..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Selasa, 04 Februari 2025

PENDEKAR PULAU NERAKA EPISODE LIMA SETAN DARI BARAT

LIMA SETAN DARI BARAT


LIMA SETAN 
DARI BARAT
Oleh Teguh Suprianto
Cetakan pertama 
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: Puji S. 
Gambar sampul oleh Pro's 
Hak cipta pada Penerbit 
Dilarang mengcopy atau memperbanyak 
sebagian atau seluruh isi buku ini 
tanpa Izin tertulis dari penerbit
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Pulau Neraka
dalam episode:
Lima Setan dari Barat
128 hal; 12 x 18 cm


SATU

Ratna Wulan berlutut di depan kedua orang 
tua angkatnya, yang selama ini telah mengurus 
dan membesarkannya. Ayah Ratna Wulan berna-
ma Ki Wanasa, seorang saudagar yang cukup kaya 
di Kadipaten Talagan. Mereka mengangkat anak 
pada Ratna Wulan sejak masih bayi merah. Se-
mentara itu, Bayu hanya memperhatikan saja 
tanpa berbicara sedikit pun.
"Jadi tekadmu sudah bulat, Wulan?" tanya Ki 
Wanasa seakan-akan ingin meyakinkan dirinya.
"Tentu, Ayah. Maafkan aku...," sahut Ratna 
Wulan perlahan seraya berdiri dan duduk di kursi, 
tepat di depan Nyai Wanasa, ibu angkatnya.
Mereka semua kembali terdiam.
"Tapi aku tetap anakmu. Aku tidak akan me-
lupakan kalian, sebagai orang tuaku," kata Ratna 
Wulan lagi, masih dengan suara pelan.
"Sebenarnya, aku tidak ingin melepaskanmu 
pergi, Wulan. Apalagi, kau pergi tanpa tujuan pas-
ti. Tapi...," Nyai Wanasa tidak melanjutkan uca-
pannya.
'Tapi kenapa, Bu?" tanya Ratna Wulan ingin 
tahu.
"Aku akan merelakan mu jika memang itu su-
dah jadi keinginanmu, Ratna Wulan. Terlebih lagi, 
kau akan didampingi Bayu. Kau tahu, Nak. Ayah 
Bayu adalah seorang pendekar digdaya. Dan anta-
ra kami telah terjalin tali persaudaraan," lanjut 
Nyai Wanasa.
"Benar, Wulan. Aku dan orang tua Bayu sudah 
mengangkat sumpah. Siapa pun yang mempunyai 
keturunan, berarti juga keturunan kami. Yaaah..., 
ternyata nasib memang harus memisahkan kita 
semua. Dan aku tidak bisa berbuat apa-apa selain

menyerahkan segalanya pada Hyang Widi," sam-
bung Ki Wanasa.
"Kalau orang tuamu masih hidup, dia pasti 
akan mengenalmu dengan kalung itu," kata Nyai 
Wanasa lagi.
Ratna Wulan memandangi kalung yang dike-
nakannya. Seuntai kalung yang talinya hanya ter-
buat dari urat binatang. Sedangkan bandulannya 
terbuat dari batu hitam berbentuk bulan sabit, 
bergambarkan dua bilah pedang yang saling me-
lintang. Kalung ini sudah dikenakannya sejak ma-
sih bayi. Ratna Wulan juga baru tahu kalau ka-
lung ini memiliki arti yang cukup dalam bagi di-
rinya.
"Kau ditemukan suamiku ketika sedang berbu-
ru. Dan kalung itu sudah ada di lehermu. Ma-
kanya, aku selalu meminta kau untuk mema-
kainya dan jangan sampai hilang. Karena, hanya 
itu satu-satunya yang ada pada dirimu, Wulan," 
sambung Nyai Wanasa.
"Lalu namaku...?" Ratna Wulan ingin tahu.
"Kami yang memberi nama padamu. Waktu 
itu, sama sekali kami tidak tahu namamu. Dan la-
gi, aku sangat senang ketika suamiku membawa 
kau pulang. Yaaah..., memang kami tidak dikaru-
niai anak seorang pun. Jadi, kaulah satu-satunya 
tumpahan kasih sayang di keluarga ini," kata Nyai 
Wanasa lagi.
"Kalau saja aku tidak tahu siapa diriku, tentu 
tidak akan begini jadinya, Bu," ujar Ratna Wulan 
juga menyesali semua ini.
"Apa yang telah terjadi, sudah menjadi kehen-
dak Hyang Widi. Jadi kau tidak perlu menyesali, 
Wulan. Aku tahu, suatu saat kau pasti akan tahu 
tentang dirimu yang sebenarnya. Dan sekarang 
waktunya telah tiba. Kau sudah tahu, dan ingin

bertemu orang tua kandung yang melahirkan mu. 
Itu suatu kodrat alam, Anakku. Setiap anak pasti 
ingin mengetahui siapa orang tuanya, dan dari 
mana asalnya," kata Ki Wanasa, lembut sekali na-
da suaranya.
"Aku berjanji, kalau sudah bertemu pasti akan 
kembali lagi ke sini. Bagaimanapun juga, kalian 
adalah orang tua yang telah merawat dan membe-
sarkan ku sejak masih bayi. Entah apa jadinya ka-
lau aku tidak ada di sini," agak mendesah suara 
Ratna Wulan.
"Oh, Anakku...."
Nyai Wanasa tidak dapat lagi membendung 
keharuannya. Langsung dia menghambur dan 
memeluk gadis itu. Air matanya pun tidak dapat 
lagi terbendung. Sedangkan Ratna Wulan hanya 
diam saja, membalas pelukan ibu angkatnya ini. 
Memang berat rasanya meninggalkan dua orang 
tua yang telah merawat dan membesarkannya se-
jak kecil. Tapi itu harus dilakukan, dan lagi Ratna 
Wulan memang sudah memantapkan hatinya. 
Yang jelas, dia harus pergi mencari orang tua kan-
dungnya.
Meskipun dalam hati ada sedikit kemarahan 
atas tindakan orang tua kandungnya yang telah 
meninggalkannya begitu saja di dalam hutan, tapi 
hatinya sudah bertekad untuk mengetahui siapa 
orang tuanya yang telah tega berbuat keji seperti
itu. Orang tua yang tega membiarkan darah da-
gingnya sendiri tergeletak tanpa daya dalam hu-
tan. Kalau tidak ditemukan Ki Wanasa, mungkin 
dia sudah menjadi santapan binatang buas.
Agak lama juga Nyai Wanasa menangis dan 
memeluk anak angkatnya ini. Pelukannya baru di-
lepaskan setelah suaminya menepuk lembut pun-
daknya. Wanita berusia sekitar lima puluh tahun


itu kembali duduk di kursinya. Sementara di 
samping Ratna Wulan, Bayu hanya tertunduk sa-
ja. Seakan-akan perasaannya tidak sanggup lagi 
menyaksikan semua ini.
"Kapan kalian akan berangkat?" tanya Ki Wa-
nasa.
"Bagaimana, Kakang...?" Ratna Wulan malah 
bertanya pada Pendekar Pulau Neraka yang duduk 
di sampingnya.
Dan gadis itu memang sudah membiasakan di-
ri memanggil kakang pada Bayu. Karena, usianya 
memang lebih muda daripada Pendekar Pulau Ne-
raka itu. Bayu sendiri tidak berkeberatan gadis itu 
memanggilnya seperti itu. Dan itu malah menam-
bah keakraban di antara mereka berdua nantinya.
"Sebaiknya, besok saja. Pagi-pagi sekali be-
rangkatnya," sahut Bayu setelah terdiam beberapa 
saat. 
"Baiklah...," desah Ratna Wulan menyetujui.
***
Malam ini, Bayu memang harus tinggal di ru-
mah Ki Wanasa yang begitu besar, bagai sebuah 
istana kecil. Memang, rumah-rumah di Kadipaten 
Talagan ini besar-besar. Dan kebanyakan penghu-
ninya adalah para saudagar kaya yang tinggal di 
kadipaten ini. Bahkan tidak sedikit para pembesar 
kerajaan yang tinggal di sini. Sehingga, tidak he-
ran jika setiap saat selalu terlihat barisan prajurit 
mengawal pembesar kerajaan di jalan.
Kadipaten Talagan ini memang tidak pernah 
tidur dari segala macam kesibukan. Banyak tem-
pat hiburan di kota ini, yang selalu buka sepan-
jang malam hingga pagi. Keadaan yang selalu ra-
mai itu membuat Bayu benar-benar sulit meme

jamkan mata. Sudah berulang kali dicoba, tapi te-
tap saja tidak mau terpejam. 
"Huuuh...!"
Sambil mengeluh panjang, Pendekar Pulau Ne-
raka bangkit dari pembaringan. Kakinya melang-
kah mendekati jendela kamar yang disediakan Ki 
Wanasa untuk istirahatnya malam ini. Perlahan 
jendelanya dibuka lebar-lebar. Keningnya lang-
sung berkerut, begitu melihat Ratna Wulan duduk 
sendiri di bangku taman. Jendela kamar ini me-
mang langsung menghadap ke taman samping 
rumah ini. 
"Hup...!"
Ringan sekali Pendekar Pulau Neraka melom-
pat keluar melalui jendela. Kemudian kakinya me-
langkah ringan. Tanpa terdengar suara sedikit 
pun, kakinya menjejak rerumputan taman yang 
terawat rapi, bagai permadani tergelar.
"Kau belum tidur juga, Kakang...?"
"Eh...?!" Bayu jadi tersentak mendengar suara 
Ratna Wulan.
Dan gadis itu masih tetap duduk di bangku 
taman tanpa menoleh sedikit pun. Bayu memuji 
dalam hati akan ketajaman pendengaran gadis ini. 
Padahal tadi, Pendekar Pulau Neraka mempergu-
nakan ilmu meringankan tubuh saat mendeka-
tinya dari belakang. Dan memang, seluruh ke-
mampuan ilmu meringankan tubuhnya tidak dike-
rahkan.
"Duduklah di dekat ku, Kakang," ujar Ratna 
Wulan seraya menepuk kursi yang didudukinya.
Kursi dari bahan rotan itu memang cukup 
panjang, dan bisa diduduki empat orang dewasa 
seperti mereka. Bayu kemudian duduk agak jauh 
di samping gadis ini. Dipandanginya wajah Ratna
Wulan yang tampak begitu cantik, dalam siraman


cahaya bulan yang bersinar penuh malam ini. Per-
lahan Ratna Wulan berpaling, sehingga pandan-
gannya langsung beradu dengan sorot mata Pen-
dekar Pulau Neraka. Tapi, Ratna Wulan cepat-
cepat mengalihkan pandangannya ke arah lain.
"Seharusnya kau tidak perlu melibatkan diri 
dalam urusanku, Kakang. Tugasmu sebagai pen-
dekar sudah terlalu banyak menyita waktu, tena-
ga, dan pikiranmu. Kau akan semakin banyak ke-
hilangan waktu istirahat mu nanti," kata Ratna 
Wulan panjang.
"Kau masih ingat, apa yang dikatakan Ki Wa-
nasa...?" tanya Bayu, seperti tidak menanggapi 
perkataan Ratna Wulan tadi.
'Tentu saja aku ingat," sahut Ratna Wulan se-
raya mengangguk.
"Aku adalah putra Dewa Pedang. Dan itu be-
rarti, aku juga putra mereka, Wulan. Jadi, sudah 
menjadi kewajibanku untuk membantumu. Apala-
gi kau anak angkat mereka. Jadi, kau adalah 
adikku juga, Wulan," jelas Bayu.
"Kau akan tetap menganggapku adik...?" Ratna 
Wulan ingin menegaskan.
"Mungkin iya, mungkin juga tidak."
"Jawabanmu tidak tegas, Kakang."
"Sulit rasanya untuk menganggapmu adik, 
Wulan. Tapi keadaan sudah menentukan begitu. 
Dan aku merasa sulit merubah keadaan ini. Kecu-
ali...," Bayu tidak meneruskan ucapannya.
"Kecuali apa, Kakang?" desak Ratna Wulan in-
gin tahu.
"Kecuali kau sudah bertemu orang tuamu," 
sahut Bayu terus menatap wajah cantik gadis ini. 
"Kenapa begitu?"
"Entahlah... Aku sendiri tidak tahu," sahut 
Bayu mendesah.

"Kakang...," pelan sekali suara Ratna Wulan.
Perlahan Ratna Wulan menaruh tangannya di 
atas tangan Bayu. Beberapa saat, mereka hanya 
saling pandang saja. Bayu menggenggam tangan 
yang berkulit putih dan halus itu erat-erat. Sea-
kan-akan dia ingin membagi kehangatan pada ga-
dis ini. Ingin rasanya Bayu memeluknya, tapi itu 
tidak mungkin dilakukan di rumah ini. Dia begitu 
menghormati Ki Wanasa, yang sudah mengangkat 
saudara pada ayahnya. Dan itu berarti Bayu juga
menjadi anaknya.
"Aku tahu, kau ingin mengatakan sesuatu, 
Kakang," kata Ratna Wulan dengan suara begitu 
perlahan.
'Tidak...," sahut Bayu agak mendesah.
"Jangan membohongi diri sendiri, Kakang. Aku 
tahu, ada sesuatu yang ingin kau katakan pada-
ku," desak Rama Wulan.
"Lalu kau sendiri...?" Bayu malah bertanya.
"Aku...? Aku...," Ratna Wulan jadi gugup.
Gadis itu menarik tangannya hingga terlepas 
dari genggaman Pendekar Pulau Neraka. Kemu-
dian, duduknya bergeser menjauh. Entah kenapa, 
wajahnya jadi memerah dan terasa panas sekali. 
Ratna Wulan memalingkan wajahnya, tidak ingin 
Bayu terus memandangi wajahnya yang jadi me-
merah.
Perlahan Bayu menggeser duduknya, sampai 
merapat dengan gadis itu. Bisa didengarnya detak 
jantung Ratna Wulan yang begitu cepat memburu. 
Dan ketika tangan gadis itu disentuh, Bayu mera-
sakan tangan itu dingin sekali. Bahkan terasa ba-
sah oleh keringat.
"Kau cantik sekali, Wulan...," bisik Bayu perla-
han.
"Oh...," Ratna Wulan hanya bisa mendesah saja.
Gadis itu tidak tahu, apa yang sedang dirasa-
kan saat ini. Tapi ada suatu rasa kebahagiaan ter-
selip di hatinya saat mendengar pujian Bayu yang 
begitu lembut menyejukkan. Perlahan Ratna Wu-
lan berpaling. Kembali mereka saling berpandan-
gan, dengan sinar mata yang berbinar bagai langit 
penuh bintang. Cukup lama juga mereka terdiam 
saling berpandangan, tanpa sadar kalau ada dua 
pasang mata sejak tadi memperhatikan dari balik 
jendela sebuah kamar yang sedikit terbuka.
Dua pasang mata itu adalah Ki Wanasa dan is-
trinya. Mereka terus memperhatikan, sejak Bayu 
tadi melompat keluar dari jendela kamarnya. Ja-
rak yang tidak begitu jauh, membuat mereka bisa 
mendengar semua yang dibicarakan dua insan 
muda itu.
"Kau dengar, apa yang mereka katakan, 
Nyai...?" bisik Ki Wanasa perlahan, seraya menu-
tup rapat jendela kamarnya ini.
"Aku bahagia jika mereka benar-benar bersatu, 
Ki," sahut Nyai Wanasa.
"Aku juga senang, Nyai. Itu berarti perjanjian-
ku dengan Pendekar Dewa Pedang bisa terlaksana. 
Tapi sayang...." 
"Ada apa, Ki?" 
"Wulan...."
"Kau menyesal karena Wulan bukan anak 
kandung kita?"
"Kalau saja Wulan anak kandung kita, tentu 
kebahagiaan ini akan terasa lain, Nyai," pelan se-
kali suara Ki Wanasa.
"Ya.... Memang akan terasa lain kalau Wulan 
anak kandung kita sendiri, Ki. Tapi walaupun be-
gitu, aku tetap bahagia."
"Kita memang bahagia, Nyai."

Ki Wanasa kembali membuka jendela kamar-
nya sedikit, dan mengintip ke luar. Tapi, Bayu dan 
Ratna Wulan tidak lagi terlihat di kursi taman itu. 
Entah ke mana mereka. Dan Ki Wanasa hanya 
tersenyum saja sambil mengangguk-anggukkan 
kepala, kemudian menutup kembali jendela kamar 
ini. Kini, kakinya melangkah perlahan ke pemba-
ringan. Sambil menghembuskan napas panjang, 
laki-laki tua itu membaringkan tubuhnya di ran-
jang berukuran cukup besar ini.
"Sudah malam, Nyai. Tidurlah. Jangan sampai 
bangun kesiangan besok," ujar Ki Wanasa.
"Rasanya aku masih berat untuk berpisah 
dengan Wulan, Ki," desah Nyai Wanasa.
"Sudahlah.... Kita harus merelakan kepergian-
nya. Dia pergi untuk mencari orang tua kandung-
nya. Dan itu sudah kita sadari sejak semula. Ka-
laupun tidak tahu siapa dirinya, pasti dia akan 
pergi juga meninggalkan kita kalau sudah bersu-
ami."
Nyai Wanasa tersenyum tipis, kemudian mem-
baringkan tubuhnya di samping suaminya. Tak 
ada lagi yang bicara. Namun mata mereka sama 
sekali tidak dapat terpejam. Entah apa yang ada di 
dalam pikiran masing-masing. Sementara malam 
terus merayap semakin larut. Kesunyian begitu te-
rasa menyelimuti sekitarnya. Begitu sunyi, sehing-
ga detak jantung mereka terdengar begitu jelas di 
telinga.
***
Bayu sudah bersiap hendak meninggalkan 
rumah Ki Wanasa pagi ini. Matanya memandangi 
Pedang Api yang tergeletak di atas meja. Pedang 
itu memang berpamor dahsyat, yang diambilnya

dari Ratu Gua Setan. Pendekar Pulau Neraka me-
nyambar Pedang Api, lalu digenggamnya erat-erat. 
Kemudian, kakinya melangkah ke pintu. Namun 
baru saja membuka pintu kamar ini, tiba-tiba sa-
ja....
"Hayo...!"
"Oh...?!"
Bayu jadi tersentak kaget begitu tiba-tiba Rat-
na Wulan muncul dengan mengejutkan. Gadis itu 
tertawa terbahak-bahak, dan langsung berlari se-
belum Bayu bisa mengumpat. Pendekar Pulau Ne-
raka hanya bisa memaki dalam hati sambil meng-
geleng-gelengkan kepala. Kemudian, dia melang-
kah keluar dari kamar ini.
Bayu terus mengayunkan kakinya dengan te-
gap, melintasi ruangan tengah yang berukuran 
cukup besar. Tak ada seorang pun yang dijumpai. 
Dan Pendekar Pulau Neraka baru bertemu Ki Wa-
nasa dan istrinya serta Ratna Wulan setelah bera-
da di beranda depan rumah ini. Memang, hari ma-
sih terlalu pagi. Malah, matahari belum lagi me-
nampakkan dirinya. Hanya rona merah saja yang 
membias di ufuk Timur. Kicauan burung-burung 
sudah terdengar ramai sejak tadi.
"Kalian akan berangkat sekarang...?" ujar Nyai 
Wanasa.
"Benar, Nyai," sahut Bayu.
"Hati-hatilah.... Terutama kau, Wulan. Kau ha-
rus menuruti apa yang dikatakan kakakmu. Jan-
gan keras kepala, dan jangan berbuat macam-
macam. Bayu lebih berpengalaman di dunia luar 
daripadamu," pesan Nyai Wanasa.
"Baik, Bu," sahut Ratna Wulan sambil men-
gangguk.
Gadis itu kemudian berlutut di depan wanita 
separuh baya ini. Diambilnya tangan ibunya dan

diciumnya. Kemudian dia berpindah pada Ki Wa-
nasa. Ratna Wulan kembali bangkit berdiri di 
samping Bayu.
"Ayo, Kakang...," ajak Ratna Wulan.
"Tunggu dulu," ujar Bayu.
"Ada apa lagi?" tanya Ratna Wulan.
"Ini," Bayu menyerahkan Pedang Api. "Seperti
janji ku, pedang ini menjadi milikmu sekarang."
Ratna Wulan tersenyum, dan menerima pe-
dang itu dengan hati gembira. Dia sudah tahu ke-
dahsyatan pedang ini. Dan hatinya jadi yakin bisa 
menggunakannya. Karena, Ratu Gua Setan sudah 
memberikan jurus-jurus pedang yang dahsyat 
(Baca serial Pendekar Pulau Neraka dalam episode 
"Dewi Asmara Darah"). Gadis itu kemudian mengi-
kat tali pedang itu ke punggungnya.
"Kami berangkat, Ki," pamit Bayu seraya mem-
bungkuk memberi hormat.
"Ya, hati-hatilah kalian. Cepat datang lagi ke 
sini kalau sudah bertemu orang tuamu, Wulan," 
sahut Ki Wanasa.
'Tentu, Ayah," sahut Ratna Wulan seraya ter-
senyum.
Mereka kemudian berangkat meninggalkan pa-
sangan suami istri tua itu dengan hanya berjalan 
kaki saja. Padahal, Ki Wanasa ingin memberikan 
kuda. Tapi, dengan halus Bayu menolaknya. Pen-
dekar Pulau Neraka memang lebih senang berjalan 
kaki, daripada harus menunggang kuda. Baginya, 
berjalan kaki lebih leluasa.
Sementara, Ki Wanasa dan istrinya terus me-
mandangi kepergian anak-anak muda itu sampai 
jauh, dan tak terlihat lagi setelah melewati tikun-
gan jalan yang menuju Selatan. Ki Wanasa agak 
berkerut keningnya, melihat Bayu dan Ratna Wu-
lan menuju Selatan.

