melompat dengan jari-jari tangan 
terkam bang menjulur ke depan. Hendak diterkamnya 
Bayu. 
“Hup! Yeaaah...!” 
Namun Pendekar Pulau Neraka cepat-cepat me-
lentingkan tubuhnya. Dihindarinya terkaman makhluk 
kera raksasa itu dengan cepat Dan, makhluk itu pun 
hanya menerkam reruntuhan pohon. 
Beberapa kali pemuda tampan berbaju kulit 
harimau itu berjumpalitan dan berputaran di udara, 
lalu kembali menjejakkan kakinya di tanah dengan 
kokoh dan mantap sekali. Sedangkan makhluk kera

raksasa itu sudah kembali memutar tubuhnya dengan 
cepat Dia menggerung dahsyat Dipandanginya tajam-
tajam pemuda tampan berbaju kulit harimau yang 
berada sekitar dua batang tombak di depannya. 
Pada saat itu, gadis jelita berbaju merah muda 
yang tadi berjalan bersama Bayu sudah sampai di 
tempat ini. Dia juga terperanjat setengah mati begitu 
melihat makhluk mengerikan yang tinggi dan besar 
tubuhnya dua kali manusia biasa itu. 
“Ghrrr...!” 
Makhluk kera raksasa itu meraung sambil 
menyeringai lebar, memperlihatkan baris-baris giginya 
yang bertaring tajam, begitu melihat kedatangan 
gadis cantik itu. Dan, tiba-tiba.... 
“Wulan, awas...!” 
Wusss! 
“Haft...!” 
Gadis itu segera melentingkan tubuhnya ke udara 
ketika tiba-tiba makhluk kera raksasa itu melompat 
cepat ke arahnya sambil menggerung dahsyat dan 
mengerikan. Tinggi sekali lentingannya, hingga dia 
dapat lewat di atas kepala makhluk itu. Dan, setelah 
beberapa kali putaran di udara, dengan manis sekali 
dia menjejakkan kembali kakinya di tanah, tepat di 
samping Bayu. 
“Ghraaagkh...!” 
***
DUA

“Cepat menyingkir, Wulan!” seru Baya 
Pada saat itu, makhluk kera raksasa sudah 
melompat kembali dengan cepat menerjang mereka. 
Ratna Wulan pun bergegas melesat ke samping. Pada 
saat yang bersamaan, Pendekar Pula Neraka menarik 
tubuhnya hingga doyong ke kiri, dengan tangan kanan 
tersilang di depan dada. Dan, secepat kilat pula 
dikibaskan tangannya ke depan. 
“Hiyaaa...!” 
Wusss! 
Secercah cahaya keperakan tiba-tiba melesat 
cepat dari pergelangan tangan kanan Baya Dan 
makhluk kera raksasa itu pun tidak sempat lagi 
menghindar. Lalu.... 
Crab! 
“Aaargkh...!” 
“Hup!” 
Bagaikan kilat, Pendekar Pulau Neraka melenting-
kan tubuhnya ke udara sambil menghentakkan 
tangan kanannya ke atas kepala. Tampak cahaya 
keperakan melesat ke arah pergelangan tangan 
kanannya. Dan, tahu-tahu sebuah benda berbentuk 
lingkaran bersegi enam yang ujung-ujungnya runcing 
sudah menempel di pergelangan tangan itu. 
“Hup! Yeaaah...!” 
Dua kali Bayu melakukan putaran di udara, lalu 
dengan cepat sekali dia melesat ke arah makhluk 
kera raksasa. Satu tendangan keras menggeledek 
pun langsung mendarat dengan tepat di kepala

makhluk itu. 
Plak! 
“Aaargkh...!” 
“Hup!” 
Kembali Pendekar Pulau Neraka melentingkan 
tubuhnya ke belakang. Dilakukannya beberapa kali 
putaran. Dan, dengan manis sekali dijejakkan kakinya 
di tanah. Lalu, langsung dimiringkan tubuhnya I lingga 
doyong ke kiri. Disilangkannya tangan kanannya di 
depan dada, kemudian dikibaskannya tangan itu ke 
depan. 
“Hiyaaa...!” 
Wusss! 
Benda berbentuk cakra bersegi enam yang me-
nempel di pergelangan tangan kanannya secepat kilat 
melesat ke depan. Begitu cepat lesatannya, sehingga 
makhluk kera raksasa tidak dapat lagi menghindar. 
Dan.... 
Crab! 
“Aaargkh...! 
Kembali cakra keperakan bersegi enam itu 
menghunjam di dada yang berbulu hitam tebal itu. 
Dan, ketika tangan Bayu terangkat ke atas kepala, 
cakra keperakan bersegi enam itu melesat balik dari 
dalam dada makhluk kera raksasa. Darah seketika 
menyembur deras dari dua lubang di dada, akibat 
dua kali tertembus cakra keperakan bersegi enam 
yang kini sudah kembali menempel erat di per-
gelangan tangan kanan pemiliknya. 
Makhluk kera raksasa itu menggerung-gerung 
dahsyat. Darah bercucuran dengan deras dari dua 
lubang di dadanya. Tapi, tiba-tiba dia melesat cepat 
bagai kilat dan tahu-tahu sudah lenyap begitu 
tubuhnya masuk ke dalam hutan yang cukup lebat

Bayu hendak lompat mengejar, tapi... 
“Kakang Bayu...!” 
Pendekar Pulau Neraka segera mengurungkan; 
niatnya. Dia segera berpaling. Ditatapnya gadis cantik 
berbaju merah muda yang berlari-lari kecil meng-
hampirinya. Gadis itu berdiri dekat di depan Bayu. 
Sedikit Bayu menepuk pundak gadis itu. Kemudian 
kakinya melangkah menghampiri sosok mayat yang 
sudah tidak bernyawa lagi dengan seluruh tubuh 
tercabik dan dada terkoyak sangat lebar. Kening 
Pendekar Pulau Neraka jadi berkerut melihat dada 
yang berlubang besar itu. 
“Nguk! Nguk! Craaakh...!” 
Bayu mengulurkan tangannya ketika monyet kecil 
yang selalu dipanggil Tiren itu segera berlari-lari men-
dekatinya. Monyet kecil berbulu hitam ini segera naik 
ke pundak Pendekar Pulau Neraka. 
“Hm..., makhluk itu mengambil jantungnya,” 
gumam Bayu perlahan, seperti berbicara pada dirinya 
sendiri. 
Ratna Wulan, yang berdiri di samping kanan, 
hanya diam memandangi laki-laki tua bertubuh kurus 
kering yang sudah tak bernyawa lagi itu. Kemudian 
dia menarik napas panjang. Ditatapnya wajah tampan 
Pendekar Pulau Neraka yang bersimbah keringat Dan, 
beberapa saat mereka hanya membisu. 
“Ayo kita pergi, Kakang.” 
“Kita kuburkan mayat orang tua ini dulu, Wulan.” 
Ratna Wulan hanya mengangkat bahunya. Sedang-
kan Bayu sudah mencari tempat yang teduh untuk 
menggali lubang kuburan. Didapatkannya tempat di 
bawah sebatang pohon beringin yang cukup rimbun 
daunnya. Tempat yang cocok untuk peristirahatan 
terakhir laki-laki tua malang itu.

*** 
Matahari sudah condong ke arah Barat ketika 
Bayu selesai menguburkan laki-laki tua yang malang 
itu. Dia kemudian mengajak Ratna Wulan me-
ninggalkan tepian hutan di kaki Gunung WeBng ini. 
Tanpa berbicara lagi, mereka pun melangkah 
perlahan-lahan kembali ke jalan tanah berdebu yang 
dipenuhi batu kerikil. Mereka terus berjalan menuju 
ke arah matahari tenggelam. Di ujung jalan, sudah 
terlihat sebuah perkampungan yang kelihatan agak 
sunyi. 
“Desa apa itu, Kakang?” tanya Ratna Wulan, tanpa 
memalingkan pandangannya sedikit pun ke arah 
desa yang berada di depan sana. 
“Desa Weling,” sahut Bayu, yang juga meng-
arahkan pandangannya ke desa itu. 
“Sepi sekali kelihatannya,” ujar Ratna Wulan agak 
menggumam, seakan-akan berbicara pada dirinya 
sendiri. 
“Hm...,” gumam Bayu perlahan. 
Memang, desa yang mereka lihat di depan 
tampaknya begitu sunyi seperti tidak berpenghuni. 
Tak ada seorang pun terlihat berada di luar rumah. 
Namun, Bayu dan Ratna Wulan terus saja melangkah 
memasuki desa yang tampak amat sunyi itu. Tapi, 
belum begitu jauh mereka masuk ke dalam desa 
itu.... 
“Hm...,” gumam Bayu perlahan. 
Pendekar Pulau Neraka menghentikan ayunan 
langkahnya. Ratna Wulan yang berjalan di sebelah 
kanannya juga segera berhenti melangkah. Dia 
memandangi wajah tampan Pendekar Pulau Neraka 
itu. Tapi, sebentar kemudian keningnya berkerut dan

kelopak matanya terlihat menyipit. Belum juga 
mereka membuka mulut untuk bicara, mendadak.... 
Wusss! 
“Awas, Wulan...!” seru Bayu. 
“Hup!” 
“Hak..!” 
Ratna Wulan dan Pendekar Pulau Neraka cepat-
cepat melompat ke belakang ketika tiba-tiba 
sebatang tombak yang panjang meluruk deras ke 
arah mereka. Dan, tombak itu langsung menancap 
dalam di tengah jalan tanah berdebu ini, tepat di 
tempat Bayu dan Ratna Wulan berdiri tadi. 
Pada saat itu, terlihat sebuah bayangan putih 
berkelebat cepat dari atas atap sebuah rumah. Dan 
tahu-tahu, tepat dfi depan Pendekar Pulau Neraka, 
sudah berdiri seorang laki-laki tua yang berjubah 
putih panjang dan longgar. Laki-laki itu tampak 
menggenggam sebatang tombak pendek putih yang 
ujungnya berwarna kuning keemasan. Tampak pula 
rambut dan kumisnya yang menyatu dengan jenggot-
nya sudah berwarna putih semua. 
“Nguk...! Nguk...!” 
“Ada apa, Tiren?” tanya Bayu. 
Belum juga pertanyaan Pendekar Pulau Neraka 
terjawab, tiba-tiba dia dikejutkan lagi dengan muncul-
nya tiga orang laki-laki berusia lanjut yang semuanya 
mengenakan jubah putih yang panjang dan longgar. 
Ketiganya mengambil tempat di belakang laki-laki tua 
yang muncul pertama kali tadi. Mereka tampak 
memegang senjata yang berlainan bentuknya. 
Dari pakaian, senjata, dan sorot mata yang tajam, 
bisa dipastikan bahwa mereka berempat bukanlah 
orang-orang sembarangan. Paling tidak, semuanya 
memiliki tingkat kepandaian yang tinggi. Mereka

adalah Ki Rakonta dan tiga orang pemuka Desa 
Weling yang bertugas mengatur seluruh wilayah desa 
ini. 
“Hm...,” gumam Bayu perlahan. 
“Siapa kalian? Ada urusan apa kalian datang ke 
Desa Weling ini?” tanya Ki Rakonta dengan nada 
suara yang tegas. 
“Aku Bayu dan ini Ratna Wulan. Kami berdua 
hanya pengembara yang kebetulan lewat di desa ini,” 
sahut Bayu memperkenalkan diri. 
“Hm..., apa kau ini bukannya Raja Kera Iblis?” 
Jelas sekali dari nada suaranya, laki-laki tua ber-
ubah putih yang juga Kepala Desa Weling itu 
menaruh curiga kepada Bayu dan Ratna Wulan. 
Pertanyaan itu membuat Bayu dan Ratna Wulan 
mengerutkan kening. Mereka saling berpandangan 
sejenak, laki sama-sama melangkah maju beberapa 
tindak. Dan, langkah mereka baru berhenti setelah 
jaraknya tinggal sekitar enam langkah lagi dari 
keempat orang tua berjubah putih itu. 
“Aku tidak mengerti dengan apa yang kau katakan, 
Kisanak. Kami berdua hanyalah pengembara yang 
kebetulan lewat dan ingin mencari penginapan untuk 
malam ini,” kata Bayu, mencoba menjelaskan. 
Memang Bayu tidak mengerti akan kata-kata yang 
dilontarkan Ki Rakonta barusan. Bahkan dia tidak 
tahu, siapa yang dimaksud dengan sebutan Raja Kera 
Iblis itu. Mendengarnya saja baru kali ini. Dan, Bayu 
langsung bisa menebak bahwa Desa Weling ini 
sedang tertimpa suatu musibah yang ditimbulkan 
oleh Raja Kera Iblis itu. Dari pengalamannya melang-
lang buana sebagai seorang pendekar kelana, dia 
sudah bisa meraba keadaan yang terjadi di desa ini. 
Namun, Bayu juga tidak mau gegabah untuk Ikut

campur sebelum tahu benar apa masalahnya. 
Pendekar Pulau Neraka melirik sedikit pada Ratna 
Wulan. 
“Anak muda, kami di sini tidak ingin menambah 
persoalan. Sebaiknya kalian segera tinggalkan desa 
ini sebelum terjadi sesuatu yang tidak menyenang-
kan. Aku harap, kalian bisa mengerti, jika kalian 
memang orang baik-baik dan hanya pengembara,” 
selak Ki Suta, yang mulai ikut berbicara. 
Di tangan kanan laki-laki tua berwajah bening itu 
tergenggam sebuah tameng berbentuk bulat dan ber-
warna putih keperakan. Ada sebuah ukiran ber-
gambar bintang pada bagian tengahnya. 
Kembali Bayu melirik pada Ratna Wulan, yang saat 
itu juga sedang menatap dengan sudut ekor matanya. 
Mereka kemudian sama-sama mengangkat pundak. 
Lalu, setelah memberi salam penghormatan, kedua-
nya memutar tubuh dan melangkah pergi tanpa 
berkata sedikit pun. Mereka berjalan kembali ke arah 
hutan. 
*** 
Malam sudah jatuh menyelimuti seluruh 
permukaan bumi di kaki Gunung Weling. Dan, Desa 
Weling pun sudah terselimut kegelapan. Tak sedikit 
pun terlihat cahaya dari bulan ataupun bintang. 
Malam ini langit kelihatan begitu kelam. Awan hitam 
yang tebal dan bergulung-gulung membuat suasana 
di Desa Weling semakin bertambah tidak nyaman. 
Belum lagi, angin yang bertiup begitu kencang 
menebarkan udara dingin menggigit sampai ke 
tulang. 
Hari sudah jauh melewati tengah malam, tapi di

beranda rumahnya, Ki Rakonta masih duduk bersila 
di atas selembar tikar anyaman dari daun pandan. 
Tak ada seorang pun terlihat di sekitar halaman 
rumahnya yang luas ini. Begitu sunyi di sekelilingnya. 
Sedangkan di dekat pintu yang senga-ja dibiarkan 
terbuka, terlihat tiga laki-laki tua lain yang semuanya 
mengenakan jubah panjang berwarna putih bersih. 
Mereka adalah tiga orang pemuka utama Desa 
Weling. 
“Sudah lebih dari satu pekan, Ki. Tidak ada satu 
pun peristiwa penting yang terjadi,” ujar Ki Ampar. 
Suara Ki Ampar agak menggumam dan perlahan 
sekali, hampir tidak terdengar oleh yang lainnya. Dia 
seakan-akan berbicara pada dirinya sendiri. Sedang-
kan Ki Rakonta yang diajak bicara tidak berpaling 
sedikit pun. Dia tetap mengarahkan pandangannya 
ke arah puncak Gunung Weling, yang menghitam 
pekat dan berselimut kabut tebal. Dua orang laki-laki 
tua lainnya juga diam saja. 
Memang, sejak terjadi peristiwa gempa yang 
mengejutkan itu, mereka selalu bersikap waspada. 
Terlebih lagi, mereka menduga bahwa gempa yang 
terjadi itu merupakan tanda munculnya Raja Kera 
Iblis, yang ceritanya seringkah mereka dengar sejak 
masih anak-anak dulu. 
“Hm...,” gumam Ki Rakonta tiba-tiba, agak keras. 
Dan, begitu dia beranjak hendak bangkit, tiba-
tiba.... 
Bruk! 
“Heh...?!” 
Bukan hanya Ki Rakonta saja yang terperanjat, tapi 
tiga orang laki-laki tua yang berada di beranda depan 
rumah kepala desa itu juga terkejut setengah mati. 
Begitu terkejutnya mereka, sampai langsung ter

lompat berdiri. Dan, bola mata mereka terbeliak 
ketika tiba-tiba dari atap beranda jatuh sesosok 
tubuh laki-laki tua yang sudah rusak tercabik. 
Empat orang laki-laki tua yang sama-sama 
mengenakan jubah panjang warna putih itu segera 
berlompatan ke luar. Dan, pada saat itu, tiba-tiba 
terdengar tawa keras menggelegar yang begitu 
mengejutkan. 
“Ha ha ha...!” 
“Hm...,” gumam Ki Rakonta lagi, agak keras. 
Tawa itu demikian keras terdengar. Tapi, sulit 
untuk diketahui dari mana arah datangnya. Tawa itu 
seakan-akan datang dari seluruh penjuru mata angin. 
Keempat laki-laki tua berjubah putih itu pun langsung 
mempersiapkan senjata masing-masing. Mereka 
berdiri melingkar saling beradu punggung. 
Clarrrk...! 
“Awas...!” seru Ki Rakonta tiba-tiba. “Hap...!” 
“Hup!” 
“Yeaaah...!” 
“Hiyaaa...!” 
Mereka langsung berlompatan menyebar begitu 
tiba-tiba terlihat secercah cahaya merah seperti bola 
api meluncur deras dari atas atap rumah. Bola cahaya 
merah itu langsung menghantam tanah tempat 
keempat laki-laki tua itu berdiri tadi. 
Glarrr...! 
Seketika itu juga terdengar ledakan keras yang 
amat dahsyat Tanah bergetar hebat bagai diguncang 
gempa. Rumah kepala desa itu pun bergetar dan 
berderak bagai hendak runtuh. Sementara itu empat 
laki-laki tua berjubah putih berjumpalitan di udara. 
Dan, hampir bersamaan mereka menjejakkan kakinya 
kembali di tanah. Sedangkan tanah yang terhantam

cahaya merah tadi terlihat sudah berlubang cukup 
besar. Debu tampak membumbung tinggi ke angkasa. 
“Gila...!” desis Ki Bantur, yang sempat terbeliak 
melihat lubang menganga cukup lebar dan dalam di 
tengah-tengah halaman rumah kepala desa ini. 
“Ki Bantur, awas...!” teriak Ki Rakonta. 
“Heh...?! Hup!” 
Ki Bantur terperanjat setengah mati. Cepat-cepat 
dia melentingkan tubuhnya ke samping dan langsung 
bergulingan di tanah beberapa kafi. Dilihatnya tadi 
sebuah bayangan hitam meluruk deras bagai kilat ke 
arahnya. Bergegas kemudian dia melompat bangkit 
berdiri. Namun, baru saja kakinya dijejakkan di tanah, 
bayangan hitam itu kembali melesat cepat ke 
arahnya. 
“Hiyaaa...!” 
Ctar! 
Terdengar suara lecutan sebuah cambuk, yang 
diikuti dengan berpijamya bunga api di depan dada Ki 
Bantur. Pada saat yang bersamaan, bayangan hitam 
itu kembali melenting ke belakang. Dijauhinya Ki 
Bantur yang tengah terpana. Bergegas Ki Bantur 
melompat ke belakang beberapa tindak. Dia sempat 
melirik Ki Ampar yang baru saja menarik cambuknya 
kembali. 
Kemudian, secara bersamaan keempat laki-laki 
tua itu cepat berlompatan. Mereka kini berdiri ber-
jajar, tepat sekitar tiga batang tombak di depan 
sesosok tubuh hitam dan besar, yang tingginya dua 
kali lipat manusia biasa. Hampir mereka tidak 
percaya dengan pandangan mata sendiri. Betapa 
tidak? Mereka kini berhadapan dengan sesosok 
makhluk yang seluruh tubuhnya berbulu hitam pekat 
agak berkilat. Dan, wajah makhluk itu begitu mirip

seekor kera! 
“Ghrrr...!” 
Makhluk kera raksasa itu menggerung sambil 
menatap tajam pada empat laki-laki tua. berjubah 
putih ini, dengan sepasang bola matanya yang merah 
dan bercahaya bagai sepasang bola api. Dia meng-
gerung sambil menyeringai, bagai hendak memamer-
kan baris-baris giginya yang hitam dan bertaring 
runcing. 
“Dewata Yang Agung.....Makhluk apa ini...?” desah 
Ki Rakonta, yang tak berpaling sedikit pun 
memandangi makhluk kera raksasa yang berada 
sekitar tiga batang tombak di depannya. 
“Kalian semua pemuka desa ini...?” 
Terdengar begitu besar dan berat suara makhluk 
kera raksasa itu. Telinga keempat laki-laki tua itu pun 
terasa sakit dibuatnya. 
“Siapa di antara kalian kepala desanya?” tanya 
makhluk kera raksasa itu lagi, dengan suaranya ang 
tetap besar menyakitkan telinga. 
“Aku,” sahut Ki Rakonta seraya melangkah ke 
depan dua tindak. “Mereka bertiga memang para 
tetua Desa Weling. Dan siapa kau ini sebenarnya?” 
“Ha ha ha...!” 
Makhluk kera raksasa itu malah tertawa terbahak-
bahak. Begitu keras suara tawanya, membuat tanah 
yang mereka pijak bergetar. Ki Rakonta dan ketiga 
orang pemuka desa itu cepat-cepat mengerahkan 
tenaga dalam, untuk menahan gempuran suara keras 
yang menggetarkan jantung dan membalikkan aliran 
darah di dalam tubuh mereka. Suara tawa itu seakan-
akan dikeluarkan dengan pengerahan tenaga dalam 
yang teRatnat tinggi tingkatannya, begitu keras meng-
gelegar dan sangat menyakitkan telinga.

“Aku adalah raja yang menguasai seluruh bumi ini 
Dan kalian adalah hamba sahaya yang harus tunduk 
pada perintahku. Ha ha ha...!” 
“Raja Kera Iblis...,” desis Ki Rakonta, langsung bisa 
mengenali, walaupun makhluk kera raksasa itu tidak 
menyebutkan siapa dirinya secara langsung. 
Sedangkan Ki Ampar dan yang lainnya hanya diam 
memandangi makhluk kera raksasa yang begitu 
mengerikan ini Meskipun begitu, mereka juga sudah 
bisa menduga, siapa makhluk yang bentuknya begitu 
menyeramkan ini. Sulit dikatakan kalau makhluk ini 
adalah manusia. Juga sukar untuk dikatakan kalau 
dia adalah seekor kera. 
Meskipun wajahnya seperti kera dan seluruh 
tubuhnya berbulu, bentuk badannya tidak ubahnya 
seperti manusia. Tapi, tingginya mungkin dua kali 
manusia biasa, atau mungkin juga bisa lebih tinggi 
lagi. Dan, dia tampak mengenakan celana sebatas 
lutut yang merah menyala. Tidak dikenakannya baju 
sama sekali, sehingga tubuhnya yang berbulu tebal 
dapat terlihat jelas. Terlihat pula, tidak ada satu 
senjata pun yang disandangnya. 
“Dengar, jika kalian berani membangkang dan idak 
mematuhi perintahku, nasib kalian akan sama seperti 
dia!” kata makhluk kera raksasa itu lagi, sambil 
menunjuk sesosok mayat laki-laki tua yang 
menggeletak tepat di depan tangga beranda rumah 
kepala desa. 
“Kau yang membunuhnya? Kenapa...?” tanya Ki 
Rakonta setelah melirik sedikit pada mayat laki-laki 
tua yang seluruh tubuhnya tercabik dan tidak 
mengenakan baju itu. 
“Dia mencoba melawan dan membangkang 
perintahku. Jika kalian juga berani membangkang,

aku tidak segan-segan mencabik tubuh kalian. 
Mengerti...?!” ujar makhluk kera raksasa itu dengan 
keras dan tegas. 
“Apa yang kau inginkan dari kami?” tanya Ki 
Rakonta lagi. 
“Ha ha ha...! Kau sebagai kepala desa di sini tentu 
sudah tahu apa yang kuinginkan. Dan aku tidak perlu 
menyebutkan keinginanku lagi,” sahut makhluk kera 
raksasa yang dikenal sebagai si Raja Kera Iblis ini. 
Setelah berkata demikian, tiba-tiba Raja Kera Iblis 
melesat cepat, dan langsung lenyap dari pandangan 
mata. Begitu cepatnya dia melesat, seolah-olah 
tenggelam masuk ke dalam bumi, tidak bisa lagi 
diketahui ke mana arah perginya. Ki Rakonta dan 
yang lainnya langsung saling melempar pandang. Apa 
yang mereka khawatirkan selama ini, sekarang sudah 
menjadi kenyataan. Raja Kera Iblis, yang selama ini 
menjadi dongeng sejak puluhan tahun yang lalu, 
sekarang benar-benar muncul. Dan, kemunculannya 
ini sudah pasti merupakan malapetaka besar bagi 
kelangsungan hidup penduduk Desa Weling. 
*** 
“Dia benar-benar sudah muncul. Apa yang harus 
kita lakukan sekarang, Ki...?” desah Ki Ampar, 
seakan-akan bicara pada dirinya sendiri. 
Ki Rakonta hanya diam membisu. Perlahan dia 
menarik napasnya dalam-dalam, lalu menghembus-
kannya kuat-kuat. Memang tidak mudah menjawab 
pertanyaan Ki Ampar barusan. Dia sendiri tidak tahu 
lagi, apa yang harus dilakukan sekarang ini. Raja Kera 
Iblis benar-benar ada dan sudah muncul. Dan mereka 
semua tahu, apa yang dikehendaki raja iblis dari

dasar neraka itu. 
Tak ada seorang pun yang bisa menentang 
kehendak Raja Kera Iblis, kecuali yang memang 
benar-benar ingin mati secara mudah. Mereka semua 
menyadari, tidak mungkin melawan makhluk kera 
raksasa yang sangat sakti dan digdaya itu. Tidak ada 
seorang pun yang bisa menandingi kesaktiannya, 
yang tidak jauh berbeda dengan iblis penghuni dasar 
neraka. Dia bisa berbuat apa saja, semudah mem-
balikkan telapak tangan. Apa pun yang di-
kehendakinya tidak bisa lagi ditolak. Semuanya harus 
dituruti jika mereka masih ingin melihat matahari 
esok pagi. Hal ini membuat Ki Rakonta begitu gelisah. 
Dia menyadari bahwa dirinya benar-benar tidak 
berani menentang kehendak Raja Kera iblis, apalagi 
melawannya. 
“Kita tidak mungkin memenuhi kehendak hati 
iblisnya itu, Ki. Aku tidak bisa melihat mereka yang 
tidak berdosa sama sekali menjadi korban ke-
buasannya,” desis Ki Bantur, geram. 
“Meskipun kita berempat menghadapinya 
sekaligus, tidak akan mungkin kita bisa mengalah-
kannya. Malah dia bisa membunuh kita dengan 
mudah,” kata Ki Rakonta, perlahan sekali. 
“Tapi, Ki...,” ucapan Ki Bantur terputus. 
“Kita memang tidak begitu saja menyerah. Paling 
tidak, kita harus menyelamatkan seluruh penduduk 
dari keangkaramurkaan Raja Kera Iblis. Aku minta, 
kalian mencari cara terbaik untuk menyelamatkan 
mereka. Kita semua bertanggung jawab atas nyawa 
dan keselamatan mereka,” kata Ki Rakonta, tegas. 
“Apa yang akan lata lakukan, Ki? Sekarang saja 
sudah jatuh satu korban,” selak Ki Suta, yang sejak 
tadi hanya diam mendengarkan.

“Hm....” 
Ki Rakonta hanya menggumam perlahan. Dia 
melirik sedikit pada mayat laki-laki tua yang masih 
menggeletak di dekat ujung tangga beranda rumah-
nya. Sungguh mengerikan keadaan mayat itu. Seluruh 
tubuhnya tercabik. Leher dan dadanya berlubang 
begitu besar. Bahkan, seluruh isi rongga dadanya 
sudah lenyap. Dan, tak terlihat setetes darah pun 
yang melekat 
“Kalian kenal dengan orang itu?” tanya Ki Rakonta 
sambil menunjuk mayat laki-laki yang menggeletak di 
dekat tangga beranda rumahnya. 
“Dia si Penjarah Hutan, Ki. Sehari-hari pekerjaan-
nya mencari kayu bakar dan berburu,” sahut Ki Suta, 
yang mengenali mayat laki-laki tua itu. 
“Dia penduduk desa ini?” tanya Ki Rakonta lagi. 
“Benar, Ki. Dia mempunyai cucu perempuan yang 
masih berusia sepuluh tahun. Tidak ada lagi sanak 
keluarganya di desa ini. Dia hanya hidup berdua 
dengan cucunya,” jelas Ki Suta. 
“Ki Suta, sebaiknya kau urus saja mayat itu. 
Antarkan ke rumahnya dan kubur sebagaimana 
biasanya. Nanti aku pikirkan bagaimana caranya 
menyelamatkan seluruh penduduk desa ini,” perinlah 
Ki Rakonta dengan tegas. 
“Baik, Ki,” sahut Ki Suta. Tanpa diperintah dua 
kali, Ki Suta segera rgegas mengambil dua ekor kuda 
dari samping rumah. Dinaikkannya mayat laki-laki tua 
yang dikenalinya sebagai si Penjarah Hutan itu ke 
atas punggung kuda. Kemudian dia sendiri melompat 
naik ke atas punggung kuda satunya lagi. Setelah 
mengangguk sedikit ke arah Ki Rakonta, laki-laki tua 
berjubah putih yang memegang tameng baja ber-
warna keperakan itu segera menggebah kudanya.

Ki Rakonta kemudian mengajak pemuka desa 
vang lainnya masuk kembali ke dalam beranda 
rumahnya. Mereka duduk di tengah-tengah beranda 
dengan alas selembar tikar anyaman daun pandan. 
Cukup lama juga mereka berdiam diri. Beberapa kali 
terdengar tarikan napas yang panjang dan berat. 
“Dia sudah datang. Besok malam dia pasti datang 
lagi untuk mengambil pesanannya,” desah Ki Rakonta 
perlahan, hampir tidak terdengar. 
“Kita tidak mungkin memberikannya, Ki,” kata Ki 
Ampar. 
“Yaaah..., itu juga yang aku tidak inginkan, Ki 
Ampar. Aku tidak ingin mengorbankan pendudukku 
sendiri.” 
“Ki, apa tidak sebaiknya kita ungsikan saja seluruh 
penduduk malam ini juga?” usul Ki Bantur tiba-tiba. 
“Maksudmu...?” tanya Ki Rakonta tidak mengerti. 
“Kita kosongkan desa ini, Ki. Kita cari tempat yang 
jauh dari Gunung Weling. Dan kita dirikan desa baru. 
Aku rasa, masih banyak tempat yang bisa dibuka 
untuk dijadikan desa baru,” ujar Ki Bantur, mencoba 
menjelaskan usulnya tadi. 
“Ke mana kita pergi?” selak Ki Ampar. 
“Benar, Ki Bantur. Ke manapun kita pergi, Raja 
Kera Iblis pasti bisa tahu dengan cepat Dia bukan 
makhluk biasa. Dia raja segala iblis dari dasar neraka. 
Tidak mudah menghindarinya, terlebih lagi melawan-
nya. Kita semua bisa mati konyol,” ujar Ki Rakonta. 
“Hhh..., memang sulit juga. Kita ini seperti berada 
di ujung tanduk,” desah Ki Bantur, perlahan. 
“Ki, bagaimana kalau kita coba menentangnya...?” 
selak Ki Ampar tiba-tiba. 
“Jangan berpikiran sempit, Ki. Tidak ada yang bisa 
kita andalkan untuk melawannya. Apa kekuatan kita

untuk menghadapi Raja Kera Iblis...?” kata Ki 
Rakonta, sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. 
“Tapi kita tidak boleh tinggal diam begitu saja, Ki. 
Dia sudah datang ke sini dan memberi peringatan. Itu 
tidak bisa dianggap main-main lagi. Besok dia pasti 
datang lagi untuk mengambil korban. Dan, tiap hari 
dia akan mengambil korban sampai semua orang di 
desa ini habis. Apa kita tega melihat mereka yang 
tidak tahu apa-apa harus menjadi korban iblis itu...? 
Tidak, Ki! Aku tidak rela...!” seru Ki Ampar agak keras. 
“Lalu, apa yang akan kau lakukan?” tanya Ki 
Rakonta. 
“Aku akan menantangnya bertarung, Ki,” sahut Ki 
Ampar, tegas. 
“Ha ha ha...!” 
“Oh...?!” 
“Hah...?!” 
Mereka terkejut setengah mati ketika tiba-tiba 
terdengar tawa yang begitu keras menggema seperti 
datang dari segala penjuru mata angin. Ketiga laki-
laki tua yang tengah duduk di beranda rumah itu pun 
saling melempar pandang. Dan belum juga ida yang 
membuka suara, tiba-tiba.... 
***
TIGA

Ki Rakonta, Ki Ampar, dan Ki Bantur terkejut 
setengah mati ketika tiba-riba terdengar tawa yang 
begitu keras menggelegar, tepat di saat Ki Ampar 
baru selesai mengucapkan tantangannya kepada 
Raja Kera Iblis. Dan pada saat tawa itu menghilang 
dari pendengaran, tiba-tiba saja... 
Clrasss! 
Secercah cahaya kilat menyambar dan membelah 
angkasa kelam yang terselimut gumpalan tebal awan 
hitam. Di antara kilatan cahaya terang yang hanya 
sesaat itu, terlihat sesosok tubuh tinggi besar dan 
berbulu hitam berdiri tegak di tengah-tengah halaman 
depan rumah kepala desa itu. Kemunculan sosok 
tinggi besar bagai raksasa ini tentu saja membuat 
ketiga orang tua yang berada di beranda itu terkejut 
setengah mati. Sungguh mereka tidak tahu, kapan 
dan bagaimana makhluk tinggi besar berbulu hitam 
yang diketahui sebagai Raja Kera Iblis itu sudah 
berdiri tegak di tengah-tengah halaman rumah. 
“Siapa yang menantangku? Cepat ke sini...!” 
bentak Raja Kera Iblis, keras. 
Ki Rakonta dan Ki Bantur langsung menatap Ki 
Ampar. Sinar mata mereka memancarkan penyesalan 
terhadap sikap Ki Ampar, yang begitu sembrononya 
mengucapkan kata-kata tantangan. Tentu saja 
tantangan itu bisa didengar oleh Raja Kera Iblis, 
walaupun mereka tidak tahu, di mana makhluk kera 
raksasa itu berada. 
“Hup...!”

