DARAH MENGGENANG DI CANDI LAKSA
Oleh Teguh Suprianto
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Gambar sampul oleh Pro's
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Pulau Neraka
dalam episode:
Darah Menggenang di Candi Laksa
128 hal ; 12 x 18 cm
SATU
Gunung Waru tampak indah tersiram cahaya
matahari pagi yang mengintip dari lekukan
puncaknya yang selalu terselimut kabut tebal.
Suasananya begitu tenang dan anggun. Namun di
balik itu semua, tersimpan keangkuhan yang
mengandung lingkaran misteri di dalamnya.
Kabut tebal yang menyelimuti puncaknya, bagai
selubung misteri yang selalu menantang untuk
disingkap. Dan sampai kini, belum ada seorang
pun yang berhasil menyingkapnya.
Namun ketenangan dan keanggunan Gunung
Waru mendadak saja pecah oleh ledakan dahsyat
menggelegar, hingga menggetarkan seluruh
permukaan gunung itu hingga ke kaki yang
terdapat beberapa perkampungan. Di sebelah
Barat lereng gunung itu, terlihat jamur raksasa
yang dibentuk dari debu dan bebatuan yang
membumbung tinggi ke angkasa.
Belum lagi lenyap ledakan dahsyat tadi, tiba-
tiba menyusul suara gemuruh dari batuan yang
menggelinding menuruni lereng. Getaran semakin
terasa, seakan-akan Gunung Waru ini
mengamuk. Pohon-pohon bertumbangan
tergulung longsoran batu besar dan kecil.
Kemurkaan alam yang semula tenang, ternyata
diakibatkan oleh dua orang manusia yang tengah
berlaga di tepi jurang Lereng Gunung Waru
sebelah Barat
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Blanr!
Ledakan-ledakan dahsyat terus terdengar
ditingkahi teriakan-teriakan keras dari dua orang
yang tengah bertarung. Mereka menggunakan
ilmu-ilmu dahsyat, sehingga menghancurkan
seluruh alam di sekitarnya. Entah apa yang
menyebabkan mereka bertarung begitu dahsyat
Yang jelas, mereka sudah bertarung cukup lama.
Terlihat dari simbahan keringat dan kotornya
pakaian yang dikenakan.
Tidak jauh dari tempat pertarungan, terlihat
empat orang wanita muda berwajah cantik tengah
mengawasi jalannya pertarungan Masing-masing
menyandang sebilah pedang di pinggang
Potongan dan bentuk pakaian yang dikenakan
sama persis. Hanya warna saja yang membuat
mereka tampil berbeda. Pandangan mereka tidak
berkedip ke arah salah seorang yang sedang
bertarung. Dia seorang wanita, mengenakan baju
warna merah menyala. Potongan pakaiannya sa-
ma persis dengan empat wanita muda tadi.
Sedangkan lawannya memakai jubah putih.
Dia seorang laki-laki muda berwajah cukup
tampan.
Kini masing-masing telah menggunakan
pedang yang berkelebatan cepat mengincar tubuh
satu sama lain.
"Hup! Yeaaah...!"
Tiba-tiba saja wanita berbaju merah
melentingkan tubuhnya ke belakang. Dan begitu
kakinya menjejak tanah, cepat dimasukkan
pedang ke dalam warangkanya di pinggang. Lalu
dengan tubuh sedikit membungkuk, kedua
tangannya bergerak cepat Seketika terlihat benda-
benda berwarna Jingga bertebaran mengarah ke
laki-laki muda berjubah putih.
"Yeah! Hiyaaa...!"
"Hup! Hiyaaat..!"
Pemuda berjubah putih itu berjumpalitan
sambil cepat mengecutkan pedangnya, berusaha
menghindari serbuan benda-benda berbentuk
bunga berwarna Jingga itu. Bunga-bunga
anggrek berwarna Jingga itu bertebaran bagai
hujan, dan seperti tak pernah habis. Tampak
wanita berbaju merah ketat itu berputar cepat
sambil terus melontarkan anggrek-anggrek
Jingganya. Dan tiba-tiba saja....
"Hiyaaat..!"
Wanita berbaju merah itu melentingkan
tubuhnya ke udara sambil tidak henti-hentinya
melontarkan anggrek-anggrek Jingganya.
Bagaikan kilat, dicabut pedangnya, langsung
dibabatkan ke kepala pemuda berjubah putih itu.
Cras!
"Aaa...!" satu jeritan panjang melengking terde-
ngar menyayat
Tampak pemuda berbaju putih panjang itu
limbung sambil memegangi kepalanya. Darah
terlihat merembes keluar dari sela-sela jari
tangannya. Tebasan pedang wanita cantik berbaju
merah tepat membelah kepala pemuda berjubah
putih itu. Dan sebelum pemuda itu ambruk ke
tanah, sekali lagi wanita berbaju merah itu
membabatkan pedangnya. Kali ini langsung
membelah dada. Seketika darah muncrat keluar
deras dari dada yang terbelah lebar.
"Hup!"
Wanita berbaju merah itu melompat ke
belakan sambil menyarungkan pedangnya
kembali ke pinggang. Tampak pemuda berjubah
putih terhuyung-huyung limbung, lalu ambruk
menggelepar di tanah. Sebentar tubuhnya masih
menggelepar, kemudian diam tak bernyawa lagi.
"Ha ha ha...!" wanita berbaju merah itu
tertawa terbahak-bahak.
Tawa wanita berbaju merah itu disambung
empat wanita cantik yang sejak tadi berdiri saja
menyaksikan pertarungan dahsyat. Kini terdengar
tawa-tawa lepas berderai menggema ke seluruh
Lereng Gunung Waru. Suara-suara tawa yang
membuat bulu kuduk terbangun bila
mendengarnya. ,
***
Sementara itu jauh di Kaki Gunung Waru,
terdapat sebuah desa kecil. Hampir seluruh
penduduknya disibuki oleh adanya tanah longsor
yang datang dari lereng. Mereka bisa bernapas
lega, karena longsoran tanah dan bebatuan itu
tidak mencapai desa, karena terhalang lebatnya
hutan. Tapi kejadian itu cukup membuat seluruh
penduduk Desa Coket diliputi tanda tanya besar,
karena belum pernah kejadian seperti ini dialami
sebelumnya.
Berbagai macam dugaan dan pertanyaan
seketika timbul. Hal itu juga merisaukan kepala
desa dan pemuka-pemuka Desa Coket yang saat
ini berkumpul di rumah kepala desa. Ada sekitar
delapan orang memadati ruangan yang tidak
terlalu besar. Ki Sampar, Kepala Desa Coket
tampak lebih banyak diam dengan wajah datar
tanpa cahaya.
"Sebaiknya kita periksa, apa sebab-sebab
terjadinya longsor tadi," usul seorang laki-laki
setengah
baya yang berkumis tebal, sehingga
penampilannya
kelihatan angker. Orang sering memanggilnya, Ki
Jalak.
"Aku rasa peristiwa ini tidak perlu dibesar-be-
sarkan. Ini hanya kejadian alam biasa," sergah
seorang tua berusia sekitar delapan puluh tahun.
Dia mengenakan baju putih panjang dan berikat
kepala putih. Seluruh penduduk desa
mengenalnya sebagai Ki Dampil.
'Tapi kejadian ini belum pernah terjadi, Ki,"
potong seorang lagi yang duduk di samping Ki
Jalak.
"Tidak ada seorang pun yang bisa menduga
kejadian alam," kata Ki Dampil bijaksana. "Untuk
apa diributkan? Sebaiknya kita tentramkan saja
penduduk yang resah."
"Sebaiknya kita serahkan saja pada Ki Sampar
untuk memutuskannya," celetuk salah seorang
serayamelirik kepala desa.
Semua yang berada di ruangan itu langsung
memandang Kepala Desa Coket yang sejak tadi
hanya diam saja tak bersuara sedikit pun juga.
Sementara Ki Sampar sendiri masih terdiam.
Pandangannya terarah ke luar jendela, menatap
Puncak Gunung Waru yang lalu diselimuti kabut
tebal.
"Ki Sampar, apa yang harus kita lakukan
sekarang?" tanya Ki Jalak.
"Hhh...!" Ki Sampar hanya menarik napas
panjang.
Kepala Desa Coket itu memandangi wajah-
wajah yang mengharapkan keputusannya.
Wajah-wajah resah diliputi tanda tanya besar
karena peristiwa tanah longsor yang belum
pernah terjadi di desa ini. Kembali ditariknya
napas panjang dan dihembuskannya kuat-kuat.
Belum juga Ki Sampar membuka mulut
mendadak saja terdengar suara mendesing yang
sangat halus. Kepala desa itu langsung
mengegoskan kepalanya, dan dengan cepat
mengibaskan tangan ke samping.
Tap!
Semua orang yang berada dalam ruangan itu
terkejut karena tiba-tiba saja Ki Sampar
menangkap sebuah benda berbentuk bunga
anggrek berwarna jingga. Baik Ki Sampar
maupun yang lainnya bergegas bangkit dan
melangkah ke luar. Tapi mereka jadi kecewa
karena tidak mendapat apa-apa, selain para
penduduk yang panik akibat terjadi tanah longsor
di Lereng Gunung Waru.
"Apa itu, Ki?" tanya Ki Jalak yang berada di
samping Ki Sampar.
Ki Sampar tidak menjawab. Diserahkannya
bunga anggrek jingga yang ditangkapnya barusan.
Ki Jalak menerima bunga itu, dan
memperhatikan dengan seksama. Kemudian
bunga berwarna jingga itu berpindah dari tangan
yang satu ke tangan lainnya, dan terakhir ke
tangan Ki Dampil. Tujuh orang yang
mendampingi Ki Sampar saling berpandangan
satu sama lain. Mereka kemudian menatap Ki
Sampar seakan meminta penjelasan tentang
bunga anggrek jingga ini.
Belum juga ada yang melontarkan
pertanyaan, Ki Sampar sudah melangkah ke
samping rumahnya. Sementara tujuh orang
pemuka desa itu jadi bertanya-tanya terhadap
sikap kepala desa itu yang terasa aneh. Dan
mendadak saja semuanya dikejutkan suara
ringkik kuda, lalu terlihat Ki Sampar memacu
cepat kudanya.
"Ki...!" teriak Ki Jalak memanggil.
Tapi Ki Sampar tidak mempedulikan, dan
terus memacu cepat kudanya membelah jalan
berdebu. Orang-orang yang memadati jalan,
langsung menyingkir. Sementara tujuh orang di
depan rumah kepala desa itu hanya bisa
bertanya-tanya sambil saling melemparkan
pandang.
"Kenapa kalian diam saja? Ayo, ambil kuda.
Kejar Ki Sampar!" sentak Ki Dampil ketika
tersadar.
Tanpa banyak berbicara, mereka bergegas
mengambil kuda masing-masing yang tertambat
di bawah pohon, di samping rumah ini. Sebentar
saja tujuh ekor kuda sudah berpacu cepat
mengejar Ki Sampar yang sudah jauh memacu
cepat kudanya. Penduduk desa yang sedang
diliputi kepanikan, jadi bengong melihat kepala
desa mereka beserta pemuka-pemuka desa
lainnya berkuda dengan cepat menuju Lereng
Gunung Waru.
***
Tak ada seorang pun yang membuka suara
begitu sampai di Lereng Gunung Waru. Keadaan
permukaannya begitu berantakan, seperti baru
saja diamuk ribuan gajah murka. Batu-batu
bertebaran di mana-mana. Pepohonan besar dan
kecil bertumbangan saling tumpang tindih.
Delapan orang dari Desa Coket turun dari
punggung kuda masing-masing.
Mereka tidak ingin mengambil resiko
tergelincir karena terlalu sulit melalui jalan yang
berantakan dengan pepohonan tumpang tindih
tak beraturan. Belum lagi batu-batu yang
sewaktu-waktu mungkin akan menggelinding. Ki
Sampar berjalan paling depan. Mereka semua
meninggalkan kuda di tempat yang aman.
"Ki, ke sini...!" tiba-tiba salah seorang berteriak.
Semua orang yang bergerak menyebar,
langsung menoleh ke arah suara tadi. Tampak
salah seorang dari mereka yang kelihatan paling
muda, berdiri tegak di samping sesosok tubuh
berlumuran darah yang tergolek di atas batu
besar. Mereka bergegas menghampiri.
"Santika...," desis Ki Sampar begitu dekat
Kepala desa itu langsung menghambur dan
memeluk tubuh tak bernyawa lagi Sementara,
yang lainnya hanya bisa menarik napas panjang
dan berat sambil menundukkan wajah. Ki
Sampar mengangkat kepalanya, memandangi
para pembantunya yang hanya diam dengan
kepala tertunduk.
"Inilah yang kucemaskan sejak tadi...," suara
Ki Sampar terdengar lirih dan agak tersendat
Tak ada yang membuka suara. Mereka
semua tahu, kalau pemuda berbaju putih yang
berada di pelukan Ki Sampar itu adalah Santika.
Putra tunggal Ki Sampar itu baru saja
menyelesaikan pelajarannya di sebuah padepokan
yang terletak di sebelah Timur Kaki Gunung Waru
ini. Baru dua pekan Santika berada di desa
kelahirannya, dan sekarang tergolek berlumuran
darah tak bernyawa lagi.
Dua orang langsung bergerak maju, lalu
mengangkat tubuh Santika. Ki Sampar bangkit
berdiri. Ditariknya napas panjang, mencoba
meredakan gejolak yang menggelegak dalam
dada. Entah apa yang ada di dalam hati kepala
desa itu. Yang jelas, kematian Santika sangat
memukul perasaannya. Dia tidak mampu lagi
berkata-kata. Sementara tiga orang menggotong
Santika menuruni lereng. Dua orang lagi mengi-
kuti dari belakang. Tinggal Ki Jalak dan Ki Dampil
yang masih menemani kepala desa itu.
"Ki Sampar...," panggil Ki Dampil pelan.
Ki Sampar memutar tubuhnya menghadap
dua orang pembantunya yang setia menemani. Dia
mendesah panjang dan terasa begitu berat
Dipandanginya Ki Dampil dan Ki Jalak bergantian,
seakan-akan mencari kekuatan pada dua orang di
depannya ini.
"Sebaiknya kita cepat mengurus jasad
Santika, Ki," usul Ki Dampil pelan.
"Yaaah...," desah Ki Sampar lirih.
Ketiga orang itu mengayunkan kakinya
pelahan menuruni lereng, menyusul lima orang
lainnya yang sudah lebih dahulu berjalan
membawa jasad Santika. Tampak Ki Sampar
begitu terpukul menghadapi kenyataan pahit ini.
Putra satu-satunya tewas dengan tragis sekali,
tanpa diketahui penyebabnya. Kematian Santika
tepat waktunya dengan terjadinya tanah longsor,
sehingga membuat kepanikan seluruh penduduk
Desa Coket.
Sedangkan di dalam benak Ki Dampil dan Ki
Jalak, terbetik satu pertanyaan yang sangat
menggangu. Mereka tidak tahu, untuk apa
Santika berada di lereng gunung ini? Mungkinkah
Santika tewas terkena longsoran? Tapi rasanya
tidak mungkin. Mereka tahu kalau Santika
memiliki tingkat kepandaian tinggi. Bukan suatu
hal yang sulit bagi orang berkepandaian tinggi
untuk menghindaritanah longsor, bagaimanapun
dahsyatnya.
Tapi mereka mendapatkan Santika tewas di
antara reruntuhan longsoran tanah dan
bebatuan. Kepalan pecah, dan dadanya terbelah
sangat lebar. Tubuh anak muda itu ditemukan
tergeletak di atas sebongkah batu besar.
Sedangkan sebelah kakinya terhimpit sebatang
pohon. Melihat keadaan Santika yang demikian,
memang kemungkinan besar terkena longsoran.
Tapi, apa hubungannya dengan anggrek Jingga?
Ki Sampar langsung ke lereng gunung ini begitu
menerima bunga anggrek Jingga yang
dilemparkan orang tidak dikenal, Inilah yang
membuat Ki Dampil dan Ki Jalak jadi bertanya-
tanya.
***
Kematian Santika merubah wajah Desa Coket
yang semula selalu cerah, mendadak terselimut
duka mendalam. Siapa yang tidak kenal Santika?
Semua penduduk Desa Coket mengenal pemuda
itu. Bukan saja sebagai putra kepala desa, tapi
sebagai putra Desa Coket satu-satunya yang
memiliki tingkat kepandaian tinggi. Namun kini
pemuda yang menjadi kebanggaan, seluruh
penduduk desa itu telah tiada. Dia tewas tepat
saatterjadinya longsor di Lereng Gunung Waru.
Kematian Santika juga terdengar sampai ke
Pade-l»kan Sangga Langit, tempat pemuda itu
mempelajari ilmu olah kanuragan. Eyang
Palandara yang menjadi ketua sekaligus Guru
Besar Padepokan Sangga Langit menyempatkan
diri datang bersama enam orang muridnya ke
Desa Coket. Dia begitu menyesalkan kematian
Santika, karena pemuda itu salah seorang murid
kesayangan yang memiliki bakat luar biasa dalam
ilmu olah kanuragan.
"Bagaimana ini bisa terjadi, Ki Sampar?v tanya
Eyang Palandara ingin tahu.
"Entahlah.... Aku sendiri tidak habis mengerti,
Eyang," jawab Ki Sampar lirih.
"Rasanya tidak mungkin kalau Santika tewas
hanya karena longsoran," tegas Eyang Palandara
setengah bergumam.
"Kami mendapatkannya sudah tewas di
antara reruntuhan longsoran, Eyang," celetuk Ki
Jalak.
"Hm..., apakah Santika memang selalu ke
Lereng Gunung Waru?" tanya Eyang Palandara
lagi.
Laki-laki tua yang selalu mengenakan jubah
dan ikat kepala putih itu, tidak percaya kalau
Santika tewasnya karena tertimpa longsoran.
Eyang Palandara tahu betul kalau muridnya itu
memiliki tingkat kepandaian yang tinggi. Bahkan
ilmu-ilmu yang diturunkannya nyaris dikuasai
sempurna. Sukar dipercaya kalau Santika tidak
bisa selamat dari longsoran. Apalagi, longsoran itu
tidak terlalu besar.
'Tidak, Eyang," sahut Ki Sampar. Eyang
Palandara memandang setiap orang yang ada di
ruangan depan rumah Ki Sampar ini. Jawaban Ki
Sampar barusan membuatnya jadi berpikir lain.
Dia tahu betul watak Santika. Pemuda itu tidak
akan pergi ke tempat yang belum pernah
dikunjungi jika tidak ada sesuatu yang menarik
perhatiannya.
"Eyang, kami mengetahui Santika ada di
lereng setelah menerima sekuntum bunga
anggrek Jingga, sesaat setelah terjadi longsoran di
lereng itu," jelas Ki Dampil.
"Benar, Eyang. Bahkan kami semua heran,
karena Ki Sampar tiba-tiba saja mengambil kuda
dan menuju lereng itu," sambung Ki Jalak.
"Hm.„. Benar itu, Ki Sampar?" Eyang
Palandaramenatap Ki Sampar dalam-dalam.
"Benar, Eyang," sahut Ki Sampar pelahan.
"Jadi sebelumnya kau tahu kalau Santika ada
di Lereng Gunung Waru?" Eyang Palandara ingin
ketegasan.
"Tidak! Tapi..., entahlah! Tiba-tiba saja aku
mempunyai
perasaan tidak enak," jawab Ki Sampar.
Eyang Palandara menatap Ki Sampar
semakin
dalam. Sedangkan yang ditatap hanya tertunduk
saja
tak sedikit pun mengangkat kepala. Ketua
Padepokan
Sangga Langit itu merasakan kalau kepala desa di
depannya itu menyimpan sesuatu yang tidak
ingin diungkapkan.
"Anggrek Jingga...,",desis Eyang Palandara.
Beberapa saat lamanya di ruangan yang tidak
terlalu besar itu sunyi. Tak ada seorang pun yang
meml buka suara. Sementara Ki Sampar tetap
tertunduk dalam. Bukan hanya Eyang Palandara
yang tidak percaya terhadap semua jawaban Ki
Sampar, tapi pemuka-pemuka Desa Coket juga
tampaknya seperti tidak puas. Mereka tahu kalau
sejak terjadinya longsor di lereng gunung, sikap Ki
Sampar sudah terlihat aneh. Bahkan dia cepat
pergi begitu menerima sekuntum bunga anggrek
yang dilemparkan orang tidak dikenal.
Mereka semua tidak mau mempercayai, tapi
tidak bisa mendesak Ki Sampar untuk
mengatakan yang sebenarnya. Kepala desa itu
sedang diliputi duka yang mendalam akibat
kematian putra tunggalnya, dan kini hidupnya
sebatang kara. Istrinya sudah meninggal berapa
tahun yang lalu, dan sekarang anak tunggalnya
menyusul. Sukar untuk dilukiskan, bagaimana
perasaan Ki Sampar saat ini.
Merasa tidak mungkin bisa mendesak Ki
Sampar untuk berterus terang, Eyang Palandara
dan enam orang muridnya mohon diri. Mereka
kembali ke Padepokan Sangga Langit di Kaki
Gunung Waru sebelah timur. Ki Dampil dan
beberapa pemuda desa lainnya Ikut
mengantarkan mereka sampai ke batas desa.
Ki Dampil dan empat orang pemuka desa
baru berbalik setelah rombongan Eyang
Palandara tidak terlihat lagi. Tapi belum juga
bergerak, mendadak beberapa bunga anggrek
berwarna Jingga meluruk deras ke mereka.
"Awas...!" teriak Ki Dampil.
Laki-laki tua itu cepat melompat dan
berputaran di udara. Empat orang pemuka desa
lainnya ikut berlompatan menghindari terjangan
bunga-bunga anggrek tapi malang, dua di
antaranya terhantam bunga-bunga anggrek
Jingga itu. Jeritan melengking terdengar menyayat
saling susul.
"Hi hi hi...!"
"Heh!" Ki Dampil tersentak kaget.
Orang tua itu tidak sempat lagi
memperhatikan dua orang pemuka desa yang
tewas tertembus bunga anggrek Jingga.
Sedangkan dua orang lagi bergegas mendekati Ki
Dampil, tepat ketika empat orang wanita muda
berwajah cantik muncul tiba-tiba.
"Siapa kalian?!" bentak Ki Dampil.
"Kau tidak perlu tahu siapa kami, orang tua
ceriwis!" sahut gadis yang memakai baju biru.
Suaranya terdengar dalam, mengandung
ketegasan berbau kekejaman.
"Kalian pasti yang membunuh Santika!"
dengus Ki Dampil langsung menebak.
Empat orang gadis cantik itu hanya tertawa
saja. Sikap mereka begitu meremehkan. Sedikit
pun tidak memandang sebelah mata pada tiga
orang pemuka Desa Coket ini. Pelahan-lahan Ki
Dampil mencabut golok yang terselip di pinggang.
Sementara dua orang yang berada di sampingnya
langsung menggeser menjauh ke samping.
Mereka juga segera mencabut golok masing-
masing.
"Untuk apa kalian mencabut golok? Kami
datang hanya ingin memberi peringatan. Jangan
sok usil mencampuri urusan orang lain!" tegas
gadis yang berbaju merah.
"Katakan, apakah kalian yang membunuh
Santika?!" bentak Ki Dampil tidak menghiraukan
ancaman gadis itu.
"Kalau iya, kau mau apa?"
"Iblis...! Kau harus menerima hukumannya!"
desis Ki Dampil menggeram.
"Ha ha ha...!"
Keempat gadis cantik itu tertawa terbahak-
bahak. Sementara Ki Dampil semakin geram saja
melihat tingkah gadis-gadis yang memuakkan ini.
Tanpa banyak bicara lagi, orang tua itu langsung
melompat menerjang sambil berteriak keras
menggelegar.
"Hiyaaat..!"
Serangan Ki Dampil diikuti dua orang yang
menyertainya. Sedangkan gadis yang berbaju
merah langsung melompat mundur, dan tiga
gadis lainnya bergerak menyongsong serangan itu.
Sengaja mereka menghadapi satu lawan satu.
Pertarungan pun tak bisa dihindari lagi.
Namun gadis-gadis cantik itu rupanya memiliki
tingkat kepandaian yang cukup tinggi juga.
Buktinya mereka seperti bermain-main saja
melayani orang-orang tua Pemuka Desa Coket ini.
Namun setelah beberapa jurus berlangsung, baru
gadis-gadis itu menunjukkan kemampuan yang
sesungguhnya. Dan, tiba-tiba saja terdengar suara
jeritan melengking menyayat.
Tampak salah seorang pemuka desa
terhempas
dan tergeletak di tanah. Darah mengucur deras
dari
dadanya yang terbelah. Belum lagi lenyap jeritan
panjang melengking tadi, kembali menyusul
jeritan me-
nyayat Tampak satu orang lagi menggelepar
bersim-
bah darah. Ki Dampil yang menyadari kalau
gadis
gadis ini memiliki kepandaian jauh di atasnya,
langsung
melompat mundur.
Tapi gadis berbaju hijau yang bertarung
dengannya tidak memberi kesempatan baginya
untuk melarikan diri. Cepat-cepat diterjangnya
laki-laki tua itu sambil dikebutkan pedangnya.
Terpaksa Ki Dampil harus kembali bertarung,
meskipun hatinya sudah tidak yakin akan dapat
mengungguli lawannya. Sementara ketiga gadis
lainnya hanya menyaksikan sambil tersenyum-
senyum.
"Yeaaah...!"
Tiba-tiba saja gadis berbaju hijau itu berteriak
lantang. Dan dengan satu kecepatan bagai kilat,
dilayangkan satu tendangan keras menggeledek.
Tendangan yang begitu cepat, tidak dapat
dihindari lagi, tepat menghantam dada Ki Dampil.
Akibatnya orang tua itu terpekik dan terpental ke
belakang.
Keras sekali Ki Dampil terjatuh ke tanah.
Sebentar dia menggeliat, laki mencoba bangkit
berdiri. Namun belum juga mampu berdiri, gadis
berbaju hijau sudah melompat sambil
menghunus pedangnya yang tajam berkilatan.
Teriakannya keras membuat jantung orang tua
itu bergetar.
Ki Dampil tak bisa berbuat apa-apa lagi.
Dipejamkan matanya menerima saat-saat
kematian. Namun begitu ujung pedang gadis
berbaju hijau itu hampir memanggang leher Ki
Dampil, mendadak saja sebuah bayangan
berkelebat cepat menyambar tubuhnya.
Slap!
***
DUA
"Setan!" geram gadis berbaju hijau itu begitu
ladangnya hanya menghunjam tanah kosong.
Sementara Ki Dampil entah berada di mana.
Begitu cepatnya bayangan itu berkelebat dan
menyambar tubuh orang tua itu, sehingga
keempat gadis itu tidak bisa melihatnya. Bahkan
tidak disadari sama sekali. Ketiga gadis lain segera
menghampiri gadis berbaju hijau yang
mengumpat dan memaki-maki sendirian.
"Ayo, cepat tinggalkan tempat ini sebelum ada
yang datang," ajak gadis berbaju merah.
"Huh!" gadis berbaju hijau itu bersungut-
sungut.
"Ayo, cepat..!"
Tanpa membuang-buang waktu lagi, mereka
cepat berlompatan meninggalkan tempat itu dan
meninggalkan empat mayat bergelimpangan
berlumuran darah. Setelah empat gadis cantik itu
tidak terlihat lagi, dari balik sebuah pohon besar,
keluar Ki Dampil bersama seorang pemuda
berwajah tampan mengenakan baju kulit
harimau.
"Oh...," Ki Dampil mengeluh menyaksikan
empat orang temannya tewas.
Orang tua itu memandangi empat sosok
tubuh tak bernyawa di depannya. Darah terus
mengucur keluar dari luka-luka di tubuh mereka.
Sementara di samping Ki Dampil berdiri seorang
pemuda tampan berbaju kulit harimau yang tadi
menolongnya. Dia hanya diam saja memandangi
empat sosok mayat yang masih mengucurkan
darah segar. Wajahnya begitu datar tanpa ada
sinar sedikit pun.
"Anak muda. Terima kasih atas pertolongan
sehingga nyawaku terselamatkan. Tapi mereka.,
sungguh malang nasibnya...," ucap Ki Dampil
seraya merayapi empat orang temannya yang
sudah menjadimayat
Pemuda berbaju kulit harimau itu hanya diam
saja. Diayunkan kakinya mendekati salah satu
mayat, lalu dibungkukkan tubuhnya sedikit
Dengan dua jari, dicabutnya sekuntum bunga
anggrek yang tertancap di dada mayat itu.
Dipandanginya bunga anggrek Jingga itu. Ki
Dampil menghampiri. Laki-laki tua itu memungut
anggrek Jingga yang tergeletak di tanah.
"Siapa mereka, Ki?" tanya pemuda berbaju
kulit harimau itu.
"Aku tidak tahu siapa mereka," sahut Ki
Dampil. Pemuda itu menatap Ki Dampil.
Digenggamnya bunga anggrek Jingga yang
berlumuran darah. Kemudian pandangannya
beralih ke arah empat gadis cantik tadi pergi. Dan
tanpa berkata sesuatu, pemuda itu cepat melesat
pergi. Begitu cepatnya, sehingga dalam sekejap
mata saja sudah lenyap dari pandangan.
"Heh...?’’ Ki Dampil terperanjat.
Tapi laki-laki tua itu tidak bisa berbuat apa-
apa lagi. Pemuda yang telah menyelamatkan
nyawanya lebih dulu lenyap bagaikan tertelan
bumi Ki Dampil hanya bisa memandangi arah
kepergian pemuda berbaju kulit harimau itu.
"Hhh..., kenapa aku tidak menanyakan
namanya tadi..? Siapa anak muda itu..?" desah Ki
Dampil pelahan.
Sebentar orang tua itu masih berdiri dengan
benak bertanya-tanya. Kemudian diayunkan
kakinya cepat menuju Desa Coket kembali. Dia
harus mengabarkan tentang peristiwa ini pada
kepala desa, dan segera membawa penduduk
untuk mengurus mayat-mayat yang
bergelimpangan.
***
Malam sudah begitu larut Angin berhembus
kencang menyebarkan udara dingin yang
menggigilkan. Suasana seperti ini membuat
seluruh penduduk Desa Coket lebih senang
mengurung diri dalam kamar. Hanya ada
beberapa peronda malam saja yang terpaksa
menjalankan tugasnya, bergelut melawan
dinginnyaudara malam ini
Hampir semua penduduk Desa Coket terlelap
dalam buaian mimpi. Tapi tidak demikian halnya
di sebuah kedai minum. Meskipun malam begitu
kelam dan udara menggigilkan, namun
pengunjung setia kedai minum itu tidak
menghiraukannya. Terlebih lagi kedai ini juga
menyediakan wanita-wanita untuk menghibur
dan menghangatkan suasana. Kedai ini memang
letaknya agak jauh dari perumahan penduduk
lainnya. Bahkan bisa dikatakan menyendiri, dekat
perbatasan desa. Tidak heran, meskipun buka
sampai jauh malam, tidak ada satu penduduk
pun yang merasa tergangguketenangannya.
Tepat tengah malam, seekor kuda berjalan
pelan menuju kedai minum itu. Penunggangnya
seorang wanita berwajah cantik mengenakan baju
ketat warna merah, sehingga membentuk
tubuhnya yang ramping. Dihentikan kudanya
tepai di depan kedai, lalu ditambatkannya.
Ayunan langkahnya tenang ketika memasuki
kedai. Beberapa pasang mata menatap liar tak
berkedip. Namun wanita itu tetap melangkah
tenang, dan duduk di bangku yang kosong
menghadapi sebuah meja bundar kecil. Seorang
pelayan wanita bertubuh gemuk menghampiri.
"Beri aku arak yang terbaik," pinta wanita itu
sebelum pelayan wanita gemuk menyapanya.
"Berapa guci, Nisanak?" tanya wanita gemuk
itu.
"Lima."
Saat itu terdengar tawa terbahak-bahak dari
arah samping kanan. Wanita berbaju merah itu
hanya melirik saja. Tampak dua orang laki-laki
sedang tertawa sambil memandangi dirinya.
Beberapa laki-laki lain juga memandang ke
arahnya. Memang, semua pengunjung kedai ini
semuanya laki-laki, jadi terasa sangat aneh kalau
ada seorang wanita masuk ke dalam kedai ini.
Terlebih lagi di tengah malam buta seperti ini.
Wanita cantik berbaju merah itu tidak
mempedulikan ocehan-ocehan beberapa laki-laki
yang diselingi tawa lepas berderai Dia tahu, kalau
ocehan itu tertuju padanya dan sedikit pun tidak
dipedulikan. Sementara pelayan wanita bertubuh
gemuk sudah pergi mengambil pesanan tamunya
ini. Pandangan wanita itu tertumbuk pada
seorang pengunjung kedai yang duduk agak
menyendiri di sudut. Seorang pemuda memakai
bajukulit harimau.
"Hm...," gumam wanita berbaju merah itu
pelan.
Pelayan wanita gemuk datang lagi sambil
membawa lima guci arak yang dipesan wanita itu.
Saat pelayan itu selesai meletakkan guci-guci arak
di atas meja dan ingin kembali, wanita berbaju
merah itu mencekal lengannya.
"Satu guci berikan pada orang yang di sudut
itu," perintah wanita berbaju merah itu.
Tanpa menjawab sedikit pun, wanita bertubuh
gemuk itu mengambil satu guci arak dan
membawanya kepada pemuda yang duduk di
sudut. Diletakkannya guci arak itu di atas meja di
depan pemuda itu.
"Maaf, aku tidak memesan arak lagi," tolak pe-
muda itu.
"Gadis itu yang memberikannya," jelas pelayan
gemuk itu sambil menunjuk wanita berbaju
merah.
Pemuda berbaju kulit harimau itu melirik
sedikit, dan keningnya agak berkerut. Sementara
pelayan wanita gemuk sudah meninggalkannya,
kembali sibuk melayani tamu-tamu lain. Tampak
wanita cantik itu mengangkat gelas bambunya
dan tersenyum pada pemuda di sudut.
Diteguknya sedikit arak di dalam gelas yang
terbuat dari bambu halus.
Saat itu seorang laki-laki berwajah kasar
penuh brewok menghampiri gadis berbaju merah
itu. Tubuhnya agak limbung saat berjalan,
sehingga guci arak yang dibawanya terguncang-
guncang. Suara tawa terkekeh terdengar
sumbang di telinga. Dia berdiri di seberang meja
wanita berbaju merah itu.
"He he he.... Nisanak, aku mengundangmu
datang ke mejaku. Biar aku yang bayar semua
minuman di sini. He he he...," suara laki-laki
berwajah kasar terdengar serak karena
kebanyakan arak.
'Terima kasih. Aku biasa minum sendiri,"
tolak wanita itu halus.
"Nisanak, tidak ada seorang pun yang bisa
menolak undangan Kebo Rimang!" sentak laki-laki
itu.
"Cocok sekali," ringan sekali wanita itu
berkata.
"Heh! Apanya yang cocok...?"
"Sesuai dengan namamu. Kau memang mirip
kerbau!"
Seketika suara tawa meledak di kedai ini.
Sedangkan laki-laki yang mengaku bernama Kebo
Rimang itu jadi memerah wajahnya. Dia memang
seperti kerbau. Wajahnya kasar penuh brewok,
dan tubuhnya tinggi besar dengan dada berbulu
lebat. Sebuah gagang golok menyembul keluar
dari pinggang.
"Keparat1 Kau berani menghinaku, Cah
Ayu...?!' geram Kebo Rimang, meluap amarahnya.
Digebrakkan kepalan tangannya yang besar
ke meja, sehingga seketika itu juga meja di depan
gadis berbaju merah itu hancur berantakan. Tapi
gadis itu kelihatan tenang saja, sedikit pun tidak
mempedulikan meja di depannya yang hancur
berantakan.
"Malam ini kau harus ikut denganku!"
Kebo Rimbang menjulurkan tangannya ke
wajah gadis itu. Tapi mendadak saja gadis itu
mengibaskan tangannya. Dan....
Plak!
"Akh...!" Kebo Rimang terpekik keras.
Tubuh yang besar itu terpental ke belakang,
menabrak sebuah meja hingga hancur
berantakan. Se-mua pengunjung kedai jadi
terkejut Sungguh tidak di-sangka kalau gadis
yang kelihatan lemah, ternyata
mampu membuat Kebo Rimang yang bertubuh
besar ituterjungkal.
"Keparat...!" Kebo Rimang menggeram marah.
Cepat-cepat laki-laki kasar itu bangkit berdiri,
langsung mencabut goloknya. Sambil
menggerung keras, dia melompat seraya
membabatkan goloknya ke arah gadis berbaju
merah itu. Cepat sekali gerakannya, dan semua
pengunjung kedai menahan napas, tapi yang
terjadi sungguh di luar dugaan. Gadis itu tetap
duduk tenang di kursi.
Entah bagaimana kejadiannya, tangannya
hanya digerakkan sedikit sambil tubuhnya ditarik
ke belakang. Dan tahu-tahu, Kebo Rimang
menjerit melengking tinggi. Tubuhnya terhuyung-
huyung ke belakang. Tampak goloknya sendiri
menancap dalam di dada yang berbulu tebal.
Kebo Rimang jatuh menggelepar, langsung
mengerang meregang nyawa. Tak berapa lama
kemudian, dia diam tak bergerak-gerak lagi, tewas
tertancap goloknya sendiri.
Melihat kejadian itu, sebagian pengunjung
kedai langsung berlarian ke luar. Tapi bagi mereka
yang mempunyai nyali cukup besar, tetap
bertahan di tempatnya. Terutama empat orang
laki-laki yang tadi duduk satu meja dengan Kebo
Rimang. Mereka langsung berlompatan sambil
rnencabut golok masing-masing.
"Perempuan keparat...!"
Tanpa banyak bicara lagi, keempat laki-laki
langsung menyerang. Golok mereka mengibas ke
arah wanita berbaju merah itu. Tapi mendadak
saja waniita itu melesat ke atas, dan tahu-tahu
sudah duduk kembali di kursi lain. Laki-laki
bersenjata golok itu jadi kelabakan, karena orang
yang diserang tahu-tahu sudah berpindah tempat
tanpa diketahui gerakannya. Dan sebelum
disadari apa yang terjadi, wanita berbaju merah
itu cepat mengibaskan tangannya. Terlihat kilatan
cahaya Jingga berkelebat menerjang empat laki-
laki itu. Seketika terdengar jeritan-jeritan
melengking, disusul ambruknya keempat laki-laki
itu Hanya sebentar mereka menggelepar,
kemudian diam tidak berkutik lagi.
"Anggrek Jingga...," terdengar desisan
tertahan.
Desisan yang begitu pelan, rupanya terdengar
juga sampai ke seluruh ruangan kedai itu. Dan
hal itu membuat semua pengunjung kedai yang
semula masih bertahan, langsung angkat kaki
mengambil langkah seribu. Kini di dalam kedai itu
tinggal si wanita berbaju merah dan pemuda
berbaju kulit harimau yang masih saja tetap
duduk tenang di sudut ruangan kedai minum ini.
Entah ke mana, tahu-tahu semua pelayan dan
wanita penghibur di kedai ini lenyap begitu saja.
Mungkin mereka merasa takut begitu wanita
berbaju merah ini mengeluarkan anggrek Jingga
untuk menyudahi ke sombongan empat laki-laki
itu
***
Nama Anggrek Jingga memang menjadi
momok menakutkan di Desa Coket ini. Sejak
terbunuhnya empat orang pemuka desa di dekat
perbatasan sebelah Timur, nama itu semakin
terkenal dan ditakuti Karena senjata anggrek
berwarna Jingga itu, maka seluruh penduduk
desa menyebutnya si Anggrek Jingga. Padahal tak
seorang pun yang tahu, siapa dan ada berapa
orang si Anggrek Jingga itu.
"Kau tidak pergi, Pendekar Pulau Neraka?"
lembut namun terdengar tajam suara wanita
cantik berbaju merah itu.
Pandangan matanya lurus dan tajam tertuju
langsung pada pemuda berbaju kulit harimau
yang duduk di sudut ruangan. Pemuda itu
mengangkat kepalanya. Sejenak mereka saling
berpandangan tajam. Tampak sorot mata pemuda
itu begitu terkejut, namun mampu ditutupi
dengan sikap yang tenang dan senyuman ter-
sungging di bibir.
"Dari mana kau tahu julukanku, Nisanak?
Sedangkan aku tidak tahu siapa dirimu," datar
sekali nada suara pemuda itu.
Pemuda berbaju kulit harimau itu memang
Pendekar Pulau Neraka, yang nama aslinya Bayu
Hanggara. Sedangkan wanita cantik berbaju
merah itu hanya tersenyum saja. Dia bangkit
berdiri dan melangkah tenang menghampiri, lalu
duduk di depan Bayu. Kedua orang itu hanya
dibatasi sebuah meja bundar kecil.
"Seperti kata mereka, aku bernama Anggrek
Jingga," ujar wanita itu.
"Aku ingin tahu namamu yang sebenarnya,"
dingin nada suara Bayu.
"Kau cukup mengenalku begitu," balas
Anggrek' Jingga tidak kalah dingin.
"Baiklah. Lalu, apa maksudmu membuat onar
di sini?"
"Aku...?" Anggrek Jingga tertawa renyah. "Apa-
kah kau tidak melihat? Bukan aku yang memulai,
tapi mereka!"
"Kedatanganmu ke sini yang mengundang,
Anggrek Jingga."
"Hhh! Dasar laki-laki!" dengus Anggrek Jingga.
"Apa ada larangan wanita datang ke sini? Dasar
mereka saja yang tidak tahu diri!"
"Aku tidak ingin berdebat denganmu. Aku
tahu, kedatanganmu ke sini sengaja mencariku,"
potong Bayu tegas. "Nah! Ada keperluan apa kau
ingin bertemu denganku?"
'Ternyata kau tidak bisa sedikit santai,
Pendekar Pulau Neraka. Kenapa kau selalu tidak
bisa menganggap enteng semua persoalan?"
"Tidak semua!"
"Baik..., memang tidak semua. Tapi kau selalu
memandang serius setiap persoalan yang bukan
persoalanmu. Dan kau terlalu suka ikut campur
urusan orang lain!" agak lantang suara Anggrek
Jingga.
"Apa maksudmu, Anggrek Jingga?" tanya
Bayu tidak mengerti.
"Dengar, Pendekar Pulau Neraka. Aku tahu,
kau seorang pengelana. Dan kau bebas berada di
mana saja, di tempat yang kau suka. Hanya saja
yang tidak kusukai, kehadiranmu di sini dan
kelancanganmu mencampuri urusanku!" agak
tertekan nada suaraAnggrek Jingga.
"Hm.... Jadi kau yang membantai pemuka-pe-
muka desa di sini?" Bayu mulai bisa menangkap
maksud wanita cantik ini.
"Bukan aku, tapi mereka yang membunuh diri
sendiri!"
"Kenapa kau lakukan itu?"
"Sudah kukatakan bukan aku, tapi mereka
sendiri!" bentak Anggrek Jingga.
"Kau atau siapa saja, yang jelas kehadiranmu
telah meresahkan seluruh penduduk desa ini.
Dan..., maaf. Aku tidak bisa diam begitu saja
melihat kejahatan berlangsung di depan mataku!"
tegas kata-kata Bayu.
"Sudah kuduga kau akan menjawab begitu,"
ujar Anggrek Jingga sinis. 'Tapi percayalah, kau
tidak akan bisa melakukan apa-apa di sini."
Setelah berkata demikian, Anggrek Jingga
langsung bangkit berdiri dan berjalan tenang ke
luar kedai. Sementara Bayu masih tetap duduk di
tempatnya sambil memandangi wanita cantik
berbaju merah itu hingga lenyap dari pandangan.
Sebentar kemudian terdengar suara kaki kuda
dipacu cepat meninggalkan kedai ini.
"Hm..., siapa dia...?" gumam Bayu bertanya
sendiri.
Sebentar Pendekar Pulau Neraka itu merayapi
kedai yang sudah sepi. Tampak beberapa meja
kursi berentakan. Dia meneguk habis
minumannya, lalu bangkit berdiri setelah
meletakkan beberapa keping uang perak di atas
meja. Ayunan kakinya begitu tenang
meninggalkan kedai ini, dan terus berjalan ke luar
Sementara malam terus merambat semakin larut,
udara pun bertambah dingin menusuk kulit.
Bayu berjalan semakin jauh meninggalkan kedai.
***
"Berhenti...!"
Bayu menghentikan langkahnya ketika
mendengar bentakan keras dari belakang. Ketika
diputar tubuh nya, tampak dua orang berjalan
cepat menghampiri Salah seorang membawa obor
yang terbuat dari bambu. Nyala api obor
menerangi sekitarnya, meskipun sukar
mengalahkan kegelapan malam ini
"Siapa kau?! Ada apa malam-malam
keluyuran?" tanya salah seorang yang membawa
obor.
Belum juga Bayu menjawab, terdengar suara
ringkik kuda. Kemudian terdengar derap langkah
kaki kuda mendekati. Tampak dari selimut
kegelapan, muncul, seekor kuda coklat belang
putih, ditunggangi seorang laki-laki tua berjubah
panjang yang hampir pudar warnanya. Dua
orang yang menegur Bayu langsung menyingkir.
Penunggang kuda itu melompat turun begitu
sampai di depan Pendekar Pulau Neraka. Salah
seorang memegangi tali kekang kuda itu.
Bayu mengenali laki-laki tua ini. Orang tua
yang ditolongnya dari maut.
"Ada apa ini?" tanya Ki Dampil.
"Orang asing ini mencurigakan, Ki," sahut
salah seorang yang memegangi kuda.
"Hm...," Ki Dampil mengamati pemuda
berbajukulitharimau di depannya.
Pelahan kepalanya terangguk lalu tersenyum.
Kemudian dihampiri dan ditepuknya pundak
Bayu. Sedangkan dua orang peronda itu jadi
bengongtidak mengerti.
"Kalian kembali saja. Dia bukan orang asing,
tapi sahabatku yang akan berkunjung," kata Ki
Dampil.
"Oh, maaf," ucap kedua orang itu hampir
berbarengan.
Bayu hanya tersenyum saja. Dan dua orang
peronda itu bergegas pergi. Ki Dampil memegangi
tali kekang kudanya, kemudian mengajak Bayu
berjalan. Mereka berjalan bersisian, tanpa ada
yang berbicara sampaibeberapa saat lamanya.
"Aku dengar ada keributan di kedai tadi," kata
Ki Dampil membuka suara lebih dahulu. Bayu
masih tetap diam.
"Beberapa pengunjung kedai menyebut
tentang dirimu. Itu sebabnya aku cepat mengejar
ke sini," sambung Ki Dampil lagi.
Bayu hanya menggumam kecil.
"Kisanak, kudengar kau bicara dengan si
Anggrek Jingga di kedai. Hm.... Boleh aku tahu,
apa yang kau bicarakan?" pinta Ki Dampfl lagi.
"Dia hanya memintaku untuk meninggalkan
desa ini," sahut Bayu terus terang.
"Edan...! Apa haknya mengusirmu?" dengus
Ki Dampil.
Bayu diam lagi, tapi tidak menghentikan
ayunan langkahnya. Sementara Ki Dampil jadi
bersungut-sungut tidak karuan. Sebentar
dihentikan langkahnya dan Bayu terpaksa
berhenti berjalan.
"Kisanak...."
"Bayu," potong Bayu cepat. "Panggil saja aku
Bayu."
"Aku Ki Dampil"
"Hm. Apa yang ingin kau katakan, Ki?" tanya
Bayu.
"Apa kau ingin pergi dari desa ini?" tanya Ki
Dampil
"Sebenarnya aku hanya lewat saja di sini, dan
memang tidak punya urusan di desa ini," jelas
Bayu kalem.
"Kalau aku meminta, apakah kau bersedia
tinggal di sini untuk beberapa hari?" pinta Ki
DampiL
"Untuk apa, Ki? Lagi pula ada yang tidak
menghendaki kehadiranku di sini," Bayu
mencoba menolak.
"Kau tentu sudah tahu kalau desa ini sedang
mengalami kesulitan," bujuk Ki Dampil.
"Mungkin...," sahut Bayu seenaknya.
"Dan aku juga tahu kalau kau memiliki
kepandaian tinggi. Kisanak, desa ini memerlukan
seseorang yang berkemampuan tinggi untuk
menghadapi si Anggrek Jingga," sambung Ki
Dampil.
