..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Selasa, 04 Februari 2025

PENDEKAR PULAU NERAKA EPISODE IBLIS PULAU HITAM

Iblis Pulau Hitam

 IBLIS PULAU HITAM

Oleh Teguh S.
Cetakan pertama, 1992
Penerbit Sanjaya Agency, Jakarta
Setting oleh: Trias Typesetting
Dilarang mengcopy atau memperbanyak 
sebagian atau seluruh isi buku ini. 
tanpa izin tertulis dari penerbit.
Teguh S.
Serial Pendekar Pulau Neraka
dalam episode:
Iblis Pulau Hitam

SATU

Iring-iringan itu telah mencapai pinggiran hu-
tan Dandaka menjelang sore hari. Ki Panji Narada 
memberi perintah pada murid-muridnya untuk be-
ristirahat. Beliau memeriksa sebuah tandu beru-
kuran sedang yang diusung murid-muridnya seca-
ra bergantian. Setelah memastikan bahwa Praba 
Ningrum dalam keadaan tenang, ia bermaksud 
memberi perintah pada murid-muridnya untuk 
berjaga-jaga.
"Ayah..." panggil Praba Ningrum dengan suara 
pelan. Gadis itu tersipu malu manakala si orang 
tua berusia sekitar empat puluh tahun lebih itu 
menoleh.
Ki Panji Narada tersenyum kecil.
"Kenapa, Nduk...? Kau kembali gelisah?" 
"Sedikit, tapi hatiku mengatakan bahwa tem-
pat ini tidak aman. Apakah tidak lebih baik kita 
melanjutkan perjalanan?"
"Tempat ini aman, Nduk. Lagipula sudah ham-
pir seharian mereka terus berjalan tanpa istirahat 
cukup. Kau tenang-tenang sajalah. Biasa kalau 
gadis se usiamu sering merasa gelisah menjelang 
bertemu dengan calon suaminya," goda Ki Panji 
Narada.
"Ayah bisa saja... tapi sungguh perasaanku tak 
tenang bukan karena ingin bertemu dengan Ka-
kang Pranajaya. Seperti ada bisikan yang menga-
takan bahwa tempat ini tak aman untuk kita be-
ristirahat."
Ki Panji Narada terkekeh kecil.
"Itu hanya perasaanmu saja. Ayahmu tak akan 
berkata sesumbar, tapi kalau ada yang coba-coba 
mengganggumu seluruh murid Perguruan Jari 
Sakti ini rela mempertaruhkan nyawa. Nah. kau

tenang sajalah. Ayah akan memberi perintah pada 
mereka untuk berjaga-jaga semalaman," sahut 
orang tua itu menentramkan hati putrinya.
"Maksud Ayah, kita akan bermalam di sini.
"Ya, kenapa tidak? Desa Sumur Wering satu 
hari perjalanan lagi dari sini. Kalau sekarang me-
reka beristirahat, tentu tenaga mereka akan segar 
bugar begitu tiba di sana. Apakah kau suka meli-
hat ayahmu serta murid-murid lain berwajah lesu 
bercampur letih saat berhadapan dengan calon 
besan?"goda Ki Panji Narada kembali.
Praba Ningrum hanya tersenyum. Ia tak tahu 
harus berkata apa lagi untuk mencegah niat orang 
tua itu.
Kalau Ki Panji Narada berkata demikian, tentu 
saja beralasan. Pertama, tempat yang bernama 
Hutan Dandaka ini belum pernah terdengar dihuni 
oleh perampok atau begal. Kedua siapa yang bera-
ni mengusik-usik dan cari gara-gara dengan Per-
guruan Jari Sakti? Perguruan yang selama ini te-
lah mampu bertahan hampir satu abad lamanya 
itu sangat disegani oleh kalangan persilatan. Le-
bih-lebih pada masa kepemimpinan Ayahanda Ki 
Panji Narada yang dikalangan persilatan terkenal 
dengan gelar Pendekar Jari Sakti. Ilmu silatnya 
tinggi dan amat disegani bukan saja oleh kalangan 
persilatan, tapi juga kalangan pejabat negara. Se-
bagai putranya, tentu saja Ki Panji Narada mewa-
risi ilmu silat beliau. Berpikir sampai disitu, pasti-
lah orang akan berpikir seribu kali untuk meng-
ganggunya. Apalagi pada saat ini iring-iringan me-
reka membawa calon pengantin perempuan putra 
Bupati Sumur Wering yang hubungan kekeraba-
tannya dengan pihak kerajaan amat dekat.
Walau demikian, sebagai orang persilatan tetap 
saja Ki Panji Narada mawas diri. Beberapa kali beliau berkeliling tempat itu untuk memastikan 
keamanannya. Demikian pula dengan murid-
muridnya. Beberapa orang diantara mereka pun 
berkeliling secara bergantian. Setelah yakin tak 
ada sesuatu yang patut dicurigakan, beliau duduk 
dengan tenang dan jauh dari tenda utama tempat 
putrinya, Praba Ningrum, beristirahat.
Senja baru saja berlalu dan mereka bersiap-
siap untuk bersantap malam. Hari ini agak meriah 
karena beberapa orang murid berhasil memburu 
lima ekor kijang dan lebih dari lima belas ekor ke-
linci. Jumlah itu lebih dari cukup untuk membuat 
kenyang dua puluh orang murid Perguruan Jari 
Sakti, serta beberapa orang tamu mereka yaitu li-
ma orang pengawal Kabupaten serta tujuh orang 
murid-murid Perguruan Tangan Baja. Perlu dike-
tahui bahwa Pranajaya yang merupakan calon su-
ami Praba Ningrum selain Putra Bupati, juga mu-
rid dari Perguruan Tangan Baja. Hal ini amat 
membahagiakan hati Ki Panji Narada. Dengan de-
mikian akan terjalin tali persahabatan yang lebih 
erat diantara Perguruan mereka berdua.
"Kalian harus makan yang kenyang dan esok 
hari bangun pagi-pagi agar kita bisa lebih cepat ti-
ba di sana," kata Ki Panji Narada.
"Dan setibanya disana perut kami akan mele-
dak, Ki. Sebab Kanjeng Bupati telah menyiapkan 
hidangan lezat yang bukan main banyaknya!" sa-
hut salah seorang pengawal Kabupaten melucu.
"Ha ha ha ha...! Kapan lagi kalian makan 
enak?" timpal seorang murid Perguruan Jari Sakti.
"Mumpung ada kesempatan langka nikmati 
dulu sepuas-puasnya."
"Bersenang-senang boleh, tapi harus tetap 
waspada!" ingat Ki Panji Narada. "Hal-hal seperti
ini yang kadang membuat manusia lupa akan

keadaan sekelilingnya. Mereka terhanyut oleh su-
asana dan musuh dengan leluasa memporak-
porandakan kita."
"Ah, siapa yang berani mengganggu kita, Ki?" 
sahut salah seorang murid Perguruan Tangan Baja 
yang bertubuh kekar dengan sikap jumawa.
"Mendengar nama Perguruan kita saja orang 
akan berpikir dua kali buat mengusik-usiknya. 
Apalagi saat ini Kanjeng Bupati hajat dalam uru-
san kita."
"Betul, Ki!" timpal seorang pengawal Kabupa-
ten.
"Barang siapa yang berani mengganggu rom-
bongan ini, apalagi sampai mengusik Putri Praba 
Ningrum, tentu mereka tak akan lepas dari keja-
ran Kanjeng Bupati."
Ki Panji Narada tersenyum kecil.
"Betul apa yang kalian katakan itu, tapi dika-
langan persilatan penuh dengan orang-orang yang 
tiada terduga kelakuannya," sahutnya dengan wa-
jah bijaksana. "Dalamnya lautan masih bisa di-
ukur, tapi dalamnya niat yang terkandung di hati 
manusia siapa yang tahu? Hari ini mereka takut, 
tapi siapa tahu esok hari keberanian mereka se-
makin menggila. Untuk itulah kewaspadaan masih 
mutlak dilakukan."
Orang tua itu baru saja selesai bicara ketika 
terdengar jerit kesakitan yang disusul munculnya 
tubuh salah seorang murid Perguruan Jari Sakti. 
Orang itu termasuk salah seorang diantara tiga 
orang yang bertugas jaga secara berkeliling.
Mereka terkejut dan bergegas menghampiri, 
namun belum lagi sempat mencapai temannya, 
orang itu sudah ambruk. Dari tubuhnya terlihat 
luka-luka yang mengerikan. Wajahnya rusak, se-
dangkan ditubuhnya terdapat luka yang lebar dan

dalam.
"Koneng?! Astaga, siapa yang melakukan per-
buatan keji ini padamu?!" sentak Pandu Wilantara, 
murid tertua Perguruan Jari Sakti murka. Kedua 
pelipisnya menegang menahan rasa amarahnya.
Diguncang-guncangkan tubuh Koneng beberapa 
kali.
"Kita harus membalasnya!" teriak salah seo-
rang murid Jari Sakti yang lain. Ucapannya me-
nyulut kemarahan yang lain. Serentak mereka 
mencabut senjatanya masing-masing dan mulai 
bergerak untuk mencari biang kerusuhan itu.
"Tenang! Tenang...!" teriak Ki Panji Narada. 
"Kalian jangan bertindak sendiri-sendiri. Dengar 
perintahku!"
"Tapi, Ki..." sela Pandu Wilantara terhenti keti-
ka terdengar suara tawa nyaring seperti mengu-
rung tempat itu. Semuanya mencari-cari arah
sumber suara itu.
*
* *
"Ha ha ha ha...! Alangkah lucunya. Sekumpu-
lan kijang-kijang empuk mengira dirinya harimau. 
Tapi saat sepasang harimau yang asli muncul, me-
reka menggigil ketakutan. Sungguh lucu! Sungguh 
lucu! Hayo, mengaumlah kalian sekarang!"
Serempak semua mata menengadah pada se-
buah pohon tak begitu jauh dari tempat mereka 
beristirahat. Seorang laki-laki bertubuh besar 
dengan wajah seram, nampak menyeringai buas 
dengan sikap meremehkan. Kulitnya hitam dan 
memakai pakaian kuning berselang-seling. Pada 
punggungnya tersampir sebilah pedang.
Melihat tokoh satu ini, Ki Panji Narada men

gernyitkan alisnya. Rasanya ia belum pernah ber-
temu. Namun merasakan suara tawanya yang 
mengandung tenaga dalam hebat, pastilah ia seo-
rang tokoh persilatan berilmu tinggi.
"Kisanak, siapa kau? Kenapa datang langsung 
mengejek kami dan apakah kau ada sangkut-
pautnya dengan kematian muridku?" tanya Ki 
Panji Narada dengan suara datar.
"Kaukah yang bernama Panji Narada, Ketua 
Perguruan Jari Sakti?" balas orang berkulit hitam 
itu tanpa memperdulikan pertanyaan Ki Panji Na-
rada. Sikapnya sombong sekali.
Ki Panji Narada masih menahan rasa sabar. 
Dengan nada suara yang tak berubah, beliau me-
nyahut, "Benar, namaku Panji Narada dan menge-
tuai Perguruan Jari Sakti. Nah, Kisanak, kalau 
kau tak ada urusan dengan kejadian ini kuharap 
kau sudi berlalu."
"Ha ha ha ha...! Maut telah di ambang pintu 
tapi sikapmu angkuh sekali. Baiklah orang seper-
timu cepat-cepat mencium telapak kakiku. Siapa 
tahu kami sudi mengampuni jiwamu yang tak 
berharga. Bukankah demikian Kakang Mangga-
la?!" kata orang itu kembali terbahak-bahak. Dan 
selesai ucapannya terdengar satu suara menyahut 
didahului oleh suara tawanya yang lebih keras 
hingga menggetarkan mereka yang mendengarnya. 
Ki Panji Narada merasa takjub. Kehadiran teman 
si tinggi besar kulit hitam itu sungguh tak disada-
rinya.
"Betul Adik Durbala. Untuk apa kau bertanya 
jawab segala dengan cecoro-cecoro busuk ini? Le-
bih cepat kau habisi mereka bukankah lebih 
baik?"
Bukan main panasnya hati Ki Panji Narada. 
Kedua orang ini betul-betul sengaja mencari gara

gara. Walau begitu, dia sempat merasa aneh. Sia-
pa sesungguhnya kedua orang ini? Dari warna ku-
lit serta ukuran tubuh mereka yang besar, agak-
nya mereka bersaudara. Juga dari pakaian serta 
senjata yang mereka pergunakan. Hanya saja 
orang terakhir yang dipanggil Manggala bertubuh 
lebih besar dan tinggi sedikit dibanding orang per-
tama. Namun angkuh dan seramnya tiada beda.
"Guru, untuk apa debat omong dengan mere-
ka? Sudah jelas orang ini yang membunuh ketiga 
murid Perguruan Jari Sakti. Perintahkan kami un-
tuk meringkus dan menghukum mereka!" kata 
Pandu Wilantara tak sabar. Kedua tangannya ter-
kepal erat dan sepasang matanya menatap tajam 
penuh dendam kepada dua orang asing itu.
"He he he he...! Besar juga nyalimu, bocah. Si-
ni, biar kupecahkan batok kepalamu!"
Dengan tiba-tiba orang yang bernama Mangga-
la melesat dari cabang pohon tempatnya tadi ber-
pijak dan bergerak cepat mengirim satu tendangan 
ke arah Pandu Wilantara. Pemuda berusia tiga pu-
luh tahun itu yang memang sejak tadi sudah ber-
siaga, cepat membuang diri. Namun tak urung ia 
tersentak kaget. Angin serangan lawan bersiur 
kencang dan sempat membuat denyut jantungnya 
berdetak semakin cepat.
"Jangan serakah kau, Kakang Manggala! Aku
pun ingin mencicipi mereka!" teriak Durbala yang 
ikut turun dan menyerang dua orang murid Pergu-
ruan Jari Sakti yang berada di bawah cabang po-
hon tempatnya tadi berpijak.
Tapi kali ini agaknya Ki Panji Narada sudah 
cukup bersabar diri melihat kelakuan dua orang 
asing yang menganggap remeh mereka. Dengan 
serta merta tubuhnya berkelebat dan menyambut 
serangan lawan.

"Kisanak, agaknya kalian perlu diberi pelajaran 
agar tidak menganggap bahwa diri bisa berbuat 
apa saja!"
"Ha ha ha ha...! Bagus! Bagus! Sudah lama se-
kali aku berniat mencicipi ilmu silatmu. Kata 
orang Pendekar Jari Sakti memiliki ilmu silat ting-
gi yang sulit ditandingi. Sebetulnya aku segan 
menghadapimu. tapi karena saat ini dia tak ada 
dan kau mewarisi ilmu silatnya, bolehkan kau 
menghadapiku." sahut Durbala masih dengan si-
kap meremehkan.
Mendengar ucapan lawan bukan main kesal-
nya hati Ki Panji Narada. Tanpa menunda lebih
lama, ia langsung mengeluarkan ilmu silat tingkat 
tinggi yang dimilikinya. Dengan demikian lawan 
akan terbuka matanya dan tak lagi menganggap 
remeh.
Apa yang diharapkan Ki Panji Narada berhasil. 
Untuk sesaat lawan dibuat sibuk dan tak sempat 
mengejeknya. Kedua jari di tangan kiri dan kanan 
Ki Panji Narada kaku dan keras bagai baja. Angin 
serangannya tajam bagai kelebatan mata pisau 
yang mengiris-iris. Tapi sebentar saja lawan kem-
bali terkekeh-kekeh.
"He he he he...! Betul apa yang kuduga, ternya-
ta ilmu silat Jari Sakti tiada kehebatannya. Ba-
gusnya hanya untuk menepuk lalat."
"Huh, keluarkan pedangmu dan mari berta-
rung sampai seribu jurus. Jangan hanya omong 
kosong belaka!" dengus Ki Panji Narada semakin 
kesal.
"Pedangku hanya keluar bila aku bosan meli-
hat wajahmu dan memang saat ini aku betul-betul 
muak melihatmu."
"Sriiiiing...!" Selesai dengan kata-katanya, 
Durbala langsung mengeluarkan pedang yang tadi

tersampir dipunggungnya. Ki Panji Narada sedikit 
tcrcekat melihat senjata lawan. Pedang itu tak se-
perti biasanya melainkan bergerigi pada kedua 
matanya seperti gergaji. Kalau saja ditusukkan ke
tubuh lawan, niscaya akibatnya sungguh menge-
naskan.
"Kenapa? Mulai takut mati...? He... he... he...! 
Lekaslah tusuk jantungmu sendiri sebelum aku 
memotes lehermu." ejek Durbala.
"Huh, jangan takabur, Kisanak!" dengus Ki 
Panji Narada. "Walau kau punya ilmu setinggi lan-
git, tak nanti aku lari. Sebaiknya sebut siapa ka-
lian dan apa maksud kalian mengacau disini agar 
nanti lebih gampang aku mcnuliskannya di batu 
nisan!"
"Hebat! Sungguh hebat gertakan mu! Tapi 
baiklah, untuk orang yang ingin di alam kubur 
nanti. Nah, ingat baik-baik. Kami berdua adalah 
Sepasang Iblis Pulau Hitam!"
"Sepasang Iblis Pulau Hitam?" Ki Panji men-
gernyitkan alis. Belum pernah selama ini ia men-
dengar gelar itu. Tapi tentang Pulau Hitam sering 
diperbincangkan orang. Kabarnya di sana bercokol 
seorang tokoh sesat yang amat sakti. Tapi cerita 
itupun lambat laun sirna sendiri seiring sang to-
koh yang tak pernah terdengar lagi kabar beri-
tanya selama hampir setengah abad. Tapi apakah 
mereka berdua ini berasal dari pulau itu'.
Tapi tak ada waktu panjang baginya untuk 
memikirkan hal itu sebab dengan satu gerakan ki-
lat, ujung pedang lawan nyaris membabat leher-
nya. Ki Panji Narada berkelit ke kiri sambil me-
nundukkan sedikit kepalanya. Tangan kirinya dis-
iringkan dengan cepat ke dada kanan lawan.
"Wuuuut....!"
Namun dengan gerakan yang tak terduga tu

buh Durbala seperti berputar ke kanan, kemudian 
melentik ke atas dua kali sambil menyabetkan pe-
dangnya kembali ke leher lawan. 
"Yeaaaaah...!" 
"Wuk! Wuk!" 
"Aaaaakh...!"
Ki Panji Narada tersentak kaget mendengar je-
ritan itu. Baru saja ia seperti terlepas dari incaran 
maut dan bernafas lega, dan kini timbul korban 
baru. Tidak kepalang tanggung melainkan murid 
tertua dan paling diandalkannya, yaitu Pandu Wi-
lantara. Tubuhnya nyaris terbelah dua di bagian 
pinggang. Orang tua itu hampir mual isi perutnya 
melihat pemandangan yang mengenaskan itu.
"Ha ha ha...! Bocah bagus, sayang kau harus 
cepat-cepat menyusul teman-temanmu!" ejek 
Manggala sambil berkacak pinggang. Tapi pada 
saat itu juga murid-murid Perguruan Jari Sakti 
lainnya menyerbu dibantu beberapa orang murid 
Perguruan Tangan Baja serta pengawal Kabupa-
ten.
"Bedebah biadab! Kau harus menebus nya-
wanya dengan nyawa busukmu!" teriak seorang 
murid Perguruan Jari Sakti sambil menyerang 
dengan kalap.
"Wuuceeh, mulut besarmu boleh juga, bocah!"
"Wusss...!"
"Heaaaat...!"
"Crass...!"
Satu lagi lawan tumbang dengan leher hampir 
putus disabet pedang maut Manggala. Orang itu 
sempat terkekeh ketika yang lain mengurung dan 
langsung menyerangnya dengan kalap.
"Bedebah jahanam! Kau terima ini...!" teriak 
seorang murid Tangan Baja dengan kalap.
"He he he...! Gerakanmu agak lain dari te

manmu. Apakah kau sudah kalap dan ingin 
menghabisi ku secepatnya? Kau boleh bermimpi 
bocah!"
"Tutup mulutmu!"
"Ciaaaat...!"
"Plak! Breeet...!"
Dengan telapak tangan kiri terbuka, Manggala 
memapaki tinju lawan, lalu dengan leluasa pedang 
menyambar ke arah leher. Gerakannya gesit dan 
mengandung tenaga dalam kuat. Dalam beberapa 
gebrakan saja telah lima orang kembali tewas di-
tangannya. Jerit kematian dan darah seperti 
membanjir di tempat itu. Namun walau demikian, 
tak seorang pun dari mereka yang berniat untuk 
kabur. Sebaliknya mereka malah semakin bernaf-
su untuk menyerang lawan.
*
* *
Sementara itu pertarungan antara Ki Panji Na-
rada dengan Durbala telah berlangsung hingga 
dua puluh jurus. Perlahan-lahan mulai terlihat ke-
tua Perguruan Jari Sakti itu mulai tersudut. Saat 
ini beliau hanya bisa bertahan mati-matian me-
nyelamatkan jiwanya.
"Ha ha ha ha...! Hanya sampai di sini sajakah
kemampuanmu, tua bangka keropos? Ternyata 
nama Pendekar Jari Sakti yang diheboh-hebohkan 
orang itu omong kosong belaka. Ilmu silat kalian 
picisan dan sama sekali tak berguna!" ejek Durba-
la.
"Jangan banyak omong kau! Terimalah kema-
tianmu!" teriak Ki Panji Narada. Kali ini merubah 
jurus dan serangannya semakin cepat. Agaknya 
orang tua itu benar-benar ingin mengadu jiwa

dengan lawannya.
"Heaaaa...!"
"Wut! Wut!"
Kedua tangannya yang membentuk tusukan 
dan jari tangan menyambar-nyambar di sela-sela 
kelebatan pedang lawan. Untuk sekejap Durbala 
dibuat jengkel jadinya. Dengan menggunakan te-
naga dalam yang tinggi menahan amarah. pe-
dangnya diayunkan lebih cepat sehingga menim-
bulkan suara angin yang kencang.
"Wuk! Wuk!''
"Ciaaaaat...!"
"Bet!"
Tangan kanan Ki Panji Narada dengan tiba-
tiba melesat ke tenggorokan lawan. Durbala terce-
kat, namun tangan kirinya mengibas bermaksud 
ingin menangkis. Tapi dengan tiada disangka, Ki 
Panji Narada menarik serangan ketika tubuhnya 
melenting ke atas dengan tangan kiri mengarah ke 
ubun-ubun lawan. Angin serangannya yang men-
desir kencang menandakan bahwa orang tua itu 
mengerahkan tenaga dalam sepenuhnya lewat tu-
sukan dua jari tangannya. Kalau saja Durbala tak 
cepat-cepat mengegoskan kepala sambil memutar 
tubuh, niscaya ubun-ubunnya akan bolong ditem-
bus jari-jari Ki Panji Narada.
"Wuuuk!"
"Dess!"
Bukan main kalapnya Durbala ketika satu 
tendangan kaki kanan lawan menghajar pung-
gungnya. Walau tak berakibat parah bagi dirinya, 
tapi sempat juga membuatnya sedikit terjajar. 
Saat membalikkan tubuh dan langsung menya-
betkan pedang, ia tak menduga begitu menjejak-
kan kaki, tubuh Ki Panji Narada kembali melentik 
ke atas dan berputar dua kali ke arah belakang

dan mengirim satu tendangan yang cukup keras.
"Jangan girang hati dulu kau tua bangka! Kali 
ini riwayatmu benar-benar akan tamat!" dengus 
Durbala sambil terus menyerang lawan. Pedang di-
tangannya seperti bermata, terus mengikuti ke-
mana pun lawan bergerak menghindar. Dalam se-
kejap saja terlihat bahwa Ki Panji Narada telah 
terkurung oleh serangan lawan dan tak ada sedikit 
celah pun baginya untuk menghindar.
"Yeaaah...!"
"Tuk! Breet...!"
"Aaaaarghk!"
Ki Panji Narada mengeluh kesakitan. Saat pe-
dang lawan berkelebat menyabet lehernya. orang 
tua itu berada dalam genting. Jalan satu-satunya 
adalah menjatuhkan diri ke tanah. Tapi seiring 
dengan gerakan tubuhnya, pedang lawan kembali 
menyambar pinggang. Ki Panji Narada berguling 
dan tangan kanannya coba menghantam pergelan-
gan lawan. Ia mengeluh kesakitan ketika dua jari 
tangan kanannya patah terkena benturan tadi. 
Dan pada saat itulah pedang lawan terus mengha-
jar pinggangnya hingga robek.
"Sekarang terimalah kematianmu...!"
Kembali Durbala mengayunkan pedangnya 
dengan bernafsu. Ki Panji Narada tak punya ke-
sempatan lagi menyelamatkan diri kalau saja pada 
saat itu dua orang muridnya tak segera memban-
tu.
"Heaaat...!"
"Cecurut busuk, terimalah kematian kalian!" 
bentak Durbala sambil membalikkan tubuh dan 
menyabetkan pedang.
Breeet...!
"Wuayyaaa...!"
Dengan sekali tebas, pedang Durbala merobek

perut kedua lawan. Terdengar jerit dan lolong ke-
sakitan dua orang itu ambruk dengan isi perut 
yang terburai. Namun seketika itu juga tiga orang 
lainnya langsung menyerang tanpa mengenal rasa 
takut.
"Daluyo, selamatkan Praba Ningrum!" teriak Ki 
Panji Narada memberikan perintah pada salah 
seorang muridnya yang bermaksud ikut menge-
royok Durbala. 
"Tapi, Ki...?"
"Tak ada waktu lagi. Lekas selamatkan putriku 
cepat...!"
"Ba... baik, Ki...."
Pemuda berusia dua puluh lima tahun yang 
dipanggil Daluyo itu langsung melompat ke tempat 
tandu yang paling besar. Namun belum lagi ia me-
langkah jauh, tiba-tiba satu angin serangan seolah 
menerpa ke arahnya. Tanpa menoleh lagi pemuda 
itu langsung menundukkan kepala dan menghan-
tamkan satu pukulan.
"Wuuk! Praak!"
"Aaaaakh...!"
Daluyo menjerit kesakitan ketika tulang len-
gannya patah akibat benturan suatu benda keras. 
Belum lagi ia sempat mengetahui apa yang meng-
hantamnya tadi, satu sabetan senjata tajam 
menghunjam dadanya. Pemuda itu menjerit pan-
jang ketika tulang dadanya remuk. Seiring tubuh-
nya ambruk, Durbala terkekeh di dekatnya.
"He he he...! Kenapa aku tak ingat sejak tadi. 
Bukankah kalian membawa seorang perempuan 
dalam rombongan ini? Kalau tahu begitu tak akan 
kubuat kalian menderita lama-lama," ujar Durbala 
terkekeh sambil melangkah lebar mendekati tan-
du.
"Jahanam, jangan ganggu anakku!" teriak Ki

Panji Narada berusaha bangkit dan bermaksud 
menahan lawan dengan serangan kilat. Namun da-
lam keadaan terluka parah begitu, sulit baginya 
untuk bergerak cepat. Juga bila ia mengerahkan 
tenaga dalamnya itu sama artinya dengan mem-
bunuh dirinya lebih cepat karena aliran darahnya 
mengalir lebih deras. Tapi demi menyelamatkan 
putrinya dari bahaya, orang tua itu seperti tak 
memperdulikan keadaannya lagi.
Trass!"
"Aaaaakh...!"
Sambil mendengus dingin Durbala mengayun-
kan pedang. Sedetik kemudian terdengar jeritan 
tertahan Ki Panji Narada. Kepalanya menggelind-
ing ditebas pedang lawan.
Praba Ningrum yang sejak tadi dan ketakutan 
dalam tandunya melihat kehadiran dua orang as-
ing yang mengacau rombongan mereka, kini lebih 
terkejut lagi melihat kematian ayahnya yang tra-
gis.
"Ayah...!" teriaknya dengan detak jantung nya-
ris terhenti.
Batinnya terasa hancur dan air matanya tiada 
lagi bisa tertahan. Tanpa sadar gadis belia berusia 
tujuh belas tahun itu menghambur keluar mem-
buru ayahnya. Namun belum lagi sampai, lang-
kahnya terhenti ketika tangan kiri Durbala meraih 
pinggangnya lalu mengepitnya erat-erat sambil 
terkekeh-kekeh.
"Ha ha ha ha...! Gadis bagus! Tubuhmu mon-
tok dan wajahmu cantik sekali. Diamlah anak ma-
nis, kau aman dalam dekapan ku!"
"Lepaskan aku! Lepaskaaan! Jahanam keparat! 
Lepaskan aku...!"
Praba Ningrum berteriak-teriak histeris beru-
saha melepaskan diri. Tapi Durbala telah mem

perhitungkan hal itu. Sebagai putri Ki Panji Nara-
da, tentu ia memiliki ilmu silat dan kepandaian
yang lumayan, sebab itulah kepitan Durbala amat 
kencang. Dan saat kedua tangan gadis itu ber-
maksud menghajar kepala, tangan kanannya ber-
gerak menotok. Praba Ningrum sesaat terkulai 
dengan tubuh lemas. Durbala terkekeh-kekeh ke-
ras.
"Kakang Manggala, tinggalkan cecurut-cecurut 
tak berguna itu. Tak sukakah kau dengan apa 
yang kubawa ini?"
Manggala yang saat itu sedang membantai si-
sa-sisa lawannya langsung tersenyum begitu meli-
hat Durbala mengepit tubuh seorang gadis. Sambil 
mengayunkan pedang menghabisi tiga orang la-
wannya, ia langsung melompat meninggalkan 
tempat itu mengiringi kelebatan Durbala yang le-
bih dulu bergerak.
"Aaaaaakh...!"
Ketiga orang terakhir dalam rombongan itu 
langsung tumbang dengan perut robek dan isinya 
terburai keluar. Seketika tempat itu sunyi. Dan 
manakala angin bertiup, bau darah nyaris tercium 
seketika. Menyapu gelapnya malam menembus be-
lukar dan melewati pegunungan. Dedaunan ter-
tunduk layu, dan bunyi satwa liar terhenti seperti 
hanyut dalam duka yang dalam.
*
* *
DUA


Awan kelabu yang sejak tadi menaungi angka-
sa berubah kelam. Beberapa kali kilatan cahaya 
petir seperti membelah angkasa yang disusul gelegarnya suara geledek. Pemuda berambut gondrong 
itu melompat cepat dari satu tonjolan batu yang 
satu ke batu yang lain. Melihat gerakannya yang 
ringan dan gesit, nyata bahwa ia memiliki ilmu pe-
ringan tubuh yang cukup handal. Sebentar saja 
tubuhnya telah tiba di seberang sungai itu. Seekor 
monyet berbulu coklat yang sejak tadi berada di 
pundaknya menjerit keras sambil menutupi ma-
tanya ketika kilatan petir kembali membelah ang-
kasa.
"Tenang, Tiren! Jangan takut. Itu hanya per-
tanda bahwa sebentar lagi akan hujan. Tapi kau 
kalau terus menjerit, dia akan menyambar mu," 
kata si pemuda yang mengenakan baju kulit hari-
mau itu menakut-nakuti.
"Cieeeet...!"
"Huss, diam! Diam!" Pemuda itu menepuk-
nepuk kepala si monyet bernama Tiren sambil ber-
lari-lari kecil ketika titik-titik air hujan mulai tu-
run. Diliriknya keadaan di tempat itu untuk men-
cari tempat perlindungan. Namun yang terlihat 
hanya pohon-pohon besar dari hutan yang tak be-
gitu lebat. Pemuda itu mendesah kesal. Namun 
mendadak langkahnya tertahan ketika sepasang 
matanya yang tajam mendapati sesosok tubuh ter-
geletak di atas rerumputan.
"Cieeet! Cieeeet!" Tiren menjerit melengking 
sambil melompat turun dari pundak Bayu.
"Astaga, kenapa gadis ini?!" sentak Bayu sam-
bil memalingkan wajahnya sesaat. Apa yang dili-
hatnya adalah sesosok tubuh seorang gadis yang 
terbaring tanpa sehelai benang pun melekat di tu-
buhnya.
"Tiren, coba bangunkan dia. Barangkali gadis 
ini hanya pingsan saja!" 
"Cieeet"

Dengan patuh Tiren langsung menjalankan pe-
rintah Bayu. Digoyang-goyangkan tubuh gadis itu 
lalu ditutupinya dengan pakaian yang terhampar 
tak jauh dari tempat itu. Namun tak terlihat gera-
kan apa pun. Tiren kembali mencericit sambil me-
lompat ke pundak Bayu.
"Apa? Maksudmu gadis ini sudah mati? Mana 
mungkin!" sahut Bayu seperti tak mengerti apa 
yang dikatakan sahabatnya itu. Bayu segera ber-
balik dan memeriksa keadaan si gadis. Sekejap sa-
ja Bayu langsung mengetahui bahwa gadis itu da-
lam keadaan tertotok. Setelah mcmbebaskan toto-
kannya, Bayu bermaksud membopongnya ke tem-
pat yang teduh di bawah pohon besar. Namun saat 
itu juga terdengar suara halus yang menegurnya 
dengan sinis.
"Pemuda hidung belang, letakkan gadis itu!" 
Bukan main terkejutnya Bayu ketika melihat 
seorang gadis muda berwajah galak, berdiri tak 
begitu jauh darinya. Mengenakan pakaian hijau 
sambil berkacak pinggang. Rambutnya diikat pada 
bagian belakang. Di sebelahnya berdiri seorang 
pemuda bertubuh kekar dengan kedua tangan 
bersedekap. Sepasang matanya menatap penuh 
kebencian pada Bayu.
"Kisanak, siapa kalian dan kenapa datang-
datang langsung menuduhku demikian rupa? Na-
maku Bayu Hanggara dan aku bermaksud hendak 
menolong gadis ini," jelas Bayu dengan suara lu-
nak, masih tetap membopong tubuh gadis tadi.
"Cia! Pandai sekali kau bersilat lidah. Sudah 
jelas keadaan gadis itu bagaimana, kau tentu be-
lum puas dan ingin melampiaskan kembali nafsu 
setanmu!" sentak gadis berbaju hijau itu dengan 
suara kasar.
"Tinggalkan gadis itu atau aku harus memak

samu dengan cara kekerasan dan sekaligus meng-
hukummu!" 
"Sriing!".
Dengan tiba-tiba gadis berbaju hijau itu men-
cabut pedang yang tersampir di pinggangnya. Ke-
mudian menghunus dengan sikap mengancam. 
Melihat kelakuan si gadis, Bayu Hanggara atau 
yang lebih dikenal dengan sebutan Pendekar Pu-
lau Neraka itu menjadi kesal sendiri. Tanpa men-
gacuhkan mereka, Bayu berbalik dan bermaksud 
meninggalkan mereka sambil mengeluarkan suara 
di hidung.
"Setan berkeliaran di mana-mana sambil me-
nyerupai apa pun. Terkadang malah menuduh
orang yang tak bersalah apa-apa lebih dulu agar ia 
bisa leluasa menjalankan maksiatnya."
"Kurang ajar! Jelas-jelas kau yang telah men-
cabuli gadis itu. Kini malah menuduh kami yang 
bukan-bukan!" teriak gadis itu kalap. Agaknya ia 
mengerti apa yang di maksud oleh Bayu. Dan tan-
pa pikir dua kali tubuhnya melompat sambil men-
gayunkan pedang.
"Ciaaat!"
"Wus! Wuk!"
Meskipun di tangannya membopong tubuh 
seorang gadis Bayu masih bisa mengelak dari sa-
betan pedang. Bahkan dua kali serangan selanjut-
nya berhasil di elakkan Bayu dengan manis. Tu-
buh Bayu melesat beberapa tombak jauhnya den-
gan ke dua kaki menjejak ringan di tanah.
"Nisanak, jangan kau memaksaku untuk ber-
tindak keras. Di antara kita tiada permusuhan 
dan aku pun tak pernah mengganggu kalian. Ke-
napa kau begitu bernafsu hendak membunuhku?"
"Pemuda hidung belang keparat! Kalau tidak 
kutebas lehermu sekarang, tentu akan banyak ga

dis-gadis malang yang akan menjadi korban niat 
busuk dari nafsu setanmu!"
"Kenapa kau beranggapan begitu terhadapku? 
Apakah karena kau pernah menjadi korban seseo-
rang yang wajahnya mirip denganku?"
"Tutup mulutmu! Walau kau mengoceh apa 
pun jangan harap mataku bisa tertipu dengan pe-
muda sepertimu! Terima seranganku!"
Begitu selesai berkata demikian, kembali tu-
buh gadis berbaju hijau itu mencelat sambil men-
gayunkan pedang. Kali ini gerakan cepat dan ber-
tenaga. Bayu Hanggara yang mulai muak melihat 
tingkah gadis itu bermaksud akan memberinya pe-
lajaran. Di letakkannya gadis yang berada dalam 
bopongannya dan bersiap menyambut serangan 
lawan.
"Heaaaat...!"
"Yeaaaah...!"
Belum lagi gadis itu menjejakkan kaki ke ta-
nah, tubuhnya melayang memapaki. Cakra maut 
bersegi enam di tangan kanannya menangkis pe-
dang lawan. Sementara kaki kanannya bermaksud 
menghajar ke arah perut.
"Traang!"
"Wuk!"
*
* *
Gadis itu terkejut kaget. Pedangnya bergetar
hebat. Masih untung ia mampu berkelit dari ten-
dangan lawan. Tapi keseimbangan tubuhnya su-
dah tak terjaga lagi. Dan ketika tubuh Bayu men-
jejak ke tanah, dengan cepat kembali ia melentik 
dan mengirim satu pukulan sebelum gadis itu me-
nyentuh tanah. Sungguh indah gerakannya. Dan 
kali ini gadis itu tak akan mampu menghindar dari 
serangan.

"Pemuda keparat! Akulah lawanmu!"
"Wuss!"
"Haiit...!"
Bayu Hanggara melejit ringan manakala pe-
muda yang tadi bersama gadis itu dengan tiba-tiba 
menyerang ke arahnya dengan satu pukulan jarak 
jauh. Masih untung pendengarannya yang tajam 
mengingatkan akan bahaya itu. Ketika kedua ka-
kinya menjejak di tanah pada jarak lima tombak. 
Pemuda itu terkekeh kecil. Dilihatnya si gadis ber-
baju hijau mendengus marah dan wajahnya tam-
bah menyiratkan kebencian.
"Hemm, apakah kau bermaksud akan mering-
kusku pula?" tanyanya datar pada pemuda bertu-
buh kekar yang mengenakan baju hitam itu den-
gan suara datar.
"Tergantung...."
"Bagus! Agaknya akalmu lebih di pakai ketim-
bang pacarmu itu."
"Maksudku tergantung dari kata-katamu. Ka-
lau melihat caramu menyerang adikku, tentulah 
kau bukan orang baik-baik. Namun demikian aku 
tak ingin menuduh orang sembarangan sebelum 
jelas persoalannya."
"He he he he...! Tentu saja. Siapa yang tak in-
gin membela pacarnya. Kalau ia menyerang den-
gan bernafsu ingin mencabut nyawaku, dalam 
anggapanmu itu hanya sekedarnya saja. Tapi se-
baliknya tidak."
Pemuda bertubuh kekar itu mengerti akan 
sindiran lawan. Dia menarik nafas dalam-dalam 
untuk menyabarkan diri, kemudian katanya pelan 
namun ada kesan mengancam.
"Kalau kau yakin bahwa dirimu tak bersalah, 
maka gadis itulah yang menjadi kunci satu-
satunya. Kulihat sekilas ia hanya pingsan. Tentu

sebentar lagi akan sadar, dan kalau kemudian ter-
bukti kau melakukan perbuatan terkutuk itu, kau 
tak akan lepas dari tanganku!"
"Ha ha ha ha...!' Boleh juga ancamanmu, so-
bat. Nah, kenapa tak kau urus saja dia sementara 
aku menonton di sini."
Pemuda itu mendengus sinis, kemudian mem-
beri isyarat pada gadis berbaju hijau itu untuk 
memeriksa keadaan gadis yang masih belum sa-
darkan diri itu.
Sementara itu hujan mulai turun agak deras 
dan mereka berteduh di bawah pohon rindang 
yang memiliki daun-daun yang rimbun.
Bayu Hanggara hanya memperhatikan saja ga-
dis berbaju hijau itu mengurut-urut pada bagian-
bagian tertentu di tubuh gadis yang tadi ditemu-
kannya. Untuk beberapa saat kemudian terlihat
reaksinya. Gadis itu mengeliat-geliat dengan suara 
lirih. 
"Ohh...!"
"Tenanglah, Nona. Kau berada di tempat yang 
aman. Kami tak bermaksud menyakitimu."
Gadis itu bangkit dan memandang ketiga 
orang asing di hadapannya satu persatu. Kemu-
dian menatap dirinya sekilas dan termangu seje-
nak. Tiba-tiba ia menangis tersedu-sedu tanpa se-
bab.
"Nona, tenanglah. Kami hanya bermaksud me-
nolongmu. Namaku Ratih, dan ini Kakangku Ma-
hendra. Aku tahu apa yang telah kau alami. Kalau 
kau mengenalinya, katakan pada kami. Orang itu 
tak akan lepas begitu saja."
"Alangkah malangnya nasibku. Ohh.... Alang-
kah malangnya..." ujar gadis itu berkali-kali di an-
tara isak tangisnya. "Tiada guna hidup menang-
gung malu...."

"Nona, tenanglah. Kami bersungguh-sungguh 
akan membantumu dan membalas sakit hatimu. 
Nah, apakah pemuda ini yang telah melakukannya 
terhadapmu?" tunjuk gadis berbaju hijau yang 
mengaku bernama Ratih pada Bayu Hanggara.
Tapi gadis itu tak menoleh. Ditatapnya gadis 
dihadapannya itu dengan wajah sayu.
"Betulkah kalian ingin menolongku...?"
"Tentu saja. Nah. katakanlah siapa orang itu?"
"Cabutlah pedangmu dan bunuhlah aku saat 
ini!"
"Nona, jangan main-main! Kami bersungguh-
sungguh akan menolongmu. Orang seperti itu ha-
rus mampus agar tak lagi mencari korban!" den-
gus Ratih.
Gadis itu kembali terisak pelan sambil mengge-
lengkan kepala. 
"Kalian tak akan mampu menghadapinya... ka-
lian tak akan mampu..." ujarnya dengan suara le-
mah.
"Cuih! Meski harus berkorban nyawa, aku rela 
asal bajingan seperti itu lenyap dari muka bumi 
ini! Katakanlah Nona, siapa dia? Apakah pemuda 
ini?!"
Sudah dua kali gadis itu menuding padanya. 
Jengkel juga perasaan Bayu Hanggara. Agaknya 
lekat betul tuduhan gadis ini padanya. Entah apa 
sebabnya, tiba-tiba merasa yakin bahwa dialah 
yang telah berbuat tak senonoh pada gadis itu.
"Bukan... mereka menamakan dirinya sepa-
sang Iblis Pulau Hitam," sahut gadis itu.
Kemudian ia menceritakan kejadian yang telah 
dialaminya dari awal hingga akhir. Selesai gadis 
itu bercerita, Bayu Hanggara angkat bicara sambil 
melangkah pelan dari tempat itu.
"Nah, Nona... kukira penjelasan Adik Praba

Ningrum telah jelas, bukan? Kalau kalian berniat
membantunya, jangan tanggung-tanggung. Urus-
lah dia dan jangan pernah mengurus orang lain 
yang tak bersalah dengan menuduhnya yang ti-
dak-tidak."
Setelah mengajak sahabatnya, Tiren, Bayu 
Hanggara melesat dari tempat itu dengan gerakan
ringan. Sebentar saja tubuhnya lenyap dari pan-
dangan mata mereka.
Ratih dan Mahendra masih terpaku dengan
wajah menyesal. Baru saja mereka turun gunung 
dan yakin bahwa ilmu yang mereka pelajari sela-
ma ini tiada tandingannya, tiba-tiba dengan mu-
dah seorang pemuda yang sebaya dengan mereka 
melayaninya. Betapa tidak? Guru mereka yang di 
kalangan Persilatan terkenal dengan gelar Malai-
kat Penyambung Nyawa bukanlah tokoh semba-
rangan. Dalam jajaran tokoh-tokoh golongan putih 
beliau termasuk yang amat disegani. Bukan saja 
pada ketinggian ilmu silatnya, tapi juga karena ke-
luasan cara berpikirnya dan kebijaksanaan yang
sering dilihat sesama tokoh lain dalam menyele-
saikan setiap masalah. Tapi kini sebagai murid, 
mereka bukan saja menganggap lawan remeh, tapi 
juga menuduh tanpa alasan yang jelas.
"Sungguh sayang, kita tak mengetahuinya 
dengan jelas siapa pemuda itu sebenarnya. Ilmu 
silatnya tinggi. Entah dari golongan mana ia be-
rasal...." kata Mahendra pelan.
"Mungkin juga dia murid tokoh sesat, Kakang. 
Kenapa di persoalkan sekali? Sikapnya saja sudah 
jelas, Dia sama sekali tak tergerak untuk meno-
long sesamanya. Mendengar cerita Praba Ningrum 
yang amat mengenaskan itu, tak membuat hatinya 
tergerak untuk membasmi tokoh yang menamakan 
dirinya Sepasang Iblis Pulau Hitam. Padahal ke

pandaiannya cukup lumayan dan bisa diandal-
kan," sahut Ratih.
"Mungkin ada alasan tertentu dalam hatinya. 
Kita tak bisa menerka maksud seseorang dengan 
melihat kulit luarnya saja, Ratih...."
"Sudahlah, Kakang.... Untuk apa kita memper-
bincangkan orang yang tak ada. Sekarang bagai-
mana dengan Praba Ningrum? Apakah akan kita 
antarkan kepada calon suaminya, yaitu putra Bu-
pati Sumur Wering atau bagaimana?"
"Bagaimana, Praba? Apakah kau bersedia kami 
antarkan ke tempat calon suamimu?" tanya Ma-
hendra kembali pada gadis bernama Praba Nin-
grum itu.
Gadis itu terdiam beberapa saat lamanya. Ha-
tinya bimbang bukan main. Masih punya rasa ma-
lukah ia bertemu dengan calon suaminya dalam 
keadaan begini? Ohh, rasanya lebih baik mence-
burkan diri ke dalam jurang terjal ketimbang ha-
rus menghadapi aib yang memalukan ini.
"Lebih baik tinggalkan aku saja di sini..." sa-
hutnya lemah.
"Jangan berkata begitu, Praba...." Ratih meme-
gang kedua lengannya dan membujuk.
"Aku mengerti apa yang kau rasakan, tapi le-
bih baik menghadapi kenyataan daripada lari 
menghindar. Kami akan menceritakan hal ini pada 
mereka. Mudah-mudahan mereka mau mengerti. 
Tapi kalau ternyata calon suamimu dan Bupati 
Sumur Wering itu berpikiran picik, lebih baik kau 
ikut dengan kami ke padepokan. Nah, bagaimana? 
Kau mau bukan?"
Praba Ningrum tak langsung menyahut. Di-
pandanginya gadis itu agak lama sebelum men-
gangguk pelan. Ratih tersenyum dan membim-
bingnya perlahan-lahan.

Setelah hujan reda, ketiganya segera berlalu 
dari tempat itu. Hati Praba Ningrum masih ga-
mang. Bayangan kelabu senantiasa berada dalam 
pikirannya. Namun Ratih selalu menghibur dan 
membesarkan hatinya. Perlahan-lahan gadis itu 
mampu tersenyum kecil, walau masih terasa ke-
san getir.
*
* *
Ibukota kabupaten kini nampak sepi. Orang-
orang yang tadi berkerumun di halaman depan 
rumah bupati, kini bubar satu demi satu. Bukan 
saja oleh hujan deras yang seolah sengaja dicu-
rahkan dari langit sejak tadi pagi, namun juga ka-
rena keramaian yang diadakan Kanjeng Bupati ti-
dak seperti yang diharapkan. Putra beliau yang 
bernama Pranajaya sejak pagi tadi terus gelisah. 
Seharusnya calon isterinya sudah tiba pagi-pagi 
sekali. Namun sampai siang tadi, belum terlihat 
tanda-tanda kehadiran rombongan tersebut, Hibu-
ran yang beraneka macam didatangkan Ayahan-
danya, seperti tak mampu mengusik kegelisahan 
hatinya.
Dan kini senja mulai berakhir. Halaman depan 
telah sepi. Panggung besar yang dihiasi oleh rupa-
rupa kembang serta rangkaian janur kuning dan 
umbul-umbul beraneka warna bergerak-gerak ter-
tiup angin.
Mungkin mereka mendapat halangan di jalan, 
Nak. Berdo'a saja mudah-mudahan bukan mara-
bahaya...." hibur Ayahandanya.
"Tapi hatiku tak bisa tenang, Ayah. Sepertinya 
Dinda Praba Ningrum serta yang lain ada dalam 
bahaya. Apakah tidak sebaiknya Ayahanda memerintahkan pengawal untuk menyusul mereka?" 
tanya Pranajaya dengan wajah cemas.
"Sudah. Siang tadi usai bubar acara, Ayah te-
lah mengirim sepuluh orang utusan. Bahkan gu-
rumu. Ki Anom Subrata sendiri mengirim tujuh 
orang murid terbaiknya untuk menyusul rombon-
gan itu."
"Betul, Den Prana !" sahut seorang laki-laki be-
rusia empat puluh tahun lebih bertubuh agak 
pendek yang sejak tadi berada di dekatnya.
"Jangan khawatir. Kakang-kakang mu pasti 
mampu membereskan persoalan, kalau benar ada 
pengacau yang mengganggu rombongan itu."
"Aku tidak meragukan kemampuan Kakang 
seperguruan. Guru. Tapi ..... ahh sulit sekali un-
tuk dijelaskan. Entah kenapa kecemasan ku begi-
tu kuat bahwa mereka menghadapi bahaya besar 
yang rasanya sulit dibendung. Kalau saja Ayahan-
da mengizinkan, Aku bermaksud untuk menyusul 
mereka ke sana."
"Kau pengantin, Nak. Dan mana boleh pengan-
tin berkeliaran kesana kemari. Lagi pula urusan 
itu sudah ditangani oleh Kakang seperguruanmu. 
Tenangkanlah hatimu, mudah-mudahan sega-
lanya akan cepat beres," hibur Kanjeng Bupati.
Baru saja laki-laki berpakaian bagus selesai 
bicara, tiba-tiba terdengar suara orang tertawa 
nyaring yang memekakkan telinga. Suara itu da-
tangnya entah dari mana. Mereka mencari-cari 
sumber suara itu dan saling berpandangan tak 
mengerti.
"Ha ha ha ha....! Alangkah sedihnya hatiku me-
lihat sang pengantin begitu berduka. Tapi untuk 
apa sedih, bila pengantin wanita itu sendiri lebih 
menyukai diriku dari pada kekasihnya hingga rela 
menyerahkan diri ke dalam pelukanku. Ha ha ha...!
"Siapa kau ?! Tunjukkan dirimu !" bentak Ki 
Anom Subrata.
"Ha ha ha ....! Orang cebol besar mulut, boleh 
juga gertakkanmu, tapi kau tak akan lagi melihat 
matahari esok pagi karena kedatanganku kemari 
untuk mencabut nyawamu yang tak berharga itu!" 
sahut suara tadi.
"Huh, hanya pengecut bermulut besar yang bi-
asanya cuma bersembunyi. Tunjukkan dirimu 
atau harus ku paksa dulu untuk keluar!"
"Ha ha, ha ....! kalau benar kau punya nyali, 
keluarlah dari tempatmu dan berlututlah minta 
ampun. Siapa tahu aku bersedia mengampuni ji-
wamu!"
"Kurang ajar !" Ki Anom Subrata yang lekas 
naik darah itu langsung menggenjit tubuhnya ke-
luar dan tubuh pendek itu terus melenting ke wu-
wungan atap dengan satu teriakan menggelegar.
"Yeaaa...!" 
"Haiiiiit...!"
Begitu tubuh Ki Anom Subrata melesat, saat 
itu pula satu bayangan mencelat dengan ringan 
menghindari serangan, dan menjejakkan kaki per-
sis di halaman depan. Kanjeng Bupati serta pu-
tranya dapat melihat jelas sesosok tubuh tinggi 
besar berkulit hitam pekat. Memakai baju kuning 
berselang-seling hitam. Orang itu menyandang se-
bilah pedang di punggungnya. Rambutnya di-
biarkan lepas terurai sebatas punggung. Wajahnya 
tak begitu menyeramkan kalau saja ia tak berkulit 
hitam begitu, namun sorot matanya tajam menu-
suk seperti meremehkan setiap orang.
"Siapa kau, Kisanak? Dan apa tujuanmu sebe-
narnya datang ke tempatku ini?" tanya Bupati 
Sumur Wering dengan suara lunak.

Namun belum lagi si muka hitam itu menya-
hut, dari atas wuwungan atap tubuh Ki Anom 
Subrata meluruk turun dengan satu serangan ki-
lat ke arah orang asing itu.
"Maling busuk ! kali ini kau tak akan lepas da-
ri kejaranku!"
"Ha ha ha ha...! Apakah kau yang bernama 
Anom Subrata, Ketua Perguruan Tangan Baja?" 
tanya orang berwajah hitam tak mempedulikan 
makian lawan. Tubuhnya yang tinggi besar itu 
bergerak amat lincah saat serangan orang tua ber-
tubuh pendek itu mengenai tempat kosong.
"Apa maumu sebenarnya?!" bentak Ki Anom
Subrata menghentikan serangannya sambil berka-
cak pinggang. " Benar, akulah Anom Subrata!"
"Ha ha ha ...! kau lihatlah Kakang Manggala. 
Sungguh sombong sekali lagak tikus kerdil ini. 
Baiknya cepat-cepat direncah, lalu diberikan pada 
srigala-srigala kelaparan di hutan sana!" kata si 
wajah hitam terbahak-bahak menengadahkan wa-
jah ke atas sambil berkacak pinggang. Suaranya 
lantang dan keras membahana diseputar tempat 
itu. Hingga tanpa menunggu panggilan dari Bupa-
ti, para pengawalnya langsung berkumpul di ha-
laman depan lengkap dengan senjata masing-
masing.
"Ha ha ha ha...! benar adik Durbala, orang se-
perti dia akan merasa dirinya jago dan harus ce-
pat-cepat di penggal lehernya." sahut satu suara 
yang tak kalah kerasnya.
Tiba-tiba mencelat sebuah bayangan dari wu-
wungan atap dan menjejakkan kaki tak jauh dari 
Ki Anom Subrata. Sepasang matanya langsung te-
rarah pada Bupati Sumur Wering dengan sikap 
mengancam.
"Kalau kau ingin selamat, singkirkan cecurut

cecurut ini dari sini! kami hanya ingin berurusan 
dengan tikus kerdil ini!" tunjuknya pada Ki Anom 
Subrata.
"Siapa kalian dan ada urusan apa dengan Ki 
Anom Subrata?" tanya Bupati masih dengan suara 
datar.
"Lagi pula jangan berharap kami tak takut ikut 
campur dalam urusan ini. Kalian datang tanpa di 
undang, lalu seenaknya cari urusan dengan ta-
muku dan mengacau di pekarangan ini. Itu saja 
lebih dari cukup untukku ikut campur dalam ma-
salah mu."
"Bandel!" bentak orang yang muncul belakan-
gan. Wajahnya yang sama hitam dengan orang 
pertama tadi, nampak lebih kelam menyiratkan 
hawa kemarahan. Urat-urat di kedua pelipis dan 
tangannya nampak keluar. Dalam keadaan demi-
kian, orang ini amat menyeramkan, lebih-lebih ka-
rena tubuhnya lebih besar di banding orang yang 
pertama yang dipanggilnya, Durbala. Kalau dilihat 
sepintas, mereka seperti saudara kembar, sulit di-
bedakan mana kakak dan mana adik . Hanya be-
sar tubuh mereka yang mungkin sedikit bisa dibe-
dakan.
"Kurung mereka!" perintah Bupati dengan sua-
ra tegas. "Tangkap hidup-hidup agar bisa diadili 
dan diberi hukuman yang sepadan atas kelakuan 
mereka."
Tanpa diperintah dua kali, pengawal-pengawal 
kabupaten yang telah berkumpul itu mulai men-
gurung kedua orang asing itu. Kemudian dengan 
satu teriakan nyaring senjata berupa golok dan 
tombak di tangan mereka langsung meluruk me-
nyerang lawan.
"Heaaaa....!"
"Cecurut-cecurut sialan ! kalau sudah siap

mampus, sini!" bentak Durbala sambil mencabut 
pedang di punggungnya. 
Sriiing !
Untuk sesaat para pengeroyoknya tersentak 
kaget melihat senjata lawan berupa pedang berge-
rigi berukuran lebih besar dibanding pedang lain 
pada umumnya. lebih mirip gergaji bermata dua 
yang tajam dan kuat. Tapi setelah Bupati kembali 
memerintah, semangat mereka bangkit.
"Ayo, kurung buto ijo ini! kurung...!"
"Ringkus....!"
Namun dua orang bertubuh besar itu hanya 
tenang-tenang saja seolah menganggap hanya se-
buah permainan belaka. Dan sikap itu di buktikan 
oleh serangan balasan mereka yang amat menge-
jutkan. Sekali bergerak, paling tidak tiga orang 
langsung ambruk dengan leher hampir putus dan 
perut robek lebar hingga isinya ikut terburai ke-
luar. Tentu saja pemandangan ini mengiris hati 
Bupati Sumur Wering . Lebih-lebih Ki Anom Sub-
rata, mana bisa orang tua itu berpangku tangan 
melihat kejadian ini.
"Iblis biadab! Akulah lawanmu!" bentaknya 
sambil melompat ke arah Durbala dengan satu se-
rangan bertenaga kuat.
"He he he he...! bagus, kenapa tidak sejak ta-
di?" ejek Durbala langsung memapaki serangan 
lawan dengan sabetan pedangnya.
Terpaksa Ki Anom Subrata menarik serangan,
tubuhnya jumpalitan menghindari sabetan pedang 
lawan. Dan dengan gerakkan kilat kaki kanannya 
menendang ke kepala Durbala.
"Wuuk !" 
"Crass...!"
Ki Anom Subrata mengeluh pelan. Lawan den-
gan mudah berkelit sambil menundukkan sedikit

kepala, pedangnya berkelebat memapas pergelan-
gan lengan lawan. Masih untung Ki Anom Subrata 
mampu berkelit meski tak urung bahunya sempat 
terkena sabetan senjata lawan.
"Adik Durbala, jangan serakah kau ! Biar tua 
bangka, ini bagianku!" teriak Manggala sambil te-
rus melompat meninggalkan para pengeroyoknya 
dan langsung menyerang Ki Anom Subrata.
Durbala terkekeh-kekeh sambil menghadang 
para pengawal Kabupaten yang menyerangnya. 
Dia mengamuk, membabat siapa saja yang berada 
di dekatnya. Hingga dalam tempo yang singkat ha-
laman depan rumah Bupati Sumur Wering ini 
banjir oleh darah. Sementara itu Manggala tak 
memberi sedikitpun kesempatan pada Ki Anom 
Subrata untuk melepaskan diri dari serangannya. 
Orang tua itu sendiri merasakan serangan lawan 
semakin menggila. Beberapa kali ujung pedang 
lawan nyaris menyabet kulit tubuhnya. Bila di-
bandingkan dengan lawan pertama tadi, dapat di-
rasakannya bahwa tenaga lawannya yang seka-
rang jauh lebih kuat dan gerakkannya pun lebih 
ringan.
"Heaaat...!"
Dengan satu teriakkan menggelegar, Manggala 
menyabetkan pedangnya dengan gencar ke arah 
tenggorokan lawan. Ki Anom Subrata menunduk-
kan sedikit kepalanya namun kaki kiri lawan lang-
sung menyambut dengan satu tendangan keras. Ki 
Anom Subrata terkejut dan cepat-cepat membuang 
diri ke belakang sambil bersalto. Namun agaknya 
Manggala telah memperhitungkan hal itu. Tubuh-
nya langsung bergerak menyusul dengan tinju kiri 
siap menghajar lawan.
"Plak! Crass!"
"Wuayyaaa...!"

Ki Anom Subrata hanya sempat menjerit kecil 
ketika pedang lawan menebas pinggangnya hingga 
terdengar derak tulangnya yang patah. Tubuhnya 
langsung ambruk dengan nyawa lepas. Manggala 
berdiri tegak sambil terkekeh-kekeh.
"Mampuslah kau tua bangka keropos!" kemu-
dian melirik ke arah Durbala yang masih asyik 
membantai lawan-lawannya.
"Adik Durbala, ayo kita tinggalkan tempat ini!"
"Sebentar, Kakang Manggala ! kau pergilah du-
lu, aku belum puas kalau belum menghabisi cecu-
rut-cecurut kurang ajar ini!"
"Baiklah kalau begitu!" sahut Manggala sambil 
melentingkan tubuhnya dan berkelebat dari tem-
pat itu secepat kilat. Dalam sekejap saja tubuhnya 
lenyap dari pandangan meninggalkan suara tawa 
panjang penuh kemenangan.
*
* *
TIGA


Senja belum lagi berganti ketika Bayu Hangga-
ra tiba di desa Sumur Wering. Suasana terasa se-
pi, dan tanah nampak masih lembab dan sebagian 
terlihat tergenang air. Kalau Bayu Hanggara sam-
pai tiba di sini rasanya memang bukan sekedar 
kebetulan belaka. Ada yang mengganjal di hatinya 
setelah mendengar penuturan gadis bernama Pra-
ba Ningrum itu. Nama Sepasang Iblis Pulau Hitam 
baru sekali ini didengarnya, tapi sepak terjangnya 
sangat kejam. Walau ia belum melihat sendiri buk-
tinya, tapi dari cerita gadis itu bahwa Perguruan-
nya belum pernah bermusuhan dengan kedua 
orang itu. Dan saat pembantaian itu terjadi, tak

pernah didengarnya mereka mengemukakan ala-
san, kenapa memusuhi Perguruan jari Sakti.
Bayu Hanggara, pemuda berbaju kulit harimau 
yang lebih di kenal sebagai Pendekar Pulau Neraka 
itu baru saja akan melangkahkan kakinya pada 
sebuah kedai, terdengar teriakan seseorang dari 
kejauhan menghampiri tempat itu.
"Ada pengacau! Ada pengacau...!"
Orang-orang yang berada di sekitar tempat itu 
segera menghampiri orang tersebut. Salah seorang 
mencekal lengannya. 
"Ada apa?!"
"A... ada pengacau di rumah Bupati. Ba... ba-
nyak yang tewas! Cepat bunyikan kentongan!" ce-
rita orang itu sambil mengatur nafasnya yang 
memburu.
"Siapa?" tanya yang lain.
"Tidak tahu. Mereka cuma berdua. Tubuhnya 
tinggi besar dan berkulit hitam!"
Bayu Hanggara yang mendengar cerita orang 
itu jadi tergerak hatinya. Menurut penuturan Pra-
ba Ningrum, dua orang pengacau yang membantai 
rombongan mereka persis seperti apa yang di tu-
turkan orang tadi. Mungkinkah ia mendatangi ke-
diaman Bupati karena kurang puas dengan kor-
ban di pihak mempelai wanita?
Tanpa membuang waktu lagi Bayu segera 
menggenjot tubuh dan berlalu dari tempat itu se-
cepatnya. Tiren, si monyet kecil sahabatnya ribut 
menjerit-jerit kecil.
Apa yang dikatakan orang itu ternyata benar. 
Tiba di halaman depan kediaman Bupati, Bayu 
Hanggara melihat mayat-mayat bergelimpangan
dalam keadaan yang menggenaskan. Sementara 
seorang lelaki bertubuh besar dengan kulit hitam 
kelam nampak sedang bertarung dengan tiga

orang pengawal Bupati dan seorang pemuda ber-
wajah tampan. Dengan menggunakan pedang ber-
gerigi, si tinggi besar terus mendesak lawan-
lawannya sambil terkekeh-kekeh kegirangan. 
"He he he he...! Tikus-tikus busuk bau tanah, 
sebentar lagi jiwa kalian yang tak berharga itu 
akan ku kirim ke akherat!"
"Jahanam berwajah hitam, jangan kira kami 
takut padamu!" Orang sepertimu layaknya berada 
di neraka!" sahut si pemuda berwajah tampan itu 
marah.
"Tiada angin tiada hujan kau datang memban-
tai dan membuat kekacauan."
"Kaukah yang bernama Pranajaya, calon man-
tu si Panji Narada itu? Kalau benar, sungguh sua-
tu kebetulan, he he he...! Calon istrimu berwajah 
cantik dan tubuhnya amat menggiurkan. Sayang 
kalau dilewatkan begitu saja."
"Apa maksudmu, keparat?!"
"Maksudku, si tua bangka Panji Narada telah 
kami kirim ke akherat beserta yang lainnya, se-
dangkan calon istrimu telah kucicipi lebih dahu-
lu!"
"Keparat! Perbuatanmu sungguh biadab. 
Orang sepertimu memang layak mampus!" teriak 
si pemuda berwajah tampan yang tak lain adalah 
Pranajaya, putra Bupati Sumur Wering. Golok di 
tangannya berkelebat dengan cepat, serta tinju ki-
rinya mulai menghitam pertanda bahwa ia menge-
rahkan tenaga dalam yang hebat.
"He he he he...! Apa yang bisa kau andalkan 
dari ilmu silat picisan itu? Gurumu sendiri telah 
kami buat mampus, apalagi kau yang cuma punya 
kepandaian seujung kuku," kembali si tinggi besar 
yang bernama Durbala itu mengejek.
"Biar pun kepandaianku tak seberapa, tapi

aku rela mengadu jiwa denganmu. Heaaaat...!"
Dengan satu teriakan menggelegar, Pranajaya 
menghantamkan tinju ke dada kiri lawan. Durbala 
terkekeh dan menangkis dengan tangan kirinya. 
Tapi Pranajaya pun tak bodoh. Dari beberapa kali 
gebrakan dirasakannya bahwa tenaga dalam la-
wan lebih tinggi beberapa tingkat diatasnya. Dita-
riknya kembali serangan itu dan menyabetkan go-
lok dengan gerakan kilat ke perut.
"Trang! Breet!"
"Uughk!"
Pranajaya mengeluh pendek. Pada saat golok-
nya menebas perut lawan, Durbala lebih cepat 
menyapu pedangnya ke bawah dan terus men-
gayunkan kaki ke arah selangkangan. Pranajaya 
kalang kabut menghindarinya dengan menggeser 
tubuhnya ke kiri. Pada saat itulah ujung pedang 
lawan berhasil mengenai dadanya. Masih untung 
dia mempunyai ilmu silat yang patut diacungkan 
jempol hingga ujung pedang lawan hanya meng-
gores sedikit luka di dadanya.
"Nah, susullah gurumu di akherat!" bentak 
Durbala sambil kembali mengayunkan pedangnya 
menyambar tubuh Pranajaya yang dalam keadaan 
terjepit. Tepat pada saat itu ketiga pengawal kabu-
paten yang lain menerjang ke arahnya.
"Yeaaaaa...!"
"Bet!"
"Trang!"
*
* *
Durbala tersentak kaget. Walaupun dia tak 
melihat, namun pendengarannya yang terlatih da-
pat merasakan kehadiran serangan bokongan la


wan. Bisa dipastikan, dalam sekali gebrakan keti-
ga lawannya pasti tewas. Namun yang dihadapinya 
justru pedangnya seperti menghantam batu cadas 
yang bukan main kerasnya. Tangannya terasa ke-
semutan saat menangkis tadi. Durbala menge-
goskan tubuhnya pelan dan menangkap sebuah 
kilauan cahaya perak yang bergerak ke arah seo-
rang pemuda berambut panjang yang tiba-tiba ada 
di tempat itu. Sepasang matanya menyipit mem-
perhatikan.
"Siapa kau?" bentak Durbala.
"Siapa pula kau?" balas si pemuda berambut 
panjang yang tak lain adalah Bayu Hanggara, ba-
lik bertanya tak kalah garangnya.
Durbala melihat sinar perak yang dia lihat tadi 
berasal dari sebuah cakra terbuat dari perak yang 
bersegi enam dan menempel di lengan kanannya.
"Kalau tak salah, bukankah kau yang bergelar 
Pendekar Pulau Neraka?"
"Tak salah, Kisanak. Begitulah orang-orang 
memanggilku. Apakah kau salah seorang dari Iblis 
Pulau Hitam?"
"He he he he...! Akhirnya bertemu juga dengan 
orang yang sangat kuharap-harapkan. Tapi siapa 
sangka Pendekar Pulau Neraka yang termasyhur 
itu begitu cepat mengenali Iblis Pulau Hitam. Apa-
lagi kalau bukan takut dan ingin memohon belas 
kasihan!" ejek Durbala.
Bayu Hanggara tertawa sinis.
" Ya, siapa yang tak kenal dengan kalian? Bau 
busuk akan cepat menyebar ke mana-mana. Ada 
urusan apa kau mencari-cariku, Kisanak?"
"Untuk memenggal kepalamu!"
"Memenggal kepalaku? Hi hi hi hi...! Kenapa 
tidak kau katakan sejak tadi? Kalau tahu kau 
mencari-cariku, tentu dengan senang hati aku

akan memberikannya, tapi setelah jantungmu ku
keluarkan lebih dulu."
"Bedebah! Kau kira bisa menjagoi dunia persi-
latan seenakmu? Hari ini terimalah kematianmu!"
Dengan satu lompatan ringan Durbala men-
gayunkan pedangnya ke arah leher lawan. Bayu 
masih terlihat tegak mematung dan memperhati-
kan dengan seksama gerakan lawan. Kalau saja 
mereka tak tahu siapa pemuda itu, tentu akan 
menganggapnya sok jago dan hanya mencari mati 
saja.
"Heaaaa...!"
"Wuss! Wuuk!"
Dua jengkal lagi ujung pedang lawan akan me-
nebas lehernya. Bayu memiringkan sedikit kepa-
lanya, dan menangkis tinju kanan lawan dengan 
tangannya. Bukan main terkejutnya hati Bayu. 
Tangannya terasa kesemutan setelah benturan itu. 
Belum lagi habis rasa kagetnya. kembali pedang 
lawan menyambar ke arah pinggang. Cepat-cepat 
Bayu Hanggara menjatuhkan diri sambil bergulin-
gan menghindari sambaran pedang lawan yang 
bertubi-tubi. Dan dalam satu kesempatan, tubuh-
nya tiba-tiba melenting sambil terus bersalto bebe-
rapa kali ke belakang pada jarak tujuh tombak.
Durbala tak mengejarnya, tapi mengeluarkan 
suara sindiran sambil tersenyum mengejek.
"Menganggap remeh, heh? Lebih sering kau
begitu nyawamu akan cepat melayang dan aku tak 
perduli. Lebih cepat kau mampus lebih baik."
Bayu Hanggara tersenyum kecil. Diliriknya se-
kilas suasana di tempat itu yang mulai ramai. Te-
riakan-teriakan pemuda-pemuda desa yang geram 
melihat mayat-mayat bergelimpangan, segera di-
tingkahi oleh suara berwibawa seorang laki-laki 
setengah baya yang tak lain dari Bupati Sumur

Wering.
"Tenang! Tenang! Pengacau ini memang harus 
di tangkap dan di adili. Tapi dia amat berbahaya. 
Jangan sampai timbul korban sia-sia kembali."
"Tapi Kanjeng Bupati, orang itu harus segera di 
tangkap! Dia telah membunuh banyak orang!" sa-
hut seseorang.
"Benar! Dia tak perlu diadili tapi bunuh saja!" 
sahut yang lain lagi bersemangat.
Bupati itu kembali berteriak-teriak mencegah 
tindakan nekat warganya. Tapi orang-orang itu se-
perti sudah kerasukan setan. Hati mereka penuh 
dengan amarah dan dendam. Bagai air bah yang 
meluap, mereka langsung menyerang Durbala.
"Bunuh! Bunuuuh...!" 
"Cacah tubuhnya...!"
"Tikus-tikus got mau mampus, majulah kalian 
semua!" bentak Durbala garang. Tubuhnya lang-
sung berkelebat dengan pedang terayun siap men-
cari mangsa.
Bayu Hanggara yang menyadari bahwa orang-
orang desa itu bukanlah lawan yang sepadan bagi 
Durbala, segera menggenjot tubuh, menghalangi.
"Cukup! Mereka bukanlah lawan kalian. Mari 
kita teruskan permainan kita tadi!"
"Yeaaaa...!"
"Trang! Wuuk!"
Melihat Bayu menghadangnya, Durbala lang-
sung menyabetkan pedang sambil mengayunkan 
tendangan ke ulu hati. Namun dengan mantap 
Bayu Hanggara menangkis dengan cakra mautnya. 
Tubuhnya melengkung ke belakang dan terus ber-
salto dengan kedua kaki menghantam pantat la-
wan. Tapi Durbala telah memperhitungkan hal itu. 
Tubuhnya bergerak menghindar ke belakang. Na-
mun belum lagi kedua kakinya menjejak tanah,

belasan ujung golok telah menantinya.
"Heaaaat...!"
"Trang! Trang!"
Pedangnya menyambar ke sana ke mari me-
mapaki serangan pengeroyoknya. Beberapa buah 
golok terpental, namun secepat itu pula yang lain-
nya menghunus tanpa mengenal takut.
"Serbuuuu...!" 
"Rencah...!"
Menghadapi serangan gencar itu sebenarnya 
Durbala tak takut. Juga dia merasa mampu me-
layani, bahkan menghabisi mereka satu persatu. 
Namun yang diperhitungkannya saat ini adalah 
Pendekar Pulau Neraka itu. Dalam gebrakan tadi 
saja terasa tangannya sakit dan linu. Hawa seran-
gan pemuda itu menekan kuat dan dibarengi te-
naga dalam kuat. Pendekar Pulau Neraka pun 
nampaknya tak mau perduli dengan keadaannya 
saat ini. Di antara keroyokan orang-orang desa itu, 
tubuhnya melayang-layang menyambar ke mana 
saja ia dapat menghindar.
"Huh, tak kusangka ternyata nama Pendekar 
Pulau Neraka cuma pepesan kosong belaka. Kau 
mencari kesempatan dalam kesempitan. Karena 
merasa tak mungkin menghadapiku satu lawan 
satu kau gunakan kesempatan ini untuk menga-
lahkanku," ejek Durbala.
Bayu Hanggara terkekeh kecil, "Aku tak perdu-
li apa pun ocehanmu. Yang jelas saat ini kau ha-
rus mampus! sahut Bayu.
"Pendekar Pulau Neraka, ku tantang kau duel 
satu lawan satu tanpa cecoro-cecoro ini!" teriak 
Durbala sambil melompat tinggi dan berusaha lari 
dari keroyokan. Namun pada saat itu juga mende-
sir sebuah benda berwarna perak ke arahnya dan 
nyaris menghajar pinggang kalau saja tubuhnya

tak dimiringkan ke kiri.
"Bangsat!"
"Jangan coba-coba lari dari hadapanku, Kisa-
nak! Kau harus mempertanggungjawabkan perbu-
atan biadab mu!" sahut Bayu sambil tertawa pe-
lan. Tangan kanannya menangkap cakra maut 
yang melayang ke arahnya kembali.
"Pendekar picisan, kalau begitu aku akan 
mengadu jiwa denganmu!" kata Durbala geram.
Dengan satu teriakan melengking Durbala me-
nerjang Bayu Hanggara sambil menghunus pe-
dang kepada pengeroyoknya yang coba mengha-
langi. Namun bersamaan dengan Bayu sudah me-
lesat memapakinya.
"Yeaaaa...!"
"Haiiiit...!"
Agaknya kali ini Durbala benar-benar kalap. 
Serangannya hebat bukan main. Terarah pada 
sembilan titik kematian di tubuh lawan. Tenaga 
dalam yang dikeluarkannya pun telah mencapai 
tingkat yang paling tinggi. Angin serangannya 
mampu membuat beberapa orang tubuh penge-
royoknya limbung.
"Wuss...!"
"Bet!"
Bayu Hanggara benar-benar kagum dibuatnya. 
Dalam dua jurus pertama ia benar-benar merasa 
kalang kabut dan hanya bisa bertahan menghada-
pi serangan lawan. Selain ayunan pedang bergerigi 
yang lihai dan cepat, tangan kiri lawan juga sering 
menghantam dengan pukulan jarak jauh. Baru sa-
ja ia merasa lepas dari incaran maut ketika kele-
batan pedang lawan disusul dengan pukulan ber-
tubi-tubi yang dilakukan dari jarak satu tombak. 
Kalau saja saat itu keadaan Durbala lebih leluasa, 
bisa jadi ia akan terluka.

"Bangsat sialan! Terimalah kematian kalian!" 
teriak Durbala geram ketika serangannya yang di-
tujukan ke Bayu dikacaukan oleh para penge-
royoknya yang masih terus bernafsu untuk meng-
habisinya.
"Kaulah bangsat paling busuk yang patut 
mampus!" sahut seorang di antara mereka dengan 
garang. Yang lain menyahut serempak.
"Heaaaaat..!"
"Trang! Breeet...!"
"Wuaaaa...!"
Ujung pedang Durbala kembali meminta kor-
ban saat dua orang terdekat yang begitu bernafsu 
akan membunuhnya kalah cepat dengan keleba-
tan pedangnya. Pekik kematian kembali mengge-
ma. Tapi tidak membuat yang lainnya menjadi ta-
kut. Bahkan kemarahan mereka menjadi dua kali 
lipat.
"Jahanam keparat, mampuslah kau!" teriak sa-
lah seorang sambil menghunuskan goloknya. Dur-
bala memapaki dengan pedangnya, tapi rupanya 
orang tahu, tidak guna ia beradu senjata karena 
tenaga dalam lawan lebih tinggi beberapa tingkat 
di atasnya. Maka dengan satu gerakan manis tu-
buhnya membungkuk dan berputar sambil me-
nyabet perut lawan.
"Uts! Brengsek!" Durbala tersentak. Sedikit sa-
ja ia lengah, ujung golok lawan pasti telah mero-
bek kulit perutnya. Agaknya ia tadi terlalu men-
ganggap remeh pada lawan sehingga melupakan 
pertahanan sendiri.
Namun ketika tubuhnya berkelebat ke atas, 
justru satu bayangan yang bergerak secepat kilat 
menyambar ke arahnya. Durbala terkesiap, na-
mun tak mungkin lagi mengubah gerakan pada 
saat sedang mengapung begini. Jalan satu

satunya hanya mengempos tenaga dalam dan 
memapaki bayangan itu.
"Hiiih...!"
"Plak!"
"Wus!"
"Buk...!
"Aaakh...!" Durbala menjerit tertahan ketika 
satu tendangan keras menghantam punggungnya.
Tubuhnya terhuyung-huyung ketika kedua 
kakinya menjejak tanah. Namun pada saat itu se-
rangan dari pada pengeroyoknya semakin bernaf-
su saja. Rasanya sulit bagi Durbala bertahan lebih 
lama kalau keadaannya terus begini.
*
* *
EMPAT


Apa sebenarnya yang terjadi pada Durbala ta-
di? Ketika tubuhnya melesat ke atas saat itu pula 
Bayu Hanggara mengirim satu serangan. Walau 
pun tahu bahwa ia mampu menahan pukulan ja-
rak jauh lawan yang berisi tenaga dalam kuat, tapi 
ia memilih menghindar. Telapak kirinya menang-
kis tinju kanan lawan, dan bertumpu hingga tu-
buhnya melenting ke atas sambil berputar ke arah 
punggung Durbala, lalu mengirim tendangan ke-
ras.
Dan kini setelah merasakan tulang punggung-
nya seperti remuk, Durbala harus menghadapi an-
caman lain. Gerakannya tersendat dan tak leluasa 
seperti tadi. Dari sudut bibirnya menetes darah 
kental kehitam-hitaman.
"Crass!" 
"Kena!" teriak seseorang ketika ujung senja

tanya berhasil melukai betis lawan.
"Ayo, teman-teman hajar terus!"
"Benar! Sebentar lagi dia tentu lemas setelah 
tubuhnya penuh luka!" sahut yang lain.
"Cincaaaaang....!"
"Yeaaaah…!"
Dengan sisa-sisa tenaganya, Durbala yang se-
dang terluka dalam masih cukup berbahaya. 
Ujung pedangnya kembali berhasil melukai tiga 
orang lawan sebelum ia sendiri dihajar oleh Bayu 
Hanggara ketika berusaha menangkis serangan 
pemuda itu. Melihat lawan masih berusaha men-
coba untuk menahan, Bayu Hanggara malah sen-
gaja mengempos tenaga dalamnya. Akibatnya 
sungguh fatal. Bukan saja Durbala terlempar se-
jauh tiga tombak, tapi juga luka dalam yang dide-
ritanya pun bertambah parah. Durbala berusaha 
bangkit dengan tubuh bergetar dan bertumpu pa-
da pedang yang ditancapkan ke tanah. Darah ken-
tal kehitam-hitaman berkali-kali menetes dari su-
dut bibirnya yang terkatup rapat.
"Ayo, dia sudah terluka! Cincang..!" teriak se-
seorang memberi komando pada yang lainnya. 
Bayu Hanggara terkekeh sinis dan tak berusaha 
mencegah tindakan orang-orang desa itu. Bisa di-
bayangkan, dalam sekejap saja tubuh Durbala 
akan tercerai berai dihajar bermacam-macam sen-
jata tajam. Namun pada saat itu terdengar benta-
kan keras yang disusul melesatnya satu bayangan 
ke arah Durbala.
"Tikus-tikus busuk! Kalian akan merasakan 
pembalasannya nanti!"
Gerakan bayangan itu luar biasa ccpatnya. 
Ujung senjata warga desa itu nyaris terhunjam ke 
tubuh Durbala kurang dari dua jengkal lagi, tiba-
tiba jasadnya seperti raib entah ke mana. Tentu

saja hal ini membuat mereka terkejut setengah 
mati dengan hati geram bercampur heran. Apakah 
dalam keadaan terluka parah itu pun lawan masih 
bisa bangkit dan bergerak cepat?
Kalau warga desa itu heran dan bertanya-
tanya, kemana lenyapnya tubuh Durbala, tidak 
demikian dengan Bayu Hanggara. Matanya yang 
tajam dan terlatih sempat melihat seorang laki-laki 
bertubuh tinggi besar dan berkulit hitam kelam, 
serta mengenakan baju yang sama dengan baju 
Durbala, membawa tubuh Durbala keluar dari 
tempat itu. Bisa jadi orang itu teman atau saudara 
kembar Durbala yang dijuluki si Iblis Pulau Hitam. 
Maka tanpa berpikir panjang lagi, tubuhnya berke-
lebat cepat sambil menghantamkan pukulan jarak 
jauh ke arah orang itu yang berhasil menyela-
matkan Durbala.
"Bangsat! Kau pikir bisa berbuat seenakmu di 
depan mataku?" bentak Bayu Hanggara.
"Wusss!"
"Weer!"
Pukulan jarak jauh yang di lontarkan Bayu 
Hanggara itu dengan manis dihindarkan oleh la-
wan, bahkan secara tak terduga kembali balas
menyerang dengan pukulan jarak jauh pula yang 
tak kalah kuatnya di banding pukulan Bayu.
"Haaeeep...!" Bayu Hanggara yang tak mendu-
ga hal itu cepat-cepat membuang diri ke samping, 
dan terus melenting dengan satu serangan bala-
san. Namun saat itu juga terlihat bayangan tadi 
telah berlari menjauh. Dengan geram Bayu me-
lempar Cakra mautnya. 
"Zwiing!"
Cakra Maut bersegi enam berwarna keperakan 
ini mendesing bagai anak panah dan berputar-
putar menyambar mangsa. Orang itu menangkis

dengan pedangnya, tapi senjata itu melejit dan 
sempat menggores bahunya sebelum kembali ber-
putar dan berbalik ke arah Pendekar Pulau Nera-
ka.
Bayu mendengus kesal. Sepasang matanya 
masih menatap jalang ke arah bayangan itu le-
nyap. Suara hiruk-pikuk orang-orang desa yang 
berusaha mengejar, seolah tak mengusik kegusa-
ran hatinya. Setelah beberapa saat kemudian, ba-
rulah ia melangkah dari tempat itu tanpa menghi-
raukan keadaan sekelilingnya.
"Kisanak! Eh... ng... maaf, kalau Kisanak sudi, 
Kanjeng Bupati berkenan mengundang ke rumah," 
kata seorang pengawal Bupati sambil menjura 
hormat.
Bayu melirik ke ruang depan. Dilihatnya seo-
rang laki-laki setengah baya berpakaian bagus 
menganggukkan kepala sambil tersenyum. Pende-
kar Pulau Neraka itu mengerutkan keningnya se-
dikit, seakan dia tengah berpikir sebelum menye-
tujui ajakan orang itu.
Namun baru berjalan beberapa langkah, mun-
cul tiga orang yang tadi bertemu di tepi hutan. Si 
gadis berbaju hijau yang berwajah cantik masih 
menunjukkan wajah tak senang, sementara gadis 
di sebelahnya menundukkan kepalanya. Sedang-
kan pemuda bertubuh kekar di sampingnya hanya 
melirik sekilas padanya.
"Praba Ningrum...!" teriak Pranajaya begitu me-
lihat gadis yang menundukkan wajahnya.
*
* *
Pemuda itu cepat-cepat menghampirinya den-
gan wajah penuh haru.

"Kau... kau tak apa-apa?" tanya Pranajaya 
dengan suara yang jadi tergagap.
Gadis yang dipanggil Praba Ningrum tidak me-
nyahut, bahkan semakin menundukkan wajahnya 
lebih dalam.
"Praba Ningrum, kau tidak apa-apa?" tanya 
pemuda itu lagi.
Putra Bupati Sumur Wering mengapit kedua 
lengan gadis itu. Praba Ningrum menatap Prana-
jaya sesaat, kemudian berpaling sambil terisak 
memeluk gadis berbaju hijau yang tak lain dari 
Dewi Ratih.
"Kenapa, Praba...? Apa yang terjadi?" tanya 
Pranajaya lagi.
Jelas sekali terdengar dari nada suaranya, ka-
lau dia begitu cemas melihat Praba Ningrum me-
nangis terisak di dalam pelukan Dewi Ratih. Pra-
najaya jadi serba salah, tidak tahu lagi apa yang 
bisa dilakukan.
"Kisanak, tenanglah kau..." kata Dewi Ratih 
sambil menepiskan tangan Pranajaya. "Dia sedang 
mengalami tekanan batin yang cukup hebat."
"Oh, maaf! maaf sampai kami melupakan ka-
lian berdua. Ng... siapa kalian berdua ini? Apakah 
masih saudara jauh dari Praba Ningrum?" ujar 
Pranajaya, baru sadar bahwa di tempat itu ada 
orang lain lagi.
"Bukan. Kami hanya kebetulan bertemu den-
gannya ketika ia tak sadarkan diri di tepi hutan..."
"Tak sadarkan diri? Oh, apakah yang telah ter-
jadi padanya?"
Dewi Ratih terdiam sejenak. Sulit rasanya 
menjelaskan kejadian yang menimpa Praba Nin-
grum dalam keadaan begini. Tapi untunglah Pra-
najaya cepat membaca situasi. Buru-buru ia men-
gajak mereka ke dalam sementara Bayu Hanggara

telah lebih dulu berbincang-bincang dengan Bupa-
ti.
Adiknya Praba Ningrum berkeras membatalkan 
rencana perkawinan mereka tanpa menjelaskan
alasan yang kuat. Tentu saja hal itu tak bisa dite-
rima Pranajaya. Gadis itu pun sulit menerangkan. 
Untunglah ada Dewi Ratih yang bersedia menjadi 
perantara. Pranajaya membawa mereka berdua 
masuk ke dalam sebuah kamar. Lama sekali Dewi 
Ratih berdiam sebelum menjelaskan duduk per-
soalan yang sebenarnya atas kejadian yang me-
nimpa Praba Ningrum.
Bukan main geram dan sakit hatinya Prana-
jaya setelah mendengar penuturan itu. Kedua pe-
lipisnya menggembung dan sepasang matanya na-
nar. Kedua tangannya terkepal menahan marah 
yang memuncak.
"Jahanam keparat! Mereka tak akan lepas dari 
tanganku...!" dengusnya perlahan.
"Kisanak, hal itu bisa diurus belakangan. Yang 
penting saat ini adalah calon isteri mu. Dia dalam 
keadaan goncang. Di sinilah batu ujian pertama 
mu teruji. Apakah kau akan menolaknya setelah 
kejadian itu?"
Pranajaya tak langsung menjawab tapi malah 
mendekati Praba Ningrum sambil mengamati ke-
dua lengannya. Tangan kanannya meraih dagu 
gadis itu hingga tatapan mereka bertemu.
"Praba... kenapa kau berpikir begitu? Walau 
apapun yang menimpamu, tak mungkin aku men-
campakkan mu begitu saja. Percayalah, sedikitpun 
aku tak berpaling. Kejadian ini bukan keinginan-
mu, aku tahu betul. Perkawinan kita akan tetap 
dilaksanakan."
"Syukurlah kalau memang demikian. Tugasku 
selesai, dan kami mohon pamit, Kisanak." kata

Dewi Ratih sambil berlalu dari kamar itu.
"Ah, kenapa buru-buru? Kami bahkan belum 
sempat menjamu kalian. Tinggallah beberapa saat
lagi."
"Terima kasih. Kami bermaksud mencari ke-
dua iblis itu. Selama mereka masih berkeliaran, 
korban semakin bertambah. Lebih cepat dibe-
reskan, keadaan akan semakin membaik."
"Baiklah, kalau niat kalian memang tak bisa 
ditunda lagi, apa boleh buat. Hanya aku tak tahu 
harus dengan cara apa mengucapkan terima kasih 
pada Kisanak berdua yang telah menyelamatkan 
Praba Ningrum."
"Jangan berterima kasih pada kami, tapi berte-
rima kasihlah pada tamu kalian itu...."
"Pada siapa? Apakah maksudnya pada Pende-
kar Pulau Neraka itu?" 
Dewi Ratih mengangguk. 
"Dialah yang pertama kali menemukan Praba 
Ningrum, dan bermaksud menolongnya. Pada 
awalnya kami salah paham menuduhnya hendak 
berbuat tak senonoh dengan Praba Ningrum," jelas 
Dewi Ratih sambil berlalu dari ruangan itu. Walau 
Bupati sendiri berusaha menahan, namun agak-
nya niat mereka sudah tak bisa dicegah lagi.
Setelah keduanya berlalu dari tempat itu, tak 
lama Bayu Hanggara pun menyusul. Baginya ber-
lama-lama di tempat itu amat risih. Perlakuan dan
sikap mereka santun dan penuh tata krama. Beda 
betul dengan jiwa semangatnya yang liar.
*
* *
Durbala berkali-kali memaki Abangnya itu, te-
tapi Manggala hanya diam sambil mendengus si

nis. Namun ketika sekali lagi adiknya itu mengo-
mel tak karuan, barulah membentak marah.
"Diam kau Durbala! Apa kau pikir aku takut 
menghadapinya?" karena keadaanmulah makanya 
aku tak cepat-cepat menggempurnya. Apa kau pi-
kir aku menghindar karena takut? Puiih! Tubuhku 
justru menggigil kehilangan kesempatan yang baik 
itu!"
Durbala tersentak mendengar kata-kata ab-
angnya itu. Dipandanginya wajah itu sekali lagi. 
Hela nafasnya yang sesak perlahan-lahan terasa 
panas.
"Semua salahku juga..." desahnya seperti me-
rasa bersalah. "Kalau saja aku tak menganggap 
remeh, tentu tak akan begini jadinya."
"Diamlah kau, Durbala! Pikirkanlah dulu ke-
sehatanmu. Kalau kau sudah merasa sehat tentu 
kita akan mencari pemuda itu lagi. Dan saat itulah 
dia tak akan bisa lolos dari tanganku," kata Mang-
gala.
"Iya, ya... sebenarnya kalau tak ada tikus-tikus 
busuk itu aku bisa mengalahkan dengan mudah." 
lanjut Durbala penasaran.
Manggala menatap wajah adiknya beberapa 
saat sambil tersenyum sinis.
"Kau bisa mengalahkan dengan mudah?" ta-
nyanya dengan suara sumbang penuh sindiran.
"Jangan gegabah, Durbala. Si Pendekar Pulau 
Neraka itu adalah lawan yang paling tangguh. Il-
mu silat dan kepandaiannya tinggi. Jangankan 
kau seorang, kita berdua pun belum tentu bisa 
mengalahkannya," sambungnya lagi.
"Kenapa mesti mengagungkan lawan. Kakang? 
Ilmu silat dan kepandaian kita belum tentu berada 
di bawahnya. Dalam beberapa bentrokkan tadi, bi-
sa ku rasakan bahwa kita berdua mampu membinasakan pemuda gondrong itu," sahut Durbala 
yakin.
"Apa yang kau rasakan tak selalu sama dengan 
kenyataan. Semua orang mengakui bahwa Pende-
kar Pulau Neraka adalah pendekar paling tangguh 
dan sulit untuk dikalahkan. Itulah sebabnya dia 
merupakan tujuan akhir kita. Kalau dia bisa bina-
sa di tangan kita, maka nama Iblis Pulau Hitam 
akan menjulang seketika."
Manggala tertawa terbahak-bahak di ikuti 
adiknya, Durbala. Dalam bayangannya, impian itu 
tak lama lagi pasti terwujud. Walau belum pasti 
sekali, dia berkeyakinan suatu saat mereka ber-
dua mampu membinasakan pendekar yang bela-
kangan ini namanya menggoncangkan dunia per-
silatan.
Gelak tawa mereka mendadak terhenti ketika 
satu bentakan keras bergema. Keduanya cepat 
bangkit dengan sikap waspada dan memandang ke 
sekeliling.
"Siapa kau? Keluarlah tak perlu bersembunyi. 
Kami sudah mengetahui tempatmu!" balas Mang-
gala.
"Ha ha ha ha...! sungguh hebat penglihatan Ib-
lis Pulau Hitam. Tak heran kalian berani unjuk 
keberanian belakangan ini!" sahut satu suara itu 
lagi di antara sela-sela cabang pohon berdaun 
rimbun.
Dari tempat itu kemudian melesat satu bayan-
gan, dan langsung menjejakkan kakinya persis li-
ma tombak di hadapan mereka berdua. Terlihat 
seorang laki-laki tua bertubuh kecil dengan jang-
gut panjang. Rambutnya telah putih dan dibiarkan 
lepas terurai begitu saja. Dadanya berselempang 
kain seperti layaknya pendeta agama.
"Siapa kau, Kisanak?" tanya Manggala dingin.

"Aku cuma seorang tua renta tak berguna. 
Namaku Ki Misbah, tapi orang-orang biasa menju-
lukiku si Katai Berwajah Boneka."
"Hemm, lama sudah kudengar nama besarmu. 
Tak nyana bayangan ku sama persis dengan ke-
nyataannya. Apa maumu Ki Misbah?"
Orang tua katai bernama Ki Misbah itu terke-
keh. Namun seperti gelarnya, roman wajah orang 
tua itu betul-betul mirip dengan boneka. Walau ia 
tersenyum, bibirnya tetap terkatup rapat. Bahkan 
tak di ketahui pasti apa pun lewat pantulan raut 
wajahnya, karena wajahnya betul-betul kaku tan-
pa ekspresi.
"Banyak kudengar tentang kelakuan buruk ka-
lian berdua belakangan ini. Dan hal itu membuat 
pantat ku gatal. Lalu ketika kalian membantai 
Perguruan Jari Sakti dan mengacau di kediaman 
Bupati, gatal-gatal di seluruh tubuhku seperti tak 
terkendali dan ingin memecahkan batok kepala 
kalian. Biar tak ada lagi rintihan kesakitan, ke-
luarga yang ditinggalkan dan gadis-gadis tak pe-
rawan korban nafsu biadab kalian..." sahut si 
orang tua itu santai.
"Hemm, mau mencoba jadi malaikat penyela-
mat, orang tua? Silahkan. Tapi kau tak akan sem-
pat menyesal bila berhadapan dengan Iblis Pulau 
Hitam, sebab kami tak akan pernah membiarkan 
orang-orang sok jago sepertimu berlalu hidup-
hidup."
"He he he he...! Tong kosong biasanya berbunyi 
nyaring, dan kedua manusia rendah seperti kalian 
cuma sebangsa keledai dungu yang menganggap 
dirinya harimau."
"Orang tua, kami memang harimau!" sahut 
Manggala geram dan langsung melompat ke arah 
Ki Misbah dengan satu serangan kilat mengandung tenaga dalam kuat.
"He he he he...! Kalau keledai tetap saja kele-
dai. Yang dungu tak akan berubah pintar selagi 
dia berlaku sombong terhadap kedunguannya! Be-
gitu juga seperti kalian berdua!"
"Kau boleh berkata apa saja setelah berada di 
akherat sana nanti!" dengus Manggala gusar sete-
lah serangannya dapat dengan mudah dielakkan 
lawan. Tubuhnya kembali berputar dan bersalto 
beberapa kali di udara. 
"Yeaaaaah...!" 
"Plak!" 
"Dess!"
Manggala terkejut setengah mati. Gerakan la-
wan gesit bukan main. Ketika kedua kaki mener-
jang dengan kuat, orang tua itu cuma menangkis 
dengan tangan kiri. Lalu dengan seketika kaki ka-
nannya menendang ke perut lawan. Buru-buru 
Manggala berkelit, tapi tak urung pinggangnya 
terkena juga. 
"Bangsat!"
Ki Misbah terkekeh melihat wajah lawan yang 
gusar penuh kemarahan.
"Kenapa? Apa sekarang kepalamu pun ingin di 
jitak?"
"Jangan merasa bangga dulu, orang tua. Kali 
ini kau tak akan lolos lagi!" dengus Manggala ga-
rang.
Sementara itu Durbala yang melihat dalam se-
gebrakkan saja abangnya dapat dihajar merasa 
perlu untuk turun tangan. Namun secepat kilat 
Manggala menepiskan tangannya.
"Tidak usah, Durbala. Aku sendiri pun masih 
mampu memberi pelajaran pada si cebol ini."
"Tapi, Kang...."
"Tidak perlu kataku!" bentaknya kesal.

Durbala cuma diam menurut saja. Dilihatnya 
Manggala kembali memasang kuda-kuda dengan 
tatapan penuh kebencian ke arah lawan. Dengan 
satu teriakan panjang, tubuhnya kembali melesat 
menyerang Lawan.
"Hiaaaat...!"
*
* *
Dalam segebrakan tadi sebenarnya membuat 
keyakinan di hatinya semakin bertambah. Meski 
lawan berhasil menendang pinggangnya, tapi ten-
dangan itu tak berarti apa-apa dan tak membuat 
luka dalam yang serius. Dari situ ia dapat me-
nyimpulkan bahwa tenaga dalam orang tua bertu-
buh katai itu tak terlalu hebat dan masih berada 
di bawahnya. Namun dari ilmu peringan tubuh, 
lawan boleh diberi acungan jempol. Dia mampu 
bergerak cepat dan menghindari serangan lawan 
boleh dengan gerakan yang tak duga. Juga pada 
saat kedua tangan atau kaki mereka berbenturan, 
anggota tubuhnya lemas seperti tak bertenaga, 
hingga Manggala merasa seperti menghantam 
angin saja.
"Hi hi hi hi....! keluarkanlah seluruh kepan-
daian yang kau miliki. Ingin kulihat. sampai se-
jauh mana kesaktian yang kalian pelajari dari to-
koh yang mendekam di Pulau Hitam itu." kata Ki 
Misbah sambil menghindari serangan lawan den-
gan gerakan ringan.
Tubuhnya berputar ke atas, lalu dengan tiba-
tiba menukik seperti elang menyambar anak 
ayam. Dan ketika Manggala menyongsongnya den-
gan satu tinju mautnya ke arah batok kepalanya,
dengan enaknya Ki Misbah menangkis. Dan ber

tumpu pada itu, tubuhnya berkelebat pada bagian 
lawan sambil menyarangkan sebuah tinju. 
"Wuk! 
Bet!" 
"Uts..." 
"Wussss...!"
"He he he he...! Ayo, kerahkan seluruh tenaga 
yang kau miliki, dan pilihlah bagian terempuk dari 
tubuhku!" ejek Ki Misbah.
Bukan main gusar Manggala mendengar eje-
kan orang tua itu, ketika serangan orang tua Katai 
itu berhasil dihindarinya, tangan kirinya segera 
mengebut ke arah kepala lawan dibarengi tenaga 
dalam kuat. Dalam perkiraannya orang tua itu 
pasti akan terpelanting. Dan walaupun tidak te-
was, pasti akan terluka parah. Tapi siapa sangka 
ia cuma menghajar angin.
Lain halnya dengan Ki Misbah. Ia segera men-
jatuhkan dirinya ke bawah dan seraya bergulingan 
tubuhnya terus melentik ke atas dan bergerak 
menjauh dengan bersalto menghindari serangan 
Manggala yang berikutnya.
"Huh, kau membuat aku marah, cebol! Hari ini 
kau tak akan lepas dari pedangku!" dengus Mang-
gala sambil mencabut pedangnya yang memiliki 
mala bergerigi.
"He he he he...! Apakah dengan senjata pemo-
tong rumput itu kau hendak membinasakan aku?" 
"Benar. Kaulah rumputnya dan aku akan 
menghirup darahmu!" bentak Manggala sambil te-
rus menyerang lawan.
"Heaaaaat…
"Klap! klap!"
Dengan adanya pedang di tangan. gerakan 
Manggala menyerang lawan semakin leluasa. Ter-
lihat perlahan-lahan Ki Misbah agak kerepotan
menghindari sambaran ujung pedang lawan. Sam-
pai pada satu kesempatan.
“Ciaaaat…!”
"Buk! Cresss!"
*
* *
LIMA


Ki Misbah terkejut. Saat tinjunya berhasil den-
gan telak menghantam dada lawan, tapi saat itu 
pula ujung pedang Manggala berhasil merobek se-
dikit pundak kirinya. Darah mengucur deras. Ki 
Misbah meringis menahan nyeri.
Manggala pun merasakan hal yang sama. Tinju 
lawan yang bersarang di dadanya seperti hendak 
meremukkan tulang-tulang rusuknya. Tubuhnya 
terjajar beberapa langkah, namun ia masih sempat 
kembali menyerang dengan pedang berkelebat di 
tangannya.
"Sekarang mampuslah kau, cebol!"
"Wuuk! Trang!"
"Yeaaaa...!"
Tubuh Manggala berputar-putar ke atas. Seca-
ra tak disangka-sangka Ki Misbah mengeluarkan 
senjatanya dari balik bajunya, berupa keris berle-
kuk, dan langsung menangkis serangan Manggala. 
Kedua senjata itu beradu. Namun seperti saat me-
reka berbenturan tangan, senjata di tangan Ki 
Misbah itu pun seperti lemas tak bertenaga, tapi 
dengan tiba-tiba melejit ke atas dan memapas le-
hernya. Karuan saja Manggala tersentak dan ce-
pat-cepat membuang tubuhnya ke belakang. Na-
mun ujung keris Ki Misbah terus mengejarnya. 
Pada saat menjejakkan kaki kedua kalinya, tubuhnya melenting menjauhi lawan. 
"Ciaaaat...!"
Tubuh Manggala dengan cepat kembali menye-
rang. Namun Ki Misbah sudah menduga hal itu. 
Buru-buru ia membungkuk dan kaki kanannya 
menendang dengan gaya berputar. Sedangkan ka-
ki kirinya menyentuh bumi hingga tubuhnya te-
rangkat ke atas ketika lawan hendak menyapu tu-
buhnya dari bawah dengan satu tendangan keras.
"Tring! Kleps!"
"Cress!"
"Uughk...!"
Manggala mengeluh kesakitan. Tak menduga 
kecepatan gerak Ki Misbah sungguh luar biasa. 
Begitu senjata mereka beradu kembali keris Ki 
Misbah kembali melejit langsung menebas ke arah 
leher. Untung Manggala sempat berkelit, meski 
ujung keris itu sempat menyambar pangkal leher 
dan menggores sedikit luka.
"Mampuslah kalian jahanam!" Ki Misbah sam-
bil kembali mengirim serangan susulan.
"Yeaaaaa...!"
"Trang! Tring!"
Ki Misbah terpaksa menarik serangan ketika 
dari arah belakang terdengar sebuah teriakan. 
Durbala mencelat dengan satu serangan kilat ke
arahnya.
"Bajingan busuk! Mau membokong, heh?"
"Huh, apa perduliku dengan membokongmu? 
Yang jelas saat ini kau harus mampus!" geram 
Durbala sengit sambil mengayunkan pedang di 
tangannya.
Mau tak mau Ki Misbah harus melayaninya. 
Tapi kepandaian Durbala tak boleh dianggap re-
meh. Pada dasarnya kepandaian Manggala dan 
Durbala tak beda jauh. Maka tak heran bila Ki

Misbah harus lebih berhati-hati lagi.
Sementara itu melihat Durbala menyerang la-
wannya. Manggala seperti mendiamkannya saja. 
Dia bahkan ikut menyerang. Dan menghadapi dua 
orang lawan berilmu tinggi seperti mereka, perla-
han-lahan terlihat Ki Misbah mulai terdesak.
"He he he he...! Sungguh hebat ilmu kalian. 
Tapi jangan berbangga hati dulu bisa mengalah-
kanku," kata Ki Misbah berusaha memanas-
manasi mereka.
"Tertawalah sepuasmu sebelum kami kirim ke 
akherat untuk berjumpa dengan moyangmu!" sa-
hut Manggala mendengus sinis.
"Kali ini kau tak akan punya kesempatan un-
tuk unjuk gigi lagi, cebol busuk!" timpal Durbala. 
Dan si tinggi besar berwajah hitam itu ingin mem-
buktikan ucapannya dengan menggempur lawan 
lebih gencar. Pedang di tangannya seperti bersua-
ra menimbulkan bunyi yang mengilukan ulu hati 
menyambar-nyambar mengikuti ke mana saja
orang tua itu bergerak. Sesekali Ki Misbah beru-
saha menangkis, namun Manggala pun berbuat 
hal serupa dengan adiknya hingga menyulitkan 
gerak si orang tua itu. 
"Ciaaaaaat...!"
Manggala berteriak nyaring dengan ujung pe-
dang menyambar ke arah Ki Misbah. Tubuh Ki
Misbah berputar-putar di udara, tapi saat itu Dur-
bala melompat mengejarnya sambil menghu-
nuskan pedang.
"Tring! Wuk!"
"Bret"!"
"Terima kematianmu, cebol!" teriak Manggala 
kembali ketika melihat ujung pedang adiknya ber-
hasil mengenai perut lawan.
Tubuh Ki Misbah terhuyung-huyung beberapa

tindak sebelum menyentuh tanah. Dengan sisa te-
naganya dia berusaha menangkis.
"Traaaang!"
"Craaaass!".
"Aaaaakhg...!"
Orang tua itu menjerit kecil saat ujung pedang 
Manggala nyaris membuat paha kanannya bun-
tung. Tubuhnya ambruk ke tanah dan berguling-
gulingan menghindari serangan lawan.
"Mampuslah kau!" teriak Durbala geram pa-
da saat tubuh Ki Misbah persis terhenti di-
dekatnya. Pedang di tangannya secepat kilat te-
rayun ke bawah. 
"Bless!"
"Wuaaaaaayaa...!"
Ki Misbah menjerit keras saat ujung pedang 
Durbala persis menembus ke jantungnya, dan me-
lesak sedalam tiga jengkal hingga menembus ke
tanah. Kemudian tak terdengar lagi suara di seki-
tar tempat itu. Ki Misbah tewas di tangan Sepa-
sang Iblis Pulau Hitam.
"Apa kataku? Kita tak boleh gegabah mengha-
dapi musuh berilmu tinggi seorang diri!" kata 
Durbala dengan wajah puas sambil melirik ke arah 
Manggala.
Dicabutnya pedang di tubuh Ki Misbah dan 
memasukkannya kembali ke sarungnya setelah 
dibersihkan.
"Guru pun telah berpesan begitu, bukan? Ka-
lau kita bertempur sendiri-sendiri seperti orang 
pincang."
"Sudahlah, jangan banyak omong. Kau pun 
pernah melakukan kesalahan juga ketika di tem-
pat kediaman Bupati itu," sahut Manggala.
"Tapi aku merasa mampu mengatasi mereka!"
"Sampai si Pendekar Pulau Neraka datang dan

kau kewalahan."
"Ah, kalau saja tak ada pengacau-pengacau 
keparat itu sudah kupenggal kepala si jahanam 
itu!" sahut Durbala geram.
"Nah, kau mulai menganggap enteng lagi. Ha-
rus berapa kali kukatakan...? Pendekar Pulau Ne-
raka itu tidak bisa dianggap enteng. Dan jangan 
sekali-kali menganggapnya ringan. Dia lah musuh 
utama yang harus dibinasakan!"
"Tapi menghadapi kita berdua, dia bisa ber-
buat apa? Bukan begitu, Kakang Manggala?"
"He he he he...! Ya, ya... sejauh ini tak seorang 
pun yang tahan menghadapi gempuran kita ber-
dua."
"Tunggu apalagi? Mari kita cari si keparat itu?"
"Tunggu dulu, Durbala! Kesehatanmu masih 
belum pulih benar."
"Aku sudah merasa sehat. Ayolah, sebelum dia 
melarikan diri dari kita!"
"Kalau memang begitu, mari!"
Keduanya baru akan beranjak ketika dua 
bayangan dengan tiba-tiba melesat ke hadapan
mereka pada jarak sepuluh tombak.
"Iblis Pulau Hitam! Hemm, bangsat-bangsat 
keparat! Mau kemana kalian mencari korban hari 
ini?" bentak suatu suara dengan lantang.
*
* *
Kedua orang bertubuh tinggi besar itu tertegun 
beberapa saat kemudian. Namun begitu melihat 
siapa yang muncul tak lain dari seorang laki-laki 
muda bertubuh kekar dengan seorang gadis ber-
wajah cantik, mereka tertawa terbahak-bahak.
"Ha ha ha ha...! Sungguh beruntung kita hari

ini. Susah-susah mencari mangsa ternyata malah
datang sendiri!" kata Manggala. "Durbala, kau 
uruslah bocah berwajah tak sedap itu, aku akan 
mengurus si manis ini."
"Jangan khawatir, Kakang! Dalam sekejap dia 
akan kubereskan!" sahut Durbala cepat. Kemu-
dian dengan langkah lebar dihampirinya dua 
orang itu. Dengan wajah geram ditundingnya pe-
muda itu.
"Bocah pentil, pergilah kau dari hadapanku se-
cepatnya dan jangan kembali lagi. Tapi lepaskan 
kekasihmu ini agar kami bisa mengampuni nya-
wamu!"
Mendengar bentakan itu si pemuda yang tak 
lain dari Mahendra, kakak si gadis berbaju hijau, 
Dewi Ratih itu malah tersenyum kecil. Sepasang 
matanya menatap Durbala dengan sikap menan-
tang.
"Iblis keparat! Jauh-jauh kami datang mencari 
kalian untuk mengorek jantungmu! Harap kau sa-
dari itu. Jika pun saat ini kalian menyembah
sambil memohon ampun, tak nantinya aku kan 
memaafkan dosamu yang telah lewat takaran itu."
"Apa?" Durbala tersentak dengan wajah geram. 
Kedua bola matanya melotot garang. Dengan satu 
hentakan keras tangan kanannya meninju Ma-
hendra. Sekali pukul tentu bocah ini agak terpen-
tal belasan tombak, pikirnya.
Tapi tak percuma Mahendra berguru pada to-
koh sakti jika menghadapi serangan enteng begitu 
saja ia tak mampu menghindar. Sambil memiring-
kan tubuh ke kanan, tinju lawan lewat beberapa 
senti di samping kepalanya. Dengan cepat kaki ki-
rinya menendang dada kanan lawan. 
"Wuuk!"
Durbala mundur ke belakang sedikit. Lalu

sambil berbalik, kaki kanannya menyapu pinggang 
lawan. Mahendra cukup menundukkan tubuh, 
kemudian tinju kanannya menghantam selang-
kangan lawan.
"Bet! Bet!"
"Kurang ajar! Betul-betul tak bisa dikasih hati 
rupanya!" bentak Durbala dengan amarah meluap 
ketika dirinya baru saja terkena serangan lawan.
"Siapa yang butuh hatimu? Kami cuma butuh 
jantung kalian!" 
"Heaaaat...!"
Dengan satu teriakan keras Mahendra me-
nyambut serangan lawan dengan tenaga dalam 
penuh. Duel sengit tak dapat dihindari lagi. Dalam 
beberapa gebrakan saja Durbala segera mengeta-
hui bahwa lawan berilmu cukup. Itulah sebabnya 
dia tak berani gegabah dan mengeluarkan segenap 
kemampuannya.
Mahendra sendiri mulai merasakan bahwa te-
naga dalam lawan ada setingkat di atasnya. Angin 
serangannya saja mampu membuat tubuhnya ber-
getar. Belum lagi gerakan lawan yang gesit seperti 
kijang berlari. Kalau saja dia tak memiliki ilmu pe-
ringan tubuh tinggi pasti dalam beberapa gebra-
kan saja pukulan lawan telah menewaskannya.
Sementara itu Manggala telah menghampiri 
Dewi Ratih. Dengan wajah yang dibuat semanis 
mungkin, dia mulai merayu si gadis.
"Ha ha ha ha...! Tak sangka wajahku demikian 
tampan sehingga gadis secantikmu tergila-gila pa-
daku. Kemarilah manis, bukankah kau datang 
jauh-jauh hanya untuk mencariku? Ayo, kesinilah 
cepat...."
"Cuiih! Jauh-jauh aku datang memang menca-
rimu, tapi bukan tergila-gila dengan wajahmu 
yang seperti pantat kuali itu melainkan ingin men


gorek jantungmu untuk hiasan kamarku!" balas 
Dewi Ratih garang dengan wajah penuh amarah.
"Amboooi! Kau, datang untuk mengorek jan-
tungku? Nah, silahkan kekasihku....," sahut 
Manggala enteng sambil membusung dadanya.
Merasa lawan menganggap remeh dirinya. De-
wi Ratih semakin geram saja. Dengan satu gera-
kan kilat dicabutnya pedang dan langsung menya-
betkan ke dada lawan.
"Zwiiing!" 
"Wut! Wut!"
Tujuh kali sabetan pedang Dewi Ratih yang di-
lakukan dengan cepat semuanya kandas tanpa 
sedikit pun mengenai sasaran. Tubuh Manggala 
yang besar itu enteng saja bergerak ke sana ke 
mari menghindar. Bahkan ketika ia mulai memba-
las, sempat Dewi Ratih kelabakan merasakan an-
gin pukulannya yang besar dan bertenaga kuat. 
Kalau saja ia tak cepat-cepat mengibaskan pe-
dang, bukan tak mungkin serangan lawan berhasil 
menjatuhkahnya.
"Ha ha ha ha...! Kau semakin membuatku ge-
mas saja, manis. Kemarilah cepat sebelum aku 
menggunakan kekerasan terhadapmu,"
"Cuih! Aku akan mendekat setelah kukorek 
jantungmu!" sahut Dewi Ratih.
"Hemm, agaknya kau memang ingin dipaksa. 
Baiklah kalau itu yang kau inginkan!" dengus 
Manggala. Wajahnya berupa kelam dan hawa ke-
marahan mulai terlihat.
Dengan satu lompatan kecil tubuhnya terang-
kat dan melayangkan satu tamparan ke pipi gadis 
itu. Dewi Ratih menyambutnya dengan sabetan 
pedang. Namun dengan cepat Manggala menarik 
tangan dan menendang bahu kanan Dewi Ratih.
"Wuuk!"

Tubuh Dewi Ratih membungkuk menghindari 
tendangan lawan, dan kembali ujung pedangnya 
menyambar. Kali ini perut Manggala nyaris robek 
kalau saja laki-laki berwajah hitam itu tak cepat-
cepat melompat ke atas. Dalam keadaan begitu 
kaki kirinya masih sempat menendang pergelan-
gan tangan kanan Dewi Ratih.
"Bet!"
"Huh, jangan harap bisa menjatuhkan pedang 
dari tanganku! Bila tanganku putus pun, belum 
tentu kau berhasil," ejek Dewi Ratih.
"Siapa yang butuh pedang bututmu itu! Seben-
tar lagi kau akan merasakan bahwa Iblis Pulau Hi-
tam tak bisa dipandang remeh," dengus Manggala.
Kali ini Manggala merapatkan kedua tangan di 
dada, kemudian diturunkan sebatas pinggang. 
Yang sebelah kanan terkepal, sedangkan tangan 
kiri terbuka. Kemudian dia berteriak nyaring.
"Heaaaaat...!"
Dewi Ratih terkejut. Dari telapak kiri lawan 
menderu angin kencang menghantam tubuhnya. 
Gadis itu mencelat ke atas sambil bersalto bebera-
pa kali. Namun saat itu pula tubuh Manggala me-
nyambutnya dengan tinju kanan bersiap meng-
hantam batok kepala. Dewi Ratih yang mengetahui 
hal itu cepat-cepat mengibaskan melindungi ba-
gian kepalanya. Ketika Manggala kembali menarik 
serangan, dan mengayunkan kaki ke arah perut, 
pedangnya masih mampu berkelebat melindungi.
"Yeaaa...!"
"Trang! Tuk!"
Seperti tadi Manggala menarik serangan ka-
kinya, dan dengan kecepatan yang sulit diikuti 
oleh pandangan mata biasa, pedang bergeriginya 
tercabut memapaki serangan lawan. Kemudian 
pada saat yang bersamaan, tangan kirinya bergerak menotok urat leher si gadis. Dewi Ratih men-
geluh pelan sebelum tubuhnya ambruk lemas.
"He he he he...! Apa kataku. Sekarang kau tak 
bisa lagi lepas dari cengkeraman ku!" Manggala 
terkekeh sambil membopong tubuh gadis itu.
"Cuiih! Lepaskan aku keparat! Aku masih 
mampu menebas lehermu!" teriak Dewi Ratih 
sambil memaki-maki.
"Percuma kau berteriak-teriak, manis. Lebih 
baik kau diam. Sebab kalau tidak, aku akan ber-
tindak kasar padamu," sahut Manggala. Namun 
gadis itu terus berteriak-teriak memaki-maki.
Sementara itu terlihat si gadis, Mahendra yang 
sedang bertarung dengan Durbala jadi terganggu 
konsentrasinya.
"Dewi Ratih! Bangsat, lepaskan adikku?!" te-
riaknya sengit lalu melompat hendak menerjang 
Manggala. Namun saat itu pula Durbala yang te-
lah meloloskan pedang bergeriginya langsung me-
nebas kedua kaki lawan.
"Craaaas!"
Mahendra menjerit kesakitan. Tubuhnya am-
bruk sambil berguling-guling. Manggala tak me-
nyia-nyiakan kesempatan itu. Secepat pedangnya 
tercabut, kembali terdengar pekikan Mahendra ke-
tika pedang lawan menghunjam ke jantungnya. 
Tubuh itu meregang sesaat, sebelum akhirnya ter-
kulai lemah. Nyawanya langsung lepas dari raga.
"Kakang Mahendra...!" pekik Dewi Ratih meli-
hat pemandangan yang mengenaskan di depan 
matanya.
"Diamlah. manis. Percayalah, kau tak akan 
mengalami nasib seperti itu kalau menurut pada 
kami. Bahkan kujanjikan sorga kenikmatan yang
belum pernah kau peroleh selama ini," kata Mang-
gala sambil terkekeh-kekeh membawa gadis itu

berlalu masuk ke dalam pinggiran hutan yang tak 
jauh dari tempat itu.
Dari arah belakang Durbala menyusul sambil 
tertawa terkekeh-kekeh. Sementara suara Dewi 
Ratih yang menjerit-jerit dan memaki-maki, perla-
han-lahan hilang seperti ditelan kegelapan malam.
*
* *
ENAM


Dalam waktu singkat saja akibat yang ditim-
bulkan perbuatan sepasang Iblis Pulau Hitam 
mengejutkan kalangan persilatan. Nama Iblis Pu-
lau Hitam dianggap sebagai ancaman yang mem-
buat tokoh-tokoh golongan putih menjadi geram 
dan marah. Dalam waktu seminggu lebih, telah 
banyak tokoh yang tewas di tangan mereka. Begitu 
juga halnya dengan Perguruan-perguruan ilmu si-
lat yang terkenal, ambruk di tangan kedua tokoh 
ini. Telah banyak pula tokoh-tokoh golongan putih 
yang mencoba untuk menghentikan aksi mereka, 
namun semuanya tewas dengan keadaan yang 
mengenaskan.
Salah satu diantaranya tokoh yang gemas 
mendengar sepak terjang Iblis Pulau Hitam adalah 
Suropati. Tokoh ini merupakan ketua dari Pergu-
ruan Silat Elang Emas. Pada masa itu perguruan 
mereka merupakan salah satu Perguruan Silat 
yang disegani. Murid-muridnya terkenal di mana-
mana karena perbuatan mereka yang memusuhi 
golongan hitam, dan tak segan-segan menolong 
kaum yang lemah.
Hari ini Ki Suropati mengumpulkan murid-
murid utamanya di ruang depan yang luas dan lebar. Wajah-wajah mereka tampak geram dan se-
pertinya ingin secepatnya menumpas kedua tokoh 
golongan sesat itu.
"Mereka berilmu tinggi dan sulit diukur ke-
mampuannya. Untuk itu kalian harus hati-hati 
dan jangan gegabah," nasehat Ki Suropati.
"Tapi Guru, walau setinggi apa pun ilmu mere-
ka kami tidak takut, dan tetap seperti rencana 
semula," sahut seorang muridnya.
"Bagus! Dalam membela kebenaran tak perlu 
takut. Walau nyawa sebagai taruhannya. Tapi se-
kali lagi yang perlu kalian ingat, jangan gegabah. 
Dan janganlah keberanian kalian menjadi sia-sia.
Kalau salah seorang diantara kalian merasa 
kewalahan, maka temannya wajib membantu. 
Berkelahi secara kroyokan memang tidak baik, ta-
pi jangan diartikan demikian dalam hal ini. Ang-
gaplah hal itu sebagai suatu gotong-royong. Go-
tong royong memerangi kebatilan itu merupakan 
tindakan yang baik."
"Iya, Guru....!" sahut muridnya hampir bersa-
maan.
Sepasang mata laki-laki berusia sekitar enam 
puluh tahun itu menatap ketujuh murid uta-
manya itu bergantian. Kemudian katanya setelah 
menghela nafas pendek.
"Nah, sekarang. Mari kita sama-sama berang-
kat. Mudah-mudahan Yang Maha Kuasa senantia-
sa melindungi kalian semua..."
"Guru…" panggil seorang muridnya pelan.
"Apakah tidak lebih baik kalau kami saja yang 
mencari mereka? Kalau seandainya guru ikut, 
kami khawatir terjadi hal-hal yang tak diinginkan. 
Perguruan ini tak akan memiliki pengganti..."
Ki Suropati tersenyum. 
"Apa maksudmu, Prahasta...?"

"Maksudku ..... ng..., apakah kami saja tak cu-
kup untuk menghadapi mereka?"
"Apakah kau pernah melihatku berdiam diri 
sementara kebatilan merajalela? Tidak, Prahasta! 
Lebih banyak jumlah orang yang memerangi me-
reka, itu lebih baik. Walaupun aku harus tewas di 
tangan mereka sekali pun, namun kematianku ti-
dak akan sia-sia. Begitu juga halnya dengan ka-
lian."
Prahasta tak berkata-kata apa lagi mendengar 
penjelasan orang tua itu. Setelah tak ada lagi yang 
mereka bicarakan, ketujuh murid Ki Suropati se-
gera berlalu dari ruangan itu. Namun baru saja 
mereka bersiap-siap, tiba-tiba melesat dua buah 
bayangan yang langsung diiringi suara tawa yang 
menggelegar.
"Ha ha ha ha ...! Perguruan picisan inikah yang 
akan menantang Iblis Pulau Hitam?"
Ki Suropati beserta murid-muridnya yang lain 
langsung bersiaga. Pada jarak tujuh tombak di de-
pan mereka berdiri dua sosok tubuh tinggi besar 
serta berkulit hitam bagai jelaga. Mengenakan ba-
ju loreng kuning dan hitam, amat kontras sekali. 
Sepasang mata mereka menatap keadaan sekeli-
lingnya dengan pandangan meremehkan.
"Siapa kalian?" tanya Ki Suropati dengan suara 
datar.
"Bukankah kalian hendak mencari Iblis Pulau 
Hitam? Nah, kamilah orangnya!" sahut salah seo-
rang yang lebih tinggi.
"Hemm, jadi kalian yang bernama Iblis Pulau 
Hitam? Bagus! Tak susah-susah lagi kami mencari 
keparat busuk seperti kalian."
"He he he he...! Tua bangka bau tanah. Kuden-
gar kau berilmu tinggi. Ingin kubuktikan sampai 
di mana kehebatanmu," sahut salah seorang dian

tara Iblis Pulau Hitam yang bernama Manggala.
"Tak usah banyak basa-basi, Kisanak. Dosa 
kalian telah lewat takaran. Aku tak akan pernah 
membiarkan manusia-manusia seperti kalian hi-
dup dengan tenang," sahut Ki Suropati. Orang tua 
itu pun kemudian memberikan isyarat. Dua orang
murid utamanya langsung berkelebat ke arah Iblis 
Pulau Hitam.
"He he he he...! Kau menganggap remeh den-
gan mengirim cecoro-cecoro ini untuk menghadapi 
kami? Majulah kalian semua biar lebih cepat kami 
menebas batang leher kalian!" sahut Durbala yang 
bertubuh lebih pendek dari Manggala. 
"Sriiiing!"
Kedua Iblis Pulau Hitam itu langsung melo-
loskan pedang maut mereka dan menyambut se-
rangan dua murid utama Perguruan Elang Emas 
yang bersenjatakan pedang pendek. 
"Trang!" 
"Wuuut...!" 
"Ughk...!"
Kedua murid utama Ki Suropati itu terhuyung-
huyung sambil meringis ketika pedang di tangan 
mereka terpental dihajar senjata lawan.
"Heaaaat!"
"Trang! Trang!"
Dua orang murid lainnya berusaha membantu 
ketika kedua Iblis Pulau Hitam bermaksud meng-
habisi dua temannya yang pertama. Namun kedu-
anya dibuat terkejut. Dengan sekali hantam, pe-
dang di tangan terpental. Belum lagi sempat men-
guasai diri, Iblis Pulau Hitam telah mengayunkan 
pedang.
"Wuuut!"
"Trak!"
"Huh, kenapa tidak dari tadi saja kau turun

tangan?" dengus Manggala.
Pada saat-saat terakhir dengan tiba-tiba Ki Su-
ropati melesat dan menangkis pedang lawan den-
gan senjatanya berupa pedang pendek berbulu Ra-
jawali. Orang tua itu sempat terkejut merasakan 
tangannya kesemutan. Bukan main hebatnya te-
naga dalam lawan, pikirnya di hati.
"Guru," kami masih mampu menghadapi dua 
iblis ini!" seru salah seorang murid yang belum 
dapat kesempatan sambil menjura hormat.
Ki Suropati menatapnya sekilas, kemudian 
mengalihkan pandangan pada murid-muridnya 
yang lain. Walau menyaksikan sendiri kehebatan
lawan, namun tak seorang pun diantara mereka 
menunjukkan wajah gentar. Malah senjata mereka 
tergenggam erat dengan sikap bersiaga.
"Kalian ingin mencicipi Iblis ini?"
"Betul, Guru!" sahut mereka serempak,
Ki Suropati tersenyum. Kemudian katanya per-
lahan. 
"Setiap peraturan mana pun mengatakan bah-
wa pimpinan berhak mencicipi lebih dulu apa pun 
yang datang padanya. Aku biasanya tidak demi-
kian bila mendapatkan sesuatu yang bagus dan 
berguna. Tapi kali ini, biarlah aku mencobanya le-
bih dulu. Dan kalian belakangan, atau siapa saja 
diantara kalian yang tak ingin mencicipi keheba-
tan kedua iblis ini, boleh angkat kaki dan berlalu 
segera."
Tak ada seorang pun dari muridnya yang buka 
suara. Mereka mengerti apa yang dimaksud orang 
tua itu. Biasanya kalau beliau merasa yakin bah-
wa lawan dapat dikalahkannya. maka murid-
muridnyalah yang akan maju. Tapi bila merasa 
lawan sangat tangguh, maka ia tak mengizinkan 
muridnya maju, melainkan beliau sendiri yang

menghadapi-nya. Demikian juga dalam hal ini. 
Guru mereka menganggap bahwa kedua Iblis Pu-
lau Hitam itu berilmu tinggi. Dan buktinya telah 
mereka lihat.
"Nah, Kisanak berdua silahkan kalau hendak 
bermain-main denganku barang sejenak," ujar Ki 
Suropati pada kedua lawannya setelah menunggu 
tak ada jawaban dari muridnya.
"He he he he...! Kau akan menghadapi kami 
berdua seorang diri? Jangan menyesal, orang tua!
Walau kalian semuanya maju, belum tentu 
unggul menghadapi kami!" ejek Durbala jumawa.
"Kau tak akan menyesal, orang tua!" timpal 
Manggala.
"Untuk menghadapi kalian berdua kurasa tu-
lang tuaku ini sudah cukup. Mengeroyok kalian 
cuma membuat kami malu saja, sebab tenaga mu-
rid-muridku diperuntukkan bagi tugas yang lebih 
besar," jawab Ki Suropati tenang.
Wajah Manggala mendengus sinis mendengar 
ejekan itu, sementara Durbala yang sudah tak sa-
bar langsung mencelat sambil menghunus pedang 
menyerang lawan.
"Orang tua busuk. Kau pikir bisa menganggap 
enteng terhadap Iblis Pulau Hitam? Kau rasakan 
ini!"
"Wuk! Wuk!"
Lima kali sabetan pedang Durbala yang di-
lakukan secara cepat hingga sulit diikuti oleh ma-
ta biasa serta mengandung tenaga dalam kuat,
dengan mudah dielakkan Ki Suropati. Tubuh 
orang tua itu berlekuk-lekuk seperti orang yang 
sedang menari menghindari pedang lawan.
"He he he he...! Ilmu pedang beginikah yang 
kalian andalkan untuk menjagoi dunia persila-
tan?"

*
* *
Semakin gusar saja Durbala mendengar ejekan 
itu. Telapak kirinya mendekap dada dengan posisi 
miring. Tangan yang memegang pedang di tangan-
nya itu berputar-putar seperti baling-baling mem-
bentuk pusaran angin kencang. Dari telapak ki-
rinya pun meleset angin jarak jauh seperti meliuk-
liuk menyambar lawan.
"Kali ini tubuhmu akan ku lumatkan, keparat!" 
maki Durbala geram.
Apa yang diucapkannya tak salah. Dan seperti 
enggan mengulur-ulur waktu serta berlama-lama 
bertarung dengan orang tua itu maka dikelua-
rkannya segenap kepandaiannya. Jadilah perta-
rungan itu sebagai suatu tontonan menarik yang 
membuat decak kagum serta kecemasan murid-
murid Perguruan Elang Emas. Hanya beberapa 
orang murid utama saja yang mampu menyaksi-
kan pertarungan itu karena penglihatan mereka 
sudah terlatih. Sedangkan yang lain hanya dapat 
menyaksikan kelebatan bayangan yang bergulung-
gulung saja.
"Durbala, agaknya kau lamban sekali mengha-
bisi tua bangka ini. Biarlah kubantu," teriak 
Manggala tak sabaran lalu melompat masuk ke 
dalam kancah pertarungan.
Beberapa orang murid Perguruan Elang Emas 
terkejut melihat guru mereka dikeroyok. Pastilah 
Ki Suropati akan terdesak hebat.
"Guru, kami terpaksa membantumu!" teriak 
salah seorang murid utama perguruan itu. Tanpa 
menunggu jawaban gurunya, kelima murid utama 
langsung ikut dalam kancah pertarungan,
Sebenarnya apa yang dirasakan orang tua itu

adalah bahwa ia mampu mengimbangi ilmu silat 
lawan. Bahkan perlahan-lahan mulai menekan se-
telah mengetahui gerak-gerik tipu lawan. Pantas 
saja Manggala cepat-cepat turun tangan untuk 
membantu. Walau pun demikian orang tua itu tak 
merasa gentar. Dalam bayangannya, kalau mereka 
berasal dari satu perguruan yang sama, tentu ilmu 
silatnya tak jauh berbeda. Itulah sebabnya Ki Su-
ropati tak bermaksud melarang murid-muridnya 
ikut membantu.
"Heaaaaa...!" 
"Trak!" 
"Trang!" 
"Crasss!" 
"Wayaaaa...!"
Terdengar pekik kesakitan yang disusul ter-
lemparnya dua murid utama dari arena pertarun-
gan. Perut mereka robek, isinya terburai keluar. 
Begitu menyentuh tanah hanya menggelepar se-
saat, sebelum akhirnya kaku tak bergerak lagi. 
Murid-murid yang lain terpana barang beberapa 
saat sebelum amarah mereka kembali meluap-
luap.
Ki Suropati sendiri menjadi heran. Seharusnya 
Manggala tak bisa melakukan hal itu terhadap 
muridnya sebab ia sendiri sedang mendesaknya. 
Namun secara tak terduga tiba-tiba Durbala men-
gambil alih dan kesempatan sedetik itu digunakan 
lawan untuk menghajar dua muridnya yang terde-
kat.
Keanehan lain yang dilihat Ki Suropati itu ada-
lah bahwa ilmu silat lawan jadi berbeda kali ini. 
Serangan mereka kompak saling susul menyusul, 
kemudian saling jaga menjaga. Bila salah seorang 
menyerang, maka yang lainnya telah siap pada se-
rangan berikut dengan memperkirakan mana la

wan akan bergerak menghindar.
"Celaka!" teriak Ki Suropati setelah merasa 
bahwa serangan kedua lawan memiliki gerak tipu 
yang tiada diduga.
"Mulai takut mampus, orang tua?" ejek Durba-
la.
"Huh, aku lebih suka mampus dari pada hidup 
jadi pengecut!"
"Bagus, kalau demikian. Dekatkan kepalamu 
agar lebih mudah aku memenggalnya."
"Boleh kau ambil kepalaku setelah kutebas du-
lu lehermu!"
"Yeaaa...!"
"Cras! Cras!"
"Aaaaargk...!"
Dua orang murid utama Ki Suropati kembali 
terlempar sambil menjerit kesakitan. Sesaat ke-
mudian keduanya terlihat mengejang. Keadaannya 
hampir sama dengan yang pertama tadi.
"Guru, kami tak bisa mendiamkan hal ini! Ter-
paksa kami juga turun tangan!" teriak murid-
muridnya yang lain.
Lalu seperti dikomando oleh suara itu, sekitar 
tiga puluh murid-murid Perguruan Elang Emas 
langsung mengeroyok Iblis Pulau Hitam. Dalam 
dada mereka penuh dengan gelora dendam dan 
amarah yang meluap-luap. Perguruan Elang Emas 
bukanlah perguruan picisan dan selama ini belum 
pernah mereka tewas dengan mudah serta tentu 
saja hal ini merupakan penghinaan berat. Diang-
gap seperti lalat yang gampang ditepuk kapan sa-
ja. 
"Heaaaat...!" 
"Yeaaah...!" 
"Trang!" 
"Buk! Buk!"

"Sreet!"
Serbuan murid-murid Perguruan Elang Emas 
hebat bukan main. Tapi amukan kedua Iblis Pulau 
Hitam lebih dahsyat lagi. Seperti menebas rumput 
liar, pedang itu berkelebat ke sana ke mari dan 
memakan korban banyak. Sekali pedang itu berge-
rak, tiga atau empat korban akan tewas dengan 
keadaan yang mengerikan.
Dalam tempo singkat, belasan murid Ki Suro-
pati tewas. Tentu saja hal ini membuat Ki Suropati 
menjadi sedih. Walau ia berusaha mendesak ke-
dua lawan, tapi dalam perpaduan serangan, mere-
ka sama sekali tak merasa direpotkan oleh ke-
royokan itu dan masih mampu meladeni serangan 
orang tua itu.
"Berhenti ....!" teriak Ki Suropati dengan suara 
menggelegar.
*
* *
TUJUH


Seketika pertarungan terhenti, begitu terden-
gar teriakan keras Ki Suropati. Semua murid-
murid Ki Suropati cepat-cepat berlompatan mun-
dur. Mereka tampak keheranan, karena baru se-
kali ini Ki Suropati menghentikan pertarungan pa-
da saat mereka bertarung melawan musuh.
"Murid-muridku, dengarlah...!" seru Ki Suropa-
ti lantang. "Biarlah kedua lawan ini bagianku. Ka-
lau aku tewas nanti, keputusan ada di tangan ka-
lian. Kalian berhak untuk menentukan jalan hidup 
kalian sendiri."
"Tidak, Guru. Kami akan tetap menggempur 
kedua keparat ini sampai tetes darah terakhir!"
sahut murid-muridnya.
"Bagus! Tapi selagi aku masih berdiri tegak di 
sini, tak seorang pun boleh membantuku!" kata Ki 
Suropati tegas.
"Tapi, Guru...!"
"Sudahlah.... Kalian tak boleh membantuku 
sampai aku tewas, dan keputusan nanti berada di 
tangan kalian. Jangan ada yang membantah. Ka-
lau ada yang berkeras, maka saat ini juga dia bu-
kan muridku lagi," lanjut Ki Suropati tegas.
Semuanya terlihat menunduk tanpa memberi-
kan jawaban. Tapi Ki Suropati mengerti, bahwa 
mereka menurut akan kata-katanya walau mereka 
berat melaksanakannya. Kemudian dia beralih ke-
pada kedua Iblis Pulau Hitam yang masih terse-
nyum mengejek.
"Nah, Kisanak. Aku siap bertarung dengan ka-
lian kembali...!"
"He he he he...! Kalau kau mau menyembah 
kaki kami dan mengatakan takluk, mungkin nya-
wa kalian bisa kuampuni," ejek Durbala.
"Kisanak, sudah jangan banyak bicara. Kalian 
tahu hal itu tak akan pernah kulakukan. Bersiap-
lah kalian!" sahut Ki Suropati.
Melihat lawan meremehkannya, Durbala lang-
sung menyerang dengan kekuatan penuh. Kali ini 
ia betul-betul mengarahkan segenap kemampuan 
yang dimilikinya.
"Yeaaaah...!"
"Trang!"
"Plak!"
Untuk sesaat kedua Iblis Pulau Hitam tercekat. 
Serangan Ki Suropati cepat bagai kilat serta men-
gandung tenaga dalam kuat. Ketika telapak ki-
rinya bermaksud menghajar kepala Durbala, la-
wan langsung memapakinya. Ia sedikit meringis.

Tangannya terasa kesemutan akibat benturan itu.
Dan pada saat yang bersamaan, pedang di 
tangan Ki Suropati menebas leher Manggala yang 
dengan cepat ditangkis dengan pedangnya sambil 
menundukkan kepala dan balas menendang la-
wan.
"Wuk!"
Tubuh Ki Suropati bersalto ke udara beberapa 
kali. Namun saat itu juga Durbala bergerak me-
nyusul sambil menghunus pedang. Ujung senja-
tanya bergulung-gulung seperti hendak mengiris 
seluruh permukaan tubuh lawan.
"Trang!"
"Wuuuut!"
Ki Suropati masih sempat menangkis serangan 
lawan dengan permainan ilmu pedangnya yang li-
hai. Bahkan pada akhir serangan ia masih sempat 
membalas walaupun luput. Tinju kiri Durbala 
nyaris menghantam dada pada kesempatan perta-
hanannya terbuka. Namun Ki Suropati cepat me-
lindungi diri dengan memapakinya.
"Bughk!"
"Aaaaaargk...!"
Keduanya menjerit kesakitan dengan tubuh 
terlontar pada arah yang berlawanan.
"Yeaaah...!"
"Guru ...!" pekik salah seorang murid sambil 
melompat menyerang lawan ketika melihat Mang-
gala hendak mencuri kesempatan dengan meng-
hunus pedang ke tubuh Ki Suropati.
"Trasss!"
"Trang!"
"Bughk!"
"Aaaaakh...!"
Pemandangan mengerikan terjadi dalam bebe-
rapa detik. Tubuh murid Ki Suropati yang berusaha melindungi gurunya, terbelah dua manakala 
berusaha menahan ayunan pedang lawan. Mata 
pedang bergerigi itu terus menghantam Ki Suropa-
ti setelah membabat pinggang salah seorang mu-
ridnya. Ki Suropati masih sempat menangkis, na-
mun tendangan lawan seperti membuat tulang 
dadanya remuk.
Tak pelak lagi, Ki Suropati terbanting keras ke 
atas tanah seperti seonggok bangkai. Walau demi-
kian nampaknya kegarangan Manggala tak cukup 
sampai di situ saja. Begitu menjejakkan kakinya di 
tanah, dengan kecepatan yang begitu tinggi sekali 
dia kembali melesat untuk menghabisi nyawa Ki 
Suropati.
"Hiyaaaa...!"
Tapi belum juga tindakan Manggala terlaksa-
na, tiba-tiba saja terdengar suara bentakan keras 
menggelegar. Membuat gerakan Manggala jadi ter-
henti seketika.
"Cacing keparat! Aku akan mengadu jiwa den-
ganmu!" teriak tiga orang murid Ki Suropati yang 
langsung menghadang, dengan pedang terhunus 
ke arah Manggala.
"Cacing-cacing busuk, mampuslah kalian!" de-
sis Manggala geram. "Hiyaaa...!"
"Yeaaaah...!"
"Trang!"
"Crass!"
"Breet!"
Manggala benar-benar mengamuk pada tiga 
orang lawannya ini. Pedangnya berkelebatan ce-
pat, membabat ketiga senjata lawan. Dan ketika 
sekali lagi berkelebat dengan kecepatan yang sulit 
diikuti mata biasa. ketiga lawannya menjerit kesa-
kitan sebelum ambruk dengan perut robek dan 
isinya terburai keluar.

"Wuaaaa...!"
Pada saat yang bersamaan terdengar jeritan 
pendek perlahan. Manggala melirik dengan cepat 
ke arah suara itu.
Ketika ia sedang menghadapi ketiga murid Ki 
Suropati, maka kesempatan itu dipergunakan oleh 
Durbala untuk menghabisi jiwa lawan. Ujung pe-
dangnya langsung menghunjam ke jantung Ki Su-
ropati yang telah tak berdaya, dan ketika senja-
tanya tertarik, terdengar tulang rusuk Ki Suropati 
berbunyi saat pedang Durbala dicabut. Durbala 
kembali berkali-kali menghunjam ujung pedang-
nya ke tubuh Ki Suropati dan seperti semula ma-
nakala ujung pedang itu dicabut maka isi perut-
nya seperti ikut keluar.
"Biadab! Iblis keparat!" teriak semua murid Ki 
Suropati dengan amarah yang meluap. Tanpa di-
komando lagi mereka langsung menyerang Durba-
la dan Manggala.
Melihat itu kedua Iblis Pulau Hitam malah ter-
kekeh-kekeh senang. Kemudian dengan menden-
gus sinis dan wajah menyiratkan kegarangan, ke-
duanya langsung mengayunkan pedang. Pekik ke-
sakitan dan jerit kematian langsung terdengar 
yang di susul tumbangnya beberapa korban dalam 
keadaan mengerikan. Dalam waktu singkat tempat 
itu banjir darah dan mayat-mayat bergelimpangan.
"Ha ha ha ha...! Mampuslah mereka yang hen-
dak menentang Iblis Pulau Hitam!" Durbala terba-
hak-bahak setelah menewaskan lawan terakhir-
nya. Tingkahnya itu diikuti oleh Manggala dengan 
suara yang tak kalah kerasnya.
"Siapa pun yang mencoba menentang Iblis Pu-
lau Hitam dia harus mati!" katanya sambil menga-
cungkan pedang berlumuran darah di tangannya.
"Iblis Pulau Hitam, terimalah salam perkenalan

dariku!"
Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring yang
disusul satu bayangan melesat ke arah Manggala. 
Cepat-cepat dia berkelit sambil mengayunkan pe-
dang. Namun bayangan itu bergulung ke atas dan 
langsung menyambar kepalanya.
"Wuuut!"
"Splak!"
Tubuh Manggala terjajar beberapa langkah ke-
tika tangannya berusaha memapaki tamparan la-
wan. Kemudian pada saat itu pula Durbala lang-
sung melesat dengan satu serangan kilat.
"Yeaaat...!"
"Bet!"
"Trang!"
Seperti halnya dengan Manggala, tubuh Dur-
bala terhuyung-huyung beberapa tindak ketika 
pedangnya ditangkis oleh suatu benda yang amat 
keras. Tangannya terasa perih serta kesemutan.
Belum lagi mereka sempat memperbaiki posisi, 
bayangan itu telah kembali melesat menyambar.
"Iblis-iblis jahanam, mampuslah kalian seka-
rang...!"
"Wuut!"
"Wuss!"
Tak percuma kedua orang bertubuh tinggi be-
sar dan berkulit hitam itu punya nama angker ka-
lau saja kepandaian mereka cetek. Sambil bersalto 
ringan, keduanya langsung mengirimkan pukulan 
jarak jauh pada waktu bersamaan. Bayangan itu 
melejit menghindari, namun Manggala menyam-
barnya sambil mengayunkan pedang dengan tena-
ga dalam tinggi.
"Siapa pun yang bermain-main dengan Iblis 
Pulau Hitam, dia harus mampus!!"
"Trang!"

"Wuuut!"
"Yeaaaah...!"
Pedang Manggala kembali membentur benda 
keras seperti tadi. Namun kali ini cuma kesemu-
tan saja dan sempat didengarnya bayangan itu 
mengeluh pendek meski masih sempat menya-
betkan senjatanya ke tubuh lawan. Namun Mang-
gala cepat berkelit. Pada saat itulah terdengar te-
riakan keras dari Durbala yang mengirimkan se-
rangan susulan terhadap lawan.
"Trang!"
"Hiyaaat...!"
Serangan kedua Iblis Pulau Hitam itu kini mu-
lai teratur dan kompak. Bila salah seorang selesai 
menyerang, maka detik itu pula yang seorang lagi 
melancarkan serangan. Dan bila ia berhenti maka 
yang pertama kembali menyerang. Begitu seterus-
nya. Hingga walaupun bayangan itu memiliki ilmu 
peringan tubuh setingkat lebih tinggi dibanding 
mereka, namun perlahan-lahan terlihat ia mulai 
terdesak. Kemudian pada suatu kesempatan,
ujung pedang Durbala nyaris merobek wajah la-
wan.
"Uts!"
"Shaaat...!"
"Crasss!"
Bayangan itu mengeluh kesakitan. Walaupun 
berhasil menghindari sembarangan ujung pedang 
Durbala, namun pada saat yang bersamaan 
Manggala berhasil merobek bahu kanannya. 
Bayangan itu bersalto beberapa kali ke belakang. 
Kemudian pada jarak enam tombak. Tegak berdiri 
memandang tajam. Barulah keduanya dapat saling 
melihat jelas. Bayangan tadi ternyata seorang laki-
laki berusia sekitar tujuh puluh tahun, berpakaian 
serba hitam dan rambut yang sudah berwarna pu

tih. Wajahnya agak bulat dan dahinya licin. Tu-
buhnya pun agak gemuk. Di tangannya tergeng-
gam sebatang tongkat besi sepanjang lebih kurang 
tujuh jengkal dengan hulu berbentuk kepala bu-
rung Rajawali berwarna keemasan.
"Siapa kau?" tanya Manggala be rang.
"Akulah pendiri Perguruan Elang Emas ini. Ka-
lian telah berbuat semuanya dengan menghabisi 
seluruh murid-muridku. Untuk itu kalian harus 
mampus!" sahut si orang tua.
"Hemm, kaukah yang bernama Ki Suganda 
yang terkenal dengan gelar Elang Emas Penyapu 
Jagat?"
"Agaknya pendengaran kalian masih bagus 
dan mata kalian masih jeli. Hanya sayang nurani 
kalian yang telah busuk!"
"Orang tua, aku tak perduli ucapanmu. Kalau 
kau merasa tak senang, kau boleh menuntut ba-
las. Kalau kau mau menyudahi sampai disini, ka-
mi pun akan membiarkan kau berlalu dengan se-
lamat," kata Manggala.
Walau pun baru sekali berhadapan dengan 
orang tua ini, tapi nama Elang Emas Penyapu Ja-
gat telah sering di dengarnya lewat penuturan Gu-
runya. Beliau salah seorang tokoh kosen golongan 
putih yang ilmu silatnya sulit di ukur kemam-
puannya. Kelebihan utamanya adalah ilmu perin-
gan tubuhnya yang telah mencapai tingkat sem-
purna.
"He he he he...! Enak sekali bicaramu, Kisa-
nak. Perguruan Elang Emas, akulah yang mendi-
rikannya. Ki Suropati adalah murid tertua ku, dan 
yang lainnya termasuk cucu muridku. Kalian da-
tang tanpa sebab, dan membasmi mereka tanpa 
alasan. Bagaimana mungkin aku bisa mendiam-
kan hal ini?"

"Jadi kau akan menuntut balas?" tanya Durba-
la dengan senyum mengejek.
"Tidak. Hanya ingin meminta kepala kalian se-
bagai bukti ganti nyawa mereka!" sahut Ki Sugan-
da dingin.
"Keparat...!" geram Durbala langsung memerah 
wajahnya.
Meskipun terdengar tenang, tapi kata-kata 
yang dikeluarkan Ki Suganda membuat telinga 
siapa saja yang mendengarnya bagai ditusuk pi-
sau. Dan ini membuat wajah Durbala jadi meme-
rah.
"Huh, kau kira dengan mengandalkan nama 
besarmu kami jadi takut? Kau pun akan menda-
pat gilirannya nanti," dengus Manggala juga ikut 
geram mendengar kata-kata Ki Suganda tadi.
Merasa bahwa lawan mampu dilukainya, ia 
langsung melompat dengan satu serangan kilat. 
Bersamaan dengan itu Durbala pun ikut menge-
rubutinya dengan pedang siap di tangan.
"Hiyaaa...!"
"Shaaa...!"
"Hup! Yeaaah...!"
Dikerubuti oleh dua orang berilmu tinggi itu, 
Ki Suganda langsung mengerahkan segenap ke-
mampuannya. Tubuhnya bergerak bagai bayangan 
dan sulit dikejar lawan. Walaupun penyerangan 
Manggala dan Durbala sangat kompak, tapi ilmu 
meringankan tubuh yang dimiliki Ki Suganda be-
rada satu tingkat di atas mereka hingga sulit bagi 
kedua Iblis Pulau Hitam itu untuk dapat menja-
tuhkan lawan dalam sekejap.
Bahkan beberapa kali Ki Suganda berhasil 
mendesak mereka dengan jurus-jurus permainan 
pedangnya yang dahsyat, berkelebatan cepat bagai 
kilat, menyambar ke mana saja tubuh lawan ber

gerak. Hingga beberapa jurus berlalu, masih terla-
lu sulit diperkirakan, siapa di antara mereka yang 
keluar sebagai pemenang dalam pertarungan itu.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaaah...!"
Teriakan-teriakan keras menggelegar, terden-
gar begitu dahsyat memecah angkasa. Disertai 
dengan suara denting senjata beradu. Terlihat ki-
latan-kilatan bunga api berpendar setiap kali sen-
jata-senjata mereka beradu. Dan tampaknya per-
tarungan itu masih akan terus berlangsung lebih 
lama lagi. Sebuah pertarungan tingkat tinggi yang 
begitu dahsyat dan menakjubkan. Karena masing-
masing sudah mengeluarkan jurus-jurusnya yang 
dahsyat.
*
* *
Pagi bersinar hangat saat ayunan langkah kaki 
Bayu sampai di pinggiran hutan. Sejak tadi Tiren, 
monyet sahabat kecilnya yang centil terus mence-
recet ribut di pundak Pendekar Pulau Neraka itu. 
Lalu turun dari pundak pemuda berbaju kulit ha-
rimau ini dan berlari-lari kecil sambil memanjat 
pohon-pohon.
"Tiren, kau mau tinggal di situ? Aku akan te-
rus jalan!"
"Nguk...!"
"Kau tidak mau ikut...? Baiklah. Aku akan 
meninggalkanmu disini.
Setelah berkata begitu Bayu bersiap-siap 
menggenjot tubuhnya dan berlari kencang. Dari 
belakang terdengar Tiren menjerit dengan suara 
melengking sambil lari mengejar. Tapi Bayu sea-
kan tak mau menghentikan larinya. Saat melihat
depannya ada sebuah pondok kecil, Bayu bermak-
sud bersembunyi di tempat itu. Namun Bayu ter-
kejut ketika melihat sesosok tubuh seorang gadis 
tergolek di sebuah balai bambu yang sudah reyot 
di sana. Tapi yang lebih mengejutkan lagi, gadis 
itu dalam keadaan bugil. Dan sepertinya dia per-
nah mengenal gadis itu. Cepat-cepat ditutupinya 
tubuh gadis itu dengan pakaian yang menggelatak 
di lantai. Kemudian sambil mengurut-urut perla-
han, gadis mulai sadarkan diri.
"Ohh...!"
Bayu melirik sekilas. Perlahan-lahan kemu-
dian, dia bermaksud meninggalkan gadis itu. Tapi 
entah kenapa, hatinya tiba-tiba ragu. Ada pera-
saan khawatir jika gadis itu mengalami lagi hal-hal 
buruk setelah dipeninggalkannya nanti. Dia kenal 
gadis itu. Kalau ingat sikap dan raut wajahnya 
yang selalu menampakkan rasa ketidaksenangan 
terhadap dirinya, kesal juga hatinya. Dua kali me-
reka bertemu, dua kali pula tak pernah dilihatnya 
gadis itu sedikit memberikan senyum manisnya.
Tapi baru saja Bayu membalikkan tubuhnya, 
tiba-tiba saja dia tersentak kaget, ketika menden-
gar gadis itu menangis terisak. Cepat dibalikkan-
nya tubuhnya, lalu melangkah menghampiri.
"Maaf, aku cuma ingin sekedar membantu. Ku-
lihat kau dalam keadaan tak sadarkan diri. Tak 
ada maksud-maksud buruk di hatiku terhadap-
mu," katanya dengan suara pelan.
Tak terlihat reaksi gadis itu. Tangisnya sema-
kin keras terdengar sambil membenamkan diri di 
balai bambu, Bayu jadi salah tingkah. Melihat se-
suatu yang tak beres di tubuh gadis itu, dia bisa 
memastikan apa yang telah menimpanya.
"Nisanak, kali ini aku tak mau kau menuduh-
ku berbuat yang tidak-tidak padamu. Walau aku

bukan orang baik-baik, tapi aku tak pernah me-
maksakan kehendak pada orang yang tak suka 
padaku," lanjutnya.
Tetap saja gadis itu diam dan terus menangis 
terisak. Bayu menunggu beberapa saat lamanya, 
kemudian perlahan-lahan meninggalkan tempat 
itu. Tapi baru saja dia sampai di depan pintu, tiba-
tiba saja sebuah bayangan hitam kecil menyambar 
cepat bagai kilat.
"Utfs...!"
"Cieeeeeet...!"
Cepat-cepat Bayu menangkap, begitu menden-
gar suara jeritan yang sudah akrab di telinganya. 
Sebentar dia menarik napas panjang, lalu mena-
ruh Tiren dipundak kanannya. Sahabat kecilnya 
itu berteriak-teriak marah. Bayu terkekeh kecil.
"Salahmu sendiri, kenapa aku ajak tadi, kau 
malah bermain-main di pohon!"
"Cieeeet! Cieeeeet!" Tiren menggerutu kesal. 
Wajahnya terlihat lucu dengan kerut merut begitu.
"Sudahlah, mari kita lanjutkan perjalanan. 
Siapa tahu tiba-tiba buruan kita muncul."
Tapi baru beberapa langkah, gadis yang berada 
digubuk tadi keluar dan memanggilnya dengan 
suara lirih. Bayu berbalik dan tertegun sesaat. 
Walau dalam keadaan lusuh sekali pun, namun 
wajahnya tetap cantik mempesona.
"Kisanak, terima kasih atas pertolonganmu..."
"Ah, sudahlah. Aku cuma kebetulan lewat saja. 
Eh, kemana kekasihmu itu?"
Perlahan gadis itu menundukkan wajahnya, 
kemudian membuang pandangan jauh ke arah 
lain. Terdengar suaranya yang lirih mengandung 
kepedihan.
"Dia sudah tewas di tangan Iblis Pulau Hitam."
"Oh...?!" desis Bayu terkejut. "Betul-betul ke

parat mereka!" geramnya tak sadar.
Sedangkan gadis cantik itu hanya diam saja. 
Pandangannya masih tertuju ke arah lain. Seakan 
dia tidak sanggup lagi menentang sorot mata pe-
muda tampan berbaju kulit harimau itu.
"Mereka tak akan ku maafkan lagi. Kali ini ka-
lian harus mampus di tanganku. Telah banyak 
korban berjatuhan di tangannya." sambung Bayu
mendesis geram.
"Kisanak, apakah kau mau memburu kedua 
Iblis itu?!" tanya gadis cantik itu agak ragu-ragu 
terdengar nada suaranya.
"Benar!" sahut Bayu mantap.
"Kau tidak keberatan kalau aku ikut dengan-
mu, Kisanak? Mereka punya hutang nyawa pada-
ku...."
"Aku rasa, sebaiknya kau pulihkan keseha-
tanmu dulu? Aku lihat kau masih sangat lemah."
"Tidak. Aku kuat. Aku masih sanggup me-
menggal kepala mereka!" sentak gadis itu tegas.
Bayu jadi tertegun memandangi gadis cantik 
ini. Setelah berpikir sesaat, Pendekar Pulau Nera-
ka itu menganggukkan kepala menyetujui. Dalam 
hatinya mengatakan percuma saja menghalang-
halangi keinginan gadis ini. Dan entah kenapa, ti-
ba-tiba hatinya merasa cemas jika kejadian buruk 
menimpa gadis ini. Lebih-lebih dalam keadaan tu-
buhnya yang lemah, dengan mudah orang-orang
yang iseng akan memperdayainya. 
"Tiren, kau mau carikan kami buah-buahan 
segar?" pinta Bayu. 
"Nguk...!"
Tanpa diminta dua kali monyet kecil berbulu 
hitam itu langsung melompat dari pundak Bayu ke 
atas cabang pohon. Dalam waktu singkat saja dia 
sudah menghilang dari pandangan.

"Cerdik sekali dia...," puji gadis itu.
"Ya, memang dia sangat cerdik," sambut Bayu
tersenyum bangga. "Ng... Nisanak...."
"Bukankah kau telah tahu namaku? Jangan 
panggil aku dengan sebutan lagi." selak gadis itu 
cepat.
"Baiklah, eh... Dewi Ratih...," entah kenapa, 
Bayu jadi tergagap.
"Ratih saja juga boleh," kata gadis cantik yang 
memang bernama Dewi Ratih itu tersenyum.
"Ya, ya.... Ratih. Nama yang bagus," gumam 
Bayu memuji. "Tapi aku minta kau juga jangan 
memanggilku Kisanak. Bukankah kau juga sudah 
tahu namaku.
Gadis itu menoleh sekilas, kemudian terse-
nyum kecil.
"Mulanya aku menganggap kau sama saja 
dengan kami, murid-murid yang baru turun gu-
nung menjalankan amanat dari Guru. Sudah pasti 
belum mampu menunjukkan kehebatan dan kete-
naran namanya. Tapi ternyata dugaanku salah. 
Sepanjang perjalanan menuju tempat kediaman 
Bupati, namamu amat dikenal. Siapa sangka aku 
akan berhadapan dengan Bayu Hanggara, si Pen-
dekar Pulau Neraka yang belakangan ini namanya 
sempat menggetarkan rimba persilatan."
"Kau terlalu memujiku, Ratih. Kepandaianku 
tak seberapa, sebab di atas langit masih ada lan-
git."
Dewi Ratih cuma tersenyum kecil. kemudian 
kembali terdiam. 
"Cieeeeet...!"
"Ah, Tiren sudah kembali! Nah, lihat dia bawa 
buah-buahan segar."
Apa yang dikatakan Bayu memang benar. Ti-
ren kembali dari cabang pohon dan turun bersama

buah-buahan segar dan ranum. Untuk sesaat me-
reka beristirahat sambil menikmati buah-buahan 
itu. Namun pendengaran Bayu yang tajam mera-
sakan kehadiran seseorang di tempat itu. Sambil
memakan buah, dia menggumam pelan, sambil 
mengerahkan tenaga dalamnya yang sudah men-
capai tingkatan sempurna.
"Kisanak yang berada di atas pohon, turunlah! 
Kalau kau hendak bergabung, aku tak akan pelit 
untuk memberimu sebuah!"
Dewi Ratih mencari-cari ke sekeliling tempat 
itu dengan sepasang mata indahnya. Demikian ju-
ga dengan Tiren. Tak berapa lama kemudian, ter-
dengar suara tawa cekikikan panjang yang disusul 
sebuah bayangan melesat cepat ke arah mereka.
Tahu-tahu seorang perempuan tua sudah ber-
diri di dekat mereka. Wajahnya penuh keriput me-
nyeramkan dengan pipi yang sudah kempot. Ram-
butnya yang sebagian telah memutih digulung 
dengan tusuk konde berbentuk naga sebanyak tu-
juh tusuk. Sementara di tangan kanannya terlihat 
sebuah tongkat sepanjang satu tombak berwarna 
hitam dan berbulu kepala naga.
*
* *
DELAPAN


"Hi hi hi hi...! Dua pasang muda mudi enak-
enakan berpacaran setelah menyebarkan malape-
taka. Kalian tak akan lepas dari tongkat maut Nini 
Surti," terasa begitu kering sekali suara perem-
puan tua yang langsung mengenalkan dirinya ber-
nama Nyai Surti itu.
"Nyai Surti...?!" gumam Bayu agak mendesis.

"Hemm, pernah kudengar nama itu. Apakah kau 
yang punya gelar Bianglala Naga Pertala?"
Bayu bangkit berdiri perlahan-lahan. Dan 
langsung berhadapan dengan perempuan tua yang 
mengaku bernama Nyai Surti itu. Sejenak Pende-
kar Pulau Neraka itu mengamatinya dari ujung 
kepala hingga ke ujung kaki. Sedangkan yang di-
pandangi malah tersenyum. Tapi sorot mata nenek 
itu mengandung kebencian yang dalam.
"Hi hi hi hi...! Agaknya matamu belum lamur, 
Bocah. Nah, bersiaplah menerima kematianmu!" 
dengus Nyai Surti, langsung mengacungkan tong-
kat.
"Eeee...! Tunggu dulu, Nini Surti. Aku tak ke-
beratan menerima kematian di tanganmu, tapi je-
laskan dulu apa persoalannya? Setahuku di anta-
ra kita tak ada saling permusuhan."
"Sialan! Sekarang kau pura-pura pikun, heh? 
Bukankah kau yang menghancurkan seluruh 
anak murid Perguruan Jari Sakti? Nah, Si Panji 
Narada yang menjadi ketuanya itu adalah menan-
tuku. Apa lagi alasanmu, Bocah?"
"Nini, aku tak tahu apa maksudmu. Bukankah 
sepengetahuanku yang membantai seluruh murid 
Perguruan Jari Sakti adalah Iblis Pulau Hitam? 
Kenapa tiba-tiba kau menuduhku begitu?"
"Heh, bukankah kalian dari sepasang Iblis Pu-
lau Hitam itu?"
"Nini, namaku Bayu Hanggara, tapi orang-
orang selalu memanggilku Pendekar Pulau Neraka. 
Sedangkan gadis ini adalah temanku," Bayu men-
coba menjelaskan.
Tapi tampaknya Nyai Surti belum bisa mem-
percayai penjelasan Pendekar Pulau Neraka itu. 
Dengan sorot mata yang tajam, dia mengamati 
pemuda tampan berbaju kulit harimau ini dalam

dalam. Kemudian beralih pada Dewi Ratih yang 
sudah berdiri di samping Bayu sejak tadi. Gadis 
itu hanya diam saja, meskipun dipandangi dengan 
sorot mata yang begitu tajam penuh selidik.
"Ah, benarkah kalian bukan Iblis Pulau Hi-
tam...?" desah Nyai Surti, seperti bertanya pada 
dirinya sendiri.
"Nini, aku berkata apa adanya. Bahkan kami
pun sedang mencari mereka untuk menuntut ba-
las," kata Bayu terus mencoba meyakinkan, kalau 
tuduhan perempuan tua ini tidak benar.
"Tapi orang-orang yang melihatnya, mengata-
kan mereka menuju ke arah sini..." lagi-lagi nada 
suara Nyai Surati terdengar seperti bicara pada di-
rinya sendiri.
Sedangkan Bayu jadi terdiam. Dewi Ratih juga 
tidak mengeluarkan suara sedikitpun juga. Tam-
pak jelas kening Pendekar Pulau Neraka itu berke-
rut. Tapi entah apa yang ada di dalam kepala pe-
muda tampan itu sekarang ini. Hanya dia sendiri 
yang tahu. Sedangkan Nyai Surti tampak kebin-
gungan. Jelas sekali kalau dia jadi bimbang men-
dengar penjelasan Bayu tadi. Dia tidak tahu, apa-
kah tuduhannya tadi benar atau salah. Tapi dia 
juga belum mau percaya begitu saja, walau-pun 
pengetahuannya tentang orang-orang yang sedang 
dicarinya sangat sedikit sekali. Sementara Bayu 
sendiri terus berpikir dengan kening berkerut cu-
kup dalam. Kemudian katanya seperti pada di-
rinya sendiri.
"Mereka sering memusuhi perguruan-
perguruan silat terkenal, dan menghancurkannya. 
Tujuannya jelas, ingin mendapatkan nama tenar. 
Kudengar tempo hari di sebelah selatan tempat ini 
ada sebuah perguruan silat yang belakangan na-
manya amat terkenal yaitu Perguruan Mata Elang

Emas. Apakah tidak mungkin keduanya menya-
troni perguruan itu?"
"Ah, betul katamu, Bocah." selak Nyai Surti
cepat. "Kalau demikian aku akan kesana lebih du-
lu."
Seketika itu juga, dia melesat cepat, bagai kilat 
meninggalkan tempat itu. Begitu cepat dan ting-
ginya ilmu meringankan tubuh yang dimiliki pe-
rempuan tua itu, sehingga dalam sekejapan mata 
saja sudah lenyap tak terlihat lagi bayangannya.
"Bayu, kita pun harus segera kesana!" kata 
Dewi Ratih bangkit berdiri dengan wajah berse-
mangat.
"Benar, Ratih. Ayolah...," sahut Bayu langsung 
menyetujui.
*
* *
Dengan mempergunakan ilmu meringankan 
tubuh, keduanya bisa tiba di tempat itu dengan 
waktu singkat. Apa yang diperkirakan Bayu ter-
nyata benar terbukti. Murid-murid perguruan itu 
semua tewas dengan cara yang mengerikan. Se-
mentara di satu sudut terlihat dua orang bertubuh 
besar dengan kulit hitam sedang mengerubuti la-
ki-laki tua yang menggunakan pedang pendek. Ni-
ni Surti yang baru saja datang, langsung terjun 
dalam kancah pertarungan.
Si Kakek yang sedang dikerubuti dua lawan-
nya tak lain adalah Ki Suganda, yang lebih dikenal 
dengan julukan Elang Emas Penyapu Jagat, lang-
sung berseru girang melihat kehadiran Nyai Surti.
"Nyai Surti..., bagus kau cepat datang. Kuden-
gar merekalah yang menghancurkan perguruan 
menantumu itu!"

"Hemm..., jadi inikah cecurut yang menama-
kan dirinya Iblis Pulau Hitam?" desis Nyai Surti, 
tidak dapat lagi menahan kegeramannya.
"Betul. Kini mereka telah menghancurkan pula 
murid-muridku. Mau tak mau aku harus mengadu 
jiwa. Harga kepala mereka berduapun rasanya be-
lum setimpal dengan perbuatan biadabnya ini."
Mengetahui bahwa kedua orang bertubuh ting-
gi besar itu adalah musuh yang dicari-carinya, Ni-
ni Surti langsung mengerahkan seluruh kepan-
daian yang dimilikinya untuk menghabisi lawan 
secepatnya. Tongkat di tangannya berputar-putar 
menimbulkan suara menderu dan angin kencang 
menghantam lawan. Kedua Iblis Pulau Hitam yang 
sejak tadi mendesak Ki Suganda, terpaksa mem-
bagi perhatian terhadap lawan barunya.
Sebenarnya Ki Suganda tak begitu suka diban-
tu bila sedang berhadapan dengan lawan. Namun 
kali ini keadaannya sudah terdesak sekali. Bebe-
rapa kali tubuhnya kena dilukai lawan, hanya ka-
rena ilmu peringan tubuhnya yang sempurna me-
nyelamatkan selembar nyawanya. Tapi itupun 
hanya soal waktu. Kalau saja pada saat itu Nini 
Surti tak cepat datang, mungkin sebentar lagi Ki 
Suganda akan betul-betul terdesak. Bisa jadi ji-
wanya hanya sampai di situ sebelum dendamnya 
terbalas. Itulah sebabnya ia tak keberatan Nini 
Surti ikut membantu. Kebetulan ada alasan yang 
tepat bagi perempuan tua itu untuk menempur 
kedua iblis itu.
"Bayu, aku tak mau tinggal diam disini saja!" 
kata Dewi Ratih ketika mereka mendekat.
"Kedua Iblis itu telah merusak kehormatanku 
berkali-kali. Mereka harus membayarnya dengan 
nyawa mereka sendiri," lanjutnya.
Tanpa meminta persetujuan Bayu, Dewi Ratih

langsung menerjang lawan dengan garang.
"Iblis-iblis keparat! Kali ini kalian tak akan le-
pas dari kejaranku!"
"He he he he...! Nona manis, agaknya kau pun 
berada di sini? Apakah kau tergila-gila pada kami 
sampai kau menyusul ke sini?" sahut salah seo-
rang di antara mereka, Durbala.
"Cuiih! Melihat tampangmu saja muak rasanya 
perutku. Kalau belum mengorek jantungmu, hi-
dupku belum puas rasanya!"
"Ciaaaat...!" 
"Trang!" 
"Trak! Trak!" 
"Ughk..!"
Dewi Ratih mengeluh kesakitan ketika pe-
dangnya ditangkis senjata Durbala. Masih untung 
dia dapat melompat ke belakang ketika ujung pe-
dang Manggala menyambar pinggangnya.
Sementara pada saat yang bersamaan. Durba-
la menangkis serangan pedang Ki Suganda dan di-
lanjutkan dengan pedang bergerigi Manggala yang 
menyampok tongkat Nini Surti. Kedua orang tua 
itu betul-betul merasa penasaran sekali, sebab ke-
dua Iblis Pulau Hitam sama sekali tak merasa ke-
repotan walau dikeroyok. Kekuatan dan kecepatan
bergerak mereka tetap sama seperti menghadapi 
Ki Suganda tadi. Bahkan dalam satu kesempatan 
berikut, mereka berhasil mendesak kedua lawan-
nya.
"Yeaaaah...!"
"Wut!"
"Trang!"
"Trak!"
Kembali kedua Iblis Pulau Hitam memapas se-
rangan senjata lawan. Kali ini serangan mereka 
bukan main hebatnya karena mengerahkan seluruh tenaga dalam yang dimiliki. Kulit tangan Ki 
Suganda sampai terkelupas, dan tongkat Nini Sur-
ti malah patah dua. Namun begitu perempuan tua 
itu bukannya gentar malah dengan memegang 
masing-masing potongan tongkatnya, kembali ia 
menyerang lawan dengan ganas. 
"Wuut!" "Wuut!" 
"Yeaaaah...!"
Nini Surti mencecar habis-habisan kedua la-
wannya. Pada saat yang bersamaan Dewi Ratih 
kembali menyerang lawan sambil berteriak keras. 
Ujung pedangnya menyambar Durbala yang saat 
itu tengah kerepotan menghadapi dua serangan
lawan sekaligus, yaitu dari Ki Suganda dan Nini 
Surti.
"Ciaaat!" 
"Trang!" 
"Trak!" 
"Crass!"
Kejadian itu begitu cepat terjadi. Dengan kece-
patan yang sukar diikuti mata biasa, ujung pe-
dang Manggala menyobek paha Nini Surti serta 
menangkis pedang di tangan Dewi Ratih hingga 
terpental. Bahkan kalau saja pada saat itu tak ada 
sebuah sinar perak yang melesat cepat dan me-
nangkis pedang lawan, niscaya leher gadis itu 
akan terpisah jadi dua ditebas senjata lawan.
"Pendekar Pulau Neraka!" teriak Manggala ge-
ram. "Kau mau ikut mengeroyok kami? Majulah, 
biar sekalian kami kirim kalian ke akherat!"
"Ha ha ha ha...! Akhirnya tokoh-tokoh kosen 
yang disegani rimba persilatan berkumpul di sini 
untuk menerima kematiannya!" sahut Durbala.
"Bagus! Bagus! Siapa yang lebih dulu ingin 
mampus?"
Bayu Hanggara melihat Dewi Ratih meringis

kesakitan, dengan kulit tangan terkelupas. Semen-
tara Nini Surti sedang menghentikan pendarahan 
di pahanya, dan Ki Suganda terdiam barang seje-
nak memperhatikan mereka. Bayu maju perlahan 
mendekati.
"Kisanak, biarlah aku sendiri yang mewakili 
mereka untuk memenggal kepala kalian!" kata 
Bayu pelan, namun terasa dingin.
"Ha ha ha ha...! Sombong sekali kau, Bocah.
Mereka saja belum tentu mampu mengungguli 
kami. Apalagi kau yang cuma punya nama ko-
song," sahut Manggala memanas-manasi.
"Untuk menghadapi kalian tak perlu kuguna-
kan nama kosong ku," balas Bayu santai. Kemu-
dian ia berpaling kepada orang tua itu.
"Kisanak berdua, kalau tak keberatan biarlah 
ku wakilkan kalian untuk mencopot kepala kedua 
orang iblis ini," lanjutnya.
Ki Suganda dan Nini Surti mengerti. Dalam ge-
brakan tadi, tak mungkin rasanya mereka bisa 
menang melawan kedua iblis itu. Kalaupun dite-
ruskan, paling tidak salah seorang diantara mere-
ka akan tewas. Bila Bayu yang tampil, walaupun 
tidak mampu mengunggulinya, paling tidak dua 
iblis itu akan kerepotan. Dan di saat itulah mereka 
bermaksud akan membokongnya nanti.
"Nah, iblis busuk, bersiaplah!" kata Bayu 
Hanggara. Cakra maut di tangannya kini tergeng-
gam erat. Dilihatnya kedua Iblis Pulau Hitam ber-
siaga dengan pandangan mata tak henti menga-
wasi geraknya. 
"Yeaaaaa...!" 
"Heaaaat!"
Dengan satu teriakan kencang Bayu Hanggara 
melempar cakra mautnya ke arah lawan. Dan ber-
samaan dengan itu tubuhnya melesat cepat dengan satu serangan kilat yang bertenaga kuat.
"Zwiing!"
"Trang!" 
"Wuuut!"
Saat kedua lawan menghantamkan pedang un-
tuk memapaki cakra maut berwarna keperakan 
itu, tinju kanan Bayu Hanggara menghantam dada 
Iblis Pulau Hitam yang bertubuh lebih besar. Te-
tapi dengan manis Manggala dapat menghinda-
rinya sambil bersalto ke belakang. Bahkan satu 
tendangan keras nyaris menghantam kepala Bayu 
kalau saja ia tak memutar tubuhnya seperti 
gangsing. Pada saat itu kaki kanannya berhasil 
menghantam lambung lawannya yang lain. Seperti 
temannya, Durbala mampu berkelit, bahkan den-
gan cepat mengirim serangan balasan dengan me-
nyabetkan pedangnya.
"Wuuut!"
"Yeaaaaaaa...!"
"Trang! Trang!"
Dari tangan kanan Bayu Hanggara melesat se-
rangkum angin kencang namun itu tak cukup un-
tuk menghentikan laju pedang lawan. Paling tidak 
ia bisa menghindar lebih cepat daripada sambaran 
senjata lawan dan menangkap kembali cakra 
mautnya untuk memapaki serangan Manggala.
"Sheaaa...!"
Dengan satu teriakan keras telapak tangan 
tersorong ke depan dan menderu angin kencang 
menghantam keduanya. Tapi kedua lawan pun 
membalas dengan bersamaan menggabungkan te-
naga dalam mereka. Pada saat itulah Bayu kemba-
li melepas cakra mautnya yang diikuti oleh keleba-
tan tubuhnya ke arah mereka. 
"Hiyaaaa...!"

*
* *
"Wuss!" 
"Trang!" 
"Bughk!" 
"Aaakh...!"
Begitu adu tenaga dalam tadi selesai, melesat 
sinar berwarna keperakan menghantam Iblis Pu-
lau Hitam. Keduanya seperti mengerti tipu daya 
Bayu. Sebab hanya Manggala saja yang menang-
kis, sedangkan Durbala berkelit menjaga serangan 
lawan. Tapi agaknya ia salah perhitungan, sebab 
Bayu cuma menyerang satu lawan saja. Lalu keti-
ka cakra maut tadi terpental dan kembali pada 
pemiliknya. kembali dilemparkan ke arah Durbala. 
Hingga kali ini terlihat Bayu membagi dua perha-
tian. Satu menyerang Manggala, sedangkan cakra 
mautnya menyerang Durbala. Secara tak langsung 
hal itu membuat keduanya agak kaget. Dan waktu 
yang sepersekian detik itu cukup bagi Bayu Hang-
gara menyarangkan pukulan ke dada lawan, serta 
cakra mautnya berhasil merobek bahu Durbala.
"Bangsat!" maki Durbala sambil meringis ke 
sakitan. Begitu juga halnya dengan Manggala.
Wajahnya terlihat menahan marah. Sambil 
mendekap dadanya yang terasa nyeri, kembali ia 
mengacungkan pedang sambil berbisik kepada 
Durbala.
"Agaknya ia mengetahui kelemahan kita. Kalau 
dia pergunakan cara tadi untuk memisahkan kita, 
jaga jarak jangan sampai terlalu jauh, tapi masih 
dalam jarak jangkau serangan."
Durbala mengangguk. Kemudian dengan satu
teriakan keras, kembali keduanya bergerak me-
nyerang lawan.

"Yeaaah...!"
"Trang!"
"Trak!"
"Wuuut!"
Bayu Hanggara belum melemparkan cakra 
mautnya, tapi memegangnya untuk menangkis 
kedua pedang lawan. Pikirnya, hal tadi tentu akan 
membuat lawan lebih berhati-hati untuk menye-
rangnya. Dan ia bermaksud memanfaatkan ke-
sempatan tadi. Namun yang dihadapinya justru 
jebakan hebat. Dalam pertarungan jarak dekat se-
perti ini, keduanya hebat bukan main. Lawan se-
perti terkurung dalam kelebatan pedang mereka. 
Walau sejauh ini Bayu dapat menangkis setiap 
semua serangan tapi ia tak yakin bisa bertahan 
lama. 
"Hiyaaat...!"
Dengan satu teriakan keras, tubuh Bayu 
Hanggara melesat jauh ke atas. Namun ujung pe-
dang Manggala berhasil merobek sedikit kulit
pinggangnya. Bayu Hanggara meringis kesakitan. 
Namun bahaya lain segera menanti ketika ujung 
pedang Durbala mengejarnya.
"Yeaaah...!"
"Trass!"
"Wuut!"
"Aaaarghk...!"
Dalam keadaan seperti itu dilemparnya cakra 
maut ke tenggorokan lawan. Durbala berhasil 
mengelak sambil mengegoskan kepala ke samping. 
Namun tak urung senjata itu kembali merobek 
pangkal lehernya. Sedang pedangnya sendiri ham-
pir mencederai kaki Bayu kalau seandainya ia tak 
cepat-cepat mengangkatnya.
"Yeaaat...!"
"Shaaa...!"

"Bughk!"
"Trass!"
"Prak!"
Ketika tubuhnya melesat turun Bayu bersiap-
siap menyambut serangan Manggala. Kejadiannya 
begitu cepat sekali. Pada saat yang bersamaan pu-
la Nini Surti dan Ki Suganda, serta Dewi Ratih 
menyerang Manggala hingga mereka melupakan 
Durbala. Tak ampun lagi, pedang Durbala melesat
cepat membabat kedua kaki Dewi Ratih dan terus 
meluncur menyambar pinggang Nini Surti. Tapi 
Manggala sendiri bukannya tak luput dari seran-
gan. Walau ujung pedangnya berhasil menyambar 
bahu kiri Bayu dan terus bergerak merobek perut 
Ki Suganda, ia sendiri mengalami nasib yang naas. 
Kepalanya remuk dihantam tinju Bayu sedang 
punggungnya terbelah disambar pedang Ki Su-
ganda. Dan pada bagian jantung serta lambung-
nya bolong ditusuk tongkat Nini Surti.
"Tap!"
"Heaaat!"
"Crass!" 
"Trak!"
"Whuaaaa...!"
Bayu Hanggara tak mau membuang-buang 
waktu dan kesempatan lagi. Begitu cakra mautnya 
berputar kembali ke tangan, secepat itu pula me-
lesat lagi dan menyambar tubuh Durbala pada ba-
gian jantung. Terdengar tulang-tulang rusuknya 
berderak patah ketika cakra maut bersegi enam 
itu menembus hingga ke punggungnya. Lalu ber-
balik ke arah Bayu. Durbala menjerit lirih ketika 
tubuhnya berputar-putar limbung sebelum akhir-
nya ambruk dengan nyawa lepas dari raga.
Bayu Hanggara membersihkan noda-noda. da-
rah pada cakra mautnya sebelum melekatkan

kembali di tangan. Kemudian ia melangkah pelan 
ke arah Dewi Ratih dan menghentikan pendarahan 
di kakinya.
"Sudah kukatakan, kau tak perlu turun tan-
gan. Biar aku saja yang menghadapi mereka," kata 
Bayu seperti menyesali kejadian itu. "Juga yang 
lainnya, mereka tewas sia-sia."
"Tidak. Mereka tidak tewas sia-sia. Mereka
puas dengan kedua Iblis itu telah tewas di tan-
ganmu walaupun harus dibayar dengan nyawa 
mereka sendiri. Tapi itu lebih baik daripada kebia-
daban mereka akan menimbulkan korban nyawa 
yang lebih banyak. Sepertiku juga, kedua kaki 
yang buntung ini tak membuatku menyesal," sa-
hut Dewi Ratih dengan haru.
"Entahlah, aku tak mengerti. Mungkin juga ka-
ta-katamu benar. Paling tidak benar menurut ke-
nyataan, sebab tanpa kehadiran mereka yang 
membuat perhatian lawanku terkejut dan memba-
gi perhatiannya. Paling tidak aku akan cidera be-
rat," kata Bayu perlahan.
Matanya beredar berkeliling, memandangi 
mayat-mayat yang bergelimpangan di sekitar tem-
pat itu. Begitu banyak tubuh-tubuh tak bernyawa 
bergelimpangan saling tumpang tindih di sekitar-
nya. Bau anyir darah pun menyeruak masuk ke 
dalam hidungnya, terbawa hembusan angin yang 
lembut mengusik kulit.
"Nah, Ratih. Tugasku telah selesai. Kau tentu 
bisa pulang sendiri, bukan? Aku akan melan-
jutkan perjalanan," kata Bayu lagi, seraya melirik 
sebentar pada gadis Dewi Ratih.
Baru saja Bayu akan memanggil Tiren, monyet 
kecil sahabatnya yang berbulu coklat kehitaman 
itu, sudah terdengar suara Dewi Ratih memanggil-
nya pelan. Terpaksa Bayu tidak jadi melangkah

pergi.
"Bayu, tidak keberatankah kau menolongku 
sekali lagi?"
"Apa...?" terdengar enggan nada suara Bayu.
"Bagaimana aku bisa berjalan ke tempatku da-
lam keadaan begini?" lirih sekali suara Dewi Ratih.
Bayu jadi tertegun memandangi gadis cantik 
itu. Memang tidak mungkin Dewi Ratih bisa me-
nempuh perjalanan jauh dalam keadaan terluka 
cukup berat begini.
"Plak!"
Bayu menepuk keningnya sendiri. Memang ti-
dak mungkin dia meninggalkan Dewi Ratih seo-
rang diri di tempat seperti ini, dengan keadaan ti-
dak memungkinkan lagi untuk bisa berjalan jauh 
seorang diri. Dan Bayu terpaksa harus menghalau 
perasaan hatinya pada gadis ini. Mau tidak mau, 
dia harus membantu Dewi Ratih sekali lagi. Dan 
tak berapa lama kemudian, keduanya segera ber-
lalu dari tempat itu meninggalkan bau anyir da-
rah, mayat-mayat yang bergelimpangan, dan keja-
dian yang hampir saja merenggut nyawa mereka. 
Dari jauh terdengar Tiren menjerit keras seperti 
memecah kesunyian.


                             TAMAT


Share:

0 comments:

Posting Komentar