SATU
"Aaa...!"
Jeritan panjang melengking terdengar begitu keras
memecah kesunyiaan malam yang harusnya sunyi dan tenang.
Begitu kerasnya sehingga semua penduduk Desa Kalipasir
yang sedang terlelap dalam tidurnya jadi terbangun. Sebentar
saja, orang-orang satu persatu mulai keluar dari rumahnya,
dengan obor di tangan. Dan kini desa itu pun Jadi terang
benderang.
Begitu tiba di jalan utama desa itu, mereka dikejutkan oleh
munculnya seorang laki-laki dalam keadaan terhuyung-
huyung. Dia tengah berlari sambil mendekap dadanya.
Tampak darah mengucur deras dari sela-sela jari tangannya
yang mendekap dada. Dan begitu sampai, tubuhnya langsung
menggelimpang di depan orang-orang yang baru keluar dari
rumah sambil membawa obor.
"Kasdi...?!"
Penduduk Desa Kalipasir itu semakin terkejut, begitu
mengenali siapa yang jatuh tersungkur dengan luka
menganga di dadanya ini. Merela semua tahu, Kasdi adalah
murid Eyang Jambak, Ketua Padepokan Tongkat Putih yang
terletak tidak jauh dari desa Kalipasir. Dan ketika melihat
sebuah bintang perak tertanam di kening Kasdi, seketika itu
juga merela mundur menjauhi tubuh yang sudah terbujur
kaku dengan darah terus mengucur dari dadanya yang terluka
cukup besar.
"Pendekar Pulau Neraka..."
Terdengar gumaman-gumaman kecil yang agak tertahan,
begitu terlihat sebuah benda berwarna perak berbentuk
bintang yang menancap di kening Kasdi. Entah kenapa,
mereka begitu takut. Sehingga, tidak seorang pun yang berani
mendekati tubuh anak muda yang malang itu. Dan mereka
hanya memandangi saja dengan raut wajah pucat Bahkan
tidak sedikit yang kembali masuk ke dalam rumahnya, lalu
mengunci pintu rapat-rapat
"Ayo, kita kembali saja...!" ajak salah seorang, tiba-tiba.
Dan seketika itu juga, mereka bergegas kembali ke rumah
masing-masing, seperti tidak ingin menghiraukan Kasdi yang
sudah tidak bernyawa lagi. Sebentar saja jalan desa yang tadi
ramai, kini jadi sunyi senyap tanpa seorang pun terlihat di
sana. Tinggal tubuh Kasdi saja yang terbujur kaku dan
semakin dingin di tengah-tengah jalan utama yang agak
lembab berembun itu.
Namun belum juga para penduduk desa masuk kembali ke
dalam rumah masing-masing, dari ujung jalan terlihat seorang
laki-laki tua berjalan tergesa-gesa. Jubah putihnya yang
panjang berkibar-kibar tertiup angin malam yang cukup dingin
ini. Sementara di belakangnya sekitar dua puluh orang anak
muda mengikuti dari belakang. Mereka semuanya tampak
menyandang golok di pinggang. Laki-laki tua itu berjalan
sambil mengayun-ayunkan tongkat kayu yang bagian atasnya
berbentuk bulan berwarna putih. Dan begitu mereka sampai di
dekat tubuh Kasdi yang sudah terbujur kaku, mereka langsung
berhenti.
"Angkat dia...! Bawa ke padepokan," perintah laki laki tua
berjubah putih itu. Suaranya terdengar cukup berat
Tanpa diperintah dua kali, empat orang anak muda yang
mengikuti bergegas mendekati Kasdi. Segera digotong dan
dibawanya mayat itu pergi dari tempat ini. Sedangkan yang
lainnya tetap diam, seperti menunggu perintah selanjutnya.
Sementara Itu, dari lubang-lubang di balik jendela rumah-
rumah yang ada di sekitar jalan ini, terlihat beberapa bola
mata mengintip memperhatikan. Tapi, tidak ada seorang pun
yang berani menampakkan diri. Mereka tahu, orang tua
berjubah putih yang baru datang itu adalah Eyang Jambak.
Sementara, Eyang Jambak sendiri mengedarkan
pandangannya ke sekeliling. Tampak begitu tajam sorot
matanya Sementara bibirnya yang hampir tertutup kumis
putih, tampak terkatup rapat Sedangkan sepasang rahangnya
yang keras bertonjolan, tampak bagai sedang menahan
amarah yang sangat dalam hatinya. Wajahnya juga terlihat
memerah. Sehingga, tidak ada seorang pun dari anak-anak
muda yang mengikutinya berani memandang wajahnya.
"Kalian menyebar! Cari Pendekar Pulau Neraka keparat
itu...!" perintah Eyang Jambak lagi. "Ingat..! Jangan ada
seorang pun yang mengganggu ketentraman penduduk!"
Tanpa ada yang menjawab, murid-murid Padepokan
Tongkat Putih itu bergerak cepat, menyebar ke segala arah.
Sementara, Eyang Jambak sendiri masih tetap berdiri tegak di
tengah-tengah jalan tanah yang membelah desa Kalipasir ini.
Pandangannya terus beredar ke sekeliling, dan langsung
tertuju pada seorang laki-laki berusia separo baya. Laki-laki
berbaju agak lusuh itu, tiba-tiba saja muncul di depan pintu
sebuah rumah yang berhalaman tidak begitu besar.
Sebentar Eyang Jambak memandangi. Kemudian
melangkah menghampiri. Sementara, orang yang baru keluar
dari rumahnya itu berjalan menyeberangi halaman depan
rumahnya. Dan mereka bertemu tepat di pintu pagar yang
terbuat dari potongan bambu. Beberapa saat mereka terdiam,
hanya saling berpandangan.
***
"Maaf... Bukan maksudku mengganggu ketentraman
desamu ini, Gataka," ucap Eyang Jambak agak datar nada
suaranya.
"Kami merasa tidak terganggu, Eyang," sahut Gataka
ramah. "Justru kami senang melihat kedatanganmu di sini."
sahut laki-laki separo baya yang dipanggil Gataka.
"Kau tahu, ke mana perginya Pendekar Pulau Neraka?"
tanya Eyang Jambak langsung.
Gataka hanya menggelengkan kepalanya.
"Hmmm...," Eyang Jambak jadi menggumam kecil.
"Tidak ada seorang pun yang melihat kejadiannya, Eyang.
Dan lagi, semua penduduk di sini juga sudah tidur," jelas
Gataka, seperti tidak ingin ikut terlibat dalam persoalan ini.
"Pembunuh muridku itu harus ditangkap dan dihukum
setimpal dengan perbuatannya. Sudah lima orang muridku
yang mati di tangannya. Bahkan sudah tiga orang penduduk
desa mati dibunuhnya. Aku tidak ingin ada korban lebih
banyak lagi. Maka kuharap, kau dan semua penduduk desa ini
membantuku menangkap pembunuh itu," ujar Eyang Jambak.
"Kabarnya, Pendekar Pulau Neraka sangat tangguh dan
sukar ditandingi, Eyang...," kata Gataka, agak ragu-ragu
suaranya.
"Setangguh apapun dia, perbuatannya tidak bisa didiamkan
begitu saja. Yang jelas, dia harus mendapat ganjaran
setimpal, Hh...! Mana pantas dia menyandang gelar
pendekar," terdengar agak tinggi nada suara Eyang Jambak
"Aku dan semua penduduk desa ini akan membantumu,
Eyang. Tapi..., mungkin bantuan itu tidak ada artinya
bagimu," sergah Gataka, bernada merendahkan diri.
"Justru bantuan penduduk di sini sangat aku perlukan,
Gataka," selak Eyang Jambak cepat. "Tanpa bantuan
penduduk desamu, rasanya sulit untuk membekuk pendekar
murtad itu."
"Lalu, apa yang harus kulakukan untuk membantumu...?"
tanya Gataka.
"Amati siapa saja yang masuk ke desa ini. Kalau sikapnya
mencurigakan cepat laporkan padaku di padepokan." kata
Eyang Jambak meminta.
"Baik, Eyang," sahut Gataka mantap.
Saat itu, murid-murid Eyang Jambak kembali tanpa
membawa hasil yang diinginkan. Mereka lalu berkumpul di
belakang gurunya Ini. Sementara, beberapa orang penduduk
sudah mulai keluar dari rumahnya masing-masing. Tapi
mereka hanya berdiri saja di depan pintu, tanpa ada seorang
pun yang mendekati. Eyang Jambak kembali mengedarkan
pandangan ke sekeliling beberapa saat, kemudian kembali
menatap Gataka.
"Kuharap semua ini bisa cepat berhasil, Gataka. Aku tunggu
bantuanmu," kata Eyang Jambak.
"Kuusahakan, Eyang," sahut Gataka.
Tanpa bicara lagi, Eyang Jambak berbalik, dan melangkah
pergi meninggalkan Gataka seorang diri. Dan murid-muridnya
yang berjumlah sekitar tiga puluh orang mengikuti dari
belakang tanpa ada seorang pun yang bersuara.
Sementara itu, Gataka terus memandangi sampai mereka
lenyap dari pandangan, setelah berbelok ke kanan untuk
kembali ke padepokan. Kini Gataka pun bergegas kembali ke
rumahnya. Dan orang-orang yang tadi sempat keluar,
bergegas masuk kembali ke dalam rumah masing-masing.
Kini malam pun sunyi tanpa terdengar ada orang yang
berbicara lagi. Hanya desir angin dan gerit binatang malam
saja yang terdengar mengisi kesunyian malam.
***
Peristiwa yang terjadi di Desa Kalipasir, membuat Eyang
Jambak jadi bertambah sibuk. Kini ketua Padepokan Tongkat
Putih itu harus melayani tamu-tamu dari rimba persilatan yang
datang ke padepokannya. Mereka sudah mendengar tentang
pembantaian orang-orang tak bersalah yang konon dilakukan
oleh Pendekar Pulau Neraka yang kini sangat jauh berubah.
Dan sebenarnya tidak sedikit yang menyangsikan kalau
semua pembunuhan berantai itu adalah perbuatan Pendekar
Pulau Neraka. Terutama, mereka yang sudah mengenal betul
akan watak pendekar muda itu. Kesangsian memang
tergambar pada wajah orang-orang persilatan yang datang ke
padepokan Eyang Jambak. Mereka sengaja memang ingin
mencari bukti kebenarannya. Tapi setelah melihat senjata
yang selalu ada pada setiap korban, kesangsian itu semakin
dalam menyelimuti mereka semua.
Dan kekacauan ini tentu saja membuat tokoh-tokoh
golongan hitam jadi senang. Mereka yakin, dengan hasil itu
orang-orang persilatan golongan putih akan menjadi pecah.
Bahkan bukan tidak mungkin akan saling bunuh hanya untuk
membuktikan, apakah Pendekar Pulau Neraka sekarang benar-
benar menjadi pembunuh kejam.
Sementara itu jauh di luar Desa Kalipasir, Pendekar Pulau
Neraka tengah duduk mencangkung di atas batu di pinggir
sungai. Pemuda berwajah tampan yang selalu memakai baju
kulit harimau itu begitu asyik mempermainkan permukaan air
sungai dengan kakinya. Sementara seekor monyet kecil
berbulu hitam, seperti tidak mempedulikan keadaan
sekitarnya. Dia begitu nikmat menyantap setandan pisang.
"Sudah makanmu, Tiren...?" tanya Bayu sambil melirik
sedikit pada monyet kecilnya.
"Nguk...!"
Tiren menyeringai, memperlihatkan baris-baris giginya yang
kecil dan rapih. Kembali binatang itu menikmati makanannya
tanpa peduli pada Bayu yang sudah mulai tidak sabar
menunggu.
"Sudah sore, Tiren. Kita harus sampai di desa Kalipasir
untuk bermalam," ujar Bayu lagi.
"Nguk!"
Tiren mendongakkan kepalanya ke atas, mena-lap matahari
yang saat itu memang sudah tergelincir ke barat Dan sinarnya
pun tidak lagi terasa terik seperti tadi. Sementara, Pendekar
Pulau Neraka sudah mengeluarkan kakinya dari dalam sungai.
Dia melompat turun dari atas batu yang didudukinya,
kemudian melangkah menghampiri monyet kecilnya.
Sedangkan Tiren jadi mencerecet ribut, «perti tidak suka
makannya diganggu. Tapi binatang itu akhirnya melompat
juga, dan langsung naik ke pundak Pendekar Pulau Neraka
yang tangannya sudah terulur.
Bayu mengayunkan kakinya pelahan ke arah selatan.
Disepaknya sebatang ranting yang menghalangi jalan, dan
langsung ditangkap dengan mudah sekali. Lalu, diayun-
ayunkannya ranting itu seirama ayunan langkah kakinya. Tapi
baru saja berjiran beberapa langkah, Tiren tiba-tiba saja jadi
ribut. Binatang itu mencerecet tidak henti-hentinya sambil
berjingkrakan di pundak pemuda berbaju kulit harimau ini.
"Diam, Tiren," pinta Bayu agak membentak suaranya.
"Nguk! Craaakh...!"
Tiren bukannya diam, tapi semakin ribut Dan ini membuat
Bayu terpaksa harus menghentikan ayunan kakinya Namun
belum juga bisa membuka mulut untuk mendiamkan monyet
kecilnya, tiba-tiba saja....
Slap!
"Heh...?! Hup!"
Bayu jadi tersentak, ketika tiba-tiba saja dari arah depan
melesat bagai kilat sebatang anak panah yang langsung
menuju ke arahnya. Tapi hanya memiringkan tubuh sedikit
sambil menarik ke kirinya anak panah itu jadi meleset arah
sasarannya. Tepat di saat anak panah itu berada di depan
dadanya, tangan Pendekar Pulau Neraka mengibas. Dan...
Tap!
"Hih...!"
Begitu anak panah berada dalam genggaman tangannya,
secepat kilat Bayu mengibaskannya kembali ke depan sambil
menegakkan tubuhnya. Maka seketika anak panah itu kembali
meluncur dengan kecepatan tidak kalah dari datangnya tadi.
Begitu cepat lesatannya ke arah gerumbul semak yang tidak
jauh dari Pendekar Pulau Neraka Dan begitu menembus
semak....
Slak!
"Aaa...!"
Seketika terdengar jeritan panjang yang melengking,
disusul munculnya seseorang dari dalam semak belukar
dengan sebatang anak panah menembus leher. Orang itu
terhuyung sebentar, lalu ambruk terguling keluar dari dalam
semak.
Sementara, Bayu sudah menurunkan Tiren dari pundaknya.
Monyet kecil itu berlari mendekati pohon, lalu naik ke atas
sambil mencerecet ribut Ke-mudian binatang itu nangkring di
atas dahan yang rukup besar. Sedangkan Bayu terlihat berdiri
tegak, memandangi tubuh laki-laki yang sudah tidak bernyawa
lagi dengan leher tertembus anak panah, tampak pada
pinggangnya tergantung sekantung anak panah. Sementara
sebuah busur menggeletak tidak jauh dari sampingnya.
Pelahan Bayu melangkah menghampiri. Namun belum juga
sampai, kembali terlihat anak panah meluncur deras ke
arahnya. Bahkan kali ini bukan hanya satu, tapi puluhan anak-
anak panah Itu meluruk dari segala arah mengancam Bayu
yang terkesiap. Maka seketika tubuhnya melenting ke atas
sambil berputaran.
"Hiyaaa...!"
Diiringi teriakan menggelegar, cepat sekali Bayu
mengibaskan tangan kanannya untuk menangkis serbuan
anak panah yang datang bagaikan hujan. Puluhan anak panah
itu kontan rontok, terkena kibasan tangan kanan Pendekar
Pulau Neraka yang begitu cepat Dan sebentar saja, tidak satu
pun anak panah yang terlihat lagi menghujaninya. Bayu
kembali menjejakkan kaki di tanah dengan ringan sekali.
Sampai-sampai tidak terdengar suara sedikit pun juga saat
mendarat.
Sementara keadaan kembali sunyi. Bayu mengedarkan
pandangan ke sekeliling, sambil menajamkan pendengaran.
Kepalanya bergerak ke kanan dan ke kiri, kemudian terdengar
gumaman-nya yang begitu pelahan seperti lebah. Malah kedua
tangannya sudah mengepal erat Sekarang dia tahu dirinya
sudah terkepung tidak kurang dari tiga puluh orang yang
bersembunyi di balik pohon dan gerum-bul semak di
sekitarnya.
***
"Siapa kalian? Keluar...!" teriak Bayu dengan suara keras
dan lantang.
Begitu kerasnya suara Pendekar Pulau Neraka, sehingga
daun-daun di sekitarnya jadi berguguran. Dan memang, Bayu
mengeluarkannya dengan pengerahan tenaga dalam
sempurna. Tapi teriakan Pendekar Pulau Neraka tidak
mendapat sambutan sama sekali. Bayu sendiri hanya bisa
mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Kendati tahu kalau
sudah terkepung, tapi Bayu tidak mau berbuat gegabah untuk
menyerang lebih dahulu.
Dua langkah Bayu mengayunkan kakinya ke depan. Sorot
matanya terlihat begitu tajam, menatap ke depan. Dan begitu
langkahnya berhenti, tiba-tiba saja kaki kanannya dihentakkan
ke depan. Seketika sebatang ranting kering yang berada tepat
di ujung kakinya melesat begitu cepat bagai kilat Dan...
Srak!
"Aaa...!"
Kembali terdengar jeritan yang melengking menyayat,
begitu ranting yang tersepak kaki Pendekar Pulau Neraka
menembus semak belukar di depannya. Tak lama muncul
seorang laki-laki dengan leher tertembus ranting kering dari
dalam belukar. Tubuh yang cukup besar itu jatuh terguling ke
tanah. Hanya sesaat saja dia mampu menggeliat, kemudian
diam tidak bergerak-gerak lagi. Mati.
Dua orang sudah menggeletak di depan Pendekar Pulau
Neraka dalam keadaan tidak bernyawa. Sementara, Bayu
sendiri sudah memutar tubuhnya sedikit ke kiri. Dan kembali
kakinya bergerak cepat, menyepak sepotong ranting kering
yang berada di ujung jari kakinya. Kembali ranting itu melesat
begitu cepat bagai anak panah, dan langsung menembus
semak belukar yang ada di sebelah kirinya.
Kembali jerit kematian pun kembali menyayat panjang.
Satu orang lagi muncul dengan leher terpanggang sepotong
ranting. Bayu hanya memandangi saja dengan sinar mata
begitu tajam pada sosok tubuh yang bergelimpangan di
depannya dalam keadaan tidak bernyawa lagi. Darah tampak
sudah membanjiri tanah di dalam hutan ini.
"Kalian akan mati kalau tidak keluar...!" teriak Bayu dengan
suara keras disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
Suara Pendekar Pulau Neraka menggema ke-sekitar hutan
ini Begitu sempurna tenaga dalam yang dikerahkan Pendekar
Pulau Neraka, sehingga membuat tanah di sekitarnya jadi
bergetar bagai diguncang gempa. Dan saat itu juga, terlihat
seorang laki-laki tua berjubah putih keluar dari balik sebuah
pohon yang cukup besar. Sebatang tongkat berwarna putih
tergenggam di tangan kanannya seakan jadi penyangga
tubuhnya yang sudah agak membungkuk.
"Sudah cukup permainan iblismu, Kisanak...," terasa begitu
dingin suara orang tua berjubah putih ini.
"Hm... Siapa kau Orang Tua?" tanya Bayu, tidak kalah
dingin
"Aku Eyang Jambak, ketua Padepokan Tongkat Putih,"
sahut orang tua berjubah putih itu, memperkenalkan diri.
"Hm...," Bayu hanya menggumam saja pelarian.
"Sudah terlalu banyak korban yang kau ambil dari Desa
Kalipasir, Pendekar Pulau Neraka. Dan hari ini, kau harus
mempertanggungjawabkan semua perbuatan iblismu itu,"
cegat Eyang Jambak.
"Perbuatan apa...?" tanya Bayu tidak mengerti.
"Jangan berpura-pura tidak tahu!" bentak Eyang Jambak
kasar.
Bayu jadi tersentak juga mendengar bentakan begitu kasar
dari orang tua bernama Eyang Jambak Ini. Tapi keningnya jadi
berkerut, memandangi wajah yang kelihatan menegang penuh
kebencian itu. Sesaat saja, Bayu langsung bisa menyadari
kalau dirinya sekarang berada dalam bahaya. Dan dia tidak
tahu, apa yang menjadi sebabnya sehingga orang tua itu
begitu membencinya. Bahkan sinar mata laki-laki itu jelas
ingin membunuhnya.
"Kau kelihatannya ingin membunuhku, Eyang. Kenapa...?"
Bayu meminta penjelasan.
"Rasanya tidak perlu lagi aku menjawab pertanyaan
bodohmu itu, Anak Muda. Sekarang, beruaplah menerima
hukuman atas kekejamanmu selama ini!" sahut Eyang Jambak
dingin.
Dan begitu kata-katanya kering, Eyang Jambak langsung
saja mengecutkan tongkat putihnya ke depan. Maka seketika
itu juga dari ujung tongkatnya meluncur puluhan benda kecil
seperti jarum berwarna putih keperakan, yang langsung
meluruk deras ke arah Pendekar Pulau Neraka.
