DEWI BERUANG PUTIH
Oleh Teguh Suprianto
Cetakan Pertama
Penerbit Cinta Media, Jakarta
Penyunting: Suhardi
Hak Cipta Pada Penerbit
Dilarang Mengcopy atau Memperbanyak
Sebagian atau Seluruh Isi Buku Ini
Tanpa Izin Tertulis dari Penerbit
Teguh S
Serial Pendekar Pulau Neraka
Dalam Episode 034:
Dewi Beruang Putih
128 Hal ; 12 x 28 cm
SATU
"Kau dengar itu Wulan?" tanya Bayu berbisik.
"Seperti suara pertarungan," sahut Ratna Wu-
lan juga berbisik.
Bayu yang lebih dikenal dengan julukan Pende-
kar Pulau Neraka itu kembali terdiam. Bola matanya
tetap lurus memandang ke dalam jurang di depannya,
yang begitu dalam dan gelap terselimut kabut. Terlalu
sukar bagi Bayu untuk bisa melihat sampai ke dasar
jurang dari tempatnya berdiri ini. Bahkan, Ratna Wu-
lan yang berada di sampingnya pun tidak bisa melihat
apa-apa.
Mereka hanya mendengar suara-suara kecil se-
perti orang sedang bertarung dari dalam jurang ini.
Meskipun terdengar sangat kecil, suara-suara itu jelas
sekali. Dan, setelah cukup lama mereka terpaku di bi-
bir jurang, tiba-tiba terdengar raungan yang begitu
dahsyat dan keras menggelegar dari dasar jurang ini.
Raungan dahsyat itu sempat membuat jurang ini ber-
getar seperti hendak runtuh. Bayu dan Ratna Wulan
pun sampai terlompat belakang. Dan, mereka baru
kembali mendekati bibir jurang itu setelah tak lagi
mendengar suara apa pun.
"Suara apa itu, Kakang?"
"Seperti raungan binatang buas."
"Aku jadi penasaran, Kakang," desis Ratna Wu-
lan.
Bayu sedikit berpaling menatap gadis itu. Dia
tersenyum melihat raut wajah Ratna Wulan yang begi-
tu serius memandang ke dalam jurang yang gelap dan
berkabut ini. Memang, suara-suara yang terdengar tadi
membuat hati mereka penasaran ingin tahu, apa sebe-
narnya yang terjadi di dasar jurang ini. Mereka pun se
sungguhnya bisa saja masuk ke dalam jurang ini, se-
perti keempat laki-laki yang mereka lihat tadi (Baca
serial Pendekar Pulau Neraka dalam kisah "Tiga Pen-
gemis Sakti").
"Kau mau masuk ke sana?"
"Caranya?" tanya Ratna Wulan.
"Seperti yang mereka lakukan tadi," sahut Ba-
yu.
"Ratna Wulan terdiam. Memang, bukan peker-
jaan yang sulit bagi Pendekar Pulau Neraka untuk ter-
jun ke dalam jurang ini. Tapi, lain halnya bagi Ratna
Wulan. Dia hams berpikir dulu dua kali. Meskipun il-
mu meringankan tubuhnya sudah mencapai tingkat
tinggi, Ratna Wulan kelihatan masih ragu-ragu. Dia ti-
dak tahu, sampai seberapa dalamnya jurang ini.
Tapi, masuk ke dalam jurang ini sesungguhnya
adalah suatu tantangan yang sangat menyenangkan.
Dan, Ratna Wulan sebenarnya menyukai tantangan
seperti itu. Setelah berpikir beberapa saat, gadis itu
pun menganggukkan kepalanya. Apa pun yang akan
terjadi, dia mau mencoba masuk ke dalam jurang ini.
Dan, masalah bisa atau tidaknya keluar nanti, sama
sekali tidak dipikirkannya.
"Kau siapkan ranting-ranting kayu secukupnya,
Wulan," kata Bayu.
Ratna Wulan hanya menganggukkan kepala.
Kemudian dikumpulkannya ranting-ranting kayu yang
panjang tidak lebih dari satu jengkal. Cukup banyak
juga ranting yang didapatnya. Sedangkan Pendekar
Pulau Neraka masih tetap berdiri di pinggiran jurang
ini.
"Kau tidak mengumpulkan ranting, Kakang?"
“Tidak," sahut Bayu seraya tersenyum.
"Lalu, bagaimana kau akan masuk ke sana?"
Bayu tidak menjawab. Dia hanya tersenyum
sambil menepuk-nepuk kaki Tiren yang duduk diam di
pundak kanannya. Sedangkan Ratna Wulan masih pe-
nasaran. Tapi, dia tidak mau banyak tanya lagi. Dia
percaya, Pendekar Pulau Neraka pasti memiliki cara
lain yang tidak mungkin bisa diikutinya untuk masuk
ke dasar jurang itu. Ratna Wulan sadar, tingkat ke-
pandaian yang dimiliki Pendekar Pulau Neraka sangat
jauh lebih tinggi dibanding dirinya.
"Lompatlah sekarang, Wulan," ujar Bayu.
Ratna Wulan tersenyum sedikit, Kemudian....
"Hup!"
Sambil melemparkan satu ranting yang diba-
wanya, Ratna Wulan, cepat-cepat melompat ke dalam
jurang yang sangat dalam dan gelap berkabut ini. Se-
dangkan Bayu masih tetap berdiri tegak memandangi
gadis itu berjumpalitan sambil melemparkan ranting-
ranting kering untuk pijakan kakinya. Ratna Wulan te-
rus meluncur dengan deras sekali. Dan, tampak begitu
indah gerakan-gerakannya.
"Hup!"
Saat Ratna Wulan sudah hampir lenyap di telan
kabut, Bayu segera melompat ke dalam jurang ini.
Tangannya direntangkan lebar-lebar ke samping. Dan,
begitu tubuhnya dirasakan meluncur deras ke bawah,
dengan cepat sekali tangan kanannya dikebutkan.
"Hiyaaa...!"
Slap!
Saat itu juga, Cakra Maut yang selalu menem-
pel di pergelangan tangan kanannya meluncur ke ba-
wah kaki. Manis sekali Pendekar Pulau Neraka meno-
tokkan ujung jari kakinya tepat di tengah-tengah Ca-
kra Maut. Kemudian memutar tubuhnya beberapa kali
sambil menghentakkan tangan kanannya. Cakra Maut
kembali melesat balik, lalu menempel lagi di pergelan-
gan tangan Bayu.
Beberapa kali Bayu melemparkan Cakra Maut
ke bawah kakinya. Dan, beberapa kali pula dia harus
berjumpalitan di antara selimut kabut yang begitu di
tebal dalam jurang ini. Hingga akhirnya, sampailah
Bayu di dasar jurang, tepat di samping Ratna Wulan
yang sudah lebih dulu sampai. Mereka mendarat tepat
di antara tiga sosok tubuh yang menggeletak tak ber-
nyawa lagi. Bau anyir darah langsung menyeruak ke
dalam lubang hidung. Tampaknya mayat-mayat ini
masih baru. Darah yang mengalir pun masih begitu
segar dan hangat.
"Kelihatannya mereka para pengemis, Kakang,"
desis Ratna Wulan.
"Mereka memang para pengemis," sahut Bayu.
"Kau kenal mereka...?" Bayu tidak langsung
menjawab. Dia memeriksa ketiga mayat itu satu persa-
tu. Dan, ketika dia memeriksa tubuh pengemis yang
menggenggam mangkuk dari batok kelapa berwarna
putih, keningnya tampak berkerut. Terlihat olehnya
gambar seekor beruang di dada kiri pengemis itu. Ber-
gegas Pendekar Pulau Neraka memeriksa kedua mayat
lainnya. Dan, ternyata mereka juga memiliki gambar
yang sama di dada sebelah kiri.
"Ada apa, Kakang?" tanya Ratna Wulan.
"Heh...!" Bayu menghembuskan nafas panjang
sambil bangkit berdiri.
Ratna Wulan memandangi Pendekar Pulau Ne-
raka. Sedangkan yang dipandangi diam saja, seperti
sedang memikirkan sesuatu. Bola mata pemuda baju
kulit harimau itu merayapi tiga mayat di depannya.
***
"Kau kenali siapa mereka, Kakang?"
"Mereka adalah para pemimpin Kelompok Pe
ngemis Mangkuk Sakti. Mereka dikenal dengan julu-
kan Tiga Pengemis Sakti," sahut Bayu, pelan.
"Tiga Pengemis Sakti...?!" Ratna Wulan tampak
terkejut.
"Kau yakin itu, Kakang?"
"Lihat saja gambar beruang di dada kiri mere-
ka. Hanya Tiga Pengemis Sakti yang memiliki gambar
itu. Itulah lambang kebesaran Kelompok Pengemis
Mangkuk Sakti," sahut Bayu, sambil menunjuk ke ke-
tiga mayat di depannya.
Ratna Wulan memeriksa ketiga mayat yang
berpakaian pengemis itu. ditemukannya gambar be-
ruang di dada kiri mereka, yang tidak akan ada pada
pengemis-pengemis lainnya. Gambar itu menandakan
bahwa ketiga orang tua ini memang si Tiga Pengemis
Sakti.
"Mereka memang Tiga Pengemis Sakti, Kakang,"
desah Ratna Wulan sambil menghampiri Bayu.
"Tapi siapa yang membunuh mereka...?"
Tentu saja pertanyaan gadis itu tidak bisa sege-
ra dijawab oleh Bayu, karena dia sendiri memang tidak
tahu. Tapi, Pendekar Pulau Neraka sudah menduga,
suara pertarungan yang didengarnya dari atas jurang
tadi adalah pertarungan Tiga Pengemis Sakti. Dan la-
wan mereka bisa dipastikan adalah Ki Laksa bersama
tiga laki-laki tua lainnya. Karena, tidak ada orang lain
yang masuk ke dalam jurang ini selain keempat orang
itu.
"Empat orang yang datang ke sini, Wulan," kata
Bayu, mengemukakan dugaannya.
"Maksudmu..., mereka yang tadi masuk ke ju-
rang ini...?" ujar Ratna Wulan, seperti meminta kete-
rangan.
"Tidak ada orang lain lagi yang datang ke sini
selain mereka, Wulan."
Ratna Wulan terdiam. Bayu juga tidak bicara
lagi. Mereka sama-sama memandangi jasad si Tiga
Pengemis Sakti ini. Dari luka-luka yang diderita, jelas
sekali kematian mereka diakibatkan oleh pertarungan
tingkat tinggi.
"Aku sering mendengar cerita tentang mereka,
Kakang. Tapi mereka sudah tidak lagi berkecimpung
dalam dunia persilatan. Mereka adalah tokoh-tokoh
sakti yang susah dicari tandingannya. Aneh... kenapa
mereka bisa dikalahkan...? Aku sering mendengar ceri-
ta tentang tokoh-tokoh persilatan yang tangguh dan
digdaya. Tapi, rasanya aku tidak pernah kenal dengan
keempat lelaki yang terjun ke sini tadi," desis Ratna
Wulan, seperti bicara pada diri sendiri.
Bayu diam saja. Dia juga sudah sering mende-
ngar sepak terjang ketiga pemimpin Kelompok Pe-
ngemis Mangkuk Sakti ini, sebelum mereka menghi-
lang dari dunia persilatan. Dan, selama ini memang ti-
dak ada yang bisa menandingi kepandaian Tiga Pen-
gemis Sakti sampai akhirnya mereka menghilang sejak
lebih dari lima belas tahun lalu. Pendekar Pulau Nera-
ka kemudian mengedarkan pandangan berkeliling.
Dan, tatapan matanya tertumbuk pada sebuah mulut
gua yang tampak sudah hancur. Pendekar Pulau Nera-
ka segera melangkah menghampiri. Ratna Wulan men-
gikuti dari belakang.
Beberapa saat Bayu mengamati mulut gua yang
memang sudah hancur ini. Di sibaknya semak belukar
yang hampir menutupi gua itu. Kemudian kakinya me-
langkah masuk. Bau debu masih terasa menusuk hi-
dung. Ratna Wulan terns mengikuti langkah kaki Pen-
dekar Pulau Neraka. Mereka memeriksa seluruh sudut
relung gua batu ini. Tapi tak ada yang bisa didapatkan,
kecuali perabotan yang biasa terdapat di rumah-
rumah. Jelas sekali, gua ini dijadikan tempat tinggal.
Dan, gua ini tampaknya buntu. Tidak terdapat satu lo-
rong pun. Mereka keluar kembali tanpa mendapatkan
hasil apa pun.
"Kakang, lihat ini...!" seru Ratna Wulan, tiba-
tiba.
Bayu bergegas menghampiri. Ratna Wulan me-
nunjuk ke tanah di depannya. Kening Pendekar Pulau
Neraka berkerut melihat jejak yang sangat aneh. Dan
jelas sekali jejak ini bukan bekas tapak kaki manusia.
'"Aku juga melihatnya di dalam gua tadi," kata
Ratna Wulan.
"Hm..., seperti kaki binatang," gumam Bayu.
"Lihat di sana, Kakang. Ada cahaya," kata Rat-
na Wulan lagi, sambil menunjuk.
Bayu cepat mengarahkan pandangannya. Di-
ikutinya jari telunjuk Ratna Wulan. Agak jauh di depan
mereka, memang terlihat setitik cahaya yang sebentar-
sebentar menghilang tertutup kabut. Tanpa bicara lagi,
Pendekar Pulau Neraka bergegas mengayunkan ka-
kinya menuju ke arah titik cahaya itu. Ratna Wulan
segera mengikuti. Langkahnya disejajarkan di samping
Pendekar Pulau Neraka.
Mereka terus berjalan cepat tanpa banyak bica-
ra lagi. Kabut yang menyelimuti sekitar dasar Jurang
Setan ini memang sangat tebal. Mereka pun tidak bisa
leluasa bergerak. Terlebih lagi, banyak akar pohon
yang bersembulan keluar dari dalam tanah. Mereka
harus berhati-hati agar tidak tersangkut akar pohon.
Kabut yang semakin tebal membuat pandangan mere-
ka terhalang. Akhirnya, mereka sampai juga di tempat
cahaya itu, walaupun harus menempuhnya dengan su-
lit sekali.
"Hanya pelita...," desis Ratna Wulan seraya me-
nyeka keringat di lehernya.
Mereka menemukan sebuah pelita serta tiga ba
tang bambu yang ujungnya hangus terbakar. Batang
bambu itu tampaknya dibuat untuk obor, tapi apinya
sudah padam. Obor-obor bambu itulah yang tadi me-
reka lihat dibawa si Perampok Tiga Nyawa, sebelum
mereka terjun ke dalam jurang ini. Dan, pelita itu se-
perti sengaja digantung di pohon. Bayu mengedarkan
pandangannya berkeliling. Tapi, tak ada seorang pun
yang dilihatnya. Tidak juga terdengar suara apa pun.
Keadaannya begitu sunyi, seperti di dalam kubur.
"Sebaiknya kita kembali saja, Kakang. Tidak
ada apa-apa di sini," kata Ratna Wulan.
"Ayolah...," sahut Bayu.
Tapi, baru saja mereka berbalik, mendadak....
"Ghrrr...!"
"Heh...?!"
"Ohhh...?!"
***
Bukan main terkejutnya Bayu dan Ratna Wu-
lan ketika tiba-tiba di depan mereka melompat sesosok
makhluk yang sangat tinggi dan besar. Seluruh tu-
buhnya berbulu putih seperti kapas. Dan, tahu-tahu
seekor beruang raksasa berbulu putih sudah mengha-
dang di depan mereka. Binatang itu berdiri dengan ke-
dua kaki belakangnya. Sedangkan dua kaki depannya
dia angkat tinggi-tinggi, hingga melebihi kepala.
"Ghraaaugkh...!"
"Jagat Dewa Batara...," desis Bayu.
Seluruh dasar jurang ini bagai diguncang gem-
pa ketika beruang putih raksasa itu menggerung dah-
syat sekali. Saat itu Ratna Wulan menarik kakinya ke
belakang beberapa langkah. Sedangkan Bayu tetap
berdiri tegak pada tempatnya. Dia menurunkan Tiren
dari pundaknya. Disuruhnya monyet kecil itu menjauh. Sambil mencerecet ribut, Tiren berjingkrak men-
jauhi Pendekar Pulau Neraka. Dihampirinya Ratna Wu-
lan yang sejak tadi sudah menyingkir.
"Ghrrr...!"
Sambil menggerung-gerung, beruang putih rak-
sasa itu melangkah menghampiri Pendekar Pulau Ne-
raka. Moncongnya yang berliur terus terbuka lebar,
seakan-akan ingin memperlihatkan baris-baris giginya
yang bertaring tajam. Sedangkan Bayu bergerak mun-
dur perlahan-lahan.
"Ghraaagkh...!"
Tiba-tiba beruang raksasa berbulu putih itu
melompat cepat bagai kilat, sambil menggerung dah-
syat. Meskipun tubuhnya sangat besar, ternyata gera-
kannya sungguh cepat luar biasa. Bayu pun terpana
beberapa saat.
"Uts...!"
Pendekar Pulau Neraka cepat-cepat merunduk-
kan tubuhnya, Kibasan tangan Beruang Putih itu pun
lewat di atas kepalanya. Bergegas Bayu melompat ke
belakang beberapa langkah. Tapi, baru saja kakinya
menjejak tanah, beruang raksasa berbulu putih itu
sudah menyerang lagi dengan kecepatan yang sungguh
luar biasa. Kedua bola mata Bayu jadi terbeliak. Dia
tidak menyangka kalau binatang ini mampu melaku-
kan gerakan yang begitu cepat.
"Hup!"
Cepat-cepat Pendekar Pulau Neraka melompat
ke atas begitu tangan yang berkuku runcing dan ber-
bulu tebal itu menyampok ke bawah. Beberapa kali
Bayu melakukan putaran di udara. Lalu deras sekali
dia meluruk. Dan langsung dilepaskannya satu ten-
dangan menggeledek, yang hanya disertai dengan se-
tengah pengerahan tenaga dalamnya.
"Yeaaah...!"
Bet!
Bayu terhenyak seketika. Tendangannya yang
begitu cepat ternyata sama sekali tidak mengenai ke-
pala Beruang Putih itu. Bahkan, hampir saja dia ter-
kena sampokan tangan binatang raksasa itu kalau ti-
dak cepat-cepat melenting kembali ke udara.
Setelah melakukan beberapa kali putaran,
kembali Pendekar Pulau Neraka menjejakkan kakinya
di tanah. Cepat-cepat kakinya ditarik ke belakang be-
berapa langkah, sebelum Beruang Putih itu melakukan
serangan lagi.
"Ghrrr...!"
"Hap!"
Bayu segera melompat ke kanan begitu Be-
ruang Putih itu kembali melakukan serangan. Dan
dengan cepat sekali Pendekar Pulau Neraka mele-
paskan satu pukulan keras disertai pengerahan tenaga
dalam yang tidak penuh, sambil memiringkan tubuh-
nya ke kiri. Begitu cepat serangan balasan Bayu kali
ini. Beruang Putih itu pun tidak sempat lagi menghin-
dar.
Dugkh!
"Ikh...!"
Bayu tampak terpekik ketika pukulannya ber-
sarang telak di tubuh Beruang Putih itu. Cepat-cepat
dia melompat sejauh dua batang tombak ke belakang.
Sungguh sukar dipercaya, tubuh binatang raksasa itu
ternyata begitu keras. Bayu merasa seperti menghan-
tam sebongkah batu cadas yang teramat keras. Tapi,
bukan itu yang membuatnya terkejut setengah mati.
Bayu benar-benar terkejut ketika dirasakannya tadi
tubuh Beruang Putih ini bisa mengembalikan pukulan
yang dilepaskannya. Bayu merasakan tangannya ber-
getar, seperti tersengat puluhan kala berbisa.
"Tangan kanan Pendekar Pulau Neraka me
mang terlihat bergetar ketika menghantam tubuh Be-
ruang Putih itu tadi. Sedangkan binatang raksasa itu
seperti tidak mengalami rasa sakit sedikit pun. Dia
malah terus bergerak cepat menghampiri pemuda ber-
baju kulit harimau itu. Hentakan kakinya begitu kuat,
tanah pun bergetar, seperti diguncang gempa.
"Ghrrr...!"
Wuk!
Cepat sekali Beruang Putih itu mengebutkan
tangannya ketika sampai di dekat Bayu. Namun, den-
gan tidak kalah cepatnya, Bayu berkelit menghindari
serangan binatang raksasa ini. Kembali dia melompat
ke samping sejauh lima langkah. Dan, begitu kakinya
menyentuh tanah, dengan cepat sekali tubuhnya me-
lenting ke udara. Lalu....
"Hiyaaat..!"
Sambil berteriak keras, Pendekar Pulau Neraka
melepaskan satu tendangan dahsyat menggeledek. Kali
ini dia mengerahkan seluruh tenaga dalamnya, yang
sudah mencapai pada tingkatan sempurna.
Des!
"Ghraaaugkh...!"
Tendangan yang dilepaskan Bayu tepat bersa-
rang di dada Beruang Putih ini. Begitu keras ten-
dangan yang dilancarkan Bayu. Beruang raksasa itu
pun meraung keras sekali. Dan tubuhnya sampai ter-
dorong ke belakang beberapa langkah. Sedangkan
Bayu sendiri terpental ke belakang sejauh dua batang
tombak. Tapi, setelah beberapa kali melakukan puta-
ran di udara, Pendekar Pulau Neraka kembali menje-
jakkan kakinya di tanah dengan manis sekali.
"Gila...!" desis Bayu, tidak percaya.
Tendangan yang dilepaskan Pendekar Pulau
Neraka tadi sangat keras, bahkan dikerahkan dengan
penyaluran tenaga dalam yang sempurna. Tapi Be
ruang Putih itu sama sekali tidak terluka. Bahkan, tadi
Bayu merasakan seperti membentur sebuah dinding
baja yang begitu keras. Tulang-tulang kakinya dirasa-
kan nyeri, seperti mau retak.
"Ghrrr...!"
Sambil menggerung-gerung dahsyat, Beruang
Putih itu kembali bergerak menghampiri Pendekar Pu-
lau Neraka. Moncongnya dibuka lebar-lebar, seakan-
akan hendak memperlihatkan baris-baris giginya yang
bertaring tajam seperti mata pisau.
Bayu menggeser kakinya ke kanan beberapa
langkah. Perlahan tangan kanannya ditarik ke depan
dada. Dan, tubuhnya dimiringkan ke kiri, agak mem-
bungkuk sedikit ke depan.
"Hmm…"
Namun mendadak Pendekar Pulau Neraka ter-
tegun, lalu kembali berdiri tegak. Dia tidak jadi mele-
paskan senjata andalannya, yang dikenal dengan se-
butan Cakra Maut. Senjata berbentuk cakra bersegi
enam ini tetap menempel di pergelangan tangan ka-
nannya. Kening Bayu berkerut melihat binatang raksa-
sa berbulu putih bagai kapas itu mendadak tampak
terdiam. Dan, dia berdiri dengan keempat kakinya.
"Hmm...."
Kembali Bayu menggumam perlahan. Beruang
Putih itu membalikkan tubuh, lalu berjalan mening-
galkannya begitu saja. Binatang raksasa itu terus ma-
suk ke dalam hutan yang sangat lebat dan gelap di da-
sar Jurang Setan. Sebentar saja tubuhnya sudah tidak
terlihat lagi. Sedangkan Pendekar Pulau Neraka masih
tetap berdiri tegak di tempatnya.
***
DUA
Bayu berpaling sedikit. Dia merasakan, ada
orang yang berdiri di sampingnya. Dan, dilihatnya
Ratna Wulan sudah ada di sebelah kiri sambil meme-
luk Tiren dengan tangan kanan. Monyet kecil itu keli-
hatan manja. Kepalanya ditempelkan di dada gadis
cantik yang membusung indah ini. Beberapa saat me-
reka terdiam. Semua memandang ke arah kepergian
Beruang Putih yang masuk ke dalam hutan di dasar
Jurang Setan ini.
"Aneh sekali.... Kenapa tiba-tiba dia pergi begitu
saja...?" gumam Ratna Wulan, seperti bertanya pada
dirinya sendiri.
Bayu diam saja. Dia juga merasakan, ada suatu
keanehan pada Beruang Putih itu. Tiba-tiba saja bina-
tang itu muncul dan menyerang, tapi kemudian pergi
begitu saja tanpa sebab. Seperti sudah direncanakan,
dia tampaknya hanya muncul untuk menghadang.
Bayu pun bisa menduga, Beruang Putih itu bukan bi-
natang sembarangan.
"Aku perhatikan tadi, waktu menyerangmu, ge-
rakan-gerakannya seperti sudah terlatih," kata Ratna
Wulan lagi, dengan suara yang masih menggumam
perlahan.
"Kau benar, Wulan. Dia juga memiliki kekuatan
yang sangat luar biasa," sambut Bayu, dengan suara
yang juga menggumam perlahan.
"Kakang, apa mungkin dia binatang peliha-
raan...?" tanya Ratna Wulan. Nada suaranya terdengar
terputus.
Bayu tidak langsung menjawab. Dia melirik Ti-
ren yang masih berada di dalam pelukan Ratna Wulan.
Memang bukan suatu hal yang aneh di dunia persila
tan, seseorang memelihara binatang yang begitu men-
gerti dan dapat membantu mempertahankan diri. Bah-
kan, tidak sedikit yang melatih binatang peliharaannya
untuk bertarung. Dan, banyak juga mengisinya dengan
kekuatan-kekuatan dahsyat, sehingga binatang peliha-
raannya memiliki daya tahan tubuh yang tidak dite-
mukan pada binatang-binatang lain.
"Ayo kita pergi dari tempat ini, Wulan," ajak
Bayu.
"Maksudmu keluar dari jurang ini...?" Ratna
Wulan seperti tidak percaya.
Memang, masuk ke dalam jurang ini saja sudah
begitu sulit. Mereka tadi harus mengerahkan seluruh
kemampuan ilmu meringankan tubuh yang dimiliki.
Itulah sebabnya Ratna Wulan sama sekali tidak mem-
bayangkan bisa keluar lagi dari dalam jurang ini.
"Kita cari jalan, Wulan. Barangkali saja ada ja-
lan keluar dari jurang ini yang lebih mudah ditempuh,"
kata Bayu, yang tampak berusaha untuk tidak me-
nyinggung perasaan gadis ini.
"Terserah kau sajalah, Kakang," desah Ratna
Wulan seraya mengangkat bahu.
"Maaf, bukannya aku meremehkan kemam-
puanmu, Wulan. Aku sendiri enggan kalau harus me-
lompat lagi ke atas sana," kata Bayu lagi.
Ratna Wulan hanya tersenyum. Memang, kelu-
ar dari jurang ini dengan cara melompat seperti ketika
masuk tadi adalah suatu hal yang sangat sulit dilaku-
kan. Walaupun menggunakan lagi ranting-ranting
kayu untuk berpijak, sudah tentu mereka tidak akan
bisa keluar semudah masuk ke dalam jurang ini. Ba-
gaimanapun, naik lebih sulit daripada turun. Dan,
yang pasti, akan diperlukan pengerahan ilmu merin-
gankan tubuh yang sangat tinggi tingkatannya. Se-
dangkan Ratna Wulan menyadari, ilmu meringankan
tubuh yang dimilikinya sekarang ini masih belum cu-
kup jika digunakan untuk melompat ke atas sana.
"Aku yakin, pasti ada jalan keluar dari sini," ka-
ta Bayu, mencoba membesarkan hati Ratna Wulan.
"Kalaupun tidak ada, bukan hanya kita berdua
yang terkurung di dalam jurang ini, Kakang. Masih ada
orang lain lagi," sambut Ratna Wulan dengan tenang.
"Ya, empat orang yang tadi masuk lebih dulu ke
sini," desah Bayu.
“Tapi, di mana mereka sekarang...?"
"Barangkali mereka juga sedang mencari jalan
untuk keluar dari jurang ini, Kakang?" kata Ratna Wu-
lan.
"Atau mungkin juga mereka sudah tidak ada
lagi di sini," desis Bayu, dengan nada suara yang ter-
dengar agak sinis.
"Mungkin juga...," desah Ratna Wulan setengah
menggumam sambil mengangkat bahunya sedikit
Sebentar mereka terdiam, sibuk dengan jalan
pikiran masing-masing. Kemudian mereka melangkah
perlahan-lahan tanpa berbicara lagi. Keadaan di dalam
Jurang Setan ini memang sangat gelap. Mereka tidak
bisa berjalan dengan cepat dan leluasa. Kabut yang
menyelimuti seluruh dasar jurang ini membuat pan-
dangan mereka terhalang dan sulit melihat jauh.
***
Di dalam Jurang Setan ini, antara siang dan
malam hari sangat sulit dibedakan. Karena, sepanjang
waktu keadaan di jurang ini selalu gelap dan berseli-
mut kabut tebal, yang menyebarkan udara dingin
membekukan tulang. Entah sudah berapa lama Bayu
dan Ratna Wulan mencari jalan untuk keluar dari da-
lam jurang ini. Tapi, belum juga mereka menemukan
nya.
Sedangkan hutan di dalam jurang ini begitu ra-
pat. Sulit bagi siapa pun untuk bisa bergerak cepat.
Belum lagi, keadaannya sangat gelap. Ratna Wulan
pun beberapa kali terpekik, karena berulang kali ka-
kinya terantuk akar-akar pohon yang menyembul dari
dalam tanah. Gadis itu memang belum terbiasa den-
gan keadaan seperti ini. Dia memang masih seumur
jagung dalam menggeluti ganasnya rimba persilatan.
"Kakang, mungkin tebing batu ini menuju ke-
luar," kata Ratna Wulan, saat mereka sampai di kaki
sebuah tebing batu yang menjulang sangat tinggi,
hingga bagian atasnya benar-benar tidak terlihat.
“Tapi terlalu tegak, Wulan. Banyak lumut-
nya...," kata Bayu, sambil memperhatikan tebing batu
di depannya.
Sebenarnya, tidak ada masalah bagi Pendekar
Pulau Neraka untuk menaiki tebing batu ini. Tapi,
Bayu memikirkan Ratna Wulan. Dia tahu, kepandaian
yang dimiliki gadis ini bisa dikatakan masih tanggung
untuk terjun ke dalam rimba persilatan yang ganas se-
perti ini. Bahkan, ilmu meringankan tubuhnya saja
masih jauh berada di bawah Pendekar Pulau Neraka.
Tapi, untuk mempertahankan hidup di alam bebas se-
perti ini, dia memang sudah sanggup.
"Mungkin ada jalan lain yang bisa dilalui, Ka-
kang," kata Ratna Wulan, yang tampak tidak menyada-
ri bahwa penolakan Bayu disebabkan oleh keraguan-
nya terhadap kesanggupan gadis itu, jika harus men-
daki bukit batu ini.
"Hm..., coba kita telusuri saja kaki tebing ini,"
ujar Bayu, setengah menggumam.
Mereka kemudian kembali melangkah menyu-
suri kaki tebing batu ini Sementara itu di dalam be-
naknya, Bayu terus berpikir keras. Dia berusaha men
cari jalan yang mudah untuk ditempuh Ratna Wulan
agar bisa keluar dari dalam dasar Jurang Setan ini.
Kakinya terus terayun melangkah. Dan, otaknya terus
bekerja keras mencari jalan keluar yang mudah.
Setelah cukup lama berjalan menyusuri kaki
tebing batu ini, mereka kembali berhenti. Bayu meren-
tangkan tangannya ke depan perut Ratna Wulan. Di-
mintanya gadis itu untuk mundur dengan isyarat tan-
gan. Tanpa diminta dua kali, Ratna Wulan segera me-
langkah mundur beberapa tindak. Sedangkan Bayu
melangkah ke depan beberapa tindak, Sekitar satu ba-
tang tombak lagi, di depan mereka terlihat sebuah mu-
lut gua yang sangat besar dan kelihatan begitu gelap.
"Hmm...."
Kening Bayu berkerut melihat banyak jejak ka-
ki orang di sekitar mulut gua ini. Bahkan, ada jejak-
jejak seperti bekas tapak kaki binatang, tapi beruku-
ran sangat besar. Dan, jejak kaki binatang ini sudah
dia temukan sebelumnya di dalam gua yang hancur,
tidak jauh dari mayat Tiga Pengemis Sakti. Tampaknya
ini adalah jejak Beruang Putih yang menghadangnya
tadi. Bayu terus melangkah mendekati mulut gua. Dia
melihat, di samping gua ini terdapat beberapa buah
obor dari batang bambu. Di dekat obor-obor itu, terli-
hat nyala api di antara bebatuan. Begitu kecil nyala api
ini, sehingga hampir tidak terlihat.
Bayu mengambil sebuah obor dan menyala-
kannya dengan api yang tersembunyi di antara be-
batuan. Nyala api obor langsung membuat keadaan di
sekitarnya cukup terang. Pendekar Pulau Neraka men-
julurkan kepalanya ke dalam gua. Tapi, tidak ada yang
dapat dilihat, kecuali lorong gua yang tampaknya san-
gat panjang dan berliku. Bayu berpaling ke belakang.
"Kemari, Wulan," panggil Bayu sambil melam-
baikan tangannya pada Ratna Wulan.
Ratna Wulan bergegas menghampiri. Dia masih
memeluk Tiren. Gadis itu menerima obor yang sudah
menyala dari tangan Bayu. Dan Pendekar Pulau Nera-
ka menyalakan satu obor lagi. Tanpa banyak bicara,
mereka langsung saja masuk ke dalam gua ini. Tepat
seperti dugaan Bayu, gua ini memang sangat panjang
dan penuh dengan belokan. Keadaannya juga begitu
gelap. Tapi di dasar gua yang lembab ini, terlihat jelas
bekas-bekas jejak kaki yang tampaknya belum terlalu
lama.
"Di depan sana seperti bercabang, Kakang," bi-
sik Ratna Wulan, setelah mereka cukup jauh masuk ke
dalam relung gua ini.
"Hmm...," Bayu hanya menggumam perlahan.
Memang, tidak jauh di depan mereka, tampak
relung gua ini bercabang dua. Bayu segera menghenti-
kan langkahnya setelah sampai di lorong bercabang
dua ini Ratna Wulan ikut berhenti. Mereka seperti
mempertimbangkan, lorong mana yang akan ditem-
puh. Bayu memperhatikan, jejak-jejak kaki yang ada
cukup jelas terlihat di dasar gua ini. Beberapa jejak
kaki menuju ke lorong sebelah kanan, Dan, tidak sedi-
kit pun yang menuju ke lorong sebelah kiri. Tapi, ada
perbedaan di antara keduanya. Di lorong sebelah ka-
nan tidak terdapat jejak kaki binatang. Dan, tampak-
nya di lorong ini jejak kaki manusia menuju dua arah
yang berlawanan, seperti berbalik keluar lagi setelah
memasukinya. Bayu langsung berkesimpulan, semua
yang masuk ke gua ini pada akhirnya memilih jalan ke
lorong sebelah kiri.
"Kita ke kiri, Wulan," ujar Bayu.
Wulan hanya menganggukkan kepalanya. Dia
mengikuti Pendekar Pulau Neraka menyusuri cabang
lorong gua sebelah kiri. Obor yang mereka bawa cukup
untuk menerangi lorong gua yang gelap ini. Mereka te
rus berjalan tanpa berbicara sedikit pun. Dua tikungan
pun dilalui. Dan, setelah mereka melewati satu tikun-
gan lagi, baru terasa bahwa jalan di dasar lorong gua
ini sesungguhnya menanjak dan seperti berputar-
putar.
"Sepertinya ini naik ke atas, Kakang," ujar Rat-
na Wulan, agak mendesis.
"Mudah-mudahan saja memang ini jalan ke-
luarnya, Wulan," sahut Bayu.
"Aku harap begitu," desah Ratna Wulan. Tanpa
bicara lagi, mereka terus melangkah menyusuri lorong
gua yang tidak lagi bercabang tapi terus menanjak ini.
Dan, semakin lama semakin nyata bahwa lorong gua
ini melingkar seperti tangga sebuah menara.
"Kakang, lihat...!" seru Ratna Wulan tiba-tiba,
sambil menunjuk ke depan.
Bayu segera mengarahkan pandangannya ke
depan. Diikutinya jari telunjuk Ratna Wulan. Tampak
jelas sekali, di depan mereka terlihat seberkas cahaya
yang begitu terang. Mereka bergegas mendekati cahaya
terang seperti sinar matahari itu. Dan, semakin dekat,
keadaan di dalam lorong gua ini juga semakin bertam-
bah terang. Obor pun tidak lagi dibutuhkan. Mereka
membuang obor dari batang bambu itu, setelah mema-
tikannya di atas batu.
"Itu pintu keluar, Kakang...!" seru Ratna Wulan,
gembira.
"Nguk!"
Tiren, yang berada di dalam pelukan Ratna Wu-
lan, rupanya juga merasa gembira bisa keluar dari da-
lam jurang yang sangat gelap dan mengerikan ini. Mo-
nyet kecil itu mencerecet ribut, lalu melompat turun
dari gendongan Ratna Wulan. Mereka seperti berlomba
mencapai mulut gua di depan sana.
Ratna Wulan berlari dengan cepat. Sedangkan
Bayu tetap melangkah ringan mengikuti dari belakang.
Memang benar, mereka sudah sampai di ujung gua
yang sangat panjang dan berliku ini. Cahaya matahari
langsung menyambut begitu mereka berada di luar.
Bayu mengedarkan pandangannya berkeliling. Dia ta-
hu, sekarang mereka sudah berada di dekat perbata-
san Desa Gebang sebelah Barat. Sungguh tidak diduga
sama sekali, lorong gua yang mereka telusuri tadi ter-
nyata merupakan penghubung antara Desa Gebang
dan Jurang Setan.
"Oh, segarnya...," desah Ratna Wulan sambil
menghirup udara banyak-banyak, setelah berada di
luar gua yang gelap ini.
***
Bayu dan Ratna Wulan menarik napas lega.
Akhirnya mereka bisa keluar dari dalam Jurang Setan
setelah melalui lorong gua yang sangat
panjang dan gelap. Tapi, rasa lega belum hilang
tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara ranting yang
patah terinjak kaki. Hanya sesaat Bayu menatap pada
Ratna Wulan. Kemudian, bagaikan kilat Pendekar Pu-
lau Neraka melesat ke arah datangnya suara ranting
patah yang didengarnya barusan.
"Hup...!"
Begitu sempurna ilmu meringankan tubuh
yang dimiliki Pendekar Pulau Neraka. Dalam sekejap
mata, dia pun sudah lenyap menembus lebatnya se-
mak belukar dan pepohonan. Saat itu juga, mendadak
terdengar pekikan tertahan seperti suara orang terke-
jut.
"Akh...?!"
Srak!
Tampak Bayu terpental keluar dari dalam se
mak belukar. Tinggi sekali tubuhnya melambung ke
udara, seperti ada yang melemparkannya dengan tena-
ga yang begitu besar. Tapi, dengan cepat Pendekar Pu-
lau Neraka bisa menguasai keseimbangan dirinya den-
gan berputaran beberapa kali di udara. Dan, tanpa
menimbulkan suara sedikit pun, kedua kakinya lang-
sung menjejak di tanah yang berumput cukup tebal
ini. Bersamaan dengan itu, dari dalam semak yang
sama, keluar seorang laki-laki tua bertubuh kurus. Tu-
lang-tulangnya begitu jelas terlihat, karena dia tidak
mengenakan baju. Laki-laki tua itu hanya memakai ce-
lana hitam sebatas lutut. Dan, di tangan kanannya
tergenggam sebilah kapak yang sangat besar dan ber-
gagang panjang. Sedangkan tangan kirinya mengepit
seikat kayu bakar.
"Siapa kau, Anak Muda? Berani-beraninya
mengganggu istirahat ku!" bentak orang tua bertubuh
kurus itu.
Wajahnya kelihatan memerah. Dan, bola ma-
tanya yang bersorot tajam tertuju lurus pada Pendekar
Pulau Neraka. Tampaknya dia begitu berang. Sedang-
kan raut wajah Bayu masih menampakkan keterkeju-
tan. Entah apa yang terjadi di dalam semak belukar
itu, sampai Bayu terlempar tinggi ke angkasa tadi. Un-
tung Pendekar Pulau Neraka memiliki ilmu meringan-
kan tubuh yang sudah mencapai tingkat sempurna,
sehingga dia bisa mendarat kembali di tanah dengan
ringan dan manis sekali.
"Maaf, aku kira kau orang jahat yang sedang
mengintai kami," ujar Bayu seraya memberi hormat.
"Huh! Kau sudah mengganggu istirahat ku,
Anak Muda. Kau harus membayar perbuatanmu!" den-
gus orang tua yang tampak seperti seorang perambah
hutan pencari kayu bakar itu.
"Hm..., apa maksudmu, Ki?" tanya Bayu den
gan kening berkerut dan mata yang kelihatan menyi-
pit.
"He he he...!"
Orang tua bertubuh kurus itu malah tertawa
terkekeh-kekeh. Perlahan kemudian dia melangkah
beberapa tindak ke depan. Terlihat jelas baris-baris gi-
ginya yang hitam seperti batu saat dia tertawa. Se-
dangkan Ratna Wulan yang sejak tadi hanya berdiri
memperhatikan agak jauh di belakang, perlahan-lahan
melangkah mendekati Pendekar Pulau Neraka.
"Kakang, aku seperti pernah melihat dia," bisik
Ratna Wulan.
"Hmm...," gumam Bayu sambil melirik sedikit
pada gadis cantik yang sudah ada di sebelah kirinya
ini.
"Siapa dia, Wulan?"
"Kalau tidak salah, dia si Perambah Hutan
Penghisap Darah," sahut Ratna Wulan. Matanya tidak
lepas mengamati laki-laki tua yang memegang sebilah
kapak berukuran sangat besar itu.
"He he he...! Penglihatanmu tajam sekali, Anak
Manis," selak laki-laki tua bertubuh kurus yang dike-
nali Ratna Wulan sebagai si Perambah Hutan Penghi-
sap Darah itu.
Sementara itu Bayu diam saja. Diperhatikannya
si Perambah Hutan Penghisap Darah dengan tajam.
Dia tahu, nama yang disebutkan Ratna Wulan barusan
hanyalah sebuah julukan. Tapi, dia juga tahu, tidak
mungkin seseorang bisa mendapatkan sebuah julukan
begitu saja. Suatu julukan biasanya disesuaikan den-
gan sifat atau perbuatan orang itu. Dan ada juga julu-
kan yang diambil dari ciri-ciri orang itu atau nama
tempat asalnya. Sedangkan julukan yang digunakan
laki-laki tua kurus itu jelas menandakan bahwa dia
bukanlah orang baik-baik
"Aku tidak melakukan apa pun padamu, Ki.
Bahkan kau hampir saja meremukkan tulang-
tulangku. Apa yang harus aku ganti padamu...?" ujar
Bayu agak dingin.
"Sudah aku katakan, kau mengganggu istirahat
ku, Anak Muda. Kau harus membayar mahal!" sentak
si Perambah Hutan Penghisap Darah dengan ketus.
"Katakan, apa bayarannya!" dengus Bayu, yang
jelas sekali tidak ingin memperpanjang persoalan.
"He he he.... Darahmu, Anak Muda."
"Edan...!" dengus Bayu.
"Kau tentu memiliki darah yang sangat segar.
Aku hanya minta, kau membayarnya dengan satu gan-
tang darahmu. Tapi jika kau tidak mau, kau bisa
menggantinya dengan bayaran lain," kata si Perambah
Hutan Penghisap Darah
"Hmm, apa...?"
"Keris Naga Emas yang ada padamu. Itu sudah
cukup untuk mengganti darahmu, Anak Muda."
Bayu tersentak kaget mendengar permintaan
laki-laki tua berjubah kurus yang dijuluki si Perambah
Hutan Penghisap Darah itu. Sungguh dia tidak me-
nyangka kalau orang tua itu tahu, bahwa dia menyim-
pan Keris Naga Emas. Keris yang terbuat dari emas
murni ini memang telah diperoleh Bayu dari seorang
laki-laki tua. Tapi, dia sendiri tidak berhak memili-
kinya. Keris itu harus diserahkan kepada orang yang
berhak mewarisinya, yaitu seorang gadis bernama In-
tan Kumala, putri Ki Saktria (Baca serial Pendekar Pu-
lau Neraka dalam episode 'Tiga Pengemis Sakti"). Dan,
sampai sekarang ini, Pendekar Pulau Neraka belum
berhasil menemukan gadis itu.
"Aku tidak punya Keris Naga Emas yang kau
maksudkan, Ki. Kau lihat sendiri, aku tidak memegang
senjata apa pun," kata Bayu sambil merentangkan ke
dua tangannya ke samping.
"He he he...! Jangan coba-coba mengelabui ku,
Anak Muda. Aku tahu, kau telah diberi keris itu oleh
Ki Rahun," ujar si Perambah Hutan Penghisap Darah.
Kali ini Bayu benar-benar tidak dapat lagi me-
nyembunyikan rasa keterkejutannya. Dia memang me-
nyimpan keris itu, dan memang mendapatkannya dari
Ki Rahun. Sungguh dia tidak menyangka, Keris Naga
Emas yang kini berada di tangannya sudah diketahui
oleh orang lain dengan cepat sekali. Padahal, hanya
Ratna Wulan-lah yang menyaksikannya sewaktu Ki
Rahun menyerahkan keris itu kepada Bayu, sesaat se-
belum laki-laki tua itu menghembuskan nafasnya yang
terakhir (Baca serial Pendekar Pulau Neraka dalam epi-
sode "Tiga Pengemis Sakti"). Pendekar Pulau Neraka
melangkah dua tindak ke belakang. Saat itu juga cepat
disadarinya, persoalan ini tidak mungkin diselesaikan
dengan cara damai. Bayu juga menyadari, rahasianya
tentang Keris Naga Emas tidak bisa disembunyikan te-
rus-menerus.
Memang, di dalam ganasnya rimba persilatan,
keadaan seperti yang dialami Pendekar Pulau Neraka
ini, sesungguhnya bisa saja terjadi. Bukankah suatu
hal yang tidak mungkin jika seseorang yang bertelinga
tajam seperti si Perambah Hutan Penghisap Darah
sempat mendengarkan pembicaraan antara Bayu dan
Ratna Wulan tentang Keris Naga Emas itu, entah di
mana. Dan, tampaknya kedua pendekar muda itu ti-
dak menyadari keadaan ini. Rupanya, pikiran mereka
begitu terpusat pada peristiwa-peristiwa aneh yang ba-
ru mereka alami sejak dititipkan keris oleh Ki Rabun,
hingga berhasil keluar dari dasar Jurang Setan.
***
"Baik, aku memang menyimpan keris itu. Tapi
bukan padamu aku harus menyerahkannya. Ada orang
yang lebih berhak memilikinya," kata Bayu tegas.
"He he he...! Sudah kuduga, kau pasti akan
mempertahankannya, Anak Muda. Baik..., aku juga
akan merebutnya darimu. Pertahankanlah keris itu,
Anak Muda," desis si Perambah Hutan Penghisap Da-
rah, dengan nada suara yang terdengar begitu dingin.
Wuk!
Tiba-tiba si Perambah Hutan Penghisap Darah
mengebutkan kapaknya yang berukuran sangat besar
itu ke depan. Begitu kuat kebutan itu, sehingga me-
nimbulkan suara yang menggetarkan. Kemudian ka-
paknya diputar di depan dada, hanya dengan satu tan-
gan.
Wuk!
Cepat sekali putarannya, sampai-sampai kapak
itu lenyap dari pandangan mata. Yang terlihat hanya-
lah lingkaran cahaya keperakan di depan dada laki-
laki tua bertubuh kurus kering ini. Putaran itu juga
menimbulkan suara deru angin yang begitu dahsyat.
Dan, di tepi hutan dekat perbatasan Desa Gebang se-
belah Barat ini seakan-akan terjadi badai, yang sema-
kin lama semakin bertambah dahsyat.
"Hmm...."
Bayu menggumam perlahan. Dia tahu, si Pe-
rambah Hutan Penghisap Darah itu sudah mulai me-
lancarkan serangannya. Serangan pertama ini begitu
dahsyat luar biasa. Hembusan angin yang keluar dari
putaran kapak itu membuat debu dan daun-daun ker-
ing berhamburan ke udara. Bahkan, kerikil-kerikil ke-
cil mulai terlihat berpentalan Bumi yang mereka pijak
pun terasa bergetar, seperti terjadi gempa. Semakin
cepat putaran kepak itu, semakin dahsyat pula badai
yang terjadi.
"Hap!"
Bayu cepat-cepat merapatkan kedua telapak
tangannya di depan dada ketika kakinya mulai tergeser
ke belakang. Kedua bola matanya tertuju lurus, mena-
tap dengan sinar yang begitu tajam, tepat ke tengah-
tengah pusat lingkaran kapak di tangan kanan si Pe-
rambah Hutan Penghisap Darah. Sementara itu Ratna
Wulan, yang tidak dapat lagi bertahan, sudah berlin-
dung di balik sebatang pohon yang sangat besar dan
tampak kokoh menerima gempuran badai yang sema-
kin dahsyat ini.
"Hiyaaa...!"
Tiba-tiba Bayu berteriak keras menggelegar.
Dan, seketika itu juga....
Wusss!
Begitu tangan kanan Pendekar Pulau Neraka
mengibas ke depan, seketika itu juga Cakra Maut yang
selalu menempel di pergelangan tangan kanan itu me-
lesat cepat bagai kilat. Dan, senjata andalan ini tepat
tertuju ke bagian tengah lingkaran kapak bercahaya
keperakan itu. Begitu cepat serangan balasan yang di-
lakukan Bayu. Si Perambah Hutan Penghisap Darah
pun tampak terbelalak kaget setengah mati.
"Hap!"
Cepat-cepat si Perambah Hutan Penghisap Da-
rah menarik tangannya ke samping. Lalu, secepat itu
pula dikibaskan kaki depan. Disampoknya senjata an-
dalan Pendekar Pulau Neraka.
Trang!
"Hup! Yeaaah...!"
Bayu cepat-cepat melentingkan tubuhnya ke
belakang, lalu berputaran beberapa kali. Dan begitu
kakinya menjejak tanah kembali, tangan kanannya
langsung diangkat ke atas kepala. Cakra Maut pun
kembali menempel di pergelangan tangannya dengan
cepat sekali. Serangan kilat yang dilakukan Pendekar
Pulau Neraka ini membuat badai yang diciptakan si
Perambah Hutan Penghisap Darah dengan kapaknya
itu terhenti seketika. Deru angin yang begitu dahsyat
kini tidak terdengar lagi.
Meskipun hanya terjadi sebentar, badai ciptaan
si Perambah Hutan Penghisap Darah telah membuat
keadaan di dekat perbatasan Desa Gebang sebelah Ba-
rat ini porak-poranda. Tidak sedikit pepohonan yang
tumbang. Bahkan tidak sedikit pula bebatuan yang
hancur saling beradu ketika terpental terkena hembu-
san angin badai yang begitu kuat dan dahsyat tadi.
Sementara itu, Pendekar Pulau Neraka dan si Peram-
bah Hutan Penghisap Darah kembali saling berhada-
pan, dengan jarak sekitar satu setengah batang tom-
bak. Mereka saling bertatapan dengan tajam, seakan-
akan tengah mengukur tingkat kepandaian masing-
masing.
***
TIGA
"Hiyaaa...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, si Peram-
bah Hutan Penghisap Darah melompat cepat bagai ki-
lat sambil mengayunkan kapaknya yang besar ke arah
kepala Bayu. Begitu besar tenaga dalam yang dikerah-
kannya. Sehingga, ayunan kapak itu menimbulkan su-
ara deru angin yang begitu dahsyat menggetarkan da-
da.
"Hiiap!"
Manis sekali Bayu mengelakkan serangan itu.
Dia hanya mengegoskan kepalanya. Namun, Bayu
sempat juga terperanjat ketika mata kapak yang berki-
lat tajam lewat di depan mukanya. Terasa sekali, hem-
busan angin dari ayunan kapak itu mengandung tena-
ga dalam tinggi yang memancarkan hawa panas begitu
menyengat Cepat-cepat Pendekar Pulau Neraka me-
lompat ke belakang, sebelum si Perambah Hutan
Penghisap Darah melakukan serangan kembali.
"Bagus...! Rupanya kau punya simpanan juga,
Anak Muda," dengus si Perambah Hutan Penghisap
Darah, memuji lawannya.
"Siapa gurumu?"
"Kau tidak perlu tahu, Kisanak," sahut Bayu,
agak ketus.
"Angkuh juga kau, Bocah. Baik, aku akan me-
maksamu menyebutkan nama gurumu."
"Silakan kalau kau mampu."
"He he he.,.! Bersiaplah kau, Bocah Sombong!
Hiyaaat...!"
"Hap!"
Bayu segera melompat ke samping begitu si Pe-
rambah Hutan Penghisap Darah kembali melakukan
serangan. Kapak yang berukuran besar itu dikibaskan
ke arah dada Pendekar Pulau Neraka. Tapi, dengan ge-
rakan tubuh yang begitu manis, Bayu berhasil meng-
hindarinya. Bahkan, tanpa diduga sama sekali, dia me-
lepaskan satu tendangan menggeledek dengan kaki ki-
rinya, sambil memiringkan tubuh sedikit ke kanan.
"Haiiit...!"
Si Perambah Hutan Penghisap Darah tersentak
kaget setengah mati. Cepat-cepat dia melompat ke be-
lakang sambil mengebutkan kapaknya ke kaki Pende-
kar Pulau Neraka. Tapi, Bayu sudah lebih cepat mena-
rik kakinya. Bahkan, tanpa memijakkan kaki kirinya
ke tanah, dia melesat ke udara, lalu meluruk deras
sambil melepaskan satu pukulan menggeledek ke arah
kepala si Perambah Hutan Penghisap Darah. Begitu
sempurna tenaga dalam yang dikerahkan Bayu. Angin
pukulannya pun telah terasa sebelum pukulan itu
sampai di kepala laki-laki tua bertubuh kurus kering
ini.
Glarrr….
Satu ledakan keras terdengar ketika pukulan
Pendekar Pulau Neraka menghantam tanah. Pukulan
Pendekar Pulau Neraka itu tidak mengenai sasaran, ka-
rena si Perambah Hutan Penghisap Darah sudah me-
lompat tinggi.
"Hup! Hiyaaa...!"
Tidak ada pilihan lain bagi si Perambah Hutan
Penghisap Darah. Cepat-cepat dia melentingkan tu-
buhnya ke udara menghindari serangan pukulan yang
dilancarkan Pendekar Pulau Neraka. Sedangkan Bayu,
yang mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalam
pada pukulannya, tidak dapat lagi menarik serangan-
nya. Sehingga, pukulannya pun menghantam tanah.
Glarrr...!
Satu ledakan keras langsung terdengar meng-
gelegar ketika pukulan Pendekar Pulau Neraka meng-
hantam tanah. Begitu dahsyat pukulan bertenaga da-
lam sempurna itu. Tanah yang terhantam pun seketika
hancur. Debu langsung menyemburat tinggi ke udara.
Bumi terasa bergetar bagai diguncang gempa yang be-
gitu dahsyat.
"Hup!"
Bayu cepat melompat ke belakang sejauh be-
berapa langkah. Manis sekali kakinya menjejak tanah.
Tampak tanah yang terkena pukulannya tadi telah ber-
lubang sangat besar, seperti sebuah lubang kuburan
gajah. Si Perambah Hutan Penghisap Darah yang meli-
hat hasil pukulan maut Pendekar Pulau Neraka itu
langsung terlongong-longong. Dia tidak menyangka
sama sekali kalau pemuda berbaju kulit harimau itu
memiliki kekuatan tenaga dalam yang begitu dahsyat
luar biasa.
"Aku bisa menghancurkan tubuhmu kalau kau
tidak segera angkat kaki dari sini, Orang Tua...!" desis
Bayu dingin, dengan nada mengancam.
Dari nada suaranya, Pendekar Pulau Neraka ti-
dak bisa lagi dianggap main-main, Jelas Bayu tidak
menginginkan urusan ini berlarut-larut. Tapi, rupanya
si Perambah Hutan Penghisap Darah tidak juga mau
mundur sebelum mendapatkan Keris Naga Emas yang
sangat diinginkannya. Tampaknya dia akan berusaha
sampai mati untuk merebut keris berwarna emas yang
tetap dipertahankan oleh Pendekar Pulau Neraka itu.
Memang, apa pun yang terjadi, Bayu akan tetap mempertahankan Keris Naga Emas, yang dititipkan oleh Ki
Rahun sebelum menghembuskan napas terakhir. Dan,
Bayu pun tetap teringat akan pesan yang dikatakan
oleh lelaki tua itu untuk menyerahkan keris ini kepada
pewarisnya yang berhak.
"Phuih!"
Si Perambah Hutan Pengemis Darah menyem-
burkan ludahnya dengan sengit. Perlahan kakinya di-
geser ke kanan beberapa langkah. Sorot matanya ma-
sih tetap tajam, tertuju langsung ke bola mata Pende-
kar Pulau Neraka. Dia benar-benar tidak menyangka
kalau pemuda yang dihadapinya ini begitu tangguh.
Dan, dia tidak ingin lagi menganggap enteng. Hampir
saja tadi dia celaka, karena menganggap rendah pe-
muda berbaju kulit harimau itu.
"Kita tentukan sekarang. Kau atau aku yang
harus mati, Anak Muda!" desis si Perambah Hutan
Penghisap Darah, dingin.
"Di antara kita tidak ada persoalan, Ki. Sebaik-
nya tidak perlu diperpanjang lagi urusan tak berguna
ini," kata Bayu, mencoba untuk tidak memperpanjang
pertarungan yang dianggapnya tidak berguna ini.
"Jangan banyak mulut kau, Bocah! Hiyaaat...!"
"Hap!"
Bayu tidak punya pilihan lain lagi. Begitu si Pe-
rambah Hutan Penghisap Darah kembali melakukan
serangan, dia terpaksa melayani keinginan laki-laki
tua yang menggunakan senjata kapak itu. Dan, kali ini
serangan-serangan yang dilancarkan si Perambah Hu-
tan Penghisap Darah ternyata sungguh dahsyat luar
biasa. Begitu gencarnya, sehingga tidak ada kesempa-
tan sedikit pun bagi Bayu untuk membalas. Memang,
si Perambah Hutan Penghisap Darah tidak memberi-
kan kesempatan pada lawannya ini untuk membalas
menyerang.
"Hup! Yeaaah...!"
Bayu terpaksa berjumpalitan dan meliuk-
liukkan tubuhnya. Di hindarinya setiap serangan yang
dilancarkan si Perambah Hutan Penghisap Darah itu.
Jurus demi jurus pun berlalu dengan cepat. Tapi per-
tarungan itu tampaknya masih akan berlangsung la-
ma. Beberapa kali kibasan kapak si Perambah Hutan
Penghisap Darah hampir membelah tubuh Pendekar
Pulau Neraka. Tapi sampai saat ini Bayu masih bisa
menghindarinya dengan manis, walaupun dia belum
memiliki kesempatan untuk melakukan serangan ba-
lasan.
"Mampus kau, Bocah! Hiyaaa...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, bagaikan
kilat si Perambah Hutan Penghisap Darah melompat
sambil menghantam kapaknya ke kepala Pendekar Pu-
lau Neraka. Begitu kuat hantaman yang disertai den-
gan pengerahan tenaga dalam tingkat tinggi itu. Angin
yang ditimbulkannya pun terasa begitu panas me-
nyengat kulit.
"Hap! Hiyaaa...!"
***
Cepat sekali Bayu menarik kepalanya ke bela-
kang, sambil menggeser juga kedua kakinya ke be-
lakang dua tindak. Dan, ujung mata kapak si Pe-
rambah Hutan Penghisap Darah itu lewat sedikit saja
di depan hidung pemuda berbaju kulit harimau ini.
Pada saat itu juga, dengan kecepatan bagai kilat, Bayu
melepaskan satu tendangan keras menggeledek diser-
tai dengan pengerahan tenaga dalam yang sudah men-
capai tingkat sempurna.
"Hiyaaa...!"
"Uts!"
Si Perambah Hutan Penghisap Darah tersentak
kaget setengah mati. Tidak disangkanya Pendekar Pu-
lau Neraka mampu melakukan serangan balik yang
begitu cepat di saat sedang menghindari serangannya.
Cepat-cepat lelaki tua bertubuh kurus ini melompat ke
belakang beberapa tindak. Namun, baru saja kakinya
menjejak tanah, Bayu sudah menghentakkan tangan
kanannya ke depan, dengan tubuh sedikit miring ke
kiri.
"Yeaaah...!"
Wusss!
"Heh...?! Ikh!"
Si Perambah Hutan Penghisap Darah terbeliak
setengah mati ketika dari pergelangan tangan Pen-
dekar Pulau Neraka meluncur sebuah benda berben-
tuk cakra yang berwarna keperakan. Cakra Maut ber-
segi enam itu meluncur dengan cepat bagai kilat Dan,
cepat-cepat si Perambah Hutan Penghisap Darah men-
gibaskan kapaknya. Disampoknya senjata maut Pen-
dekar Pulau Neraka itu.
Wuk!
Trang!
"Ikh...?!"
Si Perambah Hutan Penghisap Darah terpekik
ketika ujung mata kapaknya berbenturan dengan Ca-
kra Maut tepat di depan dadanya. Begitu keras bentu-
ran itu, sampai menimbulkan pijaran api yang me-
mancar ke segala arah. Saat itu juga Cakra Maut kem-
bali melesat berbalik kepada pemiliknya. Bayu cepat
mengangkat tangan kanannya ke atas kepala. Dan,
cakra bersegi enam keperakan itu kembali menempel
di pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka.
"Hiyaaat...!"
Pada saat itu juga, dengan cepat sekali Bayu
melompat sambil melepaskan satu tendangan yang ke
ras menggeledek, yang disertai pengerahan tenaga da-
lam yang tinggi sekali tingkatannya. Begitu cepat se-
rangan yang dilancarkan Pendekar Pulau Neraka. Si
Perambah Hutan Penghisap Darah pun tidak sempat
lagi berkelit menghindarinya. Dan....
Des!
"Akh...!"
Si Perambah Hutan Penghisap Darah kembali
terpekik. Kali ini tendangan kaki kanan Pendekar Pu-
lau Neraka tepat menghantam dadanya dengan keras
sekali. Tak pelak lagi, lelaki tua itu terpental ke bela-
kang dengan keras sekali. Dan, tubuhnya tepat jatuh
di dalam lubang besar yang seperti kuburan gajah tadi.
Pada saat yang bersamaan, Bayu mendarat tepat di
pinggiran lubang itu. Sedangkan si Perambah Hutan
Penghisap darah tampak menggeletak dengan napas
tersengal di dalam lubang. Mulut dan hidungnya men-
geluarkan darah kental agak berwarna kehitaman.
"Lubang ini memang cocok untuk kuburanmu
Kek ." desis Bayu dingin,
Perlahan Pendekar Pulau Neraka mengangkat
kepalan tangan kanannya ke atas kepala. Sedangkan
si Perambah Hutan Penghisap Darah sudah tidak ber-
daya lagi. Tendangan yang mendarat di dadanya tadi
mengandung pengerahan tenaga dalam yang begitu
dahsyat dan sudah sempurna tingkatannya. Seluruh
rongga dadanya kini terasa remuk. Bahkan, tulang-
tulang dadanya terlihat jelas sudah hancur. Memang
tidak ada lagi harapan bagi si Perambah Hutan Peng-
hisap Darah untuk bisa bertahan hidup lebih lama.
Darah yang keluar dari mulutnya semakin ber-
tambah banyak. Dan nafasnya sudah tersendat-
sendat. Kedua bola matanya pun tidak lagi memancar-
kan sinar tajam. Begitu redup, bagai sepasang pelita
yang sudah kehabisan minyak. Laki-laki tua yang di
kenal dengan julukan si Perambah Hutan. Penghisap
Darah itu benar-benar sudah tidak bisa lagi berbuat
apa pun. Dia hanya bisa menggeletak tak berdaya di
dalam lubang sebesar kuburan gajah, yang tidak sen-
gaja dibuat tadi oleh Pendekar Pulau Neraka.
“Terimalah kematianmu, Kakek Iblis...!" desis
Bayu, dingin.
"Kakang, jangan...!"
Hampir Pendekar Pulau Neraka telanjur mele-
paskan satu pukulan jarak jauh yang berkekuatan te-
naga dalam tingkat sempurna ke arah si Perambah
Hutan Penghisap Darah. Untung saja terdengar seruan
Ratna Wulan yang begitu keras. Pemuda berbaju kulit
harimau itu memalingkan kepalanya. Tampak Ratna
Wulan berlari-lari kecil menghampiri. Monyet kecil
berbulu hitam mengikuti dari belakang, sambil mence-
recet ribut.
"Nguk!"
Monyet kecil yang bernama Tiren itu langsung
melompat naik ke pundak kanan Bayu. Sedangkan
Ratna Wulan berdiri dekat agak ke depan, di sebelah
kiri Pendekar Pulau Neraka. Gadis itu melirik sedikit
pada si Perambah Hutan Penghisap Darah yang masih
menggeletak tak berdaya di dalam lubang.
“Tidak ada gunanya membunuh dia, Kakang.
Sebaiknya tanyakan saja, kenapa dia menginginkan
Keris Naga Emas itu," kata Ratna Wulan.
"Hmm...."
Bayu menggumam sedikit. Tangan kanannya
sudah turun kembali. Bola matanya menatap tajam
pada si Perambah Hutan Penghisap Darah.
"Kau dengar apa katanya, Ki. Kau beruntung
tidak terkubur di sini," kata Bayu, sedikit membentak.
Si Perambah Hutan Penghisap Darah diam saja.
Sinar matanya semakin kelihatan redup. Darah terus
mengalir dari mulut dan hidungnya. Sedikit pun tu-
buhnya tidak bergerak, seakan-akan raganya sudah
mati. Hanya gerakan lemah di dada dan matanya sedi-
kit terbuka yang bisa menandakan kalau dia masih hi-
dup.
"Ki..., untuk apa kau menginginkan Keris Naga
Emas itu?" tanya Ratna Wulan lembut
Tidak terdengar suara sedikit pun dari bibir
berlumuran darah yang bergerak-gerak itu. Sepertinya
si Perambah Hutan Penghisap Darah ingin bicara. Ta-
pi, mendadak tubuhnya mengejang kaku, kemudian
langsung lunglai, dan kedua matanya terpejam. Bayu
cepat-cepat melompat ke dalam lubang. Ujung jari tan-
gannya langsung ditempelkan ke leher lelaki bertubuh
kurus itu. Sebentar kemudian Pendekar Pulau Neraka
berpaling kepada Ratna Wulan. Kepalanya menggeleng,
lalu dia kembali melompat ke atas.
"Dia sudah mati," ujar Bayu.
"Heh, sayang sekali. Padahal keterangannya
sangat berguna untuk membantu menemukan pewaris
keris itu, Kakang," desah Ratna Wulan perlahan.
“Tendangan ku terlalu keras tadi," ujar Bayu,
seperti menyesal.
"Yaaah..., terpaksa kita harus mencari lagi pe-
tunjuk yang lain untuk menemukan gadis itu," desah
Ratna Wulan lagi.
"Kau masih ingat namanya, Kakang?"
"Intan Kumala," sahut Bayu.
"Kakang, apa tidak sebaiknya kita mencari ke-
terangan di Desa Gebang ini saja. Siapa tahu ada di
antara penduduk desa itu yang kenal dengan Intan
Kumala," saran Ratna Wulan.
Bayu tampak merenung. Dia kembali teringat
pada Ki Rahun, laki-laki tua berpakaian compang-
camping yang ditolongnya ketika hampir tewas di tan
gan Ki Laksa. Dia tidak tahu, kenapa Ki Rahun sampai
bertarung menyabung nyawa dengan Ki Laksa. Tapi,
setidak-tidaknya di Desa Gebang dia bisa menda-
patkan keterangan dari laki-laki tua berjubah putih
itu.
Ki Laksa memang sangat disegani di Desa Ge-
bang ini. Dia adalah, orang kepercayaan pihak kera-
jaan yang bertugas mengawal barang-barang berharga
ataupun mengiringi anggota keluarga istana kerajaan.
Tentu saja tidak sulit bagi Bayu untuk menemuinya.
"Sudah sore. Ayo kita cari penginapan di sana,"
ajak Bayu sambil menunjuk ke Desa Gebang.
***
Malam sudah cukup larut. Kegelapan meram-
bat menyelimuti sebagian permukaan bumi. Kesunyian
begitu terasa mencekam. Hanya desiran angin dan ge-
rit binatang malam yang terdengar mengusik kesu-
nyian ini. Di bawah siraman cahaya bulan yang me-
mancar lembut, terlihat seorang wanita melangkah
perlahan-lahan menyusuri jalan tanah di pinggiran
Desa Gebang.
Pakaiannya yang berwarna putih kelihatan su-
dah hampir memudar dan kotor penuh debu. Terdapat
pula sobekan di beberapa bagian. Rambutnya yang
panjang tampak acak-acakan tak teratur, sehingga
hampir menutupi wajah yang berkulit putih tapi keli-
hatan kotor penuh debu yang bercampur keringat.
Memang udara malam ini terasa cukup panas.
Wanita yang kelihatannya masih muda itu te-
rus melangkah perlahan, tapi ayunan kakinya tampak
mantap. Dan, sorot matanya juga terlihat tajam me-
mandang lurus ke depan. Sedikit pun kelopak matanya
tidak berkedip. Dia terus berjalan melintasi jalan tanah
yang seperti membelah Desa Gebang ini menjadi dua
bagian. Dan ayunan kakinya baru berhenti setelah
sampai di depan sebuah pagar rumah dari bambu.
Rumah itu sangat besar dan dikelilingi halaman
yang luas. Keadaan di dalamnya tampak terang-
benderang. Terlihat beberapa orang laki-laki muda ber-
jalan mondar-mandir di sekitarnya. Di pinggang mere-
ka masing-masing terselip sebilah golok. Mungkin me-
reka adalah para penjaga rumah itu, rumah yang pal-
ing besar di Desa Gebang. Bahkan, rumah ini lebih be-
sar dari rumah kepala desa sendiri. Dan, semua orang
tahu, itu adalah rumah Ki Laksa.
"Bersiap-siaplah kau, Paman Laksa. Pembala-
sanku sudah tiba."
Wanita muda berpakaian putih dan compang-
camping itu menggumam. Suaranya datar dan dingin
sekali. Tak terdengar tekanan nada sedikit pun pada
gumamnya tadi. Dan, dia tetap berdiri tegak meman-
dangi rumah berukuran besar itu.
Dua orang laki-laki muda yang sejak tadi berdi-
ri di depan beranda terlihat bergerak menghampiri.
Mereka menyeberangi halaman yang cukup luas dan
ditumbuhi rerumputan. Sedangkan wanita mu-dan se-
perti pengemis itu tetap diam berdiri tegak tak bergem-
ing sedikit pun.
"Hei! Mau apa kau ke sini? Pergi sana...!" ben-
tak salah seorang pemuda itu dengan kasar.
"Hmm...," wanita muda berbaju putih compang-
camping itu hanya menggumam sedikit
"Pergi sana! Jangan mengotori tempat ini!" ben-
tak pemuda itu lagi.
"Kalian, tikus-tikus Busuk! Tidak pantas buka
bacot di depanku, Hih...!"
Tiba-tiba wanita itu mengebutkan tangan ka-
nannya ke depan. Begitu cepat kebutannya, hingga
hampir tidak terlihat. Saat itu juga, dari telapak ta-
ngan wanita itu melesat dua buah benda kecil berca-
haya kuning keemasan.
"Aaakh...!"
"Aaa...!”
Dua jeritan panjang melengking tinggi seketika
terdengar menyayat membelah malam yang sunyi ini.
Tampak kedua pemuda itu langsung ambruk dengan
dada berlubang berlumuran darah. Hanya sebentar
keduanya menggelepar, kemudian diam tak bergerak-
gerak lagi. Dada mereka berlubang cukup besar. Ben-
da kecil berwarna keemasan yang menghantam tadi
ternyata berakibat luar biasa.
Jeritan yang begitu panjang dan melengking
dari kedua pemuda itu mengejutkan penjaga rumah Ki
Laksa lainnya. Sebentar saja terlihat beberapa orang
berlarian menyeberangi halaman. Dan, pada saat itu
juga....
"Hup!"
Wanita muda berpakaian putih compang-
camping itu tiba-tiba melesat cepat. Begitu cepat gera-
kannya. Dalam sekejap mata, tubuhnya sudah lenyap
tak berbekas sama sekali. Sedangkan orang yang ber-
datangan tampak terperanjat kaget begitu melihat dua
orang teman mereka sudah menggeletak tak bernyawa
dengan dada berlubang cukup besar.
Saat itu, terlihat seorang laki-laki tua berjubah
putih keluar dari pintu depan rumah, diikuti oleh tiga
orang laki-laki berusia setengah baya. Mereka bergegas
melangkah menyeberangi halaman. Sekitar lima belas
pemuda yang berkerumun segera menyingkir memberi
jalan. Laki-laki tua berjubah putih yang tak lain adalah
Ki Laksa itu tampak terperanjat setengah mati begitu
melihat dua orang penjaga rumahnya telah menggele-
tak tewas dengan dada berlubang. Di dalam dada itu
terlihat sebuah benda kecil berbentuk bulat dan ber-
warna kuning keemasan. Ki Laksa mengambil benda
itu dan mengamatinya beberapa saat.
"Mustahil...!" desis Ki Laksa seraya menggeleng-
gelengkan kepalanya.
"Apa itu, Ki?" tanya Laki-laki setengah baya
yang mengenakan baju merah.
"Ini," sahut Ki Laksa sambil menyerahkan ben-
da bulat kecil keemasan itu.
Si Nyawa Merah menerima benda itu, dan men-
gamatinya sebentar, lalu menyerahkannya pada si
Nyawa Biru. Kemudian, si Nyawa Kuning pun menda-
pat giliran untuk mengamatinya. Mereka semua me-
mandangi Ki Laksa yang tampak termenung setelah
melihat benda bulat kecil keemasan yang menewaskan
dua orang penjaga rumahnya ini.
"Mustahil kalau dia masih hidup, Ki," ujar si
Nyawa Merah.
"Seharusnya kalian pastikan dulu kalau dia
sudah mati. Huh...! Persoalan ini tidak ada habis-
habisnya!" dengus Ki Laksa seraya melangkah kembali
ke rumahnya.
Tiga orang laki-laki setengah baya yang dikenal
dengan julukan si Perampok Tiga Nyawa bergegas ikut
masuk ke dalam rumah. Sementara itu, para pemuda
penjaga rumah Ki Laksa tampak sibuk mengurus ke-
dua orang penjaga malam yang tewas mengenaskan
tadi.
***
EMPAT
Ki Laksa terkejut setengah mati saat sampai di
ambang pintu rumahnya. Kedua bola matanya lang-
sung terbeliak lebar. Keadaan di dalam rumahnya ter-
lihat berantakan, seperti baru diamuk puluhan gajah
liar. Tidak ada satu barang pun yang masih utuh. Se-
muanya hancur berkeping-keping. Perampok Tiga
Nyawa yang baru sampai langsung menerobos masuk
melewati Ki Laksa yang masih berdiri terlongong-
longong di ambang pintu.
Hanya beberapa saat mereka meninggalkan
rumah ini tadi untuk melihat dua penjaga yang tewas
di depan pintu pagar. Tapi, keadaan di dalam rumah
ini sekarang sudah seperti kapal pecah dihantam ge-
lombang lautan. Ki Laksa bergegas menerobos masuk.
Dan, diperiksanya semua ruangan di dalam rumah.
Tidak ada satu ruangan pun yang , terlihat masih
utuh. Semuanya sudah hancur berantakan. Begitu ce-
pat rumahnya diobrak-abrik.
Brak!
"Heh...?!"
Ki Laksa terkejut bukan main ketika tiba-tiba
sebuah pintu di depannya tertutup sendiri. Cepat dia
melompat mendekati pintu itu. Tapi, baru saja kakinya
menjejak lantai, mendadak pintu itu jebol.
Bruakkk!
"Hup!"
Cepat-cepat Ki Laksa melentingkan tubuhnya,
berputaran beberapa kali ke belakang. Dari pintu yang
hancur itu, melesat sebuah bayangan putih begitu ce-
pat bagai kilat. Bayangan itu lewat di atas tubuh Ki
Laksa yang sedang berputaran. Bayangan putih itu te-
rus melesat cepat melewati atas kepala tiga laki-laki
setengah baya yang dikenal dengan julukan si Peram-
pok Tiga Nyawa.
“Tahan dia...!" seru Ki Laksa keras menggelegar.
"Hiyaaa...!"
Nyawa Biru, yang lebih dulu menyadari, cepat
melesat mengejar bayangan putih itu. Satu pukulan
keras yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi
langsung dilepaskannya ke arah bayangan putih itu.
Tapi, tanpa diduga sama sekali, bayangan putih itu
berputar cepat dan langsung berbalik menyerang begi-
tu serangan yang dilancarkan si Nyawa Biru dapat di-
hindari.
"Uts...!"
Cepat-cepat Nyawa Biru memutar tubuhnya ke
belakang beberapa kali. Dihindarinya benda-benda ke-
cil berwarna keemasan yang tiba-tiba saja meluncur
cepat ke arahnya. Pada saat itu juga, bayangan putih
itu cepat melesat keluar. Begitu cepat gerakannya. Ki
Laksa dan si Perampok Tiga Nyawa pun tidak sempat
lagi mengejar.
Tepat pada saat tubuhnya keluar melewati pin-
tu, mendadak bayangan putih itu berbalik. Kini jelas-
lah terlihat, dia seorang wanita muda berbaju putih
yang compang-camping seperti gembel jalanan. Ram-
butnya yang panjang dibiarkan meriap tak teratur.
Dan terlihat sedikit gelungan di atas kepalanya. Seben-
tar dia berdiri tegak di depan beranda, lalu....
"Hiyaaa...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, wanita
berbaju putih compang-camping itu menghentakkan
kedua tangannya ke depan. Seketika dari kedua tela-
pak tangannya memancar cahaya merah bagai api. Si-
nar merah itu langsung menghantam rumah Ki Laksa
yang besar ini.
Glarrr...!"
Ledakan keras menggelegar seketika terdengar
begitu dahsyat saat sinar merah keluar dari kedua te-
lapak tangan wanita muda berbaju putih compang-
camping itu. Tak pelak lagi, rumah besar dengan dind-
ing terbuat dari batu itu hancur berkeping-keping. Api
langsung berkobar membakar seluruh bangunan ru-
mah ini. Pada saat itu juga, wanita muda berbaju pu-
tih compang-camping itu melesat cepat. Begitu cepat
gerakannya. Dalam sekejap mata, tubuhnya pun su-
dah lenyap tak berbekas lagi.
Tepat di saat wanita muda itu lenyap, dari ko-
baran api yang berkobar melahap bangunan rumah Ki
Laksa itu terlihat melesat empat bayangan dengan ce-
pat sekali. Dan, tahu-tahu di halaman depan sudah
mendarat Ki Laksa dan si Perampok Tiga Nyawa. Se-
dangkan api terus berkobar semakin besar melahap
seluruh bangunan rumah ini.
"Setan alas...!" maki Ki Laksa.
Dia memandangi rumahnya yang mulai hancur
termakan api. Malam yang semula sunyi dan tenang
seketika itu juga menjadi terang benderang. Terdengar
suara gemeretak dari kayu-kayu yang termakan api.
Sebentar saja, sekitar halaman rumah Ki Laksa sudah
dipenuhi penduduk Desa Gebang. Mereka terbangun
tadi ketika mendengar keributan di rumah Ki Laksa.
"Kumpulkan semua orang yang ada. Cari si ke-
parat itu...!" seru Ki Laksa, lantang menggelegar.
Tanpa menunggu perintah dua kali, tiga orang
laki-laki setengah baya dikenal dengan julukan si Pe-
rampok Tiga Nyawa itu langsung bergerak mengum-
pulkan orang-orangnya yang berada di sekitar hala-
man rumah ini. Sedangkan Ki Laksa menggerutu dan
memaki-maki sendiri. Rumahnya sudah hancur terba-
kar. Tidak ada lagi yang bisa diselamatkan. Kejadian-
nya begitu cepat, dan sama sekali tidak pernah diduga
sebelumnya.
Sebentar kemudian, sekitar dua puluh orang
anak muda yang masing-masing menyandang golok
sudah berkumpul di depan Ki Laksa. Sedangkan si Pe-
rampok Tiga Nyawa berdiri di belakang laki-laki tua
berjubah putih itu. Tampak pula orang semakin ba-
nyak berkerumun di luar pagar rumah ini. Tak ada
seorang pun yang berani melewati pagar yang hanya
terbuat dari bambu itu. Mereka hanya bisa menyaksi-
kan sambil berbisik-bisik dan bertanya-tanya sendiri.
"Kalian bertiga, bawa mereka semua. Cari si
keparat itu sampai dapat!" perintah Ki Laksa yang ma-
sih diliputi keberangan.
"Baik, Ki," sahut Nyawa Merah.
"Pergi sekarang juga!"
Si Perampok Tiga Nyawa segera membawa ke-
dua puluh pemuda itu pergi. Sedangkan Ki Laksa ma-
sih tetap berdiri memandangi api yang terus melahap
rumahnya. Udara malam yang semula terasa begitu
dingin kini menjadi hangat oleh kobaran api yang be-
sar itu. Ki Laksa memutar tubuhnya saat mendengar
suara-suara langkah kaki yang mendekat. Tampak
seorang laki-laki setengah baya datang menghampi-
rinya. Dia tahu, laki-laki setengah baya yang menge-
nakan baju biru muda itu adalah Ki Antak, Kepala De-
sa Gebang.
"Maaf, aku baru bisa datang ke sini, Ki Laksa,"
ucap Ki Antak setelah sampai di dekat Ki Laksa.
"Hmm...."
Ki Laksa hanya menggumam sedikit. Sekilas
dia mengedarkan pandangan. Dirayapinya orang-orang
yang berkerumun di luar pagar rumahnya. Kemudian
dia memandang pada Ki Antak yang berdiri sekitar tiga
langkah di depannya.
"Apa yang terjadi dengan rumahmu, Ki?" tanya
Ki Antak.
"Kalaupun aku katakan, kau tidak akan bisa
membantu, Ki Antak. Maaf, biarkan aku mengurusnya
sendiri. Ini persoalan pribadiku," sahut Ki Laksa agak
ketus.
Tanpa menghiraukan Ki Antak, Ki Laksa me-
langkah pergi menuju ke belakang rumahnya yang su-
dah habis terbakar. Di bagian belakang rumahnya
memang ada bangunan lain yang berukuran kecil.
Dan, biasanya tempat itu digunakan hanya untuk ber-
semadi. Untung saja bangunan itu tidak ikut dihan-
curkan, sehingga Ki Laksa masih bisa menggunakan-
nya untuk berteduh. Sedangkan Ki Antak hanya bisa
diam memandangi kepergian Ki Laksa sambil mengge-
leng-gelengkan kepala. Dia berbalik dan meninggalkan
halaman rumah itu.
Dalam hati kecilnya, sesungguhnya Ki Antak
merasa senang melihat kejadian yang menimpa Ki
Laksa. Bahkan, sudah lama dia berharap, ada seorang
pendekar yang dapat menundukkan Ki Laksa ataupun
membunuhnya. Selama ini, para penduduk Desa Ge-
bang sering kali diperlakukan sewenang-wenang oleh
Ki Laksa dan para pengikutnya. Dan, tidak ada seo-
rang pun yang berani melawan termasuk Ki Antak
sendiri. Bahkan Kepala Desa Gebang merasa, dirinya
benar-benar tidak ada artinya dibanding lelaki tua
yang cukup dikenal di rimba persilatan.
***
Terbakarnya rumah Ki Laksa menjadi buah bi-
bir di seluruh pelosok Desa Gebang. Tak ada seorang
pun yang tidak membicarakannya. Tapi, tak seorang
pun yang tahu, kenapa rumah orang paling kaya di de-
sa ini bisa terbakar habis tanpa dapat diselamatkan
lagi.
Bayu dan Ratna Wulan yang telah berada di
desa ini juga mendengar semua pembicaraan yang ke-
banyakan bernada sumbang itu. Mereka jadi tahu, se-
benarnya keberadaan Ki Laksa dan tiga orang pemban-
tu kepercayaannya tidak disenangi oleh penduduk. Ta-
pi, tak ada seorang pun yang bisa berbuat sesuatu,
mengingat Ki Laksa bukanlah orang sembarangan. Dia
pun memiliki hubungan kuat dengan orang-orang di
istana kerajaan. Terlebih lagi ketiga pembantu keper-
cayaannya bisa melakukan apa saja jika Ki Laksa su-
dah memberikan perintah. Semua orang di Desa Ge-
bang ini merasa senang dengan peristiwa semalam.
Tapi, mereka juga diliputi kekhawatiran, kalau-kalau
Ki Laksa memerintahkan orang-orangnya mengobrak-
abrik seluruh desa ini hanya untuk mencari orang
yang telah membakar rumahnya.
"Kau tahu, siapa kira-kira yang membakar ru-
mah ini, Kakang?" tanya Ratna Wulan, saat mereka
tengah makan di sebuah kedai yang tidak begitu ramai
pengunjungnya.
"Yang pasti orang yang punya urusan dengan-
nya," sahut Bayu seenaknya.
"Itu sudah pasti, Kakang. Tapi siapa orang-
nya...?" sungut Ratna Wulan.
"Mana aku tahu...," sahut Bayu sambil meng-
angkat sedikit bahunya.
Saat itu Ki Laksa dan si Perampok Tiga Nyawa
masuk ke dalam kedai ini. Semua orang yang berada di
dalam kedai bergegas keluar begitu melihat Ki Laksa
dan ketiga pembantu kepercayaannya datang. Hanya
Bayu dan Ratna Wulan yang masih tinggal, selain pe-
milik kedai itu sendiri tentunya. Laki-laki tua pemilik
kedai itu tampak ketakutan melihat kedatangan Ki
Laksa dan tiga orang pembantu kepercayaannya yang
dikenal dengan julukan Perampok Tiga Nyawa. Melihat
Bayu dan Ratna Wulan masih tetap berada di tempat-
nya, Ki Laksa langsung menghampiri, diikuti si Peram-
pok Tiga Nyawa.
"Aku seperti pernah bertemu denganmu, Anak
Muda," kata Ki Laksa begitu berada di depan meja
yang ditempati Bayu.
"Ya, satu kali," sahut Bayu, tenang.
Ki Laksa mengamati wajah Pendekar Pulau Ne-
raka beberapa saat Kepalanya terangguk-angguk pe-
lan. Dia langsung teringat pemuda berbaju kulit hari-
mau inilah yang dulu menolong Ki Rahun dari hunja-
man ujung tongkatnya yang runcing.
Pendekar Pulau Neraka meraih Tiren yang sejak
tadi nangkring di pundaknya. Diserahkannya monyet
kecil itu kepada Ratna Wulan. Perlahan Bayu bangkit
berdiri. Kini dia langsung berhadapan muka dengan Ki
Laksa. Hanya sekitar tiga langkah jarak antara mereka
berdua.
"Kenapa kau menolong Ki Rahun, Anak Muda?"
tanya Ki Laksa langsung.
"Tidak ada maksud apa-apa. Aku hanya tidak
bisa melihat kau menganiaya seorang pengemis tua
yang tidak berdaya," sahut Bayu tegas, tapi dengan
nada suara masih tetap terdengar tenang.
"Di mana dia sekarang?" tanya Ki Laksa lagi.
"Untuk apa kau tanyakan itu? Untuk membunuh-
nya...?" kali ini nada suara Bayu terdengar ketus.
"Jangan main-main di depanku, Anak Muda.
Kau tahu siapa aku heh...?" dengus Ki Laksa, merasa
tidak senang.
"Aku tahu siapa kau, Ki. Bahkan aku memang
ingin sekali bertemu. Ada sesuatu yang hendak aku
tanyakan padamu" kata Bayu, tegas.
"Hm.... Kau mau mencari masalah denganku
Anak Muda," desis Ki Laksa menggumam.
Bayu melangkah mundur dua tindak. Dikelua-
rkannya keris berwarna kuning keemasan dari dalam
sabuk yang membelit pinggangnya. Bola mata Ki Laksa
langsung terbeliak begitu melihat Keris Naga Emas
yang kini berada di tangan pemuda berbaju kulit hari-
mau itu.
"Kau kenali benda ini, Ki?" tanya Bayu.
"Dari mana kau dapatkan itu?" Ki Laksa malah
balik bertanya.
"Aku rasa kau sudah tahu, dari mana aku
mendapatkannya, Ki. Aku ingin, kau menjawab perta-
nyaanku. Karena aku harus menyerahkan benda ini
kepada pemiliknya," kata Bayu tegas.
"Keris itu milikku!" dengus Ki Laksa.
"Kau pasti tidak bernama Intan Kumala, bu-
kan...? Hanya Intan Kumala yang berhak memilikinya.
Dan aku yakin, kau pasti tahu di mana dia," kata
Bayu, tetap tegas.
Ki Laksa tidak berkata-kata lagi. Gerahamnya
terdengar bergemeletuk. Sedangkan si Perampok Tiga
Nyawa yang berada di belakang laki-laki tua berjubah
putih itu sudah siap dengan masing-masing kapaknya
di tangan kanan. Mereka tinggal menunggu perintah,
sambil terus menatap Pendekar Pulau Neraka dengan
sinar mata yang begitu tajam.
"Siapa kau sebenarnya, Anak Muda? Ada hu-
bungan apa kau dengan mereka?" tanya Ki Laksa din-
gin sekali.
"Aku hanya diberi pesan untuk menyerahkan
benda ini kepada pemiliknya. Dan kau tentu tahu, sia-
pa itu Intan Kumala," sahut Bayu.
"Dia sudah mati. Sebaiknya kau serahkan saja
Keris Naga Emas itu kepadaku."
Bayu menggeleng-gelengkan kepalanya seraya
tersenyum kecil. Dia menyimpan kembali keris ber-
warna kuning keemasan itu ke dalam sabuk pinggang-
nya yang terbuat dari kulit berwarna kuning gading.
Sementara itu Ratna Wulan sudah berdiri di belakang
Pendekar Pulau Neraka. Tangan kanannya sejak tadi
sudah menggenggam gagang pedangnya yang tersim-
pan dalam warangkanya di pinggang.
"Maaf, kami terpaksa harus melanjutkan perja-
lanan," kata Bayu seraya memutar tubuhnya hendak
meninggalkan kedai itu.
"Tunggu...!" sentak Ki Laksa.
Bayu tidak peduli. Dia terus saja berjalan sam-
bil meraih Tiren dari pundak Ratna Wulan yang ber-
jalan di sebelahnya. Sikap Bayu yang tidak peduli itu
membuat Ki Laksa bertambah geram.
"Berhenti kau, Bocah!" bentak Ki Laksa, lan-
tang.
"Hiyaaa...!"
Wuk!
"Haiiit..!"
***
Manis sekali Bayu mengegoskan tubuhnya be-
gitu Ki Laksa menghunjamkan tongkatnya ke pung-
gung pemuda berbaju kulit harimau itu. Dan begitu
tongkat Ki Laksa lewat di sampingnya, dengan cepat
sekali Bayu membungkukkan tubuhnya, lalu secepat
itu pula menghentakkan kakinya ke belakang. Begitu
cepat gerakan yang dilakukan Pendekar Pulau Neraka.
Ki Laksa pun tampak terhenyak tidak menyangka.
"Hup!"
Tapi, laki-laki tua berjubah putih itu cepat me-
lompat ke belakang. Tendangan ke arah belakang yang
dilancarkan Pendekar Pulau Neraka pun tidak sampai
mengenai tubuhnya. Bayu segera memutar tubuhnya
berbalik. Dan, pada saat itu, si Perampok Tiga Nyawa
sudah berlompatan sebelum Ki Laksa memberi perin-
tah.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
"Yaaah...!"
Secara bersamaan, si Perampok Tiga Nyawa
menyerang Pendekar Pulau Neraka. Kapak-kapak me-
reka berkelebatan cepat sekali mengincar bagian-
bagian tubuh Bayu yang mematikan. Serangan dari ti-
ga arah ini membuat Bayu harus berjumpalitan meng-
hindari.
"Hup! Yeaaah...!"
Cepat sekali Pendekar Pulau Neraka melenting-
kan tubuhnya ke atas. Dia menjebol atap kedai ini dan
terus meluncur keluar dengan kecepatan yang sung-
guh luar biasa. Tapi, si Perampok Tiga Nyawa tidak
mau membiarkan Pendekar Pulau Neraka lolos. Den-
gan cepat mereka segera berlompatan dan menjebol
atap kedai.
Sementara itu Ratna Wulan sudah berlari ke-
luar. Ki Laksa juga bergegas keluar dari kedai. Tinggal-
lah laki-laki tua pemilik kedai itu, yang masih tetap di-
am seperti patung. Dia lalu jatuh terduduk lemas di
lantai ketika melihat keadaan kedainya sudah porak-
poranda.
"Hap!"
Bayu menjejakkan kakinya di tanah, tepat di
halaman depan kedai yang cukup luas ini. Dan, sesaat
kemudian si Perampok Tiga Nyawa juga menjejakkan
kakinya di halaman kedai ini. Mereka langsung men-
gepung Pendekar Pulau Neraka dari tiga arah. Agak
jauh dari mereka, terlihat Ratna Wulan berdiri hampir
sejajar dengan Ki Laksa. Gadis itu menggenggam gagang pedangnya yang selalu tergantung di pinggang.
Tapi, tampaknya kedua orang ini hanya berjaga-jaga di
tempatnya.
"Hiyaaa...!"
Tiba-tiba si Nyawa Merah melompat menyerang
dengan kapaknya yang terayun begitu cepat ke arah
kepala Bayu. Ayunan kapak yang disertai pengerahan
tenaga dalam tinggi itu menimbulkan suara angin yang
menderu bagai badai.
"Hap!"
Hanya dengan sedikit mengegoskan kepalanya,
Bayu berhasil mengelakkan serangan kapak itu. Na-
mun, belum juga dia bisa menarik kembali kepalanya,
dari arah lain sudah datang lagi serangan yang begitu
cepat luar biasa. Dan Pendekar Pulau Neraka terpaksa
melompat menghindari pukulan keras bertenaga dalam
tinggi yang dilancarkan si Nyawa Biru.
"Hiyaaa...!"
Dari arah lain lagi, datang satu serangan kilat
dari si Nyawa Kuning. Bayu cepat-cepat merundukkan
kepalanya, sehingga tendangan melompat si Nyawa
Kuning lewat di atas tubuhnya. Pada saat yang bersa-
maan, Pendekar Pulau Neraka melentingkan tubuhnya
ke udara. Secepat itu pula dilepaskannya satu tendan-
gan keras menggeledek ke punggung si Nyawa Kuning.
Begitu cepat serangan yang dilakukan Pendekar Pulau
Neraka. Si Nyawa Kuning pun tidak dapat lagi meng-
hindar.
Des!
"Akh...!"
Si Nyawa Kuning langsung jatuh terbanting cu-
kup keras ke tanah. Beberapa kali dia bergulingan.
Dan, begitu hendak berdiri, Bayu sudah mendarat de-
kat di depannya. Bagaikan kilat Pendekar Pulau Nera-
ka melepaskan satu pukulan keras disertai pengera
han tenaga dalam yang sudah mencapai tingkat sem-
purna. Pukulan ini tepat diarahkan ke wajah laki-laki
setengah baya yang mengenakan baju kuning itu.
"Yeaaah...!"
Plak!
"Aaakh...!"
Untuk kedua kalinya si Nyawa Kuning terpekik.
Pukulan yang dilepaskan Bayu tepat menghantam wa-
jah laki-laki setengah baya itu. Seketika darah mun-
crat keluar dari wajah yang hancur terkena pukulan
bertenaga dalam sempurna. Si Nyawa Kuning kembali
terbanting ke tanah dengan keras. Tubuhnya langsung
diam tak bergerak-gerak lagi.
"Hup!"
Saat itu juga, si Nyawa Merah melompati si
Nyawa Kuning.
"Hah...?!"
Bayu terhenyak kaget setengah mati begitu me-
lihat si Nyawa Kuning bisa bangkit berdiri lagi. Bahkan
wajahnya, yang tadi hancur terkena pukulan dahsyat
Pendekar Pulau Neraka, kini sama sekali tidak me-
nampakkan luka sedikit pun.
"Edan...! Ilmu apa itu...?" desis Bayu, kehera-
nan.
"Nguk!"
Tiren yang sejak tadi berada di pundak Pende-
kar Pulau Neraka juga tampak terkejut melihat si Nya-
wa Kuning bisa bangkit lagi. Padahal, jelas sekali terli-
hat tadi, lelaki setengah baya itu sudah menggeletak
mati terkena pukulan keras yang dilepaskan Pendekar
Pulau Neraka.
"Hiyaaa...!"
Saat Bayu masih diliputi rasa keheranan, Si
Nyawa Biru sudah melompat menyerang dengan cepat
sekali. Kapaknya diayunkan terarah ke kepala Pende
kar Pulau Neraka.
"Uts!"
Cepat-cepat Bayu menarik kepalanya ke sam-
ping, sehingga hantaman kapak itu tidak sampai men-
genai kepalanya. Dan, secepat kilat pula kakinya di-
hentakkan. Dilancarkannya satu tendangan keras
menggeledek disertai, pengerahan tenaga dalam yang
tinggi. Tapi, dengan manis sekali si Nyawa Biru berha-
sil menghindarinya dengan melompat ke belakang be-
berapa langkah.
"Hih! Yeaaah...!"
Secepat itu pula, Bayu merundukkan tubuhnya
sedikit. Tangan kanannya ditarik ke depan dada, lalu
langsung di kibaskannya ke depan.
Wusss!
Cakra Maut yang selalu menempel di pergelan-
gan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka seketika itu
juga melesat cepat bagai kilat ke arah si Nyawa Biru.
Begitu cepat serangan yang dilakukan Bayu, sehingga
si Nyawa Biru tidak sempat lagi menghindar. Terlebih
lagi, saat itu dia baru saja menjejakkan kakinya di ta-
nah. Tak pelak lagi, Cakra Maut pun menghantam da-
da si Nyawa Biru dengan keras sekali.
Bres!
"Aaakh...!" si Nyawa Biru menjerit keras me-
lengking tinggi.
Begitu kuat pengerahan tenaga dalam yang di-
keluarkan Bayu saat melontarkan senjata mautnya itu,
sampai-sampai tubuh si Nyawa Biru terpental ke bela-
kang sejauh dua batang tombak. Dan, Cakra Maut
tampak menembus begitu dalam ke dada laki-laki tua
berbaju biru itu.
"Hap!"
Cakra Maut kembali melesat keluar dari dalam
dada si Nyawa Biru begitu Bayu menghentakkan tangannya ke atas kepala. Dan senjata keperakan bersegi
enam itu kembali menempel di pergelangan tangan ka-
nan pemuda berbaju kulit harimau ini. Tampak darah
terus bercucuran deras dari dada si Nyawa Biru yang
berlubang akibat tertembus Cakra Maut tadi.
"Hup! Hiyaaa...!"
Saat itu juga si Nyawa Kuning melompat. Tapi
dia tidak menyerang Pendekar Pulau Neraka, melain-
kan melompati tubuh si Nyawa Biru yang sudah meng-
geletak tak bernyawa lagi di tanah.
"Hah...?!"
***
LIMA
Untuk kedua kalinya Bayu terbeliak kaget se-
tengah mati. Sungguh dia hampir tidak percaya de-
ngan pandangannya sendiri. Laki-laki setengah baya
berbaju biru itu seketika bangkit berdiri begitu si Nya-
wa Kuning melompatinya. Dan, dadanya yang tadi ber-
lubang tertembus Cakra Maut kini sudah merapat
kembali. Tak sedikit pun terdapat luka di sana. Bah-
kan, darah yang tadi mengalir pun kini lenyap tak ber-
bekas sama sekali.
"Ha ha ha...!" Ki Laksa yang menyaksikan per-
tarungan itu tertawa terbahak-bahak.
Bayu melangkah ke belakang beberapa tindak.
Memang tingkat kepandaian ilmu olah kanuragan yang
dimiliki si Perampok Tiga Nyawa tidaklah terlalu tinggi
Tapi ilmu 'Tiga Nyawa’ membuat mereka tidak gentar
menghadapi siapa pun. Bahkan, menghadapi orang-
orang yang berkepandaian jauh lebih tinggi pun, mere-
ka tidak mempunyai rasa gentar sedikit pun. Dengan
ilmu 'Tiga Nyawa' yang mereka miliki, tiga serangkai
itu seakan-akan tidak bisa mati. Walaupun tubuhnya
sudah tertembus senjata, salah seorang dari Perampok
Tiga Nyawa akan bangkit kembali jika salah seorang
yang lain melompatinya.
"Ha ha ha...! Kau tidak akan bisa mengalahkan
mereka, Anak Muda. Sebaiknya kau menyerah saja.
Tidak ada gunanya kau berkeras kepala!" ejek Ki Laksa
angkuh.
Bayu diam saja. Sementara itu Ratna Wulan
menghampiri dan langsung berdiri di sebelah kiri Pen-
dekar Pulau Neraka. Dia juga keheranan setengah mati
melihat lawan-lawan Pendekar Pulau Neraka ini bisa
langsung bangkit dengan cepat dari kematiannya. Be-
lum pernah dia melihat hal seperti ini seumur hidup-
nya. Sungguh tidak bisa dipercaya, seseorang bisa
kembali bangkit dari kematiannya hanya karena tu-
buhnya dilompati. Ini benar-benar sebuah ilmu yang
sangat aneh dan mencengangkan.
"Berikan keris itu padaku. Dan kau boleh pergi
dari desa ini, Anak Muda," kata Ki Laksa lagi seraya
menjulurkan tangannya ke depan.
"Heh! Tidak semudah itu kau meminta, Kisa-
nak," dengus Bayu ketus.
"Keparat...!" desis Ki Laksa, geram.
Wajah Ki Laksa seketika memerah. Geraham-
nya bergemeletuk menahan kemarahan melihat sikap
Bayu yang masih tetap mempertahankan Keris Naga
Emas itu. Sedangkan si Perampok Tiga Nyawa yang be-
rada di belakang Ki Laksa sudah melangkah maju ke
depan. Tapi Ki Laksa masih mencegah mereka untuk
menyerang lagi pemuda berbaju kulit harimau itu.
"Aku harap, kau tidak membuat kesabaranku
hilang, Anak Muda," desis Ki Laksa, dingin.
"Heh!" Bayu hanya mendengus.
Bibir Pendekar Pulau Neraka menyunggingkan
senyum yang terasa begitu sinis. Dia memang paling
tidak suka kalau ada orang yang memaksakan kehen-
daknya untuk memiliki sesuatu yang bukan haknya,
terlebih lagi jika benda itu ada di tangannya seperti
saat ini. Bayu akan mempertahankan walaupun harus
mengorbankan nyawanya sendiri.
"Wulan, kau pergi sekarang. Tunggu aku di gua
kemarin," bisik Bayu perlahan.
"Baik, Kakang," sahut Ratna Wulan.
"Bawa Tiren"
Ratna Wulan meraih Tiren yang ada di pundak
Pendekar Pulau Neraka. Kemudian dia melangkah
mundur beberapa tindak. Lalu cepat sekali gadis itu
melesat pergi dengan mempergunakan ilmu meringan-
kan tubuhnya.
"Tangkap gadis itu...!" perintah Ki Laksa dengan
suara yang lantang.
"Hiyaaa...!"
"Hup! Yeaaah..,!"
Begitu si Nyawa Biru melompat hendak menge-
jar Ratna Wulan, dengan cepat sekali Bayu menge-
butkan tangan kanannya ke arah laki-laki setengah
baya berbaju biru itu. Seketika Cakra Maut melesat
cepat bagai kilat dengan suara yang terdengar mendes-
ing.
"Haiiit...!"
Si Nyawa Biru terpaksa melentingkan tubuh-
nya, berputaran ke belakang beberapa kali. Dihinda-
rinya terjangan senjata maut Pendekar Pulau Neraka
itu. Dan, pada saat yang bersamaan, Bayu cepat me-
lompat menerjang si Nyawa Biru yang baru saja menje-
jakkan kakinya di tanah.
"Hiyaaat...!"
Cepat sekali serangan yang dilancarkan Pendekar Pulau Neraka. Si Nyawa Biru pun tidak sempat lagi
berkelit menghindar. Dan, satu tendangan keras
menggeledek yang dilepaskan Bayu tepat menghantam
dadanya.
Des!
"Akh...!"
Tubuh si Nyawa Biru langsung terpental ke be-
lakang sejauh dua batang tombak. Keras sekali dia ja-
tuh bergelimpangan di tanah yang keras berdebu ini.
Bayu cepat mengangkat tangan kanannya ke atas ke-
pala begitu kakinya kembali menjejak tanah. Dan Ca-
kra Maut pun kembali menempel di pergelangan tan-
gan kanan Pendekar Pulau Neraka.
"Hiyaaat...!"
Tanpa membuang-buang waktu sedikit pun,
Bayu cepat melompat ke arah si Nyawa Merah dan si
Nyawa Kuning yang belum sempat melakukan sesuatu.
Cepat sekali gerakan yang dilakukan Pendekar Pulau
Neraka, sehingga kedua lelaki tua itu tidak sempat ber-
tindak apa pun. Dan, tahu-tahu pemuda berbaju kulit
harimau itu sudah menyerang dengan kecepatan yang
begitu luar biasa.
"Hup!"
"Haiiit...!"
Si Nyawa Merah dan si Nyawa Kuning cepat-
cepat berlompatan ke samping menghindari terjangan
Pendekar Pulau Neraka. Tapi belum juga mereka bisa
menguasai keseimbangan tubuh, Bayu sudah melan-
carkan satu serangan lagi yang begitu cepat dan dah-
syat luar biasa. Secepat dia melepaskan tendangan
sambil melompat ke arah si Nyawa Merah, secepat itu
pula tangan kanannya mengibas ke arah si Nyawa
Kuning.
Wusss!
Cakra Maut kembali melesat cepat bagai kilat
ke arah si Nyawa Kuning. Sedangkan si Nyawa Merah
tampak kelabakan setengah mati menghindari tendan-
gan yang dilancarkan Pendekar Pulau Neraka. Semen-
tara itu Ki Laksa hanya bisa terlongong bengong me-
nyaksikan ketangguhan yang diperlihatkan Bayu. Dia
tidak mengira kalau pemuda berbaju kulit harimau itu
bisa bertindak begitu cepat bagai kilat, sampai-sampai
ketiga pembantu utamanya kalang kabut dibuatnya.
"Aaakh...!"
Terdengar jeritan panjang melengking tinggi.
Tampak si Nyawa Kuning terpental jauh ke belakang
begitu dadanya tertembus Cakra Maut yang dilepaskan
Pendekar Pulau Neraka. Dan pada saat itu juga, satu
tendangan keras menggeledek bersarang di dada si
Nyawa Merah.
Buk!
"Akh...!"
"Hiyaaa...!"
Bayu segera melentingkan tubuhnya begitu me-
lihat si Nyawa Biru sudah bisa bangkit berdiri. Dan
dengan cepat sekali Pendekar Pulau Neraka mele-
paskan satu pukulan keras disertai pengerahan tenaga
dalam yang sudah mencapai tingkat sempurna. Begitu
cepat serangan yang dilancarkan Pendekar Pulau Ne-
raka, sehingga si Nyawa Biru yang belum bisa mengu-
asai keseimbangan tubuhnya dengan sempurna tidak
dapat lagi menghindar. Dan....
Prak!
***
"Aaakh...”
Jeritan panjang melengking tinggi kembali ter-
dengar menyayat. Tampak si Nyawa Biru terhuyung-
huyung sambil memegangi kepalanya yang pecah aki
bat terkena pukulan keras bertenaga dalam tinggi dari
Pendekar Pulau Neraka. Saat itu Bayu mengangkat
tangan kanannya ke atas kepala. Cakra Maut yang
terbenam di dada si Nyawa Kuning melesat balik dan
kembali menempel di pergelangan tangan kanan Pen-
dekar Pulau Neraka.
