RATU LEMBAH MAYAT
Oleh Teguh Suprianto
Cetakan Pertama
Penerbit Cinta Media, Jakarta
Penyunting : Puji S
Gambar Sampul : Pro’s
Hak Cipta Pada Penerbit
Dilarang Mengcopy atau Memperbanyak
Sebagian atau Seluruh Isi Buku Ini
Tanpa Izin Tertulis dari Penerbit
Teguh S
Serial Pendekar Pulau Neraka
Dalam Episode 026 :
Ratu Lembah Mayat
128 Hal ; 12 x 28 cm
SATU
Di sebuah bukit kecil yang tidak
begitu lebat pepohonannya, Bayu tengah
mengayunkan kakinya perlahan-lahan
menyusuri jalan berbatu. Matahari siang
ini bersinar begitu terik, membuat
sekujur tubuh pemuda berbaju kulit
harimau itu bersimbah keringat. Seekor
monyet kecil berbulu hitam ikut
berlari-lari kecil di belakangnya, sambil
bersuara ribut. Beberapa kali binatang
itu memungut kerikil, dan menyambit
pung-gung pemuda berbaju kulit harimau
ini.
Tapi Bayu seperti tidak
mempedulikan, dan terus saja melangkah
perlahan-lahan. Beberapa kali keringat
yang mengalir membasahi wajahnya diseka
dengan punggung tangan. Pemuda yang
dikenal berjuluk Pendekar Pulau Neraka
itu menghentikan ayunan kakinya. Wajahnya
berpaling sedikit ketika merasakan
punggungnya terkena sambitan kerikil dari
belakang. Entah sudah berapa kali
punggungnya terasa disambit batu kerikil.
Bibimya tersenyum melihat monyet kecil
berdiri di belakangnya, memandang sayu
padanya.
"Kau lelah, Tiren...?" ujar Bayu
dengan bibir menyunggingkan senyum.
"Nguk!"
"Naiklah ke pundakku sini," kata Bayu
lagi.
Monyet ketll itu berjingkrak
kegirangan. Cepat-cepat dihampirlnya
Pendekar Pulau Neraka. Bayu mengulurkan
tangannya. Diambilnya tangan monyet
keliru, lalu diangkat sampai binatang
berbulu hitam itu bertengger di
pundaknya. Pemuda berbaju kulit harimau
Itu kembali mengayunkan kakinya perlahan
menyusuri tanah berbatu yang panas, bagai
berjalan di atas bara api. Siang ini
memang terasa begitu panas. Bayu
merasakan kulitnya seperti terbakar.
"Ada sungai, Tiren. Enak sekali kalau
mandi, ya...?" kata Bayu.
"Nguk!" Tiren hanya mengangguk saja.
Bayu tersenyum, dan menepuk kaki monyet
kecil yang nangkring di pundaknya ini.
Kakinya terus saja berjalan mendekati
sungai kecil yang mengalir di depannya.
Air sungai itu tampaknya jernih sekali,
sehingga batu-batuan yang menjadi
dasarnya, teriihat jelas. Tapi baru saja
Pendekar Pulau Neraka berjongkok hendak
membasuh tangannya, mendadak saja....
"Tolooong...!"
"Heh..?!"
Bayu tersentak kaget ketika
tiba-tiba terdengar teriakan kerns
melengking tinggi. Teriakan itu demikian
keras, sehingga terdengar jelas dari
tempat Pendekar Pulau Neraka berdiri. Dan
belum lagi hilang jeritan tadi dari
pendengaran, menyusul bentakan bentakan
kasar, ditingkahi jeritan-jeritan minta
tolong.
"Hup!"
Tanpa menghiraukan air sungai yang
pasti sangat sejuk, Pendekar Pulau Neraka
cepat melompati sungai kecil ini. Dan
begitu kakinya menjejak tanah berbatu di
seberang sungai, langsung berlari cepat
mempergunakan ilmu meringankan tubuh.
Begitu sempurrnanya ilmu meringankan
tubuh yang dimiliki, sehingga dalam waktu
sekejapan mata saja sudah lenyap dari
pandangan mata. Sementara teriakan dan
bentakan-bentakan keras, masih terdengar
dari dalam hutan di seberang sungai kecil
ini. Dan bayangan Pendekar Pulau Neraka
sudah tidak teriihat lagi, tenggelam
ditelan hutan yang tidak begitu lebat.
***
"Hei...!"
Bayu terhenyak kaget begitu melihat
empat orang wanita tengah berusaha
menggantung seorang anak muda berusia
sekitar tujuh belas tahun. Bentakan Bayu
yang begitu keras dan tidak disengaja
tadi, membuat empat wanita yang tengah
berusaha menggantung itu tersentak kaget.
Mereka begitu terkejut, sampai-sampai
terlompat ke belakang. Akibatnya anak
muda yang hampir tergantung di pohon itu
jatuh bergulingan di tanah berumput
kering.
Sementara empat wanita berwajah
cantik yang hanya mengenakan cawat dari
kulit kayu itu berlompatan ke depan Bayu.
Pemuda berbaju kulit harimau itu hanya
terbeliak melihat wanita-wanita cantik
setengah telanjang berdiri sekitar enam
langkah di depannya. Hampir seluruh tubuh
mercka yang berkulit putih itu terbuka.
Hanya bagian di bawah pusar dan dada saja
yang tertutup kulit kayu. Mereka semua
membawaombak panjang dari kayu, yang
bagian ujung atasnya terbuat dari besi
baja hitam.
"Siapa kau?! Berani-beraninya
mcngejutkan kami!" bentak salah seorang
wanita yang berdiri paling kanan.
"Maaf. Aku tadi terkejut melihat
kalian ingin menggantung anak itu," ucap
Bayu sopan.
"Itu bukan urusanmu!" bentak wanita
itu lagi, ketus.
Bayu jadi terhenyak mendengar
kata-kata yang begitu ketus. Ditatapnya
wanita itu dalam-dalam. Sedangkan yang
ditatap, malah membalas tidak kalah
tajam. Sementara monyet kecil berbulu
hitam yang bertengger di pundak Pendekar
Pulau Neraka juga menatap empat wanita
itu.
"Kakang...! Bebaskan aku. Mereka
akan membunuhku...!" seru anak muda yang
masih tergolek di tanah berumput.
"Dlam kau, Monyet!" bentak wanita
yang berdiri paling kanan itu kasar.
"Krakkkh...!"
Tiren melonjak mendengar bentakan
wanita itu tadi. Bayu segera
menepuk-nepuk kaki monyet kecil itu,
mencoba menenangkannya. Kata-kata wanita
itu tadi sudah menyinggung hati monyet
kecil ini Dan tiba-tiba saja, Tiren
melompat turun dengan gerakan ringan dan
indah sekali. Begitu kakinya menjejak
tanah, dia cepat beriari menghampiri anak
muda yang tergolek tak berdaya di tanah.
"Hei! Mau apa kau, Monyet Jelek...?!"
bentak wanita itu makin kasar.
"Nguk! Nguk! Khraiiigkh...!"
Wuk!
Tiba-tiba saja wanita bercawat itu
melemparkan tombaknya ke arah monyet
kecil berbulu hitam milik Bayu. Tindakan
wanita ini membuat Pendekar Pulau Neraka
tersentak kaget. Secepat kilat dia
melompat menyambar tombak yang meluruk
deras ke arah Tiren.
"Hiyaaa...!"
Tap!
Bayu berhasil menangkap tombak,
kerika ujungnya sekitar sejengkal lagi
tepat rnenghunjam tubuh Tiren. Pendekar
Pulau Neraka bergulingan beberapa kali di
tanah, lalu cepat melompat berdiri. Di
tangan kanannya sudah tergenggam sebatang
tombak kayu berujung baja hitam runcing.
Sementara Tiren sudah berada di
belakang anak muda yang tergolek di tanah,
tidak jauh dari pohon tempat dia akan
digantung pada lehernya tadi. Cekatan
sekali monyet kecil itu membuka ikatan
yang membelenggu kedua tangan anak muda
ini. Dan begitu tali yang mengikat
tangannya terlepas, pemuda belasan tahun
itu bergegas berdiri.
Pemuda itu melepaskan tali yang
melingkar di lehernya, lalu tiba-tiba
saja melompat ke arah Bayu. Tindakan yang
tidak terduga itu membuat Bayu sampai
tidak menyadari. Cepat sekali gerakan
pemuda itu, dan tahu-tahu sudah merampas
tombak yang berada ditangan kanan Bayu.
Langsung tubuhnya melesat cepat ke arah
salah seorang wanita bercawat yang hampir
saja menggantungnya tadi.
"Mampus kau! Hiyaaa...!"
Bet!
"Uts!"
Wanita cantik bercawat itu cepat
memiringkan tubuhnya ke kanan,
menghindari hujaman ujung tombak di
tangan anak muda belasan tahun itu. Pada
saat yang bersamaan, tombaknya
dihentakkan untuk menghantam tombak yang
sudah lewat di samping tubuhnya.
Trak!
Tak pelak lagi, dua senjata beradu
keras.
"Akh...!" pemuda belasan tahun itu
memekik keras agak tertahan.
Tombak yang berada di tangannya
sekerika terpental keudara. Pada saat
itu, wanita yang tidak menggenggam tombak
melesat cepat ke udara. Manis sekali
tombaknya ditangkap kembali, dan cepat
meluruk turun dengan gerakan yang begitu
indah.
"Yeaaah...!"
Begitu kakinya menjejak tanah,
langsung diberikannya satu sodokan keras
ke arah dada anak muda belasan tahun itu.
Gerakan yang begitu cepat tak dapat
dihindari, telak bersarang di dada anak
muda belasan tahun itu.
Des!
“Akh...!" untuk kedua kalinya anak
muda itu memekik keras agak tertahan.
Tubuhnya terpental ke belakang sejauh dua
batang tombak. Pada saat itu, seorang
wanita lain .sudah melompat sambil
berteriak nyaring. Langsung
dilepaskannya satu tendangan menggeledek
yang mengandung pengerahan tenaga dalam
tinggi. Sudah dapat dipastikan, kalau
pemuda berusia belasan tahun itu tak
mungkin dapat menghindar.
"Yeaaah...!"
Tapi pada saat yang gawat ini,
tiba-tiba saja Bayu melesat cepat bagai
kilat menyambar tubuh anak muda itu. Maka
tendangan keras yang dilancarkan wanita
cantik bercawat ini jadi tidak mengenai
sasaran. Tendangannya hanya menghantam
pohon yang cukup besar, hingga tumbang.
Sementara Bayu sudah membawa anak muda
belasan tahun itu ke tempat yang cukup
aman, ditemani Tiren. Bayu kembali
melompat menghadang, begitu empat wanita
cantik bercawat itu sudah bergerak
mendekati.
"Berhenti...!" bentak Bayu keras
menggelegar.
"Menyingkir kau, Kisanak! Kau akan
menyesal mencampuri urusan kami!" sentak
salah seorang wanita cantik bercawat itu.
"Tunggu...! Kenapa kalian ingin
membunuh anak ini?" tanya Bayu.
“Itu bukan urusanmu!"
"Minggir, kau!"
Bayu jadi tersentak mendengar
bentakan-bentakan begitu kasar dari
wanita-wanita cantik bercawat ini. Wanita
yang seharusnya bersikap lembut itu
ternyata begitu kasar kata-katanya. Dan
kini empat wanita cantik bercawat itu
sudah bergerak menyebar mengurung dari
empat arah. Mereka terus bergerak
perlahan memutari Pendekar Pulau Neraka.
Sedangkan Bayu hanya memperhatikan saja
lewat sudut matanya.
Dalam beberapa gebrakan tadi saja,
Bayu sudah dapat menilai kalau
wanita-wanita bercawat ini memiliki
kepandaian yang rata-rata cukup tinggi.
Dan tentu saja dia tidak bisa berbuat
gegabah dalam menghadapinya, meskipun
sudah bisa mengukur tingkat kepandaian
mereka.
"Seraaang...!"
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
***
Secara serentak, empat wanita cantik
bercawat itu berlompatan menyerang Bayu.
Tombak-tombak mereka berkelebatan di
sekitar tubuh Pendekar Pulau Neraka.
Namun dengan gerakan-gerakan manis, dan
liukan indah, Bayu berhasil menghindari
setiap serangan yang datang dari empat
arah.
Tapi serangan-serangan yang
dilakukan empat wanita itu begitu gencar.
Dan kemudian serangan mereka berubah
secara cepat dan bergantian. Hal ini
membuat Bayu jadi agak kerepotan
menghadapinya. Beberapa kali tubuhnya
terpaksa dijatuhkan ke tanah. Dia
kemudian bergelimpangan menghindari
serangan yang datang begitu gencar, bagai
tak akan pernah berhenti. Dan beberapa
kali pula, Pendekar Pulau Neraka terpaksa
menangkis tombak-tombak menggunakan
pergelangan tangan kanannya.
Trang!
Setiap kali ujung tombak beradu
dengan benda bersegi enam di pergelangan
tangan Pendekar Pulau Neraka, selalu
terjadi percikan bunga api. Beberapa kali
Bayu mencoba, dan merasa memiliki
kesempatan setiap kali ujung tombak lawan
membentur Cakra Maut yang berada di
pergelangan tangan kanannya. Ketika satu
tombak meluruk deras dari arah depan
dadanya, tangan kanannya cepat dikibaskan
untuk menangkis serangan tombak bermata
hitam itu.
"Yeaaah...!"
Trang!
Tepat pada saat ujung tombak hitam
itu beradu dengan Cakra Maut di
pergelangan tangannya, Bayu cepat
melentingkan tubuhnya ke belakang. Pada
saat itu juga dilepaskannya satu pukulan
keras ke arah wanita yang berada di
belakangnya, disertai putaran tubuhnya di
udara. Begitu cepatnya serangan yang
dilakukan Pendekar Pulau Neraka, sehingga
wanita cantik bercawat itu tidak dapat
lagi menghindar.
"Hlyaaa...!"
Diegkh!
"Akh...!" wanita itu terpekik keras,
agak tertahan.
Tubuhnya terpental ke belakang
begitu pukulan yang dllepaskan Pendekar
Pulau Neraka tepat menghantam dadanya.
Dan sebelum ada yang menyadari, pendekar
berbaju kulit harimau itu sudah bergerak
cepat, melompat ke kanan. Satu tendangan
keras menggeledek dilepaskan, disertai
pengerahan tenaga dalam tinggi. Serangan
Pendekar Pulau Neraka kali ini juga tak
dapat dihindari lagi.
Des!
"Ughk!"
Wanita itu terhuyung-huyung sambil
mengeluh pendek Tendangan Bayu tepat
bersarang di perutnya. Maka kesempatan
ini tidak disia-siakan Pendekar Pulau
Neraka. Kembali tubuhnya bergerak cepat,
berlompatan mempergunakan ilmu
meringankan tubuh yang sudah begitu
sempurna. Begitu cepat gerakan yang
dilakukan Pendekar Pulau Neraka, sehingga
yang teriihat hanya bayangan kuning
berkelebatan menyambar empat wanita
cantik bercawat itu.
Pekikan-pekikan keras terdengar
saling susul, disertai terpentalnya tubuh
tubuh indah setengah telanjang itu. Dan
tahu-tahu, Pendekar Pulau Neraka sudah
berdiri tegak dengan tangan menggenggam
empat batang tombak. Entah bagaimana
caranya, senjata-senjata lawan berhasil
dirampasnya. Sedangkan wanita-wanita
cantik bercawat itu jadi terkejut, begitu
bisa bangkit berdiri.
"Persoalan ini belum selesai,
Keparat...!" geram salah seorang wanita
itu.
Dan setelah berkata demikian,
tubuhnya melesat pergi diikuti tiga
wanita lainnya. Bayu hanya memandangi
saja sampai keempat wanita itu lenyap dari
pandangannya. Dia memegang keempat batang
tombak itu dengan kedua tangannya,
kemudian....
Trak!
Hanya sekali hentak ke paha saja,
empat batang tombak itu sudah berpatahan,
masing-masing menjadi dua bagian. Bayu
melemparkannya begitu saja ke tanah.
Kemudian tubuhnya berputar berbalik dan
melangkah menghampiri anak muda yang
ditemani Tiren. Monyet kecil berbulu
hitam itu berlari-lari menghampiri, lalu
melompat ringan, dan naik ke pundak
Pendekar Pulau Neraka.
"Nguk!"
Bayu menepuk-nepuk kaki Tiren yang
sudah nangkring di pundak kanannya.
Kakinya terus melangkah menghampiri anak
muda belasan tahun yang masih berdiri di
bawah pohon. Pendekar Pulau Neraka baru
berhenti setelah jaraknya tinggal sekitar
tiga langkah lagi di depan anak muda itu.
"Kau tidak apa-apa?" tanya Bayu.
"Tidak. Terima kasih atas
pertolonganmu," ucap pemuda itu.
Bayu hanya tersenyum saja sambil
menepuk pundak anak muda belasan tahun
itu. Kemudian,
Pendekar Pulau Neraka mengajaknya
berjalan meninggalkan tempat Ini. Mereka
berjalan berdampingan tanpa berkata-kata
lagi. Entah apa yang ada di dalam batin
masing-masing, sehingga tak ada seorang
pun membuka suara lebih dahulu. Padahal,
mereka sudah cukup jauh meninggalkan
tempat pertarungan tadi.
"Siapa namamu?" Tanya Bayu mengisi
kebisuan yang terjadi cukup lama tadi.
"Parindra," Sahut anak muda itu
singkat.
"Kenapa berada di hutan ini?" tanya
Bayu lagi.
"Aku sedang berburu dan mencari kayu
bakar," sahut pemuda Itu lagi.
Pendekar Pulau Neraka berhenti
melangkah, langsung memperhatikan pemuda
itu dari ujung kepala sampai ke ujung
kaki. Bayu seperti tidak percaya atas
Jawaban anak muda ini barusan. Kulit
pemuda belasan tahun yang mengaku bernama
Parindra ini putih bersih seperti
layaknya putra-putra bangsawan.
Pakaiannya pun tergolong berharga mahal,
karena terbuat dari bahan sutra halus
bersulamkan bunga-bunga indah di bagian
dadanya.
Kasarnya memang tidak mungkin kalau
anak muda yang kelihatannya dari keluarga
bangsawan ini berada di dalam hutan.
Bahkan sedang berburu dan mencari kayu
bakar! Sedangkan Parindra yang menyadari
tengah diamati hanya diam saja. Sebentar
kemudian tubuhnya dihempaskan, duduk di
bawah pohon yang cukup rindang untuk
menaungi dirinya dari sengatan matahari
yang begitu terik membakar. Sementara
Bayu masih berdiri memperhatikan pemuda
berwajah cukup tampan itu.
"Parindra...," lembut suara Bayu.
Parindra mengangkat wajahnya,
menatap wajah Bayu. Pendekar Pulau Neraka
agak terhenyak melihat sepasang bola mata
anak muda ini tiba-tiba berkaca-kaca.
Kemudian Pendekar Pulau Neraka duduk di
depannya, lalu memandangi lekat-lekat.
Sedangkan Parindra menundukkan kepala
perlahan. Tangannya mencabut rerumputan,
dan melemparkannya sambil menghempaskan
napas berat.
"Kenapa mereka ingin menggantungmu
tadi?" tanya Bayu, tetap lembut nada
suaranya.
"Mereka menuduhku sebagai pencuri,"
sahut Parindra, agak mendengus suaranya.
"Pencuri...? Ha ha ha...!"
Entah kenapa, tiba-tiba saja Bayu
jadi tertawa terbahak-bahak.
Tenggorokannya terasa digelitik men-
dengar jawaban Parindra barusan.
Sedangkan Parindra jadi mendengus, sambil
menatap tajam pemuda berbaju kulit
harimau ini. Perlahan suara tawa Bayu
mereda, dan akhimya berhenti sama sekali.
"Tidak ada yang perlu
ditertawakan...!" dengus Parindra.
"Maaf. Bukannya aku hendak
menyinggung perasaanmu, tapi...," Bayu
kembali tertawa terbahak-bahak.
Parindra lagi-lagi mendengus tidak
senang, lalu langsung bangkit berdiri dan
mengayunkan kakinya kembali dengan cepat.
Bayu cepat-cepat melompat bangkit dan
mengejar anak muda itu. Langkahnya
disejajarkan di sampaing pemuda belasan
tahun ini. Suara tawanya sudah tidak lagi
terdengar di telinga.
"Melihat kulitmu yang putih dan
pakaianmu yang tentu berharga mahal,
rasanya tidak mungkin kalau kau seorang
pencuri, Parindra. Paling tidak, kau anak
bangsawan. Atau, anak seorang juragan
kaya yang tinggal di kota besar," kata
Bayu menilai.
"Aku memang bukan pencuri!" sahut
Parindra maslh bersuara agak mendengus.
"Lalu, kenapa mereka menuduhmu
pencuri dan ingin menggantungmu?" tanya
Bayu mengejar.
Parindra tidak menjawab, dan terus
saja mengayunkan kakinya dengan cepat.
Sedangkan Bayu tetap berada di
sampingnya, sambil tidak henti-hentinya
memperhatikan anak muda belasan tahun
ini. Tiba-tiba saja di benaknya timbul
berbagai macam pikiran mengenai anak muda
ini. Entah kenapa, hatinya merasa ada
sesuatu yang tersembunyi pada diri
Parindra. Sesuatu yang bisa membahayakan
keselamatan jiwanya. Benarkah dugaan
Pendekar Pulau Neraka ini...?
***
DUA
Saat senja merayap turun menyelimuti
sebagian permukaan bumi, Pendekar Pulau
Neraka dan Parindra baru sampai di sebuah
desa yang tidak begitu besar. Rumah-rumah
di sini letaknya pun cukup rapat.
Keadaannya juga tidak begitu ramai.
Bahkan bisa dikatakan sunyi. Hanya ada
beberapa orang saja yang teriihat berada
di luar rumah. Kedua orang itu terus
melangkah menyusuri jalan tanah berdebu
yang membelah di bagian tengah desa kecil
ini. Mereka menuju sebuah kedai yang masih
buka.
Seorang perempuan separuh baya
tampak tergopoh-gopoh menyambut, begitu
melihat Bayu dan Parindra muncul di depan
pintu kedai. Dengan sikap ramah dan
senyuman dibuat-buat, wanita separuh baya
bertubuh sedang itu menuntun kedua anak
muda ini ke sebuah meja yang terletak di
bawah jendela.
