SATU
Debu berkepul membumbung ringgi ke angkasa,
ketika kaki-kaki dua ekor kuda yang dipacu dengan
kecepatan ringgi, melintasi jalan tanah berdebu di
kaki lereng Gunung Jambik. Dua anak muda yang
sudah kotor berdebu seluruh tubuhnya itu, semakin
cepat menggebah kuda mereka yang sudah terengah
kecapaian. Sementara matahari sudah condong ke
sebelah barat. Cahayanya ridak lagi terasa terik dan
menyengat.
"Berhenti dulu, Kakang...!"
Tiba-tiba salah satunya yang ternyata seorang
gadis berusia muda berteriak keras sambil menarik
tali kekang kuda. Kuda yang ditungganginya
meringkik nyaring, sambil mengangkat kedua kaki
depan tinggi-tinggi. Hampir saja gadis itu terpelanting,
kalau dia tidak cepat mengendalikan kudanya. Dan
seorang lagi yang ternyata pemuda berwajah tampan,
langsung menghentikan lari kudanya.
"Ada apa, Untari? Kenapa mendadak kau ber-
henti?" tanya pemuda itu sambil mendekatkan
kudanya ke kuda yang ditunggangi gadis ini.
"Kita berhenti dulu di sini, Kakang Perbawa," sahut
gadis cantik bernama Untari itu.
Dengan gerakan yang indah dan ringan sekali,
Untari melompat turun dari punggung kudanya. Dari
gerakannya saja, sudah bisa dipastikan kalau gadis
itu memiliki kepandaian yang tidak bisa dikatakan
rendah. Dia berdiri tegak di samping kudanya.
Sedangkan pemuda yang bernama Perbawa masih
tetap berada di punggung kudanya. Dia hanya me-
mandangi saja gadis cantik yang mengenakan baju
putih ketat itu, sama seperti yang dikenakannya. Dan
keduanya juga sama-sama menyandang sebilah
pedang di punggung masing-masing.
"Padepokan Tangan Baja sudah tidak jauh lagi.
Kalau kita terus, belum gelap sudah sampai di sana,
Kakang. Apa kau lupa, kita harus sampai di sana
dalam suasana gelap?" kata Untari mengingatkan.
"Hup!"
Tanpa banyak bicara lagi, Perbawa melompat
turun dari punggung kudanya. Begitu indah dan
ringan gerakannya, hingga sedikit pun tidak terdengar
suara saat kedua telapak kakinya menjejak tanah.
Dia membiarkan saja kudanya melangkah ke tepi
jalan yang ditumbuhi rerumputan. Sedangkan kuda
milik Untari, sudah sejak tadi mengisi perutnya di
pinggiran jalan tanah berdebu itu.
"Ini yang ke berapa, Untari?" tanya Perbawa seraya
menghenyakkan tubuhnya, duduk bersandar di
bawah pohon yang tumbuh di pinggir jalan.
"Tiga," sahut Untari juga ikut duduk di sebelah
Perbawa.
"Berapa lagi yang harus kita datangi?" tanya
Perbawa lagi.
"Kalau dengan yang ini, semuanya tujuh lagi."
Perbawa hanya diam saja. Keningnya tampak ber-
kerut, dengan tatapan mata tertuju lurus ke depan.
Entah apa yang ada di dalam pikirannya saat ini.
Sedangkan Untari sudah kembali berdiri dan meng-
hampiri kudanya. Dia membereskan pelana kuda
tunggangannya itu, kemudian melompat naik.
Perbawa hanya memperhatikan dari sudut ekor matanya.
"Mau ke mana kau, Untari?" tanya Perbawa tanpa
beranjak dari duduknya.
"Aku mau melihat ke ujung jalan itu dulu," sahut
Untari. "Hiyaaa...!"
Tanpa menunggu jawaban dari Perbawa, Untari
langsung menggebah kudanya dengan cepat Se-
mentara Perbawa kembali menyandarkan punggung-
nya ke batang pohon. Dan kelopak matanya langsung
terpejam.
Sementara itu Untari sudah sampai ke ujung jalan
yang bercabang. Dihentikan lari kudanya di ujung
jalan itu. Matanya yang bulat dan indah, langsung
beredar memperhatikan jalan bercabang di kanan
dan kirinya. Keadaan sepi sekali. Sejauh mata
memandang, tidak seorang pun terlihat di sepanjang
jalan.
Saat itu matahari sudah hampir tenggelam di balik
peraduannya. Hanya rona merah yang tampak mem-
bias di kaki langit barat Untari memutar kudanya
kembali ke jalan semula. Namun belum juga dia
menggebah kudanya lagi, tiba-tiba....
Srak!
"Heh...?!"
"Heaaaa...!"
Belum sempat Untari bisa menghilangkan ke-
terkejutannya, tiba-tiba saja sudah muncul sesosok
bayangan merah berkelebat cepat sekali. Sosok itu
keluar dari balik gerumbul semak yang ada tepat di
samping kiri jalan. Bayangan merah itu langsung
meluruk deras menyerang Untari. Tapi....
"Haiiittt..!"
Cring!
Wut!
Cras!
"Aaaa...!"
Cepat sekali Untari mencabut pedang, yang
langsung dikebutkan ke atas kepala, sambil mem-
bungkukkan tubuh hingga hampir merapat dengan
punggung kudanya. Dan kibasan pedangnya me-
nyambar bayangan merah itu. Seketika terdengar
suara jeritan panjang melengking tinggi.
"Hup!"
Bruk!
Tepat ketika Untari melompat turun dari punggung
kuda, sesosok tubuh mengenakan baju merah
terjatuh dengan keras sekali di samping kanan kuda.
Sementara Untari menjejakkan kaki dengan ringan
sekali di pinggir jalan. Tatapan tajam matanya
langsung memandangi sosok tubuh yang tergeletak di
jalan tanah berdebu. Darah tampak mengucur deras
dari dadanya yang robek cukup lebar.
Ketika Untari masih memandangi sosok tubuh
lelaki yang sudah tak bemyawa terkena sabetan
pedangnya itu, tiba-tiba terdengar suara gemerisik
dari arah belakang. Cepat dia memutar tubuhnya
berbalik. Saat itu juga, terlihat sebuah bayangan
merah berkelebat begitu cepat menerjang ke arah-
nya.
"Hup! Yeaaah...!"
***
Untari cepat melompat ke belakang, sambil me-
ngebutkan pedang ke arah bayangan merah yang
menerjangnya dengan kecepatan tinggi bagai kilat itu.
Namun tampaknya orang ini lebih gesit dari yang
pertama. Dia bisa menghindari sabetan pedang
dengan melenting kembali ke belakang. Dan tepat
secara bersamaan mereka menjejakkan kaki di
tanah. Kini di depan Untari berdiri seorang lelaki
berusia tiga puluh lima tahunan. Tubuhnya yang
tegap terbalut pakaian merah menyala, sama persis
seperti yang dikenakan penyerang pertama. Sebuah
pedang tergantung di pinggangnya.
"Siapa kau? Kenapa menyerangku?" tanya Untari.
Laki-laki berbaju merah itu tidak menjawab sedikit
pun. Dia malah menatap wajah Untari dengan sinar
mata yang begitu tajam menysuk. Perlahan dia meng-
geser kakinya ke kanan sambil menyentuh gagang
pedang yang tergantung di pinggang dengan siku
tangan kiri.
Tiba-tiba saja dia mengeluarkan suara siulan me-
lengking tinggi, dengan nada yang terdengar aneh
dan menyakitkan telinga. Untari tersentak kaget
mendengar siulan itu. Namun belum sempat dia bisa
menghilangkan keterkejutannya, mendadak dari
segala arah di sekelilingnya sudah berlompatan
sosok-sosok tubuh berbaju merah menyala. Sebentar
saja gadis itu sudah terkepung tidak kurang dari lima
belas orang lelaki berpakaian serba merah, yang
semuanya sudah menghunus pedang.
"Seraaang...! Bunuh gadis itu...!"
Tiba-tiba orang yang muncul menyerang tadi ber-
teriak dengan suaranya yang keras dan menggelegar.
Seketika orang-orang berbaju serba merah menyala
itu langsung berlompatan menyerang Untari sambil
berteriak-teriak keras menggetarkan jantung. Dalam
sekejap Untari sudah terkepung kelebatan kilatan-
kilatan pedang yang mengincar bagian-bagian tubuh
yang mematikan.
"Hep! Yeaaah...!"
Untari tidak punya pilihan lain lagi. Dengan cepat
ia melenting sambil berputar. Dan secepat itu juga
tangannya mencabut pedang dan menangkis sebuah
pedang yang berkelebat begitu cepat mengarah ke
dadanya.
"Hih!"
Tring!
Secepat kilat Untari menarik tubuh hingga doyong
ke belakang untuk menghindari sabetan pedang yang
datang dari arah samping. Dan secepat itu pula
dilepaskannya satu tendangan ke depan yang disertai
dengan pengerahan tenaga dalam tinggi. Begitu cepat
tendangan yang dilepaskan gadis berbaju putih itu,
sehingga lawan yang berada di depannya tidak
sempat bergerak menghindar ataupun menangkisnya.
Diegkh!
"Akh...!"
Orang itu memekik keras, begitu dadanya terkena
tendangan menggeledek yang bertenaga dalam tinggi
dari Untari. Seketika tubuhnya terpental ukup jauh ke
belakang. Sementara Untari sendiri sudah harus
menempatkan pedangnya ke belakang punggung,
ketika satu serangan pedang lawan yang lain mem-
babat ke arah punggungnya.
Trang!
Kembali pedang Untari berhasil menangkis
serangan pedang lawannya. Pada saat itu juga, satu
pukulan yang dilepaskannya berhasil menghantam
tubuh lawan yang berada tepat di sebelah kirinya.
Jeritan panjang pun terdengar menyayat Satu orang
lawannya terjungkal mencium tanah. Untari kembali
berlompatan sambil membabatkan pedangnya, meng-
hantam setiap lawan yang datang menyerang secara
cepat dan beruntun.
Namun mendadak terdengar jeritan-jeritan
kematian yang panjang dan melengking tinggi.
Disusul dengan berpentalannya lawan-lawan Untari
ke atas disertai dengan semburat darah segar yang
membasahi tanah sekitar pertarungan.
Melihat keadaan itu Untari terkejut dan keheranan.
Tapi dia tidak sempat lagi untuk bertanya walau di
dalam hati.
Pandangan matanya yang tajam, langsung da-pat
melihat seorang pemuda berbaju putih tengah
melesat cepat sekali menghajar orang-orang berbaju
serba merah dengan pedangnya yang berkelebatan
bagai kilat. Tak satu pun lawan-lawannya yang
mampu membendung serangan kilat itu. Untari tahu
siapa pemuda yang tiba-tiba datang membantunya.
"Kakang Perbawa...," desis Untari dengan perasaan
lega.
"Hiyaaat..!"
Bet! Cras!
"Aaaa...!"
Jeritan-jeritan kematian pun semakin sering ter-
dengar saling sambut Dan tubuh-tubuh bersimbah
darah terus berjatuhan tanpa ampun lagi.
Kedatangan Perbawa membuat semangat Untari
kembali berkobar menyala. Dengan ganas sekali dia
mengayunkan pedang, membabat setiap lawan yang
berada dalam jangkauannya. Sementara Perbawa
sendiri dengan gerakan-gerakan yang begitu cepat
juga tidak terbendung lagi.
Hingga dalam waktu tidak berapa lama, sekitar
lima belas orang berpakaian serba merah tidak ada
lagi yang bisa berdiri. Mereka semua terbujur kaku
tanpa nyawa dengan darah berhamburan membasahi
jalan tanah berdebu. Untari dan Perbawa segera
menyarungkan pedang yang bemoda darah ke dalam
warangka seraya menghela napas lega melihat lawan-
lawannya yang bergelimpangan.
"Ayo, Untari. Tinggalkan tempat ini," ajak Perbawa
sambil melangkah menghampiri kudanya.
Untari juga segera mendekati kudanya yang
berada tidak jauh dari tempat pertarungan. Dengan
gerakan yang indah dan ringan sekali, mereka ber-
lompatan naik ke punggung kuda masing-masing.
Dan tanpa bicara sedikit pun, keduanya langsung
menggebah kuda perlahan meninggalkan tempat
pertarungan itu. Meninggalkan mayat-mayat yang
bergelimpangan saling tumpang tindih, dengan darah
membanjiri sekitarnya.
***
"Untung kau tadi cepat datang, Kakang," ujar
Untari setelah mereka cukup jauh meninggalkan
tempat pertarungan tadi.
"Tanpa aku, kau juga bisa menghabiskan mereka,
Untari," sahut Perbawa kalem.
"Mereka memang tidak ada apa-apanya, Kakang,"
ujar Untari bangga mendapat sanjungan Perbawa.
Pemuda itu hanya tersenyum dikulum. Dia tahu
kalau Untari senang mendapat sanjungan. Dan
mereka tidak bicara lagi, terus mengendalikan
kudanya periahan-lahan menyusuri jalan tanah
berdebu.
"Kau tahu siapa mereka, Untari?" tanya Perbawa
setelah beberapa saat terdiam.
Untari menggelengkan kepalanya.
"Tapi kenapa kau sampai bentrok dengan
mereka?" tanya Perbawa lagi.
"Aku tidak tahu, Kakang. Tiba-tiba saja mereka
muncul dan langsung menyerang," sahut Untari
menjelaskan.
"Mustahil kalau mereka menyerang tanpa ada
maksud apa-apa," desis Perbawa tidak percaya.
"Kau tidak percaya padaku, Kakang...?" dengus
Untari.
"Aku percaya. Tapi apa mungkin ada orang yang
menyerang tanpa sebab...? Mereka menyerangmu
pasti karena ada sebabnya. Apalagi tanpa bicara
sedikit pun. Kau sama sekali tak mengenal mereka,
Untari?"
"Tidak," sahut Untari tegas.
"Juga tidak mengenali pakaiannya?" selidik
Perbawa lagi.
Untari terdiam mendengar pertanyaan yang
bemada menyelidik itu. Keningnya terlihat berkerut,
seperti sedang memikirkan sesuatu. Namun tidak
lama kemudian, kepalanya menggeleng perlahan. Dia
sama sekali tidak mengenal orang-orang yang
menyerangnya tadi. Bahkan tidak sempat mengenali
pakaian yang mereka kenakan, walaupun jelas
mereka mengenakan pakaian yang sama, baik corak
maupun wamanya. Bahkan semua menggunakan
pedang yang sama persis bentuk dan ukuran-nya.
Namun Untari benar-benar tidak tahu siapa mereka
itu semua.
"Aku sama sekali tidak tahu, Kakang," terdengar
pelan suara Untari.
"Ya, sudahlah...," desah Perbawa disertai hem-
busan napas panjang.
Untari jadi terdiam lagi. Keningnya masih tetap
berkerut, dengan pandangan mata tertuju lurus ke
depan. Agaknya dia masih tetap berusaha mengingat
siapa orang-orang yang menyerangnya tadi. Namun
semakin keras dia berusaha mencari tahu, semakin
sulit untuk mengetahuinya. Untari benar-benar tidak
mengenali orang-orang yang berbaju merah tadi.
Sedangkan Perbawa juga tidak bicara lagi.
Mereka terus menjalankan kuda perlahan-lahan.
Sementara malam sudah turun menyelimuti kaki
lereng Gunung Jambik. Kegelapan sudah menyelimuti
sekitarnya. Angin yang beraup pun mulai terasa dingin
menyengat kulit. Namun kedua anak muda itu terus
menjalankan kuda mereka perlahan-lahan menyusuri
jalan tanah berdebu itu.
Lama juga keduanya terdiam tanpa berbicara,
hingga tiba di suatu tempat tanah lapang dan be-
rumput. Tampak di seberang mereka berdiri sebuah
bangunan yang dikelilingi pagar kayu tinggi, seperti
sebuah benteng pertahanan.
Rupanya bangunan di lereng Gunung Jambik inilah
yang mereka tuju. Sebuah bangunan padepokan milik
Ki Ampal. Seorang tokoh sakti yang dulu pernah
malang melintang di rimba persilatan. Tokoh ini
dikenal dengan julukan si Tangan Baja. Itu sebabnya
padepokan yang didirikannya pun diberi nama
Padepokan Tangan Baja. Sesuai dengan nama
julukan yang disandangnya. Bahkan sampai
sekarang, masih banyak orang yang memanggilnya
dengan nama si Tangan Baja, daripada Ki Ampal.
Namun ketika usianya tua, Ki Ampal mendirikan
sebuah padepokan di kaki lereng Gunung Jambik ini.
Lebih dari lima puluh orang menjadi muridnya.
Sementara Untari dan Perbawa masih tetap
berada di punggung kuda masing-masing, me-
mandangi padepokan yang masih berada cukup jauh
dari mereka. Namun bangunan padepokan itu sudah
terlihat jelas, tanpa satu pohon pun yang meng
halanginya. Untuk mencapai ke sana, mereka harus
melewati tanah lapang yang tentu saja akan terlihat
dari bangunan padepokan itu.
"Kau lihat, Untari. Ketat sekali penjagaannya," ujar
Perbawa tanpa memalingkan sedikit pun pandangan-
nya dari banguan padepokan yang mirip benteng
pertahanan itu.
"Aku tahu," sahut Untari juga tidak memalingkan
perhatiannya dari bangunan itu.
"Kau tetap akan ke sana?" tanya Perbawa lagi,
seakan ingin memastikan.
"Ya," sahut Untari mantap.
"Kau tahu berapa jumlah murid si Tangan Baja?"
tanya Perbawa lagi, bernada menyelidik.
"Sekitar lima puluh orang. Itu juga kalau mereka
semua ada di sana."
"Lima puluh orang..." gumam Perbawa pelan.
"Sedangkan kita hanya berdua. Apa mungkin kita bisa
menghadapi mereka, Untari?"
"Aku heran, kenapa kau jadi ragu-ragu begitu,
Kakang? Apa yang membuatmu jadi ragu...?" tanya
Untari keheranan, sambil menatap wajah tampan
Pemuda di sebelahnya.
"Bukannya aku ragu, Untari. Aku hanya ingin lahu,
apakah kau sudah menyelidikinya lebih dahulu
seperti padepokan-padepokan lainnya?" ujar Perbawa
bernada bertanya.
"Tidak ada satu padepokan pun yang terlewat dari
penyelidikanku, Kakang. Aku sudah tahu seberapa
kekuatan mereka. Dan semua, hanya guru-gurunya
yang perlu diberi perhatian lebih. Sedangkan murid-
muridnya.... Hm, aku sendiri juga sanggup menghabisi
mereka semua dalam waktu singkat," jelas Untari
dengan bibir agak mencibir merendahkan.
Perbawa hanya melirik sedikit memperhatikan
wajah cantik gadis itu. Namun di balik kecantikan
wajahnya itu, terlihat guratan-guratan kekerasan yang
tidak dapat disembunyikan. Bahkan sorot matanya
terlihat berapi-api, bagai menyimpan sesuatu yang
begitu dahsyat.
"Kita ambil jalan memutar, Kakang," kata Untari
mengajak.
"Lewat mana?" tanya Purbawa.
Untari tidak sempat lagi menjawab. Dia sudah
memutar kuda dan menggebahnya dengan cepat.
Perbawa bergegas mengikuti gadis itu dari belakang.
Keduanya meninggalkan tanah lapang itu dan
kembali melintasi jalan yang mereka lalui tadi ketika
datang.
***
DUA
Sementara itu di dalam bangunan Padepokan Tangan
Baja, Ki Ampal sedang menerima seorang tamu,
sahabat kentalnya. Seorang lelaki berusia sebaya
dengan dirinya. Hanya sebelah mata orang itu
tertutup kulit hitam yang diikatkan ke belakang
kepala. Dan terlihat sebuah golok berukuran besar
berwarna hitam tersandang di punggungnya. Dia
bernama Ki Denggis, yang lebih dikenal dengan
julukan Golok Setan Penyambar Nyawa.
Walaupun dalam usia yang sudah mencapai tujuh
puluh tahun, Ki Denggis masih kelihatan kekar dan
berotot. Lain dengan Ki Ampal yang kini selalu
mengenakan baju jubah panjang wama hijau muda.
Tubuhnya sudah kelihatan kurus dan mengendur.
Hanya sinar matanya yang masih terlihat bersorot
tajam, penuh dengan gairah kehidupan yang me-
nyala-nyala.
"Maaf, dengan penyambutan murid-muridku tadi
padamu," ucap Ki Ampal dengan sikap penuh hormat
"Penyambutan yang wajar, Ampal. Aku bisa me-
maklumi. Murid-muridmu memang tak ada yang kenal
denganku. Selama kau mendirikan padepokan di sini,
baru kali ini aku datang, kan...? Sudah barang tentu
mereka tak ada yang mengenalku," sambut Ki
Denggis maklum.
"Terima kasih, Kakang," ucap Ki Ampal.
"Sebenarnya aku datang ke sini untuk mem-
beritahukan sesuatu yang sangat penting padamu,
Ampal," ujar Ki Denggis langsung pada persoalannya.
"Hm, berita apa itu...?"
"Berita yang mungkin akan membuatmu terkejut,"
sahut Ki Denggis datar.
Ki Ampal tampak mengerutkan kening. Dia
memandangi tamunya dengan tatapan mata yang
cukup dalam.
"Dalam beberapa hari ini, sudah dua padepokan
sahabat kita yang hancur. Bahkan tidak ada seorang
pun yang dibiarkan hidup...," ujar Ki Denggis meng-
awali ceritanya.
"Padepokan apa itu?" tanya Ki Ampal.
"Padepokan Cakar Naga dan Padepokan Tongkat
Hitam," sahut Ki Denggis.
"Ah...!"
Ki Ampal menghembuskan napas panjang, men-
dengar dua padepokan yang sudah dikenalnya
dengan baik kini hancur tak bersisa lagi. Dia tahu
siapa ketua kedua padepokan itu. Mereka memang
sahabat-sahabat kentalnya.
"Siapa yang menghancurkannya?" tanya Ki Ampal
setelah beberapa saat terdiam.
"Sepasang Bangau Putih," sahut Ki Denggis.
"Sepasang Bangau Putih...?"
Kening Ki Ampal kembali berkerut dengan kelopak
mata sedikit menyipit. Seakan dia sedang berpikir,
mengingat-ingat nama yang baru saja disebutkan
sahabatnya itu. Tidak lama kemudian, kepalanya
terlihat bergerak menggeleng beberapa kali dengan
perlahan.
"Rasanya aku tak pernah mendengar nama itu...,"
desah Ki Ampal perlahan.
"Kau memang tidak pernah mendengarnya, Ampal.
Aku sendiri baru mendengar setelah kedua
padepokan itu mereka hancurkan. Tapi dari apa yang
sudah aku ketahui, mereka hanya dua orang anak
muda yang berkepandaian tinggi," sambung Ki
Denggis.
"Hm.... Lalu apa hubungannya denganku?" tanya Ki
Ampal lagi.
"Dengar, Ampal. Kau masih ingat berapa orang dari
kelompok kita yang mendirikan padepokan se-
pertimu...?"
"Sepuluh, termasuk aku."
"Dan berapa orang yang tetap sendiri seperti aku?"
"Lima, termasuk kau."
"Empat orang sudah tewas di tangan mereka. Dan
dua padepokan sahabat kita sudah hancur. Aku
yakin, tak lama lagi mereka akan datang ke sini lebih
dulu, atau mungkin ke padepokan-padepokan yang
lainnya," terdengar agak ditekan nada suara Ki
Denggis.
"Aku tidak mengerti maksudmu, Kakang...."
"Mereka yang tewas dalam beberapa hari ini,
semua sahabat-sahabat kita, merupakan satu
kelompok tangguh yang pernah jaya dan tidak ada
tandingannya. Dan sekarang, ada dua orang yang
menamakan dirinya Sepasang Bangau Putih sudah
mengalahkan sebagian dari kita. Aku yakin, mereka
akan menghancurkan kita satu persatu," hati-hati
sekali Ki Denggis mengutarakan isi hatinya.
"Aku mengerti jalan pikiranmu, Kakang. Tapi siapa
mereka...?" ujar Ki Ampal seperti bicara pada dirinya
sendiri.
"Siapa mereka, itu tidak penting. Yang penting,
sekarang kita semua harus waspada! Aku yakin,
cepat atau lambat mereka akan datang ke sini. Dan
kau harus siap menghadapinya!" sahut Ki Denggis.
"Kau yakin, Kakang?"
"Aku sudah peringatkan ke Padepokan Cakar
Naga. Tapi tidak ditangggapi. Dan kenyataannya, baru
aku tinggal saju hari, sudah kudengar mereka
hancur."
"Dari mana kau tahu semua ini?" tanya Ki Ampal
menyelidik.
"Aku sudah menduga setelah empat orang sahabat
kita yang tidak mendirikan padepokan tewas di
tangan orang yang sama. Ditambah lagi dengan
hancurnya Padepokan Tongkat Hitam. Lalu disusul
dengan hancurnya Padepokan Cakar Naga tiga hari
yang lalu. Aku yakin, sekarang mereka menuju ke sini.
Karena jarak dari Padepokan Cakar Naga dengan
padepokanmu ini tidak terlalu jauh. Kalau mereka
langsung menuju ke sini, aku yakin malam ini mereka
sudah sampai," jelas Ki Denggis gamblang.
Ki Ampal masih saja diam dengan kening berkerut
"Kau siapkan saja murid-muridmu, Ampal! Malam
ini juga aku akan pergi memberitahu yang lain. Aku
harus bergerak cepat mendahului mereka," kata Ki
Denggis lagi.
Orang tua bersenjata golok itu langsung saja
bangkit berdiri. Ki Ampal ikut berdiri. Setelah
memberikan pesan sekali lagi, Ki Denggis segera
melangkah keluar dari bangunan utama Padepokan
Tangan Baja. Dia diantarkan Ki Ampal sampai ke
depan pintu gerbang yang dijaga hanya oleh dua
orang muridnya.
"Dengar, Ampal. Hati-hatilah mulai sekarang! Aku
yakin mereka sudah sampai malam ini," pesan Ki
Denggis lagi.
"Ya, terima kasih," ucap Ki Ampal pelan.
Memang hanya itu yang bisa diucapkan Ki Ampal.
Sementara Ki Denggis sudah menggebah kudanya
dengan cepat sekali, menembus malam yang cukup
pekat. Dan memang saat itu di langit tidak terlihat
sedikit pun cahaya bintang maupun rembulan. Awan
hitam yang tebal menyelimuti seluruh angkasa di atas
Gunung Jambik.
Ki Ampal baru kembali ke bangunan utama
padepokannya, setelah kuda yang ditunggangi Ki
Denggis tidak terlihat, menghilang di seberang tanah
lapang berumput yang menghampar di depan
padepokan.
Ki Ampal segera masuk ke rumah besarnya itu.
Namun, baru saja beberapa langkah dia melewati
pintu, ayunan kakinya langsung berhenti. Dan ber-
gegas dia melangkah keluar lagi. Namun pada saat
itu juga....
Wusss!
"Heh?! Hup...?!"
***
Kalau saja Ki Ampal tidak cepat menarik tubuhnya
ke kanan, tentu sepotong ranting yang meluncur
bagai kilat ke arahnya, pasti menembus jantungnya.
Ranting itu menancap cukup dalam ke daun pintu
yang ada di belakang Ki Ampal. Tampak asap tipis
mengepul dari ranting kering yang menancap pada
daun pintu itu. Ki Ampal segera melompat keluar dari
beranda depan rumahnya. Dia langsung menyadari
kalau orang yang melemparkan ranting itu memiliki
tenaga dalam yang sempurna.
Beberapa kali Ki Ampal berputaran di udara,
sebelum kedua telapak kakinya menjejak tanah,
sekitar satu batang tombak dari rumah ?besar yang
menjadi tempat tinggalnya. Dia mengedarkan pan-
dangannya berkeliling. Beberapa muridnya yang
melihat jadi keheranan. Dan perlahan mereka ber-
gerak mendekati.
"Panggil yang lain semua di sini! Cepaaat..!"
perintah Ki Ampal dengan suaranya yang keras meng-
gelegar.
Salah seorang muridnya bergegas berbalik
meninggalkan halaman depan padepokan, menuju ke
belakang melalui bagian samping bangunan utama.
Sedangkan yang lainnya sudah berkumpul di
belakang Ki Ampal. Mereka semua tidak ada yang
mengenakan baju, karena sedang berlatih di halaman
depan padepokan. Beberapa saat Ki Ampal menanti
Mendadak hatinya terkejut, begitu melihat murid yang
tadi ke belakang berlari-lari mendatanginya dengan
wajah pucat.
"Heh...?! Gopar, ada apa...?!" bentak Ki Ampal
langsung bertanya.
"Aduh.... Celaka, Ki. Celaka...!" lapor Gopar dengan
napas tersengal memburu.
"Ada apa...? Kenapa dengan mereka?" tanya Ki
Ampal dengan dada bergemuruh.
"Mereka.... Mereka sudah mati semua, Ki," lanjut
Gopar, gemetaran.
"Apa...?!"
Ki Ampal terlonjak kaget bagai disengat ribuan
kala berbisa, mendengar laporan dari muridnya.
Seketika lelaki tua itu langsung mengedarkan
pandangannya berkeliling. Dia jadi ingat dengan kata-
kata sahabatnya yang belum lama pergi.
"Oh, begitu cepat mereka datang...?" desah Ki
Ampal dengan nada suara yang terdengar agak ber-
getar.
Belum juga Ki Ampal bisa berpikir lebih jauh, tiba-
tiba terdengar suara tawa keras yang menggelegar
dari atas atap bangunan besar Padepokan Tangan
Baja. Ki Ampal langsung mendonggakkan kepala ke
atas atap. Saat itu juga terlihat sepasang anak muda
berdiri tegak di atap bangunan padepokan. Dua orang
yang mengenakan baju ketat serba putih, dengan
pedang tersampir di punggung masing-masing.
Mereka ternyata Untari dan Perbawa.
"Siapa kalian? Apa yang kalian inginkan di
padepokanku ini...?" bentak Ki Ampal dengan suara-
nya yang keras menggelegar.
"Aku inginkah nyawamu, Ki Ampal. Juga seluruh
nyawa murid-muridmu," sahut Perbawa lantang.
"Setan...! Aku tak kenal dengan kalian. Ada urusan
apa kalian menginginkan kematianku...?" geram Ki
Ampal membentak.
"Ingat-ingatlah dengan masa lalumu, Ki Ampal! Apa
saia yang sudah kau perbuat di masa lalumu...?
Orang-orang sepertimu tidak akan bisa sadar, dan
menjadi ancaman dunia. Aku tahu, untuk apa kau
dan semua sahabatmu mendirikan padepokan. Kami,
Sepasang Bangau Putih akan menghentikan maksud
buruk kalian semua untuk menghancurkan dunia,"
kata Perbawa masih dengan suaranya yang lantang.
"Phuih! Sudah lama aku tinggalkan dunia per-
silatan. Aku tak ada urusan lagi dengan semua
urusan dunia!" dengus Ki Ampal menolak tuduhan
pemuda itu.
"Apa pun yang ada dalam pikiranmu, tidak akan
menyurutkan pengadilan dunia ini, Ki Ampal.
Bersiaplah kau untuk menerima hukuman kematian-
mu...!" bentak Perbawa.
Setelah berkata begitu, Perbawa langsung
melompat turun dari atap dengan gerakan yang
begitu indah dan ringan sekali. Begitu sempurnanya
ilmu meringankan tubuh yang dimiliki pemuda ini.
Sehingga sedikit pun tidak terdengar suara saat
kakinya menjejak tanah, tepat sekitar lima langkah di
depan Ki Ampal.
Untari cepat mengikuti pemuda itu, meluruk turun
dari atap dengan gerakan yang indah dan ringan
sekali. Tampaknya kepandaian yang dimiliki gadis ini
seimbang dengan Perbawa. Dan dia menjejakkan
kaki tepat di sebelah kiri pemuda pasangannya.
Tanpa sungkan-sungkan lagi, mereka segera men-
cabut pedang dan langsung disilangkan di depan
dada. Sementara Ki Ampal menarik kakinya ke
belakang beberapa langkah. Murid-muridnya yang
tinggal sekitar dua puluh orang, segera berlompatan
mengepung sepasang muda-mudi berpakaian serba
putih itu.
"Aku tidak akan melayani orang-orang yang tak
kukenal. Katakan, siapa kalian sebenarnya...?"
terdengar dingin sekali nada suara Ki Ampal.
"Sudah kukatakan, kau tidak perlu tahu siapa kami
berdua, Ki Ampal. Kau hanya perlu tahu, kami adalah
Sepasang Bangau Putih yang akan menghakimi
semua perbuatanmu!" sahut Perbawa tegas.
"Keparat...! Siapa yang menyuruhmu menghakimi-
ku, heh...?!" bentak Ki Ampal geram.
"Kami berdua," sahut Untari yang sejak tadi diam
saja.
"Phuih! Kalian hanya mau bunuh diri saja datang
ke sini," dengus Ki Ampal seraya menyemburkan
ludah dengan sengit.
Kedua anak muda yang menamakan dirinya
Sepasang Bangau Putih itu hanya diam, memandangi
orang tua itu dengan sinar mata tajam dan memerah.
Dan tiba-tiba saja Untari menggerakkan pedangnya
lurus ke depan, hingga ujungnya tertuju langsung ke
dada si Tangan Baja.
"Lihat pedangku, Tangan Baja! Yeaaah...!"
Sambil membentak keras menggelegar, tiba-tiba
Untari melompat dengan cepat. Secepat itu pula dia
mengebutkan pedangnya mengarah ke leher si
Tangan Baja. Begitu cepat serangan yang dibuka
gadis itu, hingga membuat kedua bola mata Ki Ampal
terbeliak lebar.
"Upths!"
Namun hanya dengan sedikit saja Ki Ampal meng-
egoskan kepala, tebasan pedang gadis si Bangau
Putih lewat sedikit di depan tenggorokannya. Cepat
dia menarik kakinya dua langkah ke belakang. Dan
langsung mengegoskan tubuhnya ke kanan, begitu
Untari menyodokkan pedangnya lagi dengan cepat. Di
saat pedang gadis itu lewat di samping tubuhnya,
dengan cepat sekali Ki Ampal menggerakkan tangan
hendak menyambar pergelangan tangan lawan.
"Haiiittt...!"
Namun tanpa diduga sama sekali, secepat kilat
Untari memutar pedangnya ke atas. Kemudian
langsung dikebutkan ke leher si Tangan Baja.
Gerakan Untari yang begitu cepat dan tidak terduga,
membuat Ki Ampal tersentak kaget. Cepat dia
menarik tubuhnya ke belakang. Namun gerakannya
sedikit terlambat, hingga....
"Akh...?!"
Ki Ampal terpekik kaget, begitu merasakan ujung
pedang Untari merobek bahunya. Darah seketika
mengalir keluar dari bahu yang sobek tersambar
ujung pedang. Ki Ampal cepat-cepat melompat ke
belakang dengan memutar tubuh dua kali, hingga
antara dia dan gadis lawannya ada jarak sekitar satu
batang tombak.
***
"Hebat kau, Nak...," desis Ki Ampal sambil meringis
menahan perih pada luka di bahunya.
Untari hanya tersenyum sinis. Sementara Perbawa
memperhatikan murid-murid si Tangan Baja yang
sudah mengepung, tinggal menunggu perintah untuk
menyerang. Sedangkan Ki Ampal sendiri langsung
memberikan beberapa totokan di sekitar luka pada
bahunya. Seketika itu juga darah berhenti mengalir.
Sebentar lelaki tua itu memperhatikan murid-murid-
nya yang sudah siap dengan senjata terhunus
mengepung tempat pertarungan.
Ki Ampal menyadari kalau murid-muridnya tidak
akan mampu menghadapi kedua anak muda yang
berjuluk Sepasang Bangau Putih ini. Namun hatinya
juga tidak ingin menyerah begitu saja. Apa pun yang
terjadi, dia harus bisa mempertahankan padepokan-
nya. Baginya lebih baik mati bersama murid-muridnya
daripada harus menyerah tanpa berlawanan sama
sekali.
"Serang mereka...!" teriak Ki Ampal memberi
perintah.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Seketika itu juga, murid-murid Padepokan Tangan
Baja yang hanya berjumlah sekitar dua puluh orang
meluruk deras menyerang Sepasang Bangau Putih.
Namun belum juga mereka bisa melakukan serangan,
Perbawa dan Untari sudah melompat dengan
kecepatan bagai kilat, menyambut murid-murid si
Tangan Baja. Pedang mereka seketika berkelebatan
begitu cepat bagai kilat, hingga bentuk pedangnya
lenyap dari pandangan mata. Kini yang terlihat hanya
kilatan cahaya putih keperakan, berkelebatan begitu
cepat menyambar lawan-lawannya.
"Hiyaaa!"
"Yeaaah...!"
Bettt!
Cras!
Bret!
"Aaaa...!"
Seketika itu juga, jeritan-jeritan panjang me-
lengking terdengar menyayat, bersamaan dengan
ambruknya tubuh-tubuh bersimbah darah. Pedang
Sepasang Bangau Putih memang tidak dapat lagi
dibendung. Setiap kali kedua pedang itu berkelebat,
korban langsung berjatuhan berlumuran darah.
Hingga dalam waktu tidak berapa lama, sudah tidak
ada lagi murid-murid Ki Ampal yang masih bisa
berdiri. Mereka semua menggeletak diam tidak ber-
nyawa lagi, dengan tubuh berlumuran darah.
Sepasang Bangau Putih langsung menghampiri Ki
Ampal yang sudah pucat dan tegang, melihat murid-
muridnya tidak ada lagi yang bergerak daiam waktu
singkat sekali.
"Sekarang tinggal giliranmu, Ki Ampal. Bersi-aplah
kau menerima kematianmu...!" dingin sekali nada
suara Untari. "Phuih...!"
Ki Ampal hanya menyemburkan ludah, menutupi
kegentaran yang sudah sejak tadi melanda hatinya.
Dia tahu kalau anak muda yang ada di depannya ini
mempunyai kepandaian yang jauh lebih tinggi dari-
nya. Sementara jarak mereka sudah semakin dekat.
"Hadapi kami, Ki Ampal! Gunakan jurus Pukulan
Tangan Baja yang kau banggakan!" tantang Untari
dengan suara terdengar sinis.
"Phuih!"
Lagi-lagi Ki Ampal hanya menyemburkan ludah
dengan sengit. Tidak tahu lagi apa yang harus
dikatakan pada kedua anak muda di hadapannya.
Bahkan juga tidak tahu apa yang harus diperbuat-
nya. Hatinya benar-benar sudah gentar melihat ke-
tangguhan Sepasang Bangau Putih ini.
"Terimalah kematianmu, hai,, Tangan Baja!
Yeaaah...!"
Sambil membentak keras menggelegar, Perbawa
langsung melesat dengan kecepatan bagai kilat,
disertai kibasan pedangnya yang dahsyat. Dan pada
saat yang bersamaan, Untari pun melesat menyerang
dengan tebasan pedang mengarah ke dada laki-laki
tua ini. Begitu cepatnya serangan yang dilakukan
Sepasang Bangau Putih, membuat Ki Ampal tidak
sempat berbuat sesuatu. Dia hanya bisa terbeliak
melihat sepasang pedang berkelebat begitu cepat di
depannya.
Brettt!
Cras!
"Aaaa...!"
Jeritan panjang yang melengking seketika ter-
dengar menyayat. Tampak Ki Ampal masih tetap
berdiri dengan leher bergores merah dan dada ter-
belah terkena sambaran pedang Sepasang Bangau
Putih tadi. Sementara sepasang anak muda itu sudah
berlompatan ke belakang menjauhinya.
Beberapa saat Ki Ampal masih tetap berdiri.
Namun tidak lama kemudian, tubuhnya terlihat
limbung, lalu ambruk ke tanah dengan kepala meng-
gelinding terpisah dari leher. Seketika darah
menyemburat keluar dengan deras sekali dari batang
lehernya yang buntung.
"Ayo Kakang, kita pergi dari sini! Masih banyak
yang harus kita datangi," ajak Untari.
"Tidak kau bakar padepokan ini seperti yang
lainnya?" tanya Perbawa seraya melirik sedikit pada
Untari.
"Untari hanya tersenyum dengan menggelengkan
kepala perlahan. Kemudian diayunkan kakinya me-
langkah sambil memasukkan pedang ke dalam
warangkanya yang tersampir di punggung. Perbawa
mengikuti ayunan langkah gadis itu. Pedangnya
sudah sejak tadi tersimpan di dalam warangka. Dia
mensejajarkan ayunan langkah kakinya di samping
kanan Untari. Mereka terus melangkah keluar dari
padepokan itu tanpa bicara lagi sedikit pun.
"Suiiittt..!"
Tiba-tiba saja Perbawa bersiul nyaring. Sesaat
kemudian terlihat dua ekor kuda berlari cepat meng-
hampiri. Mereka langsung berlompatan naik ke
punggung kuda masing-masing. Kemudian mereka
menggebahnya dengan cepat, membuat debu-debu
berkepul, membumbung tinggi ke angkasa. Sebentar
saja Sepasang Bangau Putih itu sudah lenyap tertelan
kegelapan malam.
***
TIGA
Sepak terjang pasangan anak muda yang dikenal
dengan julukan Sepasang Bangau Putih cepat ter-
sebar ke seluruh rimba persilatan. Tidak ada seorang
pun yang bisa mengerti maksud dan alasan sepak
terjang mereka. Dalam beberapa hari saja, sudah
enam padepokan yang dihancurkan. Dan tidak
seorang pun dari penghuni padepokan-padepokan itu
yang dibiarkan hidup.
Kabar tentang sepak terjang Sepasang Bangau
Putih pun akhirnya sampai di telinga Pendekar Pulau
Neraka yang saat itu berada di sebuah kedai di Dewa
Watukan. Orang-orang di dalam kedai membicarakan
perbuatan pasangan anak muda yang digdaya dan
tidak kenal ampun itu. Perhatian pemuda berbaju
kulit harimau itu terpusat pada pembicaraan dua
orang yang duduk tidak jauh di belakangnya. Dari
suara mereka, Bayu bisa mengetahui kalau yang satu
orang lelaki tua, dan lawan bicaranya seorang
perempuan yang juga sudah tua.
"Kau yakin kalau mereka juga akan datang ke sini
menemuiku, Kakang Denggis?" tanya wanita tua yang
mengenakan baju longgar warna merah.
Sebuah tongkat kayu yang tidak beraturan bentuk-
nya menggeletak di atas meja, tepat di depannya.
Sebelah ujungnya tergenggam di tangan kanannya
yang sudah keriput, hingga seperti tulang terbalut
kulit. Bayu yang sejak tadi mendengarkan pem-
bicaraan tahu kalau wanita tua itu bernama Nyai
Kantil. Dia tahu ketika Ki Denggis menyebutkan nama
itu dalam pembicaraan.
"Semua sudah aku peringatkan. Aku sendiri tidak
tahu, kenapa mereka masih saja bisa dihancurkan,"
ujar Ki Denggis dengan suaranya yang pelan, hingga
hampir tidak terdengar.
"Kau tahu apa maksudnya menghancurkan
padepokan milik sahabat kita, Kakang?" tanya Nyai
Kantil ingin tahu.
"Entahlah...," sahut Ki Denggis mendesah pendek.
"Kau tahu siapa mereka sebenarnya?" tanya Nyai
Kantil lagi.
"Itu yang membuat aku tak mengerti sampai
sekarang ini, Nyai. Tidak seorang pun yang tahu siapa
mereka, dan dari mana asalnya. Mereka tiba-tiba saja
muncul dan membuat keresahan di antara kita
semua."
"Hm..., dari semua yang sudah mereka lakukan,
aku yakin kalau mereka menyimpan dendam pada
kita, Kakang," gumam Nyai Kantil perlahan, seakan
dia bicara pada dirinya sendiri.
"Sejak semula aku sudah menduga begitu. Tapi
apa mungkin kita bisa tahu siapa mereka, atau siapa
yang memerintahkan begitu...? Sayang, aku belum
pernah bertemu dengan keduanya, jadi tidak tahu
jurus-jurus yang mereka gunakan. Sehingga sampai
begitu jauh tak seorang pun dari teman-teman kita
yang sanggup menghadapinya."
"Kau merasa sanggup menghadapinya, Kakang?"
tanya Nyai Kantil bemada menyelidik.
"Entahlah.... Ampal sendiri tak sanggup meng-
hadapi mereka. Aku jadi ragu-...," ujar Ki Denggis
pelan.
"Kalau kita hadapi mereka sendiri-sendiri, jelas
tidak mungkin, Kakang. Masih ada tiga orang lagi di
antara kita. Aku rasa sebaiknya kita kumpulkan saja
mereka untuk menghadapi Sepasang Bangau Putih.
Aku yakin, kalau kita bersatu, mereka tak akan
mampu menghadapi kita, Kakang," ujar Nyai Kantil
mantap.
"Itu yang aku harapkan, sebelum banyak korban
yang jatuh. Tapi sekarang, aku merasa tidak ada
gunanya lagi, Nyai. Coba saja kau pikirkan. Berapa
orang lagi sahabat kita yang tersisa...?" ujar Ki
Denggis seperti putus asa.
Nyai Kantil hanya terdiam mendapat pertanyaan
seperti itu. Memang rasanya tidak mungkin mereka
semua bisa menghadapi Sepasang Bangau Putih,
yang diduga sedang mengincar keselamatan nyawa
mereka semua. Dugaan itu bisa dipastikan dari
kejadian yang menimpa sahabat-sahabat mereka.
Pendekar Pulau Neraka terus mendengarkan
pembicaraan kedua orang tua itu sambil menikmati
makanannya. Sesekali dia mengelus kepala monyet
kecil yang selalu mengikuti ke mana saja dia pergi.
Monyet kecil itu seperti tidak peduli dengan keadaan
sekelilingnya. Dia terus saja mengisi perutnya dengan
pisang-pisang yang masak dan ranum.
"Ayo kita pergi, Nyai!" ajak Ki Denggis.
Nyai Kantil tidak menjawab. Dia bangkit berdiri
mengikuti Ki Denggis. Setelah membayar pada pe-
milik kedai, mereka segera keluar tanpa bicara lagi.
Namun di ambang pintu, Bayu masih sempat men-
dengar Ki Denggis bicara.
"Mungkin mereka sudah sampai di padepokanmu,
Nyai...."
Bayu yang mendengar semua pembicaraan itu jadi
tertarik. Tanpa membuang-buang waktu lagi, dia
segera beranjak bangkit dari duduknya. Setelah
membayar semua makanannya pada pemilik kedai,
Pendekar Pulau Neraka itu segera beranjak pergi. Dia
masih sempat melihat dua orang tua itu menunggang
kuda, sebelum hilang di tikungan jalan.
"Mereka menuju ke Bukit Angsa. Aku tahu ke mana
tujuan mereka," gumam Bayu dalam hari.
Setelah yakin akan tujuan yang ditempuh dua
orang tua itu, Bayu segera mengambil arah
memotong, jalan agar lebih cepat. Dia melangkah
dengan mempergunakan sedikit ilmu meringankan
tubuh, hingga tanpa terasa Pendekar Pulau Neraka
sudah jauh meninggalkan Desa Watukan.
***
"Kakang Bayu...!" "Heh...?!"
Bayu tersentak kaget, ketika terdengar suara
nyaring memanggil namanya. Dia langsung berhenti.
Dan saat itu juga Tiren yang berada di pundaknya
melompat turun, membuat Pendekar Pulau Neraka
semakin tersentak kaget Dan belum juga rasa ke-
terkejutannya lenyap, tahu-tahu sudah muncul
seorang gadis dari balik semak-semak belukar. Gadis
cantik bertubuh ramping dan indah itu melangkah
menghampirinya. Tiren langsung melompat pada
gadis itu dengan memperdengarkan suaranya yang
mencerecet ribut. Sementara Bayu ternganga dengan
mata tak berkedip, seperti tak percaya pada apa yang
dilihatnya.
"Kenapa kau bengong begitu, Kakang? Kau tak
menduga aku bakal muncul di sini, kan...?" tegur
gadis itu lembut, dengan senyuman yang manis sekali
menghiasi bibirnya.
"Wulan...," desis Bayu masih belum percaya
dengan apa yang terjadi saat ini.
Bayu menghampiri gadis cantik itu. Mereka
memang sudah saling mengenal sejak lama. Bahkan
Wulan berhutang nyawa pada Pendekar Pulau
Neraka. Dia sempat diselamatkan ketika menghadapi
gerombolan begal di Bukit Setan. Hampir saja Wulan
mati tercincang dan terhina kalau saja Bayu tidak
cepat datang menolongnya.
Dan sekarang, tiba-tiba saja gadis itu muncul di
depannya. Entah apa perlunya Wulan berada di kaki
Bukit Angsa. Sedangkan Bayu sendiri sedang
mengejar dua orang tua yang ditemuinya di kedai di
Desa Watukan.
"Wulan, apa yang kau lakukan di sini?" tanya Bayu,
sambil memandangi gadis yang mengenakan baju
putih ketat, dengan sebilah pedang tersandang di
punggungnya.
Wulan tidak menjawab. Dia hanya tersenyum
sambil mengelus-elus kepala Tiren yang berada
dalam gendongannya. Monyet kecil itu kelihatan
manja, merapatkan wajahnya ke dada Wulan.
"Aku sedang tidak ada waktu, Wulan...," kata Bayu
dengan suara terputus.
"Aku tahu...," ujar Wulan ringan, dengan senyuman
terus terkembang menghiasi bibirnya. "Kau sedang
mengejar dua orang, kan...?"
"Heh...?! Dari mana kau tahu...?"
Bayu tersentak kaget. Dia memandangi gadis itu,
sementara yang dipandangi kelihatan tenang dengan
senyuman lebar masih mengembang meng-hiasi
bibirnya. Bayu jadi penasaran. Kakinya me-langkah
beberapa tindak mendekati. Dengan lembut
disentuhnya pundak gadis itu. Wulan mengangkat
wajahnya sedikit, kemudian melirik tangan Bayu yang
kekar di pundaknya. Bayu cepat-cepat melepaskan
tangannya dari pundak gadis itu.
"Bagaimana kau tahu aku sedang mengejar orang,
Wulan?" tanya Bayu penasaran.
"Sejak dari Desa Watukan," sahut Wulan ringan.
"Kau mengikutiku...?" tanya Bayu lagi dengan nada
suara jelas terdengar tidak senang karena diikuti.
"Tidak," sahut Wulan tetap ringan suaranya.
"Lalu, untuk apa kau...?" pertanyaan Bayu ter-
putus.
"Aku juga sedang membuntuti mereka, Kakang,"
sahut Wulan kalem, memotong ucapan Pendekar
Pulau Neraka.
"Mengikuti mereka...?"
Lagi-lagi Bayu terkesiap. Dia jadi terlongong
bengong mendengar jawaban yang diberikan Wulan
barusan. Hatinya benar-benar tidak mengerti dengan
semua ini. Wulan berada di kaki Bukit Angsa ini
ternyata dengan tujuan yang sama. Apa sebenarnya
yang diinginkan Wulan pada kedua orang tua itu di
Bukit Angsa ini...? Pertanyaan itu terus menggayuti
kepala Bayu.
Bayu terus memperhatikan gadis itu. Keningnya
tampak berkerut melihat Wulan yang sedikit gefisah,
seperti sedang menunggu seseorang. Meskipun
Wulan sudah berusaha menutupi, tapi Bayu bisa
melihat kegelisahannya.
"Ada yang kau tunggu, Wulan?" tegur Bayu
langsung.
"Ah...."
Wulan hanya mendesah menjawab pertanyaan
Pendekar Pulau Neraka. Sikapnya langsung berubah.
Dan senyumnya kembali mengembang. Namun kali
ini Bayu bisa merasa kalau senyuman itu sangat
dipaksakan. Dan tampak begitu hambar.
"Siapa yang kau tunggu?" tanya Bayu lagi.
"Ah, bukan siapa-siapa. Hanya...," Wulan tidak
melanjutkan ucapannya.
"Kekasihmu?" tukas Bayu.
"Bukan."
"Lalu...?"
"Saudara seperguruanku," sahut Wulan pelan.
"Laki-laki?" cecar Bayu.
Wulan hanya mengangguk perlahan.
"Kalau begitu, aku pergi dulu," ujar Bayu. Bayu
langsung mengambil Tiren dari pelukan gadis itu, dan
menaruhnya di pundak kanan. Sementara Wulan
hanya diam memandangi. Entah apa yang ada di
dalam hatinya. Sedangkan Bayu hanya menatap
sebentar, kemudian memutar tubuhnya berbalik.
Tanpa bicara apa pun, Pendekar Pulau Neraka
melangkah meninggalkannya. Sengaja Bayu menge-
rahkan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah
sempurna, sehingga dengan cepat dia sudah jauh
meninggalkan Wulan seorang diri.
Wulan masih berdiri mematung memandang ke
arah perginya Pendekar Pulau Neraka. Padahal
bayangan tubuh Bayu saja sudah tidak terlihat lagi,
lenyap tertelan lebatnya pepohonan di sekitar lereng
Bukit Angsa. Wulan terus memandang kosong ke
depan, dengan pikiran yang tidak menentu. Dan tiba-
tiba saja....
Plakkk!
"Oh...?!"
***
"Kakang...! Bikin kaget saja!" dengus Wulan, begitu
melihat seorang pemuda mengenakan baju dengan
wama sama seperti yang dipakainya.
"Siapa itu tadi?" tanya pemuda tampan itu.
"Kakang Bayu," sahut Wulan.
"Kekasihmu?"
"Bukan," sahut Wulan singkat. "Eh, bagaimana kau
bisa tahu...?"
"Aku perhatikan sejak tadi. Kau seperti ada se-
suatu dengannya. Aku lihat pandangan matamu pada-
nya tadi," kata pemuda tampan berbaju putih dengan
sebuah pedang tersandang di ptlnggungnya.
Bentuk gagang pedang itu sama persis dengan
yang ada di punggung Wulan. Berbentuk kepala
seekor angsa berwarna putih keperakan.
"Lama sekali pergimu, Kakang. Ke mana saja kau
tadi?" tanya Wulan mengalihkan pembicaraan.
"Aku mampir dulu ke rumah pamanku," sahut
pemuda itu.
"Ada pamanmu di Desa Watukan?" tanya Wulan
lagi, "Kau tak pernah menceritakannya padaku,
Kakang Perbawa. Kenapa...?"
Pemuda yang ternyata Perbawa hanya tersenyum
mendengar pertanyaan Wulan.
"Aku dengar tadi dia memanggilmu Wulan. Siapa
namamu sebenarnya, Untari?" tanya Perbawa,
kembali mempersoalkan hubungan Wulan yang di-
kenalnya bernama Untari dengan Pendekar Pulau
Neraka.
Wulan tampak hanya tersenyum mendengar
pertanyaan Perbawa. Dan tanpa menjawab sedikit
pun, gadis itu langsung mengayunkan kaki menuju
arah yang dituju Pendekar Pulau Neraka tadi.
Perbawa segera mengikutinya dari belakang.
"Siapa dia, Untari?" kejar Perbawa masih
penasaran, belum tahu siapa pemuda yang tadi
bicara dengan Wulan.
"Temanku," sahut Wulan yang menggunakan nama
Untari pada pemuda ini.
"Kenal di mana?" Perbawa terns saja mengejar
ingin tahu.
"Dia pernah menyelamatkan nyawaku, ketika aku
berurusan dengan gerombolan begal di Bukit Setan."
"Lalu...?"
"Ya, waktu itu aku menggunakan nama Wulan,"
sambung Untari.
"Dan namamu yang sebenarnya siapa?" tanya
Perbawa semakin menyelidik ingin tahu.
"Semua sama," sahut Untari ringan.
"Semua sama...? Apa maksudmu, Untari?"
Perbawa terus minta penjelasan.
"Ya, sama.... Aku selalu menggunakan nama lain
setiap kali berada di tempat yang berbeda," jelas
Untari.
"Aku benar-benar tak mengerti denganmu,
Untari...," desah Perbawa dengan kepala menggeleng
periahan beberapa kali.
Sedangkan Untari hanya tersenyum. Dia terus
mengayunkan kaki tanpa peduli dengan kebingungan
Perbawa terhadap dirinya yang aneh dan misterius.
"Kau tinggalkan di mana kuda kita, Untari?" tanya
Perbawa, melihat Untari enak saja berjalan kaki,
seperti tidak ingat kalau mereka memiliki kuda
tunggangan masing-masing.
"Aku tinggalkan di dekat danau," sahut Untari
ringan.
Perbawa terdiam. Dia tahu kalau arah yang
mereka tempuh sekarang ini menuju ke danau.
Tempat yang sempat mereka singgahi sebentar di
Desa Watukan. Mereka memang tidak perlu khawatir
pada kuda-kuda yang sudah jinak itu. Dan kuda-kuda
mereka juga mengerti jika pemiliknya memanggil
dengan siulan.
Mereka terus berjalan tanpa bicara lagi.
Sementara itu di dalam benak Perbawa terus bergelut
dengan pikiran yang entah berpusat pada persoalan
apa. Untari sendiri tidak bicara sedikit pun.
"Kau membohongi guru, Untari," tukas Perbawa
dengan suara datar.
"Tidak ada yang aku bohongi, Kakang. Ki
Sarpakenaka juga sudah tahu," sahut Untari ringan.
"Tahu...? Tapi kenapa ..?" Perbawa tidak melanjut-
kan pertanyaannya.
"Ketika itu Ki Sarpakenaka mencari orang yang
bisa diandalkan untuk mendampingimu, Kakang. Dan
aku berjanji akan mendampingimu untuk membalas-
kan dendamnya pada mereka. Ki Sarpakenaka
membekali dengan jurus-jurus Bangau Putih seperti
yang diajarkan padamu. Jurus-jurus yang ringan dan
mudah dipelajari, tapi sangat dahsyat. Aku bisa
dengan mudah mempelajari dan menguasainya,
karena aku sudah punya dasar jurus-jurus pedang.
Jadi Ki Sarpakenaka tinggal memoies dan memper-
halus saja dengan jurus-jurqs Bangau Putih. Dia tidak
peduli siapa aku sebenarnya. Tapi antara aku dan Ki
Sarpakenaka memang punya satu ikatan," jelas
Untari panjang lebar.
"Ikatan apa?" tanya Perbawa.
"Selamanya aku harus bersamamu menggunakan
jurus Bangau Putih. Karena jurus itu tidak bisa
dipisahkan, harus digunakan secara berpasangan. Itu
sebabnya kenapa Ki Sarpakenaka menjuluki kita
Sepasang Bangau Putih," jelas Untari lagi.
Sekarang Perbawa hanya diam membisu. Dia tidak
bisa lagi membantah penjelasan gadis itu. Memang
diakuinya kalau jurus Bangau Putih tidak bisa diguna-
kan seorang diri saja. Kalaupun digunakan, tidak ada
artinya sama sekali. Dan semua unsur kekuatannya
akan lenyap begitu saja. Dia juga tahu kalau gurunya
yang bernama Ki Sarpakenaka sebenarnya memiliki
teman seorang wanita. Bukan hanya teman, tapi istri
dan sahabat yang paling setia. Sayang, istrinya tewas
di tangan orang-orang yang kini sedang dikejarnya.
"Aku benar-benar tidak menyangka kau seorang
gadis yang penuh keanehan seperti itu," ujar Perbawa
pelan, setelah cukup lama berdiam diri membisu.
Suaranya hampir tidak terdengar, seakan bicara pada
dirinya sendiri.
"Seharusnya kau sudah tahu sejak pertama kali
kita bertemu, Kakang," kata Untari ringan.
"Aku ingin mendengarkan kalau kau bersedia
menceritakan riwayat hidupmu," kata Perbawa ber-
nada memohon.
"Satu saat nanti, Kakang," sambut Untari tanpa
senyum sedikit pun.
Sementara mereka berjalan sudah cukup jauh.
Dan sebuah danau yang cukup luas tampak mem-
iientang di depan. Dua ekor kuda yang masih ber-i
lelana tampak sedang merumput di tepi danau itu
lengan nikmat sekali. Sepasang Bangau Putih ini
rnenghampiri kuda mereka. Tanpa banyak bicara lagi,
keduanya langsung melompat naik ke pung-;ung kuda
masing-masing. Dan langsung mengge-bah dengan
kencang. Sehingga kuda-kuda itu melesat dengan
cepat sekali bagai anak panah dilepas-kan dari
busumya.
Arah yang mereka tuju jelas sekali ke puncak Bukit
Angsa. Mereka terus menggebah kuda masing-
masing tanpa bicara lagi sedikit pun. Kedua kuda itu
berpacu dengan kecepatan tinggi, membuat debu-
debu berkepul membumbung tinggi di ang-kasa.
***
EMPAT
Pendekar Pulau Neraka berdiri tegak di atas
sebongkah batu besar memandangi sebuah
bangunan padepokan yang menyerupai benteng
pertahanan, tidak jauh di depannya. Entah sudah
berapa lama pemuda tampan berambut panjang itu
berdiri di sana. Dia tadi sempat melihat dua orang tua
yang ditemuinya di kedai di Desa Watukan, memasuki
bangunan yang tinggi dan kokoh itu.
Tidak lama kemudian, berdatangan orang-orang
dari arah yang berlainan. Mereka semua langsung
masuk ke bangunan seperti benteng itu. Bayu tahu
kalau bangunan besar dikelilingi pagar kayu
gelondongan besar-besar dan tinggi itu merupakan
Padepokan Teratai Emas. Sebuah perguruan yang
dipimpin seorang perempuan tua berkepandaian
tinggi. Perempuan tua yang dulunya satu kelompok
dengan Ki Denggis.
Cukup lama Pendekar Pulau Neraka menunggu.
Namun tidak ada seorang pun yang keluar dari dalam
bangunan padepokan seperti benteng pertahanan itu.
Dia melihat penjagaan di sekitar bangunan demikian
ketat sekali. Sepertinya mereka akan menghadapi
serangan dahsyat dari luar. Terlihat orang-orang
bersenjata panah berada di bagian ujung atas pagar
benteng itu. Sedangkan di depan pintu, hanya terlihat
dua orang berusia muda tengah berjaga-jaga.
Keduanya tampak memegang sebatang tombak
berukuran panjang. Sebilah pedang tergantung di
pinggang mereka.
Pada saat itu, rjba-tiba terlihat sesosok bayangan
putih berkelebat begitu cepat ke arah dua orang
penjaga pintu gerbang. Begitu cepatnya bayangan
putih itu bergerak, sehingga kedua penjaga pintu
tidak sempat menyadarinya.
"Akh...!"
"Aaaa...!"
"Heh...?!"
Bayu tersentak kaget, mendengar dua orang
penjaga pintu menjerit Tubuh mereka langsung
ambruk ke tanah dengan darah berhamburan deras
dari dada yang robek seperti tertebas sebuah pedang
sangat tajam. Pendekar Pulau Neraka tadi sempat
melihat satu kilatan cahaya putih berkelebat begitu
cepat menyertai bayangan putih saat menyambar
kedua orang penjaga pintu gerbang.
Jeritan penjaga pintu rupanya mengejutkan orang-
orang yang ada di atas pagar benteng padepokan.
Mereka langsung saja memasang anak panah pada
busumya. Namun bayangan putih itu sudah tidak
terlihat sedikit pun. Dia langsung lenyap seketika,
begitu masuk ke dalam hutan di puncak Bukit Angsa
ini.
Belum ada seorang pun yang bisa berbuat se-
suatu, kembali terlihat sebuah bayangan putih
berkelebat begitu cepat ke depan pintu gerbang
Padepokan Teratai Emas. Dan tahu-tanu, sekitar dua
batang tombak di depan pintu gerbang padepokan
sudah berdiri seorang pemuda berwajah tampan,
dengan sebuah pedang tersampir di punggungnya.
"Heh...?!"
Pendekar Pulau Neraka tersentak kaget setengah
mati, begitu melihat gagang pedang yang ada di
punggung pemuda itu. Gagang pedangnya sama
persis dengan yang dimiliki Wulan. Tidak ada per-
bedaan sedikit pun. Namun belum sempat pemuda
berpakaian kulit harimau itu bisa berpikir lebih jauh,
orang-orang yang ada di atas pagar benteng
bangunan padepokan sudah bertindak dengan
melepas-kan anak panah.
"Hup! Yeaaah...!"
Cepat sekali pemuda itu melompat ke belakang
sambil memutar tubuh menghindari anak-anak panah
yang menghujaninya. Beberapa kali dia berputaran di
udara, kemudian dengan manis sekali kedua kakinya
menjejak tanah, jauh dari jangkauan panah itu. Dia
berdiri tegak sambil berkacak ping-gang memandang
ke atas pagar benteng padepokan.
Sementara Pendekar Pulau Neraka yang berada di
tempat cukup jauh dan tersembunyi, terus memper-
hatikan dengan mata tidak berkedip.
"Hm, siapa dia? Apa yang akan dilakukannya di
padepokan ini...?" gumam Bayu bertanya pada dirinya
sendiri.
Baru saja bibir Bayu terkatup mendadak dia
kembali dikejutkan,dengan tepukan halus di
pundaknya.
"Eh...?!"
Bayu sampai terlompat dan berbalik. Kedua bola
matanya terbelalak kaget melihat seorang gadis
cantik berbaju putih tahu-tahu sudah ada di dekatnya.
"Wulan...," desis Bayu hampir tidak terdengar
suaranya.
Gadis cantik yang ternyata Wulan itu hanya
tersenyum melihat Bayu terlongong bengong seperti
melihat hantu. Tanpa bicara lagi, dia langsung
mengambil Tiren dari pundak Pendekar Pulau Neraka.
"Apa yang kau lihat di sini, Kakang?" tegur Wulan
dengan suaranya yang halus dan lembut menyentuh
hati.
"Ah...," Bayu hanya mendesah menjawab per-
tanyaan gadis itu.
Dia kembali memutar tubuhnya, memperhatikan
pemuda berbaju putih yang masih berdiri tegak
berkacak pinggang agak jauh dari bangunan
Padepokan Teratai Emas. Sedangkan di atas pagar
benteng, terlihat ratusan orang siap dengan anak
panah terpasang pada busumya. Tampak jelas sekali
kalau pemuda itu kebingungan untuk menembus
benteng padepokan. Tidak mungkin dia bisa
menembusnya. Mendekatinya saja sudah harus
berpikir seribu kali.
Sementara Wulan sudah ada di samping kanan
Pendekar Pulau Neraka. Entah kenapa dia tersenyum
melihat keadaan di Padepokan Teratai Emas itu.
Senyumnya semakin lebar melihat seorang pemuda
berbaju putih yang berdiri berkacak pinggang dengan
jarak cukup jauh dari jangkauan anak panah.
"Dia temanmu, Wulan...?" tanya Bayu tanpa
berpaling ke arah gadis di sebelahnya.
Wulan tidak menjawab, seakan tidak mendengar
pertanyaan itu. Merasa pertanyaan tidak terjawab
sedikit pun, Bayu memalingkan wajahnya sedikit.
Tatapan matanya langsung menangkap wajah cantik
gadis di sebelahnya. Namun wajah itu kelihatan datar
saja, tanpa ada perubahan sedikit pun.
"Aku lihat pedang yang dimilikinya sama persis
dengan pedangmu. Dia itu temanmu, Wulan...?"
Bayu mengulangi pertanyaannya yang belum ter-
jawab tadi.
"Ya," sahut Wulan singkat, dengan suaranya yang
terdengar pelan sekali.
"Mau apa dia di sana?" tanya Bayu lagi, semakin
ingin tahu.
Kening Pendekar Pulau Neraka terlihat berkerut,
Jelas sekali kalau di dalam benaknya muncul
berbagai macam pertanyaan dan dugaan yang tidak
bisa dijawabnya sendiri. Dia terus memandangi wajah
cantik gadis di sebelahnya.
"Ada urusan dengan orang-orang di dalam sana,"
jawab Wulan singkat
"Maksudmu dengan Ki Denggis dan Nyai Kantil?"
duga Bayu.
Wulan tidak langsung menjawab. Dia hanya
tersenyum dengan pandangan tetap tertuju ke arah
bangunan padepokan seperti benteng pertahanan itu.
Tampaknya sikap gadis itu membenarkan dugaan
Pendekar Pulau Neraka.
***
"Wulan..., kaliankah yang dinamakan Sepasang
Bangau Putih...?" kali ini nada suara Bayu terdengar
agak ditahan dan hati-hati sekali.
Wulan langsung berpaling dan menatap Bayu
dengan sinar mata yang sulit sekali untuk diartikan.
Bayu sendiri membalasnya dengan sinar mata yang
tajam dan penuh dengan tuntutan penjelasan dari
gadis itu. Beberapa saat mereka terdiam dan hanya
saling berpandangan dengan sinar mata yang sukar
untuk diartikan.
"Bagaimana menurutmu dengan tindakanku dan
Kakang Perbawa?" tanya Wulan akhimya, sambil
mengarahkan pandangan lagi ke depan.
Seluruh aliran darah Bayu berdesir lebih cepat
mendengar pertanyaan Wulan. Sejak semula hatinya
memang sudah menduga, tapi tidak menyangka
kalau Wulan akan melontarkan pertanyaan yahg
begitu sulit untuk dijawab dengan cepat. Sehingga,
untuk beberapa saat lamanya Bayu hanya bisa diam
memandangi gadis itu. Mulutnya terasa bagai
terkunci. Dan kerongkongannya tersekat, sulit untuk
mengeluarkan kata-kata. Dia tidak tahu apa yang
harus dikatakannya.
Dalam beberapa hari ini dirinya memang sudah
mendengar tentang sepak terjang Sepasang Bangau
Putih. Namun tidak menyangka kalau salah satu dari
pasangan itu ternyata seorang gadis yang pernah
diselamatkan nyawanya. Dan sekarang, gadis itu
sama sekali tidak merasa memiliki beban dalam
tindakannya selama ini. Seakan dia melakukan
semua itu karena memang sudah menjadi kewajiban-
nya.
Sedangkan Pendekar Pulau Neraka tahu, mereka
yang menjadi buruan Sepasang Bangau Putih ter-
nyata orang-orang persilatan dan pemilik padepokan
yang dikenal baik dan berada pada jalan benar. Sulit
bagi Bayu untuk bisa langsung memberikan pendapat
terhadap semua yang sudah dilakukan Wulan
bersama temannya selama beberapa hari ini.
"Kenapa kau lakukan semua itu, Wulan? Kau tahu
siapa mereka yang kau kejar selama ini...?" tanya
Pendekar Pulau Neraka, seakan menyesali perbuatan
Wulan.
"Panjang ceritanya, Kakang," sahut Wulan singkat,
dengan nada suara agak mendesah.
"Lalu, apa yang kau cari dari mereka?"
Wulan tidak langsung menjawab. Dia menarik
napas dalam-dalam, kemudian menghembuskannya
dengan kuat.
Sementara itu terlihat pemuda berbaju putih yang
berdiri di depan bangunan padepokan sudah
memutar tubuhnya berbalik. Dan dia terus melangkah
masuk ke dalam lebatnya pepohonan di puncak Bukit
Angsa. Dan orang-orang di atas pagar benteng
padepokan tampak menurunkan busur panah, saat
melihat pemuda berbaju putih itu sudah tidak ada
lagi.
Wulan sendiri segera berbalik dan melangkah
hendak meninggalkan Pendekar Pulau Neraka.
Namun baru saja dia berjalan beberapa langkah,
Bayu mencekal pergelangan tangannya. Gadis itu
terpaksa berhenti. Wajahnya berpaling sedikit dan
langsung menatap Pendekar Pulau Neraka dengan
sinar mata yang cukup tajam.
"Sebaiknya kau jangan ikut campur dalam per-
soalan ini, Kakang. Aku tak mau namamu rusak
karena membela diriku," ujar Wulan dengan suara
datar.
"Tidak, sebelum kau ceritakan semuanya dengan
jujur padaku," pinta Bayu tegas.
"Aku tidak bisa, Kakang. Masih ada yang lebih
berhak daripada aku," tolak Wulan halus.
"Siapa?" desak Bayu.
"Kakang Perbawa," sahut Wulan terus terang.
"Ajak aku menemuinya," pinta Bayu.
"Aku minta jangan sekarang, Kakang. Nanti saja
kalau semuanya sudah selesai. Tinggal sedikit lagi...,"
jawab Wulan, meminta pengertian Pendekar Pulau
Neraka.
"Wulan...! Kau sadar apa yang selama ini sudah
kau lakukan?"
"Aku tahu. Tidak ada seorang pun yang menekan-
ku. Aku sadar semua yang aku lakukan."
"Kau tahu siapa mereka yang menjadi buruan-
mu?"
Wulan hanya menganggukkan kepalanya perlahan.
"Kau tahu apa akibatnya...?"
"Semua sudah kuperhitungkan baik dan buruknya,
Kakang. Percayalah, kalau semuanya sudah selesai,
nama Sepasang Bangau Putih akan menghilang
sendiri begitu saja. Kalaupun masih ada, akan harum
namanya," kata Wulan masih meminta pengertian
Pendekar Pulau Neraka.
"Wulan...."
"Sudahlah, Kakang! Nanti aku temui kau lagi kalau
semuanya sudah selesai," cepat Wulan memotong.
Gadis itu menyerahkan Tiren kembali pada
Pendekar Pulau Neraka. Setelah memberikan se-
nyuman yang manis, Wulan langsung melesat pergi
dengan kecepatan luar biasa. Hingga dalam sekejap
mata saja, bayangan tubuhnya sudah lenyap bagai
tertelan angin. Bayu tampak terpana melihatnya.
"Hebat..! Dari mana dia mendapatkan kepandaian
yang begitu tinggi...?" desis Bayu, bertanya-tanya
sendiri di dalam hatinya.
Bayu tahu kalau kepandaian yang dimiliki Wulan
masih bisa ditakar. Dan dia tahu kalau tingkat
kepandaian yang dimiliki gadis itu tidak akan sanggup
melesat begitu cepat seperti bayangan. Kecepatan
gerak yang dilakukannya membuat Bayu untuk
beberapa saat tercengang keheranan.
"Tentu ada sesuatu yang sudah terjadi pada
dirinya. Hm..., aku harus tahu. Wulan tidak boleh ter-
perangkap dalam peristiwa yang bisa membuat
dirinya hancur. Dia masih muda, masa depannya
masih terlalu panjang. Aku harus bisa mencegah
sebelum dia terlanjur jauh dalam kesesatan," ujar
Bayu dalam hati.
***
Sementara itu Wulan yang juga bernama Untari
sudah kembali bersama Perbawa. Kedua anak muda
yang selama ini menjadi bahan pembicaraan di
kalangan orang-orang persilatan itu masih belum
beranjak jauh dari bangunan Padepokan Teratai
Emas. Entah berapa lama mereka berdiri
memandangi bangunan yang masih tetap terjaga
dengan ketat itu.
Sementara matahari sudah mulai condong ke
sebelah barat. Sinarnya juga sudah mulai terasa tidak
terik lagi. Cahayanya yang keemasan kini terasa
lembut menyapu kulit.
"Mereka benar-benar mempersiapkan diri untuk
menyambut kita...," ujar Untari setengah bergumam,
seperti bicara pada dirinya sendiri.
"Ya, kurasa mereka sudah bergabung di sini,"
sanibut Perbawa.
"Aku rasa itu malah bagus, Kakang. Tidak perlu lagi
kita bersusah payah mencari mereka. Tinggal kita
hancurkan saja mereka semua di sini," kata Untari
lagi.
"Justru itu yang sulit, Untari. Kau lihat sendiri,
kekuatan mereka berlipat ganda. Untuk mendekati-
nya saja sudah sulit,"
"Harus ada cara yang tepat untuk menembus ke
dalam. Masih ada waktu untuk memikirkannya,
Kakang. Tapi kita harus tetap memperhatikan, jangan
sampai ada yang keluar atau masuk ke sana," kata
Untari lagi.
"Kau punya cara?" tanya Perbawa.
Untari tidak langsung menjawab. Dia hanya diam
sambil terus memandangi bangunan padepokan yang
seperti benteng pertahanan dari dijaga sangat ketat
itu. Entah apa yang ada dalam pikiran gadis ini
sekarang. Sedangkan Perbawa sendiri tampak tidak
menginginkan jawaban dari pertanyaannya tadi. Dia
seakan sudah tahu kalau Untari juga belum punya
cara yang tepat untuk menerobos masuk ke
Padepokan Teratai Emas.
Dan untuk beberapa saat lamanya mereka kembali
terdiam membisu. Sibuk dengan pikirannya masing-
masing. Terdengar Perbawa menarik napas dalam-
dalam dan menghembuskannya dengan kuat. Untari
melirik sedikit pada pemuda yang ada di sebelah
kirinya ini.
"Ada apa, Kakang?" tanya Untari menegur.
"Tidak ada apa-apa," sahut Perbawa agak
mendesah.
Untari kembali diam.
"Untari, kau sudah temui temanmu itu?" tanya
Perbawa tiba-tiba, mengalihkan pembicaraan.
"Kakang Bayu, maksudmu...?" Untari mene-
gaskan.
"Ya."
"Sudah. Kenapa...?"
"Apa dia bisa membantu kita menghadapi
mereka?" tanya Perbawa seperti tidak dipikirkan lagi.
Entah kenapa, Untari malah tersenyum mendengar
pertanyaan itu. Dia memutar tubuhnya berbalik, dan
melangkah mendekati sebuah pohon besar, dengan
akar-akarnya bersembularf di permukaan tanah.
Gadis itu duduk di atas sebatang akar yang cukup
besar. Sementara Perbawa hanya memperhati-
kannya. Dia kemudian duduk di atas rerumputan,
membelakangi Padepokan Teratai Emas yang masih
kelihatan lengang, tapi terjaga ketat.
"Dia seorang pendekar, Kakang. Dia tidak akan
bisa begitu saja dipengaruhi. Dia akan membantu
kalau memang dipandang perlu. Kalau memang dia
merasa perlu membantu kita, tanpa diminta pun pasti
akan turun tangan sendiri," kata Untari menjelaskan.
"Dia tahu permasalahannya?" tanya Perbawa lagi.
"Belum," sahut Untari singkat.
"Kau tidak katakan?"
"Sedikit."
"Lalu, apa tanggapannya?"
"Dia malah memintaku agar meninggalkan semua
ini. Katanya kita berada di pihak yang salah."
"Kau pasti tidak mengatakan alasannya kenapa
kita memburu mereka," agak ketus nada suara
Perbawa.
Untari hanya menggelengkan kepalanya perlahan.
"Seharusnya kau katakan saja padanya, Untari.
Aku yakin, kalau dia sudah tahu yang sebenarnya, dia
akan berpihak pada kita. Kau tahu, Untari.... Dengan
sikapnya yang seperti itu, dia bisa saja berpihak pada
mereka. Dan kalau itu terjadi...," Perbawa tidak
melanjutkan.
"Kau sepertinya takut pada Pendekar Pulau
Neraka, Kakang. Kenapa...?" tukas Untari.
"Aku bukannya takut, tapi Ki Sarpakenaka sendiri
sudah berpesan, bahwa kita harus menghindari
bentrokan dengan Pendekar Pulau Neraka. Bahkan
kalau perlu, kita harus bisa merebut hatinya agar dia
berpihak pada kita, Untari. Apa kau sudah lupa pada
pesannya...?" ujar Perbawa mengingatkan.
Untari tampak terdiam saja. Jelas dia tidak bisa
melupakan kata-kata terakhir Ki Sarpakenaka yang
sudah menurunkan ilmu Bangau Putih padanya.
Memang Ki Sarpakenaka pernah menyebut nama
Pendekar Pulau Neraka. Mereka diminta meng-
hindarinya, kalau tidak bisa menarik pendekar itu
untuk berpihak padanya. Namun Untari tidak tahu,
kenapa guru mereka berpesan seperti itu.
"Kau masih ingat pesannya, Untari...?" tanya
Perbawa membangunkan lamunan gadis itu.
"Ya...," sahut Untari pelan, dengan suara agak
mendesah. "Tapi aku tidak mengerti, kenapa Ki
Sarpakenaka sepertinya takut pada Pendekar Pulau
Neraka...?"
"Ki Sarpakenaka bukannya takut."
"Lalu, kenapa...?"
Belum juga Perbawa bisa menjawab pertanyaan
Untari, tiba-tiba terdengar suara yang langsung
menjawab pertanyaan gadis itu. Keduanya tersentak
kaget, dan langsung berlompatan berdiri. Seketika
kedua bola mata Sepasang Bangau Putih terbeliak. Di
depan mereka tahu-tahu sudah berdiri seorang
pemuda berbaju kulit harimau, dengan seekor
monyet kecil di pundak kanannya.
"Bayu...," desis Untari agak bergetar suaranya.
"Pendekar Pulau Neraka...."
Pemuda yang mengenakan baju dari kulit harimau
itu memang Pendekar Pulau Neraka. Dengan bibir
menyunggingkan senyuman, dia melangkah meng-
hampiri Sepasang Bangau Putih. Saat itu monyet kecil
yang ada di pundaknya langsung melompat turun,
dan berlari sambil mencerecet ribut menghampiri
Untari. Gadis itu segera mengambil Tiren dan
langsung menggendongnya di dada.
"Seharusnya kau katakan padaku, kalau kau men-
dapat ilmu-ilmu Bangau Putih dari Ki Sarpakenaka, "
kata Bayu dengan suara ringan, sambil menatap
Untari.
Untari hanya terdiam. Perbawa juga ikut
memandangi gadis itu.
"Kau kenal dengan guruku...?" tanya Perbawa ingin
tahu.
"Aku memang tidak kenal. Tapi Ki Sarpakenaka
sudah tentu kenal denganku. Dan dia juga pasti tahu
siapa guruku. Karena antara dia dan guruku masih
bersaudara," sahut Bayu menjeleskan.
Baik Untari maupun Perbawa jadi teriongong
bengong. Mereka tak menyangka, kalau Ki
Sarpakenaka dan guru Pendekar Pulau Neraka ter-
nyata bersaudara. Dan sudah barang tentu mereka
juga bisa dikatakan bersaudara. Namun dari
pandangan matanya, Perbawa tampak tidak percaya
dengan semua yang baru dikatakan Bayu.
"Aku tahu nama Ki Sarpakenaka dari guruku.
Sebenarnya aku juga dipesan untuk menemuinya.
Tapi sampai sekarang aku tidak pernah bertemu
dengannya. Karena dari dia aku bisa tahu siapa-siapa
saja musuh guruku yang belum bisa kutemukan," ujar
Bayu lagi menjelaskan.
"Kalau memang antara gurumu dengan Ki
Sarpakenaka bersaudara, itu berarti kita memiliki
musuh yang sama, Pendekar Pulau Neraka," tukas
Perbawa.
"Ah, jangan panggil aku begitu! Panggil saja aku
seperti yang Wulan lakukan padaku!" pinta Bayu
merendah.
"Wulan...?"
Perbawa kembali menatap pada Untari. "Aku
memang bernama Wulan, Kakang Perbawa. Tapi aku
juga bernama Untari," kata Wulan seraya menoleh ke
arah Perbawa.
"Eh, mana yang benar ini...?" sentak Perbawa.
"Keduanya benar. Terserah kalian saja mau
memanggilku apa," sahut Untari tetap kalem.
Kali ini Perbawa dan Bayu saling berpandangan.
Mereka mengenal gadis ini dengan nama yang
berlainan. Sudah barang tentu sulit untuk bisa me-
nyamakan panggilan lagi. Sedangkan Wulan tidak
peduli dengan namanya sendiri.
"Bagaimana...?" tanya Bayu meminta pendapat
Perbawa.
"Terserah kau saja, Kakang," sahut Perbawa
langsung membiasakan diri menuakan Pendekar
Pulau Neraka.
"Ya, kita panggil saja dia...," Bayu tidak melanjut-
kan.
"Wulan Untari...."
"Cocok!" sambut Bayu sambil tersenyum. "Eh,
kenapa bergabung begitu...?" sentak Wulan.
"Kau punya dua nama, Wulan. Jadi apa salahnya
kalau digabungkan...?" ujar Bayu kalem.
"Benar, Wulan. Lagi pula, kedua namamu tidak
hilang," sambung Perbawa yang langsung memanggil
gadis itu dengan nama Wulan.
"Terserah kalian sajalah...!" dengus Wulan tidak
peduli.
Dan kedua pemuda itu tersenyum. Wulan sendiri
tampaknya tak lagi mempedulikan hal itu. Baru pada
kedua pemuda ini dia memberikan nama yang
berlainan. Padahal di tempat-rempat lain, entah
sudah berapa nama yang digunakan untuk dirinya.
Dan memang tidak ada seorang pun yang tahu nama
gadis ini sebenarnya. Karena kemunculannya juga
sudah menggunakan nama begitu banyak, hingga
pernah dikenal dengan julukan Gadis Seribu Nama.
Namun sekarang nama julukan itu sudah tidak
terdengar lagi di kalangan rimba persilatan. Gadis
Seribu Nama seakan menghilang begitu saja. Dan kini
yang muncul Sepasang Bangau Putih, julukan yang
sudah membuat geger rimba persilatan.
"Aku rasa tidak perlu lagi mempersoalkan nama
Wulan sekarang. Aku ingin tahu, kenapa kalian
sampai mengejar mereka...?" tanya Bayu setelah
beberapa saat terdiam.
"Panjang ceritanya, Kakang," sahut Perbawa.
"Ceritakan saja! Kalau memang alasan kalian
benar, aku tak akan segan-segan membantu," kata
Bayu mantap.
Seketika itu juga wajah Perbawa langsung cerah
mendengar kesediaan Pendekar Pulau Neraka untuk
membantu tugas mereka. Dan tanpa banyak bicara
lagi, Perbawa langsung menceritakan pada Bayu hal
yang membuat mereka melakukan sepak terjang
selama ini. Bayu mendengarkan dengan penuh
perhatian. Sementara Wulan sendiri sudah tidak
peduli lagi, karena keasyikan bermain dengan Tiren.
Monyet kecil berbulu hitam sahabat Pendekar Pulau
Neraka.
***
LIMA
"Jadi mereka yang membunuh istri Ki Sarpakenaka
dan membuatnya tidak memiliki kaki lagi...?" ujar
Bayu setelah Perbawa selesai dengan ceritanya.
"Benar, Kakang. Sekarang Ki Sarpakenaka sudah
tidak ada lagi. Namun guru berpesan agar kami
berdua membalaskan dendamnya," sahut Perbawa.
"Hm..., siapa sebenarnya mereka?" tanya Bayu
dengan suara agak bergumam.
"Sebagian dari mereka adalah para begal Bukit
Setan, Kakang," selak Wulan.
"Oh, kau tahu dari mana...?" tanya Bayu agak
terkejut
"Tiga orang dari mereka aku kenali. Tapi mereka
sudah mati semuanya. Dan yang sekarang ini, para
pemimpin yang dulunya menguasai daerah selatan.
Mereka tentunya lebih tangguh dan sulit dihadapi,"
kata Wulan menjelaskan lagi.
"Hm, tinggal berapa orang lagi mereka?" tanya
Bayu.
"Lima," sahut Perbawa. "Sekarang mereka ber-
kumpul semua di sini. Juga semua murid-muridnya,"
sambung Wulan.
"Dan kalian akan menghadapinya dengan berdua
saja...?"
Perbawa dan Wulan Untari bersamaan meng-
anggukkan kepala. Bayu tampak menggeleng-
gelengkan kepala. Walaupun belum pernah bertemu,
tapi dia sering mendengar lima orang tokoh persilatan
yang menguasai daerah selatan. Sudah barang tentu
mereka tidak bisa dipandang dengan sebelah mata.
Sehingga tidak mungkin menghadapi mereka hanya
dengan bertiga. Sebab, jumlah murid mereka yang
kini berkumpul di Padepokan Teratai Emas ini, bisa
lebih dari dua ratus orang. Setangguh apa pun
kepandaian yang dimiliki mereka bertiga, tidak akan
mungkin menghadapi lawan sebanyak itu. Apalagi di
antara mereka ada lima tokoh persilatan yang pernah
menguasai daerah selatan. Bayu merasa itu hanya
mimpi belaka.
"Apa yang akan kalian lakukan sekarang?" tanya
Bayu setelah cukup lama terdiam.
"Yaaah..., tunggu sampai mereka lengah," sahut
Wulan seraya mengangkat bahunya sedikit
"Kalian sudah cukup banyak berbuat Sebaiknya
tinggalkan saja mereka," kata Bayu lagi menyarankan.
"Apa...?! Tidak...!" sentak Wulan dengan mata
mendelik. "Kau pikir semua ini akan berakhir begitu
saja, selama mereka masih hidup...? Tidak! Aku tak
akan berhenti sebelum mereka semua kuhancur-
kan!"
"Benar, Kakang. Semua yang sudah kami lakukan
tidak akan berhenti sebelum mereka semua lenyap
dari muka bumi ini. Kami sudah berjanji untuk mem-
balas dendam kematian istri guru kami. Tidak ada
seorang pun yang bisa menghalangi," sambung
Perbawa membela Wulan Untari.
"Tapi kalian tidak mungkin menghadapi mereka
semua hanya berdua saja. Pikirkan itu...!" kata Bayu
menyarankan.
"Itulah yang sedang kami pikirkan, Kakang. Harus
ada cara yang tepat untuk menghancurkan mereka
semua," kata Wulan Untari.
"Lalu, apa rencanamu?" tanya Bayu.
Wulan tidak langsung menjawab. Dia hanya
mengangkat bahunya sedikit.
"Aku akan menyelidiki dulu kekuatan mereka
malam nanti," kata Perbawa.
"Sudah jelas kekuatan mereka lebih dari dua ratus
orang. Apa lagi yang akan kau selidiki, Perbawa...?"
ujar Bayu menegaskan.
"Paling tidak, malam nanti aku bisa mengurangi
sedikit jumlah mereka. Aku akan terus bergerak
dengan sembunyi-sembunyi, sampai kekuatan
mereka benar-benar berkurang dan bisa ditembus
dengan mudah," sahut Perbawa mengemukakan
rencananya.
"Lalu..., kau sendiri bagaimana, Wulan?" tanya
Bayu sambil menatap pada Wulan Untari.
"Mungkin sama seperti yang Kakang Perbawa
lakukan. Tapi aku bergerak dari arah lain," sahut
Wulan Untari langsung menyetujui rencana Perbawa.
Bayu hanya menggeleng-gelengkan kepala. Dalam
rimba persilatan, tindakan yang mereka rencanakan
itu bisa dikatakan pengecut. Memang tidak ada jalan
lain bagi Sepasang Bangau Putih untuk mengurangi
kekuatan lawan. Namun Bayu tidak ingin nama
Sepasang Bangau Putih rusak hanya karena meng-
ikuti rasa dendam di hati guru mereka, yang terbawa
sampai mati tanpa dapat melaksanakan pembalasan-
nya.
"Kalau kalian setuju, aku punya rencana yang tak
akan merusak nama kalian berdua," kata Bayu.
"Apa rencanamu, Kakang...?"
***
"Edan...! Kau akan biarkan begitu saja murid
muridnya? Membiarkan mereka tetap hidup berkeli-
aran dan melakukan kejahatan dengan bebas...?
Tidak! Aku tak akan membiarkan itu terjadi, Kakang,"
sentak Wulan Untari begitu mendengar rencana yang
diutarakan Bayu.
"Tapi dengan menantang pemimpin mereka, nama
kalian bisa lebih harum lagi," kata Bayu beralasan.
"Maaf, Kakang...," selak Perbawa. "Kami berdua
harus melenyapkan mereka tanpa sisa. Dan itu
sesuai dengan apa yang sudah mereka lakukan pada
guru kami serta murid-muridnya. Hanya Ki
Sarpakenaka waktu itu masih bisa menyelamatkan
diri. Sedangkan istri, anak-anak serta semua murid-
nya mereka bantai tanpa ampun lagi. Jadi semua
yang sudah kami lakukan berdua, sesuai dengan
perbuatan mereka, Kakang."
"Dendam tidak akan menyelesaikan masalah," ujar
Bayu pelan.
"Karena itu, Kakang. Kalau membiarkan satu
orang muridnya saja tetap hidup, persoalan ini tak
akan selesai. Kami berdua sudah berjanji tak akan
lagi berpetualang dalam dendam kalau mereka sudah
lenyap semuanya," kata Perbawa lagi.
"Jadi kalian tetap akan melaksanakan...?" tanya
Bayu ingin ketegasan.
"Benar," sahut Perbawa mantap.
"Dengan mempertaruhkan nama baik kalian...?"
tegas Bayu lagi.
Sepasang Bangau Putih itu mengangguk dengan
mantap. Bayu tidak bisa lagi berbuat apa-apa. Dan
hanya menarik napas dalam-dalam dan meng-
hembuskannya dengan kuat. Tidak ada lagi yang bisa
dilakukannya untuk melunakkan hati Sepasang
Bangau Putih. Dendam guru mereka sudah terbawa
sampai ke relung hati yang paling dalam dan men-
darah daging. Sehingga sulit untuk bisa dipisahkan
lagi. Dengan cara apa pun, mereka tetap akan
membalaskan dendam sang Guru.
Tidak ada yang dapat dibicarakan lagi. Mereka
terdiam bergelut dengan pikiran masing-masing.
Sementara Perbawa sudah kembali memperhatikan
barftjunan Padepokan Teratai Emas yang seperti
sebuah benteng pertahanan, terjaga ketat itu. Diakui,
memang tidak mudah untuk menembus ke dalam
sana. Terlebih lagi beberapa perguruan sudah
bergabung menjadi satu, hingga kekuatan yang ada
dalam padepokan itu demikian besar.
Bayu kini duduk di samping Wulan Untari. Gadis itu
masih asyik bermain dengan Tiren. Digelitiknya perut
monyet itu hingga bergulingan di atas rerumputan
sambil mencerecet ribut. Wulan baru berhenti
bercanda dengan Tiren saat Bayu menepuk lembut
pundaknya. Dia mengambil monyet kecil itu, dan
ditaruh di pangkuannya.
"Bagaimana kau bisa menjadi murid Ki
Sarpakenaka, Wulan?" tanya Bayu dengan suara
pelan, hingga Perbawa yang berada cukup jauh tidak
mendengar.
"Aku menemukannya sudah hampir mati, dengan
luka-luka yang parah. Aku merawatnya sampai dia
sembuh. Tapi aku tak bisa menyembuhkan
kelumpuhan pada kedua kakinya, hingga dia tidak
bisa jalan lagi," ujar Wulan menceritakan pertemuan-
nya dengan Ki Sarpakenaka.
"Kau tahu kenapa dia sampai terluka begitu?"
tanya Bayu lagi.
"Ya, dia menceritakan padaku," sahut Wulan
Untari.
"Lalu...?"
"Setelah sembuh, dia memintaku untuk mencari
seorang muridnya yang sedang mengembara. Aku
melaksanakan semua perintahnya. Aku bertemu
dengan Kakang Perbawa dan membawanya pulang
pada gurunya. Semula Kakang Perbawa ingin
langsung membalas kekalahan gurunya. Tapi Ki
Sarpakenaka tidak mengizinkan. Akhirnya kami
berdua diberi jurus-jurus Sepasang Bangau Putih.
Juga pedang ini...," sambung Wulan menyentuh
pedang di pundaknya.
Bayu mengangguk-anggukkan kepala. Dirinya kini
baru mengerti, kenapa kepandaian yang dimiliki
Wulan begitu pesat berkembang. Memang tidak
mengherankan, karena gadis itu menemukan seorang
tokoh sakti yang memiliki tingkat kepandaian sangat
tinggi. Dan Bayu tahu kalau kepandaian yang dimiliki
Ki Sarpakenaka hanya berada setingkat di bawah
kepandaian yang dimiliki gurunya sendiri.
Ki Sarpakenaka mungkin tidak akan sampai kalah
begitu, kalau saja lawan-lawannya tidak bermain
curang dan dikeroyok sepuluh orang yang ber-
kepandaian tinggi. Bayu juga bisa mengerti kalau api
dendam yang ada di dalam dada Perbawa tidak bisa
dipadamkan begitu saja. Dia juga tidak akan mem-
biarkan orang-orang yang sudah membuat gurunya
cacat, hidup lebih lama lagi. Namun tindakan yang
dilakukannya tidak seperti yang dilakukan Perbawa
dan Wulan Untari sekarang ini. Mereka benar-benar
menghancurleburkan semuanya tanpa seorang pun
dibiarkan tetap hidup. Bahkan murid-murid yang tidak
tahu persoalannya juga dihancurkan tanpa sisa.
"Aku sudah bersumpah untuk membantu Kakang
Perbawa menghancurkan mereka. Bahkan Ki
Sarpakenaka sendiri sudah berpesan, aku tidak boleh
berpisah dengan Kakang Perbawa," sambung Wulan
Untari.
Bayu tetap diam. Dia bisa mengerti semua yang
dikatakan Wulan barusan. Dirinya tahu jurus-jurus
Bangau Putih bisa lebih dahsyat lagi kalau dikerah-
kan secara bersamaan. Dan tidak bisa dilakukan oleh
satu orang, karena jurus itu memang harus ber-
pasangan. Ki Sarpakenaka sendiri bisa dikalahkan
oleh lawan-lawannya, karena mereka tahu kelemahan
jurus Bangau Putih. Mereka membunuh istrinya lebih
dulu, hingga jurus Bangau Putih yang dikuasai Ki
Sarpakenaka tidak berarti. Akhirnya dengan mudah
mereka bisa mengalahkannya.
"Aku sebenarnya berharap, kau bersedia mem-
bantuku menghadapi mereka, Kakang," ujar Wulan
Untari dengan suaranya yang pelan, namun jelas
sekali bernada mengharapkan kesediaan Pendekar
Pulau Neraka.
Bayu tampak diam saja membisu. Enfah apa yang
ada di dalam hatinya saat ini.
"Wulan, sini...!" panggil Perbawa tiba-tiba.
Wulan langsung beranjak bangkit berdiri, dan
menyerahkan Tiren pada Pendekar Pulau Neraka.
Bergegas dia menghampiri pemuda itu. Perbawa
langsung menunjuk, begitu Wulan berada dekat di
sampingnya. Sementara Bayu hanya memperhatikan
tanpa berkeinginan mendekati mereka. Dia me-
masang pendengarannya dengan tajam, agar bisa
mendengar apa yang dibicarakan Sepasang Bangau
Putih.
"Mereka tentu akan mencari kita, Kakang," kata
Wulan pelan, seperti berbisik.
"Aku akan menghadang mereka," kata Perbawa
mantap.
"Kau sanggup sendiri saja?" tanya Wulan.
"Paling hanya dua puluh orang, Wulan."
"Tapi hati-hati, Kakang. Mungkin itu hanya jebakan
saja," Wulan memperingatkan.
Pada saat itu, keluar lagi satu kelompok yang
berjumlah sekitar dua puluh orang. Mereka bergerak
dengan arah yang berlawanan dengan kelompok yang
pertama.
"Itu bagianku, Kakang," ujar Wulan langsung
dengan bibir tersenyum.
"Kita tunggu dulu sampai mereka cukup jauh dari
benteng itu," kata Perbawa.
Sepasang Bangau Putih tampak tersenyum,
melihat dua kelompok yang masing-masing berjum-
lah sekitar dua puluh orang keluar dari lingkungan
padepokan. Kedua kelompok itu bergerak menuju
arah yang berlawanan. Entah apa maksud mereka
keluar dari padepokan. Mungkin memang benar
dugaan Wulan Untari barusan. Mereka memang
sengaja keluar mencari Sepasang Bangau Putih. Atau
hanya suatu jebakan untuk memancing Sepasang
Bangau Putih keluar dari persembunyiannya.
"Ayo, Kakang! Kita bergerak sekarang," ajak Wulan
Untari. "Hup...!"
"Hap!"
Tanpa membuang-buang waktu mereka langsung
saja melesat dengan cepat, ke arah tujuannya
masing-masing. Dan pada saat itu Bayu segera
mengambil alih tempat mereka tadi berdiri. Dari
tempat yang agak tinggi ini, dia bisa melihat dengan
jelas, Sepasang Bangau Putih bergerak terpisah,
menghampiri dua kelompok lawan yang juga terpisah
dengan arah berlawanan. Namun pada saat itu
juga....
"Heh...?!"
***
Apa yang disaksikan Bayu, membuat kedua bola
matanya terbeliak lebar, seperti melihat ribuan hantu
yang akan menghancurkan dunia ini. Bersamaan
dengan melesatnya Sepasang Bangau Putin, dari
dalam padepokan keluar empat orang tokoh
persilatan yang sedang mereka kejar. Keempat orang
itu memisahkan diri ke arah yang berbeda. Dan pada
saat itu juga, sekitar tiga puluh orang yang dipimpin
langsung oleh Ki Denggis bergerak menuju ke arah
Pendekar Pulau Neraka berdiri.
"Gila...! Rupanya mereka lebih cepat bertindak. Ini
bisa berbahaya bagi Wulan dan Perbawa. Tidak..."
Bayu tidak bisa lagi berpikir lebih jauh. Saat itu Ki
Denggis yang diikuti sekitar tiga puluh orang sudah
dekat dengannya. Mendadak orang tua itu berteriak
memberi perintah untuk menyerang Pendekar Pulau
Neraka. Hal itu membuat Bayu tidak sempat lagi
memperhatikan Wulan Untari dan Perbawa yang juga
terkejut melihat kedatangan dua orang buruan
mereka masing-masing ke tempat yang berbeda dan
berjarak sangat jauh.
"Seraaang...! Bunuh dia...!" teriak Ki Denggis
memberi perintah menyerang Pendekar Pulau
Neraka.
"Hiyaaa...!" "Yeaaah...!"
"Nguk! Craaakh...!"
"Menjauh dariku, Tiren!" seru Bayu.
"Nguk!"
Tiren langsung melompat turun dari pundak
Pendekar Pulau Neraka. Dia segera berlari menjauh,
dan naik ke pohon. Sementara Bayu sendiri sudah
harus berlompatan, menghindari serangan-serangan
yang datang bagai ombak di lautan. Serangan-
serangan itu demikian gencar, membuat Bayu tidak
punya kesempatan sedikit pun untuk memberikan
serangan balasan. Sedangkan Ki Denggis sendiri
selalu mencari kesempatan untuk menghantamkan
pukulannya di saat pemuda berpakaian kulit harimau
itu sibuk menghindari serangan-serang-an mereka.
Di tempat lain, Wulan Untari juga tengah ke-
walahan menghadapi gempuran dahsyat, dari dua
puluh orang murid Padepokan Teratai Emas yang
ditambah dua orang tokoh persilatan pimpinan
mereka. Keadaan yang sama pun dialami Perbawa.
Mereka benar-benar tidak sempat menghindari je-
bakan itu. Tidak mungkin lagi bagi keduanya untuk
menyatu, karena jarak mereka sangat berjauhan.
Akhirnya mereka terpaksa menghadapi lawannya
masing-masing seorang diri. Pendekar Pulau Neraka
terpaksa harus menggunakan Cakra Maut untuk bisa
keluar dari keroyokan yang cukup banyak itu.
Jeritan-jeritan panjang melengking dan menya-yat
pun seketika terdengar saling sambung. Dan baru
beberapa saat saja pertarungan itu berlang-sung,
Bayu sudah merobohkan lebih dari sepuluh orang
lawannya. Sementara Ki Denggis semakin mem-
perhebat serangan-serangannya. Dia selalu mencari
kelengahan Pendekar Pulau Neraka. Namun tampak-
nya tidak mudah untuk memasukkan serangannya,
karena setiap gerakan yang dilakukan Pendekar
Pulau Neraka memang sulit diduga dan hampir tidak
terlihat*dengan pandangan mata biasa.
Satu persaru Bayu berhasil merobohkan lawan
lawannya. Hingga akhirnya tinggal sekitar lima orang
ditambah dengan Ki Denggis yang mulai kelihatan
gentar. Namun tiba-tiba terdengar suara genderang
dipukul bertalu-talu dari arah bangunan Padepokan
Teratai Emas.
"Cepat tinggalkan dia...!" teriak Ki Denggis tiba-tiba.
"Hup! Yeaaah...!"
Tanpa membuang waktu lagi, Ki Denggis langsung
melesat meninggalkan Pendekar Pulau Neraka
dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang
sudah mencapai tingkat tinggi. Kelima orang anak
buahnya yang tersisa tidak sempat mengikuti. Karena
dengan gerakan yang begitu cepat, Bayu memberikan
pukulan-pukulan beruntun dan mengandung tenaga
dalam. Seketika lima orang itu menjerit keras, dan
ambruk dengan nyawa melayang.
"Keparat...!"
Bayu menggeram melihat Ki Denggis sudah masuk
kembali ke dalam benteng Padepokan Teratai Emas.
Dan dia jadi tersentak kaget setengah mati, begitu
melihat Wulan terseret masuk ke dalam benteng itu.
Sementara Perbawa tampak menggeletak di antara
mayat-mayat lawannya. Dari tempat itu lawan yang
masih hidup bergerak cepat masuk kembali ke
benteng padepokan.
"Hup!"
Pendekar Pulau Neraka bergegas menghampiri
Perbawa yang sudah berlumuran darah, tapi tampak
masih bergerak. Sebentar saja Bayu sudah sampai.
Dia langsung mendekati Perbawa yang masih ber-
gerak hidup.
"Oh...?!"
Bayu terkejut setengah mati, melihat hampir
sekujur tubuh Perbawa sudah terluka. Darah mengalir
deras dari luka-luka yang menganga. Cepat-cepat
Pendekar Pulau Neraka mengangkat dan membawa
pergi dari tempat itu. Dan pada saat Bayu melesat,
Perbawa terkulai pingsan.
Bayu membawa Perbawa ke tempat yang cukup
jauh dan aman dari jangkauan orang-orang Teratai
Emas, yang kini dibantu oleh tiga padepokan
sahabatnya. Dia merebahkan tubuh pemuda itu di
atas rerumputan yang cukup tebal, di bawah pohon
rindang. Sehingga terlindung dari sengatan sinar
matahari yang sudah condong ke arah barat.
Bayu memberikan totokan di beberapa bagian
tubuh Perbawa. Darah yang semula mengalir pun
seketika terhenti. Cepat sekali Pendekar Pulau
Neraka bekerja merawat luka-luka di tubuh Perbawa.
Dia juga menyalurkan hawa mumi untuk membantu
Perbawa mengembalikan tenaga dalamnya. Sehingga
dapat bertahan, meskipun luka-luka yang dideritanya
cukup parah.
"Aku akan membawamu pada tabib, Perbawa. Kau
harus sembuh...," ujar Bayu dengan suara berdesis di
telinga Perbawa.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Bayu segera
membawa pemuda itu. Dengan pengerahan ilmu
meringankan tubuh yang sudah sempurna tingkatan-
nya, Pendekar Pulau Neraka bergerak dengan cepat
menuruni lereng Bukit Angsa. Dia tidak ingat pada
monyet kecil sahabatnya yang ditinggalkan di puncak
bukit itu. Bayu terus berlari menuruni lereng bukit
membawa Perbawa yang teriuka cukup parah.
***
ENAM
Sementara itu di dalam lingkungan Padepokan
Teratai Emas, tubuh Wulan Untari telah diikat pada
tongkat kayu, tepat di tengah-tengah halaman
padepokan yang sangat luas. Tampak wajahnya
sudah sembab membiru, akibat terkena beberapa
pukulan. Dan di sudut bibirnya darah kering masih
melekat. Baju yang dikenakannya juga sudah terko-
yak. Sehingga beberapa bagian tubuhnya yang ber-
kulit putih mulus terlihat, membuat puluhan pasang
mata yang ada di dalam padepokan itu tidak ber-
kedip memandanginya.
Kepala gadis itu terkulai, seakan dia sudah tidak
bernyawa lagi. Hanya gerakan perlahan dadanya yang
menandakan Wulan masih hidup. Saat itu dari dalam
bangunan besar yang merupakan bangunan utama
Padepokan Teratai Emas, keluar Nyai Kantil bersama
Ki Denggis dan tiga orang tua lainnya. Diikuti sekitar
sepuluh orang laki-laki bertubuh tegap, yang merupa-
kan sepuluh orang murid andalan Nyai Kantil, Ketua
Padepokan Teratai Emas. Mereka melangkah meng-
hampiri Wulan yang terikat dengan kepala terkulai di
tonggak kayu. Sementara itu matahari sudah hampir
tenggelam di balik peraduannya. Cahayanya yang
redup, seakan ikut merasakan penderitaan yang
dialami Gadis Seribu Nama ini.
Nyai Kantil menunjuk ember kayu yang ada di
depan Wulan Untari. Seorang muridnya langsung
menghampiri, dan mengambil ember kayu itu. Tanpa
banyak bicara lagi, dia menumpahkan semua air di
dalam ember itu ke tubuh Wulan. Membuat gadis itu
jadi gelagapan setengah mati. Dia langsung meringis,
merasa nyeri pada seluruh tubuhnya yang penuh luka
tersiram air dingin ini. Namun sesaat saja sinar
matanya sudah menyorot tajam pada o-rang-orang
tua yang berada tepat di depannya.
"Siapa namamu, Cah Ayu...?" tanya Ki Denggis.
Wulan tidak langsung menjawab. Ditatapnya laki-
laki tua itu dengan sinar mata yang tajam. Kemudian
memandangi yang lainnya. Di sebelah Ki Denggis
berdiri Nyai Kantil. Dan di belakang mereka ada dua
tiga orang lelaki tua lagi yang usianya mungkin
sebaya dengan Ki Denggis. Wulan Untari tahu kalau
mereka adalah Ki Tampul, Ki Balung, dan Ki Rampak.
Semua memang satu kelompok dengan Ki Denggis
dan Nyai Kantil. Dan mereka inilah yang menjadi
buruan pembalasan dendam Ki Sarpakenaka.
"Siapa namamu, Nisanak...?" Ki Denggis me-
ngulangi pertanyaannya lagi.
"Nama yang mana yang kau inginkan...?" balas
Wulan ketus.
"Aku tanya namamu...," agak ditekan nada suara Ki
Denggis.
"Banyak," sahut Wulan Untari smis. "Mana yang
kau inginkan...? Untari, Cempaka, Wulan, Melati, atau
kau ingin memberiku nama lain...? Aku tidak
keberatan."
Kening Ki Denggis jadi berkerut mendengar
jawaban gadis int. Sementara Nyai Kantil langsung
tahu kalau gadis ini tentu yang dikenal dengan nama
julukan si Gadis Seribu Nama. Dan dia jadi ingat
dengan peristiwa di Bukit Setan. Nyai Kantil langsung
membisikkannya pada Ki Denggis. Laki-laki tua itu
mengangguk-anggukkan kepala dengan senyuman
lebar terkembang di bibirnya. Entah apa arti
senyumannya itu.
"Kau tentu si Gadis Seribu Nama. Benar...?" ujar Ki
Denggis dengan bibir masih menyunggingkan
senyuman.
Wulan Untari hanya mencibirkan bibirnya. Tatapan
matanya masih terlihat tajam, bersorot langsung ke
bola mata Ki Denggis yang berada tepat di depannya.
"Kalau memang kau benar si Gadis Seribu Nama,
itu berarti tidak ada lagi pengadilan di sini. Kau tahu
apa maksudku...?" ujar Ki Denggis lagi.
Wulan masih tetap diam membisu dengan tatapan
mata yang tajam sekali, bersorot langsung ke bola
mata laki-laki tua di depannya ini. Namun sebentar
kemudian dia menatap dengan bola mata berapi-api
pada Nyai Kantil yang tadi mengenalinya lebih dulu.
Wulan yakin kalau perempuan tua ini ada ketika dia
hampir mati dan temoda di Bukit Setan. Hanya saja
dia tidak sempat mengenalinya waktu itu.
"Bagaimana...?" tanya Ki Denggis meminta
pendapat pada yang lainnya.
"Ya.... Bagaimana lagi...?" desah Nyai Kantil sambil
mengangkat bahunya.
"Dia bisa menjadi duri dalam daging kita, Kakang.
Sudah pantas kalau dia mendapat hukuman mati,"
selak Ki Balung.
Ki Denggis mengangguk-anggukkan kepala dengan
bibir tersenyum menatap gadis di depannya.
Kemudian dia memutar tubuh berbalik, dan
melangkah pergi meninggalkan si Gadis Seribu Nama.
Namun baru beberapa langkah, terdengar perintah-
nya pada murid-murid Padepokan Teratai Emas.
"Kalian boleh lakukan apa saja padanya, sebelum
dia mendapat hukuman besok pagi," kata Ki Denggis.
Seketika itu juga seluruh wajah Wulan Untari
berubah pucat pasi seperti mayat. Dia tahu apa yang
dimaksudkan Ki Denggis barusan. Terbayang lagi
peristiwa di Bukit Setan. Wulan tidak ingin peristiwa
itu terulang lagi sekarang. Dan dia sadar tidak ada
lagi keajaiban seperti yang pernah dialaminya dulu,
hingga dirinya tetap suci dan bertahan hidup sampai
sekarang.
"Keparat kau, Denggis! Akan kubunuh kau...!"
teriak Wulan memaki.
"Ha ha ha...!"
Ki Denggis hanya tertawa terbahak-bahak, seakan
tidak menghiraukan makian gadis itu. Dia terus
berjalan ke dalam bangunan besar padepokan, diikuti
Nyai Kantil dan yang lainnya. Sementara itu puluhan
laki-laki sudah mengelilingi Gadis Seribu Nama.
Pandangan mata mereka begitu liar, melahap seluruh
tubuh yang sudah sebagian terbuka, dengan pakaian
yang tercabik akibat pertarungan tadi. Kulit tubuh
Wulan yang putih dan halus, membuat tenggorokan
mereka turun naik menahan gejolak nafsu yang
seketika itu juga menggelegar liar. Melihat mereka
sudah begitu dekat, seluruh tubuh Wulan merasa
bergidik. Dan wajahnya semakin pucat seperti mayat.
Suara-suara tawa penuh mengejek terus terdengar di
telinganya.
"Kubunuh kalian kalau berani menyentuhku...!"
bentak Wulan mengancam.
Namun dalam keadaan tubuh terikat seperti ini,
tentu saja ancamannya hanya disambut dengan se-
ringai dan tawa terkekeh. Wulan sadar kalau ke-
adaannya memang tidak menguntungkan dirinya
sama sekali. Dan dia tahu, tidak akan ada lagi ke
ajaiban yang bisa menolongnya dari kesulitan ini Dia
merasa lebih baik langsung mati, daripada harus
ternoda dan terhina seperti ini. Dia tidak rela tangan-
tangan mereka menjamah tubuhnya. Namun apa
daya, tak ada lagi yang bisa dilakukannya. Sementara
mereka sudah semakin mendekat dengan sinar mata
penuh nafsu yang membara tanpa dapat dibendung
lagi.
Kini, Wulan hanya bisa berharap ada satu ke-
ajaiban lagi yang membantunya melepaskan diri dari
siksaan yang bakal dialami. Dia tidak sanggup lagi
memandang mereka yang sudah dirasuki hawa nafsu
menggejolak membara di dalam dada. Pandangan
yang liar menjilati sekujur tubuh yang sudah terkoyak
pakaiannya. Wulan benar-benar tidak dapat lagi
berbuat sesuatu. Hatinya sudah pasrah, apa pun yang
akan terjadi.
Namun pada saat yang sangat kritis itu, tiba-tiba
saja...
"Craaakh...!"
"Oh...?!"
***
Wulan tersentak kaget, ketika tiba-tiba terdengar
suara nyaring yang sudah dikenalnya dengan baik.
Belum sempat ada seorang pun yang bias menyadari,
tahu-tahu sudah terlihat sebuah bayangan hitam kecil
meluruk deras dari atas. Dan langsung hinggap pada
tonggak kayu yang mengikat Gadis Seribu Nama ini
dengan tambang yang cukup besar. Wulan melirik
sedikit dengan kepala menoleh ke belakang.
"Tiren...," desisnya, begitu melihat seekor monyet
tengah menggigit tambang yang mengikat tubuhnya.
Gigi-gigi Tiren yang tajam dan bertaring, dengan
mudah memutuskan tambang itu, hingga WuIan
terlepas dari ikatannya. Tanpa banyak membuang
waktu lagi, Wulan segera melompat menerjang dua
orang laki-laki yang berada tepat di depannya. Dua
kali pukulannya dilepaskan dengan kecepatan tinggi,
disertai pengerahan tenaga dalam yang masih
tersisa. Begitu cepat terjangannya, sehingga dua
orang itu tidak sempat lagi bergerak.
Begkh!
Des!
"Akh...!"
"Aaaa...!"
Keduanya menjerit melengking, begitu dada dan
kepala mereka terkena pukulan yang keras dan
bertenaga dalam.
"Hup! Hiyaaa...!"
Tanpa membuang-buang waktu, Wulan langsung
melentingkan tubuhnya ke atas dengan pengerahan
ilmu meringankan tubuh yang sudah tinggi
tingkatannya. Dan gadis itu langsung meluruk deras
ke belakang orang-orang yang sudah mau
mengeroyoknya. Begitu kakinya menyentuh tanah,
dengan cepat sekali dia melesat tinggi ke atas.
Langsung naik ke pagar benteng yang mengelilingi
padepokan.
Dua orang yang berada di atas pagar benteng itu
tersentak kaget setengah mati. Mereka tidak sempat
berbuat sesuatu. Wulan sudah memberikan pukulan-
pukulan beruntun yang begitu cepat, disertai dengan
pengerahan tenaga dalam. Seketika kedua orang
yang memegang busur itu terbanting jatuh dengan
keras sekali, disertai suara jeritan melengking dan
menyayat hati. Sementara Wulan sempat melihat
Tiren sudah naik ke atas pagar dengan tangkas
sekali. Monyet kecil itu langsung melompat keluar
melalui dahan pohon yang menjuntai melewati pagar
benteng padepokan itu.
"Akan kuhancurkan kalian semua! Hiyaaa...!"
Sambil membentak nyaring, Wulan langsung
melompat keluar dari atas pagar benteng padepokan.
Ringan sekali kedua kakinya menjejak tanah diluar
benteng. Dia langsung berlari cepat dengan memper-
gunakan ilmu meringankan tubuh yang tinggi,
menjauhi padepokan itu. Sementara dari atas pohon,
Tiren terus mengikuti melalui dahan pohon yang satu
ke dahan pohon lainnya. Begitu ringan gerakan
monyet kecil itu. Sehingga dalam waktu sebentar saja
dia sudah jauh meninggalkan benteng Padepokan
Teratai Emas. Sedangkan Wulan terus berlari dengan
kecepatan tinggi, menembus hutan yang cukup lebat
di puncak bukit itu.
Berhasilnya Wulan melepaskan diri, membuat
keadaan di dalam lingkungan Padepokan Teratai
Emas gempar. Ki Denggis yang mendapat laporan jadi
berang setengah mati. Bahkan Nyai Kantil memarahi
semua muridnya. Tidak ada yang bisa dilakukan
mereka, kecuali berusaha mengejar si Gadis Seribu
Nama itu keluar dari benteng padepokan. Tapi mana
mungkin bisa terkejar? Wulan sudah begitu jauh pergi
masuk ke dalam hutan. Jejaknya pun tidak terlihat
lagi, karena saat itu matahari sudah tenggelam di
balik peraduannya. Sehingga pencarian mereka
hanya pekerjaan sia-sia belaka.
Lolosnya Wulan tidak hanya menimbulkan ke-
geraman di hati Ki Denggis, melainkan juga membuat
mereka gelisah. Terlebih lagi mereka tidak me-
nemukan tubuh Perbawa di tempatnya, yang mereka
tinggalkan dengan tubuh terluka parah. Nyai Kantil
langsung memberi perintah pada murid-muridnya
untuk mengadakan penjagaan lebih ketat lagi.
Bahkan Ki Balung, Ki Tampul, dan Ki Rampak juga
memerintahkan para muridnya untuk memperkuat
pertahanan Padepokan Teratai Emas. Ki Denggis
sendiri memutuskan untuk tetap mencari Wulan di
sekitar bagian luar padepokan. Dia merasa yakin
kalau gadis itu tidak bisa lagi berlari jauh dengan
tubuh yang tcriuka. Dia tampaknya tidak menyadari
kalau luka yang diderita Wulan tidak seberapa parah.
Dan gadis itu sudah jauh berada di lereng Bukit Angsa
bersama Tiren, sahabat kecil Pendekar Pulau Neraka
yang membuat keajaiban bagi dirinya.
***
Di pinggir sebuah telaga di lereng Bukit Angsa,
Wulan membersihkan darah kering yang melekat di
tubuhnya. Dia juga mengganti pakaiannya yang sudah
koyak. Dia memang membawa pakaian ganti
disimpan di pelana kudanya yang ditinggalkan di tepi
telaga itu. Namun pakaian penggantinya pun tetap
berwarna putih.
Selesai membersihkan diri, Wulan melakukan
semadi, ditemani Tiren yang duduk dekat di
depannya. Monyet kecil itu tampak diam saja
memperhatikan Wulan melakukan semadi untuk
memulihkan kembali tenaga dan kekuatannya yang
berkurang jauh, akibat pertarungannya sore tadi.
Sementara itu Pendekar Pulau Neraka sudah
berada kembali di puncak Bukit Angsa. Dia berada
tidak jauh dari bangunan Padepokan Teratai Emas
yang seperti benteng pertahanan. Entah sudah
berapa lama dia mengamati keadaan di sekitar
padepokan itu. Tujuannya sudah pasti, akan mem-
bebaskan Wulan Untari yang ditawan di dalam sana.
Dirinya tidak tahu kalau Gadis Seribu Nama itu sudah
keluar ditolong Tiren.
Ketika Pendekar Pulau Neraka baru saja mau
melangkah mendekati bangunan Padepokan Teratai
Emas, tiba-tiba saja....
"Apa yang kau cari di sini, Kisanak...?"
"Heh...?!"
Pendekar Pulau Neraka terkejut ketika tiba-tiba
terdengar suara berat dari arah belakang. Dan belum
sempat dia memutar tubuhnya berbalik, tahu-tahu
sudah terasa desiran angin kencang dari belakang.
Bayu tidak sempat lagi menyadari apa yang terjadi.
Tahu-tahu satu pukulan keras dan bertenaga dalam
tinggi sudah menghantam punggungnya.
Diegkh!
"Akh...!"
Pendekar Pulau Neraka tersungkur jatuh mencium
tanah. Tubuhnya bergulingan beberapa kali hingga
menumbangkan dua batang pohon. Namun cepat dia
bisa bangkit berdiri dan memutar tubuhnya berbalik.
Pada saat itu juga, sebuah bayangan berkelebat
begitu cepat menerjangnya.
"Haiiittt...!"
Cepat Bayu memiringkan tubuh ke kanan, hingga
terjangan bayangan itu tidak sampai mengenainya.
Dengan cepat Bayu mengibaskan tangan kiri, men-
coba untuk menghantam bayangan yang lewat di
sebelah kirinya. Namun hantamannya lewat tanpa
mengenai sasaran sedikit pun. Pemuda berambut
gondrong itu cepat memutar tubuh berbalik, tepat di
saat bayangan yang menyerangnya juga berputar
balik menghadapinya.
"Ki Denggis...," desis Bayu langsung mengenali
orang itu.
"Mau apa kau datang ke sini?" bentak Ki Denggis.
"Aku mau bebaskan Wulan," sahut Bayu tegas.
"Ha ha ha...!" Ki Denggis tertawa terbahak-bahak.
Suara tawanya begitu keras menggelegar, mem-
buat telinga Bayu terasa pekak seakan hendak
pecah. Bayu bisa merasakan kalau suara tawa itu
disertai dengan pengerahan tenaga dalam, hingga dia
terpaksa harus melawannya dengan pengerahan
tenaga dalam juga.
"Dia sudah mampus! Dan kau datang juga
mengantarkan nyawa!" bentak Ki Denggis lantang.
"Keparat...! Kau harus menebus nyawanya...!"
dengus Bayu geram, mendengar Wulan Untari sudah
mati di padepokan itu.
"Ha ha ha...!"-
Ki Denggis hanya tertawa terbahak-bahak. Seakan
dia merasa menang sudah membuat Pendekar Pulau
Neraka jadi berang. Bayu memang marah mendengar
Wulan Untari sudah mati. Wajahnya langsung
memerah. Namun Pendekar Pulau Neraka ternyata
tidak mudah terpancing begitu saja. Walau hatinya
sudah membara, dia tetap benlsaha tenang.
"Kedatanganmu akan menemaninya di neraka,
Bocah...!" desis Ki Denggis dingin menggetarkan.
Bayu hanya diam dengan geraham bergemeletuk
menahan geram. Dia tetap menunjukkan kete-
nangan, walau Ki Denggis sudah berusaha keras
memancing kemarahannya.
Melihat Pendekar Pulau Neraka tetap bersikap
tenang, wajah Ki Denggis tampak meregang kaku
menahan geram.
"Mampus kau, Bocah Keparat! Hiyaaattt...!"
Sambil membentak keras, Ki Denggis melesat
cepat bagai kilat menyerang Pendekar Pulau Neraka.
Satu pukulan yang sangat keras dan bertenaga dalam
tinggi langsung dilepaskan tepat mengarah ke dada
pemuda berbaju kulit harimau itu. Namun sedikit pun
Bayu tidak terlihat berusaha menghindari. Begitu
pukulan tangan kanan orang tua itu hampir
menghantam dadanya, tiba-tiba saja Bayu meng-
angkat tangan kanan ke depan dada. Hingga...
Plak!
"Akh...!"
***
Ki Denggis terpekik, saat pukulannya menghantam
pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka.
Di pergelangan tangan kanan pemuda itu menempel
Cakra Maut yang menjadi senjata andalannya. Sudah
barang tentu Ki Dejiggis merasa seluruh tulang
tangannya seperti remuk berpatahan menghantam
senjata maut itu.
Dan belum sempat dia berbuat sesuatu, Bayu
sudah melepaskan satu tendangan keras menggele-
dek dengan gerakan secepat kilat. Kecepatan
tendangan geledek Pendekar Pulau Neraka itu tidak
dapat lagi terlihat, hingga Ki Denggis sama sekali
tidak dapat berkelit menghindarinya. Buk!
"Ugkh...!"
Ki Denggis terbungkuk sambil mengeluarkan
keluhan pendek, begitu tendangan dahsyat Pendekar
Pulau Neraka menghantam tepat di perutnya.
Bersamaan dengan itu Bayu melepaskan satu
pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam,
menghantam telak wajah lawan.
Plak!
"Akh...!"
Untuk kedua kalinya Ki Denggis memekik
kesakitan, begitu wajahnya seakan diremukkan
dengan pukulan menggeledek Pendekar Pulau
Neraka. Begitu kerasnya, hingga membuat orang tua
itu terhuyung-huyung ke belakang. Tampak darah
mengalir sangat deras dari kedua lubang hidung dan
mulutnya.
Sementara Bayu sama sekali tidak memberi
kesempatan pada lawan. Sambil membentak keras
menggelegar, Pendekar Pulau Neraka mengibaskan
tangan kanannya, dengan tubuh agak membungkuk
doyong ke kiri.
"Yeaaah...!"
Slap!
Seketika itu juga, Cakra Maut yang berada di
pergelangan tangan melesat dengan kecepatan bagai
kilat. Sementara Ki Denggis sendiri belum bisa
menguasai keadaan dirinya, hingga dia tidak dapat
lagi menghindari sambaran senjata dahsyat berben-
tuk lempengan persegi enam itu.
Crabb!
"Aaaa...!"
Jeritan panjang melengking tinggi seketika
terdengar memecah kesunyian di puncak Bukit
Angsa. Ki Denggis terhuyung-huyung ke belakang,
dengan Cakra Maut membenam dalam di dadanya.
Darah seketika muncrat, menyemburat dengan deras
sekali, begitu Cakra Maut melesat keluar bersamaan
dengan menghentaknya tangan Bayu ke atas kepala.
Senjata itu kembali menempel di pergelangan tangan
Pendekar Pulau Neraka.
Sementara Ki Denggis masih terhuyung-huyung
memegangi dadanya yang beriubang dan berlumuran
darah. Tidak lama kemudian, tubuhnya, ambruk
dengan keras sekali menghantam tanah.
Dan hanya sebentar dia bergerak menggeliat
meregang nyawa. Kemudian mengejang kaku, dan
diam tidak bergerak-gerak lagi. Ki Denggis tewas
seketika.
Jeritan Ki Denggis yang keras dan melengking
sebelum tewas tadi, terdengar sampai ke dalam
benteng Padepokan Teratai Emas. Semua orang yang
ada di dalam bangunan seperti benteng itu jadi
tersentak kaget. Dan mereka yang berada di atas
pagar benteng melihat kematian Ki Denggis di tangan
seorang pemuda berbaju kulit harimau, tidak jauh di
sebelah kanan depan padepokan. Orang-orang itu
berteriak keras memberitahu pemimpin mereka yang
juga sudah keluar dari dalam bangunan utama
padepokan, ketika mendengar jeritan panjang
kematian Ki Denggis tadi.
Sementara Pendekar Pulau Neraka segera melesat
dengan cepat, masuk kembali ke hutan, tepat di saat
puluhan orang bersama Nyai Kantil dan tiga orang
sahabatnya keluar dari dalam padepokan. Mereka
langsung menuju ke tempat Ki Denggis bertarung
dengan Pendekar Pulau Neraka.
Mereka tidak dapat lagi menahan kemarahan,
mendapati Ki Denggis tewas dengan dada berlubang
berlumuran darah. Pemimpin-pemimpin padepokan
itu langsung memerintahkan para muridnya
menyebar, mencari pembunuh Ki Denggis.
Tidak ada seorang pun yang berani membantah.
Mereka segera melaksanakan perintah, walau di
dalam hati mencuat kegentaran.
TUJUH
Tidak ada seorang pun yang menyadari kalau
sebenarnya Bayu berputar mengelilingi bangunan
Padepokan Teratai Emas. Sehingga kini dia sudah
ada di bagian belakang bangunan itu. Bayu melihat
kalau bagian belakang tidak terjaga dengan ketat.
Tanpa banyak kesulitan, Pendekar Pulau Neraka
melompat naik ke atas pagar benteng yang tinggi.
"Hup!"
Mengagumkan sekali ilmu meringankan tubuh
yang dimiliki Pendekar Pulau Neraka. Hanya sekali
genjot, dia melesat tinggi ke atas, dan tahu-tahu
sudah berada di atas pagar benteng padepokan.
Hanya sebentar saja dia mengamati keadaan seki-
tarnya. Kemudian dengan gerakan yang ringan sekali,
tubuhnya melompat turun dari atas pagar benteng.
Sedikit pun tidak terdengar suara saat kedua telapak
kakinya menjejak tanah. Bayu cepat merundukkan
tubuh, ketika melihat dua orang berjalan dari arah
samping bangunan utama padepokan menuju ke
bagian belakang.
"Hep!"
Kembali Bayu melesat dengan kecepatan tinggi
sekali. Sehingga, tahu-tahu dirinya sudah berada di
belakang kedua orang penjaga itu. Sebelum ada yang
menyadari, Bayu sudah memberikan satu totokan
tepat pada tengkuk mereka, hingga tanpa bersuara
lagi, kedua orang itu ambruk tidaK sadarkan diri.
Sebentar Bayu mengamati keadaan sekitarnya.
Kemudian dia kembali melentingkan tubuh ke atas,
langsung hinggap di atas atap bangunan utama
Padepokan Teratai Emas.
Saat itu juga kening Bayu jadi berkerut. Dia melihat
di tengah-tengah halaman depan padepokan terdapat
sebatang tonggak dengan tambang yang menggeletak
di sekitarnya. Di sekitar tonggak itu juga banyak ter-
dapat tumpukan ranting kering. Sepertinya
padepokan ini sedang mempersiapkan sebuah
hukuman bakar hidup-hidup. Namun tidak ada
seorang pun yang terikat pada tonggak kayu itu.
"Hm..., apakah Wulan bisa menyelamatkan diri?
Siapa yang menyelamatkannya...?" pikir Bayu, ber-
tanya-tanya sendiri di dalam hati. "Atau mungkin
mereka mengurungnya di tempat lain...?"
Bayu berpikir keras mencari segala kemungkinan
yang terjadi pada diri si Gadis Seribu Nama itu.
Beberapa saat dia masih mengedarkan pandangan
berkeliling, merayapi keadaan sekitarnya yang terjaga
dengan ketat di bagian depan.
"Hm, sebaiknya aku periksa dulu seluruh tempat di
sini selagi masih malam," gumam Bayu bicara sendiri
di dalam hati.
Tanpa membuang-buang waktu, Pendekar Pulau
Neraka langsung bergerak seperti seekor kucing,
memeriksa setiap bagian di lingkungan padepokan
yang seperti benteng pertahanan ini. Dengan ilmu
meringankan tubuh yang dikuasainya, membuat
setiap gerakan langkahnya tidak menimbulkan suara
sedikit pun. Sehingga tidak ada seorang pun penjaga
yang mengetahuinya.
Bayu bergerak cepat memeriksa sampai ke bagian
dalam bangunan utama, dan beberapa bangunan
lainnya yang ada di lingkungan benteng Padepokan
Teratai Emas. Sudah seluruh bagian ditelitinya, tapi
Bayu tidak juga menemukan di mana adanya Wulan
Untari. Kini dia kembali ke bagian belakang
padepokan. Kemudian melesat keluar melompati
pagar benteng yang tinggi dan kokoh itu. Keadaan
yang gelap, membuat gerakan Pendekar Pulau
Neraka bisa lebih leluasa. Sebentar saja dirinya
sudah berada di luar padepokan.
"Aku yakin Wulan sudah bisa menyelamatkan diri,"
gumam Bayu bicara pada diri sendiri, setelah berada
di luar lingkungan benteng padepokan.
Beberapa saat dia memperhatikan padepokan
yang masih tenaga cjengan ketat itu. Kemudian dia
mengayunkan kaki meninggalkan Padepokan Teratai
Emas. Cepat sekali dia berjalan, karena meng-
gunakan ilmu meringankan tubuh. Sehingga sebentar
saja dia sudah jauh dari padepokan milik Nyai Kantil
itu.
Sementara itu Nyai Kantil memerintahkan murid-
muridnya membawa masuk mayat Ki Denggis.
Kemudian bersama ketiga sahabatnya dia membi-
carakan keadaan yang semakin terasa memburuk.
Mereka merasa bahwa keadaan seperti ini tidak akan
cepat berakhir, sebelum Sepasang Bangau Putih bisa
dilenyapkan untuk selamanya. Dan sekarang ini, tidak
diketahui di mana mereka berada. Meski begitu,
tokoh-tokoh tua itu merasa sedikit lega, karena sudah
bisa membuat lawan-lawan mereka terpencar-pencar.
Nyai Kantil sudah tahu kalau kedua anak muda itu
adalah murid Ki Sarpakenaka, yang memiliki ilmu
Bangau Putih. Mereka, juga tahu kelemahannya,
hingga memisahkan keduanya untuk mendapatkan
kelemahan ilmu Bangau Putih itu.
Sedangkan Bayu yang merasa yakin kalau Wulan
Untari sudah selamat dari tangan musuh-musuhnya,
berusaha mencari gadis itu di sekitar puncak Bukit
Angsa. Bahkan dia terus mencari sampai ke lereng
bukit. Namun sampai jauh malam, tidak juga dia bisa
menemukan jejak si Gadis Seribu Nama itu. Wulan
seakan lenyap tertelan bumi di malam yang gelap
tanpa bulan dan bintang ini. Bayu tetap mencari gadis
itu di sekitar lereng Bukit Angsa. Dia bertekad akan
terus mencari sampai Wulan Untari ditemukan,
meskipun hanya tinggal jasadnya. Tekad itu terus
membara di dada Pendekar Pulau Neraka, hingga
tidak peduli malam terus merambat semakin larut.
Tidak peduli udara di seluruh bu itu sudah terasa
begitu dingin menusuk sampai ke tulang.
***
Matahari baru saja muncul dari balik bukit. Ca-
hayanya menerangi sekitar Bukit Angsa yang keli-
hatan sunyi dan lengang. Sementara tidak jauh dari
kaki bukit itu, Perbawa duduk bersila dengan sikap
bersemadi di sebuah ruangan kecil, dalam sebuah
pondok yang sederhana. Di depan pemuda itu duduk
bersila seorang laki-laki tua berjubah putih yang
sudah memutih semua rambut dan janggutnya. Orang
tua itu tidak lepas memandangi Perbawa yang masih
bersemadi memulihkan kekuatan dan tenaga di
dalam tubuhnya.
Orang tua itu tampak tersenyum, saat melihat
Perbawa membuka kelopak matanya. Dia langsung
menyodorkan semangkuk air putih yang sejak tadi
ada di depannya. Tanpa ragu-ragu lagi, Perbawa
menerima mangkuk dari tanah Hat itu. Lalu meneguk
habis semua air di dalamnya. Dia meletakkan
mangkuk yang sudah kosong di atas balai bambu
yang didudukinya.
"Terima kasih, Ki Marunta," ucap Perbawa.
"Bagaimana? Sudah enak kan tubuhmu...?" tanya
orang tua yang bernama Ki Marunta itu.
"Aku merasa seperti hidup kembali dari kematian,
Ki. Terima kasih, kau sudah menolong menyembuh-
kan lukaku," sahut Perbawa.
"Syukurlah...! Aku senang kalau kau sudah sehat
kembali," ujar Ki Marunta.
Perbawa melihat pakaiannya teronggok di sebelah-
nya dalam keadaan sudah bersih. Ki Marunta ter-
senyum melihat Perbawa mengambil pakaian dan
langsung mengenakannya. Pedangnya disampirkan
ke punggung. Pemuda itu turun dari balai bambu yang
hanya beralaskan selembar tikar lusuh. Dia berlutut
di depan Ki Marunta. Tapi orang tua itu cepat
menyentuh pundak Perbawa dan membangunkannya.
"Tidak perlu kau bersikap begitu padaku, Perbawa.
Aku senang kalau kau sudah sembuh dan pulih
seperti sedia kala," kata Ki Marunta lembut.
"Di mana Kakang Bayu, Ki?" tanya Perbawa, begitu
teringat dengan Pendekar Pulau Neraka yang mem-
bawanya ke tabib tua ini semalam.
"Dia kembali ke Bukit Angsa. Katanya mau
membebaskan adikmu yang ditawan mereka," sahut
Ki Marunta.
"Oh, Wulan.... Dia ditawan mereka...?"
Perbawa tidak dapat menyembunyikan keter-
kejutannya. Dia tidak tahu kalau Wulan Untari ter-
tangkap.
"Kau tunggu saja di sini sampai Bayu kembali,"
kata Ki Marunta.
"Tapi, Ki. Aku harus membantunya. Kekuatan
mereka besar sekali," kata Perbawa.
"Aku kenal betul siapa Bayu.. Aku yakin dia tak
akan berbuat gegabah menyelamatkan adikmu.
Percayalah, dia pasti kembali bersama adikmu yang
ditawan mereka!" kata Ki Marunta menyabarkan.
Walaupun perasaannya tidak bisa tenang,
Perbawa tidak mau mengecewakan hati tabib tua
yang sudah menolong nyawanya ini. Dia kembali
duduk di tepi balai bambu. Namun Ki Marunta malah
bangkit berdiri dan berjalan keluar dari ruangan yang
berukuran kecil itu. Perbawa mengikutinya dari
belakang. Keduanya langsung keluar dari gu-buk kecil
yang sangat sederhana itu. Mereka kemudian duduk
di bangku yang terbuat dari bambu di depan rumah.
Sebuah pohon beringin melindungi mereka dari
sengatan sinar matahari.
"Sudah berapa lama kau kenal dengan Kakang
Bayu, Ki?" tanya Perbawa setelah beberapa saat
mereka terdiam.
"Lama juga...," sahut Ki Marunta tanpa memaling-
kan pandangannya sedikit pun dari puncak Bukit
Angsa.
"Apakah dia seorang pendekar tangguh, Ki?" tanya
Perbawa lagi, ingin tahu siapa sebenarnya pemuda,
berbaju kulit harimau itu.
"Benar, Perbawa. Kepandaian yang dimilikinya
sukar dicari tandingannya. Dan dia itu dikenal dengan
nama Pendekar Pulau Neraka," sahut Ki Marunta
menjelaskan.
"Pendekar Pulau Neraka...?" .
Lagi-lagi Perbawa terkejut, meskipun sebelumnya
sudah tahu kalau pemuda berbaju kulit harimau itu
Pendekar Pulau Neraka. Sebab kemarin Untari telah
menjelaskannya tentang pendekar muda yang sangat
disegani semua orang di kalangan rimba persilatan
itu. Sering dia mendengar sepak terjang Pendekar
Pulau Neraka, tapi baru kali ini dirinya yakin, setelah
mendengar dari Ki Marunta, bahwa ternyata
pendekar muda digdaya itu yang menyelamatkan
nyawanya dari kematian di puncak Bukit Angsa.
Pantas saja Ki Marunta begitu percaya pada Bayu,
karena kemampuannya bisa diandalkan untuk
menembus benteng pertahanan Padepokan Teratai
Emas.
"Ki, itu mereka...!" seru Perbawa tiba-tiba.
Ki Marunta hanya tersenyum saja melihat Bayu
berjalan sambil menggendong seorang gadis berbaju
putih yang terkulai lemah seperti mati. Melihat
keadaan Wulan seperti itu, Perbawa jadi terkesiap.
Bergegas dia mengejar Pendekar Pulau Neraka.
Perbawa langsung menggantikan Bayu menggendong
Wulan dan membawanya ke pondok Ki Marunta.
"Dia masih hidup?" tanya Ki Marunta langsung,
begitu kedua pemuda ini sampai di depannya.
"Masih, Ki," sahut Bayu.
"Bawa dia ke dalam, Perbawa!" pinta Ki Marunta.
Perbawa segera membawa Wulan Untari masuk ke
pondok tabib tua ini. Sementara Bayu menunggu di
luar bersama Tiren yang tetap berada di pundaknya.
Tidak lama Perbawa keluar lagi. Dia langsung duduk
di samping Pendekar Pulau Neraka.
"Untung kau cepat menyelamatkannya, Kakang.
Tapi keadaannya tidak separah dari yang aku derita,"
kata Perbawa.
Bayu hanya menghembuskan napasnya panjang-
panjang. Pandangannya tertuju lurus ke arah puncak
Bukit Angsa. Perbawa juga terdiam membisu. Mata-
nya juga memandang ke arah yang sama. Entah apa
yang ada di dalam benak kedua pemuda itu.
Sementara Ki Marunta sibuk mengobati luka-luka
yang diderita Wulan Untari di dalam pondoknya.
***
Dua hari Wulan Untari berada dalam perawatan
tabib tua Ki Marunta. Keadaan gadis itu sudah
kembali pulih seperti semula. Selama dua hari itu,
Bayu pun terus menyebdiki keadaan di Padepoka
Teratai Emas. Sedangkan Perbawa harus menunggui
Wulan hingga gadis itu benar-benar pulih keadaan-
nya. Dan setiap kali Bayu kembali ke pondok Ki
Marunta, dia selalu mengatakan kalaukKeadaan di
puncak Bukit Angsa masih tetap sama. Bahkan
penjagaannya semakin bertambah ketat. Bukan
hanya di dalam saja, penjagaan juga dilakukan di luar
bangunan padepokan yang seperti benteng per-
tahanan itu.
"Lalu, bagaimana kita menembusnya...?" tanya
Wulan Untari, ketika sore itu mereka berkumpul di
depan pondok Ki Marunta.
Bayu hanya diam mendengar pertanyaan Wulan.
Dia tidak tahu apa yang harus dikatakannya untuk
menyenangkan hati gadis ini. Karena memang tidak
ada satu cara pun yang terbaik untuk menembus
ketatnya penjagaan di Padepokan Teratai Emas.
Namun Bayu juga tidak ingin membuat Sepasang
Bangau Putih jadi kecewa. Dia merasa sudah terlalu
dalam mencampuri urusan mereka. Apa pun yang
terjadi, dirinya sudah berada di pihak Sepasang
Bangau Putih.
"Malam nanti kita ke sana. Kita coba menembus
pertahanan mereka," kata Bayu memutuskan.
"Kau sudah punya cara, Bayu?" tanya Ki Marunta
yang ikut dalam pembicaraan itu.
"Belum, Ki," sahut Bayu.
"Lalu, bagaimana kau akan menembus pertahanan
mereka?" tanya Ki Marunta lagi.
"Mudah-mudahan saja malam nanti pertahanan
mereka berkurang," sahut Bayu seraya tersenyum.
Ki Marunta mengangguk-anggukkan kepalanya.
Dia seakan bisa memahami arti senyuman Pendekar
Pulau Neraka itu. Sedangkan Wulan Untari dan
Perbawa hanya saling berpandangan. Mereka
memang tidak bisa mengetahui jalan pikiran
Pendekar Pulau Neraka. Mereka terus diliputi
kebimbangan, karena tidak tahu cara yang tepat
untuk menembus pertahanan yang ketat di
Padepokan Teratai Emas.
"Sebaiknya kalian persiapkan diri untuk malam
nanti," kata Bayu seraya menatap pada Wulan Untari
dan Perbawa.
"Benar, mungkin saja malam nanti kalian akan
menguras seluruh kemampuan yang kalian miliki,"
sambung Ki Marunta.
"Tapi ingat, kalian jangan lagi terpisah. Kalian bisa
lemah dan mudah ditaklukkan kalau terpisah. Ingat
dengan pengalaman yang sudah terjadi pada diri
kalian sendiri. Bukankah hal itu sudah pernah terjadi
pada guru kalian?" tukas Bayu memperingat kan.
Wulan dan Perbawa hanya menganggukkan
kepala. Sudah tentu keduanya tidak mau lagi meng-
ulangi kesalahan yang hampir saja membuat nyawa
mereka berdua melayang.
"Pergilah kalian ke belakang! Ada tempat yang
cocok untuk kalian mempersiapkan diri," ujar Ki
Marunta.
Sebentar kedua anak muda yang dijuluki
Sepasang Bangau Putih itu saling berpandangan.
Kemudian mereka beranjak pergi dari depan pondok
ta-bib tua Ki Marunta. Keduanya langsung menuju ke
belakang melalui jalan samping pondok. Sementara
Bayu hanya memandangi dengan bibir menyungging-
kan senyuman.
Tidak lama kemudian, sudah terdengar teriakan-
teriakan kedua anak muda itu berlatih, mempersiap-
kan diri untuk menghadapi orang-orang di Padepokan
Teratai Emas. Bayu kembali memandang pada Ki
Marunta. Terlihat kepala orang tua itu bergerak
terangguk-angguk perlahan-lahan beberapa kali.
"Kenapa kau sembunyikan hal sebenarnya pada
mereka, Bayu?" tanya Ki Marunta langsung menegur
Pendekar Pulau Neraka itu.
"Aku tidak ingin mereka menganggap enteng
lawan-lawannya, Ki. Mereka sudah melakukan
kesalahan sekali. Dan aku tidak ingin kesalahan itu
terulang kembali. Biar mereka menganggap lawan
kali ini merupakan lawan yang berat," sahut Bayu.
"Tapi sebenarnya kau sudah mengurangi kekuatan
mereka, kan...?" desak Ki Marunta.
"Ya.... Begitulah, Ki. Aku sudah mengurangi tiga
orang dari kekuatan mereka. Tinggal Nyai Kantil dan
Ki Rampak saja yang belum. Juga orang-orang
mereka kini tinggal sedikit lagi," sahut Bayu.
"Selama dua hari ini kau sudah mengurangi
kekuatan mereka begitu banyak...?" Kali ini Ki
Marunta jadi terlongong heran.
"Sebenarnya kekuatan mereka tidak seberapa, Ki.
Hanya saja Perbawa dan Wulan terlalu yakin akan
kemampuannya sendiri, hingga mereka menganggap
kecil lawan-lawannya. Dan itu satu kesalahan yang
sangat besar. Kesalahan itu tidak boleh terulang
kembali kalau keduanya ingin berhasil menumpas
mereka," kata Bayu menjelaskan.
"Kau memang pintar, Bayu," puji Ki Marunta.
"Sebenarnya aku sendiri tidak ingin mencampuri
urusan ini, Ki. Tapi karena guru mereka adalah
sahabat guruku, bahkan bisa dikatakan bersaudara,
jadi aku tidak bisa melihat mereka menghadapi
bahaya sendiri. Bagaimanapun aku harus turun
tangan membantu. Dan mereka memang sudah
pantas mendapat ganjaran seperti itu. Apalagi tujuan
mereka mendirikan padepokan, untuk memperkuat
diri dan mengulangi kejayaan mereka di masa lalu.
Kau bisa bayangkan, Ki. Bagaimana kalau mereka
benar-benar kuat dan menguasai seluruh rimba
persilatan...? Dunia ini akan hancur kalau sampai
orang-orang seperti mereka menguasainya," panjang
lebar Bayu menjelaskan.
Ki Marunta. hanya mengangguk-anggukkan kepala
mendengar penuturan Pendekar Pulau Neraka itu.
Dia sendiri sebenarnya sudah tahu kalau Nyai Kantil
dan yang lainnya mendirikan padepokan hanya untuk
membangun kembali kekuatan dan kejayaan masa
lalunya. Orang tua itu sebenarnya senang kalau
orang-orang itu dapat dihancurkan sebelum bisa
menguasai seluruh dunia ini dengan menyebar
kejahatan di mana-mana. Apalagi dalam persoalan
ini, Pendekar Pulau Neraka ikut campur tangan.
Walaupun kehadirannya tanpa disengaja. Dan
mungkin ini memang sudah menjadi kehendak Sang
Hyang Widi, yang tidak menginginkan orang-orang
seperti Nyai Kantil dan Ki Denggis menguasai dunia
yang memang sudah hancur ini.
"Aku pergi dulu, Ki," ujar Bayu tiba-tiba seraya
bangkit berdiri.
"Kau mau ke mana, Bayu?" tanya Ki Marunta.
"Aku akan mengurangi kekuatan mereka sedikit
lagi untuk malam nanti," sahut Bayu seraya ter-
senyum.
"Hati-hatilah kau, Bayu! Jangan sampai kau celaka
karenanya," ujar Ki Marunta menasihati.
Bayu hanya tersenyum. Setelah dia menjura mem-
beri hormat pada orang tua itu, kakinya langsung saja
terayun melangkah pergi meninggalkannya. Ki
Marunta hanya memandangi kepergian Pendekar
Pulau Neraka. Sementara dari belakang pondoknya
masih terdengar teriakan-teriakan Sepasang Bangau
Putih yang sedang mempersiapkan diri untuk
pertarungan malam nanti di Padepokan Teratai Emas.
Ki Marunta baru beranjak ke belakang pondoknya,
setelah tidak lagi melihat Pendekar Pulau Neraka
yang lenyap tertelan lebatnya hutan di kaki Bukit
Angsa.
***
DELAPAN
Malam begitu pekat. Tidak sedikit pun terlihat cahaya
bintang maupun bulan di langit yang gelap berselimut
awan hitam menggumpal. Angin yang berhembus di
seluruh daerah Bukit Angsa terasa begitu dingin
menusuk sampai ke tulang. Namun keadaan alam
yang seakan tidak ramah ini, sama sekali tidak
menghalangi tiga orang pendekar muda yang menuju
ke puncak bukit itu. Mereka melangkah dengan
ayunan kaki yang mantap, tanpa peduli kegelapan
menyelimuti sekitarnya. Tidak peduli terpaan angin
dingin yang menggigilkan. Tidak peduli dengan kabut
yang menghalangi pandangan mata. Mereka terus
melangkah dengan hati mantap mendaki lereng bukit
yang menghitam pekat terselimut kabut.
Langkah mereka baru berhenti setelah sampai di
depan sebuah bangunan padepokan. Tampak
bangunan itu seperti tidak terjaga dengan ketat.
Keadaannya lengang sekali. Seakan-akan bangunan
besar bagai benteng itu sudah ditinggalkan penghuni-
nya. Sepasang Bangau Putih yang mengapit Pendekar
Pulau Neraka jadi saling berpandangan melihat
keadaan yang sungguh di luar dugaan. Tidak seperti
ketika pertama kali mereka datang ke tempat ini,
penjagaannya ketat sekali. Bahkan kini di atas pagar
benteng, tidak terlihat seorang pun di sana dengan
anak panah siap dilepaskan dari busurnya.
"Jangan-jangan mereka sudah pergi...," gumam
Wulan Untari.
"Mungkin juga ini jebakan," selak Perbawa. "Kita
harus hati-hati dengan keadaan seperti ini."
Sepasang Bangau Putih itu terus menduga-duga.
Sedangkan Bayu nampak diam saja. Dia tahu kalau
kekuatan yang dimiliki Nyai Kantil dan Ki Rampak
tidak bisa lagi mengatur penjagaan yang ketat di
dalam bangunan benteng padepokan itu. Dan murid-
murid yang mereka miliki juga tidak seberapa lagi
jumlahnya. Sudah barang tentu keadaan di
Padepokan Teratai Emas sunyi, seperti tidak ber-
penghuni lagi.
"Ayo, kita dekati!" ajak Bayu. Tanpa menunggu
jawaban lagi, Pendekar Pulau Neraka melangkah
mendekati bangunan Padepokan Teratai Emas.
Sementara Perbawa dan Wulan Untari mengikuti dari
belakang, setelah mereka saling berpandangan
sejenak. Tanpa ada halangan apa pun, mereka
sampai di depan pintu gerbang benteng padepokan
itu. Sebentar Bayu mengamati. Kemudian....
"Yeaaah...!"
Tiba-tiba saja Pendekar Pulau Neraka berteriak.
keras menggelegar. Dan bagaikan kilat dia mengi-
baskan tangan kanannya ke depan, bersamaan
dengan tubuhnya yang bergerak membungkuk.
Seketika Cakra Maut yang berada di pergelangan
tangan kanannya melesat dengan kecepatan bagai
kilat. Senjata maut andalan Pendekar Pulau Neraka
itu langsung menghantam pintu gerbang Padepokan
Teratai Emas.
Glarrr!
Sungguh dahsyat sekali senjata Pendekar Pulau
Neraka itu. Pintu gerbang yang tebal seketika hancur
berkeping-keping diterjangnya. Dan senjata bundar
bersegi enam itu melesat balik, langsung menempel
di pergelangan tangan kanan Bayu yang terangkat ke
atas kepala.
"Hup!"
Tanpa membuang-buang waktu, Pendekar Pulau
Neraka langsung melesat dengan cepat sekali
menerobos pintu gerbang yang sudah hancur
berkeping-keping. Namun begitu kakinya menjejak
tanah, seketika puluhan batang anak panah menyam-
butnya dengan gencar bagai hujan.
"Hup! Yeaaah...!"
Cepat sekali Bayu melentingkan tubuh ke atas,
dan berputaran menghindari terjangan panah yang
menghujaninya. Tangan kanannya mengibas dengan
cepat, menyampok anak-anak panah itu dengan
Cakra Maut yang menempel di pergelangan.
Sementara Sepasang Bangau Putih juga sudah
menerobos ke dalam bangunan benteng Padepokan
Teratai Emas. Mereka langsung melompat sambil
mencabut pedang dan menghalau panah-panah yang
menghujani Pendekar Pulau Neraka. Tidak satu
batang anak panah pun yang bisa menembus tubuh
mereka. Bahkan pendekar-pendekar muda itu
mampu menerobos, dan langsung menghantam
murid-murid Padepokan Teratai Emas ini.
"Hiyaaaa...!"
"Yeaaaah...!"
***
Jeritan-jeritan panjang menyayat seketika ter-
dengar bersahutan. Disusul dengan ambruknya
tubuh-tubuh bersimbah darah. Bayu dan Sepasang
Bangau Putih memang bukan tandingan mereka.
Hingga dalam waktu singkat saja sudah tidak ter-
hitung lagi berapa orang yang mati terkapar ber
lumuran darah. Sementara itu Bayu sudah mendekati
bangunan utama Padepokan Teratai Emas. Namun,
begitu dia hendak menerobos ke dalam bangunan itu,
mendadak saja melesat dua bayangan dan langsung
menerjangnya.
"Hup! Yeaaah...!"
Dengan cepat Bayu melenting ke atas, hingga dua
bayangan yang menerjangnya lewat sedikit di bawah
tubuhnya yang berputaran di udara. Manis sekali
Pendekar Pulau Neraka menjejakkan kaki kembali ke
tanah. Cepat dia memutar tubuh berbalik, bersamaan
dengan meluruknya dua orang tua ke arahnya dengan
kecepatan tinggi.
"Hiyaaa...!"
Pendekar Pulau Neraka langsung mengebutkan
tangan kanannya ke depan. Dan bersamaan dengan
itu dia melesat ke atas, lalu meluruk deras ke arah
Nyai Kantil. Satu pukulan menggeledek yang disertai
pengerahan tenaga dalam tinggi seketika dilepaskan
dengan cepat sekali. Begitu cepatnya serangan yang
dilancarkan pemuda berbaju kulit harimau itu,
membuat Nyai Kantil jadi terbeliak kaget setengah
mati. Sementara itu Ki Rampak terpaksa harus
berjumpalitan menghindari serangan Cakra Maut
yang bagai memiliki mata, berkelebatan mengincar
tubuhnya.
"Hap!"
Nyai Kantil cepat meliukkan tubuhnya, meng-
hindari pukulan yang dilepaskan pemuda berbaju
kulit harimau itu. Namun tanpa diduga sama sekali,
Bayu memutar tubuhnya dengan cepat sambil me-
lepaskan satu tendangan menggeledek yang me-
ngandung pengerahan tenaga dalam tinggi. Serangan
beruntun yang dilancarkan dengan kecepatan tinggi
itu membuat lawan tidak dapat lagi menghindari.
Diegkh!
"Akh...!"
Perempuan tua itu memekik keras agak tertahan,
begitu tendangan yang dilepaskan Bayu menghantam
telak dadanya. Tubuh perempuan tua itu terpental
cukup jauh ke belakang dan dengan keras sekali
menghantam tanah. Kembali Nyai Kantil memekik
keras agak tertahan. Pada saat yang bersamaan,
Bayu menghentakkan tangan kanan ke arah
perempuan tua itu. Seketika Cakra Maut yang sedang
menyerang Ki Rampak langsung berputar arah
dengan cepat, memburu Nyai Kantil.
Wusss!
Begitu cepatnya Cakra Maut melesat, membuat
Nyai Kantil tidak punya kesempatan lagi menghindar.
Terlebih lagi dia belum bisa mengurangi rasa nyeri
yang menghantam dadanya, akibat tendangan keras
Pendekar Pulau Neraka tadi. Hingga...,
Crab!
"Aaaa...!"
Nyai Kantil menjerit melengking ketika Cakra Maut
menghujam deras dadanya hingga langsung melesat
keluar lagi melalui punggung. Perempuan tua itu
terhuyung-huyung ke belakang dengann darah
berhamburan deras dari lubang di dada dan
punggungnya. Hanya beberapa saat perempuan tua
itu masih mampu bertahan berdiri. Kemudian
tubuhnya ambruk menggelimpang ke tanah. Sebentar
dia menggeliat meregang nyawa. Kemudian
mengejang kaku, dan diam tidak bergerak-gerak lagi-
Kematian Nyai Kantil membuat Kr Rampak tampak
pucat dan tegang. Kegentaran seketika menyelimuti
seluruh rongga dadanya. Sementara Bayu berdiri
tegak dengan Cakra Maut sudah kembali menempel
di pergelangan tangan kanannya. Dalam pandangan
Ki Rampak, Pendekar Pulau Neraka bagaikan sosok
malaikat maut yang siap mencabut nyawanya.
Sementara di lain tempat, tampak Sepasang
Bangau Putih sudah menguasai jalannya per-
tarungan. Tidak ada lagi yang bisa menahan
gempuran sepasang pendekar muda itu. Jeritan-
jeritan kematian pun terus terdengar saling sambut
menggiriskan hati. Namun Perbawa dan Wulan Untari
benar-benar tidak memberi kesempatan pada lawan-
lawannya untuk tetap hidup. Walaupun tidak ada lagi
yang sanggup menahan gempurannya, mereka tetap
menghajar semua lawan tanpa memberi ampun
sedikit pun. Hingga jeritan-jeritan kematian pun terus
terdengar saling sambut.
Sementara Ki Rampak sendiri tidak punya pilihan
lain lagi. Walau sudah menyadari tidak akan mampu
menghadapi Pendekar Pulau Neraka, dia tetap
melompat melakukan serangan.
***
Malam yang dingin ini terasa hangat di puncak
Bukit Angsa. Jeritan-jeritan kematian terus terdengar
sating sambut dan menyayat. Sementara Wulan
Untari sudah meninggalkan lawan-lawannya. Dengan
sebuah obor, dia membakar seluruh bangunan
Padepokan Teratai Emas.
Api cepat sekali berkobar membakar seluruh
bangunan padepokan di puncak Bukit Angsa itu.
Membuat suasananya yang memang sudah hangat
semakin bertambah panas membara. Api yang
melumat habis bangunan padepokan membuat
suasana seakan bagai berada dalam neraka.
Sementara Bayu masih menghadapi Ki Rampak yang
menyerangnya dengan gencar. Orang tua itu seakan
tidak ingin memberi kesempatan pada Pendekar
Pulau Neraka untuk memberikan serangan balasan.
"Berikan dia padaku, Kakang...!"
Bayu cepat melompat ke belakang, ketika melihat
Wulan Untari melesat dengan cepat sekali menerjang
Ki Rampak. Dengan pedangnya, Wulan mencecar,
hingga orang tua itu terpaksa harus berjumpalitan
menghindariya. Dan kali ini Ki Rampak sendiri yang
tidak punya kesempatan untuk melakukan serangan.
Gempuran yang dilakukan Wulan begitu cepat dan
beruntun, membuat dirinya kian terdesak.
Sementara Bayu terpaksa harus jadi penonton. Dia
melihat kalau Perbawa sudah hampir menyelesaikan
pertarungannya. Hanya tinggal lima orang yang
menjadi lawannya. Namun dalam waktu tidak berapa
lama, pemuda itu sudah dapat menghabiskan lawan-
lawannya tanpa tersisa seorang pun. Dan tanpa
membuang-buang waktu lagi, Perbawa langsung
melompat membantu Wulan Untari menyerang Ki
Rampak.
"Gunakan jurus Bangau Putih, Untari...!" seru
Perbawa. "Hiyaaat..!"
"Yeaaah...!"
Sepasang Bangau Putih langsung mengerahkan
jurus andalan mereka yang begitu cepat. Serangan-
serangan mereka sangat beruntun dan silih berganti,
membuat Ki Rampak semakin kelabakan meng-
hadapinya. Sementara Bayu yang kini hanya menjadi
penonton, bisa melihat kalau Ki Rampak tidak akan
mampu bertahan lebih lama menghadapi serangan
Sepasang Bangau Putih yang begitu gencar dan silih
berganti dengan cepat.
"Awas kaki...!" seru Perbawa tiba-tiba.
Wuttt!
"Heh ..?! Ups!"
Ki Rampak terkejut setengah mati, ketika tiba-tiba
pedang Perbawa berkelebat cepat mengarah ke
kakinya. Cepat dia melompat ke atas menghindari
serangan lawan. Dan pada saat yang bersamaan,
Wulan Untari sudah melesat ke atas sambil meng-
hunjamkan pedangnya tepat ke dada orang tua itu.
Begitu cepat serangan yang hampir bersamaan itu
membuat Ki Rampak tidak dapat lagi menghindari
hunjaman pedang Wulan Untari. Dan.... Jreps!
"Aaaa...!"
Orang tua itu menjerit nyaring, ketika pedang di
tangan Wulan Untari menghunjam dalam sekali ke
dadanya, hingga langsung tembus ke punggung. Dan
ketika Wulan mencabutnya, darah menyemburat
keluar dari dada orang tua itu.
Tampak Ki Rampak terhuyung-huyung sambil men-
dekap dadanya. Dan pada saat itu, Perbawa sudah
melompat sambil berteriak keras menggelegar. Dan
secepat kilat dikibaskan pedangnya tepat mengarah
ke leher lawan yang sudah tidak mungkin lagi bisa
berkelit menghindarinya.
Cras!
Tidak ada lagi suara jeritan terdengar, ketika
pedang Perbawa menebas leher Ki Rampak hingga
buntung. Kepala orang tua itu jatuh menggelinding ke
tanah. Sementara tubuhnya beberapa saat masih
bisa berdiri, tapi kemudian jatuh menggelimpang di
antara mayat-mayat yang sudah sejak tadi memenuhi
halaman depan Padepokan Teratai Emas. Hanya
beberapa saat tubuh yang sudah tidak berkepala itu
menggelepar. Setelah itu diam tidak bergerak-gerak
lagi. Darah terus berhamburan keluar dari dada,
punggung, dan lehemya yang sudah buntung.
Sepasang' Bangau Putih segera menghampiri Bayu
yang sejak tadi hanya memperhatikan tindakan
mereka. Sementara itu, api semakin besar berkobar
menghanguskan seluruh bangunan Padepokan
Teratai Emas. Cahayanya seakan menerangi seluruh
puncak Bukit Angsa yang gelap berselimut kabut
tebal. Udara yang tadi terasa dingin, kini hangat oleh
kobaran api yang membakar hangus seluruh
bangunan padepokan.
"Ayo, kita pergi!" ajak Bayu.
Tanpa menunggu jawaban lagi, Pendekar Pulau
Neraka melangkah meninggalkan padepokan yang
sudah hancur itu. Sepasang Bangau Putih pun segera
beranjak pergi tanpa banyak bicara lagi. Dendam
mereka benar-benar sudah terbalas. Entah apa yang
akan mereka lakukan selanjutnya. Sedangkan Bayu
sendiri terus berjalan tanpa mengucap sepatah kata
pun. Dia juga tidak tahu apa yang harus dikatakannya
melihat tindakan pendekar-pendekar muda itu dalam
membalaskan dendam guru mereka.
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar