..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Kamis, 06 Februari 2025

PENDEKAR PULAU NERAKA EPISODE SEPASANG BANGAU PUTIH

Sepasang Bangau Putih

 

SATU

Debu berkepul membumbung ringgi ke angkasa, 
ketika kaki-kaki dua ekor kuda yang dipacu dengan 
kecepatan ringgi, melintasi jalan tanah berdebu di 
kaki lereng Gunung Jambik. Dua anak muda yang 
sudah kotor berdebu seluruh tubuhnya itu, semakin 
cepat menggebah kuda mereka yang sudah terengah 
kecapaian. Sementara matahari sudah condong ke 
sebelah barat. Cahayanya ridak lagi terasa terik dan 
menyengat. 
"Berhenti dulu, Kakang...!" 
Tiba-tiba salah satunya yang ternyata seorang 
gadis berusia muda berteriak keras sambil menarik 
tali kekang kuda. Kuda yang ditungganginya 
meringkik nyaring, sambil mengangkat kedua kaki 
depan tinggi-tinggi. Hampir saja gadis itu terpelanting, 
kalau dia tidak cepat mengendalikan kudanya. Dan 
seorang lagi yang ternyata pemuda berwajah tampan, 
langsung menghentikan lari kudanya. 
"Ada apa, Untari? Kenapa mendadak kau ber-
henti?" tanya pemuda itu sambil mendekatkan 
kudanya ke kuda yang ditunggangi gadis ini. 
"Kita berhenti dulu di sini, Kakang Perbawa," sahut 
gadis cantik bernama Untari itu. 
Dengan gerakan yang indah dan ringan sekali, 
Untari melompat turun dari punggung kudanya. Dari 
gerakannya saja, sudah bisa dipastikan kalau gadis 
itu memiliki kepandaian yang tidak bisa dikatakan 
rendah. Dia berdiri tegak di samping kudanya. 
Sedangkan pemuda yang bernama Perbawa masih

tetap berada di punggung kudanya. Dia hanya me-
mandangi saja gadis cantik yang mengenakan baju 
putih ketat itu, sama seperti yang dikenakannya. Dan 
keduanya juga sama-sama menyandang sebilah 
pedang di punggung masing-masing. 
"Padepokan Tangan Baja sudah tidak jauh lagi. 
Kalau kita terus, belum gelap sudah sampai di sana, 
Kakang. Apa kau lupa, kita harus sampai di sana 
dalam suasana gelap?" kata Untari mengingatkan. 
"Hup!" 
Tanpa banyak bicara lagi, Perbawa melompat 
turun dari punggung kudanya. Begitu indah dan 
ringan gerakannya, hingga sedikit pun tidak terdengar 
suara saat kedua telapak kakinya menjejak tanah. 
Dia membiarkan saja kudanya melangkah ke tepi 
jalan yang ditumbuhi rerumputan. Sedangkan kuda 
milik Untari, sudah sejak tadi mengisi perutnya di 
pinggiran jalan tanah berdebu itu. 
"Ini yang ke berapa, Untari?" tanya Perbawa seraya 
menghenyakkan tubuhnya, duduk bersandar di 
bawah pohon yang tumbuh di pinggir jalan. 
"Tiga," sahut Untari juga ikut duduk di sebelah 
Perbawa. 
"Berapa lagi yang harus kita datangi?" tanya 
Perbawa lagi. 
"Kalau dengan yang ini, semuanya tujuh lagi." 
Perbawa hanya diam saja. Keningnya tampak ber-
kerut, dengan tatapan mata tertuju lurus ke depan. 
Entah apa yang ada di dalam pikirannya saat ini. 
Sedangkan Untari sudah kembali berdiri dan meng-
hampiri kudanya. Dia membereskan pelana kuda 
tunggangannya itu, kemudian melompat naik. 
Perbawa hanya memperhatikan dari sudut ekor matanya.

"Mau ke mana kau, Untari?" tanya Perbawa tanpa 
beranjak dari duduknya. 
"Aku mau melihat ke ujung jalan itu dulu," sahut 
Untari. "Hiyaaa...!" 
Tanpa menunggu jawaban dari Perbawa, Untari 
langsung menggebah kudanya dengan cepat Se-
mentara Perbawa kembali menyandarkan punggung-
nya ke batang pohon. Dan kelopak matanya langsung 
terpejam. 
Sementara itu Untari sudah sampai ke ujung jalan 
yang bercabang. Dihentikan lari kudanya di ujung 
jalan itu. Matanya yang bulat dan indah, langsung 
beredar memperhatikan jalan bercabang di kanan 
dan kirinya. Keadaan sepi sekali. Sejauh mata 
memandang, tidak seorang pun terlihat di sepanjang 
jalan. 
Saat itu matahari sudah hampir tenggelam di balik 
peraduannya. Hanya rona merah yang tampak mem-
bias di kaki langit barat Untari memutar kudanya 
kembali ke jalan semula. Namun belum juga dia 
menggebah kudanya lagi, tiba-tiba.... 
Srak! 
"Heh...?!" 
"Heaaaa...!" 
Belum sempat Untari bisa menghilangkan ke-
terkejutannya, tiba-tiba saja sudah muncul sesosok 
bayangan merah berkelebat cepat sekali. Sosok itu 
keluar dari balik gerumbul semak yang ada tepat di 
samping kiri jalan. Bayangan merah itu langsung 
meluruk deras menyerang Untari. Tapi.... 
"Haiiittt..!" 
Cring! 
Wut! 
Cras!


"Aaaa...!" 
Cepat sekali Untari mencabut pedang, yang 
langsung dikebutkan ke atas kepala, sambil mem-
bungkukkan tubuh hingga hampir merapat dengan 
punggung kudanya. Dan kibasan pedangnya me-
nyambar bayangan merah itu. Seketika terdengar 
suara jeritan panjang melengking tinggi. 
"Hup!" 
Bruk! 
Tepat ketika Untari melompat turun dari punggung 
kuda, sesosok tubuh mengenakan baju merah 
terjatuh dengan keras sekali di samping kanan kuda. 
Sementara Untari menjejakkan kaki dengan ringan 
sekali di pinggir jalan. Tatapan tajam matanya 
langsung memandangi sosok tubuh yang tergeletak di 
jalan tanah berdebu. Darah tampak mengucur deras 
dari dadanya yang robek cukup lebar. 
Ketika Untari masih memandangi sosok tubuh 
lelaki yang sudah tak bemyawa terkena sabetan 
pedangnya itu, tiba-tiba terdengar suara gemerisik 
dari arah belakang. Cepat dia memutar tubuhnya 
berbalik. Saat itu juga, terlihat sebuah bayangan 
merah berkelebat begitu cepat menerjang ke arah-
nya. 
"Hup! Yeaaah...!" 
*** 
Untari cepat melompat ke belakang, sambil me-
ngebutkan pedang ke arah bayangan merah yang 
menerjangnya dengan kecepatan tinggi bagai kilat itu. 
Namun tampaknya orang ini lebih gesit dari yang 
pertama. Dia bisa menghindari sabetan pedang 
dengan melenting kembali ke belakang. Dan tepat

secara bersamaan mereka menjejakkan kaki di 
tanah. Kini di depan Untari berdiri seorang lelaki 
berusia tiga puluh lima tahunan. Tubuhnya yang 
tegap terbalut pakaian merah menyala, sama persis 
seperti yang dikenakan penyerang pertama. Sebuah 
pedang tergantung di pinggangnya. 
"Siapa kau? Kenapa menyerangku?" tanya Untari. 
Laki-laki berbaju merah itu tidak menjawab sedikit 
pun. Dia malah menatap wajah Untari dengan sinar 
mata yang begitu tajam menysuk. Perlahan dia meng-
geser kakinya ke kanan sambil menyentuh gagang 
pedang yang tergantung di pinggang dengan siku 
tangan kiri. 
Tiba-tiba saja dia mengeluarkan suara siulan me-
lengking tinggi, dengan nada yang terdengar aneh 
dan menyakitkan telinga. Untari tersentak kaget 
mendengar siulan itu. Namun belum sempat dia bisa 
menghilangkan keterkejutannya, mendadak dari 
segala arah di sekelilingnya sudah berlompatan 
sosok-sosok tubuh berbaju merah menyala. Sebentar 
saja gadis itu sudah terkepung tidak kurang dari lima 
belas orang lelaki berpakaian serba merah, yang 
semuanya sudah menghunus pedang. 
"Seraaang...! Bunuh gadis itu...!" 
Tiba-tiba orang yang muncul menyerang tadi ber-
teriak dengan suaranya yang keras dan menggelegar. 
Seketika orang-orang berbaju serba merah menyala 
itu langsung berlompatan menyerang Untari sambil 
berteriak-teriak keras menggetarkan jantung. Dalam 
sekejap Untari sudah terkepung kelebatan kilatan-
kilatan pedang yang mengincar bagian-bagian tubuh 
yang mematikan. 
"Hep! Yeaaah...!" 
Untari tidak punya pilihan lain lagi. Dengan cepat

ia melenting sambil berputar. Dan secepat itu juga 
tangannya mencabut pedang dan menangkis sebuah 
pedang yang berkelebat begitu cepat mengarah ke 
dadanya. 
"Hih!" 
Tring! 
Secepat kilat Untari menarik tubuh hingga doyong 
ke belakang untuk menghindari sabetan pedang yang 
datang dari arah samping. Dan secepat itu pula 
dilepaskannya satu tendangan ke depan yang disertai 
dengan pengerahan tenaga dalam tinggi. Begitu cepat 
tendangan yang dilepaskan gadis berbaju putih itu, 
sehingga lawan yang berada di depannya tidak 
sempat bergerak menghindar ataupun menangkisnya. 
Diegkh! 
"Akh...!" 
Orang itu memekik keras, begitu dadanya terkena 
tendangan menggeledek yang bertenaga dalam tinggi 
dari Untari. Seketika tubuhnya terpental ukup jauh ke 
belakang. Sementara Untari sendiri sudah harus 
menempatkan pedangnya ke belakang punggung, 
ketika satu serangan pedang lawan yang lain mem-
babat ke arah punggungnya. 
Trang! 
Kembali pedang Untari berhasil menangkis 
serangan pedang lawannya. Pada saat itu juga, satu 
pukulan yang dilepaskannya berhasil menghantam 
tubuh lawan yang berada tepat di sebelah kirinya. 
Jeritan panjang pun terdengar menyayat Satu orang 
lawannya terjungkal mencium tanah. Untari kembali 
berlompatan sambil membabatkan pedangnya, meng-
hantam setiap lawan yang datang menyerang secara 
cepat dan beruntun. 
Namun mendadak terdengar jeritan-jeritan

kematian yang panjang dan melengking tinggi. 
Disusul dengan berpentalannya lawan-lawan Untari 
ke atas disertai dengan semburat darah segar yang 
membasahi tanah sekitar pertarungan. 
Melihat keadaan itu Untari terkejut dan keheranan. 
Tapi dia tidak sempat lagi untuk bertanya walau di 
dalam hati. 
Pandangan matanya yang tajam, langsung da-pat 
melihat seorang pemuda berbaju putih tengah 
melesat cepat sekali menghajar orang-orang berbaju 
serba merah dengan pedangnya yang berkelebatan 
bagai kilat. Tak satu pun lawan-lawannya yang 
mampu membendung serangan kilat itu. Untari tahu 
siapa pemuda yang tiba-tiba datang membantunya. 
"Kakang Perbawa...," desis Untari dengan perasaan 
lega. 
"Hiyaaat..!" 
Bet! Cras! 
"Aaaa...!" 
Jeritan-jeritan kematian pun semakin sering ter-
dengar saling sambut Dan tubuh-tubuh bersimbah 
darah terus berjatuhan tanpa ampun lagi. 
Kedatangan Perbawa membuat semangat Untari 
kembali berkobar menyala. Dengan ganas sekali dia 
mengayunkan pedang, membabat setiap lawan yang 
berada dalam jangkauannya. Sementara Perbawa 
sendiri dengan gerakan-gerakan yang begitu cepat 
juga tidak terbendung lagi. 
Hingga dalam waktu tidak berapa lama, sekitar 
lima belas orang berpakaian serba merah tidak ada 
lagi yang bisa berdiri. Mereka semua terbujur kaku 
tanpa nyawa dengan darah berhamburan membasahi 
jalan tanah berdebu. Untari dan Perbawa segera 
menyarungkan pedang yang bemoda darah ke dalam

warangka seraya menghela napas lega melihat lawan-
lawannya yang bergelimpangan. 
"Ayo, Untari. Tinggalkan tempat ini," ajak Perbawa 
sambil melangkah menghampiri kudanya. 
Untari juga segera mendekati kudanya yang 
berada tidak jauh dari tempat pertarungan. Dengan 
gerakan yang indah dan ringan sekali, mereka ber-
lompatan naik ke punggung kuda masing-masing. 
Dan tanpa bicara sedikit pun, keduanya langsung 
menggebah kuda perlahan meninggalkan tempat 
pertarungan itu. Meninggalkan mayat-mayat yang 
bergelimpangan saling tumpang tindih, dengan darah 
membanjiri sekitarnya. 
*** 
"Untung kau tadi cepat datang, Kakang," ujar 
Untari setelah mereka cukup jauh meninggalkan 
tempat pertarungan tadi. 
"Tanpa aku, kau juga bisa menghabiskan mereka, 
Untari," sahut Perbawa kalem. 
"Mereka memang tidak ada apa-apanya, Kakang," 
ujar Untari bangga mendapat sanjungan Perbawa. 
Pemuda itu hanya tersenyum dikulum. Dia tahu 
kalau Untari senang mendapat sanjungan. Dan 
mereka tidak bicara lagi, terus mengendalikan 
kudanya periahan-lahan menyusuri jalan tanah 
berdebu. 
"Kau tahu siapa mereka, Untari?" tanya Perbawa 
setelah beberapa saat terdiam. 
Untari menggelengkan kepalanya. 
"Tapi kenapa kau sampai bentrok dengan 
mereka?" tanya Perbawa lagi. 
"Aku tidak tahu, Kakang. Tiba-tiba saja mereka

muncul dan langsung menyerang," sahut Untari 
menjelaskan. 
"Mustahil kalau mereka menyerang tanpa ada 
maksud apa-apa," desis Perbawa tidak percaya. 
"Kau tidak percaya padaku, Kakang...?" dengus 
Untari. 
"Aku percaya. Tapi apa mungkin ada orang yang 
menyerang tanpa sebab...? Mereka menyerangmu 
pasti karena ada sebabnya. Apalagi tanpa bicara 
sedikit pun. Kau sama sekali tak mengenal mereka, 
Untari?" 
"Tidak," sahut Untari tegas. 
"Juga tidak mengenali pakaiannya?" selidik 
Perbawa lagi. 
Untari terdiam mendengar pertanyaan yang 
bemada menyelidik itu. Keningnya terlihat berkerut, 
seperti sedang memikirkan sesuatu. Namun tidak 
lama kemudian, kepalanya menggeleng perlahan. Dia 
sama sekali tidak mengenal orang-orang yang 
menyerangnya tadi. Bahkan tidak sempat mengenali 
pakaian yang mereka kenakan, walaupun jelas 
mereka mengenakan pakaian yang sama, baik corak 
maupun wamanya. Bahkan semua menggunakan 
pedang yang sama persis bentuk dan ukuran-nya. 
Namun Untari benar-benar tidak tahu siapa mereka 
itu semua. 
"Aku sama sekali tidak tahu, Kakang," terdengar 
pelan suara Untari. 
"Ya, sudahlah...," desah Perbawa disertai hem-
busan napas panjang. 
Untari jadi terdiam lagi. Keningnya masih tetap 
berkerut, dengan pandangan mata tertuju lurus ke 
depan. Agaknya dia masih tetap berusaha mengingat 
siapa orang-orang yang menyerangnya tadi. Namun

semakin keras dia berusaha mencari tahu, semakin 
sulit untuk mengetahuinya. Untari benar-benar tidak 
mengenali orang-orang yang berbaju merah tadi. 
Sedangkan Perbawa juga tidak bicara lagi. 
Mereka terus menjalankan kuda perlahan-lahan. 
Sementara malam sudah turun menyelimuti kaki 
lereng Gunung Jambik. Kegelapan sudah menyelimuti 
sekitarnya. Angin yang beraup pun mulai terasa dingin 
menyengat kulit. Namun kedua anak muda itu terus 
menjalankan kuda mereka perlahan-lahan menyusuri 
jalan tanah berdebu itu. 
Lama juga keduanya terdiam tanpa berbicara, 
hingga tiba di suatu tempat tanah lapang dan be-
rumput. Tampak di seberang mereka berdiri sebuah 
bangunan yang dikelilingi pagar kayu tinggi, seperti 
sebuah benteng pertahanan. 
Rupanya bangunan di lereng Gunung Jambik inilah 
yang mereka tuju. Sebuah bangunan padepokan milik 
Ki Ampal. Seorang tokoh sakti yang dulu pernah 
malang melintang di rimba persilatan. Tokoh ini 
dikenal dengan julukan si Tangan Baja. Itu sebabnya 
padepokan yang didirikannya pun diberi nama 
Padepokan Tangan Baja. Sesuai dengan nama 
julukan yang disandangnya. Bahkan sampai 
sekarang, masih banyak orang yang memanggilnya 
dengan nama si Tangan Baja, daripada Ki Ampal. 
Namun ketika usianya tua, Ki Ampal mendirikan 
sebuah padepokan di kaki lereng Gunung Jambik ini. 
Lebih dari lima puluh orang menjadi muridnya. 
Sementara Untari dan Perbawa masih tetap 
berada di punggung kuda masing-masing, me-
mandangi padepokan yang masih berada cukup jauh 
dari mereka. Namun bangunan padepokan itu sudah 
terlihat jelas, tanpa satu pohon pun yang meng

halanginya. Untuk mencapai ke sana, mereka harus 
melewati tanah lapang yang tentu saja akan terlihat 
dari bangunan padepokan itu. 
"Kau lihat, Untari. Ketat sekali penjagaannya," ujar 
Perbawa tanpa memalingkan sedikit pun pandangan-
nya dari banguan padepokan yang mirip benteng 
pertahanan itu. 
"Aku tahu," sahut Untari juga tidak memalingkan 
perhatiannya dari bangunan itu. 
"Kau tetap akan ke sana?" tanya Perbawa lagi, 
seakan ingin memastikan. 
"Ya," sahut Untari mantap. 
"Kau tahu berapa jumlah murid si Tangan Baja?" 
tanya Perbawa lagi, bernada menyelidik. 
"Sekitar lima puluh orang. Itu juga kalau mereka 
semua ada di sana." 
"Lima puluh orang..." gumam Perbawa pelan. 
"Sedangkan kita hanya berdua. Apa mungkin kita bisa 
menghadapi mereka, Untari?" 
"Aku heran, kenapa kau jadi ragu-ragu begitu, 
Kakang? Apa yang membuatmu jadi ragu...?" tanya 
Untari keheranan, sambil menatap wajah tampan 
Pemuda di sebelahnya. 
"Bukannya aku ragu, Untari. Aku hanya ingin lahu, 
apakah kau sudah menyelidikinya lebih dahulu 
seperti padepokan-padepokan lainnya?" ujar Perbawa 
bernada bertanya. 
"Tidak ada satu padepokan pun yang terlewat dari 
penyelidikanku, Kakang. Aku sudah tahu seberapa 
kekuatan mereka. Dan semua, hanya guru-gurunya 
yang perlu diberi perhatian lebih. Sedangkan murid-
muridnya.... Hm, aku sendiri juga sanggup menghabisi 
mereka semua dalam waktu singkat," jelas Untari 
dengan bibir agak mencibir merendahkan.

Perbawa hanya melirik sedikit memperhatikan 
wajah cantik gadis itu. Namun di balik kecantikan 
wajahnya itu, terlihat guratan-guratan kekerasan yang 
tidak dapat disembunyikan. Bahkan sorot matanya 
terlihat berapi-api, bagai menyimpan sesuatu yang 
begitu dahsyat. 
"Kita ambil jalan memutar, Kakang," kata Untari 
mengajak. 
"Lewat mana?" tanya Purbawa. 
Untari tidak sempat lagi menjawab. Dia sudah 
memutar kuda dan menggebahnya dengan cepat. 
Perbawa bergegas mengikuti gadis itu dari belakang. 
Keduanya meninggalkan tanah lapang itu dan 
kembali melintasi jalan yang mereka lalui tadi ketika 
datang. 
***

DUA

Sementara itu di dalam bangunan Padepokan Tangan 
Baja, Ki Ampal sedang menerima seorang tamu, 
sahabat kentalnya. Seorang lelaki berusia sebaya 
dengan dirinya. Hanya sebelah mata orang itu 
tertutup kulit hitam yang diikatkan ke belakang 
kepala. Dan terlihat sebuah golok berukuran besar 
berwarna hitam tersandang di punggungnya. Dia 
bernama Ki Denggis, yang lebih dikenal dengan 
julukan Golok Setan Penyambar Nyawa. 
Walaupun dalam usia yang sudah mencapai tujuh 
puluh tahun, Ki Denggis masih kelihatan kekar dan 
berotot. Lain dengan Ki Ampal yang kini selalu 
mengenakan baju jubah panjang wama hijau muda. 
Tubuhnya sudah kelihatan kurus dan mengendur. 
Hanya sinar matanya yang masih terlihat bersorot 
tajam, penuh dengan gairah kehidupan yang me-
nyala-nyala. 
"Maaf, dengan penyambutan murid-muridku tadi 
padamu," ucap Ki Ampal dengan sikap penuh hormat 
"Penyambutan yang wajar, Ampal. Aku bisa me-
maklumi. Murid-muridmu memang tak ada yang kenal 
denganku. Selama kau mendirikan padepokan di sini, 
baru kali ini aku datang, kan...? Sudah barang tentu 
mereka tak ada yang mengenalku," sambut Ki 
Denggis maklum. 
"Terima kasih, Kakang," ucap Ki Ampal. 
"Sebenarnya aku datang ke sini untuk mem-
beritahukan sesuatu yang sangat penting padamu, 
Ampal," ujar Ki Denggis langsung pada persoalannya. 
"Hm, berita apa itu...?" 
"Berita yang mungkin akan membuatmu terkejut," 
sahut Ki Denggis datar.


Ki Ampal tampak mengerutkan kening. Dia 
memandangi tamunya dengan tatapan mata yang 
cukup dalam. 
"Dalam beberapa hari ini, sudah dua padepokan 
sahabat kita yang hancur. Bahkan tidak ada seorang 
pun yang dibiarkan hidup...," ujar Ki Denggis meng-
awali ceritanya. 
"Padepokan apa itu?" tanya Ki Ampal. 
"Padepokan Cakar Naga dan Padepokan Tongkat 
Hitam," sahut Ki Denggis. 
"Ah...!" 
Ki Ampal menghembuskan napas panjang, men-
dengar dua padepokan yang sudah dikenalnya 
dengan baik kini hancur tak bersisa lagi. Dia tahu 
siapa ketua kedua padepokan itu. Mereka memang 
sahabat-sahabat kentalnya. 
"Siapa yang menghancurkannya?" tanya Ki Ampal 
setelah beberapa saat terdiam. 
"Sepasang Bangau Putih," sahut Ki Denggis. 
"Sepasang Bangau Putih...?" 
Kening Ki Ampal kembali berkerut dengan kelopak 
mata sedikit menyipit. Seakan dia sedang berpikir, 
mengingat-ingat nama yang baru saja disebutkan 
sahabatnya itu. Tidak lama kemudian, kepalanya 
terlihat bergerak menggeleng beberapa kali dengan 
perlahan. 
"Rasanya aku tak pernah mendengar nama itu...," 
desah Ki Ampal perlahan. 
"Kau memang tidak pernah mendengarnya, Ampal. 
Aku sendiri baru mendengar setelah kedua 
padepokan itu mereka hancurkan. Tapi dari apa yang 
sudah aku ketahui, mereka hanya dua orang anak 
muda yang berkepandaian tinggi," sambung Ki 
Denggis.

"Hm.... Lalu apa hubungannya denganku?" tanya Ki 
Ampal lagi. 
"Dengar, Ampal. Kau masih ingat berapa orang dari 
kelompok kita yang mendirikan padepokan se-
pertimu...?" 
"Sepuluh, termasuk aku." 
"Dan berapa orang yang tetap sendiri seperti aku?" 
"Lima, termasuk kau." 
"Empat orang sudah tewas di tangan mereka. Dan 
dua padepokan sahabat kita sudah hancur. Aku 
yakin, tak lama lagi mereka akan datang ke sini lebih 
dulu, atau mungkin ke padepokan-padepokan yang 
lainnya," terdengar agak ditekan nada suara Ki 
Denggis. 
"Aku tidak mengerti maksudmu, Kakang...." 
"Mereka yang tewas dalam beberapa hari ini, 
semua sahabat-sahabat kita, merupakan satu 
kelompok tangguh yang pernah jaya dan tidak ada 
tandingannya. Dan sekarang, ada dua orang yang 
menamakan dirinya Sepasang Bangau Putih sudah 
mengalahkan sebagian dari kita. Aku yakin, mereka 
akan menghancurkan kita satu persatu," hati-hati 
sekali Ki Denggis mengutarakan isi hatinya. 
"Aku mengerti jalan pikiranmu, Kakang. Tapi siapa 
mereka...?" ujar Ki Ampal seperti bicara pada dirinya 
sendiri. 
"Siapa mereka, itu tidak penting. Yang penting, 
sekarang kita semua harus waspada! Aku yakin, 
cepat atau lambat mereka akan datang ke sini. Dan 
kau harus siap menghadapinya!" sahut Ki Denggis. 
"Kau yakin, Kakang?" 
"Aku sudah peringatkan ke Padepokan Cakar 
Naga. Tapi tidak ditangggapi. Dan kenyataannya, baru 
aku tinggal saju hari, sudah kudengar mereka

hancur." 
"Dari mana kau tahu semua ini?" tanya Ki Ampal 
menyelidik. 
"Aku sudah menduga setelah empat orang sahabat 
kita yang tidak mendirikan padepokan tewas di 
tangan orang yang sama. Ditambah lagi dengan 
hancurnya Padepokan Tongkat Hitam. Lalu disusul 
dengan hancurnya Padepokan Cakar Naga tiga hari 
yang lalu. Aku yakin, sekarang mereka menuju ke sini. 
Karena jarak dari Padepokan Cakar Naga dengan 
padepokanmu ini tidak terlalu jauh. Kalau mereka 
langsung menuju ke sini, aku yakin malam ini mereka 
sudah sampai," jelas Ki Denggis gamblang. 
Ki Ampal masih saja diam dengan kening berkerut 
"Kau siapkan saja murid-muridmu, Ampal! Malam 
ini juga aku akan pergi memberitahu yang lain. Aku 
harus bergerak cepat mendahului mereka," kata Ki 
Denggis lagi. 
Orang tua bersenjata golok itu langsung saja 
bangkit berdiri. Ki Ampal ikut berdiri. Setelah 
memberikan pesan sekali lagi, Ki Denggis segera 
melangkah keluar dari bangunan utama Padepokan 
Tangan Baja. Dia diantarkan Ki Ampal sampai ke 
depan pintu gerbang yang dijaga hanya oleh dua 
orang muridnya. 
"Dengar, Ampal. Hati-hatilah mulai sekarang! Aku 
yakin mereka sudah sampai malam ini," pesan Ki 
Denggis lagi. 
"Ya, terima kasih," ucap Ki Ampal pelan. 
Memang hanya itu yang bisa diucapkan Ki Ampal. 
Sementara Ki Denggis sudah menggebah kudanya 
dengan cepat sekali, menembus malam yang cukup 
pekat. Dan memang saat itu di langit tidak terlihat 
sedikit pun cahaya bintang maupun rembulan. Awan

hitam yang tebal menyelimuti seluruh angkasa di atas 
Gunung Jambik. 
Ki Ampal baru kembali ke bangunan utama 
padepokannya, setelah kuda yang ditunggangi Ki 
Denggis tidak terlihat, menghilang di seberang tanah 
lapang berumput yang menghampar di depan 
padepokan. 
Ki Ampal segera masuk ke rumah besarnya itu. 
Namun, baru saja beberapa langkah dia melewati 
pintu, ayunan kakinya langsung berhenti. Dan ber-
gegas dia melangkah keluar lagi. Namun pada saat 
itu juga.... 
Wusss! 
"Heh?! Hup...?!" 
*** 
Kalau saja Ki Ampal tidak cepat menarik tubuhnya 
ke kanan, tentu sepotong ranting yang meluncur 
bagai kilat ke arahnya, pasti menembus jantungnya. 
Ranting itu menancap cukup dalam ke daun pintu 
yang ada di belakang Ki Ampal. Tampak asap tipis 
mengepul dari ranting kering yang menancap pada 
daun pintu itu. Ki Ampal segera melompat keluar dari 
beranda depan rumahnya. Dia langsung menyadari 
kalau orang yang melemparkan ranting itu memiliki 
tenaga dalam yang sempurna. 
Beberapa kali Ki Ampal berputaran di udara, 
sebelum kedua telapak kakinya menjejak tanah, 
sekitar satu batang tombak dari rumah ?besar yang 
menjadi tempat tinggalnya. Dia mengedarkan pan-
dangannya berkeliling. Beberapa muridnya yang 
melihat jadi keheranan. Dan perlahan mereka ber-
gerak mendekati.

"Panggil yang lain semua di sini! Cepaaat..!" 
perintah Ki Ampal dengan suaranya yang keras meng-
gelegar. 
Salah seorang muridnya bergegas berbalik 
meninggalkan halaman depan padepokan, menuju ke 
belakang melalui bagian samping bangunan utama. 
Sedangkan yang lainnya sudah berkumpul di 
belakang Ki Ampal. Mereka semua tidak ada yang 
mengenakan baju, karena sedang berlatih di halaman 
depan padepokan. Beberapa saat Ki Ampal menanti 
Mendadak hatinya terkejut, begitu melihat murid yang 
tadi ke belakang berlari-lari mendatanginya dengan 
wajah pucat. 
"Heh...?! Gopar, ada apa...?!" bentak Ki Ampal 
langsung bertanya. 
"Aduh.... Celaka, Ki. Celaka...!" lapor Gopar dengan 
napas tersengal memburu. 
"Ada apa...? Kenapa dengan mereka?" tanya Ki 
Ampal dengan dada bergemuruh. 
"Mereka.... Mereka sudah mati semua, Ki," lanjut 
Gopar, gemetaran. 
"Apa...?!" 
Ki Ampal terlonjak kaget bagai disengat ribuan 
kala berbisa, mendengar laporan dari muridnya. 
Seketika lelaki tua itu langsung mengedarkan 
pandangannya berkeliling. Dia jadi ingat dengan kata-
kata sahabatnya yang belum lama pergi. 
"Oh, begitu cepat mereka datang...?" desah Ki 
Ampal dengan nada suara yang terdengar agak ber-
getar. 
Belum juga Ki Ampal bisa berpikir lebih jauh, tiba-
tiba terdengar suara tawa keras yang menggelegar 
dari atas atap bangunan besar Padepokan Tangan 
Baja. Ki Ampal langsung mendonggakkan kepala ke

atas atap. Saat itu juga terlihat sepasang anak muda 
berdiri tegak di atap bangunan padepokan. Dua orang 
yang mengenakan baju ketat serba putih, dengan 
pedang tersampir di punggung masing-masing. 
Mereka ternyata Untari dan Perbawa. 
"Siapa kalian? Apa yang kalian inginkan di 
padepokanku ini...?" bentak Ki Ampal dengan suara-
nya yang keras menggelegar. 
"Aku inginkah nyawamu, Ki Ampal. Juga seluruh 
nyawa murid-muridmu," sahut Perbawa lantang. 
"Setan...! Aku tak kenal dengan kalian. Ada urusan 
apa kalian menginginkan kematianku...?" geram Ki 
Ampal membentak. 
"Ingat-ingatlah dengan masa lalumu, Ki Ampal! Apa 
saia yang sudah kau perbuat di masa lalumu...? 
Orang-orang sepertimu tidak akan bisa sadar, dan 
menjadi ancaman dunia. Aku tahu, untuk apa kau 
dan semua sahabatmu mendirikan padepokan. Kami, 
Sepasang Bangau Putih akan menghentikan maksud 
buruk kalian semua untuk menghancurkan dunia," 
kata Perbawa masih dengan suaranya yang lantang. 
"Phuih! Sudah lama aku tinggalkan dunia per-
silatan. Aku tak ada urusan lagi dengan semua 
urusan dunia!" dengus Ki Ampal menolak tuduhan 
pemuda itu. 
"Apa pun yang ada dalam pikiranmu, tidak akan 
menyurutkan pengadilan dunia ini, Ki Ampal. 
Bersiaplah kau untuk menerima hukuman kematian-
mu...!" bentak Perbawa. 
Setelah berkata begitu, Perbawa langsung 
melompat turun dari atap dengan gerakan yang 
begitu indah dan ringan sekali. Begitu sempurnanya 
ilmu meringankan tubuh yang dimiliki pemuda ini. 
Sehingga sedikit pun tidak terdengar suara saat

kakinya menjejak tanah, tepat sekitar lima langkah di 
depan Ki Ampal. 
Untari cepat mengikuti pemuda itu, meluruk turun 
dari atap dengan gerakan yang indah dan ringan 
sekali. Tampaknya kepandaian yang dimiliki gadis ini 
seimbang dengan Perbawa. Dan dia menjejakkan 
kaki tepat di sebelah kiri pemuda pasangannya. 
Tanpa sungkan-sungkan lagi, mereka segera men-
cabut pedang dan langsung disilangkan di depan 
dada. Sementara Ki Ampal menarik kakinya ke 
belakang beberapa langkah. Murid-muridnya yang 
tinggal sekitar dua puluh orang, segera berlompatan 
mengepung sepasang muda-mudi berpakaian serba 
putih itu. 
"Aku tidak akan melayani orang-orang yang tak 
kukenal. Katakan, siapa kalian sebenarnya...?" 
terdengar dingin sekali nada suara Ki Ampal. 
"Sudah kukatakan, kau tidak perlu tahu siapa kami 
berdua, Ki Ampal. Kau hanya perlu tahu, kami adalah 
Sepasang Bangau Putih yang akan menghakimi 
semua perbuatanmu!" sahut Perbawa tegas. 
"Keparat...! Siapa yang menyuruhmu menghakimi-
ku, heh...?!" bentak Ki Ampal geram. 
"Kami berdua," sahut Untari yang sejak tadi diam 
saja. 
"Phuih! Kalian hanya mau bunuh diri saja datang 
ke sini," dengus Ki Ampal seraya menyemburkan 
ludah dengan sengit. 
Kedua anak muda yang menamakan dirinya 
Sepasang Bangau Putih itu hanya diam, memandangi 
orang tua itu dengan sinar mata tajam dan memerah. 
Dan tiba-tiba saja Untari menggerakkan pedangnya 
lurus ke depan, hingga ujungnya tertuju langsung ke 
dada si Tangan Baja.

"Lihat pedangku, Tangan Baja! Yeaaah...!" 
Sambil membentak keras menggelegar, tiba-tiba 
Untari melompat dengan cepat. Secepat itu pula dia 
mengebutkan pedangnya mengarah ke leher si 
Tangan Baja. Begitu cepat serangan yang dibuka 
gadis itu, hingga membuat kedua bola mata Ki Ampal 
terbeliak lebar. 
"Upths!" 
Namun hanya dengan sedikit saja Ki Ampal meng-
egoskan kepala, tebasan pedang gadis si Bangau 
Putih lewat sedikit di depan tenggorokannya. Cepat 
dia menarik kakinya dua langkah ke belakang. Dan 
langsung mengegoskan tubuhnya ke kanan, begitu 
Untari menyodokkan pedangnya lagi dengan cepat. Di 
saat pedang gadis itu lewat di samping tubuhnya, 
dengan cepat sekali Ki Ampal menggerakkan tangan 
hendak menyambar pergelangan tangan lawan. 
"Haiiittt...!" 
Namun tanpa diduga sama sekali, secepat kilat 
Untari memutar pedangnya ke atas. Kemudian 
langsung dikebutkan ke leher si Tangan Baja. 
Gerakan Untari yang begitu cepat dan tidak terduga, 
membuat Ki Ampal tersentak kaget. Cepat dia 
menarik tubuhnya ke belakang. Namun gerakannya 
sedikit terlambat, hingga.... 
"Akh...?!" 
Ki Ampal terpekik kaget, begitu merasakan ujung 
pedang Untari merobek bahunya. Darah seketika 
mengalir keluar dari bahu yang sobek tersambar 
ujung pedang. Ki Ampal cepat-cepat melompat ke 
belakang dengan memutar tubuh dua kali, hingga 
antara dia dan gadis lawannya ada jarak sekitar satu 
batang tombak.

*** 
"Hebat kau, Nak...," desis Ki Ampal sambil meringis 
menahan perih pada luka di bahunya. 
Untari hanya tersenyum sinis. Sementara Perbawa 
memperhatikan murid-murid si Tangan Baja yang 
sudah mengepung, tinggal menunggu perintah untuk 
menyerang. Sedangkan Ki Ampal sendiri langsung 
memberikan beberapa totokan di sekitar luka pada 
bahunya. Seketika itu juga darah berhenti mengalir. 
Sebentar lelaki tua itu memperhatikan murid-murid-
nya yang sudah siap dengan senjata terhunus 
mengepung tempat pertarungan. 
Ki Ampal menyadari kalau murid-muridnya tidak 
akan mampu menghadapi kedua anak muda yang 
berjuluk Sepasang Bangau Putih ini. Namun hatinya 
juga tidak ingin menyerah begitu saja. Apa pun yang 
terjadi, dia harus bisa mempertahankan padepokan-
nya. Baginya lebih baik mati bersama murid-muridnya 
daripada harus menyerah tanpa berlawanan sama 
sekali. 
"Serang mereka...!" teriak Ki Ampal memberi 
perintah. 
"Hiyaaa...!" 
"Yeaaah...!" 
Seketika itu juga, murid-murid Padepokan Tangan 
Baja yang hanya berjumlah sekitar dua puluh orang 
meluruk deras menyerang Sepasang Bangau Putih. 
Namun belum juga mereka bisa melakukan serangan, 
Perbawa dan Untari sudah melompat dengan 
kecepatan bagai kilat, menyambut murid-murid si 
Tangan Baja. Pedang mereka seketika berkelebatan 
begitu cepat bagai kilat, hingga bentuk pedangnya 
lenyap dari pandangan mata. Kini yang terlihat hanya

kilatan cahaya putih keperakan, berkelebatan begitu 
cepat menyambar lawan-lawannya. 
"Hiyaaa!" 
"Yeaaah...!" 
Bettt! 
Cras! 
Bret! 
"Aaaa...!" 
Seketika itu juga, jeritan-jeritan panjang me-
lengking terdengar menyayat, bersamaan dengan 
ambruknya tubuh-tubuh bersimbah darah. Pedang 
Sepasang Bangau Putih memang tidak dapat lagi 
dibendung. Setiap kali kedua pedang itu berkelebat, 
korban langsung berjatuhan berlumuran darah. 
Hingga dalam waktu tidak berapa lama, sudah tidak 
ada lagi murid-murid Ki Ampal yang masih bisa 
berdiri. Mereka semua menggeletak diam tidak ber-
nyawa lagi, dengan tubuh berlumuran darah. 
Sepasang Bangau Putih langsung menghampiri Ki 
Ampal yang sudah pucat dan tegang, melihat murid-
muridnya tidak ada lagi yang bergerak daiam waktu 
singkat sekali. 
"Sekarang tinggal giliranmu, Ki Ampal. Bersi-aplah 
kau menerima kematianmu...!" dingin sekali nada 
suara Untari. "Phuih...!" 
Ki Ampal hanya menyemburkan ludah, menutupi 
kegentaran yang sudah sejak tadi melanda hatinya. 
Dia tahu kalau anak muda yang ada di depannya ini 
mempunyai kepandaian yang jauh lebih tinggi dari-
nya. Sementara jarak mereka sudah semakin dekat. 
"Hadapi kami, Ki Ampal! Gunakan jurus Pukulan 
Tangan Baja yang kau banggakan!" tantang Untari 
dengan suara terdengar sinis. 
"Phuih!"

Lagi-lagi Ki Ampal hanya menyemburkan ludah 
dengan sengit. Tidak tahu lagi apa yang harus 
dikatakan pada kedua anak muda di hadapannya. 
Bahkan juga tidak tahu apa yang harus diperbuat-
nya. Hatinya benar-benar sudah gentar melihat ke-
tangguhan Sepasang Bangau Putih ini. 
"Terimalah kematianmu, hai,, Tangan Baja! 
Yeaaah...!" 
Sambil membentak keras menggelegar, Perbawa 
langsung melesat dengan kecepatan bagai kilat, 
disertai kibasan pedangnya yang dahsyat. Dan pada 
saat yang bersamaan, Untari pun melesat menyerang 
dengan tebasan pedang mengarah ke dada laki-laki 
tua ini. Begitu cepatnya serangan yang dilakukan 
Sepasang Bangau Putih, membuat Ki Ampal tidak 
sempat berbuat sesuatu. Dia hanya bisa terbeliak 
melihat sepasang pedang berkelebat begitu cepat di 
depannya. 
Brettt! 
Cras! 
"Aaaa...!" 
Jeritan panjang yang melengking seketika ter-
dengar menyayat. Tampak Ki Ampal masih tetap 
berdiri dengan leher bergores merah dan dada ter-
belah terkena sambaran pedang Sepasang Bangau 
Putih tadi. Sementara sepasang anak muda itu sudah 
berlompatan ke belakang menjauhinya. 
Beberapa saat Ki Ampal masih tetap berdiri. 
Namun tidak lama kemudian, tubuhnya terlihat 
limbung, lalu ambruk ke tanah dengan kepala meng-
gelinding terpisah dari leher. Seketika darah 
menyemburat keluar dengan deras sekali dari batang 
lehernya yang buntung. 
"Ayo Kakang, kita pergi dari sini! Masih banyak

yang harus kita datangi," ajak Untari. 
"Tidak kau bakar padepokan ini seperti yang 
lainnya?" tanya Perbawa seraya melirik sedikit pada 
Untari. 
"Untari hanya tersenyum dengan menggelengkan 
kepala perlahan. Kemudian diayunkan kakinya me-
langkah sambil memasukkan pedang ke dalam 
warangkanya yang tersampir di punggung. Perbawa 
mengikuti ayunan langkah gadis itu. Pedangnya 
sudah sejak tadi tersimpan di dalam warangka. Dia 
mensejajarkan ayunan langkah kakinya di samping 
kanan Untari. Mereka terus melangkah keluar dari 
padepokan itu tanpa bicara lagi sedikit pun. 
"Suiiittt..!" 
Tiba-tiba saja Perbawa bersiul nyaring. Sesaat 
kemudian terlihat dua ekor kuda berlari cepat meng-
hampiri. Mereka langsung berlompatan naik ke 
punggung kuda masing-masing. Kemudian mereka 
menggebahnya dengan cepat, membuat debu-debu 
berkepul, membumbung tinggi ke angkasa. Sebentar 
saja Sepasang Bangau Putih itu sudah lenyap tertelan 
kegelapan malam. 
***
TIGA

Sepak terjang pasangan anak muda yang dikenal 
dengan julukan Sepasang Bangau Putih cepat ter-
sebar ke seluruh rimba persilatan. Tidak ada seorang 
pun yang bisa mengerti maksud dan alasan sepak 
terjang mereka. Dalam beberapa hari saja, sudah 
enam padepokan yang dihancurkan. Dan tidak 
seorang pun dari penghuni padepokan-padepokan itu 
yang dibiarkan hidup. 
Kabar tentang sepak terjang Sepasang Bangau 
Putih pun akhirnya sampai di telinga Pendekar Pulau 
Neraka yang saat itu berada di sebuah kedai di Dewa 
Watukan. Orang-orang di dalam kedai membicarakan 
perbuatan pasangan anak muda yang digdaya dan 
tidak kenal ampun itu. Perhatian pemuda berbaju 
kulit harimau itu terpusat pada pembicaraan dua 
orang yang duduk tidak jauh di belakangnya. Dari 
suara mereka, Bayu bisa mengetahui kalau yang satu 
orang lelaki tua, dan lawan bicaranya seorang 
perempuan yang juga sudah tua. 
"Kau yakin kalau mereka juga akan datang ke sini 
menemuiku, Kakang Denggis?" tanya wanita tua yang 
mengenakan baju longgar warna merah. 
Sebuah tongkat kayu yang tidak beraturan bentuk-
nya menggeletak di atas meja, tepat di depannya. 
Sebelah ujungnya tergenggam di tangan kanannya 
yang sudah keriput, hingga seperti tulang terbalut 
kulit. Bayu yang sejak tadi mendengarkan pem-
bicaraan tahu kalau wanita tua itu bernama Nyai 
Kantil. Dia tahu ketika Ki Denggis menyebutkan nama

itu dalam pembicaraan. 
"Semua sudah aku peringatkan. Aku sendiri tidak 
tahu, kenapa mereka masih saja bisa dihancurkan," 
ujar Ki Denggis dengan suaranya yang pelan, hingga 
hampir tidak terdengar. 
"Kau tahu apa maksudnya menghancurkan 
padepokan milik sahabat kita, Kakang?" tanya Nyai 
Kantil ingin tahu. 
"Entahlah...," sahut Ki Denggis mendesah pendek. 
"Kau tahu siapa mereka sebenarnya?" tanya Nyai 
Kantil lagi. 
"Itu yang membuat aku tak mengerti sampai 
sekarang ini, Nyai. Tidak seorang pun yang tahu siapa 
mereka, dan dari mana asalnya. Mereka tiba-tiba saja 
muncul dan membuat keresahan di antara kita 
semua." 
"Hm..., dari semua yang sudah mereka lakukan, 
aku yakin kalau mereka menyimpan dendam pada 
kita, Kakang," gumam Nyai Kantil perlahan, seakan 
dia bicara pada dirinya sendiri. 
"Sejak semula aku sudah menduga begitu. Tapi 
apa mungkin kita bisa tahu siapa mereka, atau siapa 
yang memerintahkan begitu...? Sayang, aku belum 
pernah bertemu dengan keduanya, jadi tidak tahu 
jurus-jurus yang mereka gunakan. Sehingga sampai 
begitu jauh tak seorang pun dari teman-teman kita 
yang sanggup menghadapinya." 
"Kau merasa sanggup menghadapinya, Kakang?" 
tanya Nyai Kantil bemada menyelidik. 
"Entahlah.... Ampal sendiri tak sanggup meng-
hadapi mereka. Aku jadi ragu-...," ujar Ki Denggis 
pelan. 
"Kalau kita hadapi mereka sendiri-sendiri, jelas 
tidak mungkin, Kakang. Masih ada tiga orang lagi di

antara kita. Aku rasa sebaiknya kita kumpulkan saja 
mereka untuk menghadapi Sepasang Bangau Putih. 
Aku yakin, kalau kita bersatu, mereka tak akan 
mampu menghadapi kita, Kakang," ujar Nyai Kantil 
mantap. 
"Itu yang aku harapkan, sebelum banyak korban 
yang jatuh. Tapi sekarang, aku merasa tidak ada 
gunanya lagi, Nyai. Coba saja kau pikirkan. Berapa 
orang lagi sahabat kita yang tersisa...?" ujar Ki 
Denggis seperti putus asa. 
Nyai Kantil hanya terdiam mendapat pertanyaan 
seperti itu. Memang rasanya tidak mungkin mereka 
semua bisa menghadapi Sepasang Bangau Putih, 
yang diduga sedang mengincar keselamatan nyawa 
mereka semua. Dugaan itu bisa dipastikan dari 
kejadian yang menimpa sahabat-sahabat mereka. 
Pendekar Pulau Neraka terus mendengarkan 
pembicaraan kedua orang tua itu sambil menikmati 
makanannya. Sesekali dia mengelus kepala monyet 
kecil yang selalu mengikuti ke mana saja dia pergi. 
Monyet kecil itu seperti tidak peduli dengan keadaan 
sekelilingnya. Dia terus saja mengisi perutnya dengan 
pisang-pisang yang masak dan ranum. 
"Ayo kita pergi, Nyai!" ajak Ki Denggis. 
Nyai Kantil tidak menjawab. Dia bangkit berdiri 
mengikuti Ki Denggis. Setelah membayar pada pe-
milik kedai, mereka segera keluar tanpa bicara lagi. 
Namun di ambang pintu, Bayu masih sempat men-
dengar Ki Denggis bicara. 
"Mungkin mereka sudah sampai di padepokanmu, 
Nyai...." 
Bayu yang mendengar semua pembicaraan itu jadi 
tertarik. Tanpa membuang-buang waktu lagi, dia 
segera beranjak bangkit dari duduknya. Setelah

membayar semua makanannya pada pemilik kedai, 
Pendekar Pulau Neraka itu segera beranjak pergi. Dia 
masih sempat melihat dua orang tua itu menunggang 
kuda, sebelum hilang di tikungan jalan. 
"Mereka menuju ke Bukit Angsa. Aku tahu ke mana 
tujuan mereka," gumam Bayu dalam hari. 
Setelah yakin akan tujuan yang ditempuh dua 
orang tua itu, Bayu segera mengambil arah 
memotong, jalan agar lebih cepat. Dia melangkah 
dengan mempergunakan sedikit ilmu meringankan 
tubuh, hingga tanpa terasa Pendekar Pulau Neraka 
sudah jauh meninggalkan Desa Watukan. 
*** 
"Kakang Bayu...!" "Heh...?!" 
Bayu tersentak kaget, ketika terdengar suara 
nyaring memanggil namanya. Dia langsung berhenti. 
Dan saat itu juga Tiren yang berada di pundaknya 
melompat turun, membuat Pendekar Pulau Neraka 
semakin tersentak kaget Dan belum juga rasa ke-
terkejutannya lenyap, tahu-tahu sudah muncul 
seorang gadis dari balik semak-semak belukar. Gadis 
cantik bertubuh ramping dan indah itu melangkah 
menghampirinya. Tiren langsung melompat pada 
gadis itu dengan memperdengarkan suaranya yang 
mencerecet ribut. Sementara Bayu ternganga dengan 
mata tak berkedip, seperti tak percaya pada apa yang 
dilihatnya. 
"Kenapa kau bengong begitu, Kakang? Kau tak 
menduga aku bakal muncul di sini, kan...?" tegur 
gadis itu lembut, dengan senyuman yang manis sekali 
menghiasi bibirnya. 
"Wulan...," desis Bayu masih belum percaya

dengan apa yang terjadi saat ini. 
Bayu menghampiri gadis cantik itu. Mereka 
memang sudah saling mengenal sejak lama. Bahkan 
Wulan berhutang nyawa pada Pendekar Pulau 
Neraka. Dia sempat diselamatkan ketika menghadapi 
gerombolan begal di Bukit Setan. Hampir saja Wulan 
mati tercincang dan terhina kalau saja Bayu tidak 
cepat datang menolongnya. 
Dan sekarang, tiba-tiba saja gadis itu muncul di 
depannya. Entah apa perlunya Wulan berada di kaki 
Bukit Angsa. Sedangkan Bayu sendiri sedang 
mengejar dua orang tua yang ditemuinya di kedai di 
Desa Watukan. 
"Wulan, apa yang kau lakukan di sini?" tanya Bayu, 
sambil memandangi gadis yang mengenakan baju 
putih ketat, dengan sebilah pedang tersandang di 
punggungnya. 
Wulan tidak menjawab. Dia hanya tersenyum 
sambil mengelus-elus kepala Tiren yang berada 
dalam gendongannya. Monyet kecil itu kelihatan 
manja, merapatkan wajahnya ke dada Wulan. 
"Aku sedang tidak ada waktu, Wulan...," kata Bayu 
dengan suara terputus. 
"Aku tahu...," ujar Wulan ringan, dengan senyuman 
terus terkembang menghiasi bibirnya. "Kau sedang 
mengejar dua orang, kan...?" 
"Heh...?! Dari mana kau tahu...?" 
Bayu tersentak kaget. Dia memandangi gadis itu, 
sementara yang dipandangi kelihatan tenang dengan 
senyuman lebar masih mengembang meng-hiasi 
bibirnya. Bayu jadi penasaran. Kakinya me-langkah 
beberapa tindak mendekati. Dengan lembut 
disentuhnya pundak gadis itu. Wulan mengangkat 
wajahnya sedikit, kemudian melirik tangan Bayu yang

kekar di pundaknya. Bayu cepat-cepat melepaskan 
tangannya dari pundak gadis itu. 
"Bagaimana kau tahu aku sedang mengejar orang, 
Wulan?" tanya Bayu penasaran. 
"Sejak dari Desa Watukan," sahut Wulan ringan. 
"Kau mengikutiku...?" tanya Bayu lagi dengan nada 
suara jelas terdengar tidak senang karena diikuti. 
"Tidak," sahut Wulan tetap ringan suaranya. 
"Lalu, untuk apa kau...?" pertanyaan Bayu ter-
putus. 
"Aku juga sedang membuntuti mereka, Kakang," 
sahut Wulan kalem, memotong ucapan Pendekar 
Pulau Neraka. 
"Mengikuti mereka...?" 
Lagi-lagi Bayu terkesiap. Dia jadi terlongong 
bengong mendengar jawaban yang diberikan Wulan 
barusan. Hatinya benar-benar tidak mengerti dengan 
semua ini. Wulan berada di kaki Bukit Angsa ini 
ternyata dengan tujuan yang sama. Apa sebenarnya 
yang diinginkan Wulan pada kedua orang tua itu di 
Bukit Angsa ini...? Pertanyaan itu terus menggayuti 
kepala Bayu. 
Bayu terus memperhatikan gadis itu. Keningnya 
tampak berkerut melihat Wulan yang sedikit gefisah, 
seperti sedang menunggu seseorang. Meskipun 
Wulan sudah berusaha menutupi, tapi Bayu bisa 
melihat kegelisahannya. 
"Ada yang kau tunggu, Wulan?" tegur Bayu 
langsung. 
"Ah...." 
Wulan hanya mendesah menjawab pertanyaan 
Pendekar Pulau Neraka. Sikapnya langsung berubah. 
Dan senyumnya kembali mengembang. Namun kali 
ini Bayu bisa merasa kalau senyuman itu sangat

dipaksakan. Dan tampak begitu hambar. 
"Siapa yang kau tunggu?" tanya Bayu lagi. 
"Ah, bukan siapa-siapa. Hanya...," Wulan tidak 
melanjutkan ucapannya. 
"Kekasihmu?" tukas Bayu. 
"Bukan." 
"Lalu...?" 
"Saudara seperguruanku," sahut Wulan pelan. 
"Laki-laki?" cecar Bayu. 
Wulan hanya mengangguk perlahan. 
"Kalau begitu, aku pergi dulu," ujar Bayu. Bayu 
langsung mengambil Tiren dari pelukan gadis itu, dan 
menaruhnya di pundak kanan. Sementara Wulan 
hanya diam memandangi. Entah apa yang ada di 
dalam hatinya. Sedangkan Bayu hanya menatap 
sebentar, kemudian memutar tubuhnya berbalik. 
Tanpa bicara apa pun, Pendekar Pulau Neraka 
melangkah meninggalkannya. Sengaja Bayu menge-
rahkan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah 
sempurna, sehingga dengan cepat dia sudah jauh 
meninggalkan Wulan seorang diri. 
Wulan masih berdiri mematung memandang ke 
arah perginya Pendekar Pulau Neraka. Padahal 
bayangan tubuh Bayu saja sudah tidak terlihat lagi, 
lenyap tertelan lebatnya pepohonan di sekitar lereng 
Bukit Angsa. Wulan terus memandang kosong ke 
depan, dengan pikiran yang tidak menentu. Dan tiba-
tiba saja.... 
Plakkk! 
"Oh...?!" 
*** 
"Kakang...! Bikin kaget saja!" dengus Wulan, begitu

melihat seorang pemuda mengenakan baju dengan 
wama sama seperti yang dipakainya. 
"Siapa itu tadi?" tanya pemuda tampan itu. 
"Kakang Bayu," sahut Wulan. 
"Kekasihmu?" 
"Bukan," sahut Wulan singkat. "Eh, bagaimana kau 
bisa tahu...?" 
"Aku perhatikan sejak tadi. Kau seperti ada se-
suatu dengannya. Aku lihat pandangan matamu pada-
nya tadi," kata pemuda tampan berbaju putih dengan 
sebuah pedang tersandang di ptlnggungnya. 
Bentuk gagang pedang itu sama persis dengan 
yang ada di punggung Wulan. Berbentuk kepala 
seekor angsa berwarna putih keperakan. 
"Lama sekali pergimu, Kakang. Ke mana saja kau 
tadi?" tanya Wulan mengalihkan pembicaraan. 
"Aku mampir dulu ke rumah pamanku," sahut 
pemuda itu. 
"Ada pamanmu di Desa Watukan?" tanya Wulan 
lagi, "Kau tak pernah menceritakannya padaku, 
Kakang Perbawa. Kenapa...?" 
Pemuda yang ternyata Perbawa hanya tersenyum 
mendengar pertanyaan Wulan. 
"Aku dengar tadi dia memanggilmu Wulan. Siapa 
namamu sebenarnya, Untari?" tanya Perbawa, 
kembali mempersoalkan hubungan Wulan yang di-
kenalnya bernama Untari dengan Pendekar Pulau 
Neraka. 
Wulan tampak hanya tersenyum mendengar 
pertanyaan Perbawa. Dan tanpa menjawab sedikit 
pun, gadis itu langsung mengayunkan kaki menuju 
arah yang dituju Pendekar Pulau Neraka tadi. 
Perbawa segera mengikutinya dari belakang. 
"Siapa dia, Untari?" kejar Perbawa masih

penasaran, belum tahu siapa pemuda yang tadi 
bicara dengan Wulan. 
"Temanku," sahut Wulan yang menggunakan nama 
Untari pada pemuda ini. 
"Kenal di mana?" Perbawa terns saja mengejar 
ingin tahu. 
"Dia pernah menyelamatkan nyawaku, ketika aku 
berurusan dengan gerombolan begal di Bukit Setan." 
"Lalu...?" 
"Ya, waktu itu aku menggunakan nama Wulan," 
sambung Untari. 
"Dan namamu yang sebenarnya siapa?" tanya 
Perbawa semakin menyelidik ingin tahu. 
"Semua sama," sahut Untari ringan. 
"Semua sama...? Apa maksudmu, Untari?" 
Perbawa terus minta penjelasan. 
"Ya, sama.... Aku selalu menggunakan nama lain 
setiap kali berada di tempat yang berbeda," jelas 
Untari. 
"Aku benar-benar tak mengerti denganmu, 
Untari...," desah Perbawa dengan kepala menggeleng 
periahan beberapa kali. 
Sedangkan Untari hanya tersenyum. Dia terus 
mengayunkan kaki tanpa peduli dengan kebingungan 
Perbawa terhadap dirinya yang aneh dan misterius. 
"Kau tinggalkan di mana kuda kita, Untari?" tanya 
Perbawa, melihat Untari enak saja berjalan kaki, 
seperti tidak ingat kalau mereka memiliki kuda 
tunggangan masing-masing. 
"Aku tinggalkan di dekat danau," sahut Untari 
ringan. 
Perbawa terdiam. Dia tahu kalau arah yang 
mereka tempuh sekarang ini menuju ke danau. 
Tempat yang sempat mereka singgahi sebentar di

Desa Watukan. Mereka memang tidak perlu khawatir 
pada kuda-kuda yang sudah jinak itu. Dan kuda-kuda 
mereka juga mengerti jika pemiliknya memanggil 
dengan siulan. 
Mereka terus berjalan tanpa bicara lagi. 
Sementara itu di dalam benak Perbawa terus bergelut 
dengan pikiran yang entah berpusat pada persoalan 
apa. Untari sendiri tidak bicara sedikit pun. 
"Kau membohongi guru, Untari," tukas Perbawa 
dengan suara datar. 
"Tidak ada yang aku bohongi, Kakang. Ki 
Sarpakenaka juga sudah tahu," sahut Untari ringan. 
"Tahu...? Tapi kenapa ..?" Perbawa tidak melanjut-
kan pertanyaannya. 
"Ketika itu Ki Sarpakenaka mencari orang yang 
bisa diandalkan untuk mendampingimu, Kakang. Dan 
aku berjanji akan mendampingimu untuk membalas-
kan dendamnya pada mereka. Ki Sarpakenaka 
membekali dengan jurus-jurus Bangau Putih seperti 
yang diajarkan padamu. Jurus-jurus yang ringan dan 
mudah dipelajari, tapi sangat dahsyat. Aku bisa 
dengan mudah mempelajari dan menguasainya, 
karena aku sudah punya dasar jurus-jurus pedang. 
Jadi Ki Sarpakenaka tinggal memoies dan memper-
halus saja dengan jurus-jurqs Bangau Putih. Dia tidak 
peduli siapa aku sebenarnya. Tapi antara aku dan Ki 
Sarpakenaka memang punya satu ikatan," jelas 
Untari panjang lebar. 
"Ikatan apa?" tanya Perbawa. 
"Selamanya aku harus bersamamu menggunakan 
jurus Bangau Putih. Karena jurus itu tidak bisa 
dipisahkan, harus digunakan secara berpasangan. Itu 
sebabnya kenapa Ki Sarpakenaka menjuluki kita 
Sepasang Bangau Putih," jelas Untari lagi.

Sekarang Perbawa hanya diam membisu. Dia tidak 
bisa lagi membantah penjelasan gadis itu. Memang 
diakuinya kalau jurus Bangau Putih tidak bisa diguna-
kan seorang diri saja. Kalaupun digunakan, tidak ada 
artinya sama sekali. Dan semua unsur kekuatannya 
akan lenyap begitu saja. Dia juga tahu kalau gurunya 
yang bernama Ki Sarpakenaka sebenarnya memiliki 
teman seorang wanita. Bukan hanya teman, tapi istri 
dan sahabat yang paling setia. Sayang, istrinya tewas 
di tangan orang-orang yang kini sedang dikejarnya. 
"Aku benar-benar tidak menyangka kau seorang 
gadis yang penuh keanehan seperti itu," ujar Perbawa 
pelan, setelah cukup lama berdiam diri membisu. 
Suaranya hampir tidak terdengar, seakan bicara pada 
dirinya sendiri. 
"Seharusnya kau sudah tahu sejak pertama kali 
kita bertemu, Kakang," kata Untari ringan. 
"Aku ingin mendengarkan kalau kau bersedia 
menceritakan riwayat hidupmu," kata Perbawa ber-
nada memohon. 
"Satu saat nanti, Kakang," sambut Untari tanpa 
senyum sedikit pun. 
Sementara mereka berjalan sudah cukup jauh. 
Dan sebuah danau yang cukup luas tampak mem-
iientang di depan. Dua ekor kuda yang masih ber-i 
lelana tampak sedang merumput di tepi danau itu 
lengan nikmat sekali. Sepasang Bangau Putih ini 
rnenghampiri kuda mereka. Tanpa banyak bicara lagi, 
keduanya langsung melompat naik ke pung-;ung kuda 
masing-masing. Dan langsung mengge-bah dengan 
kencang. Sehingga kuda-kuda itu melesat dengan 
cepat sekali bagai anak panah dilepas-kan dari 
busumya. 
Arah yang mereka tuju jelas sekali ke puncak Bukit
Angsa. Mereka terus menggebah kuda masing-
masing tanpa bicara lagi sedikit pun. Kedua kuda itu 
berpacu dengan kecepatan tinggi, membuat debu-
debu berkepul membumbung tinggi di ang-kasa. 
***

EMPAT

Pendekar Pulau Neraka berdiri tegak di atas 
sebongkah batu besar memandangi sebuah 
bangunan padepokan yang menyerupai benteng 
pertahanan, tidak jauh di depannya. Entah sudah 
berapa lama pemuda tampan berambut panjang itu 
berdiri di sana. Dia tadi sempat melihat dua orang tua 
yang ditemuinya di kedai di Desa Watukan, memasuki 
bangunan yang tinggi dan kokoh itu. 
Tidak lama kemudian, berdatangan orang-orang 
dari arah yang berlainan. Mereka semua langsung 
masuk ke bangunan seperti benteng itu. Bayu tahu 
kalau bangunan besar dikelilingi pagar kayu 
gelondongan besar-besar dan tinggi itu merupakan 
Padepokan Teratai Emas. Sebuah perguruan yang 
dipimpin seorang perempuan tua berkepandaian 
tinggi. Perempuan tua yang dulunya satu kelompok 
dengan Ki Denggis. 
Cukup lama Pendekar Pulau Neraka menunggu. 
Namun tidak ada seorang pun yang keluar dari dalam 
bangunan padepokan seperti benteng pertahanan itu. 
Dia melihat penjagaan di sekitar bangunan demikian 
ketat sekali. Sepertinya mereka akan menghadapi 
serangan dahsyat dari luar. Terlihat orang-orang 
bersenjata panah berada di bagian ujung atas pagar 
benteng itu. Sedangkan di depan pintu, hanya terlihat 
dua orang berusia muda tengah berjaga-jaga. 
Keduanya tampak memegang sebatang tombak 
berukuran panjang. Sebilah pedang tergantung di 
pinggang mereka.

Pada saat itu, rjba-tiba terlihat sesosok bayangan 
putih berkelebat begitu cepat ke arah dua orang 
penjaga pintu gerbang. Begitu cepatnya bayangan 
putih itu bergerak, sehingga kedua penjaga pintu 
tidak sempat menyadarinya. 
"Akh...!" 
"Aaaa...!" 
"Heh...?!" 
Bayu tersentak kaget, mendengar dua orang 
penjaga pintu menjerit Tubuh mereka langsung 
ambruk ke tanah dengan darah berhamburan deras 
dari dada yang robek seperti tertebas sebuah pedang 
sangat tajam. Pendekar Pulau Neraka tadi sempat 
melihat satu kilatan cahaya putih berkelebat begitu 
cepat menyertai bayangan putih saat menyambar 
kedua orang penjaga pintu gerbang. 
Jeritan penjaga pintu rupanya mengejutkan orang-
orang yang ada di atas pagar benteng padepokan. 
Mereka langsung saja memasang anak panah pada 
busumya. Namun bayangan putih itu sudah tidak 
terlihat sedikit pun. Dia langsung lenyap seketika, 
begitu masuk ke dalam hutan di puncak Bukit Angsa 
ini. 
Belum ada seorang pun yang bisa berbuat se-
suatu, kembali terlihat sebuah bayangan putih 
berkelebat begitu cepat ke depan pintu gerbang 
Padepokan Teratai Emas. Dan tahu-tanu, sekitar dua 
batang tombak di depan pintu gerbang padepokan 
sudah berdiri seorang pemuda berwajah tampan, 
dengan sebuah pedang tersampir di punggungnya. 
"Heh...?!" 
Pendekar Pulau Neraka tersentak kaget setengah 
mati, begitu melihat gagang pedang yang ada di 
punggung pemuda itu. Gagang pedangnya sama

persis dengan yang dimiliki Wulan. Tidak ada per-
bedaan sedikit pun. Namun belum sempat pemuda 
berpakaian kulit harimau itu bisa berpikir lebih jauh, 
orang-orang yang ada di atas pagar benteng 
bangunan padepokan sudah bertindak dengan 
melepas-kan anak panah. 
"Hup! Yeaaah...!" 
Cepat sekali pemuda itu melompat ke belakang 
sambil memutar tubuh menghindari anak-anak panah 
yang menghujaninya. Beberapa kali dia berputaran di 
udara, kemudian dengan manis sekali kedua kakinya 
menjejak tanah, jauh dari jangkauan panah itu. Dia 
berdiri tegak sambil berkacak ping-gang memandang 
ke atas pagar benteng padepokan. 
Sementara Pendekar Pulau Neraka yang berada di 
tempat cukup jauh dan tersembunyi, terus memper-
hatikan dengan mata tidak berkedip. 
"Hm, siapa dia? Apa yang akan dilakukannya di 
padepokan ini...?" gumam Bayu bertanya pada dirinya 
sendiri. 
Baru saja bibir Bayu terkatup mendadak dia 
kembali dikejutkan,dengan tepukan halus di 
pundaknya. 
"Eh...?!" 
Bayu sampai terlompat dan berbalik. Kedua bola 
matanya terbelalak kaget melihat seorang gadis 
cantik berbaju putih tahu-tahu sudah ada di dekatnya. 
"Wulan...," desis Bayu hampir tidak terdengar 
suaranya. 
Gadis cantik yang ternyata Wulan itu hanya 
tersenyum melihat Bayu terlongong bengong seperti 
melihat hantu. Tanpa bicara lagi, dia langsung 
mengambil Tiren dari pundak Pendekar Pulau Neraka. 
"Apa yang kau lihat di sini, Kakang?" tegur Wulan

dengan suaranya yang halus dan lembut menyentuh 
hati. 
"Ah...," Bayu hanya mendesah menjawab per-
tanyaan gadis itu. 
Dia kembali memutar tubuhnya, memperhatikan 
pemuda berbaju putih yang masih berdiri tegak 
berkacak pinggang agak jauh dari bangunan 
Padepokan Teratai Emas. Sedangkan di atas pagar 
benteng, terlihat ratusan orang siap dengan anak 
panah terpasang pada busumya. Tampak jelas sekali 
kalau pemuda itu kebingungan untuk menembus 
benteng padepokan. Tidak mungkin dia bisa 
menembusnya. Mendekatinya saja sudah harus 
berpikir seribu kali. 
Sementara Wulan sudah ada di samping kanan 
Pendekar Pulau Neraka. Entah kenapa dia tersenyum 
melihat keadaan di Padepokan Teratai Emas itu. 
Senyumnya semakin lebar melihat seorang pemuda 
berbaju putih yang berdiri berkacak pinggang dengan 
jarak cukup jauh dari jangkauan anak panah. 
"Dia temanmu, Wulan...?" tanya Bayu tanpa 
berpaling ke arah gadis di sebelahnya. 
Wulan tidak menjawab, seakan tidak mendengar 
pertanyaan itu. Merasa pertanyaan tidak terjawab 
sedikit pun, Bayu memalingkan wajahnya sedikit. 
Tatapan matanya langsung menangkap wajah cantik 
gadis di sebelahnya. Namun wajah itu kelihatan datar 
saja, tanpa ada perubahan sedikit pun. 
"Aku lihat pedang yang dimilikinya sama persis 
dengan pedangmu. Dia itu temanmu, Wulan...?" 
Bayu mengulangi pertanyaannya yang belum ter-
jawab tadi. 
"Ya," sahut Wulan singkat, dengan suaranya yang 
terdengar pelan sekali.

"Mau apa dia di sana?" tanya Bayu lagi, semakin 
ingin tahu. 
Kening Pendekar Pulau Neraka terlihat berkerut, 
Jelas sekali kalau di dalam benaknya muncul 
berbagai macam pertanyaan dan dugaan yang tidak 
bisa dijawabnya sendiri. Dia terus memandangi wajah 
cantik gadis di sebelahnya. 
"Ada urusan dengan orang-orang di dalam sana," 
jawab Wulan singkat 
"Maksudmu dengan Ki Denggis dan Nyai Kantil?" 
duga Bayu. 
Wulan tidak langsung menjawab. Dia hanya 
tersenyum dengan pandangan tetap tertuju ke arah 
bangunan padepokan seperti benteng pertahanan itu. 
Tampaknya sikap gadis itu membenarkan dugaan 
Pendekar Pulau Neraka. 
*** 
"Wulan..., kaliankah yang dinamakan Sepasang 
Bangau Putih...?" kali ini nada suara Bayu terdengar 
agak ditahan dan hati-hati sekali. 
Wulan langsung berpaling dan menatap Bayu 
dengan sinar mata yang sulit sekali untuk diartikan. 
Bayu sendiri membalasnya dengan sinar mata yang 
tajam dan penuh dengan tuntutan penjelasan dari 
gadis itu. Beberapa saat mereka terdiam dan hanya 
saling berpandangan dengan sinar mata yang sukar 
untuk diartikan. 
"Bagaimana menurutmu dengan tindakanku dan 
Kakang Perbawa?" tanya Wulan akhimya, sambil 
mengarahkan pandangan lagi ke depan. 
Seluruh aliran darah Bayu berdesir lebih cepat 
mendengar pertanyaan Wulan. Sejak semula hatinya

memang sudah menduga, tapi tidak menyangka 
kalau Wulan akan melontarkan pertanyaan yahg 
begitu sulit untuk dijawab dengan cepat. Sehingga, 
untuk beberapa saat lamanya Bayu hanya bisa diam 
memandangi gadis itu. Mulutnya terasa bagai 
terkunci. Dan kerongkongannya tersekat, sulit untuk 
mengeluarkan kata-kata. Dia tidak tahu apa yang 
harus dikatakannya. 
Dalam beberapa hari ini dirinya memang sudah 
mendengar tentang sepak terjang Sepasang Bangau 
Putih. Namun tidak menyangka kalau salah satu dari 
pasangan itu ternyata seorang gadis yang pernah 
diselamatkan nyawanya. Dan sekarang, gadis itu 
sama sekali tidak merasa memiliki beban dalam 
tindakannya selama ini. Seakan dia melakukan 
semua itu karena memang sudah menjadi kewajiban-
nya. 
Sedangkan Pendekar Pulau Neraka tahu, mereka 
yang menjadi buruan Sepasang Bangau Putih ter-
nyata orang-orang persilatan dan pemilik padepokan 
yang dikenal baik dan berada pada jalan benar. Sulit 
bagi Bayu untuk bisa langsung memberikan pendapat 
terhadap semua yang sudah dilakukan Wulan 
bersama temannya selama beberapa hari ini. 
"Kenapa kau lakukan semua itu, Wulan? Kau tahu 
siapa mereka yang kau kejar selama ini...?" tanya 
Pendekar Pulau Neraka, seakan menyesali perbuatan 
Wulan. 
"Panjang ceritanya, Kakang," sahut Wulan singkat, 
dengan nada suara agak mendesah. 
"Lalu, apa yang kau cari dari mereka?" 
Wulan tidak langsung menjawab. Dia menarik 
napas dalam-dalam, kemudian menghembuskannya 
dengan kuat.

Sementara itu terlihat pemuda berbaju putih yang 
berdiri di depan bangunan padepokan sudah 
memutar tubuhnya berbalik. Dan dia terus melangkah 
masuk ke dalam lebatnya pepohonan di puncak Bukit 
Angsa. Dan orang-orang di atas pagar benteng 
padepokan tampak menurunkan busur panah, saat 
melihat pemuda berbaju putih itu sudah tidak ada 
lagi. 
Wulan sendiri segera berbalik dan melangkah 
hendak meninggalkan Pendekar Pulau Neraka. 
Namun baru saja dia berjalan beberapa langkah, 
Bayu mencekal pergelangan tangannya. Gadis itu 
terpaksa berhenti. Wajahnya berpaling sedikit dan 
langsung menatap Pendekar Pulau Neraka dengan 
sinar mata yang cukup tajam. 
"Sebaiknya kau jangan ikut campur dalam per-
soalan ini, Kakang. Aku tak mau namamu rusak 
karena membela diriku," ujar Wulan dengan suara 
datar. 
"Tidak, sebelum kau ceritakan semuanya dengan 
jujur padaku," pinta Bayu tegas. 
"Aku tidak bisa, Kakang. Masih ada yang lebih 
berhak daripada aku," tolak Wulan halus. 
"Siapa?" desak Bayu. 
"Kakang Perbawa," sahut Wulan terus terang. 
"Ajak aku menemuinya," pinta Bayu. 
"Aku minta jangan sekarang, Kakang. Nanti saja 
kalau semuanya sudah selesai. Tinggal sedikit lagi...," 
jawab Wulan, meminta pengertian Pendekar Pulau 
Neraka. 
"Wulan...! Kau sadar apa yang selama ini sudah 
kau lakukan?" 
"Aku tahu. Tidak ada seorang pun yang menekan-
ku. Aku sadar semua yang aku lakukan."

"Kau tahu siapa mereka yang menjadi buruan-
mu?" 
Wulan hanya menganggukkan kepalanya perlahan. 
"Kau tahu apa akibatnya...?" 
"Semua sudah kuperhitungkan baik dan buruknya, 
Kakang. Percayalah, kalau semuanya sudah selesai, 
nama Sepasang Bangau Putih akan menghilang 
sendiri begitu saja. Kalaupun masih ada, akan harum 
namanya," kata Wulan masih meminta pengertian 
Pendekar Pulau Neraka. 
"Wulan...." 
"Sudahlah, Kakang! Nanti aku temui kau lagi kalau 
semuanya sudah selesai," cepat Wulan memotong. 
Gadis itu menyerahkan Tiren kembali pada 
Pendekar Pulau Neraka. Setelah memberikan se-
nyuman yang manis, Wulan langsung melesat pergi 
dengan kecepatan luar biasa. Hingga dalam sekejap 
mata saja, bayangan tubuhnya sudah lenyap bagai 
tertelan angin. Bayu tampak terpana melihatnya. 
"Hebat..! Dari mana dia mendapatkan kepandaian 
yang begitu tinggi...?" desis Bayu, bertanya-tanya 
sendiri di dalam hatinya. 
Bayu tahu kalau kepandaian yang dimiliki Wulan 
masih bisa ditakar. Dan dia tahu kalau tingkat 
kepandaian yang dimiliki gadis itu tidak akan sanggup 
melesat begitu cepat seperti bayangan. Kecepatan 
gerak yang dilakukannya membuat Bayu untuk 
beberapa saat tercengang keheranan. 
"Tentu ada sesuatu yang sudah terjadi pada 
dirinya. Hm..., aku harus tahu. Wulan tidak boleh ter-
perangkap dalam peristiwa yang bisa membuat 
dirinya hancur. Dia masih muda, masa depannya 
masih terlalu panjang. Aku harus bisa mencegah 
sebelum dia terlanjur jauh dalam kesesatan," ujar
Bayu dalam hati. 
*** 
Sementara itu Wulan yang juga bernama Untari 
sudah kembali bersama Perbawa. Kedua anak muda 
yang selama ini menjadi bahan pembicaraan di 
kalangan orang-orang persilatan itu masih belum 
beranjak jauh dari bangunan Padepokan Teratai 
Emas. Entah berapa lama mereka berdiri 
memandangi bangunan yang masih tetap terjaga 
dengan ketat itu. 
Sementara matahari sudah mulai condong ke 
sebelah barat. Sinarnya juga sudah mulai terasa tidak 
terik lagi. Cahayanya yang keemasan kini terasa 
lembut menyapu kulit. 
"Mereka benar-benar mempersiapkan diri untuk 
menyambut kita...," ujar Untari setengah bergumam, 
seperti bicara pada dirinya sendiri. 
"Ya, kurasa mereka sudah bergabung di sini," 
sanibut Perbawa. 
"Aku rasa itu malah bagus, Kakang. Tidak perlu lagi 
kita bersusah payah mencari mereka. Tinggal kita 
hancurkan saja mereka semua di sini," kata Untari 
lagi. 
"Justru itu yang sulit, Untari. Kau lihat sendiri, 
kekuatan mereka berlipat ganda. Untuk mendekati-
nya saja sudah sulit," 
"Harus ada cara yang tepat untuk menembus ke 
dalam. Masih ada waktu untuk memikirkannya, 
Kakang. Tapi kita harus tetap memperhatikan, jangan 
sampai ada yang keluar atau masuk ke sana," kata 
Untari lagi. 
"Kau punya cara?" tanya Perbawa.
Untari tidak langsung menjawab. Dia hanya diam 
sambil terus memandangi bangunan padepokan yang 
seperti benteng pertahanan dari dijaga sangat ketat 
itu. Entah apa yang ada dalam pikiran gadis ini 
sekarang. Sedangkan Perbawa sendiri tampak tidak 
menginginkan jawaban dari pertanyaannya tadi. Dia 
seakan sudah tahu kalau Untari juga belum punya 
cara yang tepat untuk menerobos masuk ke 
Padepokan Teratai Emas. 
Dan untuk beberapa saat lamanya mereka kembali 
terdiam membisu. Sibuk dengan pikirannya masing-
masing. Terdengar Perbawa menarik napas dalam-
dalam dan menghembuskannya dengan kuat. Untari 
melirik sedikit pada pemuda yang ada di sebelah 
kirinya ini. 
"Ada apa, Kakang?" tanya Untari menegur. 
"Tidak ada apa-apa," sahut Perbawa agak 
mendesah. 
Untari kembali diam. 
"Untari, kau sudah temui temanmu itu?" tanya 
Perbawa tiba-tiba, mengalihkan pembicaraan. 
"Kakang Bayu, maksudmu...?" Untari mene-
gaskan. 
"Ya." 
"Sudah. Kenapa...?" 
"Apa dia bisa membantu kita menghadapi 
mereka?" tanya Perbawa seperti tidak dipikirkan lagi. 
Entah kenapa, Untari malah tersenyum mendengar 
pertanyaan itu. Dia memutar tubuhnya berbalik, dan 
melangkah mendekati sebuah pohon besar, dengan 
akar-akarnya bersembularf di permukaan tanah. 
Gadis itu duduk di atas sebatang akar yang cukup 
besar. Sementara Perbawa hanya memperhati-
kannya. Dia kemudian duduk di atas rerumputan,

membelakangi Padepokan Teratai Emas yang masih 
kelihatan lengang, tapi terjaga ketat. 
"Dia seorang pendekar, Kakang. Dia tidak akan 
bisa begitu saja dipengaruhi. Dia akan membantu 
kalau memang dipandang perlu. Kalau memang dia 
merasa perlu membantu kita, tanpa diminta pun pasti 
akan turun tangan sendiri," kata Untari menjelaskan. 
"Dia tahu permasalahannya?" tanya Perbawa lagi. 
"Belum," sahut Untari singkat. 
"Kau tidak katakan?" 
"Sedikit." 
"Lalu, apa tanggapannya?" 
"Dia malah memintaku agar meninggalkan semua 
ini. Katanya kita berada di pihak yang salah." 
"Kau pasti tidak mengatakan alasannya kenapa 
kita memburu mereka," agak ketus nada suara 
Perbawa. 
Untari hanya menggelengkan kepalanya perlahan. 
"Seharusnya kau katakan saja padanya, Untari. 
Aku yakin, kalau dia sudah tahu yang sebenarnya, dia 
akan berpihak pada kita. Kau tahu, Untari.... Dengan 
sikapnya yang seperti itu, dia bisa saja berpihak pada 
mereka. Dan kalau itu terjadi...," Perbawa tidak 
melanjutkan. 
"Kau sepertinya takut pada Pendekar Pulau 
Neraka, Kakang. Kenapa...?" tukas Untari. 
"Aku bukannya takut, tapi Ki Sarpakenaka sendiri 
sudah berpesan, bahwa kita harus menghindari 
bentrokan dengan Pendekar Pulau Neraka. Bahkan 
kalau perlu, kita harus bisa merebut hatinya agar dia 
berpihak pada kita, Untari. Apa kau sudah lupa pada 
pesannya...?" ujar Perbawa mengingatkan. 
Untari tampak terdiam saja. Jelas dia tidak bisa 
melupakan kata-kata terakhir Ki Sarpakenaka yang

sudah menurunkan ilmu Bangau Putih padanya. 
Memang Ki Sarpakenaka pernah menyebut nama 
Pendekar Pulau Neraka. Mereka diminta meng-
hindarinya, kalau tidak bisa menarik pendekar itu 
untuk berpihak padanya. Namun Untari tidak tahu, 
kenapa guru mereka berpesan seperti itu. 
"Kau masih ingat pesannya, Untari...?" tanya 
Perbawa membangunkan lamunan gadis itu. 
"Ya...," sahut Untari pelan, dengan suara agak 
mendesah. "Tapi aku tidak mengerti, kenapa Ki 
Sarpakenaka sepertinya takut pada Pendekar Pulau 
Neraka...?" 
"Ki Sarpakenaka bukannya takut." 
"Lalu, kenapa...?" 
Belum juga Perbawa bisa menjawab pertanyaan 
Untari, tiba-tiba terdengar suara yang langsung 
menjawab pertanyaan gadis itu. Keduanya tersentak 
kaget, dan langsung berlompatan berdiri. Seketika 
kedua bola mata Sepasang Bangau Putih terbeliak. Di 
depan mereka tahu-tahu sudah berdiri seorang 
pemuda berbaju kulit harimau, dengan seekor 
monyet kecil di pundak kanannya. 
"Bayu...," desis Untari agak bergetar suaranya. 
"Pendekar Pulau Neraka...." 
Pemuda yang mengenakan baju dari kulit harimau 
itu memang Pendekar Pulau Neraka. Dengan bibir 
menyunggingkan senyuman, dia melangkah meng-
hampiri Sepasang Bangau Putih. Saat itu monyet kecil 
yang ada di pundaknya langsung melompat turun, 
dan berlari sambil mencerecet ribut menghampiri 
Untari. Gadis itu segera mengambil Tiren dan 
langsung menggendongnya di dada. 
"Seharusnya kau katakan padaku, kalau kau men-
dapat ilmu-ilmu Bangau Putih dari Ki Sarpakenaka, "

kata Bayu dengan suara ringan, sambil menatap 
Untari. 
Untari hanya terdiam. Perbawa juga ikut 
memandangi gadis itu. 
"Kau kenal dengan guruku...?" tanya Perbawa ingin 
tahu. 
"Aku memang tidak kenal. Tapi Ki Sarpakenaka 
sudah tentu kenal denganku. Dan dia juga pasti tahu 
siapa guruku. Karena antara dia dan guruku masih 
bersaudara," sahut Bayu menjeleskan. 
Baik Untari maupun Perbawa jadi teriongong 
bengong. Mereka tak menyangka, kalau Ki 
Sarpakenaka dan guru Pendekar Pulau Neraka ter-
nyata bersaudara. Dan sudah barang tentu mereka 
juga bisa dikatakan bersaudara. Namun dari 
pandangan matanya, Perbawa tampak tidak percaya 
dengan semua yang baru dikatakan Bayu. 
"Aku tahu nama Ki Sarpakenaka dari guruku. 
Sebenarnya aku juga dipesan untuk menemuinya. 
Tapi sampai sekarang aku tidak pernah bertemu 
dengannya. Karena dari dia aku bisa tahu siapa-siapa 
saja musuh guruku yang belum bisa kutemukan," ujar 
Bayu lagi menjelaskan. 
"Kalau memang antara gurumu dengan Ki 
Sarpakenaka bersaudara, itu berarti kita memiliki 
musuh yang sama, Pendekar Pulau Neraka," tukas 
Perbawa. 
"Ah, jangan panggil aku begitu! Panggil saja aku 
seperti yang Wulan lakukan padaku!" pinta Bayu 
merendah. 
"Wulan...?" 
Perbawa kembali menatap pada Untari. "Aku 
memang bernama Wulan, Kakang Perbawa. Tapi aku 
juga bernama Untari," kata Wulan seraya menoleh ke

arah Perbawa. 
"Eh, mana yang benar ini...?" sentak Perbawa. 
"Keduanya benar. Terserah kalian saja mau 
memanggilku apa," sahut Untari tetap kalem. 
Kali ini Perbawa dan Bayu saling berpandangan. 
Mereka mengenal gadis ini dengan nama yang 
berlainan. Sudah barang tentu sulit untuk bisa me-
nyamakan panggilan lagi. Sedangkan Wulan tidak 
peduli dengan namanya sendiri. 
"Bagaimana...?" tanya Bayu meminta pendapat 
Perbawa. 
"Terserah kau saja, Kakang," sahut Perbawa 
langsung membiasakan diri menuakan Pendekar 
Pulau Neraka. 
"Ya, kita panggil saja dia...," Bayu tidak melanjut-
kan. 
"Wulan Untari...." 
"Cocok!" sambut Bayu sambil tersenyum. "Eh, 
kenapa bergabung begitu...?" sentak Wulan. 
"Kau punya dua nama, Wulan. Jadi apa salahnya 
kalau digabungkan...?" ujar Bayu kalem. 
"Benar, Wulan. Lagi pula, kedua namamu tidak 
hilang," sambung Perbawa yang langsung memanggil 
gadis itu dengan nama Wulan. 
"Terserah kalian sajalah...!" dengus Wulan tidak 
peduli. 
Dan kedua pemuda itu tersenyum. Wulan sendiri 
tampaknya tak lagi mempedulikan hal itu. Baru pada 
kedua pemuda ini dia memberikan nama yang 
berlainan. Padahal di tempat-rempat lain, entah 
sudah berapa nama yang digunakan untuk dirinya. 
Dan memang tidak ada seorang pun yang tahu nama 
gadis ini sebenarnya. Karena kemunculannya juga 
sudah menggunakan nama begitu banyak, hingga

pernah dikenal dengan julukan Gadis Seribu Nama. 
Namun sekarang nama julukan itu sudah tidak 
terdengar lagi di kalangan rimba persilatan. Gadis 
Seribu Nama seakan menghilang begitu saja. Dan kini 
yang muncul Sepasang Bangau Putih, julukan yang 
sudah membuat geger rimba persilatan. 
"Aku rasa tidak perlu lagi mempersoalkan nama 
Wulan sekarang. Aku ingin tahu, kenapa kalian 
sampai mengejar mereka...?" tanya Bayu setelah 
beberapa saat terdiam. 
"Panjang ceritanya, Kakang," sahut Perbawa. 
"Ceritakan saja! Kalau memang alasan kalian 
benar, aku tak akan segan-segan membantu," kata 
Bayu mantap. 
Seketika itu juga wajah Perbawa langsung cerah 
mendengar kesediaan Pendekar Pulau Neraka untuk 
membantu tugas mereka. Dan tanpa banyak bicara 
lagi, Perbawa langsung menceritakan pada Bayu hal 
yang membuat mereka melakukan sepak terjang 
selama ini. Bayu mendengarkan dengan penuh 
perhatian. Sementara Wulan sendiri sudah tidak 
peduli lagi, karena keasyikan bermain dengan Tiren. 
Monyet kecil berbulu hitam sahabat Pendekar Pulau 
Neraka. 
***

LIMA

"Jadi mereka yang membunuh istri Ki Sarpakenaka 
dan membuatnya tidak memiliki kaki lagi...?" ujar 
Bayu setelah Perbawa selesai dengan ceritanya. 
"Benar, Kakang. Sekarang Ki Sarpakenaka sudah 
tidak ada lagi. Namun guru berpesan agar kami 
berdua membalaskan dendamnya," sahut Perbawa. 
"Hm..., siapa sebenarnya mereka?" tanya Bayu 
dengan suara agak bergumam. 
"Sebagian dari mereka adalah para begal Bukit 
Setan, Kakang," selak Wulan. 
"Oh, kau tahu dari mana...?" tanya Bayu agak 
terkejut 
"Tiga orang dari mereka aku kenali. Tapi mereka 
sudah mati semuanya. Dan yang sekarang ini, para 
pemimpin yang dulunya menguasai daerah selatan. 
Mereka tentunya lebih tangguh dan sulit dihadapi," 
kata Wulan menjelaskan lagi. 
"Hm, tinggal berapa orang lagi mereka?" tanya 
Bayu. 
"Lima," sahut Perbawa. "Sekarang mereka ber-
kumpul semua di sini. Juga semua murid-muridnya," 
sambung Wulan. 
"Dan kalian akan menghadapinya dengan berdua 
saja...?" 
Perbawa dan Wulan Untari bersamaan meng-
anggukkan kepala. Bayu tampak menggeleng-
gelengkan kepala. Walaupun belum pernah bertemu, 
tapi dia sering mendengar lima orang tokoh persilatan 
yang menguasai daerah selatan. Sudah barang tentu

mereka tidak bisa dipandang dengan sebelah mata. 
Sehingga tidak mungkin menghadapi mereka hanya 
dengan bertiga. Sebab, jumlah murid mereka yang 
kini berkumpul di Padepokan Teratai Emas ini, bisa 
lebih dari dua ratus orang. Setangguh apa pun 
kepandaian yang dimiliki mereka bertiga, tidak akan 
mungkin menghadapi lawan sebanyak itu. Apalagi di 
antara mereka ada lima tokoh persilatan yang pernah 
menguasai daerah selatan. Bayu merasa itu hanya 
mimpi belaka. 
"Apa yang akan kalian lakukan sekarang?" tanya 
Bayu setelah cukup lama terdiam. 
"Yaaah..., tunggu sampai mereka lengah," sahut 
Wulan seraya mengangkat bahunya sedikit 
"Kalian sudah cukup banyak berbuat Sebaiknya 
tinggalkan saja mereka," kata Bayu lagi menyarankan. 
"Apa...?! Tidak...!" sentak Wulan dengan mata 
mendelik. "Kau pikir semua ini akan berakhir begitu 
saja, selama mereka masih hidup...? Tidak! Aku tak 
akan berhenti sebelum mereka semua kuhancur-
kan!" 
"Benar, Kakang. Semua yang sudah kami lakukan 
tidak akan berhenti sebelum mereka semua lenyap 
dari muka bumi ini. Kami sudah berjanji untuk mem-
balas dendam kematian istri guru kami. Tidak ada 
seorang pun yang bisa menghalangi," sambung 
Perbawa membela Wulan Untari. 
"Tapi kalian tidak mungkin menghadapi mereka 
semua hanya berdua saja. Pikirkan itu...!" kata Bayu 
menyarankan. 
"Itulah yang sedang kami pikirkan, Kakang. Harus 
ada cara yang tepat untuk menghancurkan mereka 
semua," kata Wulan Untari. 
"Lalu, apa rencanamu?" tanya Bayu.

Wulan tidak langsung menjawab. Dia hanya 
mengangkat bahunya sedikit. 
"Aku akan menyelidiki dulu kekuatan mereka 
malam nanti," kata Perbawa. 
"Sudah jelas kekuatan mereka lebih dari dua ratus 
orang. Apa lagi yang akan kau selidiki, Perbawa...?" 
ujar Bayu menegaskan. 
"Paling tidak, malam nanti aku bisa mengurangi 
sedikit jumlah mereka. Aku akan terus bergerak 
dengan sembunyi-sembunyi, sampai kekuatan 
mereka benar-benar berkurang dan bisa ditembus 
dengan mudah," sahut Perbawa mengemukakan 
rencananya. 
"Lalu..., kau sendiri bagaimana, Wulan?" tanya 
Bayu sambil menatap pada Wulan Untari. 
"Mungkin sama seperti yang Kakang Perbawa 
lakukan. Tapi aku bergerak dari arah lain," sahut 
Wulan Untari langsung menyetujui rencana Perbawa. 
Bayu hanya menggeleng-gelengkan kepala. Dalam 
rimba persilatan, tindakan yang mereka rencanakan 
itu bisa dikatakan pengecut. Memang tidak ada jalan 
lain bagi Sepasang Bangau Putih untuk mengurangi 
kekuatan lawan. Namun Bayu tidak ingin nama 
Sepasang Bangau Putih rusak hanya karena meng-
ikuti rasa dendam di hati guru mereka, yang terbawa 
sampai mati tanpa dapat melaksanakan pembalasan-
nya. 
"Kalau kalian setuju, aku punya rencana yang tak 
akan merusak nama kalian berdua," kata Bayu. 
"Apa rencanamu, Kakang...?" 
*** 
"Edan...! Kau akan biarkan begitu saja murid
muridnya? Membiarkan mereka tetap hidup berkeli-
aran dan melakukan kejahatan dengan bebas...? 
Tidak! Aku tak akan membiarkan itu terjadi, Kakang," 
sentak Wulan Untari begitu mendengar rencana yang 
diutarakan Bayu. 
"Tapi dengan menantang pemimpin mereka, nama 
kalian bisa lebih harum lagi," kata Bayu beralasan. 
"Maaf, Kakang...," selak Perbawa. "Kami berdua 
harus melenyapkan mereka tanpa sisa. Dan itu 
sesuai dengan apa yang sudah mereka lakukan pada 
guru kami serta murid-muridnya. Hanya Ki 
Sarpakenaka waktu itu masih bisa menyelamatkan 
diri. Sedangkan istri, anak-anak serta semua murid-
nya mereka bantai tanpa ampun lagi. Jadi semua 
yang sudah kami lakukan berdua, sesuai dengan 
perbuatan mereka, Kakang." 
"Dendam tidak akan menyelesaikan masalah," ujar 
Bayu pelan. 
"Karena itu, Kakang. Kalau membiarkan satu 
orang muridnya saja tetap hidup, persoalan ini tak 
akan selesai. Kami berdua sudah berjanji tak akan 
lagi berpetualang dalam dendam kalau mereka sudah 
lenyap semuanya," kata Perbawa lagi. 
"Jadi kalian tetap akan melaksanakan...?" tanya 
Bayu ingin ketegasan. 
"Benar," sahut Perbawa mantap. 
"Dengan mempertaruhkan nama baik kalian...?" 
tegas Bayu lagi. 
Sepasang Bangau Putih itu mengangguk dengan 
mantap. Bayu tidak bisa lagi berbuat apa-apa. Dan 
hanya menarik napas dalam-dalam dan meng-
hembuskannya dengan kuat. Tidak ada lagi yang bisa 
dilakukannya untuk melunakkan hati Sepasang 
Bangau Putih. Dendam guru mereka sudah terbawa

sampai ke relung hati yang paling dalam dan men-
darah daging. Sehingga sulit untuk bisa dipisahkan 
lagi. Dengan cara apa pun, mereka tetap akan 
membalaskan dendam sang Guru. 
Tidak ada yang dapat dibicarakan lagi. Mereka 
terdiam bergelut dengan pikiran masing-masing. 
Sementara Perbawa sudah kembali memperhatikan 
barftjunan Padepokan Teratai Emas yang seperti 
sebuah benteng pertahanan, terjaga ketat itu. Diakui, 
memang tidak mudah untuk menembus ke dalam 
sana. Terlebih lagi beberapa perguruan sudah 
bergabung menjadi satu, hingga kekuatan yang ada 
dalam padepokan itu demikian besar. 
Bayu kini duduk di samping Wulan Untari. Gadis itu 
masih asyik bermain dengan Tiren. Digelitiknya perut 
monyet itu hingga bergulingan di atas rerumputan 
sambil mencerecet ribut. Wulan baru berhenti 
bercanda dengan Tiren saat Bayu menepuk lembut 
pundaknya. Dia mengambil monyet kecil itu, dan 
ditaruh di pangkuannya. 
"Bagaimana kau bisa menjadi murid Ki 
Sarpakenaka, Wulan?" tanya Bayu dengan suara 
pelan, hingga Perbawa yang berada cukup jauh tidak 
mendengar. 
"Aku menemukannya sudah hampir mati, dengan 
luka-luka yang parah. Aku merawatnya sampai dia 
sembuh. Tapi aku tak bisa menyembuhkan 
kelumpuhan pada kedua kakinya, hingga dia tidak 
bisa jalan lagi," ujar Wulan menceritakan pertemuan-
nya dengan Ki Sarpakenaka. 
"Kau tahu kenapa dia sampai terluka begitu?" 
tanya Bayu lagi. 
"Ya, dia menceritakan padaku," sahut Wulan 
Untari.

"Lalu...?" 
"Setelah sembuh, dia memintaku untuk mencari 
seorang muridnya yang sedang mengembara. Aku 
melaksanakan semua perintahnya. Aku bertemu 
dengan Kakang Perbawa dan membawanya pulang 
pada gurunya. Semula Kakang Perbawa ingin 
langsung membalas kekalahan gurunya. Tapi Ki 
Sarpakenaka tidak mengizinkan. Akhirnya kami 
berdua diberi jurus-jurus Sepasang Bangau Putih. 
Juga pedang ini...," sambung Wulan menyentuh 
pedang di pundaknya. 
Bayu mengangguk-anggukkan kepala. Dirinya kini 
baru mengerti, kenapa kepandaian yang dimiliki 
Wulan begitu pesat berkembang. Memang tidak 
mengherankan, karena gadis itu menemukan seorang 
tokoh sakti yang memiliki tingkat kepandaian sangat 
tinggi. Dan Bayu tahu kalau kepandaian yang dimiliki 
Ki Sarpakenaka hanya berada setingkat di bawah 
kepandaian yang dimiliki gurunya sendiri. 
Ki Sarpakenaka mungkin tidak akan sampai kalah 
begitu, kalau saja lawan-lawannya tidak bermain 
curang dan dikeroyok sepuluh orang yang ber-
kepandaian tinggi. Bayu juga bisa mengerti kalau api 
dendam yang ada di dalam dada Perbawa tidak bisa 
dipadamkan begitu saja. Dia juga tidak akan mem-
biarkan orang-orang yang sudah membuat gurunya 
cacat, hidup lebih lama lagi. Namun tindakan yang 
dilakukannya tidak seperti yang dilakukan Perbawa 
dan Wulan Untari sekarang ini. Mereka benar-benar 
menghancurleburkan semuanya tanpa seorang pun 
dibiarkan tetap hidup. Bahkan murid-murid yang tidak 
tahu persoalannya juga dihancurkan tanpa sisa. 
"Aku sudah bersumpah untuk membantu Kakang 
Perbawa menghancurkan mereka. Bahkan Ki

Sarpakenaka sendiri sudah berpesan, aku tidak boleh 
berpisah dengan Kakang Perbawa," sambung Wulan 
Untari. 
Bayu tetap diam. Dia bisa mengerti semua yang 
dikatakan Wulan barusan. Dirinya tahu jurus-jurus 
Bangau Putih bisa lebih dahsyat lagi kalau dikerah-
kan secara bersamaan. Dan tidak bisa dilakukan oleh 
satu orang, karena jurus itu memang harus ber-
pasangan. Ki Sarpakenaka sendiri bisa dikalahkan 
oleh lawan-lawannya, karena mereka tahu kelemahan 
jurus Bangau Putih. Mereka membunuh istrinya lebih 
dulu, hingga jurus Bangau Putih yang dikuasai Ki 
Sarpakenaka tidak berarti. Akhirnya dengan mudah 
mereka bisa mengalahkannya. 
"Aku sebenarnya berharap, kau bersedia mem-
bantuku menghadapi mereka, Kakang," ujar Wulan 
Untari dengan suaranya yang pelan, namun jelas 
sekali bernada mengharapkan kesediaan Pendekar 
Pulau Neraka. 
Bayu tampak diam saja membisu. Enfah apa yang 
ada di dalam hatinya saat ini. 
"Wulan, sini...!" panggil Perbawa tiba-tiba. 
Wulan langsung beranjak bangkit berdiri, dan 
menyerahkan Tiren pada Pendekar Pulau Neraka. 
Bergegas dia menghampiri pemuda itu. Perbawa 
langsung menunjuk, begitu Wulan berada dekat di 
sampingnya. Sementara Bayu hanya memperhatikan 
tanpa berkeinginan mendekati mereka. Dia me-
masang pendengarannya dengan tajam, agar bisa 
mendengar apa yang dibicarakan Sepasang Bangau 
Putih. 
"Mereka tentu akan mencari kita, Kakang," kata 
Wulan pelan, seperti berbisik. 
"Aku akan menghadang mereka," kata Perbawa

mantap. 
"Kau sanggup sendiri saja?" tanya Wulan. 
"Paling hanya dua puluh orang, Wulan." 
"Tapi hati-hati, Kakang. Mungkin itu hanya jebakan 
saja," Wulan memperingatkan. 
Pada saat itu, keluar lagi satu kelompok yang 
berjumlah sekitar dua puluh orang. Mereka bergerak 
dengan arah yang berlawanan dengan kelompok yang 
pertama. 
"Itu bagianku, Kakang," ujar Wulan langsung 
 dengan bibir tersenyum. 
"Kita tunggu dulu sampai mereka cukup jauh dari 
benteng itu," kata Perbawa. 
Sepasang Bangau Putih tampak tersenyum, 
melihat dua kelompok yang masing-masing berjum-
lah sekitar dua puluh orang keluar dari lingkungan 
padepokan. Kedua kelompok itu bergerak menuju 
arah yang berlawanan. Entah apa maksud mereka 
keluar dari padepokan. Mungkin memang benar 
dugaan Wulan Untari barusan. Mereka memang 
sengaja keluar mencari Sepasang Bangau Putih. Atau 
hanya suatu jebakan untuk memancing Sepasang 
Bangau Putih keluar dari persembunyiannya. 
"Ayo, Kakang! Kita bergerak sekarang," ajak Wulan 
Untari. "Hup...!" 
"Hap!" 
Tanpa membuang-buang waktu mereka langsung 
saja melesat dengan cepat, ke arah tujuannya 
masing-masing. Dan pada saat itu Bayu segera 
mengambil alih tempat mereka tadi berdiri. Dari 
tempat yang agak tinggi ini, dia bisa melihat dengan 
jelas, Sepasang Bangau Putih bergerak terpisah, 
menghampiri dua kelompok lawan yang juga terpisah 
dengan arah berlawanan. Namun pada saat itu

juga.... 
"Heh...?!" 
*** 
Apa yang disaksikan Bayu, membuat kedua bola 
matanya terbeliak lebar, seperti melihat ribuan hantu 
yang akan menghancurkan dunia ini. Bersamaan 
dengan melesatnya Sepasang Bangau Putin, dari 
dalam padepokan keluar empat orang tokoh 
persilatan yang sedang mereka kejar. Keempat orang 
itu memisahkan diri ke arah yang berbeda. Dan pada 
saat itu juga, sekitar tiga puluh orang yang dipimpin 
langsung oleh Ki Denggis bergerak menuju ke arah 
Pendekar Pulau Neraka berdiri. 
"Gila...! Rupanya mereka lebih cepat bertindak. Ini 
bisa berbahaya bagi Wulan dan Perbawa. Tidak..." 
Bayu tidak bisa lagi berpikir lebih jauh. Saat itu Ki 
Denggis yang diikuti sekitar tiga puluh orang sudah 
dekat dengannya. Mendadak orang tua itu berteriak 
memberi perintah untuk menyerang Pendekar Pulau 
Neraka. Hal itu membuat Bayu tidak sempat lagi 
memperhatikan Wulan Untari dan Perbawa yang juga 
terkejut melihat kedatangan dua orang buruan 
mereka masing-masing ke tempat yang berbeda dan 
berjarak sangat jauh. 
"Seraaang...! Bunuh dia...!" teriak Ki Denggis 
memberi perintah menyerang Pendekar Pulau 
Neraka. 
"Hiyaaa...!" "Yeaaah...!" 
"Nguk! Craaakh...!" 
"Menjauh dariku, Tiren!" seru Bayu. 
"Nguk!" 
Tiren langsung melompat turun dari pundak

Pendekar Pulau Neraka. Dia segera berlari menjauh, 
dan naik ke pohon. Sementara Bayu sendiri sudah 
harus berlompatan, menghindari serangan-serangan 
yang datang bagai ombak di lautan. Serangan-
serangan itu demikian gencar, membuat Bayu tidak 
punya kesempatan sedikit pun untuk memberikan 
serangan balasan. Sedangkan Ki Denggis sendiri 
selalu mencari kesempatan untuk menghantamkan 
pukulannya di saat pemuda berpakaian kulit harimau 
itu sibuk menghindari serangan-serang-an mereka. 
Di tempat lain, Wulan Untari juga tengah ke-
walahan menghadapi gempuran dahsyat, dari dua 
puluh orang murid Padepokan Teratai Emas yang 
ditambah dua orang tokoh persilatan pimpinan 
mereka. Keadaan yang sama pun dialami Perbawa. 
Mereka benar-benar tidak sempat menghindari je-
bakan itu. Tidak mungkin lagi bagi keduanya untuk 
menyatu, karena jarak mereka sangat berjauhan. 
Akhirnya mereka terpaksa menghadapi lawannya 
masing-masing seorang diri. Pendekar Pulau Neraka 
terpaksa harus menggunakan Cakra Maut untuk bisa 
keluar dari keroyokan yang cukup banyak itu. 
Jeritan-jeritan panjang melengking dan menya-yat 
pun seketika terdengar saling sambung. Dan baru 
beberapa saat saja pertarungan itu berlang-sung, 
Bayu sudah merobohkan lebih dari sepuluh orang 
lawannya. Sementara Ki Denggis semakin mem-
perhebat serangan-serangannya. Dia selalu mencari 
kelengahan Pendekar Pulau Neraka. Namun tampak-
nya tidak mudah untuk memasukkan serangannya, 
karena setiap gerakan yang dilakukan Pendekar 
Pulau Neraka memang sulit diduga dan hampir tidak 
terlihat*dengan pandangan mata biasa. 
Satu persaru Bayu berhasil merobohkan lawan

lawannya. Hingga akhirnya tinggal sekitar lima orang 
ditambah dengan Ki Denggis yang mulai kelihatan 
gentar. Namun tiba-tiba terdengar suara genderang 
dipukul bertalu-talu dari arah bangunan Padepokan 
Teratai Emas. 
"Cepat tinggalkan dia...!" teriak Ki Denggis tiba-tiba. 
"Hup! Yeaaah...!" 
Tanpa membuang waktu lagi, Ki Denggis langsung 
melesat meninggalkan Pendekar Pulau Neraka 
dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang 
sudah mencapai tingkat tinggi. Kelima orang anak 
buahnya yang tersisa tidak sempat mengikuti. Karena 
dengan gerakan yang begitu cepat, Bayu memberikan 
pukulan-pukulan beruntun dan mengandung tenaga 
dalam. Seketika lima orang itu menjerit keras, dan 
ambruk dengan nyawa melayang. 
"Keparat...!" 
Bayu menggeram melihat Ki Denggis sudah masuk 
kembali ke dalam benteng Padepokan Teratai Emas. 
Dan dia jadi tersentak kaget setengah mati, begitu 
melihat Wulan terseret masuk ke dalam benteng itu. 
Sementara Perbawa tampak menggeletak di antara 
mayat-mayat lawannya. Dari tempat itu lawan yang 
masih hidup bergerak cepat masuk kembali ke 
benteng padepokan. 
"Hup!" 
Pendekar Pulau Neraka bergegas menghampiri 
Perbawa yang sudah berlumuran darah, tapi tampak 
masih bergerak. Sebentar saja Bayu sudah sampai. 
Dia langsung mendekati Perbawa yang masih ber-
gerak hidup. 
"Oh...?!" 
Bayu terkejut setengah mati, melihat hampir 
sekujur tubuh Perbawa sudah terluka. Darah mengalir

deras dari luka-luka yang menganga. Cepat-cepat 
Pendekar Pulau Neraka mengangkat dan membawa 
pergi dari tempat itu. Dan pada saat Bayu melesat, 
Perbawa terkulai pingsan. 
Bayu membawa Perbawa ke tempat yang cukup 
jauh dan aman dari jangkauan orang-orang Teratai 
Emas, yang kini dibantu oleh tiga padepokan 
sahabatnya. Dia merebahkan tubuh pemuda itu di 
atas rerumputan yang cukup tebal, di bawah pohon 
rindang. Sehingga terlindung dari sengatan sinar 
matahari yang sudah condong ke arah barat. 
Bayu memberikan totokan di beberapa bagian 
tubuh Perbawa. Darah yang semula mengalir pun 
seketika terhenti. Cepat sekali Pendekar Pulau 
Neraka bekerja merawat luka-luka di tubuh Perbawa. 
Dia juga menyalurkan hawa mumi untuk membantu 
Perbawa mengembalikan tenaga dalamnya. Sehingga 
dapat bertahan, meskipun luka-luka yang dideritanya 
cukup parah. 
"Aku akan membawamu pada tabib, Perbawa. Kau 
harus sembuh...," ujar Bayu dengan suara berdesis di 
telinga Perbawa. 
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Bayu segera 
membawa pemuda itu. Dengan pengerahan ilmu 
meringankan tubuh yang sudah sempurna tingkatan-
nya, Pendekar Pulau Neraka bergerak dengan cepat 
menuruni lereng Bukit Angsa. Dia tidak ingat pada 
monyet kecil sahabatnya yang ditinggalkan di puncak 
bukit itu. Bayu terus berlari menuruni lereng bukit 
membawa Perbawa yang teriuka cukup parah. 
***

ENAM

Sementara itu di dalam lingkungan Padepokan 
Teratai Emas, tubuh Wulan Untari telah diikat pada 
tongkat kayu, tepat di tengah-tengah halaman 
padepokan yang sangat luas. Tampak wajahnya 
sudah sembab membiru, akibat terkena beberapa 
pukulan. Dan di sudut bibirnya darah kering masih 
melekat. Baju yang dikenakannya juga sudah terko-
yak. Sehingga beberapa bagian tubuhnya yang ber-
kulit putih mulus terlihat, membuat puluhan pasang 
mata yang ada di dalam padepokan itu tidak ber-
kedip memandanginya. 
Kepala gadis itu terkulai, seakan dia sudah tidak 
bernyawa lagi. Hanya gerakan perlahan dadanya yang 
menandakan Wulan masih hidup. Saat itu dari dalam 
bangunan besar yang merupakan bangunan utama 
Padepokan Teratai Emas, keluar Nyai Kantil bersama 
Ki Denggis dan tiga orang tua lainnya. Diikuti sekitar 
sepuluh orang laki-laki bertubuh tegap, yang merupa-
kan sepuluh orang murid andalan Nyai Kantil, Ketua 
Padepokan Teratai Emas. Mereka melangkah meng-
hampiri Wulan yang terikat dengan kepala terkulai di 
tonggak kayu. Sementara itu matahari sudah hampir 
tenggelam di balik peraduannya. Cahayanya yang 
redup, seakan ikut merasakan penderitaan yang 
dialami Gadis Seribu Nama ini. 
Nyai Kantil menunjuk ember kayu yang ada di 
depan Wulan Untari. Seorang muridnya langsung 
menghampiri, dan mengambil ember kayu itu. Tanpa

banyak bicara lagi, dia menumpahkan semua air di 
dalam ember itu ke tubuh Wulan. Membuat gadis itu 
jadi gelagapan setengah mati. Dia langsung meringis, 
merasa nyeri pada seluruh tubuhnya yang penuh luka 
tersiram air dingin ini. Namun sesaat saja sinar 
matanya sudah menyorot tajam pada o-rang-orang 
tua yang berada tepat di depannya. 
"Siapa namamu, Cah Ayu...?" tanya Ki Denggis. 
Wulan tidak langsung menjawab. Ditatapnya laki-
laki tua itu dengan sinar mata yang tajam. Kemudian 
memandangi yang lainnya. Di sebelah Ki Denggis 
berdiri Nyai Kantil. Dan di belakang mereka ada dua 
tiga orang lelaki tua lagi yang usianya mungkin 
sebaya dengan Ki Denggis. Wulan Untari tahu kalau 
mereka adalah Ki Tampul, Ki Balung, dan Ki Rampak. 
Semua memang satu kelompok dengan Ki Denggis 
dan Nyai Kantil. Dan mereka inilah yang menjadi 
buruan pembalasan dendam Ki Sarpakenaka. 
"Siapa namamu, Nisanak...?" Ki Denggis me-
ngulangi pertanyaannya lagi. 
"Nama yang mana yang kau inginkan...?" balas 
Wulan ketus. 
"Aku tanya namamu...," agak ditekan nada suara Ki 
Denggis. 
"Banyak," sahut Wulan Untari smis. "Mana yang 
kau inginkan...? Untari, Cempaka, Wulan, Melati, atau 
kau ingin memberiku nama lain...? Aku tidak 
keberatan." 
Kening Ki Denggis jadi berkerut mendengar 
jawaban gadis int. Sementara Nyai Kantil langsung 
tahu kalau gadis ini tentu yang dikenal dengan nama 
julukan si Gadis Seribu Nama. Dan dia jadi ingat 
dengan peristiwa di Bukit Setan. Nyai Kantil langsung 
membisikkannya pada Ki Denggis. Laki-laki tua itu

mengangguk-anggukkan kepala dengan senyuman 
lebar terkembang di bibirnya. Entah apa arti 
senyumannya itu. 
"Kau tentu si Gadis Seribu Nama. Benar...?" ujar Ki 
Denggis dengan bibir masih menyunggingkan 
senyuman. 
Wulan Untari hanya mencibirkan bibirnya. Tatapan 
matanya masih terlihat tajam, bersorot langsung ke 
bola mata Ki Denggis yang berada tepat di depannya. 
"Kalau memang kau benar si Gadis Seribu Nama, 
itu berarti tidak ada lagi pengadilan di sini. Kau tahu 
apa maksudku...?" ujar Ki Denggis lagi. 
Wulan masih tetap diam membisu dengan tatapan 
mata yang tajam sekali, bersorot langsung ke bola 
mata laki-laki tua di depannya ini. Namun sebentar 
kemudian dia menatap dengan bola mata berapi-api 
pada Nyai Kantil yang tadi mengenalinya lebih dulu. 
Wulan yakin kalau perempuan tua ini ada ketika dia 
hampir mati dan temoda di Bukit Setan. Hanya saja 
dia tidak sempat mengenalinya waktu itu. 
"Bagaimana...?" tanya Ki Denggis meminta 
pendapat pada yang lainnya. 
"Ya.... Bagaimana lagi...?" desah Nyai Kantil sambil 
mengangkat bahunya. 
"Dia bisa menjadi duri dalam daging kita, Kakang. 
Sudah pantas kalau dia mendapat hukuman mati," 
selak Ki Balung. 
Ki Denggis mengangguk-anggukkan kepala dengan 
bibir tersenyum menatap gadis di depannya. 
Kemudian dia memutar tubuh berbalik, dan 
melangkah pergi meninggalkan si Gadis Seribu Nama. 
Namun baru beberapa langkah, terdengar perintah-
nya pada murid-murid Padepokan Teratai Emas. 
"Kalian boleh lakukan apa saja padanya, sebelum

dia mendapat hukuman besok pagi," kata Ki Denggis. 
Seketika itu juga seluruh wajah Wulan Untari 
berubah pucat pasi seperti mayat. Dia tahu apa yang 
dimaksudkan Ki Denggis barusan. Terbayang lagi 
peristiwa di Bukit Setan. Wulan tidak ingin peristiwa 
itu terulang lagi sekarang. Dan dia sadar tidak ada 
lagi keajaiban seperti yang pernah dialaminya dulu, 
hingga dirinya tetap suci dan bertahan hidup sampai 
sekarang. 
"Keparat kau, Denggis! Akan kubunuh kau...!" 
teriak Wulan memaki. 
"Ha ha ha...!" 
Ki Denggis hanya tertawa terbahak-bahak, seakan 
tidak menghiraukan makian gadis itu. Dia terus 
berjalan ke dalam bangunan besar padepokan, diikuti 
Nyai Kantil dan yang lainnya. Sementara itu puluhan 
laki-laki sudah mengelilingi Gadis Seribu Nama. 
Pandangan mata mereka begitu liar, melahap seluruh 
tubuh yang sudah sebagian terbuka, dengan pakaian 
yang tercabik akibat pertarungan tadi. Kulit tubuh 
Wulan yang putih dan halus, membuat tenggorokan 
mereka turun naik menahan gejolak nafsu yang 
seketika itu juga menggelegar liar. Melihat mereka 
sudah begitu dekat, seluruh tubuh Wulan merasa 
bergidik. Dan wajahnya semakin pucat seperti mayat. 
Suara-suara tawa penuh mengejek terus terdengar di 
telinganya. 
"Kubunuh kalian kalau berani menyentuhku...!" 
bentak Wulan mengancam. 
Namun dalam keadaan tubuh terikat seperti ini, 
tentu saja ancamannya hanya disambut dengan se-
ringai dan tawa terkekeh. Wulan sadar kalau ke-
adaannya memang tidak menguntungkan dirinya 
sama sekali. Dan dia tahu, tidak akan ada lagi ke

ajaiban yang bisa menolongnya dari kesulitan ini Dia 
merasa lebih baik langsung mati, daripada harus 
ternoda dan terhina seperti ini. Dia tidak rela tangan-
tangan mereka menjamah tubuhnya. Namun apa 
daya, tak ada lagi yang bisa dilakukannya. Sementara 
mereka sudah semakin mendekat dengan sinar mata 
penuh nafsu yang membara tanpa dapat dibendung 
lagi. 
Kini, Wulan hanya bisa berharap ada satu ke-
ajaiban lagi yang membantunya melepaskan diri dari 
siksaan yang bakal dialami. Dia tidak sanggup lagi 
memandang mereka yang sudah dirasuki hawa nafsu 
menggejolak membara di dalam dada. Pandangan 
yang liar menjilati sekujur tubuh yang sudah terkoyak 
pakaiannya. Wulan benar-benar tidak dapat lagi 
berbuat sesuatu. Hatinya sudah pasrah, apa pun yang 
akan terjadi. 
Namun pada saat yang sangat kritis itu, tiba-tiba 
saja... 
"Craaakh...!" 
"Oh...?!" 
*** 
Wulan tersentak kaget, ketika tiba-tiba terdengar 
suara nyaring yang sudah dikenalnya dengan baik. 
Belum sempat ada seorang pun yang bias menyadari, 
tahu-tahu sudah terlihat sebuah bayangan hitam kecil 
meluruk deras dari atas. Dan langsung hinggap pada 
tonggak kayu yang mengikat Gadis Seribu Nama ini 
dengan tambang yang cukup besar. Wulan melirik 
sedikit dengan kepala menoleh ke belakang. 
"Tiren...," desisnya, begitu melihat seekor monyet 
tengah menggigit tambang yang mengikat tubuhnya.

Gigi-gigi Tiren yang tajam dan bertaring, dengan 
mudah memutuskan tambang itu, hingga WuIan 
terlepas dari ikatannya. Tanpa banyak membuang 
waktu lagi, Wulan segera melompat menerjang dua 
orang laki-laki yang berada tepat di depannya. Dua 
kali pukulannya dilepaskan dengan kecepatan tinggi, 
disertai pengerahan tenaga dalam yang masih 
tersisa. Begitu cepat terjangannya, sehingga dua 
orang itu tidak sempat lagi bergerak. 
Begkh! 
Des! 
"Akh...!" 
"Aaaa...!" 
Keduanya menjerit melengking, begitu dada dan 
kepala mereka terkena pukulan yang keras dan 
bertenaga dalam. 
"Hup! Hiyaaa...!" 
Tanpa membuang-buang waktu, Wulan langsung 
melentingkan tubuhnya ke atas dengan pengerahan 
ilmu meringankan tubuh yang sudah tinggi 
tingkatannya. Dan gadis itu langsung meluruk deras 
ke belakang orang-orang yang sudah mau 
mengeroyoknya. Begitu kakinya menyentuh tanah, 
dengan cepat sekali dia melesat tinggi ke atas. 
Langsung naik ke pagar benteng yang mengelilingi 
padepokan. 
Dua orang yang berada di atas pagar benteng itu 
tersentak kaget setengah mati. Mereka tidak sempat 
berbuat sesuatu. Wulan sudah memberikan pukulan-
pukulan beruntun yang begitu cepat, disertai dengan 
pengerahan tenaga dalam. Seketika kedua orang 
yang memegang busur itu terbanting jatuh dengan 
keras sekali, disertai suara jeritan melengking dan 
menyayat hati. Sementara Wulan sempat melihat

Tiren sudah naik ke atas pagar dengan tangkas 
sekali. Monyet kecil itu langsung melompat keluar 
melalui dahan pohon yang menjuntai melewati pagar 
benteng padepokan itu. 
"Akan kuhancurkan kalian semua! Hiyaaa...!" 
Sambil membentak nyaring, Wulan langsung 
melompat keluar dari atas pagar benteng padepokan. 
Ringan sekali kedua kakinya menjejak tanah diluar 
benteng. Dia langsung berlari cepat dengan memper-
gunakan ilmu meringankan tubuh yang tinggi, 
menjauhi padepokan itu. Sementara dari atas pohon, 
Tiren terus mengikuti melalui dahan pohon yang satu 
ke dahan pohon lainnya. Begitu ringan gerakan 
monyet kecil itu. Sehingga dalam waktu sebentar saja 
dia sudah jauh meninggalkan benteng Padepokan 
Teratai Emas. Sedangkan Wulan terus berlari dengan 
kecepatan tinggi, menembus hutan yang cukup lebat 
di puncak bukit itu. 
Berhasilnya Wulan melepaskan diri, membuat 
keadaan di dalam lingkungan Padepokan Teratai 
Emas gempar. Ki Denggis yang mendapat laporan jadi 
berang setengah mati. Bahkan Nyai Kantil memarahi 
semua muridnya. Tidak ada yang bisa dilakukan 
mereka, kecuali berusaha mengejar si Gadis Seribu 
Nama itu keluar dari benteng padepokan. Tapi mana 
mungkin bisa terkejar? Wulan sudah begitu jauh pergi 
masuk ke dalam hutan. Jejaknya pun tidak terlihat 
lagi, karena saat itu matahari sudah tenggelam di 
balik peraduannya. Sehingga pencarian mereka 
hanya pekerjaan sia-sia belaka. 
Lolosnya Wulan tidak hanya menimbulkan ke-
geraman di hati Ki Denggis, melainkan juga membuat 
mereka gelisah. Terlebih lagi mereka tidak me-
nemukan tubuh Perbawa di tempatnya, yang mereka

tinggalkan dengan tubuh terluka parah. Nyai Kantil 
langsung memberi perintah pada murid-muridnya 
untuk mengadakan penjagaan lebih ketat lagi. 
Bahkan Ki Balung, Ki Tampul, dan Ki Rampak juga 
memerintahkan para muridnya untuk memperkuat 
pertahanan Padepokan Teratai Emas. Ki Denggis 
sendiri memutuskan untuk tetap mencari Wulan di 
sekitar bagian luar padepokan. Dia merasa yakin 
kalau gadis itu tidak bisa lagi berlari jauh dengan 
tubuh yang tcriuka. Dia tampaknya tidak menyadari 
kalau luka yang diderita Wulan tidak seberapa parah. 
Dan gadis itu sudah jauh berada di lereng Bukit Angsa 
bersama Tiren, sahabat kecil Pendekar Pulau Neraka 
yang membuat keajaiban bagi dirinya. 
*** 
Di pinggir sebuah telaga di lereng Bukit Angsa, 
Wulan membersihkan darah kering yang melekat di 
tubuhnya. Dia juga mengganti pakaiannya yang sudah 
koyak. Dia memang membawa pakaian ganti 
disimpan di pelana kudanya yang ditinggalkan di tepi 
telaga itu. Namun pakaian penggantinya pun tetap 
berwarna putih. 
Selesai membersihkan diri, Wulan melakukan 
semadi, ditemani Tiren yang duduk dekat di 
depannya. Monyet kecil itu tampak diam saja 
memperhatikan Wulan melakukan semadi untuk 
memulihkan kembali tenaga dan kekuatannya yang 
berkurang jauh, akibat pertarungannya sore tadi. 
Sementara itu Pendekar Pulau Neraka sudah 
berada kembali di puncak Bukit Angsa. Dia berada 
tidak jauh dari bangunan Padepokan Teratai Emas 
yang seperti benteng pertahanan. Entah sudah

berapa lama dia mengamati keadaan di sekitar 
padepokan itu. Tujuannya sudah pasti, akan mem-
bebaskan Wulan Untari yang ditawan di dalam sana. 
Dirinya tidak tahu kalau Gadis Seribu Nama itu sudah 
keluar ditolong Tiren. 
Ketika Pendekar Pulau Neraka baru saja mau 
melangkah mendekati bangunan Padepokan Teratai 
Emas, tiba-tiba saja.... 
"Apa yang kau cari di sini, Kisanak...?" 
"Heh...?!" 
Pendekar Pulau Neraka terkejut ketika tiba-tiba 
terdengar suara berat dari arah belakang. Dan belum 
sempat dia memutar tubuhnya berbalik, tahu-tahu 
sudah terasa desiran angin kencang dari belakang. 
Bayu tidak sempat lagi menyadari apa yang terjadi. 
Tahu-tahu satu pukulan keras dan bertenaga dalam 
tinggi sudah menghantam punggungnya. 
Diegkh! 
"Akh...!" 
Pendekar Pulau Neraka tersungkur jatuh mencium 
tanah. Tubuhnya bergulingan beberapa kali hingga 
menumbangkan dua batang pohon. Namun cepat dia 
bisa bangkit berdiri dan memutar tubuhnya berbalik. 
Pada saat itu juga, sebuah bayangan berkelebat 
begitu cepat menerjangnya. 
"Haiiittt...!" 
Cepat Bayu memiringkan tubuh ke kanan, hingga 
terjangan bayangan itu tidak sampai mengenainya. 
Dengan cepat Bayu mengibaskan tangan kiri, men-
coba untuk menghantam bayangan yang lewat di 
sebelah kirinya. Namun hantamannya lewat tanpa 
mengenai sasaran sedikit pun. Pemuda berambut 
gondrong itu cepat memutar tubuh berbalik, tepat di 
saat bayangan yang menyerangnya juga berputar

balik menghadapinya. 
"Ki Denggis...," desis Bayu langsung mengenali 
orang itu. 
"Mau apa kau datang ke sini?" bentak Ki Denggis. 
"Aku mau bebaskan Wulan," sahut Bayu tegas. 
"Ha ha ha...!" Ki Denggis tertawa terbahak-bahak. 
Suara tawanya begitu keras menggelegar, mem-
buat telinga Bayu terasa pekak seakan hendak 
pecah. Bayu bisa merasakan kalau suara tawa itu 
disertai dengan pengerahan tenaga dalam, hingga dia 
terpaksa harus melawannya dengan pengerahan 
tenaga dalam juga. 
"Dia sudah mampus! Dan kau datang juga 
mengantarkan nyawa!" bentak Ki Denggis lantang. 
"Keparat...! Kau harus menebus nyawanya...!" 
dengus Bayu geram, mendengar Wulan Untari sudah 
mati di padepokan itu. 
"Ha ha ha...!"- 
Ki Denggis hanya tertawa terbahak-bahak. Seakan 
dia merasa menang sudah membuat Pendekar Pulau 
Neraka jadi berang. Bayu memang marah mendengar 
Wulan Untari sudah mati. Wajahnya langsung 
memerah. Namun Pendekar Pulau Neraka ternyata 
tidak mudah terpancing begitu saja. Walau hatinya 
sudah membara, dia tetap benlsaha tenang. 
"Kedatanganmu akan menemaninya di neraka, 
Bocah...!" desis Ki Denggis dingin menggetarkan. 
Bayu hanya diam dengan geraham bergemeletuk 
menahan geram. Dia tetap menunjukkan kete-
nangan, walau Ki Denggis sudah berusaha keras 
memancing kemarahannya. 
Melihat Pendekar Pulau Neraka tetap bersikap 
tenang, wajah Ki Denggis tampak meregang kaku 
menahan geram.

"Mampus kau, Bocah Keparat! Hiyaaattt...!" 
Sambil membentak keras, Ki Denggis melesat 
cepat bagai kilat menyerang Pendekar Pulau Neraka. 
Satu pukulan yang sangat keras dan bertenaga dalam 
tinggi langsung dilepaskan tepat mengarah ke dada 
pemuda berbaju kulit harimau itu. Namun sedikit pun 
Bayu tidak terlihat berusaha menghindari. Begitu 
pukulan tangan kanan orang tua itu hampir 
menghantam dadanya, tiba-tiba saja Bayu meng-
angkat tangan kanan ke depan dada. Hingga... 
Plak! 
"Akh...!" 
*** 
Ki Denggis terpekik, saat pukulannya menghantam 
pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka. 
Di pergelangan tangan kanan pemuda itu menempel 
Cakra Maut yang menjadi senjata andalannya. Sudah 
barang tentu Ki Dejiggis merasa seluruh tulang 
tangannya seperti remuk berpatahan menghantam 
senjata maut itu. 
Dan belum sempat dia berbuat sesuatu, Bayu 
sudah melepaskan satu tendangan keras menggele-
dek dengan gerakan secepat kilat. Kecepatan 
tendangan geledek Pendekar Pulau Neraka itu tidak 
dapat lagi terlihat, hingga Ki Denggis sama sekali 
tidak dapat berkelit menghindarinya. Buk! 
"Ugkh...!" 
Ki Denggis terbungkuk sambil mengeluarkan 
keluhan pendek, begitu tendangan dahsyat Pendekar 
Pulau Neraka menghantam tepat di perutnya. 
Bersamaan dengan itu Bayu melepaskan satu 
pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam,

menghantam telak wajah lawan. 
Plak! 
"Akh...!" 
Untuk kedua kalinya Ki Denggis memekik 
kesakitan, begitu wajahnya seakan diremukkan 
dengan pukulan menggeledek Pendekar Pulau 
Neraka. Begitu kerasnya, hingga membuat orang tua 
itu terhuyung-huyung ke belakang. Tampak darah 
mengalir sangat deras dari kedua lubang hidung dan 
mulutnya. 
Sementara Bayu sama sekali tidak memberi 
kesempatan pada lawan. Sambil membentak keras 
menggelegar, Pendekar Pulau Neraka mengibaskan 
tangan kanannya, dengan tubuh agak membungkuk 
doyong ke kiri. 
"Yeaaah...!" 
Slap! 
Seketika itu juga, Cakra Maut yang berada di 
pergelangan tangan melesat dengan kecepatan bagai 
kilat. Sementara Ki Denggis sendiri belum bisa 
menguasai keadaan dirinya, hingga dia tidak dapat 
lagi menghindari sambaran senjata dahsyat berben-
tuk lempengan persegi enam itu. 
Crabb! 
"Aaaa...!" 
Jeritan panjang melengking tinggi seketika 
terdengar memecah kesunyian di puncak Bukit 
Angsa. Ki Denggis terhuyung-huyung ke belakang, 
dengan Cakra Maut membenam dalam di dadanya. 
Darah seketika muncrat, menyemburat dengan deras 
sekali, begitu Cakra Maut melesat keluar bersamaan 
dengan menghentaknya tangan Bayu ke atas kepala. 
Senjata itu kembali menempel di pergelangan tangan 
Pendekar Pulau Neraka.

Sementara Ki Denggis masih terhuyung-huyung 
memegangi dadanya yang beriubang dan berlumuran 
darah. Tidak lama kemudian, tubuhnya, ambruk 
dengan keras sekali menghantam tanah. 
Dan hanya sebentar dia bergerak menggeliat 
meregang nyawa. Kemudian mengejang kaku, dan 
diam tidak bergerak-gerak lagi. Ki Denggis tewas 
seketika. 
Jeritan Ki Denggis yang keras dan melengking 
sebelum tewas tadi, terdengar sampai ke dalam 
benteng Padepokan Teratai Emas. Semua orang yang 
ada di dalam bangunan seperti benteng itu jadi 
tersentak kaget. Dan mereka yang berada di atas 
pagar benteng melihat kematian Ki Denggis di tangan 
seorang pemuda berbaju kulit harimau, tidak jauh di 
sebelah kanan depan padepokan. Orang-orang itu 
berteriak keras memberitahu pemimpin mereka yang 
juga sudah keluar dari dalam bangunan utama 
padepokan, ketika mendengar jeritan panjang 
kematian Ki Denggis tadi. 
Sementara Pendekar Pulau Neraka segera melesat 
dengan cepat, masuk kembali ke hutan, tepat di saat 
puluhan orang bersama Nyai Kantil dan tiga orang 
sahabatnya keluar dari dalam padepokan. Mereka 
langsung menuju ke tempat Ki Denggis bertarung 
dengan Pendekar Pulau Neraka. 
Mereka tidak dapat lagi menahan kemarahan, 
mendapati Ki Denggis tewas dengan dada berlubang 
berlumuran darah. Pemimpin-pemimpin padepokan 
itu langsung memerintahkan para muridnya 
menyebar, mencari pembunuh Ki Denggis. 
Tidak ada seorang pun yang berani membantah. 
Mereka segera melaksanakan perintah, walau di 
dalam hati mencuat kegentaran.

TUJUH

Tidak ada seorang pun yang menyadari kalau 
sebenarnya Bayu berputar mengelilingi bangunan 
Padepokan Teratai Emas. Sehingga kini dia sudah 
ada di bagian belakang bangunan itu. Bayu melihat 
kalau bagian belakang tidak terjaga dengan ketat. 
Tanpa banyak kesulitan, Pendekar Pulau Neraka 
melompat naik ke atas pagar benteng yang tinggi. 
"Hup!" 
Mengagumkan sekali ilmu meringankan tubuh 
yang dimiliki Pendekar Pulau Neraka. Hanya sekali 
genjot, dia melesat tinggi ke atas, dan tahu-tahu 
sudah berada di atas pagar benteng padepokan. 
Hanya sebentar saja dia mengamati keadaan seki-
tarnya. Kemudian dengan gerakan yang ringan sekali, 
tubuhnya melompat turun dari atas pagar benteng. 
Sedikit pun tidak terdengar suara saat kedua telapak 
kakinya menjejak tanah. Bayu cepat merundukkan 
tubuh, ketika melihat dua orang berjalan dari arah 
samping bangunan utama padepokan menuju ke 
bagian belakang. 
"Hep!" 
Kembali Bayu melesat dengan kecepatan tinggi 
sekali. Sehingga, tahu-tahu dirinya sudah berada di 
belakang kedua orang penjaga itu. Sebelum ada yang 
menyadari, Bayu sudah memberikan satu totokan 
tepat pada tengkuk mereka, hingga tanpa bersuara 
lagi, kedua orang itu ambruk tidaK sadarkan diri. 
Sebentar Bayu mengamati keadaan sekitarnya. 
Kemudian dia kembali melentingkan tubuh ke atas,

langsung hinggap di atas atap bangunan utama 
Padepokan Teratai Emas. 
Saat itu juga kening Bayu jadi berkerut. Dia melihat 
di tengah-tengah halaman depan padepokan terdapat 
sebatang tonggak dengan tambang yang menggeletak 
di sekitarnya. Di sekitar tonggak itu juga banyak ter-
dapat tumpukan ranting kering. Sepertinya 
padepokan ini sedang mempersiapkan sebuah 
hukuman bakar hidup-hidup. Namun tidak ada 
seorang pun yang terikat pada tonggak kayu itu. 
"Hm..., apakah Wulan bisa menyelamatkan diri? 
Siapa yang menyelamatkannya...?" pikir Bayu, ber-
tanya-tanya sendiri di dalam hati. "Atau mungkin 
mereka mengurungnya di tempat lain...?" 
Bayu berpikir keras mencari segala kemungkinan 
yang terjadi pada diri si Gadis Seribu Nama itu. 
Beberapa saat dia masih mengedarkan pandangan 
berkeliling, merayapi keadaan sekitarnya yang terjaga 
dengan ketat di bagian depan. 
"Hm, sebaiknya aku periksa dulu seluruh tempat di 
sini selagi masih malam," gumam Bayu bicara sendiri 
di dalam hati. 
Tanpa membuang-buang waktu, Pendekar Pulau 
Neraka langsung bergerak seperti seekor kucing, 
memeriksa setiap bagian di lingkungan padepokan 
yang seperti benteng pertahanan ini. Dengan ilmu 
meringankan tubuh yang dikuasainya, membuat 
setiap gerakan langkahnya tidak menimbulkan suara 
sedikit pun. Sehingga tidak ada seorang pun penjaga 
yang mengetahuinya. 
Bayu bergerak cepat memeriksa sampai ke bagian 
dalam bangunan utama, dan beberapa bangunan 
lainnya yang ada di lingkungan benteng Padepokan 
Teratai Emas. Sudah seluruh bagian ditelitinya, tapi

Bayu tidak juga menemukan di mana adanya Wulan 
Untari. Kini dia kembali ke bagian belakang 
padepokan. Kemudian melesat keluar melompati 
pagar benteng yang tinggi dan kokoh itu. Keadaan 
yang gelap, membuat gerakan Pendekar Pulau 
Neraka bisa lebih leluasa. Sebentar saja dirinya 
sudah berada di luar padepokan. 
"Aku yakin Wulan sudah bisa menyelamatkan diri," 
gumam Bayu bicara pada diri sendiri, setelah berada 
di luar lingkungan benteng padepokan. 
Beberapa saat dia memperhatikan padepokan 
yang masih tenaga cjengan ketat itu. Kemudian dia 
mengayunkan kaki meninggalkan Padepokan Teratai 
Emas. Cepat sekali dia berjalan, karena meng-
gunakan ilmu meringankan tubuh. Sehingga sebentar 
saja dia sudah jauh dari padepokan milik Nyai Kantil 
itu. 
Sementara itu Nyai Kantil memerintahkan murid-
muridnya membawa masuk mayat Ki Denggis. 
Kemudian bersama ketiga sahabatnya dia membi-
carakan keadaan yang semakin terasa memburuk. 
Mereka merasa bahwa keadaan seperti ini tidak akan 
cepat berakhir, sebelum Sepasang Bangau Putih bisa 
dilenyapkan untuk selamanya. Dan sekarang ini, tidak 
diketahui di mana mereka berada. Meski begitu, 
tokoh-tokoh tua itu merasa sedikit lega, karena sudah 
bisa membuat lawan-lawan mereka terpencar-pencar. 
Nyai Kantil sudah tahu kalau kedua anak muda itu 
adalah murid Ki Sarpakenaka, yang memiliki ilmu 
Bangau Putih. Mereka, juga tahu kelemahannya, 
hingga memisahkan keduanya untuk mendapatkan 
kelemahan ilmu Bangau Putih itu. 
Sedangkan Bayu yang merasa yakin kalau Wulan 
Untari sudah selamat dari tangan musuh-musuhnya,

berusaha mencari gadis itu di sekitar puncak Bukit 
Angsa. Bahkan dia terus mencari sampai ke lereng 
bukit. Namun sampai jauh malam, tidak juga dia bisa 
menemukan jejak si Gadis Seribu Nama itu. Wulan 
seakan lenyap tertelan bumi di malam yang gelap 
tanpa bulan dan bintang ini. Bayu tetap mencari gadis 
itu di sekitar lereng Bukit Angsa. Dia bertekad akan 
terus mencari sampai Wulan Untari ditemukan, 
meskipun hanya tinggal jasadnya. Tekad itu terus 
membara di dada Pendekar Pulau Neraka, hingga 
tidak peduli malam terus merambat semakin larut. 
Tidak peduli udara di seluruh bu itu sudah terasa 
begitu dingin menusuk sampai ke tulang. 
*** 
Matahari baru saja muncul dari balik bukit. Ca-
hayanya menerangi sekitar Bukit Angsa yang keli-
hatan sunyi dan lengang. Sementara tidak jauh dari 
kaki bukit itu, Perbawa duduk bersila dengan sikap 
bersemadi di sebuah ruangan kecil, dalam sebuah 
pondok yang sederhana. Di depan pemuda itu duduk 
bersila seorang laki-laki tua berjubah putih yang 
sudah memutih semua rambut dan janggutnya. Orang 
tua itu tidak lepas memandangi Perbawa yang masih 
bersemadi memulihkan kekuatan dan tenaga di 
dalam tubuhnya. 
Orang tua itu tampak tersenyum, saat melihat 
Perbawa membuka kelopak matanya. Dia langsung 
menyodorkan semangkuk air putih yang sejak tadi 
ada di depannya. Tanpa ragu-ragu lagi, Perbawa 
menerima mangkuk dari tanah Hat itu. Lalu meneguk 
habis semua air di dalamnya. Dia meletakkan 
mangkuk yang sudah kosong di atas balai bambu

yang didudukinya. 
"Terima kasih, Ki Marunta," ucap Perbawa. 
"Bagaimana? Sudah enak kan tubuhmu...?" tanya 
orang tua yang bernama Ki Marunta itu. 
"Aku merasa seperti hidup kembali dari kematian, 
Ki. Terima kasih, kau sudah menolong menyembuh-
kan lukaku," sahut Perbawa. 
"Syukurlah...! Aku senang kalau kau sudah sehat 
kembali," ujar Ki Marunta. 
Perbawa melihat pakaiannya teronggok di sebelah-
nya dalam keadaan sudah bersih. Ki Marunta ter-
senyum melihat Perbawa mengambil pakaian dan 
langsung mengenakannya. Pedangnya disampirkan 
ke punggung. Pemuda itu turun dari balai bambu yang 
hanya beralaskan selembar tikar lusuh. Dia berlutut 
di depan Ki Marunta. Tapi orang tua itu cepat 
menyentuh pundak Perbawa dan membangunkannya. 
"Tidak perlu kau bersikap begitu padaku, Perbawa. 
Aku senang kalau kau sudah sembuh dan pulih 
seperti sedia kala," kata Ki Marunta lembut. 
"Di mana Kakang Bayu, Ki?" tanya Perbawa, begitu 
teringat dengan Pendekar Pulau Neraka yang mem-
bawanya ke tabib tua ini semalam. 
"Dia kembali ke Bukit Angsa. Katanya mau 
membebaskan adikmu yang ditawan mereka," sahut 
Ki Marunta. 
"Oh, Wulan.... Dia ditawan mereka...?" 
Perbawa tidak dapat menyembunyikan keter-
kejutannya. Dia tidak tahu kalau Wulan Untari ter-
tangkap. 
"Kau tunggu saja di sini sampai Bayu kembali," 
kata Ki Marunta. 
"Tapi, Ki. Aku harus membantunya. Kekuatan 
mereka besar sekali," kata Perbawa.

"Aku kenal betul siapa Bayu.. Aku yakin dia tak 
akan berbuat gegabah menyelamatkan adikmu. 
Percayalah, dia pasti kembali bersama adikmu yang 
ditawan mereka!" kata Ki Marunta menyabarkan. 
Walaupun perasaannya tidak bisa tenang, 
Perbawa tidak mau mengecewakan hati tabib tua 
yang sudah menolong nyawanya ini. Dia kembali 
duduk di tepi balai bambu. Namun Ki Marunta malah 
bangkit berdiri dan berjalan keluar dari ruangan yang 
berukuran kecil itu. Perbawa mengikutinya dari 
belakang. Keduanya langsung keluar dari gu-buk kecil 
yang sangat sederhana itu. Mereka kemudian duduk 
di bangku yang terbuat dari bambu di depan rumah. 
Sebuah pohon beringin melindungi mereka dari 
sengatan sinar matahari. 
"Sudah berapa lama kau kenal dengan Kakang 
Bayu, Ki?" tanya Perbawa setelah beberapa saat 
mereka terdiam. 
"Lama juga...," sahut Ki Marunta tanpa memaling-
kan pandangannya sedikit pun dari puncak Bukit 
Angsa. 
"Apakah dia seorang pendekar tangguh, Ki?" tanya 
Perbawa lagi, ingin tahu siapa sebenarnya pemuda, 
berbaju kulit harimau itu. 
"Benar, Perbawa. Kepandaian yang dimilikinya 
sukar dicari tandingannya. Dan dia itu dikenal dengan 
nama Pendekar Pulau Neraka," sahut Ki Marunta 
menjelaskan. 
"Pendekar Pulau Neraka...?" . 
Lagi-lagi Perbawa terkejut, meskipun sebelumnya 
sudah tahu kalau pemuda berbaju kulit harimau itu 
Pendekar Pulau Neraka. Sebab kemarin Untari telah 
menjelaskannya tentang pendekar muda yang sangat 
disegani semua orang di kalangan rimba persilatan

itu. Sering dia mendengar sepak terjang Pendekar 
Pulau Neraka, tapi baru kali ini dirinya yakin, setelah 
mendengar dari Ki Marunta, bahwa ternyata 
pendekar muda digdaya itu yang menyelamatkan 
nyawanya dari kematian di puncak Bukit Angsa. 
Pantas saja Ki Marunta begitu percaya pada Bayu, 
karena kemampuannya bisa diandalkan untuk 
menembus benteng pertahanan Padepokan Teratai 
Emas. 
"Ki, itu mereka...!" seru Perbawa tiba-tiba. 
Ki Marunta hanya tersenyum saja melihat Bayu 
berjalan sambil menggendong seorang gadis berbaju 
putih yang terkulai lemah seperti mati. Melihat 
keadaan Wulan seperti itu, Perbawa jadi terkesiap. 
Bergegas dia mengejar Pendekar Pulau Neraka. 
Perbawa langsung menggantikan Bayu menggendong 
Wulan dan membawanya ke pondok Ki Marunta. 
"Dia masih hidup?" tanya Ki Marunta langsung, 
begitu kedua pemuda ini sampai di depannya. 
"Masih, Ki," sahut Bayu. 
"Bawa dia ke dalam, Perbawa!" pinta Ki Marunta. 
Perbawa segera membawa Wulan Untari masuk ke 
pondok tabib tua ini. Sementara Bayu menunggu di 
luar bersama Tiren yang tetap berada di pundaknya. 
Tidak lama Perbawa keluar lagi. Dia langsung duduk 
di samping Pendekar Pulau Neraka. 
"Untung kau cepat menyelamatkannya, Kakang. 
Tapi keadaannya tidak separah dari yang aku derita," 
kata Perbawa. 
Bayu hanya menghembuskan napasnya panjang-
panjang. Pandangannya tertuju lurus ke arah puncak 
Bukit Angsa. Perbawa juga terdiam membisu. Mata-
nya juga memandang ke arah yang sama. Entah apa 
yang ada di dalam benak kedua pemuda itu.
Sementara Ki Marunta sibuk mengobati luka-luka 
yang diderita Wulan Untari di dalam pondoknya. 
*** 
Dua hari Wulan Untari berada dalam perawatan 
tabib tua Ki Marunta. Keadaan gadis itu sudah 
kembali pulih seperti semula. Selama dua hari itu, 
Bayu pun terus menyebdiki keadaan di Padepoka 
Teratai Emas. Sedangkan Perbawa harus menunggui 
Wulan hingga gadis itu benar-benar pulih keadaan-
nya. Dan setiap kali Bayu kembali ke pondok Ki 
Marunta, dia selalu mengatakan kalaukKeadaan di 
puncak Bukit Angsa masih tetap sama. Bahkan 
penjagaannya semakin bertambah ketat. Bukan 
hanya di dalam saja, penjagaan juga dilakukan di luar 
bangunan padepokan yang seperti benteng per-
tahanan itu. 
"Lalu, bagaimana kita menembusnya...?" tanya 
Wulan Untari, ketika sore itu mereka berkumpul di 
depan pondok Ki Marunta. 
Bayu hanya diam mendengar pertanyaan Wulan. 
Dia tidak tahu apa yang harus dikatakannya untuk 
menyenangkan hati gadis ini. Karena memang tidak 
ada satu cara pun yang terbaik untuk menembus 
ketatnya penjagaan di Padepokan Teratai Emas. 
Namun Bayu juga tidak ingin membuat Sepasang 
Bangau Putih jadi kecewa. Dia merasa sudah terlalu 
dalam mencampuri urusan mereka. Apa pun yang 
terjadi, dirinya sudah berada di pihak Sepasang 
Bangau Putih. 
"Malam nanti kita ke sana. Kita coba menembus 
pertahanan mereka," kata Bayu memutuskan. 
"Kau sudah punya cara, Bayu?" tanya Ki Marunta


yang ikut dalam pembicaraan itu. 
"Belum, Ki," sahut Bayu. 
"Lalu, bagaimana kau akan menembus pertahanan 
mereka?" tanya Ki Marunta lagi. 
"Mudah-mudahan saja malam nanti pertahanan 
mereka berkurang," sahut Bayu seraya tersenyum. 
Ki Marunta mengangguk-anggukkan kepalanya. 
Dia seakan bisa memahami arti senyuman Pendekar 
Pulau Neraka itu. Sedangkan Wulan Untari dan 
Perbawa hanya saling berpandangan. Mereka 
memang tidak bisa mengetahui jalan pikiran 
Pendekar Pulau Neraka. Mereka terus diliputi 
kebimbangan, karena tidak tahu cara yang tepat 
untuk menembus pertahanan yang ketat di 
Padepokan Teratai Emas. 
"Sebaiknya kalian persiapkan diri untuk malam 
nanti," kata Bayu seraya menatap pada Wulan Untari 
dan Perbawa. 
"Benar, mungkin saja malam nanti kalian akan 
menguras seluruh kemampuan yang kalian miliki," 
sambung Ki Marunta. 
"Tapi ingat, kalian jangan lagi terpisah. Kalian bisa 
lemah dan mudah ditaklukkan kalau terpisah. Ingat 
dengan pengalaman yang sudah terjadi pada diri 
kalian sendiri. Bukankah hal itu sudah pernah terjadi 
pada guru kalian?" tukas Bayu memperingat kan. 
Wulan dan Perbawa hanya menganggukkan 
kepala. Sudah tentu keduanya tidak mau lagi meng-
ulangi kesalahan yang hampir saja membuat nyawa 
mereka berdua melayang. 
"Pergilah kalian ke belakang! Ada tempat yang 
cocok untuk kalian mempersiapkan diri," ujar Ki 
Marunta. 
Sebentar kedua anak muda yang dijuluki

Sepasang Bangau Putih itu saling berpandangan. 
Kemudian mereka beranjak pergi dari depan pondok 
ta-bib tua Ki Marunta. Keduanya langsung menuju ke 
belakang melalui jalan samping pondok. Sementara 
Bayu hanya memandangi dengan bibir menyungging-
kan senyuman. 
Tidak lama kemudian, sudah terdengar teriakan-
teriakan kedua anak muda itu berlatih, mempersiap-
kan diri untuk menghadapi orang-orang di Padepokan 
Teratai Emas. Bayu kembali memandang pada Ki 
Marunta. Terlihat kepala orang tua itu bergerak 
terangguk-angguk perlahan-lahan beberapa kali. 
"Kenapa kau sembunyikan hal sebenarnya pada 
mereka, Bayu?" tanya Ki Marunta langsung menegur 
Pendekar Pulau Neraka itu. 
"Aku tidak ingin mereka menganggap enteng 
lawan-lawannya, Ki. Mereka sudah melakukan 
kesalahan sekali. Dan aku tidak ingin kesalahan itu 
terulang kembali. Biar mereka menganggap lawan 
kali ini merupakan lawan yang berat," sahut Bayu. 
"Tapi sebenarnya kau sudah mengurangi kekuatan 
mereka, kan...?" desak Ki Marunta. 
"Ya.... Begitulah, Ki. Aku sudah mengurangi tiga 
orang dari kekuatan mereka. Tinggal Nyai Kantil dan 
Ki Rampak saja yang belum. Juga orang-orang 
mereka kini tinggal sedikit lagi," sahut Bayu. 
"Selama dua hari ini kau sudah mengurangi 
kekuatan mereka begitu banyak...?" Kali ini Ki 
Marunta jadi terlongong heran. 
"Sebenarnya kekuatan mereka tidak seberapa, Ki. 
Hanya saja Perbawa dan Wulan terlalu yakin akan 
kemampuannya sendiri, hingga mereka menganggap 
kecil lawan-lawannya. Dan itu satu kesalahan yang 
sangat besar. Kesalahan itu tidak boleh terulang

kembali kalau keduanya ingin berhasil menumpas 
mereka," kata Bayu menjelaskan. 
"Kau memang pintar, Bayu," puji Ki Marunta. 
"Sebenarnya aku sendiri tidak ingin mencampuri 
urusan ini, Ki. Tapi karena guru mereka adalah 
sahabat guruku, bahkan bisa dikatakan bersaudara, 
jadi aku tidak bisa melihat mereka menghadapi 
bahaya sendiri. Bagaimanapun aku harus turun 
tangan membantu. Dan mereka memang sudah 
pantas mendapat ganjaran seperti itu. Apalagi tujuan 
mereka mendirikan padepokan, untuk memperkuat 
diri dan mengulangi kejayaan mereka di masa lalu. 
Kau bisa bayangkan, Ki. Bagaimana kalau mereka 
benar-benar kuat dan menguasai seluruh rimba 
persilatan...? Dunia ini akan hancur kalau sampai 
orang-orang seperti mereka menguasainya," panjang 
lebar Bayu menjelaskan. 
Ki Marunta. hanya mengangguk-anggukkan kepala 
mendengar penuturan Pendekar Pulau Neraka itu. 
Dia sendiri sebenarnya sudah tahu kalau Nyai Kantil 
dan yang lainnya mendirikan padepokan hanya untuk 
membangun kembali kekuatan dan kejayaan masa 
lalunya. Orang tua itu sebenarnya senang kalau 
orang-orang itu dapat dihancurkan sebelum bisa 
menguasai seluruh dunia ini dengan menyebar 
kejahatan di mana-mana. Apalagi dalam persoalan 
ini, Pendekar Pulau Neraka ikut campur tangan. 
Walaupun kehadirannya tanpa disengaja. Dan 
mungkin ini memang sudah menjadi kehendak Sang 
Hyang Widi, yang tidak menginginkan orang-orang 
seperti Nyai Kantil dan Ki Denggis menguasai dunia 
yang memang sudah hancur ini. 
"Aku pergi dulu, Ki," ujar Bayu tiba-tiba seraya 
bangkit berdiri.

"Kau mau ke mana, Bayu?" tanya Ki Marunta. 
"Aku akan mengurangi kekuatan mereka sedikit 
lagi untuk malam nanti," sahut Bayu seraya ter-
senyum. 
"Hati-hatilah kau, Bayu! Jangan sampai kau celaka 
karenanya," ujar Ki Marunta menasihati. 
Bayu hanya tersenyum. Setelah dia menjura mem-
beri hormat pada orang tua itu, kakinya langsung saja 
terayun melangkah pergi meninggalkannya. Ki 
Marunta hanya memandangi kepergian Pendekar 
Pulau Neraka. Sementara dari belakang pondoknya 
masih terdengar teriakan-teriakan Sepasang Bangau 
Putih yang sedang mempersiapkan diri untuk 
pertarungan malam nanti di Padepokan Teratai Emas. 
Ki Marunta baru beranjak ke belakang pondoknya, 
setelah tidak lagi melihat Pendekar Pulau Neraka 
yang lenyap tertelan lebatnya hutan di kaki Bukit 
Angsa. 
***

DELAPAN

Malam begitu pekat. Tidak sedikit pun terlihat cahaya 
bintang maupun bulan di langit yang gelap berselimut 
awan hitam menggumpal. Angin yang berhembus di 
seluruh daerah Bukit Angsa terasa begitu dingin 
menusuk sampai ke tulang. Namun keadaan alam 
yang seakan tidak ramah ini, sama sekali tidak 
menghalangi tiga orang pendekar muda yang menuju 
ke puncak bukit itu. Mereka melangkah dengan 
ayunan kaki yang mantap, tanpa peduli kegelapan 
menyelimuti sekitarnya. Tidak peduli terpaan angin 
dingin yang menggigilkan. Tidak peduli dengan kabut 
yang menghalangi pandangan mata. Mereka terus 
melangkah dengan hati mantap mendaki lereng bukit 
yang menghitam pekat terselimut kabut. 
Langkah mereka baru berhenti setelah sampai di 
depan sebuah bangunan padepokan. Tampak 
bangunan itu seperti tidak terjaga dengan ketat. 
Keadaannya lengang sekali. Seakan-akan bangunan 
besar bagai benteng itu sudah ditinggalkan penghuni-
nya. Sepasang Bangau Putih yang mengapit Pendekar 
Pulau Neraka jadi saling berpandangan melihat 
keadaan yang sungguh di luar dugaan. Tidak seperti 
ketika pertama kali mereka datang ke tempat ini, 
penjagaannya ketat sekali. Bahkan kini di atas pagar 
benteng, tidak terlihat seorang pun di sana dengan 
anak panah siap dilepaskan dari busurnya. 
"Jangan-jangan mereka sudah pergi...," gumam 
Wulan Untari. 
"Mungkin juga ini jebakan," selak Perbawa. "Kita

harus hati-hati dengan keadaan seperti ini." 
Sepasang Bangau Putih itu terus menduga-duga. 
Sedangkan Bayu nampak diam saja. Dia tahu kalau 
kekuatan yang dimiliki Nyai Kantil dan Ki Rampak 
tidak bisa lagi mengatur penjagaan yang ketat di 
dalam bangunan benteng padepokan itu. Dan murid-
murid yang mereka miliki juga tidak seberapa lagi 
jumlahnya. Sudah barang tentu keadaan di 
Padepokan Teratai Emas sunyi, seperti tidak ber-
penghuni lagi. 
"Ayo, kita dekati!" ajak Bayu. Tanpa menunggu 
jawaban lagi, Pendekar Pulau Neraka melangkah 
mendekati bangunan Padepokan Teratai Emas. 
Sementara Perbawa dan Wulan Untari mengikuti dari 
belakang, setelah mereka saling berpandangan 
sejenak. Tanpa ada halangan apa pun, mereka 
sampai di depan pintu gerbang benteng padepokan 
itu. Sebentar Bayu mengamati. Kemudian.... 
"Yeaaah...!" 
Tiba-tiba saja Pendekar Pulau Neraka berteriak. 
keras menggelegar. Dan bagaikan kilat dia mengi-
baskan tangan kanannya ke depan, bersamaan 
dengan tubuhnya yang bergerak membungkuk. 
Seketika Cakra Maut yang berada di pergelangan 
tangan kanannya melesat dengan kecepatan bagai 
kilat. Senjata maut andalan Pendekar Pulau Neraka 
itu langsung menghantam pintu gerbang Padepokan 
Teratai Emas. 
Glarrr! 
Sungguh dahsyat sekali senjata Pendekar Pulau 
Neraka itu. Pintu gerbang yang tebal seketika hancur 
berkeping-keping diterjangnya. Dan senjata bundar 
bersegi enam itu melesat balik, langsung menempel 
di pergelangan tangan kanan Bayu yang terangkat ke

atas kepala. 
"Hup!" 
Tanpa membuang-buang waktu, Pendekar Pulau 
Neraka langsung melesat dengan cepat sekali 
menerobos pintu gerbang yang sudah hancur 
berkeping-keping. Namun begitu kakinya menjejak 
tanah, seketika puluhan batang anak panah menyam-
butnya dengan gencar bagai hujan. 
"Hup! Yeaaah...!" 
Cepat sekali Bayu melentingkan tubuh ke atas, 
dan berputaran menghindari terjangan panah yang 
menghujaninya. Tangan kanannya mengibas dengan 
cepat, menyampok anak-anak panah itu dengan 
Cakra Maut yang menempel di pergelangan. 
Sementara Sepasang Bangau Putih juga sudah 
menerobos ke dalam bangunan benteng Padepokan 
Teratai Emas. Mereka langsung melompat sambil 
mencabut pedang dan menghalau panah-panah yang 
menghujani Pendekar Pulau Neraka. Tidak satu 
batang anak panah pun yang bisa menembus tubuh 
mereka. Bahkan pendekar-pendekar muda itu 
mampu menerobos, dan langsung menghantam 
murid-murid Padepokan Teratai Emas ini. 
"Hiyaaaa...!" 
"Yeaaaah...!" 
*** 
Jeritan-jeritan panjang menyayat seketika ter-
dengar bersahutan. Disusul dengan ambruknya 
tubuh-tubuh bersimbah darah. Bayu dan Sepasang 
Bangau Putih memang bukan tandingan mereka. 
Hingga dalam waktu singkat saja sudah tidak ter-
hitung lagi berapa orang yang mati terkapar ber

lumuran darah. Sementara itu Bayu sudah mendekati 
bangunan utama Padepokan Teratai Emas. Namun, 
begitu dia hendak menerobos ke dalam bangunan itu, 
mendadak saja melesat dua bayangan dan langsung 
menerjangnya. 
"Hup! Yeaaah...!" 
Dengan cepat Bayu melenting ke atas, hingga dua 
bayangan yang menerjangnya lewat sedikit di bawah 
tubuhnya yang berputaran di udara. Manis sekali 
Pendekar Pulau Neraka menjejakkan kaki kembali ke 
tanah. Cepat dia memutar tubuh berbalik, bersamaan 
dengan meluruknya dua orang tua ke arahnya dengan 
kecepatan tinggi. 
"Hiyaaa...!" 
Pendekar Pulau Neraka langsung mengebutkan 
tangan kanannya ke depan. Dan bersamaan dengan 
itu dia melesat ke atas, lalu meluruk deras ke arah 
Nyai Kantil. Satu pukulan menggeledek yang disertai 
pengerahan tenaga dalam tinggi seketika dilepaskan 
dengan cepat sekali. Begitu cepatnya serangan yang 
dilancarkan pemuda berbaju kulit harimau itu, 
membuat Nyai Kantil jadi terbeliak kaget setengah 
mati. Sementara itu Ki Rampak terpaksa harus 
berjumpalitan menghindari serangan Cakra Maut 
yang bagai memiliki mata, berkelebatan mengincar 
tubuhnya. 
"Hap!" 
Nyai Kantil cepat meliukkan tubuhnya, meng-
hindari pukulan yang dilepaskan pemuda berbaju 
kulit harimau itu. Namun tanpa diduga sama sekali, 
Bayu memutar tubuhnya dengan cepat sambil me-
lepaskan satu tendangan menggeledek yang me-
ngandung pengerahan tenaga dalam tinggi. Serangan 
beruntun yang dilancarkan dengan kecepatan tinggi

itu membuat lawan tidak dapat lagi menghindari. 
Diegkh! 
"Akh...!" 
Perempuan tua itu memekik keras agak tertahan, 
begitu tendangan yang dilepaskan Bayu menghantam 
telak dadanya. Tubuh perempuan tua itu terpental 
cukup jauh ke belakang dan dengan keras sekali 
menghantam tanah. Kembali Nyai Kantil memekik 
keras agak tertahan. Pada saat yang bersamaan, 
Bayu menghentakkan tangan kanan ke arah 
perempuan tua itu. Seketika Cakra Maut yang sedang 
menyerang Ki Rampak langsung berputar arah 
dengan cepat, memburu Nyai Kantil. 
Wusss! 
Begitu cepatnya Cakra Maut melesat, membuat 
Nyai Kantil tidak punya kesempatan lagi menghindar. 
Terlebih lagi dia belum bisa mengurangi rasa nyeri 
yang menghantam dadanya, akibat tendangan keras 
Pendekar Pulau Neraka tadi. Hingga..., 
Crab! 
"Aaaa...!" 
Nyai Kantil menjerit melengking ketika Cakra Maut 
menghujam deras dadanya hingga langsung melesat 
keluar lagi melalui punggung. Perempuan tua itu 
terhuyung-huyung ke belakang dengann darah 
berhamburan deras dari lubang di dada dan 
punggungnya. Hanya beberapa saat perempuan tua 
itu masih mampu bertahan berdiri. Kemudian 
tubuhnya ambruk menggelimpang ke tanah. Sebentar 
dia menggeliat meregang nyawa. Kemudian 
mengejang kaku, dan diam tidak bergerak-gerak lagi-
Kematian Nyai Kantil membuat Kr Rampak tampak 
pucat dan tegang. Kegentaran seketika menyelimuti 
seluruh rongga dadanya. Sementara Bayu berdiri

tegak dengan Cakra Maut sudah kembali menempel 
di pergelangan tangan kanannya. Dalam pandangan 
Ki Rampak, Pendekar Pulau Neraka bagaikan sosok 
malaikat maut yang siap mencabut nyawanya. 
Sementara di lain tempat, tampak Sepasang 
Bangau Putih sudah menguasai jalannya per-
tarungan. Tidak ada lagi yang bisa menahan 
gempuran sepasang pendekar muda itu. Jeritan-
jeritan kematian pun terus terdengar saling sambut 
menggiriskan hati. Namun Perbawa dan Wulan Untari 
benar-benar tidak memberi kesempatan pada lawan-
lawannya untuk tetap hidup. Walaupun tidak ada lagi 
yang sanggup menahan gempurannya, mereka tetap 
menghajar semua lawan tanpa memberi ampun 
sedikit pun. Hingga jeritan-jeritan kematian pun terus 
terdengar saling sambut. 
Sementara Ki Rampak sendiri tidak punya pilihan 
lain lagi. Walau sudah menyadari tidak akan mampu 
menghadapi Pendekar Pulau Neraka, dia tetap 
melompat melakukan serangan. 
*** 
Malam yang dingin ini terasa hangat di puncak 
Bukit Angsa. Jeritan-jeritan kematian terus terdengar 
sating sambut dan menyayat. Sementara Wulan 
Untari sudah meninggalkan lawan-lawannya. Dengan 
sebuah obor, dia membakar seluruh bangunan 
Padepokan Teratai Emas. 
Api cepat sekali berkobar membakar seluruh 
bangunan padepokan di puncak Bukit Angsa itu. 
Membuat suasananya yang memang sudah hangat 
semakin bertambah panas membara. Api yang 
melumat habis bangunan padepokan membuat

suasana seakan bagai berada dalam neraka. 
Sementara Bayu masih menghadapi Ki Rampak yang 
menyerangnya dengan gencar. Orang tua itu seakan 
tidak ingin memberi kesempatan pada Pendekar 
Pulau Neraka untuk memberikan serangan balasan. 
"Berikan dia padaku, Kakang...!" 
Bayu cepat melompat ke belakang, ketika melihat 
Wulan Untari melesat dengan cepat sekali menerjang 
Ki Rampak. Dengan pedangnya, Wulan mencecar, 
hingga orang tua itu terpaksa harus berjumpalitan 
menghindariya. Dan kali ini Ki Rampak sendiri yang 
tidak punya kesempatan untuk melakukan serangan. 
Gempuran yang dilakukan Wulan begitu cepat dan 
beruntun, membuat dirinya kian terdesak. 
Sementara Bayu terpaksa harus jadi penonton. Dia 
melihat kalau Perbawa sudah hampir menyelesaikan 
pertarungannya. Hanya tinggal lima orang yang 
menjadi lawannya. Namun dalam waktu tidak berapa 
lama, pemuda itu sudah dapat menghabiskan lawan-
lawannya tanpa tersisa seorang pun. Dan tanpa 
membuang-buang waktu lagi, Perbawa langsung 
melompat membantu Wulan Untari menyerang Ki 
Rampak. 
"Gunakan jurus Bangau Putih, Untari...!" seru 
Perbawa. "Hiyaaat..!" 
"Yeaaah...!" 
Sepasang Bangau Putih langsung mengerahkan 
jurus andalan mereka yang begitu cepat. Serangan-
serangan mereka sangat beruntun dan silih berganti, 
membuat Ki Rampak semakin kelabakan meng-
hadapinya. Sementara Bayu yang kini hanya menjadi 
penonton, bisa melihat kalau Ki Rampak tidak akan 
mampu bertahan lebih lama menghadapi serangan 
Sepasang Bangau Putih yang begitu gencar dan silih

berganti dengan cepat. 
"Awas kaki...!" seru Perbawa tiba-tiba. 
Wuttt! 
"Heh ..?! Ups!" 
Ki Rampak terkejut setengah mati, ketika tiba-tiba 
pedang Perbawa berkelebat cepat mengarah ke 
kakinya. Cepat dia melompat ke atas menghindari 
serangan lawan. Dan pada saat yang bersamaan, 
Wulan Untari sudah melesat ke atas sambil meng-
hunjamkan pedangnya tepat ke dada orang tua itu. 
Begitu cepat serangan yang hampir bersamaan itu 
membuat Ki Rampak tidak dapat lagi menghindari 
hunjaman pedang Wulan Untari. Dan.... Jreps! 
"Aaaa...!" 
Orang tua itu menjerit nyaring, ketika pedang di 
tangan Wulan Untari menghunjam dalam sekali ke 
dadanya, hingga langsung tembus ke punggung. Dan 
ketika Wulan mencabutnya, darah menyemburat 
keluar dari dada orang tua itu. 
Tampak Ki Rampak terhuyung-huyung sambil men-
dekap dadanya. Dan pada saat itu, Perbawa sudah 
melompat sambil berteriak keras menggelegar. Dan 
secepat kilat dikibaskan pedangnya tepat mengarah 
ke leher lawan yang sudah tidak mungkin lagi bisa 
berkelit menghindarinya. 
Cras! 
Tidak ada lagi suara jeritan terdengar, ketika 
pedang Perbawa menebas leher Ki Rampak hingga 
buntung. Kepala orang tua itu jatuh menggelinding ke 
tanah. Sementara tubuhnya beberapa saat masih 
bisa berdiri, tapi kemudian jatuh menggelimpang di 
antara mayat-mayat yang sudah sejak tadi memenuhi 
halaman depan Padepokan Teratai Emas. Hanya 
beberapa saat tubuh yang sudah tidak berkepala itu

menggelepar. Setelah itu diam tidak bergerak-gerak 
lagi. Darah terus berhamburan keluar dari dada, 
punggung, dan lehemya yang sudah buntung. 
Sepasang' Bangau Putih segera menghampiri Bayu 
yang sejak tadi hanya memperhatikan tindakan 
mereka. Sementara itu, api semakin besar berkobar 
menghanguskan seluruh bangunan Padepokan 
Teratai Emas. Cahayanya seakan menerangi seluruh 
puncak Bukit Angsa yang gelap berselimut kabut 
tebal. Udara yang tadi terasa dingin, kini hangat oleh 
kobaran api yang membakar hangus seluruh 
bangunan padepokan. 
"Ayo, kita pergi!" ajak Bayu. 
Tanpa menunggu jawaban lagi, Pendekar Pulau 
Neraka melangkah meninggalkan padepokan yang 
sudah hancur itu. Sepasang Bangau Putih pun segera 
beranjak pergi tanpa banyak bicara lagi. Dendam 
mereka benar-benar sudah terbalas. Entah apa yang 
akan mereka lakukan selanjutnya. Sedangkan Bayu 
sendiri terus berjalan tanpa mengucap sepatah kata 
pun. Dia juga tidak tahu apa yang harus dikatakannya 
melihat tindakan pendekar-pendekar muda itu dalam 
membalaskan dendam guru mereka. 


                                 SELESAI 
 
 



Share:

0 comments:

Posting Komentar