"Mau makan, atau hanya minum saja?"
wanita itu menawarkan dengan sikap ramah.
"Dua-duanya," sahut Bayu.
Wanita separuh baya itu tersenyum,
lalu bergegas ke belakang. Bayu mengambil
sesisir pisang yang tergantung di
dekatnya, lalu diberikannya pada Tiren
yang tentu saja senang menerimanya.
Monyet kecil berbulu hitam itu duduk di
jendela sambil menikmati pisang.
Sedangkan Bayu mengedarkan pandangan ke
sekeliling kedai ini
Hanya ada tiga pengunjung selain
dirinya dan Parindra. Dan tampaknya,
ketiga pengunjung kedai ini Juga
pendatang seperti dirinya. Hal ini bisa
dipastikan dari pakaian yang dikenakan.
Teriebih lagi, ketiga orang itu membawa
pedang yang tersampir di pinggang. Dan di
sudut ruangan kedai ini juga masih ada
seorang pengunjung lagi. Seorang
laki-laki tua yang tampaknya sudah mabuk
karena kebanyakan minum arak Ada lebih
lima guci arak besar tergeletak di
mejanya. Bayu kembali mengedarkan
pandangan berkeliling. Tak ada lagi
pengunjung di kedai ini.
Pandangan Pendekar Pulau Neraka
beralih pada wanita separuh baya yang
datang kembali sambil membawa baki berisi
penuh pesanan yang diminta Bayu. Dengan
sikap ramah dan senyuman tetap
tersungglng di bibir, wanita itu
meletakkan makanan dan mlnuman di atas
meja bundar dari kayu berwarna kecoklatan
Ini. Setelah meletakkan seluruh pesanan
tamunya ini, bergegas dia melangkah lagi
ke belakang.
"Kau tidak lapar, Parindra...?"
tegur Bayu melihat Parindra hanya diam
saja, tidak menyentuh hidangan.
Parindra baru menikmati makanannya
setelah di-tegur, tanpa sedikit pun
berblcara. Sambil makan, kepalanya pun
terus tertunduk, seakan-akan
menyembunyikan wajah dari pandangan orang
lain. Sedangkan Bayu tidak sempat
memperhatikan, karena terlalu asyik
menikmati hidangannya. Memang sudah tiga
hari ini Pendekar Pulau Neraka tidak pemah
menikmati makanan selezat ini.
Sementara mereka merukmati makanan
yang terhidang, tanpa disadari, tiga
orang yang duduk agak jauh tengah
memperhatikan Parindra yang terus ter-
tunduk. Mereka berbicara berbisik-bisik
sambil terus memperhatikan pemuda itu.
Namun sama sekali baik Bayu maupun
Parindra tidak menyadari.
Ketiga laki-laki yang kelihatan
berusia rata-rata tiga puluh tahun itu
terus memperhatikan Parindra. Perawakan
mereka cukup gagah, dan berpakaian indah
terbuat dari bahan sutra halus. Dilihat
dari pakaian yang dikenakan, dengan
penampilan bersih dan parlente, sudah
dapat diduga kalau mereka bukanlah orang
sembarangan.
"Kakang...," panggil Parindra pelan
tanpa mengangkat wajah sedikit pun juga.
"Hm...," Bayu hanya menggumam saja.
"Kalau sudah makan, kita langsung
pergi dari desa ini," ujar Parindra, tetap
pelan suaranya.
"Sudah sore, Parindra. Sebentar lagi
malam menjelang. Apa tidak sebaiknya cari
penginapan di desa ini saja...?" usul
Bayu.
"Desa ini tidak aman, meskipun hanya
semalaman saja," kilah Parindra, tetap
pelan dengan kepala tertunduk.
Bayu menghentikan makannya.
Dipandanginya anak muda belasan tahun
ini, yang tetap saja tertunduk. Parindra
juga sudah sejak tadi tidak meneruskan
makannya. Memang sebelum memasuki desa
ini tadi, Parindra sudah tidak ingin
melanjutkan perjalanan. Bahkan tadinya
dia ingin menunggu saja di luar desa. Bayu
sendiri tidak tahu, kenapa Parindra
seperti enggan berada di desa kecil ini.
Tapi dia tidak ingin bertanya banyak,
karena Parindra lebih pendiam dan tidak
banyak bicara. Bahkan jika ditanya pun,
jawabannya hanya sepotong-potong saja.
Pendekar Pulau Neraka memanggil
wanita separuh baya pemilik kedai ini.
Setelah berbicara sebentar, kemudian
dibayarnya harga makanan yang dipesannya.
Sementara itu Tiren melompat naik ke
pundak Pendekar Pulau Neraka. Sesisir
pisang telah berpindah ke dalam perut
monyet berbulu hitam ini. Sedangkan
Parindra sudah keluar lebih dahulu. Bayu
terpaksa bergegas mengejar Parindra yang
terus saja berjalan cepat meninggalkan
kedai itu.
"Parindra, ada apa denganmu...?"
tanya Bayu jadi tidak sabar melihat sikap
Parindra yang begitu tertutup.
Parindra tidak menjawab, dan malah
terus saja berjalan cepat hendak
meninggalkan desa kecil yang membuat
kepalanya jadi berdenyut pening. Pendekar
Pulau Neraka menghadang langkah Parindra,
tepat di perbatasan desa sebelah Timur.
Pemuda itu terpaksa menghentikan
langkahnya.
"Katakan! Ada apa denganmu...?"
desak Bayu.
"Mereka akan membunuhku, kalau tahu
aku ada di desa ini," jelas Parindra.
"Mereka siapa...?"
"Kami...!"
"Heh...?!"
***
Pendekar Pulau Neraka terkejut
begitu tiba-tiba saja terdengar suara
keras menggema. Wajahnya cepat berpaling
ke arah datangnya suara itu. Entah dari
mana datangnya. Tahu-tahu di tempat ini
sudah ada tiga orang laki-laki berusia
tiga puluh tahun. Dan tentu saja Bayu
mengenali mereka, ketika di kedai tadi.
Mereka juga pengunjung kedai yang duduk
agak jauh dari mejanya tadi.
Melihat ketiga laki-laki itu, wajah
Parindra mendadak saja pucat pasi, bagai
tak pernah dialiri darah. Anak muda
berusia tujuh belas tahun itu menggeser
kakinya ke belakang Bayu. Kelihatannya
seperti ingin berlindung di balik tubuh
Pendekar Pulau Neraka ini. Sikap Parindra
yang kelihatan ketakutan itu membuat Bayu
jadi mengerutkan keningnya.
"Parindra! Kemari kau...!" bentak
salah seorang yang mengenakan baju warna
merah menyala.
“Tidak...!" sahut Parindra, agak
bergetar suaranya.
"Anak tidak tahu diuntung...!"
dengus laki-laki lainnya yang mengenakan
baju biru muda.
Seketika laki-laki berbaju biru muda
itu tiba-tiba saja melompat Tangannya
langsung terulur hendak meraih Parindra
yang berlindung di belakang tubuh
Pendekar Pulau Neraka. Tindakan itu tentu
saja membuat Bayu tersentak. Maka
cepat-cepat tangan kanannya dikebutkan ke
arah tangan orang berbaju biru muda yang
menjulur ke depan.
"Hait...!"
Laki-laki berbaju biru muda itu
cepat-cepat menarik tangannya pulang,
sebelum berbenturan dengan tangan kanan
Bayu yang mengibas cepat. Pada saat yang
sama, salah seorang yang mengenakan baju
warna kuning sudah melompat cepat ke arah
Parindra.
Melihat gelagat yang kurang baik ini,
Bayu cepat-cepat melentingkan tubuh ke
belakang sambil menyambar pinggang
Parindra. Beberapa kali Pendekar Pulau
Neraka melakukan putaran di udara, lalu
manis sekali menjejakkan kakinya di tanah
berumput. Langsung didorongnya dada
Parindra, sehingga pemuda belasan tahun
itu merapat ke pohon yang cukup besar
untuk tempat belindung.
"Jangan ke mana-mana," pesan Bayu.
Pendekar Pulau Neraka mengayunkan
kakinya ke depan beberapa tindak
Sementara tiga orang laki-laki dengan
pedang tersampir di pinggang
masing-masing, sudah bergerak maju
menghampiri. Wajah mereka tampak memerah,
bagai menyimpan kemarahan atas tindakan
Bayu yang menyelamatkan Parindra.
"Kau menyingkir, Tiren," ujar Bayu
pada monyet kecil yang masih saja
nangkring di pundaknya.
"Nguk!"
Tiren cepat melompat turun dari
punggung Pendekar Pulau Neraka, lalu
berlari-lari kecil menghampiri Parindra.
Monyet kecil berbulu hitam itu segera me-
lompat naik ke punggung pemuda berusia
belasan tahun ini. Parindra agak terpekik
sedikit, tapi langsung tersenyum begitu
melihat monyet kecil berbulu hitam ini
duduk tenang di pundaknya.
"Berhenti, kalian..!" bentak Bayu
sambil merentangkan tangan kanan ke
depan.
Tiga orang laki-laki bersenjata
pedang di pinggang itu seketika
menghentikan ayunan langkahnya, begitu
mendengar bentakan Bayu yang keras dan
tegas. Sedangkan Bayu tetap berdiri
tegak, bersikap penuh kewaspadaan.
Tatapan matanya begitu tajam merayapi
tiga orang di depannya, seakan-akan
sedang mengukur tingkat kepandaian
mereka.
"Siapa kau...?!" bentak salah
seorang yang mengenakan baju merah.
"Aku Bayu. Dan kalian sendiri
siapa...?" Bayu balik bertanya setelah
memperkenalkan diri.
"Kau tidak perlu tahu siapa kami!"
dengus orang yang berbaju biru muda.
"Sebaiknya cepat menyingkir, sebelum
kupatahkan batang lehermu!" sambung orang
yang berbaju kuning.
"Ada urusan apa, kalian dengan
Parindra?" tanya Bayu tanpa mempedulikan
kata-kata yang bernada kasar dan
meremehkan dari ketiga orang itu.
"Banyak mulut..! Mampus kau,
hiyaaat..!"
Laki-laki yang berbaju merah
seketika saja melompat cepat bagai kilat
menerjang Pendekar Pulau Neraka. Satu
pukulan keras disertai pengerahan tenaga
dalam tinggi, dilepaskan ke arah dada
pemuda berbaju kulit harimau ini.
"Halt!"
Tapi manis sekali Bayu
menghindarinya dengan mengegoskan tubuh
ke kanan. Hampir saja Bayu memberikan
pukulan balasan. Untung saja orang itu
cepat melentingkan tubuh ke belakang,
begitu serangannya tidak mengenai
sasaran. Dan pada saat yang bersamaan,
seorang yang berbaju biru muda sudah
melompat hendak melewati kepala Bayu.
"Yeaaah...!"
Bayu cepat melompat ke belakang,
seraya melepaskan satu pukulan keras
disertai pengerahan tenaga dalam yang
sudah mencapai taraf kesempurnaan.
Pukulan tangan kanan Pendekar Pulau
Neraka seketika beradu keras dengan
kepalan tangan orang berbaju biru muda.
Dua kekuatan tenaga dalam saling
berbenturan dahsyat sekali, dan tak dapat
dihindari. Akibatnya, terdengar ledakan
keras menggelegar yang begitu dahsyat
memekakkan telinga.
Tampak orang berbaju biru muda itu
terpekik keras, dan tubuhnya terpental ke
belakang sejauh beberapa batang tombak.
Keras sekali tubuhnya jatuh menghantam
tanah, lalu bergulingan beberapa kali
sebelum berhenti tertahan sebongkah batu
yang cukup besar. Dia berusaha bangkit
berdiri, tapi dari mulutnya memuntahkan
darah kental agak kehitaman.
"Hoeeek...!"
Sementara Bayu berhasil menguasai
keseimbangan tubuhnya, dan kembali
menjejakkan kakinya di tanah tanpa
tergoyahkan sedikit pun. Kejadian yang
begitu cepat dan tidak terduga tadi,
membuat dua laki-laki lain jadi
terbeliak. Mereka seakan-akan baru saja
melek, dan menyadari kalau pemuda berbaju
kulit harimau ini tidak bisa dianggap
enteng.
"Selangkah lagi kalian maju, nasib
kalian tentu akan sebagus dia!" ancam
Bayu, dingin menggetarkan.
Dua orang laki-laki itu seperti
ragu-ragu. Mereka sama-sama memandang ke
arah temannya yang tampak tak berdaya,
tergeletak di tanah berumput. Mulutnya
penuh darah kental agak kehitaman.
Seperti diberi aba-aba saja, mereka
bergegas menghampiri temannya yang
tergeletak. Gerakan halus di dadanya,
menandakan kalau orang berbaju biru muda
itu masih bernapas.
"Bagaimana...?" tanya orang berbaju
merah, agak berbisik suaranya.
"Sebaiknya mundur saja dulu.
Tampaknya, Adi Rakasa terluka dalam cukup
parah," sahut orang berbaju kuning.
Orang yang mengenakan baju merah
memutar tubuhnya menatap Bayu yang masih
berdiri tegak dan bersikap menantang.
Sedangkan orang yang berbaju kuning sudah
membantu temannya berdiri.
"Ayo, kita pergL..," ajak orang
berbaju kuning yang memapah temannya.
Sedangkan orang berbaju merah masih
menatap tajam penuh kata-kata bernada
ancaman, tubuhnya diputar dan bergegas
menyusul dua orang temannya yang sudah
meninggalkan tempat ini
***
"Siapa mereka?" tanya Bayu tanpa
berpaling dari orang yang bergerak cepat
meninggalkan tempatnya.
Parindra tidak menjawab pertanyaan
itu. Seolah-olah tidak didengarnya ucapan
Bayu. Pandangan matanya tak lepas dari
tiga orang yang semakin jauh pergi.
Sementara Bayu memutar tubuhnya, lalu
menghampiri anak muda itu. Monyet kecil
berbulu hitam di pundak Parindra,
melompat berpindah kebahu kanan Pendekar
Pulau Neraka. Dipeluknya leher Bayu,
seakan-akan ingin menyatakan
kegembiraannya melihat pemuda berbaju
kulit harimau ini berhasil mengalahkan
tiga orang lawannya.
"Siapa mereka, Parindra...?" Bayu
mengulangi pertanyaannya yang belum
terjawab tadi.
"Oh..., aku..., aku...," Parindra
jadi tergagap.
"Jangan katakan kau tidak tahu siapa
mereka, Parindra," agak dalam nada suara
Bayu.
Parindra diam dengan kepala
tertunduk, menekuri ujung jari kakinya.
Sementara Bayu berada sekitar dua langkah
lagi di depannya. Pendekar Pulau Neraka
memandangi dengan sinar mata memancar
tajam. Perlahan Parindra mengangkat
wajahnya, dan langsung bertemu pandang
dengan mata pemuda berbaju kulit harimau
di depannya. Kemudian tubuhnya
dihempaskan, duduk bersandar di batang
pohon. Terdengar hembusan napas yang
panjang dan terasa begitu berat.
Sedangkan Bayu masih berdiri saja di
tempatnya, memandangi pemuda belasan
tahun ini
"Baiklah.... Kalau kau tetap diam
saja seperti itu, tidak ada gunanya lagi
aku bersamamu," tegas Bayu.
Setelah berkata demikian, Bayu
memutar tubuhnya berbalik Kakinya terayun
melangkah meninggalkan Parindra yang
masih duduk saja di bawah pohon. Ketika
Bayu berjalan sejauh tiga batang tombak,
Parindra cepat bangkit berdiri. Bergegas
kakinya melangkah mengejar dan
mensejajarkan diri di samping Pendekar
Pulau Neraka.
"Sebaiknya kau pulang saja,
Parindra. Tidak ada gunanya mengikutiku
terus," ujar Bayu tanpa menghentikan
langkahnya.
"Kau tidak ingin mengantarku,
Kakang...?" nada suara Parindra terdengar
memohon.
"Ke mana aku harus mengantarmu? Kau
sendiri tidak pernah mengatakan di mana
rumahmu."
"Di Desa Batang," Parindra memberi
tahu desa tempat tinggalnya.
"Tidak jauh dari sini."
"Memang. Hanya menyeberangi sungai
saja."
"Lalu, kenapa kau tidak pulang
sendiri...?" pancing Bayu.
"Aku takut," pelan sekali suara
Parindra.
"Apa yang kau takutkan...? Pulang
tidak membawa binatang buruan? Kau takut
orang tuamu marah?"
Parindra menggelengkan kepala.
Wajahnya kembali berubah murung. Bayu
jadi gemas juga melihat sikap anak muda
yang cepat sekali berubah jadi pendiam dan
murung ini Sebentar Bayu memperhatikan,
kemudian kembali mengayunkan langkahnya
perlahan-lahan. Sementara senja semakin
merayap turun. Suasana pun semakin
meremang. Tak berapa lama lagi, malam
pasti jatuh menyelimuti mayapada.
"Kau punya persoalan, Parindra...?"
tanya Bayu lebih hati-hati, agar tidak
berkesan mendesak.
"Sebenamya, aku tidak berburu. Aku
lari dari rumah," jelas Parindra, pelan.
"Kenapa...?" Bayu agak terkejut juga
mendengar pengakuan ini.
"Mereka membakar rumahku. Membunuh
ibu, dan adikku...," semakin pelan suara
Parindra.
Bayu menghentikan langkahnya. Dia
jadi tertegun, tidak menyangka akan hal
ini. Dipandanginya wajah Parindra
dalam-dalam, seakan-akan ingin mencari
kebenaran dari kata-kata yang barusan
saja didengarnya. Tampak jelas, kedua
bola mata anak muda itu merembang
berkaca-kata.
"Mereka melontarkan tuduhan-tuduhan
keji pada ibu. Aku takut, lalu lari
menyelamatkan diri ketika mereka membunuh
ibu dan adikku," sambung Parindra.
"Ceritakan! Apa yang terjadi
sebenarnya, Parindra," pinta Bayu ingin
lebih tegas lagi
"Beberapa hari ini, terjadi beberapa
pembunuhan di Desa Batang. Katanya,
beberapa orang sempat memergoki pembunuh
itu. Dan mereka langsung menuduh ibu
sebagai pelakunya! Kata mereka, wajah
pembunuh itu mirip ibu. Maka tuduhan itu
langsung dijatuhkan tanpa menyelidiki
lebih dahulu. Mereka membunuh ibu dan
membakar habis rumah kami"
"Banyak korbannya?" tanya Bayu lagi
"Tiga orang."
"Baru tiga...?!"
"lya. Mereka langsung mendatangi
rumah kami, dan menyeret ibu dan adikku ke
luar. Lalu mereka membunuh dengan keji,
tanpa bertanya lebih dahulu. Kemudian
rumah kami dibakar habis. Bahkan, mereka
juga melemparkan mayat ibu dan adikku ke
dalam rumah yang sedang terbakar.
Sementara aku berhasil selamat, karena
saat itu tengah tidak berada di dalam
rumah. Aku sempat melihat semua kejadian
itu, dan terus saja berlari menyelamatkan
diri, sebelum ada yang mengetahui."
"Setelah itu, apa masih terjadi
pembunuhan di sana?" tanya Bayu.
"Aku tidak tahu. Empat hari aku
berada di dalam hutan, dan tidak berani
kembali lagi ke sana," jelas Parindra.
"Kau tahu, siapa tiga orang yang
melihat ibumu Jadi pembunuh?" tanya Bayu.
"Salah satunya, Paman Karpak. Dan dua
orang lalnnya aku tidak tahu."
Bayu mengangguk-anggukkan kepala.
Dia melihat persoalan yang dihadapi
Parindra begitu pelik. Dan memang, tidak
mudah membersihkan nama yang sudah
ternoda.
"Parindra.... Siapa wanita-wanita
yang hampir menggantungmu di hutan tadi.
Dan siapa ketiga laki-laki itu tadi?"
tanya Bayu ingin tahu lebih banyak lagi.
”Kalau yang wanita, aku tidak tahu.
Tapi ketiga orang tadi, mereka dari
Padepokan Kalong Hitam. Aku sempat
menjadi murid di padepokan itu. Dan mereka
mengejarku. Aku sendiri tidak tahu
mengapa mereka ingin menangkapku," jelas
Parindra kembali.
'Tapi kenapa kau memintaku
mengantarkan pulang...?" tanya Bayu lagi.
"Aku ingin, agar kau menjelaskan pada
mereka bahwa tuduhan itu salah alamat. Aku
ingin kau membantuku membersihkan nama
keluargaku kembali," sahut Parindra
mengemukakan keinginannya.
Bayu mengangkat bahunya sedikit.
"Aku tidak janji, dan harus
kuselidiki dulu kebenarannya," ujar Bayu
setelah terdiam beberapa saat
"Kau tidak percaya padaku...?"
"Bukannya tidak percaya, Parindra.
Aku hanya ingin mencari kepastian dan
kebenaran yang nyata. Aku tidak ingin
bertindak gegabah, yang bisa-bisa malah
jadi bumerang bagi diriku sendiri. Kau
mengerti maksudku, Parindra...?"
Parindra hanya menganggukkan kepala
saja. Bisa dimengerti, apa yang
dimaksudkan pemuda berbaju kulit harimau
ini. Memang tidak mudah untuk mempercayai
begitu saja ceritanya. Dan dia tahu, Bayu
sebenarnya ingin mencari keterangan lebih
dahulu. Setelah itu, baru bisa ditentukan
langkah selanjutnya yang harus diambil.
Parindra sendiri tidak ingin mendesak
Bayu. Justru kalau mendesak, tentu
Pendekar Pulau Neraka akan semakin
curiga. Bisa-bisa semua ceritanya hanya
dianggap khayalan kosong belaka. Mendapat
pildran begitu, Parindra jadi diam dan
mencoba untuk bisa mengerti. Sebaiknya
kita cari tempat yang aman dulu, dan tidak
jauh dari Desa Batang. Aku tidak ingin kau
terus bersamaku, karena bisa mengurangi
ruang gerakku," kata Bayu lagi.
"Aku bisa mengerti, Kakang. Terima
kasih, karena kau bersedia membantuku
menyelesaikan persoalan ini," ujar
Parindra.
Bayu menepuk pundak anak muda belasan
tahun ini, kemudian mengajaknya melangkah
lagi. Mereka berjalan bersisian tanpa
berbicara lagi. Sementara di dalam
benaknya, Bayu terus mencerna dan
memikirkan semua cerita Parindra tadi.
Untuk saat ini, memang belum bisa
mengambil satu kesimpulan. Dan Pendekar
Pulau Neraka harus mencari keterangan
dulu agar mengetahui persoalan sebenamya,
sebelum mengambll tindakan.
"Aku punya tempat yang tak seorang
pun tahu," kata Parindra tiba-tiba.
"Hm.... Di mana?"
"Sebelah Timur Desa Batang. Hanya aku
sendiri yang tahu tempat itu," sahut
Parindra.
"Baiklah. Ayo, ke sana...."
Kini mereka berjalan cepat Bayu
melihat kalau Parindra sudah tidak murung
lagi. Anak muda belasan tahun itu berjalan
mempergunakan ilmu meringankan tubuh,
sehingga Bayu juga terpaksa
mengimbanginya. Sedangkan saat itu,
matahari sudah hampir tenggelam di balik
cakrawala sebelah Barat Sinarnya yang
memerah, membias di antara pucuk
pepohonan. Begitu indah pemandangannya.
Tapi keindahan itu tak mungkin bisa
dinikmati Bayu dan Parindra yang berjalan
cepat menuju ke Desa Batang.
***
TIGA
Tempat yang dimaksudkan Parindra
memang cocok sebagai tempat
persembunyian. Sebuah gua yang cukup
besar dan nyaman, letaknya pun
terlindung. Dan orang tak mungkin
menyangka kalau di antara bebatuan dan
pohon-pohon yang begitu rapat tersembunyi
sebuah mulut gua yang memang kecil, dan
hanya bisa dimasuki dengan cara merangkak
Tapi, di dalamnya sangat besar luar biasa.
Memasuki gua ini, serasa berada dalam
sebuah ruangan dalam tanah yang sengaja
dibuat untuk tempat persembunyian.
Udaranya juga cukup hangat karena di
tengah-tengah gua ini terdapat sebuah
kolam air yang terus bergolak mendidih.
Uap air dari kolam itu membuat udara di di
sini terasa hangat Sebuah lubang yang
cukup besar di dinding atas tepat di atas
kolam itu, membuat keadaan di dalam gua
ini cukup terang oleh sinar rembulan.
Sehingga, tak periu lagi membuat api
unggun.
"Dulu, aku sering ke sini bersama
ayah," jelas Parindra. Tapi sayang, ayah
telah mendahului ketika aku baru berusia
empat belas tahun."
Bayu hanya diam saja mendengarkan
sambil duduk bersandar di dinding gua
batu. Sedangkan Tiren, sudah sejak tadi
melingkar di sampingnya. Tumpukan daun
kering menjadi alas tidur monyet kecil inL
"Ayah tewas dalam pertarungan dengan
lawannya," sambung Parindra mengenang.
“Tapi beliau juga berhasil membunuh
lawannya, sebelum benar-benar tewas.
Pertarungan yang adil, dan keduanya
sama-sama tewas."
"Kau melihat pertarungan itu?" tanya
Bayu.
"Bukan hanya aku, tapi semua orang di
Desa Batang menyaksikannya. Bahkan semua
penghuni Padepokan Kalong Hitam dan
beberapa orang dari kalangan persilatan
juga menyaksikan," sahut Parindra.
"Oh...?!" Bayu mendesah.
Pendekar Pulau Neraka tidak
menyangka kalau Parindra temyata putra
seorang tokoh persilatan. Dari ceritanya
saja, sudah bisa diduga kalau orang tua
Parindra seorang tokoh persilatan yang
punya nama. Buktinya, pertarungan itu
disaksikan begitu banyak orang Tapi,
kenapa sekarang semua orang malah
membenci keluarganya...? Bahkan
orang-orang Padepokan Kalong Hitam dan
semua penduduk Desa Batang ikut
memusuhinya. Yang lebih mengherankan
lagi, Ibu dan adik anak muda ini dibunuh
oleh mereka setelah membakar habis
rumahnya. Hal inilah yang membuat Bayu
tidak habis mengerti.
Sampai jauh malam mereka terus
berbincang-bincang. Dan Bayu semakin
mengenal anak muda belasan tahun ini.
Hatinya langsung tergerak, setelah
mengetahui kisah hidup Parindra. Dia jadi
teringat dirinya sendiri, yang sejak
masih bayi merah sudah ditinggal kedua
orang tuanya. Sampai saat ini, Bayu pun
tidak tahu keberadaan ibunya. Apakah
sudah mati, atau masih hidup. Sementara
Parindra sudah mendengkur, Bayu masih
belum dapat memejamkan matanya. Entah apa
yang ada di benaknya saat inL Beberapa
kali terdengar tarikan napas yang
panjang.
***
Pagi-pagi sekali Bayu sudah
meninggalkan gua itu. Sementara Parindra
tetap tinggal di sana. Dari keterangan
yang diberikan Parindra, Pendekar Pulau
Neraka cepat bisa menemukan reruntuhan
rumah anak muda itu. Bayu berdiri tegak
memandangi puing-puing rumah yang hangus
terbakar. Dari reruntuhan puing itu, bisa
diduga kalau rumah ini tadinya cukup
besar.
Pendekar Pulau Neraka memalingkan
mukanya ketika mendengar suara langkah
ringan dari arah belakang. Cepat tubuhnya
diputar berbalik, ketika tampak seorang
laki-laki tua berjubah putih berjalan ke
arahnya. Sebatang tongkat kayu berkeluk
tak beraturan tergenggam di tangan
kanannya. Seluruh rambutnya yang panjang
sudah memutih.
"Apa yang kau lakukan di sini, Anak
Muda?" tanya orang tua itu. Nada suaranya
berat, dan dingin sekali.
"Aku mencari tempat tinggal Ratu
Lembah Mayat," sahut Bayu. Suaranya
sengaja dibuat sopan, meskipun sikap
orang tua berjubah putih ini kelihatan
tidak bersahabat
Mendengar nama Ratu Lembah Mayat
laki-laki tua itu jadi menyipit matanya.
Diperhatikannya Bayu dari ujung kepala
hingga ke ujung kaki. Sedangkan Bayu hanya
diam saja diperhatikan dengan sinar mata
tajam, bagai menaruh kecurigaan.
"Apa hubunganmu, sehingga mencari
Ratu Lembah Mayat?" tanya orang tua itu.
Suaranya masih tetap terdengar dingin tak
bersahabat
"Ada sesuatu yang harus
kusampaikan," sahut Bayu. "Apakah Paman
tahu di mana tempat tinggal-nya?"
"Dia sudah mati," sahut orang tua
itu, tetap dingin nada suaranya.
"Mati...?!"
"Benar. Dan sebaiknya cepat
tinggalkan desa ini, Anak Muda."
“Tapi, ada keluarganya yang hidup,
bukan...?"
"Tidak! Semuanya sudah mati. Kau bisa
lihat reruntuhan rumahnya."
Pendekar Pulau Neraka berpaling
sedikit melirik reruntuhan rumah yang
hangus terbakar. Kemudian tatapannya
kembali pada laki-laki tua berjubah putih
di depannya.
"Kalau tidak ada keperluan lagi,
sebaiknya cepat tinggalkan desa ini, Anak
Muda. Aku tidak ingin ada pertumpahan
darah lagi di sini," tegas orang tua itu,
langsung mengusir.
"Kenapa...? Aku datang ke sini bukan
untuk mencari permusuhan, Paman."
"Apa pun yang kau katakan,
kehadiranmu di sini tidak diinginkan. Dan
aku hanya memberimu peringatan satu kali.
Maaf, aku tidak ada waktu untukmu."
"Hei..., tunggu...!"
Tapi orang tua berjubah putih itu
sudah berbalik dan melangkah ringan
meninggalkan Pendekar Pulau Neraka. Dari
ayunan kakinya saja, sudah dapat dinilai
kalau orang tua itu memiliki tingkat
kepandaian tinggi. Begitu ringan ayunan
kakinya, sehingga bagai tak menyentuh
tanah sedikit pua Sebentar saja, bayangan
tubuhnya sudah jauh meninggalkan tempat
ini, menghilang di tikungan jalan.
Sementara Bayu masih berdiri tertegun di
tempatnya. Otaknya bekeria keras, untuk
mengerti maksud ucapan laki-laki tua itu
tadi. Kata-kata yang tak bersahabat dan
bernada ancaman yang tidak bisa dianggap
enteng.
"Aneh.... Mengapa semua orang begitu
benci mendengar nama Ratu Lembah
Mayat..?" Bayu menggumam perlahan,
berbicara pada dirinya sendiri.
Bukan hanya laki-laki tua itu saja
yang kelihatan benci begitu mendengar
nama Ratu Lembah Mayat disebut Tapi
tadi.... Sebelum Bayu sampai di sini, ada
dua orang yang langsung lari begitu
ditanya letak tempat tinggal Ratu Lembah
Mayat Bayu jadi keheranan, karena
tampaknya semua penduduk Desa Batang ini
seperti ketakutan. Bahkan membenci orang
yang bemama Ratu Lembah Mayat
Bayu kembali memandangi reruntuhan
rumah yang sudah rata dengan tanah.
Meskipun kelihatannya sudah beberapa hari
hangus terbakar, tapi masih teriihat
sedikit asap tipis mengepul dari situ.
Reruntuhan rumah inilah yang ditunjukkan
Parindra sebagai bekas rumahnya dulu. Dan
laki-laki tua tadi, mengatakan kalau ini
bekas tempat tinggal Ratu Lembah Mayat
Jadi, memang benar ibu Parindra berjuluk
Ratu Lembah Mayat Hanya saja, Parindra
tidak mengakui, dan mengatakan kalau
julukan itu hanya mengada-ada saja.
"Ratu Lembah Mayat... Hm.„, apa benar
istri Pendekar Cakar Naga berjuluk Ratu
Lembah Mayat?" Bayu bergumam sendiri
dalam hati
Baru saja Bayu hendak mengayunkan
kakinya meninggalkan tempat itu, mendadak
saja dari jalan di depannya teriihat
banyak orang mendatangi. Pendekar Pulau
Neraka jadi berkerut keningnya, melihat
banyak orang menuju ke arahnya. Mereka
semua membawa senjata dari berbagai
bentuk, dan tampaknya datang tidak dengan
maksud bersahabat.
Dan sebelum Pendekar Pulau Neraka
bisa mengerti, mendadak saja terdengar
seruan-seruan yang begitu lantang. Itu
pun masih disusul berlariannya
orang-orang yang menghampiri. Bayu jadi,
tersentak kaget ketika beberapa batang
tombak berhamburan ke arahnya.
"Heh...?!"
Bayu cepat berlompatan sambil
mengebutkan kedua tangannya, menangkis
tombak-tombak yang berhamburan di
sekitamya. Belum lagi sempat menarik
napas, dua orang sudah melompat maju.
Pendekar Pulau Neraka langsung diancam
dengan serangan senjata golok terhunus!
"Hait..!"
***
Tak ada lagi kesempatan bagi Pendekar
Pulau Neraka untuk menghentikan mereka.
Orang-orang itu sudah mengepung dan
menyerang tanpa memberi kesempatan
sedikit pun untuk bertanya. Terpaksa Bayu
berjumpalitan menghindari setiap
serangan yang datang dari segala penjuru.
"Setan...! Bisa habis napasku kalau
begini terus!" dengus Bayu dalam hari.
Bayu benar-benar kesal, dan hanya
dapat menggerutu serta mengumpat dalam
hari. Tak ada sedikit pun kesempatan
baginya untuk bisa keluar dari kepungan
orang-orang ini. Pendekar Pulau Neraka
sendiri tidak bisa berbuat banyak
menghadapi keroyokan yang begitu rapat.
Beberapa kali diberikannya serangan
balasan, berupa pukulan-pukulan keras
yang tidak disertai pengerahan tenaga
dalam tinggi. Tapi, tetap saja kesempatan
untuk keluar dari kepungan ini tidak ada.
Padahal, beberapa orang sudah jatuh
bergelimpangan terkena pukulan Pendekar
Pulau Neraka.
Pukulan-pukulan yang dilepaskan
Pendekar Pulau Neraka memang tidak
berbahaya, sehingga tak menimbulkan
korban seorang pun juga. Mereka yang
terkena pukulan itu, bisa cepat bangkit
berdiri lagi. Bahkan kembali menyerang
ganas. Hal ini membuat Bayu semakin
kerepotan menghadapinya. Dan tentu saja
ruang geraknya pun semakin menyempit.
Pukulan pukulannya pun semakin jarang
terlontar.
Wusss!
Tiba-tiba saja, berhembus angin yang
begitu keras bagai terjadi badai topan di
tengah samudera. Angin yang datang
tiba-tiba itu menimbulkan suara menderu
yang menggetarkan hari. Akibatnya
orang-orang yang mengeroyok Bayu jadi
berhamburan, berpentalan diterjang angin
yang begitu keras. Bahkan batu-batuan pun
beterbangan. Pepohonan mulai terbongkar
sampai ke akamya. Jeritan-jeritan panjang
melengking tinggi terdengar di antara
deru angin yang begitu dahsyat Bayu
sendiri mengerahkan tenaga dalam agat
tidak terhempas hembusan angin yang
begitu dahsyat dan tiba-tiba ini.
Pendekar Pulau Neraka sempat melihat
orang-orang yang tadi mengeroyok, berham-
buran seperti segumpal kapas yang
diterbangkan angin Tak ada seorang pun
yang mampu bertahan. Bahkan beberapa di
antara mereka sudah tergeletak terhimpit
pohon atau batu-batu. Jeritan-jeritan
melengking masih terdengar sating susul,
ditingkahi deru angin yang semakin
dahsyat Sementara Bayu masih tetap
mencoba bertahan di tempatnya.
"Huh! Ini bukan angin biasa. Aku
mulai merasakan hawa panas di dalamnya,"
dengus Bayu dalam hari.
Menyadari kalau badai yang datang ini
bukan karena peristiwa alam biasa, Bayu
segera mengerahkan ilmu meringankan
tubuhnya. Dan seketika itu juga, tubuh
Pendekar Pulau Neraka melayang bagai
sehelai daun yang terhembus angin.
Seketika dimanfaatkannya tenaga hembusan
angin ini untuk melepaskan diri dari
serangan badai yang begitu dahsyat Dan
begitu dorongan angin terasa berkurang
kekuatannya, cepat-cepat tubuhnya
melenting, lalu berputaran beberapa kali
di udara.
"Hup! Yeaaah...!"
Ringan sekali Pendekar Pulau Neraka
menjejakkan kaki di tanah. Sedikit pun tak
terdengar suara saat kedua kakinya
mendarat di tanah. Bayu berdiri tegak
dengan sinar mata menyorot tajam, dan
beredar berkeliling. Pada saat itu, angin
yang dahsyat tersebut benar-benar sudah
berhenti.
"Nguk...!"
Bayu cepat memutar tubuhnya ke kanan,
begitu monyet kecil di pundaknya bersuara
pelan. Entah dari mana datangnya,
tahu-tahu sekitar sepuluh tombak di
depannya sudah berdiri seseorang
mengenakan jubah panjang berwama hitam.
Rambutnya panjang teriap, dan hampir
menutupi seluruh wajahnya. Sehingga, Bayu
sukar mengenalinya. Sebatang tongkat yang
bagian ujung atasnya berbentuk tengkorak
kepala manusia, tergenggam di tangan
kanan. Bayu menyipitkan matanya, mencoba
memperhatikan orang itu lebih Jelas lagi
"Hm...," Bayu menggumam perlahan
dalam hari.
"Pergilah dari sini, Anak Muda. Dan
sebaiknya jangan mencampuri urusan ini.
Pergilah! Sebelum aku bertindak lebih
kejam padamu!" terdengar dingin sekali
nada suara orang itu.
"Siapa kau? Apa maksudmu memamerkan
tenaga dalam seperti itu?" tanya Bayu
tegas.
"Hik hik hik..! Itu baru permulaan,
Anak Muda."
"Hm...," Bayu hanya menggumam kecil.
Baru sekali ini Pendekar Pulau Neraka
melihat orang berjubah hitam itu. Dan dari
suaranya saja, sudah bisa diduga kalau
orang itu pasti seorang perempuan tua. Dan
yang pasti, kepandaiannya telah tinggi,
karena bisa menciptakan badai topan
begitu dahsyat Bayu semakin menyipitkan
matanya, mencoba memperhatikan lebih
jelas. Kakinya bergerak perlahan,
melangkah ke depan.
Tapi orang berjubah hitam itu malah
bergerak mundur seperti melayang di atas
tanah. Tak teriihat sedikit pun gerakan
kakinya. Sehingga, Bayu tak dapat lebih
mendekat lagi, dan langsung menghentikan
langkahnya. Orang berjubah hitam Itu juga
berhenti bergerak ke belakang.
"Demi keselamatanmu sendiri, kuharap
kau segera angkat kaki dari desa ini. Tak
ada yang bisa diharapkan di sini," tegas
orang berjubah hitam Itu lagi. Suaranya
tetap terdengar dingin tak bersahabat
"Kenapa semua orang mengusirku?
Apakah desa ini terlarang bagi pengembara
sepertiku...?" tanya Bayu seperti
bertanya pada dirinya sendiri.
"Kau tidak akan mendapatkan jawaban,
Anak Muda. Tak ada tempat sejengkal pun di
desa ini untukmu!" sahut orang berjubah
hitam itu agak mendengus.
"Sayang sekali. Sepertinya, aku
tidak bisa meninggalkan desa ini
cepat-cepat" ujar Bayu kalem.
"Keras kepala...!" desis orang
berjubah hitam itu mendengus kesal.
Bayu memutar tubuhnya dan melangkah
pergi tanpa berkata-kata lagi. Dia malah
berjalan menuju Desa Batang.
"Mau ke mana kau, Bocah...?!" bentak
orang berjubah hitam itu.
"Ke Desa Batang," sahut Bayu
seenaknya, tanpa menghentikan
langkahnya.
"Bocah setan...! Berhenti kau...!"
Tapi Bayu tidak mempedulikan lagi,
dan terus saja berjalan tenang. Dan begitu
sudah berjalan sejauh tiga batang tombak,
tiba-tiba saja dari arah belakang terasa
angin berhembus keras. Seketika Bayu
cepat melentingkan tubuh ke udara, tanpa
berpaling lagi ke belakang.
"Yeaaah...!"
Pada saat itu, di bawah tubuhnya
berkelebat bayangan hitam yang begitu
cepat luar biasa. Tiga kali Bayu berputar
di udara, kemudian manis sekali
menjejakkan kakinya di tanah.
"Bocah setan...! Berhenti kau...!"
Tapi Pendekar Pulau Neraka tidak
peduli. Dia terus saja berjalan. Dan
ketika dari belakang dirasakan-nya angin
berhembus keras, Bayu segera melentingkan
tubuhnya tanpa berpaling lagi! Rupanya,
sesosok ba-yangan hitam itu telah
menyerang dengan cepatnya!
Sebentar diperhatikannya orang
berjubah hitam yang sudah cepat berbalik.
Dan sebelum orang berjubah hitam itu
kembali melakukan serangan, Pendekar
Pulau Neraka sudah melesat cepat
mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang
cukup sempurna. Begitu cepat gerakannya,
sehingga dalam sekejapan mata saja
bayangan tubuhnya sudah lenyap tak
teriihat lagi. Bagaikan tertelan bumi
saja layaknya. Hilangnya Pendekar Pulau
Neraka membuat orang berjubah hitam ini
jadi terbengong.
"Bocah setan...!" dia mengumpat
berang.
Beberapa saat orang berjubah hitam
itu masih berdiri tegak di tempatnya.
Sepasang bola matanya yang tersembunyi di
balik riapan rambutnya yang panjang,
teriihat menyorot tajam, dan beredar
berkeliling. Tapi Pendekar Pulau Neraka
memang sudah lenyap tak berbekas lagi Tak
ada seorang pun yang dapat dilihatnya,
kecuali keadaan sekitar yang hancur
berantakan akibat terlanda angin badai
tadi. Beberapa tubuh tak bernyawa,
bergelimpangan tumpang tindih bersama
bebatuan dan pepohonan tumbang.
"Huh! Bocah setan itu harus
disingkirkan, sebelum membuat susah
nantinya!" dengus orang berjubah hitam
itu lagi.
Dan tanpa berkata apa-apa lagi,
tubuhnya cepat melesat pergi menuju Desa
Batang. Begitu ringan dan cepatnya,
sehingga sebentar saja sudah jauh me-
ninggalkan tempat ini. Sementara tanpa
diketahuinya, Bayu sebenamya masih berada
di tempat itu. Pendekar Pulau Neraka
bersembunyi di balik sebatang pohon yang
cukup besar sambil memperhatikan orang
berjubah hitam itu. Begitu orang itu
lenyap dari pandangannya, barulah
Pendekar Pulau Neraka keluar dari balik
pohon.
"Hm.... Siapa dia...?" gumam Bayu
bertanya sendiri dalam hati.
***
Malam sudah cukup larut menyelimuti
seluruh permukaan bumi di Desa Batang.
Suasana desa yang tidak begitu besar itu
pun, terasa sunyi sekali Hanya beberapa
peronda saja yang teriihat berjaga-jaga
di beberapa tempat di desa itu. Hampir
semua rumah di sini dalam keadaan gelap.
Para penduduk hanya memasang sebuah
pelita kecil di beranda depan saja. Tapi,
ada satu rumah yang tampak terang
benderang pada bagian dalamnya. Rumah itu
kelihatan paling besar di desa ini, dan
berhalaman luas.
Di bagian ruangan depan rumah itu
teriihat enam orang laki-laki duduk
melingkar di lantai yang beralas-kan
selembar anyaman tikar daun pandan. Di
antara mereka tampak seorang laki-laki
tua berjubah putih, berambut putih.
Dialah laki-laki tua yang pemah menemui
dan memberi peringatan pada Pendekar
Pulau Neraka. Di Desa Batang ini, dia
dikenal dengan nama Eyang Bagasrana. Dia
memang orang yang tertua dan amat
disegani, dan juga guru besar di Padepokan
Kalong Hitam. Dan Desa Batang sendiri
juga dikenal berjuluk Desa Padepokan
Kalong Hitam. Karena, hampir semua
penduduknya merupakan mu rid Eyang
Bagasrana.
Sedangkan tiga orang yang duduk di
samping kanan dan kirinya masih kelihatan
muda. Dan mungkin baru berusia antara dua
puluh lima atau tiga .puluh tahun. Mereka
juga pernah bertemu Pendekar Pulau
Neraka. Yang mengenakan baju kuning
adalah Sutrana. Sedangkan yang berbaju
merah adalah Badur, dan Rakasa yang
memakai baju warna biru muda. Sementara
yang bernama Rakasa pernah terluka akibat
pertarungannya dengan Pendekar Pulau
Neraka.
Sedangkan dua orang lagi sudah
berusia separuh baya. Melihat dari
pakaian dan senjata yang disandang, sudah
dapat dipastikan kalau mereka bukan orang
sembarangan. Yang mengenakan baju hijau
bernama Karpak. Goloknya berukuran besar,
dan tergeletak di depannya. Dan seorang
lagi bernama Ladra. Bajunya juga berwama
hijau, dan memegang sebatang tombak
pendek yang ujungnya bermata tiga.
"Satu lagi orang asing datang ke desa
ini. Dan siang tadi, sudah meminta korban
cukup banyak...," laki-laki tua berjubah
putih itu membuka suara.
"Ada tiga puluh orang yang tewas.
Sementara sisanya, terluka cukup parah,"
sambung Karpak
"Apakah orang itu mengenakan baju
dari kulit harimau...?" tanya Badur.
"Benar," sahut orang tua berjubah
putih.
"Kami sempat bertarung di luar Desa
Gambut Dia bersama Parindra. Waktu itu
aku, Sutrana dan Rakasa belum mengetahui
persoalan yang sebenarnya;" jelas Badur
lagi.
"Kalau begitu, dia benar-benar ada
hubungannya dengan keluarga Pendekar
Cakar Naga...," gumam Eyang Bagasrana.
"Benarkah itu, Eyang...?" Karpak
seperti meminta penjelasan.
"Anak muda itu menanyakan tempat
tinggal Ratu Lembah Mayat Hm.... Dia pasti
hanya berpura-pura saja bertanya begitu.
Kedatangannya ke sini, pasti ingin
menyelidiki kematian istri Pendekar Cakar
Naga," duga Eyang Bagasrana.
"Apa yang harus kita lakukan
sekarang, Eyang?" tanya Ladra.
"Yang pasti, Parindra sudah
bercerita banyak padanya. Dan bukannya
tidak mungkin, ceritanya
ditambah-tambahkan supaya berkesan semua
orang di desa ini telah membantai
keluarganya secara keji," sambung
Sutrana.
"Eyang.... Kesalahpahaman ini harus
segera diluruskan. Sekarang kita harus
mencarinya, dan menjelaskan kebenaranya.
Kalau tidak, dia akan tetap menyangka
buruk pada semua orang di Desa Batang
ini," sambung Ladra.
"Percuma saja, Paman Ladra," selak
Badur.
"Apanya yang percuma...?"
"Parindra tidak sudi lagi kembali ke
sini. Bahkan terang-terangan menentang
dan membenci kita semua," jelas Badur.
"Dalam hal ini, aku yang bertanggung
jawab. Dan harus kuselesaikan sendiri,"
selak Eyang Bagasrana.
"Tidak, Eyang...!" sentak Sutrana.
"Bukan hanya Eyang sendiri yang harus
bertindak. Tapi semua orang di Desa Batang
ini juga terlibat"
"Benar, Eyang. Persoalan ini harus
segera diselesaikan. Dan yang terpenting,
Parindra harus segera ditemukan. Dia
harus diberi penjelasan yang sebenarnya.
Kalaupun pendiriannya tetap tidak
berubah, itu memang sudah haknya. Dan kita
tetap berkewajiban membersihkan nama
Pendekar Cakar Naga. Terutama, nama istri
dan anak-anaknya," sambung Karpak
"Eyang.... Bagaimana kalau kita
temui dulu anak muda berbaju kulit harimau
itu," usul Ladra.
"Maksudmu..?" tanya Eyang Bagasrana
tidak mengerti.
"Serahkan saja padaku, Eyang. Toh,
dia belum bertemu denganku," ujar Ladra
diiringi senyuman. 1
"Dengar, Ladra. Aku tidak ada waktu
untuk bermain-main...!" dengus Eyang
Bagasrana.
Ladra hanya tersenyum saja. Dia
bangkit berdiri, dan membungkukkan
badannya untuk memberi hormat pada
laki-laki tua itu. Kemudian tubuhnya
berbalik, langsung berjalan ke luar
meninggalkan ruangan itu.
"Apa yang akan dilakukannya...?"
tanya Eyang Bagasrana seperti bertanya
pada diri sendiri.
Tentu saja yang lain tidak bisa
menjawab. Mereka tidak tahu, apa yang akan
dilakukan Ladra pada pemuda berbaju kulit
harimau. Sementara mereka semua terdiam,
Ladra sudah memacu cepat kudanya
meninggalkan rumah berukuran cukup besar
itu. Sementara malam terus merayap
semakin larut, menyelimuti seluruh
permukaan bumi Desa Batang. Suasana di
desa itu pun semakin terasa sunyi. Hanya
suara binatang malam saja yang terdengar
mengisi kesunyian malam.
***
"Hup...!"
Ladra melompat turun dari punggung
kudanya dengan gerakan ringan sekali.
Kakinya melangkah sambil menuntun
kudanya, mendekati seorang pemuda yang
duduk bersila di depan api unggun. Api
yang menyala tidak seberapa besar itu
sudah cukup mengusir udara dingin malam
ini. Pemuda yang mengenakan baju kulit
harimau itu hanya mengangkat wajahnya
sedikit, begitu Ladra sudah berada di
depannya.
"Maaf, boleh menumpang menghangatkan
badan di sini?" ujar Ladra dengan suara
dan sikap dibuat lembut
"Silakan," sahut pemuda berbaju
kulit harimau yang tak lain Pendekar Pulau
Neraka.
"Terima kasih."
Ladra duduk bersila di depan Pendekar
Pulau Neraka. Kedua telapak tangannya
digosok-gosokkan di atas api. Bayu
menambahkan sebatang ranting kedalam api.
Diperhatikannya laki-laki setengah baya
yang membawa tombak pendek bermata tiga di
depannya Sedangkan Ladra seperti tidak
peduli kalau dirinya diperhatikan.
“Tampaknya Kisanak seorang
pengembara...," pancing Ladra lagi.
"Benar," sahut Bayu singkat
"Aku Ladra. Dan biasanya orang
memanggilku si Tombak Mata Tiga," Ladra
memperkenalkan diri.
"Aku Bayu," Bayu juga memperkenalkan
diri, tapi tidak menyebutkan julukannya
yang terkenal angker dan bisa membuat bulu
kuduk meremang.
"Apakah tujuan perjalananmu adalah
Desa Batang, Kisanak..?" tanya Ladra
lagi.
"Benar," sahut Bayu.
"Sayang sekali. Desa itu sekarang ini
tidak enak disinggahi," pelan suara
Ladra.
"Kenapa...?" tanya Bayu dengan mata
sedikit menyipit
"Beberapa hari ini, terjadi
malapetaka yang menimpa desa itu. Sebuah
gerombolan yang dipimpin Ratu Lembah
Mayat telah memporakporandakan desa itu.
Bahkan sampai menimbulkan banyak korban
jiwa. Peristiwa itu terjadi setelah
adanya pertarungan antara Pendekar Cakar
Naga melawan si Mata Setan dari Bukit
Jagal Pertarungan itu sebenarnya terjadi
di luar Desa Batang. Tapi, Pendekar Cakar
Naga dan keluarganya memang dulu tinggal
di sana. Bahkan sekarang keluarganya
sudah musnah. Hanya seorang putranya saja
yang sampai saat ini tidak jelas rimbanya.
Semua orang di Desa Batang, terutama Ketua
Padepokan Kalong Hitam, mengharapkan
kehadiran putra Pendekar Cakar Naga itu,"
jelas Ladra tentang keadaan Desa Batang
dengan panjang lebar.
Sedangkan Bayu mendengarkan penuh
perhatian. Keningnya jadi berkerut, dan
matanya menyipit memperhatikan wajah
laki-laki setengah baya di depannya. Dia
jadi teringat semua cerita Parindra. Apa
yang baru saja didengar dari Ladra, tidak
beda jauh dengan penuturan Parindra. Tapi
ada sedikit perbedaan. Parindra
mengatakan kalau ibunya dijuluki si Ratu
Lembah Mayat oleh penduduk Desa Batang.
Dan mereka membantainya dengan keji.
Sedangkan Ladra mengatakan, ada
orang lain lagi yang bernama Ratu Lembah
Mayat, Pendekar Pulau Neraka juga jadi
teringat pada orang tua berjubah putih,
ketika berada di dekat reruntuhan puing
tempat tinggal Pendekar Cakar Naga. Orang
tua berjubah putih itu mengatakan
reruntuhan itu tempat tinggal si Ratu
Lembah Mayat
"Boleh aku tahu, siapa sebenamya Ratu
Lembah Mayat itu?" tanya Bayu bernada
menyelidik
"Sayang sekali. Sampai saat ini,
tidak ada yang tahu, siapa Ratu Lembah
Mayat itu," sahut Ladra.
"Apakah dia masih juga muncul?" tanya
Bayu lagi.
“Tidak, Tapi orang-orangnya sudah
dua kali datang. Mereka memang tidak
mengambil apa-apa. Tapi setiap
kemunculannya, selatu menimbuikan korban
nyawa. Bahkan selalu mengobrak-abrik
rumah penduduk Mereka seperti mencari
sesuatu, tapi tampaknya belum
menemukannya," jelas Ladra lagi.
"Apa yang dicarinya?"
"Sayang sekali, aku tidak tahu.
Mereka pun pernah membongkar kuburan
Pendekar Cakar Naga. Bahkan mengkais
reruntuhan rumahnya. Juga membongkar
kuburan istri dan anak perempuan Pendekar
Cakar Naga. Mereka seperti mencari
sesuatu dari sana," kata Ladra lagi.
"Berapa orang jumlah mereka?"
"Enam. Tapi yang dua orang, sangat
sukar ditandingi kepandaiannya.
Sementara yang empat orang, hanya biasa
saja kemampuannya."
Bayu terdiam. Pandangannya
menerawang jauh ke depan. Perasaannya
mengatakan kalau persoalan yang
dihadapinya sekarang ini semakin pelik
Tapi, sudah bisa disimpulkan kalau ibu
Parindra sebenarnya bukan si Ratu Lembah
Mayat. Dan tampaknya, ada sesuatu yang
diinginkan orang berjuluk Ratu Lembah
Mayat itu dari Pendekar Cakar Naga.
Sesuatu yang belum diketahui secara
pasti.
Bayu jadi teringat pertemuannya
dengan Parindra. Anak muda belasan tahun
itu hampir mati digantung empat orang
wanita yang mengenakan cawat Mereka
menuduh Parindra sebagai pencuri. Bayu
jadi termenung, mengkaitkan semua
peristiwa dan cerita yang didapat selama
ini. Seketika timbul pertanyaan dalam
hatinya. Apakah empat orang yang hampir
menggantung Parindra adalah anak buah
Ratu Lembah Mayat..?
"Paman.... Bolehkah bertanya
sesuatu?" pinta Bayu hari-hati.
"Silakan," ujar Ladra.
"Apakah benar orang-orang Desa
Batang yang membunuh keluarga Pendekar
Cakar Naga?" tanya Bayu, lebih hati-hati
lagi.
"Itulah yang menjadi penyesalan
kami, Anak Muda. Waktu itu, kami tidak
lagi menyelidiki lebih dulu. Kami gelap
mata. Karena orang yang bernama Ratu
Lembah Mayat, wajahnya sangat mirip istri
Pendekar Cakar Naga. Dan kami langsung
menuduhnya begitu saja," ada nada
penyesalan dalam suara Ladra.
“Tapi, kenapa semua orang di desa itu
tidak menyukai kehadiranku?" tanya Bayu
begitu bisa memastikan kalau Ladra salah
seorang penduduk Desa Batang.
"Sejak peristiwa itu, kami memang
selatu mencurigai setiap pendatang.
Bahkan melarang pendatang untuk memasuki
Desa Batang. Kami ingin menyelesaikan
semua kemelut ini sendiri, tanpa ada
campur tangan orang asing," jelas Ladra.
"Aku mengerti...," ucap Bayu bisa
memaklumi.
"Kisanak! Kudengar, kau tahu
Parindra berada. Boleh aku bertemu
dengannya?" pinta Ladra.
"Maaf, sekarang ini aku tidak bisa
memberi tahu di mana Parindra berada,"
halus sekali Bayu menolak permlntaan itu.
Ladra mengangkat bahunya.
"Kuharap Paman bisa mengerti," ujar
Bayu.
"Aku mengerti Keadaan memang tidak
memungkinkan untuk bisa saling
mempercayai satu sama lain."
"Terima kasih."
***
Bayu dan Ladra tengah asyik bertukar
pikiran, tiba-tiba saja dikejutkan
teriakan panjang melengking tinggi,
disusul teriihatnya kobaran api dari Desa
Batang. Mereka terlonjak kaget, dan
langsung melompat berdiri. Dan sebelum
bergerak, tiba-tiba saja teriihat
beberapa bayangan berkelebat melewati
perbatasan desa.
"Hup...!"
Tanpa membuang-buang waktu lagi,
Bayu segera melesat pergi mengejar
bayangan yang berkelebat cepat bagai
kilat itu. Begitu cepat dan sempurnanya
ilmu meringankan tubuh yang dimiliki
Pendekar Pulau Neraka, sehingga dalam
sekejap saja sudah lenyap ditelan
kegelapan. Akibatnya Ladra jadi bengong
seperti kerbau melihat lalat di ujung
hidungnya.
Sementara itu Bayu sudah
meninggalkan Ladra yang cepat-cepat
melompat naik ke punggung kudanya. Di
antara keremangan cahaya bulan, Bayu
dapat melihat tujuh orang bergerak cepat
di depannya.
Mereka menuju hutan lebat di sebelah
Selatan Desa Batang, dan terletak di
sebuah bukit kecil. Dan di balik bukit
itu, terdapat sebuah lembah yang
dinamakan Lembah Mayat
"Hup! Yeaaah...!"
Bagaikan seekor burung elang, Bayu
melesat secepat kilat mengejar tujuh
orang yang berlari cepat mempergunakan
ilmu meringankan tubuh bertaraf tinggi.
Beberapa kali Pendekar Pulau Neraka
menjejakkan ujung kakinya di dahan
pepohonan. Lalu begitu berhasil melewati
kepala ketujuh orang itu, cepat tubuhnya
meluruk turun menghadang.
Kemunculan Bayu yang begitu
tiba-tiba, membuat ketujuh orang itu
terkejut setengah mati. Mereka langsung
berhenti berlari. Bayu sendiri tersentak
kaget karena enam orang di antara mereka
adalah gadis muda yang hanya mengenakan
cawat sebagai penutup tubuh. Sedangkan
yang seorang lagi, adalah perempuan tua
berjubah hitam. Rambutnya teriap panjang
hampir menutupi wajahnya. Dari keremangan
cahaya bulan, Bayu sempat melihat wajah
perempuan tua itu seperti wajah
tengkorak, saat rambutnya yang menutupi
mata tersibak.
"Setan...! Rupanya kau belum juga
pergi dari sini...!" dengus perempuan tua
berjubah hitam itu sengit
"Aku tidak akan pergi sebelum
menghentikan angkara murkamu!" sahut Bayu
tidak kalah dinginnya.
"Phuih! Apa urusanmu mengaturku,
Bocah Setan...!" perempuan tua itu
semakin berang mendengar kata-kata
Pendekar Pulau Neraka.
"Aku berurusan dengan siapa saja yang
mengumbar nafsu iblis. Termasuk juga
kalian!"
"Keparat..!"
Perempuan tua itu menghentakkan
tongkatnya ke tanah. Seketika empat gadis
muda bercawat itu berlompatan mundur.
Gerakan mereka ringan sekali. Tak ada
suara sedikit pun yang ditimbulkan ketika
mereka menjejak tanah sekitar beberapa
langkah di depan Pendekar Pulau Neraka.
Tanpa mengucapkan sesuatu, empat gadis
muda berparas cantik itu langsung
menyerang menggunakan tombak panjang
bermata hitam.
"Uts! Yeaaah...!"
Bayu bergegas menarik tubuh ke kanan,
ketika satu batang tombak menyodok ke arah
dada. Dan begitu mata tombak lewat di
depan dada, cepat sekali tangan kirinya
dikebutkan, langsung menyodok ke arah
perut Begitu cepatnya gerakan tangan kiri
Pendekar Pulau Neraka, sehingga gadis
yang menyerangnya tidak dapat lagi
menghindar.
Des!
"Ugkh...!" dia mengeluh dan
terhuyung ke belakang dengan tubuh agak
membungkuk
Belum lagi Bayu sempat menarik tegak
tubuhnya, kembali datang serangan dari
arah lain. Cepat-cepat Pendekar Pulau
Neraka melentingkan tubuh ke belakang,
lalu berputaran dua kali untuk
menghindari hunjaman tombak panjang
bermata hitam. Dan ketika tombak itu lewat
di bawah kakinya, ujung jari kakinya cepat
dijejakkan ke ujung mata tombak berwama
hitam. Lalu, manis sekali, Bayu melenting
ke atas melewati kepala gadis cantik
bercawat itu.
"Hiyaaa...!"
Keras sekali Bayu melepaskan satu
pukulan ke arah batok kepala gadis ini.
Tapi tanpa diduga sama sekali, satu orang
gadis lainnya melesat cepat sambil
mengebutkan tombak ke arah dada Pendekar
Pulau Neraka.
"Uts...!"
Bayu menarik pulang pukulannya, lalu
memutar tubuhnya dua kali sebelum
mendarat kembali di tanah. Belum juga
Pendekar Pulau Neraka sempat menarik
napas, dua orang gadis yang berada di
samping perempuan berjubah hitam itu
cepat mengebutkan tangan kanannya. Dan
dari telapak tangan kanannya, seketika
melesat benda-benda kecil berwama hitam
seperti jarum.
Wusss!
"Hup! Yeaaah...!"
Bayu terpaksa berjumpalitan di
udara, menghindari serbuan jarum-jarum
hitam itu. Beberapa kali tubuhnya
melakukan putaran di udara, dan baru men-
jejak tanah setelah jarum-jarum hitam itu
lewat tanpa menyentuh tubuhnya sedikit
pun.
Saat itu juga Bayu dikejutkan
suara-suara dari pepohonan yang tumbang
di belakangnya. Pendekar Pulau Neraka
jadi tersentak kaget Karena jarum-jarum
hitam yang menghantam pepohonan temyata
membuat pohon itu bertumbangan.
"Gila...!" desis Bayu terkejut
setengah mati.
Bisa dibayangkan jika jarum-jarum
hitam itu sampai menembus kulit tubuh
Pendekar Pulau Neraka. Tubuhnya bisa
hancur seperti pohon-pohon di bela-
kangnya. Dan selagi Pendekar Pulau Neraka
tertegun bengong, tiba-tiba saja salah
seorang dari gadis muda di samping
perempuan berjubah hitam itu melesat
cepat bagai kilat
"Hiyaaat..!"
"Uts!"
Kalau saja Pendekar Pulau Neraka
tidak segera membanting tubuh ke tanah,
sudah pasti pukulan bertenaga dalam
tinggi yang dilepaskan gadis bercawat itu
menghantam dadanya. Beberapa kali
Pendekar Pulau Neraka bergulingan di
tanah, menghindari hujaman beberapa
tombak yang datang begitu tubuhnya jatuh
ke tanah.
Dan begitu memiliki kesempatan,
bergegas Pendekar Pulau Neraka melompat
bangkit berdiri sambil melepaskan
tendangan menyamping dengan kedua kakinya
yang merentang lebar. Tindakan itu begitu
cepat dan tiba-tiba, kakinya tak dapat
lagi dihindari dua orang gadis yang berada
di kanan kirinya. Mereka terpekik keras
agak tertahan, begitu dadanya terkena
tendangan Pendekar Pulau Neraka.
Kembali Bayu melakukan putaran ke
belakang sejauh dua batang tombak, begitu
kakinya menjejak tanah sebentar. Dengan
manis sekali, kakinya yang kokoh mendarat
di tanah. Dan di depannya, kini sudah
berdiri berjajar enam orang gadis cantik
bercawat Empat orang di antaranya
memegang tombak panjang bermata hitam.
Sedangkan dua orang lagi, membawa pedang
yang masih tersampir di punggung.
Sementara perempuan berjubah hitam,
berdiri di belakang keenam gadis cantik
bercawat ini.
"Kau memang tangguh, Anak Muda,"
terasa dingin nada suara perempuan
berjubah hitam itu.
"Terima kasih," ucap Bayu seraya
tersenyum tipis.
"Kau tentu seorang pendekar. Apa
julukanmu?" kejar perempuan berjubah
hitam itu seperti penasaran.
"Apakah itu penting bagimu,
Nisanak..?" Bayu malah balik bertanya.
"Aku kenal banyak pendekar di dunia
ini. Tapi rasanya aku belum pernah
melihatmu. Apalagi mendengar julukanmu.
Hal itu penting bagiku, agar bisa
kutentukan apakah kau pantas berhadapan
denganku atau tidak!"
"O, begitukah...?"
"Apa julukanmu, Anak Muda?"
"Pendekar Pulau Neraka."
"Setan...! Rupanya kau yang bergelar
Pendekar Pulau Neraka...!" dengus
perempuan berjubah hitam itu menggeram.
Bayu jadi menyipitkan matanya,
merayapi perempuan bermuka seperti
tengkorak di depannya. Sedangkan enam
orang gadis cantik yang berdiri berjajar,
tampak tinggal menunggu perintah saja
untuk melakukan penyerangan. Mereka
menatap tajam, tanpa berkedip ke arah
pemuda berbaju kulit harimau di depannya.
"Seharusnya aku membunuhmu, Bocah
Setan. Tapi, kau belum waktunya
berhadapan denganku. Masih banyak urusan
yang harus kuselesaikan. Satu saat nanti,
kau harus berhadapan denganku, Pendekar
Pulau Neraka. Ada tagihan hutang nyawa
yang harus kau bayar padaku!" tegas
perempuan berjubah hitam itu.
Setelah berkata demikian, perempuan
berjubah hitam itu langsung melesat
pergi. Dan enam gadis cantik bercawat,
bergegas melesat mengikuti.
"Hey, tunggu...!" seru Bayu.
Tapi wanita-wanita itu sudah cepat
menghilang ditelan kegelapan malam.
Mereka lenyap di dalam hutan yang cukup
lebat. Jadi, tidak ada gunanya bagi Bayu
untuk mengejar. Hutan di bukit kecil ini
lebat sekali. Dan wanita-wanita itu bisa
saja menuju ke arah yang sulit diduga di
dalam hutan.
"Apakah dia yang disebut Ratu Lembah
Mayat..?" gumam Bayu bertanya sendiri
dengan suara pelan.
***
LIMA
Matahari baru saja menampakkan diri
di ufuk Timur. Sinarnya yang memerah,
terasa hangat membangunkan seluruh
penghuni mayapada. Burung-burung
berkicau riang menyambut datangnya sang
fajar. Di sebelah Timur Desa Batang,
teriihat Parindra merangkak keluar dari
dalam gua baru. Disibaknya semak yang
menutupi mulut gua itu.
"Uhhh...!"
Parindra menggeliatkan tubuh, sambil
menghirup udara segar pagi ini. Bibirnya
tersenyum memandangi burung-bururtg yang
berkicau sambil berlompatan riang dari
satu dahan ke dahan lain. Sepasang kelinci
berbulu putih, kelihatan riang berkejaran
bebas di atas rerumputan. Parindra
seperti iri melihat kehidupan bebas di
alam ini.
"Seandainya aku bisa bebas seperti
mereka...," desah Parindra perlahan.
Angan-angan yang diinginkan Parindra
memang tidak berlebihan. Siapa pun di
dunia ini, pasti menginginkan kebebasan
dalam segala hal. Terlebih lagi, sekarang
ini kebebasan yang dimilikinya
benar-benar musnah. Tak ada lagi ruang
gerak bagi pemuda itu. Semua yang ada di
sekitamya seakan-akan menuding
RATU LEMBAH MAYAT
76
dan menclbir tajam. Pemuda belasan
tahun itu meng-ayunkan kakinya
periahan-lahan sambil memperhatikan
binatang-binatang di sekitamya. Setiap
kali melihat burung burung bercanda riang
di atas dahan, bibimya selalu
menyunggingkan senyuman pahit Hatinya
merasa iri melihat kegembiraan dan
kebebasan burung-burung itu.
"Hik hik hik..!"
"Oh...?!"
Parindra terperanjat setengah mati
ketika tiba-tiba saja terdengar tawa
terkikik yang mendirikan bulu kuduk. Dan
belum lagi hilang keterkejutannya,
tiba-tiba saja dari atas pepohonan
meluncur sebuah bayangan hitam, disusul
enam orang gadis-gadis cantik bercawat
kulit kayu.
Parindra ingin berlari, tapi enam
orang gadis cantik bercawat itu sudah
beriompatan mengepungnya. Seluruh wajah
pemuda itu jadi memucat Tubuhnya
bergetar, dengan keringat dingin
bercucuran deras dari pori-pori kulitnya.
Matanya menatap tajam pada wanita
berjubah hitam dan berambut panjang
teriap hampir menutupi wajahnya. Parindra
bergidik begitu melihat jelas wajah
perempuan berjubah hitam itu. Wajahnya
begitu buruk, seperti tengkorak yang
sudah terkubur puluhan tahun.
"Kau tidak bisa lolos dariku,
Parindra," terasa dingin sekali nada
suara wanita berjubah hitam ini.
"Apa yang kau inginkan dariku...?"
tanya Parindra, bergetar.
"Pedang Cakar Naga," sahut wanita
berjubah hitam itu, tetap dingin dan datar
suaranya.
"Aku tidak tahu mengenai pedang itu,"
kata Parindra lagi.
"Hik hik hik..! Masa kau tidak tahu
di mana pedang milik ayahmu? Tapi
sudahlah, yang penting sekarang di mana
kau sembunyikan mustika itu, Parindra...?
'
"Aku..., aku tidak tahu!" semakin
bergetar suara Parindra.
"Aku tidak ada waktu untuk
bermain-main, Parindra," desis wanita
berjubah hitam itu dingin.
Parindra mengeluh dalam hari.
Hatinya berharap Pendekar Pulau Neraka
muncul saat ini. Tapi yang diharapkan,
sama sekali tidak menampakkan batang
hidungnya. Sementara empat orang gadis
cantik bercawat sudah bergerak
mendekatinya. Keringat yang mengucur di
seluruh tubuhnya, semakin deras saja.
Maka, seluruh bajunya basah bagai
tercebur ke dalam sungai.
"Jangan ganggu aku...! Aku tidak tahu
apa-apa tentang mustika itu!" dengus
Parindra.
"Kau memang keras kepala, Parindra.
Tidak ubahnya seperti ayahmu! Akan kau
rasa kan akibat sikapmu yang keras
kepala!" desis wanita berjubah hitam itu,
tetap dingin nada suaranya.
"Apa yang akan kalian lakukan...?"
Pertanyaan Parindra tak ada yang
menjawab. Dan tiba-tiba saja, dua orang
gadis bercawat itu melompat menerkam
Parindra. Pemuda itu terpekik kaget tidak
menyangka. Dicobanya untuk berkelit,
dengan melompat ke kanan beberapa
langkah. Tapi sebelum bisa menguasai
keseimbangan tubuhnya, tiba-tiba saja
seorang gadis bercawat sudah melesat
cepat, dan memberi satu pukulan keras ke
punggungnya.
"Akh...!" Parindra terpekik keras.
Pemuda belasan tahun itu tersuruk jatuh
mencium tanah. Tubuhnya menggelimpang
beberapa kali, lalu cepat-cepat bangkit
berdiri. Dan pada saat itu, satu tendangan
keras kembali bersarang di dadanya. Untuk
kedua kalinya, Parindra berteriak nyaring
merasakan nyeri dan sesak pada dadanya.
Pemuda itu jatuh terguling di tanah
berumput yang masih dibasahi embun.
Parindra mencoba bangkit berdiri.
Tapi sebelum berdiri tegak, satu pukulan
keras sudah mendarat lagi di wajahnya.
Begitu keras pukulan itu, sehingga darah
langsung muncrat keluar dari mulutnya.
Parindra memekik sekuat-kuatnya,
merasakan sakit yang amat sangat di
wajahnya.
Selagi pemuda itu terhuyung-huyung,
tiba-tiba saja salah seorang gadis
bercawat yang menyandang pedang di
punggung sudah melesat cepat ke belakang-
nya. Tahu-tahu, tubuh Parindra sudah
diringkus, dan tangannya dipelintir ke
belakang. Parindra berteriak kesakitan
dan meringis merasakan tangannya seperti
patah dipelintir ke belakang punggungnya.
"Akh...!"
"Aku bisa mematahkan tanganmu dengan
mudah, tahu...?!" bentak gadis bercawat
itu dingin.
"Setan! Iblis kalian...!" maki
Parindra. Tapi Parindra kembali terpekik
keras begitu gadis bercawat ini
menyentakkan tangannya ke belakang.
Sedangkan lima gadis lainnya hanya
berdiri saja sambil menyaksikan
ketidakberdayaan pemuda ini. Mereka
berdiri berjajar di belakang wanita
berjubah hitam yang terkekeh melihat
Parindra meringis kesakitan. Darah masih
mengucur deras dari mulut dan hidungnya.
Meskipun dia anak seorang pendekar
ternama, tapi kepandaian yang dimiliki
Parindra masih begitu rendah. Maka dengan
mudah sekali dia dapat ditaklukkan.
"Siapkan tali...!" perintah wanita
berjubah hitam itu dengan suara lantang
menggelegar.
Dua orang gadis bercawat itu segera
melepaskan tali dari serat sabut kelapa
yang melilit pinggangnya. Mereka segera
membuat lingkaran dengan tali itu, dan
melemparkan ujung satunya ke atas dahan
pohon yang cukup besar dan kuat. Gadis
yang meringkus Parindra kemudian
menyerahkan pemuda ini pada gadis satunya
lagi yang memegang tambang lain. Dengan
cepat ditangkapnya tangan Parindra, dan
membawanya ke belakang punggung. Cekatan
sekali kedua tangan anak muda itu diikat
ke belakang. Parindra mencoba
memberontak, tapi usahanya hanya sia-sia
saja, Dia berteriak-teriak, memaki, dan
mengumpat habis-habisan. Namun tak ada
seorang pun yang mempedulikannya. Gadis
yang mengikat tangan Parindra kemudian
mendorong pemuda itu sampai ke bawah
tambang yang siap menggantungnya.
"Setan! Iblis...! Lepaskan aku...!"
jerit Parindra terus memberontak
sebisanya.
Tenaga Parindra memang cukup kuat,
sehingga terpaksa harus dipegangi dua
orang gadis. Sementara seorang gadis
lainnya mengalungkan tambang ke leher
anak muda belasan tahun ini. Parindra
masih saja menggeliat, mencoba
memberontak. Tapi, kekuatannya
benar-benar tidak berarti dibandingkan
gadis-gadis bercawat ini.
"Setan! Kubunuh kalian...!" maki
Parindra berang.
"Hik hik hik...!" wanita berjubah
hitam yang wajahnya seperti tengkorak itu
hanya tertawa saja mendengar makian
Parindra.
Wanita berjubah hitam itu
menghentakkan tong-kajnya ke tanah tiga
kali. Seketika dua orang gadis yang
memegangj ujung tambang langsung menarik
tambang itu. Akibatnya lingkaran tambang
yang melilit di leher Parindra jadi
menegang, mencekik leher anak muda itu.
Parindra mendelik dengan mulut ternganga.
Keringat semakin banyak bercucuran di
sekujur tubuhnya.
"Lepaskan aku, Pengecut! Ayo, kita
bertarung sampai mati...!" tantang
Parindra jadi kalap.
"Hik hik hik...!"
***
Tantangan Parindra sama sekali tidak
dihiraukan wanita berjubah hitam itu.
Salah seorang gadis yang menyandang
pedang di punggung, menghampiri wanita
berjubah hitam itu. Mulutnya didekatkan
ke telinga wanita itu.
"Ada apa, Andari?" tanya wanita
berjubah hitam
"Apa tidak terburu-buru membunuhnya,
Gusti Ratu?" suara wanita bercawat yang
dipanggil Andari itu pelan sekali, dan
hampir tidak terdengar.
"Aku hanya ingin dia membuka mulut,"
sahut wanita berjubah hitam itu.
"Kukira Gusti Ratu ingin
membunuhnya."
"Kalau terpaksa."
“Tapi yang penting menemukan mustika
itu dulu, Gusti Ratu. Karena benda itu
sangat penting bagi kesempurnaan ilmu
yang Gusti Ratu miliki. Tanpa Mustika
Cakar Naga, tidak mungkin semua rencana
besar kita bisa terlaksana," Andari
mengingatkan.
"Mustika itu memang harus
kudapatkan, Andari. Benda itu lebih
penting dari apa pun juga di dunia ini
Sudah lama aku menginginkannya. Dan
sekarang, kesempatan itu terbuka lebar
bagiku, sebelum orang-orang persilatan
mengetahuinya," tegas Ratu Lembah Mayat
Andari terdiam.
"Sekarang, laksanakan perintahku.
Gantung dia, tapi jangan sampai mati Aku
ingin dia membuka mulut dulu sebelum ke
neraka."
"Baik, Gusti Ratu," sahut Andari.
Gadis berparas cantik yang hanya
memakai cawat dan penutup dada itu
melangkah beberapa tindak ke depan. Lalu
diperintahkannya dua orang gadis yang
memegangi tambang untuk menggantung
Parindra. Mendengar perintah itu, kedua
gadis bercawat langsung saja menarik
tambang. Akibatnya, Parindra tergantung
beberapa jengkal dari tanah.
"Aaakh...!"
Parindra menggeliat-geliat. Kedua
matanya mendelik lebar, dan napasnya
mulai tersengal. Mulut anak muda itu
ternganga, dan lidahnya mulai menjulur ke
luar. Tubuhnya terus menggelepar,
bergantung seperti ayam disembelih. Tapi
begitu pandangan Parindra mulai mengabur,
tiba-tiba saja secercah cahaya kuning
keemasan melesat cepat bagai kilat
menyambar tambang yang menggantung anak
muda belasan tahun itu.
Tasss!
Bruk..!
Seketika itu juga Parindra jatuh
terguling di tanah, ketika tambang yang
menggantungnya putus tersambar benda
kuning keemasan tadi. Hal ini tentu saja
membuat Ratu Lembah Mayat dan enam orang
gadis pengikutnya jadi terperanjat
Terlebih lagi, dua gadis yang memegangj
ujung tambang. Mereka sampai terpental ke
belakang sejauh beberapa langkah. Enam
orang gadis bercawat itu bergegas
berlompatan ke belakang Ratu Lembah Mayat
Sedangkan Parindra sudah tergeletak diam
seperti mati.
"Setan belang...! Siapa yang berani
main-main denganku...?! Keluar kau...!"
bentak Ratu Lembah Mayat geram.
"He he he...!"
"Heh...?!"
Bukan main terkejutnya Ratu Lembah
Mayat ketika tiba-tiba melesat sebuah
bayangan dari bafik sebongkah baru besar.
Tahu-tahu, di depannya sudah berdiri
seorang laki-laki tua mengenakan baju
compang-camping penuh tambalan. Sebatang
tongkat kayu berwama merah tergenggam di
tangannya. Rambutnya yang sudah hampir
memutih semua teriap tak beraturan,
dengan sedikit gelungan di bagian atas
kepalanya.
"He he he...! Dari dulu kelakuanmu
tidak pernah berubah, Rara Durga," terasa
dingin nada suara laki-laki tua berbaju
compang-camping penuh tambalan itu.
"Phuih! Jangan harap bisa mencampuri
urusanku, Pengemis Tongkat Merah!" dengus
Ratu Lembah Mayat yang dipanggil dengan
nama sebenamya oleh laki-laki tua itu.
"Sebenamya, aku juga tidak ingin
mencampuri urusanmu lagi, Rara Durga.
Tapi kuperhatikan, kau semakin
menjadi-jadi saja. Tindakanmu semakin
brutal, sampai-sampai tega hendak
menggantung keponakanmu sendiri," tegas
Pengemis Tongkat Merah, tetap kering dan
serak suaranya.
“Pergilah kau, Pengemis Tongkat
Merah. Jangan menunggu darahku naik..!"
ancam Ratu Lembah Mayat lagi.
Pengemis Tongkat Merah
menggeleng-gelengkan kepala sambil
berdecak seperti cecak Kakinya melangkah
menghampiri Parindra yang tergeletak di
tanah dengan tangan terikat ke belakang
Seutas tambang masih melilit lehemya.
Pengemis Tongkat Merah membungkuk,
memeriksa urat nadi di pergelangan tangan
Parindra. Terdengar tarikan napas panjang
Kemudian dia kembali tegak berdiri di
samping tubuh anak muda itu.
"Aku tahu apa yang kau inginkan. Dan
seharusnya tidak perlu melakukan hal
seperti ini, Rara Durga," desah Pengemis
Tongkat Merah. Nada suaranya terdengar
seperti menyesal.
"Aku tidak butuh nasihatmu!" bentak
Ratu Lembah Mayat
"Rupanya, iblis telah benar-benar
menguasai hatimu, Cah Ayu. Pantas saja kau
menutupi wajahmu dengan topeng buruk
begitu," sindir Pengemis Tongkat Merah
seraya menggeleng-gelengkan kepala.
"Setan...! Kalau kau masih hidup,
segala gerakku selalu saja kau
perhatikan. Sudah selayaknya sekarang kau
mampus, Pengemis Tongkat Merah!" desis
Ratu Lembah Mayat dingin.
Setelah berkata demikian, Ratu
Lembah Mayat melompat sambil berteriak
lantang menggelegar. Satu sabetan
tongkatnya yang berkepala tengkorak, mem-
buat si Pengemis Tongkat Merah terpaksa
melentingkan tubuh ke belakang. Setelah
melakukan beberapa kali putaran, manis
sekali kakinya menjejak tanah.
Namun sebelum sempat mengatur sikap
tubuhnya, Ratu Lembah Mayat yang bemama
asli Rara Durga sudah kembali melompat
menerjang. Tongkat berkepala tengkorak
dikebutkan disertai pengerahan tenaga
dalam tinggi sekali. Begitu kuatnya
kebutan tongkat itu, sehingga menimbulkan
deru angin bagai badai topan.
"Hiyaaat..!"
"Hup! Yeaaah...!"
Pertarungan antara Pengemis Tongkat
Merah melawan Ratu Lembah Mayat memang
tidak dapat dihindari lagi. Tampak sekali
kalau wanita berjubah hitam yang wajahnya
terselubung topeng tengkorak, sangat
bernafsu ingin segera menjatuhkan
lawannya. Namun beberapa kali serangan
dilakukan, Pengemis Tongkat Merah masih
mampu menghindar. Tapi, tampaknya
pengemis itu juga mendapat kesulitan
untuk balas menyerang.
***
Sementara Ratu Lembah Mayat
bertarung dengan si Pengemis Tongkat
Merah, dua orang gadis bercawat yang
menyandang pedang di punggung sudah
bergerak menghampiri Parindra. Empat
orang gadis lainnya bergegas menghampiri.
Empat orang gadis itu mengangkat tubuh
Parindra, dan mengusungnya diatas pundak.
Namun mereka belum beranjak pergi, dan
masih memperhatikan jalannya
pertarungan.
"Bawa anak itu ke lembah. Nanti aku
menyusul...!" seru Ratu Lembah Mayat
keras menggelegar.
Rupanya, wanita berjubah hitam itu
melihat perbuatan anak buahnya yang telah
mengamankan Parindra. Tanpa menunggu
perintah dua kali, empat gadis bercawat
yang membawa Parindra cepat berlari
meninggalkan tempat itu dengan
mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang
sudah mencapai tjngkat tinggi. Sehingga,
sebentar saja mereka sudah jauh
meninggalkan tempat itu. Sementara dua
orang gadis lainnya masih tetap tinggal di
sana, bersiap-siap membantu pimpinannya
jika mengalami desakan.
"Apa yang akan kau lakukan pada anak
itu, Rara Durga...?" tanya Pengemis
Tongkat Merah jadi gusar.
"Bukan urusanmu! Hiyaaat..!" bentak
Ratu Lembah Mayat lantang menggelegar.
Wuk!
"Uts!"
Hampir saja ujung tongkat Ratu Lembah
Mayat yang berbentuk kepala tengkorak itu
menghantam kepala Pengemis Tongkat Merah.
Untung saja pengemis itu segera merunduk,
sehingga tongkat Ratu Lembah Mayat lewat
sedikit saja di atas kepalanya. Angin
sabetannya begitu terasa, mengandung
udara panas yang begitu menyengat.
Pengemis Tongkat Merah tampak terkejut
begitu merasakan hawa panas yang
menyengat di atas kepalanya.
"Hup!"
Cepat-cepat pengemis itu melompat ke
belakang sejauh lima langkah. Sebentar
kemudian kedua tangannya melakukan
beberapa gerakan cepat di depan dada, lalu
memutar tongkatnya bagai baling-baling.
Tatapan matanya begitu tajam, menyorot
langsung ke bola mata Ratu Lembah Mayat
"Jurus 'Tongkat Beracunmu mengalami
kemajuan pesat, Rara Durga," desah
Pengemis Tongkat Merah memuji.
"Asal kau tahu saja. Jurus itu
kupersiapkan untuk mengirimmu ke neraka,
Pengemis Tongkat Merah. Kau terlalu usil,
selalu saja mencampuri urusanku!" sambut
Ratu Lembah Mayat, tidak kalah dingin.
Pengemis Tongkat Merah mendengus
saja. Dia tahu, jurus 'Tongkat Beracun'
yang telah dikuasai wanita berjubah hitam
ini sangat dahsyat luar biasa. Lima tahun
yang lalu, pengemis itu juga pernah
bertarung melawan Ratu Lembah Mayat yang
juga menggunakan jurus ini. Tapi, waktu
itu dia masih bisa menahan. Dan tampaknya,
Ratu Lembah Mayat sudah lebih
menyempurnakan lagi. Terbukti, hawa panas
yang dirasakan begitu menyengat dan udara
di sekitamya juga menyesakkan. Kalau saja
pengemis itu tadi tidak cepat menahan
napas dan menyalurkan hawa murni ke
seluruh tubuh, barangkali sekarang ini
sudah tergeletak Bahkan juga meregang
nyawa, karena menghisap udara beracun
dari jurus 'Tongkat Beracun'.
“Tahan jurus 'Tongkat Beracunku ini,
Pengemis Tongkat Merah! Hiyaaat..!"
Sambil berteriak nyaring melengking
tinggi, Ratu Lembah Mayat melompat cepat
bagai kilat menyerang si Pengemis Tongkat
Merah. Tongkat yang berkepala tengkorak
itu berputaran cepat menimbulkan suara
deru angin disertai hembusan hawa panas
yang menyengat Akibatnya, udara di
sekitamya jadi terasa sesak
"Hup! Yeaaah...!"
Bet!
Pengemis Tongkat Merah cepat-cepat
mengebutkan tongkatnya, menangkis
serangan tongkat Ratu Lembah Mayat yang
begitu kuat dan cepat luar biasa. Tak
pelak lagi, dua batang tongkat beradu
keras di udara.
Trak!
Glarrr...!
Begitu kerasnya tongkat itu beradu,
sehingga menimbulkan ledakan dahsyat
menggelegar. Tampak Pengemis Tongkat
Merah terpental ke belakang sejauh dua
batang tombak Tubuhnya berputaran di
udara beberapa kali, sebelum kakinya
berhasil menjejak tanah. Sedangkan Ratu
Lembah Mayat manis sekali langsung
mendarat di tanah. Sementara itu Pengemis
Tongkat Merah jadi terbeliak melihat
tongkat merah andalannya terpenggal jadi
dua bagian.
"Heh...?!"
"Ha ha ha...!" Ratu Lembah Mayat
tertawa terbahak-bahak melihat tongkat
laki-laki tua itu patah jadi dua bagian.
"Gila...! Benar-benar pesat kemajuan
yang dicapainya...," desah Pengemis
Tongkat Merah. "Kalau Mustika Cakar Naga
sampai dimilikinya, tentu tak ada lag!
yang dapat menandinginya. Keinginan
gilanya untuk menguasai seluruh rimba
persilatan benar-benar akan
dilaksanakan."
"Bersiaplah untuk mampus, Manusia
Usil!" dengus Ratu Lembah Mayat
Setelah berkata demikian, Ratu
Lembah Mayat kembali memutar tongkatnya
dengan cepat di depan dada. Lalu mendadak
saja tongkat itu dikebutkan ke depan. Pada
saat itu, tiba-tiba saja berhembus angin
topan yang sangat dahsyat. Begitu kuatnya
hembusan angin ini, membuat si Pengemis
Tongkat Merah sampai terdorong beberapa
langkah ke belakang Dan sebelum sempat
melakukan sesuatu, tahu-tahu Ratu Lembah
Mayat sudah melesat cepat dengan ujung
tongkat berkepala tengkorak terhunus ke
depan.
"Mampus kau, hiyaaat...!"
"Hap!"
Tak ada lag! kesempatan bagi Pengemis
Tongkat Merah untuk menghadapi serangan
yang begitu cepat dan beruntun ini Maka
tubuhnya cepat melenting ke udara. Tapi
hembusan angin topan yang begitu kuat,
membuat keseimbangan tubuhnya jadi goyah.
Dan ketika Ratu Lembah Mayat mengibaskan
tongkat ke arah dada, Pengemis Tongkat
Merah tak dapat lag! Berkelit menghindar.
Begkh!
"Akh,..!"
Tubuh Pengemis Tongkat Merah
terpental jauh ke belakang begitu dadanya
terhantam pukulan ujung tongkat berbentuk
kepala tengkorak manusia itu. Keras
sekali tubuhnya jatuh ke tanah, dan
bergulingan beberapa kali. Namun cepat
pengemis itu melompat bangkit berdiri,
meskipun dua kali memuntahkan darah segar
dari mulutnya.
Selagi masih merasakan nyeri dan
sesak napas di dadanya, lagi-lagi Ratu
Lembah Mayat sudah melancarkan serangan
cepat. Begitu cepatnya, sehingga Pengemis
Tongkat Merah benar-benar tidak dapat
berbuat apa-apa lagi.
"Hiyaaa...!"
Der...!
"Aaakh...!"
Satu gedoran yang begitu keras,
disertai pengerahan tenaga dalam tinggi,
seketika mendarat telak di dada laki-laki
tua itu. Akibatnya tubuh pengemis itu
terpental ke belakang seperti sehelai
daun kering tertiup angin Dua batang pohon
yang cukup besar, seketika hancur
berkeping-keping terianda tubuhnya.
Dan begitu menggelimpang di tanah,
Ratu Lembah Mayat sudah melesat
memburunya. Ujung tongkat yang runcing
itu segera dihunjamkan ke dada Pengemis
Tongkat Merah. Tapi begitu ujung tongkat
yang runcing itu hampir memanggang dada si
Pengemis Tongkat Merah, mendadak saja
berkelebat sebuah bayangan kuning
menyambar tubuh laki-laki tua itu. Begitu
cepatnya berkelebat, sehingga Ratu Lembah
Mayat sendiri pun tidak sempat menyadari.
Maka, ujung tongkatnya temyata hanya
menghunjam tanah kosong.
"Hei,..?!" Ratu Lembah Mayat
tersentak kaget
Wajahnya jadi terlongong begitu
melihat lawannya yang sudah tak berdaya
lagi, tahu-tahu lenyap tanpa diketahui
rimbanya. Tongkatnya yang terbenam di
tanah hampir separuh itu segera
dicabutnya. Sambil mendengus berang,
tubuhnya diputar. Seketika pandangannya
beredar ke sekeliling. Tapi, si Pengemis
Tongkat Merah sudah lenyap bagai tertelan
bumi saja.
"Setan belang...! Keparat..!" geram
Ratu Lembah Mayat mengumpat marah.
Mata Ratu Lembah Mayat kini menatap
dua orang gadis yang juga terbengong
begitu menyadari si Pengemis Tongkat
Merah lenyap begitu saja. Kemudian
perempuan itu melangkah dengan kaki
terhentak kesal mendekati dua orang gadis
pengikutnya.
"Kalian lihat, ke mana si keparat itu
pergi?" tanya Ratu Lembah Mayat masih
dengan nada suara mendesis geram.
Kedua gadis itu hanya menggelengkan
kepala saja.
"Edan...! Bagaimana mungkin dia bisa
lenyap begitu saja...?"
Ratu Lembah Mayat kembali
mengedarkan pandangan ke sekeliling,
kemudian kembali menatap dua gadis
bercawat di depannya. Tanpa berkata
apa-apa lagi, dia berbalik dan
mengayunkan kaki sambil mengayun ayunkan
tongkatnya. Beberapa kali tongkatnya
dihentakkan ke tanah sambil mendengus
berat.
"Ayo, kita kembali ke lembah," ajak
Ratu Lembah Mayat.
Kedua gadis itu bergegas mengjkuti
dari belakang. Tak ada seorang pun yang
berani membuka suara. Mereka tahu, hari
perempuan berjubah hitam ini sedang
kesal. Karena, lawan yang sudah tidak
berdaya bisa lenyap begitu saja tanpa
diketahui sebabnya.
***
ENAM
Malam sudah menyelimuti seluruh
permukaan bumi. Kegelapan begitu nyata,
tanpa adanya sinar bulan sedikit pun
membias di angkasa. Bahkan bintang pun tak
nampak langit begitu kelam, terbungkus
awan tebal menghitam. Angin malam
berhembus agak kencang, menyebarkan udara
dingin yang menggigilkan, sampai merasuk
ke dalam tulang.
Di dalam sebuah relung gua, terlihat
seorang laki-laki tua mengenakan baju
compang-camping tergolek dengan napas
lemah. Seonggok api unggun, membuat
keadaan di dalam gua itu terasa hangat.
Tidak jauh dari laki-laki tua itu, tampak
seorang pemuda berbaju kulit harimau
tengah duduk bersila memandangi wajahnya.
Entah sudah berapa lama, laki-laki tua
yang temyata adalah si Pengemis Tongkat
Merah itu terbaring dengan mata tertutup.
Tepat ketika terdengar lolongan
anjing hutan, kelopak mata laki-laki tua
itu terbuka. Bergegas tubuhnya bangkit
duduk, dan terkejut begitu melihat di
dekatnya duduk seorang pemuda tampan
mengenakan baju dari kulit harimau. Di
pangkuan pemuda itu mebngkar seekor
monyet kecil berbulu hitam. Pemuda itu
tersenyum, lalu kepalanya terangguk
sedikit
"Kaukah yang menyelamatkanku dari
Ratu Lembah Mayat...?" tanya Pengemis
Tongkat Merah.
"Hanya kebetulan saja, Ki," sahut
pemuda itu me-rendah.
"Hm.... Rasanya kita pernah
bertemu," gumam Pengemis Tongkat Merah
seraya memandangi pemuda di depannya.
"Di kedai, tapi tidak sempat bertegur
sapa."
"Benar...! Waktu itu kau bersama
Parindra, putra sulung Pendekar Cakar
Naga."
Pemuda berbaju kulit harimau yang tak
lain Pendekar Pulau Neraka hanya
tersenyum saja. Tapi senyumnya terasa
begitu kecut, dan seperti dipaksakan.
Sedangkan Pengemis Tongkat Merah hanya
tertunduk, seakan-akan berduka ketika
teringat kalau Parindra sekarang berada
di dalam cengkeraman si Ratu Lembah Mayat.
Dia menyesal, karena gagal menyelamatkan
nyawa anak muda itu.
Untuk beberapa saat lamanya mereka
berdiam diri, sibuk dengan fikiran
masing-masing. Hampir bersamaan, mereka
menghembuskan napas panjang yang begitu
berat Kemudian mereka saling melemparkan
pandang, seperti telah mengetahui isi
hari masing-masing.
"Maaf. Aku tidak bisa menyelamatkan
Parindra dari tangan mereka. Aku tahu, kau
sudah bersusah payah membawanya sampai ke
sini," ucap Pengemis Tongkat Merah lirih.
“Tidak perlu menyesali diri, Ki.
Mudah-mudahan saja tidak terjadi sesuatu
pada diri Parindra," sahut Bayu.
"Aku tahu, ke mana mereka membawa Pa-
rindra. Hanya saja, masalahnya kini...,"
Bayu tidak meneruskan kata-katanya.
"Aku tahu, Anak Muda...."
"Bayu. Panggil saja aku Bayu, Ki,"
potong Bayu meminta.
"Memang sulit masuk ke Lembah Mayat
Terlalu banyak jebakan yang tidak bisa
diduga, tersebar di sana. Dan letak Istana
Ratu Lembah Mayat sangat sulit didekati,"
sambung Pengemis Tongkat Merah yang
sempat terputus pembicaraannya tadi.
"Lagi pula kalau berhasil menyelamatkan
anak itu, apa mungkin dia bisa diterima
kembali di Desa Batang...? Semua orang di
desa itu sangat membencinya."
"Semua itu hanya kesalahpahaman
belaka, Ki. Aku rasa mereka sudah
menyadari kesalahannya, dan kini
menyesali perbuatannya yang ceroboh.
Tanpa berpikir panjang dulu," kata Bayu.
"Bagaimana kau bisa mengatakan semua
itu hanya salah faham saja, Bayu?"
Pengemis Tongkat Merah jadi tidak
mengerti.
"Aku tahu dari salah seorang sesepuh
desa itu," sahut Bayu.
"Kau percaya pada kata-katanya,
Bayu?"
"Entahlah.... Masih harus dibuktikan
dulu, kalau tindakan mereka pada keluarga
Pendekar Cakar Naga hanya didasari
kesalahpahaman dan kecerobohan. Bahkan
sampai menimbulkan korban nyawa," sahut
Bayu dengan suara agak mendesah.
"Apa pun namanya, mereka harus
bertanggung Jawab atas kematian istri
Pendekar Cakar Naga. dan anaknya yang tak
berdosa," desis Pengemis Tongkat Merah.
Terutama Eyang Bagasrana,yang memimpin
pembantaian itu. Dialah yang harus
bertanggung jawab penuh!"
"Mereka memang harus bertanggung
jawab, Ki. Tapi kurasa masih bisa
diselesaikan dengan cara musyawarah dan
kekeluargaan. Sehingga, tidak akan
terjadi perselisihan lebih lanjut yang
bisa menimbulkan banyak korban."
"Kau benar, Bayu. Tapi yang penting
sekarang, secepatnya Parindra harus
diselamatkan," selak Pengemis Tongkat
Merah.
"Benar Ki, Besok pagi-pagi sekali,
kita berangkat ke Lembah Mayat. Hm....
Apakah kau kuat menempuh perjalanan berat
Ki?"
"Aku tidak tahu, apa yang kau
lakukan. Keadaan tubuhku benar-benar
pulih seperti sedia kala. Terima kasih,
Anak Muda," ucap Pengemis Tongkat Merah.
"Sudahlah, Ki. Aku hanya memberi hawa
murni. Untung saja, kau mampu membendung
hawa racun di tenggorokan, sehingga tidak
sempat menjalar sampai ke Jantung,"
lagi-lagi Bayu merendah.
"Bagaimanapun juga, aku patut
mengucapkan terima kasih padamu, Bayu.
Dan ini merupakan hutang yang tak mungkin
terbayar."
"Sebaiknya, kita istirahat saja
malam ini, Ki. Kita harus menempuh
perjalanan berat besok pagi."
"Mudah-mudahan saja tidak terjadi
sesuatu pada Parindra," desah Pengemis
Tongkat Merah.
"Kau yakin, Ki...?" tanya Bayu seraya
mengerutkan keningnya.
"Ya. Karena Parindra itu
keponakannya."
"Maksudmu, Ki...?" Bayu tidak
mengerti.
"Ratu Lembah Mayat adalah adik
ibunya."
"Oh...," Bayu mendesah tidak
menyangka. “Tapi, kenapa dia ingin
membunuh Parindra?"
"Sudah lama dia menginginkan batu
mustika yang ada Pedang Cakar Naga. Tapi
dia tidak bisa memilikinya selama
Pendekar Cakar Naga masih hidup. Dan
sekarang kesempatan itu datang padanya,"
Pengemis Tongkat Merah menjelaskan.
"Lalu di mana sebenamya pedang itu?"
tanya Bayu.
"Itulah persoalannya. Pedang itu
menghilang setelah Pendekar Cakar Naga
tewas dalam pertarungan," sahut Pengemis
Tongkat Merah.
Bayu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Pemuda berbaju kulit harimau
itu lalu memindahkan monyet kecil dari
pangkuannya ke atas rerumputan kering
Kemudian merebahkannya di samping
tubuhnya.
Sementara Pengemis Tongkat Merah
masih tetap duduk bersila. Kedua
tangannya diletakkan di atas lututnya
yang tertekuk Sebentar kemudian, kelopak
matanya kembali terpejam. Rupanya dia
bersemadi untuk menyempumakan kesehatan
tubuhnya agar bisa seperti semula
kembali, ketika belum mengalami cedera
akibat pertarungannya dengan Ratu Lembah
Mayat.
***
Hangatnya sinar matahari membuat
Pendekar Pulau Neraka menggeliat.
Sebentar matanya dikerjapkan, lalu
menggerinjang bangun. Bibimya
menyunggingkan senyuman begitu melihat
monyet kecil berbulu hitam mencerecet
sambil berjingkrakan, bercanda dengan
Pengemis Tongkat Merah.
"Kau sudah bangun, Bayu...?"
Bayu hanya tersenyum saja, lalu
berdiri dan berjalan mendekati kolam batu
yang berair jernih. Kemudian muka dan
tangan dibasuhnya. Sementara Pengemis
Tongkat Merah sudah berdiri. Tiren,
monyet kecil berbulu hitam sudah berada di
pundak kanan laki-laki tua berbaju kumal
penuh tambalan itu. Begitu Bayu mendekat,
Tiren cepat berpindah ke pundak Pendekar
Pulau Neraka.
"Bagaimana tidurmu, Ki?" tanya Bayu.
"Lumayan," sahut Pengemis Tongkat
Merah.
Padahal, semalaman dia tidak tidur
untuk bersemadi sampai matahari muncul di
ufuk Timur. Sedangkan Bayu tidur nyenyak
sekali. Mereka kemudian merangkak keluar
dari dalam gua. Ruangan di dalam gua ini
memang luas sekali. Tapi untuk masuk ke
dalam gua ini harus merangkak, karena
lorong mulut gua ini begitu kecil.
"Hhh...! Segar sekali udara pagi
ini...," desah Bayu begitu sampai di luar
gua.
Sementara Pengemis Tongkat Merah
baru saja keluar dari mulut gua yang
sempit Kakinya melangkah menghampiri
Pendekar Pulau Neraka yang tengah
menikmati udara segar. Sebentar Pengemis
Tongkat Merah berhenti di samping pemuda
berbaju kulit harimau ini, kemudian
melangkah beberapa tindak ke depan.
Tubuhnya membungkuk, memungut sebatang
tongkat kayu berwama merah. Diamatinya
tongkat yang bagian tengahnya terpotong.
"Ini potongannya, Ki” kata Bayu
yang tahu-tahu sudah berdiri di samping
Pengemis Tongkat Merah.
Laki-laki tua berbaju kumal penuh
tambalan itu berpaling sedikit, lalu
menerima potongan tongkat merah
kebanggaannya dari tangan Pendekar Pulau
Neraka. Diamatinya dua potongan tongkat
merah itu, kemudian disambungnya tepat
pada tempat yang patah. Dan kini,
digenggamnya bagian yang tersambung itu
dengan tangan kanannya. Periahan-lahan
tongkat itu diangkat sampai melewati di
atas kepalanya.
Bayu hanya memperhatikan saja.
Kening Pendekar Pulau Neraka jadi
berkerut melihat asap kehitaman mengepul
dari sela-sela jari tangan yang
menggenggam tongkat itu. Tampak bibir
Pengemis Tongkat Merah bergerak-gerak
bergetar, memperdengarkan dengungan
seperti lebah.
"Hap! Yeaaah...!"
Begitu asap hitam yang mengepul dari
genggaman tangan kanannya menipis,
Pengemis Tongkat Merah melemparkan
tongkat itu ke udara. Tongkat itu melayang
tinggi ke angkasa, lalu berputaran cepat
sekali. Sehingga, yang teriihat hanya
lingkaran merah dari tongkat yang
berputaran cepat di angkasa.
"Hup...!"
Bagaikan seekor burung elang,
Pengemis Tongkat Merah melesat cepat ke
angkasa. Seketika tangannya menangkap
tongkat merah, lalu meluruk turun dengan
gerakan indah sekali. Tanpa bersuara
sedikit pun, laki-laki tua berbaju kumal
penuh tambalan ini men-darat kembali
tidak jauh dari Pendekar Pulau Neraka.
Bibimya tersenyum memperhatikan
tongkatnya yang sudah kembali tersambung
utuh sediakala.
"Hebat..," desis Bayu tanpa sadar.
“Tongkat ini merupakan nyawa kedua
baglku," jelas Pengemis Tongkat Merah
seraya menimang-nimang tongkat merahnya.
Dan memang, dengan tongkat merah itu
julukannya menjadi Pengemis Tongkat
Merah. Sebatang tongkat yang sepertinya
tidak memiliki arti sama sekali, tapi bisa
menjadi sebuah senjata sangat ampuh. Baru
saja dia memperiihatkan satu kesaktian
yang membuat Pendekar Pulau Neraka
terkagum-kagum.
Betapa tidak..? Tongkat yang sudah
patah menjadi dua bagian bisa tersambung
lagi! Bahkan tanpa memperiihatkan
sambungannya sedikit pun juga. Tongkat
itu seperti tidak pernah patah
sebelumnya.
Benar-benar sebuah benda sederhana,
tapi sangat berarti bagi pemiliknya.
Karena, tanpa tongkat itu Pengemis
Tongkat Merah tidak ada artinya sama
sekali. Bahkan jurus-jurusnya berubah tak
berarti. Namun Pengemis Tongkat Merah
memang tidak pernah memperdalam
jurus-jurus tangan kosong. Dan ini
merupakan satu kelemahannya yang sulit
ditutupi.
"Kita berangkat sekarang?" ajak
Pengemis Tongkat Merah.
"Ayo...."
Tanpa banyak bicara lagi, mereka
melangkah meninggalkan tempat itu menuju
Lembah Mayat. Pengemis Tongkat Merah
memang sudah pernah ke Lembah Mayat Dan
dari sini, memerlukan waktu sedikitnya
satu hari berjalan kaki. Tapi jika
mempergunakan ilmu lari cepat yang
diimbangi pengerahan ilmu meringankan
tubuh, bisa ditempuh tidak sampai
setengah hari.
Tapi belum juga mereka jauh
meninggalkan mulut gua batu itu,
tiba-tiba terdengar langkah kaki kuda
dari arah depan. Seperti ada yang memberi
aba-aba, Bayu dan Pengemis Tongkat Merah
langsung menghentikan ayunan kakinya.
Sebentar mereka saling melemparkan
pandang, kemudian sama-sama melompat ke
atas. Hampir bersamaan, mereka mendarat
di atas dahan pohon yang sama.
"Hm.... Siapa mereka...?" gumam Bayu
perlahan, seperti bertanya pada dirinya
sendiri, begitu samar-samar melihat ada
sekitar lima orang menunggang kuda menuju
ke arah ini.
"Aku tahu, siapa mereka," sahut
Pengemis Tongkat Merah juga pelan
suaranya, dan hampir tidak terdengar
telinga Bayu yang berada di sampingnya.
Pendekar Pulau Neraka berpaling
sedikit menatap Pengemis Tongkat Merah.
Pada saat itu, kelima orang penunggang
kuda sudah demikian dekat. Dan sebentar
lagi pasti akan lewat di bawah pohon ini.
Bayu kembali memperhatikan lima orang
laki-laki penunggang kuda yang kini baru
teriihat jelas. Dan seketika, jantungnya
seperti berhenti berdetak begitu
mengenali empat orang dari kelima
penunggang kuda itu.
"Hup...!"
***
Bayu tersentak kaget ketika
tiba-tiba saja Pengemis Tongkat Merah
meluruk turun dari pohon ini. Tak ada
kesempatan lagi bagi Pendekar Pulau
Neraka untuk mencegah. Pengemis Tongkat
Merah sudah mendarat menghadang lima
orang penunggang kuda itu. Kemunculan
Pengemis Tongkat Merah yang begitu
tiba-tiba, tentu saja mengejutkan kelima
penunggang kuda itu. Kuda-kuda mereka
seketika meringkik keras, seraya
mengangkat kedua kaki depannya
tinggi-tinggl
"Pengemis edan...! Minggir kau!"
bentak salah seorang penunggang kuda yang
berusia sekitar lima puluh tahun
Sementara Bayu yang berada di atas
pohon hanya memperhatikan saja. Dia
mengenali empat orang dari kelima
penunggang kuda yang sudah turun dari kuda
masing-masing. Salah seorang dari mereka
adalah Ladra. Dia memang pernah bercerita
banyak dengan Pendekar Pulau Neraka.
Sementara tiga anak muda teman Ladra
memang sempat bertarung dengannya.
Tepatnya ketika dia masih bersama
Parindra di pinggiran sebuah desa.
Sedangkan yang seorang lagi, sama sekali
Bayu belum pernah melihat
Tentu saja, Bayu tidak mengenal
Karpak yang menyandang senjata sebilah
golok berukuran besar. Karena, dia baru
sekali datang ke Desa Batang. Dan itu juga
harus menghadapi keroyokan penduduk Desa
Batang. Dari Ladra, Pendekar Pulau Neraka
tahu sebab-sebab penduduk Desa Batang
menyerangnya.
"Mau apa kau menghadang kami,
Pengemis Tongkat Merah?" tanya Ladra
dengan suara dibuat sopan, tidak seperti
Karpak yang tahu-tahu sudah membentak
kasar tadi.
Sedangkan Pengemis Tongkat Merah
hanya tersenyum saja mendapat pertanyaan
Ladra yang nada-nya dibuat sopan. Kakinya
melangkah beberapa tindak ke depan, dan
berhenti sekitar dua batang tombak lagi di
depan lima orang ini.
"Aku tahu, ke mana kalian akan pergi.
Sebaiknya, kalian kembali saja," tegas
Pengemis Tongkat Merah.
"Phuah! Apa urusanmu melarang kami,
heh...?!" sentak Karpak tidak senang.
"Ratu Lembah Mayat bukan lawan
tanding kalian Menghadapi anak buahnya
saja, kalian tidak akan mampu. Sebaiknya,
kembali saja daripada mengantarkan nyawa
sia-sia," tetap tenang dan tegas suara
Pengemis Tongkat Merah.
"Jangan pedulikan omongannya! Ayo,
kita pergi..!" ajak Karpak
Setelah berkata demikian, Karpak
langsung melompat naik ke punggung
kudanya. Tiga orang anak muda yang pernah
bertarung melawan Pendekar Pulau Neraka
juga segera berlompatan naik ke punggung
kuda masing-masing. Kini tinggal Ladra
yang masih berdiri di depan Pengemis
Tongkat Merah.
"Ayo, Ladra...!" seru Karpak. Ladra
diam saja. Hatinya seperti bimbang
setelah mendengar peringatan Pengemis
Tongkat Merah. Dia tahu, siapa laki-laki
berpakaian kumal penuh tambalan ini
Memang Pengemis Tongkat Merah tidak asing
lagi di Desa Batang. Dia adalah sahabat
kental Pendekar Cakar Naga, sekaligus
sahabat Eyang Bagasrana, Ketua Padepokan
Kalong Hitam yang bermarkas di Desa
Batang. Tingkat kapandaian Pengemis
Tongkat Merah tidak bisa diragukan lagi
Bahkan bisa disejajarkan dengan Pendekar
Cakar Naga.
"Ladra, kau mau ikut apa tidak..?"
Karpak sudah tidak sabar lagi.
Perlahan Ladra berpaling menatap
Karpak yang sudah berada di punggung
kudanya, kemudian beralih pada Pengemis
Tongkat Merah. Jelas sekali kalau hatinya
bimbang Tapi, akhimya dia melangkah
mendekati Pengemis Tongkat Merah dan
berdiri di samping laki laid tua
berpakaian kumal penuh tambalan itu.
"Kau saja yang pergi, Karpak," ujar
Ladra tegas, setelah mengambil keputusan.
"Heh...?! Apa katamu...?" Karpak
jadi terperanjat.
"Kurasa memang tidak ada gunanya kita
ke sana. Ratu Lembah Mayat bukan tandingan
kita, Karpak," ujar Ladra lagj.
"Pengecut...?" desis Karpak
menggeram.
“Terserah apa katamu, Karpak.
Rasanya, aku sudah memilih yang benar."
"Huh!"
Karpak menatap tajam Ladra dan
Pengemis Tongkat Merah bergantian,
kemudian menggebah cepat kudanya. Tiga
anak muda yang berada di belakang Karpak,
juga segera menggebah kudanya mengikuti
laki-laki setengah baya bersenjata golok
berukuran besar itu. Mereka melewati
Pengemis Tongkat Merah dan Ladra yang
hanya bisa memandangi, menyesali tindakan
Karpak yang nekat hendak ke Lembah Mayat
"Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu
pada mereka," desah Pengemis Tongkat
Merah perlahan.
Sedangkan Ladra hanya memandangi
kepergian Karpak dan tiga orang anak muda
itu. Mereka semakin jauh, dan lenyap
begitu masuk ke dalam hutan yang cukup
lebat Ladra dan Pengemis Tongkat Merah
masih tetap berdiri diam, meskipun empat
orang dan Desa Batang itu sudah tidak
terlihat lagi.
"Mau apa mereka ke sana, Ladra?"
tanya Pengemis Tongkat Merah.
"Membebaskan Parindra," jelas Ladra.
"Membebaskan Parindra...?" Pengemis
Tongkat Merah terkejut mendengar jawaban
Ladra yang perlahan, tapi cukup jelas
terdengar.
Laki-laki tua berbaju kumal penuh
tambalan itu memandangi Ladra
tajam-tajam. Hatinya benar-benar
terkejut Karena setahunya, tak ada
seorang pun yang tahu kalau sekarang ini
Parindra berada di tangan Ratu Lembah
Mayat Hanya dia dan Pendekar Pulau Neraka
saja yang tahu. Dan peristiwa itu juga
baru terjadi kemarin.
"Dan mana kau tahu kalau Parindra ada
di sana?" tanya Pengemis Tongkat Merah
bernada rnenyelidik.
"Karpak yang memberi tahu," sahut
Ladra.
"Heh...?!" lagi-lagi Pengemis
Tongkat Merah tersentak kaget.
"Ada apa, Pengemis Tongkat
Merah...?" tanya Ladra, tidak mengerti.
Pengemis Tongkat Merah tidak
menjawab, dan segera berteriak memanggil
Bayu sambil mendongakkan kepala ke atas.
Tap lagi-lagi hatinya tersentak kaget
Temyata di atas pohon tidak terlihat lag!
Pendekar Pulau Neraka.
"Ke mana dia...?" desah Pengemis
Tongkat Merah menggumam pelan.
"Bayu...? Apakah dia Pendekar Pulau
Neraka...?" tanya Ladra.
"Benar. Tadi dia ada di atas pohon
itu."
"Jangan-jangan..."
"Ayo kita susul mereka!"
Tanpa menunggu waktu lagi, Pengemis
Tongkat Merah melesat cepat meninggalkan
tempat itu. Ladra Juga segera melesat
mempergunakan ilmu meringankan tubuh,
tidak lagi mempedulikan kudanya yang
asyik merumput di bawah pohon. Begitu
tingginya ilmu meringankan tubuh yang
dimiliki dua orang itu, sehingga sebentar
saja sudah lenyap tak teriihat lagi.
Mereka telah tertelan oleh lebatnya
pepohonan yang menyemaki seluruh
permukaan bukit kecil ini.
***
TUJUH
Sementara itu, Karpak, Sutrana,
Badur, dan Rakasa sudah sampai di tepi
Lembah Mayat Nama yang dimiliki lembah
kecil ini memang bisa membuat bulu kuduk
merinding. Tapi, sebenamya lembah ini
indah sekali. Tak ada tanda-tanda
keangkeran di sekitamya, seperti yang
banyak dikatakan orang. Sepanjang mata
memandang, hanya keindahan saja yang
tampak Namun tak akan ada yang menyangka
kalau lembah ini mengandung sejuta bahaya
mengancam.
"Sepertinya mudah untuk masuk ke
sana...," gumam Sutrana.
Mereka semua memandang sebuah
bangunan yang terbuat dari batu. Bangunan
itu menyerupai sebuah candi di
tengah-tengah lembah indah ini. Bentuknya
sangat indah, dan tidak mencerminkan
keangkeran sedikit pun. Apa yang selama
ini didengar tentang Istana Lembah Mayat
ternyata jauh berbeda dengan
kebenarannya. Tak ada kesan menyeramkan.
Yang ada, justru keindahan yang sukar
dilukiskan.
"Ayo, kita ke sana," ajak Karpak
Mereka segera menggebah kuda
menuruni lembah ini. Jalan yang dilalui
cukup landai, dan mudah dilewati kuda.
Tapi belum juga jauh bergerak, tiba-tiba
saja tanah di tempat mereka terbongkar.
Seketika dari dalam tanah itu,
berhamburan puluhan batang tombak bermata
hitam.
"Awas...!" seru Sutrana yang
mengetahui lebih dulu.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Sutrana, Badur, dan Rakasa
berlompatan dari punggung kuda. Mereka
berputaran di udara menghindari
tombak-tombak yang berhamburan di sekitar
tubuh. Sedangkan Karpak malah memacu
cepat kudanya ke depan. Aneh...!
Tombak-tombak itu malah melewati atas
kepala Karpak. Dan begitu lewat dari tanah
yang terbongkar, Karpak cepat
menghentikan lari kudanya. Wajahnya
berpaling menatap tiga laki-laki yang
sibuk menghindari serbuan tombak-tombak
yang bermunculan dari dalam tanah, dan
seperti tidak ada habisnya.
"Hiyaaa...!"
Cepat sekali Karpak menggebah
kudanya, tanpa mempedulikan tiga
laki-laki yang sibuk menyelamatkan diri
dari hujan tombak bermata hitam ini. Dia
terus menggebah kudanya mendekati
bangunan berbentuk candi yang berada di
tengah-tengah lembah. Dan begitu Karpak
lenyap di dalam bangunan dari batu itu,
seketika tanah yang menganga terbongkar
langsung bergerak menutup. Maka hujan
tombak pun seketika berhenti.
"Heh...?! Di mana Paman Karpak...?"
tanya Sutrana.
Badur dan Rakasa tidak menjawab.
Mereka tadi memang terlalu sibuk
menyelamatkan din dari serbuan
tombak-tombak yang datang seperti hujan.
Sejenak mereka saling melempar pandang.
Tak tahu, ke mana Karpak pergi. Keindahan
lembah ini seketika lenyap dari pandangan
mereka. Temyata di balik keindahan lembah
ini tersembunyi sejuta bahaya yang siap
mengancam.
"Bagaimana sekarang...?" tanya
Rakasa seperti bertanya pada diri
sendiri.
"Bagaimana lagi...?" Badur malah
balik bertanya. Dan selagi kebingungan,
tiba-tiba saja tanah-tanah di sekitar
mereka berhamburan terbongkar.
Akibatnya, ketiga laki-laki ini
terperanjat Begitu terkejutnya, sehingga
sampai berlompatan merapat beradu
pungung. Dari tanah yang terbongkar tadi,
bermunculan gadis-gadis cantik yang hanya
mengenakan cawat dan penutup dada. Mereka
semua memegang senjata tombak panjang
bermata hitam pekat Ada sepuluh gadis
cantik dengan tombak terhunus ke depan,
telah berdiri mengepung ketiga laki-laki
ini.
"Hiyaaa...!"
" Yeaaah...!"
Tanpa berkata apa-apa lagi, sepuluh
gadis cantik bercawat itu langsung
berlompatan menyerang ketiga laki-laki
dari Desa Batang itu. Serangan mereka
begitu serempak, dengan mata tombak
tertuju langsung ke tubuh ketiga
laki-laki ini.
"Keluarkan pedang..!" teriak Sutrana
memberi perintah.
Sret!
"Hiyaaat..!"
Secara bersamaan, Badur dan Rakasa
mencabut pedang mengikuti perintah
Sutrana. Pedang mereka langsung dikebut,
menyampok tombak-tombak yang meluncur
deras mengancam nyawa. Denting senjata
beradu seketika terdengar meningkahi
teriakan-teriak-an keras yang saling
susul.
Pertarungan memang tak dapat
dihindari lagi. Sepuluh orang gadis
bercawat itu menyerang cepat secara
berganhan dari segala arah. Dan terkadang
mereka bertukar tempat membuat Sutrana,
Badur, dan Rakasa jadi kelabakan
menghadapi mereka.
"Berpencar...!" seru Sutrana
lantang.
Badur dan Rakasa langsung
beriompatan ke arah kanan dan kiri. Mereka
berpencar, membuat sepuluh orang gadis
bercawat ini jadi kebingungan. Dan di saat
mereka belum bisa menentukan apa-apa,
ketiga laki-laki dari Desa Batang itu
sudah menyerang cepat Pedang mereka
berkelebat membabat ke arah dada dan
leher. Begitu cepatnya serangan yang
dilakukan, sehingga membuat gadis-gadis
bercawat ini jadi kelabakan. Tak ada lagi
kesempatan bagi mereka untuk berkelit.
"Aaa...!"
Jerit dan pekikan melengking tinggi
seketika terdengar saling susul.
***
"Ada sesuatu yang harus kusampaikan
segera, Gusti Ratu. Dan ini penting
sekali," sahut Karpak. Sikapnya tampak
hormat sekali.
"Apa itu...? Katakan cepat
Karpak...?"
“Tentang Batu Mustika Cakar Naga."
"Hm...," Ratu Lembah Mayat
mengerutkan keningnya mendengar mustika
yang dicari-carinya disebut laki-laki
separuh baya ini.
"Sebenamya mustika itu masih ada di
Desa Batang, Gusti Ratu. Dan, Eyang
Bagasrana sendirilah yang menyimpannya,"
sambung Karpak memberi tahu.
"Keparat..!" geram Ratu Lembah Mayat
mendesis. "Mengapa kau tidak
mengatakannya dari dulu, Karpak?"
"Aku baru mengetahui pagi ini, Gusti
Ratu. Aku tadi melihat Eyang Bagasrana
mengeluarkan mustika itu dari tempat
penyimpanannya. Mustika itu disimpan di
dalam kotak kecil, dan ditaruh di belakang
lukisan di dalam kamamya," jelas Karpak
lagi.
“Tua bangka keparat..! Rupanya dia
sendiri juga hendak memilikinya," desis
Ratu Lembah Mayat menggeram.
"Gusti Ratu! Izinkan aku mengambil
pusaka itu, dan membunuh orang tua tidak
tahu diri itu," selak Andari yang berada
di samping kanan Ratu Lembah Mayat
"Lakukanlah, Andari. Kau sudah mampu
menandingi orang tua keparat itu," Ratu
Lembah Mayat langsung menyetujui.
"Aku segera berangkat, Gusti Ratu."
Andari mengajak empat gadis lain yang
ada di ruangan ini. Mereka menjura memberi
hormat pada iwanita berjubah hitam itu,
kemudian bergegas meninggalkan ruangan.
Sebentar kemudian mereka sudah tidak
terlihat lagi, tenggelam di balik pintu
yang segera tertutup. Namuntak berapa
lama, Andari sudah masuk kembali dengan
langkah tergopoh-gopoh, dan segera
menjatuhkan din" berlutut
"Ada apa, Andari...?" tanya Ratu
Lembah Mayat
"Ampun, Gusti Ratu. Ada tiga tikus
menyelusup ke sini," lapor Andari.
Ratu Lembah Mayat menatap tajam
Karpak yang masih duduk bersimpuh dengan
kepala tertunduk. Karpak buru-buru
memberi sembah. Dia tahu, ketiga tikus
yang dimaksud adalah Sutrana, Badur, dan
Rakasa.
"Ampun, Gusti Prabu. Hamba memang
membawa mereka, tapi hamba tinggalkan di
tempat jebakan. Hamba tidak mengira kalau
mereka bisa selamat sampai sini," sanggah
Karpak buru-buru.
"Bereskan mereka, Andari," perintah
Ratu Lembah Mayat
"Baik, Gusti Ratu," sahut Andari,
seraya memberi hormat
Gadis bercawat itu segera bangkit
berdiri dan melangkah keluar dengan
ayunan kaki cepat dan lebar. Ratu Lembah
Mayat melangkah dua tindak kedepan,
menghampiri Karpak yang masih duduk
bersila dilantai.
"Bangun kau, Karpak," desis Ratu
Lembah Mayat dingin.
"Ampunkan hamba, Gusti Ratu," ucap
Karpak seraya bangkit berdiri.
Tapi begitu berdiri, tiba-tiba saja
Ratu Lembah Mayat melayangkan satu
pukulan keras dengan tangan kiri. Pukulan
yang begitu cepat dan keras tadi tidak
diduga sama sekali. Akibatnya, Karpak
terpekik dan terpental deras ke belakang.
Keras sekali punggungnya menghantam
dinding batu hingga seluruh ruangan ini
bergetar.
Karpak melorot turun dengan bibir
meringis. Darah segar mengucur dari sudut
bibirnya. Dadanya seketika jadi terasa
sesak, terkena pukulan bertenaga dalam
tinggi. Sambil mengatur jalan napasnya
yang tersengal, laki-laki separuh baya
itu mencoba bangkit berdiri.
"Sudah kukatakan, tidak perlu
membawa orang kalau ke sini! Kau memang
tidak bisa dipercaya, Karpak! Selalu saja
menimbulkan kesulitan...!" desis Ratu
Lembah Mayat dingin dan menggetarkan nada
suaranya.
"Ampun, Gusti Ratu. Hamba...,
hamba...."
“Tak ada lagi ampun bagimu, Tikus
Keparat!"
"Apa yang akan kau...?" Karpak
terbeliak melihat Ratu Lembah Mayat
semakin dekat, dengan ujung tongkat
terarah lurus ke dada.
"Kau tidak ada gunanya lagi, Karpak,"
desis Ratu Lembah Mayat semakin dingin.
“Tap... tapi..., aku sudah berbuat
banyak padamu. Aku sudah mengelabui semua
orang Aku berhasil membuat mereka
membunuh keluarga Pendekar Cakar Naga.
Lalu kenapa sakarang kau akan
membunuhku...?" suara Karpak semakin
terdengar bergetar.
"Itu sudah tugasmu, Karpak
Bersiaplah untuk mati...!"
“Tunggu dulu...!"
Tapi Ratu Lembah Mayat sudah tidak
dapat dicegah lagi Dan tiba-tiba saja
tongkatnya bergerak cepat membuat Karpak
hanya mampu membeliak lebar tanpa mampu
berbuat sesuatu. Sehingga....
Bet!
Crab!
"Aaa...!"
Jeritan panjang melengking tinggi
terdengar menyayat begitu ujung tombak
Ratu Lembah Mayat menghunjam dalam dada
laki-laki separuh baya ini Begitu Ratu
Lembah Mayat mencabut tongkatnya, se-
ketika darah menyembur keluar dari dada
yang berlubang sampai ke punggung.
Sebentar Karpak masih mampu berdiri,
kemudian tubuhnya ambruk ke lantai. Darah
terus mengalir deras menggenang di bawah
tubuhnya. Seketika itu juga, Karpak tewas
tanpa mampu memberi perlawanan sedikit
pun.
"Manusia sepertimu, sudah
sepantasnya mampus!" dengus Ratu Lembah
Mayat
Sambil mendengus berat wanita
berjubah hitam itu menendang tubuh Karpak
yang sudah tak bernyawa lagi. Kemudian
kakinya melangkah mendekati pintu yang
tertutup rapat Tongkatnya terayun-ayun di
tangan kanan. Dengan ujung tongkat
dibukanya pintu dari kayu jati tebal
berukir itu.
“Tinggal si keparat Eyang Bagasrana.
Hhh...! Dia juga harus mampus di
tanganku!" desis Ratu Lembah Mayat
sebelum melangkah keluar dari ruangan
besar ini
Pintu kayu jati tebal itu langsung
tertutup begitu Ratu Lembah Mayat
melewatinya. Suasana di dalam ruangan
berdinding dan beratap batu itu jadi sunyi
senyap. Kini tinggal mayat Karpak saja
yang masih tergolek bergenang darah di
lantai batu yang hitam dan dingin
***
Sementara di ruangan lain, tampak
Sutrana, Badur, dan Rakasa tengah
berhadapan melawan empat orang gadis
cantik bercawat yang bersenjatakan tombak
panjang bermata hitam. Sedangkan dua
orang gadis lain hanya memperhatikan
pertarungan itu saja.
Tampaknya pertarungan berjalan cukup
imbang. Terbukti, mereka sama-sama
memberi serangan secara bergantian.
Ketiga laki-laki dari Desa Batang itu juga
sudah mempergunakan pedang. Entah sudah
berapa jurus berkelahi. Dan begitu empat
orang gadis bercawat melakukan gerakan
berputar mengelilingi ketiga laki-laki
itu, keadaan langsung berubah.
Ujung-ujung tombak yang berkelebatan
cepat, semakin sulit dihalau. Dan hingga
suatu saat...
"Rakasa, awas...!" seru Sutrana
tiba-tiba.
Rakasa yang baru saja menghindari
satu pukulan dari arah depan, terkejut
begitu mendengar teriakan Sutrana. Dan
pemuda itu tidak sempat lagi berbuat
sesuatu ketika sebuah tombak meluncur
deras dari arah samping kanan. Namun
tubuhnya masih sempat digerakkan sedikit
Sehingga....
Bret!
"Akh...!" Rakasa menjerit keras.
Kalau saja tubuhnya tidak
digerakkan, ujung tombak berwarna hitam
itu pasti akan menembus dadanya. Tapi
justru karena gerakan tubuhnya, sehingga
bahu kanannya terkena ujung tombak.
Rakasa terhuyung-huyung ke belakang
sambil tangannya mendekap bahunya yang
robek mengucurkan darah. Pada saat itu,
seorang gadis bercawat tiba-tiba melompat
cepat sambil melepaskan satu pukulan
keras bertenaga dalam tinggi.
"Oh...?!" Rakasa mengeluh pendek
Namun ketika pukulan itu hampir saja
menghan-tam dadanya, mendadak saja sebuah
bayangan kuning berkelebat menghantam
gadis bercawat itu.
"Akh...!" gadis itu memekik keras.
Tubuh gadis itu terpental sejauh dua
batang tombak ke belakang. Keras sekali
punggungnya menghantam dinding batu
bangunan candi mi, sehingga jebol
berantakan. Entah dari mana datangnya,
tahu-tahu di samping Rakasa sudah berdiri
seorang pemuda tampan mengenakan baju
kulit harimau. Begitu kerasnya pukulan
yang dilepaskannya, sehingga gadis ber-
cawat tadi seketika tewas tergeletak di
antara reruntuhan batu dinding bangunan
candi ini. Dari mulutnya tampak mengalir
darah kental.
Tewasnya satu gadis itu, membuat
gadis-gadis bercawat lain jadi
berlompatan mundur menghentikan
pertarungan. Sutrana dan Badur juga
bergegas berlompatan mendekati Rakasa
yang masih menekap bahunya. Darah masih
mengucur deras dari bahu laki-laki itu.
"Kenapa kau menolong kami,..?" tanya
Sutrana seraya menatap pemuda berbaju
kulit harimau yang tak lain adalah
Pendekar Pulau Neraka.
"Simpan dulu pertanyaanmu.
Sebaiknya, cepat kembali ke desa," tegas
Bayu yang menyadari kalau keadaan dalam
bahaya. Pendekar Pulau Neraka itu sendiri
sudah menyembunyikan monyet
kesayangannya di tempat yang aman,
sebelum menuju ke tempat ini.
Mendengar ucapan Bayu yang tegas itu,
Sutrana langsung terdiam.
"Kisanak, apa maksudmu berkata
seperti itu?" selak Badur.
"Cepat tinggalkan tempat ini. Aku
akan menghadang mereka...!" seru Bayu.
"Hiyaaat..!"
Pendekar Pulau Neraka tidak
menghiraukan pertanyaan Badur dan
Sutrana. Tubuhnya langsung saja melompat
cepat bagai kilat menyerang lima orang
gadis cantik bercawat yang masih hidup.
Lima orang gadis bercawat ini jadi
kelabakan menerima serangan-serangan
Bayu yang begitu cepat Iuar biasa. Setiap
pukulan yang dilepaskan, mengandung
pengerahan tenaga dalam tinggi dan sukar
diimbangi. Mereka terpaksa berjumpalitan
menghindari setiap serangan Pendekar
Pulau Neraka.
"Bagaimana, Kakang Sutrana?" tanya
Badur, minta pendapat
"Aku rasa, dia benar. Ayo, kita
tinggalkan tempat ini," sahut Sutrana.
“Tapi, bagaimana dengan
Parindra...?" tanya Rakasa lagi.
"Dia tidak mungkin ada di sini.
Cepatiah! Ini kesempatan baik untuk
meninggalkan tempat ini. Ayo...," ajak
Sutrana lagi.
"Kau masih kuat Rakasa?" tanya Badur.
"Jangan hiraukan aku. Ayo, cepat kita
berangkat," ajak Rakasa.
Ketiga laki-laki dari Desa Batang itu
bergegas meninggalkan bangunan berbentuk
candi ini. Sementara, Bayu terus
menggempur lima orang gadis bercawat
dengan jurus-jurus tingkat tinggi yang
dahsyat Pendekar Pulau Neraka sempat
melihat ketiga laki-laki dari Desa Batang
itu meninggalkan tempat ini. Dan seketika
itu juga, tangan kanannya dikebutkan
cepat sambil berteriak nyaring
menggelegar.
"Hiyaaa...!"
Wuk!
***
Begitu tangan kanan Bayu berkelebat
cepat, seketika itu juga Cakra Maut yang
selalu menempel di pergelangan tangannya
melesat cepat bagai kilat Begitu
cepatnya, sehingga salah seorang gadis
bercawat yang menggenggam tombak tidak
dapat lagi berkelit Dia memekik keras
melengking ringgi begitu Cakra Maut
membedah lehernya.
"Aaa...!"
Darah langsung muncrat keluar dari
lehernya yang robek tersambar Cakra Maut
Bayu cepat melesat ke udara, menangkap
senjata mautnya itu. Dan selagi berada di
udara, kembali tangan kanannya bergerak
cepat mengebut ke arah salah seorang gadis
lainnya.
Bet!
Crab!
"Aaa...!"
Kembali terdengar jeritan panjang
melengking ringgi, disusul ambruknya satu
orang gadis lagi. Cakra Maut menembus dada
mereka hingga lewat ke pung-gung.
Sementara Bayu sudah meluruk deras ke arah
satu orang gadis lain yang memegang
tombak. Satu pukulan keras dilepaskan
Pendekar Pulau Neraka dengan kecepatan
ringgi, dlsertai pengerahan tenaga dalam
yang sudah mencapai taraf kesempumaan.
"Hiyaaat..!"
Des!
"Aaakh...!"
Gadis cantik bercawat itu tidak dapat
lagi menghindar. Seketika pukulan
Pendekar Pulau Neraka telah menghantam
dadanya, sehingga membuatnya terpental
sejauh beberapa tombak. Hanya sebentar
saja gadis itu mampu menggeliat, kemudian
diam tak bemyawa lagi. Darah langsung
merembes keluar dari mulut dan hidungnya.
Bayu menjejakkan kakinya dengan
ringan sekali di lantai batu yang keras
dan licin. Tubuhnya berputar, menatap dua
orang gadis lain yang masing-masing sudah
menggenggam pedang tersilang di depan
dada. Mereka kelihatan gentar melihat
empat orang tewas dalam waktu tidak begitu
lama.
"Di mana kalian sembunyikan
Parindra?" tanya Bayu dingin.
"Cari saja sendiri!" dengus Andari
ketus.
"Hm. Rupanya, kalian cukup setia pada
ratu busuk itu!" dengus Bayu.
"Keparat..!" geram Andari.
Kedua gadis itu saling mengerdipkan
mata, kemudian sama-sama berlompatan
cepat menyerang Pendekar Pulau Neraka
dari dua jurusan. Pedang mereka
berkelebat cepat membabat bagian-bagian
tubuh pemuda berbaju kulit harimau itu.
Tapi dengan lincah dan gerakan cepat, Bayu
berhasil mementahkan serangan yang
tertuju padanya. Beberapa kali
pedang-pedang itu terpaksa harus
ditangkis dengan Cakra Maut yang selalu
menempel di pergelangan tangan kanan.
Dan setiap kali senjata-senjata itu
beradu, selalu menimbulkan dentingan
keras disertai percikan bunga api. Jurus
demi jurus berlalu cepat Dan Bayu mulai
merasakan kalau tingkat kepandaian yang
dimiliki kedua gadis ini jauh lebih tinggi
dibandingkan empat gadis yang sudah
tergeletak tak bemyawa lagi.
"Rupanya kalian lebih memilih mati,
daripada bekerjasama menumpas
kejahatan!" geram Bayu jadi sengit.
"Baik! Terimalah ini... Hiyaaat..!"
Tiba-tiba saja Pendekar Pulau Neraka
melesat tinggi keudara. Dan dengan cepat
sekali, tangan kanannya dikebutkan kearah
salah seorang gadis bercawat itu. Begitu
cepat kebutan itu. Sehingga begitu Cakra
Maut melesat gadis yang memegang pedang
itu jadi kelabakan setengah mati.
"Hatt...!"
Cepat-cepat pedangnya dikebutkan,
untuk menangkis Cakra Maut yang meluruk
deras ke arahnya.
Trang!
Satu benturan keras terjadi, dan
seketika gadis itu terpekik keras.
Tubuhnya terpental dua batang tombak ke
belakang. Sedangkan pedangnya terpenggal
ter-sambar Cakra Maut senjata andalan
Pendekar Pulau Neraka. Dan sebelum dia
sempat menyadari apa yang terjadi, Bayu
sudah meluruk deras sambil melontarkan
satu pukulan keras menggeledek mengandung
pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Hiyaaa...!"
Diegkh!
"Akh...!"
Kembali gadis itu memekik keras
begitu pukulan Pendekar Pulau Neraka
mendarat telak di dadanya. Tubuhnya
terlontar jauh ke belakang, dan keras
sekat menghantam lantai batu yang licin
dan keras. Sebentar tubuhnya menggeliat
dan mulutnya mengerang, kemudian
mengejang kaku. Dan kini dia sudah diam
tidak bergerak-gerak lagi. Sementara Bayu
kembali mendarat sambil langsung
mengangkat tangan kanannya ke atas
kepala. Cakra Maut seketika kembali
menempel di pergelangan tangan kanan
Pendekar Pulau Neraka.
Dan kini tinggal satu orang gadjjs
lagi yang masih hidup. Dan tampaknya,
hatinya semakin gentar karena menyadari
tinggal sendiri. Bayu menatap tajam gadis
yang bernama Andari ini. Kakinya kini
terayun perlahan-lahan mendekati.
Sedangkan gadis itu bergerak mundur
perlahan.
"Cukup...!"
Tiba-tiba terdengar bentakan keras
menggelegar.
Bayu langsung berhenti melangkah,
dan berpaling ke kanan. Entah dari mana
datangnya, tahu-tahu di depan sebuah
pintu yang terbuka sudah berdiri seorang
wanita berjubah hitam. Di depannya,
Parindra berdiri dengan tangan
terpelintir ke belakang punggung Pemuda
belasan tahun itu meringis kesakitan,
merasakan tangannya seperti remuk
terpelintir ke belakang. Melihat Ratu
Lembah Mayat muncul, Andari bergegas
menghampiri. Wajahnya seketika jadi
cerah, merasa ada kesempatan untuk bisa
melihat matahari esok pagi.
"Akhirnya kau muncul juga, Ratu
Busuk...!" desis Bayu dingin.
***
"Selangkah lagi kau bergerak, anak
ini mampus!" ancam Ratu Lembah Mayat tidak
main-main.
"Jangan hiraukan aku, Kakang...!"
seru Parindra.
"Akh...!"
"Diam, Bocah Setan...!"
Parindra menggeliat merasakan sakit
yang amat sangat pada tangan kanannya.
Tulang tangan kanannya terasa bagai remuk
dipelintir keras ke belakang punggungnya.
Sedangkan Pendekar Pulau Neraka hanya
menggeretak geram melihat tindakan Ratu
Lembah Mayat yang dianggapnya pengecut,
dengan menyandera seorang anak muda yang
tidak punya daya apa-apa.
"Lepaskan anak itu...!" bentak Bayu
geram.
"Aku akan menukar anak ini dengan
Mustika Cakar Naga," kata Ratu Lembah
Mayat dingin.
Setelah berkata demikian, Ratu
Lembah Mayat langsung melesat cepat
keluar dari dalam ruangan ini. Andari
segera mengikuti perempuan berjubah hitam
itu. Namun, Bayu juga tidak sudi
ketinggalan. Dengan mengerahkan ilmu
meringankan tubuh yang sempurna, Pendekar
Pulau Neraka melesat mengejar.
Beberapa kali Bayu melakukan putaran
di udara, lalu manis sekali mendarat
menghadang di depan perempuan berjubah
hitam itu. Terpaksa Ratu Lembah Mayat
menghentikan larinya. Seketika
diberikannya beberapa totokan pada jalan
darah Parindra. Akibatnya anak muda itu
seketika lemas tak berdaya lagi. Hampir
saja Parindra jatuh kalau saja Andari
tidak segera menangkap tubuh anak muda
belasan tahun ini.
"Hiyaaat..!"
Bagaikan kilat, Ratu Lembah Mayat
melompat cepat menyerang Pendekar Pulau
Neraka. Tongkatnya berkelebat cepat
mengarah ke kepala pemuda berbaju kulit
harimau itu. Namun dengan gerakan manis
sekali, Bayu mengegoskan kepalanya. Maka,
ujung tongkat berbentuk tengkorak kepala
manusia itu hanya lewat saja di depan muka
Pendekar Pulau Neraka.
"Hup! Yeaaah...!"
Bayu bergegas melentingkan tubuh ke
belakang, dan mendarat sejauh dua batang
tombak, Pendekar Pulau Neraka kini tidak
tanggung-tanggung lagi menghadapinya.
Dia merasakan kebutan tongkat perempuan
berjubah hitam ini mengandung hawa panas
yang menyengat Dan begitu kakinya
menjejak tanah, tubuhnya cepat membungkuk
agak miring ke kiri. Lalu, tangan kanannya
ditarik sampai ke depan dada.
"Yeaaah...!"
Bet!
Sambil mengerahkan tenaga dalam,
Bayu mengebutkan tangan kanannya ke
depan. Seketika itu juga Cakra Maut yang
selalu menempel di pergelangan tangannya,
melesat cepat bagai kilat.
"Hap!"
Ratu Lembah Mayat cepat mengebutkan
tongkat menyampok senjata andalan
Pendekar Pulau Neraka. Tak pelak lagi, dua
senjata ampuh beradu keras di udara,
menciptakan ledakan dahsyat menggelegar
disertai percikan bunga api yang menyebar
ke seluruh penjuru.
Bayu cepat-cepat mengangkat tangan
kanannya ke atas kepala, begitu
senjatanya berbalik. Cakra berwarna
keperakan yang sisinya berjumlah enam itu
kembali menempel di pergelangan tangan
Pendekar Pulau Neraka.
"Senjatamu memang hebat, Pendekar
Pulau Neraka. Tapi jangan harap bisa
menandingi Ratu Lembah Mayat..!" desis
Ratu Lembah Mayat dingin.
"Kita Iihat saja. Siapa yang lebih
unggul," sambut Bayu tidak kalah
dingjnnya.
“Tahan seranganku, Bocah!
Hiyaaat..!"
Cepat sekali Ratu Lembah Mayat
melompat menyerang. Tongkatnya bergerak
cepat berkelebat mengarah ke beberapa
bagian tubuh Bayu yang paling rawan. Maka
Pendekar Pulau Neraka terpaksa
berjumpalitan menghindari
serangan-serangan yang begitu cepat dan
berbahaya ini. Beberapa kali tongkat ber-
kepala tengkorak itu terpaksa ditangkis,
dengan pergelangan tangan kanannya. Dan
setiap kali menangkis tongkat itu,
tangannya langsung bergetar. Pendekar
Pulau Neraka benar-benar merasakan
kedahsyatan tenaga dalam yang dimiliki
perempuan berjubah hitam ini.
Jurus demi jurus berlalu cepat Tak
terasa, sebentar saja mereka sudah
menghabiskan lebih dari lima jurus. Tapi
sampai sejauh ini, belum ada tanda-tanda
kalau pertarungan itu bakal berhenti.
Bahkan pertarungan semakin berjalan
dahsyat sekali. Mereka sama-sama
mengeluarkan jurus-jurus ampuh dan
dahsyat Sedikit kelengahan saja, bisa
berakibat parah. Pertarungan baru
berjalan beberapa saat dan tempat di
sekitar pertarungan sudah porak-poranda
bagai diamuk badai topan yang dahsyat.
Sepuluh jurus sudah berlalu, namun
pertarungan masih juga berlangsung. Bayu
merasakan kalau perempuan berjubah hitam
ini tidak dapat dipandang sebelah mata.
Jurus-jurus yang dimilikinya ternyata
begitu dahsyat Terlebih lagi, tongkat
berkepala tengkorak itu. Setiap
kebutannya mengandung hawa panas
menyengat luar biasa. Dan Pendekar Pulau
Neraka bisa merasakan adanya hawa racun
dari setiap kebutan tongkat berkepala
tengkorak itu. Maka terpaksa jalan
napasnya dipindahkan ke perut.
"Lima jurus lagi, bisa-bisa dia
membunuhku. Hhh...! Ini tidak boleh
terjadi...!" dengus Bayu dalam
Menyadari kalau tidak mungkin bisa
bertahan lama, Pendekar Pulau Neraka
cepat memutar otaknya. Dicarinya jalan
agar bisa mengakhiri pertarungan ini,
sebelum pertahanan napasnya habis. Dan
Pendekar Pulau Neraka sudah bisa
mengukur, sampai di mana kemampuan
pertahanan napas perutnya.
"Hap! Yeaaah...!"
Begitu Ratu Lembah Mayat mengebutkan
tongkatnya ke arah kaki, kesempatan ini
tidak disia-siakan Bayu begitu saja.
Cepat tubuhnya melesat ke udara, dan
melakukan putaran dua kali Lalu cepat
sekali tangan kanannya dikebutkan ke arah
kepala perempuan berjubah hitam itu.
"Hiyaaa...!"
Wuk!
"Hait..!"
Bet!
Bergegas Ratu Lembah Mayat
menyampokkan tongkatnya begitu Cakra Maut
melesat cepat dari pergelangan tangan
Pendekar Pulau Neraka. dan ketika tongkat
berkepala tengkorak berhasil menyampok
senjata yang dilepaskan lawan, tiba-tiba
saja Pendekar Pulau Neraka meluruk deras
sambil melontarkan satu pukulan keras
bertenaga dalam sempuma.
"Hiyaaa...!"
"Heh...?!"
Bukan main terkejutnya perempuan
berjubah hitam itu melihat datangnya
serangan. Maka, buru-buru tubuhnya
ditarik ke belakang. Tapi tanpa diduga
sama sekali, Bayu malah menarik
pukulannya. Bahkan cepat menggantinya
dengan satu tendangan keras mengge-ledek
yang begitu cepat luar biasa. Perpindahan
pola serangan yang begitu cepat, membuat
Ratu Lembah Mayat tak dapat lagi
menghindar.
Diegkh!
"Akh...!"
Tendangan Bayu temyata tepat
menghantam dada perempuan berjubah hitam
ini. Begitu kerasnya tendangan yang
dilepaskan Pendekar Pulau Neraka,
sehingga membuat Ratu Lembah Mayat
terjungkal keras ke belakang. Dan sebelum
lawan sempat melakukan sesuatu, Bayu
sudah mengebutkan tangan kanan ke depan,
dengan tubuh agak sedikit membungkuk.
'Yeaaah...!"
Bet!
Slap...!
Ratu Lembah Mayat hanya dapat
mendelik melihat Cakra Maut bersegi enam
meluruk deras ke arahnya. Cepat-cepat
tongkatnya dikebutkan untuk menyampok
senjata maut Pendekar Pulau Neraka.
Trang!
Perempuan berjubah hitam itu memang
berhasil menyampok senjata yang
dilepaskan Bayu. Tapi dia kembali
terpekik. Temyata tiba-tiba saja Bayu
melepaskan satu pukulan keras disertai
pengerahan tenaga dalam tinggi sekali.
Memang begitu keras pukulan Pendekar
Pulau Neraka. Akibatnya Ratu Lembah Mayat
terjungkal ke tanah, langsung bergulingan
beberapa kali sebelum bisa bangkit
berdiri.
Dan sebelum keseimbangan tubuhnya
bisa dikuasai, kembali Pendekar Pulau
Neraka sudah melompat melakukan serangan
cepat bagai kilat Untuk kedua kalinya,
pukulan Pendekar Pulau Neraka mendarat di
dada Ratu Lembah Mayat Bayu cepat
mengangkat tangan kanannya ke atas
kepala, di saat perempuan berjubah hitam
itu terpental ke belakang Dan begitu Cakra
Maut menempel di pergelangan tangan
kanannya, seketika itu juga dikebutkan
kembali disertai. pengerahan tenaga dalam
tinggi sekali.
"Hiyaaa...!"
Bet!
Wusss!
Crab!
"Aaa...!"
Ratu Lembah Mayat memang tidak dapat
lagi menghindar dalam keadaan tubuh
kehilangan keseimbangan. Teriebih lagi,
dia baru saja mendapat pukulan keras di
dadanya. Keras sekali tubuhnya terbanting
ke tanah, begitu Cakra Maut bersegi enam
menghantam dadanya. Begitu kerasnya
Iontaran senjata maut itu, sehingga
tembus sampai ke punggung Ratu Lembah
Mayat Dan kini senjata itu berputar balik
ke arah pemiliknya.
Bret!
"Aaa...!"
Satu jeritan panjang melengking
tinggi terdengar keras menyayat Tampak
darah muncrat deras sekali dari leher yang
terkoyak lebar, akibat tertebas Cakra
Maut Perempuan berjubah hitam itu masih
mampu berdiri tegak beberapa saat
kemudian ambruk menggelepar di tanah. Dia
mengerang dan menggelepar meregang nyawa.
Dari leher, dada, dan punggungnya terus
mengucurkan darah. Sementara, Bayu
berdiri tegak setelah Cakra Maut kembali
menempel di pergelangan tangan kanan.
Tidak lama kemudian, Ratu Lembah
Mayat sudah mengejang kaku, lalu diam tak
bergerak-gerak lagi. Tepat pada saat itu,
muncul Pengemis Tongkat Merah bersama
Ladra dan tiga pemuda dari Desa Batang.
Bahkan kini muncul juga Eyang Bagasrana
bersama beberapa orang muridnya yang juga
penduduk Desa Batang
Melihat kedatangan orang-orang itu,
Andari merasa tidak akan mampu lagi
menandingi mereka. Teriebih lagi Gusti
Ratunya telah tewas. Lebih baik dia tidak
usah melawan orang-orang sakti itu lagi,
dan hidup tenang di desa lain. Berpikir
demikian, Andari segera melepaskan
pegangannya pada Parindra dan langsung
melesat kabur, membiarkan anak muda
belasan tahun itu jatuh tergeletak di
tanah dalam keadaan tubuh lemas tertotok.
"Kau tidak apa apa, Bayu...?" tanya
Pengemis Tongkat Merah begitu berada di
samping Pendekar Pulau Neraka.
"Tidak," sahut Bayu seraya melirik
Parindra yang tengah dibebaskan dari
totokan oleh Eyang Bagasrana.
"Maaf. Aku datang terlambat," ucap
Pengemis Tongkat Merah juga memandang
pada Eyang Bagasrana.
"Tidak," sahut Bayu sambil melirik
pedang yang ada di tangan Eyang Bagasrana.
"Apakah itu Pedang Cakar Naga...?"
"Benar," sahut Eyang Bagasrana.
"Bagaimana pedang itu bisa berada di
tanganmu?" tanya Pengemis Tongkat Merah.
"Istri Pendekar Cakar Naga yang
memberikannya padaku," sahut Eyang
Bagasrana.
"Setelah suaminya meninggal, dia
sudah merasa bakal terjadi sesuatu.
Terutama, batu mustika pada gagang pedang
ini yang memiliki kekuatan dahsyat"
"Lalu, kenapa kau membunuhnya?"
tanya Pengemis Tongkat Merah lagi.
"ltulah kesalahanku yang terbesar.
Aku terlalu percaya pada omongan Karpak,
yang ternyata orang suruhan Ratu Lembah
Mayat," pelan suara Eyang Bagasrana.
"Jika kau ingin menghukumku, aku rela
menerimanya."
Tak ada sahutan sama sekali. Dan
begitu Pengemis Tongkat Merah berpaling
ke arah Pendekar Pulau Neraka, matanya
jadi terbeliak. Karena pemuda berbaju
kulit harimau itu sudah lenyap, tak ada
lagi disampingnya. Begitu cepat dan
sempurnanya ilmu meringankan tubuh yang
dimiliki, sehingga kepergian Pendekar
Pulau Neraka sama sekali tidak diketahui
lagi.
Sementara itu, Parindra yang sudah
sadar kembali hanya diam saja diberi
penjelasan Eyang Bagasrana. Sedangkan
Pengemis Tongkat Merah pun, diam-diam
meninggalkan tempat ini, mengikuti Bayu
yang sudah sejak tadi pergi entah ke mana.
Tak ada seorang pun yang menyadari.
Perhatian mereka semua tertumpah pada
Parindra dan Eyang Bagasrana.
Mereka pun meninggalkan tempat itu,
tanpa ada yang menyadari kalau orang yang
menyelesaikan semua kemelut ini sudah
pergi begitu saja. Mereka seperti lupa,
dan terlalu gembira karena putra Pendekar
Cakar Naga masih hidup. Terutama, Eyang
Bagasrana yang begitu menyesali
kebodohannya, karena bisa dikelabui
Karpak. Akibatnya, mereka tdah
melenyapkan nyawa orang yang seharusnya
dijaga keselamatannya.
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar