IBLIS PULAU HITAM
Oleh Teguh S.
Cetakan pertama, 1992
Penerbit Sanjaya Agency, Jakarta
Setting oleh: Trias Typesetting
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini.
tanpa izin tertulis dari penerbit.
Teguh S.
Serial Pendekar Pulau Neraka
dalam episode:
Iblis Pulau Hitam
SATU
Iring-iringan itu telah mencapai pinggiran hu-
tan Dandaka menjelang sore hari. Ki Panji Narada
memberi perintah pada murid-muridnya untuk be-
ristirahat. Beliau memeriksa sebuah tandu beru-
kuran sedang yang diusung murid-muridnya seca-
ra bergantian. Setelah memastikan bahwa Praba
Ningrum dalam keadaan tenang, ia bermaksud
memberi perintah pada murid-muridnya untuk
berjaga-jaga.
"Ayah..." panggil Praba Ningrum dengan suara
pelan. Gadis itu tersipu malu manakala si orang
tua berusia sekitar empat puluh tahun lebih itu
menoleh.
Ki Panji Narada tersenyum kecil.
"Kenapa, Nduk...? Kau kembali gelisah?"
"Sedikit, tapi hatiku mengatakan bahwa tem-
pat ini tidak aman. Apakah tidak lebih baik kita
melanjutkan perjalanan?"
"Tempat ini aman, Nduk. Lagipula sudah ham-
pir seharian mereka terus berjalan tanpa istirahat
cukup. Kau tenang-tenang sajalah. Biasa kalau
gadis se usiamu sering merasa gelisah menjelang
bertemu dengan calon suaminya," goda Ki Panji
Narada.
"Ayah bisa saja... tapi sungguh perasaanku tak
tenang bukan karena ingin bertemu dengan Ka-
kang Pranajaya. Seperti ada bisikan yang menga-
takan bahwa tempat ini tak aman untuk kita be-
ristirahat."
Ki Panji Narada terkekeh kecil.
"Itu hanya perasaanmu saja. Ayahmu tak akan
berkata sesumbar, tapi kalau ada yang coba-coba
mengganggumu seluruh murid Perguruan Jari
Sakti ini rela mempertaruhkan nyawa. Nah. kau
tenang sajalah. Ayah akan memberi perintah pada
mereka untuk berjaga-jaga semalaman," sahut
orang tua itu menentramkan hati putrinya.
"Maksud Ayah, kita akan bermalam di sini.
"Ya, kenapa tidak? Desa Sumur Wering satu
hari perjalanan lagi dari sini. Kalau sekarang me-
reka beristirahat, tentu tenaga mereka akan segar
bugar begitu tiba di sana. Apakah kau suka meli-
hat ayahmu serta murid-murid lain berwajah lesu
bercampur letih saat berhadapan dengan calon
besan?"goda Ki Panji Narada kembali.
Praba Ningrum hanya tersenyum. Ia tak tahu
harus berkata apa lagi untuk mencegah niat orang
tua itu.
Kalau Ki Panji Narada berkata demikian, tentu
saja beralasan. Pertama, tempat yang bernama
Hutan Dandaka ini belum pernah terdengar dihuni
oleh perampok atau begal. Kedua siapa yang bera-
ni mengusik-usik dan cari gara-gara dengan Per-
guruan Jari Sakti? Perguruan yang selama ini te-
lah mampu bertahan hampir satu abad lamanya
itu sangat disegani oleh kalangan persilatan. Le-
bih-lebih pada masa kepemimpinan Ayahanda Ki
Panji Narada yang dikalangan persilatan terkenal
dengan gelar Pendekar Jari Sakti. Ilmu silatnya
tinggi dan amat disegani bukan saja oleh kalangan
persilatan, tapi juga kalangan pejabat negara. Se-
bagai putranya, tentu saja Ki Panji Narada mewa-
risi ilmu silat beliau. Berpikir sampai disitu, pasti-
lah orang akan berpikir seribu kali untuk meng-
ganggunya. Apalagi pada saat ini iring-iringan me-
reka membawa calon pengantin perempuan putra
Bupati Sumur Wering yang hubungan kekeraba-
tannya dengan pihak kerajaan amat dekat.
Walau demikian, sebagai orang persilatan tetap
saja Ki Panji Narada mawas diri. Beberapa kali beliau berkeliling tempat itu untuk memastikan
keamanannya. Demikian pula dengan murid-
muridnya. Beberapa orang diantara mereka pun
berkeliling secara bergantian. Setelah yakin tak
ada sesuatu yang patut dicurigakan, beliau duduk
dengan tenang dan jauh dari tenda utama tempat
putrinya, Praba Ningrum, beristirahat.
Senja baru saja berlalu dan mereka bersiap-
siap untuk bersantap malam. Hari ini agak meriah
karena beberapa orang murid berhasil memburu
lima ekor kijang dan lebih dari lima belas ekor ke-
linci. Jumlah itu lebih dari cukup untuk membuat
kenyang dua puluh orang murid Perguruan Jari
Sakti, serta beberapa orang tamu mereka yaitu li-
ma orang pengawal Kabupaten serta tujuh orang
murid-murid Perguruan Tangan Baja. Perlu dike-
tahui bahwa Pranajaya yang merupakan calon su-
ami Praba Ningrum selain Putra Bupati, juga mu-
rid dari Perguruan Tangan Baja. Hal ini amat
membahagiakan hati Ki Panji Narada. Dengan de-
mikian akan terjalin tali persahabatan yang lebih
erat diantara Perguruan mereka berdua.
"Kalian harus makan yang kenyang dan esok
hari bangun pagi-pagi agar kita bisa lebih cepat ti-
ba di sana," kata Ki Panji Narada.
"Dan setibanya disana perut kami akan mele-
dak, Ki. Sebab Kanjeng Bupati telah menyiapkan
hidangan lezat yang bukan main banyaknya!" sa-
hut salah seorang pengawal Kabupaten melucu.
"Ha ha ha ha...! Kapan lagi kalian makan
enak?" timpal seorang murid Perguruan Jari Sakti.
"Mumpung ada kesempatan langka nikmati
dulu sepuas-puasnya."
"Bersenang-senang boleh, tapi harus tetap
waspada!" ingat Ki Panji Narada. "Hal-hal seperti
ini yang kadang membuat manusia lupa akan
keadaan sekelilingnya. Mereka terhanyut oleh su-
asana dan musuh dengan leluasa memporak-
porandakan kita."
"Ah, siapa yang berani mengganggu kita, Ki?"
sahut salah seorang murid Perguruan Tangan Baja
yang bertubuh kekar dengan sikap jumawa.
"Mendengar nama Perguruan kita saja orang
akan berpikir dua kali buat mengusik-usiknya.
Apalagi saat ini Kanjeng Bupati hajat dalam uru-
san kita."
"Betul, Ki!" timpal seorang pengawal Kabupa-
ten.
"Barang siapa yang berani mengganggu rom-
bongan ini, apalagi sampai mengusik Putri Praba
Ningrum, tentu mereka tak akan lepas dari keja-
ran Kanjeng Bupati."
Ki Panji Narada tersenyum kecil.
"Betul apa yang kalian katakan itu, tapi dika-
langan persilatan penuh dengan orang-orang yang
tiada terduga kelakuannya," sahutnya dengan wa-
jah bijaksana. "Dalamnya lautan masih bisa di-
ukur, tapi dalamnya niat yang terkandung di hati
manusia siapa yang tahu? Hari ini mereka takut,
tapi siapa tahu esok hari keberanian mereka se-
makin menggila. Untuk itulah kewaspadaan masih
mutlak dilakukan."
Orang tua itu baru saja selesai bicara ketika
terdengar jerit kesakitan yang disusul munculnya
tubuh salah seorang murid Perguruan Jari Sakti.
Orang itu termasuk salah seorang diantara tiga
orang yang bertugas jaga secara berkeliling.
Mereka terkejut dan bergegas menghampiri,
namun belum lagi sempat mencapai temannya,
orang itu sudah ambruk. Dari tubuhnya terlihat
luka-luka yang mengerikan. Wajahnya rusak, se-
dangkan ditubuhnya terdapat luka yang lebar dan
dalam.
"Koneng?! Astaga, siapa yang melakukan per-
buatan keji ini padamu?!" sentak Pandu Wilantara,
murid tertua Perguruan Jari Sakti murka. Kedua
pelipisnya menegang menahan rasa amarahnya.
Diguncang-guncangkan tubuh Koneng beberapa
kali.
"Kita harus membalasnya!" teriak salah seo-
rang murid Jari Sakti yang lain. Ucapannya me-
nyulut kemarahan yang lain. Serentak mereka
mencabut senjatanya masing-masing dan mulai
bergerak untuk mencari biang kerusuhan itu.
"Tenang! Tenang...!" teriak Ki Panji Narada.
"Kalian jangan bertindak sendiri-sendiri. Dengar
perintahku!"
"Tapi, Ki..." sela Pandu Wilantara terhenti keti-
ka terdengar suara tawa nyaring seperti mengu-
rung tempat itu. Semuanya mencari-cari arah
sumber suara itu.
*
* *
"Ha ha ha ha...! Alangkah lucunya. Sekumpu-
lan kijang-kijang empuk mengira dirinya harimau.
Tapi saat sepasang harimau yang asli muncul, me-
reka menggigil ketakutan. Sungguh lucu! Sungguh
lucu! Hayo, mengaumlah kalian sekarang!"
Serempak semua mata menengadah pada se-
buah pohon tak begitu jauh dari tempat mereka
beristirahat. Seorang laki-laki bertubuh besar
dengan wajah seram, nampak menyeringai buas
dengan sikap meremehkan. Kulitnya hitam dan
memakai pakaian kuning berselang-seling. Pada
punggungnya tersampir sebilah pedang.
Melihat tokoh satu ini, Ki Panji Narada men
gernyitkan alisnya. Rasanya ia belum pernah ber-
temu. Namun merasakan suara tawanya yang
mengandung tenaga dalam hebat, pastilah ia seo-
rang tokoh persilatan berilmu tinggi.
"Kisanak, siapa kau? Kenapa datang langsung
mengejek kami dan apakah kau ada sangkut-
pautnya dengan kematian muridku?" tanya Ki
Panji Narada dengan suara datar.
"Kaukah yang bernama Panji Narada, Ketua
Perguruan Jari Sakti?" balas orang berkulit hitam
itu tanpa memperdulikan pertanyaan Ki Panji Na-
rada. Sikapnya sombong sekali.
Ki Panji Narada masih menahan rasa sabar.
Dengan nada suara yang tak berubah, beliau me-
nyahut, "Benar, namaku Panji Narada dan menge-
tuai Perguruan Jari Sakti. Nah, Kisanak, kalau
kau tak ada urusan dengan kejadian ini kuharap
kau sudi berlalu."
"Ha ha ha ha...! Maut telah di ambang pintu
tapi sikapmu angkuh sekali. Baiklah orang seper-
timu cepat-cepat mencium telapak kakiku. Siapa
tahu kami sudi mengampuni jiwamu yang tak
berharga. Bukankah demikian Kakang Mangga-
la?!" kata orang itu kembali terbahak-bahak. Dan
selesai ucapannya terdengar satu suara menyahut
didahului oleh suara tawanya yang lebih keras
hingga menggetarkan mereka yang mendengarnya.
Ki Panji Narada merasa takjub. Kehadiran teman
si tinggi besar kulit hitam itu sungguh tak disada-
rinya.
"Betul Adik Durbala. Untuk apa kau bertanya
jawab segala dengan cecoro-cecoro busuk ini? Le-
bih cepat kau habisi mereka bukankah lebih
baik?"
Bukan main panasnya hati Ki Panji Narada.
Kedua orang ini betul-betul sengaja mencari gara
gara. Walau begitu, dia sempat merasa aneh. Sia-
pa sesungguhnya kedua orang ini? Dari warna ku-
lit serta ukuran tubuh mereka yang besar, agak-
nya mereka bersaudara. Juga dari pakaian serta
senjata yang mereka pergunakan. Hanya saja
orang terakhir yang dipanggil Manggala bertubuh
lebih besar dan tinggi sedikit dibanding orang per-
tama. Namun angkuh dan seramnya tiada beda.
"Guru, untuk apa debat omong dengan mere-
ka? Sudah jelas orang ini yang membunuh ketiga
murid Perguruan Jari Sakti. Perintahkan kami un-
tuk meringkus dan menghukum mereka!" kata
Pandu Wilantara tak sabar. Kedua tangannya ter-
kepal erat dan sepasang matanya menatap tajam
penuh dendam kepada dua orang asing itu.
"He he he he...! Besar juga nyalimu, bocah. Si-
ni, biar kupecahkan batok kepalamu!"
Dengan tiba-tiba orang yang bernama Mangga-
la melesat dari cabang pohon tempatnya tadi ber-
pijak dan bergerak cepat mengirim satu tendangan
ke arah Pandu Wilantara. Pemuda berusia tiga pu-
luh tahun itu yang memang sejak tadi sudah ber-
siaga, cepat membuang diri. Namun tak urung ia
tersentak kaget. Angin serangan lawan bersiur
kencang dan sempat membuat denyut jantungnya
berdetak semakin cepat.
"Jangan serakah kau, Kakang Manggala! Aku
pun ingin mencicipi mereka!" teriak Durbala yang
ikut turun dan menyerang dua orang murid Pergu-
ruan Jari Sakti yang berada di bawah cabang po-
hon tempatnya tadi berpijak.
Tapi kali ini agaknya Ki Panji Narada sudah
cukup bersabar diri melihat kelakuan dua orang
asing yang menganggap remeh mereka. Dengan
serta merta tubuhnya berkelebat dan menyambut
serangan lawan.
"Kisanak, agaknya kalian perlu diberi pelajaran
agar tidak menganggap bahwa diri bisa berbuat
apa saja!"
"Ha ha ha ha...! Bagus! Bagus! Sudah lama se-
kali aku berniat mencicipi ilmu silatmu. Kata
orang Pendekar Jari Sakti memiliki ilmu silat ting-
gi yang sulit ditandingi. Sebetulnya aku segan
menghadapimu. tapi karena saat ini dia tak ada
dan kau mewarisi ilmu silatnya, bolehkan kau
menghadapiku." sahut Durbala masih dengan si-
kap meremehkan.
Mendengar ucapan lawan bukan main kesal-
nya hati Ki Panji Narada. Tanpa menunda lebih
lama, ia langsung mengeluarkan ilmu silat tingkat
tinggi yang dimilikinya. Dengan demikian lawan
akan terbuka matanya dan tak lagi menganggap
remeh.
Apa yang diharapkan Ki Panji Narada berhasil.
Untuk sesaat lawan dibuat sibuk dan tak sempat
mengejeknya. Kedua jari di tangan kiri dan kanan
Ki Panji Narada kaku dan keras bagai baja. Angin
serangannya tajam bagai kelebatan mata pisau
yang mengiris-iris. Tapi sebentar saja lawan kem-
bali terkekeh-kekeh.
"He he he he...! Betul apa yang kuduga, ternya-
ta ilmu silat Jari Sakti tiada kehebatannya. Ba-
gusnya hanya untuk menepuk lalat."
"Huh, keluarkan pedangmu dan mari berta-
rung sampai seribu jurus. Jangan hanya omong
kosong belaka!" dengus Ki Panji Narada semakin
kesal.
"Pedangku hanya keluar bila aku bosan meli-
hat wajahmu dan memang saat ini aku betul-betul
muak melihatmu."
"Sriiiiing...!" Selesai dengan kata-katanya,
Durbala langsung mengeluarkan pedang yang tadi
tersampir dipunggungnya. Ki Panji Narada sedikit
tcrcekat melihat senjata lawan. Pedang itu tak se-
perti biasanya melainkan bergerigi pada kedua
matanya seperti gergaji. Kalau saja ditusukkan ke
tubuh lawan, niscaya akibatnya sungguh menge-
naskan.
"Kenapa? Mulai takut mati...? He... he... he...!
Lekaslah tusuk jantungmu sendiri sebelum aku
memotes lehermu." ejek Durbala.
"Huh, jangan takabur, Kisanak!" dengus Ki
Panji Narada. "Walau kau punya ilmu setinggi lan-
git, tak nanti aku lari. Sebaiknya sebut siapa ka-
lian dan apa maksud kalian mengacau disini agar
nanti lebih gampang aku mcnuliskannya di batu
nisan!"
"Hebat! Sungguh hebat gertakan mu! Tapi
baiklah, untuk orang yang ingin di alam kubur
nanti. Nah, ingat baik-baik. Kami berdua adalah
Sepasang Iblis Pulau Hitam!"
"Sepasang Iblis Pulau Hitam?" Ki Panji men-
gernyitkan alis. Belum pernah selama ini ia men-
dengar gelar itu. Tapi tentang Pulau Hitam sering
diperbincangkan orang. Kabarnya di sana bercokol
seorang tokoh sesat yang amat sakti. Tapi cerita
itupun lambat laun sirna sendiri seiring sang to-
koh yang tak pernah terdengar lagi kabar beri-
tanya selama hampir setengah abad. Tapi apakah
mereka berdua ini berasal dari pulau itu'.
Tapi tak ada waktu panjang baginya untuk
memikirkan hal itu sebab dengan satu gerakan ki-
lat, ujung pedang lawan nyaris membabat leher-
nya. Ki Panji Narada berkelit ke kiri sambil me-
nundukkan sedikit kepalanya. Tangan kirinya dis-
iringkan dengan cepat ke dada kanan lawan.
"Wuuuut....!"
Namun dengan gerakan yang tak terduga tu
buh Durbala seperti berputar ke kanan, kemudian
melentik ke atas dua kali sambil menyabetkan pe-
dangnya kembali ke leher lawan.
"Yeaaaaah...!"
"Wuk! Wuk!"
"Aaaaakh...!"
Ki Panji Narada tersentak kaget mendengar je-
ritan itu. Baru saja ia seperti terlepas dari incaran
maut dan bernafas lega, dan kini timbul korban
baru. Tidak kepalang tanggung melainkan murid
tertua dan paling diandalkannya, yaitu Pandu Wi-
lantara. Tubuhnya nyaris terbelah dua di bagian
pinggang. Orang tua itu hampir mual isi perutnya
melihat pemandangan yang mengenaskan itu.
"Ha ha ha...! Bocah bagus, sayang kau harus
cepat-cepat menyusul teman-temanmu!" ejek
Manggala sambil berkacak pinggang. Tapi pada
saat itu juga murid-murid Perguruan Jari Sakti
lainnya menyerbu dibantu beberapa orang murid
Perguruan Tangan Baja serta pengawal Kabupa-
ten.
"Bedebah biadab! Kau harus menebus nya-
wanya dengan nyawa busukmu!" teriak seorang
murid Perguruan Jari Sakti sambil menyerang
dengan kalap.
"Wuuceeh, mulut besarmu boleh juga, bocah!"
"Wusss...!"
"Heaaaat...!"
"Crass...!"
Satu lagi lawan tumbang dengan leher hampir
putus disabet pedang maut Manggala. Orang itu
sempat terkekeh ketika yang lain mengurung dan
langsung menyerangnya dengan kalap.
"Bedebah jahanam! Kau terima ini...!" teriak
seorang murid Tangan Baja dengan kalap.
"He he he...! Gerakanmu agak lain dari te
manmu. Apakah kau sudah kalap dan ingin
menghabisi ku secepatnya? Kau boleh bermimpi
bocah!"
"Tutup mulutmu!"
"Ciaaaat...!"
"Plak! Breeet...!"
Dengan telapak tangan kiri terbuka, Manggala
memapaki tinju lawan, lalu dengan leluasa pedang
menyambar ke arah leher. Gerakannya gesit dan
mengandung tenaga dalam kuat. Dalam beberapa
gebrakan saja telah lima orang kembali tewas di-
tangannya. Jerit kematian dan darah seperti
membanjir di tempat itu. Namun walau demikian,
tak seorang pun dari mereka yang berniat untuk
kabur. Sebaliknya mereka malah semakin bernaf-
su untuk menyerang lawan.
*
* *
Sementara itu pertarungan antara Ki Panji Na-
rada dengan Durbala telah berlangsung hingga
dua puluh jurus. Perlahan-lahan mulai terlihat ke-
tua Perguruan Jari Sakti itu mulai tersudut. Saat
ini beliau hanya bisa bertahan mati-matian me-
nyelamatkan jiwanya.
"Ha ha ha ha...! Hanya sampai di sini sajakah
kemampuanmu, tua bangka keropos? Ternyata
nama Pendekar Jari Sakti yang diheboh-hebohkan
orang itu omong kosong belaka. Ilmu silat kalian
picisan dan sama sekali tak berguna!" ejek Durba-
la.
"Jangan banyak omong kau! Terimalah kema-
tianmu!" teriak Ki Panji Narada. Kali ini merubah
jurus dan serangannya semakin cepat. Agaknya
orang tua itu benar-benar ingin mengadu jiwa
dengan lawannya.
"Heaaaa...!"
"Wut! Wut!"
Kedua tangannya yang membentuk tusukan
dan jari tangan menyambar-nyambar di sela-sela
kelebatan pedang lawan. Untuk sekejap Durbala
dibuat jengkel jadinya. Dengan menggunakan te-
naga dalam yang tinggi menahan amarah. pe-
dangnya diayunkan lebih cepat sehingga menim-
bulkan suara angin yang kencang.
"Wuk! Wuk!''
"Ciaaaaat...!"
"Bet!"
Tangan kanan Ki Panji Narada dengan tiba-
tiba melesat ke tenggorokan lawan. Durbala terce-
kat, namun tangan kirinya mengibas bermaksud
ingin menangkis. Tapi dengan tiada disangka, Ki
Panji Narada menarik serangan ketika tubuhnya
melenting ke atas dengan tangan kiri mengarah ke
ubun-ubun lawan. Angin serangannya yang men-
desir kencang menandakan bahwa orang tua itu
mengerahkan tenaga dalam sepenuhnya lewat tu-
sukan dua jari tangannya. Kalau saja Durbala tak
cepat-cepat mengegoskan kepala sambil memutar
tubuh, niscaya ubun-ubunnya akan bolong ditem-
bus jari-jari Ki Panji Narada.
"Wuuuk!"
"Dess!"
Bukan main kalapnya Durbala ketika satu
tendangan kaki kanan lawan menghajar pung-
gungnya. Walau tak berakibat parah bagi dirinya,
tapi sempat juga membuatnya sedikit terjajar.
Saat membalikkan tubuh dan langsung menya-
betkan pedang, ia tak menduga begitu menjejak-
kan kaki, tubuh Ki Panji Narada kembali melentik
ke atas dan berputar dua kali ke arah belakang
dan mengirim satu tendangan yang cukup keras.
"Jangan girang hati dulu kau tua bangka! Kali
ini riwayatmu benar-benar akan tamat!" dengus
Durbala sambil terus menyerang lawan. Pedang di-
tangannya seperti bermata, terus mengikuti ke-
mana pun lawan bergerak menghindar. Dalam se-
kejap saja terlihat bahwa Ki Panji Narada telah
terkurung oleh serangan lawan dan tak ada sedikit
celah pun baginya untuk menghindar.
"Yeaaah...!"
"Tuk! Breet...!"
"Aaaaarghk!"
Ki Panji Narada mengeluh kesakitan. Saat pe-
dang lawan berkelebat menyabet lehernya. orang
tua itu berada dalam genting. Jalan satu-satunya
adalah menjatuhkan diri ke tanah. Tapi seiring
dengan gerakan tubuhnya, pedang lawan kembali
menyambar pinggang. Ki Panji Narada berguling
dan tangan kanannya coba menghantam pergelan-
gan lawan. Ia mengeluh kesakitan ketika dua jari
tangan kanannya patah terkena benturan tadi.
Dan pada saat itulah pedang lawan terus mengha-
jar pinggangnya hingga robek.
"Sekarang terimalah kematianmu...!"
Kembali Durbala mengayunkan pedangnya
dengan bernafsu. Ki Panji Narada tak punya ke-
sempatan lagi menyelamatkan diri kalau saja pada
saat itu dua orang muridnya tak segera memban-
tu.
"Heaaat...!"
"Cecurut busuk, terimalah kematian kalian!"
bentak Durbala sambil membalikkan tubuh dan
menyabetkan pedang.
Breeet...!
"Wuayyaaa...!"
Dengan sekali tebas, pedang Durbala merobek
perut kedua lawan. Terdengar jerit dan lolong ke-
sakitan dua orang itu ambruk dengan isi perut
yang terburai. Namun seketika itu juga tiga orang
lainnya langsung menyerang tanpa mengenal rasa
takut.
"Daluyo, selamatkan Praba Ningrum!" teriak Ki
Panji Narada memberikan perintah pada salah
seorang muridnya yang bermaksud ikut menge-
royok Durbala.
"Tapi, Ki...?"
"Tak ada waktu lagi. Lekas selamatkan putriku
cepat...!"
"Ba... baik, Ki...."
Pemuda berusia dua puluh lima tahun yang
dipanggil Daluyo itu langsung melompat ke tempat
tandu yang paling besar. Namun belum lagi ia me-
langkah jauh, tiba-tiba satu angin serangan seolah
menerpa ke arahnya. Tanpa menoleh lagi pemuda
itu langsung menundukkan kepala dan menghan-
tamkan satu pukulan.
"Wuuk! Praak!"
"Aaaaakh...!"
Daluyo menjerit kesakitan ketika tulang len-
gannya patah akibat benturan suatu benda keras.
Belum lagi ia sempat mengetahui apa yang meng-
hantamnya tadi, satu sabetan senjata tajam
menghunjam dadanya. Pemuda itu menjerit pan-
jang ketika tulang dadanya remuk. Seiring tubuh-
nya ambruk, Durbala terkekeh di dekatnya.
"He he he...! Kenapa aku tak ingat sejak tadi.
Bukankah kalian membawa seorang perempuan
dalam rombongan ini? Kalau tahu begitu tak akan
kubuat kalian menderita lama-lama," ujar Durbala
terkekeh sambil melangkah lebar mendekati tan-
du.
"Jahanam, jangan ganggu anakku!" teriak Ki
Panji Narada berusaha bangkit dan bermaksud
menahan lawan dengan serangan kilat. Namun da-
lam keadaan terluka parah begitu, sulit baginya
untuk bergerak cepat. Juga bila ia mengerahkan
tenaga dalamnya itu sama artinya dengan mem-
bunuh dirinya lebih cepat karena aliran darahnya
mengalir lebih deras. Tapi demi menyelamatkan
putrinya dari bahaya, orang tua itu seperti tak
memperdulikan keadaannya lagi.
Trass!"
"Aaaaakh...!"
Sambil mendengus dingin Durbala mengayun-
kan pedang. Sedetik kemudian terdengar jeritan
tertahan Ki Panji Narada. Kepalanya menggelind-
ing ditebas pedang lawan.
Praba Ningrum yang sejak tadi dan ketakutan
dalam tandunya melihat kehadiran dua orang as-
ing yang mengacau rombongan mereka, kini lebih
terkejut lagi melihat kematian ayahnya yang tra-
gis.
"Ayah...!" teriaknya dengan detak jantung nya-
ris terhenti.
Batinnya terasa hancur dan air matanya tiada
lagi bisa tertahan. Tanpa sadar gadis belia berusia
tujuh belas tahun itu menghambur keluar mem-
buru ayahnya. Namun belum lagi sampai, lang-
kahnya terhenti ketika tangan kiri Durbala meraih
pinggangnya lalu mengepitnya erat-erat sambil
terkekeh-kekeh.
"Ha ha ha ha...! Gadis bagus! Tubuhmu mon-
tok dan wajahmu cantik sekali. Diamlah anak ma-
nis, kau aman dalam dekapan ku!"
"Lepaskan aku! Lepaskaaan! Jahanam keparat!
Lepaskan aku...!"
Praba Ningrum berteriak-teriak histeris beru-
saha melepaskan diri. Tapi Durbala telah mem
perhitungkan hal itu. Sebagai putri Ki Panji Nara-
da, tentu ia memiliki ilmu silat dan kepandaian
yang lumayan, sebab itulah kepitan Durbala amat
kencang. Dan saat kedua tangan gadis itu ber-
maksud menghajar kepala, tangan kanannya ber-
gerak menotok. Praba Ningrum sesaat terkulai
dengan tubuh lemas. Durbala terkekeh-kekeh ke-
ras.
"Kakang Manggala, tinggalkan cecurut-cecurut
tak berguna itu. Tak sukakah kau dengan apa
yang kubawa ini?"
Manggala yang saat itu sedang membantai si-
sa-sisa lawannya langsung tersenyum begitu meli-
hat Durbala mengepit tubuh seorang gadis. Sambil
mengayunkan pedang menghabisi tiga orang la-
wannya, ia langsung melompat meninggalkan
tempat itu mengiringi kelebatan Durbala yang le-
bih dulu bergerak.
"Aaaaaakh...!"
Ketiga orang terakhir dalam rombongan itu
langsung tumbang dengan perut robek dan isinya
terburai keluar. Seketika tempat itu sunyi. Dan
manakala angin bertiup, bau darah nyaris tercium
seketika. Menyapu gelapnya malam menembus be-
lukar dan melewati pegunungan. Dedaunan ter-
tunduk layu, dan bunyi satwa liar terhenti seperti
hanyut dalam duka yang dalam.
*
* *
DUA
Awan kelabu yang sejak tadi menaungi angka-
sa berubah kelam. Beberapa kali kilatan cahaya
petir seperti membelah angkasa yang disusul gelegarnya suara geledek. Pemuda berambut gondrong
itu melompat cepat dari satu tonjolan batu yang
satu ke batu yang lain. Melihat gerakannya yang
ringan dan gesit, nyata bahwa ia memiliki ilmu pe-
ringan tubuh yang cukup handal. Sebentar saja
tubuhnya telah tiba di seberang sungai itu. Seekor
monyet berbulu coklat yang sejak tadi berada di
pundaknya menjerit keras sambil menutupi ma-
tanya ketika kilatan petir kembali membelah ang-
kasa.
"Tenang, Tiren! Jangan takut. Itu hanya per-
tanda bahwa sebentar lagi akan hujan. Tapi kau
kalau terus menjerit, dia akan menyambar mu,"
kata si pemuda yang mengenakan baju kulit hari-
mau itu menakut-nakuti.
"Cieeeet...!"
"Huss, diam! Diam!" Pemuda itu menepuk-
nepuk kepala si monyet bernama Tiren sambil ber-
lari-lari kecil ketika titik-titik air hujan mulai tu-
run. Diliriknya keadaan di tempat itu untuk men-
cari tempat perlindungan. Namun yang terlihat
hanya pohon-pohon besar dari hutan yang tak be-
gitu lebat. Pemuda itu mendesah kesal. Namun
mendadak langkahnya tertahan ketika sepasang
matanya yang tajam mendapati sesosok tubuh ter-
geletak di atas rerumputan.
"Cieeet! Cieeeet!" Tiren menjerit melengking
sambil melompat turun dari pundak Bayu.
"Astaga, kenapa gadis ini?!" sentak Bayu sam-
bil memalingkan wajahnya sesaat. Apa yang dili-
hatnya adalah sesosok tubuh seorang gadis yang
terbaring tanpa sehelai benang pun melekat di tu-
buhnya.
"Tiren, coba bangunkan dia. Barangkali gadis
ini hanya pingsan saja!"
"Cieeet"
Dengan patuh Tiren langsung menjalankan pe-
rintah Bayu. Digoyang-goyangkan tubuh gadis itu
lalu ditutupinya dengan pakaian yang terhampar
tak jauh dari tempat itu. Namun tak terlihat gera-
kan apa pun. Tiren kembali mencericit sambil me-
lompat ke pundak Bayu.
"Apa? Maksudmu gadis ini sudah mati? Mana
mungkin!" sahut Bayu seperti tak mengerti apa
yang dikatakan sahabatnya itu. Bayu segera ber-
balik dan memeriksa keadaan si gadis. Sekejap sa-
ja Bayu langsung mengetahui bahwa gadis itu da-
lam keadaan tertotok. Setelah mcmbebaskan toto-
kannya, Bayu bermaksud membopongnya ke tem-
pat yang teduh di bawah pohon besar. Namun saat
itu juga terdengar suara halus yang menegurnya
dengan sinis.
"Pemuda hidung belang, letakkan gadis itu!"
Bukan main terkejutnya Bayu ketika melihat
seorang gadis muda berwajah galak, berdiri tak
begitu jauh darinya. Mengenakan pakaian hijau
sambil berkacak pinggang. Rambutnya diikat pada
bagian belakang. Di sebelahnya berdiri seorang
pemuda bertubuh kekar dengan kedua tangan
bersedekap. Sepasang matanya menatap penuh
kebencian pada Bayu.
"Kisanak, siapa kalian dan kenapa datang-
datang langsung menuduhku demikian rupa? Na-
maku Bayu Hanggara dan aku bermaksud hendak
menolong gadis ini," jelas Bayu dengan suara lu-
nak, masih tetap membopong tubuh gadis tadi.
"Cia! Pandai sekali kau bersilat lidah. Sudah
jelas keadaan gadis itu bagaimana, kau tentu be-
lum puas dan ingin melampiaskan kembali nafsu
setanmu!" sentak gadis berbaju hijau itu dengan
suara kasar.
"Tinggalkan gadis itu atau aku harus memak
samu dengan cara kekerasan dan sekaligus meng-
hukummu!"
"Sriing!".
Dengan tiba-tiba gadis berbaju hijau itu men-
cabut pedang yang tersampir di pinggangnya. Ke-
mudian menghunus dengan sikap mengancam.
Melihat kelakuan si gadis, Bayu Hanggara atau
yang lebih dikenal dengan sebutan Pendekar Pu-
lau Neraka itu menjadi kesal sendiri. Tanpa men-
gacuhkan mereka, Bayu berbalik dan bermaksud
meninggalkan mereka sambil mengeluarkan suara
di hidung.
"Setan berkeliaran di mana-mana sambil me-
nyerupai apa pun. Terkadang malah menuduh
orang yang tak bersalah apa-apa lebih dulu agar ia
bisa leluasa menjalankan maksiatnya."
"Kurang ajar! Jelas-jelas kau yang telah men-
cabuli gadis itu. Kini malah menuduh kami yang
bukan-bukan!" teriak gadis itu kalap. Agaknya ia
mengerti apa yang di maksud oleh Bayu. Dan tan-
pa pikir dua kali tubuhnya melompat sambil men-
gayunkan pedang.
"Ciaaat!"
"Wus! Wuk!"
Meskipun di tangannya membopong tubuh
seorang gadis Bayu masih bisa mengelak dari sa-
betan pedang. Bahkan dua kali serangan selanjut-
nya berhasil di elakkan Bayu dengan manis. Tu-
buh Bayu melesat beberapa tombak jauhnya den-
gan ke dua kaki menjejak ringan di tanah.
"Nisanak, jangan kau memaksaku untuk ber-
tindak keras. Di antara kita tiada permusuhan
dan aku pun tak pernah mengganggu kalian. Ke-
napa kau begitu bernafsu hendak membunuhku?"
"Pemuda hidung belang keparat! Kalau tidak
kutebas lehermu sekarang, tentu akan banyak ga
dis-gadis malang yang akan menjadi korban niat
busuk dari nafsu setanmu!"
"Kenapa kau beranggapan begitu terhadapku?
Apakah karena kau pernah menjadi korban seseo-
rang yang wajahnya mirip denganku?"
"Tutup mulutmu! Walau kau mengoceh apa
pun jangan harap mataku bisa tertipu dengan pe-
muda sepertimu! Terima seranganku!"
Begitu selesai berkata demikian, kembali tu-
buh gadis berbaju hijau itu mencelat sambil men-
gayunkan pedang. Kali ini gerakan cepat dan ber-
tenaga. Bayu Hanggara yang mulai muak melihat
tingkah gadis itu bermaksud akan memberinya pe-
lajaran. Di letakkannya gadis yang berada dalam
bopongannya dan bersiap menyambut serangan
lawan.
"Heaaaat...!"
"Yeaaaah...!"
Belum lagi gadis itu menjejakkan kaki ke ta-
nah, tubuhnya melayang memapaki. Cakra maut
bersegi enam di tangan kanannya menangkis pe-
dang lawan. Sementara kaki kanannya bermaksud
menghajar ke arah perut.
"Traang!"
"Wuk!"
*
* *
Gadis itu terkejut kaget. Pedangnya bergetar
hebat. Masih untung ia mampu berkelit dari ten-
dangan lawan. Tapi keseimbangan tubuhnya su-
dah tak terjaga lagi. Dan ketika tubuh Bayu men-
jejak ke tanah, dengan cepat kembali ia melentik
dan mengirim satu pukulan sebelum gadis itu me-
nyentuh tanah. Sungguh indah gerakannya. Dan
kali ini gadis itu tak akan mampu menghindar dari
serangan.
"Pemuda keparat! Akulah lawanmu!"
"Wuss!"
"Haiit...!"
Bayu Hanggara melejit ringan manakala pe-
muda yang tadi bersama gadis itu dengan tiba-tiba
menyerang ke arahnya dengan satu pukulan jarak
jauh. Masih untung pendengarannya yang tajam
mengingatkan akan bahaya itu. Ketika kedua ka-
kinya menjejak di tanah pada jarak lima tombak.
Pemuda itu terkekeh kecil. Dilihatnya si gadis ber-
baju hijau mendengus marah dan wajahnya tam-
bah menyiratkan kebencian.
"Hemm, apakah kau bermaksud akan mering-
kusku pula?" tanyanya datar pada pemuda bertu-
buh kekar yang mengenakan baju hitam itu den-
gan suara datar.
"Tergantung...."
"Bagus! Agaknya akalmu lebih di pakai ketim-
bang pacarmu itu."
"Maksudku tergantung dari kata-katamu. Ka-
lau melihat caramu menyerang adikku, tentulah
kau bukan orang baik-baik. Namun demikian aku
tak ingin menuduh orang sembarangan sebelum
jelas persoalannya."
"He he he he...! Tentu saja. Siapa yang tak in-
gin membela pacarnya. Kalau ia menyerang den-
gan bernafsu ingin mencabut nyawaku, dalam
anggapanmu itu hanya sekedarnya saja. Tapi se-
baliknya tidak."
Pemuda bertubuh kekar itu mengerti akan
sindiran lawan. Dia menarik nafas dalam-dalam
untuk menyabarkan diri, kemudian katanya pelan
namun ada kesan mengancam.
"Kalau kau yakin bahwa dirimu tak bersalah,
maka gadis itulah yang menjadi kunci satu-
satunya. Kulihat sekilas ia hanya pingsan. Tentu
sebentar lagi akan sadar, dan kalau kemudian ter-
bukti kau melakukan perbuatan terkutuk itu, kau
tak akan lepas dari tanganku!"
"Ha ha ha ha...!' Boleh juga ancamanmu, so-
bat. Nah, kenapa tak kau urus saja dia sementara
aku menonton di sini."
Pemuda itu mendengus sinis, kemudian mem-
beri isyarat pada gadis berbaju hijau itu untuk
memeriksa keadaan gadis yang masih belum sa-
darkan diri itu.
Sementara itu hujan mulai turun agak deras
dan mereka berteduh di bawah pohon rindang
yang memiliki daun-daun yang rimbun.
Bayu Hanggara hanya memperhatikan saja ga-
dis berbaju hijau itu mengurut-urut pada bagian-
bagian tertentu di tubuh gadis yang tadi ditemu-
kannya. Untuk beberapa saat kemudian terlihat
reaksinya. Gadis itu mengeliat-geliat dengan suara
lirih.
"Ohh...!"
"Tenanglah, Nona. Kau berada di tempat yang
aman. Kami tak bermaksud menyakitimu."
Gadis itu bangkit dan memandang ketiga
orang asing di hadapannya satu persatu. Kemu-
dian menatap dirinya sekilas dan termangu seje-
nak. Tiba-tiba ia menangis tersedu-sedu tanpa se-
bab.
"Nona, tenanglah. Kami hanya bermaksud me-
nolongmu. Namaku Ratih, dan ini Kakangku Ma-
hendra. Aku tahu apa yang telah kau alami. Kalau
kau mengenalinya, katakan pada kami. Orang itu
tak akan lepas begitu saja."
"Alangkah malangnya nasibku. Ohh.... Alang-
kah malangnya..." ujar gadis itu berkali-kali di an-
tara isak tangisnya. "Tiada guna hidup menang-
gung malu...."
"Nona, tenanglah. Kami bersungguh-sungguh
akan membantumu dan membalas sakit hatimu.
Nah, apakah pemuda ini yang telah melakukannya
terhadapmu?" tunjuk gadis berbaju hijau yang
mengaku bernama Ratih pada Bayu Hanggara.
Tapi gadis itu tak menoleh. Ditatapnya gadis
dihadapannya itu dengan wajah sayu.
"Betulkah kalian ingin menolongku...?"
"Tentu saja. Nah. katakanlah siapa orang itu?"
"Cabutlah pedangmu dan bunuhlah aku saat
ini!"
"Nona, jangan main-main! Kami bersungguh-
sungguh akan menolongmu. Orang seperti itu ha-
rus mampus agar tak lagi mencari korban!" den-
gus Ratih.
Gadis itu kembali terisak pelan sambil mengge-
lengkan kepala.
"Kalian tak akan mampu menghadapinya... ka-
lian tak akan mampu..." ujarnya dengan suara le-
mah.
"Cuih! Meski harus berkorban nyawa, aku rela
asal bajingan seperti itu lenyap dari muka bumi
ini! Katakanlah Nona, siapa dia? Apakah pemuda
ini?!"
Sudah dua kali gadis itu menuding padanya.
Jengkel juga perasaan Bayu Hanggara. Agaknya
lekat betul tuduhan gadis ini padanya. Entah apa
sebabnya, tiba-tiba merasa yakin bahwa dialah
yang telah berbuat tak senonoh pada gadis itu.
"Bukan... mereka menamakan dirinya sepa-
sang Iblis Pulau Hitam," sahut gadis itu.
Kemudian ia menceritakan kejadian yang telah
dialaminya dari awal hingga akhir. Selesai gadis
itu bercerita, Bayu Hanggara angkat bicara sambil
melangkah pelan dari tempat itu.
"Nah, Nona... kukira penjelasan Adik Praba
Ningrum telah jelas, bukan? Kalau kalian berniat
membantunya, jangan tanggung-tanggung. Urus-
lah dia dan jangan pernah mengurus orang lain
yang tak bersalah dengan menuduhnya yang ti-
dak-tidak."
Setelah mengajak sahabatnya, Tiren, Bayu
Hanggara melesat dari tempat itu dengan gerakan
ringan. Sebentar saja tubuhnya lenyap dari pan-
dangan mata mereka.
Ratih dan Mahendra masih terpaku dengan
wajah menyesal. Baru saja mereka turun gunung
dan yakin bahwa ilmu yang mereka pelajari sela-
ma ini tiada tandingannya, tiba-tiba dengan mu-
dah seorang pemuda yang sebaya dengan mereka
melayaninya. Betapa tidak? Guru mereka yang di
kalangan Persilatan terkenal dengan gelar Malai-
kat Penyambung Nyawa bukanlah tokoh semba-
rangan. Dalam jajaran tokoh-tokoh golongan putih
beliau termasuk yang amat disegani. Bukan saja
pada ketinggian ilmu silatnya, tapi juga karena ke-
luasan cara berpikirnya dan kebijaksanaan yang
sering dilihat sesama tokoh lain dalam menyele-
saikan setiap masalah. Tapi kini sebagai murid,
mereka bukan saja menganggap lawan remeh, tapi
juga menuduh tanpa alasan yang jelas.
"Sungguh sayang, kita tak mengetahuinya
dengan jelas siapa pemuda itu sebenarnya. Ilmu
silatnya tinggi. Entah dari golongan mana ia be-
rasal...." kata Mahendra pelan.
"Mungkin juga dia murid tokoh sesat, Kakang.
Kenapa di persoalkan sekali? Sikapnya saja sudah
jelas, Dia sama sekali tak tergerak untuk meno-
long sesamanya. Mendengar cerita Praba Ningrum
yang amat mengenaskan itu, tak membuat hatinya
tergerak untuk membasmi tokoh yang menamakan
dirinya Sepasang Iblis Pulau Hitam. Padahal ke
pandaiannya cukup lumayan dan bisa diandal-
kan," sahut Ratih.
"Mungkin ada alasan tertentu dalam hatinya.
Kita tak bisa menerka maksud seseorang dengan
melihat kulit luarnya saja, Ratih...."
"Sudahlah, Kakang.... Untuk apa kita memper-
bincangkan orang yang tak ada. Sekarang bagai-
mana dengan Praba Ningrum? Apakah akan kita
antarkan kepada calon suaminya, yaitu putra Bu-
pati Sumur Wering atau bagaimana?"
"Bagaimana, Praba? Apakah kau bersedia kami
antarkan ke tempat calon suamimu?" tanya Ma-
hendra kembali pada gadis bernama Praba Nin-
grum itu.
Gadis itu terdiam beberapa saat lamanya. Ha-
tinya bimbang bukan main. Masih punya rasa ma-
lukah ia bertemu dengan calon suaminya dalam
keadaan begini? Ohh, rasanya lebih baik mence-
burkan diri ke dalam jurang terjal ketimbang ha-
rus menghadapi aib yang memalukan ini.
"Lebih baik tinggalkan aku saja di sini..." sa-
hutnya lemah.
"Jangan berkata begitu, Praba...." Ratih meme-
gang kedua lengannya dan membujuk.
"Aku mengerti apa yang kau rasakan, tapi le-
bih baik menghadapi kenyataan daripada lari
menghindar. Kami akan menceritakan hal ini pada
mereka. Mudah-mudahan mereka mau mengerti.
Tapi kalau ternyata calon suamimu dan Bupati
Sumur Wering itu berpikiran picik, lebih baik kau
ikut dengan kami ke padepokan. Nah, bagaimana?
Kau mau bukan?"
Praba Ningrum tak langsung menyahut. Di-
pandanginya gadis itu agak lama sebelum men-
gangguk pelan. Ratih tersenyum dan membim-
bingnya perlahan-lahan.
Setelah hujan reda, ketiganya segera berlalu
dari tempat itu. Hati Praba Ningrum masih ga-
mang. Bayangan kelabu senantiasa berada dalam
pikirannya. Namun Ratih selalu menghibur dan
membesarkan hatinya. Perlahan-lahan gadis itu
mampu tersenyum kecil, walau masih terasa ke-
san getir.
*
* *
Ibukota kabupaten kini nampak sepi. Orang-
orang yang tadi berkerumun di halaman depan
rumah bupati, kini bubar satu demi satu. Bukan
saja oleh hujan deras yang seolah sengaja dicu-
rahkan dari langit sejak tadi pagi, namun juga ka-
rena keramaian yang diadakan Kanjeng Bupati ti-
dak seperti yang diharapkan. Putra beliau yang
bernama Pranajaya sejak pagi tadi terus gelisah.
Seharusnya calon isterinya sudah tiba pagi-pagi
sekali. Namun sampai siang tadi, belum terlihat
tanda-tanda kehadiran rombongan tersebut, Hibu-
ran yang beraneka macam didatangkan Ayahan-
danya, seperti tak mampu mengusik kegelisahan
hatinya.
Dan kini senja mulai berakhir. Halaman depan
telah sepi. Panggung besar yang dihiasi oleh rupa-
rupa kembang serta rangkaian janur kuning dan
umbul-umbul beraneka warna bergerak-gerak ter-
tiup angin.
Mungkin mereka mendapat halangan di jalan,
Nak. Berdo'a saja mudah-mudahan bukan mara-
bahaya...." hibur Ayahandanya.
"Tapi hatiku tak bisa tenang, Ayah. Sepertinya
Dinda Praba Ningrum serta yang lain ada dalam
bahaya. Apakah tidak sebaiknya Ayahanda memerintahkan pengawal untuk menyusul mereka?"
tanya Pranajaya dengan wajah cemas.
"Sudah. Siang tadi usai bubar acara, Ayah te-
lah mengirim sepuluh orang utusan. Bahkan gu-
rumu. Ki Anom Subrata sendiri mengirim tujuh
orang murid terbaiknya untuk menyusul rombon-
gan itu."
"Betul, Den Prana !" sahut seorang laki-laki be-
rusia empat puluh tahun lebih bertubuh agak
pendek yang sejak tadi berada di dekatnya.
"Jangan khawatir. Kakang-kakang mu pasti
mampu membereskan persoalan, kalau benar ada
pengacau yang mengganggu rombongan itu."
"Aku tidak meragukan kemampuan Kakang
seperguruan. Guru. Tapi ..... ahh sulit sekali un-
tuk dijelaskan. Entah kenapa kecemasan ku begi-
tu kuat bahwa mereka menghadapi bahaya besar
yang rasanya sulit dibendung. Kalau saja Ayahan-
da mengizinkan, Aku bermaksud untuk menyusul
mereka ke sana."
"Kau pengantin, Nak. Dan mana boleh pengan-
tin berkeliaran kesana kemari. Lagi pula urusan
itu sudah ditangani oleh Kakang seperguruanmu.
Tenangkanlah hatimu, mudah-mudahan sega-
lanya akan cepat beres," hibur Kanjeng Bupati.
Baru saja laki-laki berpakaian bagus selesai
bicara, tiba-tiba terdengar suara orang tertawa
nyaring yang memekakkan telinga. Suara itu da-
tangnya entah dari mana. Mereka mencari-cari
sumber suara itu dan saling berpandangan tak
mengerti.
"Ha ha ha ha....! Alangkah sedihnya hatiku me-
lihat sang pengantin begitu berduka. Tapi untuk
apa sedih, bila pengantin wanita itu sendiri lebih
menyukai diriku dari pada kekasihnya hingga rela
menyerahkan diri ke dalam pelukanku. Ha ha ha...!
"Siapa kau ?! Tunjukkan dirimu !" bentak Ki
Anom Subrata.
"Ha ha ha ....! Orang cebol besar mulut, boleh
juga gertakkanmu, tapi kau tak akan lagi melihat
matahari esok pagi karena kedatanganku kemari
untuk mencabut nyawamu yang tak berharga itu!"
sahut suara tadi.
"Huh, hanya pengecut bermulut besar yang bi-
asanya cuma bersembunyi. Tunjukkan dirimu
atau harus ku paksa dulu untuk keluar!"
"Ha ha, ha ....! kalau benar kau punya nyali,
keluarlah dari tempatmu dan berlututlah minta
ampun. Siapa tahu aku bersedia mengampuni ji-
wamu!"
"Kurang ajar !" Ki Anom Subrata yang lekas
naik darah itu langsung menggenjit tubuhnya ke-
luar dan tubuh pendek itu terus melenting ke wu-
wungan atap dengan satu teriakan menggelegar.
"Yeaaa...!"
"Haiiiiit...!"
Begitu tubuh Ki Anom Subrata melesat, saat
itu pula satu bayangan mencelat dengan ringan
menghindari serangan, dan menjejakkan kaki per-
sis di halaman depan. Kanjeng Bupati serta pu-
tranya dapat melihat jelas sesosok tubuh tinggi
besar berkulit hitam pekat. Memakai baju kuning
berselang-seling hitam. Orang itu menyandang se-
bilah pedang di punggungnya. Rambutnya di-
biarkan lepas terurai sebatas punggung. Wajahnya
tak begitu menyeramkan kalau saja ia tak berkulit
hitam begitu, namun sorot matanya tajam menu-
suk seperti meremehkan setiap orang.
"Siapa kau, Kisanak? Dan apa tujuanmu sebe-
narnya datang ke tempatku ini?" tanya Bupati
Sumur Wering dengan suara lunak.
Namun belum lagi si muka hitam itu menya-
hut, dari atas wuwungan atap tubuh Ki Anom
Subrata meluruk turun dengan satu serangan ki-
lat ke arah orang asing itu.
"Maling busuk ! kali ini kau tak akan lepas da-
ri kejaranku!"
"Ha ha ha ha...! Apakah kau yang bernama
Anom Subrata, Ketua Perguruan Tangan Baja?"
tanya orang berwajah hitam tak mempedulikan
makian lawan. Tubuhnya yang tinggi besar itu
bergerak amat lincah saat serangan orang tua ber-
tubuh pendek itu mengenai tempat kosong.
"Apa maumu sebenarnya?!" bentak Ki Anom
Subrata menghentikan serangannya sambil berka-
cak pinggang. " Benar, akulah Anom Subrata!"
"Ha ha ha ...! kau lihatlah Kakang Manggala.
Sungguh sombong sekali lagak tikus kerdil ini.
Baiknya cepat-cepat direncah, lalu diberikan pada
srigala-srigala kelaparan di hutan sana!" kata si
wajah hitam terbahak-bahak menengadahkan wa-
jah ke atas sambil berkacak pinggang. Suaranya
lantang dan keras membahana diseputar tempat
itu. Hingga tanpa menunggu panggilan dari Bupa-
ti, para pengawalnya langsung berkumpul di ha-
laman depan lengkap dengan senjata masing-
masing.
"Ha ha ha ha...! benar adik Durbala, orang se-
perti dia akan merasa dirinya jago dan harus ce-
pat-cepat di penggal lehernya." sahut satu suara
yang tak kalah kerasnya.
Tiba-tiba mencelat sebuah bayangan dari wu-
wungan atap dan menjejakkan kaki tak jauh dari
Ki Anom Subrata. Sepasang matanya langsung te-
rarah pada Bupati Sumur Wering dengan sikap
mengancam.
"Kalau kau ingin selamat, singkirkan cecurut
cecurut ini dari sini! kami hanya ingin berurusan
dengan tikus kerdil ini!" tunjuknya pada Ki Anom
Subrata.
"Siapa kalian dan ada urusan apa dengan Ki
Anom Subrata?" tanya Bupati masih dengan suara
datar.
"Lagi pula jangan berharap kami tak takut ikut
campur dalam urusan ini. Kalian datang tanpa di
undang, lalu seenaknya cari urusan dengan ta-
muku dan mengacau di pekarangan ini. Itu saja
lebih dari cukup untukku ikut campur dalam ma-
salah mu."
"Bandel!" bentak orang yang muncul belakan-
gan. Wajahnya yang sama hitam dengan orang
pertama tadi, nampak lebih kelam menyiratkan
hawa kemarahan. Urat-urat di kedua pelipis dan
tangannya nampak keluar. Dalam keadaan demi-
kian, orang ini amat menyeramkan, lebih-lebih ka-
rena tubuhnya lebih besar di banding orang yang
pertama yang dipanggilnya, Durbala. Kalau dilihat
sepintas, mereka seperti saudara kembar, sulit di-
bedakan mana kakak dan mana adik . Hanya be-
sar tubuh mereka yang mungkin sedikit bisa dibe-
dakan.
"Kurung mereka!" perintah Bupati dengan sua-
ra tegas. "Tangkap hidup-hidup agar bisa diadili
dan diberi hukuman yang sepadan atas kelakuan
mereka."
Tanpa diperintah dua kali, pengawal-pengawal
kabupaten yang telah berkumpul itu mulai men-
gurung kedua orang asing itu. Kemudian dengan
satu teriakan nyaring senjata berupa golok dan
tombak di tangan mereka langsung meluruk me-
nyerang lawan.
"Heaaaa....!"
"Cecurut-cecurut sialan ! kalau sudah siap
mampus, sini!" bentak Durbala sambil mencabut
pedang di punggungnya.
Sriiing !
Untuk sesaat para pengeroyoknya tersentak
kaget melihat senjata lawan berupa pedang berge-
rigi berukuran lebih besar dibanding pedang lain
pada umumnya. lebih mirip gergaji bermata dua
yang tajam dan kuat. Tapi setelah Bupati kembali
memerintah, semangat mereka bangkit.
"Ayo, kurung buto ijo ini! kurung...!"
"Ringkus....!"
Namun dua orang bertubuh besar itu hanya
tenang-tenang saja seolah menganggap hanya se-
buah permainan belaka. Dan sikap itu di buktikan
oleh serangan balasan mereka yang amat menge-
jutkan. Sekali bergerak, paling tidak tiga orang
langsung ambruk dengan leher hampir putus dan
perut robek lebar hingga isinya ikut terburai ke-
luar. Tentu saja pemandangan ini mengiris hati
Bupati Sumur Wering . Lebih-lebih Ki Anom Sub-
rata, mana bisa orang tua itu berpangku tangan
melihat kejadian ini.
"Iblis biadab! Akulah lawanmu!" bentaknya
sambil melompat ke arah Durbala dengan satu se-
rangan bertenaga kuat.
"He he he he...! bagus, kenapa tidak sejak ta-
di?" ejek Durbala langsung memapaki serangan
lawan dengan sabetan pedangnya.
Terpaksa Ki Anom Subrata menarik serangan,
tubuhnya jumpalitan menghindari sabetan pedang
lawan. Dan dengan gerakkan kilat kaki kanannya
menendang ke kepala Durbala.
"Wuuk !"
"Crass...!"
Ki Anom Subrata mengeluh pelan. Lawan den-
gan mudah berkelit sambil menundukkan sedikit
kepala, pedangnya berkelebat memapas pergelan-
gan lengan lawan. Masih untung Ki Anom Subrata
mampu berkelit meski tak urung bahunya sempat
terkena sabetan senjata lawan.
"Adik Durbala, jangan serakah kau ! Biar tua
bangka, ini bagianku!" teriak Manggala sambil te-
rus melompat meninggalkan para pengeroyoknya
dan langsung menyerang Ki Anom Subrata.
Durbala terkekeh-kekeh sambil menghadang
para pengawal Kabupaten yang menyerangnya.
Dia mengamuk, membabat siapa saja yang berada
di dekatnya. Hingga dalam tempo yang singkat ha-
laman depan rumah Bupati Sumur Wering ini
banjir oleh darah. Sementara itu Manggala tak
memberi sedikitpun kesempatan pada Ki Anom
Subrata untuk melepaskan diri dari serangannya.
Orang tua itu sendiri merasakan serangan lawan
semakin menggila. Beberapa kali ujung pedang
lawan nyaris menyabet kulit tubuhnya. Bila di-
bandingkan dengan lawan pertama tadi, dapat di-
rasakannya bahwa tenaga lawannya yang seka-
rang jauh lebih kuat dan gerakkannya pun lebih
ringan.
"Heaaat...!"
Dengan satu teriakkan menggelegar, Manggala
menyabetkan pedangnya dengan gencar ke arah
tenggorokan lawan. Ki Anom Subrata menunduk-
kan sedikit kepalanya namun kaki kiri lawan lang-
sung menyambut dengan satu tendangan keras. Ki
Anom Subrata terkejut dan cepat-cepat membuang
diri ke belakang sambil bersalto. Namun agaknya
Manggala telah memperhitungkan hal itu. Tubuh-
nya langsung bergerak menyusul dengan tinju kiri
siap menghajar lawan.
"Plak! Crass!"
"Wuayyaaa...!"
Ki Anom Subrata hanya sempat menjerit kecil
ketika pedang lawan menebas pinggangnya hingga
terdengar derak tulangnya yang patah. Tubuhnya
langsung ambruk dengan nyawa lepas. Manggala
berdiri tegak sambil terkekeh-kekeh.
"Mampuslah kau tua bangka keropos!" kemu-
dian melirik ke arah Durbala yang masih asyik
membantai lawan-lawannya.
"Adik Durbala, ayo kita tinggalkan tempat ini!"
"Sebentar, Kakang Manggala ! kau pergilah du-
lu, aku belum puas kalau belum menghabisi cecu-
rut-cecurut kurang ajar ini!"
"Baiklah kalau begitu!" sahut Manggala sambil
melentingkan tubuhnya dan berkelebat dari tem-
pat itu secepat kilat. Dalam sekejap saja tubuhnya
lenyap dari pandangan meninggalkan suara tawa
panjang penuh kemenangan.
*
* *
TIGA
Senja belum lagi berganti ketika Bayu Hangga-
ra tiba di desa Sumur Wering. Suasana terasa se-
pi, dan tanah nampak masih lembab dan sebagian
terlihat tergenang air. Kalau Bayu Hanggara sam-
pai tiba di sini rasanya memang bukan sekedar
kebetulan belaka. Ada yang mengganjal di hatinya
setelah mendengar penuturan gadis bernama Pra-
ba Ningrum itu. Nama Sepasang Iblis Pulau Hitam
baru sekali ini didengarnya, tapi sepak terjangnya
sangat kejam. Walau ia belum melihat sendiri buk-
tinya, tapi dari cerita gadis itu bahwa Perguruan-
nya belum pernah bermusuhan dengan kedua
orang itu. Dan saat pembantaian itu terjadi, tak
pernah didengarnya mereka mengemukakan ala-
san, kenapa memusuhi Perguruan jari Sakti.
Bayu Hanggara, pemuda berbaju kulit harimau
yang lebih di kenal sebagai Pendekar Pulau Neraka
itu baru saja akan melangkahkan kakinya pada
sebuah kedai, terdengar teriakan seseorang dari
kejauhan menghampiri tempat itu.
"Ada pengacau! Ada pengacau...!"
Orang-orang yang berada di sekitar tempat itu
segera menghampiri orang tersebut. Salah seorang
mencekal lengannya.
"Ada apa?!"
"A... ada pengacau di rumah Bupati. Ba... ba-
nyak yang tewas! Cepat bunyikan kentongan!" ce-
rita orang itu sambil mengatur nafasnya yang
memburu.
"Siapa?" tanya yang lain.
"Tidak tahu. Mereka cuma berdua. Tubuhnya
tinggi besar dan berkulit hitam!"
Bayu Hanggara yang mendengar cerita orang
itu jadi tergerak hatinya. Menurut penuturan Pra-
ba Ningrum, dua orang pengacau yang membantai
rombongan mereka persis seperti apa yang di tu-
turkan orang tadi. Mungkinkah ia mendatangi ke-
diaman Bupati karena kurang puas dengan kor-
ban di pihak mempelai wanita?
Tanpa membuang waktu lagi Bayu segera
menggenjot tubuh dan berlalu dari tempat itu se-
cepatnya. Tiren, si monyet kecil sahabatnya ribut
menjerit-jerit kecil.
Apa yang dikatakan orang itu ternyata benar.
Tiba di halaman depan kediaman Bupati, Bayu
Hanggara melihat mayat-mayat bergelimpangan
dalam keadaan yang menggenaskan. Sementara
seorang lelaki bertubuh besar dengan kulit hitam
kelam nampak sedang bertarung dengan tiga
orang pengawal Bupati dan seorang pemuda ber-
wajah tampan. Dengan menggunakan pedang ber-
gerigi, si tinggi besar terus mendesak lawan-
lawannya sambil terkekeh-kekeh kegirangan.
"He he he he...! Tikus-tikus busuk bau tanah,
sebentar lagi jiwa kalian yang tak berharga itu
akan ku kirim ke akherat!"
"Jahanam berwajah hitam, jangan kira kami
takut padamu!" Orang sepertimu layaknya berada
di neraka!" sahut si pemuda berwajah tampan itu
marah.
"Tiada angin tiada hujan kau datang memban-
tai dan membuat kekacauan."
"Kaukah yang bernama Pranajaya, calon man-
tu si Panji Narada itu? Kalau benar, sungguh sua-
tu kebetulan, he he he...! Calon istrimu berwajah
cantik dan tubuhnya amat menggiurkan. Sayang
kalau dilewatkan begitu saja."
"Apa maksudmu, keparat?!"
"Maksudku, si tua bangka Panji Narada telah
kami kirim ke akherat beserta yang lainnya, se-
dangkan calon istrimu telah kucicipi lebih dahu-
lu!"
"Keparat! Perbuatanmu sungguh biadab.
Orang sepertimu memang layak mampus!" teriak
si pemuda berwajah tampan yang tak lain adalah
Pranajaya, putra Bupati Sumur Wering. Golok di
tangannya berkelebat dengan cepat, serta tinju ki-
rinya mulai menghitam pertanda bahwa ia menge-
rahkan tenaga dalam yang hebat.
"He he he he...! Apa yang bisa kau andalkan
dari ilmu silat picisan itu? Gurumu sendiri telah
kami buat mampus, apalagi kau yang cuma punya
kepandaian seujung kuku," kembali si tinggi besar
yang bernama Durbala itu mengejek.
"Biar pun kepandaianku tak seberapa, tapi
aku rela mengadu jiwa denganmu. Heaaaat...!"
Dengan satu teriakan menggelegar, Pranajaya
menghantamkan tinju ke dada kiri lawan. Durbala
terkekeh dan menangkis dengan tangan kirinya.
Tapi Pranajaya pun tak bodoh. Dari beberapa kali
gebrakan dirasakannya bahwa tenaga dalam la-
wan lebih tinggi beberapa tingkat diatasnya. Dita-
riknya kembali serangan itu dan menyabetkan go-
lok dengan gerakan kilat ke perut.
"Trang! Breet!"
"Uughk!"
Pranajaya mengeluh pendek. Pada saat golok-
nya menebas perut lawan, Durbala lebih cepat
menyapu pedangnya ke bawah dan terus men-
gayunkan kaki ke arah selangkangan. Pranajaya
kalang kabut menghindarinya dengan menggeser
tubuhnya ke kiri. Pada saat itulah ujung pedang
lawan berhasil mengenai dadanya. Masih untung
dia mempunyai ilmu silat yang patut diacungkan
jempol hingga ujung pedang lawan hanya meng-
gores sedikit luka di dadanya.
"Nah, susullah gurumu di akherat!" bentak
Durbala sambil kembali mengayunkan pedangnya
menyambar tubuh Pranajaya yang dalam keadaan
terjepit. Tepat pada saat itu ketiga pengawal kabu-
paten yang lain menerjang ke arahnya.
"Yeaaaaa...!"
"Bet!"
"Trang!"
*
* *
Durbala tersentak kaget. Walaupun dia tak
melihat, namun pendengarannya yang terlatih da-
pat merasakan kehadiran serangan bokongan la
wan. Bisa dipastikan, dalam sekali gebrakan keti-
ga lawannya pasti tewas. Namun yang dihadapinya
justru pedangnya seperti menghantam batu cadas
yang bukan main kerasnya. Tangannya terasa ke-
semutan saat menangkis tadi. Durbala menge-
goskan tubuhnya pelan dan menangkap sebuah
kilauan cahaya perak yang bergerak ke arah seo-
rang pemuda berambut panjang yang tiba-tiba ada
di tempat itu. Sepasang matanya menyipit mem-
perhatikan.
"Siapa kau?" bentak Durbala.
"Siapa pula kau?" balas si pemuda berambut
panjang yang tak lain adalah Bayu Hanggara, ba-
lik bertanya tak kalah garangnya.
Durbala melihat sinar perak yang dia lihat tadi
berasal dari sebuah cakra terbuat dari perak yang
bersegi enam dan menempel di lengan kanannya.
"Kalau tak salah, bukankah kau yang bergelar
Pendekar Pulau Neraka?"
"Tak salah, Kisanak. Begitulah orang-orang
memanggilku. Apakah kau salah seorang dari Iblis
Pulau Hitam?"
"He he he he...! Akhirnya bertemu juga dengan
orang yang sangat kuharap-harapkan. Tapi siapa
sangka Pendekar Pulau Neraka yang termasyhur
itu begitu cepat mengenali Iblis Pulau Hitam. Apa-
lagi kalau bukan takut dan ingin memohon belas
kasihan!" ejek Durbala.
Bayu Hanggara tertawa sinis.
" Ya, siapa yang tak kenal dengan kalian? Bau
busuk akan cepat menyebar ke mana-mana. Ada
urusan apa kau mencari-cariku, Kisanak?"
"Untuk memenggal kepalamu!"
"Memenggal kepalaku? Hi hi hi hi...! Kenapa
tidak kau katakan sejak tadi? Kalau tahu kau
mencari-cariku, tentu dengan senang hati aku
akan memberikannya, tapi setelah jantungmu ku
keluarkan lebih dulu."
"Bedebah! Kau kira bisa menjagoi dunia persi-
latan seenakmu? Hari ini terimalah kematianmu!"
Dengan satu lompatan ringan Durbala men-
gayunkan pedangnya ke arah leher lawan. Bayu
masih terlihat tegak mematung dan memperhati-
kan dengan seksama gerakan lawan. Kalau saja
mereka tak tahu siapa pemuda itu, tentu akan
menganggapnya sok jago dan hanya mencari mati
saja.
"Heaaaa...!"
"Wuss! Wuuk!"
Dua jengkal lagi ujung pedang lawan akan me-
nebas lehernya. Bayu memiringkan sedikit kepa-
lanya, dan menangkis tinju kanan lawan dengan
tangannya. Bukan main terkejutnya hati Bayu.
Tangannya terasa kesemutan setelah benturan itu.
Belum lagi habis rasa kagetnya. kembali pedang
lawan menyambar ke arah pinggang. Cepat-cepat
Bayu Hanggara menjatuhkan diri sambil bergulin-
gan menghindari sambaran pedang lawan yang
bertubi-tubi. Dan dalam satu kesempatan, tubuh-
nya tiba-tiba melenting sambil terus bersalto bebe-
rapa kali ke belakang pada jarak tujuh tombak.
Durbala tak mengejarnya, tapi mengeluarkan
suara sindiran sambil tersenyum mengejek.
"Menganggap remeh, heh? Lebih sering kau
begitu nyawamu akan cepat melayang dan aku tak
perduli. Lebih cepat kau mampus lebih baik."
Bayu Hanggara tersenyum kecil. Diliriknya se-
kilas suasana di tempat itu yang mulai ramai. Te-
riakan-teriakan pemuda-pemuda desa yang geram
melihat mayat-mayat bergelimpangan, segera di-
tingkahi oleh suara berwibawa seorang laki-laki
setengah baya yang tak lain dari Bupati Sumur
Wering.
"Tenang! Tenang! Pengacau ini memang harus
di tangkap dan di adili. Tapi dia amat berbahaya.
Jangan sampai timbul korban sia-sia kembali."
"Tapi Kanjeng Bupati, orang itu harus segera di
tangkap! Dia telah membunuh banyak orang!" sa-
hut seseorang.
"Benar! Dia tak perlu diadili tapi bunuh saja!"
sahut yang lain lagi bersemangat.
Bupati itu kembali berteriak-teriak mencegah
tindakan nekat warganya. Tapi orang-orang itu se-
perti sudah kerasukan setan. Hati mereka penuh
dengan amarah dan dendam. Bagai air bah yang
meluap, mereka langsung menyerang Durbala.
"Bunuh! Bunuuuh...!"
"Cacah tubuhnya...!"
"Tikus-tikus got mau mampus, majulah kalian
semua!" bentak Durbala garang. Tubuhnya lang-
sung berkelebat dengan pedang terayun siap men-
cari mangsa.
Bayu Hanggara yang menyadari bahwa orang-
orang desa itu bukanlah lawan yang sepadan bagi
Durbala, segera menggenjot tubuh, menghalangi.
"Cukup! Mereka bukanlah lawan kalian. Mari
kita teruskan permainan kita tadi!"
"Yeaaaa...!"
"Trang! Wuuk!"
Melihat Bayu menghadangnya, Durbala lang-
sung menyabetkan pedang sambil mengayunkan
tendangan ke ulu hati. Namun dengan mantap
Bayu Hanggara menangkis dengan cakra mautnya.
Tubuhnya melengkung ke belakang dan terus ber-
salto dengan kedua kaki menghantam pantat la-
wan. Tapi Durbala telah memperhitungkan hal itu.
Tubuhnya bergerak menghindar ke belakang. Na-
mun belum lagi kedua kakinya menjejak tanah,
belasan ujung golok telah menantinya.
"Heaaaat...!"
"Trang! Trang!"
Pedangnya menyambar ke sana ke mari me-
mapaki serangan pengeroyoknya. Beberapa buah
golok terpental, namun secepat itu pula yang lain-
nya menghunus tanpa mengenal takut.
"Serbuuuu...!"
"Rencah...!"
Menghadapi serangan gencar itu sebenarnya
Durbala tak takut. Juga dia merasa mampu me-
layani, bahkan menghabisi mereka satu persatu.
Namun yang diperhitungkannya saat ini adalah
Pendekar Pulau Neraka itu. Dalam gebrakan tadi
saja terasa tangannya sakit dan linu. Hawa seran-
gan pemuda itu menekan kuat dan dibarengi te-
naga dalam kuat. Pendekar Pulau Neraka pun
nampaknya tak mau perduli dengan keadaannya
saat ini. Di antara keroyokan orang-orang desa itu,
tubuhnya melayang-layang menyambar ke mana
saja ia dapat menghindar.
"Huh, tak kusangka ternyata nama Pendekar
Pulau Neraka cuma pepesan kosong belaka. Kau
mencari kesempatan dalam kesempitan. Karena
merasa tak mungkin menghadapiku satu lawan
satu kau gunakan kesempatan ini untuk menga-
lahkanku," ejek Durbala.
Bayu Hanggara terkekeh kecil, "Aku tak perdu-
li apa pun ocehanmu. Yang jelas saat ini kau ha-
rus mampus! sahut Bayu.
"Pendekar Pulau Neraka, ku tantang kau duel
satu lawan satu tanpa cecoro-cecoro ini!" teriak
Durbala sambil melompat tinggi dan berusaha lari
dari keroyokan. Namun pada saat itu juga mende-
sir sebuah benda berwarna perak ke arahnya dan
nyaris menghajar pinggang kalau saja tubuhnya
tak dimiringkan ke kiri.
"Bangsat!"
"Jangan coba-coba lari dari hadapanku, Kisa-
nak! Kau harus mempertanggungjawabkan perbu-
atan biadab mu!" sahut Bayu sambil tertawa pe-
lan. Tangan kanannya menangkap cakra maut
yang melayang ke arahnya kembali.
"Pendekar picisan, kalau begitu aku akan
mengadu jiwa denganmu!" kata Durbala geram.
Dengan satu teriakan melengking Durbala me-
nerjang Bayu Hanggara sambil menghunus pe-
dang kepada pengeroyoknya yang coba mengha-
langi. Namun bersamaan dengan Bayu sudah me-
lesat memapakinya.
"Yeaaaa...!"
"Haiiiit...!"
Agaknya kali ini Durbala benar-benar kalap.
Serangannya hebat bukan main. Terarah pada
sembilan titik kematian di tubuh lawan. Tenaga
dalam yang dikeluarkannya pun telah mencapai
tingkat yang paling tinggi. Angin serangannya
mampu membuat beberapa orang tubuh penge-
royoknya limbung.
"Wuss...!"
"Bet!"
Bayu Hanggara benar-benar kagum dibuatnya.
Dalam dua jurus pertama ia benar-benar merasa
kalang kabut dan hanya bisa bertahan menghada-
pi serangan lawan. Selain ayunan pedang bergerigi
yang lihai dan cepat, tangan kiri lawan juga sering
menghantam dengan pukulan jarak jauh. Baru sa-
ja ia merasa lepas dari incaran maut ketika kele-
batan pedang lawan disusul dengan pukulan ber-
tubi-tubi yang dilakukan dari jarak satu tombak.
Kalau saja saat itu keadaan Durbala lebih leluasa,
bisa jadi ia akan terluka.
"Bangsat sialan! Terimalah kematian kalian!"
teriak Durbala geram ketika serangannya yang di-
tujukan ke Bayu dikacaukan oleh para penge-
royoknya yang masih terus bernafsu untuk meng-
habisinya.
"Kaulah bangsat paling busuk yang patut
mampus!" sahut seorang di antara mereka dengan
garang. Yang lain menyahut serempak.
"Heaaaaat..!"
"Trang! Breeet...!"
"Wuaaaa...!"
Ujung pedang Durbala kembali meminta kor-
ban saat dua orang terdekat yang begitu bernafsu
akan membunuhnya kalah cepat dengan keleba-
tan pedangnya. Pekik kematian kembali mengge-
ma. Tapi tidak membuat yang lainnya menjadi ta-
kut. Bahkan kemarahan mereka menjadi dua kali
lipat.
"Jahanam keparat, mampuslah kau!" teriak sa-
lah seorang sambil menghunuskan goloknya. Dur-
bala memapaki dengan pedangnya, tapi rupanya
orang tahu, tidak guna ia beradu senjata karena
tenaga dalam lawan lebih tinggi beberapa tingkat
di atasnya. Maka dengan satu gerakan manis tu-
buhnya membungkuk dan berputar sambil me-
nyabet perut lawan.
"Uts! Brengsek!" Durbala tersentak. Sedikit sa-
ja ia lengah, ujung golok lawan pasti telah mero-
bek kulit perutnya. Agaknya ia tadi terlalu men-
ganggap remeh pada lawan sehingga melupakan
pertahanan sendiri.
Namun ketika tubuhnya berkelebat ke atas,
justru satu bayangan yang bergerak secepat kilat
menyambar ke arahnya. Durbala terkesiap, na-
mun tak mungkin lagi mengubah gerakan pada
saat sedang mengapung begini. Jalan satu
satunya hanya mengempos tenaga dalam dan
memapaki bayangan itu.
"Hiiih...!"
"Plak!"
"Wus!"
"Buk...!
"Aaakh...!" Durbala menjerit tertahan ketika
satu tendangan keras menghantam punggungnya.
Tubuhnya terhuyung-huyung ketika kedua
kakinya menjejak tanah. Namun pada saat itu se-
rangan dari pada pengeroyoknya semakin bernaf-
su saja. Rasanya sulit bagi Durbala bertahan lebih
lama kalau keadaannya terus begini.
*
* *
EMPAT
Apa sebenarnya yang terjadi pada Durbala ta-
di? Ketika tubuhnya melesat ke atas saat itu pula
Bayu Hanggara mengirim satu serangan. Walau
pun tahu bahwa ia mampu menahan pukulan ja-
rak jauh lawan yang berisi tenaga dalam kuat, tapi
ia memilih menghindar. Telapak kirinya menang-
kis tinju kanan lawan, dan bertumpu hingga tu-
buhnya melenting ke atas sambil berputar ke arah
punggung Durbala, lalu mengirim tendangan ke-
ras.
Dan kini setelah merasakan tulang punggung-
nya seperti remuk, Durbala harus menghadapi an-
caman lain. Gerakannya tersendat dan tak leluasa
seperti tadi. Dari sudut bibirnya menetes darah
kental kehitam-hitaman.
"Crass!"
"Kena!" teriak seseorang ketika ujung senja
tanya berhasil melukai betis lawan.
"Ayo, teman-teman hajar terus!"
"Benar! Sebentar lagi dia tentu lemas setelah
tubuhnya penuh luka!" sahut yang lain.
"Cincaaaaang....!"
"Yeaaaah…!"
Dengan sisa-sisa tenaganya, Durbala yang se-
dang terluka dalam masih cukup berbahaya.
Ujung pedangnya kembali berhasil melukai tiga
orang lawan sebelum ia sendiri dihajar oleh Bayu
Hanggara ketika berusaha menangkis serangan
pemuda itu. Melihat lawan masih berusaha men-
coba untuk menahan, Bayu Hanggara malah sen-
gaja mengempos tenaga dalamnya. Akibatnya
sungguh fatal. Bukan saja Durbala terlempar se-
jauh tiga tombak, tapi juga luka dalam yang dide-
ritanya pun bertambah parah. Durbala berusaha
bangkit dengan tubuh bergetar dan bertumpu pa-
da pedang yang ditancapkan ke tanah. Darah ken-
tal kehitam-hitaman berkali-kali menetes dari su-
dut bibirnya yang terkatup rapat.
"Ayo, dia sudah terluka! Cincang..!" teriak se-
seorang memberi komando pada yang lainnya.
Bayu Hanggara terkekeh sinis dan tak berusaha
mencegah tindakan orang-orang desa itu. Bisa di-
bayangkan, dalam sekejap saja tubuh Durbala
akan tercerai berai dihajar bermacam-macam sen-
jata tajam. Namun pada saat itu terdengar benta-
kan keras yang disusul melesatnya satu bayangan
ke arah Durbala.
"Tikus-tikus busuk! Kalian akan merasakan
pembalasannya nanti!"
Gerakan bayangan itu luar biasa ccpatnya.
Ujung senjata warga desa itu nyaris terhunjam ke
tubuh Durbala kurang dari dua jengkal lagi, tiba-
tiba jasadnya seperti raib entah ke mana. Tentu
saja hal ini membuat mereka terkejut setengah
mati dengan hati geram bercampur heran. Apakah
dalam keadaan terluka parah itu pun lawan masih
bisa bangkit dan bergerak cepat?
Kalau warga desa itu heran dan bertanya-
tanya, kemana lenyapnya tubuh Durbala, tidak
demikian dengan Bayu Hanggara. Matanya yang
tajam dan terlatih sempat melihat seorang laki-laki
bertubuh tinggi besar dan berkulit hitam kelam,
serta mengenakan baju yang sama dengan baju
Durbala, membawa tubuh Durbala keluar dari
tempat itu. Bisa jadi orang itu teman atau saudara
kembar Durbala yang dijuluki si Iblis Pulau Hitam.
Maka tanpa berpikir panjang lagi, tubuhnya berke-
lebat cepat sambil menghantamkan pukulan jarak
jauh ke arah orang itu yang berhasil menyela-
matkan Durbala.
"Bangsat! Kau pikir bisa berbuat seenakmu di
depan mataku?" bentak Bayu Hanggara.
"Wusss!"
"Weer!"
Pukulan jarak jauh yang di lontarkan Bayu
Hanggara itu dengan manis dihindarkan oleh la-
wan, bahkan secara tak terduga kembali balas
menyerang dengan pukulan jarak jauh pula yang
tak kalah kuatnya di banding pukulan Bayu.
"Haaeeep...!" Bayu Hanggara yang tak mendu-
ga hal itu cepat-cepat membuang diri ke samping,
dan terus melenting dengan satu serangan bala-
san. Namun saat itu juga terlihat bayangan tadi
telah berlari menjauh. Dengan geram Bayu me-
lempar Cakra mautnya.
"Zwiing!"
Cakra Maut bersegi enam berwarna keperakan
ini mendesing bagai anak panah dan berputar-
putar menyambar mangsa. Orang itu menangkis
dengan pedangnya, tapi senjata itu melejit dan
sempat menggores bahunya sebelum kembali ber-
putar dan berbalik ke arah Pendekar Pulau Nera-
ka.
Bayu mendengus kesal. Sepasang matanya
masih menatap jalang ke arah bayangan itu le-
nyap. Suara hiruk-pikuk orang-orang desa yang
berusaha mengejar, seolah tak mengusik kegusa-
ran hatinya. Setelah beberapa saat kemudian, ba-
rulah ia melangkah dari tempat itu tanpa menghi-
raukan keadaan sekelilingnya.
"Kisanak! Eh... ng... maaf, kalau Kisanak sudi,
Kanjeng Bupati berkenan mengundang ke rumah,"
kata seorang pengawal Bupati sambil menjura
hormat.
Bayu melirik ke ruang depan. Dilihatnya seo-
rang laki-laki setengah baya berpakaian bagus
menganggukkan kepala sambil tersenyum. Pende-
kar Pulau Neraka itu mengerutkan keningnya se-
dikit, seakan dia tengah berpikir sebelum menye-
tujui ajakan orang itu.
Namun baru berjalan beberapa langkah, mun-
cul tiga orang yang tadi bertemu di tepi hutan. Si
gadis berbaju hijau yang berwajah cantik masih
menunjukkan wajah tak senang, sementara gadis
di sebelahnya menundukkan kepalanya. Sedang-
kan pemuda bertubuh kekar di sampingnya hanya
melirik sekilas padanya.
"Praba Ningrum...!" teriak Pranajaya begitu me-
lihat gadis yang menundukkan wajahnya.
*
* *
Pemuda itu cepat-cepat menghampirinya den-
gan wajah penuh haru.
"Kau... kau tak apa-apa?" tanya Pranajaya
dengan suara yang jadi tergagap.
Gadis yang dipanggil Praba Ningrum tidak me-
nyahut, bahkan semakin menundukkan wajahnya
lebih dalam.
"Praba Ningrum, kau tidak apa-apa?" tanya
pemuda itu lagi.
Putra Bupati Sumur Wering mengapit kedua
lengan gadis itu. Praba Ningrum menatap Prana-
jaya sesaat, kemudian berpaling sambil terisak
memeluk gadis berbaju hijau yang tak lain dari
Dewi Ratih.
"Kenapa, Praba...? Apa yang terjadi?" tanya
Pranajaya lagi.
Jelas sekali terdengar dari nada suaranya, ka-
lau dia begitu cemas melihat Praba Ningrum me-
nangis terisak di dalam pelukan Dewi Ratih. Pra-
najaya jadi serba salah, tidak tahu lagi apa yang
bisa dilakukan.
"Kisanak, tenanglah kau..." kata Dewi Ratih
sambil menepiskan tangan Pranajaya. "Dia sedang
mengalami tekanan batin yang cukup hebat."
"Oh, maaf! maaf sampai kami melupakan ka-
lian berdua. Ng... siapa kalian berdua ini? Apakah
masih saudara jauh dari Praba Ningrum?" ujar
Pranajaya, baru sadar bahwa di tempat itu ada
orang lain lagi.
"Bukan. Kami hanya kebetulan bertemu den-
gannya ketika ia tak sadarkan diri di tepi hutan..."
"Tak sadarkan diri? Oh, apakah yang telah ter-
jadi padanya?"
Dewi Ratih terdiam sejenak. Sulit rasanya
menjelaskan kejadian yang menimpa Praba Nin-
grum dalam keadaan begini. Tapi untunglah Pra-
najaya cepat membaca situasi. Buru-buru ia men-
gajak mereka ke dalam sementara Bayu Hanggara
telah lebih dulu berbincang-bincang dengan Bupa-
ti.
Adiknya Praba Ningrum berkeras membatalkan
rencana perkawinan mereka tanpa menjelaskan
alasan yang kuat. Tentu saja hal itu tak bisa dite-
rima Pranajaya. Gadis itu pun sulit menerangkan.
Untunglah ada Dewi Ratih yang bersedia menjadi
perantara. Pranajaya membawa mereka berdua
masuk ke dalam sebuah kamar. Lama sekali Dewi
Ratih berdiam sebelum menjelaskan duduk per-
soalan yang sebenarnya atas kejadian yang me-
nimpa Praba Ningrum.
Bukan main geram dan sakit hatinya Prana-
jaya setelah mendengar penuturan itu. Kedua pe-
lipisnya menggembung dan sepasang matanya na-
nar. Kedua tangannya terkepal menahan marah
yang memuncak.
"Jahanam keparat! Mereka tak akan lepas dari
tanganku...!" dengusnya perlahan.
"Kisanak, hal itu bisa diurus belakangan. Yang
penting saat ini adalah calon isteri mu. Dia dalam
keadaan goncang. Di sinilah batu ujian pertama
mu teruji. Apakah kau akan menolaknya setelah
kejadian itu?"
Pranajaya tak langsung menjawab tapi malah
mendekati Praba Ningrum sambil mengamati ke-
dua lengannya. Tangan kanannya meraih dagu
gadis itu hingga tatapan mereka bertemu.
"Praba... kenapa kau berpikir begitu? Walau
apapun yang menimpamu, tak mungkin aku men-
campakkan mu begitu saja. Percayalah, sedikitpun
aku tak berpaling. Kejadian ini bukan keinginan-
mu, aku tahu betul. Perkawinan kita akan tetap
dilaksanakan."
"Syukurlah kalau memang demikian. Tugasku
selesai, dan kami mohon pamit, Kisanak." kata
Dewi Ratih sambil berlalu dari kamar itu.
"Ah, kenapa buru-buru? Kami bahkan belum
sempat menjamu kalian. Tinggallah beberapa saat
lagi."
"Terima kasih. Kami bermaksud mencari ke-
dua iblis itu. Selama mereka masih berkeliaran,
korban semakin bertambah. Lebih cepat dibe-
reskan, keadaan akan semakin membaik."
"Baiklah, kalau niat kalian memang tak bisa
ditunda lagi, apa boleh buat. Hanya aku tak tahu
harus dengan cara apa mengucapkan terima kasih
pada Kisanak berdua yang telah menyelamatkan
Praba Ningrum."
"Jangan berterima kasih pada kami, tapi berte-
rima kasihlah pada tamu kalian itu...."
"Pada siapa? Apakah maksudnya pada Pende-
kar Pulau Neraka itu?"
Dewi Ratih mengangguk.
"Dialah yang pertama kali menemukan Praba
Ningrum, dan bermaksud menolongnya. Pada
awalnya kami salah paham menuduhnya hendak
berbuat tak senonoh dengan Praba Ningrum," jelas
Dewi Ratih sambil berlalu dari ruangan itu. Walau
Bupati sendiri berusaha menahan, namun agak-
nya niat mereka sudah tak bisa dicegah lagi.
Setelah keduanya berlalu dari tempat itu, tak
lama Bayu Hanggara pun menyusul. Baginya ber-
lama-lama di tempat itu amat risih. Perlakuan dan
sikap mereka santun dan penuh tata krama. Beda
betul dengan jiwa semangatnya yang liar.
*
* *
Durbala berkali-kali memaki Abangnya itu, te-
tapi Manggala hanya diam sambil mendengus si
nis. Namun ketika sekali lagi adiknya itu mengo-
mel tak karuan, barulah membentak marah.
"Diam kau Durbala! Apa kau pikir aku takut
menghadapinya?" karena keadaanmulah makanya
aku tak cepat-cepat menggempurnya. Apa kau pi-
kir aku menghindar karena takut? Puiih! Tubuhku
justru menggigil kehilangan kesempatan yang baik
itu!"
Durbala tersentak mendengar kata-kata ab-
angnya itu. Dipandanginya wajah itu sekali lagi.
Hela nafasnya yang sesak perlahan-lahan terasa
panas.
"Semua salahku juga..." desahnya seperti me-
rasa bersalah. "Kalau saja aku tak menganggap
remeh, tentu tak akan begini jadinya."
"Diamlah kau, Durbala! Pikirkanlah dulu ke-
sehatanmu. Kalau kau sudah merasa sehat tentu
kita akan mencari pemuda itu lagi. Dan saat itulah
dia tak akan bisa lolos dari tanganku," kata Mang-
gala.
"Iya, ya... sebenarnya kalau tak ada tikus-tikus
busuk itu aku bisa mengalahkan dengan mudah."
lanjut Durbala penasaran.
Manggala menatap wajah adiknya beberapa
saat sambil tersenyum sinis.
"Kau bisa mengalahkan dengan mudah?" ta-
nyanya dengan suara sumbang penuh sindiran.
"Jangan gegabah, Durbala. Si Pendekar Pulau
Neraka itu adalah lawan yang paling tangguh. Il-
mu silat dan kepandaiannya tinggi. Jangankan
kau seorang, kita berdua pun belum tentu bisa
mengalahkannya," sambungnya lagi.
"Kenapa mesti mengagungkan lawan. Kakang?
Ilmu silat dan kepandaian kita belum tentu berada
di bawahnya. Dalam beberapa bentrokkan tadi, bi-
sa ku rasakan bahwa kita berdua mampu membinasakan pemuda gondrong itu," sahut Durbala
yakin.
"Apa yang kau rasakan tak selalu sama dengan
kenyataan. Semua orang mengakui bahwa Pende-
kar Pulau Neraka adalah pendekar paling tangguh
dan sulit untuk dikalahkan. Itulah sebabnya dia
merupakan tujuan akhir kita. Kalau dia bisa bina-
sa di tangan kita, maka nama Iblis Pulau Hitam
akan menjulang seketika."
Manggala tertawa terbahak-bahak di ikuti
adiknya, Durbala. Dalam bayangannya, impian itu
tak lama lagi pasti terwujud. Walau belum pasti
sekali, dia berkeyakinan suatu saat mereka ber-
dua mampu membinasakan pendekar yang bela-
kangan ini namanya menggoncangkan dunia per-
silatan.
Gelak tawa mereka mendadak terhenti ketika
satu bentakan keras bergema. Keduanya cepat
bangkit dengan sikap waspada dan memandang ke
sekeliling.
"Siapa kau? Keluarlah tak perlu bersembunyi.
Kami sudah mengetahui tempatmu!" balas Mang-
gala.
"Ha ha ha ha...! sungguh hebat penglihatan Ib-
lis Pulau Hitam. Tak heran kalian berani unjuk
keberanian belakangan ini!" sahut satu suara itu
lagi di antara sela-sela cabang pohon berdaun
rimbun.
Dari tempat itu kemudian melesat satu bayan-
gan, dan langsung menjejakkan kakinya persis li-
ma tombak di hadapan mereka berdua. Terlihat
seorang laki-laki tua bertubuh kecil dengan jang-
gut panjang. Rambutnya telah putih dan dibiarkan
lepas terurai begitu saja. Dadanya berselempang
kain seperti layaknya pendeta agama.
"Siapa kau, Kisanak?" tanya Manggala dingin.
"Aku cuma seorang tua renta tak berguna.
Namaku Ki Misbah, tapi orang-orang biasa menju-
lukiku si Katai Berwajah Boneka."
"Hemm, lama sudah kudengar nama besarmu.
Tak nyana bayangan ku sama persis dengan ke-
nyataannya. Apa maumu Ki Misbah?"
Orang tua katai bernama Ki Misbah itu terke-
keh. Namun seperti gelarnya, roman wajah orang
tua itu betul-betul mirip dengan boneka. Walau ia
tersenyum, bibirnya tetap terkatup rapat. Bahkan
tak di ketahui pasti apa pun lewat pantulan raut
wajahnya, karena wajahnya betul-betul kaku tan-
pa ekspresi.
"Banyak kudengar tentang kelakuan buruk ka-
lian berdua belakangan ini. Dan hal itu membuat
pantat ku gatal. Lalu ketika kalian membantai
Perguruan Jari Sakti dan mengacau di kediaman
Bupati, gatal-gatal di seluruh tubuhku seperti tak
terkendali dan ingin memecahkan batok kepala
kalian. Biar tak ada lagi rintihan kesakitan, ke-
luarga yang ditinggalkan dan gadis-gadis tak pe-
rawan korban nafsu biadab kalian..." sahut si
orang tua itu santai.
"Hemm, mau mencoba jadi malaikat penyela-
mat, orang tua? Silahkan. Tapi kau tak akan sem-
pat menyesal bila berhadapan dengan Iblis Pulau
Hitam, sebab kami tak akan pernah membiarkan
orang-orang sok jago sepertimu berlalu hidup-
hidup."
"He he he he...! Tong kosong biasanya berbunyi
nyaring, dan kedua manusia rendah seperti kalian
cuma sebangsa keledai dungu yang menganggap
dirinya harimau."
"Orang tua, kami memang harimau!" sahut
Manggala geram dan langsung melompat ke arah
Ki Misbah dengan satu serangan kilat mengandung tenaga dalam kuat.
"He he he he...! Kalau keledai tetap saja kele-
dai. Yang dungu tak akan berubah pintar selagi
dia berlaku sombong terhadap kedunguannya! Be-
gitu juga seperti kalian berdua!"
"Kau boleh berkata apa saja setelah berada di
akherat sana nanti!" dengus Manggala gusar sete-
lah serangannya dapat dengan mudah dielakkan
lawan. Tubuhnya kembali berputar dan bersalto
beberapa kali di udara.
"Yeaaaaah...!"
"Plak!"
"Dess!"
Manggala terkejut setengah mati. Gerakan la-
wan gesit bukan main. Ketika kedua kaki mener-
jang dengan kuat, orang tua itu cuma menangkis
dengan tangan kiri. Lalu dengan seketika kaki ka-
nannya menendang ke perut lawan. Buru-buru
Manggala berkelit, tapi tak urung pinggangnya
terkena juga.
"Bangsat!"
Ki Misbah terkekeh melihat wajah lawan yang
gusar penuh kemarahan.
"Kenapa? Apa sekarang kepalamu pun ingin di
jitak?"
"Jangan merasa bangga dulu, orang tua. Kali
ini kau tak akan lolos lagi!" dengus Manggala ga-
rang.
Sementara itu Durbala yang melihat dalam se-
gebrakkan saja abangnya dapat dihajar merasa
perlu untuk turun tangan. Namun secepat kilat
Manggala menepiskan tangannya.
"Tidak usah, Durbala. Aku sendiri pun masih
mampu memberi pelajaran pada si cebol ini."
"Tapi, Kang...."
"Tidak perlu kataku!" bentaknya kesal.
Durbala cuma diam menurut saja. Dilihatnya
Manggala kembali memasang kuda-kuda dengan
tatapan penuh kebencian ke arah lawan. Dengan
satu teriakan panjang, tubuhnya kembali melesat
menyerang Lawan.
"Hiaaaat...!"
*
* *
Dalam segebrakan tadi sebenarnya membuat
keyakinan di hatinya semakin bertambah. Meski
lawan berhasil menendang pinggangnya, tapi ten-
dangan itu tak berarti apa-apa dan tak membuat
luka dalam yang serius. Dari situ ia dapat me-
nyimpulkan bahwa tenaga dalam orang tua bertu-
buh katai itu tak terlalu hebat dan masih berada
di bawahnya. Namun dari ilmu peringan tubuh,
lawan boleh diberi acungan jempol. Dia mampu
bergerak cepat dan menghindari serangan lawan
boleh dengan gerakan yang tak duga. Juga pada
saat kedua tangan atau kaki mereka berbenturan,
anggota tubuhnya lemas seperti tak bertenaga,
hingga Manggala merasa seperti menghantam
angin saja.
"Hi hi hi hi....! keluarkanlah seluruh kepan-
daian yang kau miliki. Ingin kulihat. sampai se-
jauh mana kesaktian yang kalian pelajari dari to-
koh yang mendekam di Pulau Hitam itu." kata Ki
Misbah sambil menghindari serangan lawan den-
gan gerakan ringan.
Tubuhnya berputar ke atas, lalu dengan tiba-
tiba menukik seperti elang menyambar anak
ayam. Dan ketika Manggala menyongsongnya den-
gan satu tinju mautnya ke arah batok kepalanya,
dengan enaknya Ki Misbah menangkis. Dan ber
tumpu pada itu, tubuhnya berkelebat pada bagian
lawan sambil menyarangkan sebuah tinju.
"Wuk!
Bet!"
"Uts..."
"Wussss...!"
"He he he he...! Ayo, kerahkan seluruh tenaga
yang kau miliki, dan pilihlah bagian terempuk dari
tubuhku!" ejek Ki Misbah.
Bukan main gusar Manggala mendengar eje-
kan orang tua itu, ketika serangan orang tua Katai
itu berhasil dihindarinya, tangan kirinya segera
mengebut ke arah kepala lawan dibarengi tenaga
dalam kuat. Dalam perkiraannya orang tua itu
pasti akan terpelanting. Dan walaupun tidak te-
was, pasti akan terluka parah. Tapi siapa sangka
ia cuma menghajar angin.
Lain halnya dengan Ki Misbah. Ia segera men-
jatuhkan dirinya ke bawah dan seraya bergulingan
tubuhnya terus melentik ke atas dan bergerak
menjauh dengan bersalto menghindari serangan
Manggala yang berikutnya.
"Huh, kau membuat aku marah, cebol! Hari ini
kau tak akan lepas dari pedangku!" dengus Mang-
gala sambil mencabut pedangnya yang memiliki
mala bergerigi.
"He he he he...! Apakah dengan senjata pemo-
tong rumput itu kau hendak membinasakan aku?"
"Benar. Kaulah rumputnya dan aku akan
menghirup darahmu!" bentak Manggala sambil te-
rus menyerang lawan.
"Heaaaaat…
"Klap! klap!"
Dengan adanya pedang di tangan. gerakan
Manggala menyerang lawan semakin leluasa. Ter-
lihat perlahan-lahan Ki Misbah agak kerepotan
menghindari sambaran ujung pedang lawan. Sam-
pai pada satu kesempatan.
“Ciaaaat…!”
"Buk! Cresss!"
*
* *
LIMA
Ki Misbah terkejut. Saat tinjunya berhasil den-
gan telak menghantam dada lawan, tapi saat itu
pula ujung pedang Manggala berhasil merobek se-
dikit pundak kirinya. Darah mengucur deras. Ki
Misbah meringis menahan nyeri.
Manggala pun merasakan hal yang sama. Tinju
lawan yang bersarang di dadanya seperti hendak
meremukkan tulang-tulang rusuknya. Tubuhnya
terjajar beberapa langkah, namun ia masih sempat
kembali menyerang dengan pedang berkelebat di
tangannya.
"Sekarang mampuslah kau, cebol!"
"Wuuk! Trang!"
"Yeaaaa...!"
Tubuh Manggala berputar-putar ke atas. Seca-
ra tak disangka-sangka Ki Misbah mengeluarkan
senjatanya dari balik bajunya, berupa keris berle-
kuk, dan langsung menangkis serangan Manggala.
Kedua senjata itu beradu. Namun seperti saat me-
reka berbenturan tangan, senjata di tangan Ki
Misbah itu pun seperti lemas tak bertenaga, tapi
dengan tiba-tiba melejit ke atas dan memapas le-
hernya. Karuan saja Manggala tersentak dan ce-
pat-cepat membuang tubuhnya ke belakang. Na-
mun ujung keris Ki Misbah terus mengejarnya.
Pada saat menjejakkan kaki kedua kalinya, tubuhnya melenting menjauhi lawan.
"Ciaaaat...!"
Tubuh Manggala dengan cepat kembali menye-
rang. Namun Ki Misbah sudah menduga hal itu.
Buru-buru ia membungkuk dan kaki kanannya
menendang dengan gaya berputar. Sedangkan ka-
ki kirinya menyentuh bumi hingga tubuhnya te-
rangkat ke atas ketika lawan hendak menyapu tu-
buhnya dari bawah dengan satu tendangan keras.
"Tring! Kleps!"
"Cress!"
"Uughk...!"
Manggala mengeluh kesakitan. Tak menduga
kecepatan gerak Ki Misbah sungguh luar biasa.
Begitu senjata mereka beradu kembali keris Ki
Misbah kembali melejit langsung menebas ke arah
leher. Untung Manggala sempat berkelit, meski
ujung keris itu sempat menyambar pangkal leher
dan menggores sedikit luka.
"Mampuslah kalian jahanam!" Ki Misbah sam-
bil kembali mengirim serangan susulan.
"Yeaaaaa...!"
"Trang! Tring!"
Ki Misbah terpaksa menarik serangan ketika
dari arah belakang terdengar sebuah teriakan.
Durbala mencelat dengan satu serangan kilat ke
arahnya.
"Bajingan busuk! Mau membokong, heh?"
"Huh, apa perduliku dengan membokongmu?
Yang jelas saat ini kau harus mampus!" geram
Durbala sengit sambil mengayunkan pedang di
tangannya.
Mau tak mau Ki Misbah harus melayaninya.
Tapi kepandaian Durbala tak boleh dianggap re-
meh. Pada dasarnya kepandaian Manggala dan
Durbala tak beda jauh. Maka tak heran bila Ki
Misbah harus lebih berhati-hati lagi.
Sementara itu melihat Durbala menyerang la-
wannya. Manggala seperti mendiamkannya saja.
Dia bahkan ikut menyerang. Dan menghadapi dua
orang lawan berilmu tinggi seperti mereka, perla-
han-lahan terlihat Ki Misbah mulai terdesak.
"He he he he...! Sungguh hebat ilmu kalian.
Tapi jangan berbangga hati dulu bisa mengalah-
kanku," kata Ki Misbah berusaha memanas-
manasi mereka.
"Tertawalah sepuasmu sebelum kami kirim ke
akherat untuk berjumpa dengan moyangmu!" sa-
hut Manggala mendengus sinis.
"Kali ini kau tak akan punya kesempatan un-
tuk unjuk gigi lagi, cebol busuk!" timpal Durbala.
Dan si tinggi besar berwajah hitam itu ingin mem-
buktikan ucapannya dengan menggempur lawan
lebih gencar. Pedang di tangannya seperti bersua-
ra menimbulkan bunyi yang mengilukan ulu hati
menyambar-nyambar mengikuti ke mana saja
orang tua itu bergerak. Sesekali Ki Misbah beru-
saha menangkis, namun Manggala pun berbuat
hal serupa dengan adiknya hingga menyulitkan
gerak si orang tua itu.
"Ciaaaaaat...!"
Manggala berteriak nyaring dengan ujung pe-
dang menyambar ke arah Ki Misbah. Tubuh Ki
Misbah berputar-putar di udara, tapi saat itu Dur-
bala melompat mengejarnya sambil menghu-
nuskan pedang.
"Tring! Wuk!"
"Bret"!"
"Terima kematianmu, cebol!" teriak Manggala
kembali ketika melihat ujung pedang adiknya ber-
hasil mengenai perut lawan.
Tubuh Ki Misbah terhuyung-huyung beberapa
tindak sebelum menyentuh tanah. Dengan sisa te-
naganya dia berusaha menangkis.
"Traaaang!"
"Craaaass!".
"Aaaaakhg...!"
Orang tua itu menjerit kecil saat ujung pedang
Manggala nyaris membuat paha kanannya bun-
tung. Tubuhnya ambruk ke tanah dan berguling-
gulingan menghindari serangan lawan.
"Mampuslah kau!" teriak Durbala geram pa-
da saat tubuh Ki Misbah persis terhenti di-
dekatnya. Pedang di tangannya secepat kilat te-
rayun ke bawah.
"Bless!"
"Wuaaaaaayaa...!"
Ki Misbah menjerit keras saat ujung pedang
Durbala persis menembus ke jantungnya, dan me-
lesak sedalam tiga jengkal hingga menembus ke
tanah. Kemudian tak terdengar lagi suara di seki-
tar tempat itu. Ki Misbah tewas di tangan Sepa-
sang Iblis Pulau Hitam.
"Apa kataku? Kita tak boleh gegabah mengha-
dapi musuh berilmu tinggi seorang diri!" kata
Durbala dengan wajah puas sambil melirik ke arah
Manggala.
Dicabutnya pedang di tubuh Ki Misbah dan
memasukkannya kembali ke sarungnya setelah
dibersihkan.
"Guru pun telah berpesan begitu, bukan? Ka-
lau kita bertempur sendiri-sendiri seperti orang
pincang."
"Sudahlah, jangan banyak omong. Kau pun
pernah melakukan kesalahan juga ketika di tem-
pat kediaman Bupati itu," sahut Manggala.
"Tapi aku merasa mampu mengatasi mereka!"
"Sampai si Pendekar Pulau Neraka datang dan
kau kewalahan."
"Ah, kalau saja tak ada pengacau-pengacau
keparat itu sudah kupenggal kepala si jahanam
itu!" sahut Durbala geram.
"Nah, kau mulai menganggap enteng lagi. Ha-
rus berapa kali kukatakan...? Pendekar Pulau Ne-
raka itu tidak bisa dianggap enteng. Dan jangan
sekali-kali menganggapnya ringan. Dia lah musuh
utama yang harus dibinasakan!"
"Tapi menghadapi kita berdua, dia bisa ber-
buat apa? Bukan begitu, Kakang Manggala?"
"He he he he...! Ya, ya... sejauh ini tak seorang
pun yang tahan menghadapi gempuran kita ber-
dua."
"Tunggu apalagi? Mari kita cari si keparat itu?"
"Tunggu dulu, Durbala! Kesehatanmu masih
belum pulih benar."
"Aku sudah merasa sehat. Ayolah, sebelum dia
melarikan diri dari kita!"
"Kalau memang begitu, mari!"
Keduanya baru akan beranjak ketika dua
bayangan dengan tiba-tiba melesat ke hadapan
mereka pada jarak sepuluh tombak.
"Iblis Pulau Hitam! Hemm, bangsat-bangsat
keparat! Mau kemana kalian mencari korban hari
ini?" bentak suatu suara dengan lantang.
*
* *
Kedua orang bertubuh tinggi besar itu tertegun
beberapa saat kemudian. Namun begitu melihat
siapa yang muncul tak lain dari seorang laki-laki
muda bertubuh kekar dengan seorang gadis ber-
wajah cantik, mereka tertawa terbahak-bahak.
"Ha ha ha ha...! Sungguh beruntung kita hari
ini. Susah-susah mencari mangsa ternyata malah
datang sendiri!" kata Manggala. "Durbala, kau
uruslah bocah berwajah tak sedap itu, aku akan
mengurus si manis ini."
"Jangan khawatir, Kakang! Dalam sekejap dia
akan kubereskan!" sahut Durbala cepat. Kemu-
dian dengan langkah lebar dihampirinya dua
orang itu. Dengan wajah geram ditundingnya pe-
muda itu.
"Bocah pentil, pergilah kau dari hadapanku se-
cepatnya dan jangan kembali lagi. Tapi lepaskan
kekasihmu ini agar kami bisa mengampuni nya-
wamu!"
Mendengar bentakan itu si pemuda yang tak
lain dari Mahendra, kakak si gadis berbaju hijau,
Dewi Ratih itu malah tersenyum kecil. Sepasang
matanya menatap Durbala dengan sikap menan-
tang.
"Iblis keparat! Jauh-jauh kami datang mencari
kalian untuk mengorek jantungmu! Harap kau sa-
dari itu. Jika pun saat ini kalian menyembah
sambil memohon ampun, tak nantinya aku kan
memaafkan dosamu yang telah lewat takaran itu."
"Apa?" Durbala tersentak dengan wajah geram.
Kedua bola matanya melotot garang. Dengan satu
hentakan keras tangan kanannya meninju Ma-
hendra. Sekali pukul tentu bocah ini agak terpen-
tal belasan tombak, pikirnya.
Tapi tak percuma Mahendra berguru pada to-
koh sakti jika menghadapi serangan enteng begitu
saja ia tak mampu menghindar. Sambil memiring-
kan tubuh ke kanan, tinju lawan lewat beberapa
senti di samping kepalanya. Dengan cepat kaki ki-
rinya menendang dada kanan lawan.
"Wuuk!"
Durbala mundur ke belakang sedikit. Lalu
sambil berbalik, kaki kanannya menyapu pinggang
lawan. Mahendra cukup menundukkan tubuh,
kemudian tinju kanannya menghantam selang-
kangan lawan.
"Bet! Bet!"
"Kurang ajar! Betul-betul tak bisa dikasih hati
rupanya!" bentak Durbala dengan amarah meluap
ketika dirinya baru saja terkena serangan lawan.
"Siapa yang butuh hatimu? Kami cuma butuh
jantung kalian!"
"Heaaaat...!"
Dengan satu teriakan keras Mahendra me-
nyambut serangan lawan dengan tenaga dalam
penuh. Duel sengit tak dapat dihindari lagi. Dalam
beberapa gebrakan saja Durbala segera mengeta-
hui bahwa lawan berilmu cukup. Itulah sebabnya
dia tak berani gegabah dan mengeluarkan segenap
kemampuannya.
Mahendra sendiri mulai merasakan bahwa te-
naga dalam lawan ada setingkat di atasnya. Angin
serangannya saja mampu membuat tubuhnya ber-
getar. Belum lagi gerakan lawan yang gesit seperti
kijang berlari. Kalau saja dia tak memiliki ilmu pe-
ringan tubuh tinggi pasti dalam beberapa gebra-
kan saja pukulan lawan telah menewaskannya.
Sementara itu Manggala telah menghampiri
Dewi Ratih. Dengan wajah yang dibuat semanis
mungkin, dia mulai merayu si gadis.
"Ha ha ha ha...! Tak sangka wajahku demikian
tampan sehingga gadis secantikmu tergila-gila pa-
daku. Kemarilah manis, bukankah kau datang
jauh-jauh hanya untuk mencariku? Ayo, kesinilah
cepat...."
"Cuiih! Jauh-jauh aku datang memang menca-
rimu, tapi bukan tergila-gila dengan wajahmu
yang seperti pantat kuali itu melainkan ingin men
gorek jantungmu untuk hiasan kamarku!" balas
Dewi Ratih garang dengan wajah penuh amarah.
"Amboooi! Kau, datang untuk mengorek jan-
tungku? Nah, silahkan kekasihku....," sahut
Manggala enteng sambil membusung dadanya.
Merasa lawan menganggap remeh dirinya. De-
wi Ratih semakin geram saja. Dengan satu gera-
kan kilat dicabutnya pedang dan langsung menya-
betkan ke dada lawan.
"Zwiiing!"
"Wut! Wut!"
Tujuh kali sabetan pedang Dewi Ratih yang di-
lakukan dengan cepat semuanya kandas tanpa
sedikit pun mengenai sasaran. Tubuh Manggala
yang besar itu enteng saja bergerak ke sana ke
mari menghindar. Bahkan ketika ia mulai memba-
las, sempat Dewi Ratih kelabakan merasakan an-
gin pukulannya yang besar dan bertenaga kuat.
Kalau saja ia tak cepat-cepat mengibaskan pe-
dang, bukan tak mungkin serangan lawan berhasil
menjatuhkahnya.
"Ha ha ha ha...! Kau semakin membuatku ge-
mas saja, manis. Kemarilah cepat sebelum aku
menggunakan kekerasan terhadapmu,"
"Cuih! Aku akan mendekat setelah kukorek
jantungmu!" sahut Dewi Ratih.
"Hemm, agaknya kau memang ingin dipaksa.
Baiklah kalau itu yang kau inginkan!" dengus
Manggala. Wajahnya berupa kelam dan hawa ke-
marahan mulai terlihat.
Dengan satu lompatan kecil tubuhnya terang-
kat dan melayangkan satu tamparan ke pipi gadis
itu. Dewi Ratih menyambutnya dengan sabetan
pedang. Namun dengan cepat Manggala menarik
tangan dan menendang bahu kanan Dewi Ratih.
"Wuuk!"
Tubuh Dewi Ratih membungkuk menghindari
tendangan lawan, dan kembali ujung pedangnya
menyambar. Kali ini perut Manggala nyaris robek
kalau saja laki-laki berwajah hitam itu tak cepat-
cepat melompat ke atas. Dalam keadaan begitu
kaki kirinya masih sempat menendang pergelan-
gan tangan kanan Dewi Ratih.
"Bet!"
"Huh, jangan harap bisa menjatuhkan pedang
dari tanganku! Bila tanganku putus pun, belum
tentu kau berhasil," ejek Dewi Ratih.
"Siapa yang butuh pedang bututmu itu! Seben-
tar lagi kau akan merasakan bahwa Iblis Pulau Hi-
tam tak bisa dipandang remeh," dengus Manggala.
Kali ini Manggala merapatkan kedua tangan di
dada, kemudian diturunkan sebatas pinggang.
Yang sebelah kanan terkepal, sedangkan tangan
kiri terbuka. Kemudian dia berteriak nyaring.
"Heaaaaat...!"
Dewi Ratih terkejut. Dari telapak kiri lawan
menderu angin kencang menghantam tubuhnya.
Gadis itu mencelat ke atas sambil bersalto bebera-
pa kali. Namun saat itu pula tubuh Manggala me-
nyambutnya dengan tinju kanan bersiap meng-
hantam batok kepala. Dewi Ratih yang mengetahui
hal itu cepat-cepat mengibaskan melindungi ba-
gian kepalanya. Ketika Manggala kembali menarik
serangan, dan mengayunkan kaki ke arah perut,
pedangnya masih mampu berkelebat melindungi.
"Yeaaa...!"
"Trang! Tuk!"
Seperti tadi Manggala menarik serangan ka-
kinya, dan dengan kecepatan yang sulit diikuti
oleh pandangan mata biasa, pedang bergeriginya
tercabut memapaki serangan lawan. Kemudian
pada saat yang bersamaan, tangan kirinya bergerak menotok urat leher si gadis. Dewi Ratih men-
geluh pelan sebelum tubuhnya ambruk lemas.
"He he he he...! Apa kataku. Sekarang kau tak
bisa lagi lepas dari cengkeraman ku!" Manggala
terkekeh sambil membopong tubuh gadis itu.
"Cuiih! Lepaskan aku keparat! Aku masih
mampu menebas lehermu!" teriak Dewi Ratih
sambil memaki-maki.
"Percuma kau berteriak-teriak, manis. Lebih
baik kau diam. Sebab kalau tidak, aku akan ber-
tindak kasar padamu," sahut Manggala. Namun
gadis itu terus berteriak-teriak memaki-maki.
Sementara itu terlihat si gadis, Mahendra yang
sedang bertarung dengan Durbala jadi terganggu
konsentrasinya.
"Dewi Ratih! Bangsat, lepaskan adikku?!" te-
riaknya sengit lalu melompat hendak menerjang
Manggala. Namun saat itu pula Durbala yang te-
lah meloloskan pedang bergeriginya langsung me-
nebas kedua kaki lawan.
"Craaaas!"
Mahendra menjerit kesakitan. Tubuhnya am-
bruk sambil berguling-guling. Manggala tak me-
nyia-nyiakan kesempatan itu. Secepat pedangnya
tercabut, kembali terdengar pekikan Mahendra ke-
tika pedang lawan menghunjam ke jantungnya.
Tubuh itu meregang sesaat, sebelum akhirnya ter-
kulai lemah. Nyawanya langsung lepas dari raga.
"Kakang Mahendra...!" pekik Dewi Ratih meli-
hat pemandangan yang mengenaskan di depan
matanya.
"Diamlah. manis. Percayalah, kau tak akan
mengalami nasib seperti itu kalau menurut pada
kami. Bahkan kujanjikan sorga kenikmatan yang
belum pernah kau peroleh selama ini," kata Mang-
gala sambil terkekeh-kekeh membawa gadis itu
berlalu masuk ke dalam pinggiran hutan yang tak
jauh dari tempat itu.
Dari arah belakang Durbala menyusul sambil
tertawa terkekeh-kekeh. Sementara suara Dewi
Ratih yang menjerit-jerit dan memaki-maki, perla-
han-lahan hilang seperti ditelan kegelapan malam.
*
* *
ENAM
Dalam waktu singkat saja akibat yang ditim-
bulkan perbuatan sepasang Iblis Pulau Hitam
mengejutkan kalangan persilatan. Nama Iblis Pu-
lau Hitam dianggap sebagai ancaman yang mem-
buat tokoh-tokoh golongan putih menjadi geram
dan marah. Dalam waktu seminggu lebih, telah
banyak tokoh yang tewas di tangan mereka. Begitu
juga halnya dengan Perguruan-perguruan ilmu si-
lat yang terkenal, ambruk di tangan kedua tokoh
ini. Telah banyak pula tokoh-tokoh golongan putih
yang mencoba untuk menghentikan aksi mereka,
namun semuanya tewas dengan keadaan yang
mengenaskan.
Salah satu diantaranya tokoh yang gemas
mendengar sepak terjang Iblis Pulau Hitam adalah
Suropati. Tokoh ini merupakan ketua dari Pergu-
ruan Silat Elang Emas. Pada masa itu perguruan
mereka merupakan salah satu Perguruan Silat
yang disegani. Murid-muridnya terkenal di mana-
mana karena perbuatan mereka yang memusuhi
golongan hitam, dan tak segan-segan menolong
kaum yang lemah.
Hari ini Ki Suropati mengumpulkan murid-
murid utamanya di ruang depan yang luas dan lebar. Wajah-wajah mereka tampak geram dan se-
pertinya ingin secepatnya menumpas kedua tokoh
golongan sesat itu.
"Mereka berilmu tinggi dan sulit diukur ke-
mampuannya. Untuk itu kalian harus hati-hati
dan jangan gegabah," nasehat Ki Suropati.
"Tapi Guru, walau setinggi apa pun ilmu mere-
ka kami tidak takut, dan tetap seperti rencana
semula," sahut seorang muridnya.
"Bagus! Dalam membela kebenaran tak perlu
takut. Walau nyawa sebagai taruhannya. Tapi se-
kali lagi yang perlu kalian ingat, jangan gegabah.
Dan janganlah keberanian kalian menjadi sia-sia.
Kalau salah seorang diantara kalian merasa
kewalahan, maka temannya wajib membantu.
Berkelahi secara kroyokan memang tidak baik, ta-
pi jangan diartikan demikian dalam hal ini. Ang-
gaplah hal itu sebagai suatu gotong-royong. Go-
tong royong memerangi kebatilan itu merupakan
tindakan yang baik."
"Iya, Guru....!" sahut muridnya hampir bersa-
maan.
Sepasang mata laki-laki berusia sekitar enam
puluh tahun itu menatap ketujuh murid uta-
manya itu bergantian. Kemudian katanya setelah
menghela nafas pendek.
"Nah, sekarang. Mari kita sama-sama berang-
kat. Mudah-mudahan Yang Maha Kuasa senantia-
sa melindungi kalian semua..."
"Guru…" panggil seorang muridnya pelan.
"Apakah tidak lebih baik kalau kami saja yang
mencari mereka? Kalau seandainya guru ikut,
kami khawatir terjadi hal-hal yang tak diinginkan.
Perguruan ini tak akan memiliki pengganti..."
Ki Suropati tersenyum.
"Apa maksudmu, Prahasta...?"
"Maksudku ..... ng..., apakah kami saja tak cu-
kup untuk menghadapi mereka?"
"Apakah kau pernah melihatku berdiam diri
sementara kebatilan merajalela? Tidak, Prahasta!
Lebih banyak jumlah orang yang memerangi me-
reka, itu lebih baik. Walaupun aku harus tewas di
tangan mereka sekali pun, namun kematianku ti-
dak akan sia-sia. Begitu juga halnya dengan ka-
lian."
Prahasta tak berkata-kata apa lagi mendengar
penjelasan orang tua itu. Setelah tak ada lagi yang
mereka bicarakan, ketujuh murid Ki Suropati se-
gera berlalu dari ruangan itu. Namun baru saja
mereka bersiap-siap, tiba-tiba melesat dua buah
bayangan yang langsung diiringi suara tawa yang
menggelegar.
"Ha ha ha ha ...! Perguruan picisan inikah yang
akan menantang Iblis Pulau Hitam?"
Ki Suropati beserta murid-muridnya yang lain
langsung bersiaga. Pada jarak tujuh tombak di de-
pan mereka berdiri dua sosok tubuh tinggi besar
serta berkulit hitam bagai jelaga. Mengenakan ba-
ju loreng kuning dan hitam, amat kontras sekali.
Sepasang mata mereka menatap keadaan sekeli-
lingnya dengan pandangan meremehkan.
"Siapa kalian?" tanya Ki Suropati dengan suara
datar.
"Bukankah kalian hendak mencari Iblis Pulau
Hitam? Nah, kamilah orangnya!" sahut salah seo-
rang yang lebih tinggi.
"Hemm, jadi kalian yang bernama Iblis Pulau
Hitam? Bagus! Tak susah-susah lagi kami mencari
keparat busuk seperti kalian."
"He he he he...! Tua bangka bau tanah. Kuden-
gar kau berilmu tinggi. Ingin kubuktikan sampai
di mana kehebatanmu," sahut salah seorang dian
tara Iblis Pulau Hitam yang bernama Manggala.
"Tak usah banyak basa-basi, Kisanak. Dosa
kalian telah lewat takaran. Aku tak akan pernah
membiarkan manusia-manusia seperti kalian hi-
dup dengan tenang," sahut Ki Suropati. Orang tua
itu pun kemudian memberikan isyarat. Dua orang
murid utamanya langsung berkelebat ke arah Iblis
Pulau Hitam.
"He he he he...! Kau menganggap remeh den-
gan mengirim cecoro-cecoro ini untuk menghadapi
kami? Majulah kalian semua biar lebih cepat kami
menebas batang leher kalian!" sahut Durbala yang
bertubuh lebih pendek dari Manggala.
"Sriiiing!"
Kedua Iblis Pulau Hitam itu langsung melo-
loskan pedang maut mereka dan menyambut se-
rangan dua murid utama Perguruan Elang Emas
yang bersenjatakan pedang pendek.
"Trang!"
"Wuuut...!"
"Ughk...!"
Kedua murid utama Ki Suropati itu terhuyung-
huyung sambil meringis ketika pedang di tangan
mereka terpental dihajar senjata lawan.
"Heaaaat!"
"Trang! Trang!"
Dua orang murid lainnya berusaha membantu
ketika kedua Iblis Pulau Hitam bermaksud meng-
habisi dua temannya yang pertama. Namun kedu-
anya dibuat terkejut. Dengan sekali hantam, pe-
dang di tangan terpental. Belum lagi sempat men-
guasai diri, Iblis Pulau Hitam telah mengayunkan
pedang.
"Wuuut!"
"Trak!"
"Huh, kenapa tidak dari tadi saja kau turun
tangan?" dengus Manggala.
Pada saat-saat terakhir dengan tiba-tiba Ki Su-
ropati melesat dan menangkis pedang lawan den-
gan senjatanya berupa pedang pendek berbulu Ra-
jawali. Orang tua itu sempat terkejut merasakan
tangannya kesemutan. Bukan main hebatnya te-
naga dalam lawan, pikirnya di hati.
"Guru," kami masih mampu menghadapi dua
iblis ini!" seru salah seorang murid yang belum
dapat kesempatan sambil menjura hormat.
Ki Suropati menatapnya sekilas, kemudian
mengalihkan pandangan pada murid-muridnya
yang lain. Walau menyaksikan sendiri kehebatan
lawan, namun tak seorang pun diantara mereka
menunjukkan wajah gentar. Malah senjata mereka
tergenggam erat dengan sikap bersiaga.
"Kalian ingin mencicipi Iblis ini?"
"Betul, Guru!" sahut mereka serempak,
Ki Suropati tersenyum. Kemudian katanya per-
lahan.
"Setiap peraturan mana pun mengatakan bah-
wa pimpinan berhak mencicipi lebih dulu apa pun
yang datang padanya. Aku biasanya tidak demi-
kian bila mendapatkan sesuatu yang bagus dan
berguna. Tapi kali ini, biarlah aku mencobanya le-
bih dulu. Dan kalian belakangan, atau siapa saja
diantara kalian yang tak ingin mencicipi keheba-
tan kedua iblis ini, boleh angkat kaki dan berlalu
segera."
Tak ada seorang pun dari muridnya yang buka
suara. Mereka mengerti apa yang dimaksud orang
tua itu. Biasanya kalau beliau merasa yakin bah-
wa lawan dapat dikalahkannya. maka murid-
muridnyalah yang akan maju. Tapi bila merasa
lawan sangat tangguh, maka ia tak mengizinkan
muridnya maju, melainkan beliau sendiri yang
menghadapi-nya. Demikian juga dalam hal ini.
Guru mereka menganggap bahwa kedua Iblis Pu-
lau Hitam itu berilmu tinggi. Dan buktinya telah
mereka lihat.
"Nah, Kisanak berdua silahkan kalau hendak
bermain-main denganku barang sejenak," ujar Ki
Suropati pada kedua lawannya setelah menunggu
tak ada jawaban dari muridnya.
"He he he he...! Kau akan menghadapi kami
berdua seorang diri? Jangan menyesal, orang tua!
Walau kalian semuanya maju, belum tentu
unggul menghadapi kami!" ejek Durbala jumawa.
"Kau tak akan menyesal, orang tua!" timpal
Manggala.
"Untuk menghadapi kalian berdua kurasa tu-
lang tuaku ini sudah cukup. Mengeroyok kalian
cuma membuat kami malu saja, sebab tenaga mu-
rid-muridku diperuntukkan bagi tugas yang lebih
besar," jawab Ki Suropati tenang.
Wajah Manggala mendengus sinis mendengar
ejekan itu, sementara Durbala yang sudah tak sa-
bar langsung mencelat sambil menghunus pedang
menyerang lawan.
"Orang tua busuk. Kau pikir bisa menganggap
enteng terhadap Iblis Pulau Hitam? Kau rasakan
ini!"
"Wuk! Wuk!"
Lima kali sabetan pedang Durbala yang di-
lakukan secara cepat hingga sulit diikuti oleh ma-
ta biasa serta mengandung tenaga dalam kuat,
dengan mudah dielakkan Ki Suropati. Tubuh
orang tua itu berlekuk-lekuk seperti orang yang
sedang menari menghindari pedang lawan.
"He he he he...! Ilmu pedang beginikah yang
kalian andalkan untuk menjagoi dunia persila-
tan?"
*
* *
Semakin gusar saja Durbala mendengar ejekan
itu. Telapak kirinya mendekap dada dengan posisi
miring. Tangan yang memegang pedang di tangan-
nya itu berputar-putar seperti baling-baling mem-
bentuk pusaran angin kencang. Dari telapak ki-
rinya pun meleset angin jarak jauh seperti meliuk-
liuk menyambar lawan.
"Kali ini tubuhmu akan ku lumatkan, keparat!"
maki Durbala geram.
Apa yang diucapkannya tak salah. Dan seperti
enggan mengulur-ulur waktu serta berlama-lama
bertarung dengan orang tua itu maka dikelua-
rkannya segenap kepandaiannya. Jadilah perta-
rungan itu sebagai suatu tontonan menarik yang
membuat decak kagum serta kecemasan murid-
murid Perguruan Elang Emas. Hanya beberapa
orang murid utama saja yang mampu menyaksi-
kan pertarungan itu karena penglihatan mereka
sudah terlatih. Sedangkan yang lain hanya dapat
menyaksikan kelebatan bayangan yang bergulung-
gulung saja.
"Durbala, agaknya kau lamban sekali mengha-
bisi tua bangka ini. Biarlah kubantu," teriak
Manggala tak sabaran lalu melompat masuk ke
dalam kancah pertarungan.
Beberapa orang murid Perguruan Elang Emas
terkejut melihat guru mereka dikeroyok. Pastilah
Ki Suropati akan terdesak hebat.
"Guru, kami terpaksa membantumu!" teriak
salah seorang murid utama perguruan itu. Tanpa
menunggu jawaban gurunya, kelima murid utama
langsung ikut dalam kancah pertarungan,
Sebenarnya apa yang dirasakan orang tua itu
adalah bahwa ia mampu mengimbangi ilmu silat
lawan. Bahkan perlahan-lahan mulai menekan se-
telah mengetahui gerak-gerik tipu lawan. Pantas
saja Manggala cepat-cepat turun tangan untuk
membantu. Walau pun demikian orang tua itu tak
merasa gentar. Dalam bayangannya, kalau mereka
berasal dari satu perguruan yang sama, tentu ilmu
silatnya tak jauh berbeda. Itulah sebabnya Ki Su-
ropati tak bermaksud melarang murid-muridnya
ikut membantu.
"Heaaaaa...!"
"Trak!"
"Trang!"
"Crasss!"
"Wayaaaa...!"
Terdengar pekik kesakitan yang disusul ter-
lemparnya dua murid utama dari arena pertarun-
gan. Perut mereka robek, isinya terburai keluar.
Begitu menyentuh tanah hanya menggelepar se-
saat, sebelum akhirnya kaku tak bergerak lagi.
Murid-murid yang lain terpana barang beberapa
saat sebelum amarah mereka kembali meluap-
luap.
Ki Suropati sendiri menjadi heran. Seharusnya
Manggala tak bisa melakukan hal itu terhadap
muridnya sebab ia sendiri sedang mendesaknya.
Namun secara tak terduga tiba-tiba Durbala men-
gambil alih dan kesempatan sedetik itu digunakan
lawan untuk menghajar dua muridnya yang terde-
kat.
Keanehan lain yang dilihat Ki Suropati itu ada-
lah bahwa ilmu silat lawan jadi berbeda kali ini.
Serangan mereka kompak saling susul menyusul,
kemudian saling jaga menjaga. Bila salah seorang
menyerang, maka yang lainnya telah siap pada se-
rangan berikut dengan memperkirakan mana la
wan akan bergerak menghindar.
"Celaka!" teriak Ki Suropati setelah merasa
bahwa serangan kedua lawan memiliki gerak tipu
yang tiada diduga.
"Mulai takut mampus, orang tua?" ejek Durba-
la.
"Huh, aku lebih suka mampus dari pada hidup
jadi pengecut!"
"Bagus, kalau demikian. Dekatkan kepalamu
agar lebih mudah aku memenggalnya."
"Boleh kau ambil kepalaku setelah kutebas du-
lu lehermu!"
"Yeaaa...!"
"Cras! Cras!"
"Aaaaargk...!"
Dua orang murid utama Ki Suropati kembali
terlempar sambil menjerit kesakitan. Sesaat ke-
mudian keduanya terlihat mengejang. Keadaannya
hampir sama dengan yang pertama tadi.
"Guru, kami tak bisa mendiamkan hal ini! Ter-
paksa kami juga turun tangan!" teriak murid-
muridnya yang lain.
Lalu seperti dikomando oleh suara itu, sekitar
tiga puluh murid-murid Perguruan Elang Emas
langsung mengeroyok Iblis Pulau Hitam. Dalam
dada mereka penuh dengan gelora dendam dan
amarah yang meluap-luap. Perguruan Elang Emas
bukanlah perguruan picisan dan selama ini belum
pernah mereka tewas dengan mudah serta tentu
saja hal ini merupakan penghinaan berat. Diang-
gap seperti lalat yang gampang ditepuk kapan sa-
ja.
"Heaaaat...!"
"Yeaaah...!"
"Trang!"
"Buk! Buk!"
"Sreet!"
Serbuan murid-murid Perguruan Elang Emas
hebat bukan main. Tapi amukan kedua Iblis Pulau
Hitam lebih dahsyat lagi. Seperti menebas rumput
liar, pedang itu berkelebat ke sana ke mari dan
memakan korban banyak. Sekali pedang itu berge-
rak, tiga atau empat korban akan tewas dengan
keadaan yang mengerikan.
Dalam tempo singkat, belasan murid Ki Suro-
pati tewas. Tentu saja hal ini membuat Ki Suropati
menjadi sedih. Walau ia berusaha mendesak ke-
dua lawan, tapi dalam perpaduan serangan, mere-
ka sama sekali tak merasa direpotkan oleh ke-
royokan itu dan masih mampu meladeni serangan
orang tua itu.
"Berhenti ....!" teriak Ki Suropati dengan suara
menggelegar.
*
* *
TUJUH
Seketika pertarungan terhenti, begitu terden-
gar teriakan keras Ki Suropati. Semua murid-
murid Ki Suropati cepat-cepat berlompatan mun-
dur. Mereka tampak keheranan, karena baru se-
kali ini Ki Suropati menghentikan pertarungan pa-
da saat mereka bertarung melawan musuh.
"Murid-muridku, dengarlah...!" seru Ki Suropa-
ti lantang. "Biarlah kedua lawan ini bagianku. Ka-
lau aku tewas nanti, keputusan ada di tangan ka-
lian. Kalian berhak untuk menentukan jalan hidup
kalian sendiri."
"Tidak, Guru. Kami akan tetap menggempur
kedua keparat ini sampai tetes darah terakhir!"
sahut murid-muridnya.
"Bagus! Tapi selagi aku masih berdiri tegak di
sini, tak seorang pun boleh membantuku!" kata Ki
Suropati tegas.
"Tapi, Guru...!"
"Sudahlah.... Kalian tak boleh membantuku
sampai aku tewas, dan keputusan nanti berada di
tangan kalian. Jangan ada yang membantah. Ka-
lau ada yang berkeras, maka saat ini juga dia bu-
kan muridku lagi," lanjut Ki Suropati tegas.
Semuanya terlihat menunduk tanpa memberi-
kan jawaban. Tapi Ki Suropati mengerti, bahwa
mereka menurut akan kata-katanya walau mereka
berat melaksanakannya. Kemudian dia beralih ke-
pada kedua Iblis Pulau Hitam yang masih terse-
nyum mengejek.
"Nah, Kisanak. Aku siap bertarung dengan ka-
lian kembali...!"
"He he he he...! Kalau kau mau menyembah
kaki kami dan mengatakan takluk, mungkin nya-
wa kalian bisa kuampuni," ejek Durbala.
"Kisanak, sudah jangan banyak bicara. Kalian
tahu hal itu tak akan pernah kulakukan. Bersiap-
lah kalian!" sahut Ki Suropati.
Melihat lawan meremehkannya, Durbala lang-
sung menyerang dengan kekuatan penuh. Kali ini
ia betul-betul mengarahkan segenap kemampuan
yang dimilikinya.
"Yeaaaah...!"
"Trang!"
"Plak!"
Untuk sesaat kedua Iblis Pulau Hitam tercekat.
Serangan Ki Suropati cepat bagai kilat serta men-
gandung tenaga dalam kuat. Ketika telapak ki-
rinya bermaksud menghajar kepala Durbala, la-
wan langsung memapakinya. Ia sedikit meringis.
Tangannya terasa kesemutan akibat benturan itu.
Dan pada saat yang bersamaan, pedang di
tangan Ki Suropati menebas leher Manggala yang
dengan cepat ditangkis dengan pedangnya sambil
menundukkan kepala dan balas menendang la-
wan.
"Wuk!"
Tubuh Ki Suropati bersalto ke udara beberapa
kali. Namun saat itu juga Durbala bergerak me-
nyusul sambil menghunus pedang. Ujung senja-
tanya bergulung-gulung seperti hendak mengiris
seluruh permukaan tubuh lawan.
"Trang!"
"Wuuuut!"
Ki Suropati masih sempat menangkis serangan
lawan dengan permainan ilmu pedangnya yang li-
hai. Bahkan pada akhir serangan ia masih sempat
membalas walaupun luput. Tinju kiri Durbala
nyaris menghantam dada pada kesempatan perta-
hanannya terbuka. Namun Ki Suropati cepat me-
lindungi diri dengan memapakinya.
"Bughk!"
"Aaaaaargk...!"
Keduanya menjerit kesakitan dengan tubuh
terlontar pada arah yang berlawanan.
"Yeaaah...!"
"Guru ...!" pekik salah seorang murid sambil
melompat menyerang lawan ketika melihat Mang-
gala hendak mencuri kesempatan dengan meng-
hunus pedang ke tubuh Ki Suropati.
"Trasss!"
"Trang!"
"Bughk!"
"Aaaaakh...!"
Pemandangan mengerikan terjadi dalam bebe-
rapa detik. Tubuh murid Ki Suropati yang berusaha melindungi gurunya, terbelah dua manakala
berusaha menahan ayunan pedang lawan. Mata
pedang bergerigi itu terus menghantam Ki Suropa-
ti setelah membabat pinggang salah seorang mu-
ridnya. Ki Suropati masih sempat menangkis, na-
mun tendangan lawan seperti membuat tulang
dadanya remuk.
Tak pelak lagi, Ki Suropati terbanting keras ke
atas tanah seperti seonggok bangkai. Walau demi-
kian nampaknya kegarangan Manggala tak cukup
sampai di situ saja. Begitu menjejakkan kakinya di
tanah, dengan kecepatan yang begitu tinggi sekali
dia kembali melesat untuk menghabisi nyawa Ki
Suropati.
"Hiyaaaa...!"
Tapi belum juga tindakan Manggala terlaksa-
na, tiba-tiba saja terdengar suara bentakan keras
menggelegar. Membuat gerakan Manggala jadi ter-
henti seketika.
"Cacing keparat! Aku akan mengadu jiwa den-
ganmu!" teriak tiga orang murid Ki Suropati yang
langsung menghadang, dengan pedang terhunus
ke arah Manggala.
"Cacing-cacing busuk, mampuslah kalian!" de-
sis Manggala geram. "Hiyaaa...!"
"Yeaaaah...!"
"Trang!"
"Crass!"
"Breet!"
Manggala benar-benar mengamuk pada tiga
orang lawannya ini. Pedangnya berkelebatan ce-
pat, membabat ketiga senjata lawan. Dan ketika
sekali lagi berkelebat dengan kecepatan yang sulit
diikuti mata biasa. ketiga lawannya menjerit kesa-
kitan sebelum ambruk dengan perut robek dan
isinya terburai keluar.
"Wuaaaa...!"
Pada saat yang bersamaan terdengar jeritan
pendek perlahan. Manggala melirik dengan cepat
ke arah suara itu.
Ketika ia sedang menghadapi ketiga murid Ki
Suropati, maka kesempatan itu dipergunakan oleh
Durbala untuk menghabisi jiwa lawan. Ujung pe-
dangnya langsung menghunjam ke jantung Ki Su-
ropati yang telah tak berdaya, dan ketika senja-
tanya tertarik, terdengar tulang rusuk Ki Suropati
berbunyi saat pedang Durbala dicabut. Durbala
kembali berkali-kali menghunjam ujung pedang-
nya ke tubuh Ki Suropati dan seperti semula ma-
nakala ujung pedang itu dicabut maka isi perut-
nya seperti ikut keluar.
"Biadab! Iblis keparat!" teriak semua murid Ki
Suropati dengan amarah yang meluap. Tanpa di-
komando lagi mereka langsung menyerang Durba-
la dan Manggala.
Melihat itu kedua Iblis Pulau Hitam malah ter-
kekeh-kekeh senang. Kemudian dengan menden-
gus sinis dan wajah menyiratkan kegarangan, ke-
duanya langsung mengayunkan pedang. Pekik ke-
sakitan dan jerit kematian langsung terdengar
yang di susul tumbangnya beberapa korban dalam
keadaan mengerikan. Dalam waktu singkat tempat
itu banjir darah dan mayat-mayat bergelimpangan.
"Ha ha ha ha...! Mampuslah mereka yang hen-
dak menentang Iblis Pulau Hitam!" Durbala terba-
hak-bahak setelah menewaskan lawan terakhir-
nya. Tingkahnya itu diikuti oleh Manggala dengan
suara yang tak kalah kerasnya.
"Siapa pun yang mencoba menentang Iblis Pu-
lau Hitam dia harus mati!" katanya sambil menga-
cungkan pedang berlumuran darah di tangannya.
"Iblis Pulau Hitam, terimalah salam perkenalan
dariku!"
Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring yang
disusul satu bayangan melesat ke arah Manggala.
Cepat-cepat dia berkelit sambil mengayunkan pe-
dang. Namun bayangan itu bergulung ke atas dan
langsung menyambar kepalanya.
"Wuuut!"
"Splak!"
Tubuh Manggala terjajar beberapa langkah ke-
tika tangannya berusaha memapaki tamparan la-
wan. Kemudian pada saat itu pula Durbala lang-
sung melesat dengan satu serangan kilat.
"Yeaaat...!"
"Bet!"
"Trang!"
Seperti halnya dengan Manggala, tubuh Dur-
bala terhuyung-huyung beberapa tindak ketika
pedangnya ditangkis oleh suatu benda yang amat
keras. Tangannya terasa perih serta kesemutan.
Belum lagi mereka sempat memperbaiki posisi,
bayangan itu telah kembali melesat menyambar.
"Iblis-iblis jahanam, mampuslah kalian seka-
rang...!"
"Wuut!"
"Wuss!"
Tak percuma kedua orang bertubuh tinggi be-
sar dan berkulit hitam itu punya nama angker ka-
lau saja kepandaian mereka cetek. Sambil bersalto
ringan, keduanya langsung mengirimkan pukulan
jarak jauh pada waktu bersamaan. Bayangan itu
melejit menghindari, namun Manggala menyam-
barnya sambil mengayunkan pedang dengan tena-
ga dalam tinggi.
"Siapa pun yang bermain-main dengan Iblis
Pulau Hitam, dia harus mampus!!"
"Trang!"
"Wuuut!"
"Yeaaaah...!"
Pedang Manggala kembali membentur benda
keras seperti tadi. Namun kali ini cuma kesemu-
tan saja dan sempat didengarnya bayangan itu
mengeluh pendek meski masih sempat menya-
betkan senjatanya ke tubuh lawan. Namun Mang-
gala cepat berkelit. Pada saat itulah terdengar te-
riakan keras dari Durbala yang mengirimkan se-
rangan susulan terhadap lawan.
"Trang!"
"Hiyaaat...!"
Serangan kedua Iblis Pulau Hitam itu kini mu-
lai teratur dan kompak. Bila salah seorang selesai
menyerang, maka detik itu pula yang seorang lagi
melancarkan serangan. Dan bila ia berhenti maka
yang pertama kembali menyerang. Begitu seterus-
nya. Hingga walaupun bayangan itu memiliki ilmu
peringan tubuh setingkat lebih tinggi dibanding
mereka, namun perlahan-lahan terlihat ia mulai
terdesak. Kemudian pada suatu kesempatan,
ujung pedang Durbala nyaris merobek wajah la-
wan.
"Uts!"
"Shaaat...!"
"Crasss!"
Bayangan itu mengeluh kesakitan. Walaupun
berhasil menghindari sembarangan ujung pedang
Durbala, namun pada saat yang bersamaan
Manggala berhasil merobek bahu kanannya.
Bayangan itu bersalto beberapa kali ke belakang.
Kemudian pada jarak enam tombak. Tegak berdiri
memandang tajam. Barulah keduanya dapat saling
melihat jelas. Bayangan tadi ternyata seorang laki-
laki berusia sekitar tujuh puluh tahun, berpakaian
serba hitam dan rambut yang sudah berwarna pu
tih. Wajahnya agak bulat dan dahinya licin. Tu-
buhnya pun agak gemuk. Di tangannya tergeng-
gam sebatang tongkat besi sepanjang lebih kurang
tujuh jengkal dengan hulu berbentuk kepala bu-
rung Rajawali berwarna keemasan.
"Siapa kau?" tanya Manggala be rang.
"Akulah pendiri Perguruan Elang Emas ini. Ka-
lian telah berbuat semuanya dengan menghabisi
seluruh murid-muridku. Untuk itu kalian harus
mampus!" sahut si orang tua.
"Hemm, kaukah yang bernama Ki Suganda
yang terkenal dengan gelar Elang Emas Penyapu
Jagat?"
"Agaknya pendengaran kalian masih bagus
dan mata kalian masih jeli. Hanya sayang nurani
kalian yang telah busuk!"
"Orang tua, aku tak perduli ucapanmu. Kalau
kau merasa tak senang, kau boleh menuntut ba-
las. Kalau kau mau menyudahi sampai disini, ka-
mi pun akan membiarkan kau berlalu dengan se-
lamat," kata Manggala.
Walau pun baru sekali berhadapan dengan
orang tua ini, tapi nama Elang Emas Penyapu Ja-
gat telah sering di dengarnya lewat penuturan Gu-
runya. Beliau salah seorang tokoh kosen golongan
putih yang ilmu silatnya sulit di ukur kemam-
puannya. Kelebihan utamanya adalah ilmu perin-
gan tubuhnya yang telah mencapai tingkat sem-
purna.
"He he he he...! Enak sekali bicaramu, Kisa-
nak. Perguruan Elang Emas, akulah yang mendi-
rikannya. Ki Suropati adalah murid tertua ku, dan
yang lainnya termasuk cucu muridku. Kalian da-
tang tanpa sebab, dan membasmi mereka tanpa
alasan. Bagaimana mungkin aku bisa mendiam-
kan hal ini?"
"Jadi kau akan menuntut balas?" tanya Durba-
la dengan senyum mengejek.
"Tidak. Hanya ingin meminta kepala kalian se-
bagai bukti ganti nyawa mereka!" sahut Ki Sugan-
da dingin.
"Keparat...!" geram Durbala langsung memerah
wajahnya.
Meskipun terdengar tenang, tapi kata-kata
yang dikeluarkan Ki Suganda membuat telinga
siapa saja yang mendengarnya bagai ditusuk pi-
sau. Dan ini membuat wajah Durbala jadi meme-
rah.
"Huh, kau kira dengan mengandalkan nama
besarmu kami jadi takut? Kau pun akan menda-
pat gilirannya nanti," dengus Manggala juga ikut
geram mendengar kata-kata Ki Suganda tadi.
Merasa bahwa lawan mampu dilukainya, ia
langsung melompat dengan satu serangan kilat.
Bersamaan dengan itu Durbala pun ikut menge-
rubutinya dengan pedang siap di tangan.
"Hiyaaa...!"
"Shaaa...!"
"Hup! Yeaaah...!"
Dikerubuti oleh dua orang berilmu tinggi itu,
Ki Suganda langsung mengerahkan segenap ke-
mampuannya. Tubuhnya bergerak bagai bayangan
dan sulit dikejar lawan. Walaupun penyerangan
Manggala dan Durbala sangat kompak, tapi ilmu
meringankan tubuh yang dimiliki Ki Suganda be-
rada satu tingkat di atas mereka hingga sulit bagi
kedua Iblis Pulau Hitam itu untuk dapat menja-
tuhkan lawan dalam sekejap.
Bahkan beberapa kali Ki Suganda berhasil
mendesak mereka dengan jurus-jurus permainan
pedangnya yang dahsyat, berkelebatan cepat bagai
kilat, menyambar ke mana saja tubuh lawan ber
gerak. Hingga beberapa jurus berlalu, masih terla-
lu sulit diperkirakan, siapa di antara mereka yang
keluar sebagai pemenang dalam pertarungan itu.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaaah...!"
Teriakan-teriakan keras menggelegar, terden-
gar begitu dahsyat memecah angkasa. Disertai
dengan suara denting senjata beradu. Terlihat ki-
latan-kilatan bunga api berpendar setiap kali sen-
jata-senjata mereka beradu. Dan tampaknya per-
tarungan itu masih akan terus berlangsung lebih
lama lagi. Sebuah pertarungan tingkat tinggi yang
begitu dahsyat dan menakjubkan. Karena masing-
masing sudah mengeluarkan jurus-jurusnya yang
dahsyat.
*
* *
Pagi bersinar hangat saat ayunan langkah kaki
Bayu sampai di pinggiran hutan. Sejak tadi Tiren,
monyet sahabat kecilnya yang centil terus mence-
recet ribut di pundak Pendekar Pulau Neraka itu.
Lalu turun dari pundak pemuda berbaju kulit ha-
rimau ini dan berlari-lari kecil sambil memanjat
pohon-pohon.
"Tiren, kau mau tinggal di situ? Aku akan te-
rus jalan!"
"Nguk...!"
"Kau tidak mau ikut...? Baiklah. Aku akan
meninggalkanmu disini.
Setelah berkata begitu Bayu bersiap-siap
menggenjot tubuhnya dan berlari kencang. Dari
belakang terdengar Tiren menjerit dengan suara
melengking sambil lari mengejar. Tapi Bayu sea-
kan tak mau menghentikan larinya. Saat melihat
depannya ada sebuah pondok kecil, Bayu bermak-
sud bersembunyi di tempat itu. Namun Bayu ter-
kejut ketika melihat sesosok tubuh seorang gadis
tergolek di sebuah balai bambu yang sudah reyot
di sana. Tapi yang lebih mengejutkan lagi, gadis
itu dalam keadaan bugil. Dan sepertinya dia per-
nah mengenal gadis itu. Cepat-cepat ditutupinya
tubuh gadis itu dengan pakaian yang menggelatak
di lantai. Kemudian sambil mengurut-urut perla-
han, gadis mulai sadarkan diri.
"Ohh...!"
Bayu melirik sekilas. Perlahan-lahan kemu-
dian, dia bermaksud meninggalkan gadis itu. Tapi
entah kenapa, hatinya tiba-tiba ragu. Ada pera-
saan khawatir jika gadis itu mengalami lagi hal-hal
buruk setelah dipeninggalkannya nanti. Dia kenal
gadis itu. Kalau ingat sikap dan raut wajahnya
yang selalu menampakkan rasa ketidaksenangan
terhadap dirinya, kesal juga hatinya. Dua kali me-
reka bertemu, dua kali pula tak pernah dilihatnya
gadis itu sedikit memberikan senyum manisnya.
Tapi baru saja Bayu membalikkan tubuhnya,
tiba-tiba saja dia tersentak kaget, ketika menden-
gar gadis itu menangis terisak. Cepat dibalikkan-
nya tubuhnya, lalu melangkah menghampiri.
"Maaf, aku cuma ingin sekedar membantu. Ku-
lihat kau dalam keadaan tak sadarkan diri. Tak
ada maksud-maksud buruk di hatiku terhadap-
mu," katanya dengan suara pelan.
Tak terlihat reaksi gadis itu. Tangisnya sema-
kin keras terdengar sambil membenamkan diri di
balai bambu, Bayu jadi salah tingkah. Melihat se-
suatu yang tak beres di tubuh gadis itu, dia bisa
memastikan apa yang telah menimpanya.
"Nisanak, kali ini aku tak mau kau menuduh-
ku berbuat yang tidak-tidak padamu. Walau aku
bukan orang baik-baik, tapi aku tak pernah me-
maksakan kehendak pada orang yang tak suka
padaku," lanjutnya.
Tetap saja gadis itu diam dan terus menangis
terisak. Bayu menunggu beberapa saat lamanya,
kemudian perlahan-lahan meninggalkan tempat
itu. Tapi baru saja dia sampai di depan pintu, tiba-
tiba saja sebuah bayangan hitam kecil menyambar
cepat bagai kilat.
"Utfs...!"
"Cieeeeeet...!"
Cepat-cepat Bayu menangkap, begitu menden-
gar suara jeritan yang sudah akrab di telinganya.
Sebentar dia menarik napas panjang, lalu mena-
ruh Tiren dipundak kanannya. Sahabat kecilnya
itu berteriak-teriak marah. Bayu terkekeh kecil.
"Salahmu sendiri, kenapa aku ajak tadi, kau
malah bermain-main di pohon!"
"Cieeeet! Cieeeeet!" Tiren menggerutu kesal.
Wajahnya terlihat lucu dengan kerut merut begitu.
"Sudahlah, mari kita lanjutkan perjalanan.
Siapa tahu tiba-tiba buruan kita muncul."
Tapi baru beberapa langkah, gadis yang berada
digubuk tadi keluar dan memanggilnya dengan
suara lirih. Bayu berbalik dan tertegun sesaat.
Walau dalam keadaan lusuh sekali pun, namun
wajahnya tetap cantik mempesona.
"Kisanak, terima kasih atas pertolonganmu..."
"Ah, sudahlah. Aku cuma kebetulan lewat saja.
Eh, kemana kekasihmu itu?"
Perlahan gadis itu menundukkan wajahnya,
kemudian membuang pandangan jauh ke arah
lain. Terdengar suaranya yang lirih mengandung
kepedihan.
"Dia sudah tewas di tangan Iblis Pulau Hitam."
"Oh...?!" desis Bayu terkejut. "Betul-betul ke
parat mereka!" geramnya tak sadar.
Sedangkan gadis cantik itu hanya diam saja.
Pandangannya masih tertuju ke arah lain. Seakan
dia tidak sanggup lagi menentang sorot mata pe-
muda tampan berbaju kulit harimau itu.
"Mereka tak akan ku maafkan lagi. Kali ini ka-
lian harus mampus di tanganku. Telah banyak
korban berjatuhan di tangannya." sambung Bayu
mendesis geram.
"Kisanak, apakah kau mau memburu kedua
Iblis itu?!" tanya gadis cantik itu agak ragu-ragu
terdengar nada suaranya.
"Benar!" sahut Bayu mantap.
"Kau tidak keberatan kalau aku ikut dengan-
mu, Kisanak? Mereka punya hutang nyawa pada-
ku...."
"Aku rasa, sebaiknya kau pulihkan keseha-
tanmu dulu? Aku lihat kau masih sangat lemah."
"Tidak. Aku kuat. Aku masih sanggup me-
menggal kepala mereka!" sentak gadis itu tegas.
Bayu jadi tertegun memandangi gadis cantik
ini. Setelah berpikir sesaat, Pendekar Pulau Nera-
ka itu menganggukkan kepala menyetujui. Dalam
hatinya mengatakan percuma saja menghalang-
halangi keinginan gadis ini. Dan entah kenapa, ti-
ba-tiba hatinya merasa cemas jika kejadian buruk
menimpa gadis ini. Lebih-lebih dalam keadaan tu-
buhnya yang lemah, dengan mudah orang-orang
yang iseng akan memperdayainya.
"Tiren, kau mau carikan kami buah-buahan
segar?" pinta Bayu.
"Nguk...!"
Tanpa diminta dua kali monyet kecil berbulu
hitam itu langsung melompat dari pundak Bayu ke
atas cabang pohon. Dalam waktu singkat saja dia
sudah menghilang dari pandangan.
"Cerdik sekali dia...," puji gadis itu.
"Ya, memang dia sangat cerdik," sambut Bayu
tersenyum bangga. "Ng... Nisanak...."
"Bukankah kau telah tahu namaku? Jangan
panggil aku dengan sebutan lagi." selak gadis itu
cepat.
"Baiklah, eh... Dewi Ratih...," entah kenapa,
Bayu jadi tergagap.
"Ratih saja juga boleh," kata gadis cantik yang
memang bernama Dewi Ratih itu tersenyum.
"Ya, ya.... Ratih. Nama yang bagus," gumam
Bayu memuji. "Tapi aku minta kau juga jangan
memanggilku Kisanak. Bukankah kau juga sudah
tahu namaku.
Gadis itu menoleh sekilas, kemudian terse-
nyum kecil.
"Mulanya aku menganggap kau sama saja
dengan kami, murid-murid yang baru turun gu-
nung menjalankan amanat dari Guru. Sudah pasti
belum mampu menunjukkan kehebatan dan kete-
naran namanya. Tapi ternyata dugaanku salah.
Sepanjang perjalanan menuju tempat kediaman
Bupati, namamu amat dikenal. Siapa sangka aku
akan berhadapan dengan Bayu Hanggara, si Pen-
dekar Pulau Neraka yang belakangan ini namanya
sempat menggetarkan rimba persilatan."
"Kau terlalu memujiku, Ratih. Kepandaianku
tak seberapa, sebab di atas langit masih ada lan-
git."
Dewi Ratih cuma tersenyum kecil. kemudian
kembali terdiam.
"Cieeeeet...!"
"Ah, Tiren sudah kembali! Nah, lihat dia bawa
buah-buahan segar."
Apa yang dikatakan Bayu memang benar. Ti-
ren kembali dari cabang pohon dan turun bersama
buah-buahan segar dan ranum. Untuk sesaat me-
reka beristirahat sambil menikmati buah-buahan
itu. Namun pendengaran Bayu yang tajam mera-
sakan kehadiran seseorang di tempat itu. Sambil
memakan buah, dia menggumam pelan, sambil
mengerahkan tenaga dalamnya yang sudah men-
capai tingkatan sempurna.
"Kisanak yang berada di atas pohon, turunlah!
Kalau kau hendak bergabung, aku tak akan pelit
untuk memberimu sebuah!"
Dewi Ratih mencari-cari ke sekeliling tempat
itu dengan sepasang mata indahnya. Demikian ju-
ga dengan Tiren. Tak berapa lama kemudian, ter-
dengar suara tawa cekikikan panjang yang disusul
sebuah bayangan melesat cepat ke arah mereka.
Tahu-tahu seorang perempuan tua sudah ber-
diri di dekat mereka. Wajahnya penuh keriput me-
nyeramkan dengan pipi yang sudah kempot. Ram-
butnya yang sebagian telah memutih digulung
dengan tusuk konde berbentuk naga sebanyak tu-
juh tusuk. Sementara di tangan kanannya terlihat
sebuah tongkat sepanjang satu tombak berwarna
hitam dan berbulu kepala naga.
*
* *
DELAPAN
"Hi hi hi hi...! Dua pasang muda mudi enak-
enakan berpacaran setelah menyebarkan malape-
taka. Kalian tak akan lepas dari tongkat maut Nini
Surti," terasa begitu kering sekali suara perem-
puan tua yang langsung mengenalkan dirinya ber-
nama Nyai Surti itu.
"Nyai Surti...?!" gumam Bayu agak mendesis.
"Hemm, pernah kudengar nama itu. Apakah kau
yang punya gelar Bianglala Naga Pertala?"
Bayu bangkit berdiri perlahan-lahan. Dan
langsung berhadapan dengan perempuan tua yang
mengaku bernama Nyai Surti itu. Sejenak Pende-
kar Pulau Neraka itu mengamatinya dari ujung
kepala hingga ke ujung kaki. Sedangkan yang di-
pandangi malah tersenyum. Tapi sorot mata nenek
itu mengandung kebencian yang dalam.
"Hi hi hi hi...! Agaknya matamu belum lamur,
Bocah. Nah, bersiaplah menerima kematianmu!"
dengus Nyai Surti, langsung mengacungkan tong-
kat.
"Eeee...! Tunggu dulu, Nini Surti. Aku tak ke-
beratan menerima kematian di tanganmu, tapi je-
laskan dulu apa persoalannya? Setahuku di anta-
ra kita tak ada saling permusuhan."
"Sialan! Sekarang kau pura-pura pikun, heh?
Bukankah kau yang menghancurkan seluruh
anak murid Perguruan Jari Sakti? Nah, Si Panji
Narada yang menjadi ketuanya itu adalah menan-
tuku. Apa lagi alasanmu, Bocah?"
"Nini, aku tak tahu apa maksudmu. Bukankah
sepengetahuanku yang membantai seluruh murid
Perguruan Jari Sakti adalah Iblis Pulau Hitam?
Kenapa tiba-tiba kau menuduhku begitu?"
"Heh, bukankah kalian dari sepasang Iblis Pu-
lau Hitam itu?"
"Nini, namaku Bayu Hanggara, tapi orang-
orang selalu memanggilku Pendekar Pulau Neraka.
Sedangkan gadis ini adalah temanku," Bayu men-
coba menjelaskan.
Tapi tampaknya Nyai Surti belum bisa mem-
percayai penjelasan Pendekar Pulau Neraka itu.
Dengan sorot mata yang tajam, dia mengamati
pemuda tampan berbaju kulit harimau ini dalam
dalam. Kemudian beralih pada Dewi Ratih yang
sudah berdiri di samping Bayu sejak tadi. Gadis
itu hanya diam saja, meskipun dipandangi dengan
sorot mata yang begitu tajam penuh selidik.
"Ah, benarkah kalian bukan Iblis Pulau Hi-
tam...?" desah Nyai Surti, seperti bertanya pada
dirinya sendiri.
"Nini, aku berkata apa adanya. Bahkan kami
pun sedang mencari mereka untuk menuntut ba-
las," kata Bayu terus mencoba meyakinkan, kalau
tuduhan perempuan tua ini tidak benar.
"Tapi orang-orang yang melihatnya, mengata-
kan mereka menuju ke arah sini..." lagi-lagi nada
suara Nyai Surati terdengar seperti bicara pada di-
rinya sendiri.
Sedangkan Bayu jadi terdiam. Dewi Ratih juga
tidak mengeluarkan suara sedikitpun juga. Tam-
pak jelas kening Pendekar Pulau Neraka itu berke-
rut. Tapi entah apa yang ada di dalam kepala pe-
muda tampan itu sekarang ini. Hanya dia sendiri
yang tahu. Sedangkan Nyai Surti tampak kebin-
gungan. Jelas sekali kalau dia jadi bimbang men-
dengar penjelasan Bayu tadi. Dia tidak tahu, apa-
kah tuduhannya tadi benar atau salah. Tapi dia
juga belum mau percaya begitu saja, walau-pun
pengetahuannya tentang orang-orang yang sedang
dicarinya sangat sedikit sekali. Sementara Bayu
sendiri terus berpikir dengan kening berkerut cu-
kup dalam. Kemudian katanya seperti pada di-
rinya sendiri.
"Mereka sering memusuhi perguruan-
perguruan silat terkenal, dan menghancurkannya.
Tujuannya jelas, ingin mendapatkan nama tenar.
Kudengar tempo hari di sebelah selatan tempat ini
ada sebuah perguruan silat yang belakangan na-
manya amat terkenal yaitu Perguruan Mata Elang
Emas. Apakah tidak mungkin keduanya menya-
troni perguruan itu?"
"Ah, betul katamu, Bocah." selak Nyai Surti
cepat. "Kalau demikian aku akan kesana lebih du-
lu."
Seketika itu juga, dia melesat cepat, bagai kilat
meninggalkan tempat itu. Begitu cepat dan ting-
ginya ilmu meringankan tubuh yang dimiliki pe-
rempuan tua itu, sehingga dalam sekejapan mata
saja sudah lenyap tak terlihat lagi bayangannya.
"Bayu, kita pun harus segera kesana!" kata
Dewi Ratih bangkit berdiri dengan wajah berse-
mangat.
"Benar, Ratih. Ayolah...," sahut Bayu langsung
menyetujui.
*
* *
Dengan mempergunakan ilmu meringankan
tubuh, keduanya bisa tiba di tempat itu dengan
waktu singkat. Apa yang diperkirakan Bayu ter-
nyata benar terbukti. Murid-murid perguruan itu
semua tewas dengan cara yang mengerikan. Se-
mentara di satu sudut terlihat dua orang bertubuh
besar dengan kulit hitam sedang mengerubuti la-
ki-laki tua yang menggunakan pedang pendek. Ni-
ni Surti yang baru saja datang, langsung terjun
dalam kancah pertarungan.
Si Kakek yang sedang dikerubuti dua lawan-
nya tak lain adalah Ki Suganda, yang lebih dikenal
dengan julukan Elang Emas Penyapu Jagat, lang-
sung berseru girang melihat kehadiran Nyai Surti.
"Nyai Surti..., bagus kau cepat datang. Kuden-
gar merekalah yang menghancurkan perguruan
menantumu itu!"
"Hemm..., jadi inikah cecurut yang menama-
kan dirinya Iblis Pulau Hitam?" desis Nyai Surti,
tidak dapat lagi menahan kegeramannya.
"Betul. Kini mereka telah menghancurkan pula
murid-muridku. Mau tak mau aku harus mengadu
jiwa. Harga kepala mereka berduapun rasanya be-
lum setimpal dengan perbuatan biadabnya ini."
Mengetahui bahwa kedua orang bertubuh ting-
gi besar itu adalah musuh yang dicari-carinya, Ni-
ni Surti langsung mengerahkan seluruh kepan-
daian yang dimilikinya untuk menghabisi lawan
secepatnya. Tongkat di tangannya berputar-putar
menimbulkan suara menderu dan angin kencang
menghantam lawan. Kedua Iblis Pulau Hitam yang
sejak tadi mendesak Ki Suganda, terpaksa mem-
bagi perhatian terhadap lawan barunya.
Sebenarnya Ki Suganda tak begitu suka diban-
tu bila sedang berhadapan dengan lawan. Namun
kali ini keadaannya sudah terdesak sekali. Bebe-
rapa kali tubuhnya kena dilukai lawan, hanya ka-
rena ilmu peringan tubuhnya yang sempurna me-
nyelamatkan selembar nyawanya. Tapi itupun
hanya soal waktu. Kalau saja pada saat itu Nini
Surti tak cepat datang, mungkin sebentar lagi Ki
Suganda akan betul-betul terdesak. Bisa jadi ji-
wanya hanya sampai di situ sebelum dendamnya
terbalas. Itulah sebabnya ia tak keberatan Nini
Surti ikut membantu. Kebetulan ada alasan yang
tepat bagi perempuan tua itu untuk menempur
kedua iblis itu.
"Bayu, aku tak mau tinggal diam disini saja!"
kata Dewi Ratih ketika mereka mendekat.
"Kedua Iblis itu telah merusak kehormatanku
berkali-kali. Mereka harus membayarnya dengan
nyawa mereka sendiri," lanjutnya.
Tanpa meminta persetujuan Bayu, Dewi Ratih
langsung menerjang lawan dengan garang.
"Iblis-iblis keparat! Kali ini kalian tak akan le-
pas dari kejaranku!"
"He he he he...! Nona manis, agaknya kau pun
berada di sini? Apakah kau tergila-gila pada kami
sampai kau menyusul ke sini?" sahut salah seo-
rang di antara mereka, Durbala.
"Cuiih! Melihat tampangmu saja muak rasanya
perutku. Kalau belum mengorek jantungmu, hi-
dupku belum puas rasanya!"
"Ciaaaat...!"
"Trang!"
"Trak! Trak!"
"Ughk..!"
Dewi Ratih mengeluh kesakitan ketika pe-
dangnya ditangkis senjata Durbala. Masih untung
dia dapat melompat ke belakang ketika ujung pe-
dang Manggala menyambar pinggangnya.
Sementara pada saat yang bersamaan. Durba-
la menangkis serangan pedang Ki Suganda dan di-
lanjutkan dengan pedang bergerigi Manggala yang
menyampok tongkat Nini Surti. Kedua orang tua
itu betul-betul merasa penasaran sekali, sebab ke-
dua Iblis Pulau Hitam sama sekali tak merasa ke-
repotan walau dikeroyok. Kekuatan dan kecepatan
bergerak mereka tetap sama seperti menghadapi
Ki Suganda tadi. Bahkan dalam satu kesempatan
berikut, mereka berhasil mendesak kedua lawan-
nya.
"Yeaaaah...!"
"Wut!"
"Trang!"
"Trak!"
Kembali kedua Iblis Pulau Hitam memapas se-
rangan senjata lawan. Kali ini serangan mereka
bukan main hebatnya karena mengerahkan seluruh tenaga dalam yang dimiliki. Kulit tangan Ki
Suganda sampai terkelupas, dan tongkat Nini Sur-
ti malah patah dua. Namun begitu perempuan tua
itu bukannya gentar malah dengan memegang
masing-masing potongan tongkatnya, kembali ia
menyerang lawan dengan ganas.
"Wuut!" "Wuut!"
"Yeaaaah...!"
Nini Surti mencecar habis-habisan kedua la-
wannya. Pada saat yang bersamaan Dewi Ratih
kembali menyerang lawan sambil berteriak keras.
Ujung pedangnya menyambar Durbala yang saat
itu tengah kerepotan menghadapi dua serangan
lawan sekaligus, yaitu dari Ki Suganda dan Nini
Surti.
"Ciaaat!"
"Trang!"
"Trak!"
"Crass!"
Kejadian itu begitu cepat terjadi. Dengan kece-
patan yang sukar diikuti mata biasa, ujung pe-
dang Manggala menyobek paha Nini Surti serta
menangkis pedang di tangan Dewi Ratih hingga
terpental. Bahkan kalau saja pada saat itu tak ada
sebuah sinar perak yang melesat cepat dan me-
nangkis pedang lawan, niscaya leher gadis itu
akan terpisah jadi dua ditebas senjata lawan.
"Pendekar Pulau Neraka!" teriak Manggala ge-
ram. "Kau mau ikut mengeroyok kami? Majulah,
biar sekalian kami kirim kalian ke akherat!"
"Ha ha ha ha...! Akhirnya tokoh-tokoh kosen
yang disegani rimba persilatan berkumpul di sini
untuk menerima kematiannya!" sahut Durbala.
"Bagus! Bagus! Siapa yang lebih dulu ingin
mampus?"
Bayu Hanggara melihat Dewi Ratih meringis
kesakitan, dengan kulit tangan terkelupas. Semen-
tara Nini Surti sedang menghentikan pendarahan
di pahanya, dan Ki Suganda terdiam barang seje-
nak memperhatikan mereka. Bayu maju perlahan
mendekati.
"Kisanak, biarlah aku sendiri yang mewakili
mereka untuk memenggal kepala kalian!" kata
Bayu pelan, namun terasa dingin.
"Ha ha ha ha...! Sombong sekali kau, Bocah.
Mereka saja belum tentu mampu mengungguli
kami. Apalagi kau yang cuma punya nama ko-
song," sahut Manggala memanas-manasi.
"Untuk menghadapi kalian tak perlu kuguna-
kan nama kosong ku," balas Bayu santai. Kemu-
dian ia berpaling kepada orang tua itu.
"Kisanak berdua, kalau tak keberatan biarlah
ku wakilkan kalian untuk mencopot kepala kedua
orang iblis ini," lanjutnya.
Ki Suganda dan Nini Surti mengerti. Dalam ge-
brakan tadi, tak mungkin rasanya mereka bisa
menang melawan kedua iblis itu. Kalaupun dite-
ruskan, paling tidak salah seorang diantara mere-
ka akan tewas. Bila Bayu yang tampil, walaupun
tidak mampu mengunggulinya, paling tidak dua
iblis itu akan kerepotan. Dan di saat itulah mereka
bermaksud akan membokongnya nanti.
"Nah, iblis busuk, bersiaplah!" kata Bayu
Hanggara. Cakra maut di tangannya kini tergeng-
gam erat. Dilihatnya kedua Iblis Pulau Hitam ber-
siaga dengan pandangan mata tak henti menga-
wasi geraknya.
"Yeaaaaa...!"
"Heaaaat!"
Dengan satu teriakan kencang Bayu Hanggara
melempar cakra mautnya ke arah lawan. Dan ber-
samaan dengan itu tubuhnya melesat cepat dengan satu serangan kilat yang bertenaga kuat.
"Zwiing!"
"Trang!"
"Wuuut!"
Saat kedua lawan menghantamkan pedang un-
tuk memapaki cakra maut berwarna keperakan
itu, tinju kanan Bayu Hanggara menghantam dada
Iblis Pulau Hitam yang bertubuh lebih besar. Te-
tapi dengan manis Manggala dapat menghinda-
rinya sambil bersalto ke belakang. Bahkan satu
tendangan keras nyaris menghantam kepala Bayu
kalau saja ia tak memutar tubuhnya seperti
gangsing. Pada saat itu kaki kanannya berhasil
menghantam lambung lawannya yang lain. Seperti
temannya, Durbala mampu berkelit, bahkan den-
gan cepat mengirim serangan balasan dengan me-
nyabetkan pedangnya.
"Wuuut!"
"Yeaaaaaaa...!"
"Trang! Trang!"
Dari tangan kanan Bayu Hanggara melesat se-
rangkum angin kencang namun itu tak cukup un-
tuk menghentikan laju pedang lawan. Paling tidak
ia bisa menghindar lebih cepat daripada sambaran
senjata lawan dan menangkap kembali cakra
mautnya untuk memapaki serangan Manggala.
"Sheaaa...!"
Dengan satu teriakan keras telapak tangan
tersorong ke depan dan menderu angin kencang
menghantam keduanya. Tapi kedua lawan pun
membalas dengan bersamaan menggabungkan te-
naga dalam mereka. Pada saat itulah Bayu kemba-
li melepas cakra mautnya yang diikuti oleh keleba-
tan tubuhnya ke arah mereka.
"Hiyaaaa...!"
*
* *
"Wuss!"
"Trang!"
"Bughk!"
"Aaakh...!"
Begitu adu tenaga dalam tadi selesai, melesat
sinar berwarna keperakan menghantam Iblis Pu-
lau Hitam. Keduanya seperti mengerti tipu daya
Bayu. Sebab hanya Manggala saja yang menang-
kis, sedangkan Durbala berkelit menjaga serangan
lawan. Tapi agaknya ia salah perhitungan, sebab
Bayu cuma menyerang satu lawan saja. Lalu keti-
ka cakra maut tadi terpental dan kembali pada
pemiliknya. kembali dilemparkan ke arah Durbala.
Hingga kali ini terlihat Bayu membagi dua perha-
tian. Satu menyerang Manggala, sedangkan cakra
mautnya menyerang Durbala. Secara tak langsung
hal itu membuat keduanya agak kaget. Dan waktu
yang sepersekian detik itu cukup bagi Bayu Hang-
gara menyarangkan pukulan ke dada lawan, serta
cakra mautnya berhasil merobek bahu Durbala.
"Bangsat!" maki Durbala sambil meringis ke
sakitan. Begitu juga halnya dengan Manggala.
Wajahnya terlihat menahan marah. Sambil
mendekap dadanya yang terasa nyeri, kembali ia
mengacungkan pedang sambil berbisik kepada
Durbala.
"Agaknya ia mengetahui kelemahan kita. Kalau
dia pergunakan cara tadi untuk memisahkan kita,
jaga jarak jangan sampai terlalu jauh, tapi masih
dalam jarak jangkau serangan."
Durbala mengangguk. Kemudian dengan satu
teriakan keras, kembali keduanya bergerak me-
nyerang lawan.
"Yeaaah...!"
"Trang!"
"Trak!"
"Wuuut!"
Bayu Hanggara belum melemparkan cakra
mautnya, tapi memegangnya untuk menangkis
kedua pedang lawan. Pikirnya, hal tadi tentu akan
membuat lawan lebih berhati-hati untuk menye-
rangnya. Dan ia bermaksud memanfaatkan ke-
sempatan tadi. Namun yang dihadapinya justru
jebakan hebat. Dalam pertarungan jarak dekat se-
perti ini, keduanya hebat bukan main. Lawan se-
perti terkurung dalam kelebatan pedang mereka.
Walau sejauh ini Bayu dapat menangkis setiap
semua serangan tapi ia tak yakin bisa bertahan
lama.
"Hiyaaat...!"
Dengan satu teriakan keras, tubuh Bayu
Hanggara melesat jauh ke atas. Namun ujung pe-
dang Manggala berhasil merobek sedikit kulit
pinggangnya. Bayu Hanggara meringis kesakitan.
Namun bahaya lain segera menanti ketika ujung
pedang Durbala mengejarnya.
"Yeaaah...!"
"Trass!"
"Wuut!"
"Aaaarghk...!"
Dalam keadaan seperti itu dilemparnya cakra
maut ke tenggorokan lawan. Durbala berhasil
mengelak sambil mengegoskan kepala ke samping.
Namun tak urung senjata itu kembali merobek
pangkal lehernya. Sedang pedangnya sendiri ham-
pir mencederai kaki Bayu kalau seandainya ia tak
cepat-cepat mengangkatnya.
"Yeaaat...!"
"Shaaa...!"
"Bughk!"
"Trass!"
"Prak!"
Ketika tubuhnya melesat turun Bayu bersiap-
siap menyambut serangan Manggala. Kejadiannya
begitu cepat sekali. Pada saat yang bersamaan pu-
la Nini Surti dan Ki Suganda, serta Dewi Ratih
menyerang Manggala hingga mereka melupakan
Durbala. Tak ampun lagi, pedang Durbala melesat
cepat membabat kedua kaki Dewi Ratih dan terus
meluncur menyambar pinggang Nini Surti. Tapi
Manggala sendiri bukannya tak luput dari seran-
gan. Walau ujung pedangnya berhasil menyambar
bahu kiri Bayu dan terus bergerak merobek perut
Ki Suganda, ia sendiri mengalami nasib yang naas.
Kepalanya remuk dihantam tinju Bayu sedang
punggungnya terbelah disambar pedang Ki Su-
ganda. Dan pada bagian jantung serta lambung-
nya bolong ditusuk tongkat Nini Surti.
"Tap!"
"Heaaat!"
"Crass!"
"Trak!"
"Whuaaaa...!"
Bayu Hanggara tak mau membuang-buang
waktu dan kesempatan lagi. Begitu cakra mautnya
berputar kembali ke tangan, secepat itu pula me-
lesat lagi dan menyambar tubuh Durbala pada ba-
gian jantung. Terdengar tulang-tulang rusuknya
berderak patah ketika cakra maut bersegi enam
itu menembus hingga ke punggungnya. Lalu ber-
balik ke arah Bayu. Durbala menjerit lirih ketika
tubuhnya berputar-putar limbung sebelum akhir-
nya ambruk dengan nyawa lepas dari raga.
Bayu Hanggara membersihkan noda-noda. da-
rah pada cakra mautnya sebelum melekatkan
kembali di tangan. Kemudian ia melangkah pelan
ke arah Dewi Ratih dan menghentikan pendarahan
di kakinya.
"Sudah kukatakan, kau tak perlu turun tan-
gan. Biar aku saja yang menghadapi mereka," kata
Bayu seperti menyesali kejadian itu. "Juga yang
lainnya, mereka tewas sia-sia."
"Tidak. Mereka tidak tewas sia-sia. Mereka
puas dengan kedua Iblis itu telah tewas di tan-
ganmu walaupun harus dibayar dengan nyawa
mereka sendiri. Tapi itu lebih baik daripada kebia-
daban mereka akan menimbulkan korban nyawa
yang lebih banyak. Sepertiku juga, kedua kaki
yang buntung ini tak membuatku menyesal," sa-
hut Dewi Ratih dengan haru.
"Entahlah, aku tak mengerti. Mungkin juga ka-
ta-katamu benar. Paling tidak benar menurut ke-
nyataan, sebab tanpa kehadiran mereka yang
membuat perhatian lawanku terkejut dan memba-
gi perhatiannya. Paling tidak aku akan cidera be-
rat," kata Bayu perlahan.
Matanya beredar berkeliling, memandangi
mayat-mayat yang bergelimpangan di sekitar tem-
pat itu. Begitu banyak tubuh-tubuh tak bernyawa
bergelimpangan saling tumpang tindih di sekitar-
nya. Bau anyir darah pun menyeruak masuk ke
dalam hidungnya, terbawa hembusan angin yang
lembut mengusik kulit.
"Nah, Ratih. Tugasku telah selesai. Kau tentu
bisa pulang sendiri, bukan? Aku akan melan-
jutkan perjalanan," kata Bayu lagi, seraya melirik
sebentar pada gadis Dewi Ratih.
Baru saja Bayu akan memanggil Tiren, monyet
kecil sahabatnya yang berbulu coklat kehitaman
itu, sudah terdengar suara Dewi Ratih memanggil-
nya pelan. Terpaksa Bayu tidak jadi melangkah
pergi.
"Bayu, tidak keberatankah kau menolongku
sekali lagi?"
"Apa...?" terdengar enggan nada suara Bayu.
"Bagaimana aku bisa berjalan ke tempatku da-
lam keadaan begini?" lirih sekali suara Dewi Ratih.
Bayu jadi tertegun memandangi gadis cantik
itu. Memang tidak mungkin Dewi Ratih bisa me-
nempuh perjalanan jauh dalam keadaan terluka
cukup berat begini.
"Plak!"
Bayu menepuk keningnya sendiri. Memang ti-
dak mungkin dia meninggalkan Dewi Ratih seo-
rang diri di tempat seperti ini, dengan keadaan ti-
dak memungkinkan lagi untuk bisa berjalan jauh
seorang diri. Dan Bayu terpaksa harus menghalau
perasaan hatinya pada gadis ini. Mau tidak mau,
dia harus membantu Dewi Ratih sekali lagi. Dan
tak berapa lama kemudian, keduanya segera ber-
lalu dari tempat itu meninggalkan bau anyir da-
rah, mayat-mayat yang bergelimpangan, dan keja-
dian yang hampir saja merenggut nyawa mereka.
Dari jauh terdengar Tiren menjerit keras seperti
memecah kesunyian.
TAMAT
0 comments:
Posting Komentar