"Kenapa mereka ke Selatan, Nyai...?" tanya Ki
Wanasa seperti untuk diri sendiri.
"Aku tidak tahu," sahut Nyai Wanasa.
"Bukankah semalam mereka mengatakan akan 
ke Timur, Nyai...?"
"Mungkin mereka punya rencana lain, Ki. Aku 
yakin, mereka akan melihat tempat saat kau me-
nemukan Wulan. Bukankah kalau ke Selatan 
akan menuju ke hutan itu...?"
"Kau benar, Nyai. Mungkin mereka akan meli-
hat tempat aku menemukan Wulan dulu."
"Ayo, Ki...," ajak Nyai Wanasa.
Mereka kemudian berbalik dan hendak me-
langkah masuk ke dalam rumah. Tapi belum juga 
melangkah, tiba-tiba saja....
Wusss...!
"Heh...!"
Wuk!
Tap!
Cepat sekali Ki Wanasa memutar tubuhnya 
sambil mengibaskan tangan kanan, ketika tiba-
tiba mendengar desiran angin yang begitu halus 
ke arah dirinya. Dan tahu-tahu, di tangan kanan-
nya sudah tergenggam sebatang ranting kering se-
panjang jengkalan tangan.
"Ada apa ini, Ki...?" tanya Nyai Wanasa seraya 
cepat memutar tubuhnya berbalik.
"Ada tamu, Nyai," sahut Ki Wanasa.
"Ha ha ha...!"
Tiba-tiba saja terdengar suara tawa yang begi-
tu keras menggelegar. Pasangan suami istri itu ja-
di terkejut. Dan belum lagi lenyap rasa keterkeju-
tan mereka, tiba-tiba saja berkelebat sebuah 
bayangan hitam dari atas sebatang pohon beringin 
yang berdaun rimbun. Begitu cepat kelebatannya, 
tahu-tahu di depan beranda rumah itu sudah berdiri seorang laki-laki berusia lebih dari tujuh pu-
luh tahun. Dia mengenakan baju jubah warna hi-
tam.
***
DUA


Belum lagi Ki Wanasa bisa membuka suara, 
dari balik dua pohon beringin yang berada di ha-
laman depan rumahnya, muncul dua orang laki-
laki juga berusia lanjut dan dua orang wanita yang 
sudah tua. Mereka kemudian berdiri di belakang 
laki-laki tua berjubah hitam yang pertama muncul 
tadi. Ki Wanasa jadi terbeliak melihat kemunculan 
lima orang yang sudah dikenalnya.
"Siapa mereka, Ki?" tanya Nyai Wanasa yang 
rupanya tidak mengenal lima orang itu.
Ki Wanasa tidak menjawab pertanyaan is-
trinya, walaupun mengenal kelima orang tua yang 
muncul tiba-tiba itu. Yang muncul pertama kali 
adalah Setan Jubah hitam. Kemudian yang berada 
paling kanan adalah seorang laki-laki yang juga 
sudah berusia lanjut. Bajunya merah menyala 
yang dikenal berjuluk Setan Jubah Merah. Lalu, 
berturut-turut Setan Jubah Kuning, Setan Jubah 
Biru, Setan Jubah Hijau, dan Setan Jubah Putih. 
Mereka dikenal berjuluk Lima Setan dari Barat. 
Masing-masing membawa tongkat dari besi baja 
yang warnanya sama dengan pakaian yang dike-
nakan.
"Kau masuk saja, Nyai. Ini urusanku dengan 
mereka," kata Ki Wanasa.
"Tapi, tampaknya mereka tidak bermaksud 
baik, Ki," elak Nyai Wanasa, merasa khawatir.
"Sudahlah, masuk sana...!" agak menyentak

suara Ki Wanasa. "Kunci Pintunya, Nyai."
"Baik...."
Nyai Wanasa agak ragu-ragu sebentar, kemu-
dian melangkah mundur mendekati pintu. Lalu, 
dia bergegas masuk ke dalam rumah, seraya me-
nutup pintu dan menguncinya rapat-rapat. Seben-
tar wanita tua itu masih memperhatikan dari balik 
jendela, kemudian bergegas melangkah melewati 
ruangan depan rumah ini yang berukuran cukup 
besar. Dan kini, perempuan tua itu sudah menghi-
lang di balik dinding penyekat ruangan depan 
dengan ruangan tengah.
Sementara itu, Ki Wanasa sudah melangkah 
keluar dari beranda depan rumahnya. Dia berhenti 
melangkah setelah jaraknya tinggal sekitar seten-
gah batang tombak lagi di depan Setan Jubah Hi-
tam. Be-berapa saat, mereka tidak ada yang berbi-
cara.
"Mau apa kalian datang ke sini?" tanya Ki Wa-
nasa, agak dalam nada suaranya.
"Kami datang untuk minta bagian, Ki Wanasa. 
Aku yakin, kau tidak lupa bagian kami," sahut Se-
tan Jubah Hitam.
Suara Setan Jubah Hitam terdengar begitu be-
rat. Dan Ki Wanasa hanya menelan ludahnya. 
Tentu saja hal itu tidak akan dilupakannya. Dan 
dia tahu, kedatangan Lima Setan dari Barat ini 
akan menuntut bagiannya. Sesuatu yang tentu ti-
dak mungkin dilakukan. Karena dia tahu, siapa 
lima orang tua yang berada di depannya ini.
"Sudah kukatakan, tidak ada lagi yang bisa ka-
lian dapatkan dariku di sini. Kalian sudah peroleh 
semua yang kalian inginkan. Dan aku ingin kete-
nangan di masa tuaku ini. Sebaiknya, kalian pergi 
saja. Tidak ada gunanya berada di sini. Aku sudah 
tidak punya apa-apa lagi yang bisa kuberikan," ka

ta Ki Wanasa, agak bergetar suaranya.
"Aku tahu, pasti ada yang kau sembunyikan, 
Ki Wanasa. Dan aku ingin simpananmu itu!" den-
gus Setan Jubah Hitam.
"Tidak ada yang ku sembunyikan...."
"Jangan membuat kesabaranku habis, Wana-
sa!" bentak Setan Jubah Hitam keras menggelegar.
Pada saat itu, dari samping rumah bermuncu-
lan pemuda-pemuda penjaga rumah ini. Mereka 
langsung bergerak mengepung halaman depan 
rumah Ki Wanasa yang berukuran besar. Lima Se-
tan dari Barat hanya mendengus saja, merayapi 
pemuda-pemuda berjumlah sekitar tiga puluh 
orang itu. Mereka semua sudah menghunus golok 
masing-masing.
"Kau benar-benar membuat kesulitan sendiri, 
Wanasa, " desis Setan Jubah Hitam agak mengge-
ram.
"Sebaiknya, kalian segera pergi dari sini. Mere-
ka bisa melakukan apa saja jika kalian tidak sege-
ra angkat kaki dari sini," ancam Ki Wanasa tidak 
kalah dinginnya.
"Ha ha ha...! Kau benar-benar buta, Wanasa!" 
Ki Wanasa hanya tersenyum tipis saja. Hatinya ja-
di gembira, karena istrinya sudah bisa mengerti 
apa yang diinginkannya, saat menyuruhnya ma-
suk ke dalam. Dan begitu berpaling melihat ke 
atas atap rumah, tampak di atas sana sekitar dua 
puluh orang laki-laki muda telah siap dengan bu-
sur dan anak panah terentang. Bahkan di sekelil-
ing rumah ini, sudah terlihat kepala-kepala me-
nyembul dengan anak panah terpasang pada bu-
sur.
"Phuih...!" Setan Jubah Hitam menyemburkan 
ludahnya.
Lima Setan dari Barat langsung bisa menyada

ri keadaan yang benar-benar tidak menguntung-
kan ini. Meskipun mereka sudah terkenal tangguh 
dalam kehidupan rimba persilatan, tapi terlalu be-
sar akibatnya jika menghadapi kepungan yang be-
gitu ketat. Se-tangguh apa pun ilmu kedigdayaan 
yang dimiliki, rasa-nya memang tidak mungkin bi-
sa menghadapi orang yang berjumlah lebih kurang 
seratus ini. Terlebih lagi, mereka semua sudah 
siap melepaskan anak-anak panahnya.
Sementara, Ki Wanasa sudah bergerak mun-
dur. Dia kemudian berdiri di undakan kedua tang-
ga beranda rumahnya. Senyuman lebar tampak 
tersungging di bibir laki-laki tua ini. Dia tahu, ka-
lau Lima Setan dari Barat tidak akan mungkin be-
rani menantang bahaya, menghadapi kepungan 
yang begitu ketat dari orang-orangnya ini.
"Kau benar-benar licik, Wanasa. Tunggu pem-
balasanku nanti," desis Setan Jubah Hitam.
Setelah berkata demikian, Setan Jubah Hitam 
mengegoskan kepala. Dua orang yang menjaga di 
pintu gerbang segera membuka pintu itu, begitu 
lima orang tua yang berjuluk Lima Setan dari Ba-
rat melangkah cepat meninggalkan halaman ru-
mah Ki Wanasa yang cukup luas ini. Pintu ger-
bang langsung ditutup begitu mereka berada di 
luar.
***
"Siapa mereka, Ki...?" tanya Nyai Wanasa lang-
sung, begitu suaminya masuk ke dalam.
"Lima Setan dari Barat," sahut Ki Wanasa se-
raya menghempaskan tubuhnya di kursi dekat 
jendela, yang langsung menghadap ke halaman 
depan.
Tampak orang-orangnya yang rata-rata masih

berusia muda, tetap berjaga-jaga di sekitar hala-
man dan sekeliling rumah ini. Memang, Ki Wanasa 
adalah seorang saudagar kaya. Dan dia memiliki 
banyak orang berkepandaian cukup tinggi untuk 
menjaga keselamatan dan rumahnya. Bahkan se-
tiap kali bepergian, tidak kurang dari lima puluh 
orang selalu mengawalnya. Tapi dari jumlah yang 
lebih kurang seratus itu, tak ada satu pun yang 
dekat dengannya. Ki Wanasa tidak pernah mem-
bedakan antara yang satu dengan lainnya, meski-
pun tingkatan kepandaian yang mereka miliki ten-
tu berlainan.
"Ada urusan apa kau dengan mereka, Ki?" 
tanya Nyai Wanasa ingin tahu.
"Urusan lama. Dan seharusnya, mereka tidak 
perlu datang ke sini. Semuanya sudah lama be-
rakhir, sebab apa yang diinginkan sudah mereka 
dapatkan. Dan aku juga sudah memperoleh se-
mua yang kuinginkan. Tidak ada lagi yang perlu 
dipersoalkan," sahut Ki Wanasa masih merahasia-
kan.
"Kalau tidak ada apa-apa lagi, kenapa mereka 
datang ke sini, Ki?"
"Mereka memang serakah, sehingga mengin-
ginkan juga semua yang kumiliki."
"Maksudmu...?"
Ki Wanasa tidak menjawab, tapi malah bangkit 
berdiri dan hendak melangkah. Tapi, istrinya su-
dah lebih dulu menghadang. Ki Wanasa hanya 
menghembuskan napas saja. Selama ini laki-laki 
itu memang menyimpan suatu rahasia yang ter-
simpan begitu rapat. Bahkan istrinya sendiri tidak 
tahu, apa yang disembunyikannya. Tapi, kemun-
culan Lima Setan dari Barat itu sudah membuat 
Nyai Wanasa mencium ada suatu rahasia yang 
disembunyikan suaminya ini. Dan dia benar-benar

terkejut, begitu mengetahui kalau suaminya mem-
punyai urusan dengan Lima Setan dari Barat.
Nyai Wanasa memang sering mendengar nama 
itu, dari beberapa tamu suaminya yang kebanya-
kan orang-orang persilatan. Teman-teman Ki Wa-
nasa itu seringkali menyebut-nyebut nama Lima 
Setan dari Barat. Dan selama ini, Nyai Wanasa ti-
dak pernah peduli. Karena, dia memang tidak 
kenal orang-orang yang disebutkan itu. Tapi seka-
rang persoalannya jadi lain. Bagaimanapun juga 
sebelum menjadi istri Ki Wanasa, dulu dia juga 
seorang pendekar wanita yang malang melintang 
di rimba persilatan. Seperti juga Ki Wanasa, yang 
sebelum menjadi saudagar adalah seorang pende-
kar kelana.
Jadi, tidak heran jika pasangan suami istri tua 
ini begitu disegani banyak kalangan lapisan ma-
syarakat. Selain sebagai saudagar kaya, mereka 
juga memiliki kepandaian yang tidak bisa dikata-
kan rendah.
"Katakan padaku, Ki. Apa sebenarnya yang ter-
jadi? Apa hubunganmu dengan mereka...?" desak 
Nyai Wanasa ingin tahu.
"Sudah kukatakan, itu persoalan lama yang 
seharusnya tidak perlu diungkit lagi. Mereka 
orang-orang serakah. Sudah...! Aku tidak ingin la-
gi membicarakannya," sahut Ki Wanasa, agak ke-
ras suaranya.
Nyai Wanasa tidak mencegah lagi ketika sua-
minya meninggalkan ruangan ini. Perempuan itu 
hanya dapat memandangi saja dengan sinar mata 
yang masih diliputi rasa penasaran dan keinginta-
huan. Dia yakin, pasti ada sesuatu yang disembu-
nyikan suaminya.
"Aku yakin, ada satu persoalan penting yang 
disembunyikan. Kata-katanya tidak pernah seka
sar itu," desah Nyai Wanasa setengah menggu-
mam. "Aku harus tahu semua ini...."
***
Ki Wanasa tersentak kaget begitu tiba-tiba ter-
dengar suara ribut dari luar. Cepat dia melompat 
turun dari pembaringannya, lalu bergegas berlari 
ke. luar. Sementara Nyai Wanasa yang juga men-
dengar suara ribut itu, segera turun dari pemba-
ringan. Tangannya sempat menyambar sebilah pe-
dang yang tergantung di dinding. Lalu, dia berge-
gas keluar dari kamar ini. 
"Heh...?!"
Ki Wanasa jadi terperanjat bukan main, begitu 
tiba di beranda depan rumahnya. Tampak orang-
orangnya tengah bertarung melawan lima orang 
tua yang semuanya mengenakan jubah berlainan 
warna. Tubuh tak bernyawa dan berlumuran da-
rah sudah banyak yang bergelimpangan di hala-
man depan. Jerit kematian terdengar saling sam-
but, bercampur denting senjata dan teriakan-
teriakan pembangkit semangat bertarung.
"Keparat...!" geram Ki Wanasa begitu mengena-
li lima orang yang mengamuk itu. "Hiyaaat...!"
Sambil berteriak nyaring melengking tinggi, Ki 
Wanasa melompat sambil mengerahkan ilmu me-
ringankan tubuh. Langsung tombaknya dike-
butkan pada salah seorang yang mengenakan ju-
bah warna merah. Tapi serangan yang mendadak 
dilakukan Ki Wanasa, dengan manis sekali dapat 
dihindari. Bahkan wanita berjubah merah yang 
dikenal berjuluk Setan Jubah Merah itu langsung 
melancarkan serangan.
Ki Wanasa cepat melompat ke belakang, 
menghindari serangan itu. Dan baru saja menjejak

tanah, satu batang tongkat mengarah ke kepa-
lanya.
"Hait...!"
Ki Wanasa merundukkan kepalanya, meng-
hindari kebutan tongkat itu. Kemudian sambil 
memutar tubuh, tombaknya langsung ditusukkan 
ke arah dada Setan Jubah Biru. Tapi sebelum bisa 
menghunjam dada laki-laki tua berjubah biru itu, 
satu batang tongkat sudah menghantam tombak-
nya dengan keras sekali.
Trak!
"Ikh...!" 
Ki Wanasa terpekik kaget. Buru-buru Ki Wa-
nasa melompat mundur sambil memindahkan 
tombaknya ke tangan kiri. Sungguh tidak disang-
ka kalau tenaga dalam yang dikerahkan Setan Ju-
bah Merah begitu besar, sehingga seluruh tangan 
kanannya jadi bergetar.
Sementara tiga orang tua lainnya masih terus 
mengamuk, menghajar anak-anak muda penjaga 
keamanan rumah Ki Wanasa ini. Tingkat kepan-
daian mereka yang dikenal berjuluk Lima Setan 
dari Barat itu memang lebih tinggi daripada para 
penjaga keamanan rumah Ki Wanasa. Sehingga, 
mereka seperti tidak mengalami kesulitan sama 
sekali.
Walaupun pemuda-pemuda lain mulai berda-
tangan dan langsung masuk ke dalam pertempu-
ran, tapi Lima Setan dari Barat tidak gentar sama 
sekali. Apalagi jumlah mereka sudah berkurang 
banyak. Dan hal ini membuat amukan Lima Setan 
dari Barat semakin dahsyat saja. Gerakan-gerakan 
yang dilakukan begitu cepat luar biasa. Sehingga, 
sukar untuk diikuti pandangan mata biasa. Dan 
tak ada seorang pun yang bisa menyentuh ujung 
bajunya.

Jerit dan pekik melengking mengantar kema-
tian, semakin sering terdengar saling sambut. 
Dan, semakin banyak saja tubuh-tubuh tak ber-
nyawa berlumuran darah yang bergelimpangan 
memenuhi halaman depan rumah Ki Wanasa yang 
cukup luas ini. Sementara, Ki Wanasa sendiri 
tampak kewalahan menghadapi dua orang lawan-
nya yang memiliki tingkat kepandaian tinggi. Laki-
laki tua itu sudah semakin terdesak, dan entah 
berapa kali harus menerima pukulan maupun 
tendangan keras yang mengandung pengerahan 
tenaga dalam tinggi.
Darah sudah mengucur dari hidung dan mu-
lutnya. Bahkan dadanya tampak sudah robek 
mengeluarkan darah. Tapi, Ki Wanasa tidak sudi 
menyerah begitu saja. Dia terus bertahan, dan 
mencoba untuk menyerang dua orang lawannya 
yang sama-sama sudah berusia lanjut ini. Pada 
saat itu, Nyai Wanasa terlihat melompat hendak 
membantu suaminya yang sudah kelihatan payah. 
Tapi belum juga sampai, tiba-tiba saja berkelebat 
satu bayangan putih memotong lompatan-nya.
"Uts...!"
Nyai Wanasa cepat-cepat memutar tubuhnya, 
melenting ke belakang menghindari tebasan seba-
tang tongkat berwarna putih keperakan yang men-
garah dadanya. Lalu, manis sekali kakinya menda-
rat di tanah, bersamaan dengan mendaratnya seo-
rang perempuan tua berjubah putih yang meng-
genggam tongkat berwarna putih keperakan. Di-
alah yang dikenal berjuluk Setan Jubah Putih.
"Jangan harap bisa membantu suamimu, 
Nyai...," desis Setan Jubah Putih dingin.
"Huh!" Nyai Wanasa hanya mendengus saja. 
Sret!
Perlahan Nyai Wanasa mencabut pedangnya,

dan menggenggam sarung pedangnya pada tangan 
kiri. Lalu, perlahan-lahan kakinya bergeser sambil 
menatap tajam untuk mengamati gerakan kaki Se-
tan Jubah Putih yang juga bergerak menggeser 
dengan arah berlawanan.
"Hiyaaat...!"
Tiba-tiba saja Setan Jubah Putih melompat ce-
pat, sambil berteriak keras menggelegar. 
"Hup! Yeaaah...!"
Pada saat yang bersamaan, Nyai Wanasa juga 
melenting ke udara. Dan secepat kilat pula pe-
dangnya dikebutkan. Tapi, Setan Jubah Putih su-
dah lebih cepat lagi menangkis tebasan pedang itu 
dengan tongkatnya. Lalu, cepat sekali tongkatnya 
diputar, yang langsung ditusukkan ke arah dada 
Nyai Wanasa.
"Hait...!"
Trang!
Dengan sarung pedang yang tergenggam di 
tangan kiri, Nyai Wanasa menangkis tusukan 
tongkat yang berujung runcing itu. Tapi hatinya 
jadi tersentak, karena sarung pedangnya terpental 
ke udara. Bahkan seluruh tangan kirinya jadi 
menggeletar bagai tersengat kala berbisa. Maka 
buru-buru tubuhnya diputar ke belakang, dan 
kembali meluruk turun.
Yeaaah...!"
Pada saat itu, Setan Jubah Putih meluruk de-
ras sambil memutar tongkatnya dengan kecepatan 
luar biasa. Hal ini membuat Nyai Wanasa jadi ter-
perangah. Cepat-cepat tubuhnya dibanting ke ta-
nah, dan bergulingan beberapa kali untuk meng-
hindari hunjaman tongkat Setan Jubah Putih yang 
begitu cepat dan beruntun.
***

Sementara itu di lain tempat, tampak Ki Wa-
nasa semakin terdesak saja oleh dua orang tua 
lawannya. Dan laki-laki tua itu benar-benar sudah 
tidak mampu lagi memberi perlawanan berarti. 
Tubuhnya terombang-ambing menjadi bulan-
bulanan dua orang tua lawannya ini. Hingga ak-
hirnya....
"Mampus kau, Keparat! Hiyaaat..!"
Sambil berteriak keras menggelegar, Setan Ju-
bah Merah melayang deras sambil menghunjam-
kan ujung tongkatnya yang runcing ke arah dada 
Ki Wanasa. Padahal saat itu, Ki Wanasa baru saja 
berhasil menghindari satu pukulan menggeledek 
yang dilepaskan Setan Jubah Putih. Dan matanya 
hanya bisa terbeliak melihat ujung tongkat ber-
warna merah meluruk deras ke arah dadanya. Tak 
ada lagi kesempatan baginya untuk menghindar. 
Dan.... 
Bres!
"Aaa...!" Ki Wanasa menjerit keras melengking 
tinggi.
Begitu dalamnya tongkat Setan Jubah Merah 
menghunjam dada Ki Wanasa, sehingga ujungnya 
yang runcing sampai menembus ke punggung. Pa-
da saat itu juga, Setan Jubah Biru mengebutkan 
tongkatnya ke leher sambil mengerahkan seluruh 
kekuatan tenaga dalamnya.
"Hiyaaat...!"
Cras!
Ki Wanasa tidak lagi bersuara. Laki-laki tua itu 
hanya dapat berdiri kaku dengan mulut dan mata 
terbuka lebar. Dan begitu Setan Jubah Merah 
mencabut tongkatnya dari dada laki-laki tua ini, 
seketika itu juga tubuh tua itu langsung ambruk 
ke tanah. Tampak kepalanya menggelinding terpisah. Darah seketika menyembur deras dari dada 
dan lehernya yang buntung tak berkepala lagi.
Kematian Ki Wanasa rupanya sempat juga ter-
lihat oleh Nyai Wanasa. Wanita tua itu jadi geram 
setengah mati. Maka, langsung ditinggalkannya 
Setan Jubah Putih. Dan dengan kecepatan bagai 
kilat, pedangnya dikebutkan ke arah kepala Setan 
Jubah Biru.
"Awas...!" teriak Setan Jubah Merah mempe-
ringatkan.
"Uts! Hyeaaa...!"
Setan Jubah Biru cepat-cepat membungkuk-
kan tubuhnya. Dan secepat itu pula tongkatnya 
dikebutkan ke belakang sambil memutar tubuh-
nya dengan bertumpu pada satu kaki. Nyai Wana-
sa yang sudah dirasuki hawa amarah, tidak dapat 
lagi mengendalikan diri. Begitu cepatnya serangan 
balik yang dilancarkan Setan Jubah Biru, sehing-
ga tubuhnya yang sedang meluncur deras di udara 
tidak bisa lagi ditarik.
Wuk!
Bret!
"Akh...!" Nyai Wanasa terpekik keras agak ter-
tahan.
Ujung tongkat Setan Jubah Biru berhasil me-
robek perut Nyai Wanasa yang langsung terguling 
ke tanah beberapa kali. Dan dia jadi terhuyung 
begitu melompat cepat bangkit berdiri. Wajahnya 
jadi memerah melihat darah mengucur dari perut-
nya yang sobek. Namun belum juga sempat me-
nyadari apa yang terjadi pada dirinya, Setan Ju-
bah Putih sudah kembali melompat menyerang 
begitu cepat.
"Hiyaaat...!"
Wuk!
Bagai kilat Setan Jubah Putih mengebutkan

tongkatnya ke arah kepala Nyai Wanasa. Namun, 
wanita tua itu segera mengangkat pedangnya. 
Kontan ditangkisnya kebutan tongkat perempuan 
tua berjubah putih ini.
Trang!
"Ikh...!" lagi-lagi Nyai Wanasa terpekik.
Begitu kerasnya kebutan tongkat Setan Jubah 
Putih, sehingga Nyai Wanasa tidak dapat lagi 
mempertahankan pedangnya yang langsung terle-
pas dari genggaman. Pedang itu kini melambung 
tinggi ke udara. Pada saat itu, Setan Jubah Merah 
meluruk deras seraya melepaskan satu pukulan 
keras bertenaga dalam tinggi.
"Hiyaaa...!" 
Begkh!
"Akh...!" kembali Nyai Wanasa terpekik keras. 
Pukulan Setan Jubah Merah bersarang telak di 
dada, sehingga membuat Nyai Wanasa terpental ke 
belakang sejauh beberapa tombak. Keras sekali 
tubuhnya jatuh menghantam tanah dan bergulin-
gan beberapa kali. Darah muncrat dari mulutnya. 
Nyai Wanasa berusaha bangkit berdiri, tapi tidak 
mampu lagi. Dia langsung menggeletak tak berge-
rak-gerak lagi.
Sementara itu, dua orang dari Lima Setan dari 
Barat nampaknya tidak lagi memerlukan bantuan. 
Mereka benar-benar sudah bisa menguasai lawan-
lawan yang sudah tidak mampu lagi bertahan. 
Bahkan tak seorang pun yang bisa melarikan diri. 
Mereka langsung dikejar, dan dibabat habis tanpa 
sedikit pun mengenal rasa ampun.
"Ayo ke dalam! Kita obrak-abrik rumahnya," 
ajak Setan Jubah Biru.
Tanpa menunggu waktu lagi, Setan Jubah Me-
rah dan Setan Jubah Putih segera berlari mengi-
kuti Setan Jubah Biru yang sudah lebih dulu

menghilang ke dalam rumah. Sementara perta-
rungan masih terus berlangsung di halaman ru-
mah itu. Tapi, kini pertarungan benar-benar diku-
asai dua orang tua berjubah hitam dan kuning. 
Dan tampaknya, mereka benar-benar tidak lagi 
memberi kesempatan pada lawan-lawan untuk te-
tap hidup. Tak seorang pun yang dibiarkan melo-
loskan diri.
Jeritan-jeritan panjang melengking menyayat, 
semakin jarang terdengar. Hingga akhirnya tak 
ada lagi seorang pun yang bisa hidup. Setan Ju-
bah Hitam dan Setan Jubah Kuning saling ber-
pandangan sejenak sambil mengatur nafasnya
yang memburu agak ter-sengal. Pertarungan ini 
memang benar-benar menguras tenaga. Hampir 
seratus orang harus dihadapi. Dan untungnya, ti-
dak sekaligus datangnya. Sehingga, mereka bisa 
mengalahkan semuanya. Bahkan tak ada seorang 
pun yang tersisa lagi.
"Mereka sudah ke dalam rumah, Kakang," kata 
Setan Jubah Kuning.
"Aku tidak yakin Wanasa menyembunyikannya 
di dalam rumah. Kau tahu, begitu banyak jumlah-
nya. Dan dia pasti memerlukan tempat yang khu-
sus untuk menyembunyikannya," kata Setan Ju-
bah Hitam.
'Tapi apa salahnya kalau kita geledah seluruh 
rumah ini, Kakang...?"
"Baiklah. Ayo, jangan buang-buang waktu la-
gi." Tanpa bicara lagi mereka berlari masuk ke da-
lam rumah berukuran besar yang dikelilingi tem-
bok batu bagai benteng itu. Sementara, tiga orang 
lainnya sudah sejak tadi tenggelam di dalam ru-
mah itu. Entah apa yg dilakukan di dalam sana. 
Yang jelas terdengar suara-suara gaduh dari ba-
rang-barang yang hancur terbanting ke lantai.

TIGA

Sementara itu tidak jauh dari perbatasan Kota, 
Kadipaten Talagan, Bayu dan Ratna Wulan tam-
pak berdiri memandangi hutan yang pepohonan-
nya tampak begitu lebat dan rapat. Sejak tadi 
Pendekar Pulau Neraka menepuk-nepuk kaki Ti-
ren, monyet kecil berbulu hitam yang nangkring di 
pundak kanannya. 
"Hhh...!"
"Ada apa, Wulan?" tanya Bayu, setelah men-
dengar desahan berat gadis itu.
"Entahlah.... Aku merasa tidak enak, Kakang. 
Aku jadi ingat di rumah," jawab Ratna Wulan per-
lahan.
"Orang tua angkatmu sudah merelakan kau 
pergi, Wulan. Apa lagi yang jadi pikiranmu?" tanya 
Bayu. "Sedangkan kau pernah lebih dari satu pur-
nama meninggalkan mereka tanpa pamit. Lalu ke-
napa sekarang jadi merasa berat. Kau kan sudah 
pamitan pada mereka. Kau masih merasa bersalah 
atas perbuatanmu waktu itu?"
"Bukan.... Bukan itu, Kang. Tapi..."
"Tapi kenapa?"
"Aku tidak tahu. Rasanya, aku ingin kembali 
ke sana. Aku merasa tidak enak...," pelan sekali 
suara Ratna Wulan.
Bayu mengangkat pundaknya.
"Kita pulang dulu, yuk...? Aku merasa seperti 
ada sesuatu di rumah," ajak Ratna Wulan begitu 
bersungguh-sungguh.
"Baiklah...," desah Bayu menyerah.
Mereka kemudian berbalik dan melangkah 
kembali menuju Kota Kadipaten Talagan. Bayu ja-
di heran juga melihat Ratna Wulan berjalan begitu

cepat, seperti ada yang tengah diburunya. Dan wa-
jah gadis itu kelihatan cemas sekali, seperti ada 
yang tengah dikhawatirkan. Tapi, Pendekar Pulau 
Neraka tidak mau banyak bertanya. Diikutinya sa-
ja ayunan langkah kaki gadis ini.
"Ayah...! Ibu...!"
Ratna Wulan terpekik begitu melihat keadaan 
di sekitar halaman rumah orang tua angkatnya 
ini. Kedua bola matanya jadi terbeliak merayapi 
mayat-mayat yang bergelimpangan berlumuran 
darah. Sementara, keadaan rumah itu sudah ru-
sak porak-poranda. Ratna Wulan berlari cepat 
memburu Ki Wanasa yang tergeletak dengan kepa-
la terpisah dari lehernya. 
"Ayah...!" tersedak suara Ratna Wulan.
Sementara Bayu meneliti satu persatu mayat-
mayat yang bergelimpangan saling tumpang tin-
dih, hampir memenuhi halaman rumah ini. Dia 
langsung melompat begitu mendengar rintihan li-
rih tidak jauh dari arah kanannya.
"Ibu...," desis Bayu melihat Nyai Wanasa ber-
gerak sambil merintih lirih.
Bayu langsung mengangkat tubuh perempuan 
tua itu. Tampak darah masih melekat di sekujur 
tubuhnya. Pada saat itu, Ratna Wulan sudah 
mendekati. Gadis itu langsung mengambil ibu 
angkatnya ini dari pelukan Bayu, dan memeluk-
nya erat-erat sambil merintih memanggil-manggil.
"Ibu..., ibu...," panggil Ratna Wulan lirih.
Gadis itu tidak dapat lagi menahan air ma-
tanya yang langsung mengucur membasahi pi-
pinya. Tampak Nyai Wanasa membuka matanya 
perlahan. Begitu redup sinar mata wanita tua itu. 
Sebentar ditatapnya Ratna Wulan, kemudian bera-
lih menatap Bayu yang hanya diam saja meman-
dangi.

"Bayu...," panggil Nyai Wanasa lirih. 
"Iya, Bu," sahut Bayu perlahan seraya meng-
geser lebih dekat.
'Tolong jaga adikmu baik-baik. Tidak ada lagi 
yang melindunginya...," pesan Nyai Wanasa begitu 
perlahan suaranya.
Bayu hanya mengangguk saja. 
"Dan kau, Wulan...." 
"Iya, Bu."
"Dengarkanlah kata-kata Bayu. Ibu senang ji-
ka kalian tetap bersama-sama. Kalian bukan sau-
dara kandung, jadi bisa hidup bersama-sama. Aku 
senang jika kalian…”
"Ibu...," Ratna Wulan cepat-cepat memutuskan 
kalimat Nyai Wanasa.
"Ibu.... Siapa yang melakukan semua ini?" 
tanya Bayu, cepat mengalihkan perhatian perem-
puan tua yang sudah menjelang ajal ini.
"Ibu tidak tahu, apa urusan mereka dengan 
ayahmu, Wulan. Mereka datang tidak lama setelah 
kalian pergi, tapi tidak terjadi sesuatu. Dan baru 
semalam mereka datang lagi ke sini. Mereka begitu 
kuat dan tangguh...," semakin perlahan suara Nyai 
Wanasa.
"Mereka siapa, Bu?" desak Bayu.
"Lima Setan dari Barat...," sahut Nyai Wanasa, 
semakin lirih suaranya.
"Kenapa mereka melakukan ini semua, Bu?" 
tanya Bayu lagi.
"Aku tidak tahu. Tapi mereka punya urusan 
rahasia dengan ayahmu, Wulan. Rahasia yang aku 
sendiri tidak tahu."
"Di mana mereka sekarang, Bu...?" tanya Rat-
na Wulan.
"Aku..., aku..., ahhh...!"
Nyai Wanasa mengejang. Matanya terbeliak lebar, lalu perlahan kelopak matanya terpejam. Se-
mentara kepalanya langsung berpaling lunglai.
"Ibu...!" jerit Ratna Wulan langsung memeluk 
wanita tua yang kini benar-benar menghem-
buskan napas terakhirnya.
Sementara Bayu hanya tertunduk saja. Se-
dangkan Ratna Wulan tak dapat lagi menyembu-
nyikan tangis dan ratapnya, sambil memeluk tu-
buh ibu angkatnya ini. Perlahan Bayu bangkit 
berdiri dengan tubuh lemas. Dirayapinya keadaan 
sekitarnya. Sungguh suatu pemandangan yang ti-
dak sedap dinikmati. Di mana-mana terlihat 
mayat bergelimpangan saling tumpang tindih. Re-
rumputan tidak lagi berwarna hijau, dan sudah 
berubah merah oleh darah.
Perlahan Bayu mengayunkan kakinya menuju 
ke beranda. Lalu menghempaskan diri, duduk le-
mas di tangga beranda depan rumah ini. Pandan-
gannya begitu nanar, menatap Ratna Wulan yang 
masih menangis memeluki mayat ibu angkatnya. 
Selama pengembaraannya ini, Bayu selalu mencari 
di mana saja sahabat-sahabat ayahnya tinggal. 
Dan Pendekar Pulau Neraka selalu mencari kete-
rangan mengenai ibunya, dari mereka yang men-
genal orang tuanya. Tapi sampai saat ini, hanya 
kepahitan saja yang didapatkan. Setiap kali me-
nemukan orang yang mengenal keluarganya, en-
tah kenapa orang itu selalu mengalami nasib naas.
"Ohhh.....Apakah ini kutukan Dewata...? Ke-
napa kedatanganku selalu saja menimbulkan mu-
sibah pada orang lain? Apakah kelahiranku me-
mang sudah ditentukan sebagai pembawa musi-
bah...?" keluh Bayu begitu perlahan, dengan kepa-
la terangkat ke atas.
Bukan hanya sekali ini Pendekar Pulau Neraka
mengeluh begitu. Bayu merasa, kelahirannya di

dunia ini hanya untuk membawa malapetaka bagi 
setiap orang yang ditemuinya. Satu persatu saha-
bat-sahabat ayahnya tewas setiap kali dikunjungi. 
Bahkan kelahirannya pun menyebabkan kehancu-
ran bagi keluarganya, dan padepokan ayahnya. 
Bayu tidak tahu, apakah ini kutukan dari Dewa-
ta...? Sejak dia lahir hingga sekarang ini, hanya 
malapetaka saja yang ditemui.
"Dewata Yang Agung.... Dapatkah kau memberi 
ku sedikit saja kebahagiaan...," desah Bayu, begitu 
perlahan suaranya.
***
"Ayo...," ajak Bayu sambil menyentuh pundak 
Ratna Wulan yang masih berdiri memandangi pu-
sara kedua orang tua angkatnya.
Kematian Ki Wanasa dan istrinya, serta selu-
ruh orang-orangnya telah membuat kegemparan di 
seluruh pelosok Kota Kadipaten Talagan ini. Ham-
pir semua orang yang mengenalnya, membantu 
menguburkan mereka. Dan memang, pasangan 
tua itu sudah amat dikenal di Kota Kadipaten Ta-
lagan ini. Terutama, Ki Wanasa yang memang ter-
kenal akan kedermawanannya. Hingga, tidak sedi-
kit orang yang membantu dan mengantarkan ke 
tempat peristirahatannya yang terakhir.
Perlahan Ratna Wulan mengangkat kepala, 
menatap pemuda tampan berbaju kulit harimau 
ini. Kemudian tubuhnya diputar berbalik. Tanpa 
berkata sedikit pun, gadis itu terus saja melang-
kah gontai meninggalkan pusara kedua orang tua 
angkatnya. Bayu mengikuti saja, mensejajarkan 
langkahnya di samping gadis ini. Pendekar Pulau 
Neraka juga tidak berkata-kata sedikit pun. Sam-
pai jauh melangkah, belum ada seorang pun yang

berbicara. Mereka berjalan terus menuju ke arah 
Selatan. Sementara, matahari sudah teramat con-
dong ke Barat. Sinarnya tidak lagi terik memancar, 
seakan-akan ikut merasakan duka yang sedang 
dialami dua anak manusia ini.
"Bagaimana sekarang, Wulan?" tanya Bayu se-
telah cukup lama terdiam saja.
"Aku tidak tahu lagi harus berbuat apa seka-
rang," sahut Ratna Wulan perlahan.
"Wulan! Kau ingat kata-kata ibu yang terak-
hir?" tanya Bayu.
Ratna Wulan menghentikan ayunan langkah-
nya. Wajahnya berpaling menatap Pendekar Pulau 
Neraka. Seperti terbangun dari suatu mimpi bu-
ruk, Ratna Wulan langsung teringat kata-kata te-
rakhir ibu angkatnya. Mereka semua dibantai lima 
orang yang dijuluki Lima Setan dari Barat. Dan 
kelima orang itu mempunyai urusan rahasia den-
gan ayah angkatnya. Hanya itu yang diucapkan te-
rakhir kali, sebelum Nyai Wanasa menghem-
buskan napas yang terakhir.
"Aku tidak akan memaksamu, Wulan. Tapi, 
aku akan mencari dan menuntut balas atas per-
buatan mereka. Orang tua angkatmu adalah sau-
dara angkat ayahku. Dan kematian mereka harus 
terbalaskan," tegas Bayu berapi-api.
"Kau tahu, Kakang. Sampai saat ini pun aku 
tidak pernah menganggap mereka hanya orang tua 
angkat. Mereka sudah merawat dan mendidik ku
sejak kecil. Merekalah sesungguhnya orang tuaku, 
Kakang. Aku juga tidak akan membiarkan pembu-
nuh-pembunuh itu tetap berkeliaran," sambut 
Ratna Wulan penuh semangat.
"Lalu, bagaimana dengan...?"
"Aku bisa menundanya," selak Ratna Wulan 
tegas. "Persoalan ini lebih penting daripada persoalan pribadiku."
"Kita akan bersama-sama menuntut balas, 
Wulan."
"Ya! Dan aku juga ingin mengetahui, rahasia 
apa yang disimpan ayah. Bahkan sampai rela 
mengorbankan nyawa demi rahasia itu," sahut 
Ratna Wulan.
"Hm.... Kau akan menghadapi petualangan ba-
ru yang sesungguhnya, Wulan," nada suara Bayu 
terdengar agak menggumam.
Ratna Wulan hanya tersenyum tipis, kemudian 
kembali mengayunkan langkahnya. Tapi baru be-
berapa tindak, langkahnya kembali berhenti dan 
berbalik menatap ke arah kuburan yang sudah 
jauh ditinggalkan. Bayu juga ikut memandang ke 
arah kuburan itu.
Tak ada yang bicara. Setelah beberapa saat 
lamanya mereka terdiam memandangi kuburan 
yang sepi, kemudian kembali melangkah pergi 
dengan ayunan kaki agak lebar dan cepat. Mereka 
terus melangkah menuju Selatan. Meskipun masih 
memiliki tujuan, tapi sekarang ini mereka tidak 
tahu, ke mana arah tujuan yang akan ditempuh. 
Mereka tidak tahu, di mana harus mencari Lima 
Setan dari Barat yang telah membantai Ki Wanasa 
dan istrinya, serta semua orang yang ada di ru-
mah itu.
***
Bayu berdiri tegap di bawah naungan dangau. 
Pandangannya lurus merayapi petak-petak sawah 
yang menghampar bagai permadani tergelar. Pu-
cuk-pucuk daun pohon padi terayun-ayun diper-
mainkan angin. Sementara, Ratna Wulan tampak 
duduk memeluk lutut dengan pandangan kosong

ke depan. Sudah tiga hari ini mereka menjelajahi 
seluruh wilayah Kadipaten Talagan, tapi sampai 
saat ini belum juga mendapat jejak Lima Setan da-
ri Barat. Bahkan semua orang yang ditanyai, tidak 
ada yang mengenal satu pun.
Ratna Wulan sudah menghubungi semua te-
man-teman ayah angkatnya. Tapi mereka semua 
tidak tahu, siapa Lima Setan dari Barat itu. Bah-
kan setelah tahu kalau Ki Wanasa dan istrinya di-
bunuh Lima Setan dari Barat, sikap mereka seper-
ti ketakutan. Mereka langsung buru-buru menga-
takan kalau tidak pernah mendengar namanya.
"Aku tidak percaya kalau mereka semua tidak 
tahu, Kakang," ujar Ratna Wulan, begitu perlahan 
suaranya.
"Kenapa kau berpikiran begitu, Wulan?" tanya 
Bayu seraya berpaling menatap gadis ini.
"Dari sikap mereka, Kakang. Mereka seperti 
ketakutan setelah mendengar julukan Lima Setan 
dari Barat," sahut Ratna Wulan.
Bayu terdiam memandangi gadis itu, kemu-
dian . melangkah dan duduk di samping Ratna 
Wulan yang masih duduk memeluk lutut. Selem-
bar tikar daun pandan yang sudah lusuh menjadi 
alas duduk mereka di dangau ini. Kembali mereka 
terdiam tak berbicara lagi untuk beberapa saat 
lamanya.
"Mungkin mereka tidak ada lagi di kadipaten 
ini, Kakang," kata Ratna Wulan menduga. Sua-
ranya masih tetap terdengar perlahan.
"Mereka datang untuk mencari sesuatu. Dan 
itu yang dikatakan Nyai Wanasa. Aku yakin, me-
reka belum meninggalkan Kadipaten Talagan ini 
sebelum mendapatkan apa yang dicari, Wulan," 
bantah Bayu.
"Sebenarnya, apa yang mereka cari, Kakang
?
tanya Ratna Wulan seperti untuk diri sendiri.
"Itulah persoalannya, Wulan. Nyai Wanasa 
sendiri tidak tahu ada rahasia yang disembunyi-
kan suaminya," desah Bayu menyahuti perta-
nyaan Ratna Wulan tadi.
"Kakang, apa sebaiknya kita cari petunjuk di 
rumah. Siapa tahu, bisa didapatkan sesuatu di 
sana," usul Ratna Wulan.
"Hm...," Bayu menggumam perlahan dengan 
kening berkerut.
"Aku ingat, Kakang...!" sentak Ratna Wulan ti-
ba-tiba.
"Apa...?" tanya Bayu.
"Apa kau tidak perhatikan, Kakang...?"
"Maksudmu?"
"Di antara mereka yang tewas, aku tidak me-
nemukan Ki Darpin," kata Ratna Wulan.
"Ki Darpin...?" kening Bayu semakin berkerut 
dalam mendengar nama itu.
"Iya..., Ki Darpin.... Bukankah dia salah seo-
rang dari murid padepokan milik ayahmu? Dan 
setelah padepokan ayahmu hancur, Ki Darpin ke-
mudian ikut ayahku. Aku ingat sekarang, Ka-
kang.... Setiap kali ayah pergi, Ki Darpin selalu 
ikut bersamanya. Bahkan tidak jarang mereka 
pergi berdua saja tanpa ada pengawal seorang 
pun," kata Ratna Wulan lagi.
"Tapi, ayahmu tidak punya orang kepercayaan 
satu pun juga, Wulan. Dan aku tahu itu," kata 
Bayu.
"Aku tahu, Kakang. Memang ayah tidak punya 
orang kepercayaan satu pun. Ayah selalu men-
ganggap mereka semua sama kedudukannya. Tapi 
selama ini, aku tahu kalau hanya Ki Darpin yang 
bisa pergi berdua saja dengan ayah. Bahkan se-
ringkali berbicara berdua sampai jauh malam. Aku


rasa, Ki Darpin mengetahui tentang rahasia itu, 
Kakang. Dan di antara mereka yang tewas, hanya 
Ki Darpin yang tidak ada. Aku yakin, Ki Darpin 
pasti masih hidup dan sekarang bersembunyi," ka-
ta Ratna Wulan penuh semangat.
"Hm.... Benar juga apa katamu, Wulan. Me-
mang di antara mereka yang tewas tidak ada Ki 
Darpin di sana. Dan sampai sekarang pun kita ti-
dak melihatnya lagi," agak menggumam nada sua-
ra Bayu.
"Sekarang kita punya kuncinya, Kakang," ujar 
Ratna Wulan lagi.
"Tapi kau jangan terlalu banyak berharap, Wu-
lan. Harapan yang tidak terkabul bisa menimbul-
kan kekecewaan. Dan itu sangat berbahaya bagi 
pengendalian dirimu. Kau harus ingat. Sekarang 
ini kau sudah benar-benar terjun ke dalam dunia 
persilatan yang ganas dan penuh daya tipu yang 
menjerat," Bayu menasihati.
Tapi Ratna Wulan hanya menyambut dengan 
senyuman saja. Gadis itu bangkit berdiri dan me-
langkah keluar dari dangau ini. Sebentar ditatap-
nya hamparan sawah yang terbentang di depan-
nya. Kemudian wajahnya berpaling menatap Bayu 
yang masih duduk memandangi dari dalam dan-
gau kecil itu.
"Ayo, Kakang," ajak Ratna Wulan.
"Ke mana?" tanya Bayu.
"Kita kembali ke rumah. Barangkali saja bisa 
menemukan sesuatu di sana," sahut Rama Wulan.
Bayu mengangkat bahunya sedikit, kemudian 
bangkit berdiri dan melangkah keluar dari dangau 
kecil ini. Tak berapa lama kemudian, mereka su-
dah melangkah bersisian menuju Kota Kadipaten 
Talagan kembali.
"Wulan, apakah Ki Darpin tidak punya keluar

ga?" tanya Bayu sambil terus melangkah di samp-
ing gadis cantik yang mengenakan baju warna me-
rah agak ketat ini.
"Tidak," sahut Ratna Wulan singkat. "Ki Darpin 
tinggal di rumah, dan ada kamarnya tersendiri. 
Aku tidak begitu dekat dengannya. Dan dia sendiri 
juga jarang sekali berbicara, kecuali bila ditanya. 
Dan jawabannya juga hanya singkat-singkat saja. 
Pokoknya, orangnya menjemukan, Kakang."
Bayu jadi tersenyum dikulum. Pendekar Pulau 
Neraka memang sudah beberapa kali bicara den-
gan Ki Darpin waktu berada di rumah Ki Wanasa 
itu. Dan memang, apa yang dikatakan Ratna Wu-
lan itu benar. Ki Darpin memang paling sulit di-
ajak bicara. Dia terlalu pendiam. Juga, sikapnya 
teramat kaku.
Ki Wanasa sendiri pernah mengatakan kalau 
sejak hancurnya Padepokan Dewa Pedang, Ki Dar-
pin jadi pendiam. Padahal dulunya, Ki Darpin ada-
lah seorang pemuda periang yang penuh seman-
gat. Bahkan Pendekar Dewa Pedang sendiri me-
nyukainya, sehingga dia mendapatkan tambahan 
jurus-jurus yang belum diajarkan pada murid-
murid di padepokan itu. Jurus-jurus yang lang-
sung diberikan Pendekar Dewa Pedang sendiri. 
Dan sekarang ini, usia Ki Darpin sudah kepala li-
ma. Tentunya ketika masih berada di Padepokan 
Dewa Pedang, usianya pasti sebaya dengan Bayu 
sekarang ini.
"Apa yang kau lamunkan, Kakang?" tegur Ra-
ma Wulan.
"Oh, tidak...," sahut Bayu agak tersentak. Te-
guran Ratna Wulan langsung membuyarkan la-
munannya seketika.
"Ingat kekasihmu, ya...?" agak lain nada suara
Ratna Wulan.

