GADIS BURONAN
Oleh Teguh Suprianto Cetakan pertama Penerbit
Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S. Gambar sampul oleh Soeryadi Hak
cipta pada Penerbit Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari
penerbit
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Pulau Neraka
dalam episode:
Gadis Buronan
128 hal ; 12 x 18 cm
SATU
"Hiya! Hiya...!"
Seorang pemuda berbaju merah muda mengge-bah
kudanya dengan kecepatan tinggi. Kuda coklat belang putih
Hu berpacu bagai kesetanan. Setiap kali tangan pemuda itu
menepuk pinggul kudanya, terdengar ringkikan keras, maka
kuda itu pun semakin cepat berpacu. Debu mengepul di
udara, menambah sesaknya siang yang panas menyengat ini.
Kuda coklat belang putih itu tiba-tiba saja meringkik keras
sambil mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi.
Pemuda yang menunggangnya, cepat-cepat menarik tali
kekangnya kuat-kuat Tapi kuda itu semakin liar, berjingkrakan
sambil meringkik keras. Sukar untuk mengendalikan lagi. Dan
ketika kuda itu melompat dan mengangkat kaki depannya
tinggi-tinggi ke udara, pemuda itu kehilangan keseimbangan.
Dia jatuh bergulingan di tanah.
"Hup!"
Bergegas pemuda itu bangkit, dan melompat ke punggung
kudanya kembali. Tapi kuda coklat itu malah berlari kencang,
sehingga pemuda itu terbanting keras ke tanah dan kembali
bergulingan. Bergegas dia bangkit, namun kudanya sudah
begitu jauh meninggalkannya sendirian.
"Kuda sialan!" umpat pemuda itu kesal.
"Jangan salahkan kuda, dasar kau saja yang tidak becus!"
riba-riba terdengar suara menggumam, namun terdengar
keras mengejutkan.
"Heh! Siapa kau...?" pemuda itu terkejut, langsung berbalik
menatap ke suatu arah.
"He he he...!"
Entah dari mana datangnya, tahu-tahu di depan pemuda
berbaju merah muda itu telah berdiri seorang laki-laki tua
berjubah biru tua. Sebatang tongkat menyangga tubuhnya
yang agak bungkuk. Laki-laki tua itu tertawa terkekeh-kekeh
seraya bergerak menghampiri, dan baru berhenti setelah
jaraknya sekitar lima langkah lagi.
"Siapa kau?" dengus pemuda Itu masih dihinggapi
perasaan kesal karena ditinggalkan kudanya bergitu saja.
"He he he...," laki-laki tua berjubah biru tua itu hanya
terkekeh saja.
Dan belum lagi hilang suara tawanya, tiba-tiba laki-laki tua
itu melompat cepat sambil mengibaskan tongkatnya ke arah
kepala pemuda itu. Tentu saja serangan yang demikian cepat
dan mendadak itu, membuat pemuda berbaju merah muda
kelabakan. Tapi dengan cepat dirundukkan kepalanya, dan
langsung digeser kakinya ke kanan.
Belum juga pemuda itu bisa mengangkat kepalanya
kembali, laki-laki tua itu sudah kembali menyerang lebih cepat
Kali ini tongkatnya diputar dari atas ke bawah, mengarah ke
kaki. Serangannya begitu cepat dan sukar diikuti mata biasa.
"Hait..!"
Cepat sekali pemuda itu melompat menghindari tebasan
tongkat itu. Dan pada kesempatan yang sedikit, dengan
kecepatan kilat dihentakkan kakinya ke depan, langsung
diarahkan ke dada laki-laki tua itu.
"Uts!"
Laki-laki tua itu menyilangkan tongkatnya, memapak
tendangan yang menggeledek dan cepat itu. Tak dapat
dihindarkan lagi. Kaki pemuda itu menghantam tongkat yang
menyilang di depan dada. Tapi pemuda itu cukup cerdik.
Dengan menggunakan tenaga pinjaman, dia melompat ke
belakang. Tubuhnya berputar tiga kali di udara, dan mendarat
lunak di tanah
Srer!
Pemuda berbaju merah muda itu mencabut pedang yang
tergantung di pinggangnya. Disilangkan pedang itu di depan
dadanya. Tatapan matanya begitu tajam menusuk.
"Kisanak, kenapa kau menyerangku?" tanya pemuda itu
bernada kesal.
"He he he.... Karena kau keras kepala, Awijaya!" sahut laki-
laki tua itu diiringi suara tawanya yang terkekeh.
"Heh! Kau tahu namaku?! Siapa kau sebenarnya?" tanya
pemuda yang ternyata bernama Awijaya. Tentu saja Awijaya
terkejut, karena dia merasa dirinya sudah berubah jauh
dengan banyaknya luka goresan di wajahnya. Belum lagi
rambutnya yang kasar memenuhi wajahnya, membuat
penampilan Awijaya jauh berubah dari tiga tahun yang lalu.
"Kau tak perlu tahu siapa aku, Awijaya. Aku hanya ingin
mengatakan, jangan kau teruskan pekerjaanmu. Dia bukan
milikmu!" sahut lelaki tua itu dingin.
"Jangan berbelit-belit, Kisanak! Apa keinginanmu
sebenarnya?" dengus Awijaya semakin kesal.
"He he he..," laki-laki tua itu hanya terkekeh saja.
Tiba-tiba saja dia melesat cepat, dan langsung lenyap dari
pandangan.
"Hey...! Tunggu...!" teriak Awijaya terkejut
Tapi bayangan lelaki tua aneh dan tak dikenal itu sudah
lenyap. Tak tahu lagi ke mana perginya. Tinggal suara
tawanya saja yang masih terdengar, kemudian menghilang
terbawa angin. Awijaya bersungut kesal, karena kini harus
berjalan kaki. Kudanya kabur entah ke mana, dan kini ada
lelaki tua yang tak diketahui maksudnya. Tahu-tahu muncul
dan menyerang. Bahkan meninggalkan kata-kata yang sama
sekali tak dimengertinya.
"Huh! Orang tua edan...!" dengus Awijaya menggerutu
kesal.
***
Senja baru saja turun ke dalam pelukan bumi. Cahaya
matahari tidak lagi terik menyengat Sinarnya nampak
kemerahan menyemburat di ufuk Barat. Bola merah raksasa
itu terlihat agak tenggelam, seakan hendak mengucapkan
selamat tinggal. Di jalan setapak berdebu, tampak Awijaya
berjalan pelahan-lahan. Wajahnya bersimbah keringat, dan
bajunya kotor berdebu. Pandangannya lurus ke depan ke arah
sebuah desa yang nampak tenang.
Angin bertiup tidak terlalu kencang. Sebagian rambutnya
tergulung ke atas diikat pita merah muda. Sedangkan
sebagian lagi melambai-lambai mengikuti alunan tiupan angin
senja ini. Awijaya terus melangkah memasuki desa yang
belum diketahui namanya. Beberapa penduduk yang
kebetulan berpapasan, sempat memperhatikannya. Namun
mereka tidak peduli. Desa ini tidak terlalu kecil, tapi
suasananya begitu damai tentram. Awijaya mengayunkan
kakinya menuju sebuah rumah yang bertuliskan. "Rumah
Penginapan dan Kedai Nyai Supit" di atas pintunya.
Seorang perempuan bertubuh gemuk menyambut
kedatangan Awijaya. Dengan senyum lebar dan sikap ramah,
dipersilakan pemuda itu masuk, Awijaya dibawa ke salah satu
tempat yang terdapat meja bundar dan dua buah kursi. Ada
beberapa meja dan kursi sejenis tertata rapih di ruangan yang
cukup besar ini. Awijaya duduk tenang, seraya mengamati
keadaan ruangan kedai ini.
"Pesan apa, Den?" tanya perempuan gemuk itu ramah.
"Aku perlu kamar untuk menginap," sahut Awijaya
langsung tanpa basa-basi lagi
"Tidak makan dulu, Den?" perempuan gemuk itu
menawarkan.
"Minum saja."
"Arak?"
"Iya."
"Sebentar, Den."
Perempuan tua itu tergopoh-gopoh meninggalkannya.
Sementara Awijaya kembali mengedarkan pandangannya ke
sekeliling. Tidak banyak orang di kedai ini. Satu orang duduk
menghadapi makanan yang begitu banyak. Sepertinya tidak
akan habis dimakan oleh tubuhnya yang kecil kurus itu. Di
pojok lain ada empat orang laki-laki berwajah beringas yang
juga tengah menikmati makanannya. Mereka bicara ribut
sekali, seolah-olah tidak mempedulikan pengunjung lainnya.
Masih ada lagi beberapa orang. Dan pandangan Awijaya
tertuju pada enam orang wanita yang duduk menghadapi satu
meja. Mereka hanya minum arak ringan dan makanan kecil
yang terhidang di atas meja. Dari punggungnya yang
membawa pedang, keenam wanita muda itu pasti dari
kalangan rimba persilatan. Mereka masih muda dan cantik.
Yang menarik perhatian Awijaya adalah gambar sekuntum
bunga yang tersulam di bagian dada sebelah kiri mereka.
"Hm..., ada apa mereka datang ke sini?" gumam Awijaya
dalam hati.
Pertanyaan Awijaya belum terjawab, karena perempuan
gemuk itu datang lagi sambil membawa se-guci arak manis
dan sepiring makanan kecil. Dengan sikap yang ramah,
diletakan pesanan itu diatas meja, lalu dipersilakan Awijaya
untuk menikmatinya. Kemudian dia berbalik meninggalkan
tergopoh-gopoh, karena ada lagi orang yang datang.
Orang yang baru datang itu sungguh menarik perhatian
semua pengunjung kedai ini, karena pakaiannya berbeda dari
biasanya. Dia seorang pemuda dengan garis-garis kekerasan
yang tersirat pada wajahnya yang tampan. Tubuhnya tinggi
tegap dan berotot, terbungkus baju dari kulit harimau.
Dipilihnya tempat di bawah jendela besar yang terbuka, dan
berjeruji dari kayu bulat Dia hanya memesan arak, tanpa ada
makanan lain.
"Pendekar Pulau Neraka...," desis Awijaya mengenali
pemuda berbaju kulit harimau yang baru masuk tadi "Hm...,
mudah-mudahan kedatangannya hanya sekadar singgah. Bisa
runyam nanti urusannya kalau dia tahu."
Senja terus merayap semakin jauh. Suasana jadi semakin
remang-remang. Perempuan gemuk pemilik kedai ini
menyalakan beberapa pelita, sehingga ruangan kedai ini jadi
terang benderang. Satu per satu tamu di dalam kedai ini
beranjak pergi, dan kebanyakan masuk ke bagian belakang.
Mungkin menginap di tempat ini juga.
"Sini...!" Awijaya melambaikan tangannya pada perempuan
gemuk yang bernama Nyai Supit
"Ada apa, Den?" Nyai Supit menghampiri tergopoh-gopoh.
"Masih ada kamar untukku?" tanya Awijaya langsung.
"Ada, Den. Banyak," sahut Nyai Supit.
"Hm.... Kulihat banyak sekali tamumu. Aku khawatir tidak
ada lagi kamar penginapan di sini."
"Jangan khawatir, Den. Ada dua puluh kamar yang bisa
disewa. Dan baru separahnya terisi."
"Kalau begitu, siapkan kamar satu untukku."
"Baik, Den."
Nyai Supit berbalik dan pergi, tapi Awijaya mencegahnya.
Perempuan gemuk itu kembali berbalik menghadap pemuda
itu. Sikapnya masih ramah disertai senyum yang tidak pernah
lepas mengembang dari bibirnya.
"Ada apa, Den?"
"Nyai, apakah mereka pendatang juga?" tanya Awijaya
setengah berbisik, dan kepala disorongkan ke depaa
"Benar, Den. Beberapa hari ini banyak sekali orang datang
ke sini Mungkin karena berita itu," sahut Nyai Supit
Awijaya mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Raden juga ingin ikut?" tanya Nyai Supit "Sebaiknya
jangan, Den. Tidak mungkin berhasil. Sudah banyak yang
mencoba, tapi tidak ada yang pernah kembali lagi. Mendengar
namanya saja, sudah tidak lagi. Mungkin mati, atau hilang."
"Perjalananku masih panjang. Nyai. Aku tidak tertarik sama
sekali," kata Awijaya tersenyum kecut
"Syukurlah kalau begitu. Raden masih muda, lebih baik cari
gadis lain. Masih banyak yang cantik. Di Desa Munding ini juga
banyak gadis cantik, Den."
Awijaya hanya tersenyum saja, kemudian bangkit berdiri.
"Mana kamarku, Nyai?"
"Mari, Den. Ikuti aku."
***
Suasana di Desa Munding hari ini tidak seperti biasanya.
Keramaian begitu menyetok. Dari segala penjuru orang-orang
berdatangan menuju sebuah rumah besar yang memiliki
halaman luas bagai lapangan. Keramaian seperti ini tentu saja
menguntungkan para pedagang musiman. Sejak pagi-pagi
buta tadi, mereka sudah mengambil tempat yang dianggap
tepat. Tak tertinggal anak-anak berlarian bermain tanpa
mengerti maksud keramaian ini. Sedangkan beberapa
kelompok pemuda berceloteh menggoda gadis-gadis. Tidak
jarang gadis-gadis yang digoda malah membalas dengan
menyakitkan.
Di depan kedai Nyai Supit yang terletak tidak jauh dari
rumah besar yang berhalaman luas dan kini dipenuhi orang
itu, tampak berdiri Awijaya. Di sampingnya. Nyai Supit duduk
di balai bambu yang merapat pada dinding kedainya. Orang-
orang yang keluar masuk kedainya tidak dipedulikan lagi. Hari
ini semua pekerjaannya diserahkan pada pelayannya.
"Tidak ke sana, Den?" tegur Nyai Supit yang agak heran
juga melihat Awijaya hanya berdiri saja memandangi
keramaian itu.
"Malas," sahut Awijaya kelihatan enggan. Tapi matanya
terus memandang ke arah sana.
"Pasti ramai. Soalnya, banyak orang sakti mengadu ilmu di
sana," kata Nyai Supit lagi.
"Manusia diadu seperti ayam!" dengus Awijaya tanpa sadar.
"Benar, Den. Tapi memang wataknya Ki Praba begitu!"
sambut Nyai Supit. "Dia pikir, cuma dirinya saja yang tinggi
ilmunya.... Padahal banyak orang yang lebih tinggi
kepandaiannya. Biar saja, nanti juga kena batunya!"
Awijaya melirik pada perempuan gemuk itu. Bibirnya
menyunggingkan senyum tipis yang penuh arti, namun tidak
mudah untuk dilukiskan. Rasanya terlalu hambar dan pahit
sekali. Tapi Nyai Supit tidak memperhatikan, dan terlalu sibuk
memperhatikan keramaian itu.
Tiba-tiba saja senyum di bibir Awijaya lenyap. Dan kini
pandangannya terpaku pada seorang laki-laki tua berjubah
biru tua yang berdiri di bawah pohon kemuning. Tongkat
hitam berkeklk tujuh menyangga tubuhnya yang agak
bungkuk Pada saat yang sama, laki-laki tua itu memandang ke
arah Awijaya. Bibirnya yang tipis dan hampir tertutup kumis
putih, menyunggingkan senyuman lebar.
Aw^aya mengalihkan pandangannya ke arah lain. Tapi
sesekali dilirik juga laki-laki tua itu yang tetap saja
memandangnya disertai senyuman lebar mengandung ejekan.
Entah kenapa, Awijaya jadi mual, dan muak melihat senyum
laki-laki yang pernah menghadang dan menyerangnya tanpa
alasan itu.
"Kau kenal orang tua itu. Den?" tiba-tiba Nyai Supit
menegur.
"Oh!" Awijaya tersentak kaget. Langsung ditatapnya
perempuan tua gemuk di sampingnya.
"Ki Praba pasti kena batunya hari ini kalau dia ikut," kata
Nyai Supit lagi.
"Hm.... Tampaknya kau kenal dengannya, Nyai," kata
Awijaya bernada menyelidik. Dia memang penasaran sekali
terhadap laki-laki tua yang membuat perutnya jadi mual.
"Semua orang di sini pasti mengenalnya, Den. Namanya, Ki
Sampar Watu. Kepandaiannya sangat tinggi, sukar dicari
tandingannya," jelas Nyai Supit
"Tampaknya kau begitu banyak mengetahui tentang dunia
persilatan," ujar Awijaya setengah bergumam.
'Tidak seluruhnya, Den. Hanya sedikit saja," Nyai Supit
mengakui terus terang.
"O...?!" Awijaya berkerut keningnya, sampai alisnya hampir
bertaut
"Suamiku dulu seorang pendekar. Tapi sayang, meninggal
terlalu cepat..," ada kesenduan pada nada suara Nyai Supit
Awijaya memperhatikan kalau perempuan tua gemuk itu
menatap tajam laki-laki tua berjubah biru yang bernama Ki
Sampar Watu itu.
Ada sesuatu yang tersembunyi di balik tatapannya yang
tajam. Dan Awijaya jadi ingin tahu, tapi tidak ingin terlalu
gegabah dan terburu napsu. Terutama mengenai laki-laki tua
berjubah biru itu.
"Siapa yang menewaskannya, Nyai?" tanya Awijaya hari-
hari.
"Ah! Kau terlalu cepat tanggap, Raden," desah Nyai Supit
"Aku juga sedikit mengerti tentang dunia persilatan. Nyai.
Biasanya seorang pendekar yang meninggal begitu cepat,
karena kalah bertarung."
"Suamiku memang bertarung, dan kalah," peian suara Nyai
Supit
"Kenapa mesti bertarung?"
"Persoalan yang sama dengan sekarang."
"Ohhh...!" lagi-lagi Awijaya mengerutkan keningnya.
Kata-kata Nyai Supit semakin menarik hati Awijaya, dan
jadi semakin ingin tahu saja. Pemuda itu menghampiri dan
duduk di sebelah Nyai Supit. Sebentar sempat dilirik ke arah Ki
Sampar Watu. Tapi laki-laki tua berjubah biru itu sudah tidak
ada di tempatnya lagi. Di bawah pohon kemuning itu sudah
diisi oleh tukang dawet. Awijaya sempat pula mengedarkan
pandangannya, dan masih melihat Ki Sampar Watu melangkah
terseok-seok menyibak kerumunan banyak orang. Jelas kalau
tujuannya ke rumah besar yang semakin padat itu. Tapi pada
bagian tengah halamannya tampak kosong, karena ada
sebuah panggung besar berdiri kokoh.
"Nyai, apakah Ki Praba masih mempertaruhkan anaknya?"
tanya Awijaya semakin hati-hati.
"Kau sudah tahu rupanya, Raden."
"Sudah lama aku tahu, Nyai."
"Memang begitu. Padahal sampai sekarang ini, Rara Wanti
tidak pernah keluar. Bahkan tidak ada seorang pun yang
melihatnya."
"Hhh..., itulah...," desah Awgaya tanpa sadar.
"Kau juga ada urusan dengannya. Raden?" Nyai Supit
menatap tajam.
"Terus terang, iya."
"Sebaiknya jangan, Raden. Ki Praba itu sangat kejam. Dia
tidak segan-segan membunuh siapa saja yang mencoba
menantangnya. Suamiku dulu pun tewas karena berusaha
mempertahankan sebidang tanah milik orang tuanya yang
direbut paksa olehnya. Yaaah.... Memang bukan dirinya sendiri
yang melakukan, tapi orang lain yang dibayar mahal, dan
dijanjikan akan mendapatkan anak gadisnya. Tapi sampai
sekarang janjinya tidak pernah dipenuhi."
"Sayang sekali, Nyai. Justru kedatanganku ke desa ini
untuk membawa pergi Rara Wanti," kata Awijaya terus terang.
"Oh...!" Nyai Supit tidak bisa lagi menyembunyikan
keterkejutannya.
Perempuan gemuk itu menatap dalam-dalam, langsung ke
bola mata Awijaya. Bibirnya yang kecil hampir tertutup pipi itu
bergerak-gerak bergetar, seolah-olah ingin mengucapkan
sesuatu. Sesaat lamanya mereka- tidak berkata-kata.
"Tidak..., tidak mungkin! Kau pasti bukan dia. Sudah tiga
tahun menghilang setelah pe...," kata-kata Nyai Supit terhenti.
"Aku Awijaya, Nyai. Putra asli desa ini! Aku datang justru
untuk menyelesaikan persoalan kami!" tegas kata-kata
Awijaya.
"Ohhh...," Nyai Supit mendesah panjang sambil
menggeleng beberapa kali.
"Maaf, kalau selama ini aku berpura-pura tidak tahu,"
sambung Awijaya.
"Sebaiknya kita masuk. Ayo! Jangan sampai ada orang
yang mengetahuimu," kata Nyai Supit langsung beranjak
bangkit
Perempuan gemuk itu menarik tangan Awijaya, sehingga
pemuda itu tidak bisa lagi menolak. Mereka masuk ke dalam
kedai, dan langsung menuju bagian belakang. Nyai Supit
mencekal tangan pemuda itu erat-erat seakan-akan tidak ingin
melepaskan lagi. Dan Awijaya sendiri seperti kerbau dicucuk
hidungnya, menurut saja tanpa membantah lagi.
***
DUA
Awijaya terlonjak kaget, dan langsung melompat keluar
melalui jendela. Nyai Supit juga bergegas keluar. Meskipun
tubuhnya gemuk, tapi gerakannya begitu ringan. Dengan
sekali lompat saja tubuhnya sudah ada di luar. Tampak orang
yang jumlahnya lebih dari seratus berlarian sambil berteriak-
teriak.
"Ada apa?" tanya Awijaya seperti bertanya pada dirinya
sendiri.
"Lihat, Awijaya!" seru Nyai Supit menunjuk ke tengah-
tengah halaman rumah Ki Praba.
Awgaya langsung mengaratikan pandangannya ke rumah Ki
Praba Tampak seorang laki-laki tua tengah mengamuk
membabi buta, menghajar siapa saja yang berada di
dekatnya. Tidak jauh dari laki-laki tua berjubah biru yang
mengamuk itu, juga terlihat seorang laki-laki berbaju indah
dikelilingi puluhan orang bersenjata Mereka berusaha bergerak
masuk ke dalam rumah. Hampir lima puluh orang mencoba
menghadang amukan orang tua berjubah biru itu.
"Ki Sampar Watu..., apa yang dilakukannya di sana?"
gumam Awijaya seolah bertanya pada dirinya sendiri.
"Dia ingin menagih haknya," celetuk Nyai Supit. "Hak...?"
"Seharusnya Ki Praba menyerahkan Rara Wanti padanya
untuk dijadikan istri."
"Apa...?!" Awijaya terkejut bukan main. "Ini tidak boleh
didiamkan. Orang tua gila itu harus dicegah!"
"Awijaya...!"
Tapi Awijaya sudah lebih dulu cepat melompat, melewati
beberapa kepala orang yang sedang nik berlarian
menyelamatkan diri. Dua kali pemuda itu berputar di udara,
lalu meluruk langsung menghadang Ki Sampar Watu yang
baru saja membabat buntung tiga kepala sekaligus.
"Orang tua edan! Hentikan...!" bentak Awijaya keras
menggelegar.
Ki Sampar Watu langsung berhenti mengamuk Dia
menggeram,ketika melihat Awijaya sudah berdiri berkacak
pinggang di depannya. Sementara ada sekitar tiga puluh
orang bersenjata golok dan tombak mengepung. Tampak di
tangga depan rumah besar, Ki Praba berdiri memperhatikan,
dikawal sekitar dua puluh orang bersenjata terhunus.
"Jantar, siapa anak muda jelek itu?" tanya Ki Praba.
"Nampaknya orang asing," sahut seorang pemuda berusia
sekitar dua puluh lima tahun yang berdiri di samping kanan Ki
Praba.
"Hm...," Ki Praba bergumam dengan alis bertaut menjadi
satu.
Laki-laki setengah baya itu terus memperhatikan tanpa
berkedip pemuda yang berkacak pinggang di depan Ki Sampar
Watu, kemudian melangkah menuruni anak-anak tangga
beranda rumahnya yang besar bagai istana itu. Dua puluh
anak buahnya mengikuti disertai sikap berjaga-jaga. Ki Praba
berhenti melangkah di ujung tangga beranda.
"Aku seperti pernah melihatnya...," gumam Ki Praba seperti
bicara pada dirinya sendiri.
"Sepertinya...."
Belum juga Jantar meneruskan ucapannya, mendadak saja
mereka semua dikejutkan suara teriakan keras menggelegar
dari Ki Sampar Watu. Ternyata laki-laki tua itu tengah melesat
cepat bagaikan kilat menerjang Awijaya. Namun terjangan
yang cepat dan dahsyat itu dapat mudah sekali dielakkan
pemuda itu.
Pertarungan sengit tidak dapat dihindarkan lagi. Ki Sampar
Watu bertarung bagai kesetanan. Tidak sedikit pun Awijaya
diberi kesempatan untuk balas menyerang. Pemuda itu hanya
berlompatan berkelit menghindari setiap serangan yang
datang begitu gencar. Semua orang yang menyaksikan
pertarungan itu jadi menahan napas.
"Menyingkirlah, bocah! Kau akan mampus di tanganku!"
bentak Ki Sampar Watu keras sambil mengirimkan satu
pukulan menggeledek.
"Seharusnya kau yang menyingkir! Orang tua lldak tahu
diri!" balas Awijaya seraya melompat ke belakang menghindari
pukulan laki-laki tua itu.
"Bocah keparat! Mampus kau! Hiyaaat..!"
Ki Sampar Watu tidak bisa lagi menahan amarahnya.
Langsung digerakkan tongkatnya cepat, menusuk ke arah
dada Awijaya. Namun lewat suatu gerakan Indah dan sukar
diikuti mata, Awijaya cepat berkelit, dan langsung melompat
tinggi melewati kepala laki-laki tua itu. Dan begitu dijajakkan
kakinya di tanah, tepat di belakang Ki Sampar Watu, dengan
cepat diputar tubuhnya sambil mencabut pedang.
Sret!
"Halttt..!" "Uis!"
Ki Sampar Watu bergegas menjulurkan tongkat ke
belakang punggungnya, sehingga pedang Awijaya
menghantam tongkat itu. Pijaran api memercik begitu dua
benda beradu keras. Tampak Awijaya melompat mundur, dan
Ki Sampar Watu membalikkan tubuhnya. Kedua tangannya
yang memegang tongkat itu agak menyilang di depan dada.
Sementara Awijaya tampak meringis, dan tangan kanannya
bergetar.
"Uh!" Awijaya mengeluh pendek.
Pemuda berbaju merah muda itu menyadari kalau tenaga
dalamnya kalah jauh dibanding laki-laki tua itu. Adu senjata
yang terjadi tadi sudah bisa dijadikan ukuran kekuatan dan
ketinggian tenaga dalam masing-masing.
"He he he...!" Ki Sampar Watu tertawa terkekeh.
***
Tak ada seorang pun yang memperhatikan kalau di balik
sebuah pohon beringin, seorang pemuda berbaju kulit
harimau menyaksikan semua kejadian itu. Agaknya harinya
begitu tertarik akan kegigihan Awijaya. Meskipun tahu kalau
tingkat kepandaiannya masih kalah jauh. Tapi tetap
menantang Ki Sampar Watu. Hanya saja yang lebih menarik
perhatian pemuda berbaju kulit harimau itu adalah Ki Praba.
"Hm.... Tampaknya aku harus mempercayai kata-katanya,"
laki-laki berbaju kulit harimau itu menggumam pelan.
Sementara itu Awijaya sudah melompat kembali menerjang
Ki Sampar Watu. Dengan pedang di tangan, Awijaya bertarung
semakin sengit. Serangan-serangannya sangat cepat dan
berbahaya. Beberapa kali pedangnya hampir menembus tubuh
Ki Sampar Waru, tapi laki-laki tua agak bungkuk itu masih
mampu menghindari. Bahkan tidak jarang juga memberi
serangan yang tidak kalah dahsyatnya.
Sedangkan di tempat lain, terlihat Nyai Supit
memperhatikan jalannya pertarungan dengan perasaan
cemas. Dia tahu betul kalau Ki Sampar Watu seorang tokoh
rimba persilatan yang sangat kejam. Laki-laki tua itu tidak
segan-segan membunuh siapa saja yang mencoba
menantangnya. Bahkan kesalahpahaman sedikit saja bisa
mengakibatkan tangannya bernoda darah.
"Hiyaaa...!" riba-riba Ki Sampar Watu berteriak keras.
Dan saat itu juga tubuhnya melompat cepat bagaikan kilat,
langsung ke arah Awijaya seraya cepat mengelebatkan
tongkat Sesaat Awijaya terhenyak, namun dengan cepat
melompat mundur sambil mem-babatkan pedangnya ke
depan.
Tring!
"Akh!" Awijaya memekik tertahan ketika pedangnya beradu
dengan tongkat Ki Sampar Watu.
Dan pada saat pedangnya terlontar balik, tanpa diduga
sama sekali Ki Sampar Watu menghunjamkan ujung
tongkatnya yang runcing ke arah dada pemuda itu. Namun
pada saat yang sangat kritis, tiba-tiba saja Ki Sampar Watu
memekik keras, dan tubuhnya terlontar jauh ke belakang.
Semua orang yang berada di sekitar pertarungan Itu jadi
terlongong tidak mengerti. Ki Sampar Watu yang terbanting ke
tanah, langsung melompat bangun. Tampak dari mulutnya
mengucurkan darah kental Tangan kirinya menekap dada
yang kurus, memamerkan tulang-tulangnya.
"Setan belang! Siapa yang berani main api denganku,
heh?!" geram Ki Sampar Watu berang. Bola mata yang cekung
memerah itu menatap ke sekeliling. Tampak orang-orang yang
berada di sekitar tempat itu bergerak surut ke belakang.
Tatapan mata Ki Sampar Watu begitu dalam menusuk, tak ada
yang sanggup menghadapinya. Ternyata tatapan itu langsung
menerobos pada Ki Praba yang didampingi tidak kurang dari
dua puluh anak buahnya yang bersenjata terhunus.
"Kau iblis keparat, Praba!" geram Ki Sampar Watu
menuding Ki Praba dengan ujung tongkatnya.
"Sampar Watu, sebaiknya kau segera pergi. Aku tidak
mengundangmu ke sini," kata Ki Praba lantang.
"Ha ha ha... Sekarang kau dapat berkata begitu, Praba!
Apa kau sudah lupa sewaktu merengek memohon bantuan
padaku?! Kau ingkar janjimu, Praba. Justru aku datang karena
kau sengaja mengumpulkan tokoh persilatan untuk
menghadapiku! Picik! Iblis kau Praba!"
"Sampar Watu, seharusnya kau sadar kalau dirimu sudah
tua! Kau lebih tua dariku, malah sepantasnya, Rara Wanti
memanggilmu kakek!"
"Keparat! Kau pikir cuma anakmu saja yang cantik, heh?!
Sepuluh gadis yang lebih cantik dari anakmu bisa kuperoleh!"
geram Ki Sampar Watu semakin berang.
"Kenapa tidak kau lakukan? Paling-paling gadis tidak waras
yang bisa kau peroleh!" tantang Ki Praba mengejek.
"Setan belang! Aku bersumpah, kau dan anakmu harus
mampus di tanganku! Dengar sumpahku, Praba...!" lantang
suara Ki Sampar Watu..
Setelah berkata demikian, Ki Sampar Watu melompat cepat
meninggalkan tempat itu. Tapi, mendadak saja terdengar
suara jeritan melengking saling sambut. Dan tampak tidak
kurang dari sepuluh anak buah Ki Praba menggeletak dengan
kepala buntung. Sungguh tinggi kepandaian Ki Sampar Watu.
Sambil melesat pergi, masih sempat membantai begitu banyak
orang tanpa diketahui gerakannya. Dan kini laki-laki tua itu
sudah lenyap dari pandangan.
Ki Praba menggeram menyaksikan kejadian itu, tapi tidak
bisa berbuat apa-apa lagi. Ki Sampar Watu sudah tidak terlihat
lagi bayangannya. Sesaat lamanya di halaman depan rumah
yang luas itu menjadi hening. Tidak terdengar suara apa pun.
Hanya angin saja yang menderu menerbangkan daun-daunan
kering, membawa bau anyir darah yang membasahi
rerumputan di halaman yang luas ini.
Ki Praba melangkah menghampiri Awijaya yang sudah
didampingi Nyai Supit Pemuda berbaju merah muda itu
memperhatikan Ki Praba dengan tatapan mata sukar diartikan.
Ki Praba berhenti sekitar tiga langkah di depan Awijaya. Nyai
Supit menggeser kakinya agak ke belakang dari tubuh pemuda
itu.
"Aku cukup kagum akan keberanianmu, anak muda. Tapi
lain kali berpikirlah dulu untuk menghadapinya," kata Ki Praba
lunak suaranya.
"Terima kasih. Sebenarnya memang bukan dia sasaranku,"
kala Awijaya.
"Hm.... Aku seperti pernah bertemu denganmu, anak
muda. Tapi entah di mana. Siapa namamu?" tanya Ki Praba
setelah bergumam pelan.
"Awijaya," sahut Awijaya tegas.
Sret!
Tampak Jantar mencabut pedangnya begitu mendengar
nama pemuda berbaju merah itu. Tapi Ki Praba cepat-cepat
memegang tangan pengawal pribadinya ini. Jantar
memasukkan kembali pedang ke dalam sarungnya di
pinggang. Tapi tatapan mata Jantar mengandung sejuta arti
yang sangat dalam pada Awijaya.
'Tiga tahun kau tidak pernah lagi kelihatan. Rupanya sudah
banyak perubahan pada dirimu, Awijaya," ujar Ki Praba masih
terdengar tenang nada suaranya.
"Terima kasih," ucap Awijaya dingin. "Aku yakin kau tahu
maksud kedatanganku kali ini, Ki Praba!"
"Sayang, kau tidak akan mendapatkannya. Dia sudah tidak
ada lagi di sini," jelas Ki Praba langsung dapat mengerti.
"Bajingan...!" geram Awijaya hampir tidak tertahankan
kemarahannya.
"Kalau dengar pengumuman tadi, kau pasti sudah tidak di
sini lagi, Awijaya. Kalau kau memang mencintainya, carilah
sampai dapat. Aku tidak peduli lagi terhadap nasibnya!" kata
Ki Praba lagi.
Setelah berkata demikian, Ki Praba berbalik dan langsung
melangkah pergi Awijaya menggerang berusaha menahan
amarahnya yang sudah sampai ke u-bun-ubun. Wajahnya
memerah, dan matanya tajam menatap laki-laki setengah
baya yang sudah meniti anak tangga beranda rumahnya yang
bagai istana itu.
"Kita pergi, Aw^aya," ajak Nyai Supit sambil menggamit
tangan pemuda itu.
Awijaya tidak menyahut, tapi mengikuti juga ajakan
perempuan gemuk itu. Meskipun masih diliputi kemarahan
yang memuncak, namun dia harus mendinginkan kepalanya.
Disadarinya kalau tidak akan mungkin dapat melabrak Ki
Praba yang disegani dan ditakuti seluruh penduduk Desa
Munding ini.
Awijaya duduk memeluk lutut di balai bambu depan kedai
Nyai Supit Sudah dua hari dia tinggal di salah satu kamar
penginapan milik perempuan gemuk Itu. Pikirannya jadi
kacau, karena telah didengar kalau Rara Wanti sudah dua
bulan ini kabur dari rumahnya. Gadis itu telah memberontak
dengan sikap ayahnya yang selalu mengatur dan bersikap
keras padanya.
Tiga tahun lamanya Awijaya harus menanti, dan sekarang
kedatangannya untuk membawa Rara Wanti pergi dari desa
yang menurutnya bagaikan neraka ini. Tapi selama
penantiannya itu, akhirnya hanya kekecewaan dan kemarahan
saja yang diperoleh. Rata Wanti sudah pergi. Dan lagi,
ayahnya yang bernama Ki Praba itu malah mengumumkan
pada semua orang bahwa Rara Wanti tidak diakui lagi sebagai
anaknya. Bahkan juga meminta kepada siapa saja untuk
membawa kepala gadis itu dengan hadiah yang sangat
menggiurkan.
"Awijaya...."
Awijaya mengangkat kepalanya. Digeser duduknya begitu
melihat Nyai Supit sudah berada di dekatnya. Perempuan
gemuk itu mendekati dan duduk di samping pemuda itu.
"Dati tadi pagi kau duduk saja di sini. Sudah siang, makan
dulu," ajak Nyai Supit lembut, bagai seorang ibu pada
anaknya.
"Aku belum lapar, Nyai," kata Awijaya pelan.
"Awl... Bisa kurasakan semua yang kau rasakan saat ini.
Ibumu dulu sahabat baikku. Demikian pula ayahmu. Sejak
kecil kau selalu bermain di sini, sampai kau dan seluruh
keluargamu menghilang. Aku tahu betul apa yang terjadi'
pada diri dan keluargamu, Awijaya. Kuharap, jangan sungkan-
sungkan lagi padaku," ujar Nyai Supit lembut.
"Terima kasih. Nyai begitu baik padaku," ucap Aw'jaya
terharu.
"Sudahlah! Bagiku kau bukan orang lain lagi, Awijaya."
Getir sekali Awijaya membalas senyuman Nyai|
Supit. Meskipun sudah tiga tahun tidak pernah lagi
menginjak tanah kelahirannya ini, tapi masih segar dalam
ingatannya tentang Nyai Supit, dan orang-orang yang tinggal
di Desa Munding ini Orang-orang yang selama hidupnya tidak
pernah mengenyam kebahagiaan. Meskipun terkadang mereka
bisa bergembira dan tertawa, tapi semua itu hanyalah semu
belaka.
Dulu Desa Munding adalah desa yang damai dan tentram.
Tidak ada keluh kesah, tidak ada penderitaan yang berantai.
Tak ada darah menggenang hanya karena persoalan yang
sepele. Tapi semua itu berubah total setelah kedatangan Ki
Praba. Kedatangannya yang sebagai saudagar kaya, langsung
membeli tanah-tanah penduduk dengan harga kecil dan
dengan cara paksa. Bahkan kepala desa tewas terbunuh
karena tidak bersedia menjual tanahnya.
Tidak sedikit penduduk desa yang tewas karena
mempertahankan miliknya. Tapi Ki Praba memang kuat Belum
lagi tukang-tukang pukulnya, dan para pengawalnya yang
rata-rata memiliki kepandaian ilmu olah kanuragan.
Sedangkan Penduduk Desa Munding hanya terdiri dari petani
yang tidak mengerti ilmu olah kanuragan. Memang ada
beberapa yang memiliki ilmu olah kanuragan, tapi tidak
berdaya. Bahkan mereka tewas dengan cara menyedihkan di
tangan jago bayaran yang disewa Ki Praba, demikian pula
Awijaya yang terpaksa pergi, karena tidak tahan mendapat
tekanan yang tak henti-hentinya. Termasuk suami Nyai Supit
ini.
Awijaya, ibunya, dan kedua adiknya pergi setelah terjadi
peristiwa yang membuat nyawa ayahnya lenyap di tangan
tukang-tukang pukul Ki Praba. Itu semua karena Awgaya dan
Rara Wanti memadu asmara, lalu diketahui Ki Praba yang
menentang keras hubungan mereka. Masalahnya Rara Wanti
selalu dijadikan boneka dan barang pertaruhan bagi kegilaan
ayah gadis itu dalam mengadu jago-jago rimba persilatan.
Semua itu diketahui Awijaya dari Rara Wanti sendiri yang
menceritakan semua keluhannya. Untung saja, dalam
peristiwa itu Awijaya berhasil diselamatkan suami Nyai Supit.
Tapi tak urung, wajahnya sempat tergores pedang salah
seorang tukang pukul Ki Praba, bahkan dibuat cacat. Dan
Awijaya masih ingat orangnya. Dia adalah orang kepercayaan
Ki Praba sendiri. Namanya Jantar!
"Kutinggal dulu. Ada tamu," ucap Nyai Supit
membangunkan lamunan Awijaya.
Pemuda berbaju merah muda itu mengangkat kepalanya.
Jantungnya hampir berhenti berdetak seketika begitu melihat
seorang pemuda berbaju kulit harimau masuk ke dalam kedai.
Awijaya tahu siapa pemuda itu. Dia sering mendengar
namanya. Bahkan pernah melihatnya ketika bertarung,
meskipun dari tempat yang sangat tersembunyi.
"Pendekar Pulau Neraka...," desis Awijaya dalam hati.
"Sudah beberapa hari dia di sini Hm..., tentunya ada sesuatu.
Seorang pendekar kelana berada di suatu tempat sampai lebih
tiga hari, pasti ada yang diinginkan. Atau...," Awijaya tidak
melanjutkan pikirannya
Nyai Supit kembali keluar dari kedainya, dan menghampiri
pemuda berbaju merah muda itu. Awijaya memandangi.
"Ada yang menitipkan ini padamu," kata Nyai Supit seraya
memberikan gulungan daun lontar terikat pita merah muda.
"Siapa yang memberi ini?" tanya Awijaya seraya menerima
gulungan daun lontar itu.
"Aku tidak kenal. Tapi pakaiannya menyolok sekali," sahut
Nyai Supit.
Awijaya membuka gulungan daun lontar, lalu membaca
sebaris kalimat yang tertulis di situ. Seketika wajahnya
berubah. Langsung ditatapnya dalam-dalam Nyai Supit.
Bergegas dia menggerinjang bangkit, menerobos masuk ke
dalam kedai. Sesaat dipandangi seluruh ruangan kedai itu, lalu
kembali berbalik keluar menemui Nyai Supit.
"Apakah orang itu yang baru masuk tadi, Nyai?" tanya
Awijaya.
"Benar. Dia pakai baju dari kulit harimau," sahut Nyai Supit
sedikit keheranan melihat wajah Awijaya.
"Pendekar Pulau Neraka...," gumam Awjaya pelarian. "Di
mana sekarang, Nyai?"
"Di dalam," sahut Nyai Supit.
"Tidak ada."
"Ah, masa...."
Nyai Supit tidak percaya. Dijulurkan kepalanya ke dalam
kedai, lalu sebentar diperhatikan ruangan kedainya. Memang
ada beberapa pengunjung, tapi tidak begitu banyak. Dan tidak
terlihat seseorang yang memakai baju dari kulit harimau di
sana. Nyai Supit menarik keluar kembali kepalanya, tapi jadi
terkejut. Ternyata Awijaya sudah tidak ada lagi.
"He! Ke mana anak itu...?"
***
TIGA
Malam sudah demikian larut. Bulan bergelayut penuh di
langit yang jernih. Bintang-bintang gemerlapan menambah
indahnya pemandangan di angkasa sana. Pemandangan
malam ini semakin terasa indah jika dilihat dari puncak bukit
sebelah Timur Desa Munding. Tampak seorang gadis muda
duduk menjuntai di atas sebongkah batu hitam.
Pandangannya lurus menatap Desa Munding di bawah sana.
Hanya kerlip lampu-lampu pelita saja yang terlihat di sela-sela
pepohonan lebat
"Kau belum tidur, Rara Wanti...."
"Oh...!" gadis itu tersentak kaget begitu mendengar suara
lembut dari belakangnya.
Gadis yang dipanggil Rara Wanti itu membalikkan
tubuhnya. Kini di depannya sudah berdiri seorang pemuda
berwajah cukup tampan, namun terlihat jelas garis-garis
ketegasan dan kekerasannya. Pemuda yang memakai baju
kulit harimau itu segera mendekati dan duduk di sampingnya
"Ada yang kau pikirkan, Rara Wanti?" tetap lembut suara
pemuda itu.
"Mungkin...," desah Rara Wanti disertai hembusan napas
panjang dan terasa berat. "Sudah dua bulan...."
"Terima kasih," potong Rara Wanti. "Memang seharusnya
aku tidak menggantungkan diri padamu. Kau begitu baik,
Kakang Bayu. Tidak seharusnya membu-l atmu repot."
'Tidak ada masalah, jika kau berterus terangi tentang
kesulitanmu. Barangkali saja dapat kubantul untuk
memecahkannya," ujar pemuda berbaju kulid harimau yang
ternyata adalah Pendekar Pulau Neraka atau Bayu Hanggara.
"Sebaiknya jangan. Aku tidak ingin menyeretmu! terlalu
jauh. Aku sudah terlalu banyak menyusahkanmu. Kau begitu
baik. Mencegahku bunuh diri, menemaniku, memberi petuah
petuah hidup yang sungguh tidak ternilai harganya. Terus
terang, aku merasa malu. Sungguh kecil diriku berada di
depanmu, Kakang."
"Kau terlalu merendahkan diri, Rara Wanti. Aku tahu, kau
seorang gadis yang tabah, berani, dan berpikiran sehat. Hanya
saja mungkin persoalan yang kau hadapi terlalu berat,
sehingga berpikiran kotor ing'ui mengakhiri hidup."
"Mungkin," desah Rara Wanti seraya tertunduk.
"Beberapa hari ini aku sering ke Desa Munding," jelas Bayu
setelah berdiam diri agak lama.
"Mau apa kau ke sana?" Rara Wanti tersentak, tidak bisa
menyembunyikan keterkejutannya.
"Hanya jalan-jalan. Yah..., sekadar melihat suasana di
sana," sahut Bayu ringan.
"Kau tidak berusaha menyelidiki diriku, bukan?"
"Sama sekali tidak."
Rara Wanti menarik napas panjang, seperti hendak
melonggarkan dadanya yang terasa sesak seketika. Entah
kenapa, dia tidak ingin Bayu mengetahui tentang dirinya.
Seperti ada sesuatu yang tidak boleh orang lain tahu. Dan
yang jelas, Rara Wanti tidak ingin keberadaannya di sini
diketahui orang lain. Ingin dilupakan masa lalunya. Bahkan
tidak ingin menjadi dirinya yang dulu. Yang diinginkan adalah
menjadi Rara Wanti seutuhnya.
"Oh...!" tiba-tiba Rara Wanti tersentak.
Gadis itu segera menggelinjang bangkit. Bayu juga berdiri,
dan bergegas melangkah begitu Rara Wanti berjalan cepat
meninggalkan tempat itu. Mereka masuk ke dalam sebuah gua
yang kecil mulutnya, tapi di dalam cukup lebar dan hangat.
Rara Wanti menutupi gua itu dengan pohon semak kering, dan
sebongkah batu yang cukup besar. Bayu hanya
memperhatikan saja.
Tidak berapa lama berselang, terdengar suara langkah kaki
dekat gua ini. Rara Wanti dan Pendekar Pulau Neraka
mengintip dari celah mulut gua yang sudah tertutup dan
tersamar rapih. Tampak wajah gadis itu berubah seketika
begitu melihat seorang laki-laki berdiri tegak tidak jauh dari
gua ini. Dan Bayu dapat melihat perubahan wajah gadis itu,
tapi hanya diam saja.
Agak lama juga laki-laki muda itu berdiri tegak memandang
sekitarnya. Pelahan namun pasti, dia pergi dengan ayunan
kaki lesu dan kepala tertunduk. Rara Wanti menarik napas
panjang, lalu menghenyakkan tubuhnya bersandar pada
dinding gua yang lembab berlumut. Bayu memperhatikan
seraya duduk. Kemudian, dinyalakan api dari ranting-ranting
kering yang sudah tersusun pada batu berbentuk tungku.
"Ada apa, Rara?" tanya Bayu setelah gua itu dihiasi cahaya
api.
"Tidak..., tidak apa-apa," sahut Rara Wanti seraya
menggeser duduknya mendekati api.
"Kau kelihatan gelisah sekali Kau kenal orang itu?"
"Tid... tidak!" sahut Rara Wanti tergagap.
"Wajahmu pucat."
"Sudahlah, Kakang. Jangan mendesakku terus...," pinta
Rara Wanti memohon.
Bayu mengangkat bahunya, kemudian diam tidak berkata-
kata lagi. Pendekar Pulau Neraka itu merebahkan tubuhnya di
atas tumpukan daun kering, tapi matanya tetap memandangi
Rara Wanti yang terus saja gelisah. Gadis itu memain-mainkan
api dengan ranting kering, tepi kegelisahannya tak juga reda.
Bayu terus memperhatikan dengan mata setengah terpejam.
***
Pagi-pagi sekali Bayu tersentak bangun dari tidurnya.
Telinganya yang sudah terlatih, mendengar suara-suara
ringan. Agak terkejut juga hatinya ketika melihat Rara Wanti
mengendap-endap keluar dari dalam gua ini. Pendekar Pulau
Neraka itu tidak langsung beranjak bangun, tapi malah
sengaja berpura-pura tidur. Bahkan dipejamkan matanya
begitu Rara Wanti menengok padanya.
Bayu baru menggerinjang bangun begitu Rara Wanti sudah
berada di luar gua. Bergegas dia melompat keluar, dan
melihat gadis itu berlari kencang menuju ke Utara. Tanpa
membuang-buang waktu lagi, Pendekar Pulau Neraka itu
bergegas berlari mengejar, tapi sengaja menjaga jarak.
Tubuhnya kemudian melompat ke atas pohon.
Bagai seekor burung, Pendekar Pulau Neraka itu
berlompatan dari satu cabang pohon ke cabang pohon
lainnya. Matanya tidak lepas memperhatikan Rara Wanti pergi:
Bayu kagum juga melihat ilmu meringankan tubuh yang
dimiliki gadis itu. Gerakan berlarinya demikian ringan, bahkan
sepertinya tidak menyentuh tanah sama sekali.
"Heh...!"
Bayu tersentak kaget begitu tiba-tiba melihat sebuah
bayangan biru berkelebat cepat menghadang arah lari Rara
Wanti. Dan tiba-tiba saja di depan gadis itu sudah berdiri
seorang laki-laki bertubuh kurus dan agak membungkuk.
Sebatang tongkat menyangga tubuhnya. Dia tertawa
terkekeh. Sedangkan Rara Wanti berhenti berlari, dan
melangkah mundur beberapa tindak.
"Ki Sampar Watu. Ada apa kau ke sini?!" dengus Rara
Wanti mendahului.
"He he he..., mengapa kau selalu bersikap kasar padaku,
Manis? Kau adalah milikku, dan kau akan kubawa ke mana
saja aku pergi. He he he...," Ki Sampar Watu terkekeh
menggelikan.
"Phuih! Tua bangka tidak tahu malu! Sudah bau tanah
masih juga mencari gadis muda!" dengus Rara Wanti sengit.
"Bukan aku yang mencari. Tapi, ayahmulah yang takut
kehabisan laki-laki untukmu."
"Jangan sebut-sebut ayahku! Dia bukan ayahku!" bentak
Rara Wanti berang.
"Peduli setan! Ayahmu atau bukan, yang jelas. Sekarang
kau harus ikut aku. Kau harus jadi gundikku!"
"Tua bangka keparat...!" geram Rara Wanti memuncak
amarahnya.
Harga diri gadis itu sepertinya sudah terinjak-injak. Ini
semua akibat ulah ayahnya. Rara Wanti benar-benar geram,
dilemparkan buntalan kain yang dibawanya dengan
pengerahan tenaga dalam cukup tinggi. Buntalan kain itu
meluncur deras ke arah Ki Sampar Watu. Namun sambil
terkekeh, laki-laki tua berjubah biru itu mengegoskan
tubuhnya sedikit ke kiri. Maka, buntalan kain itu lewat sedikit
di samping tubuhnya. Dia tetap tertawa terkekeh
meremehkan.
"Untuk apa buang-buang tenaga percuma. Manis?
Sebaiknya kau simpan saja tenagamu untuk melayaniku," ujar
Ki Sampar Watu.
"Kurang ajar! Kusobek mulutmu yang kotor itu, tua
bangka!" geram Rara Wanti merah padam wajahnya.
Rara Wanti langsung melompat sambil mencabut
pedangnya yang tersampir di punggung. Cepat sekali gerakan
gadis itu. Pedangnya berkelebatan bagai kilat menyambar
beberapa bagian tubuh Ki Sampar Watu. Namun laki-laki tua
itu manis sekali mengelakkan setiap serangan Rara Wanti.
Bahkan tanpa diduga sama sekali, tangannya bergerak cepat
nyelonong ke bagian dada.
"Setan! Kurang ajar...!" geram Rara Wanti sambil melompat
mundur. Wajahnya semakin memerah bagai terbakar.
"Kau semakin cantik kalau marah begitu, Manis. Sungguh
menggairahkan...."
"Kubunuh kau, setan tua keparat! Hiyaaat...!"
Rara Wanti kembali menyerang ganas. Kali ini dikerahkan
seluruh jurus andalannya yang sangat dahsyat. Jurus
permainan pedang yang diajarkan Ki Praba padanya. Jurus
pedang itu memang sungguh luar biasa. Pedang di tangannya
bagai memiliki mata yang berjumlah seribu, mengurung tubuh
Ki Sampar Watu.
Namun laki-laki tua itu malah terkekeh Sampai sejauh ini,
tidak satu pun serangan Rara Wanti mengenai sasaran dengan
tepat. Bahkan dupakan kaki Ki Sampar Watu membuat gadis
itu tersungkur.
"Auh..!" Rara Wanti terpekik tertahan.
Selagi tubuh Rara Wanti tergeletak di tanah, Ki Sampar
Watu melompat hendak menerkamnya. Gadis itu terbeliak,
karena sukar menggerakkan tubuhnya lagi Disadari kalau tadi
Ki Sampar Watu sempat menotok jalan darahnya, sehingga
jadi lumpuh seketika.
"Oh tidak...," rintih Rara Wanti lirih.
Gadis itu memejamkan matanya. Tapi ketika ditunggu-
tunggu, terkaman Ki Sampar Watu tidak kunjung datang.
Bahkan didengarnya satu erangan tertahan. Rara Wanti
membuka matanya. Matanya semakin membeliak begitu
melihat Ki Sampar Watu tengah berusaha bangkit berdiri di
antara reruntuhan pohon. Tampak di depan gadis itu berdiri
seorang pemuda berbaju dari kulit harimau.
"Kakang Bayu...," desah Rara Wanti. Ada kelegaan dalam
dadanya melihat kemunculan Pendekar Pulau Neraka itu.
"Hm...," Bayu menggumam pelan, kemudian membungkuk.
Dibukanya totokan Ki Sampar Watu di tubuh Rara Wanti
dengan totokan pula.
Rara Wanti menggerinjang bangkit. Dipungut pedangnya
yang tergeletak. Sementara itu Ki Sampar Watu menggerung
kesal, tapi sudah bisa berdiri. Matanya tajam memerah
menatap Pendekar Pulau Neraka yang berdiri tegak sambil
melipat tangan di depan dada. Sikap Bayu jelas-jelas
melindungi Rara Wanti.
"Bocah gendeng!
Siapa kau? Berani
mencampuri urusanku!"
bentak Ki Sampar Watu
geram.
"Aku Pendekar Pulau
Neraka. Sebelum
pikiranku berubah,
sebaiknya enyah dari
sini!" dingin nada suara
Bayu.
"Setan keparat!
Lidahmu perlu diberi
pelajaran, agar bisa
sedikit sopan pada
orang tua!"
"Adakalanya orang tua harus bertindak sopan pada yang
lebih muda."
"Phuih! Lebih suka mampus rupanya kau, heh!"
"Mati dan hidupku bukan di tanganmu, tapi nyawamu ada
di ujung jariku!"
"Edan! Kampret...!"
Ki Sampar Watu mengumpat habis-habisan. Hatinya begitu
geram mendengar kata-kata yang menyakitkan telinga itu.
Wajahnya semakin memerah, dan gerahamnya bergemeletuk
menahan amarah. Tanpa berkata-kata lagi, laki-laki tua itu
melompat bagai kilat menerjang Pendekar Pulau Neraka.
"Mampus kau! Hiyaaat...!"
"Hup!"
Sebelum terjangan Ki Sampar Watu sampai, Bayu sudah
melentingkan tubuhnya ke atas sambil menyambar pinggang
Rara Wanti. Manis sekali Pendekar Pulau Neraka itu hinggap di
dahan yang tinggi. Dan sebelum Ki Sampar Watu menyadari,
Bayu sudah meluruk turun meninggalkan Rara Wanti di atas
pohon. Kakinya yang kokoh tepat mendarat di depan Ki
Sampar Watu.
***
"Hiyaaat.,"
Secepat Bayu mendarat, secepat itu pula kakinya melayang
deras ke arah dada Ki Sampar Watu. Tendangan kilat yang
begitu cepat dan tiba-tiba itu tidak mungkin lagi dihindari.
Buru-buru Ki Sampar Watu mengibaskan tongkatnya
menyampok tendangan itu.
Trak!"
"Heh...!"
Ki Sampar Watu terkejut bukan main dan buru-buru
melompat mundur ke belakang. Hampir tidak di-percaya
dengan apa yang baru terjadi tadi. Kedua bola matanya
membeliak lebar memandangi tongkatnya yang terpotong jadi
dua bagian.
Sungguh sempurna tenaga dalam yang dimiliki Pendekar
Pulau Neraka. Tongkat maut yang menjadi kebanggaan Ki
Sampar Watu bisa terpotong jadi dua kena tendangannya.
Sedangkan Bayu sendiri tidak mengalami luka sedikit pun.
Bahkan kini malah berdiri dengan tangan melipat di depan
dada.
"Aku masih memberimu kesempatan hidup, Kisanak," ucap
Bayu dibuat tenang.
"Phuih! Satu saat kau akan menyesal, bocah!” dengus Ki
Sampar Watu geram.
Setelah berkata demikian, Ki Sampar Watu melesat cepat
meninggalkan tampat itu. Begitu cepatnya melesat, sehingga
dalam sekejap saja sudah lenyap dari pandangan mata. Bayu
memandang ke atas, lalu tersenyum melihat Rara Wanti
duduk mencangkung di dahan pohon yang cukup tinggi.
"Dia sudah pergi! Turunlah, Rara!" seru Bayi keras.
"Hup!"
Rara Wanti meluruk turun dengan manisnya! Tanpa
menimbulkan suara sedikit pun, gadis in menjejak tanah tepat
di depan Pendekar Pulau Neraka!
"Kau hebat, Kakang. Bisa mengusir si tua bangka cabul
itu!" puji Rara Wanti agak tertekan nada suaranya pada
bagian akhir.
"Kau pun bisa menandinginya kalau mampu, menahan
sedikit kemarahanmu," kata Bayu merendah.
"Kau hanya membesarkan hatiku saja, Kakang.”
"Tidak! Aku berkata yang sebenarnya. Tadi kau terlalu
dihinggapi amarah yang meluap, sehingga tidak bisa
mengontrol diri. Seorang yang tangguh seperti apa pun akan
mudah dikalahkan jika tidak bisa mengendalikan amarahnya."
"Filsafat lagi."
"Bukan filsafat Tapi semua orang akan menghadapi hal
yang sama. Bukan hanya dalam ilmu olah kanuragan, tapi
juga dalam hal lain, ketenangan dan pengontrolan diri, akan
menghasilkan hasil yang memuaskan."
"Terima kasih, Empu...," goda Rara Wanti.
"Kunyuk! Bukannya didengarkan, malah meledek!" rungut
Bayu seraya berbalik dan melangkah pergi.
"Kakang, tunggu...!"
Rara Wanti berlari mengejar, dan mensejajarkan
langkahnya di samping Pendekar Pulau Neraka itu.
"Kenapa mengikutiku? Bukannya tadi kau akan pergi?"
sindir Bayu.
'Tidak jadi," rungut Rara Wanti. Sindiran itu langsung
mengena ke hatinya.
"Lho...?!" Bayu menghentikan langkahnya. Dipandanginya
wajah cantik gadis itu.
"Pikiranku berubah," kata Rara Wanti tertunduk.
"Cepat sekali...? Belum pernah kutemukan seseorang yang
begitu cepat berubah pikiran."
"Aku serius, Kakang. Aku tidak jadi pergi sendirian. Aku
akan ikut kemana pun kau pergi. Sungguh...," nada suara
Rara Wanti terdengar begitu berharap.
"Ha ha ha...!" Bayu tertawa terbahak-bahak.
"Huuuh...! Malah ketawa!" rungut Rara Wanti
memberengut.
"Lucu...."
"Memangnya aku badut?!" Rara Wanti masih
memberengut.
Bayu tersenyum-senyum geli, dan kembali melangkah. Rara
Wanti mengikutinya, dan mensejajarkan langkahnya di
samping pemuda berbaju kulit harimau itu. Mereka berjalan
tidak berkata-kata lagi. Tanpa setahu mereka, seseorang
memperhatikan dari jarak yang cukup jauh. Orang itu
bergegas pergi, berlari kencang menuju Desa Munding.
Sementara Bayu dan Rara Wanti terus berjalan sambil
berbicara ringan.
Mereka berjalan tanpa tujuan yang pasti. Kemana kaki
melangkah, ke situ arah yang dituju. Tidak terasa! mereka
sudah berjalan cukup jauh. Sementara matai hari sudah tinggi
di atas kepala. Mereka berhenti di tepi sungai kecil yang
mengalir jernih. Rara Wanti membasuh wajahnya.
"Kau pasti sengaja mengikutiku tadi pagi," tebak Rara
Wanti sambil menghampiri Bayu yang duduk di atas batu
dengan kedua kakinya terendam ke dalam sungai.
"Iya," sahut Bayu kalem.
"Kenapa? Aku kan bukan adikmu, juga bukan apa-apamu,"
Rara Wanti ingin tahu.
"Karena kau perlu seorang teman, dan aku rasa...."
"Kau orang yang tepat. Begitu kan?" potong Rara Wanti
cepat.
"Mungkin. Itu pun kalau tidak berkeberatan "
'Tentu saja tidak. Aku merasa terlindung bersamamu. Kau
hebat, bisa mengalahkan si tua bangka cabul itu."
'Tidak selamanya aku harus melindungimu, Rara. Satu saat
kau harus bisa melindungi dirimu sendiri. Bukan untuk
selamanya aku berada bersamamu."
"Kau akan meninggalkanku, Kakang?"
"Aku tidak dapat menolak seandainya memang harus
berpisah."
Rara Wanti terdiam. Matanya berputar merayapi wajah
tampan di depannya, seolah-olah hendak mencari sesuatu di
wajah yang keras dengan garis-garis ketegasan itu. Tapi
hatinya jadi kecewa, karena tidak menemukan apa yang
dicarinya. Rara Wanti menarik napas panjang dan
menghembuskannya kuat-kuat
"Ada seseorang yang lebih berhak menjadi pelindung dan
sandaran hidupmu, Rara," ujar Bayu pelahan.
"Tidak ada!" sentak Rara Wanti cepat. Bayu hanya
tersenyum saja. "Kenapa tersenyum?"
"Kau menyembunyikan perasaanmu, Rara. Aku tahu, di
dalam hati kecilmu kau tengah mengharapkan seseorang.
Entah siapa, yang jelas seseorang yang telah menyebarkan
bibit asmara di harimu. Aku bisa merasakan itu, Rara. Dari
sinar matamu," lembut nada suara Bayu.
Rara Wanti terdiam membisu. Ucapan Bayu yang lembut itu
terasa mengena lubuk hatinya yang pating dalam. Memang
tidak bisa dibantah. Dan secara jujur memang diakui
kebenaran kata-kata itu. Saat ini memang tengah diharapkan
kehadiran seseorang yang sangat dicintainya. Tapi juga
dibenci dan mengecewakan hatinya. Seseorang yang
diharapkan akan mengeluarkannya dari kurungan sangkar
emas, ternyata menghilang begitu saja selama tiga tahun.
Tanpa kabar, tanpa berita, juga tanpa kata-kata perpisahan.
Tiga tahun bukan waktu yang sebentar. Menunggu dalam
penantian, terkurung dalam kemewahan yang semu.
Kini setelah muncul seorang pemuda yang begitu cepat
menarik simpatinya, tapi pemuda itu malah seperti
menghindar. Memang tidak mungkin seorang gadis
mengemukakan perasaannya lebih dahulu, meskipun semua
itu sudah ada di hatinya. Bahkan hampir! meledak. Tapi biar
bagaimanapun setiap gadis pasti akan menyimpannya rapat-
rapat. Paling tidak menunggu pancingan yang tepat mengoyak
dinding hatinya.
"Melamun lagi Perut tidak kenyang diisi lamunan terus,"
goda Bayu.
Rara Wanti tersenyum kecut.
"Bawa bekal?" tanya Bayu.
"Tidak," Rara Wanti menggeleng.
"Itu?" Bayu menunjuk buntalan kain di bahu kanan gadis
itu.
"Hanya pakaian, dan sedikit uang serta perhiasan," sahut
Rara Wanti.
"Terpaksa, kita harus berburu. Tidak ada kedai di tengah
hutan begini."
"Aku kenal daerah ini Di hulu sungai ada sebuah desa.
Tidak besar, tapi kedai di sana cukup nyaman. Makanannya
pun cukup enak," kata Rara Wanti.
"Desa apa?" tanya Bayu.
"Desa Pekacangan."
"Pernah ke sana?"
"Pernah juga, tapi tidak sering."
"Baiklah. Perut juga sudah minta diisi nih."
Lagi-lagi Rara Wanti tersenyum. Kali ini senyumnya begitu
manis dan lepas. Mereka kembali melanjutkan perjalanan
menyusuri sungai menuju ke hulu. Sepanjang jalan yang
dibicarakan hanyalah hal-hal ringan saja. Dan setiap kali Bayu
menyinggung kehidupan pribadi gadis itu, Rara Wanti
langsung mengelak. Malah membelokkannya ke arah
pembicaraan lainnya.
***
EMPAT
Di dalam rumah besar di Desa Munding, Ki Praba tampak
uring-uringan mendengar laporan salah seorang anak buahnya
yang melihat Rara Wanti dan Pendekar Pulau Neraka di hutan
Bukit Sidayu. Dikumpulkanlah semua tukang pukulnya yang
rata-rata memiliki tubuh kekar dan berkepandaian cukup
tinggi.
"Dengar! Siapa saja di antara kalian yang bisa membawa
hidup-hidup anak celaka itu akan kuberikan untuk kalian. Dan
kalau kepalanya, seribu keping uang emas sebagai
hadiahnya!" kata Ki Praba mantap.
Perintah Ki Praba disambut gembira semua tukang
pukulnya. Bahkan yang hanya berkemampuan pas-pasan ikut
menyambut penuh semangat. Siapa yang tidak tergiur dengan
seribu keping uang emas? Bahkan mereka bisa saja menikmati
dulu kemolekan tubuh Rara Wanti, lalu membawa kepalanya
pada Ki Praba Berbagai macam bayangan indah berkecamuk
di dalam lima puluh kepala anak buah Ki Praba.
"Sekarang juga kalian bisa laksanakan!" lanjut Ki Praba.
Lima puluh orang yang menjadi tukang kepruk Ki Praba
bergegas meninggalkan ruangan depan yang luas itu.
Sedangkan Ki Praba masih duduk di kursinya bersama Jantar
yang tetap menemani dengan raut wajah berubah-ubah.
"Aku rasa keputusanmu terlalu cepat, Ki," ujar Jantar hati-
hati.
"Hm.... Apa maksudmu, Jantar?" gumam Ki Praba seraya
menatap tajam laki-laki berusia sekitar ilua puluh lima tahun
itu.
"Kita belum tahu jelas, siapa pemuda yang bersama Rara
Wanti. Laporan itu masih samar-samar sama sekali.
Seharusnya diselidiki dulu kebenarannya, baru mengambil
keputusan. Tapi jika Rara Wanti dibunuh aku yakin masalah ini
belum tentu selesai, Ki. Ki Sampar Watu pasti tidak akan puas,
dan tetap menuntut janjimu."
"Hm...," Ki Praba hanya bergumam tidak jelas.
"Bukan hanya Ki Sampar Watu. Yang jelas masih banyak
orang-orang yang harus kita hadapi. Ada Muka Mayat, Kebo
Ireng, dan yang terpenting Nyai Supit sendiri. Sikapnya
belakangan ini sangat mencurigakan terutama sejak
munculnya Awijaya yang menginap di rumahnya," lanjut
Jantar.
"Kau berada di sini bukan untuk mengajariku, Jantar.
Tugasmu hanya mengawalku, lain tidak!" dingin nada suara Ki
Praba.
"Maaf, Ki. Aku hanya mengemukakan pendapat."
"Kau berkata seperti takut menghadapi mereka. atau
memang gentar?" sinis ucapan Ki Praba.
"Tidak ada yang membuatku gentar, Ki. Aku hanya ingin
menyampaikan kalau keputusanmu terlalu cepat. Kau
perintahkan semua anak buah kita pergi mencari Rara Wanti,
sementara kau juga tidak berpikir untuk menjaga tempat ini,"
Jantar mengingatkan.
"Jangan cemas, Jantar. Besok sahabat-sahabatku datang.
Tiga orang ditambah dirimu, aku rasa sudah cukup
menghadapi mereka semua. Aku tidak butuh tikus-tikus yang
hanya bisa mengeruk gentong nasi tanpa bekerja yang becus.
Biar mereka pergi menemui kematiannya. Toh mereka tidak
akan sanggup menandingi Rara Wanti."
"Terus terang, aku tidak mengerti tujuanmu, Ki”
Ki Praba hanya tersenyum saja, lalu bangkit berdir dan
melangkah masuk ke dalam ruangan tengah. Jantar hanya
memandangi saja. Masih belum bisa pahami jalan pikiran Ki
Praba. Keberadaannya di memang dibayar untuk mengawal
laki-laki angkuh di samping nyawanya pernah diselamatkan
ketika hampir kalah bertarung melawan seorang tokoh ber
kepandaian tinggi. Dia merasa berhutang budi, bertekad untuk
selalu mendampingi Ki Praba yang biasanya sejalan dan
sepikiran dengannya. Tapi, sekarang ini Jantar sungguh-
sungguh sukar mengerti jalan pikiran dan tujuan yang akan
ditempuh Ki Praba Bahkan sampai tidak habis mengerti,
kenapa Ki Praba sampai tega hendak membunuh anaknya
sendiri?
***
Entah dari mana awalnya, berita tentang Rara Wanti yang
kini berjalan bersama seorang pemuda berbaju kulit harimau
sudah tersebar luas. Dan berita itu pun juga telah sampai ke
telinga Awijaya. Tentu saja pemuda itu sudah menduga,
dengan siapa Rara Wanti sekarang. Dan itulah yang membuat
dirinya kini jadi uring-uringan tidak menentu. Disadari kalau
tingkat kepandaiannya jauh di bawah Pendekar Pulau Neraka.
Apalagi dia tahu betul watak Rara Wanti yang mudah simpati
terhadap pemuda berkepandaian tinggi. Ditambah lagi,
pemuda itu tampan, gagah, dan memiliki kelebihan tertentu.
Tapi yang jelas, Rara Wanti selalu mengagumi pemuda
berkepandaian tinggi. Lebih tinggi dari kepandaian yang
dimiliki gadis itu.
Untuk menghadapi Rara Wanti, Awijaya memang bisa
mengungguli. Tapi menghadapi Pendekar Pulau Neraka....
Awijaya tidak tahu lagi, apa yang harus diakukannya. Tiga
tahun menempa diri dan memperdaalam ilmu olah kanuragan
di tempat yang jauh dari desa ini hanya untuk satu tujuan.
Tapi semua usaha yang dilakukannya jadi terasa sia-sia. Ada
sedikit keputusasaan terselip dalam hatinya.
“Aku memang sering mendengar sepak terjang pendekar
Pulau Neraka. Tapi kalau mendengar petualangannya dalam
memikat seorang gadis rasanya belum pernah," kata Nyai
Supit.
Awijaya hanya diam saja. Semua memang sudah
diceritakannya pada perempuan gemuk itu. Bahkan tentang
tulisan yang dikirimkan Pendekar Pulau Neraka padanya
diperlihatkan pada Nyai Supit
"Dari surat yang dikirimkan untukmu saja sudah jelas, kalau
kau akan dipertemukan dengan Rara Wanti. Bersabarlah,
jangan menuruti darah muda dan hawa napsu yang tidak
terkendali. Aku yakin kalau Pendekar Pulau Neraka bermaksud
baik untuk dirimu dan Rara Wanti," sambung Nyai Supit
"Tapi Rara Wanti mudah sekali jatuh simpati pada setiap
orang yang berkemampuan tinggi, Nyai," tegas Awijaya.
"Rasanya aku masih ingat ketika seorang anak pembesar
kadipaten mencoba merebut Rara Wanti dari tanganmu.
Meskipun kau berhasil dibuat babak belur, dan ayahnya
mendesak Rara Wanti untuk menerima pinangannya, tapi dia
tetap memilihmu. Aku rasa Rara Wanti juga tidak melihat
kepandaian seserang, Awijaya. Kalau hanya sekadar simpati,
aku juga selalu jatuh simpati kalau melihat seseorang
berkemampuan tinggi. Tapi itu bukan berarti mencintainya,"
Nyai Supit menasehati.
Awijaya hanya diam saja. Secara jujur diakui kebenaran
pada ucapan Nyai Supit Tapi tetap saja hatinya merasa
khawatir kalau Rara Wanti akan terenggut darinya.
Masalahnya, yang bersama gadis itu sekarang ini adalah orang
pendekar muda dan tampan yang sudah kondang namanya.
Tingkat kepandaiainya pun sukar diukur, dan sulit dicari
tandingannya
"Awijaya, kau seorang laki-laki. Usiamu sudah ukup
matang, dan mampu berpikir secara dewasa. Aku percaya kau
bisa menghadapi persoalan ini dengan kepala dingin,"
sambung Nyai Supit lagi. suaranya tetap terdengar lembut.
"Tapi bagaimanapun juga aku harus pergi, Nyai. Aku harus
menemuinya sebelum orang-orang Ki Praba
mendapatkannya," ujar Awijaya bertekad.
"Kalau maksudmu mulia, tentu akan kudukung. tapi kalau
niatmu untuk memusuhi Pendekar Pulau Neraka, dan
membawa Rara Wanti secara paksa, itu sama saja bunuh diri.
Dan mungkin seumur hidupku tidak akan kulihat kuburanmu,"
tegas kata-kata Nyai Supit.
"Aku tahu, Nyai. Meskipun kabar yang kudengar tentang
Pendekar Pulau Neraka tidak terlalu baik, tapi aku akan
berusaha mengenalnya lebih dekat," janji Awijaya
"Bagus, kapan kau akan berangkat?"
"Besok pagi."
"Akan kuserahkan kedai dan penginapan ini pada
keponakanku."
"Nyai...!" Awijaya terkejut.
"Sudah waktunya aku istirahat, Awijaya. Aku ingin
bersama-sama ibumu dan adik-adikmu. Tapi sebelum itu ingin,
kubalas sakit hati suamiku dulu."
"Itu berarti Nyai akan menantang Ki Praba?"
Nyai Supit hanya tersenyum saja.
"Meskipun Ayah mati karenanya, tapi aku tidak akan
mendendam. Nyai. Biar bagaimanapun aku masih bisa
menghargai perasaan Rara Wanti. Maaf kalau aku tidak bisa
membantumu, Nyai," ucap Awijaya agak menyesal.
"Percayalah, aku tidak akan melibatkanmu."
"Mudah-mudahan berhasil, Nyai."
Lagi-lagi Nyai Supit hanya tersenyum saja:
***
Hampir jauh malam Awijaya belum Juga bis; memicingkan
matanya. Pikirannya masih menerawang jauh, melayang tanpa
batas akhir. Hatinya kelihatan gelisah di pembaringan. Udara
malam yang dingin, jadi terasa panas. Keringat mengucur
deras membasahi seluruh tubuhnya.
"Rara Wanti.... Akan sia-siakah harapanku selama ini...?"
desah Awijaya lirih.
Awijaya menggelinjang bangun, lalu duduk menjuntai di
tepi pembaringan. Pandangannya kosong menembus langsung
ke luar melalui jendela yang terbuka lebar. Sebentar ditarik
napas panjang, dan di hembuskannya kuat-kuat Pelahan-lahan
tubuhnya bangkit berdiri. Namun belum juga berdiri tegak
tiba-tiba....
"Akh...!"
"Heh...!" Awijaya tersentak kaget begitu mendengar suara
pekikan tertahan.
Pemuda yang selalu mengenakan baju merah muda itu
melompat ke jendela. Belum lagi hilang rasa terkejutnya, tiba-
tiba terlihat dua bayangan keluar dari salah satu jendela
kamar. Awijaya tersentak. Jelas itu adalah kamar Nyai Supit.
"Hup!"
Tanpa berpikir panjang lagi, pemuda itu melompat keluar
dari jendela kamarnya, langsung menuju ke jendela kamar
Nyai Supit yang tebuka lebar. Dua bayangan yang berkelebat
tadi sudah lenyap dari pandangan mata, hilang ditelan
kegelapan malam. Awijaya menerobos masuk ke kamar
perempuan gemuk itu.
"Nyai...!" Awijaya terpekik kaget begitu berada di dalam
kamar itu.
Bergegas Awijaya memburu sosok tubuh gemuk yang
menggeletak berlumuran darah di atas pembaringan. Suasana
di dalam kamar itu benar-benar berantakan. Meja kursi,
lemari, dan perabotan lain bergelimpangan hancur
berantakan.
"Nyai...," agak tertahan suara Awijaya.
Bola mata pemuda itu berputar, merayapi darah yang
mengucur deras dari dada dan leher Nyai Supit Pemuda itu
sempat melihat adanya gerakan lemah dari kepala wanita
gemuk itu.
"Ki Praba...," hanya itu yang bisa diucapkan Nyai Supit.
Seketika itu juga kepalanya terkulai, tidak bergerak-gerak
lagi. Awijaya mengguncang-guncangkal tubuh tambun itu.
Tapi nyawa Nyai Supit sudah meria hilang, terbang dari
raganya. Awijaya terduduk lemas. Wajahnya sebentar
memerah, sebentar memucat pasi Dadanya bergemuruh
hebat, kemudian bangkit berdiri "Nyai, aku akan membalas
kematianmu. Ki Praba harus mati terancang. Aku janji,
Nyai...!" agak tersendat suara Awijaya.
Secepat kilat pemuda berbaju merah muda itu melesat
keluar melalui jendela kamar yang terbuka berantakan. Dalam
sekejap saja dia sudah berlari kencang menembus kegelapan
malam. Tujuannya jelas kediaman Ki Praba yang tidak berapa
jauh dari rumah penginapan dan kedai Nyai Supit. Tanpa
menghentikan larinya, Awijaya melompat melewati pagar batu
yang cukup tinggi seperti benteng. Langsung didaratkan
kakinya ringan di tengah-tengal halaman yang luas bagai
lapangan. Keadaannya sangat sunyi, tidak terlihat seorang
pun di sekitarnya. Bahkan hanya ada sebuah pelita saja yang
menyala di bagian beranda depan. Selebihnya hanya
kegelapan yang ada.
"Ki Praba! Keluar kau...!" teriak Awijaya lantang. Sepi.
Tidak ada sahutan sedikit pun. Hanya angin malam yang
dingin menyahuti teriakan pemuda itu Awijaya mengedarkan
pandangan ke sekeliling. Tetap sunyi. Tidak terlihat seorang
pun di sekitar rumah besar ini
"Pengecut!" geram Awijaya.
Pemuda berbaju merah muda itu melompat dan berputaran
dua kali di udara. Dan dengan manis sekali, tanpa
menimbulkan suara sedikit pun kakinya mendarat di beranda
depan. Kembali dia berteriak keras, menyuruh Ki Praba keluar.
Tapi tetap saja tidak ada sahutan. Awijaya semakin kesal tak
tertahankan. Dirampasnya pelita yang tergantung di beranda.
Dengan kemarahan yang meluap, pemuda itu melemparkan
pelita ke dalam rumah. Seketika saja api berkobar besar
melahap bagian dalam rumah itu.
"Hiyaaa...P”
Awijaya melompat ke atas atap, dan terus berlari ke bagian
belakang. Ringan sekali tubuhnya melunak turun, tanpa
menimbulkan suara sedikit pun. Pemuda itu mendarat lunak di
bagian belakang rumah besar ini. Sebuah pelita yang
menempel di dinding direnggut secara kasar, lalu
dilemparkannya ke dalam rumah. Kembali api berkobar
membesar begitu pelita itu pecah berantakan.
"Huh!" Awijaya mendengus menyemburkan ludahnya
Tanpa menghiraukan api yang semakin membesar melahap
rumah besar itu, Awijaya melentingkan tubuhnya keluar,
kembali ke halaman depan. Betapa terkejutnya dia begitu
kakinya mendarat. Tampak penduduk berbondong-bondong
membawa obor, lalu melemparkannya ke rumah besar yang
selama ini dibencinya.
Tindakan Awijaya membuat para penduduk yang selama ini
hanya diam tertekan penderitaan, benar-benar ingin
melampiaskan segala tekanan batinnya pada rumah besar itu.
Api semakin besar berkobar melahap setiap bagian rumah
besar bagai istana itu. Awijaya memandanginya tanpa
berkedip. Ada sedikit keharuan di hatinya ketika melihat para
penduduk bersorak-sorai gembira menyaksikan rumah yang
dianggap sebagai sumber neraka dan malapetaka kini dilahap
api dengan ganasnya.
Awijaya membalikkan tubuhnya, dan melangkah
meninggalkan tempat yang terang benderang dilahap api Dia
berjalan sambil menyibakkan kerumunan penduduk yang
memadati halaman besar rumah itu. Ada kegembiraan,
kesedihan, dan keharuan di dalam hatinya. Bermacam
perasaan berkecamuk, sukar untuk diungkapkan dengan
untaian kalimat Tak ada seorang yang memperhatikan
pemuda berbaju merah muda yang terus melangkah semakin
jauh.
***
“Siapa sebenarnya yang membunuh Nyai Supit? Kemana Ki
Praba pergi...?”
Tak sedikit pertanyaan yang mengganggu pikiran Awijaya
Pemuda itu pergi tanpa tujuan dengan membawa hati yang
panas, terselimut dendam membara.
Hanya satu dalam pikirannya. Mencari Ki Praba. Dia yakin
betul kalau laki-laki itulah yang membunuh Nyai Supit.
Meskipun dalam keadaan gelap, masih sempat dikenali salah
satu bayangan yang berkelebat cepat keluar dari kamar Nyai
Supit malam itu.
Sementara itu, di sebelah Utara Bukit Sidayu, tampak Ki
Praba duduk mencangkung di atas batu. Kedua kakinya
terendam ke dalam sungai yang kecil berair jernih. Di
dekatnya berdiri Jantar. Pandangan mata pemuda itu menatap
lurus ke tanah di tepi sungai kecil ini.
"Ki...," panggil Jantar, seraya berjongkok menekuri tanah
berair.
"Ada apa?" tanya Ki Praba menghampiri.
"Ada jejak kaki dua orang. Arahnya menuju ke hulu," jelas
Jantar
"Hm...," Ki Praba menggumam pelahan. Diamati jejak-jejak
kaki yang hampir tenggelam. Kelihatan masih jelas membekas
di tanah.
"Jelas kalau ini jejak kaki laki-laki dan perempuan, Ki,"
tegas Jantar seraya berdiri dan melangkah pelan-pelan
mengikuti jejak-jejak kaki yang tertera cukup jelas di tanah
tepi sungai ini.
"Belum ada yang ke hulu melalui tepi sungai ini...," gumam
Ki Praba.
"Kecuali Rara Wanti," sambung Jantar.
"Benar. Ayo kita ke sana!" seru Ki Praba.
Kedua laki-laki itu bergegas mengayunkan kakinya
mengikuti jejak yang menuju ke hulu. Mereka tahu kalau di
bagian hulu sungai ini ada sebuah desa kecil. Desa
Pekacangan yang kerap didatanginya. Di desa itu Ki Praba
juga mempunyai teman yang setiap saat bisa membantunya.
Ki Praba semakin bersemangat Memang kepala Rara Wanti
dan orang yang mem bawanya ingin segera dipenggalnya.
"Kenapa bergegas, Ki Praba...?" tiba-tiba terdengar suara
teguran lunak.
Ki Praba dan Jantar tersentak kaget. Mereka langsung
berhenti melangkah, dan menoleh ke arah datangnya suara
tadi Tampak seorang laki-laki yang masih muda usianya
tengah duduk bersila di atas sebatang pohon tumbang.
Pakaiannya putih panjang, hampir menutupi kakinya.
Rambutnya putih. Dan yang paling menonjol adalah raut
wajahnya yang pucat bagai mayat Ki Praba kenal betul, kalau
laki-laki itu adalah si Muka Mayat, salah seorang musuhnya.
"Sukar dipercaya kalau Ki Praba rela turun tangan hanya
untuk memburu seseorang. Ah..., mungkin pamornya sudah
hilang, sehingga berjalan kaki tergesa-gesa hanya ditemani
seekor anjing geladak," pelan kata-kata si Muka Mayat, tapi
sanggup membuat wajah Jantar merah padam.
"Muka Mayat! Apa pedulimu dengan urusanku?!" bentak Ki
Praba sengit
"Tentu saja aku peduli kalau kau tetap memburu Rara
Wanti," sahut si Muka Mayat kalem.
"Phuih! Dia anakku, tidak ada urusannya denganmu!"
"Anakmu...? Ha ha ha...!" si Muka Mayat tertawa tergelak-
gelak. Namun suara tawanya begitu sumbang dan tidak enak
didengar. "Sejak kapan kau punya anak, Ki Praba? Bukankah
Rara Wanti itu hanya budak pajanganmu? Lambang
hadiahmu? Sungguh dunia sudah terbalik...!"
"Tutup mulutmu, keparat!" geram Ki Praba gusar, lalu
melirik Jantar.
"Ha ha ha...!" si Muka Mayat semakin keras tergelak.
Perutnya yang agak buncit terguncang-guncang menahan rasa
geli yang menggelitik tenggorokannya.
"Keparat..! Mampus kau! Hiyaaat..!"
Ki Praba tidak bisa lagi menahan amarahnya, dan langsung
melompat cepat bagai kilat menerjang laki-laki muda yang
usianya sekitar tiga puluh tahun itu. Secepat itu pula Ki Praba
melontarkan dua pukulan dahsyat bertenaga dalam tinggi
secara beruntun.
"Hait..!"
Namun dengan manis sekali si Muka Mayat berkelit
melambungkan dirinya ke atas, kemudian berputaran di udara
melewat' kepala Ki Praba. Dan sebelum kakinya menjejak
tanah, satu tendangan menyamping diarahkan ke punggung
laki-laki setengah baya itu. Tapi belum juga tendangannya
sampai pada sasaran, mendadak dua buah pisau kecil
meluncur deras ke arahnya.
"Ikh! Curang!" dengus si Muka Mayat seraya melentingkan
tubuhnya ke belakang.
Dan begitu kaki si Muka Mayat mendarat di tanah, kembali
dua buah pisau tipis meluncur bagai kilat ke arahnya, disusul
tebasan sebilah pedang ke arah leher. Menghadapi dua
serangan kilat dan dahsyat itu, si Muka Mayat tidak punya
pilihan lain lagi. Secepat kilat dilepaskan sabuknya, dan
langsung diputarnya bagai baling-baling.
Trang! Tring!
Baik Ki Praba maupun Jantar terkejut saat senjata-
senjatanya berbenturan dengan sabuk si Muka Mayat Sabuk
yang kelihatan lemas itu ternyata sangat kuat, melebihi baja.
Senjata Ki Praba sampai terpental hampir terlepas dari tangan.
Sedangkan pisau-pisau yang dilepaskan Jantar mental balik ke
arah pemiliknya.
"Hup!"
Jantar menggerakkan tangannya cepat, dan tangkas sekali
menangkap pisau-pisau itu. Si Muka Mayat tertawa terkekeh.
Sementara Ki Praba dan Jantar saling berpandangan sejenak,
kemudian serempak menyerang menggunakan senjata
masing-masing dari dua arah yang berlawanan.
***
LIMA
Ki Praba dan Jantar benar-benar tidak lagi memberi
kesempatan si Muka Mayat untuk tetap hidup. Mereka
menyerang secara beruntun dan bergantian. Sedikit pun tidak
memberi peluang lawan untuk balas menyerang. Hal ini tentu
saja membuat si Muka Mayat kelabakan setengah mati.
Beberapa pukulan dan tendangan bertenaga dalam tinggi
bersarang di tubuhnya. Beberapa kali dia berusaha kabur, tapi
selalu dapat terkejar.
Tempat pertarungan sudah berpindah-pindah, dan semakin
menjauhi sungai. Tanpa disadari, justru mereka semakin dekat
ke hulu. Daerah sekitar pertarungan itu benar-benar porak-
poranda. Pohon-pohon bertumbangan, batu-batu pecah
berantakan. Tapi pertarungan itu masih terus berlangsung
sengit.
"Jantar, ambil kaki...!" tiba-tiba Ki Praba berseru nyaring.
"Baik, Ki!" sahut Jantar. "Hiyaaat...!"
Jantar tidak membuang waktu lagi, dan langsung menyusur
mempergunakan jurus 'Ular Melibat Bukit*. Sasaran yang
diincar tentu saja kaki lawan. Hfil ini membuat si Muka Mayat
harus berpelantingan ke atas menghindari serangan yang
tidak pernah berpindah itu. Tapi laki-laki muda itu jadi
tersentak, karena Ki Praba justru mengarahkan serangan ke
bagian dada dan kepala
"Modar...!" seru Ki Praba tiba-tiba.
Seketika itu juga Ki Praba menggedor tangannya ke arah
dada si Muka Mayat, namun masih juga bisa dihindari. Tapi si
Muka Mayat tidak bisa lagi menghindari sabetan tangan Jantar
pada betisnya, dan....
"Akh...!" si Muka Mayat memekik tertahan.
Tulang betis si Muka Mayat langsung remuk seketika, dan
tubuhnya jatuh bergulingan di atas tanah. Pada saat itu, Ki
Praba menghunjamkan pedangnya ke arah dada si Muka
Mayat
"Mampus kau! Hiyaaat..!"
Cleb!
"Aaakh...!" si Muka Mayat menjerit keras melengking.
Darah langsung muncrat begitu pedang Ki Praba ditarik
keluar. Dan laki-laki setengah baya itu belum juga puas
meskipun lawannya sudah menggelepar meregang nyawa
Maka dibabatkan pedangnya ke arah leher, hingga kepala si
Muka Mayat terpisah dari tubuhnya.
'Tamat riwayatmu, Muka Mayat!" desis Ki Praba diiringi
desahan napas panjang.
Ki Praba memasukkan kembali pedangnya ke dalam
sarungnya di punggung. Kakinya melangkah menghampiri
Jantar, yang sudah berdiri tegak mengatur jalan napasnya.
Sebentar mereka saling berpandangan, kemudian melangkah
menuju ke Desa Pekacangan yang tidak berapa jauh lagi.
Mereka berjalan tanpa berkata-kata lagi.
Tapi tiba-tiba saja Jantar berhenti melangkah, lalu menatap
tajam pada Ki Praba. Dan Ki Praba juga menghentikan
langkahnya. Agak heran juga laki-laki setengah baya ketika
melihat tatapan mata yang begitu tajam menusuk.
"Ada apa, Jantar?" tanya Ki Praba.
"Benarkah yang dikatakan si Muka Mayat tadi, Ki?" Jantar
balik bertanya. Suaranya datar, bernada minta penjelasan.
"Kata-kata yang mana?"
'Tentang Rara Wanti. Benarkah dia bukan anakmu?"
"Ha ha ha...!" Ki Praba tertawa terbahak-bahak.
"Benar Rara Wanti bukan anakmu, Ki?" tanya Jantar
mengulangi pertanyaan. Ada sedikit tekanan pada nada suara
pemuda itu.
'Tidak usah kau hiraukan, Jantar. Rara Wanti itu anakku,"
jelas Ki Praba seraya menepuk bahu kanan pemuda itu.
'Tapi kenapa kau akan membunuhnya?" tanya Jantar
meminta penjelasan.
"Bagiku seorang pengkhianat harus dibunuh, tidak peduli
apakah anak atau bukan!" tegas jawaban Ki Praba.
Jantar terdiam. Jawaban tegas itu membuatnya teringat
peristiwa beberapa tahun yang laki. Ki Praba memenggal istri
ketiganya tanpa bergeming sedikit pun. Padahal hanya karena
istri ketiganya berbicara berdua dengan seorang lelaki di
tegalan. Bahkan tega-teganya Ki Praba memancung kepalanya
di atas tonggak bambu selama tujuh hari. Katanya, itu sebagai
peringatan bagi yang lain agar berpikir dua kali kalau ingin
mengkhianatinya. Tapi, benarkah Rara Wanti berkhianat?
Jantar sendiri tak mengerti. Masalahnya hanya sepele. Rara
Wanti kabur dari rumah karena tak ingin terus-menerus
dijadikan barang pajangan untuk pertarungan yang selalu
diingkari Ki Praba. Sudah beberapa kali Ki Praba mengadakan
adu kepandaian jago-jago rimba persilatan, yang berhadiah
seribu keping uang emas ditambah boleh memboyong Rara
Wanti. Hadiah yang menggiurkan, tapi Ki Praba tak pernah
menepatinya Tentu saja hai ini membuat mereka yang sudah
menang jadi sakit hati, termasuk si Muka Mayat tadi. Juga, Ki
Sampar Watu dan Kebo Ireng. Mereka berusaha untuk
mengambil Rara Wanti dan membunuh Ki Praba, tapi selalu
gagal. Hingga sekarang ini, Rara Wanti jadi seorang gadis
buronan.
"Ayo, jalan lagi," ajak Ki Praba Jantar kembali melangkah
meskipun jawaban yang diberikan Ki Praba belum memuaskan
hatinya.
Tapi hal itu tidak berani ditanyakannya lagi. Masalahnya,
sedikit saja Ki Praba merasa tersinggung, kepala Jantar bisa
terpisah seketika.
"Jantar, bagaimana kalau kutawarkan Rara Wanti
untukmu?" ujar Ki Praba setelah lama terdiam.
"Ah, Ki Praba bergurau," desah Jantar tidak percaya.
"Syaratnya hanya satu. Itu pun kalau kau terima, Jantar,"
kata Ki Praba lagi.
"Rara Wanti terlalu cantik untukku, Ki Lagi pula dia tidak
bakal mau."
"Semua bisa diatur, Jantar. Aku hanya menginginkan agar
kau membunuh laki-laki yang sekarang bersamanya. Hanya
itu," tegas Ki Praba lagi.
"Lalu, bagaimana kalau Rara Wanti menolak?"
"Paksa!',
"Apa...?"
"Ha ha ha...!" Ki Praba tertawa terbahak-bahak melihat raut
wajah Jantar yang memerah tersipu malu.
Bicara Ki Praba memang selalu blak-blakan. Bahkan terlalu
gamblang, tidak mempedulikan perasaan orang lain. Meskipun
usianya sudah cukup, tapi Jantar belum pernah sekali pun
bergaul dengan seorang gadis. Apalagi untuk memaksakan
kehendaknya pada wanita. Memang diam-diam Jantar selalu
mengimpikan bisa menyunting Rara Wanti. Bahkan sering juga
mengintip gadis itu jika mandi di sungai, atau berganti pakaian
di kamarnya. Tapi hanya segitu saja keberaniannya. Tidak
lebih!
Jika sekarang mendapat tawaran demikian, maka Jantar
merasakan seperti mendapat durian runtuh. Sudah lama
diinginkan tawaran seperti itu Dan secara jujur hatinya selalu
berdebar jika ada seorang jago yang seharusnya berhak
memboyong Rara Wanti. Tapi akhirnya dia selalu dapat
menarik napas lega, karena sampai saat ini belum ada
seorang laki-laki pun yang dapat memboyong Rara Wanti.
Hanya saja gadis itu kini bersama laki-laki lain. Dan itu pun
setelah Rara Wanti menjadi gadis buronan secara terbuka.
"Bagaimana, Jantar. Kau terima?" desak Ki Praba.
"Sulit untuk menjawabnya, Ki!" Jantar masih merendahkan
diri.
"Tidfek perlu dijawab. Asal kau tunjukkan keinginanmu, aku
sudah bisa mengerti. Pokoknya, bunuhlah laki-laki itu,
kemudian kau boyong putriku. Kemudian kita bisa kembali ke
Desa Munding, dan menguasai desa itu selamanya. Ha ha
ha...!"
Jantar hanya tersenyum dikulum. Meskipun senang, tapi
hati kecilnya masih diliputi keraguaa Bukan satu atau dua
tahun bersama Ki Praba. Tentu sudah kenal betul wataknya.
Bisa saja dia bertarung mati-matian, tapi hati kecilnya
melarang untuk lebih banyak lagi mengharap. Tidak akan
mungkin Rara Wanti bisa didapat kecuali dibawa pergi, dan
bersama-sama menjadi buronan Ki Praba. Itu pun kalau Rara
Wanti mau. Sulit bagi Jantar untuk bisa bergembira dulu
sekarang ini.
***
Sementara itu, tidak jauh dari Desa Pekacangan, Bayu
Hanggara tengah disibuki tingkah Rara Wanti yang selalu
membuntuti dan ingin ikut bersamanya. Bukannya tidak
melihat kecantikan dan kemolekan gadis itu, tapi Bayu tahu
kalau ada seorang pemuda yang lebih berhak terhadap Rara
Wanti. Dan hal ini sudah diutarakan pada Nyai Supit untuk
mengembalikan Rara Wanti pada Awijaya.
"Ini kan jalan ke Desa Munding...," gumam Rara Wanti
begitu mengenali jalan yang ditempuhnya.
"Memang," sahut Bayu kalem.
"Mau apa ke sana?" Rara Wanti membeliak, dan langsung
berhenti melangkah.
"Aku ada janji dengan seseorang di sana," sahut Bayu
masih tetap kelem.
"Janji sama siapa?" tanya Rara Wanti. Nada suaranya
sedikit ditekan.
"Teman," sahut Bayu singkat, seraya kembali melangkah.
"Wanita?" tebak Rara Wanti kembali berjalan di samping
Pendekar Pulau Neraka itu.
"He-eh."
"Cantik?"
Bayu tidak menjawab, tapi hanya tersenyum saja. Dari
nada suaranya, Bayu sudah bisa menebak apa yang diingini
gadis ini. Tapi justru itulah yang tidak diinginkannya. Bayu
selalu menjaga jarak, meskipun beberapa kali sikap Rara
Wanti seperti sengaja memancingnya.
"Cantik mana dia denganku?"
Terkejut juga Bayu mendengar pertanyaan itu, sehingga
langsung berhenti melangkah. Ditatapnya dalam-dalam bola
mata yang bulat, bening dan indah itu. Rara Wanti bukannya
memalingkan muka, tapi malah membalasnya dengan tajam
pula. Sepertinya gadis ini sudah nekad, sehingga tidak bisa
lagi memendam terus perasaannya pada pendekar muda yang
tampan dan sangat tinggi kepandaiannya ini. Memang sudah
menjadi wataknya bahwa Rara Wanti selalu mengagumi
pemuda yang memiliki kepandaian sangat tinggi. Terlebih lagi
pemuda itu berwajah tampan dan tegap berisi.
"Sudah sore, sebaiknya kita cari tempat bermalam," kata
Bayu tidak ingin melanjutkan.
"Kau belum menjawab pertanyaanku, Kakang," desak Rara
Wanti.
"Nanti juga kau akan tahu...," ucapan Bayu terputus.
Telinga Pendekar Pulau Neraka yang tajam dan terlatih,
tiba-tiba mendengar langkah kaki yang halus, tidak beberapa
jauh dari tempat ini Tanpa membuang-buang waktu lagi, Bayu
menarik tangan Rara Wanti, dan langsung melompat tinggi ke
atas. Tanpa menimbulkan suara sedikit pun, Pendekar Pulau
Neraka itu hinggap bersama Rara Wanti di atas dahan yang
tinggi.
"Ada apa?" bisik Rara Wanti.
"Ssst...!" Bayu menutup bibir gadis itu dengan jari
telunjuknya.
Rara Wanti malah memegang jari itu dan menciumnya
lembut. Sejenak Bayu menatap, kemudian menarik tangannya
tanpa membuat hati gadis itu tersinggung. Dan belum lagi
Rara Wanti mengucapkan sesuatu, terlihat dua orang laki-laki
berjalan cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh.
Hampir saja Rara Wanti memekik begitu mengenali dua
orang yang berjalan di bawah pohon ini. Untung saja Bayu
cepat-cepat membekap mulutnya. Dua orang laki-laki itu terus
saja berjalan cepat tanpa ada suara sedikit pun yang
ditimbulkannya. Bayu baru melepaskan bekapannya setelah
kedua orang itu tidak terlihat lagi.
"Ayah..., mau apa dia?" tanya Rara Wanti untuk dirinya
sendiri.
"Arahnya ke Desa Pekacangan," kata Bayu.
"Ayah pasti ke rumah Paman Praraga. Celaka, Bayu!"
sentak Rara Wanti langsung pucat wajahnya.
"Kenapa?" Bayu menatap dalam-dalam bola mata gadis itu.
"Paman Praraga sangat tinggi ilmunya, dan kejam sekali.
Dia satu-satunya kerabat Ayah yang tidak pernah
menyukaiku," jelas Rara Wanti singkat
"Hm..., Pasti ada sebabnya, bukan?" gumam Bayu.
"Ya. Aku telah menolak pinangan anaknya."
"Kenapa?"
"Aku tidak suka terhadap laki-laki lemah. Sekali pukul saja
pasti sudah mampus. Dia kutu buku, lebih senang mempelajari
ilmu sastra dari pada ilmu olah kanuragan. Lagaknya saja
seperti perempuan!" terdengar sengit nada suara Rara Wanti.
"Tidak kusangka! Ternyata begitu banyak laki-laki yang
menyukaimu, Rara Wanti," ujar Bayu tersenyum tipis.
"Huh! Aku benci mereka semua. Hanya melihati dari
kecantikan saja. Mereka memilikiku bukan karena cinta dan
kasih sayang, tapi karena napsu. Aku tidak suka laki-laki
seperti itu."
'Tapi masih ada yang mengharapkanmu bukan karena
napsu, tapi didasarkan pada cinta yang tulus dan mumi,"
potong Bayu cepat.
Rara Wanti menatap dalam-dalam pemuda itu. Tanpa
berkata apa-apa lagi, dia melompat turun. Gerakannya
sungguh ringan dan indah. Jelas, gadis itu memiliki tingkat
kepandaian yang cukup tinggi. Bayu bergegas mengikuti, dan
menjejak tanah hampir berbarengan dengan gadis itu.
"Aku berharap orang itu juga memiliki kepandaian yang
sangat tinggi Bukan hanya cinta yang kubutuhkan, tapi
perlindungan dari seorang laki-laki jantan, pemberani, dan
berkepandaian tinggi," mantap kata-kata Rara Wanti.
"Kalau ternyata tidak ada laki-laki seperti harapanmu?"
Bayu coba ingin tahu.
"Lebih baik tidak kawin."
"Ha ha ha...!" Pendekar Pulau Neraka tertawa terbahak-
bahak.
"Kenapa tertawa?" rungut Rara Wanti mem-berengut
"Aku tidak yakin kalau kau berkata sungguh-sungguh,
Rara," sahut Bayu masih tersenyum.
"Aku serius!"
'Tidak ada di dunia ini yang memiliki kepandaian tinggi dan
tidak terkalahkan. Gunung yang begitu tinggi, tapi masih ada
yang lebih tinggi lagi. Begitu juga kepandaian manusia. Tidak
ada orang yang lebih tinggi dan sempurna segala-galanya
Walaupun hanya sekecil biji sawi, pasti ada kekurangannya.
Begitu juga kau, Rara Wanti. Kau cantik, menarik, dan selalu
menggairahkan. Bahkan juga cerdas, berani, tangkas, dan
berkemampuan tinggi. Tapi di balik kesempurnaannya pasti
ada kekurangan yang mungkin saja tidak kau sadari.
Termasuk juga aku," kata Bayu.
"Huh! Filsafat lagi. Aku bosan mendengar segala macam
filsafat!" dengus Rara Wanti.
"Bukannya Filsafat, tapi untuk cermin kehidupan."
Rara Wanti mengangkat bahunya, kemudian me-langkah
kembali. Pendekar Pulau Neraka mengikuti berjalan di
samping gadis itu. Tak ada kata-kata lagi yang terucap. Tapi
di dalam hati Rara Wanti, semakin mekar rasa kagumnya pada
Bayu Hanggara. Dia me mang tidak pernah menyukai kata-
kata filsafat kehidupan. Tapi setiap kali Bayu yang
mengucapkan! selalu menyentuh sanubarinya. Dan setiap kali
itu pula rasa kagumnya bertambah. Rara Wanti tidak dapat
mengelak kalau sudah jatuh hati pada Pendekar Pula! Neraka
ini.
***
Malam sudah larut, jatuh ke dalam pelukan bumi.
Kegelapan menyelimuti sebagian permukaan bumi Bulan
bersinar penuh cahayanya begitu lembut, mencoba menghalau
kegelapan. Bintang-bintang bergemerlapan menambah
semaraknya angkasa yang kelam menghitam. Bayu duduk
memeluk lutut menghadapi api unggun kecil di bawah
sebatang pohon beringin. Di sampingnya duduk Rara Wanti.
Kebisuan menyelimuti mereka berdua. Masing-masing sibuk
dengan pikirannya. Sesekali Rara Wanti melirik pemuda
tampan di sampingnya. Pelahan gadis itu menggeser tubuhnya
agar lebih merapat lagil Semakin rapat, semakin berkurang
jarak di antara mereka. Bayu menoleh begitu merasakan
sentuhan kulit yang halus lembut pada tangannya.
"Dingin, ya...," desah Rara
Wanti seraya memandangi
wajah Pendekar Pulau Neraka
"Hhh...!" Bayu hanya
menghembuskan napas
panjang.
Bayu hanya diam saja saat
Rara Wanti menjatuhkan kepala
di bahunya. Bahkan tangan
gadis itu melingkar memeluknya
erat Darah dalam tubuh
Pendekar Pulau Neraka itu
serasa lebih cepat mengalir.
Bahkan jantungnya juga berdetak kencang tidak menentu.
Bayu menggeser duduknya, lalu mengangkal kepala gadis itu
dengan jari menopang dagu yang runcing.
"Kenapa? Kau tidak suka aku sedikit bermanja?' lembut
suara Rara Wanti.
Bayu tidak bisa menjawab. Secara jujur, hatinya memang
tertarik melihat kecantikan gadis ini. Tapi mengingat ada
seorang pemuda yang begitu mencintainya, dan rela
berkorban apa saja untuk memperoleh cintanya kembali, Bayu
harus bisa menekan segala perasaannya sendiri. Selama
beberapa kali ke Desa Munding, dia tahu semua yang terjadi
dari Nyai Supit Wanita gemuk yang begitu ramah dan
mengetahui semua yang terjadi di desa itu.
Bayu mempercayai wanita itu, karena selalu berterus
terang dan menjawab semua pertanyaannya apa adanya.
Terlebih lagi setelah menyangkut persoalan yang melibatkan
Rara Wanti. Bayu pun tahu hubungan yang pernah terjadi
antara Rara Wanti dengan Awijaya. Dia juga sudah tahu
pemuda itu, meskipun belum pernah bertegur sapa. Pernah
sekali Bayu mencoba mempertemukan keduanya, tapi gagal.
Masalahnya Rara Wanti tidak ingin menemuinya, bahkan
kelihatan membencinya.
Pendekar Pulau Neraka itu tersentak kaget ketika tiba-tiba
dirasakan satu kecupan lembut mendarat di bibirnya. Dan
lebih kaget lagi begitu menyadari kalau Rara Wanti sudah
melingkarkan tangannya ke leher. Bayu berusaha
melapaskannya, tapi pelukan gadis itu demikian kuat Bahkan
kini mulut mereka sudah menyatu rapat
"Rara...," desah Bayu begitu Rara Wanti melepaskan
mulutnya dari bibir pemuda itu.
"Kenapa? Kau belum pernah bercinta?" tetap lembut nada
suara Rara Wanti.
"Bukan. Bukan itu masalahnya," bantah Bayu dengan nada
tegas.
"Lalu? Apa aku tidak pantas bercinta denganmu?" Rara
Wanti semakin berani. Memang tidak bisa lagi ditahan
geloranya yang mengaduk-aduk seluruh rongga dadanya.
Untuk sesaat Bayu tidak bisa menjawab. Ditelan ludahnya
untuk membasahi kerongkongannya yang kering mendadak.
Dipandanginya wajah yang begitu dekat Sedemikian dekatnya,
sehingga desah napas Rara Wanti terasa hangat menerpa kulit
wajah Pendekar Pulau Neraka.
Rara Wanti menggerakkan tubuhnya sedikit. Entah
disengaja atau tidak, belahan baju pada bagian dadanya
sedikit terbuka. Tentu saja dua buah tonjolan yang ranum
terbalut kulit putih sedikit tampak oleh mata telanjang. Bayu
tidak bisa mencegah matanya untuk melirik ke arah
pemandangan indah itu. Dadanya semakin keras berdebar.
Beberapa kali ditelan ludahnya untuk membasahi tenggorokan
yang terasa semakin kering kerontang.
"Peluk aku, Kakang. Cumbulah sepuasmu...,! desah Rara
Wanti agak tertahan suaranya.
Bayu jadi serba salah. Pikirannya kacau tidak menentu. Ada
dua kutub yang saling bertentangan, dan begitu kuat menarik
dirinya. Pendekar Pulau Neraka itu tidak mampu lagi menolak
saat jari-jari tangan yang lentik dan halus menggerayangi
tubuhnya. Dan pertahanan Bayu semakin rapuh begitu Rara
Wanti secara sengaja menyingkap pahanya.
"Ah...," Bayu mendesah panjang melihat sebentuk daging
putih yang mulus dan indah tanpa cacat, Tangannya tak
mungkin bisa ditahan lagi.
Rara Wanti mendesis lirih merasakan halusnya belaian
tangan Pendekar Pulau Neraka pada bagian pahanya yang
gempal. Semakin lama jari-jari tangan itu semakin merayap
naik. Hilang sudah pertahanan Baya Dibaringkan tubuh Rara
Wanti dengan lembut, dan melumat bibir gadis itu disertai
gairah yang menggelegak dalam dada. Rara Wanti merintih,
desis, dan menggeliat-geliatkan tubuhnya.
"Oh..., Kakang...," desis Rara Wanti lirih.
***
ENAM
Bayu menggelinjang bangun ketika merasakan kehangatan
pada tubuh yang tersiram sinar matahari pagi. Bergegas dia
bangkit duduk, dan merapihkan pakaiannya. Pendekar Pulau
Neraka itu menarik napas panjang. Tatapannya langsung
tertuju pada Rara Wanti yang tengah duduk, memanggang
seekor ikan yang cukup besar. Gadis itu tersenyum manis.
"Kau tidur nyenyak sekali," ujar Rara Wanti lembut
"Hm...," Bayu hanya menggumam saja.
"Kenapa? Kok murung begitu?"
"Tidak apa-apa," sahut Bayu seraya bangkit berdiri.
Digerak-gerakkan tubuhnya untuk melemaskan otot-otot yang
kaku.
"Kau kecewa semalam, Kakang?" pelan suara Rara Wanti
Bayu tidak menyahuti, lalu kembali duduk dan bersandar
pada pohon beringin yang menaunginya dari sengatan
matahari. Dipandanginya gadis cantik tidak jauh di depannya.
Saat itu, Rara Wanti juga tengah menatap dengan sinar mata
redup. Bayu menarik napas panjang, seakan-akan ingin
melonggarkan rongga dadanya.
Apa yang terjadi semalam, memang tidak pernah diduga
sama sekali sebelumnya. Sukar bagi Bayu untuk bisa
memahami. Desahan dan rintihan lirih Rara Wanti dalam
pelukannya memang mampu membangkitkan gairahnya
sebagai seorang laki-laki normal. Tapi yang sulit dimengerti,
ternyata Rara Wanti sudah.... Bayu menggeleng-gelengkan
kepalanya. Dicobanya untuk melupakan semua yang telah
terjadi semalam.
"Ada apa, Kakang? Kenapa wajahmu murung begitu?"
tanya Rara Wanti seraya mendekati. Gadis itu duduk di depan
Bayu, dan tidak lagi mempedulikan ikan bakarnya.
"Seharusnya kau berterus terang semalam, Rara," desah
Bayu menyesali.
"Kau menyesal karena aku sudah...."
"Tidak," potong Bayu cepat
"Lalu?"
"Hhh...!" Bayu menarik napas panjang. Sukar sekali
lidahnya diajak berterus terang. Rasanya tidak tega membuat
hari gadis itu terluka.
"Aku tahu, kau menyesal kerena aku sudah tidak gadis lagi.
Iya, kan?" tebak Rara Wanti langsung. Ringan dan tidak ada
nada bersalah pada suaranya.
"Kenapa sampai kau lakukan itu?" tanya Bayu pelan.
"Karena aku mencintainya. Aku tidak ingin ada laki-laki lain
yang tidak kucintai menjamah tubuhku! Yang penting aku rela
melakukan untuknya. Jadi kalau sekarang ini ada laki-laki lain
yang menjamah tubuhku, aku tidak menyesal lagi. Karena
semua sudah kuserahkan padanya," tenang sekali kata-kata
Rara Wanti.
"Kau mencintainya, tapi kenapa tidak menemui nya?" tanya
Bayu ingin tahu.
"Dulu aku memang mencintainya, tapi sekarang tidak! Dia
telah membuatku kecewa. Tidak kusangkal kalau dia seperti
laki-laki lain yang punya hati kecili dan berjiwa kerdil. Merasa
puas setelah merenggut dari menghirup manisnya madu, tapi
tidak lagi peduli dengan sepahnya. Aku dicampakkannya
begitu saja bagai sampah kotor tak berguna!" agak keras
suara Rara Wanti.
"Kau yakin penilaianmu itu benar?"
"Yakin sekali! Tiga tahun kutunggu, tapi dia menghilang
begitu saja Pertamanya saja manis, berani berkorban
meskipun nyawa taruhannya. Ternyata dia hanya seorang
pengecut yang tidak bisa lepas dari lindungan ketiak ibunya!"
"Mungkin dia punya pertimbangan lain," Bayu terus
memancing perasaan gadis ini.
"Pertimbangan.. ? Pertimbangan apa? Dia lari bersama ibu
dan adiknya Padahal, ayahnya setengah mati
mempertahankan nyawa dari orang-orang bayaran ayahku
Seharusnya dia membela, meskipun hanya memiliki
kepandaian sedikit Aku lebih senang melihatnya mati membela
hak dan kehormatan orang tuanya, daripada ikut kabur
mengungsi selama tiga tahun. Tanpa kabar, tanpa berita sama
sekali. Menghilang begitu saja. Tidak lagi menghiraukan diriku
yang terus-menerus menanti dan diliputi kecemasan, karena
Ayah selalu menjadikanku boneka pajangan dan piala
pertarungan. Kalau saja aku seorang wanita yang lemah,
mungkin sudah dari dulu bunuh diri. Tapi semua tidak
kulakukan itu. Aku mau membalas perlakuan Ayah padaku,
meskipun aku tahu resikonya. Mari...!"
"Hm. Jadi itu sebabnya kau lari dari rumah?" Bayu mulai
mengerti jelas persoalannya sekarang.
"Masih banyak lagi. Tapi tidak bisa kuutarakan padamu,
Kakang. Hanya satu yang bisa kukatakan padamu, kalau aku
ini sebenarnya bukan anak Ki Praba!"
"Oh...!" Bayu tersentak kaget.
"Sudah kuduga, kau pasti tidak percaya."
"Bagaimana kau bisa memastikan semua itu, Rara?" tanya
Bayu ingin tahu.
"Banyak yang berkata seperti itu padaku. Salah seorang
yang bisa kupercaya hanya Nyai Supit. Meskipun suaminya
mati dibunuh orang bayaran Ayah, tapi hatinya tetap bersih.
Tidak tersimpan dendam di harinya. Dialah yang menceritakan
semua tentang diriku. Dia tahu semuanya tentang diriku sejak
aku dilahirkan, lalu diambil Ki Praba, hingga sampai sekarang
ini," jelas Rara Wanti singkat.
"Orang tuamu masih ada?" tanya Bayu.
"Hanya Ibu. Tapi aku juga tidak tahu di mani sekarang.
Ayah sudah meninggal sejak aku masih bayi Ki Praba jugalah
yang membunuh. Sudah lama Ki Praba menginginkan Ibu
untuk jadi istrinya, sejak Ibu masih gadis. Tapi Ibu memilih
Ayah. Hal ini membuat Ki Praba tidak senang. Maka
dibunuhlah Ayah dan seluruh keluarga. Untungnya Ibu masih
bisa menyelamatkan diri bersama adik laki-lakinya, tapi tidak
sempat membawaku. Ki Praba mengetahui kalau aku bayi
perempuan, lalu mengambil dan merawatku sampai besar...."
"Jadi Ki Praba itu masih dendam, dan ditumpahkan
padamu. Begitu?" Bayu mulai mengerti.
"Benar semuanya harus kutanggung sendiri. Ki Praba selalu
menambah ilmu dan menyempurnakannya. Jago-jago rimba
persilatan dianggap sebagai musuhnya. Dulu sebelum memiliki
ilmu olah kanuragan, semua orang yang punya selalu mencela
dan memandangnya rendah. Maka kini dilampiaskan dendam
masa mudanya dulu dengan mengundang jago-jago
persilatan. Mereka diadu seperti ayam, dan aku sebagai
taruhannya. Tapi semua itu hanya akal liciknya saja. Ki Praba
tidak pernah menyerahkan semua hadiah yang dijanjikan,
termasuk aku yang selalu dipertahankannya. Hatinya senang
sekali melihat orang-orang saling bunuh. Dia puas dapat
mengadu orang-orang berilmu. Dia gila, Kakang. Dia bukan
lagi manusia waras."
"Aku tahu, Rara. Hanya saja yang tidak kumengerti, kenapa
baru sekarang ini kau memberontak? Kenapa tidak dari dulu
saja?" tanya Baya
"Kau pikir mudah keluar dari sangkar emas itu? Ke mana
saja aku pergi, selalu diikuti tidak kurang dua puluh orang
bersenjata lengkap."
"Lalu, bagaimana caranya bisa keluar tanpa diketahui?"
tanya Bayu lagi semakin ingin tahu.
"Dengan bantuan pelayanku. Dialah yang memberi jalan.
Aku menyamar menjadi dirinya, memakai pakaiannya,
menutupi kepala dan wajahku dengan kerudung. Aku bisa
lolos tanpa mendapat hambatan apa pun. Tapi kasihan,
pelayan itu mari dipenggal lehernya. Memang hal itu tidak
kulihat, tapi semua orang berkata begitu. Dan aku hanya bisa
melihat mayatnya yang terpancang dengan kepala terpisah di
tiang."
"Hhh...!" Bayu menarik napas panjang dan berat.
"Sekarang kau sudah tahu siapa dan bagaimana diriku
sebenarnya. Aku tidak akan marah atau tersinggung kalau kau
membenciku. Rasanya tidak ada salahnya jika aku
menginginkan seorang laki-laki yang bisa menjadi
pelindungku," kata Rara Wanti mengakhiri kisah hidupnya.
"Aku bisa mengerti, Rara," desah Bayu pelan.
'Terima kasih. Hanya kau satu-satunya laki-laki yang
bersedia mengerti tentang diriku," ujar Rara Wanti tersenyum
tipis.
"Masih ada satu lagi."
"Oh...! Siapa?" Rara Wanti terkejut.
"Awijaya."
"Siapa...?!"
Sepanjang jalan Rara Wanti hanya membisu saja, meskipun
Bayu sudah mengatakan semua yang diketahuinya. Juga
pertemuannya dengan Nyai Supit pun sudah diceritakannya.
Juga semua cerita-cerita perempuan tua itu. Dia tahu tentang
Awijaya juga dari perempuan gemuk pemilik kedai dan rumah
penginapan itu.
Bayu sendiri tidak bisa menebak, apa yang sedang terjadi
dalam diri Rara Wanti saat ini. Yang jelas, sekarang gadis itu
hanya diam membisu seperti tidak mendengar semua yang
dikatakan Baya Ayunan kakinya pelahan, dan kepalanya selalu
tertunduk menekuri ujung jari kakinya di jalan setapak
berumput kering.
"Bukan maksudku ingin mencampuri semua urusanmu,
Rara. Terlebih lagi urusan pribadimu. Aku hanya ingin
mengatakan kalau, sebenarnya Awijaya selalu berjuang untuk
membebaskanmu dari cengkeraman Ki Praba. Dia sudah tahu
semua tentang dirimu, bahkan bertekad untuk mencari ibumu
Selama Bga tahun ini diperdalam kepandaiannya untuk
menghadapi ayah angkatmu, dan membawamu pergi," kata
Bayu berusaha menyakinkan hati Rara Wanti.
"Kenapa kau katakan semua itu, Kakang?" tanya Rara
Wanti seraya mengangkat kepalanya, menatap jauh ke depan.
"Karena aku mengagumimu. Pokoknya aku tidak ingin kau
merusak kekagumanku dengan bersikap masa bodoh seperti
itu," sahut Bayu mantap.
'Bukan karena kau iba padaku, Kakang?"
"Tidak! Aku tahu kau tidak suka dikasihani. Dan lagi aku
memang tidak pernah kasihan terhadap penderitaanmu
selama ini. Sama sekali tidak! Justru aku kagum akan
ketabahanmu"
Rara Wanti menghentikan langkahnya. Diputar tubuhnya
menghadap Pendekar Pulau Neraka. Ditatapnya dalam-dalam
wajah tampan di depannya, seakan-akan hendak mencari
sesuatu pada sorot mata yang selalu tajam itu.
"Kau berkata yang sebenarnya, Kakang?" pelan suara Rara
Wanti.
'Tentu," sahut Bayu mantap.
"Sungguh?"
Bayu mengangguk pasti. "Oh, Kakang...."
Bayu jadi gelagapan begitu tiba-tiba Rara Wanti
memeluknya erat-erat. Ragu-ragu Bayu membalas pelukan itu.
Entah kenapa, mendadak saja dirasakan dadanya jadi longgar.
Harinya terasa lapang, bagal tersiram setetes air yang begitu
menyejukkan. Tapi, semua yang dirasakan itu hanya sesaat,
karena tiba tiba saja terdengar suara bentakan keras
mengejutkan! "
Rara...! Keparat..!"
Rara Wanti langsung melepaskan pelukannya, lalu berbalik
ke arah datangnya suara bentakan tadi Tampak di situ berdiri
seorang pemuda berwajah penuh luka dan berewokan.
Bajunya merah muda dengan sebilah pedang tergantung di
pinggangnya. Bayu juga mengarahkan pandangannya ke sana,
dan langsung mengenali pemuda itu.
"Kakang Awijaya...," desis Rara Wanti bergetar.
Rara Wanti jadi serba salah. Sebentar ditatapnya Awijaya,
dan sebentar beralih pada Pendekar Pulau Neraka. Entah
kenapa, tiba-tiba. Sudah jelas kalau pemuda itu tadi
melihatnya tengah berpelukan.
"Kakang, apa yang kau lakukan di sini?" tanya Rara Wanti
memecah kebisuan yang terjadi beberapa saat lamanya.
"Seharusnya aku yang bertanya begitu padamu, Rara!"
dingin nada suara Awijaya.
"Aku... aku tidak melakukan apa-apa," bergeta dan
tergagap kata-kata Rara Wanti.
"Kau pikir mataku buta! Aku belum buta, Rara Aku belum
tuli! Aku tahu semua yang kau lakukan bersama keparat
penculik itu!" Awijaya menuding Pendekar Pulau Neraka.
"Kau salah sangka. Aku tidak menculik Rara Wanti,
Kisanak," sergah Bayu berusaha tenang.
"Diam! Aku tidak bicara denganmu!" bentak Awijaya kasar.
Bayu langsung diam, tapi tatapan matanya tajam menusuk.
"Sabar, Kakang. Akan kujelaskan semuanya padamu," kata
Rara Wanti buru-buru.
"Tida ada yang perlu dijelaskan lagi, Rara. Menyesal aku
bersusah payah, jauh-jauh datang ke sini untuk menerima
kekecewaan. Seharusnya aku tahu, kalau kau memang bukan
seorang gadis.... Ah! Keparat kau, Rara!" geram Awijaya.
"Kakang...!" sentak Rara Wanti memerah wajahnya.
Rara Wanti yang sudah mulai menyadari kekeliruannya
tadi, dan mencoba untuk bersikap sabar dan lunak, menjadi
berang mendapat perkataan kasar itu. Wajahnya merah
padam, gerahamnya bergemelutuk menahan amarah. Tapi
gadis itu masih berusaha untuk tetap tenang. Semua kata-
kata dan nasehat Pendekar Pulau Neraka sudah merasuk
dalam hatinya. Yang jelas, dia ingin menjadi seorang wanita
yang tabah, tenang, dan berpikiran luas.
"Minggir kau Rara! Aku sudah bersumpah untuk
memenggal siapa saja yang berada di belakangmu Termasuk
kau, Pendekar Pulau Neraka keparat!" keras dan lantang suara
Awijaya.
Setelah berkata demikian, Awijaya langsung melompat
secepat anak panah terlepas dari busurnya! Tangan kirinya
mendorong tubuh Rara Wanti, sedangkan tangan kanannya
melepaskan pukulan keras bertenaga dalam tinggi ke arah
Pendekar Pulau Neraka
"Ah...!" Rara Wanti terperanjat tubuhnya terdorong sejauh
tiga batang tombak ke belakang. Pada saat yang sama, Bayu
Hanggara terkesiap. Kelihatannya sulit untuk menghindari
terjangan yang cepat dan tidak terduga itu. Pukulan yang
keras bertenaga dalam tinggi telak menghantam dadanya.
"Akh!" Bayu memekik tertahan. Tubuhnya terlontar cukup
jauh.
Tiga batang pohon kontan tumbang terlanda tubuh
Pendekar Pulau Neraka itu. Namun dengan cepat Bayu
melompat bangkit berdiri. Bibirnya meringis merasakan nyeri
pada tulang-tulang rongga dadanya Tampak dari sudut
bibirnya mengalir darah kental. Bayu menggerak-gerakkan
tangannya di depan dada untuk menyalurkan hawa murni agar
rasa nyeri yang menyesakkan dadanya terusir.
"Hiyaaat...!"
Sambil berteriak keras, Awijaya sudah kembali I menerjang
selagi Bayu berusaha memulihkan kondisi tubuhnya. Meskipun
rasa nyeri masih menghinggapi dadanya, tapi Bayu cepat-
cepat berkelit. Dibanting tubuhnya ke tanah dan bergulingan
beberapa kail Bergegas Pendekar Pulau Neraka itu bangkit
berdiri, langsung bersiap menghadapi serangan berikutnya.
Dan memang, Awijaya begitu cepat berbalik. Bahkan kini
langsung menyerang kembali dengan dahsyatnya. Setiap
lontaran pukulannya mengandung tenaga dalam yang cukup
tinggi dan sangat berbahaya. Bayu harus sedikit berhati-hati.
Sudah dirasakan betapa hebatnya tenaga dalam yang dimiliki
Awijaya, meskipun masih kalah jauh bila dibandingkan
dengannya. Kalau saja pukulan tadi mengenai orang yang
berkepandaian setingkat Awijaya, pati sudah tidak bisa
bangun lagi. Tapi untuk Pendekar Pulau Neraka, pukulan itu
hanya mengakibatkan nyeri dan sesak sebentar. Karena,
secara naluriah tenaga dalam dan hawa mumi Pendekar Pulau
Neraka langsung bekerja begitu menerima hentakan tenaga
dalam dari luar tubuh. Meskipun tidak secara penuh kerjanya,
tapi itu sudah membantu menjaga perlindungan diri.
Pertarungan terus berlanjut semakin sengit. Namun dapat
dilihat kalau Pendekar Pulau Neraka hanya berkelit tidak
membalas sama sekali. Sementara di tempat lain, tampak
Rara Wanti menyaksikan disertai perasaan cemas. Dia tidak
menginginkan salah satu dari kedua pemuda itu ada yang
cedera.
***
TUJUH
"Hup! Hiyaaa...!"
Tiba-tiba saja Awijaya menghentakkan kedua tangannya ke
depan sambil berteriak keras menggelegar. Tampak kedua
telapak tangan pemuda berbaju merah muda itu berwarna
merah membara bagai terbakar.
"Hap!"
Secepat kilat Bayu menyatukan tangannya dalam jarinya
terkepal rapat. Semua tangannya menyatu rapat, sehingga
kedua siku bertemu, ditekuk ke atas di depan mukanya. Kedua
kakinya terpentang lebar agak tertekuk. Kini dinantikan
serangan Awijaya yangl sudah meluncur deras dengan kedua
tangan terbuka lebar ke depan.
"Yeaaah...!"
"Hiyaaa...!"
“Glarrr...!"
Ledakan keras menggelegar terjadi begitu telapak tangan
Awijaya membentur kedua tangan Pendekar Pulau Neraka
yang menyatu rapat di depan mukanya. Tampak tubuh
Awijaya terpental jauh hingga lima batang tombak. Dua pohon
dan sebongkah batu besar hancur berkeping-keping terlanda
tubuhnya.
Sementara itu Bayu masih tetap pada tempatnya, tidak
bergeming sedikit pun. Pelahan-lahan diturunkan tangannya,
dan dirapatkan kakinya kembali. Matanya lurus menatap
Awijaya yang masih menggeletak di atas reruntuhan bebatuan
yang hancur terlanda tubuhnya.
"Kakang...!" jerit Rara Wanti langsung menghambur
menghampiri Awijaya.
"Oh, Hughk...!"
Awijaya mengeluh pendek, kemudian berdahak
memuntahkan darah kental. Rara Wanti menghambur
menubruk dan memeluk tubuh pemuda itu. Diangkat dan
disandarkan tubuh pemuda itu ke tubuhnya. Darah di mulut
Awijaya dihapus dengan jari-jarinya yang lentik dan halus.
Sementara Bayu hanya memandangi saja, lalu pelahan-lahan
melangkah menghampiri.
"Kakang...," rintih Rara Wanti lirih.
Bagaimanapun bencinya gadis itu pada Awijaya yang telah
dianggap mengecewakan dirinya, tapi benih cinta masih juga
tertinggal di dalam hatinya. Tanpa dapat dicegah lagi, Rara
Wanti menitikkan air mata melihat keadaan Awijaya yang
begitu lemah. Napasnya tersengal pelahan, dan sinar matanya
redup. Hampir tidak bercahaya. Diangkat kepalanya, dan
ditatapnya wajah cantik yang sudah dipenuhi air mata itu.
Sementara Bayu sudah berlutut di depan Rara Wanti.
"Rara...," lemah suara Awyaya.
"Oh.... Kenapa kau lakukan itu, Kakang? Aku mencintaimu,
dan selalu mengharapkan dirimu. Seharusnya kau dengarkan
semua penjelasanku dulu," ratap Rara Wanti menyesali.
"Maafkan aku, Rara. Aku.... Hoekh...!"
"Kakang...!"
Rara Wanti menjerit, mengguncang-guncangkan tubuh
Awijaya yang sudah diam dengan kepala terkulai setelah
memuntahkan darah kental. Bayu segera meletakkan jari
tangannya di leher dekat rahang pemuda berbaju merah muda
itu.
"Hanya pingsan," ujar Bayu pelan.
"Oh, Kakang...," rintih Rara Wanti memeluk dan menciumi
wajah Awijaya disertai linangan air mata seperti tanggul jebol.
"Sudah, Rara. Biarkan dia berbaring. Aku akan
menyadarkannya," bujuk Bayu lembut.
"Tolong sembuhkan, aku mencintainya. Jangan biarkan dia
mati...," rintih Rara Wanti seraya meijatap Baya
"Tenanglah. Akan kucoba menyembuhkannya," sahut Baya
Rara Wanti melepaskan pelukannya pada tubuh yang diam
tak bergerak-gerak lagi Bayu mengangkatnya, dan
memindahkannya ke tempat yang teduh dan cukup nyaman.
Dibaringkan Awijaya di bawah pohon beringin. Sebentar jari-
jari tangannya bergerak lincah menotok beberapa bagian jalan
darah di tubuh pemuda berbaju merah muda itu.
Selagi Pendekar Pulau Neraka mencoba menyadarkan dan
menyembuhkan luka dalam Awijaya, Rara Wanti hanya duduk
memandangi. Disusut air matanya dengan ujung bajunya.
Sesekali masih terdengar suara isaknya yang tertahan. Agak
lama juga Bayu menyadarkan Awijaya dari ketidaksadarannya.
Dan setelah Awijaya membuka matanya, baru Pendekar Pulau
Neraka itu mencoba menyembuhkan luka dalam pemuda itu
"Hoehk...!" lagi-lagi Awijaya memuntahkan darah kental,
dan kali ini berwarna kehitaman.
Dua kali Awijaya memuntahkan darah kental; Dan pada
muntahan yang ketiga, kembali jatuh pingsan. Bayu
menyadarkan kembali dengan memberikan rangsangan pada
urat-urat syarafnya. Awijaya kembali sadar, belum bisa
bergerak. Hanya matanya saja yang redup memandangi wajah
Rara Wanti dan Bayu secara bergantian. Sedikit pun tak
terucap kata, meskipun bibirnya bergetar.
"Kakang...," lirih suara Rara Wanti. Gadis itu menyeka
darah yang masih melekat di sekitar bibir Awijaya. Rara Wanti
berusaha tersenyum, meskipun terasa hambar dan bergetar.
Pelahan-lahan tangan Awijaya terangkat, dan membelai pipi
gadis itu.
"Oh...," Rara Wanti mendesah lirih. Gadis itu mendekati
tangan itu dan menciuminya. Pelahan sekali Awijaya
tersenyum. Matanya sebentar terpejam, kemudian kembali
terbuka. Langsung ditatapnya Bayu yang duduk bersila di
samping kanannya! Pendekar Pulau Neraka itu tersenyum dan
menepuk punggung tangan Awijaya.
"Bersemadilah dengan berbaring," ujar Bayu lembut.
Awijaya tidak menyahuti, namun sinar matanya begitu
banyak menyiratkan kata-kata Bayu beranjak! bangkit berdiri
dan melangkah menjauh, sengaja memberi kesempatan pada
Rara Wanti untuk berdua saja dengan kekasihnya.
***
Suatu suara mendesing membangunkan Bayu dari
semadinya Pendekar Pulau Neraka itu menarik kepalanya ke
belakang, maka sebatang ranting kering melesat cepat di
depan mukanya. Belum lagi Bayu menarik pulang kepalanya,
tiba-tiba terdengar suara tawa terkekeh.
"He he he...!"
Bayu kontan melompat berdiri. Sempat diliriknya ke arah
Awijaya yang sudah bisa duduk bersemadi di dampingi Rara
Wanti. Gadis itu juga tampak terkejut, dan menatap Pendekar
Pulau Neraka. Suara tawa terkekeh masih juga terdengar
menggema, seakan-akan datang dari segala penjuru.
"Hm...," Bayu menggumam pelahan.
Pendekar Pulau Neraka itu menggerakkan tangannya,
memberi isyarat agar Rara Wanti jangan bergerak. Gadis itu
tidak jadi bangkit. Sebentar ditatapnya Awijaya yang masih
saja duduk bersemadi sambil memejamkan mata. Raut wajah
pemuda itu sudah kelihatan segar kembali, dan napasnya pun
sudah teratur baik. Rara Wanti kembali mengarahkan
pandangannya pada Pendekar Pulau Neraka. Seketika dia
terkejut, karena tahu-tahu di depan Bayu sudah berdiri
seorang laki-laki bertubuh gemuk bulat pendek bagai bola.
Kepalanya kecil gundul. Dia mengenakan jubah berwarna biru
gelap yang hampir menutupi seluruh tubuhnya. Rara Wanti
kenai betul orang bulat seperti bola itu Dia adalah Kebo Ireng.
Kulitnya memang hitam hangus seperti kayu terbakar jadi
arang.
"Sungguh beruntung kau bisa memboyong Rara Wanti,
anak muda," ucap Kebo Ireng disertai tawanya yang terkekeh.
"Hm...," Bayu hanya menggumam tidak jelas.
'Tapi sayang, gadis itu sudah jadi milikku. Akulah yang
pertama kafi memenangkannya jauh sebelummu, anak muda,"
lanjut Kebo Ireng.
"Rara Wanti bukan milikku, juga bukan milikmu. Dia sudah
punya calon suami!" tegas Bayu.
"He he he...! Siapa pun calon suaminya, harus berhadapan
denganku dulu. Dia sudah dipertaruhkan, dan akulah
pemenangnya!" sambut Kebo Ireng.
Merah padam wajah Rara Wanti. Kata-kata Kebo Ireng
sungguh merendahkan martabatnya sebagai seorang wanita.
Kalau saja Bayu tidak cepat-cepat memberi isyarat, pasti Rara
Wanti sudah melompat menerjang laki-laki gemuk bulat dan
pendek bagai bola itu.
"Kisanak, calon suami Rara Wanti sedang sakit Jika tidak
keberatan, aku akan mewakilinya," kata Bayu tegas.
"He he he.... Kau terlalu muda untuk menandingiku,
bocah," Kebo Ireng meremehkan.
"Dan kau terlalu jelek untuk Rara Wanti!" balas Bayu
dingin.
"He he he.... Berani juga umbar bacot di depanku, bocah!"
agak memerah wajah Kebo Ireng.
"Mengapa tidak? Memecahkan kepalamu yang gundul saja
aku berani!" tantang Bayu.
"Edaan.. phuih!" Kebo Ireng menyemburkan ludahnya.
"Bagaimana? Kau berani menghadapiku? Kalau tidak, lebih
baik angkat kaki saja sebelum kugantung," Bayu memanasi
"Bocah edan!" dengus Kebo Ireng menggeram. "Terima ini!
Hiyaaat..!"
Kebo Ireng langsung mengebutkan tangan kanannya ke
depan. Seketika dari balik lengan bajunya, meluncur beberapa
benda kecil berwarna hitam pekat.
"Hait...!"
Bayu segera memiringkan tubuhnya ke samping, dan
menariknya ke belakang. Lalu cepat diangkat tangan
kanannya ke atas, sejajar kepala.
Slap! Slap...!
Kebo Ireng membeliak melihat jarum-jarum hitamnya
menempel pada Cakra yang berada di pergelangan tangan
kanan pemuda itu. Dan belum lagi hilang dari
keterkejutannya, mendadak saja Bayu mengibaskan tangan
kanannya.
"Nih, kukembalikan barangmu!"
Wut!
"Hup...!"
Kebo Ireng berlompatan menghindari jarum-ja-rumnya
sendiri yang berbalik arah menyerangnya. Senjata-senjata
kecil hitam pekat itu meluncur deras bagai kilat, melewati
tubuh gemuk cebol yang berjumpalitan menghindarinya. Dan
begitu kakinya menjejak tanah, Bayu sudah melompat cepat
sambil melepaskan pukulan keras bertenaga dalam sempurna.
"Kadal! Hih...!"
Tidak ada pilihan lain lagi bagi Kebo Ireng. Segera diangkat
tangannya untuk menerima pukulan Pendekar Pulau Neraka
itu. Tak dapat dihindari lagi, dua tangan beradu.keras
sehingga menimbulkan ledakan keras menggelagar.
"Akh...!" Kebo Ireng memekik tertahan.
Tubuh yang gemuk cebol seperti bola itu terpental sejauh
satu batang tombak. Sedangkan Bayu mendarat di bekas
tempat Kebo Ireng berdiri tadi. Pendekar Pulau Neraka itu
melipat tangannya di depan dada.
"Bagaimana, Cebol?" ejek Bayu disertai senyuman sinis.
"Huh!" Kebo Ireng mendengus berat Sebentar digerak-
gerakkan tangannya di depan dada. Kemudian sambil
berteriak keras, Kebo Ireng melompat menyerang Pendekar
Pulau Neraka. Kali ini laki-laki gemuk pendek itu tidak lagi
memandang enteng pada anak muda lawannya ini.
Pertarungannya kini pun mempergunakan jurus-jurus yang
aneh, tapi sangat dahsyat dan mengandung tenaga dalam
tinggi. Namun Pendekar Pulau Neraka hanya melayaninya
dengan tenang.
Beberapa kali serangan balik Bayu Hanggara membuat
Kebo Ireng harus berjumpalitan dan bergelimpangan di tanah
untuk menghindarinya. Bahkan tidak jarang dia memekik
keras menerima pukulan atau tendangan yang keras
bertenaga dalam tinggi. Walaupun Bayu mengerahkan tenaga
dalamnya tidak penuh tapi sudah membuat Kebo Ireng
kerepotan setengah mati
Jurus demi jurus dilalui cepat Dan Kebo Ireng menyadari
kalau tidak mungkin dapat mengungguli pemuda itu. Hingga
pada satu kesempatan, laki-laki bulat pendek itu melompat
mundur. Tampak seluruh wajahnya memerah bersimbah
keringat. Napasnya mendengus-dengus bagai kuda baru saja
habis dipacu cepat.
"Kenapa berhenti?" tegur Bayu diiringi senyum lebar. Dilipat
tangannya di depan dada.
"Anak muda, siapa namamu?" Kebo Ireng malah balik
bertanya.
"Bayu. Tapi aku lebih dikenal dengan nama Pendekar Pulau
Neraka," sahut Bayu kalem.
"Pendekar Pulau Neraka...!" sentak Kebo Ireng membeliak
matanya.
"Kenapa? Kau seperti melihat hantu saja."
"Kisanak, sebaiknya persoalan ini dilupakan saja. Aku
mohon diri," ujar Kebo Ireng seraya membungkukkan
badannya.
Bayu jadi keheranan, tapi membalas juga penghormatan
Kebo Ireng dengan membungkuk sedikit.
'Tunggu...!" cegah Bayu begitu Kebo Ireng ber-balik.
Laki-laki cebol seperti bola itu memutar tubuhnya kembali
"Rasanya tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, Kisanak.
Akan kukatakan pada yang lain untuk tidak mengganggu Rara
Wanti lagi. Aku mengaku kalah, dan berjanji akan menghadapi
siapa saja yang mencoba mengganggu Rara Wanti. Saat itu
juga dia menjadi anak angkatku," jelas Kebo Ireng tegas
sebelum Bayu mengucapkan sesuatu.
Dan belum juga Bayu membuka suaranya, laki-laki gemuk
cebol itu sudah melesat cepat. Begitu cepatnya, tahu-tahu
sudah lenyap dari pandangan mata., Bayu menarik napas
panjang, lalu menoleh begituJ mendengar suara langkah kaki
menghampiri. Tampak Rara Wanti berjalan tergesa-gesa
mendekati.
"Jangan katakan apa-apa. Kau sudah dengar semua kata-
katanya tadi," kata Bayu mendahului.
"Tapi bukan hanya dia yang berusaha merebutku, Kakang,"
ada nada kecemasan dalam suara Rara Wanti.
"Mudah-mudahan saja janjinya ditepati," katai Bayu.
"Aku tidak percaya, Kakang. Bisa saja dia gentar begitu
mengetahui namamu, tapi akan datang lagi untuk merebutku
setelah kau tidak ada. Dia itu licik dan kejam, Kakang."
"Janji seorang tokoh persilatan harus dipegang kuat. Dia
tidak akan mendapatkan tempat dalam dunia persilatan jika
melanggar janjinya sendiri. Aku percaya dengan kata-katanya
tadi."
"Kalau ingkar janji, bagaimana?"
"Aku yakin, Awijaya akan melindungimu," sahut Bayu.
"Tentu...!" tiba-tiba ada suara dari arah belakang.
"Kakang...!" desis Rara Wanti.
****
Rara Wanti bergegas menghampiri Awijaya yang sudah
selesai bersemadi, tapi masih tetap duduk bersila. Bayu juga
melangkah menghampiri, dan duduk bersila di depannya.
Sedangkan Rara Wanti berada di sisi Awijaya.
"Bagaimana keadaanmu?" tanya Bayu.
'Terima kasih," ucap Awijaya. "Aku merasa malu pada diriku
sendiri."
"Ah, sudahlah. Anggap saja itu hanya kejadian kecil," desah
Bayu.
"Tapi sangat berharga bagiku. Merupakan satu pelajaran
yang tidak pernah kulupakan."
Bayu tersenyum meringis. Entah kenapa, dirasakan ada
kelainan pada dirinya. Di sini, dia rasanya benar-benar
seorang pendekar. Tidak tega rasanya menjatuhkan tangan
kejam pada lawan. Bahkan selalu saja bisa ditahan
kesabarannya, meskipun darah sudah menggelegak mendidih.
Mungkin juga karena dirinya sudah banyak menerima
pelajaran dari beberapa tokoh golongan putih yang sempat
ditemui, sehingga membentuk pribadi baru dalam dirinya.
Atau mungkin juga karena pengaruh Rara Wanti. Entahlah!
Yang jelas Bayu merasa adanya keganjilan pada dirinya saat
ini. Ya..., sejak bertemu Rara Wanti tiga bulan yang lalu.
"Apa rencana kalian selanjutnya?" tanya Bayu.
Awijaya tidak langsung menjawab. Demikian pula Rara
Wanti. Mereka malah saling berpandangan, dan masing-
masing melemparkan senyuman. Kemudian sama-sama
berpaling menatap Pendekar Pulau Neraka. Bayu merasakan
adanya siratan lain dari tatapan mata Rara Wanti, tapi sulit
untuk mengartikannya.
"Mungkin aku akan berkelana mencari ibu kandung Rara
Wanti Setelah itu, terserah dia sendiri," kata Awijaya seraya
melirik gadis di sampingnya.
"Kok, terserah aku sih...?" Rara Wanti merasa tidak enak.
Mereka tertawa lepas bergerai. Dan memang baru hari ini
bisa tertawa begitu lepas, setelah menghadapi berbagai
macam peristiwa yang membuat otak terasa kaku, dan otot
mengejang. Mereka kemudian mengisi dengan pembicaraan
ringan. Sesekali terdengar tawa kalau ada hal-hal yang lucu.
Sementara hari terus merambat semakin tinggi. Dan siang pun
berlalu, berganti senja. Suasana mulai meremang. Sebentar
lagi malam akan datang menjelang.
"Rara, bagaimana dengan ayah angkatmu?" tanya Bayu
tiba-tiba
Rara Wanti tidak langsung menjawab, tapi malah menatap
Awijaya yang juga menatapnya.
"Maaf, bukannya hendak mencampuri urusan pribadi kalian
berdua. Masalahnya aku banyak mendengar tentang Ki Praba.
Dan rasanya tidak mungkin membiarkan kalian berdua
menghadapinya. Menghindar pun rasanya tidak akan
membuat tenang. Ki Praba pasti akan mencari kalian sampai
kapan pun. Terlebih lagi kau sudah membakar tempat
tinggalnya, Awijaya," kata Bayu.
Awijaya memang sudah menceritakan semua peristiwa
yang dialami. Juga dikabarkannya tentang kematian Nyai
Supit. Meskipun malam itu gelap, tapi masih sempat melihat
dan mengenali Jantar. Dia memang salah seorang yang keluar
cepat dari kamar Nyai Supit Hanya dua orang, dan yang pasti
seorang lagi adalah Ki Praba.
Dan belum sempat ada yang membuka suara lagi, tiba-tiba
mereka dikejutkan suara langkah dahsyat menggelegar. Bumi
rasanya berguncang hebat. Ketiga anak muda itu langsung
melompat bangkit Belum lagi hilang rasa terkejut, mereka
kembali dikejutkan oleh munculnya puluhan anak panah dari
segala penjuru.
"Awas panah...!" seru Bayu keras.
Ketiga anak muda itu berlompatan. Awijaya serta Rara
Wanti langsung mencabut pedangnya. Sedangkan Bayu hanya
mengandalkan kelincahan dan kecepatan gerak tubuh saja
menghindari hujan panah itu.
Hanya sebentar memang hujan panah itu, tapi cukup
membuat repot juga. Mereka berdiri saling beradu punggung.
"Jangan berpisah dariku," bisik Bayu.
"Baik,' sahut Rara Wanti dan Awijaya berbarengan.
Bayu segera menggerak-gerakkan tangannya, lalu kakinya
dibuka agar terpentang lebar sedikit tertekuk. Kemudian,
dihentakkan tangannya ke samping lebarlebar. Tiba-tiba saja
bertiup angin kencang, yang semakin lama semakin dahsyat.
Pohon-pohon mulai tercabut dan beterbangan. Batu-batu
terangkat ke udara. Di antara deru angin topan yang dahsyat
itu, terdengar suara jeritan melengking saling sahut Disusul
beterbangannya tubuh-tubuh manusia.
Cukup lama juga Bayu mengerahkan ajiannya yang tidak
pernah digunakan sebelumnya. Aji 'Badai Dewa Murka', adalah
ajian yang sangat dahsyat sehingga bisa menimbulkan badai.
Tapi, di sekitar Pendekar Pulau Neraka itu berdiri, tidak terasa
adanya angin berhembus. Bahkan Rara Wanti dan Awijaya jadi
keheranan sendiri. Tapi mereka tidak berani bergerak, karena
sudah dipesan sebelumnya.
"Hop!"
Bayu merapatkan tangannya di depan dada, maka seketika
itu juga badai topan berhenti. Sungguh dahsyat luar biasa
akibat Aji 'Badai Dewa Murka' itu. Sekitar tempat itu jadi
berantakan tidak karuan. Pohon-pohon besar kecil
bertumbangan. Batu-batu berpindah tempat. Bahkan terlihat
mayat-mayat bergelimpangan dalam segala bentuk.
Kebanyakan mereka tertimpa pohon dan bebatuan. Semua
orang yang menyerang secara gelap itu mari terhantam Aji
'Bada Dewa Murka'.
"Hhh...! Mereka tukang pukul Ayah," desah Wanti
bergumam pelan. Begitu pelannya hampir rida terdengar.
"Itu berarti dia memang benar-benar ingin memenggal
kepalamu, Rara," kata Awijaya.
"Hhh...!" Rara Wanti menarik napas panjang.
"Kudengar, Ki Praba menyediakan seribu keping uang emas
dan dirimu sendiri sebagai hadian jika ada yang berhasil
membawamu kepadanya," lanjut Awijaya.
"Hebat...!" desis Bayu bernada sinis.
"Dia memang gila!" dengus Rara Wanti. "Kalau saja aku
mampu, sudah kubunuh dari dulu!"
"Selama Ki Praba masih hidup, ke mana pun kita pergi,
tidak akan dapat tenang. Memang benar katamu, Bayu. Apa
pun yang terjadi, harus kuhadapi! Meskipun nyawa
taruhannya!" tegas Awijaya mantap.
"Harus ada cara untuk menghadapinya," gumam Bayu
pelahan, seperti untuk dirinya sendiri.
"Benar! Kau punya rencana, Bayu?" sambut Awijaya.
Bayu terdiam beberapa saat. Dipandangi Awijaya dalam-
dalam. Sementara Rara Wanti hanya diam saja
memperhatikan. Agak lama juga Bayu hanya berdiam sambil
terus menatap dalam-dalam Awijaya. Sepertinya sedang
mencari sesuatu dalam tatarannya itu.
"Kau tahu di mana Ki Praba sekarang berada, Awijaya?"
tanyanya Bayu.
"Dia pasti ada di Desa Pekacangan, di rumah Paman
Praraga," celetuk Rara Wanti.
'Temui dia. Katakan kalau kau tahu di mana Rara Wanti
berada. Lalu, bawa dia ke puncak Bukit Sidayu. Aku dan Rara
Wanti akan menunggu di sana," ujar Bayu mengemukakan
rencananya.
"Mustahil! Ki Praba sudah mengenaliku!" dengus! Awijaya.
"Itu lebih bagus lagi!" seru Bayu gembira.
"Apanya yang bagus? Begitu aku muncul, dia pasti sudah
lebih dulu menyerang!"
"Tidak! Asal saja kau berikan alasan yang kuat."
"Bagaimana caranya?" tanya Awijaya.
"Katakan kalau kau sudah bertemu Rara Wanti, dan akan
mengajaknya pergi. Tapi Rara Wanti membangkang, dan kau
sempat bertarung denganku. Katakan saja kalau aku
menantangnya di Puncak Bukit Sidayu. Aku yakin, dia pasti
datang," Bayu mengemukakan rencananya.
"Lalu?" tanya Awijaya lagi.
"Dia pasti percaya kata-katamu, asal kau bisa bermimik
marah dan sakit hati. Wajahmu yang babak belur itu, sudah
cukup memberi alasan kuat."
Awijaya meraba mukanya yang memang membiru pada
bagian mata kiri. Bibirnya yang pecah pun masih terasa nyeri.
Belum lagi pakaiannya kotor dan agak koyak.
"Di samping itu, mintalah hadiahnya yang seribu keping
uang emas. Dengan hadiah itu kalian bisa hidup tenang dan
bisa mencari ibu kandungmu, Rara," lanjut Bayu.
"Ki Praba pasti tidak bakal menyediakan hadiah itu. Apalagi
memberikannya padaku!" ujar Awijaya yakin.
"Aku yakin pasti dia setuju. Bagaimana caranya, itu
terserah padamu sendiri," sahut Bayu.
"Baiklah, kapan aku mulai?"
"Sekarang juga!"
***
SEMBILAN
Bayu berdiri tegak di tengah-tengah Puncak Bukit Sidayu.
Di sampingnya Rara Wanti kelihatan gelisah. Sebentar-
sebentar dilayangkan pandangannya ke arah kaki bukit. Dari
situ memang terlihat jelas sungai yang mengalir menuju Desa
Pekacangan. Dari sanalah nanti Awijaya datang bersama Ki
Praba.
"Kok lama, ya...?" gumam Rara Wanti semakin gelisah,
karena tidak melihat tanda-tanda Awijaya bakal muncul.
"Sabar.... Dia pasti datang," kata Bayu mene nangkan.
"Kalau gagal?"
"Aku yakin tidak."
Rara Wanti menatap dalam-dalam Pendekar Pulau Neraka
itu. Pada saat yang sama, Bayu juga memalingkan mukanya
menatap gadis itu. Sesaat mereka tidak berbicara, dan hanya
saling tatap saja. Pelahan Rara Wanti mendekat, lalu
melingkarkan tangannya ke leher Bayu. Tubuh mereka
merapat. Tak ada jarak lagi yang merenggang. Wajah mereka
begitu dekat, sehingga terasa hangat desah napas masing-
masing.
"Kakang, sebenarnya aku lebih suka bersamamu. Kau lebih
segala-galanya daripada Kakang Awijaya," kata Rara Wanti
pelan.
"Awijaya orang yang bertanggung jawab, Rara. Aku yakin,
kau akan hidup bahagia di sampingnya."
"Hhh...! Seandainya ada waktu...," desah Rara Wanti.
"Jangan ulangi lagi, Rara. Padaku, atau pada siapa saja.
Kau akan menyesal nanti. Hargailah dirimu sendiri," ujar Bayu
seraya melepaskan pelukan gadis itu di lehernya.
"Hanya Kakang Awijaya dan kau saja yang bisa
menjamahku, Kakang. Aku janji. Kapan saja kau datang, aku
selalu menyediakan waktu untukmu, Kakang. Ini hanya untuk
kita berdua."
Bayu tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Kenapa? Aku mencintaimu, Kakang. Aku menyukaimu.
Meskipun sekarang ada Kakang Awijaya, tapi aku tetap
mencintaimu. Separuh hatiku milikmu, Kakang."
"Aku harap pikiranmu bisa berubah kelak," desah Bayu
setengah bergumam.
Pendekar Pulau Neraka itu melangkah mundur. Tapi tiba-
tiba Rara Wanti menarik tangan pemuda itu, dan memeluknya
erat-erat. Bayu jadi gelagapan, karena cepat sekali Rara Wanti
sudah mengulum bibirnya penuh gairah yang menggelora.
"Rara...," kata Bayu begitu bibirnya terlepas dari pagutan
gadis itu. Tapi pelukan Rara Wanti masih sulit dilepaskan.
"Kakang Awi tidak akan datang malam ini, Kakang.
Bersediakah kau memberiku untuk yang terakhir, Kakang?"
bujuk Rara Wanti sambil mendesah.
"Jangan sekarang," Bayu benar-benar kewalahan
menghadapi gadis itu. Harus dicarinya jalan agar benar-benar
terlepas dari lingkaran jerat asmara Rara Wanti.
"Kapan?"
"Nanti, kalau semuanya sudah tenang,"
"Kau rela menyediakan waktu untukku, Kakang?"
"Tentu, kalau sudah tenang nanti." "Sungguh?"
Bayu terpaksa mengangguk. Untuk meyakinkan Rara
Wanti, dikecupnya bibir gadis itu. Rara Wanti tersenyum
senang. Wajahnya kembali cerah, dan melepaskan pelukannya
pelahan-lahan. Bayu tersenyum getir, kemudian melayangkan
pandangannya ke arah kaki bukit yang dialiri sungai kecil
jernih menuju ke Desa Pekacangan.
Sementara malam semakin bertambah larut. Pantulan
cahaya bulan pada riak air sungai bagai untaian mutiara
memanjang membelah hutan yang cukup lebat Sungguh indah
pemandangan dari puncak bukit ini. Dan Bayu menikmati
keindahan itu dengan benak dipenuhi berbagai pikiran. Ada
sedikit kecemasan karena Awijaya belum juga kembali.
Sementara Rara Wanti sudah tidak gelisah lagi. Hatinya
merasa tenang meskipun Awijaya tidak akan kembali lagi.
Apalagi setelah mendengar janji yang diucapkan Bayu tadi.
***
Semalaman penuh Bayu tidak memejamkan matanya.
Sedangkan Rara Wanti sempat tidur, meskipun hanya
sebentar saja. Pagi telah menyingsing, dan sinar matahari
telah menghangatkan Puncak Bukit Sidayu ini. Saat berdiri
tegak sepanjang malam, tadi, Bayu menyempatkan untuk
bersemadi dan melatih pengembangan hawa mumi. Meskipun
tidak tidur, tapi rasanya sudah cukup. Bahkan berlebihan
dalam menjaga kondisi tubuhnya.
"Hm...," Bayu menggumam kecil ketika pandangannya
menangkap ada gerakan halus di bawah sana. Pendekar Pulau
Neraka itu menajamkan penglihatannya. Tampak gerakan itu
menuju puncak bukit ini. Begitu halus dan cepat, hampir tidak
terlihat
Semakin lama gerakan itu semakin terlihat jelas. Bayu
tersenyum ketika melihat tiga orang bergerak mendaki bukit.
Dia hanya melirik sedikit saat menyadari Rara Wanti berdiri di
sampingnya. Gadis itu juga sudah tahu kedatangan tiga orang
yang kini tengah mendaki bukit
"Mereka datang, Kakang," bisik Rara Wanti.
"Aku tahu. Biarkan saja sampai ke sini," sahut Bayu.
Tidak beberapa lama, tiga orang yang dilihatnya mendaki
bukit telah tiba di puncak. Tampak Awijaya berada di antara
mereka. Pemuda itu langsung berjalan cepat menghampiri
Rara Wanti yang berdiri di samping Pendekar Pulau Neraka.
Sedangkan dua orang lagi tidak lain dari Ki Praba dan Jantar.
Jelas sekali waja' Ki Praba memancarkan keberangan melihat
Rara Wanti tampak segar bersama seorang pemuda berbaju
dari kulit harimau.
"Heh.... Kau rupanya yang membawa lari, anak muda," ujar
Ki Praba sinis.
"Tidak salah. Tapi sekarang dia senang bersamaku," sahut
Bayu kalem, namun bernada tegas.
"Bagus! Itu berarti kalian semua harus mati di sini!" dengus
Ki Praba.
"Begitu mudah mengucapkan kata mati, tapi sukar
melakukannya. Aku khawatir malah kau yang dulu terbang ke
neraka, Ki Praba," sambut Bayu memanasi.
"Ha ha ha...!" Ki Praba tertawa terbahak-bahak.
'Tertawalah sepuasnya sebelum terbang ke neraka!"
"Jantar!" Ki Praba menghentakkan tangannya.
"Hait...!" Jantar langsung melompat ke depan, membuka
jurus serangan.
Bayu hanya tersenyum saja memperhatikan Jantar yang
berpentilan membuka kembangan jurus penyerangan. Dan
tiba-tiba saja Jantar melompat cepat dibarengi lontaran dua
buah pisau kecil yang sangat tipis.
Pendekar Pulau Neraka yang sudah menyadari sebelumnya,
segera mengegoskan tubuhnya ke samping. Ditarik kakinya
bergeser dua tindak. Cerat sekali digerakkan tangan, dan
ditangkap dua pisau yang dilepaskan Jantar. Secepat itu pula
dia melompat ke atas melewati kepala Jantar yang meluruk
memberikan serangan cepat.
Jantar terkejut, karena dua pukulannya hanya mengenai
angin saja. Dan belum lagi hilang keterkejutannya, tiba-tiba
saja dia terpekik Tubuhnya langsung tersuruk jatuh ke depan
mencium tanah. Satu pukulan keras tanpa pengerahan tenaga
dalam dilepaskan Bayu pada punggung pemuda itu.
"Huh!" Jantar mendengus, langsung bergegas melompat
bangkit berdiri.
"Kau perlu pisaumu? Nih! Kukembalikan!" sentak Bayu
Cepat sekali Pendekar Pulau Neraka itu melemparkan
pisau-pisau Jantar. Sesaat Jantar terkesiap, dan buru-buru
melompat menghindari sambitan pisaunya sendiri. Pisau itu
menghunjam dalam di tanah, tepat di tempat kaki Jantar tadi
berpijak.
"Keparat! Hup, hiyaaa...!"
Jantar kembali melompat menerjang, dan kali ini tidak lagi
menganggap remeh lawannya. Serangannya cepat dan
dahsyat. Setiap pukulannya mengandun tenaga dalam cukup
tinggi. Namun Pendekar Pula Neraka tidak mudah dirobohkan
begitu saja setia serangan yang datang, dengan manis selalu
bi dihindari. Bahkan serangan balasannya membuat Jantar
kelabakan.
"Sudah cukup kita bermain! Bersiaplah...!" seru Bayu keras.
Setelah berkata demikian, Pendekar Pulau Nera langsung
melompat ke atas, lalu dengan cepat menukik turun diikuti
hentakan tangan kanannya. Cakra Maut berkelebat cepat
mengarah ke bagian leher Jantar. Sesaat pemuda itu
terkesiap, lalu buru-buru menjatuhkan tubuhnya ke tanah, dan
bergulingan beberapa kali. Tapi begitu melompat bangkit, sa
tendangan keras tidak bisa dihindari lagi.
"Akh...!" Jantar memekik tertahan.
Tubuh pemuda itu langsung terdorong ke belakang. Dan
belum lagi dapat menguasai dirinya, mendadak saja secercah
kilat keperakan menyamb cepat. Jantar tidak mampu berkelit
lagi. dan....
"Aaa...!" Jantar memekik keras melengking tinggi
Tampak dadanya berlubang tertembus Cakra Maut hingga
tembus sampai ke punggung. Senjata bersegi enam itu
berputar balik, dan langsung menempel pada pergelangan
tangan kanan Pendekar Pulau Neraka. Sebentar Jantar masih
mampu berdiri. Sesaat kemudian tubuhnya limbung, dan
ambruk menggelepar ke atas tanah. Darah bersimbah dari
dadanya yang berlubang. Hanya sebentar Jantar mampu
bergerak, kemudian diam dengan nyawa terbang dari
tubuhnya.
Bayu memutar tubuhnya menghadap Ki Praba yang
terlongong menyaksikan kematian Jantar begitu cepatnya.
Namun laki-laki setengah baya itu tidak bisa berlama-lama
memandangi tubuh pengawal pribadinya yang berlumuran
darah segar. Ternyata Bayu Hanggara sudah berteriak keras
sambil mengebutkan senjata mautnya.
"Uts...!" Ki Praba mengegoskan kepalanya sedikit ke kanan,
dan Cakra Maut itu melesat lewat di samping kepalanya.
Tapi Cakra itu berputar balik. Mau tidak mau Ki Praba
melompat ke samping. Bayu mengangkat tangan kanannya ke
atas, maka Cakra Maut kembali menempel di rjergelangan
tangannya. Serangan tadi memang sengaja tidak diarahkan ke
sasarannya secara langsung. Lemparan cakranya sengaja
dimelencengkan hanya untuk menggugah Ki Praba saja.
"Jangan berbangga dulu bisa mengalahkan Jantar, anak
muda!" dengus Ki Praba.
"Sebentar lagi kau akan menyusul," balas Bayu dingin.
"Sombong! Hih...! Terima seranganku! Hiyaaa...!"
Ki Praba melompat cepat bagai kilat menerjang Pendekar
Pulau Neraka. Namun terjangan itu manis sekali mampu
dihindari. Kembali Bayu harus bertarung melawan Ki Praba.
Kali ini Bayu menyadari kalau Praba jauh lebih tinggi tingkat
kepandaiannya dibaj ding Jantar. Dan Pendekar Pulau Neraka
itu harus bersikap hati-hati melayaninya.
Tidak mudah bagi Pendekar Pulau Neraka untuk
menjatuhkan Ki Praba. Laki-laki setengah tua itu memiliki
tingkat kepandaian yang tinggi juga. Jurus-jurusnya luar biasa,
dan tenaga dalamnya juga hampir mencapai taraf
kesempurnaan. Jurus demi jurus berlalu cepat, tapi belum ada
tanda-tanda pertarungan bakal berakhir. Beberapa kali Bayu
melepaskan senjatanya yang terkenal maut itu, tapi Ki Praba
mampu berkelit manis menghindarinya.
Pertarungan terus berlangsung semakin sengit Sementara
di tempat lain, Awijaya dan Rara Wanti menyaksikan dengan
perasaan cemas. Hanya Awijaya yang kelihatan sedikit tenang,
karena telah sering mendengar kehebatan Pendekar Pulau
Neraka. Entah kenapa, hatinya begitu yakin kalau Bayu pasti
dapat mengalahkan Ki Praba. Tapi tidak demikian dengan Rara
Wanti. Dia khawatir betul kalau Bayu akan tewas di tangan
ayah angkat yang sangat dibencinya. Rara Wanti lebih senang
kalau Ki Praba yang tewas.
"Sebaiknya kau bantu dia, Kakang," kata Rara Wanti tidak
bisa menyembunyikan kecemasannya.
"Tenang saja, Rara. Bayu pasti bisa mengatasi," sahut
Awijaya.
"Tapi, sudah lebih dari dua puluh jurus...." Awijaya diam
saja. Memang pertarungan itu sudah memakan lebih dari dua
puluh jurus, tapi belum ada yang terdesak. Tapi memasuki
jurus ke tiga puluh, kelihatan kalau Ki Praba mulai kerepotan
menghadapi serangan-serangan Pendekar Pulau Neraka. Dia
sudah jatuh bangun, dan bahkan beberapa kali menerima
pukulan serta tendangan keras bertenaga dalam tinggi. Tapi Ki
Praba masih juga mampu bertahan, meskipun darah sudah
mengucur dari mulutnya. Bagian pelipis telah sobek
mengeluarkan darah. Dan bahu kirinya juga sobek terkena
sambaran Cakra Maut.
Keadan Ki Praba sudah tidak menguntungkan lagi.
Tubuhnya jadi bulan-bulanan Pendekar Pulau Neraka. Jatuh
bangun tanpa mampu membalas. Darah semakin banyak
membanjiri tubuhnya. Tapi Bayu tidak juga berhenti. Hingga
pada pukulannya yang terakhir.... "Akh...!" Ki Praba memekik
keras tertahan. Pukulan yang keras bertenaga dalam sangat
tinggi itu tepat mengenai dada Ki Praba. Akibatnya, laki-laki
setengah baya itu terpental jauh ke belakang. Sebuah pohon
besar tumbang terlanda tubuhnya. Ki Praba menggeliat-geliat
berusaha bangun. Meskipun tubuhnya sudah dipenuhi luka,
tapi masih juga mampu berdiri. Dengan tubuh limbung, laki-
laki setengah baya itu berjalan menghampiri Pendekar Pulau
Neraka.
"Grrr...!" Ki Praba menggeram bagai seekor binatang buas.
Tatapan matanya begitu tajam menusuk. Langkahnya
terhenti setelah jaraknya tinggal sekitar tiga batang tombak
lagi di depan Pendekar Pulau Neraka. Sesaat dia hanya diam
saja menatap tajam, kemudian tiba-tiba sekali tangan
kanannya bergerak mengibas ke samping. Dan puluhan jarum
berwarna keperakan melesat deras ke arah Rara Wanti dan
Awijaya.
"Awas...!" seru Bayu keras.
Tapi Awijaya dan Rara Wanti hanya terbeliak terperangah.
Memang tidak disangka kalau Ki Praba akan berbuat curang
begitu. Dan sebelum kedua anak muda itu bisa melakukan
sesuatu, secepat kilat Bayu mengibaskan tangan kanannya.
Wut..l
Cakra Maut melesat bagai kilat melebihi anak panah yang
terlepas dari busurnya. Senjata lingkaran bersegi enam
berwarna keperakan itu meluncur memotong arah jarum-
jarum yang dilepaskan Ki Praba.
Sungguh tidak diduga sama sekali, jarum-jarum itu meluruk
ke arah Cakra Maut, dan menempel pada senjata itu. Bayu
menghentakkan tangannya ke atas, maka Cakra Maut melesat
balik ke arahnya setelah seluruh jarum keperakan melekat
pada permukaan bagian atas senjata bersergi enam Itu.
"Hap! Yaaah...!"
Secepat Cakra Maut melekat di pergelangan tangan,
secepat itu pula Pendekar Pulau Neraka mengibaskannya lagi.
Dan Cakra Maut kembali melesat cepat bagai kilat ke arah Ki
Praba. Tampak, jarum-jarum yang melekat di senjata itu rotok
luruh ke tanah. Saat itu Ki Praba sudah tidak bisa lagi
bergerak cepat Maka tak pelak lagi, Cakra Maut menghunjam
dadanya hingga tembus ke punggung.
"Aaa...!" Ki Praba menjerit melengking tinggi.
"Hap!" Bayu mengangkat tangannya ke atas. Begitu senjata
bersegi enam itu melekat di pergelangan tangannya, dengan
cepat Bayu melompat sambil menghentakkan kakinya ke
depan. Tendangan yang disertai pengerahan tenaga dalam
sempurna itu tepat menghantam kepala Ki Praba. Kembali
laki-laki tua itu menjerit melengking. Hanya sesaat mampu
berdiri, kemudian limbung, lalu ambruk menggelepar di tanah.
Darah mengalir deras dari dada yang berlubang dan kepala
hancur berantakan.
Bayu menarik napas panjang. Dia berdiri tegak
memandangi mayat Ki Praba yang membujur kaku bersimbah
darah. Sebentar ditariknya napas panjang, kemudian berbalik
memandang Awijaya dan Rara Wanti yang masih berdiri di
tempatnya. Kedua anak muda itu seperti terkesima melihat
kematian Ki Praba begitu tragis.
***
Bayu melangkah tegap menghampiri kedua anak muda
yang masih berdiri terpaku pada tempatnya. Rara Wanti
terlebih dahulu yang mengangkat wajahnya menatap
Pendekar Pulau Neraka itu. Entah apa yang ada di dalam sinar
mata gadis itu. Bayu sendri sukar untuk mengartikannya.
Pendekar Pulau Neraka itu berhenti melangkah setelah
jaraknya tinggal lima langkah lagi di depan kedua anak muda
itu.
"Aku rasa semuanya sudah selesai..," tegas Bayu pelan.
"Tunggu, kau akan ke mana?" tanya Awijaya mencegah
kepergian Bayu.
Bayu hanya tersenyum saja, dan langsung berbalik dan
melangkah pergi. Tapi baru saja berjalan beberapa langkah,
Rara Wanti mengejar, dan menghadangnya. Bayu menoleh
menatap Awijaya yang tetap berdiri di tempatnya.
"Kakang, kau tetap akan pergi juga...?" agak tertahan
suara Rara Wanti
"Kau sudah menemukan laki-laki impianmu, Rara. Kuharap
kau bahagia berada di sampingnya," kata Bayu lembut.
"Tapi.... Kau akan kembali lagi, bukan?"
Bayu tidak menjawab, tapi hanya tersenyum saja.
Kemudian berbalik dan melangkah pergi. Sebentar ditatapnya
Awijaya, dan ditepuknya pundak pemuda berbaju merah muda
itu.
Awijaya tidak bisa berkata-kata lagi, dan hanya
memandangi kepergian Pendekar Pulau Neraka itu.
Ada sedikit penyesalan terselip di hatinya karena telah
menyangka buruk pada pendekar muda itu. Ternyata kabar
cerita yang pernah di dengarnya tentang Pendekar Pulau
Neraka tidak semuanya benar. Buktinya Awijaya tidak melihat
kekejaman pada pendekar muda itu. Bahkan kata-katanya
selalu lembut, dan segala tindakannya tenang. Hanya saja,
Bayu memang tidak pernah mau berkompromi pada setiap
lawannya yang diyakini harus tewas di tangannya.
Bayu terus berjalan semakin jauh. Sementara Awijaya
sudah berada di samping Rara Wanti. Pemuda itu
melingkarkan tangannya di pundak Rara Wanti. Gadis itu pun
merebahkan kepala di bahu pemuda di sampingnya Mereka
memandangi kepergian Pendekar Pulau Neraka dengan
berbagai perasaan yang berkecamuk di dalam dada.
"Ayo kita pergi, Rara," ajak Awijaya setelah tubuh Pendekar
Pulau Neraka tidak terlihat lagi.
"Ke mana?" tanya Rara Wanti agak lesu.
Rara Wanti masih menatap ke arah kepergian Bayu,
meskipun Pendekar Pulau Neraka itu tidak terlihat lagi Gadis
itu merasakan sekeping hatinya terbawa pergi oleh Bayu
Hanggara. Bagaimanapun juga tidak akan bisa dilupakan
pengalamannya bersama pemuda yang telah merenggut
sekeping hatinya. Pemuda yang telah memberikan
kebahagiaan tersendiri.
"Kita cari dulu ibumu, baru menemui ibuku. Kita akan hidup
bersama tanpa harus bergelimang kekerasan dan darah lagi,"
jelas Awijaya lembut
Rara Wanti tidak menyahuti, membalikkan tubuh nya
menghadap pemuda itu. Mereka saling berpelukan, dan saling
melempar pandang.
"Oh, Kakang...," desah Rara Wanti lirih. Awijaya semakin
erat memeluk gadis itu. Sebentar ditatap dalam-dalam bola
mata yang bening indah depannya. Kemudian pelahan-lahan
sekali ditunduk kan kepalanya, dan sesaat bibir mereka sudah
menyatu rapat Erat sekali Awijaya mendekap tubuh ramping
itu, seakan-akan tidak ingin melepaskannya kembali.
Sementara siang sudah beralih, menggulir menuju senja.
Matahari sudah semakin condong ke arah Barat Sinarnya yang
redup memberikan bayang-bayang bagi sepasang insan yang
menyatu dalam raga dan jiwa di Puncak Bukit Sidayu.
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar