..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Selasa, 04 Februari 2025

PENDEKAR PULAU NERAKA EPISODE DEWI BERUANG PUTIH

Dewi Beruang Putih

 

DEWI BERUANG PUTIH
Oleh Teguh Suprianto
Cetakan Pertama
Penerbit Cinta Media, Jakarta
Penyunting: Suhardi
Hak Cipta Pada Penerbit
Dilarang Mengcopy atau Memperbanyak
Sebagian atau Seluruh Isi Buku Ini
Tanpa Izin Tertulis dari Penerbit
Teguh S
Serial Pendekar Pulau Neraka
Dalam Episode 034:
Dewi Beruang Putih
128 Hal ; 12 x 28 cm

SATU

"Kau dengar itu Wulan?" tanya Bayu berbisik.
"Seperti suara pertarungan," sahut Ratna Wu-
lan juga berbisik.
Bayu yang lebih dikenal dengan julukan Pende-
kar Pulau Neraka itu kembali terdiam. Bola matanya 
tetap lurus memandang ke dalam jurang di depannya, 
yang begitu dalam dan gelap terselimut kabut. Terlalu 
sukar bagi Bayu untuk bisa melihat sampai ke dasar 
jurang dari tempatnya berdiri ini. Bahkan, Ratna Wu-
lan yang berada di sampingnya pun tidak bisa melihat 
apa-apa.
Mereka hanya mendengar suara-suara kecil se-
perti orang sedang bertarung dari dalam jurang ini. 
Meskipun terdengar sangat kecil, suara-suara itu jelas 
sekali. Dan, setelah cukup lama mereka terpaku di bi-
bir jurang, tiba-tiba terdengar raungan yang begitu 
dahsyat dan keras menggelegar dari dasar jurang ini. 
Raungan dahsyat itu sempat membuat jurang ini ber-
getar seperti hendak runtuh. Bayu dan Ratna Wulan 
pun sampai terlompat belakang. Dan, mereka baru 
kembali mendekati bibir jurang itu setelah tak lagi 
mendengar suara apa pun.
"Suara apa itu, Kakang?"
"Seperti raungan binatang buas."
"Aku jadi penasaran, Kakang," desis Ratna Wu-
lan.
Bayu sedikit berpaling menatap gadis itu. Dia 
tersenyum melihat raut wajah Ratna Wulan yang begi-
tu serius memandang ke dalam jurang yang gelap dan 
berkabut ini. Memang, suara-suara yang terdengar tadi 
membuat hati mereka penasaran ingin tahu, apa sebe-
narnya yang terjadi di dasar jurang ini. Mereka pun se

sungguhnya bisa saja masuk ke dalam jurang ini, se-
perti keempat laki-laki yang mereka lihat tadi (Baca 
serial Pendekar Pulau Neraka dalam kisah "Tiga Pen-
gemis Sakti").
"Kau mau masuk ke sana?"
"Caranya?" tanya Ratna Wulan.
"Seperti yang mereka lakukan tadi," sahut Ba-
yu.
"Ratna Wulan terdiam. Memang, bukan peker-
jaan yang sulit bagi Pendekar Pulau Neraka untuk ter-
jun ke dalam jurang ini. Tapi, lain halnya bagi Ratna 
Wulan. Dia hams berpikir dulu dua kali. Meskipun il-
mu meringankan tubuhnya sudah mencapai tingkat 
tinggi, Ratna Wulan kelihatan masih ragu-ragu. Dia ti-
dak tahu, sampai seberapa dalamnya jurang ini.
Tapi, masuk ke dalam jurang ini sesungguhnya 
adalah suatu tantangan yang sangat menyenangkan. 
Dan, Ratna Wulan sebenarnya menyukai tantangan 
seperti itu. Setelah berpikir beberapa saat, gadis itu 
pun menganggukkan kepalanya. Apa pun yang akan 
terjadi, dia mau mencoba masuk ke dalam jurang ini. 
Dan, masalah bisa atau tidaknya keluar nanti, sama 
sekali tidak dipikirkannya.
"Kau siapkan ranting-ranting kayu secukupnya, 
Wulan," kata Bayu.
Ratna Wulan hanya menganggukkan kepala. 
Kemudian dikumpulkannya ranting-ranting kayu yang 
panjang tidak lebih dari satu jengkal. Cukup banyak 
juga ranting yang didapatnya. Sedangkan Pendekar 
Pulau Neraka masih tetap berdiri di pinggiran jurang 
ini.
"Kau tidak mengumpulkan ranting, Kakang?"
“Tidak," sahut Bayu seraya tersenyum.
"Lalu, bagaimana kau akan masuk ke sana?"
Bayu tidak menjawab. Dia hanya tersenyum

sambil menepuk-nepuk kaki Tiren yang duduk diam di 
pundak kanannya. Sedangkan Ratna Wulan masih pe-
nasaran. Tapi, dia tidak mau banyak tanya lagi. Dia 
percaya, Pendekar Pulau Neraka pasti memiliki cara 
lain yang tidak mungkin bisa diikutinya untuk masuk 
ke dasar jurang itu. Ratna Wulan sadar, tingkat ke-
pandaian yang dimiliki Pendekar Pulau Neraka sangat 
jauh lebih tinggi dibanding dirinya.
"Lompatlah sekarang, Wulan," ujar Bayu.
Ratna Wulan tersenyum sedikit, Kemudian....
"Hup!"
Sambil melemparkan satu ranting yang diba-
wanya, Ratna Wulan, cepat-cepat melompat ke dalam 
jurang yang sangat dalam dan gelap berkabut ini. Se-
dangkan Bayu masih tetap berdiri tegak memandangi 
gadis itu berjumpalitan sambil melemparkan ranting-
ranting kering untuk pijakan kakinya. Ratna Wulan te-
rus meluncur dengan deras sekali. Dan, tampak begitu 
indah gerakan-gerakannya.
"Hup!"
Saat Ratna Wulan sudah hampir lenyap di telan 
kabut, Bayu segera melompat ke dalam jurang ini. 
Tangannya direntangkan lebar-lebar ke samping. Dan, 
begitu tubuhnya dirasakan meluncur deras ke bawah, 
dengan cepat sekali tangan kanannya dikebutkan.
"Hiyaaa...!" 
Slap!
Saat itu juga, Cakra Maut yang selalu menem-
pel di pergelangan tangan kanannya meluncur ke ba-
wah kaki. Manis sekali Pendekar Pulau Neraka meno-
tokkan ujung jari kakinya tepat di tengah-tengah Ca-
kra Maut. Kemudian memutar tubuhnya beberapa kali 
sambil menghentakkan tangan kanannya. Cakra Maut 
kembali melesat balik, lalu menempel lagi di pergelan-
gan tangan Bayu.

Beberapa kali Bayu melemparkan Cakra Maut 
ke bawah kakinya. Dan, beberapa kali pula dia harus 
berjumpalitan di antara selimut kabut yang begitu di 
tebal dalam jurang ini. Hingga akhirnya, sampailah 
Bayu di dasar jurang, tepat di samping Ratna Wulan 
yang sudah lebih dulu sampai. Mereka mendarat tepat 
di antara tiga sosok tubuh yang menggeletak tak ber-
nyawa lagi. Bau anyir darah langsung menyeruak ke 
dalam lubang hidung. Tampaknya mayat-mayat ini 
masih baru. Darah yang mengalir pun masih begitu 
segar dan hangat.
"Kelihatannya mereka para pengemis, Kakang," 
desis Ratna Wulan.
"Mereka memang para pengemis," sahut Bayu. 
"Kau kenal mereka...?" Bayu tidak langsung 
menjawab. Dia memeriksa ketiga mayat itu satu persa-
tu. Dan, ketika dia memeriksa tubuh pengemis yang 
menggenggam mangkuk dari batok kelapa berwarna 
putih, keningnya tampak berkerut. Terlihat olehnya 
gambar seekor beruang di dada kiri pengemis itu. Ber-
gegas Pendekar Pulau Neraka memeriksa kedua mayat 
lainnya. Dan, ternyata mereka juga memiliki gambar 
yang sama di dada sebelah kiri.
"Ada apa, Kakang?" tanya Ratna Wulan.
"Heh...!" Bayu menghembuskan nafas panjang 
sambil bangkit berdiri.
Ratna Wulan memandangi Pendekar Pulau Ne-
raka. Sedangkan yang dipandangi diam saja, seperti 
sedang memikirkan sesuatu. Bola mata pemuda baju 
kulit harimau itu merayapi tiga mayat di depannya.
***
"Kau kenali siapa mereka, Kakang?"
"Mereka adalah para pemimpin Kelompok Pe

ngemis Mangkuk Sakti. Mereka dikenal dengan julu-
kan Tiga Pengemis Sakti," sahut Bayu, pelan.
"Tiga Pengemis Sakti...?!" Ratna Wulan tampak 
terkejut. 
"Kau yakin itu, Kakang?"
"Lihat saja gambar beruang di dada kiri mere-
ka. Hanya Tiga Pengemis Sakti yang memiliki gambar 
itu. Itulah lambang kebesaran Kelompok Pengemis 
Mangkuk Sakti," sahut Bayu, sambil menunjuk ke ke-
tiga mayat di depannya.
Ratna Wulan memeriksa ketiga mayat yang 
berpakaian pengemis itu. ditemukannya gambar be-
ruang di dada kiri mereka, yang tidak akan ada pada 
pengemis-pengemis lainnya. Gambar itu menandakan 
bahwa ketiga orang tua ini memang si Tiga Pengemis 
Sakti.
"Mereka memang Tiga Pengemis Sakti, Kakang," 
desah Ratna Wulan sambil menghampiri Bayu. 
"Tapi siapa yang membunuh mereka...?"
Tentu saja pertanyaan gadis itu tidak bisa sege-
ra dijawab oleh Bayu, karena dia sendiri memang tidak 
tahu. Tapi, Pendekar Pulau Neraka sudah menduga, 
suara pertarungan yang didengarnya dari atas jurang 
tadi adalah pertarungan Tiga Pengemis Sakti. Dan la-
wan mereka bisa dipastikan adalah Ki Laksa bersama 
tiga laki-laki tua lainnya. Karena, tidak ada orang lain 
yang masuk ke dalam jurang ini selain keempat orang 
itu.
"Empat orang yang datang ke sini, Wulan," kata 
Bayu, mengemukakan dugaannya.
"Maksudmu..., mereka yang tadi masuk ke ju-
rang ini...?" ujar Ratna Wulan, seperti meminta kete-
rangan.
"Tidak ada orang lain lagi yang datang ke sini 
selain mereka, Wulan."

Ratna Wulan terdiam. Bayu juga tidak bicara 
lagi. Mereka sama-sama memandangi jasad si Tiga 
Pengemis Sakti ini. Dari luka-luka yang diderita, jelas 
sekali kematian mereka diakibatkan oleh pertarungan 
tingkat tinggi.
"Aku sering mendengar cerita tentang mereka, 
Kakang. Tapi mereka sudah tidak lagi berkecimpung 
dalam dunia persilatan. Mereka adalah tokoh-tokoh 
sakti yang susah dicari tandingannya. Aneh... kenapa 
mereka bisa dikalahkan...? Aku sering mendengar ceri-
ta tentang tokoh-tokoh persilatan yang tangguh dan 
digdaya. Tapi, rasanya aku tidak pernah kenal dengan 
keempat lelaki yang terjun ke sini tadi," desis Ratna 
Wulan, seperti bicara pada diri sendiri.
Bayu diam saja. Dia juga sudah sering mende-
ngar sepak terjang ketiga pemimpin Kelompok Pe-
ngemis Mangkuk Sakti ini, sebelum mereka menghi-
lang dari dunia persilatan. Dan, selama ini memang ti-
dak ada yang bisa menandingi kepandaian Tiga Pen-
gemis Sakti sampai akhirnya mereka menghilang sejak 
lebih dari lima belas tahun lalu. Pendekar Pulau Nera-
ka kemudian mengedarkan pandangan berkeliling. 
Dan, tatapan matanya tertumbuk pada sebuah mulut 
gua yang tampak sudah hancur. Pendekar Pulau Nera-
ka segera melangkah menghampiri. Ratna Wulan men-
gikuti dari belakang.
Beberapa saat Bayu mengamati mulut gua yang 
memang sudah hancur ini. Di sibaknya semak belukar 
yang hampir menutupi gua itu. Kemudian kakinya me-
langkah masuk. Bau debu masih terasa menusuk hi-
dung. Ratna Wulan terns mengikuti langkah kaki Pen-
dekar Pulau Neraka. Mereka memeriksa seluruh sudut 
relung gua batu ini. Tapi tak ada yang bisa didapatkan, 
kecuali perabotan yang biasa terdapat di rumah-
rumah. Jelas sekali, gua ini dijadikan tempat tinggal.

Dan, gua ini tampaknya buntu. Tidak terdapat satu lo-
rong pun. Mereka keluar kembali tanpa mendapatkan 
hasil apa pun.
"Kakang, lihat ini...!" seru Ratna Wulan, tiba-
tiba.
Bayu bergegas menghampiri. Ratna Wulan me-
nunjuk ke tanah di depannya. Kening Pendekar Pulau 
Neraka berkerut melihat jejak yang sangat aneh. Dan 
jelas sekali jejak ini bukan bekas tapak kaki manusia.
'"Aku juga melihatnya di dalam gua tadi," kata 
Ratna Wulan.
"Hm..., seperti kaki binatang," gumam Bayu.
"Lihat di sana, Kakang. Ada cahaya," kata Rat-
na Wulan lagi, sambil menunjuk.
Bayu cepat mengarahkan pandangannya. Di-
ikutinya jari telunjuk Ratna Wulan. Agak jauh di depan 
mereka, memang terlihat setitik cahaya yang sebentar-
sebentar menghilang tertutup kabut. Tanpa bicara lagi, 
Pendekar Pulau Neraka bergegas mengayunkan ka-
kinya menuju ke arah titik cahaya itu. Ratna Wulan 
segera mengikuti. Langkahnya disejajarkan di samping 
Pendekar Pulau Neraka.
Mereka terus berjalan cepat tanpa banyak bica-
ra lagi. Kabut yang menyelimuti sekitar dasar Jurang 
Setan ini memang sangat tebal. Mereka pun tidak bisa 
leluasa bergerak. Terlebih lagi, banyak akar pohon 
yang bersembulan keluar dari dalam tanah. Mereka 
harus berhati-hati agar tidak tersangkut akar pohon. 
Kabut yang semakin tebal membuat pandangan mere-
ka terhalang. Akhirnya, mereka sampai juga di tempat 
cahaya itu, walaupun harus menempuhnya dengan su-
lit sekali.
"Hanya pelita...," desis Ratna Wulan seraya me-
nyeka keringat di lehernya.
Mereka menemukan sebuah pelita serta tiga ba

tang bambu yang ujungnya hangus terbakar. Batang 
bambu itu tampaknya dibuat untuk obor, tapi apinya 
sudah padam. Obor-obor bambu itulah yang tadi me-
reka lihat dibawa si Perampok Tiga Nyawa, sebelum 
mereka terjun ke dalam jurang ini. Dan, pelita itu se-
perti sengaja digantung di pohon. Bayu mengedarkan 
pandangannya berkeliling. Tapi, tak ada seorang pun 
yang dilihatnya. Tidak juga terdengar suara apa pun. 
Keadaannya begitu sunyi, seperti di dalam kubur.
"Sebaiknya kita kembali saja, Kakang. Tidak 
ada apa-apa di sini," kata Ratna Wulan.
"Ayolah...," sahut Bayu.
Tapi, baru saja mereka berbalik, mendadak....
"Ghrrr...!"
"Heh...?!"
"Ohhh...?!"
***
Bukan main terkejutnya Bayu dan Ratna Wu-
lan ketika tiba-tiba di depan mereka melompat sesosok 
makhluk yang sangat tinggi dan besar. Seluruh tu-
buhnya berbulu putih seperti kapas. Dan, tahu-tahu 
seekor beruang raksasa berbulu putih sudah mengha-
dang di depan mereka. Binatang itu berdiri dengan ke-
dua kaki belakangnya. Sedangkan dua kaki depannya 
dia angkat tinggi-tinggi, hingga melebihi kepala.
"Ghraaaugkh...!"
"Jagat Dewa Batara...," desis Bayu.
Seluruh dasar jurang ini bagai diguncang gem-
pa ketika beruang putih raksasa itu menggerung dah-
syat sekali. Saat itu Ratna Wulan menarik kakinya ke 
belakang beberapa langkah. Sedangkan Bayu tetap 
berdiri tegak pada tempatnya. Dia menurunkan Tiren 
dari pundaknya. Disuruhnya monyet kecil itu menjauh. Sambil mencerecet ribut, Tiren berjingkrak men-
jauhi Pendekar Pulau Neraka. Dihampirinya Ratna Wu-
lan yang sejak tadi sudah menyingkir.
"Ghrrr...!"
Sambil menggerung-gerung, beruang putih rak-
sasa itu melangkah menghampiri Pendekar Pulau Ne-
raka. Moncongnya yang berliur terus terbuka lebar, 
seakan-akan ingin memperlihatkan baris-baris giginya 
yang bertaring tajam. Sedangkan Bayu bergerak mun-
dur perlahan-lahan.
"Ghraaagkh...!"
Tiba-tiba beruang raksasa berbulu putih itu 
melompat cepat bagai kilat, sambil menggerung dah-
syat. Meskipun tubuhnya sangat besar, ternyata gera-
kannya sungguh cepat luar biasa. Bayu pun terpana 
beberapa saat.
"Uts...!"
Pendekar Pulau Neraka cepat-cepat merunduk-
kan tubuhnya, Kibasan tangan Beruang Putih itu pun 
lewat di atas kepalanya. Bergegas Bayu melompat ke 
belakang beberapa langkah. Tapi, baru saja kakinya 
menjejak tanah, beruang raksasa berbulu putih itu 
sudah menyerang lagi dengan kecepatan yang sungguh 
luar biasa. Kedua bola mata Bayu jadi terbeliak. Dia 
tidak menyangka kalau binatang ini mampu melaku-
kan gerakan yang begitu cepat.
"Hup!"
Cepat-cepat Pendekar Pulau Neraka melompat 
ke atas begitu tangan yang berkuku runcing dan ber-
bulu tebal itu menyampok ke bawah. Beberapa kali 
Bayu melakukan putaran di udara. Lalu deras sekali 
dia meluruk. Dan langsung dilepaskannya satu ten-
dangan menggeledek, yang hanya disertai dengan se-
tengah pengerahan tenaga dalamnya.
"Yeaaah...!"


Bet!
Bayu terhenyak seketika. Tendangannya yang 
begitu cepat ternyata sama sekali tidak mengenai ke-
pala Beruang Putih itu. Bahkan, hampir saja dia ter-
kena sampokan tangan binatang raksasa itu kalau ti-
dak cepat-cepat melenting kembali ke udara.
Setelah melakukan beberapa kali putaran, 
kembali Pendekar Pulau Neraka menjejakkan kakinya 
di tanah. Cepat-cepat kakinya ditarik ke belakang be-
berapa langkah, sebelum Beruang Putih itu melakukan 
serangan lagi.
"Ghrrr...!"
"Hap!"
Bayu segera melompat ke kanan begitu Be-
ruang Putih itu kembali melakukan serangan. Dan 
dengan cepat sekali Pendekar Pulau Neraka mele-
paskan satu pukulan keras disertai pengerahan tenaga 
dalam yang tidak penuh, sambil memiringkan tubuh-
nya ke kiri. Begitu cepat serangan balasan Bayu kali 
ini. Beruang Putih itu pun tidak sempat lagi menghin-
dar.
Dugkh!
"Ikh...!"
Bayu tampak terpekik ketika pukulannya ber-
sarang telak di tubuh Beruang Putih itu. Cepat-cepat 
dia melompat sejauh dua batang tombak ke belakang. 
Sungguh sukar dipercaya, tubuh binatang raksasa itu 
ternyata begitu keras. Bayu merasa seperti menghan-
tam sebongkah batu cadas yang teramat keras. Tapi, 
bukan itu yang membuatnya terkejut setengah mati. 
Bayu benar-benar terkejut ketika dirasakannya tadi 
tubuh Beruang Putih ini bisa mengembalikan pukulan 
yang dilepaskannya. Bayu merasakan tangannya ber-
getar, seperti tersengat puluhan kala berbisa.
"Tangan kanan Pendekar Pulau Neraka me

mang terlihat bergetar ketika menghantam tubuh Be-
ruang Putih itu tadi. Sedangkan binatang raksasa itu 
seperti tidak mengalami rasa sakit sedikit pun. Dia 
malah terus bergerak cepat menghampiri pemuda ber-
baju kulit harimau itu. Hentakan kakinya begitu kuat, 
tanah pun bergetar, seperti diguncang gempa.
"Ghrrr...!"
Wuk!
Cepat sekali Beruang Putih itu mengebutkan 
tangannya ketika sampai di dekat Bayu. Namun, den-
gan tidak kalah cepatnya, Bayu berkelit menghindari 
serangan binatang raksasa ini. Kembali dia melompat 
ke samping sejauh lima langkah. Dan, begitu kakinya 
menyentuh tanah, dengan cepat sekali tubuhnya me-
lenting ke udara. Lalu....
"Hiyaaat..!"
Sambil berteriak keras, Pendekar Pulau Neraka 
melepaskan satu tendangan dahsyat menggeledek. Kali 
ini dia mengerahkan seluruh tenaga dalamnya, yang 
sudah mencapai pada tingkatan sempurna.
Des!
"Ghraaaugkh...!"
Tendangan yang dilepaskan Bayu tepat bersa-
rang di dada Beruang Putih ini. Begitu keras ten-
dangan yang dilancarkan Bayu. Beruang raksasa itu 
pun meraung keras sekali. Dan tubuhnya sampai ter-
dorong ke belakang beberapa langkah. Sedangkan 
Bayu sendiri terpental ke belakang sejauh dua batang 
tombak. Tapi, setelah beberapa kali melakukan puta-
ran di udara, Pendekar Pulau Neraka kembali menje-
jakkan kakinya di tanah dengan manis sekali.
"Gila...!" desis Bayu, tidak percaya.
Tendangan yang dilepaskan Pendekar Pulau 
Neraka tadi sangat keras, bahkan dikerahkan dengan 
penyaluran tenaga dalam yang sempurna. Tapi Be

ruang Putih itu sama sekali tidak terluka. Bahkan, tadi 
Bayu merasakan seperti membentur sebuah dinding 
baja yang begitu keras. Tulang-tulang kakinya dirasa-
kan nyeri, seperti mau retak.
"Ghrrr...!"
Sambil menggerung-gerung dahsyat, Beruang 
Putih itu kembali bergerak menghampiri Pendekar Pu-
lau Neraka. Moncongnya dibuka lebar-lebar, seakan-
akan hendak memperlihatkan baris-baris giginya yang 
bertaring tajam seperti mata pisau.
Bayu menggeser kakinya ke kanan beberapa 
langkah. Perlahan tangan kanannya ditarik ke depan 
dada. Dan, tubuhnya dimiringkan ke kiri, agak mem-
bungkuk sedikit ke depan.
"Hmm…"
Namun mendadak Pendekar Pulau Neraka ter-
tegun, lalu kembali berdiri tegak. Dia tidak jadi mele-
paskan senjata andalannya, yang dikenal dengan se-
butan Cakra Maut. Senjata berbentuk cakra bersegi 
enam ini tetap menempel di pergelangan tangan ka-
nannya. Kening Bayu berkerut melihat binatang raksa-
sa berbulu putih bagai kapas itu mendadak tampak 
terdiam. Dan, dia berdiri dengan keempat kakinya. 
"Hmm...."
Kembali Bayu menggumam perlahan. Beruang 
Putih itu membalikkan tubuh, lalu berjalan mening-
galkannya begitu saja. Binatang raksasa itu terus ma-
suk ke dalam hutan yang sangat lebat dan gelap di da-
sar Jurang Setan. Sebentar saja tubuhnya sudah tidak 
terlihat lagi. Sedangkan Pendekar Pulau Neraka masih 
tetap berdiri tegak di tempatnya.
***
DUA

Bayu berpaling sedikit. Dia merasakan, ada 
orang yang berdiri di sampingnya. Dan, dilihatnya 
Ratna Wulan sudah ada di sebelah kiri sambil meme-
luk Tiren dengan tangan kanan. Monyet kecil itu keli-
hatan manja. Kepalanya ditempelkan di dada gadis 
cantik yang membusung indah ini. Beberapa saat me-
reka terdiam. Semua memandang ke arah kepergian 
Beruang Putih yang masuk ke dalam hutan di dasar 
Jurang Setan ini.
"Aneh sekali.... Kenapa tiba-tiba dia pergi begitu 
saja...?" gumam Ratna Wulan, seperti bertanya pada 
dirinya sendiri.
Bayu diam saja. Dia juga merasakan, ada suatu 
keanehan pada Beruang Putih itu. Tiba-tiba saja bina-
tang itu muncul dan menyerang, tapi kemudian pergi 
begitu saja tanpa sebab. Seperti sudah direncanakan, 
dia tampaknya hanya muncul untuk menghadang. 
Bayu pun bisa menduga, Beruang Putih itu bukan bi-
natang sembarangan.
"Aku perhatikan tadi, waktu menyerangmu, ge-
rakan-gerakannya seperti sudah terlatih," kata Ratna 
Wulan lagi, dengan suara yang masih menggumam 
perlahan.
"Kau benar, Wulan. Dia juga memiliki kekuatan 
yang sangat luar biasa," sambut Bayu, dengan suara 
yang juga menggumam perlahan.
"Kakang, apa mungkin dia binatang peliha-
raan...?" tanya Ratna Wulan. Nada suaranya terdengar 
terputus.
Bayu tidak langsung menjawab. Dia melirik Ti-
ren yang masih berada di dalam pelukan Ratna Wulan. 
Memang bukan suatu hal yang aneh di dunia persila

tan, seseorang memelihara binatang yang begitu men-
gerti dan dapat membantu mempertahankan diri. Bah-
kan, tidak sedikit yang melatih binatang peliharaannya 
untuk bertarung. Dan, banyak juga mengisinya dengan 
kekuatan-kekuatan dahsyat, sehingga binatang peliha-
raannya memiliki daya tahan tubuh yang tidak dite-
mukan pada binatang-binatang lain.
"Ayo kita pergi dari tempat ini, Wulan," ajak 
Bayu.
"Maksudmu keluar dari jurang ini...?" Ratna 
Wulan seperti tidak percaya.
Memang, masuk ke dalam jurang ini saja sudah 
begitu sulit. Mereka tadi harus mengerahkan seluruh 
kemampuan ilmu meringankan tubuh yang dimiliki. 
Itulah sebabnya Ratna Wulan sama sekali tidak mem-
bayangkan bisa keluar lagi dari dalam jurang ini.
"Kita cari jalan, Wulan. Barangkali saja ada ja-
lan keluar dari jurang ini yang lebih mudah ditempuh," 
kata Bayu, yang tampak berusaha untuk tidak me-
nyinggung perasaan gadis ini.
"Terserah kau sajalah, Kakang," desah Ratna 
Wulan seraya mengangkat bahu.
"Maaf, bukannya aku meremehkan kemam-
puanmu, Wulan. Aku sendiri enggan kalau harus me-
lompat lagi ke atas sana," kata Bayu lagi.
Ratna Wulan hanya tersenyum. Memang, kelu-
ar dari jurang ini dengan cara melompat seperti ketika 
masuk tadi adalah suatu hal yang sangat sulit dilaku-
kan. Walaupun menggunakan lagi ranting-ranting 
kayu untuk berpijak, sudah tentu mereka tidak akan 
bisa keluar semudah masuk ke dalam jurang ini. Ba-
gaimanapun, naik lebih sulit daripada turun. Dan, 
yang pasti, akan diperlukan pengerahan ilmu merin-
gankan tubuh yang sangat tinggi tingkatannya. Se-
dangkan Ratna Wulan menyadari, ilmu meringankan

tubuh yang dimilikinya sekarang ini masih belum cu-
kup jika digunakan untuk melompat ke atas sana.
"Aku yakin, pasti ada jalan keluar dari sini," ka-
ta Bayu, mencoba membesarkan hati Ratna Wulan.
"Kalaupun tidak ada, bukan hanya kita berdua 
yang terkurung di dalam jurang ini, Kakang. Masih ada 
orang lain lagi," sambut Ratna Wulan dengan tenang.
"Ya, empat orang yang tadi masuk lebih dulu ke 
sini," desah Bayu. 
“Tapi, di mana mereka sekarang...?"
"Barangkali mereka juga sedang mencari jalan 
untuk keluar dari jurang ini, Kakang?" kata Ratna Wu-
lan.
"Atau mungkin juga mereka sudah tidak ada 
lagi di sini," desis Bayu, dengan nada suara yang ter-
dengar agak sinis.
"Mungkin juga...," desah Ratna Wulan setengah 
menggumam sambil mengangkat bahunya sedikit
Sebentar mereka terdiam, sibuk dengan jalan 
pikiran masing-masing. Kemudian mereka melangkah 
perlahan-lahan tanpa berbicara lagi. Keadaan di dalam 
Jurang Setan ini memang sangat gelap. Mereka tidak 
bisa berjalan dengan cepat dan leluasa. Kabut yang 
menyelimuti seluruh dasar jurang ini membuat pan-
dangan mereka terhalang dan sulit melihat jauh.
***
Di dalam Jurang Setan ini, antara siang dan 
malam hari sangat sulit dibedakan. Karena, sepanjang 
waktu keadaan di jurang ini selalu gelap dan berseli-
mut kabut tebal, yang menyebarkan udara dingin 
membekukan tulang. Entah sudah berapa lama Bayu 
dan Ratna Wulan mencari jalan untuk keluar dari da-
lam jurang ini. Tapi, belum juga mereka menemukan

nya.
Sedangkan hutan di dalam jurang ini begitu ra-
pat. Sulit bagi siapa pun untuk bisa bergerak cepat. 
Belum lagi, keadaannya sangat gelap. Ratna Wulan 
pun beberapa kali terpekik, karena berulang kali ka-
kinya terantuk akar-akar pohon yang menyembul dari 
dalam tanah. Gadis itu memang belum terbiasa den-
gan keadaan seperti ini. Dia memang masih seumur 
jagung dalam menggeluti ganasnya rimba persilatan.
"Kakang, mungkin tebing batu ini menuju ke-
luar," kata Ratna Wulan, saat mereka sampai di kaki 
sebuah tebing batu yang menjulang sangat tinggi, 
hingga bagian atasnya benar-benar tidak terlihat.
“Tapi terlalu tegak, Wulan. Banyak lumut-
nya...," kata Bayu, sambil memperhatikan tebing batu 
di depannya.
Sebenarnya, tidak ada masalah bagi Pendekar 
Pulau Neraka untuk menaiki tebing batu ini. Tapi, 
Bayu memikirkan Ratna Wulan. Dia tahu, kepandaian 
yang dimiliki gadis ini bisa dikatakan masih tanggung 
untuk terjun ke dalam rimba persilatan yang ganas se-
perti ini. Bahkan, ilmu meringankan tubuhnya saja 
masih jauh berada di bawah Pendekar Pulau Neraka. 
Tapi, untuk mempertahankan hidup di alam bebas se-
perti ini, dia memang sudah sanggup.
"Mungkin ada jalan lain yang bisa dilalui, Ka-
kang," kata Ratna Wulan, yang tampak tidak menyada-
ri bahwa penolakan Bayu disebabkan oleh keraguan-
nya terhadap kesanggupan gadis itu, jika harus men-
daki bukit batu ini.
"Hm..., coba kita telusuri saja kaki tebing ini," 
ujar Bayu, setengah menggumam.
Mereka kemudian kembali melangkah menyu-
suri kaki tebing batu ini Sementara itu di dalam be-
naknya, Bayu terus berpikir keras. Dia berusaha men


cari jalan yang mudah untuk ditempuh Ratna Wulan 
agar bisa keluar dari dalam dasar Jurang Setan ini. 
Kakinya terus terayun melangkah. Dan, otaknya terus 
bekerja keras mencari jalan keluar yang mudah.
Setelah cukup lama berjalan menyusuri kaki 
tebing batu ini, mereka kembali berhenti. Bayu meren-
tangkan tangannya ke depan perut Ratna Wulan. Di-
mintanya gadis itu untuk mundur dengan isyarat tan-
gan. Tanpa diminta dua kali, Ratna Wulan segera me-
langkah mundur beberapa tindak. Sedangkan Bayu 
melangkah ke depan beberapa tindak, Sekitar satu ba-
tang tombak lagi, di depan mereka terlihat sebuah mu-
lut gua yang sangat besar dan kelihatan begitu gelap. 
"Hmm...."
Kening Bayu berkerut melihat banyak jejak ka-
ki orang di sekitar mulut gua ini. Bahkan, ada jejak-
jejak seperti bekas tapak kaki binatang, tapi beruku-
ran sangat besar. Dan, jejak kaki binatang ini sudah 
dia temukan sebelumnya di dalam gua yang hancur, 
tidak jauh dari mayat Tiga Pengemis Sakti. Tampaknya 
ini adalah jejak Beruang Putih yang menghadangnya 
tadi. Bayu terus melangkah mendekati mulut gua. Dia 
melihat, di samping gua ini terdapat beberapa buah 
obor dari batang bambu. Di dekat obor-obor itu, terli-
hat nyala api di antara bebatuan. Begitu kecil nyala api 
ini, sehingga hampir tidak terlihat.
Bayu mengambil sebuah obor dan menyala-
kannya dengan api yang tersembunyi di antara be-
batuan. Nyala api obor langsung membuat keadaan di 
sekitarnya cukup terang. Pendekar Pulau Neraka men-
julurkan kepalanya ke dalam gua. Tapi, tidak ada yang 
dapat dilihat, kecuali lorong gua yang tampaknya san-
gat panjang dan berliku. Bayu berpaling ke belakang.
"Kemari, Wulan," panggil Bayu sambil melam-
baikan tangannya pada Ratna Wulan.

Ratna Wulan bergegas menghampiri. Dia masih 
memeluk Tiren. Gadis itu menerima obor yang sudah 
menyala dari tangan Bayu. Dan Pendekar Pulau Nera-
ka menyalakan satu obor lagi. Tanpa banyak bicara, 
mereka langsung saja masuk ke dalam gua ini. Tepat 
seperti dugaan Bayu, gua ini memang sangat panjang 
dan penuh dengan belokan. Keadaannya juga begitu 
gelap. Tapi di dasar gua yang lembab ini, terlihat jelas 
bekas-bekas jejak kaki yang tampaknya belum terlalu 
lama.
"Di depan sana seperti bercabang, Kakang," bi-
sik Ratna Wulan, setelah mereka cukup jauh masuk ke 
dalam relung gua ini.
"Hmm...," Bayu hanya menggumam perlahan.
Memang, tidak jauh di depan mereka, tampak 
relung gua ini bercabang dua. Bayu segera menghenti-
kan langkahnya setelah sampai di lorong bercabang 
dua ini Ratna Wulan ikut berhenti. Mereka seperti 
mempertimbangkan, lorong mana yang akan ditem-
puh. Bayu memperhatikan, jejak-jejak kaki yang ada 
cukup jelas terlihat di dasar gua ini. Beberapa jejak 
kaki menuju ke lorong sebelah kanan, Dan, tidak sedi-
kit pun yang menuju ke lorong sebelah kiri. Tapi, ada 
perbedaan di antara keduanya. Di lorong sebelah ka-
nan tidak terdapat jejak kaki binatang. Dan, tampak-
nya di lorong ini jejak kaki manusia menuju dua arah 
yang berlawanan, seperti berbalik keluar lagi setelah 
memasukinya. Bayu langsung berkesimpulan, semua 
yang masuk ke gua ini pada akhirnya memilih jalan ke 
lorong sebelah kiri.
"Kita ke kiri, Wulan," ujar Bayu.
Wulan hanya menganggukkan kepalanya. Dia 
mengikuti Pendekar Pulau Neraka menyusuri cabang 
lorong gua sebelah kiri. Obor yang mereka bawa cukup 
untuk menerangi lorong gua yang gelap ini. Mereka te

rus berjalan tanpa berbicara sedikit pun. Dua tikungan 
pun dilalui. Dan, setelah mereka melewati satu tikun-
gan lagi, baru terasa bahwa jalan di dasar lorong gua 
ini sesungguhnya menanjak dan seperti berputar-
putar.
"Sepertinya ini naik ke atas, Kakang," ujar Rat-
na Wulan, agak mendesis.
"Mudah-mudahan saja memang ini jalan ke-
luarnya, Wulan," sahut Bayu.
"Aku harap begitu," desah Ratna Wulan. Tanpa 
bicara lagi, mereka terus melangkah menyusuri lorong 
gua yang tidak lagi bercabang tapi terus menanjak ini. 
Dan, semakin lama semakin nyata bahwa lorong gua 
ini melingkar seperti tangga sebuah menara.
"Kakang, lihat...!" seru Ratna Wulan tiba-tiba, 
sambil menunjuk ke depan.
Bayu segera mengarahkan pandangannya ke
depan. Diikutinya jari telunjuk Ratna Wulan. Tampak 
jelas sekali, di depan mereka terlihat seberkas cahaya 
yang begitu terang. Mereka bergegas mendekati cahaya 
terang seperti sinar matahari itu. Dan, semakin dekat, 
keadaan di dalam lorong gua ini juga semakin bertam-
bah terang. Obor pun tidak lagi dibutuhkan. Mereka 
membuang obor dari batang bambu itu, setelah mema-
tikannya di atas batu.
"Itu pintu keluar, Kakang...!" seru Ratna Wulan, 
gembira.
"Nguk!"
Tiren, yang berada di dalam pelukan Ratna Wu-
lan, rupanya juga merasa gembira bisa keluar dari da-
lam jurang yang sangat gelap dan mengerikan ini. Mo-
nyet kecil itu mencerecet ribut, lalu melompat turun 
dari gendongan Ratna Wulan. Mereka seperti berlomba 
mencapai mulut gua di depan sana.
Ratna Wulan berlari dengan cepat. Sedangkan

Bayu tetap melangkah ringan mengikuti dari belakang. 
Memang benar, mereka sudah sampai di ujung gua 
yang sangat panjang dan berliku ini. Cahaya matahari 
langsung menyambut begitu mereka berada di luar. 
Bayu mengedarkan pandangannya berkeliling. Dia ta-
hu, sekarang mereka sudah berada di dekat perbata-
san Desa Gebang sebelah Barat. Sungguh tidak diduga 
sama sekali, lorong gua yang mereka telusuri tadi ter-
nyata merupakan penghubung antara Desa Gebang 
dan Jurang Setan.
"Oh, segarnya...," desah Ratna Wulan sambil 
menghirup udara banyak-banyak, setelah berada di 
luar gua yang gelap ini.
***
Bayu dan Ratna Wulan menarik napas lega. 
Akhirnya mereka bisa keluar dari dalam Jurang Setan 
setelah melalui lorong gua yang sangat
panjang dan gelap. Tapi, rasa lega belum hilang 
tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara ranting yang 
patah terinjak kaki. Hanya sesaat Bayu menatap pada 
Ratna Wulan. Kemudian, bagaikan kilat Pendekar Pu-
lau Neraka melesat ke arah datangnya suara ranting 
patah yang didengarnya barusan. 
"Hup...!"
Begitu sempurna ilmu meringankan tubuh 
yang dimiliki Pendekar Pulau Neraka. Dalam sekejap 
mata, dia pun sudah lenyap menembus lebatnya se-
mak belukar dan pepohonan. Saat itu juga, mendadak 
terdengar pekikan tertahan seperti suara orang terke-
jut.
"Akh...?!"
Srak!
Tampak Bayu terpental keluar dari dalam se

mak belukar. Tinggi sekali tubuhnya melambung ke 
udara, seperti ada yang melemparkannya dengan tena-
ga yang begitu besar. Tapi, dengan cepat Pendekar Pu-
lau Neraka bisa menguasai keseimbangan dirinya den-
gan berputaran beberapa kali di udara. Dan, tanpa 
menimbulkan suara sedikit pun, kedua kakinya lang-
sung menjejak di tanah yang berumput cukup tebal 
ini. Bersamaan dengan itu, dari dalam semak yang 
sama, keluar seorang laki-laki tua bertubuh kurus. Tu-
lang-tulangnya begitu jelas terlihat, karena dia tidak 
mengenakan baju. Laki-laki tua itu hanya memakai ce-
lana hitam sebatas lutut. Dan, di tangan kanannya 
tergenggam sebilah kapak yang sangat besar dan ber-
gagang panjang. Sedangkan tangan kirinya mengepit 
seikat kayu bakar.
"Siapa kau, Anak Muda? Berani-beraninya 
mengganggu istirahat ku!" bentak orang tua bertubuh 
kurus itu.
Wajahnya kelihatan memerah. Dan, bola ma-
tanya yang bersorot tajam tertuju lurus pada Pendekar 
Pulau Neraka. Tampaknya dia begitu berang. Sedang-
kan raut wajah Bayu masih menampakkan keterkeju-
tan. Entah apa yang terjadi di dalam semak belukar 
itu, sampai Bayu terlempar tinggi ke angkasa tadi. Un-
tung Pendekar Pulau Neraka memiliki ilmu meringan-
kan tubuh yang sudah mencapai tingkat sempurna, 
sehingga dia bisa mendarat kembali di tanah dengan 
ringan dan manis sekali.
"Maaf, aku kira kau orang jahat yang sedang 
mengintai kami," ujar Bayu seraya memberi hormat.
"Huh! Kau sudah mengganggu istirahat ku, 
Anak Muda. Kau harus membayar perbuatanmu!" den-
gus orang tua yang tampak seperti seorang perambah 
hutan pencari kayu bakar itu.
"Hm..., apa maksudmu, Ki?" tanya Bayu den

gan kening berkerut dan mata yang kelihatan menyi-
pit.
"He he he...!"
Orang tua bertubuh kurus itu malah tertawa 
terkekeh-kekeh. Perlahan kemudian dia melangkah 
beberapa tindak ke depan. Terlihat jelas baris-baris gi-
ginya yang hitam seperti batu saat dia tertawa. Se-
dangkan Ratna Wulan yang sejak tadi hanya berdiri 
memperhatikan agak jauh di belakang, perlahan-lahan 
melangkah mendekati Pendekar Pulau Neraka.
"Kakang, aku seperti pernah melihat dia," bisik 
Ratna Wulan.
"Hmm...," gumam Bayu sambil melirik sedikit 
pada gadis cantik yang sudah ada di sebelah kirinya 
ini. 
"Siapa dia, Wulan?"
"Kalau tidak salah, dia si Perambah Hutan 
Penghisap Darah," sahut Ratna Wulan. Matanya tidak 
lepas mengamati laki-laki tua yang memegang sebilah 
kapak berukuran sangat besar itu.
"He he he...! Penglihatanmu tajam sekali, Anak 
Manis," selak laki-laki tua bertubuh kurus yang dike-
nali Ratna Wulan sebagai si Perambah Hutan Penghi-
sap Darah itu.
Sementara itu Bayu diam saja. Diperhatikannya 
si Perambah Hutan Penghisap Darah dengan tajam. 
Dia tahu, nama yang disebutkan Ratna Wulan barusan 
hanyalah sebuah julukan. Tapi, dia juga tahu, tidak 
mungkin seseorang bisa mendapatkan sebuah julukan 
begitu saja. Suatu julukan biasanya disesuaikan den-
gan sifat atau perbuatan orang itu. Dan ada juga julu-
kan yang diambil dari ciri-ciri orang itu atau nama 
tempat asalnya. Sedangkan julukan yang digunakan 
laki-laki tua kurus itu jelas menandakan bahwa dia 
bukanlah orang baik-baik


"Aku tidak melakukan apa pun padamu, Ki. 
Bahkan kau hampir saja meremukkan tulang-
tulangku. Apa yang harus aku ganti padamu...?" ujar 
Bayu agak dingin.
"Sudah aku katakan, kau mengganggu istirahat
ku, Anak Muda. Kau harus membayar mahal!" sentak 
si Perambah Hutan Penghisap Darah dengan ketus.
"Katakan, apa bayarannya!" dengus Bayu, yang 
jelas sekali tidak ingin memperpanjang persoalan.
"He he he.... Darahmu, Anak Muda."
"Edan...!" dengus Bayu.
"Kau tentu memiliki darah yang sangat segar. 
Aku hanya minta, kau membayarnya dengan satu gan-
tang darahmu. Tapi jika kau tidak mau, kau bisa 
menggantinya dengan bayaran lain," kata si Perambah 
Hutan Penghisap Darah
"Hmm, apa...?"
"Keris Naga Emas yang ada padamu. Itu sudah 
cukup untuk mengganti darahmu, Anak Muda."
Bayu tersentak kaget mendengar permintaan 
laki-laki tua berjubah kurus yang dijuluki si Perambah 
Hutan Penghisap Darah itu. Sungguh dia tidak me-
nyangka kalau orang tua itu tahu, bahwa dia menyim-
pan Keris Naga Emas. Keris yang terbuat dari emas 
murni ini memang telah diperoleh Bayu dari seorang 
laki-laki tua. Tapi, dia sendiri tidak berhak memili-
kinya. Keris itu harus diserahkan kepada orang yang 
berhak mewarisinya, yaitu seorang gadis bernama In-
tan Kumala, putri Ki Saktria (Baca serial Pendekar Pu-
lau Neraka dalam episode 'Tiga Pengemis Sakti"). Dan, 
sampai sekarang ini, Pendekar Pulau Neraka belum 
berhasil menemukan gadis itu.
"Aku tidak punya Keris Naga Emas yang kau 
maksudkan, Ki. Kau lihat sendiri, aku tidak memegang 
senjata apa pun," kata Bayu sambil merentangkan ke

dua tangannya ke samping.
"He he he...! Jangan coba-coba mengelabui ku, 
Anak Muda. Aku tahu, kau telah diberi keris itu oleh 
Ki Rahun," ujar si Perambah Hutan Penghisap Darah.
Kali ini Bayu benar-benar tidak dapat lagi me-
nyembunyikan rasa keterkejutannya. Dia memang me-
nyimpan keris itu, dan memang mendapatkannya dari 
Ki Rahun. Sungguh dia tidak menyangka, Keris Naga 
Emas yang kini berada di tangannya sudah diketahui 
oleh orang lain dengan cepat sekali. Padahal, hanya 
Ratna Wulan-lah yang menyaksikannya sewaktu Ki 
Rahun menyerahkan keris itu kepada Bayu, sesaat se-
belum laki-laki tua itu menghembuskan nafasnya yang 
terakhir (Baca serial Pendekar Pulau Neraka dalam epi-
sode "Tiga Pengemis Sakti"). Pendekar Pulau Neraka 
melangkah dua tindak ke belakang. Saat itu juga cepat 
disadarinya, persoalan ini tidak mungkin diselesaikan 
dengan cara damai. Bayu juga menyadari, rahasianya 
tentang Keris Naga Emas tidak bisa disembunyikan te-
rus-menerus.
Memang, di dalam ganasnya rimba persilatan, 
keadaan seperti yang dialami Pendekar Pulau Neraka 
ini, sesungguhnya bisa saja terjadi. Bukankah suatu 
hal yang tidak mungkin jika seseorang yang bertelinga 
tajam seperti si Perambah Hutan Penghisap Darah 
sempat mendengarkan pembicaraan antara Bayu dan 
Ratna Wulan tentang Keris Naga Emas itu, entah di 
mana. Dan, tampaknya kedua pendekar muda itu ti-
dak menyadari keadaan ini. Rupanya, pikiran mereka 
begitu terpusat pada peristiwa-peristiwa aneh yang ba-
ru mereka alami sejak dititipkan keris oleh Ki Rabun, 
hingga berhasil keluar dari dasar Jurang Setan.
***

"Baik, aku memang menyimpan keris itu. Tapi 
bukan padamu aku harus menyerahkannya. Ada orang 
yang lebih berhak memilikinya," kata Bayu tegas.
"He he he...! Sudah kuduga, kau pasti akan 
mempertahankannya, Anak Muda. Baik..., aku juga 
akan merebutnya darimu. Pertahankanlah keris itu, 
Anak Muda," desis si Perambah Hutan Penghisap Da-
rah, dengan nada suara yang terdengar begitu dingin. 
Wuk!
Tiba-tiba si Perambah Hutan Penghisap Darah 
mengebutkan kapaknya yang berukuran sangat besar 
itu ke depan. Begitu kuat kebutan itu, sehingga me-
nimbulkan suara yang menggetarkan. Kemudian ka-
paknya diputar di depan dada, hanya dengan satu tan-
gan.
Wuk!
Cepat sekali putarannya, sampai-sampai kapak 
itu lenyap dari pandangan mata. Yang terlihat hanya-
lah lingkaran cahaya keperakan di depan dada laki-
laki tua bertubuh kurus kering ini. Putaran itu juga 
menimbulkan suara deru angin yang begitu dahsyat. 
Dan, di tepi hutan dekat perbatasan Desa Gebang se-
belah Barat ini seakan-akan terjadi badai, yang sema-
kin lama semakin bertambah dahsyat.
"Hmm...."
Bayu menggumam perlahan. Dia tahu, si Pe-
rambah Hutan Penghisap Darah itu sudah mulai me-
lancarkan serangannya. Serangan pertama ini begitu 
dahsyat luar biasa. Hembusan angin yang keluar dari 
putaran kapak itu membuat debu dan daun-daun ker-
ing berhamburan ke udara. Bahkan, kerikil-kerikil ke-
cil mulai terlihat berpentalan Bumi yang mereka pijak 
pun terasa bergetar, seperti terjadi gempa. Semakin 
cepat putaran kepak itu, semakin dahsyat pula badai 
yang terjadi.

"Hap!"
Bayu cepat-cepat merapatkan kedua telapak 
tangannya di depan dada ketika kakinya mulai tergeser 
ke belakang. Kedua bola matanya tertuju lurus, mena-
tap dengan sinar yang begitu tajam, tepat ke tengah-
tengah pusat lingkaran kapak di tangan kanan si Pe-
rambah Hutan Penghisap Darah. Sementara itu Ratna 
Wulan, yang tidak dapat lagi bertahan, sudah berlin-
dung di balik sebatang pohon yang sangat besar dan 
tampak kokoh menerima gempuran badai yang sema-
kin dahsyat ini.
"Hiyaaa...!"
Tiba-tiba Bayu berteriak keras menggelegar. 
Dan, seketika itu juga.... 
Wusss!
Begitu tangan kanan Pendekar Pulau Neraka 
mengibas ke depan, seketika itu juga Cakra Maut yang 
selalu menempel di pergelangan tangan kanan itu me-
lesat cepat bagai kilat. Dan, senjata andalan ini tepat 
tertuju ke bagian tengah lingkaran kapak bercahaya 
keperakan itu. Begitu cepat serangan balasan yang di-
lakukan Bayu. Si Perambah Hutan Penghisap Darah 
pun tampak terbelalak kaget setengah mati.
"Hap!"
Cepat-cepat si Perambah Hutan Penghisap Da-
rah menarik tangannya ke samping. Lalu, secepat itu 
pula dikibaskan kaki depan. Disampoknya senjata an-
dalan Pendekar Pulau Neraka. 
Trang!
"Hup! Yeaaah...!"
Bayu cepat-cepat melentingkan tubuhnya ke
belakang, lalu berputaran beberapa kali. Dan begitu 
kakinya menjejak tanah kembali, tangan kanannya 
langsung diangkat ke atas kepala. Cakra Maut pun 
kembali menempel di pergelangan tangannya dengan

cepat sekali. Serangan kilat yang dilakukan Pendekar 
Pulau Neraka ini membuat badai yang diciptakan si 
Perambah Hutan Penghisap Darah dengan kapaknya 
itu terhenti seketika. Deru angin yang begitu dahsyat 
kini tidak terdengar lagi.
Meskipun hanya terjadi sebentar, badai ciptaan 
si Perambah Hutan Penghisap Darah telah membuat 
keadaan di dekat perbatasan Desa Gebang sebelah Ba-
rat ini porak-poranda. Tidak sedikit pepohonan yang 
tumbang. Bahkan tidak sedikit pula bebatuan yang 
hancur saling beradu ketika terpental terkena hembu-
san angin badai yang begitu kuat dan dahsyat tadi. 
Sementara itu, Pendekar Pulau Neraka dan si Peram-
bah Hutan Penghisap Darah kembali saling berhada-
pan, dengan jarak sekitar satu setengah batang tom-
bak. Mereka saling bertatapan dengan tajam, seakan-
akan tengah mengukur tingkat kepandaian masing-
masing.
***
TIGA


"Hiyaaa...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, si Peram-
bah Hutan Penghisap Darah melompat cepat bagai ki-
lat sambil mengayunkan kapaknya yang besar ke arah 
kepala Bayu. Begitu besar tenaga dalam yang dikerah-
kannya. Sehingga, ayunan kapak itu menimbulkan su-
ara deru angin yang begitu dahsyat menggetarkan da-
da.
"Hiiap!"
Manis sekali Bayu mengelakkan serangan itu. 
Dia hanya mengegoskan kepalanya. Namun, Bayu

sempat juga terperanjat ketika mata kapak yang berki-
lat tajam lewat di depan mukanya. Terasa sekali, hem-
busan angin dari ayunan kapak itu mengandung tena-
ga dalam tinggi yang memancarkan hawa panas begitu 
menyengat Cepat-cepat Pendekar Pulau Neraka me-
lompat ke belakang, sebelum si Perambah Hutan 
Penghisap Darah melakukan serangan kembali.
"Bagus...! Rupanya kau punya simpanan juga, 
Anak Muda," dengus si Perambah Hutan Penghisap 
Darah, memuji lawannya. 
"Siapa gurumu?"
"Kau tidak perlu tahu, Kisanak," sahut Bayu, 
agak ketus.
"Angkuh juga kau, Bocah. Baik, aku akan me-
maksamu menyebutkan nama gurumu."
"Silakan kalau kau mampu."
"He he he.,.! Bersiaplah kau, Bocah Sombong! 
Hiyaaat...!"
"Hap!"
Bayu segera melompat ke samping begitu si Pe-
rambah Hutan Penghisap Darah kembali melakukan 
serangan. Kapak yang berukuran besar itu dikibaskan 
ke arah dada Pendekar Pulau Neraka. Tapi, dengan ge-
rakan tubuh yang begitu manis, Bayu berhasil meng-
hindarinya. Bahkan, tanpa diduga sama sekali, dia me-
lepaskan satu tendangan menggeledek dengan kaki ki-
rinya, sambil memiringkan tubuh sedikit ke kanan.
"Haiiit...!"
Si Perambah Hutan Penghisap Darah tersentak 
kaget setengah mati. Cepat-cepat dia melompat ke be-
lakang sambil mengebutkan kapaknya ke kaki Pende-
kar Pulau Neraka. Tapi, Bayu sudah lebih cepat mena-
rik kakinya. Bahkan, tanpa memijakkan kaki kirinya 
ke tanah, dia melesat ke udara, lalu meluruk deras 
sambil melepaskan satu pukulan menggeledek ke arah

kepala si Perambah Hutan Penghisap Darah. Begitu 
sempurna tenaga dalam yang dikerahkan Bayu. Angin 
pukulannya pun telah terasa sebelum pukulan itu 
sampai di kepala laki-laki tua bertubuh kurus kering 
ini.
Glarrr….
Satu ledakan keras terdengar ketika pukulan 
Pendekar Pulau Neraka menghantam tanah. Pukulan 
Pendekar Pulau Neraka itu tidak mengenai sasaran, ka-
rena si Perambah Hutan Penghisap Darah sudah me-
lompat tinggi.
"Hup! Hiyaaa...!"
Tidak ada pilihan lain bagi si Perambah Hutan 
Penghisap Darah. Cepat-cepat dia melentingkan tu-
buhnya ke udara menghindari serangan pukulan yang

dilancarkan Pendekar Pulau Neraka. Sedangkan Bayu, 
yang mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalam 
pada pukulannya, tidak dapat lagi menarik serangan-
nya. Sehingga, pukulannya pun menghantam tanah.
Glarrr...!
Satu ledakan keras langsung terdengar meng-
gelegar ketika pukulan Pendekar Pulau Neraka meng-
hantam tanah. Begitu dahsyat pukulan bertenaga da-
lam sempurna itu. Tanah yang terhantam pun seketika 
hancur. Debu langsung menyemburat tinggi ke udara. 
Bumi terasa bergetar bagai diguncang gempa yang be-
gitu dahsyat.
"Hup!" 
Bayu cepat melompat ke belakang sejauh be-
berapa langkah. Manis sekali kakinya menjejak tanah. 
Tampak tanah yang terkena pukulannya tadi telah ber-
lubang sangat besar, seperti sebuah lubang kuburan 
gajah. Si Perambah Hutan Penghisap Darah yang meli-
hat hasil pukulan maut Pendekar Pulau Neraka itu 
langsung terlongong-longong. Dia tidak menyangka 
sama sekali kalau pemuda berbaju kulit harimau itu 
memiliki kekuatan tenaga dalam yang begitu dahsyat 
luar biasa.
"Aku bisa menghancurkan tubuhmu kalau kau 
tidak segera angkat kaki dari sini, Orang Tua...!" desis 
Bayu dingin, dengan nada mengancam.
Dari nada suaranya, Pendekar Pulau Neraka ti-
dak bisa lagi dianggap main-main, Jelas Bayu tidak 
menginginkan urusan ini berlarut-larut. Tapi, rupanya 
si Perambah Hutan Penghisap Darah tidak juga mau 
mundur sebelum mendapatkan Keris Naga Emas yang 
sangat diinginkannya. Tampaknya dia akan berusaha 
sampai mati untuk merebut keris berwarna emas yang 
tetap dipertahankan oleh Pendekar Pulau Neraka itu. 
Memang, apa pun yang terjadi, Bayu akan tetap mempertahankan Keris Naga Emas, yang dititipkan oleh Ki 
Rahun sebelum menghembuskan napas terakhir. Dan, 
Bayu pun tetap teringat akan pesan yang dikatakan 
oleh lelaki tua itu untuk menyerahkan keris ini kepada 
pewarisnya yang berhak.
"Phuih!"
Si Perambah Hutan Pengemis Darah menyem-
burkan ludahnya dengan sengit. Perlahan kakinya di-
geser ke kanan beberapa langkah. Sorot matanya ma-
sih tetap tajam, tertuju langsung ke bola mata Pende-
kar Pulau Neraka. Dia benar-benar tidak menyangka 
kalau pemuda yang dihadapinya ini begitu tangguh. 
Dan, dia tidak ingin lagi menganggap enteng. Hampir 
saja tadi dia celaka, karena menganggap rendah pe-
muda berbaju kulit harimau itu.
"Kita tentukan sekarang. Kau atau aku yang 
harus mati, Anak Muda!" desis si Perambah Hutan 
Penghisap Darah, dingin.
"Di antara kita tidak ada persoalan, Ki. Sebaik-
nya tidak perlu diperpanjang lagi urusan tak berguna 
ini," kata Bayu, mencoba untuk tidak memperpanjang 
pertarungan yang dianggapnya tidak berguna ini.
"Jangan banyak mulut kau, Bocah! Hiyaaat...!"
"Hap!"
Bayu tidak punya pilihan lain lagi. Begitu si Pe-
rambah Hutan Penghisap Darah kembali melakukan 
serangan, dia terpaksa melayani keinginan laki-laki 
tua yang menggunakan senjata kapak itu. Dan, kali ini 
serangan-serangan yang dilancarkan si Perambah Hu-
tan Penghisap Darah ternyata sungguh dahsyat luar 
biasa. Begitu gencarnya, sehingga tidak ada kesempa-
tan sedikit pun bagi Bayu untuk membalas. Memang, 
si Perambah Hutan Penghisap Darah tidak memberi-
kan kesempatan pada lawannya ini untuk membalas 
menyerang.

"Hup! Yeaaah...!"
Bayu terpaksa berjumpalitan dan meliuk-
liukkan tubuhnya. Di hindarinya setiap serangan yang 
dilancarkan si Perambah Hutan Penghisap Darah itu. 
Jurus demi jurus pun berlalu dengan cepat. Tapi per-
tarungan itu tampaknya masih akan berlangsung la-
ma. Beberapa kali kibasan kapak si Perambah Hutan 
Penghisap Darah hampir membelah tubuh Pendekar 
Pulau Neraka. Tapi sampai saat ini Bayu masih bisa 
menghindarinya dengan manis, walaupun dia belum 
memiliki kesempatan untuk melakukan serangan ba-
lasan.
"Mampus kau, Bocah! Hiyaaa...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, bagaikan 
kilat si Perambah Hutan Penghisap Darah melompat 
sambil menghantam kapaknya ke kepala Pendekar Pu-
lau Neraka. Begitu kuat hantaman yang disertai den-
gan pengerahan tenaga dalam tingkat tinggi itu. Angin 
yang ditimbulkannya pun terasa begitu panas me-
nyengat kulit.
"Hap! Hiyaaa...!"
***
Cepat sekali Bayu menarik kepalanya ke bela-
kang, sambil menggeser juga kedua kakinya ke be-
lakang dua tindak. Dan, ujung mata kapak si Pe-
rambah Hutan Penghisap Darah itu lewat sedikit saja 
di depan hidung pemuda berbaju kulit harimau ini. 
Pada saat itu juga, dengan kecepatan bagai kilat, Bayu 
melepaskan satu tendangan keras menggeledek diser-
tai dengan pengerahan tenaga dalam yang sudah men-
capai tingkat sempurna.
"Hiyaaa...!"
"Uts!"

Si Perambah Hutan Penghisap Darah tersentak 
kaget setengah mati. Tidak disangkanya Pendekar Pu-
lau Neraka mampu melakukan serangan balik yang 
begitu cepat di saat sedang menghindari serangannya. 
Cepat-cepat lelaki tua bertubuh kurus ini melompat ke 
belakang beberapa tindak. Namun, baru saja kakinya 
menjejak tanah, Bayu sudah menghentakkan tangan 
kanannya ke depan, dengan tubuh sedikit miring ke 
kiri.
"Yeaaah...!"
Wusss!
"Heh...?! Ikh!"
Si Perambah Hutan Penghisap Darah terbeliak 
setengah mati ketika dari pergelangan tangan Pen-
dekar Pulau Neraka meluncur sebuah benda berben-
tuk cakra yang berwarna keperakan. Cakra Maut ber-
segi enam itu meluncur dengan cepat bagai kilat Dan, 
cepat-cepat si Perambah Hutan Penghisap Darah men-
gibaskan kapaknya. Disampoknya senjata maut Pen-
dekar Pulau Neraka itu.
Wuk!
Trang!
"Ikh...?!"
Si Perambah Hutan Penghisap Darah terpekik 
ketika ujung mata kapaknya berbenturan dengan Ca-
kra Maut tepat di depan dadanya. Begitu keras bentu-
ran itu, sampai menimbulkan pijaran api yang me-
mancar ke segala arah. Saat itu juga Cakra Maut kem-
bali melesat berbalik kepada pemiliknya. Bayu cepat 
mengangkat tangan kanannya ke atas kepala. Dan, 
cakra bersegi enam keperakan itu kembali menempel 
di pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka. 
"Hiyaaat...!"
Pada saat itu juga, dengan cepat sekali Bayu 
melompat sambil melepaskan satu tendangan yang ke

ras menggeledek, yang disertai pengerahan tenaga da-
lam yang tinggi sekali tingkatannya. Begitu cepat se-
rangan yang dilancarkan Pendekar Pulau Neraka. Si 
Perambah Hutan Penghisap Darah pun tidak sempat 
lagi berkelit menghindarinya. Dan....
Des!
"Akh...!"
Si Perambah Hutan Penghisap Darah kembali 
terpekik. Kali ini tendangan kaki kanan Pendekar Pu-
lau Neraka tepat menghantam dadanya dengan keras 
sekali. Tak pelak lagi, lelaki tua itu terpental ke bela-
kang dengan keras sekali. Dan, tubuhnya tepat jatuh 
di dalam lubang besar yang seperti kuburan gajah tadi. 
Pada saat yang bersamaan, Bayu mendarat tepat di 
pinggiran lubang itu. Sedangkan si Perambah Hutan 
Penghisap darah tampak menggeletak dengan napas 
tersengal di dalam lubang. Mulut dan hidungnya men-
geluarkan darah kental agak berwarna kehitaman.
"Lubang ini memang cocok untuk kuburanmu 
Kek ." desis Bayu dingin,
Perlahan Pendekar Pulau Neraka mengangkat 
kepalan tangan kanannya ke atas kepala. Sedangkan 
si Perambah Hutan Penghisap Darah sudah tidak ber-
daya lagi. Tendangan yang mendarat di dadanya tadi 
mengandung pengerahan tenaga dalam yang begitu 
dahsyat dan sudah sempurna tingkatannya. Seluruh 
rongga dadanya kini terasa remuk. Bahkan, tulang-
tulang dadanya terlihat jelas sudah hancur. Memang 
tidak ada lagi harapan bagi si Perambah Hutan Peng-
hisap Darah untuk bisa bertahan hidup lebih lama.
Darah yang keluar dari mulutnya semakin ber-
tambah banyak. Dan nafasnya sudah tersendat-
sendat. Kedua bola matanya pun tidak lagi memancar-
kan sinar tajam. Begitu redup, bagai sepasang pelita 
yang sudah kehabisan minyak. Laki-laki tua yang di

kenal dengan julukan si Perambah Hutan. Penghisap 
Darah itu benar-benar sudah tidak bisa lagi berbuat 
apa pun. Dia hanya bisa menggeletak tak berdaya di 
dalam lubang sebesar kuburan gajah, yang tidak sen-
gaja dibuat tadi oleh Pendekar Pulau Neraka.
“Terimalah kematianmu, Kakek Iblis...!" desis 
Bayu, dingin.
"Kakang, jangan...!"
Hampir Pendekar Pulau Neraka telanjur mele-
paskan satu pukulan jarak jauh yang berkekuatan te-
naga dalam tingkat sempurna ke arah si Perambah 
Hutan Penghisap Darah. Untung saja terdengar seruan 
Ratna Wulan yang begitu keras. Pemuda berbaju kulit 
harimau itu memalingkan kepalanya. Tampak Ratna 
Wulan berlari-lari kecil menghampiri. Monyet kecil 
berbulu hitam mengikuti dari belakang, sambil mence-
recet ribut. 
"Nguk!"
Monyet kecil yang bernama Tiren itu langsung 
melompat naik ke pundak kanan Bayu. Sedangkan 
Ratna Wulan berdiri dekat agak ke depan, di sebelah 
kiri Pendekar Pulau Neraka. Gadis itu melirik sedikit 
pada si Perambah Hutan Penghisap Darah yang masih 
menggeletak tak berdaya di dalam lubang. 
“Tidak ada gunanya membunuh dia, Kakang. 
Sebaiknya tanyakan saja, kenapa dia menginginkan 
Keris Naga Emas itu," kata Ratna Wulan.
"Hmm...."
Bayu menggumam sedikit. Tangan kanannya 
sudah turun kembali. Bola matanya menatap tajam 
pada si Perambah Hutan Penghisap Darah.
"Kau dengar apa katanya, Ki. Kau beruntung 
tidak terkubur di sini," kata Bayu, sedikit membentak.
Si Perambah Hutan Penghisap Darah diam saja. 
Sinar matanya semakin kelihatan redup. Darah terus

mengalir dari mulut dan hidungnya. Sedikit pun tu-
buhnya tidak bergerak, seakan-akan raganya sudah 
mati. Hanya gerakan lemah di dada dan matanya sedi-
kit terbuka yang bisa menandakan kalau dia masih hi-
dup.
"Ki..., untuk apa kau menginginkan Keris Naga 
Emas itu?" tanya Ratna Wulan lembut
Tidak terdengar suara sedikit pun dari bibir 
berlumuran darah yang bergerak-gerak itu. Sepertinya 
si Perambah Hutan Penghisap Darah ingin bicara. Ta-
pi, mendadak tubuhnya mengejang kaku, kemudian 
langsung lunglai, dan kedua matanya terpejam. Bayu 
cepat-cepat melompat ke dalam lubang. Ujung jari tan-
gannya langsung ditempelkan ke leher lelaki bertubuh 
kurus itu. Sebentar kemudian Pendekar Pulau Neraka 
berpaling kepada Ratna Wulan. Kepalanya menggeleng, 
lalu dia kembali melompat ke atas.
"Dia sudah mati," ujar Bayu. 
"Heh, sayang sekali. Padahal keterangannya 
sangat berguna untuk membantu menemukan pewaris 
keris itu, Kakang," desah Ratna Wulan perlahan.
“Tendangan ku terlalu keras tadi," ujar Bayu, 
seperti menyesal.
"Yaaah..., terpaksa kita harus mencari lagi pe-
tunjuk yang lain untuk menemukan gadis itu," desah 
Ratna Wulan lagi. 
"Kau masih ingat namanya, Kakang?"
"Intan Kumala," sahut Bayu.
"Kakang, apa tidak sebaiknya kita mencari ke-
terangan di Desa Gebang ini saja. Siapa tahu ada di 
antara penduduk desa itu yang kenal dengan Intan 
Kumala," saran Ratna Wulan.
Bayu tampak merenung. Dia kembali teringat 
pada Ki Rahun, laki-laki tua berpakaian compang-
camping yang ditolongnya ketika hampir tewas di tan

gan Ki Laksa. Dia tidak tahu, kenapa Ki Rahun sampai 
bertarung menyabung nyawa dengan Ki Laksa. Tapi, 
setidak-tidaknya di Desa Gebang dia bisa menda-
patkan keterangan dari laki-laki tua berjubah putih 
itu.
Ki Laksa memang sangat disegani di Desa Ge-
bang ini. Dia adalah, orang kepercayaan pihak kera-
jaan yang bertugas mengawal barang-barang berharga 
ataupun mengiringi anggota keluarga istana kerajaan. 
Tentu saja tidak sulit bagi Bayu untuk menemuinya.
"Sudah sore. Ayo kita cari penginapan di sana," 
ajak Bayu sambil menunjuk ke Desa Gebang.
***
Malam sudah cukup larut. Kegelapan meram-
bat menyelimuti sebagian permukaan bumi. Kesunyian
begitu terasa mencekam. Hanya desiran angin dan ge-
rit binatang malam yang terdengar mengusik kesu-
nyian ini. Di bawah siraman cahaya bulan yang me-
mancar lembut, terlihat seorang wanita melangkah 
perlahan-lahan menyusuri jalan tanah di pinggiran 
Desa Gebang.
Pakaiannya yang berwarna putih kelihatan su-
dah hampir memudar dan kotor penuh debu. Terdapat 
pula sobekan di beberapa bagian. Rambutnya yang 
panjang tampak acak-acakan tak teratur, sehingga 
hampir menutupi wajah yang berkulit putih tapi keli-
hatan kotor penuh debu yang bercampur keringat. 
Memang udara malam ini terasa cukup panas.
Wanita yang kelihatannya masih muda itu te-
rus melangkah perlahan, tapi ayunan kakinya tampak 
mantap. Dan, sorot matanya juga terlihat tajam me-
mandang lurus ke depan. Sedikit pun kelopak matanya 
tidak berkedip. Dia terus berjalan melintasi jalan tanah

yang seperti membelah Desa Gebang ini menjadi dua 
bagian. Dan ayunan kakinya baru berhenti setelah 
sampai di depan sebuah pagar rumah dari bambu.
Rumah itu sangat besar dan dikelilingi halaman 
yang luas. Keadaan di dalamnya tampak terang-
benderang. Terlihat beberapa orang laki-laki muda ber-
jalan mondar-mandir di sekitarnya. Di pinggang mere-
ka masing-masing terselip sebilah golok. Mungkin me-
reka adalah para penjaga rumah itu, rumah yang pal-
ing besar di Desa Gebang. Bahkan, rumah ini lebih be-
sar dari rumah kepala desa sendiri. Dan, semua orang 
tahu, itu adalah rumah Ki Laksa.
"Bersiap-siaplah kau, Paman Laksa. Pembala-
sanku sudah tiba."
Wanita muda berpakaian putih dan compang-
camping itu menggumam. Suaranya datar dan dingin 
sekali. Tak terdengar tekanan nada sedikit pun pada 
gumamnya tadi. Dan, dia tetap berdiri tegak meman-
dangi rumah berukuran besar itu.
Dua orang laki-laki muda yang sejak tadi berdi-
ri di depan beranda terlihat bergerak menghampiri. 
Mereka menyeberangi halaman yang cukup luas dan 
ditumbuhi rerumputan. Sedangkan wanita mu-dan se-
perti pengemis itu tetap diam berdiri tegak tak bergem-
ing sedikit pun.
"Hei! Mau apa kau ke sini? Pergi sana...!" ben-
tak salah seorang pemuda itu dengan kasar.
"Hmm...," wanita muda berbaju putih compang-
camping itu hanya menggumam sedikit
"Pergi sana! Jangan mengotori tempat ini!" ben-
tak pemuda itu lagi.
"Kalian, tikus-tikus Busuk! Tidak pantas buka 
bacot di depanku, Hih...!"
Tiba-tiba wanita itu mengebutkan tangan ka-
nannya ke depan. Begitu cepat kebutannya, hingga

hampir tidak terlihat. Saat itu juga, dari telapak ta-
ngan wanita itu melesat dua buah benda kecil berca-
haya kuning keemasan. 
"Aaakh...!" 
"Aaa...!”
Dua jeritan panjang melengking tinggi seketika 
terdengar menyayat membelah malam yang sunyi ini. 
Tampak kedua pemuda itu langsung ambruk dengan 
dada berlubang berlumuran darah. Hanya sebentar 
keduanya menggelepar, kemudian diam tak bergerak-
gerak lagi. Dada mereka berlubang cukup besar. Ben-
da kecil berwarna keemasan yang menghantam tadi 
ternyata berakibat luar biasa.
Jeritan yang begitu panjang dan melengking 
dari kedua pemuda itu mengejutkan penjaga rumah Ki 
Laksa lainnya. Sebentar saja terlihat beberapa orang 
berlarian menyeberangi halaman. Dan, pada saat itu 
juga....
"Hup!"
Wanita muda berpakaian putih compang-
camping itu tiba-tiba melesat cepat. Begitu cepat gera-
kannya. Dalam sekejap mata, tubuhnya sudah lenyap 
tak berbekas sama sekali. Sedangkan orang yang ber-
datangan tampak terperanjat kaget begitu melihat dua 
orang teman mereka sudah menggeletak tak bernyawa 
dengan dada berlubang cukup besar.
Saat itu, terlihat seorang laki-laki tua berjubah 
putih keluar dari pintu depan rumah, diikuti oleh tiga 
orang laki-laki berusia setengah baya. Mereka bergegas 
melangkah menyeberangi halaman. Sekitar lima belas 
pemuda yang berkerumun segera menyingkir memberi 
jalan. Laki-laki tua berjubah putih yang tak lain adalah 
Ki Laksa itu tampak terperanjat setengah mati begitu 
melihat dua orang penjaga rumahnya telah menggele-
tak tewas dengan dada berlubang. Di dalam dada itu

terlihat sebuah benda kecil berbentuk bulat dan ber-
warna kuning keemasan. Ki Laksa mengambil benda 
itu dan mengamatinya beberapa saat.
"Mustahil...!" desis Ki Laksa seraya menggeleng-
gelengkan kepalanya.
"Apa itu, Ki?" tanya Laki-laki setengah baya 
yang mengenakan baju merah.
"Ini," sahut Ki Laksa sambil menyerahkan ben-
da bulat kecil keemasan itu.
Si Nyawa Merah menerima benda itu, dan men-
gamatinya sebentar, lalu menyerahkannya pada si 
Nyawa Biru. Kemudian, si Nyawa Kuning pun menda-
pat giliran untuk mengamatinya. Mereka semua me-
mandangi Ki Laksa yang tampak termenung setelah 
melihat benda bulat kecil keemasan yang menewaskan 
dua orang penjaga rumahnya ini.
"Mustahil kalau dia masih hidup, Ki," ujar si 
Nyawa Merah.
"Seharusnya kalian pastikan dulu kalau dia 
sudah mati. Huh...! Persoalan ini tidak ada habis-
habisnya!" dengus Ki Laksa seraya melangkah kembali 
ke rumahnya.
Tiga orang laki-laki setengah baya yang dikenal 
dengan julukan si Perampok Tiga Nyawa bergegas ikut 
masuk ke dalam rumah. Sementara itu, para pemuda 
penjaga rumah Ki Laksa tampak sibuk mengurus ke-
dua orang penjaga malam yang tewas mengenaskan 
tadi.
***

EMPAT

Ki Laksa terkejut setengah mati saat sampai di 
ambang pintu rumahnya. Kedua bola matanya lang-
sung terbeliak lebar. Keadaan di dalam rumahnya ter-
lihat berantakan, seperti baru diamuk puluhan gajah 
liar. Tidak ada satu barang pun yang masih utuh. Se-
muanya hancur berkeping-keping. Perampok Tiga 
Nyawa yang baru sampai langsung menerobos masuk 
melewati Ki Laksa yang masih berdiri terlongong-
longong di ambang pintu.
Hanya beberapa saat mereka meninggalkan 
rumah ini tadi untuk melihat dua penjaga yang tewas 
di depan pintu pagar. Tapi, keadaan di dalam rumah 
ini sekarang sudah seperti kapal pecah dihantam ge-
lombang lautan. Ki Laksa bergegas menerobos masuk. 
Dan, diperiksanya semua ruangan di dalam rumah. 
Tidak ada satu ruangan pun yang , terlihat masih 
utuh. Semuanya sudah hancur berantakan. Begitu ce-
pat rumahnya diobrak-abrik. 
Brak!
"Heh...?!"
Ki Laksa terkejut bukan main ketika tiba-tiba 
sebuah pintu di depannya tertutup sendiri. Cepat dia 
melompat mendekati pintu itu. Tapi, baru saja kakinya 
menjejak lantai, mendadak pintu itu jebol.
Bruakkk! 
"Hup!"
Cepat-cepat Ki Laksa melentingkan tubuhnya, 
berputaran beberapa kali ke belakang. Dari pintu yang 
hancur itu, melesat sebuah bayangan putih begitu ce-
pat bagai kilat. Bayangan itu lewat di atas tubuh Ki 
Laksa yang sedang berputaran. Bayangan putih itu te-
rus melesat cepat melewati atas kepala tiga laki-laki

setengah baya yang dikenal dengan julukan si Peram-
pok Tiga Nyawa.
“Tahan dia...!" seru Ki Laksa keras menggelegar.
"Hiyaaa...!"
Nyawa Biru, yang lebih dulu menyadari, cepat 
melesat mengejar bayangan putih itu. Satu pukulan 
keras yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi 
langsung dilepaskannya ke arah bayangan putih itu. 
Tapi, tanpa diduga sama sekali, bayangan putih itu 
berputar cepat dan langsung berbalik menyerang begi-
tu serangan yang dilancarkan si Nyawa Biru dapat di-
hindari.
"Uts...!"
Cepat-cepat Nyawa Biru memutar tubuhnya ke 
belakang beberapa kali. Dihindarinya benda-benda ke-
cil berwarna keemasan yang tiba-tiba saja meluncur 
cepat ke arahnya. Pada saat itu juga, bayangan putih 
itu cepat melesat keluar. Begitu cepat gerakannya. Ki 
Laksa dan si Perampok Tiga Nyawa pun tidak sempat 
lagi mengejar.
Tepat pada saat tubuhnya keluar melewati pin-
tu, mendadak bayangan putih itu berbalik. Kini jelas-
lah terlihat, dia seorang wanita muda berbaju putih 
yang compang-camping seperti gembel jalanan. Ram-
butnya yang panjang dibiarkan meriap tak teratur. 
Dan terlihat sedikit gelungan di atas kepalanya. Seben-
tar dia berdiri tegak di depan beranda, lalu....
"Hiyaaa...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, wanita 
berbaju putih compang-camping itu menghentakkan 
kedua tangannya ke depan. Seketika dari kedua tela-
pak tangannya memancar cahaya merah bagai api. Si-
nar merah itu langsung menghantam rumah Ki Laksa 
yang besar ini.
Glarrr...!"

Ledakan keras menggelegar seketika terdengar 
begitu dahsyat saat sinar merah keluar dari kedua te-
lapak tangan wanita muda berbaju putih compang-
camping itu. Tak pelak lagi, rumah besar dengan dind-
ing terbuat dari batu itu hancur berkeping-keping. Api 
langsung berkobar membakar seluruh bangunan ru-
mah ini. Pada saat itu juga, wanita muda berbaju pu-
tih compang-camping itu melesat cepat. Begitu cepat 
gerakannya. Dalam sekejap mata, tubuhnya pun su-
dah lenyap tak berbekas lagi.
Tepat di saat wanita muda itu lenyap, dari ko-
baran api yang berkobar melahap bangunan rumah Ki 
Laksa itu terlihat melesat empat bayangan dengan ce-
pat sekali. Dan, tahu-tahu di halaman depan sudah 
mendarat Ki Laksa dan si Perampok Tiga Nyawa. Se-
dangkan api terus berkobar semakin besar melahap 
seluruh bangunan rumah ini.
"Setan alas...!" maki Ki Laksa.
Dia memandangi rumahnya yang mulai hancur 
termakan api. Malam yang semula sunyi dan tenang 
seketika itu juga menjadi terang benderang. Terdengar 
suara gemeretak dari kayu-kayu yang termakan api. 
Sebentar saja, sekitar halaman rumah Ki Laksa sudah 
dipenuhi penduduk Desa Gebang. Mereka terbangun 
tadi ketika mendengar keributan di rumah Ki Laksa.
"Kumpulkan semua orang yang ada. Cari si ke-
parat itu...!" seru Ki Laksa, lantang menggelegar.
Tanpa menunggu perintah dua kali, tiga orang 
laki-laki setengah baya dikenal dengan julukan si Pe-
rampok Tiga Nyawa itu langsung bergerak mengum-
pulkan orang-orangnya yang berada di sekitar hala-
man rumah ini. Sedangkan Ki Laksa menggerutu dan 
memaki-maki sendiri. Rumahnya sudah hancur terba-
kar. Tidak ada lagi yang bisa diselamatkan. Kejadian-
nya begitu cepat, dan sama sekali tidak pernah diduga

sebelumnya.
Sebentar kemudian, sekitar dua puluh orang 
anak muda yang masing-masing menyandang golok 
sudah berkumpul di depan Ki Laksa. Sedangkan si Pe-
rampok Tiga Nyawa berdiri di belakang laki-laki tua 
berjubah putih itu. Tampak pula orang semakin ba-
nyak berkerumun di luar pagar rumah ini. Tak ada 
seorang pun yang berani melewati pagar yang hanya 
terbuat dari bambu itu. Mereka hanya bisa menyaksi-
kan sambil berbisik-bisik dan bertanya-tanya sendiri.
"Kalian bertiga, bawa mereka semua. Cari si 
keparat itu sampai dapat!" perintah Ki Laksa yang ma-
sih diliputi keberangan.
"Baik, Ki," sahut Nyawa Merah.
"Pergi sekarang juga!"
Si Perampok Tiga Nyawa segera membawa ke-
dua puluh pemuda itu pergi. Sedangkan Ki Laksa ma-
sih tetap berdiri memandangi api yang terus melahap 
rumahnya. Udara malam yang semula terasa begitu 
dingin kini menjadi hangat oleh kobaran api yang be-
sar itu. Ki Laksa memutar tubuhnya saat mendengar 
suara-suara langkah kaki yang mendekat. Tampak 
seorang laki-laki setengah baya datang menghampi-
rinya. Dia tahu, laki-laki setengah baya yang menge-
nakan baju biru muda itu adalah Ki Antak, Kepala De-
sa Gebang.
"Maaf, aku baru bisa datang ke sini, Ki Laksa," 
ucap Ki Antak setelah sampai di dekat Ki Laksa.
"Hmm...."
Ki Laksa hanya menggumam sedikit. Sekilas 
dia mengedarkan pandangan. Dirayapinya orang-orang 
yang berkerumun di luar pagar rumahnya. Kemudian 
dia memandang pada Ki Antak yang berdiri sekitar tiga 
langkah di depannya.
"Apa yang terjadi dengan rumahmu, Ki?" tanya

Ki Antak.
"Kalaupun aku katakan, kau tidak akan bisa 
membantu, Ki Antak. Maaf, biarkan aku mengurusnya 
sendiri. Ini persoalan pribadiku," sahut Ki Laksa agak 
ketus.
Tanpa menghiraukan Ki Antak, Ki Laksa me-
langkah pergi menuju ke belakang rumahnya yang su-
dah habis terbakar. Di bagian belakang rumahnya 
memang ada bangunan lain yang berukuran kecil. 
Dan, biasanya tempat itu digunakan hanya untuk ber-
semadi. Untung saja bangunan itu tidak ikut dihan-
curkan, sehingga Ki Laksa masih bisa menggunakan-
nya untuk berteduh. Sedangkan Ki Antak hanya bisa 
diam memandangi kepergian Ki Laksa sambil mengge-
leng-gelengkan kepala. Dia berbalik dan meninggalkan 
halaman rumah itu.
Dalam hati kecilnya, sesungguhnya Ki Antak 
merasa senang melihat kejadian yang menimpa Ki 
Laksa. Bahkan, sudah lama dia berharap, ada seorang 
pendekar yang dapat menundukkan Ki Laksa ataupun 
membunuhnya. Selama ini, para penduduk Desa Ge-
bang sering kali diperlakukan sewenang-wenang oleh 
Ki Laksa dan para pengikutnya. Dan, tidak ada seo-
rang pun yang berani melawan termasuk Ki Antak 
sendiri. Bahkan Kepala Desa Gebang merasa, dirinya 
benar-benar tidak ada artinya dibanding lelaki tua 
yang cukup dikenal di rimba persilatan.
***
Terbakarnya rumah Ki Laksa menjadi buah bi-
bir di seluruh pelosok Desa Gebang. Tak ada seorang 
pun yang tidak membicarakannya. Tapi, tak seorang 
pun yang tahu, kenapa rumah orang paling kaya di de-
sa ini bisa terbakar habis tanpa dapat diselamatkan

lagi.
Bayu dan Ratna Wulan yang telah berada di 
desa ini juga mendengar semua pembicaraan yang ke-
banyakan bernada sumbang itu. Mereka jadi tahu, se-
benarnya keberadaan Ki Laksa dan tiga orang pemban-
tu kepercayaannya tidak disenangi oleh penduduk. Ta-
pi, tak ada seorang pun yang bisa berbuat sesuatu, 
mengingat Ki Laksa bukanlah orang sembarangan. Dia 
pun memiliki hubungan kuat dengan orang-orang di 
istana kerajaan. Terlebih lagi ketiga pembantu keper-
cayaannya bisa melakukan apa saja jika Ki Laksa su-
dah memberikan perintah. Semua orang di Desa Ge-
bang ini merasa senang dengan peristiwa semalam. 
Tapi, mereka juga diliputi kekhawatiran, kalau-kalau 
Ki Laksa memerintahkan orang-orangnya mengobrak-
abrik seluruh desa ini hanya untuk mencari orang 
yang telah membakar rumahnya.
"Kau tahu, siapa kira-kira yang membakar ru-
mah ini, Kakang?" tanya Ratna Wulan, saat mereka 
tengah makan di sebuah kedai yang tidak begitu ramai 
pengunjungnya.
"Yang pasti orang yang punya urusan dengan-
nya," sahut Bayu seenaknya.
"Itu sudah pasti, Kakang. Tapi siapa orang-
nya...?" sungut Ratna Wulan.
"Mana aku tahu...," sahut Bayu sambil meng-
angkat sedikit bahunya.
Saat itu Ki Laksa dan si Perampok Tiga Nyawa 
masuk ke dalam kedai ini. Semua orang yang berada di 
dalam kedai bergegas keluar begitu melihat Ki Laksa 
dan ketiga pembantu kepercayaannya datang. Hanya 
Bayu dan Ratna Wulan yang masih tinggal, selain pe-
milik kedai itu sendiri tentunya. Laki-laki tua pemilik 
kedai itu tampak ketakutan melihat kedatangan Ki 
Laksa dan tiga orang pembantu kepercayaannya yang

dikenal dengan julukan Perampok Tiga Nyawa. Melihat 
Bayu dan Ratna Wulan masih tetap berada di tempat-
nya, Ki Laksa langsung menghampiri, diikuti si Peram-
pok Tiga Nyawa.
"Aku seperti pernah bertemu denganmu, Anak 
Muda," kata Ki Laksa begitu berada di depan meja 
yang ditempati Bayu.
"Ya, satu kali," sahut Bayu, tenang.
Ki Laksa mengamati wajah Pendekar Pulau Ne-
raka beberapa saat Kepalanya terangguk-angguk pe-
lan. Dia langsung teringat pemuda berbaju kulit hari-
mau inilah yang dulu menolong Ki Rahun dari hunja-
man ujung tongkatnya yang runcing.
Pendekar Pulau Neraka meraih Tiren yang sejak 
tadi nangkring di pundaknya. Diserahkannya monyet 
kecil itu kepada Ratna Wulan. Perlahan Bayu bangkit 
berdiri. Kini dia langsung berhadapan muka dengan Ki 
Laksa. Hanya sekitar tiga langkah jarak antara mereka 
berdua.
"Kenapa kau menolong Ki Rahun, Anak Muda?" 
tanya Ki Laksa langsung.
"Tidak ada maksud apa-apa. Aku hanya tidak 
bisa melihat kau menganiaya seorang pengemis tua 
yang tidak berdaya," sahut Bayu tegas, tapi dengan 
nada suara masih tetap terdengar tenang.
"Di mana dia sekarang?" tanya Ki Laksa lagi. 
"Untuk apa kau tanyakan itu? Untuk membunuh-
nya...?" kali ini nada suara Bayu terdengar ketus.
"Jangan main-main di depanku, Anak Muda. 
Kau tahu siapa aku heh...?" dengus Ki Laksa, merasa 
tidak senang.
"Aku tahu siapa kau, Ki. Bahkan aku memang 
ingin sekali bertemu. Ada sesuatu yang hendak aku 
tanyakan padamu" kata Bayu, tegas.
"Hm.... Kau mau mencari masalah denganku

Anak Muda," desis Ki Laksa menggumam.
Bayu melangkah mundur dua tindak. Dikelua-
rkannya keris berwarna kuning keemasan dari dalam 
sabuk yang membelit pinggangnya. Bola mata Ki Laksa 
langsung terbeliak begitu melihat Keris Naga Emas 
yang kini berada di tangan pemuda berbaju kulit hari-
mau itu.
"Kau kenali benda ini, Ki?" tanya Bayu. 
"Dari mana kau dapatkan itu?" Ki Laksa malah 
balik bertanya.
"Aku rasa kau sudah tahu, dari mana aku 
mendapatkannya, Ki. Aku ingin, kau menjawab perta-
nyaanku. Karena aku harus menyerahkan benda ini 
kepada pemiliknya," kata Bayu tegas.
"Keris itu milikku!" dengus Ki Laksa. 
"Kau pasti tidak bernama Intan Kumala, bu-
kan...? Hanya Intan Kumala yang berhak memilikinya. 
Dan aku yakin, kau pasti tahu di mana dia," kata 
Bayu, tetap tegas.
Ki Laksa tidak berkata-kata lagi. Gerahamnya 
terdengar bergemeletuk. Sedangkan si Perampok Tiga 
Nyawa yang berada di belakang laki-laki tua berjubah 
putih itu sudah siap dengan masing-masing kapaknya 
di tangan kanan. Mereka tinggal menunggu perintah, 
sambil terus menatap Pendekar Pulau Neraka dengan 
sinar mata yang begitu tajam.
"Siapa kau sebenarnya, Anak Muda? Ada hu-
bungan apa kau dengan mereka?" tanya Ki Laksa din-
gin sekali.
"Aku hanya diberi pesan untuk menyerahkan 
benda ini kepada pemiliknya. Dan kau tentu tahu, sia-
pa itu Intan Kumala," sahut Bayu.
"Dia sudah mati. Sebaiknya kau serahkan saja 
Keris Naga Emas itu kepadaku."
Bayu menggeleng-gelengkan kepalanya seraya

tersenyum kecil. Dia menyimpan kembali keris ber-
warna kuning keemasan itu ke dalam sabuk pinggang-
nya yang terbuat dari kulit berwarna kuning gading. 
Sementara itu Ratna Wulan sudah berdiri di belakang 
Pendekar Pulau Neraka. Tangan kanannya sejak tadi 
sudah menggenggam gagang pedangnya yang tersim-
pan dalam warangkanya di pinggang.
"Maaf, kami terpaksa harus melanjutkan perja-
lanan," kata Bayu seraya memutar tubuhnya hendak 
meninggalkan kedai itu.
"Tunggu...!" sentak Ki Laksa.
Bayu tidak peduli. Dia terus saja berjalan sam-
bil meraih Tiren dari pundak Ratna Wulan yang ber-
jalan di sebelahnya. Sikap Bayu yang tidak peduli itu 
membuat Ki Laksa bertambah geram.
"Berhenti kau, Bocah!" bentak Ki Laksa, lan-
tang. 
"Hiyaaa...!"
Wuk!
"Haiiit..!"
***
Manis sekali Bayu mengegoskan tubuhnya be-
gitu Ki Laksa menghunjamkan tongkatnya ke pung-
gung pemuda berbaju kulit harimau itu. Dan begitu 
tongkat Ki Laksa lewat di sampingnya, dengan cepat 
sekali Bayu membungkukkan tubuhnya, lalu secepat 
itu pula menghentakkan kakinya ke belakang. Begitu 
cepat gerakan yang dilakukan Pendekar Pulau Neraka. 
Ki Laksa pun tampak terhenyak tidak menyangka. 
"Hup!"
Tapi, laki-laki tua berjubah putih itu cepat me-
lompat ke belakang. Tendangan ke arah belakang yang 
dilancarkan Pendekar Pulau Neraka pun tidak sampai

mengenai tubuhnya. Bayu segera memutar tubuhnya 
berbalik. Dan, pada saat itu, si Perampok Tiga Nyawa 
sudah berlompatan sebelum Ki Laksa memberi perin-
tah.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
"Yaaah...!"
Secara bersamaan, si Perampok Tiga Nyawa 
menyerang Pendekar Pulau Neraka. Kapak-kapak me-
reka berkelebatan cepat sekali mengincar bagian-
bagian tubuh Bayu yang mematikan. Serangan dari ti-
ga arah ini membuat Bayu harus berjumpalitan meng-
hindari.
"Hup! Yeaaah...!"
Cepat sekali Pendekar Pulau Neraka melenting-
kan tubuhnya ke atas. Dia menjebol atap kedai ini dan 
terus meluncur keluar dengan kecepatan yang sung-
guh luar biasa. Tapi, si Perampok Tiga Nyawa tidak 
mau membiarkan Pendekar Pulau Neraka lolos. Den-
gan cepat mereka segera berlompatan dan menjebol 
atap kedai.
Sementara itu Ratna Wulan sudah berlari ke-
luar. Ki Laksa juga bergegas keluar dari kedai. Tinggal-
lah laki-laki tua pemilik kedai itu, yang masih tetap di-
am seperti patung. Dia lalu jatuh terduduk lemas di 
lantai ketika melihat keadaan kedainya sudah porak-
poranda.
"Hap!"
Bayu menjejakkan kakinya di tanah, tepat di 
halaman depan kedai yang cukup luas ini. Dan, sesaat 
kemudian si Perampok Tiga Nyawa juga menjejakkan 
kakinya di halaman kedai ini. Mereka langsung men-
gepung Pendekar Pulau Neraka dari tiga arah. Agak 
jauh dari mereka, terlihat Ratna Wulan berdiri hampir 
sejajar dengan Ki Laksa. Gadis itu menggenggam gagang pedangnya yang selalu tergantung di pinggang. 
Tapi, tampaknya kedua orang ini hanya berjaga-jaga di 
tempatnya.
"Hiyaaa...!"
Tiba-tiba si Nyawa Merah melompat menyerang 
dengan kapaknya yang terayun begitu cepat ke arah 
kepala Bayu. Ayunan kapak yang disertai pengerahan 
tenaga dalam tinggi itu menimbulkan suara angin yang 
menderu bagai badai.
"Hap!"
Hanya dengan sedikit mengegoskan kepalanya, 
Bayu berhasil mengelakkan serangan kapak itu. Na-
mun, belum juga dia bisa menarik kembali kepalanya, 
dari arah lain sudah datang lagi serangan yang begitu 
cepat luar biasa. Dan Pendekar Pulau Neraka terpaksa 
melompat menghindari pukulan keras bertenaga dalam 
tinggi yang dilancarkan si Nyawa Biru.
"Hiyaaa...!"
Dari arah lain lagi, datang satu serangan kilat 
dari si Nyawa Kuning. Bayu cepat-cepat merundukkan 
kepalanya, sehingga tendangan melompat si Nyawa 
Kuning lewat di atas tubuhnya. Pada saat yang bersa-
maan, Pendekar Pulau Neraka melentingkan tubuhnya 
ke udara. Secepat itu pula dilepaskannya satu tendan-
gan keras menggeledek ke punggung si Nyawa Kuning. 
Begitu cepat serangan yang dilakukan Pendekar Pulau 
Neraka. Si Nyawa Kuning pun tidak dapat lagi meng-
hindar.
Des!
"Akh...!"
Si Nyawa Kuning langsung jatuh terbanting cu-
kup keras ke tanah. Beberapa kali dia bergulingan. 
Dan, begitu hendak berdiri, Bayu sudah mendarat de-
kat di depannya. Bagaikan kilat Pendekar Pulau Nera-
ka melepaskan satu pukulan keras disertai pengera

han tenaga dalam yang sudah mencapai tingkat sem-
purna. Pukulan ini tepat diarahkan ke wajah laki-laki 
setengah baya yang mengenakan baju kuning itu. 
"Yeaaah...!" 
Plak!
"Aaakh...!"
Untuk kedua kalinya si Nyawa Kuning terpekik. 
Pukulan yang dilepaskan Bayu tepat menghantam wa-
jah laki-laki setengah baya itu. Seketika darah mun-
crat keluar dari wajah yang hancur terkena pukulan 
bertenaga dalam sempurna. Si Nyawa Kuning kembali 
terbanting ke tanah dengan keras. Tubuhnya langsung 
diam tak bergerak-gerak lagi. 
"Hup!"
Saat itu juga, si Nyawa Merah melompati si 
Nyawa Kuning.
"Hah...?!"
Bayu terhenyak kaget setengah mati begitu me-
lihat si Nyawa Kuning bisa bangkit berdiri lagi. Bahkan 
wajahnya, yang tadi hancur terkena pukulan dahsyat 
Pendekar Pulau Neraka, kini sama sekali tidak me-
nampakkan luka sedikit pun.
"Edan...! Ilmu apa itu...?" desis Bayu, kehera-
nan.
"Nguk!"
Tiren yang sejak tadi berada di pundak Pende-
kar Pulau Neraka juga tampak terkejut melihat si Nya-
wa Kuning bisa bangkit lagi. Padahal, jelas sekali terli-
hat tadi, lelaki setengah baya itu sudah menggeletak 
mati terkena pukulan keras yang dilepaskan Pendekar 
Pulau Neraka.
"Hiyaaa...!"
Saat Bayu masih diliputi rasa keheranan, Si 
Nyawa Biru sudah melompat menyerang dengan cepat 
sekali. Kapaknya diayunkan terarah ke kepala Pende

kar Pulau Neraka.
"Uts!"
Cepat-cepat Bayu menarik kepalanya ke sam-
ping, sehingga hantaman kapak itu tidak sampai men-
genai kepalanya. Dan, secepat kilat pula kakinya di-
hentakkan. Dilancarkannya satu tendangan keras 
menggeledek disertai, pengerahan tenaga dalam yang 
tinggi. Tapi, dengan manis sekali si Nyawa Biru berha-
sil menghindarinya dengan melompat ke belakang be-
berapa langkah.
"Hih! Yeaaah...!"
Secepat itu pula, Bayu merundukkan tubuhnya 
sedikit. Tangan kanannya ditarik ke depan dada, lalu 
langsung di kibaskannya ke depan.
Wusss!
Cakra Maut yang selalu menempel di pergelan-
gan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka seketika itu 
juga melesat cepat bagai kilat ke arah si Nyawa Biru. 
Begitu cepat serangan yang dilakukan Bayu, sehingga 
si Nyawa Biru tidak sempat lagi menghindar. Terlebih 
lagi, saat itu dia baru saja menjejakkan kakinya di ta-
nah. Tak pelak lagi, Cakra Maut pun menghantam da-
da si Nyawa Biru dengan keras sekali. 
Bres!
"Aaakh...!" si Nyawa Biru menjerit keras me-
lengking tinggi.
Begitu kuat pengerahan tenaga dalam yang di-
keluarkan Bayu saat melontarkan senjata mautnya itu, 
sampai-sampai tubuh si Nyawa Biru terpental ke bela-
kang sejauh dua batang tombak. Dan, Cakra Maut 
tampak menembus begitu dalam ke dada laki-laki tua 
berbaju biru itu.
"Hap!"
Cakra Maut kembali melesat keluar dari dalam 
dada si Nyawa Biru begitu Bayu menghentakkan tangannya ke atas kepala. Dan senjata keperakan bersegi 
enam itu kembali menempel di pergelangan tangan ka-
nan pemuda berbaju kulit harimau ini. Tampak darah 
terus bercucuran deras dari dada si Nyawa Biru yang 
berlubang akibat tertembus Cakra Maut tadi.
"Hup! Hiyaaa...!"
Saat itu juga si Nyawa Kuning melompat. Tapi 
dia tidak menyerang Pendekar Pulau Neraka, melain-
kan melompati tubuh si Nyawa Biru yang sudah meng-
geletak tak bernyawa lagi di tanah.
"Hah...?!"
***
LIMA


Untuk kedua kalinya Bayu terbeliak kaget se-
tengah mati. Sungguh dia hampir tidak percaya de-
ngan pandangannya sendiri. Laki-laki setengah baya 
berbaju biru itu seketika bangkit berdiri begitu si Nya-
wa Kuning melompatinya. Dan, dadanya yang tadi ber-
lubang tertembus Cakra Maut kini sudah merapat 
kembali. Tak sedikit pun terdapat luka di sana. Bah-
kan, darah yang tadi mengalir pun kini lenyap tak ber-
bekas sama sekali.
"Ha ha ha...!" Ki Laksa yang menyaksikan per-
tarungan itu tertawa terbahak-bahak.
Bayu melangkah ke belakang beberapa tindak. 
Memang tingkat kepandaian ilmu olah kanuragan yang 
dimiliki si Perampok Tiga Nyawa tidaklah terlalu tinggi 
Tapi ilmu 'Tiga Nyawa’ membuat mereka tidak gentar 
menghadapi siapa pun. Bahkan, menghadapi orang-
orang yang berkepandaian jauh lebih tinggi pun, mere-
ka tidak mempunyai rasa gentar sedikit pun. Dengan

ilmu 'Tiga Nyawa' yang mereka miliki, tiga serangkai 
itu seakan-akan tidak bisa mati. Walaupun tubuhnya
sudah tertembus senjata, salah seorang dari Perampok 
Tiga Nyawa akan bangkit kembali jika salah seorang 
yang lain melompatinya.
"Ha ha ha...! Kau tidak akan bisa mengalahkan 
mereka, Anak Muda. Sebaiknya kau menyerah saja. 
Tidak ada gunanya kau berkeras kepala!" ejek Ki Laksa 
angkuh.
Bayu diam saja. Sementara itu Ratna Wulan 
menghampiri dan langsung berdiri di sebelah kiri Pen-
dekar Pulau Neraka. Dia juga keheranan setengah mati 
melihat lawan-lawan Pendekar Pulau Neraka ini bisa 
langsung bangkit dengan cepat dari kematiannya. Be-
lum pernah dia melihat hal seperti ini seumur hidup-
nya. Sungguh tidak bisa dipercaya, seseorang bisa 
kembali bangkit dari kematiannya hanya karena tu-
buhnya dilompati. Ini benar-benar sebuah ilmu yang 
sangat aneh dan mencengangkan.
"Berikan keris itu padaku. Dan kau boleh pergi 
dari desa ini, Anak Muda," kata Ki Laksa lagi seraya 
menjulurkan tangannya ke depan.
"Heh! Tidak semudah itu kau meminta, Kisa-
nak," dengus Bayu ketus.
"Keparat...!" desis Ki Laksa, geram.
Wajah Ki Laksa seketika memerah. Geraham-
nya bergemeletuk menahan kemarahan melihat sikap 
Bayu yang masih tetap mempertahankan Keris Naga 
Emas itu. Sedangkan si Perampok Tiga Nyawa yang be-
rada di belakang Ki Laksa sudah melangkah maju ke 
depan. Tapi Ki Laksa masih mencegah mereka untuk 
menyerang lagi pemuda berbaju kulit harimau itu.
"Aku harap, kau tidak membuat kesabaranku 
hilang, Anak Muda," desis Ki Laksa, dingin.
"Heh!" Bayu hanya mendengus.

Bibir Pendekar Pulau Neraka menyunggingkan 
senyum yang terasa begitu sinis. Dia memang paling 
tidak suka kalau ada orang yang memaksakan kehen-
daknya untuk memiliki sesuatu yang bukan haknya, 
terlebih lagi jika benda itu ada di tangannya seperti 
saat ini. Bayu akan mempertahankan walaupun harus 
mengorbankan nyawanya sendiri.
"Wulan, kau pergi sekarang. Tunggu aku di gua 
kemarin," bisik Bayu perlahan.
"Baik, Kakang," sahut Ratna Wulan.
"Bawa Tiren"
Ratna Wulan meraih Tiren yang ada di pundak 
Pendekar Pulau Neraka. Kemudian dia melangkah 
mundur beberapa tindak. Lalu cepat sekali gadis itu 
melesat pergi dengan mempergunakan ilmu meringan-
kan tubuhnya.
"Tangkap gadis itu...!" perintah Ki Laksa dengan 
suara yang lantang.
"Hiyaaa...!"
"Hup! Yeaaah..,!"
Begitu si Nyawa Biru melompat hendak menge-
jar Ratna Wulan, dengan cepat sekali Bayu menge-
butkan tangan kanannya ke arah laki-laki setengah 
baya berbaju biru itu. Seketika Cakra Maut melesat 
cepat bagai kilat dengan suara yang terdengar mendes-
ing. 
"Haiiit...!"
Si Nyawa Biru terpaksa melentingkan tubuh-
nya, berputaran ke belakang beberapa kali. Dihinda-
rinya terjangan senjata maut Pendekar Pulau Neraka 
itu. Dan, pada saat yang bersamaan, Bayu cepat me-
lompat menerjang si Nyawa Biru yang baru saja menje-
jakkan kakinya di tanah.
"Hiyaaat...!"
Cepat sekali serangan yang dilancarkan Pendekar Pulau Neraka. Si Nyawa Biru pun tidak sempat lagi 
berkelit menghindar. Dan, satu tendangan keras 
menggeledek yang dilepaskan Bayu tepat menghantam 
dadanya.
Des!
"Akh...!"
Tubuh si Nyawa Biru langsung terpental ke be-
lakang sejauh dua batang tombak. Keras sekali dia ja-
tuh bergelimpangan di tanah yang keras berdebu ini. 
Bayu cepat mengangkat tangan kanannya ke atas ke-
pala begitu kakinya kembali menjejak tanah. Dan Ca-
kra Maut pun kembali menempel di pergelangan tan-
gan kanan Pendekar Pulau Neraka.
"Hiyaaat...!"
Tanpa membuang-buang waktu sedikit pun, 
Bayu cepat melompat ke arah si Nyawa Merah dan si 
Nyawa Kuning yang belum sempat melakukan sesuatu. 
Cepat sekali gerakan yang dilakukan Pendekar Pulau 
Neraka, sehingga kedua lelaki tua itu tidak sempat ber-
tindak apa pun. Dan, tahu-tahu pemuda berbaju kulit 
harimau itu sudah menyerang dengan kecepatan yang 
begitu luar biasa.
"Hup!"
"Haiiit...!"
Si Nyawa Merah dan si Nyawa Kuning cepat-
cepat berlompatan ke samping menghindari terjangan 
Pendekar Pulau Neraka. Tapi belum juga mereka bisa 
menguasai keseimbangan tubuh, Bayu sudah melan-
carkan satu serangan lagi yang begitu cepat dan dah-
syat luar biasa. Secepat dia melepaskan tendangan 
sambil melompat ke arah si Nyawa Merah, secepat itu 
pula tangan kanannya mengibas ke arah si Nyawa 
Kuning.
Wusss!
Cakra Maut kembali melesat cepat bagai kilat

ke arah si Nyawa Kuning. Sedangkan si Nyawa Merah 
tampak kelabakan setengah mati menghindari tendan-
gan yang dilancarkan Pendekar Pulau Neraka. Semen-
tara itu Ki Laksa hanya bisa terlongong bengong me-
nyaksikan ketangguhan yang diperlihatkan Bayu. Dia 
tidak mengira kalau pemuda berbaju kulit harimau itu 
bisa bertindak begitu cepat bagai kilat, sampai-sampai 
ketiga pembantu utamanya kalang kabut dibuatnya.
"Aaakh...!"
Terdengar jeritan panjang melengking tinggi.
Tampak si Nyawa Kuning terpental jauh ke belakang 
begitu dadanya tertembus Cakra Maut yang dilepaskan 
Pendekar Pulau Neraka. Dan pada saat itu juga, satu 
tendangan keras menggeledek bersarang di dada si 
Nyawa Merah. 
Buk!
"Akh...!" 
"Hiyaaa...!"
Bayu segera melentingkan tubuhnya begitu me-
lihat si Nyawa Biru sudah bisa bangkit berdiri. Dan 
dengan cepat sekali Pendekar Pulau Neraka mele-
paskan satu pukulan keras disertai pengerahan tenaga 
dalam yang sudah mencapai tingkat sempurna. Begitu 
cepat serangan yang dilancarkan Pendekar Pulau Ne-
raka, sehingga si Nyawa Biru yang belum bisa mengu-
asai keseimbangan tubuhnya dengan sempurna tidak 
dapat lagi menghindar. Dan....
Prak!
***
"Aaakh...”
Jeritan panjang melengking tinggi kembali ter-
dengar menyayat. Tampak si Nyawa Biru terhuyung-
huyung sambil memegangi kepalanya yang pecah aki

bat terkena pukulan keras bertenaga dalam tinggi dari 
Pendekar Pulau Neraka. Saat itu Bayu mengangkat 
tangan kanannya ke atas kepala. Cakra Maut yang 
terbenam di dada si Nyawa Kuning melesat balik dan 
kembali menempel di pergelangan tangan kanan Pen-
dekar Pulau Neraka. 
"Hup! Hiyaaa...!"
Saat itu juga Bayu melompat cepat sambil me-
nyambar tubuh si Nyawa Biru. Cepat sekali Pendekar 
Pulau Neraka itu melesat dan terus berlari dengan 
mempergunakan ilmu meringankan tubuhnya yang 
sudah sempurna. Dan, dalam sekejap mata Pendekar 
Pulau Neraka sudah lenyap tak terlihat lagi. Sementara 
itu, si Nyawa Merah yang sudah bisa bangkit lagi cepat 
melompati si Nyawa Kuning. Laki-laki setengah baya 
berbaju kuning itu pun bisa kembali bangkit berdiri, 
meskipun tadi dadanya sudah berlubang tertembus 
Cakra Maut.
"Heh...?! Mana Nyawa Biru...?"
Mereka terkejut setengah mati Sebentar si 
Nyawa Merah dan si Nyawa Kuning berpandangan. Me-
reka langsung sadar bahwa si Nyawa Biru telah dibawa 
oleh pemuda berbaju kulit harimau itu. Kemudian me-
reka bergegas menghampiri Ki Laksa, yang masih tetap 
berdiri tertegun melihat kejadian yang berlangsung be-
gitu cepat dan sama sekali tidak diduganya itu.
"Ke mana dia membawa Nyawa Biru, Ki?" tanya 
si Nyawa Merah.
"Ke arah Barat," sahut Ki Laksa, yang masih 
tampak tertegun.
"Ayo kita kejar dia, Nyawa Kuning," ajak Nyawa 
Merah.
Tanpa menunggu perintah dari Ki Laksa lagi, si 
Nyawa Merah dan si Nyawa Kuning langsung berlari 
mengejar Pendekar Pulau Neraka. Mereka berlari cepat

dengan mempergunakan ilmu meringankan tubuh 
yang sudah mencapai tingkatan tinggi. Dan, sebentar 
saja kedua orang itu sudah jauh berlari. Sedangkan Ki 
Laksa masih tetap berdiri diam memandangi kepergian 
kedua pembantu kepercayaannya itu
"Hmm..., siapa anak muda itu? Hebat sekali 
kepandaiannya," gumam Ki Laksa, berbicara sendiri.
Beberapa saat laki-laki tua berjubah putih itu 
masih berdiri mematung memandangi kepergian kedua 
pembantu kepercayaannya yang sudah hampir tak ter-
lihat lagi. Dan, begitu mereka benar-benar sudah tidak 
terlihat, Ki Laksa bergegas melangkah masuk kembali 
ke dalam kedai. Kedua bola matanya mendelik tajam 
menatap pada pemilik kedai ini.
Laki-laki tua pemilik kedai yang bertubuh ku-
rus itu hanya diam terpaku. Tubuhnya bergetar seperti 
terserang demam. Wajahnya kelihatan pucat pasi, ba-
gai tidak dialiri darah. Sedangkan Ki Laksa tetap berdi-
ri di ambang pintu kedai yang sudah sepi dan porak 
poranda ini.
"Ki Gandak! Kemari kau...!" bentak Ki Laksa, 
memanggil pemilik kedai itu.
"Iii.... Iya, Gusti...."
Laki-laki tua pemilik kedai yang dikenal dengan 
nama Ki Gandak itu bergegas menghampiri. Dia lang-
sung berlutut begitu sampai di depan Ki Laksa. Kepa-
lanya tertunduk dalam, tak sanggup memandang wa-
jah Ki Laksa yang memerah bagai besi baja terbakar 
dalam tungku perapian. Seluruh tubuh Ki Gandak su-
dah basah oleh keringat
"Kau tahu, siapa anak muda itu tadi?" tanya Ki 
Laksa, dengan nada suara agak ditahan.
"Maksud Gusti... yang pakai baju kulit harimau 
itu...?" Ki Gandak malah balik bertanya dengan suara 
yang terbata-bata.

"Setan! Jawab saja pertanyaanku!" bentak Ki 
Laksa, geram.
"Tid... tidak tahu, Gusti. Dia datang berdua 
dengan gadis itu kemarin. Dan menginap di sini sema-
lam...," sahut Ki Gandak, masih tergagap.
"Kau tanya namanya?"
"Kalau tidak salah, dia namanya Bayu. Sedang-
kan gadis itu Ratna Wulan"
"Apa dia menanyakan sesuatu padamu?"
"Maksud Gusti...?"
"Kau tadi lihat apa yang dipegangnya, kan..? Ki 
Gandak mengangguk.
"Dia mencari pewaris Keris Naga Emas. Apa dia 
tidak bertanya-tanya tentang Intan Kumala?" ujar Ki 
Laksa, dengan suara yang terdengar dalam.
"Iya, Gusti. Dia banyak bertanya padaku. Dan 
minta diceritakan tentang Gusti Ayu Intan Kumala," 
sahut Ki Gandak.
"Lalu...?"
"Aku jawab apa adanya, Gusti." 
"Hmm...."
Ki Laksa menggumam sedikit. Kemudian dia 
berbalik dan keluar dari dalam kedai itu tanpa bicara 
apa pun. Sebentar dia mengarahkan pandangannya ke 
Barat, lalu dengan cepat sekali berlari mempergunakan 
ilmu meringankan tubuh. Begitu tinggi tingkat ilmu 
meringankan tubuh yang dimilikinya, sehingga dalam 
sekejap saja Ki Laksa sudah lenyap tak terlihat lagi. 
Sedangkan Ki Gandak langsung terduduk lemas sam-
bil menghembuskan napas panjang.
"Ohhh..., untung dia tidak menggunakan keke-
rasan tangannya padaku...," desah Ki Gandak lega.
Saat itu juga, para penduduk Desa Gebang 
yang tadi menghilang ke dalam rumahnya masing-
masing langsung bermunculan begitu Ki Laksa sudah

tidak terlihat lagi. Mereka menghampiri Ki Gandak 
yang terduduk lemas di ambang pintu kedainya. Bebe-
rapa orang di antaranya menolong laki-laki tua itu dan 
membawanya masuk ke dalam. Mereka semua ber-
tanya-tanya, peristiwa apa sebenarnya yang sedang 
terjadi pada diri Ki Laksa. Tapi, pertanyaan itu me-
mang tidak bisa terjawab. Dan, mereka hanya berha-
rap, desa ini tidak dilibatkan ke dalam persoalan 
orang-orang berkepandaian tinggi itu.
***
Sementara itu Bayu sudah sampai di perbata-
san sebelah Barat Desa Gebang. Di sana Ratna Wulan 
sudah menunggu. Gadis itu berdiri di depan mulut gua 
yang pernah mereka lalui ketika keluar dari dalam Ju-
rang Setan. Bayu terus menerobos masuk ke dalam 
gua itu. Ratna Wulan mengikuti, lalu langsung menu-
tup mulut gua itu dengan semak dan bebatuan. Se-
buah obor dari bambu menerangi gua yang gelap dan 
cukup besar ini.
Bruk!
Bayu melemparkan tubuh si Nyawa Biru begitu 
saja ke lantai gua yang lembab ini. Ratna Wulan me-
mandangi sebentar, lalu menghampiri dan memeriksa 
urat nadi di bagian leher laki-laki setengah baya berba-
ju biru itu. Sebentar kemudian dia sudah berdiri lagi. 
Pandangan matanya langsung tertuju pada. Pendekar 
Pulau Neraka.
"Dia sudah mati. Untuk apa kau bawa ke sini?" 
ujar Ratna Wulan
"Kalau ku tinggalkan, dia bisa hidup lagi," sa-
hut Bayu.
"Lalu, akan kau apakan dia?" 
"Kuburkan dia di sini. Nanti yang lainnya me

nyusul. Hanya ini cara satu-satunya untuk mengalah-
kan ilmu aneh mereka."
Saat itu terdengar suara langkah kaki di luar 
gua. Bayu segera mematikan api obor. Keadaan di da-
lam gua ini pun menjadi begitu gelap. Bahkan, Ratna 
Wulan yang berada begitu dekat di samping Pendekar 
Pulau Neraka tidak terlihat. Dan, suara langkah kaki 
di luar gua itu semakin jelas. Suara itu terdengar me-
nuju ke arah gua. Bayu segera mengintip keluar dari 
balik semak yang menutupi mulut gua ini.
"Siapa...?" tanya Ratna Wulan, berbisik.
"Orang-orang itu," sahut Bayu.
"Kalau mereka keluar dari jurang lewat gua ini 
juga, mereka bisa tahu kita di sini, Kakang," kata Rat-
na Wulan.
"Kau bawa dia lebih ke dalam. Biar aku hadang 
mereka," kata Bayu, tegas.
Ratna Wulan hanya mengangguk. Tapi, sudah 
tentu Bayu tidak melihat anggukkan kepala gadis itu, 
karena keadaan di dalam gua ini begitu gelap. Bayu 
hanya dapat mendengar suara langkah kaki Ratna Wu-
lan yang masuk lebih ke dalam gua ini Dari suara 
langkahnya yang terdengar berat, jelas sekali gadis itu 
tengah menyeret mayat Nyawa Biru.
Sementara itu Bayu terus memperhatikan tiga 
orang yang berada di luar dari balik semak belukar 
yang menutupi mulut gua ini. Mereka memang Ki Lak-
sa dan dua orang yang tersisa dari tiga serangkai si Pe-
rampok Tiga Nyawa, karena yang seorang lagi sudah 
diseret Ratna Wulan makin ke dalam lorong gua ini. 
Bayu tahu, mereka pasti mengejarnya, karena dia 
membawa salah seorang dari mereka dalam keadaan 
sudah menjadi mayat. Yang pasti, mereka akan beru-
saha mendapatkannya untuk kemudian menghi-
dupkannya kembali. Dia tahu mereka adalah orang

orang yang sangat berbahaya. Mereka selalu bertindak 
dengan cara kekerasan dan sering-kali menyengsara-
kan orang lain. 
"Hup!"
Bayu baru melompat keluar begitu ketiga orang 
itu sudah kelihatan cukup jauh. Cepat sekali dan begi-
tu ringannya Pendekar Pulau Neraka melompat keluar 
dari dalam gua, sehingga tak ada suara sedikit pun 
yang terdengar. Tahu-tahu dia sudah berdiri tegak di 
atas batu hitam, agak jauh dari mulut gua yang tertu-
tup semak belukar kering itu.
"Apa yang kalian cari...?" lantang sekali suara 
Bayu.
Ki Laksa dan si Perampok Tiga Nyawa yang kini 
tinggal dua orang itu terkejut setengah mati.
Suara Pendekar Pulau Neraka memang terden-
gar lantang menggema, karena dikeluarkan dengan 
pengerahan tenaga dalam tinggi. Ketiga lelaki tua itu 
langsung berbalik dan berlompatan menghampiri Pen-
dekar Pulau Neraka. Tapi, belum juga mereka sampai, 
pemuda berbaju kulit harimau itu sudah melentingkan 
tubuhnya.
"Hiyaaa...!"
Manis sekali gerakan Bayu saat berputaran di 
udara. Dilewatinya kepala-kepala mereka, lalu dengan 
indah kakinya dijejakkan sekitar dua batang tombak di 
belakang ketiga laki-laki itu. Tentu saja mereka terke-
jut, karena tiba-tiba saja Bayu sudah tidak ada di batu 
hitam itu. Dan, yang membuat lebih terkejut lagi, begi-
tu mereka berbalik, pemuda berbaju kulit harimau itu 
sudah ada di tempat lain.
"Keparat...!" geram Ki Laksa, merasa diper-
mainkan.
Memang sulit bagi siapa pun mengikuti gerakan 
yang dilakukan Pendekar Pulau Neraka itu. Begitu cepat bagaikan kilat, sehingga sulit diikuti dengan pan-
dangan mata biasa. Belum juga ketiga laki-laki seten-
gah baya itu berbuat sesuatu, tiba-tiba Pendekar Pulau 
Neraka sudah bergerak dengan kecepatan yang begitu 
luar biasa.
"Kejar dia! Jangan sampai lolos...!" seru Ki Lak-
sa lantang menggelegar.
"Hup!"
"Hiyaaa...!"
Si Perampok Tiga Nyawa yang tinggal dua orang 
itu langsung melompat cepat dan berlari memperguna-
kan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai 
tingkatan tinggi. Ki Laksa juga bergegas berlompatan 
ikut mengejar Pendekar Pulau Neraka. Begitu cepat ge-
rakan-gerakan yang mereka lakukan, sehingga tubuh 
mereka seakan-akan lenyap. Yang terlihat hanyalah 
bayangan-bayangan berkelebatan begitu cepat bagai 
kilat.
Sementara itu Bayu terus berlari cepat mem-
pergunakan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah 
mencapai tingkat sempurna. Sesekali dia berpaling ke 
belakang. Tampak bibirnya selalu tersenyum melihat 
ketiga orang yang terus mengejarnya. Tingkat ilmu me-
ringankan tubuh yang mereka miliki memang masih 
berada di bawah Pendekar Pulau Neraka. Sehingga, 
sangat sulit bagi mereka untuk bisa mengejar. Padahal 
ketiga orang itu sudah mengerahkan seluruh kemam-
puannya.
Bayu baru berhenti berlari setelah merasa ya-
kin dirinya sudah jauh dari gua tempat Ratna Wulan 
mengurus mayat si Nyawa Biru. Bibirnya menyung-
gingkan senyum kecil. Sekelilingnya kini hanya ditum-
buhi ilalang, sehingga cukup terbuka untuk dijadikan 
tempat bertarung Pendekar Pulau Neraka berdiri tegak 
menunggu Ki Laksa dan dua dari tiga serangkai si Pe

rampok Tiga Nyawa.
"Phuih! Kau sudah membuat kesabaranku ha-
bis Bocah!"
Ki Laksa mendengus sambil menyemburkan 
ludahnya begitu sampai di depan Pendekar Pulau Ne-
raka. Sedangkan si Nyawa Kuning dan si Nyawa Merah 
sudah mengambil tempat di sebelah kanan dan kiri 
pemuda berbaju kulit harimau itu. Mereka masing-
masing menggenggam kapaknya dengan erat di tangan 
kanan. Kapak-kapak itu tampak siap diayunkan ke 
tubuh Pendekar Pulau Neraka. Terdengar tarikan na-
pas mereka begitu kuat dan tersengal, karena baru 
berlari begitu cepat mengerahkan seluruh kemampuan 
ilmu meringankan tubuh.
"Bunuh bocah keparat itu!" perintah Ki Laksa, 
lantang menggelegar. 
"Hiyaaat...!" 
"Yeaaah...!"
***
ENAM


"Haiiit..!"
Manis sekali Bayu mengegoskan tubuhnya. Di-
hindarinya serangan yang dilancarkan dua orang dari 
tiga serangkai si Perampok Tiga Nyawa itu. Tapi Bayu 
belum bisa menarik napas lega, karena mereka terus 
melancarkan serangan dengan gencar dari dua arah. 
Kapak-kapak mereka yang bermata besar dan tajam 
berkelebatan begitu cepat di sekitar tubuh Pendekar 
Pulau Neraka. Begitu kuatnya ayunan kapak yang dis-
ertai pengerahan tenaga dalam tinggi itu, sehingga me-
nimbulkan suara angin yang menderu dahsyat bagai

badai.
Sementara itu Ki Laksa tetap diam memperha-
tikan. Keningnya terlihat berkerut semakin dalam, 
seakan-akan tengah memikirkan sesuatu. Dia menoleh 
ke kanan dan ke kiri, seperti mencari sesuatu, kemu-
dian kembali memperhatikan pertarungan yang sudah 
berjalan beberapa jurus dengan cepat itu.
"Hmm..., di mana Nyawa Biru...?" gumam Ki 
Laksa, bertanya-tanya sendiri.
Ki Laksa baru sadar, pemuda berbaju kulit ha-
rimau itu tidak membawa si Nyawa Biru, salah seorang 
dari si Perampok Tiga Nyawa yang berhasil dilarikan 
Bayu setelah lebih dulu dilumpuhkannya. Dia tidak 
tahu bahwa si Nyawa Biru yang sudah tewas itu kini 
berada di dalam gua bersama Ratna Wulan.
"Setan...! Dia menyembunyikan Nyawa Biru," 
dengus Ki Laksa berang.
Walaupun wajah Ki Laksa kelihatan memerah 
menahan geram, di dalam sinar matanya jelas terlihat 
kecemasan karena Bayu tidak membawa si Nyawa Bi-
ru. Dan dia sungguh-sungguh tidak tahu, di mana sa-
lah seorang dari si Perampok Tiga Nyawa yang sangat 
dipercaya dan diandalkan itu berada. Dia cemas kare-
na si Nyawa Biru bisa benar-benar mati kalau tidak 
segera dilompati oleh yang lainnya. 
"Bocah keparat...! Kubunuh kau! Hiyaaa...!" Ki 
Laksa tidak dapat lagi menahan kegeramannya. Bagai-
kan kilat, dia melompat menyerang Pendekar Pulau 
Neraka yang tengah sibuk menghadapi serangan-
serangan dari dua orang lawannya. Dan, terjunnya Ki 
Laksa ke dalam kancah pertempuran itu membuat 
Bayu semakin kesulitan. Serangan-serangan kini da-
tang dari tiga arah.
"Jebol dadamu! Hiyaaa...!" Sambil berteriak ke-
ras menggelegar, Ki Laksa cepat melepaskan satu pu

kulan keras menggeledek, yang disertai dengan penge-
rahan tenaga dalam tinggi. Cepat sekali pukulan itu di-
lepaskan. Bayu pun dibuatnya terbeliak sesaat Na-
mun, dengan manis sekali Pendekar Pulau Neraka 
berhasil menghindar serangan dengan memiringkan
tubuhnya ke kanan.
Pada saat yang hampir bersamaan, si Nyawa 
Merah mengebutkan kapaknya ke arah kaki Pendekar 
Pulau Neraka. Hal itu tentu sama membuat Bayu kela-
bakan setengah mati. Di saat dia sedang menghindari 
satu pukulan dahsyat dari Ki Laksa, si Nyawa Merah 
sudah melancarkan serangan begitu cepat bagai kilat.
"Hup! Yeaaah...!"
Cepat-cepat Bayu melentingkan tubuhnya. Di-
hindarinya sambaran kapak si Nyawa Merah itu. Tapi 
dalam keadaan tubuhnya yang miring, dia tampak se-
kali tidak dapat menguasai diri. Terlebih lagi, di saat 
yang begitu tepat, si Nyawa Kuning melepaskan satu 
tendangan keras menggeledek dari belakang. Dan, se-
rangan ini benar-benar menyulitkan Pendekar Pulau 
Neraka.
Des!
"Akh...!"
Bayu tidak dapat lagi menghindari tendangan 
yang dilepaskan si Nyawa Kuning. Tendangan bertena-
ga dalam tinggi itu mendarat telak di punggung Pende-
kar Pulau Neraka. Pemuda berbaju kulit harimau itu 
langsung terbanting ke depan. Keras sekali tubuhnya 
menghantam tanah. Beberapa kali
Bayu bergulingan di tanah berumput itu.
"Hiyaaat...!"
Saat itu juga Ki Laksa melompat ke udara, lalu 
dengan cepat sekali meluruk ke arah Pendekar Pulau 
Neraka. Tampak ujung tongkatnya yang runcing tertu-
ju lurus ke tubuh pemuda berbaju kulit harimau itu

"Hap!"
Tidak ada lagi kesempatan bagi Bayu untuk 
menghindari hunjaman ujung tongkat yang runcing 
itu. Cepat-cepat dia merapatkan kedua tangannya di 
depan dada dan langsung menjepit ujung tongkat yang 
runcing itu.
"Hiyaaa...!"
Sambil mengerahkan kekuatan tenaga dalam-
nya, Bayu menghentakkan tongkat itu ke belakang ke-
palanya. Begitu sempurnanya tenaga dalam yang dimi-
liki Pendekar Pulau Neraka, sehingga Ki Laksa yang 
berada di udara terperanjat setengah mati. Tapi, dia ti-
dak sempat lagi berbuat sesuatu. Tahu-tahu tubuhnya 
sudah terlontar deras.
Brak!
"Aaakh...!"
***
Ki Laksa memekik keras begitu tubuhnya 
menghantam sebatang pohon yang cukup besar.
Begitu keras benturan tubuh Ki Laksa, sehing-
ga pohon itu langsung hancur berkeping-keping. Se-
dangkan Bayu cepat-cepat melompat bangkit berdiri. 
Tapi, baru saja kakinya menjejak tanah, datang lagi 
satu serangan dari si Nyawa Merah.
"Hiyaaa...!"
"Uts!"
Cepat-cepat Bayu menarik tubuhnya ke bela-
kang. Dihindarinya tebasan kapak si Nyawa Merah. 
Dan, begitu kapak itu lewat di depan dadanya, dengan 
cepat sekali Bayu melepaskan satu tendangan keras 
disertai pengerahan tenaga dalam yang sudah menca-
pai tingkat sempurna.
"Yeaaah...!"

Begitu cepat tendangan yang dilepaskan Pen-
dekar Pulau Neraka. Si Nyawa Merah pun tidak sempat 
lagi terlihat menghindar. Dan....
Begkh!
"Akh...!"
Seketika itu juga tubuh si Nyawa Merah terpen-
tal sejauh dua batang tombak ke belakang. Melihat si 
Nyawa Merah terkena tendangan menggeledek berte-
naga dalam sempurna, si Nyawa Kuning bergegas 
menghampiri. Tapi Bayu, yang sudah tahu kalau si 
Nyawa Kuning hendak melompati si Nyawa Merah, ce-
pat-cepat melentingkan tubuhnya menghadang laki-
laki setengah baya berbaju kuning itu.
"Yeaaah...!"
Secepat kilat Bayu melepaskan satu pukulan 
keras disertai pengerahan tenaga dalam yang sem-
purna, tepat mengarah ke dada si Nyawa Kuning
"Haiiit..!"
Si Nyawa Kuning ternyata berhasil menghindari 
pukulan Bayu dengan mengegoskan tubuhnya ke 
samping. Bahkan, secara bersamaan pula, kapaknya 
dikebutkan ke perut Pendekar Pulau Neraka. Cepat 
sekali kebutan kapak itu. Bayu pun sempat terbeliak 
sesaat, lalu bergegas melompat ke belakang. Dihinda-
rinya tebasan kapak berukuran cukup besar itu
"Hiyaaat...!"
Saat itu Ki Laksa yang sudah bisa berdiri lagi 
cepat melompat menyerang pemuda berbaju kulit ha-
rimau ini Secara beruntun dia melontarkan pukulan 
dahsyatnya, yang diselingi dengan hunjaman tongkat-
nya yang begitu cepat. Hal ini membuat Bayu kelaba-
kan juga. Dia terpaksa berjumpalitan menghindarinya.
"Hup!"
Bersamaan dengan itu, si Nyawa Kuning segera 
melompat dengan cepat. Dilewatinya tubuh si Nyawa

Merah yang menggeletak dengan dada melesak ke da-
lam. Dan begitu tubuhnya dilompati, si Nyawa Merah 
langsung bangkit berdiri. Tapi, belum juga kedua 
orang dari tiga serangkai si Perampok
"Ghraaaugkh...!" "Heh...?! Apa itu?" sentak si 
Nyawa Merah. Ki Laksa dan Bayu yang sedang berta-
rung pun sangat terkejut, dan menghentikan pertaru-
ngannya.
Tiba-tiba, dari dalam hutan lebat muncul seekor 
beruang putih yang sangat besar. Dan, di punggungnya 
berdiri seorang gadis berambut meriap!

Tiga Nyawa itu bisa membantu Ki Laksa menye-
rang Pendekar Pulau Neraka, tiba-tiba....
"Ghraaaugkh...!"
"Heh...?! Apa itu...?" sentak si Nyawa Merah, 
terkejut.
Bukan hanya si Nyawa Merah dan si Nyawa 
Kuning yang tersentak kaget Tapi, Ki Laksa dan Bayu 
yang sedang bertarung pun sampai-sampai menghen-
tikan pertarungannya ketika tiba-tiba saja terdengar 
gerungan yang begitu keras menggelegar. Bumi yang 
mereka pijak tadi bergetar, bagaikan diguncang gempa. 
Ki Laksa sampai terlompat beberapa tindak ke bela-
kang, Sedangkan Bayu cepat melentingkan tubuhnya 
sejauh dua batang tombak dari laki-laki tua berjubah 
putih itu.
Dan, belum lagi rasa terkejut mereka hilang, ti-
ba-tiba muncul seekor beruang berbulu putih seperti 
kapas dari dalam hutan yang sangat lebat. Tubuh be-
ruang itu sangat besar. Dan, di punggungnya berdiri 
seorang gadis yang seluruh wajahnya hampir tertutup 
oleh rambut.
Gadis di punggung beruang itu mengenakan 
baju putih warnanya sudah memudar dan kelihatan 
begitu buruk, karena penuh tambalan dan compang-
camping. Rambutnya yang panjang meriap tak teratur 
tampak melambai-lambai dipermainkan angin. Semua 
orang yang berada di tempat itu mengarahkan pan-
dangan padanya. Terlebih lagi Ki Laksa. Dia cepat 
mengenali, wanita itulah yang membakar rumahnya 
semalam. Ki Laksa sempat melihat, walaupun dalam 
sekejap saja, ketika wanita berpakaian seperti penge-
mis itu melepaskan bola api sebelum menghilang sete-
lah membakar rumahnya.
"Akhirnya kau muncul juga, Perempuan Setan!" 
desis Ki Laksa, geram.

"Aku akan tetap datang sampai kau mampus, 
Pengkhianat!" sambut gadis itu dingin.
"Phuih! Siapa kau sesungguhnya, Gadis Liar?" 
bentak Ki Laksa, lantang.
"Heh!"
Gadis itu hanya tersenyum. Terasa begitu sinis 
senyumannya. Kemudian dia melompat turun dari 
punggung Beruang Putih bertubuh raksasa itu. Sung-
guh ringan dan indah gerakannya saat dia melompat 
turun. Dan, tanpa menimbulkan suara sedikit pun, 
gadis itu menjejakkan kakinya di tanah. Sementara 
itu, si Perampok Tiga Nyawa yang kini tinggal dua 
orang sudah berada di belakang Ki Laksa. Sedangkan 
Bayu berdiri terpisah dari mereka semua.
“Tampaknya kau begitu ingin mengetahui na-
maku Pengkhianat. Kau lihat sendiri pakaianku, juga 
sahabatku ini," kata gadis itu dengan nada suara ma-
sih tetap terdengar dingin.
"Kau murid si Tiga Pengemis Sakti...?"
"Benar. Dan aku bernama Dewi Beruang Putih. 
Kau dengar itu...?"
Ki Laksa diam saja. Baru kali ini dia mendengar 
nama yang disebutkan gadis itu. Tapi, mereka memang 
sudah pernah bertemu saat berada di dasar Jurang 
Setan. Bahkan, mereka juga sempat bertarung. Tapi, 
ketika itu pakaian yang dikenakan gadis ini tidak com-
pang-camping seperti sekarang, walaupun juga ber-
warna putih (Baca serial Pendekar Pulau Neraka dalam 
kisah "Tiga Pengemis Sakti").
"Nisanak, kenapa kau selalu menyebutku 
pengkhianat?" tanya Ki Laksa yang benar-benar ingin 
tahu.
Gadis yang mengaku bernama Dewi Beruang 
Putih itu diam saja. Sorot matanya yang hampir tertu-
tup rambut itu terlihat sangat tajam menembus lang

sung kedua bola mata Ki Laksa.
"Aku murid Tiga Pengemis Sakti yang kau bu-
nuh dengan keji. Kau berhutang lima nyawa padaku 
Pengkhianat! Sekarang aku akan menagih hutangmu. 
Kau harus membayar dengan nyawamu sendiri!" ujar 
gadis itu, dengan nada suara yang semakin dingin.
"Lima...?! Apa maksudmu, Nisanak...?"
"Jangan banyak omong! Terimalah kematian-
mu, Iblis Keparat! Hiyaaat...!"
Tiba-tiba saja gadis yang mengaku bernama 
Dewi Beruang Putih itu melompat cepat menerjang Ki 
Laksa. Satu pukulan keras bertenaga dalam tinggi di-
lepaskannya begitu cepat. Sesaat Ki Laksa terhenyak. 
Namun, dengan cepat pula dia mengegoskan tubuhnya 
ke samping. Dihindarinya pukulan Dewi Beruang Putih 
itu. 
"Hap!"
Saat tangan si Dewi Beruang Putih lewat di 
samping tubuhnya, dengan cepat sekali Ki Laksa men-
gebutkan tongkatnya ke arah samping.
Bet!
"Uts!"
Namun, dengan gerakan yang manis sekali, 
Dewi Beruang Putih berhasil mengelakkan kebutan 
tongkat Ki Laksa. Dan, cepat pula dia melompat ke be-
lakang ketika Ki Laksa memutar tongkatnya yang 
langsung menghunjam ke arah dada. Ujung tongkat 
itu pun lewat di depan dada si Dewi Beruang Putih.
"Hup! Yeaaah...!"
Sambil memutar tubuhnya ke belakang. Dewi 
Beruang Putih melepaskan satu tendangan keras yang 
menggeledek ke bagian perut laki-laki tua berjubah pu-
tih itu. Cepat sekali tendangan gadis itu, sehingga tak 
ada lagi kesempatan bagi Ki Laksa untuk menghinda-
rinya. Dan, seketika itu juga dia mengebutkan tong

katnya ke arah kaki si Dewi Beruang Putih.
Wuk!
"Ikh...?!"
Dewi Beruang Putih tersentak kaget. Dia tidak 
menyangka kalau Ki Laksa tidak menghindari se-
rangan dan malah mengebutkan tongkatnya. Cepat-
cepat gadis itu menarik kakinya kembali. Lalu, tubuh-
nya segera melenting dan berputaran beberapa kali ke 
belakang. Dan, dengan manis sekali kakinya menjejak 
tanah, sekitar satu batang tombak jauhnya dari Ki 
Laksa.
"Serang perempuan edan itu...!" seru Ki Laksa 
lantang menggelegar. 
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Si Perampok Tiga Nyawa yang tinggal dua orang 
itu segera berlompatan menyerang Dewi Beruang Pu-
tih. Kapak-kapak mereka langsung berkelebatan begitu 
cepat, hingga menimbulkan suara angin yang menderu 
bagai badai. Dan, setiap kebutan kapak itu menimbul-
kan hawa panas yang sangat menyengat.
"Hup! Hiyaaa...!"
Dewi Beruang Putih terpaksa berjumpalitan. 
Tubuhnya meliuk-liuk menghindari setiap serangan 
yang datang secara beruntun dari dua arah itu. Hawa 
panas yang ditimbulkan dari kelebatan kapak-kapak 
itu sangat terasa bagai hendak membakar seluruh ku-
lit tubuhnya.
"Hup!"
Begitu ada kesempatan, dengan cepat sekali 
Dewi Beruang Putih melompat ke belakang beberapa 
langkah. Kedua telapak tangannya langsung dira-
patkan ke depan begitu kakinya menjejak tanah. Dan, 
kedua lututnya ditekuk sedikit. Kemudian dia melaku-
kan beberapa gerakan dengan kedua tangannya. La

lu....
"Hiyaaa...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, gadis yang 
menjuluki dirinya dengan nama Dewi Beruang Putih 
itu menghentakkan kedua tangannya ke depan. Se-
ketika itu juga berhembus hawa dingin di sekitar hu-
tan ini. Hawa dingin itu semakin lama semakin terasa 
menggigilkan. Dan, terus bertambah semakin dingin, 
hingga udara di sekitar hutan ini terasa membeku. 
Tampak dari kedua telapak tangan gadis itu keluar 
gumpalan-gumpalan putih seperti kapas yang beter-
bangan ke segala penjuru.
Sesaat kemudian, mendadak hawa dingin itu 
menghilang lenyap dan langsung berganti dengan ha-
wa panas yang begitu menyengat, bagaikan hawa pa-
nas di dekat tungku api. 
"Ugkh...!"
Tiba-tiba, tampak Dewi Beruang Putih ter-
huyung-huyung sambil melenguh pendek. Tangan ka-
nannya cepat bergerak mendekap dada. Dan saat itu 
juga dia jatuh terduduk di tanah. Sudut bibirnya terli-
hat mengeluarkan darah. Kejadian yang tidak terduga 
sama sekali itu membuat semua orang yang berada di 
tempat itu terperanjat keheranan. Mereka tidak men-
gerti, kenapa tiba-tiba gadis yang menjuluki dirinya si 
Dewi Beruang Putih itu langsung jatuh terkulai, di saat 
dia baru saja mengerahkan ilmu kesaktiannya yang 
sempat membuat mereka semua merasa tersiksa.
"Ugkh! Dadaku...," keluh Dewi Beruang Putih.
"Bunuh dia, cepat...!" seru Ki Laksa, tiba-tiba.
"Hiyaaat...!"
Si Nyawa Merah lebih cepat tersadar. Begitu 
mendengar suara keras bernada perintah itu, dia lang-
sung saja melompat cepat sambil mengayunkan ka-
paknya ke kepala si Dewi Beruang Putih. Tapi, belum

juga mata kapak itu sampai, mendadak....
Wuk!
Tring!
"Heh...?!"
Si Nyawa Merah terkejut setengah mati ketika 
tiba-tiba kapaknya terpental balik ke belakang. Cepat-
cepat dia melompat mundur dan berputaran di udara 
beberapa kali sebelum menjejakkan kakinya kembali 
ke tanah.
"Keparat...!"
***
TUJUH


Saat itu terlihat Bayu mengangkat tangan ka-
nannya ke atas kepala. Dan, terlihat pula Cakra Maut 
berwarna keperakan dan bersegi enam melesat balik, 
langsung menempel di pergelangan tangan kanan Pen-
dekar Pulau Neraka. Rupanya dialah tadi yang meng-
gagalkan serangan curang si Nyawa Merah pada si De-
wi Beruang Putih. 
"Phuih!"
Si Nyawa Merah menyemburkan ludahnya den-
gan sengit ketika tahu bahwa serangannya telah diga-
galkan oleh pemuda berbaju kulit harimau itu.
Sementara itu si Dewi Beruang Putih masih 
terduduk di tanah. Tampaknya dia seperti kehabisan 
tenaga. Terlihat sekujur tubuhnya dibasahi keringat 
yang bercucuran begitu deras. Bayu kemudian me-
langkah menghampiri gadis berpakaian pengemis itu. 
Pandangannya terus tertuju pada beruang putih rak-
sasa yang telah berdiri begitu dekat dengan si Dewi Be-
ruang Putih. Tapi belum juga Pendekar Pulau Neraka

sampai di dekat si Dewi Beruang Putih, mendadak....
"Hiyaaa...!"
Slap!
"Heh...?” 
Uts...!
Cepat-cepat Bayu melentingkan tubuhnya ber-
putaran ke belakang ketika tiba-tiba saja Beruang Pu-
tih yang berada di belakang gadis itu melompat begitu 
cepat sambil meraung dahsyat menggelegar. Suaranya 
terdengar bagai guntur yang memecah angkasa di wak-
tu hujan.
"Ghraaagkh...!"
Beruang Putih bertubuh raksasa itu lewat di 
atas tubuh Pendekar Pulau Neraka. Dia terus melun-
cur ke arah dua orang dari si Perampok Tiga Nyawa. 
Begitu cepat lompatan Beruang Putih Itu. Si Nyawa 
Merah dan si Nyawa Kuning pun tampak sama-sama 
terbeliak.
"Hup! Hiyaaa...!"
Si Nyawa Merah yang lebih cepat menyadari 
keadaan ini bergegas melompat ke samping. Dihinda-
rinya terjangan Beruang Putih itu. Tapi, si Nyawa Kun-
ing ternyata terlambat menyelamatkan diri, sehingga 
kebutan kaki depan Beruang Putih itu telak menampar 
wajahnya.
Plak!
"Akh...!"
Si Nyawa Kuning terpekik keras sekali. Dia 
langsung terpelanting jatuh ke tanah. Dan beberapa 
kali dia bergulingan di tanah yang berumput ini. Na-
mun, dengan cepat laki-laki setengah baya berbaju 
kuning itu bisa bangkit berdiri. Tapi, baru saja kakinya 
menjejak tanah, Beruang Putih itu sudah kembali 
mengibaskan kaki depannya dengan kecepatan yang 
begitu luar biasa.

Buk!
"Akh...!"
Untuk kedua kakinya si Nyawa Kuning meme-
kik. Hantaman kaki depan yang juga sekaligus tangan 
beruang raksasa itu tepat mengenai dadanya dengan 
keras sekali. Kembali si Nyawa Kuning terpental ke be-
lakang dengan deras, dan baru berhenti setelah mena-
brak sebatang pohon yang cukup besar. Seketika po-
hon itu hancur berkeping-keping.
"Ghraaagkh...!"
Sambil menggerung dahsyat, beruang putih 
raksasa itu melompat cepat bagai kilat menerkam si 
Nyawa Kuning yang menggeletak tak berdaya lagi di 
antara kepingan pohon.
Ngek!
"Ugkh...!"
Hanya sedikit keluhan kecil yang terdengar dari 
mulut si Nyawa Kuning ketika kedua kaki beruang pu-
tih raksasa itu menjejak dadanya. Seketika darah me-
muncrat dari mulut laki-laki setengah baya berbaju 
kuning itu.
"Aaargkh...!"
Beruang Putih itu berteriak keras menggelegar. 
Begitu keras teriakannya, sehingga tanah terasa berge-
tar bagai diguncang gempa. Kedua tangan beruang 
raksasa itu terangkat ke atas. Moncongnya yang penuh 
dengan gigi bertaring terbuka lebar-lebar, seperti hen-
dak memamerkan gigi-giginya yang bertaring tajam itu. 
Kemudian dia kembali melompat mendekati si Dewi 
Beruang Putih. 
"Hup!"
Pada saat itu juga, tampak si Nyawa Merah me-
lompat cepat. Dia langsung melompati tubuh si Nyawa 
Kuning yang menggeletak tak bernyawa dengan dada 
remuk dan kepala retak. Dan, begitu si Nyawa Merah

melompatinya, mendadak si Nyawa Kuning bangkit 
kembali dengan cepat. Dadanya yang tadi remuk terin-
jak kaki Beruang Putih raksasa itu kini terlihat kemba-
li pulih seperti semula dengan cepat sekali. Bahkan, 
darah yang keluar dari mulut-nya sudah tidak terlihat 
lagi.
"Ghrrr...!"
***
Beruang Putih itu tampak keheranan melihat 
korbannya yang tadi tewas bisa bangkit lagi dengan 
cepat Bahkan, si Nyawa Kuning terlihat lebih segar da-
ri semula, sebelum dadanya diremukkan Beruang Pu-
tih itu. Dan, kini si Perampok Tiga Nyawa yang seka-
rang tinggal dua orang itu sudah bergerak mendekati 
Beruang Putih itu. Kapak mereka terayun-ayun, seper-
ti hendak menakut-nakutinya. 
"Ghrrr...!"
Tampaknya Beruang Putih bertubuh raksasa 
itu tidak gentar melihat mata kapak yang berkilat ta-
jam. Dia malah menggerung sambil memperlihatkan 
baris-baris giginya yang bertaring tajam. Perlahan dia 
memutar tubuhnya berbalik, lalu berdiri di atas kedua 
kaki belakangnya. Sungguh besar sekali tubuhnya, se-
perti sebuah bukit yang berselimut salju putih bagai 
kapas.
"Hiyaaa.,.!"
"Yeaaah...!
Si Nyawa Merah dan si Nyawa Kuning tiba-tiba 
saja berlompatan cepat menyerang Beruang Putih rak-
sasa itu. Kapak mereka terayun deras dan hampir ber-
samaan mengarah ke perut dan dada.
"Ghraaagkh...!"
Beruang Putih itu meraung keras menggelegar.

Dan, cepat sekali dia mengibaskan kedua tangannya. 
Disampoknya kapak-kapak yang berkelebat begitu ce-
pat mengincar tubuhnya yang ditumbuhi bulu berwar-
na putih seperti kapas itu.
"Hup!"
"Yeaaah...!"
Ternyata si Perampok Tiga Nyawa yang tinggal 
dua orang itu lebih cepat lagi melentingkan tubuh. 
Dan, secara bersamaan, mereka melepaskan ten-
dangan serta pukulan yang keras disertai pengerahan 
tenaga dalam tinggi. 
Buk! 
Des!
Dada dan kepala Beruang Putih itu menjadi sa-
saran empuk pukulan dan tendangan si Perampok Ti-
ga Nyawa. Tapi, binatang raksasa itu hanya terhuyung 
sedikit Dan, cepat sekali kemudian dia mengibaskan 
tangannya sambil memutar tubuhnya sedikit Hampir 
saja kibasan tangannya mengenai si Nyawa Merah ka-
lau laki-laki setengah baya berbaju merah itu tidak ce-
pat-cepat melompat mundur.
"Mundur kalian! Hiyaaat..!"
Tiba-tiba Ki Laksa melompat sambil berteriak 
keras menggelegar. Dan, seketika itu juga dia me-
lepaskan satu pukulan menggeledek yang mengandung 
pengerahan tenaga dalam tinggi. Begitu tinggi tenaga 
dalam yang dikerahkannya, sehingga kepalan tangan 
kanannya terlihat berwarna merah bagai besi terbakar 
di dalam tungku api. Ki Laksa menyerang dari bela-
kang Beruang Putih itu.
"Putih awas...!" teriak si Dewi Beruang Putih, 
memperingatkan binatang peliharaannya itu.
Tapi, peringatan Dewi Beruang Putih sudah ter-
lambat Dan....
Begkh!

"Aaargkh...!"
Beruang Putih raksasa itu meraung keras begi-
tu punggungnya terkena pukulan yang begitu dahsyat 
dari Ki Laksa. Begitu keras pukulan yang dilancarkan 
Ki Laksa. Beruang Putih itu pun langsung terhuyung-
huyung ke depan. Tubuhnya menjadi limbung dan ti-
dak terkuasai lagi. Pada saat itu juga, si Nyawa Merah 
dan si Nyawa Kuning cepat melompat menyerang den-
gan cepat. 
"Hiyaaa...!" 
"Yeaaah...!"
Secara bersamaan, si Nyawa Merah dan si 
Nyawa Kuning melepaskan pukulan keras disertai 
pengerahan tenaga dalam yang tinggi. Dalam keadaan 
tubuh yang limbung dan belum terkuasai, Beruang Pu-
tih itu tidak sempat lagi menghindari serangan kedua 
orang itu Hingga, kembali dia harus menerima dua kali 
pukulan beruntun yang mengandung tenaga dalam 
tinggi.
"Aaargkh...!"
Sesaat kemudian tampak Ki Laksa melepaskan 
satu pukulan keras yang mengarah langsung ke dada 
beruang putih raksasa itu. Cepat sekali serangan yang 
dilakukannya, sehingga binatang raksasa berbulu pu-
tih bagai kapas itu tidak dapat lagi menghindarinya. 
Pukulan Ki Laksa telak menghantam dada binatang itu 
dengan keras sekali.
"Aaargkh...!"
Raungan yang begitu panjang terdengar keras 
menggelegar. Tampak beruang raksasa itu terpental ke 
belakang sejauh beberapa batang tombak. Keras sekali 
tubuhnya yang berbulu putih itu terbanting ke tanah.
Melihat binatang peliharaannya terus dihujani 
pukulan-pukulan keras bertenaga dalam tinggi, Dewi
Beruang Putih tidak tahan juga melihatnya. Tanpa

menghiraukan keadaan dirinya sendiri, gadis itu cepat 
melompat menerjang Ki Laksa yang sudah siap hendak 
menghunjamkan tongkatnya yang berujung tajam ke 
dada Beruang Putih itu. Sambil mengerahkan sisa-sisa 
kekuatannya yang masih ada, Dewi Beruang Putih me-
lompat cepat sambil berteriak keras melengking tinggi.
"Hiyaaat..!"
"Yeaaah...!"
Namun, pada saat itu juga, tampak si Nyawa 
Merah melemparkan kapaknya dengan cepat sekali ke 
arah Dewi Beruang Putih. Kapak yang berukuran cu-
kup besar itu meluncur deras, hingga menimbulkan 
suara mendesing yang keras sekali. Dewi Beruang Pu-
tih terperangah. Tak ada kesempatan lagi baginya un-
tuk menghindari lemparan kapak itu. Tapi, belum juga 
kapak itu mengenai tubuhnya, mendadak.... 
Wusss! 
Trang! 
"Heh...?!"
Bukan main terkejutnya si Nyawa Merah ketika 
tiba-tiba saja kapaknya terpental balik. Sempat terlihat 
tadi secercah cahaya kilat keperakan menyambar sen-
jata andalannya itu. Cepat-cepat si Nyawa Merah me-
lentingkan tubuhnya. Dan, kapaknya yang terpental 
tinggi ke udara segera disambarnya sebelum sampai 
jatuh ke tanah. 
"Hap!"
Namun, baru saja si Nyawa Merah berhasil me-
raih kapaknya yang terpental tinggi ke udara, menda-
dak terlihat sebuah bayangan berkelebat begitu cepat 
bagai kilat. Cepat-cepat dia mengebutkan kapaknya ke 
arah bayangan itu. Tapi tanpa diduga sama sekali, 
bayangan itu melesat ke atas dan tahu-tahu sudah be-
rada di belakangnya. Dan secepat itu pula....
Des!

"Akh...!"
Si Nyawa Merah terpekik keras. Tubuhnya 
mendadak terbanting ke tanah dengan deras sekali. 
Hanya sedikit terdengar keluhan kecil ketika tubuh la-
ki-laki setengah baya berbaju merah itu menghantam 
tanah. Dan, hanya sedikit terlihat gerakan. Sesaat ke-
mudian si Nyawa Merah diam tak bergerak-gerak lagi. 
Darah terlihat mengalir dari sudut bibir dan kedua lu-
bang hidungnya.
Tap!
Pada saat yang hampir bersamaan, tampak 
Pendekar Pulau Neraka mendarat ringan di samping 
tubuh si Nyawa Merah. Kemudian dipandanginya si 
Nyawa Kuning dengan tajam. Jelas sekali terlihat raut 
wajah si Nyawa Kuning begitu gelisah dan cemas, ka-
rena pemuda berbaju kulit harimau itu berada sangat 
dekat dengan tubuh si Nyawa Merah yang sudah tidak 
bergerak-gerak lagi. Sementara itu Dewi Beruang Putih 
sudah begitu gencar menyerang Ki Laksa.
***
"Ayo, lompati temanmu ini kalau bisa," ujar 
Bayu dengan nada suara yang sangat sinis. 
"Phuih!"
Si Nyawa Kuning menatap dengan sengit Dia 
menyemburkan ludahnya sambil melangkah beberapa 
langkah ke depan Kapaknya yang berukuran cukup 
besar itu disilangkan ke depan dada. Sorot matanya 
yang tajam tampak agak gentar melihat ketegaran dan 
ketangguhan Pendekar Pulau Neraka. Tapi, dia tetap 
melangkah maju perlahan-lahan. Sedangkan Bayu 
masih berdiri tegak. Bibirnya menyunggingkan senyum 
kecil. Dan, tiba-tiba....
"Hup! Yeaaah...!"

Cepat sekali Pendekar Pulau Neraka melenting-
kan tubuhnya ke udara sambil menyambar tubuh si 
Nyawa Merah yang menggeletak di tanah. Begitu cepat 
gerakannya, sehingga sulit diikuti dengan pandangan 
mata biasa. Dan, tahu-tahu pemuda berbaju kulit ha-
rimau itu sudah berada di atas cabang sebatang pohon 
yang cukup besar dan kokoh.
Bayu meletakkan tubuh si Nyawa Merah di ca-
bang pohon itu. Lalu, dengan gerakan yang indah dan 
ringan sekali, dia meluruk turun. Begitu sempurna il-
mu meringankan tubuh yang dimilikinya, sehingga tak 
terdengar suara sedikit pun saat kakinya menjejak ta-
nah. Lalu kembali dia mendarat di tempat berdirinya 
semula. Begitu cepat semua gerakan yang dilakukan 
oleh Pendekar Pulau Neraka. Si Nyawa Kuning pun 
tampak terlongong bengong.
"Hah...?!"
Si Nyawa Kuning terperanjat setengah mati be-
gitu menyadari tubuh si Nyawa Merah sudah tidak ada 
lagi. Dan, lebih terkejut lagi dia ketika tahu bahwa si 
Nyawa Merah kini sudah berada di atas pohon. Dan, 
sudah pasti si Nyawa Kuning tidak mungkin lagi bisa 
menghidupkannya, karena tubuh si Nyawa Merah ti-
dak menyentuh tanah.
"Keparat...!" geram si Nyawa Kuning, berang.
Beberapa saat dia memandangi tubuh si Nyawa 
Merah, kemudian menatap tajam pada Pendekar Pulau 
Neraka yang berada sekitar enam langkah lagi di de-
pannya. Sedangkan pemuda berbaju kulit harimau itu 
hanya tersenyum. Namun, terasa begitu sinis senyum-
nya.
"Kubunuh kau, Keparat!" desis Nyawa Kuning. 
"Hiyaaat...!"
Cepat sekali si Nyawa Kuning melompat sambil 
mengayunkan kapaknya ke arah kepala Pendekar Pu

lau Neraka. Namun hanya dengan sedikit menge-
goskan kepalanya, Bayu berhasil menghindari kebutan 
kapak itu. Tapi sempat juga dia terperanjat Karena, 
begitu mata kapak lewat di depan wajahnya, saat itu 
juga terasa hawa panas yang begitu menyengat disertai 
hembusan angin yang keras.
"Hup...!"
Cepat-cepat Bayu melompat ke belakang tiga 
langkah. Tapi, baru saja kakinya menjejak tanah, si 
Nyawa Kuning sudah kembali menyerang Satu puku-
lan keras menggeledek langsung dilepaskan laki-laki 
setengah baya berbaju kuning itu. Pukulan ini disertai 
dengan pengerahan tenaga dalam yang tinggi sekali 
tingkatannya.
"Haiiit..!"
Bayu segera mengegoskan tubuhnya. Dihinda-
rinya pukulan si Nyawa Kuning. Dan, saat itu juga dia 
memiringkan tubuhnya, lalu menghentakkan kakinya 
untuk melepaskan satu tendangan keras menggeledek 
yang disertai pengerahan tenaga dalam sempurna. Be-
gitu cepat serangan balik yang dilancarkan Pendekar 
Pulau Neraka. Si Nyawa Kuning pun tidak sempat 
menghindar lagi. Terlebih lagi saat itu tubuhnya me-
mang sedang doyong ke kanan karena baru melakukan 
pukulan yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. 
Tak pelak lagi, tendangan Pendekar Pulau Neraka 
mendarat telak di perut si Nyawa Kuning. 
Begkh! 
"Hegkh!"
Si Nyawa Kuning melenguh pendek Tubuhnya 
langsung terbungkuk. Perutnya terasa hampir jebol 
terkena tendangan Pendekar Pulau Neraka. Dan, pada 
saat itu juga, Bayu melepaskan satu pukulan keras 
disertai pengerahan tenaga dalam tinggi ke wajah laki-
laki setengah baya berbaju kuning itu.
"Hiyaaa...!"
Plak!
"Akh...!"
***
DELAPAN


Begitu keras pukulan yang dilepaskan Bayu. Si 
Nyawa Kuning sampai menjerit keras melengking. Dan, 
tubuhnya terpental jauh ke belakang. Sebatang pohon 
yang terlanda langsung hancur seketika. Beberapa kali 
si Nyawa Kuning bergelimpangan. Tapi dia masih bisa 
cepat bangkit berdiri. Tampak wajahnya berlumuran 
darah, pecah akibat terkena pukulan keras bertenaga 
dalam tinggi yang dilepaskan Pendekar Pulau Neraka 
tadi.
"Hiyaaa...!"
Belum juga si Nyawa Kuning bisa menguasai 
keseimbangan tubuhnya, mendadak Bayu sudah men-
gebutkan tangan kanannya ke depan, dengan tubuh 
sedikit terbungkuk ke kiri. Seketika Cakra Maut yang 
selalu menempel di pergelangan tangan kanan Pende-
kar Pulau Neraka melesat cepat bagai kilat Begitu ce-
pat senjata maut berwarna keperakan itu melesat Si 
Nyawa Kuning pun hanya bisa terbeliak. Dan...
Crab!
"Aaakh...!"
Satu jeritan panjang melengking tinggi terde-
ngar begitu menyayat Tampak tubuh si Nyawa Kuning 
terhuyung-huyung. Dadanya berlubang dan berlumu-
ran darah tertembus Cakra Maut bersegi enam dan 
berwarna keperakan itu. Saat itu Bayu menghentak-
kan tangan kanannya ke atas kepala. Seketika Cakra
Maut yang terbenam di dada si Mayat Kuning melesat 
keluar dengan cepat. Dan kembali senjata andalan itu 
menempel di pergelangan tangan kanan Pendekar Pu-
lau Neraka.
Darah semakin banyak keluar dari dada si Nya-
wa Kuning. Beberapa saat tubuh laki-laki setengah 
baya berbaju kuning itu limbung terhuyung-huyung, 
lalu ambruk menggelepar di tanah. Terdengar erangan 
kecil. Dan sesaat kemudian dia mengejang kaku lalu 
diam tak bergerak-gerak lagi. Saat itu juga nyawanya 
terbang melayang dari tubuhnya.
"Heh...!"
Bayu menghembuskan napas panjang. Perla-
han dia memutar tubuhnya. Bola matanya meman-
dang lurus ke arah pertarungan antara Dewi Beruang 
Putih dan Ki Laksa. Tampak jelas sekali Dewi Beruang 
Putih begitu kewalahan menghadapi laki-laki tua ber-
jubah putih itu. Dan entah sudah berapa kali gadis itu 
harus menerima pukulan serta tendangan keras yang 
mengandung pengerahan tenaga dalam.
***
"Hiyaaa...!"
Cepat sekali Ki Laksa melompat sambil meng-
hunjamkan ujung tongkatnya yang runcing ke arah 
dada Dewi Beruang Putih. Cepat-cepat Dewi Beruang 
Putih berkelit menghindar ke kiri. Tapi gerakannya ke-
lihatan agak lambat, sehingga ujung tongkat Ki Laksa
masih bisa merobek pundak gadis itu.
Bret! 
"Akh...!"
Dewi Beruang Putih memekik agak tertahan. 
Dia terhuyung-huyung sambil mendekap pundaknya 
yang sobek berlumuran darah. Dan, saat itu pula Ki

Laksa sudah melancarkan serangan lagi dengan tong-
katnya yang terkenal maut dan sangat berbahaya. Ce-
pat sekali tongkatnya dikebutkan dengan gerakan ber-
putar ke arah perut Sedangkan Dewi Beruang Putih 
saat itu masih dalam keadaan limbung. Tak mungkin 
dia bisa menghindari serangan secepat kilat dari laki-
laki tua berjubah putih ini. Tapi, begitu ujung tongkat 
Ki Laksa hampir saja merobek perut gadis ini, menda-
dak.... 
Wus! 
Trang! 
"Heh...?!"
Ki Laksa tersentak kaget setengah mati ketika 
tiba-tiba terlihat secercah cahaya keperakan berkelebat 
begitu cepat menyambar ujung tongkatnya.
Cepat-cepat dia menarik tongkatnya sambil me-
lompat ke belakang beberapa tindak. Tangan kanan-
nya yang menggenggam tongkat terasa bergetar, kare-
na benturan cahaya keperakan tadi pada ujung tong-
kat itu. Dan pada saat itu tampak sebuah bayangan 
berkelebat cepat. Tahu-tahu di depan Dewi Beruang 
Putih sudah berdiri Pendekar Pulau Neraka dengan 
tangan kanan terangkat di atas kepala. 
Tap!
Secercah cahaya keperakan melesat cepat me-
nyambar pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau 
Neraka. Tampak Cakra Maut sudah kembali menempel 
di pergelangan tangan kanan pemuda berbaju kulit ha-
rimau ini.
"Bocah keparat..! Phuih!"
Ki Laksa geram setengah mati begitu menyadari 
bahwa serangannya pada Dewi Beruang Putih tadi di-
gagalkan oleh pemuda berbaju kulit harimau ini Bebe-
rapa kali dia menyemburkan ludahnya dengan geram. 
Sedangkan Bayu terlihat berdiri tenang. Dia berpaling

sedikit pada gadis berbaju putih penuh tambalan dan 
compang-camping yang berada di belakangnya agak ke 
kanan. 
"Bagaimana lukamu?" tanya Bayu.
"Hmm...."
Gadis yang tadi memperkenalkan diri sebagai 
Dewi Beruang Putih itu hanya menggumam. Se-
dangkan Pendekar Pulau Neraka sudah berpaling lagi 
menatap Ki Laksa. Dia melangkah ke depan beberapa 
tindak. Sikapnya masih terlihat tenang karena tahu 
bahwa sekarang Ki Laksa tinggal sendirian. Tapi laki-
laki tua berjubah putih itu belum sadar kalau kini dia 
tinggal seorang diri. Dia belum tahu bahwa dua orang 
pembantu kepercayaannya sudah tewas di tangan 
Pendekar Pulau Neraka.
"Sudah cukup banyak kau merepotkan aku, 
Bocah. Apa sebenarnya yang kau inginkan dariku, 
heh...?" bentak Ki Laksa dengan suara yang lantang 
dan mendesis geram.
"Aku hanya menginginkan jawabanmu saja, Ki. 
Kau pasti bisa menjawab pertanyaanku di kedai tadi," 
sahut Bayu tenang.
"Phuih! Aku tidak akan menjawab pertanyaan 
edanmu!" dengus Ki Laksa mendesis.
"Aku hanya meminta kepastian darimu saja, Ki. 
Dan aku bisa pergi tanpa mengusik mu lagi. Aku da-
patkan keris itu dari orang yang mati akibat ulah tan-
ganmu. Dan aku yakin, kau punya hubungan dengan 
orang itu. Tidak mungkin dia bertarung denganmu jika 
tidak ada persoalan apa-apa," kata Bayu lagi.
"Phuih!"
Ki Laksa hanya menyemburkan ludahnya. Dia 
melirik sedikit pada Dewi Beruang Putih yang masih 
tetap berada agak ke kanan di belakang Pendekar Pu-
lau Neraka. Dan, ketika dia berpaling ke arah lain,

mendadak bola matanya terbeliak lebar. Hampir dia ti-
dak percaya saat melihat tubuh si Nyawa Kuning yang 
sudah menggeletak tak bernyawa lagi. Sedangkan si 
Nyawa Merah sama sekali tidak terlihat Tapi, begitu 
kepala Laksa mendongak ke atas....
"Setan keparat...!" desis Ki Laksa. Wajah Ki 
Laksa seketika merah padam begitu melihat si Nyawa 
Merah tertelungkup di cabang pohon yang cukup besar 
dan tinggi, tidak jauh dari tubuh si Nyawa Kuning 
yang menggeletak di atas tanah. Ki Laksa langsung 
menatap tajam pada Pendekar Pulau Neraka. Dia ya-
kin, pemuda berbaju kulit harimau inilah yang telah 
menewaskan si Perampok Tiga Nyawa. 
"Hmm...."
Ki Laksa menggerung geram, seperti seekor bi-
natang liar yang kelaparan. Sinar matanya yang begitu 
berkilatan dan bersorot tajam tertuju lurus ke bola ma-
ta Bayu yang berdiri sekitar enam langkah di depan-
nya. Dan, saat itu juga..,.
"Hiyaaat...!"
"Hup!"
Secepat Ki Laksa melompat menyerang, secepat 
itu pula Bayu melentingkan tubuhnya ke udara. Dan, 
hunjaman tongkat Ki Laksa hanya mengenai tempat 
kosong.
Sementara itu Dewi Beruang Putih sudah sejak 
tadi bergerak menjauh. Tampak jelas sekali kalau dia 
begitu kelihatan lemah. Darah terus bercucuran keluar 
dari pundaknya yang sobek oleh ujung tongkat Ki Lak-
sa tadi. Gadis berbaju putih dan kumal serta penuh 
tambalan itu menghampiri seekor beruang putih rak-
sasa yang mendekam diam di bawah pohon Beruang 
itu juga tampak terluka dalam cukup parah akibat 
mendapat gempuran gencar dari Ki Laksa dan si Pe-
rampok Tiga Nyawa yang tinggal dua orang tadi.

Sementara itu Bayu berputaran beberapa kali 
di udara. Dan, dengan manis sekali kakinya menjejak 
di tanah. Saat itu Ki Laksa sudah memutar tubuhnya 
dengan cepat sekali. Langsung tongkatnya dikebutkan 
ke arah dada Pendekar Pulau Neraka. Tapi, hanya 
dengan sedikit menarik dadanya ke belakang, ujung 
tongkat yang runcing itu pun lewat di depan dada 
Bayu. Dan, saat itu juga, Pendekar Pulau Neraka me-
narik kakinya ke samping dua langkah.
Cepat sekali Pendekar Pulau Neraka memiring-
kan tubuhnya. Dan, secepat itu pula dia menghentak-
kan kakinya. Dilepaskannya satu tendangan yang begi-
tu keras menggeledek, disertai pengerahan tenaga da-
lam yang sudah mencapai tingkatan kesempurnaan. 
Begitu cepat serangan yang dilancarkan Pendekar Pu-
lau Neraka. Sehingga Ki Laksa tidak sempat lagi berke-
lit menghindar.
Des!
"Akh...!"
Keras sekali tubuh Ki Laksa terpental ke bela-
kang begitu tendangan Bayu mendarat telak di da-
danya. Belum lagi laki-laki tua berjubah putih itu bisa 
menguasai keseimbangan tubuhnya, Bayu sudah 
kembali melancarkan serangan cepat bagai kilat Dia 
melompat sambil melepaskan satu pukulan yang begi-
tu keras disertai pengerahan tenaga dalam yang begitu 
tinggi tingkatannya.
"Hiyaaat...!"
Begkh!
"Aaakh...!"
Kembali Ki Laksa terpental jauh ke belakang. 
Sebatang pohon yang cukup besar seketika hancur 
berkeping-keping terlanda tubuhnya. Saat itu pula 
Bayu sudah kembali melompat menerjang. Cepat seka-
li gerakan yang dilakukan Pendekar Pulau Neraka itu,

sehingga sulit diikuti dengan pandangan mata biasa. 
Dan tahu-tahu dia sudah berdiri dekat dengan tubuh 
Ki Laksa. Bahkan, satu kakinya menginjak dada laki-
laki tua itu. 
"Hegkh...!"
***
"Katakan, di mana Intan Kumala...?" desis Ba-
yu, dingin. 
"Ugkh...!"
Ki Laksa tetap saja belum mau menjawab, 
meskipun pijakan kaki Pendekar Pulau Neraka mem-
buat nafasnya tertahan. Semakin kuat pijakan kaki itu 
di dadanya, semakin sulit pula dia bernapas. Saat itu, 
si Dewi Beruang Putih tampak terperanjat ketika Bayu 
menyebut nama Intan Kumala. Dan, dia langsung 
bangkit berdiri, walaupun baru saja mengambil sikap 
duduk bersila untuk melakukan semadi.
Sementara itu Bayu mengeluarkan Keris Naga 
Emas dari sabuk yang membelit pinggangnya. Saat ke-
ris berwarna kuning keemasan itu berada di dalam 
genggaman tangan Bayu, mendadak...
"Hei.?!"
Tiba-tiba saja si Dewi Beruang Putih terpekik. 
Saat itu pula Bayu berpaling menatapnya. Dan, tanpa 
sadar, pijakan kakinya pada dada Ki Laksa menjadi 
bertambah kuat Akibatnya, laki-laki tua berjubah pu-
tih itu tidak dapat lagi bertahan. Dan...
"Hegkh...!"
Ki Laksa hanya dapat mengejang beberapa 
saat, kemudian terkulai lemas, lalu tak bergerak-gerak 
lagi. Dadanya remuk terinjak kaki Pendekar Pulau Ne-
raka. Cukup lama juga Bayu baru menyadari keadaan 
itu. Dan, cepat-cepat dia menarik kakinya dari dada

laki-laki tua berjubah putih itu. Tapi, Ki Laksa sudah 
sejak tadi menghembuskan nafasnya yang terakhir. 
Bayu cepat melangkah ke belakang beberapa tindak 
Sedangkan si Dewi Beruang Putih menghampirinya 
dengan ayunan kaki agak terseok
"Berikan keris itu padaku!" bentak Dewi Be-
ruang Putih dingin.
Bayu menatap sebentar pada Keris Naga Emas 
yang berada dalam genggaman tangannya. Sungguh 
dia tidak mengerti, kenapa banyak orang yang mengin-
ginkan benda yang kelihatannya biasa ini. Apakah ka-
rena benda ini terbuat dari emas...? Tapi Bayu tidak 
yakin kalau mereka semua menginginkan keris ini ka-
rena terbuat dari emas. Sebentar kemudian dia mena-
tap pada Dewi Beruang Putih.
"Maaf, keris ini harus kuserahkan pada pewa-
risnya yang sah,” kata Bayu dengan tenang tapi ter-
dengar tegas.
"Akulah pewarisnya yang sah!" dengus Dewi Be-
ruang Putih dengan tidak kalah tegasnya.
"Hmm..., bagaimana aku bisa mempercayai-
mu?" tanya Bayu sambil menyipitkan kelopak mata-
nya.
Memang sulit bagi Pendekar Pulau Neraka un-
tuk bisa percaya begitu saja bahwa gadis berpakaian 
pengemis itu adalah pewaris sah Keris Naga Emas. 
Bayu memang belum mengenal orangnya. Dan dia 
hanya tahu, pewaris Keris Naga Emas ini bernama In-
tan Kumala, putri Ki Satria.
Lalu, bagaimana Bayu bisa bertemu dengan 
pewaris sah Keris Naga Emas? Apakah memang Dewi 
Beruang Putih yang berhak memilikinya? Atau dia 
hanya mengakuinya saja, seperti yang lainnya. Dan 
mampukah Dewi Beruang Putih membuktikan bahwa 
dirinya adalah Intan Kumala?

Untuk mengetahui jawabannya, ikuti saja ki-
sah petualangan Pendekar Pulau Neraka dalam epi-
sode "Pewaris Keris Naga Emas."


                               SELESAI














Share:

0 comments:

Posting Komentar