Tiba-tiba Ki Ampar melompat ke luar dengan 
mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya. Begitu 
indah dan ringan gerakannya, sehingga dalam 
sekejap dia sudah berdiri sekitar tiga batang tombak 
lagi di depan Raja Kera Iblis. Sementara itu, Ki 
Rakonta dan Ki Bantur juga bergegas keluar dari 
beranda. Namun, mereka tertahan sekitar beberapa 
langkah di depan tangga beranda depan. 
“Kau yang hendak menantangku rupanya, 
heh...?.'“ ujar Raja Kera Iblis, lantang. 
“Ya, aku yang menantangmu bertarung! Aku tidak 
akan membiarkan kau membantai semua orang di 
desa ini!” tegas Ki Ampar. 
Dari raut wajah dan sorot matanya, tampak tidak 
ada lagi kegentaran sedikit pun terselip di hati Ki 
Ampar. Dia benar-benar sudah bertekad menantang 
Raja Kera Iblis, walaupun tahu apa akibatnya yang 
akan terjadi pada dirinya nanti. Dia sesungguhnya 
memang sadar bahwa kepandaian yang dimilikianya 
tidak ada artinya dibanding kesaktian makhluk ber-
hati iblis ini. 
Perlahan-lahan Ki Ampar menggeser kakinya ke 
kanan beberapa langkah. Direntangkan cambuknya 
yang berbulu halus. Sorot matanya begitu tajam dan 
rahangnya terkatup rapat. Sedangkan makhluk tinggi 
besar berbulu hitam yang hanya mengenakan celana 
merah sebatas lutut itu hanya diam memperhatikan 
setiap gerakan yang dilakukannya. 
“Hiyaaa...!” 
Ctar! 
Tiba-tiba Ki Ampar mengecutkan cambuknya 
dengan keras sekali ke depan. Begitu tinggi tenaga 
dalam yang dikerahkannya, sehingga ujung cambuk 
yang berbentuk bola kecil berduri tajam itu

mengeluarkan percikan bunga api yang langsung 
menyebar ke seluruh tubuh Raja Kera Iblis. 
“Hep!” 
Namun, tanpa diduga sama sekali, makhluk ber-
tubuh tinggi besar dan berbulu hitam itu menge-
butkan tangan kanannya ke depan. Tindakan Raja 
Kera Iblis itu membuat Ki Ampar terperanjat setengah 
mati. Buru-buru cambuknya ditarik kembali. 
“Hup!” 
Bergegas pula laki-laki tua berjubah putih itu 
melompat ke belakang, hingga sambaran tangan. 
kanan Raja Kera Iblis tidak sampai menyambar ujung 
cambuknya. Tapi, tanpa diduga sama sekali, tiba-
tiba.... 
“Ghraaagkh...!” 
Derrr! 
“Hoooh...!” 
Ki Ampar terkejut setengah mati ketika tiba-tiba 
Raja Kera Iblis menghentakkan kakinya ke tanah. 
Seketika itu juga bumi yang mereka pijak bergetar 
begitu hebat Dan.... 
“Heh...!” 
Ki Ampar terbeliak setengah mati begitu melihat 
tiba-tiba tanah di depannya terbelah. “Hup...!” 
Buru-buru tubuhnya dilentingkan ke udara. Dan, 
dilakukannya beberapa kali putaran. Namun, pada 
saat yang bersamaan, Raja Kera Iblis juga melesat 
mengejarnya ke udara. Secepat kilat pula dilepaskan-
nya satu pukulan keras yang diarahkan ke dada laki-
laki tua berjubah putih itu. 
“Hap! Yeaaah...!” 
Ctar! 
“Aaargkh...!'; 
Raja Kera Iblis menggerung dahsyat begitu ujung

cambuk Ki Ampar menghantam pergelangan tangan-
nya. Cepat-cepat dia melentingkan tubuhnya ke 
belakang, berputaran beberapa kali, lalu menjejakkan 
kakinya kembali dengan ringan sekali di tanah. 
Meskipun tubuhnya begitu tinggi dan besar, tampak 
gerakannya sangat ringan. 
“Ghreaaah...!” 
Secepat itu pula Raja Kera Iblis menghentakkan 
tangan kanannya ke atas, tepat mengarah ke tubuh 
Ki Ampar yang masih berjumpalitan di udara. Dari 
telapak tangan itu tiba-tiba melesat bulatan merah 
sebesar kepalan bayi yang memancarkan api. Bola 
api itu meluncur deras ke arah Ki Ampar. 
“Hiyaaa...!” 
Ctar! 
Kembali Ki Ampar mengecutkan cambuknya yang 
terkenal ampuh. Ujung cambuk itu langsung meng-
hantam bola api yang meluncur cepat ke arahnya. 
Glarrr! 
Ledakan keras menggelegar yang begitu dahsyat 
seketika terdengar memecah keheningan malam, 
saat ujung cambuk yang berbandul bola besi baja 
kecil berduri itu menghantam bola api yang dilepas-
kan Raja Kera IbHs. 
“Hup!” 
Ki Ampar cepat-cepat melentingkan tubuhnya ke 
belakang. Dan, dengan manis sekali kakinya 
dijejakkan kembali di tanah. Namun, baru saja kedua 
kakinya menyentuh tanah, mendadak Raja Kera Iblis 
sudah menghentakkan kedua tangannya ke depan 
dengan cepat dan bergantian beberapa kali. 
“Ghruaaaghk...!” 
Siap!

*** 
Ki Ampar harus berjumpalitan lagi di udara. 
Dihindarinya bola-bola api yang meluncur deras ke 
arahnya. Ledakan keras menggelegar terdengar 
beberapa kali dan saling susul begitu bola-bola api itu 
menghantam tanah dan pepohonan. Malam yang 
semula gelap gulita pun menjadi terang benderang 
oleh cahaya api yang timbul dari bola-bola api yang 
membakar pepohonan. 
Pertarungan itu memang sungguh dahsyat. 
Masing-masing mencoba menjatuhkan lawannya. 
Entah sudah berapa jurus yang sudah dikeluarkan Ki 
Ampar, tapi masih belum juga bisa mendesak Raja 
Kera Iblis. Bahkan, semakin lama pertarungan itu 
berlangsung, Ki Ampar semakin kewalahan meng-
hadapi serangan-serangan yang dilancarkan makhluk 
kera raksasa itu. Meskipun tubuhnya sangat besar, 
namun gerakan-gerakan yang dilakukan Raja Kera 
Iblis sungguh cepat dan ringan. 
“Ghraugkh...!” 
Tiba-tiba Raja Kera Iblis menggerung dahsyat 
eketika itu juga, tubuhnya dilentingkan ke atas 
dengan cepat sekali. Secepat kilat pula kaki kanan-
nya dihentakkan ke depan, tepat mengarah ke dada 
Ki Ampar. Begitu cepatnya serangan itu, sehingga Ki 
Ampar tidak dapat lagi berkelit menghindar, terlebih 
lagi, padak saat itu dia baru saja menghindari satu 
pukulan keras menggeledek yang ditenarkan makhluk 
kera raksasa ini. Dan... 
Bugkh! 
“Aaakh...!” 
Ki Ampar menjerit keras melengking tinggi. 
Tubuhnya terpental deras ke belakang. Sebatang

pohon yang berdiri tidak jauh di belakangnya seketika 
hancur berkeping-keping terlanda tubuh laki-laki tua 
berjubah putih itu. Begitu kerasnya dia erbanting ke 
tanah, hingga mengeluarkan pekikan keras agak 
tertahan. Beberapa kali Ki Ampar bergulingan di 
tanah. 
“Hoeeek...!” 
Segumpal darah kental agak kehitaman terlontar 
dari mulut Ki Ampar ketika dia mencoba bangkit 
meskipun tubuhnya terhuyung-huyung dan dadanya 
terasa begitu sesak, Ki Ampar tetap mencoba bangkit. 
Dan, begitu dia bisa berdiri dengan tubuh terhuyung, 
mendadak saja.... 
“Ghraaagkh...!” 
Wusss! Bugkh! 
“Aaakh...!” 
Lagi-lagi Ki Ampar menjerit keras dan terpental ke 
belakang. Dengan kecepatan bagai kilat Raja Kera 
Iblis kembali melepaskan satu tendangan keras 
menggeledek sambil melompat ke udara, dan tepat 
menghantam dada laki-laki tua itu. 
Dan belum juga tubuh Ki Ampar mencapai tanah, 
Raja Kera Iblis sudah memberikan satu pukulan 
keras dengan tangan kanannya. Pukulan itu tepat 
menghantam kepala Ki Ampar. Laki-laki tua itu pun 
kembali menjerit melengking tinggi. Terdengar suara 
berderak dari kepala yang pecah terkena pukulan 
keras bertenaga dalam tinggi. 
Bruk! 
“Ohhh...!” 
Ki Ampar menggelepar di tanah sambil mengerang 
lirih. Darah bercucuran deras dari kepalanya yang 
pecah. Dari mulutnya pun mengalir darah kental agak 
kehitaman. Sementara Ku, Raja Kera Iblis sudah

berdiri dekat di samping tubuh laki-laki tua berjubah 
putih itu. Tiba-tiba.... 
Jlegkh! 
“Aaakh...!” 
Ki Ampar berkelojotan begitu kaki kanan Raja Kera 
Iblis yang berukuran sangat besar itu menjejak 
dadanya. Darah langsung muncrat dari mulutnya. 
Sebentar tubuhnya berkelojotan, kemudian diam tak 
bergerak lagi. Begitu Raja Kera Iblis mengangkat 
kakinya, tampak dada Ki Ampar sudah gepeng seperti 
tertindih sebongkah batu yang amat berat. 
“Ghrrr! Ha ha ha...!” 
Slap! 
Cepat sekali Raja Kera Iblis melesat pergi. Dan, 
dalam sekejap dia sudah lenyap dari pandangan. 
Sementara, Ki Rakonta dan Ki Bantur yang sejak tadi 
diam saja memperhatikan pertarungan itu, tergegas 
menghampiri Ki Ampar yang sudah menggeletak tak 
bernyawa lagi. Kepala Ki Ampar tampak pecah dan 
dadanya remuk akibat jejakan kaki Raja Kera Iblis 
yang berukuran sangat besar itu. 
“Kejam...,” desis Ki Rakonta, hampir tidak sanggup 
melihat keadaan Ki Ampar. 
Ki Bantur hanya diam memandangi mayat Ki 
Ampar yang sungguh mengenaskan itu. Gerahamnya 
terdengar bergemeletuk menahan geram. Dadanya 
bergemuruh, tapi tidak mampu berbuat sesuatu. 
Meskipun kemarahannya sudah memuncak sampai 
ke batas dada, dia harus berpikir seribu kali jika mau 
berbuat nekat seperti Ki Ampar yang menantang Raja 
Kera Iblis tadi. 
***

Seluruh penduduk Desa Weling benar-benar 
dicekam perasaan takut Peristiwa terbunuhnya Ki 
Ampar semalam membuat mereka diliputi ke-
gelisahan dan ketakutan yang tak bisa dilukiskan lagi 
dengan kata-kata. Terlebih lagi, mereka sudah sering 
mendengar cerita tentang Raja Kera Iblis, yang 
selama ini dianggap sebagai dongeng belaka. Dan 
sekarang, tokoh sakti yang sangat kejam itu benar-
benar muncul menjadi kenyataan. Bahkan, sudah 
mengambil dua korban dalam kemunculannya 
pertama kali. 
Seluruh penduduk tahu bahwa Ki Ampar bukanlah 
orang sembarangan. Mereka pun tahu bahwa Ki 
Ampar memiliki tingkat kepandaian yang tinggi. Tapi, 
ternyata dia bisa dikalahkan oleh Raja Kera Iblis. 
Bahkan, dia ditewaskan dengan cara yang begitu keji, 
walaupun lewat pertarungan yang sangat jujur. 
Peristiwa ini memang cepat sekali tersebar, meskipun 
baru terjadi semalam. 
Kemunculan Raja Kera Iblis membuat seluruh 
penduduk Desa Weling tidak berani keluar dari 
rumahnya. Meskipun sekarang ini matahari sudah 
naik cukup tinggi, keadaan desa itu terlihat masih 
begitu sunyi. Tak ada seorang pun yang terlihat 
berada di luar rumahnya. Bahkan, jalan yang mem-
belah desa itu pun tampak sangat sunyi. Desa Weling 
benar-benar bagaikan sebuah desa mati yang tidak 
berpenghuni lagi. 
Dalam kesunyian itu, terlihat seorang laki-laki tua 
bertubuh kurus kering dan tidak mengenakan baju 
berjalan tertatih-tatih di bawah teriknya sang mentari. 
Dia hanya mengenakan celana merah sebatas lutut 
Tampak dia terus melangkah menyusuri jalan tanah 
yang berdebu, seakan-akan tidak peduli dengan

panasnya sengatan sinar matahari pada kulit 
tubuhnya yang kering dan hitam legam. Dia kemudian 
berhenti di depan sebuah rumah yang pintu dan 
jendelanya tertutup rapat. 
Tok, tok, tok...! 
Jari-jari tangannya yang kurus kering seperti hanya 
tulang terbalut kulit itu mengetuk pintu yang terbuat 
dari kayu yang sudah rapuh. Tak ada jawaban sedikit 
pun. Dia pun mengetuk lagi lebih keras. Dan tidak 
lama kemudian, terdengar langkah kaki yang terseret 
dari dalam. 
“Siapa...?” terdengar suara agak serak dari Salam 
rumah berukuran kecil ini. 
“Aku...!” sahut laki-laki tua itu. 
Perlahan pintu terbuka sedikit Dan, dari balik 
pintal kayu yang sudah rapuh itu muncul seorang 
wanita tua berusia lebih dari tujuh puluh tahun. 
“Oh...! Siapa kau, Ki?” tanya wanita tua itu, yang 
tampak agak terkejut melihat laki-laki yang sebaya 
dengannya berada di depan pintu rumahnya. 
Laki-laki tua itu tidak menjawab sedikit pun. 
Perlahan dia mengangkat kepalanya. Sepasang bola 
matanya terlihat merah menyala, bagai sepasang 
bola api. Dan, perlahan bibirnya bergerak membentuk 
sebuah seringai, seakan-akan ingin memperlihatkan 
baris-baris giginya yang bertaring sangat runcing. 
“Oh...?!” 
“Ghrrr...!” 
Bettt! 
Tiba-tiba laki-laki tua itu mengebutkan tangannya 
ke depan. Dan.... 
Brak! 
“Akh...!” pekik perempuan tua itu. 
Sekali hentak saja, pintu kayu itu hancur ber

keping-keping. Dan, sebelum perempuan tua itu 
menyadari siapa yang berada di hadapannya, tiba-tiba 
laki-laki tua itu sudah melompat masuk ke dalam. 
Secepat itu pula, tiba-tiba tubuhnya yang kurus kering 
langsung berubah. 
“Oh...?!” 
“Ghraaagkh...!” 
Bret! 
“Aaakh...!” 
Bagaikan kilat, tangan kurus kering yang berubah 
menjadi besar dan berbulu hitam itu mengibas dan 
langsung menyambar leher perempuan tua itu. 
Sungguh cepat gerakannya. Dan tahu-tahu leher 
perempuan tua itu sudah terpenggal, seperti dibabat 
sebilah pedang yang amat tajam. Kepala perempuan 
tua itu pun terpental, lalu jauh bergulingan di lantai 
tanah rumah ini. “ 
Ghrrr...!” 
Melihat darah yang muncrat dari leher tak 
berkepala itu, sinar mata makhluk bertubuh tinggi . 
besar dan berbulu hitam itu tampak berbinar-binar. 
Cepat-cepat tubuh yang sudah menggeletak di tanah 
itu diterkamnya. Lalu, dengan kuku-kuku jari tangan-
nya yang tajam dan runcing, dicabik-cabik-nya dada 
perempuan tua itu hingga berlubang besar. 
Lalu sambil menggerung-gerung, dikeluarkannya 
jantung di dalam dada itu. Dan langsung dikunyah-
nya. Dan setelah puas, darah yang bercucuran itu 
dihirupnya dengan rakus sekali. 
“Ghrrr...!” 
Tidak berapa lama, makhluk berbentuk kera 
raksasa itu sudah menguras habis darah yang 
bercucuran dari tubuh perempuan tua ini. Tak ada 
lagi setetes darah pun yang tersisa. Namun, sama

sekati dia tidak tahu, semua perbuatannya diawasi 
oleh sepasang mata bersimbah air bening yang 
bersembunyi di balik sebuah pintu yang sedikit 
terbuka. 
“Ghraaaugkh...!” 
Setelah puas menghisap darah korbannya, 
makhluk kera raksasa berbulu hitam itu langsung 
melesat keluar dengan cepat sekali. Dan dalam 
sekejap bayangannya sudah lenyap tak terlihat lagi 
Tinggallah kini tubuh korbannya yang sudah tercabik 
hancur dengan darah tak tersisa sedikit pun. 
“Nek...!” 
Saat itu, dari balik pintu sebuah kamar, keluar 
seorang bocah laki-laki berusia sekitar sepuluh tahun. 
Bocah kecil itu langsung menghambur dan memeluk 
tubuh perempuan tua itu sambil menangis 
sesenggukan. Tidak dipedulikannya kalau tubuh tua 
yang dipeluknya sudah hancur dan tak berkepala lagi. 
***

EMPAT

“Iblis...! Ini benar-benar sudah keterlaluan!” desis Ki 
Rakonta geram setengah mati. Matanya tidak ber-
kedip memandangi mayat perempuan tua yang 
tubuhnya hancur dan kepalanya buntung itu. 
Di sudut ruangan depan rumah kecil ini, terlihat Ki 
Bantur duduk di kursi kayu, sambil memangku bocah 
berusia sepuluh tahun yang menangis sesenggukan 
menyembunyikan kepala di dada laki-laki tua itu. 
Sedangkan Ki Suta tampak sibuk membereskan 
mayat perempuan tua itu, dibantu beberapa pemuda 
Desa Weling. 
Saat Ki Suta selesai membereskan mayat 
perempuan tua itu, Ki Bantur bangkit dari kursi yang 
didudukinya. Diserahkannya bocah kecil itu kepada 
seorang perempuan separuh baya yang berada dekat 
dengannya. Kemudian kakinya melangkah meng-
hampiri Ki Rakonta, yang masih tetap berdiri di depan 
jendela dengan pandangan tertuju langsung ke luar. 
Terlihat di sekitar rumah kecil ini masih banyak orang 
yang ingin mengetahui peristiwa yang terjadi. Ki 
Bantur kini berdiri di samping Kepala Desa Weling. 
“Anak itu melihat semua kejadiannya, Ki,” kata Ki 
Bantur, dengan suara yang terdengar berbisik. 
Ki Rakonta hanya menggumam perlahan, sambil 
melirik pada bocah laki-laki yang kini berada dalam 
pangkuan seorang perempuan setengah baya. Bocah 
itu masih menangis sesenggukan. Perempuan 
setengah baya itu pun kerepotan mendiamkannya. Ki 
Rakonta kembali mengarahkan pandangannya ke

luar. 
“Apa katanya?” tanya Ki Rakonta, dengan suara 
yang juga perlahan. 
“Katanya, semalam datang laki-laki tua, yang 
kemudian berubah menjadi makhluk raksasa yang 
mengerikan,” sahut Ki Bantur. 
“Hm..., rupanya dia sudah mulai mengubah dirinya 
untuk mencari korban,” gumam Ki Rakonta, seperti 
bicara pada dirinya sendiri. 
“Apa itu berarti dia tidak perlu lagi menekan kita 
untuk menyediakan korban, Ki?” tanya Ki Bantur. 
“Kau benar, Ki Bantur. Dia sudah tidak sabar dan 
sekarang mencari korbannya sendiri dengan meng-
ubah dirinya. Itu berarti kita akan menghadapi 
kesulitan yang lebih besar lagi. Kita tidak tahu lagi, 
kapan kemunculannya tiba. Bahkan dia bisa saja 
berada di antara orang-orang kita,” sahut Ki Rakonta. 
“Terlalu berbahaya bagi kita semua kalau begitu, 
Ki. Desa ini seringkah dimasuki para pendatang. Kita 
tidak mungkin mencurigai mereka yang datang ke 
sini, Ki. Lagi pula, tidak semua orang di desa ini kita 
kenali satu persatu,” kata Ki Bantur, langsung bisa 
membaca kesulitan yang bakal dihadapi. 
Seluruh penduduk desa ini benar-benar sudah 
terancam keselamatannya. Raja Kera Iblis tidak akan 
berhenti sebelum seluruh penduduk habis menjadi 
korbannya. Dia akan terus mencari manusia untuk 
dijadikan korban. Bahkan, bukan tidak mungkin, 
kemunculannya akan dimanfaatkan oleh orang-orang 
rimba persilatan yang beraliran hitam. Mereka akan 
menyembah dan mendapatkan perlindungan, dengan 
imbalan mencarikan manusia untuk santapan iblis 
raksasa berbentuk kera itu. Dunia pun terancam 
kehancuran kalau hal ini benar-benar terjadi.

Di saat kedua orang tua itu terdiam, tiba-tiba.... 
Glarrr...! 
“Heh...?!” 
“Hah...?!” 
Bukan hanya Ki Rakonta dan Ki Bantur yang 
terkejut ketika tiba-tiba terdengar ledakan keras 
menggelegar yang begitu dahsyat. Semua orang yang 
memadati rumah ini juga tersentak kaget setengah 
mati. Seketika itu juga, mereka yang berada di sekitar 
rumah ini berhamburan sambil berteriak-teriak panik. 
Suasana pun seketika menjadi gaduh. 
Ki Suta yang sedang mengurus mayat perempuan 
tua di rumah ini juga langsung menghentikan peker-
jaannya. Dia cepat melompat mendekati Ki Rakonta 
dan Ki Bantur yang masih berdiri di depan jendela. 
Sementara itu, semua orang yang berada di luar 
sebentar saja sudah menghilang ke dalam rumah 
masing-masing. Suasana gaduh pun seketika lenyap. 
Keadaan pun jadi begitu sunyi. Saat itu.... 
Glarrr...! 
Kembali terdengar ledakan yang begitu keras dan 
dahsyat Jelas sekali ledakan itu datang dari sebelah 
Timur lereng Gunung Weling. 
“Ki Suta, kau tetap di sini. Aku dan Ki Bantur akan 
melihat ledakan itu,” kata Ki Rakonta. 
“Baik, Ki,” sahut Ki Suta. 
Bagaikan kilat Ki Rakonta dan Ki Bantur melesat 
melalui jendela yang sejak tadi terbuka lebar. 
Sementara itu Ki Suta bergegas menutup jendela dan 
pintu rumah ini. Sekilas dia melirik pada beberapa 
orang yang masih berada di dalam rumah. Mereka 
tidak berani keluar untuk kembali ke rumah masing-
masing. Mereka juga memandangi Ki Suta, seakan-
akan meminta perlindungan dari laki-laki tua yang

mengenakan jubah putih itu. 
“Kalian tetap saja di sini sampai Ki Rakonta dan Ki 
Bantur kembali,” kata Ki Suta. 
Semua orang yang berada di dalam rumah ha-iya 
mengangguk. Tak ada seorang pun yang 
mengeluarkan suara. Sedangkan Ki Suta kembali 
nengurus mayat perempuan tua pemilik rumah ini, 
«bantu empat orang pemuda. 
Ki Rakonta dan Ki Bantur terus berlari cepat 
mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah 
mencapai tingkat tinggi. Tingkat kepandaian mereka 
setara, sehingga keduanya selalu tampak ber-
dampingan tanpa saling mendahului. Mereka menuju 
arah sebelah Timur lereng Gunung Weling. Beberapa 
kali masih terdengar ledakan, yang semakin keras 
memekakkan telinga. 
“Ki, lihat..!” seru Ki Bantur sambil menunjuk ke 
sebuah padang rumput yang berada di lereng Gunung 
Weling sebelah Timur. 
“Oh.,.,” desah Ki Rakonta. 
Mereka bergegas ke padang rumput yang tidak 
begitu besar itu. Tampak di sana, seorang pemuda 
berbaju kulit harimau tengah bertarung sengit me-
lawan sesosok makhluk, bertubuh tinggi besar dan 
berbulu kehitaman. Wajah makhluk itu begitu 
mengerikan, mirip seekor kera. Dan, dia hanya 
mengenakan celana warna merah sebatas lutut Tidak 
jauh dari situ, terlihat seorang gadis cantik berbaju 
merah muda sedang memperhatikan jalannya per-
tarungan itu. Tampak pula seekor monyet kecil ber-
bulu hitam di samping kanan gadis itu, yang berpaling 
begitu Ki Rakonta dan Ki Bantur sampai di padang 
rumput lereng-Gunung Weling ini. 
“Nguk...!”

Ki Rakonta agak terkejut begitu melihat gadis 
cantik berbaju merah muda itu. Kemudian pan-
dangannya diarahkan pada pertarungan sengit yang 
sedang berlangsung. Dan, kembali dipandangnya 
gadis cantik yang juga tengah menatapnya. Perlahan 
Ki Rakonta dan Ki Bantur menghampiri gadis itu. Ki 
Rakonta ingat gadis inilah yang datang ke Desa 
Weling tempo hari bersama pemuda berbaju kulit 
harimau, yang kini tengah bertarung melawan 
makhluk kera raksasa yang tak lain dari Raja Kera 
Iblis. Ki Rakonta pun ingat, mereka pernah mem-
perkenalkan diri. Gadis ini bernama Ratna Wulan. 
Dan pemuda yang sedang bertarung itu adalah Bayu, 
yang di kalangan rimba persilatan lebih dikenal ber-
juluk Pendekar Pulau Neraka. 
“Sudah berapa lama mereka bertarung?” tanya Ki 
Rakonta. 
“Belum lama,” sahut Ratna Wulan. 
Ratna Wulan membungkukkan tubuhnya sedikit 
lalu mengangkat Tiren. Monyet kecil m berbulu hitam 
itu langsung memeluk leher yang putih njang ketika 
gadis itu menempatkan di pundaknya. Tampaknya 
Tiren juga mengenali Ki Rakonta. Dan, binatang itu 
terus memandang Ki Rakonta sambil sesekali menge-
luarkan suaranya yang kecil di telinga Ratna Wulan. 
“Kenapa sampai bisa bertarung?” tanya Ki Bantur. 
“Makhluk itu tiba-tiba saja muncul dan langsung 
menyerang,” sahut Ratna Wulan lagi. 
“Anak itu bisa celaka, Ki,” bisik Ki Bantur. 
“Hm...,” gumam Ki Rakonta. 
Kemudian tidak ada yang berbicara lagi. Mereka 
memperhatikan pelannya pertarungan yang semakin 
terlihat sengit itu. Tampak jelas bahwa Bayu masih 
bisa menandingi Raja Kera Iblis. Bahkan, sudah

beberapa kali pukulan Pendekar Pulau Neraka 
mengenai tubuh makhluk berbentuk kera raksasa 
berbulu hitam itu. Tapi, tampaknya Raja Kera Iblis 
benar-benar sulit ditundukkan. Walaupun pukulan 
Pendekar Pulau Neraka mengandung pengerahan 
tenaga dalam tinggi, tetap saja Raja Kera Iblis tidak 
mundur setapak pun, bahkan semakin kelihatan 
ganas. 
“Hiyaaa...!” 
Tiba-tiba Bayu melentingkan tubuhnya ke udara 
dan berjumpalitan beberapa kali ke belakang. 
Dengan gerakan yang indah dan ringan sekali, 
Pendekar Pulau Neraka menjejakkan kakinya kembali 
di tanah sejauh tiga batang tombak dari makhluk kera 
raksasa berbulu hitam pekat itu. 
“Phuih...!” 
“Ghrrr...!” 
Raja Kera Iblis menggerung agak keras. Dan begitu 
dia melompat hendak menerjang pemuda berbaju 
kulit harimau itu, dengan cepat sekali Pendekar Pulau 
Neraka memiringkan tubuhnya ke kiri dengan sedikit 
membungkuk. Lalu, tangan kanannya ditarik hingga 
sejajar dada. Dan.... 
“Hiyaaa...!” 
Sambil berteriak keras menggelegar, Bayu meng-
hentakkan tangan kanannya ke depan, tepat di saat 
Raja Kera Iblis berada di udara dan begitu dekat 
dengannya. Pada saat itu juga, Cakra Maut yang 
berada di pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau 
Neraka melesat cepat bagai kilat 
Wusss! 
Senjata maut 'andalan Pendekar Pulau Neraka 
langsung menghantam dada Raja Kera Iblis yang 
tidak sempat lagi menyadari serangan pemuda ber

baju kulit harimau itu. 
“Aaargh...!” 
Raungan keras terdengar dahsyat menggelegar. 
Seluruh lereng Gunung Weling pun bergentar. Tampak 
Raja Kera Iblis terjatuh ke tanah dan bergulingan 
beberapa kali. Namun, dia cepat melenting dan 
kembali bangkit berdiri. Saat itu pun Bayu meng-
hentakkan tangan kanannya ke atas kepala. Cakra 
Maut berwarna keperakan dan bersegi enam yang 
tertanam di dada Raja Kera Iblis langsung melesat 
balik dan menempel kembali di pergelangan tangan 
kanan Pendekar Pulau Neraka. 
“Ghraaaugkh...!” 
“Hup!” 
Bayu cepat-cepat melompat ke belakang sejauh 
dua batang tombak. Tampak Raja Kera Iblis meraung-
raung keras sambil mengangkat kedua tangannya ke 
atas. Dari dadanya yang berlubang, terlihat darah 
segar bercucuran. Dan, mendadak dia diam sambil 
menatap tajam pada Pendekar Pulau Neraka dengan 
matanya yang merah menyala bagai sepasang bola 
api. 
“Ghrrr...!” 
Siap! 
Tiba-tiba makhluk kera raksasa itu melesat cepat 
bagai kilat. Dan dalam sekejap dia sudah tak terlihat 
lagi, masuk ke dalam hutan di lereng Gunung Weling 
yang,sangat lebat ini. Namun, Bayu sempat melihat 
kalau makhluk kera raksasa yang sangat mengerikan 
itu menuju ke puncak Gunung Weling. 
“Kakang...!” 
“Nguk! Chraaak...!” 
Bayu cepat berpaling saat mendengar suara 
memanggil namanya dari arah belakang. Terdengar

juga seruan nyaring dari seekor monyet kecil. 
Perlahan Bayu memutar tubuhnya berbalik. Dilihatnya 
Ratna Wulan berjalan cepat menghampirinya, diikuti 
dua laki-laki tua yang mengenakan jubah panjang 
berwarna putih bersih. Sedangkan Tiren langsung 
melompat turun dari pundak Ratna Wulan, lalu berlari 
cepat sambil mencerecet menghampiri Pendekar 
Pulau Neraka. 
Tiren langsung melompat begitu Bayu mengulur-
kan tangannya, lalu segera memeluk leher yang 
bersimbah keringat itu. Sedangkan Ratna Wulan, Ki 
Rakonta, dan Ki Bantur terus berjalan cepat 
menghampiri Pendekar Pulau Neraka. 
“Nguk! Nguk...!” 
Bayu tersenyum sambil menepuk-nepuk kaki Tiren 
yang kini sudah nangkring di pundak kanannya. Dia 
seakan-akan bisa mengerti, apa yang dikatakan 
monyet kecil ini. 
“Kau tidak apa-apa, Kakang?” tanya Ratna Wulan, 
sambil merayapi wajah tampan Pendekar Pulau 
Neraka. 
Bayu hanya tersenyum. Pandangannya langsung 
tertuju pada dua orang laki-laki tua berjubah putih 
yang kini juga sudah berada dekat di depannya. 
Sedangkan Ratna Wulan sudah berdiri di samping 
kanan Pendekar Pulau Neraka. Beberapa saat 
mereka terdiam. Mereka memang sudah bertemu 
sebelumnya di Desa Weling, tapi perjumpaan itu tidak 
mengenakkan sekali. Ki Rakonta waktu itu tidak 
menghendaki kehadiran seorang pendatang pun di 
Desa Weling. Sehingga, ketika Bayu dan Ratna Wulan 
datang, mereka langsung diusir begitu saja. Namun, 
hal ini bisa dimaklumi, karena dia harus selalu 
waspada sejak Raja Kera Iblis muncul.

*** 
Sungguh dahsyat akibat yang ditimbulkan 
pertarungan tadi. Tidak sedikit pohon yang tumbang. 
Tanah pun tampak terbongkar terkena pukulan-
pukulan bola api Raja Kera Iblis yang tidak mengenai 
sasaran. Keadaan di lereng Gunung Weling ini seperti 
baru teramuk oleh ratusan gajah. 
“Aku benar-benar kagum. Kau mampu melukai, 
bahkan membuatnya kabur,” ujar Ki Rakonta, 
memecah kekakuan yang terjadi di antara mereka. 
“Tampaknya kau tahu tentang makhluk itu, Ki...?” 
ujar Bayu, agak menggumam. 
Sinar mata Pendekar Pulau Neraka begitu dalam 
dan tertuju langsung ke bola mata laki-laki tua yang 
berada di depannya. Sedangkan Ki Rakonta, yang 
dipandangi seperti itu hanya tersenyum. Dia bisa 
merasakan bahwa pemuda berbaju kulit harimau ini 
menaruh curiga padanya. Hal ini bisa dimaklumi, 
karena pertemuan pertama mereka memang tidak 
mengenakkan. 
“Ya, aku tahu makhluk itu. Bahkan beberapa orang 
penduduk desaku sudah menjadi korbannya,” kata Ki 
Rakonta. 
Tampak jelas bahwa Bayu dan Ratna Wulan ter-
kejut mendengar kata-kata Ki Rakonta barusan. 
Sungguh mereka tidak menyangka, makhluk kera 
raksasa itu sudah menjarah ke Desa Weling dan 
mengambil beberapa korban manusia. Beberapa saat 
keduanya saling melempar pandang. Kemudian 
mereka kembali menatap pada dua orang laki-laki tua 
berjubah putih dari Desa Weling itu. 
“Dia memang bukan makhluk biasa. Dia iblis yang 
datang dari dasar neraka. Setiap kali muncul, dia

selalu menimbulkan bencana yang tidak kecil. Dia 
selalu mencari manusia untuk santapannya,” kata Ki 
Rakonta lagi 
“Santapan...? Maksudmu, Ki?” tanya Ratna Wulan, 
tidak mengerti. 
“Dia selalu membunuh orang hanya untuk meng-
hirup darah dan memakan jantungnya,” jelas Ki 
Rakonta. 
“Oh...,” desah Ratna Wulan panjang. 
Tubuh Ratna Wulan tampak bergidik sedikit. Tidak 
pernah terbayangkan olehnya sama sekali kalau 
makhluk mengerikan berbentuk kera raksasa itu 
adalah makhluk peminum darah dan pemakan 
jantung manusia. Dan sukar juga untuk dibayangkan, 
bagaimana cara makhluk itu menghirup darah dan 
memakan jantung manusia yang menjadi korbannya. 
Pantas kera raksasa itu sangat ganas saat bertarung 
melawan Pendekar Pulau Neraka tadi. Meskipun 
senjata Cakra Maut Pendekar Pulau Neraka berhasil 
melukainya dan membuatnya kabur dari tempat ini. 
Tapi, hal itu bukan berarti Raja Kera Ibtis telah 
jera. Dia pasti akan datang lagi membawa 
malapetaka yang lebih besar. Hal ini sudah bisa 
ditebak Ki Rakonta dan Ki Bantur. Kekalahan kecilnya 
dari Pendekar Pulau Neraka akan membuat Raja 
Kera Iblis semakin bertambah murka. Dan, neraka 
pun akan tersebar di atas permukaan bumi ini. 
“Bagaimana kalau kalian berdua menetap di desa 
kami. Sumbangan tenaga kalian tentu sangat 
diperlukan untuk menghadapi Raja Kera Iblis,” kata 
Ki Rakonta, tanpa sungkan-sungkan lagi. 
Bayu melirik sedikit pada Ratna Wulan. Sedangkan 
gadis itu hanya mengangkat bahu. Tampaknya dia 
menyerahkan keputusan pada Pendekar Pulau

Neraka. 
“Aku tahu, kalian masih sungkan. Maaf atas 
perilaku yang tidak mengenakkan dariku waktu itu,” 
kata Ki Rakonta, yang langsung teringat kalau dia 
pernah tidak mau menerima pendekar-pendekar 
muda ini. 
“Bukan itu masalahnya, Ki. Aku dan Wulan bisa 
memakluminya. Tapi, apa mungkin makhluk itu hanya 
menjarah ke Desa Weling? Aku rasa, masih ada desa-
desa lain di sekitar kaki Gunung Weling ini,” kata 
Bayu cepat-cepat 
“Dia tidak akan meninggalkan satu desa sebelum 
seluruh penduduknya habis,” ujar Ki Rakonta. “Dan 
kebetulan, dia muncul pertama kali di Desa Weling. 
Tidak mungkin dia ke desa lain, karena masih banyak 
penduduk di Desa Weling yang bisa dijadikan 
korbannya.” 
“Tampaknya kau memang tahu banyak tentang 
ala, Ki,” kata Bayu lagi. 
“Memang, cerita tentang Raja Kera Iblis sudah 
tidak asing lagi di Desa Weling. Cerita itu sudah sering 
didengar sejak zaman nenek moyang kami dulu. 
Mungkin sudah ratusan tahun lalu cerita itu sudah 
ada. Selama ini kami memang selalu menganggapnya 
sebagai dongeng belaka. Tapi ternyata Raja Kera Iblis 
benar-benar ada dan sekarang muncul dengan mem-
bawa malapetaka yang tidak mungkin bisa kami 
hadapi sendiri,” jelas Ki Rakonta lagi. 
Lagi-lagi Bayu dan Ratna Wulan saling ber-
pandangan. Mereka benar-benar tidak menyangka 
kalau makhluk kera raksasa yang dijuluki Raja Kera 
iblis itu sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu. 
“Melihat kau bertarung tadi, aku yakin, kau pasti 
mampu menandingi Raja Kera Iblis,” selak Ki Bantur,

yang sejak tadi diam saja. 
“Terus terang, aku sendiri tadi hampir saja tidak 
sanggup menghadapinya. Aku rasa, dia memiliki ilmu 
kebal pada tubuhnya. Semua pukulanku tampak tidak 
ada artinya sama sekali,” kata Bayu, merendah. 
“Tapi kau memiliki senjata yang sanggup melukai-
ya, Anak Muda. Aku yakin, senjatamu itu bisa mem-
bunuhnya pula. Dan, sepanjang yang kutahu, dia 
memang kebal terhadap segala jenis senjata,” ujar Ki 
Rakonta. 
Bayu melirik pada Cakra Maut di pergelangan 
tangan kanannya dengan kening agak berkerut Dia 
sendiri tadi tidak mengerti, kenapa Cakra Maut ini 
berhasil menembus dada makhluk kera raksasa itu. 
Padahal, pukulan-pukulan mautnya yang bertenaga 
dalam tinggi tidak bisa menggoyahkan pertahanan 
makhluk kera raksasa itu. 
Bayu tidak menyadari kalau Cakra Maut miliknya 
adalah senjata pusaka yang sangat langka. Benda 
sekeras apa pun mampu ditembusnya. Senjata 
pusaka peninggalan Eyang Gardika itu memang 
dibuat dari baja putih pilihan yang direndam dengan 
ramu-ramuan yang terdapat di Pulau Neraka. Dan, 
sampai saat ini Bayu pun masih belum bisa mengerti 
sepenuhnya tentang Cakra Maut miliknya itu. 
“Mari, Kisanak, Nini.... Sebaiknya kita ke Desa 
Weling saja. Aku khawatir, dia mengamuk di sana 
sekarang ini,” ajak Ki Rakonta. 
“Nguk...!” 
Malah Tiren yang menyahuti ajakan kepala desa 
itu. Tingkah Tiren yang lucu dan seperti mengerti akan 
semua yang mereka bicarakan barusan, membuat Ki 
Rakonta dan Ki Bantur tersenyum senyum geli di 
dalam hati. Seringkah Tiren menyelak pembicaraan

mereka. Dan tampaknya pula, Bayu bisa memahami 
setiap suara yang dikeluarkan monyet kecil itu. Inilah 
persahabatan yang sangat langka, antara manusia 
dan binatang. Dan yang lebih mengherankan, mereka 
tampak bisa mengerti satu sama lain. 
“Bagaimana, Bayu...?” desak Ki Rakonta. 
Kali ini Bayu dan Ratna Wulan tidak bisa lagi 
menolak. Terlebih lagi, mereka sudah cukup banyak 
mendengar cerita tentang makhluk kera raksasa itu. 
Tanpa ada yang berbicara lagi, mereka kemudian 
melangkah meninggalkan lereng Gunung Weling. Dan 
dalam perjalanan menuju Desa Weling, Ki Rakonta 
dan Ki Bantur secara bergantian menceritakan 
keadaan di desa itu, termasuk mengenai makhluk 
mengerikan yang berjuluk Raja Kera Iblis. Sedangkan 
Bayu dan Ratna Wulan hanya mendengarkan. 
***

LIMA

Dua hari sudah Bayu dan Ratna Wulan berada di 
Desa Weling. Tapi, selama dua hari ini tidak lagi 
mereka bertemu dengan Raja Kera Iblis. Dan, selama 
dua hari ini pula, Ki Rakonta mengungsikan 
penduduknya ke desa-desa lain yang dianggap lebih 
aman. Tindakan Ki Rakonta ini tentu saja membuat 
berita kemunculan Raja Kera Iblis cepat tersebar ke 
desa-desa lain yang berada di sekitar kaki Gunung 
Weling. 
Tidak heran, dalam dua hari saja, banyak 
pendekar dari sekitar kaki Gunung Weling ber-
datangan ke desa ini Desa Weling pun sekarang 
tampak ramai, karena terus-menerus didatangi para 
pendekar yang ingin melenyapkan makhluk kera 
raksasa itu. 
“Cepat sekali berita tentang makhluk kera itu 
tersebar...,” gumam Ratna Wulan perlahan, seperti 
bicara pada dirinya, sendiri. 
Sejak pagi tadi gadis itu berdiri di depan jendela 
ruangan depan rumah Ki Rakonta. Di depan matanya 
kini tampak orang-orang persilatan semakin banyak 
berdatangan ke desa ini. Desa yang semula kelihatan 
sunyi sepi dicekam ketakutan, sekarang berubah 
menjadi ramai. Para pendekar dari rimba persilatan 
itu sengaja datang untuk menjajal ketangguhan Raja 
Kera Iblis. 
“Cerita tentang Raja Kera Iblis memang sudah 
tersebar dan diketahui banyak orang. Bahkan tidak 
sedikit yang sengaja menunggu kemunculannya

hanya untuk menjajal kesaktiannya,” ujar Ki Rakonta. 
“Aku rasa, keadaan ini akan menarik perhatian 
mereka yang bergolongan hitam, Ki,” kata Ratna 
Wulan. 
“Itu sudah pasti, Nini Wulan. Lihat saja, baru dua 
hari sudah terjadi beberapa kali keributan dan 
pertarungan. Bahkan sudah beberapa orang yang 
tewas akibat saling bertarung. Memang, pengaruh 
Raja Kera Iblis sangat luar biasa,” kata Ki Rakonta. 
“Keadaan semakin bertambah parah, Ki,” desah 
Ratna Wulan. 
“Yaaah..., bisa lebih parah lagi kalau Raja Kera 
Iblis tidak segera dienyahkan,” sahut Ki Rakonta, 
yang juga mendesah perlahan. 
Mereka terdiam membisu, sama-sama me-
mandang ke luar melalui jendela yang sengaja dibiar-
kan terbuka. Tak ada orang di dalam ruangan ini 
kecuali mereka berdua. Cukup lama juga mereka 
berdiam diri memandangi orang-orang yang hilir-
mudik memadati jalan yang membelah Desa Weling. 
Di antara orang-orang itu tak terlihat seorang pun 
penduduk desa ini. Mereka semua pendatang, orang-
orang dari kalangan dunia persilatan yang sengaja 
datang ke desa ini hanya untuk bertemu Raja Kera 
Iblis. 
“Tadi Bayu bilang ke mana perginya?” tanya Ki 
Rakonta. 
“Tidak, Ki,” sahut Ratna Wulan. 
“Dengan siapa dia pergi?” 
“Sendiri.” 
“Apa dia selalu begitu? Pergi sendiri tanpa mem-
beritahu ke mana tujuannya, Nini Wulan?” tanya Ki 
Rakonta lagi. 
Ratna Wulan hanya mengangkat bahunya sedikit

Dia sendiri belum begitu mengenal pribadi Pendekar 
Pulau Neraka itu. Dia belum lama ikut berjalan 
bersama-sama. Jadi, belum tahu betul akan watak 
dan kebiasaannya. Dan, tentu saja Ratna Wulan tidak 
bisa menjawab pertanyaan Ki Rakonta tadi. Karena, 
gadis itu sendiri tidak tahu, ke mana Pendekar Pulau 
Neraka pergi. Dia memang tidak bertanya kepada 
Bayu, ke mana tujuannya, ketika pemuda itu ber-
pamitan tadi. 
“Itu dia datang, Ki...!” seru Ratna Wulan sambil 
menunjuk ke luar jendela. 
Ki Rakonta menjulurkan kepalanya, melewati bahu 
gadis ini. Dilihatnya Bayu, yang selalu mengenakan 
baju kulit harimau, berjalan melenggang melintasi 
halaman depan rumah ini. Monyet kecilnya tampak 
berlari-lari kecil mengitari langkah pemuda itu. 
Sebentar saja mereka menunggu, Pendekar Pulau 
Neraka sudah berada di ambang pintu yang sejak tadi 
dibiarkan terbuka lebar. Pemuda berbaju kulit 
harimau itu terus melangkah. Dan, tubuhnya 
dihempaskan di kursi sebelah kanan Ratna Wulan. 
“Nguk...!” 
“Ke sini, Tiren,” kata Ratna Wulan sambil men-
julurkan tangan kanannya. 
“Nguk...!” 
Sekali lompatan saja, monyet kecil itu sudah 
berada di pangkuan Ratna Wulan. Sedangkan Bayu 
masih mengatur napasnya. Dia kelihatan begitu lelah, 
seperti baru melakukan perjalanan yang sangat 
panjang. Keringat pun tampak bercucuran mem-
basahi sekujur tubuhnya. 
Ki Rakonta menghampiri dan menarik kursi ke 
depan Pendekar Pulau Neraka. Kemudian dia duduk 
di sana. Diperhatikannya wajah Bayu yang memerah

bersimbah keringat. 
Dengan punggung tangannya, Pendekar Pulau 
Neraka menyeka keringat yang mengucur membasahi 
lehernya. Dia melirik sedikit pada Ratna Wulan yang 
sejak tadi memperhatikannya. Kini gadis itu sudah 
duduk di sampingnya. 
“Ke mana kau tadi, Kakang?” tanya Ratna Wulan, 
membuka suara lebih dahulu. 
Lembut sekali gadis itu mengelus-elus kepala Tiren 
dengan jari-jari tangannya yang halus dan lentik. 
Sedangkan monyet kecil itu tampak kesenangan. 
Kepalanya direbahkan di dada yang membusung 
indah ini. Dia memang selalu manja bila berdekatan 
dengan wanita, terlebih lagi bila berada di pangkuan 
gadis cantik seperti Ratna Wulan ini. Matanya tampak 
terpejam begitu dinikmatinya kelembutan kulit jari-jari 
tangan yang halus ini. 
“Ke lereng Gunung Weling,” sahut Bayu. 
“Mau apa ke sana?” tanya Ratna Wulan lagi. 
“Nguk...!” 
Tiren lebih dulu menyahuti sebelum Bayu mem-
buka mulutnya. 
“Hanya melihat keadaan.” 
“Lalu, apa yang kau dapatkan di sana?” selak Ki 
Rakonta. 
“Semakin parah, Ki,” sahut Bayu, seraya menatap 
laki-laki tua berjubah putih yang duduk di depannya 
ini. 
“Semakin parah...? Maksudmu?” tanya Ki 
Rakonta. 
“Ya..., kita sekarang tidak hanya menghadapi Raja 
Kera Iblis, tapi juga orang-orang persilatan beraliran 
sesat yang ingin bergabung dengan Raja Kera Iblis. 
Mereka sekarang berkumpul di lereng Gunung

Weling. Mereka tampaknya hendak ke puncak 
gunung menemui Raja Kera Iblis,” jelas Bayu. 
“Bahkan tadi aku sempat bertarung dengan 
mereka....” 
“Jagat Dewa Batara.... Inilah yang aku khawatirkan 
sejak semula,” desah Ki Rakonta, memotong ucapan 
Bayu yang belum selesai. 
Bayu terdiam. Ratna Wulan pun diam saja. Lalu, 
dengan usil, bulu-bulu halus di tubuh Tiren dicabuti-
nya. Monyet kecil itu pun menggelinjang, kemudian 
melompat, berpindah ke pundak Pendekar Pulau 
Neraka. 
“Kalau saja aku tidak gegabah mengungsikan 
penduduk...,” desah Ki Rakonta lagi. 
“Kau tidak perlu menyesal, Ki. Tindakanmu 
mengungsikan penduduk ke tempat yang lebih aman 
itu sangat tepat dan bijaksana,” kata Bayu cepat, 
sebelum Ki Rakonta menyelesaikan kalimatnya. 
“Tapi tindakanku itu malah mengundang mereka, 
Bayu.” 
“Sama sekali tidak benar, Ki. Mereka memang 
sudah tahu sejak semula,” bantah Bayu. 
“Maksudmu...?” tanya Ki Rakonta, yang tampak 
tidak mengerti. 
“Tadi aku sempat mendengar pembicaraan 
mereka yang datang ke sini, Ki. Mereka memang 
sudah melihat tanda-tanda kemunculan Raja Kera 
Iblis. Dan, mereka memang sebenarnya sedang 
mencari, di mana munculnya Raja Kera Iblis. Mereka 
sudah menjelajahi seluruh kaki Gunung Weling ini. 
Dan secara kebetulan, kau mengungsikan penduduk 
ke tempat yang lebih aman pada saat mereka sedang 
menuju ke sini, Ki. Jadi mereka semakin yakin kalau 
Raja Kera Iblis sudah bangkit dan sekarang berada di

sekitar desa ini. Dan itu berarti bukan kesalahanmu 
kalau mereka sekarang berada di sini, Ki,” jelas Bayu 
dengan gamblang. 
“Dongeng itu sekarang telah menjadi kenyataan, 
Bayu. Iblis itu kini semakin kuat. Tidak mungkin kita 
bisa melawannya lagi,” ujar Ki Rakonta, perlahan. 
Lemas seluruh tubuh Ki Rakonta mendengar 
keterangan yang baru dikatakan Bayu tadi. Sungguh 
tidak disangka kalau berita tentang kemunculan Raja 
Kera Iblis demikian cepat tersebar. Bahkan, tokoh-
tokoh golongan hitam sudah mulai berdatangan ke 
puncak Gunung Weling untuk menemui makhluk kera 
raksasa itu. Bergabungnya mereka tentu saja akan 
menambah kekuatan Raja Kera Iblis. Dia bisa 
membentuk sebuah pasukan yang tidak akan 
tertandingi oleh siapa pun. Dia benar-benar akan 
menguasai seluruh mayapada ini, tanpa da seorang 
pun yang mampu lagi melenyapkannya. 
*** 
Keadaan di sekitar kaki Gunung Weling se-nakin 
bertambah buruk. Tokoh persilatan beraliran putih 
kini bukan lagi harus berhadapan dengan Raja Kera 
Iblis. Mereka juga terpaksa harus berhadapan dengan 
tokoh-tokoh persilatan beraliran hitam, yang sudah 
menggabungkan diri dengan makhluk iblis kera 
raksasa itu. 
Tidak hanya di Desa Weling, tokoh-tokoh dunia 
hitam itu pun ternyata sudah mulai menjarah ke desa-
desa lain di sekitar kaki Gunung Weling. Mereka terus 
menculik para penduduk untuk dipersembahkan 
kepara Raja Kera Iblis sebagai korban santapannya. 
Bahkan, Bayu dan Ratna Wulan sendiri sudah

beberapa kali harus bertarung dengan mereka, ketika 
tokoh-tokoh sesat itu hendak menculik penduduk 
Desa Weling. 
“Keadaan semakin memburuk saja, Kakang. Tidak 
ada jalan lain, kita harus menantang Raja Kera Iblis,” 
kata Ratna Wulan, saat mereka baru saja meng-
gagalkan tiga orang pengikut Raja Kera Iblis yang 
hendak membawa seorang penduduk Desa Weling. 
“Tidak mudah untuk mencapai tempatnya, Wulan. 
Terlalu banyak pengikut Raja Kera Iblis yang menjaga 
sekitar lereng gunung,” sahut Bayu. 
“Tapi kalau didiamkan terus, pengikutnya akan 
semakin bertambah banyak, Kakang. Dan dia akan 
semakin kuat,” kata Ratna Wulan, penuh semangat 
Bayu hanya diam. 
“Kakang, bagaimana kalau kita kumpulkan semua 
pendekar yang ada di sini, lalu kita serang puncak 
Gunung Weling,” usul Ratna Wulan. 
Bayu masih tetap diam. Memang tidak sedikit 
jumlah pendekar berjiwa luhur yang ada di sekitar 
kaki Gunung Weling ini. Tapi, itu tidaklah cukup untuk 
menggempur tempat kediaman Raja Kera Iblis di 
puncak Gunung Weling. Lagi pula, mereka yang 
menggabungkan diri menjadi pengikut Raja Kera Ibfis 
pun tidak sedikit jumlahnya. Dan, mereka rata-rata 
memiliki tingkat kepandaian yang cukup tinggi. 
Bayu mengerti, bukan hal yang mudah untuk 
mencapai puncak Gunung Weling. Baru sampai di 
lerengnya saja, mereka pasti harus berhadapan 
dengan para pengikut Raja Kera Ibfis. Dan, pasti tidak 
mudah melewatinya. Keadaan seperti ini membuat 
Bayu semakin berpikir keras. Harus dicari jalan yang 
paling tepat untuk menghadapi Raja Kera Iblis yang 
semakin kuat karena dibantu tokoh-tokoh persilatan

golongan hitam. 
Saat itu terlihat Ki Rakonta datang menghampiri 
dengan setengah berlari. Tampak kepala desa itu 
tergopoh-gopoh, seperti sedang mengejar sesuatu. 
Bayu dan .Ratna Wulan memperhatikan orang tua itu 
sampai tiba di dekat mereka. Napas Ki Rakonta 
terdengar tersengal dan menggemuruh. Keringat 
bercucuran di leher dan wajahnya yang memerah. 
“Ada apa, Ki?” tanya Bayu langsung. 
“Aduh..., celaka, Bayu. Celaka...,” ujar Ki Rakonta 
dengan napas yang masih memburu. 
“Celaka...?! Ada apa, Ki? Apa yang terjadi...?” 
desak Bayu, tidak mengerti. 
“Ki Bantur dan Ki Suta serta beberapa orang 
pendekar sekarang sedang menuju ke puncak 
Gunung Weling. Mereka hendak menggempur sarang 
Raja Kera Iblis.” 
“Edan...!” desis Bayu, agak mendengus. 
Sementara itu Ratna Wulan hanya diam. 
Dipandanginya Ki Rakonta dan Pendekar Pulau 
Neraka secara bergantian. Baru saja dia tadi 
menyarankan pada Bayu untuk menyerang puncak 
Gunung Weling. Bibirnya pun belum kering meng-
ucapkan hal itu. Dan sekarang, Ki Rakonta malah 
membawa kabar kalau Ki Bantur dan Ki Suta serta 
bebara orang pendekar beraliran putih tengah 
menuju ke puncak Gunung Weling. 
“Kapan mereka pergi, Ki?” tanya Bayu. 
“Sudah sejak tadi, Bayu. Mereka tidak mau 
mendengarkan kata-kataku. Mereka tetap nekat pergi 
ke sana. Padahal, kau sudah mengatakan kalau 
sekitar lereng Gunung Weling kini dijaga ketat.” 
“Kau di sini saja, Wulan,” kata Bayu. 
“Kau mau ke mana, Kakang...?”

Bayu tidak sempat lagi mendengar pertanyaan 
Ratna Wulan sampai habis. Dia sudah melesat cepat 
bagai kilat Begitu sempurnanya ilmu meringankan 
tubuh yang dimilikinya, sehingga dalam sekejap Bayu 
sudah lenyap dari pandangan. 
***

ENAM

Bayu terus berlari cepat mempergunakan ilmu 
meringankan tubuhnya yang sudah mencapai 
tingkatan yang sempurna. Kedua kakinya seakan-
akan tidak menjejak tanah sama sekali. Pendekar 
Pulau Neraka terus berlari mendaki lereng Gunung 
Weling sebelah Umur. Tapi, tak ada seorang pun yang 
dijumpainya sampai dia berada cukup tinggi di lereng 
gunung ini. Dan, Bayu langsung menghentikan larinya 
ketika mulai merasakan kejanggalan. 
Tapi, belum juga Pendekar Pulau Neraka sempat 
berpikir lebih jauh, mendadak.... 
Wusss! 
“Heh...?” 
“Uts!” 
Cepat-cepat Bayu melompat ke samping ketika 
tiba-tiba dari arah depannya meluncur sebatang 
tombak yang cukup panjang. Tombak itu tampaknya 
terbuat dari kayu yang berwarna hitam pekat, dengan 
mata putih keperakan. Manis sekali Bayu meng-
hindarinya. 
Creb! 
Tombak itu langsung menancap di tanah, tepat di 
samping kiri kaki Pendekar Pulau Neraka. Dan baru 
saja Pendekar Pulau Neraka menjulurkan tangannya 
hendak meraih tombak bergagang hitam itu, kembali 
dia dikejutkan dengan terdengarnya desingan halus 
dari arah belakang. 
“Hup...!” 
Cepat-cepat Bayu melentingkan tubuhnya ke

samping. Pada saat yang bersamaan, terlihat sebuah 
bayangan hitam berkelebat cepat di samping tubuh 
Pendekar Pulau Neraka itu. Manis sekali Bayu men-
jejakkah kakinya kembali di tanah. Dan, di depannya 
kini sudah berdiri seorang laki-laki setengah baya, 
yang mengenakan baju berwarna hitam pekat, 
dengan ikat kepala yang juga hitam. Di tangan kanan 
laki-laki itu tergenggam sebatang tombak berukuran 
panjang yang juga berwarna hitam. 
Kelopak mata Bayu tampak menyipit memper-
hatikan laki-laki separuh baya yang tiba-tiba muncul 
dan langsung menyerangnya tadi. Dia sama sekali 
tidak mengenalnya. Dan, baru kali ini dia bertemu 
dengannya. Perlahan Bayu menggeser kakinya ke 
kanan. Matanya tajam memperhatikan gerakan kaki 
orang berbaju serba hitam itu, yang juga tampak 
menggeser arah gerakannya secara berlawanan. 
“Mau apa kau datang ke sini? Tempat ini bukan 
untuk main-main!” ujar orang berbaju serba hitam itu 
dengan kasar sekali. 
“Aku mencari sahabat-sahabatku,” sahut Bayu 
dengan kening sedikit berkerut. 
“Tidak ada orang yang datang ke sini. Sebaiknya 
kau cepat pergi!” dengus orang berbaju serba hitam 
itu dengan nada suara yang tetap kasar. 
“Tapi tadi mereka...!” 
“Setan alas...! Mau melawan, heh...?!” sentak laki-
laki separuh baya itu sengit. 
Bayu terdiam. 
“Cepat pergi...!” 
Pendekar Pulau Neraka tetap diam. Ditatapnya 
tajam-tajam laki-laki separuh baya yang mengenakan 
baju serba hitam dan membawa tombak ini. 
“Eee..., malah menantang...! Apa kau belum tahu

siapa aku, heh?! Akulah si Tombak Iblis! Rasakan ini. 
Hih...!” 
Wukkk! 
Tiba-tiba laki-laki separuh baya berbaju hitam yang 
mengaku berjuluk si Tombak Iblis itu menge-butkan 
tombaknya yang panjang dan berwarna hitam, tepat 
mengarah ke kepala pemuda berbaju kulit harimau 
itu. 
“Uts...!” 
Dengan sedikit saja menarik kepalanya ke 
belakang, Bayu berhasil mengelakkan ujung mata 
tombak yang berkilatan tajam itu. 
“Setan...! Rupanya kau punya kebolehan juga, 
heh...! Bagus! Terima ini, Bocah Keparat! Hiyaaa...!” 
“Menyingkir, Tiren,” kata Bayu sambil menepuk 
monyet kecil yang sejak tadi berada di pundak 
kanannya. 
“Nguk!” 
“Hup! Yeaaah...!” 
Cepat sekali Bayu melompat ke belakang begit si 
Tombak Iblis melompat sambil memberikan satu 
pukulan keras menggeledek dengan tangan kanan-
nya. Tepat pada saat itu, monyet kecil di pundak 
Pendekar Pulau Neraka juga melompat turun. Ringan 
sekali gerakannya. Monyet kecil itu langsung berlari 
menjauh begitu kedua kaki dan tangannya 
menyentuh tanah. 
“Hiyaaa...!” 
Beri 
Sambil berteriak keras, si Tombak Iblis kembali 
melakukan serangan, setelah pukulannya yang begitu 
keras dan mengandung pengerahan tenaga dalam 
tinggi tadi dapat dielakkan Pendekar Pulau Neraka. 
Kafi ini tombaknya disodokkan tepat ke arah

lambung. 
“Haiiit..!” 
Namun, dengan sedikit saja mengegoskan tubuh-
nya ke samping, ujung tombak itu berhasil dielakkan 
Bayu. Dan, pada saat tombak itu berada di samping 
pinggangnya, dengan cepat sekali Pendekar Pulau 
Neraka mengebutkan tangannya ke samping. 
“Yeaaah...!” 
Tap! 
“Hih...?!” 
Si Tombak Ibfis terkejut setengah mati. Cepat-
cepat dia berusaha menarik kembali tombaknya. 
Namun, gerakannya kalah cepat Batang tombak yang 
berwarna hitam itu telah berada dalam genggaman 
tangan kanan Pendekar Pulau Neraka. Belum lagi si 
Tombak Iblis bisa berbuat lebih banyak, Bayu sudah 
menghentakkan tangannya ke atas, sambil menge-
rahkan kekuatan tenaga dalamnya. 
“Hiyaaa...!” 
“Heh...?!” 
Si Tombak Ibfis kembali terbeliak setengah mati. 
Tidak ada lagi kesempatan baginya untuk bertahan. 
Seketika itu juga tubuhnya terangkat ke udara begitu 
Bayu menyentakkan tangannya ke atas. Dan pada 
saat itu juga, dengan kecepatan bagai kilat, Pendekar 
Pulau Neraka melentingkan tubuhnya ke udara 
sambil menghentakkan tangannya yang meng-
genggam ujung tombak ke belakang tubuhnya. Dan 
tepat di saat tubuh si Tombak Iblis tertarik ke depan, 
Bayu melepaskan satu tendangan keras meng-
geledek, disertai pengerahan tenaga dalam yang 
sudah mencapai tingkat sempurna. 
“Yeaaah...!” 
Begitu cepat serangan yang dilakukan Pendekar

Pulau Neraka, sehingga... 
Begkh! 
“Aaakh...!” 
*** 
Tendangan keras yang dilancarkan Bayu tepat 
menghantam dada laki-laki separuh baya berbaju 
serba hitam itu. Tak pelak lagi, si Tombak Iblis ter-
pental ke belakang sambil menjerit keras. Pegangan 
pada tombaknya terlepas. Dan, dengan keras tubuh-
nya jatuh menghantam tanah hingga bergulingan 
beberapa kali. Laki-laki separuh baya berbaju serba 
hitam itu baru berhenti bergulingan setelah 
punggungnya menghantam sebongkah batu yang 
cukup besar. 
Brak! 
Batu berwarna hitam kelam dan berlumut tebal itu 
seketika terpental ke belakang, terlanda tubuh si 
Tombak Iblis. Pada saat itu, Bayu sudah menjejakkan 
kakinya kembali ke tanah. Di tangan kanan Pendekar 
Pulau Neraka kini tergenggam sebatang tombak 
berukuran panjang dan berwarna hitam pekat 
Si Tombak Iblis berusaha bangkit. Mulut dan 
hidungnya mengeluarkan darah segar dan agak 
kental. Meskipun bisa bangkit kembali, tampak dia 
tidak bisa lagi berdiri tegak. Dia terhuyung-huyung 
beberapa saat akibat terkena tendangan yang begitu 
keras dan mengandung pengerahan tenaga dalam 
sempurna tadi. 
“Setan keparat..!” geram si Tombak Iblis sambil 
menyeka darah di mulutnya dengan punggung 
tangan. 
Sementara Bayu sudah berdiri tegak menatap

tajam pada laki-laki separuh baya berbaju serba 
hitam itu. Ditimang-timangnya tombak panjang ber-
warna hitam yang tadi berhasil dirampasnya dari si 
Tombak Iblis. 
“Kau ingin tombakmu kembali, orang tua...?” tanya 
Bayu, agak sinis nada suaranya. 
Perlahan Pendekar Pulau Neraka mengangkat 
tombak itu hingga ujungnya sejejar dengan 
pandangan matanya. Sedangkan si Tombak Iblis 
tampak memucat wajahnya melihat pemuda berbaju 
kulit harimau itu sudah siap melemparkan tombak 
bermata putih keperakan itu. Sementara Bayu 
perlahan-lahan melangkah mendekati si Tombak Iblis. 
Sinar matanya tajam menusuk langsung ke bola mata 
laki-laki separuh baya itu. Sementara, si Tombak Iblis 
bergerak ke belakang perlahan-lahan, sambil mencari 
celah untuk dapat lolos dari incaran ujung tombaknya 
sendiri, yang kini berada di tangan Pendekar Pulau 
Neraka. 
Bayu berhenti melangkah setelah jaraknya tinggal 
sekitar dua batang tombak lagi di depan si Tombak 
Iblis. Sinar matanya masih tetap bersorot tajam, 
seakan-akan hendak menembus langsung ke lubuk 
hati lawannya. 
Si Tombak Iblis benar-benar terpojok. Dia tidak 
bisa lagi bergerak menjauhi Pendekar Pulau Neraka. 
Punggungnya sudah menempel erat pada sebatang 
pohon yang cukup besar. 
“Kenapa kau melarangku datang ke sini?” tanya 
Bayu dengan suara yang begitu dingin. 
“Tidak seorang pun boleh datang ke gunung ini,” 
sahut si Tombak Iblis, tajam. 
“Kenapa...?” 
“Ini perintah!”

“Perintah siapa?” desak Bayu. 
Si Tombak Iblis tidak menjawab. Dia malah 
menatap pemuda berbaju kulit harimau di depannya 
ini dengan sinar mata tajam. Namun, terlihat sorot 
keheranan pada cahaya matanya itu. Dia seakan-
akan tidak percaya, Pendekar Pulau Neraka ini tidak 
tahu bahwa ada larangan bagi siapa pun untuk 
menginjak daerah Gunung Weling ini. 
“Katakan, siapa yang melarang orang datang ke 
Gunung Weling ini?” desak Bayu lagu 
“Raja Kera...,” sahut si Tombak Iblis. 
“Hm..., rupanya dia mau jadi raja di sini,” gumam 
Bayu perlahan, seperti bicara pada dirinya sendiri. 
Perlahan Bayu menurunkan tangannya yang meng-
genggam tombak. Kemudian dilemparkannya tombak 
itu ke samping. Tampak si Tombak Iblis menarik 
napas panjang, lalu menghembuskannya kuat-kuat 
Dia melirik sedikit pada senjatanya, yang kini 
menggeletak di tanah sekitar sepuluh langkah dari 
Pendekar Pulau Neraka. 
“Hup...!” 
Tiba-tiba si Tombak Iblis melompat ke arah 
tombaknya yang menggeletak di tanah. Namun, 
belum juga dia bisa mencapai senjatanya, mendadak 
Bayu melesat cepat bagai kilat Dan, satu tendangan 
keras menggeledek dilepaskan tepat mengarah ke 
lambung kiri laki-laki berusia separuh baya yang 
mengenakan baju serba hitam itu. 
“Yeaaah...!” 
Begkh! 
“Akh...!” 
Begitu cepatnya tendangan yang dilepaskan 
Pendekar Pulau Neraka. Sehingga si Tombak Iblis 
tidak sempat lagi berkelit menghindar. Lambungnya

terpaksa menerima tendangan keras menggeledek 
yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi. 
Tak pelak lagi, si Tombak Iblis jatuh terlempar 
beberapa tombak jauhnya. Tiap! Yeaaah...!” 
Pada saat itu, Bayu juga menjatuhkan diri ke 
tanah, laki bergulingan beberapa kali. Cepat sekali 
tangannya menyambar tombak berukuran panjang 
dan berwarna hitam itu. Dan secepat kilat pula 
dilemparkannya tombak itu ke arah pemiliknya. 
“Hiyaaa...!” 
Wusss! 
Tombak itu meluncur deras bagai anak panah 
terlepas dari busurnya. Si Tombak Iblis tidak dapat 
lagi menghindari senjatanya sendiri. Dan.... 
Jleb! 
“Aaa...!” 
Jeritan panjang yang melengking tinggi terdengar 
keras dan menyayat Tombak yang dilemparkan Bayu 
dengan pengerahan tenaga dalam itu tepat 
menembus dada si Tombak Iblis, dan langsung 
menyembul lagi ke luar dari punggungnya. Si Tombak 
Iblis seketika itu juga menggeletak di tanah. Darah 
bercucuran dari dadanya. 
“Hhh...!” 
Bayu menghembuskan napas panjangnya yang 
terasa begitu berat Kemudian dihampirinya si 
Tombak Iblis. Ujung jari tangan lawannya itu 
ditempelkan ke leher. Dan, kembali Pendekar Pulau 
Neraka menghembuskan napas panjang begitu 
mengetahui si Tombak Iblis sudah tidak bernyawa 
lagi. Sebentar pandangannya diedarkan berkeliling. 
Tapi, tak terlihat seorang pun di sini. Pandangannya 
kemudian tertuju pada seekor monyet kecil yang 
berlari-lari sambil mencerecet .ribut menghampirinya.

Bayu mengulurkan tangannya. Dibantunya monyet 
kecil itu naik ke pundaknya. 
“Kau melihat ada orang lain di sekitar sini, Tiren?” 
tanya Bayu. 
“Nguk!” sahut Tiren sambil menggeleng-gelengkan 
kepala. 
Bayu menepuk-nepuk kepala monyet kecil itu. 
Kemudian kakinya diayunkan meninggalkan tempat 
ini. 
Pendekar Pulau Neraka bertanya-tanya sendiri 
dalam hati. Dia berada di Gunung Weling ini karena 
mendapat laporan dari Ki Rakonta bahwa Ki Bantur 
dan Ki Suta serta orang-orang dari kalangan rimba 
persilatan telah datang ke sini. Tapi, kini tidak ada 
seorang pun yang terlihat. Dia hanya menjumpai si 
Tombak Iblis yang langsung menyerangnya. 
Bayu terus mengayunkan kakinya mendaki lereng 
Gunung Weling. Pendekar Pulau Neraka berharap 
bisa bertemu dengan Ki Suta atau Ki Bantur di sekitar 
lereng gunung ini. 
*** 
Hari menjelang senja, tapi Bayu belum juga 
bertemu dengan Ki Bantur dan Ki Suta. Malah 
sebaliknya, beberapa kali dia harus bertarung dengan 
para pengikut si Raja Kera Iblis. Hal ini tentu saja 
membuat Pendekar Pulau Neraka lelah. Dia harus 
menguras tenaga dan kemampuan agar tidak mati 
konyol di Gunung Weling ini. 
Pendekar Pulau Neraka berdiri tegak memandangi 
sang mentari yang sebentar lagi hampir tenggelam di 
cakrawala belahan Barai Cahaya mentari yang 
semula terik itu kini terasa begitu lembut dan indah.

Tampak Tiren berdiri dekat di sebelah kaki kanan 
Bayu. Monyet kecil itu memandangnya. Seakan-akan 
ikut merasakan masalah yang tengah melanda 
pemuda berbaju kulit harimau ini 
“Aku benar-benar tidak mengerti dengan keadaan 
ini, Tiren. Semuanya seakan-akan seperti mimpi. 
Bahkan aku tidak tahu lagi, di mana bisa menemukan 
Ki Bantur dan Ki Suta,” gumam Bayu, seperti bicara 
pada dirinya sendiri. 
Monyet kecil berbulu hitam yang diajak bicara itu 
hanya diam memandangi wajah tampan Pendekar 
Pulau Neraka. Sedangkan Bayu, sambil meng-
hembuskan napas panjang, menghenyakkan tubuh-
nya. Dia duduk bersandar di bawah pohon yang cukup 
rindang. Pandangannya masih tetap tertuju pada 
matahari yang hampir tenggelam di kaki langit 
“Tiren....” 
Baru saja Bayu membuka mulutnya hendak bicara 
lagi, mendadak pendengarannya yang setajam mata 
pisau itu mendengar suara yang begitu halus. Suara 
itu terdengar sangat jauh dari tempatnya beristirahat 
ini. Pendekar Pulau Neraka segera berdiri. Sementara 
Tiren langsung melompat ke pundak pemuda berbaju 
kulit harimau itu. 
“Kau dengar itu, Tiren...?” 
“Nguk!” 
“Ya, seperti suara pertarungan....” 
“Chraaagkh...!” 
“Hup! Hiyaaa...!” 
Tanpa membuang-buang waktu. Bayu langsung 
melesat cepat ke arah datangnya suara yang 
terdengar semakin jelas itu. Dia yakin, itu adalah 
suara orang yang sedang bertarung. 
Begitu sempurnanya ilmu meringankan tubuh yang

dimiliki Pendekar Pulau Neraka, sehingga dia bisa 
berlari secepat angin. Kedua kakinya yang bergerak 
lincah bagai tidak menapak lagi di atas permukaan 
tanah. Sedangkan Tiren yang berada di pundaknya 
memeluk leher pemuda itu erat-erat Bayu terus 
berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan 
tubuhnya. Dan sebentar saja, dia sudah sampai di 
sebuah tempat yang agak lapang. Namun penuh 
bebatuan cadas yang berserakan. 
“Ki Suta...!” desis Bayu terkejut begitu melihat 
seorang laki-laki tua berjubah putih dengan sebuah 
tameng putih keperakan tengah bertarung melawan 
sekitar sepuluh orang. 
Ki Suta tampak kewalahan sekali menghadapi 
sepuluh orang lawannya. Baru beberapa saat Bayu 
sampai, sudah terlihat Ki Suta mendapat pukulan dan 
tendangan beberapa kali yang begitu keras. Laki-laki 
tua itu tampak terhuyung-huyung dan kehilangan 
penguasaan dirinya. 
“Menyingkir dulu, Tiren,” kata Bayu. 
“Nguk...!” 
“Hiyaaa...!” 
Melihat kedaan Ki Suta yang sudah meng-
khawatirkan itu, Bayu langsung melesat cepat dan 
segera terjun ke dalam kancah pertarungan. Secepat 
kilat dilepaskannya beberapa pukulan keras meng-
geledek dan beruntun disertai pengerahan tenaga 
dalam yang tinggi. 
Desss! 
Bugkh! 
“Aaa...!” 
“Akh...!” 
Dua orang langsung terpental-sambil menjerit 
melengking begitu terkena pukulan yang dilepaskan

Bayu. Tapi, Pendekar Pulau Neraka tidak berhenti 
sampai di situ saja. Sambil berjumpalitan, dilepas-
kannya pukulan-pukulan maut yang begitu dahsyat 
luar biasa, disertai gerakan tubuh yang lincah dan 
cepat. Orang-orang yang mengeroyok Ki Suta pun 
langsung kelabakan setengah mati. 
***

TUJUH

Dalam waktu tidak berapa lama, sudah tujuh orang 
yang bergelimpangan tidak bangun-bangun lagi. 
Bahkan beberapa di antaranya terlihat kepalanya 
pecah. Darah pun menggenang membasahi bebatuan 
yang berserakan di lereng Gunung Weling sebelah 
Barat ini. 
Sedangkan tiga orang lainnya yang masih berdiri 
tampak gentar melihat kedahsyatan jurus-jurus 
pemuda berbaju kulit harimau itu. Mereka segera 
berlompatan mundur sejauh dua batang tombak. 
Sementara itu, Bayu menggeser kakinya men-
dekati Ki Suta yang tampak tengah duduk bersila 
melakukan semadi. Laki-laki tua berjubah putih itu 
membuka matanya saat merasakan ada orang di 
dekatnya. 
“Syukur kau cepat datang. Bayu,” ujar Ki Suta, 
perlahan sekali. 
“Parah lukamu, Ki?” tanya Bayu, tanpa berpaling 
sedikit pun dari tiga orang yang masih saja terlongong 
seperti tidak percaya bahwa tujuh orang temannya 
sudah tewas dalam waktu singkat. 
“Hanya luka dalam sedikit,” sahut.Ki Suta, 
mencoba tersenyum. 
“Siapa mereka, Ki?” tanya Bayu. 
Tapi, belum juga Ki Suta menjawab, tiba-tiba ... 
“Awas...! Mereka menyerang, Bayu!” seru Ki Suta, 
keras. 
“Hup! Yeaaah...!” 
Bayu langsung melompat dan menyongsong ketiga

orang bersenjata golok itu. Dan begitu dekat dengan 
mereka, manis sekali Pendekar Pulau Neraka 
melentingkan tubuhnya ke udara. Dilewatinya kepala 
ketiga orang itu. Dan dengan cepat sekali dilepas-
kannya dua kali pukulan, yang disusul dengan satu 
tendangan. 
“Hiya! Hiya! Yeaaah...!” 
Begkh! 
Desss! 
Plak! 
Jeritan-jeritan panjang yang melengking tinggi 
seketika terdengar begitu menyayat saat pukulan dan 
tendangan yang dilepaskan Pendekar Pulau Neraka 
mendarat telak di rubuh ketiga orang itu. Tampak 
mereka jatuh bergulingan di tanah yang .berbatu ini. 
Bayu masih melakukan beberapa kali putaran di 
udara. Kemudian, dengan manis sekali kakinya 
dijejakkan kembali di atas hamparan batu-batu cadas 
ini. Sedangkan ketiga lawannya sudah menggeletak 
diam tak bernyawa lagi. Memang sungguh keras 
pukulan dan tendangan yang dilepaskan Pendekar 
Pulau Neraka tadi. Terlebih lagi, dia melakukannya 
disertai pengerahan tenaga dalam yang sempurna. 
Sebentar Bayu memandangi kesepuluh orang yang 
sudah menggeletak menjadi mayat di sekitarnya, 
kemudian dihampirinya Ki Suta. Laki-laki tua berjubah 
putih itu kini sudah berdiri tegak, setelah beberapa 
saat melakukan semadi. Bayu baru menghentikan 
langkahnya setelah dia berada sekitar tiga langkah 
lagi di depan laki-laki tua berjubah putih yang ber-
senjatakan sebuah tameng berwarna putih 
keperakan ini. 
“Mana yang lainnya, Ki?” tanya Bayu sambil 
mengedarkan pandangannya berkeliling.


“Yang lain..?” tanya Ki Suta, kebingungan. 
“Kau datang ke sini tidak sendirian, bukan...?” 
tanya Bayu lagi yang juga keheranan melihat mimik 
wajah Ki Suta yang tampak tidak mengerti akan 
pertanyaannya barusan. 
“Apa maksudmu bertanya begitu, Bayu?” 
Bayu terdiam. Kini malah dia yang tampak 
kebingungan. Mereka pun sama-sama terdiam dan 
saling tidak mengerti akan apa yang dibicarakan 
barusan. Bayu kemudian mengulurkan tangannya 
pada Tiren yang sudah berada di dekatnya. Lalu 
diangkatnya monyet kecil itu dan diletakkannya di 
pundak kanan. 
“Ki Suta..., aku datang ke sini karena Ki Rakonta 
memberitahuku kalau kau dan Ki Bantur datang ke 
gunung ini bersama-sama dengan para pandekar 
lainnya. Tapi kenyataannya, aku hanya bertemu kau 
seorang diri,” kata Bayu, mencoba menjelaskan. 
“Justru aku datang ke sini karena diberi tahu Ki 
Rakonta bahwa kau, Ratna Wulan, dan Ki Bantur 
telah ke sini hendak menantang Raja Kera Iblis. Aku 
khawatir, kera siluman itu terlalu sukar ditandingi. 
Terlebih lagi, sekarang ini dia memiliki pengikut yang 
tidak sedikit jumlahnya,” kata Ki Suta, juga men-
jelaskan. 
“Jadi...?” ujar Bayu, bengong. Pendekar Pulau 
Neraka mulai sadar, Ki Rakonta yang dijumpainya 
tadi bukanlah Ki Rakonta yang sesungguhnya, tapi 
penjelmaan dari Raja Kera Iblis. 
“Aku memang datang sendiri ke sini. Maka dari itu 
aku begitu terkejut sewaktu kau menanyakan yang 
lain, Bayu,” kata Ki Suta lagi. 
“Hm...,” gumam Bayu perlahan. 
Tiba-tiba saja Pendekar Pulau Neraka tersentak.

“Wulan...” 
Begitu teringat kepada Ratna Wulan yang ditinggal-
kannya bersama Ki Rakonta, Pendekar Pulau Neraka 
langsung melesat cepat 
“Bayu, tunggu...!” seru Ki Suta. 
“Hup!” 
Laki-laki tua berjubah putih yang membawa 
tameng keperakan itu segera melesat cepat mengejar 
Pendekar Pulau Neraka. Sedangkan Bayu terus 
berlari sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuh-
nya yang sudah mencapai tingkatan sempurna. Ki 
Suta, yang juga mengerahkan ilmu meringankan 
tubuh, mengikuti beberapa tombak di belakangnya. 
Tapi, masih sulit bagi Ki Suta untuk mengejar 
Pendekar Pulau Neraka. Karena, ilmu meringankan 
tubuh yang dimilikinya memang tidak sesempurna 
Pendekar Pulau Neraka. Jaraknya dengan Bayu pun 
semakin bertambah jauh, walaupun ilmu meringan-
kan tubuhnya telah dikerahkan seluruhnya. 
Bayu baru berhenti berlari setelah sampai di depan 
rumah Ki Rakonta, yang berukuran besar dan ber-
halaman luas. Pada saat itu Ki Suta juga sudah 
sampai di samping Bayu. Napasnya terdengar keras 
dan memburu. Keringat bercucuran deras mem-
basahi sekujur tubuhnya. Dia tadi memang menge-
rahkan seluruh kemampuan ilmu meringankan 
tubuhnya, agar tidak tertinggal jauh oleh Pendekar 
Pulau Neraka. 
Mereka berdiri tegak di depan pintu pagar rumah 
Ki Rakonta, sambil mengatur jalan pernapasan 
masing-masing. Perlahan-lahan kemudian mereka 
melangkah, melintasi halaman yang sangat hias dan 
berumput bagai permadani terhampar ini. Tak 
seorang pun terlihat Keadaannya begitu sunyi Desiran

senja pun kini terasa begitu jelas, seperti bermain-
main di gendang telinga. Mereka kembali berhenti 
setelah sampai di depan tangga masuk ke dalam 
rumah kepala desa ini. 
“Kau merasakan ada keanehan di sini, Bayu?” 
tanya Ki Suta, pelan sekali suaranya. 
“Hm...,” gumam Bayu. 
“Aku merasa, telah terjadi sesuatu di sini,” kata Ki 
Suta lagi. 
Baru saja Bayu hendak membuka mulutnya, tiba-
tiba.... 
Wusss! 
“Awas...!” 
Cepat sekali Bayu memiringkan tubuhnya ke 
samping begitu dilihatnya sebuah benda meluncur 
deras dari dalam rumah. Ki Suta, yang juga melihat, 
segera melompat satu langkah ke samping. Benda 
yang bersinar kemerahan itu pun lewat di antara 
tubuh Ki Suta dan Pendekar Pulau Neraka. 
Belum lagi mereka bisa menarik napas lega, 
mendadak dari dalam rumah itu berlompatan orang-
orang bersenjata golok. Ada sekitar sepuluh orang. 
Dan, mereka tahu-tahu sudah berdiri tegak di depan 
Ki Suta dan Pendekar Pulau Neraka. Tanpa ada yang 
berbicara sedikit pun, mereka langsung berlompatan 
menyerang dengan cepat sekali. 
“Hiya!” 
“Yeaaah...!” 
Bayu dan Ki Suta harus berjumpalitan menghindari 
serangan orang-orang ini. Mata-mata golok yang 
berkilatan tajam berkelebatan di sekitar tubuh 
mereka. Namun, serangan-serangan yang dilancarkan 
kesepuluh orang yang semuanya bersenjata golok ini 
tampak sama sekali tidak berarti bagi Ki Suta dan

Bayu. 
“Hiyaaa...!” 
Sambil berteriak keras menggelegar, Bayu segera 
melentingkan tubuhnya. Dan, secepat kilat dilepas-
kannya beberapa pukulan dahsyat. Begitu cepat 
serangan yang dilancarkannya, sehingga para 
pengeroyoknya kelabakan setengah mati. Dan.... 
Bugkh! 
“Akh...!” 
Saat itu juga terdengar benturan-benturan keras 
yang disusul jeritan melengking serta keluhan 
tertahan. Tampak Bma orang yang mengeroyok 
Pendekar Pulau Neraka berpelantingan, lalu ambruk 
menggelepar di tanah yang berumput tebal bagai 
permadani ini. 
“Hiyaaa...!” 
Sementara pada saat yang bersamaan, Ki Suta 
juga sudah berhasil, merobohkan lawan-lawannya. 
Senjatanya yang berbentuk perisai itu memang 
sangat dahsyat. Tak ada satu senjata pun yang bisa 
menembus dirinya. 
Tanpa mendapatkan kesulitan yang berarti, Ki 
Suta dan Pendekar Pulau Neraka berhasil meroboh-
kan kesepuluh orang penyerangnya. Tampak para 
pengeroyok itu tidak mampu lagi bangkit berdiri. 
“Hati-hati, Ki,” ujar Bayu memperingatkan, ketika 
mereka kembali melangkah mendekati beranda 
rumah Ki Rakonta. 
Keadaan sekitar rumah itu demikian sunyi. Bayu 
dan Ki Suta pun semakin waspada. Mereka kembali 
berhenti melangkah setelah sampai di depan anak 
tangga pertama di beranda rumah kepala desa ini. 
Sebentar mereka saling berpandangan. Kemudian 
Bayu melangkah menaiki tangga itu.

Ketika Pendekar Pulau Neraka sampai di tengah-
tengah beranda depan, belum juga terlihat seorang 
pun di sini. Sedangkan Ki Suta mulai melangkah 
menaiki tangga perlahan-lahan. 
Bayu kini sudah berada di depan pintu yang sedikit 
terbuka. Perlahan-lahan Pendekar Pulau Neraka men-
dorongnya hingga terbuka lebar. Bunyi berderit 
membuat Bayu semakin berhati-hati untuk memasuki 
rumah ini. 
Sepi.... Tak seorang pun terlihat di dalam ruangan 
depan yang berukuran cukup besar ini. Perlahan-
lahan Pendekar Pulau Neraka memasuki ruangan 
depan ini. Sementara itu Ki Suta sampai di ambang 
pintu yang sudah terbuka cukup lebar. Pandangannya 
diedarkan ke setiap sudut ruangan depan ini. 
Sedangkan Bayu sudah berdiri tegak di tengah-tengah 
ruangan. Tak sedikit pun suara terdengar. Keadaan 
begitu sunyi, bagaikan di tengah-tengah kuburan. 
“Bayu...,” panggil Ki Suta, pelan. 
Bayu berpaling sedikit Ditatapnya laki-laki tua 
berjubah putih yang membawa perisai putih 
keperakan yang masih berdiri di ambang pintu itu. 
“Ada apa, Ki?” tanya Bayu. 
“Aku rasa, rumah ini sudah ditinggalkan,” kata Ki 
Suta, masih pelan suaranya. 
“Hm...,” gumam Bayu perlahan. 
Kembali mereka terdiam. Ki Suta kemudian meng-
hampiri Pendekar Pulau Neraka. Dia berhenti setelah 
sampai di samping kanan pemuda berbaju kulit 
harimau mi. Beberapa saat mereka masih membisu 
dan mengedarkan pandangan ke sekeliling. 
“Bayu, apa tidak sebaiknya kita ke puncak Gunung 
WeBng saja...?” usul Ki Suta. 
Bayu menatap laki-laki tua itu dalam-dalam.

Sungguh dia tidak, menyangka, Ki Suta ternyata 
benar-benar mencurigai Ki Rakonta ikut terlibat 
dalam persoalan ini Ki Suta-balas memandang 
dengan dalam pula. Beberapa saat mereka terdiam 
dan saling berpandangan. Seakan-akan sedang 
menyelidiki isi hati masing-masing. 
“Baiklah, Ki. Ayo, kita berangkat sekarang,” ajak 
Bayu. 
Tanpa membuang-buang waktu lagi, mereka 
segera meninggalkan rumah kepala desa yang 
tampak sunyi itu. Mereka berjalan cepat, tidak peduli 
kalau saat itu matahari sudah mulai tenggelam d 
batik cakrawala belahan Barat. 
*** 
Malam terus merayap menyelimuti seluruh 
permukaan Gunung Weling. Keadaan di gunung ini 
begitu sunyi dan gelap. Hanya jerit binatang-binatang 
malam saja yang terdengar. Deru angin yang begitu 
kencang meningkahi dengan membawa udara dingin 
menggigilkan tubuh. Di antara lebatnya pepohonan 
dan gelapnya malam, terlihat Bayu dan Ki Suta terus 
bergerak cepat mendaki lereng Gunung Weling ini. 
Tak ada seorang pun yang mereka temui sejak 
mulai mendaki gunung tadi. Mereka terus bergerak 
cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh. 
Bayu tampak mengurangi sedikit kecepatan larinya, 
agar Ki Suta tidak tertinggal jauh di belakangnya. 
Belum sampai setengah malam, mereka sudah tiba di 
puncak Gunung Weling. 
“Berhenti dulu, Ki,” ujar Bayu seraya meng-
hentikan langkahnya. 
Ki Suta ikut berhenti melangkah. Mereka berdiri

berdampingan sambil mengedarkan pandangan 
berkeliling. Tak ada seorang pun yang terlihat. Hanya 
kegelapan dan pepohonan menghitam yang ada di 
sekitar mereka. Begitu pekat suasananya. Tidak 
sedikit pun terlihat cahaya bulan. Langit tampak 
kelam terselimut awan hitam yang menggumpal. 
Udara di sekitar puncak Gunung Weling pun semakin 
terasa dingin. 
“Di mana tempat persembunyian Raja Kera Iblis, 
Ki?” tanya Bayu. 
“Menurut cerita, dia tinggal di dalam gua. Di depan 
gua ada tiga pohon jati yang berjajar dan ada sebuah 
kolam kecil di sampingnya,” jelas Ki Suta. 
“Hm... Bukankah itu yang kau maksudkan, Ki?” 
ujar Bayu seraya menunjuk ke depan. 
“Benar!” sahut Ki Suta. Tidak jauh di depan 
mereka memang terlihat sebuah mulut gua yang 
sangat besar. Di depan gua itu tampak tiga pohon jati 
yang tumbuh berjajar. Di samping pohon itu tampak 
pula sebuah kolam kecil yang dikelilingi batu-batu 
kecil, seperti sebuah taman di dalam istana. Namun, 
keadaannya tidak terawat, sehingga kelihatan kotor 
dan penuh dengan semak belukar yang tumbuh liar. 
Perlahan Bayu dan Ki Suta melangkah meng-
hampiri gua itu. Semakin dekat detak jantung mereka 
semakin terdengar keras. Keadaan yang begitu sunyi 
dan mencekam membuat mereka semakin mening-
katkan kewaspadaan. Bayu dan Ki Suta kembali 
berhenti setelah jarak dengan gua itu tinggal sekitar 
dua batang tombak lagi. 
“Hati-hati, Ki. Aku merasakan, ada banyak orang di 
sekeliling tempat ini,” ujar Bayu dengan suara yang 
begitu pelan. 
Belum juga Ki Suta menyahuti peringatan

Pendekar Pulau Neraka, tiba-tiba dari balik 
pepohonan bermunculan orang-orang dengan cepat 
sekali. Sebentar saja Bayu dan Ki Suta sudah 
terkepung oleh tidak kurang dari tiga puluh orang 
yang semuanya menghunus senjata dalam berbagai 
bentuk dan ukuran. Dan tampaknya mereka sudah 
siap menyerang. 
“Seraaang...!” 
Tiba-tiba terdengar suara keras menggelegar 
memberi perintah. Dan seketika itu juga... 
“Hiyaaa...!” “Yeaaah...!” 
Namun pada saat orang-orang itu berlompatan 
hendak menyerang Ki Suta dan Pendekar Pulau 
Neraka, mendadak dari atas pepohonan ber-
hamburan puluhan anak panah yang langsung 
menyerang mereka. Begitu cepatnya anak-anak 
panah itu meluncur berhamburan, sehingga orang-
orang itu kelabakan setengah mati. Jeritan-jeritan 
panjang melengking tinggi seketika itu juga terdengar 
saling sambut, yang disusul berjatuhannya tubuh-
tubuh terhunjam anak panah. 
“Ada apa ini...?” desis Bayu, terkejut melihat 
kejadian yang begitu tiba-tiba sekali itu. 
Belum lagi pertanyaan Pendekar Pulau Neraka itu 
terjawab, tiba-tiba bermunculan orang-orang dari atas 
pepohonan yang tumbuh agak rapat di sekitar tempat 
ini. Mereka langsung menyerang orang-orang yang 
mengepung Bayu dan Ki Suta tadi. Di antara mereka 
terlihat pula Ki Bantur. Laki-laki tua berjubah putih 
yang membawa pedang berwarna keemasan itu 
segera mendekati Ki Suta dan Pendekar Pulau 
Neraka. 
“Syukur, kalian datang tepat pada waktunya,” kata 
Ki Bantur.

“Apa arti semua ini, Ki?” tanya Bayu, meminta 
penjelasan. 
Pandangan Pendekar Pulau Neraka tertuju pada 
pertarungan yang terjadi di sekitarnya. Sulit untuk 
membedakan mana lawan dan mana kawan di antara 
mereka yang bertarung. Karena, mereka sama-sama 
berasal dari rimba persilatan, yang datang ke puncak 
Gunung Weling ini dengan tujuan yang berbeda. 
“Sudah sejak siang tadi kami semua mengepung 
tempat ini, dan...,” Ki Bantur tidak meneruskan kata-
katanya. 
“Kenapa, Ki?” desak Bayu. “Aku melihat Ki 
Rakonta dan Ratna Wulan dibawa masuk ke dalam 
sana. Mereka diikat dan digiring oleh pengikut-
pengikut Raja Kera Iblis,” lanjut Ki Bantur. 
“Hm...,” gumam Bayu perlahan seraya melirik 
sedikit pada Ki Suta. “ 
Hiyaaa...!” 
Saat itu juga, Ki Suta melompat cepat menerjang 
orang-orang yang bertarung di sekitar mulut gua. 
Secepat kilat pula senjatanya yang berbentuk perisai 
keperakan itu diayun-ayunkan. Beberapa orang yang 
terkena hantaman perisai itu langsung menjerit dan 
jatuh menggelepar dengan kepala pecah berlumuran 
darah. 
Bagaikan seekor banteng terluka, laki-laki tua itu 
mengamuk. Dicobanya untuk menerobos orang-orang 
yang tampaknya menjaga mulut gua itu. Pada saat itu 
juga, terlihat orang-orang bermunculan lagi dari 
dalam gua. Begitu banyak jumlahnya, seperti 
sepasukan prajurit kerajaan. Bayu dan Ki Bantur 
saling berpandangan sesaat, kemudian langsung 
melompat cepat. Mereka membantu Ki Suta, yang 
masih mengamuk bagai banteng terluka.

Pertarungan di sekitar puncak Gunung Weling 
semakin bertambah sengit. Karena, semakin banyak 
orang yang bermunculan dari kedua belah pihak. 
Pekikan keras dan jeritan-jeritan melengking tinggi 
terdengar saling susul. Tubuh-tubuh berlumuran 
darah terus berjatuhan saling rumpang tindih tak 
tentu arah. 
Sementara itu Bayu berlompatan cepat sambil 
melepaskan pukulan keras beruntun, yang disertai 
pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai 
tingkatan sempurna. Pendekar Pulau Neraka semakin 
dekat dengan mulut gua berukuran besar itu. 
“Hiyaaa...!” 
Sambil berteriak keras menggelegar, tiba-tiba 
Pendekar Pulau Neraka melentingkan tubuhnya 
tinggi-tinggi ke udara. Lalu, dengan manis sekali dia 
hinggap di atas sebuah cabang pohon yang cukup 
tinggi. Dan dengan satu gerakan yang indah, 
Pendekar Pulau Neraka kembali melenting turun 
sambil mengebutkan tangan kanannya. 
“Yeaaah...!” 
Wusss! 
Seketika itu juga dari pergelangan tangan kanan 
Bayu melesat secercah cahaya keperakan dari 
sebuah senjata berbentuk cakra yang bersegi enam. 
Senjata maut Pendekar Pulau Neraka itu ber-
kelebatan cepat mengikuti gerakan tangannya. Dan 
dihajarnya orang-orang yang berada paling dekat 
dengan mulut gua. 
Cras! 
Bret! 
“Aaa...!” 
Jeritan-jeritan panjang melengking tinggi langsung 
terdengar, yang disusul ambruknya beberapa orang

dengan darah berhamburan. Tubuh mereka telah 
tersabet senjata maut Pendekar Pulau Neraka. Bayu 
kemudian menjejakkan kakinya di tanah, tidak jauh 
dari mulut gua itu. Dan.... 
“Hiyaaa...!” 
***

DELAPAN

Sambil berteriak keras menggelegar, Bayu melompat 
cepat bagai kilat. Dilontarkannya pukulan keras 
beruntun, disertai pengerahan tenaga dalam yang 
sudah mencapai tingkat sempurna. Kemudian tubuh-
nya dilentingkan, dan berputaran beberapa kali di 
udara. Lalu, manis sekali kakinya menjejak tanah, 
tepat di depan mulut gua itu. Cepat sekali Pendekar 
Pulau Neraka mengangkat tangan kanannya. Cakra 
Maut pun melesat cepat dan langsung menempel di 
pergelangan tangan kanannya. 
Namun, belum sempat Pendekar Pulau Neraka 
mengayunkan kakinya memasuki gua batu itu, 
mendadak.... 
“Ghraaaugkh...!” 
Wusss...! 
“Oh...?! Hup!” 
Cepat-cepat Bayu melentingkan tubuhnya ke 
samping ketika tiba-tiba dari dalam gua itu melesat 
sesosok tubuh yang tinggi dan hitam pekat Pendekar 
Pulau Neraka lalu menjatuhkan tubuhnya dan 
beberapa kali bergulingan di tanah. Kemudian 
dengan cepat dan ringan sekali, dia melompat 
bangkit berdiri. Dan di depannya kini sudah berdiri 
sesosok makhluk bertubuh tinggi besar dan berbulu 
hitam pekat Wajah makhluk itu begitu mengerikan, 
dan mirip seekor kera raksasa. 
“Nguk! Chraaakh...!” 
Tiren, yang sejak tadi berada di pundak kanan 
Pendekar Pulau Neraka, langsung melompat ke atas

pohon begitu Raja Kera Iblis muncul dari dalam gua 
tempat tinggalnya. Monyet kecil berbulu hitam itu 
tampak ketakutan melihat kera iblis raksasa itu. Dia 
langsung memanjat dan menyembunyikan tubuhnya 
di balik sebatang pohon yang cukup besar dan tinggi. 
Sementara itu, Bayu menggeser kakinya perlahan-
lahan ke samping. Dijauhinya pohon yang dinaiki 
Tiren. Sedangkan Raja Kera Iblis bergerak perlahan 
mendekatinya. Tidak jauh dari depan gua, per-
tarungan masih terus berlangsung sengit. Jeritan-
jeritan panjang yang melengking tinggi dan teriakan-
teriakan yang ditingkahi dentingan senjata masih 
terdengar memecah kesunyian malam di puncak 
Gunung Weling. 
“Ghraaaugkh...!” 
Sambil menggerung dahsyat bagai kilat Raja Kera 
Iblis melompat dan menerjang Pendekar Pulau 
Neraka. Kedua tangannya, yang berukuran sangat 
besar dan berbulu hitam lebat, bergerak cepat 
melepaskan pukulan keras beruntun. Saat itu juga 
Bayu berlompatan sambil meliuk-liukkan tubuhnya 
menghindari pukulan beruntun itu. 
“Hiyaaa...!” 
Cepat sekali Pendekar Pulau Neraka melompat ke 
belakang. Langsung tubuhnya dibungkukkan sedikit 
ke kiri. Lalu, tangan kanannya ditarik hingga 
menyilang di depan dada. Dan, dengan seketika 
dikebutkannya tangan itu ke depan sambil berteriak . 
keras menggelegar. 
“Hiyaaa...!” 
Wusss! 
Bagaikan kilat Cakra Maut yang menempel di 
pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka 
melesat ke depan. Dan pada saat yang bersamaan,

Raja Kera Iblis juga melompat ke depan hendak 
menerjang Pendekar Pulau Neraka. Sehingga, dia 
tidak sempat lagi menghindari senjata andalan 
Pendekar Pulau Neraka itu. Tak pelak lagi... 
Crab! 
“Aaargkh...!” 
Raja Kera Iblis meraung dahsyat begitu Cakra 
Maut menghunjam dadanya dengan keras sekali. 
Begitu kerasnya lontaran senjata yang dilakukan 
Pendekar Pulau Neraka tadi, sehingga makhluk kera 
iblis raksasa itu terpental ke belakang sejauh dua 
batang tombak. Pada saat itu juga, Bayu meng-
hentakkan tangan kanannya ke atas kepala. 
“Hup!” 
Siap! 
Cakra Maut yang terbenam begitu dalam di dalam 
dada Raja Kera Iblis langsung melesat keluar dan 
kembali menempel di pergelangan tangan kanan 
Pendekar Pulau Neraka. Tampak dari dada Raja Kera 
Iblis yang berlubang, mengucur darah kental agak 
kehitaman yang berbau busuk memualkan perut 
“Ghrrr...!” 
Sambil menggerung-gerung marah. Raja Kera Iblis 
kembali bangkit berdiri. Tanpa mempedulikan darah 
yang bercucuran deras dari dadanya yang berlubang 
akibat tertembus Cakra Maut dia kembali bergerak 
cepat menyerang Pendekar Pulau Neraka. 
“Ghraaaugkh...!” 
“Hup! Yeaaah...!” 
Kembali Bayu harus berjumpalitan di udara. 
Dihindarinya serangan-serangan yang dilakukan Raja 
Kera Iblis. Kali ini makhluk kera raksasa itu melancar-
kan serangan-serangan mautnya yang begitu dahsyat 
Semua pukulannya yang terlontar selalu mengeluar

kan bulatan cahaya merah bagai bola api. 
Glarrr...! 
Ledakan-ledakan dahsyat pun terdengar setiap kali 
bulatan cahaya merah yang keluar dari pukulan Raja 
Kera Iblis menghantam tanah, bebatuan, atau 
pepohonan. Bahkan, beberapa kali cahaya bulatan 
merah itu menghantam orang-orang yang sedang 
bertarung. Dan, sungguh dahsyat akibatnya! Mereka 
yang terkena sasaran pukulan maut Raja Kera Iblis 
seketika tubuhnya hancur berkeping-keping, seperti 
sebongkah batu yang terhantam gada. Serangan-
serangan Raja Kera Iblis yang membabi buta ini 
membuat suasana pertarungan tampak berantakan. 
Bahkan tidak sedikit yang berlarian menyelamatkan 
diri. 
Sebentar saja, tempat di sekitar pertarungan itu 
benar-benar hancur berantakan. Malam yang begitu 
pekat tanpa sedikit pun cahaya bulan semakin 
bertambah pekat dan pengap oleh debu yang 
berhamburan memenuhi udara di puncak Gunung 
Weling ini. Sedangkan Raja Kera Iblis masih terus 
melontarkan pukulan-pukulan mautnya. Dicecarnya 
Pendekar Pulau Neraka yang tenis berpelantingan 
menghindari setiap serangan yang dilancarkannya. 
“Ki Suta, cepat cari Ki Rakonta dan Wulan di 
dalam...!” seru Bayu begitu sempat melihat Ki Suta 
berdiri saja memperhatikan jalannya pertarungan 
dahsyat itu. 
Tanpa menunggu perintah dua kali, laki-laki tua 
berjubah putih itu segera melompat ke dalam gua. 
Sementara Ki Bantur, yang berada di sampingnya, 
juga bergegas mengikuti Ki Suta memasuki tempat 
tinggal Raja Kera Iblis. 
“Hup! Yeaaah...!”

Bayu masih terus berjumpalitan di udara, meng-
hindari serangan-serangan dahsyat yang dilancarkan 
Raja Kera Iblis. Pendekar Pulau Neraka sengaja 
bergerak menjauhi mulut gua. Dan rupanya hal ini 
tidak disadari olah Raja Kera Iblis, yang sudah begitu 
marah karena Pendekar Pulau Neraka berhasil 
melukai dadanya dengan senjata Cakra Mautnya tadi. 
“Ghraaaugkh...!” 
Cras! 
Glarrr...! 
“Hup! Yeaaah...!” 
Cepat sekali Bayu melentingkan tubuhnya ke 
udara ketika satu pukulan dahsyat yang me-
mancarkan cahaya bulatan merah dikirimkan Raja 
Kera Iblis kepadanya. Bulatan cahaya merah itu pun 
menghantam tanah tempat Bayu berdiri tadi. Dan 
seketika tanah itu terbongkar, hingga menimbulkan 
kepulan debu yang membumbung tinggi ke angkasa. 
“Hiyaaa...!” 
Sambil berputaran di udara, Bayu mengebutkan 
tangan kanannya. Saat itu juga Cakra Maut yang 
selalu menempel di pergelangan tangannya melesat 
cepat dap langsung mengarah ke kepala Raja Kera 
Iblis. Begitu cepat Cakra Maut itu melesat, sehingga 
Raja Kera Iblis tidak sempat lagi menghindar. Terlebih 
lagi, pada saat itu dia sedang melepaskan satu 
pukulan mautnya ke arah Bayu yang sudah berada di 
atas sebuah cabang pohon yang cukup tinggi.. 
Crab! 
Glarrr! 
“Aaargh...!” 
Bersamaan dengan terdengarnya ledakan keras 
menggelegar, terdengar pula raungan keras begitu 
Cakra Maut menghantam tepat di antara kedua bola

mata makhluk kera raksasa itu. Sementara itu, Bayu 
terlihat berputaran di udara beberapa kali. Dan, 
dengan manis sekali kakinya dijejakkan di tanah, 
tepat lima langkah lagi di depan Raja Kera Iblis. 
“Hiyaaa...!” 
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Pendekar 
Pulau Neraka melompat cepat sambil melepaskan 
satu tendangan keras menggeledek yang mengan-
dung pengerahan tenaga dalam tinggi. 
Bugkh! 
“Aaargh...!” 
Kembali Raja Kera Iblis meraung keras. Dadanya 
yang berlubang dan mengucurkan darah telah 
terkena tendangan keras yang bertenaga dalam 
sempurna. Tak pelak lagi, tubuh besar dan berbulu 
hitam itu terbanting keras di tanah. Sekitar puncak 
Gunung Weling pun bergetar bagai terkena 
guncangan gempa. Sedangkan Bayu sudah kembali 
menjejakkan kakinya di tanah. 
“Hih!” 
Cepat-cepat Pendekar Pulau Neraka menarik 
tangan kanannya ke atas kepala. Cakra Maut yang 
terbenam di kening Raja Kera Iblis seketika itu juga 
tercabut, melesat cepat, laki kembali menempel di 
pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka. 
Sedangkan Raja Kera Iblis bergulingan sambil 
menggerung-gerung dahsyat Beberapa batu dan 
pohon hancur bertumbangan terlanda tubuhnya yang 
besar dan berbulu hitam itu. Dan, ketika dia bisa 
bangkit seketika itu juga.... 
“Hiyaaa...!” 
Bagaikan kilat Bayu menghentakkan tangan 
kanannya ke depan. Dan pada saat Cakra Maut 
kembali melesat secepat kilat secepat itu pula Bayu

melompat sambil melepaskan dua pukulan beruntun 
yang disusul satu tendangan keras menggeledek. 
Crab! 
Begkh! 
Desss! 
“Aaargh...!” 
Sungguh dahsyat serangan kilat yang dilancarkan 
Pendekar Pulau Neraka. Tepat ketika Cakra Maut 
merobek tenggorokan Raja Kera Iblis, secepat itu pula 
Bayu mendaratkan dua pukulan keras beruntun dan 
satu tendangan menggeledek yang mengandung 
pengerahan tenaga dalam dengan tingkatan yang 
sempurna. Tak pelak lagi, tubuh Raja Kera Iblis pun 
terpental jauh ke belakang. Dan beberapa batang 
pohon yang tertabrak, langsung hancur berkeping-
keping. 
“Hup...!” 
Setelah melakukan dua kali putaran di udara. Bayu 
kembali menjejakkan kakinya dengan manis sekali di 
tanah. Saat tangan kanannya terangkat di atas 
kepala, Cakra Maut kembali menempel di per-
gelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka itu. 
“Haaap...! Yeaaah...!” 
Cepat sekali Bayu kembali melompat ketika Raja 
Kera Iblis bisa bangkit lagi. Serangan yang begitu 
cepat yang dilancarkan Pendekar Pulau Neraka kari 
ini membuat Raja Kera Iblis tidak mampu lagi 
bergerak menghindar. Dan.... 
“Hiyaaa...!” 
Begkh! 
Glarrr...! 
Sungguh dahsyat pukulan yang dilepaskan 
Pendekar Pulau Neraka kali ini. Begitu pukulannya 
mendarat di dada Raja Kera Iblis, seketika itu juga

terdengar ledakan keras menggelegar yang 
memekakkan telinga. 
“Hiyaaa...!” 
Saat itu juga Bayu melesat ke udara. Dan langsung 
kedua tangannya dihantamkan ke kepala Raja Kera 
Iblis. Hingga.... 
Prak! 
“Ghhhraaagkh...!” 
“Hup!” 
Cepat-cepat Bayu melentingkan tubuhnya ke 
belakang sambil melakukan dua kali putaran di 
udara. Sungguh manis gerakan Pendekar Pulau 
Neraka. Tanpa menimbulkan suara sedikit pun, 
kedua kakinya menjejak tanah sekitar dua batang 
tombak di depan Raja Kera Iblis. 
Tampak makhluK kera raksasa itu berdiri tegak 
dengan dada berlubang besar dan kepala retak 
berlumuran darah. Dari lehernya yang berlubang juga 
mengucur darah kental kehitaman yang berbau 
busuk. Tak lama kemudian, tubuh yang tinggi besar 
dan berbulu hitam itu terlihat limbung, lalu ambruk ke 
tanah tanpa suara sedikit pun keluar dari mulutnya. 
Dan, tak ada gerakan sedikit pun yang terlihat 
Makhluk kera raksasa yang selama ini ditakuti itu 
seketika tewas begitu tubuhnya menghantam bumi 
“Hhh...!” Bayu menghembuskan napas panjang. 
Dengan punggung tangannya, Pendekar Pulau 
Neraka menyeka keringat yang membanjiri wajah dan 
lehernya. Perlahan-lahan dihampirinya mayat raksasa 
yang berbulu hitam dan berwajah kera itu. Tubuhnya 
dibungkukkan sedikit, dan diperiksanya mayat Raja 
Kera Iblis. 
“Hhh....” 
Bayu kembali menghembuskan napas panjang

begitu merasa pasti bahwa Raja Kera Iblis sudah 
tewas. Perlahan tubuhnya ditegakkan kembali. 
“Kakang...!” 
Bayu memutar tubuhnya saat mendengar suara 
memanggil namanya. Tampak Ratna Wulan berlari-lari 
menghampiri, diikuti Ki Rakonta, Ki Suta, dan Ki 
Bantur. Puluhan orang dari rimba persilatan yang 
memenuhi puncak Gunung Weling juga tampak ber-
gerak menghampiri Pendekar Pulau Neraka. 
Sementara itu, tak terlihat seorang pun tokoh 
persilatan golongan hitam. Semuanya memang telah 
melarikan diri saat Raja Kera Iblis mulai kewalahan 
menghadapi Pendekar Pulau Neraka. 



                           SELESAI 


Share:

0 comments:

Posting Komentar