"Bagaimana mungkin aku bisa punya kekasih, 
Wulan...? Hidupku saja masih belum menentu. 
Pindah dari satu tempat, ke tempat lain tanpa 
arah dan tujuan pasti," sahut bayu langsung bisa 
mengerti nada Suara gadis itu.
Ratna Wulan kembali diam. Dan Bayu juga ti-
dak bicara lagi. Mereka terus melangkah semakin 
mendekati gerbang perbatasan Kota Kadipaten Ta-
lagan. Dua orang berseragam prajurit kadipaten, 
terlihat menjaga gerbang perbatasan yang berben-
tuk candi kecil dari batu.
***
EMPAT


Seharian penuh, Bayu dan Ratna Wulan me-
meriksa setiap sudut ruangan dalam rumah pe-
ninggalan mendiang Ki Wanasa. Keadaan di dalam 
rumah itu memang sudah porak-poranda bagai 
terlanda gempa berkekuatan tinggi. Tapi sampai 
lelah, mereka tidak menemukan sesuatu yang be-
rarti. Demikian pula di dalam kamar pribadi Ki 
Wanasa. Mereka juga tidak menemukan sesuatu 
yang berarti. Hingga akhirnya, mereka terduduk 
lemas di ruangan tengah yang sudah hancur be-
rantakan.
"Aku tidak tahu lagi apa yang harus kulaku-
kan. Persoalan ini membuatku lelah...," keluh 
Ratna Wulan lirih, seperti bicara pada diri sendiri.
"Kau putus asa, Wulan?" tanya Bayu.
"Apa aku kelihatan putus asa? Aku tidak akan 
menyerah sebelum memenggal batang leher mere-
ka semua!" dengus Rama Wulan bernada kesal.
"Aku khawatir, kau tidak akan mampu meng-
hadapinya, Wulan...."

"Heh...?!"
Ratna Wulan begitu terkejut, ketika tiba-tiba 
terdengar suara agak berat. Bahkan Bayu lang-
sung melompat berdiri sambil mengedarkan pan-
dangan berkeliling. Ratna Wulan juga ikut berdiri 
di samping Pendekar Pulau Neraka.
"Siapa itu yang bicara...?" agak lantang suara
Bayu.
Tidak ada sahutan sama sekali. Tapi tidak la-
ma kemudian, dari balik dinding penyekat antara 
ruangan tengah ini dengan ruangan depan, mun-
cul seorang laki-laki berusia setengah baya. Pa-
kaiannya tampak kelihatan kotor dan begitu lu-
suh. Bercak noda darah kering melekat pada pa-
kaiannya. Bayu dan Ratna Wulan jadi terbeliak. 
Mereka tentu saja mengenali laki-laki separuh 
baya yang rambutnya sudah mulai berwarna dua 
itu.
"Ki Darpin...," desis Ratna Wulan. Laki-laki se-
tengah baya yang memang Ki Darpin itu melang-
kah gontai menghampiri. Kemudian, dia berhenti 
sekitar tiga langkah lagi di depan Ratna Wulan 
dan Pendekar Pulau Neraka.
"Dari mana saja kau, Ki? Kenapa baru muncul 
sekarang?" Ratna Wulan langsung menyerang 
dengan pertanyaan.
"Aku baru saja pulang dari tabib, dan langsung 
ke sini," sahut Ki Darpin, agak datar nada sua-
ranya.
"Aku tahu kau masih hidup, Ki. Itu sebabnya, 
selama tiga hari ini kami berdua mencarimu," kata 
Bayu.
"Benar, Ki. Kau tidak ada di antara mereka 
yang tewas. Makanya aku begitu yakin kalau kau 
masih hidup," sambung Ratna Wulan lagi.
"Ceritakan semua yang terjadi di sini, Ki," pin
ta Bayu.
"Aku ikut bertarung bersama yang lainnya. Sa-
lah seorang berhasil memukul ku hingga pingsan. 
Aku tersadar jauh sebelum kalian datang, lalu 
pergi mencari pengobatan di rumah seorang tabib. 
Setelah merasa sembuh, aku segera ke sini lagi," 
kata Ki Darpin, terdengar perlahan suaranya.
'Tapi kenapa kau tidak memberi kabar, Ki?" 
tanya Ratna Wulan seperti menyesali.
"Itu tidak mungkin, Wulan," sahut Ki Darpin. 
"Kenapa...?" Ratna Wulan meminta penjelasan. 
"Hampir semua sahabat-sahabat Ki Wanasa 
mengetahui hubungannya dengan Lima Setan dari 
Barat. Dan aku tidak mungkin memberi kabar be-
gitu saja. Mereka bisa menuduhku macam-
macam. Bahkan bukan tidak mungkin, akan me-
nyalahkanku," kata Ki Darpin mencoba menje-
laskan.
"Aku tidak mengerti maksudmu, Ki," selak 
Bayu jadi bingung.
"Kalian memang tidak tahu, apa yang dilaku-
kan Ki Wanasa bersama Lima Setan dari Barat itu. 
Bahkan sebenarnya semua sahabat Ki Wanasa ju-
ga tidak tahu pasti. Mereka hanya mendengar ka-
bar burung saja, tapi begitu percaya. Hanya saja, 
mereka tidak bisa berbuat apa-apa selama Ki Wa-
nasa masih hidup. Mereka tahu, siapa Ki Wanasa 
itu. Dia bukan hanya sekadar seorang saudagar, 
tapi juga seorang pendekar yang memiliki kepan-
daian tingkat tinggi," sambung Ki Darpin.
"Langsung saja, Ki. Apa yang dilakukan ayah-
ku bersama Lima Setan dari Barat...?" selak Ratna 
Wulan tidak sabar.
"Lima tahun yang lalu, ketika kau masih beru-
sia empat belas tahun, Ki Wanasa sempat menjadi 
orang kepercayaan Adipati Talagan ini. Adipati itu

mempercayakan Ki Wanasa untuk mengantar ba-
rang-barang berharga berupa emas dan perak ke 
kotaraja. Sudah beberapa kali hal itu dilakukan Ki 
Wanasa, dan selalu tiba dengan selamat. Tapi pa-
da pengiriman terakhir yang berjumlah sangat be-
sar, semua barang itu hilang dirampok Lima Setan 
dari Barat. Semua prajurit pengawal dari kadipa-
ten tewas. Juga, lima puluh orang yang dibawa Ki 
Wanasa pun tewas. Hanya aku dan Ki Wanasa 
sendiri yang tetap hidup. Aku dan Ki Wanasa ber-
hasil melarikan diri, dan kembali ke kadipaten un-
tuk melaporkan semua kejadiannya," tutur Ki 
Darpin mulai menceritakan.
"Lalu, apa tindakan adipati?" tanya Bayu.
"Adipati Talagan hanya bisa menyesali saja pe-
ristiwa itu. Namun beliau tidak bisa menjatuhkan 
hukuman apa pun, karena memang semua bukti 
begitu nyata. Hanya saja, sampai sekarang Ki Wa-
nasa tidak lagi mendapat tugas mengantarkan ba-
rang ke kotaraja. Tapi beberapa kali adipati meng-
ganti orang, selalu saja amblas dirampok. Hingga, 
hal itu berlangsung selama dua tahun. Setelah itu 
tidak ada lagi terdengar perampokan. Lima Setan 
dari Barat seperti menghilang begitu saja. Dan, 
kali inilah mereka muncul lagi," Ki Darpin men-
gakhiri ceritanya.
Ki Darpin dan Bayu memandangi Ratna Wulan 
yang juga membalas pandangan mereka bergan-
tian. Gadis itu menghembuskan napas panjang 
yang terasa begitu berat.
"Aku tahu, apa yang kalian pikirkan. Memang 
berat untuk mengakui. Tapi kalau kenyataannya 
memang begitu, aku tidak bisa berbuat apa-apa," 
ujar Ratna Wulan, agak mendesah suaranya.
"Belum ada bukti yang jelas kalau Ki Wanasa 
terlibat dalam semua perampokan itu, Wulan," ka

ta Bayu mencoba menenangkan perasaan hati ga-
dis ini.
"Ki Wanasa memang terlibat," selak Ki Darpin.
Bukan hanya Bayu yang terkejut, tapi juga 
Ratna Wulan sampai terbeliak menatap laki-laki 
separuh baya berpakaian lusuh dan kotor penuh 
bernoda darah ke-ring ini.
"Pada kejadian pertama, memang Ki Wanasa 
tidak terlibat. Tapi pada peristiwa selanjutnya, dia 
memang terlibat," tegas Ki Darpin lagi.
"Bagaimana mungkin bisa begitu, Ki...?" Bayu 
benar-benar tidak menyangka.
"Ki Wanasa merasa sakit hati dan terbuang 
atas sikap Adipati Talagan. Kemudian, dicarinya 
Lima Setan dari Barat. Waktu itu aku ikut serta. 
Ki Wanasa bukannya ingin membalas, tapi malah 
merencanakan bekerjasama dengan imbalan bagi 
hasil. Ki Wanasa selalu memberi tahu, kapan akan 
terjadi pengiriman barang. Semua keterangan, ten-
tang jumlah kekuatan pengawal, serta berapa ba-
nyaknya barang, diberikan Ki Wanasa. Bahkan ke-
tika Adipati Talaga menjebaknya, Lima Setan dari 
Barat itu tidak muncul sama sekali. Memang, me-
reka telah tahu kalau itu hanya jebakan dan peti-
peti pengangkut barang itu hanya berisi batu kali. 
Mereka juga tahu kalau ada dua pasukan kerajaan 
membuntuti dari jarak jauh," jelas Ki Darpin.
"Lalu, dari mana Ki Wanasa bisa tahu semua 
itu?"
"Ada seorang prajurit pengawal adipati yang 
bersedia bekerjasama dengan imbalan pula. Tapi, 
dia mencoba berkhianat. Maka, Ki Wanasa mem-
bunuhnya sebelum rahasianya terbongkar. Lalu, 
Lima Setan dari Barat juga dikelabuinya. Dan di 
saat mereka pergi, Ki Wanasa memindahkan se-
mua hasil rampokan selama dua tahun itu ke

tempat lain yang hanya dia sendiri yang tahu," sa-
hut Ki Darpin lagi.
"Dan kau sendiri?" tanya Bayu bernada curiga.
"Aku juga tidak tahu. Waktu itu, aku hanya 
diminta untuk menyiapkan sebuah kereta besar, 
yang ditarik sepuluh ekor kuda. Aku tidak tahu, 
apa rencananya waktu itu. Dan aku baru tahu 
dua hari sebelum mereka datang ke sini," sahut Ki 
Darpin. Tapi, Ki Wanasa tidak mau memberi tahu 
di mana letaknya. Dia hanya mengatakan...."
"Teruskan, Ki," pinta Bayu mendesak.
"Dia hanya mengatakan kalau harta itu ter-
simpan di tempat yang aman, tapi tidak jauh dari 
kota kadipaten itu," sambung Ki Darpin.
"Sukar dipercaya, kenapa Ki Wanasa bisa me-
lakukan itu...?" desah Bayu perlahan, seperti bica-
ra pada diri sendiri.
"Hilangnya kepercayaan Adipati Talaga, mem-
buat usahanya benar-benar hancur. Dan Ki Wa-
nasa hampir bangkrut waktu itu, Bayu. Rasa sakit 
hatinyalah yang membuatnya berbuat nekat. Dan 
dari harta itu, dia bisa kembali bangkit dari ke-
bangkrutannya."
"Memang sulit mencari siapa yang salah dalam 
hal ini," desah Bayu lagi. "Tapi bagaimanapun ju-
ga, semua yang dilakukan Ki Wanasa tidak benar."
"Lalu, apa yang akan kita lakukan sekarang, 
Kakang?" tanya Ratna Wulan jadi lemas setelah 
mengetahui semua persoalannya.
"Rasanya, tidak ada yang bisa kita lakukan se-
lain menemukan harta itu dan mengembalikannya 
pada Adipati Talaga," sahut Bayu.
"Itu sama saja mencoreng nama Ki Wanasa, 
Bayu," Ki Darpin tampak tidak setuju.
"Kita tidak akan mengatakan kalau Ki Wanasa 
terlibat, Ki. Katakan saja kalau Lima Setan dari

Barat itu yang melakukan semuanya. Dan yang 
pasti, kita harus bisa melenyapkan mereka. Kalau 
tidak, mereka akan semakin merajalela saja. Dan 
yang terpenting, harta itu jangan sampai jatuh ke 
tangan mereka. Harta itu bisa memperkuat mere-
ka, Ki," tegas Bayu. "Cukup kita bertiga saja yang 
mengetahui semua rahasia ini."
"Kau sama dengan ayahmu, Bayu. Selalu me-
lindungi sahabat-sahabatnya," puji Ki Darpin.
"Aku tidak melindunginya, Ki. Aku hanya tidak 
ingin nama Ki Wanasa rusak, walaupun jelas ber-
salah," bantah Bayu, tegas.
'Terima kasih, Kakang," ucap Ratna Wulan 
perlahan.
Bayu hanya tersenyum saja sambil menepuk 
punggung tangan gadis itu. Mereka terus berbica-
ra sampai jauh malam. Ratna Wulan membersih-
kan satu kamar untuk istirahatnya. Sedangkan 
Bayu dan Ki Darpin terus berada di ruangan ten-
gah ini, dengan hanya sebuah pelita kecil sebagai 
penerangan.
***
Malam terus merayap semakin bertambah la-
rut. Bayu dan Ki Darpin masih berada di ruangan 
tengah rumah peninggalan mendiang Ki Wanasa. 
Sementara, Ratna Wulan sudah masuk ke dalam 
kamar yang dibersihkannya untuk beristirahat. 
Gadis itu tampak lelah sekali. Apalagi setelah 
mengetahui rahasia yang selama ini tersimpan. 
Rahasia yang bisa membuat nama baik ayah ang-
katnya tercoreng, karena perbuatannya sendiri 
yang melampiaskan rasa sakit hati pada Adipati 
Talagan.
Memang, selama ini sudah banyak orang yang

menduga, terutama dari kalangan saudagar dan 
pembesar Istana Kadipaten Talagan. Tapi, sampai 
saat ini mereka tidak memiliki bukti yang cukup 
akan keterlibatan Ki Wanasa dalam semua peram-
pokan itu. Hingga tak ada seorang pun yang bisa 
menuduhnya secara langsung. Tapi dengan kema-
tian Ki Wanasa oleh Lima Setan dari Barat, mere-
ka semua langsung tahu kalau Ki Wanasa me-
mang terlibat dalam semua kejadian perampokan 
itu. Walaupun, itu masih berupa dugaan tanpa 
bukti jelas. Dan semua rahasia itu kini sudah ter-
pegang Bayu, Ki Darpin, dan Ratna Wulan. Hanya 
mereka bertiga saja yang tahu.
"Ki! Apa Ki Wanasa pernah mengatakan satu 
petunjuk penyimpanan harta itu?" tanya Bayu, 
agak perlahan suaranya.
"Sulit, Bayu. Karena, Ki Wanasa hanya menga-
takan tempat penyimpanan harta itu hanya bisa 
ditemukan kalau ada yang melihat Cendawan Me-
rah. Di tempat Cendawan Merah itulah letaknya," 
sahut Ki Darpin. "Sedangkan kau tahu sendiri. Ti-
dak sembarang orang bisa mengetahui, di mana 
Cendawan Merah itu berada. Bahkan kabarnya la-
gi, Cendawan Merah hanya tumbuh satu kali da-
lam seratus tahun. Juga ada yang bilang, kalau 
Cendawan Merah hanya bisa dilihat oleh orang 
yang memang sedang mujur atau orang-orang su-
ci," sahut Ki Darpin lagi.
Bayu jadi tersenyum tipis. Pendekar Pulau Ne-
raka juga sering mendengar tentang Cendawan 
Merah. Sebuah tanaman semacam jamur yang 
sama sekali belum pernah dilihatnya. Dan begitu 
banyak macam ragam cerita tentang cendawan 
itu. Bahkan Bayu menganggap kalau Cendawan 
Merah tidak ada. Dan itu hanya merupakan don-
geng saja.

"Apa Ki Wanasa membuat gambar petunjuk, 
Ki?" tanya Bayu lagi.
"Tidak," sahut Ki Darpin. "Katanya, setitik 
gambar saja bisa membuat malapetaka. Jadi, Ki 
Wanasa tidak pernah membuat gambar letak harta 
itu."
Mereka jadi terdiam beberapa saat lamanya.
"Bayu...."
"Hm."
"Kalau boleh kusarankan, sebaiknya kau tidak 
perlu mempersoalkan harta itu. Kau bisa celaka 
sendiri nantinya. Lima Setan dari Barat bukan 
orang-orang sembarangan. Mereka berkepandaian 
tinggi dan sukar dicari tandingannya," saran Ki 
Darpin.
Bayu hanya tersenyum saja sambil mengge-
leng-gelengkan kepala. Ki Darpin bangkit berdiri 
dan melangkah hendak meninggalkan ruangan ini. 
"Mau ke mana, Ki?" tanya Bayu. 
"Ke belakang, buang air," sahut Ki Darpin 
langsung saja berlari kecil ke ruangan belakang 
rumah ini.
Bayu hanya menggeleng-gelengkan kepala saja 
memperhatikan Ki Darpin yang lenyap di balik 
dinding penyekat ruangan. Laki-laki setengah baya 
itu terus berlari-lari melewati beberapa pintu yang 
terbuka, kemudian sampai ke bagian belakang 
rumah yang berukuran sangat besar bagai istana 
ini. Dia terus berlari-lari kecil memasuki halaman 
belakang rumah. Tapi belum jauh keluar dari ru-
mah itu, mendadak saja....
"He he he...!" 
"Oh...?!"
Ki Darpin jadi tersentak kaget, begitu tiba-tiba 
terdengar suara tawa terkekeh. Dan belum juga 
hilang rasa keterkejutannya, mendadak saja berkelebat sebuah bayangan hitam di depannya. Dan 
tahu-tahu di depannya sudah berdiri seorang laki-
laki tua berjubah hitam yang membawa tongkat 
berwarna hitam, yang satu ujungnya berbentuk 
runcing.
Ki Darpin jadi terlongong dengan mulut terbu-
ka lebar. Dan dia semakin bengong begitu muncul 
lagi orang-orang tua yang mengenakan jubah ber-
lainan warna yang semuanya membawa tongkat 
berwarna sama dengan jubah masing-masing. Ti-
ba-tiba saja, seluruh tubuh Ki Darpin jadi mengge-
letar hebat. Dan baru disadari, siapa lima orang
tua berjubah berlainan warna yang tahu-tahu 
muncul di depannya ini.
***
"Lima Setan dari Barat...," desis Ki Darpin 
hampir tak terdengar suaranya.
Laki-laki separuh baya itu melangkah mundur 
beberapa tindak. Tangan kanannya langsung me-
raba gagang pedang yang tergantung di pinggang. 
Sedangkan lima orang tua yang memang Lima Se-
tan dari Barat itu tetap berdiri tegak berjajar me-
natap tajam Ki Darpin.
"Mau apa kalian datang lagi ke sini?" tanya Ki 
Darpin, agak bergetar suaranya.
"Kau sudah tahu jawabannya, Darpin," sahut 
Setan Jubah Hitam, dingin sekali nada suaranya.
'Tidak ada yang bisa kau dapatkan dariku di 
sini," tegas Ki Darpin, semakin jelas getaran sua-
ranya.
"Kau pikir kami orang-orang bodoh...?! Aku ta-
hu, kau satu-satunya orang kepercayaan si Kepa-
rat Wanasa. Kau tentu tahu, apa yang kuinginkan, 
Darpin. Dan semua itu ada padamu," semakin

dingin nada suara Setan Jubah Hitam.
"Aku tidak tahu apa-apa. Ki Wanasa tidak per-
nah mengatakan apa-apa padaku," bantah Ki Dar-
pin, agak keras suaranya.
"Jangan menyakiti dirimu sendiri, Darpin. 
Hanya kau yang tahu semua ini. Jadi, tidak 
mungkin kalau tidak tahu di mana si Keparat Wa-
nasa menyembunyikan harta itu."
"Aku mengatakan yang sesungguhnya. Dan la-
gi, aku bukan orang kepercayaan Ki Wanasa," sa-
hut Ki Darpin mencoba meyakinkan lima orang 
tua berjubah itu.
"Ingat, Darpin.... Kesabaran ada batasnya. Dan 
kami semua sudah tidak sabar lagi," desis Setan 
Jubah Hitam bernada mengancam.
"Oh...," Ki Darpin mengeluh kecil.
Wajah laki-laki setengah baya itu jadi memu-
cat seketika. Dia tahu, Lima Setan dari Barat bu-
kanlah tandingannya. Tingkat kepandaian yang 
dimilikinya masih jauh di bawah tingkat kepan-
daian mereka. Perlahan kakinya melangkah mun-
dur. Tangan kanan-nya sudah menggenggam ga-
gang pedang erat-erat.
"Katakan, di mana harta itu...?" desis Setan 
Jubah Hitam sudah tidak sabar lagi.
"Aku tidak tahu," sahut Ki Darpin.
"Keparat...! Kau akan menyesal, Darpin." Setan 
Jubah Hitam sudah melangkah maju satu tindak, 
tapi keburu dicegah Setan Jubah biru.
"Biar aku saja yang membereskannya, Ka-
kang," pinta Setan Jubah Biru.
"Lakukanlah. Tapi, aku tidak mau dia mati. 
Dialah satu-satunya kunci untuk menemukan 
harta itu," sahut Setan Jubah Hitam.
"Akan kubuat dia mengaku," janji Setan Jubah
biru

Setelah berkata demikian, Setan Jubah Biru 
langsung melangkah lebar mendekati Ki Darpin. 
Bibirnya menyeringai lebar, seakan-akan ingin 
mengoyak tubuh laki-laki setengah baya itu. Ki 
Darpin jadi bergidik. Kengerian langsung menye-
limuti seluruh rongga dadanya. Dia tahu, tidak 
akan mungkin bisa selamat lagi kali ini. Tapi, Ki 
Darpin tak sudi menyerah begitu saja. 
"Hiyaaa...!"
Tiba-tiba saja Setan Jubah Biru melompat 
sambil mengebutkan tongkatnya cepat sekali ke 
arah kepala Ki Darpin. Tapi pada saat itu, Ki Dar-
pin yang memang sudah siap menghadapi segala 
kemungkinan yang bakal terjadi langsung saja 
mencabut pedangnya. Secepat itu pula, pedangnya 
diangkat untuk menangkis tebasan tongkat ber-
warna biru itu.
"Hait...!"
Trang!
"Hih...!"
Tapi tanpa diduga sama sekali, Setan Jubah 
Biru langsung cepat memutar tongkatnya. Dan be-
gitu ujung tongkatnya hampir menyambar ping-
gang, Ki Darpin cepat-cepat melompat ke bela-
kang. Namun pada saat yang bersamaan, Setan 
Jubah Biru sudah memberi satu sodokan keras 
dengan tangan kirinya.
"Ikh...?!" Ki Darpin jadi terpekik kaget.
Buru-buru tubuhnya dijatuhkan ke tanah dan 
bergulingan beberapa kali untuk menghindari so-
dokan tangan kiri Setan Jubah Biru. Lalu, berge-
gas Ki Darpin melompat bangkit berdiri. Dan be-
lum juga sempurna berdirinya, Setan Jubah Biru 
sudah langsung melompat menyerang. Tongkatnya 
dikebutkan cepat sekali ke sekitar tubuh laki-laki 
separuh baya itu.

Ki Darpin terpaksa berjumpalitan, meliuk-
liukkan tubuhnya menghindari setiap serangan 
tongkat Setan Jubah Biru. Beberapa kali ujung 
tongkat yang runcing itu hampir menghunjam ke 
tubuhnya. Tapi, Ki Darpin masih bisa menghindar 
meskipun kelabakan juga. Serangan-serangan 
yang dilakukan Setan Jubah Biru memang begitu 
cepat dan dahsyat.
"Lepas...!" seru Setan Jubah Biru tiba-tiba. Ba-
gaikan kilat, laki-laki tua berjubah biru itu men-
gebutkan tongkatnya ke arah kepala Ki Darpin. 
Dan secepat itu pula Ki Darpin mengangkat pe-
dangnya menangkis tebasan tongkat itu. Tapi tan-
pa diduga sama sekali, Setan Jubah Biru cepat 
memutar tongkatnya. Lalu tongkatnya dikebutkan 
ke mata pedang itu dengan mengerahkan kekua-
tan tenaga dalam tinggi. 
Trang!
"Akh...!" Ki Darpin jadi terpekik.
Begitu kerasnya kebutan tongkat itu, sehingga 
Ki Darpin tidak dapat lagi mempertahankan pe-
dangnya yang mental ke udara. Dan sebelum 
sempat menyadari, tahu-tahu Setan Jubah Biru 
sudah memberikan satu sodokan lunak ke dada 
sebelah kiri. Gerakan tangan kirinya begitu cepat, 
sehingga Ki Darpin tidak dapat lagi menghinda-
rinya. Dan.... 
Tuk!
"Okh...?!"
Seketika itu juga, Ki Darpin langsung limbung 
dan ambruk ke tanah setelah dada kirinya terkena 
totokan jari tangan kiri Setan Jubah Biru. Ki Dar-
pin benar-benar tidak mampu lagi menggerakkan 
tubuhnya. Jalan darahnya telah tertotok begitu 
kuat. Hanya kepalanya saja yang masih bisa dige-
rakkan. Sementara Setan Jubah Biru sudah

menghampiri, dan berdiri di dekat tubuh laki-laki 
separuh baya ini.
"Ada yang datang. Cepat kau bawa dia...!" sen-
tak Setan Jubah Hitam, agak tertahan dan tiba-
tiba. 
"Hup...!"
Setan Jubah Biru cepat mengangkat tubuh Ki 
Darpin ke pundaknya. Lalu bagaikan kilat, dia me-
lompat cepat meninggalkan halaman belakang 
rumah ini mengikuti teman-temannya, yang sudah 
lebih dulu berlompatan pergi. Pada saat Lima Se-
tan dari Barat lenyap di balik tembok yang menge-
lilingi rumah ini, dari dalam rumah muncul Pen-
dekar Pulau Neraka.
"Ki...! Ki Darpin...!" seru Bayu memanggil den-
gan suara agak keras.
Tentu saja tak ada sahutan sama sekali. Bayu 
mengedarkan pandangan ke sekitar halaman be-
lakang ini. Dan pandangannya langsung tertum-
buk pada sebatang pedang yang tertancap di po-
hon. Bergegas dihampirinya pedang itu dan dica-
butnya. Kedua bola matanya agak terbeliak begitu 
mengenali pedang ini milik Ki Darpin.
"Ki Darpin...!" panggil Bayu kembali berteriak. 
Pendekar Pulau Neraka jadi tertegun begitu meli-
hat ada tanda-tanda bekas pertarungan di sini. 
Pada saat itu, Ratna Wulan muncul. Gadis itu ter-
bangun mendengar teriakan Bayu yang memanggil 
Ki Darpin. 
"Ada apa, Kakang?" tanya Ratna Wulan lang-
sung begitu dekat.
"Ki Darpin hilang," sahut Bayu.
***

LIMA

Sementara itu Bayu dan Ratna Wulan masih 
diliputi teka-teki yang semakin sulit dipecahkan, 
Ki Darpin tengah berteriak-teriak di dalam sebuah 
gua yang cukup besar, diterangi api dari beberapa 
buah obor. Laki-laki separuh baya itu terikat ran-
tai. dengan tangan terentang. Seluruh tubuhnya 
nampak memar. Kulit tubuhnya tercabik, menge-
luarkan darah. Bajunya tidak lagi kelihatan ben-
tuknya.
Ctar!
"Akh...!"
Ki Darpin berkelojotan begitu ujung cambuk 
kembali merobek kulit tubuhnya. Darah semakin 
banyak keluar dari luka-luka di sekujur tubuhnya. 
Sementara Setan Jubah Biru terus mengayunkan 
cambuknya ke tubuh laki-laki separuh baya ini.
"Cukup, Jubah Biru...!" sentak Setan Jubah 
Hitam.
Cambuk yang terangkat dan hampir menyayat 
kulit yang sudah hancur itu, jadi tertahan. Perla-
han Setan Jubah Biru menurunkan cambuknya. 
Sementara, Setan Jubah Hitam melangkah men-
dekati Ki Darpin yang sudah lemas tak berdaya la-
gi. Dengan ujung kepala tongkatnya, kepala Ki 
Darpin yang tertunduk lemas tanpa daya dan te-
naga lagi diangkatnya.
"Seharusnya, kau tidak perlu mengalami sik-
saan ini, Darpin. Kau bisa kaya kalau mau beker-
jasama," kata Setan Jubah Hitam masih berusaha 
membujuk.
Ki Darpin hanya diam saja. Tatapan matanya 
begitu redup, bagai tak memiliki cahaya kehidu-
pan lagi. Dia benar-benar sudah pasrah, seandainya harus mati dalam penyiksaan seperti ini. 
Memang, tidak ada lagi yang bisa dilakukan selain 
pasrah menerima kenyataan ini.
"Katakan saja, di mana harta itu, Darpin. Aku 
berjanji akan memberimu harta yang cukup untuk 
selama tujuh turunan. Harta itu tidak bakal habis, 
walaupun dibagikan pada semua orang di Kadipa-
ten Talagan," kata Setan Jubah Merah lagi.
'Terserah apa katamu. Tapi, aku tidak akan 
mengkhianati Ki Wanasa, "desis Ki Darpin.
'Tapi dia telah mengkhianati mu, Darpin. Juga 
mengkhianati kami semua."
"Dia tidak mengkhianatiku. Semua harta itu 
diambilnya karena kalian sudah berniat untuk 
menguasainya, dan ingin membunuhnya. Kalian 
boleh lakukan apa saja padaku. Tapi jangan harap 
bisa menemukan harta itu," desis Ki Darpin din-
gin.
"Keparat...!" geram Setan Jubah Hitam. "Ayo, 
bunuh aku...!" tantang Ki Darpin. Setan Jubah Hi-
tam yang sudah mengangkat tangannya, tidak jadi 
menjatuhkan pukulan pada laki-laki setengah 
baya ini. Dia hanya mendengus kesal, karena ti-
dak bisa membujuk Ki Darpin untuk mengatakan 
tempat penyimpanan harta itu.
"Huh...!" sambil mendengus kesal, Setan Ju-
bah Hitam berbalik, lalu melangkah menjauhi Ki 
Darpin. 
"Hhh!" 
Ki Darpin hanya tersenyum sinis. Lima Setan 
dari Barat itu berkumpul di dekat mulut gua, 
menghadapi sebuah api unggun yang tidak begitu 
besar nyala apinya. Sementara Ki Darpin hanya 
memperhatikan saja dengan sinar mata penuh 
ejekan. Bibirnya terus menyunggingkan senyum 
tipis yang terasa begitu sinis.

"Aku tidak tahu lagi, bagaimana cara membu-
ka mulutnya," keluh Setan Jubah Hitam.
"Dia benar-benar keras kepala, Kakang," ujar 
Setan Jubah Merah.
"Tapi, aku tidak ingin dia mati sebelum menga-
takan, di mana harta itu tersimpan. Hanya dia sa-
tu-satunya yang tahu," kata Setan Jubah Hitam 
lagi.
"Bukan hanya dia, Kakang," selak Setan Jubah 
Putih.
"Siapa lagi? Kau tahu...?"
"Bukankah Wanasa punya anak angkat..? Sia-
pa tahu, anak angkatnya itu tahu tempat penyim-
panan harta itu," duga Setan Jubah Putih. '
"Hm...," Setan Jubah Hitam menggumam kecil.
"Tapi, kudengar dia pergi mengembara dan be-
lum kembali sampai saat ini," kata Setan Jubah 
Merah.
'Tidak! Dia sudah kembali bersama seorang 
pemuda. Putra Dewa Pedang, sahabat Wanasa," 
selak Setan Jubah Putih.
'Tapi semua orang tahu kalau Dewa Pedang 
sudah mati, dan putranya hilang entah ke mana."
"Kalian semua benar-benar ketinggalan. Putra 
Dewa Pedang masih hidup. Dia bernama Bayu, 
dan sekarang ini dikenal berjuluk Pendekar Pulau 
Neraka," jelas Setan Jubah Putih.
"Pendekar Pulau Neraka...?!" 
Mereka semua terkejut mendengar julukan itu. 
Tentu saja mereka sudah mendengar julukan Pen-
dekar Pulau Neraka yang sempat menggegerkan 
rimba persilatan. Terutama di wilayah Pantai Sela-
tan. Julukan Pendekar Pulau Neraka memang se-
lalu menjadi bahan pembicaraan di kalangan 
orang-orang persilatan dari semua golongan. Me-
reka semua sudah sering mendengar sepak terjangnya. Dan mereka juga tahu, tingkat kepan-
daian Pendekar Pulau Neraka sangat sukar dicari 
tandingannya. Terlebih lagi, senjatanya yang ber-
nama Cakra Maut. Sampai saat ini, belum ada sa-
tu senjata pun yang bisa mengalahkan keheba-
tannya.
"Dari mana kau tahu semua itu...?" tanya Se-
tan Jubah Merah..
"Semua orang di Kadipaten Talagan sudah ta-
hu. Dan sekarang, mereka sedang mencari kita 
untuk membalas kematian Wanasa."
"Hm...," lagi-lagi Setan Jubah Hitam
menggumam perlahan.
"Apa tidak sebaiknya kita mendahului, Ka-
kang?" ujar Setan Jubah Kuning memberi usul.
"Benar, Kakang. Barangkali saja anak angkat 
Wanasa memang tahu, di mana tempat penyimpa-
nan harta itu," sambung Setan Jubah Merah.
"Lalu, bagaimana dengan Darpin?" tanya Setan 
Jubah Hitam.
'Tidak ada gunanya mempertahankan orang 
keras kepala begitu, Kakang. Bunuh saja, dan 
buang mayatnya ke hutan," dengus Setan Jubah 
Kuning.
"Lakukan saja apa kehendak kalian. Besok, 
baru kita cari anak angkat si Wanasa itu," dengus 
Setan Jubah Hitam seperti putus asa.
"Kita pasti akan mendapatkan harta itu, Ka-
kang," ujar Setan Jubah merah memberi seman-
gat.
Setan Jubah Hitam hanya tersenyum tipis sa-
ja, kemudian merebahkan tubuhnya tidak jauh 
dari api unggun. Sementara Setan Jubah Biru dan
Setan Jubah Kuning sudah menghampiri Ki Dar-
pin. Mereka melepaskan rantai yang membelenggu 
tangan laki-laki separuh baya itu, lalu menggiringnya ke Luar gua. Tak berapa lama kemu-
dian.... 
"Aaa...!"
Satu suara jeritan panjang melengking tinggi
terdengar begitu menyayat, memecah kesunyian 
malam ini. Kemudian, keadaan kembali sunyi. Tak 
ada seorang pun yang berbicara lagi. Di dalam gua 
itu hanya tinggal Setan Jubah Hitam, Setan Jubah 
Putih, dan Setan Jubah Merah. Sedangkan Setan 
Jubah Biru dan Setan Jubah Kuning masih belum 
juga kembali setelah membawa Ki Darpin ke Luar
gua ini.
***
Siang ini, matahari bersinar begitu terik. 
Daun-daun kering banyak berguguran terhempas 
hembusan angin. Sejak semalaman, Bayu dan 
Ratna Wulan tidak memejamkan matanya sedikit 
pun. Mereka tidak mengenal lelah, terus berusaha 
mencari Ki Darpin yang menghilang sejak sema-
lam. Sudah seluruh sudut Kota Kadipaten Talagan 
ditelusuri, tapi tidak juga ditemukan tanda-tanda 
Ki Darpin berada. Dan sekarang, mereka mema-
suki hutan yang tidak jauh dari perbatasan kota
kadipaten itu.
"Kakang...," desah Ratna Wulan tiba-tiba.
"Ada apa?" tanya Bayu.
"Lihat..."
Kelopak mata Bayu agak menyipit, mengarah-
kan pandangan ke arah yang ditunjuk Ratna Wu-
lan. Kemudian, bergegas kakinya melangkah men-
dekati sesosok tubuh yang tergolek di bawah pe-
pohonan. Bukan hanya Pendekar Pulau Neraka 
yang terkejut. Bahkan Ratna Wulan sampai terbe-
liak begitu mengenali sosok tubuh penuh luka,

yang ternyata Ki Darpin.
"Dia sudah meninggal...," desah Bayu perla-
han, setelah memeriksa keadaan Ki Darpin.
"Kejam...," desis Ratna Wulan. "Siapa yang me-
lakukan perbuatan sekeji ini, Kakang?"
Bayu tidak bisa menjawab. Keadaan tubuh Ki 
Darpin memang rusak. Seluruh tubuhnya tercabik 
seperti bekas cambukan. Darah yang sudah ham-
pir kering melekat di sekujur tubuhnya. Bahkan 
lehernya terkoyak hampir buntung. Tak ada lagi 
kata-kata yang bisa diucapkan. Dan mereka saling 
melemparkan pandangan.
"Lima Setan dari Barat..," desis mereka berba-
rengan.
Ternyata, bukan hanya Bayu saja yang men-
duga itu. Malah Ratna Wulan juga langsung men-
duga kalau yang melakukan kekejaman pada Ki 
Darpin adalah Lima Setan dari Barat. Bukan 
hanya luka-luka cambuk di sekujur tubuhnya dan 
leher yang menganga lebar hampir buntung. Tapi, 
beberapa lubang bekas tusukan juga terlihat di 
dadanya. Benar-benar suatu penyiksaan yang be-
gitu berat dan sangat keji. Ratna Wulan hamper 
tidak sanggup membayangkan penderitaan Ki 
Darpin dalam menjalani siksaan itu.
"Kakang, lihat tangannya...," kata Ratna Wulan 
tiba-tiba.
Bayu segera membungkuk, dan mengangkat 
tangan kanan Ki Darpin yang terkepal erat. Dibu-
kanya jari-jari yang terkepal kaku itu. Dan dari 
dalam kepalan tangan Ki Darpin, Bayu menda-
patkan selembar gulungan daun lontar. Pendekar 
Pulau Neraka segera membuka gulungan daun 
lontar itu.
"Sabuk kulit...," gumam Bayu membaca seba-
ris kalimat yang tertera pada lembaran daun lontar ini.
"Apa maksudnya, Kakang?" tanya Ratna Wu-
lan.
Memang hanya dua kata itu saja yang ada pa-
da daun lontar ini. Namun, Bayu tidak menjawab. 
Dia kemudian membungkuk dan melepaskan sa-
buk yang terbuat dari kulit binatang yang dikena-
kan Ki Darpin. Sebentar Pendekar Pulau Neraka 
mengamati, lalu membuka kantung kecil pada sa-
buk itu. Dari dalam kantung ini ditemukan poton-
gan bambu berukir, bergambar lingkaran dengan 
dua buah titik pada bagian tengahnya.
"Apa itu...?" tanya Ratna Wulan lagi. 
"Kau kenali gambar ini, Ratna Wulan?" Bayu 
malah balik bertanya.
Ratna Wulan mengambil potongan bambu itu, 
lalu mengamati gambar yang terukir di situ. Ke-
ningnya jadi berkerut, memperhatikan gambar pa-
da bambu berukuran kecil ini. Kemudian diambil-
nya lembaran daun lontar dari tangan Pendekar 
Pulau Neraka. Sebentar diamatinya dua benda 
yang begitu dalam menyimpan suatu rahasia. Ke-
mudian ditatapnya pemuda tampan berbaju kulit 
harimau itu.
"Sepertinya, ini suatu petunjuk penyimpanan 
harta itu, Kakang," kata Ratna Wulan.
"Iya, tapi apa maksudnya?" tanya Bayu lagi. 
"Aku pernah melihat gambar ini sebelumnya," 
agak perlahan suara Ratna Wulan.
"Di mana?" tanya Bayu lagi.
"Di mata tombak milik ayah."
"Mata tombak...?" Bayu jadi tertegun.
"Iya. Senjata kebanggaan ayah. Senjata itu ada 
di rumah. Aku menyimpannya di kamar," sahut 
Ratna Wulan lagi.
"Hm.... Ini seperti suatu mata rantai untuk

menuju tempat harta itu, Wulan," gumam Bayu.
"Aku rasa memang demikian, Kakang."
Bayu memandang tubuh Ki Darpin, kemudian 
mengambil dua benda itu dari tangan Ratna Wu-
lan. Lalu dibungkusnya benda itu dengan sehelai 
kain yang disobek dari selendang Ratna Wulan, 
kemudian diberikannya pada Tiren. Seekor monyet 
kecil berbulu hitam yang selalu berada di pundak 
kanan Pendekar Pulau Neraka.
"Ikatkan ini di atas pohon, Tiren," perintah 
Bayu.
"Nguk...!"
Tanpa diperintah dua kali, Tiren segera me-
lompat naik ke atas pohon. Cepat sekali gerakan-
nya. Sebentar saja, monyet kecil berbulu hitam itu 
sudah berada di puncak pohon yang begitu tinggi. 
Lalu, diikatnya kain merah yang membungkus dua 
benda itu pada salah satu dahan. Kemudian, bina-
tang itu bergegas turun. Dan kini Tiren kembali 
hinggap di pundak Pendekar Pulau Neraka.
"Kau kenali pohon ini, Tiren," pinta Bayu Tiren 
mengangguk sambil memperdengarkan suara 
menggumam kecil. Bayu kini kembali menghampi-
ri tubuh Ki Darpin. Lalu dipondongnya mayat itu, 
dan terus melangkah ke tempat yang lebih lapang 
dan teduh. Perlahan-lahan diletakkan tubuh laki-
laki separuh baya bekas murid ayahnya yang telah 
menjadi mayat itu.
Tiren langsung melompat dan berpindah ke 
pundak Ratna Wulan, ketika Bayu berdiri tegak 
dengan telapak tangan menyaru di depan dada. 
Sebentar Pendekar Pulau Neraka menarik napas 
dalam-dalam, lalu....
"Yeaaah...!"
Tiba-tiba saja Bayu menghentakkan tangannya 
ke depan. Dan dari kedua telapak tangannya, se

ketika meluncur secercah sinar merah yang lang-
sung menghantam tubuh Ki Darpin. Suara leda-
kan keras terdengar menggelegar memekakkan te-
linga. Tampak tubuh Ki Darpin mengepulkan asap 
kemerahan. Lalu begitu asap menghilang tertiup 
angin, tubuh Ki Darpin lenyap. Yang tertinggal ki-
ni hanya seonggok debu.
Bayu melangkah menghampiri onggokan debu 
tubuh Ki Darpin. Lalu, dikeluarkannya sehelai 
kain putih dari balik sabuknya. Kain itu ditebar-
kan ke tanah, dan diraupnya debu berwarna putih 
keabu-abuan itu. Sedikit demi sedikit debu itu di-
pindahkan ke atas kain putih. Sementara, Ratna 
Wulan hanya memperhatikan saja tanpa berbicara 
sedikit pun juga. Dia merasa heran melihat semua 
yang dilakukan Pendekar Pulau Neraka.
Setelah semua debu itu berpindah ke atas 
kain, Bayu kemudian membungkusnya dengan 
rapi. Kembali kakinya melangkah sambil memba-
wa bungkusan kain berisi debu jasad Ki Darpin. 
Pendekar Pulau Neraka tersenyum melihat Ratna 
Wulan terbengong keheranan menyaksikan perbu-
atannya ini.
"Ini suatu kepercayaan yang dilakukan leluhur 
ku, Ratna Wulan. Dan itu diterapkan di padepo-
kan ayahku. Semua murid padepokan yang me-
ninggal, diperabukan. Lalu, abunya dihanyutkan 
ke sungai. Mereka akan merasa bangga daripada 
dikebumikan," jelas Bayu memberi penjelasan 
tanpa diminta.
Ratna Wulan masih terdiam.
"Memang tidak semuanya mau mengikuti ke-
percayaan itu. Dan aku sendiri sebenarnya tidak 
setuju. Tapi semalam, sebelum menghilang, Ki 
Darpin sudah berpesan padaku untuk mempera-
bukan jasadnya jika meninggal. Aku sudah berjanji akan melaksanakannya, meskipun aku sendiri 
tidak menyukai cara ini," jelas Bayu lagi.
"Dari mana kau tahu semua itu, Kakang? Se-
dangkan kau sudah berpisah dengan keluargamu 
sejak masih bayi," tanya Ratna Wulan ingin tahu.
"Dari para sahabat ayahku, dan beberapa 
orang murid ayahku yang masih hidup dan sem-
pat kutemui," sahut Bayu kalem.
"Ilmu apa yang kau gunakan itu tadi?" tanya 
Ratna Wulan lagi.
"Hanya ilmu warisan. Aku mempelajarinya dari 
salah seorang guru pengajar di padepokan ayah-
ku, yang waktu itu sempat selamat ketika padepo-
kan ayahku hancur. Tidak sulit mempelajarinya. 
Kau juga bisa mempelajarinya. Paling tidak, hanya 
butuh dua atau tiga hari untuk mempelajarinya," 
kata Bayu menjelaskan lagi.
"Secepat itu...?" Ratna Wulan seperti tidak per-
caya. 
"Iya. Tapi ilmu itu tidak bisa digunakan untuk 
bertarung."
"Kenapa?"
"Karena membutuhkan pemusatan pikiran 
yang penuh. Sedangkan di dalam pertarungan, ha-
rus dilakukan dengan cepat. Dan jika digunakan 
dalam pertarungan, kau akan mati sebelum sem-
pat mempergunakannya. Lagi pula, ilmu itu tidak 
berarti sama sekali jika ditujukan pada makhluk 
hidup yang masih bernyawa. Tidak akan memati-
kan. Paling tidak, hanya merasakan sakit sedikit 
saja. Dan tidak ada pengaruh-nya sama sekali," je-
las Bayu lagi. "Aku sudah pernah mencobanya pa-
da binatang. Tapi, hasilnya memang begitu. Kelinci 
yang ku pukul dengan ilmu itu, tidak mati sama 
sekali. Bahkan terus berlari, setelah terpental se-
dikit"

"Ilmu aneh...," desah Ratna Wulan.
"Ilmu itu memang diciptakan bukan untuk 
menyakiti. Tapi, untuk memberi kebahagiaan dan 
kesempurnaan bagi makhluk hidup yang sudah 
mati."
"Lalu, akan kau apakan abu Ki Darpin itu?" 
tanya Ratna Wulan.
"Dihanyutkan ke sungai."
"Kenapa harus ke sungai?"
"Air merupakan sumber kehidupan, Ratna Wu-
lan. Menurut kepercayaan, roh yang dihanyutkan 
ke sungai dan tetap hidup abadi, sepanjang sungai 
itu terus mengalir. Dan sungai tidak akan berhenti 
mengalir sepanjang zaman, sampai dunia ini be-
nar-benar hancur."
Ratna Wulan mengangguk-anggukkan kepala. 
Meskipun sudah bisa mengerti, tapi seperti apa 
yang dikatakan Bayu tadi, tidak semua orang bisa 
memahami kepercayaan ini. Dan Bayu sendiri ti-
dak pernah menyetujuinya. Tapi sebagai satu-
satunya pewaris keluarga, dia harus bersedia me-
lakukannya, walaupun hatinya tetap menentang.
"Ayo kita cari sungai dulu," ajak Bayu lang-
sung saja melangkah.
Ratna Wulan mengikuti saja tanpa berbicara 
lagi. Gadis itu masih terus memikirkan cara yang 
dilakukan Bayu terhadap mayat Ki Darpin. Me-
mang sulit bisa diterima akal biasa. Dan rasanya, 
Ratna Wulan juga masih belum bisa memahami 
benar. Tapi, dia tidak banyak bertanya dulu. Dan 
gadis itu kembali memusatkan seluruh perhatian 
pada persoalan yang sedang dihadapinya. Suatu
persoalan teka-teki penuh tanda tanya yang masih 
sulit diungkapkan.
"Kakang.... Kalau memang benar yang mem-
bunuh Ki Darpin si Lima Setan dari Barat, berarti

mereka masih ada di sekitar sini," kata Ratna Wu-
lan mengisi kebisuan yang terjadi setelah mereka 
berjalan cukup jauh.
"Mereka tidak akan meninggalkan Kadipaten 
Talagan sebelum mendapatkan harta itu, Wulan," 
sahut Bayu.
'Tidak bisa kubayangkan, berapa banyak harta 
itu, Kakang. Bayangkan saja, selama dua tahun 
mereka merajalela, dan selalu berhasil," kata Rat-
na Wulan lagi.
"Kau tergiur...?" goda Bayu.
"Untuk apa? Harta tidak akan membawa ke-
bahagiaan, Kakang," dengus Ratna Wulan.
"Tapi banyak orang yang mengejar harta untuk 
kebahagiaan, Wulan."
"Mereka salah kalau menyangka harta sebagai 
sumber kebahagiaan. Kau tahu, Kakang. Kebaha-
giaan yang sejati adanya di sini," kata Ratna Wu-
lan seraya menunjuk dadanya sendiri.
Bayu hanya tersenyum saja. Bisa dimaklumi 
ucapan Ratna Wulan barusan. Dan memang, pen-
dapat orang tidak sama. Sedikit pun pasti ada 
perbedaan, walaupun sangat kecil. Dan secara ju-
jur, Bayu mengagumi gadis ini. Sungguh berbeda 
pada saat pertama kali bertemu, ketika Ratna Wu-
lan masih bergabung dengan Ratu Gua Setan. Be-
nar-benar jauh perbedaannya. Bayu tidak tahu, 
apa yang menyebabkan Ratna Wulan bisa berubah 
begitu cepat. Dari seorang gadis liar yang brutal, 
kini menjadi gadis yang lembut dan berpandangan 
luas.
Tapi memang diakui, pada dasarnya Ratna 
Wulan adalah gadis baik-baik yang terbiasa hidup 
di lingkungan mewah. Bahkan segalanya selalu 
tersedia lebih dari cukup. Dia hidup di lingkungan 
terpandang, dan jarang dimiliki gadis-gadis lain

sebayanya. Tapi, Bayu mengakui kalau Ratna Wu-
lan cukup tabah dalam menerima segala cobaan 
hidupnya kali ini.
***
ENAM


Bayu memandangi tombak berukuran cukup 
panjang, yang ujung matanya terbuat dari emas. 
Keningnya jadi berkerut melihat mata tombak itu 
seperti terbagi dua. Dan pada bagian tengahnya, 
terukir sebuah gambar yang sama persis dengan 
gambar yang ada pada sepotong bambu dari dalam 
kantung sabuk Ki Darpin. Sebentar Pendekar Pu-
lau Neraka memandang pada Ratna Wulan yang 
sejak tadi diam saja memperhatikan.
Trak!
Sekali sentak saja, tombak itu sudah patah, 
tepat pada bagian ujung matanya yang terbuat da-
ri emas. Ratna Wulan agak terkejut melihat tom-
bak kebanggaan ayah angkatnya dipatahkan 
Bayu. Tapi, dia tidak bisa lagi berbuat apa-apa. 
Gadis itu hanya diam memandangi saja semua 
yang dilakukan Pendekar Pulau Neraka.
Bayu melepaskan Cakra Maut dari pergelan-
gan tangannya. Kemudian, dengan ujung senjata 
keperakan berbentuk persegi enam itu, dia meng-
gurat garis tipis pada bagian tengah mata tombak 
itu. Setelah memasang kembali Cakra Maut pada 
pergelangan tangannya, mata tombak itu dipisah-
kan hingga terbelah menjadi dua bagian.
Ternyata, mata tombak itu berongga pada ba-
gian dalamnya. Dan dari dalam mata tombak ber-
selaput emas itu, Bayu mendapat selembar kulit 
kayu tipis berukuran kecil yang ternyata guratan

guratan gambar. Bayu lalu menunjukkannya pada 
Ratna Wulan.
"Kau tahu, apa artinya gambar itu, Wulan?" 
tanya Bayu.
"Hm...," Ratna Wulan menggumam dengan 
kening berkerut.
Cukup lama juga Ratna Wulan terdiam me-
mandangi guratan-guratan gambar pada lembaran 
kulit kayu berukuran kecil itu. Perlahan kemu-
dian, kepalanya terangkat menatap Bayu yang se-
jak tadi terus memperhatikan.
"Aku tahu, Kakang...," desis Ratna Wulan, 
agak berbinar bola matanya.
"Kau tahu arti gambar itu, Ratna Wulan...?" 
tanya Bayu jadi gembira.
"Ayah pasti ingin melukiskan kalau harta itu 
tersimpan di sekitar Danau Raguling," sahut Rat-
na Wulan.
"Danau Raguling...? Di mana itu?" tanya Bayu.
"Ada di sebelah Timur Kadipaten Talagan. Ti-
dak jauh dari sini, Kakang. Tidak sampai setengah 
hari perjalanan," jelas Ratna Wulan.
"Hm, lalu apa arti gambar jamur itu?" tanya 
Bayu lagi.
"Kau ingat apa yang dikatakan Ki Darpin, Ka-
kang?"
Bayu mengangguk.
"Jamur inilah yang dikatakan Ki Darpin seba-
gai Cendawan Merah," kata Ratna Wulan lagi.
"Hm.... Jadi benar kalau harta itu bisa ditemu-
kan kalau melihat Cendawan Merah...?" agak 
menggumam nada suara Bayu.
"Mungkin memang itu maksudnya, Kakang," 
sahut Ratna Wulan.
Bayu jadi terdiam dengan kening berkerut 
agak dalam. Dia langsung teringat cerita-cerita

mengenai Cendawan Merah. Cerita yang selama ini 
hanya dianggapnya sebagai dongeng anak-anak 
kecil saja. Sama sekali tidak pernah ditanggapinya 
kalau Cendawan Merah memang ada. Dan seka-
rang, rahasia yang harus dipecahkan ini justru 
melibatkan Cendawan Merah itu. Inilah satu-
satunya petunjuk untuk menemukan harta yang 
disembunyikan Ki Wanasa.
"Sebaiknya, kita cepat ke sana, Kakang. Sebe-
lum ada yang tahu tentang ini semua," kata Ratna 
Wulan memberi saran.
"Hm..., ayolah," Bayu cepat menyetujui.
*** 
Baru saja Bayu dan Ratna Wulan keluar dari 
dalam rumah peninggalan Mendiang Ki Wanasa,
tiba-tiba saja dikejutkan oleh munculnya lima 
orang tua berjubah yang berlainan warna. Mereka 
semua memegang tombak yang warnanya sama 
dengan jubah yang dikenakan masing-masing.
"Lima Setan dari Barat...," desis Bayu langsung 
mengenali lima orang tua yang dua di antaranya 
adalah wanita.
Dari ciri-ciri yang diperoleh selama ini, Bayu 
bisa langsung mengenali mereka. Maka kakinya 
segera melangkah ke depan beberapa tindak. Se-
dangkan Ratna Wulan masih tetap berdiri di un-
dakan tangga beranda depan rumah yang beruku-
ran cukup besar ini.
"Mau apa lagi kalian datang ke sini?" tanya 
Bayu langsung, bernada ketus.
"Kau tentu sudah tahu jawabannya, Pendekar 
Pulau Neraka," sahut Setan Jubah Hitam, juga 
langsung mengenali pemuda berbaju kulit hari-
mau yang berdiri di depannya ini.

"Kalau kalian menginginkan harta itu, rasanya 
tidak ada di sini. Tapi kebetulan, aku memang se-
dang mencari kalian untuk membuat perhitun-
gan," terasa dingin sekali nada suara Bayu.
"Ha ha ha...! Kau terlalu pongah, Pendekar Pu-
lau Neraka. Apa kau tidak tahu, dengan siapa kau 
berhadapan, heh...?!" lantang sekali suara Setan 
Jubah Hitam.
"Aku tahu, kalian adalah manusia-manusia ib-
lis yang tidak pantas lagi hidup di dunia! "sahut 
Bayu ketus.
"Phuih! Kau akan menyesal menghina kami, 
Bocah!" dengus Setan Jubah Hitam, langsung 
memerah wajahnya.
Bet!
Setan Jubah Hitam langsung mengebutkan 
tongkat, dan menyilangkannya di depan dada. 
Saat itu juga, empat orang yang berada di bela-
kangnya segera berlompatan mengepung. Semen-
tara, Ratna Wulan sudah berada di samping Pen-
dekar Pulau Neraka. Gadis itu menggenggam erat 
gagang Pedang Api yang masih tersimpan di dalam 
warangka di punggung.
"Hati-hati, Wulan. Mereka bukan orang semba-
rangan," bisik Bayu memperingatkan.
"Hhh...!" Ratna Wulan hanya mendesis saja.
"Serang, tapi jangan lukai gadis itu...!" perin-
tah Setan Jubah Hitam lantang menggelegar.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Seketika itu juga, Lima Setan dari Barat lang-
sung berlompatan menyerang. Tongkat-tongkat 
mereka yang berujung runcing, berkelebatan cepat 
di sekitar tubuh Bayu maupun Ratna Wulan. Ter-
paksa Pendekar Pulau Neraka berjumpalitan 
menghindari setiap serangan yang datang begitu

cepat.
'Phuih...!"
Bayu menyemburkan ludahnya, begitu menya-
dari kalau serangan yang dilancarkan serentak itu 
hanya membuatnya terpisah dari Ratna Wulan. 
Tapi, Pendekar Pulau Neraka tidak bisa lagi ber-
buat banyak. Tiga orang tua berjubah itu sudah 
mengeroyoknya dengan jurus-jurus cepat dan 
dahsyat. Sedangkan Ratna Wulan harus mengha-
dapi dua orang dari Lima Setan dari Barat itu. 
Ratna Wulan tidak sempat lagi mencabut pedang-
nya, karena serangan yang diterimanya begitu ce-
pat dan mendadak.
Tampak jelas tingkat kepandaian yang dimiliki 
Ratna Wulan masih jauh dibanding Setan Jubah 
Merah dan Setan Jubah Kuning yang menjadi la-
wannya. Dalam beberapa jurus saja, gadis itu su-
dah kelihatan terdesak. Dan dia hanya bisa ber-
jumpalitan menghindari setiap serangan yang da-
tang begitu cepat, beruntun, dan bergantian. 
Hingga akhirnya....
Desss!
"Akh...!" Ratna Wulan terpekik keras agak ter-
tahan.
Satu pukulan lurus yang dilepaskan Setan Ju-
bah Merah tidak dapat lagi dihindari. Begitu keras, 
walau tidak disertai pengerahan tenaga dalam pe-
nuh. Namun akhirnya, Ratna Wulan jadi terpe-
lanting, dan bergulingan di tanah beberapa kali. 
Hebatnya, gadis itu cepat bisa bangkit berdiri, 
meskipun agak terhuyung. Cepat-cepat pedangnya 
dicabut ketika Setan Jubah Kuning sudah melom-
pat melakukan serangan kembali.
"Hiyaaat...!"
Sret!
Wuk...!

"Ikh...!"
Setan Jubah Kuning jadi terkejut setengah ma-
ti begitu tiba-tiba Ratna Wulan mengebutkan pe-
dangnya yang memancarkan api. Cepat-cepat tu-
buhnya diputar ke belakang beberapa kali, meng-
hindari tebasan Pedang Api itu. Kedua matanya 
jadi terbeliak melihat pedang berapi tergenggam di 
tangan Ratna Wulan. Bahkan Setan Jubah Merah 
juga jadi terperangah tidak menyangka kalau ga-
dis yang dianggap enteng itu memiliki sebuah sen-
jata yang berpamor begitu dahsyat.
"Lawanlah pedangku, Setan-Setan Keparat! 
Hiyaaat...!"
Entah dari mana datangnya kekuatan itu, tiba-
tiba saja Ratna Wulan merasa kekuatan yang ada 
pada dirinya bertambah dua kali lipat. Maka den-
gan cepat sekali dia melompat menerjang Setan 
Jubah Merah dan Setan Jubah Kuning sambil 
mengebutkan pedang begitu cepat bagai kilat.
"Hup! Yeaaah...!"
"Hait..!"
Serangan-serangan yang dilancarkan Ratna 
Wulan memang sangat dahsyat. Udara di sekitar 
pertarungan itu jadi terasa panas dan menyesak-
kan. Akibatnya, dua orang tua itu jadi kelabakan
menghindarinya. Mereka benar-benar terkejut dan 
tidak menyangka kalau gadis yang dianggap rin-
gan itu ternyata memiliki satu simpanan yang be-
gitu dahsyat dan luar biasa.
Sementara itu, tiga orang tua berjubah lain 
yang sedang mengeroyok Pendekar Pulau Neraka 
jadi tersentak kaget. Mereka merasakan sambaran 
hawa panas. Lebih terkejut lagi, begitu melihat 
Ratna Wulan menggunakan pedang yang meman-
carkan api begitu dahsyat.
"Tinggalkan mereka cepat...!" seru Setan Jubah

Hitam tiba-tiba. 
"Hup!" 
"Yeaaah...!"
Tanpa menunggu perintah dua kali, Lima Se-
tan dari Barat segera berlompatan cepat sekali. 
Hingga dalam sekejapan mata saja, bayangan tu-
buh mereka sudah tidak terlihat lagi. Ratna Wulan 
bergegas menghampiri Pendekar Pulau Neraka 
sambil memasukkan kembali Pedang Api itu ke 
dalam warangka. Tampak napas gadis itu teren-
gah-engah, dan keringat mengucur deras dari se-
kujur tubuhnya.
"Ke mana mereka pergi, Kakang?" tanya Ratna 
Wulan.
"Ke arah Utara," sahut Bayu. 
"Kita kejar...?"
"Tidak perlu, Wulan. Sebaiknya kita cepat ke 
Danau Raguling sebelum mereka tahu apa yang 
kita dapatkan," ujar Bayu.
Ratna Wulan hanya mengangkat bahunya saja. 
Kemudian kakinya terayun mengikuti ayunan 
langkah kaki Pendekar Pulau Neraka. Mereka ber-
jalan tanpa bicara lagi, meninggalkan rumah besar 
peninggalan Mendiang Ki Wanasa.
"Heran.... Kenapa mereka datang menyerang 
kita, Kakang?" tanya Ratna Wulan seperti untuk 
dirinya sendiri.
"Mereka menginginkan mu, Wulan," sahut 
Bayu kalem tanpa menghentikan ayunan langkah 
kedua kakinya.
"Aku...? Untuk apa mereka menginginkan 
aku?" tanya Ratna Wulan tidak mengerti.
"Mereka menganggapmu telah tahu tempat pe-
nyimpanan harta itu, karena tinggal kaulah satu-
satunya keluarga Ki Wanasa yang masih hidup. 
Apa kau tidak mengerti kata-kata mereka, Wulan?

Mereka menginginkan kau tetap hidup."
"Edan...!" desis Ratna Wulan agak mendengus.
"Mereka akan terus muncul, Ratna Wulan Kau 
harus lebih berhati-hati sekarang ini," kata Bayu 
memperingatkan lagi.
"Aku tahu, Kakang," desah Ratna Wulan per-
lahan.
Kembali mereka terdiam.
"Hhh.... Benar-benar perjalanan neraka bua-
tku," desah Ratna Wulan perlahan, seperti untuk 
dirinya sendiri.
Bayu hanya tersenyum saja. Tapi, mendadak 
saja senyumnya menghilang. Dia jadi teringat per-
jalanan hidupnya sejak dilahirkan hingga seka-
rang ini. Gumaman Ratna Wulan yang mendesah 
tadi seperti ditujukan untuk dirinya.
Memang selama ini Bayu merasakan kalau 
perjalanan hidupnya seperti perjalanan neraka. 
Sedikit pun tak ada kesenangan yang diperoleh. Di 
manapun berada, yang dijumpai hanya persoalan 
demi persoalan. Sepertinya, semua persoalan hi-
dup tertumpah padanya. Memang tidak enak bila 
berada dalam jalur yang menuju neraka. Sega-
lanya serba tidak menyenangkan.
"Ada apa, Kakang?" tegur Ratna Wulan yang 
melihat wajah Bayu berubah terselimut mendung.
'Tidak... Tidak ada apa-apa, Wulan," sahut 
Bayu, buru-buru, sambil memberi senyuman.
Tapi senyuman Pendekar Pulau Neraka terasa 
amat getir. Dan Ratna Wulan rupanya menangkap 
kegetiran itu. Tapi, gadis itu tidak bisa bertanya 
lebih jauh. Dan tampaknya, Bayu memang tidak 
ingin membicarakannya lagi. Mereka kembali ter-
diam dan terus melangkah menuju Danau Ragul-
ing yang berada di sebelah Timur Kadipaten Talagan ini

Dan selama perjalanan ini, Bayu lebih banyak 
diam. Ratna Wulan sendiri sulit menduga, apa 
yang menjadi beban pikiran Pendekar Pulau Nera-
ka saat ini. Terlalu sulit baginya untuk menduga. 
Karena setiap kali ditanyakan, Bayu selalu saja bi-
sa cepat menyembunyikan. Tapi, Ratna Wulan ya-
kin ada sesuatu yang mengganggu pikiran Pende-
kar Pulau Neraka.
"Boleh Tiren bersamaku, Kakang?" pinta Ratna 
Wulan tidak betah diam terus-menerus.
Bayu hanya tersenyum saja. Kemudian tan-
gannya diangkat ingin mengambil monyet kecil itu. 
Tapi belum juga tangan Bayu menyentuhnya, Ti-
ren sudah melompat cepat dan berpindah ke pun-
dak Ratna Wulan. Sehingga, gadis itu jadi tertawa 
terbahak-bahak. Tiren mencerecet ribut, ber-
jingkrakan di pundak gadis ini. Bayu hanya terse-
nyum tipis.
"Dasar...!" dengus Bayu.
"Dia lebih senang pada wanita, Kakang," goda 
Ratna Wulan.
"Iya, kalau wanitanya secantikmu," balas 
Bayu.
"Huuuh...!" Ratna Wulan mencibir.
Kini Bayu yang tertawa terbahak-bahak meli-
hat wajah gadis itu jadi memerah. Ratna Wulan 
jadi gemas. Dan baru disadari kalau monyet kecil 
ini berjenis jantan. Maka buru-buru tangannya di-
kibaskan. Tapi, Tiren sudah lebih cepat melompat, 
berpindah lagi ke pundak Bayu. Tentu saja hal ini 
membuat Pendekar Pulau Neraka semakin keras 
tertawa.
'Tidak lucu...!" rungut Ratna Wulan.
***

Bayu mengedarkan pandangan berkeliling di 
sekitar Danau Raguling ini. Saat itu, malam sudah 
jatuh. Sehingga keadaan di sekitar danau itu tam-
pak gelap. Namun, cahaya bulan yang bersinar 
penuh malam ini membuat keadaan di danau ini 
kelihatan begitu indah.
Seluruh permukaan danau seperti bermandi-
kan manik-manik mutiara. Sehingga menambah 
indahnya pemandangan di sekitar danau ini. Bayu 
jadi begitu kagum dibuatnya, sehingga jadi lupa 
tujuannya datang ke sini. Pendekar Pulau Neraka 
benar-benar menikmati keindahan Danau Ragul-
ing ini. Rasanya, belum pernah dia menyaksikan 
keindahan yang begitu alami seperti di Danau Ra-
guling ini. Begitu mempesona, membuat hatinya 
jadi terhibur. Dan seketika itu juga, sirnalah se-
mua kegundahan yang merambati hatinya sejak 
datang ke Kadipaten Talagan ini.
"Kenapa tersenyum-senyum, Kakang?" tegur 
Ratna Wulan yang sejak tadi berada di samping 
Pendekar Pulau Neraka, dan terus memperhatikan 
sikapnya.
"Tidak apa-apa. Aku hanya...," Bayu tidak me-
lanjutkan kata-katanya.
"Hanya, apa, Kakang?" tanya Ratna Wulan.
"Tidak..., tidak apa-apa," sahut Bayu masih in-
gin menutupi apa yang terjadi pada dirinya.
"Ayolah, Kakang.... Ada apa?" desak Ratna Wu-
lan agak merengek.
"Aku..., aku hanya terkesan dengan keindahan 
pemandangan di sini," sahut Bayu sedikit gugup.
"Danau ini memang indah, Kakang. Dulu aku 
sering ke sini bersama ayah," tutur Ratna Wulan 
seraya mengedarkan pandangan berkeliling.
"Kau tentu tahu betul seluk-beluknya, Ratna 
Wulan," kata Bayu langsung biasa lagi. Dan Pendekar Pulau Neraka sudah bisa mengalihkan per-
hatian Ratna Wulan yang tadi sempat membuat-
nya gugup.
'Tentu saja. Aku kenal betul setiap jengkalnya," 
sahut Ratna Wulan merasa bangga.
"Sebaiknya, kita mulai mencari tempat per-
sembunyian harta itu, Wulan," ajak Bayu tidak in-
gin lagi menarik perhatian gadis ini untuk menge-
tahui kegelisahan hatinya. "Kau masih menyimpan 
gambar itu...?"
"Ini," sahut Ratna Wulan sambil mengambil 
lembaran kulit kayu dari balik lipatan bajunya.
"Kau tahu, kira-kira gambar ini menunjukkan 
apa, Wulan?" tanya Bayu.
Ratna Wulan terdiam. Diperhatikannya setiap 
guratan gambar pada lembaran kulit kayu itu. 
Bayu juga ikut memperhatikan. Agak lama juga 
mereka terdiam, memperhatikan gambar itu. Lalu, 
pandangannya beredar berkeliling. Bayu mengam-
bil lembaran potongan kulit kayu itu, kemudian 
melangkah perlahan mendekati danau yang berki-
lauan seperti bertaburkan butiran batu mutiara.
"Hm...," Ratna Wulan menggumam perlahan. 
Kembali gadis itu mengamati guratan-guratan ha-
lus di atas lembaran kulit kayu berukuran kecil di 
tangannya. Kemudian matanya memandang da-
nau yang berkilauan bagai bertaburkan mutiara 
itu. Sedangkan Bayu hanya memperhatikan saja. 
Pendekar Pulau Neraka masih diam melihat Ratna 
Wulan melangkah sampai ke tepi danau. Bayu 
mengikuti dari belakang.
"Perahu siapa ini, Wulan?" tanya Bayu mem-
perhatikan sebuah perahu kecil bercadik panjang 
yang tertambat di tepi danau ini.
"Aku belum pernah melihatnya. Tapi di gambar 
ini.... Kau lihat guratan agak melengkung ini, Kakang? Aku yakin itu gambar perahu," sahut Ratna 
Wulan.
"Lalu?"
"Aku merasa kita harus naik perahu ini ke 
tengah danau. Atau mungkin ke seberang danau 
ini," sahut Ratna Wulan lagi.
"Kenapa harus menunggu waktu lagi, Wu-
lan...?" ujar Bayu.
Mereka segera naik ke dalam perahu itu. Bayu 
mengambil dayung, lalu duduk di bagian bela-
kang. Kemudian, perlahan-lahan perahu kecil ber-
cadik itu bergerak menuju ke tengah danau. Angin 
yang berhembus begitu kencang, sehingga mene-
barkan udara yang begitu dingin menggigilkan. 
Bayu terus menggerakkan dayung ini, membuat 
perahu kecil itu terus meluncur perlahan-lahan ke 
tengah-tengah danau.
"Berhenti dulu, Kakang," pinta Ratna Wulan 
memberi perintah.
Bayu menghentikan dayungnya. Perlahan pe-
rahu kecil itu berhenti bergerak. Dan mereka kini 
sudah berada di tengah-tengah danau yang cukup 
luas. Sepanjang mata memandang, hanya kilauan 
air saja yang bercahaya bermandikan sinar bulan 
yang indah keperakan.
"Kenapa berhenti di...?" Belum juga pertanyaan 
Bayu selesai, tiba-tiba saja permukaan air danau 
itu bergolak seperti mendidih. Bahkan mampu 
membuat perahu yang ditumpangi jadi oleng. Ti-
ba-tiba saja, dari permukaan air yang bergolak itu 
bermunculan tubuh-tubuh berlumur dan berlen-
dir seperti ikan. Mereka membawa tombak pan-
jang, yang bagian ujungnya bercabang tiga dari 
besi yang berwarna kuning keemasan.
Tanpa memperdengarkan suara sedikit pun ju-
ga, tiba-tiba saja sosok-sosok tubuh berlumut

yang dipenuhi rerumputan air itu, berlompatan 
menyerang dua pendekar muda di atas perahu itu.
"Awas, Wulan...!" teriak Bayu memperingatkan. 
"Hiyaaat...!"
Ratna Wulan cepat merunduk, menghindari 
hunjaman tombak bercabang tiga itu. Lalu cepat 
sekali tangan kanannya dihentakkan menyodok ke 
arah dada yang tampak kosong. Sodokan Ratna 
Wulan yang begitu cepat, tidak dapat dihindari la-
gi. Dan tampaknya, makhluk yang muncul dari 
dalam danau itu memang tidak berusaha meng-
hindar sedikit pun. Sehingga, sodokan tangan ka-
nan Ratna Wulan tepat menghantam dadanya. 
Desss!
Sedikit pun tak ada terdengar suara keluhan. 
Apalagi jeritan makhluk air yang berlendir itu. Tu-
buh yang penuh lumut dan rerumputan air itu 
terpental deras ke belakang, dan kembali tengge-
lam ke dalam air.
Sementara itu, Bayu juga menghadapi bebera-
pa makhluk yang sama-sama muncul dari dalam 
air. Mereka menyerang seperti membabi buta, tan-
pa aturan sama sekali. Bahkan tidak sedikit pun 
mereka berusaha menghindari setiap serangan 
yang dilancarkan dua pendekar muda ini. Sehing-
ga, mudah sekali Pendekar Pulau Neraka maupun 
Ratna Wulan membuat mereka berpentalan kem-
bali masuk ke dalam air. Tapi, makhluk-makhluk 
itu kembali cepat berlompatan keluar dari dalam 
danau, dan terus melakukan serangan secara 
sembarangan.
"Phuih! Mereka seperti tidak ada habisnya, Ka-
kang!" dengus Ratna Wulan mulai kesal.
"Kau hadapi saja, Wulan!" seru Bayu.
Bergegas Pendekar Pulau Neraka mengambil 
dayung. Lalu cepat perahu itu dikayuh sehingga

meluncur deras seperti melayang di atas permu-
kaan danau ini. Karena, Pendekar Pulau Neraka 
mengerahkan kekuatan tenaga dalamnya saat 
mengayuh. Tampak makhluk-makhluk air itu 
hanya memandangi saja, berdiri di atas permu-
kaan air danau yang sudah tenang kembali. Se-
bentar saja, perahu itu telah sampai di tepi sebe-
rang. Kini mereka segera berlompatan keluar dari 
dalam perahu itu. 
"Phuih...!" 
"Edan...!"
***
TUJUH


Kedua pendekar muda itu memandangi mak-
hluk-makhluk aneh yang kembali tenggelam ke 
dalam danau. Mereka kini telah berada di sebe-
rang danau. Di belakang mereka tampak hutan 
yang begitu lebat dan menghitam kelam. Bulan 
masih bersinar penuh. Cahayanya yang kepera-
kan, terpantul oleh permukaan air danau.
"Hhh.... Tidak selamanya keindahan itu bisa 
nyaman dinikmati...," desah Bayu seperti bicara 
pada diri sendiri.
"Sudahlah, Kakang. Sebaiknya kita lanjutkan 
saja mencari harta itu," kata Ratna Wulan.
"Hm, ya.... Di mana gambar itu, Wulan?"
"Ini, masih ada."
Mereka kembali memperhatikan guratan gam-
bar yang ada pada lembaran kulit kayu berukuran 
kecil itu. Kening Ratna Wulan tampak berkerut 
saat menatap berkeliling, lalu tertumbuk lurus 
pada dua buah batu yang tertanam di tanah se-
perti tonggak. Gadis itu memperhatikan guratan

gambar pada kulit kayu itu. Kemudian kakinya te-
rayun mendekati dua tonggak batu yang berdiri 
sejajar, tidak jauh dari tepian danau ini. Sementa-
ra, Bayu terus mengikuti dan mensejajarkan ayu-
nan langkahnya di samping gadis itu.
"Dua garis lurus di dekat lingkaran ini seperti 
menunjukkan dua batu itu, Kakang," duga Ratna 
Wulan sambil menunjuk dua tonggak batu di de-
pannya. 
"Maksudnya?" tanya Bayu tidak mengerti.
Bayu memang sama sekali tidak mengerti ca-
ra-cara seperti ini. Dan baru pertama kali dirinya 
terlibat dalam perebutan harta seperti ini. Terlebih 
lagi, yang menggunakan gambar-gambar petunjuk 
untuk menemukan harta itu. Tapi, tampaknya 
Ratna Wulan memahami akan maksud gambar 
itu. Sehingga, Bayu hanya mengikuti saja apa 
yang dikatakan gadis ini.
"Rasanya tidak ada lagi gambar yang bisa dili-
hat, Kakang. Barangkali, memang di sinilah ayah 
menyimpan hartanya," jelas Ratna Wulan.
"Coba kuperiksa dulu, Wulan," kata Bayu mu-
lai waspada. "Menjauhlah sedikit. Barangkali saja 
ayahmu membuat jebakan untuk melindungi har-
ta itu." 
"Hati-hati, Kakang," ujar Ratna Wulan.
Bayu hanya tersenyum saja, kemudian me-
langkah perlahan mendekati dua tonggak batu 
yang menjulang sekitar dua batang tombak ting-
ginya. Pendekar Pulau Neraka menajamkan telin-
ganya. Dan pandangannya pun dipertajam untuk 
melihat kalau-kalau ada jebakan yang tidak terdu-
ga, muncul dari balik tonggak batu ini.
Tapi sampai begitu dekat berada di tonggak 
batu itu, belum ada tanda-tanda bakal ada jeba-
kan. Perlahan Bayu mengulurkan tangannya untuk menyentuh batu itu. Dan begitu jari tangan-
nya menyentuh satu tonggak batu itu, tiba-tiba 
saja....
"Awas, Kakang...!" teriak Ratna Wulan.
"Hup...!"
Bayu cepat-cepat melompat mundur, seraya 
berputaran beberapa kali di udara. Entah apa 
yang terjadi, tiba-tiba saja bagian atas tonggak ba-
tu itu berguguran, ketika Bayu menyentuhkan jari 
tangannya tadi. Suara menggemuruh terdengar 
begitu keras. Bumi terasa bergetar, begitu batu-
batu yang berguguran menghantam permukaan 
bumi.
"Phuuuh...!" Bayu mendenguskan nafasnya
begitu menjejakkan kakinya kembali di tanah.
Debu mengepul di sekitar tonggak batu itu. 
Tampak batu-batu yang berguguran bertumpuk 
menjadi satu. Dan baru saja Pendekar Pulau Ne-
raka melangkah dua tindak ke depan, tiba-tiba sa-
ja puluhan anak panah berhamburan dari arah 
depan. 
"Hup! Yeaaah...!"
Bayu langsung melenting ke udara. Tubuhnya 
berputaran beberapa kali sambil cepat menge-
butkan tangan untuk menyampok anak-anak pa-
nah yang berhamburan di sekitarnya. Berpuluh-
puluh, atau bahkan ratusan anak panah berham-
buran menghujani tubuh Pendekar Pulau Neraka. 
Tapi, tak ada satu pun yang berhasil menge-
nainya. Dengan gerakan manis sekali, Pendekar 
Pulau Neraka kembali menjejakkan kakinya di ta-
nah.
"Kau tidak apa-apa, Tiren?" tanya Bayu sambil 
menepuk monyet kecil yang masih nangkring di 
pundak kanannya.
"Nguk!" Tiren menyahuti dengan mengangguk

kan kepala.
Bayu menatap tajam tonggak batu kembar 
yang kini sudah menjadi tumpukan-tumpukan 
bongkahan batu. Perlahan kakinya kembali te-
rayun. Sementara, Ratna Wulan berdiri mengawasi 
dari jarak yang agak jauh. Tak ada lagi serangan 
jebakan yang dihadapi, sampai Pendekar Pulau 
Neraka berdiri tegak di atas tumpukan bongkahan 
batu itu. Pandangannya beredar berkeliling. Ke-
ningnya jadi berkerut, begitu melihat sebuah mu-
lut gua berukuran kecil tersembunyi di balik ge-
rumbul semak belukar.
"Hup...!"
Dengan gerakan indah dan ringan sekali, Pen-
dekar Pulau Neraka melompat mendekati mulut 
gua kecil yang berada tidak jauh dari balik tong-
gak batu kembar yang kini tinggal onggokan tum-
pukan batu. Dengan sekali lompat saja, Pendekar 
Pulau Neraka sampai di depan mulut gua.
Bayu mengambil sebatang kayu yang cukup 
panjang ukurannya. Dan dengan kayu itu, semak 
yang menutupi mulut gua ini disibaknya. Tak ada 
sesuatu yang ditemukan. Perlahan-lahan Pende-
kar Pulau Neraka melangkah mendekati mulut 
gua itu. Kepalanya kemudian dijulurkan ke dalam. 
Kedua bola matanya jadi terbeliak lebar begitu me-
lihat ke dalam gua, yang ternyata tidak seberapa 
besar dan juga tidak dalam.
"Kau temukan sesuatu, Kakang...?" teriak Rat-
na Wulan bertanya.
"Ke sinilah cepat, Wulan!" panggil Bayu, agak
keras suaranya.
Ratna Wulan bergegas melangkah hendak 
menghampiri Pendekar Pulau Neraka. Gadis itu 
berlompatan ringan melewati tumpukan bongka-
han batu. Kemudian dengan sekali lompatan ringan, dia sudah berada di samping Bayu.
"Coba lihat ke dalam gua ini," ujar Bayu.
Ratna Wulan menjulurkan kepala ke dalam 
gua, tapi tak lama sudah ditarik kembali. Dipan-
danginya Pendekar Pulau Neraka dalam-dalam, 
seakan-akan tidak percaya dengan apa yang dili-
hatnya barusan di dalam gua itu.
"Sebaiknya kita masuk ke dalam sana, Wulan,"
kata Bayu.
Ratna Wulan hanya mengangguk saja. Kemu-
dian mereka melangkah memasuki gua yang tidak 
begitu besar ini. Mulut gua yang kecil, dan hanya 
bisa dilewati satu orang. Dan itu pun harus me-
rendahkan badan agar tidak terantuk atap mulut 
gua ini. Mereka tidak ada yang bicara, meskipun 
sudah berada di dalam gua. Apa yang disaksikan 
di dalam gua, memang sukar bisa dipercaya. Se-
dangkan Ratna Wulan sudah begitu yakin kalau 
guratan gambar di kulit kayu itu menunjukkan
tempat penyimpanan harta yang memang terletak 
di sini. Tapi kenyataannya....
"Mustahil...," desis Ratna Wulan seperti tidak 
percaya.
***
Memang tidak ada yang bisa didapatkan di da-
lam gua ini, kecuali tumpukan peti-peti kayu ko-
song. Sedangkan harta itu sama sekali tidak ada 
di dalam gua ini. Setiap peti yang ada di dalam 
gua itu diperiksa. Bahkan setiap jengkal dinding 
dan lantai sudah di-amati. Kini sudah tak ada lagi 
petunjuk di dalam gua ini. Dan peti-peti itu sudah 
jelas bekas tempat harta yang selama ini selalu di-
ributkan.
"Kakang, coba ke sini...," kata Ratna Wulan ti

ba-tiba.
Bayu bergegas menghampiri Ratna Wulan yang 
tengah berdiri tegak memandang ke dinding gua 
batu ini. Kening Bayu jadi berkerut saat melihat 
dinding batu gua ini ternyata terdapat guratan-
guratan seperti sebuah gambar. Bayu menghampi-
ri, dan membersihkan batu-batu itu dari lumut 
yang melekat tebal. Kini guratan-guratan itu terli-
hat lebih jelas lagi.
Tuk! Tuk! Tuk...!
Bayu mengetuk batu yang terdapat guratan 
gambar itu. Kemudian langsung ditatapnya Ratna 
Wulan, yang juga memandangnya penuh arti. Dari 
suaranya sudah bisa dipastikan kalau di balik ba-
tu ini tentu berongga. Bayu melangkah mundur 
perlahan dua tindak. Sebentar perhatiannya dipu-
satkan, dan seluruh kekuatan tenaga dalamnya 
dikerahkan. Lalu perlahan-lahan tangannya ter-
kepal, dan terangkat sampai sebatas pinggang. 
Sambil menarik napas dalam-dalam, kemudian.... 
"Hiyaaa...!" 
Brak!
Hanya satu kali pukulan saja, dinding batu 
gua itu hancur berkeping-keping. Dan memang, di 
balik batu itu terdapat sebuah rongga yang tidak 
begitu besar. Di dalamnya, ternyata hanya ada se-
buah peti kayu yang kelihatannya sudah lapuk 
dimakan rayap. Bayu mengambil peti itu, dan di-
bawanya pada Ratna Wulan.
"Apa isinya, Kakang?" tanya Ratna Wulan.
"Entahlah. Sebaiknya, kita buka saja," sahut 
Bayu.
Pendekar Pulau Neraka membolak-balik peti 
itu. Tak ada tutupnya sama sekali. Kemudian pu-
kulannya dihantamkan ke peti kayu itu hingga 
hancur berkeping-keping. Dan di dalam peti itu

hanya ditemukan sebuah bambu yang diserut ha-
lus, serta terikat pita berwarna merah. Bayu sege-
ra membuka tutup selongsong bambu itu. Dari da-
lamnya didapatkan selembar daun lontar bertu-
liskan beberapa kalimat berwarna kuning keema-
san.
"Aku tahu, ini tulisan ayah, Kakang," kata 
Ratna Wulan.
"Coba kau baca, Wulan," pinta Bayu seraya 
menyerahkan lembaran daun lontar itu.
Sebentar Ratna Wulan menatap Bayu. Lalu di-
ambilnya lembaran daun lontar itu. Kini pandan-
gannya mulai diarahkan pada tulisan yang tertera 
di sana.
"Kalian tidak akan menemukan harta di sini. 
Aku sudah menyerahkannya pada Gusti Adipati 
Talagan," Ratna Wulan membaca baris-baris kali-
mat yang tertera pada daun lontar itu.
Bayu tampak mengerutkan kening, sambil 
mendengarkan penuh perhatian.
"Oh, Kakang...," desah Ratna Wulan terharu.
Bayu langsung merengkuh gadis itu dan me-
meluknya dengan hangat. Ratna Wulan menyem-
bunyikan wajahnya di dada pemuda tampan yang 
bidang dan agak berbulu. Beberapa saat mereka 
berpelukan. Memang, pencarian harta yang dila-
kukan tidak membawa hasil. Tapi mereka bahagia, 
karena ternyata Ki Wanasa mengembalikan harta 
itu pada yang berhak.
"Aku tidak mengerti semua yang dilakukan 
ayah, Kakang," ujar Ratna Wulan setelah mele-
paskan pelukan Pendekar Pulau Neraka.
"Dari yang kudengar, tindakan Ki Wanasa 
memang sulit diterka," sahut Bayu, terdengar per-
lahan suaranya.
'Tapi...," suara Ratna Wulan terputus.

Gadis itu kelihatan ragu-ragu kalau ayah ang-
katnya telah mengembalikan harta itu pada Adipa-
ti Talagan. Dia tahu betul segala watak ayah ang-
katnya itu. Rasanya, tidak mungkin kalau Ki Wa-
nasa mengembalikannya. Sedangkan sakit hatinya 
tidak bakal tertembus terhadap Adipati Talagan.
"Ada apa, Wulan? Sepertinya kau ragu-ragu...," 
ujar Bayu bisa menebak keraguan gadis ini.
"Aku kenal betul, siapa ayah angkatku itu, Ka-
kang. Aku tidak percaya kalau harta itu sudah di-
kembalikan lagi. Sedangkan kau tahu, ayah begitu 
sakit hati. Sehingga semua ini dilakukannya un-
tuk membalas sakit hatinya terhadap Adipati Tala-
gan, yang mendepaknya begitu saja. Padahal ayah 
hanya melakukan satu kesalahan kecil yang sama 
sekali tidak diinginkan semua orang," kata Ratna 
Wulan.
"Jadi, kau beranggapan kalau harta itu masih 
ada, Wulan?"
'Tepat. Kalau sudah dikembalikan untuk apa 
Adipati Talagan terus mencarinya, Kakang.?"
"Hm.... Kau benar, Wulan. Adipati Talagan 
memang masih mencari hartanya itu sampai seka-
rang. Memang, rasanya tidak mungkin kalau su-
dah dikembalikan, lalu terus mencari lagi," ujar 
Bayu, agak menggumam suaranya.
"Hanya yang ku herankan, kenapa ayah menu-
lis surat ini, Kakang...?" ujar Ratna Wulan ber-
tanya lagi.
"Mungkin surat itu dimaksudkan untuk Lima 
Setan dari Barat, Wulan," sahut Bayu.
"Ya, mungkin juga," desah Ratna Wulan perla-
han.
"Sekarang, apa yang akan kita lakukan?" tanya 
Bayu.
"Apa lagi...? Kita sudah menemukan tempat

nya. Dan harta itu tidak ada lagi di sini," sahut 
Ratna Wulan, agak mendesah suaranya.
Mereka kembali terdiam tak bicara lagi. Me-
mang, tidak ada lagi yang bisa dilakukan. Dan me-
reka menyadari, seorang pun tidak mungkin lagi 
bisa menemukan harta yang tersimpan itu, kecuali 
Ki Wanasa sendiri. Sedangkan Ki Wanasa sudah 
tewas di tangan Lima Setan dari Barat. Kecil sekali 
kemungkinan bagi mereka untuk menemukan 
harta itu.
"Sebaiknya, kita pergi saja dari sini, Kakang," 
ajak Ratna Wulan setelah cukup lama mereka 
berdiam diri.
"Kau tidak ingin meneruskan lagi?" pancing 
Bayu.
Ratna Wulan hanya menggelengkan kepala sa-
ja.
"Lalu...?"
"Aku ingin mencari orang tua kandungku saja. 
Tidak ada lagi tempat untukku, Kakang. Mungkin 
aku akan terus mengembara sampai bertemu 
orang tua kandungku. Atau mungkin sampai ajal
ku tiba," sahut Ratna Wulan, agak perlahan sua-
ranya.
Bayu menepuk pundak gadis itu, kemudian 
mengajaknya melangkah keluar dari dalam gua. 
Mereka tidak lagi berbicara, dan terus melangkah 
ke luar gua. Tapi begitu berada di luar, mendadak 
saja....
"He he he...!"
"Oh...?!"
***
Mereka terkejut bukan main begitu melihat 
Lima Setan dari Barat tiba-tiba sudah ada di de

pan gua ini. Entah dari mana mereka tahu tempat 
ini. Dan lagi, kedatangannya sama sekali tidak di-
ketahui.
"Bagaimana kalian bisa tahu tempat ini...?" 
tanya Bayu, agak kaget juga atas kemunculan Li-
ma Setan dari Barat.
'Tidak sulit, Pendekar Pulau Neraka," sahut Se-
tan Jubah Hitam. "Aku tahu, kalian memiliki pe-
tunjuk tempat penyimpanan harta itu. Dan kami 
tentu saja mengikuti kalian sampai ke tempat ini. 
He he he...!"
"Kalian benar-benar licik...!" desis Ratna Wu-
lan jadi geram.
"Bukannya licik, Cah Ayu. Tapi pakai ini...," 
Setan Jubah Hitam menunjuk keningnya sendiri.
"Lagi pula, untuk apa kami susah-susah men-
cari kalau petunjuk jalannya sudah ada," sam-
bung Setan Jubah Merah.
"Baiklah...," selak Bayu. "Sekarang kita semua 
sudah ada di sini. Lalu, apa yang ingin kalian la-
kukan?"
"Ha ha ha...! Kau benar-benar bodoh, Pendekar 
Pulau Neraka. Tentu saja kami ingin mengambil 
harta itu sekarang!" sahut Setan Jubah Hitam.
"Harta itu tidak ada lagi di sini," tegas Bayu.
"Jangan coba-coba mempermainkan Lima Se-
tan dari Barat, Bocah!" sentak Setan Jubah Biru 
lantang.
"Aku tidak main-main. Harta itu memang tidak 
ada lagi. Kalian boleh lihat sendiri," kata Bayu ka-
lem.
Setelah berkata demikian, Bayu menarik tan-
gan Ratna Wulan, dan mengajaknya menyingkir 
dari mulut gua itu. Lima Setan dari Barat itu sal-
ing berpandangan beberapa saat. Kemudian, Setan 
Jubah Kuning bergegas melangkah menuju ke

gua. Sebentar matanya melirik Bayu dan Ratna 
Wulan yang sudah menyingkir agak jauh dari mu-
lut gua itu. Setan Jubah Kuning bergegas masuk 
ke dalam gua itu, tapi tak berapa lama kemudian 
sudah keluar lagi dengan wajah kelihatan meme-
rah.
"Bagaimana...?" tanya Setan Jubah Hitam 
langsung.
"Kosong," sahut Setan Jubah Kuning menden-
gus kesal.
"Setan keparat...!" geram Setan Jubah Hitam, 
langsung memuncak amarahnya.
Sementara, Bayu hanya tersenyum saja. Se-
dangkan Ratna Wulan mencibir sinis melihat lima 
orang tua itu tampak marah melihat gua itu dalam 
keadaan kosong. Mereka langsung berserabutan 
masuk ke dalam gua, seakan-akan tidak percaya 
kalau harta yang selama ini dicari sudah tidak ada 
lagi di sana. Mereka benar-benar melupakan ke-
hadiran kedua pendekar muda itu.
"Apakah sebaiknya dendam kita dilampiaskan 
sekarang, Kakang," bisik Ratna Wulan begitu Lima 
Setan dari Barat sudah tenggelam dalam gua.
'Tentu saja. Aku memang harus ingin mem-
buat perhitungan dengan mereka," sahut Bayu.
"Kalau begitu, kenapa gua itu tidak dihancur-
kan saja, Kakang? Biar mereka terkubur hidup-
hidup di sana," kata Ratna Wulan langsung be-
rang.
"Aku tidak pernah melakukan perbuatan pen-
gecut, Wulan. Aku akan menantangnya secara 
terbuka. Tapi aku yakin, belum ditantang pun, 
mereka pasti akan melampiaskan kemarahan pada 
kita berdua," kata Bayu lagi.
Pada saat itu Lima Setan dari Barat sudah 
kembali bermunculan dari dalam gua. Mereka

langsung menghampiri Bayu dan Ratna Wulan 
yang sejak tadi masih menunggu di tempatnya. 
Wajah mereka masing-masing kelihatan memerah, 
seperti menyimpan kemarahan yang meluap-luap 
dan hampir tak tertahankan lagi.
"Kalian pasti menyembunyikannya," desah Se-
tan Jubah Hitam. "Katakan, di mana harta itu...?!"
"Untuk apa harta bagi kami, Kisanak? Kami 
hanya para pengembara yang tidak membutuhkan 
harta sebanyak itu. Kalaupun kami temukan tadi, 
pasti akan dikembalikan kepada yang berhak," sa-
hut Bayu kalem.
"Setan belang...! Kau benar-benar bocah kepa-
rat, Pendekar Pulau Neraka!" geram Setan Jubah 
Hitam semakin memuncak amarahnya.
"Harta itu bukan milik siapa-siapa, tapi milik 
seluruh rakyat Kadipaten Talagan. Jadi tidak ada 
di antara kita semua yang berhak memilikinya," 
tegas Bayu, tetap kalem suaranya.
"Phuih! Kau memang pandai berbicara, Pende-
kar Pulau Neraka. Tapi aku ingin tahu, apa kau 
juga pandai mempertahankan hidupmu!" dengus 
Setan Jubah Merah.
"Kalau tidak, mana mungkin aku masih hidup 
sekarang...?"
"Keparat...! Mampus kau, Bocah! Hiyaaat...!"
Setan Jubah Merah tidak bisa lagi menahan 
kemarahannya yang sudah meluap dalam dada. 
Bagaikan kilat, dia melompat menerjang Pendekar 
Pulau Neraka. Tongkatnya yang berwarna merah 
dan berujung runcing, langsung dikebutkan ke 
arah tubuh pemuda berbaju kulit harimau itu.
"Uts...!"

***

DELAPAN

Cepat-cepat Pendekar Pulau Neraka menarik 
tubuhnya ke belakang, sehingga kebutan tongkat 
Setan Jubah Merah manis sekali berhasil dielak-
kan. Tapi belum juga tubuhnya bisa ditegakkan 
kembali, Setan Jubah Merah sudah kembali mela-
kukan serangan cepat dan dahsyat luar biasa.
"Hiyaaa...!"
Cepat sekali Setan Jubah Merah melepaskan 
satu pukulan menggeledek yang mengandung 
pengerahan tenaga dalam tinggi ke arah perut 
Pendekar Pulau Neraka. Tapi kali ini pun Bayu 
berhasil menghindarinya dengan meliukkan tu-
buhnya begitu indah sekali.
Pada saat itu, Setan Jubah Putih dan Setan 
Jubah Biru sudah berlompatan menyerang Ratna 
Wulan. Lalu, disusul Setan Jubah Hitam dan Se-
tan Jubah Kuning yang membantu Setan Jubah 
Merah menyerang Pendekar Pulau Neraka.
Pertarungan memang tidak dapat dihindari la-
gi. Dan memang seperti yang dikatakan Bayu, ti-
dak perlu menantang pun, Lima Setan dari Barat 
itu pasti akan memulai pertarungan ini.
"Gunakan pedangmu, Wulan...!" teriak Bayu
yang masih sempat memperhatikan pertarungan 
yang dilakukan Ratna Wulan.
"Baik...!" sahut Ratna Wulan. "Hiyaaat.. !"
Seketika itu juga Ratna Wulan melenting ke 
udara dengan cepat sekali. Dan sambil melakukan 
beberapa kali putaran di udara, gadis itu cepat 
mencabut Pedang Api. Seketika itu juga, cahaya 
api yang memancar dari pedang itu terasa menye-
barkan hawa panas yang begitu menyesakkan da

da.
"Yeaaah...!"
Bagaikan seekor burung elang, Ratna Wulan 
meluruk deras ke arah Setan Jubah Biru. Cepat 
sekali gadis itu mengebutkan pedangnya beberapa 
kali. Akibatnya Setan Jubah Biru jadi kelabakan
menghindarinya. Dengan Pedang Api di tangan, 
Ratna Wulan memang benar-benar luar biasa. Ge-
rakan-gerakannya jadi bertambah cepat. Dan ke-
kuatannya pun berlipat ganda. Sehingga, gadis itu 
jadi seperti sosok malaikat maut yang hendak
mencabut nyawa kedua lawannya ini.
"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, Ratna 
Wulan berputaran sambil mengebutkan pedang-
nya dengan kecepatan sungguh luar biasa. Yang 
diserang bukan hanya Setan Jubah Biru, tapi juga 
Setan Jubah Putih yang ikut mengeroyoknya. Ge-
rakan-gerakan yang dilakukan Ratna Wulan me-
mang sungguh luar biasa, sehingga dua orang tua 
itu benar-benar tidak dapat berbuat banyak. Bah-
kan mereka hanya bisa berjumpalitan menghinda-
ri setiap serangan yang dilancarkan gadis cantik 
berbaju merah muda ini.
Sementara itu di tempat lain, Bayu semakin 
sibuk menghadapi tiga orang lawan yang rata-rata 
memiliki kepandaian tinggi. Sama sekali Pendekar 
Pulau Neraka tidak memiliki kesempatan untuk 
menggunakan senjatanya. Karena, lawan-
lawannya ini seperti mengetahui kedahsyatan sen-
jata Cakra Mautnya. Maka mereka terus mende-
sak dengan hebat.
"Nguk! Craaaikh...!"
Tiba-tiba saja monyet kecil yang berada di 
pundak kanan Pendekar Pulau Neraka melompat 
cepat. Padahal saat itu Bayu tengah melenting ke

udara untuk menghindari tebasan tongkat Setan 
Jubah Kuning yang mengarah ke kakinya. Lalu 
dengan gerakan ringan sekali, monyet kecil yang 
biasa dipanggil Tiren itu melompat cepat ke arah 
Setan Jubah Merah.
"Heh...?!"
Setan Jubah Merah jadi terkejut setengah ma-
ti. 
Bet!
Buru-buru tongkatnya dikebutkan ke arah 
monyet kecil itu. Tapi tanpa diduga sama sekali, 
Tiren bisa menghindari kebutan tongkat itu den-
gan gerakan indah. Dan binatang itu cepat melesat 
ke atas kepala Setan Jubah Merah. Gerakannya 
cepat luar biasa, sehingga Setan Jubah Merah ter-
paksa melompat ke belakang beberapa tindak 
menghindari terkaman monyet kecil berbulu hitam 
itu.
Ringan sekali Tiren mendarat di tanah, dan 
langsung berjingkrakan sambil mencerecet ribut, 
seperti menantang Setan Jubah Merah. Tingkah 
monyet kecil itu membuat Setan Jubah Merah jadi 
geram setengah mati. Lalu cepat sekali tongkatnya 
dikebutkan beberapa kali ke arah monyet itu. Tapi 
dengan gerakan begitu ringan, Tiren berlompatan 
menghindari setiap sabetan tongkat Setan Jubah 
Merah.
"Monyet keparat...!" geram Setan Jubah Merah 
berang.
"Nguk! Nguk...!'"
***
Setan Jubah Merah benar-benar merasa di-
permainkan monyet kecil ini. Tongkatnya terus di-
kebutkan dengan kecepatan bagai kilat, disertai

pengerahan tenaga dalam tinggi. Tapi, Tiren me-
mang bukan monyet biasa. Gerakan-gerakannya 
sungguh ringan bagai kapas. Tubuhnya berjumpa-
litan indah sekali menghindari setiap kebutan 
tongkat orang tua berjubah merah itu.
"Nguk! Nguk! Khraaakh...!"
Tiba-tiba saja Tiren melenting ke udara sambil 
menghindari tebasan tongkat Setan Jubah Merah. 
Dan tanpa diduga sama sekali, monyet kecil ber-
bulu hitam itu meluruk deras ke arah kepala Se-
tan Jubah Merah. Begitu cepat gerakannya, se-
hingga Setan Jubah Merah tidak sempat lagi 
menghindar. Dan....
"Khraaakh...!" 
Bres!
"Aaa...!" Setan Jubah Merah menjerit melengk-
ing tinggi.
Begitu cepat gerakan tangan kecil monyet itu, 
hingga Setan Jubah Merah tidak dapat lagi melin-
dungi matanya. Darah seketika muncrat begitu 
tangan Tiren berhasil menembus bolamata orang
tua berjubah merah itu.
Setan Jubah Merah menggerung-gerung sam-
bil menutupi wajahnya yang berlumuran darah. 
Pada saat itu, Tiren sudah melompat kembali. 
Langsung diterkamnya tengkuk orang tua berju-
bah merah itu. Gigi-giginya yang runcing tampak 
menghunjam dalam ke tengkuk Setan Jubah Me-
rah.
"Aaakh...!" lagi-lagi Setan Jubah Merah menje-
rit melengking.
Setan Jubah Merah mengebutkan tangan ke 
belakang, tapi Tiren sudah lebih cepat menghindar 
dengan melompat turun dari tengkuknya. Cepat 
sekali Tiren melompat naik ke pohon kelapa, lalu 
terus merayap tinggi hingga sampai ke puncaknya.

Dan tak berapa lama kemudian, butir-butir buah 
kelapa sudah berjatuhan menimpa Setan Jubah 
Merah yang masih merasakan sakit pada matanya 
yang bolong tertembus tangan monyet kecil berbu-
lu hitam itu. Setan Jubah Merah jadi kelabakan 
setengah mati, begitu Tiren menghujaninya den-
gan butir-butir kelapa dari atas pohon.
"Monyet keparat..! Kubunuh kau! Hiyaaat..!"
Setan Jubah Merah benar-benar marah luar 
biasa. Cepat sekali tubuhnya melesat ke udara 
mengejar Tiren yang berada di atas puncak pohon 
kelapa. Tapi gerakan Setan Jubah Merah jadi ter-
hambat karena Tiren cepat sekali menghujaninya 
dengan buah-buah kelapa. Hingga akhirnya....
"Akh...!"
Satu butir buah kelapa tidak bisa dihindari Se-
tan Jubah Merah. Kelapa itu tepat menghantam 
kepalanya, hingga menimbulkan suara berderak 
keras. Seketika itu juga tubuh Setan Jubah Merah 
meluncur deras ke bawah, dan terbanting begitu 
keras di tanah. Setan Jubah Merah menggerung-
gerung dan menggelepar di tanah. Tampak darah 
mengucur deras dari kepalanya yang retak akibat 
ditimpuk kelapa oleh Tiren tadi.
Sementara itu, Tiren sudah merosot turun dari 
pohon kelapa ini. Langsung dihampirinya Setan 
Jubah Merah yang masih menggelepar mengge-
rung-gerung di bawah pohon kelapa itu. Tiren 
mengambil tongkat merah berujung runcing yang
tergeletak di tanah, tidak jauh dari Setan Jubah 
Merah. Lalu, tiba-tiba saja monyet kecil itu me-
lompat dan meluruk deras sambil menghunjam-
kan ujung tongkat itu ke arah dada Setan jubah 
Merah. Tak pelak lagi, Setan Jubah Merah harus 
rela merasakan senjatanya sendiri menghunjam 
dadanya.


"Aaakh...!" Setan Jubah Merah menjerit keras 
melengking tinggi.
Jeritan Setan Jubah Merah tentu saja menge-
jutkan mereka yang sedang bertarung. Lebih ter-
kejut lagi, begitu melihat Setan Jubah Merah ter-
kapar berlumuran darah dengan tongkatnya sen-
diri menghunjam dalam di dadanya. Sedangkan 
seekor monyet kecil berdiri di atas tubuh orang 
tua berjubah merah itu.
"Bagus, Tiren...!" seru Bayu memuji tulus.
"Nguk! Khraaakh...!"
Tiren berjingkrakan senang sambil mencerecet 
ribut di atas tubuh Setan Jubah Merah yang su-
dah terkapar tak bernyawa lagi. Untuk sesaat, per-
tarungan jadi terhenti. Lima Setan dari Barat yang 
kini tinggal empat orang lagi, seperti tidak percaya 
kalau Setan Jubah Merah bisa tewas oleh seekor 
monyet kecil yang kelihatannya lemah.
***
Tapi keterpanaan mereka hanya sebentar saja. 
Memang, kematian Setan Jubah Merah membuat 
mereka semakin bertambah berang saja. Maka 
mereka langsung berlompatan menyerang lawan 
masing-masing. Pada saat itu, Bayu yang sudah 
memiliki kesempatan untuk menggunakan Cakra 
Maut. Maka cepat tubuhnya merunduk agak mir-
ing ke kiri, lalu menarik kakinya hingga terentang 
lebar ke samping. Dan begitu tangan kanannya di-
tarik ke depan dada, secepat itu pula dikebutkan 
ke depan.
"Yeaaah...!"
Wusss...!
Cakra Maut yang sejak tadi menempel di per-
gelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka

seketika melesat cepat ke arah Setan Jubah Kun-
ing yang saat itu tengah melayang di udara.
"Heh...?!"
Setan Jubah Kuning jadi terkejut setengah ma-
ti melihat Cakra Maut meluncur deras bagai kilat 
ke arahnya. Dan secepat kilat pula tongkatnya di-
kebutkan hendak menyampok senjata maut Pen-
dekar Pulau Neraka. Tapi pada saat yang bersa-
maan, Bayu menghentakkan tangan kanannya. 
Sehingga, tiba-tiba saja Cakra Maut bisa berubah 
arah sambil meluncur deras seperti kilat. Tebasan 
tongkat Setan Jubah Kuning jadinya hanya men-
genai angin saja,. Bahkan matanya semakin terbe-
liak, karena Cakra Maut terus meluncur ke arah-
nya begitu cepat luar biasa. Tak ada lagi kesempa-
tan baginya untuk menghindar. Sehingga...
Sing...!
Crab!
"Aaakh...!" Setan Jubah Kuning menjerit keras 
melengking tinggi.
Dia langsung terpental ke belakang. Tubuhnya 
keras sekali menghantam tanah, dan bergulingan 
beberapa kali. Setan Jubah Kuning menggelepar 
sambil mengerang meregang nyawa. Darah men-
gucur deras dari dadanya yang berlubang tertem-
bus Cakra Maut yang dilepaskan Pendekar Pulau 
Neraka tadi. Senjata cakra berbentuk bintang segi 
enam dan berwarna putih keperakan itu, kembali 
melesat balik begitu Bayu menghentakkan tan-
gannya ke atas kepala. Lalu, senjata itu kembali 
menempel di pergelangan Pendekar Pulau Neraka.
Pada saat yang hampir bersamaan, Ratna Wu-
lan tampak mengebutkan pedangnya yang me-
mancarkan api ke arah dada Setan Jubah Putih. 
Begitu cepat kibasan pedangnya, sehingga Setan 
Jubah Putih tidak bisa lagi menghindari. Dan....

Cras!
"Aaakh...!" Setan Jubah Putih menjerit me-
lengking.
Darah langsung muncrat dari dadanya yang 
terbelah Pedang Api yang ditebaskan kuat sekali 
oleh Ratna Wulan. Setan Jubah Putih terhuyung-
huyung ke belakang sambil mendekap dadanya 
yang terbelah mengucurkan darah.
Tewasnya Setan Jubah Merah oleh monyet ke-
cil berbulu hitam bernama Tiren itu memang 
mempengaruhi empat orang tua yang dikenal ber-
juluk Lima Setan dari Barat itu. Mereka jadi kehi-
langan kepercayaan diri. Maka akibatnya, perta-
hanan mereka benar-benar goyah, hingga dalam 
waktu tidak berapa lama saja dua orang lagi su-
dah terjungkal tewas.
Kini Bayu dan Ratna Wulan tinggal mengha-
dapi masing-masing satu orang lawan. Dan tam-
paknya dua orang tua itu sudah mulai merasa 
gentar. Buktinya mereka tampak hanya berdiri sa-
ja memandangi lawan masing-masing. Dan tiba-
tiba saja....
"Hup! Hiyaaat..!"
Setan Jubah Biru yang sudah menyadari tidak 
bakal unggul lagi, bermaksud melarikan diri. Dia 
langsung melompat cepat sekali.
"Jangan lari kau, Pengecut! Hiyaaa...!"
Bayu yang melihat hal itu langsung menghen-
takkan tangan kanannya ke arah Setan Jubah Bi-
ru. Bersamaan dengan itu, Ratna Wulan juga me-
lemparkan pedangnya disertai pengerahan seluruh 
kekuatan tenaga dalamnya yang cukup tinggi. Se-
hingga....
Crab!
Bres!
"Aaa...!"

Setan Jubah Biru langsung terpelanting ke ta-
nah begitu Cakra Maut dan Pedang Api menghun-
jam punggungnya. Dan begitu bayu menghentak-
kan tangan kanannya ke atas kepala, Ratna Wu-
lan sudah melompat menghampiri Setan Jubah 
Biru yang langsung tergeletak tak bernyawa lagi. 
Ratna Wulan segera mencabut pedangnya, bersa-
maan melesatnya Cakra Maut dari punggung 
orang tua berjubah biru itu. Cakra Maut kembali 
menempel di pergelangan tangan Pendekar Pulau 
Neraka. Sedangkan Ratna Wulan langsung me-
langkah menghampiri Pendekar Pulau Neraka 
yang berdiri tegak menatap tajam pada Setan Ju-
bah Hitam.
"Tinggal kau sendiri, Setan Jubah Hitam. Kau 
yang bertanggung jawab atas kematian ayahku...!"
desis Ratna Wulan, begitu dingin nada suaranya.
Saat itu, Tiren sudah melompat naik ke pun-
dak kanan Bayu. Monyet kecil berbulu hitam itu 
kembali nangkring di pundak Pendekar Pulau Ne-
raka ini lagi. Sementara, Setan Jubah Hitam me-
mandangi Bayu dan Ratna Wulan secara bergan-
tian. Jelas sekali sinar matanya memancarkan ke-
gentaran yang memang telah menyelimuti hatinya, 
melihat ketangguhan dua orang pendekar muda 
ini. Dan dia kini benar-benar sendiri sekarang.
"Arwah ayahku akan senang jika kau mati di 
tanganku, Setan Jubah Hitam," desis Ratna Wulan 
lagi, tetap dingin nada suaranya.
Perlahan Ratna Wulan melangkah ke depan 
mendekati laki-laki tua berjubah hitam itu. Se-
dangkan Bayu masih tetap berdiri tegak, dengan 
kedua tangan terlipat di depan dada. Sementara, 
Ratna Wulan sudah berdiri sekitar lima langkah 
lagi di depan Setan Jubah Hitam. Perlahan-lahan 
pedangnya yang memancarkan api itu diangkat.

Lalu, ujung pedangnya diarahkan lurus ke dada 
Setan Jubah Hitam. Pada saat itu, Setan Jubah 
Hitam sudah menyilangkan tongkatnya di depan 
dada.
Memang tidak ada lagi pilihan bagi Setan Ju-
bah Hitam, selain terus bertarung mempertahan-
kan nyawa. Meskipun hatinya semakin dalam dili-
puti kegentaran. Keheningan begitu terasa mence-
kam suasana di sekitar tepian danau ini. Hingga 
desir angin yang berhembus begitu lembut, terasa 
jelas bermain di depan telinga.
"Mampus kau sekarang, Keparat! Hiyaaat...!"
Cepat sekali Ratna Wulan melompat, dan men-
gibaskan pedangnya ke arah leher Setan Jubah 
Hitam. 
"Hait...!"
Setan Jubah Hitam cepat-cepat menghentak-
kan .tongkatnya, menyampok pedang yang me-
mancarkan api untuk melindungi lehernya. Tak 
pelak lagi, dua senjata yang berlainan bentuk itu 
beradu keras tidak jauh dari leher Setan Jubah 
Hitam.
Trak!
"Heh...?!"
Setan Jubah Hitam jadi terkejut setengah mati. 
Tongkat yang menjadi kebanggaannya selama ini, 
tiba-tiba saja terpenggal jadi dua bagian, begitu 
berbenturan dengan Pedang Api di tangan Ratna 
Wulan.
"Hup...!"
Buru-buru Setan Jubah Hitam melompat ke 
belakang beberapa tindak, tapi Ratna Wulan tidak 
mau membiarkannya. Dengan cepat sekali gadis 
itu kembali melesat. Pedangnya langsung dike-
butkan begitu kuat, disertai pengerahan tenaga 
dalam tinggi.

"Hiyaaat...!"
Bet!
"Uts...!"
Setan Jubah Hitam cepat-cepat memiringkan
tubuhnya, menghindari tebasan pedang gadis itu. 
Namun belum juga bisa menegakkan tubuhnya 
kembali, mendadak saja Ratna Wulan sudah me-
lepaskan satu tendangan keras menggeledek yang 
begitu cepat luar biasa. Sehingga, Setan Jubah Hi-
tam yang memang sudah gentar, jadi tidak bisa 
menghindari tendangan itu.
Desss! 
"Akh...!"
Setan Jubah Hitam terpental ke belakang begi-
tu tendangan Ratna Wulan bersarang telak di da-
danya. Beberapa kali tubuhnya bergulingan di ta-
nah, dan cepat-cepat melompat bangkit berdiri. 
Tapi belum juga bisa berdiri tegak, tiba-tiba saja 
Ratna Wulan sudah kembali melancarkan satu se-
rangan kilat yang begitu cepat sekali.
"Hiyaaat..!"
Setan Jubah Hitam hanya mampu terbeliak 
saja begitu Pedang Api berkelebat cepat di depan 
lehernya. Dan sebelum sempat berbuat sesuatu, 
pedang yang memancarkan api itu sudah lewat 
cepat sekali. Sedikit pun tak ada suara yang ter-
dengar. Setan Jubah Hitam berdiri tegak seperti 
patung dengan mata terbeliak lebar dan mulut 
ternganga.
Sementara, Ratna Wulan sudah melompat 
mundur beberapa tindak. Gadis itu cepat mema-
sukkan Pedang Api ke dalam warangka di pung-
gung. Pada saat cahaya api dari pedang itu meng-
hilang, tampak tubuh Setan Jubah Hitam jadi 
limbung. Lalu, tubuhnya ambruk di tanah dengan 
kepala terpisah menggelinding dari leher. Darah

langsung menyembur dari leher yang buntung tak 
berkepala lagi. Sedikit pun tak ada gerakan. Setan 
Jubah Hitam langsung tewas seketika itu juga.
"Hhh...!" Ratna Wulan menghembuskan napas 
panjang.
Bayu melangkah menghampiri gadis itu, dan 
berdiri di sampingnya. Tangannya kemudian di-
lingkarkan di pundak gadis ini. Ratna Wulan me-
noleh, menatap wajah tampan Pendekar Pulau Ne-
raka itu. Entah kenapa, mereka sama-sama men-
gembangkan senyum.
"Kita pergi sekarang, Wulan...?" ujar Bayu 
lembut.
Ratna Wulan hanya menganggukkan kepala 
saja.
"Kau bersedia menemani mencari orang tua
kandungku, Kakang?" tanya Ratna Wulan seperti 
ingin meyakinkan diri.
'Tentu saja," sahut Bayu seraya melangkah 
meninggalkan tepian danau itu. "Asal kau tidak 
lagi berharap menemukan harta itu, Wulan."
"Aku tidak peduli lagi, Kakang. Biarkan saja 
menjadi harta terpendam. Siapa pun orangnya 
yang menemukan, biar menjadi miliknya," sahut 
Ratna Wulan mantap.
Bayu mengangkat pundaknya. Mereka terus 
berjalan sambil bergandengan tangan menyusuri 
tepian danau yang luas ini. Mereka sama-sama 
menyadari kalau tidak ada gunanya lagi mencari 
harta yang disembunyikan Ki Wanasa. Berapa pun 
banyaknya, tidak dipedulikan lagi. Karena, me-
mang tidak ada lagi petunjuk untuk menemukan 
harta itu. Ki Wanasa sudah memindahkannya ke 
tempat yang tak ada se-orang pun mengetahuinya. 
Dan memang, harta itu benar-benar menjadi harta 
terpendam.

"Kakang, apakah kita akan selalu jalan bersa-
ma seperti ini?" tanya Ratna Wulan.
Jika Hyang Widi menghendaki," sahut Bayu.

                           SELESAI


 

Share:

0 comments:

Posting Komentar