..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Minggu, 02 Februari 2025

PENDEKAR PULAU NERAKA EPISODE DARAH MENGGENANG DI CANDI LAKSA

Darah Menggenang Di Candi Laksa

 

DARAH MENGGENANG DI CANDI LAKSA 
Oleh Teguh Suprianto 
Cetakan pertama 
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S. 
Gambar sampul oleh Pro's 
Hak cipta pada Penerbit 
Dilarang mengcopy atau memperbanyak 
sebagian atau seluruh isi buku ini 
tanpa izin tertulis dari penerbit
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Pulau Neraka
dalam episode:
Darah Menggenang di Candi Laksa
128 hal ; 12 x 18 cm

SATU

Gunung Waru tampak indah tersiram cahaya 
matahari pagi yang mengintip dari lekukan 
puncaknya yang selalu terselimut kabut tebal. 
Suasananya begitu tenang dan anggun. Namun di 
balik itu semua, tersimpan keangkuhan yang 
mengandung lingkaran misteri di dalamnya. 
Kabut tebal yang menyelimuti puncaknya, bagai 
selubung misteri yang selalu menantang untuk 
disingkap. Dan sampai kini, belum ada seorang 
pun yang berhasil menyingkapnya.
Namun ketenangan dan keanggunan Gunung 
Waru mendadak saja pecah oleh ledakan dahsyat 
menggelegar, hingga menggetarkan seluruh 
permukaan gunung itu hingga ke kaki yang 
terdapat beberapa perkampungan. Di sebelah 
Barat lereng gunung itu, terlihat jamur raksasa 
yang dibentuk dari debu dan bebatuan yang 
membumbung tinggi ke angkasa.
Belum lagi lenyap ledakan dahsyat tadi, tiba-
tiba menyusul suara gemuruh dari batuan yang 
menggelinding menuruni lereng. Getaran semakin 
terasa, seakan-akan Gunung Waru ini 
mengamuk. Pohon-pohon bertumbangan 
tergulung longsoran batu besar dan kecil.

Kemurkaan alam yang semula tenang, ternyata 
diakibatkan oleh dua orang manusia yang tengah 
berlaga di tepi jurang Lereng Gunung Waru 
sebelah Barat
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!" 
Blanr!
Ledakan-ledakan dahsyat terus terdengar 
ditingkahi teriakan-teriakan keras dari dua orang 
yang tengah bertarung. Mereka menggunakan 
ilmu-ilmu dahsyat, sehingga menghancurkan 
seluruh alam di sekitarnya. Entah apa yang 
menyebabkan mereka bertarung begitu dahsyat 
Yang jelas, mereka sudah bertarung cukup lama. 
Terlihat dari simbahan keringat dan kotornya 
pakaian yang dikenakan.
Tidak jauh dari tempat pertarungan, terlihat
empat orang wanita muda berwajah cantik tengah 
mengawasi jalannya pertarungan Masing-masing 
menyandang sebilah pedang di pinggang 
Potongan dan bentuk pakaian yang dikenakan 
sama persis. Hanya warna saja yang membuat 
mereka tampil berbeda. Pandangan mereka tidak 
berkedip ke arah salah seorang yang sedang 
bertarung. Dia seorang wanita, mengenakan baju

warna merah menyala. Potongan pakaiannya sa-
ma persis dengan empat wanita muda tadi.
Sedangkan lawannya memakai jubah putih. 
Dia seorang laki-laki muda berwajah cukup 
tampan.
Kini masing-masing telah menggunakan 
pedang yang berkelebatan cepat mengincar tubuh 
satu sama lain.
"Hup! Yeaaah...!"
Tiba-tiba saja wanita berbaju merah 
melentingkan tubuhnya ke belakang. Dan begitu 
kakinya menjejak tanah, cepat dimasukkan 
pedang ke dalam warangkanya di pinggang. Lalu 
dengan tubuh sedikit membungkuk, kedua 
tangannya bergerak cepat Seketika terlihat benda-
benda berwarna Jingga bertebaran mengarah ke 
laki-laki muda berjubah putih. 
"Yeah! Hiyaaa...!" 
"Hup! Hiyaaat..!"
Pemuda berjubah putih itu berjumpalitan 
sambil cepat mengecutkan pedangnya, berusaha 
menghindari serbuan benda-benda berbentuk 
bunga berwarna Jingga itu. Bunga-bunga 
anggrek berwarna Jingga itu bertebaran bagai 
hujan, dan seperti tak pernah habis. Tampak 
wanita berbaju merah ketat itu berputar cepat

sambil terus melontarkan anggrek-anggrek 
Jingganya. Dan tiba-tiba saja.... 
"Hiyaaat..!"
Wanita berbaju merah itu melentingkan 
tubuhnya ke udara sambil tidak henti-hentinya 
melontarkan anggrek-anggrek Jingganya. 
Bagaikan kilat, dicabut pedangnya, langsung 
dibabatkan ke kepala pemuda berjubah putih itu.
Cras!
"Aaa...!" satu jeritan panjang melengking terde-
ngar menyayat
Tampak pemuda berbaju putih panjang itu 
limbung sambil memegangi kepalanya. Darah 
terlihat merembes keluar dari sela-sela jari 
tangannya. Tebasan pedang wanita cantik berbaju 
merah tepat membelah kepala pemuda berjubah 
putih itu. Dan sebelum pemuda itu ambruk ke 
tanah, sekali lagi wanita berbaju merah itu 
membabatkan pedangnya. Kali ini langsung 
membelah dada. Seketika darah muncrat keluar 
deras dari dada yang terbelah lebar.
"Hup!"
Wanita berbaju merah itu melompat ke 
belakan sambil menyarungkan pedangnya 
kembali ke pinggang. Tampak pemuda berjubah 
putih terhuyung-huyung limbung, lalu ambruk

menggelepar di tanah. Sebentar tubuhnya masih 
menggelepar, kemudian diam tak bernyawa lagi.
"Ha ha ha...!" wanita berbaju merah itu 
tertawa terbahak-bahak.
Tawa wanita berbaju merah itu disambung 
empat wanita cantik yang sejak tadi berdiri saja 
menyaksikan pertarungan dahsyat. Kini terdengar 
tawa-tawa lepas berderai menggema ke seluruh 
Lereng Gunung Waru. Suara-suara tawa yang 
membuat bulu kuduk terbangun bila 
mendengarnya. ,
***
Sementara itu jauh di Kaki Gunung Waru, 
terdapat sebuah desa kecil. Hampir seluruh 
penduduknya disibuki oleh adanya tanah longsor 
yang datang dari lereng. Mereka bisa bernapas 
lega, karena longsoran tanah dan bebatuan itu 
tidak mencapai desa, karena terhalang lebatnya 
hutan. Tapi kejadian itu cukup membuat seluruh 
penduduk Desa Coket diliputi tanda tanya besar, 
karena belum pernah kejadian seperti ini dialami 
sebelumnya.
Berbagai macam dugaan dan pertanyaan 
seketika timbul. Hal itu juga merisaukan kepala 
desa dan pemuka-pemuka Desa Coket yang saat

ini berkumpul di rumah kepala desa. Ada sekitar 
delapan orang memadati ruangan yang tidak 
terlalu besar. Ki Sampar, Kepala Desa Coket 
tampak lebih banyak diam dengan wajah datar 
tanpa cahaya.
"Sebaiknya kita periksa, apa sebab-sebab 
terjadinya longsor tadi," usul seorang laki-laki
setengah
baya yang berkumis tebal, sehingga 
penampilannya
kelihatan angker. Orang sering memanggilnya, Ki
Jalak.
"Aku rasa peristiwa ini tidak perlu dibesar-be-
sarkan. Ini hanya kejadian alam biasa," sergah 
seorang tua berusia sekitar delapan puluh tahun.
Dia mengenakan baju putih panjang dan berikat 
kepala putih. Seluruh penduduk desa 
mengenalnya sebagai Ki Dampil.
'Tapi kejadian ini belum pernah terjadi, Ki," 
potong seorang lagi yang duduk di samping Ki 
Jalak.
"Tidak ada seorang pun yang bisa menduga 
kejadian alam," kata Ki Dampil bijaksana. "Untuk 
apa diributkan? Sebaiknya kita tentramkan saja 
penduduk yang resah."

"Sebaiknya kita serahkan saja pada Ki Sampar 
untuk memutuskannya," celetuk salah seorang 
serayamelirik kepala desa.
Semua yang berada di ruangan itu langsung 
memandang Kepala Desa Coket yang sejak tadi 
hanya diam saja tak bersuara sedikit pun juga. 
Sementara Ki Sampar sendiri masih terdiam. 
Pandangannya terarah ke luar jendela, menatap 
Puncak Gunung Waru yang lalu diselimuti kabut 
tebal.
"Ki Sampar, apa yang harus kita lakukan 
sekarang?" tanya Ki Jalak.
"Hhh...!" Ki Sampar hanya menarik napas 
panjang.
Kepala Desa Coket itu memandangi wajah-
wajah yang mengharapkan keputusannya. 
Wajah-wajah resah diliputi tanda tanya besar 
karena peristiwa tanah longsor yang belum 
pernah terjadi di desa ini. Kembali ditariknya 
napas panjang dan dihembuskannya kuat-kuat.
Belum juga Ki Sampar membuka mulut 
mendadak saja terdengar suara mendesing yang 
sangat halus. Kepala desa itu langsung 
mengegoskan kepalanya, dan dengan cepat 
mengibaskan tangan ke samping.
Tap!

Semua orang yang berada dalam ruangan itu 
terkejut karena tiba-tiba saja Ki Sampar 
menangkap sebuah benda berbentuk bunga 
anggrek berwarna jingga. Baik Ki Sampar 
maupun yang lainnya bergegas bangkit dan 
melangkah ke luar. Tapi mereka jadi kecewa 
karena tidak mendapat apa-apa, selain para 
penduduk yang panik akibat terjadi tanah longsor 
di Lereng Gunung Waru.
"Apa itu, Ki?" tanya Ki Jalak yang berada di 
samping Ki Sampar.
Ki Sampar tidak menjawab. Diserahkannya 
bunga anggrek jingga yang ditangkapnya barusan. 
Ki Jalak menerima bunga itu, dan 
memperhatikan dengan seksama. Kemudian 
bunga berwarna jingga itu berpindah dari tangan 
yang satu ke tangan lainnya, dan terakhir ke 
tangan Ki Dampil. Tujuh orang yang 
mendampingi Ki Sampar saling berpandangan 
satu sama lain. Mereka kemudian menatap Ki 
Sampar seakan meminta penjelasan tentang 
bunga anggrek jingga ini.
Belum juga ada yang melontarkan 
pertanyaan, Ki Sampar sudah melangkah ke 
samping rumahnya. Sementara tujuh orang 
pemuka desa itu jadi bertanya-tanya terhadap

sikap kepala desa itu yang terasa aneh. Dan 
mendadak saja semuanya dikejutkan suara 
ringkik kuda, lalu terlihat Ki Sampar memacu 
cepat kudanya. 
"Ki...!" teriak Ki Jalak memanggil.
Tapi Ki Sampar tidak mempedulikan, dan 
terus memacu cepat kudanya membelah jalan 
berdebu. Orang-orang yang memadati jalan, 
langsung menyingkir. Sementara tujuh orang di 
depan rumah kepala desa itu hanya bisa 
bertanya-tanya sambil saling melemparkan 
pandang.
"Kenapa kalian diam saja? Ayo, ambil kuda. 
Kejar Ki Sampar!" sentak Ki Dampil ketika 
tersadar.
Tanpa banyak berbicara, mereka bergegas 
mengambil kuda masing-masing yang tertambat 
di bawah pohon, di samping rumah ini. Sebentar 
saja tujuh ekor kuda sudah berpacu cepat 
mengejar Ki Sampar yang sudah jauh memacu 
cepat kudanya. Penduduk desa yang sedang 
diliputi kepanikan, jadi bengong melihat kepala 
desa mereka beserta pemuka-pemuka desa 
lainnya berkuda dengan cepat menuju Lereng 
Gunung Waru.
***

Tak ada seorang pun yang membuka suara 
begitu sampai di Lereng Gunung Waru. Keadaan 
permukaannya begitu berantakan, seperti baru 
saja diamuk ribuan gajah murka. Batu-batu 
bertebaran di mana-mana. Pepohonan besar dan 
kecil bertumbangan saling tumpang tindih. 
Delapan orang dari Desa Coket turun dari 
punggung kuda masing-masing.
Mereka tidak ingin mengambil resiko 
tergelincir karena terlalu sulit melalui jalan yang 
berantakan dengan pepohonan tumpang tindih 
tak beraturan. Belum lagi batu-batu yang 
sewaktu-waktu mungkin akan menggelinding. Ki 
Sampar berjalan paling depan. Mereka semua 
meninggalkan kuda di tempat yang aman.
"Ki, ke sini...!" tiba-tiba salah seorang berteriak.
Semua orang yang bergerak menyebar, 
langsung menoleh ke arah suara tadi. Tampak 
salah seorang dari mereka yang kelihatan paling 
muda, berdiri tegak di samping sesosok tubuh 
berlumuran darah yang tergolek di atas batu 
besar. Mereka bergegas menghampiri.
"Santika...," desis Ki Sampar begitu dekat
Kepala desa itu langsung menghambur dan 
memeluk tubuh tak bernyawa lagi Sementara, 
yang lainnya hanya bisa menarik napas panjang

dan berat sambil menundukkan wajah. Ki 
Sampar mengangkat kepalanya, memandangi 
para pembantunya yang hanya diam dengan 
kepala tertunduk.
"Inilah yang kucemaskan sejak tadi...," suara 
Ki Sampar terdengar lirih dan agak tersendat
Tak ada yang membuka suara. Mereka 
semua tahu, kalau pemuda berbaju putih yang 
berada di pelukan Ki Sampar itu adalah Santika. 
Putra tunggal Ki Sampar itu baru saja 
menyelesaikan pelajarannya di sebuah padepokan 
yang terletak di sebelah Timur Kaki Gunung Waru 
ini. Baru dua pekan Santika berada di desa 
kelahirannya, dan sekarang tergolek berlumuran 
darah tak bernyawa lagi.
Dua orang langsung bergerak maju, lalu 
mengangkat tubuh Santika. Ki Sampar bangkit 
berdiri. Ditariknya napas panjang, mencoba 
meredakan gejolak yang menggelegak dalam 
dada. Entah apa yang ada di dalam hati kepala 
desa itu. Yang jelas, kematian Santika sangat 
memukul perasaannya. Dia tidak mampu lagi 
berkata-kata. Sementara tiga orang menggotong
Santika menuruni lereng. Dua orang lagi mengi-
kuti dari belakang. Tinggal Ki Jalak dan Ki Dampil 
yang masih menemani kepala desa itu.

"Ki Sampar...," panggil Ki Dampil pelan. 
Ki Sampar memutar tubuhnya menghadap 
dua orang pembantunya yang setia menemani. Dia 
mendesah panjang dan terasa begitu berat 
Dipandanginya Ki Dampil dan Ki Jalak bergantian, 
seakan-akan mencari kekuatan pada dua orang di 
depannya ini.
"Sebaiknya kita cepat mengurus jasad 
Santika, Ki," usul Ki Dampil pelan.
"Yaaah...," desah Ki Sampar lirih.
Ketiga orang itu mengayunkan kakinya 
pelahan menuruni lereng, menyusul lima orang 
lainnya yang sudah lebih dahulu berjalan 
membawa jasad Santika. Tampak Ki Sampar 
begitu terpukul menghadapi kenyataan pahit ini.
Putra satu-satunya tewas dengan tragis sekali, 
tanpa diketahui penyebabnya. Kematian Santika 
tepat waktunya dengan terjadinya tanah longsor, 
sehingga membuat kepanikan seluruh penduduk 
Desa Coket.
Sedangkan di dalam benak Ki Dampil dan Ki 
Jalak, terbetik satu pertanyaan yang sangat 
menggangu. Mereka tidak tahu, untuk apa 
Santika berada di lereng gunung ini? Mungkinkah 
Santika tewas terkena longsoran? Tapi rasanya 
tidak mungkin. Mereka tahu kalau Santika

memiliki tingkat kepandaian tinggi. Bukan suatu 
hal yang sulit bagi orang berkepandaian tinggi
untuk menghindaritanah longsor, bagaimanapun 
dahsyatnya.
Tapi mereka mendapatkan Santika tewas di 
antara reruntuhan longsoran tanah dan 
bebatuan. Kepalan pecah, dan dadanya terbelah 
sangat lebar. Tubuh anak muda itu ditemukan 
tergeletak di atas sebongkah batu besar. 
Sedangkan sebelah kakinya terhimpit sebatang
pohon. Melihat keadaan Santika yang demikian, 
memang kemungkinan besar terkena longsoran. 
Tapi, apa hubungannya dengan anggrek Jingga? 
Ki Sampar langsung ke lereng gunung ini begitu 
menerima bunga anggrek Jingga yang 
dilemparkan orang tidak dikenal, Inilah yang 
membuat Ki Dampil dan Ki Jalak jadi bertanya-
tanya.
***
Kematian Santika merubah wajah Desa Coket
yang semula selalu cerah, mendadak terselimut 
duka mendalam. Siapa yang tidak kenal Santika? 
Semua penduduk Desa Coket mengenal pemuda 
itu. Bukan saja sebagai putra kepala desa, tapi

sebagai putra Desa Coket satu-satunya yang 
memiliki tingkat kepandaian tinggi. Namun kini 
pemuda yang menjadi kebanggaan, seluruh 
penduduk desa itu telah tiada. Dia tewas tepat
saatterjadinya longsor di Lereng Gunung Waru.
Kematian Santika juga terdengar sampai ke 
Pade-l»kan Sangga Langit, tempat pemuda itu 
mempelajari ilmu olah kanuragan. Eyang 
Palandara yang menjadi ketua sekaligus Guru 
Besar Padepokan Sangga Langit menyempatkan 
diri datang bersama enam orang muridnya ke 
Desa Coket. Dia begitu menyesalkan kematian
Santika, karena pemuda itu salah seorang murid 
kesayangan yang memiliki bakat luar biasa dalam 
ilmu olah kanuragan.
"Bagaimana ini bisa terjadi, Ki Sampar?v tanya 
Eyang Palandara ingin tahu.
"Entahlah.... Aku sendiri tidak habis mengerti, 
Eyang," jawab Ki Sampar lirih.
"Rasanya tidak mungkin kalau Santika tewas 
hanya karena longsoran," tegas Eyang Palandara 
setengah bergumam.
"Kami mendapatkannya sudah tewas di 
antara reruntuhan longsoran, Eyang," celetuk Ki 
Jalak.

"Hm..., apakah Santika memang selalu ke 
Lereng Gunung Waru?" tanya Eyang Palandara 
lagi.
Laki-laki tua yang selalu mengenakan jubah 
dan ikat kepala putih itu, tidak percaya kalau 
Santika tewasnya karena tertimpa longsoran. 
Eyang Palandara tahu betul kalau muridnya itu 
memiliki tingkat kepandaian yang tinggi. Bahkan 
ilmu-ilmu yang diturunkannya nyaris dikuasai 
sempurna. Sukar dipercaya kalau Santika tidak 
bisa selamat dari longsoran. Apalagi, longsoran itu 
tidak terlalu besar.
'Tidak, Eyang," sahut Ki Sampar. Eyang 
Palandara memandang setiap orang yang ada di 
ruangan depan rumah Ki Sampar ini. Jawaban Ki 
Sampar barusan membuatnya jadi berpikir lain.
Dia tahu betul watak Santika. Pemuda itu tidak
akan pergi ke tempat yang belum pernah 
dikunjungi jika tidak ada sesuatu yang menarik 
perhatiannya.
"Eyang, kami mengetahui Santika ada di 
lereng setelah menerima sekuntum bunga 
anggrek Jingga, sesaat setelah terjadi longsoran di 
lereng itu," jelas Ki Dampil.

"Benar, Eyang. Bahkan kami semua heran, 
karena Ki Sampar tiba-tiba saja mengambil kuda 
dan menuju lereng itu," sambung Ki Jalak.
"Hm.„. Benar itu, Ki Sampar?" Eyang 
Palandaramenatap Ki Sampar dalam-dalam.
"Benar, Eyang," sahut Ki Sampar pelahan.
"Jadi sebelumnya kau tahu kalau Santika ada 
di Lereng Gunung Waru?" Eyang Palandara ingin 
ketegasan.
"Tidak! Tapi..., entahlah! Tiba-tiba saja aku 
mempunyai
perasaan tidak enak," jawab Ki Sampar.
Eyang Palandara menatap Ki Sampar 
semakin
dalam. Sedangkan yang ditatap hanya tertunduk 
saja
tak sedikit pun mengangkat kepala. Ketua 
Padepokan
Sangga Langit itu merasakan kalau kepala desa di 
depannya itu menyimpan sesuatu yang tidak 
ingin diungkapkan.
"Anggrek Jingga...,",desis Eyang Palandara. 
Beberapa saat lamanya di ruangan yang tidak 
terlalu besar itu sunyi. Tak ada seorang pun yang 
meml buka suara. Sementara Ki Sampar tetap 
tertunduk dalam. Bukan hanya Eyang Palandara

yang tidak percaya terhadap semua jawaban Ki 
Sampar, tapi pemuka-pemuka Desa Coket juga 
tampaknya seperti tidak puas. Mereka tahu kalau 
sejak terjadinya longsor di lereng gunung, sikap Ki 
Sampar sudah terlihat aneh. Bahkan dia cepat 
pergi begitu menerima sekuntum bunga anggrek 
yang dilemparkan orang tidak dikenal.
Mereka semua tidak mau mempercayai, tapi 
tidak bisa mendesak Ki Sampar untuk 
mengatakan yang sebenarnya. Kepala desa itu 
sedang diliputi duka yang mendalam akibat 
kematian putra tunggalnya, dan kini hidupnya 
sebatang kara. Istrinya sudah meninggal berapa 
tahun yang lalu, dan sekarang anak tunggalnya 
menyusul. Sukar untuk dilukiskan, bagaimana 
perasaan Ki Sampar saat ini.
Merasa tidak mungkin bisa mendesak Ki 
Sampar untuk berterus terang, Eyang Palandara 
dan enam orang muridnya mohon diri. Mereka 
kembali ke Padepokan Sangga Langit di Kaki 
Gunung Waru sebelah timur. Ki Dampil dan 
beberapa pemuda desa lainnya Ikut 
mengantarkan mereka sampai ke batas desa.
Ki Dampil dan empat orang pemuka desa 
baru berbalik setelah rombongan Eyang 
Palandara tidak terlihat lagi. Tapi belum juga

bergerak, mendadak beberapa bunga anggrek 
berwarna Jingga meluruk deras ke mereka.
"Awas...!" teriak Ki Dampil.
Laki-laki tua itu cepat melompat dan 
berputaran di udara. Empat orang pemuka desa 
lainnya ikut berlompatan menghindari terjangan 
bunga-bunga anggrek tapi malang, dua di 
antaranya terhantam bunga-bunga anggrek
Jingga itu. Jeritan melengking terdengar menyayat 
saling susul. 
"Hi hi hi...!"
"Heh!" Ki Dampil tersentak kaget.
Orang tua itu tidak sempat lagi 
memperhatikan dua orang pemuka desa yang 
tewas tertembus bunga anggrek Jingga. 
Sedangkan dua orang lagi bergegas mendekati Ki 
Dampil, tepat ketika empat orang wanita muda 
berwajah cantik muncul tiba-tiba.
"Siapa kalian?!" bentak Ki Dampil.
"Kau tidak perlu tahu siapa kami, orang tua 
ceriwis!" sahut gadis yang memakai baju biru. 
Suaranya terdengar dalam, mengandung 
ketegasan berbau kekejaman.
"Kalian pasti yang membunuh Santika!" 
dengus Ki Dampil langsung menebak.

Empat orang gadis cantik itu hanya tertawa 
saja. Sikap mereka begitu meremehkan. Sedikit 
pun tidak memandang sebelah mata pada tiga 
orang pemuka Desa Coket ini. Pelahan-lahan Ki 
Dampil mencabut golok yang terselip di pinggang. 
Sementara dua orang yang berada di sampingnya 
langsung menggeser menjauh ke samping. 
Mereka juga segera mencabut golok masing-
masing.
"Untuk apa kalian mencabut golok? Kami 
datang hanya ingin memberi peringatan. Jangan 
sok usil mencampuri urusan orang lain!" tegas 
gadis yang berbaju merah.
"Katakan, apakah kalian yang membunuh 
Santika?!" bentak Ki Dampil tidak menghiraukan 
ancaman gadis itu.
"Kalau iya, kau mau apa?" 
"Iblis...! Kau harus menerima hukumannya!" 
desis Ki Dampil menggeram. 
"Ha ha ha...!"
Keempat gadis cantik itu tertawa terbahak-
bahak. Sementara Ki Dampil semakin geram saja 
melihat tingkah gadis-gadis yang memuakkan ini. 
Tanpa banyak bicara lagi, orang tua itu langsung 
melompat menerjang sambil berteriak keras 
menggelegar.


"Hiyaaat..!"
Serangan Ki Dampil diikuti dua orang yang 
menyertainya. Sedangkan gadis yang berbaju 
merah langsung melompat mundur, dan tiga 
gadis lainnya bergerak menyongsong serangan itu. 
Sengaja mereka menghadapi satu lawan satu.
Pertarungan pun tak bisa dihindari lagi. 
Namun gadis-gadis cantik itu rupanya memiliki 
tingkat kepandaian yang cukup tinggi juga. 
Buktinya mereka seperti bermain-main saja 
melayani orang-orang tua Pemuka Desa Coket ini. 
Namun setelah beberapa jurus berlangsung, baru 
gadis-gadis itu menunjukkan kemampuan yang 
sesungguhnya. Dan, tiba-tiba saja terdengar suara 
jeritan melengking menyayat.
Tampak salah seorang pemuka desa 
terhempas
dan tergeletak di tanah. Darah mengucur deras 
dari
dadanya yang terbelah. Belum lagi lenyap jeritan
panjang melengking tadi, kembali menyusul 
jeritan me-
nyayat Tampak satu orang lagi menggelepar 
bersim-
bah darah. Ki Dampil yang menyadari kalau 
gadis

gadis ini memiliki kepandaian jauh di atasnya, 
langsung
melompat mundur.
Tapi gadis berbaju hijau yang bertarung 
dengannya tidak memberi kesempatan baginya 
untuk melarikan diri. Cepat-cepat diterjangnya 
laki-laki tua itu sambil dikebutkan pedangnya. 
Terpaksa Ki Dampil harus kembali bertarung, 
meskipun hatinya sudah tidak yakin akan dapat 
mengungguli lawannya. Sementara ketiga gadis 
lainnya hanya menyaksikan sambil tersenyum-
senyum.
"Yeaaah...!"
Tiba-tiba saja gadis berbaju hijau itu berteriak 
lantang. Dan dengan satu kecepatan bagai kilat, 
dilayangkan satu tendangan keras menggeledek. 
Tendangan yang begitu cepat, tidak dapat 
dihindari lagi, tepat menghantam dada Ki Dampil. 
Akibatnya orang tua itu terpekik dan terpental ke 
belakang.
Keras sekali Ki Dampil terjatuh ke tanah. 
Sebentar dia menggeliat, laki mencoba bangkit 
berdiri. Namun belum juga mampu berdiri, gadis 
berbaju hijau sudah melompat sambil 
menghunus pedangnya yang tajam berkilatan.

Teriakannya keras membuat jantung orang tua 
itu bergetar.
Ki Dampil tak bisa berbuat apa-apa lagi. 
Dipejamkan matanya menerima saat-saat 
kematian. Namun begitu ujung pedang gadis 
berbaju hijau itu hampir memanggang leher Ki 
Dampil, mendadak saja sebuah bayangan 
berkelebat cepat menyambar tubuhnya.
Slap!
***
DUA


"Setan!" geram gadis berbaju hijau itu begitu 
ladangnya hanya menghunjam tanah kosong.
Sementara Ki Dampil entah berada di mana. 
Begitu cepatnya bayangan itu berkelebat dan 
menyambar tubuh orang tua itu, sehingga 
keempat gadis itu tidak bisa melihatnya. Bahkan 
tidak disadari sama sekali. Ketiga gadis lain segera 
menghampiri gadis berbaju hijau yang 
mengumpat dan memaki-maki sendirian.
"Ayo, cepat tinggalkan tempat ini sebelum ada 
yang datang," ajak gadis berbaju merah.

"Huh!" gadis berbaju hijau itu bersungut-
sungut.
"Ayo, cepat..!"
Tanpa membuang-buang waktu lagi, mereka 
cepat berlompatan meninggalkan tempat itu dan 
meninggalkan empat mayat bergelimpangan 
berlumuran darah. Setelah empat gadis cantik itu 
tidak terlihat lagi, dari balik sebuah pohon besar, 
keluar Ki Dampil bersama seorang pemuda 
berwajah tampan mengenakan baju kulit 
harimau.
"Oh...," Ki Dampil mengeluh menyaksikan 
empat orang temannya tewas.
Orang tua itu memandangi empat sosok 
tubuh tak bernyawa di depannya. Darah terus 
mengucur keluar dari luka-luka di tubuh mereka. 
Sementara di samping Ki Dampil berdiri seorang 
pemuda tampan berbaju kulit harimau yang tadi 
menolongnya. Dia hanya diam saja memandangi 
empat sosok mayat yang masih mengucurkan 
darah segar. Wajahnya begitu datar tanpa ada 
sinar sedikit pun.
"Anak muda. Terima kasih atas pertolongan
sehingga nyawaku terselamatkan. Tapi mereka., 
sungguh malang nasibnya...," ucap Ki Dampil


seraya merayapi empat orang temannya yang 
sudah menjadimayat
Pemuda berbaju kulit harimau itu hanya diam 
saja. Diayunkan kakinya mendekati salah satu 
mayat, lalu dibungkukkan tubuhnya sedikit 
Dengan dua jari, dicabutnya sekuntum bunga 
anggrek yang tertancap di dada mayat itu. 
Dipandanginya bunga anggrek Jingga itu. Ki 
Dampil menghampiri. Laki-laki tua itu memungut 
anggrek Jingga yang tergeletak di tanah.
"Siapa mereka, Ki?" tanya pemuda berbaju 
kulit harimau itu.
"Aku tidak tahu siapa mereka," sahut Ki 
Dampil. Pemuda itu menatap Ki Dampil. 
Digenggamnya bunga anggrek Jingga yang 
berlumuran darah. Kemudian pandangannya 
beralih ke arah empat gadis cantik tadi pergi. Dan 
tanpa berkata sesuatu, pemuda itu cepat melesat 
pergi. Begitu cepatnya, sehingga dalam sekejap 
mata saja sudah lenyap dari pandangan. 
"Heh...?’’ Ki Dampil terperanjat.
Tapi laki-laki tua itu tidak bisa berbuat apa-
apa lagi. Pemuda yang telah menyelamatkan 
nyawanya lebih dulu lenyap bagaikan tertelan 
bumi Ki Dampil hanya bisa memandangi arah 
kepergian pemuda berbaju kulit harimau itu.

"Hhh..., kenapa aku tidak menanyakan 
namanya tadi..? Siapa anak muda itu..?" desah Ki 
Dampil pelahan.
Sebentar orang tua itu masih berdiri dengan 
benak bertanya-tanya. Kemudian diayunkan 
kakinya cepat menuju Desa Coket kembali. Dia 
harus mengabarkan tentang peristiwa ini pada 
kepala desa, dan segera membawa penduduk 
untuk mengurus mayat-mayat yang 
bergelimpangan.
***
Malam sudah begitu larut Angin berhembus 
kencang menyebarkan udara dingin yang 
menggigilkan. Suasana seperti ini membuat 
seluruh penduduk Desa Coket lebih senang 
mengurung diri dalam kamar. Hanya ada 
beberapa peronda malam saja yang terpaksa 
menjalankan tugasnya, bergelut melawan 
dinginnyaudara malam ini
Hampir semua penduduk Desa Coket terlelap 
dalam buaian mimpi. Tapi tidak demikian halnya 
di sebuah kedai minum. Meskipun malam begitu 
kelam dan udara menggigilkan, namun 
pengunjung setia kedai minum itu tidak 
menghiraukannya. Terlebih lagi kedai ini juga 
menyediakan wanita-wanita untuk menghibur

dan menghangatkan suasana. Kedai ini memang 
letaknya agak jauh dari perumahan penduduk 
lainnya. Bahkan bisa dikatakan menyendiri, dekat 
perbatasan desa. Tidak heran, meskipun buka 
sampai jauh malam, tidak ada satu penduduk 
pun yang merasa tergangguketenangannya.
Tepat tengah malam, seekor kuda berjalan 
pelan menuju kedai minum itu. Penunggangnya 
seorang wanita berwajah cantik mengenakan baju 
ketat warna merah, sehingga membentuk 
tubuhnya yang ramping. Dihentikan kudanya 
tepai di depan kedai, lalu ditambatkannya. 
Ayunan langkahnya tenang ketika memasuki 
kedai. Beberapa pasang mata menatap liar tak 
berkedip. Namun wanita itu tetap melangkah 
tenang, dan duduk di bangku yang kosong 
menghadapi sebuah meja bundar kecil. Seorang 
pelayan wanita bertubuh gemuk menghampiri.
"Beri aku arak yang terbaik," pinta wanita itu 
sebelum pelayan wanita gemuk menyapanya.
"Berapa guci, Nisanak?" tanya wanita gemuk 
itu.
"Lima."
Saat itu terdengar tawa terbahak-bahak dari 
arah samping kanan. Wanita berbaju merah itu 
hanya melirik saja. Tampak dua orang laki-laki

sedang tertawa sambil memandangi dirinya. 
Beberapa laki-laki lain juga memandang ke 
arahnya. Memang, semua pengunjung kedai ini 
semuanya laki-laki, jadi terasa sangat aneh kalau 
ada seorang wanita masuk ke dalam kedai ini. 
Terlebih lagi di tengah malam buta seperti ini.
Wanita cantik berbaju merah itu tidak 
mempedulikan ocehan-ocehan beberapa laki-laki 
yang diselingi tawa lepas berderai Dia tahu, kalau 
ocehan itu tertuju padanya dan sedikit pun tidak 
dipedulikan. Sementara pelayan wanita bertubuh 
gemuk sudah pergi mengambil pesanan tamunya 
ini. Pandangan wanita itu tertumbuk pada 
seorang pengunjung kedai yang duduk agak 
menyendiri di sudut. Seorang pemuda memakai 
bajukulit harimau.
"Hm...," gumam wanita berbaju merah itu 
pelan.
Pelayan wanita gemuk datang lagi sambil 
membawa lima guci arak yang dipesan wanita itu. 
Saat pelayan itu selesai meletakkan guci-guci arak 
di atas meja dan ingin kembali, wanita berbaju 
merah itu mencekal lengannya.
"Satu guci berikan pada orang yang di sudut 
itu," perintah wanita berbaju merah itu.

Tanpa menjawab sedikit pun, wanita bertubuh 
gemuk itu mengambil satu guci arak dan 
membawanya kepada pemuda yang duduk di 
sudut. Diletakkannya guci arak itu di atas meja di 
depan pemuda itu.
"Maaf, aku tidak memesan arak lagi," tolak pe-
muda itu.
"Gadis itu yang memberikannya," jelas pelayan 
gemuk itu sambil menunjuk wanita berbaju 
merah.
Pemuda berbaju kulit harimau itu melirik 
sedikit, dan keningnya agak berkerut. Sementara 
pelayan wanita gemuk sudah meninggalkannya, 
kembali sibuk melayani tamu-tamu lain. Tampak 
wanita cantik itu mengangkat gelas bambunya 
dan tersenyum pada pemuda di sudut. 
Diteguknya sedikit arak di dalam gelas yang 
terbuat dari bambu halus.
Saat itu seorang laki-laki berwajah kasar 
penuh brewok menghampiri gadis berbaju merah 
itu. Tubuhnya agak limbung saat berjalan, 
sehingga guci arak yang dibawanya terguncang-
guncang. Suara tawa terkekeh terdengar 
sumbang di telinga. Dia berdiri di seberang meja 
wanita berbaju merah itu.

"He he he.... Nisanak, aku mengundangmu 
datang ke mejaku. Biar aku yang bayar semua 
minuman di sini. He he he...," suara laki-laki 
berwajah kasar terdengar serak karena 
kebanyakan arak.
'Terima kasih. Aku biasa minum sendiri," 
tolak wanita itu halus.
"Nisanak, tidak ada seorang pun yang bisa 
menolak undangan Kebo Rimang!" sentak laki-laki 
itu.
"Cocok sekali," ringan sekali wanita itu 
berkata.
"Heh! Apanya yang cocok...?"
"Sesuai dengan namamu. Kau memang mirip 
kerbau!"
Seketika suara tawa meledak di kedai ini. 
Sedangkan laki-laki yang mengaku bernama Kebo 
Rimang itu jadi memerah wajahnya. Dia memang 
seperti kerbau. Wajahnya kasar penuh brewok, 
dan tubuhnya tinggi besar dengan dada berbulu 
lebat. Sebuah gagang golok menyembul keluar 
dari pinggang.
"Keparat1 Kau berani menghinaku, Cah 
Ayu...?!' geram Kebo Rimang, meluap amarahnya.
Digebrakkan kepalan tangannya yang besar 
ke meja, sehingga seketika itu juga meja di depan

gadis berbaju merah itu hancur berantakan. Tapi 
gadis itu kelihatan tenang saja, sedikit pun tidak 
mempedulikan meja di depannya yang hancur 
berantakan.
"Malam ini kau harus ikut denganku!"
Kebo Rimbang menjulurkan tangannya ke 
wajah gadis itu. Tapi mendadak saja gadis itu 
mengibaskan tangannya. Dan....
Plak!
"Akh...!" Kebo Rimang terpekik keras.
Tubuh yang besar itu terpental ke belakang,
menabrak sebuah meja hingga hancur 
berantakan. Se-mua pengunjung kedai jadi 
terkejut Sungguh tidak di-sangka kalau gadis 
yang kelihatan lemah, ternyata
mampu membuat Kebo Rimang yang bertubuh 
besar ituterjungkal.
"Keparat...!" Kebo Rimang menggeram marah. 
Cepat-cepat laki-laki kasar itu bangkit berdiri, 
langsung mencabut goloknya. Sambil 
menggerung keras, dia melompat seraya 
membabatkan goloknya ke arah gadis berbaju 
merah itu. Cepat sekali gerakannya, dan semua 
pengunjung kedai menahan napas, tapi yang 
terjadi sungguh di luar dugaan. Gadis itu tetap 
duduk tenang di kursi.

Entah bagaimana kejadiannya, tangannya 
hanya digerakkan sedikit sambil tubuhnya ditarik 
ke belakang. Dan tahu-tahu, Kebo Rimang 
menjerit melengking tinggi. Tubuhnya terhuyung-
huyung ke belakang. Tampak goloknya sendiri 
menancap dalam di dada yang berbulu tebal. 
Kebo Rimang jatuh menggelepar, langsung 
mengerang meregang nyawa. Tak berapa lama 
kemudian, dia diam tak bergerak-gerak lagi, tewas 
tertancap goloknya sendiri.
Melihat kejadian itu, sebagian pengunjung 
kedai langsung berlarian ke luar. Tapi bagi mereka 
yang mempunyai nyali cukup besar, tetap 
bertahan di tempatnya. Terutama empat orang 
laki-laki yang tadi duduk satu meja dengan Kebo 
Rimang. Mereka langsung berlompatan sambil 
rnencabut golok masing-masing.
"Perempuan keparat...!"
Tanpa banyak bicara lagi, keempat laki-laki
langsung menyerang. Golok mereka mengibas ke 
arah wanita berbaju merah itu. Tapi mendadak 
saja waniita itu melesat ke atas, dan tahu-tahu 
sudah duduk kembali di kursi lain. Laki-laki 
bersenjata golok itu jadi kelabakan, karena orang 
yang diserang tahu-tahu sudah berpindah tempat 
tanpa diketahui gerakannya. Dan sebelum

disadari apa yang terjadi, wanita berbaju merah 
itu cepat mengibaskan tangannya. Terlihat kilatan 
cahaya Jingga berkelebat menerjang empat laki-
laki itu. Seketika terdengar jeritan-jeritan 
melengking, disusul ambruknya keempat laki-laki 
itu Hanya sebentar mereka menggelepar, 
kemudian diam tidak berkutik lagi.
"Anggrek Jingga...," terdengar desisan 
tertahan.
Desisan yang begitu pelan, rupanya terdengar 
juga sampai ke seluruh ruangan kedai itu. Dan 
hal itu membuat semua pengunjung kedai yang 
semula masih bertahan, langsung angkat kaki 
mengambil langkah seribu. Kini di dalam kedai itu 
tinggal si wanita berbaju merah dan pemuda 
berbaju kulit harimau yang masih saja tetap 
duduk tenang di sudut ruangan kedai minum ini. 
Entah ke mana, tahu-tahu semua pelayan dan 
wanita penghibur di kedai ini lenyap begitu saja. 
Mungkin mereka merasa takut begitu wanita 
berbaju merah ini mengeluarkan anggrek Jingga 
untuk menyudahi ke sombongan empat laki-laki 
itu
***

Nama Anggrek Jingga memang menjadi 
momok menakutkan di Desa Coket ini. Sejak 
terbunuhnya empat orang pemuka desa di dekat 
perbatasan sebelah Timur, nama itu semakin 
terkenal dan ditakuti Karena senjata anggrek 
berwarna Jingga itu, maka seluruh penduduk 
desa menyebutnya si Anggrek Jingga. Padahal tak 
seorang pun yang tahu, siapa dan ada berapa 
orang si Anggrek Jingga itu.
"Kau tidak pergi, Pendekar Pulau Neraka?" 
lembut namun terdengar tajam suara wanita
cantik berbaju merah itu.
Pandangan matanya lurus dan tajam tertuju 
langsung pada pemuda berbaju kulit harimau 
yang duduk di sudut ruangan. Pemuda itu 
mengangkat kepalanya. Sejenak mereka saling 
berpandangan tajam. Tampak sorot mata pemuda 
itu begitu terkejut, namun mampu ditutupi 
dengan sikap yang tenang dan senyuman ter-
sungging di bibir.
"Dari mana kau tahu julukanku, Nisanak? 
Sedangkan aku tidak tahu siapa dirimu," datar 
sekali nada suara pemuda itu.
Pemuda berbaju kulit harimau itu memang 
Pendekar Pulau Neraka, yang nama aslinya Bayu 
Hanggara. Sedangkan wanita cantik berbaju

merah itu hanya tersenyum saja. Dia bangkit 
berdiri dan melangkah tenang menghampiri, lalu 
duduk di depan Bayu. Kedua orang itu hanya 
dibatasi sebuah meja bundar kecil.
"Seperti kata mereka, aku bernama Anggrek 
Jingga," ujar wanita itu.
"Aku ingin tahu namamu yang sebenarnya," 
dingin nada suara Bayu.
"Kau cukup mengenalku begitu," balas 
Anggrek' Jingga tidak kalah dingin.
"Baiklah. Lalu, apa maksudmu membuat onar 
di sini?"
"Aku...?" Anggrek Jingga tertawa renyah. "Apa-
kah kau tidak melihat? Bukan aku yang memulai, 
tapi mereka!"
"Kedatanganmu ke sini yang mengundang, 
Anggrek Jingga."
"Hhh! Dasar laki-laki!" dengus Anggrek Jingga. 
"Apa ada larangan wanita datang ke sini? Dasar 
mereka saja yang tidak tahu diri!"
"Aku tidak ingin berdebat denganmu. Aku 
tahu, kedatanganmu ke sini sengaja mencariku," 
potong Bayu tegas. "Nah! Ada keperluan apa kau 
ingin bertemu denganku?"

'Ternyata kau tidak bisa sedikit santai, 
Pendekar Pulau Neraka. Kenapa kau selalu tidak 
bisa menganggap enteng semua persoalan?"
"Tidak semua!"
"Baik..., memang tidak semua. Tapi kau selalu 
memandang serius setiap persoalan yang bukan 
persoalanmu. Dan kau terlalu suka ikut campur 
urusan orang lain!" agak lantang suara Anggrek 
Jingga.
"Apa maksudmu, Anggrek Jingga?" tanya 
Bayu tidak mengerti.
"Dengar, Pendekar Pulau Neraka. Aku tahu, 
kau seorang pengelana. Dan kau bebas berada di 
mana saja, di tempat yang kau suka. Hanya saja 
yang tidak kusukai, kehadiranmu di sini dan 
kelancanganmu mencampuri urusanku!" agak 
tertekan nada suaraAnggrek Jingga.
"Hm.... Jadi kau yang membantai pemuka-pe-
muka desa di sini?" Bayu mulai bisa menangkap 
maksud wanita cantik ini.
"Bukan aku, tapi mereka yang membunuh diri
sendiri!"
"Kenapa kau lakukan itu?" 
"Sudah kukatakan bukan aku, tapi mereka 
sendiri!" bentak Anggrek Jingga.

"Kau atau siapa saja, yang jelas kehadiranmu 
telah meresahkan seluruh penduduk desa ini. 
Dan..., maaf. Aku tidak bisa diam begitu saja 
melihat kejahatan berlangsung di depan mataku!" 
tegas kata-kata Bayu.
"Sudah kuduga kau akan menjawab begitu," 
ujar Anggrek Jingga sinis. 'Tapi percayalah, kau 
tidak akan bisa melakukan apa-apa di sini."
Setelah berkata demikian, Anggrek Jingga 
langsung bangkit berdiri dan berjalan tenang ke 
luar kedai. Sementara Bayu masih tetap duduk di 
tempatnya sambil memandangi wanita cantik 
berbaju merah itu hingga lenyap dari pandangan. 
Sebentar kemudian terdengar suara kaki kuda 
dipacu cepat meninggalkan kedai ini.
"Hm..., siapa dia...?" gumam Bayu bertanya 
sendiri.
Sebentar Pendekar Pulau Neraka itu merayapi 
kedai yang sudah sepi. Tampak beberapa meja 
kursi berentakan. Dia meneguk habis 
minumannya, lalu bangkit berdiri setelah 
meletakkan beberapa keping uang perak di atas 
meja. Ayunan kakinya begitu tenang
meninggalkan kedai ini, dan terus berjalan ke luar
Sementara malam terus merambat semakin larut,

udara pun bertambah dingin menusuk kulit. 
Bayu berjalan semakin jauh meninggalkan kedai.
***
"Berhenti...!"
Bayu menghentikan langkahnya ketika 
mendengar bentakan keras dari belakang. Ketika 
diputar tubuh nya, tampak dua orang berjalan 
cepat menghampiri Salah seorang membawa obor 
yang terbuat dari bambu. Nyala api obor 
menerangi sekitarnya, meskipun sukar 
mengalahkan kegelapan malam ini
"Siapa kau?! Ada apa malam-malam 
keluyuran?" tanya salah seorang yang membawa 
obor.
Belum juga Bayu menjawab, terdengar suara 
ringkik kuda. Kemudian terdengar derap langkah 
kaki kuda mendekati. Tampak dari selimut 
kegelapan, muncul, seekor kuda coklat belang 
putih, ditunggangi seorang laki-laki tua berjubah 
panjang yang hampir pudar warnanya. Dua 
orang yang menegur Bayu langsung menyingkir. 
Penunggang kuda itu melompat turun begitu 
sampai di depan Pendekar Pulau Neraka. Salah 
seorang memegangi tali kekang kuda itu.

Bayu mengenali laki-laki tua ini. Orang tua 
yang ditolongnya dari maut.
"Ada apa ini?" tanya Ki Dampil.
"Orang asing ini mencurigakan, Ki," sahut 
salah seorang yang memegangi kuda.
"Hm...," Ki Dampil mengamati pemuda 
berbajukulitharimau di depannya.
Pelahan kepalanya terangguk lalu tersenyum. 
Kemudian dihampiri dan ditepuknya pundak 
Bayu. Sedangkan dua orang peronda itu jadi 
bengongtidak mengerti.
"Kalian kembali saja. Dia bukan orang asing, 
tapi sahabatku yang akan berkunjung," kata Ki 
Dampil.
"Oh, maaf," ucap kedua orang itu hampir 
berbarengan.
Bayu hanya tersenyum saja. Dan dua orang 
peronda itu bergegas pergi. Ki Dampil memegangi 
tali kekang kudanya, kemudian mengajak Bayu 
berjalan. Mereka berjalan bersisian, tanpa ada 
yang berbicara sampaibeberapa saat lamanya.
"Aku dengar ada keributan di kedai tadi," kata 
Ki Dampil membuka suara lebih dahulu. Bayu 
masih tetap diam.

"Beberapa pengunjung kedai menyebut 
tentang dirimu. Itu sebabnya aku cepat mengejar 
ke sini," sambung Ki Dampil lagi.
Bayu hanya menggumam kecil.
"Kisanak, kudengar kau bicara dengan si 
Anggrek Jingga di kedai. Hm.... Boleh aku tahu, 
apa yang kau bicarakan?" pinta Ki Dampfl lagi.
"Dia hanya memintaku untuk meninggalkan 
desa ini," sahut Bayu terus terang.
"Edan...! Apa haknya mengusirmu?" dengus 
Ki Dampil.
Bayu diam lagi, tapi tidak menghentikan 
ayunan langkahnya. Sementara Ki Dampil jadi 
bersungut-sungut tidak karuan. Sebentar 
dihentikan langkahnya dan Bayu terpaksa 
berhenti berjalan. 
"Kisanak...."
"Bayu," potong Bayu cepat. "Panggil saja aku 
Bayu."
"Aku Ki Dampil"
"Hm. Apa yang ingin kau katakan, Ki?" tanya 
Bayu.
"Apa kau ingin pergi dari desa ini?" tanya Ki 
Dampil

"Sebenarnya aku hanya lewat saja di sini, dan 
memang tidak punya urusan di desa ini," jelas 
Bayu kalem.
"Kalau aku meminta, apakah kau bersedia 
tinggal di sini untuk beberapa hari?" pinta Ki 
DampiL
"Untuk apa, Ki? Lagi pula ada yang tidak 
menghendaki kehadiranku di sini," Bayu 
mencoba menolak.
"Kau tentu sudah tahu kalau desa ini sedang 
mengalami kesulitan," bujuk Ki Dampil.
"Mungkin...," sahut Bayu seenaknya.
"Dan aku juga tahu kalau kau memiliki 
kepandaian tinggi. Kisanak, desa ini memerlukan 
seseorang yang berkemampuan tinggi untuk 
menghadapi si Anggrek Jingga," sambung Ki 
Dampil.
"Maaf, Ki. Bukannya hendak menolak, tapi 
aku tidak punya urusan di desa ini. Lagi pula aku 
tidak tahu, siapa itu Anggrek Jingga," sergah Bayu 
sopan.
"Kau sudah bicara dengannya di kedai tadi, 
Kisanak."
"Dia yang mengajakku bicara, dan aku tidak 
mengenalnya."

"Dia wanita berhati iblis. Sudah beberapa 
orang menjadi korbannya. Dan kau tahu sendiri, 
empat orang pemuka desa telah tewas olehnya."
"Rasanya bukan dia yang melakukannya, Ki,"
bantah Bayu.
"Sekutunya. Anggrek Jingga bukan satu 
orang, entah berapa orang. Yang jelas dia sudah 
menjarah desa ini, tanpa diketahui siapa saja 
orang-orangnya. Kisanak, jika keadaan seperti ini 
tetap dibiarkan berlarut-larut, bukan tidak 
mustahil seluruh penduduk desa ini akan 
dibantai habis."
"Oh..., apakah sampai sejauh itu?" 
"Memang baru lima korban. Empat pemuka 
desa, dan satu putra kepala desa. Tiga hari ini 
belum ada lagi jatuh korban."
"Belum...," gumam Bayu seperti bicara pada 
dirinya sendiri.
"Pasti akan jatuh korban berikut, Kisanak." 
Bayu terdiam membisu, dan kembali 
mengayunkan langkahnya pelahan. Sementara Ki 
Dampil mengikuti di samping sambil menuntun 
kudanya. Mereka terus berjalan tanpa bicara lagi. 
Entah apa yang ada dalam pikiran Pendekar 
Pulau Neraka saat ini. Apakah permintaan Ki
Dampil diterima, atau perjalanannya terus 
dilanjutkan?
***
TIGA


Ki Sampar memacu cepat kudanya 
menyusuritepian jurang di Lereng Gunung Waru. 
Begitu cepa nya kuda hitam itu dipacu, seakan-
akan tidak peduli jika sewaktu-waktu bisa 
tergelincir masuk ke jurang yang sangat dalam di 
sebelahnya. Kepala Desa Coket itu menghentikan 
lari kudanya setelah sampai di depan sebuah 
bangunan tua dari batu. Sebuah bangunan candi 
yang biasa digunakan untuk menyembah Hyang 
Jagat Nata.
Dengan gerakan ringan, laki-laki tua itu 
melompat turun dari punggung kudanya. 
Sebentar dirayapi sekitarnya, kemudian 
dilangkahkan kakinya menghampiri candi itu. 
Kudanya ditinggalkan begitu saja, dan binatang 
itu kini merumput dengan tenang. Pelahan kaki 
laki-laki tua itu terus terayun semakin mendekati 
bangunan batu yang tidak begitu besar di

depannya. Dia berhenti tepat sekitar dua tombak 
di depan pintu candi itu. Bentuk pintunya lebih 
mirip mulut gua batu.
"Kaukah itu, Sampar...?" terdengar suara 
lantang dan berat dari dalam candi.
"Benar, Eyang," sahut Ki Sampar.
"Ada apa kau datang ke sini?" terdengar lagi 
suara berat.
"Ada yang ingin kubicarakan padamu, 
Eyang." 
"Untuk apa? Tidak ada yang perlu 
dibicarakan. Kau sudah memilih jalanmu sendiri, 
dan tidak lagi mengindahkan peringatanku. 
Pulanglah, tidak ada gunanya lagi berada di Candi 
Laksa ini."
"Eyang, ijinkan aku bicara sedikit saja," pinta 
KiSampar memohon.
"Apa kau sudah tidak mendengar kata-
kataku lagi,Sampar...?"
"Dengar, Eyang.".
"Kenapa masih di situ?" 
"Eyang...."
"Tidak ada yang perlu dibicarakan, Sampar. 
Aku minta secepatnya kau tinggalkan Candi 
Laksa ini Kedatanganmu akan membawa 
bencana saja. Kau ingin darah menggenang di

Candi Laksa ini? Pulanglah, Sampar. Jangan kau 
rusak lagi tempat ini!" tegas kata-kata yang keluar 
dari dalam candi itu.
Ki Sampar terdiam dengan kepala tertunduk 
dalam. Pelahan diangkat kepalanya, memandang 
lurus ke dalam candi yang gelap. Hanya dari pintu 
batu ini jalan masuk ke dalam candi. Sedangkan 
tadi, sudah jelas kalau dia tidak diperkenankan 
masuk. Bahkan tegas-tegas disuruh pulang.
"Aku akan menunggu di sini sampai Eyang 
bersedia menerimaku," tekad Ki Sampar pelan.
Setelah berkata demikian, Ki Sampar duduk 
bersila di depan pintu Candi Laksa. Tangannya 
diletakkan di lutut, dan pandangannya lurus 
seakan-akan ingin menembus kegelapan di dalam 
candi itu.
"Apa yang kau lakukan, Sampar?" terdengar 
lagi suara keras dari dalam candi.
"Aku akan menunggu di sini, Eyang," sahut 
Sampar tenang.
"Heh...! Kau tidak bolehdi…”
"Aku tidak akan pergi sebelum bertemu 
Eyang, “ potong Ki Sampar cepat.
"Anak setan...!" terdengar geraman dari dala 
candi.

Ki Sampar tidak peduli, meskipun geraman 
sudah menandakan kemarahan. Laki-laki tua itu 
tetap duduk bersila, dan pandangannya tidak 
berkedip arah pintu batu yang menyerupai mulut 
gua itu.
'Tidak ada gunanya berkeras kepala, Sampar.
Kau akan mati jika tidak menuruti kata-kataku," 
bujul suara itu lagi.
Ki Sampar diam saja. Dia tetap duduk bersila 
tanpa bergeming sedikit pun.
"Sampar! Kukatakan sekali lagi, pulanglah. 
Tidak ada yang bisa kau peroleh di sini!"
Tetap saja Ki Sampar tidak peduli.
"Anak setan! Keras kepala...!" terdengar lagi 
geraman gusar.
Rupanya Ki Sampar benar-benar sudah 
nekad. Sedikit pun tidak dipedulikan suara-suara 
dari dalam candi yang sudah mulai bernada 
gusar. Dia tetap duduk bersila bagai arca batu di 
depan pintu candi itu. Sementara suara dari 
dalam candi tidak terdengar lagi. Mungkin sudah 
kesal, karena Ki Sampar tidak mempedulikannya.
"Baik, aku ingin tahu sampai di mana 
kekerasan hatimu!" dengus suara itu lagi.
Ki Sampar sedikit menyunggingkan
senyuman tipis. Tampak sinar matanya berbinar

mendengar suara terakhir itu. Dalam hati, laki-
laki tua itu sudah merasa menang. Dia tahu, 
kalau pemilik suara di dalam candi Itu tidak akan 
selamanya bertahan, dan pasti aka keluar 
menemuinya. 
"Kau pasti akan menemuiku, Eyang,” gumam 
Ki
Sampar dalam hati.
*** *
Sementara itu di Desa Coket, Ki Dampil jadi 
kelabakan karena seharian tidak menemukan Ki 
Sampar. Tidak ada yang tahu, ke mana perginya. 
Sedangkan Pendekar Pulau Neraka hanya 
menunggu saja di depan rumah kepala desa itu. 
Dari dalam, Ki Dampil menghampiri dengan 
wajah lesu. Saat itu Ki Jalak dan beberapa orang 
berkuda datang. Mereka langsung melompat 
turun dari kuda. Ki Jalak menghampiri Ki Dampil 
yang sudah berada di samping Pendekar Pulau 
Neraka, sedangkan beberapa orang lainnya 
menunggu di luar.
"Bagaimana, Ki Jalak?" tanya Ki Dampil 
langsung. Ki Jalak mengangkat bahunya. 
"Hhh..., belum pernah Ki Sampar begitu...," 
keluh Ki Dampil.

"Mungkin ke rumah sanak keluarganya," duga 
Bayu.
"Dia tidak punya keluarga lagi," ujar Ki Jalak.
"Ki Jalak...."
Ki Dampil memberi isyarat dengan matanya, 
maka Ki Jalak langsung mendekat Kemudian Ki 
Dampilmengajak Ki Jalak menjauh dari Bayu.
"Apa sudah kau cari ke rumah istri mudanya, 
bisik Ki Dampil.
"Sudah, Ki. Tapi rumah itu kosong." 
"Pembantunya?"
"Tidak ada lagi. Menurut tetangganya, Nyi 
Renggas sudah lama pergi bersama semua 
pembantunya.
"Kau tidak tanyakan ke mana perginya?"
"Sudah, tapi tidak ada yang tahu."
"Sudah berapa lama?"
"Sekitar dua purnama ini."
Ki Dampil mengangguk-anggukkan 
kepalanya, kemudian kembali menghampiri Bayu 
yang tetap menunggu. Sedangkan Ki Jalak 
menghampiri kudanya, lalu melompat naik 
dengan gerakan indah dan ringan sekari
"Aku akan mencari lagi, Ki," kata Ki Jalak. 
"Carilah ke tempat-tempat yang mungkin 
dikunjungi," ujar Ki Dampil.

Ki Jalak langsung menggebah kudanya, 
diikuti pengikutnya. Debu mengepul begitu kuda-
kuda itu melaju cepat meninggalkan halaman 
depan rumah Ki Sampar. Sementara Bayu dan Ki 
Dampil hanya memandangi saja.
"Aneh...," gumam Bayu tanpa disadari. 
"Ya...," desah Ki Dampil.
"Ki Dampil, apa tidak mungkin Ki Sampar 
pergi ke Padepokan Sangga Langit? Bukankah 
anaknya menuntut ilmu di sana?" Bayu 
menduga.
"Hm..., memang benar. Santika memang 
menuntut ilmu di Padepokan Sangga Langit 
Tapi..., untuk apa ke sana?"
"Yang jelas, ini ada hubungannya dengan si 
Anggrek Jingga itu, Ki"
Ki Dampil memandangi Pendekar Pulau 
Neraka dalam-dalam. Dugaan Bayu yang tiba-tiba 
itu memang tidak pernah terpikirkan olehnya. 
Memang ada kemungkinan Ki Sampar pergi ke 
Padepokan Sangga langit Tapi, untuk apa ke 
sana...? Inilah yang harus dibuktikan. Dan Bayu 
sudah menduga kalau kepergian Ki Sampar 
bukan saja karena kematian anaknya, tapi juga 
ada hubungannya dengan si Anggrek Jingga.


Sedangkan sampai sekarang ini belum ada 
yang tahu, siapa sebenarnya si Anggrek Jingga itu. 
Dan apa maksudnya membunuh Santika. 
Sekarang, meskipun tidak nyata, tapi sudah 
membuat gelisah seluruh penduduk Desa Coket 
ini. Memang Anggrek Jingga belum mengganggu 
ketentraman penduduk. Apalagi sampai 
mengambil korban penduduk desa. Tapi baik 
Bayu maupun Ki Dampil berkeyakinan, jika hal 
ini didiamkan berlarut-larut, bukannya tidak 
mustahil penduduk desa akan terkena juga.
"Kau tahu di mana letak padepokan itu, Ki?" 
tanya Bayu.
"Baru dua kali aku ke sana. Itu pun jika tidak 
lupa jalanannya," jawab Ki Dampil ragu-ragu.
Tunjukkan saja letaknya, aku akan pergi 
sendiri ke sana," jelas Bayu.
'Tidak mungkin, Bayu."
"Kenapa?"
"Setahuku, letak Padepokan Sangga Langit 
sangat terpencil. Malah tidak sembarang orang 
bisa memasukinya. Akan sulit bagimu untuk 
mencapai ke sana. Harus ada seseorang yang 
dikenal."
"Apakah ada orang lain di desa ini yang sering 
ke sana?"

'Tidak. Selain Ki Sampar sendiri dan aku yang
dikenal sehingga bebas keluar masuk."
'Tapi kau tidak mungkin meninggalkan desa 
ini dalam keadaan seperti ini, Ki."
"Yaaah.... Itulah sulitnya, Bayu. Sudah 
menjadi kebiasaan, jika Ki Sampar tidak ada 
maka seluruh tanggung jawab berada di 
tanganku," nada suara Ki Dampil seperti 
mengeluh.
"Kau tidak bisa meninggalkan desa ini, Ki. Se-
dangkan harus ada yang ke Padepokan Sangga 
Langit," tegas Bayu lagi.
"Aku serahkan padamu, Bayu. Rasanya 
memang hanya kaulah yang bisa ke sana, 
meskipun aku rasa apakah bisa bertemu Eyang 
Palandara atau tidak.
"Akan kuusahakan, Ki," ujar Bayu bertekad
'Terima kasih," ucap Ki Dampil.
"Maaf, aku menghambat perjalananmu."
"Lupakan saja."
***
Dengan kuda pemberian Ki Dampil, Bayu 
meninggalkan Desa Coket. Tujuannya sudah 
jelas, hendak pergi ke Padepokan Sangga Langit 
Satu-satunya tempat yang diduga Ki Sampar

berada. Tapi, baik Bayu maupun Ki Dampil serta 
semua pemuka Desa Coket tidak yakin kalau Ki 
Sampar ada di padepokan itu. Namun dalam 
keadaan seperti ini, segala kemungkinan bisa saja 
terjadi dan harus dibuktikan terlebih dahulu.
Sementara Bayu semakin jauh meninggalkan 
Desa Coket Diikutinya petunjuk Ki Dampil agar. 
menyusuri Kaki Gunung Waru, menuju ke Timur. 
Hanya ada satu jalan setapak kecil dan ini 
memudahkannya untuk memacu kudanya agar 
lebih cepat Seekor kuda hitam yang gagah, 
dengan kecepatan lari yang sangat me-
ngagumkan. Namun demikian, Bayu sebenarnya 
lebih tenang mempergunakan ilmu meringankan 
tubuh. Karena dengan begitu, bisa melatih dan 
semakin meningkatkan kemampuannya. Tapi 
pemberian Ki Dampil sulit untuk ditolak
"Ini kuda kesayanganku, Bayu. Tidak ada 
duanya di desa ini. Bahkan di seluruh Gunung 
Waru," jelas Ki Dampil saat itu.
Bayu hanya tersenyum saja setiap kali 
mengingat kata-kata Ki Dampil yang selalu 
mengagumi kuda hitam ini Sepertinya laki-laki 
tua itu berat sekali menyerahkannya. Dan Bayu 
memang mengakui kehebatan kuda hitam yang 
kini ditungganginya. Bukan saja bentuknya yang

indah dan gagah, tapi larinya pun sangat cepat 
Kuda ini juga tangkas, seakan-akan bisa mengerti 
setiap kata yang diucapkan penunggangnya. 
”Hiya! Hiyaaa...!"
Bayu terus menggebah kudanya agar berlari 
lebih cepat lagi Jalan setapak yang dilalui kini 
terasa menanjak, dan juga semakin menyempit 
Bahkan kini berbatu, yang di kanan dan kirinya 
terdapat semak belukar berduri. Tampak tidak 
seberapa jauh di set] lah kiri, terdapat jurang yang 
cukup besar dan dalai Bayu memperiambat laju 
kudanya, agar tidak tergeli cir. Memang jalan yang 
dilalui semakin mendekati jurang, dan pada 
akhirnya benar-benar berada di tepijurang.
"Hhh...," Bayu menarik napas panjang ketika 
melongokkan kepalanya ke dalam jurang.
Sungguh dalam. Sampai-sampai dasarnya 
tidak terlihat dari atas sini, karena gelap tertutup 
kabut yang bergulung-gulung. Pendekar Pulau 
Neraka itu melayangkan pandangannya ke
seberang jurang. Dalam hati diukurnya besar bibir 
jurang ini Sekali lagi dia mendesah 
menghembuskan napas panjang.
'Tidak mungkin melompatinya dengan sekali 
lesatan saja," desah Bayu dalam hati.

Bayu merasakan jalan yang dilalui semakin 
sulit.Malah beberapa kali kaki kuda hitamnya 
hampir tergelincir karena menginjak batu kerikil 
yang bertebaran di sekitar tepi jurang ini. Tak ada 
pilihan lain lagi bagi Pendekar Pulau Neraka itu, 
kecuali melompat turun dari punggung kudanya. 
Sebentar matanya! menatap ke depan, lalu 
memandangi kuda hitam di sampingnya.
"Kau tidak boleh ditinggalkan di sini, Hitam. 
Ayo, ikuti aku," kata Bayu seraya menepuk-nepuk 
leher kuda itu.
Kuda hitam itu mendengus-dengus seraya 
mengangguk-anggukkan kepalanya, seakan-akan 
mengerti ucapan Bayu. Pendekar Pulau Neraka 
itu tersenyum.
"Ayo."
Bayu meneruskan langkahnya hati-hati sekali 
sam-
bil menuntun kuda hitamnya. Dia berjalan 
mempergunakan ilmu meringankan tubuh, 
untuk mengurangi beban. Batu yang dipijaknya 
terasa begitu rapuh. Dan
kalau sewaktu-waktu runtuh, bisa langsung jatuh 
ke
dalam jurang.

Dan benar juga. Belum juga jauh berjalan, 
mendadak saja....
"Oh...!" Bayu tersentak kaget
Kepalanya terdongak ke atas, tampak
sebongkah batu yang cukup besar jatuh 
menggelinding dari atas tebing. Suaranya 
menggemuruh menggetarkan seluruh
tebing ini Sementara batu-batu lain juga 
berguguran,
makin membuat seluruh tepi jurang ini bergetar.
Belum juga Bayu sempat melakukan sesuatu, 
mendadaksaja jalan batu yang dipijaknya retak.
"Oh, tidak...!" desah Bayu agak terpekik.
"Hieeegh...!"
Tubuh Pendekar Pulau Neraka meluruk jatuh 
ke dalam jurang bersama kuda hitam yang 
meringkik melengking tinggi. Batu-batu 
berguguran menimbulkan getaran hebat dan 
suara menggemuruh. Bayu terus meluncur jatuh 
ke dalam jurang bersama kuda hitamnya serta 
reruntuhan batu.
***
Bayu mencoba tenang. Diraihnya sebongkah 
batu yang berada di dekatnya. Cepat-cepat batu 
itu ditotoknya, lalu tubuhnya melenting 
mempergunakan ilmu meringankan tubuh.

Pendekar Pulau Neraka berputar sambil meliuk-
liukkan tubuhnya menghindari batu-batu yang 
berguguran masuk ke dalam jurang. Beberapa 
kali Bayu menjejakkan kakinya di bongkahan ba-
tu, lalu melesat ke atas.
Dengan mempergunakan batu-batu yang 
berguguran, Bayu mencapai ke atas. Memang 
tidak mudah. Namun berkat kesempurnaan ilmu 
meringankan tubuh yang dimilikinya, Pendekar 
Pulau Neraka itu mampu mencapai tepi jurang. 
Dan sekali lagi ditotoknya batu dengan ujung jari 
kaki, lalu melesat naik. Cepat sekali tubuhnya 
melesat ke atas, lalu meraih sebuah dahan pohon 
yang menjorok keluar dari tepi jurang. Sebentar 
Bayu berayun-ayun, lalu sambil memutar tubuh, 
dilentingkan tubuhnya dan hinggap di tepi jurang.
"Hhh...," Bayu menarik napas panjang.
Dipandangnya tebing batu yang berguguran. 
Dengan merapatkan tubuh ke dinding batu, Bayu 
bisa menghindari hujan batu yang seperti tidak 
ada habisnya. Kala matanya memandang ke 
dalam jurang, ada kesenduan pada sinar 
matanya.
"Kasihan kau, Hitam," desah Bayu lirih.
Seluruh tebing dinding batu di tepi jurang 
maut ini masih bergetar. Meskipun sudah

berkurang, namun batu-batu masih juga 
berguguran dari atas. Bayu tetap merapatkan 
punggungnya, berlindung dari hujan batu di 
bawah sebongkah batu yang agak menjorok 
keluar. Dijulurkan kepalanya, untuk mendongak 
ke atas. Tampak batu-batu masih saja 
berjatuhan.
"Hhh..., aku tidak boleh menunggu di sini 
Sepertinya hujan batu ini tidak akan berhenti," 
gumam Bayu
pelahan.
Sebentar Pendekar Pulau Neraka itu 
mengamati keadaan sekitarnya, kemudian 
melesat. Dengan be kencang mempergunakan 
ilmu meringankan tubuh" Bayu menembus hujan 
batu. Begitu cepat dan ringan sekali gerakannya, 
seakan-akan kedua kakinya mengambang. 
Beberapa batu kecil menimpa tubuhnyatapi 
sedikit pun tak dirasakan. Bayu terus berlari, 
kadang-kadang berlompatan menghindari 
reruntuhan batu. Cukup lama juga pemuda 
berbaju kulit harim auitu harus berlari cepat, dan 
akhirnya tiba di tempat yang aman.
Pendekar Pulau Neraka tiba di sebuah padang 
rumput yang tidak seberapa luas. Padang rumput 
ini dibelah oleh jurang yang menyempit mengecil,

dari berakhir pada sebuah tebing batu cadas yang 
sangat terjal Bayu memperhatikan sekitarnya.
Dan, belum juga Pendekar Pulau Neraka itu 
mengayunkan kaki, mendadak saja dari segala 
arah bertebaran benda kecil berwarna Jingga. 
Benda-benda berbentuk bunga anggrek itu 
meluruk deras bagai hujan ke arah pemuda 
berbaju kulit harimau itu.
"Sial!" rungut Bayu. 
"Hiyaaat..!"
Pendekar Pulau Neraka itu berlompatan 
menghindari serbuan anggrek jingga yang 
bertebaran bagai hujan. Sukar baginya untuk 
memastikan arah datangnya serangan, karena 
tidak diberi kesempatan sedikit pun untuk 
melayangkan mata. Bunga-bunga anggrek jingga 
itu terus bermunculan seperti tidak pernah habis.
"Hiya! Yeaaah...!"
Bayu melentingkan tubuhnya tinggi-tinggi ke 
angkasa. Lalu, diputar tubuhnya cepat sambil 
merentangkan tangan. Dan seketika itu juga, 
entah dari mana datangnya, tiba-tiba bertiup 
angin kencang yang menderu bagai topan. Bunga-
bunga anggrek jingga itu berhamburan terhempas 
angin yang diciptakan Bayu.

Pelahan-lahan tubuh Pendekar Pulau Neraka 
yang berputaran bagai baling-baling itu 
meluruk'turun. Dan manis sekali kakinya 
menjejak tanah. Dia tidak-lagi berputar, tapi 
tangannya tetap merentang lebar ke samping.
"Yeaaah...!"
Sambil berteriak nyaring melengking, Bayu
menghentakkan tangannya ke atas hingga kedua 
telapak tangannya menyatu di atas kepala. Lalu 
dengan cepat ditarik tangannya ke depan dada. 
Matanya beredar memandang tajam sekitarnya. 
Pelahan-lahan diturunkan tangannya. Dan kini 
tak ada lagi serangan bunga-bunga anggrek 
jingga.
"Hm, tampaknya kedatanganku memang 
sudah ditunggu," gumam Bayu dalam hati.
Baru saja Pendekar Pulau Neraka itu hendak 
mengayunkan kakinya, mendadak saja dari atas 
pohon bertebaran jaring-jaring yang mengembang 
ke arahnya. Sesaat Bayu terkesiap, lalu cepat-
cepat melompat ke depan. Tapi kembali 
bermunculan jaring-jaring berwarna hitam. Dan 
Bayu berlompatan menghindarinya.
“Keparat…!”
***
EMPAT

Beberapa kali Bayu berhasil menghindar dari 
perangkap jaring-jaring yang bertebaran. Namun 
ketika dua buah bunga anggrek jingga melesat ke 
arahnya, Pendekar Pulau Neraka itu jadi 
terkesiap. Dia berusa menghindar dari terjangan 
dua bunga anggrek jin itu, tapi tidak bisa 
menghindar dari sergapan sebuahjaring.
"Ih...!"
Belum juga pemuda berbaju kulit harimau itu 
bisa melepaskan diri dari jaring hitam yang 
mengurungnya datang lagi dua jaring dan 
langsung membungkus dirinya. Dan Bayu benar-
benar tidak berdaya, sehingga jatuh tergulung 
jaring. Sia-sia Pendekar Pulau Neraka mencoba 
memberontak, karena jaring-jaring ini begitu 
kenyal dan sukar diputuskan.
"Setan...!" Bayu mengumpat geram. Pendekar 
Pulau Neraka itu tidak lagi memberontak ketika 
empat orang gadis bermunculan dari balik pohon 
dan semak belukar. Mereka masing-masing me-
ngenakan baju warna biru, kuning, hijau dan 
putih. Dihampirinya Bayu yang terjerat jaring

hitam. Salah seorang yang memegang tambang, 
langsung mendekati. Dengan gerakan cepat dan 
lincah, gadis itu berlompatan di sekitar pemuda 
berbaju kulit harimau yang kini tak berdaya. Dan 
tahu-tahu, seluruh tubuh Bayu sudah terikat 
tambang. Gadis berbaju biru yang memegang 
tambang, menyerahkan dua ujung tambang pada 
gadis lainnya. Mereka tersenyum-senyum 
memandangi Pendekar Pulau Neraka yang sudah 
tidak berdaya lagi. 
"Hei! Siapa kalian?!" teriak Bayu bertanya. 
Empat gadis cantik itu hanya tertawa' saja. 
Dua orang segera menyeret Bayu yang terikat di 
dalam jaring hitam. Sedangkan dua orang lain 
berjalan di belakang. Pendekar Pulau Neraka itu 
mencoba memberontak, tapi usahanya sia-sia 
saja. Membebaskan diri dari jaring ini saja sudah 
sulit, apalagi harus melepaskan tambang yang 
mengikat seluruh tubuhnya.
Menyadari usahanya tidak akan berhasil, 
Bayu membiarkan saja tubuhnya terseret 
Diperhatikan sekitarnya, menghapal jalan yang 
dilalui empat orang gadis cantik ini. Bayu 
mengerahkan hawa mumi untuk menahan rasa 
sakit di sekujur tubuhnya. Beberapa kali 
tubuhnya terantuk batu atau akar-akar pohon

yang tersembul keluar dari dalam tanah. Tapi 
dengan mengerahkan hawa mumi, semua rasa 
sakit tidak terasakan lagi
"Tunggu!" seru gadis yang mengenakan baju 
biru tiba-tiba.
"Ada apa?" tanya gadis yang mengenakan baju 
kuning.
"Orang ini harus dibuat pingsan. Dia tidak 
boleh mengetahui jalan yang dilalui," usul gadis 
berbaju biru itu. lagi.
“Hm, benar," sahut gadis baju hijau. 
Tanpa banyak bicara lagj, gadis baju hijau 
menggerakkan tangannya beberapa kali ke tubuh 
Pende Pulau Neraka. Sedikit pemuda berbaju kulit 
harimau itu mengeluh, lalu pandangannya jadi 
nanar. Dan sebentar kemudian tidak sadarkan diri 
lagi. Bayu tidak tahu lagi, ke mana dibawa pergi 
oleh keempat gadis cantik ini
***
"Oh...," Bayu merintih lirih. 
Pelahan-lahan Pendekar Pulau Neraka itu 
menggerakkan kepalanya, kemudian membuka 
matanya sedikit Kembali digeleng-gelengkan 
kepalanya. Seketika Bayu terkejut, begitu 
mengetahui berada di suatu ruangan yang 
seluruh dindingnya terbuat dari batu Dan

tubuhnya kini berada di sebuah pembaringan ber-
alaskan kain sutra halus berwarna merah muda.
Bayu mencoba menggelinjang, tapi jadi 
terkejut bukan main Seluruh tubuhnya terasa 
mati, tidak bisa digerakkan Sekali lagi dicobanya 
menggerakkan tangan, tapi tangannya benar-
benar lumpuh. Bayu sadar kalau pusat jalan 
darahnya sudah tertotok, dan tak mungkin bisa 
bebas meskipun mengerahkan hawa mumi. Hal 
ini disadari karena bagian kepalanya masih bisa 
bergerak, sedangkan bagian tubuh lainnya lum-
puh.
Pendekar Pulau Neraka itu memalingkan 
kepalanya ketika tiba-tiba ruangan yang semula 
remang-remang ini mendadak terang benderang. 
Kini seluruh sudut ruangan terlihat jelas. Sebuah 
ruangan yang cukup besar, berdinding batu hitam 
agak berlumut
Tidak ada jendela, tapi ada sebuah pintu dari 
kayu jati tebal yang tertutup rapat
Pandangan Bayu tertumbuk pada seorang 
wanita cantik mengenakan baju warna merah 
muda yang longgar dan tipis. Begitu tipisnya 
sehingga lekuk-lekuk tubuhnya membayang jelas. 
Wanita itu berdiri di depan pintu yang tertutup.

Bayu mengenalinya, karena pernah bertemu di 
kedai di pinggiran Desa Coket 
"Di mana aku?" tanya Bayu. Wanita cantik itu 
tidak menjawab, tapi malah tersenyum. Dengan 
langkah gemulai, wanita itu menghampiri Bayu 
dan duduk di tepi pembaringan. Tercium aroma 
harum yang menyebar dari tubuh wanita cantik 
Ini. Bayu hanya bisa memandangi saja karena 
seluruh tubuhnya sudah tertotok, tak mampu lagi 
digerakkan. 
"Kau berada di tempatku, pemuda tampan," 
jelas wanita itu lembut
"Siapa kau sebenarnya? Mengapa kau 
membawaku ke sini?" tanya Bayu beruntun.
"Kau sudah mengenal siapa aku, bukan?" 
tetap lembut suara wanita itu.
'Yang pasti, namamu bukan Anggrek Jingga!" 
dengus Bayu
"Ternyata kau seorang pemuda yang selalu 
ingin tahu tentang wanita."
Bayu mendengus sengit
"Baik! Kau boleh memanggilku Kandita. Itu 
namaku yang sebenarnya. Dan semua orang lebih 
mengenalku dengan julukan Anggrek Jingga. 
Terserah kau, ingin memanggilku yang mana," 
kata wanita itu memperkenalkan namanya.

"Kenapa kau membawaku ke sini?" tanya 
Bayu lagi.
"Hanya untuk pengamanan saja, Bayu," sahut
Kandita lembut
Kandita menjulurkan tangannya yang halus 
berjari lentik ke dada Pendekar Pulau Neraka. 
Dengan gerakan halus dan lembut, direbahkan 
kepalanya ke dada pemuda berbaju kulit harimau 
itu. Tercium bau harum yang sangat menusuk 
hidung Bayu. Pelahan wanita cantik itu 
mengangkat kepalanya, lalu merebahkan diri 
sehingga menghimpit tubuh Bayu.
Sangat terasa, dua bukit kembar yang 
terselubung kain merah itu lembut menekan dada 
Pendekar Pulau Neraka. Seketika Bayu 
merasakan napasnya sesak. Dan napasnya 
tertahan ketika Kandita dengan lembut sekali 
mengecup bibirnya. Hanya sedikit, namun sangat 
lembut dan hangat sehingga membuat Bayu sam-
pai menahan napas. Tanpa dapat dicegah lagi, 
Pendekar Pulau Neraka itu menikmati kecupan 
lembut di bibirnya tadi.
"Kau tampan sekali, Bayu," desah Kandita.
"Hhh! Dari mana kau tahu namaku?!" dengus 
Bayu.

"Mudah sekali mengetahui tentang dirimu, 
pemuda tampan," sahut Kandita seraya tertawa 
lembut "Aku tahu siapa dirimu. Seorang pendekar 
digdaya yang bergelar Pendekar Pulau Neraka. 
Sungguh...! Tak kusangka kalau semudah ini bisa 
membawamu ke sini. Ah..., ternyata Pendekar 
Pulau Neraka tidak sehebat yang dikatakan 
orang."
"Licik! Curang...!" dengus Bayu gusar. 
"Untuk mencapai apa yang diinginkan, segala 
cara akan kutempuh. Tidak ada kata licik, curang, 
atau kata-kata lain. Kau bisa melihat bagaimana 
aku melakukan sesuatu dengan perencanaan 
matang."
''Untuk apa kau lakukan semua ini?" tanya 
Bayu ingin tahu.
"Untuk apa...?" Kandita tertawa renyah. '
Wanita itu bangkit, menjauhkan tubuhnya 
dari Pendekar Pulau Neraka, tapi masih duduk di 
tepi pembaringan ini Jari-jari tangan yang lentik 
mengelus-elus dada bidang pemuda berbaju kulit 
harimau itu.
"Katakan, untuk apa kau lakukan semua ini?" 
desak Bayu.
"Sudahlah, Bayu. Tidak perlu kau ketahui 
semuanya. Percayalah! Kalau urusanku sudah

selesai, kau akan kubebaskan. Kau boleh pergi 
sesuka hatimu, bagai burung yang merdeka, 
bebas terbang ke mana saja," Kandita mencoba 
mengelak.
"Kenapa tidak kau bebaskan saja sekarang?" 
"Belum saatnya, Bayu. Nanti, kalau sudah 
saatnya tiba. Tenang sajalah di sini. Semua 
keperluanmu akan dilayani murid-muridku. 
Mereka semua cantik-cantik. Tapi, awas...! Jangan 
sekali-sekali merayu mereka. Dan kau juga jangan
terpikat oleh godaannya. Selama berada di sini, 
kau menjadi milikku!" agak tajam nada suara 
Kandita.
"Enak saja!" dengus Bayu. 
"Kau tidak bisa menolak, Bayu." Kandita 
melepaskan pakaian yang dikenakan Pendekar 
Pulau Neraka.
"Heh! Apa yang akan kau lakukan...?" senta 
Bayu terkejut
'Tenanglah.... Kau laki-laki, dan aku wanita. 
Aku rasa kau seorang laki-laki normal yang juga 
butuh belaian halus seorang wanita," tenang 
sekali suara Kandita.
"Edan! Kau tidak bisa seenaknya me...."
Belum habis Bayu bicara, Kandita sudah 
menyumpal mulut Pendekar Pulau Neraka itu

dengan mulut nya. Sehingga hanya keluhan dan 
gumaman saja yang terdengar. Bayu mencoba 
memberontak. Tapi totokan pada jalan darahnya 
begitu kuat, dan benar-benar tidak berdaya lagi.
Sementara jari-jari tangan Kandita sudah 
mulai menggerayangi tubuh Pendekar Pulau 
Neraka. Dan kini pemuda berbaju kulit harimau 
itu jadi terbeliak, manakala Kandita juga 
melepaskan pakaiannya sendiri.
"Setan kau, Kandita!" geram Bayu, memerah 
wajahnya.
"Ssst..!"
Kandita tidak mempedulikan makian pemuda 
berbaju kulit harimau itu. Napasnya sudah 
mendengus memburu. Diciuminya seluruh wajah
dan leher Bayu. Terasa hangat di kulit, mencoba 
merangsang gairahnya. Kandita terus berusaha 
membangkitkan gairah Pendekar Pulau Neraka 
ini dengan ciuman-ciumannya yang lembut dan 
hangat, dan rabaan jari-jarinya yang halus dan 
menggelitik.
Sekuat daya Bayu mencoba bertahan, tapi 
rangsangan yang diberikan wanita cantik ini 
benar-benar membuat kepalanya pening. Seluruh 
darah di tubuh Pendekar Pulau Neraka itu mulai 
menggolak mendidih, dan tubuhnya jadi

menggeletar. Saat itu Kandita tersenyum, karena 
kali ini benar-benar berada di atas kemenangan. 
Seluruh tubuh wanita itu sudah dibasahi keringat 
Napasnya semakin hangat mendengus, bagai 
kuda pacu yang didera kencang.
Bayu memejamkan matanya kuat-kuat 
Gerahamnya bergemeletuk keras. Sementara 
Kandita semakin buas, dengan gerakan-gerakan 
tubuhnya yang bertambah liar. Suara desisan dan 
erangan lirih terdengar. Hingga akhirnya tiba-tiba 
saja wanita itu terpekik tertahan. Tubuhnya 
langsung jatuh lunglai, menggelimpang ke 
samping tubuh Pendekar Pulau Neraka. Pelahan 
Bayu membuka matanya, melihat Kandita me-
ngenakan pakaiannya kembali sambil tersenyum 
penuh kemenangan dan kepuasan. Bayu benar-
benar muak melihat senyum wanita itu, 
meskipun wajahnya sangat cantik dan 
senyumnya memikat
"Aku akan membunuhmu, perempuan
iblis...!"desis Bayu menggeram.
"Itu tidak akan terjadi, Bayu," sambut Kandita 
diiringi derai tawanya.
Setelah merapikan pakaiannya sendiri, wanita 
itu kemudian merapikan pakaian Pendekar Pulau
Neraka. Ditepuk-tepuknya pipi pemuda itu

dengan lembut Sekali lagi diberikannya satu 
kecupan tipis di bibir. Bayu hanya bisa 
mengumpat dengan bara api kemarahan 
menggelegak di dada.
"Istirahatlah, Sayang," ucap Kandita lembut
"Keparat! Kubunuh kau, Iblis...!" geram Bayu 
muak.
"Ha ha ha...!" Kandita hanya tertawa saja. 
Begitu lepas derai tawanya.
Wanita itu bangkit berdiri, turun dari 
pembaringan. Sambil memperdengarkan tawa 
yang lepas, dia berjalan keluar dari ruangan itu. 
Tinggal Bayu memaki-maki dan mengumpat 
sambil berteriak teriak mengancam. Bukan main 
marahnya Pendekar Pulau Neraka itu, karena 
benar-benar merasa terhina oleh kelakuan Kan-
dita.
Belum juga reda kemarahan Bayu, muncul 
se-orang gadis cantik lagi mengenakan baju biru 
ketat
Bayu mendengus memberengut kesal, dan benar-
be-nar muak melihatnya. Dia hanya menatap 
tajam de-ngan mulut terkunci rapat Gadis berbaju 
biru itu me-narik sebuah kursi di dekat 
pembaringan, lalu duduk
di sana

"Mau apa kau ke sini?" tanya Bayu 
mendengus.
"Malam ini aku ditugaskan menjagamu," 
jawab gadis itu kalem.
Bayu menatap gadis itu dalam-dalam dengan 
sinar mata tajam. Sedangkan yang ditatap malah 
kelihatan tidak peduli, dan hanya duduk tenang 
tanpa membalas tatapan Pendekar Pulau Neraka 
ini.
"Siapa namamu?" tanya Bayu iseng.
"Ranti," sahut gadis berbaju biru itu.
"Dan yang lainnya?" tanya Bayu lagi.
"Kami hanya empat, ditambah guru."
"Aku tanya nama yang lainnya."
"Yang pakai baju kuning namanya Dewi. 
Sedangkan yang berbaju hijau namanya Saras. 
Dan Pinanti yang berbaju putih," sahut Ranti 
menjelaskan dengan nada suara tenang tanpa 
tekanan sedikit pun "Kenapakau tanya-tanya?"
"Tidak apa-apa," suara Bayu terdengar ketus. 
Pendekar Pulau Neraka itu tidak bertanya lagi. 
Dipejamkan matanya sambil mencoba 
mengerahkan hawa murni untuk membebaskan 
totokan pada pusat jalan darahnya. Meskipun 
disadari tidak akan berhasil, tapi paling tidak harus 
dicoba.
***
Sementara itu di lain ruangan, Kandita sudah 
mengenakan baju merah menyala yang sangat 
ketat. Tampak sebilah pedang tergantung di 
pinggang. Pada ujung gagang pedang, terukir 
sekuntum bunga anggrek berwarna Jingga. Dia 
duduk di sebuah kursi kayu jati berukir yang 
sangat indah. Sedangkan di depannya tiga orang 
gadis berwajah cantik duduk bersila di lantai 
beralaskan permadani berbulu tebal.
"Dewi...," panggil Kandita seraya menatap 
gadis yang mengenakan baju kuning.
"Ya, Nini Guru?" sahut Dewi penuh rasa 
hormat.
"Apakah tua bangka itu masih ada di depan?" 
tanya Kandita, datar nada suaranya. 
"Masih, Nini Guru," sahutDewi. 
"Laki, bagaimana si tua lainnya, Saras?" 
Kandita menatap gadis yang mengenakan baju 
hijau.
"Dia terlalu menyusahkan, Nini Guru," sahut
Saras.
"Apa maksudmu?" tanya Kandita. 
"Dia selalu saja duduk bersemadi, tidak mau 
makan dan minum. Semua makanan dan

minuman yang disediakan tidak dijamah sama 
sekali," lapor Saras.
"Biarkan saja, jangan diurusi!" dengus 
Kandita. 'Toh kita tidak lama lagi di sini. Biar dia 
mati kelaparan!"
"Baik, Guru."
"Nah! Sekarang giliranmu, Pinanti," Kandita 
menatap muridnya yang memakai baju putih.
"Ya, Nini Guru," lembut sekali sahutan Pinanti.
"Bagaimana tugasmu?" tanya Kandita. 
"Tidak ada masalah, Nini Guru. Semua 
berjalan lancar sesuai rencana," jawab Pinanti.
"Apa kau sudah dengar tentang Eyang 
Palandara?"
"Belum."
"Heh...! Bukankah tugasmu memancing 
Eyang Palandara keluar dari padepokannya?" 
sentak Kandita agak gusar.
"Semua sudah dilaksanakan, Nini Guru. Tapi 
orang itu tetap saja tidak mau keluar, dan 
sepertinya sudah mengetahui pancingan ini."
"Mustahil! Dari mana dia tahu?" dengus 
Kandita. "Dengar! Tujuan kita yang paling utama 
adalah si tua keparat Palandara. Kalau dia sudah 
mampus, tidak ada lagi yang bisa menghalangi 
kita untuk menguasai seluruh daerah di Gunung


Waru ini. Kita akan mendirikan kerajaan kecil di 
sini, dan hidup senang selama-lamanya."
"Tapi, Nini Guru...," selak Dewi
"Ada apa lagi, Dewi?" tanya Kandita.
"Bukankah di sekitar Kaki Gunung Waru ini 
bukan hanya Padepokan Sangga Langit saja yang 
ada? Masih banyak padepokan lainnya," sergah 
Dewi.
"Bodoh! Kau bicara asal menguap saja, Dewi!"
sentak Kandita.
"Maaf, Nini Guru," buru-buru Dewi memohon 
maaf. "Aku hanya mengingatkan saja."
"Kalian semua tahu. Di sekitar Kaki Gunung 
Waru ini hanya ada satu padepokan kuat, yaitu 
Padepokan Sangga Langit Nah! Kalau kita sudah 
menguasai padepokan itu, tidak perlu banyak 
menguras tenaga untuk menaklukkan yang lain. 
Terlebih lagi partai-partai golongan hitam. Mereka 
pasti akan bergabung dengansendirinya."
Ketiga gadis itu hanya diam mendengarkan. 
"Kalian harus ingat! Aku memberi jurus-jurus 
tingkat tinggi bukannya tidak ada tujuan, tapi 
untuk membuat kalian menjadi wanita tangguh 
yang disegani dan ditakuti semua orang. Dan 
inilah saatnya untuk membuktikan kalau kaum


wanita bukanlah kaum lemah. Kalian dengar 
itu?!" lantang sekali suara Kandita.
"Mengerti, Nini Guru," ucap ketiga gadis itu 
berbarengan
"Nah! Jadi jangan banyak macam-macam! 
Ikuti saja perintahku. Dan satu hal yang perlu 
kalian ketahui! Siapa saja berani membangkang, 
aku tidak segan segan menjatuhkan tangan. 
Paham...!"
"Paham, Nini Guru," sahut ketiga gadis itu
kembali berbarengan.
"Sudah jauh malam, sebaiknya kalian 
beristirahat saja," kata Kandita seraya bangkit 
berdiri.
Wanita cantik berbaju merah itu 
mengayunkan kakinya meninggalkan ketiga 
muridnya, lalu masuk ke dalam sebuah kamar. 
Sedangkan ketiga gadis cantik itu masih tetap 
duduk bersila. Mereka baru bangkit berdiri setelah 
cukup lama Kandita tidak keluar kamar lagi. Dua 
gadis masuk ke dalam kamar lain, sedangkan 
gadis yang berbaju putih masuk ke dalam kamar 
yang berpintu kayu jati tebal.
Di kamar itu ternyata Bayu berada dijaga 
seorang gadis cantik berbaju biru. Gadis yang 
bernama Ranti itu mengangkat kepalanya saat

mendengar pintu terbuka, lalu bangkit berdiri dan 
menghampiri begitu melihat siapa yang datang. 
Pinanti menutup pintu kembali. Kedua gadis itu 
menarik kursi ke dekat pintu dari duduk di sana. 
Mereka memandang Bayu yang tampaknya 
sedang tidur lelap.
"Bagaimana dia?" tanya Pinanti.
"Tidur. Mungkin kelelahan," sahut Ranti 
seraya tersenyum penuh arti.
Sedangkan Pinanti hanya tersenyum tipis 
sekali. Terasa hambar senyuman gadis berbaju 
putih itu. Dipalingkan pandangannya, beralih 
pada Ranti yang duduk di sebelahnya.
"Ada apa, Pinanti? Nini Guru marah lagi?" 
lembut suara Ranti.
Pinanti hanya mengangguk saja.
"Kalian pasti sudah menyinggung perasaannya
lagi," tebak Ranti.
"Dewi yang memulai," ujar Pinanti pelan. 
"Kan sudah kuperingatkan, jangan singgung-
singgung masalah itu lagi. Kita ini hanya murid, 
dan semuanya ada di tangan Nini Guru Kandita.
Lagi pula semua yang dilakukannya demi kita 
semua," tegas Ranti, agak pelan suaranya seperti 
takutterdengar Bayu.

Pinanti hanya diam saja. Entah apa yang ada di
dalam benaknya. Diarahkan pandangannya pada 
pemuda berwajah tampan mengenakan baju dari 
kulit harimau yang terbaring lelap dalam buaian 
mimpi.
"Ranti, kenapa dia ditangkap?" tanya Pinanti 
tiba-tiba tanpa mengalihkan pandangannya dari 
Bayu.
"Pertanyaanmu aneh, Pinanti," desah Ranti. 
"Aku hanya ingin tahu saja, Ranti." 
"Dia terlalu banyak ingin tahu, dan Nini Guru 
tidak pernah menyukaiitu," jelas Ranti. 
"Aku tahu watak Nini Guru, karena telah lebih 
lama ikut dengannya daripada kau dan yang 
lainnya."
'Tapi, kenapa harus ditangkap? Kenapa tidak 
dibunuh sajaseperti yang lain?" tanyaPinanti.
"Aku tidak tahu itu, Pinanti. Tapi yang jelas, 
Nini Guru menyukai pemuda tampan, gagah, dan 
berkepandaian tinggi. Ah, sudahlah. Nanti 
pemuda itu pasti juga dilenyapkan, kalau 
semuanya sudah selesai." Pinanti 
menganggukkan kepalanya pelahan. 
"Sudah malam, tidur sana. Besok kau harus ke 
PadepokanSangga Langit, bukan?" 
"Iya! Aku tinggal dulu, Ranti."

Pinanti bangkit berdiri Dibukanya pintu, dan
dilangkahkan kakinya keluar. Ranti kembali 
menghampiri Bayu yang masih terbaring dengan 
mata terpejam. Sebentar dipandangi wajah 
pemuda itu, kemudian duduk di tepi 
pembaringan. Pelahan tangannya terulur dan 
mengusap dada pemuda itu dengan halus. 
"Kau tampan sekali...," desah Ranti pelahan. 
Pelan-pelan Ranti membaringkan tubuhnya di 
samping Pendekar Pulau Neraka. Dipandanginya 
wa jah tampan di sampingnya, lalu diletakkan 
kepalanya; di dada pemuda itu. Dia tidak tahu 
kalau Bayu membuka matanya, dan kembali 
terpejam saat Ranti mengangkat kepalanya, 
langsung memandangi wajah pemuda tampan 
itu. Pelahan-lahan Ranti mendekatkan wajahnya, 
lalu mengecup lembut bibir Bayu.
Ranti beringsut turun dari pembaringan, 
kemudian duduk di kursi dekat pembaringan itu. 
Dipandanginya wajah Bayu lekat-lekat. Terdengar 
tarikan napas panjang dan terasa berat seperti 
ada sesuatu yang mengganjal di dadanya. Malam 
ini gadis itu tidak boleh tidur, karena mungkin 
saja Pendekar Pulau Neraka itu bisa 
membebaskan diri dari pengaruh totokan pada 
jalan darahnya. Kalau hal itu terjadi, Bayu harus

cepat diberi totokan kembali sebelum sempat 
melakukan sesuatu. Sungguh berat tugasnya, 
tapi tidak bisa ditolak.
***
LIMA


Siang ini matahari bersinar terik sekali, 
seakan-akan hendak membakar seluruh 
permukaan bumi..Begitu teriknya hingga daun-
daun berguguran, dan seluruh penghuni hutan di 
Gunung Waru berlomba-lomba mencari sumber 
mata air. Tapi tidak demikian halnya dengan 
seorang gadis berpakaian serba putih yang me-
nunggang kuda menyusuri lereng gunung sebelah 
Timur.
Kuda putih yang ditungganginya mendengus-
de-ngus, dan mulutnya terbuka mengucurkan 
liur. Binatang itu tampak kelelahan, tapi 
penunggangnya tidak peduli Dia terus menggebah 
kudanya agar berlari cepat. Wajah gadis itu juga 
sudah memerah. Keringat tampak membanjir di 
sekujur tubuhnya. Sesekali di-sekanya keringat di 
leher yang putih jenjang.

"Hop...!" gadis itu menghentikan laju kudanya.
Pandangannya lurus ke depan, ke arah 
sebuah bangunan besar yang dikelilingi pagar 
tinggi dari batang pohon yang bagian atasnya 
runcing. Dia melompat turun dari punggung 
kudanya. Gerakannya ringan sekali, pertanda 
memiliki ilmu meringankan tubuh yang cukup 
tinggi. Gadis itu berdiri tegak di depan kudanya. 
"Sepi...," gumam gadis itu pelan.
Pelahan kakinya terayun mendekati 
bangunan besar itu. Sinar matanya tajam tak 
berkedip meraya sekitarnya. Ayunan langkah 
kakinya begitu ringan, menimbulkan suara sedikit 
pun. Dia semakin me kari bangunan besar bagai 
benteng pertahanan itu. Tapi baru juga sampai 
setengah jalan, mendadak saja...
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Tiba-tiba terdengar teriakan keras, disusul 
bermuculannya manusia-manusia dari balik 
pepohonan. Gadis itu terkejut, langsung memutar 
tubuh dan menata ke sekelilingnya. Hatinya 
sungguh terkejut bukan main, karena di 
sekitarnya sudah dikelilingi orang bersenjata
pedang terhunus. Jumlahnya begitu banyak, lebih 
dari lima puluh orang.

"Selamat datang di Padepokan Sangga Langit, 
Anggrek Jingga," tiba-tiba terdengar suara lembut
"Heh...?!" gadis itu terkejut dan langsung 
berpaling.
Pandangan gadis itu seketika tertumbuk pada 
seorang laki-laki tua berjubah putih yang tahu-
tahu sudah berdiri di depan orang-orang yang 
mengepungnya. Entah dari mana datangnya, 
tahu-tahu sudah ada di sana.
"Eyang Palandara...," desis gadis itu 
mengenali .laki-laki tua yang berdiri sekitar dua 
batang tombak di depannya.
"Kenapa kau datang sendiri, Pinanti? Mana 
gurumu?" tanya Eyang Palandara. Suaranya 
begitu lembut, namun mengandung kewibawaan.
"Kau tahu tentang diriku, Eyang 
Palandara...?" tanya gadis berbaju putih yang 
memang bernama Pinanti, salah seorang murid 
Kandita si Anggrek Jingga.
"Aku tahu siapa-siapa saja orang-orang dari 
Anggrek Jingga. Bahkan sebelum kalian muncul 
di Desa Coket aku sudah tahu. Malah 
kedatanganmu ke sini juga sudah kuketahui. 
Jadi, jangan heran jika aku menyambut 
kedatanganmu," jelas Eyang Palandara.

"Dari mana kau tahu?" tanya Pinanti 
mendengus. 
Gadis itu agak terkejut juga, tapi cepat-cepat 
menyembunyikan keterkejutannya. Hatinya jadi 
bertanya-tanya, dari mana Eyang Palandara 
mengetahui semua tentang Anggrek Jingga? 
Padahal selama ini gerakan Anggrek Jingga begitu 
tersembunyi, bahkan tidak ada yang tahu berapa 
jumlah anggota Anggrek Jingga sebenarnya.
"Jika tidak keberatan, aku ingin 
mengundangmu melihat-lihat Padepokan Sangga 
Langit," ajak EyangPalandara ramah.
"Hm.... Kau tidak ingin memperdayaku, Eyang
Palandara?" Pinanti jadi curiga.
"Kedatanganmu bermaksud mengetahui 
kekuatan padepokanku, bukan? Nah! Marilah, 
kuperlihatkan seluruh kekuatan Padepokan 
Sangga Langit Dan kau bisa melaporkannya pada 
Kandita," kata Eyang Palandara tenang dan 
ramah.
Pinanti jadi berpikir seribu kali. Sungguh tidak 
disangka kalau kedatangannya ke sini sudah 
diketahui. Bahkan sekarang Ketua Padepokan 
Sangga Langit itu sendiri yang menyambutnya, 
dan hendak memperlihatkan seluruh kekuatan 
padepokannya. Bukankah ini sesuatu yang

sangat janggal? Mereka satu sama lain berdiri 
berhadapan sebagai musuh, tapi sikap Eyang
Palandara yang begitu ramah membuat Pinanti 
tidak bisa memahaminya.
"Kau terlalu curiga terhadap maksud baikku, 
nanti," tebak Eyang Palandara seperti mengetahui
jalan pikiran gadis itu.
Pinanti merayapi murid-murid Padepokan 
Sangga Langit di sekelilingnya. Saat itu Eyang 
Paland menjentikkan jari tangannya, maka semua 
murid depokan itu bergerak masuk ke dalam 
benteng padepokan yang terbuat dari kayu 
gelondongan yang di tancapkan berkeliling ke 
tanah, membentuk cincin raksasa. Bangunan 
besar di tengah-tengah lingkara benteng itulah 
yang menjadi tujuan mereka.
"Mari...," ajak Eyang Palandara setelah semua 
muridnya masuk ke dalam benteng.
"Sikapmu membuatku curiga, Eyang 
Palandara," tegas Pinanti berterus terang.
"Ha ha ha...!" Eyang Palandara tertawa 
terbahak-bahak. Sepertinya kata-kata Pinanti tadi 
membuat tenggorokannya tergelitik.
"Kenapa tertawa, Eyang Palandara?!" dengus 
Pinanti kurang senang.

"Aku tentu tidak akan bersikap begini jika 
bukan kau yang datang, Pinanti," kata Eyang 
Palandara setelah reda tawanya.
"Kenapa? Apakah ada perbedaan antara aku 
dan yang lainnya?" tanya Pinanti tidak mengerti, 
sehingga jadi bingung juga dibuatnya.
"Tentu! Tentu saja ada perbedaannya. 
Marilah, kita bicarakan hal ini di dalam," ujar 
Eyang Palandara seraya merentangkan 
tangannya.
Sejenak Pinanti ragu-ragu. Tapi mendadak 
saja
hatinya diliputi rasa penasaran akan sikap laki-
laki tua
berjubah putih ini. Teriebih lagi perkataannya 
yang
terakhir. Berbagai macam pertanyaan terlintas di 
benaknya. SejenakPinanti memandangi orang tua 
itu,
kemudian menatap ke arah bangunan besar 
Padepokan Sangga Langit Pintu gerbang benteng 
padepokan
itu terbuka lebar, seakan-akan sengaja dibuka 
untuknya.

"Baiklah. Tapi jika kau hanya menjebakku 
saja, aku akan membunuhmu, Eyang Palandara!" 
kata Pinanti tajam.
"Silakan, Pinanti," sambut Eyang Palandara 
ramah diiringi senyuman.
Pinanti memantapkan hatinya, kemudian 
mengayunkan kakinya menuju dalam benteng 
Padepokan Sangga Langit Sedangkan Eyang 
Palandara sudah lebih dahulu berjalan di 
depannya. Dua orang terlihat menjaga di ambang 
pintu gerbang. Mereka membungkuk memberi 
hormat saat Eyang Palandara melintasinya. Dan 
pintu itu ditutup setelah kedua orang yang saling 
bermusuhan itu berada di dalam.
***
Pinanti memandangi ruangan besar yang 
dikelilingi jendela besar terbuka lebar, sehingga 
memberi keleluasaan pada matahari untuk 
menerangi ruangan ini dengan sinarnya yang 
memancar terik. Di setiap sudut ruangan terlihat 
senjata-senjata berjajar rapi dari berbagai bentuk. 
Pinanti tahu kalau ruangan ini merupakan balai 
latihan bagi murid-murid Padepokan Sangga
Langit. Gadis itu duduk di lantai beralaskan tikar
anyaman daun pandan. Di depannya, duduk

Eyang Palandara. Tak ada lagi orang lain di 
ruangan ini mereka berdua.
"Ruangan ini sebagai pusat latihan semua mi 
Padepokan Sangga Langit Kau lihat sendiri, segala 
macam senjata harus mereka kuasai dengan 
baik," jelas Eyang Palandara.
"Kenapa kau tunjukkan semua ini padaku?" 
tanya Pinanti.
"Bukankah itu yang hendak kau ketahui, 
Pinanti? Aku tahu, kedatanganmu ke sini sengaja 
untuk menyelidiki kekuatan Padepokan Sangga 
Langit. Sudah beberapa hari ini aku melihatmu 
berada di sekitar padepokan," ujar Eyang 
Palandara.
"Aku ingin tahu alasanmu berbuat semua ini 
padaku, Eyang Palandara!" agak ketus nada suara 
Pinanti.
"Agar kau tidak bersusah payah 
menyelidikinya," jawab Eyang Palandara kalem.
'Itu bukan jawaban yang kuinginkan, Eyang." 
'Tapi itulah jawabannya." 
"Kau pasti tidak akan berbuat begini jika 
bukan aku yang melakukannya, bukan?" selidik 
Pinanti curiga.
'Tentu," sahut Eyang Palandara seraya 
mengangkat alisnya.

"Kenapa?" desak Pinanti. 
"Karena kau murid termuda dari si Anggrek 
Jingga," sahut Eyang Palandara tetap tenang.
"Maaf! Aku tidak ada waktu untuk bermain-
main, Eyang!" dengus Pinanti gusar. Dia bergegas 
bangkit berdiri.
'Tunggu dulu, Pinanti. Duduklah...," cegah 
Eyang
Palandara cepat.
"Kau tidak bisa seenaknya mempermainkan 
aku, Eyang!" rungut Pinanti tidak senang. 
"Duduklah dulu, nanti akan kujelaskan 
semuanya," bujuk Eyang Palandara.
"Untuk sekali ini, Eyang .Sekali lagi kau 
mempermainkan aku, pertarungan menjadi 
keputusanku yang terakhir. Aku tidak peduli 
kalau saat ini berada di tempatmu dan dikelilingi 
murid-muridmu yang setiap saat bisa 
merajamku!" suara Pinanti terdengar bersungguh-
sungguh.
"Tidak akan terjadi pertarungan di sini, 
Pinanti. Duduklah, tenangkan dirimu dulu."
Pinanti kembali duduk. Wajahnya memerah 
dan sorot matanya tajam menusuk langsung bola 
mata orang tua di depannya. Sedangkan Eyang

Palandara kelihatan tenang. Bibirnya tampak 
selalu menyunggingkan senyuman lebar.
"Pinanti, apakah kau pernah berpikir tentang 
dirimu sendiri? Tentang siapa, dan dari mana 
asalmu?" tanya Eyang Palandara, nada suaranya 
terdengar sungguh-sungguh.
"Untuk apa kau tanyakan itu?" dengus Pinanti 
kurang senang. Tapi keningnya terlihat berkerut 
juga.
Pinanti memang mengakui bahwa selama ini 
tidak pernah terpikirkan tentang dirinya sendiri. 
Bahkan tidak pernah mau tahu, darimana 
asalnya, dan siapa dirinya sebenarnya. Yang 
diketahui, dirinya berada di sebuah tempat 
bersama wanita-wanita dan harus patuh pada 
seorang wanita cantik Kandita yang menjadi 
gurunya.
"Sebenarnya kesempatan seperti ini sudah 
kunantikan. Aku sendiri tidak mengerti tujuan 
Kandita yang memberimu tugas untuk 
menyelidiki aku, kekuatan Padepokan Sangga 
Langit ini," sahut Eyang Palandara agak 
mendesah.
'Tampaknya kau sudah cukup banyak 
mengetahui tentang Anggrek Jingga, Eyang 
Palandara," dengus Pinanti.

"Lebih dari yang kau ketahui," sahut Eyang 
Palandara.
Pinanti tidak bisa lagi menyembunyikan keter-
kejutannya. Sungguh tidak disangka kalau laki-
laki tua ini mengetahui banyak tentang Anggrek 
Jingga. Bahkan mengakui lebih dari yang 
diketahuinya sendiri selama ini.
"Yaaah.... Aku sendiri tidak tahu, ilmu apa 
yang digunakan Kandita sehingga kau melupakan 
dirimu sendiri...," ujar Eyang Palandara terdengar 
mengeluh.
"Eyang, apa sebenarnya yang hendak kau 
bicarakan?" Pinanti jadi tidak mengerti.
"Yang kuinginkan hanyalah agar kau 
mengetahui siapa dirimu sebenarnya, Pinanti," 
sahut Eyang Palandara.
"Aku...?!" Pinanti tersedak.
Gadis itu tampak bingung, terlebih lagi begitu 
melihat bola mata Eyang Palandara berkaca-kaca. 
Bibir yang hampir tertutup kumis, tampak 
bergetar, seperti hendak mengucapkan sesuatu. 
Tapi, tak ada satu suara pun yang keluar dari 
bibirnya itu. Entah Kanapa, tiba-tiba saja Pinanti 
merasakan ada sesuatu yang tersembunyi pada 
diri EyangPalandara.

"Kau jangan coba-coba mempengaruhiku, 
Eyang.
Aku tahu siapa diriku. Dan kau tidak bisa berbuat 
licik
padaku," tegas Pinanti ketus.
"Pinanti! Dengar dulu..., Anakku...." 
"Cukup!" sentak Pinanti langsung bangkit 
berdiri. Gadis cantik itu cepat berbalik dan 
melangkah ke luar. Eyang Palandara buru-buru 
bangkit dan mengejar.
"Pinanti, tunggu...!"
Tapi Pinanti terus berjalan cepat Beberapa 
murid Padepokan Sangga Langit memandangi 
disertai sinar mata penuh kecurigaan. Tapi gadis itu 
diam saja tidak peduli. Dia terus berjalan cepat 
melintasi halaman berumput yang cukup luas. 
Segera dilentingkan tubuhnya melompati pintu 
gerbang. Cepat dan ringan sekali gerakannya, dan 
sebentar saja sudah lenyap di balik benteng 
padepokan ini
Sementara Eyang Palandara hanya bisa 
terpaku memandangi dari ambang pintu 
bangunan besar padepokan itu. Dia tidak 
mencoba mengejar, dan hanya memandang 
dengan mata berkaca-kaca. Pelahan dibalikkan 
tubuhnya, laki melangkah masuk kembali.

Beberapa muridnya hanya memandangi disertai 
berbagai macam pertanyaan.
Pinanti memacu cepat kudanya menyusuri 
Lereng Gunung Waru. Raut wajahnya kelihatan 
tegang. Kudanya digebah bagai dikejar setan saja. 
Padahal kuda putih itu telah mendengus-dengus 
kelelahan. Namun Pinanti tidak peduli. Sudah 
cukup jauh Padepokan Sangga Langit 
ditinggalkannya, tapi kecepatan kudanya belum 
juga dikendorkan.
"Yeaaah! Hiyaaa...!"
Pinanti semakin mempercepat lari kudanya, 
namun tiba-tiba saja kuda itu meringkik keras 
dan berhenti sambil mengangkat kedua kaki 
depannya tinggi tinggi. Pinanti terkejut, dan buru-
buru menarik kekang kudanya, mencoba 
mengendalikan kuda putih yang mendadak jadi 
liar ini.
Dan belum juga gadis itu bisa menguasai 
kudanya yang jadi liar, tiba-tiba terlihat secercah 
cahaya keperakan meluruk deras ke arahnya. 
Sejenak gadis itu terkesiap, lalu cepat 
melentingkan tubuhnya ke udara. Kuda putih itu 
terlonjak, langsung berlari cepat. Pinanti berkelit 
dengan berputaran dua kali di udara, maka 
cahaya keperakan itu lewat sedikit di bawah

telapak kakinya. Dengan gerakan yang manis, 
didaratkan kakinya di tanah.
"Ha ha ha...!"
"Hm...," Pinanti menggumam kecil ketika tiba-
tiba terdengar suara tawa menggelegar.
Gadis itu melirik ke arah datangnya suara 
tawa itu, tapi mendadak jadi kebingungan. 
Ternyata suara tawa itu arah datangnya 
berpindah-pindah. Pinanti melayangkan 
pandangannya ke arah lesatan cahaya keperakan 
tadi Pandangannya tertumbuk pada sebatang 
pohon yang hangus. Pada batang pohon itu ter-
tancap sebuah benda bulat pipih yang sisinya 
bergerigi berwarna keperakan.
"Kakek Iblis Perak...," desis Pinanti, agak 
bergetarnada suaranya. 
"Hehehe...!"
Pinanti langsung memalingkan mukanya ke 
depan begitu mendengar tawa terkekeh. Entah 
dari mana datangnya, tahu-tahu di depan gadis 
itu sudah berdiri seorang laki-laki tua bertubuh 
kurus dan berambut putih bagai perak. Dia 
mengenakan jubah panjang juga berwarna perak. 
Tak ada senjata yang tergenggam. Laki-laki tua 
yang dikenal Pinanti berjuluk Kakek Iblis Perak itu 
memang tidak menggunakan senjata selain

bintang-bintang bulat bergerigi berwarna perak. 
Namun di balik jubahnya tersimpan sebuah 
senjata bulat pipih berwarna perak yang seluruh 
sisinya bergerigi. Senjata itu berlubang pada 
bagian tengahnya. Memang, senjata Kakek Iblis 
Perak itu sangat ditakuti kalangan rimba 
persilatan.
"He he he.... Kau masih mengenalku, Pinanti?" 
serak suara Kakek Iblis Perak itu
"Mengapa kau mencegatku di sini?" dengus Pi-
nanti.
Tentu saja Pinanti ingat betul pada laki-laki 
tua serba perak ini. Mereka pernah satu kali 
bentrok. Saat itu Pinanti bersama ketiga teman 
dan gurunya, sehingga Kakek Iblis Perak tidak 
mampu menghadapinya. Laki-laki tua itu kabur 
sebelum menjadi lebih parah keadaannya dalam 
menghadapi lima wanita cantik yang berjuluk 
Anggrek Jingga. Dan kini dia muncul
menghadang salah seorang dari Anggrek Jingga, 
nanti sudah bisa menduga apa maksudnya. Pasti 
dendam! Dan gadis itu sadar kalau dirinya 
mungkin menghadapi Kakek Iblis Perak sendirian.
"He he he.... Sebenarnya aku ingin 
membunuhmu, Pinanti. Tapi ternyata ada yang

lebih dari keinginanku," ujar Kakek Iblis Perak 
dengan suaranya yang serak dan kering.
"Apa keinginanmu, Iblis Perak?" dengus 
Pinanti 
"Aku lihat kau tadi keluar dari Padepokan 
Sangga Langit He he he...," Kakek Iblis Perak 
terkekeh serayal melangkah mendekati gadis itu.
Pinanti mengerutkan keningnya. Pikirannya 
menduga-duga, apa yang diinginkan Kakek Iblis 
Perak ini sebenarnya. Dia juga sedikit terkejut, 
karena laki-laki tua itu mengetahui kalau dirinya 
baru saja dari Padepokan Sangga Langit
"Pinanti, aku tahu kalau gurumu ingin 
melenyapkan si tua Palandara. Dan itu 
merupakan keinginanku yang sudah lama 
terpendam. Si tua keparat itu memang harus 
mampus, agar semua perbuatan kita tidak ada 
lagi yang menghalangi. Dan kita bisa menguasai 
seluruh daerah di sekitar Gunung Waru ini He he 
he...," ujar Kakek Iblis Perak diiringi tawanya yang 
terkekeh.
"Aku tidak mengerti maksudmu, Iblis Perak."
"He he he.... Kau akan mengerti jika kau 
mempertemukan aku dengan gurumu, Pinanti."

"Huh! Tadi Eyang Palandara bermaksud 
mempengaruhiku, sekarang kau juga ingin 
membujukku!" dengus Pinanti.
"Jangan salah duga, Pinanti. Aku tidak akan 
memperpanjang persoalan lama. Bahkan sudah 
lama kulupakan," kata Kakek Iblis Perak mencoba 
membuat gadis itu mengerti.
"Katakan saja terus terang, untuk apa kau 
inginbertemu guruku?"
Belum juga Kakek Iblis Perak menjawab perta-
nyaan Pinanti, tiba-tiba terdengar derap langkah 
kaki kuda. Mereka sama-sama berpaling ke arah 
datangnya suara kuda itu. Dan tak berapa lama 
kemudian, muncul empat ekor kuda yang 
ditunggangi gadis-gadis cantik berpakaian aneka 
warna.
Baik Kakek Iblis Perak maupun Pinanti 
mengenali, siapa empat wanita cantik yang 
menunggang kuda itu. Mereka adalah Kandita 
dan ketiga muridnya, yang kemudian langsung 
berlompatan turun begitu dekat
"Orang tua iblis...! Apa yang kau lakukan pada 
muridku?" bentak Kandita berang.
"Aku..., aku...," Kakek Iblis Perak jadi tergagap 
mendengar bentakan keras itu.

Dan sebelum laki-laki tua itu sempat 
menjelaskan, Kandita sudah mengegoskan 
kepalanya memberi isyarat Seketika itu juga Ranti 
dan Dewi berlompatan cepat sambil mencabut 
pedangnya. Kedua gadis itu langsung menyerang 
ganas si Kakek Iblis Perak.
"He, tunggu...!" sentak Kakek Iblis Perak. 
"Kali ini kau harus mampus, tua bangka 
keparat! Hiyaaa...!" teriak Dewi lantang. 
"Yeaaah...!" "Hup!"
Trang!
Serangan-serangan yang dilancarkan kedua 
gadis itu sungguh dahsyat dan berbahaya sekali. 
Maka Kakek Iblis Perak tidak punya pilihan lain 
lagi Dikeluarkan senjata anehnya dari balik 
jubahnya yang panjang. Sebuah senjata seperti 
tameng berbentuk bulat pipih yang sisinya 
bergerigi tajam. Dia memegang pada bagian 
tengahnya yang berlubang dengan bagian 
pegangan melintang di tengah-tengah lingkaran 
lubang
Dengan senjata maut di tangan, Kakek Iblis 
Perak memang sukar ditaklukkan. Beberapa kali 
kelebatan pedang Dewi maupun Ranti berhasil 
ditangkis. Dan setiap kali senjata mereka 
berbenturan, terlihat kemampuan tenaga dalam

yang dimiliki kedua gadis itu masih berada di 
bawah si Kakek Iblis Perak.
"Mundur kalian...! Hiyaaat..!"
Melihat kedua muridnya kewalahan, Kandita 
langsung berteriak lantang seraya melompat 
menerjang menggantikan kedua gadis itu. 
Terjunnya Kandita membuat Kakek Iblis Perak 
jadi gelagapan. Dia tahu betul kalau 
kemampuannya masih di bawah wanita cantik 
ini.
"Kandita, tunggu! Akan kujelaskan...!" seru 
Kakek Iblis Perak sambil berkelit menghindari 
pukulan si Anggrek Jingga itu.
"Tidak ada lagi penjelasan bagimu, tua 
bangka keparat! Hiyaaa!" Kandita rupanya tidak 
mau kompromi lagi.
Kandita terus menyerang dengan jurus-jurus 
dahsyat dan cepat luar biasa. Hal ini membuat 
Kakek Iblis Perak jadi kelabakan setengah mati, 
dan sekuat tenaga berusaha menghindar. 
Dicobanya untuk menggunakan senjatanya. Tapi 
setiap kali menggunakan senjata berbentuk aneh 
itu, Kandita langsung cepat dapat meredamnya. 
Hal ini membuat Kakek Iblis Perak semakin 
kelabakan

Kakek Iblis Perak mengakui dalam hati kalau 
Kandita mengalami kemajuan yang pesat sekali. 
Jurus-jurusnya semakin mantap dan dahsyat.
Belum lagi angin sambaran pukulannya sangat 
luar biasa. Jika lawan yang dihadapi hanya 
memiliki ilmu tenaga dalam tanggung, dapat 
dipastikan tidak akan mampu bertahan walau 
hanya terkena sambaran angin pukulannya saja.
Laki-laki tua itu saja selalu limbung manakala 
berhasil menghindari pukulan Kandita. Disadari 
kalau tenaga dalamnya masih satu tingkat di 
bawah si Anggrek Jingga ini. Kakek Iblis Perak 
memutar otaknya agar bisa lolos dari pertarungan 
ini. Dia yakin, Kandita tidak akan mungkin diajak 
kompromi lagi.
"Hiyaaa...!"
Kakek Iblis Perak langsung melesat ke atas 
ketika kaki Kandita melayangkan satu sampokan 
melingkar ke arah kaki Dan kesempatan ini tidak 
disia-siakan Kakek Iblis Perak. Cepat dia melesat 
hendak kabur. Namun sungguh sukar diduga! 
Belum juga niatnya berhasil, Kandita sudah cepat 
mengecutkan tangan kanannya.
Wut!
"Ikh...!" Kakek Iblis Perak tersentak kaget 
Cepat dikibaskan senjatanya ketika sekuntum bu

nga anggrek jingga meluruk deras ke arahnya. 
Dua senjata seketika beradu keras, menimbulkan 
percika api ke segala arah. Kakek Iblis Perak yang 
berada di udara, jadi kehilangan keseimbangan. 
Dia terpental jatuh dan bergulingan di tanah.
"Yeaaah...!" '
Secepat kilat Kandita melompat sambil 
mencabut pedangnya. Pedang berwarna putih 
keperakan itu berkelebat cepat mengarah ke leher 
si Kakek Iblis Perak
"Jangan...!" tiba-tiba Pinanti berteriak lantang.
Seketika ayunan pedang si Anggrek Jingga 
terhenti di udara. Wanita berbaju merah itu 
melompat mundur, dan langsung menatap 
Pinanti yang bergegas menghampiri si Kakek Iblis 
Perak. Gadis itu membantu Kakek Iblis Perak 
berdiri. Tampak darah menetes ke luar dari sudut 
bibirnya. Beradunya senjata tadi memang 
sungguh dahsyat, karena masing-masing mem-
pergunakan kekuatan tenaga dalam. Sehingga, 
kekuatan tenaga dalam Kakek Iblis Perak yang 
satu tingkat di bawah si Anggrek Jingga, 
menjadikan bagian dalam tubuhnya sedikit 
terguncang
"Pinanti, apa-apaan kau ini...?!" bentak 
Kandita gusar.

"Nini Guru, mohon sarungkan kembali 
pedangnya," pinta Pinanti. 
"Pinanti...?!"
"Aku mohon, Nini Guru. Semua ini hanya 
salah paham saja. Sungguh, hanya salah 
paham...," Pinanti mencoba meminta pengertian 
gurunya.
Kandita memandangi Pinanti dalam-dalam. 
Sungguh tidak dimengerti sikap murid yang 
termuda ini, tapi disarungkan juga pedangnya ke 
dalam warangkanya di pinggang. Sedangkan 
ketiga gadis lainnya yang berada di belakang 
Kandita juga menyarungkan pedangnya.
"Jelaskan, Pinanti. Aku tidak ada waktu 
untuk bermain-main," pinta Kandita tegas. 
"Baik, Nini Guru...."
***
ENAM


Kandita menatap dalam-dalam Kakek Iblis 
Perak. Sinar matanya begitu tajam, seakan-akan 
tidak percaya meskipun Pinanti sudah

menjelaskan semuanya dengan gamblang. 
Bahkan Kakek Iblis Perak sendiri membenarkan 
dan mengutarakan niatnya untuk bergabung 
menghancurkan Padepokan Sangga Langit
"Bisa kupercaya kata-katamu, Iblis Perak...?!" 
desis Kandita bernada tidak percaya.
"Leherku jaminannya, Kandita," sahut Kakek 
Iblis Perak tegas. "Setelah semua ini selesai, di 
antara kita tidak ada lagi perselisihan. Bahkan 
akan saling bantu dalam segala hal."
"Hm.... Kenapa kau berubah begitu cepat Iblis 
Perak?" ada nada kecurigaan pada suara Kandita.
"Setiap orang bisa berubah dengan 
sendirinya, Kandita. Dan kusadari kalau 
sebenarnya tujuan kita sama. Tidak ada ruginya 
jika bergabung demi tercapai apa yang kita 
inginkan. Bukan begitu, Pinanti?" Kakek Iblis 
Perak meminta pendapat Pinanti.
Pinanti tidak menjawab, dan hanya 
mengangkat bahunya saja.
"Baiklah, aku terima. Tapi jika kau berani 
berbuat macam-macam, aku tidak segan-segan 
memenggal kepalamu. Ingat itu, Iblis Perak!" tajam 
sekali nada suara Kandita.
"He he he.... Kau tidak perlu meragukan aku,
Kandita

Kandita menyuruh keempat muridnya naik ke 
punggung kuda. Sementara Pinanti jadi 
kebingungan, karena tidak lagi memiliki kuda.
"Kau denganku, Pinanti," kata Ranti.
Pinanti langsung melompat naik ke belakang 
Ranti. Sedangkan tinggal Kakek Iblis Perak yang 
kebingungan, karena tidak mungkin mengikuti 
keempat wanita itu hanya dengan jalan kaki. Dan 
rupanya kebingungan Kakek Iblis Perak diketahui 
Kandita.
"Kau bisa menyusul kami, Iblis Perak. 
Datanglah ke Candi Laksa. Di sanalah kami 
tinggal untuk sementara," kata Kandita.
"Candi Laksa...?!" Kakek Iblis Perak terlongong.
"Kenapa?"
"Bukankah Candi Laksa tempat tinggal Eyang 
Binarong?"
"Tidak lagi, Iblis Perak. Sudah beberapa hari 
ini dia berada di neraka," tenang sekali jawaban 
Kandita. 
"Ah, kau...?!" Kakek Iblis Perak semakin 
terbeliak. Kandita tertawa renyah. Dihentakkan 
tali kekang kudanya, maka murid-muridnya pun 
mengikutinya. Tinggal Kakek Iblis Perak masih 
terlongong. Mulutnya ternganga lebar dan 
matanya mendelik tidak percaya dengan apa yang

barusan didengarnya. Sementara si Anggrek 
Jingga bersama murid-muridnya sudah jauh 
meninggalkan tempat itu.
"Ah, benarkah Eyang Binarong dapat 
dikalahkannya...?" Kakek Iblis Perak bertanya-
tanya sendiri.
Laki-laki tua itu menggeleng-gelengkan 
kepalanya, karena masih belum yakin kalau si 
Anggrek Jingga bisa mengalahkan Eyang 
Binarong. Bahkan sekarang' menguasai Candi 
Laksa, sebuah tempat yang dikeramatkan dan 
disucikan oleh semua orang yang tinggal di sekitar 
Gunung Waru ini.
Candi Laksa merupakan tempat pemujaan 
bagi dewata. Tempat suci yang tidak sembarang 
orang bisa menginjakkan kaki di dalamnya. Tapi 
sekarang, Kandita yang dikenal berjuluk si 
Anggrek Jingga sudah menguasainya. Kakek Iblis 
Perak sukar untuk mempercayainya, karena tahu 
betul kalau Eyang Binarong memiliki tingkat 
kepandaian tinggi sekali. Bahkan sukar dicari 
tandingannya, sehingga Eyang Palandara sendiri 
belum tentu bisa menaklukkannya.
"Aku harus membuktikannya!" dengus Kakek 
Iblis Perak jadi penasaran. "Bagaimana mungkin 
dia bisa menaklukkan Eyang Binarong secepat

ini..? Sungguh mengagumkan kalau sampai hal 
itu menjadi kenyataan. Seluruh rimba persilatan 
pasti akan gempar!"
Kakek Iblis Perak bergegas berlari cepat 
mempergunakan ilmu meringankan tubuh. 
Begitu cepatnya, sehingga dalam waktu sebentar 
saja bayangan tubuh laki-laki tua itu sudah 
lenyap ditelan lebatnya pepohonanSaat itu terlihat 
sepasang mata mengawasi dari balik gerumbul 
semak.
Pemilik mata itu keluar dari tempat 
persembunyiannya. Dipandanginya arah 
kepergian si Kakek Iblis Perak sebentar, kemudian 
langsung berlari ke arah yang berlawanan. 
Tujuannya jelas, ke Padepokan Sangga Langit.
***
Brak!
"Mustahil...!" desis Eyang Palandara 
menggeram.
Meja kayu jati tebal di sampingnya terbelah 
jadi dua terhantam kepalan tangan laki-laki tua 
itu. Wajahnya terlihat memerah pertanda sedang

menahan kemarahan yang amat sangat Namun 
sinar matanya memancarkan ketidakpercayaan 
dengan apa yang baru saja didengarnya.
"Apa kau tidak salah dengar, Odang?" agak 
dalam nada suara Eyang Palandara. Tatapannya 
lurus pada seorang laki-laki muda berusia sekitar 
dua puluh satu tahun.
"Tidak, Eyang. Aku mendengar sendiri," sahut 
pemuda yang dipanggil Odang itu. Eyang 
Palandara terdiam.
"Si Anggrek Jingga mengatakan kalau Candi 
Laksa sekarang sudah dikuasainya. Bahkan telah 
membunuh Eyang Binarong. Jelas sekali aku 
mendengarnya, Eyang. Aku bersembunyi di 
dalam semak, tidak jauh jaraknya," sambung 
Odang.
"Mustahil Eyang Binarong dapat ditaklukkan 
perempuan iblis itu," desis Eyang Palandara tidak 
percaya.
"Eyang, sebaiknya kita periksa saja dulu kebe-
narannya," usul Odang.
"Baiklah. Kau bawa beberapa temanmu, dan 
pergi ke Candi Laksa. Segera kabarkan apa saja 
yang kau ketahui di sana padaku," perintah 
Eyang Palandara.
"Segera, Eyang."

Odang bergegas meninggalkan ruangan itu. 
Sementara Eyang Palandara berjalan mondar-
mancfir, dan wajahnya tampak muram. Memang, 
masih belum bisa dipercayai kalau Eyang 
Binarong bisa dikalahkan si Anggrek Jingga. 
Semua orang tahu, siapa Eyang Binarong itu. 
Seorang pertapa yang sangat sakti seperti dewa. 
Sukar diukur tingkat kepandaiannya. Pendeknya, 
Eyang Binarong bagaikan manusia setengah de-
wa!
Saat itu seorang murid Padepokan Sangga 
Langit ini masuk. Eyang Palandara berbalik. 
Murid yang berusia muda itu membungkuk 
memberihormat.
"Ada apa?" tanya Eyang Palandara.
"Ki Dampil ingin bertemu, Eyang," ujar 
pemuda itu penuh rasa hormat.
'Persilakan masuk."
"Segera, Eyang."
Pemuda itu bergegas keluar, dan tak lama 
kemudian datang lagi bersama seorang laki-laki 
tua. Seorang Pemuka Desa Coket yang sudah 
dikenal baik oleh semua murid Padepokan 
Sangga Langit ini. Eyang Palandara 
menggerakkan tangannya sedikit, maka pemuda

itu menjura memberi hormat lalu keluar dari 
ruangan itu.
Eyang Palandara mempersilakan tamunya 
duduk. Ki Dampil mengambil tempat, duduk di 
lantai beralaskan permadani tebal. Sedangkan 
Eyang Palandara duduk bersila di depannya. 
Ruangan ini memang tidak memiliki 
perlengkapan meja atau kursi. Bahkan seluruh 
ruangan di dalam bangunan besar padepokan ini 
tidak memiliki perabotan. Hanya beberapa lemari 
yang menyimpan peralatan serta pakaian saja 
yang terlihat.
'Tampaknya ada sesuatu yang penting, 
sehingga jauh-jauh datang ke sini, Ki Dampil," 
ujar Eyang Palandara ramah.
"Benar, Eyang. Aku ingin menanyakan 
apakah ada seorang pemuda berbaju kulit 
harimau datang ke sini?" Ki Dampil langsung 
menuju pokok pembicaraan.
"Pemuda berbaju kulit harimau...?" Eyang 
Palandara mengerutkan keningnya.
"Benar, Eyang. Namanya Bayu." 
"Tidak...," sahut Eyang Palandara heran. 
'Tidak...?! Padahal sudah tiga hari dia pergi. 
Dan katanya, hendak ke sini menemuimu, 
Eyang."

'Tunggu dulu, Ki. Siapa pemuda yang kau 
maksudkan? Rasanya namanya pernah 
kudengar...."
"Bayu! Dia seorang pengembara, Eyang. Dan 
telah menyelamatkan nya...."
"Sebentar!" potong Eyang Palandara cepat. 
"Kau tadi bilang pemuda itu mengenakan baju 
kulit harimau...?"
"Benar, Eyang. Ada apa...?" sekarang malah 
terbalik, Ki Dampil yang keheranan.
"Apakah tangannya memakai gelang dari kulit 
harimau juga, dan di pergelangan tangannya ada 
sebuah benda berbentuk cakra?"
"Tidak salah, Eyang."
"Pendekar Pulau Neraka...," desis Eyang 
Palandara.
"Eyang mengenalnya? Kalau begitu dia sudah 
sampai di sini?" kejar Ki Dampil.
"Tidak. Dia tidak ke sini. Tapi aku memang 
pernah mendengar namanya. Seorang pendekar 
digdaya yang sukar dicari tandingannya saat ini. 
Tingkat kepandaiannya sukar diukur. Hm.... Kau 
bilang dia akan ke sini? Untuk apa...?"
"Aku yang memintanya ke sini, Eyang. Untuk 
mengetahui apakah Ki Sampar datang ke sini 
atau tidak," sahut Ki Dampil.

"Heh...?! Kau datang membawa berita apa lagi 
ini..?" sentak Eyang Palandara terkejut.
Saat itu Ki Dampil jadi tertegun. Sungguh 
tidak disangka kalau Eyang Palandara begitu 
terkejut . Padahal belum begitu jelas 
mengutarakan maksudnya. Tapi nurani laki-laki 
tua itu sudah bisa merasakan, berita apa yang 
dibawa Ki Dampil.
"Eyang, sudah lebih dari satu pekan Ki 
Sampar pergi meninggalkan Desa Coket. Sudah 
setiap tempat yang biasa dikunjungi didatangi, 
tapi tidak juga ditemukan," jelas Ki Dampil. 
"Kebetulan ada Bayu, yang bersedia mencari 
ke sini. Tapi setelah beberapa hari ditunggu-
tunggu, pemuda itu tidak juga kembali. Itu 
sebabnya kususul sampai ke sini, sambil mencari 
barangkali bertemu Ki Sampar."
"Hhh...! Apa lagi yang diperbuat Ki Sampar...?" 
keluh Eyang Palandara.
"Itulah yang membuatku tidak habis mengerti, 
Eyang. Sudah semua tempat dijelajahi, tapi Ki 
Sampar seperti lenyap ditelan bumi"
"Dan sekarang kau juga kehilangan pemuda 
itu?"
"Benar, Eyang. Padahal dia sangat 
kuharapkan, dan sudah berjanji hendak

membantu seluruh warga desa untuk 
menyelesaikan kemelut ini Eyang, sebagian warga 
desa sudah pindah mencari tempat yang aman, 
karena selama ini tersebar desas-desus kalau si 
Anggrek Jingga akan membumihanguskan Desa 
Coket"
"Itu berita bohong, Ki Dampil. Dia sengaja me-
mancing agar aku keluar!" sentak Eyang 
Palandara.
"Oh...!" Ki Dampil mengeluh memandangi 
Ketua Padepokan Sangga Langit itu dalam-dalam.
"Ah! Ini persoalan lama, Ki Dampil. Dan 
bukannya aku tidak berani menghadapi 
perempuan iblis itu. Tapi yang kupikirkan adalah 
nasib dan kelangsungan Padepokan Sangga 
Langit ini. Meskipun...," Eyang Palandara tidak 
melanjutkan. Digeleng gelengkan kepalanya. 
Wajahnya tampak murung seperti terselimut 
kabut
Ki Dampil memandangi dalam-dalam. Sulit 
dimengerti, apa sebenarnya yang sedang terjadi.
Sejak Santika didapati telah tewas, kemudian 
menghilangnya Ki Sampar, dan sekarang 
disusul tersebarnya desas-desus kalau si 
Anggrek Jingga hendak membumihanguskan 
seluruh Desa Coket, semua kejadian itu belum

bisa dipikirkan dan dimengerti. Terlalu pelik bagi 
otak tuanya untuk bisa cepat memahami.
Sekarang Ki Dampil dihadapkan pada satu 
teka-teki lagi. Sungguh tidak diketahui kalau 
Eyang Palandara sebenarnya sudah 
mengetahui tentang si Anggrek Jingga itu. Dan 
sama sekali tidak disangka, kalau kemunculan 
si Anggrek Jingga ada hubungannya dengan 
Padepokan Sangga Langit, terutama Eyang 
Palandara sendiri.
"Ki Dampil, apakah kau sudah mencari ke 
Candi Laksa?" tanya Eyang Palandara setelah 
beberapa saat terdiam.
"Belum," sahut Ki Dampil. 
"Tapi..., rasanya tidak mungkin Ki Sampar 
datang ke sana. Sudah dua tahun ini candi itu 
tidak pernah dikunjungi lagi, Eyang." 
"Aku yakin, dia pasti menemui Eyang 
Binarong Dan...."
Eyang Palandara tersentak, dan baru teringat
kalau baru saja menerima laporan kalau Candi 
Laksa kini dikuasai si Anggrek Jingga. Kalau 
memang hal itu benar, sudah tentu Ki Sampar 
berada di tangan mereka. Eyang Palandara yakin 
betul kalau Ki Sampar pasti pergi ke Candi Laksa

jika sedang menghadapi sesuatu yang tidak bisa 
diatasinya sendiri.
Antara Eyang Binarong dengan Ki Sampar 
terjalin hubungan sangat erat. Memang, Ki 
Sampar adalah murid pertapa sakti itu. Eyang 
Palandara sungguh tidak menyangka. Dan kini 
pikirannya baru bisa terbuka. Dia tahu mengapa 
Anggrek Jingga membunuh Santika. Jelas ini 
karena Santika adalah putra Ki Sampar. Dan 
pemuda itu berguru kepada Eyang Palandara di 
Padepokan Sangga Langit. Sementara Ki Sampar 
sendiri murid Ki Binarong. Sedangkan antara 
Eyang Palandara dengan Eyang Binarong adalah 
kakak adik. Dan si Anggrek Jingga adalah musuh 
besar Padepokan Sangga Langit. Jadi tidak 
mustahil kalau....
"Oh, tidak...!" sentak Eyang Palandara seraya 
menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Eyang, ada apa?" Ki Dampil terkejut Eyang 
Palandara tidak menyahut tapi malah segera 
berdiri dan melangkah cepat keluar dari ruangan 
ini. Ki Dampil jadi kebingungan. Bergegas diikuti 
dan dikejarnya Ketua Padepokan Sangga
Langit itu. "Eyang, tunggu! Ada apa ini...?" seru Ki 
Dampil. Tapi Eyang Palandara terus berjalan cepat 
ke luar.

***
Sementara itu, Odang dan empat orang 
temannya sudah sampai di pelataran Candi 
Laksa. Mereka terkejut begitu melihat Ki Sampar 
duduk bersimpuh di depan pintu candi itu. 
Pakaiannya kotor tak terurus, seperti sudah 
beberapa hari duduk di situ. Bergegas Odang 
menghampiri. Namun belum juga mendekat 
mendadak saja dari atas bangunan candi itu 
bertebaran bunga-bunga anggrek berwarna 
Jingga.
"Awas...!" seru Odang sambil mencabut 
pedangnya.
Tring! 
Trang!
Empat orang yang berada di belakang Odang 
juga segera cepat bertindak. Mereka memutar 
pedang bagaikan kilat sambil berlompatan 
menghindari serbuan anggrek-anggrek Jingga 
yang bertebaran di sekitarnya bagai hujan.
"Akh!"
"Aaa...!"
Dua kali pekikan melengking terdengar, 
disusul ambruknya dua orang teman Odang. 
Tubuh mereka tertembus beberapa kuntum 
bunga anggrek Jingga. Odang dan dua orang

teman lainnya tidak bisa lagi memperhatikan. 
Mereka segera berlompatan mundur sambil cepat 
mengibaskan pedang. Namun belum juga mereka 
keluar dari jangkauan anggrek-anggrek Jingga itu, 
mendadak saja....
"Aaa...!"
Kembali terdengar jeritan menyayat. Tampak 
satu orang terjungkal roboh dengan dada 
tertembus tiga kuntum bunga anggrek. Darah 
menyemburat keluar dari dada yang berlubang 
tiga. Odang langsung melentingkan tubuhnya dan 
berputaran ke belakang beberapa kali di udara. 
Sementara temannya yang tinggal seorang lagi 
bergerak menyusul. Mereka keluar dari jangkauan 
serangan anggrek Jingga itu. Seketika hujan 
anggrek berhenti.
"Keparat..!" desis Odang menggeram.
"Apa yang harus kita lakukan, Kakang?" 
tanya temannya.
"Tidak ada," sahut Odang.
Kedua pemuda murid Padepokan Sangga 
Langit Itu memandang ke arah Candi Laksa yang 
tetap berdiri anggun pada tempatnya. Sedangkan 
di depan pintu candi itu Ki Sampar masih tetap 
duduk bersila. Sedikit pun Kepala Desa Coket itu 
tidak bergeming. Seolah-olah telinganya sudah

tertutup, meskipun tadi beberapa kali terdengar 
teriakan-teriakan keras membahana di 
belakangnya.
"Mereka benar-benar sudah menguasai Candi
Laksa ini," dengus Odang.
"Kakang, sebaiknya kita kembali saja. 
Laporkan semua ini pada Eyang Guru," usul 
temannya.
"Benar. Kau saja yang kembali Aku menunggu 
di sini," sahut Odang. 'Tapi, Kakang...."
"Tidak ada waktu untuk berdebat! Cepatlah, 
sebelum mereka membunuh kita semua di sini!"
bentak Odang.
"Baik, Kakang."
Bergegas pemuda murid Padepokan Sangga 
Langit itu melompat naik ke punggung kudanya, 
dan secepat itu pula digebah kudanya. Kuda coklat 
itu berpacu cepat meninggalkan pelataran Candi 
Laksa. Sementara Odang berdiri tegak 
memandangi sekitarnya. Pandangannya langsung 
terpaku ketika dari da dalam candi melesat 
sebuah bayangan biru. Dan saat itu juga di depan 
Odang sudah berdiri seorang gadis cantik 
mengenakan baju biru ketat, sehingga 
membentuk tubuhnya yang ramping dan 
menggairahkan.

Namun Odang tidak sempat berpikir untuk 
merayapi tubuh dan wajah menggairahkan itu, 
karena telah tahu siapa gadis di depannya ini. Dia 
itu salah seorang dari si Anggrek Jingga yang telah 
menghebohkan dan menimbulkan banyak 
korban nyawa. Gadis berbaju biru itu memang 
Ranti, murid tertua si Anggrek Jingga.
"Kenapa kau tidak pergi saja sekalian? Di sini 
bukan tempatmu lagi!" terdengar dingin nada 
suara Ranti.
"Kau yang seharusnya pergi, perempuan 
iblis!" bentak Odang sengit.
"Hhh! Kau tampan, tapi bicaramu sungguh 
menyakitkan. Apa yang kau andalkan, heh?!" 
geram Ranti memerah mukanya.
"Ini!" Odang menghunus pedangnya ke 
depan, langsung ditujukan ke wajah Ranti.
Gadis berbaju biru itu tertawa renyah, 
memperlihatkan baris-baris giginya yang rapi dan 
indah. Odang sempat menelan ludahnya 
mendengar tawa merdu dan menggairahkan itu. 
Terlebih lagi pada saat tertawa, Ranti kelihatan 
semakin cantik. Dada yang membusung indah itu 
terguncang-guncang, membuat mata Odang 
sempat terpatri pada dua tonjolan indah berkulit 
putih mulus itu.

"Setan...!" Odang menggeram.
Pemuda itu mencoba melawan daya tarik 
yang dimiliki gadis di depannya. Disadari kalau 
gadis berbaju biru itu tidak patut dikagumi, 
meskipun kecantikannya bagai bidadari yang 
baru turun dari kahyangan. Odang menggeleng-
gelengkan kepalanya sambil mendesis. Tiba-tiba 
dia berteriak keras melengking, langsung berlari 
sambil menghunus ujung pedangnya ke arah 
dada Ranti.
"Hiyaaat..!"
"Uts!"
Ranti cepat-cepat memiringkan tubuhnya ke 
ka-nan. Maka pedang Odang lewat sedikit di 
depan dada
gadis itu. Secepat kilat Ranti memberi satu 
sodokan
tangan kiri ke arah perut. Namun Odang lebih 
tangkas
lagi. Cepat-cepat ditarik tubuhnya ke belakang, 
dan
pedangnya dikibaskan cepat
"Setan!" dengus Ranti.
Cepat gadis itu menarik tubuhnya ke 
belakang hingga doyong, maka pedang itu lewat di 
atas tubuhnya. Pada saat itu, Odang

melayangkan satu tendangan keras bertenaga 
dalam cukup tinggi. Tendangan yang datang 
secara tiba-tiba dan tidak terduga itu tak dapat 
dihindari lagi Terlebih-lebih, posisi tubuh Ranti 
memang tidak memungkinkan untuk 
menghindar. 
Dughk!
"Ugh...!" Ranti mengeluh pendek. Seketika 
tubuh gadis itu limbung, terhuyung-huyung ke 
belakang. Cepat-cepat digerak-gerakkan 
tangannya, mencoba mengusir rasa mual akibat 
tendangan Odang yang bersarang di perutnya. 
Pada saat itu Odang sudah melompat memberi 
serangan lagi. Pedangnya berkelebatan cepat 
sambil berteriak keras melengking tinggi. 
"Hiyaaa...!" 
"Hup! Hiyaaa...!"
Cepat Ranti menggeser kakinya ke samping. 
Dan sebelum ujung pedang Odang berhasil 
mengenai sasaran, Ranti sudah lebih dahulu 
bertindak. Dikibaskan tangannya ke arah 
pergelangan tangan kanan pemuda itu. 
Tak!
"Akh...!" Odang memekik tertahan. Pukulan 
Ranti begitu keras, karena disertai pengerahan 
tenaga dalam tinggi. Odang meringis, merasakan

pergelangan tangannya patah. Pedangnya tidak 
mampu dipertahankan lagi, dan jatuh ke tanah. 
Sebelum murid Padepokan Sangga Langit itu bisa 
menyadari apa yang terjadi, Ranti sudah memberi 
satu tendangan menggeledek ke arah dada. 
"Hiyaaa...!" 
Des!
"Aaakh...!"
Tubuh pemuda itu melambung tinggi ke 
angkasa begitu dadanya terkena tendangan keras 
bertenaga dalam tinggi Pada waktu berada di 
angkasa, Ranti mengibaskan tangannya dua kali. 
Seketika dua kuntum bunga anggrek berwarna 
Jingga meluncur deras, langsung menghantam 
dada Odang. Kembali terdengar jeritan melengking 
tinggi.
"Aaakh...!" 
"Ha ha ha...!"
***
TUJUH


Sementara itu, di dalam salah satu ruangan 
Candi Laksa, Bayu masih terbaring tak berdaya. 
Pendekar Pulau Neraka sudah mengerahkan daya 
upaya untuk membebaskan diri dari pengaruh 
totokan pada pusat jalan darahnya. Tapi rupanya 
totokan itu begitu kuat, karena dilakukan oleh 
orang yang sudah memiliki tenaga dalam pada 
tingkat kesempurnaan. Bayu tidak mengira kalau 
Kandita memiliki tenaga dalam yang sedemikian 
tinggi.
Pendekar Pulau Neraka itu memalingkan 
mukanya ketika mendengar gerit pintu terbuka. 
Muncul seorang gadis berbaju putih dari balik 
pintu itu, yang kemudian melangkah masuk. Dan 
dengan hati-hati, ditutupnya pintu kembali. Bayu 
memperhatikan gadis itu hingga sampai 
mendekat.
"Mau apa kau ke sini?" tanya Bayu ketus.
"Ssst.., jangan berisik," bisik gadis itu.
"Hm.... Kau yang bernama Pinanti, bukan?"
"Iya. Aku datang untuk menolongmu," sahut 
Pinanti masih berbisik.

"Menolongku...?" Bayu mengerutkan 
keningnya, bingung.
"Sudah kubilang, jangan berisik! Nanti ada 
yang tahu."
"Kenapa kau ingin menolongku?" tanya Bayu
berbisik suaranya.
"Karena aku tahu, kau perlu ditolong," jawab 
Pinanti enteng.
"Pasti ada alasan khusus, bukan?" desak 
Bayu lagi.
"Sudahlah diam, ingin bebas atau tidak?" 
dengui Pinanti.
"Baik! Cepat bebaskan totokan di tubuhku."
"Di mana kau ditotok?" tanya Pinanti.
"Di sekitar dada, tiga kali banyaknya. Juga di 
pangkal lengan dan paha. Tapi kau harus hati-
hati, terutama di tengah dada. Bisa-bisa kau 
menghentikan jantungku," jelas Bayu seraya 
memperingatkan.
'Persoalan mudah," Pinanti tersenyum.
Cepat sekali jari-jari tangan gadis itu bergerak 
memberi totokan pada tempat-tempat yang 
disebutkan Pendekar Pulau Neraka tadi. Bayu 
agak terpekik sedikit, tapi seketika dirasakan 
sekujur tubuhnya mene gang, lalu pelahan aliran 
darahnya terasa kembali normal

Bayu cepat menggelinjang bangkit berdiri 
begitu bisa menggerakkan jari-jari tangannya. 
Namun Pinanti cepat mencekal tangan pemuda 
berbaju kulit harimau itu, lalu menariknya 
kembali ke pembaringan. Bayu tersentak kaget, 
dan kehilangan keseimbangan tubuh. Pemuda itu 
jatuh kembali ke atas pembaringan.
"He! Ap...?!"
Cepat Pinanti membekap mulut Pendekar 
Pulau Neraka itu. Bayu jadi tidak mengerti akan 
sikap gadis ini. Pinanti merapatkan tubuhnya ke 
tubuh Bayu, seakan-akan hendak mencumbu 
Pendekar Pulau Neraka. Bayu jadi menggelinjang, 
namun Pinanti cepat cepat memeluk erat 
tubuhnya.
"Ssst.., diam. Ada yang datang. Kau harus 
pura pura masih tertotok," bisik Pinanti dekat di 
telinga Bayu.
Sebelum Bayu bisa membuka suara, Pinanti 
sudah menyumpal mulut pemuda itu dengan 
bibirnya. Pada saat itu terdengar suara pintu 
bergerit terbuka, dan muncul Kandita!
'Pinanti! Apa yang kau lakukan...?!" bentak 
Kandita terkejut melihat Pinanti memeluk Bayu 
dan melumat bibir pemuda itu.

"Oh...!" Pinanti tersentak, langsung melompat 
bangkit dari pembaringan.
Sedangkan Bayu tetap terbaring, dan hanya 
berpaling menatap Kandita yang menghampiri 
Pinanti Tampak gadis itu berlutut dengan kepala 
tertunduk.
"Apa yang kau lakukan, Pinanti?!" tanya 
Kandita tajam.
"Aku.... Aku...," jawab Pinanti tergagap.
"O... Kau tertarik pada ketampanannya, ya...?" 
terdengar sinis nada suara Kandita.
"Maaf, Nini Guru," ucap Pinanti.
"Dengar, Pinanti. Selama urusan kita belum 
selesai, kau tidak berhak atasnya. Kau tahu, dia 
itu milikku! Mengerti?!"
"Mengerti, Nini Guru," sahut Pinanti. 
"Aku memberimu tugas untuk menjaganya, 
bukan
mencumbunya!"
"Iya, Nini Guru."
"Jalankan tugasmu! Aku tidak suka lagi 
melihatmu mencumbunya!"
"Baik, Nini Guru."
Kandita menatap Bayu yang masih terbaring 
di pembaringan. Sementara Bayu membalas 
tajam tatapan itu. Sebenarnya Pendekar Pulau

Neraka ingin menerjang wanita berhati iblis itu. 
Tapi mengingat Pinanti masih ada di ruangan ini, 
niatnya harus ditahan.
"Dan kau, jangan coba-coba memanfaatkan 
kesempatan ini!" ancam Kandita.
Bayu hanya diam saja. Kandita membalikkan 
tubuh dan melangkah ke luar. Bayu
menggelinjang bangkit, duduk di tepi 
pembaringan. Sedangkan Pinanti bergegas 
menghampiri pintu. Dibukanya sedikit, lalu diintip 
keluar dan ditutup lagi. Dia berbalik memandang 
Bayu yang duduk di tepi pembaringan. Pendekar 
Pulau Neraka itu juga memandangi gadis yang 
sedang melangkah menghampirinya. Sesaat 
mereka saling melempar pandang. Pelahan 
Pinanti menundukkan kepalanya. Bayu bangkit 
berdiri dan mengangkat kepala gadis itu.
"Kenapa kau lakukan ini padaku, Pinanti?" 
tanya Bayu"Kau bisa celaka nanti."
"Aku harus melakukannya. Aku tahu, hanya 
kaulah yang mampu mengalahkannya," sahut 
Pinanti lirih.
"Kau muridnya, kenapa ingin melenyapkan 
gurumu sendiri?" tanya Bayu tidak mengerti.
"Kau tidak mengerti, Bayu. Terlalu sulit untuk
menjelaskannya. Ini kulakukan karena terpaksa.

Aku ingin dia lenyap selama-lamanya, tapi aku 
tidak punya daya sama sekali. Juga...," Pinanti 
menghentikan ucapannya.
"Teruskan, Pinanti," pinta Bayu.
"Kau harus cepat keluar dari sini, Bayu. Dia 
akan membunuhmu kelak," jelas Pinanti cepat
"Kau belum menjelaskan semuanya, Pinanti," 
desak Bayu.
'Tidak ada waktu lagi, Bayu. Cepatlah keluar. 
Sebentar lagi Candi Laksa ini akan digenangi 
darah. Kau harus membantu mereka 
menghadapi si Anggrek Jingga. Aku tidak ingin 
tempat suci ini banjir darah. Cepatlah keluar, 
cegah pertumpahan darah itu," Pinanti memohon 
penuh harap.
"Aku tidak mengerti apa yang kau 
maksudkan, Pinanti," ujar Bayu.
"Tidak ada waktu lagi, Bayu. Cepatlah! Tidak 
lama lagi pasti ada yang menggantikanku. Aku 
yakin itu. Cepat pergi...."
Bayu jadi ragu-ragu. "Bagaimana denganmu 
sendiri?"
"Kau bisa menotok jalan darah, bukan?" 
"Aku tidak mengerti maksudmu, Pinanti." 
"Lakukan, Bayu." 
"Pinanti...."

"Lakukan, kataku! Apa tidak kau dengar ada 
langkah kaki menghampiri? Cepat! Atau kita 
berdua akan mati di sini...!" desak Pinanti.
Bayu benar-benar tidak bisa memahami 
maksud gadis ini. Tapi telinganya memang 
mendengar langkah kaki halus mendekati 
ruangan ini. Cepat Bayu menggerakkan jari-jari 
tangannya ke tubuh Pinanti, dan seketika itu juga 
Pinanti roboh lunglai ke lantai. Secepat kilat Bayu 
melompat mendekati jendela batu yang berjeruji 
kayu. 
"Hih! Yaaah...!"
Bayu melompat cepat menerobos jendela 
berjeruji kayu itu. Tubuhnya melesat keluar 
memporakporandakan jeruji kayu jendela itu. 
Pada saat yang sama, pintu ruangan terbuka. 
Muncul seorang gadis mengenakan baju biru.
"Oh, tidak... Pinanti...!" jerit gadis itu terkejut. 
Gadis berbaju biru yang ternyata memang Ranti, 
langsung memburu menghampiri Pinanti yang 
terkulai di lantai. Matanya juga langsung terpaku 
ke jendela yang jebol berantakan.
"Keparat...!" Ranti mendesis geram. Gadis itu 
berteriak memanggil guru dan teman-temannya. 
Sebentar kemudian di ruangan itu sudah ber-
munculan wanita-wanita cantik Mereka terkejut

melihat Pinanti tergeletak di lantai. Dan lebih 
terkejut lagi, manakala mengetahui tawanan 
mereka sudah kabur dengan menjebol jendela.
"Setan...!" geram Kandita memerah wajahnya. 
"Kejar...! Bunuh keparat itu!" 
"Baik, Nini Guru."
Tiga gadis segera berhamburan ke luar
ruangan. Sementara Kandita menghampiri 
Pinanti yang terkulai lemas tak berdaya di lantai. 
Sebentar diamati tubuh gadis berbaju putih itu, 
kemudian diperiksanya. Dia mendesis, 
gerahamnya bergemeletuk menahan kemarahan 
yang amat sangat 
"Hih...!"
Kandita menggerak-gerakkan jari tangannya 
ke beberapa bagian tubuh Pinanti. Pelahan gadis 
berbaju putih itu mulai mengeluh lirih seraya 
membuka mata nya. Pinanti menggerinjang 
bangkit begitu melihat gurunya, dan langsung 
berlutut.
"Guru.... Ampun,, Guru. Aku bersalah, 
hukumlah aku...," rintih Pinanti lirih.
"Bangun, Pinanti!" desis Kandita. Pelahan 
Pinanti bangkit berdiri. Kepalanya masih tetap 
tertunduk. Sedangkan Kandita mengamati seku-
jur tubuh gadis berbaju putih itu.

***
"Kenapa kau lakukan ini, Pinanti?" desis
Kandita tajam, begitu datar nada suaranya.
"Melakukan apa, Nini Guru?" Pinanti pura-
pura tidak mengerti, namun suaranya jelas 
terdengar.
"Kau yang membebaskan Bayu, bukan? Lalu 
kalian bersandiwara. Kau biarkan jalan darahmu 
ditotok. Benar begitu, Pinanti?" Kandita langsung 
mendesak.
Pinanti jadi tergagap, tidak bisa lagi 
menjawab.
"Kenapa kau lakukan itu, Pinanti?! Kenapa 
kau khianati aku?!" bentak Kandita gusar.
Sementara Pinanti semakin gemetar. Wajah 
Kandita yang memerah sudah menandakan 
kalau dirinya begitu marah. Pinanti tidak 
mengerti, kenapa gurunya ini bisa cepat 
mengetahui. Padahal sandiwara yang 
dilakukannya begitu sempurna.
'Tidak ada yang bisa bebas dari totokanku, 
meskipun hawa murni dan tenaga dalamnya 
sudah sempurna. Dan kau telah sengaja
membebaskannya, Pinanti. Kenapa kau lakukan

itu padaku, Pinanti?! Kenapa...?!" setengah 
menjerit suara Kandita, 
Entah dari mana datangnya, tiba-tiba saja 
Pinanti jadi punya keberanian. Diangkat 
kepalanya untuk menentang tatapan si Anggrek 
Jingga. Dia melangkah ke belakang tiga tindak.
"Karena kau musuh ayahku!" desis Pinanti. 
"Heh...?! Apa yang kau katakan...?" Kandita 
terkejut
"Kau tidak mungkin lagi mengelabuiku, 
Kandita. Aku sudah tahu semuanya! Kau sengaja 
menculikku, mencuci otakku dengan ramuan-
ramuanmu! Kau buat aku jadi tidak mengenal lagi 
diriku, dan dari mana asalku! Tapi sekarang, aku 
sudah tahu! Aku adalah anak Eyang Palandara, 
laki-laki yang hendak kau bunuh! Kau 
memanfaatkan aku untuk membunuh ayahku. 
Kau kejam, Kandita! Kau iblis...!"
'Tutup mulutmu, Pinanti!" bentak Kandita 
geram. "Kau tidak bisa lagi mengelabuiku, 
Kandita. Kau harus membunuhku terlebih 
dahulu, sebelum membunuh ayahku!"
"Kurang ajar! Siapa yang berkata begitu 
padamu,heh?!" geram Kandita. 
"Aku...." 
"Heh...?!"

Bukan main terkejutnya Kandita begitu tiba-
tiba di ambang pintu sudah berdiri seorang laki-
laki tua berjubah kumal. Tubuhnya kurus kering 
bagai tulang terbungkus kulit Seluruh rambutnya 
sudah memutih Bahkan kumis dan jenggot yang 
menyatu panjang juga sudah berwarna putih.
"Kau..., Binarong...!" Kandita terbeliak begitu 
melihat laki-laki tua itu.
"Benar! Aku Binarong Kau terkejut Kandita?" 
lembut sekali suara Eyang Binarong.
"Tidak! Kau sudah mati...!" sentak Kandita.
"Aku mengakui kecerdikanmu, Kandita. Tapi 
sayang, racun yang kau campurkan pada 
minumanku belum cukup untuk membunuhku. 
Kau memang ahli dalam segala jenis racun 
maupun ramuan. Tapi seharusnya kau gunakan 
semua keahlianmu untuk menolong, bukan 
untuk mencelakakan orang lain."
"Aku tidak butuh nasihatmu!" sentak Kandita 
sengit
"Hatimu sudah tertutup bisikan iblis, Kandita. 
Tapi aku yakin, kau masih bisa menyadari dan 
memperbaiki kesalahanmu," lembut sekali suara 
Eyang Binarong.
"Tua bangka keparat..! Kubunuh kau! Hiyat..!"

Kandita jadi geram bukan main, dan tidak 
bisa lagi menahan amarahnya. Cepat sekali si 
Anggrek Jingga itu melompat menerjang Eyang 
Binarong. Laki laki tua itu memiringkan tubuhnya 
sedikit, maka pukulan Kandita yang keras disertai 
pengerahan tenaga dalam sempurna itu luput dari 
sasaran. Kepalan tangan yang halus itu 
menghantam dinding batu Candi Laksa ini hingga 
bergetar hebat
Beberapa batu mulai berguguran, dan 
pukulan Kandita membuat dinding batu candi ini 
jebol berantakan. Sementara Eyang Binarong 
menyambar tangan Pinanti yang berdiri terpaku, 
dan secepat kilat melesat sambil membawa gadis 
itu.
"Jangan lari kau, keparat..!" geram Kandita 
berte-
riak lantang.
Tapi Eyang Binarong sudah lebih cepat 
melesat ke luar. Sementara ruangan itu terus 
bergetar, dan batu-batuan mulai berjatuhan.
Kandita segera melesat keluar dari ruangan itu. 
Seketika batu-batu atap ruangan ini 
berhamburan jatuh menimbulkan suara 
bergemuruh dahsyat


Runtuhnya ruangan itu rupanya merembet ke 
ruangan-ruangan lain di seluruh Candi Laksa ini. 
Batu-batu dinding dan atap candi ini berguguran. 
Sudah dapat dipastikan, sebentar lagi seluruh 
bangunan Candi Laksa akan runtuh.
Sementara Kandita terus berlompatan berlari 
cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh. 
Dia melesat keluar, tepat saat bangunan candi itu 
runtuh. Suara bergemuruh terdengar 
memekakkan telinga. Debu mengepul 
membumbung tinggi ke angkasa begitu seluruh 
bangunan candi yang terbuat dari batu itu 
ambruk.
Kandita memandangi sekitarnya yang sepi. 
Ditatapnya candi yang hancur tak berbentuk lagi. 
Tampak debu masih berkepul di sekitarnya. Gadis 
itu menatap seorang laki-laki tua yang duduk 
bersila di dekat candi yang sudah runtuh. Dia 
tahu kalau orang tua itu adalah Ki Sampar, 
Kepala Desa Coket yang ingin bertemu Eyang 
Binarong. Hanya sayangnya keinginannya tidak
kesampaian.
Kandita menghampiri dan menyentuh 
pundak laki-laki itu. Tapi Ki Sampar malah jatuh 
terguling Tampak di dadanya tertancap lima buah 
anggrek berwarna Jingga. Rupanya ketika murid

murid si Anggrek Jingga menyerang murid-murid 
Padepokan Sangga Langit, beberapa buah 
anggrek Jingganya mengenai Ki Sampar, sehingga 
laki-laki tua itu tewas dalam penantiannya yang 
tidak terlaksana.
"Huh!" dengus Kandita.
Wanita itu menyepak tubuh Ki Sampar 
hingga terguling sampai sejauh dua tombak. 
Kandita merayapi empat mayat yang 
bergelimpangan di sekitar pelataran Candi Laksa 
ini. Tempat yang suci dan dikeramatkan ini benar-
benar bergelimang darah. Dan memang, inilah 
yang sebenarnya dikehendaki Kandita. Dia ingin 
semua orang tahu kalau Candi Laksa yang 
disucikan dan dikeramatkan bisa juga 
bergelimang darah manusia.
"Hm... Ke mana perginya keparat itu...?" desis 
Kandita pelan.
***
Sementara itu tidak jauh dari pelataran Candi 
Laksa, tampak Bayu berdiri tegak memandangi 
dua sosok tubuh yang berlarian cepat ke arahnya. 
Setelah dekat, baru terlihat jelas kalau mereka 
adalah Eyang Binarong dan Pinanti. Bayu

menyambutnya disertai senyuman tersungging di 
bibir.
"Syukur, kalian selamat," ucap Bayu.
"Oh, kalian sudah kenal?" tanya Pinanti.
"Benar. Anak muda inilah yang mengeluarkan 
aku dari peti mati," jawab Eyang Binarong.
"Aku bisa tahu dari Kandita sendiri. Dialah 
yang bercerita, membanggakan dirinya telah 
berhasil melumpuhkan orang terkuat di Gunung 
Waru/ini," sambung Bayu.
"Tidak ada yang terkuat di dunia ini, Anak 
Muda," :yang Binarong merendah.
"Bayu, namaku Bayu," Bayu 
memperkenalkandiri.
"Aku Eyang Binarong," Eyang Binarong juga 
memperkenalkan diri.
Bayu menatap Pinanti yang masih berusaha 
mengatur jalan napasnya. Sedangkan Eyang 
Binarong tidak tampak sedikit pun kelelahan. 
Bahkan tak ada satu titik pun keringat di 
wajahnya. Namun Bayu cepat maklum. Jelas 
kalau tingkat kepandaian yang dimiliki mereka 
jauh berbeda. Eyang Binarong tentu sudah 
sampai pada tahap yang paling sempurna. 
Memang semua orang menyebut dirinya manusia 
setengah dewa, karena ilmunya begitu sempurna.

"Oh! Kalian harus cepat-cepat kembali ke 
Candi Laksa. Aku yakin, sebentar lagi, Ayahku 
dan murid-muridnya tiba di sana," jelas Pinanti 
mengingatkan.
Bayu hendak bergerak cepat, tapi Eyang 
Binarong sudah keburu mencekal lengan pemuda 
itu. Pendekar Pulau Neraka mengurungkan 
niatnya, lalu memandang Eyang Binarong dalam-
dalam.
"Tidak perlu tergesa-gesa. Biarkan mereka 
menyelesaikan persoalannya. Semua ini sudah 
digariskan Hyang Widi Wasa. Jangan sampai kita 
merusak ketentuan takdir," ujar Eyang Binarong 
lembut dan bijaksana.
'Tapi, pertumpahan darah ini harus dicegah, 
Eyang!" sentak Pinanti.
"Tidak ada yang bisa menentang kehendak 
Sang Dewata Agung, Cucuku. Meskipun kalian 
berusaha keras, tapi pertumpahan darah tidak 
akan bisa dicegah Biarlah semua terjadi menurut 
suratan takdir HyangWidi Wasa."
"Lalu, apa yang harus kita lakukan, Eyang?" 
tanyn Bayu.
"Mantapkan hatimu, Anak Muda. Tetapkan, 
harus berpihak pada siapa? Jika melihat ada yang

perlu di bantu, maka bantulah dia. Tapi jika tidak, 
jangan memaksakan diri."
"Aku mengerti, Eyang," sahut Bayu langsung 
bisamenangkap maksud Eyang Binarong.
"Kau benar-benar seorang pemuda cerdas," 
puji Eyang Binarong tulus.
'Terima kasih," ucap Bayu tersipu.
"Ayolah, Eyang. Kita kembali ke Candi Laksa," 
ajak Pinanti.
"Baik. Tapi jangan terburu-buru. Napasmu 
bisahabis nanti," goda Eyang Binarong
Pinanti memberengut. Diayunkan kakinya 
menuju Candi Laksa. Eyang Binarong tertawa 
kecil, dan juga mengayunkan langkahnya 
mengikuti gadis itu. Sedangkan Bayu berjalan di 
samping pertapa tua itu.
"Eyang, boleh aku tanya sesuatu?" tanya Bayu 
meminta.
"Silakan. Apa saja boleh kau tanyakan selagi 
bisa kujawab dengan jujur."
"Eyang, aku membebaskanmu setelah Pinanti 
kutotok jalan darahnya. Bagaimana mungkin kau 
bisa mempengaruhinya begitu cepat?" tanya Bayu 
ingin tahu.
"Sebelum menjawab pertanyaanmu, aku ingin 
tanya dulu. Siapa yang membebaskanmu?"

"Kau tahu aku ditawan?!" Bayu terkejut
"Pinanti yang mengatakannya padaku."
"Jadi...?!" Bayu geleng-geleng kepala.
"Dia datang padaku sebelum kau, Anak 
Muda."
"Kenapa Eyang masih berpura-pura ketika 
aku...," Bayu tidak melanjutkan ucapannya.
Pendekar Pulau Neraka itu menggeleng-
gelengkan kepalanya. Dia benar-benar kagum 
pada kedigdayaan pertapa tua ini. Sementara 
mereka terus berjalan, sedangkan Pinanti berjalan 
sekitar tiga tombak di depan.
"Waktu Pinanti menyediakan minuman 
untukku, saat itu aku sudah bisa mencium 
adanya racun yang mematikan dalam minuman 
itu. Aku juga sudah curiga, karena kudengar
Pinanti diculik, dan tiba-tiba saja muncul.
Sikapnya juga aneh, seperti berpura-pura dan 
sama sekali tidak mengenaliku. Padahal 
sebelumnya dia sering mengunjungiku sebelum 
diculik," Eyang Binarong mulai menceritakan'Tapi 
kau minum juga minuman itu, Eyang?" tanya 
Bayu ingin tahu.
"Benar. Tapi itu setelah kututup seluruh 
jaringan saluran darah di tubuhku"
"Dan kau berpura-pura mati?" tebak Bayu.

"Kau cerdik sekali, Bayu."
'Tapi kenapa Pinanti tahu kalau kau belum 
mati, Eyang?"
"Secara bertahap, aku selalu mengeluarkan 
hawa mumi setiap kafi dia mengunjungiku dan 
meraba detak jantungku. Dan kemarin.... Oh, 
tidak! Tadi, dia datang lagi. Aku langsung bangun 
dan menotok jalan darah nya. Di situ pengaruh si 
Anggrek Jingga kuenyahkan dari dirinya. Hal itu 
bisa kulakukan karena aku yakin kalau pengaruh 
itu berasal dari ramuan, bukan dari perlakuan 
batin."
"Hebat," puji Bayu tulus.
"Dan selanjutnya kau tentu sudah bisa 
menebak sendiri," kata Eyang Binarong.
"Ah! Ternyata aku terlambat, Eyang," Bayu 
tersipu
"Tidak, kau tidak terlambat Kau tahu, Kandita 
berniat menguburku hari ini. Itu sebabnya aku 
dimasukkan ke dalam peti mati. Kalau saja kau 
tidak cepat datang membebaskanku, tentu aku 
sudah terkubur."
"Hanya sebuah peti kayu, Eyang pasti bisa 
mudah mendobraknya."
"Hal itu tidak akan kulakukan, karena aku 
tidak ingin melakukan kekerasan dan paksaan.

Kalaupun jadi dikubur, itu tentu sudah menjadi 
kehendak Sang Dewata."
Bayu hanya mendesah saja. Jiwa Eyang 
Binarong tentu sudah jauh dari keinginan 
duniawi. Maka tidak heran kalau disebut Manusia 
Setengah Dewa. Dan Bayu sudah bisa menduga, 
tentu Eyang Binarong tidak ingin tangannya 
berlumur darah, karena hal itu akan mengotori 
kesuciannya. Dan tentu saja, apa yang dila-
kukannya bertahun-tahun akan lenyap begitu 
saja.
***
DELAPAN


Saat itu di pelataran Candi Laksa, Eyang 
Palandara dan murid-muridnya sudah dihadang 
Anggrek Jingga dan ketiga murid-muridnya. 
Bahkah masih ditambah beberapa tokoh rimba 
persilatan golongan hitam yang dibawa Kakek Iblis 
Perak. Orang tua itu bisa dengan cepat 
mengumpulkan tokoh rimba persilatan golongan 
hitam, karena memang sudah merencanakan

semuanya secara rapi untuk menghancurkan 
para penghalangnya.
Pertumpahan darah di pelataran Candi Laksa 
tidak bisa dihindari lagi. Kini darah benar-benar 
menggenang di Candi Laksa. Jerit pekik 
melengking menyayat hati terdengar saling 
bersahutan, ditingkahi pekik pertempuran dan 
denting senjata beradu. Sungguh tidak diduga 
kalau murid-murid Padepokan Sangga Langit 
memiliki kemampuan rata-rata yang cukup tinggi.
Mereka teriihat bertarung penuh semangat
Terlebih lagi begitu melihat Candi Laksa 
sudah hancur tak berbentuk lagi. Meskipun 
banyak jatuh korban, namun murid-murid 
Padepokan Sangga Langit tidak gentar sedikit pun. 
Mereka sadar kalau yang dihadapi adalah orang-
orang rimba persilatan yang sudah kenyang 
segala macam bentuk pertempuran.
"Ayah...!" seru Pinanti begitu sampai. Tampak 
Eyang Palandara berdiri di garis belakang sambil 
mengawasi murid-muridnya bertarung.
Eyang Palandara menoleh. Pinanti berlari 
cepat dan langsung menjatuhkan diri berlutut 
memeluk kaki ayahnya. Gadis itu menangis, tapi 
Eyang Palandara cepat-cepat membangunkan 
gadis itu.


"Jangan menangis, Anakku," ucap Eyang 
Palandara.
Pinanti menyeka air matanya cepat-cepat, lalu 
berpaling memandang Bayu dan Eyang Binarong. 
Sesaat Eyang Binarong dan Eyang Palandara 
saling bertatapan, kemudian berpelukan sebentar. 
Bayu hanya menyaksikan saja semua itu, tapi 
hanya sebentar. Dia memang lebih tertarik pada 
pertarungan yang sedang berlangsung.
"Aku tidak yakin kalau kau tewas oleh 
seorang bocah, Kakang," ujar Eyang Palandara.
"Dia bukan bocah lagi, Adi Palandara. Dia 
sudah jadi seorang wanita tangguh," jelas Eyang 
Binarong.
"Ya! Dan dia hendak menuntut balas 
kematian orang tuanya padaku"
"Sayang sekali! Anak itu juga mengambil jalan 
sesat" gumam Eyang Binarong.
Pada saat itu pertarungan semakin terlihat 
sengit. Tapi sudah banyak orang bawaan Kakek 
Iblis Perak yang tewas maupun melarikan diri. 
Juga tidak sedikit murid Padepokan Sangga 
Langit yang gugur. Pertarungan sengit berjalan 
tidak seimbang, karena murid-murid Padepokan 
Sangga Langit tidak mampu membendung

gempuran Kakek Iblis Perak dan si Anggrek 
Jingga serta ketiga muridnya. 
"Hiyaaa...!"
Tiba-tiba saja Bayu melesat ke arah si 
Anggrek Jingga.
"Mundur semua...!" seru Bayu keras 
menggelegar.
Murid-murid Padepokan Sangga Langit yang 
sedang mengeroyok Anggrek Jingga langsung 
berlompatan mundur. Pendekar Pulau Neraka 
mendarat dengan manis di depan wanita cantik 
itu.
"Eyang Binarong dan Eyang Palandara akan 
memaafkanmu jika kau bersedia bertobat dan 
menghentikan semua ini, Kandita," bujuk Bayu.
"Cerewet! Jangan banyak omong kau! 
Hiyaaa...!"
Rupanya Kandita sudah tidak bisa. lagi diajak 
berdamai, dan langsung melompat menerjang 
Pendekar Pulau Neraka. Wanita cantik berbaju 
merah itu mengibaskan cepat pedangnya 
beberapa kali. Dan beberapa kali pula Bayu 
terpaksa menangkisnya dengan Cakra Maut yang 
berada di pergelangan tangan kanannya. 
Tring!

Setiap kali dua senjata itu berbenturan, 
mereka bergidik menggeletar. Dan mereka tahu 
kalau tenaga dalam yang dimiliki hampir 
seimbang Sementara pertarungan terus 
berlangsung sengit. Tampak Pinanti sudah terjun 
dalam kancah pertempuran. Sedangkan Eyang 
Binarong dan Eyang Palandara hanya menyak-
sikan saja dari tempat yang cukup aman.
"Hiya! Yeaaah...!"
Kandita semakin meningkatkan serangan-
serangannya. Beberapa kali wanita berbaju merah 
itu hampir berhasil menyarangkan pedangnya ke 
tubuh Pendekar Pulau Neraka. Tapi pemuda 
berbaju kulit harimau itu berhasil mengelak 
dengan kelitan manis. Bahkan tidak jarang 
serangan balik yang dilakukan Bayu membuat 
wanita itu kelabakan juga.
"Aaakh...!"
Bayu tersentak kaget ketika tiba-tiba terdengar 
suara jeritan kecil tidak jauh darinya. Tampak 
Pinanti terjajar terhuyung-huyung ke belakang 
sambil mendekap dadanya. Pada saat itu terlihat 
Kakek Iblis Perak melompat sambil mengibaskan 
tangannya yang memegang senjata berbentuk 
tameng yang sisinya bergerigi tajam.
"Hiyaaat...!"

Sebelum senjata kakek kurus itu berhasil 
merobek tubuh Pinanti, mendadak saja Eyang 
Palandara melompat cepat bagaikan kilat sambil 
mengibaskan pedangnya menyampok senjata 
Kakek Iblis Perak.
Tring!
"Akh...!" Kakek Iblis Perak memekik tertahan.
Sebelum kakek itu sempat menyadari apa yang 
terjadi, Eyang Palandara sudah bergerak cepat 
memberi satu tendangan keras mengandung 
tenaga dalam sempurna ke dada orang tua itu. 
Dughk!
"Hughk!" Kakek Iblis Perak mengeluh pendek.
Tubuh berjubah perak itu, terjajar ke 
belakang. Pada saat itu, salah seorang murid 
Padepokan Sangga Langit yang kebetulan berada 
di belakangnya, langsung menusukkan 
pedangnya ke punggung Kakek Iblis Perak hingga 
tembus ke dada.
"Aaakh...!" Kakek Iblis Perak menjerit 
melengking tinggi.
Tapi sebelum ambruk ke tanah, kakek itu 
berhasil memenggal orang yang menusuknya dari 
belakang. Leher pemuda itu langsung buntung, 
dan kepalanya menggelinding ke tanah tepat saat 
tubuhnya ambruk. Kakek Iblis Perak masih

berhasil merobohkan seorang lagi sebelum 
menggelepar di tanah dengan pedang menembus 
punggung hingga ke dada. Dia tewas seketika itu 
juga.
***
Kematian Kakek Iblis Perak membuat 
kegemparan bagi orang-orang yang berpihak 
padanya. Mereka langsung lari tak tentu arah 
menyelamatkan diri. Beberapa murid Padepokan 
Sangga Langit hendak mengejar, tapi keburu 
dicegah Eyang Binarong dengan suaranya yang 
menggelegar.
"Jangan dikejar...!"
Kaburnya orang-orang golongan hitam itu, 
membuat ketiga murid Anggrek Jingga jadi 
kelabakan. Terlebih lagi jumlah murid Padepokan 
Sangga Langit masih begitu banyak. Apalagi 
mereka sadar tidak mungkin bisa 
menghadapinya.
Tapi ketiga orang wanita cantik itu tidak bisa 
lagi melarikan diri, karena murid-murid 
Padepokan Sangga Langit sudah menyerangnya 
dengan ganas. Mereka terpaksa melayani sekuat 
tenaga. Belum begitu lama, terdengar jeritan 
melengking tinggi.

"Aaa...!"
"Dewi...!" jerit Ranti begitu melihat Dewi terhu-
yung sambil mendekap dadanya yang sobek 
berlumuran darah.
Dan belum juga gadis berbaju kuning itu bisa 
melakukan sesuatu, kembali sebilah pedang 
membabat punggungnya. Dia menjerit keras. 
Darah langsung muncrat dari punggung yang 
terbelah cukup besar. Dan kini, satu tusukan 
tidak bisa dihindari lagi. Dewi benar-benar tidak 
berdaya lagi. Entah, berapa tusukan dan sabetan 
pedang mampir di tubuhnya. Dia tewas sebelum 
ambruk ke tanah dengan tubuh tercincang.
Kematian Dewi membuat Ranti dan Saras jadi 
panik. Tanpa berbicara lagi, mereka membuang 
pedangnya dan menyerah. Puluhan pedang 
langsung mengurungnya. Dua orang 
menghampiri membawa tambang, lalu mengikat 
dua orang gadis murid si Anggrek Jingga itu.
Sementara pertarungan antara Anggrek 
Jingga melawan Pendekar Pulau Neraka terus 
berlangsung sengit Meskipun wanita itu 
mengetahui tinggal sendirian, tapi tidak juga 
menyerah. Bahkan serangan-serangannya 
semakin dahsyat dan berbahaya.
"Keparat busuk! Mampus kau! Hiyaaa...!"

Kandita memaki-maki sambil berteriak-teriak, 
dan bertarung bagdi kesetanan. Dia benar-benar 
tidak peduli lagi begitu menyadari tinggal 
sendirian. Hal ini membuat pikirannya tidak 
terpusat pada lawan. Namun demikian serangan-
serangannya jadi semakin dahsyat. Kandita 
mengeluarkan seluruh kemampuannya.
Tangan kanan yang memegang pedang 
berkelebat cepat membabatkan pedangnya, 
mengurung Pendekar Pulau Neraka. Sedangkan 
tangan kirinya member pukulan-pukulan keras 
bertenaga dalam cukup sempurna.
"Hiyaaat! Yeaaah...!"
Kandita bertarung sambil memutar-mutar 
tubuhnya. Pada saat itu, tangan kirinya berkelebat 
cepat menyebarkan bunga-bunga anggrek Jingga 
ke segala penjuru mata angin. Bunga-bunga 
anggrek jingga itu bertebaran cepat, dan seketika 
terdengar jerit dan pekikan melengking menyayat 
Beberapa orang murid Padepokan Sangga Langit 
berjatuhan tersambar anggrek-anggrek jingga 
yang ditebarkan Kandita.
"Mundur...!" teriak Eyang Palandara keras. 
Mereka yang masih bisa menyelamatkan diri, 
langsung beriompatan mundur menjauh dari 
jangkauan bunga-bunga anggrek jingga. Tapi

rupanya Kandita malah sengaja bertarung sambil 
mendekati mereka, dan terus melontarkan bunga-
bunga mautnya.
"Keparat licik...!" geram Bayu murka 
menyaksikan kelicikan lawannya ini.
Pendekar Pulau Neraka itu langsung 
melentingkan tubuhnya ke belakang. Dan begitu 
kakinya mendarat cepat dibungkukkan tubuh ke 
kiri. Secepat kilat dikibaskan tangan kanannya. 
Dan senjata andalan Pendekar Pulau Neraka yang 
berupa Cakra Maut seketika melesat cepat bagai 
kilat karena dilontarkan dengan pengerahan 
tenaga dalam penuh.
Saat itu Kandita yang tengah melontarkan 
bunga-bunga anggrek jingga ke arah murid-murid 
Padepokan Sangga Langit jadi terkesiap. Tampak 
sebuah benda keperakan meluncur deras ke 
arahnya. Cepat-cepat dilentingkan tubuhnya ke 
belakang sambil berputaran beberapa kail
Kandita menyangka kalau senjata itu sudah 
lewat. Tapi begitu menjejakkan kakinya di tanah, 
mendadak saja dari arah samping kanannya 
Cakra Maut menyambar tiba.
"Akh...!" Kandita memekik tertahan.
Gadis itu begitu terkejut setengah mati. Buru-
buru ditarik tubuhnya ke belakang, maka Cakra

Maut itu melesat lewat sedikit di depan dadanya. 
Tapi kembali dia jadi terkesiap, karena tiba-tiba 
saja senjata itu berhenti, dan....
Crab!
"Aaa...!" Kandita menjerit melengking tinggi.
Sukar dikatakan! Hanya dengan menggerak-
gerakkan tangannya saja, Bayu dapat 
mengendalikan senjata mautnya. Dan Cakra 
Maut bersegi enam itu amblas ke dada Kandita 
hingga tembus sampai ke punggung Darah 
langsung muncrat keluar deras sekali. Bayu 
mengangkat tangan kanannya ke atas, maka 
Cakra Maut melesat dan langsung menempel di 
pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka itu.
***
"Bayu...!"
Pinanti menghambur dan memeluk Pendekar 
Pulau Neraka Tentu saja pemuda berbaju kulit 
harimau itu jadi gelagapan dibuatnya. Buru-buru 
Bayu melepaskan pelukan gadis itu.
"Kau tidak apa-apa, Bayu?" tanya Pinanti 
tidak mempedulikan rona wajah pemuda itu yang 
memerahmenahan malu.

'Tidak," sahut Bayu.
Pendekar Pulau Neraka itu memalingkan 
mukanya menatap dua orang gadis yang terikat 
dijaga beberapa orang murid Padepokan Sangga 
Langit.
Bayu menghampiri, dan berdiri sekitar tiga 
langkah lagi di depan kedua gadis itu. Ditatapnya 
dalam-dalam wajah Ranti, gadis yang 
mengenakan baju biru. Bayu teringat ketika Ranti 
menjaganya pada malam hari. Darahnya jadi 
menggolak mendidih kala teringat betapa liarnya 
gadis ini mencumbu dirinya dalam keadaan tidak 
berdaya karena pusat jalan darahnya tertotok.
Pandangan Bayu beralih pada Saras. Gadis 
berbaju hijau itu juga memperlakukan dirinya 
seperti seekor binatang. Saras lebih liar lagi, 
sehingga Pendekar Pulau Neraka merasa muak. 
Seluruh wajahnya memerah, dan matanya 
bersorot tajam. Belum pernah dirinya 
diperlakukan seperti itu. Jelas, Bayu merasa 
terhina, dan tak akan bisa melupakannya seumur 
hidup. Pendekar Pulau Neraka akan terus merasa 
terhina dan malu jika kedua gadis ini masih 
dibiarkan hidup.
"Kau harus mampus, perempuan iblis...!" 
desis Bayu menggeram.

Tiba-tiba saja, Pendekar Pulau Neraka itu 
mencabut pedang dari pinggang Pinanti yang 
berdiri di sampingnya. Cepat sekali! Begitu pedang 
tercabut, langsung dibabatkan ke leher kedua 
gadis itu.
Cras!
"Aaa...!" 
"Aaakh...!"
"Bayu...!" sentak Eyang Palandara terkejut.
"Dewata Yang Agung...," desah Eyang 
Binarong.
Kedua gadis itu langsung terjungkal jatuh 
dengan kepala hampir terpisah dari badan! Bayu 
menyerahkan pedang berlumuran darah itu pada 
Pinanti. Gadis itu menerima dan memasukkan 
kembali ke dalam sarungnya. Pelahan Pendekar 
Pulau Neraka itu memutar tubuhnya seraya 
memandangi wajah-wajah yang terlongong 
menatap ke arahnya. Pandangan Bayu terhenti 
pada dua laki-laki tua.
"Maaf, aku harus membunuhnya," ujar Bayu.
Setelah berkata demikian, Bayu 
mengayunkan kakinya berjalan pergi. Semua 
orang hanya bisa bengong tidak mengerti 
terhadap tindakan Pendekar Pulau Neraka yang 
begitu tega membunuh dua orang gadis dalam

keadaan terikat. Hanya Pinanti yang bisa mengerti 
perasaan pemuda itu, dan langsung berlari 
mengejar.
"Bayu, tunggu...!"
Bayu menghentikan langkahnya ketika 
Pinanti sudah menghadang di depannya. Sejenak 
mereka hanya saling berpandangan saja. Pinanti 
mengambil tangan pemuda itu dan 
menggenggamnya hangat-hangat. Bayu mencoba 
melepaskan, tapi gadis itu malah membawanya 
ke dada. Dan kini mereka berpelukan erat 
Seakan-akan gadis itu ingin agar Bayu dapat 
merasakan debaran jantungnya.
"Aku tahu perasaanmu, Bayu. Mereka 
memang pantas untuk mati," ujar Pinanti pelan, 
hampir berbisik.
"Seandainya kau juga berbuat yang sama 
seperti mereka, aku tidak peduli meskipun 
ayahmu seorang ketua padepokan besar," desis 
Bayu datar.
'Tapi aku bukan mereka, Bayu."
Bayu memandang lurus ke bola mata gadis 
itu.
"Kenapa waktu itu kau menciumku?" desis 
Bayu.
'Terpaksa," sahut Pinanti.

Seketika wajah Pinanti menyemburat merah. 
Sungguh, seumur hidup dia belum pernah 
mencium seorang pemuda. Saat itu memang 
terpaksa dilakukannya, karena tidak ada jalan 
lain untuk menyelamatkan pemuda ini. Dan 
diakui, hatinya sempat bergetar juga waktu itu.
"Bayu, aku belum pernah melakukannya. 
Aku hanya ingin menyelamatkanmu saja. 
Percayalah, aku bukan mereka."
Bayu terdiam. Dilepaskan tangannya dengan 
halus dari pelukan gadis itu. Memang diakui, 
waktu itu Pinanti terasa kaku. Dan Bayu juga 
mengakui kalau debaran jantung Pinanti terasa 
begitu hebat. Tidak seperti yang lainnya. Bayu 
memang bisa merasakan kalau ada rasa 
keterpaksaan pada diri gadis itu saat 
menciumnya.
"Aku percaya padamu, Pinanti," tegas Baya 
"Oh! Terima kasih, Kakang," ucap Pinanti lega. 
Gadis itu tersenyum senang, karena Bayu mau 
mempercayai dirinya. Dan pemuda berbaju kulit 
harimau itu juga memberikan senyum, meskipun 
terasa agak hambar. Pendekar Pulau Neraka itu 
melirik orang-orang yang tengah sibuk
mengumpulkan mayat teman-temannya, dan

dimasukkan ke dalam tandu yang diikatkan pada 
kuda.
Bayu memutar tubuhnya ketika Eyang 
Binarong menghampiri. Sedangkan Eyang 
Palandara tengah sibuk mengatur murid-
muridnya untuk membawa murid-murid lain 
yang tewas dalam pertempuran. Dan sebagian lagi 
menguburkan mayat-mayat lawannya. 
Bagaimanapun juga, mereka semua adalah 
manusia, dan patut mendapat perlakuan 
sebagaimana layaknya manusia pada umumnya.
"Bayu, boleh aku bicara padamu sebentar?" 
pinta Eyang Binarong.
Bayu menganggukkan kepalanya.
'Terus terang, sebenarnya aku menyesalkan 
tindakanmu tadi," kata Eyang Binarong langsung 
berterus terang.
"Maaf kalau itu membuatmu tidak senang," 
ucap Baya
"Aku bisa memahami, kau pasti punya alasan 
kuat sehingga berbuat sekejam itu pada mereka. 
Tapi itu tidak baik pengaruhnya terhadap nama 
besarmu. Kau harus ingat, mereka yang bernaung 
di bawah panji Padepokan Sangga Langit adalah 
calon pendekar yang akan menggantikan orang-
orang tua sepertiku ini. Mereka pasti tidak akan

melupakan perbuatanmu. Mereka adalah 
manusia, dan aku tidak percaya kalau mereka 
akan diam saja. Paling tidak mereka pasti akan 
bercerita pada orang lain," jelas Eyang Binarong 
gamblang, membuka perasaan hatinya.
Bayu hanya diam saja. Diakui kebenaran 
kata-kata orang tua ini. Tapi gadis-gadis itu 
memang tidak bisa dibiarkan hidup. Akan lebih 
parah lagi kalau mereka sampai bebas dan 
menyebarkan cerita buruk tentang dirinya. Tapi 
dengan kejadian barusan, memang mungkin 
orang akan menganggap dirinya kejam, berdarah 
dingin, dan tidak mengenal belas kasihan. 
Bahkan bisa juga kaum persilatan 
menggolongkannya ke dalam aliran hitam.
Tapi Bayu tidak peduli, karena dia yang 
mengalami mendapat perlakuan seperti binatang! 
Kewibawaannya dipermalukan sedemikian rupa 
tanpa dapat berbuat apa-apa. Orang lain memang 
bisa menuding. Tapi jika mereka mengalami, pasti 
akan berbuat yang sama dengan yang 
dilakukannya pada kedua gadis itu 
"Aku hanya bisa berpesan padamu, Bayu. 
Kau harus bisa menempatkan diri, dan 
menghapus dampak buruk atas kejadian ini," 
kata Eyang Binarong lagi.

'Terima kasih, Eyang," ucap Bayu. Eyang 
Binarong menepuk pundak Pendekar Pulau 
Neraka itu, kemudian meninggalkannya. Pinanti 
segera menghampiri setelah Eyang Binarong pergi. 
Gadis itu memandangi wajah tampan di 
depannya lekat-lekat.
"Kenapa tidak kau ceritakan saja yang 
sebenarnya, Bayu?" tanya Pinanti.
"Biar itu semua menjadi rahasia pribadiku, 
Pinanti," sahut Bayu.
"Kau begitu luhur, Bayu," puji Pinanti tulus.
Bayu hanya tersenyum saja, lalu berbalik dan 
mengayunkan kakinya meninggalkan tempat itu. 
Pinanti memandangi kepergian Pendekar Pulau 
Neraka itu. Dipandangi ayahnya yang masih 
sibuk memberi perintah dan mengatur murid-
muridnya. Sedangkan Eyang Binarong sedang 
berlutut di samping mayat Ki Sampar. Tak ada 
yang memperhatikan. Semua sibuk dengan 
pekerjaan masing-masing.
Pinanti langsung melompat mengejar Bayu 
yang hampir tenggelam ditelan lebatnya hutan di 
Lereng Gunung Waru ini. Cepat sekali gadis itu 
melompat. Hanya beberapa lompatan saja, dia 
sudah bisa mengejar Pendekar Pulau Neraka itu.

Pinanti langsung berdiri menghadang di depan 
Bayu.
"Pinanti, mau apa lagi kau?" tanya Bayu. 
Pinanti tidak menjawab, dan hanya 
memandangi pemuda berbaju kulit harimau itu 
dalam-dalam. Saat ini mereka sudah cukup jauh 
dari pelataran Candi Laksa. Tak ada yang bisa 
melihat, karena mereka terhalang pepohonan dan 
semak yang rapat bertautan. Bayu jadi tidak 
mengerti akan sikap gadis ini.
"Ada apa, Pinanti?" tanya Bayu lembut. 
"Kau akan meninggalkanku begitu saja, 
Kakang?" Pinanti balik bertanya.
"Aku memang harus pergi. Masih banyak 
yang harus kukerjakan, Pinanti," Bayu mencoba 
meminta pengertian gadis ini.
'Tanpa memberi sesuatu yang berarti 
padaku?" Bayu semakin tidak mengerti. Dan 
sebelum Pendekar Pulau Neraka sempat 
memahami maksud gadis itu, tiba-tiba saja 
Pinanti sudah menghambur memeluknya erat-
erat. Gadis itu melingkarkan tangannya di leher. 
Kepalanya mendongak dengan bibir merah sedikit 
terbuka. Bayu menelan ludahnya sendiri melihat 
bibir merah yang menantang itu.

"Berikan aku sesuatu yang berarti untuk 
dikenang, dan kau boleh pergi, Bayu," ujar Pinanti 
agak mendesah.
"Aku....”
Belum habis Bayu bicara, Pinanti sudah 
menyumpal bibir pemuda itu dengan bibirnya. 
Sebentar Bayu gelagapan, tapi akhirnya 
melingkarkan tangannya di pinggang ramping
gadis itu. Bayu membalas, memagutnya penuh 
gairah.
"Ohhh...," rintih Pinanti lirih.
"Kau gadis nakal yang pernah kujumpai, 
Pinanti."
"Ya, dan kau tidak akan bisa melupakanku."
Bayu tersenyum, dan Pinanti juga tersenyum. 
Kemudian mereka kembali berpagutan penuh 
gairah menggelora dalam dada. Bibir mereka 
menyatu rapat bagai tak akan terpisahkan lagi. 
Desah napas dan rintihan lirih terdengar. Mereka 
tidak peduli pada suara Eyang Palandara yang 
berteriak memanggil gadis itu.
"Pinanti..., di mana kau...?!"
"Jangan hiraukan, Kakang," desah Pinanti 
ketika Bayu melepaskan pagutannya.
Pinanti langsung memagut bibir pemuda itu 
lagi, dan Bayu pun jadi tidak peduli. Dibalasnya

pagutan itu dengan hangat pula. Semakin ketat 
pelukannya, dan semakin menggelora 
lumatannya pada bibir gadis itu.
"Ohhh...."


                           SELESAI


Share:

0 comments:

Posting Komentar