"Hup...!"
***
DUA
Tidak ada pilihan lain lagi bagi Bayu, kecuali cepat
melenting ke atas. Tubuhnya langsung berputaran beberapa
kali cepat sekali, menghindari serbuan jarum-jarum kecil
keperakan yang keluar dari ujung tongkat Eyang Jambak. Dan
begitu kakinya kembali menjejak tanah, Eyang Jambak sudah
melesat cepat bagai kilat disertai kebutan tongkatnya yang
tepat mengarah ke bagian kepala Pendekar Pulau Neraka
"Haiiit..!"
Cepat-cepat Bayu merundukkan kepala, sehingga sabetan
tongkat ketua Padepokan Tongkat Putih itu hanya lewat
sedikit saja di atas kepalanya Namun saat itu juga. Bayu
merasakan adanya sambaran hawa panas menyengat di atas
kepala, yang rupanya keluar dari sambaran tongkat Eyang
Jambak. Cepat Bayu melompat ke belakang sambil memutar
tubuhnya dua kali di atas tanah. Lalu, manis sekali Pendekar
Pulau Neraka menjejakkan kakinya kembali ke tanah. Dan
pada saat itu, juga Eyang Jambak sudah kembali melancarkan
serangan dahsyat Seakan, dia tidak ingin memberikan
kesempatan pada Pendekar Pulau Neraka untuk balas
menyerang.
"Hiya! Hiyaaa...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, Eyang Jambak
mengebutkan tongkatnya beberapa kali. Ketepatannya begitu
tinggi, mengarah ke bagian-bagian tubuh yang mematikan.
Dan ini membuat Pendekar Pulau Neraka terpaksa harus
berjumpalitan menghindari serangan yang begitu cepat dan
beruntun tanpa henti. Sementara, hawa panas di sekitar
tubuhnya semakin terasa begitu menyengat, membuat jalan
pernapasannya jadi terganggu. Bayu tepat menyadari kalau
tidak bisa terus-menerus bertahan seperti ini. Hawa panas
yang keluar dari tongkat putih orang tua itu jelas bisa
menguras habis udara untuk mengisi paru-parunya.
"Hup!"
Cepat Bayu melentingkan ke atas dan berputaran beberapa
kali, tepat di saat tongkat Eyang Jambak mengibas ke arah
kakinya. Lalu, manis sekali Pendekar Pulau Neraka
menjejakkan kakinya di atas dahan sebuah pohon, tepat di
atas kepala Eyang Jambak. Tapi, tampaknya orang tua itu
tidak mau kehilangan lawannya. Cepat dia melompat ke
depan, dan...
"Yeaaah...!"
Bet!
Prak!
"Heh...?!"
Bayu jadi tersentak kaget, begitu pohon yang dipijaknya
seketika bergetar tersabet tongkat Eyang Jambak. Dan belum
lagi hilang rasa terkejutnya, pohon itu jadi goyang. Lalu...
"Hup...!"
Cepat-cepat Bayu melenting ketika pohon itu roboh.
Beberapa kali tubuhnya berputaran di udara, kemudian manis
sekali menjejak tanah kembali. Agak terbeliak juga kedua bola
mata Pendekar Pulau Neraka melihat bagian bawah pohon itu
hancur, akibat terkena pukulan dahsyat tongkat putih Eyang
Jambak tadi Dan matanya semakin terbeliak lebar, begitu
melihat pohon yang sudah ambruk itu pelahan-lahan hancur
jadi debu. Sehingga, bentuk pohon itu tidak lagi terlihat. Yang
ada hanya tumpukan debu di atas tanah.
"Gila...! Ilmu apa yang dipakainya...?" desis Bayu dalam
hati.
Memang dahsyat tongkat Eyang Jambak. Pohon yang
begitu besar dan kuat, bisa hancur jadi debu Bayu jadi berpikir
kalau saja tongkat itu menyentuh tubuhnya. Sulit
dibayangkan, apa yang akan terjadi. Mungkin nasibnya sama
dengan pohon itu. Sementara Bayu tengah berpikir, Eyang
Jambak sudah kembali melancarkan serangan dahsyatnya.
Tubuh orang tua itu meluncur begitu cepat bagai kilat,
hingga sulit diikuti mata biasa. Hanya bayangan putih saja
yang terlihat berkelebat begitu cepat meluruk deras ke arah
Pendekar Pulau Neraka.
"Hup! Yeaaah...!"
Cepat Bayu melenting ke atas, sehingga teringan Eyang
Jambak tidak sampai menyambar tubuhnya. Dan bayangan
putih dari jubah yang digunakan orang tua itu berkelebat,
lewat di bawah Pendekar Pulau Neraka.
Dan pada saat itu juga, Bayu memutar tubuhnya hingga
kepalanya berada di bawah. Lalu dengan kecepatan luar biasa
Pendekar Pulau Neraka mengibaskan tangan kanannya ke
arah Eyang Jambak yang baru saja berbalik, setelah
serangannya gagal. Maka saat itu juga, Cakra Maut yang
selalu berada di pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau
Neraka melesat begitu cepat bagai kilat.
"Wusss...!
"Hiyaaa...!"
Bet!
Eyang Jambak langsung mengecutkan tongkatnya, hingga
melintang di depan dada, tepat di saat Cakra Maut hampir
menghantam dadanya. Sehingga, senjata maut Pendekar
Pulau Neraka langsung menghantam tepat bagian tengah
tongkat putih orang tua itu.
Tring!
"Heh...?!"
Bayu jadl terbeliak, melihat senjata andalannya terpental
balik begitu membentur batang tongkat lawannya.
Maka cepat tangan kanannya diangkat ke atas kepala,
sehingga Cakra Maut berwarna putih keperakan kembali
menempel di pergelangan tangan kanannya.
"Hh!"
Bayu menghembuskan napas berat, sambil menyilangkan
tangan kanan di depan dada. Sorot matanya terlihat begitu
tajam memperhatikan gerak kaki Eyang Jambak yang
menggeser ke kanan. Sedangkan orang tua itu sendiri
mempermainkan tongkatnya di depan dada, lalu diputar cepat
sekali, sampai seperti lenyap dari pandangan. Dan yang
terlihat kini hanya lingkaran putih yang hampir menutupi
seluruh tubuh orang tua itu.
"Hm.... Ilmu apa lagi yang akan digunakannya...?" gumam
Bayu bertanya-tanya sendiri dalam hati.
Sedikitpun Bayu tidak mengedipkan mata, terus
memperhatikan setiap gerak Eyang Jambak. Putaran
tongkatnya yang semakin cepat, juga menjadi perhatian
Pendekar Pulau Neraka. Dan tanpa disadari, kini jarak mereka
sudah begitu dekat. Dan tepat ketika jarak mereka tinggal
sekitar lima langkah lagi...
"Yeaaah...!"
Tiba-tiba saja Eyang Jambak berteriak keras menggelegar.
Dan seketika itu juga, tongkatnya di-kebutkan ke depan, tepat
mengarah ke bagian perut Pendekar Pulau Neraka. Begitu
cepat hentakan longkat putih itu, sehingga tidak ada lagi
kesempatan bagi Bayu untuk berkelit menghindar. Namun...
"Hih!"
Cepat Bayu menarik tangannya melintang ke bawah, untuk
melindungi perutnya dari sambaran longkat putih lawannya.
Sehingga tongkat itu tepat menghantam bagian luar
pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka ini. Dan...
Trang!
Seketika api memercik, begitu tongkat Ki Jambak beradu
keras dengan Cakra Maut Pendekar Pulau Neraka. Lalu saat itu
juga, mereka sama-sama melompat ke belakang sejauh
beberapa langkah. Dan hampir bersamaan pula, mereka
kembali menjejakkan kakinya mantap di tanah. Bayu langsung
menempatkan tangan kanannya kuat-kuat di depan ujung jari
kakinya.
Sorot mata orang tua itu terlihat begitu tajam menatap
lurus ke bola mata Pendekar Pulau Neraka yang kini berada
sekitar satu batang tombak di depannya. Dan Bayu sendiri
membalas pandangan mata itu dengan sorotan yang tidak
kalah tajam, beberapa saat mereka saling berpandangan
tajam, seakan-akan tengah mengukur sampai sejauh apa
tingkat kepandaian masing-masing.
***
Di saat dua orang yang berdiri berhadapan dar saling
menatap tajam itu tengah mengukur tingkat kepandaian
masing-masing, dari balik semak belukar dan pepohonan di
sekeliling tempat ini bermunculan orang-orang bersenjatakan
golok di pinggang. Bahkan busur anak panah yang juga
dibawa mereka telah terentang di tangan. Di balik ikat
pinggang mereka juga bukan hanya golok yang ada, tapi juga
sebatang tongkat putih. Mereka langsung mengepung tempat
ini dengan panah terpasang di busurnya, siap mengancam
Pendekar Pulau Neraka.
Kemunculan murid-murid Eyang Jambak ini membuat Bayu
jadi mendengus berat. Pandangannya segera beredar ke
sekeliling beberapa saat, memperhatikan sekitarnya yang
sudah terkepung rapat dalam waktu sebentar saja. Tidak ada
celah sedikit pun untuk dapat meloloskan diri. Sementara,
Eyang Jambak sendiri sudah menggeser kakinya ke belakang,
menjauhi Pendekar Pulau Neraka Tapi, tatapan matanya tidak
lepas dari pemuda berbaju kulit harimau ini.
"Sebaiknya kau menyerah saja, Anak Muda. Tidak ada
gunanya melawan. Bukan hanya murid-muridku saja yang
mengepung tempat ini. Kalau tak percaya lihat saja
sekelilingmu...," ujar Eyang Jambak merasa menang.
Saat itu juga Bayu jadi terkejut, begitu melihat di
sekelilingnya yang sudah terkepung oleh tokoh-tokoh
persilatan beraliran putih. Dia tahu, mereka yang baru
bermunculan itu tidak bisa dianggap sembarangan. Bayu
benar-benar merasakan kalau keadaannya sekarang sama
sekali tidak menguntungkan. Tapi, pantang baginya untuk
menyerah begitu saja.
"Kenapa kalian seperti menginginkan kematianku?! Apa
perbuatanku yang merugikan kalian semua...?!" tanya Bayu
keras dan lantang.
"Sebaiknya, tanyakan saja nanti di neraka, Anak Muda,"
sahut Eyang Jambak ketus.
Bayu langsung menatap tajam pada orang tua berbaju
putih itu. Memang, Eyang Jambak memiliki kepandaian yang
sangat tinggi. Dan menghadapi orang tua ini saja, Bayu
merasa cukup berat. Apa lagi, harus menghadapi tokoh-tokoh
persilatan yang begitu banyak, jumlahnya, ditambah murid-
murid Eyang Jambak sendiri. Bayu benar-benar harus berpikir
keras untuk dapat keluar dari kepungan ini.
Tapi dia juga ingin tahu, mengapa mereka sampai
memperlakukannya seperti ini...? Padahal, Bayu sama sekali
tidak merasa melakukan sesuatu yang merugikan mereka
semua. Apalagi dia tidak kenal mereka satu persatu. Tapi,
tampaknya orang-orang yang mengepungnya ini benar-benar
menginginkan kematiannya. Bayu juga menyadari,
keingintahuannya tidak akan bisa terjawab sekarang ini. Dan
satu-satunya jalan, dia harus bisa lolos dari kepungan. Otak
Pendekar Pulau Neraka seketika berputar, mencari cara yang
tepat untuk bisa lolos dari mau yang begitu sempit
kemungkinannya.
"Apapun yang terjadi, aku harus keluar dari tempat ini...,"
bisik Bayu dalam hati.
Sebentar Pendekar Pulau Neraka mengedarkan pandangan
ke sekeliling, kemudian matanya bertemu pada Tiren yang
kelihatannya begitu ketakutan melihat majikannya terkurung
rapat dalam bahaya maut ini. Entah kenapa, Bayu jadi
tersenyum melihat monyet kecil yang selalu bersamanya.
"Tiren, kacaukan mereka dari sebelah kanan," bisik Bayu
menggunakan suara perut yang disertai pengerahan tenaga
dalam.
"Nguk!"
Tiren langsung bisa mendengar bisikan Pendekar Pulau
Neraka. Tanpa diminta dua kali, monyet kecil itu langsung saja
melompat ke ranting kecil tidak jauh dari tempatnya nangkring
tadi Dan ringan sekali tubuhnya berayun pada ranting, laki
meluruk deras ke arah kanan para pengepung.
"Nguk! Craaak...!"
Sambil menjerit nyaring, monyet kecil itu langsung saja
menerkam kepala seorang pengepung yang sama sekali tidak
menyadari akan serangan itu. Murid Eyang Jambak itu jadi
menjerit, ketika gigi-gigi Tiren yang bertaring sangat tajam
mengoyak kulit lehernya. Darah langsung menghambur keluar
dari leher yang terkoyak cukup lebar.
"Bagus, Tiren...!" seru Bayu masih menggunakan suara
perut. Tiren langsung berpindah ke orang satunya lagi. Dan
kembali gigi-giginya yang bertaring sangat tajam itu
menghunjam ke leher.
"Craaak...!"
Jeritan pun kembali terdengar begitu menyayat. Serangan
Tiren yang cukup cepat dan tidak terduga, membuat keadaan
di barisan kanan jadi kacau.
Mereka yang cepat tersadar, berusaha menghentikan
amukan monyet kecil itu. Tapi, Tiren memang seekor monyet
yang sudah terlatih Dia berlompatan dari satu kepala ke
kepala lainnya, sambil berteriak-teriak ribut. Dan kekacauan
itu semakin meluas. Sehingga, perhatian hampir semua mang
tertumpah pada amukan monyet kecil itu. Dan kesempatan ini
tidak disia-siakan Bayu begitu saja.
"Hup! Hiyaaa...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, Bayu langsung saja
melompat ke arah kanan. Dan tangan kanannya seketika
mengibas cepat ke depan. Maka Cakra Maut yang selalu
menempel pada pergelang-nn tangan kanannya langsung
melesat begitu cepat bagai kilat.
Wusss!
Crasss!
"Aaa...!"
Satu orang langsung roboh seketika, tersambar Cakra Maut
pada lehernya. Sementara, Bayu sudah melepaskan beberapa
pukulan beruntun yang disertai pengerahan tenaga dalam
sempurna. Jeritan-jeritan menyayat seketika menggema
memenuhi hutan ini, di susul oleh tubuh-tubuh berlumuran
darah yang berjatuhan saling susul.
"Hiya! Yeaaah...!"
Sementara Bayu terus beriompatan sambil melontarkan
pukulan-pukulan dahsyatnya. Dan begitu mendaratkan satu
pukulan terakhirnya, Pendekar Pulau Neraka langsung melesat
cepat ke atasi pohon yang cukup tinggi.
"Hup! Yeaaah...!"
Dan hanya dengan menotokkan sedikit saja ujung jari
kakinya, Bayu kembali melenting cepat ke pohon satunya.
Dan, Pendekar Pulau Neraka terus melesat meninggalkan
orang-orang yang mengepungnya. Sementara, Tiren sendiri
langsung melompat naik ke atas pohon, begitu melihat Bayu
sudah tidak terlihat lagi di tempat ini. Begitu cepat dan ringan
gerakannya sehingga dalam waktu sebentar saja sudah lenyap
tertelan lebatnya pepohonan di dalam hutan.
"Keparat..!"
Eyang Jambak jadi geram setengah mati, melihat Pendekar
Pulau Neraka berhasil lolos dari kepungan yang sangat rapat.
Bahkan tidak kurang dari lima belas orang muridnya tidak
bernyawa lagi Sedangkan puluhan orang menderita luka
parah.
Dalam beberapa gebrakan saja, Bayu berhasil lolos dari
kepungan. Bahkan bisa menewaskan lima belas orang, dan
melukai puluhan orang pengepungnya.
***
Eyang Jambak hanya dapat menyimpan kekecilannya di
dalam hati. Sementara Bayu sudah berada di tempat yang
cukup aman dari orang-orang yang menginginkan nyawanya.
Larinya baru berhenti setelah dirasakan cukup aman, dan
tidak ada seorang pun yang mengejarnya. Bibirnya tersenyum
melihat Tiren berayun-ayun pada sulur pohon
menghampirinya.
Monyet kecil itu mencerecet ribut sambil melompat ke
pundak Pendekar Pulau Neraka. Tampak mulut dan seluruh
giginya yang bertaring sangat tajam berlumuran darah. Bayu
menepuk kepala monyet itu sambil tersenyum. Kemudian,
kakinya melangkah menghampiri sebuah telaga kecil di tengah
hutan ini. Dibersihkannya darah dari mulut monyet kecil itu
dengan air telaga yang jernih ini. Juga, senjata cakranya yang
berlumuran darah.
"Kau sudah bersih lagi sekarang, Tiren," ujar Bayu seraya
tersenyum.
"Nguk!"
Tiren kelihatan senang melihat dirinya tidak lagi berlumuran
darah. Monyet kecil naik ke pundak Pendekar Pulau Neraka.
Dan Bayu hanya tersenyum saja saat merasakan pelukan
hangat monyet kecil ini pada lehernya. Lalu kembali kakinya
terayun menembus hutan yang sangat lebat ini. Dia tidak tahu
lagi, arah mana yang harus dituju. Sementara, matahari sudah
menenggelamkan diri di ufuk barat. Kegelapan menyelimuti
seluruh hutan ini, membuat langkah kaki Pendekar Pulau
Neraka jadi agak terhambat. Tapi, dia terus saja berjalan
tanpa tentu arah tujuan.
Belum juga jauh Bayu berjalan menembus kegelapan dalam
hutan ini, ayunan langkah kakinya mendadak saja terhenti.
Kening Pendekar Pulau Neraka jadi berkerut, melihat secercah
cahaya api menyembul keluar dari balik belukar di depannya.
Dan seketika, bau harum daging panggang tercium keras di
lubang hidungnya, membuat perutnya seketika berbunyi minta
diisi. Bayu baru menyadari, sejak siang tadi perutnya memang
belum terisi makanan sedikit pun.
"Mudah-mudahan saja bukan orang yang mau
membunuhku," gumam Bayu dalam hati.
Setelah memantapkan harinya, Pendekar Pulau -Neraka
kembali meneruskan langkah kakinya mendekati api yang
terlihat tidak jauh lagi di depannya. Sebentar langkahnya
berhenti di dekat gerumbul belukar, kemudian pelahan
tangannya mulai menyibakkan belukar itu. Tapi baru saja akan
melangkah. tiba-tiba saja....
Bet!
"Upths...!"
Hampir saja ujung sebuah pedang membabat leher, kalau
Bayu tidak cepat menarik kepalanya ke belakang. Dan
Pendekar Pulau Neraka cepat-cepat melompat sambil
memutar tubuhnya dua kali ke belakang. Lalu pada saat
kakinya menjejak tanah, di depannya sudah berdiri seorang
gadis cantik.
Baju merah muda yang dikenakannya cukup ketat,
sehingga membentuk lekuk-lekuk tubuhnya yang begitu indah
dipandang mata. Sebuah pedang bercahaya keperakan
tergenggam erat di tangan kanannya. Ujung pedang itu tepat
terarah ke dada Pendekar Pulau Neraka.
"Siapa kau? Dan mau apa mengintipku...?" tegur gadis itu.
"Sabar Nisanak. Aku tidak bermaksud jahat padamu. Aku
hanya ingin menumpang bermalam di sini," ujar Bayu
menyabarkan
"Aku tanya siapa kau...?" bentak gadis itu tanpa
menghiraukan ucapan pemuda berbaju kulit harimau ini.
"Namaku Bayu," sahut Bayu kalem. "Maaf kalau
kehadiranku mengganggu istirahatmu. Sama sekal tidak ada
maksud buruk di hatiku. Aku hanya ingin bermalam dekat api
yang kau buat"
"Hm...," gadis itu menggumam sedikit dengan kening
berkerut
Bola mata indah gadis itu memperhatikan Pendekar Pulau
Neraka dari ujung kepala hingga ke ujung kaki. Kelopak
matanya terlihat agak menyipit Sedangkan Bayu hanya diam
saja, tidak merasa jengah sedikit pun dipandangi dengan sinar
mata memancarkan kecurigaan.
"Kau pengembara?" tanya gadis itu.
"Benar," sahut Bayu singkat.
"Apa julukanmu?" tanya gadis itu lagi.
"Julukan...? Ah! Aku tidak punya julukan sama sekali,"
sahut Bayu berdusta.
"Aku tidak percaya! Seorang pengembara pasti memiliki
julukan. Dan aku bisa memutuskan kau boleh menumpang
atau tidak, dari julukanmu!" tandas gadis itu.
Bayu jadi terdiam mendengar kata-kata bernada tegas dan
tidak bisa dibantah lagi. Memang, di dalam rimba persilatan
seorang pengembara seperti dirinya pasti memiliki julukan.
Dan biasanya, julukan seorang pengembara memiliki arti yang
sangat mendalam. Bahkan bisa menunjukkan watak pemilik
julukan itu.
"Apakah itu perlu bagimu, Nisanak?" tanya Bayu masih
mencoba berkilah.
Pendekar Pulau Neraka sadar, sekarang ini julukan yang
disandangnya sedang dirusak orang lain. Dan dia sendiri tidak
tahu, apa sebabnya. Baru tadi Bayu mendapat kesulitan. Dan
untung saja nyawanya selamat. Makanya, Bayu berhati-hati
untuk memperkenalkan julukannya pada orang lain yang
belum dikenalnya.
"Sebutkan saja julukanmu, Kisanak!" agak membentak
suara gadis itu.
"Aku tidak tahu pasti. Tapi orang-orang selalu memanggilku
Pendekar Pulau Neraka," sahut Bayu terpaksa juga
memberitahu.
Gadis cantik itu terdiam, memandangi pemuda yang berada
sekitar lima langkah di depannya. Seakan, dia sedang menilai
diri Pendekar Pulau Neraka. Dan pelahan pedangnya ditarik,
lalu dimasukkan ke dalam warangka yang tergantung di
pinggang. Bayu langsung menarik napas panjang, begitu
melihat gadis itu menyimpan kembali pedangnya.
Tanpa berkata apapun juga, gadis cantik berbaju merah
muda agak ketat itu memutar tubuhnya. Dan kakinya
langsung melangkah menyeruak belukar yang tadi sempat
diterjangnya. Sedangkan Bayu masih terdiam beberapa saat,
kemudian melangkah juga menembus belukar Ku.
Bayu melihat gadis itu sudah duduk bersila di depan api
unggun yang menyala cukup besar. Dan tidak jauh di sebelah
kirinya, terdapat tiga ekor ayam panggang yang cukup gemuk.
Sementara, Bayu hanya berdiri dekat, di sebelah kanan
gadis itu. Kakinya baru melangkah, setelah gadis itu
merentangkan tangannya sedikit Bayu mengambil tempat
tidak jauh dari panggangan ayam. Bau harum daging ayam
panggang itu membuat air liurnya menitik keluar.
"Ambil saja kalau mau. Aku sudah habis satu tadi," kata
gadis itu menawarkan.
Tanpa ditawarkan dua kali, Bayu segera mengambil satu.
Kemudian, mulai dinikmatinya ayam panggang ini. Bagitu
nikmat Terlebih perutnya memang sudah terasa lapar sejak
tadi. Dan sebentar saja, satu ekor sudah dihabiskannya.
"Kalau kurang, ambil saja lagi," gadis itu kembali
menawarkan.
"Terima kasih, sudah cukup...," tolak Bayu halus.
Bayu membersihkan tangannya dengan daun-daun kering.
Lalu dipindahkannya Tiren yang sudah tidur di sampingnya.
Kemudian, tubuh monyet kecil itu ditutupinya dengan daun-
daun kering yang banyak berserakan di sekitarnya. Bayu
sedikit melirik gadis cantik disebelahnya yang masih tetap
duduk bersila seperti sedang bersemadi Tapi kedua matanya
terbuka lebar, menatap api unggun di depannya. Sepertinya,
ada yang sedang diperhatikan di dalam api itu.
"Kalau boleh tahu, siapa namamu, Nisanak...?" tanya Bayu
dengan nada suara dibuat begitu ramah.
"Lestari," sahut gadis itu singkat, memperkenalkan
namanya.
"Kau juga pengembara?" tanya Bayu lagi.
"Bukan."
"Lalu, kenapa berada di dalam hutan ini seorang diri?"
Lestari tidak menjawab. Matanya hanya melirik sedikit saja
pada pemuda yang duduk di sebelahnya. Dan Bayu jadi
terdiam, tidak mengharapkan jawaban atas pertanyaannya
tadi. Dia tahu gadis Itu tidak ingin memberitahu
keberadaannya dalam hutan yang sunyi dan lebat ini.
Melihat gadis itu tetap duduk diam seperti sedang
bersemadi, Bayu tidak mau mengganggunya. Tubuhnya lantas
direbahkan di samping Tiren yang sudah sejak tadi terlelap
tidur. Matanya mencoba untuk dipejamkan, tapi tidak juga
terlelap tidur. Meskipun sikap gadis ini begitu baik, tapi pada
saat sekarang ini, dia tidak mau mudah percaya begitu saja
pada orang yang baru dikenalnya.
***
TIGA
Pagi-pagi sekali, sebelum matahari menampak kan diri,
Bayu sudah bangun dan langsung berdiri. Tampak Lestari
masih tidur tubuh meringkuk seperti udang. Pendekar Pulau
Neraka mengulurkan tangannya pada Tiren yang juga sudah
bangun. Monyet kecil itu langsung nangkring di pundaknya.
Saat Bayu mematikan api, Lestari menggelinjang bangun
dari tidurnya. Dia langsung bangkit berdiri, memandangi Bayu
yang sudah mematikan api. Sementara, cahaya matahari
mulai membias di ufuk timur. Begitu lembut cahayanya, saat
menyentuh kulit Pelahan Bayu berdiri sambil mengambil
sepotong kayu yang cukup kuat.
"Kita berpisah sekarang, Lestari. Terima kasih
tumpangannya," ujar Bayu lembut.
'Tunggu...!" sentak Lestari, mencegah.
Bayu yang akan melangkah pergi, terpaksa jagi
mengurungkan niatnya Dipandangi wajah cantik gadis itu
dengan kelopak mata agak menyipit. "Kau harus ikut
denganku, Bayu," kata Lestari.
"Untuk apa..? Kalau aku ikut denganmu, hanya akan
membuat susah saja, Lestari," Bayu mencoba menolak halus
ajakan gadis ini.
"Justru kalau tidak ikut denganku, kau akan jadi susah
sendiri," balas Lestari tegas.
"Heh...?! Apa maksudmu, Lestari...?" tanya Bayu agak
terkejut.
"Aku tahu siapa kau, Bayu. Kau Pendekar Pulau Neraka
yang sedang dicari-cari orang sekarang Ini. Kau dituduh
pembunuh brutal yang sudah mengambil korban di mana-
mana," kata Lestari kalem.
"Kau..., kau tahu...?" kali ini Bayu tidak bisa lagi
menyembunyikan keterkejutannya.
"Sejak kau sebutkan namamu semalam, aku sudah tahu
siapa dirimu, Bayu."
"Lalu, apa kau juga ingin membunuhku?"
Lestari hanya tersenyum saja. Kakinya melangkah beberapa
tindak ke depan mendekati Pendekar Pulau Neraka.
Tangannya terulur pelahan ke arah Tiren. Sedang Bayu hanya
diam saja memperhatikan. Lestari mengambil monyet kecil itu
dari pundak Bayu, lalu langsung menggendongnya dengan
sebelah tangan. Dan ini membuat Tiren jadi manja,
menyeruakkan tubuhnya ke dada yang membusung indah itu.
Lestari jadi tersenyum, melihat kenakalan monyet kecil ini.
Sementara Bayu hanya memperhatikan saja dengan berbagai
macam pertanyaan berkecamuk dalam kepalanya.
"Semua orang bisa termakan fitnah dan pasti Ingin
memburumu, Bayu. Tapi aku sama sekali tidak percaya kalau
kau yang melakukan semua kekejaman itu," kata Lestari
sambil mengangkat kepalanya menatap wajah Pendekar Pulau
Neraka.
"Kenapa kau masih mempercayaiku, Lestari? Sedangkan
semua orang sekarang sedang memburuku seperti binatang."
Lestari tidak menyahut. Hanya bahunya diangkat sedikit.
Kemudian kakinya terayun melangkah sambil membelai-belai
kepala Tiren yang masih berada dalam gendongannya.
Sedangkan Bayu masih saja diam, memandangi gadis itu yang
semakin jauh meninggalkannya. Kemudian bergegas Pendekar
Pulau Neraka menyusul. Dan sebentar saja, dia sudah berada
di samping gadis cantik ini.
"Kau tentu punya alasan sampai masih percaya padaku,
Lestari...," kata Bayu meminta penjelasan.
"Memang," sahut Lestari singkat.
"Apa alasanmu?" desak Bayu.
"Hanya orang picik yang mau percaya begitu saja, kalau
kau yang melakukan semua kekejaman itu. Dan...," Lestari
tidak melanjutkan.
"Teruskan, Lestari," pinta Bayu.
"Hanya aku yang tahu, siapa pelakunya," sambung Lestari
ringan.
"Kau tahu...?"
Lestari mengangguk saja.
"Siapa?"
"Setan Mata Satu."
"Setan Mata Satu. Apa aku pernah mendengar nama itu...?"
"Mungkin saja, Bayu. Tapi yang penting sekarang, kau
harus bisa membersihkan namamu lagi Carilah si Setan Mata
Satu. Karena, dialah yang sebenarnya pelaku pembunuhan
keji itu dengan menggunakan senjata seperti milikmu."
"Kenapa dia sampai berbuat seperti itu, Lestari?"
"Sebenarnya, dia memang selalu menggunakan senjata
Bintang Perak, seperti yang kau miliki. Sedangkan semua
orang sudah tahu, senjatamu adalah Cakra Maut yang juga
mirip Bintang Perak. Jadi, jangan salahkan mereka kalau kau
sampai dituduh melakukan semua pembunuhan keji itu," jelas
Lestari.
"Bagaimana kau bisa tahu semua itu, Lestari?" tanya Bayu
meminta penjelasan lagi.
Kembali Lestari tidak menjawab. Bibirnya hanya tersenyum
saja tanpa menghentikan ayunan langkahnya. Sedangkan
Bayu terus mengikuti, menjajarkan ayunan langkahnya di
sebelah kiri gadis ini. Beberapa kali Bayu menatap wajah
cantik gadis itu dari samping. Tapi, tampaknya Lestari tidak
pernah mau mempedulikan. Dia terus berjalan dengan
pandangan lurus ke depan.
***
Tepat di saat matahari berada di atas kepala,
Pendekar Pulau Neraka dan Lestari baru keluar dar dalam
hutan yang sangat lebat ini. Bayu menghentikan langkahnya,
begitu melihat sebuah perkampungan tidak jauh di depannya.
Lestari juga berhenti melangkah. Pandangannya tertuju pada
perkampungan yang sudah terlihat, tidak jauh lagi di depan.
Saat itu, mereka sama-sama berpaling dan langsung saling
berpandangan beberapa saat. Lestari cepat-cepat
mengarahkan pandangannya pada perkampungan di
depannya. Dan Bayu pun memandang ke arah yang sama.
Untuk beberapa saat, mereka terdiam memandangi
perkampungan yang kelihatan sunyi, seperti tidak ada
penduduknya
Sementara Tiren kini sudah kembali berada di pundak
Pendekar Pulau Neraka.
"Kau tahu desa apa itu, Bayu?" tanya Lestari tanpa sedikit
pun berpaling pada pemuda di sebelahnya.
Sebentar Bayu memandang ke arah perkampungan di
depannya, kemudian berpaling. Langsung ditatapnya wajah
cantik Lestari di sampingnya. Namun gadis itu tetap
mengarahkan pandangannya ke depan, seakan tidak tahu
kalau Bayu memandanginya.
"Tidak," sahut Bayu sambil memalingkan wajah ke depan
lagi.
"Desa itu sekarang tidak lagi berpenghuni," jelas Lestari.
"Kenapa?" tanya Bayu seperti orang bodoh.
"Dihancurkan."
"Dihancurkan...?!"
Agak berkerut kening Pendekar Pulau Neraka mendengar
desa di depannya kini tidak lagi dihuni. Kembali ditatapnya
wajah cantik di sebelahnya, lapi yang dipandangi tetap saja
mengarahkan pandangannya ke depan. Bayu merasakan ada
sesuatu yang terjadi di dalam hati gadis ini. Dugaannya pasti
ada satu kenangan yang tidak bisa terlupakan gadis Ini pada
desa Ku.
"Siapa yang melakukannya, Lestari?" tanya Bayu jadi ingin
tahu.
"Pendekar Pulau Neraka," sahut Lestari pelan.
Jelas sekali kalau suara gadis itu ditahan. Malah ada sedikit
tekanan yang begitu sendu. Bayu semakin bertambah yakin
kalau Lestari memiliki kenangan tersendiri di desa itu. Entah
sadar atau tidak, terlihat kedua bola matanya yang bulat dan
bening Itu mulai berkaca-kaca. Tapi, rupanya Lestari cepat
menyadari. Maka cepat-cepat wajahnya berpaling ke arah lain.
Sehingga pemuda itu tidak dapat lagi leluasa memandanginya.
Tapi Bayu tahu kalau ada kedukaan dalam hari gadis ini.
"Kau yakin aku yang melakukan semua itu, Lestari?
Sedangkan aku tidak tahu, apa nama desa Itu. Malah belum
pernah datang ke sana Jadi bagaimana mungkin kau bisa
mengatakan aku yang menghancurkan desa itu?!" agak
ditekan nada suara Bayu.
"Itulah yang tidak kumengerti, Bayu. Semua orang begitu
percaya kalau kau sekarang sudah berubah menjadi iblis
pembunuh. Tapi hanya aku yang tahu, siapa pelaku
sebenarnya," kata Lestari pelan.
"Setan Mata Satu..?" tebak Bayu, menduga.
"Benar. Hanya dia yang bertanggung jawab. Bayu. Setan
Mata Satu-Iah pelaku sebenarnya."
"Dari mana kau tahu, Lestari?" tanya Bayu, menyelidik
"Aku pernah melihatnya ketika...," Lestari tidak
melanjutkan.
"Ketika apa, Lestari?" desak Bayu.
"Waktu dia..., dia membunuh kedua orangtua-ku," sahut
Lestari tidak dapat lagi menyembunyikan kedukaannya.
"Kau berasal dari desa itu, Lestari?" tebak Bayu langsung.
Lestari hanya mengangguk kepala saja, dan tidak dapat lagi
menyembunyikan air matanya yang seketika jatuh menitik
membasahi pipinya yang putih kemerahan. Sementara, Bayu
tidak dapat lagi berbuat sesuatu. Pemuda itu memang pating
tidak bisa menghadapi wanita yang menangis ditelan
kedukaan. Pendekar Pulau Neraka hanya bisa diam, dengan
pikiran tidak menentu
Entah apa yang ada dalam benak Pendekar Pulau Neraka
sekarang. Dia tahu, keadaan dirinya tidak lagi bisa aman di
mana pun dia berada. Kini hanya Lestari saja yang percaya
kalau bukan dia yang melakukan semua pembunuhan keji Ku.
Tapi semua orang... Bahkan tokoh-tokoh persilatan pun sudah
menuduhnya. Malah kemarin, hampir saja nyawanya
melayang dikepung rapat dalam hutan. Kalau saja tidak ada
Tiren yang membantu membuka jalan, entah bagaimana
nasibnya sekarang.
Bayu sadar, semua kesulitan yang harus dihadapinya
sekarang tidak mudah terhapus begitu saja. Tidak mudah
membersihkan nama yang sudah terlanjur cacat seperti ini.
"Semula aku sudah bertekad untuk membalas kematian
orangtuaku padamu, Bayu. Tapi setelah bertemu
denganmu...," kembali Lestari tidak bisa melanjutkan.
"Kau melihat Setan Mata Satu mirip denganku...?" tanya
Bayu.
"Bukan kau yang melakukannya, Bayu Aku masih ingat
betul, bagaimana orangnya," sahut Lestari.
"Yaaah..., inilah sulitnya kalau punya senjata yang mudah
ditiru orang lain." desah Bayu bernada mengeluh.
"Aku rasa, kau masih bisa membersihkan namamu. Bayu.
Dengan menemukan Setan Mata Satu, orang tidak akan lagi
menuduhmu," kata Lestari memberikan harapan.
"Tapi itu sulit, Lestari. Mereka semua sudah menuduhku
begitu," terdengar agak mengeluh nada suara Bayu.
"Aku akan membantumu, Bayu. Tapi kau juga harus
membantuku," kata Lestari tegas.
"Tentu saja. Kita akan saling membantu nanti," sambut
Bayu seraya tersenyum.
"Kau ingin lihat senjata si Setan Mata Satu itu. Bayu?"
Lestari menawarkan.
"Kau punya?" tanya Bayu.
"Banyak, di sana," sahut Lestari menunjuk ke arah desa di
depannya.
"Baiknya kita ke sana, Lestari. Barangkah saja ada sesuatu
yang bisa dijadikan petunjuk," ajak Bayu.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, mereka bergegas
melangkah ke desa kelahiran Lestari yang sudah ditinggalkan
penghuninya. Mereka berjalan tanpa ada yang berbicara lagi.
Sementara, sesekali Bayu melirik gadis yang berjalan di
sampingnya Bisa dirasakannya kepedihan yang dirasakan
Lestari saat ini. Duka yang begitu mendalam dan sulit
dilupakan begitu saja.
***
Bayu memandangi Bintang Perak di atas telapak tangan
kanannya. Memang, sama persis seperti yang pernah
dimilikinya. Cakra Maut yang tidak pernah lepas dari
pergelangan tangan kanannya.
Begitu geram Pendekar Pulau Neraka melihat enjata yang
begitu sama persis dan kini menjadi bumerang bagi dirinya
sendiri. Tanpa sadar, Bayu meremas benda berbentuk bintang
keperakan itu disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
Sehingga, senjata bintang itu hancur jadi debu dalam
genggaman tangannya.
Sementara, Lestari hanya memperhatikan saja. Dia tahu,
hati Pendekar Pulau Neraka tengah berselimut api kemarahan
yang tidak bisa ditakar lagi.
"Ayo kita pergi," ajak Bayu dengan kaki langsung terayun
melangkah.
Lestari tidak bisa lagi mengeluarkan kata-kata. Diikutinya
ayunan langkah kaki Pendekar Pulau Neraka meninggalkan
desa ini. Agak kewalahan juga gadis itu mensejajarkan
langkahnya di samping Bayu yang berjalan mempergunakan
ilmu meringankan tubuh yang sudah sempurna tingkatannya.
Dan Ini membuat Lestari sesekali harus bertari kecil untuk
mengimbanginya.
"Bayu...l" seru Lestari tiba-tiba memanggil.
Bayu langsung menghentikan langkahnya. Dan tepat saat
itu juga, tampak puluhan orang sudah berdiri menghadang di
depan. Lestari juga ikut berhenti melangkah. Memang gadis
itu yang melihat lebih dulu. Entah, berapa jumlah orang yang
menghadang di depan jalan itu. Bahkan mereka semua
membawa senjata dari berbagai macam bentuk dan ukuran.
"Siapa mereka?" tanya Bayu sambil melirik sedikit pada
gadis di sebelahnya.
"Aku tidak tahu," sahut Lestari
"Bukan penduduk desa ini?"
"Tidak ada lagi seorang pun yang hidup di sini."
"Hmmm..."
Sebentar mereka terdiam.
"Tidak ada yang kau kenal di antara mereka?" tanya Bayu
lagi.
Lestari hanya menggelengkan kepala saja. Bayu sendiri
tidak tahu, siapa mereka yang menghadang di depan itu. Tapi
dari sikapnya, sudah bisa ditebak kalau mereka sama sekali
tidak menunjukkan persahabatan. Bahkan dari senjata yang
dibawa, jelas sekali kalau mereka menginginkan kema-tian
Pendekar Pulau Neraka.
"Seberapa jauh kau menguasai ilmu silat?" tanya Bayu
pelan
"Cukup untuk menghancurkan dua puluh orang begundal,"
sahut Lestari tanpa ada rasa tersinggung sedikit pun oleh
pertanyaan Pendekar Pulau Neraka.
"Kita harus menembus mereka, Lestari"
"Apa tidak ada jalan lain lagi?" tanya Lestari, merasa tidak
mungkin menghadapi orang begitu banyak.
"Tidak," sahut Bayu seraya menggeleng.
Lestari hanya mengangkat bahunya saja sedikit. Memang
sulit menembus penghadang itu, walaupun diketahui Pendekar
Pulau Neraka bukanlah orang sembarangan. Tapi walau
bagaimanapun juga, tetap saja Pendekar Pulau Neraka
manusia yang memiliki kelemahan dan keterbatasan. Lestari
menyadari kalau tidak mungkin menghadapi penghadang itu
hanya berdua saja.
Sementara, orang-orang yang menghadang itu sudah mulai
bergerak mendekati. Dari raut wajah mereka yang tegang,
sorot mata yang tajam penuh kebencian, rasanya mereka
tidak akan mungkin bisa diajak damai lagi. Dan Bayu bisa
merasakan kalau mereka tentu tidak akan puas sebelum
melihat darahnya menyembur keluar.
Kini jarak mereka pun semakin dekat saja. sementara, Bayu
sendiri belum punya satu cara untuk bisa menembus
hadangan itu. Lestari sendiri tidak tahu, apa yang harus
dilakukannya. Pelahan gadis itu melangkah mundur.
Sementara, Bayu sendiri masih tetap berdiri tegak di
tempatnya
"Seraaang...!"
"Bunuh manusia iblis itu...!"
Bersama terdengarnya teriakan yang begitu keras, seketika
itu juga mereka berlarian bagai banteng liar menyerbu
Pendekar Pulau Neraka.
Mereka berteriak-teriak,
sambil mengayun-ayunkan
senjata di atas kepala.
Sementara, Bayu tetap
berdiri tegak memandangi
orang-orang yang meluruk
deras ke arahnya tanpa
berkedip sedikit pun lima.
Dan begitu jarak mereka
benar-benar sudah dekat...
"Hiyaaa...!"
Sambil berteriak keras
menggelegar, Bayu
menyebutkan tangan
kanannya ke depan dengan tubuh sedikit membungkuk. Maka
saat itu juga Cakra Maut yang berada di pergelangan tangan
kanannya melesat cepat bagai kilat, dan langsung menyambar
salah seorang yang berada paling depan.
"Aaaa...!"
Jeritan yang panjang dan menyayat mulai terdengar
bersama ambruknya orang itu. Sementara, Bayu cepat
menghentakkan tangan kanannya, sehingga Cakra Maut yang
sudah mengambil satu kurban, kembali melesat balik ke
arahnya. Lalu...
"Yeaaah...!"
Kembali Bayu menghentakkan tangan kanannya, sebelum
Cakra Maut menempel lagi di pergelangannya. Senjata maut
Pendekar Pulau Neraka kembali melesat cepat bagai kilat.
Maka jeritan pantang pun kembali terdengar, disusul
ambruknya satu orang lagi.
***
EMPAT
Diiringi teriakan menggelegar, beberapa kali Bayu
menghentakkan tangan kanannya sambil berlompatan,
mencoba menahan arus gempuran para penghadangnya. Dan
korban pun terus berjatuhan mengiringi jeritan-jeritan panjang
melengking yang begitu menyayat. Dalam waktu yang tidak
berapa lama saja, sudah lebih dari sepuluh orang
bergelimpangan beriumuran darah. Tapi, mereka seakan tidak
mengenal gentar. Meskipun dengan gerak agall terhambat,
mereka terus maju mendekati Pendekar Pulau Neraka.
Walaupun mereka terus merangsek tanpa mengenal rasa
takut, tapi Bayu tidak gentar sedikit pun. Cakra Maut-nya terus
dilontarkan sambil melangkah mundur menjauh. Sementara,
tidak jaun di belakangnya Lestari sudah siap dengan pedang di
tangan kanan. Gadis ini jadi kagum juga melihat ketangkasan
Bayu dalam melemparkan Cakra Mautnya, menghadang arus
serangan orang-orang ituL
"Aku harus bertindak sebelum dia kehabisan! tenaga,"
gumam Lestari, bicara pada diri sendiri.
Tapi gadis ini agak kebingungan juga, karena tidak
mungkin menerjang maju menyerang orang-orang itu. Dan
ketika matanya menangkap sebuah Bintang Perak yang
tergeletak tidak jauh darinya, bibirnya langsung
menyunggingkan senyum.
Memang cukup banyak Bintang Perak di sekitarnya. Maka
tanpa berpikir panjang lagi, Lestari langsung memunguti
Bintang-bintang Perak itu. Dan begitu terkumpul cukup
banyak, tanpa membuang-buang waktu lagi, dia langsung
melompat ke samping. Lalu...
"Hiyaaa...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, Lestari melemparkan
Bintang-bintang Perak itu ke arah orang-orang yang terus
merangsek maju mendekati Pendekar Pulau Neraka. Lemparan
Lestari rupanya membawa pengaruh besar juga. Bintang-
bintang perak itu menghambur bagai hujan yang ditumpahkan
dari langit, sehingga jeritan-jeritan panjang semakin sering
terdengar. Dan tubuh-tubuh berlumuran darah pun semakin
banyak yang ambruk bergelimpangan.
"Hiya! Yeaaah...!"
Lestari terus melontarkan Bintang-bintang Perak itu, seperti
tidak pernah kehabisan. Dan memang begitu banyak Bintang
Perak bergeletakan di sekitarnya. Padahal, justru tindakannya
membuat nqma Pendekar Pulau Neraka itu menjadi semakin
rusak.
Tindakan Lestari rupanya membawa hasil juga. orang-
orang itu merasa tidak ada gunanya terus mendesak.
Sementara, jumlah mereka semakin berkurang saja. Hingga
akhirnya, mereka berhenl bergerak dan malah melangkah
mundur menjauhi Sementara Bayu sudah berhenti
melemparkan Cakra Maut-nya. Senjata andalannya itu kini
sudah kembali menempel di pergelangan tangannya. Dan
Lestari juga sudah tidak lagi melemparkan Bintang-bintang
Perak, setelah orang-orang yang menyerang sudah cukup jauh
jaraknya. Gadis itu bergegas menghampiri Bayu yang masih
berdiri tegak di tengah jalan
"Ayo kita pergi," ajak Lestari.
"Ke mana? Mereka masih menunggu, Lestari,” sahut Bayu
bertanya.
"Ke sana," Lestari menunjuk ke arah hutan.
"Kembali lagi ke hutan sana...?" kerang Bayu jadi berkerut.
"Tidak ada jalan lain lagi, Bayu. Hanya itu jalan satu-
satunya untuk selamat. "'
Bayu jadi terdiam. Memang tidak salah jalan pikiran Lestari.
Hanya lewat hutan tempat mereka datang itulah jalan satu-
satunya untuk bisa selamat Sementara, jalan yang akan dilalui
kini masih juga dihadang begitu banyak orang yang ingin
membunuh Pendekar Pulau Neraka.
Tapi di dalam hutan itu, mereka juga akan bertemu orang-
orang yang ingin melenyapkan Pendekar Pulau Neraka. Dan
itu yang menjadi pemikiran Bayu, walaupun disadari tidak ada
lagi tempat aman baginya. Semua orang kini sedang
memburunya bagai binatang. Ke mana pun pergi, pasti akan
berhadapan dengan mereka yang menghendaki kematiannya.
"Huh! Ini semua gara-gara si Setan Mata Satu keparat
itu...!" dengus Bayu kesal dalam hati.
Kekesalan hati Bayu memang tidak bisa lagi ditakar.
Baginya, hanya ada satu cara untuk membersihkan namanya
kembali. Setan Mata Satu-lah ynng harus bertanggung jawab!
Dan Bayu tidak ingn terus-menerus menjadi buruan bagai
binatang berbahaya yang harus dimusnahkan. Maka terpaksa
dia harus mengikuti Lestari meninggalkan desa ini, kembali ke
dalam hutan. Hanya gadis itu saja yang percaya kalau dirinya
bukan pembunuh brutal dan keji, yang selama ini sudah
meminta korban begitu banyak.
***
Malam yang begitu indah, sama sekali tidak dapat dinikmati
Bayu. Bulan tampak bersinar penuh, memancarkan cahaya
kuning keemasan yang lembut menyapu kulit. Langit tampak
cerah bertaburkan bintang-bintang gemerlapan, menambah
indahnya suasana malam ini. Tapi, keindahan malam sama
sekali tidak bisa menghibur hati Bayu yang terus-menerus
diliputi kegundahan. Kemarahan memang begitu menguasai
hati Pendekar Pulau Neraka. Malah sejak siang tadi, makanan
yang disediakan Lestari sedikit pun tidak disentuhnya.
"Apa yang kau pikirkan.Bayu?" tegur Lestari sambil
menambahkan ranting ke dalam api yang dibuatnya.
Bayu tidak menjawab. Kepalanya berpaling saja sedikit,
menatap gadis itu. Kemudian pandangannya kembali tertuju
ke kaki bukit Tampak di bawah sana kerlip lampu rumah-
rumah penduduk Desa Kalipasir terlihat jelas.
"Aku bisa merasakan kesulitanmu sekarang iri Bayu. Tapi
bila hanya berdiam diri dan terus berpikir, tidak akan
menyelesaikan masalah begitu saja Kau harus bertindak lebih
cepat lagi dalam mencari si Setan Mata Satu. Hanya dia yang
bisa meluruskan dan membersihkan namamu," kata Lestari
lagi mencoba menasehati
"Kau tahu, di mana si Setan Mata Satu sekarang berada?"
tanya Bayu tanpa berpaling sedik pun.
"Sulit untuk bisa menemukannya, Bayu. Diajtidak punya
tempat tinggal tetap, dan akan pergi sesuka harinya Bahkan
terus akan menyebarkan malapetaka di mana dia berada.
Semakin banyak membunuh orang dengan senjata Bintang
Peraknya, semakin sulit bagimu untuk bergerak lagi, Bayu.
Semua orang tentu tidak akan menduga lagi tapi langsung
memburumu untuk kemudian dibunuh. Apa kau akan
merelakan nyawamu begitu saja, Bayu..?"
"Tidak akan ada seorang pun yang bisa menyentuh
tubuhku," desis Bayu agak dingin nada suaranya.
“Kalau begitu, secepainya kau harus bisa menemukan si
Setan Mata Satu itu," desak Lestari.
"Itu yang sedang menjadi beban pikiranku, Lestari
Sedangkan sampai sekarang, aku tidak tahu keberadaan Setan
Mata Situ," kata Bayu seraya berbalik.
Pendekar Pulau neraka melangkah menghampiri gadis
cantik ini, kemudian menghempaskan tubuhnya di sebelah
kanannya. Lestari menggeser duduknya sedikit, menjauhi
Pendekar Pulau Neraka Lalu kembali ditambahkannya
sepotong ranting kayu dalam api. Sementara, Bayu sudah
merebahkan tubuhnya di atas tumpukan daun-daun kering.
Tidak jauh di sebelahnya, Tiren sudah melingkar terlalap
dalam buaian mimpi. Begitu lelap tidur monyet kecil ini,
sehingga Bayu tidak mau mengusiknya. Matanya hanya melirik
sedikit pada Lestari yang masih tetap duduk bersila dekat api
unggun yang menyala cukup besar.
"Kau tidak tidur, Lestari?" tanya Bayu.
Lestari hanya berpaling sedikit dan tersenyum menjawab
pertanyaan Pendekar Pulau Neraka. Gadis itu masih saja
duduk bersila, seperti sedang bersemadi. Dan kembali
pandangannya terarah ke api unggun, seakan-akan ada yang
menarik dalam kobaran api itu. Sedangkan Bayu sudah mulai
memejamkan matanya. Tapi baru saja kelopak mata nya
terpejam, tiba-tiba saja...
"Suiit..!"
"Heh...?!"
Bayu jadi tedonjak kaget, begitu tiba-tiba terdengar siulan
nyaring melengking tinggi. Bahkan sampai membuat
telinganya seketika jadi terasa sakit dan berdenging. Bagitu
terkejutnya, sampai! sampai Pendekar Pulau Neraka bangkit
berdiri! Sementara Lestari tetap duduk bersila tidak bergeming
sedikit pun. Seakan, suara siulan itu tidak mengganggu sama
sekali. Dan ini membuat Bayu yang sempat melirik pada gadis
ini jadi berkerut keningnya.
"Kau tidak dengar siulan itu, Lestari?" tanya Bayu dengan
kerung masih berkerut memandangi gadis itu.
"Dengar," sahut Lestari singkat
"Kenapa diam saja?" tanya Bayu lagi.
"Untuk apa..?" Lestari malah balik bertanya! sambil
mengangkat wajahnya sedikit, menatap Pendekar Pulau
Neraka.
"Untuk apa...? Kau tahu, Lestari. Keadaan kita sekarang
dalam bahaya. Mungkin kau tidak. Tapi aku...."
Bayu jadi agak mangkel juga mendengar kata-kata Lestari
yang sepertinya tidak peduli terhadap keadaan yang sedang
dihadapi sekarang ini.
"Siulan itu tidak ada arti apa-apa, Bayu. Tenang saja...,"
kata Lestari kalem.
Bayu jadi terdiam. Dia teringat ketika masa-masa baru
keluar dari Pulau Neraka, setelah gurunya meninggal dunia.
Setiap kali muncul untuk membalas dendam pada pembunuh-
pembunuh urangtuanya, memang selalu didahului siulan
melengking yang menyakitkan telinga. Dan sekarang, Bayu
mendengar siulan yang sama. Dan suara itu kini jadi membuat
hatinya gundah.
Sedangkan Lestari tetap saja duduk bersila bersemedi
tenang, seakan tidak mempedulikan kegelisahan hati Pendekar
Pulau Neraka. Bahkan kini kelopak matanya terpejam rapat,
membuat bulu matanya yang lentik semakin terlihat indah.
Namun kecantikan dan keindahan gadis itu sama sekali tidak
membuat Bayu berpaling dari persoalan yang dedang
dihadapinya sekarang ini. Dia masih berdiri tegak dengan
kepala sebentar bergerak ke kanan, dan sebentar kemudian
ke kiri. Dicobanya untuk mencari arah sumber siulan yang
didengarnya tadi "Hh! Mungkin benar kata Lestari...," gumam
Bayu bicara sendiri dalam hati.
Baru saja Bayu hendak tidur lagi, tiba-tiba saja...
Seketika hati Bayu jadi terkesiap begitu mendengar
hembusan angin begitu keras datang dari arah belakangnya.
Dan begitu kepalanya berpaling, terlihat kilatan cahaya putih
keperakan meluncur deras ke arahnya. Seketika, darah
Pendekar Pulau Nera ka jadi berdesir cepat. Dan...
"Hih!"
Tring!
Memang tidak ada lagi kesempatan bagi Bayu untuk
berkelit menghindar. Cepat tangan kanannya ditarik ke depan
dada. Sehingga, kilatan cahaya putih keperakan itu
membentur tepat pada bagian pergelangan tangan kanannya
yang terdapat senjata Cakra Maut persegi enam.
Kilatan cahaya putih keperakan itu kontan terpental balik
dengan cepat. Dan pada saat yang bersamaan, Bayu juga jadi
terdorong ke belakang dua langkah. Agak terkejut juga
harinya merasakan hempasan tenaga yang begitu kuat dari
kilatan cahaya putih keperakan tadi. Bahkan pergelangan
tangannya jadi terasa bergetar dan sedikit nyeri.
"Hup...!"
Pendekar Pulau Neraka langsung melompat, mengerahkan
Ilmu meringankan tubuhnya yang sudah mencapai pada
tingkat kesempurnaan Begitu cepatnya, hingga dalam waktu
sekejapan mata saja tubuhnya sudah berada dekat dengan
sebuah pohon yang sangat besar.
"Hm..."
Kening Bayu jadi berkerut, begitu melihat sebuah benda
berbentuk bintang persegi enam yang berwarna putih
keperakan menancap begitu dalam pada batang pohon di
depannya. Namun belum juga Pendekar Pulau Neraka bisa
berpikir lebih jauh lagi, kembali dikejutkan oleh terdengarnya
hembusan angin keras dari arah belakang. Maka cepat
tubuhnya diputar berbalik. Dan...
"Hup! Yeaaah...!"
Terpaksa Bayu harus berjumpalitan di udara, menghindari
serbuan Bintang-bintang Perak yang datang begitu deras
menghujaninya. Entah, berapa puluh senjata bintang itu
menghambur menghujani Pendekar Pulau Neraka.
Dan Bayu terus berjumpalitan menghindarinya, sambil
sesekali mengebutkan tangan kanannya, mencoba menghalau
Bintang-bintang Perak yang terus menghujaninya. Cakra Maut
yang biasanya berada di pergelangan tangan kanannya, kini
berada dalam genggamannya.
Hampir-hampir Pendekar Pulau Neraka tidak pernah
menjejakkan kakinya di tanah. Bintang-bintang Perak itu terus
menghujaninya bagai tidak akan pernah berakhir. Pepohonan
di sekitarnya sudah penuh tertembus Bintang-bintang Perak.
Sementara Bayu masih terus berjumpalitan di udara untuk
menghindari serangan gelap yang tidak ketal huan arahnya.
Dan di saat Pendekar Pulau Neraka mulai tampak
kewalahan, tiba-tiba saja berkelebat sebuah bayangan merah
muda, diikuti kilatan cahaya putih keperakan yang menghalau
Bintang-bintang Perak itu. bibirnya jadi tersenyum melihat
Lestari cepat membantunya, membuat ruang gerak Bayu jadi
lebih leluasa lagi. Dan begitu mendapat kesempatan, cepat
sekali melenting tinggi. Dan seketika kedua tangannya
dikebutkan cepat luar biasa sambil berteriak keras
menggelegar.
"Hiyaaa...!"
Bet!
Wuk...!
Entah bagaimana caranya, Bayu berhasil menangkap
beberapa Bintang Perak itu, dan langsung dilemparkan ke
segala arah. Bintang-bintang Perak itu berbalik arah,
menembus semak dan kegelapan malam yang sedikit berkabut
ini. Tepat di saat ih juga, serbuan Bintang-bintang Perak itu
berhenti seketika. Lalu manis sekali Bayu kembali menjejak
kan kakinya di tanah, tepat di sebelah kiri Lestai yang sudah
melintangkan pedangnya di depan dada
"Tidak ada apa-apa katamu, he...?!" dengus Bayu agak
mendongkol hatinya.
Pendekar Pulau Neraka melirik sedikit pada lestari di
sampingnya dengan sinar mata cukup tajam. Sedangkan
Lestari seperti tidak tahu akan lirikan tajam Pendekar Pulau
Neraka. Pandangannya beredar ke sekeliling dengan bola
mata terbuka lebar, seperti ingin menembus kegelapan malam
yang begitu pekat. Tapi, tidak seorang pun terlihat
disekitarnya.
"Maaf, Bayu. Aku tidak tahu kalau..."
Belum juga habis kata-kata yang diucapkan lestari, tiba-tiba
saja terdengar tawa yang begitu keras menggelegar
mengejutkan. Suaranya meng-nema bagai datang dari segala
arah. Rasanya sulit ditentukan, dari mana datangnya suara
tawa yang keras menggelegar itu.
"Kau kenali suara itu, Lestari?" tanya Bayu.
"Setan Mata Satu," sahut Lestari pelan.
Bayu sempat melirik gadis itu sedikit, ketika suara Lestari
agak bergetar saat menyebut si Setan Mata Satu tadi. Jelas
sekali kalau ada getaran dalam hari Lestari, yang
menunjukkan dendam mendalam di hatinya.
Belum lagi suara tawa itu menghilang dari pendengaran,
terlihat sebuah bayangan putih berkelebat begitu cepat bagai
kilat ke arah Pendekar Pulau Neraka. Begitu cepatnya, sampai
seluruh darah di dalam tubuh bayu jadi berdesir dan jantung
seakan jadi berhenti berdetak.
"Hap...!"
Cepat Bayu memiringkan rubuhnya ke kanan, sambil
menarik kakinya sedikit ke kanan juga. Sehingga, bayangan
putih itu lewat sedikit saja di samping tubuh Pendekar Pulau
Neraka. Dan pada saat itu juga Bayu cepat berbalik, tepat di
saat bayangan putih itu juga berputar berbalik, dan langsung
meluruk deras ke arahnya.
"Hup! Yeaaah...!"
Kati ini Bayu tidak lagi sungkan-sungkan menghadapinya.
Sambil berteriak keras menggelegar! Pendekar Pulau Neraka
melompat ke atas seraya! melepaskan satu pukulan keras
disertai pengarahan! tenaga dalam sempurna, tepat di saat
bayangan putih itu lewat di bawah tubuhnya yang sedikit
berputar ke bawah. Tapi...
"Uphs...?!"
Bayu jadi terkejut juga, melihat bayangan putih itu
berkelebat begitu cepat ke lain arah. Sehingga pukulannya
tidak sampai mengenai sasaran Cepat tubuhnya meluruk turun
dan menjejakkan kakinya! kembali di tanah dengan gerakan
indah dan ringani sekali. Dan pada saat itu juga, tangan
kanannya dikibaskan ke depan dengan tubuh sedikit miringi ke
kiri agak membungkuk
Wusss...!
Seketika Cakra Maut yang menempel di pergelangan
tangan kanan Pendekar Pulau Neraka melesat cepat bagai
kilat mengejar bayangan putih yang saat itu baru saja
berputar berbalik arah. Terjangan Cakra Maut itu membuat
bayangan putih itu jadi cepat melesat ke atas.
"Hup!"
Saat itu juga, Bayu menghentakkan tangan kanannya ke
atas. Sehingga senjatanya langsung berputar balik ke arahnya.
Dan begitu hendak menempel di pergelangan tangan
kanannya lagi, Pendekar Pulau Neraka langsung
menghentakkan ke depan, tepat mengarah ke bayangan putih
itu lagi Cakra Maut kembali melesat begitu cepat disertai desir
angin yang menggiris hati siapa saja yang mendengarnya.
"Shaaa...!"
Melihat Cakra Maut kali ini juga tidak bisa tepat mengenai
sasaran, Pendekar Pulau Neraka langsung saja melompat
sambil melepaskan satu pukulan keras disertai pengerahan
tenaga dalam tinggi. Bagitu cepat dan hampir bersamaan
serangannya, sehingga bayangan putih itu tidak dapat lagi
berkelit. Dan...
Dugkh!
"Akh...!"
"Hup...!"
Bayu cepat-cepat melenting dan berputar ke belakang,
begitu merasakan pukulannya menghantam bayangan putih
itu. Indah sekali gerakannya. Lalu begitu kedua kakinya
kembali menjejak tanah dengan ringan, langsung tangan
kanannya diangkat ke atas. Maka Cakra Maut kembali
menempel di pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau
Neraka Dan tepat pada saat itu, terlihat seseorang berpakaian
serba putih yang ketat terhuyung-huyung ke belakang, sambil
memegangi dadanya dengan tangan kiri.
Laki-laki berpakaian serba putih itu masih berusia muda.
Mata kirinya tampak tertutup kulit hitam yang diikatkan ke
belakang kepalanya. Di belakang punggung, menyembul
sebuah gagang pedang yang bagian ujungnya berbentuk
tengkorak manusia sebesar kepalan tangan. Walaupun
usianya masih cukup muda, tapi goresan-goresan bekas luka
di wajah membuatnya kelihatan lebih tua daripada usianya.
Dan sebelah matanya yang tertutup membuat dirinya
kelihatan lebih menyeramkan. Dari sinar mata kanannya,
terlihat cahaya kekejaman dan nafsu membunuh yang begitu
memuncak
"Kau yang bernama Setan Mata Satu?" tanya Bayu agak
dingin suaranya.
"Benar," sahut laki-laki bermata satu itu.
"Tindakanmu benar-benar memalukan, Kisanak Apa kau
tidak menyadari, kalau tindakanmu merugikan namaku...?"
terdengar sengit nada suara Bayu.
"He he he he...! Justru itu yang kuharapkan. Pendekar
Pulau Neraka," sahut Setan Mata Satu sambil terkekeh.
"Beleguk! Kau tahu apa akibatnya, heh...?!" Bayu jadi
geram setengah mari mendengar jawaban yang begitu ringan.
Seakan-akan si Setan Mata Satu itu tidak merasa bersalah
apa-apa atas tindakannya yang merusak nama baik Pendekar
Pulau Neraka.
"Semua sudah kupikirkan masak-masak, Pendekar Pulau
Neraka. Hanya kau satu-satunya yang jadi penghalang bagiku
untuk menguasai seluruh rimba persilatan. Ini baru kau,
Pendekar Pulau Neraka. Kalau kau sudah musnah, semua
orang persilatan yang menganggap dirinya paling baik di dunia
ini, akan kuhancurkan dengan jalan seperti ini," tegas Setan
Mata Satu.
"Edan...! Apa maksudmu, heh...?!" dengus llayu
menggeram.
"Menghancurkan kalian semua yang berlagak sok suci!"
tandas Setan Mata Satu tegas.
"Keparat...! Iblis macam kau sebaiknya tinggal di neraka!"
geram Bayu sengit.
"Ha ha ha ha...! Justru aku yang akan mengirimmu ke
neraka!"
"Phuih!"
Bayu benar-benar geram setengah mati dibuatnya.
Ditatapnya wajah yang penuh guratan bekas luka begitu tajam
itu. Wajah yang menyeramkan, dan memancarkan nafsu iblis
yang haus darah. Tapi, Bayu tidak mau terpancing
kemarahannya. Walaupun darahnya sudah bergolak mendidih,
tapi harus bisa menahan kesabaran menghadap tingkah si
Mata Satu yang sudah membuat namanya rusak di mata
orang-orang rimba persilatan
***
LIMA
Kemarahan Bayu sudah begitu memuncak sampai ke ubun-
ubun. Tapi dicobanya untuk tetap bersabar dan tidak mau
terpancing yang akan dapat merugikan dirinya sendiri.
Sementara, si Setan Mata Satu terus tertawa terbahak-bahak
Dan dengan ringan sekali tubuhnya berbalik, langsung
berjalan hendak pergi meninggalkan tempat itu sambil terus
tertawa terbahak-bahak. Seakan dia sama sekali tidak
mempedulikan kemarahan Bayu yang sudah semakin
memuncak melihat tingkahnya yang semakin meremehkan
dirinya ini.
"Biar kubunuh dia!" dengus Lestari, tidak dapat lagi
menahan kegeramannya.
"Jangan!" cegah Bayu cepat, segera merentangkan
tangannya mencegah Lestari. "Biarkan dia pergi."
"Dia akan semakin merusak namamu, Bayu," tandas Lestari
sengit.
"Tidak akan, Lestari. Kau lihat saja nanti," kata Bayu sambil
tersenyum kecut.
Gadis itu diam saja sambil mendengus kesal. Dalam
hatinya, dia sudah tidak tahan lagi melihat sikap si Setan Mata
Satu yang meremehkan Bayu.
Seakan-akan, laki-laki bermata satu itu sudah merasa
menang. Tapi, Bayu sendiri malah diam saja sambil
memandangi tanpa berkedip. Sementara, si Setan Mata Satu
sudah semakin jauh meninggalkan! sambil tertawa terbahak-
bahak Namun, tiba-tiba saja langkahnya terhenti. Dan
langsung tubuhnya! memutar berbalik.
"Kau akan hancur, Pendekar Pulau Neraka! Ha ha ha ha...!"
Kata-kata bernada mengejek itu membuat wajah Bayu jadi
memerah. Terlebih lagi. Lestari yang sudah tidak dapat lagi
menguasai kemarahannya Maka sambil berteriak keras
menggelegar, gadis itu langsung saja melompat disertai
pengerahan ilmu meringankan tubuh yang sudah tinggi.
"Kubunuh kau, Iblis keparat! Hiyaaat...!"
"Lestari, jangan...!" teriak Bayu mencoba mencegah.
Tapi, gadis itu sudah lebih cepat melesat menerjang si
Setan Mata Satu tanpa mempedulikan cegahan lagi Dan begitu
dekat, langsung saja pedangnya dikibaskan ke arah leher laki-
laki bermata satu ini
Bet!
"Haiiit...!"
Namun hanya mengegoskan kepalanya sedikit saja, Setan
Mata Satu berhasil menghindari tebasan pedang gadis itu.
Malah tanpa diduga sama sekali, dengan satu sentakan tangan
kanan yang cepat, laki-laki bermata satu itu melepaskan
sodokan ke arah perut Lestari. Begitu cepat dan tidak terduga
sodokan itu, sehingga Lestari yang sudah diliputi kemarahan
itu tidak dapat lagi menghindarinya. Dan...
Dugkh!
"Akh...!"
"Lestari...!"
Bayu sampai menjerit, melihat Lestari terpental deras, ke
belakang, begitu perutnya terkena sodokan keras dari si Setan
Mata Satu. Begitu kerasnya, membuat Lestari jatuh terguling
dan terbanting keras di tanah. Beberapa kali tubuhnya
bergulingan di tanah, dan baru berhenti setelah tubuhnya
menabrak sebongkah batu yang cukup besar. Kembali Lestari
memekik agak tertahan, merasakan sakit yang amat sangat di
tubuhnya yang membentur batu.
"Kejam...! Iblis!" desis Bayu.
Kemarahan Bayu sudah tidak tertahankan lagi, melihat
Lestari tidak bisa bangkit lagi. Gadis itu hanya merintih sambil
memegangi perutnya yang terkena sodokan keras si Setan
Mata Satu tadi. Sambil mendesis geram, Pendekar Pulau
Neraka menurunkan Tiren dari pundaknya. Monyet kecil itu
langsung berlari sambil mencerecet ribut, menghampiri Lestari
yang masih terduduk di tanah sambil memegangi perutnya.
Sedangkan pemuda berbaju dari kulit harimau itu sudah
melangkah beberapa tindak ke depan mendekati si Setan Mata
Satu yang masih tetap berdiri tegak, sambil berkacak
pinggang bersikap menantang Begitu angkuh sikapnya,
seakan sedang meremehkan Pendekar Pulau Neraka.
"Aku lawanmu, Setan Mata Satu! Hiyaaat...!" Sambil
berteriak keras menggelegar, Bayu melompat cepat bagai kilat
disertai pengerahan ilmu meringankan tubuh yang sudah
sempurna. Dan saat itu juga dilepaskannya satu pukulan
tangan kanan yang mengandung pengerahan tenaga dalam
sempurna. Begitu cepat serangannya, sehingga si Setan Mata
Satu sempat terhenyak tidak menyangka. Tapi ketika pukulan
tangan kanan Pendekar Pulau Neraka yang begitu keras dan
cepat hampir menghantam kepalanya, cepat sekali si Setan
Mata Satu mengegoskan kepalanya sambil melompat ke
belakang.
"Hup!"
Cepat-cepat si Setan Mata Satu kembali melompat ke
belakang sambil memutar tubuhnya dua kali di atas tanah,
begitu melihat Bayu sudah kembali melancarkan serangan
yang keras menggeledek dan cepat bagai kilat. Tapi rupanya
serangan Pendekar Pulau Neraka itu tidak berhenti sampai di
situ saja. Tepat di saat kedua kaki si Setan Mata Satu
menjejak tanah, Bayu melepaskan pukulan keras disertai
pengerahan tenaga dalam sempurna ke arah dada. Begitu
cepatnya pukulannya, sehingga Setan Mata Satu tidak ada
kesempatan lagi menghindarinya. Maka cepat-cepat kedua
tangannya di-angkat ke depan dada.
Hak!
"Ikh...?!"
"Upht....!"
Bayu sampai terpekik kaget, begitu pukulannya
menghantam tepat tangan Setan Mata Satu yang melindungi
dadanya. Cepat tubuhnya melompat mundur beberapa
langkah sambil memegangi tangan kanannya yang terasa
nyeri akibat benturan tadi. Sedangkan si Setan Mata Satu juga
terperanjat setengah mati, begitu tulang-tulang tangannya
terasa bagai remuk terkena pukulan dahsyat Pendekar Pulau
Neraka. Dia juga melompat ke belakang beberapa langkah
untuk menjaga jarak. Bibirnya langsung meringis menahan
sakit pada tulang-tulang tangannya, begitu kakinya menjejak
tanah. Sesaat ru sama lainnya berdiri saling berhadapan
dengan wajah menyiratkan sesuatu yang sukar dilukiskan.
Tapi jelas sekali kalau sorot mata mereka berdua sama-
sama tengah mengukur sampai di mana lingkat kepandaian
satu sama lainnya. Dari adu kekuatan tenaga dalam tadi, jelas
sekali kalau tingkat kekuatan tenaga dalam mereka
berimbang, sehingga sama-sama merasakan akibat dari
benturan keras tadi
"Kau harus mampus di tanganku, Pendekar Pulau
Neraka...," desis Setan Mata Satu dingin menggetarkan.
Sret! Cring...!
Sambil berkata begitu, Setan Mata Satu mencabut
pedangnya yang sejak tadi tersampir di punggung. Kilatan
pedang Itu sangat menggetarkan hati siapa saja yang
memandangnya. Tapi bagi Bayu, sama sekali tidak ada
artinya. Malah ditatapnya pedang itu dengan sinar mata tajam
bagai api Seakan pedang itu dilumatkan dengan sorotan
matanya.
"Mampus kau, Pendekar Pulau Neraka keparat! Hiyaaat,..!"
Disertai teriakan keras menggelegar, si Setan Mata Satu
melompat cepat bagai kilat sambil mengangkat pedangnya ke
atas kepala. Sementara, Bayu tetap berdiri tegak menanti
serangan. Dan begitu Setan Mata Satu mengayunkan
pedangnya ke atas kepala, cepat sekali Pendekar Pulau Neraka
menarik kakinya ke belakang satu langkah, sambil
memiringkan tubuhnya ke kiri. Dan pada saat itu juga, tangan
kanannya dikibaskan ke depan sambil berteriak keras
menggelegar.
"Yeaaah...!"
***
Wusss...!
Bagaikan sebatang anak panah yang terlepas dari
busurnya, Cakra Maut melesat begitu cepat Jari pergelangan
tangan Pendekar Pulau Neraka. Serangan balasan yang begitu
cepat dan tidak terduga ini, membuat si Setan Mata satu jadi
tersentak kaget setengah mati.
"Hud! Yeaaah...!"
Cepat laki-laki bermata satu itu melenting ke atas,
menghindari serangan Cakra Maut yang melesat begitu cepat.
Sehingga senjata andalan Pendekar Pulau Neraka lewat tepat
di bawah perutnya yang melayang di udara. Namun begitu
lewat sedikit. Bayu sudah menghentakkan tangan kanannya
hampir ke atas kepala. Seketika itu juga Cakra Maut berputar
kembali ke arahnya dengan cepat sekali.
Putaran senjata bulat persegi enam itu membuat Setan
Mata Satu jadi terbeliak kaget tidak menyangka. Cepat
tubuhnya berputaran di udara sambil mengebutkan
pedangnya beberapa kali untuk melindungi diri dari serangan
balik senjata maut Pendekar Pulau Neraka. Tapi sungguh tidak
diduga sama sekali, Cakra Maut bagaikan memiliki mata saja.
Begitu pedang Setan Mata Satu berputar melindungi dirinya,
tiba-tiba saja senjata bulat persegi enam itu sudah melesat
cepat, kembali menempel di pergelangan tangan kanan
Pendekar Pulau Neraka. Sementara, Setan Mata Satu sudah
kembali menjejakkan kakinya dengan ringannya di tanah.
Sehingga sedikit pun tidak terdengar suara saat kedua telapak
kakinya menjejak tanah.
"Rupanya, itu senjatamu yang ditakuti semua orang,
Pendekar Pulau Neraka. Bagus...! Kau tandingi Pedang Naga-
ku ini," terasa dingin sekali nada suara Setan Mata Satu.
"Hmmm...," Bayu hanya menggumam saja sedikit.
Sementara, Setan Mata Satu sudah mulai membuat
beberapa gerakan cepat dengan pedang di depan dada. Bayu
sendiri hanya memperhatikan! saja, dengan bola mata
menatap tajam tanpa ber kedip sedikit pun.
Kebutan-kebutan pedang laki-laki bermata satu itu
menimbulkan suara mencicit yang menggiris hati. Hempasan
anginnya pun terasa begitu kuat membuat Bayu terpaksa
harus menarik kakinya dua langkah ke belakang. Pedang itu
meliuk-liuk, seolah-olah menjadi lentur bagai tubuh seekor
naga yang memancarkan cahaya putih keperakan. Kalau
orang lain yang dihadapinya, mungkin sudah mengambil
langkah seribu sejak tadi. Tapi yang ada di depannya
sekarang ini adalah pendekar kosen pilih tanding, dan selalu
diperhitungkan dalam kancah rimba persilatan.
"Tahan jurus Pedang Ekor Naga-ku, Pendekar Pulau
Neraka! Hiyaaat,..!"
Sambil membentak nyaring, Setan Mata Satu melompat
cepat bagai kilat menyerang Pendekar Pulau Neraka.
Pedangnya terus berputaran begitu cepat, hingga bentuknya
kini tidak lagi terlihat jelas. Hanya kilatan cahaya putih
keperakan saja yang terlihat. Sementara, Bayu masih tetap
berdiri tegak menanti beberapa saat. Dan begitu serangan
Setan Mata Satu dekat...
"Hup! Yeaaah...!"
Cepat sekali Pendekar Pulau Neraka melenting ke atas,
tepat di saat pedang Setan Mata Satu membabat kakinya. Dan
pada saat itu juga, Bayu melepaskan satu pukulan keras
menggeledek yang ber-tenaga dalam tinggi ke arah kepala
lawannya. Namun tanpa diduga sama sekali, Pedang Setan
Mata Satu berputar begitu cepat ke atas kepalanya.
"Hap!"
Bayu cepat-cepat menarik pukulannya kembali, dan
langsung memutar tubuhnya dua kali ke belakang. Tepat di
saat kedua kakinya menjejak tanah kembali, Setan Mata Satu
sudah meluruk bagai kilat sambil mengibaskan pedangnya
beberapa kali.
"Hiya! Hiya! Yeaaah...!"
"Hup!"
Bayu terpaksa harus berjumpalitan, menghindari setiap
serangan Setan Mata Satu. Begitu cepatnya Setan Mata Satu
mengebutkan pedangnya, hingga yang terlihat hanya kilatan
cahaya putih keperakan bagai mengurung seluruh tubuh
Pendekar Pulau Neraka.
Namun sampai begitu jauh Setan Mata Satu melancarkan
serangan, belum satu pun yang berhasil mengenai tubuh
Pendekar Pulau Neraka telah beberapa jurus berlalu, Bayu
masih bisa menghindari setiap serangan yang datang secara
beruntun dan cepat. Bahkan sesekali Bayu bisa membabat
serangan dengan cepat dan tidak kalah berbahayanya.
Di saat pertarungan sedang berlangsung sengit Lestari
sudah bisa bangkit berdiri lagi, setelah melakukan semadi
beberapa saat. Jalan pemapasannya juga sudah kembali
seperti semula. Dan wajah nya tidak lagi kelihatan pucat.
Tampak Tiren kini berada di pundaknya. Monyet kecil itu
kelihatan tegang menyaksikan Bayu bertarung sengit meng
hadapi lawannya yang berkepandaian tinggi
'Sayang... Aku tidak bisa membantu, Tiren,!” ujar Lestari
pelan.
"Nguk!"
Tiren seakan bisa mengerti kesulitan Lestari untuk
membantu Pendekar Pulau Neraka. Keadaannya sendiri belum
sepenuhnya begitu sehat kembali. Sementara pertarungan
berjalan cepat, sel hingga sulit bagi Lestari untuk ikut masuk
ke dalamnya. Gadis itu hanya bisa menyaksikan pertarungan
dari jarak yang cukup jauh.
Entah kenapa, hatinya jadi agak bergetar juga melihat
ketangguhan lawan Pendekar Pulau Neraka. Dia berharap
pemuda yang selalu mengenakan baju dari kulit harimau itu
bisa mengungguli lawannya. Tapi, tampaknya si Setan Mata
Satu juga tidak bisa dipandang remeh begitu saja. Meskipun
kini hanya menggunakan senjatanya yang sudah digenggam
tangan kanannya, tapi kelihatannya belum bisa mendesak
lawannya. Entah berapa lama lagi pertarungan akan
berlangsung. Sementara, Lestari ter-paksa harus jadi
penonton, tanpa bisa berbuat apapun juga.
***
Sementara, pertarungan terus berjalan semakin sengit.
Malah Bayu sudah mengeluarkan jurus-jurus andalannya yang
jarang sekali digunakan kalau tidak terpaksa. Sedangkan
Setan Mata Satu juga sudah mengeluarkan jurus-jurus
dahsyat. Kini pertarungan itu semakin berjalan cepat, sampai
Lestari mendapat kesulitan untuk bisa melihat jelas lagi.
lirihkan tubuh mereka juga seakan lenyap dari pandangan.
Dan yang terlihat kini hanya bayangan-bayangan putih dan
kuning saja yang berkelebat saling sambar.
Entah berapa jurus sudah berlalu, tapi pertarungan
tampaknya belum ada tanda-tanda akan berakhir. Bahkan
semakin terlihat dahsyat, membuat pohon-pohon di sekitarnya
bertumbangan terkena pukulan-pukulan dahsyat bertenaga
dalam tinggi yang tidak tepat mengenai sasaran. Tampak
sekali Bayu sudah mulai melontarkan Cakra Maut untuk
membantu serangannya. Melesatnya Cakra Maut dari tangan
Pedekar Pulau Neraka, sempat juga membuat si Setan Mata
Satu jadi kelabakanl Dia seakan-akan menghadapi lawan lebih
dari satu orang. Senjata maut Pendekar Pulau Neraka seakan
memiliki mata saja, sehingga dapat menyerang dari segala
arah. Padahal sudut serangan tampak begitu sulit dan
mustahil dilakukan orang.
"Hiyaaa...!"
Tiba-tiba saja Bayu berteriak keras menggelegar, sambil
menghentakkan kedua tangannya ke depan dengan kedua
kaki terentang lebar ke samping. Hentakan yang begitu cepat
dan tidak terduga, membuat si Setan Mata Satu jadi
terperanjat setengah mati. Dan rasanya dia tidak lagi memiliki
kesempatan menghindarinya. Sehingga, terpaksa serangan
Pendekar Pulau Neraka harus ditahan dengan pedangnya yang
dilintangkan ke depan. Sementara ujung pedangnya ditahan
dengan telapa tangan kiri.
Yeaaah...!"
Tak pelak lagi, seketika itu juga kedua telapak tangan Bayu
yang terbuka dan mendorong ke depan, menghantam bagian
tengah batang pedang lawannya. Dan...
Trak!
"Akh...!"
Terdengar jeritan keras yang agak tertahan Tampak Setan
Mata Satu terdorong deras sekali ke belakang. Sedangkan
Bayu sendiri sempat terdorong dua langkah ke belakang.
Sementara, si Setan Mata Satu kembali terpekik begitu
punggungnya menghantam sebuah pohon yang sangat besar,
hingga hancur berkeping-keping.
"Hah...?!"
Lestari yang menyaksikan pertarungan tanpa berkedip,
kedua bola matanya jadi terbeliak lebar. Ternyata pedang
Setan Mata Satu telah terpotong menjadi dua bagian, tepat di
tengah-tengahnya. Bukan hanya Lestari saja yang terkejut.
Tapi, Setan Mata Satu juga jadi terperanjat setengah mati,
begitu mendapati pedangnya sudah menjadi dua bagian
"Keparat...!"
Setan Mata Satu jadi geram setengah mati mendapati
pedangnya kini tidak dapat lagi digunakan. Sementara, Bayu
berdiri tegak dengan bibir menyunggingkan senyum tipis.
Terlihat jelas dari sorot Pendekar Pulau Neraka, kalau sudah
merasa yakin akan menang setelah mematahkan pedang
lawannya menjadi dua bagian.
Dan di saat pertarungan terhenti untuk beberapa saat,
terdengar suara-suara langkah kaki dari arah belakang
Pendekar Pulau Neraka Belum lagi bisa disadari siapa yang
datang ke tempat pertarungan, tahu-tahu sudah bermunculan
orang-orann, membawa obor dan senjata dari berbagai
macam bentuk dan jenis. Sebentar saja, hutan yang sudah
rusak akibat pertarungan tadi sudah dipenuhi orang yang baru
berdatangan
"Itu dia yang membunuh keluargaku...!" ! salah seorang
yang baru datang tiba-tiba.
Orang itu menunjuk langsung pada Setan Mata Satu
dengan ujung goloknya. Maka semua orang langsung menatap
Setan Mata Satu dengan sinar mata begitu tajam penuh
dendam dan amarah. Teriakan yang keras itu, membuat
wajah Setan Mati Satu jadi berubah merah bagai saga.
Sementara, Bayu masih tetap berdiri tegak dengan kedua
tangan terlipat di depan dada. Matanya malah menatap tajam
pada lawan yang sudah merusak namanya ini.
"Serang...! Bunuh iblis keparat itu...!" seru salah seorang
lagi tiba-tiba, dengan suara keras menggelegar.
Dan seketika itu juga, mereka langsung melunak deras ke
arah Setan Mata Satu yang masih diliputi kemarahan pada
Pendekar Pulau Neraka, akibat pedangnya dapat dipatahkan
menjadi dua bagian. Melihat orang berjumlah begitu banyak
meluruk deras ke arahnya, Setan Mata Satu bukannya gentar.
"Kalian tidak bisa menangkapku! Hiyaaa...!"
Sambil membentak keras menggelegar. Setan Mata Satu
langsung saja melenting ke atas. Dan seketika itu juga, kedua
tangannya bergerak cepat melontarkan Bintang-bintang Perak-
nya yang langsung menghambur menghujani orang-orang
yang berlarian ke arahnya.
"Mundur kalian semua...!" teriak Bayu keras disertai
pengerahan tenaga dalam tinggi.
Tapi, peringatan Pendekar Pulau Neraka sudah terlambat
Beberapa orang sudah menjerit tertembus Bintang Perak yang
dilemparkan Setan Mata Satu. Seketika, tubuh-tubuh
berlumuran darah ber-latuhan ke tanah. Melihat kejadian ini,
Bayu tidak bisa lagi menahan diri. Sambil berteriak keras
menggelegar, tubuhnya melesat bagai kilat menerjang Setan
Mata Satu yang masih melontarkan Bintang-bintang Perak-
nya.
"Hiyaaat..!"
Wut!
***
ENAM
Cepat sekali Bayu mengebutkan tangan kanannya,
sehingga Cakra Maut langsung melesat begitu! cepat bagai
anak panah lepas dari busur ke arah si Setan Mata Satu.
Serangan yang dilancarkan Pendekar Pulau Neraka ini
membuat Setan Mata Satu jadi bertambah geram.
"Hup! Yeaaah...!"
Cepat laki-laki bermata satu itu melepaskan beberapa
Bintang Perak-nya, menyambut serangan! Cakra Maut. Dan
pada saat itu juga, di sertai ilmu meringankan tubuhnya yang
hampir sempurna, Setan Mata Satu melesat pergi begitu
Bintang-bintang! Peraknya menghantam Cakra Maut
"Hap!"
Bayu cepat-cepat mengangkat tangan kanannya ke atas
kepala, begitu kakinya menjejak tanah. Maka Cakra Maut
kembali menempel di pergelangan tangan Pendekar Pulau
Neraka. Sementara, Setan Mata Satu sudah tidak terlihat
bayangannya lagi. Bayu hanya bisa berdiri tegak memandang
ke arah menghilangnya Setan Mata Satu, yang tertelan
kegelapan malam dalam hutan.
Sementara, mereka yang baru berdatangan sudah
berkumpul mengelilingi Pendekar Pulau Neraka. Lestari juga
sudah berada di samping kiri pemuda berbaju kulit harimau
ini. Tampak di antara mrreka, Eyang Jambak bersama murid-
muridnya. Juga, terdapat tokoh-tokoh persilatan yang berhasil
dikumpulkan Eyang Jambak untuk menghadapi Setan Mata
Satu yang selama ini dikira adalah Pendekar Pulau Neraka.
"Kenapa kalian diam...?! Seharusnya kalian malu, dan minta
maaf pada Pendekar Pulau Neraka. Kalian orang-orang
terhormat, tapi tidak sudi membuka mata lebar-lebar!" agak
tinggi suara Lestari.
Kata-kata Lestari yang begitu tiba-tiba, membuat Bayu
terkejut. Tidak ada seorang pun yang menyangka kalau gadis
itu mengeluarkan kata-kata yang begitu pedas seperti ini Dan
perkataannya menyebabkan tidak ada seorang pun yang
mampu lagi membuka suara. Bahkan Eyang Jambak sendiri
jadi tertunduk, tidak tahu lagi bagaimana harus bersikap di
depan Pendekar Pulau Neraka.
"Ayo, Lestari. Kita pergi," ajak Bayu sambil menarik gadis
ini.
"Tidak!" sentak Lestari keras. "Kau harus memberi
pelajaran pada mereka agar tidak sembarangan menuduh
orang!"
"Sudahlah, Lestari... Jangan diperpanjang lagi persoalan ini.
Masih ada yang lebih penting yang harus dikerjakan," ujar
Bayu tidak mau memperpanjang persoalan seperti ini.
Langsung saja Pendekar Pulau Neraka menarik tangan
Lestari. Tapi, gadis ini malah menyentakkah tangan Bayu
hingga cekatannya terlepas. Dengan wajah garang, dia
berkacak pinggang seperti hendak menantang semua orang
yang kini ada di depannya. Tapi, tidak seorang pun yang
sanggup menentang sorotan mata Lestari yang sangat tajam
ini Sementara, Bayu semakin tidak enak hatinya.
Dia tahu, mereka memang bersalah. Tapi, Pendekar Pulau
Neraka juga tidak ingin menuntut apa-apa. Malah, Lestari
yang seakan begitu kesal terhadap sikap orang-orang Ini.
Bayu menghampiri gadis itu, dan kembali mencekal
pergelangan tangan nya.
"Ayo, Lestari. Kalau kau tidak mau ikut, aku akan pergi
sendiri," ajak Bayu disertai sedikit ancaman.
Lestari melirik sedikit pada Pendekar Pulau Neraka itu. Lalu
sambil mendengus kesal, tubuhnya! berbalik dan melangkah
mengikuti Pendekar Pulau Neraka meninggalkan orang-orang
yang masih saja berdiam diri. Sesekali kepala gadis berpaling
ke belakang. Tampak mereka tetap berada di sana
memandangi kepergiannya bersama Pendekar Pulau Neraka
yang pernah dibenci dan ingin dibunuh.
Sambil terus menggerutu kesal, Lestari menjajarkan ayunan
kakinya di sebelah kiri Pendekar Pulau Neraka. Di ambilnya
monyet kecil dari pundak pemuda itu, dan didekap di depan
dadanya. Tiren seakan kesenangan berada dalam dekapan
hangat gadis ini. Sedangkan Bayu hanya melirik sedikit saja
pada monyet kecil itu, seakan Iri ingin menggantikannya.
Mereka terus berjalan tanpa bicara sedikit pun juga. Tapi
jelas kalau mereka berjalan ke arah jalan yang dituju Setan
Mata Satu tadi.
Sampai jauh mereka berjalan, tidak ada seorang pun yang
memulai bicara. Sedangkan sikap Lestari sudah mulai kembali
seperti biasa. Raut wajahnya tidak lagi mencerminkan
kekesalan. Dan Bayu sendiri tidak mau mengungkit lagi
persoalan yang dianggap tidak pedu dipermasalahkan. Dia
sudah menganggap biasa kalau orang-orang salah menduga
pada dirinya. Dan memang, bukan sekali ini dia mendapatkan
persoalan seperti itu. Tapi memang diakui, kali ini terasa
begitu berat Bahkan hampir saja dirinya mati terbunuh
dikeroyok oleh mereka yang salah menuduh.
"Ke mana kita pergi, Bayu?" tanya Lestari setelah cukup
lama berdiam diri membisu.
"Mengejar Setan Mata Satu," sahut Bayu.
"Kau sudah menduga ke mana arah kepergian-nya?" tanya
Lestari lagi
"Aku rasa tidak sulit mendapatkannya, Lestari?" sahut Bayu
Lestari menatap wajah tampan Pendekar Pulau Neraka,
seakan meminta penjelasan dari jawabannya tadi. Tapi Bayu
seperti tidak tahu, dan teruji saja berjalan dengan wajah lurus
ke depan.
"Ke mana kira-kira perginya si Setan Mata Satu itu, Bayu?"
tanya Lestari ingin tahu lagi.
"Dia memerlukan senjata bintang perak yang sangat
banyak. Dan sudah barang tentu, harus memiliki tempat yang
khusus untuk membuat senjatanya itu, Lestari," sahut Bayu
sedikit menjelas kan.
"Kau tahu di mana tempatnya?" tanya Lestari lagi.
Entah kenapa, Bayu jadi tersenyum mendengar pertanyaan
gadis itu. Malah, tidak menjawab sama sekali. Pendekar Pulau
Neraka berhenti melangkah, begitu di depan terlihat sebuah
sungai yang cukup besar dan airnya deras. Tidak ada satu
sampah pun yang teriihat di sana. Tapi terlihat jelas kalau di
seberang sungai itu terdapat sebuah perkampungan yang
tampaknya cukup besar.
Kening Lestari jadi berkerut juga, saat melihat Bayu terus
memandang ke arah perkampungan di seberang sungai. Dia
tidak tahu, apa yang adai dalam pikiran Pendekar Pulau
Neraka. Terlalu sukar baginya untuk bisa menerka jalan
pikiran Bayu sekarang ini. Lestari kembali mengarahkan
pandangan ke depan, seperti ingin mencoba mencari tahu,
apa yang sedang dipikirkan Pendekar Pulau Neraka.
"Kita akan menyeberangi sungai ini, Baya..?" tanya Lestari
bernada menduga.
"Ya," sahut Bayu singkat.
"Lalu, apa yang akan kita peroleh di sana?" lunya Lestari
lagi.
"Setan Mata Satu," sahut Bayu tetap singkat datar nada
suaranya.
"Kau yakin dia ada di sana?"
Bayu tidak menjawab, tapi bibirnya terlihat
menyunggingkan senyum tipis sekali. Begitu tipisnya, hampir
saja Lestari tidak melihat. Gadis itu sudah bisa menduga,
sekarang ini Bayu sudah begitu yakin kalau si Setan Mata Satu
sekarang berada di seberang sungai. Entah, apa yang
membuat Bayu begitu percaya terhadap dugaannya.
Sedangkan Lestari hanya bisa menduga-duga saja, tanpa
dapat lagi melontarkan pertanyaan. Tapi yang menjadi
persoalannya sekarang, bagaimana mereka bisa menyeberangi
sungai besar yang mengalir deras tanpa perahu...?
***
Bagi orang-orang persilatan yang berkepandaian tinggi
seperti Pendekar Pulau Neraka, memang tidak ada persoalan
sedikit pun untuk menyeberangi sungai besar yang mengalir
deras seperti itu. Tapi, Bayu justru memikirkan Lestari. Dia
tidak tahu, sampai di mana kepandaian gadis itu. Terutama
sekali, tingkat ilmu meringankan tubuhnyn Kalau Lestari hanya
sampai pada tingkatan pertengahan saja, mustahil bisa
menyeberanginya tanpt perahu. Sedangkan Bayu bisa
menggunakan ranting atau daun-daun untuk dijadikan
jembatan menuju seberang sungai. Dan itu juga
membutuhkan pengerahan ilmu meringankan tubuh yang
sempui na. Sedangkan Lestari.... Tidak mungkin gadis itu bisa
melakukan hal yang sama dengannya. Ilmu meringankan
tubuh gadis ini masih berada jauh dari Pendekar Pulau
Neraka. Dan inilah yang sedang menjadi beban pikiran Bayu
sekarang.
Sementara, pelahan-lahan matahari sudah mulai
menampakkan diri di ufuk timur. Cahayanya begitu lembut
dan indah membias dari pucuk-pucuk pepohonan di hulu
sungai. Basa cahaya matahari membuat Bayu bisa leluasa
mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Tapi, memang
tidak ada satu perahu pun terdapat di sungai ini. Udara yang
semula terasa dingin, pelahan mulai menghangat menyapu
kulit
Bayu melangkah menghampiri sebuah pohon yang besar
dan rimbun daunnya. Kemudian dia duduk bersila di bawah
pohon itu. Lestari mengikuti Pendekar Pulau Neraka, duduk di
sebelah kirinya. Mereka sama-sama memandang ke seberang
dengan pikiran masing-masing sukar diterka.
"Sudah pagi, Bayu. Kapan akan ke sana?" tanya Lestari
tanpa berpaling sedikit pun.
"Hm...," Bayu hanya menjawab dengan gumaman saja.
"Kau ragu-ragu, Bayu?" terdengar agak sinis tiada suara
Lestari.
Bayu melirik sedikit pada gadis di sebelahnya Ini.
Dirasakannya kalau itu bukan pertanyaan biasa. Nadanya jelas
sekali ingin memanasi hatinya. Malah terdengar begitu sinis.
Tapi, Bayu tahu kalau sikap Lestari yang berubah sinis itu
hanya memancing perasaannya saja. Menyadari akan hal itu,
bayu malah tersenyum.
"Di seberang sana, adalah Desa Pangkar. Semua
penduduknya hidup dari keahliannya mengolah besi. Bukan
hanya peralatan dari besi saja yang dibuat, tapi banyak juga
senjata yang berasal dari sana," kata Bayu seperti memberi
tahu keadaan di desa seberang sungai ini pada gadis di
sebelahnya.
"Lalu, apa hubungannya dengan Setan Mata Satu?" tanya
Lestari tidak mengerti maksud Pendekar Pulau Neraka.
"Lihatlah ini, Lestari...? Coba perhatikan," Bayu
mengeluarkan sebuah bintang dari balik saku ikat
pinggangnya.
Pemuda itu menyerahkan senjata yang digunakan si Setan
Mata Satu untuk merusak namanya pada Lestari. Sebentar
gadis itu hanya memandanginya saja, kemudian mengambil
benda itu dari tangan Pendekar Pulau Neraka. Dengan kelopak
mata agak menyipit, Lestari mencoba untuk bisa memahami
perkataan Bayu tadi sambil memperhatikan senjata berbentuk
bintang di tangannya.
"Kau menduga senjata ini dibuat di sana, Bayu?" tanya
Lestari mulai bisa menduga arah pemc bicaraan Bayu.
"Ya," sahut Bayu singkat
"Kau yakin?" tanya Lestari lagi, seperti ingin meyakinkan
dirinya.
Bayu hanya mengangguk saja dengan gerakan begitu
mantap. Dan pandangan matanya kini tertuju lurus pada
wajah cantik gadis itu. Sedangkan Lestari sendiri seakan tidak
manyadari kalau wajahnya terus dipandangi, dengan mata
tidak berkedip sedikit pun. Gadis itu terus memperhatikan
Bintang Perak yang berada di telapak tangan kanannya. Dan
ketika wajahnya diangkat seketika itu juga pandangan mata
mereka langsung bertemu.
Entah kenapa, Lestari jadi bergetar seluruh tubuhnya. Dan
dirasakan seakan-akan darahnya berhenti mengalir seketika.
Detak jantungnya pun jadi semakin keras. Cepat-cepat Lestari
memalingkan wajahnya ke seberang sungai, begitu seluruh
paras wajahnya terasa jadi panas. Sekilas Bayu sempat
melihat perubahan pada wajah gadis itu. Maka cepat-cepat
wajahnya dipalingkan juga ke seberang. Untuk beberapa saat
lamanya mereka jadi terdiam membisu. Entah, apa yang ada
dalam kepala mereka masing-masing saat ini.
"Bayu...," terdengar begitu pelan suara Lestari.
"Hm...," Bayu hanya menjawab dengan sedikit gumaman.
"Kau tahu, siapa yang membuat senjata ini?" lanya Lestari
lagi, mencoba menghilangkan perasaan aneh yang tiba-tiba
saja menyelimuti hatinya, setelah pandangannya langsung
bertemu pada pandangan mata Pendekar Pulau Neraka.
"Kau tidak lihat guratan di bagian tengahnya...?" Bayu
malah balik bertanya.
Lestari langsung memperhatikan bagian tengah senjata
bintang berwarna putih keperakan itu. Agak berkerut juga
keningnya, begitu melihat sedikit guratan tepat di tengah-
tengah Bintang Perak itu. Dan sebentar kemudian, wajahnya
diangkat lagi. Kali ini, dia tidak langsung menatap bola mata
Baya Pandangannya ke arah lain, walaupun wajahnya
berhadapan dengan wajah Pendekar Pulau Neraka berjarak
tidak begitu jauh. Tapi entah kenapa, Lestari masih juga
merasakan getaran yang begitu kuat dalam dadanya. Dan dia
tidak tahu, apa arti getaran di dadanya ini.
"Semua senjata bintang yang digunakan si Setan Mata Satu
bertanda seperti itu. Dan aku tahu, siapa pembuatnya," kata
Bayu memberi tahu.
"Siapa, Bayu?" tanya Lestari jadi semakin ingin tahu.
“Ki Bendawa," sahut Bayu singkat.
"Siapa dia...?" tanya Lestari meminta penjelasan lagi.
"Dia seorang pandai besi dan ahli membuat senjata yang
sangat terkenal di Desa Pangkar. Tidak sedikit orang-orang
dari kalangan persilatan yang memesan senjata padanya.
Bahkan beberapa kerajaan pun memesan senjata untuk
prajuritnya juga pada Ki Bendawa," jelas Bayu singkat.
"Kau tahu dari mana kalau guratan ini tanda buatan Ki
Bendawa?" tanya Lestari lagi.
"Aku pernah ke sana, mengantarkan orang yang ingin
membuat senjata pusaka dari bahan yang dibawanya sendiri.
Begitu banyak hasil buatannya. Dan semua selalu memiliki
tanda guratan seperti itu," sahut Bayu menjelaskan lagi.
"Tentu Ki Bendawa itu orang yang sangat pandai, ya...?
Dan dia pasti juga memiliki kepandaian tidak rendah," ujar
Lestari langsung memuji.
"Memang... Selain pandai membuat senjata, Ki Bendawa
juga memiliki kepandaian yang tidak rendah. Itu sebabnya,
tidak ada seorang pun yang mau sembarangan padanya.
Bahkan di Desa Pangkar itu, nama Ki Bendawa begitu
dihormati dan ditakuti. Tidak ada seorang pun yang berani
berbuat curang padanya. Desa itu juga bisa terkenal, berkat
kepandaian Ki Bendawa."
"Hebat...," puji Lestari tulus.
"Tapi terus terang saja, Lestari. Sejak aku tahu di mana
senjata itu dibuat, aku jadi khawatir," kata Bayu. Wajahnya
tiba-tiba berubah murung.
"Apa yang kau khawatirkan, Bayu?" tanya Lestari jadi heran
tidak mengerti.
"Kau tahu, apa yang dilakukan si Setan Mata Satu selama
ini, kan...?" Bayu malah balik bertanya.
Lestari hanya mengangguk saja sedikit
"Aku khawatir, kalau-kalau si Setan Mata Satu membunuh
Ki Bendawa setelah mendapatkan senjatanya ini," kata Bayu
mengutarakan rasa kekhawatirannya.
"Kalau begitu, kenapa tidak segera saja ke sana, Baya..?"
usul Lestari Langsung.
"Terlalu berbahaya menyeberangi sungai di siang hari
begini, Lestari. Sedangkan kita belum tahu, bagaimana
keadaan Desa Pangkar sekarang ini. Tunggu saja sampai
gelap nanti," sahut Bayu menjelaskan lagi.
"Lalu, apa yang akan kita lakukan sekarang?" tanya Lestari
lagi.
"Istirahat sebanyak-banyaknya. Mungkin, malam nanti kita
akan menghadapi cobaan dan rintangan yang tidak kecil,"
sahut Bayu kalem.
Lestari hanya diam saja. Dan dia memang tidak lagi
mengeluarkan suaranya. Matanya melirik sedikit, saat Bayu
merebahkan tubuhnya di atas rerumputan yang cukup tebal di
bawah pohon berdaun lebat ini, hingga terlindung dari
sengatan sinar matahari yang semakin terik.
***
Bayu baru membuka kelopak matanya, begitu merasakan
angin yang berhembus mengusap kulit nya. Terasa begitu
dingin. Cepat pemuda itu melompat bangkit berdiri dengan
bola mata langsung beredar ke sekeliling. Memang ternyata
Bayu tidak melihat Lestari lagi di tepian sungai ini. Apalagi,
nyenyak sekali Bayu tidur tadi. Sampai-sampai, ketika
matahari sudah hampir tenggelam di balik peraduannya dia
baru bangun. Entah, sudah berapa malam Pendekar Pulau
Neraka tidak tidur, dan baru siang ini bisa tidur begitu
nyenyak.
"Lestari...!"
Sekuat-kuatnya Bayu memanggil, tapi tidak terdengar
sahutan sedikit pun juga. Bayu terus mengedarkan
pandangannya ke sekeliling. Dia tidak tahu, ke mana Lestari
pergi.
"Nguk...! Nguk...!"
Bayu cepat berpaling, begitu mendengar suara monyet di
belakangnya. Tampak Tiren berlari-lari kecil sambil
mencerecet ribut menghampiri Pendekar Pulau Neraka.
Monyet kecil itu langsung melompat naik ke pundak Bayu.
"Kau lihat Lestari, Tiren?" tanya Bayu langsung.
"Nguk...!"
"Aku tahu dia pergi. Tapi, ke mana...?"
"Craaak...!"
"Kau tidak salah, Tiren?"
Kening Bayu jadi berkerut melihat Tiren menunjuk ke
seberang sungai. Seakan, monyet kecil itu ingin mengatakan
kalau telah melihat Lestari pergi ke desa yang ada di seberang
sungai ini. Pendekar Pulau Neraka langsung mengarahkan
pandangannya ke seberang sungai. Tidak terlihat ada satu
perahu pun di seberang sana. Sebentar kemudian kembali
ditatapnya monyet kecil berbulu hitam pekat yang duduk di
pundak kanannya. Monyet kecil itu memperdengarkan suara
seperti orang tidur mendengkur. Binatang itu juga terus
mengarahkan pandangannya ke seberang sungai yang mulai
dihiasi cahaya lampu pelita dari rumah-rumah yang berdiri di
tepiannya.
"Dengan siapa dia pergi ke sana?" tanya Bayu lagi sambil
terus memandangi monyet kecilnya.
"Nguk!"
"Hm..."
Kembali kening Tiren berkerut dengan kelopak mata sedikit
menyipit, melihat Tiren membuat beberapa gerakan tangan
sambil memperdengarkan suara. Seakan, monyet kecil itu
ingin mengatakan sesuatu pada Pendekar Pulau Neraka. Tapi
entah kenapa, seakan Bayu begitu sulit mengartikan bahasa
monyet kecilnya. Pemuda itu terus memandangi dan mencoba
bisa mengerti. Sedangkan Tiren terus berusaha memberitahu
dengan gerakan-gerakan tangan dan suara yang tidak pernah
berubah dalam pendengaran.
"Mustahil...," desis Bayu setelah bisa mengerti Jelas sekali
terlihat kepala Pendekar Pulau Neraka bergerak menggeleng
pelahan dengan bibir terus memperdengarkan desisan seperti
ular. Bayu benar-benar tidak percaya kalau Lestari
menyeberangi sungai ini sendiri. Timbul di dalam pikirannya,
dengan apa gadis itu bisa menyeberangi sungai yang sangat
deras alirannya ini tanpa perahu...?! Sedangkan ilmu
meringankan tubuhnya belum bisa dikatakan sempurna.
Bahkan masih terlalu jauh, bila dibandingkan Pendekar Pulau
Neraka.
Bayu melangkah semakin mendekati tepian sungai ini.
Kembali kelopak matanya sedikit menyipit, begitu mendapati
jejak-jejak kaki tertera jelas di tanah tepi sungai yang cukup
lembab ini. Walaupun hari sudah malam, tapi bulan yang
menggantung di langit saat ini bersinar penuh. Sehingga,
membuat keadaan sekelilingnya cukup terang dan cukup jelas
untuk melihat jejak kaki di tepi sungai ini. Dan Bayu tahu, itu
jejak kaki Lestari. Tidak terlihat ada jejak kaki orang lain di
sini. Itu berarti Lestari memang menyeberangi sungai ini
hanya seorang diri saja.
"Kita harus cepat ke sana, Tiren. Bahaya kalau dia
menghadapi Setan Mata Satu seorang diri, " kata Bayu sambil
menepuk kepala monyet kecil di pundaknya.
"Nguk!"
"Pegang leherku kuat-kuat, Tiren. Kita akan menyeberangi
sungai ini," pinta Bayu.
"Craaak...!"
"Hup! Yeaaah...!"
***
TUJUH
Sungguh sempurna ilmu meringankan tubuh Pendekar
Pulau Neraka. Sehingga seakan tubuhnya bisa terbang
melayang di atas permukaan air sungai yang mengalir deras
itu. Hanya sesekali saja ujung jari kakinya menotok ranting-
ranting yang hanyut terbawa arus sungai ini. Bayu terus
melesat di atas permukaan air sungai bagai segumpal kapas
terbawa angin.
Dan sebentar saja,
Pendekar Pulau Neraka
sudah tiba di tepi seberang
sungai ini. Begitu ringan
kakinya menjejakkan tanah
lembab dan sedikit berpasir.
Sebentar pandangannya
beredar ke sekeliling.
Namun tidak terlihat
seorang pun manusia di
sekitarnya. Begitu sunyi,
hingga hanya desiran angin
dan aliran sungai saja yang
terdengar mengusik
telinganya.
jak
ka
"Hm..."
Bayu menggumam sedikit, melihat jejak kaki Lestari terlihat
di tepi sungai ini. Tapi keningnya jadi berkerut ketika melihat
ada guratan panjang yang cukup banyak di sekitar jejak-je
ki ini. Guratan panjang seperti bekas ular berlalu. Tapi..
"Pasti Lestari membuat rakit, hingga bisa sampai di sini,"
gumam Bayu langsung bisa menduga.
Bibir Pendekar Pulau Neraka jadi tersenyum,
membayangkan Lestari membuat rakit untuk menyeberangi
sungai. Memang diakui di dalam hatinya, gadis itu memiliki
otak cerdas. Tapi sayang. Lestari ke desa ini hanya seorang
diri saja. Sedangkan dia tahu, Setan Mata Satu pasti berada di
de
bertemu si Setan Mata Satu, karena bukan
tan a," kata Bayu sambil menepuk kepala monyet di
pu
eranda
de
yunkan kakinya
me
sa ini juga. Entah kenapa, Bayu jadi cemas memikirkan
Lestari yang menghadang bahaya hanya seorang diri saja.
"Ayo, Tiren. Kita harus cepat menemukan Lestari. Jangan
sampai dia
dinganny
ndaknya.
"Nguk!"
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Bayu segera
mengayunkan kakinya menuju desa yang sudah ada di
depannya Lampu-lampu pelita tampak menyala dari b
pan rumah-rumah yang ada di seberang sungai ini Pendekar
Pulau Neraka terus mengayunkan kakinya, lebar-lebar.
Bayu terus melangkah memasuki desa itu. Karena sudah
pernah datang ke sini sebelumnya, jadi tidak merasa heran
kalau keadaan desa ini begitu sunyi seperti tidak ada
penduduknya. Dan memang, semua orang di desa ini tidak
ada yang keluar dari dalam rumah setelah malam tiba. Mereka
terlalu lelah bekerja di siang hari, sehingga bila malam adalah
waktu beristirahat. Bayu terus menga
nyusuri jalan tanah setapak yang berdebu. Sepanjang jalan
yang dilalui, tidak ada seorang pun dijumpai
Namun begitu sampai di sebuah tegalan yang berada di
tengah-tengah desa itu, mendadak saja bermunculan orang-
orang dari balik pepohonan dan dinding-dinding rumah yang
ada di sekitar tanah lapangan berumput ini. Dan sebelum
Bayu bisa menyadari apa yang terjadi, sekelilingnya sudah
ter an orang dengan senjata tajam berbagai
be
u juga, sekitar sepuluh orang belarian ke arah
Pe ulau Neraka. Dan begitu dekat, mereka langsung
sa tan hingga melewati atas kepala Bayu. Lalu saat
itu juga
get setengah mati. Bahkan Tiren
langsung melompat turun dari pundak Pendekar Pulau Neraka,
ke
pat Bayu membanting tubuhnya tatanan, dan
ce
kembali mengurung
rap
apat Tidak sedikit yang membawa obor, hingga
ke
"Ada apa ini? Kenapa kalian menyerangku...?!" tanya Bayu,
lantang.
kepung puluh
ntuk dan jenisnya. Bayu cepat menyadari kalau dirinya
dalam keadaan bahaya.
"Tangkap...!"
Tiba-tiba terdengar teriakan lantang memberi perintah. Dan
seketika it
ndekar P
ja beriompa
...
Rrrrt..!
"Heh...?!"
"Craaakh...!"
Bayu jadi terlonjak ka
tika orang-orang yang berlompatan ini menebarkan jaring-
jaring hitamnya dari atas.
"Hap!"
Cepat-ce
pat bergulingan ke arah kanan, se hingga serangan jaring-
jaring hitam itu tidak sampai mengenai sasaran.
"Hup!"
Begitu cepat dan manis Bayu melompat bangkit berdiri
setelah dirasakan aman dari serangan, langsung tangan
kanannya disilangkan di depan da da, dengan tubuh agak
membungkuk ke depan. Sementara, sekitar sepuluh orang
yang membawa jaring hitam itu sudah
at. Bahkan sekeliling tanah lapangan ini juga sudah
terkepung r
adaan jadi semakin terang benderang.
"Jangan banyak bicara kau, Pendekar Pulau Neraka...!"
Bayu langsung memutar tubuhnya, begitu mendengar
bentakan sangat keras yang mengejutkan ini. Tampak seorang
laki-laki berusia separo baya sudah berdiri sambil berkacak
pinggang, terpisah dari yang lain. Baju warna biru muda yang
ketat, membentuk tubuhnya yang tegap dan berotot Sebuah
pedang berukuran panjang tampak bergantung di pinggang.
Kakinya melangkah beberapa tindak mendekat Pendekar Pulau
Ne
di
kan itu. Kalian salah...!"
be
u!" bentak Jalapari lagi,
de
unuhnya untuk
me
mu, Pendekar Pulau
Ne
raka.
"Aku Jalapari, putra tunggal Ki Bendawa. Kau harus
bertanggung jawab atas perbuatanmu pada ayahku, Pendekar
Pulau Neraka. Setelah memesan ribuan senjata bintang, lalu
kau bunuh ayahku. Sekarang, kau datang lagi setelah puas
membantai orang-orang yang tidak bersalah! Kau harus mati
sini, Pendekar Pulau Neraka!" lantang sekali suara Jalapari.
"Tidak...! Bukan aku yang melaku
ntak Bayu tidak kalah lantangnya.
"Kau tidak perlu mungkir, Pendekar Pulau Neraka. Semua
orang sudah tahu perbuatan busukm
ngan tetap lantang menggelegar.
Bayu jadi terdiam. Memang tidak ada gunanya membantah
semua tuduhan itu. Setan Mata Satu sudah menggunakan
namanya untuk memesan senjata bintang dari Ki Bendawa di
Desa Pangkar ini. Dan ternyata, si Setan Mata Satu juga telah
membunuh Ki Bendawa. Sekarang semua orang di desa ini
begitu membencinya. Bahkan ingin memb
nebus nyawa Ki Bendawa yang dihormati.
"Bersiaplah menerima hukuman
raka!" desis Jalapari dingin. Cring!
Langsung saja laki-laki separo baya itu mencabut
pedangnya yang tergantung di pinggang. Agak terkejut juga
Pendekar Pulau Neraka, melihat pedang itu bagai
memancarkan cahaya merah kekuningan seperti matahari.
Dan rasanya, senjata itu tidak bisa dianggap enteng begitu
saja. Bayu menarik kakinya dua langkah ke belakang sambil
mengedarkan pandangan ke sekeliling. Tidak ada jalan sedikit
pu
putra Ki Bendawa itu melakukan serangan,
tib
“Tahan...!"
ng ketat.
Se
angka kalau Lestari yang
da
a orangnya
ya
ng selamat dan tahu siapa pelakunya,"
sa
n untuk dapat meloloskan diri.
"Tahan seranganku, Iblis...!" bentak Jalapari lantang.
Tapi belum juga
a-tiba saja...
***
Bentakan keras menggelegar dan tiba-tiba itu bukan saja
mengejutkan Jalapari. Tapi, semua orang yang ada di
lapangan ini juga terkejut setengah mati. Bahkan Bayu sendiri
sampai berpaling cepat ke arah datangnya bentakan yang
begitu tepat, di saat Jalapari hendak menyerangnya. Dan di
saat itu juga, terlihat sebuah bayangan merah muda
berkelebat begitu, cepat melewati kepala orang-orang yang
memenuhi lapangan ini. Tahu-tahu, di sebelah kiri Bayu sudah
berdiri seorang gadis cantik berbaju merah muda ya
buah pedang tampak tergantung di pinggangnya.
"Lestari...," desis Bayu, tidak meny
tang mencegah serangan Jalapari
"Kalian salah kalau menuduh Pendekar Pulau Neraka yang
melakukan semua kejahatan ini. Aku tahu, siap
ng sebenarnya...!" lantang sekali suara Lestari.
"Siapa kau...?!" bentak Jalapari langsung bertanya.
"Aku Lestari, dari Desa Duri Batang. Semua orang di
desaku habis dibantai. Dan kedua orang-tuaku ikut menjadi
korban. Hanya aku ya
hut Lestari lantang.
Kata-kata Lestari membuat semua orang jadi menggumam,
entah percaya atau tidak atas pembelaan gadis ini pada diri
Pendekar Pulau Neraka Sedangkan Bayu sendiri hanya diam
saja, memberi kesempatan pada Lestari untuk menjelaskan
ya
u
ka
ranya. Bahkan wajah
Ja
menjelaskan semua ceritanya dengan
be
taruhan nyawa kami sendiri. Dalam kesempatan ini, aku atas
ng sebenarnya.
"Bukan hanya desa ini saja yang dirugikan. Tapi, banyak
desa lain yang sudah menjadi korban kebuasannya. Kala
lian tidak percaya, aku bawa saksi lain," sambung Lestari.
Dan begitu kata-kata gadis ini selesai, dari bagian kiri
menyeruak beberapa orang memasuki lapangan berumput ini.
Mereka adalah Eyang Jambak bersama dua puluh orang
muridnya dan tujuh orang tokoh persilatan yang diundangnya.
Mereka berhenti setelah berjarak beberapa langkah lagi dari
Pendekar Pulau Neraka yang berdiri didampingi Lestari. Tidak
ada seorang pun yang membuka sua
lapari sendiri jadi kelihatan bimbang.
"Kita semua memang salah menuduh. Memang bukan
Pendekar Pulau Neraka yang melakukan se mua kejahatan ini.
Ada orang lain yang memakai nama Pendekar Pulau Neraka
untuk memfitnah agar kita bisa diadu domba untuk
membunuh Pendekar Pulau Neraka. Dan kalau rencana itu
berhasil, maka penghalang utama para tokoh hitam akan
lenyap. Dengan demikian, dunia persilatan akan dikuasai
tokoh golongan hitam dengan kesewenang-wenangannya.
Dan sekarang orang itu memakai julukan Setan Mata Satu.
Sengaja hal ini dilakukan agar kita lemah dan tak berdaya!"
kata Eyang Jambak
berapa akibatnya
"Bagaimana kau bisa tahu, Orang Tua?" kata Jalapari.
"Bukan hanya aku yang melihat sendiri. Tapi, semua orang
yang ada di belakangku ini ikut menyaksikannya. Dan
sekarang, kami sedang mengejar orang itu untuk menebus
kesalahan kami pada Pendekar Pulau Neraka," sahut Eyang
Jambak 'Terus terang saja, kami semua juga sempat berbuat
kesalahan seperti iri. Dan semua ini akan ditebus dengan
nama semua orang mengaku bersalah, mohon maaf padamu,
Pendekar Pulau Neraka."
Bayu hanya membungkuk saja sedikit, begitu melihat
eyang Jambak membungkuk sedikit meminta maaf padanya.
Sikap yang ditunjukkan Kyang Jambak membuat semua
penduduk Desa Pangkar yang mengepung lapangan ini jadi
terlongong bengong. Bahkan Jalapari sendiri langsung
menyarungkan pedangnya lagi. Kakinya lalu melangkah
menghampiri Pendekar Pulau Neraka yang tetap didampingi
Lestari. Tanpa banyak bicara lagi, Jalapari langsung
menyodorkan tangannya.
"Maaf, atas semua kesalahan dan kekhilafan kami semua,"
ucap Jalapari.
Bayu tidak bisa lagi berkata-kata. Disambutnya uluran
tangan itu dengan hangat. Dan seketika itu juga, semua orang
bersorak menyambut kembalinya nama harum Pendekar Pulau
Neraka yang selama ini sempat dirusak oleh Setan Mata Satu.
Bayu melepaskan jabatan tangannya pada tangan Jalapari.
"Aku turut berduka cita atas meninggalnya Ki Bendawa,"
ucap Bayu.
"Ayahku korban pertamanya," ujar Jalapari agak sendu.
"Kita semua akan menghukum manusia iblis itu," selak
Lestari.
"Sudah terlalu malam untuk memburu iblis itu. Sebaiknya,
kalian semua beristirahat saja di sini," Jalapari menawarkan.
Dan memang, tawaran putra tunggal Ki Bendawa itu tidak
bisa lagi ditolak. Terlebih lagi, Jalapari menyediakan rumahnya
untuk mereka yang datang ke desa ini. Dan malam itu,
mereka banyak bicara untuk merencanakan pemburuan
terhadap Setan Mata Satu yang sampai saat ini belum jelas
Malam ini, Bayu sama sekali tidak bisa memejamkan mata
barang sekejap pun. Walaupun udara malam ini begitu dingin,
tapi pemuda ini merasa kepanasan. Sehingga keringatnya
bercucuran bagai air yang keluar dari kulit gunung. Bayu
melirik Eyang Jambak yang tidur satu kamar dengannya Orang
tua itu sudah sejak tadi mendengkur dengan tubuh terlipat
seperti udang.
"Hhh...!"
Pelahan Bayu turun dari pembaringannya, sambil
menghembuskan napas panjang yang terasa begitu berat
Kemudian kakinya melangkah keluar dari dalam kamar ini.
Pedahan-lahan tangannya membuka pintu, kemudian
menutupnya lagi dengan hati-hati sekali. Seakan dia tidak
ingin seisi rumah ini terbangun. Bayu terus berjalan pelahan-
lahan mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah
sempurna tingkatannya. Begitu sempurnanya, sehingga setiap
ayunan langkah kakinya tidak menimbulkan suara sedikit pun
juga. Dan sebentar kemudian, Pendekar Pulau Neraka sudah
berada di depan rumah Jalapari yang sangat besar ini.
Sementara, saat ini sudah tengah malam. Bayu terus
berjalan melintasi halaman depan rumah Jalapari yang cukup
luas. Dan memang Jalapari termasuk orang terkaya di Desa
Pangkar ini. Pendekar Pulau Neraka berjalan tanpa tujuan
sama sekali. Tapi, kedua bola matanya beredar ke sekeliling,
memandangi sekitarnya tanpa berkedip sedikit pun. Seakan,
ada yang tengah dicarinya malam ini.
"Bayu..."
"Oh...?!"
Bayu tersentak kaget, begitu tiba-tiba mendengar
panggilan dari belakang. Cepat tubuhnya berbalik. Keningnya
langsung berkerut, begitu melihat sesosok tubuh ramping
berdiri di tengah-tengah jalan ini. Malam yang cukup gelap ini,
membuat Bayu terasa agak sulit melihat wajah orang itu. Tapi
dari bentuk tubuhnya yang ramping dan indah, jelas sekali
kalau dia seorang wanita. Perlahan Bayu melangkah
mendekati.
"Lestari...," desis Bayu setelah bisa mengenali.
Wanita yang memang Lestari itu menanti sampai Pendekar
Pulau Neraka berada di depannya Dan Bayu sendiri baru
berhenti melangkah, setelah jaraknya sekitar tiga langkah lagi.
Sesaat mereka hanya berdiri saja, tanpa mengeluarkan kata-
kata.
"Kenapa kau ada di sini malam-malam?" tanya Bayu. "Kau
tidak tidur...?"
"Aku tidak bisa tidur," sahut Lestari. "Mana Tiren?"
"Di kamarku. Tidur."
"Kau sendiri, kenapa berada di sini?" Lestari balik bertanya.
"Sama Aku juga tidak bisa tidur. Entah kenapa, aku merasa
ingin keluar untuk jalan-jalan saja," sahut Bayu seenaknya.
"Bayu...," terputus suara Lestari.
"Hm...," Bayu hanya menggumam saja sedikit.
"Maaf, aku meninggalkanmu begitu saja siang tadi," ucap
Lestari pelan.
"Dengan apa kau menyeberangi sungai?" tanya Bayu
langsung.
"Rakit"
"Lalu, di mana kau bertemu Eyang Jambak dan yang
lainnya?"
"Tidak Jauh dari desa ini. Mereka juga sedang menuju ke
sini. Maksudnya, untuk mencarimu."
"Mencariku...?"
"Ya... Mereka merasa bersalah, karena sudah menuduhmu
jadi pembunuh sinting. Mereka ingin meminta maaf dan
membersihkan namamu."
"Dari mana mereka tahu kalau kita menuju ke desa ini,
Lestari?" tanya Bayu lagi
"Salah seorang dari mereka tahu, senjata bintang itu dibuat
di sini. Makanya, mereka langsung menuju ke sini lewat jalan
lain."
"Maksudmu, mereka melintasi bukit?" Lestari mengangguk.
"Mereka melalui bukit, dan tidak bertemu si Setan Mata
Satu Sedangkan kita melalui sungai, juga tidak bertemu
dengannya. Ke mana dia pergi...?" Bayu seperti bicara pada
diri sendiri.
"Hanya satu tempat yang pasti ditujunya, Bayu," kata
Lestari cepat.
"Di mana?" tanya Bayu.
"Lembah Bunga."
Kerang Bayu jadi berkerut mendengar nama tempat yang
disebutkan Lestari. Dia tahu, di mana letak Lembah Bunga itu.
Namanya memang indah. Tapi, bukan berarti tempatnya juga
indah seperti namanya. Lembah itu memang indah, kalau
sedang musim bunga. Tapi di balik semua keindahannya,
tersimpan keangkeran. Sehingga, tidak ada seorang pun yang
suka masuk ke sana. Lembah itu dihuni ribuan ular berbisa
yang sangat mematikan. Maka-nya, banyak orang yang
menyebutnya Lembah Bunga Berbisa.
Bayu merasa tidak mungkin kalau Setan Mata Satu pergi ke
sana. Setinggi apapun tingkat kepandaiannya sulit untuk bisa
selamat bila memasuki lembah itu. Ular-ular berbisa yang
menghuni lembah itu akan membunuhnya tanpa ampun lagi.
Tapi, memang tidak ada tempat lain lagi yang bisa dijadikan
persembunyian si Setan Mata satu, selain di lembah Bunga.
Dan untuk mencapai ke sana, harus menyusuri sungai sampai
ke hilir. Belum lagi, harus melewati bukit batu yang terjal dan
rapuh. Tidak sembarang orang bisa melewati bukit yang
sewaktu-waktu bisa longsor itu.
"Akan kucoba ke sana," kata Bayu setelah cukup lama
berpikir.
"Tidak sekarang, Bayu. Lagi pula, terlalu berbahaya pergi
sendiri ke sana," cegah Lestari.
Bayu hanya tersenyum saja mendengar nada kecemasan
dalam suara gadis ini Dan tanpa bicara lagi, Pendekar Pulau
Neraka melangkah pergi meninggalkan Lestari seorang diri.
Sedangkan Lestari beberapa saat hanya diam memandangi.
Kemudian bergegas dikejarnya Pendekar Pulau Neraka.
"Bayu, tunggu...!"
Bayu berhenti melangkah, dan menunggu Lestari sampai
berada di depannya lagi. Beberapa saat gadis itu memandangi
wajah tampan Pendekar Pulau Neraka.
"Tolong jaga Tiren. Hanya kau yang sudah dikenalnya,"
ujar Bayu berpesan.
"Kau akan tetap pergi ke sana malam ini juga?" tanya
Lestari tidak dapat lagi menyembunyikan kecemasannya.
"Ya, sebelum lebih banyak korban jatuh lagi!"
"Aku tidak bisa mencegahmu. Bayu. Hati-hatilah...," ujar
Lestari sambil menggigit bibir bawahnya sendiri.
Bayu tersenyum kecil. Ditepuknya pundak gadis itu,
kemudian melangkah pergi meninggalkan nya. Lestari hanya
bisa memandangi kepergian Pendekar Pulau Neraka
menempuh bahaya seorang diri Dan setelah bayangan tubuh
Bayu menghilang dari pandangan, bergegas tubuhnya berbalik
dan berlari menuju ke rumah Jalapari.
***
Bayu berdiri tegak di atas tanah berbukit yang tidak
seberapa tinggi. Dari tempat ini, Pendekar Pulau Neraka bisa
memandang ke arah Lembah Bunga yang tidak begitu besar.
Sungguh indah pemandangan lembah itu. Entah, berapa jenis
bunga tumbuh di lembah ini. Tapi di balik semua keindahan
itu, tersimpan sejuta bahaya yang tidak bisa dipandang
sebelah mata. Di lembah yang kelihatan indah itu, sebenarnya
adalah sarang ular-ular berbisa yang sangat mematikan.
Sehingga tidak ada seorang pun yang mau memasukinya.
Bahkan untuk melewatinya saja, orang akan berpikir seribu
kali.
"Apapun yang terjadi, aku harus tetap ke sana," gumam
Bayu bicara sendiri dalam hati.
Bayu memang sudah bertekad masuk ke dalam lembah itu.
Walaupun disadari bahaya yang akan menghadang, namun
dengan hari mantap Pendekar Pulau Neraka mulai melangkah
mendekati Lembah Bunga ini. Pendengarannya dipasang seta-
jam mungkin. Dan kedua matanya dipentang lebar,
mengamati setiap jengkal tanah yang dipijaknya. Begitu
sempurna ilmu meringankan tubuhnya sehingga rerumputan
yang dipijaknya tidak bergerak sedikit pun juga. Bahkan tidak
terlihat adanya bekas pijakan kakinya.
"Hup...!"
Pendekar Pulau Neraka cepat melompat, ketika tiba-tiba
saja seekor ular meluruk deras ke arahnya. Ular berbisa itu
lewat sedikit saja di bawah telapak kakinya. Cepat tubuhnya
berputaran di udara. Lalu, tangan kirinya langsung bergerak
cepat menghantam kepala ular sebesar lengan itu. Seketika,
kepala ular itu hancur berantakan. Dan Bayu kembali
menjejakkan kakinya di atas rerumputan Lembah Bunga ini
dengan ringan sekali, bagai segumpal kapas jatuh ke tanah.
"Hampir saja...," desah Bayu sambil menghembuskan
napas panjang.
Kembali Pendekar Pulau Neraka melangkah semakin masuk
ke dalam lembah yang dipenuhi bunga beraneka warna dan
jenis ini. Telinganya terus dipasang tajam, dan matanya juga
tidak berkedip sedikit pun juga memperhatikan setiap jengkal
langkahnya. Namun baru saja berjalan beberapa langkah...
Wusss...!
"Haps...!"
Cepat Pendekar Pulau Neraka mengangkat tangan
kanannya, begitu terlihat kilatan cahaya putih keperakan
meluruk deras ke arahnya. Dan benda berwarna putih
keperakan itu tepat menghantam Cakra Maut yang ada di
pergelangan tangannya.
Cring!
Benda itu kembali terpental. Sedangkan Bayu tetap berdiri
tegak dengan tangan kanan masih berada di depan dada.
Sekilas matanya melirik benda keperakan yang tergeletak
tidak jauh di depannya. Sebuah benda berbentuk bintang
persegi enam yang terbuat dari perak
"Setan Mata Satu...," desis Bayu langsung mengenali
senjata bintang itu.
Bayu semakin menajamkan pendengarannya. Serangan itu
sudah menandakan, kalau di lembah inilah Setan Mata Satu
bersembunyi. Dan belum juga Pendekar Pulau Neraka bisa
berpikir lebih jauh lagi, terdengar suara semak bergemerisik
dari sebelah kanannya. Tepat di saat tubuhnya berputar ke
kanan, melesat sebuah bayangan putih dengan kecepatan
bagai kilat ke arahnya.
"Hup! Yeaaah...!"
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Pendekar Pulau
Neraka melenting ke atas. Dan seketika itu juga, kedua
tangannya dihentakkan ke depan disertai pengerahan tenaga
dalam tinggi. Dan.
Plak!
"Hap...!"
Bayu cepat-cepat memutar tubuhnya ke belakang dua kali,
begitu kedua telapak tangannya terasa membentur benda
keras yang melesat begitu cepat ke arahnya. Tampak
bayangan putih itu juga berputar balik ke belakang beberapa
kali Dan hampir bersamaan, mereka sama-sama menjejak
tanah berumput cukup tebal ini.
"Setan Mata Satu...," desis Bayu langsung mengenali laki-
laki yang kini berada sekitar satu batang tombak di depannya.
Seorang laki-laki berwajah buruk dan penuh cacat goresan
bekas luka. Sebelah matanya tertutup kulit berwarna hitam
yang diikatkan ke belakang kepala dengan tali dari urat
binatang. Sebuah pedang tampak tergantung di pinggangnya.
"Tidak percuma julukanmu Pendekar Pulau Neraka Kau
berani masuk ke lembah ini, berarti berani mempertaruhkan
nyawamu," terasa begitu dingin nasa suara Setan Mata Satu.
"Kita lihat nanti, siapa yang lebih dulu melayang
nyawanya," sambut Bayu tidak kalah dinginnya.
"He he he he...! Kau sekarang berada di daerah
kekuasaanku, Pendekar Pulau Neraka. Dulu aku boleh kalah.
Tapi sekarang, jangan harap!"
"Di mana pun kau berada, hari ini juga kau harus
mempertanggungjawabkan semua perbuatanmu! Sekalian
menuntaskan pertarungan kita," dengus Bayu dingin
menggetarkan.
"Bagus! Tahan serangankul Hiyaaa...!"
Cring!
Sambil melompat disertai teriakan keras menggelegar,
Setan Mata Satu langsung mencabut pedangnya. Dan seketika
itu juga, dikibaskan tepat mengarah ke leher Pendekar Pulau
Neraka. Begitu cepat serangannya, sehingga membuat Bayu
jadi terkesiap sesaat
"Hap! Yeaaah...!"
Tapi cepat sekali Pendekar Pulau Neraka mengangkat
tangan kanannya ke atas. Dan seketika itu juga, mata pedang
Setan Mata Satu membentur Cakra Maut yagn selalu
menempel di pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau
Neraka.
Tring!
"Ikh...?!"
Setan Mata Satu jadi terpekik kaget setengah mati, begitu
tangannya terasa jadi bergetar akibat pedangnya membentur
keras senjata maut Pendekar Pulau Neraka yang menempel di
pergelangan tangan kanannya Cepat dia melompat ke
belakang sambil memutar rubuhnya dua kali.
Tapi belum juga kakinya menjejak tanah, Bayu sudah
melesat begitu cepat sambil melepaskan satu pukulan keras
disertai pengerahan tenaga dalam sempurna. Maka Setan
Mata Satu terpaksa harus memutar tubuhnya lagi ke belakang,
menghindari serangan balasan Pendekar Pulau Neraka.
"Hih! Yeaaah...!"
Gagal dengan serangannya, Bayu segera membungkukkan
tubuhnya sedikit miring ke kiri. Lalu, tangan kanannya
mengibas begitu cepat ke depan.
"Wusss!
Seketika itu juga, Cakra Maut yang selalu menempel di
pergelangan tangannya melesat bagai kilat Senjata bulat
persegi enam itu melunak deras, menyerang Setan Mata Satu
yang baru saja menjejak di tanah. Mendapat serangan
beruntun dan sangat cepat ini, si Setan Mata Satu jadi
kelabakan juga. Memang tidak ada lagi kesempatan baginya
untuk berkelit menghindari senjata maut Pendekar Pulau
Neraka. Dan...
"Hih! Hiyaaa...!"
Bet!
Cepat Setan Mata Satu mengebutkan pedangnya,
menangkis serangan Cakra Maut Lalu kakinya ditarik ke
belakang dua langkah, begitu Cakra Maut terpental balik ke
pemiliknya. Tapi tanpa diduga sama sekali, senjata maut
Pendekar Pulau Neraka berputar begitu cepat dan kembali
melunak deras menyerang si Setan Mata Satu.
"Gila...! Hih! Yeaaah...!" Sambil membentak berang, Setan
Mata Satu cepat melenting ke atas sambil mengebutkan
pedangnya, menyampok Cakra Maut yang meluncur deras ke
arahnya. Namun kedua bola mata Setan Mata Satu jadi
terbeliak lebar, karena Cakra Maut bisa meliuk menghindari
tebasan pedangnya. Bahkan benda berbahaya itu langsung
melesat mengejar dada laki-laki bermata satu ini.
"Setan! Hih!"
Bet!
Cepat Setan Mata Satu menarik pedangnya, dan langsung
dikebutkan menyilang ke depan tubuhnya. Dan seketika itu
juga, mata pedangnya keras sekali membentur Cakra Maut
sehingga sampai menimbulkan percikan bunga api yang
menyebar ke segala arah. Setan Mata Satu cepat-cepat
melenting ke belakang sambil berputaran beberapa kali.
Sementara, Cakra Maut kembali melesat balik dan menempel
di pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka. Dan kini
si Setan Mata Satu sudah kembali menjejakkan kakinya di
tanah berumput
Beberapa saat mereka hanya berdiri saling berhadapan
saja, dengan tatapan mata begitu tajam menusuk Seakan,
mereka sama-sama sedang mengukur tingkat kepandaian
masing-masing.
"Saatnya kematianmu menjemput, Setan Mata Satu!
Yeaaah...!"
Sambil membentak keras menggelegar, Bayu tiba-tiba saja
melompat begitu cepat bagai kilat. Dan seketika itu juga, satu
pukulan keras yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi
dilepaskan, tepat mengarah ke bagian dada lawannya.
"Hap! Yeaaah...!"
Bet!
Tapi, si Setan Mata Satu tidak tinggal diam begitu saja.
Dengan cepat sekali pedangnya dikebut-kan ke depan,
mendahului pukulan Pendekar Pulau Neraka. Dan pada saat
itu juga, tanpa diduga sama sekali Bayu cepat meluruk turun.
Dan begitu kakinya menjejak tanah, cepat tangan kanannya
dihentakkan ke depan dengan tubuh sedikit membungkuk.
'Yeaaah...!"
Wusss...!
Kembali Cakra Maut melesat dari pergelangan tangan
kanan Pendekar Pulau Neraka, mengarah ke bagian kepala
Setan Mata Satu. Tepat di saat si Setan Mata Satu
mengebutkan pedangnya untuk menangkis serangan Cakra
Maut, Bayu langsung saja meluruk deras sambil memberi satu
sodokan keras ke perut lawannya.
Mendapat serangan dari dua arah yang begitu cepat dan
hampir bersamaan waktunya, membuat si Setan Mata Satu
jadi kelabakan juga. Bahkan sama sekali tidak punya waktu
untuk berkelit, menghindari sodokan tangan kiri Pendekar
Pulau Neraka. Hingga...
"Hih...!"
Terpaksa Setan Mata Satu menangkis sodokan itu dengan
tangan kirinya Dan..
Plak!
"Akh...!"
Setan Mata Satu jadi terpekik agak tertahan, begitu
sodokan tangan kiri Pendekar Pulau Neraka menghantam
tepat pergelangan tangan kirinya. Cepat dia melompat ke
belakang tiga langkah, tapi pada saat kedua kakinya menjejak
tanah, Bayu sudah memberi satu tendangan begitu keras dan
menggeledek
"Yeaaah...!"
Setan Mata Satu tidak punya kesempatan sedikit pun juga
untuk menghindarinya. Terlebih lagi, keadaan tubuhnya
sedang limbung akibat menahan sodokan keras tangan kiri
Pendekar Pulau Neraka tadi. Akibatnya tendangan keras yang
dilepaskan Bayu yang mengarah dadanya sulit dihindari.
Diegkh!
Diegkh!
"Akh...!"
Kembali Setan Mata Satu terpekik keras. Tubuhnya kontan
terpental ke belakang tanpa dapat ditahan lagi, Setelah
dadanya terkena tendangan dahsyat Pendekar Pulau Neraka.
Keras sekali punggung si Setan Mata Satu menghantam pohon
berukuran cukup besar, hingga hancur berkeping-keping.
"Hap...!"
Namun Setan Mata Satu bisa cepat bangkit kembali. Dan
langsung menyilangkan pedangnya di depan dada. Tampak
pergelangan tangan kirinya membiru, akibat terkena
tendangan yang begitu keras dan bertenaga dalam sempurna
dari Pendekar Pulau Neraka tadi. Sudah barang tentu tulang-
tulang kiri si Setan Mata Satu sudah tidak lagi bisa digunakan.
Dan kesempatan ini sama sekali tidak disia-siakan Bayu.
Sambil berteriak keras menggelegar. Pendekar Pulau Neraka
kembali melancarkan serangan yang begitu dahsyat luar biasa.
Setiap pukulan yang dilepaskan Pendekar Pulau Neraka
selalu menimbulkan hempasan angin begitu keras, membuat
tubuh Setan Mata Satu selalu limbung. Tapi, laki-laki bermata
sebelah itu masih bisa berkelit, menghindari setiap serangan
yang datang beruntun itu. Dan sesekali, dia masih bisa
memberikan serangan balasan yang tidak kalah dahsyatnya.
Tapi ketika Bayu memberi satu pukulan keras ke kepalanya....
"Haiiit..!"
Setan Mata Satu cepat-cepat merunduk menghindari
pukulan dahsyat Pendekar Pulau Neraka dengan tubuh sedikit
terbungkuk. Dan pada saat itu juga, Bayu memutar tubuhnya
ke kiri. Lalu dengan kecepatan bagai kilat, Pendekar Pulau
Neraka melepaskan satu tendangan keras disertai pengerahan
tenaga dalam tinggi.
"Yeaaah...!"
Begitu cepat serangan Pendekar Pulau Neraka, sehingga
Setan mata Satu tidak memiliki kesempatan menghindarinya.
Dan tendangan keras Pendekar Pulau Neraka tepat
menghantam perutnya. Membuat si Setan Mata Satu jadi
mengeluh dan terbungkuk. Dan Pada Saat Itu juga, Bayu
melepaskan satu pukulan dahsyat ke wajah yang buruk penuh
luka goresan itu
"Diegkh!
"Akh...!"
Kembali si Setan Mata Satu terpekik, begitu wajahnya
terkena hantaman keras Pendekar Pulau Neraka. Dan seketika
itu juga, darah muncrat keluar dari mulutnya. Tepat di saat
kepala lawannya terdongak ke atas dengan tubuh terhuyung
ke belakang, Bayu langsung saja mengebutkan tangan
kanannya ke depan, tubuhnya membungkuk sedikit agak
miring ke kiri.
"Yeaaah...!"
Slap!
Cakra Maut kembali melesat cepat bagai kilat menyerang si
Setan Mata Satu Sedangkan saat itu, si Setan Mata Satu dalam
keadaan tidak menguntungkan. Akibatnya....
Crab!
"Aaaa...!"
Jeritan panjang yang melengking tinggi pun seketika
terdengar memenuhi lembah ini, begitu Cakra Maut
menembus dada laki-laki bermata sebelah ini. Sementara Bayu
cepat melompat ke belakang sambil mengangkat tangannya
ke atas. Maka Cakra Maut kembali menempel di pergelangan
tangannya, setelah menembus dada si Setan Mata Satu
sampai tembus ke punggungnya.
Tampak si Setan Mata Satu semakin limbung, tidak dapat
lagi menguasai keseimbangan tubuhnya. Dan belum lagi Bayu
bisa berbuat sesuatu, Setan Mata Satu sudah ambruk ke tanah
dengan memperdengarkan jeritan panjang dan keras
menyayat hari. Tubuhnya bergulingan beberapa kali, sebelum
berhenti menabrak sebongkah batu sebesar badan kerbau di
belakangnya
Sebentar si Setan Mata Satu menggeliat sambil meregang
nyawanya. Sementara, Pendekar Pulau Neraka memandangi
dengan tangan terlipat di depan dada. Dan begitu kakinya
terayun hendak mendekati, si Setan Mata Satu sudah
mengejang kaku, lalu diam tidak bergerak-gerak lagi Darah
masih terus berhamburan keluar dari dada dan punggungnya
yang tertembus Cakra Maut tadi.
"Hhhh...!"
Bayu menarik napas panjang, dan menghem-buskannya
kuat-kuat setelah yakin kalau si Setan Mata Satu benar-benar
sudah tidak bernyawa lagi Sebentar Pendekar Pulau Neraka
memandangi, kemudian tubuhnya berbalik hendak
meninggalkan lembah ini.
"Hup! Hiyaaa...!"
Bayu tidak mau berlama-lama berada di dalam Lembah
Bunga. Disadari betul bahaya yang bisa saja datang secara
tiba-tiba di dalam lembah ini Sambil mengerahkan ilmu
meringankan tubuh yang sudah sempurna, Pendekar Pulau
Neraka berlari cepat meninggalkan lembah ini. Dan dia terus
menuju daerah perbukitan, yang membatasi lembah ini
dengan dunia sekelilingnya. Dan sebentar saja, Bayu sudah
berada di atas bukit yang letaknya di luar dari Lembah Bunga.
"Aku harus kembali ke Desa Pangkar untuk
memberitahukan kematian Setan Mata Satu," ujar Bayu dalam
hati.
Dan Pendekar Pulau Neraka terus berlari dengan kecepatan
tinggi menuju Desa Pangkar lagi. Sementara malam pun terus
merayap semakin larut, mengiringi kepergian Pendekar Pulau
Neraka ke Desa Pangkar lagi.
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar