..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Senin, 03 Februari 2025

PENDEKAR PULAU NERAKA EPISODE KERIS KALA MUYENG

 

Keris Kala Muyeng

KERIS KALA MUYENG
Oleh Teguh Suprianto
Cetakan pertama 
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: Puji S. 
Gambar sampul oleh Pro's 
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak 
sebagian atau seluruh isi buku ini 
tanpa izin tertulis dari penerbit
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Pulau Neraka
dalam episode:
Keris Kala Muyeng
128 hal. ; 12 x 18 cm

SATU

Bau tidak sedap menyeruak menusuk hidung, di-
tebarkan oleh hembusan angin dari sebuah gubuk ke-
cil di pinggiran Hutan Kalikis. Seorang laki-laki berusia 
separuh baya tampak tengah berjalan mondar-mandir. 
Dia kelihatan gelisah. Dan sebentar-sebentar, pandan-
gannya tertuju ke pintu gubuk kecil yang tertutup ra-
pat. Beberapa kali tarikan nafasnya yang panjang dan 
berat terdengar.
Laki-laki separuh baya yang mengenakan baju dari 
bahan sutra halus bercorak kembang-kembang itu 
berhenti di depan pintu gubuk kecil ini. Dia kelihatan 
ragu-ragu mengetuk pintu. Tapi, akhirnya diketuk juga 
pintu yang terbuat dari kayu yang sudah lapuk itu.
Tok, tok, tok...!
Tak ada sahutan sedikit pun dari dalam. Laki-laki 
separuh baya itu semakin kelihatan gelisah, dan kem-
bali mengetuk pintu beberapa kali. Tetapi tak ada sa-
hutan dari dalam gubuk ini. Dicobanya mengintip dari 
celah kecil di atas pintu. Tapi tak ada sesuatu yang 
dapat terlihat. Keadaan di dalam gubuk kecil itu demi-
kian gelap, seakan-akan saat ini sudah malam. Padah-
al, matahari di atas sana bersinar amat terik, membuat 
keringat mengucur membasahi seluruh tubuh laki-laki 
separuh baya itu.
"Nyai, sudah selesai belum...?" agak berbisik sua-
ranya terdengar.
Masih tak ada sahutan dari dalam. Laki-laki sepa-
ruh baya itu menunggu beberapa saat, kemudian me-
langkah mundur dua tindak begitu terdengar suara 
langkah kaki terseret dari dalam gubuk ini. Tak berapa 
lama kemudian, pintu yang sudah lapuk itu terbuka

memperdengarkan suara berderit. Dari dalam, muncul 
seorang perempuan tua mengenakan baju jubah pan-
jang berwarna hitam yang sudah lusuh dan terdapat 
beberapa tambalan.
Wanita itu menatap tajam laki-laki separuh baya di 
depannya. Raut wajahnya mencerminkan ketidak-
senangan. Bahkan rahangnya tampak terkatup rapat. 
Sedangkan laki-laki separuh baya itu tetap saja keliha-
tan gelisah. Dicobanya untuk melihat ke dalam melalui 
pundak wanita tua itu. Tapi tetap saja tidak bisa meli-
hat sesuatu di dalam sana. Keadaan di dalam gubuk 
itu benar-benar gelap.
"Apa kau tidak bisa sabar sedikit, Waskita?" ter-
dengar kering suara perempuan tua itu.
"Aku tidak bisa lama-lama di sini," sahut laki-laki 
setengah baya yang dipanggil Waskita. "Berapa lama 
lagi kau akan menyelesaikannya?"
"Berapa kali aku harus mengatakannya...? Kalau 
sanggup menunggu, tunggu saja. Tapi kalau kau 
menggangguku terus, sebaiknya pulang saja. Dan ti-
dak perlu kau kembali lagi ke sini!" terasa ketus nada 
suara perempuan tua itu.
Waskita menelan ludahnya yang mendadak jadi te-
rasa pahit. Dia hanya bisa terdiam, dengan hati masih 
tetap dihantui kegelisahan. Sedangkan perempuan tua 
itu masuk kembali ke dalam gubuknya, dan pintu gu-
buk itu pun kembali tertutup rapat. Tinggal Waskita 
yang berada di luar bersama kegelisahannya yang se-
makin melanda.
"Huh! Kenapa begitu lama sekali? Apa dia ingin 
mempermainkan aku...?" dengus Waskita bertanya pa-
da diri sendiri.
Laki-laki setengah baya itu jadi tidak sabar. Kegeli-
sahannya mendadak saja menghilang. Tatapan ma


tanya begitu tajam, tertuju langsung ke pintu gubuk 
yang tertutup rapat. Perlahan-lahan kembali dideka-
tinya gubuk itu.
"Aku tidak bisa menunggu terus!" lagi-lagi Waskita 
mendengus.
Laki-laki setengah baya itu sudah tidak peduli lagi 
terhadap larangan perempuan tua tadi. Kembali dige-
dornya pintu gubuk itu. Kali ini begitu keras, sehingga 
membuat daun pintu yang sudah lapuk itu bergetar. 
Tak ada sahutan sedikit pun dari dalam. Dan kini wa-
jah Waskita sudah memerah.
"Nyai! Jika tidak kau selesaikan sekarang juga, pin-
tu ini ku dobrak!" ancam Waskita lagi.
Tetap tidak ada sahutan dari dalam gubuk itu. Ma-
ka Waskita jadi tidak sabar lagi. Mulutnya mendesis. 
Kemarahannya tak dapat ditahan lagi. Kesabarannya
sudah sampai puncaknya. Maka tiba-tiba saja Waskita 
melayangkan satu pukulan keras. 
Brak!
Daun pintu yang sudah lapuk itu seketika jebol be-
rantakan. Waskita langsung menerobos masuk ke da-
lam. Tapi hatinya jadi tercengang, karena tidak ada 
seorang pun di dalam gubuk kecil yang reyot ini. Kea-
daannya cukup gelap. Tapi dari pintu yang ambrol, ca-
haya matahari menerobos masuk, sehingga Waskita 
dapat melihat sekeliling gubuk ini. Tak ada perabotan 
satu pun juga. Gubuk ini memang dalam keadaan ko-
song.
"Setan...! Dia benar-benar ingin mempermainkan 
aku!" dengus Waskita berang.
Hampir saja kemarahannya dilampiaskan, ketika 
tiba-tiba saja berhembus angin kencang yang mem-
buat laki-laki setengah baya itu terpental ke luar gu-
buk ini! Cukup keras tubuhnya terhempas ke tanah,

dan bergulingan beberapa kali. Begitu bangkit berdiri, 
dari dalam gubuk itu melesat bayangan hitam. Dan 
tahu-tahu di depan Waskita sudah berdiri seorang pe-
rempuan tua berbaju hitam yang sudah lusuh dan pe-
nuh tambalan.
Wajah perempuan tua itu memerah, dan sinar ma-
tanya tajam berkilat bagai bola api. Ditatapnya Waski-
ta tajam-tajam tanpa berkedip. Gerahamnya bergeme-
letuk, menahan kemarahan yang tak terbendung lagi.
***
"Kau benar-benar tidak bisa dipercaya, Waskita. 
tanggunglah sendiri akibatnya...!" geram wanita tua
itu.
"Kau hanya mempermainkan aku saja! Mana Keris 
Kala Muyeng itu?" nada suara Waskita tidak kalah 
dinginnya.
"Belum selesai!" sahut wanita tua itu mendengus 
kesal.
"Aku tidak peduli! Cepat, berikan sekarang...!"
"Sudah kuduga sebelumnya. Kau akan membuat 
masalah, Waskita. Sungguh menyesal aku menerima 
pesananmu."
"Jangan banyak omong! Berikan keris itu padaku! 
Atau terpaksa harus kugunakan kekerasan...?!" ancam 
Waskita tidak main-main lagi.
Perempuan tua itu melompat mundur dua tindak 
begitu mendengar ancaman Waskita yang tampaknya 
tidak main-main lagi. Keningnya sampai berkerut, dan 
tatapan matanya memancarkan ketidakpercayaan 
dengan pendengarannya barusan. Sementara Waskita 
sudah meloloskan pedangnya yang sejak tadi tergan-
tung di pinggang. Perlahan kakinya melangkah maju

sambil menghunus pedangnya ke depan.
"Jangan main-main dengan senjata, Waskita...," 
perempuan tua itu memperingatkan.
"Kau yang memaksaku berbuat begini. Mana keris 
itu?!" bentak Waskita kasar.
"Keris itu belum selesai! Masih satu pekan lagi!"
jawab perempuan tua itu sengit.
"Selesai atau tidak, keris itu harus kubawa seka-
rang juga! Aku sudah cukup bersabar, Nyai...!"
Waskita makin dekat saja dengan perempuan tua 
itu. Ujung pedangnya tertuju lurus ke arah dada. Se-
dangkan perempuan tua itu kelihatan khawatir terha-
dap ancaman Waskita yang tampaknya tidak main-
main. Kakinya bergeser beberapa tindak ke kanan, tapi 
Waskita tetap menujukan ujung pedangnya ke dada 
perempuan tua itu.
"Ini peringatanku yang terakhir, Nyai. Berikan keris 
itu, atau terpaksa pedang ini kugunakan untuk me-
maksamu!" lagi-lagi Waskita mengancam.
"Jangan lakukan itu, Waskita. Kau akan celaka 
seumur hidup," perempuan tua itu mencoba menya-
darkan.
"Setan! Aku tidak butuh nasihatmu! Berikan keris 
itu, cepaaat..!" bentak Waskita semakin kalap.
'Tidak! Keris itu belum sempurna. Kau akan celaka 
bila menggunakannya."
"Keparat..! Jangan salahkan bila pedang ini me-
nembus jantungmu, Nyai...!"
Bet!
Seketika itu juga Waskita mengebutkan pedangnya 
ke arah dada perempuan tua itu. Tapi sedikit saja pe-
rempuan tua berbaju kumal itu menarik tubuh ke be-
lakang, maka ujung pedang Waskita hanya lewat di 
depan dadanya.

"Rupanya kau punya simpanan juga, Nyai Sureng. 
Bagus! Tahan seranganku...! Hiyaaat..!"
Waskita tak dapat lagi mengendalikan diri. Bagai-
kan kilat, dia melompat menerjang sambil menge-
butkan pedang ke arah leher perempuan tua yang ter-
nyata bernama Nyai Sureng. Namun, Nyai Sureng ma-
sih dapat mengelakkan serangan laki-laki separuh 
baya ini.
Maka pertarungan pun tak mungkin dapat dihin-
dari lagi. Waskita terus merangsek, menggunakan ju-
rus-jurus permainan pedang yang cepat dan berba-
haya sekali. Akibatnya, Nyai Sureng jadi kelabakan se-
tengah mati untuk menghindarinya. Hingga pertarun-
gan baru berjalan lima jurus, satu pukulan yang dile-
paskan Waskita berhasil bersarang di dada perempuan 
tua itu.
Des!
"Akh...!" Nyai Sureng terpekik agak tertahan.
Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang bebera-
pa langkah. Tangannya memegangi dada yang menda-
dak saja jadi terasa sesak, akibat terhajar pukulan 
mengandung pengerahan tenaga dalam cukup tinggi.
Dan sebelum sempat mengatur pernafasannya yang 
sesak, mendadak saja Waskita sudah membabatkan 
pedang dengan kecepatan penuh.
"Yeaaah...!"
Wuk!
Cras...!
"Aaa...!" Nyai Sureng menjerit keras melengking 
tinggi.
Tebasan pedang Waskita tak dapat dihindarinya. 
Dada perempuan tua itu langsung robek. Seketika da-
rah menyembur deras sekali. Kembali Nyai Sureng ter-
huyung-huyung ke belakang. Waskita yang sudah ma

ta gelap, tak memberi kesempatan lagi. Cepat bagai ki-
lat dia kembali melompat sambil membabatkan pe-
dangnya.
"Hiyaaat..!"
Bet!
Cras!
"Aaa...!"
Sebentar Nyai Sureng masih dapat berdiri, kemu-
dian ambruk menggelepar di tanah. Darah menyembur 
deras dari lehernya yang terbabat hamper buntung. 
Tak berapa lama kemudian, perempuan tua itu sudah 
diam tak bergerak-gerak lagi. Tewas dengan dada dan 
leher sobek terkena tebasan pedang Waskita.
"Kau terlalu meremehkan aku, Nyai. Terpaksa aku 
harus melenyapkanmu," desis Waskita seraya meng-
hampiri.
Laki-laki separuh baya itu menyarungkan pedang-
nya kembali di pinggang. Kemudian, diperiksanya selu-
ruh tubuh perempuan tua ini. Dan dari balik lipatan
baju, ditemukannya sebilah keris yang tersimpan di
dalam warangka yang terbuat dari kayu pangkal asam. 
Dipandanginya keris itu lekat-lekat lalu perlahan dica-
but.
"Heh...! Kenapa bentuknya begini..?"
Waskita jadi terkejut, karena keris itu memang be-
lum jadi. Masih kelihatan kasar, dan tidak sedap di-
pandang mata. Tapi keris itu memancarkan pamor 
dahsyat dan luar biasa. Baru sebentar saja Waskita 
memegang, sudah bisa merasakan adanya getaran-
getaran aneh yang merasuk ke dalam tubuhnya. Geta-
ran itu semakin lama semakin kuat, dan akhirnya 
membuat Waskita terkejut. Buru-buru dimasukkannya 
senjata itu ke dalam warangka.
"Gila...! Keris ini mengandung daya tarik yang begi

tu kuat. Nafsu membunuhku begitu keras berkobar. 
Aku jadi merasa haus. Tapi bukan haus biasa, melain-
kan haus darah. Hhh...! Kuharap keris ini juga mem-
beri kekuatan dahsyat padaku," Waskita bicara sendi-
ri.
Sebentar laki-laki setengah baya itu masih me-
mandangi keris di genggamannya, kemudian menye-
lipkannya di balik sabuk di depan perut. Dan kini, di-
tatapnya mayat Nyai Sureng. Lalu, kakinya terayun 
melangkah meninggalkan tempat itu. Ayunan kakinya 
begitu tegap, menghampiri seekor kuda yang tertambat 
di bawah pohon kemuning.
"Hup! Hiya...!"
Begitu melompat naik ke punggung kudanya, 
Waskita langsung menggebah kuda coklat berbelang 
putih itu. Cepat sekali binatang itu berlari, sehingga 
sebentar saja sudah jauh meninggalkan gubuk kecil di 
pinggiran hutan ini. Meninggalkan sosok mayat pe-
rempuan tua yang tergeletak dengan dada dan leher 
menganga berlumuran darah.
***
Waktu terus bergulir, sejalan dengan perputaran 
alam yang sesuai kodratnya. Siang pun berlalu, ber-
ganti senja. Seekor kuda putih berjalan perlahan me-
nuju gubuk kecil di pinggiran Hutan Kalikis. Di pung-
gungnya duduk seorang gadis berwajah cantik, ba-
junya berwarna biru muda dan cukup ketat, sehingga 
membentuk tubuhnya yang ramping, padat berisi. Dua 
buah gundukan menonjol indah di dadanya.
Gadis itu perlahan-lahan mengendalikan kudanya 
sambil menikmati kesegaran udara senja. Pandangan-
nya tertuju langsung ke arah gubuk kecil yang letak

nya cukup tersembunyi, di antara lebatnya pepohonan 
tepian Hutan Kalikis ini. Mendadak saja keningnya 
berkerut, saat pandangannya menangkap sosok tubuh 
tergolek tidak jauh dari gubuk kecil itu.
"Nyai Sureng...," desis gadis itu.
Seketika kudanya digebah agar berlari kencang. 
Kuda putih itu meringkik keras, lalu melesat cepat ber-
lari bagaikan sebatang anak panah terlepas dari bu-
sur. Sebentar saja binatang itu sudah dekat dengan 
gubuk kecil yang tampak rapuh ini.
"Hooop...!"
Sambil menarik tali kekang kudanya, gadis cantik 
berbaju biru muda itu melompat turun. Gerakannya 
sungguh indah dan ringan. Dua kali dia melakukan 
putaran di udara, lalu manis sekali menjejakkan ka-
kinya, tepat di samping tubuh wanita tua yang tergolek 
tak bernyawa di depannya.
Bergegas gadis itu menubruk tubuh yang sudah 
dingin tak bernyawa. Matanya yang bulat, berputaran 
merayapi tubuh tua di dalam pangkuannya. Seakan, 
dia tidak percaya dengan penglihatannya sendiri.
"Nyai...," panggil gadis itu pelan, agak berbisik sua-
ranya.
Diguncang-guncangnya tubuh wanita tua itu, tapi 
tetap saja tidak bergerak sedikit pun. Sesaat gadis itu 
masih merayapi, seakan-akan ingin meyakinkan kalau 
Nyai Sureng sudah tewas. Perlahan kemudian tubuh 
wanita tua itu diangkat, dan dipondongnya, masuk ke 
dalam gubuk. Di atas tanah yang hanya beralaskan se-
lembar tikar lusuh, tubuh Nyai Sureng dibaringkan 
dengan hati-hati sekali.
"Siapa yang melakukan ini padamu, Nyai? Bicara-
lah padaku...," tanya gadis cantik itu dengan suara 
perlahan dan hampir tidak terdengar.

Nyai Sureng tetap diam. Darah sudah berhenti 
mengalir dari luka yang menganga di dada dan leher-
nya. Perlahan gadis cantik berbaju biru itu melangkah 
mundur. Matanya masih memandangi tubuh wanita 
tua yang terbaring di atas sehelai tikar lusuh. Perlahan 
kakinya terus melangkah mundur sampai keluar dari 
gubuk kecil ini. Ketika sudah ada jarak sekitar dua ba-
tang tombak dari pondok, langkahnya berhenti.
"Maafkan aku, Nyai. Hanya ini yang bisa kulaku-
kan untukmu. Aku hanya melaksanakan pesanmu...," 
ucap gadis itu perlahan.
Sebentar dipandanginya gubuk kecil itu, lalu per-
lahan-lahan kakinya direntangkan ke samping. Perla-
han pula kedua tangannya diangkat sampai sejajar 
pinggang. Lalu tangan itu terus naik hingga sejajar di 
samping dada. Sebentar kemudian ditariknya napas 
dalam-dalam, lalu ditahannya beberapa saat Dan...
"Hiyaaa...!"
Cepat sekali gadis itu menghentakkan kedua tan-
gannya ke depan, dengan jari-jari terkembang. Secer-
cah cahaya merah kekuning-kuningan, meluncur de-
ras dari kedua telapak tangan yang terbuka itu, lang-
sung menghantam gubuk kecil di depannya.
Glarrr...!
Ledakan keras terdengar menggelegar, bersama 
hancurnya gubuk kecil itu. Debu mengepul membum-
bung tinggi ke angkasa bersama asap kemerahan dan 
serpihan puing-puing gubuk itu. Api langsung berko-
bar, membakar gubuk yang berisi mayat Nyai Sureng. 
Gadis cantik berbaju biru itu segera duduk bersila 
dengan kedua tangan diletakkan di atas lutut. Pan-
dangannya tertuju lurus ke arah gubuk kecil yang 
hancur dan terbakar.
Suara bergemeretak dari kayu-kayu termakan api

terdengar mengusik gendang telinga. Asap kemerahan 
terus mengepul membumbung tinggi ke angkasa. Tiba-
tiba saja terdengar ledakan dahsyat, disusul memer-
ciknya bunga api yang menyebar ke segala arah. Seke-
tika itu juga, api yang membakar gubuk itu padam. 
Dan dari asap kemerahan yang mengepul tebal, terli-
hat bayang-bayang sosok tubuh perempuan tua berju-
bah kumal penuh tambalan.
"Nyai...," desis gadis cantik berbaju biru itu.
Bayang-bayang Nyai Sureng di antara kepulan 
asap kemerahan terlihat menyunggingkan senyum. 
Sedangkan gadis berbaju biru muda yang masih du-
duk bersila sekitar dua batang tombak dari reruntu-
han gubuk itu hanya memandangi dengan mulut agak 
terbuka.
"Kaukah itu, Anggraini...?" terdengar pelan dan se-
rak suara bayangan Nyai Sureng.
"Benar, Nyai. Aku Anggraini," sahut gadis itu.
"Kenapa baru datang sekarang?"
"Maaf, Nyai. Ada sedikit halangan tadi di jalan. 
Nyai...."
"Aku tahu, apa yang ingin kau ketahui, Anggraini," 
potong Nyai Sureng sebelum Anggraini meneruskan 
ucapannya.
Anggraini jadi terdiam, dan hanya memandang saja 
bayangan wanita tua itu di dalam asap kemerahan 
yang terus mengepul membumbung tinggi ke angkasa.
"Sehari setelah kau pergi dari sini, aku kedatangan 
seorang laki-laki separuh baya. Dia membawa sebuah
benda yang memiliki kekuatan dahsyat, dan minta 
agar aku membuatkannya sebuah senjata dari benda 
itu. Permintaan itu ku turuti dengan janji bayaran 
yang sangat besar. Tapi aku jadi kewalahan. Ternyata 
aku tidak mampu menguasai benda itu, meskipun su

dah ke bentuk menjadi sebuah keris. Yang lebih parah 
lagi, dia tidak sabar menunggu. Hingga...," Nyai Sureng 
tidak meneruskan.
"Siapa orang itu, Nyai?" tanya Anggraini. 
"Dia datang dari sebuah kadipaten di kaki Gunung
Patarukan. Namanya Waskita. Hanya itu yang ku tahu,
Anggraini," sahut Nyai Sureng.
"Waskita...," Anggraini mendesiskan nama yang 
disebut Nyai Sureng.
"Anggraini! Hanya kau satu-satunya yang bisa ku 
andalkan. Cari dia, dan ambil Keris Kala Muyeng dari 
tangannya. Senjata itu sangat berbahaya jika diguna-
kan ke jalan yang salah. Kau harus bisa menyela-
matkan keris itu, Anggraini," pesan Nyai Sureng me-
minta.
"Baik, Nyai. Akan kucari orang itu," tekad Anggrai-
ni.
"Aku tidak bisa terlalu lama. Anggraini. Waktuku 
sudah habis...." 
"Nyai...,"
Tapi Nyai Sureng sudah menghilang sebelum 
Anggraini bisa mengucapkan sesuatu. Bersama meng-
hilangnya bayangan Nyai Sureng, asap kemerahan itu 
pun lenyap dari pandangan. Kini hanya tinggal onggo-
kan puing-puing gubuk kecil yang sudah hancur tak 
berbentuk lagi.
“Waskita… Akan kukejar kau, biar sampai ke 
ujung dunia sekalipun,” desis Anggraini seraya bangkit 
berdiri.
***

DUA

Malam baru saja merayap turun menyelimuti per-
mukaan bumi. Tugas sang mentari yang sepanjang ha-
ri menyinari mayapada ini, telah digantikan sang dewi 
malam, dengan sinarnya yang lembut keperakan. Di 
antara siraman cahaya rembulan, tampak seorang la-
ki-laki berusia setengah baya tengah berjalan perla-
han-lahan sambil menuntun kudanya. Sesekali kepa-
lanya ditengadahkan, menatap rembulan yang malam 
ini bersinar penuh.
"Berhenti...!"
Tiba-tiba saja terdengar bentakan keras menggele-
gar. Laki-laki separuh baya mengenakan baju indah 
dari bahan sutra halus itu langsung menghentikan 
ayunan kakinya. Pada saat itu, dari atas pohon di de-
pannya berkelebat sebuah bayangan hitam. Ringan se-
kali gerakannya. Tahu-tahu di depan laki-laki separuh 
baya yang ternyata Waskita, telah berdiri seseorang 
bertopeng kayu berbentuk wajah kera.
Dari bentuk tubuh orang bertopeng itu, sudah da-
pat dipastikan kalau dia adalah perempuan. Bentuk 
tubuhnya begitu ramping, dengan sebilah pedang pan-
jang tergantung di pinggang. Dia berdiri tegak sambil 
berkacak pinggang, sekitar dua batang tombak di de-
pan Waskita.
"Siapa kau?! Berani benar menghadang jalanku!" 
bentak Waskita, tidak senang karena jalannya terha-
lang.
"Jangan banyak tanya! Serahkan Keris Kala 
Muyeng padaku!" bentak orang bertopeng kera itu lan-
tang.
"Heh...?!" Waskita jadi terkejut mendengar benta

kan itu.
"Jangan paksa aku menggunakan kekerasan, 
Waskita. Serahkan keris itu!" ancam wanita bertopeng 
kera itu lagi.
"Hei? Dari mana kau tahu tentang Keris Kala 
Muyeng?" tanya Waskita masih keheranan.
Baru siang tadi keris ini direbut dari tangan Nyai 
Sureng. Dan sekarang, di depannya sudah berdiri seo-
rang wanita mengenakan topeng berwajah kera akan 
meminta keris itu. Waskita jadi keheranan setengah 
mati. Sebab, Keris Kala Muyeng baru saja direbut dari 
tangan pembuatnya. Dan setahunya, tidak ada seorang 
pun yang mengetahui tentang senjata ini, kecuali be-
berapa orang. Dan itu tidak termasuk orang di depan-
nya.
"Sudah kubilang, jangan banyak tanya! Serahkan 
keris itu, atau terpaksa kugunakan kekerasan!" bentak 
wanita bertopeng kera itu lagi.
"Ambillah sendiri kalau mampu," dengus Waskita 
jadi jengkel juga mendengar ancaman wanita berto-
peng kera itu.
"Keras kepala...! Rasakan ini! Hiyaaat..!"
Bagaikan kilat, wanita bertopeng kera itu melompat 
menerjang Waskita. Satu pukulan keras bertenaga da-
lam tinggi dilepaskan ke arah dada laki-laki setengah 
baya itu. Tapi hanya sedikit mengegoskan tubuh ke 
kanan, Waskita bisa menghindarinya.
Cepat Waskita melompat ke belakang dua langkah, 
lalu bergegas melepaskan pukulan balasan yang lurus 
ke arah dada wanita bertopeng kera. Namun tanpa di-
duga sama sekali, wanita itu tidak berusaha menghin-
dar. Bahkan tangannya cepat diputar arahnya untuk 
menyambut pukulan keras yang dilepaskan Waskita.
Plak!

Tak pelak lagi, dua tangan beradu keras. Waskita 
seketika tersentak. Karena begitu membentur tangan 
wanita bertopeng kera itu, tangannya seperti tersengat 
ribuan lebah berbisa. Maka cepat-cepat tangannya di-
tarik pulang. Sedangkan wanita bertopeng kera itu, ju-
ga tersentak kaget. Bahkan sampai melompat ke bela-
kang dua langkah.
Wanita itu merasakan tulang pergelangan tangan-
nya seperti retak, ketika beradu dengan tangan Waski-
ta tadi. Begitu kerasnya, karena masing-masing men-
gerahkan tenaga dalam tinggi. Dan kelihatannya, tena-
ga dalam yang mereka miliki cukup seimbang. Masing-
masing langsung merasakan akibat benturan dua te-
naga dalam tadi yang tersalur ke tangan.
"Hep!"
Wanita bertopeng kera itu kembali menyiapkan se-
rangan. Kedua tangannya bergerak-gerak di depan da-
da. Lalu dengan cepat, dia kembali melompat menye-
rang laki-laki setengah baya itu. Waskita juga cepat 
bertindak. Tubuhnya langsung berlompatan menghin-
dari serangan yang dilakukan perempuan bertopeng 
kera ini. Beberapa kali pukulan dilepaskan, tapi tak 
satu pun yang berhasil bersarang di tubuh laki-laki se-
tengah baya ini.
Teriakan-teriakan keras menggelegar terdengar sal-
ing sambut, memecah kesunyian malam ini. Mereka 
sama-sama melancarkan jurus-jurus dahsyat, dengan 
pukulan-pukulan mengandung pengerahan tenaga da-
lam tinggi. Tanpa terasa, mereka sudah menghabiskan 
sekitar lima jurus.
"Hiyaaa...!"
Tiba-tiba saja Waskita melentingkan tubuhnya ke 
atas, lalu cepat melakukan putaran dua kali. Kemu-
dian tubuhnya menukik deras sambil melepaskan satu

pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam tinggi 
ke arah kepala.
"Hait!"
Wanita bertopeng kera itu cepat-cepat menarik ke-
pala ke belakang, sambil menggeser kakinya satu 
langkah ke kiri. Serangan Waskita yang begitu cepat 
memang dapat dihindarinya. Tapi tanpa diduga sama 
sekali, Waskita langsung melontarkan satu tendangan 
keras menggeledek begitu kakinya menjejak tanah.
Begitu cepatnya serangan yang dilakukan Waskita,
sehingga perempuan bertopeng kera itu tidak sempat 
lagi menghindar. Akibatnya tendangan Waskita begitu 
telak menghantam dada. Wanita bertopeng kera itu 
langsung terpekik keras, dan terjajar ke belakang se-
jauh dua batang tombak.
Dan sebelum wanita bertopeng kera itu bisa men-
guasai keseimbangan tubuhnya, Waskita cepat sekali 
melompat menerjang. Langsung dilepaskannya satu 
pukulan keras, disertai pengerahan tenaga dalam ting-
gi.
"Hiyaaa...!"
"Ufh...!"
Wanita bertopeng kera itu cepat-cepat membanting 
tubuhnya ke tanah, lalu bergulingan beberapa kali. Se-
rangan Waskita kali ini tidak mengenai sasaran, ke-
cuali sebatang pohon saja. Pohon itu seketika tumbang 
begitu terkena pukulan Waskita.
"Hup!"
Wanita bertopeng kera itu bergegas melompat 
bangkit. Dipegangi dadanya yang masih terasa agak 
sesak akibat terkena tendangan Waskita tadi. Kemu-
dian kakinya dua langkah ditarik ke belakang. Semen-
tara Waskita sudah memutar tubuhnya berbalik. Sinar 
mata laki-laki itu begitu tajam, merah membara bagai

kan sepasang mata elang yang bernafsu melihat mang-
sa.
Sret!
Wanita bertopeng kera itu mencabut pedangnya 
yang tergantung di pinggang. Perlahan-lahan pedang-
nya digerakkan, hingga melintang di depan dada. Meli-
hat lawan sudah menghunus senjata, Waskita segera 
meraba gagang pedangnya yang juga tergantung di 
pinggang. Tapi di luar dugaan pedangnya tidak jadi di-
tarik ke luar. Bahkan kini malah cepat menarik keris 
yang terselip di depan perutnya.
Cring!
"Hah...?!"
Perempuan bertopeng kera itu terkejut melihat ke-
ris yang memiliki pamor sangat dahsyat ini. Begitu ter-
kejutnya, sehingga sampai menarik kakinya ke bela-
kang beberapa tindak. Sedangkan Waskita sudah me-
lintangkan kerisnya di depan dada. Perlahan-lahan ke-
ris itu diangkat hingga sampai di atas kepala. Lalu per-
lahan-lahan pula diturunkan kembali. Tatapan ma-
tanya semakin tajam, tertuju lurus ke wajah yang ter-
tutup topeng kayu berbentuk wajah kera.
***
"Hiyaaat..!"
Bagaikan kilat, Waskita melompat menerjang wani-
ta bertopeng kera itu. Dengan cepat pula kerisnya di-
kibaskan beberapa kali, sehingga membuat wanita ber-
topeng kera itu kelabakan. Tubuhnya berjumpalitan, 
menghindari serangan-serangan yang dilancarkan 
Waskita dengan kecepatan luar biasa. Beberapa kali 
ujung keris yang masih setengah jadi itu hampir mero-
bek kulit tubuh wanita bertopeng kera itu, tapi masih

bisa dihindari meskipun terus terdesak.
"Mampus kau! Yeaaah...!" teriak Waskita keras 
menggelegar.
Saat itu juga, dengan kecepatan kilat Waskita me-
nusukkan kerisnya ke arah dada wanita bertopeng ke-
ra yang kelihatan sedikit terbuka. Serangan kali ini 
benar-benar membuatnya jadi kelabakan setengah ma-
ti. Tak ada lagi kesempatan baginya untuk menghin-
dar. Dan dengan cepat sekali pedangnya dikebutkan, 
mencoba menangkis keris yang meluncur deras men-
gancam dada.
Wuk!
Trang!
"Heh...?!"
Wanita bertopeng kera itu jadi terkejut setengah 
mati. Pedangnya seketika terpenggal begitu membentur 
Keris Kala Muyeng yang berada di tangan Waskita. 
Maka cepat-cepat tubuhnya dilentingkan ke belakang,
langsung melakukan putaran sebanyak tiga kali. Na-
mun baru saja kakinya menjejak tanah, Waskita sudah 
melepaskan satu tendangan keras menggeledek.
"Yeaaah...!"
"Heh?!"
Des!
Wanita bertopeng kera itu tidak dapat lagi meng-
hindar. Tendangan yang dilepaskan Waskita, tepat 
menghantam dada. Akibatnya tubuhnya terpental cu-
kup jauh, dan baru berhenti setelah punggungnya
menghantam sebatang pohon. Wanita bertopeng kera 
itu jatuh terkulai di tanah. Dicobanya untuk bangkit 
berdiri, tapi langsung memuntahkan darah kental agak 
kehitaman.
"Aku harus meninggalkan pertarungan ini. Huh! 
Bisa mati kalau diteruskan...!" dengus wanita berto

peng kera itu dalam hati.
Tepat ketika Waskita sudah bersiap kembali hen-
dak melancarkan serangan, wanita bertopeng kera itu 
sudah lebih cepat bangkit. Dan dengan sisa-sisa keku-
atan yang masih ada, dia cepat melompat kabur.
"He...! Jangan lari kau!" bentak Waskita berang.
Tapi sebelum laki-laki setengah baya itu mengejar, 
wanita bertopeng kera itu sudah lenyap ditelan lebat-
nya pepohonan. Terlebih lagi, saat ini malam sudah 
cukup larut. Sehingga, hal itu membantunya untuk 
cepat menghilang, sebelum Waskita sempat mengejar-
nya.
"Setan...!" geram Waskita kesal.
Waskita memasukkan kembali keris ke dalam wa-
rangkanya yang terselip di depan perut. Matanya me-
natap tajam ke arah wanita bertopeng kera yang 
menghilang tadi. Sebentar laki-laki setengah baya itu 
masih berdiri tegak, lalu berbalik dan melangkah 
menghampiri kudanya. Kemudian diambilnya tali ke-
kang kudanya, lalu kakinya terayun kembali. Tapi ba-
ru juga beberapa langkah, sudah berhenti lagi.
"Aneh.... Dia tahu tentang Keris Kala Muyeng Siapa 
dia...? Hm, dari mana dia tahu tentang keris ini?" 
Waskita jadi bertanya-tanya sendiri.
Sia-sia saja dia mencoba mencari jawaban dari per-
tanyaan yang tiba-tiba timbul di kepalanya. Wajah
yang tertutup topeng, memang sukar dikenali. Waskita 
kembali mengarahkan pandangannya ke arah wanita 
bertopeng kera itu tadi menghilang. Dia tahu kalau 
arah itu akan terus masuk ke dalam hutan. Sedang-
kan dia sendiri, tadi tengah menuju desa yang tidak 
seberapa jauh lagi dari tempat ini.
Seluruh tubuhnya sudah teramat letih, setelah se-
harian terguncang-guncang di atas punggung kuda.

Waskita kembali mengayunkan kakinya perlahan-
lahan. Namun, benaknya masih terus diliputi berbagai 
macam pertanyaan dan keheranan atas kemunculan 
wanita bertopeng kera tadi.
"Paruta juga tahu tentang keris ini. Tapi, apa 
mungkin...? Ah, tidak...! Tidak mungkin dia berani me-
rebut keris ini dari tanganku," Waskita jadi berbicara 
sendiri.
Dan kini laki-laki setengah baya itu jadi diliputi 
kebingungan serta kebimbangan. Memang ada bebera-
pa orang lain lagi yang tahu tentang Keris Kala Muyeng 
ini. Salah satunya adalah Paruta. Waskita memang 
sudah menceritakan semua tentang keris ini padanya. 
Tapi, semua yang terlintas di dalam benaknya cepat 
dibantahnya. Dia tidak yakin kalau wanita bertopeng 
kera tadi adalah Paruta.
"Jangan-jangan Paruta telah menceritakan tentang 
keris ini pada orang lain...? Huh! Tapi kalau sampai
berani membocorkan rahasia ini dia akan kubunuh!" 
Waskita bergegas naik ke punggung kudanya.
"Maaf, kau terpaksa tidak beristirahat malam ini. 
Kita harus secepatnya berada di Kadipaten Patarukan," 
ujar Waskita pada kudanya.
Begitu tali kekang dihentakkan, kuda coklat itu 
langsung berlari cepat menembus kegelapan malam. 
Waskita terus cepat menggebah kudanya, tidak peduli 
kalau saat ini sudah hampir tengah malam.
"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"
***
Saat matahari berada di atas kepala, Waskita baru
sampai di perbatasan Kota Kadipaten Patarukan. Sua-
sana yang ramai, membuatnya untuk tidak cepat-cepat

memacu kudanya. Tak ada seorang pun yang mem-
perhatikannya, meskipun di sepanjang jalan yang dila-
lui, dipenuhi orang yang sibuk dengan kegiatan mas-
ing-masing.
Keadaan Waskita memang cukup sukar dikenali 
lagi, jika hanya dilihat sepintas saja. Pakaiannya kotor, 
penuh debu yang melekat bercampur keringat. Dan 
wajahnya pun seperti berkerak penuh debu. Perjala-
nannya memang sangat melelahkan, setelah semala-
man penuh memacu kudanya tanpa mengenal lelah. 
Laki-laki setengah baya itu baru menghentikan laju 
kudanya setelah sampai di depan sebuah rumah yang 
cukup besar. Rumah itu memiliki gapura batu sebagai
pintu gerbang, dan dijaga dua orang bersenjata golok 
terselip di pinggang.
Tanpa menghiraukan kedua penjaga yang bengong 
memperhatikannya, Waskita kembali menggebah ku-
danya melewati pintu gapura itu. Dan dia baru melom-
pat turun setelah sampai di depan tangga masuk se-
buah rumah yang besar dan indah. Beberapa orang
yang berada di sekitar halaman dan beranda rumah
itu hanya memperhatikan saja dengan kening sedikit 
berkerut.
Sedangkan Waskita terus melangkah memasuki
rumah besar ini. Sampai di bagian dalam, ayunan ka-
kinya tidak dihentikan. Dia terus saja berjalan melewa-
ti ruangan tengah. Di sana, seperti telah menunggu
seorang laki-laki berusia sekitar delapan puluh tahun. 
Laki-laki tua mengenakan baju warna putih dari ba-
han sutra halus itu bergegas bangkit berdiri begitu me-
lihat kedatangan Waskita.
"He...?! Kenapa baru sekarang kau datang?!" sen-
tak laki-laki tua itu dengan mata sedikit mendelik.
Waskita bergegas berlutut, seraya merapatkan ke

dua telapak tangan di depan hidung. Kemudian dia 
duduk bersila di lantai yang beralaskan permadani 
tebal berwarna merah menyala. Laki-laki tua berbaju 
putih agak ketat dan masih kelihatan gagah itu meng-
hampiri dengan langkah ringan. Di tangan kanannya 
tergenggam sebatang tongkat yang tak beraturan ben-
tuknya.
"Sejak pagi tadi aku menunggu. Ke mana saja kau, 
sampai baru sekarang datang...?!" tanya laki-laki tua 
itu masih dengan nada yang sama.
"Ampun, Gusti. Ada sedikit halangan di jalan," 
ucap Waskita dengan sikap penuh rasa hormat.
'Tapi, kau berhasil bukan...?" laki-laki tua itu se-
perti tidak peduli dengan alasan yang dikemukakan 
Waskita.
Waskita hanya diam saja, tapi malah menunduk-
kan kepalanya, menekuri lantai. Sehingga membuat 
laki-laki tua bertongkat tak beraturan itu jadi mena-
tapnya tajam-tajam. Kening yang sudah berkerut cu-
kup banyak, semakin kelihatan jelas kerutannya. Se-
dangkan Waskita masih tetap diam sambil menunduk-
kan kepala.
"Katakan, Waskita. Kau berhasil apa tidak...?" de-
sak laki-laki tua itu tidak sabar.
"Ampun, Gusti. Hamba sudah berusaha. Tapi...," 
Waskita tidak meneruskan kalimatnya.
"Kau gagal..?!" sentak laki-laki tua itu semakin le-
bar mendelik.
Sebentar Waskita terdiam, kemudian kepalanya te-
rangguk perlahan.
Trak!
Laki-laki tua itu menghentakkan ujung tongkatnya, 
menghantam lantai di ujung kakinya. Seketika wajah 
yang masih kelihatan gagah, meskipun kumisnya su

dah berwarna putih, jadi berubah merah padam. Persis 
seperti sepotong besi yang terbakar di dalam tungku.
"Bodoh...! Baru mendapat tugas ringan begitu saja 
tidak berhasil.'" dengus laki-laki tua itu.
"Hamba sudah berusaha, Gusti. Tapi dia tetap ti-
dak menyerah. Bahkan berani menentang. Hamba ter-
paksa melakukan kekerasan. Hamba sudah berusaha 
untuk mendapatkannya, tapi...," kata-kata Waskita 
kembali terputus.
"Kau benar-benar mengecewakan, Waskita. Baru
menghadapi perempuan tua saja sudah tidak becus!'! 
laki-laki tua berjubah putih itu masih kelihatan kesal.
"Sebenarnya, hamba bisa memperolehnya, Gusti," 
kata Waskita lagi.
"Kenapa kau tidak memperolehnya sekarang...?"! 
"Seseorang datang membantunya, Gusti. Ilmu olah 
kanuragannya sangat tinggi. Hamba dibuat babak be-
lur. Kalau saja tidak segera lari, pasti hamba sudah
tewas di tangannya," lagi-lagi Waskita memberikan
alasan.
"Siapa dia?" tanya laki-laki tua berbaju putih agak 
ketat itu.
'Sukar dikenalinya, karena dia mengenakan topeng 
berbentuk kera, Gusti."
Laki-laki tua berbaju putih itu memandangi Waski-
ta dalam-dalam, seperti tidak percaya dengan kata-
kata yang didengarnya barusan. Sedangkan Waskita 
sendiri hanya tertunduk saja, seakan-akan menyem-
bunyikan raut wajahnya yang sebentar memerah, dan 
sebentar kemudian agak memucat. Untuk beberapa 
saat tak ada yang bicara. Ruangan tengah cukup besar 
dan indah ini jadi terasa begitu lengang, sehingga de-
tak jantung terdengar cukup jelas.
"Kau tidak berdusta, Waskita?" nada suara laki-laki

tua itu terdengar menyelidik.
"Hamba mengatakan yang sebenarnya, Gusti Wa-
nengpati," sahut Waskita seraya memberi sembah den-
gan merapatkan kedua tangannya di depan hidung.
"Hm...," laki-laki tua yang dipanggil Gusti Waneng-
pati itu hanya bergumam saja.
Kembali tidak terdengar suara sedikit pun. Perla-
han Gusti Wanengpati memutar tubuhnya, dan me-
langkah menghampiri kursi yang tadi didudukinya se-
belum Waskita muncul ke ruangan ini. Sambil meng-
hembuskan napas panjang, tubuhnya dihempaskan di 
kursi ukiran kayu jati. Sebuah kursi yang cukup be-
sar, sehingga, seakan-akan hendak menenggelamkan 
tubuhnya yang agak kurus.
"Istirahatlah. Besok pagi, kita sama-sama pergi ke 
sana," ujar laki-laki tua itu yang biasanya dipanggil 
dengan sebutan Ki Wanengpati.
Di dalam lingkungan rumahnya yang besar ini, dia 
selalu dipanggil Gusti Wanengpati. Karena, dia adalah 
orang kedua di Kadipaten Patarukan. Kedudukannya 
adalah sebagai penasihat pribadi Adipati Patarukan, 
yang sekaligus juga sebagai tangan kanan serta kepala 
pasukan keamanan di kadipaten ini. Namun, terka-
dang kekuasaannya melebihi adipati sendiri. Sehingga, 
dia memiliki satu pasukan sendiri yang tidak pernah 
menggunakan seragam prajurit kadipaten. Meskipun 
jumlahnya tidak terlalu banyak, tapi sangat handal da-
lam pertarungan. Dan adipati sendiri sangat mengan-
dalkan pasukan khusus Ki Wanengpati ini.
"Hamba mohon diri, Gusti," pamit Waskita seraya 
bangkit berdiri setelah memberi sembah.
***
TIGA

Malam sudah menyelimuti permukaan bumi Kadi-
paten Patarukan. Segala kesibukan sudah sirna. Ke-
sunyian begitu terasa, membuat seluruh rakyat di ka-
dipaten itu semakin nyenyak dibuai mimpi. Tapi tidak 
demikian halnya dengan Waskita. Laki-laki separuh 
baya yang masih kelihatan gagah itu tampak gelisah di 
ruangan tengah di dalam rumahnya yang cukup besar 
ini.
Entah sudah berapa kali dia bangkit berdiri, lalu 
duduk kembali di kursi dekat jendela besar yang masih 
terbuka lebar. Wajahnya bersimbah keringat, meski-
pun udara malam ini terasa cukup dingin. Beberapa 
kali pula dipandanginya keris yang berada di tangan 
kanannya. Ketika baru saja duduk kembali di kursi 
dekat jendela, mendadak saja....
Wusss!
"Heh...?!"
Waskita tersentak, sampai-sampai terlompat berdi-
ri begitu secercah cahaya kuning keemasan tiba-tiba 
melesat masuk dari jendela yang terbuka lebar. Ca-
haya itu langsung menghantam pilar besar di tengah-
tengah ruangan ini. Waskita cepat melompat mendeka-
ti pilar ketika melihat ada sebuah benda berwarna 
kuning keemasan tertancap di sana.
Hati laki-laki separuh baya itu mendadak saja ter-
kesiap begitu melihat benda berwarna kuning keema-
san berbentuk bintang yang bagian tengahnya berlu-
bang tertancap di pilar. Cepat dia melompat mendekati 
jendela, lalu terus melesat keluar melewati jendela 
yang terbuka lebar itu. Gerakannya sungguh ringan 
dan cepat sehingga sebentar saja sudah berada di luar.


"Hup!"
Hanya sekali lesatan ringan, Waskita melompat 
naik ke atas atap. Tanpa menimbulkan suara sedikit
pun, laki-laki separuh baya itu hinggap di atas atap.
Pandangannya langsung beredar ke sekeliling. Tak ada
sesuatu yang dapat dicurigai. Bahkan tak ada seorang 
pun yang dilihat, kecuali kegelapan malam yang berse-
limut kabut.
Dan begitu pandangannya diarahkan ke Timur, di
bawah sebatang pohon yang cukup besar tampak ber-
diri seseorang tengah memperhatikannya. Tubuhnya
ramping, mengenakan baju hitam yang cukup ketat.
Tanpa berpikir dua kali, Waskita melompat cepat, lalu
meluruk deras ke arah orang yang berdiri di bawah
pohon itu.
"Hap...!"
Begitu kakinya menjejak tanah, dia langsung berla-
ri cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh. 
Sebentar saja Waskita sudah berdiri sekitar satu ba-
tang tombak di depan orang bertubuh ramping itu.
Laki-laki setengah baya itu tersenyum sinis melihat 
orang bertopeng berbentuk kera.
"Rupanya kau masih juga menginginkan Keris Kala 
Muyeng. Siapa kau sebenarnya?" terasa sinis nada su-
ara Waskita.
"Aku orang yang berhak atas keris itu!" sahut 
orang bertopeng kera itu dingin.
"Kau...? Ha ha ha...!" Waskita jadi tertawa ter-
bahak-bahak.
Waskita merasa tergelitik mendengar kata-kata 
orang bertopeng kera itu barusan. Hanya dia, Ki Wa-
nengpati, Nyai Sureng, dan anak gadisnya yang ber-
nama Paruta yang tahu tentang benda keramat itu. 
Namun Nyai Sureng telah membuat keris ampuh hing

ga diberi nama Keris Kala Muyeng, telah tewas. Berarti
tinggal tiga orang yang mengetahuinya.
Dan sekarang, di depannya kini berdiri seorang 
wanita bertopeng kera yang mengaku lebih berhak atas 
keris itu daripada dirinya. Hal ini membuat Waskita 
menjadi terasa tergelitik tenggorokannya, hingga terta-
wa terbahak-bahak. Bahkan Ki Wanengpati yang men-
ginginkan keris itu pun dapat dikelabuinya dengan 
mudah. Dan sekarang keris itu menjadi miliknya. Ma-
ka tak seorang pun bisa memiliki, kecuali bisa me-
langkahi mayatnya terlebih dahulu. Dan itu memang 
sudah menjadi tekad Waskita setelah berhasil mengu-
asai Keris Kala Muyeng dari tangan pembuatnya.
"Maaf. Aku tidak ada waktu untuk bermain-main
denganmu, Nisanak," kata Waskita dingin.
Setelah berkata demikian, laki-laki setengah baya
itu segera memutar tubuhnya hendak melangkah. Tapi
sebelum kakinya terayun, mendadak saja terasa seper-
ti ada angin mendesir dari arah belakang. Cepat 
Waskita memiringkan tubuhnya ke kanan. Pada saat 
itu, secercah cahaya kuning keemasan melesat cepat 
bagaikan kilat melewati tepi bahunya.
"Hup...!"
Begitu cahaya kuning keemasan lewat, Waskita ce-
pat melentingkan tubuhnya ke depan. Tubuhnya lang-
sung berbalik saat kakinya menjejak tanah. Ditatapnya 
wanita bertopeng kera itu dengan sinar mata tajam.
"Aku tidak ingin bertindak keras padamu, Nisanak.
Sebaiknya cepat enyah dari hadapanku!" desis Waskita 
menggeram dingin.
"Aku akan pergi setelah Keris Kala Muyeng kau se-
rahkan padaku!" dengus wanita bertopeng kera itu! ti-
dak kalah dinginnya.
"Kau benar-benar keras kepala, Nisanak. Ambillah

kalau kau mampu!" dengus Waskita jadi jengkel.
Setelah berkata demikian, Waskita menggeseri ka-
kinya ke kanan beberapa langkah. Sedangkan wanita 
berbaju hitam dan bertopeng kera, sudah melangkah 
maju beberapa tindak. Perlahan-lahan pedang yang 
tergantung di pinggangnya dicabut. Kilatan cahaya 
keemasan membersit begitu pedang berwarna kuning 
keemasan itu keluar dari warangkanya. 
'Tahan seranganku! Hiaaat…"
Sambil berteriak keras menggelegar, wanita berto-
peng kera itu tiba-tiba saja melesat cepat menerjang 
Waskita yang memang sejak tadi sudah siap menerima 
serangan. Saat itu juga, Waskita menggeser kakinya 
sedikit ke kiri. Tubuhnya langsung diliukkan, untuk 
menghindari tebasan pedang keemasan yang begitu 
cepat mengarah ke dadanya.
Bet!
***
Waskita terpaksa berjumpalitan menghindari se-
rangan-serangan yang dilancarkan wanita bertopeng 
kera. Pedang keemasan di tangannya, berkelebat cepat 
mengurung seluruh ruang gerak laki-laki setengah 
baya itu. Beberapa kali pedang wanita bertopeng kera 
itu hampir merobek kulit tubuh Waskita. Tapi sampai 
sejauh ini, laki-laki setengah baya itu masih dapat 
mengatasi semua serangan. 
"Hup! Yeaaah...!"
Tiba-tiba saja Waskita melentingkan tubuh ke be-
lakang dan melakukan putaran beberapa kali, tepat 
ketika pedang wanita bertopeng kera itu membabat ke 
arah kakinya. Manis sekali laki-laki setengah baya itu 
mendarat di tanah, lalu cepat mengeluarkan Keris Kala

Muyeng yang sejak tadi tersimpan di dalam warang-
kanya.
Begitu terhunus, dari mata Keris Kala Muyeng yang 
berkeluk tujuh itu mengepulkan asap hitam meman-
carkan bau busuk. Bukan hanya wanita bertopeng ke-
ra itu yang terkejut. Bahkan Waskita begitu kaget me-
lihat keris di tangannya mengeluarkan asap berbau 
busuk, seperti bau mayat yang sudah berhari-hari ter-
timbun dalam tumpukan dedaunan kering.
Tapi Waskita tidak bisa menyadari lagi, karena 
pamor keris itu cepat menguasai seluruh jiwanya. Ba-
gaikan seekor serigala lapar, Waskita mendengus dan 
menggeram. Kedua bola matanya memerah dan me-
nyala-nyala bagaikan sepasang bola api yang siap 
menghanguskan apa saja di dekatnya. Saat itu juga 
Waskita merasakan kerongkongannya jadi kering. Rasa 
kehausan yang amat sangat seketika menyerangnya. 
Bukan haus biasa, tapi haus ingin minum darah!
"Darahmu pasti segar, Nisanak. Sudah lama aku 
tidak lagi memuaskan dahaga dengan darah...," desis 
Waskita. Nada suaranya kini terdengar lain.
Dan memang, suara itu lain sekali dengan suara 
Waskita. Seperti ada sesuatu kekuatan lain yang me-
nyusup ke dalam jiwanya. Pada saat yang sama, wani-
ta bertopeng kera itu melompat mundur sejauh bebe-
rapa tindak. Dirasakannya ada kelainan pada diri
Waskita yang menghunus Keris Kala Muyeng.
"Hiyaaa...!"
Bagaikan kilat, Waskita tiba-tiba saja melompat 
cepat menerjang lawan. Begitu cepatnya, membuat 
wanita bertopeng kera itu jadi terkesiap. Tapi cepat-
cepat tubuhnya dibanting ke tanah, lalu bergulingan 
beberapa kali. Sehingga, serangan yang dilancarkan 
Waskita hanya menyambar angin kosong saja.

"Ghrrr...!" Waskita menggeram dahsyat bagaikan
seekor binatang buas.
Tubuh laki-laki setengah baya itu cepat berbalik
memutar menatap tajam wanita bertopeng kera yang 
kini sudah bangkit berdiri kembali. Waskita menghu-
nus lurus kerisnya ke depan, tertuju langsung ke dada 
calon korbannya yang berada sekitar dua batang tom-
bak di depannya. Perlahan-lahan kakinya terayun me-
langkah ke depan.
"Celaka..., jiwanya sudah terpengaruh keris itu,"
desis wanita bertopeng kera. "Aku harus menghinda-
rinya sebelum dia benar-benar meminum darahku."
Setelah berpikir beberapa saat, wanita bertopeng 
kera itu cepat melompat meninggalkan tempat ini. Me-
lihat calon korbannya berusaha kabur, Waskita jadi
meraung keras sambil mengacungkan Keris Kala 
Muyeng ke atas kepala.
"Ghraaagkh...!"
Bagaikan kilat, Waskita melompat berusaha men-
gejar wanita bertopeng kera itu. Dia terus berlari ken-
cang bagaikan dikejar setan. Tapi wanita itu sudah ti-
dak terlihat lagi, lenyap seperti tertelan bumi.
Sementara malam terus merayap semakin larut. 
Dan suasana di Kadipaten Patarukan, masih tetap ter-
lihat sunyi. Di dalam kesunyian ini Waskita mengge-
rung-gerung seperti binatang buas kelaparan karena
calon korbannya berhasil melarikan diri. Mata Waskita
kian liar melirik ke kanan dan ke kiri. Keris Kala 
Muyeng benar-benar telah mengendalikan jiwanya. Ra-
ganya seolah-olah haus, menuntut ingin minum. Na-
mun hanya darah yang mampu mengobati rasa haus-
nya. Hanya darah! Lalu, tubuhnya melesat cepat 
menghilang dalam gelapnya malam.
***

Pagi harinya, seluruh Kota Kadipaten Patarukan ti-
ba-tiba saja gempar. Beberapa prajurit yang kebetulan 
lewat di depan rumah seorang pengurus kuda di kadi-
paten, mendapati keluarga pengurus kuda itu sudah 
tewas. Bahkan rumahnya hancur berantakan seperti 
baru saja digempur habis-habisan. Ada empat mayat 
laki-laki dan dua mayat perempuan, serta seorang 
anak berusia sekitar lima tahun bergelimpangan di da-
lam dan halaman rumah itu.
Peristiwa pembantaian seperti ini belum pernah 
terjadi di Kadipaten Patarukan. Tentu saja peristiwa 
mengejutkan ini membuat Adipati Antapara sendiri 
terpaksa turun untuk menyaksikan sendiri kematian 
keluarga pengurus kuda di kadipatenannya. Yang 
membuat adipati itu terkejut, semua korban yang te-
was tidak lagi memiliki darah. Bahkan tidak setetes 
darah pun terlihat, meskipun semua yang tewas dalam 
keadaan terkoyak cukup besar di leher.
Adipati Antapara yang masih berusia muda itu ke-
lihatan gundah setelah menyaksikan keadaan mayat 
keluarga pengurus kuda kadipatenan. Sejak berangkat
dari kadipatenan hingga kembali lagi, dia selalu di-
dampingi orang kepercayaannya, Ki Wanengpati. Se-
mentara itu, sepuluh orang-orang Ki Wanengpati yang 
rata-rata berkemampuan cukup tinggi dalam ilmu olah
kanuragan tampak mengelilingi mereka berdua.
"Aku tidak tahu, apakah ini perbuatan manusia 
atau iblis dari neraka...," keluh Adipati Antapara se-
raya menghempaskan tubuhnya di kursi yang hampir 
menenggelamkan tubuhnya yang kecil.
"Dari ciri-ciri para korban, hamba menduga kalau 
itu perbuatan orang yang tengah menuntut ilmu hitam
Gusti Adipati," tebak Ki Wanengpati dengan sikap

hormat.
"Aku tidak ingin kejadian seperti ini terulang lagi, 
Paman."
"Hamba mengerti, Gusti," sahut Ki Wanengpati.
Adipati Antapara kembali bangkit berdiri. Semua
orang yang duduk di lantai di depannya, segera mem-
beri sembah dengan merapatkan kedua tangan di de-
pan hidung. Demikian pula Ki Wanengpati. Dia segera] 
bangkit berdiri dan membungkukkan tubuhnya, begitu 
Adipati Antapara beranjak meninggalkan ruangan yang 
berukuran sangat besar ini.
Setelah adipati berusia sekitar dua puluh lima ta-
hun itu lenyap di balik pintu, Ki Wanengpati bergegas
meninggalkan ruangan diikuti sepuluh orang pengawal
khususnya.
"Kalian berlima, segera jemput Waskita. Katakan
aku memanggilnya ke rumah," perintah Ki Wanengpati 
sambil menunjuk lima orang pengawalnya.
Kelima orang pengawal khususnya itu segera 
membungkuk memberi hormat, lalu bergegas berjalan 
cepat mendahului. Sedangkan Ki Wanengpati segera 
naik ke kuda yang dipegangi seorang pengawalnya. 
Dan lima orang pengawal khusus lainnya, bergegas 
naik pula ke kuda masing-masing. Tak lama kemu-
dian, mereka bergerak meninggalkan kadipatenan yang 
merupakan sebuah bangunan besar dan indah bagai 
istana ini.
***
"Duduklah, Waskita," perintah Ki Wanengpati begi-
tu Waskita datang menghadap.
Setelah memberi sembah menghormat, Waskita 
duduk di sebuah kursi, di seberang meja besar di ten

gah-tengah ruangan yang cukup luas ini. Sedangkan 
Ki Wanengpati duduk di seberangnya lagi. Tak ada 
orang lain di ruangan ini, kecuali mereka berdua.
"Kau tahu, mengapa aku memanggilmu ke sini, 
Waskita...?" agak dalam suara Ki Wanengpati.
"Tidak, Gusti," sahut Waskita, penuh rasa hormat.
"Seharusnya hari ini, kau dan aku pergi ke pondok 
Nyai Sureng. Aku ingin tahu hal yang sebenarnya dari
ceritamu. Bukannya tidak percaya, tapi Keris Kala 
Muyeng itu demikian penting bagiku. Bagi kelancaran 
semua cita-cita besarku, dan cita-cita kau juga, Waski-
ta. Tapi sesuatu telah terjadi. Aku yakin, kau juga su-
dah mengetahuinya," kata Ki Wanengpati tanpa men-
galihkan pandangannya dari wajah Waskita yang du-
duk di depannya, dengan sebuah meja besar menjadi 
pembatas di antara mereka.
"Hamba sudah mengetahuinya, Gusti. Hamba juga 
sudah melihatnya," sahut Waskita lagi.
"Sepuluh tahun aku berusaha mendapatkan benda 
itu, Waskita. Dan setelah ku peroleh, kini hilang kem-
bali. Aku tidak akan gundah seperti ini kalau tidak ter-
jadi peristiwa yang menggegerkan seluruh Kadipaten 
Patarukan," tutur KI Wanengpati lagi.
Waskita hanya diam saja.
"Waskita! Kau sudah mengikutiku selama tiga pu-
luh tahun lebih. Maka tentunya sudah tahu watak-
watak ku, bukan...? Aku hanya ingin kejujuranmu sa-
ja, Waskita. Dimana Keris Kala Muyeng sekarang bera-
da?"
"Ampunkan hamba, Gusti. Hamba tidak berhasil
memperolehnya dari tangan Nyai Sureng. Wanita itu 
mempertahankan keris yang dikatakannya belum sele-
sai. Keris itu pasti masih berada di tangannya, Gusti," 
sahut Waskita seraya merapatkan kedua tangan di de

pan hidung.
"Kau tahu, Waskita. Keris itu bisa membawa mala 
petaka jika pemegangnya tidak mampu mengalahkan
kekuatan yang terkandung di dalamnya. Keris itu akan
menjadi sebuah senjata pusaka yang maha dahsyat.
Bahkan akan kuberi gelar, Pusaka Penyebar Maut
yang tak ada tandingannya di dunia ini. Tapi, keris itu
juga bisa membahayakan pemegangnya yang tak dapat 
sempurna menguasainya. Kekuatan yang ada di dalam 
keris itu dapat mempengaruhi jiwa pemegangnya, se-
hingga tidak dapat mengendalikan diri lagi," Ki Wa-
nengpati menjelaskan keburukan dari Keris Kala 
Muyeng.
Sedangkan Waskita hanya diam saja, dengan kepa-
la tertunduk. Ki Wanengpati bangkit berdiri, lalu berja-
lan memutari meja besar itu. Langkahnya baru ber-
henti setelah berada sekitar lima depa lagi disamping 
Waskita.
"Hanya kau yang tahu tentang benda itu, Waskita. 
Aku tidak ingin berselisih denganmu, dan aku juga ti-
dak ingin kau menjadi makhluk liar yang dapat mem-
bahayakan semua orang," kata Ki Wanengpati lagi.
'Tapi hamba tidak berdusta, Gusti. Hamba berani 
bersumpah...," kata Waskita mencoba meyakinkan 
orang tua ini.
"Aku ingin mempercayaimu, Waskita," ujar Ki Wa-
nengpati.
Waskita kembali terdiam.
"Siapkan kudamu. Kita berangkat sekarang ke 
pondok Nyai Sureng," ujar Ki Wanengpati.
"Hamba, Gusti," sahut Waskita.
Bergegas Waskita bangkit berdiri, kemudian me-
langkah meninggalkan ruangan itu setelah membung-
kuk memberi hormat. Sedangkan Ki Wanengpati masih

berdiri memandangi sampai laki-laki separuh baya itu 
menghilang di balik pintu.
"Keris itu pasti sudah berada di tangan seseorang, 
dan sudah mengambil korban. Hhh..., sukar bagiku 
untuk bisa menghentikannya, kalau sudah begini.
Mudah-mudahan saja memang bukan Waskita yang 
memegangnya," desah Ki Wanengpati perlahan.
Sambil mengayun-ayunkan tongkatnya, laki-laki
tua itu melangkah meninggalkan ruangan ini. Dua 
orang penjaga di depan pintu, membungkukkan badan
ketika Ki Wanengpati melewatinya. Dia terus melang-
kah menuju ke luar. Di sana, Waskita sudah menung-
gu di atas punggung kudanya.
Matahari hampir tenggelam di balik bukit ketika Ki 
Wanengpati dan Waskita tiba di tepi hutan. Kedua la-
ki-laki itu memandangi onggokan gubuk kecil yang
terbakar hangus. Mereka berlompatan turun dari 
punggung kudanya, lalu melangkah menghampiri re-
runtuhan gubuk kecil yang sudah menjadi arang.
"Siapa yang melakukan ini, Waskita...?" tanya Wa-
nengpati seperti bertanya untuk diri sendiri.
Tentu saja Waskita tidak mungkin menjawab per-
tanyaan itu. Dia hanya diam saja, seraya melangkah 
semakin mendekati onggokan puing pondok Nyai Su-
reng yang sudah hangus terbakar. Dia ingat waktu 
meninggalkan pondok ini masih dalam keadaan utuh. 
Dan mayat Nyai Sureng juga tergeletak di tempat ku-
da-kuda mereka sekarang berpijak. Waskita menyi-
bakkan sebuah balok yang sudah hangus menghitam, 
dan sebagian sudah menjadi arang.
Tiba-tiba Waskita terkesiap, begitu melihat seben-
tuk tangan yang hitam menyembul keluar dari tumpu-
kan onggokan puing ini. Waskita langsung tahu, itu 
pasti tangan Nyai Sureng. Tapi di mana tubuhnya...?

Melihat keadaan gubuk yang sudah hangus terbakar, 
bisa diduga kalau Nyai Sureng pasti ikut terbakar ber-
sama gubuknya. Hanya saja yang menjadi pertanyaan 
sekarang, siapa yang meletakkan tubuh perempuan 
tua itu ke dalam gubuk, lalu membakarnya...?
"Dia sudah tewas," jelas Waskita perlahan, ketika 
disadari Ki Wanengpati sudah berada di sampingnya.
"Ayo, kita kembali ke kadipaten," ajak Ki Waneng-
pati.
'Tidak mencari kerisnya dulu?"
"Untuk apa...? Keris itu pasti sudah jatuh ke tan-
gan orang lain. Aku hanya bisa berharap, mudah-
mudahan dia bisa mengendalikannya."
Waskita hanya diam saja, dan masih berdiri me-
mandangi onggokan reruntuhan gubuk di depannya. 
Sementara Ki Wanengpati sudah berlalu, dan telah 
duduk di punggung kudanya. Entah, apa yang ada di 
dalam benak Waskita. Laki-laki setengah baya itu baru 
melangkah setelah Ki Wanengpati memanggilnya. Tak 
berapa lama kemudian, dua ekor kuda bergerak me-
ninggalkan tepi hutan itu.
"Siapa kira-kira yang melakukan itu, Waskita?"
tanya Ki Wanengpati setelah cukup jauh meninggalkan 
tepian hutan itu, untuk kembali ke Kadipaten Pataru-
kan.
"Hamba tidak tahu, Gusti," sahut Waskita perla-
han.
"Seharusnya, aku memang mencari keris itu kalau 
sudah jatuh ke tangan orang lain, rasanya sulit men-
dapatkannya kembali. Hhh...," nada suara Ki Waneng-
pati terdengar agak mendesah, seolah berbicara pada 
diri sendiri.
Sedangkan Waskita hanya diam saja, sambil men-
gendalikan kudanya agar tetap berada di samping ku

da laki-laki tua ini. Sukar diterka apa yang ada di da-
lam benaknya. Pandangannya begitu kosong, lurus ke 
depan. Seperti ada yang tengah mengganjal di hatinya 
saat ini.
"Kau tahu, Waskita. Peristiwa yang menimpa ke-
luarga pengurus kuda itu membuatku jadi berpikir”
ujar Ki Wanengpati lagi.
"Apakah ada sesuatu yang aneh, Gust?" tanya 
Waskita.
"Peristiwa aneh..,, Aku merasa kalau keris itu be-
rada dekat denganku. Tapi...," Ki Wanengpati memu-
tuskan kalimatnya.
"Apakah kematian mereka ada hubungannya den-
gan Keris Kala Muyeng, Gusti?" tanya Waskita.
"Belum bisa dipastikan. Tapi ciri-cirinya sangat 
persis. Pemegang keris itu akan selalu mencari korban 
dan meminum darahnya. Semua itu terjadi karena jiwa 
si pemegang keris dipengaruhi kekuatan Keris Kala 
Muyeng. Semakin banyak darah didapatkannya, maka 
kekuatannya semakin bertambah besar. Hingga akhir-
nya, tak ada satu kekuatan pun di dunia ini yang da-
pat menandinginya. Keris itu membutuhkan empat pu-
luh darah manusia dalam waktu cepat. Dan setelah 
itu, setiap hari harus meminum darah orang. Paling ti-
dak, satu orang dalam sehari. Hhh... Dunia ini akan 
hancur kalau tidak segera dihentikan, Waskita. Tapi 
aku tidak tahu cara menghentikannya. Kecuali, harus 
mendapatkannya kembali, lalu ku sempurnakan hing-
ga tidak lagi liar dan merugikan orang banyak," jelas Ki 
Wanengpati panjang lebar. Ada sedikit keluhan pada 
nada suaranya.
Sedangkan Waskita tetap diam sambil mengendali-
kan kudanya agar tetap berada di samping Ki Waneng-
pati. Mereka terus mengendalikan kuda perlahan

lahan sambil membicarakan Keris Kala Muyeng. Dan 
setiap kali Ki Wanengpati membeberkan rahasia keris 
itu, Waskita selalu terdiam tercenung. Untung saja Ki 
Wanengpati tidak memperhatikan sikapnya yang jadi 
nampak gelisah. Dan memang, benda yang sedang di-
percakapkan itu, sebenarnya ada pada Waskita!
***

EMPAT


Waskita menghempaskan tubuhnya di kursi pan-
jang dari bambu yang diserut halus, dan diberi warna 
kecoklatan. Nafasnya ditarik panjang-panjang, dan di-
hembuskannya kuat-kuat. Perlahan-lahan tangannya 
menarik sebilah keris yang sejak tadi tersembunyi di 
balik lipatan baju. Sebilah keris yang belum sempurna 
bentuknya, karena memang belum sempurna betul di-
buatnya. Baru saja keris itu hendak ditarik keluar dari 
warangka, tiba-tiba seorang gadis cantik muncul.
Waskita cepat-cepat menyimpan kembali senjata itu ke 
dalam lipatan bajunya.
"Kau sudah bangun sepagi ini, Paruta?" sapa 
Waskita mendahului gadis cantik berbaju ketat ber-
warna merah muda yang sudah berada dekat di de-
pannya.
Gadis itu hanya melemparkan senyuman saja, ke-
mudian duduk di samping laki-laki separuh baya ini.
"Ayah tidak pulang semalam. Ke mana saja sema-
laman?" lembut sekali terdengar nada suara gadis yang 
dipanggil Paruta ini.
"Ada sesuatu yang harus kubicarakan dengan Gus-
ti Wanengpati," sahut Waskita memberi alasan.
"Urusan keris itu lagi...?"
Waskita merentangkan tangannya, dan merangkul
pundak putrinya yang kelihatan memberengut. Paruta 
menjadi manja, langsung meletakkan kepalanya di ba-
hu laki-laki setengah baya ini. Gadis ini tahu kalau 
ayahnya tengah menghadapi persoalan berat tentang 
sebilah keris yang dinamakan Kala Muyeng. Sebuah 
senjata pusaka yang sangat dahsyat. Meskipun baru 
sekali Paruta melihat benda pusaka itu ketika sedang 
dibuat Nyai Sureng, tapi sudah bisa merasakan kedah-
syatan pamornya.
"Kudengar, keluarga pengurus kuda kadipaten te-
was dibunuh kemarin malam. Benar itu, Ayah...?" Pa-
ruta baru membuka suaranya lagi setelah cukup lama 
terdiam di dalam rangkulan ayahnya.
Waskita tidak langsung menjawab. Dihembuskan-
nya napas panjang, dan dilepaskannya rangkulan pada 
anaknya. Perlahan dia bangkit berdiri dan berjalan be-
berapa langkah. Laki-laki separuh baya itu berbalik, 
lalu menyandarkan punggungnya di tiang penyangga 
yang terbuat dari kayu berukir.
"Dari mana kau tahu hal itu, Paruta?" Waskita ma-
lah balik bertanya.
"Berita itu sudah tersebar luas. Kasihan.... Satu ke-
luarga tewas semua," sahut Paruta disusul desahan 
panjang. "Ayah tidak mencari pembunuhnya?"
"Urusan itu sudah ditangani petugas keamanan 
kadipaten. Aku tidak perlu turun tangan menanga-
ninya," sahut Waskita.
Waskita memandangi putrinya yang kelihatan ber-
baju rapi, seperti hendak melakukan perjalanan.
"Kau akan pergi, Paruta?" tanya Waskita membe-
lokkan arah pembicaraan.
"Ke Hutan Bambu Kuning untuk sedikit mele


maskan otot. Kudengar, di sana banyak hewan buruan 
Aku ingin mencoba berburu di sana," sahut Paruta se-
raya bangkit berdiri.
"Dengan siapa kau berburu?" tanya Waskita.
"Ayah ini seperti tidak tahu saja...."
'Sebaiknya kau membawa pengawal, Paruta. Hutan 
Bambu Kuning cukup jauh letaknya. Aku tidak ingin 
terjadi sesuatu padamu," ujar Waskita bernada khawa-
tir.
"Jangan khawatir. Aku bisa menjaga diri. Aku pergi 
dulu, Ayah."
"Berapa hari kau di sana?" tanya Waskita.
"Mungkin tiga atau empat hari. Tergantung kea-
daan saja," sahut Paruta enteng.
Setelah menjawab pertanyaan ayahnya, gadis itu 
bergegas melangkah pergi. Sedangkan Waskita hanya
memandangi saja kepergian anaknya. Memang, Paruta
sudah biasa berburu sendiri di hutan. Meskipun anak
tunggal, tapi Paruta tidak begitu manja. Dia seorang 
gadis yang cukup tegar, dan memiliki kepandaian cu-
kup tinggi. Sehingga, Waskita tidak pernah mence-
maskan setiap kali Paruta berpamitan hendak berbu-
ru, atau bepergian ke tempat lain seorang diri.
Tapi kali ini ada sesuatu yang lain dirasakan. 
Waskita kelihatan cemas atas kepergian anaknya kali 
ini. Hatinya khawatir kalau-kalau Paruta bertemu wa-
nita bertopeng kera yang sudah dua kali ini bertarung 
dengannya. Tapi, wanita bertopeng kera itu selalu saja 
dapat melarikan diri, di saat-saat yang sudah gawat.
Waskita jelas-jelas tidak ingin anaknya mendapat cela-
ka. Tapi, dia tidak mungkin menyuruh orang-orangnya 
menemani Paruta. Dia tahu betul watak anaknya yang 
keras.
Paruta memang paling tidak suka kalau kepergian

nya ditemani. Apa lagi dibuntuti secara diam-diam. 
Anggapannya, bila membawa pengawal hanya pantas 
dilakukan gadis-gadis lemah yang tidak mengenal ilmu 
olah kanuragan sedikit pun. Sedangkan dirinya cukup 
handal dalam ilmu olah kanuragan. Untuk menghada-
pi berandal-berandal jalanan saja, gadis itu masih 
sanggup menanganinya. Menyadari kalau dirinya 
punya kepandaian inilah, hingga membuatnya lebih 
senang bepergian sendiri, tanpa seorang pun pengawal 
menyertainya.
***
Malam kembali jatuh menyelimuti seluruh daerah 
Kadipaten Patarukan. Seperti malam-malam sebelum-
nya, suasana di kadipaten ini begitu sunyi. Tak terlihat 
seorang pun berada di luar rumah, kecuali para pe-
ronda yang kelihatan berada di beberapa sudut kota.
Di saat hampir semua orang sedang terlelap dalam 
buaian mimpi, terlihat sebuah bayangan berkelebat
cepat menyusup masuk ke dalam sebuah rumah dari 
atas atap. Belum lama bayangan itu menghilang, tiba-
tiba saja terdengar jeritan panjang melengking tinggi, 
sehingga membuat para peronda malam tersentak ka-
get Dua orang peronda yang kebetulan lewat di depan 
rumah itu, jadi terkejut.
Belum juga hilang keterkejutan mereka, mendadak 
saja dari dalam rumah itu berkelebat sebuah bayangan 
menjebol dinding rumah. Dua orang peronda itu terke-
siap. Namun belum sempat melakukan sesuatu, men-
dadak saja bayangan itu bergerak cepat. Dan...
Bet!
Cras!
"Aaa...!"

Jeritan-jeritan panjang terdengar saling susul. Ke-
mudian, terlihat dua orang peronda itu menggelepar di 
tanah dengan darah bercucuran dari lehernya. Bayan-
gan itu cepat menerkam salah seorang peronda dan 
menyembunyikan wajahnya di leher yang terkoyak ber-
lumur darah. Peronda itu menggelepar-gelepar seben-
tar, kemudian diam tak bergerak-gerak lagi.
Tak ada setetes darah pun yang melekat lagi. Sosok 
tubuh hitam itu berpindah kepada peronda lainnya la-
gi yang sudah tergeletak tak bernyawa. Tapi belum 
sempat menghirup darah dari peronda malang itu, ter-
lihat beberapa orang berlarian sambil membawa obor
dan senjata terhunus. 
"Ghrrr...!"
Sosok tubuh hitam itu menggeram. Matanya me-
merah menatap orang-orang yang berlarian menuju ke
arahnya. Sebentar ditatapnya darah yang keluar dari 
leher peronda itu, kemudian melesat cepat bagaikan 
kilat tanpa menghiraukan peronda yang sudah tewas 
dengan leher terkoyak lebar.
Mereka yang berdatangan langsung terkesiap meli-
hat dua orang peronda tergeletak tak bernyawa lagi. 
Lebih terkejut lagi, begitu mengetahui salah satu ru-
mah jebol dindingnya. Dan begitu diperiksa ke dalam, 
didapati dua sosok mayat tergeletak dengan leher ter-
koyak. Tak setetes pun darah terlihat, meskipun di ba-
gian lehernya terkoyak seperti koyakan taring binatang 
buas.
Pada saat sudah banyak orang berkumpul, Ki Wa-
nengpati baru datang menunggang kuda diiringi seki-
tar sepuluh orang pengawal khususnya. Orang yang 
berkerumun di sekitar rumah itu, bergegas menyingkir 
memberi jalan. Ki Wanengpati melompat turun dari 
punggung kuda dengan gerakan ringan sekali. Berge

gas, diterobosnya kerumunan itu untuk masuk ke da-
lam rumah yang jebol dindingnya, setelah melihat dua 
peronda yang tewas secara mengerikan.
"Keparat...!" desis Ki Wanengpati menggeram, begi-
tu mendapati di dalam rumah sudah tergeletak dua 
orang dengan leher terkoyak.
Semua orang yang ada di dalam rumah itu hanya 
tertunduk saja, seakan-akan tidak sanggup membalas
tatapan mata Ki Wanengpati yang memerah bagaikan 
sepasang bola api. Geraham laki-laki tua itu terus ber-
gemeletuk menahan kemarahan yang meluap. Peristi-
wa ini sudah dua kali terjadi. Dan semua korban yang 
tewas dalam keadaan sama. Leher terkoyak tanpa da-
rah sedikit pun terlihat di sekitarnya.
Kemarahan Ki Wanengpati timbul, karena tahu ka-
lau semua korban ini akibat Keris Kala Muyeng yang 
sekarang tidak jelas pemiliknya. Tapi yang jelas, keris
itu sekarang berada di tangan seseorang di Kadipaten 
Patarukan ini. Pada saat itu terdengar suara-suara ri-
but di luar. Ki Wanengpati bergegas melangkah keluar 
dari rumah ini.
Tampak dua orang laki-laki terhuyung-huyung ber-
lumuran darah. Mereka adalah dua orang dari pasu-
kan khusus laki-laki tua itu. Begitu berada di depan Ki 
Wanengpati, mereka langsung jatuh terguling, dengan 
seluruh tubuh berlumur darah.
"Ada apa ini...?" tanya Ki Wanengpati terkejut.
"Gusti..., dia.... Dia ada di perbatasan Timur...,” je-
las salah seorang terbata-bata.
Tanpa menunggu kalimat orang itu selesai, Ki Wa-
nengpati cepat melompat naik ke punggung kuda. Se-
puluh orang yang menyertainya, segera ikut berlompa-
tan naik ke kuda masing-masing. Mereka langsung 
menggebah cepat kudanya menuju ke perbatasan ti

mur. Sementara orang-orang yang berada di sekitar
rumah itu jadi sibuk.
Sementara Ki Wanengpati bersama sepuluh orang 
pengawalnya, terus memacu kudanya dengan kecepa-
tan tinggi. Jalan yang sepi, membuat mereka bisa lelu-
asa memacu cepat kudanya tanpa halangan sedikit 
pun. Sehingga dalam waktu tidak terlalu lama, mereka 
sudah sampai di gerbang perbatasan kota sebelah Ti-
mur.
"Setan...!" geram Ki Wanengpati begitu sampai.
Di gerbang Timur ini ternyata didapati beberapa 
tubuh bergelimpangan berlumuran darah. Mereka se-
mua adalah para prajurit yang bertugas menjaga ger-
bang perbatasan sebelah Timur. Ki Wanengpati berge-
gas melompat turun dari punggung kudanya. Tapi ba-
ru saja kakinya menjejak tanah, mendadak saja berke-
lebat sebuah bayangan hitam. Orang tua berbaju putih 
agak ketat itu cepat melompat mundur beberapa lang-
kah. Tahu-tahu di depannya sudah berdiri seseorang 
bertubuh ramping. Wajahnya mengenakan topeng ber-
bentuk wajah kera.
"Siapa kau...?!" bentak Ki Wanengpati.
Ki Wanengpati teringat cerita Waskita, orang keper-
cayaannya yang mengetahui tentang Keris Kala 
Muyeng. Dia pernah mengatakan, kalau ada seseorang 
yang mengenakan topeng kera menolong Nyai Sureng 
yang tidak bersedia menyerahkan senjata pusaka itu. 
Dan sekarang di depannya telah berdiri seorang bertu-
buh ramping yang mengenakan topeng kera untuk 
menutupi wajah aslinya.
"Kau yang bernama Ki Wanengpati, penasihat Adi-
pati Patarukan?" wanita bertopeng kera itu malah balik 
bertanya.
"Benar! Dari mana kau tahu tentang diriku?"
"Kau orang pintar dan ternama di kadipaten ini Ki 
Wanengpati. Tapi begitu mudah dibodohi bawahan mu
sendiri," terasa sinis nada suara orang bertopeng kera 
itu.
"Apa maksudmu berkata seperti itu, Nisanak?" de-
sis Ki Wanengpati kurang senang.
"Kau menginginkan Keris Kala Muyeng. Padahal, 
keris itu sudah ada di depan matamu. Tapi kau begitu 
bodoh, sehingga matamu buta."
"Heh...?!"
Ki Wanengpati terkejut setengah mati mendengar 
kata-kata wanita bertopeng kera itu. Benar-benar sulit 
diduga kalau orang bertopeng kera yang berdiri di de-
pannya ini mengetahui tentang keris pusaka penyebar 
maut yang kini membuat masalah besar bagi dirinya.
"Kau pasti menduga kalau aku yang memilikinya.
Tapi, sebenarnya orang kepercayaanmulah yang me-
megang keris itu," jelas wanita bertopeng kera itu lagi.
Setelah berkata demikian, dengan cepat sekali wa-
nita bertopeng kera itu melesat pergi. 
"Hei, tunggu...!" sentak Ki Wanengpati. 
Tapi orang bertopeng kera itu sudah lebih dahulu
menghilang, sebelum Ki Wanengpati melompat menge-
jar. Laki-laki tua itu hanya bisa bengong merayapi ke-
gelapan yang semakin pekat. Saat itu juga pikirannya 
tertuju pada Waskita. Kata-kata orang bertopeng itu 
sudah jelas maknanya, dan tertuju pada Waskita. Me-
mang tidak ada lagi orang yang tahu tentang keris itu 
selain Waskita dan dirinya sendiri. Atau, ada orang 
lain lagi?
***
Ki Wanengpati menghempaskan tubuhnya di kursi

panjang yang berbantal empuk berisi kapuk randu. 
Dia benar-benar tidak tahu, siapa wanita bertopeng 
kera yang menemuinya tadi di perbatasan Timur. Tapi 
kata-katanya terus terngiang, mengganggu telinganya. 
Meskipun sebenarnya Ki Wanengpati sudah curiga ka-
lau Waskita tidak berkata jujur, tapi masih belum begi-
tu percaya kalau Waskita mengkhianatinya.
Waskita sudah ikut bersamanya sejak masih beru-
sia sepuluh tahun. Dan ilmu-ilmu olah kanuragan 
yang dimilikinya semua berasal dari laki-laki tua ini. 
Bagi Ki Wanengpati, Waskita bukan hanya sekadar 
pengikut dan murid yang terdekat dan dapat diper-
caya. Tapi juga anak angkat yang paling disayangi. Ra-
sanya, memang tidak mungkin kalau Waskita tega 
mengkhianatinya hanya karena sebilah keris.
"Masuk...!" seru Ki Wanengpati ketika mendengar 
ketukan halus di pintu.
Pintu yang terbuat dari kayu jati berukir itu terbu-
ka perlahan. Seorang laki-laki muda berusia sekitar 
dua puluh tiga tahun, melangkah masuk. Tubuhnya 
membungkuk memberi hormat dengan merapatkan 
kedua tangan di depan hidung.
"Ada apa?" tanya Ki Wanengpati.
"Gusti Adipati datang hendak bertemu, Gusti Wa-
nengpati," sahut pemuda itu memberi tahu.
Ki Wanengpati menggerinjang bangkit berdiri, lalu
bergegas melangkah ke luar. Pemuda itu cepat-cepat 
membungkukkan tubuhnya memberi hormat begitu Ki
Wanengpati melewatinya. Dia juga bergegas mengikuti
keluar dan menutup pintu kembali. Sementara Ki Wa-
nengpati terus melangkah cepat menuju ruangan de-
pan.
Sampai di sana, tampak seorang pemuda berpa-
kaian indah dari bahan sutra halus tengah duduk


dengan anggunnya. Ki Wanengpati segera berlutut
memberi hormat seraya merapatkan kedua telapak
tangan di depan hidung. Pemuda itu mengangkat tan-
gan kanannya sedikit, dan meminta laki-laki tua ini
duduk di sampingnya. Setelah memberi hormat, Ki 
Wanengpati kemudian duduk di kursi di samping pe-
muda berwajah tampan ini.
"Ada apakah gerangan Gusti Adipati berkunjung di 
pagi buta begini!?" tanya Ki Wanengpati dengan sikap 
penuh rasa hormat.
"Kudengar ada pembantaian lagi semalam," kata 
Adipati Antapara yang masih berusia muda ini.
"Benar, Gusti," sahut Ki Wanengpati.
"Sebenarnya apa yang terjadi, Ki Wanengpati?" 
tanya Adipati Antapara meminta penjelasan.
Ki Wanengpati tidak langsung menjawab. Memang 
terlalu sukar baginya menjawab pertanyaan itu. Kare-
na, dia sendiri masih belum yakin, apa sebenarnya 
yang tengah terjadi di kadipaten ini. Meskipun, sudah 
diduga kalau semua peristiwa berdarah ini berawal da-
ri sebuah senjata pusaka. Dan senjata itu bersumber 
dari dirinya sendiri. Mungkin kalau saja benda yang 
didapat dari sebuah gua di dalam hutan di Bukit Pata-
rukan tidak diberikan pada Nyai Sureng, bencana ini 
tidak akan pernah terjadi.
"Aku tidak ingin kau menyembunyikan sesuatu
padaku, Ki Wanengpati," desak Adipati Antapara.
"Siapa sebenarnya yang memiliki Keris Kala 
Muyeng itu?"
Bagai tersambar petir, Ki Wanengpati terperanjat 
mendengar pertanyaan Adipati Antapara barusan. 
Sungguh tidak disangka kalau adipati berusia muda 
ini sudah tahu tentang Keris Kala Muyeng yang selama 
ini menjadi rahasianya yang tertutup rapat. Keterkejutannya ini membuat Ki Wanengpati jadi terdiam, tak 
mampu berkata-kata lagi. Dan kepalanya hanya ter-
tunduk, seakan-akan tidak sanggup membalas tatapan 
Adipati Antapara yang cukup tajam.
Cukup lama juga Ki Wanengpati terdiam dengan 
kepala tertunduk menekuri lantai. Sedangkan Adipati 
Antapara terus memperhatikannya tanpa berkedip. 
Beberapa saat kemudian, perlahan laki-laki tua yang 
memegang tongkat itu mengangkat kepalanya. Pan-
dangannya langsung tertumbuk pada sorot mata Adi-
pati Antapara yang terus menatap tanpa berkedip.
"Aku tahu maksudmu baik, Ki. Kau ingin membe-
rikan keris itu padaku, sebagai tanda bakti mu. Kau 
ingin memberikannya, tepat di saat aku berusia dua 
puluh lima tahun. Niatmu benar-benar kuhargai, Ki.
Karena sampai kini, aku memang tidak memiliki satu 
pegangan pusaka apa pun juga. Tapi, alangkah baik-
nya jika hal itu kau bicarakan dulu sebelumnya pada-
ku. Paling tidak, aku bisa mempersiapkan diri terlebih 
dahulu untuk menerima anugerah besar itu," tutur 
Adipati Antapara.
"Ampunkan hamba, Gusti Adipati. Bukannya hen-
dak menyusahkan Gusti Adipati. Hamba hanya ber-
maksud membuat suatu kejutan, yang tidak pernah 
diduga," jelas Ki Wanengpati seraya memberikan sem-
bah dengan merapatkan kedua tangan di depan hi-
dung.
"Kau memang sudah memberi ku kejutan besar
Ki," ucap Adipati Antapara, tetap lembut suaranya. 
Ki Wanengpati kembali memberikan sembah.
"Ah, sudahlah.... Lupakan saja itu, Ki. Yang pent-
ing sekarang, bagaimana menemukan orang yang me-
megang keris itu. Aku tidak ingin rakyat ku terus-
menerus jadi korban kebuasan Keris Kala Muyeng. Ka

laupun mungkin, harus dihentikan secepatnya," tegas 
Adipati Antapara.
Ki Wanengpati terdiam sesaat, kemudian menceri-
takan awal dari semua peristiwa berdarah ini. Waktu 
itu dia dan Waskita melakukan semadi di dalam se-
buah gua, di dalam Hutan Patarukan. Dalam sema-
dinya itu, dipanjatkannya sebuah harapan pada Hyang 
Widi agar dianugrahi sebuah benda yang dapat diper-
sembahkan pada junjungannya yang akan memasuki 
usia seperempat abad. Memang tidak mudah. Berta-
hun-tahun lamanya semadi dilakukan setiap kali 
muncul bulan purnama. Hingga akhirnya, sang Dewa
mengabulkan juga permohonan itu. Dewata memberi-
kan sebongkah batu hitam yang harus ditempa menja-
di sebilah keris. Dan keris itu harus diberi nama Kala 
Muyeng. Sebuah pusaka yang juga bergelar Pusaka 
Penyebar Maut jika tidak mampu menguasainya den-
gan benar.
Hanya dia dan Waskita yang tahu, ditambah Paru-
ta, anak gadis tunggalnya. Ki Wanengpati memberi 
benda itu pada Nyai Sureng yang dikenal sebagai pem-
buat benda-benda pusaka. Entah kenapa, Nyai Sureng 
ditemukan tewas. Dan bahkan keris pusaka itu lenyap. 
Hanya itu yang diketahui Ki Wanengpati, hingga ak-
hirnya terjadi peristiwa berdarah ini. Peristiwa yang ti-
dak pernah diinginkan sama sekali.
"Ampunkan hamba, Gusti. Kalau boleh hamba ta-
hu, dari mana Gusti Adipati mengetahui tentang keris 
itu?" tanya Ki Wanengpati pada akhir ceritanya.
"Seseorang memberitahu ku," sahut Adipati Anta-
para.
"Seseorang...? Siapa dia, Gusti?" tanya Ki Waneng-
pati lagi.
"Sayang sekali, dia tidak menyebutkan namanya.

Dia hanya mengatakan, semua musibah berdarah 
ini berpangkal dari sebilah keris. Dan jika ingin menge-
tahuinya lebih jelas lagi, aku harus menanyakannya 
padamu. Di samping itu pula, aku telah mendapat 
wangsit dari Dewata agar dapat menguasai keris itu," 
jelas Adipati Antapara.
"Oh.... Adakah satu kesalahan yang kuperbuat se-
hingga terjadi malapetaka ini, Gusti...?" desah Ki Wa-
nengpati.
"Ya! Kau terlalu percaya pada Waskita," sahut Adi-
pati Antapara tegas.
"Maksud, Gusti...?" Ki Wanengpati tidak mengerti.
"Adakalanya kita buta, dan terlalu percaya pada 
seseorang yang sewaktu-waktu dapat mengkhianati 
dan menikam dari belakang. Sebenarnya, aku sudah 
tahu orang yang memiliki keris itu sekarang," jelas 
Adipati Antapara lagi.
"Oh, benarkah...?" Ki Wanengpati terkejut setengah 
mati.
"Orang itu mengatakannya padaku. Tapi, aku be-
lum mau mempercayainya dengan penuh. Dan aku in-
gin mendengar cerita seluruhnya lebih jelas darimu. 
Tapi setelah mendengar semua cerita yang sebenarnya, 
aku begitu yakin kalau keris itu ada pada Waskita saat 
ini."
"Gusti, apakah orang yang memberi tahu itu men-
genakan topeng kera?" tanya Ki Wanengpati lagi. 
"Benar! Kau juga sudah bertemu dengannya?"
"Ya, sekali."
"Aku rasa tujuannya sama denganmu, Ki. Dan aku 
yakin, maksudnya adalah baik. Hanya saja kepan-
daiannya tidak cukup untuk merebut keris itu dari 
tangan Waskita. Dan aku sendiri tidak yakin dapat me-
lakukannya, mengingat keris itu bukan senjata semba

rangan. Kekuatannya dapat menguasai jiwa peme-
gangnya dengan penuh, sehingga sukar ditandingi." 
"Apa yang harus kita lakukan, Gusti?" 
"Aku kira, kita memerlukan seorang pendekar yang 
memiliki kepandaian tinggi untuk menghadapi Waski-
ta, Ki."
"Siapa pendekar yang mampu menandingi Keris 
Kala Muyeng? Keris itu sudah berlumur darah. Dan 
semakin banyak darah yang didapatkan, semakin kuat 
saja pengaruhnya. Hamba rasa, tidak ada seorang 
pendekar pun yang sanggup menandinginya, Gusti," 
ada sedikit keluhan pada nada suara Ki Wanengpati. 
"Hanya satu, Ki." 
"Siapa...?"
"Pendekar Pulau Neraka." 
"Pendekar Pulau Neraka...?!"
***
LIMA


Sepeninggal Adipati Antapara, Ki Wanengpati ber-
gegas ke rumah Waskita. Tapi, laki-laki tua itu tidak 
mendapati anak angkat yang juga murid dan orang 
kepercayaannya di situ. Para pekerja di sana hanya 
mengatakan kalau junjungannya pergi sejak kemarin, 
dan belum kembali sampai hari ini. Dan rupanya ke-
pergian Waskita sudah mempertebal keyakinan Ki Wa-
nengpati kalau keris itu memang berada di tangan mu-
ridnya, yang sekaligus juga anak angkatnya.
"Pendekar Pulau Neraka.... Hhh! Ke mana harus 
kucari pendekar kelana itu...?" desah Ki Wanengpati
dalam hati, saat dalam perjalanan setelah keluar dari

rumah Waskita.
Laki-laki tua itu mengendalikan kudanya agar ber-
jalan perlahan-lahan. Otaknya terus bekerja keras, un-
tuk mencari upaya mengatasi persoalan yang semakin 
rumit ini. Sudah dapat dipastikan kalau Keris Kala 
Muyeng sekarang berada di tangan Waskita. Dan kor-
ban-korban yang jatuh sudah dapat pula dipastikan 
akibat perbuatan Waskita yang seluruh jiwa raganya
sudah dikuasai kekuatan senjata pusaka itu. Sebuah 
senjata yang kini sudah benar-benar menjadi sebuah 
pusaka penyebar maut. Dan Ki Wanengpati tahu, 
Waskita tidak dapat mengendalikannya sehingga men-
jadi liar. 
Slap!
"Heh...?!"
Ki Wanengpati terkejut ketika tiba-tiba melesat se-
buah bayangan hitam di depannya. Cepat tali kekang 
kudanya ditarik hingga berhenti melangkah. Tahu-
tahu di depannya kini sudah berdiri seorang wanita 
bertubuh ramping, dengan wajah ditutupi topeng ber-
bentuk wajah kera.
"Hup!"
Ki Wanengpati cepat melompat turun dari pung-
gung kudanya. Gerakannya begitu ringan. Dan tanpa 
menimbulkan suara sedikit pun, kakinya mendarat 
sekitar enam langkah lagi di depan wanita bertopeng 
kera itu. Ki Wanengpati menjura memberi salam peng-
hormatan, sebagaimana layaknya orang rimba persila-
tan. Dan wanita bertopeng kera itu juga membalas 
dengan menjura.
"Nisanak. Apa tidak sebaiknya kau membuka to-
pengmu, sebelum kita berbicara," ujar Ki Wanengpati 
dengan sikap hormat.
"Apakah itu perlu, Ki Wanengpati?" tanya wanita

bertopeng kera.
"Tentu, jika kau bermaksud baik," sahut Ki Wa-
nengpati. "Aku yakin, niat dan tujuanmu sama den-
ganku. Kau pasti tidak ingin melihat kehancuran kadi-
paten ini oleh orang tak bertanggung jawab."
Wanita bertopeng kera itu terdiam. Perlahan tan-
gan kanannya diangkat. Lalu, dilepaskannya topeng 
kera yang selama ini selalu menutupi wajahnya. Ter-
nyata, di balik topeng buruk itu tersembunyi seraut 
wajah cantik, dengan kulit wajah putih halus.
"Jika aku tidak salah, kaukah Anggraini..?" agak 
ragu-ragu nada suara Ki Wanengpati.
"Benar. Aku Anggraini, murid tunggal Nyai Su-
reng," wanita itu memperkenalkan diri.
Gadis cantik itu memang Anggraini, murid tunggal 
Nyai Sureng. Seorang wanita tua pembuat senjata pu-
saka. Dan sebelum menjadi murid Nyai Sureng, 
Anggraini pernah tinggal di sebuah padepokan milik 
adik sepupu perempuan tua itu. Sehingga tidak heran
kalau tingkat kepandaiannya jauh lebih tinggi daripada 
Nyai Sureng sendiri. Memang, sebenarnya Nyai Sureng 
tidak pandai dalam ilmu olah kanuragan, tapi hanya 
ahli dalam pembuatan senjata saja. Anggraini sebe-
narnya hanya ingin memperdalam pengetahuan di bi-
dang senjata pusaka, sebelum terjun ke dalami rimba 
persilatan yang terkenal ganas dan penuh tipu daya.
"Kenapa kau muncul secara sembunyi-sembunyi 
begitu? Kau bisa datang padaku, dan bisa membicara-
kan persoalannya secara terus terang. Sehingga, kita
bisa mengambil jalan keluar yang terbaik," kata Ki
Wanengpati agak menyesalkan tindakan Anggraini
yang main sembunyi-sembunyi.
"Maaf. Hal ini terpaksa kulakukan sebelum yakin 
benar, siapa kawan dan lawan yang sesungguhnya,"

ucap Anggraini beralasan.
"Aku mengerti, Anggraini. Dan sekarang, apa tang-
gapanmu mengenai diriku?"
"Semula, aku mengira kau sama dengan Paman 
Waskita. Tapi ternyata dugaanku keliru. Maafkan aku, 
Ki."
"Sudahlah..., tidak perlu dipersoalkan lagi. Yang 
penting sekarang, persoalan ini harus ditangani sebe-
lum meluas. Gusti Adipati sendiri tidak menginginkan 
adanya jatuh korban lebih banyak lagi. Aku sudah di-
tugaskan untuk menyelesaikan semuanya dengan ca-
raku sendiri."
"Persoalannya tidak semudah itu, Ki," sanggah 
Anggraini.
"Aku tahu, kita berdua memang tidak akan mampu 
menghadapi Waskita yang memegang Keris Kala 
Muyeng. Tapi, kita masih punya harapan jika bisa 
mengundang Pendekar Pulau Neraka ke sini." 
"Dia sudah ada di sini, Ki." 
"Sudah ada...?!"
***
Belum lagi hilang rasa terkejut Ki Wanengpati, tiba-
tiba saja dari atas sebatang pohon yang cukup tinggi, 
melesat sebuah bayangan kuning, tepat ketika 
Anggraini menjentikkan ujung jarinya di samping te-
linga. Dan tahu-tahu di samping gadis itu sudah berdi-
ri seorang pemuda tampan berbaju kulit harimau. Pe-
muda itu membungkukkan tubuhnya sedikit, yang 
langsung dibalas Ki Wanengpati.
"Kau pasti mengenalinya, Ki. Inilah Pendekar Pulau 
Neraka. Dan biasanya, dipanggil Bayu," jelas Anggraini 
memperkenalkan pemuda di samping kanannya.


Pemuda tampan berbaju kulit harimau itu hanya 
tersenyum saja. Dia memang Bayu yang di kalangan
rimba persilatan lebih dikenal berjuluk Pendekar Pulau 
Neraka. Sedangkan Ki Wanengpati seperti belum per-
caya kalau yang berdiri di depannya ini adalah Pende-
kar Pulau Neraka. Diperhatikannya pemuda itu dari 
ujung rambut hingga ke ujung kaki.
"Bagaimana mungkin kau bisa mengundangnya 
demikian cepat, Anggraini?" tanya Ki Wanengpati ma-
sih merayapi pemuda berbaju kulit harimau di depan-
nya.
"Kebetulan Kakang Bayu sedang berkunjung ke
Padepokan Eyang Badranaya. Jadi, tidak terlalu sukar
bagiku untuk memintanya datang ke sini. Dan ten-
tunya, aku juga meminta izin dulu pada Gusti Adipati," 
jawab Anggraini kalem.
Ki Wanengpati terdiam, sambil tetap memperhati-
kan pemuda berbaju kulit harimau yang berdiri di 
samping Anggraini. Dia tahu kalau Eyang Badranaya 
yang disebutkan tadi adalah adik sepupu Nyai Sureng, 
tempat Anggraini pernah mempelajari ilmu olah kanu-
ragan. Dan padepokan Eyang Badranaya memang su-
dah terkenal di seluruh wilayah Kadipaten Patarukan, 
karena letaknya memang tidak seberapa jauh dari ibu-
kota kadipaten.
"Semuanya sudah kuceritakan pada Kakang Bayu, 
Ki. Tapi mungkin masih ada yang ingin kau katakan, 
biar segalanya lebih jelas," kata Anggraini lagi. "Bukan 
begitu, Kakang?"
'Memang sebaiknya, aku tahu dari sumbernya," 
sahut Bayu kalem.
"Sumber malapetaka ini memang aku. Tapi, itu ti-
dak akan terjadi jika Waskita tidak mengkhianatiku," 
jelas Ki Wanengpati.

'Tapi itu bukan semata-mata kesalahanmu, Ki," 
ujar Anggraini bernada menghibur.
"Bagaimanapun juga, aku yang harus bertanggung-
jawab. Tapi aku tidak tahu, apa yang harus kulakukan 
sekarang. Sekarang pun aku tidak tahu, di mana 
Waskita berada," ada nada keluhan dalam suara Ki 
Wanengpati.
"Apa tidak ada di rumahnya, Ki?" selak Bayu.
"Aku tadi baru dari sana. Dia tidak pulang sejak 
kemarin," sahut Ki Wanengpati.
"Sepertinya, persoalan ini semakin bertambah sulit 
saja, Kakang," kata Anggraini perlahan.
Bayu belum menjawab, ketika tiba-tiba terdengar 
suara mencerecet dari atas pohon. Ki Wanengpati dan 
Anggraini mendongak ke atas. Pada saat itu, seekor 
monyet kecil berbulu hitam melompat turun dari atas
pohon, dan langsung hinggap di bahu Pendekar Pulau
Neraka. Monyet kecil itu mencerecet ribut sambil ber-
jingkrakan di bahu pemuda berbaju kulit harimau ini.
"Ada apa, Tiren?" tanya Bayu. 
"Nguk! Nguk! Argkh...!"
"Tiren ingin menunjukkan sesuatu," jelas Bayu se-
perti mengerti saja tingkah dan cerecet monyet kecil
ini.
Setelah berkata demikian, Pendekar Pulau Neraka
langsung melesat pergi. Anggraini juga bergegas men-
gikuti. Sedangkan Eyang Wanengpati yang kembali
terkesiap, jadi terbengong beberapa saat. Kemudian
laki-laki itu cepat melompat mempergunakan ilmu me-
ringankan tubuhnya. Tidak dipedulikan lagi kudanya 
yang ditinggalkan begitu saja.
Sementara Bayu terus berlari cepat mengikuti pe-
tunjuk monyet kecil yang duduk di pundaknya. Tidak 
jauh di belakang, tampak Anggraini berlari cepat

mempergunakan seluruh kemampuan ilmu meringan-
kan tubuhnya, untuk mengimbangi kecepatan lari pe-
muda berbaju kulit harimau itu. Sedangkan Ki Wa-
nengpati sudah bisa mensejajarkan larinya di samping
Anggraini.
Setelah cukup jauh berlari, akhirnya mereka sam-
pai di tepi sebuah jurang yang tidak seberapa besar 
dan tidak seberapa dalam. Sedangkan pada dasarnya
terlihat air mengalir deras sekali diantara bebatuan.
Monyet kecil yang ada di pundak Bayu, tidak lagi men-
cerecet ribut. Sedangkan Bayu mengarahkan pandan-
gan ke seberang jurang. Saat itu, Anggraini dan Ki 
Wanengpati sudah sampai. Mereka kini berdiri menga-
pit Pendekar Pulau Neraka.
"Ada apa di seberang jurang sana, Kakang?" Tanya 
Anggraini seraya mengarahkan pandangan ke seberang 
jurang di depannya.
"Aku akan memeriksanya ke sana," sahut Bayu.
"Kau akan melompatinya?" tanya Anggraini lagi.
Bayu hanya tersenyum saja. Sebentar perhatian-
nya dipusatkan, lalu melesat cepat melompati jurang 
itu. Beberapa kali Pendekar Pulau Neraka melakukan 
putaran manis, hingga akhirnya berhasil mendarat di 
seberang sana. Sesampainya di seberang, Bayu mena-
tap Anggraini dan Ki Wanengpati yang masih berdiri 
saja di tempatnya. Mereka seakan ragu-ragu hendak 
melompati jurang ini.
"Ayo, cepat..!" teriak Bayu dari seberang.
"Kau saja, Kakang. Biar kami menunggu di sini!" 
sahut Anggraini.
"Baiklah, sebentar aku kembali!"
Bagaikan kilat Bayu melesat cepat dan menghilang 
ditelan lebarnya pepohonan di seberang jurang sana. 
Sementara Anggraini dan Ki Wanengpati menunggu di

seberang lainnya.
***
Sementara itu Bayu semakin jauh masuk ke dalam
hutan menjauhi jurang yang membelah Bukit Pataru-
kan ini menjadi dua bagian. Monyet kecil berbulu hi-
tam yang terus berada di pundaknya, selalu menun-
jukkan arah yang harus ditempuh Pendekar Pulau Ne-
raka.
Pemuda berbaju kulit harimau itu baru berhenti 
setelah tiba di depan sebuah pondok kecil yang cukup 
tersembunyi, dalam lebatnya hutan di Bukit Patarukan 
ini. Perlahan kakinya melangkah mendekati. Tak ter-
dengar suara sedikit pun, kecuali bunyi bergemerisik
dedaunan kering tersepak kakinya saat melangkah
perlahan mendekati pondok di depannya.
Wusss! 
"Uts!"
Tiba-tiba saja sebatang tombak panjang melesat
cepat dari dalam pondok kecil itu, tepat ketika tinggal
enam langkah lagi Bayu mencapai pintunya. Pendekar
Pulau Neraka cepat-cepat menarik tubuhnya ke kanan, 
maka tombak itu hanya lewat sedikit saja di samping
tubuhnya. Begitu kerasnya tombak itu meluncur, se-
hingga sampai terbenam dalam begitu menancap di
batang pohon.
"Mau apa kau ke sini...?" tiba-tiba saja terdengar 
suara keras menggelegar dari dalam pondok kecil itu.
"Aku pengembara yang ingin berteduh. Apakah ti-
dak boleh beristirahat di sini barang sejenak?" Bayu 
menyambuti dengan suara lantang juga.
"Ini bukan tempat persinggahan. Sebaiknya cepat 
pergi sebelum terjadi sesuatu pada dirimu!"

"Aku tidak akan mengganggu. Hanya istirahat se-
bentar."
"Bocah setan...! Pergi cepat! Jangan sampai kesa-
baranku habis...!"
Bayu tertegun sejenak mendengar kata-kata yang 
begitu kasar, dan tak ada sedikit pun nada persahaba-
tan. Meskipun kehadirannya tidak disukai, tapi Pende-
kar Pulau Neraka tetap berdiri tegak di depan pintu 
pondok ini. Sementara, monyet kecil yang tadi berada 
di pundak Bayu kini sudah berada di atas atap pondok 
itu.
Monyet kecil yang bernama Tiren itu berjingkrakan 
sambil mencerecet di atas atap. Kedua tangannya 
mencabik-cabik atap yang terbuat dari alang-alang 
kering. Bayu sendiri tidak mengerti maksud tingkah 
monyet kecil itu. Seakan-akan, Tiren sengaja membuat 
keributan dan merusak pondok kecil ini
"Setan alas! Siapa yang merusak atap pondok 
itu..?!" bentak suara itu terdengar menggeram.
Tapi Tiren tidak mempedulikan dengan bentakan 
tadi. Binatang itu terus mencerecet ribut sambil mem-
porak-porandakan atap pondok. Namun mendadak sa-
ja atap pondok itu jebol, tepat ketika Tiren melompat 
cepat dan kembali hinggap di pundak Bayu. Monyet 
kecil itu kembali melompat, dan hinggap di cabang po-
hon yang cukup tinggi. Dia terus mencerecet ribut 
sambil berjingkrakan.
Slap...!
Tiba-tiba saja dari dalam pondok melesat sebuah 
bayangan hitam, langsung meluruk deras ke arah mo-
nyet kecil yang mencerecet berjingkrakan di atas da-
han pohon. Melihat jiwa monyet kecil itu terancam, 
Bayu tidak tinggal diam begitu saja. Cepat tubuhnya 
melenting, memapak arus bayangan hitam itu. Secepat

kilat pula, Pendekar Pulau Neraka melepaskan satu 
pukulan disertai pengerahan tenaga dalam tidak pe-
nuh.
"Yeaaah...!" 
"Ufh! Yeaaah...!"
Bayangan hitam itu berputar ke belakang, sehingga 
membuat pukulan Bayu hanya menyambar angin ko-
song saja. Secara bersamaan mereka menjejakkan kaki 
di tanah. Kini, sekitar satu batang tombak di depan 
Bayu telah berdiri seseorang mengenakan baju ketat 
warna hitam pekat. Wajahnya sukar dikenali karena 
hampir tertutup rambut yang teriap panjang tak tera-
tur.
Bayu melangkah mundur beberapa tindak tanpa 
berkedip memperhatikan sosok tubuh berbaju hitam, 
cukup ketat di depannya. Seluruh kulit tangan, dada
dan wajahnya penuh benjolan seperti bisul berwarna
kemerahan. Tatapan matanya begitu tajam, memerah
bagaikan sepasang bola api. Pendekar Pulau Neraka
terkesiap saat melihat sabuk yang melilit pinggang 
orang berbaju hitam itu. Sabuk itu terbuat dari serat-
serat emas, yang kepalanya bergambar lambang Kadi-
paten Patarukan. Pada sabuk itu tergantung sebilah 
pedang yang cukup panjang. Juga, terselip sebilah ke-
ris yang hanya tampak tangkainya saja.
"Paman. Apakah kau Paman Waskita...?" tanya 
Bayu terdengar ragu-ragu nada suaranya.
"Siapa kau, Anak Muda?! Kenapa berada di sini?!" 
laki-laki berwajah buruk penuh benjolan itu malah ba-
lik bertanya.
"Namaku Bayu. Aku ke sini sedang mencari seseo-
rang yang bernama Paman Waskita," sahut Bayu men-
jelaskan maksud sebenarnya.
'Tidak ada nama Waskita di sini. Yang ada hanya

Serigala Penghisap Darah!" sahut laki-laki bermuka 
buruk itu. "Akulah Serigala Penghisap Darah. Bukan 
Waskita...!"
Bayu kembali memperhatikan lebih teliti laki-laki 
berwajah buruk penuh benjolan itu lebih dalam lagi. 
Pendekar Pulau Neraka menaksir kalau usia orang itu 
paling tinggi sekitar lima puluh tahun. Diingat-
ingatnya ciri-ciri tentang Waskita yang sedang dica-
rinya. Ingatnya langsung tertuju pada sabuk yang di-
kenakan laki-laki separuh baya ini. Anggraini pernah 
mengatakan kalau Waskita tidak pernah melepaskan 
sabuknya, yang merupakan hadiah khusus dari Adipa-
ti Antapara.
"Mungkinkah ini Paman Waskita? Tapi...," Bayu ti-
dak melanjutkan jalan pikirannya yang tiba-tiba terbe-
tik satu pertanyaan yang membingungkan dirinya.
***
Pikiran Bayu disibuki oleh dugaan tentang siapa 
laki-laki berwajah buruk penuh benjolan yang tadi 
mengaku berjuluk Serigala Penghisap Darah di depan-
nya ini. Namun tiba-tiba saja, orang bermuka buruk 
itu melompat menerjang dengan kecepatan bagaikan 
kilat. Begitu cepatnya, sehingga Bayu tidak lagi memi-
liki kesempatan menghindar lagi.
"Hap...!"
Cepat sekali Pendekar Pulau Neraka membanting 
tubuhnya ke tanah, lalu bergulingan beberapa kali.
Dan bergegas dia kembali melompat bangkit berdiri.
Tapi baru saja kakinya menjejak tanah, si Serigala 
Penghisap Darah sudah kembali meluruk deras me-
nyerangnya. Kali ini Bayu menunggu sampai orang 
bermuka buruk penuh benjolan itu dekat. Dan....


"Hiyaaa...!"
Begitu berada di dalam jangkauannya, cepat sekali 
Bayu memiringkan tubuhnya ke kanan. Langsung di-
lontarkannya satu pukulan ke bawah yang keras diser-
tai pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai ta-
raf kesempurnaan.
Begh!
"Argkh...!" 
Serigala Penghisap Darah meraung keras begitu 
punggungnya terkena pukulan telak Bayu. Begitu ke-
rasnya pukulan tadi, sehingga orang bermuka buruk 
itu sampai tersungkur mencium tanah. Tapi dia cepat 
bangkit berdiri. Sebentar Serigala Penghisap Darah 
menggerung marah sambil menyeka darah yang keluar 
dari bibirnya. 
Sambil menggerung keras, orang bermuka buruk 
penuh benjolan itu melompat cepat menyerang Pende-
kar Pulau Neraka kembali. Namun, kali ini Bayu be-
nar-benar sudah siap menghadapinya. Cepat-cepat tu-
buhnya melenting ke atas, sehingga dua pukulan be-
runtun yang mengarah ke tubuhnya hanya lewat saja. 
Dan yang lebih mengejutkan lagi, gerakannya tak ber-
suara sedikit pun. 
"Hiyaaa...!" 
"Yeaaah...!"
Pertarungan memang tidak dapat dihindari lagi. 
Bayu sendiri awalnya agak kelabakan juga menghada-
pi serangan-serangan yang begitu cepat dan beruntun. 
Namun semua itu cepat bisa diatasinya. Bahkan terus 
mengimbangi hingga pertarungan kembali berjalan 
sengit. Meskipun Pendekar Pulau Neraka jarang me-
nyerang dan hanya lebih banyak bertahan, tapi si Seri-
gala Penghisap Darah terlalu sukar mendesaknya. 
Apalagi sampai menjatuhkannya.


Serangan-serangan yang dilancarkannya memang 
membuat Bayu sedikit kerepotan. Tapi tak satu pun 
pukulan maupun tendangan yang bisa mengenai tu-
buh Pendekar Pulau Neraka. Dan setelah pertarungan 
melewati lima jurus, laki-laki setengah baya berwajah 
buruk penuh benjolan itu langsung meningkatkan se-
rangannya. Bahkan kini sudah mencabut pedangnya 
yang sejak tadi tergantung saja di pinggang.
Sret!
"Hiyaaa...!"
Bet! 
"Uts!"
Hampir saja tebasan pedang itu mengenai leher
Bayu. Untung saja Pendekar Pulau Neraka segera me-
narik kepalanya ke belakang. Tapi pada saat yang 
hampir sama, satu tendangan dilepaskan si Serigala
Penghisap Darah dengan kecepatan luar biasa. Akibat-
nya Bayu tak ada kesempatan lagi menghindarinya.
"Yeaaah...!"
Begh!
“Ugkh…!” Bayu mengeluh tertahan.
Pendekar Pulau Neraka terbungkuk saat perutnya 
terpaksa menerima tendangan yang cepat dan keras 
menggeledek itu. Tubuhnya terhuyung-huyung ke be-
lakang sambil memegangi perutnya. Rasa mual men-
dadak saja menyerang perutnya, seakan-akan seluruh 
isi perutnya hendak keluar. Dan sebelum Pendekar Pu-
lau Neraka bisa menguasai diri, laki-laki separuh baya
berwajah buruk penuh benjolan itu sudah melancar-
kan satu serangan lagi dengan kecepatan luar biasa.
"Hiyaaat..!"
"Hait!"
Bruk!
Bayu cepat-cepat menjatuhkan tubuhnya ke tanah,

dan terus bergulingan menghindari hunjaman-
hunjaman pedang si Serigala Penghisap Darah yang 
makin gencar mencecarnya. Beberapa kali Bayu ter-
paksa bergulir, dan baru bisa melompat bangkit berdiri 
begitu memiliki kesempatan yang sedikit sekali. Bebe-
rapa kali tubuhnya berputaran di udara, lalu manis
sekali kakinya kembali menjejak tanah sekitar dua ba-
tang tombak di depan Serigala Penghisap Darah.
"Gila! Dia bertarung seperti kesetanan. Tidak bera-
turan sama sekali...!" dengus Bayu dalam hati.
***
ENAM


"Jangan harap bisa lari dariku, Bocah!" desis Seri-
gala Penghisap Darah, dingin dan datar nada sua-
ranya.
Bagaikan kilat, laki-laki separuh baya berwajah 
buruk penuh benjolan itu melompat cepat sambil men-
julurkan pedangnya lurus ke arah dada Pendekar Pu-
lau Neraka. Pada saat itu, Bayu cepat memiringkan 
tubuhnya ke kiri agak membungkuk. Kakinya dipen-
tang lebar, dan lututnya tertekuk hampir menyentuh 
tanah. Dan begitu manusia buruk itu sudah dekat, 
mendadak saja Bayu mengibaskan tangan kanannya, 
ke depan.
"Yeaaah...!"
Wusss!
Seketika itu juga, melesat secercah sinar kepera-
kan yang keluar dari sebuah benda bulat pipih bersegi 
enam dari pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka. 
Begitu cepatnya melesat, sehingga si Serigala Penghisap Darah tidak sempat lagi menghindari.
Crab!
Senjata ampuh bernama Cakra Maut itu langsung 
menghantam dada si Serigala Penghisap Darah. Tapi
satu keanehan terjadi. Tiba-tiba saja, Cakra Maut ter-
pental balik begitu menghantam dada si Serigala Peng-
hisap Darah. Sedangkan manusia bertubuh penuh 
benjolan seperti bisul itu hanya terpental sedikit ke 
atas. Keseimbangan tubuhnya cepat terkuasai dengan 
melakukan putaran beberapa kali di udara. Dan kini 
manis sekali kedua kakinya yang kokoh mendarat di 
tanah. 
"Hap!"
Bayu cepat mengangkat tangan kanannya ke atas
kepala. Maka Cakra Maut kembali menempel di perge-
langan tangan kanan. Pemuda berbaju kulit harimau 
itu jadi tercenung, melihat lawan tidak terluka sedikit 
pun. Padahal tadi jelas sekali kalau Cakra Maut meng-
hantam dadanya. Namun laki-laki separuh baya ber-
wajah penuh benjolan itu malah masih tetap berdiri 
tegak. Tak ada sedikit pun luka di dadanya.
"Ha ha ha...!" si Serigala Penghisap Darah jadi ter-
tawa terbahak-bahak.
"Gila...!" desis Bayu hampir tidak percaya. Bayu 
kembali memiringkan tubuhnya ke kiri, sedikit agak 
membungkuk. Lalu kaki kanannya ditarik sehingga 
merentang cukup lebar. Lututnya ditekuk sampai 
hampir menyentuh tanah. Tatapan matanya begitu ta-
jam, sambil memusatkan pikiran pada kekuatan Cakra 
Maut yang menempel di pergelangan tangan kanannya. 
Perlahan-lahan tangan kanannya ditarik ke depan da-
da. Lalu....
"Yeaaah...!" 
Bagaikan kilat, Bayu menghentakkan tangan ka

nannya ke depan sambil menarik tubuhnya agar berdi-
ri tegak. Seketika itu juga Cakra Maut yang menempel 
di pergelangan tangan kanan berkelebat cepat, lang-
sung menghantam telak dada si Serigala Penghisap 
Darah.
Bres!
Cakra Maut langsung menembus dada manusia 
bertubuh penuh benjolan itu. Begitu sempurnanya te-
naga dalam yang dikerahkan Pendekar Pulau Neraka, 
sehingga membuat Cakra Maut sampai tembus ke 
punggung. Lalu, senjata itu melesat balik kepada pemi-
liknya. Cepat-cepat Bayu mengangkat tangan kanan ke 
atas kepala. Maka Cakra Maut kembali menempel di 
pergelangan tangan kanan pemuda berbaju kulit hari-
mau itu.
"Ha ha ha...!" si Serigala Penghisap Darah masih te-
tap tertawa-tawa.
"Gila...!" desis Bayu setengah tidak percaya.
Jelas, tadi Cakra Maut telah menghunjam dada si 
Serigala Penghisap Darah, hingga menembus pung-
gung. Tapi, tak ada luka sedikit pun di dadanya. Dan 
ini membuat Bayu semakin tidak mengerti. Baru kali 
ini Pendekar Pulau Neraka menghadapi lawan yang 
kebal terhadap senjata maut andalannya. Perlahan-
lahan pemuda berbaju kulit harimau itu melangkah 
mundur beberapa tindak.
"Keluarkan seluruh kesaktianmu. Anak Muda. Aku 
tahu, kedatanganmu atas perintah Gusti Wanengpati.
Kau menginginkan ini, bukan...?"
“Keris Kala Muyeng…" desis Bayu terperanjat.
Kembali Pendekar Pulau Neraka melompat ke bela-
kang beberapa langkah, begitu si Serigala Penghisap 
Darah mengeluarkan sebilah keris yang masih seten-
gah jadi. Bentuk keris itu tidak beraturan, dan ber

warna hitam legam. Asap kehitaman bercampur merah 
tampak keluar dari ujung keris itu, dan langsung me-
nyebarkan bau busuk tidak sedap. Seakan-akan di se-
keliling tempat ini dipenuhi mayat yang sudah mem-
busuk.
Bayu merasakan perutnya jadi mual hendak mun-
tah. Kembali kakinya bergeser ke belakang beberapa 
langkah, ketika si Serigala Penghisap Darah itu me-
langkah perlahan mendekati. Melihat keris yang sudah 
terhunus itu, Bayu semakin yakin kalau orang yang 
dihadapinya ini adalah Waskita. Meskipun, sosok tu-
buh dan wajahnya sudah berubah, bagaikan sosok 
mayat hidup yang mengerikan sekali.
"Keris itu bukan hanya mempengaruhi jiwanya, ta-
pi sudah merubah seluruh jiwa dan raganya. Hhh...!
Apa yang harus kulakukan sekarang...? Tidak mudah 
menundukkannya dalam keadaan sudah begini," keluh 
Bayu dalam hati.
Pendekar Pulau Neraka berpikir keras, mencari ja-
lan keluar untuk dapat menundukkan Waskita yang 
kini benar-benar sudah berubah. Dan itu sudah pasti 
akibat pengaruh Keris Kala Muyeng, yang kini benar-
benar menjadi senjata pusaka penyebar maut. Semen-
tara itu, Waskita yang menjuluki dirinya Serigala 
Penghisap Darah terus melangkah maju semakin men-
dekati Pendekar Pulau Neraka.
'Terpaksa, aku harus menghindar dulu kali ini," 
ujar Bayu memutuskan di dalam hati.
Pendekar Pulau Neraka memanggil Tiren yang ma-
sih berada di atas dahan. Setelah monyet kecil itu 
hinggap di bahunya, cepat sekali Bayu berbalik, dan 
berlari cepat meninggalkan tempat ini.
"Ha ha ha...!" Waskita yang kini menjuluki dirinya 
sebagai Serigala Penghisap Darah, tertawa terbahak


bahak melihat lawannya kabur.
Sama sekali dia tidak mengejar. Bahkan cepat me-
lesat masuk kembali ke dalam pondok kecilnya. Sua-
sana di tengah hutan yang lebat itu kembali sunyi tan-
pa terdengar suara sedikit pun. Sedangkan Bayu su-
dah begitu jauh meninggalkan tempat itu. Dia kembali 
ke seberang jurang, tempat Ki Wanengpati dan 
Anggraini menunggu.
***
Ki Wanengpati termenung diam. Pandangannya ko-
song tertuju lurus ke depan, setelah Bayu mencerita-
kan pengalamannya di dalam hutan seberang jurang. 
Sedangkan Anggraini juga hanya bisa diam meman-
dangi Pendekar Pulau Neraka yang mengelus-elus ke-
pala monyet kecil dalam pangkuannya. Mereka masih 
berada di dekat bibir jurang yang tidak seberapa lebar 
itu.
"Dia benar-benar akan berubah menjadi makhluk 
liar yang sukar ditaklukkan lagi. Tak ada satu senjata 
satu pun di dunia ini yang sanggup membunuhnya,
keluh Ki Wanengpati perlahan, seakan-akan berbicara
pada dirinya sendiri.
"Bagaimanapun juga, kita harus menghentikannya, 
Ki. Sebelum bencana yang lebih besar lagi terjadi aki-
bat kebrutalannya," selak Anggraini tegas.
"Benar! Kita memang harus menghentikannya. Tapi 
sulit jika sudah mulai berubah begitu. Pengaruh Keris 
Kala Muyeng memang cepat. Terlebih lagi, jiwa Waskita 
memang tidak terkendali dan sudah dikuasai nafsu 
keserakahan. Hal ini akan mempercepat pengalihan 
raganya, dari manusia menjadi iblis penghisap darah 
seluruhnya," jelas Ki Wanengpati. "Dan kalau Keris Ka

la Muyeng telah benar-benar sempurna menguasai se-
luruh jiwa dan raganya, dunia ini pasti akan menjadi 
neraka. Tak ada seorang pun yang dapat menghenti-
kannya lagi."
"Mungkin kita bisa menghadapinya bersama-sama, 
Ki." selak Bayu mengemukakan pendapat.
'Percuma. Seribu pendekar berkepandaian tinggi 
sekalipun, tak akan sanggup menghadapinya," sergah 
Ki Wanengpati.
Bayu dan Anggraini hanya bisa saling pandang. 
Mereka sungguh tidak menyangka kalau akan seperti 
ini akhirnya. Terlebih lagi Bayu. Semula dugaannya
akan mudah merebut keris itu dari tangan Waskita.
Dan kalau bisa, sekalian menyadarkan atas kekeli-
ruannya ini. Mengingat, kepandaian yang dimiliki 
Waskita sebenarnya tidaklah seberapa tinggi. Tapi, 
ternyata Keris Kala Muyeng telah merubahnya menjadi 
seorang manusia digdaya tanpa tanding yang berhati 
iblis dan haus darah manusia.
"Apa tidak ada cara untuk keluar dari persoalan 
ini, Ki?" tanya Anggraini.
"Satu-satunya cara hanyalah memisahkan keris itu 
dari Waskita. Dan itu pun akan berakibat parah bagi 
Waskita sendiri. Sifatnya akan semakin liar, dan tidak 
mempedulikan keselamatan dirinya lagi," Ki Waneng-
pati tertunduk lesu.
Bayu dan Anggraini bisa merasakan kepedihan hati 
laki-laki tua ini. Bagaimanapun juga, Waskita adalah 
anak angkat sekaligus murid kesayangannya. Memang 
tidak mudah menghadapi kenyataan pahit ini. Mereka 
semua menyadari kalau akibat yang akan diterima 
Waskita hanyalah kematian. Dan memang itu jalan sa-
tu-satunya untuk menghentikan pengaruh jahat dari 
Keris Kala Muyeng yang kini telah hampir sempurna


menguasainya.
"Ah, Maaf. Tidak seharusnya sikapku seperti ini," 
ucap Ki Wanengpati cepat-cepat menyadari sikapnya 
yang tidak pantas sebagai seorang ksatria.
"Tidak mengapa, Ki. Kami mengerti...," sahut Bayu 
bisa merasakan perasaan laki-laki tua ini.
"Ki! Apa tidak sebaiknya hal ini kita beritahukan 
pada Gusti Adipati...?" saran Anggraini.
"Aku rasa tidak perlu. Nini Anggraini. Aku khawa-
tir, Gusti Adipati akan mengerahkan para prajurit ka-
dipaten. Jika itu terjadi, sama saja tindakan bunuh di-
ri. Dan itu berarti juga akan menghancurkan seluruh 
Kadipaten Patarukan. Bahkan bukannya tidak mung-
kin akan menyebar ke kadipaten-kadipaten lain," sa-
hut Ki Wanengpati menyanggah saran Anggraini.
"Ki! Boleh ku tahu, di mana kau mendapatkan 
benda untuk membuat keris itu?" tanya Bayu tiba-tiba.
"Untuk apa kau ketahui, Pendekar Pulau Neraka?" 
Ki Wanengpati malah balik bertanya.
"Mungkin di sana bisa kudapatkan satu penyele-
saian yang terbaik," jawab Bayu.
"Apa yang akan kau lakukan di sana?" tanya Ki
Wanengpati tidak mengerti.
"Sama seperti yang kau lakukan ketika menda-
patkan bahan pembuat keris itu," sahut Bayu mantap.
"Dan selama kau melakukannya, dunia sudah 
hancur. Aku melakukannya lebih dari sepuluh tahun. 
Bersemadi selama satu hari penuh, setiap purnama. 
Dan yang terakhir, aku bersemadi. Mati Geni selama 
tujuh hari tujuh malam. Jadi sia-sia saja jika kau me-
lakukan itu, Pendekar Pulau Neraka," jelas Ki Waneng-
pati singkat.
"Mungkin aku bisa mempersingkat, Ki."
"Selama itu, korban sudah semakin banyak berja

tuhan. Dan Waskita juga semakin sempurna saja di-
pengaruhi kekuatan jahat Keris Kala Muyeng."
"Kita harus mencoba segala cara, meskipun berat 
akibatnya, Ki," Bayu tetap bertekad.
Ki Wanengpati terdiam. Dipandanginya wajah Pen-
dekar Pulau Neraka dan Anggraini bergantian. Tatapan 
mata Bayu mencerminkan kesungguhan dan kemauan 
yang bulat. Ki Wanengpati menghembuskan napas 
panjang, kemudian bangkit berdiri diikuti Bayu dan 
Anggraini.
"Baiklah, kalau itu maumu. Tapi, aku tidak yakin 
akan berhasil," ujar Ki Wanengpati akhirnya menyerah 
juga.
"Akan kuhadapi segala akibatnya, Ki" tegas Bayu 
mantap.
"Ikutlah aku."
***
Kini Bayu, Ki Wanengpati, dan Anggraini menuju 
ke gua, tempat Ki Wanengpati mendapatkan benda 
pembuat Keris Kala Muyeng. Saat itu, malam sudah ja-
tuh menyelimuti seluruh permukaan bumi Kadipaten 
Patarukan. Di istana kadipaten, Adipati Antapara tam-
pak gelisah sambil berjalan mondar-mandir di ruangan 
tengah yang luas dan cukup megah ini. Duduk di se-
buah kursi tak jauh dari jendela yang terbuka lebar, 
tampak seorang laki-laki tua mengenakan jubah putih 
panjang, di tangan kanannya tergenggam sebatang 
tongkat berwarna putih.
Laki-laki tua itulah yang dikenal sebagai ketua se-
buah padepokan yang letaknya tidak jauh dari Kota
Kadipaten Patarukan ini. Namanya Eyang Badranaya, 
guru Anggraini yang sekaligus juga ayah angkat gadis

itu. Baru sore tadi Eyang Badranaya berada di istana 
kadipaten ini. Kedatangannya ke kadipaten ini pun se-
telah Anggraini meninggalkan padepokan bersama 
Pendekar Pulau Neraka. Dan sebenarnya, Adipati An-
tapara sendiri adalah murid Eyang Badranaya juga, 
sebelum menjabat sebagai adipati menggantikan ayah-
nya yang telah mangkat.
"Kenapa lama sekali, Eyang? Ke mana sebenarnya 
mereka...?" tanya Adipati Antapara seperti bertanya 
pada diri sendiri.
"Katanya mereka hendak langsung ke sini, Nanda
Adipati," sahut Eyang Badranaya.
"Seharusnya mereka sudah sampai terlebih dahu-
lu, Eyang. Tapi sampai malam begini, kenapa belum
juga sampai..?" lagi-lagi Adipati Antapara yang masih
berusia muda itu bertanya.
"Mungkin mereka menemui halangan di jalan. 
Tunggu saja sebentar lagi," hibur Eyang Badranaya,
mencoba menenangkan keresahan hati adipati muda
itu.
Pada saat itu seorang anak muda berpakaian sera-
gam prajurit kadipaten datang memasuki ruangan ten-
gah ini. Dia langsung berlutut di depan Adipati Anta-
para sambil merapatkan kedua telapak tangan di de-
pan hidung.
"Ada apa, prajurit?" tanya Adipati Antapara.
"Gusti Wanengpati hendak menghadap, Gusti Adi-
pati," sahut prajurit muda itu penuh rasa hormat.
"Suruh masuk segera," perintah Adipati Antapara. 
"Hamba, Gusti Adipati."
Prajurit muda itu memberi sembah, lalu bergegas 
meninggalkan ruangan itu. Tak lama prajurit muda itu 
pergi, muncul Ki Wanengpati bersama Anggraini. Me-
reka segera berlutut di depan Adipati Antapara, sambil

merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung.
Adipati Antapara yang masih berusia muda itu 
mengangkat tangan kanannya sedikit. Kemudian di-
persilakannya Ki Wanengpati dan Anggraini untuk 
mengambil tempat di kursi yang telah disediakan.
Anggraini mengambil tempat di samping kanan 
Eyang Badranaya. Sedangkan Ki Wanengpati mengam-
bil tempat di samping kirinya. Sementara Adipati An-
tapara duduk di seberang meja di depan mereka. Bebe-
rapa saat tak ada yang membuka suara. Adipati Anta-
para merayapi wajah-wajah di depannya secara ber-
gantian. Pandangannya kini tertumbuk agak lama ke-
tika menatap wajah Anggraini yang cantik, dengan 
bentuk bibir mungil dan selalu merah merekah.
"Dari mana saja kau, Anggraini? Kenapa baru da-
tang sekarang?" Eyang Badranaya membuka suara le-
bih dahulu.
Anggraini tidak langsung menjawab. Ditatapnya Ki 
Wanengpati. Laki-laki tua yang usianya kira-kira se-
baya dengan Eyang Badranaya itu hanya mengang-
gukkan kepala sedikit saja. Maka Anggraini langsung 
menceritakan perjalanannya bersama Pendekar Pulau 
Neraka, sampai bertemu Ki Wanengpati. Kemudian, 
mereka ke hutan di Bukit Patarukan. Di sana Pende-
kar Pulau Neraka bertemu Waskita yang sudah cukup 
banyak berubah. Sampai-sampai, pendekar digdaya itu 
tidak mampu menandinginya. Anggraini menceritakan 
sampai mengantarkan Bayu ke dalam gua, tempat Ki 
Wanengpati mendapatkan benda pembuat Keris Kala 
Muyeng itu.
Anggraini menceritakan singkat, namun sangat je-
las dan mudah dimengerti. Tak ada seorang pun yang 
berbicara sampai gadis itu menyelesaikan ceritanya. 
Bahkan sampai selesai pun, tak ada yang membuka


suara. Cerita gadis itu membuat Eyang Badranaya dan 
Adipati Antapara jadi terdiam, dengan kening berkerut 
cukup dalam. Jelas mereka tengah disibuki oleh piki-
ran masing-masing.
"Eyang! Sudah separah itukah Waskita, sehingga 
Pendekar Pulau Neraka harus melakukan semadi?" 
tanya Adipati Antapara setelah cukup lama tak ada 
yang membuka suara.
"Aku kenal Pendekar Pulau Neraka. Kalau sudah 
sampai melakukan semadi itu, pasti terlalu sulit ba-
ginya menghadapi Waskita," sahut Eyang Badranaya.
"Berapa lama dia akan bersemadi?" tanya Adipati 
Antapara lagi.
"Sukar dikatakan, Ananda Adipati. Masalahnya ti-
dak semudah yang kita bayangkan. Terlebih lagi, seka-
rang ini jiwa dan raga Waskita benar-benar telah diku-
asai kekuatan jahat Keris Kala Muyeng. Sudah pasti, 
yang ada di dalam diri Waskita bukanlah jiwanya sen-
diri. Dan apa yang dilakukannya, tidak pernah disadari 
karena seluruh jiwa dan perasaannya sudah tertutup 
pengaruh jahat Keris Kala Muyeng...," nada suara 
Eyang Badranaya terdengar terputus.
"Gusti Adipati, izinkan hamba menghadapinya. 
Hambalah yang seharusnya bertanggung jawab dalam 
persoalan ini, karena semua sumbernya dari hamba 
sendiri," selak Ki Wanengpati.
"Itu namanya tindakan bunuh diri, Adi Wanengpa-
ti," ujar Eyang Badranaya cepat, sebelum Adipati An-
tapara menjawab permintaan laki-laki tua penasihat-
nya ini.
"Benar, Ki Wanengpati. Sebaiknya, untuk sementa-
ra waktu semuanya diserahkan saja pada Pendekar 
Pulau Neraka. Kalau ternyata dia gagal, baru kita ha-
dapi Waskita bersama-sama," ujar Adipati Antapara.


'Tapi, Gusti...."
"Sudahlah, Adi Wanengpati. Kau sudah cukup be-
rusaha keras. Kau pasti lelah, sebaiknya beristirahat-
lah dulu," potong Eyang Badranaya cepat.
Ki Wanengpati menatap Eyang Badranaya seben-
tar, kemudian beralih pada Adipati Antapara yang 
menganggukkan kepalanya sedikit. Setelah memberi 
sembah penghormatan, Ki Wanengpati beranjak bang-
kit dari duduknya. Kemudian, kakinya melangkah per-
lahan hendak meninggalkan ruangan ini.
"Sebaiknya kau tidur di sini saja, Ki," ujar Adipati 
Antapara.
'Terima kasih, Gusti. Biarkan hamba pulang saja 
malam ini," tolak Ki Wanengpati halus.
Adipati Antapara tidak dapat mencegah lagi. Se-
mentara Ki Wanengpati sudah menghilang, tertelan 
pintu yang tertutup kembali begitu dilewatinya. Se-
mentara di ruangan ini tinggal Adipati Antapara, Eyang 
Badranaya, dan Anggraini. Mereka terdiam untuk be-
berapa saat, dengan pikiran masing-masing terus ber-
kecamuk.
"Aku tinggal dulu, Eyang. Penat rasanya tubuhku," 
ujar Adipati Antapara berpamitan.
"Silakan, Ananda Adipati," sahut Eyang Badranaya.
Adipati muda itu menjura memberi hormat yang 
dibalas Eyang Badranaya juga dengan penghormatan 
yang sama. Adipati Antapara menganggukkan kepala 
sedikit pada Anggraini. Sementara gadis itu hanya 
memberi senyum tipis. Kemudian, pemuda itu melang-
kah meninggalkan ruangan ini
"Anggraini..," panggil Eyang Badranaya setelah 
Adipati Antapara tidak terlihat lagi di dalam ruangan 
yang cukup besar ini.
"Ya, Eyang," sahut Anggraini.

"Bisa kau antarkan aku ke tempat Waskita besok 
pagi?" pinta Eyang Badranaya.
"Mau apa Eyang ke sana?" Anggraini terkejut men-
dengar permintaan itu.
"Aku ingin menjajal tingkatan pengaruh keris itu 
padanya. Mungkin dengan cara seperti itu, aku bisa 
menjajaki kemungkinan untuk mencari kelemahan-
nya," sahut Eyang Badranaya beralasan.
"Apa itu perlu, Eyang?" tanya Anggraini.
"Segala kemungkinan perlu dicoba terlebih dahulu, 
sebelum mengambil keputusan, Anggraini"
Anggraini terdiam. Kata-kata yang sama barusan 
juga pernah didengar dari mulut Pendekar Pulau Ne-
raka. Apakah orang-orang bijak di dalam rimba persi-
latan memang selalu mempunyai pandangan hidup 
sama...? Anggraini tidak sempat menjabarkan pemiki-
rannya yang tiba-tiba muncul itu. Karena, Eyang Ba-
dranaya sudah bangkit berdiri dan melangkah mening-
galkan ruangan ini. Anggraini bergegas pula mening-
galkan ruangan tengah yang sangat besar dan indah 
ini.
Sudah berapa kali gadis itu menginap di istana ka-
dipaten ini. Sehingga, dia tidak lagi merasa canggung. 
Bahkan sebagian prajurit penjaga di lingkungan istana 
ini sudah mengenalnya dengan baik. Yang lebih me-
nyenangkan, gadis itu diperlakukan sama dengan putri 
kaum bangsawan lainnya. Anggraini juga sudah tahu, 
kamar mana yang akan ditempati untuk istirahat tan-
pa harus diberitahukan lagi.
Sementara malam terus merayap semakin larut.
Dan suasana di lingkungan istana kadipaten ini terasa 
lain dari biasanya. Adipati Antapara memang sudah
memerintahkan agar melipatgandakan penjagaan di 
sekeliling istana. Sehingga, dimana-mana selalu terli

hat para prajurit menjaga keamanan istana ini.
***
TUJUH


Pagi-pagi sekali di saat matahari belum lagi me-
nampakkan dirinya, Eyang Badranaya dan Anggraini 
sudah memacu cepat kudanya. Keluar dari benteng Is-
tana Kadipaten Patarukan. Tapi belum juga begitu
jauh mereka pergi, dari arah belakang terlihat seekor 
kuda tengah berpacu cepat. Di punggungnya, tampak 
seorang pemuda mengenakan baju putih ketat dengan 
sebilah pedang tergantung di pinggang.
Eyang Badranaya menoleh ke belakang begitu me-
rasakan ada yang membuntuti. Keningnya jadi berke-
rut begitu mengetahui siapa yang membuntutinya. 
Anggraini juga berpaling ke belakang. Dan kini mereka 
jadi menghentikan lari kudanya hampir bersamaan.
"Nanda Adipati.... Mau apa dia mengikuti...?" desis 
Eyang Badranaya perlahan.
Penunggang kuda itu memang Adipati Antapara. 
Hanya pakaiannya saja yang berubah, tidak seperti bi-
asanya jika berada dalam istana kadipaten. Dengan 
pakaian biasa seperti ini, tak akan ada seorang pun 
yang bisa mengenali, kecuali orang-orang yang dekat 
dengannya. Adipati Antapara tersenyum begitu dekat 
dengan Eyang Badranaya dan Anggraini.
"Kenapa bengong...?" tegur Adipati Antapara.
"Ananda Adipati, hendak ke mana dengan pakaian 
seperti ini?" tanya Eyang Badranaya.
"Ikut kalian...," sahut Adipati Antapara kalem.
"Ayo...?"

Eyang Badranaya dan Anggraini jadi saling melem-
parkan pandang, melihat Adipati Antapara sudah 
menggebah kudanya perlahan-lahan melewati mereka. 
Guru dan murid itu pun segera melajukan kudanya, 
dan mensejajarkan di samping adipati muda ini. Tidak 
mungkin mereka mencegah adipati itu untuk ikut ke
tempat persembunyian Waskita.
Mereka menjalankan kuda perlahan-lahan menuju 
ke Bukit Patarukan yang merupakan hutan lebat, dan
jarang dimasuki manusia. Biasanya mereka yang ting-
gal di Kadipaten Patarukan ini hanya mengambil kayu 
dari pinggiran hutan saja. Tak seorang pun yang bera-
ni lebih masuk lagi ke dalam, kecuali yang memang 
pekerjaannya berburu. 
"Gusti..."
"Eh! Jangan panggil gusti! Panggil saja Kakang 
Antapara," potong Adipati Antapara, cepat memu-
tuskan ucapan Anggraini.
'Tapi..," Anggraini ingin membantah. 
"Kau boleh memanggilku dengan sebutan itu kalau 
di kadipaten. Tapi di sini, aku tidak suka mendengar 
sebutan itu," lagi-lagi Adipati Antapara memotong ce-
pat.
Anggraini jadi terdiam. Ditatapnya Eyang Badra-
naya. Sedangkan laki-laki tua berjubah putih itu 
hanya menganggukkan kepala saja. Dia memang su-
dah tahu kalau Adipati Antapara tidak suka jika di-
panggil gusti, bila sedang berada di luar kadipaten. Hal 
itu sudah diketahuinya, sejak pemuda ini masih me-
nuntut ilmu di padepokannya, dan belum menjabat 
sebagai adipati.
"Apa yang akan kau katakan, Anggraini?" ujar Adi-
pati Antapara melihat Anggraini jadi terdiam saja.
'Tidak jadi," sahut Anggraini jadi sungkan.

"Kenapa...? Bukankah tadi kau ingin mengatakan 
sesuatu?"
'Tapi... Ah, tidak. Hamba...."
"Aku tahu. Kau pasti ingin menanyakan, kenapa 
aku berpakaian seperti ini, dan meninggalkan kadipa-
ten. Begitu, bukan...?" tebak Adipati Antapara lang-
sung.
Anggraini hanya diam saja. Dalam hatinya, me-
mang diakui kalau ingin bertanya seperti itu tadi. Tapi, 
dia takut adipati muda ini tersinggung.
"Asal kau tahu saja, Anggraini. Sebenarnya aku le-
bih senang bepergian seperti ini. Melakukan perjala-
nan dan berpetualang mencari pengalaman, daripada 
harus duduk-duduk di kadipaten. Eyang Badranaya 
pasti sudah lebih tahu. Bukan begitu, Eyang?" Adipati 
Antapara menatap laki-laki tua di sampingnya.
Eyang Badranaya hanya menganggukkan kepala 
saja sambil menyunggingkan senyuman tipis di bibir-
nya yang hampir tertutup kumis putih. Sedangkan 
Anggraini hanya terdiam saja. Sesekali matanya men-
curi pandang pada wajah tampan di sampingnya ini. 
Entah kenapa, gadis ini jadi membandingkan antara 
Adipati Antapara dengan Bayu si Pendekar Pulau Ne-
raka. Anggraini jadi memaki diri sendiri dalam hati. 
Dibuangnya jauh-jauh pikiran yang membanding-
bandingkan antara pemuda ini dengan Pendekar Pulau 
Neraka. Suatu pikiran yang dianggapnya konyol, yang
timbul dari kepala seorang gadis seperti dirinya.
"Berapa lama lagi sampai ke sana?" tanya Adipati 
Antapara saat mereka telah memasuki hutan di Bukit 
Patarukan.
"Mungkin tengah hari nanti, kalau tidak ada ha-
langan," sahut Anggraini.
"Sebaiknya kau berjalan di depan, Anggraini," ujar

Eyang Badranaya.
"Baik, Eyang," sahut Anggraini.
Gadis itu memacu kudanya lebih cepat, mendahu-
lui yang lain. Kini Anggraini berada paling depan, men-
jadi penunjuk jalan ke tempat persembunyian Waskita. 
Mereka terus memacu kudanya dengan kecepatan 
yang semakin diperlambat. Karena semakin jauh ma-
suk ke dalam hutan ini, semakin lebat pepohonan 
yang menghadang. Dan tentu saja hal itu membuat 
kuda-kuda yang mereka tunggangi kurang lancar ja-
lannya. Belum lagi harus menerobos semak, dan 
menghalau akar-akar pohon yang bergelantungan 
menghalangi perjalanan ini. Tapi mereka terus maju, 
meskipun semakin tersendat saja.
***
Tepat seperti yang dikatakan Anggraini, mereka ti-
ba di tepi jurang di saat matahari berada di atas kepa-
la. Mereka berlompatan turun dari kuda masing-
masing. Adipati Antapara melangkah sampai berada di 
bibir jurang yang tidak terlalu besar ini. Sedangkan 
Anggraini dan Eyang Badranaya berdiri sekitar tiga 
langkah di belakang adipati muda itu. Perlahan Adipati 
Antapara memalingkan kepala ke belakang. Eyang Ba-
dranaya menghampiri dan berdiri di sampingnya. 
Anggraini juga mengikuti berdiri di samping lain pe-
muda itu.
"Tak ada seorang pun yang berani menyeberangi 
jurang ini. Daerah itu dinamakan Lereng Kematian,
karena tak seorang pun yang pernah kembali setelah 
menginjakkan kakinya di sana. Terlalu banyak bina-
tang buas dan berbisa," kata Adipati Antapara, seten-
gah bergumam nada suaranya.

"Kalau Bayu bisa kembali dengan selamat, pasti ce-
rita itu hanya isapan jempol belaka," tanggap Eyang 
Badranaya.
"Memang hanya kepercayaan yang salah dan tidak 
berdasar. Aku sendiri pernah menjelajah selama tiga 
hari di sana. Malah tak ada seekor binatang pun yang 
kujumpai," sambung Adipati Antapara.
"Lantas, bagaimana?" tanya Eyang Badranaya.
"Mudah-mudahan saja Waskita masih ada di sana. 
Aku ingin sekali melihat bagaimana ujudnya sekarang 
ini," kata Adipati Antapara.
Setelah berkata demikian, tiba-tiba saja Adipati An-
tapara melesat cepat dengan ringan sekali. Beberapa 
kali tubuhnya melakukan putaran di udara dengan 
manis, lalu berhasil mendarat di tepi seberang jurang 
ini. Pemuda itu berbalik dan menatap Eyang Badra-
naya dan Anggraini yang juga sudah berlompatan me-
nyeberangi jurang yang tidak seberapa lebar ini. Mere-
ka juga berhasil mendarat manis sekali.
"Ayo...," ajak Adipati Antapara. 
Ketiga orang itu terus melanjutkan perjalanan den-
gan berjalan kaki. Keadaan hutan di Lereng Kematian 
ini cukup lebat juga, sehingga mereka tidak dapat ber-
gerak lebih cepat lagi. Namun mereka bergerak cepat 
dengan mempergunakan ilmu meringankan tubuh. 
Sehingga dalam waktu tidak berapa lama saja, sudah 
nampak sebuah pondok kecil yang letaknya cukup ter-
sembunyi di antara pepohonan yang cukup rapat.
Ketiga orang itu memperlambat ayunan kakinya, 
mendekati pondok kecil di depan sana. Dan mereka 
baru berhenti melangkah setelah tinggal sekitar tiga 
batang tombak lagi dari pondok kecil yang cukup ter-
sembunyi letaknya. Sejenak mereka saling melempar-
kan pandang, seakan-akan sama-sama memberi peringatan untuk berhati-hati. Dan baru saja mereka 
hendak melangkahkan kaki kembali, tiba-tiba saja ter-
dengar bentakan keras menggelegar dari dalam pon-
dok.
"Berhenti...!" 
Bentakan itu bukan main kerasnya, sehingga
membuat Adipati Antapara, Eyang Badranaya, dan 
muridnya terkejut setengah mati. Mereka jadi mengu-
rungkan niatnya untuk melangkah mendekati pondok 
kecil yang cukup tersembunyi itu. Kembali mereka sal-
ing melemparkan pandangan, kemudian sama-sama 
menatap ke arah pondok kecil yang tak seberapa jauh 
lagi di depan Adipati Antapara melangkah beberapa 
tindak ke depan. Matanya tidak berkedip menatap lu-
rus ke arah pintu pondok yang tertutup rapat.
"Sebaiknya kalian kembali saja, daripada mem-
buang nyawa sia-sia di sini...!" kembali terdengar sua-
ra keras menggelegar dari dalam pondok. 
"Waskita...! Aku Adipati Antapara, ingin bicara 
denganmu!" bujuk Adipati Antapara dengan suara 
yang juga keras, karena dikeluarkan lewat pengerahan 
tenaga dalam tinggi.
"Aku tidak peduli siapa kau! Pergi cepat sebelum 
kesabaranku habis!" sahut suara dari dalam pondok 
itu lagi.
"Keluarlah, Waskita. Kita bisa bicarakan ini secara 
baik-baik," bujuk Adipati Antapara.
"Jangan paksa aku bertindak! Pergi kalian semua! 
Cepaaat..!"
Begitu kerasnya suara dari dalam pondok itu, 
membuat Adipati Antapara jadi terlompat ke belakang 
beberapa tindak. Sedangkan Eyang Badranaya dan 
Anggraini bergegas menghampiri adipati muda itu.
"Kuberi kesempatan sekali lagi, sebelum kubunuh

kalian semua!" kembali terdengar suara keras mengge-
legar dari dalam pondok.
"Sebaiknya kita menyingkir dulu, Anakku," ujar 
Eyang Badranaya setengah berbisik. 'Tampaknya 
Waskita telah benar-benar dikuasai Keris Kala 
Muyeng."
"Aku akan memaksa dia keluar, Eyang," tegas Adi-
pati Antapara.
Tidak ada lagi kesempatan bagi Eyang Badranaya 
untuk membujuk Adipati Antapara agar menyingkir 
dulu dari tempat ini. Karena mendadak saja pintu 
pondok kecil itu terbuka, dan melesat sebuah bayan-
gan hitam dari dalamnya. Cepat sekali bayangan hitam 
itu berkelebat tahu-tahu di depan mereka sudah berdi-
ri suatu sosok makhluk berwajah penuh benjolan. Se-
hingga raut wajahnya begitu mengerikan untuk dipan-
dang.
Rambutnya yang teriap tak beraturan, hampir me-
nutupi raut wajahnya yang penuh benjolan itu. Sebilah 
pedang panjang tampak tergantung di pinggangnya. 
Dan di balik sabuk yang melilit pinggangnya, terselip 
sebilah keris yang kelihatannya baru setengah jadi. Dia 
berdiri tegak bertolak pinggang. Sepasang bola ma-
tanya memerah, menatap tajam Adipati Antapara.
"Kalian benar-benar ingin mampus...!" desis orang 
berwajah buruk itu dingin menggetarkan.
"Waskita! Kau sadar, siapa yang berdiri di depan-
mu?" tegur Eyang Badranaya.
"Aku tidak peduli, siapa dia!" dengus laki-laki sepa-
ruh baya yang berwajah penuh benjolan itu. "Siapa 
pun yang mencoba mengganggu ketenteraman ku, ha-
rus mati di sini!" 
"Waskita...."
"Aku bukan Waskita! Aku Serigala Penghisap Darah...!" bentak laki-laki separuh baya itu memutuskan 
ucapan Eyang Badranaya.
"Aku tidak peduli siapa namamu sekarang. Tapi 
aku tetap mengenalimu, Waskita," desak Eyang Ba-
dranaya.
"Ha ha ha...!" Waskita yang sudah dikuasai kekua-
tan Keris Kala Muyeng, jadi tertawa terbahak-bahak 
mendengar kata-kata Eyang Badranaya barusan.
Mendadak saja, Waskita mengebutkan tangan ka-
nannya ke arah Eyang Badranaya. Seketika itu juga, 
secercah sinar merah melesat cepat bagaikan kilat ke 
arah laki-laki tua berjubah putih itu.
"Awas, Eyang...!" teriak Anggraini memperingatkan.
"Uts!"
Hampir saja sinar merah itu menghantam tubuh 
Eyang Badranaya, kalau tubuhnya tidak segera ditarik 
ke kanan. Sinar merah itu melesat cepat di samping 
kiri tubuhnya, dan langsung menghantam pohon yang 
berada di belakang laki-laki tua ini. Seketika pohon itu 
hancur berkeping-keping, terkena sambaran sinar me-
rah tadi.
"Bagus? Ternyata kau mampu juga menghindari
seranganku, Orang Tua," desis Waskita dingin.
Eyang Badranaya yang menyadari kalau Waskita 
tak mungkin lagi bisa disadarkan, segera bersiap me-
nerima serangan kembali. Sedangkan Waskita sudah 
menggeser kakinya ke kanan beberapa tindak. Tatapan
matanya begitu tajam, menusuk langsung ke bola ma-
ta laki-laki tua itu. Seakan-akan dia sedang mengukur 
tingkat kepandaian yang dimiliki Eyang Badranaya.
Sementara itu Anggraini dan Adipati Antapara su-
dah menyingkir menjauhi tempat ini. Mereka sekarang 
berada di tempat yang cukup jauh dan jangkauan per-
tempuran, yang tidak mungkin dielakkan lagi.

'Tahan seranganku, Orang Tua! Hiyaaa...!" seru 
Waskita keras menggelegar.
Cepat sekali, si Serigala Penghisap Darah melom-
pat menyerang Eyang Badranaya. Secepat itu pula, pe-
dangnya dicabut, dan langsung dikibaskan ke arah 
leher laki-laki tua berjubah putih ini.
"Hait!"
Eyang Badranaya tidak berusaha menghindari se-
rangan itu. Bahkan tongkatnya malah dikebutkan, un-
tuk menyampok tebasan pedang Waskita. Laki-laki tua 
ini mengerahkan seluruh kemampuan tenaga dalam-
nya, yang langsung disalurkan ke tongkat.
Trak!
"Heh...?!"
Bukan main terkejutnya Eyang Badranaya, karena 
tongkatnya terpenggal jadi dua bagian begitu berben-
turan dengan pedang Waskita. Cepat-cepat dia melom-
pat mundur sejauh satu batang tombak. Tapi baru sa-
ja kakinya menjejak tanah, Waskita sudah kembali 
melancarkan serangannya cepat luar biasa. 
"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"
Pedang di tangan Waskita berkelebat cepat mengu-
rung seluruh tubuh Eyang Badranaya. Akibatnya laki-
laki tua berjubah putih itu terpaksa berjumpalitan 
menghindari serangan-serangan gencar.
Beberapa kali pedang di tangan Waskita hampir 
merobek kulit tubuhnya. Tapi sampai sejauh ini, 
Eyang Badranaya masih mampu menghindari. Bahkan 
beberapa kali pula mampu melancarkan serangan ba-
lasan.
"Modar...!" teriak Eyang Badranaya tiba-tiba.
Cepat sekali laki-laki tua itu melancarkan satu pu-
kulan keras menggeledek, disertai pengerahan tenaga 
dalam tinggi. Begitu cepatnya pukulan itu, sehingga

Waskita tidak sempat lagi menghindar. Pukulan itu te-
pat menghantam dada yang bergerenjul penuh benjo-
lan.
Diegkh!
"lkh...!" Eyang Badranaya terpekik kecil agak terta-
han.
Cepat-cepat laki-laki tua itu menarik pulang tan-
gannya, dan melompat sejauh setengah tombak. Eyang 
Badranaya merasakan seperti menghantam sebongkah 
batu cadas yang begitu keras tadi. Tulang-tulang jari 
tangannya seperti remuk, dan terasa nyeri sekali. Se-
dangkan Waskita sama sekali tidak terpengaruh oleh 
pukulan keras yang dilancarkan laki-laki tua ini.
Bahkan Waskita melangkah maju sambil menge-
butkan pedangnya di depan dada. Sedangkan Eyang 
Badranaya terus bergerak mundur sambil mencari ce-
lah untuk melancarkan serangan. Namun serangan-
serangan yang dilancarkan Waskita, membuat Eyang 
Badranaya tak mampu lagi memberi serangan balasan.
Dan satu dua pukulan keras terpaksa diterimanya, se-
hingga membuat laki-laki tua itu bergelimpangan di 
tanah.
Dalam beberapa jurus saja, Waskita sudah benar-
benar menguasai pertarungan ini. Dan Eyang Badra-
naya semakin terdesak saja, seakan-akan tak mampu 
lagi memberi perlawanan berarti. Dan memang Waski-
ta tidak memberi kesempatan pada laki-laki tua itu 
untuk melancarkan serangan balasan.
"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!" 
Mendadak saja, Waskita mengubah pola serangan-
nya. Tubuhnya berputar cepat, sementara tangan ka-
nannya yang memegang pedang merentang lurus, 
mengarah ke dada Eyang Badranaya. Gerakan yang 
begitu cepat membuat laki-laki tua itu jadi kelabakan

menghindarinya. Dia berlompatan, dan berjumpalitan 
menghindari setiap tebasan pedang yang disertai gera-
kan tubuh berputaran cepat.
Selagi Eyang Badranaya sibuk menghindari teba-
san pedang yang bergerak cepat bagai memiliki mata, 
mendadak saja Waskita cepat merubah jurus tangan-
nya tanpa diduga sama sekali. Laki-laki separuh baya 
yang bentuk tubuh dan wajahnya sudah berubah pe-
nuh benjolan itu tiba-tiba saja melentingkan tubuh ke 
udara. Lalu, tubuhnya meluruk deras, sambil mengi-
baskan pedangnya cepat mengincar kepala. 
Yeaaah...!" 
"Heh...?!"
***
DELAPAN


"Yeaaa...!"
Eyang Badranaya benar-benar tak mampu lagi
menghindari serangan yang begitu cepat. Laki-laki tua 
itu hanya bisa membeliakkan mata. Namun begitu 
ujung pedang Waskita hampir saja membelah kepa-
lanya, mendadak saja sebuah bayangan kuning berke-
lebat cepat menghantam tubuh laki-laki separuh baya 
yang wajahnya bergerenjul penuh benjolan itu.
Des!
"Aaakh...!" Waskita terpekik keras.
Seketika itu juga tubuhnya terpental balik, dan 
berputaran beberapa kali. Bayangan kuning itu kem-
bali berkelebat cepat, lalu terdengar suara dua buah 
logam yang beradu keras. Terlihat bunga api memer-
cik, disusul terpentalnya pedang Waskita ke angkasa.

Bayangan kuning itu melesat ke udara, mengejar pe-
dang itu. Sedangkan Waskita masih berjumpalitan di 
udara. Dan begitu kaki Waskita mendarat manis di ta-
nah, bayangan kuning itu juga meluruk turun.
"Bayu...," desis Eyang Badranaya begitu melihat di 
depannya sudah berdiri seorang pemuda mengenakan 
baju kulit harimau.
Pemuda tampan berbaju kulit harimau itu mem-
buang pedang yang berhasil dirampasnya dari tangan 
Waskita. Sedangkan Waskita sendiri hanya mendengus 
dan menggeram marah. Matanya tampak memerah 
menatap liar Pendekar Pulau Neraka. Sedikit Bayu me-
lirik Eyang Badranaya, kemudian menatap Adipati An-
tapara dan Anggraini yang berada cukup jauh pada 
tempat yang cukup aman. Kembali ditatapnya Waskita 
yang menjuluki dirinya sebagai Serigala Penghisap Da-
rah. Saat itu Eyang Badranaya sudah berdiri di samp-
ing Bayu, diikuti Anggraini dan Adipati Antapara.
"Menyingkirlah. Biar aku yang menghadapinya," 
ujar Bayu perlahan tanpa mengalihkan pandangannya 
dari si Serigala Penghisap Darah.
"Kau sudah mendapatkan kelemahannya, Bayu?" 
tanya Eyang Badranaya.
Bayu tidak menjawab, dan hanya tersenyum tipis 
saja, hampir tidak terlihat. Kemudian kakinya bergerak 
terayun dua langkah ke depan. Tatapan matanya tetap 
tajam, tertuju lurus ke bola mata si Serigala Penghisap 
Darah. Saat itu, Eyang Badranaya memberi isyarat pa-
da Anggraini dan Adipati Antapara untuk menyingkir. 
Tanpa membantah sedikit pun, mereka bergerak men-
jauh. Eyang Badranaya sendiri melangkah mundur 
perlahan-lahan, dan baru berhenti setelah jaraknya 
cukup jauh dari si Serigala Penghisap Darah dan Pen-
dekar Pulau Neraka yang berdiri saling menatap tajam.

"Keluarkan keris Kala Muyeng mu, Serigala Penghi-
sap Darah!" desis Bayu, dingin dan datar nada sua-
ranya.
"Phuih! Kau datang hanya mengantarkan nyawa
saja, Bocah!" dengus Waskita tidak kalah dinginnya.
"Kita lihat saja. Siapa yang lebih dulu terbang ke
neraka," kali ini suara Bayu terdengar kalem.
"Setan alas...! Tahan seranganku. Hiyaaat..!" 
Waskita jadi geram mendengar tantangan Pendekar 
Pulau Neraka barusan. Bagaikan kilat, tubuhnya cepat 
melompat menerjang sambil mencabut kerisnya yang 
terselip di pinggang. Keris itu langsung dikibaskan ke 
arah dada Pendekar Pulau Neraka.
Bet!
"Hait..!"
Bayu hanya menarik tubuhnya sedikit ke belakang, 
membuat keris yang baru setengah jadi itu hanya le-
wat sedikit saja di depan dada. Pada saat itu, cepat di-
lepaskannya satu tendangan keras, sambil memiring-
kan tubuh ke kiri.
"Yeaaah...!"
"Hup!"
Waskita melompat ke belakang setengah berputa-
ran, menghindari tendangan keras Pendekar Pulau Ne-
raka. Tapi begitu kakinya menjejak tanah, cepat sekali 
Bayu melompat. Langsung dilepaskannya satu puku-
lan lurus ke arah dada. Tak ada lagi kesempatan bagi
Waskita untuk menghindar. Maka cepat-cepat kerisnya 
dikebutkan ke depan dada.
"Hait!"
Namun yang terjadi mengejutkan sekali. Dengan 
gerakan manis sekali, Bayu merundukkan tubuhnya
sedikit. Namun tangannya langsung bergerak cepat ke 
arah perut. Dan sambil bergerak cepat Pendekar Pulau

Neraka menyambar sarung Keris Kala Muyeng yang 
berada di balik ikat pinggang si Serigala Penghisap Da-
rah. 
Bet!
"Hey...?!"
Waskita tersentak kaget. Cepat-cepat diburunya 
Pendekar Pulau Neraka. Tapi, Bayu sudah cepat mele-
sat ke belakang dan melakukan putaran beberapa kali. 
Lalu, manis sekali kakinya menjejak di sebatang dahan 
yang tidak begitu tinggi. Tangan kanannya kini telah 
menggenggam warangka keris yang terbuat dari kayu 
hitam. Pemuda berbaju kulit harimau itu tersenyum 
sambil memegangi warangka Keris Kala Muyeng di de-
pan dada. Sedangkan Waskita hanya berdiri saja den-
gan geraham bergemeletuk menahan geram.
***
"Bocah setan...! Turun kau...!" bentak Waskita ge-
ram.
"Kenapa tidak kau saja yang naik ke sini...?" tan-
tang Bayu memanasi. 
"Keparat..!"
Waskita benar-benar geram setengah mati, tapi 
tampaknya ragu-ragu menuruti tantangan Pendekar 
Pulau Neraka. Dia hanya berdiri tegak dengan sinar 
mata tajam memerah dan berapi-api menatap Bayu
yang berdiri di atas dahan cukup tinggi. Bahkan Pen-
dekar Pulau Neraka memain-mainkan sarung keris 
yang berhasil dirampasnya dari balik sabuk si Serigala 
Penghisap Darah.
"Ayo, ke sini.... Kita bertarung di atas pohon," tan-
tang Bayu terus memanasi.
"Ghrrr...!" Waskita jadi menggerung geram bagai

kan binatang buas yang liar.
Sepasang bola matanya semakin memerah berapi-
api. Benjolan-benjolan di seluruh wajah dan tubuhnya, 
terus bertumbuhan semakin banyak. Sehingga, hampir 
menutupi bentuk wajahnya. Sehingga wajahnya tidak 
sedap dipandang. Bau busuk semakin menyebar me-
nyengat hidung, keluar dari Keris Kala Muyeng yang 
tergenggam di tangan si Serigala Penghisap Darah. 
Asap hitam pun terus mengepul keluar dari ujung ke-
ris yang terhunus telanjang. Dan itulah yang membuat 
benjolan-benjolan pada tubuhnya makin bertambah.
Pada saat itu, tiba-tiba saja dari pohon yang lain 
meluruk turun satu makhluk kecil dan hitam ke arah 
si Serigala Penghisap Darah. Makhluk kecil hitam den-
gan suara kecil mencerecet ribut itu, tahu-tahu hing-
gap di atas kepala Waskita. Akibatnya si Serigala 
Penghisap Darah itu terkejut, dan langsung mengi-
baskan kepala ke atas. Tapi makhluk kecil hitam yang 
ternyata seekor monyet itu cepat melompat turun, dan 
berlarian berputaran mengelilingi si Serigala Penghisap 
Darah sambil mencerecet ribut.
'Terus, Tiren! Bagus...! Buat dia pusing tujuh kelil-
ing!" seru Bayu senang melihat monyet kecil itu meng-
ganggu perhatian si Serigala Penghisap Darah.
"Monyet jelek! Pergi kau...!" bentak Waskita geram.
Tapi monyet kecil yang bernama Tiren itu terus 
bergerak memutari Waskita sambil mencerecet ribut.
Dan tiba-tiba saja, binatang itu melompat dari arah be-
lakang, dan langsung hinggap di tengkuk si Serigala 
Penghisap Darah. Waskita jadi jengkel, sehingga me-
nepuk tengkuknya. Tapi, Tiren sudah lebih cepat lagi
melompat, sehingga tepukan Waskita hanya mengenai 
tengkuknya sendiri. Tiren terus berlompatan cepat, 
dan kembali melompat dari belakang. Kali ini hinggap


di kepala Waskita sebentar, dan kembali melompat ce-
pat begitu tangan Waskita melayang hendak menam-
parnya.
Kelakuan Tiren yang seperti sengaja menimbulkan 
kemarahan itu memang membuat Waskita semakin 
jengkel. Dia menggerung-gerung geram, dengan bola 
mata semakin memerah berapi-api karena monyet ke-
cil berbulu hitam itu terus menggodanya.
"Monyet setan! Hiyaaa...!"
Sambil berseru nyaring, Waskita mengibaskan ke-
ris ke arah monyet kecil yang berjingkrakan di depan-
nya. Asap hitam yang mengepul dari ujung keris itu ti-
ba-tiba saja meluruk deras ke arah Tiren. Tapi monyet 
kecil berbulu hitam itu cepat melompat menghindar 
sambil mencerecet ribut. Satu ledakan keras mengge-
legar terdengar ketika ujung asap hitam itu menghan-
tam tanah. Begitu kerasnya, sehingga membuat tanah 
terbongkar menimbulkan kepulan debu yang mem-
bumbung tinggi ke angkasa.
Bayu sendiri yang berada di atas pohon jadi terke-
jut setengah mati melihat tindakan Waskita barusan. 
Sedangkan Tiren jadi tampak ketakutan hingga cepat-
cepat melompat dan hinggap di pundak Pendekar Pu-
lau Neraka. Monyet kecil itu menyembunyikan wajah-
nya di belakang kepala Bayu.
"Kemarikan monyet itu, Setan...!" geram Waskita 
berang.
"Bagus, Tiren. Kau sudah membangkitkan seman-
gatnya. Sekarang tinggal kau alihkan perhatiannya pa-
damu. Aku akan berusaha merebut kerisnya," ujar 
Bayu, berbisik sambil menepuk-nepuk tubuh monyet 
kecil yang masih menyembunyikan mukanya.
Tiren hanya mengkirik kecil. Rupanya binatang itu 
masih ketakutan atas tindakan Waskita tadi, yang

membuatnya terkejut. Bayu bisa mengerti kalau mo-
nyet kecil ini ketakutan.
"Jangan takut, Tiren. Aku pasti melindungimu," hi-
bur Bayu menenangkannya. "Ayo, alihkan perhatian-
nya lagi."
Tiren masih tetap menyembunyikan mukanya di 
belakang Pendekar Pulau Neraka.
"Ayo, Tiren. Ini kesempatan baik untuk mengalih-
kan perhatiannya. Hanya kau satu-satunya yang bisa 
melakukannya," bujuk Bayu.
Perlahan Tiren mengeluarkan kepala dari belakang 
kepala Bayu. Ditatapnya Pendekar Pulau Neraka, ke-
mudian beralih pada Waskita yang mendengus dan 
menggeram dengan berang.
"Ayo...." 
"Nguk!"
Tiren kembali melompat turun. Tapi begitu kakinya 
menjejak tanah, Waskita sudah langsung meluruk 
sambil menghunus keris. Begitu cepat gerakannya, 
membuat monyet kecil itu jadi mencerecet ketakutan. 
Dia cepat melompat, sehingga hunjaman Keris Kala 
Muyeng hanya mengenai tanah kosong. Hal ini mem-
buat Waskita benar-benar geram.
"Setaannnnn…! Kubunuh kau, Monyet Jelek!"
"Nguk!"
***
Sambil meraung keras, Waskita mengangkat keris-
nya tinggi-tinggi ke atas kepala. Pada saat itu Bayu 
melesat cepat sambil mengerahkan ilmu meringankan 
tubuh yang sudah mencapai taraf kesempurnaan. Be-
gitu cepatnya lesatan Pendekar Pulau Neraka, sehingga 
Waskita tidak sempat lagi memperhatikan. Terlebih,


saat itu perhatiannya memang sedang terpusat pada 
monyet kecil yang telah membuatnya jengkel.
Tap!
"Heh...?!"
Si Serigala Penghisap Darah terkejut setengah ma-
ti, ketika tangannya tersentak. Dan lebih terkejut Lagi, 
begitu menyadari kerisnya sudah berpindah tangan. 
Begitu disadari apa yang telah terjadi, Bayu sudah 
berdiri di samping Tiren. Dan monyet kecil itu cepat 
melompat naik ke pundak Bayu dengan gerakan lin-
cah. Sementara Eyang Badranaya, Adipati Antapara, 
dan Anggraini yang menyaksikan semua itu jadi mena-
rik napas lega melihat Bayu telah menguasai Keris Ka-
la Muyeng.
Trek!
Bayu memasukkan keris itu ke dalam warang-
kanya. Lalu, diberikannya keris itu pada Tiren yang 
langsung menerimanya. Sementara Waskita mengge-
rung-gerung marah melihat senjatanya sudah tidak 
berada lagi di tangannya. Hatinya begitu marah, kare-
na merasa tertipu mentah-mentah tanpa mampu me-
nyadari siasat Pendekar Pulau Neraka sebelumnya.
"Berikan keris itu pada Eyang Badranaya, Tiren.
Lewat pepohonan saja," ujar Bayu.
"Nguk!"
Tiren segera melompat ke atas pohon yang dekat, 
lalu terus berlompatan dari pohon yang satu ke pohon 
lainnya. Melihat monyet kecil itu berlompatan di atas 
pohon sambil membawa Keris Kala Muyeng, Waskita 
tidak ingin melepaskan begitu saja. Maka cepat-cepat 
dia melompat mengejar. Tapi pada saat itu, Bayu yang 
memang sudah menyadari tindakan yang akan dilaku-
kan Waskita, cepat melompat menerjang si Serigala
Penghisap Darah.

"Hiyaaa...!"
Bagaikan kilat Bayu melepaskan satu pukulan 
keras disertai pengerahan tenaga dalam sempurna. 
Begitu cepatnya serangan yang dilakukan Bayu, se-
hingga Waskita tidak sempat lagi menghindari.
Buk!
"Aaakh...!" Waskita menjerit keras.
Laki-laki separuh baya itu terpental balik, dan ja-
tuh bergulingan beberapa kali. Dua batang pohon yang 
terlanda tubuhnya langsung roboh membuat tanah di 
sekitarnya bergetar bagaikan diguncang gempa. Se-
mentara Bayu manis sekali sudah mendarat kembali di 
tanah.
Tanpa Keris Kala Muyeng berada di tangan, Waski-
ta memang tidak memiliki daya Lagi. Maka kekebalan 
tubuhnya pun juga sirna, meskipun pengaruh jahat 
dari keris itu masih menguasainya. Dan kesempatan 
ini tidak disia-siakan Pendekar Pulau Neraka. Dengan 
cepat Bayu memiringkan tubuh ke kiri agak terbung-
kuk. Kemudian kaki kanannya ditarik merentang, den-
gan lutut tertekuk hampir menyentuh tanah. Tepat ke-
tika Waskita melompat bangkit berdiri, Bayu cepat 
mengibaskan tangan kanannya ke depan.
"Hiyaaa...!"
Wusss!
Bagaikan kilat, Cakra Maut yang selalu menempel 
di pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka
melesat cepat ke arah dada si Serigala Penghisap Da-
rah. Begitu cepatnya senjata berbentuk bintang segi 
enam itu melesat, sehingga Waskita tidak punya ke-
sempatan menghindar lagi. 
Crab!
"Aaakh...!" Waskita menjerit keras melengking tinggi.

Cakra Maut tepat menghantam dada si Serigala 
Penghisap Darah. Begitu kerasnya Cakra Maut itu ter-
lontar, sehingga sampai menembus punggung. Senjata 
maut Pendekar Pulau Neraka kembali melesat balik 
pada pemiliknya. Bayu cepat mengangkat tangan ka-
nannya. Dan begitu Cakra Maut kembali menempel di 
pergelangan tangan kanannya, kembali dilontarkan 
disertai pengerahan tenaga dalam sempurna sekali.
"Hiyaaa...!"
Wusss!
Crab!
"Aaa...!"
Lagi-lagi Waskita menjerit keras melengking tinggi.
Kali ini Cakra Maut merobek tenggorokannya, hingga 
darah kembali menyembur keluar deras sekali. Senjata 
berwarna keperakan bersegi enam itu kembali menem-
pel di pergelangan tangan pemiliknya. Sementara 
Waskita masih tetap berdiri, meskipun tubuhnya lim-
bung. Darah terus mengucur keluar dari dada, pung-
gung, dan lehernya yang bolong akibat tertembus Ca-
kra Maut. 
Dengan langkah gontai, Waskita menghampiri Pen-
dekar Pulau Neraka. Bola matanya masih memerah 
menyala-nyala. Sedangkan Bayu menggeser kakinya ke 
kanan beberapa langkah. Meskipun darah semakin 
banyak bercucuran keluar, tampaknya Waskita masih 
sanggup bertahan. Namun demikian, ayunan langkah-
nya sudah begitu gontai. 
"Pergi kau, Iblis! Hiyaaa...!" 
Sambil berseru nyaring, Bayu melompat cepat ba-
gaikan kilat. Satu tendangan keras menggeledek cepat 
dilepaskan Pendekar Pulau Neraka disertai pengerahan 
tenaga dalam tinggi. Tendangan itu diarahkan lang-
sung ke kepala. Begitu cepatnya serangan itu, mem

buat si Serigala Penghisap Darah tak mampu lagi 
menghindarinya. 
Prak! 
"Aaa...!"
Waskita berputaran beberapa kali ketika tendan-
gan yang dilepaskan Pendekar Pulau Neraka menghan-
tam keras kepalanya. Seketika Serigala Penghisap Da-
rah jatuh bergulingan di tanah. Kepalanya retak, se-
hingga darah merembes keluar semakin deras. Tubuh-
nya menggelepar, dan suaranya menggerung-gerung 
seperti binatang terluka terkena panah pemburu. Se-
mentara Bayu yang memperhatikan saja dengan sikap 
agak tegang.
Cukup lama juga Waskita meregang, menggerung, 
dan menggelepar menyongsong maut. Hingga akhir-
nya, dia mengejang kaku dan diam tak bergerak-gerak 
lagi. Bayu baru bisa menarik napas lega setelah meli-
hat lawannya sudah tak bergerak lagi. Pada saat itu, 
Eyang Badranaya, Adipati Antapara, dan Anggraini 
bergegas menghampiri. Di pundak Eyang Badranaya 
duduk monyet kecil berbulu hitam yang langsung ber-
pindah ke pundak Bayu begitu dekat
"Semuanya sudah berakhir sekarang," desah Bayu 
hampir tak terdengar suaranya.
"Kukira kau memiliki sesuatu yang dapat menga-
lahkan Keris Kala Muyeng, Bayu," tebak Eyang Badra-
naya.
"Tidak ada satu senjata pun di dunia ini yang da-
pat mengalahkannya, Eyang. Hanya ini...," jelas Bayu 
sambil menunjuk keningnya.
Eyang Badranaya tersenyum. Dia mengerti, kalau 
Bayu mengalahkan Waskita yang sudah dikuasai ke-
kuatan jahat Keris Kala Muyeng hanya dengan kecer-
dikan dan siasat jitu. Memang tak ada satu pun benda

sakti di dunia ini yang dapat mengalahkan otak manu-
sia yang memang diciptakan lebih sempurna, daripada 
apa pun yang ada di dunia ini.
Dan itu semua, sebenarnya tidak luput dari jasa 
Tiren, monyet kecil yang cerdik milik Pendekar Pulau 
Neraka. Monyet kecil itu berani mempertaruhkan ji-
wanya sendiri untuk mengalihkan perhatian Waskita. 
Sehingga, Bayu dapat merebut Keris Kala Muyeng dari 
tangan si Serigala Penghisap Darah. Tanpa keris itu,
kekuatan Waskita tidak ada artinya lagi. Meskipun, 
bentuk tubuhnya tetap bergerenjul penuh benjolan se-
perti bisul.
"Bagaimana dengan keris ini, Bayu?" tanya Eyang 
Badranaya yang memegang Keris Kala Muyeng. 
"Sebaiknya simpan saja di tempat yang aman. Ber-
bahaya sekali jika menggunakannya, tanpa dapat 
menguasai kekuatan yang ada padanya," sahut Bayu.
Eyang Badranaya menatap Adipati Antapara, dan 
menyodorkan keris itu.
"Tidak. Sebaiknya kau saja yang menyimpannya, 
Eyang," Adipati Antapara menolak keris itu.
"Benar! Di tangan Eyang, keris itu lebih aman," 
sambung Bayu.
"Baiklah...," desah Eyang Badranaya tidak bisa 
menolak lagi.
Laki-laki tua berjubah putih itu menyelipkan Keris 
Kala Muyeng ke dalam balik lipatan jubahnya. Jika be-
rada dalam warangka, keris itu tidak memiliki daya 
kekuatan sama sekali. Tapi jika sudah keluar dari wa-
rangkanya, maka akan dapat cepat menguasai jiwa 
pemegangnya.
"Mari kita pulang," ajak Adipati Antapara.
"Sebaiknya, aku kembali meneruskan perjalanan 
saja. Kita berpisah di sini," pamit Bayu.

'Tidak! Kau menjadi tamuku di istana," sentak Adi-
pati Antapara tegas.
"Terima kasih, perjalananku masih...." 
"Aku mengundangmu. Dan jika kau menolak, aku 
tidak akan mengizinkan kau masuk ke kadipaten ku
selamanya," potong Adipati Antapara cepat.
”Ayolah, Bayu. Satu dua hari, tidak akan meng-
ganggu perjalananmu," bujuk Eyang Badranaya.
Bayu hanya mengangkat bahunya saja, dan tidak 
bisa lagi menolak undangan adipati muda yang men-
gundangnya secara setengah memaksa ini. Tapi, Bayu 
bisa memaklumi. Adipati Antapara pasti akan menja-
mu untuk mengucapkan terima kasih. Dan sebenar-
nya, hal seperti ini tidak diinginkannya. Tapi, dia tidak 
bisa menolak setelah Eyang Badranaya juga memin-
tanya.
Mereka kemudian melangkah meninggalkan tempat 
itu. Tinggallah mayat Waskita yang telah membuat be-
berapa korban di Kadipaten Patarukan terbujur kaku 
bersama perbuatannya, ini semua akibat seluruh ji-
wanya dikuasai kekuatan jahat dari Keris Kala 
Muyeng. Adipati Antapara sendiri akan mengirimkan 
para prajurit untuk mengurus mayat Waskita, sesam-
painya nanti di istana kadipatenan.


                          SELESAI


Share:

0 comments:

Posting Komentar