"Hup! Hiyaaa...!"
Saat itu juga Bayu melompat cepat sambil me-
nyambar tubuh si Nyawa Biru. Cepat sekali Pendekar
Pulau Neraka itu melesat dan terus berlari dengan
mempergunakan ilmu meringankan tubuhnya yang
sudah sempurna. Dan, dalam sekejap mata Pendekar
Pulau Neraka sudah lenyap tak terlihat lagi. Sementara
itu, si Nyawa Merah yang sudah bisa bangkit lagi cepat
melompati si Nyawa Kuning. Laki-laki setengah baya
berbaju kuning itu pun bisa kembali bangkit berdiri,
meskipun tadi dadanya sudah berlubang tertembus
Cakra Maut.
"Heh...?! Mana Nyawa Biru...?"
Mereka terkejut setengah mati Sebentar si
Nyawa Merah dan si Nyawa Kuning berpandangan. Me-
reka langsung sadar bahwa si Nyawa Biru telah dibawa
oleh pemuda berbaju kulit harimau itu. Kemudian me-
reka bergegas menghampiri Ki Laksa, yang masih tetap
berdiri tertegun melihat kejadian yang berlangsung be-
gitu cepat dan sama sekali tidak diduganya itu.
"Ke mana dia membawa Nyawa Biru, Ki?" tanya
si Nyawa Merah.
"Ke arah Barat," sahut Ki Laksa, yang masih
tampak tertegun.
"Ayo kita kejar dia, Nyawa Kuning," ajak Nyawa
Merah.
Tanpa menunggu perintah dari Ki Laksa lagi, si
Nyawa Merah dan si Nyawa Kuning langsung berlari
mengejar Pendekar Pulau Neraka. Mereka berlari cepat
dengan mempergunakan ilmu meringankan tubuh
yang sudah mencapai tingkatan tinggi. Dan, sebentar
saja kedua orang itu sudah jauh berlari. Sedangkan Ki
Laksa masih tetap berdiri diam memandangi kepergian
kedua pembantu kepercayaannya itu
"Hmm..., siapa anak muda itu? Hebat sekali
kepandaiannya," gumam Ki Laksa, berbicara sendiri.
Beberapa saat laki-laki tua berjubah putih itu
masih berdiri mematung memandangi kepergian kedua
pembantu kepercayaannya yang sudah hampir tak ter-
lihat lagi. Dan, begitu mereka benar-benar sudah tidak
terlihat, Ki Laksa bergegas melangkah masuk kembali
ke dalam kedai. Kedua bola matanya mendelik tajam
menatap pada pemilik kedai ini.
Laki-laki tua pemilik kedai yang bertubuh ku-
rus itu hanya diam terpaku. Tubuhnya bergetar seperti
terserang demam. Wajahnya kelihatan pucat pasi, ba-
gai tidak dialiri darah. Sedangkan Ki Laksa tetap berdi-
ri di ambang pintu kedai yang sudah sepi dan porak
poranda ini.
"Ki Gandak! Kemari kau...!" bentak Ki Laksa,
memanggil pemilik kedai itu.
"Iii.... Iya, Gusti...."
Laki-laki tua pemilik kedai yang dikenal dengan
nama Ki Gandak itu bergegas menghampiri. Dia lang-
sung berlutut begitu sampai di depan Ki Laksa. Kepa-
lanya tertunduk dalam, tak sanggup memandang wa-
jah Ki Laksa yang memerah bagai besi baja terbakar
dalam tungku perapian. Seluruh tubuh Ki Gandak su-
dah basah oleh keringat
"Kau tahu, siapa anak muda itu tadi?" tanya Ki
Laksa, dengan nada suara agak ditahan.
"Maksud Gusti... yang pakai baju kulit harimau
itu...?" Ki Gandak malah balik bertanya dengan suara
yang terbata-bata.
"Setan! Jawab saja pertanyaanku!" bentak Ki
Laksa, geram.
"Tid... tidak tahu, Gusti. Dia datang berdua
dengan gadis itu kemarin. Dan menginap di sini sema-
lam...," sahut Ki Gandak, masih tergagap.
"Kau tanya namanya?"
"Kalau tidak salah, dia namanya Bayu. Sedang-
kan gadis itu Ratna Wulan"
"Apa dia menanyakan sesuatu padamu?"
"Maksud Gusti...?"
"Kau tadi lihat apa yang dipegangnya, kan..? Ki
Gandak mengangguk.
"Dia mencari pewaris Keris Naga Emas. Apa dia
tidak bertanya-tanya tentang Intan Kumala?" ujar Ki
Laksa, dengan suara yang terdengar dalam.
"Iya, Gusti. Dia banyak bertanya padaku. Dan
minta diceritakan tentang Gusti Ayu Intan Kumala,"
sahut Ki Gandak.
"Lalu...?"
"Aku jawab apa adanya, Gusti."
"Hmm...."
Ki Laksa menggumam sedikit. Kemudian dia
berbalik dan keluar dari dalam kedai itu tanpa bicara
apa pun. Sebentar dia mengarahkan pandangannya ke
Barat, lalu dengan cepat sekali berlari mempergunakan
ilmu meringankan tubuh. Begitu tinggi tingkat ilmu
meringankan tubuh yang dimilikinya, sehingga dalam
sekejap saja Ki Laksa sudah lenyap tak terlihat lagi.
Sedangkan Ki Gandak langsung terduduk lemas sam-
bil menghembuskan napas panjang.
"Ohhh..., untung dia tidak menggunakan keke-
rasan tangannya padaku...," desah Ki Gandak lega.
Saat itu juga, para penduduk Desa Gebang
yang tadi menghilang ke dalam rumahnya masing-
masing langsung bermunculan begitu Ki Laksa sudah
tidak terlihat lagi. Mereka menghampiri Ki Gandak
yang terduduk lemas di ambang pintu kedainya. Bebe-
rapa orang di antaranya menolong laki-laki tua itu dan
membawanya masuk ke dalam. Mereka semua ber-
tanya-tanya, peristiwa apa sebenarnya yang sedang
terjadi pada diri Ki Laksa. Tapi, pertanyaan itu me-
mang tidak bisa terjawab. Dan, mereka hanya berha-
rap, desa ini tidak dilibatkan ke dalam persoalan
orang-orang berkepandaian tinggi itu.
***
Sementara itu Bayu sudah sampai di perbata-
san sebelah Barat Desa Gebang. Di sana Ratna Wulan
sudah menunggu. Gadis itu berdiri di depan mulut gua
yang pernah mereka lalui ketika keluar dari dalam Ju-
rang Setan. Bayu terus menerobos masuk ke dalam
gua itu. Ratna Wulan mengikuti, lalu langsung menu-
tup mulut gua itu dengan semak dan bebatuan. Se-
buah obor dari bambu menerangi gua yang gelap dan
cukup besar ini.
Bruk!
Bayu melemparkan tubuh si Nyawa Biru begitu
saja ke lantai gua yang lembab ini. Ratna Wulan me-
mandangi sebentar, lalu menghampiri dan memeriksa
urat nadi di bagian leher laki-laki setengah baya berba-
ju biru itu. Sebentar kemudian dia sudah berdiri lagi.
Pandangan matanya langsung tertuju pada. Pendekar
Pulau Neraka.
"Dia sudah mati. Untuk apa kau bawa ke sini?"
ujar Ratna Wulan
"Kalau ku tinggalkan, dia bisa hidup lagi," sa-
hut Bayu.
"Lalu, akan kau apakan dia?"
"Kuburkan dia di sini. Nanti yang lainnya me
nyusul. Hanya ini cara satu-satunya untuk mengalah-
kan ilmu aneh mereka."
Saat itu terdengar suara langkah kaki di luar
gua. Bayu segera mematikan api obor. Keadaan di da-
lam gua ini pun menjadi begitu gelap. Bahkan, Ratna
Wulan yang berada begitu dekat di samping Pendekar
Pulau Neraka tidak terlihat. Dan, suara langkah kaki
di luar gua itu semakin jelas. Suara itu terdengar me-
nuju ke arah gua. Bayu segera mengintip keluar dari
balik semak yang menutupi mulut gua ini.
"Siapa...?" tanya Ratna Wulan, berbisik.
"Orang-orang itu," sahut Bayu.
"Kalau mereka keluar dari jurang lewat gua ini
juga, mereka bisa tahu kita di sini, Kakang," kata Rat-
na Wulan.
"Kau bawa dia lebih ke dalam. Biar aku hadang
mereka," kata Bayu, tegas.
Ratna Wulan hanya mengangguk. Tapi, sudah
tentu Bayu tidak melihat anggukkan kepala gadis itu,
karena keadaan di dalam gua ini begitu gelap. Bayu
hanya dapat mendengar suara langkah kaki Ratna Wu-
lan yang masuk lebih ke dalam gua ini Dari suara
langkahnya yang terdengar berat, jelas sekali gadis itu
tengah menyeret mayat Nyawa Biru.
Sementara itu Bayu terus memperhatikan tiga
orang yang berada di luar dari balik semak belukar
yang menutupi mulut gua ini. Mereka memang Ki Lak-
sa dan dua orang yang tersisa dari tiga serangkai si Pe-
rampok Tiga Nyawa, karena yang seorang lagi sudah
diseret Ratna Wulan makin ke dalam lorong gua ini.
Bayu tahu, mereka pasti mengejarnya, karena dia
membawa salah seorang dari mereka dalam keadaan
sudah menjadi mayat. Yang pasti, mereka akan beru-
saha mendapatkannya untuk kemudian menghi-
dupkannya kembali. Dia tahu mereka adalah orang
orang yang sangat berbahaya. Mereka selalu bertindak
dengan cara kekerasan dan sering-kali menyengsara-
kan orang lain.
"Hup!"
Bayu baru melompat keluar begitu ketiga orang
itu sudah kelihatan cukup jauh. Cepat sekali dan begi-
tu ringannya Pendekar Pulau Neraka melompat keluar
dari dalam gua, sehingga tak ada suara sedikit pun
yang terdengar. Tahu-tahu dia sudah berdiri tegak di
atas batu hitam, agak jauh dari mulut gua yang tertu-
tup semak belukar kering itu.
"Apa yang kalian cari...?" lantang sekali suara
Bayu.
Ki Laksa dan si Perampok Tiga Nyawa yang kini
tinggal dua orang itu terkejut setengah mati.
Suara Pendekar Pulau Neraka memang terden-
gar lantang menggema, karena dikeluarkan dengan
pengerahan tenaga dalam tinggi. Ketiga lelaki tua itu
langsung berbalik dan berlompatan menghampiri Pen-
dekar Pulau Neraka. Tapi, belum juga mereka sampai,
pemuda berbaju kulit harimau itu sudah melentingkan
tubuhnya.
"Hiyaaa...!"
Manis sekali gerakan Bayu saat berputaran di
udara. Dilewatinya kepala-kepala mereka, lalu dengan
indah kakinya dijejakkan sekitar dua batang tombak di
belakang ketiga laki-laki itu. Tentu saja mereka terke-
jut, karena tiba-tiba saja Bayu sudah tidak ada di batu
hitam itu. Dan, yang membuat lebih terkejut lagi, begi-
tu mereka berbalik, pemuda berbaju kulit harimau itu
sudah ada di tempat lain.
"Keparat...!" geram Ki Laksa, merasa diper-
mainkan.
Memang sulit bagi siapa pun mengikuti gerakan
yang dilakukan Pendekar Pulau Neraka itu. Begitu cepat bagaikan kilat, sehingga sulit diikuti dengan pan-
dangan mata biasa. Belum juga ketiga laki-laki seten-
gah baya itu berbuat sesuatu, tiba-tiba Pendekar Pulau
Neraka sudah bergerak dengan kecepatan yang begitu
luar biasa.
"Kejar dia! Jangan sampai lolos...!" seru Ki Lak-
sa lantang menggelegar.
"Hup!"
"Hiyaaa...!"
Si Perampok Tiga Nyawa yang tinggal dua orang
itu langsung melompat cepat dan berlari memperguna-
kan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai
tingkatan tinggi. Ki Laksa juga bergegas berlompatan
ikut mengejar Pendekar Pulau Neraka. Begitu cepat ge-
rakan-gerakan yang mereka lakukan, sehingga tubuh
mereka seakan-akan lenyap. Yang terlihat hanyalah
bayangan-bayangan berkelebatan begitu cepat bagai
kilat.
Sementara itu Bayu terus berlari cepat mem-
pergunakan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah
mencapai tingkat sempurna. Sesekali dia berpaling ke
belakang. Tampak bibirnya selalu tersenyum melihat
ketiga orang yang terus mengejarnya. Tingkat ilmu me-
ringankan tubuh yang mereka miliki memang masih
berada di bawah Pendekar Pulau Neraka. Sehingga,
sangat sulit bagi mereka untuk bisa mengejar. Padahal
ketiga orang itu sudah mengerahkan seluruh kemam-
puannya.
Bayu baru berhenti berlari setelah merasa ya-
kin dirinya sudah jauh dari gua tempat Ratna Wulan
mengurus mayat si Nyawa Biru. Bibirnya menyung-
gingkan senyum kecil. Sekelilingnya kini hanya ditum-
buhi ilalang, sehingga cukup terbuka untuk dijadikan
tempat bertarung Pendekar Pulau Neraka berdiri tegak
menunggu Ki Laksa dan dua dari tiga serangkai si Pe
rampok Tiga Nyawa.
"Phuih! Kau sudah membuat kesabaranku ha-
bis Bocah!"
Ki Laksa mendengus sambil menyemburkan
ludahnya begitu sampai di depan Pendekar Pulau Ne-
raka. Sedangkan si Nyawa Kuning dan si Nyawa Merah
sudah mengambil tempat di sebelah kanan dan kiri
pemuda berbaju kulit harimau itu. Mereka masing-
masing menggenggam kapaknya dengan erat di tangan
kanan. Kapak-kapak itu tampak siap diayunkan ke
tubuh Pendekar Pulau Neraka. Terdengar tarikan na-
pas mereka begitu kuat dan tersengal, karena baru
berlari begitu cepat mengerahkan seluruh kemampuan
ilmu meringankan tubuh.
"Bunuh bocah keparat itu!" perintah Ki Laksa,
lantang menggelegar.
"Hiyaaat...!"
"Yeaaah...!"
***
ENAM
"Haiiit..!"
Manis sekali Bayu mengegoskan tubuhnya. Di-
hindarinya serangan yang dilancarkan dua orang dari
tiga serangkai si Perampok Tiga Nyawa itu. Tapi Bayu
belum bisa menarik napas lega, karena mereka terus
melancarkan serangan dengan gencar dari dua arah.
Kapak-kapak mereka yang bermata besar dan tajam
berkelebatan begitu cepat di sekitar tubuh Pendekar
Pulau Neraka. Begitu kuatnya ayunan kapak yang dis-
ertai pengerahan tenaga dalam tinggi itu, sehingga me-
nimbulkan suara angin yang menderu dahsyat bagai
badai.
Sementara itu Ki Laksa tetap diam memperha-
tikan. Keningnya terlihat berkerut semakin dalam,
seakan-akan tengah memikirkan sesuatu. Dia menoleh
ke kanan dan ke kiri, seperti mencari sesuatu, kemu-
dian kembali memperhatikan pertarungan yang sudah
berjalan beberapa jurus dengan cepat itu.
"Hmm..., di mana Nyawa Biru...?" gumam Ki
Laksa, bertanya-tanya sendiri.
Ki Laksa baru sadar, pemuda berbaju kulit ha-
rimau itu tidak membawa si Nyawa Biru, salah seorang
dari si Perampok Tiga Nyawa yang berhasil dilarikan
Bayu setelah lebih dulu dilumpuhkannya. Dia tidak
tahu bahwa si Nyawa Biru yang sudah tewas itu kini
berada di dalam gua bersama Ratna Wulan.
"Setan...! Dia menyembunyikan Nyawa Biru,"
dengus Ki Laksa berang.
Walaupun wajah Ki Laksa kelihatan memerah
menahan geram, di dalam sinar matanya jelas terlihat
kecemasan karena Bayu tidak membawa si Nyawa Bi-
ru. Dan dia sungguh-sungguh tidak tahu, di mana sa-
lah seorang dari si Perampok Tiga Nyawa yang sangat
dipercaya dan diandalkan itu berada. Dia cemas kare-
na si Nyawa Biru bisa benar-benar mati kalau tidak
segera dilompati oleh yang lainnya.
"Bocah keparat...! Kubunuh kau! Hiyaaa...!" Ki
Laksa tidak dapat lagi menahan kegeramannya. Bagai-
kan kilat, dia melompat menyerang Pendekar Pulau
Neraka yang tengah sibuk menghadapi serangan-
serangan dari dua orang lawannya. Dan, terjunnya Ki
Laksa ke dalam kancah pertempuran itu membuat
Bayu semakin kesulitan. Serangan-serangan kini da-
tang dari tiga arah.
"Jebol dadamu! Hiyaaa...!" Sambil berteriak ke-
ras menggelegar, Ki Laksa cepat melepaskan satu pu
kulan keras menggeledek, yang disertai dengan penge-
rahan tenaga dalam tinggi. Cepat sekali pukulan itu di-
lepaskan. Bayu pun dibuatnya terbeliak sesaat Na-
mun, dengan manis sekali Pendekar Pulau Neraka
berhasil menghindar serangan dengan memiringkan
tubuhnya ke kanan.
Pada saat yang hampir bersamaan, si Nyawa
Merah mengebutkan kapaknya ke arah kaki Pendekar
Pulau Neraka. Hal itu tentu sama membuat Bayu kela-
bakan setengah mati. Di saat dia sedang menghindari
satu pukulan dahsyat dari Ki Laksa, si Nyawa Merah
sudah melancarkan serangan begitu cepat bagai kilat.
"Hup! Yeaaah...!"
Cepat-cepat Bayu melentingkan tubuhnya. Di-
hindarinya sambaran kapak si Nyawa Merah itu. Tapi
dalam keadaan tubuhnya yang miring, dia tampak se-
kali tidak dapat menguasai diri. Terlebih lagi, di saat
yang begitu tepat, si Nyawa Kuning melepaskan satu
tendangan keras menggeledek dari belakang. Dan, se-
rangan ini benar-benar menyulitkan Pendekar Pulau
Neraka.
Des!
"Akh...!"
Bayu tidak dapat lagi menghindari tendangan
yang dilepaskan si Nyawa Kuning. Tendangan bertena-
ga dalam tinggi itu mendarat telak di punggung Pende-
kar Pulau Neraka. Pemuda berbaju kulit harimau itu
langsung terbanting ke depan. Keras sekali tubuhnya
menghantam tanah. Beberapa kali
Bayu bergulingan di tanah berumput itu.
"Hiyaaat...!"
Saat itu juga Ki Laksa melompat ke udara, lalu
dengan cepat sekali meluruk ke arah Pendekar Pulau
Neraka. Tampak ujung tongkatnya yang runcing tertu-
ju lurus ke tubuh pemuda berbaju kulit harimau itu
"Hap!"
Tidak ada lagi kesempatan bagi Bayu untuk
menghindari hunjaman ujung tongkat yang runcing
itu. Cepat-cepat dia merapatkan kedua tangannya di
depan dada dan langsung menjepit ujung tongkat yang
runcing itu.
"Hiyaaa...!"
Sambil mengerahkan kekuatan tenaga dalam-
nya, Bayu menghentakkan tongkat itu ke belakang ke-
palanya. Begitu sempurnanya tenaga dalam yang dimi-
liki Pendekar Pulau Neraka, sehingga Ki Laksa yang
berada di udara terperanjat setengah mati. Tapi, dia ti-
dak sempat lagi berbuat sesuatu. Tahu-tahu tubuhnya
sudah terlontar deras.
Brak!
"Aaakh...!"
***
Ki Laksa memekik keras begitu tubuhnya
menghantam sebatang pohon yang cukup besar.
Begitu keras benturan tubuh Ki Laksa, sehing-
ga pohon itu langsung hancur berkeping-keping. Se-
dangkan Bayu cepat-cepat melompat bangkit berdiri.
Tapi, baru saja kakinya menjejak tanah, datang lagi
satu serangan dari si Nyawa Merah.
"Hiyaaa...!"
"Uts!"
Cepat-cepat Bayu menarik tubuhnya ke bela-
kang. Dihindarinya tebasan kapak si Nyawa Merah.
Dan, begitu kapak itu lewat di depan dadanya, dengan
cepat sekali Bayu melepaskan satu tendangan keras
disertai pengerahan tenaga dalam yang sudah menca-
pai tingkat sempurna.
"Yeaaah...!"
Begitu cepat tendangan yang dilepaskan Pen-
dekar Pulau Neraka. Si Nyawa Merah pun tidak sempat
lagi terlihat menghindar. Dan....
Begkh!
"Akh...!"
Seketika itu juga tubuh si Nyawa Merah terpen-
tal sejauh dua batang tombak ke belakang. Melihat si
Nyawa Merah terkena tendangan menggeledek berte-
naga dalam sempurna, si Nyawa Kuning bergegas
menghampiri. Tapi Bayu, yang sudah tahu kalau si
Nyawa Kuning hendak melompati si Nyawa Merah, ce-
pat-cepat melentingkan tubuhnya menghadang laki-
laki setengah baya berbaju kuning itu.
"Yeaaah...!"
Secepat kilat Bayu melepaskan satu pukulan
keras disertai pengerahan tenaga dalam yang sem-
purna, tepat mengarah ke dada si Nyawa Kuning
"Haiiit..!"
Si Nyawa Kuning ternyata berhasil menghindari
pukulan Bayu dengan mengegoskan tubuhnya ke
samping. Bahkan, secara bersamaan pula, kapaknya
dikebutkan ke perut Pendekar Pulau Neraka. Cepat
sekali kebutan kapak itu. Bayu pun sempat terbeliak
sesaat, lalu bergegas melompat ke belakang. Dihinda-
rinya tebasan kapak berukuran cukup besar itu
"Hiyaaat...!"
Saat itu Ki Laksa yang sudah bisa berdiri lagi
cepat melompat menyerang pemuda berbaju kulit ha-
rimau ini Secara beruntun dia melontarkan pukulan
dahsyatnya, yang diselingi dengan hunjaman tongkat-
nya yang begitu cepat. Hal ini membuat Bayu kelaba-
kan juga. Dia terpaksa berjumpalitan menghindarinya.
"Hup!"
Bersamaan dengan itu, si Nyawa Kuning segera
melompat dengan cepat. Dilewatinya tubuh si Nyawa
Merah yang menggeletak dengan dada melesak ke da-
lam. Dan begitu tubuhnya dilompati, si Nyawa Merah
langsung bangkit berdiri. Tapi, belum juga kedua
orang dari tiga serangkai si Perampok
"Ghraaaugkh...!" "Heh...?! Apa itu?" sentak si
Nyawa Merah. Ki Laksa dan Bayu yang sedang berta-
rung pun sangat terkejut, dan menghentikan pertaru-
ngannya.
Tiba-tiba, dari dalam hutan lebat muncul seekor
beruang putih yang sangat besar. Dan, di punggungnya
berdiri seorang gadis berambut meriap!
Tiga Nyawa itu bisa membantu Ki Laksa menye-
rang Pendekar Pulau Neraka, tiba-tiba....
"Ghraaaugkh...!"
"Heh...?! Apa itu...?" sentak si Nyawa Merah,
terkejut.
Bukan hanya si Nyawa Merah dan si Nyawa
Kuning yang tersentak kaget Tapi, Ki Laksa dan Bayu
yang sedang bertarung pun sampai-sampai menghen-
tikan pertarungannya ketika tiba-tiba saja terdengar
gerungan yang begitu keras menggelegar. Bumi yang
mereka pijak tadi bergetar, bagaikan diguncang gempa.
Ki Laksa sampai terlompat beberapa tindak ke bela-
kang, Sedangkan Bayu cepat melentingkan tubuhnya
sejauh dua batang tombak dari laki-laki tua berjubah
putih itu.
Dan, belum lagi rasa terkejut mereka hilang, ti-
ba-tiba muncul seekor beruang berbulu putih seperti
kapas dari dalam hutan yang sangat lebat. Tubuh be-
ruang itu sangat besar. Dan, di punggungnya berdiri
seorang gadis yang seluruh wajahnya hampir tertutup
oleh rambut.
Gadis di punggung beruang itu mengenakan
baju putih warnanya sudah memudar dan kelihatan
begitu buruk, karena penuh tambalan dan compang-
camping. Rambutnya yang panjang meriap tak teratur
tampak melambai-lambai dipermainkan angin. Semua
orang yang berada di tempat itu mengarahkan pan-
dangan padanya. Terlebih lagi Ki Laksa. Dia cepat
mengenali, wanita itulah yang membakar rumahnya
semalam. Ki Laksa sempat melihat, walaupun dalam
sekejap saja, ketika wanita berpakaian seperti penge-
mis itu melepaskan bola api sebelum menghilang sete-
lah membakar rumahnya.
"Akhirnya kau muncul juga, Perempuan Setan!"
desis Ki Laksa, geram.
"Aku akan tetap datang sampai kau mampus,
Pengkhianat!" sambut gadis itu dingin.
"Phuih! Siapa kau sesungguhnya, Gadis Liar?"
bentak Ki Laksa, lantang.
"Heh!"
Gadis itu hanya tersenyum. Terasa begitu sinis
senyumannya. Kemudian dia melompat turun dari
punggung Beruang Putih bertubuh raksasa itu. Sung-
guh ringan dan indah gerakannya saat dia melompat
turun. Dan, tanpa menimbulkan suara sedikit pun,
gadis itu menjejakkan kakinya di tanah. Sementara
itu, si Perampok Tiga Nyawa yang kini tinggal dua
orang sudah berada di belakang Ki Laksa. Sedangkan
Bayu berdiri terpisah dari mereka semua.
“Tampaknya kau begitu ingin mengetahui na-
maku Pengkhianat. Kau lihat sendiri pakaianku, juga
sahabatku ini," kata gadis itu dengan nada suara ma-
sih tetap terdengar dingin.
"Kau murid si Tiga Pengemis Sakti...?"
"Benar. Dan aku bernama Dewi Beruang Putih.
Kau dengar itu...?"
Ki Laksa diam saja. Baru kali ini dia mendengar
nama yang disebutkan gadis itu. Tapi, mereka memang
sudah pernah bertemu saat berada di dasar Jurang
Setan. Bahkan, mereka juga sempat bertarung. Tapi,
ketika itu pakaian yang dikenakan gadis ini tidak com-
pang-camping seperti sekarang, walaupun juga ber-
warna putih (Baca serial Pendekar Pulau Neraka dalam
kisah "Tiga Pengemis Sakti").
"Nisanak, kenapa kau selalu menyebutku
pengkhianat?" tanya Ki Laksa yang benar-benar ingin
tahu.
Gadis yang mengaku bernama Dewi Beruang
Putih itu diam saja. Sorot matanya yang hampir tertu-
tup rambut itu terlihat sangat tajam menembus lang
sung kedua bola mata Ki Laksa.
"Aku murid Tiga Pengemis Sakti yang kau bu-
nuh dengan keji. Kau berhutang lima nyawa padaku
Pengkhianat! Sekarang aku akan menagih hutangmu.
Kau harus membayar dengan nyawamu sendiri!" ujar
gadis itu, dengan nada suara yang semakin dingin.
"Lima...?! Apa maksudmu, Nisanak...?"
"Jangan banyak omong! Terimalah kematian-
mu, Iblis Keparat! Hiyaaat...!"
Tiba-tiba saja gadis yang mengaku bernama
Dewi Beruang Putih itu melompat cepat menerjang Ki
Laksa. Satu pukulan keras bertenaga dalam tinggi di-
lepaskannya begitu cepat. Sesaat Ki Laksa terhenyak.
Namun, dengan cepat pula dia mengegoskan tubuhnya
ke samping. Dihindarinya pukulan Dewi Beruang Putih
itu.
"Hap!"
Saat tangan si Dewi Beruang Putih lewat di
samping tubuhnya, dengan cepat sekali Ki Laksa men-
gebutkan tongkatnya ke arah samping.
Bet!
"Uts!"
Namun, dengan gerakan yang manis sekali,
Dewi Beruang Putih berhasil mengelakkan kebutan
tongkat Ki Laksa. Dan, cepat pula dia melompat ke be-
lakang ketika Ki Laksa memutar tongkatnya yang
langsung menghunjam ke arah dada. Ujung tongkat
itu pun lewat di depan dada si Dewi Beruang Putih.
"Hup! Yeaaah...!"
Sambil memutar tubuhnya ke belakang. Dewi
Beruang Putih melepaskan satu tendangan keras yang
menggeledek ke bagian perut laki-laki tua berjubah pu-
tih itu. Cepat sekali tendangan gadis itu, sehingga tak
ada lagi kesempatan bagi Ki Laksa untuk menghinda-
rinya. Dan, seketika itu juga dia mengebutkan tong
katnya ke arah kaki si Dewi Beruang Putih.
Wuk!
"Ikh...?!"
Dewi Beruang Putih tersentak kaget. Dia tidak
menyangka kalau Ki Laksa tidak menghindari se-
rangan dan malah mengebutkan tongkatnya. Cepat-
cepat gadis itu menarik kakinya kembali. Lalu, tubuh-
nya segera melenting dan berputaran beberapa kali ke
belakang. Dan, dengan manis sekali kakinya menjejak
tanah, sekitar satu batang tombak jauhnya dari Ki
Laksa.
"Serang perempuan edan itu...!" seru Ki Laksa
lantang menggelegar.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Si Perampok Tiga Nyawa yang tinggal dua orang
itu segera berlompatan menyerang Dewi Beruang Pu-
tih. Kapak-kapak mereka langsung berkelebatan begitu
cepat, hingga menimbulkan suara angin yang menderu
bagai badai. Dan, setiap kebutan kapak itu menimbul-
kan hawa panas yang sangat menyengat.
"Hup! Hiyaaa...!"
Dewi Beruang Putih terpaksa berjumpalitan.
Tubuhnya meliuk-liuk menghindari setiap serangan
yang datang secara beruntun dari dua arah itu. Hawa
panas yang ditimbulkan dari kelebatan kapak-kapak
itu sangat terasa bagai hendak membakar seluruh ku-
lit tubuhnya.
"Hup!"
Begitu ada kesempatan, dengan cepat sekali
Dewi Beruang Putih melompat ke belakang beberapa
langkah. Kedua telapak tangannya langsung dira-
patkan ke depan begitu kakinya menjejak tanah. Dan,
kedua lututnya ditekuk sedikit. Kemudian dia melaku-
kan beberapa gerakan dengan kedua tangannya. La
lu....
"Hiyaaa...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, gadis yang
menjuluki dirinya dengan nama Dewi Beruang Putih
itu menghentakkan kedua tangannya ke depan. Se-
ketika itu juga berhembus hawa dingin di sekitar hu-
tan ini. Hawa dingin itu semakin lama semakin terasa
menggigilkan. Dan, terus bertambah semakin dingin,
hingga udara di sekitar hutan ini terasa membeku.
Tampak dari kedua telapak tangan gadis itu keluar
gumpalan-gumpalan putih seperti kapas yang beter-
bangan ke segala penjuru.
Sesaat kemudian, mendadak hawa dingin itu
menghilang lenyap dan langsung berganti dengan ha-
wa panas yang begitu menyengat, bagaikan hawa pa-
nas di dekat tungku api.
"Ugkh...!"
Tiba-tiba, tampak Dewi Beruang Putih ter-
huyung-huyung sambil melenguh pendek. Tangan ka-
nannya cepat bergerak mendekap dada. Dan saat itu
juga dia jatuh terduduk di tanah. Sudut bibirnya terli-
hat mengeluarkan darah. Kejadian yang tidak terduga
sama sekali itu membuat semua orang yang berada di
tempat itu terperanjat keheranan. Mereka tidak men-
gerti, kenapa tiba-tiba gadis yang menjuluki dirinya si
Dewi Beruang Putih itu langsung jatuh terkulai, di saat
dia baru saja mengerahkan ilmu kesaktiannya yang
sempat membuat mereka semua merasa tersiksa.
"Ugkh! Dadaku...," keluh Dewi Beruang Putih.
"Bunuh dia, cepat...!" seru Ki Laksa, tiba-tiba.
"Hiyaaat...!"
Si Nyawa Merah lebih cepat tersadar. Begitu
mendengar suara keras bernada perintah itu, dia lang-
sung saja melompat cepat sambil mengayunkan ka-
paknya ke kepala si Dewi Beruang Putih. Tapi, belum
juga mata kapak itu sampai, mendadak....
Wuk!
Tring!
"Heh...?!"
Si Nyawa Merah terkejut setengah mati ketika
tiba-tiba kapaknya terpental balik ke belakang. Cepat-
cepat dia melompat mundur dan berputaran di udara
beberapa kali sebelum menjejakkan kakinya kembali
ke tanah.
"Keparat...!"
***
TUJUH
Saat itu terlihat Bayu mengangkat tangan ka-
nannya ke atas kepala. Dan, terlihat pula Cakra Maut
berwarna keperakan dan bersegi enam melesat balik,
langsung menempel di pergelangan tangan kanan Pen-
dekar Pulau Neraka. Rupanya dialah tadi yang meng-
gagalkan serangan curang si Nyawa Merah pada si De-
wi Beruang Putih.
"Phuih!"
Si Nyawa Merah menyemburkan ludahnya den-
gan sengit ketika tahu bahwa serangannya telah diga-
galkan oleh pemuda berbaju kulit harimau itu.
Sementara itu si Dewi Beruang Putih masih
terduduk di tanah. Tampaknya dia seperti kehabisan
tenaga. Terlihat sekujur tubuhnya dibasahi keringat
yang bercucuran begitu deras. Bayu kemudian me-
langkah menghampiri gadis berpakaian pengemis itu.
Pandangannya terus tertuju pada beruang putih rak-
sasa yang telah berdiri begitu dekat dengan si Dewi Be-
ruang Putih. Tapi belum juga Pendekar Pulau Neraka
sampai di dekat si Dewi Beruang Putih, mendadak....
"Hiyaaa...!"
Slap!
"Heh...?”
Uts...!
Cepat-cepat Bayu melentingkan tubuhnya ber-
putaran ke belakang ketika tiba-tiba saja Beruang Pu-
tih yang berada di belakang gadis itu melompat begitu
cepat sambil meraung dahsyat menggelegar. Suaranya
terdengar bagai guntur yang memecah angkasa di wak-
tu hujan.
"Ghraaagkh...!"
Beruang Putih bertubuh raksasa itu lewat di
atas tubuh Pendekar Pulau Neraka. Dia terus melun-
cur ke arah dua orang dari si Perampok Tiga Nyawa.
Begitu cepat lompatan Beruang Putih Itu. Si Nyawa
Merah dan si Nyawa Kuning pun tampak sama-sama
terbeliak.
"Hup! Hiyaaa...!"
Si Nyawa Merah yang lebih cepat menyadari
keadaan ini bergegas melompat ke samping. Dihinda-
rinya terjangan Beruang Putih itu. Tapi, si Nyawa Kun-
ing ternyata terlambat menyelamatkan diri, sehingga
kebutan kaki depan Beruang Putih itu telak menampar
wajahnya.
Plak!
"Akh...!"
Si Nyawa Kuning terpekik keras sekali. Dia
langsung terpelanting jatuh ke tanah. Dan beberapa
kali dia bergulingan di tanah yang berumput ini. Na-
mun, dengan cepat laki-laki setengah baya berbaju
kuning itu bisa bangkit berdiri. Tapi, baru saja kakinya
menjejak tanah, Beruang Putih itu sudah kembali
mengibaskan kaki depannya dengan kecepatan yang
begitu luar biasa.
Buk!
"Akh...!"
Untuk kedua kakinya si Nyawa Kuning meme-
kik. Hantaman kaki depan yang juga sekaligus tangan
beruang raksasa itu tepat mengenai dadanya dengan
keras sekali. Kembali si Nyawa Kuning terpental ke be-
lakang dengan deras, dan baru berhenti setelah mena-
brak sebatang pohon yang cukup besar. Seketika po-
hon itu hancur berkeping-keping.
"Ghraaagkh...!"
Sambil menggerung dahsyat, beruang putih
raksasa itu melompat cepat bagai kilat menerkam si
Nyawa Kuning yang menggeletak tak berdaya lagi di
antara kepingan pohon.
Ngek!
"Ugkh...!"
Hanya sedikit keluhan kecil yang terdengar dari
mulut si Nyawa Kuning ketika kedua kaki beruang pu-
tih raksasa itu menjejak dadanya. Seketika darah me-
muncrat dari mulut laki-laki setengah baya berbaju
kuning itu.
"Aaargkh...!"
Beruang Putih itu berteriak keras menggelegar.
Begitu keras teriakannya, sehingga tanah terasa berge-
tar bagai diguncang gempa. Kedua tangan beruang
raksasa itu terangkat ke atas. Moncongnya yang penuh
dengan gigi bertaring terbuka lebar-lebar, seperti hen-
dak memamerkan gigi-giginya yang bertaring tajam itu.
Kemudian dia kembali melompat mendekati si Dewi
Beruang Putih.
"Hup!"
Pada saat itu juga, tampak si Nyawa Merah me-
lompat cepat. Dia langsung melompati tubuh si Nyawa
Kuning yang menggeletak tak bernyawa dengan dada
remuk dan kepala retak. Dan, begitu si Nyawa Merah
melompatinya, mendadak si Nyawa Kuning bangkit
kembali dengan cepat. Dadanya yang tadi remuk terin-
jak kaki Beruang Putih raksasa itu kini terlihat kemba-
li pulih seperti semula dengan cepat sekali. Bahkan,
darah yang keluar dari mulut-nya sudah tidak terlihat
lagi.
"Ghrrr...!"
***
Beruang Putih itu tampak keheranan melihat
korbannya yang tadi tewas bisa bangkit lagi dengan
cepat Bahkan, si Nyawa Kuning terlihat lebih segar da-
ri semula, sebelum dadanya diremukkan Beruang Pu-
tih itu. Dan, kini si Perampok Tiga Nyawa yang seka-
rang tinggal dua orang itu sudah bergerak mendekati
Beruang Putih itu. Kapak mereka terayun-ayun, seper-
ti hendak menakut-nakutinya.
"Ghrrr...!"
Tampaknya Beruang Putih bertubuh raksasa
itu tidak gentar melihat mata kapak yang berkilat ta-
jam. Dia malah menggerung sambil memperlihatkan
baris-baris giginya yang bertaring tajam. Perlahan dia
memutar tubuhnya berbalik, lalu berdiri di atas kedua
kaki belakangnya. Sungguh besar sekali tubuhnya, se-
perti sebuah bukit yang berselimut salju putih bagai
kapas.
"Hiyaaa.,.!"
"Yeaaah...!
Si Nyawa Merah dan si Nyawa Kuning tiba-tiba
saja berlompatan cepat menyerang Beruang Putih rak-
sasa itu. Kapak mereka terayun deras dan hampir ber-
samaan mengarah ke perut dan dada.
"Ghraaagkh...!"
Beruang Putih itu meraung keras menggelegar.
Dan, cepat sekali dia mengibaskan kedua tangannya.
Disampoknya kapak-kapak yang berkelebat begitu ce-
pat mengincar tubuhnya yang ditumbuhi bulu berwar-
na putih seperti kapas itu.
"Hup!"
"Yeaaah...!"
Ternyata si Perampok Tiga Nyawa yang tinggal
dua orang itu lebih cepat lagi melentingkan tubuh.
Dan, secara bersamaan, mereka melepaskan ten-
dangan serta pukulan yang keras disertai pengerahan
tenaga dalam tinggi.
Buk!
Des!
Dada dan kepala Beruang Putih itu menjadi sa-
saran empuk pukulan dan tendangan si Perampok Ti-
ga Nyawa. Tapi, binatang raksasa itu hanya terhuyung
sedikit Dan, cepat sekali kemudian dia mengibaskan
tangannya sambil memutar tubuhnya sedikit Hampir
saja kibasan tangannya mengenai si Nyawa Merah ka-
lau laki-laki setengah baya berbaju merah itu tidak ce-
pat-cepat melompat mundur.
"Mundur kalian! Hiyaaat..!"
Tiba-tiba Ki Laksa melompat sambil berteriak
keras menggelegar. Dan, seketika itu juga dia me-
lepaskan satu pukulan menggeledek yang mengandung
pengerahan tenaga dalam tinggi. Begitu tinggi tenaga
dalam yang dikerahkannya, sehingga kepalan tangan
kanannya terlihat berwarna merah bagai besi terbakar
di dalam tungku api. Ki Laksa menyerang dari bela-
kang Beruang Putih itu.
"Putih awas...!" teriak si Dewi Beruang Putih,
memperingatkan binatang peliharaannya itu.
Tapi, peringatan Dewi Beruang Putih sudah ter-
lambat Dan....
Begkh!
"Aaargkh...!"
Beruang Putih raksasa itu meraung keras begi-
tu punggungnya terkena pukulan yang begitu dahsyat
dari Ki Laksa. Begitu keras pukulan yang dilancarkan
Ki Laksa. Beruang Putih itu pun langsung terhuyung-
huyung ke depan. Tubuhnya menjadi limbung dan ti-
dak terkuasai lagi. Pada saat itu juga, si Nyawa Merah
dan si Nyawa Kuning cepat melompat menyerang den-
gan cepat.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Secara bersamaan, si Nyawa Merah dan si
Nyawa Kuning melepaskan pukulan keras disertai
pengerahan tenaga dalam yang tinggi. Dalam keadaan
tubuh yang limbung dan belum terkuasai, Beruang Pu-
tih itu tidak sempat lagi menghindari serangan kedua
orang itu Hingga, kembali dia harus menerima dua kali
pukulan beruntun yang mengandung tenaga dalam
tinggi.
"Aaargkh...!"
Sesaat kemudian tampak Ki Laksa melepaskan
satu pukulan keras yang mengarah langsung ke dada
beruang putih raksasa itu. Cepat sekali serangan yang
dilakukannya, sehingga binatang raksasa berbulu pu-
tih bagai kapas itu tidak dapat lagi menghindarinya.
Pukulan Ki Laksa telak menghantam dada binatang itu
dengan keras sekali.
"Aaargkh...!"
Raungan yang begitu panjang terdengar keras
menggelegar. Tampak beruang raksasa itu terpental ke
belakang sejauh beberapa batang tombak. Keras sekali
tubuhnya yang berbulu putih itu terbanting ke tanah.
Melihat binatang peliharaannya terus dihujani
pukulan-pukulan keras bertenaga dalam tinggi, Dewi
Beruang Putih tidak tahan juga melihatnya. Tanpa
menghiraukan keadaan dirinya sendiri, gadis itu cepat
melompat menerjang Ki Laksa yang sudah siap hendak
menghunjamkan tongkatnya yang berujung tajam ke
dada Beruang Putih itu. Sambil mengerahkan sisa-sisa
kekuatannya yang masih ada, Dewi Beruang Putih me-
lompat cepat sambil berteriak keras melengking tinggi.
"Hiyaaat..!"
"Yeaaah...!"
Namun, pada saat itu juga, tampak si Nyawa
Merah melemparkan kapaknya dengan cepat sekali ke
arah Dewi Beruang Putih. Kapak yang berukuran cu-
kup besar itu meluncur deras, hingga menimbulkan
suara mendesing yang keras sekali. Dewi Beruang Pu-
tih terperangah. Tak ada kesempatan lagi baginya un-
tuk menghindari lemparan kapak itu. Tapi, belum juga
kapak itu mengenai tubuhnya, mendadak....
Wusss!
Trang!
"Heh...?!"
Bukan main terkejutnya si Nyawa Merah ketika
tiba-tiba saja kapaknya terpental balik. Sempat terlihat
tadi secercah cahaya kilat keperakan menyambar sen-
jata andalannya itu. Cepat-cepat si Nyawa Merah me-
lentingkan tubuhnya. Dan, kapaknya yang terpental
tinggi ke udara segera disambarnya sebelum sampai
jatuh ke tanah.
"Hap!"
Namun, baru saja si Nyawa Merah berhasil me-
raih kapaknya yang terpental tinggi ke udara, menda-
dak terlihat sebuah bayangan berkelebat begitu cepat
bagai kilat. Cepat-cepat dia mengebutkan kapaknya ke
arah bayangan itu. Tapi tanpa diduga sama sekali,
bayangan itu melesat ke atas dan tahu-tahu sudah be-
rada di belakangnya. Dan secepat itu pula....
Des!
"Akh...!"
Si Nyawa Merah terpekik keras. Tubuhnya
mendadak terbanting ke tanah dengan deras sekali.
Hanya sedikit terdengar keluhan kecil ketika tubuh la-
ki-laki setengah baya berbaju merah itu menghantam
tanah. Dan, hanya sedikit terlihat gerakan. Sesaat ke-
mudian si Nyawa Merah diam tak bergerak-gerak lagi.
Darah terlihat mengalir dari sudut bibir dan kedua lu-
bang hidungnya.
Tap!
Pada saat yang hampir bersamaan, tampak
Pendekar Pulau Neraka mendarat ringan di samping
tubuh si Nyawa Merah. Kemudian dipandanginya si
Nyawa Kuning dengan tajam. Jelas sekali terlihat raut
wajah si Nyawa Kuning begitu gelisah dan cemas, ka-
rena pemuda berbaju kulit harimau itu berada sangat
dekat dengan tubuh si Nyawa Merah yang sudah tidak
bergerak-gerak lagi. Sementara itu Dewi Beruang Putih
sudah begitu gencar menyerang Ki Laksa.
***
"Ayo, lompati temanmu ini kalau bisa," ujar
Bayu dengan nada suara yang sangat sinis.
"Phuih!"
Si Nyawa Kuning menatap dengan sengit Dia
menyemburkan ludahnya sambil melangkah beberapa
langkah ke depan Kapaknya yang berukuran cukup
besar itu disilangkan ke depan dada. Sorot matanya
yang tajam tampak agak gentar melihat ketegaran dan
ketangguhan Pendekar Pulau Neraka. Tapi, dia tetap
melangkah maju perlahan-lahan. Sedangkan Bayu
masih berdiri tegak. Bibirnya menyunggingkan senyum
kecil. Dan, tiba-tiba....
"Hup! Yeaaah...!"
Cepat sekali Pendekar Pulau Neraka melenting-
kan tubuhnya ke udara sambil menyambar tubuh si
Nyawa Merah yang menggeletak di tanah. Begitu cepat
gerakannya, sehingga sulit diikuti dengan pandangan
mata biasa. Dan, tahu-tahu pemuda berbaju kulit ha-
rimau itu sudah berada di atas cabang sebatang pohon
yang cukup besar dan kokoh.
Bayu meletakkan tubuh si Nyawa Merah di ca-
bang pohon itu. Lalu, dengan gerakan yang indah dan
ringan sekali, dia meluruk turun. Begitu sempurna il-
mu meringankan tubuh yang dimilikinya, sehingga tak
terdengar suara sedikit pun saat kakinya menjejak ta-
nah. Lalu kembali dia mendarat di tempat berdirinya
semula. Begitu cepat semua gerakan yang dilakukan
oleh Pendekar Pulau Neraka. Si Nyawa Kuning pun
tampak terlongong bengong.
"Hah...?!"
Si Nyawa Kuning terperanjat setengah mati be-
gitu menyadari tubuh si Nyawa Merah sudah tidak ada
lagi. Dan, lebih terkejut lagi dia ketika tahu bahwa si
Nyawa Merah kini sudah berada di atas pohon. Dan,
sudah pasti si Nyawa Kuning tidak mungkin lagi bisa
menghidupkannya, karena tubuh si Nyawa Merah ti-
dak menyentuh tanah.
"Keparat...!" geram si Nyawa Kuning, berang.
Beberapa saat dia memandangi tubuh si Nyawa
Merah, kemudian menatap tajam pada Pendekar Pulau
Neraka yang berada sekitar enam langkah lagi di de-
pannya. Sedangkan pemuda berbaju kulit harimau itu
hanya tersenyum. Namun, terasa begitu sinis senyum-
nya.
"Kubunuh kau, Keparat!" desis Nyawa Kuning.
"Hiyaaat...!"
Cepat sekali si Nyawa Kuning melompat sambil
mengayunkan kapaknya ke arah kepala Pendekar Pu
lau Neraka. Namun hanya dengan sedikit menge-
goskan kepalanya, Bayu berhasil menghindari kebutan
kapak itu. Tapi sempat juga dia terperanjat Karena,
begitu mata kapak lewat di depan wajahnya, saat itu
juga terasa hawa panas yang begitu menyengat disertai
hembusan angin yang keras.
"Hup...!"
Cepat-cepat Bayu melompat ke belakang tiga
langkah. Tapi, baru saja kakinya menjejak tanah, si
Nyawa Kuning sudah kembali menyerang Satu puku-
lan keras menggeledek langsung dilepaskan laki-laki
setengah baya berbaju kuning itu. Pukulan ini disertai
dengan pengerahan tenaga dalam yang tinggi sekali
tingkatannya.
"Haiiit..!"
Bayu segera mengegoskan tubuhnya. Dihinda-
rinya pukulan si Nyawa Kuning. Dan, saat itu juga dia
memiringkan tubuhnya, lalu menghentakkan kakinya
untuk melepaskan satu tendangan keras menggeledek
yang disertai pengerahan tenaga dalam sempurna. Be-
gitu cepat serangan balik yang dilancarkan Pendekar
Pulau Neraka. Si Nyawa Kuning pun tidak sempat
menghindar lagi. Terlebih lagi saat itu tubuhnya me-
mang sedang doyong ke kanan karena baru melakukan
pukulan yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
Tak pelak lagi, tendangan Pendekar Pulau Neraka
mendarat telak di perut si Nyawa Kuning.
Begkh!
"Hegkh!"
Si Nyawa Kuning melenguh pendek Tubuhnya
langsung terbungkuk. Perutnya terasa hampir jebol
terkena tendangan Pendekar Pulau Neraka. Dan, pada
saat itu juga, Bayu melepaskan satu pukulan keras
disertai pengerahan tenaga dalam tinggi ke wajah laki-
laki setengah baya berbaju kuning itu.
"Hiyaaa...!"
Plak!
"Akh...!"
***
DELAPAN
Begitu keras pukulan yang dilepaskan Bayu. Si
Nyawa Kuning sampai menjerit keras melengking. Dan,
tubuhnya terpental jauh ke belakang. Sebatang pohon
yang terlanda langsung hancur seketika. Beberapa kali
si Nyawa Kuning bergelimpangan. Tapi dia masih bisa
cepat bangkit berdiri. Tampak wajahnya berlumuran
darah, pecah akibat terkena pukulan keras bertenaga
dalam tinggi yang dilepaskan Pendekar Pulau Neraka
tadi.
"Hiyaaa...!"
Belum juga si Nyawa Kuning bisa menguasai
keseimbangan tubuhnya, mendadak Bayu sudah men-
gebutkan tangan kanannya ke depan, dengan tubuh
sedikit terbungkuk ke kiri. Seketika Cakra Maut yang
selalu menempel di pergelangan tangan kanan Pende-
kar Pulau Neraka melesat cepat bagai kilat Begitu ce-
pat senjata maut berwarna keperakan itu melesat Si
Nyawa Kuning pun hanya bisa terbeliak. Dan...
Crab!
"Aaakh...!"
Satu jeritan panjang melengking tinggi terde-
ngar begitu menyayat Tampak tubuh si Nyawa Kuning
terhuyung-huyung. Dadanya berlubang dan berlumu-
ran darah tertembus Cakra Maut bersegi enam dan
berwarna keperakan itu. Saat itu Bayu menghentak-
kan tangan kanannya ke atas kepala. Seketika Cakra
Maut yang terbenam di dada si Mayat Kuning melesat
keluar dengan cepat. Dan kembali senjata andalan itu
menempel di pergelangan tangan kanan Pendekar Pu-
lau Neraka.
Darah semakin banyak keluar dari dada si Nya-
wa Kuning. Beberapa saat tubuh laki-laki setengah
baya berbaju kuning itu limbung terhuyung-huyung,
lalu ambruk menggelepar di tanah. Terdengar erangan
kecil. Dan sesaat kemudian dia mengejang kaku lalu
diam tak bergerak-gerak lagi. Saat itu juga nyawanya
terbang melayang dari tubuhnya.
"Heh...!"
Bayu menghembuskan napas panjang. Perla-
han dia memutar tubuhnya. Bola matanya meman-
dang lurus ke arah pertarungan antara Dewi Beruang
Putih dan Ki Laksa. Tampak jelas sekali Dewi Beruang
Putih begitu kewalahan menghadapi laki-laki tua ber-
jubah putih itu. Dan entah sudah berapa kali gadis itu
harus menerima pukulan serta tendangan keras yang
mengandung pengerahan tenaga dalam.
***
"Hiyaaa...!"
Cepat sekali Ki Laksa melompat sambil meng-
hunjamkan ujung tongkatnya yang runcing ke arah
dada Dewi Beruang Putih. Cepat-cepat Dewi Beruang
Putih berkelit menghindar ke kiri. Tapi gerakannya ke-
lihatan agak lambat, sehingga ujung tongkat Ki Laksa
masih bisa merobek pundak gadis itu.
Bret!
"Akh...!"
Dewi Beruang Putih memekik agak tertahan.
Dia terhuyung-huyung sambil mendekap pundaknya
yang sobek berlumuran darah. Dan, saat itu pula Ki
Laksa sudah melancarkan serangan lagi dengan tong-
katnya yang terkenal maut dan sangat berbahaya. Ce-
pat sekali tongkatnya dikebutkan dengan gerakan ber-
putar ke arah perut Sedangkan Dewi Beruang Putih
saat itu masih dalam keadaan limbung. Tak mungkin
dia bisa menghindari serangan secepat kilat dari laki-
laki tua berjubah putih ini. Tapi, begitu ujung tongkat
Ki Laksa hampir saja merobek perut gadis ini, menda-
dak....
Wus!
Trang!
"Heh...?!"
Ki Laksa tersentak kaget setengah mati ketika
tiba-tiba terlihat secercah cahaya keperakan berkelebat
begitu cepat menyambar ujung tongkatnya.
Cepat-cepat dia menarik tongkatnya sambil me-
lompat ke belakang beberapa tindak. Tangan kanan-
nya yang menggenggam tongkat terasa bergetar, kare-
na benturan cahaya keperakan tadi pada ujung tong-
kat itu. Dan pada saat itu tampak sebuah bayangan
berkelebat cepat. Tahu-tahu di depan Dewi Beruang
Putih sudah berdiri Pendekar Pulau Neraka dengan
tangan kanan terangkat di atas kepala.
Tap!
Secercah cahaya keperakan melesat cepat me-
nyambar pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau
Neraka. Tampak Cakra Maut sudah kembali menempel
di pergelangan tangan kanan pemuda berbaju kulit ha-
rimau ini.
"Bocah keparat..! Phuih!"
Ki Laksa geram setengah mati begitu menyadari
bahwa serangannya pada Dewi Beruang Putih tadi di-
gagalkan oleh pemuda berbaju kulit harimau ini Bebe-
rapa kali dia menyemburkan ludahnya dengan geram.
Sedangkan Bayu terlihat berdiri tenang. Dia berpaling
sedikit pada gadis berbaju putih penuh tambalan dan
compang-camping yang berada di belakangnya agak ke
kanan.
"Bagaimana lukamu?" tanya Bayu.
"Hmm...."
Gadis yang tadi memperkenalkan diri sebagai
Dewi Beruang Putih itu hanya menggumam. Se-
dangkan Pendekar Pulau Neraka sudah berpaling lagi
menatap Ki Laksa. Dia melangkah ke depan beberapa
tindak. Sikapnya masih terlihat tenang karena tahu
bahwa sekarang Ki Laksa tinggal sendirian. Tapi laki-
laki tua berjubah putih itu belum sadar kalau kini dia
tinggal seorang diri. Dia belum tahu bahwa dua orang
pembantu kepercayaannya sudah tewas di tangan
Pendekar Pulau Neraka.
"Sudah cukup banyak kau merepotkan aku,
Bocah. Apa sebenarnya yang kau inginkan dariku,
heh...?" bentak Ki Laksa dengan suara yang lantang
dan mendesis geram.
"Aku hanya menginginkan jawabanmu saja, Ki.
Kau pasti bisa menjawab pertanyaanku di kedai tadi,"
sahut Bayu tenang.
"Phuih! Aku tidak akan menjawab pertanyaan
edanmu!" dengus Ki Laksa mendesis.
"Aku hanya meminta kepastian darimu saja, Ki.
Dan aku bisa pergi tanpa mengusik mu lagi. Aku da-
patkan keris itu dari orang yang mati akibat ulah tan-
ganmu. Dan aku yakin, kau punya hubungan dengan
orang itu. Tidak mungkin dia bertarung denganmu jika
tidak ada persoalan apa-apa," kata Bayu lagi.
"Phuih!"
Ki Laksa hanya menyemburkan ludahnya. Dia
melirik sedikit pada Dewi Beruang Putih yang masih
tetap berada agak ke kanan di belakang Pendekar Pu-
lau Neraka. Dan, ketika dia berpaling ke arah lain,
mendadak bola matanya terbeliak lebar. Hampir dia ti-
dak percaya saat melihat tubuh si Nyawa Kuning yang
sudah menggeletak tak bernyawa lagi. Sedangkan si
Nyawa Merah sama sekali tidak terlihat Tapi, begitu
kepala Laksa mendongak ke atas....
"Setan keparat...!" desis Ki Laksa. Wajah Ki
Laksa seketika merah padam begitu melihat si Nyawa
Merah tertelungkup di cabang pohon yang cukup besar
dan tinggi, tidak jauh dari tubuh si Nyawa Kuning
yang menggeletak di atas tanah. Ki Laksa langsung
menatap tajam pada Pendekar Pulau Neraka. Dia ya-
kin, pemuda berbaju kulit harimau inilah yang telah
menewaskan si Perampok Tiga Nyawa.
"Hmm...."
Ki Laksa menggerung geram, seperti seekor bi-
natang liar yang kelaparan. Sinar matanya yang begitu
berkilatan dan bersorot tajam tertuju lurus ke bola ma-
ta Bayu yang berdiri sekitar enam langkah di depan-
nya. Dan, saat itu juga..,.
"Hiyaaat...!"
"Hup!"
Secepat Ki Laksa melompat menyerang, secepat
itu pula Bayu melentingkan tubuhnya ke udara. Dan,
hunjaman tongkat Ki Laksa hanya mengenai tempat
kosong.
Sementara itu Dewi Beruang Putih sudah sejak
tadi bergerak menjauh. Tampak jelas sekali kalau dia
begitu kelihatan lemah. Darah terus bercucuran keluar
dari pundaknya yang sobek oleh ujung tongkat Ki Lak-
sa tadi. Gadis berbaju putih dan kumal serta penuh
tambalan itu menghampiri seekor beruang putih rak-
sasa yang mendekam diam di bawah pohon Beruang
itu juga tampak terluka dalam cukup parah akibat
mendapat gempuran gencar dari Ki Laksa dan si Pe-
rampok Tiga Nyawa yang tinggal dua orang tadi.
Sementara itu Bayu berputaran beberapa kali
di udara. Dan, dengan manis sekali kakinya menjejak
di tanah. Saat itu Ki Laksa sudah memutar tubuhnya
dengan cepat sekali. Langsung tongkatnya dikebutkan
ke arah dada Pendekar Pulau Neraka. Tapi, hanya
dengan sedikit menarik dadanya ke belakang, ujung
tongkat yang runcing itu pun lewat di depan dada
Bayu. Dan, saat itu juga, Pendekar Pulau Neraka me-
narik kakinya ke samping dua langkah.
Cepat sekali Pendekar Pulau Neraka memiring-
kan tubuhnya. Dan, secepat itu pula dia menghentak-
kan kakinya. Dilepaskannya satu tendangan yang begi-
tu keras menggeledek, disertai pengerahan tenaga da-
lam yang sudah mencapai tingkatan kesempurnaan.
Begitu cepat serangan yang dilancarkan Pendekar Pu-
lau Neraka. Sehingga Ki Laksa tidak sempat lagi berke-
lit menghindar.
Des!
"Akh...!"
Keras sekali tubuh Ki Laksa terpental ke bela-
kang begitu tendangan Bayu mendarat telak di da-
danya. Belum lagi laki-laki tua berjubah putih itu bisa
menguasai keseimbangan tubuhnya, Bayu sudah
kembali melancarkan serangan cepat bagai kilat Dia
melompat sambil melepaskan satu pukulan yang begi-
tu keras disertai pengerahan tenaga dalam yang begitu
tinggi tingkatannya.
"Hiyaaat...!"
Begkh!
"Aaakh...!"
Kembali Ki Laksa terpental jauh ke belakang.
Sebatang pohon yang cukup besar seketika hancur
berkeping-keping terlanda tubuhnya. Saat itu pula
Bayu sudah kembali melompat menerjang. Cepat seka-
li gerakan yang dilakukan Pendekar Pulau Neraka itu,
sehingga sulit diikuti dengan pandangan mata biasa.
Dan tahu-tahu dia sudah berdiri dekat dengan tubuh
Ki Laksa. Bahkan, satu kakinya menginjak dada laki-
laki tua itu.
"Hegkh...!"
***
"Katakan, di mana Intan Kumala...?" desis Ba-
yu, dingin.
"Ugkh...!"
Ki Laksa tetap saja belum mau menjawab,
meskipun pijakan kaki Pendekar Pulau Neraka mem-
buat nafasnya tertahan. Semakin kuat pijakan kaki itu
di dadanya, semakin sulit pula dia bernapas. Saat itu,
si Dewi Beruang Putih tampak terperanjat ketika Bayu
menyebut nama Intan Kumala. Dan, dia langsung
bangkit berdiri, walaupun baru saja mengambil sikap
duduk bersila untuk melakukan semadi.
Sementara itu Bayu mengeluarkan Keris Naga
Emas dari sabuk yang membelit pinggangnya. Saat ke-
ris berwarna kuning keemasan itu berada di dalam
genggaman tangan Bayu, mendadak...
"Hei.?!"
Tiba-tiba saja si Dewi Beruang Putih terpekik.
Saat itu pula Bayu berpaling menatapnya. Dan, tanpa
sadar, pijakan kakinya pada dada Ki Laksa menjadi
bertambah kuat Akibatnya, laki-laki tua berjubah pu-
tih itu tidak dapat lagi bertahan. Dan...
"Hegkh...!"
Ki Laksa hanya dapat mengejang beberapa
saat, kemudian terkulai lemas, lalu tak bergerak-gerak
lagi. Dadanya remuk terinjak kaki Pendekar Pulau Ne-
raka. Cukup lama juga Bayu baru menyadari keadaan
itu. Dan, cepat-cepat dia menarik kakinya dari dada
laki-laki tua berjubah putih itu. Tapi, Ki Laksa sudah
sejak tadi menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Bayu cepat melangkah ke belakang beberapa tindak
Sedangkan si Dewi Beruang Putih menghampirinya
dengan ayunan kaki agak terseok
"Berikan keris itu padaku!" bentak Dewi Be-
ruang Putih dingin.
Bayu menatap sebentar pada Keris Naga Emas
yang berada dalam genggaman tangannya. Sungguh
dia tidak mengerti, kenapa banyak orang yang mengin-
ginkan benda yang kelihatannya biasa ini. Apakah ka-
rena benda ini terbuat dari emas...? Tapi Bayu tidak
yakin kalau mereka semua menginginkan keris ini ka-
rena terbuat dari emas. Sebentar kemudian dia mena-
tap pada Dewi Beruang Putih.
"Maaf, keris ini harus kuserahkan pada pewa-
risnya yang sah,” kata Bayu dengan tenang tapi ter-
dengar tegas.
"Akulah pewarisnya yang sah!" dengus Dewi Be-
ruang Putih dengan tidak kalah tegasnya.
"Hmm..., bagaimana aku bisa mempercayai-
mu?" tanya Bayu sambil menyipitkan kelopak mata-
nya.
Memang sulit bagi Pendekar Pulau Neraka un-
tuk bisa percaya begitu saja bahwa gadis berpakaian
pengemis itu adalah pewaris sah Keris Naga Emas.
Bayu memang belum mengenal orangnya. Dan dia
hanya tahu, pewaris Keris Naga Emas ini bernama In-
tan Kumala, putri Ki Satria.
Lalu, bagaimana Bayu bisa bertemu dengan
pewaris sah Keris Naga Emas? Apakah memang Dewi
Beruang Putih yang berhak memilikinya? Atau dia
hanya mengakuinya saja, seperti yang lainnya. Dan
mampukah Dewi Beruang Putih membuktikan bahwa
dirinya adalah Intan Kumala?
Untuk mengetahui jawabannya, ikuti saja ki-
sah petualangan Pendekar Pulau Neraka dalam epi-
sode "Pewaris Keris Naga Emas."
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar