..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Kamis, 06 Februari 2025

PENDEKAR PULAU NERAKA EPISODE SETAN MATA SATU

Setan Mata Satu

 

SATU

"Aaa...!" 
Jeritan panjang melengking terdengar begitu keras 
memecah kesunyiaan malam yang harusnya sunyi dan tenang. 
Begitu kerasnya sehingga semua penduduk Desa Kalipasir 
yang sedang terlelap dalam tidurnya jadi terbangun. Sebentar 
saja, orang-orang satu persatu mulai keluar dari rumahnya, 
dengan obor di tangan. Dan kini desa itu pun Jadi terang 
benderang. 
Begitu tiba di jalan utama desa itu, mereka dikejutkan oleh 
munculnya seorang laki-laki dalam keadaan terhuyung-
huyung. Dia tengah berlari sambil mendekap dadanya. 
Tampak darah mengucur deras dari sela-sela jari tangannya 
yang mendekap dada. Dan begitu sampai, tubuhnya langsung 
menggelimpang di depan orang-orang yang baru keluar dari 
rumah sambil membawa obor. 
"Kasdi...?!" 
Penduduk Desa Kalipasir itu semakin terkejut, begitu 
mengenali siapa yang jatuh tersungkur dengan luka 
menganga di dadanya ini. Merela semua tahu, Kasdi adalah 
murid Eyang Jambak, Ketua Padepokan Tongkat Putih yang 
terletak tidak jauh dari desa Kalipasir. Dan ketika melihat 
sebuah bintang perak tertanam di kening Kasdi, seketika itu

juga merela mundur menjauhi tubuh yang sudah terbujur 
kaku dengan darah terus mengucur dari dadanya yang terluka 
cukup besar. 
"Pendekar Pulau Neraka..." 
Terdengar gumaman-gumaman kecil yang agak tertahan, 
begitu terlihat sebuah benda berwarna perak berbentuk 
bintang yang menancap di kening Kasdi. Entah kenapa, 
mereka begitu takut. Sehingga, tidak seorang pun yang berani 
mendekati tubuh anak muda yang malang itu. Dan mereka 
hanya memandangi saja dengan raut wajah pucat Bahkan 
tidak sedikit yang kembali masuk ke dalam rumahnya, lalu 
mengunci pintu rapat-rapat 
"Ayo, kita kembali saja...!" ajak salah seorang, tiba-tiba. 
Dan seketika itu juga, mereka bergegas kembali ke rumah 
masing-masing, seperti tidak ingin menghiraukan Kasdi yang 
sudah tidak bernyawa lagi. Sebentar saja jalan desa yang tadi 
ramai, kini jadi sunyi senyap tanpa seorang pun terlihat di 
sana. Tinggal tubuh Kasdi saja yang terbujur kaku dan 
semakin dingin di tengah-tengah jalan utama yang agak 
lembab berembun itu. 
Namun belum juga para penduduk desa masuk kembali ke 
dalam rumah masing-masing, dari ujung jalan terlihat seorang 
laki-laki tua berjalan tergesa-gesa. Jubah putihnya yang 
panjang berkibar-kibar tertiup angin malam yang cukup dingin 
ini. Sementara di belakangnya sekitar dua puluh orang anak 
muda mengikuti dari belakang. Mereka semuanya tampak 
menyandang golok di pinggang. Laki-laki tua itu berjalan 
sambil mengayun-ayunkan tongkat kayu yang bagian atasnya 
berbentuk bulan berwarna putih. Dan begitu mereka sampai di 
dekat tubuh Kasdi yang sudah terbujur kaku, mereka langsung 
berhenti. 
"Angkat dia...! Bawa ke padepokan," perintah laki laki tua 
berjubah putih itu. Suaranya terdengar cukup berat

Tanpa diperintah dua kali, empat orang anak muda yang 
mengikuti bergegas mendekati Kasdi. Segera digotong dan 
dibawanya mayat itu pergi dari tempat ini. Sedangkan yang 
lainnya tetap diam, seperti menunggu perintah selanjutnya. 
Sementara Itu, dari lubang-lubang di balik jendela rumah-
rumah yang ada di sekitar jalan ini, terlihat beberapa bola 
mata mengintip memperhatikan. Tapi, tidak ada seorang pun 
yang berani menampakkan diri. Mereka tahu, orang tua 
berjubah putih yang baru datang itu adalah Eyang Jambak. 
Sementara, Eyang Jambak sendiri mengedarkan 
pandangannya ke sekeliling. Tampak begitu tajam sorot 
matanya Sementara bibirnya yang hampir tertutup kumis 
putih, tampak terkatup rapat Sedangkan sepasang rahangnya 
yang keras bertonjolan, tampak bagai sedang menahan 
amarah yang sangat dalam hatinya. Wajahnya juga terlihat 
memerah. Sehingga, tidak ada seorang pun dari anak-anak 
muda yang mengikutinya berani memandang wajahnya. 
"Kalian menyebar! Cari Pendekar Pulau Neraka keparat 
itu...!" perintah Eyang Jambak lagi. "Ingat..! Jangan ada 
seorang pun yang mengganggu ketentraman penduduk!" 
Tanpa ada yang menjawab, murid-murid Padepokan 
Tongkat Putih itu bergerak cepat, menyebar ke segala arah. 
Sementara, Eyang Jambak sendiri masih tetap berdiri tegak di 
tengah-tengah jalan tanah yang membelah desa Kalipasir ini. 
Pandangannya terus beredar ke sekeliling, dan langsung 
tertuju pada seorang laki-laki berusia separo baya. Laki-laki 
berbaju agak lusuh itu, tiba-tiba saja muncul di depan pintu 
sebuah rumah yang berhalaman tidak begitu besar. 
Sebentar Eyang Jambak memandangi. Kemudian 
melangkah menghampiri. Sementara, orang yang baru keluar 
dari rumahnya itu berjalan menyeberangi halaman depan 
rumahnya. Dan mereka bertemu tepat di pintu pagar yang 
terbuat dari potongan bambu. Beberapa saat mereka terdiam, 
hanya saling berpandangan.

*** 
"Maaf... Bukan maksudku mengganggu ketentraman 
desamu ini, Gataka," ucap Eyang Jambak agak datar nada 
suaranya. 
"Kami merasa tidak terganggu, Eyang," sahut Gataka 
ramah. "Justru kami senang melihat kedatanganmu di sini." 
sahut laki-laki separo baya yang dipanggil Gataka. 
"Kau tahu, ke mana perginya Pendekar Pulau Neraka?" 
tanya Eyang Jambak langsung. 
Gataka hanya menggelengkan kepalanya. 
"Hmmm...," Eyang Jambak jadi menggumam kecil. 
"Tidak ada seorang pun yang melihat kejadiannya, Eyang. 
Dan lagi, semua penduduk di sini juga sudah tidur," jelas 
Gataka, seperti tidak ingin ikut terlibat dalam persoalan ini. 
"Pembunuh muridku itu harus ditangkap dan dihukum 
setimpal dengan perbuatannya. Sudah lima orang muridku 
yang mati di tangannya. Bahkan sudah tiga orang penduduk 
desa mati dibunuhnya. Aku tidak ingin ada korban lebih 
banyak lagi. Maka kuharap, kau dan semua penduduk desa ini 
membantuku menangkap pembunuh itu," ujar Eyang Jambak. 
"Kabarnya, Pendekar Pulau Neraka sangat tangguh dan 
sukar ditandingi, Eyang...," kata Gataka, agak ragu-ragu 
suaranya. 
"Setangguh apapun dia, perbuatannya tidak bisa didiamkan 
begitu saja. Yang jelas, dia harus mendapat ganjaran 
setimpal, Hh...! Mana pantas dia menyandang gelar 
pendekar," terdengar agak tinggi nada suara Eyang Jambak 
"Aku dan semua penduduk desa ini akan membantumu, 
Eyang. Tapi..., mungkin bantuan itu tidak ada artinya 
bagimu," sergah Gataka, bernada merendahkan diri.

"Justru bantuan penduduk di sini sangat aku perlukan, 
Gataka," selak Eyang Jambak cepat. "Tanpa bantuan 
penduduk desamu, rasanya sulit untuk membekuk pendekar 
murtad itu." 
"Lalu, apa yang harus kulakukan untuk membantumu...?" 
tanya Gataka. 
"Amati siapa saja yang masuk ke desa ini. Kalau sikapnya 
mencurigakan cepat laporkan padaku di padepokan." kata 
Eyang Jambak meminta. 
"Baik, Eyang," sahut Gataka mantap. 
Saat itu, murid-murid Eyang Jambak kembali tanpa 
membawa hasil yang diinginkan. Mereka lalu berkumpul di 
belakang gurunya Ini. Sementara, beberapa orang penduduk 
sudah mulai keluar dari rumahnya masing-masing. Tapi 
mereka hanya berdiri saja di depan pintu, tanpa ada seorang 
pun yang mendekati. Eyang Jambak kembali mengedarkan 
pandangan ke sekeliling beberapa saat, kemudian kembali 
menatap Gataka. 
"Kuharap semua ini bisa cepat berhasil, Gataka. Aku tunggu 
bantuanmu," kata Eyang Jambak. 
"Kuusahakan, Eyang," sahut Gataka. 
Tanpa bicara lagi, Eyang Jambak berbalik, dan melangkah 
pergi meninggalkan Gataka seorang diri. Dan murid-muridnya 
yang berjumlah sekitar tiga puluh orang mengikuti dari 
belakang tanpa ada seorang pun yang bersuara. 
Sementara itu, Gataka terus memandangi sampai mereka 
lenyap dari pandangan, setelah berbelok ke kanan untuk 
kembali ke padepokan. Kini Gataka pun bergegas kembali ke 
rumahnya. Dan orang-orang yang tadi sempat keluar, 
bergegas masuk kembali ke dalam rumah masing-masing.

Kini malam pun sunyi tanpa terdengar ada orang yang 
berbicara lagi. Hanya desir angin dan gerit binatang malam 
saja yang terdengar mengisi kesunyian malam. 
*** 
Peristiwa yang terjadi di Desa Kalipasir, membuat Eyang 
Jambak jadi bertambah sibuk. Kini ketua Padepokan Tongkat 
Putih itu harus melayani tamu-tamu dari rimba persilatan yang 
datang ke padepokannya. Mereka sudah mendengar tentang 
pembantaian orang-orang tak bersalah yang konon dilakukan 
oleh Pendekar Pulau Neraka yang kini sangat jauh berubah. 
Dan sebenarnya tidak sedikit yang menyangsikan kalau 
semua pembunuhan berantai itu adalah perbuatan Pendekar 
Pulau Neraka. Terutama, mereka yang sudah mengenal betul 
akan watak pendekar muda itu. Kesangsian memang 
tergambar pada wajah orang-orang persilatan yang datang ke 
padepokan Eyang Jambak. Mereka sengaja memang ingin 
mencari bukti kebenarannya. Tapi setelah melihat senjata 
yang selalu ada pada setiap korban, kesangsian itu semakin 
dalam menyelimuti mereka semua. 
Dan kekacauan ini tentu saja membuat tokoh-tokoh 
golongan hitam jadi senang. Mereka yakin, dengan hasil itu 
orang-orang persilatan golongan putih akan menjadi pecah. 
Bahkan bukan tidak mungkin akan saling bunuh hanya untuk 
membuktikan, apakah Pendekar Pulau Neraka sekarang benar-
benar menjadi pembunuh kejam. 
Sementara itu jauh di luar Desa Kalipasir, Pendekar Pulau 
Neraka tengah duduk mencangkung di atas batu di pinggir 
sungai. Pemuda berwajah tampan yang selalu memakai baju 
kulit harimau itu begitu asyik mempermainkan permukaan air 
sungai dengan kakinya. Sementara seekor monyet kecil 
berbulu hitam, seperti tidak mempedulikan keadaan 
sekitarnya. Dia begitu nikmat menyantap setandan pisang.

"Sudah makanmu, Tiren...?" tanya Bayu sambil melirik 
sedikit pada monyet kecilnya. 
"Nguk...!" 
Tiren menyeringai, memperlihatkan baris-baris giginya yang 
kecil dan rapih. Kembali binatang itu menikmati makanannya 
tanpa peduli pada Bayu yang sudah mulai tidak sabar 
menunggu. 
"Sudah sore, Tiren. Kita harus sampai di desa Kalipasir 
untuk bermalam," ujar Bayu lagi. 
"Nguk!" 
Tiren mendongakkan kepalanya ke atas, mena-lap matahari 
yang saat itu memang sudah tergelincir ke barat Dan sinarnya 
pun tidak lagi terasa terik seperti tadi. Sementara, Pendekar 
Pulau Neraka sudah mengeluarkan kakinya dari dalam sungai. 
Dia melompat turun dari atas batu yang didudukinya, 
kemudian melangkah menghampiri monyet kecilnya. 
Sedangkan Tiren jadi mencerecet ribut, «perti tidak suka 
makannya diganggu. Tapi binatang itu akhirnya melompat 
juga, dan langsung naik ke pundak Pendekar Pulau Neraka 
yang tangannya sudah terulur. 
Bayu mengayunkan kakinya pelahan ke arah selatan. 
Disepaknya sebatang ranting yang menghalangi jalan, dan 
langsung ditangkap dengan mudah sekali. Lalu, diayun-
ayunkannya ranting itu seirama ayunan langkah kakinya. Tapi 
baru saja berjiran beberapa langkah, Tiren tiba-tiba saja jadi 
ribut. Binatang itu mencerecet tidak henti-hentinya sambil 
berjingkrakan di pundak pemuda berbaju kulit harimau ini. 
"Diam, Tiren," pinta Bayu agak membentak suaranya. 
"Nguk! Craaakh...!" 
Tiren bukannya diam, tapi semakin ribut Dan ini membuat 
Bayu terpaksa harus menghentikan ayunan kakinya Namun

belum juga bisa membuka mulut untuk mendiamkan monyet 
kecilnya, tiba-tiba saja.... 
Slap! 
"Heh...?! Hup!" 
Bayu jadi tersentak, ketika tiba-tiba saja dari arah depan 
melesat bagai kilat sebatang anak panah yang langsung 
menuju ke arahnya. Tapi hanya memiringkan tubuh sedikit 
sambil menarik ke kirinya anak panah itu jadi meleset arah 
sasarannya. Tepat di saat anak panah itu berada di depan 
dadanya, tangan Pendekar Pulau Neraka mengibas. Dan... 
Tap! 
"Hih...!" 
Begitu anak panah berada dalam genggaman tangannya, 
secepat kilat Bayu mengibaskannya kembali ke depan sambil 
menegakkan tubuhnya. Maka seketika anak panah itu kembali 
meluncur dengan kecepatan tidak kalah dari datangnya tadi. 
Begitu cepat lesatannya ke arah gerumbul semak yang tidak 
jauh dari Pendekar Pulau Neraka Dan begitu menembus 
semak.... 
Slak! 
"Aaa...!" 
Seketika terdengar jeritan panjang yang melengking, 
disusul munculnya seseorang dari dalam semak belukar 
dengan sebatang anak panah menembus leher. Orang itu 
terhuyung sebentar, lalu ambruk terguling keluar dari dalam 
semak. 
Sementara, Bayu sudah menurunkan Tiren dari pundaknya. 
Monyet kecil itu berlari mendekati pohon, lalu naik ke atas 
sambil mencerecet ribut Ke-mudian binatang itu nangkring di 
atas dahan yang rukup besar. Sedangkan Bayu terlihat berdiri 
tegak, memandangi tubuh laki-laki yang sudah tidak bernyawa

lagi dengan leher tertembus anak panah, tampak pada 
pinggangnya tergantung sekantung anak panah. Sementara 
sebuah busur menggeletak tidak jauh dari sampingnya. 
Pelahan Bayu melangkah menghampiri. Namun belum juga 
sampai, kembali terlihat anak panah meluncur deras ke 
arahnya. Bahkan kali ini bukan hanya satu, tapi puluhan anak-
anak panah Itu meluruk dari segala arah mengancam Bayu 
yang terkesiap. Maka seketika tubuhnya melenting ke atas 
sambil berputaran. 
"Hiyaaa...!" 
Diiringi teriakan menggelegar, cepat sekali Bayu 
mengibaskan tangan kanannya untuk menangkis serbuan 
anak panah yang datang bagaikan hujan. Puluhan anak panah 
itu kontan rontok, terkena kibasan tangan kanan Pendekar 
Pulau Neraka yang begitu cepat Dan sebentar saja, tidak satu 
pun anak panah yang terlihat lagi menghujaninya. Bayu 
kembali menjejakkan kaki di tanah dengan ringan sekali. 
Sampai-sampai tidak terdengar suara sedikit pun juga saat 
mendarat. 
Sementara keadaan kembali sunyi. Bayu mengedarkan 
pandangan ke sekeliling, sambil menajamkan pendengaran. 
Kepalanya bergerak ke kanan dan ke kiri, kemudian terdengar 
gumaman-nya yang begitu pelahan seperti lebah. Malah kedua 
tangannya sudah mengepal erat Sekarang dia tahu dirinya 
sudah terkepung tidak kurang dari tiga puluh orang yang 
bersembunyi di balik pohon dan gerum-bul semak di 
sekitarnya. 
*** 
"Siapa kalian? Keluar...!" teriak Bayu dengan suara keras 
dan lantang. 
Begitu kerasnya suara Pendekar Pulau Neraka, sehingga 
daun-daun di sekitarnya jadi berguguran. Dan memang, Bayu 
mengeluarkannya dengan pengerahan tenaga dalam

sempurna. Tapi teriakan Pendekar Pulau Neraka tidak 
mendapat sambutan sama sekali. Bayu sendiri hanya bisa 
mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Kendati tahu kalau 
sudah terkepung, tapi Bayu tidak mau berbuat gegabah untuk 
menyerang lebih dahulu. 
Dua langkah Bayu mengayunkan kakinya ke depan. Sorot 
matanya terlihat begitu tajam, menatap ke depan. Dan begitu 
langkahnya berhenti, tiba-tiba saja kaki kanannya dihentakkan 
ke depan. Seketika sebatang ranting kering yang berada tepat 
di ujung kakinya melesat begitu cepat bagai kilat Dan... 
Srak! 
"Aaa...!" 
Kembali terdengar jeritan yang melengking menyayat, 
begitu ranting yang tersepak kaki Pendekar Pulau Neraka 
menembus semak belukar di depannya. Tak lama muncul 
seorang laki-laki dengan leher tertembus ranting kering dari 
dalam belukar. Tubuh yang cukup besar itu jatuh terguling ke 
tanah. Hanya sesaat saja dia mampu menggeliat, kemudian 
diam tidak bergerak-gerak lagi. Mati. 
Dua orang sudah menggeletak di depan Pendekar Pulau 
Neraka dalam keadaan tidak bernyawa. Sementara, Bayu 
sendiri sudah memutar tubuhnya sedikit ke kiri. Dan kembali 
kakinya bergerak cepat, menyepak sepotong ranting kering 
yang berada di ujung jari kakinya. Kembali ranting itu melesat 
begitu cepat bagai anak panah, dan langsung menembus 
semak belukar yang ada di sebelah kirinya. 
Kembali jerit kematian pun kembali menyayat panjang. 
Satu orang lagi muncul dengan leher terpanggang sepotong 
ranting. Bayu hanya memandangi saja dengan sinar mata 
begitu tajam pada sosok tubuh yang bergelimpangan di 
depannya dalam keadaan tidak bernyawa lagi. Darah tampak 
sudah membanjiri tanah di dalam hutan ini.

"Kalian akan mati kalau tidak keluar...!" teriak Bayu dengan 
suara keras disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. 
Suara Pendekar Pulau Neraka menggema ke-sekitar hutan 
ini Begitu sempurna tenaga dalam yang dikerahkan Pendekar 
Pulau Neraka, sehingga membuat tanah di sekitarnya jadi 
bergetar bagai diguncang gempa. Dan saat itu juga, terlihat 
seorang laki-laki tua berjubah putih keluar dari balik sebuah 
pohon yang cukup besar. Sebatang tongkat berwarna putih 
tergenggam di tangan kanannya seakan jadi penyangga 
tubuhnya yang sudah agak membungkuk. 
"Sudah cukup permainan iblismu, Kisanak...," terasa begitu 
dingin suara orang tua berjubah putih ini. 
"Hm... Siapa kau Orang Tua?" tanya Bayu, tidak kalah 
dingin 
"Aku Eyang Jambak, ketua Padepokan Tongkat Putih," 
sahut orang tua berjubah putih itu, memperkenalkan diri. 
"Hm...," Bayu hanya menggumam saja pelarian. 
"Sudah terlalu banyak korban yang kau ambil dari Desa 
Kalipasir, Pendekar Pulau Neraka. Dan hari ini, kau harus 
mempertanggungjawabkan semua perbuatan iblismu itu," 
cegat Eyang Jambak. 
"Perbuatan apa...?" tanya Bayu tidak mengerti. 
"Jangan berpura-pura tidak tahu!" bentak Eyang Jambak 
kasar. 
Bayu jadi tersentak juga mendengar bentakan begitu kasar 
dari orang tua bernama Eyang Jambak Ini. Tapi keningnya jadi 
berkerut, memandangi wajah yang kelihatan menegang penuh 
kebencian itu. Sesaat saja, Bayu langsung bisa menyadari 
kalau dirinya sekarang berada dalam bahaya. Dan dia tidak 
tahu, apa yang menjadi sebabnya sehingga orang tua itu 
begitu membencinya. Bahkan sinar mata laki-laki itu jelas 
ingin membunuhnya.

"Kau kelihatannya ingin membunuhku, Eyang. Kenapa...?" 
Bayu meminta penjelasan. 
"Rasanya tidak perlu lagi aku menjawab pertanyaan 
bodohmu itu, Anak Muda. Sekarang, beruaplah menerima 
hukuman atas kekejamanmu selama ini!" sahut Eyang Jambak 
dingin. 
Dan begitu kata-katanya kering, Eyang Jambak langsung 
saja mengecutkan tongkat putihnya ke depan. Maka seketika 
itu juga dari ujung tongkatnya meluncur puluhan benda kecil 
seperti jarum berwarna putih keperakan, yang langsung 
meluruk deras ke arah Pendekar Pulau Neraka. 
"Hup...!" 
*** 
DUA


Tidak ada pilihan lain lagi bagi Bayu, kecuali cepat 
melenting ke atas. Tubuhnya langsung berputaran beberapa 
kali cepat sekali, menghindari serbuan jarum-jarum kecil 
keperakan yang keluar dari ujung tongkat Eyang Jambak. Dan 
begitu kakinya kembali menjejak tanah, Eyang Jambak sudah 
melesat cepat bagai kilat disertai kebutan tongkatnya yang 
tepat mengarah ke bagian kepala Pendekar Pulau Neraka 
"Haiiit..!" 
Cepat-cepat Bayu merundukkan kepala, sehingga sabetan 
tongkat ketua Padepokan Tongkat Putih itu hanya lewat 
sedikit saja di atas kepalanya Namun saat itu juga. Bayu 
merasakan adanya sambaran hawa panas menyengat di atas 
kepala, yang rupanya keluar dari sambaran tongkat Eyang 
Jambak. Cepat Bayu melompat ke belakang sambil memutar 
tubuhnya dua kali di atas tanah. Lalu, manis sekali Pendekar

Pulau Neraka menjejakkan kakinya kembali ke tanah. Dan 
pada saat itu, juga Eyang Jambak sudah kembali melancarkan 
serangan dahsyat Seakan, dia tidak ingin memberikan 
kesempatan pada Pendekar Pulau Neraka untuk balas 
menyerang. 
"Hiya! Hiyaaa...!" 
Sambil berteriak keras menggelegar, Eyang Jambak 
mengebutkan tongkatnya beberapa kali. Ketepatannya begitu 
tinggi, mengarah ke bagian-bagian tubuh yang mematikan. 
Dan ini membuat Pendekar Pulau Neraka terpaksa harus 
berjumpalitan menghindari serangan yang begitu cepat dan 
beruntun tanpa henti. Sementara, hawa panas di sekitar 
tubuhnya semakin terasa begitu menyengat, membuat jalan 
pernapasannya jadi terganggu. Bayu tepat menyadari kalau 
tidak bisa terus-menerus bertahan seperti ini. Hawa panas 
yang keluar dari tongkat putih orang tua itu jelas bisa 
menguras habis udara untuk mengisi paru-parunya. 
"Hup!" 
Cepat Bayu melentingkan ke atas dan berputaran beberapa 
kali, tepat di saat tongkat Eyang Jambak mengibas ke arah 
kakinya. Lalu, manis sekali Pendekar Pulau Neraka 
menjejakkan kakinya di atas dahan sebuah pohon, tepat di 
atas kepala Eyang Jambak. Tapi, tampaknya orang tua itu 
tidak mau kehilangan lawannya. Cepat dia melompat ke 
depan, dan... 
"Yeaaah...!" 
Bet! 
Prak! 
"Heh...?!" 
Bayu jadi tersentak kaget, begitu pohon yang dipijaknya 
seketika bergetar tersabet tongkat Eyang Jambak. Dan belum 
lagi hilang rasa terkejutnya, pohon itu jadi goyang. Lalu...

"Hup...!" 
Cepat-cepat Bayu melenting ketika pohon itu roboh. 
Beberapa kali tubuhnya berputaran di udara, kemudian manis 
sekali menjejak tanah kembali. Agak terbeliak juga kedua bola 
mata Pendekar Pulau Neraka melihat bagian bawah pohon itu 
hancur, akibat terkena pukulan dahsyat tongkat putih Eyang 
Jambak tadi Dan matanya semakin terbeliak lebar, begitu 
melihat pohon yang sudah ambruk itu pelahan-lahan hancur 
jadi debu. Sehingga, bentuk pohon itu tidak lagi terlihat. Yang 
ada hanya tumpukan debu di atas tanah. 
"Gila...! Ilmu apa yang dipakainya...?" desis Bayu dalam 
hati. 
Memang dahsyat tongkat Eyang Jambak. Pohon yang 
begitu besar dan kuat, bisa hancur jadi debu Bayu jadi berpikir 
kalau saja tongkat itu menyentuh tubuhnya. Sulit 
dibayangkan, apa yang akan terjadi. Mungkin nasibnya sama 
dengan pohon itu. Sementara Bayu tengah berpikir, Eyang 
Jambak sudah kembali melancarkan serangan dahsyatnya. 
Tubuh orang tua itu meluncur begitu cepat bagai kilat, 
hingga sulit diikuti mata biasa. Hanya bayangan putih saja 
yang terlihat berkelebat begitu cepat meluruk deras ke arah 
Pendekar Pulau Neraka. 
"Hup! Yeaaah...!" 
Cepat Bayu melenting ke atas, sehingga teringan Eyang 
Jambak tidak sampai menyambar tubuhnya. Dan bayangan 
putih dari jubah yang digunakan orang tua itu berkelebat, 
lewat di bawah Pendekar Pulau Neraka. 
Dan pada saat itu juga, Bayu memutar tubuhnya hingga 
kepalanya berada di bawah. Lalu dengan kecepatan luar biasa 
Pendekar Pulau Neraka mengibaskan tangan kanannya ke 
arah Eyang Jambak yang baru saja berbalik, setelah 
serangannya gagal. Maka saat itu juga, Cakra Maut yang

selalu berada di pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau 
Neraka melesat begitu cepat bagai kilat. 
"Wusss...! 
"Hiyaaa...!" 
Bet! 
Eyang Jambak langsung mengecutkan tongkatnya, hingga 
melintang di depan dada, tepat di saat Cakra Maut hampir 
menghantam dadanya. Sehingga, senjata maut Pendekar 
Pulau Neraka langsung menghantam tepat bagian tengah 
tongkat putih orang tua itu. 
Tring! 
"Heh...?!" 
Bayu jadl terbeliak, melihat senjata andalannya terpental 
balik begitu membentur batang tongkat lawannya. 
Maka cepat tangan kanannya diangkat ke atas kepala, 
sehingga Cakra Maut berwarna putih keperakan kembali 
menempel di pergelangan tangan kanannya. 
"Hh!" 
Bayu menghembuskan napas berat, sambil menyilangkan 
tangan kanan di depan dada. Sorot matanya terlihat begitu 
tajam memperhatikan gerak kaki Eyang Jambak yang 
menggeser ke kanan. Sedangkan orang tua itu sendiri 
mempermainkan tongkatnya di depan dada, lalu diputar cepat 
sekali, sampai seperti lenyap dari pandangan. Dan yang 
terlihat kini hanya lingkaran putih yang hampir menutupi 
seluruh tubuh orang tua itu. 
"Hm.... Ilmu apa lagi yang akan digunakannya...?" gumam 
Bayu bertanya-tanya sendiri dalam hati. 
Sedikitpun Bayu tidak mengedipkan mata, terus 
memperhatikan setiap gerak Eyang Jambak. Putaran

tongkatnya yang semakin cepat, juga menjadi perhatian 
Pendekar Pulau Neraka. Dan tanpa disadari, kini jarak mereka 
sudah begitu dekat. Dan tepat ketika jarak mereka tinggal 
sekitar lima langkah lagi... 
"Yeaaah...!" 
Tiba-tiba saja Eyang Jambak berteriak keras menggelegar. 
Dan seketika itu juga, tongkatnya di-kebutkan ke depan, tepat 
mengarah ke bagian perut Pendekar Pulau Neraka. Begitu 
cepat hentakan longkat putih itu, sehingga tidak ada lagi 
kesempatan bagi Bayu untuk berkelit menghindar. Namun... 
"Hih!" 
Cepat Bayu menarik tangannya melintang ke bawah, untuk 
melindungi perutnya dari sambaran longkat putih lawannya. 
Sehingga tongkat itu tepat menghantam bagian luar 
pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka ini. Dan... 
Trang! 
Seketika api memercik, begitu tongkat Ki Jambak beradu 
keras dengan Cakra Maut Pendekar Pulau Neraka. Lalu saat itu 
juga, mereka sama-sama melompat ke belakang sejauh 
beberapa langkah. Dan hampir bersamaan pula, mereka 
kembali menjejakkan kakinya mantap di tanah. Bayu langsung 
menempatkan tangan kanannya kuat-kuat di depan ujung jari 
kakinya. 
Sorot mata orang tua itu terlihat begitu tajam menatap 
lurus ke bola mata Pendekar Pulau Neraka yang kini berada 
sekitar satu batang tombak di depannya. Dan Bayu sendiri 
membalas pandangan mata itu dengan sorotan yang tidak 
kalah tajam, beberapa saat mereka saling berpandangan 
tajam, seakan-akan tengah mengukur sampai sejauh apa 
tingkat kepandaian masing-masing. 
***

Di saat dua orang yang berdiri berhadapan dar saling 
menatap tajam itu tengah mengukur tingkat kepandaian 
masing-masing, dari balik semak belukar dan pepohonan di 
sekeliling tempat ini bermunculan orang-orang bersenjatakan 
golok di pinggang. Bahkan busur anak panah yang juga 
dibawa mereka telah terentang di tangan. Di balik ikat 
pinggang mereka juga bukan hanya golok yang ada, tapi juga 
sebatang tongkat putih. Mereka langsung mengepung tempat 
ini dengan panah terpasang di busurnya, siap mengancam 
Pendekar Pulau Neraka. 
Kemunculan murid-murid Eyang Jambak ini membuat Bayu 
jadi mendengus berat. Pandangannya segera beredar ke 
sekeliling beberapa saat, memperhatikan sekitarnya yang 
sudah terkepung rapat dalam waktu sebentar saja. Tidak ada 
celah sedikit pun untuk dapat meloloskan diri. Sementara, 
Eyang Jambak sendiri sudah menggeser kakinya ke belakang, 
menjauhi Pendekar Pulau Neraka Tapi, tatapan matanya tidak 
lepas dari pemuda berbaju kulit harimau ini. 
"Sebaiknya kau menyerah saja, Anak Muda. Tidak ada 
gunanya melawan. Bukan hanya murid-muridku saja yang 
mengepung tempat ini. Kalau tak percaya lihat saja 
sekelilingmu...," ujar Eyang Jambak merasa menang. 
Saat itu juga Bayu jadi terkejut, begitu melihat di 
sekelilingnya yang sudah terkepung oleh tokoh-tokoh 
persilatan beraliran putih. Dia tahu, mereka yang baru 
bermunculan itu tidak bisa dianggap sembarangan. Bayu 
benar-benar merasakan kalau keadaannya sekarang sama 
sekali tidak menguntungkan. Tapi, pantang baginya untuk 
menyerah begitu saja. 
"Kenapa kalian seperti menginginkan kematianku?! Apa 
perbuatanku yang merugikan kalian semua...?!" tanya Bayu 
keras dan lantang. 
"Sebaiknya, tanyakan saja nanti di neraka, Anak Muda," 
sahut Eyang Jambak ketus.

Bayu langsung menatap tajam pada orang tua berbaju 
putih itu. Memang, Eyang Jambak memiliki kepandaian yang 
sangat tinggi. Dan menghadapi orang tua ini saja, Bayu 
merasa cukup berat. Apa lagi, harus menghadapi tokoh-tokoh 
persilatan yang begitu banyak, jumlahnya, ditambah murid-
murid Eyang Jambak sendiri. Bayu benar-benar harus berpikir 
keras untuk dapat keluar dari kepungan ini. 
Tapi dia juga ingin tahu, mengapa mereka sampai 
memperlakukannya seperti ini...? Padahal, Bayu sama sekali 
tidak merasa melakukan sesuatu yang merugikan mereka 
semua. Apalagi dia tidak kenal mereka satu persatu. Tapi, 
tampaknya orang-orang yang mengepungnya ini benar-benar 
menginginkan kematiannya. Bayu juga menyadari, 
keingintahuannya tidak akan bisa terjawab sekarang ini. Dan 
satu-satunya jalan, dia harus bisa lolos dari kepungan. Otak 
Pendekar Pulau Neraka seketika berputar, mencari cara yang 
tepat untuk bisa lolos dari mau yang begitu sempit 
kemungkinannya. 
"Apapun yang terjadi, aku harus keluar dari tempat ini...," 
bisik Bayu dalam hati. 
Sebentar Pendekar Pulau Neraka mengedarkan pandangan 
ke sekeliling, kemudian matanya bertemu pada Tiren yang 
kelihatannya begitu ketakutan melihat majikannya terkurung 
rapat dalam bahaya maut ini. Entah kenapa, Bayu jadi 
tersenyum melihat monyet kecil yang selalu bersamanya. 
"Tiren, kacaukan mereka dari sebelah kanan," bisik Bayu 
menggunakan suara perut yang disertai pengerahan tenaga 
dalam. 
"Nguk!" 
Tiren langsung bisa mendengar bisikan Pendekar Pulau 
Neraka. Tanpa diminta dua kali, monyet kecil itu langsung saja 
melompat ke ranting kecil tidak jauh dari tempatnya nangkring

tadi Dan ringan sekali tubuhnya berayun pada ranting, laki 
meluruk deras ke arah kanan para pengepung. 
"Nguk! Craaak...!" 
Sambil menjerit nyaring, monyet kecil itu langsung saja 
menerkam kepala seorang pengepung yang sama sekali tidak 
menyadari akan serangan itu. Murid Eyang Jambak itu jadi 
menjerit, ketika gigi-gigi Tiren yang bertaring sangat tajam 
mengoyak kulit lehernya. Darah langsung menghambur keluar 
dari leher yang terkoyak cukup lebar. 
"Bagus, Tiren...!" seru Bayu masih menggunakan suara 
perut. Tiren langsung berpindah ke orang satunya lagi. Dan 
kembali gigi-giginya yang bertaring sangat tajam itu 
menghunjam ke leher. 
"Craaak...!" 
Jeritan pun kembali terdengar begitu menyayat. Serangan 
Tiren yang cukup cepat dan tidak terduga, membuat keadaan 
di barisan kanan jadi kacau. 
Mereka yang cepat tersadar, berusaha menghentikan 
amukan monyet kecil itu. Tapi, Tiren memang seekor monyet 
yang sudah terlatih Dia berlompatan dari satu kepala ke 
kepala lainnya, sambil berteriak-teriak ribut. Dan kekacauan 
itu semakin meluas. Sehingga, perhatian hampir semua mang 
tertumpah pada amukan monyet kecil itu. Dan kesempatan ini 
tidak disia-siakan Bayu begitu saja. 
"Hup! Hiyaaa...!" 
Sambil berteriak keras menggelegar, Bayu langsung saja 
melompat ke arah kanan. Dan tangan kanannya seketika 
mengibas cepat ke depan. Maka Cakra Maut yang selalu 
menempel pada pergelang-nn tangan kanannya langsung 
melesat begitu cepat bagai kilat. 
Wusss!

Crasss! 
"Aaa...!" 
Satu orang langsung roboh seketika, tersambar Cakra Maut 
pada lehernya. Sementara, Bayu sudah melepaskan beberapa 
pukulan beruntun yang disertai pengerahan tenaga dalam 
sempurna. Jeritan-jeritan menyayat seketika menggema 
memenuhi hutan ini, di susul oleh tubuh-tubuh berlumuran 
darah yang berjatuhan saling susul. 
"Hiya! Yeaaah...!" 
Sementara Bayu terus beriompatan sambil melontarkan 
pukulan-pukulan dahsyatnya. Dan begitu mendaratkan satu 
pukulan terakhirnya, Pendekar Pulau Neraka langsung melesat 
cepat ke atasi pohon yang cukup tinggi. 
"Hup! Yeaaah...!" 
Dan hanya dengan menotokkan sedikit saja ujung jari 
kakinya, Bayu kembali melenting cepat ke pohon satunya. 
Dan, Pendekar Pulau Neraka terus melesat meninggalkan 
orang-orang yang mengepungnya. Sementara, Tiren sendiri 
langsung melompat naik ke atas pohon, begitu melihat Bayu 
sudah tidak terlihat lagi di tempat ini. Begitu cepat dan ringan 
gerakannya sehingga dalam waktu sebentar saja sudah lenyap 
tertelan lebatnya pepohonan di dalam hutan. 
"Keparat..!" 
Eyang Jambak jadi geram setengah mati, melihat Pendekar 
Pulau Neraka berhasil lolos dari kepungan yang sangat rapat. 
Bahkan tidak kurang dari lima belas orang muridnya tidak 
bernyawa lagi Sedangkan puluhan orang menderita luka 
parah. 
Dalam beberapa gebrakan saja, Bayu berhasil lolos dari 
kepungan. Bahkan bisa menewaskan lima belas orang, dan 
melukai puluhan orang pengepungnya.

*** 
Eyang Jambak hanya dapat menyimpan kekecilannya di 
dalam hati. Sementara Bayu sudah berada di tempat yang 
cukup aman dari orang-orang yang menginginkan nyawanya. 
Larinya baru berhenti setelah dirasakan cukup aman, dan 
tidak ada seorang pun yang mengejarnya. Bibirnya tersenyum 
melihat Tiren berayun-ayun pada sulur pohon 
menghampirinya. 
Monyet kecil itu mencerecet ribut sambil melompat ke 
pundak Pendekar Pulau Neraka. Tampak mulut dan seluruh 
giginya yang bertaring sangat tajam berlumuran darah. Bayu 
menepuk kepala monyet itu sambil tersenyum. Kemudian, 
kakinya melangkah menghampiri sebuah telaga kecil di tengah 
hutan ini. Dibersihkannya darah dari mulut monyet kecil itu 
dengan air telaga yang jernih ini. Juga, senjata cakranya yang 
berlumuran darah. 
"Kau sudah bersih lagi sekarang, Tiren," ujar Bayu seraya 
tersenyum. 
"Nguk!" 
Tiren kelihatan senang melihat dirinya tidak lagi berlumuran 
darah. Monyet kecil naik ke pundak Pendekar Pulau Neraka. 
Dan Bayu hanya tersenyum saja saat merasakan pelukan 
hangat monyet kecil ini pada lehernya. Lalu kembali kakinya 
terayun menembus hutan yang sangat lebat ini. Dia tidak tahu 
lagi, arah mana yang harus dituju. Sementara, matahari sudah 
menenggelamkan diri di ufuk barat. Kegelapan menyelimuti 
seluruh hutan ini, membuat langkah kaki Pendekar Pulau 
Neraka jadi agak terhambat. Tapi, dia terus saja berjalan 
tanpa tentu arah tujuan. 
Belum juga jauh Bayu berjalan menembus kegelapan dalam 
hutan ini, ayunan langkah kakinya mendadak saja terhenti. 
Kening Pendekar Pulau Neraka jadi berkerut, melihat secercah 
cahaya api menyembul keluar dari balik belukar di depannya.

Dan seketika, bau harum daging panggang tercium keras di 
lubang hidungnya, membuat perutnya seketika berbunyi minta 
diisi. Bayu baru menyadari, sejak siang tadi perutnya memang 
belum terisi makanan sedikit pun. 
"Mudah-mudahan saja bukan orang yang mau 
membunuhku," gumam Bayu dalam hati. 
Setelah memantapkan harinya, Pendekar Pulau -Neraka 
kembali meneruskan langkah kakinya mendekati api yang 
terlihat tidak jauh lagi di depannya. Sebentar langkahnya 
berhenti di dekat gerumbul belukar, kemudian pelahan 
tangannya mulai menyibakkan belukar itu. Tapi baru saja akan 
melangkah. tiba-tiba saja.... 
Bet! 
"Upths...!" 
Hampir saja ujung sebuah pedang membabat leher, kalau 
Bayu tidak cepat menarik kepalanya ke belakang. Dan 
Pendekar Pulau Neraka cepat-cepat melompat sambil 
memutar tubuhnya dua kali ke belakang. Lalu pada saat 
kakinya menjejak tanah, di depannya sudah berdiri seorang 
gadis cantik. 
Baju merah muda yang dikenakannya cukup ketat, 
sehingga membentuk lekuk-lekuk tubuhnya yang begitu indah 
dipandang mata. Sebuah pedang bercahaya keperakan 
tergenggam erat di tangan kanannya. Ujung pedang itu tepat 
terarah ke dada Pendekar Pulau Neraka. 
"Siapa kau? Dan mau apa mengintipku...?" tegur gadis itu. 
"Sabar Nisanak. Aku tidak bermaksud jahat padamu. Aku 
hanya ingin menumpang bermalam di sini," ujar Bayu 
menyabarkan 
"Aku tanya siapa kau...?" bentak gadis itu tanpa 
menghiraukan ucapan pemuda berbaju kulit harimau ini.

"Namaku Bayu," sahut Bayu kalem. "Maaf kalau 
kehadiranku mengganggu istirahatmu. Sama sekal tidak ada 
maksud buruk di hatiku. Aku hanya ingin bermalam dekat api 
yang kau buat" 
"Hm...," gadis itu menggumam sedikit dengan kening 
berkerut 
Bola mata indah gadis itu memperhatikan Pendekar Pulau 
Neraka dari ujung kepala hingga ke ujung kaki. Kelopak 
matanya terlihat agak menyipit Sedangkan Bayu hanya diam 
saja, tidak merasa jengah sedikit pun dipandangi dengan sinar 
mata memancarkan kecurigaan. 
"Kau pengembara?" tanya gadis itu. 
"Benar," sahut Bayu singkat. 
"Apa julukanmu?" tanya gadis itu lagi. 
"Julukan...? Ah! Aku tidak punya julukan sama sekali," 
sahut Bayu berdusta. 
"Aku tidak percaya! Seorang pengembara pasti memiliki 
julukan. Dan aku bisa memutuskan kau boleh menumpang 
atau tidak, dari julukanmu!" tandas gadis itu. 
Bayu jadi terdiam mendengar kata-kata bernada tegas dan 
tidak bisa dibantah lagi. Memang, di dalam rimba persilatan 
seorang pengembara seperti dirinya pasti memiliki julukan. 
Dan biasanya, julukan seorang pengembara memiliki arti yang 
sangat mendalam. Bahkan bisa menunjukkan watak pemilik 
julukan itu. 
"Apakah itu perlu bagimu, Nisanak?" tanya Bayu masih 
mencoba berkilah. 
Pendekar Pulau Neraka sadar, sekarang ini julukan yang 
disandangnya sedang dirusak orang lain. Dan dia sendiri tidak 
tahu, apa sebabnya. Baru tadi Bayu mendapat kesulitan. Dan 
untung saja nyawanya selamat. Makanya, Bayu berhati-hati

untuk memperkenalkan julukannya pada orang lain yang 
belum dikenalnya. 
"Sebutkan saja julukanmu, Kisanak!" agak membentak 
suara gadis itu. 
"Aku tidak tahu pasti. Tapi orang-orang selalu memanggilku 
Pendekar Pulau Neraka," sahut Bayu terpaksa juga 
memberitahu. 
Gadis cantik itu terdiam, memandangi pemuda yang berada 
sekitar lima langkah di depannya. Seakan, dia sedang menilai 
diri Pendekar Pulau Neraka. Dan pelahan pedangnya ditarik, 
lalu dimasukkan ke dalam warangka yang tergantung di 
pinggang. Bayu langsung menarik napas panjang, begitu 
melihat gadis itu menyimpan kembali pedangnya. 
Tanpa berkata apapun juga, gadis cantik berbaju merah 
muda agak ketat itu memutar tubuhnya. Dan kakinya 
langsung melangkah menyeruak belukar yang tadi sempat 
diterjangnya. Sedangkan Bayu masih terdiam beberapa saat, 
kemudian melangkah juga menembus belukar Ku. 
Bayu melihat gadis itu sudah duduk bersila di depan api 
unggun yang menyala cukup besar. Dan tidak jauh di sebelah 
kirinya, terdapat tiga ekor ayam panggang yang cukup gemuk. 
Sementara, Bayu hanya berdiri dekat, di sebelah kanan 
gadis itu. Kakinya baru melangkah, setelah gadis itu 
merentangkan tangannya sedikit Bayu mengambil tempat 
tidak jauh dari panggangan ayam. Bau harum daging ayam 
panggang itu membuat air liurnya menitik keluar. 
"Ambil saja kalau mau. Aku sudah habis satu tadi," kata 
gadis itu menawarkan. 
Tanpa ditawarkan dua kali, Bayu segera mengambil satu. 
Kemudian, mulai dinikmatinya ayam panggang ini. Bagitu 
nikmat Terlebih perutnya memang sudah terasa lapar sejak 
tadi. Dan sebentar saja, satu ekor sudah dihabiskannya.

"Kalau kurang, ambil saja lagi," gadis itu kembali 
menawarkan. 
"Terima kasih, sudah cukup...," tolak Bayu halus. 
Bayu membersihkan tangannya dengan daun-daun kering. 
Lalu dipindahkannya Tiren yang sudah tidur di sampingnya. 
Kemudian, tubuh monyet kecil itu ditutupinya dengan daun-
daun kering yang banyak berserakan di sekitarnya. Bayu 
sedikit melirik gadis cantik disebelahnya yang masih tetap 
duduk bersila seperti sedang bersemadi Tapi kedua matanya 
terbuka lebar, menatap api unggun di depannya. Sepertinya, 
ada yang sedang diperhatikan di dalam api itu. 
"Kalau boleh tahu, siapa namamu, Nisanak...?" tanya Bayu 
dengan nada suara dibuat begitu ramah. 
"Lestari," sahut gadis itu singkat, memperkenalkan 
namanya. 
"Kau juga pengembara?" tanya Bayu lagi. 
"Bukan." 
"Lalu, kenapa berada di dalam hutan ini seorang diri?" 
Lestari tidak menjawab. Matanya hanya melirik sedikit saja 
pada pemuda yang duduk di sebelahnya. Dan Bayu jadi 
terdiam, tidak mengharapkan jawaban atas pertanyaannya 
tadi. Dia tahu gadis Itu tidak ingin memberitahu 
keberadaannya dalam hutan yang sunyi dan lebat ini. 
Melihat gadis itu tetap duduk diam seperti sedang 
bersemadi, Bayu tidak mau mengganggunya. Tubuhnya lantas 
direbahkan di samping Tiren yang sudah sejak tadi terlelap 
tidur. Matanya mencoba untuk dipejamkan, tapi tidak juga 
terlelap tidur. Meskipun sikap gadis ini begitu baik, tapi pada 
saat sekarang ini, dia tidak mau mudah percaya begitu saja 
pada orang yang baru dikenalnya. 
***

TIGA

Pagi-pagi sekali, sebelum matahari menampak kan diri, 
Bayu sudah bangun dan langsung berdiri. Tampak Lestari 
masih tidur tubuh meringkuk seperti udang. Pendekar Pulau 
Neraka mengulurkan tangannya pada Tiren yang juga sudah 
bangun. Monyet kecil itu langsung nangkring di pundaknya. 
Saat Bayu mematikan api, Lestari menggelinjang bangun 
dari tidurnya. Dia langsung bangkit berdiri, memandangi Bayu 
yang sudah mematikan api. Sementara, cahaya matahari 
mulai membias di ufuk timur. Begitu lembut cahayanya, saat 
menyentuh kulit Pelahan Bayu berdiri sambil mengambil 
sepotong kayu yang cukup kuat. 
"Kita berpisah sekarang, Lestari. Terima kasih 
tumpangannya," ujar Bayu lembut. 
'Tunggu...!" sentak Lestari, mencegah. 
Bayu yang akan melangkah pergi, terpaksa jagi 
mengurungkan niatnya Dipandangi wajah cantik gadis itu 
dengan kelopak mata agak menyipit. "Kau harus ikut 
denganku, Bayu," kata Lestari. 
"Untuk apa..? Kalau aku ikut denganmu, hanya akan 
membuat susah saja, Lestari," Bayu mencoba menolak halus 
ajakan gadis ini. 
"Justru kalau tidak ikut denganku, kau akan jadi susah 
sendiri," balas Lestari tegas. 
"Heh...?! Apa maksudmu, Lestari...?" tanya Bayu agak 
terkejut. 
"Aku tahu siapa kau, Bayu. Kau Pendekar Pulau Neraka 
yang sedang dicari-cari orang sekarang Ini. Kau dituduh 
pembunuh brutal yang sudah mengambil korban di mana-
mana," kata Lestari kalem.

"Kau..., kau tahu...?" kali ini Bayu tidak bisa lagi 
menyembunyikan keterkejutannya. 
"Sejak kau sebutkan namamu semalam, aku sudah tahu 
siapa dirimu, Bayu." 
"Lalu, apa kau juga ingin membunuhku?" 
Lestari hanya tersenyum saja. Kakinya melangkah beberapa 
tindak ke depan mendekati Pendekar Pulau Neraka. 
Tangannya terulur pelahan ke arah Tiren. Sedang Bayu hanya 
diam saja memperhatikan. Lestari mengambil monyet kecil itu 
dari pundak Bayu, lalu langsung menggendongnya dengan 
sebelah tangan. Dan ini membuat Tiren jadi manja, 
menyeruakkan tubuhnya ke dada yang membusung indah itu. 
Lestari jadi tersenyum, melihat kenakalan monyet kecil ini. 
Sementara Bayu hanya memperhatikan saja dengan berbagai 
macam pertanyaan berkecamuk dalam kepalanya. 
"Semua orang bisa termakan fitnah dan pasti Ingin 
memburumu, Bayu. Tapi aku sama sekali tidak percaya kalau 
kau yang melakukan semua kekejaman itu," kata Lestari 
sambil mengangkat kepalanya menatap wajah Pendekar Pulau 
Neraka. 
"Kenapa kau masih mempercayaiku, Lestari? Sedangkan 
semua orang sekarang sedang memburuku seperti binatang." 
Lestari tidak menyahut. Hanya bahunya diangkat sedikit. 
Kemudian kakinya terayun melangkah sambil membelai-belai 
kepala Tiren yang masih berada dalam gendongannya. 
Sedangkan Bayu masih saja diam, memandangi gadis itu yang 
semakin jauh meninggalkannya. Kemudian bergegas Pendekar 
Pulau Neraka menyusul. Dan sebentar saja, dia sudah berada 
di samping gadis cantik ini. 
"Kau tentu punya alasan sampai masih percaya padaku, 
Lestari...," kata Bayu meminta penjelasan. 
"Memang," sahut Lestari singkat.

"Apa alasanmu?" desak Bayu. 
"Hanya orang picik yang mau percaya begitu saja, kalau 
kau yang melakukan semua kekejaman itu. Dan...," Lestari 
tidak melanjutkan. 
"Teruskan, Lestari," pinta Bayu. 
"Hanya aku yang tahu, siapa pelakunya," sambung Lestari 
ringan. 
"Kau tahu...?" 
Lestari mengangguk saja. 
"Siapa?" 
"Setan Mata Satu." 
"Setan Mata Satu. Apa aku pernah mendengar nama itu...?" 
"Mungkin saja, Bayu. Tapi yang penting sekarang, kau 
harus bisa membersihkan namamu lagi Carilah si Setan Mata 
Satu. Karena, dialah yang sebenarnya pelaku pembunuhan 
keji itu dengan menggunakan senjata seperti milikmu." 
"Kenapa dia sampai berbuat seperti itu, Lestari?" 
"Sebenarnya, dia memang selalu menggunakan senjata 
Bintang Perak, seperti yang kau miliki. Sedangkan semua 
orang sudah tahu, senjatamu adalah Cakra Maut yang juga 
mirip Bintang Perak. Jadi, jangan salahkan mereka kalau kau 
sampai dituduh melakukan semua pembunuhan keji itu," jelas 
Lestari. 
"Bagaimana kau bisa tahu semua itu, Lestari?" tanya Bayu 
meminta penjelasan lagi. 
Kembali Lestari tidak menjawab. Bibirnya hanya tersenyum 
saja tanpa menghentikan ayunan langkahnya. Sedangkan 
Bayu terus mengikuti, menjajarkan ayunan langkahnya di 
sebelah kiri gadis ini. Beberapa kali Bayu menatap wajah 
cantik gadis itu dari samping. Tapi, tampaknya Lestari tidak

pernah mau mempedulikan. Dia terus berjalan dengan 
pandangan lurus ke depan. 
*** 
Tepat di saat matahari berada di atas kepala, 
Pendekar Pulau Neraka dan Lestari baru keluar dar dalam 
hutan yang sangat lebat ini. Bayu menghentikan langkahnya, 
begitu melihat sebuah perkampungan tidak jauh di depannya. 
Lestari juga berhenti melangkah. Pandangannya tertuju pada 
perkampungan yang sudah terlihat, tidak jauh lagi di depan. 
Saat itu, mereka sama-sama berpaling dan langsung saling 
berpandangan beberapa saat. Lestari cepat-cepat 
mengarahkan pandangannya pada perkampungan di 
depannya. Dan Bayu pun memandang ke arah yang sama. 
Untuk beberapa saat, mereka terdiam memandangi 
perkampungan yang kelihatan sunyi, seperti tidak ada 
penduduknya 
Sementara Tiren kini sudah kembali berada di pundak 
Pendekar Pulau Neraka. 
"Kau tahu desa apa itu, Bayu?" tanya Lestari tanpa sedikit 
pun berpaling pada pemuda di sebelahnya. 
Sebentar Bayu memandang ke arah perkampungan di 
depannya, kemudian berpaling. Langsung ditatapnya wajah 
cantik Lestari di sampingnya. Namun gadis itu tetap 
mengarahkan pandangannya ke depan, seakan tidak tahu 
kalau Bayu memandanginya. 
"Tidak," sahut Bayu sambil memalingkan wajah ke depan 
lagi. 
"Desa itu sekarang tidak lagi berpenghuni," jelas Lestari. 
"Kenapa?" tanya Bayu seperti orang bodoh. 
"Dihancurkan." 
"Dihancurkan...?!"

Agak berkerut kening Pendekar Pulau Neraka mendengar 
desa di depannya kini tidak lagi dihuni. Kembali ditatapnya 
wajah cantik di sebelahnya, lapi yang dipandangi tetap saja 
mengarahkan pandangannya ke depan. Bayu merasakan ada 
sesuatu yang terjadi di dalam hati gadis ini. Dugaannya pasti 
ada satu kenangan yang tidak bisa terlupakan gadis Ini pada 
desa Ku. 
"Siapa yang melakukannya, Lestari?" tanya Bayu jadi ingin 
tahu. 
"Pendekar Pulau Neraka," sahut Lestari pelan. 
Jelas sekali kalau suara gadis itu ditahan. Malah ada sedikit 
tekanan yang begitu sendu. Bayu semakin bertambah yakin 
kalau Lestari memiliki kenangan tersendiri di desa itu. Entah 
sadar atau tidak, terlihat kedua bola matanya yang bulat dan 
bening Itu mulai berkaca-kaca. Tapi, rupanya Lestari cepat 
menyadari. Maka cepat-cepat wajahnya berpaling ke arah lain. 
Sehingga pemuda itu tidak dapat lagi leluasa memandanginya. 
Tapi Bayu tahu kalau ada kedukaan dalam hari gadis ini. 
"Kau yakin aku yang melakukan semua itu, Lestari? 
Sedangkan aku tidak tahu, apa nama desa Itu. Malah belum 
pernah datang ke sana Jadi bagaimana mungkin kau bisa 
mengatakan aku yang menghancurkan desa itu?!" agak 
ditekan nada suara Bayu. 
"Itulah yang tidak kumengerti, Bayu. Semua orang begitu 
percaya kalau kau sekarang sudah berubah menjadi iblis 
pembunuh. Tapi hanya aku yang tahu, siapa pelaku 
sebenarnya," kata Lestari pelan. 
"Setan Mata Satu..?" tebak Bayu, menduga. 
"Benar. Hanya dia yang bertanggung jawab. Bayu. Setan 
Mata Satu-Iah pelaku sebenarnya." 
"Dari mana kau tahu, Lestari?" tanya Bayu, menyelidik

"Aku pernah melihatnya ketika...," Lestari tidak 
melanjutkan. 
"Ketika apa, Lestari?" desak Bayu. 
"Waktu dia..., dia membunuh kedua orangtua-ku," sahut 
Lestari tidak dapat lagi menyembunyikan kedukaannya. 
"Kau berasal dari desa itu, Lestari?" tebak Bayu langsung. 
Lestari hanya mengangguk kepala saja, dan tidak dapat lagi 
menyembunyikan air matanya yang seketika jatuh menitik 
membasahi pipinya yang putih kemerahan. Sementara, Bayu 
tidak dapat lagi berbuat sesuatu. Pemuda itu memang pating 
tidak bisa menghadapi wanita yang menangis ditelan 
kedukaan. Pendekar Pulau Neraka hanya bisa diam, dengan 
pikiran tidak menentu 
Entah apa yang ada dalam benak Pendekar Pulau Neraka 
sekarang. Dia tahu, keadaan dirinya tidak lagi bisa aman di 
mana pun dia berada. Kini hanya Lestari saja yang percaya 
kalau bukan dia yang melakukan semua pembunuhan keji Ku. 
Tapi semua orang... Bahkan tokoh-tokoh persilatan pun sudah 
menuduhnya. Malah kemarin, hampir saja nyawanya 
melayang dikepung rapat dalam hutan. Kalau saja tidak ada 
Tiren yang membantu membuka jalan, entah bagaimana 
nasibnya sekarang. 
Bayu sadar, semua kesulitan yang harus dihadapinya 
sekarang tidak mudah terhapus begitu saja. Tidak mudah 
membersihkan nama yang sudah terlanjur cacat seperti ini. 
"Semula aku sudah bertekad untuk membalas kematian 
orangtuaku padamu, Bayu. Tapi setelah bertemu 
denganmu...," kembali Lestari tidak bisa melanjutkan. 
"Kau melihat Setan Mata Satu mirip denganku...?" tanya 
Bayu. 
"Bukan kau yang melakukannya, Bayu Aku masih ingat 
betul, bagaimana orangnya," sahut Lestari.

"Yaaah..., inilah sulitnya kalau punya senjata yang mudah 
ditiru orang lain." desah Bayu bernada mengeluh. 
"Aku rasa, kau masih bisa membersihkan namamu. Bayu. 
Dengan menemukan Setan Mata Satu, orang tidak akan lagi 
menuduhmu," kata Lestari memberikan harapan. 
"Tapi itu sulit, Lestari. Mereka semua sudah menuduhku 
begitu," terdengar agak mengeluh nada suara Bayu. 
"Aku akan membantumu, Bayu. Tapi kau juga harus 
membantuku," kata Lestari tegas. 
"Tentu saja. Kita akan saling membantu nanti," sambut 
Bayu seraya tersenyum. 
"Kau ingin lihat senjata si Setan Mata Satu itu. Bayu?" 
Lestari menawarkan. 
"Kau punya?" tanya Bayu. 
"Banyak, di sana," sahut Lestari menunjuk ke arah desa di 
depannya. 
"Baiknya kita ke sana, Lestari. Barangkah saja ada sesuatu 
yang bisa dijadikan petunjuk," ajak Bayu. 
Tanpa membuang-buang waktu lagi, mereka bergegas 
melangkah ke desa kelahiran Lestari yang sudah ditinggalkan 
penghuninya. Mereka berjalan tanpa ada yang berbicara lagi. 
Sementara, sesekali Bayu melirik gadis yang berjalan di 
sampingnya Bisa dirasakannya kepedihan yang dirasakan 
Lestari saat ini. Duka yang begitu mendalam dan sulit 
dilupakan begitu saja. 
*** 
Bayu memandangi Bintang Perak di atas telapak tangan 
kanannya. Memang, sama persis seperti yang pernah 
dimilikinya. Cakra Maut yang tidak pernah lepas dari 
pergelangan tangan kanannya.

Begitu geram Pendekar Pulau Neraka melihat enjata yang 
begitu sama persis dan kini menjadi bumerang bagi dirinya 
sendiri. Tanpa sadar, Bayu meremas benda berbentuk bintang 
keperakan itu disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. 
Sehingga, senjata bintang itu hancur jadi debu dalam 
genggaman tangannya. 
Sementara, Lestari hanya memperhatikan saja. Dia tahu, 
hati Pendekar Pulau Neraka tengah berselimut api kemarahan 
yang tidak bisa ditakar lagi. 
"Ayo kita pergi," ajak Bayu dengan kaki langsung terayun 
melangkah. 
Lestari tidak bisa lagi mengeluarkan kata-kata. Diikutinya 
ayunan langkah kaki Pendekar Pulau Neraka meninggalkan 
desa ini. Agak kewalahan juga gadis itu mensejajarkan 
langkahnya di samping Bayu yang berjalan mempergunakan 
ilmu meringankan tubuh yang sudah sempurna tingkatannya. 
Dan Ini membuat Lestari sesekali harus bertari kecil untuk 
mengimbanginya. 
"Bayu...l" seru Lestari tiba-tiba memanggil. 
Bayu langsung menghentikan langkahnya. Dan tepat saat 
itu juga, tampak puluhan orang sudah berdiri menghadang di 
depan. Lestari juga ikut berhenti melangkah. Memang gadis 
itu yang melihat lebih dulu. Entah, berapa jumlah orang yang 
menghadang di depan jalan itu. Bahkan mereka semua 
membawa senjata dari berbagai macam bentuk dan ukuran. 
"Siapa mereka?" tanya Bayu sambil melirik sedikit pada 
gadis di sebelahnya. 
"Aku tidak tahu," sahut Lestari 
"Bukan penduduk desa ini?" 
"Tidak ada lagi seorang pun yang hidup di sini." 
"Hmmm..."

Sebentar mereka terdiam. 
"Tidak ada yang kau kenal di antara mereka?" tanya Bayu 
lagi. 
Lestari hanya menggelengkan kepala saja. Bayu sendiri 
tidak tahu, siapa mereka yang menghadang di depan itu. Tapi 
dari sikapnya, sudah bisa ditebak kalau mereka sama sekali 
tidak menunjukkan persahabatan. Bahkan dari senjata yang 
dibawa, jelas sekali kalau mereka menginginkan kema-tian 
Pendekar Pulau Neraka. 
"Seberapa jauh kau menguasai ilmu silat?" tanya Bayu 
pelan 
"Cukup untuk menghancurkan dua puluh orang begundal," 
sahut Lestari tanpa ada rasa tersinggung sedikit pun oleh 
pertanyaan Pendekar Pulau Neraka. 
"Kita harus menembus mereka, Lestari" 
"Apa tidak ada jalan lain lagi?" tanya Lestari, merasa tidak 
mungkin menghadapi orang begitu banyak. 
"Tidak," sahut Bayu seraya menggeleng. 
Lestari hanya mengangkat bahunya saja sedikit. Memang 
sulit menembus penghadang itu, walaupun diketahui Pendekar 
Pulau Neraka bukanlah orang sembarangan. Tapi walau 
bagaimanapun juga, tetap saja Pendekar Pulau Neraka 
manusia yang memiliki kelemahan dan keterbatasan. Lestari 
menyadari kalau tidak mungkin menghadapi penghadang itu 
hanya berdua saja. 
Sementara, orang-orang yang menghadang itu sudah mulai 
bergerak mendekati. Dari raut wajah mereka yang tegang, 
sorot mata yang tajam penuh kebencian, rasanya mereka 
tidak akan mungkin bisa diajak damai lagi. Dan Bayu bisa 
merasakan kalau mereka tentu tidak akan puas sebelum 
melihat darahnya menyembur keluar.

Kini jarak mereka pun semakin dekat saja. sementara, Bayu 
sendiri belum punya satu cara untuk bisa menembus 
hadangan itu. Lestari sendiri tidak tahu, apa yang harus 
dilakukannya. Pelahan gadis itu melangkah mundur. 
Sementara, Bayu sendiri masih tetap berdiri tegak di 
tempatnya 
"Seraaang...!" 
"Bunuh manusia iblis itu...!" 
Bersama terdengarnya teriakan yang begitu keras, seketika 
itu juga mereka berlarian bagai banteng liar menyerbu 
Pendekar Pulau Neraka. 
Mereka berteriak-teriak, 
sambil mengayun-ayunkan 
senjata di atas kepala. 
Sementara, Bayu tetap 
berdiri tegak memandangi 
orang-orang yang meluruk 
deras ke arahnya tanpa 
berkedip sedikit pun lima. 
Dan begitu jarak mereka 
benar-benar sudah dekat... 
"Hiyaaa...!" 
Sambil berteriak keras 
menggelegar, Bayu 
menyebutkan tangan 
kanannya ke depan dengan tubuh sedikit membungkuk. Maka 
saat itu juga Cakra Maut yang berada di pergelangan tangan 
kanannya melesat cepat bagai kilat, dan langsung menyambar 
salah seorang yang berada paling depan. 
"Aaaa...!" 
Jeritan yang panjang dan menyayat mulai terdengar 
bersama ambruknya orang itu. Sementara, Bayu cepat


menghentakkan tangan kanannya, sehingga Cakra Maut yang 
sudah mengambil satu kurban, kembali melesat balik ke 
arahnya. Lalu... 
"Yeaaah...!" 
Kembali Bayu menghentakkan tangan kanannya, sebelum 
Cakra Maut menempel lagi di pergelangannya. Senjata maut 
Pendekar Pulau Neraka kembali melesat cepat bagai kilat. 
Maka jeritan pantang pun kembali terdengar, disusul 
ambruknya satu orang lagi. 
*** 
EMPAT


Diiringi teriakan menggelegar, beberapa kali Bayu 
menghentakkan tangan kanannya sambil berlompatan, 
mencoba menahan arus gempuran para penghadangnya. Dan 
korban pun terus berjatuhan mengiringi jeritan-jeritan panjang 
melengking yang begitu menyayat. Dalam waktu yang tidak 
berapa lama saja, sudah lebih dari sepuluh orang 
bergelimpangan beriumuran darah. Tapi, mereka seakan tidak 
mengenal gentar. Meskipun dengan gerak agall terhambat, 
mereka terus maju mendekati Pendekar Pulau Neraka. 
Walaupun mereka terus merangsek tanpa mengenal rasa 
takut, tapi Bayu tidak gentar sedikit pun. Cakra Maut-nya terus 
dilontarkan sambil melangkah mundur menjauh. Sementara, 
tidak jaun di belakangnya Lestari sudah siap dengan pedang di 
tangan kanan. Gadis ini jadi kagum juga melihat ketangkasan 
Bayu dalam melemparkan Cakra Mautnya, menghadang arus 
serangan orang-orang ituL 
"Aku harus bertindak sebelum dia kehabisan! tenaga," 
gumam Lestari, bicara pada diri sendiri.

Tapi gadis ini agak kebingungan juga, karena tidak 
mungkin menerjang maju menyerang orang-orang itu. Dan 
ketika matanya menangkap sebuah Bintang Perak yang 
tergeletak tidak jauh darinya, bibirnya langsung 
menyunggingkan senyum. 
Memang cukup banyak Bintang Perak di sekitarnya. Maka 
tanpa berpikir panjang lagi, Lestari langsung memunguti 
Bintang-bintang Perak itu. Dan begitu terkumpul cukup 
banyak, tanpa membuang-buang waktu lagi, dia langsung 
melompat ke samping. Lalu... 
"Hiyaaa...!" 
Sambil berteriak keras menggelegar, Lestari melemparkan 
Bintang-bintang Perak itu ke arah orang-orang yang terus 
merangsek maju mendekati Pendekar Pulau Neraka. Lemparan 
Lestari rupanya membawa pengaruh besar juga. Bintang-
bintang perak itu menghambur bagai hujan yang ditumpahkan 
dari langit, sehingga jeritan-jeritan panjang semakin sering 
terdengar. Dan tubuh-tubuh berlumuran darah pun semakin 
banyak yang ambruk bergelimpangan. 
"Hiya! Yeaaah...!" 
Lestari terus melontarkan Bintang-bintang Perak itu, seperti 
tidak pernah kehabisan. Dan memang begitu banyak Bintang 
Perak bergeletakan di sekitarnya. Padahal, justru tindakannya 
membuat nqma Pendekar Pulau Neraka itu menjadi semakin 
rusak. 
Tindakan Lestari rupanya membawa hasil juga. orang-
orang itu merasa tidak ada gunanya terus mendesak. 
Sementara, jumlah mereka semakin berkurang saja. Hingga 
akhirnya, mereka berhenl bergerak dan malah melangkah 
mundur menjauhi Sementara Bayu sudah berhenti 
melemparkan Cakra Maut-nya. Senjata andalannya itu kini 
sudah kembali menempel di pergelangan tangannya. Dan 
Lestari juga sudah tidak lagi melemparkan Bintang-bintang

Perak, setelah orang-orang yang menyerang sudah cukup jauh 
jaraknya. Gadis itu bergegas menghampiri Bayu yang masih 
berdiri tegak di tengah jalan 
"Ayo kita pergi," ajak Lestari. 
"Ke mana? Mereka masih menunggu, Lestari,” sahut Bayu 
bertanya. 
"Ke sana," Lestari menunjuk ke arah hutan. 
"Kembali lagi ke hutan sana...?" kerang Bayu jadi berkerut. 
"Tidak ada jalan lain lagi, Bayu. Hanya itu jalan satu-
satunya untuk selamat. "' 
Bayu jadi terdiam. Memang tidak salah jalan pikiran Lestari. 
Hanya lewat hutan tempat mereka datang itulah jalan satu-
satunya untuk bisa selamat Sementara, jalan yang akan dilalui 
kini masih juga dihadang begitu banyak orang yang ingin 
membunuh Pendekar Pulau Neraka. 
Tapi di dalam hutan itu, mereka juga akan bertemu orang-
orang yang ingin melenyapkan Pendekar Pulau Neraka. Dan 
itu yang menjadi pemikiran Bayu, walaupun disadari tidak ada 
lagi tempat aman baginya. Semua orang kini sedang 
memburunya bagai binatang. Ke mana pun pergi, pasti akan 
berhadapan dengan mereka yang menghendaki kematiannya. 
"Huh! Ini semua gara-gara si Setan Mata Satu keparat 
itu...!" dengus Bayu kesal dalam hati. 
Kekesalan hati Bayu memang tidak bisa lagi ditakar. 
Baginya, hanya ada satu cara untuk membersihkan namanya 
kembali. Setan Mata Satu-lah ynng harus bertanggung jawab! 
Dan Bayu tidak ingn terus-menerus menjadi buruan bagai 
binatang berbahaya yang harus dimusnahkan. Maka terpaksa 
dia harus mengikuti Lestari meninggalkan desa ini, kembali ke 
dalam hutan. Hanya gadis itu saja yang percaya kalau dirinya 
bukan pembunuh brutal dan keji, yang selama ini sudah 
meminta korban begitu banyak.

*** 
Malam yang begitu indah, sama sekali tidak dapat dinikmati 
Bayu. Bulan tampak bersinar penuh, memancarkan cahaya 
kuning keemasan yang lembut menyapu kulit. Langit tampak 
cerah bertaburkan bintang-bintang gemerlapan, menambah 
indahnya suasana malam ini. Tapi, keindahan malam sama 
sekali tidak bisa menghibur hati Bayu yang terus-menerus 
diliputi kegundahan. Kemarahan memang begitu menguasai 
hati Pendekar Pulau Neraka. Malah sejak siang tadi, makanan 
yang disediakan Lestari sedikit pun tidak disentuhnya. 
"Apa yang kau pikirkan.Bayu?" tegur Lestari sambil 
menambahkan ranting ke dalam api yang dibuatnya. 
Bayu tidak menjawab. Kepalanya berpaling saja sedikit, 
menatap gadis itu. Kemudian pandangannya kembali tertuju 
ke kaki bukit Tampak di bawah sana kerlip lampu rumah-
rumah penduduk Desa Kalipasir terlihat jelas. 
"Aku bisa merasakan kesulitanmu sekarang iri Bayu. Tapi 
bila hanya berdiam diri dan terus berpikir, tidak akan 
menyelesaikan masalah begitu saja Kau harus bertindak lebih 
cepat lagi dalam mencari si Setan Mata Satu. Hanya dia yang 
bisa meluruskan dan membersihkan namamu," kata Lestari 
lagi mencoba menasehati 
"Kau tahu, di mana si Setan Mata Satu sekarang berada?" 
tanya Bayu tanpa berpaling sedik pun. 
"Sulit untuk bisa menemukannya, Bayu. Diajtidak punya 
tempat tinggal tetap, dan akan pergi sesuka harinya Bahkan 
terus akan menyebarkan malapetaka di mana dia berada. 
Semakin banyak membunuh orang dengan senjata Bintang 
Peraknya, semakin sulit bagimu untuk bergerak lagi, Bayu. 
Semua orang tentu tidak akan menduga lagi tapi langsung 
memburumu untuk kemudian dibunuh. Apa kau akan 
merelakan nyawamu begitu saja, Bayu..?"

"Tidak akan ada seorang pun yang bisa menyentuh 
tubuhku," desis Bayu agak dingin nada suaranya. 
“Kalau begitu, secepainya kau harus bisa menemukan si 
Setan Mata Satu itu," desak Lestari. 
"Itu yang sedang menjadi beban pikiranku, Lestari 
Sedangkan sampai sekarang, aku tidak tahu keberadaan Setan 
Mata Situ," kata Bayu seraya berbalik. 
Pendekar Pulau neraka melangkah menghampiri gadis 
cantik ini, kemudian menghempaskan tubuhnya di sebelah 
kanannya. Lestari menggeser duduknya sedikit, menjauhi 
Pendekar Pulau Neraka Lalu kembali ditambahkannya 
sepotong ranting kayu dalam api. Sementara, Bayu sudah 
merebahkan tubuhnya di atas tumpukan daun-daun kering. 
Tidak jauh di sebelahnya, Tiren sudah melingkar terlalap 
dalam buaian mimpi. Begitu lelap tidur monyet kecil ini, 
sehingga Bayu tidak mau mengusiknya. Matanya hanya melirik 
sedikit pada Lestari yang masih tetap duduk bersila dekat api 
unggun yang menyala cukup besar. 
"Kau tidak tidur, Lestari?" tanya Bayu. 
Lestari hanya berpaling sedikit dan tersenyum menjawab 
pertanyaan Pendekar Pulau Neraka. Gadis itu masih saja 
duduk bersila, seperti sedang bersemadi. Dan kembali 
pandangannya terarah ke api unggun, seakan-akan ada yang 
menarik dalam kobaran api itu. Sedangkan Bayu sudah mulai 
memejamkan matanya. Tapi baru saja kelopak mata nya 
terpejam, tiba-tiba saja... 
"Suiit..!" 
"Heh...?!" 
Bayu jadi tedonjak kaget, begitu tiba-tiba terdengar siulan 
nyaring melengking tinggi. Bahkan sampai membuat 
telinganya seketika jadi terasa sakit dan berdenging. Bagitu 
terkejutnya, sampai! sampai Pendekar Pulau Neraka bangkit

berdiri! Sementara Lestari tetap duduk bersila tidak bergeming 
sedikit pun. Seakan, suara siulan itu tidak mengganggu sama 
sekali. Dan ini membuat Bayu yang sempat melirik pada gadis 
ini jadi berkerut keningnya. 
"Kau tidak dengar siulan itu, Lestari?" tanya Bayu dengan 
kerung masih berkerut memandangi gadis itu. 
"Dengar," sahut Lestari singkat 
"Kenapa diam saja?" tanya Bayu lagi. 
"Untuk apa..?" Lestari malah balik bertanya! sambil 
mengangkat wajahnya sedikit, menatap Pendekar Pulau 
Neraka. 
"Untuk apa...? Kau tahu, Lestari. Keadaan kita sekarang 
dalam bahaya. Mungkin kau tidak. Tapi aku...." 
Bayu jadi agak mangkel juga mendengar kata-kata Lestari 
yang sepertinya tidak peduli terhadap keadaan yang sedang 
dihadapi sekarang ini. 
"Siulan itu tidak ada arti apa-apa, Bayu. Tenang saja...," 
kata Lestari kalem. 
Bayu jadi terdiam. Dia teringat ketika masa-masa baru 
keluar dari Pulau Neraka, setelah gurunya meninggal dunia. 
Setiap kali muncul untuk membalas dendam pada pembunuh-
pembunuh urangtuanya, memang selalu didahului siulan 
melengking yang menyakitkan telinga. Dan sekarang, Bayu 
mendengar siulan yang sama. Dan suara itu kini jadi membuat 
hatinya gundah. 
Sedangkan Lestari tetap saja duduk bersila bersemedi 
tenang, seakan tidak mempedulikan kegelisahan hati Pendekar 
Pulau Neraka. Bahkan kini kelopak matanya terpejam rapat, 
membuat bulu matanya yang lentik semakin terlihat indah. 
Namun kecantikan dan keindahan gadis itu sama sekali tidak 
membuat Bayu berpaling dari persoalan yang dedang 
dihadapinya sekarang ini. Dia masih berdiri tegak dengan

kepala sebentar bergerak ke kanan, dan sebentar kemudian 
ke kiri. Dicobanya untuk mencari arah sumber siulan yang 
didengarnya tadi "Hh! Mungkin benar kata Lestari...," gumam 
Bayu bicara sendiri dalam hati. 
Baru saja Bayu hendak tidur lagi, tiba-tiba saja... 
Seketika hati Bayu jadi terkesiap begitu mendengar 
hembusan angin begitu keras datang dari arah belakangnya. 
Dan begitu kepalanya berpaling, terlihat kilatan cahaya putih 
keperakan meluncur deras ke arahnya. Seketika, darah 
Pendekar Pulau Nera ka jadi berdesir cepat. Dan... 
"Hih!" 
Tring! 
Memang tidak ada lagi kesempatan bagi Bayu untuk 
berkelit menghindar. Cepat tangan kanannya ditarik ke depan 
dada. Sehingga, kilatan cahaya putih keperakan itu 
membentur tepat pada bagian pergelangan tangan kanannya 
yang terdapat senjata Cakra Maut persegi enam. 
Kilatan cahaya putih keperakan itu kontan terpental balik 
dengan cepat. Dan pada saat yang bersamaan, Bayu juga jadi 
terdorong ke belakang dua langkah. Agak terkejut juga 
harinya merasakan hempasan tenaga yang begitu kuat dari 
kilatan cahaya putih keperakan tadi. Bahkan pergelangan 
tangannya jadi terasa bergetar dan sedikit nyeri. 
"Hup...!" 
Pendekar Pulau Neraka langsung melompat, mengerahkan 
Ilmu meringankan tubuhnya yang sudah mencapai pada 
tingkat kesempurnaan Begitu cepatnya, hingga dalam waktu 
sekejapan mata saja tubuhnya sudah berada dekat dengan 
sebuah pohon yang sangat besar. 
"Hm..."

Kening Bayu jadi berkerut, begitu melihat sebuah benda 
berbentuk bintang persegi enam yang berwarna putih 
keperakan menancap begitu dalam pada batang pohon di 
depannya. Namun belum juga Pendekar Pulau Neraka bisa 
berpikir lebih jauh lagi, kembali dikejutkan oleh terdengarnya 
hembusan angin keras dari arah belakang. Maka cepat 
tubuhnya diputar berbalik. Dan... 
"Hup! Yeaaah...!" 
Terpaksa Bayu harus berjumpalitan di udara, menghindari 
serbuan Bintang-bintang Perak yang datang begitu deras 
menghujaninya. Entah, berapa puluh senjata bintang itu 
menghambur menghujani Pendekar Pulau Neraka. 
Dan Bayu terus berjumpalitan menghindarinya, sambil 
sesekali mengebutkan tangan kanannya, mencoba menghalau 
Bintang-bintang Perak yang terus menghujaninya. Cakra Maut 
yang biasanya berada di pergelangan tangan kanannya, kini 
berada dalam genggamannya. 
Hampir-hampir Pendekar Pulau Neraka tidak pernah 
menjejakkan kakinya di tanah. Bintang-bintang Perak itu terus 
menghujaninya bagai tidak akan pernah berakhir. Pepohonan 
di sekitarnya sudah penuh tertembus Bintang-bintang Perak. 
Sementara Bayu masih terus berjumpalitan di udara untuk 
menghindari serangan gelap yang tidak ketal huan arahnya. 
Dan di saat Pendekar Pulau Neraka mulai tampak 
kewalahan, tiba-tiba saja berkelebat sebuah bayangan merah 
muda, diikuti kilatan cahaya putih keperakan yang menghalau 
Bintang-bintang Perak itu. bibirnya jadi tersenyum melihat 
Lestari cepat membantunya, membuat ruang gerak Bayu jadi 
lebih leluasa lagi. Dan begitu mendapat kesempatan, cepat 
sekali melenting tinggi. Dan seketika kedua tangannya 
dikebutkan cepat luar biasa sambil berteriak keras 
menggelegar. 
"Hiyaaa...!"

Bet! 
Wuk...! 
Entah bagaimana caranya, Bayu berhasil menangkap 
beberapa Bintang Perak itu, dan langsung dilemparkan ke 
segala arah. Bintang-bintang Perak itu berbalik arah, 
menembus semak dan kegelapan malam yang sedikit berkabut 
ini. Tepat di saat ih juga, serbuan Bintang-bintang Perak itu 
berhenti seketika. Lalu manis sekali Bayu kembali menjejak 
kan kakinya di tanah, tepat di sebelah kiri Lestai yang sudah 
melintangkan pedangnya di depan dada 
"Tidak ada apa-apa katamu, he...?!" dengus Bayu agak 
mendongkol hatinya. 
Pendekar Pulau Neraka melirik sedikit pada lestari di 
sampingnya dengan sinar mata cukup tajam. Sedangkan 
Lestari seperti tidak tahu akan lirikan tajam Pendekar Pulau 
Neraka. Pandangannya beredar ke sekeliling dengan bola 
mata terbuka lebar, seperti ingin menembus kegelapan malam 
yang begitu pekat. Tapi, tidak seorang pun terlihat 
disekitarnya. 
"Maaf, Bayu. Aku tidak tahu kalau..." 
Belum juga habis kata-kata yang diucapkan lestari, tiba-tiba 
saja terdengar tawa yang begitu keras menggelegar 
mengejutkan. Suaranya meng-nema bagai datang dari segala 
arah. Rasanya sulit ditentukan, dari mana datangnya suara 
tawa yang keras menggelegar itu. 
"Kau kenali suara itu, Lestari?" tanya Bayu. 
"Setan Mata Satu," sahut Lestari pelan. 
Bayu sempat melirik gadis itu sedikit, ketika suara Lestari 
agak bergetar saat menyebut si Setan Mata Satu tadi. Jelas 
sekali kalau ada getaran dalam hari Lestari, yang 
menunjukkan dendam mendalam di hatinya.

Belum lagi suara tawa itu menghilang dari pendengaran, 
terlihat sebuah bayangan putih berkelebat begitu cepat bagai 
kilat ke arah Pendekar Pulau Neraka. Begitu cepatnya, sampai 
seluruh darah di dalam tubuh bayu jadi berdesir dan jantung 
seakan jadi berhenti berdetak. 
"Hap...!" 
Cepat Bayu memiringkan rubuhnya ke kanan, sambil 
menarik kakinya sedikit ke kanan juga. Sehingga, bayangan 
putih itu lewat sedikit saja di samping tubuh Pendekar Pulau 
Neraka. Dan pada saat itu juga Bayu cepat berbalik, tepat di 
saat bayangan putih itu juga berputar berbalik, dan langsung 
meluruk deras ke arahnya. 
"Hup! Yeaaah...!" 
Kati ini Bayu tidak lagi sungkan-sungkan menghadapinya. 
Sambil berteriak keras menggelegar! Pendekar Pulau Neraka 
melompat ke atas seraya! melepaskan satu pukulan keras 
disertai pengarahan! tenaga dalam sempurna, tepat di saat 
bayangan putih itu lewat di bawah tubuhnya yang sedikit 
berputar ke bawah. Tapi... 
"Uphs...?!" 
Bayu jadi terkejut juga, melihat bayangan putih itu 
berkelebat begitu cepat ke lain arah. Sehingga pukulannya 
tidak sampai mengenai sasaran Cepat tubuhnya meluruk turun 
dan menjejakkan kakinya! kembali di tanah dengan gerakan 
indah dan ringani sekali. Dan pada saat itu juga, tangan 
kanannya dikibaskan ke depan dengan tubuh sedikit miringi ke 
kiri agak membungkuk 
Wusss...! 
Seketika Cakra Maut yang menempel di pergelangan 
tangan kanan Pendekar Pulau Neraka melesat cepat bagai 
kilat mengejar bayangan putih yang saat itu baru saja

berputar berbalik arah. Terjangan Cakra Maut itu membuat 
bayangan putih itu jadi cepat melesat ke atas. 
"Hup!" 
Saat itu juga, Bayu menghentakkan tangan kanannya ke 
atas. Sehingga senjatanya langsung berputar balik ke arahnya. 
Dan begitu hendak menempel di pergelangan tangan 
kanannya lagi, Pendekar Pulau Neraka langsung 
menghentakkan ke depan, tepat mengarah ke bayangan putih 
itu lagi Cakra Maut kembali melesat begitu cepat disertai desir 
angin yang menggiris hati siapa saja yang mendengarnya. 
"Shaaa...!" 
Melihat Cakra Maut kali ini juga tidak bisa tepat mengenai 
sasaran, Pendekar Pulau Neraka langsung saja melompat 
sambil melepaskan satu pukulan keras disertai pengerahan 
tenaga dalam tinggi. Bagitu cepat dan hampir bersamaan 
serangannya, sehingga bayangan putih itu tidak dapat lagi 
berkelit. Dan... 
Dugkh! 
"Akh...!" 
"Hup...!" 
Bayu cepat-cepat melenting dan berputar ke belakang, 
begitu merasakan pukulannya menghantam bayangan putih 
itu. Indah sekali gerakannya. Lalu begitu kedua kakinya 
kembali menjejak tanah dengan ringan, langsung tangan 
kanannya diangkat ke atas. Maka Cakra Maut kembali 
menempel di pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau 
Neraka Dan tepat pada saat itu, terlihat seseorang berpakaian 
serba putih yang ketat terhuyung-huyung ke belakang, sambil 
memegangi dadanya dengan tangan kiri. 
Laki-laki berpakaian serba putih itu masih berusia muda. 
Mata kirinya tampak tertutup kulit hitam yang diikatkan ke 
belakang kepalanya. Di belakang punggung, menyembul

sebuah gagang pedang yang bagian ujungnya berbentuk 
tengkorak manusia sebesar kepalan tangan. Walaupun 
usianya masih cukup muda, tapi goresan-goresan bekas luka 
di wajah membuatnya kelihatan lebih tua daripada usianya. 
Dan sebelah matanya yang tertutup membuat dirinya 
kelihatan lebih menyeramkan. Dari sinar mata kanannya, 
terlihat cahaya kekejaman dan nafsu membunuh yang begitu 
memuncak 
"Kau yang bernama Setan Mata Satu?" tanya Bayu agak 
dingin suaranya. 
"Benar," sahut laki-laki bermata satu itu. 
"Tindakanmu benar-benar memalukan, Kisanak Apa kau 
tidak menyadari, kalau tindakanmu merugikan namaku...?" 
terdengar sengit nada suara Bayu. 
"He he he he...! Justru itu yang kuharapkan. Pendekar 
Pulau Neraka," sahut Setan Mata Satu sambil terkekeh. 
"Beleguk! Kau tahu apa akibatnya, heh...?!" Bayu jadi 
geram setengah mari mendengar jawaban yang begitu ringan. 
Seakan-akan si Setan Mata Satu itu tidak merasa bersalah 
apa-apa atas tindakannya yang merusak nama baik Pendekar 
Pulau Neraka. 
"Semua sudah kupikirkan masak-masak, Pendekar Pulau 
Neraka. Hanya kau satu-satunya yang jadi penghalang bagiku 
untuk menguasai seluruh rimba persilatan. Ini baru kau, 
Pendekar Pulau Neraka. Kalau kau sudah musnah, semua 
orang persilatan yang menganggap dirinya paling baik di dunia 
ini, akan kuhancurkan dengan jalan seperti ini," tegas Setan 
Mata Satu. 
"Edan...! Apa maksudmu, heh...?!" dengus llayu 
menggeram. 
"Menghancurkan kalian semua yang berlagak sok suci!" 
tandas Setan Mata Satu tegas.

"Keparat...! Iblis macam kau sebaiknya tinggal di neraka!" 
geram Bayu sengit. 
"Ha ha ha ha...! Justru aku yang akan mengirimmu ke 
neraka!" 
"Phuih!" 
Bayu benar-benar geram setengah mati dibuatnya. 
Ditatapnya wajah yang penuh guratan bekas luka begitu tajam 
itu. Wajah yang menyeramkan, dan memancarkan nafsu iblis 
yang haus darah. Tapi, Bayu tidak mau terpancing 
kemarahannya. Walaupun darahnya sudah bergolak mendidih, 
tapi harus bisa menahan kesabaran menghadap tingkah si 
Mata Satu yang sudah membuat namanya rusak di mata 
orang-orang rimba persilatan 
*** 
LIMA


Kemarahan Bayu sudah begitu memuncak sampai ke ubun-
ubun. Tapi dicobanya untuk tetap bersabar dan tidak mau 
terpancing yang akan dapat merugikan dirinya sendiri. 
Sementara, si Setan Mata Satu terus tertawa terbahak-bahak 
Dan dengan ringan sekali tubuhnya berbalik, langsung 
berjalan hendak pergi meninggalkan tempat itu sambil terus 
tertawa terbahak-bahak. Seakan dia sama sekali tidak 
mempedulikan kemarahan Bayu yang sudah semakin 
memuncak melihat tingkahnya yang semakin meremehkan 
dirinya ini. 
"Biar kubunuh dia!" dengus Lestari, tidak dapat lagi 
menahan kegeramannya. 
"Jangan!" cegah Bayu cepat, segera merentangkan 
tangannya mencegah Lestari. "Biarkan dia pergi."

"Dia akan semakin merusak namamu, Bayu," tandas Lestari 
sengit. 
"Tidak akan, Lestari. Kau lihat saja nanti," kata Bayu sambil 
tersenyum kecut. 
Gadis itu diam saja sambil mendengus kesal. Dalam 
hatinya, dia sudah tidak tahan lagi melihat sikap si Setan Mata 
Satu yang meremehkan Bayu. 
Seakan-akan, laki-laki bermata satu itu sudah merasa 
menang. Tapi, Bayu sendiri malah diam saja sambil 
memandangi tanpa berkedip. Sementara, si Setan Mata Satu 
sudah semakin jauh meninggalkan! sambil tertawa terbahak-
bahak Namun, tiba-tiba saja langkahnya terhenti. Dan 
langsung tubuhnya! memutar berbalik. 
"Kau akan hancur, Pendekar Pulau Neraka! Ha ha ha ha...!" 
Kata-kata bernada mengejek itu membuat wajah Bayu jadi 
memerah. Terlebih lagi. Lestari yang sudah tidak dapat lagi 
menguasai kemarahannya Maka sambil berteriak keras 
menggelegar, gadis itu langsung saja melompat disertai 
pengerahan ilmu meringankan tubuh yang sudah tinggi. 
"Kubunuh kau, Iblis keparat! Hiyaaat...!" 
"Lestari, jangan...!" teriak Bayu mencoba mencegah. 
Tapi, gadis itu sudah lebih cepat melesat menerjang si 
Setan Mata Satu tanpa mempedulikan cegahan lagi Dan begitu 
dekat, langsung saja pedangnya dikibaskan ke arah leher laki-
laki bermata satu ini 
Bet! 
"Haiiit...!" 
Namun hanya mengegoskan kepalanya sedikit saja, Setan 
Mata Satu berhasil menghindari tebasan pedang gadis itu. 
Malah tanpa diduga sama sekali, dengan satu sentakan tangan 
kanan yang cepat, laki-laki bermata satu itu melepaskan

sodokan ke arah perut Lestari. Begitu cepat dan tidak terduga 
sodokan itu, sehingga Lestari yang sudah diliputi kemarahan 
itu tidak dapat lagi menghindarinya. Dan... 
Dugkh! 
"Akh...!" 
"Lestari...!" 
Bayu sampai menjerit, melihat Lestari terpental deras, ke 
belakang, begitu perutnya terkena sodokan keras dari si Setan 
Mata Satu. Begitu kerasnya, membuat Lestari jatuh terguling 
dan terbanting keras di tanah. Beberapa kali tubuhnya 
bergulingan di tanah, dan baru berhenti setelah tubuhnya 
menabrak sebongkah batu yang cukup besar. Kembali Lestari 
memekik agak tertahan, merasakan sakit yang amat sangat di 
tubuhnya yang membentur batu. 
"Kejam...! Iblis!" desis Bayu. 
Kemarahan Bayu sudah tidak tertahankan lagi, melihat 
Lestari tidak bisa bangkit lagi. Gadis itu hanya merintih sambil 
memegangi perutnya yang terkena sodokan keras si Setan 
Mata Satu tadi. Sambil mendesis geram, Pendekar Pulau 
Neraka menurunkan Tiren dari pundaknya. Monyet kecil itu 
langsung berlari sambil mencerecet ribut, menghampiri Lestari 
yang masih terduduk di tanah sambil memegangi perutnya. 
Sedangkan pemuda berbaju dari kulit harimau itu sudah 
melangkah beberapa tindak ke depan mendekati si Setan Mata 
Satu yang masih tetap berdiri tegak, sambil berkacak 
pinggang bersikap menantang Begitu angkuh sikapnya, 
seakan sedang meremehkan Pendekar Pulau Neraka. 
"Aku lawanmu, Setan Mata Satu! Hiyaaat...!" Sambil 
berteriak keras menggelegar, Bayu melompat cepat bagai kilat 
disertai pengerahan ilmu meringankan tubuh yang sudah 
sempurna. Dan saat itu juga dilepaskannya satu pukulan 
tangan kanan yang mengandung pengerahan tenaga dalam 
sempurna. Begitu cepat serangannya, sehingga si Setan Mata

Satu sempat terhenyak tidak menyangka. Tapi ketika pukulan 
tangan kanan Pendekar Pulau Neraka yang begitu keras dan 
cepat hampir menghantam kepalanya, cepat sekali si Setan 
Mata Satu mengegoskan kepalanya sambil melompat ke 
belakang. 
"Hup!" 
Cepat-cepat si Setan Mata Satu kembali melompat ke 
belakang sambil memutar tubuhnya dua kali di atas tanah, 
begitu melihat Bayu sudah kembali melancarkan serangan 
yang keras menggeledek dan cepat bagai kilat. Tapi rupanya 
serangan Pendekar Pulau Neraka itu tidak berhenti sampai di 
situ saja. Tepat di saat kedua kaki si Setan Mata Satu 
menjejak tanah, Bayu melepaskan pukulan keras disertai 
pengerahan tenaga dalam sempurna ke arah dada. Begitu 
cepatnya pukulannya, sehingga Setan Mata Satu tidak ada 
kesempatan lagi menghindarinya. Maka cepat-cepat kedua 
tangannya di-angkat ke depan dada. 
Hak! 
"Ikh...?!" 
"Upht....!" 
Bayu sampai terpekik kaget, begitu pukulannya 
menghantam tepat tangan Setan Mata Satu yang melindungi 
dadanya. Cepat tubuhnya melompat mundur beberapa 
langkah sambil memegangi tangan kanannya yang terasa 
nyeri akibat benturan tadi. Sedangkan si Setan Mata Satu juga 
terperanjat setengah mati, begitu tulang-tulang tangannya 
terasa bagai remuk terkena pukulan dahsyat Pendekar Pulau 
Neraka. Dia juga melompat ke belakang beberapa langkah 
untuk menjaga jarak. Bibirnya langsung meringis menahan 
sakit pada tulang-tulang tangannya, begitu kakinya menjejak 
tanah. Sesaat ru sama lainnya berdiri saling berhadapan 
dengan wajah menyiratkan sesuatu yang sukar dilukiskan.


Tapi jelas sekali kalau sorot mata mereka berdua sama-
sama tengah mengukur sampai di mana lingkat kepandaian 
satu sama lainnya. Dari adu kekuatan tenaga dalam tadi, jelas 
sekali kalau tingkat kekuatan tenaga dalam mereka 
berimbang, sehingga sama-sama merasakan akibat dari 
benturan keras tadi 
"Kau harus mampus di tanganku, Pendekar Pulau 
Neraka...," desis Setan Mata Satu dingin menggetarkan. 
Sret! Cring...! 
Sambil berkata begitu, Setan Mata Satu mencabut 
pedangnya yang sejak tadi tersampir di punggung. Kilatan 
pedang Itu sangat menggetarkan hati siapa saja yang 
memandangnya. Tapi bagi Bayu, sama sekali tidak ada 
artinya. Malah ditatapnya pedang itu dengan sinar mata tajam 
bagai api Seakan pedang itu dilumatkan dengan sorotan 
matanya. 
"Mampus kau, Pendekar Pulau Neraka keparat! Hiyaaat,..!" 
Disertai teriakan keras menggelegar, si Setan Mata Satu 
melompat cepat bagai kilat sambil mengangkat pedangnya ke 
atas kepala. Sementara, Bayu tetap berdiri tegak menanti 
serangan. Dan begitu Setan Mata Satu mengayunkan 
pedangnya ke atas kepala, cepat sekali Pendekar Pulau Neraka 
menarik kakinya ke belakang satu langkah, sambil 
memiringkan tubuhnya ke kiri. Dan pada saat itu juga, tangan 
kanannya dikibaskan ke depan sambil berteriak keras 
menggelegar. 
"Yeaaah...!" 
*** 
Wusss...! 
Bagaikan sebatang anak panah yang terlepas dari 
busurnya, Cakra Maut melesat begitu cepat Jari pergelangan 
tangan Pendekar Pulau Neraka. Serangan balasan yang begitu

cepat dan tidak terduga ini, membuat si Setan Mata satu jadi 
tersentak kaget setengah mati. 
"Hud! Yeaaah...!" 
Cepat laki-laki bermata satu itu melenting ke atas, 
menghindari serangan Cakra Maut yang melesat begitu cepat. 
Sehingga senjata andalan Pendekar Pulau Neraka lewat tepat 
di bawah perutnya yang melayang di udara. Namun begitu 
lewat sedikit. Bayu sudah menghentakkan tangan kanannya 
hampir ke atas kepala. Seketika itu juga Cakra Maut berputar 
kembali ke arahnya dengan cepat sekali. 
Putaran senjata bulat persegi enam itu membuat Setan 
Mata Satu jadi terbeliak kaget tidak menyangka. Cepat 
tubuhnya berputaran di udara sambil mengebutkan 
pedangnya beberapa kali untuk melindungi diri dari serangan 
balik senjata maut Pendekar Pulau Neraka. Tapi sungguh tidak 
diduga sama sekali, Cakra Maut bagaikan memiliki mata saja. 
Begitu pedang Setan Mata Satu berputar melindungi dirinya, 
tiba-tiba saja senjata bulat persegi enam itu sudah melesat 
cepat, kembali menempel di pergelangan tangan kanan 
Pendekar Pulau Neraka. Sementara, Setan Mata Satu sudah 
kembali menjejakkan kakinya dengan ringannya di tanah. 
Sehingga sedikit pun tidak terdengar suara saat kedua telapak 
kakinya menjejak tanah. 
"Rupanya, itu senjatamu yang ditakuti semua orang, 
Pendekar Pulau Neraka. Bagus...! Kau tandingi Pedang Naga-
ku ini," terasa dingin sekali nada suara Setan Mata Satu. 
"Hmmm...," Bayu hanya menggumam saja sedikit. 
Sementara, Setan Mata Satu sudah mulai membuat 
beberapa gerakan cepat dengan pedang di depan dada. Bayu 
sendiri hanya memperhatikan! saja, dengan bola mata 
menatap tajam tanpa ber kedip sedikit pun. 
Kebutan-kebutan pedang laki-laki bermata satu itu 
menimbulkan suara mencicit yang menggiris hati. Hempasan

anginnya pun terasa begitu kuat membuat Bayu terpaksa 
harus menarik kakinya dua langkah ke belakang. Pedang itu 
meliuk-liuk, seolah-olah menjadi lentur bagai tubuh seekor 
naga yang memancarkan cahaya putih keperakan. Kalau 
orang lain yang dihadapinya, mungkin sudah mengambil 
langkah seribu sejak tadi. Tapi yang ada di depannya 
sekarang ini adalah pendekar kosen pilih tanding, dan selalu 
diperhitungkan dalam kancah rimba persilatan. 
"Tahan jurus Pedang Ekor Naga-ku, Pendekar Pulau 
Neraka! Hiyaaat,..!" 
Sambil membentak nyaring, Setan Mata Satu melompat 
cepat bagai kilat menyerang Pendekar Pulau Neraka. 
Pedangnya terus berputaran begitu cepat, hingga bentuknya 
kini tidak lagi terlihat jelas. Hanya kilatan cahaya putih 
keperakan saja yang terlihat. Sementara, Bayu masih tetap 
berdiri tegak menanti beberapa saat. Dan begitu serangan 
Setan Mata Satu dekat... 
"Hup! Yeaaah...!" 
Cepat sekali Pendekar Pulau Neraka melenting ke atas, 
tepat di saat pedang Setan Mata Satu membabat kakinya. Dan 
pada saat itu juga, Bayu melepaskan satu pukulan keras 
menggeledek yang ber-tenaga dalam tinggi ke arah kepala 
lawannya. Namun tanpa diduga sama sekali, Pedang Setan 
Mata Satu berputar begitu cepat ke atas kepalanya. 
"Hap!" 
Bayu cepat-cepat menarik pukulannya kembali, dan 
langsung memutar tubuhnya dua kali ke belakang. Tepat di 
saat kedua kakinya menjejak tanah kembali, Setan Mata Satu 
sudah meluruk bagai kilat sambil mengibaskan pedangnya 
beberapa kali. 
"Hiya! Hiya! Yeaaah...!" 
"Hup!"

Bayu terpaksa harus berjumpalitan, menghindari setiap 
serangan Setan Mata Satu. Begitu cepatnya Setan Mata Satu 
mengebutkan pedangnya, hingga yang terlihat hanya kilatan 
cahaya putih keperakan bagai mengurung seluruh tubuh 
Pendekar Pulau Neraka. 
Namun sampai begitu jauh Setan Mata Satu melancarkan 
serangan, belum satu pun yang berhasil mengenai tubuh 
Pendekar Pulau Neraka telah beberapa jurus berlalu, Bayu 
masih bisa menghindari setiap serangan yang datang secara 
beruntun dan cepat. Bahkan sesekali Bayu bisa membabat 
serangan dengan cepat dan tidak kalah berbahayanya. 
Di saat pertarungan sedang berlangsung sengit Lestari 
sudah bisa bangkit berdiri lagi, setelah melakukan semadi 
beberapa saat. Jalan pemapasannya juga sudah kembali 
seperti semula. Dan wajah nya tidak lagi kelihatan pucat. 
Tampak Tiren kini berada di pundaknya. Monyet kecil itu 
kelihatan tegang menyaksikan Bayu bertarung sengit meng 
hadapi lawannya yang berkepandaian tinggi 
'Sayang... Aku tidak bisa membantu, Tiren,!” ujar Lestari 
pelan. 
"Nguk!" 
Tiren seakan bisa mengerti kesulitan Lestari untuk 
membantu Pendekar Pulau Neraka. Keadaannya sendiri belum 
sepenuhnya begitu sehat kembali. Sementara pertarungan 
berjalan cepat, sel hingga sulit bagi Lestari untuk ikut masuk 
ke dalamnya. Gadis itu hanya bisa menyaksikan pertarungan 
dari jarak yang cukup jauh. 
Entah kenapa, hatinya jadi agak bergetar juga melihat 
ketangguhan lawan Pendekar Pulau Neraka. Dia berharap 
pemuda yang selalu mengenakan baju dari kulit harimau itu 
bisa mengungguli lawannya. Tapi, tampaknya si Setan Mata 
Satu juga tidak bisa dipandang remeh begitu saja. Meskipun 
kini hanya menggunakan senjatanya yang sudah digenggam

tangan kanannya, tapi kelihatannya belum bisa mendesak 
lawannya. Entah berapa lama lagi pertarungan akan 
berlangsung. Sementara, Lestari ter-paksa harus jadi 
penonton, tanpa bisa berbuat apapun juga. 
*** 
Sementara, pertarungan terus berjalan semakin sengit. 
Malah Bayu sudah mengeluarkan jurus-jurus andalannya yang 
jarang sekali digunakan kalau tidak terpaksa. Sedangkan 
Setan Mata Satu juga sudah mengeluarkan jurus-jurus 
dahsyat. Kini pertarungan itu semakin berjalan cepat, sampai 
Lestari mendapat kesulitan untuk bisa melihat jelas lagi. 
lirihkan tubuh mereka juga seakan lenyap dari pandangan. 
Dan yang terlihat kini hanya bayangan-bayangan putih dan 
kuning saja yang berkelebat saling sambar. 
Entah berapa jurus sudah berlalu, tapi pertarungan 
tampaknya belum ada tanda-tanda akan berakhir. Bahkan 
semakin terlihat dahsyat, membuat pohon-pohon di sekitarnya 
bertumbangan terkena pukulan-pukulan dahsyat bertenaga 
dalam tinggi yang tidak tepat mengenai sasaran. Tampak 
sekali Bayu sudah mulai melontarkan Cakra Maut untuk 
membantu serangannya. Melesatnya Cakra Maut dari tangan 
Pedekar Pulau Neraka, sempat juga membuat si Setan Mata 
Satu jadi kelabakanl Dia seakan-akan menghadapi lawan lebih 
dari satu orang. Senjata maut Pendekar Pulau Neraka seakan 
memiliki mata saja, sehingga dapat menyerang dari segala 
arah. Padahal sudut serangan tampak begitu sulit dan 
mustahil dilakukan orang. 
"Hiyaaa...!" 
Tiba-tiba saja Bayu berteriak keras menggelegar, sambil 
menghentakkan kedua tangannya ke depan dengan kedua 
kaki terentang lebar ke samping. Hentakan yang begitu cepat 
dan tidak terduga, membuat si Setan Mata Satu jadi 
terperanjat setengah mati. Dan rasanya dia tidak lagi memiliki 
kesempatan menghindarinya. Sehingga, terpaksa serangan

Pendekar Pulau Neraka harus ditahan dengan pedangnya yang 
dilintangkan ke depan. Sementara ujung pedangnya ditahan 
dengan telapa tangan kiri. 
Yeaaah...!" 
Tak pelak lagi, seketika itu juga kedua telapak tangan Bayu 
yang terbuka dan mendorong ke depan, menghantam bagian 
tengah batang pedang lawannya. Dan... 
Trak! 
"Akh...!" 
Terdengar jeritan keras yang agak tertahan Tampak Setan 
Mata Satu terdorong deras sekali ke belakang. Sedangkan 
Bayu sendiri sempat terdorong dua langkah ke belakang. 
Sementara, si Setan Mata Satu kembali terpekik begitu 
punggungnya menghantam sebuah pohon yang sangat besar, 
hingga hancur berkeping-keping. 
"Hah...?!" 
Lestari yang menyaksikan pertarungan tanpa berkedip, 
kedua bola matanya jadi terbeliak lebar. Ternyata pedang 
Setan Mata Satu telah terpotong menjadi dua bagian, tepat di 
tengah-tengahnya. Bukan hanya Lestari saja yang terkejut. 
Tapi, Setan Mata Satu juga jadi terperanjat setengah mati, 
begitu mendapati pedangnya sudah menjadi dua bagian 
"Keparat...!" 
Setan Mata Satu jadi geram setengah mati mendapati 
pedangnya kini tidak dapat lagi digunakan. Sementara, Bayu 
berdiri tegak dengan bibir menyunggingkan senyum tipis. 
Terlihat jelas dari sorot Pendekar Pulau Neraka, kalau sudah 
merasa yakin akan menang setelah mematahkan pedang 
lawannya menjadi dua bagian. 
Dan di saat pertarungan terhenti untuk beberapa saat, 
terdengar suara-suara langkah kaki dari arah belakang

Pendekar Pulau Neraka Belum lagi bisa disadari siapa yang 
datang ke tempat pertarungan, tahu-tahu sudah bermunculan 
orang-orann, membawa obor dan senjata dari berbagai 
macam bentuk dan jenis. Sebentar saja, hutan yang sudah 
rusak akibat pertarungan tadi sudah dipenuhi orang yang baru 
berdatangan 
"Itu dia yang membunuh keluargaku...!" ! salah seorang 
yang baru datang tiba-tiba. 
Orang itu menunjuk langsung pada Setan Mata Satu 
dengan ujung goloknya. Maka semua orang langsung menatap 
Setan Mata Satu dengan sinar mata begitu tajam penuh 
dendam dan amarah. Teriakan yang keras itu, membuat 
wajah Setan Mati Satu jadi berubah merah bagai saga. 
Sementara, Bayu masih tetap berdiri tegak dengan kedua 
tangan terlipat di depan dada. Matanya malah menatap tajam 
pada lawan yang sudah merusak namanya ini. 
"Serang...! Bunuh iblis keparat itu...!" seru salah seorang 
lagi tiba-tiba, dengan suara keras menggelegar. 
Dan seketika itu juga, mereka langsung melunak deras ke 
arah Setan Mata Satu yang masih diliputi kemarahan pada 
Pendekar Pulau Neraka, akibat pedangnya dapat dipatahkan 
menjadi dua bagian. Melihat orang berjumlah begitu banyak 
meluruk deras ke arahnya, Setan Mata Satu bukannya gentar. 
"Kalian tidak bisa menangkapku! Hiyaaa...!" 
Sambil membentak keras menggelegar. Setan Mata Satu 
langsung saja melenting ke atas. Dan seketika itu juga, kedua 
tangannya bergerak cepat melontarkan Bintang-bintang Perak-
nya yang langsung menghambur menghujani orang-orang 
yang berlarian ke arahnya. 
"Mundur kalian semua...!" teriak Bayu keras disertai 
pengerahan tenaga dalam tinggi.

Tapi, peringatan Pendekar Pulau Neraka sudah terlambat 
Beberapa orang sudah menjerit tertembus Bintang Perak yang 
dilemparkan Setan Mata Satu. Seketika, tubuh-tubuh 
berlumuran darah ber-latuhan ke tanah. Melihat kejadian ini, 
Bayu tidak bisa lagi menahan diri. Sambil berteriak keras 
menggelegar, tubuhnya melesat bagai kilat menerjang Setan 
Mata Satu yang masih melontarkan Bintang-bintang Perak-
nya. 
"Hiyaaat..!" 
Wut! 
*** 
ENAM


Cepat sekali Bayu mengebutkan tangan kanannya, 
sehingga Cakra Maut langsung melesat begitu! cepat bagai 
anak panah lepas dari busur ke arah si Setan Mata Satu. 
Serangan yang dilancarkan Pendekar Pulau Neraka ini 
membuat Setan Mata Satu jadi bertambah geram. 
"Hup! Yeaaah...!" 
Cepat laki-laki bermata satu itu melepaskan beberapa 
Bintang Perak-nya, menyambut serangan! Cakra Maut. Dan 
pada saat itu juga, di sertai ilmu meringankan tubuhnya yang 
hampir sempurna, Setan Mata Satu melesat pergi begitu 
Bintang-bintang! Peraknya menghantam Cakra Maut 
"Hap!" 
Bayu cepat-cepat mengangkat tangan kanannya ke atas 
kepala, begitu kakinya menjejak tanah. Maka Cakra Maut 
kembali menempel di pergelangan tangan Pendekar Pulau 
Neraka. Sementara, Setan Mata Satu sudah tidak terlihat 
bayangannya lagi. Bayu hanya bisa berdiri tegak memandang

ke arah menghilangnya Setan Mata Satu, yang tertelan 
kegelapan malam dalam hutan. 
Sementara, mereka yang baru berdatangan sudah 
berkumpul mengelilingi Pendekar Pulau Neraka. Lestari juga 
sudah berada di samping kiri pemuda berbaju kulit harimau 
ini. Tampak di antara mrreka, Eyang Jambak bersama murid-
muridnya. Juga, terdapat tokoh-tokoh persilatan yang berhasil 
dikumpulkan Eyang Jambak untuk menghadapi Setan Mata 
Satu yang selama ini dikira adalah Pendekar Pulau Neraka. 
"Kenapa kalian diam...?! Seharusnya kalian malu, dan minta 
maaf pada Pendekar Pulau Neraka. Kalian orang-orang 
terhormat, tapi tidak sudi membuka mata lebar-lebar!" agak 
tinggi suara Lestari. 
Kata-kata Lestari yang begitu tiba-tiba, membuat Bayu 
terkejut. Tidak ada seorang pun yang menyangka kalau gadis 
itu mengeluarkan kata-kata yang begitu pedas seperti ini Dan 
perkataannya menyebabkan tidak ada seorang pun yang 
mampu lagi membuka suara. Bahkan Eyang Jambak sendiri 
jadi tertunduk, tidak tahu lagi bagaimana harus bersikap di 
depan Pendekar Pulau Neraka. 
"Ayo, Lestari. Kita pergi," ajak Bayu sambil menarik gadis 
ini. 
"Tidak!" sentak Lestari keras. "Kau harus memberi 
pelajaran pada mereka agar tidak sembarangan menuduh 
orang!" 
"Sudahlah, Lestari... Jangan diperpanjang lagi persoalan ini. 
Masih ada yang lebih penting yang harus dikerjakan," ujar 
Bayu tidak mau memperpanjang persoalan seperti ini. 
Langsung saja Pendekar Pulau Neraka menarik tangan 
Lestari. Tapi, gadis ini malah menyentakkah tangan Bayu 
hingga cekatannya terlepas. Dengan wajah garang, dia 
berkacak pinggang seperti hendak menantang semua orang 
yang kini ada di depannya. Tapi, tidak seorang pun yang

sanggup menentang sorotan mata Lestari yang sangat tajam 
ini Sementara, Bayu semakin tidak enak hatinya. 
Dia tahu, mereka memang bersalah. Tapi, Pendekar Pulau 
Neraka juga tidak ingin menuntut apa-apa. Malah, Lestari 
yang seakan begitu kesal terhadap sikap orang-orang Ini. 
Bayu menghampiri gadis itu, dan kembali mencekal 
pergelangan tangan nya. 
"Ayo, Lestari. Kalau kau tidak mau ikut, aku akan pergi 
sendiri," ajak Bayu disertai sedikit ancaman. 
Lestari melirik sedikit pada Pendekar Pulau Neraka itu. Lalu 
sambil mendengus kesal, tubuhnya! berbalik dan melangkah 
mengikuti Pendekar Pulau Neraka meninggalkan orang-orang 
yang masih saja berdiam diri. Sesekali kepala gadis berpaling 
ke belakang. Tampak mereka tetap berada di sana 
memandangi kepergiannya bersama Pendekar Pulau Neraka 
yang pernah dibenci dan ingin dibunuh. 
Sambil terus menggerutu kesal, Lestari menjajarkan ayunan 
kakinya di sebelah kiri Pendekar Pulau Neraka. Di ambilnya 
monyet kecil dari pundak pemuda itu, dan didekap di depan 
dadanya. Tiren seakan kesenangan berada dalam dekapan 
hangat gadis ini. Sedangkan Bayu hanya melirik sedikit saja 
pada monyet kecil itu, seakan Iri ingin menggantikannya. 
Mereka terus berjalan tanpa bicara sedikit pun juga. Tapi 
jelas kalau mereka berjalan ke arah jalan yang dituju Setan 
Mata Satu tadi. 
Sampai jauh mereka berjalan, tidak ada seorang pun yang 
memulai bicara. Sedangkan sikap Lestari sudah mulai kembali 
seperti biasa. Raut wajahnya tidak lagi mencerminkan 
kekesalan. Dan Bayu sendiri tidak mau mengungkit lagi 
persoalan yang dianggap tidak pedu dipermasalahkan. Dia 
sudah menganggap biasa kalau orang-orang salah menduga 
pada dirinya. Dan memang, bukan sekali ini dia mendapatkan 
persoalan seperti itu. Tapi memang diakui, kali ini terasa

begitu berat Bahkan hampir saja dirinya mati terbunuh 
dikeroyok oleh mereka yang salah menuduh. 
"Ke mana kita pergi, Bayu?" tanya Lestari setelah cukup 
lama berdiam diri membisu. 
"Mengejar Setan Mata Satu," sahut Bayu. 
"Kau sudah menduga ke mana arah kepergian-nya?" tanya 
Lestari lagi 
"Aku rasa tidak sulit mendapatkannya, Lestari?" sahut Bayu 
Lestari menatap wajah tampan Pendekar Pulau Neraka, 
seakan meminta penjelasan dari jawabannya tadi. Tapi Bayu 
seperti tidak tahu, dan teruji saja berjalan dengan wajah lurus 
ke depan. 
"Ke mana kira-kira perginya si Setan Mata Satu itu, Bayu?" 
tanya Lestari ingin tahu lagi. 
"Dia memerlukan senjata bintang perak yang sangat 
banyak. Dan sudah barang tentu, harus memiliki tempat yang 
khusus untuk membuat senjatanya itu, Lestari," sahut Bayu 
sedikit menjelas kan. 
"Kau tahu di mana tempatnya?" tanya Lestari lagi. 
Entah kenapa, Bayu jadi tersenyum mendengar pertanyaan 
gadis itu. Malah, tidak menjawab sama sekali. Pendekar Pulau 
Neraka berhenti melangkah, begitu di depan terlihat sebuah 
sungai yang cukup besar dan airnya deras. Tidak ada satu 
sampah pun yang teriihat di sana. Tapi terlihat jelas kalau di 
seberang sungai itu terdapat sebuah perkampungan yang 
tampaknya cukup besar. 
Kening Lestari jadi berkerut juga, saat melihat Bayu terus 
memandang ke arah perkampungan di seberang sungai. Dia 
tidak tahu, apa yang adai dalam pikiran Pendekar Pulau 
Neraka. Terlalu sukar baginya untuk bisa menerka jalan 
pikiran Bayu sekarang ini. Lestari kembali mengarahkan

pandangan ke depan, seperti ingin mencoba mencari tahu, 
apa yang sedang dipikirkan Pendekar Pulau Neraka. 
"Kita akan menyeberangi sungai ini, Baya..?" tanya Lestari 
bernada menduga. 
"Ya," sahut Bayu singkat. 
"Lalu, apa yang akan kita peroleh di sana?" lunya Lestari 
lagi. 
"Setan Mata Satu," sahut Bayu tetap singkat datar nada 
suaranya. 
"Kau yakin dia ada di sana?" 
Bayu tidak menjawab, tapi bibirnya terlihat 
menyunggingkan senyum tipis sekali. Begitu tipisnya, hampir 
saja Lestari tidak melihat. Gadis itu sudah bisa menduga, 
sekarang ini Bayu sudah begitu yakin kalau si Setan Mata Satu 
sekarang berada di seberang sungai. Entah, apa yang 
membuat Bayu begitu percaya terhadap dugaannya. 
Sedangkan Lestari hanya bisa menduga-duga saja, tanpa 
dapat lagi melontarkan pertanyaan. Tapi yang menjadi 
persoalannya sekarang, bagaimana mereka bisa menyeberangi 
sungai besar yang mengalir deras tanpa perahu...? 
*** 
Bagi orang-orang persilatan yang berkepandaian tinggi 
seperti Pendekar Pulau Neraka, memang tidak ada persoalan 
sedikit pun untuk menyeberangi sungai besar yang mengalir 
deras seperti itu. Tapi, Bayu justru memikirkan Lestari. Dia 
tidak tahu, sampai di mana kepandaian gadis itu. Terutama 
sekali, tingkat ilmu meringankan tubuhnyn Kalau Lestari hanya 
sampai pada tingkatan pertengahan saja, mustahil bisa 
menyeberanginya tanpt perahu. Sedangkan Bayu bisa 
menggunakan ranting atau daun-daun untuk dijadikan 
jembatan menuju seberang sungai. Dan itu juga 
membutuhkan pengerahan ilmu meringankan tubuh yang

sempui na. Sedangkan Lestari.... Tidak mungkin gadis itu bisa 
melakukan hal yang sama dengannya. Ilmu meringankan 
tubuh gadis ini masih berada jauh dari Pendekar Pulau 
Neraka. Dan inilah yang sedang menjadi beban pikiran Bayu 
sekarang. 
Sementara, pelahan-lahan matahari sudah mulai 
menampakkan diri di ufuk timur. Cahayanya begitu lembut 
dan indah membias dari pucuk-pucuk pepohonan di hulu 
sungai. Basa cahaya matahari membuat Bayu bisa leluasa 
mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Tapi, memang 
tidak ada satu perahu pun terdapat di sungai ini. Udara yang 
semula terasa dingin, pelahan mulai menghangat menyapu 
kulit 
Bayu melangkah menghampiri sebuah pohon yang besar 
dan rimbun daunnya. Kemudian dia duduk bersila di bawah 
pohon itu. Lestari mengikuti Pendekar Pulau Neraka, duduk di 
sebelah kirinya. Mereka sama-sama memandang ke seberang 
dengan pikiran masing-masing sukar diterka. 
"Sudah pagi, Bayu. Kapan akan ke sana?" tanya Lestari 
tanpa berpaling sedikit pun. 
"Hm...," Bayu hanya menjawab dengan gumaman saja. 
"Kau ragu-ragu, Bayu?" terdengar agak sinis tiada suara 
Lestari. 
Bayu melirik sedikit pada gadis di sebelahnya Ini. 
Dirasakannya kalau itu bukan pertanyaan biasa. Nadanya jelas 
sekali ingin memanasi hatinya. Malah terdengar begitu sinis. 
Tapi, Bayu tahu kalau sikap Lestari yang berubah sinis itu 
hanya memancing perasaannya saja. Menyadari akan hal itu, 
bayu malah tersenyum. 
"Di seberang sana, adalah Desa Pangkar. Semua 
penduduknya hidup dari keahliannya mengolah besi. Bukan 
hanya peralatan dari besi saja yang dibuat, tapi banyak juga 
senjata yang berasal dari sana," kata Bayu seperti memberi


tahu keadaan di desa seberang sungai ini pada gadis di 
sebelahnya. 
"Lalu, apa hubungannya dengan Setan Mata Satu?" tanya 
Lestari tidak mengerti maksud Pendekar Pulau Neraka. 
"Lihatlah ini, Lestari...? Coba perhatikan," Bayu 
mengeluarkan sebuah bintang dari balik saku ikat 
pinggangnya. 
Pemuda itu menyerahkan senjata yang digunakan si Setan 
Mata Satu untuk merusak namanya pada Lestari. Sebentar 
gadis itu hanya memandanginya saja, kemudian mengambil 
benda itu dari tangan Pendekar Pulau Neraka. Dengan kelopak 
mata agak menyipit, Lestari mencoba untuk bisa memahami 
perkataan Bayu tadi sambil memperhatikan senjata berbentuk 
bintang di tangannya. 
"Kau menduga senjata ini dibuat di sana, Bayu?" tanya 
Lestari mulai bisa menduga arah pemc bicaraan Bayu. 
"Ya," sahut Bayu singkat 
"Kau yakin?" tanya Lestari lagi, seperti ingin meyakinkan 
dirinya. 
Bayu hanya mengangguk saja dengan gerakan begitu 
mantap. Dan pandangan matanya kini tertuju lurus pada 
wajah cantik gadis itu. Sedangkan Lestari sendiri seakan tidak 
manyadari kalau wajahnya terus dipandangi, dengan mata 
tidak berkedip sedikit pun. Gadis itu terus memperhatikan 
Bintang Perak yang berada di telapak tangan kanannya. Dan 
ketika wajahnya diangkat seketika itu juga pandangan mata 
mereka langsung bertemu. 
Entah kenapa, Lestari jadi bergetar seluruh tubuhnya. Dan 
dirasakan seakan-akan darahnya berhenti mengalir seketika. 
Detak jantungnya pun jadi semakin keras. Cepat-cepat Lestari 
memalingkan wajahnya ke seberang sungai, begitu seluruh 
paras wajahnya terasa jadi panas. Sekilas Bayu sempat

melihat perubahan pada wajah gadis itu. Maka cepat-cepat 
wajahnya dipalingkan juga ke seberang. Untuk beberapa saat 
lamanya mereka jadi terdiam membisu. Entah, apa yang ada 
dalam kepala mereka masing-masing saat ini. 
"Bayu...," terdengar begitu pelan suara Lestari. 
"Hm...," Bayu hanya menjawab dengan sedikit gumaman. 
"Kau tahu, siapa yang membuat senjata ini?" lanya Lestari 
lagi, mencoba menghilangkan perasaan aneh yang tiba-tiba 
saja menyelimuti hatinya, setelah pandangannya langsung 
bertemu pada pandangan mata Pendekar Pulau Neraka. 
"Kau tidak lihat guratan di bagian tengahnya...?" Bayu 
malah balik bertanya. 
Lestari langsung memperhatikan bagian tengah senjata 
bintang berwarna putih keperakan itu. Agak berkerut juga 
keningnya, begitu melihat sedikit guratan tepat di tengah-
tengah Bintang Perak itu. Dan sebentar kemudian, wajahnya 
diangkat lagi. Kali ini, dia tidak langsung menatap bola mata 
Baya Pandangannya ke arah lain, walaupun wajahnya 
berhadapan dengan wajah Pendekar Pulau Neraka berjarak 
tidak begitu jauh. Tapi entah kenapa, Lestari masih juga 
merasakan getaran yang begitu kuat dalam dadanya. Dan dia 
tidak tahu, apa arti getaran di dadanya ini. 
"Semua senjata bintang yang digunakan si Setan Mata Satu 
bertanda seperti itu. Dan aku tahu, siapa pembuatnya," kata 
Bayu memberi tahu. 
"Siapa, Bayu?" tanya Lestari jadi semakin ingin tahu. 
“Ki Bendawa," sahut Bayu singkat. 
"Siapa dia...?" tanya Lestari meminta penjelasan lagi. 
"Dia seorang pandai besi dan ahli membuat senjata yang 
sangat terkenal di Desa Pangkar. Tidak sedikit orang-orang 
dari kalangan persilatan yang memesan senjata padanya.

Bahkan beberapa kerajaan pun memesan senjata untuk 
prajuritnya juga pada Ki Bendawa," jelas Bayu singkat. 
"Kau tahu dari mana kalau guratan ini tanda buatan Ki 
Bendawa?" tanya Lestari lagi. 
"Aku pernah ke sana, mengantarkan orang yang ingin 
membuat senjata pusaka dari bahan yang dibawanya sendiri. 
Begitu banyak hasil buatannya. Dan semua selalu memiliki 
tanda guratan seperti itu," sahut Bayu menjelaskan lagi. 
"Tentu Ki Bendawa itu orang yang sangat pandai, ya...? 
Dan dia pasti juga memiliki kepandaian tidak rendah," ujar 
Lestari langsung memuji. 
"Memang... Selain pandai membuat senjata, Ki Bendawa 
juga memiliki kepandaian yang tidak rendah. Itu sebabnya, 
tidak ada seorang pun yang mau sembarangan padanya. 
Bahkan di Desa Pangkar itu, nama Ki Bendawa begitu 
dihormati dan ditakuti. Tidak ada seorang pun yang berani 
berbuat curang padanya. Desa itu juga bisa terkenal, berkat 
kepandaian Ki Bendawa." 
"Hebat...," puji Lestari tulus. 
"Tapi terus terang saja, Lestari. Sejak aku tahu di mana 
senjata itu dibuat, aku jadi khawatir," kata Bayu. Wajahnya 
tiba-tiba berubah murung. 
"Apa yang kau khawatirkan, Bayu?" tanya Lestari jadi heran 
tidak mengerti. 
"Kau tahu, apa yang dilakukan si Setan Mata Satu selama 
ini, kan...?" Bayu malah balik bertanya. 
Lestari hanya mengangguk saja sedikit 
"Aku khawatir, kalau-kalau si Setan Mata Satu membunuh 
Ki Bendawa setelah mendapatkan senjatanya ini," kata Bayu 
mengutarakan rasa kekhawatirannya.

"Kalau begitu, kenapa tidak segera saja ke sana, Baya..?" 
usul Lestari Langsung. 
"Terlalu berbahaya menyeberangi sungai di siang hari 
begini, Lestari. Sedangkan kita belum tahu, bagaimana 
keadaan Desa Pangkar sekarang ini. Tunggu saja sampai 
gelap nanti," sahut Bayu menjelaskan lagi. 
"Lalu, apa yang akan kita lakukan sekarang?" tanya Lestari 
lagi. 
"Istirahat sebanyak-banyaknya. Mungkin, malam nanti kita 
akan menghadapi cobaan dan rintangan yang tidak kecil," 
sahut Bayu kalem. 
Lestari hanya diam saja. Dan dia memang tidak lagi 
mengeluarkan suaranya. Matanya melirik sedikit, saat Bayu 
merebahkan tubuhnya di atas rerumputan yang cukup tebal di 
bawah pohon berdaun lebat ini, hingga terlindung dari 
sengatan sinar matahari yang semakin terik. 
*** 
Bayu baru membuka kelopak matanya, begitu merasakan 
angin yang berhembus mengusap kulit nya. Terasa begitu 
dingin. Cepat pemuda itu melompat bangkit berdiri dengan 
bola mata langsung beredar ke sekeliling. Memang ternyata 
Bayu tidak melihat Lestari lagi di tepian sungai ini. Apalagi, 
nyenyak sekali Bayu tidur tadi. Sampai-sampai, ketika 
matahari sudah hampir tenggelam di balik peraduannya dia 
baru bangun. Entah, sudah berapa malam Pendekar Pulau 
Neraka tidak tidur, dan baru siang ini bisa tidur begitu 
nyenyak. 
"Lestari...!" 
Sekuat-kuatnya Bayu memanggil, tapi tidak terdengar 
sahutan sedikit pun juga. Bayu terus mengedarkan 
pandangannya ke sekeliling. Dia tidak tahu, ke mana Lestari 
pergi.

"Nguk...! Nguk...!" 
Bayu cepat berpaling, begitu mendengar suara monyet di 
belakangnya. Tampak Tiren berlari-lari kecil sambil 
mencerecet ribut menghampiri Pendekar Pulau Neraka. 
Monyet kecil itu langsung melompat naik ke pundak Bayu. 
"Kau lihat Lestari, Tiren?" tanya Bayu langsung. 
"Nguk...!" 
"Aku tahu dia pergi. Tapi, ke mana...?" 
"Craaak...!" 
"Kau tidak salah, Tiren?" 
Kening Bayu jadi berkerut melihat Tiren menunjuk ke 
seberang sungai. Seakan, monyet kecil itu ingin mengatakan 
kalau telah melihat Lestari pergi ke desa yang ada di seberang 
sungai ini. Pendekar Pulau Neraka langsung mengarahkan 
pandangannya ke seberang sungai. Tidak terlihat ada satu 
perahu pun di seberang sana. Sebentar kemudian kembali 
ditatapnya monyet kecil berbulu hitam pekat yang duduk di 
pundak kanannya. Monyet kecil itu memperdengarkan suara 
seperti orang tidur mendengkur. Binatang itu juga terus 
mengarahkan pandangannya ke seberang sungai yang mulai 
dihiasi cahaya lampu pelita dari rumah-rumah yang berdiri di 
tepiannya. 
"Dengan siapa dia pergi ke sana?" tanya Bayu lagi sambil 
terus memandangi monyet kecilnya. 
"Nguk!" 
"Hm..." 
Kembali kening Tiren berkerut dengan kelopak mata sedikit 
menyipit, melihat Tiren membuat beberapa gerakan tangan 
sambil memperdengarkan suara. Seakan, monyet kecil itu 
ingin mengatakan sesuatu pada Pendekar Pulau Neraka. Tapi 
entah kenapa, seakan Bayu begitu sulit mengartikan bahasa

monyet kecilnya. Pemuda itu terus memandangi dan mencoba 
bisa mengerti. Sedangkan Tiren terus berusaha memberitahu 
dengan gerakan-gerakan tangan dan suara yang tidak pernah 
berubah dalam pendengaran. 
"Mustahil...," desis Bayu setelah bisa mengerti Jelas sekali 
terlihat kepala Pendekar Pulau Neraka bergerak menggeleng 
pelahan dengan bibir terus memperdengarkan desisan seperti 
ular. Bayu benar-benar tidak percaya kalau Lestari 
menyeberangi sungai ini sendiri. Timbul di dalam pikirannya, 
dengan apa gadis itu bisa menyeberangi sungai yang sangat 
deras alirannya ini tanpa perahu...?! Sedangkan ilmu 
meringankan tubuhnya belum bisa dikatakan sempurna. 
Bahkan masih terlalu jauh, bila dibandingkan Pendekar Pulau 
Neraka. 
Bayu melangkah semakin mendekati tepian sungai ini. 
Kembali kelopak matanya sedikit menyipit, begitu mendapati 
jejak-jejak kaki tertera jelas di tanah tepi sungai yang cukup 
lembab ini. Walaupun hari sudah malam, tapi bulan yang 
menggantung di langit saat ini bersinar penuh. Sehingga, 
membuat keadaan sekelilingnya cukup terang dan cukup jelas 
untuk melihat jejak kaki di tepi sungai ini. Dan Bayu tahu, itu 
jejak kaki Lestari. Tidak terlihat ada jejak kaki orang lain di 
sini. Itu berarti Lestari memang menyeberangi sungai ini 
hanya seorang diri saja. 
"Kita harus cepat ke sana, Tiren. Bahaya kalau dia 
menghadapi Setan Mata Satu seorang diri, " kata Bayu sambil 
menepuk kepala monyet kecil di pundaknya. 
"Nguk!" 
"Pegang leherku kuat-kuat, Tiren. Kita akan menyeberangi 
sungai ini," pinta Bayu. 
"Craaak...!" 
"Hup! Yeaaah...!"

*** 
TUJUH

 
Sungguh sempurna ilmu meringankan tubuh Pendekar 
Pulau Neraka. Sehingga seakan tubuhnya bisa terbang 
melayang di atas permukaan air sungai yang mengalir deras 
itu. Hanya sesekali saja ujung jari kakinya menotok ranting-
ranting yang hanyut terbawa arus sungai ini. Bayu terus 
melesat di atas permukaan air sungai bagai segumpal kapas 
terbawa angin. 
Dan sebentar saja, 
Pendekar Pulau Neraka 
sudah tiba di tepi seberang 
sungai ini. Begitu ringan 
kakinya menjejakkan tanah 
lembab dan sedikit berpasir. 
Sebentar pandangannya 
beredar ke sekeliling. 
Namun tidak terlihat 
seorang pun manusia di 
sekitarnya. Begitu sunyi, 
hingga hanya desiran angin 
dan aliran sungai saja yang 
terdengar mengusik 
telinganya. 
jak 
ka
"Hm..." 
Bayu menggumam sedikit, melihat jejak kaki Lestari terlihat 
di tepi sungai ini. Tapi keningnya jadi berkerut ketika melihat 
ada guratan panjang yang cukup banyak di sekitar jejak-je
ki ini. Guratan panjang seperti bekas ular berlalu. Tapi..

"Pasti Lestari membuat rakit, hingga bisa sampai di sini," 
gumam Bayu langsung bisa menduga. 
Bibir Pendekar Pulau Neraka jadi tersenyum, 
membayangkan Lestari membuat rakit untuk menyeberangi 
sungai. Memang diakui di dalam hatinya, gadis itu memiliki 
otak cerdas. Tapi sayang. Lestari ke desa ini hanya seorang 
diri saja. Sedangkan dia tahu, Setan Mata Satu pasti berada di 
de
bertemu si Setan Mata Satu, karena bukan 
tan a," kata Bayu sambil menepuk kepala monyet di 
pu
eranda 
de
yunkan kakinya 
me
sa ini juga. Entah kenapa, Bayu jadi cemas memikirkan 
Lestari yang menghadang bahaya hanya seorang diri saja. 
"Ayo, Tiren. Kita harus cepat menemukan Lestari. Jangan 
sampai dia 
dinganny
ndaknya. 
"Nguk!" 
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Bayu segera 
mengayunkan kakinya menuju desa yang sudah ada di 
depannya Lampu-lampu pelita tampak menyala dari b
pan rumah-rumah yang ada di seberang sungai ini Pendekar 
Pulau Neraka terus mengayunkan kakinya, lebar-lebar. 
Bayu terus melangkah memasuki desa itu. Karena sudah 
pernah datang ke sini sebelumnya, jadi tidak merasa heran 
kalau keadaan desa ini begitu sunyi seperti tidak ada 
penduduknya. Dan memang, semua orang di desa ini tidak 
ada yang keluar dari dalam rumah setelah malam tiba. Mereka 
terlalu lelah bekerja di siang hari, sehingga bila malam adalah 
waktu beristirahat. Bayu terus menga
nyusuri jalan tanah setapak yang berdebu. Sepanjang jalan 
yang dilalui, tidak ada seorang pun dijumpai 
Namun begitu sampai di sebuah tegalan yang berada di 
tengah-tengah desa itu, mendadak saja bermunculan orang-
orang dari balik pepohonan dan dinding-dinding rumah yang 
ada di sekitar tanah lapangan berumput ini. Dan sebelum 
Bayu bisa menyadari apa yang terjadi, sekelilingnya sudah

ter an orang dengan senjata tajam berbagai 
be
u juga, sekitar sepuluh orang belarian ke arah 
Pe ulau Neraka. Dan begitu dekat, mereka langsung 
sa tan hingga melewati atas kepala Bayu. Lalu saat 
itu juga
get setengah mati. Bahkan Tiren 
langsung melompat turun dari pundak Pendekar Pulau Neraka, 
ke
pat Bayu membanting tubuhnya tatanan, dan 
ce
kembali mengurung 
rap
apat Tidak sedikit yang membawa obor, hingga 
ke
"Ada apa ini? Kenapa kalian menyerangku...?!" tanya Bayu, 
lantang. 
kepung puluh
ntuk dan jenisnya. Bayu cepat menyadari kalau dirinya 
dalam keadaan bahaya. 
"Tangkap...!" 
Tiba-tiba terdengar teriakan lantang memberi perintah. Dan 
seketika it
ndekar P
ja beriompa
... 
Rrrrt..! 
"Heh...?!" 
"Craaakh...!" 
Bayu jadi terlonjak ka
tika orang-orang yang berlompatan ini menebarkan jaring-
jaring hitamnya dari atas. 
"Hap!" 
Cepat-ce
pat bergulingan ke arah kanan, se hingga serangan jaring-
jaring hitam itu tidak sampai mengenai sasaran. 
"Hup!" 
Begitu cepat dan manis Bayu melompat bangkit berdiri 
setelah dirasakan aman dari serangan, langsung tangan 
kanannya disilangkan di depan da da, dengan tubuh agak 
membungkuk ke depan. Sementara, sekitar sepuluh orang 
yang membawa jaring hitam itu sudah 
at. Bahkan sekeliling tanah lapangan ini juga sudah 
terkepung r
adaan jadi semakin terang benderang.

"Jangan banyak bicara kau, Pendekar Pulau Neraka...!" 
Bayu langsung memutar tubuhnya, begitu mendengar 
bentakan sangat keras yang mengejutkan ini. Tampak seorang 
laki-laki berusia separo baya sudah berdiri sambil berkacak 
pinggang, terpisah dari yang lain. Baju warna biru muda yang 
ketat, membentuk tubuhnya yang tegap dan berotot Sebuah 
pedang berukuran panjang tampak bergantung di pinggang. 
Kakinya melangkah beberapa tindak mendekat Pendekar Pulau 
Ne
di 
kan itu. Kalian salah...!" 
be
u!" bentak Jalapari lagi, 
de
unuhnya untuk 
me
mu, Pendekar Pulau 
Ne
raka. 
"Aku Jalapari, putra tunggal Ki Bendawa. Kau harus 
bertanggung jawab atas perbuatanmu pada ayahku, Pendekar 
Pulau Neraka. Setelah memesan ribuan senjata bintang, lalu 
kau bunuh ayahku. Sekarang, kau datang lagi setelah puas 
membantai orang-orang yang tidak bersalah! Kau harus mati
sini, Pendekar Pulau Neraka!" lantang sekali suara Jalapari. 
"Tidak...! Bukan aku yang melaku
ntak Bayu tidak kalah lantangnya. 
"Kau tidak perlu mungkir, Pendekar Pulau Neraka. Semua 
orang sudah tahu perbuatan busukm
ngan tetap lantang menggelegar. 
Bayu jadi terdiam. Memang tidak ada gunanya membantah 
semua tuduhan itu. Setan Mata Satu sudah menggunakan 
namanya untuk memesan senjata bintang dari Ki Bendawa di 
Desa Pangkar ini. Dan ternyata, si Setan Mata Satu juga telah 
membunuh Ki Bendawa. Sekarang semua orang di desa ini 
begitu membencinya. Bahkan ingin memb
nebus nyawa Ki Bendawa yang dihormati. 
"Bersiaplah menerima hukuman
raka!" desis Jalapari dingin. Cring! 
Langsung saja laki-laki separo baya itu mencabut 
pedangnya yang tergantung di pinggang. Agak terkejut juga 
Pendekar Pulau Neraka, melihat pedang itu bagai 
memancarkan cahaya merah kekuningan seperti matahari.

Dan rasanya, senjata itu tidak bisa dianggap enteng begitu 
saja. Bayu menarik kakinya dua langkah ke belakang sambil 
mengedarkan pandangan ke sekeliling. Tidak ada jalan sedikit 
pu
putra Ki Bendawa itu melakukan serangan, 
tib
“Tahan...!" 
ng ketat. 
Se
angka kalau Lestari yang 
da
a orangnya 
ya
ng selamat dan tahu siapa pelakunya," 
sa
n untuk dapat meloloskan diri. 
"Tahan seranganku, Iblis...!" bentak Jalapari lantang. 
Tapi belum juga 
a-tiba saja... 
*** 
Bentakan keras menggelegar dan tiba-tiba itu bukan saja 
mengejutkan Jalapari. Tapi, semua orang yang ada di 
lapangan ini juga terkejut setengah mati. Bahkan Bayu sendiri 
sampai berpaling cepat ke arah datangnya bentakan yang 
begitu tepat, di saat Jalapari hendak menyerangnya. Dan di 
saat itu juga, terlihat sebuah bayangan merah muda 
berkelebat begitu, cepat melewati kepala orang-orang yang 
memenuhi lapangan ini. Tahu-tahu, di sebelah kiri Bayu sudah 
berdiri seorang gadis cantik berbaju merah muda ya
buah pedang tampak tergantung di pinggangnya. 
"Lestari...," desis Bayu, tidak meny
tang mencegah serangan Jalapari 
"Kalian salah kalau menuduh Pendekar Pulau Neraka yang 
melakukan semua kejahatan ini. Aku tahu, siap
ng sebenarnya...!" lantang sekali suara Lestari. 
"Siapa kau...?!" bentak Jalapari langsung bertanya. 
"Aku Lestari, dari Desa Duri Batang. Semua orang di 
desaku habis dibantai. Dan kedua orang-tuaku ikut menjadi 
korban. Hanya aku ya
hut Lestari lantang. 
Kata-kata Lestari membuat semua orang jadi menggumam, 
entah percaya atau tidak atas pembelaan gadis ini pada diri

Pendekar Pulau Neraka Sedangkan Bayu sendiri hanya diam 
saja, memberi kesempatan pada Lestari untuk menjelaskan 
ya
ka
ranya. Bahkan wajah 
Ja
 menjelaskan semua ceritanya dengan 
be
taruhan nyawa kami sendiri. Dalam kesempatan ini, aku atas 
ng sebenarnya. 
"Bukan hanya desa ini saja yang dirugikan. Tapi, banyak 
desa lain yang sudah menjadi korban kebuasannya. Kala
lian tidak percaya, aku bawa saksi lain," sambung Lestari. 
Dan begitu kata-kata gadis ini selesai, dari bagian kiri 
menyeruak beberapa orang memasuki lapangan berumput ini. 
Mereka adalah Eyang Jambak bersama dua puluh orang 
muridnya dan tujuh orang tokoh persilatan yang diundangnya. 
Mereka berhenti setelah berjarak beberapa langkah lagi dari 
Pendekar Pulau Neraka yang berdiri didampingi Lestari. Tidak 
ada seorang pun yang membuka sua
lapari sendiri jadi kelihatan bimbang. 
"Kita semua memang salah menuduh. Memang bukan 
Pendekar Pulau Neraka yang melakukan se mua kejahatan ini. 
Ada orang lain yang memakai nama Pendekar Pulau Neraka 
untuk memfitnah agar kita bisa diadu domba untuk 
membunuh Pendekar Pulau Neraka. Dan kalau rencana itu 
berhasil, maka penghalang utama para tokoh hitam akan 
lenyap. Dengan demikian, dunia persilatan akan dikuasai 
tokoh golongan hitam dengan kesewenang-wenangannya. 
Dan sekarang orang itu memakai julukan Setan Mata Satu. 
Sengaja hal ini dilakukan agar kita lemah dan tak berdaya!" 
kata Eyang Jambak
berapa akibatnya 
"Bagaimana kau bisa tahu, Orang Tua?" kata Jalapari. 
"Bukan hanya aku yang melihat sendiri. Tapi, semua orang 
yang ada di belakangku ini ikut menyaksikannya. Dan 
sekarang, kami sedang mengejar orang itu untuk menebus 
kesalahan kami pada Pendekar Pulau Neraka," sahut Eyang 
Jambak 'Terus terang saja, kami semua juga sempat berbuat 
kesalahan seperti iri. Dan semua ini akan ditebus dengan

nama semua orang mengaku bersalah, mohon maaf padamu, 
Pendekar Pulau Neraka." 
Bayu hanya membungkuk saja sedikit, begitu melihat 
eyang Jambak membungkuk sedikit meminta maaf padanya. 
Sikap yang ditunjukkan Kyang Jambak membuat semua 
penduduk Desa Pangkar yang mengepung lapangan ini jadi 
terlongong bengong. Bahkan Jalapari sendiri langsung 
menyarungkan pedangnya lagi. Kakinya lalu melangkah 
menghampiri Pendekar Pulau Neraka yang tetap didampingi 
Lestari. Tanpa banyak bicara lagi, Jalapari langsung 
menyodorkan tangannya. 
"Maaf, atas semua kesalahan dan kekhilafan kami semua," 
ucap Jalapari. 
Bayu tidak bisa lagi berkata-kata. Disambutnya uluran 
tangan itu dengan hangat. Dan seketika itu juga, semua orang 
bersorak menyambut kembalinya nama harum Pendekar Pulau 
Neraka yang selama ini sempat dirusak oleh Setan Mata Satu. 
Bayu melepaskan jabatan tangannya pada tangan Jalapari. 
"Aku turut berduka cita atas meninggalnya Ki Bendawa," 
ucap Bayu. 
"Ayahku korban pertamanya," ujar Jalapari agak sendu. 
"Kita semua akan menghukum manusia iblis itu," selak 
Lestari. 
"Sudah terlalu malam untuk memburu iblis itu. Sebaiknya, 
kalian semua beristirahat saja di sini," Jalapari menawarkan. 
Dan memang, tawaran putra tunggal Ki Bendawa itu tidak 
bisa lagi ditolak. Terlebih lagi, Jalapari menyediakan rumahnya 
untuk mereka yang datang ke desa ini. Dan malam itu, 
mereka banyak bicara untuk merencanakan pemburuan 
terhadap Setan Mata Satu yang sampai saat ini belum jelas 
Malam ini, Bayu sama sekali tidak bisa memejamkan mata 
barang sekejap pun. Walaupun udara malam ini begitu dingin,

tapi pemuda ini merasa kepanasan. Sehingga keringatnya 
bercucuran bagai air yang keluar dari kulit gunung. Bayu 
melirik Eyang Jambak yang tidur satu kamar dengannya Orang 
tua itu sudah sejak tadi mendengkur dengan tubuh terlipat 
seperti udang. 
"Hhh...!" 
Pelahan Bayu turun dari pembaringannya, sambil 
menghembuskan napas panjang yang terasa begitu berat 
Kemudian kakinya melangkah keluar dari dalam kamar ini. 
Pedahan-lahan tangannya membuka pintu, kemudian 
menutupnya lagi dengan hati-hati sekali. Seakan dia tidak 
ingin seisi rumah ini terbangun. Bayu terus berjalan pelahan-
lahan mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah 
sempurna tingkatannya. Begitu sempurnanya, sehingga setiap 
ayunan langkah kakinya tidak menimbulkan suara sedikit pun 
juga. Dan sebentar kemudian, Pendekar Pulau Neraka sudah 
berada di depan rumah Jalapari yang sangat besar ini. 
Sementara, saat ini sudah tengah malam. Bayu terus 
berjalan melintasi halaman depan rumah Jalapari yang cukup 
luas. Dan memang Jalapari termasuk orang terkaya di Desa 
Pangkar ini. Pendekar Pulau Neraka berjalan tanpa tujuan 
sama sekali. Tapi, kedua bola matanya beredar ke sekeliling, 
memandangi sekitarnya tanpa berkedip sedikit pun. Seakan, 
ada yang tengah dicarinya malam ini. 
"Bayu..." 
"Oh...?!" 
Bayu tersentak kaget, begitu tiba-tiba mendengar 
panggilan dari belakang. Cepat tubuhnya berbalik. Keningnya 
langsung berkerut, begitu melihat sesosok tubuh ramping 
berdiri di tengah-tengah jalan ini. Malam yang cukup gelap ini, 
membuat Bayu terasa agak sulit melihat wajah orang itu. Tapi 
dari bentuk tubuhnya yang ramping dan indah, jelas sekali

kalau dia seorang wanita. Perlahan Bayu melangkah 
mendekati. 
"Lestari...," desis Bayu setelah bisa mengenali. 
Wanita yang memang Lestari itu menanti sampai Pendekar 
Pulau Neraka berada di depannya Dan Bayu sendiri baru 
berhenti melangkah, setelah jaraknya sekitar tiga langkah lagi. 
Sesaat mereka hanya berdiri saja, tanpa mengeluarkan kata-
kata. 
"Kenapa kau ada di sini malam-malam?" tanya Bayu. "Kau 
tidak tidur...?" 
"Aku tidak bisa tidur," sahut Lestari. "Mana Tiren?" 
"Di kamarku. Tidur." 
"Kau sendiri, kenapa berada di sini?" Lestari balik bertanya. 
"Sama Aku juga tidak bisa tidur. Entah kenapa, aku merasa 
ingin keluar untuk jalan-jalan saja," sahut Bayu seenaknya. 
"Bayu...," terputus suara Lestari. 
"Hm...," Bayu hanya menggumam saja sedikit. 
"Maaf, aku meninggalkanmu begitu saja siang tadi," ucap 
Lestari pelan. 
"Dengan apa kau menyeberangi sungai?" tanya Bayu 
langsung. 
"Rakit" 
"Lalu, di mana kau bertemu Eyang Jambak dan yang 
lainnya?" 
"Tidak Jauh dari desa ini. Mereka juga sedang menuju ke 
sini. Maksudnya, untuk mencarimu." 
"Mencariku...?"

"Ya... Mereka merasa bersalah, karena sudah menuduhmu 
jadi pembunuh sinting. Mereka ingin meminta maaf dan 
membersihkan namamu." 
"Dari mana mereka tahu kalau kita menuju ke desa ini, 
Lestari?" tanya Bayu lagi 
"Salah seorang dari mereka tahu, senjata bintang itu dibuat 
di sini. Makanya, mereka langsung menuju ke sini lewat jalan 
lain." 
"Maksudmu, mereka melintasi bukit?" Lestari mengangguk. 
"Mereka melalui bukit, dan tidak bertemu si Setan Mata 
Satu Sedangkan kita melalui sungai, juga tidak bertemu 
dengannya. Ke mana dia pergi...?" Bayu seperti bicara pada 
diri sendiri. 
"Hanya satu tempat yang pasti ditujunya, Bayu," kata 
Lestari cepat. 
"Di mana?" tanya Bayu. 
"Lembah Bunga." 
Kerang Bayu jadi berkerut mendengar nama tempat yang 
disebutkan Lestari. Dia tahu, di mana letak Lembah Bunga itu. 
Namanya memang indah. Tapi, bukan berarti tempatnya juga 
indah seperti namanya. Lembah itu memang indah, kalau 
sedang musim bunga. Tapi di balik semua keindahannya, 
tersimpan keangkeran. Sehingga, tidak ada seorang pun yang 
suka masuk ke sana. Lembah itu dihuni ribuan ular berbisa 
yang sangat mematikan. Maka-nya, banyak orang yang 
menyebutnya Lembah Bunga Berbisa. 
Bayu merasa tidak mungkin kalau Setan Mata Satu pergi ke 
sana. Setinggi apapun tingkat kepandaiannya sulit untuk bisa 
selamat bila memasuki lembah itu. Ular-ular berbisa yang 
menghuni lembah itu akan membunuhnya tanpa ampun lagi. 
Tapi, memang tidak ada tempat lain lagi yang bisa dijadikan 
persembunyian si Setan Mata satu, selain di lembah Bunga.

Dan untuk mencapai ke sana, harus menyusuri sungai sampai 
ke hilir. Belum lagi, harus melewati bukit batu yang terjal dan 
rapuh. Tidak sembarang orang bisa melewati bukit yang 
sewaktu-waktu bisa longsor itu. 
"Akan kucoba ke sana," kata Bayu setelah cukup lama 
berpikir. 
"Tidak sekarang, Bayu. Lagi pula, terlalu berbahaya pergi 
sendiri ke sana," cegah Lestari. 
Bayu hanya tersenyum saja mendengar nada kecemasan 
dalam suara gadis ini Dan tanpa bicara lagi, Pendekar Pulau 
Neraka melangkah pergi meninggalkan Lestari seorang diri. 
Sedangkan Lestari beberapa saat hanya diam memandangi. 
Kemudian bergegas dikejarnya Pendekar Pulau Neraka. 
"Bayu, tunggu...!" 
Bayu berhenti melangkah, dan menunggu Lestari sampai 
berada di depannya lagi. Beberapa saat gadis itu memandangi 
wajah tampan Pendekar Pulau Neraka. 
"Tolong jaga Tiren. Hanya kau yang sudah dikenalnya," 
ujar Bayu berpesan. 
"Kau akan tetap pergi ke sana malam ini juga?" tanya 
Lestari tidak dapat lagi menyembunyikan kecemasannya. 
"Ya, sebelum lebih banyak korban jatuh lagi!" 
"Aku tidak bisa mencegahmu. Bayu. Hati-hatilah...," ujar 
Lestari sambil menggigit bibir bawahnya sendiri. 
Bayu tersenyum kecil. Ditepuknya pundak gadis itu, 
kemudian melangkah pergi meninggalkan nya. Lestari hanya 
bisa memandangi kepergian Pendekar Pulau Neraka 
menempuh bahaya seorang diri Dan setelah bayangan tubuh 
Bayu menghilang dari pandangan, bergegas tubuhnya berbalik 
dan berlari menuju ke rumah Jalapari. 
***

Bayu berdiri tegak di atas tanah berbukit yang tidak 
seberapa tinggi. Dari tempat ini, Pendekar Pulau Neraka bisa 
memandang ke arah Lembah Bunga yang tidak begitu besar. 
Sungguh indah pemandangan lembah itu. Entah, berapa jenis 
bunga tumbuh di lembah ini. Tapi di balik semua keindahan 
itu, tersimpan sejuta bahaya yang tidak bisa dipandang 
sebelah mata. Di lembah yang kelihatan indah itu, sebenarnya 
adalah sarang ular-ular berbisa yang sangat mematikan. 
Sehingga tidak ada seorang pun yang mau memasukinya. 
Bahkan untuk melewatinya saja, orang akan berpikir seribu 
kali. 
"Apapun yang terjadi, aku harus tetap ke sana," gumam 
Bayu bicara sendiri dalam hati. 
Bayu memang sudah bertekad masuk ke dalam lembah itu. 
Walaupun disadari bahaya yang akan menghadang, namun 
dengan hari mantap Pendekar Pulau Neraka mulai melangkah 
mendekati Lembah Bunga ini. Pendengarannya dipasang seta-
jam mungkin. Dan kedua matanya dipentang lebar, 
mengamati setiap jengkal tanah yang dipijaknya. Begitu 
sempurna ilmu meringankan tubuhnya sehingga rerumputan 
yang dipijaknya tidak bergerak sedikit pun juga. Bahkan tidak 
terlihat adanya bekas pijakan kakinya. 
"Hup...!" 
Pendekar Pulau Neraka cepat melompat, ketika tiba-tiba 
saja seekor ular meluruk deras ke arahnya. Ular berbisa itu 
lewat sedikit saja di bawah telapak kakinya. Cepat tubuhnya 
berputaran di udara. Lalu, tangan kirinya langsung bergerak 
cepat menghantam kepala ular sebesar lengan itu. Seketika, 
kepala ular itu hancur berantakan. Dan Bayu kembali 
menjejakkan kakinya di atas rerumputan Lembah Bunga ini 
dengan ringan sekali, bagai segumpal kapas jatuh ke tanah. 
"Hampir saja...," desah Bayu sambil menghembuskan 
napas panjang.

Kembali Pendekar Pulau Neraka melangkah semakin masuk 
ke dalam lembah yang dipenuhi bunga beraneka warna dan 
jenis ini. Telinganya terus dipasang tajam, dan matanya juga 
tidak berkedip sedikit pun juga memperhatikan setiap jengkal 
langkahnya. Namun baru saja berjalan beberapa langkah... 
Wusss...! 
"Haps...!" 
Cepat Pendekar Pulau Neraka mengangkat tangan 
kanannya, begitu terlihat kilatan cahaya putih keperakan 
meluruk deras ke arahnya. Dan benda berwarna putih 
keperakan itu tepat menghantam Cakra Maut yang ada di 
pergelangan tangannya. 
Cring! 
Benda itu kembali terpental. Sedangkan Bayu tetap berdiri 
tegak dengan tangan kanan masih berada di depan dada. 
Sekilas matanya melirik benda keperakan yang tergeletak 
tidak jauh di depannya. Sebuah benda berbentuk bintang 
persegi enam yang terbuat dari perak 
"Setan Mata Satu...," desis Bayu langsung mengenali 
senjata bintang itu. 
Bayu semakin menajamkan pendengarannya. Serangan itu 
sudah menandakan, kalau di lembah inilah Setan Mata Satu 
bersembunyi. Dan belum juga Pendekar Pulau Neraka bisa 
berpikir lebih jauh lagi, terdengar suara semak bergemerisik 
dari sebelah kanannya. Tepat di saat tubuhnya berputar ke 
kanan, melesat sebuah bayangan putih dengan kecepatan 
bagai kilat ke arahnya. 
"Hup! Yeaaah...!" 
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Pendekar Pulau 
Neraka melenting ke atas. Dan seketika itu juga, kedua 
tangannya dihentakkan ke depan disertai pengerahan tenaga 
dalam tinggi. Dan.

Plak! 
"Hap...!" 
Bayu cepat-cepat memutar tubuhnya ke belakang dua kali, 
begitu kedua telapak tangannya terasa membentur benda 
keras yang melesat begitu cepat ke arahnya. Tampak 
bayangan putih itu juga berputar balik ke belakang beberapa 
kali Dan hampir bersamaan, mereka sama-sama menjejak 
tanah berumput cukup tebal ini. 
"Setan Mata Satu...," desis Bayu langsung mengenali laki-
laki yang kini berada sekitar satu batang tombak di depannya. 
Seorang laki-laki berwajah buruk dan penuh cacat goresan 
bekas luka. Sebelah matanya tertutup kulit berwarna hitam 
yang diikatkan ke belakang kepala dengan tali dari urat 
binatang. Sebuah pedang tampak tergantung di pinggangnya. 
"Tidak percuma julukanmu Pendekar Pulau Neraka Kau 
berani masuk ke lembah ini, berarti berani mempertaruhkan 
nyawamu," terasa begitu dingin nasa suara Setan Mata Satu. 
"Kita lihat nanti, siapa yang lebih dulu melayang 
nyawanya," sambut Bayu tidak kalah dinginnya. 
"He he he he...! Kau sekarang berada di daerah 
kekuasaanku, Pendekar Pulau Neraka. Dulu aku boleh kalah. 
Tapi sekarang, jangan harap!" 
"Di mana pun kau berada, hari ini juga kau harus 
mempertanggungjawabkan semua perbuatanmu! Sekalian 
menuntaskan pertarungan kita," dengus Bayu dingin 
menggetarkan. 
"Bagus! Tahan serangankul Hiyaaa...!" 
Cring! 
Sambil melompat disertai teriakan keras menggelegar, 
Setan Mata Satu langsung mencabut pedangnya. Dan seketika 
itu juga, dikibaskan tepat mengarah ke leher Pendekar Pulau


Neraka. Begitu cepat serangannya, sehingga membuat Bayu 
jadi terkesiap sesaat 
"Hap! Yeaaah...!" 
Tapi cepat sekali Pendekar Pulau Neraka mengangkat 
tangan kanannya ke atas. Dan seketika itu juga, mata pedang 
Setan Mata Satu membentur Cakra Maut yagn selalu 
menempel di pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau 
Neraka. 
Tring! 
"Ikh...?!" 
Setan Mata Satu jadi terpekik kaget setengah mati, begitu 
tangannya terasa jadi bergetar akibat pedangnya membentur 
keras senjata maut Pendekar Pulau Neraka yang menempel di 
pergelangan tangan kanannya Cepat dia melompat ke 
belakang sambil memutar rubuhnya dua kali. 
Tapi belum juga kakinya menjejak tanah, Bayu sudah 
melesat begitu cepat sambil melepaskan satu pukulan keras 
disertai pengerahan tenaga dalam sempurna. Maka Setan 
Mata Satu terpaksa harus memutar tubuhnya lagi ke belakang, 
menghindari serangan balasan Pendekar Pulau Neraka. 
"Hih! Yeaaah...!" 
Gagal dengan serangannya, Bayu segera membungkukkan 
tubuhnya sedikit miring ke kiri. Lalu, tangan kanannya 
mengibas begitu cepat ke depan. 
"Wusss! 
Seketika itu juga, Cakra Maut yang selalu menempel di 
pergelangan tangannya melesat bagai kilat Senjata bulat 
persegi enam itu melunak deras, menyerang Setan Mata Satu 
yang baru saja menjejak di tanah. Mendapat serangan 
beruntun dan sangat cepat ini, si Setan Mata Satu jadi 
kelabakan juga. Memang tidak ada lagi kesempatan baginya

untuk berkelit menghindari senjata maut Pendekar Pulau 
Neraka. Dan... 
"Hih! Hiyaaa...!" 
Bet! 
Cepat Setan Mata Satu mengebutkan pedangnya, 
menangkis serangan Cakra Maut Lalu kakinya ditarik ke 
belakang dua langkah, begitu Cakra Maut terpental balik ke 
pemiliknya. Tapi tanpa diduga sama sekali, senjata maut 
Pendekar Pulau Neraka berputar begitu cepat dan kembali 
melunak deras menyerang si Setan Mata Satu. 
"Gila...! Hih! Yeaaah...!" Sambil membentak berang, Setan 
Mata Satu cepat melenting ke atas sambil mengebutkan 
pedangnya, menyampok Cakra Maut yang meluncur deras ke 
arahnya. Namun kedua bola mata Setan Mata Satu jadi 
terbeliak lebar, karena Cakra Maut bisa meliuk menghindari 
tebasan pedangnya. Bahkan benda berbahaya itu langsung 
melesat mengejar dada laki-laki bermata satu ini. 
"Setan! Hih!" 
Bet! 
Cepat Setan Mata Satu menarik pedangnya, dan langsung 
dikebutkan menyilang ke depan tubuhnya. Dan seketika itu 
juga, mata pedangnya keras sekali membentur Cakra Maut 
sehingga sampai menimbulkan percikan bunga api yang 
menyebar ke segala arah. Setan Mata Satu cepat-cepat 
melenting ke belakang sambil berputaran beberapa kali. 
Sementara, Cakra Maut kembali melesat balik dan menempel 
di pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka. Dan kini 
si Setan Mata Satu sudah kembali menjejakkan kakinya di 
tanah berumput 
Beberapa saat mereka hanya berdiri saling berhadapan 
saja, dengan tatapan mata begitu tajam menusuk Seakan,

mereka sama-sama sedang mengukur tingkat kepandaian 
masing-masing. 
"Saatnya kematianmu menjemput, Setan Mata Satu! 
Yeaaah...!" 
Sambil membentak keras menggelegar, Bayu tiba-tiba saja 
melompat begitu cepat bagai kilat. Dan seketika itu juga, satu 
pukulan keras yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi 
dilepaskan, tepat mengarah ke bagian dada lawannya. 
"Hap! Yeaaah...!" 
Bet! 
Tapi, si Setan Mata Satu tidak tinggal diam begitu saja. 
Dengan cepat sekali pedangnya dikebut-kan ke depan, 
mendahului pukulan Pendekar Pulau Neraka. Dan pada saat 
itu juga, tanpa diduga sama sekali Bayu cepat meluruk turun. 
Dan begitu kakinya menjejak tanah, cepat tangan kanannya 
dihentakkan ke depan dengan tubuh sedikit membungkuk. 
'Yeaaah...!" 
Wusss...! 
Kembali Cakra Maut melesat dari pergelangan tangan 
kanan Pendekar Pulau Neraka, mengarah ke bagian kepala 
Setan Mata Satu. Tepat di saat si Setan Mata Satu 
mengebutkan pedangnya untuk menangkis serangan Cakra 
Maut, Bayu langsung saja meluruk deras sambil memberi satu 
sodokan keras ke perut lawannya. 
Mendapat serangan dari dua arah yang begitu cepat dan 
hampir bersamaan waktunya, membuat si Setan Mata Satu 
jadi kelabakan juga. Bahkan sama sekali tidak punya waktu 
untuk berkelit, menghindari sodokan tangan kiri Pendekar 
Pulau Neraka. Hingga... 
"Hih...!"

Terpaksa Setan Mata Satu menangkis sodokan itu dengan 
tangan kirinya Dan.. 
Plak! 
"Akh...!" 
Setan Mata Satu jadi terpekik agak tertahan, begitu 
sodokan tangan kiri Pendekar Pulau Neraka menghantam 
tepat pergelangan tangan kirinya. Cepat dia melompat ke 
belakang tiga langkah, tapi pada saat kedua kakinya menjejak 
tanah, Bayu sudah memberi satu tendangan begitu keras dan 
menggeledek 
"Yeaaah...!" 
Setan Mata Satu tidak punya kesempatan sedikit pun juga 
untuk menghindarinya. Terlebih lagi, keadaan tubuhnya 
sedang limbung akibat menahan sodokan keras tangan kiri 
Pendekar Pulau Neraka tadi. Akibatnya tendangan keras yang 
dilepaskan Bayu yang mengarah dadanya sulit dihindari. 
Diegkh! 
Diegkh! 
"Akh...!" 
Kembali Setan Mata Satu terpekik keras. Tubuhnya kontan 
terpental ke belakang tanpa dapat ditahan lagi, Setelah 
dadanya terkena tendangan dahsyat Pendekar Pulau Neraka. 
Keras sekali punggung si Setan Mata Satu menghantam pohon 
berukuran cukup besar, hingga hancur berkeping-keping. 
"Hap...!" 
Namun Setan Mata Satu bisa cepat bangkit kembali. Dan 
langsung menyilangkan pedangnya di depan dada. Tampak 
pergelangan tangan kirinya membiru, akibat terkena 
tendangan yang begitu keras dan bertenaga dalam sempurna 
dari Pendekar Pulau Neraka tadi. Sudah barang tentu tulang-
tulang kiri si Setan Mata Satu sudah tidak lagi bisa digunakan.

Dan kesempatan ini sama sekali tidak disia-siakan Bayu. 
Sambil berteriak keras menggelegar. Pendekar Pulau Neraka 
kembali melancarkan serangan yang begitu dahsyat luar biasa. 
Setiap pukulan yang dilepaskan Pendekar Pulau Neraka 
selalu menimbulkan hempasan angin begitu keras, membuat 
tubuh Setan Mata Satu selalu limbung. Tapi, laki-laki bermata 
sebelah itu masih bisa berkelit, menghindari setiap serangan 
yang datang beruntun itu. Dan sesekali, dia masih bisa 
memberikan serangan balasan yang tidak kalah dahsyatnya. 
Tapi ketika Bayu memberi satu pukulan keras ke kepalanya.... 
"Haiiit..!" 
Setan Mata Satu cepat-cepat merunduk menghindari 
pukulan dahsyat Pendekar Pulau Neraka dengan tubuh sedikit 
terbungkuk. Dan pada saat itu juga, Bayu memutar tubuhnya 
ke kiri. Lalu dengan kecepatan bagai kilat, Pendekar Pulau 
Neraka melepaskan satu tendangan keras disertai pengerahan 
tenaga dalam tinggi. 
"Yeaaah...!" 
Begitu cepat serangan Pendekar Pulau Neraka, sehingga 
Setan mata Satu tidak memiliki kesempatan menghindarinya. 
Dan tendangan keras Pendekar Pulau Neraka tepat 
menghantam perutnya. Membuat si Setan Mata Satu jadi 
mengeluh dan terbungkuk. Dan Pada Saat Itu juga, Bayu 
melepaskan satu pukulan dahsyat ke wajah yang buruk penuh 
luka goresan itu 
"Diegkh! 
"Akh...!" 
Kembali si Setan Mata Satu terpekik, begitu wajahnya 
terkena hantaman keras Pendekar Pulau Neraka. Dan seketika 
itu juga, darah muncrat keluar dari mulutnya. Tepat di saat 
kepala lawannya terdongak ke atas dengan tubuh terhuyung 
ke belakang, Bayu langsung saja mengebutkan tangan

kanannya ke depan, tubuhnya membungkuk sedikit agak 
miring ke kiri. 
"Yeaaah...!" 
Slap! 
Cakra Maut kembali melesat cepat bagai kilat menyerang si 
Setan Mata Satu Sedangkan saat itu, si Setan Mata Satu dalam 
keadaan tidak menguntungkan. Akibatnya.... 
Crab! 
"Aaaa...!" 
Jeritan panjang yang melengking tinggi pun seketika 
terdengar memenuhi lembah ini, begitu Cakra Maut 
menembus dada laki-laki bermata sebelah ini. Sementara Bayu 
cepat melompat ke belakang sambil mengangkat tangannya 
ke atas. Maka Cakra Maut kembali menempel di pergelangan 
tangannya, setelah menembus dada si Setan Mata Satu 
sampai tembus ke punggungnya. 
Tampak si Setan Mata Satu semakin limbung, tidak dapat 
lagi menguasai keseimbangan tubuhnya. Dan belum lagi Bayu 
bisa berbuat sesuatu, Setan Mata Satu sudah ambruk ke tanah 
dengan memperdengarkan jeritan panjang dan keras 
menyayat hari. Tubuhnya bergulingan beberapa kali, sebelum 
berhenti menabrak sebongkah batu sebesar badan kerbau di 
belakangnya 
Sebentar si Setan Mata Satu menggeliat sambil meregang 
nyawanya. Sementara, Pendekar Pulau Neraka memandangi 
dengan tangan terlipat di depan dada. Dan begitu kakinya 
terayun hendak mendekati, si Setan Mata Satu sudah 
mengejang kaku, lalu diam tidak bergerak-gerak lagi Darah 
masih terus berhamburan keluar dari dada dan punggungnya 
yang tertembus Cakra Maut tadi. 
"Hhhh...!"

Bayu menarik napas panjang, dan menghem-buskannya 
kuat-kuat setelah yakin kalau si Setan Mata Satu benar-benar 
sudah tidak bernyawa lagi Sebentar Pendekar Pulau Neraka 
memandangi, kemudian tubuhnya berbalik hendak 
meninggalkan lembah ini. 
"Hup! Hiyaaa...!" 
Bayu tidak mau berlama-lama berada di dalam Lembah 
Bunga. Disadari betul bahaya yang bisa saja datang secara 
tiba-tiba di dalam lembah ini Sambil mengerahkan ilmu 
meringankan tubuh yang sudah sempurna, Pendekar Pulau 
Neraka berlari cepat meninggalkan lembah ini. Dan dia terus 
menuju daerah perbukitan, yang membatasi lembah ini 
dengan dunia sekelilingnya. Dan sebentar saja, Bayu sudah 
berada di atas bukit yang letaknya di luar dari Lembah Bunga. 
"Aku harus kembali ke Desa Pangkar untuk 
memberitahukan kematian Setan Mata Satu," ujar Bayu dalam 
hati. 
Dan Pendekar Pulau Neraka terus berlari dengan kecepatan 
tinggi menuju Desa Pangkar lagi. Sementara malam pun terus 
merayap semakin larut, mengiringi kepergian Pendekar Pulau 
Neraka ke Desa Pangkar lagi. 


                              SELESAI





Share:

0 comments:

Posting Komentar