..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Minggu, 02 Februari 2025

PENDEKAR PULAU NERAKA EPISODE TITISAN DEWI IBLIS

Titisan Dewi Iblis

SATU

Seorang penunggang kuda berpacu cepat
melintasi padang rumput luas, bagai tak bertepi.
Sepanjang mata memandang hanya hamparan
rerumputan hijau bagai permadani terhampar.
Terik sengatan matahari hampir tak terasa,
karena disapu tiupan angin yang kencang 
menaburkan hawa sejuk daerah perbukitan. 
Penunggang kuda itu terus menggebah kuda
hitamnya semakin cepat. Pandangannya lurus
ke depan, ke arah tepian hutan yang mulai
menghadang di depan. Semakin dekat dengan 
hutan itu, semakin tersirat ketegangan pada
wajah tampannya. Sebaris kumis tipis menghiasi
bibir yang terkatup rapat. Kuda hitam itu terus
berpacu semakin mendekati tepian hutan yang
kelihatan rapat oleh pepohonan besar dan kecil. 
Swing! 
Tiba-tiba saja melesat sebuah benda bersinar
keperakan ke arah penunggang kuda itu.
"Hup...!" 
Penunggang kuda itu cepat-cepat melompat. 
Tapi benda bercahaya keperakan itu
menghantam badan kuda, sehingga binatang itu
meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki
depannya. Tepat saat pemuda itu mendaratkan
kakinya, kuda hitam tunggangannya ambruk
menggelepar di tanah. Tampak pada bagian

perutnya berlubang dan mengepulkan asap. 
Pemuda berwajah tampan itu merayapi hutan
di depannya. Begitu sunyi, sampai-sampai suara
serangga pun tak terdengar. Namun kesunyian
ini semakin membuat pemuda tampan yang
mengenakan baju warna biru muda itu menjadi
lebih waspada. Pe-lahan digeser kakinya
melangkah maju ke depan. Tatapan matanya
tetap tajam tak berkedip merayapi hutan yang
begitu lebat di depannya. 
Belum juga pemuda itu sampai di tepian 
hutan, mendadak saja.... 
Swing! 
"Yeaaah...!" 
Pemuda berbaju biru itu langsung
melentingkan tubuhnya ke atas begitu melihat
sebuah benda keperakan meluncur deras dari
arah depan. Benda bulat sebesar kenari itu
bagaikan kilat melesat lewat di bawah kaki 
pemuda itu. 
Belum juga pemuda itu sempat mendarat
turun, kembali melesat benda-benda keperakan 
yang memancarkan cahaya terang disertai
kepulan asap. Ben- <r da-benda bulat sebesar 
kenari itu meluncur deras, memaksa pemuda
berbaju biru harus berjumpalitan di udara untuk 
menghindarinya. 
Sungguh indah gerakan saltonya, sehingga

tak satu pun benda-benda keperakan itu 
menghajar tubuhnya. Dengan satu gerakan
manis, pemuda itu mendarat ringan di tanah.
Begitu ringannya, sehingga tak terdengar suara
sedikit pun saat kedua kakinya menjejak tanah
berumput. 
"Siapa kau?! Keluar...!" seru pemuda itu
lantang. 
Suara yang disertai pengerahan tenaga dalam
itu menggema sampai ke seluruh penjuru mata
angin, namun tak ada sahutan sama sekali.
Pemuda itu melirik kudanya yang telah tewas 
dengan perut berlubang sebesar jari. Kembali
dirayapi hutan lebat di depannya. 
"Hik hik hik...!" tiba-tiba terdengar suara tawa
kecil nyaring mengikik. 
Pemuda tampan berbaju biru muda itu
melompat satu langkah ke belakang. Suara tawa
itu terdengar kering, dan seakan-akan datang
dari segala arah. Siku pemuda itu segera
menggeser gagang pedang yang tergantung di
pinggang untuk menjaga kemungkinan. 
"Kau terlalu berani datang sendiri ke sini,
Raden Antawirya!" 
Belum hilang suara kering melengking tinggi 
itu, mendadak saja di depan pemuda tampan itu
muncul seorang perempuan berjubah merah
panjang. Sebatang tongkat yang bagian

ujungnya berbentuk bintang bersegi delapan,
tergenggam di tangan kanan. Rambutnya
panjang terurai, sehingga hampir menutupi
wajahnya yang lebih mirip muka tengkorak
Pemuda yang dipanggil Raden Antawirya itu
agak bergidik juga melihatnya. 
Memang, penampilan perempuan itu sungguh
mengerikan. Seluruh wajahnya tak lagi memiliki
daging. Dan kedua matanya bolong, namun
berwarna merah menyala seperti sepasang bola
api Baju merah yang dikenakannya sangat
panjang, sehingga menutupi seluruh kaki dan
tangannya. Mulutnya yang tanpa bibir itu
meringis memperlihatkan baris-baris gigi yang 
tampak jelas menghitam. 
"Mau apa kau datang ke sini, Raden
Antawirya?" kering sekali suara perempuan
berwajah tengkorak itu. 
"Aku ingin meminta adikku kembali!" tegas
Raden Antawirya. 
"Hik hik hik... Adikmu sedang menjalani
hukuman, Raden. Jadi kau harus bersabar
menunggu selama seratus tahun, baru dia
bebas dari hukuman." 
"Kau lepaskan adikku, atau kuhancurkan
purimu, perempuan setan!" bentak Raden
Antawirya geram. 
"Kata-katamu bisa membahayakan dirimu

sendiri, Raden!" desis wanita berwajah
tengkorak itu, mengancam. 
"Phuih! Kau pikir aku takut, heh?! Ayo, maju!
Biar kubunuh kau sekalian, perempuan laknat!"
geram Raden Antawirya. 
"Bocah sinting! Pergi kau dari sini!" bentak
perempuan berwajah tengkorak itu mulai gusar. 
"Tidak! Sebelum kau lepaskan adikku!" 
"Edan...!" 
Perempuan berwajah tengkorak itu seketika
me-ngebutkan tangannya yang tersembunyi di
balik lengan jubah. Dan saat itu juga melesat
beberapa butir benda berwarna keperakan yang
langsung menerjang pemuda itu. Namun gesit
sekali Raden Antawirya berlompatan
menghindari serangan yang cepat dan riba-riba 
itu. 
Dan sebelum Raden Antawirya bisa menarik
napas lega, mendadak perempuan berwajah
tengkorak itu melompat sambil berteriak keras
melengking tinggi. Maka secepat kilat
dikebutkan tongkatnya ke arah kaki. 
"Hup!" 
Raden Antawirya melompat menghindari
tebasan tongkat itu. Namun sungguh tidak
terduga sama sekali, perempuan berwajah
tengkorak itu menghentakkan tongkatnya ke

atas sehingga menghantam keras telapak kaki
Raden Antawirya. 
Tak dapat dicegah lagi, tubuh pemuda
berbaju bi-• ru itu melayang deras ke udara.
Pada saat itu juga, perempuan berwajah
tengkorak melesat ke angkasa, memburunya.
Sementara tangan kirinya menghentak keras
sambil berteriak melengking. 
"Hiyaaat...!" 
"Aaakh...!" Raden Antawirya menjerit
melengking tinggi 
Hentakan tangan kiri perempuan berwajah 
tengkorak itu tak bisa dihindari lagi. Tubuh
Raden Antawirya meluncur deras ke angkasa,
dan meluruk jatuh *' di tengah-tengah padang 
rumput yang menghampar bagai permadani.
Namun sebelum pemuda itu menghantam
tanah, mendadak sebuah bayangan
menyambarnya cepat, dan langsung
membawanya pergi 
"Hm...," perempuan berwajah tengkorak
hanya menggumam. 
Dia sudah berdiri tegak di atas tanah
berumput memandangi bayangan yang
berkelebat cepat menyambar tubuh Raden
Antawirya. Meskipun matanya bolong sehingga
yang terlihat hanya berupa cahaya merah,
namun pandangannya demikian tajam. Baris

baris giginya yang tidak tertutup bibir itu
bergerak-gerak. Mungkin tengah tersenyum atau
menggumamkan sesuatu. Namun seketika itu
juga perempuan itu melesat masuk ke dalam
hutan. Begitu cepatnya, sehingga dalam sekejap
saja bayangan tubuhnya sudah lenyap ditelan
kelebatan hutan. 
--oo0dw0oo-- 
Sementara itu di balik sebuah bukit yang
menjadi pembatas padang rumput, berdiri
sebuah bangunan besar dikelilingi pagar batu
bagai sebuah benteng. Di tengah-tengahnya 
berdiri bangunan megah dan besar. Di sekeliling
benteng bangunan megah itu terdapat rumah,
baik besar maupun kecil yang letaknya saling
merapat satu sama lain. Tempat itu merupakan 
sebuah kota Kerajaan Kali Jirak. 
Suasana kota itu demikian ramai, seakan-
akan tak pernah mati dari segala kegiatan
rakyatnya. Namun dari wajah-wajah rakyat yang 
mendung, terlihat kalau mereka seperti tengah
menghadapi masalah yang cukup berat Bahkan
para penjaga di perbatasan maupun di depan
gerbang kelihatan lesu tak bergairah. Hal ini 
karena Prabu Truna Dilaga yang menjadi raja di
situ, tengah dilanda gelisah. 
Sudah beberapa hari ini Prabu Truna Dilaga
selalu menyendiri dalam kamar atau di taman
belakang istana. Semua orang tahu, apa yang

sedang menjadi beban pikiran Prabu Truna
Dilaga. Sejak kehilangan putrinya, Raja Kali Jirak
itu memang selalu murung. Dan sekarang ini,
putranya yang dipersiapkan untuk menggantikan
kedudukannya menghilang tak tentu rimbanya.
Berarti sudah tiga hari ini Raden Antawirya tidak 
terdengar kabarnya. "Gusti Prabu...." " 
Prabu Truna Dilaga mengangkat kepalanya
ketika mendengar suara. Matanya kini terpaku
pada seorang laki-laki berusia sekitar empat
puluh tahun, .bertubuh tegap dan berwajah
tampan namun mencerminkan ketegasan. Laki-
laki itu duduk bersimpuh sambil merapatkan
kedua tangannya di depan hidung. Kepalanya
tertunduk, seakan-akan ikut merasakan beban
yang tengah diderita rajanya ini. Sorot mata
Prabu Truna Dilaga begitu redup bagai tak
memiliki gairah hidup lagi. 
"Gusti Prabu, hamba membawa seorang
perambah hutan yang melihat Raden Antawirya,"
lapor laki-laki itu sebelum diminta. 
"Bawa ke sini, Patih Natabrata," ujar Prabu
Truna Dilaga lesu. 
"Hamba, Gusti Prabu." 
Patih Natabrata memberikan sembah,
kemudian bangkit berdiri dan meninggalkan 
Prabu Truna Dilaga yang masih tetap duduk di
bangku taman. Tidak lama berselang, Patih

Natabrata sudah kembali membawa seorang
laki-laki tua bertelanjang dada dan bertubuh
kurus. Mereka duduk bersimpuh di depan Prabu
Truna Dilaga bersikap penuh rasa hormat 
"Siapa namamu?" tanya Prabu Truna Dilaga. 
"Hamba bernama Ki Ebun, Gusti Prabu,"
sahut laki-laki tua itu seraya merapatkan kedua
tangannya di depan hidung memberi sembah. 
"Benar kau melihat putraku?" tanya Prabu
Truna Dilaga lagi 
"Benar, Gusti Prabu. Hamba melihat Raden
Antawirya berkuda di dalam hutan. Hamba pun
sempat bertanya hendak ke mana, tapi Raden
Antawirya tidak menyahut Bahkan beliau
mendera kudanya lebih kencang lagi," tutur Ki
Ebun. 
"Kau tahu ke mana arah perginya?" 
"Ke Utara, Gusti Prabu." 
"Hutan Kamiaka...," desis Prabu Truna Dilaga
pelan, hampir tidak terdengar. 
Prabu Truna Dilaga memandangi laki-laki tua 
perambah hutan itu. Sorot matanya terlihat
semakin redup tak bercahaya. Bahkan wajahnya
seperti kehilangan cahaya kegairahan. Dua kati
dihembuskan napas panjang dan berat
Sementara Ki Ebun dan Patih Natabrata hanya
diam saja sambil menundukkan kepala.

"Patih Natabrata, antar orang tua ini pulang,"
perintah Prabu Truna Dilaga. 
"Hamba, Gusti Prabu," sahut Patih Natabrata
seraya memberikan sembah. 
"Aku berterima kasih atas keteranganmu, Ki
Ebun. Kau patut mendapatkan hadiah dariku,"
ujar Prabu Truna Dilaga. 
"Oh terima kasih, Gusti Prabu." 
Ki Ebun beberapa kali memberi sembah
sambil mengucapkan terima kasih berulang-
ulang. Patih Natabrata kemudian menggamit
lengan laki-laki tua perambah hutan itu. Mereka
memberi sembah sekali lagi, kemudian beranjak
pergi meninggalkan Raja Kali Jirak itu sendirian.
Prabu Truna Dilaga baru saja akan bangkit
berdiri ketika tampak seorang wanita berusia 
sekitar empat puluh lima tahun datang
menghampiri. Dia diiringi enam orang gadis
berparas cantik. 
'Permaisuriku Rara Kuminten...," sambut
Prabu Truna Dilaga seraya memberikan senyum,
meskipun terasa getir dan amat dipaksakan. 
"Kulihat ada seorang tua di sini tadi, Kanda 
Prabu?" tanya Permaisuri Rara Kuminten setelah
duduk di samping laki-laki berusia sekitar tujuh
puluh tahun itu. 
"Seorang perambah hutan yang kebetulan
melihat Raden Antawirya," sahut Prabu Truna

Dilaga. 
Permaisuri Rara Kuminten hanya
mengangguk-anggukkan kepalanya saja.
Disuruhnya enam orang gadis yang
menyertainya untuk pergi. Setelah memberi
sembah, keenam gadis itu beranjak pergi
dengan sikap penuh hormat 
"Apa yang dikatakannya, Kanda Prabu?" tanya
Permaisuri Rara Kuminten setelah keenam 
dayangnya pergi 
"Dia hanya mengatakan kalau melihat Raden
Antawirya di dalam hutan," sahut Prabu Truna
Dilaga. 
"Dia tidak mengatakan ke mana perginya?" 
"Katanya ke arah Utara. Hra.., pasti ke Hutan
Kamiaka." 
"Anak nakal! Sudah kularang ke sana, masih
juga membandel...!" dengus Permaisuri Rara
Kuminten. 
Sedangkan Prabu Truna Dilaga hanya diam
saja dengan wajah semakin terselimut
mendung. Kedua anaknya kini sudah tidak ada.
Tak ada yang bisa diharapkan lagi untuk
mengganti kedudukannya sebagai raja di Kali
Jirak ini. Sedangkan usianya semakin
menggerogoti tubuhnya. 
"Mau ke mana, Kanda Prabu?" tanya

Permaisuri Rara Kuminten melihat Prabu Truna
Dilaga bangkit dan melangkah hendak pergi. 
"Aku ingin istirahat," sahut Prabu Truna Dilaga
tanpa menghentikan ayunan kakinya. 
Permaisuri Rara Kuminten tidak mencegah,
dan hanya diam saja memandangi laki-laki tua 
itu meninggalkannya. Wanita yang masih
kelihatan cantik itu tetap duduk di kursi taman,
meskipun Prabu Truna Dilaga tidak kelihatan
lagi punggungnya. 
--oo0dw0oo-- 
Malam sudah jatuh, dan kegelapan
menyelimuti seluruh permukaan bumi Kerajaan
Kali Jirak. Malam ini angin berhembus kencang
menyebarkan udara dingin menggigilkan tulang.
Sayup-sayup di kejauhan, terdengar lolongan
anjing hutan yang menyayat bagai
mendendangkan irama kematian. 
Seluruh rakyat Kali Jirak sudah terlelap dalam
buaian mimpi. Hanya para prajurit yang bertugas
ronda malam saja yang masih terlihat berjaga-
jaga di tempat tertentu. Namun agak jauh dari
kota, tepatnya dekat gerbang perbatasan kota
sebelah Utara, seorang laki-laki tua masih duduk 
menyendiri di depan rumahnya yang kecil dan
kumuh. 
Laki-laki tua itu adalah Ki Ebun, yang setiap
hari mencari nafkah dengan merambah hutan

mencari kayu bakar dan berburu binatang untuk
dijual ke kota. Laki-laki tua itu duduk 
mencangkung sambil menikmati kepulan asap
daun tembakau. Mata tuanya lurus merayapi
bulan purnama yang malam ini bersinar indah
keemasan, menyirami bumi dalam selimut
kegelapan. 
"Ayah...." 
"Oh...!" Ki Ebun tersentak dari lamunannya
ketika mendengar sapaan lembut dari belakang. 
Ditolehkan kepalanya, lalu tersenyum melihat
seorang gadis berparas manis tahu-tahu sudah 
berdiri di belakangnya. Gadis itu kemudian
duduk di sampingnya. Pakaiannya sangat
sederhana. Bahkan pada kain yang dikenakan
terdapat satu tambalan. Meskipun begitu tidak
menghilangkan kemanisan wajahnya yang
sederhana. 
"Kenapa Ayah belum tidur?" lembut sekali
suaranya. 
"Kau sendiri, kenapa belum tidur, Melati?" Ki
Ebun malah balik bertanya. 
"Tidak bisa," sahut gadis yang dipanggil Melati
itu. 
Nama yang sangat indah, seindah wajahnya.
Mungkin Ki Ebun memberi nama anaknya ini
dengan harapan akan menjadi seorang gadis
yang dapat mengharumkan kaumnya, seharum

bunga melari. Satu harapan yang wajar dari
seorang tua seperti Ki Ebun ini. 
"Kenapa?" tanya Ki Ebun lembut. 
"Aku memikirkan hadiah dari Gusti Prabu,
Ayah. Sebaiknya kita apakan, ya...?" tanya Melati
seperti pada dirinya sendiri. 
"Aku sendiri bingung, Melati. Padahal aku
hanya mengatakan apa adanya. Eee..., kok
malah diberi hadiah begitu besar. Ayah jadi 
takut, Melati...," semakin pelan suara Ki Ebun. 
'Takut kenapa, Yah?" tanya Melati polos. 
"Aku takut perampok," bisik Ki Ebun, seakan-
akan suaranya takut terdengar orang lain. 
"Ah, Ayah.... Jangan macam-macam, ah! Nanti 
kalau benar-benar kejadian, bagaimana?" Melati 
mencoba bergurau, padahal hatinya cemas juga. 
"Melati! Tadi Ayah sedang berpikir-pikir, apa 
sebaiknya kita pindah saja dari sini...?" kali ini
nada suara Ki Ebun terdengar sungguh-sungguh. 
"Pindah ke mana lagi, Yah...? Kita sudah 
enam kali pindah, dan rasanya jadi bosan! Aku 
ingin menetap di sini saja," rungut Melati. 
'Tapi di sini hidup kita juga tidak ada
perubahan, Melati. Tetap saja aku jadi
perambah hutan. Aku ingin memberimu
kesenangan, seperti gadis-gadis lain. Bisa punya 
baju bagus, bisa punya kereta untukmu

bepergian, dan punya segala macam." 
"Jangan mengkhayal, Yah. Aku sudah cukup
senang, kok." 
'Tapi kau belum punya baju bagus, Melati." 
"Untuk apa baju bagus, harta, dan kekayaan,
kalau hidup kita selalu diliputi ketakutan, Ayah. 
Tidak, ah! Aku tidak mau. Aku sudah senang
hidup begini Aman dan tentram tanpa harus
memikirkan segala macam." 
'Tapi hadiah itu saja sudah membuat kepala
kita jadi seperti pecah." 
Melati terdiam, dan Ki Ebun jadi membisu.
Hadiah yang diberikan Prabu Truna Dilaga
memang membuat mereka jadi gelisah, tidak
seperti hari-hari yang lalu. Mereka jadi tidak
tenang, seakan-akan selalu diintai ribuan
pasang mata yang mencari kesempatan baik
untuk menerkam. 
Saat mereka terdiam, mendadak di depan
mereka muncul seseorang yang mengenakan
jubah merah panjang membawa tongkat yang
ujungnya berbentuk bintang bersegi delapan Ki
Ebun dan Melati terperanjat, sehingga langsung
melompat bangkit berdiri. Terlebih lagi gadis itu.
Dia sampai terpekik dan hampir pingsan melihat 
raut wajah orang itu. 
Wajah yang tidak memiliki daging dengan
mata bolong memerah bagai bola api. Gigi-gigi

yang tidak tertutup bibir itu menyeringai
menyeramkan. Ki Ebun sampai bergetar dan
seluruh wajahnya memucat bagai tak pernah
dialiri darah. 
"Kau yang bernama Ki Ebun?" dingin dan
kering sekali suara perempuan berwajah
tengkorak itu. 
"L.., iy..., iya," sahut Ki Ebun tergagap. 
"Kau harus mati, orang tua!" 
"Ap...” 
Belum juga Ki Ebun bisa meneruskan
ucapannya, mendadak saja perempuan
berwajah tengkorak itu mengecutkan
tongkatnya. Maka seketika itu juga tubuh Ki
Ebun mengejang kaku dan bola matanya mem-
beliak lebar. Tak ada suara sedikit pun yang
terdengar. Tahu-tahu, laki-laki tua perambah 
hutan itu ambruk ke tanah. Kepalanya tergulir,
terpisah dari lehernya. 
"Aaakh...!" Melati menjerit melengking tinggi. 
Gadis itu langsung melorot jatuh tak sadarkan
diri melihat kematian ayahnya yang sangat
menyayat itu. Jeritan Melati mengejutkan
seluruh rakyat yang rumahnya berdekatan
dengan rumah Ki Ebun. Seketika saja suasana 
jadi terang benderang oleh nyala pelita dan obor.
Perempuan berwajah tengkorak itu mendengus,
kemudian dengan sekali lesat saja, tubuhnya

sudah lenyap ditelan kegelapan malam. 
Pada saat itu berdatangan orang-orang 
membawa obor. Mereka terperanjat begitu 
melihat mayat Ki Ebun tergeletak berlumuran
darah. Lebih terperanjat lagi, setelah melihat
leher laki-laki tua perambah hutan itu yang
terpenggal buntung. Dan di dekatnya tergolek
Melati yang tak sadarkan diri. 
--oo0de0oo— 
DUA


Kematian Ki Ebun yang begitu mengerikan
menjadi pembicaraan seluruh orang di Kerajaan
Kali Jirak. Bahkan berita kematian laki-laki tua 
perambah hutan itu sampai ke telinga Prabu
Truna Dilaga. Hal ini I membuat Raja Kali Jirak
itu menjadi semakin murung. Dia ingat kalau
perambah hutan itu yang memberitahu tentang
kepergian putranya. 
"Seharusnya dia tidak kuberi hadiah terlalu
banyak," keluh Prabu Truna Dilaga menyesali
diri. 
'Tapi hadiah itu tidak hilang, Gusti Prabu,"
jelas Patih Natabrata. 
Prabu Truna Dilaga memandangi patihnya ini. 
"Ampun, Gusti Prabu Seharusnya hamba
melaporkan hal ini sejak tadi," ucap Patih
Natabrata seraya "*' memberi sembah.

"Bagaimana kau tahu, Patih?" tanya Prabu
Truna Dilaga. 
. "Hamba sempat mengunjungi rumah Ki
Ebun, Gusti. Menurut putrinya, hadiah yang 
diberikan Gusti Prabu masih utuh. Tak berkurang
sedikit pun." 
"Hm..., aneh...? Jadi untuk apa dia membunuh
orang tua itu?" Prabu Truna Dilaga seperti
bertanya pada dirinya sendiri. 
"Itulah yang sedang hamba pikirkan, Gusti
Prabu. 
Menurut putri Ki Ebun, orang itu wajahnya
menyerupai tengkorak, berjubah merah, dan
memegang tongkat Dan dengan tongkatnya
itulah dia memenggal kepala Ki Ebun. Kejadian
selanjutnya, gadis itu tidak tahu, karena telah
pingsan saat itu juga." 
"Dewi Iblis...," desis Prabu Truna Dilaga pelan. 
Hampir tak terdengar suaranya. 
"Gusti Prabu...." 
"Aku*tidak mengerti, untuk apa perempuan
iblis itu membunuh Ki Ebun...?" Prabu Truna
Dilaga bertanya-tanya sendiri. 
"Siapa itu Dewi Iblis, Gusti?" tanya Patih Nata-
brata. 
Prabu Truna Dilaga tidak langsung menjawab.
Dipandangi patihnya dalam-dalam. Sorot

matanya begitu dalam dan menyimpan sejuta
arti yang sukar dimengerti. Wajahnya
menyiratkan tekanan batin yang amat berat
Patih Natabrata hanya menundukkan kepalanya
saja, tidak sanggup membalas tatapan tajam 
junjungannya. 
"Dulu ketika dia muncul di sini, kau masih
kecil, Patih. Dan aku pun masih begitu muda.
Belum menjadi raja...," pelan suara Prabu Truna
Dilaga. 
Sedangkan Patih Natabrata hanya diam saja
mendengarkan. 
"Ah..., aku tidak yakin kalau dia muncul lagi di 
sini. Aku yakin kalau iblis itu sudah tewas,"
desah Prabu Truna Dilaga setengah
menggumam seakan-akan bicara untuk dirinya
sendiri. 
"Gusti...," agak tercekat suara Patih
Natabrata. 
"Kau harus mengetahuinya, Patih. Karena
kalau memang dia belum tewas dan sekarang
muncul lagi, maka kemunculannya ada sangkut
pautnya denganmu," jelas Prabu Truna Dilaga. 
Patih Natabrata terhenyak, sampai-sampai 
mendongakkan kepalanya menatap Prabu Truna
Dilaga. Namun buru-buru laki-laki setengah baya 
itu memberi sembah dan menundukkan
kepalanya kembali.

"Dulu, aku dan ayahmu bersahabat karib.
Ayahmu juga seorang patih yang sangat gagah
berani. Aku selalu memanggilnya paman, karena
memang jauh lebih tua usianya dariku sendiri...,"
Prabu Truna Dilaga berhenti sebentar. "Aku 
waktu itu ingat sekali, saat Ayahanda Prabu
mengajakku berburu. Lalu kuminta agar ayahmu
ikut serta, dan Ayahanda Prabu tidak
berkeberatan. Kami berburu bersama-sama dan 
berlomba-lomba mendapatkan buruan yang
terbanyak" 
Patih Natabrata masih diam mendengarkan. 
Dia memang sering mendengar cerita ayahnya
sebelum meninggal. Ayahnya dan Prabu Truna
Dilaga memang tidak bisa dipisahkan. Ke mana-
mana mereka selalu berdua, seperti dua
saudara kandung. Itu sebabnya, mengapa Patih
Natabrata memutuskan untuk mengabdi 
sepenuhnya pada Kerajaan Kali Jirak ini. Dia
tidak ingin mengecewakan harapan mendiang
ayahnya. Dan rupanya Prabu Truna Dilaga juga
sangat kehilangan sahabatnya, sehingga
langsung mengangkat Natabrata sebagai patih
begitu ayahnya meninggal. 
"Di dalam hutan, aku dan ayahmu berhasil
memanah seekor kijang dalam waktu
bersamaan. Tapi rupanya kijang itu milik
seorang wanita. Akibatnya dia menuntut nyawa
kijang itu dengan nyawaku setelah tahu kalau
aku waktu itu seorang putra mahkota. Ayahmu

membela, hingga akhirnya bertarung mengadu
nyawa dengannya. Tapi kemudian Ayahanda
Prabu melerai dan mengganti kijang itu dengan
sejumlah uang," kembali Prabu Truna Dilaga
menghentikan kisahnya. 
Dan Patih Natabrata masih juga diam
mendengarkan tanpa memberi tanggapan 
sedikit pun. 
'Tapi rupanya perempuan itu tidak merasa
puas, hingga akhirnya datang ke sini dan
membuat keonaran selama bertahun-tahun. 
Segala tindakannya begitu kejam, sehingga
dijuluki Dewi Iblis. Aku sendiri tidak tahu, siapa
nama sebenarnya. Kepandaiannya sungguh luar 
biasa, sehingga para prajurit maupun panglima
pilihan mengalami kesukaran untuk
membekuknya Hingga akhirnya dia kembali
bentrok lagi dengan ayahmu. Pertarungan
berlangsung seru, hingga memakan waktu tiga
hari tiga malam. Namun akhirnya ayahmu 
berhasil menyudahi. Wanita itu tewas, tapi
ayahmu mendapat luka parah sehingga dia...,"
Prabu Truna Dilaga tidak meneruskan kisahnya. 
Patih Natabrata sendiri sudah mengerti
lanjutannya. Ayahnya lumpuh setelah bertarung
melawan wanita yang dijuluki Dewi Iblis itu. 
Hingga ajalnya, laki-laki berjasa dan penuh
pengabdian itu dalam keadaan lumpuh. Untuk
beberapa saat lamanya mereka berdiam diri

membisu. Ruangan yang besar ini jadi sunyi. •
"Gustri Prabu, apakah ada kuburan si Dewi Iblis
itu?" tanya Patih Natabrata setelah cukup lama
berdiam diri. 
"Ada. Letaknya di Hutan Kamiaka," sahut
Prabu Truna Dilaga pelan. 
"Hutan Kamiaka...," desis Patih Natabrata. 
--oo0dw0oo-- 
Patih Natabrata memandangi padang rumput
luas bagai permadani terhampar tak bertepi. Di
seberang sanalah terletak Hutan Kamiaka.
Sebuah hutan yang tidak pernah terjamah
tangan-tangan manusia. Jadi sampai saat ini
masih menjadi hutan perawan yang dianggap
angker. Belum ada seorang pun yang berani
menjamahnya. Dan mereka yang nekad, tak
akan pernah lagi terdengar kabar beritanya. 
"Hhh...!" Patih Natabrata menghembuskan
napas panjang. 
Dipandanginya dua puluh orang prajurit yang
menyertai. Mereka memang prajurit pilihan yang
memiliki tingkat kepandaian cukup tinggi. Tapi
dua puluh prajurit pilihan tidak berarti apa-apa, 
bila teringat cerita Prabu Truna Dilaga tentang
seorang perempuan yang memiliki julukan
sangat menggetarkan hati. Dewi Iblis! Patih
Natabrata kembali mengarahkan pandangannya
ke seberang padang rumput ini.

Kepalanya menoleh ketika mendengar suara 
lang-r kah kaki halus dari arah kanan. Tampak
dua orang laki-laki berjalan ke arahnya. Seorang
mengenakan baju dari kulit harimau, dan
seorang lagi mengenakan baju warna biru muda.
Hampir seluruh kepalanya tertutup caping besar
dari anyaman bambu. Kedua laki-laki itu 
menghentikan langkahnya sekitar dua batang
tombak di samping Patih Natabrata. 
"Maaf, boleh kami lewat?" ucap orang yang
mengenakan baju kulit harimau, sopan. 
"Kisanak berdua hendak ke mana?" tanya
Patih Natabrata. 
"Kami hendak ke bukit sana," sahut laki-laki 
muda berbaju kulit harimau itu lagi. 
Sedangkan yang seorang hanya diam saja
sambil terus menundukkan kepala, seakan-akan 
sengaja menyembunyikan wajah. Namun Patih
Natabrata justru tertarik padanya. Diamati
dalam-dalam sehingga matanya agak menyipit 
"Boleh kami lewat?" pinta pemuda berbaju
kulit harimau itu lagi. 
"Silakan," Patih Natabrata mempersilakan. 
Kedua orang itu bergegas berjalan
meninggalkan Patih Natabrata dan dua puluh
orang prajuritnya. Sementara Patih Natabrata
memperhatikan dengan kening berkerut dalam.
Perhatiannya justru terpusat pada orang yang

berjalan di sebelah pemuda berbaju kulit
harimau itu. 
"Ah, tidak mungkin...!" desah Patih Natabrata
seraya menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Tapi..., bentuk tubuhnya mirip sekali dengan 
Raden Antawirya...." 
Patih Natabrata terus memperhatikan kedua
orang itu hingga lenyap di balik kelebatan
pepohonan. Dan segera diberinya isyarat agar
para prajuritnya bersiap melanjutkan
perjalanannya kembali. Sebentar kemudian, dua
puluh satu kuda berpacu melintasi padang
rumput 
Tanpa setahu mereka, dari balik kerimbunan
pepohonan, tampak dua pasang mata tengah
mengawasi tak berkedip. Dua pasang mata dari
pemuda-pemuda yang tadi lewat di depan Patih
Natabrata. Pemuda berbaju biru kini sudah
melepaskan caping bambunya, dan membiarkan
saja tersampir di punggung. 
"Kau kenal dia, Raden Antawirya?" tanya
pemuda berbaju kulit harimau itu tanpa
mengalihkan pandangannya ke depan. 
"Ya. Dia patih kepercayaan Ayahanda Prabu,"
sahut pemuda berbaju biru yang ternyata
memang Raden Antawirya. "Bayu, mau apa dia
ke sana...?" 
"Mungkin tujuannya sama denganmu,

Raden," sahut pemuda berbaju kulit harimau. 
Pemuda itu memang bernama Bayu yang
lebih dikenal berjuluk Pendekar Pulau Neraka. -
Sementara Raden Antawirya terus memandangi 
rombongan kecil itu yang semakin jauh melintasi
padang rumput Entah kenapa, Raden Antawirya
jadi cemas setelah teringat pengalamannya yang
sangat pahit Hampir saja dia tewas kalau tidak
ditolong pemuda di sampingnya ini 
"Mereka bisa tewas semua, Bayu," desah 
Raden Antawirya tak bisa menyembunyikan
kecemasannya. 
"Kau cemas, tapi kenapa tadi tidak mau
menunjukkan dirimu?" Bayu memandangi wajah
pemuda di sampingnya. 
"Aku tidak akan kembali ke istana tanpa
adikku, 
Bayu," sahut Raden Antawirya. 
"Lalu, apa yang harus kita lakukan?" tanya
Bayu. 
"Kita harus mencegah mereka mendekati
hutan itu, Bayu. Aku tidak ingin Paman Patih
tewas sia-sia." 
Bayu mengangkat pundaknya. 
"Cepat, Bayu. Sebelum mereka sampai ke
hutan itu!" ajak Raden Antawirya.

Bayu tak punya pilihan lain lagi, kecuali
mengikuti Raden Antawirya yang sudah berlari
cepat mengejar rombongan kecil Patih
Natabrata. Dalam hari, Pendekar Pulau Neraka
itu kagum juga pada ilmu meringankan tubuh
yang dimiliki Putra Mahkota Kerajaan Kafi Jirak
ini. Namun belum cukup tinggi untuk bisa
menyamainya. Dan Bayu hanya mengerahkan
setengah saja dari ilmu meringankan tubuh yang
dimiliki. Itu pun tampaknya jadi terbalik.
Bukannya Bayu yang menyesuaikan diri, tapi
malah Raden Antawirya yang harus
menyesuaikan. 
--oo0dw0oo-- 
Raden Antawirya terperanjat ketika tiba-tiba 
mendengar jeritan-jeritan melengking saling
susul. Putra Mahkota Kerajaan Kali Jirak itu
buru-buru mengenakan tudungnya, lalu
berlompatan cepat Tapi dua kali pemuda itu
melompat pada saat yang sama Bayu sudah
mendahului dengan hanya sekali lesatan saja. 
Pada saat Pendekar Pulau Neraka tiba,
tampak seluruh prajurit yang dibawa Pauh
Natabrata sudah tergeletak tak bernyawa lagi.
Tubuh mereka berlubang 
mengeluarkan asap. Selagi Bayu memeriksa
para prajurit itu, Raden Antawirya baru sampai
Hati pemuda itu terkejut melihat semua prajurit
yang dibawa Patih Natabrata sudah tergeletak

tak bernyawa lagi 
"Bayu, di mana Paman Patih?" tanya Raden
Antawirya. 
Bayu tersentak, karena seperti diingatkan
oleh pertanyaan itu. Semua mayat ini berjumlah
dua puluh, dan hanya para prajurit saja.
Sedangkan Patih Natabrata tidak kelihatan.
Kedua pemuda itu saling berpandangan,
kemudian sama-sama mengalihkan pada kuda
yang tadi ditunggangi Patih Natabrata. 
"Pasti Paman Patih mengejar perempuan iblis 
itu, Bayu," desis Raden Antawirya menduga. 
Bayu cepat menangkap tangan Raden
Antawirya yang akan melangkah memasuki
Hutan Kamiaka. Raden Antawirya
mengurungkan niatnya, lalu menatap Bayu
dalam-dalam. 
"Jangan bertindak gegabah dulu, Raden. Kita 
belum tahu, siapa orang itu," kata Bayu
mengingatkan. 'Tapi aku harus
menyelamatkannya, Baya" "Aku tahu. Tapi tidak
dengan cara begini. Kita harus hati-hati dan 
jangan terbawa arus kemarahan." 
Raden Antawirya menarik napas panjang dan
menghembuskannya kuat-kuat. Diakui 
kebenaran kata-kata Pendekar Pulau Neraka itu.
Untuk menghadapi manusia misterius
berkemampuan sangat tinggi memang tidak bisa

dengan kepala panas. Raden Antawirya
mengangkat bahunya, menyerahkan segalanya
pada pemuda berbaju kulit harimau itu. 
M ALA H G 
"Ayo kita kembali ke kotaraja," ajak Bayu. 
"Kembali..?!" Raden Antawirya terperanjat 
"Iya, nanti akan kujelaskan" 
Raden Antawirya tidak bisa membantah lagi.
Diikuti saja Pendekar Pulau Neraka yang sudah
melangkah cepat meninggalkan tepian Hutan
Kamiaka yang angker ini. Mereka berjalan cepat
mempergunakan ilmu meringankan tubuh,
sehingga dalam waktu sebentar saja sudah jauh
meninggalkan tepian hutan. 
"Kau punya rencana, Bayu?" tanya Raden
Antawirya tidak sabar. 
"Ya. Kudengar seorang perambah hutan 
tewas terbunuh semalam," sahut Bayu. 
"Apa hubungannya dengan semua ini?" 
"Jika perambah hutan itu tidak bertemu
denganmu lebih dahulu, mungkin aku tidak akan
mengkait-kannya. Terlebih lagi, aku dengar dia
sempat melaporkan pada ayahmu di istana. 
Hanya sayang sekali malamnya, perambah
hutan itu tewas dengan leher terpenggal." 
"Ohhh...," Raden Antawirya mendesah

panjang. 
"Aku akan memancingnya untuk menemuiku,
Raden," jelas Bayu mengemukakan rencananya. 
"Maksudmu?" Raden Antawirya tidak
mengerti. 
"Aku akan menemui ayahmu dan mengatakan
pernah melihatmu Dengan cara demikian, aku
yakin orang itu akan menemuiku dan hendak
membunuhku." 
"Rencanamu terlalu berbahaya, Bayu," Raden
Antawirya kurang setuju. 
"Raden.... Adalah suatu perbuatan bodoh jika
memasuki Hutan Kamiaka. Padahal masih ada
cara lain yang lebih memungkinkan dan tidak
terlalu berbahaya," Bayu mencoba memberi
pengertian. 
Kembali Raden Antawirya terdiam. Meskipun
hatinya tidak setuju terhadap rencana Pendekar
Pulau Neraka ini, tapi tidak bisa membantah 
lagi. Disadari kalau pengalamannya dalam
menghadapi, kejadian seperti ini belumlah
seberapa bila dibandingkan Bayu yang sudah
kenyang makan asam garam rimba persilatan. 
Meskipun baru sedikit, tapi cerita mengenai
diri Pendekar Pulau Neraka itu sudah terserap 
ke dalam hati sanubari Raden Antawirya. Tidak
mungkin orang biasa akan bisa menyambarnya
begitu cepat ketika hampir saja terhempas ke

tanah akibat serangan Dewi Iblis. Bahkan
pemuda berbaju kulit harimau itu juga
menyembuhkan luka-lukanya hanya dengan 
penyaluran hawa mumi. Bayu memang hanya
mengatakan sedikit tentang dirinya, tapi itu
sudah cukup bagi Raden Antawirya untuk
menaruh kepercayaan padanya. 
"Aku akan membuat pondok kecil di luar
batas kota," kata Bayu kembali mengemukakan
rencananya untuk bertemu orang misterius itu. 
"Lalu?" tanya Raden Antawirya ingin tahu
lebih lanjut. 
"Sementara kau tetap tinggal di pondok, dan
jangan ke mana-mana. Meskipun dia datang,
jangan menampakkan diri. Biar aku yang akan
menghadapinya sendiri. Aku yakin, dia bukan 
setan, jin, iblis dari neraka atau sejenisnya. Dia
pasti manusia biasa yang memiBki tingkat
kepandaian tinggi." 
"Tapi, mukanya...," Raden Antawirya serasa
tak sanggup membayangkan wajah orang itu. 
"Bisa saja mengenakan topeng, Raden. Atau
mungkin juga pernah terluka sehingga kulit
wajahnya habis terkelupas." 
"Yah..., terserah kau sajalah," desah Raden
Antawirya menyerah. 
Bayu hanya tersenyum saja.

"Bayu, ada sesuatu yang masih mengganjal
hatiku," ungkap Raden Antawirya pelan. 
"Katakan saja, Raden." 
"Mungkin aku sudah mengatakan padamu,
tapi rasanya masih kupikirkan." "Hm...." 
"Terus terang aku tidak mengerti, kenapa
orang itu menculik adikku. Bahkan juga
mengatakan kalau adikku harus menjalani
hukuman selama seratus tahun lamanya...,"
Raden Antawirya mengeluarkan ganjalan di
hatinya. 
"Kau pernah menanyakan hal ini pada
ayahmu, Raden?" tanya Bayu 
'Tidak," sahut Raden Antawirya, agak
ngambang suaranya. 
"Kenapa Raden tidak menanyakannya?" 
"Ayah teriaki larut dalam kesedihan.
Sedangkan aku tidak sampai hati untuk 
menanyakannya, Bayu. Itu sebabnya, kenapa
aku nekad hendak membebaskan adikku sendiri
tanpa sepengetahuan orang lain," jelas Raden
Antawirya 
"Selama ini, apakah kau tahu ayahmu punya
musuh?" tanya Bayu lagi. 
"Tidak. Belum pernah kudengar kalau
Ayahanda Prabu punya musuh," sahut Raden
Antawirya.

"Aneh juga...," gumam Bayu pelan, seperti
bicara pada dirinya sendiri. 
"Itulah yang membuatku tidak habis mengerti
sampai sekarang, Bayu. Baik Ayahanda Prabu,
aku, dan adikku tidak pernah menyakiti siapa
pun juga. Kehidupan kami selalu damai, hingga
sampai datang manusia aneh itu yang menculik
adikku." 
"Di mana adikmu diculik?" 
"Di kaputren. Semua dayang dan emban
pengasuhnya tewas. Bahkan pengawal yang
menjaga kaputren pun tewas. Orang itu sudah
lenyap sambil membawa adikku begitu aku,
Ayahanda Prabu, dan Patih Natabrata serta
beberapa prajurit datang."~ 
"Lalu, bagaimana kalian bisa tahu kalau
adikmu diculik?" 
"Salah seorang pengawal memberitahu
sebelum tewas." 
Bayu terdiam membisu dengan kening agak
berkerut Ayunan langkahnya tidak berhenti
meskipun mereka sudah meninggalkan padang
rumput, dan kini tengah menuju Kota Kerajaan
Kali Jirak. Dari cerita yang didengar, Pendekar
Pulau Neraka belum menemukan adanya
kejanggalan. Tapi agak heran juga, karena
seluruh dayang dan emban serta pengawal
kaputren tewas. Sedangkan yang dia tahu,

kaputren merupakan tempat terlarang. Dan
hanya keluarga istana serta kerabat dekat saja
yang boleh memasuki. 
Sekeliling kaputren sudah pasti dijaga ketat
Jika orang itu bisa masuk dengan menewaskan 
seluruh penjaga, tentu tingkat kepandaiannya
tinggi sekali. Dan yang pasti, orang itu sudah
mengetahui seluk-beluk kaputren, sehingga bisa
bergerak cepat dan leluasa sebelum diketahui
penjaga lainnya. 
"Raden, apakah benteng kaputren mudah
dilompati?" tanya Bayu 
"Rasanya sulit, Bayu. Aku sendiri belum bisa
mencapai puncaknya," sahut Raden Antawirya.
"Tapi entah jika memang dia memiliki
kepandaian tinggi. Dan aku yakin, kau juga bisa
melewatinya dengan sekali lompatan saja." 
"Ada berapa pintu masuk ke dalam 
kaputren?" tanya Bayu lagi. 
"Satu. Tapi...." ' 
'Tapi apa, Raden?* 
"Ada pintu khusus yang hanya dilalui Ibunda
Permaisuri. Tidak ada seorang pun yang boleh
melewatinya, karena pintu itu langsung
menembus kamar pribadinya." 
"Hm...," gumam Bayu pelahan. 
Sedangkan Raden Antawirya hanya diam saja.

"Satu lagi pertanyaanku, Raden. Apakah di
luar benteng kaputren ada penjaga selain di
dalam?" tanya Bayu. 
"Ada. Jumlahnya sekitar satu pasukan jika
siang, 
dan dua pasukan di malam hari." "Penjaga-
penjaga itu tewas juga?" 'Tidak..." 
Bayu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Jawaban Raden Antawirya yang terakhir bernada
ragu-ragu. Tapi untuk sementara jawaban itu
dirasa cukup untuk menjadi bahan
pertimbangannya. Dan otak Pendekar Pulau
Neraka itu mulai bekerja keras. Dan kini mulai
timbul berbagai macam dugaan di benaknya.
Juga, berbagai macam pertanyaan yang disadari
belum bisa terjawab secepat ini. 
--oo0dw0oo-- 
TIGA


Bayu memandangi bagian dalam bangunan
Istana Kerajaan Kali Jirak yang begitu megah
dan indah. Dua orang penjaga membawanya
untuk bertemu Prabu Truna Dilaga yang
menunggu di taman belakang istana. Ruangan
demi ruangan dilalui, dan Bayu selalu 
mengamatinya. 
Setelah melalui satu lorong panjang yang di
kanan dan kirinya terdapat pintu-pintu tertutup,

mereka tiba di depan sebuah pintu yang dijaga
empat orang prajurit Salah seorang prajurit yang
membawa Bayu menjelaskan tentang maksud
kedatangan pemuda berbaju kulit harimau ini
yang hendak bertemu Prabu Truna Dilaga. Dan
ketika pintu terbuka, aroma harum langsung
menyerbu menyengat hidung. 
Bayu mendesah kagum begitu kakinya
menginjak taman yang indah bagai berada di
dalam sorga. Pandangan Pendekar Pulau'Neraka
itu langsung tertumbuk pada seorang laki-laki 
berusia lebih dari tujuh puluh tahun yang duduk
di kursi taman. Di sebelahnya duduk seorang
wanita berparas cantik, meskipun garis-garis 
ketuaan mulai menggurat wajahnya. Bayu 
menaksir kalau usia wanita ini mungkin sudah
berkepala empat. 
Dua prajurit yang membawa Bayu segera
berlutut memberi sembah begitu sampai di
depan Prabu Truna Dilaga dan permaisurinya.
Bayu ikut berlutut dan merapatkan kedua
tangannya di depan hidung. Pemuda berbaju
kulit harimau itu sudah diajarkan Raden
Antawirya, bagaimana jika berhadapan dengan
Prabu Truna Dilaga. 
"Ada apa, Prajurit?" tanya Prabu Truna Dilaga. 
"Ampun, Gusti Prabu. Hamba membawa
seorang pemuda yang mengaku melihat Raden
Antawirya," sahut salah seorang prajurit,

bersikap penuh rasa hormat 
"Hm...," Prabu Truna Dilaga menggumam
sambil mengamati pemuda berbaju kulit
harimau yang sudah duduk bersila di tanah
berumput. "Kalian boleh pergi, Prajurit" 
Kedua prajurit itu memberi sembah, lalu
beranjak pergi meninggalkan taman ini. 
"Siapa namamu, Anak Muda?" tanya Prabu
Truna Dilaga setelah kedua prajurit itu pergi 
"Nama hamba Bayu, Gusti Prabu," sahut Baya
Sikapnya telah seperti yang diajarkan Raden
Antawirya, meskipun tidak pernah menyukainya. 
"Pekerjaanmu?" 
"Berburu, Gusti Prabu." 
"Benar, kau telah bertemu putraku?" tanya
Prabu Truna Dilaga seraya menatap dalam-
dalam pemuda berbaju kulit harimau di
depannya. 
"Benar, Gusti Prabu. Hamba bertemu di tepi
padang rumput Dan Raden Antawirya menuju
Hutan Kamiaka." 
"Lalu, kau bertemu lagi?" 
"Tidak, Gusti. Tapi kemarin hamba bertemu
Patih Natabrata dan dua puluh orang prajurit
yang juga menuju Hutan Kamiaka." 
"Apa...?!" Prabu Truna Dilaga terperanjat

bukan main. 
Dia sampai terlonjak berdiri mendengar Patih
Natabrata pergi ke Hutan Kamiaka bersama dua
puluh orang prajurit 
"Pengawal! Panggil Punggawa Dipa Praga!"
perintah Prabu Truna Dilaga pada seorang 
pengawal yang berada di dekatnya. 
Pengawal itu memberi sembah, kemudian
bergegas berlari melaksanakan perintah itu.
Prabu Truna Dilaga berjalan mondar-mandir 
dengan wajah membe-rengut Jelas terlihat 
kegelisahan melanda hatinya. Dari sudut ekor 
matanya, Bayu memperhatikan sikap Prabu
Truna Dilaga. Dia juga memperhatikan wanita
yang tetap saja duduk tanpa cahaya sedikit pun.
Bahkan wanita itu memandangi pemuda berbaju
kulit harimau di depannya dengan sinar mata
sukar diartikan. 
Pengawal yang diperintahkan tadi, kini telah
datang kembali bersama seorang laki-laki 
berusia sekitar tiga puluh tahun. Mereka
langsung memberi sembah begitu sampai di
depan Prabu Truna Dilaga. Pengawal kembali
mengambil tempat, berdiri di belakang Raja Kali
Jirak itu. 
"Punggawa Dipa Praga," terdengar berat nada
suara Prabu Truna Dilaga. 
"Hamba, Gusti Prabu," sahut Punggawa DipaPra- ' ga seraya memberi sembah. 
"Di mana kau lihat Patih Natabrata?" tanya
Prabu Truna Dilaga. 
"Ampun, Gusti Prabu. Kemarin Gusti Patih
berangkat ke Hutan Kamiaka," sahut Punggawa
Dipa Praga. 
"Heh...! Kau tahu, kenapa tidak melaporkan
padaku?" bentak Prabu Truna Dilaga. 
"Ampun, Gusti Prabu. Hamba dilarang untuk
melaporkannya. Gusti Patih sendiri yang
melarang." 
Prabu Truna Dilaga bersungut-sungut sendiri, 
kemudian memerintahkan Punggawa Dipa Praga
mengantarkan Bayu ke luar. Tanpa banyak kata
lagi, mereka beranjak pergi meninggalkan taman
itu. Prabu Truna Dilaga masih berjalan mondar-
mandir, dan wajahnya masih memberengut
Memang disesali juga tindakan Patih Natabrata 
yang nekad pergi ke Hutan Kamiaka. Sedangkan
Raden Antawirya sendiri sampai sekarang belum
kembali juga. 
"Aku benar-benar tidak mengerti jalan pikiran
Paman Patih. Kenapa dia begitu nekad pergi ke
hutan itu...?" gumam Prabu Truna Dilaga seperti 
bicara pada dirinya sendiri. 
"Mungkin ingin membebaskan anakmu,
Kanda Prabu," celetuk Permaisuri Rara
Kuminten yang sejak tadi diam saja.

'Tapi tidak seharusnya bertindak sendiri
seperti itu...? Paling tidak hal itu bisa
dibicarakan padaku lebih dahulu. Hhh.... aku 
tidak yakin bisa bertemu lagi dengannya. Tidak
ada seorang pun yang bisa keluar dalam
keadaan hidup dari hutan itu," nada suara Prabu 
Truna Dilaga terdengar menyesali. 
"Kenapa tidak kau kirim saja prajurit ke sana,
Kanda?" usul Permaisuri Rara Kuminten. 
"Terlalu riskan mengirim prajurit ke hutan itu,
Dinda." 
"Kau sudah kehilangan kedua anakmu, dan
sekarang ditambah patih kesayanganmu Apa
kau ingin ada lagi korban berikutnya dari orang-
orang yang kau sayangi? Malah tidak mustahil,
aku pun bisa hilang diculik." 
"Jangan punya pikiran yang bukan-bukan, 
Dinda." 
"Aku hanya mengemukakan pendapatku saja,
Kanda:" 
Permaisuri Rara Kuminten bangkit berdiri dan
melangkah meninggalkan taman itu. Enam
orang gadis yang selalu bersamanya mengikuti
dari belakang. Sedangkan Prabu Truna Dilaga
masih di taman ini bersama dua orang pengawal
saja. Wajah Raja Kali Jirak itu semakin terlihat
kusut

oo0dw0oo-- 
Bayu duduk mencangkung di beranda pondok
yang dibangunnya siang tadi bersama Raden
Antawirya. Pondok yang tidak begitu bagus, tapi 
cukup buat melancarkan rencananya untuk
bertemu manusia bermuka tengkorak
Sementara malam terus merambat semakin
larut. Kesunyian begitu terasa mencekam
sekitarnya. Di halaman pondok itu, Bayu
membuat api unggun untuk sedikit memberi 
kehangatan di malam yang cukup dingin itu.
Pendekar Pulau Neraka masih tetap menunggu
dengan sikap penuh waspada. Namun, beranda
yang hanya diterangi lampu minyak jarak itu,
tidak mampu menyingkap ketegangan di wajah
Pendekar Pulau Neraka. 
"Dia sudah datang, Bayu?" terdengar suara
dari dalam pondok. 
"Belum. Jangan menampakkan dirimu,
Raden," sahut Bayu berbisik. 
» "Kapan datangnya?" tanya Raden Antawirya
yang bersembunyi di balik dinding pondok.
Sengaja pintunya dibuka sedikit agar nanti
bisa.melihat ke luar. 
"Aku tidak tahu, Raden," sahut Bayu lagi. 
"Uh! Nyamuk-nyamuk ini membuatku tidak
tahan lagi, Bayu!" rungut Raden Antawirya. 
Bayu hanya tersenyum kecut.

"Dasar anak raja!" umpat Pendekar Pulau
Neraka dalam hati. 
Beberapa kali memang terdengar tepukan
yang cukup keras. Pasti Raden Antawirya sedang
berperang melawan nyamuk. 
"Jangan berisik, Raden. Nanti dia tidak mau
datang..!" bisik Bayu. 
"Kulitku pedas digigiti nyamuk terus, Bayu!"
rungut Raden Antawirya. 
'Tahanlah sedikit. Kau bukan perempuan
yang bisanya hanya mengeluh saja." 
Kini tak ada lagi suara. Mungkin Raden
Antawirya memberengut atau mengumpat dalam
hati. Dan Bayu hanya tersenyum-senyum saja.
Entah apa yang membuatnya tersenyum.
Mungkin kelakuan Raden Antawirya yang
membuatnya jadi tertawa geli di dalam hati. 
Memang sukar hidup di alam terbuka bagi yang
tidak terbiasa. 
"Heh...!" tiba-tiba Bayu terperanjat ketika
mendadak saja pelita dari minyak jarak padam.
Demikian pula api unggun yang dibuatnya tadi. 
Belum hilang rasa keterkejutan Pendekar
Pulau Neraka itu, mendadak saja di depannya
muncul seorang perempuan berambut panjang
terurai hampir menutupi wajahnya yang tidak
memiliki daging. Wanita itu mengenakan jubah
merah panjang yang menutupi seluruh

tubuhnya. Sebatang tongkat yang ujungnya
berbentuk bintang bersegi delapan tergenggam
di tangan yang tertutup lengan jubah merahnya.
Bayu menggelinjang bangkit berdiri, lalu
melangkah beberapa tindak ke depan 
"Kau yang bernama Bayu?" serak dan kering
sekali suara wanita berwajah tengkorak itu. 
"Benar, dan kau siapa?" balas Bayu. 
"Kau tidak periu tahu siapa aku, Bayu!" desis
wanita berwajah tengkorak itu sengit. 
"Hm..., lalu apa maksudmu datang ke sini?"
dengus Bayu tidak kalah dinginnya. 
"Aku datang hendak mencabut nyawamu,
keparat!" 
"Apa salahku...?" 
Tapi pertanyaan Pendekar Pulau Neraka itu
tidak terjawab. Bahkan jawaban yang diterima
adalah serangan dari kibasan tongkat yang
begitu cepat luar biasa. Sejenak Bayu
terperangah, namun cepat menarik lehernya ke
belakang. Maka sabetan tongkat itu lewat di
depan lehernya. 
Namun Bayu sempat terkejut juga, karena
angin tebasan tongkat itu mengandung hawa
panas dan hempasan yang begitu kuat
Akibatnya Pendekar Pulau Neraka itu sedikit
terhuyung, terdorong ke belakang.

"Bagus! Rupanya kau punya kebolehan juga,
Bayu!" dengus wanita berwajah tengkorak itu. 
"Kau belum menjelaskan, kenapa ingin
membunuhku?" sentak Bayu. 
"Tidak perlu penjelasan bagi manusia lancang
seperamu!" 
Setelah berkata demikian, perempuan
bermuka tengkorak itu langsung saja melompat
menyerang kembali. Dan kali ini lebih dahsyat
dari semula. Bayu cepat-cepat melompat ke 
samping sambil menarik tubuhnya ke belakang,
sehingga tebasan tongkat itu kembali luput dari
sasaran. Hal ini membuat perempuan bermuka
tengkorak itu jadi geram bukan main. 
"Hiyaaat..!" 
Sambil berteriak keras, perempuan bermuka
tengkorak itu memperhebat serangannya.
Tongkat berujung bintang segi delapan itu
berkelebatan cepat mengurung setiap gerakan
Pendekar Pulau Neraka. Tapi, kali ini wanita itu
mendapat lawan yang memiliki segudang
pengalaman bertarung dan kepandaian yang
sangat tinggi. Makanya, hingga kini serangannya
belum juga bisa mendapatkan hasil yang
diharapkan. 
Bahkan beberapa kafi Bayu melancarkan
serangan balik yang membuat perempuan
bermuka tengkorak itu jadi kelabakan

menghindarinya. Beberapa kali dia menyumpah
dan memaki menyemburkan ludahnya saat
Pendekar Pulau Neraka melancarkan serangan
balik yang dahsyat dan membuatnya kerepotan
untuk menghindar. 
Pertarungan terus berlangsung semakin
sengit. Jurus demi jurus cepat terlewati. 
Sementara dari balik pintu pondok, Raden
Antawirya memperhatikan tanpa berkedip.
Sungguh tidak diduga kalau Bayu mampu
menandingi perempuan bermuka tengkorak itu.
Walaupun pertarungan sudah berlangsung lebih
dari sepuluh jurus, tapi belum ada tanda-tanda 
bakal ada yang terdesak. Bahkan pertarungan
ini kelihatan akan berlangsung lama. 
Dan setelah dua puluh jurus berlalu, Bayu
tidak hanya menerima serangan. Bahkan
sekarang dia malah lebih banyak memberi
serangan. Tentu saja hal ini membuat
perempuan bermuka tengkorak itu semakin
kelabakan saja. Sambil bertarung, mulutnya
terus mengeluarkan sumpah serapah, karena
tidak akan menyangka bakal mendapatkan
lawan begini tangguh. 
"Mampus kau! Hiyaaa...!" sambil berteriak
keras, perempuan bermuka tengkorak itu
mengayunkan tongkatnya ke arah kepala
Pendekar Pulau Neraka. 
Tapi Bayu tidak berusaha berkelit. Bahkan

tangan kanannya diangkat, dan dibiarkan saja
tongkat itu beradu dengan pergelangan tangan
kanannya. 
Trang! 
Satu benturan keras terjadi. Seketika
percikan bunga api menyebar 
ke segala penjuru. Tampak
perempuan bermuka
tengkorak itu bergetar
tangannya, dan buru-buru 
menarik pulang tongkatnya.
Tapi belum juga sempurna
menarik tongkatnya,
mendadak saja Bayu melayangkan satu
tendangan keras menggeledek. 
"Yeaaah...!" 
Tendangan yang begitu cepat dan tiba-tiba itu 
tidak bisa dihindari lagi. Terlebih lagi perempuan
tua bermuka tengkorak itu tengah berusaha
menahan getaran pada tangannya akibat
benturan ujung tongkatnya dengan pergelangan
tangan Bayu tadi. 
Dughk! 
"Hughk..!" perempuan bermuka tengkorak itu
mengeluh pendek. 
Tendangan Bayu tepat menghantam
perutnya, membuat tubuh berjubah merah itu
terbungkuk dan terhuyung-huyung ke belakang.

Pada saat itu Bayu sudah melompat cepat
sambil melancarkan dua pukulan sekaligus ke 
arah dada. Tapi perempuan bermuka tengkorak
itu masih mampu menghindari dengan menarik
kakinya cepat-cepat ke samping. Sungguh sukar
diikuti pandangan mata biasa. Karena tanpa
diduga sama sekali, dalam keadaan tubuh
masih berada di udara, Pendekar Pulau Neraka
memutar tubuh sambil mengibaskan tangan
kirinya langsung ke arah muka perempuan
bermuka tengkorak itu. 
Plak! 
"Akh...!" perempuan bermuka tengkorak itu
terpekik keras. 
Pukulan Bayu demikian keras, sampai-sampai 
tubuh perempuan bermuka tengkorak itu 
berputar bagai gasing. Dan pada saat itu terlihat
sebuah benda keperakan terlontar. Seketika itu
juga, perempuan bermuka tengkorak cepat
melesat kabur. Begitu cepatnya, sehingga
sebelum Bayu bisa mengejar, bayangan
tubuhnya sudah lenyap ditelan kegelapan 
malam. 
"Hhh...!" Bayu menghembuskan napas
panjang. 
--oo0dw0oo-- 
Raden Antawirya keluar dari pondok setelah
cukup lama menunggu akhir pertarungan.

Dihampainya Bayu yang sedang membungkuk
memungut sesuatu dari tanah. Pendekar Pulau
Neraka itu langsung memutar tubuhnya 
menghadap Raden Antawirya. 
"Ini...!" Bayu menyodorkan tangannya yang
memegang benda berwarna keperakan. 
"Apa ini...?" tanya Raden Antawirya seraya
menerima benda keperakan itu. "Topeng...?" 
Raden Antawirya memandang Bayu dalam-
dalam, kemudian kembali merayapi benda perak
di tangannya. Benda berbentuk topeng
tengkorak yang begitu halus berwarna
keperakan, tapi lentur bagai karet 
"Sayang, aku tidak sempat melihat wajah di
balik topengnya," desah Bayu. 
Raden Antawirya kembali mengalihkan
pandangannya pada Pendekar Pulau Neraka itu.
Sedangkan 
Bayu menghampiri tumpukan kayu api
unggun yang tadi padam akibat terlempar
sebuah benda keperakan. 
Bayu menyalakan kembali api dengan batu
pemantik, kemudian duduk di dekat api.
Beberapa ranting ditambahkan agar nyala api
lebih besar. Raden Antawirya ikut duduk di
samping Pendekar Pulau Neraka itu, sambil
mengamati topeng tengkorak di tangannya.

"Sudah kuduga, dia pasti manusia biasa yang
hanya mengenakan topeng," jelas Bayu lagi
setelah menghembuskan napas panjang. 
'Tapi, siapa orang itu, ya...?" gumam Raden
Antawirya seperti bertanya pada dirinya sendiri. 
"Itulah yang harus kau selidiki, Raden." 
"Aku...?!" Raden Antawirya menatap Bayu
dalam-dalam. 
"Siapa lagi kalau bukan kau yang menyelidiki,
Raden." 
"Lalu, kau sendiri...?" 
Bayu tersenyum. Meskipun Raden Antawirya
tidak mengemukakan secara langsung, tapi dari
nada suaranya sudah bisa dipastikan kalau
bantuan Pendekar Pulau Neraka ini sangat
diharapkan. Memang, Raden Antawirya telah
menyaksikan sendiri kehebatan Pendekar Pulau 
Neraka. Pertama, ketika dia bentrok dan hampir
tewas kalau Bayu tidak segera menolongnya.
Dan yang kedua telah disaksikan sendiri betapa
dahsyatnya pertarungan tadi. Dari situ saja
Raden Antawirya sudah bisa mengukur
kemampuannya sendiri. Tak mungkin manusia 
misterius itu bisa dihadapi seorang diri kalau
tidak meminta bantuan Pendekar Pulau Neraka.
Dan pada saat ini, tidak mungkin mencari orang
lain lagi. 
"Bayu, kau bersedia membantuku?" tanpa

sungkan-sungkan lagi Raden Antawirya meminta
bantuan Pendekar Pulau Neraka itu. 
"Kalau kau percaya padaku?" 
"Kenapa tidak? Aku tentu menaruh
kepercayaan penuh padamu, Bayu." 
Bayu tersenyum, dan Raden Antawirya juga
tersenyum senang. Untuk beberapa saat
lamanya mereka tidak berbicara, namun benak
masing-masing terus berputar. Memang sangat
disayangkan kalau wajah di balik topeng
tengkorak itu tidak sempat terlihat Orang itu
begitu cepat melarikan diri begitu topengnya
terbebas. Bahkan Raden Antawirya sendiri
belum sempat melihat wajah aslinya. 
"Bayu, kita sudah tahu kalau dia manusia
biasa. Apa tidak sebaiknya kita ke Hutan
Kamiaka saja?" saran Raden Antawirya. 
"Untuk apa ke sana, Raden?" tanya Bayu. 
"Aku merasa adikku dan Paman Patih masih
hidup, dan kini dikurung di dalam hutan itu." 
"Dan kau akan menjelajahinya?" 
Raden Antawirya tidak menjawab. 
"Hutan itu sangat luas, Raden. Dan tidak 
mungkin bisa menjelajahinya dalam waktu
singkat. Lagi pula akan memakan waktu yang
tidak sedikit."

"Lalu, apa pikiranmu, Bayu?" tanya Raden
Antawirya meminta pendapat. 
"Aku rasa kita bisa mendapatkan orang itu di
sini, Raden." 
"Di sini...?!" Raden Antawirya tidak mengerti. 
"Ya, di Istana Kafi Jirak." 
"Kau jangan main-main, Bayu!" sentak Raden
Antawirya. 
"Sebaiknya kita telaah setiap kejadian yang
telah berlalu, Raden. Dan jebakanku berhasil 
baik. Dari situ saja sudah bisa kuduga kalau
orang yang kita maksud ada di dalam istana.
Dan dia tahu kedatanganku, serta mengetahui
apa yang kukatakan pada Prabu Truna Dilaga.
Dan aku yakin, orang itu juga mengetahui
kedatangan perambah hutan itu, sehingga
dengan mudah bisa membunuhnya," Bayu
memaparkan jalan pikirannya. 
'Teruskan, Bayu," pinta Raden Antawirya
mulai tertarik 
"Pertama dari ceritamu. Sudah kuduga kalau
orang itu ada di dalam istana dan mengetahui
seluk beluknya dengan pasti. Itu sebabnya 
kenapa aku menggunakan cara ini. Aku memang
ingin membuktikan, apakah dia akan
membunuh setiap orang yang melaporkan
tentang dirimu, Raden," lanjut Bayu.

"Ulu?" 
"Dia bisa mengetahui siapa saja yang pergi ke
Hutan Kamiaka, dan mencegatnya di sana 
sebelum orang itu datang. Itu sebabnya
kedatanganmu ke sana sudah diketahuinya.
Bahkan dia juga menunggu kedatangan Patih
Natabrata." 
"Hm..., aku tidak mengatakan kepergianku
pada siapa pun," gumam Raden Antawirya. 
'Tngat-ingatlah, Raden. Mungkin Raden lupa, 
atau secara tidak sadar pernah mengucapkan
sesuatu." 
Raden Antawirya diam termenung. 
"Ya. Aku memang pernah bilang, akan
mencari adikku di Hutan Kamiaka. Tapi aku
tidak mengatakan kapan dan dengan siapa akan
pergi." 
"Kepada siapa Raden bicara?" tanya Bayu. 
"Pada Ayahanda Prabu. Tapi di situ juga ada
Ibunda Permaisuri dan Paman Patih Natabrata.
Juga ada beberapa punggawa serta prajurit." 
'Terlalu banyak. Sukar mencurigai salah
satunya," gumam Bayu pelan. 
"Kau mencurigai salah satu dari mereka,
Bayu?" 
"Raden! Waktu aku datang menemui

ayahanda-mu, hanya ada Prabu Truna Dilaga,
Gusti Permaisuri, dan dua orang prajurit
pengawal. Tidak ada yang lain. Tapi...." 
'Tapi apa, Bayu?" 
"Punggawa Dipa Praga tahu kalau Patih
Natabrata pergi ke Hutan Kamiaka, tapi tidak 
melaporkannya pada ayahmu." 
"Aneh...," desah Raden Antawirya. 
--oo0dw0oo— 
EMPAT


Bayu tersentak bangun dari tidurnya, dan
langsung melihat Raden Antawirya yang sudah
terbangun. Bumi yang mereka pijak bergetar,
disertai gemuruh bagai terjadi gempa. Belum
lagi mereka sempat berpikir, tiba-tiba saja asap 
mengepul di atap pondok ini. Dan.... 
"Cepat keluar dari sini...!" seru Bayu begitu
melihat api cepat melahap atap pondok 
Raden Antawirya langsung menyambar
tudung tikar, lalu mengenakannya. Kemudian
dia melompat ke atas mengikuti Pendekar Pulau
Neraka yang sudah lebih dahulu melompat
menerjang atap yang terbakar. Mereka berputar
di udara, kemudian hinggap di sebuah batang
pohon yang cukup besar. 
Kedua pemuda itu terkejut bukan main ketika

melihat di sekeliling pondok telah dikepung
orang-orang berbaju merah dengan kepala
terselubung kain merah juga. Wajah mereka
mengenakan topeng ber-bentuk tengkorak 
manusia. Mereka semua menunggang kuda,
berjumlah sekitar dua puluh orang. 
"Itu di atas pohon! Seraaang...!" tiba-tiba 
salah seorang menunjuk ke atas pohon tempat
Bayu dan Raden Antawirya berada. 
Seketika itu juga benda-benda bulat kecil 
berwarna keperakan bertebaran ke arah Bayu
dan Raden 
Antawirya. Sejenak kedua pemuda itu saling
berpandangan, kemudian secepat kilat
berlompatan, berputaran di udara menghindari
terjangan benda-benda kecil keperakan itu. 
Pohon yang mereka naiki tadi meledak dan
hancur berkeping-keping tersambar benda-
benda keperakan yang dilontarkan orang-orang 
berbaju merah dan mengenakan topeng
tengkorak itu. Bayu dan Raden Antawirya
mendarat manis di tanah, agak jauh jaraknya
dari dua puluh orang bertopeng tengkorak itu. 
Tapi belum juga mereka bisa menarik napas
lega, orang-orang bertopeng tengkorak itu sudah
mengge-bah kudanya dan menerjang kedua
pemuda itu. Terpaksa Raden Antawirya harus
mencabut pedangnya, dan langsung melompat

menyongsong. Sedangkan Bayu menunggu
dengan tangan terkepal erat. 
"Hiya!" 
"Yeaaah...!" 
Pertempuran pun tak dapat dihindari tagi.
Raden Antawirya mengamuk bagai banteng
terluka. Dengan pedang di tangan, pemuda itu
benar-benar sangat berbahaya bagi lawan-
lawannya. Pedangnya berkelebat cepat dan
sukar diduga arahnya. Namun orang-orang 
bertopeng tengkorak itu rupanya memiliki
tingkat kepandaian tinggi juga. Mereka mampu
mengimbangi amukan Raden Antawirya. Bahkan
tidak jarang membuat putra mahkota itu
kerepotan. 
Sementara Bayu hanya dengan tangan
kosong saja sudah berhasil merobohkan lima
orang pengeroyoknya. Sambil bertarung,
Pendekar Pulau Neraka itu selalu
memperhatikan Raden Antawirya yang 
kelihatannya masih kerepotan menghadapi
lawan-lawannya. Melihat posisi Raden Antawirya
semakin terdesak dan kewalahan, Bayu segera
meningkatkan serangan-serangannya. 
Jerit dan pekikan terdengar saling sahut,
disusul robohnya orang-orang berbaju merah 
yang wajahnya tertutup topeng tengkorak.
Dalam waktu tidak berapa lama saja, semua

pengeroyok Pendekar Pulau Neraka sudah
tergeletak tak bernyawa lagi. 
"Hiyaaa...!" 
Sambil berteriak keras menggelegar, Bayu
melompat membantu Raden Antawirya.
Meskipun putra mahkota itu selalu terdesak,
tapi sudah merobohkan tiga orang lawannya.
Dan terjunnya Pendekar Pulau Neraka membuat
lawan-lawan semakin porak-poranda. Pukulan 
dan tendangan Bayu sungguh keras luar biasa,
dan tak terbendung lagi. Jerit dan pekik
melengking semakin sering terdengar, dan
sebentar kemudian suasana jadi sunyi senyap. 
Bayu dan Raden Antawirya berdiri tegak
berdampingan, dan sama-sama 
menghembuskan napas panjang sambil
memandangi dua puluh mayat bergelimpangan.
Raden Antawirya membuka topeng tengkorak
salah satu mayat dengan ujung pedangnya.
Tampak seraut wajah yang masih tergolong
muda tersembunyi di balik topeng tengkorak itu. 
"Kau kenal dia?" tanya Bayu. 
Raden Antawirya hanya menggelengkan
kepalanya saja. Ujung pedangnya kemudian
menyingkap satu persatu topeng-topeng 
tengkorak. Tak ada satu pun yang bisa dikenali.
Mereka semua masih muda-muda, dan mungkin 
usianya tidak jauh berbeda dengan putra

mahkota ini. Bayu memandangi pemuda yang
mengenakan tudung tikar pandan itu. Raden
Antawirya memasukkan pedangnya kembali ke
dalam sarungnya di pinggang. 
"Aku tidak tahu, siapa mereka...?" desah
Raden Antawirya. 
"Siapa pun mereka, yang jelas maksudnya
akan membunuh kita, Raden," kata Bayu. 
"Apakah mereka suruhan manusia tengkorak
itu?" nada suara Raden Antawirya seperti
bertanya untuk dirinya sendiri. 
"Aku tidak bisa memastikan, Raden. Hhh...!
Sayang sekali, seharusnya kita tadi membiarkan
salah seorang hidup." 
"Ya, kita terlalu terbawa amarah." 
Kedua pemuda itu terdiam. Mereka sama-
sama memandangi pondok yang sudah hancur
terbakar. Asap masih mengepul dari sisa-sisa 
pondok yang sudah jadi arang. Hampir
bersamaan kedua pemuda itu menarik napas
panjang dan menghembuskannya kuat-kuat 
"Bayu, apa tidak sebaiknya semua ini kita
selidiki dari dalam istana?" usul Raden Antawirya 
seraya memandang Pendekar Pulau Neraka di
sampingnya. 
"Tidak mungkin kita masuk ke sana, Raden,"
sergah Bayu.

"Aku akan kembali terang-terangan. Aku ingin 
tahu, ada perubahan apa di dalam istana." . 
"Apakah itu tidak membahayakan diri Raden 
sendiri?" 
"Kau pernah bilang, Bayu. Segala sesuatu
selalu mengandung bahaya, tinggal tergantung
kita sendiri. Apakah mampu meredam bahaya
itu ataukah pasrah menghadapinya... ?" 
Bayu tersenyum lebar. Memang hal itu pernah
dikatakannya pada Raden Antawirya, saat
pemuda ini tengah putus asa akibat nyaris tewas
di tangan manusia aneh bermuka tengkorak
Cukup banyak yang dikatakan Bayu untuk
membangunkan semangat putra mahkota ini.
Dan rupanya setiap kata yang diucapkan
Pendekar Pulau Neraka meresap ke dalam 
hatinya. 
"Baiklah. Aku akan tetap menjagamu, Raden,"
ujar Bayu. 
"Aku percaya itu, Bayu." 
--oo0dw0oo-- 
Kemunculan Raden Antawirya di istana
kembali, sungguh mengejutkan. Semua orang 
menyangka kalau putra mahkota itu sudah
tewas di Hutan Kamiaka. Ini baru pertama kali
terjadi, orang bisa selamat keluar dari Hutan
Kamiaka yang terkenal angker. Kedatangan
Raden Antawirya disambut gembira. Bahkan

Prabu Truna Dilaga sendiri ingin berdua dengan
putranya di dalam kamar pribadi yang tidak
seorang pun diijinkan masuk 
Terlebih lagi Raden Antawirya memang ingin
bicara saja berdua bersama ayahnya, tanpa
orang lain. Malah Permaisuri Rara Kuminten
tidak diijinkan masuk ke dalam kamar khusus
ini. Prabu Truna Dilaga tidak puas-puasnya 
memandangi putranya, yang seakan-akan baru 
saja bangkit kembali dari kematian. 
"Bagaimana kau bisa keluar dari Hutan
Kamiaka, Putraku?" tanya Prabu Truna Dilaga
tidak sabar lagi hendak mendengar cerita
pengalaman anaknya. 
"Ceritanya sangat panjang, Ayahanda Prabu.
Tapi bukan itu yang hendak ananda bicarakan," 
kata Raden Antawirya. 
"O...," Prabu Truna Dilaga mengerutkan
alisnya. 
"Ada sesuatu yang lebih penting, yang hendak
ananda bicarakan, Ayahanda Prabu," jelas
Raden Antawirya lagi. 
"Pembicaraan apa?" tanya Prabu Truna Dilaga
bertanya-tanya dalam hati. 
"Ananda mohon, Ayahanda Prabu tidak
bergusar hati. Ananda memang selamat dari
Hutan* Kamiaka, tapi itu bukan karena usaha
ananda sendiri. Ada seorang pendekar perkasa

yang telah menyelamatkan ananda, Ayahanda
Prabu." 
"Oh...," desah Prabu Truna Dilaga semakin 
berkerut keningnya. 
"Pendekar perkasa itu tentu sudah Ayahanda
Prabu kenal," lanjut Raden Antawirya. 
"Siapa?" tanya Prabu Truna Dilaga. 
"Dia bernama Bayu, dan pernah menemui
Ayahanda Prabu di sini." 
"Bayu...," gumam Prabu Truna Dilaga
mencoba mengingat-ingat. "Oh, ya.... Memang
pernah datang ke sini seorang pemburu muda
yang bernama Bayu. Apakah pemuda gagah itu
yang kau maksudkan, Anakku?" 
"Benar, Ayahanda Prabu. Bayu sengaja
datang ke sini dengan satu siasat." 
"Siasat..?" 
"Maksud Bayu sebenarnya baik, Ayahanda 
Prabu. Dan ananda yang menyetujui siasatnya
itu. Hasilnya juga sungguh mengejutkan." 
"Ceritakan selengkapnya padaku," pinta
Prabu Truna Dilaga semakin tertarik 
"Sepulangnya dari sini, malamnya Bayu
didatangi seseorang yang mukanya seperti 
tengkorak. Ananda jelas melihatnya. Mereka
kemudian .bertarung, tapi orang itu berhasil

kabur setelah Bayu melepaskan topeng
tengkorak yang dikenakannya. Dan pagi tadi,
ananda dan Bayu diserang dua puluh orang
bertopeng tengkorak Kami berhasil
mengalahkan mereka. Dan itu pun berkat Bayu
juga, Ayahanda Prabu," dengan singkat Raden
Antawirya mengisahkan pengalamannya
bersama Pendekar Pulau Neraka. 
"Hm.„. Teruskan, Anakku," pinta Prabu Truna
Dilaga. 
"Dari situ ananda yakin, kalau orang
bertopeng tengkorak itu ada di dalam istana ini,
Ayahanda Prabu," lanjut Raden Antawirya. 
"Bagaimana kau bisa menduga begitu,
Anakku?" tanya Prabu Truna Dilaga. 
"Dari setiap kejadian yang terjadi, orang itu
mengetahui persis keadaan dan orang-orang 
istana. Bahkan dia tahu kalau aku, Paman Patih 
Natabrata pergi ke Hutan Kamiaka." 
"Kau tahu...?!" Prabu Truna Dilaga terhenyak
kaget. 
"Ananda memang telah tahu kepergian
Paman Patih Natabrata ke Hutan Kamiaka.
Bahkan ananda dan Bayu berusaha menolong,
tapi terlambat Paman Patih Natabrata lenyap,
sedangkan dua puluh prajuritnya tewas." 
"Oh...," keluh Prabu Truna Dilaga langsung
tertunduk kepalanya.

"Maafkan ananda, Ayahanda Prabu. Ananda 
terpaksa memberitahukan hal ini," ucap Raden
Antawirya. 
"Tidak apa, Anakku. Lanjutkanlah, apa saja
yang sudah kau ketahui?" 
"Tidak banyak yang ananda ketahui,
Ayahanda Prabu. Itu sebabnya ananda pulang
kembali ke istana untuk memancing tanggapan
manusia bermuka tengkorak itu." 
Prabu Truna Dilaga diam membisu dengan
wajah terselimut mendung. Pelahan diangkat 
kepalanya, ditatapnya dalam-dalam bola mata 
pemuda di depannya. 
"Seharusnya kau tidak kembali ke sini,
Anakku," ujar Prabu Truna Dilaga lirih. 
"Kenapa?" tanya Raden Antawirya tidak
mengerti. 
"Karena aku juga sebenarnya sudah berpikir
ke arah itu, tapi belum punya cukup bukti. Aku
tahu siapa orang yang menculik adikmu, dan
yang membuat resah seluruh Kerajaan Kali Jirak
ini...." 
"Siapa orangnya, Ayahanda Prabu?" desak
Raden Antawirya. 
"Dewi Iblis." 
"Dewi Iblis...?!" Raden Antawirya mengerutkan
keningnya.

Tanpa diminta lagi, Prabu Truna Dilaga
menceritakan tentang perempuan berwajah
tengkorak itu. Apa yang diceritakan kini, sama
persis dengan yang pernah diceritakan pada
Patih Natabrata. Sedangkan Raden Antawirya
mendengarkan penuh perhatian. Sungguh tidak 
disangka kalau pada masa mudanya dulu,
ayahnya punya musuh yang sangat tangguh.
Hanya saja yang masih sulit dimengerti, apakah
mungkin seseorang yang sudah mati bisa
bangkit kembali sehingga mampu melancarkan
pembalasan dendam sekarang ini? 
Kalau memang benar manusia bertopeng
tengkorak itu adalah Dewi Iblis, itu berarti
mereka berhadapan dengan sosok makhluk
halus, bukan manusia biasa. Tapi Raden
Antawirya tidak percaya dengan segala macam
hantu. Dia teringat kata-kata Pendekar Pulau 
Neraka yang meyakinkan dirinya kalau yang
sedang dihadapi saat ini adalah manusia biasa
berkepandaian sangat tinggi. 
Tapi kalau mengingat cerita ayahnya, Raden
Antawirya jadi bimbang juga. Prabu Truna Dilaga
mengenali betul kalau orang itu adalah Dewi
Iblis. Wanita yang pernah menjadi musuh besar
keluarga Istana 
Kerajaan Kali Jirak ini. Sedangkan menurut
Prabu Truna Dilaga, Dewi Iblis sudah tewas di
tangan orang tua Patih Natabrata. Rasanya

sukar dipercaya kalau orang yang sudah mati
bisa bangkit lagi, dan sekarang melancarkan
aksi balas dendamnya. 
"Ayah, apakah Dewi Iblis mempunyai murid?"
tanya Raden Antawirya, yang tiba-tiba mendapat 
pikiran begitu. 
"Setahuku tidak, Anakku," sahut Prabu Truna
Dilaga. 
"Hm.... Pasti ada orang lain yang
menggunakan nama Dewi Iblis, dan ingin
meruntuhkan Kerajaan Kali Jirak ini...," gumam
Raden Antawirya seperti bicara pada dirinya
sendiri. 
Sedangkan Prabu Truna Dilaga hanya terdiam
saja membisu. Persoalan yang mereka hadapi
sekarang semakin bertambah pelik. Mereka
sadar kalau tengah menghadapi seseorang yang 
sangat licin dan berbahaya. Terlebih lagi ketika
menyadari kalau orang itu berada di dalam
istana ini. 
Memang sulit untuk membuktikan siapa di
antara sekian banyak orang yang bisa dicurigai
dalam lingkungan istana. Hal ini bagaikan
mencari sebuah jarum dalam tumpukan jerami.
Karena semua pembesar istana dan pengurus
istana ini adalah orang-orang yang mereka 
kenal, dan sudah mengabdi secara turun-
temurun. Rasanya tidak mungkin salah seorang

dari mereka yang mencoba memberontak
meruntuhkan kekuasaan. 
Mereka terus -berbicara bertukar pikiran
hingga jauh malam. Baru pada lewat tengah
malam, mereka keluar dari kamar itu dan
kembali ke kamarnya masing-masing. Di dalam 
kamarnya, Raden Antawirya tidak bisa
memejamkan mata sedikit pun. Pikirannya terus
mengambang, melayang jauh pada semua
peristiwa yang terjadi di Kerajaan Kali Jirak ini.
Dia tidak percaya kalau kejayaan Kali Jirak akan
runtuh dalam waktu dekat 
--oo0dw0oo-- 
Sementara itu di dalam kamar lain, Prabu
Truna Dilaga juga belum bisa memejamkan
matanya. Pembicaraannya dengan Raden
Antawirya tadi benar-benar tidak diduga sama
sekali. Hampir-hampir penguasa Kali Jirak ini
tidak percaya kalau ada musuh yang
menghendaki keruntuhan kerajaan di dalam
istana ini Terlebih lagi, orang yang menghendaki
itu ada hubungan dengan Dewi Iblis yang dulu
menjadi musuh besar keluarga istana. 
"Kau sudah kembali, Kanda...?" 
Prabu Truna Dilaga berpaling saat mendengar
sapaan lembut dari arah belakang. Tampak
Permaisuri Rara Kuminten menggeliat bangkit
dari pembaringan, lalu duduk di tepinya sambil

memandangi laki-laki yang telah lama menjadi
suaminya itu. Sedangkan Prabu Truna Dilaga
sendiri masih tetap berdiri di samping jendela
kamar ini. 
"Sudah malam, kenapa belum tidur...?"
lembut sekali suara Permaisuri Rara Kuminten. 
'Tidurlah dulu, aku belum mengantuk," ujar
Prabu Truna Dilaga kembali memandang ke luar
melalui jendela. 
Permaisuri Rara Kuminten beranjak bangkit
dari pembaringan. Dilangkahkan kakinya
menghampiri suaminya, lalu memeluk pinggang
laki-laki tua itu. Sedangkan Prabu Truna Dilaga
hanya diam saja tidak memberi tanggapan. 
"Ada yang kau pikirkan, Kanda?" tanya
Permaisuri Rara Kuminten. 
"Hhh...!" Prabu Truna Dilaga hanya menarik
napas panjang saja. 
"Apa yang kau bicarakan dengan Antawirya?"
tanya Permaisuri Rara Kuminten lagi. 
"Tidak ada," sahut Prabu Truna Dilaga seraya
melepaskan pelukan istrinya. 
Laki-laki tua yang masih kelihatan gagah itu
melangkah menghampiri pembaringan
Kemudian direbahkan tubuhnya di sana.
Permaisuri Rara Kuminten menghampirinya, lalu
duduk di tepi pembaringan kembali.

Dipandanginya wajah laki-laki tua itu. Tangannya 
bergerak lembut memainkan rambut di dada
Prabu Truna Dilaga. 
"Rasanya kau belum pernah menyimpan
rahasia padaku, Kanda. Apakah pembicaraanmu
dengan Antawirya begitu penting, sehingga aku 
tidak boleh tahu?" rajuk Permaisuri Rara
Kuminten. 
Prabu Truna Dilaga hanya diam saja. Namun
matanya tidak juga mau terpejam, meskipun
terasa berat dan lelah sekali. Sementara
Permaisuri Rara Kuminten merebahkan
rubuhnya di samping laki-laki tua -itu. Diletakkan 
kepalanya di dada yang berbulu lebat itu. 
"Kanda, Antawirya memang bukan anakku.
Tapi apakah aku tidak boleh mengetahui
rahasianya? Aku menyayangi dan
menganggapnya anakku sendiri, walau aku
sendiri tidak bisa memberimu seorang
keturunan," pelan sekali suara Permaisuri Rara
Kuminten. 
"Jangan persoalkan itu lagi, Dinda. Aku tidak
suka lagi mendengar keluhanmu tentang anak
Aku sudah cukup bahagia kau dampingi. Kaulah 
penyelamat hidupku di saat aku kehilangan
pegangan karena kehilangan seorang 
pendamping. Ah, sudahlah.... Lupakan semua
itu, Dinda."

"Bagaimana aku bisa tinggal diam saja,
Kanda. Sementara kau terus gelisah dalam
ketidakmenentuan. Aku tahu, kau sangat
memikirkan keselamatan Intan Wandira yang
sampai sekarang belum jelas nasibnya. Dan aku 
yakin kalau kedatangan Antawjrya tidak akan
mengobati kegelisahan hatimu. Sedangkan
aku...." 
Prabu Truna Dilaga buru-buru menutup mulut 
istrinya dengan dua jari tangan, maka kata-kata 
Permaisuri Rara Kuminten terputus seketika.
Prabu Truna Dilaga menggeser tubuhnya, lalu
duduk bersandar di pembaringan. Sedangkan
Permaisuri Rara Kuminten memandanginya,
sambil duduk dengan tangan bertumpu pada
tubuh suaminya. 
'Terlalu banyak yang telah kau lakukan
untukku, Dinda. Dan aku tidak ingin
membebanimu dengan segala macam pikiran
yang akan membuatmu susah," kata Prabu
Truna Dilaga. 
'Tapi, untuk apa aku mendampingimu jika kau
masih saja menyimpan rahasia," rungut
Permaisuri Rara Kuminten. 
"Ini rahasia keselamatan negeri, Dinda. Dan 
aku...." 
"Aku bisa membantu mencari jalan keluarnya,
Kanda," potong Permaisuri Rara Kuminten cepat

Prabu Truna Dilaga menarik napas panjang.
Memang diakui kalau Rara Kuminten selalu
mempunyai pikiran cemerlang. Tidak sedikit
buah pikirannya terpakai untuk membantu
meningkatkan kemajuan negeri. Bahkan di kala
sedang menghadapi masa sulit sekalipun, buah
pikiran cemerlang wanita ini tiba-tiba saja 
muncul. 
"Ayolah, Kakang.... Untuk apa menyimpan
rahasia jika akhirnya aku toh tahu juga...," bujuk
Permaisuri Rara Kuminten. 
"Baiklah...," desah Prabu Truna Dilaga
menyerah. 
Laki-laki tua ini memang selalu saja
tidak'kuasa menyimpan rahasia sekecil apa pun-
di depan Permaisuri Rara Kuminten. Sedangkan
wanita itu selalu saja dapat membujuk sehingga
membuat hati laki-laki tua ini lemah. Prabu 
Truna Dilaga akhirnya menceritakan juga
tentang pembicaraan bersama Raden Antawirya.
Bahkan sampai ke hal-hal yang terkecil 
sekalipun tuntas diceritakannya. 
Sementara Rara Kuminten mendengarkan
penuh perhatian. Sepertinya setiap kata yang
diucapkan laki-laki tua ini disimak, dan
ditelannya bulat-bulat. Raut wajahnya sedikit
berubah ketika Prabu Truna 
Dilaga mengatakan bahwa kepulangan Raden

Antawirya bermaksud menyelidiki setiap orang
yang ada di dalam istana. Hal ini karena putra
mahkota itu menduga segala yang telah terjadi 
bersumber dari dalam istana sendiri 
Permaisuri Rara Kuminten masih berdiam diri
meskipun Prabu Truna Dilaga telah
menyelesaikan ceritanya. Bahkan untuk
beberapa lamanya mereka hanya membisu saja.
Beberapa kali terdengar tarikan napas panjang 
dan berat. 
"Kanda..., apakah Kanda percaya pada
pemuda yang bernama Bayu itu?" Permaisuri
Rara Kuminten baru membuka suara setelah
cukup lama diam membisu. 
"Rasanya pemuda itu bermaksud baik,
Dinda," sahut Prabu Truna Dilaga. 
"Justru aku sebatiknya, Kanda. Aku malah jadi 
curiga. Jangan-jangan justru dialah yang
memanfaatkan Raden Antawirya. Toh kita tidak
tahu siapa dirinya yang sebenarnya. Sedangkan
Raden Antawirya sendiri baru beberapa hari
mengenalnya." 
"Maksudmu...?" Prabu Truna Dilaga meminta
penjelasan. 
"Pertolongan tidak akan selamanya tulus,
Kanda. Bahkan banyak dari pertolongan yang
mengharapkan sesuatu. Bisa saja pemuda itu
berpura-pura membantu Raden Antawirya,


padahal sebenarnya hendak meruntuhkan
kerajaan ini. Kau harus menyelidiki siapa dia 
sebenarnya, Kakang. Kalau perlu penjarakan
dia," tegas Permaisuri Rara Kuminten. 
Prabu Truna Dilaga hanya diam saja.
Keningnya berkerut dalam, pertanda tengah
berpikir keras. Sementara Permaisuri Rara
Kuminten terus berbicara mengemukakan
pendapatnya yang sangat bertentangan dengan
apa yang dikatakan Raden Antawirya. 
--oo0dw0oo— 
LIMA


Pendekar Pulau Neraka menolehkan kepala
ketika mendengar derap kaki kuda
serombongan prajurit bergerak cepat menuju ke
arahnya. Ada sekitar lima puluh prajurit berkuda
yang dipimpin seorang punggawa. Bayu
mengenali punggawa itu, karena memang
pernah bertemu sebelumnya di taman belakang
Istana Kerajaan Kati Jirak 
Prajurit berkuda itu berhenti di depan
Pendekar Pulau Neraka yang bergegas bangkit
berdiri dan turun dari batu yang didudukinya. 
Dilemparkannya kail yang hanya dari ranting
bambu kecil ke dalam sungai. Sejak pagi tadi,
belum ada seekor ikan pun yang berhasil
dipancing. 
"Punggawa Dipa Praga, hendak ke manakah

membawa rombongan prajurit?" sapa Bayu
ramah. 
"Aku datang untuk menjemputmu, Bayu," 
sahut Punggawa Dipa Praga. 
"Menjemputku...?" Bayu mengerutkan
keningnya. 
"Benar! Dan kuharap kau tidak membuat
kesulitan." 
Punggawa Dipa Praga menjentikkan jarinya.
Dua orang prajurit melompat turun dari
punggung kudanya. Mereka menghampiri Bayu 
sambil menggenggam tambang di tangan. Bayu
jadi tidak mengerti, dan hanya melangkah
mundur dua tindak. 
"Tunggu! Untuk apa tambang ini...?" tanya
Bayu minta penjelasan. 
"Kau akan tahu nanti di istana, Bayu.
Sebaiknya tidak perlu melawan!" tegas nada 
suara Punggawa Dipa Praga. "Pengawal, ikat
dia!" 
"Hey...! Tunggu dulu! Aku bukan buronan,
mengapa ingin mengikatku?!" sentak Bayu
semakin tidak mengerti akan sikap punggawa
ini. 
"Sekarang ini kau menjadi buronan Kerajaan
Kali Jirak, Bayu!" tegas Punggawa Dipa Praga
sinis.

Bayu benar-benar tidak mengerti dengan
semua ini, tapi tidak mau menyerahkan diri
begitu saja. Sementara prajurit-prajurit lainnya 
sudah berlompatan turun dari kuda masing-
masing. Mereka langsung bergerak mengepung
Pendekar Pulau Neraka ini. Bahkan sekarang 
ada enam prajurit yang mengelilingi Bayu sambil
memutar-mutar ujung tambang. 
Melihat gelagat yang kurang menguntungkan
ini, Bayu langsung bersiap-siap. Ditatapnya 
Punggawa Dipa Praga dengan sinar mata tajam.
Sedangkan Punggawa Dipa Praga membalasnya 
dengan tidak kalah tajam pula. 
'Punggawa, jelaskan. Apa maksud semua ini?"
pinta Bayu. 
"Tidak ada waktu untuk menjelaskan, Bayu.
Prajurit...! Tangkap bajingan ini...!" perintah
Punggawa Dipa Praga lantang. 
"Eh...!" 
Bayu tidak punya kesempatan untuk 
berbicara lagi. Enam orang prajurit yang
memegang tambang sudah bergerak melempar
tambangnya ke atas melewati kepala Pendekar
Pulau Neraka itu. Dan mereka secara
bersamaan melompat menangkap ujung
tambang yang dilemparkan itu. 
Bayu bisa mengerti cara penangkapan ini. 
Dengan cepat dilentingkan tubuhnya ke udara

sambil meraih Cakra Maut Senjata itu kemudian
digenggam dengan tangan kanannya. Sambil
berteriak keras, Pendekar Pulau Neraka itu
bergerak cepat mengibaskan tangannya
membabat tambang-tambang yang membentuk 
jaring di atas kepala. 
Tas! Tas! Tas...! 
Tambang-tambang itu seketika putus, maka
enam orang prajurit itu berpentalan karena pada
saat itu mereka menarik tambang kuat-kuat 
Tubuh mereka bergelimpangan di tanah dengan
wajah terbengong melihat tambang yang 
terpotong-potong jadi beberapa bagian.
Sementara Bayu dengan manis sekali mendarat
kembali di tanah. Dia memasang lagi Cakra
Maut di pergelangan tangannya. 
"Bayu! Kuperingatkan sekati lagi, jangan
membuat perlawanan!" bentak Punggawa Dipa
Praga gusar. 
"Hm.... Siapa yang memerintahkanmu untuk
menangkapku, Punggawa?" tanya Bayu. 
"Kau tidak perlu tahu. Ini perintah!" sentak
Punggawa Dipa Praga. 
"Baik! Kalau begitu, aku tidak akan menuruti
perintahmu!" r 
"Keparat.. J Serang...! Penggal kepalanya!" 
perintah Punggawa Dipa Praga lantang.

Seketika itu juga prajurit-prajurit yang 
memang sejak tadi sudah menunggu perintah,
langsung menghambur menyerbu Pendekar
Pulau Neraka. Bayu yang tidak mengerti
persoalannya, jadi ragu-ragu. Dia hanya bisa 
berkelit dan berlompatan menghindar tanpa
memberi serangan balasaa 
Namun serangan-serangan yang datang
demikian gencar. Bahkan beberapa kali ujung
tombak dan mata pedang hampir menghunjam
tubuh Pendekar Pulau Neraka. Semakin lama
ruang gerak Bayu semakin terasa sempit. 
Bahkan sukar baginya untuk berbuat banyak
lagi. Prajurit-prajurit ini benar-benar ingin
mencincang tubuhnya. 
Bayu memang paling tidak menyukai keadaan
seperti ini. Darahnya langsung mendidih ketika
satu tendangan yang dilancarkan Punggawa
Dipa Praga berhasil bersarang di tubuhnya, dan
membuatnya terhuyung ke belakang. Kalau saja
tidak cepat-cepat mengegos, tentu tubuhnya
sudah terpanggang sebatang tombak yang
datang dari arah belakang. 
"Phuih! Kalian benar-benar ingin 
membunuhku, rupanya!" dengus Bayu mulai 
gusar. 
"Hayo! Serang terus! Cincaaang...!" seru
Punggawa Dipa Praga memberi semangat para
prajuritnya.

Mendengar teriakan-teriakan bernada 
perintah itu, Bayu jadi semakin memuncak
amarahnya. Seluruh darah di tubuhnya bergolak
mendidih. Wajahnya memerah menahan 
kemarahan yang hampir melesak sampai ke
kepala. 
"Keparat..!" desis Bayu geram ketika hampir
saja sebuah pedang menebas lehernya. 
Sambil menggeram marah, Pendekar Pulau
Neraka itu mengibaskan tangannya. Segera
disampoknya tangan prajurit yang memegang 
pedang itu. Sungguh cepat luar biasa gerakan
Bayu. Sebelum prajurit itu bisa menyadari, tahu-
tahu terpekik keras dan tubuhnya terpental ke
udara. 
Sebelum prajurit itu ambruk ke tanah, Bayu
sudah cepat memutar tubuhnya sambil
menggerakkan tangannya bagai kilat 
memberikan beberapa pukulan beruntun.
Seketika itu juga jerit dan pekikan melengking
terdengar saling sambut disusul tubuh-tubuh 
berpelantingan menggelepar di tanah. Dalam
satu gebrakan saja, tidak kurang dari sepuluh
prajurit merintih menggelepar di tanah. 
--oo0dw0oo-- 
Melihat sepuluh orang menggelepar dan
merintih kesakitan, prajurit-prajurit lainnya 
langsung berlompatan mundur. Saat itu mereka

merasa gentar menghadapi pemuda berbaju
kulit harimau ini. Bayu berdiri tegak sambil
menatap rajam Punggawa Dipa Praga. 
Sementara punggawa itu melangkah mundur
beberapa tindak. Tampak jelas raut wajahnya
memancarkan kegentaran pada kedigdayaan
Pendekar Pulau Neraka ini. 
"Baik! Kali ini kau boleh merasa menang,
Bayu. Tapi lain waktu kau akan meratap
memohon ampun padaku!" desis Punggawa
Dipa Praga dingin. 
"Aku khawatir malah sebaliknya kau yang
meratap, Punggawa!" balas Bayu tidak kalah
dingin. 
Punggawa Dipa Praga memberi isyarat pada
prajurit-prajuritnya. Tanpa diperintah dua kali,
prajurit-prajurit itu segera berlompatan naik ke
punggung kuda masing-masing. Sebagian 
membantu temannya yang terluka. Bayu
memang sengaja hanya memberi sedikit luka
pada mereka. Tidak ada maksud sedikit pun
dihatinya untuk membunuh. 
Pelahan-lahan Punggawa Dipa Praga
melangkah mundur menghampiri kudanya,
kemudian melompat naik ke punggung
tunggangannya itu. Sebentar ditatapnya
Pendekar Pulau Neraka, kemudian digebah
kudanya dengan kecepatan tinggi. Debu
mengepul membumbung tinggi ke angkasa
ketika puluhan kuda berpacu cepat
meninggalkan tepian sungai itu. 
Bayu masih berdiri tegak memandangi
kepergian para Prajurit Kerajaan Kali Jirak itu.
Hatinya jadi bertanya-tanya, kenapa prajurit-
prajurit itu hendak menangkapnya? Bahkan
berniat membunuhnya? Pendekar Pulau Neraka
jadi teringat Raden Antawirya yang kini berada di
dalam istana. 
"Hm.... Apa yang terjadi pada Raden
Antawirya?" gumam Bayu bertanya-tanya sendiri. 
Tanpa berpikir panjang lagi, Pendekar Pulau
Neraka itu melesat pergi mempergunakan ilmu
meringankan tubuh. Arah yang dituju sudah jelas 
ke Kota-raja Kali Jarak. Ilmu meringankan tubuh
yang dimilikinya memang sudah mencapai taraf
kesempurnaan, sehingga bisa berlari kencang
seperti angin. Kedua tapak kakinya bagai tak
menjejak tanah, sehingga bagaikan terbang
saja. Dan yang terlihat kini hanya bayangan 
tubuhnya saja yang berkelebat tak berbentuk. 
Tanpa memerlukan waktu lama, Pendekar
Pulau Neraka itu sudah tiba di dekat tembok
benteng istana bagian belakang. Sebentar
diamati keadaan sekitarnya, kemudian dia
melompat naik ke atas tembok benteng yang 
tinggi itu. Hanya sekali lesatan saja, Bayu sudah
bisa mencapai bagian atas tembok.

Sebentar Pendekar Pulau Neraka itu
mengamati keadaan dalam tembok benteng ini.
Tampak beberapa penjaga hilir mudik mengitari
bangunan besar dan megah itu. Perhatian Bayu 
terpusat ke sebuah jendela yang terbuka lebar.
Dari tempat ini dapat terlihat jelas keadaan
dalam kamar melalui jendela yang terbuka lebar
itu. Tampak Raden Antawirya tengah duduk di
kursi menghadap jendela. Di depannya berdiri
seorang laki-laki yang rambutnya sudah
memutih semua. Bayu tahu, siapa laki-laki tua 
yang berdiri menghadap Raden Antawirya dan
membelakangi jendela itu. Meskipun tidak bisa
melihat wajahnya, tapi sudah cukup bagi
Pendekar Pulau Neraka untuk mengetahui. Dia
adalah Prabu Truna Dilaga. 
"Hm..., apa yang mereka bicarakan...?"
gumam Bayu bertanya di dalam hati. 
Cukup jauh jarak antara tempat ini dengan
kamar itu. Tak mungkin Bayu bisa
mendengarkan percakapan di dalam kamar itu.
Sebentar diedarkan pandangannya berkeliling.
Bibirnya kemudian tersenyum begitu melihat
sebuah pohon cukup besar, dan sepertinya
berada dalam jangkauannya. "Hup...!" 
Indah sekali gerakan Pendekar Pulau Neraka
saat melentingkan tubuhnya ke arah pohon itu.
Cepat dan ringan sekali, sehingga tak ada yang
mengetahui. Tanpa menimbulkan suara sedikit


pun, kakinya hinggap di cabang pohon. Sebentar
kemudian Bayu sudah melesat ringan menuju
atap, tepat di kamar itu. 
Tap! 
Bayu langsung merapatkan tubuhnya begitu
mencapai atap. Dari atap ini percakapan di
dalam kamar bisa terdengar. Tapi begitu
telinganya dipasang tajam-tajam, Pendekar 
Pulau Neraka itu jadi berkerut keningnya.
Ternyata di dalam kamar itu tidak terdengar satu
suara pun. Pelahan-lahan Bayu menggeser
tubuhnya lebih ke tepi, lalu dijulurkan kepalanya
ke bawah, mencoba melihat ke dalam kamar. 
"Sial...!" rutuk Bayu begitu melihat ke dalam
kamar yang sudah kosong 
Ternyata pada saat Bayu tiba di atap, Prabu
Truna Dilaga dan Raden Antawirya telah
meninggalkan kamar itu. Bayu kembali menarik
kepalanya bergegas, karena mendengar suara
langkah tidak jauh di bawah sana. Tampak dua
orang prajurit penjaga tengah berjalan melintasi
jendela kamar itu. Bayu merapatkan tubuhnya
ke atap, agar tidak terlihat. 
"Huh...! Apa yartg harus kulakukan
sekarang...?" dengus Bayu dalam hati. 
Dua orang prajurit penjaga itu bukannya
lewat, tapi malah berhenti di depan jendela. Dan 
Bayu jadi dongkol setengah mati. Tubuhnya

mulai terasa pegal dalam posisi seperti ini.
Sesekali diliriknya dua penjaga itu. Dan kini
Pendekar Pulau Neraka merutuk dalam hati, 
karena kedua penjaga itu malah duduk di bawah
pohon. 
"Dasar, penjaga malas!" gerutu Bayu sengit. 
Bayu menyadari tidak mungkin meninggalkan
atap ini Sedikit saja bergerak, pasti kedua
penjaga itu bisa mengetahuinya. Pendekar Pulau
Neraka itu bersungut-sungut dalam hati. Hatinya
menyesal karena menyelinap begini tanpa hasil
yang diharapkan. Sedangkan dua orang prajurit
penjaga itu malah tertawa-tawa, sehingga 
membuat Bayu semakin menggerutu kesal
dalam hati. Bola mata Pendekar Pulau Neraka
itu berputar, dan otaknya bekerja keras mencari
sesuatu yang bisa digunakan untuk meloloskan
diri dari ketersiksaan seperti ini 
"Setan! Bisa sampai malam aku di sini...!"
rutuk Bayu kesal. 
--oo0dw0oo-- 
Sementara itu di ruangan lain, Raden
Antawirya dan ayahnya sedang berdebat sengit.
Pemuda itu tidak menyukai tindakan ayahnya
yang memerintahkan Punggawa Dipa Praga
menangkap Bayu. Bahkan memerintahkan
membunuh jika pemuda berbaju kulit harimau
itu melawan.

"Kenapa Ayahanda melakukan itu?" dengus
Raden Antawirya. 
"Dalam keadaan seperti ini, aku tidak bisa
mempercayai siapa pun. Terlebih lagi pada
orang yang belum kita kenal asal-usulnya, 
Antawirya," jawab Prabu Truna Dilaga. 
'Tapi, kenapa Ayah tidak bilang dulu padaku?" 
"Aku masih sah sebagai raja di sini,
Antawirya!" bentak Prabu Truna Dilaga. 
"Maaf, Ayahanda Prabu. Nanda tidak
bermaksud menyinggung," ucap Raden
Antawirya. 
"Ah, sudahlah. Nanti kalau Punggawa Dipa
Praga kembali, kau boleh menanyai teman
barumu itu," jelas Prabu Truna Dilaga. 
Pada saat itu seorang prajurit penjaga datang 
menghadap. Dilaporkan bahwa Punggawa Dipa
Praga hendak menghadap. Dan Prabu Truna
Dilaga memerintahkan Punggawa Dipa Praga
segera menemuinya. Pengawal itu bergegas
pergi setelah memberi hormat. Tak lama
berselang, muncul Punggawa Dipa Praga dalam 
keadaan tubuh yang lusuh dan kotor berdebu.
Punggawa itu langsung menjatuhkan diri
bersimpuh di depan Prabu Truna Dilaga. 
"Mana anak muda itu?" tanya Prabu Truna
Dilaga langsung.

"Ampun, Gusti Prabu. Hamba gagal
menjalankan tugas," lapor Punggawa Dipa 
Praga. 
"Apa...?!" Prabu Truna Dilaga mendelik. 
"Anak muda yang bernama Bayu itu melawan,
dan hamba mencoba meringkusnya, Gusti
Prabu. Tapi dia digdaya sekali. Sepuluh prajurit
yang hamba bawa terluka cukup parah," jelas
Punggawa Dipa Praga. 
"Sudah kukatakan, tidak mudah menangkap
Bayu...," dengus Raden Antawirya tersenyum
tipis. 
Prabu Truna Dilaga mendelik pada putranya
yang duduk di sebelahnya, kemudian kembali
menatap Punggawa Dipa Praga yang masih
duduk bersimpuh di lantai. Kepala punggawa itu 
tertunduk dalam, seakan-akan tak sanggup 
menerima sorot mata laki-laki tua itu yang 
sangat tajam menusuk. 
"Huh! Dia sudah berani membangkang
perintahku!" dengus Prabu Truna Dilaga.
"Punggawa...!" 
"Hamba Gusti Prabu." 
"Bawa prajurit pilihan lebih banyak lagi. 
Tangkap dia, dan kalau perlu bunuh di tempat!"
perintah Prabu Truna Dilaga. 
"Hamba laksanakan, Gusti Prabu."

Punggawa Dipa Praga memberi sembah
dengan merapatkan kedua tangannya di depan
hidung, kemudian beranjak meninggalkan
ruangan itu. Prabu Truna Dilaga mendengus 
berat. Kembali ditatap putranya yang tersenyum-
senyum seakan-akan meremehkan perintah
ayahnya tadi pada Punggawa Dipa Praga. 
"Kenapa kau tersenyum-senyum, Antawirya?" 
dengus Prabu Truna Dilaga bernada kurang
senang. 
"Ampun, Ayahanda Prabu. Nanda hanya 
merasa tindakan Ayahanda Prabu terlalu
berlebihan. Nanda yakin, Bayu tidak akan mau
menurut jika Ayahanda Prabu mengerahkan
sekian banyak prajurit. Dia bukan manusia
sembarangan. Kepandaiannya tinggi sekali,
Ayahanda Prabu," ujar Raden Antawirya seraya 
memberikan hormat. 
"Seberapa jauh kau mengenalnya,
Antawirya?" tanya Prabu Truna Dilaga datar. 
'Tidak begitu jauh. Tapi aku percaya kalau dia
tidak seburuk yang Ayah kira," jawab Raden
Antawirya. 
'Tapi kau harus melihat kenyataannya,
Anakku. Dia sudah berani membangkang
perintahku." 
Raden Antawirya hanya mengangkat bahunya
saja. Pada saat itu Rara Kuminten masuk ke

ruangan ini. Sementara Raden Antawirya segera
mohon diri dan meninggalkan ruangan itu. Rara
Kuminten memandangi putra mahkota itu,
kemudian menghampiri Prabu Truna Dilaga yang
masih duduk di kursi kayu berukir. Kemudian
wanita itu duduk di depannya. Hanya sebuah
meja kecil yang menjadi pembatas antara
mereka. 
"Kenapa dia, Kanda?" tanya Permaisuri Rara
Kuminten seraya melirik Raden Antawirya yang 
baru saja lenyap di balik pintu. 
"Dia tidak menyukai tindakanku," sahut Prabu
Truna Dilaga masih bernada kesal. 
"Dia membela anak muda itu, Kanda?" 
"Entahlah. Tapi kelihatannya memang begitu" 
"Hm.... Ini sangat berbahaya, Kanda," gumam
Permaisuri Rara Kuminten, terdengar pelan
suaranya. 
Prabu Truna Dilaga menatap dalam-dalam 
wanita di depannya ini. Walaupun usianya sudah
berkepala empat, tapi masih kelihatan cantik
menggairahkan. Bahkan seperti masih berusia
dua puluhan saja. 
"Kanda Prabu! Kita tidak tahu, sudah berapa 
lama 
Antawirya berhubungan dengan pemuda itu.
Aku jadi curiga.... Jangan-jangan dia tidak ke

Hutan Kamiaka, tapi...," Rara Kuminten
memutuskan kata-katanya. 
'Teruskan, Dinda," pinta Prabu Truna Dilaga
sambil mengerutkan keningnya. 
"Kanda, bukankah Raden Antawirya bukan
putra kandung...?" 
"Apa maksudmu, Dinda?" 
"Kanda tidak memiliki seorang anak laki-laki. 
Dan Kanda hanya mempunyai seorang putri
yang kini hilang diculik hingga tak tahu kabar
beritanya lagi. Sedangkan Antawirya hanya anak 
dari seorang selir yang bersekongkol dengan
pemberontak yang mencoba meruntuhkan tahta.
Malah Kanda sendiri yang menjatuhkan
hukuman mati kepada selir itu. Aku jadi curiga
kalau sesungguhnya Raden Antawirya diam-diam 
menyusun kekuatan hendak merebut tahta," 
kata Permaisuri Rara Kuminten mengemukakan
pikirannya. 
Prabu Truna Dilaga terdiam sambil mengelus-
elus janggutnya yang berwarna dua. Apa yang
dikatakan Permaisuri Rara Kuminten barusan
memang tidak bisa disalahkan. Raden Antawirya
memang hanya anak selir. Itu pun sebenarnya 
anak hasil hubungan gelap seorang selir dengan
seorang punggawa. Karena wanita itu setir, lalu
Prabu Truna Dilaga mengangkat Antawirya
menjadi anak.

'Tapi dia tidak tahu siapa orang tuanya yang
sebenarnya, Dinda," kata Prabu Truna Dilaga. 
"Siapa tahu ada yang membocorkan rahasia
ini, Kanda. Hampir semua penghuni istana ini
tahu siapa 
Antawirya sebenarnya. Aku tidak menuduh
satu-satu. dan kemungkinan itu juga bisa saja
terjadi, bukan?" 
"Bagaimana kalau dugaanmu salah?" 
"Dugaan itu bisa salah dan bisa juga benar,
Kanda. Dalam keadaan seperti ini, segala
kemungkinan tidak bisa diabaikan begitu saja.
Tapi aku juga tidak mengharapkan kalau
dugaanku benar. Kanda bisa menyelidikinya
dengan menempatkan seorang telik sandi yang
khusus mengamati segala tingkah laku Raden
Antawirya," tenang sekali nada suara Rara
Kuminten. 
Prabu Truna Dilaga mengangguk-anggukkan 
kepalanya, sedangkan Rara Kuminten
tersenyum manis. Wanita itu kemudian pindah
duduknya ke samping laki-laki tua itu dan 
langsung melingkarkan tangannya di pinggang.
Prabu Truna Dilaga menggamit bahu wanita itu
dan memberi satu kecupan lembut di bibirnya. 
"Ah, Kanda. Sebaiknya istirahat saja di
kamar," rajuk Permaisuri Rara Kuminten. 
"Kau selalu membuatku bergairah, Dinda,''

puji Prabu Truna Dilaga seraya bangkit berdiri. 
"Biarpun sudah tua, Kanda tetap tampan dan
penuh gairah," balas Rara Kuminten. 
Prabu Truna Dilaga tertawa senang.
Diberikannya hadiah kecupan lembut di bibir
wanita itu. Rara Kuminten membalasnya dengan
hangat pula. Mereka berjalan meninggalkan 
ruangan itu sambil berangkulan. 
--oo0dw0oo— 
ENAM


"Eh...!" 
Raden Antawirya terperanjat begitu masuk ke
kamarnya. Entah dari mana, tahu-tahu di daiam 
kamar itu sudah ada Pendekar Pulau Neraka.
Buru-buru Raden Antawirya menutup pintu
kamar ini dan menguncinya. Juga, bergegas
ditutupnya jendela. Sedangkan Bayu duduk
tenang di bangku dekat jendela. Raden
Antawirya menarik sebuah kursi dan duduk di
depan Pendekar Pulau Neraka itu. 
"Kenapa kau ke sini, Bayu?" tanya Raden
Antawirya, setengah berbisik suaranya. 
"Ada yang ingin kusampaikan padamu," jelas
Bayu. 
"Aku tahu, kau pasti akan protes tentang
penyerangan para prajurit itu, bukan?" tebak

Raden Antawirya langsung. 
"Bagaimana kau tahu?" 
"Baru saja aku berdebat dengan Ayah. Aku
juga tidak tahu, mengapa justru Ayah
mencurigaimu, Bayu. Maaf, aku tadi tidak
sempat mencegah." 
"Sejak semula sudah kuduga, ada yang tidak
beres di sini...," gumam Bayu pelan. 
"Ketidakberesan itu semakin terlihat jelas,
Bayu. Terutama sikap ayahku yang begitu lain,"
sambung Raden Antawirya. 
Bayu mengerutkan keningnya. Sungguh tidak
disangka kalau pemikiran Raden Antawirya
sampai sejauh itu. Sampai-sampai ayahnya 
sendiri pun mendapat kecurigaan. 
'Terus terang, aku sendiri curiga ada yang
tidak wajar pada diri Ayahanda Prabu, Bayu. Aku 
tidak melihat lagi seorang ayah yang kukenal,
yang kukagumi, kuhormati, dan menjadi panutan
dalam hidupku. Rasanya aku berhadapan
dengan sosok asing yang tidak pernah kukenal
di dalam diri Ayahanda Prabu," ungkap Raden
Antawirya. 
"Kenapa kau punya perasaan begitu, Raden?"
tanya Bayu. 
"Entahlah, Bayu Sejak aku kembali, keanehan
semakin terasa di sekitarku. Sepertinya aku

berada di suatu tempat yang sangat asing dan
tidak pernah kukenal sebelumnya." 
Bayu terdiam membisu 
"Bahkan Ayahanda Prabu sama sekali tidak 
menyinggung-nyinggung lagi tentang penculikan
Intan Wandira. Dia seperti melupakan anaknya,
Bayu Aku tidak lagi melihat kesedihan di
matanya, bahkan beberapa kali kudengar
perintah yang rasanya tidak masuk akal,"
sambung Raden Antawirya. 
"Kau tahu kenapa sebabnya?" tanya Bayu. 
"Itulah yang membuatku tidak mengerti,
Bayu," desah Raden Antawirya lirih. 
Bayu kembali terdiam, kemudian bangkit
berdiri ketika mendengar suara langkah kaki di
luar jendela. 
Dari sela-sela jendela kamar ini, diintipnya
keadaan luar. Pendekar Pulau Neraka itu
bersungut dalam hati saat melihat dua penjaga
berada tidak jauh di depan jendela. Dua penjaga
yang tadi hampir membuatnya kehilangan
kesabaran Mereka duduk-duduk di bawah pohon 
seperti tadi. 
"Ada apa, Bayu?" tanya Raden Antawirya
seraya ikut mengintip. 
"Tidak apa-apa. Hanya penjaga," sahut Bayu
kembali duduk di kursi.

Raden Antawirya ikut duduk kembali di
kursinya semula. 
"Raden, tetaplah berada di istana ini. Aku
akan ke Hutan Kamiaka," kata Bayu. 
"He...! Untuk apa ke sana?" Raden Antawirya 
tersentak kaget. 
"Aku akan menyelidiki, ada apa di hutan itu." 
"Kalau begitu, aku ikut." 
"Jangan, Raden Jika kau ikut denganku,
mereka akan tahu tujuanku. Tetaplah Raden di
sini, sambil menyelidiki terus
perkembangannya." 
'Tapi...." 
"Ingat, Raden. Orang yang kita buru belum
jelas siapa. Dan kita berdua yakin, kalau orang
itu ada di dalam istana ini. Jika Raden keluar 
dari istana, tentu ada yang membuntuti. Dan
mereka akan mengetahui kalau Raden berjalan
bersamaku. Sangat berbahaya, Raden. Bisa-bisa 
mereka memanfaatkan ini dan memutarbalikkan
kenyataan. Raden tahu maksudku...?" Bayu
mencoba menjelaskan. 
"Aku mengerti, Bayu. Hati-hatilah," sahut 
Raden Antawirya. 
"Secepatnya akan kulaporkan keadaan di
sana, Raden," kata Bayu berjanji.

Raden Antawirya tersenyum dan menepuk
pundak Pendekar Pulau Neraka itu Sebentar
mereka terdiam, kemudian Bayu bangkit berdiri
lagi. Dia mendengus begitu mengintip ke luar
jendela. Dua orang penjaga masih berada di
sana, duduk di bawah pohon. 
"Aku akan membawa mereka pergi dari situ,
Bayu," kata Raden Antawirya, seperti mengerti
arti dengusan Pendekar Pulau Neraka itu. 
Bayu hanya mengangguk saja. Sebentar
kemudian Raden Antawirya keluar dari kamar
ini. Pelahan Bayu membuka jendela sedikit agar
bisa leluasa melihat keadaan di luar. Tak lama
terlihat Raden Antawirya memanggil kedua
penjaga yang kemudian bergegas menghampiri.
Pada saat itu Bayu membuka jendela lebar-lebar 
dan melesat ke luar. Raden Antawirya sempat
melihat Bayu melesat ke luar. Hatinya kagum
dengan keindahan dan kecepatan gerak
Pendekar Pulau Neraka itu. Tak ada yang tahu,
dan Pendekar Pulau Neraka itu sudah lenyap di
balik tembok dengan kecepatan luar biasa. 
--oo0dw0oo-- 
Sudah dua hari Raden Antawirya menunggu,
tapi tidak ada kabar berita dari Pendekar Pulau
Neraka yang pergi ke Hutan Kamiaka. Putra
Mahkota Kerajaan Kali Jirak itu jadi gelisah, dan
jadi tidak kerasan mengurung diri dalam kamar.
Raden Antawirya keluar kamarnya, dan terus

menuju ke istal. 
Pemuda tampan berusia dua puluh tahun
lebih itu mengambil kuda dan menungganginya
keluar dari lingkungan istana yang dipagari
benteng tinggi dan kokoh. Kuda putih itu berlari
kencang menuju Utara. Raden Antawirya tidak
tahu kalau sejak dari istana, selalu dibuntuti
seseorang. 
Raden Antawirya menghentikan lari kudanya 
setelah melewati batas gerbang kotaraja bagian
Utara. Dua orang penjaga gerbang hanya bisa
memandangi tak mengerti karena Raden
Antawirya cepat memacu kudanya dan lenyap di
dalam hutan. Pemuda itu melompat turun dari
punggung kudanya, lalu menoleh ke belakang.
Pada saat itu, terlihat sebuah bayangan
berkelebat menyelinap ke dalam semak. 
"Heh...?!" Raden Antawirya terperanjat. 
Tanpa berpikir panjang lagi, putra mahkota itu
melentingkan tubuhnya ke udara, dan hinggap di
cabang pohon. Lalu dia kembali melenting 
indah, dan berputaran di udara. Dengan ringan
sekali, pemuda itu berlompatan dari ujung
pohon yang satu ke ujung pohon lainnya. Dan
dengan satu gerakan ringan, Raden Antawirya
meluruk turun, tepat di depan seseorang yang
bersembunyi di balik semak. 
"Siapa kau...?!" bentak Raden Antawirya.

"Oh...!" orang itu terperanjat kaget. 
Raden Antawirya menarik ke luar pedang dari
sarungnya di pinggang, langsung ditempelkan ke
leher laki-laki muda berpakaian lusuh bagai
seorang perambah hutan. Pemuda itu menatap 
tajam dan menyuruh orang itu keluar dari
semak. Dengan sikap takut-takut, laki-laki muda 
berpakaian lusuh itu beranjak keluar dari
semak. 
"Siapa kau?" tanya Raden Antawirya. 
"Hamba.... Hamba hanya pencari kayu bakar,
Raden...," sahut orang itu. 
"Hm...," Raden Antawirya tidak percaya pada
jawaban laki-laki muda berpakaian kumal ini. 
Diamati seluruh tubuh dan wajahnya.
Keningnya berkerut dan matanya sedikit
menyipit Dengan ujung pedang, diangkatnya
wajah laki-laki itu. Kemudian mengambil
tangannya. Sambil mendengus, Raden Antawirya
melemparkan tangan orang itu Dia semakin
ketat menempelkan mata pedangnya ke leher
yang telah penuh peluh. 
"Mana kapakmu, Kisanak?" tanya Raden
Antawirya bernada curiga. - ' 
"Anu, Raden..., ta.... Tadi terjatuh," sahut 
orang itu tergagap. 
"Hm.... Kau terlalu bodoh mencari alasan,

Kisanak," dengus Raden Antawirya dingin. 
Orang itu hanya menundukkan kepalanya
saja. Keringat semakin deras membanjiri
tubuhnya. Raden Antawirya tahu, kalau orang ini
bukan pencari kayu bakar. Kapak seorang 
pencari kayu bakar tidak akan pernah tertinggal.
Lagi pula kulit tubuh dan buku-buku jari tangan 
orang ini tidak menyiratkan kalau sering
melakukan pekerjaan berat 
"Siapa kau sebenarnya, dan apa pekerjaanmu
di sini?" tanya Raden Antawirya dingin. 
"Hamba.... Hamba.... Akh...!" 
Raden Antawirya terkejut ketika tiba-tiba 
sebatang anak panah menancap dalam di leher
laki-laki itu. Cepat Raden Antawirya melompat
ketika melihat sebuah bayangan berkelebat
cepat. Tapi bayangan itu lenyap lebih cepat lagi. 
"Huh!" Raden Antawirya mendengus kesal. 
Bergegas dihampiri laki-laki itu, lalu 
diperiksanya. Tapi, laki-laki berbaju kumal itu 
sudah tidak bernyawa lagi. Sebatang anak
panah tertanam dalam memanggang lehernya.
Pelahan Raden Antawirya bangkit berdiri.
Diedarkan pandangannya berkeliling. Tak ada
seorang pun yang terlihat lagi. 
"Hih!" 
Raden Antawirya mencabut anak panah yang

tertancap di leher orang itu. Diamatinya anak
panah yang berlumuran darah. Dengan
selembar daun jati, dibersihkan darah yang
melekat pada batang anak panah. 
"Hm..., hanya panah pemburu rusa...," gumam
Raden Antawirya. 
Raden Antawirya memeriksa tubuh yang
sudah tidak bernyawa lagi. Pemuda itu terkejut
ketika melihat sabuk yang tersembunyi dibalik
sabuk kulit di pinggang. Bergegas pemuda itu 
melepaskan sabuk berlapis emas dari pinggang
orang itu. Kedua matanya terbeliak kala
mengenali sabuk itu. 
"Sabuk tamtama...," desis Raden Antawirya. 
Raden Antawirya memang mengenali sabuk
itu. 
Semua Prajurit Kerajaan Kali Jirak yang
berpangkat tamtama pasti mengenakan sabuk
ini. Dan yang lebih mengejutkan lagi, pada
kepala sabuk tergambar goresan bulan sabit
dan sebilah pedang. Itu adalah lambang
pasukan rahasia kerajaan. 
Raden Antawirya menggenggam erat-erat 
sabuk berlapis emas itu. Wajahnya memerah
menegang, dan gerahamnya bergemeletuk
menahan geram. Dia kini tahu, segala gerak-
geriknya selalu diawasi. Raden Antawirya
menyimpan sabuk itu di balik lipatan bajunya,

kemudian berlari-lari kecil menuju kuda yang
ditinggalkannya. 
Dengan satu lompatan yang ringan, Raden
Antawirya langsung naik ke punggung kudanya.
Dan seketika itu juga digebah kudanya kuat-kuat 
Kuda putih itu meringkik keras sambil
mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi, 
kemudian melesat kencang meninggalkan hutan
itu. 
--oo0dw0oo-- 
Prak! 
Raden Antawirya melemparkan sabuk
berlapis emas ke atas meja, tepat di depan
ayahnya. Baik Prabu Truna Dilaga maupun
Permaisuri Rara Kuminten terkejut Mereka
memandangi sabuk berlapis emas itu, kemudian
menatap Raden Antawirya yang tengah diliputi
kemarahan. 
"Untuk apa Ayahanda memata-mataiku?!" 
dengus Raden Antawirya ketus. 
"Ada apa ini...?" Prabu Truna Dilaga seperti
tidak mengerti. 
Sedangkan Permaisuri Rara Kuminten hanya
memandangi laki-laki tua itu sambil
menyunggingkan senyum tipis di bibirnya. Begitu 
tipis, sehingga tak ada yang memperhatikan. 
"Sabuk ini kuambil dari seorang telik sandi

yang memata-mataiku. Dia tewas oleh
seseorang yang menggunakan panah. Dan aku
tahu, kalau panah itu untuk berburu milik Ayah!"
agak keras suara Raden Antawirya. 
Selain sabuk berlapis emas, di atas meja juga
tergeletak sebatang anak panah yang masih
sedikit berlumuran darah. Pada tangkai anak 
panah itu terukir lambang Kerajaan Kali Jirak.
Tak ada yang memiliki anak panah berburu
seperti itu selain Prabu Truna Dilaga. 
"Ayah tidak perlu melakukan itu padaku. Aku
bukan pemberontak, dan bukan pula penjahat
yang harus diawasi. Baik.... Jika Ayah sudah
tidak mempercayaiku lagi, aku akan pergi dan
tidak akan kembali ke istana ini lagi!" 
Setelah berkata demikian, Raden Antawirya
segera berbalik dan cepat meninggalkan
ruangan itu. 
"Antawirya...!" sentak Prabu Truna Dilaga. 
Tapi Raden Antawirya sudah keburu lenyap di
balik pintu, tanpa mempedulikan panggilan
ayahnya. Prabu Truna Dilaga terhenyak disertai
hembusan napas panjang di samping 
permaisurinya. Matanya memandangi dua
benda di atas meja. 
"Siapa saja bisa mengambilnya, Kanda.
Panah itu tersedia banyak di gudang senjata,"
kilah Rara Kuminten.

"Dinda, siapa yang menggunakan panah
milikku ini?" tanya Prabu Truna Dilaga. 
'Tamtama Tipang," sahut Rara Kuminten. 
"Jika kau yang memberi panah itu, kau harus
menghukumnya, Dinda!" tegas Prabu Truna
Dilaga. 
"Untuk apa? Tugasnya dijalankan dengan
baik. Lagi pula hanya panahmu yang bermutu
baik. Bidikannya tidak pernah meleset. Ingat,
Kanda. Kita harus menjaga rahasia ini." 
'Tapi, kenapa harus menggunakan panahku?
Apa tidak ada panah lain? Panah untuk berburu
biasa kan banyak!" 
"Aku sudah katakan, Kanda. Tidak ada yang
sebaik panah milik Kanda Prabu. Jika bidikan
meleset, akan memperburuk keadaan." 
Prabu Truna Dilaga mengeluh panjang.^
Entah apa yang ada di dalam hatinya saat ini.
Dia tadi tahu kalau Raden Antawirya begitu
marah. Suatu perbuatan bodoh jika memata-
matai putra mahkota itu. Lebih bodoh lagi,
panah yang digunakan untuk membunuh
pengintai itu miliknya sendiri. 
Prabu Truna Dilaga memandangi
permaisurinya dalam-dalam. Semua ini memang 
rencana Permaisuri Rara Kuminten. Bahkan dia
tidak tahu kalau wanita ini menggunakan panah
miliknya untuk melenyapkan pengintai itu.

"Apa sebenarnya yang kau inginkan, Rara 
Kuminten?" tanya Prabu Truna Dilaga.
Pandangan matanya tajam menusuk langsung
ke bola mata wanita itu. 
"Aku...? Kenapa kau menatapku begitu,
Kanda?" 
"Jawab saja pertanyaanku, Rara Kuminten!"
desis Prabu Truna Dilaga seraya bangkit berdiri. 
"Heh...?!" Permaisuri Rara Kuminten seperti
kebingungan. 
"Peran apa yang sedang kau mainkan? Siapa
kau sebenarnya Rara Kuminten?" jelas sekali
kalau nada suara Prabu Truna Dilaga mencurigai
permaisurinya ini. 
"Kanda..., ada apa ini? Mengapa kau berkata 
demikian...?" Rara Kuminten tampak
kebingungan. 
"Kau yang mengatur semua ini, sehingga
keluargaku pecah berantakan. Kenapa kau
lakukan semua ini, Rara Kuminten? Kenapa...?!"
agak tinggi nada suara Prabu Truna Dilaga. 
"Kanda, mengapa kau marah padaku? Aku
hanya melakukan yang terbaik untukmu. Untuk
kita semua, Kanda. Oh...," Rara Kuminten
mendekap wajahnya. 
Terdengar suara isak tertahan. Terlihat bahu
wanita itu terguncang. Prabu Truna Dilaga

memandangi. Seketika keraguan tersirat di
dalam sinar matanya. Pelahan dihampiri dan 
dipeluknya wanita itu. Luruh seketika hatinya
mendengar suara isak tangis permaisurinya ini. 
"Dinda, aku hanya ingin meminta
penjelasanmu. Kenapa kau lakukan semua
ini...?" pelan suara Prabu Truna Dilaga. 
"Kau.... Kau menuduhku, Kanda. Kau 
kejam...!" jerit Rara Kuminten. 
Wanita itu mendorong tubuh Prabu Truna
Dilaga, kemudian berlari kencang sambil terisak.
Prabu Truna Dilaga bergegas bangkit dan berlari
mengejar. 
"Dinda...! Dindaaa...!" 
Tapi Rara Kuminten terus berlari tergesa-
gesa, dan langsung membuka pintu sebuah
kamar. Cepat-cepat dimasukinya kamar itu, lalu
dikuncinya dari dalam. Prabu Truna Dilaga
langsung menggedor pintu kamar itu begitu
sampai 
"Dinda...! Buka pintu, Dinda! Buka pintu...!"
teriak Prabu Truna Dilaga sambil menggedor 
keras pintu kamar itu. 
"Tidak! Kau sudah tidak percaya padaku lagi!"
terdengar suara dari dalam kamar. 
"Buka pintunya dulu, Dinda. Kita bisa bicara
baik-baik. Maafkan aku, Dinda...," bujuk Prabu

Truna Dilaga-
Tapi pintu kamar itu tetap saja terkunci dari 
dalam. Prabu Truna Dilaga terus berusaha
membujuk. Namun tetap saja tidak mendapat
tanggapan. Pintu tetap terkunci, bahkan kini tak
ada sahutan dari dalam kamar. Prabu Truna
Dilaga menyandarkan punggungnya dengan
lesu. Desahan panjang terdengar begitu berat. 
"Oh, Dewata Yang Agung... Dosa apa yang
telah kuperbuat? Kenapa kau berikan cobaan
begini berat...?" keluh Prabu Truna Dilaga. 
Dengan langkah lesu, laki-laki tua itu 
meninggalkan pintu kamar yang tertutup. Dia
menyesal telah begitu gegabah mencurigai dan 
melukai hati permaisurinya. Prabu Truna Dilaga
sungguh menyesali sikapnya yang terlalu
terbawa amarah. 
"Oh, kenapa jadi begini? Mengapa saat-saat 
yang seharusnya bahagia jadi hancur begini...?
Tak pernah aku berharap masa tuaku
terbelenggu seperti ini. Oh, Dewata Yang 
Agung...," keluh Prabu Truna Dilaga dalam hati. 
--oo0dw0oo-- 
Sudah hampir tiga hari Permaisuri Rara
Kuminten tidak mau keluar dari kamar
pribadinya. Dan selama itu Prabu Truna Dilaga
terus membujuknya agar ke luar, tapi tak ada
jawaban sedikit pun dari dalam. Pintu kamar itu

terus terkunci rapat. Bahkan Prabu Truna Dilaga
tidak melihat seorang pelayan pun masuk ke
dalam kamar ini. Laki-laki tua itu jadi 
mencemaskan keadaan istrinya. 
Sementara itu, prajurit yang diperintah
mencari Raden Antawirya hanya membawa
kabar yang semakin membuat hati Raja
Kerajaan Kali Jirak itu semakin hancur. Meskpun
Raden Antawirya bukan anak kandung, tapi
sangat dicintainya seperti anak kandung sendui.
Sejak masih bayi, pemuda itu sudah diangkat
sebagai anaknya, sebelum putri kandungnya
lahir dari permaisuri yang sah. Kini semuanya
tak ada lagi di sisinya. Bahkan permaisuri
keduanya juga tidak mau menemuinya
sekarang, dan hanya mengurung diri' selama
tiga hari. 
Sejak pagi tadi, Prabu Truna Dilaga duduk
merenung di dalam taman belakang istana.
Sama sekali keindahan taman dan segarnya
udara yang membawa harum aroma bunga-
bunga bermekaran tidak ternikmati. Tak ada
seorang pengawai pun di sekitar taman ini.
Prabu Truna Dilaga ingin menyendiri, merenungi
semua yang tengah terjadi pada keluarganya.
"Gusti Prabu...." 
Prabu Truna Dilaga tersentak ketika
mendengar suara, dan langsung mengangkat
kepalanya. Entah kapan, tahu-tahu di depannya


sudah duduk bersimpuh Punggawa Dipa Praga.
Punggawa itu memberi sembah dengan
merapatkan kedua telapak tangannya di depan
hidung 
"Ada apa, Punggawa?" tanya Prabu Truna
Dilaga lesu 
"Hamba ingin memberi laporan, Gusti Prabu,"
sahut Punggawa Dipa Praga. 
"Katakan." 
"Hamba menemukan kuda milik Raden
Antawirya, Gusti Prabu." 
"Heh...!" Prabu Truna Dilaga tersentak kaget. 
Laki-laki tua itu sampai terlonjak bangkit dari
duduknya. Dipandanginya Punggawa Dipa Praga
dalam-dalam, seakan-akan tidak percaya
dengan pendengarannya barusan. 
"Ulangi lagi, Punggawa!" pinta Prabu Truna
Dilaga. 
"Hamba menemukan kuda milik Raden 
Antawirya, Gusti Prabu," Punggawa Dipa Praga
mengulangi laporannya. 
"Di mana?" 
"Di tepi padang rumput yang menuju Hutan
Kamiaka." 
"Di mana...?!" untuk kesekian kalinya Prabu
Truna Dilaga tersentak kaget.

"Di tepi padang rumput yang menuju Hutan 
Kamiaka, Gusti Prabu," sahut Punggawa Dipa
Praga mengulangi. 
"Oh...! Apa maksudnya dia ke sana...?" desah
Prabu Truna Dilaga seperti bertanya untuk
dirinya sendiri. 
Tentu saja Punggawa Dipa Praga tidak bisa
menjawab. Dia hanya diam saja sambil
menundukkan kepaja, tetap duduk bersimpuh di
rerumputan. 
"Punggawa, siapkan kuda dan prajurit pilihan
serta beberapa panglima. Aku akan melihat
sendiri ke sana," perintah Prabu Truna Dilaga. 
'Tapi, Gusti...." 
"Lakukan perintahku!" bentak Prabu Truna
Dilaga keras. 
"Hamba laksanakan, Gusti Prabu." 
Bergegas Punggawa Dipa Praga memberi
sembah, lalu bangkit berdiri. Dengan ayunan 
kaki lebar-lebar, punggawa itu meninggalkan
taman belakang istana ini. Prabu Truna Dilaga
sendiri bergegas meninggalkan taman. Ada
sedikit cercah harapan mendengar laporan
punggawanya tadi. Paling tidak, bisa diketahui,
di mana kini Raden Antawirya berada. 
Baru saja Prabu Truna Dilaga meninggalkan
taman, langkahnya terhenti. Tampak Permaisuri

Rara Kuminten keluar dari dalam kamarnya.
Wanita itu memandangi laki-laki tua di depannya 
yang juga tengah menatap ke arahnya. Pelahan
Prabu Truna Dilaga menghampiri, dan berhenti
sekitar dua langkah lagi di depan permaisurinya
itu. 
"Dinda, ada berita gembira untuk kita," ujar
Prabu Truna Dilaga. 
"Berita apa?" tanya Permaisuri Rara
Kuminten. 
"Punggawa menemukan kuda Antawirya. Aku
sendiri yang akan membawa pulang anak nakal
itu," kata Prabu Truna Dilaga. 
"Oh...," hanya itu yang bisa diucapkan
Permaisuri Rara Kuminten. 
"Aku pergi dulu, Dinda. Baik-baiklah di sini." 
Sebelum Permaisuri Rara Kuminten
membuka suara, Prabu Truna Dilaga sudah
cepat meninggalkannya. Permaisuri Rara
Kuminten hanya memandangi saja kepergian
laki-laki tua itu. Setelah punggung Prabu Truna
Dilaga tidak terlihat, wanita itu kembali masuk 
ke kamarnya. " 
--oo0dw0oo— 
TUJUH

 
Prabu Truna Dilaga memacu cepat kudanya
didampingi lima orang panglima dan Punggawa
Dipa Praga serta tiga punggawa lagi. Di belakang 
mereka tampak sekitar seratus prajurit pilihan
dan bersenjata lengkap, ikut mengiringi dengan
kuda. Meskipun sudah berusia lanjut, tapi Prabu
Truna Dilaga masih terlihat trampil
mengendalikan kuda. Derap langkah kaki kuda
seakan-akan hendak mengguncangkan bumi.
Debu membumbung tinggi mengepul di udara. 
Mereka baru saja melewati sungai kecil dan
terus bergerak menerobos lebatnya hutan.
Namun semakin jauh, semakin jarang
pepohonan yang terlihat. Dan kemudian mereka
sampai di tepi sebuah padang rumput yang
sangat luas. Prabu Truna Dilaga menghentikan
laju kudanya. Salah seorang panglima memberi
aba-aba pada para prajurit agar berhenti.
Mereka semua memandangi padang rumput
yang luas iak bertepi. Tampak di kejauhan sana,
terlihat sebuah hutan yang selama ini sangat
ditakuti. Hutan Kamiaka! 
Tapi bukan itu yang menjadi perhatian
mereka, terutama Prabu Truna Dilaga. Seekor 
kuda putih yang tengah merumput tenang itulah
yang justru menarik perhatian mereka. Semua
tahu kalau kuda itu milik Raden Antawirya.. 
"Di mana Raden Antawirya....?" tanya Prabu
Truna Dilaga. 
Tentu saja tak ada yang bisa menjawab,

karena mereka semua memang tak ada yang
tahu. Prabu Truna Dilaga memerintahkan untuk
mengambil kuda itu. Seketika dua orang prajurit
memacu kudanya ke tengah padang untuk
melaksanakan perintah junjungannya. Tapi
belum juga berkuda jauh, mendadak saja kuda
kedua prajurit itu meringkik keras, dan
melemparkan penunggangnya. 
Kedua prajurit itu terpental jauh ke tanah
berumput. Mereka segera bangkit berdiri. Tapi
belum juga bisa berdiri tegak, riba-riba dua buah
benda keperakan meluruk deras dan langsung
menghantam tubuh kedua prajurit itu. 
"Akli!" 
"Aaa...!" 
Dua jeritan melengking tinggi terdengar
mengiringi ambruknya kedua prajurit itu. Prabu
Truna Dilaga ter-, sentak kaget. Para panglima
segera memerintahkan untuk membuat
pertahanan melindungi raja mereka. Sedangkan
Punggawa Dipa Praga bergegas membantu laki-
laki tua itu turun dari kuda, lalu membawanya
menyingkir ke dekat batu. 
Belum juga hilang kepanikan para prajurit itu,
tiba-tiba saja dari arah hutan di belakang
mereka bertebaran benda-benda kecil bulat 
berwarna keperakan. Dan sekejap saja
terdengar jeritan-jeritan melengking tinggi

disusul berjatuhannya para prajurit itu. 
Semua prajurit jadi kelabakan karena tidak
tahu, mana lawan yang harus diserang.
Meskipun hanya sekali, tapi tebaran benda-
benda bulat kecil keperakan itu cukup membuat
gentar juga. Betapa tidak! Dalam sekejap saja,
hampir separuh jumlah mereka sudah
bergelimpangan tak bernyawa lagi. Benda-benda 
bulat keperakan itu melubangi tubuh para
prajurit. 
Pada saat prajurit-prajurit itu diliputi berbagai
macam perasaan tak menentu, tiba-tiba saja 
dari arah hutan yang tadi dilalui, terdengar
suara-suara gaduh bagai teriakan-teriakan 
peperangan. Tapi tak ada seorang pun terlihat di
dalam hutan itu. Hanya suara-suara saja yang 
terdengar. Prajurit-prajurit Kerajaan Kali Jirak itu 
jadi pucat. 
"Awas...!" tiba-tiba salah seorang panglima
berteriak kencang. 
Pada saat itu, dari dalam hutan bermunculan
manusia berbaju merah mengenakan topeng
tengkorak perak. Mereka langsung menyerbu
sambil memperdengarkan suara-suara riuh 
menggetarkan hati. Seketika itu juga di tepian
padang rumput yang berbatasan dengan tepi
hutan, terjadi pertempuran. 
Teriakan-teriakan pertempuran dan jerit pekik

melengking terdengar berbaur menjadi satu,
ditingkahi denting senjata beradu. Prajurit-
prajurit yang sudah kacau, semakin bertambah
kacau lagi. Mereka bertempur tanpa mengikuti
petunjuk lagi. Musuh seakan-akan ada di mana-
mana. 
Sebentar saja, lebih dari separuh prajurit
sudah bergelimpangan tak bernyawa.
Sementara di tempat yang cukup terlindung, 
Prabu Truna Dilaga dan 
Punggawa Dipa Praga tampak cemas
menyaksikan para prajuritnya tak mampu
membendung serangan manusia-manusia 
bertopeng tengkorak itu. Jumlah penyerang
memang jauh lebih kecil, tapi mereka mengawali
serangan ini dengan terlebih dahulu 
menjatuhkan mental para prajurit. Terlebih lagi,
gerakan-gerakan mereka dalam bertempur
demikian cepat Apalagi kemampuan mereka
jauh lebih tinggi bila dibanding para Prajurit
Kerajaan Kali Jirak. 
"Gusti, sebaiknya kita segera menyingkir dari
sini," usul Punggawa Dipa Praga. 
"Bagaimana dengan mereka?" tanya Prabu
Truna Dilaga mencemaskan para prajuritnya
yang semakin kewalahan saja. 
"Tidak ada harapan, Gusti. Sebaiknya Gusti
Prabu cepat menyingkir dari sini," desah


Punggawa Dipa Praga. 
Prabu Truna Dilaga memang tidak punya 
pilihan lain lagi. Laki-laki tua itu cepat melompat
naik ke punggung kudanya, dan menggebah
kuat-kuat. Punggawa Dipa Praga bergegas
mengikuti Tapi rupanya beberapa orang berbaju
merah bertopeng tengkorak itu melihat
kepergian Prabu Truna Dilaga dan Punggawa 
Dipa Praga. Tampak enam orang manusia
bertopeng 
tengkorak itu 
berlompatan 
mengejar. 
Prabu Truna 
Dilaga dan 
Punggawa Dipa 
Praga terus 
memacu kudanya 
menerobos 
kelebatan hutan 
dengan kecepatan 
tinggi. Tapi tiba-tiba saja sebuah benda bulat 
kecil berwarna keperakan melesat bagai kilat
dan langsung tepat menghantam punggung
Punggawa Dipa Praga. 
"Punggawa...!" je Dilaga. 
"Aaa...!" 
rit Prabu Truna
--oo0dw0oo

Prabu Truna Dilaga menarik tali kekang
kudanya. Dan seketika itu juga kuda yang
ditungganginya berhenti Cepat-cepat dia
melompat turun, dan menghampiri Punggawa
Dipa Praga yang tergeletak tak bernyawa lagi.
Dari punggung hingga dadanya berlubang
se
geram Prabu Truna Dilaga
me
besar jari. 
"Biadab...!" 
ndesis. Sret! 
Prabu Truna Dilaga langsung menarik ke luar 
pedangnya. Pada saat itu enam orang berbaju
merah dan bertopeng tengkorak perak sudah
riba. Mereka langsung mengepung laki-laki tua 
itu
bentak
. . 
"Maju kalian semua,, keparat...!" 
Prabu Truna Dilaga menggeram marah. 
Wuk! Wuk...! 
Prabu Truna Dilaga mengebut-ngebutkan 
pedangnya di depan dada. Angin kebutannya
begitu keras, sehingga menimbulkan suara
menderu bagai topan. Enam orang bertopeng
tengkorak itu bergerak mengelilinginya. Salah
seorang menganggukkan kepalanya, dan.... 
"Hiyaaa...!" 
"Yeaaah...!" 
Seorang yang berada di depan langsung
melompat menerjang sambil mengibaskan

pedang ke arah leher Prabu Truna Dilaga.
Meskipun sudah berusia lanjut, tapi Prabu Truna
Dilaga tidak bisa dianggap semba-rangan. 
Dengan cepat sekali dikibaskan pedangnya 
me . 
ndangan keras
bertenaga dalam cukup tinggi. 
ah...!" 
nangkis
Trang! 
Dua pedang beradu keras. Dan sebelum
orang bertopeng tengkorak itu bisa menarik
pulang kembali pedangnya, Prabu Truna Dilaga
sudah melepaskan satu te
"Yeaa
Des! 
Tendangan yang cepat dan tidak terduga itu 
tak dapat dihindari lagi. Orang bertopeng
tengkorak perak itu mengeluh pendek, dan
tubuhnya terbungkuk sedikit sambil terhuyung
ke belakang. Tapi rupanya Prabu Truna Dilaga
tidak membiarkan begitu saja. Sambil berteriak
keras, laki-laki tua itu melompat sambil
mengecutkan pedangnya ke arah leher. 
Namun belum juga pedang Prabu Truna
Dilaga membabat leher orang itu, seorang
lainnya lebih cepat lagi melesat seraya
me t pedang laki-laki tua itu. mbaba
Trang! 
Prabu Truna Dilaga tersentak kaget.

Persendian tangannya sampai nyeri, dan seluruh
tangan kanannya bergetar hebat ketika
pedangnya beradu dengan sebuah pedang lain.
Buru-buru ditarik pulang pedangnya, lalu
melompat mundur. Namun belum juga laki-laki 
tua itu siap, satu serangan dari tusukan pedang
mengarah ke lambung kiri. 
Wuk! 
"Uts...!" 
Cepat-cepat Prabu Truna Dilaga menarik
tubuhnya ke belakang, maka tusukan pedang itu
lewat di depan perutnya. Pada saat yang
bersamaan, datang lagi tebasan pedang dari
arah kanan. Prabu Truna Dilaga tak mungkin 
berkelit lagi. Dengan cepat dikibaskan
pedangnya menyampok pedang yang mengarah
ke leher. 
Tring! 
Hampir saja pedang di dalam genggaman
tangan Prabu Truna Dilaga terlepas, kalau saja
tidak segera dipindahkannya ke tangan kiri. Dan
secepat itu pula dikibaskan ke arah samping.
Tepat ketika sebuah kaki melayang mengarah
ke . kepala
Cras! 
"Aaa...!" orang itu menjerit keras. 
Tebasan pedang Prabu Truna Dilaga

membabat kaki orang itu hingga buntung. Dan
sebelum orang itu jatuh ke tanah, Prabu Truna
Dilaga sudah melayangkan satu tendangan
keras bertenaga dalam tinggi. Tendangan itu
tepat menghantam kepalanya. Terdengar suara
berderak dari kepala yang pecah. Orang
bertopeng tengkorak perak itu menggelepar di
tanah. Seketika darah mengalir deras dari kaki
yang buntung dan kepala pecah. 
Melihat satu temannya tewas, lima orang
lainnya langsung menyerang dari lima jurusan
secara bersamaan. Prabu Truna Dilaga cepat
memutar tubuhnya sambil mengibaskan pedang
dengan cepat ke segala arah. Beberapa kali
pedang laki-laki tua itu berbenturan. Dan setiap
kali membentur pedang lawan, terasa
persendian tangannya nyeri. 
Rupanya kelima orang itu tidak lagi
menganggap remeh Prabu Truna Dilaga.
Meskipun sudah lanjut usia, tapi gerakan-
gerakannya masih begitu gesit Bahkan
kecepatannya sungguh luar biasa, walaupun
tenaga dalamnya mengalami kemunduran. Ini
terbukti, setiap kali terjadi benturan adu tenaga
dalam, Prabu Truna Dilaga merasakan nyeri
pada tulangnya. 
Jurus demi jurus berlalu. Dan ketika lewat dua
puluh jurus, sudah terlihat kalau Prabu Truna 
Dilaga mulai kewalahan menghadapi lima orang

pengeroyoknya. Beberapa kali tubuhnya harus
menerima tendangan serta pukulan lawan-
lawannya. Tapi laki-laki tua itu masih cukup
tangguh, dan masih bisa memberi perlawanan,
walaupun sudah tidak berarti banyak lagi. 
"Yeaaah..,!" 
Tiba-tiba satu tendangan keras mendarat di
dada Prabu Truna Dilaga, sehingga membuatnya
terjungkal deras ke belakang. Bersamaan
dengan itu, sebilah pedang membabat
pergelangan tangannya. Tapi Prabu Truna Dilaga
masih bisa menangkis dengan pedangnya
se
 Prabu Truna Dilaga memekik
ter
ajar menerima tendangan
keras pada dadanya. 
ndiri. 
Trang! 
"Akh...!"
tahan. 
Dia tak dapat lagi menguasai pedangnya,
sehingga terpental ke angkasa. Prabu Truna
Dilaga mencoba mengejar pedangnya, namun
sebuah tendangan menghentikan usahanya.
Kembali tubuhnya terj
"Yeaaah...!" 
Selagi Prabu Truna Dilaga terhuyung-huyung 
ke belakang, salah seorang melompat cepat
sambil berteriak nyaring. Pedangnya terangkat
ke atas kepala, lalu bagaikan kilat diayunkan
hendak menebas kepala laki4aki tua itu.

Tepat pada saat mata pedang itu hampir
membelah kepala Prabu Truna Dilaga,
mendadak saja sebuah bayangan berkelebat
cepat, langsung menerjang manusia bertopeng
tengkorak perak itu. Terjangan bayangan itu
demikian cepat dan keras sekali, sehingga tak
bisa terelakkan lagi 
"Akh...!" orang itu menjerit keras. Tubuhnya
terlontar jauh ke belakang. 
"Bayu...," desis Prabu Truna Dilaga begitu tiba-
tiba di depannya sudah berdiri seorang pemuda
berbaju kulit harimau. 
"Ayah...!" 
Prabu Truna Dilaga berpaling begitu
mendengar seseorang memanggilnya. Tampak
Raden Antawirya berlari-lari menghampirinya. 
Tapi yang membuat laki-laki tua itu lebih 
terpaku, adalah dua orang yang tengah berlari-
lari kecil di belakang Raden Antawirya.
Sementara Bayu berdiri tegak memandangi
empat orang manusia bertopeng tengkorak yang
tampak seperti enggan bertemu dengannya. 
--oo0dw0oo-- 
Rupanya terjangan Pendekar Pulau Neraka
itu demikian keras, sehingga orang yang
tertenang tadi langsung tewas seketika.
Sedangkan empat orang sisanya kini hanya
saling berpandangan sejenak Tiba-tiba secara

bersamaan mereka berlompatan menyerang
pemuda berbaju kulit harimau itu. 
"Hiyaaa...!" 
"Yeah...!" 
Bayu langsung memiringkan tubuhnya ke kiri
dan secepat itu pula dihentakkan tangan 
kanannya ke depan. Seketika Cakra Maut
melesat bagaikan kilat menyambar salah
seorang. Jeritan melengking tinggi terdengar,
disusul ambruknya satu orang bertopeng
tengkorak 
Bayu berteriak keras, lalu tubuhnya melesat
bagai kilat menerjang tiga orang lainnya. Dua
kali dikirimkan pukulan keras bertenaga dalam
sempurna. Satu orang berhasil menghindari, tapi
satu orang lagi menjerit keras. Dadanya
terhantam pukulan yang mengandung
pengerahan tenaga dalam tinggi. 
"Hap! Yeaaah...!" 
Bayu cepat memutar tubuhnya seraya 
menghentakkan tangan kanannya. Cakra Maut
yang baru saja akan menempel kembali di
pergebngan tangan Pendekar Pulau Neraka itu,
kembali melesat dan menyambar leher salah
seorang. Kembali terdengar jerit melengking
tinggi. Satu orang kembali roboh, karena 
lehernya terbabat hampir buntung. 
Dengan ujung kakinya, Bayu menjentik

sebilah pedang yang tergolek di dekat kakinya.
Pedang itu melayang di udara, dan dengan
tangkas sekali Bayu menangkapnya. Langsung
saja dikibaskannya pedang itu ke pedang lawan
yang tinggal satu. Trang! 
"Akh...!" orang itu terpekik, dan pedangnya
terpental lepas dari genggaman. 
Sebelum lawan sampat menyadari apa yang
baru terjadi, Bayu sudah melompat Langsung
saja dikirimkan satu tendangan ke arah dada.
Tak dapat dikatakan lagi, orang bertopeng 
tengkorak itu terjungkal ke belakang. Bayu 
langsung memburu. Ditempelkannya ujung
pedang ke leher orang itu. 
"Hih!" 
Dengan ujung jari kaki, Pendekar Pulau
Neraka itu melepaskan topeng tengkorak perak
Tapi mendadak Bayu terbeliak kaget Ternyata 
orang itu telah menggigit lidahnya sendiri hingga
buntung. Dan sebelum Bayu sempat menyadari,
mendadak orang berbaju merah itu mengangkat
tubuhnya, sehingga pedang yang menempel di
leher itu langsung menembus. 
Crab! 
"Heh...!" Bayu tersentak kaget. 
Pendekar Pulau Neraka itu tidak bisa lagi
mencegah. Dilepaskan genggamannya pada
tangkai pedang sehingga tubuh orang berbaju

merah itu jatuh ke tanah dengan leher
terpanggang sebilah pedang. 
"Edan...!" dengus Bayu tidak percaya. 
Bayu memutar tubuhnya ketika sebuah 
tangan menepuk pundaknya. Tampak seorang
laki-laki hampir setengah baya sudah berada di
dekatnya, diikuti tiga orang yang telah berdiri di
depannya. Dua orang mengapit seorang laki-laki 
tua. 
"Aku tidak tahu, apa yang harus kukatakan
padamu, Anak Muda," ujar Prabu Truna Dilaga. 
"Ayah harus percaya kalau Bayu benar-benar 
akan membantu kita," selak Raden Antawirya. 
"Dan yang terpenting lagi, Kakang Bayu-lah 
yang menyelamatkan aku dan Paman Patih,"
sambung gadis cantik yang ternyata adalah
Intan Wandira, adik Raden Antawirya. 
Sepasang bola mata Prabu Truna Dilaga
berkaca-kaca. Dihampirinya Pendekar Pulau
Neraka, dan langsung disodorkan tangannya.
Bayu pun menyambutnya hangat. Laki-laki tua 
itu malah menarik dan memeluknya erat sekali. 
"Maafkan atas kebodohanku," ucap Prabu 
Truna Dilaga setelah melepaskan pelukannya. 
"Lupakan saja," hanya itu yang bisa
diucapkan Bayu. 
Prabu Truna Dilaga menepuk-nepuk pundak

Pendekar Pulau Neraka itu, kemudian berpaling
pada Raden Antawirya dan Intan Wandira.
Tangannya merentang dan merengkuh kedua
anaknya ini. Prabu Truna Dilaga semakin trenyuh
hatinya kala mengingat antara Raden Antawirya
dan Intan Wandira sebenarnya bukan saudara
kandung, tapi pengorbanan yang dilakukan
Raden Antawirya sungguh besar. 
--oo0dw0oo- 
 
DELAPAN

 
Waktu terus berjalan. Siang pun berganti
malam. Di depan api unggun, mereka duduk
melingkar sambil bercerita bertukar pengalaman
masing-masing. Prabu Truna Dilaga duduk
didampingi kedua putranya. Sedangkan
Pendekar Pulau Neraka dan Patih Natabrata
duduk di depannya. 
"Hm..., jadi selama ini sebenarnya kalian tidak
di Hutan Kamiaka?" tanya Prabu Truna Dilaga
setelah Intan Wandira mengakhiri
pengalamannya. 
"Benar, Ayah. Mereka mengurungku di dalam
sebuah lembah yang ada di bukit itu," sahut
Intan Wandira menunjuk sebuah bukit yang 
tampak menghitam. 
"Dan yang terpenting lagi, Ayah. Mereka

dipimpin oleh seseorang yang selama ini kita
kenal baik. Bahkan sangat kita cintai," sambung
Raden Antawirya. 
"Yaaah.... Sudah bisa kuduga, siapa yang
kalian maksud. Selama ini aku seperti buta, 
begitu terpengaruh padanya. Sungguh tidak
kusangka kalau dia biang keladinya," keluh
Prabu Truna Dilaga lirih. 
Sesaat mereka semua terdiam. 
"Hanya yang tidak habis kumengerti, kenapa
dia menggunakan nama Dewi Iblis...?" sambung 
Prabu Truna Dilaga pelan, seperti bertanya pada
dirinya sendiri. 
"Dia murid Dewi Iblis, Gusti Prabu," sahut
Patih Natabrata yang sejak tadi diam saja. 
"Oh...!" Prabu Truna Dilaga tampak terkejut
"Kalau begitu dia adalah Titisan Dewi Iblis yang
lama.... Lalu bagaimana kau bisa tahu, Patih?" 
"Dia sendiri yang mengatakannya pada
hamba, Gusti Prabu. Dia mengharapkan agar
hamba bergabung dan mempengaruhi para
prajurit Tapi hamba sekali-kali tidak akan 
berkhianat Gusti." 
'Terima kasih...," ucap Prabu Truna Dilaga
terharu. 
"Mereka harus dihancurkan, Ayah. Sebelum
mereka menghancurkan kita," tegas Intan

Wandira. 
Prabu Truna Dilaga hanya terdiam membisu.
Benar-benar tidak disangka kalau permaisuri
yang selama bertahun-tahun mendampingi dan
sanggat dicintainya, sesungguhnya menyimpan
dendam di balik hatinya. Dendam seorang murid
karena gurunya tewas. Suatu cara kerja yang
sangat rapi dan terencana baik. Bahkan juga
telah menghimpun kekuatan di tempat yang
jarang diinjak manusia. 
Rupanya Rara Kuminten sengaja ingin
membuat Prabu Truna Dilaga menderita secara 
pelahan-lahan. Dia ingin menghancurkan dan
menceraiberaikan keluarga istana. Lalu
menggerogoti dari dalam, melumpuhkan
kekuatan yang akhirnya akan mudah
menghancurkannya. Siapa pun pasti akan
memuji rencananya itu. Tapi walaupun demikian 
Rara Kuminten sudah bisa berbangga, karena
sebagian rencananya sudah berjalan baik. 
"Besok kita kembali ke istana," kata Prabu
Truna Dilaga. 'Y ku akan menangkap sendiri si
pengkhianat itu, kemudian menghancurkan
gerombolannya." 
--oo0dw0oo-- 
Kembalinya seluruh keluarga istana kerajaan
disambut gembira seluruh kerabat penghuni
istana. Tapi di balik kegembiraan itu, tersimpan

satu kehampaan. Ternyata Prabu Truna Dilaga
tidak menemukan lagi permaisurinya di dalam
istana. Menurut pelayan pribadinya, Permaisuri 
Rara Kuminten meninggalkan istana sebelum
Prabu Truna Dilaga dan kedua putranya masuk 
"Rupanya dia sudah mengetahui
kegagalannya," desah Prabu Truna Dilaga. 
"Gusti Prabu, hamba akan menyiapkan
seluruh prajurit," ujar Patih Natabrata. 
Prabu Truna Dilaga tidak bisa mengatakan
apa-apa lagi, dan hanya menganggukkan
kepalanya saja. Patih Natabrata bergegas
meninggalkannya untuk menghimpun kekuatan.
Sementara di ruangan itu tinggal Bayu, Raden
Antawirya, dan Intan Wandira. 
"Ayahanda Prabu, ijinkan nanda ikut
berperang," tegas Raden Antawirya memohon. 
"Kau tetap di sini, Antawirya. Kau harus 
menjaga adikmu," Prabu Truna Dilaga menolak. 
'Tapi..." 
"Dengar, Antawirya," potong Prabu Truna
Dilaga cepat "Dalam keadaan seperti ini, istana
tidak boleh kosong. Selama aku pergi, seluruh 
tampuk kekuasaan berada di tanganmu. Tidak
mungkin kekuasaan kuserahkan pada adikmu." 
Raden Antawirya terdiam tidak bisa
membantah. Memang diakui, dia tidak akan

mungkin ikut menggempur anak buah si Dewi
Iblis. Walaupun kecewa, tapi Raden Antawirya 
tidak bisa mendesak lagi. Dia tahu kalau
memiliki tugas yang tidak kalah beratnya di sini. 
"Lalu, bagaimana dengan Bayu? Apakah akan
ikut juga?" tanya Raden Antawirya seraya melirik
pada Pendekar Pulau Neraka. 
"Kalau memang benar Rara Kuminten itu 
murid si Dewi Iblis, rasanya seribu prajurit pun
tidak akan sanggup menandinginya. Kau tahu
sendiri, hanya dengan pengikut-pengikutnya
saja, seratus prajurit pilihan hancur tak bersisa.
Jadi aku membutuhkan bantuannya, Antawirya,"
sahut Prabu Truna Dilaga. 
"Ah, sayang sekali Aku tidak bisa
menyaksikan pertarungan tingkat tinggi," desah
Raden Antawirya agak mengeluh. 
"Ini bukan tontonan, Antawirya. Ingat' Kau
bukan anak kecil lagi. Kau calon raja!" 
"Maaf, Ayahanda Prabu," ucap Raden
Antawirya buru-buru. 
"Ah, sudahlah. Kelak kau akan bisa
mengalami sendiri." 
Pada saat itu Patih Natabrata kembali muncul
diiringi dua orang panglima yang sudah siap
berangkat berperang. Pakaian yang dikenakan
kedua panglima itu sungguh menakjubkan,
sampai-sampai Bayu kagum dibuatnya. Belum

pernah Bayu melihat pakaian perang begitu
gemerlap. 
"Seluruh pasukan terpilih sudah siap, Gusti
Prabu," lapor Patih Natabrata. 
"Hm.... Patih, aku sendiri yang akan
memimpin," tegas Prabu Truna Dilaga. 
"Gusti...!" Patih Natabrata terperanjat kaget. 
Semula dikira kalau Prabu Truna Dilaga akan
memberi restu saja, dan menunjuknya untuk
memimpin menumpas gerombolan yang hendak
menghancurkan kerajaan ini. Tapi sungguh tidak
diduga sama sekali kalau Prabu Truna Dilaga
sendiri yang akan memimpin. 
"Siapkan kuda dan perlengkapan perangku,
Patih," perintah Prabu Truna Dilaga. 
"Gusti, kalau boleh hamba...." 
"Laksanakan saja perintahku, Patih!" potong 
Prabu Truna Dilaga cepat. 
"Hamba, Gusti." 
Buru-buru Patih Natabrata memberi sembah,
lalu bergegas meninggalkan ruangan ini. 
Sedangkan dua orang panglima tetap tinggal.
Merekalah yang akan mengawal Prabu Truna
Dilaga nanti. Sementara laki-laki tua itu bangkit 
berdiri, lalu menepuk pundak kedua anaknya. 
Dengan langkah yang tegap dan penuh

kepastian, Prabu Truna Dilaga berjalan ke luar 
diiringi dua orang panglima yang sudah siap
dengan pakaian perang yang berwarna perak.
Suara bergemerincing terdengar begitu kedua
panglima itu berjalan. 
"Bayu, kuharap kau bisa kembali lagi ke sini
nanti," ujar Raden Antawirya berharap. 
"Kau tidak akan mengecewakan harapan
kami bukan, Kakang?" bujuk Intan Wandira yang
berjalan di sebelah kiri Bayu. 
"Aku tidak bisa berjanji," kata Bayu setengah
mendesah. 
"Usahakan, Kakang. Hanya satu atau dua hari
saja," desak Intan Wandira merajuk. 
"Aku mengharapkan sekali, Bayu. Aku yakin,
Ayahanda Prabu akan kecewa jika kau langsung
pergi," sambung Raden Antawirya. 
"Baiklah, akan kuusahakan. Tapi aku tidak
bisa lama," Bayu akhirnya menyerah juga. 
'Terima kasih, Kakang," ucap Intan Wandira
senang. 
Mereka mengantarkan sampai di tangga
depan istana. Sekitar seribu prajurit sudah siap
dengan senjata lengkap dan pakaian perang.
Sebuah kereta perang juga sudah siap. Patih
Natabrata membantu Prabu Truna Dilaga
menaiki kereta perangnya. Seekor kuda yang

gagah, tinggi dan tegap sudah disiapkan untuk
Pendekar Pulau Neraka. 
Prabu Truna Dilaga memberi aba-aba, maka 
rombongan besar itu pun berangkat. Derap
langkah kaki kuda dan pasukan jalan kaki
seakan-akan hendak meruntuhkan bangunan
istana ini. Prajurit-prajurit itu bersorak, 
meneriakkan pekik-pekik peperangan 
pembangkit semangat 
Sementara Raden Antarwirya dan Intan
Wandira memandangi sampai barisan terakhir
meninggalkan pintu gerbang istana. Hanya
sekitar dua ratus prajurit saja yang masih tetap
tinggal di istana ini. 
"Ayo, Intan," Raden Antawirya mencolek
lengan gadis itu. 
"Oh...!" Intan Wandira tersentak. 
"Kau melamun...?" 
'Tidak," sahut Intan Wandira. 
"Aku tahu, kau pasti tertarik pada Bayu,
bukan?" goda Raden Antawirya. 
"Ah, Kakang...." 
Wajah Intan Wandira mendadak saja
bersemu merah dadu. Raden Antawirya tertawa
terbahak-bahak sambil terus berian masuk ke
dalam, menghindari cubitan gadis itu. Untuk
pertama katinya, istana ini kembali dihiasi gelak

tawa. Intan Wandira berlari mengejar sambil
memberengut, karena kakaknya terus mengolok-
olok. Wajah gadis itu semakin bertambah merah
saja. Tapi olok-olok Raden Antawirya tidak
berhenti, meskipun Intan Wandira sudah
menjerit-jerit meminta berhenti. Istana Kali Jirak
kembali semarak, dan terasa hidup setelah
beberapa lamanya terselimut kabut tebal
kehampaan 
--oo0dw0oo-- 
Kedatangan para prajurit Kerajaan Kati Jirak
rupanya sudah ditunggu. Belum juga mereka
mencapai bukit, orang-orang berbaju merah 
bertopeng tengkorak sudah menyongsongnya.
Maka pertempuran di kaki bukit itu tak dapat
dihindari lagi. 
Prabu Truna Dilaga tidak menyangka kalau
pengikut Dewi Iblis begitu banyak, hampir
menyamai jumlah prajurit yang dibawanya. Tapi,
kali ini mereka adalah para prajurit terpilih yang
rata-rata memiliki tingkat kepandaian cukup
tinggi. Mereka rata-rata memang berasal dari
padepokan yang tersebar di seluruh wilayah
Kerajaan Kali Jirak. 
Sementara itu Pendekar Pulau Neraka
berusaha membuka jalan menuju ke bukit.
Pukulan-pukulan yang dilontarkan sungguh
dahsyat Kedua tangannya bagai palu godam 
dahsyat. Setiap kali pemuda berbaju kulit

harimau itu melontarkan pukulan, selalu
terdengar jeritan melengking disusul robohnya
satu atau dua orang lawan. Sedangkan Prabu
Truna Dilaga juga sungguh gagah. Dengan
pedang di tangan kanan dan tali kendali kereta 
di tangan kiri, diterobosnya orang-orang 
bertopeng tengkorak. 
Cara bertempur yang diperlihatkan Prabu
Truna Dilaga, membangkitkan semangat para
prajuritnya. Dan mereka terus merangsek lawan,
tak peduli dengan korban yang terus berjatuhan.
Rumput yang semula berwarna hijau, kini
berubah merah bergelimang darah. Mayat-mayat 
bergelimpangan tak tentu arah saling tumpang
tindih, dan tubuh-tubuh masih terus berjatuhan. 
"Majuuu...!" 
"Seraaang...!" 
Teriakan-teriakan keras memberi petunjuk
terus terdengar mengalahkan jerit dan pekik
serta teriakan pertempuran. Prajurit-prajurit 
Kerajaan Kali Jirak terus merangsek semakin
mendesak lawan, dan sedikit demi sedikit mulai
mendekati bukit Pada saat itu Prabu Truna
Dilaga melihat seorang wanita mengenakan
topeng tengkorak berdiri di atas sebongkah batu
besar mengawasi jalannya pertarungan. Di
depannya masih terlihat barisan orang berbaju
merah yang semuanya mengenakan topeng
tengkorak. Jumlah mereka masih cukup banyak,

dan tampaknya sudah tidak sabar menunggu
perintah. 
"Seraaang...!" 
Tiba-tiba wanita bertopeng tengkorak perak
itu berteriak keras sambil mengangkat
tangannya yang menggenggam tongkat tinggi-
tinggi ke atas kepala. Ujung tongkat yang
berbentuk bintang, tampak berki-latan tertimpa 
cahaya matahari. Bukit bagaikan hendak runtuh,
bergetar ketika orang-orang berbaju merah 
berlarian membantu teman-temannya yang 
semakin terdesak. * 
"Pasukan cadangan! Majuuu...!" tiba-tiba 
terdengar teriakan perintah dari arah belakang. 
Kembali bumi bergetar. Barisan cadangan
yang dipersiapkan mambantu penyerangan,
bergerak cepat berhamburan memasuki kancah
pertempuran 
"Pasukan panah! Siaaap...!" 
Kembali terdengar teriakan memerintah. Saat
itu Bayu melihat pasukan panah Kerajaan Kali
Jirak sudah siap dengan busur terbentang.
Pendekar Pulau Neraka itu melompat
menghampiri Prabu Truna Dilaga. 
"Gusti, hentikan gerakan pasukan panah. Kita 
semua bisa hancur terpanggang," ujar Bayu
begitu dekat dengan Prabu Truna Dilaga.

Prabu Truna Dilaga berpaling, dan menjadi
terkejut melihat pasukan panah sudah siap 
melepaskan senjatanya. Bergegas diputar kereta
perangnya, lalu dige-bah kudanya ke garis
belakang dengan kencang. 
'Tunggu...!" seru Prabu Truna Dilaga lantang. 
Seorang panglima yang bertugas memimpin
pasukan panah mengurungkan aba-abanya
untuk melepaskan anak panah. Bergegas
dihampainya Prabu Truna Dilaga, dan langsung
memberi hormat 
'Tunggu tanda dariku. Jangan menggempur
mereka dengan panah!" dengus Prabu Truna
Dilaga. 
"Gusti Prabu, hamba mempersiapkan regu
panah sayap kiri. Hamba mencoba membuka
jalan ke bukit melalui sayap kiri," jelas panglima
itu. 
Prabu Truna Dilaga memandang ke bagian
sayap kiri. Tampak barisan orang berpakaian
merah begitu tangguh. 
"Beri tanda pada panglima sayap kiri agar
menarik pasukannya mundur, kemudian cepat
hujani mereka dengan panah!" perintah Prabu
Truna Dilaga melihat kebenaran panglimanya. 
"Hamba, Gusti Prabu." 
Panglima itu segera memberi tanda pada

panglima di sayap kiri untuk menarik mundur
pasukannya. Dan begitu pasukan di sayap kiri
bergerak mundur, langsung panglima itu
memerintahkan pasukan panahnya. 
"Seraaang...!" 
Seketika ratusan anak panah bertebaran
memayungi udara. Dan sesaat kemudian
terdengar jerit pekik melengking, disusul
ambruknya tubuh-tubuh bertopeng tengkorak
perak yang berada di bagian kiri. Serangan 
panah itu membuat mereka jadi kalang kabut,
dan berusaha mundur. 
"Berhenti...!" seru panglima pasukan panah. 
"Seraaang...!" panglima pasukan sayap kiri
langsung memberi perintah. 
Kini keadaan langsung terbalik. Orang-orang 
bertopeng yang semula menguasai bagian sayap
kiri, jadi berantakan. Prabu Truna Dilaga
tersenyum. Dalam hati, dia memuji kejelian
pandangan panglimanya dalam menyusun pola
penyerangan. Kini semua bagian benar-benar 
dikuasai. Dan pola bertempur orang-orang 
bertopeng tengkorak perak itu semakin tidak
terarah. Mereka masing-masing berusaha 
menyelamatkan diri. 
Keadaan seperti ini tentu menguntungkan
sekali bagi pasukan Kerajaan Kali Jirak. Prabu
Truna Dilaga memberi isyarat pada masing

masing pasukan cadangan di setiap bagian
untuk bergerak menggempur. Maka seketika
para panglima masing-masing pasukan segera
memberi perintah untuk menggempur lawan
yang memang sudah tidak bisa terkendali lagi 
Penambahan kekuatan pasukan membuat
lawan semakin terdesak hebat Sementara itu
Dewi Iblis tak memiliki lagi pasukan cadangan.
Mereka benar-benar kalah dalam taktik
pertempuran. Dan akibatnya memang
merugikan diri sendiri, meskipun kemampuan
tata pertempuran mungkin lebih tinggi 
Melihat tak ada lagi harapan untuk bisa
memenangkan pertempuran, perempuan 
bertopeng tengkorak di atas batu bukit itu
mencoba melarikan diri meninggalkan anak
buahnya yang masih bertahan. Tapi pada saat
itu Bayu bisa melihat, dan langsung
melentingkan tubuhnya melewati beberapa
kepala. 
"Hiyaaa...!" 
Apa yang dilakukan Pendekar Pulau Neraka 
mendapat perhatian dari Prabu Truna Dilaga.
Laki-laki itu kini tak lagi ikut bertempur, karena
merasa sudah yakin bisa memenangkan
pertempuran ini. Justru perhatiannya dipusatkan
pada Pendekar Pulau Neraka yang sedang
berusaha mengejar wanita bertopeng tengkorak
perak yang mencoba melarikan diri melalui bukit

Bayu terus berusaha mengejar. Sementara
beberapa orang yang mencoba menghadang,
langsung menggelepar meregang nyawa.
Pendekar Pulau Neraka itu rupanya tidak
tanggung-tanggung lagi dalam melontarkan 
pukulan. Kekuatannya dikerahkan penuh,
sehingga sekali hantam saja, lawannya langsung
menggelepar tewas menyemburkan darah dari
mulutnya. 
--oo0dw0oo-- 
"Yeaaah...!" 
Sambil berteriak kencang, Bayu melentingkan
tubuhnya. Beberapa kali tubuhnya berputaran di 
udara, lalu manis sekali mendarat di depan
perempuan bertopeng tengkorak perak itu. Bayu
berdiri tegak sambil melipat tangan di depan
dada. Sedangkan wanita berjubah merah
dengan wajah tertutup topeng tengkorak itu
kelihatan terkejut 
"Hm.... Percuma kau mengenakan topeng,
Rara Kuminten," dengus Bayu dingin. 
"Kau memang manusia sialan, Bayu! Mampus
kau! Hiyaaat'" 
Perempuan bertopeng tengkorak yang
ternyata memang Rara Kuminten itu langsung
saja menyerang Pendekar Pulau Neraka setelah
melepaskan topeng yang menutupi wajahnya.
Memang tidak ada gunanya lagi menutupi

wajahnya di depan Pendekar Pulau Neraka ini. 
Serangan-serangan yang dilancarkan Rara
Kuminten memang sungguh dahsyat luar biasa.
Beberapa kali pukulannya hampir mendarat di
tubuh Pendekar Pulau Neraka, tapi selalu dapat
dihindari. Bahkan Bayu memberi serangan
balasan yang tidak kalah dahsyatnya. 
Sementara pertarungan di kaki bukit masih
berlangsung, maka di lereng bukit ini juga terjadi
pertarungan dahsyat antara Pendekar Pulau
Neraka melawan Rara Kuminten atau si Dewi
Iblis. Hanya dua orang yang bertarung, tapi
seperti seratus prajurit yang bertarung. Sebentar
saja sekitar pertarungan sudah porak poranda.
Batu-batu berhamburan, pepohonan
bertumbangan terkena pukulan yang tidak
mengenai sasaran. 
Sementara itu diam-diam Prabu Truna Dilaga
meninggalkan kereta perangnya yang berada di
garis belakang. Laki-laki tua itu ingin juga
menyaksikan pertarungan di lereng bukit. Tanpa
diketahui, Patih Natabrata juga mengikuti.
Rupanya dia juga tertarik menyaksikan 
pertarungan tingkat tinggi itu. Hatinya tidak
merasa khawatir, karena prajurit-prajurit 
Kerajaan Kali Jirak semakin menguasai lawan-
lawannya. 
Sementara pertarungan antara Pendekar
Pulau Neraka dengan Dewi Iblis terus

berlangsung semakin sengit. Sebentar saja 
sudah puluhan jurus berlalu. Tapi tampaknya
pertarungan masih akan terus berjalan lama.
Sekitar daerah pertarungan sudah tidak berben-
tuk lagi. Bukit ini bagai terkikis dua tangan
raksasa. 
Bayu menggunakan senjata Cakra Maut yang
tergenggam di tangan kanan untuk meredam
serangan tongkat bintang Dewi Iblis. Beberapa
kali Pendekar Pulau Neraka itu melontarkan
senjatanya, tapi Rara Kuminten selalu berhasil
menghindar. Dan setiap kali dua senjata itu
beradu, seketika terdengar ledakan dahsyat
menggelegar disertai percikan bunga api serta
kepulan asap tebal. 
"Modar...!" tiba-tiba Rara Kuminten berteriak
ke-ras. 
Dan seketika itu juga tongkatnya mengibas ke
kepala Pendekar Pulau Neraka. "Uts!" 
Buru-buru Bayu merundukkan kepalanya.
Tapi tanpa diduga sama sekali, Dewi Iblis
menghentakkan kakinya menendang ke arah
perut. Kali ini Bayu tak bisa menghindar lagi,
sehingga tendangan kaki wanita berjubah merah
itu tepat bersarang di perutnya. 
"Heghk..!" Bayu mengeluh pendek Pendekar
Pulau Neraka terhuyung ke belakang dan 
tubuhnya agak terbungkuk Dan sebelum

pemuda berbaju kulit harimau itu bisa
menguasai keseimbangan tubuhnya, secepat
kilat Rara Kuminten melayangkan satu pukulan
keras tangan kiri. Pukulan itu tepat mendarat di
wajah Baya Des! 
"Akh...!" Bayu terpekik keras. 
Pendekar Pulau Neraka itu terpental, dan
jatuh ke tanah dengan kerasnya. Pada saat itu
Rara Kuminten sudah melompat. Diangkat
tongkatnya tinggi-tinggi ke atas kepala, siap
dihunjamkan ke dada Pendekar Pulau Neraka
yang saat itu dalam keadaan terlentang di 
tanah. 
"Mampus kau! Hiyaaat...!" 
"Hih!" 
Cepat-cepat Bayu menggulirkan tubuhnya ke
samping, dan secepat itu pula dikibaskan
tangan kanannya. Cakra Maut melesat cepat
bagai kilat Kilatan cahaya senjata cakra bersegi
enam itu membuat Rara Kuminten terbeliak Tapi 
dalam keadaan tubuh di udara begitu, sukar
untuk berkelit lagi. Apalagi dalam keadaan posisi
menyerang. 
"Yeaaah...!" 
Cepat Rara Kuminten mengibaskan
tongkatnya hendak menyampok senjata Cakra
Maut itu. Tapi sungguh di luar dugaan, Bayu
cepat menggerakkan tangan kanannya. Maka

Cakra Maut meliuk menghindari tebasan tongkat
si Dewi Iblis. Dan seketika itu juga Bayu
menghentakkan tangan kanannya dengan jari-
jari terbuka lebar. Crab! 
"Aaa...!" Rara Kuminten menjerit melengking. 
Cakra Maut langsung menembus dalam di
dadanya. Dewi Iblis itu terpental ke belakang
dan jatuh bergulingan di tanah. Pada saat itu
Bayu melompat bangkit berdiri. Dihentakkan
tangan kanannya, maka Cakra Maut melesat
balik, dan langsung menempel di pergelangan
tangan Pendekar Pulau Neraka. 
Sementara Rara Kuminten berusaha bangkit
berdiri, meskipun dadanya berlubang
mengucurkan darah. Tapi wanita itu tidak bisa
berdiri tegak. Tubuhnya limbung, dan darah
terus mengucur dari dadanya yang berlubang
akibat tertembus Cakra Maut yang dilepaskan 
Pendekar Pulau Neraka. 
"Keparat kau, Bayu...!" geram Rara Kuminten. 
"Hm...!" Bayu hanya menggumam saja. 
Rara Kuminten melangkah tertatih
menghampiri Pendekar Pulau Neraka sambil
merentangkan ujung tongkatnya ke depan. 
Sambil mengerahkan sisa seluruh
kekuatannya, perempuan berjubah merah itu
melompat dengan ujung tongkat terhunus ke
depan. Sementara Bayu masih berdiri tegak

menanti. 
"Yeaaah...!" 
"Hap!" 
Cepat Bayu memiringkan tubuhnya ke
samping. Dan begitu ujung tongkat berada di
samping tubuhnya, Pendekar Pulau Neraka
cepat-cepat melayangkan satu tendangan ke
arah perut seraya menghentakkan tangannya
menjepit tongkat itu di ketiak. 
Tubuh perempuan berjubah merah itu
terhuyung ke belakang, dan tongkatnya terlepas
dari genggaman. Cepat Bayu memutar tongkat 
lawannya, lalu melemparkan disertai
pengerahan tenaga dalam tinggi 
Sing...! 
Crab! 
"Aaa...!" terdengar jeritan melengking tinggi,
mengiringi kematian si Dewi Iblis, Bayu menarik
napas panjang memandangi mayat Rara
Kuminten yang dadanya terpanggang tongkatnya 
sendiri. Perempuan berjubah merah itu tewas 
seketika sebelum tubuhnya mencapai bumi.
Bayu menoleh ketika Prabu Truna Dilaga dan
Patih Natabrata menghampiri. Tampak bola 
mata Prabu Truna Dilaga berkaca-kaca. 
Bagaimanapun juga, wanita itu telah
mendampingi hidupnya selama bertahun-tahun. 
Hanya saja tanpa disadari selama ini jalan

pikirannya selalu dipengaruhi wanita itu. 
Saat itu rupanya pertarungan di kaki bukit
sudah selesai Sisa-sisa pengikut si Dewi Iblis
langsung meletakkan senjata, menyerah. 
Mereka memang merasa tidak akan mungkin
bisa melanjutkan pertarungan. Apalagi tanpa
pemimpin. 
Tanpa berbicara apa pun, ketiga orang di
lereng bukit berjalan menuruni lereng. Bayu
sempat melihat ada setitik air bening menggulir
di pipi laki-laki tua ini. Tapi cepat Prabu Truna
Dilaga menghapus dengan punggung tangannya,
mencoba tabah menghadapi kenyataan pahit ini. 
"Patih Natabrata! Sebaiknya kau cepat
mempersiapkan pelantikan putra mahkota
untuk mengganti-kanku," pinta Prabu Truna
Dilaga. 
"Gusti, apakah Raden Antawirya akan
tetap...," Patih Natabrata tidak melanjutkan
ucapannya. 
"Mereka tidak boleh tahu, Patih. Ini rahasia
antara aku dengan orang-orang tua. Tak ada 
seorang pun yang boleh mengetahuinya. Biarkan
mereka hidup berbahagia. Aku tidak ingin
mengusik kebahagiaan putra-putraku," jelas 
Prabu Truna Dilaga. 
"Hamba mengerti, Gusti." 
"Bayu, aku mohon kau menjadi saksi

pengangkatan putra mahkota menjadi Raja
Kerajaan Kafi Jirak," pinta Prabu Truna Dilaga
lagi. 
Bayu tidak bisa menolak lagi, dan hanya
menganggukkan kepala saja. Pendekar Pulau
Neraka itu bisa merasakan kebahagiaan yang
menyelimuti hati Prabu Truna Dilaga, tapi juga
terselimut duka dalam menghadapi kenyataan
pahit ini. Hidup.... Tak ada yang bisa
meramalkan.... 


                             SELESAI 
 
Serial Pendekar Pulau Neraka yang telah 
terbit: 
I. GEGER RIMBA PERSILATAN 
2. PEMBALASAN RATU SIHIR 
3. LAMBANG KEMATIAN 
4. CINTA BERLUMUR DARAH

5. PESANGGRAHAN GOA LARANGAN 
6. JAGO DARI SEBERANG 
7. PENDEKAR KEMBAR 
8. PENGANTIN DEWA RIMBA 
9. MENEMBUS LORONG MAUT 
10. MUSTIKA DEWI PELANGI 
II. BUNGA DALAM LUMPUR 
12. GADIS BURONAN 
13. ISTANA IBLIS 
14. LINGKARAN RANTAI SETAN 
15. DI BALIK CAPING BAMBU 
16. RAHASIA BUNGA CUBUNG BIRU 
17. RAHASIA DARA AYU 
18. TITISAN DEWI IBLIS 
Serial Pendekar Perisai Naga yang telah 
terbit: 
1. HANTU LERENG LAWU 
2. SELENDANG MAYAT 
3. PENGUASA GOA BARONG 

4. PUSAKA BUKIT CANGAK 




Share:

0 comments:

Posting Komentar