"Maaf, Ki. Bukannya hendak menolak, tapi
aku tidak punya urusan di desa ini. Lagi pula aku
tidak tahu, siapa itu Anggrek Jingga," sergah Bayu
sopan.
"Kau sudah bicara dengannya di kedai tadi,
Kisanak."
"Dia yang mengajakku bicara, dan aku tidak
mengenalnya."
"Dia wanita berhati iblis. Sudah beberapa
orang menjadi korbannya. Dan kau tahu sendiri,
empat orang pemuka desa telah tewas olehnya."
"Rasanya bukan dia yang melakukannya, Ki,"
bantah Bayu.
"Sekutunya. Anggrek Jingga bukan satu
orang, entah berapa orang. Yang jelas dia sudah
menjarah desa ini, tanpa diketahui siapa saja
orang-orangnya. Kisanak, jika keadaan seperti ini
tetap dibiarkan berlarut-larut, bukan tidak
mustahil seluruh penduduk desa ini akan
dibantai habis."
"Oh..., apakah sampai sejauh itu?"
"Memang baru lima korban. Empat pemuka
desa, dan satu putra kepala desa. Tiga hari ini
belum ada lagi jatuh korban."
"Belum...," gumam Bayu seperti bicara pada
dirinya sendiri.
"Pasti akan jatuh korban berikut, Kisanak."
Bayu terdiam membisu, dan kembali
mengayunkan langkahnya pelahan. Sementara Ki
Dampil mengikuti di samping sambil menuntun
kudanya. Mereka terus berjalan tanpa bicara lagi.
Entah apa yang ada dalam pikiran Pendekar
Pulau Neraka saat ini. Apakah permintaan Ki
Dampil diterima, atau perjalanannya terus
dilanjutkan?
***
TIGA
Ki Sampar memacu cepat kudanya
menyusuritepian jurang di Lereng Gunung Waru.
Begitu cepa nya kuda hitam itu dipacu, seakan-
akan tidak peduli jika sewaktu-waktu bisa
tergelincir masuk ke jurang yang sangat dalam di
sebelahnya. Kepala Desa Coket itu menghentikan
lari kudanya setelah sampai di depan sebuah
bangunan tua dari batu. Sebuah bangunan candi
yang biasa digunakan untuk menyembah Hyang
Jagat Nata.
Dengan gerakan ringan, laki-laki tua itu
melompat turun dari punggung kudanya.
Sebentar dirayapi sekitarnya, kemudian
dilangkahkan kakinya menghampiri candi itu.
Kudanya ditinggalkan begitu saja, dan binatang
itu kini merumput dengan tenang. Pelahan kaki
laki-laki tua itu terus terayun semakin mendekati
bangunan batu yang tidak begitu besar di
depannya. Dia berhenti tepat sekitar dua tombak
di depan pintu candi itu. Bentuk pintunya lebih
mirip mulut gua batu.
"Kaukah itu, Sampar...?" terdengar suara
lantang dan berat dari dalam candi.
"Benar, Eyang," sahut Ki Sampar.
"Ada apa kau datang ke sini?" terdengar lagi
suara berat.
"Ada yang ingin kubicarakan padamu,
Eyang."
"Untuk apa? Tidak ada yang perlu
dibicarakan. Kau sudah memilih jalanmu sendiri,
dan tidak lagi mengindahkan peringatanku.
Pulanglah, tidak ada gunanya lagi berada di Candi
Laksa ini."
"Eyang, ijinkan aku bicara sedikit saja," pinta
KiSampar memohon.
"Apa kau sudah tidak mendengar kata-
kataku lagi,Sampar...?"
"Dengar, Eyang.".
"Kenapa masih di situ?"
"Eyang...."
"Tidak ada yang perlu dibicarakan, Sampar.
Aku minta secepatnya kau tinggalkan Candi
Laksa ini Kedatanganmu akan membawa
bencana saja. Kau ingin darah menggenang di
Candi Laksa ini? Pulanglah, Sampar. Jangan kau
rusak lagi tempat ini!" tegas kata-kata yang keluar
dari dalam candi itu.
Ki Sampar terdiam dengan kepala tertunduk
dalam. Pelahan diangkat kepalanya, memandang
lurus ke dalam candi yang gelap. Hanya dari pintu
batu ini jalan masuk ke dalam candi. Sedangkan
tadi, sudah jelas kalau dia tidak diperkenankan
masuk. Bahkan tegas-tegas disuruh pulang.
"Aku akan menunggu di sini sampai Eyang
bersedia menerimaku," tekad Ki Sampar pelan.
Setelah berkata demikian, Ki Sampar duduk
bersila di depan pintu Candi Laksa. Tangannya
diletakkan di lutut, dan pandangannya lurus
seakan-akan ingin menembus kegelapan di dalam
candi itu.
"Apa yang kau lakukan, Sampar?" terdengar
lagi suara keras dari dalam candi.
"Aku akan menunggu di sini, Eyang," sahut
Sampar tenang.
"Heh...! Kau tidak bolehdi…”
"Aku tidak akan pergi sebelum bertemu
Eyang, “ potong Ki Sampar cepat.
"Anak setan...!" terdengar geraman dari dala
candi.
Ki Sampar tidak peduli, meskipun geraman
sudah menandakan kemarahan. Laki-laki tua itu
tetap duduk bersila, dan pandangannya tidak
berkedip arah pintu batu yang menyerupai mulut
gua itu.
'Tidak ada gunanya berkeras kepala, Sampar.
Kau akan mati jika tidak menuruti kata-kataku,"
bujul suara itu lagi.
Ki Sampar diam saja. Dia tetap duduk bersila
tanpa bergeming sedikit pun.
"Sampar! Kukatakan sekali lagi, pulanglah.
Tidak ada yang bisa kau peroleh di sini!"
Tetap saja Ki Sampar tidak peduli.
"Anak setan! Keras kepala...!" terdengar lagi
geraman gusar.
Rupanya Ki Sampar benar-benar sudah
nekad. Sedikit pun tidak dipedulikan suara-suara
dari dalam candi yang sudah mulai bernada
gusar. Dia tetap duduk bersila bagai arca batu di
depan pintu candi itu. Sementara suara dari
dalam candi tidak terdengar lagi. Mungkin sudah
kesal, karena Ki Sampar tidak mempedulikannya.
"Baik, aku ingin tahu sampai di mana
kekerasan hatimu!" dengus suara itu lagi.
Ki Sampar sedikit menyunggingkan
senyuman tipis. Tampak sinar matanya berbinar
mendengar suara terakhir itu. Dalam hati, laki-
laki tua itu sudah merasa menang. Dia tahu,
kalau pemilik suara di dalam candi Itu tidak akan
selamanya bertahan, dan pasti aka keluar
menemuinya.
"Kau pasti akan menemuiku, Eyang,” gumam
Ki
Sampar dalam hati.
*** *
Sementara itu di Desa Coket, Ki Dampil jadi
kelabakan karena seharian tidak menemukan Ki
Sampar. Tidak ada yang tahu, ke mana perginya.
Sedangkan Pendekar Pulau Neraka hanya
menunggu saja di depan rumah kepala desa itu.
Dari dalam, Ki Dampil menghampiri dengan
wajah lesu. Saat itu Ki Jalak dan beberapa orang
berkuda datang. Mereka langsung melompat
turun dari kuda. Ki Jalak menghampiri Ki Dampil
yang sudah berada di samping Pendekar Pulau
Neraka, sedangkan beberapa orang lainnya
menunggu di luar.
"Bagaimana, Ki Jalak?" tanya Ki Dampil
langsung. Ki Jalak mengangkat bahunya.
"Hhh..., belum pernah Ki Sampar begitu...,"
keluh Ki Dampil.
"Mungkin ke rumah sanak keluarganya," duga
Bayu.
"Dia tidak punya keluarga lagi," ujar Ki Jalak.
"Ki Jalak...."
Ki Dampil memberi isyarat dengan matanya,
maka Ki Jalak langsung mendekat Kemudian Ki
Dampilmengajak Ki Jalak menjauh dari Bayu.
"Apa sudah kau cari ke rumah istri mudanya,
bisik Ki Dampil.
"Sudah, Ki. Tapi rumah itu kosong."
"Pembantunya?"
"Tidak ada lagi. Menurut tetangganya, Nyi
Renggas sudah lama pergi bersama semua
pembantunya.
"Kau tidak tanyakan ke mana perginya?"
"Sudah, tapi tidak ada yang tahu."
"Sudah berapa lama?"
"Sekitar dua purnama ini."
Ki Dampil mengangguk-anggukkan
kepalanya, kemudian kembali menghampiri Bayu
yang tetap menunggu. Sedangkan Ki Jalak
menghampiri kudanya, lalu melompat naik
dengan gerakan indah dan ringan sekari
"Aku akan mencari lagi, Ki," kata Ki Jalak.
"Carilah ke tempat-tempat yang mungkin
dikunjungi," ujar Ki Dampil.
Ki Jalak langsung menggebah kudanya,
diikuti pengikutnya. Debu mengepul begitu kuda-
kuda itu melaju cepat meninggalkan halaman
depan rumah Ki Sampar. Sementara Bayu dan Ki
Dampil hanya memandangi saja.
"Aneh...," gumam Bayu tanpa disadari.
"Ya...," desah Ki Dampil.
"Ki Dampil, apa tidak mungkin Ki Sampar
pergi ke Padepokan Sangga Langit? Bukankah
anaknya menuntut ilmu di sana?" Bayu
menduga.
"Hm..., memang benar. Santika memang
menuntut ilmu di Padepokan Sangga Langit
Tapi..., untuk apa ke sana?"
"Yang jelas, ini ada hubungannya dengan si
Anggrek Jingga itu, Ki"
Ki Dampil memandangi Pendekar Pulau
Neraka dalam-dalam. Dugaan Bayu yang tiba-tiba
itu memang tidak pernah terpikirkan olehnya.
Memang ada kemungkinan Ki Sampar pergi ke
Padepokan Sangga langit Tapi, untuk apa ke
sana...? Inilah yang harus dibuktikan. Dan Bayu
sudah menduga kalau kepergian Ki Sampar
bukan saja karena kematian anaknya, tapi juga
ada hubungannya dengan si Anggrek Jingga.
Sedangkan sampai sekarang ini belum ada
yang tahu, siapa sebenarnya si Anggrek Jingga itu.
Dan apa maksudnya membunuh Santika.
Sekarang, meskipun tidak nyata, tapi sudah
membuat gelisah seluruh penduduk Desa Coket
ini. Memang Anggrek Jingga belum mengganggu
ketentraman penduduk. Apalagi sampai
mengambil korban penduduk desa. Tapi baik
Bayu maupun Ki Dampil berkeyakinan, jika hal
ini didiamkan berlarut-larut, bukannya tidak
mustahil penduduk desa akan terkena juga.
"Kau tahu di mana letak padepokan itu, Ki?"
tanya Bayu.
"Baru dua kali aku ke sana. Itu pun jika tidak
lupa jalanannya," jawab Ki Dampil ragu-ragu.
Tunjukkan saja letaknya, aku akan pergi
sendiri ke sana," jelas Bayu.
'Tidak mungkin, Bayu."
"Kenapa?"
"Setahuku, letak Padepokan Sangga Langit
sangat terpencil. Malah tidak sembarang orang
bisa memasukinya. Akan sulit bagimu untuk
mencapai ke sana. Harus ada seseorang yang
dikenal."
"Apakah ada orang lain di desa ini yang sering
ke sana?"
'Tidak. Selain Ki Sampar sendiri dan aku yang
dikenal sehingga bebas keluar masuk."
'Tapi kau tidak mungkin meninggalkan desa
ini dalam keadaan seperti ini, Ki."
"Yaaah.... Itulah sulitnya, Bayu. Sudah
menjadi kebiasaan, jika Ki Sampar tidak ada
maka seluruh tanggung jawab berada di
tanganku," nada suara Ki Dampil seperti
mengeluh.
"Kau tidak bisa meninggalkan desa ini, Ki. Se-
dangkan harus ada yang ke Padepokan Sangga
Langit," tegas Bayu lagi.
"Aku serahkan padamu, Bayu. Rasanya
memang hanya kaulah yang bisa ke sana,
meskipun aku rasa apakah bisa bertemu Eyang
Palandara atau tidak.
"Akan kuusahakan, Ki," ujar Bayu bertekad
'Terima kasih," ucap Ki Dampil.
"Maaf, aku menghambat perjalananmu."
"Lupakan saja."
***
Dengan kuda pemberian Ki Dampil, Bayu
meninggalkan Desa Coket. Tujuannya sudah
jelas, hendak pergi ke Padepokan Sangga Langit
Satu-satunya tempat yang diduga Ki Sampar
berada. Tapi, baik Bayu maupun Ki Dampil serta
semua pemuka Desa Coket tidak yakin kalau Ki
Sampar ada di padepokan itu. Namun dalam
keadaan seperti ini, segala kemungkinan bisa saja
terjadi dan harus dibuktikan terlebih dahulu.
Sementara Bayu semakin jauh meninggalkan
Desa Coket Diikutinya petunjuk Ki Dampil agar.
menyusuri Kaki Gunung Waru, menuju ke Timur.
Hanya ada satu jalan setapak kecil dan ini
memudahkannya untuk memacu kudanya agar
lebih cepat Seekor kuda hitam yang gagah,
dengan kecepatan lari yang sangat me-
ngagumkan. Namun demikian, Bayu sebenarnya
lebih tenang mempergunakan ilmu meringankan
tubuh. Karena dengan begitu, bisa melatih dan
semakin meningkatkan kemampuannya. Tapi
pemberian Ki Dampil sulit untuk ditolak
"Ini kuda kesayanganku, Bayu. Tidak ada
duanya di desa ini. Bahkan di seluruh Gunung
Waru," jelas Ki Dampil saat itu.
Bayu hanya tersenyum saja setiap kali
mengingat kata-kata Ki Dampil yang selalu
mengagumi kuda hitam ini Sepertinya laki-laki
tua itu berat sekali menyerahkannya. Dan Bayu
memang mengakui kehebatan kuda hitam yang
kini ditungganginya. Bukan saja bentuknya yang
indah dan gagah, tapi larinya pun sangat cepat
Kuda ini juga tangkas, seakan-akan bisa mengerti
setiap kata yang diucapkan penunggangnya.
”Hiya! Hiyaaa...!"
Bayu terus menggebah kudanya agar berlari
lebih cepat lagi Jalan setapak yang dilalui kini
terasa menanjak, dan juga semakin menyempit
Bahkan kini berbatu, yang di kanan dan kirinya
terdapat semak belukar berduri. Tampak tidak
seberapa jauh di set] lah kiri, terdapat jurang yang
cukup besar dan dalai Bayu memperiambat laju
kudanya, agar tidak tergeli cir. Memang jalan yang
dilalui semakin mendekati jurang, dan pada
akhirnya benar-benar berada di tepijurang.
"Hhh...," Bayu menarik napas panjang ketika
melongokkan kepalanya ke dalam jurang.
Sungguh dalam. Sampai-sampai dasarnya
tidak terlihat dari atas sini, karena gelap tertutup
kabut yang bergulung-gulung. Pendekar Pulau
Neraka itu melayangkan pandangannya ke
seberang jurang. Dalam hati diukurnya besar bibir
jurang ini Sekali lagi dia mendesah
menghembuskan napas panjang.
'Tidak mungkin melompatinya dengan sekali
lesatan saja," desah Bayu dalam hati.
Bayu merasakan jalan yang dilalui semakin
sulit.Malah beberapa kali kaki kuda hitamnya
hampir tergelincir karena menginjak batu kerikil
yang bertebaran di sekitar tepi jurang ini. Tak ada
pilihan lain lagi bagi Pendekar Pulau Neraka itu,
kecuali melompat turun dari punggung kudanya.
Sebentar matanya! menatap ke depan, lalu
memandangi kuda hitam di sampingnya.
"Kau tidak boleh ditinggalkan di sini, Hitam.
Ayo, ikuti aku," kata Bayu seraya menepuk-nepuk
leher kuda itu.
Kuda hitam itu mendengus-dengus seraya
mengangguk-anggukkan kepalanya, seakan-akan
mengerti ucapan Bayu. Pendekar Pulau Neraka
itu tersenyum.
"Ayo."
Bayu meneruskan langkahnya hati-hati sekali
sam-
bil menuntun kuda hitamnya. Dia berjalan
mempergunakan ilmu meringankan tubuh,
untuk mengurangi beban. Batu yang dipijaknya
terasa begitu rapuh. Dan
kalau sewaktu-waktu runtuh, bisa langsung jatuh
ke
dalam jurang.
Dan benar juga. Belum juga jauh berjalan,
mendadak saja....
"Oh...!" Bayu tersentak kaget
Kepalanya terdongak ke atas, tampak
sebongkah batu yang cukup besar jatuh
menggelinding dari atas tebing. Suaranya
menggemuruh menggetarkan seluruh
tebing ini Sementara batu-batu lain juga
berguguran,
makin membuat seluruh tepi jurang ini bergetar.
Belum juga Bayu sempat melakukan sesuatu,
mendadaksaja jalan batu yang dipijaknya retak.
"Oh, tidak...!" desah Bayu agak terpekik.
"Hieeegh...!"
Tubuh Pendekar Pulau Neraka meluruk jatuh
ke dalam jurang bersama kuda hitam yang
meringkik melengking tinggi. Batu-batu
berguguran menimbulkan getaran hebat dan
suara menggemuruh. Bayu terus meluncur jatuh
ke dalam jurang bersama kuda hitamnya serta
reruntuhan batu.
***
Bayu mencoba tenang. Diraihnya sebongkah
batu yang berada di dekatnya. Cepat-cepat batu
itu ditotoknya, lalu tubuhnya melenting
mempergunakan ilmu meringankan tubuh.
Pendekar Pulau Neraka berputar sambil meliuk-
liukkan tubuhnya menghindari batu-batu yang
berguguran masuk ke dalam jurang. Beberapa
kali Bayu menjejakkan kakinya di bongkahan ba-
tu, lalu melesat ke atas.
Dengan mempergunakan batu-batu yang
berguguran, Bayu mencapai ke atas. Memang
tidak mudah. Namun berkat kesempurnaan ilmu
meringankan tubuh yang dimilikinya, Pendekar
Pulau Neraka itu mampu mencapai tepi jurang.
Dan sekali lagi ditotoknya batu dengan ujung jari
kaki, lalu melesat naik. Cepat sekali tubuhnya
melesat ke atas, lalu meraih sebuah dahan pohon
yang menjorok keluar dari tepi jurang. Sebentar
Bayu berayun-ayun, lalu sambil memutar tubuh,
dilentingkan tubuhnya dan hinggap di tepi jurang.
"Hhh...," Bayu menarik napas panjang.
Dipandangnya tebing batu yang berguguran.
Dengan merapatkan tubuh ke dinding batu, Bayu
bisa menghindari hujan batu yang seperti tidak
ada habisnya. Kala matanya memandang ke
dalam jurang, ada kesenduan pada sinar
matanya.
"Kasihan kau, Hitam," desah Bayu lirih.
Seluruh tebing dinding batu di tepi jurang
maut ini masih bergetar. Meskipun sudah
berkurang, namun batu-batu masih juga
berguguran dari atas. Bayu tetap merapatkan
punggungnya, berlindung dari hujan batu di
bawah sebongkah batu yang agak menjorok
keluar. Dijulurkan kepalanya, untuk mendongak
ke atas. Tampak batu-batu masih saja
berjatuhan.
"Hhh..., aku tidak boleh menunggu di sini
Sepertinya hujan batu ini tidak akan berhenti,"
gumam Bayu
pelahan.
Sebentar Pendekar Pulau Neraka itu
mengamati keadaan sekitarnya, kemudian
melesat. Dengan be kencang mempergunakan
ilmu meringankan tubuh" Bayu menembus hujan
batu. Begitu cepat dan ringan sekali gerakannya,
seakan-akan kedua kakinya mengambang.
Beberapa batu kecil menimpa tubuhnyatapi
sedikit pun tak dirasakan. Bayu terus berlari,
kadang-kadang berlompatan menghindari
reruntuhan batu. Cukup lama juga pemuda
berbaju kulit harim auitu harus berlari cepat, dan
akhirnya tiba di tempat yang aman.
Pendekar Pulau Neraka tiba di sebuah padang
rumput yang tidak seberapa luas. Padang rumput
ini dibelah oleh jurang yang menyempit mengecil,
dari berakhir pada sebuah tebing batu cadas yang
sangat terjal Bayu memperhatikan sekitarnya.
Dan, belum juga Pendekar Pulau Neraka itu
mengayunkan kaki, mendadak saja dari segala
arah bertebaran benda kecil berwarna Jingga.
Benda-benda berbentuk bunga anggrek itu
meluruk deras bagai hujan ke arah pemuda
berbaju kulit harimau itu.
"Sial!" rungut Bayu.
"Hiyaaat..!"
Pendekar Pulau Neraka itu berlompatan
menghindari serbuan anggrek jingga yang
bertebaran bagai hujan. Sukar baginya untuk
memastikan arah datangnya serangan, karena
tidak diberi kesempatan sedikit pun untuk
melayangkan mata. Bunga-bunga anggrek jingga
itu terus bermunculan seperti tidak pernah habis.
"Hiya! Yeaaah...!"
Bayu melentingkan tubuhnya tinggi-tinggi ke
angkasa. Lalu, diputar tubuhnya cepat sambil
merentangkan tangan. Dan seketika itu juga,
entah dari mana datangnya, tiba-tiba bertiup
angin kencang yang menderu bagai topan. Bunga-
bunga anggrek jingga itu berhamburan terhempas
angin yang diciptakan Bayu.
Pelahan-lahan tubuh Pendekar Pulau Neraka
yang berputaran bagai baling-baling itu
meluruk'turun. Dan manis sekali kakinya
menjejak tanah. Dia tidak-lagi berputar, tapi
tangannya tetap merentang lebar ke samping.
"Yeaaah...!"
Sambil berteriak nyaring melengking, Bayu
menghentakkan tangannya ke atas hingga kedua
telapak tangannya menyatu di atas kepala. Lalu
dengan cepat ditarik tangannya ke depan dada.
Matanya beredar memandang tajam sekitarnya.
Pelahan-lahan diturunkan tangannya. Dan kini
tak ada lagi serangan bunga-bunga anggrek
jingga.
"Hm, tampaknya kedatanganku memang
sudah ditunggu," gumam Bayu dalam hati.
Baru saja Pendekar Pulau Neraka itu hendak
mengayunkan kakinya, mendadak saja dari atas
pohon bertebaran jaring-jaring yang mengembang
ke arahnya. Sesaat Bayu terkesiap, lalu cepat-
cepat melompat ke depan. Tapi kembali
bermunculan jaring-jaring berwarna hitam. Dan
Bayu berlompatan menghindarinya.
“Keparat…!”
***
EMPAT
Beberapa kali Bayu berhasil menghindar dari
perangkap jaring-jaring yang bertebaran. Namun
ketika dua buah bunga anggrek jingga melesat ke
arahnya, Pendekar Pulau Neraka itu jadi
terkesiap. Dia berusa menghindar dari terjangan
dua bunga anggrek jin itu, tapi tidak bisa
menghindar dari sergapan sebuahjaring.
"Ih...!"
Belum juga pemuda berbaju kulit harimau itu
bisa melepaskan diri dari jaring hitam yang
mengurungnya datang lagi dua jaring dan
langsung membungkus dirinya. Dan Bayu benar-
benar tidak berdaya, sehingga jatuh tergulung
jaring. Sia-sia Pendekar Pulau Neraka mencoba
memberontak, karena jaring-jaring ini begitu
kenyal dan sukar diputuskan.
"Setan...!" Bayu mengumpat geram. Pendekar
Pulau Neraka itu tidak lagi memberontak ketika
empat orang gadis bermunculan dari balik pohon
dan semak belukar. Mereka masing-masing me-
ngenakan baju warna biru, kuning, hijau dan
putih. Dihampirinya Bayu yang terjerat jaring
hitam. Salah seorang yang memegang tambang,
langsung mendekati. Dengan gerakan cepat dan
lincah, gadis itu berlompatan di sekitar pemuda
berbaju kulit harimau yang kini tak berdaya. Dan
tahu-tahu, seluruh tubuh Bayu sudah terikat
tambang. Gadis berbaju biru yang memegang
tambang, menyerahkan dua ujung tambang pada
gadis lainnya. Mereka tersenyum-senyum
memandangi Pendekar Pulau Neraka yang sudah
tidak berdaya lagi.
"Hei! Siapa kalian?!" teriak Bayu bertanya.
Empat gadis cantik itu hanya tertawa' saja.
Dua orang segera menyeret Bayu yang terikat di
dalam jaring hitam. Sedangkan dua orang lain
berjalan di belakang. Pendekar Pulau Neraka itu
mencoba memberontak, tapi usahanya sia-sia
saja. Membebaskan diri dari jaring ini saja sudah
sulit, apalagi harus melepaskan tambang yang
mengikat seluruh tubuhnya.
Menyadari usahanya tidak akan berhasil,
Bayu membiarkan saja tubuhnya terseret
Diperhatikan sekitarnya, menghapal jalan yang
dilalui empat orang gadis cantik ini. Bayu
mengerahkan hawa mumi untuk menahan rasa
sakit di sekujur tubuhnya. Beberapa kali
tubuhnya terantuk batu atau akar-akar pohon
yang tersembul keluar dari dalam tanah. Tapi
dengan mengerahkan hawa mumi, semua rasa
sakit tidak terasakan lagi
"Tunggu!" seru gadis yang mengenakan baju
biru tiba-tiba.
"Ada apa?" tanya gadis yang mengenakan baju
kuning.
"Orang ini harus dibuat pingsan. Dia tidak
boleh mengetahui jalan yang dilalui," usul gadis
berbaju biru itu. lagi.
“Hm, benar," sahut gadis baju hijau.
Tanpa banyak bicara lagj, gadis baju hijau
menggerakkan tangannya beberapa kali ke tubuh
Pende Pulau Neraka. Sedikit pemuda berbaju kulit
harimau itu mengeluh, lalu pandangannya jadi
nanar. Dan sebentar kemudian tidak sadarkan diri
lagi. Bayu tidak tahu lagi, ke mana dibawa pergi
oleh keempat gadis cantik ini
***
"Oh...," Bayu merintih lirih.
Pelahan-lahan Pendekar Pulau Neraka itu
menggerakkan kepalanya, kemudian membuka
matanya sedikit Kembali digeleng-gelengkan
kepalanya. Seketika Bayu terkejut, begitu
mengetahui berada di suatu ruangan yang
seluruh dindingnya terbuat dari batu Dan
tubuhnya kini berada di sebuah pembaringan ber-
alaskan kain sutra halus berwarna merah muda.
Bayu mencoba menggelinjang, tapi jadi
terkejut bukan main Seluruh tubuhnya terasa
mati, tidak bisa digerakkan Sekali lagi dicobanya
menggerakkan tangan, tapi tangannya benar-
benar lumpuh. Bayu sadar kalau pusat jalan
darahnya sudah tertotok, dan tak mungkin bisa
bebas meskipun mengerahkan hawa mumi. Hal
ini disadari karena bagian kepalanya masih bisa
bergerak, sedangkan bagian tubuh lainnya lum-
puh.
Pendekar Pulau Neraka itu memalingkan
kepalanya ketika tiba-tiba ruangan yang semula
remang-remang ini mendadak terang benderang.
Kini seluruh sudut ruangan terlihat jelas. Sebuah
ruangan yang cukup besar, berdinding batu hitam
agak berlumut
Tidak ada jendela, tapi ada sebuah pintu dari
kayu jati tebal yang tertutup rapat
Pandangan Bayu tertumbuk pada seorang
wanita cantik mengenakan baju warna merah
muda yang longgar dan tipis. Begitu tipisnya
sehingga lekuk-lekuk tubuhnya membayang jelas.
Wanita itu berdiri di depan pintu yang tertutup.
Bayu mengenalinya, karena pernah bertemu di
kedai di pinggiran Desa Coket
"Di mana aku?" tanya Bayu. Wanita cantik itu
tidak menjawab, tapi malah tersenyum. Dengan
langkah gemulai, wanita itu menghampiri Bayu
dan duduk di tepi pembaringan. Tercium aroma
harum yang menyebar dari tubuh wanita cantik
Ini. Bayu hanya bisa memandangi saja karena
seluruh tubuhnya sudah tertotok, tak mampu lagi
digerakkan.
"Kau berada di tempatku, pemuda tampan,"
jelas wanita itu lembut
"Siapa kau sebenarnya? Mengapa kau
membawaku ke sini?" tanya Bayu beruntun.
"Kau sudah mengenal siapa aku, bukan?"
tetap lembut suara wanita itu.
'Yang pasti, namamu bukan Anggrek Jingga!"
dengus Bayu
"Ternyata kau seorang pemuda yang selalu
ingin tahu tentang wanita."
Bayu mendengus sengit
"Baik! Kau boleh memanggilku Kandita. Itu
namaku yang sebenarnya. Dan semua orang lebih
mengenalku dengan julukan Anggrek Jingga.
Terserah kau, ingin memanggilku yang mana,"
kata wanita itu memperkenalkan namanya.
"Kenapa kau membawaku ke sini?" tanya
Bayu lagi.
"Hanya untuk pengamanan saja, Bayu," sahut
Kandita lembut
Kandita menjulurkan tangannya yang halus
berjari lentik ke dada Pendekar Pulau Neraka.
Dengan gerakan halus dan lembut, direbahkan
kepalanya ke dada pemuda berbaju kulit harimau
itu. Tercium bau harum yang sangat menusuk
hidung Bayu. Pelahan wanita cantik itu
mengangkat kepalanya, lalu merebahkan diri
sehingga menghimpit tubuh Bayu.
Sangat terasa, dua bukit kembar yang
terselubung kain merah itu lembut menekan dada
Pendekar Pulau Neraka. Seketika Bayu
merasakan napasnya sesak. Dan napasnya
tertahan ketika Kandita dengan lembut sekali
mengecup bibirnya. Hanya sedikit, namun sangat
lembut dan hangat sehingga membuat Bayu sam-
pai menahan napas. Tanpa dapat dicegah lagi,
Pendekar Pulau Neraka itu menikmati kecupan
lembut di bibirnya tadi.
"Kau tampan sekali, Bayu," desah Kandita.
"Hhh! Dari mana kau tahu namaku?!" dengus
Bayu.
"Mudah sekali mengetahui tentang dirimu,
pemuda tampan," sahut Kandita seraya tertawa
lembut "Aku tahu siapa dirimu. Seorang pendekar
digdaya yang bergelar Pendekar Pulau Neraka.
Sungguh...! Tak kusangka kalau semudah ini bisa
membawamu ke sini. Ah..., ternyata Pendekar
Pulau Neraka tidak sehebat yang dikatakan
orang."
"Licik! Curang...!" dengus Bayu gusar.
"Untuk mencapai apa yang diinginkan, segala
cara akan kutempuh. Tidak ada kata licik, curang,
atau kata-kata lain. Kau bisa melihat bagaimana
aku melakukan sesuatu dengan perencanaan
matang."
''Untuk apa kau lakukan semua ini?" tanya
Bayu ingin tahu.
"Untuk apa...?" Kandita tertawa renyah. '
Wanita itu bangkit, menjauhkan tubuhnya
dari Pendekar Pulau Neraka, tapi masih duduk di
tepi pembaringan ini Jari-jari tangan yang lentik
mengelus-elus dada bidang pemuda berbaju kulit
harimau itu.
"Katakan, untuk apa kau lakukan semua ini?"
desak Bayu.
"Sudahlah, Bayu. Tidak perlu kau ketahui
semuanya. Percayalah! Kalau urusanku sudah
selesai, kau akan kubebaskan. Kau boleh pergi
sesuka hatimu, bagai burung yang merdeka,
bebas terbang ke mana saja," Kandita mencoba
mengelak.
"Kenapa tidak kau bebaskan saja sekarang?"
"Belum saatnya, Bayu. Nanti, kalau sudah
saatnya tiba. Tenang sajalah di sini. Semua
keperluanmu akan dilayani murid-muridku.
Mereka semua cantik-cantik. Tapi, awas...! Jangan
sekali-sekali merayu mereka. Dan kau juga jangan
terpikat oleh godaannya. Selama berada di sini,
kau menjadi milikku!" agak tajam nada suara
Kandita.
"Enak saja!" dengus Bayu.
"Kau tidak bisa menolak, Bayu." Kandita
melepaskan pakaian yang dikenakan Pendekar
Pulau Neraka.
"Heh! Apa yang akan kau lakukan...?" senta
Bayu terkejut
'Tenanglah.... Kau laki-laki, dan aku wanita.
Aku rasa kau seorang laki-laki normal yang juga
butuh belaian halus seorang wanita," tenang
sekali suara Kandita.
"Edan! Kau tidak bisa seenaknya me...."
Belum habis Bayu bicara, Kandita sudah
menyumpal mulut Pendekar Pulau Neraka itu
dengan mulut nya. Sehingga hanya keluhan dan
gumaman saja yang terdengar. Bayu mencoba
memberontak. Tapi totokan pada jalan darahnya
begitu kuat, dan benar-benar tidak berdaya lagi.
Sementara jari-jari tangan Kandita sudah
mulai menggerayangi tubuh Pendekar Pulau
Neraka. Dan kini pemuda berbaju kulit harimau
itu jadi terbeliak, manakala Kandita juga
melepaskan pakaiannya sendiri.
"Setan kau, Kandita!" geram Bayu, memerah
wajahnya.
"Ssst..!"
Kandita tidak mempedulikan makian pemuda
berbaju kulit harimau itu. Napasnya sudah
mendengus memburu. Diciuminya seluruh wajah
dan leher Bayu. Terasa hangat di kulit, mencoba
merangsang gairahnya. Kandita terus berusaha
membangkitkan gairah Pendekar Pulau Neraka
ini dengan ciuman-ciumannya yang lembut dan
hangat, dan rabaan jari-jarinya yang halus dan
menggelitik.
Sekuat daya Bayu mencoba bertahan, tapi
rangsangan yang diberikan wanita cantik ini
benar-benar membuat kepalanya pening. Seluruh
darah di tubuh Pendekar Pulau Neraka itu mulai
menggolak mendidih, dan tubuhnya jadi
menggeletar. Saat itu Kandita tersenyum, karena
kali ini benar-benar berada di atas kemenangan.
Seluruh tubuh wanita itu sudah dibasahi keringat
Napasnya semakin hangat mendengus, bagai
kuda pacu yang didera kencang.
Bayu memejamkan matanya kuat-kuat
Gerahamnya bergemeletuk keras. Sementara
Kandita semakin buas, dengan gerakan-gerakan
tubuhnya yang bertambah liar. Suara desisan dan
erangan lirih terdengar. Hingga akhirnya tiba-tiba
saja wanita itu terpekik tertahan. Tubuhnya
langsung jatuh lunglai, menggelimpang ke
samping tubuh Pendekar Pulau Neraka. Pelahan
Bayu membuka matanya, melihat Kandita me-
ngenakan pakaiannya kembali sambil tersenyum
penuh kemenangan dan kepuasan. Bayu benar-
benar muak melihat senyum wanita itu,
meskipun wajahnya sangat cantik dan
senyumnya memikat
"Aku akan membunuhmu, perempuan
iblis...!"desis Bayu menggeram.
"Itu tidak akan terjadi, Bayu," sambut Kandita
diiringi derai tawanya.
Setelah merapikan pakaiannya sendiri, wanita
itu kemudian merapikan pakaian Pendekar Pulau
Neraka. Ditepuk-tepuknya pipi pemuda itu
dengan lembut Sekali lagi diberikannya satu
kecupan tipis di bibir. Bayu hanya bisa
mengumpat dengan bara api kemarahan
menggelegak di dada.
"Istirahatlah, Sayang," ucap Kandita lembut
"Keparat! Kubunuh kau, Iblis...!" geram Bayu
muak.
"Ha ha ha...!" Kandita hanya tertawa saja.
Begitu lepas derai tawanya.
Wanita itu bangkit berdiri, turun dari
pembaringan. Sambil memperdengarkan tawa
yang lepas, dia berjalan keluar dari ruangan itu.
Tinggal Bayu memaki-maki dan mengumpat
sambil berteriak teriak mengancam. Bukan main
marahnya Pendekar Pulau Neraka itu, karena
benar-benar merasa terhina oleh kelakuan Kan-
dita.
Belum juga reda kemarahan Bayu, muncul
se-orang gadis cantik lagi mengenakan baju biru
ketat
Bayu mendengus memberengut kesal, dan benar-
be-nar muak melihatnya. Dia hanya menatap
tajam de-ngan mulut terkunci rapat Gadis berbaju
biru itu me-narik sebuah kursi di dekat
pembaringan, lalu duduk
di sana
"Mau apa kau ke sini?" tanya Bayu
mendengus.
"Malam ini aku ditugaskan menjagamu,"
jawab gadis itu kalem.
Bayu menatap gadis itu dalam-dalam dengan
sinar mata tajam. Sedangkan yang ditatap malah
kelihatan tidak peduli, dan hanya duduk tenang
tanpa membalas tatapan Pendekar Pulau Neraka
ini.
"Siapa namamu?" tanya Bayu iseng.
"Ranti," sahut gadis berbaju biru itu.
"Dan yang lainnya?" tanya Bayu lagi.
"Kami hanya empat, ditambah guru."
"Aku tanya nama yang lainnya."
"Yang pakai baju kuning namanya Dewi.
Sedangkan yang berbaju hijau namanya Saras.
Dan Pinanti yang berbaju putih," sahut Ranti
menjelaskan dengan nada suara tenang tanpa
tekanan sedikit pun "Kenapakau tanya-tanya?"
"Tidak apa-apa," suara Bayu terdengar ketus.
Pendekar Pulau Neraka itu tidak bertanya lagi.
Dipejamkan matanya sambil mencoba
mengerahkan hawa murni untuk membebaskan
totokan pada pusat jalan darahnya. Meskipun
disadari tidak akan berhasil, tapi paling tidak harus
dicoba.
***
Sementara itu di lain ruangan, Kandita sudah
mengenakan baju merah menyala yang sangat
ketat. Tampak sebilah pedang tergantung di
pinggang. Pada ujung gagang pedang, terukir
sekuntum bunga anggrek berwarna Jingga. Dia
duduk di sebuah kursi kayu jati berukir yang
sangat indah. Sedangkan di depannya tiga orang
gadis berwajah cantik duduk bersila di lantai
beralaskan permadani berbulu tebal.
"Dewi...," panggil Kandita seraya menatap
gadis yang mengenakan baju kuning.
"Ya, Nini Guru?" sahut Dewi penuh rasa
hormat.
"Apakah tua bangka itu masih ada di depan?"
tanya Kandita, datar nada suaranya.
"Masih, Nini Guru," sahutDewi.
"Laki, bagaimana si tua lainnya, Saras?"
Kandita menatap gadis yang mengenakan baju
hijau.
"Dia terlalu menyusahkan, Nini Guru," sahut
Saras.
"Apa maksudmu?" tanya Kandita.
"Dia selalu saja duduk bersemadi, tidak mau
makan dan minum. Semua makanan dan
minuman yang disediakan tidak dijamah sama
sekali," lapor Saras.
"Biarkan saja, jangan diurusi!" dengus
Kandita. 'Toh kita tidak lama lagi di sini. Biar dia
mati kelaparan!"
"Baik, Guru."
"Nah! Sekarang giliranmu, Pinanti," Kandita
menatap muridnya yang memakai baju putih.
"Ya, Nini Guru," lembut sekali sahutan Pinanti.
"Bagaimana tugasmu?" tanya Kandita.
"Tidak ada masalah, Nini Guru. Semua
berjalan lancar sesuai rencana," jawab Pinanti.
"Apa kau sudah dengar tentang Eyang
Palandara?"
"Belum."
"Heh...! Bukankah tugasmu memancing
Eyang Palandara keluar dari padepokannya?"
sentak Kandita agak gusar.
"Semua sudah dilaksanakan, Nini Guru. Tapi
orang itu tetap saja tidak mau keluar, dan
sepertinya sudah mengetahui pancingan ini."
"Mustahil! Dari mana dia tahu?" dengus
Kandita. "Dengar! Tujuan kita yang paling utama
adalah si tua keparat Palandara. Kalau dia sudah
mampus, tidak ada lagi yang bisa menghalangi
kita untuk menguasai seluruh daerah di Gunung
Waru ini. Kita akan mendirikan kerajaan kecil di
sini, dan hidup senang selama-lamanya."
"Tapi, Nini Guru...," selak Dewi
"Ada apa lagi, Dewi?" tanya Kandita.
"Bukankah di sekitar Kaki Gunung Waru ini
bukan hanya Padepokan Sangga Langit saja yang
ada? Masih banyak padepokan lainnya," sergah
Dewi.
"Bodoh! Kau bicara asal menguap saja, Dewi!"
sentak Kandita.
"Maaf, Nini Guru," buru-buru Dewi memohon
maaf. "Aku hanya mengingatkan saja."
"Kalian semua tahu. Di sekitar Kaki Gunung
Waru ini hanya ada satu padepokan kuat, yaitu
Padepokan Sangga Langit Nah! Kalau kita sudah
menguasai padepokan itu, tidak perlu banyak
menguras tenaga untuk menaklukkan yang lain.
Terlebih lagi partai-partai golongan hitam. Mereka
pasti akan bergabung dengansendirinya."
Ketiga gadis itu hanya diam mendengarkan.
"Kalian harus ingat! Aku memberi jurus-jurus
tingkat tinggi bukannya tidak ada tujuan, tapi
untuk membuat kalian menjadi wanita tangguh
yang disegani dan ditakuti semua orang. Dan
inilah saatnya untuk membuktikan kalau kaum
wanita bukanlah kaum lemah. Kalian dengar
itu?!" lantang sekali suara Kandita.
"Mengerti, Nini Guru," ucap ketiga gadis itu
berbarengan
"Nah! Jadi jangan banyak macam-macam!
Ikuti saja perintahku. Dan satu hal yang perlu
kalian ketahui! Siapa saja berani membangkang,
aku tidak segan segan menjatuhkan tangan.
Paham...!"
"Paham, Nini Guru," sahut ketiga gadis itu
kembali berbarengan.
"Sudah jauh malam, sebaiknya kalian
beristirahat saja," kata Kandita seraya bangkit
berdiri.
Wanita cantik berbaju merah itu
mengayunkan kakinya meninggalkan ketiga
muridnya, lalu masuk ke dalam sebuah kamar.
Sedangkan ketiga gadis cantik itu masih tetap
duduk bersila. Mereka baru bangkit berdiri setelah
cukup lama Kandita tidak keluar kamar lagi. Dua
gadis masuk ke dalam kamar lain, sedangkan
gadis yang berbaju putih masuk ke dalam kamar
yang berpintu kayu jati tebal.
Di kamar itu ternyata Bayu berada dijaga
seorang gadis cantik berbaju biru. Gadis yang
bernama Ranti itu mengangkat kepalanya saat
mendengar pintu terbuka, lalu bangkit berdiri dan
menghampiri begitu melihat siapa yang datang.
Pinanti menutup pintu kembali. Kedua gadis itu
menarik kursi ke dekat pintu dari duduk di sana.
Mereka memandang Bayu yang tampaknya
sedang tidur lelap.
"Bagaimana dia?" tanya Pinanti.
"Tidur. Mungkin kelelahan," sahut Ranti
seraya tersenyum penuh arti.
Sedangkan Pinanti hanya tersenyum tipis
sekali. Terasa hambar senyuman gadis berbaju
putih itu. Dipalingkan pandangannya, beralih
pada Ranti yang duduk di sebelahnya.
"Ada apa, Pinanti? Nini Guru marah lagi?"
lembut suara Ranti.
Pinanti hanya mengangguk saja.
"Kalian pasti sudah menyinggung perasaannya
lagi," tebak Ranti.
"Dewi yang memulai," ujar Pinanti pelan.
"Kan sudah kuperingatkan, jangan singgung-
singgung masalah itu lagi. Kita ini hanya murid,
dan semuanya ada di tangan Nini Guru Kandita.
Lagi pula semua yang dilakukannya demi kita
semua," tegas Ranti, agak pelan suaranya seperti
takutterdengar Bayu.
Pinanti hanya diam saja. Entah apa yang ada di
dalam benaknya. Diarahkan pandangannya pada
pemuda berwajah tampan mengenakan baju dari
kulit harimau yang terbaring lelap dalam buaian
mimpi.
"Ranti, kenapa dia ditangkap?" tanya Pinanti
tiba-tiba tanpa mengalihkan pandangannya dari
Bayu.
"Pertanyaanmu aneh, Pinanti," desah Ranti.
"Aku hanya ingin tahu saja, Ranti."
"Dia terlalu banyak ingin tahu, dan Nini Guru
tidak pernah menyukaiitu," jelas Ranti.
"Aku tahu watak Nini Guru, karena telah lebih
lama ikut dengannya daripada kau dan yang
lainnya."
'Tapi, kenapa harus ditangkap? Kenapa tidak
dibunuh sajaseperti yang lain?" tanyaPinanti.
"Aku tidak tahu itu, Pinanti. Tapi yang jelas,
Nini Guru menyukai pemuda tampan, gagah, dan
berkepandaian tinggi. Ah, sudahlah. Nanti
pemuda itu pasti juga dilenyapkan, kalau
semuanya sudah selesai." Pinanti
menganggukkan kepalanya pelahan.
"Sudah malam, tidur sana. Besok kau harus ke
PadepokanSangga Langit, bukan?"
"Iya! Aku tinggal dulu, Ranti."
Pinanti bangkit berdiri Dibukanya pintu, dan
dilangkahkan kakinya keluar. Ranti kembali
menghampiri Bayu yang masih terbaring dengan
mata terpejam. Sebentar dipandangi wajah
pemuda itu, kemudian duduk di tepi
pembaringan. Pelahan tangannya terulur dan
mengusap dada pemuda itu dengan halus.
"Kau tampan sekali...," desah Ranti pelahan.
Pelan-pelan Ranti membaringkan tubuhnya di
samping Pendekar Pulau Neraka. Dipandanginya
wa jah tampan di sampingnya, lalu diletakkan
kepalanya; di dada pemuda itu. Dia tidak tahu
kalau Bayu membuka matanya, dan kembali
terpejam saat Ranti mengangkat kepalanya,
langsung memandangi wajah pemuda tampan
itu. Pelahan-lahan Ranti mendekatkan wajahnya,
lalu mengecup lembut bibir Bayu.
Ranti beringsut turun dari pembaringan,
kemudian duduk di kursi dekat pembaringan itu.
Dipandanginya wajah Bayu lekat-lekat. Terdengar
tarikan napas panjang dan terasa berat seperti
ada sesuatu yang mengganjal di dadanya. Malam
ini gadis itu tidak boleh tidur, karena mungkin
saja Pendekar Pulau Neraka itu bisa
membebaskan diri dari pengaruh totokan pada
jalan darahnya. Kalau hal itu terjadi, Bayu harus
cepat diberi totokan kembali sebelum sempat
melakukan sesuatu. Sungguh berat tugasnya,
tapi tidak bisa ditolak.
***
LIMA
Siang ini matahari bersinar terik sekali,
seakan-akan hendak membakar seluruh
permukaan bumi..Begitu teriknya hingga daun-
daun berguguran, dan seluruh penghuni hutan di
Gunung Waru berlomba-lomba mencari sumber
mata air. Tapi tidak demikian halnya dengan
seorang gadis berpakaian serba putih yang me-
nunggang kuda menyusuri lereng gunung sebelah
Timur.
Kuda putih yang ditungganginya mendengus-
de-ngus, dan mulutnya terbuka mengucurkan
liur. Binatang itu tampak kelelahan, tapi
penunggangnya tidak peduli Dia terus menggebah
kudanya agar berlari cepat. Wajah gadis itu juga
sudah memerah. Keringat tampak membanjir di
sekujur tubuhnya. Sesekali di-sekanya keringat di
leher yang putih jenjang.
"Hop...!" gadis itu menghentikan laju kudanya.
Pandangannya lurus ke depan, ke arah
sebuah bangunan besar yang dikelilingi pagar
tinggi dari batang pohon yang bagian atasnya
runcing. Dia melompat turun dari punggung
kudanya. Gerakannya ringan sekali, pertanda
memiliki ilmu meringankan tubuh yang cukup
tinggi. Gadis itu berdiri tegak di depan kudanya.
"Sepi...," gumam gadis itu pelan.
Pelahan kakinya terayun mendekati
bangunan besar itu. Sinar matanya tajam tak
berkedip meraya sekitarnya. Ayunan langkah
kakinya begitu ringan, menimbulkan suara sedikit
pun. Dia semakin me kari bangunan besar bagai
benteng pertahanan itu. Tapi baru juga sampai
setengah jalan, mendadak saja...
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Tiba-tiba terdengar teriakan keras, disusul
bermuculannya manusia-manusia dari balik
pepohonan. Gadis itu terkejut, langsung memutar
tubuh dan menata ke sekelilingnya. Hatinya
sungguh terkejut bukan main, karena di
sekitarnya sudah dikelilingi orang bersenjata
pedang terhunus. Jumlahnya begitu banyak, lebih
dari lima puluh orang.
"Selamat datang di Padepokan Sangga Langit,
Anggrek Jingga," tiba-tiba terdengar suara lembut
"Heh...?!" gadis itu terkejut dan langsung
berpaling.
Pandangan gadis itu seketika tertumbuk pada
seorang laki-laki tua berjubah putih yang tahu-
tahu sudah berdiri di depan orang-orang yang
mengepungnya. Entah dari mana datangnya,
tahu-tahu sudah ada di sana.
"Eyang Palandara...," desis gadis itu
mengenali .laki-laki tua yang berdiri sekitar dua
batang tombak di depannya.
"Kenapa kau datang sendiri, Pinanti? Mana
gurumu?" tanya Eyang Palandara. Suaranya
begitu lembut, namun mengandung kewibawaan.
"Kau tahu tentang diriku, Eyang
Palandara...?" tanya gadis berbaju putih yang
memang bernama Pinanti, salah seorang murid
Kandita si Anggrek Jingga.
"Aku tahu siapa-siapa saja orang-orang dari
Anggrek Jingga. Bahkan sebelum kalian muncul
di Desa Coket aku sudah tahu. Malah
kedatanganmu ke sini juga sudah kuketahui.
Jadi, jangan heran jika aku menyambut
kedatanganmu," jelas Eyang Palandara.
"Dari mana kau tahu?" tanya Pinanti
mendengus.
Gadis itu agak terkejut juga, tapi cepat-cepat
menyembunyikan keterkejutannya. Hatinya jadi
bertanya-tanya, dari mana Eyang Palandara
mengetahui semua tentang Anggrek Jingga?
Padahal selama ini gerakan Anggrek Jingga begitu
tersembunyi, bahkan tidak ada yang tahu berapa
jumlah anggota Anggrek Jingga sebenarnya.
"Jika tidak keberatan, aku ingin
mengundangmu melihat-lihat Padepokan Sangga
Langit," ajak EyangPalandara ramah.
"Hm.... Kau tidak ingin memperdayaku, Eyang
Palandara?" Pinanti jadi curiga.
"Kedatanganmu bermaksud mengetahui
kekuatan padepokanku, bukan? Nah! Marilah,
kuperlihatkan seluruh kekuatan Padepokan
Sangga Langit Dan kau bisa melaporkannya pada
Kandita," kata Eyang Palandara tenang dan
ramah.
Pinanti jadi berpikir seribu kali. Sungguh tidak
disangka kalau kedatangannya ke sini sudah
diketahui. Bahkan sekarang Ketua Padepokan
Sangga Langit itu sendiri yang menyambutnya,
dan hendak memperlihatkan seluruh kekuatan
padepokannya. Bukankah ini sesuatu yang
sangat janggal? Mereka satu sama lain berdiri
berhadapan sebagai musuh, tapi sikap Eyang
Palandara yang begitu ramah membuat Pinanti
tidak bisa memahaminya.
"Kau terlalu curiga terhadap maksud baikku,
nanti," tebak Eyang Palandara seperti mengetahui
jalan pikiran gadis itu.
Pinanti merayapi murid-murid Padepokan
Sangga Langit di sekelilingnya. Saat itu Eyang
Paland menjentikkan jari tangannya, maka semua
murid depokan itu bergerak masuk ke dalam
benteng padepokan yang terbuat dari kayu
gelondongan yang di tancapkan berkeliling ke
tanah, membentuk cincin raksasa. Bangunan
besar di tengah-tengah lingkara benteng itulah
yang menjadi tujuan mereka.
"Mari...," ajak Eyang Palandara setelah semua
muridnya masuk ke dalam benteng.
"Sikapmu membuatku curiga, Eyang
Palandara," tegas Pinanti berterus terang.
"Ha ha ha...!" Eyang Palandara tertawa
terbahak-bahak. Sepertinya kata-kata Pinanti tadi
membuat tenggorokannya tergelitik.
"Kenapa tertawa, Eyang Palandara?!" dengus
Pinanti kurang senang.
"Aku tentu tidak akan bersikap begini jika
bukan kau yang datang, Pinanti," kata Eyang
Palandara setelah reda tawanya.
"Kenapa? Apakah ada perbedaan antara aku
dan yang lainnya?" tanya Pinanti tidak mengerti,
sehingga jadi bingung juga dibuatnya.
"Tentu! Tentu saja ada perbedaannya.
Marilah, kita bicarakan hal ini di dalam," ujar
Eyang Palandara seraya merentangkan
tangannya.
Sejenak Pinanti ragu-ragu. Tapi mendadak
saja
hatinya diliputi rasa penasaran akan sikap laki-
laki tua
berjubah putih ini. Teriebih lagi perkataannya
yang
terakhir. Berbagai macam pertanyaan terlintas di
benaknya. SejenakPinanti memandangi orang tua
itu,
kemudian menatap ke arah bangunan besar
Padepokan Sangga Langit Pintu gerbang benteng
padepokan
itu terbuka lebar, seakan-akan sengaja dibuka
untuknya.
"Baiklah. Tapi jika kau hanya menjebakku
saja, aku akan membunuhmu, Eyang Palandara!"
kata Pinanti tajam.
"Silakan, Pinanti," sambut Eyang Palandara
ramah diiringi senyuman.
Pinanti memantapkan hatinya, kemudian
mengayunkan kakinya menuju dalam benteng
Padepokan Sangga Langit Sedangkan Eyang
Palandara sudah lebih dahulu berjalan di
depannya. Dua orang terlihat menjaga di ambang
pintu gerbang. Mereka membungkuk memberi
hormat saat Eyang Palandara melintasinya. Dan
pintu itu ditutup setelah kedua orang yang saling
bermusuhan itu berada di dalam.
***
Pinanti memandangi ruangan besar yang
dikelilingi jendela besar terbuka lebar, sehingga
memberi keleluasaan pada matahari untuk
menerangi ruangan ini dengan sinarnya yang
memancar terik. Di setiap sudut ruangan terlihat
senjata-senjata berjajar rapi dari berbagai bentuk.
Pinanti tahu kalau ruangan ini merupakan balai
latihan bagi murid-murid Padepokan Sangga
Langit. Gadis itu duduk di lantai beralaskan tikar
anyaman daun pandan. Di depannya, duduk
Eyang Palandara. Tak ada lagi orang lain di
ruangan ini mereka berdua.
"Ruangan ini sebagai pusat latihan semua mi
Padepokan Sangga Langit Kau lihat sendiri, segala
macam senjata harus mereka kuasai dengan
baik," jelas Eyang Palandara.
"Kenapa kau tunjukkan semua ini padaku?"
tanya Pinanti.
"Bukankah itu yang hendak kau ketahui,
Pinanti? Aku tahu, kedatanganmu ke sini sengaja
untuk menyelidiki kekuatan Padepokan Sangga
Langit. Sudah beberapa hari ini aku melihatmu
berada di sekitar padepokan," ujar Eyang
Palandara.
"Aku ingin tahu alasanmu berbuat semua ini
padaku, Eyang Palandara!" agak ketus nada suara
Pinanti.
"Agar kau tidak bersusah payah
menyelidikinya," jawab Eyang Palandara kalem.
'Itu bukan jawaban yang kuinginkan, Eyang."
'Tapi itulah jawabannya."
"Kau pasti tidak akan berbuat begini jika
bukan aku yang melakukannya, bukan?" selidik
Pinanti curiga.
'Tentu," sahut Eyang Palandara seraya
mengangkat alisnya.
"Kenapa?" desak Pinanti.
"Karena kau murid termuda dari si Anggrek
Jingga," sahut Eyang Palandara tetap tenang.
"Maaf! Aku tidak ada waktu untuk bermain-
main, Eyang!" dengus Pinanti gusar. Dia bergegas
bangkit berdiri.
'Tunggu dulu, Pinanti. Duduklah...," cegah
Eyang
Palandara cepat.
"Kau tidak bisa seenaknya mempermainkan
aku, Eyang!" rungut Pinanti tidak senang.
"Duduklah dulu, nanti akan kujelaskan
semuanya," bujuk Eyang Palandara.
"Untuk sekali ini, Eyang .Sekali lagi kau
mempermainkan aku, pertarungan menjadi
keputusanku yang terakhir. Aku tidak peduli
kalau saat ini berada di tempatmu dan dikelilingi
murid-muridmu yang setiap saat bisa
merajamku!" suara Pinanti terdengar bersungguh-
sungguh.
"Tidak akan terjadi pertarungan di sini,
Pinanti. Duduklah, tenangkan dirimu dulu."
Pinanti kembali duduk. Wajahnya memerah
dan sorot matanya tajam menusuk langsung bola
mata orang tua di depannya. Sedangkan Eyang
Palandara kelihatan tenang. Bibirnya tampak
selalu menyunggingkan senyuman lebar.
"Pinanti, apakah kau pernah berpikir tentang
dirimu sendiri? Tentang siapa, dan dari mana
asalmu?" tanya Eyang Palandara, nada suaranya
terdengar sungguh-sungguh.
"Untuk apa kau tanyakan itu?" dengus Pinanti
kurang senang. Tapi keningnya terlihat berkerut
juga.
Pinanti memang mengakui bahwa selama ini
tidak pernah terpikirkan tentang dirinya sendiri.
Bahkan tidak pernah mau tahu, darimana
asalnya, dan siapa dirinya sebenarnya. Yang
diketahui, dirinya berada di sebuah tempat
bersama wanita-wanita dan harus patuh pada
seorang wanita cantik Kandita yang menjadi
gurunya.
"Sebenarnya kesempatan seperti ini sudah
kunantikan. Aku sendiri tidak mengerti tujuan
Kandita yang memberimu tugas untuk
menyelidiki aku, kekuatan Padepokan Sangga
Langit ini," sahut Eyang Palandara agak
mendesah.
'Tampaknya kau sudah cukup banyak
mengetahui tentang Anggrek Jingga, Eyang
Palandara," dengus Pinanti.
"Lebih dari yang kau ketahui," sahut Eyang
Palandara.
Pinanti tidak bisa lagi menyembunyikan keter-
kejutannya. Sungguh tidak disangka kalau laki-
laki tua ini mengetahui banyak tentang Anggrek
Jingga. Bahkan mengakui lebih dari yang
diketahuinya sendiri selama ini.
"Yaaah.... Aku sendiri tidak tahu, ilmu apa
yang digunakan Kandita sehingga kau melupakan
dirimu sendiri...," ujar Eyang Palandara terdengar
mengeluh.
"Eyang, apa sebenarnya yang hendak kau
bicarakan?" Pinanti jadi tidak mengerti.
"Yang kuinginkan hanyalah agar kau
mengetahui siapa dirimu sebenarnya, Pinanti,"
sahut Eyang Palandara.
"Aku...?!" Pinanti tersedak.
Gadis itu tampak bingung, terlebih lagi begitu
melihat bola mata Eyang Palandara berkaca-kaca.
Bibir yang hampir tertutup kumis, tampak
bergetar, seperti hendak mengucapkan sesuatu.
Tapi, tak ada satu suara pun yang keluar dari
bibirnya itu. Entah Kanapa, tiba-tiba saja Pinanti
merasakan ada sesuatu yang tersembunyi pada
diri EyangPalandara.
"Kau jangan coba-coba mempengaruhiku,
Eyang.
Aku tahu siapa diriku. Dan kau tidak bisa berbuat
licik
padaku," tegas Pinanti ketus.
"Pinanti! Dengar dulu..., Anakku...."
"Cukup!" sentak Pinanti langsung bangkit
berdiri. Gadis cantik itu cepat berbalik dan
melangkah ke luar. Eyang Palandara buru-buru
bangkit dan mengejar.
"Pinanti, tunggu...!"
Tapi Pinanti terus berjalan cepat Beberapa
murid Padepokan Sangga Langit memandangi
disertai sinar mata penuh kecurigaan. Tapi gadis itu
diam saja tidak peduli. Dia terus berjalan cepat
melintasi halaman berumput yang cukup luas.
Segera dilentingkan tubuhnya melompati pintu
gerbang. Cepat dan ringan sekali gerakannya, dan
sebentar saja sudah lenyap di balik benteng
padepokan ini
Sementara Eyang Palandara hanya bisa
terpaku memandangi dari ambang pintu
bangunan besar padepokan itu. Dia tidak
mencoba mengejar, dan hanya memandang
dengan mata berkaca-kaca. Pelahan dibalikkan
tubuhnya, laki melangkah masuk kembali.
Beberapa muridnya hanya memandangi disertai
berbagai macam pertanyaan.
Pinanti memacu cepat kudanya menyusuri
Lereng Gunung Waru. Raut wajahnya kelihatan
tegang. Kudanya digebah bagai dikejar setan saja.
Padahal kuda putih itu telah mendengus-dengus
kelelahan. Namun Pinanti tidak peduli. Sudah
cukup jauh Padepokan Sangga Langit
ditinggalkannya, tapi kecepatan kudanya belum
juga dikendorkan.
"Yeaaah! Hiyaaa...!"
Pinanti semakin mempercepat lari kudanya,
namun tiba-tiba saja kuda itu meringkik keras
dan berhenti sambil mengangkat kedua kaki
depannya tinggi tinggi. Pinanti terkejut, dan buru-
buru menarik kekang kudanya, mencoba
mengendalikan kuda putih yang mendadak jadi
liar ini.
Dan belum juga gadis itu bisa menguasai
kudanya yang jadi liar, tiba-tiba terlihat secercah
cahaya keperakan meluruk deras ke arahnya.
Sejenak gadis itu terkesiap, lalu cepat
melentingkan tubuhnya ke udara. Kuda putih itu
terlonjak, langsung berlari cepat. Pinanti berkelit
dengan berputaran dua kali di udara, maka
cahaya keperakan itu lewat sedikit di bawah
telapak kakinya. Dengan gerakan yang manis,
didaratkan kakinya di tanah.
"Ha ha ha...!"
"Hm...," Pinanti menggumam kecil ketika tiba-
tiba terdengar suara tawa menggelegar.
Gadis itu melirik ke arah datangnya suara
tawa itu, tapi mendadak jadi kebingungan.
Ternyata suara tawa itu arah datangnya
berpindah-pindah. Pinanti melayangkan
pandangannya ke arah lesatan cahaya keperakan
tadi Pandangannya tertumbuk pada sebatang
pohon yang hangus. Pada batang pohon itu ter-
tancap sebuah benda bulat pipih yang sisinya
bergerigi berwarna keperakan.
"Kakek Iblis Perak...," desis Pinanti, agak
bergetarnada suaranya.
"Hehehe...!"
Pinanti langsung memalingkan mukanya ke
depan begitu mendengar tawa terkekeh. Entah
dari mana datangnya, tahu-tahu di depan gadis
itu sudah berdiri seorang laki-laki tua bertubuh
kurus dan berambut putih bagai perak. Dia
mengenakan jubah panjang juga berwarna perak.
Tak ada senjata yang tergenggam. Laki-laki tua
yang dikenal Pinanti berjuluk Kakek Iblis Perak itu
memang tidak menggunakan senjata selain
bintang-bintang bulat bergerigi berwarna perak.
Namun di balik jubahnya tersimpan sebuah
senjata bulat pipih berwarna perak yang seluruh
sisinya bergerigi. Senjata itu berlubang pada
bagian tengahnya. Memang, senjata Kakek Iblis
Perak itu sangat ditakuti kalangan rimba
persilatan.
"He he he.... Kau masih mengenalku, Pinanti?"
serak suara Kakek Iblis Perak itu
"Mengapa kau mencegatku di sini?" dengus Pi-
nanti.
Tentu saja Pinanti ingat betul pada laki-laki
tua serba perak ini. Mereka pernah satu kali
bentrok. Saat itu Pinanti bersama ketiga teman
dan gurunya, sehingga Kakek Iblis Perak tidak
mampu menghadapinya. Laki-laki tua itu kabur
sebelum menjadi lebih parah keadaannya dalam
menghadapi lima wanita cantik yang berjuluk
Anggrek Jingga. Dan kini dia muncul
menghadang salah seorang dari Anggrek Jingga,
nanti sudah bisa menduga apa maksudnya. Pasti
dendam! Dan gadis itu sadar kalau dirinya
mungkin menghadapi Kakek Iblis Perak sendirian.
"He he he.... Sebenarnya aku ingin
membunuhmu, Pinanti. Tapi ternyata ada yang
lebih dari keinginanku," ujar Kakek Iblis Perak
dengan suaranya yang serak dan kering.
"Apa keinginanmu, Iblis Perak?" dengus
Pinanti
"Aku lihat kau tadi keluar dari Padepokan
Sangga Langit He he he...," Kakek Iblis Perak
terkekeh serayal melangkah mendekati gadis itu.
Pinanti mengerutkan keningnya. Pikirannya
menduga-duga, apa yang diinginkan Kakek Iblis
Perak ini sebenarnya. Dia juga sedikit terkejut,
karena laki-laki tua itu mengetahui kalau dirinya
baru saja dari Padepokan Sangga Langit
"Pinanti, aku tahu kalau gurumu ingin
melenyapkan si tua Palandara. Dan itu
merupakan keinginanku yang sudah lama
terpendam. Si tua keparat itu memang harus
mampus, agar semua perbuatan kita tidak ada
lagi yang menghalangi. Dan kita bisa menguasai
seluruh daerah di sekitar Gunung Waru ini He he
he...," ujar Kakek Iblis Perak diiringi tawanya yang
terkekeh.
"Aku tidak mengerti maksudmu, Iblis Perak."
"He he he.... Kau akan mengerti jika kau
mempertemukan aku dengan gurumu, Pinanti."
"Huh! Tadi Eyang Palandara bermaksud
mempengaruhiku, sekarang kau juga ingin
membujukku!" dengus Pinanti.
"Jangan salah duga, Pinanti. Aku tidak akan
memperpanjang persoalan lama. Bahkan sudah
lama kulupakan," kata Kakek Iblis Perak mencoba
membuat gadis itu mengerti.
"Katakan saja terus terang, untuk apa kau
inginbertemu guruku?"
Belum juga Kakek Iblis Perak menjawab perta-
nyaan Pinanti, tiba-tiba terdengar derap langkah
kaki kuda. Mereka sama-sama berpaling ke arah
datangnya suara kuda itu. Dan tak berapa lama
kemudian, muncul empat ekor kuda yang
ditunggangi gadis-gadis cantik berpakaian aneka
warna.
Baik Kakek Iblis Perak maupun Pinanti
mengenali, siapa empat wanita cantik yang
menunggang kuda itu. Mereka adalah Kandita
dan ketiga muridnya, yang kemudian langsung
berlompatan turun begitu dekat
"Orang tua iblis...! Apa yang kau lakukan pada
muridku?" bentak Kandita berang.
"Aku..., aku...," Kakek Iblis Perak jadi tergagap
mendengar bentakan keras itu.
Dan sebelum laki-laki tua itu sempat
menjelaskan, Kandita sudah mengegoskan
kepalanya memberi isyarat Seketika itu juga Ranti
dan Dewi berlompatan cepat sambil mencabut
pedangnya. Kedua gadis itu langsung menyerang
ganas si Kakek Iblis Perak.
"He, tunggu...!" sentak Kakek Iblis Perak.
"Kali ini kau harus mampus, tua bangka
keparat! Hiyaaa...!" teriak Dewi lantang.
"Yeaaah...!" "Hup!"
Trang!
Serangan-serangan yang dilancarkan kedua
gadis itu sungguh dahsyat dan berbahaya sekali.
Maka Kakek Iblis Perak tidak punya pilihan lain
lagi Dikeluarkan senjata anehnya dari balik
jubahnya yang panjang. Sebuah senjata seperti
tameng berbentuk bulat pipih yang sisinya
bergerigi tajam. Dia memegang pada bagian
tengahnya yang berlubang dengan bagian
pegangan melintang di tengah-tengah lingkaran
lubang
Dengan senjata maut di tangan, Kakek Iblis
Perak memang sukar ditaklukkan. Beberapa kali
kelebatan pedang Dewi maupun Ranti berhasil
ditangkis. Dan setiap kali senjata mereka
berbenturan, terlihat kemampuan tenaga dalam
yang dimiliki kedua gadis itu masih berada di
bawah si Kakek Iblis Perak.
"Mundur kalian...! Hiyaaat..!"
Melihat kedua muridnya kewalahan, Kandita
langsung berteriak lantang seraya melompat
menerjang menggantikan kedua gadis itu.
Terjunnya Kandita membuat Kakek Iblis Perak
jadi gelagapan. Dia tahu betul kalau
kemampuannya masih di bawah wanita cantik
ini.
"Kandita, tunggu! Akan kujelaskan...!" seru
Kakek Iblis Perak sambil berkelit menghindari
pukulan si Anggrek Jingga itu.
"Tidak ada lagi penjelasan bagimu, tua
bangka keparat! Hiyaaa!" Kandita rupanya tidak
mau kompromi lagi.
Kandita terus menyerang dengan jurus-jurus
dahsyat dan cepat luar biasa. Hal ini membuat
Kakek Iblis Perak jadi kelabakan setengah mati,
dan sekuat tenaga berusaha menghindar.
Dicobanya untuk menggunakan senjatanya. Tapi
setiap kali menggunakan senjata berbentuk aneh
itu, Kandita langsung cepat dapat meredamnya.
Hal ini membuat Kakek Iblis Perak semakin
kelabakan
Kakek Iblis Perak mengakui dalam hati kalau
Kandita mengalami kemajuan yang pesat sekali.
Jurus-jurusnya semakin mantap dan dahsyat.
Belum lagi angin sambaran pukulannya sangat
luar biasa. Jika lawan yang dihadapi hanya
memiliki ilmu tenaga dalam tanggung, dapat
dipastikan tidak akan mampu bertahan walau
hanya terkena sambaran angin pukulannya saja.
Laki-laki tua itu saja selalu limbung manakala
berhasil menghindari pukulan Kandita. Disadari
kalau tenaga dalamnya masih satu tingkat di
bawah si Anggrek Jingga ini. Kakek Iblis Perak
memutar otaknya agar bisa lolos dari pertarungan
ini. Dia yakin, Kandita tidak akan mungkin diajak
kompromi lagi.
"Hiyaaa...!"
Kakek Iblis Perak langsung melesat ke atas
ketika kaki Kandita melayangkan satu sampokan
melingkar ke arah kaki Dan kesempatan ini tidak
disia-siakan Kakek Iblis Perak. Cepat dia melesat
hendak kabur. Namun sungguh sukar diduga!
Belum juga niatnya berhasil, Kandita sudah cepat
mengecutkan tangan kanannya.
Wut!
"Ikh...!" Kakek Iblis Perak tersentak kaget
Cepat dikibaskan senjatanya ketika sekuntum bu
nga anggrek jingga meluruk deras ke arahnya.
Dua senjata seketika beradu keras, menimbulkan
percika api ke segala arah. Kakek Iblis Perak yang
berada di udara, jadi kehilangan keseimbangan.
Dia terpental jatuh dan bergulingan di tanah.
"Yeaaah...!" '
Secepat kilat Kandita melompat sambil
mencabut pedangnya. Pedang berwarna putih
keperakan itu berkelebat cepat mengarah ke leher
si Kakek Iblis Perak
"Jangan...!" tiba-tiba Pinanti berteriak lantang.
Seketika ayunan pedang si Anggrek Jingga
terhenti di udara. Wanita berbaju merah itu
melompat mundur, dan langsung menatap
Pinanti yang bergegas menghampiri si Kakek Iblis
Perak. Gadis itu membantu Kakek Iblis Perak
berdiri. Tampak darah menetes ke luar dari sudut
bibirnya. Beradunya senjata tadi memang
sungguh dahsyat, karena masing-masing mem-
pergunakan kekuatan tenaga dalam. Sehingga,
kekuatan tenaga dalam Kakek Iblis Perak yang
satu tingkat di bawah si Anggrek Jingga,
menjadikan bagian dalam tubuhnya sedikit
terguncang
"Pinanti, apa-apaan kau ini...?!" bentak
Kandita gusar.
"Nini Guru, mohon sarungkan kembali
pedangnya," pinta Pinanti.
"Pinanti...?!"
"Aku mohon, Nini Guru. Semua ini hanya
salah paham saja. Sungguh, hanya salah
paham...," Pinanti mencoba meminta pengertian
gurunya.
Kandita memandangi Pinanti dalam-dalam.
Sungguh tidak dimengerti sikap murid yang
termuda ini, tapi disarungkan juga pedangnya ke
dalam warangkanya di pinggang. Sedangkan
ketiga gadis lainnya yang berada di belakang
Kandita juga menyarungkan pedangnya.
"Jelaskan, Pinanti. Aku tidak ada waktu
untuk bermain-main," pinta Kandita tegas.
"Baik, Nini Guru...."
***
ENAM
Kandita menatap dalam-dalam Kakek Iblis
Perak. Sinar matanya begitu tajam, seakan-akan
tidak percaya meskipun Pinanti sudah
menjelaskan semuanya dengan gamblang.
Bahkan Kakek Iblis Perak sendiri membenarkan
dan mengutarakan niatnya untuk bergabung
menghancurkan Padepokan Sangga Langit
"Bisa kupercaya kata-katamu, Iblis Perak...?!"
desis Kandita bernada tidak percaya.
"Leherku jaminannya, Kandita," sahut Kakek
Iblis Perak tegas. "Setelah semua ini selesai, di
antara kita tidak ada lagi perselisihan. Bahkan
akan saling bantu dalam segala hal."
"Hm.... Kenapa kau berubah begitu cepat Iblis
Perak?" ada nada kecurigaan pada suara Kandita.
"Setiap orang bisa berubah dengan
sendirinya, Kandita. Dan kusadari kalau
sebenarnya tujuan kita sama. Tidak ada ruginya
jika bergabung demi tercapai apa yang kita
inginkan. Bukan begitu, Pinanti?" Kakek Iblis
Perak meminta pendapat Pinanti.
Pinanti tidak menjawab, dan hanya
mengangkat bahunya saja.
"Baiklah, aku terima. Tapi jika kau berani
berbuat macam-macam, aku tidak segan-segan
memenggal kepalamu. Ingat itu, Iblis Perak!" tajam
sekali nada suara Kandita.
"He he he.... Kau tidak perlu meragukan aku,
Kandita
Kandita menyuruh keempat muridnya naik ke
punggung kuda. Sementara Pinanti jadi
kebingungan, karena tidak lagi memiliki kuda.
"Kau denganku, Pinanti," kata Ranti.
Pinanti langsung melompat naik ke belakang
Ranti. Sedangkan tinggal Kakek Iblis Perak yang
kebingungan, karena tidak mungkin mengikuti
keempat wanita itu hanya dengan jalan kaki. Dan
rupanya kebingungan Kakek Iblis Perak diketahui
Kandita.
"Kau bisa menyusul kami, Iblis Perak.
Datanglah ke Candi Laksa. Di sanalah kami
tinggal untuk sementara," kata Kandita.
"Candi Laksa...?!" Kakek Iblis Perak terlongong.
"Kenapa?"
"Bukankah Candi Laksa tempat tinggal Eyang
Binarong?"
"Tidak lagi, Iblis Perak. Sudah beberapa hari
ini dia berada di neraka," tenang sekali jawaban
Kandita.
"Ah, kau...?!" Kakek Iblis Perak semakin
terbeliak. Kandita tertawa renyah. Dihentakkan
tali kekang kudanya, maka murid-muridnya pun
mengikutinya. Tinggal Kakek Iblis Perak masih
terlongong. Mulutnya ternganga lebar dan
matanya mendelik tidak percaya dengan apa yang
barusan didengarnya. Sementara si Anggrek
Jingga bersama murid-muridnya sudah jauh
meninggalkan tempat itu.
"Ah, benarkah Eyang Binarong dapat
dikalahkannya...?" Kakek Iblis Perak bertanya-
tanya sendiri.
Laki-laki tua itu menggeleng-gelengkan
kepalanya, karena masih belum yakin kalau si
Anggrek Jingga bisa mengalahkan Eyang
Binarong. Bahkan sekarang' menguasai Candi
Laksa, sebuah tempat yang dikeramatkan dan
disucikan oleh semua orang yang tinggal di sekitar
Gunung Waru ini.
Candi Laksa merupakan tempat pemujaan
bagi dewata. Tempat suci yang tidak sembarang
orang bisa menginjakkan kaki di dalamnya. Tapi
sekarang, Kandita yang dikenal berjuluk si
Anggrek Jingga sudah menguasainya. Kakek Iblis
Perak sukar untuk mempercayainya, karena tahu
betul kalau Eyang Binarong memiliki tingkat
kepandaian tinggi sekali. Bahkan sukar dicari
tandingannya, sehingga Eyang Palandara sendiri
belum tentu bisa menaklukkannya.
"Aku harus membuktikannya!" dengus Kakek
Iblis Perak jadi penasaran. "Bagaimana mungkin
dia bisa menaklukkan Eyang Binarong secepat
ini..? Sungguh mengagumkan kalau sampai hal
itu menjadi kenyataan. Seluruh rimba persilatan
pasti akan gempar!"
Kakek Iblis Perak bergegas berlari cepat
mempergunakan ilmu meringankan tubuh.
Begitu cepatnya, sehingga dalam waktu sebentar
saja bayangan tubuh laki-laki tua itu sudah
lenyap ditelan lebatnya pepohonanSaat itu terlihat
sepasang mata mengawasi dari balik gerumbul
semak.
Pemilik mata itu keluar dari tempat
persembunyiannya. Dipandanginya arah
kepergian si Kakek Iblis Perak sebentar, kemudian
langsung berlari ke arah yang berlawanan.
Tujuannya jelas, ke Padepokan Sangga Langit.
***
Brak!
"Mustahil...!" desis Eyang Palandara
menggeram.
Meja kayu jati tebal di sampingnya terbelah
jadi dua terhantam kepalan tangan laki-laki tua
itu. Wajahnya terlihat memerah pertanda sedang
menahan kemarahan yang amat sangat Namun
sinar matanya memancarkan ketidakpercayaan
dengan apa yang baru saja didengarnya.
"Apa kau tidak salah dengar, Odang?" agak
dalam nada suara Eyang Palandara. Tatapannya
lurus pada seorang laki-laki muda berusia sekitar
dua puluh satu tahun.
"Tidak, Eyang. Aku mendengar sendiri," sahut
pemuda yang dipanggil Odang itu. Eyang
Palandara terdiam.
"Si Anggrek Jingga mengatakan kalau Candi
Laksa sekarang sudah dikuasainya. Bahkan telah
membunuh Eyang Binarong. Jelas sekali aku
mendengarnya, Eyang. Aku bersembunyi di
dalam semak, tidak jauh jaraknya," sambung
Odang.
"Mustahil Eyang Binarong dapat ditaklukkan
perempuan iblis itu," desis Eyang Palandara tidak
percaya.
"Eyang, sebaiknya kita periksa saja dulu kebe-
narannya," usul Odang.
"Baiklah. Kau bawa beberapa temanmu, dan
pergi ke Candi Laksa. Segera kabarkan apa saja
yang kau ketahui di sana padaku," perintah
Eyang Palandara.
"Segera, Eyang."
Odang bergegas meninggalkan ruangan itu.
Sementara Eyang Palandara berjalan mondar-
mancfir, dan wajahnya tampak muram. Memang,
masih belum bisa dipercayai kalau Eyang
Binarong bisa dikalahkan si Anggrek Jingga.
Semua orang tahu, siapa Eyang Binarong itu.
Seorang pertapa yang sangat sakti seperti dewa.
Sukar diukur tingkat kepandaiannya. Pendeknya,
Eyang Binarong bagaikan manusia setengah de-
wa!
Saat itu seorang murid Padepokan Sangga
Langit ini masuk. Eyang Palandara berbalik.
Murid yang berusia muda itu membungkuk
memberihormat.
"Ada apa?" tanya Eyang Palandara.
"Ki Dampil ingin bertemu, Eyang," ujar
pemuda itu penuh rasa hormat.
'Persilakan masuk."
"Segera, Eyang."
Pemuda itu bergegas keluar, dan tak lama
kemudian datang lagi bersama seorang laki-laki
tua. Seorang Pemuka Desa Coket yang sudah
dikenal baik oleh semua murid Padepokan
Sangga Langit ini. Eyang Palandara
menggerakkan tangannya sedikit, maka pemuda
itu menjura memberi hormat lalu keluar dari
ruangan itu.
Eyang Palandara mempersilakan tamunya
duduk. Ki Dampil mengambil tempat, duduk di
lantai beralaskan permadani tebal. Sedangkan
Eyang Palandara duduk bersila di depannya.
Ruangan ini memang tidak memiliki
perlengkapan meja atau kursi. Bahkan seluruh
ruangan di dalam bangunan besar padepokan ini
tidak memiliki perabotan. Hanya beberapa lemari
yang menyimpan peralatan serta pakaian saja
yang terlihat.
'Tampaknya ada sesuatu yang penting,
sehingga jauh-jauh datang ke sini, Ki Dampil,"
ujar Eyang Palandara ramah.
"Benar, Eyang. Aku ingin menanyakan
apakah ada seorang pemuda berbaju kulit
harimau datang ke sini?" Ki Dampil langsung
menuju pokok pembicaraan.
"Pemuda berbaju kulit harimau...?" Eyang
Palandara mengerutkan keningnya.
"Benar, Eyang. Namanya Bayu."
"Tidak...," sahut Eyang Palandara heran.
'Tidak...?! Padahal sudah tiga hari dia pergi.
Dan katanya, hendak ke sini menemuimu,
Eyang."
'Tunggu dulu, Ki. Siapa pemuda yang kau
maksudkan? Rasanya namanya pernah
kudengar...."
"Bayu! Dia seorang pengembara, Eyang. Dan
telah menyelamatkan nya...."
"Sebentar!" potong Eyang Palandara cepat.
"Kau tadi bilang pemuda itu mengenakan baju
kulit harimau...?"
"Benar, Eyang. Ada apa...?" sekarang malah
terbalik, Ki Dampil yang keheranan.
"Apakah tangannya memakai gelang dari kulit
harimau juga, dan di pergelangan tangannya ada
sebuah benda berbentuk cakra?"
"Tidak salah, Eyang."
"Pendekar Pulau Neraka...," desis Eyang
Palandara.
"Eyang mengenalnya? Kalau begitu dia sudah
sampai di sini?" kejar Ki Dampil.
"Tidak. Dia tidak ke sini. Tapi aku memang
pernah mendengar namanya. Seorang pendekar
digdaya yang sukar dicari tandingannya saat ini.
Tingkat kepandaiannya sukar diukur. Hm.... Kau
bilang dia akan ke sini? Untuk apa...?"
"Aku yang memintanya ke sini, Eyang. Untuk
mengetahui apakah Ki Sampar datang ke sini
atau tidak," sahut Ki Dampil.
"Heh...?! Kau datang membawa berita apa lagi
ini..?" sentak Eyang Palandara terkejut.
Saat itu Ki Dampil jadi tertegun. Sungguh
tidak disangka kalau Eyang Palandara begitu
terkejut . Padahal belum begitu jelas
mengutarakan maksudnya. Tapi nurani laki-laki
tua itu sudah bisa merasakan, berita apa yang
dibawa Ki Dampil.
"Eyang, sudah lebih dari satu pekan Ki
Sampar pergi meninggalkan Desa Coket. Sudah
setiap tempat yang biasa dikunjungi didatangi,
tapi tidak juga ditemukan," jelas Ki Dampil.
"Kebetulan ada Bayu, yang bersedia mencari
ke sini. Tapi setelah beberapa hari ditunggu-
tunggu, pemuda itu tidak juga kembali. Itu
sebabnya kususul sampai ke sini, sambil mencari
barangkali bertemu Ki Sampar."
"Hhh...! Apa lagi yang diperbuat Ki Sampar...?"
keluh Eyang Palandara.
"Itulah yang membuatku tidak habis mengerti,
Eyang. Sudah semua tempat dijelajahi, tapi Ki
Sampar seperti lenyap ditelan bumi"
"Dan sekarang kau juga kehilangan pemuda
itu?"
"Benar, Eyang. Padahal dia sangat
kuharapkan, dan sudah berjanji hendak
membantu seluruh warga desa untuk
menyelesaikan kemelut ini Eyang, sebagian warga
desa sudah pindah mencari tempat yang aman,
karena selama ini tersebar desas-desus kalau si
Anggrek Jingga akan membumihanguskan Desa
Coket"
"Itu berita bohong, Ki Dampil. Dia sengaja me-
mancing agar aku keluar!" sentak Eyang
Palandara.
"Oh...!" Ki Dampil mengeluh memandangi
Ketua Padepokan Sangga Langit itu dalam-dalam.
"Ah! Ini persoalan lama, Ki Dampil. Dan
bukannya aku tidak berani menghadapi
perempuan iblis itu. Tapi yang kupikirkan adalah
nasib dan kelangsungan Padepokan Sangga
Langit ini. Meskipun...," Eyang Palandara tidak
melanjutkan. Digeleng gelengkan kepalanya.
Wajahnya tampak murung seperti terselimut
kabut
Ki Dampil memandangi dalam-dalam. Sulit
dimengerti, apa sebenarnya yang sedang terjadi.
Sejak Santika didapati telah tewas, kemudian
menghilangnya Ki Sampar, dan sekarang
disusul tersebarnya desas-desus kalau si
Anggrek Jingga hendak membumihanguskan
seluruh Desa Coket, semua kejadian itu belum
bisa dipikirkan dan dimengerti. Terlalu pelik bagi
otak tuanya untuk bisa cepat memahami.
Sekarang Ki Dampil dihadapkan pada satu
teka-teki lagi. Sungguh tidak diketahui kalau
Eyang Palandara sebenarnya sudah
mengetahui tentang si Anggrek Jingga itu. Dan
sama sekali tidak disangka, kalau kemunculan
si Anggrek Jingga ada hubungannya dengan
Padepokan Sangga Langit, terutama Eyang
Palandara sendiri.
"Ki Dampil, apakah kau sudah mencari ke
Candi Laksa?" tanya Eyang Palandara setelah
beberapa saat terdiam.
"Belum," sahut Ki Dampil.
"Tapi..., rasanya tidak mungkin Ki Sampar
datang ke sana. Sudah dua tahun ini candi itu
tidak pernah dikunjungi lagi, Eyang."
"Aku yakin, dia pasti menemui Eyang
Binarong Dan...."
Eyang Palandara tersentak, dan baru teringat
kalau baru saja menerima laporan kalau Candi
Laksa kini dikuasai si Anggrek Jingga. Kalau
memang hal itu benar, sudah tentu Ki Sampar
berada di tangan mereka. Eyang Palandara yakin
betul kalau Ki Sampar pasti pergi ke Candi Laksa
jika sedang menghadapi sesuatu yang tidak bisa
diatasinya sendiri.
Antara Eyang Binarong dengan Ki Sampar
terjalin hubungan sangat erat. Memang, Ki
Sampar adalah murid pertapa sakti itu. Eyang
Palandara sungguh tidak menyangka. Dan kini
pikirannya baru bisa terbuka. Dia tahu mengapa
Anggrek Jingga membunuh Santika. Jelas ini
karena Santika adalah putra Ki Sampar. Dan
pemuda itu berguru kepada Eyang Palandara di
Padepokan Sangga Langit. Sementara Ki Sampar
sendiri murid Ki Binarong. Sedangkan antara
Eyang Palandara dengan Eyang Binarong adalah
kakak adik. Dan si Anggrek Jingga adalah musuh
besar Padepokan Sangga Langit. Jadi tidak
mustahil kalau....
"Oh, tidak...!" sentak Eyang Palandara seraya
menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Eyang, ada apa?" Ki Dampil terkejut Eyang
Palandara tidak menyahut tapi malah segera
berdiri dan melangkah cepat keluar dari ruangan
ini. Ki Dampil jadi kebingungan. Bergegas diikuti
dan dikejarnya Ketua Padepokan Sangga
Langit itu. "Eyang, tunggu! Ada apa ini...?" seru Ki
Dampil. Tapi Eyang Palandara terus berjalan cepat
ke luar.
***
Sementara itu, Odang dan empat orang
temannya sudah sampai di pelataran Candi
Laksa. Mereka terkejut begitu melihat Ki Sampar
duduk bersimpuh di depan pintu candi itu.
Pakaiannya kotor tak terurus, seperti sudah
beberapa hari duduk di situ. Bergegas Odang
menghampiri. Namun belum juga mendekat
mendadak saja dari atas bangunan candi itu
bertebaran bunga-bunga anggrek berwarna
Jingga.
"Awas...!" seru Odang sambil mencabut
pedangnya.
Tring!
Trang!
Empat orang yang berada di belakang Odang
juga segera cepat bertindak. Mereka memutar
pedang bagaikan kilat sambil berlompatan
menghindari serbuan anggrek-anggrek Jingga
yang bertebaran di sekitarnya bagai hujan.
"Akh!"
"Aaa...!"
Dua kali pekikan melengking terdengar,
disusul ambruknya dua orang teman Odang.
Tubuh mereka tertembus beberapa kuntum
bunga anggrek Jingga. Odang dan dua orang
teman lainnya tidak bisa lagi memperhatikan.
Mereka segera berlompatan mundur sambil cepat
mengibaskan pedang. Namun belum juga mereka
keluar dari jangkauan anggrek-anggrek Jingga itu,
mendadak saja....
"Aaa...!"
Kembali terdengar jeritan menyayat. Tampak
satu orang terjungkal roboh dengan dada
tertembus tiga kuntum bunga anggrek. Darah
menyemburat keluar dari dada yang berlubang
tiga. Odang langsung melentingkan tubuhnya dan
berputaran ke belakang beberapa kali di udara.
Sementara temannya yang tinggal seorang lagi
bergerak menyusul. Mereka keluar dari jangkauan
serangan anggrek Jingga itu. Seketika hujan
anggrek berhenti.
"Keparat..!" desis Odang menggeram.
"Apa yang harus kita lakukan, Kakang?"
tanya temannya.
"Tidak ada," sahut Odang.
Kedua pemuda murid Padepokan Sangga
Langit Itu memandang ke arah Candi Laksa yang
tetap berdiri anggun pada tempatnya. Sedangkan
di depan pintu candi itu Ki Sampar masih tetap
duduk bersila. Sedikit pun Kepala Desa Coket itu
tidak bergeming. Seolah-olah telinganya sudah
tertutup, meskipun tadi beberapa kali terdengar
teriakan-teriakan keras membahana di
belakangnya.
"Mereka benar-benar sudah menguasai Candi
Laksa ini," dengus Odang.
"Kakang, sebaiknya kita kembali saja.
Laporkan semua ini pada Eyang Guru," usul
temannya.
"Benar. Kau saja yang kembali Aku menunggu
di sini," sahut Odang. 'Tapi, Kakang...."
"Tidak ada waktu untuk berdebat! Cepatlah,
sebelum mereka membunuh kita semua di sini!"
bentak Odang.
"Baik, Kakang."
Bergegas pemuda murid Padepokan Sangga
Langit itu melompat naik ke punggung kudanya,
dan secepat itu pula digebah kudanya. Kuda coklat
itu berpacu cepat meninggalkan pelataran Candi
Laksa. Sementara Odang berdiri tegak
memandangi sekitarnya. Pandangannya langsung
terpaku ketika dari da dalam candi melesat
sebuah bayangan biru. Dan saat itu juga di depan
Odang sudah berdiri seorang gadis cantik
mengenakan baju biru ketat, sehingga
membentuk tubuhnya yang ramping dan
menggairahkan.
Namun Odang tidak sempat berpikir untuk
merayapi tubuh dan wajah menggairahkan itu,
karena telah tahu siapa gadis di depannya ini. Dia
itu salah seorang dari si Anggrek Jingga yang telah
menghebohkan dan menimbulkan banyak
korban nyawa. Gadis berbaju biru itu memang
Ranti, murid tertua si Anggrek Jingga.
"Kenapa kau tidak pergi saja sekalian? Di sini
bukan tempatmu lagi!" terdengar dingin nada
suara Ranti.
"Kau yang seharusnya pergi, perempuan
iblis!" bentak Odang sengit.
"Hhh! Kau tampan, tapi bicaramu sungguh
menyakitkan. Apa yang kau andalkan, heh?!"
geram Ranti memerah mukanya.
"Ini!" Odang menghunus pedangnya ke
depan, langsung ditujukan ke wajah Ranti.
Gadis berbaju biru itu tertawa renyah,
memperlihatkan baris-baris giginya yang rapi dan
indah. Odang sempat menelan ludahnya
mendengar tawa merdu dan menggairahkan itu.
Terlebih lagi pada saat tertawa, Ranti kelihatan
semakin cantik. Dada yang membusung indah itu
terguncang-guncang, membuat mata Odang
sempat terpatri pada dua tonjolan indah berkulit
putih mulus itu.
"Setan...!" Odang menggeram.
Pemuda itu mencoba melawan daya tarik
yang dimiliki gadis di depannya. Disadari kalau
gadis berbaju biru itu tidak patut dikagumi,
meskipun kecantikannya bagai bidadari yang
baru turun dari kahyangan. Odang menggeleng-
gelengkan kepalanya sambil mendesis. Tiba-tiba
dia berteriak keras melengking, langsung berlari
sambil menghunus ujung pedangnya ke arah
dada Ranti.
"Hiyaaat..!"
"Uts!"
Ranti cepat-cepat memiringkan tubuhnya ke
ka-nan. Maka pedang Odang lewat sedikit di
depan dada
gadis itu. Secepat kilat Ranti memberi satu
sodokan
tangan kiri ke arah perut. Namun Odang lebih
tangkas
lagi. Cepat-cepat ditarik tubuhnya ke belakang,
dan
pedangnya dikibaskan cepat
"Setan!" dengus Ranti.
Cepat gadis itu menarik tubuhnya ke
belakang hingga doyong, maka pedang itu lewat di
atas tubuhnya. Pada saat itu, Odang
melayangkan satu tendangan keras bertenaga
dalam cukup tinggi. Tendangan yang datang
secara tiba-tiba dan tidak terduga itu tak dapat
dihindari lagi Terlebih-lebih, posisi tubuh Ranti
memang tidak memungkinkan untuk
menghindar.
Dughk!
"Ugh...!" Ranti mengeluh pendek. Seketika
tubuh gadis itu limbung, terhuyung-huyung ke
belakang. Cepat-cepat digerak-gerakkan
tangannya, mencoba mengusir rasa mual akibat
tendangan Odang yang bersarang di perutnya.
Pada saat itu Odang sudah melompat memberi
serangan lagi. Pedangnya berkelebatan cepat
sambil berteriak keras melengking tinggi.
"Hiyaaa...!"
"Hup! Hiyaaa...!"
Cepat Ranti menggeser kakinya ke samping.
Dan sebelum ujung pedang Odang berhasil
mengenai sasaran, Ranti sudah lebih dahulu
bertindak. Dikibaskan tangannya ke arah
pergelangan tangan kanan pemuda itu.
Tak!
"Akh...!" Odang memekik tertahan. Pukulan
Ranti begitu keras, karena disertai pengerahan
tenaga dalam tinggi. Odang meringis, merasakan
pergelangan tangannya patah. Pedangnya tidak
mampu dipertahankan lagi, dan jatuh ke tanah.
Sebelum murid Padepokan Sangga Langit itu bisa
menyadari apa yang terjadi, Ranti sudah memberi
satu tendangan menggeledek ke arah dada.
"Hiyaaa...!"
Des!
"Aaakh...!"
Tubuh pemuda itu melambung tinggi ke
angkasa begitu dadanya terkena tendangan keras
bertenaga dalam tinggi Pada waktu berada di
angkasa, Ranti mengibaskan tangannya dua kali.
Seketika dua kuntum bunga anggrek berwarna
Jingga meluncur deras, langsung menghantam
dada Odang. Kembali terdengar jeritan melengking
tinggi.
"Aaakh...!"
"Ha ha ha...!"
***
TUJUH
Sementara itu, di dalam salah satu ruangan
Candi Laksa, Bayu masih terbaring tak berdaya.
Pendekar Pulau Neraka sudah mengerahkan daya
upaya untuk membebaskan diri dari pengaruh
totokan pada pusat jalan darahnya. Tapi rupanya
totokan itu begitu kuat, karena dilakukan oleh
orang yang sudah memiliki tenaga dalam pada
tingkat kesempurnaan. Bayu tidak mengira kalau
Kandita memiliki tenaga dalam yang sedemikian
tinggi.
Pendekar Pulau Neraka itu memalingkan
mukanya ketika mendengar gerit pintu terbuka.
Muncul seorang gadis berbaju putih dari balik
pintu itu, yang kemudian melangkah masuk. Dan
dengan hati-hati, ditutupnya pintu kembali. Bayu
memperhatikan gadis itu hingga sampai
mendekat.
"Mau apa kau ke sini?" tanya Bayu ketus.
"Ssst.., jangan berisik," bisik gadis itu.
"Hm.... Kau yang bernama Pinanti, bukan?"
"Iya. Aku datang untuk menolongmu," sahut
Pinanti masih berbisik.
"Menolongku...?" Bayu mengerutkan
keningnya, bingung.
"Sudah kubilang, jangan berisik! Nanti ada
yang tahu."
"Kenapa kau ingin menolongku?" tanya Bayu
berbisik suaranya.
"Karena aku tahu, kau perlu ditolong," jawab
Pinanti enteng.
"Pasti ada alasan khusus, bukan?" desak
Bayu lagi.
"Sudahlah diam, ingin bebas atau tidak?"
dengui Pinanti.
"Baik! Cepat bebaskan totokan di tubuhku."
"Di mana kau ditotok?" tanya Pinanti.
"Di sekitar dada, tiga kali banyaknya. Juga di
pangkal lengan dan paha. Tapi kau harus hati-
hati, terutama di tengah dada. Bisa-bisa kau
menghentikan jantungku," jelas Bayu seraya
memperingatkan.
'Persoalan mudah," Pinanti tersenyum.
Cepat sekali jari-jari tangan gadis itu bergerak
memberi totokan pada tempat-tempat yang
disebutkan Pendekar Pulau Neraka tadi. Bayu
agak terpekik sedikit, tapi seketika dirasakan
sekujur tubuhnya mene gang, lalu pelahan aliran
darahnya terasa kembali normal
Bayu cepat menggelinjang bangkit berdiri
begitu bisa menggerakkan jari-jari tangannya.
Namun Pinanti cepat mencekal tangan pemuda
berbaju kulit harimau itu, lalu menariknya
kembali ke pembaringan. Bayu tersentak kaget,
dan kehilangan keseimbangan tubuh. Pemuda itu
jatuh kembali ke atas pembaringan.
"He! Ap...?!"
Cepat Pinanti membekap mulut Pendekar
Pulau Neraka itu. Bayu jadi tidak mengerti akan
sikap gadis ini. Pinanti merapatkan tubuhnya ke
tubuh Bayu, seakan-akan hendak mencumbu
Pendekar Pulau Neraka. Bayu jadi menggelinjang,
namun Pinanti cepat cepat memeluk erat
tubuhnya.
"Ssst.., diam. Ada yang datang. Kau harus
pura pura masih tertotok," bisik Pinanti dekat di
telinga Bayu.
Sebelum Bayu bisa membuka suara, Pinanti
sudah menyumpal mulut pemuda itu dengan
bibirnya. Pada saat itu terdengar suara pintu
bergerit terbuka, dan muncul Kandita!
'Pinanti! Apa yang kau lakukan...?!" bentak
Kandita terkejut melihat Pinanti memeluk Bayu
dan melumat bibir pemuda itu.
"Oh...!" Pinanti tersentak, langsung melompat
bangkit dari pembaringan.
Sedangkan Bayu tetap terbaring, dan hanya
berpaling menatap Kandita yang menghampiri
Pinanti Tampak gadis itu berlutut dengan kepala
tertunduk.
"Apa yang kau lakukan, Pinanti?!" tanya
Kandita tajam.
"Aku.... Aku...," jawab Pinanti tergagap.
"O... Kau tertarik pada ketampanannya, ya...?"
terdengar sinis nada suara Kandita.
"Maaf, Nini Guru," ucap Pinanti.
"Dengar, Pinanti. Selama urusan kita belum
selesai, kau tidak berhak atasnya. Kau tahu, dia
itu milikku! Mengerti?!"
"Mengerti, Nini Guru," sahut Pinanti.
"Aku memberimu tugas untuk menjaganya,
bukan
mencumbunya!"
"Iya, Nini Guru."
"Jalankan tugasmu! Aku tidak suka lagi
melihatmu mencumbunya!"
"Baik, Nini Guru."
Kandita menatap Bayu yang masih terbaring
di pembaringan. Sementara Bayu membalas
tajam tatapan itu. Sebenarnya Pendekar Pulau
Neraka ingin menerjang wanita berhati iblis itu.
Tapi mengingat Pinanti masih ada di ruangan ini,
niatnya harus ditahan.
"Dan kau, jangan coba-coba memanfaatkan
kesempatan ini!" ancam Kandita.
Bayu hanya diam saja. Kandita membalikkan
tubuh dan melangkah ke luar. Bayu
menggelinjang bangkit, duduk di tepi
pembaringan. Sedangkan Pinanti bergegas
menghampiri pintu. Dibukanya sedikit, lalu diintip
keluar dan ditutup lagi. Dia berbalik memandang
Bayu yang duduk di tepi pembaringan. Pendekar
Pulau Neraka itu juga memandangi gadis yang
sedang melangkah menghampirinya. Sesaat
mereka saling melempar pandang. Pelahan
Pinanti menundukkan kepalanya. Bayu bangkit
berdiri dan mengangkat kepala gadis itu.
"Kenapa kau lakukan ini padaku, Pinanti?"
tanya Bayu"Kau bisa celaka nanti."
"Aku harus melakukannya. Aku tahu, hanya
kaulah yang mampu mengalahkannya," sahut
Pinanti lirih.
"Kau muridnya, kenapa ingin melenyapkan
gurumu sendiri?" tanya Bayu tidak mengerti.
"Kau tidak mengerti, Bayu. Terlalu sulit untuk
menjelaskannya. Ini kulakukan karena terpaksa.
Aku ingin dia lenyap selama-lamanya, tapi aku
tidak punya daya sama sekali. Juga...," Pinanti
menghentikan ucapannya.
"Teruskan, Pinanti," pinta Bayu.
"Kau harus cepat keluar dari sini, Bayu. Dia
akan membunuhmu kelak," jelas Pinanti cepat
"Kau belum menjelaskan semuanya, Pinanti,"
desak Bayu.
'Tidak ada waktu lagi, Bayu. Cepatlah keluar.
Sebentar lagi Candi Laksa ini akan digenangi
darah. Kau harus membantu mereka
menghadapi si Anggrek Jingga. Aku tidak ingin
tempat suci ini banjir darah. Cepatlah keluar,
cegah pertumpahan darah itu," Pinanti memohon
penuh harap.
"Aku tidak mengerti apa yang kau
maksudkan, Pinanti," ujar Bayu.
"Tidak ada waktu lagi, Bayu. Cepatlah! Tidak
lama lagi pasti ada yang menggantikanku. Aku
yakin itu. Cepat pergi...."
Bayu jadi ragu-ragu. "Bagaimana denganmu
sendiri?"
"Kau bisa menotok jalan darah, bukan?"
"Aku tidak mengerti maksudmu, Pinanti."
"Lakukan, Bayu."
"Pinanti...."
"Lakukan, kataku! Apa tidak kau dengar ada
langkah kaki menghampiri? Cepat! Atau kita
berdua akan mati di sini...!" desak Pinanti.
Bayu benar-benar tidak bisa memahami
maksud gadis ini. Tapi telinganya memang
mendengar langkah kaki halus mendekati
ruangan ini. Cepat Bayu menggerakkan jari-jari
tangannya ke tubuh Pinanti, dan seketika itu juga
Pinanti roboh lunglai ke lantai. Secepat kilat Bayu
melompat mendekati jendela batu yang berjeruji
kayu.
"Hih! Yaaah...!"
Bayu melompat cepat menerobos jendela
berjeruji kayu itu. Tubuhnya melesat keluar
memporakporandakan jeruji kayu jendela itu.
Pada saat yang sama, pintu ruangan terbuka.
Muncul seorang gadis mengenakan baju biru.
"Oh, tidak... Pinanti...!" jerit gadis itu terkejut.
Gadis berbaju biru yang ternyata memang Ranti,
langsung memburu menghampiri Pinanti yang
terkulai di lantai. Matanya juga langsung terpaku
ke jendela yang jebol berantakan.
"Keparat...!" Ranti mendesis geram. Gadis itu
berteriak memanggil guru dan teman-temannya.
Sebentar kemudian di ruangan itu sudah ber-
munculan wanita-wanita cantik Mereka terkejut
melihat Pinanti tergeletak di lantai. Dan lebih
terkejut lagi, manakala mengetahui tawanan
mereka sudah kabur dengan menjebol jendela.
"Setan...!" geram Kandita memerah wajahnya.
"Kejar...! Bunuh keparat itu!"
"Baik, Nini Guru."
Tiga gadis segera berhamburan ke luar
ruangan. Sementara Kandita menghampiri
Pinanti yang terkulai lemas tak berdaya di lantai.
Sebentar diamati tubuh gadis berbaju putih itu,
kemudian diperiksanya. Dia mendesis,
gerahamnya bergemeletuk menahan kemarahan
yang amat sangat
"Hih...!"
Kandita menggerak-gerakkan jari tangannya
ke beberapa bagian tubuh Pinanti. Pelahan gadis
berbaju putih itu mulai mengeluh lirih seraya
membuka mata nya. Pinanti menggerinjang
bangkit begitu melihat gurunya, dan langsung
berlutut.
"Guru.... Ampun,, Guru. Aku bersalah,
hukumlah aku...," rintih Pinanti lirih.
"Bangun, Pinanti!" desis Kandita. Pelahan
Pinanti bangkit berdiri. Kepalanya masih tetap
tertunduk. Sedangkan Kandita mengamati seku-
jur tubuh gadis berbaju putih itu.
***
"Kenapa kau lakukan ini, Pinanti?" desis
Kandita tajam, begitu datar nada suaranya.
"Melakukan apa, Nini Guru?" Pinanti pura-
pura tidak mengerti, namun suaranya jelas
terdengar.
"Kau yang membebaskan Bayu, bukan? Lalu
kalian bersandiwara. Kau biarkan jalan darahmu
ditotok. Benar begitu, Pinanti?" Kandita langsung
mendesak.
Pinanti jadi tergagap, tidak bisa lagi
menjawab.
"Kenapa kau lakukan itu, Pinanti?! Kenapa
kau khianati aku?!" bentak Kandita gusar.
Sementara Pinanti semakin gemetar. Wajah
Kandita yang memerah sudah menandakan
kalau dirinya begitu marah. Pinanti tidak
mengerti, kenapa gurunya ini bisa cepat
mengetahui. Padahal sandiwara yang
dilakukannya begitu sempurna.
'Tidak ada yang bisa bebas dari totokanku,
meskipun hawa murni dan tenaga dalamnya
sudah sempurna. Dan kau telah sengaja
membebaskannya, Pinanti. Kenapa kau lakukan
itu padaku, Pinanti?! Kenapa...?!" setengah
menjerit suara Kandita,
Entah dari mana datangnya, tiba-tiba saja
Pinanti jadi punya keberanian. Diangkat
kepalanya untuk menentang tatapan si Anggrek
Jingga. Dia melangkah ke belakang tiga tindak.
"Karena kau musuh ayahku!" desis Pinanti.
"Heh...?! Apa yang kau katakan...?" Kandita
terkejut
"Kau tidak mungkin lagi mengelabuiku,
Kandita. Aku sudah tahu semuanya! Kau sengaja
menculikku, mencuci otakku dengan ramuan-
ramuanmu! Kau buat aku jadi tidak mengenal lagi
diriku, dan dari mana asalku! Tapi sekarang, aku
sudah tahu! Aku adalah anak Eyang Palandara,
laki-laki yang hendak kau bunuh! Kau
memanfaatkan aku untuk membunuh ayahku.
Kau kejam, Kandita! Kau iblis...!"
'Tutup mulutmu, Pinanti!" bentak Kandita
geram. "Kau tidak bisa lagi mengelabuiku,
Kandita. Kau harus membunuhku terlebih
dahulu, sebelum membunuh ayahku!"
"Kurang ajar! Siapa yang berkata begitu
padamu,heh?!" geram Kandita.
"Aku...."
"Heh...?!"
Bukan main terkejutnya Kandita begitu tiba-
tiba di ambang pintu sudah berdiri seorang laki-
laki tua berjubah kumal. Tubuhnya kurus kering
bagai tulang terbungkus kulit Seluruh rambutnya
sudah memutih Bahkan kumis dan jenggot yang
menyatu panjang juga sudah berwarna putih.
"Kau..., Binarong...!" Kandita terbeliak begitu
melihat laki-laki tua itu.
"Benar! Aku Binarong Kau terkejut Kandita?"
lembut sekali suara Eyang Binarong.
"Tidak! Kau sudah mati...!" sentak Kandita.
"Aku mengakui kecerdikanmu, Kandita. Tapi
sayang, racun yang kau campurkan pada
minumanku belum cukup untuk membunuhku.
Kau memang ahli dalam segala jenis racun
maupun ramuan. Tapi seharusnya kau gunakan
semua keahlianmu untuk menolong, bukan
untuk mencelakakan orang lain."
"Aku tidak butuh nasihatmu!" sentak Kandita
sengit
"Hatimu sudah tertutup bisikan iblis, Kandita.
Tapi aku yakin, kau masih bisa menyadari dan
memperbaiki kesalahanmu," lembut sekali suara
Eyang Binarong.
"Tua bangka keparat..! Kubunuh kau! Hiyat..!"
Kandita jadi geram bukan main, dan tidak
bisa lagi menahan amarahnya. Cepat sekali si
Anggrek Jingga itu melompat menerjang Eyang
Binarong. Laki laki tua itu memiringkan tubuhnya
sedikit, maka pukulan Kandita yang keras disertai
pengerahan tenaga dalam sempurna itu luput dari
sasaran. Kepalan tangan yang halus itu
menghantam dinding batu Candi Laksa ini hingga
bergetar hebat
Beberapa batu mulai berguguran, dan
pukulan Kandita membuat dinding batu candi ini
jebol berantakan. Sementara Eyang Binarong
menyambar tangan Pinanti yang berdiri terpaku,
dan secepat kilat melesat sambil membawa gadis
itu.
"Jangan lari kau, keparat..!" geram Kandita
berte-
riak lantang.
Tapi Eyang Binarong sudah lebih cepat
melesat ke luar. Sementara ruangan itu terus
bergetar, dan batu-batuan mulai berjatuhan.
Kandita segera melesat keluar dari ruangan itu.
Seketika batu-batu atap ruangan ini
berhamburan jatuh menimbulkan suara
bergemuruh dahsyat
Runtuhnya ruangan itu rupanya merembet ke
ruangan-ruangan lain di seluruh Candi Laksa ini.
Batu-batu dinding dan atap candi ini berguguran.
Sudah dapat dipastikan, sebentar lagi seluruh
bangunan Candi Laksa akan runtuh.
Sementara Kandita terus berlompatan berlari
cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh.
Dia melesat keluar, tepat saat bangunan candi itu
runtuh. Suara bergemuruh terdengar
memekakkan telinga. Debu mengepul
membumbung tinggi ke angkasa begitu seluruh
bangunan candi yang terbuat dari batu itu
ambruk.
Kandita memandangi sekitarnya yang sepi.
Ditatapnya candi yang hancur tak berbentuk lagi.
Tampak debu masih berkepul di sekitarnya. Gadis
itu menatap seorang laki-laki tua yang duduk
bersila di dekat candi yang sudah runtuh. Dia
tahu kalau orang tua itu adalah Ki Sampar,
Kepala Desa Coket yang ingin bertemu Eyang
Binarong. Hanya sayangnya keinginannya tidak
kesampaian.
Kandita menghampiri dan menyentuh
pundak laki-laki itu. Tapi Ki Sampar malah jatuh
terguling Tampak di dadanya tertancap lima buah
anggrek berwarna Jingga. Rupanya ketika murid
murid si Anggrek Jingga menyerang murid-murid
Padepokan Sangga Langit, beberapa buah
anggrek Jingganya mengenai Ki Sampar, sehingga
laki-laki tua itu tewas dalam penantiannya yang
tidak terlaksana.
"Huh!" dengus Kandita.
Wanita itu menyepak tubuh Ki Sampar
hingga terguling sampai sejauh dua tombak.
Kandita merayapi empat mayat yang
bergelimpangan di sekitar pelataran Candi Laksa
ini. Tempat yang suci dan dikeramatkan ini benar-
benar bergelimang darah. Dan memang, inilah
yang sebenarnya dikehendaki Kandita. Dia ingin
semua orang tahu kalau Candi Laksa yang
disucikan dan dikeramatkan bisa juga
bergelimang darah manusia.
"Hm... Ke mana perginya keparat itu...?" desis
Kandita pelan.
***
Sementara itu tidak jauh dari pelataran Candi
Laksa, tampak Bayu berdiri tegak memandangi
dua sosok tubuh yang berlarian cepat ke arahnya.
Setelah dekat, baru terlihat jelas kalau mereka
adalah Eyang Binarong dan Pinanti. Bayu
menyambutnya disertai senyuman tersungging di
bibir.
"Syukur, kalian selamat," ucap Bayu.
"Oh, kalian sudah kenal?" tanya Pinanti.
"Benar. Anak muda inilah yang mengeluarkan
aku dari peti mati," jawab Eyang Binarong.
"Aku bisa tahu dari Kandita sendiri. Dialah
yang bercerita, membanggakan dirinya telah
berhasil melumpuhkan orang terkuat di Gunung
Waru/ini," sambung Bayu.
"Tidak ada yang terkuat di dunia ini, Anak
Muda," :yang Binarong merendah.
"Bayu, namaku Bayu," Bayu
memperkenalkandiri.
"Aku Eyang Binarong," Eyang Binarong juga
memperkenalkan diri.
Bayu menatap Pinanti yang masih berusaha
mengatur jalan napasnya. Sedangkan Eyang
Binarong tidak tampak sedikit pun kelelahan.
Bahkan tak ada satu titik pun keringat di
wajahnya. Namun Bayu cepat maklum. Jelas
kalau tingkat kepandaian yang dimiliki mereka
jauh berbeda. Eyang Binarong tentu sudah
sampai pada tahap yang paling sempurna.
Memang semua orang menyebut dirinya manusia
setengah dewa, karena ilmunya begitu sempurna.
"Oh! Kalian harus cepat-cepat kembali ke
Candi Laksa. Aku yakin, sebentar lagi, Ayahku
dan murid-muridnya tiba di sana," jelas Pinanti
mengingatkan.
Bayu hendak bergerak cepat, tapi Eyang
Binarong sudah keburu mencekal lengan pemuda
itu. Pendekar Pulau Neraka mengurungkan
niatnya, lalu memandang Eyang Binarong dalam-
dalam.
"Tidak perlu tergesa-gesa. Biarkan mereka
menyelesaikan persoalannya. Semua ini sudah
digariskan Hyang Widi Wasa. Jangan sampai kita
merusak ketentuan takdir," ujar Eyang Binarong
lembut dan bijaksana.
'Tapi, pertumpahan darah ini harus dicegah,
Eyang!" sentak Pinanti.
"Tidak ada yang bisa menentang kehendak
Sang Dewata Agung, Cucuku. Meskipun kalian
berusaha keras, tapi pertumpahan darah tidak
akan bisa dicegah Biarlah semua terjadi menurut
suratan takdir HyangWidi Wasa."
"Lalu, apa yang harus kita lakukan, Eyang?"
tanyn Bayu.
"Mantapkan hatimu, Anak Muda. Tetapkan,
harus berpihak pada siapa? Jika melihat ada yang
perlu di bantu, maka bantulah dia. Tapi jika tidak,
jangan memaksakan diri."
"Aku mengerti, Eyang," sahut Bayu langsung
bisamenangkap maksud Eyang Binarong.
"Kau benar-benar seorang pemuda cerdas,"
puji Eyang Binarong tulus.
'Terima kasih," ucap Bayu tersipu.
"Ayolah, Eyang. Kita kembali ke Candi Laksa,"
ajak Pinanti.
"Baik. Tapi jangan terburu-buru. Napasmu
bisahabis nanti," goda Eyang Binarong
Pinanti memberengut. Diayunkan kakinya
menuju Candi Laksa. Eyang Binarong tertawa
kecil, dan juga mengayunkan langkahnya
mengikuti gadis itu. Sedangkan Bayu berjalan di
samping pertapa tua itu.
"Eyang, boleh aku tanya sesuatu?" tanya Bayu
meminta.
"Silakan. Apa saja boleh kau tanyakan selagi
bisa kujawab dengan jujur."
"Eyang, aku membebaskanmu setelah Pinanti
kutotok jalan darahnya. Bagaimana mungkin kau
bisa mempengaruhinya begitu cepat?" tanya Bayu
ingin tahu.
"Sebelum menjawab pertanyaanmu, aku ingin
tanya dulu. Siapa yang membebaskanmu?"
"Kau tahu aku ditawan?!" Bayu terkejut
"Pinanti yang mengatakannya padaku."
"Jadi...?!" Bayu geleng-geleng kepala.
"Dia datang padaku sebelum kau, Anak
Muda."
"Kenapa Eyang masih berpura-pura ketika
aku...," Bayu tidak melanjutkan ucapannya.
Pendekar Pulau Neraka itu menggeleng-
gelengkan kepalanya. Dia benar-benar kagum
pada kedigdayaan pertapa tua ini. Sementara
mereka terus berjalan, sedangkan Pinanti berjalan
sekitar tiga tombak di depan.
"Waktu Pinanti menyediakan minuman
untukku, saat itu aku sudah bisa mencium
adanya racun yang mematikan dalam minuman
itu. Aku juga sudah curiga, karena kudengar
Pinanti diculik, dan tiba-tiba saja muncul.
Sikapnya juga aneh, seperti berpura-pura dan
sama sekali tidak mengenaliku. Padahal
sebelumnya dia sering mengunjungiku sebelum
diculik," Eyang Binarong mulai menceritakan'Tapi
kau minum juga minuman itu, Eyang?" tanya
Bayu ingin tahu.
"Benar. Tapi itu setelah kututup seluruh
jaringan saluran darah di tubuhku"
"Dan kau berpura-pura mati?" tebak Bayu.
"Kau cerdik sekali, Bayu."
'Tapi kenapa Pinanti tahu kalau kau belum
mati, Eyang?"
"Secara bertahap, aku selalu mengeluarkan
hawa mumi setiap kafi dia mengunjungiku dan
meraba detak jantungku. Dan kemarin.... Oh,
tidak! Tadi, dia datang lagi. Aku langsung bangun
dan menotok jalan darah nya. Di situ pengaruh si
Anggrek Jingga kuenyahkan dari dirinya. Hal itu
bisa kulakukan karena aku yakin kalau pengaruh
itu berasal dari ramuan, bukan dari perlakuan
batin."
"Hebat," puji Bayu tulus.
"Dan selanjutnya kau tentu sudah bisa
menebak sendiri," kata Eyang Binarong.
"Ah! Ternyata aku terlambat, Eyang," Bayu
tersipu
"Tidak, kau tidak terlambat Kau tahu, Kandita
berniat menguburku hari ini. Itu sebabnya aku
dimasukkan ke dalam peti mati. Kalau saja kau
tidak cepat datang membebaskanku, tentu aku
sudah terkubur."
"Hanya sebuah peti kayu, Eyang pasti bisa
mudah mendobraknya."
"Hal itu tidak akan kulakukan, karena aku
tidak ingin melakukan kekerasan dan paksaan.
Kalaupun jadi dikubur, itu tentu sudah menjadi
kehendak Sang Dewata."
Bayu hanya mendesah saja. Jiwa Eyang
Binarong tentu sudah jauh dari keinginan
duniawi. Maka tidak heran kalau disebut Manusia
Setengah Dewa. Dan Bayu sudah bisa menduga,
tentu Eyang Binarong tidak ingin tangannya
berlumur darah, karena hal itu akan mengotori
kesuciannya. Dan tentu saja, apa yang dila-
kukannya bertahun-tahun akan lenyap begitu
saja.
***
DELAPAN
Saat itu di pelataran Candi Laksa, Eyang
Palandara dan murid-muridnya sudah dihadang
Anggrek Jingga dan ketiga murid-muridnya.
Bahkah masih ditambah beberapa tokoh rimba
persilatan golongan hitam yang dibawa Kakek Iblis
Perak. Orang tua itu bisa dengan cepat
mengumpulkan tokoh rimba persilatan golongan
hitam, karena memang sudah merencanakan
semuanya secara rapi untuk menghancurkan
para penghalangnya.
Pertumpahan darah di pelataran Candi Laksa
tidak bisa dihindari lagi. Kini darah benar-benar
menggenang di Candi Laksa. Jerit pekik
melengking menyayat hati terdengar saling
bersahutan, ditingkahi pekik pertempuran dan
denting senjata beradu. Sungguh tidak diduga
kalau murid-murid Padepokan Sangga Langit
memiliki kemampuan rata-rata yang cukup tinggi.
Mereka teriihat bertarung penuh semangat
Terlebih lagi begitu melihat Candi Laksa
sudah hancur tak berbentuk lagi. Meskipun
banyak jatuh korban, namun murid-murid
Padepokan Sangga Langit tidak gentar sedikit pun.
Mereka sadar kalau yang dihadapi adalah orang-
orang rimba persilatan yang sudah kenyang
segala macam bentuk pertempuran.
"Ayah...!" seru Pinanti begitu sampai. Tampak
Eyang Palandara berdiri di garis belakang sambil
mengawasi murid-muridnya bertarung.
Eyang Palandara menoleh. Pinanti berlari
cepat dan langsung menjatuhkan diri berlutut
memeluk kaki ayahnya. Gadis itu menangis, tapi
Eyang Palandara cepat-cepat membangunkan
gadis itu.
"Jangan menangis, Anakku," ucap Eyang
Palandara.
Pinanti menyeka air matanya cepat-cepat, lalu
berpaling memandang Bayu dan Eyang Binarong.
Sesaat Eyang Binarong dan Eyang Palandara
saling bertatapan, kemudian berpelukan sebentar.
Bayu hanya menyaksikan saja semua itu, tapi
hanya sebentar. Dia memang lebih tertarik pada
pertarungan yang sedang berlangsung.
"Aku tidak yakin kalau kau tewas oleh
seorang bocah, Kakang," ujar Eyang Palandara.
"Dia bukan bocah lagi, Adi Palandara. Dia
sudah jadi seorang wanita tangguh," jelas Eyang
Binarong.
"Ya! Dan dia hendak menuntut balas
kematian orang tuanya padaku"
"Sayang sekali! Anak itu juga mengambil jalan
sesat" gumam Eyang Binarong.
Pada saat itu pertarungan semakin terlihat
sengit. Tapi sudah banyak orang bawaan Kakek
Iblis Perak yang tewas maupun melarikan diri.
Juga tidak sedikit murid Padepokan Sangga
Langit yang gugur. Pertarungan sengit berjalan
tidak seimbang, karena murid-murid Padepokan
Sangga Langit tidak mampu membendung
gempuran Kakek Iblis Perak dan si Anggrek
Jingga serta ketiga muridnya.
"Hiyaaa...!"
Tiba-tiba saja Bayu melesat ke arah si
Anggrek Jingga.
"Mundur semua...!" seru Bayu keras
menggelegar.
Murid-murid Padepokan Sangga Langit yang
sedang mengeroyok Anggrek Jingga langsung
berlompatan mundur. Pendekar Pulau Neraka
mendarat dengan manis di depan wanita cantik
itu.
"Eyang Binarong dan Eyang Palandara akan
memaafkanmu jika kau bersedia bertobat dan
menghentikan semua ini, Kandita," bujuk Bayu.
"Cerewet! Jangan banyak omong kau!
Hiyaaa...!"
Rupanya Kandita sudah tidak bisa. lagi diajak
berdamai, dan langsung melompat menerjang
Pendekar Pulau Neraka. Wanita cantik berbaju
merah itu mengibaskan cepat pedangnya
beberapa kali. Dan beberapa kali pula Bayu
terpaksa menangkisnya dengan Cakra Maut yang
berada di pergelangan tangan kanannya.
Tring!
Setiap kali dua senjata itu berbenturan,
mereka bergidik menggeletar. Dan mereka tahu
kalau tenaga dalam yang dimiliki hampir
seimbang Sementara pertarungan terus
berlangsung sengit. Tampak Pinanti sudah terjun
dalam kancah pertempuran. Sedangkan Eyang
Binarong dan Eyang Palandara hanya menyak-
sikan saja dari tempat yang cukup aman.
"Hiya! Yeaaah...!"
Kandita semakin meningkatkan serangan-
serangannya. Beberapa kali wanita berbaju merah
itu hampir berhasil menyarangkan pedangnya ke
tubuh Pendekar Pulau Neraka. Tapi pemuda
berbaju kulit harimau itu berhasil mengelak
dengan kelitan manis. Bahkan tidak jarang
serangan balik yang dilakukan Bayu membuat
wanita itu kelabakan juga.
"Aaakh...!"
Bayu tersentak kaget ketika tiba-tiba terdengar
suara jeritan kecil tidak jauh darinya. Tampak
Pinanti terjajar terhuyung-huyung ke belakang
sambil mendekap dadanya. Pada saat itu terlihat
Kakek Iblis Perak melompat sambil mengibaskan
tangannya yang memegang senjata berbentuk
tameng yang sisinya bergerigi tajam.
"Hiyaaat...!"
Sebelum senjata kakek kurus itu berhasil
merobek tubuh Pinanti, mendadak saja Eyang
Palandara melompat cepat bagaikan kilat sambil
mengibaskan pedangnya menyampok senjata
Kakek Iblis Perak.
Tring!
"Akh...!" Kakek Iblis Perak memekik tertahan.
Sebelum kakek itu sempat menyadari apa yang
terjadi, Eyang Palandara sudah bergerak cepat
memberi satu tendangan keras mengandung
tenaga dalam sempurna ke dada orang tua itu.
Dughk!
"Hughk!" Kakek Iblis Perak mengeluh pendek.
Tubuh berjubah perak itu, terjajar ke
belakang. Pada saat itu, salah seorang murid
Padepokan Sangga Langit yang kebetulan berada
di belakangnya, langsung menusukkan
pedangnya ke punggung Kakek Iblis Perak hingga
tembus ke dada.
"Aaakh...!" Kakek Iblis Perak menjerit
melengking tinggi.
Tapi sebelum ambruk ke tanah, kakek itu
berhasil memenggal orang yang menusuknya dari
belakang. Leher pemuda itu langsung buntung,
dan kepalanya menggelinding ke tanah tepat saat
tubuhnya ambruk. Kakek Iblis Perak masih
berhasil merobohkan seorang lagi sebelum
menggelepar di tanah dengan pedang menembus
punggung hingga ke dada. Dia tewas seketika itu
juga.
***
Kematian Kakek Iblis Perak membuat
kegemparan bagi orang-orang yang berpihak
padanya. Mereka langsung lari tak tentu arah
menyelamatkan diri. Beberapa murid Padepokan
Sangga Langit hendak mengejar, tapi keburu
dicegah Eyang Binarong dengan suaranya yang
menggelegar.
"Jangan dikejar...!"
Kaburnya orang-orang golongan hitam itu,
membuat ketiga murid Anggrek Jingga jadi
kelabakan. Terlebih lagi jumlah murid Padepokan
Sangga Langit masih begitu banyak. Apalagi
mereka sadar tidak mungkin bisa
menghadapinya.
Tapi ketiga orang wanita cantik itu tidak bisa
lagi melarikan diri, karena murid-murid
Padepokan Sangga Langit sudah menyerangnya
dengan ganas. Mereka terpaksa melayani sekuat
tenaga. Belum begitu lama, terdengar jeritan
melengking tinggi.
"Aaa...!"
"Dewi...!" jerit Ranti begitu melihat Dewi terhu-
yung sambil mendekap dadanya yang sobek
berlumuran darah.
Dan belum juga gadis berbaju kuning itu bisa
melakukan sesuatu, kembali sebilah pedang
membabat punggungnya. Dia menjerit keras.
Darah langsung muncrat dari punggung yang
terbelah cukup besar. Dan kini, satu tusukan
tidak bisa dihindari lagi. Dewi benar-benar tidak
berdaya lagi. Entah, berapa tusukan dan sabetan
pedang mampir di tubuhnya. Dia tewas sebelum
ambruk ke tanah dengan tubuh tercincang.
Kematian Dewi membuat Ranti dan Saras jadi
panik. Tanpa berbicara lagi, mereka membuang
pedangnya dan menyerah. Puluhan pedang
langsung mengurungnya. Dua orang
menghampiri membawa tambang, lalu mengikat
dua orang gadis murid si Anggrek Jingga itu.
Sementara pertarungan antara Anggrek
Jingga melawan Pendekar Pulau Neraka terus
berlangsung sengit Meskipun wanita itu
mengetahui tinggal sendirian, tapi tidak juga
menyerah. Bahkan serangan-serangannya
semakin dahsyat dan berbahaya.
"Keparat busuk! Mampus kau! Hiyaaa...!"
Kandita memaki-maki sambil berteriak-teriak,
dan bertarung bagdi kesetanan. Dia benar-benar
tidak peduli lagi begitu menyadari tinggal
sendirian. Hal ini membuat pikirannya tidak
terpusat pada lawan. Namun demikian serangan-
serangannya jadi semakin dahsyat. Kandita
mengeluarkan seluruh kemampuannya.
Tangan kanan yang memegang pedang
berkelebat cepat membabatkan pedangnya,
mengurung Pendekar Pulau Neraka. Sedangkan
tangan kirinya member pukulan-pukulan keras
bertenaga dalam cukup sempurna.
"Hiyaaat! Yeaaah...!"
Kandita bertarung sambil memutar-mutar
tubuhnya. Pada saat itu, tangan kirinya berkelebat
cepat menyebarkan bunga-bunga anggrek Jingga
ke segala penjuru mata angin. Bunga-bunga
anggrek jingga itu bertebaran cepat, dan seketika
terdengar jerit dan pekikan melengking menyayat
Beberapa orang murid Padepokan Sangga Langit
berjatuhan tersambar anggrek-anggrek jingga
yang ditebarkan Kandita.
"Mundur...!" teriak Eyang Palandara keras.
Mereka yang masih bisa menyelamatkan diri,
langsung beriompatan mundur menjauh dari
jangkauan bunga-bunga anggrek jingga. Tapi
rupanya Kandita malah sengaja bertarung sambil
mendekati mereka, dan terus melontarkan bunga-
bunga mautnya.
"Keparat licik...!" geram Bayu murka
menyaksikan kelicikan lawannya ini.
Pendekar Pulau Neraka itu langsung
melentingkan tubuhnya ke belakang. Dan begitu
kakinya mendarat cepat dibungkukkan tubuh ke
kiri. Secepat kilat dikibaskan tangan kanannya.
Dan senjata andalan Pendekar Pulau Neraka yang
berupa Cakra Maut seketika melesat cepat bagai
kilat karena dilontarkan dengan pengerahan
tenaga dalam penuh.
Saat itu Kandita yang tengah melontarkan
bunga-bunga anggrek jingga ke arah murid-murid
Padepokan Sangga Langit jadi terkesiap. Tampak
sebuah benda keperakan meluncur deras ke
arahnya. Cepat-cepat dilentingkan tubuhnya ke
belakang sambil berputaran beberapa kail
Kandita menyangka kalau senjata itu sudah
lewat. Tapi begitu menjejakkan kakinya di tanah,
mendadak saja dari arah samping kanannya
Cakra Maut menyambar tiba.
"Akh...!" Kandita memekik tertahan.
Gadis itu begitu terkejut setengah mati. Buru-
buru ditarik tubuhnya ke belakang, maka Cakra
Maut itu melesat lewat sedikit di depan dadanya.
Tapi kembali dia jadi terkesiap, karena tiba-tiba
saja senjata itu berhenti, dan....
Crab!
"Aaa...!" Kandita menjerit melengking tinggi.
Sukar dikatakan! Hanya dengan menggerak-
gerakkan tangannya saja, Bayu dapat
mengendalikan senjata mautnya. Dan Cakra
Maut bersegi enam itu amblas ke dada Kandita
hingga tembus sampai ke punggung Darah
langsung muncrat keluar deras sekali. Bayu
mengangkat tangan kanannya ke atas, maka
Cakra Maut melesat dan langsung menempel di
pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka itu.
***
"Bayu...!"
Pinanti menghambur dan memeluk Pendekar
Pulau Neraka Tentu saja pemuda berbaju kulit
harimau itu jadi gelagapan dibuatnya. Buru-buru
Bayu melepaskan pelukan gadis itu.
"Kau tidak apa-apa, Bayu?" tanya Pinanti
tidak mempedulikan rona wajah pemuda itu yang
memerahmenahan malu.
'Tidak," sahut Bayu.
Pendekar Pulau Neraka itu memalingkan
mukanya menatap dua orang gadis yang terikat
dijaga beberapa orang murid Padepokan Sangga
Langit.
Bayu menghampiri, dan berdiri sekitar tiga
langkah lagi di depan kedua gadis itu. Ditatapnya
dalam-dalam wajah Ranti, gadis yang
mengenakan baju biru. Bayu teringat ketika Ranti
menjaganya pada malam hari. Darahnya jadi
menggolak mendidih kala teringat betapa liarnya
gadis ini mencumbu dirinya dalam keadaan tidak
berdaya karena pusat jalan darahnya tertotok.
Pandangan Bayu beralih pada Saras. Gadis
berbaju hijau itu juga memperlakukan dirinya
seperti seekor binatang. Saras lebih liar lagi,
sehingga Pendekar Pulau Neraka merasa muak.
Seluruh wajahnya memerah, dan matanya
bersorot tajam. Belum pernah dirinya
diperlakukan seperti itu. Jelas, Bayu merasa
terhina, dan tak akan bisa melupakannya seumur
hidup. Pendekar Pulau Neraka akan terus merasa
terhina dan malu jika kedua gadis ini masih
dibiarkan hidup.
"Kau harus mampus, perempuan iblis...!"
desis Bayu menggeram.
Tiba-tiba saja, Pendekar Pulau Neraka itu
mencabut pedang dari pinggang Pinanti yang
berdiri di sampingnya. Cepat sekali! Begitu pedang
tercabut, langsung dibabatkan ke leher kedua
gadis itu.
Cras!
"Aaa...!"
"Aaakh...!"
"Bayu...!" sentak Eyang Palandara terkejut.
"Dewata Yang Agung...," desah Eyang
Binarong.
Kedua gadis itu langsung terjungkal jatuh
dengan kepala hampir terpisah dari badan! Bayu
menyerahkan pedang berlumuran darah itu pada
Pinanti. Gadis itu menerima dan memasukkan
kembali ke dalam sarungnya. Pelahan Pendekar
Pulau Neraka itu memutar tubuhnya seraya
memandangi wajah-wajah yang terlongong
menatap ke arahnya. Pandangan Bayu terhenti
pada dua laki-laki tua.
"Maaf, aku harus membunuhnya," ujar Bayu.
Setelah berkata demikian, Bayu
mengayunkan kakinya berjalan pergi. Semua
orang hanya bisa bengong tidak mengerti
terhadap tindakan Pendekar Pulau Neraka yang
begitu tega membunuh dua orang gadis dalam
keadaan terikat. Hanya Pinanti yang bisa mengerti
perasaan pemuda itu, dan langsung berlari
mengejar.
"Bayu, tunggu...!"
Bayu menghentikan langkahnya ketika
Pinanti sudah menghadang di depannya. Sejenak
mereka hanya saling berpandangan saja. Pinanti
mengambil tangan pemuda itu dan
menggenggamnya hangat-hangat. Bayu mencoba
melepaskan, tapi gadis itu malah membawanya
ke dada. Dan kini mereka berpelukan erat
Seakan-akan gadis itu ingin agar Bayu dapat
merasakan debaran jantungnya.
"Aku tahu perasaanmu, Bayu. Mereka
memang pantas untuk mati," ujar Pinanti pelan,
hampir berbisik.
"Seandainya kau juga berbuat yang sama
seperti mereka, aku tidak peduli meskipun
ayahmu seorang ketua padepokan besar," desis
Bayu datar.
'Tapi aku bukan mereka, Bayu."
Bayu memandang lurus ke bola mata gadis
itu.
"Kenapa waktu itu kau menciumku?" desis
Bayu.
'Terpaksa," sahut Pinanti.
Seketika wajah Pinanti menyemburat merah.
Sungguh, seumur hidup dia belum pernah
mencium seorang pemuda. Saat itu memang
terpaksa dilakukannya, karena tidak ada jalan
lain untuk menyelamatkan pemuda ini. Dan
diakui, hatinya sempat bergetar juga waktu itu.
"Bayu, aku belum pernah melakukannya.
Aku hanya ingin menyelamatkanmu saja.
Percayalah, aku bukan mereka."
Bayu terdiam. Dilepaskan tangannya dengan
halus dari pelukan gadis itu. Memang diakui,
waktu itu Pinanti terasa kaku. Dan Bayu juga
mengakui kalau debaran jantung Pinanti terasa
begitu hebat. Tidak seperti yang lainnya. Bayu
memang bisa merasakan kalau ada rasa
keterpaksaan pada diri gadis itu saat
menciumnya.
"Aku percaya padamu, Pinanti," tegas Baya
"Oh! Terima kasih, Kakang," ucap Pinanti lega.
Gadis itu tersenyum senang, karena Bayu mau
mempercayai dirinya. Dan pemuda berbaju kulit
harimau itu juga memberikan senyum, meskipun
terasa agak hambar. Pendekar Pulau Neraka itu
melirik orang-orang yang tengah sibuk
mengumpulkan mayat teman-temannya, dan
dimasukkan ke dalam tandu yang diikatkan pada
kuda.
Bayu memutar tubuhnya ketika Eyang
Binarong menghampiri. Sedangkan Eyang
Palandara tengah sibuk mengatur murid-
muridnya untuk membawa murid-murid lain
yang tewas dalam pertempuran. Dan sebagian lagi
menguburkan mayat-mayat lawannya.
Bagaimanapun juga, mereka semua adalah
manusia, dan patut mendapat perlakuan
sebagaimana layaknya manusia pada umumnya.
"Bayu, boleh aku bicara padamu sebentar?"
pinta Eyang Binarong.
Bayu menganggukkan kepalanya.
'Terus terang, sebenarnya aku menyesalkan
tindakanmu tadi," kata Eyang Binarong langsung
berterus terang.
"Maaf kalau itu membuatmu tidak senang,"
ucap Baya
"Aku bisa memahami, kau pasti punya alasan
kuat sehingga berbuat sekejam itu pada mereka.
Tapi itu tidak baik pengaruhnya terhadap nama
besarmu. Kau harus ingat, mereka yang bernaung
di bawah panji Padepokan Sangga Langit adalah
calon pendekar yang akan menggantikan orang-
orang tua sepertiku ini. Mereka pasti tidak akan
melupakan perbuatanmu. Mereka adalah
manusia, dan aku tidak percaya kalau mereka
akan diam saja. Paling tidak mereka pasti akan
bercerita pada orang lain," jelas Eyang Binarong
gamblang, membuka perasaan hatinya.
Bayu hanya diam saja. Diakui kebenaran
kata-kata orang tua ini. Tapi gadis-gadis itu
memang tidak bisa dibiarkan hidup. Akan lebih
parah lagi kalau mereka sampai bebas dan
menyebarkan cerita buruk tentang dirinya. Tapi
dengan kejadian barusan, memang mungkin
orang akan menganggap dirinya kejam, berdarah
dingin, dan tidak mengenal belas kasihan.
Bahkan bisa juga kaum persilatan
menggolongkannya ke dalam aliran hitam.
Tapi Bayu tidak peduli, karena dia yang
mengalami mendapat perlakuan seperti binatang!
Kewibawaannya dipermalukan sedemikian rupa
tanpa dapat berbuat apa-apa. Orang lain memang
bisa menuding. Tapi jika mereka mengalami, pasti
akan berbuat yang sama dengan yang
dilakukannya pada kedua gadis itu
"Aku hanya bisa berpesan padamu, Bayu.
Kau harus bisa menempatkan diri, dan
menghapus dampak buruk atas kejadian ini,"
kata Eyang Binarong lagi.
'Terima kasih, Eyang," ucap Bayu. Eyang
Binarong menepuk pundak Pendekar Pulau
Neraka itu, kemudian meninggalkannya. Pinanti
segera menghampiri setelah Eyang Binarong pergi.
Gadis itu memandangi wajah tampan di
depannya lekat-lekat.
"Kenapa tidak kau ceritakan saja yang
sebenarnya, Bayu?" tanya Pinanti.
"Biar itu semua menjadi rahasia pribadiku,
Pinanti," sahut Bayu.
"Kau begitu luhur, Bayu," puji Pinanti tulus.
Bayu hanya tersenyum saja, lalu berbalik dan
mengayunkan kakinya meninggalkan tempat itu.
Pinanti memandangi kepergian Pendekar Pulau
Neraka itu. Dipandangi ayahnya yang masih
sibuk memberi perintah dan mengatur murid-
muridnya. Sedangkan Eyang Binarong sedang
berlutut di samping mayat Ki Sampar. Tak ada
yang memperhatikan. Semua sibuk dengan
pekerjaan masing-masing.
Pinanti langsung melompat mengejar Bayu
yang hampir tenggelam ditelan lebatnya hutan di
Lereng Gunung Waru ini. Cepat sekali gadis itu
melompat. Hanya beberapa lompatan saja, dia
sudah bisa mengejar Pendekar Pulau Neraka itu.
Pinanti langsung berdiri menghadang di depan
Bayu.
"Pinanti, mau apa lagi kau?" tanya Bayu.
Pinanti tidak menjawab, dan hanya
memandangi pemuda berbaju kulit harimau itu
dalam-dalam. Saat ini mereka sudah cukup jauh
dari pelataran Candi Laksa. Tak ada yang bisa
melihat, karena mereka terhalang pepohonan dan
semak yang rapat bertautan. Bayu jadi tidak
mengerti akan sikap gadis ini.
"Ada apa, Pinanti?" tanya Bayu lembut.
"Kau akan meninggalkanku begitu saja,
Kakang?" Pinanti balik bertanya.
"Aku memang harus pergi. Masih banyak
yang harus kukerjakan, Pinanti," Bayu mencoba
meminta pengertian gadis ini.
'Tanpa memberi sesuatu yang berarti
padaku?" Bayu semakin tidak mengerti. Dan
sebelum Pendekar Pulau Neraka sempat
memahami maksud gadis itu, tiba-tiba saja
Pinanti sudah menghambur memeluknya erat-
erat. Gadis itu melingkarkan tangannya di leher.
Kepalanya mendongak dengan bibir merah sedikit
terbuka. Bayu menelan ludahnya sendiri melihat
bibir merah yang menantang itu.
"Berikan aku sesuatu yang berarti untuk
dikenang, dan kau boleh pergi, Bayu," ujar Pinanti
agak mendesah.
"Aku....”
Belum habis Bayu bicara, Pinanti sudah
menyumpal bibir pemuda itu dengan bibirnya.
Sebentar Bayu gelagapan, tapi akhirnya
melingkarkan tangannya di pinggang ramping
gadis itu. Bayu membalas, memagutnya penuh
gairah.
"Ohhh...," rintih Pinanti lirih.
"Kau gadis nakal yang pernah kujumpai,
Pinanti."
"Ya, dan kau tidak akan bisa melupakanku."
Bayu tersenyum, dan Pinanti juga tersenyum.
Kemudian mereka kembali berpagutan penuh
gairah menggelora dalam dada. Bibir mereka
menyatu rapat bagai tak akan terpisahkan lagi.
Desah napas dan rintihan lirih terdengar. Mereka
tidak peduli pada suara Eyang Palandara yang
berteriak memanggil gadis itu.
"Pinanti..., di mana kau...?!"
"Jangan hiraukan, Kakang," desah Pinanti
ketika Bayu melepaskan pagutannya.
Pinanti langsung memagut bibir pemuda itu
lagi, dan Bayu pun jadi tidak peduli. Dibalasnya
pagutan itu dengan hangat pula. Semakin ketat
pelukannya, dan semakin menggelora
lumatannya pada bibir gadis itu.
"Ohhh...."
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar