KERIS KALA MUYENG
Oleh Teguh Suprianto
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: Puji S.
Gambar sampul oleh Pro's
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Pulau Neraka
dalam episode:
Keris Kala Muyeng
128 hal. ; 12 x 18 cm
SATU
Bau tidak sedap menyeruak menusuk hidung, di-
tebarkan oleh hembusan angin dari sebuah gubuk ke-
cil di pinggiran Hutan Kalikis. Seorang laki-laki berusia
separuh baya tampak tengah berjalan mondar-mandir.
Dia kelihatan gelisah. Dan sebentar-sebentar, pandan-
gannya tertuju ke pintu gubuk kecil yang tertutup ra-
pat. Beberapa kali tarikan nafasnya yang panjang dan
berat terdengar.
Laki-laki separuh baya yang mengenakan baju dari
bahan sutra halus bercorak kembang-kembang itu
berhenti di depan pintu gubuk kecil ini. Dia kelihatan
ragu-ragu mengetuk pintu. Tapi, akhirnya diketuk juga
pintu yang terbuat dari kayu yang sudah lapuk itu.
Tok, tok, tok...!
Tak ada sahutan sedikit pun dari dalam. Laki-laki
separuh baya itu semakin kelihatan gelisah, dan kem-
bali mengetuk pintu beberapa kali. Tetapi tak ada sa-
hutan dari dalam gubuk ini. Dicobanya mengintip dari
celah kecil di atas pintu. Tapi tak ada sesuatu yang
dapat terlihat. Keadaan di dalam gubuk kecil itu demi-
kian gelap, seakan-akan saat ini sudah malam. Padah-
al, matahari di atas sana bersinar amat terik, membuat
keringat mengucur membasahi seluruh tubuh laki-laki
separuh baya itu.
"Nyai, sudah selesai belum...?" agak berbisik sua-
ranya terdengar.
Masih tak ada sahutan dari dalam. Laki-laki sepa-
ruh baya itu menunggu beberapa saat, kemudian me-
langkah mundur dua tindak begitu terdengar suara
langkah kaki terseret dari dalam gubuk ini. Tak berapa
lama kemudian, pintu yang sudah lapuk itu terbuka
memperdengarkan suara berderit. Dari dalam, muncul
seorang perempuan tua mengenakan baju jubah pan-
jang berwarna hitam yang sudah lusuh dan terdapat
beberapa tambalan.
Wanita itu menatap tajam laki-laki separuh baya di
depannya. Raut wajahnya mencerminkan ketidak-
senangan. Bahkan rahangnya tampak terkatup rapat.
Sedangkan laki-laki separuh baya itu tetap saja keliha-
tan gelisah. Dicobanya untuk melihat ke dalam melalui
pundak wanita tua itu. Tapi tetap saja tidak bisa meli-
hat sesuatu di dalam sana. Keadaan di dalam gubuk
itu benar-benar gelap.
"Apa kau tidak bisa sabar sedikit, Waskita?" ter-
dengar kering suara perempuan tua itu.
"Aku tidak bisa lama-lama di sini," sahut laki-laki
setengah baya yang dipanggil Waskita. "Berapa lama
lagi kau akan menyelesaikannya?"
"Berapa kali aku harus mengatakannya...? Kalau
sanggup menunggu, tunggu saja. Tapi kalau kau
menggangguku terus, sebaiknya pulang saja. Dan ti-
dak perlu kau kembali lagi ke sini!" terasa ketus nada
suara perempuan tua itu.
Waskita menelan ludahnya yang mendadak jadi te-
rasa pahit. Dia hanya bisa terdiam, dengan hati masih
tetap dihantui kegelisahan. Sedangkan perempuan tua
itu masuk kembali ke dalam gubuknya, dan pintu gu-
buk itu pun kembali tertutup rapat. Tinggal Waskita
yang berada di luar bersama kegelisahannya yang se-
makin melanda.
"Huh! Kenapa begitu lama sekali? Apa dia ingin
mempermainkan aku...?" dengus Waskita bertanya pa-
da diri sendiri.
Laki-laki setengah baya itu jadi tidak sabar. Kegeli-
sahannya mendadak saja menghilang. Tatapan ma
tanya begitu tajam, tertuju langsung ke pintu gubuk
yang tertutup rapat. Perlahan-lahan kembali dideka-
tinya gubuk itu.
"Aku tidak bisa menunggu terus!" lagi-lagi Waskita
mendengus.
Laki-laki setengah baya itu sudah tidak peduli lagi
terhadap larangan perempuan tua tadi. Kembali dige-
dornya pintu gubuk itu. Kali ini begitu keras, sehingga
membuat daun pintu yang sudah lapuk itu bergetar.
Tak ada sahutan sedikit pun dari dalam. Dan kini wa-
jah Waskita sudah memerah.
"Nyai! Jika tidak kau selesaikan sekarang juga, pin-
tu ini ku dobrak!" ancam Waskita lagi.
Tetap tidak ada sahutan dari dalam gubuk itu. Ma-
ka Waskita jadi tidak sabar lagi. Mulutnya mendesis.
Kemarahannya tak dapat ditahan lagi. Kesabarannya
sudah sampai puncaknya. Maka tiba-tiba saja Waskita
melayangkan satu pukulan keras.
Brak!
Daun pintu yang sudah lapuk itu seketika jebol be-
rantakan. Waskita langsung menerobos masuk ke da-
lam. Tapi hatinya jadi tercengang, karena tidak ada
seorang pun di dalam gubuk kecil yang reyot ini. Kea-
daannya cukup gelap. Tapi dari pintu yang ambrol, ca-
haya matahari menerobos masuk, sehingga Waskita
dapat melihat sekeliling gubuk ini. Tak ada perabotan
satu pun juga. Gubuk ini memang dalam keadaan ko-
song.
"Setan...! Dia benar-benar ingin mempermainkan
aku!" dengus Waskita berang.
Hampir saja kemarahannya dilampiaskan, ketika
tiba-tiba saja berhembus angin kencang yang mem-
buat laki-laki setengah baya itu terpental ke luar gu-
buk ini! Cukup keras tubuhnya terhempas ke tanah,
dan bergulingan beberapa kali. Begitu bangkit berdiri,
dari dalam gubuk itu melesat bayangan hitam. Dan
tahu-tahu di depan Waskita sudah berdiri seorang pe-
rempuan tua berbaju hitam yang sudah lusuh dan pe-
nuh tambalan.
Wajah perempuan tua itu memerah, dan sinar ma-
tanya tajam berkilat bagai bola api. Ditatapnya Waski-
ta tajam-tajam tanpa berkedip. Gerahamnya bergeme-
letuk, menahan kemarahan yang tak terbendung lagi.
***
"Kau benar-benar tidak bisa dipercaya, Waskita.
tanggunglah sendiri akibatnya...!" geram wanita tua
itu.
"Kau hanya mempermainkan aku saja! Mana Keris
Kala Muyeng itu?" nada suara Waskita tidak kalah
dinginnya.
"Belum selesai!" sahut wanita tua itu mendengus
kesal.
"Aku tidak peduli! Cepat, berikan sekarang...!"
"Sudah kuduga sebelumnya. Kau akan membuat
masalah, Waskita. Sungguh menyesal aku menerima
pesananmu."
"Jangan banyak omong! Berikan keris itu padaku!
Atau terpaksa harus kugunakan kekerasan...?!" ancam
Waskita tidak main-main lagi.
Perempuan tua itu melompat mundur dua tindak
begitu mendengar ancaman Waskita yang tampaknya
tidak main-main lagi. Keningnya sampai berkerut, dan
tatapan matanya memancarkan ketidakpercayaan
dengan pendengarannya barusan. Sementara Waskita
sudah meloloskan pedangnya yang sejak tadi tergan-
tung di pinggang. Perlahan kakinya melangkah maju
sambil menghunus pedangnya ke depan.
"Jangan main-main dengan senjata, Waskita...,"
perempuan tua itu memperingatkan.
"Kau yang memaksaku berbuat begini. Mana keris
itu?!" bentak Waskita kasar.
"Keris itu belum selesai! Masih satu pekan lagi!"
jawab perempuan tua itu sengit.
"Selesai atau tidak, keris itu harus kubawa seka-
rang juga! Aku sudah cukup bersabar, Nyai...!"
Waskita makin dekat saja dengan perempuan tua
itu. Ujung pedangnya tertuju lurus ke arah dada. Se-
dangkan perempuan tua itu kelihatan khawatir terha-
dap ancaman Waskita yang tampaknya tidak main-
main. Kakinya bergeser beberapa tindak ke kanan, tapi
Waskita tetap menujukan ujung pedangnya ke dada
perempuan tua itu.
"Ini peringatanku yang terakhir, Nyai. Berikan keris
itu, atau terpaksa pedang ini kugunakan untuk me-
maksamu!" lagi-lagi Waskita mengancam.
"Jangan lakukan itu, Waskita. Kau akan celaka
seumur hidup," perempuan tua itu mencoba menya-
darkan.
"Setan! Aku tidak butuh nasihatmu! Berikan keris
itu, cepaaat..!" bentak Waskita semakin kalap.
'Tidak! Keris itu belum sempurna. Kau akan celaka
bila menggunakannya."
"Keparat..! Jangan salahkan bila pedang ini me-
nembus jantungmu, Nyai...!"
Bet!
Seketika itu juga Waskita mengebutkan pedangnya
ke arah dada perempuan tua itu. Tapi sedikit saja pe-
rempuan tua berbaju kumal itu menarik tubuh ke be-
lakang, maka ujung pedang Waskita hanya lewat di
depan dadanya.
"Rupanya kau punya simpanan juga, Nyai Sureng.
Bagus! Tahan seranganku...! Hiyaaat..!"
Waskita tak dapat lagi mengendalikan diri. Bagai-
kan kilat, dia melompat menerjang sambil menge-
butkan pedang ke arah leher perempuan tua yang ter-
nyata bernama Nyai Sureng. Namun, Nyai Sureng ma-
sih dapat mengelakkan serangan laki-laki separuh
baya ini.
Maka pertarungan pun tak mungkin dapat dihin-
dari lagi. Waskita terus merangsek, menggunakan ju-
rus-jurus permainan pedang yang cepat dan berba-
haya sekali. Akibatnya, Nyai Sureng jadi kelabakan se-
tengah mati untuk menghindarinya. Hingga pertarun-
gan baru berjalan lima jurus, satu pukulan yang dile-
paskan Waskita berhasil bersarang di dada perempuan
tua itu.
Des!
"Akh...!" Nyai Sureng terpekik agak tertahan.
Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang bebera-
pa langkah. Tangannya memegangi dada yang menda-
dak saja jadi terasa sesak, akibat terhajar pukulan
mengandung pengerahan tenaga dalam cukup tinggi.
Dan sebelum sempat mengatur pernafasannya yang
sesak, mendadak saja Waskita sudah membabatkan
pedang dengan kecepatan penuh.
"Yeaaah...!"
Wuk!
Cras...!
"Aaa...!" Nyai Sureng menjerit keras melengking
tinggi.
Tebasan pedang Waskita tak dapat dihindarinya.
Dada perempuan tua itu langsung robek. Seketika da-
rah menyembur deras sekali. Kembali Nyai Sureng ter-
huyung-huyung ke belakang. Waskita yang sudah ma
ta gelap, tak memberi kesempatan lagi. Cepat bagai ki-
lat dia kembali melompat sambil membabatkan pe-
dangnya.
"Hiyaaat..!"
Bet!
Cras!
"Aaa...!"
Sebentar Nyai Sureng masih dapat berdiri, kemu-
dian ambruk menggelepar di tanah. Darah menyembur
deras dari lehernya yang terbabat hamper buntung.
Tak berapa lama kemudian, perempuan tua itu sudah
diam tak bergerak-gerak lagi. Tewas dengan dada dan
leher sobek terkena tebasan pedang Waskita.
"Kau terlalu meremehkan aku, Nyai. Terpaksa aku
harus melenyapkanmu," desis Waskita seraya meng-
hampiri.
Laki-laki separuh baya itu menyarungkan pedang-
nya kembali di pinggang. Kemudian, diperiksanya selu-
ruh tubuh perempuan tua ini. Dan dari balik lipatan
baju, ditemukannya sebilah keris yang tersimpan di
dalam warangka yang terbuat dari kayu pangkal asam.
Dipandanginya keris itu lekat-lekat lalu perlahan dica-
but.
"Heh...! Kenapa bentuknya begini..?"
Waskita jadi terkejut, karena keris itu memang be-
lum jadi. Masih kelihatan kasar, dan tidak sedap di-
pandang mata. Tapi keris itu memancarkan pamor
dahsyat dan luar biasa. Baru sebentar saja Waskita
memegang, sudah bisa merasakan adanya getaran-
getaran aneh yang merasuk ke dalam tubuhnya. Geta-
ran itu semakin lama semakin kuat, dan akhirnya
membuat Waskita terkejut. Buru-buru dimasukkannya
senjata itu ke dalam warangka.
"Gila...! Keris ini mengandung daya tarik yang begi
tu kuat. Nafsu membunuhku begitu keras berkobar.
Aku jadi merasa haus. Tapi bukan haus biasa, melain-
kan haus darah. Hhh...! Kuharap keris ini juga mem-
beri kekuatan dahsyat padaku," Waskita bicara sendi-
ri.
Sebentar laki-laki setengah baya itu masih me-
mandangi keris di genggamannya, kemudian menye-
lipkannya di balik sabuk di depan perut. Dan kini, di-
tatapnya mayat Nyai Sureng. Lalu, kakinya terayun
melangkah meninggalkan tempat itu. Ayunan kakinya
begitu tegap, menghampiri seekor kuda yang tertambat
di bawah pohon kemuning.
"Hup! Hiya...!"
Begitu melompat naik ke punggung kudanya,
Waskita langsung menggebah kuda coklat berbelang
putih itu. Cepat sekali binatang itu berlari, sehingga
sebentar saja sudah jauh meninggalkan gubuk kecil di
pinggiran hutan ini. Meninggalkan sosok mayat pe-
rempuan tua yang tergeletak dengan dada dan leher
menganga berlumuran darah.
***
Waktu terus bergulir, sejalan dengan perputaran
alam yang sesuai kodratnya. Siang pun berlalu, ber-
ganti senja. Seekor kuda putih berjalan perlahan me-
nuju gubuk kecil di pinggiran Hutan Kalikis. Di pung-
gungnya duduk seorang gadis berwajah cantik, ba-
junya berwarna biru muda dan cukup ketat, sehingga
membentuk tubuhnya yang ramping, padat berisi. Dua
buah gundukan menonjol indah di dadanya.
Gadis itu perlahan-lahan mengendalikan kudanya
sambil menikmati kesegaran udara senja. Pandangan-
nya tertuju langsung ke arah gubuk kecil yang letak
nya cukup tersembunyi, di antara lebatnya pepohonan
tepian Hutan Kalikis ini. Mendadak saja keningnya
berkerut, saat pandangannya menangkap sosok tubuh
tergolek tidak jauh dari gubuk kecil itu.
"Nyai Sureng...," desis gadis itu.
Seketika kudanya digebah agar berlari kencang.
Kuda putih itu meringkik keras, lalu melesat cepat ber-
lari bagaikan sebatang anak panah terlepas dari bu-
sur. Sebentar saja binatang itu sudah dekat dengan
gubuk kecil yang tampak rapuh ini.
"Hooop...!"
Sambil menarik tali kekang kudanya, gadis cantik
berbaju biru muda itu melompat turun. Gerakannya
sungguh indah dan ringan. Dua kali dia melakukan
putaran di udara, lalu manis sekali menjejakkan ka-
kinya, tepat di samping tubuh wanita tua yang tergolek
tak bernyawa di depannya.
Bergegas gadis itu menubruk tubuh yang sudah
dingin tak bernyawa. Matanya yang bulat, berputaran
merayapi tubuh tua di dalam pangkuannya. Seakan,
dia tidak percaya dengan penglihatannya sendiri.
"Nyai...," panggil gadis itu pelan, agak berbisik sua-
ranya.
Diguncang-guncangnya tubuh wanita tua itu, tapi
tetap saja tidak bergerak sedikit pun. Sesaat gadis itu
masih merayapi, seakan-akan ingin meyakinkan kalau
Nyai Sureng sudah tewas. Perlahan kemudian tubuh
wanita tua itu diangkat, dan dipondongnya, masuk ke
dalam gubuk. Di atas tanah yang hanya beralaskan se-
lembar tikar lusuh, tubuh Nyai Sureng dibaringkan
dengan hati-hati sekali.
"Siapa yang melakukan ini padamu, Nyai? Bicara-
lah padaku...," tanya gadis cantik itu dengan suara
perlahan dan hampir tidak terdengar.
Nyai Sureng tetap diam. Darah sudah berhenti
mengalir dari luka yang menganga di dada dan leher-
nya. Perlahan gadis cantik berbaju biru itu melangkah
mundur. Matanya masih memandangi tubuh wanita
tua yang terbaring di atas sehelai tikar lusuh. Perlahan
kakinya terus melangkah mundur sampai keluar dari
gubuk kecil ini. Ketika sudah ada jarak sekitar dua ba-
tang tombak dari pondok, langkahnya berhenti.
"Maafkan aku, Nyai. Hanya ini yang bisa kulaku-
kan untukmu. Aku hanya melaksanakan pesanmu...,"
ucap gadis itu perlahan.
Sebentar dipandanginya gubuk kecil itu, lalu per-
lahan-lahan kakinya direntangkan ke samping. Perla-
han pula kedua tangannya diangkat sampai sejajar
pinggang. Lalu tangan itu terus naik hingga sejajar di
samping dada. Sebentar kemudian ditariknya napas
dalam-dalam, lalu ditahannya beberapa saat Dan...
"Hiyaaa...!"
Cepat sekali gadis itu menghentakkan kedua tan-
gannya ke depan, dengan jari-jari terkembang. Secer-
cah cahaya merah kekuning-kuningan, meluncur de-
ras dari kedua telapak tangan yang terbuka itu, lang-
sung menghantam gubuk kecil di depannya.
Glarrr...!
Ledakan keras terdengar menggelegar, bersama
hancurnya gubuk kecil itu. Debu mengepul membum-
bung tinggi ke angkasa bersama asap kemerahan dan
serpihan puing-puing gubuk itu. Api langsung berko-
bar, membakar gubuk yang berisi mayat Nyai Sureng.
Gadis cantik berbaju biru itu segera duduk bersila
dengan kedua tangan diletakkan di atas lutut. Pan-
dangannya tertuju lurus ke arah gubuk kecil yang
hancur dan terbakar.
Suara bergemeretak dari kayu-kayu termakan api
terdengar mengusik gendang telinga. Asap kemerahan
terus mengepul membumbung tinggi ke angkasa. Tiba-
tiba saja terdengar ledakan dahsyat, disusul memer-
ciknya bunga api yang menyebar ke segala arah. Seke-
tika itu juga, api yang membakar gubuk itu padam.
Dan dari asap kemerahan yang mengepul tebal, terli-
hat bayang-bayang sosok tubuh perempuan tua berju-
bah kumal penuh tambalan.
"Nyai...," desis gadis cantik berbaju biru itu.
Bayang-bayang Nyai Sureng di antara kepulan
asap kemerahan terlihat menyunggingkan senyum.
Sedangkan gadis berbaju biru muda yang masih du-
duk bersila sekitar dua batang tombak dari reruntu-
han gubuk itu hanya memandangi dengan mulut agak
terbuka.
"Kaukah itu, Anggraini...?" terdengar pelan dan se-
rak suara bayangan Nyai Sureng.
"Benar, Nyai. Aku Anggraini," sahut gadis itu.
"Kenapa baru datang sekarang?"
"Maaf, Nyai. Ada sedikit halangan tadi di jalan.
Nyai...."
"Aku tahu, apa yang ingin kau ketahui, Anggraini,"
potong Nyai Sureng sebelum Anggraini meneruskan
ucapannya.
Anggraini jadi terdiam, dan hanya memandang saja
bayangan wanita tua itu di dalam asap kemerahan
yang terus mengepul membumbung tinggi ke angkasa.
"Sehari setelah kau pergi dari sini, aku kedatangan
seorang laki-laki separuh baya. Dia membawa sebuah
benda yang memiliki kekuatan dahsyat, dan minta
agar aku membuatkannya sebuah senjata dari benda
itu. Permintaan itu ku turuti dengan janji bayaran
yang sangat besar. Tapi aku jadi kewalahan. Ternyata
aku tidak mampu menguasai benda itu, meskipun su
dah ke bentuk menjadi sebuah keris. Yang lebih parah
lagi, dia tidak sabar menunggu. Hingga...," Nyai Sureng
tidak meneruskan.
"Siapa orang itu, Nyai?" tanya Anggraini.
"Dia datang dari sebuah kadipaten di kaki Gunung
Patarukan. Namanya Waskita. Hanya itu yang ku tahu,
Anggraini," sahut Nyai Sureng.
"Waskita...," Anggraini mendesiskan nama yang
disebut Nyai Sureng.
"Anggraini! Hanya kau satu-satunya yang bisa ku
andalkan. Cari dia, dan ambil Keris Kala Muyeng dari
tangannya. Senjata itu sangat berbahaya jika diguna-
kan ke jalan yang salah. Kau harus bisa menyela-
matkan keris itu, Anggraini," pesan Nyai Sureng me-
minta.
"Baik, Nyai. Akan kucari orang itu," tekad Anggrai-
ni.
"Aku tidak bisa terlalu lama. Anggraini. Waktuku
sudah habis...."
"Nyai...,"
Tapi Nyai Sureng sudah menghilang sebelum
Anggraini bisa mengucapkan sesuatu. Bersama meng-
hilangnya bayangan Nyai Sureng, asap kemerahan itu
pun lenyap dari pandangan. Kini hanya tinggal onggo-
kan puing-puing gubuk kecil yang sudah hancur tak
berbentuk lagi.
“Waskita… Akan kukejar kau, biar sampai ke
ujung dunia sekalipun,” desis Anggraini seraya bangkit
berdiri.
***
DUA
Malam baru saja merayap turun menyelimuti per-
mukaan bumi. Tugas sang mentari yang sepanjang ha-
ri menyinari mayapada ini, telah digantikan sang dewi
malam, dengan sinarnya yang lembut keperakan. Di
antara siraman cahaya rembulan, tampak seorang la-
ki-laki berusia setengah baya tengah berjalan perla-
han-lahan sambil menuntun kudanya. Sesekali kepa-
lanya ditengadahkan, menatap rembulan yang malam
ini bersinar penuh.
"Berhenti...!"
Tiba-tiba saja terdengar bentakan keras menggele-
gar. Laki-laki separuh baya mengenakan baju indah
dari bahan sutra halus itu langsung menghentikan
ayunan kakinya. Pada saat itu, dari atas pohon di de-
pannya berkelebat sebuah bayangan hitam. Ringan se-
kali gerakannya. Tahu-tahu di depan laki-laki separuh
baya yang ternyata Waskita, telah berdiri seseorang
bertopeng kayu berbentuk wajah kera.
Dari bentuk tubuh orang bertopeng itu, sudah da-
pat dipastikan kalau dia adalah perempuan. Bentuk
tubuhnya begitu ramping, dengan sebilah pedang pan-
jang tergantung di pinggang. Dia berdiri tegak sambil
berkacak pinggang, sekitar dua batang tombak di de-
pan Waskita.
"Siapa kau?! Berani benar menghadang jalanku!"
bentak Waskita, tidak senang karena jalannya terha-
lang.
"Jangan banyak tanya! Serahkan Keris Kala
Muyeng padaku!" bentak orang bertopeng kera itu lan-
tang.
"Heh...?!" Waskita jadi terkejut mendengar benta
kan itu.
"Jangan paksa aku menggunakan kekerasan,
Waskita. Serahkan keris itu!" ancam wanita bertopeng
kera itu lagi.
"Hei? Dari mana kau tahu tentang Keris Kala
Muyeng?" tanya Waskita masih keheranan.
Baru siang tadi keris ini direbut dari tangan Nyai
Sureng. Dan sekarang, di depannya sudah berdiri seo-
rang wanita mengenakan topeng berwajah kera akan
meminta keris itu. Waskita jadi keheranan setengah
mati. Sebab, Keris Kala Muyeng baru saja direbut dari
tangan pembuatnya. Dan setahunya, tidak ada seorang
pun yang mengetahui tentang senjata ini, kecuali be-
berapa orang. Dan itu tidak termasuk orang di depan-
nya.
"Sudah kubilang, jangan banyak tanya! Serahkan
keris itu, atau terpaksa kugunakan kekerasan!" bentak
wanita bertopeng kera itu lagi.
"Ambillah sendiri kalau mampu," dengus Waskita
jadi jengkel juga mendengar ancaman wanita berto-
peng kera itu.
"Keras kepala...! Rasakan ini! Hiyaaat..!"
Bagaikan kilat, wanita bertopeng kera itu melompat
menerjang Waskita. Satu pukulan keras bertenaga da-
lam tinggi dilepaskan ke arah dada laki-laki setengah
baya itu. Tapi hanya sedikit mengegoskan tubuh ke
kanan, Waskita bisa menghindarinya.
Cepat Waskita melompat ke belakang dua langkah,
lalu bergegas melepaskan pukulan balasan yang lurus
ke arah dada wanita bertopeng kera. Namun tanpa di-
duga sama sekali, wanita itu tidak berusaha menghin-
dar. Bahkan tangannya cepat diputar arahnya untuk
menyambut pukulan keras yang dilepaskan Waskita.
Plak!
Tak pelak lagi, dua tangan beradu keras. Waskita
seketika tersentak. Karena begitu membentur tangan
wanita bertopeng kera itu, tangannya seperti tersengat
ribuan lebah berbisa. Maka cepat-cepat tangannya di-
tarik pulang. Sedangkan wanita bertopeng kera itu, ju-
ga tersentak kaget. Bahkan sampai melompat ke bela-
kang dua langkah.
Wanita itu merasakan tulang pergelangan tangan-
nya seperti retak, ketika beradu dengan tangan Waski-
ta tadi. Begitu kerasnya, karena masing-masing men-
gerahkan tenaga dalam tinggi. Dan kelihatannya, tena-
ga dalam yang mereka miliki cukup seimbang. Masing-
masing langsung merasakan akibat benturan dua te-
naga dalam tadi yang tersalur ke tangan.
"Hep!"
Wanita bertopeng kera itu kembali menyiapkan se-
rangan. Kedua tangannya bergerak-gerak di depan da-
da. Lalu dengan cepat, dia kembali melompat menye-
rang laki-laki setengah baya itu. Waskita juga cepat
bertindak. Tubuhnya langsung berlompatan menghin-
dari serangan yang dilakukan perempuan bertopeng
kera ini. Beberapa kali pukulan dilepaskan, tapi tak
satu pun yang berhasil bersarang di tubuh laki-laki se-
tengah baya ini.
Teriakan-teriakan keras menggelegar terdengar sal-
ing sambut, memecah kesunyian malam ini. Mereka
sama-sama melancarkan jurus-jurus dahsyat, dengan
pukulan-pukulan mengandung pengerahan tenaga da-
lam tinggi. Tanpa terasa, mereka sudah menghabiskan
sekitar lima jurus.
"Hiyaaa...!"
Tiba-tiba saja Waskita melentingkan tubuhnya ke
atas, lalu cepat melakukan putaran dua kali. Kemu-
dian tubuhnya menukik deras sambil melepaskan satu
pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam tinggi
ke arah kepala.
"Hait!"
Wanita bertopeng kera itu cepat-cepat menarik ke-
pala ke belakang, sambil menggeser kakinya satu
langkah ke kiri. Serangan Waskita yang begitu cepat
memang dapat dihindarinya. Tapi tanpa diduga sama
sekali, Waskita langsung melontarkan satu tendangan
keras menggeledek begitu kakinya menjejak tanah.
Begitu cepatnya serangan yang dilakukan Waskita,
sehingga perempuan bertopeng kera itu tidak sempat
lagi menghindar. Akibatnya tendangan Waskita begitu
telak menghantam dada. Wanita bertopeng kera itu
langsung terpekik keras, dan terjajar ke belakang se-
jauh dua batang tombak.
Dan sebelum wanita bertopeng kera itu bisa men-
guasai keseimbangan tubuhnya, Waskita cepat sekali
melompat menerjang. Langsung dilepaskannya satu
pukulan keras, disertai pengerahan tenaga dalam ting-
gi.
"Hiyaaa...!"
"Ufh...!"
Wanita bertopeng kera itu cepat-cepat membanting
tubuhnya ke tanah, lalu bergulingan beberapa kali. Se-
rangan Waskita kali ini tidak mengenai sasaran, ke-
cuali sebatang pohon saja. Pohon itu seketika tumbang
begitu terkena pukulan Waskita.
"Hup!"
Wanita bertopeng kera itu bergegas melompat
bangkit. Dipegangi dadanya yang masih terasa agak
sesak akibat terkena tendangan Waskita tadi. Kemu-
dian kakinya dua langkah ditarik ke belakang. Semen-
tara Waskita sudah memutar tubuhnya berbalik. Sinar
mata laki-laki itu begitu tajam, merah membara bagai
kan sepasang mata elang yang bernafsu melihat mang-
sa.
Sret!
Wanita bertopeng kera itu mencabut pedangnya
yang tergantung di pinggang. Perlahan-lahan pedang-
nya digerakkan, hingga melintang di depan dada. Meli-
hat lawan sudah menghunus senjata, Waskita segera
meraba gagang pedangnya yang juga tergantung di
pinggang. Tapi di luar dugaan pedangnya tidak jadi di-
tarik ke luar. Bahkan kini malah cepat menarik keris
yang terselip di depan perutnya.
Cring!
"Hah...?!"
Perempuan bertopeng kera itu terkejut melihat ke-
ris yang memiliki pamor sangat dahsyat ini. Begitu ter-
kejutnya, sehingga sampai menarik kakinya ke bela-
kang beberapa tindak. Sedangkan Waskita sudah me-
lintangkan kerisnya di depan dada. Perlahan-lahan ke-
ris itu diangkat hingga sampai di atas kepala. Lalu per-
lahan-lahan pula diturunkan kembali. Tatapan ma-
tanya semakin tajam, tertuju lurus ke wajah yang ter-
tutup topeng kayu berbentuk wajah kera.
***
"Hiyaaat..!"
Bagaikan kilat, Waskita melompat menerjang wani-
ta bertopeng kera itu. Dengan cepat pula kerisnya di-
kibaskan beberapa kali, sehingga membuat wanita ber-
topeng kera itu kelabakan. Tubuhnya berjumpalitan,
menghindari serangan-serangan yang dilancarkan
Waskita dengan kecepatan luar biasa. Beberapa kali
ujung keris yang masih setengah jadi itu hampir mero-
bek kulit tubuh wanita bertopeng kera itu, tapi masih
bisa dihindari meskipun terus terdesak.
"Mampus kau! Yeaaah...!" teriak Waskita keras
menggelegar.
Saat itu juga, dengan kecepatan kilat Waskita me-
nusukkan kerisnya ke arah dada wanita bertopeng ke-
ra yang kelihatan sedikit terbuka. Serangan kali ini
benar-benar membuatnya jadi kelabakan setengah ma-
ti. Tak ada lagi kesempatan baginya untuk menghin-
dar. Dan dengan cepat sekali pedangnya dikebutkan,
mencoba menangkis keris yang meluncur deras men-
gancam dada.
Wuk!
Trang!
"Heh...?!"
Wanita bertopeng kera itu jadi terkejut setengah
mati. Pedangnya seketika terpenggal begitu membentur
Keris Kala Muyeng yang berada di tangan Waskita.
Maka cepat-cepat tubuhnya dilentingkan ke belakang,
langsung melakukan putaran sebanyak tiga kali. Na-
mun baru saja kakinya menjejak tanah, Waskita sudah
melepaskan satu tendangan keras menggeledek.
"Yeaaah...!"
"Heh?!"
Des!
Wanita bertopeng kera itu tidak dapat lagi meng-
hindar. Tendangan yang dilepaskan Waskita, tepat
menghantam dada. Akibatnya tubuhnya terpental cu-
kup jauh, dan baru berhenti setelah punggungnya
menghantam sebatang pohon. Wanita bertopeng kera
itu jatuh terkulai di tanah. Dicobanya untuk bangkit
berdiri, tapi langsung memuntahkan darah kental agak
kehitaman.
"Aku harus meninggalkan pertarungan ini. Huh!
Bisa mati kalau diteruskan...!" dengus wanita berto
peng kera itu dalam hati.
Tepat ketika Waskita sudah bersiap kembali hen-
dak melancarkan serangan, wanita bertopeng kera itu
sudah lebih cepat bangkit. Dan dengan sisa-sisa keku-
atan yang masih ada, dia cepat melompat kabur.
"He...! Jangan lari kau!" bentak Waskita berang.
Tapi sebelum laki-laki setengah baya itu mengejar,
wanita bertopeng kera itu sudah lenyap ditelan lebat-
nya pepohonan. Terlebih lagi, saat ini malam sudah
cukup larut. Sehingga, hal itu membantunya untuk
cepat menghilang, sebelum Waskita sempat mengejar-
nya.
"Setan...!" geram Waskita kesal.
Waskita memasukkan kembali keris ke dalam wa-
rangkanya yang terselip di depan perut. Matanya me-
natap tajam ke arah wanita bertopeng kera yang
menghilang tadi. Sebentar laki-laki setengah baya itu
masih berdiri tegak, lalu berbalik dan melangkah
menghampiri kudanya. Kemudian diambilnya tali ke-
kang kudanya, lalu kakinya terayun kembali. Tapi ba-
ru juga beberapa langkah, sudah berhenti lagi.
"Aneh.... Dia tahu tentang Keris Kala Muyeng Siapa
dia...? Hm, dari mana dia tahu tentang keris ini?"
Waskita jadi bertanya-tanya sendiri.
Sia-sia saja dia mencoba mencari jawaban dari per-
tanyaan yang tiba-tiba timbul di kepalanya. Wajah
yang tertutup topeng, memang sukar dikenali. Waskita
kembali mengarahkan pandangannya ke arah wanita
bertopeng kera itu tadi menghilang. Dia tahu kalau
arah itu akan terus masuk ke dalam hutan. Sedang-
kan dia sendiri, tadi tengah menuju desa yang tidak
seberapa jauh lagi dari tempat ini.
Seluruh tubuhnya sudah teramat letih, setelah se-
harian terguncang-guncang di atas punggung kuda.
Waskita kembali mengayunkan kakinya perlahan-
lahan. Namun, benaknya masih terus diliputi berbagai
macam pertanyaan dan keheranan atas kemunculan
wanita bertopeng kera tadi.
"Paruta juga tahu tentang keris ini. Tapi, apa
mungkin...? Ah, tidak...! Tidak mungkin dia berani me-
rebut keris ini dari tanganku," Waskita jadi berbicara
sendiri.
Dan kini laki-laki setengah baya itu jadi diliputi
kebingungan serta kebimbangan. Memang ada bebera-
pa orang lain lagi yang tahu tentang Keris Kala Muyeng
ini. Salah satunya adalah Paruta. Waskita memang
sudah menceritakan semua tentang keris ini padanya.
Tapi, semua yang terlintas di dalam benaknya cepat
dibantahnya. Dia tidak yakin kalau wanita bertopeng
kera tadi adalah Paruta.
"Jangan-jangan Paruta telah menceritakan tentang
keris ini pada orang lain...? Huh! Tapi kalau sampai
berani membocorkan rahasia ini dia akan kubunuh!"
Waskita bergegas naik ke punggung kudanya.
"Maaf, kau terpaksa tidak beristirahat malam ini.
Kita harus secepatnya berada di Kadipaten Patarukan,"
ujar Waskita pada kudanya.
Begitu tali kekang dihentakkan, kuda coklat itu
langsung berlari cepat menembus kegelapan malam.
Waskita terus cepat menggebah kudanya, tidak peduli
kalau saat ini sudah hampir tengah malam.
"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"
***
Saat matahari berada di atas kepala, Waskita baru
sampai di perbatasan Kota Kadipaten Patarukan. Sua-
sana yang ramai, membuatnya untuk tidak cepat-cepat
memacu kudanya. Tak ada seorang pun yang mem-
perhatikannya, meskipun di sepanjang jalan yang dila-
lui, dipenuhi orang yang sibuk dengan kegiatan mas-
ing-masing.
Keadaan Waskita memang cukup sukar dikenali
lagi, jika hanya dilihat sepintas saja. Pakaiannya kotor,
penuh debu yang melekat bercampur keringat. Dan
wajahnya pun seperti berkerak penuh debu. Perjala-
nannya memang sangat melelahkan, setelah semala-
man penuh memacu kudanya tanpa mengenal lelah.
Laki-laki setengah baya itu baru menghentikan laju
kudanya setelah sampai di depan sebuah rumah yang
cukup besar. Rumah itu memiliki gapura batu sebagai
pintu gerbang, dan dijaga dua orang bersenjata golok
terselip di pinggang.
Tanpa menghiraukan kedua penjaga yang bengong
memperhatikannya, Waskita kembali menggebah ku-
danya melewati pintu gapura itu. Dan dia baru melom-
pat turun setelah sampai di depan tangga masuk se-
buah rumah yang besar dan indah. Beberapa orang
yang berada di sekitar halaman dan beranda rumah
itu hanya memperhatikan saja dengan kening sedikit
berkerut.
Sedangkan Waskita terus melangkah memasuki
rumah besar ini. Sampai di bagian dalam, ayunan ka-
kinya tidak dihentikan. Dia terus saja berjalan melewa-
ti ruangan tengah. Di sana, seperti telah menunggu
seorang laki-laki berusia sekitar delapan puluh tahun.
Laki-laki tua mengenakan baju warna putih dari ba-
han sutra halus itu bergegas bangkit berdiri begitu me-
lihat kedatangan Waskita.
"He...?! Kenapa baru sekarang kau datang?!" sen-
tak laki-laki tua itu dengan mata sedikit mendelik.
Waskita bergegas berlutut, seraya merapatkan ke
dua telapak tangan di depan hidung. Kemudian dia
duduk bersila di lantai yang beralaskan permadani
tebal berwarna merah menyala. Laki-laki tua berbaju
putih agak ketat dan masih kelihatan gagah itu meng-
hampiri dengan langkah ringan. Di tangan kanannya
tergenggam sebatang tongkat yang tak beraturan ben-
tuknya.
"Sejak pagi tadi aku menunggu. Ke mana saja kau,
sampai baru sekarang datang...?!" tanya laki-laki tua
itu masih dengan nada yang sama.
"Ampun, Gusti. Ada sedikit halangan di jalan,"
ucap Waskita dengan sikap penuh rasa hormat.
'Tapi, kau berhasil bukan...?" laki-laki tua itu se-
perti tidak peduli dengan alasan yang dikemukakan
Waskita.
Waskita hanya diam saja, tapi malah menunduk-
kan kepalanya, menekuri lantai. Sehingga membuat
laki-laki tua bertongkat tak beraturan itu jadi mena-
tapnya tajam-tajam. Kening yang sudah berkerut cu-
kup banyak, semakin kelihatan jelas kerutannya. Se-
dangkan Waskita masih tetap diam sambil menunduk-
kan kepala.
"Katakan, Waskita. Kau berhasil apa tidak...?" de-
sak laki-laki tua itu tidak sabar.
"Ampun, Gusti. Hamba sudah berusaha. Tapi...,"
Waskita tidak meneruskan kalimatnya.
"Kau gagal..?!" sentak laki-laki tua itu semakin le-
bar mendelik.
Sebentar Waskita terdiam, kemudian kepalanya te-
rangguk perlahan.
Trak!
Laki-laki tua itu menghentakkan ujung tongkatnya,
menghantam lantai di ujung kakinya. Seketika wajah
yang masih kelihatan gagah, meskipun kumisnya su
dah berwarna putih, jadi berubah merah padam. Persis
seperti sepotong besi yang terbakar di dalam tungku.
"Bodoh...! Baru mendapat tugas ringan begitu saja
tidak berhasil.'" dengus laki-laki tua itu.
"Hamba sudah berusaha, Gusti. Tapi dia tetap ti-
dak menyerah. Bahkan berani menentang. Hamba ter-
paksa melakukan kekerasan. Hamba sudah berusaha
untuk mendapatkannya, tapi...," kata-kata Waskita
kembali terputus.
"Kau benar-benar mengecewakan, Waskita. Baru
menghadapi perempuan tua saja sudah tidak becus!'!
laki-laki tua berjubah putih itu masih kelihatan kesal.
"Sebenarnya, hamba bisa memperolehnya, Gusti,"
kata Waskita lagi.
"Kenapa kau tidak memperolehnya sekarang...?"!
"Seseorang datang membantunya, Gusti. Ilmu olah
kanuragannya sangat tinggi. Hamba dibuat babak be-
lur. Kalau saja tidak segera lari, pasti hamba sudah
tewas di tangannya," lagi-lagi Waskita memberikan
alasan.
"Siapa dia?" tanya laki-laki tua berbaju putih agak
ketat itu.
'Sukar dikenalinya, karena dia mengenakan topeng
berbentuk kera, Gusti."
Laki-laki tua berbaju putih itu memandangi Waski-
ta dalam-dalam, seperti tidak percaya dengan kata-
kata yang didengarnya barusan. Sedangkan Waskita
sendiri hanya tertunduk saja, seakan-akan menyem-
bunyikan raut wajahnya yang sebentar memerah, dan
sebentar kemudian agak memucat. Untuk beberapa
saat tak ada yang bicara. Ruangan tengah cukup besar
dan indah ini jadi terasa begitu lengang, sehingga de-
tak jantung terdengar cukup jelas.
"Kau tidak berdusta, Waskita?" nada suara laki-laki
tua itu terdengar menyelidik.
"Hamba mengatakan yang sebenarnya, Gusti Wa-
nengpati," sahut Waskita seraya memberi sembah den-
gan merapatkan kedua tangannya di depan hidung.
"Hm...," laki-laki tua yang dipanggil Gusti Waneng-
pati itu hanya bergumam saja.
Kembali tidak terdengar suara sedikit pun. Perla-
han Gusti Wanengpati memutar tubuhnya, dan me-
langkah menghampiri kursi yang tadi didudukinya se-
belum Waskita muncul ke ruangan ini. Sambil meng-
hembuskan napas panjang, tubuhnya dihempaskan di
kursi ukiran kayu jati. Sebuah kursi yang cukup be-
sar, sehingga, seakan-akan hendak menenggelamkan
tubuhnya yang agak kurus.
"Istirahatlah. Besok pagi, kita sama-sama pergi ke
sana," ujar laki-laki tua itu yang biasanya dipanggil
dengan sebutan Ki Wanengpati.
Di dalam lingkungan rumahnya yang besar ini, dia
selalu dipanggil Gusti Wanengpati. Karena, dia adalah
orang kedua di Kadipaten Patarukan. Kedudukannya
adalah sebagai penasihat pribadi Adipati Patarukan,
yang sekaligus juga sebagai tangan kanan serta kepala
pasukan keamanan di kadipaten ini. Namun, terka-
dang kekuasaannya melebihi adipati sendiri. Sehingga,
dia memiliki satu pasukan sendiri yang tidak pernah
menggunakan seragam prajurit kadipaten. Meskipun
jumlahnya tidak terlalu banyak, tapi sangat handal da-
lam pertarungan. Dan adipati sendiri sangat mengan-
dalkan pasukan khusus Ki Wanengpati ini.
"Hamba mohon diri, Gusti," pamit Waskita seraya
bangkit berdiri setelah memberi sembah.
***
TIGA
Malam sudah menyelimuti permukaan bumi Kadi-
paten Patarukan. Segala kesibukan sudah sirna. Ke-
sunyian begitu terasa, membuat seluruh rakyat di ka-
dipaten itu semakin nyenyak dibuai mimpi. Tapi tidak
demikian halnya dengan Waskita. Laki-laki separuh
baya yang masih kelihatan gagah itu tampak gelisah di
ruangan tengah di dalam rumahnya yang cukup besar
ini.
Entah sudah berapa kali dia bangkit berdiri, lalu
duduk kembali di kursi dekat jendela besar yang masih
terbuka lebar. Wajahnya bersimbah keringat, meski-
pun udara malam ini terasa cukup dingin. Beberapa
kali pula dipandanginya keris yang berada di tangan
kanannya. Ketika baru saja duduk kembali di kursi
dekat jendela, mendadak saja....
Wusss!
"Heh...?!"
Waskita tersentak, sampai-sampai terlompat berdi-
ri begitu secercah cahaya kuning keemasan tiba-tiba
melesat masuk dari jendela yang terbuka lebar. Ca-
haya itu langsung menghantam pilar besar di tengah-
tengah ruangan ini. Waskita cepat melompat mendeka-
ti pilar ketika melihat ada sebuah benda berwarna
kuning keemasan tertancap di sana.
Hati laki-laki separuh baya itu mendadak saja ter-
kesiap begitu melihat benda berwarna kuning keema-
san berbentuk bintang yang bagian tengahnya berlu-
bang tertancap di pilar. Cepat dia melompat mendekati
jendela, lalu terus melesat keluar melewati jendela
yang terbuka lebar itu. Gerakannya sungguh ringan
dan cepat sehingga sebentar saja sudah berada di luar.
"Hup!"
Hanya sekali lesatan ringan, Waskita melompat
naik ke atas atap. Tanpa menimbulkan suara sedikit
pun, laki-laki separuh baya itu hinggap di atas atap.
Pandangannya langsung beredar ke sekeliling. Tak ada
sesuatu yang dapat dicurigai. Bahkan tak ada seorang
pun yang dilihat, kecuali kegelapan malam yang berse-
limut kabut.
Dan begitu pandangannya diarahkan ke Timur, di
bawah sebatang pohon yang cukup besar tampak ber-
diri seseorang tengah memperhatikannya. Tubuhnya
ramping, mengenakan baju hitam yang cukup ketat.
Tanpa berpikir dua kali, Waskita melompat cepat, lalu
meluruk deras ke arah orang yang berdiri di bawah
pohon itu.
"Hap...!"
Begitu kakinya menjejak tanah, dia langsung berla-
ri cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh.
Sebentar saja Waskita sudah berdiri sekitar satu ba-
tang tombak di depan orang bertubuh ramping itu.
Laki-laki setengah baya itu tersenyum sinis melihat
orang bertopeng berbentuk kera.
"Rupanya kau masih juga menginginkan Keris Kala
Muyeng. Siapa kau sebenarnya?" terasa sinis nada su-
ara Waskita.
"Aku orang yang berhak atas keris itu!" sahut
orang bertopeng kera itu dingin.
"Kau...? Ha ha ha...!" Waskita jadi tertawa ter-
bahak-bahak.
Waskita merasa tergelitik mendengar kata-kata
orang bertopeng kera itu barusan. Hanya dia, Ki Wa-
nengpati, Nyai Sureng, dan anak gadisnya yang ber-
nama Paruta yang tahu tentang benda keramat itu.
Namun Nyai Sureng telah membuat keris ampuh hing
ga diberi nama Keris Kala Muyeng, telah tewas. Berarti
tinggal tiga orang yang mengetahuinya.
Dan sekarang, di depannya kini berdiri seorang
wanita bertopeng kera yang mengaku lebih berhak atas
keris itu daripada dirinya. Hal ini membuat Waskita
menjadi terasa tergelitik tenggorokannya, hingga terta-
wa terbahak-bahak. Bahkan Ki Wanengpati yang men-
ginginkan keris itu pun dapat dikelabuinya dengan
mudah. Dan sekarang keris itu menjadi miliknya. Ma-
ka tak seorang pun bisa memiliki, kecuali bisa me-
langkahi mayatnya terlebih dahulu. Dan itu memang
sudah menjadi tekad Waskita setelah berhasil mengu-
asai Keris Kala Muyeng dari tangan pembuatnya.
"Maaf. Aku tidak ada waktu untuk bermain-main
denganmu, Nisanak," kata Waskita dingin.
Setelah berkata demikian, laki-laki setengah baya
itu segera memutar tubuhnya hendak melangkah. Tapi
sebelum kakinya terayun, mendadak saja terasa seper-
ti ada angin mendesir dari arah belakang. Cepat
Waskita memiringkan tubuhnya ke kanan. Pada saat
itu, secercah cahaya kuning keemasan melesat cepat
bagaikan kilat melewati tepi bahunya.
"Hup...!"
Begitu cahaya kuning keemasan lewat, Waskita ce-
pat melentingkan tubuhnya ke depan. Tubuhnya lang-
sung berbalik saat kakinya menjejak tanah. Ditatapnya
wanita bertopeng kera itu dengan sinar mata tajam.
"Aku tidak ingin bertindak keras padamu, Nisanak.
Sebaiknya cepat enyah dari hadapanku!" desis Waskita
menggeram dingin.
"Aku akan pergi setelah Keris Kala Muyeng kau se-
rahkan padaku!" dengus wanita bertopeng kera itu! ti-
dak kalah dinginnya.
"Kau benar-benar keras kepala, Nisanak. Ambillah
kalau kau mampu!" dengus Waskita jadi jengkel.
Setelah berkata demikian, Waskita menggeseri ka-
kinya ke kanan beberapa langkah. Sedangkan wanita
berbaju hitam dan bertopeng kera, sudah melangkah
maju beberapa tindak. Perlahan-lahan pedang yang
tergantung di pinggangnya dicabut. Kilatan cahaya
keemasan membersit begitu pedang berwarna kuning
keemasan itu keluar dari warangkanya.
'Tahan seranganku! Hiaaat…"
Sambil berteriak keras menggelegar, wanita berto-
peng kera itu tiba-tiba saja melesat cepat menerjang
Waskita yang memang sejak tadi sudah siap menerima
serangan. Saat itu juga, Waskita menggeser kakinya
sedikit ke kiri. Tubuhnya langsung diliukkan, untuk
menghindari tebasan pedang keemasan yang begitu
cepat mengarah ke dadanya.
Bet!
***
Waskita terpaksa berjumpalitan menghindari se-
rangan-serangan yang dilancarkan wanita bertopeng
kera. Pedang keemasan di tangannya, berkelebat cepat
mengurung seluruh ruang gerak laki-laki setengah
baya itu. Beberapa kali pedang wanita bertopeng kera
itu hampir merobek kulit tubuh Waskita. Tapi sampai
sejauh ini, laki-laki setengah baya itu masih dapat
mengatasi semua serangan.
"Hup! Yeaaah...!"
Tiba-tiba saja Waskita melentingkan tubuh ke be-
lakang dan melakukan putaran beberapa kali, tepat
ketika pedang wanita bertopeng kera itu membabat ke
arah kakinya. Manis sekali laki-laki setengah baya itu
mendarat di tanah, lalu cepat mengeluarkan Keris Kala
Muyeng yang sejak tadi tersimpan di dalam warang-
kanya.
Begitu terhunus, dari mata Keris Kala Muyeng yang
berkeluk tujuh itu mengepulkan asap hitam meman-
carkan bau busuk. Bukan hanya wanita bertopeng ke-
ra itu yang terkejut. Bahkan Waskita begitu kaget me-
lihat keris di tangannya mengeluarkan asap berbau
busuk, seperti bau mayat yang sudah berhari-hari ter-
timbun dalam tumpukan dedaunan kering.
Tapi Waskita tidak bisa menyadari lagi, karena
pamor keris itu cepat menguasai seluruh jiwanya. Ba-
gaikan seekor serigala lapar, Waskita mendengus dan
menggeram. Kedua bola matanya memerah dan me-
nyala-nyala bagaikan sepasang bola api yang siap
menghanguskan apa saja di dekatnya. Saat itu juga
Waskita merasakan kerongkongannya jadi kering. Rasa
kehausan yang amat sangat seketika menyerangnya.
Bukan haus biasa, tapi haus ingin minum darah!
"Darahmu pasti segar, Nisanak. Sudah lama aku
tidak lagi memuaskan dahaga dengan darah...," desis
Waskita. Nada suaranya kini terdengar lain.
Dan memang, suara itu lain sekali dengan suara
Waskita. Seperti ada sesuatu kekuatan lain yang me-
nyusup ke dalam jiwanya. Pada saat yang sama, wani-
ta bertopeng kera itu melompat mundur sejauh bebe-
rapa tindak. Dirasakannya ada kelainan pada diri
Waskita yang menghunus Keris Kala Muyeng.
"Hiyaaa...!"
Bagaikan kilat, Waskita tiba-tiba saja melompat
cepat menerjang lawan. Begitu cepatnya, membuat
wanita bertopeng kera itu jadi terkesiap. Tapi cepat-
cepat tubuhnya dibanting ke tanah, lalu bergulingan
beberapa kali. Sehingga, serangan yang dilancarkan
Waskita hanya menyambar angin kosong saja.
"Ghrrr...!" Waskita menggeram dahsyat bagaikan
seekor binatang buas.
Tubuh laki-laki setengah baya itu cepat berbalik
memutar menatap tajam wanita bertopeng kera yang
kini sudah bangkit berdiri kembali. Waskita menghu-
nus lurus kerisnya ke depan, tertuju langsung ke dada
calon korbannya yang berada sekitar dua batang tom-
bak di depannya. Perlahan-lahan kakinya terayun me-
langkah ke depan.
"Celaka..., jiwanya sudah terpengaruh keris itu,"
desis wanita bertopeng kera. "Aku harus menghinda-
rinya sebelum dia benar-benar meminum darahku."
Setelah berpikir beberapa saat, wanita bertopeng
kera itu cepat melompat meninggalkan tempat ini. Me-
lihat calon korbannya berusaha kabur, Waskita jadi
meraung keras sambil mengacungkan Keris Kala
Muyeng ke atas kepala.
"Ghraaagkh...!"
Bagaikan kilat, Waskita melompat berusaha men-
gejar wanita bertopeng kera itu. Dia terus berlari ken-
cang bagaikan dikejar setan. Tapi wanita itu sudah ti-
dak terlihat lagi, lenyap seperti tertelan bumi.
Sementara malam terus merayap semakin larut.
Dan suasana di Kadipaten Patarukan, masih tetap ter-
lihat sunyi. Di dalam kesunyian ini Waskita mengge-
rung-gerung seperti binatang buas kelaparan karena
calon korbannya berhasil melarikan diri. Mata Waskita
kian liar melirik ke kanan dan ke kiri. Keris Kala
Muyeng benar-benar telah mengendalikan jiwanya. Ra-
ganya seolah-olah haus, menuntut ingin minum. Na-
mun hanya darah yang mampu mengobati rasa haus-
nya. Hanya darah! Lalu, tubuhnya melesat cepat
menghilang dalam gelapnya malam.
***
Pagi harinya, seluruh Kota Kadipaten Patarukan ti-
ba-tiba saja gempar. Beberapa prajurit yang kebetulan
lewat di depan rumah seorang pengurus kuda di kadi-
paten, mendapati keluarga pengurus kuda itu sudah
tewas. Bahkan rumahnya hancur berantakan seperti
baru saja digempur habis-habisan. Ada empat mayat
laki-laki dan dua mayat perempuan, serta seorang
anak berusia sekitar lima tahun bergelimpangan di da-
lam dan halaman rumah itu.
Peristiwa pembantaian seperti ini belum pernah
terjadi di Kadipaten Patarukan. Tentu saja peristiwa
mengejutkan ini membuat Adipati Antapara sendiri
terpaksa turun untuk menyaksikan sendiri kematian
keluarga pengurus kuda di kadipatenannya. Yang
membuat adipati itu terkejut, semua korban yang te-
was tidak lagi memiliki darah. Bahkan tidak setetes
darah pun terlihat, meskipun semua yang tewas dalam
keadaan terkoyak cukup besar di leher.
Adipati Antapara yang masih berusia muda itu ke-
lihatan gundah setelah menyaksikan keadaan mayat
keluarga pengurus kuda kadipatenan. Sejak berangkat
dari kadipatenan hingga kembali lagi, dia selalu di-
dampingi orang kepercayaannya, Ki Wanengpati. Se-
mentara itu, sepuluh orang-orang Ki Wanengpati yang
rata-rata berkemampuan cukup tinggi dalam ilmu olah
kanuragan tampak mengelilingi mereka berdua.
"Aku tidak tahu, apakah ini perbuatan manusia
atau iblis dari neraka...," keluh Adipati Antapara se-
raya menghempaskan tubuhnya di kursi yang hampir
menenggelamkan tubuhnya yang kecil.
"Dari ciri-ciri para korban, hamba menduga kalau
itu perbuatan orang yang tengah menuntut ilmu hitam
Gusti Adipati," tebak Ki Wanengpati dengan sikap
hormat.
"Aku tidak ingin kejadian seperti ini terulang lagi,
Paman."
"Hamba mengerti, Gusti," sahut Ki Wanengpati.
Adipati Antapara kembali bangkit berdiri. Semua
orang yang duduk di lantai di depannya, segera mem-
beri sembah dengan merapatkan kedua tangan di de-
pan hidung. Demikian pula Ki Wanengpati. Dia segera]
bangkit berdiri dan membungkukkan tubuhnya, begitu
Adipati Antapara beranjak meninggalkan ruangan yang
berukuran sangat besar ini.
Setelah adipati berusia sekitar dua puluh lima ta-
hun itu lenyap di balik pintu, Ki Wanengpati bergegas
meninggalkan ruangan diikuti sepuluh orang pengawal
khususnya.
"Kalian berlima, segera jemput Waskita. Katakan
aku memanggilnya ke rumah," perintah Ki Wanengpati
sambil menunjuk lima orang pengawalnya.
Kelima orang pengawal khususnya itu segera
membungkuk memberi hormat, lalu bergegas berjalan
cepat mendahului. Sedangkan Ki Wanengpati segera
naik ke kuda yang dipegangi seorang pengawalnya.
Dan lima orang pengawal khusus lainnya, bergegas
naik pula ke kuda masing-masing. Tak lama kemu-
dian, mereka bergerak meninggalkan kadipatenan yang
merupakan sebuah bangunan besar dan indah bagai
istana ini.
***
"Duduklah, Waskita," perintah Ki Wanengpati begi-
tu Waskita datang menghadap.
Setelah memberi sembah menghormat, Waskita
duduk di sebuah kursi, di seberang meja besar di ten
gah-tengah ruangan yang cukup luas ini. Sedangkan
Ki Wanengpati duduk di seberangnya lagi. Tak ada
orang lain di ruangan ini, kecuali mereka berdua.
"Kau tahu, mengapa aku memanggilmu ke sini,
Waskita...?" agak dalam suara Ki Wanengpati.
"Tidak, Gusti," sahut Waskita, penuh rasa hormat.
"Seharusnya hari ini, kau dan aku pergi ke pondok
Nyai Sureng. Aku ingin tahu hal yang sebenarnya dari
ceritamu. Bukannya tidak percaya, tapi Keris Kala
Muyeng itu demikian penting bagiku. Bagi kelancaran
semua cita-cita besarku, dan cita-cita kau juga, Waski-
ta. Tapi sesuatu telah terjadi. Aku yakin, kau juga su-
dah mengetahuinya," kata Ki Wanengpati tanpa men-
galihkan pandangannya dari wajah Waskita yang du-
duk di depannya, dengan sebuah meja besar menjadi
pembatas di antara mereka.
"Hamba sudah mengetahuinya, Gusti. Hamba juga
sudah melihatnya," sahut Waskita lagi.
"Sepuluh tahun aku berusaha mendapatkan benda
itu, Waskita. Dan setelah ku peroleh, kini hilang kem-
bali. Aku tidak akan gundah seperti ini kalau tidak ter-
jadi peristiwa yang menggegerkan seluruh Kadipaten
Patarukan," tutur KI Wanengpati lagi.
Waskita hanya diam saja.
"Waskita! Kau sudah mengikutiku selama tiga pu-
luh tahun lebih. Maka tentunya sudah tahu watak-
watak ku, bukan...? Aku hanya ingin kejujuranmu sa-
ja, Waskita. Dimana Keris Kala Muyeng sekarang bera-
da?"
"Ampunkan hamba, Gusti. Hamba tidak berhasil
memperolehnya dari tangan Nyai Sureng. Wanita itu
mempertahankan keris yang dikatakannya belum sele-
sai. Keris itu pasti masih berada di tangannya, Gusti,"
sahut Waskita seraya merapatkan kedua tangan di de
pan hidung.
"Kau tahu, Waskita. Keris itu bisa membawa mala
petaka jika pemegangnya tidak mampu mengalahkan
kekuatan yang terkandung di dalamnya. Keris itu akan
menjadi sebuah senjata pusaka yang maha dahsyat.
Bahkan akan kuberi gelar, Pusaka Penyebar Maut
yang tak ada tandingannya di dunia ini. Tapi, keris itu
juga bisa membahayakan pemegangnya yang tak dapat
sempurna menguasainya. Kekuatan yang ada di dalam
keris itu dapat mempengaruhi jiwa pemegangnya, se-
hingga tidak dapat mengendalikan diri lagi," Ki Wa-
nengpati menjelaskan keburukan dari Keris Kala
Muyeng.
Sedangkan Waskita hanya diam saja, dengan kepa-
la tertunduk. Ki Wanengpati bangkit berdiri, lalu berja-
lan memutari meja besar itu. Langkahnya baru ber-
henti setelah berada sekitar lima depa lagi disamping
Waskita.
"Hanya kau yang tahu tentang benda itu, Waskita.
Aku tidak ingin berselisih denganmu, dan aku juga ti-
dak ingin kau menjadi makhluk liar yang dapat mem-
bahayakan semua orang," kata Ki Wanengpati lagi.
'Tapi hamba tidak berdusta, Gusti. Hamba berani
bersumpah...," kata Waskita mencoba meyakinkan
orang tua ini.
"Aku ingin mempercayaimu, Waskita," ujar Ki Wa-
nengpati.
Waskita kembali terdiam.
"Siapkan kudamu. Kita berangkat sekarang ke
pondok Nyai Sureng," ujar Ki Wanengpati.
"Hamba, Gusti," sahut Waskita.
Bergegas Waskita bangkit berdiri, kemudian me-
langkah meninggalkan ruangan itu setelah membung-
kuk memberi hormat. Sedangkan Ki Wanengpati masih
berdiri memandangi sampai laki-laki separuh baya itu
menghilang di balik pintu.
"Keris itu pasti sudah berada di tangan seseorang,
dan sudah mengambil korban. Hhh..., sukar bagiku
untuk bisa menghentikannya, kalau sudah begini.
Mudah-mudahan saja memang bukan Waskita yang
memegangnya," desah Ki Wanengpati perlahan.
Sambil mengayun-ayunkan tongkatnya, laki-laki
tua itu melangkah meninggalkan ruangan ini. Dua
orang penjaga di depan pintu, membungkukkan badan
ketika Ki Wanengpati melewatinya. Dia terus melang-
kah menuju ke luar. Di sana, Waskita sudah menung-
gu di atas punggung kudanya.
Matahari hampir tenggelam di balik bukit ketika Ki
Wanengpati dan Waskita tiba di tepi hutan. Kedua la-
ki-laki itu memandangi onggokan gubuk kecil yang
terbakar hangus. Mereka berlompatan turun dari
punggung kudanya, lalu melangkah menghampiri re-
runtuhan gubuk kecil yang sudah menjadi arang.
"Siapa yang melakukan ini, Waskita...?" tanya Wa-
nengpati seperti bertanya untuk diri sendiri.
Tentu saja Waskita tidak mungkin menjawab per-
tanyaan itu. Dia hanya diam saja, seraya melangkah
semakin mendekati onggokan puing pondok Nyai Su-
reng yang sudah hangus terbakar. Dia ingat waktu
meninggalkan pondok ini masih dalam keadaan utuh.
Dan mayat Nyai Sureng juga tergeletak di tempat ku-
da-kuda mereka sekarang berpijak. Waskita menyi-
bakkan sebuah balok yang sudah hangus menghitam,
dan sebagian sudah menjadi arang.
Tiba-tiba Waskita terkesiap, begitu melihat seben-
tuk tangan yang hitam menyembul keluar dari tumpu-
kan onggokan puing ini. Waskita langsung tahu, itu
pasti tangan Nyai Sureng. Tapi di mana tubuhnya...?
Melihat keadaan gubuk yang sudah hangus terbakar,
bisa diduga kalau Nyai Sureng pasti ikut terbakar ber-
sama gubuknya. Hanya saja yang menjadi pertanyaan
sekarang, siapa yang meletakkan tubuh perempuan
tua itu ke dalam gubuk, lalu membakarnya...?
"Dia sudah tewas," jelas Waskita perlahan, ketika
disadari Ki Wanengpati sudah berada di sampingnya.
"Ayo, kita kembali ke kadipaten," ajak Ki Waneng-
pati.
'Tidak mencari kerisnya dulu?"
"Untuk apa...? Keris itu pasti sudah jatuh ke tan-
gan orang lain. Aku hanya bisa berharap, mudah-
mudahan dia bisa mengendalikannya."
Waskita hanya diam saja, dan masih berdiri me-
mandangi onggokan reruntuhan gubuk di depannya.
Sementara Ki Wanengpati sudah berlalu, dan telah
duduk di punggung kudanya. Entah, apa yang ada di
dalam benak Waskita. Laki-laki setengah baya itu baru
melangkah setelah Ki Wanengpati memanggilnya. Tak
berapa lama kemudian, dua ekor kuda bergerak me-
ninggalkan tepi hutan itu.
"Siapa kira-kira yang melakukan itu, Waskita?"
tanya Ki Wanengpati setelah cukup jauh meninggalkan
tepian hutan itu, untuk kembali ke Kadipaten Pataru-
kan.
"Hamba tidak tahu, Gusti," sahut Waskita perla-
han.
"Seharusnya, aku memang mencari keris itu kalau
sudah jatuh ke tangan orang lain, rasanya sulit men-
dapatkannya kembali. Hhh...," nada suara Ki Waneng-
pati terdengar agak mendesah, seolah berbicara pada
diri sendiri.
Sedangkan Waskita hanya diam saja, sambil men-
gendalikan kudanya agar tetap berada di samping ku
da laki-laki tua ini. Sukar diterka apa yang ada di da-
lam benaknya. Pandangannya begitu kosong, lurus ke
depan. Seperti ada yang tengah mengganjal di hatinya
saat ini.
"Kau tahu, Waskita. Peristiwa yang menimpa ke-
luarga pengurus kuda itu membuatku jadi berpikir”
ujar Ki Wanengpati lagi.
"Apakah ada sesuatu yang aneh, Gust?" tanya
Waskita.
"Peristiwa aneh..,, Aku merasa kalau keris itu be-
rada dekat denganku. Tapi...," Ki Wanengpati memu-
tuskan kalimatnya.
"Apakah kematian mereka ada hubungannya den-
gan Keris Kala Muyeng, Gusti?" tanya Waskita.
"Belum bisa dipastikan. Tapi ciri-cirinya sangat
persis. Pemegang keris itu akan selalu mencari korban
dan meminum darahnya. Semua itu terjadi karena jiwa
si pemegang keris dipengaruhi kekuatan Keris Kala
Muyeng. Semakin banyak darah didapatkannya, maka
kekuatannya semakin bertambah besar. Hingga akhir-
nya, tak ada satu kekuatan pun di dunia ini yang da-
pat menandinginya. Keris itu membutuhkan empat pu-
luh darah manusia dalam waktu cepat. Dan setelah
itu, setiap hari harus meminum darah orang. Paling ti-
dak, satu orang dalam sehari. Hhh... Dunia ini akan
hancur kalau tidak segera dihentikan, Waskita. Tapi
aku tidak tahu cara menghentikannya. Kecuali, harus
mendapatkannya kembali, lalu ku sempurnakan hing-
ga tidak lagi liar dan merugikan orang banyak," jelas Ki
Wanengpati panjang lebar. Ada sedikit keluhan pada
nada suaranya.
Sedangkan Waskita tetap diam sambil mengendali-
kan kudanya agar tetap berada di samping Ki Waneng-
pati. Mereka terus mengendalikan kuda perlahan
lahan sambil membicarakan Keris Kala Muyeng. Dan
setiap kali Ki Wanengpati membeberkan rahasia keris
itu, Waskita selalu terdiam tercenung. Untung saja Ki
Wanengpati tidak memperhatikan sikapnya yang jadi
nampak gelisah. Dan memang, benda yang sedang di-
percakapkan itu, sebenarnya ada pada Waskita!
***
EMPAT
Waskita menghempaskan tubuhnya di kursi pan-
jang dari bambu yang diserut halus, dan diberi warna
kecoklatan. Nafasnya ditarik panjang-panjang, dan di-
hembuskannya kuat-kuat. Perlahan-lahan tangannya
menarik sebilah keris yang sejak tadi tersembunyi di
balik lipatan baju. Sebilah keris yang belum sempurna
bentuknya, karena memang belum sempurna betul di-
buatnya. Baru saja keris itu hendak ditarik keluar dari
warangka, tiba-tiba seorang gadis cantik muncul.
Waskita cepat-cepat menyimpan kembali senjata itu ke
dalam lipatan bajunya.
"Kau sudah bangun sepagi ini, Paruta?" sapa
Waskita mendahului gadis cantik berbaju ketat ber-
warna merah muda yang sudah berada dekat di de-
pannya.
Gadis itu hanya melemparkan senyuman saja, ke-
mudian duduk di samping laki-laki separuh baya ini.
"Ayah tidak pulang semalam. Ke mana saja sema-
laman?" lembut sekali terdengar nada suara gadis yang
dipanggil Paruta ini.
"Ada sesuatu yang harus kubicarakan dengan Gus-
ti Wanengpati," sahut Waskita memberi alasan.
"Urusan keris itu lagi...?"
Waskita merentangkan tangannya, dan merangkul
pundak putrinya yang kelihatan memberengut. Paruta
menjadi manja, langsung meletakkan kepalanya di ba-
hu laki-laki setengah baya ini. Gadis ini tahu kalau
ayahnya tengah menghadapi persoalan berat tentang
sebilah keris yang dinamakan Kala Muyeng. Sebuah
senjata pusaka yang sangat dahsyat. Meskipun baru
sekali Paruta melihat benda pusaka itu ketika sedang
dibuat Nyai Sureng, tapi sudah bisa merasakan kedah-
syatan pamornya.
"Kudengar, keluarga pengurus kuda kadipaten te-
was dibunuh kemarin malam. Benar itu, Ayah...?" Pa-
ruta baru membuka suaranya lagi setelah cukup lama
terdiam di dalam rangkulan ayahnya.
Waskita tidak langsung menjawab. Dihembuskan-
nya napas panjang, dan dilepaskannya rangkulan pada
anaknya. Perlahan dia bangkit berdiri dan berjalan be-
berapa langkah. Laki-laki separuh baya itu berbalik,
lalu menyandarkan punggungnya di tiang penyangga
yang terbuat dari kayu berukir.
"Dari mana kau tahu hal itu, Paruta?" Waskita ma-
lah balik bertanya.
"Berita itu sudah tersebar luas. Kasihan.... Satu ke-
luarga tewas semua," sahut Paruta disusul desahan
panjang. "Ayah tidak mencari pembunuhnya?"
"Urusan itu sudah ditangani petugas keamanan
kadipaten. Aku tidak perlu turun tangan menanga-
ninya," sahut Waskita.
Waskita memandangi putrinya yang kelihatan ber-
baju rapi, seperti hendak melakukan perjalanan.
"Kau akan pergi, Paruta?" tanya Waskita membe-
lokkan arah pembicaraan.
"Ke Hutan Bambu Kuning untuk sedikit mele
maskan otot. Kudengar, di sana banyak hewan buruan
Aku ingin mencoba berburu di sana," sahut Paruta se-
raya bangkit berdiri.
"Dengan siapa kau berburu?" tanya Waskita.
"Ayah ini seperti tidak tahu saja...."
'Sebaiknya kau membawa pengawal, Paruta. Hutan
Bambu Kuning cukup jauh letaknya. Aku tidak ingin
terjadi sesuatu padamu," ujar Waskita bernada khawa-
tir.
"Jangan khawatir. Aku bisa menjaga diri. Aku pergi
dulu, Ayah."
"Berapa hari kau di sana?" tanya Waskita.
"Mungkin tiga atau empat hari. Tergantung kea-
daan saja," sahut Paruta enteng.
Setelah menjawab pertanyaan ayahnya, gadis itu
bergegas melangkah pergi. Sedangkan Waskita hanya
memandangi saja kepergian anaknya. Memang, Paruta
sudah biasa berburu sendiri di hutan. Meskipun anak
tunggal, tapi Paruta tidak begitu manja. Dia seorang
gadis yang cukup tegar, dan memiliki kepandaian cu-
kup tinggi. Sehingga, Waskita tidak pernah mence-
maskan setiap kali Paruta berpamitan hendak berbu-
ru, atau bepergian ke tempat lain seorang diri.
Tapi kali ini ada sesuatu yang lain dirasakan.
Waskita kelihatan cemas atas kepergian anaknya kali
ini. Hatinya khawatir kalau-kalau Paruta bertemu wa-
nita bertopeng kera yang sudah dua kali ini bertarung
dengannya. Tapi, wanita bertopeng kera itu selalu saja
dapat melarikan diri, di saat-saat yang sudah gawat.
Waskita jelas-jelas tidak ingin anaknya mendapat cela-
ka. Tapi, dia tidak mungkin menyuruh orang-orangnya
menemani Paruta. Dia tahu betul watak anaknya yang
keras.
Paruta memang paling tidak suka kalau kepergian
nya ditemani. Apa lagi dibuntuti secara diam-diam.
Anggapannya, bila membawa pengawal hanya pantas
dilakukan gadis-gadis lemah yang tidak mengenal ilmu
olah kanuragan sedikit pun. Sedangkan dirinya cukup
handal dalam ilmu olah kanuragan. Untuk menghada-
pi berandal-berandal jalanan saja, gadis itu masih
sanggup menanganinya. Menyadari kalau dirinya
punya kepandaian inilah, hingga membuatnya lebih
senang bepergian sendiri, tanpa seorang pun pengawal
menyertainya.
***
Malam kembali jatuh menyelimuti seluruh daerah
Kadipaten Patarukan. Seperti malam-malam sebelum-
nya, suasana di kadipaten ini begitu sunyi. Tak terlihat
seorang pun berada di luar rumah, kecuali para pe-
ronda yang kelihatan berada di beberapa sudut kota.
Di saat hampir semua orang sedang terlelap dalam
buaian mimpi, terlihat sebuah bayangan berkelebat
cepat menyusup masuk ke dalam sebuah rumah dari
atas atap. Belum lama bayangan itu menghilang, tiba-
tiba saja terdengar jeritan panjang melengking tinggi,
sehingga membuat para peronda malam tersentak ka-
get Dua orang peronda yang kebetulan lewat di depan
rumah itu, jadi terkejut.
Belum juga hilang keterkejutan mereka, mendadak
saja dari dalam rumah itu berkelebat sebuah bayangan
menjebol dinding rumah. Dua orang peronda itu terke-
siap. Namun belum sempat melakukan sesuatu, men-
dadak saja bayangan itu bergerak cepat. Dan...
Bet!
Cras!
"Aaa...!"
Jeritan-jeritan panjang terdengar saling susul. Ke-
mudian, terlihat dua orang peronda itu menggelepar di
tanah dengan darah bercucuran dari lehernya. Bayan-
gan itu cepat menerkam salah seorang peronda dan
menyembunyikan wajahnya di leher yang terkoyak ber-
lumur darah. Peronda itu menggelepar-gelepar seben-
tar, kemudian diam tak bergerak-gerak lagi.
Tak ada setetes darah pun yang melekat lagi. Sosok
tubuh hitam itu berpindah kepada peronda lainnya la-
gi yang sudah tergeletak tak bernyawa. Tapi belum
sempat menghirup darah dari peronda malang itu, ter-
lihat beberapa orang berlarian sambil membawa obor
dan senjata terhunus.
"Ghrrr...!"
Sosok tubuh hitam itu menggeram. Matanya me-
merah menatap orang-orang yang berlarian menuju ke
arahnya. Sebentar ditatapnya darah yang keluar dari
leher peronda itu, kemudian melesat cepat bagaikan
kilat tanpa menghiraukan peronda yang sudah tewas
dengan leher terkoyak lebar.
Mereka yang berdatangan langsung terkesiap meli-
hat dua orang peronda tergeletak tak bernyawa lagi.
Lebih terkejut lagi, begitu mengetahui salah satu ru-
mah jebol dindingnya. Dan begitu diperiksa ke dalam,
didapati dua sosok mayat tergeletak dengan leher ter-
koyak. Tak setetes pun darah terlihat, meskipun di ba-
gian lehernya terkoyak seperti koyakan taring binatang
buas.
Pada saat sudah banyak orang berkumpul, Ki Wa-
nengpati baru datang menunggang kuda diiringi seki-
tar sepuluh orang pengawal khususnya. Orang yang
berkerumun di sekitar rumah itu, bergegas menyingkir
memberi jalan. Ki Wanengpati melompat turun dari
punggung kuda dengan gerakan ringan sekali. Berge
gas, diterobosnya kerumunan itu untuk masuk ke da-
lam rumah yang jebol dindingnya, setelah melihat dua
peronda yang tewas secara mengerikan.
"Keparat...!" desis Ki Wanengpati menggeram, begi-
tu mendapati di dalam rumah sudah tergeletak dua
orang dengan leher terkoyak.
Semua orang yang ada di dalam rumah itu hanya
tertunduk saja, seakan-akan tidak sanggup membalas
tatapan mata Ki Wanengpati yang memerah bagaikan
sepasang bola api. Geraham laki-laki tua itu terus ber-
gemeletuk menahan kemarahan yang meluap. Peristi-
wa ini sudah dua kali terjadi. Dan semua korban yang
tewas dalam keadaan sama. Leher terkoyak tanpa da-
rah sedikit pun terlihat di sekitarnya.
Kemarahan Ki Wanengpati timbul, karena tahu ka-
lau semua korban ini akibat Keris Kala Muyeng yang
sekarang tidak jelas pemiliknya. Tapi yang jelas, keris
itu sekarang berada di tangan seseorang di Kadipaten
Patarukan ini. Pada saat itu terdengar suara-suara ri-
but di luar. Ki Wanengpati bergegas melangkah keluar
dari rumah ini.
Tampak dua orang laki-laki terhuyung-huyung ber-
lumuran darah. Mereka adalah dua orang dari pasu-
kan khusus laki-laki tua itu. Begitu berada di depan Ki
Wanengpati, mereka langsung jatuh terguling, dengan
seluruh tubuh berlumur darah.
"Ada apa ini...?" tanya Ki Wanengpati terkejut.
"Gusti..., dia.... Dia ada di perbatasan Timur...,” je-
las salah seorang terbata-bata.
Tanpa menunggu kalimat orang itu selesai, Ki Wa-
nengpati cepat melompat naik ke punggung kuda. Se-
puluh orang yang menyertainya, segera ikut berlompa-
tan naik ke kuda masing-masing. Mereka langsung
menggebah cepat kudanya menuju ke perbatasan ti
mur. Sementara orang-orang yang berada di sekitar
rumah itu jadi sibuk.
Sementara Ki Wanengpati bersama sepuluh orang
pengawalnya, terus memacu kudanya dengan kecepa-
tan tinggi. Jalan yang sepi, membuat mereka bisa lelu-
asa memacu cepat kudanya tanpa halangan sedikit
pun. Sehingga dalam waktu tidak terlalu lama, mereka
sudah sampai di gerbang perbatasan kota sebelah Ti-
mur.
"Setan...!" geram Ki Wanengpati begitu sampai.
Di gerbang Timur ini ternyata didapati beberapa
tubuh bergelimpangan berlumuran darah. Mereka se-
mua adalah para prajurit yang bertugas menjaga ger-
bang perbatasan sebelah Timur. Ki Wanengpati berge-
gas melompat turun dari punggung kudanya. Tapi ba-
ru saja kakinya menjejak tanah, mendadak saja berke-
lebat sebuah bayangan hitam. Orang tua berbaju putih
agak ketat itu cepat melompat mundur beberapa lang-
kah. Tahu-tahu di depannya sudah berdiri seseorang
bertubuh ramping. Wajahnya mengenakan topeng ber-
bentuk wajah kera.
"Siapa kau...?!" bentak Ki Wanengpati.
Ki Wanengpati teringat cerita Waskita, orang keper-
cayaannya yang mengetahui tentang Keris Kala
Muyeng. Dia pernah mengatakan, kalau ada seseorang
yang mengenakan topeng kera menolong Nyai Sureng
yang tidak bersedia menyerahkan senjata pusaka itu.
Dan sekarang di depannya telah berdiri seorang bertu-
buh ramping yang mengenakan topeng kera untuk
menutupi wajah aslinya.
"Kau yang bernama Ki Wanengpati, penasihat Adi-
pati Patarukan?" wanita bertopeng kera itu malah balik
bertanya.
"Benar! Dari mana kau tahu tentang diriku?"
"Kau orang pintar dan ternama di kadipaten ini Ki
Wanengpati. Tapi begitu mudah dibodohi bawahan mu
sendiri," terasa sinis nada suara orang bertopeng kera
itu.
"Apa maksudmu berkata seperti itu, Nisanak?" de-
sis Ki Wanengpati kurang senang.
"Kau menginginkan Keris Kala Muyeng. Padahal,
keris itu sudah ada di depan matamu. Tapi kau begitu
bodoh, sehingga matamu buta."
"Heh...?!"
Ki Wanengpati terkejut setengah mati mendengar
kata-kata wanita bertopeng kera itu. Benar-benar sulit
diduga kalau orang bertopeng kera yang berdiri di de-
pannya ini mengetahui tentang keris pusaka penyebar
maut yang kini membuat masalah besar bagi dirinya.
"Kau pasti menduga kalau aku yang memilikinya.
Tapi, sebenarnya orang kepercayaanmulah yang me-
megang keris itu," jelas wanita bertopeng kera itu lagi.
Setelah berkata demikian, dengan cepat sekali wa-
nita bertopeng kera itu melesat pergi.
"Hei, tunggu...!" sentak Ki Wanengpati.
Tapi orang bertopeng kera itu sudah lebih dahulu
menghilang, sebelum Ki Wanengpati melompat menge-
jar. Laki-laki tua itu hanya bisa bengong merayapi ke-
gelapan yang semakin pekat. Saat itu juga pikirannya
tertuju pada Waskita. Kata-kata orang bertopeng itu
sudah jelas maknanya, dan tertuju pada Waskita. Me-
mang tidak ada lagi orang yang tahu tentang keris itu
selain Waskita dan dirinya sendiri. Atau, ada orang
lain lagi?
***
Ki Wanengpati menghempaskan tubuhnya di kursi
panjang yang berbantal empuk berisi kapuk randu.
Dia benar-benar tidak tahu, siapa wanita bertopeng
kera yang menemuinya tadi di perbatasan Timur. Tapi
kata-katanya terus terngiang, mengganggu telinganya.
Meskipun sebenarnya Ki Wanengpati sudah curiga ka-
lau Waskita tidak berkata jujur, tapi masih belum begi-
tu percaya kalau Waskita mengkhianatinya.
Waskita sudah ikut bersamanya sejak masih beru-
sia sepuluh tahun. Dan ilmu-ilmu olah kanuragan
yang dimilikinya semua berasal dari laki-laki tua ini.
Bagi Ki Wanengpati, Waskita bukan hanya sekadar
pengikut dan murid yang terdekat dan dapat diper-
caya. Tapi juga anak angkat yang paling disayangi. Ra-
sanya, memang tidak mungkin kalau Waskita tega
mengkhianatinya hanya karena sebilah keris.
"Masuk...!" seru Ki Wanengpati ketika mendengar
ketukan halus di pintu.
Pintu yang terbuat dari kayu jati berukir itu terbu-
ka perlahan. Seorang laki-laki muda berusia sekitar
dua puluh tiga tahun, melangkah masuk. Tubuhnya
membungkuk memberi hormat dengan merapatkan
kedua tangan di depan hidung.
"Ada apa?" tanya Ki Wanengpati.
"Gusti Adipati datang hendak bertemu, Gusti Wa-
nengpati," sahut pemuda itu memberi tahu.
Ki Wanengpati menggerinjang bangkit berdiri, lalu
bergegas melangkah ke luar. Pemuda itu cepat-cepat
membungkukkan tubuhnya memberi hormat begitu Ki
Wanengpati melewatinya. Dia juga bergegas mengikuti
keluar dan menutup pintu kembali. Sementara Ki Wa-
nengpati terus melangkah cepat menuju ruangan de-
pan.
Sampai di sana, tampak seorang pemuda berpa-
kaian indah dari bahan sutra halus tengah duduk
dengan anggunnya. Ki Wanengpati segera berlutut
memberi hormat seraya merapatkan kedua telapak
tangan di depan hidung. Pemuda itu mengangkat tan-
gan kanannya sedikit, dan meminta laki-laki tua ini
duduk di sampingnya. Setelah memberi hormat, Ki
Wanengpati kemudian duduk di kursi di samping pe-
muda berwajah tampan ini.
"Ada apakah gerangan Gusti Adipati berkunjung di
pagi buta begini!?" tanya Ki Wanengpati dengan sikap
penuh rasa hormat.
"Kudengar ada pembantaian lagi semalam," kata
Adipati Antapara yang masih berusia muda ini.
"Benar, Gusti," sahut Ki Wanengpati.
"Sebenarnya apa yang terjadi, Ki Wanengpati?"
tanya Adipati Antapara meminta penjelasan.
Ki Wanengpati tidak langsung menjawab. Memang
terlalu sukar baginya menjawab pertanyaan itu. Kare-
na, dia sendiri masih belum yakin, apa sebenarnya
yang tengah terjadi di kadipaten ini. Meskipun, sudah
diduga kalau semua peristiwa berdarah ini berawal da-
ri sebuah senjata pusaka. Dan senjata itu bersumber
dari dirinya sendiri. Mungkin kalau saja benda yang
didapat dari sebuah gua di dalam hutan di Bukit Pata-
rukan tidak diberikan pada Nyai Sureng, bencana ini
tidak akan pernah terjadi.
"Aku tidak ingin kau menyembunyikan sesuatu
padaku, Ki Wanengpati," desak Adipati Antapara.
"Siapa sebenarnya yang memiliki Keris Kala
Muyeng itu?"
Bagai tersambar petir, Ki Wanengpati terperanjat
mendengar pertanyaan Adipati Antapara barusan.
Sungguh tidak disangka kalau adipati berusia muda
ini sudah tahu tentang Keris Kala Muyeng yang selama
ini menjadi rahasianya yang tertutup rapat. Keterkejutannya ini membuat Ki Wanengpati jadi terdiam, tak
mampu berkata-kata lagi. Dan kepalanya hanya ter-
tunduk, seakan-akan tidak sanggup membalas tatapan
Adipati Antapara yang cukup tajam.
Cukup lama juga Ki Wanengpati terdiam dengan
kepala tertunduk menekuri lantai. Sedangkan Adipati
Antapara terus memperhatikannya tanpa berkedip.
Beberapa saat kemudian, perlahan laki-laki tua yang
memegang tongkat itu mengangkat kepalanya. Pan-
dangannya langsung tertumbuk pada sorot mata Adi-
pati Antapara yang terus menatap tanpa berkedip.
"Aku tahu maksudmu baik, Ki. Kau ingin membe-
rikan keris itu padaku, sebagai tanda bakti mu. Kau
ingin memberikannya, tepat di saat aku berusia dua
puluh lima tahun. Niatmu benar-benar kuhargai, Ki.
Karena sampai kini, aku memang tidak memiliki satu
pegangan pusaka apa pun juga. Tapi, alangkah baik-
nya jika hal itu kau bicarakan dulu sebelumnya pada-
ku. Paling tidak, aku bisa mempersiapkan diri terlebih
dahulu untuk menerima anugerah besar itu," tutur
Adipati Antapara.
"Ampunkan hamba, Gusti Adipati. Bukannya hen-
dak menyusahkan Gusti Adipati. Hamba hanya ber-
maksud membuat suatu kejutan, yang tidak pernah
diduga," jelas Ki Wanengpati seraya memberikan sem-
bah dengan merapatkan kedua tangan di depan hi-
dung.
"Kau memang sudah memberi ku kejutan besar
Ki," ucap Adipati Antapara, tetap lembut suaranya.
Ki Wanengpati kembali memberikan sembah.
"Ah, sudahlah.... Lupakan saja itu, Ki. Yang pent-
ing sekarang, bagaimana menemukan orang yang me-
megang keris itu. Aku tidak ingin rakyat ku terus-
menerus jadi korban kebuasan Keris Kala Muyeng. Ka
laupun mungkin, harus dihentikan secepatnya," tegas
Adipati Antapara.
Ki Wanengpati terdiam sesaat, kemudian menceri-
takan awal dari semua peristiwa berdarah ini. Waktu
itu dia dan Waskita melakukan semadi di dalam se-
buah gua, di dalam Hutan Patarukan. Dalam sema-
dinya itu, dipanjatkannya sebuah harapan pada Hyang
Widi agar dianugrahi sebuah benda yang dapat diper-
sembahkan pada junjungannya yang akan memasuki
usia seperempat abad. Memang tidak mudah. Berta-
hun-tahun lamanya semadi dilakukan setiap kali
muncul bulan purnama. Hingga akhirnya, sang Dewa
mengabulkan juga permohonan itu. Dewata memberi-
kan sebongkah batu hitam yang harus ditempa menja-
di sebilah keris. Dan keris itu harus diberi nama Kala
Muyeng. Sebuah pusaka yang juga bergelar Pusaka
Penyebar Maut jika tidak mampu menguasainya den-
gan benar.
Hanya dia dan Waskita yang tahu, ditambah Paru-
ta, anak gadis tunggalnya. Ki Wanengpati memberi
benda itu pada Nyai Sureng yang dikenal sebagai pem-
buat benda-benda pusaka. Entah kenapa, Nyai Sureng
ditemukan tewas. Dan bahkan keris pusaka itu lenyap.
Hanya itu yang diketahui Ki Wanengpati, hingga ak-
hirnya terjadi peristiwa berdarah ini. Peristiwa yang ti-
dak pernah diinginkan sama sekali.
"Ampunkan hamba, Gusti. Kalau boleh hamba ta-
hu, dari mana Gusti Adipati mengetahui tentang keris
itu?" tanya Ki Wanengpati pada akhir ceritanya.
"Seseorang memberitahu ku," sahut Adipati Anta-
para.
"Seseorang...? Siapa dia, Gusti?" tanya Ki Waneng-
pati lagi.
"Sayang sekali, dia tidak menyebutkan namanya.
Dia hanya mengatakan, semua musibah berdarah
ini berpangkal dari sebilah keris. Dan jika ingin menge-
tahuinya lebih jelas lagi, aku harus menanyakannya
padamu. Di samping itu pula, aku telah mendapat
wangsit dari Dewata agar dapat menguasai keris itu,"
jelas Adipati Antapara.
"Oh.... Adakah satu kesalahan yang kuperbuat se-
hingga terjadi malapetaka ini, Gusti...?" desah Ki Wa-
nengpati.
"Ya! Kau terlalu percaya pada Waskita," sahut Adi-
pati Antapara tegas.
"Maksud, Gusti...?" Ki Wanengpati tidak mengerti.
"Adakalanya kita buta, dan terlalu percaya pada
seseorang yang sewaktu-waktu dapat mengkhianati
dan menikam dari belakang. Sebenarnya, aku sudah
tahu orang yang memiliki keris itu sekarang," jelas
Adipati Antapara lagi.
"Oh, benarkah...?" Ki Wanengpati terkejut setengah
mati.
"Orang itu mengatakannya padaku. Tapi, aku be-
lum mau mempercayainya dengan penuh. Dan aku in-
gin mendengar cerita seluruhnya lebih jelas darimu.
Tapi setelah mendengar semua cerita yang sebenarnya,
aku begitu yakin kalau keris itu ada pada Waskita saat
ini."
"Gusti, apakah orang yang memberi tahu itu men-
genakan topeng kera?" tanya Ki Wanengpati lagi.
"Benar! Kau juga sudah bertemu dengannya?"
"Ya, sekali."
"Aku rasa tujuannya sama denganmu, Ki. Dan aku
yakin, maksudnya adalah baik. Hanya saja kepan-
daiannya tidak cukup untuk merebut keris itu dari
tangan Waskita. Dan aku sendiri tidak yakin dapat me-
lakukannya, mengingat keris itu bukan senjata semba
rangan. Kekuatannya dapat menguasai jiwa peme-
gangnya dengan penuh, sehingga sukar ditandingi."
"Apa yang harus kita lakukan, Gusti?"
"Aku kira, kita memerlukan seorang pendekar yang
memiliki kepandaian tinggi untuk menghadapi Waski-
ta, Ki."
"Siapa pendekar yang mampu menandingi Keris
Kala Muyeng? Keris itu sudah berlumur darah. Dan
semakin banyak darah yang didapatkan, semakin kuat
saja pengaruhnya. Hamba rasa, tidak ada seorang
pendekar pun yang sanggup menandinginya, Gusti,"
ada sedikit keluhan pada nada suara Ki Wanengpati.
"Hanya satu, Ki."
"Siapa...?"
"Pendekar Pulau Neraka."
"Pendekar Pulau Neraka...?!"
***
LIMA
Sepeninggal Adipati Antapara, Ki Wanengpati ber-
gegas ke rumah Waskita. Tapi, laki-laki tua itu tidak
mendapati anak angkat yang juga murid dan orang
kepercayaannya di situ. Para pekerja di sana hanya
mengatakan kalau junjungannya pergi sejak kemarin,
dan belum kembali sampai hari ini. Dan rupanya ke-
pergian Waskita sudah mempertebal keyakinan Ki Wa-
nengpati kalau keris itu memang berada di tangan mu-
ridnya, yang sekaligus juga anak angkatnya.
"Pendekar Pulau Neraka.... Hhh! Ke mana harus
kucari pendekar kelana itu...?" desah Ki Wanengpati
dalam hati, saat dalam perjalanan setelah keluar dari
rumah Waskita.
Laki-laki tua itu mengendalikan kudanya agar ber-
jalan perlahan-lahan. Otaknya terus bekerja keras, un-
tuk mencari upaya mengatasi persoalan yang semakin
rumit ini. Sudah dapat dipastikan kalau Keris Kala
Muyeng sekarang berada di tangan Waskita. Dan kor-
ban-korban yang jatuh sudah dapat pula dipastikan
akibat perbuatan Waskita yang seluruh jiwa raganya
sudah dikuasai kekuatan senjata pusaka itu. Sebuah
senjata yang kini sudah benar-benar menjadi sebuah
pusaka penyebar maut. Dan Ki Wanengpati tahu,
Waskita tidak dapat mengendalikannya sehingga men-
jadi liar.
Slap!
"Heh...?!"
Ki Wanengpati terkejut ketika tiba-tiba melesat se-
buah bayangan hitam di depannya. Cepat tali kekang
kudanya ditarik hingga berhenti melangkah. Tahu-
tahu di depannya kini sudah berdiri seorang wanita
bertubuh ramping, dengan wajah ditutupi topeng ber-
bentuk wajah kera.
"Hup!"
Ki Wanengpati cepat melompat turun dari pung-
gung kudanya. Gerakannya begitu ringan. Dan tanpa
menimbulkan suara sedikit pun, kakinya mendarat
sekitar enam langkah lagi di depan wanita bertopeng
kera itu. Ki Wanengpati menjura memberi salam peng-
hormatan, sebagaimana layaknya orang rimba persila-
tan. Dan wanita bertopeng kera itu juga membalas
dengan menjura.
"Nisanak. Apa tidak sebaiknya kau membuka to-
pengmu, sebelum kita berbicara," ujar Ki Wanengpati
dengan sikap hormat.
"Apakah itu perlu, Ki Wanengpati?" tanya wanita
bertopeng kera.
"Tentu, jika kau bermaksud baik," sahut Ki Wa-
nengpati. "Aku yakin, niat dan tujuanmu sama den-
ganku. Kau pasti tidak ingin melihat kehancuran kadi-
paten ini oleh orang tak bertanggung jawab."
Wanita bertopeng kera itu terdiam. Perlahan tan-
gan kanannya diangkat. Lalu, dilepaskannya topeng
kera yang selama ini selalu menutupi wajahnya. Ter-
nyata, di balik topeng buruk itu tersembunyi seraut
wajah cantik, dengan kulit wajah putih halus.
"Jika aku tidak salah, kaukah Anggraini..?" agak
ragu-ragu nada suara Ki Wanengpati.
"Benar. Aku Anggraini, murid tunggal Nyai Su-
reng," wanita itu memperkenalkan diri.
Gadis cantik itu memang Anggraini, murid tunggal
Nyai Sureng. Seorang wanita tua pembuat senjata pu-
saka. Dan sebelum menjadi murid Nyai Sureng,
Anggraini pernah tinggal di sebuah padepokan milik
adik sepupu perempuan tua itu. Sehingga tidak heran
kalau tingkat kepandaiannya jauh lebih tinggi daripada
Nyai Sureng sendiri. Memang, sebenarnya Nyai Sureng
tidak pandai dalam ilmu olah kanuragan, tapi hanya
ahli dalam pembuatan senjata saja. Anggraini sebe-
narnya hanya ingin memperdalam pengetahuan di bi-
dang senjata pusaka, sebelum terjun ke dalami rimba
persilatan yang terkenal ganas dan penuh tipu daya.
"Kenapa kau muncul secara sembunyi-sembunyi
begitu? Kau bisa datang padaku, dan bisa membicara-
kan persoalannya secara terus terang. Sehingga, kita
bisa mengambil jalan keluar yang terbaik," kata Ki
Wanengpati agak menyesalkan tindakan Anggraini
yang main sembunyi-sembunyi.
"Maaf. Hal ini terpaksa kulakukan sebelum yakin
benar, siapa kawan dan lawan yang sesungguhnya,"
ucap Anggraini beralasan.
"Aku mengerti, Anggraini. Dan sekarang, apa tang-
gapanmu mengenai diriku?"
"Semula, aku mengira kau sama dengan Paman
Waskita. Tapi ternyata dugaanku keliru. Maafkan aku,
Ki."
"Sudahlah..., tidak perlu dipersoalkan lagi. Yang
penting sekarang, persoalan ini harus ditangani sebe-
lum meluas. Gusti Adipati sendiri tidak menginginkan
adanya jatuh korban lebih banyak lagi. Aku sudah di-
tugaskan untuk menyelesaikan semuanya dengan ca-
raku sendiri."
"Persoalannya tidak semudah itu, Ki," sanggah
Anggraini.
"Aku tahu, kita berdua memang tidak akan mampu
menghadapi Waskita yang memegang Keris Kala
Muyeng. Tapi, kita masih punya harapan jika bisa
mengundang Pendekar Pulau Neraka ke sini."
"Dia sudah ada di sini, Ki."
"Sudah ada...?!"
***
Belum lagi hilang rasa terkejut Ki Wanengpati, tiba-
tiba saja dari atas sebatang pohon yang cukup tinggi,
melesat sebuah bayangan kuning, tepat ketika
Anggraini menjentikkan ujung jarinya di samping te-
linga. Dan tahu-tahu di samping gadis itu sudah berdi-
ri seorang pemuda tampan berbaju kulit harimau. Pe-
muda itu membungkukkan tubuhnya sedikit, yang
langsung dibalas Ki Wanengpati.
"Kau pasti mengenalinya, Ki. Inilah Pendekar Pulau
Neraka. Dan biasanya, dipanggil Bayu," jelas Anggraini
memperkenalkan pemuda di samping kanannya.
Pemuda tampan berbaju kulit harimau itu hanya
tersenyum saja. Dia memang Bayu yang di kalangan
rimba persilatan lebih dikenal berjuluk Pendekar Pulau
Neraka. Sedangkan Ki Wanengpati seperti belum per-
caya kalau yang berdiri di depannya ini adalah Pende-
kar Pulau Neraka. Diperhatikannya pemuda itu dari
ujung rambut hingga ke ujung kaki.
"Bagaimana mungkin kau bisa mengundangnya
demikian cepat, Anggraini?" tanya Ki Wanengpati ma-
sih merayapi pemuda berbaju kulit harimau di depan-
nya.
"Kebetulan Kakang Bayu sedang berkunjung ke
Padepokan Eyang Badranaya. Jadi, tidak terlalu sukar
bagiku untuk memintanya datang ke sini. Dan ten-
tunya, aku juga meminta izin dulu pada Gusti Adipati,"
jawab Anggraini kalem.
Ki Wanengpati terdiam, sambil tetap memperhati-
kan pemuda berbaju kulit harimau yang berdiri di
samping Anggraini. Dia tahu kalau Eyang Badranaya
yang disebutkan tadi adalah adik sepupu Nyai Sureng,
tempat Anggraini pernah mempelajari ilmu olah kanu-
ragan. Dan padepokan Eyang Badranaya memang su-
dah terkenal di seluruh wilayah Kadipaten Patarukan,
karena letaknya memang tidak seberapa jauh dari ibu-
kota kadipaten.
"Semuanya sudah kuceritakan pada Kakang Bayu,
Ki. Tapi mungkin masih ada yang ingin kau katakan,
biar segalanya lebih jelas," kata Anggraini lagi. "Bukan
begitu, Kakang?"
'Memang sebaiknya, aku tahu dari sumbernya,"
sahut Bayu kalem.
"Sumber malapetaka ini memang aku. Tapi, itu ti-
dak akan terjadi jika Waskita tidak mengkhianatiku,"
jelas Ki Wanengpati.
'Tapi itu bukan semata-mata kesalahanmu, Ki,"
ujar Anggraini bernada menghibur.
"Bagaimanapun juga, aku yang harus bertanggung-
jawab. Tapi aku tidak tahu, apa yang harus kulakukan
sekarang. Sekarang pun aku tidak tahu, di mana
Waskita berada," ada nada keluhan dalam suara Ki
Wanengpati.
"Apa tidak ada di rumahnya, Ki?" selak Bayu.
"Aku tadi baru dari sana. Dia tidak pulang sejak
kemarin," sahut Ki Wanengpati.
"Sepertinya, persoalan ini semakin bertambah sulit
saja, Kakang," kata Anggraini perlahan.
Bayu belum menjawab, ketika tiba-tiba terdengar
suara mencerecet dari atas pohon. Ki Wanengpati dan
Anggraini mendongak ke atas. Pada saat itu, seekor
monyet kecil berbulu hitam melompat turun dari atas
pohon, dan langsung hinggap di bahu Pendekar Pulau
Neraka. Monyet kecil itu mencerecet ribut sambil ber-
jingkrakan di bahu pemuda berbaju kulit harimau ini.
"Ada apa, Tiren?" tanya Bayu.
"Nguk! Nguk! Argkh...!"
"Tiren ingin menunjukkan sesuatu," jelas Bayu se-
perti mengerti saja tingkah dan cerecet monyet kecil
ini.
Setelah berkata demikian, Pendekar Pulau Neraka
langsung melesat pergi. Anggraini juga bergegas men-
gikuti. Sedangkan Eyang Wanengpati yang kembali
terkesiap, jadi terbengong beberapa saat. Kemudian
laki-laki itu cepat melompat mempergunakan ilmu me-
ringankan tubuhnya. Tidak dipedulikan lagi kudanya
yang ditinggalkan begitu saja.
Sementara Bayu terus berlari cepat mengikuti pe-
tunjuk monyet kecil yang duduk di pundaknya. Tidak
jauh di belakang, tampak Anggraini berlari cepat
mempergunakan seluruh kemampuan ilmu meringan-
kan tubuhnya, untuk mengimbangi kecepatan lari pe-
muda berbaju kulit harimau itu. Sedangkan Ki Wa-
nengpati sudah bisa mensejajarkan larinya di samping
Anggraini.
Setelah cukup jauh berlari, akhirnya mereka sam-
pai di tepi sebuah jurang yang tidak seberapa besar
dan tidak seberapa dalam. Sedangkan pada dasarnya
terlihat air mengalir deras sekali diantara bebatuan.
Monyet kecil yang ada di pundak Bayu, tidak lagi men-
cerecet ribut. Sedangkan Bayu mengarahkan pandan-
gan ke seberang jurang. Saat itu, Anggraini dan Ki
Wanengpati sudah sampai. Mereka kini berdiri menga-
pit Pendekar Pulau Neraka.
"Ada apa di seberang jurang sana, Kakang?" Tanya
Anggraini seraya mengarahkan pandangan ke seberang
jurang di depannya.
"Aku akan memeriksanya ke sana," sahut Bayu.
"Kau akan melompatinya?" tanya Anggraini lagi.
Bayu hanya tersenyum saja. Sebentar perhatian-
nya dipusatkan, lalu melesat cepat melompati jurang
itu. Beberapa kali Pendekar Pulau Neraka melakukan
putaran manis, hingga akhirnya berhasil mendarat di
seberang sana. Sesampainya di seberang, Bayu mena-
tap Anggraini dan Ki Wanengpati yang masih berdiri
saja di tempatnya. Mereka seakan ragu-ragu hendak
melompati jurang ini.
"Ayo, cepat..!" teriak Bayu dari seberang.
"Kau saja, Kakang. Biar kami menunggu di sini!"
sahut Anggraini.
"Baiklah, sebentar aku kembali!"
Bagaikan kilat Bayu melesat cepat dan menghilang
ditelan lebarnya pepohonan di seberang jurang sana.
Sementara Anggraini dan Ki Wanengpati menunggu di
seberang lainnya.
***
Sementara itu Bayu semakin jauh masuk ke dalam
hutan menjauhi jurang yang membelah Bukit Pataru-
kan ini menjadi dua bagian. Monyet kecil berbulu hi-
tam yang terus berada di pundaknya, selalu menun-
jukkan arah yang harus ditempuh Pendekar Pulau Ne-
raka.
Pemuda berbaju kulit harimau itu baru berhenti
setelah tiba di depan sebuah pondok kecil yang cukup
tersembunyi, dalam lebatnya hutan di Bukit Patarukan
ini. Perlahan kakinya melangkah mendekati. Tak ter-
dengar suara sedikit pun, kecuali bunyi bergemerisik
dedaunan kering tersepak kakinya saat melangkah
perlahan mendekati pondok di depannya.
Wusss!
"Uts!"
Tiba-tiba saja sebatang tombak panjang melesat
cepat dari dalam pondok kecil itu, tepat ketika tinggal
enam langkah lagi Bayu mencapai pintunya. Pendekar
Pulau Neraka cepat-cepat menarik tubuhnya ke kanan,
maka tombak itu hanya lewat sedikit saja di samping
tubuhnya. Begitu kerasnya tombak itu meluncur, se-
hingga sampai terbenam dalam begitu menancap di
batang pohon.
"Mau apa kau ke sini...?" tiba-tiba saja terdengar
suara keras menggelegar dari dalam pondok kecil itu.
"Aku pengembara yang ingin berteduh. Apakah ti-
dak boleh beristirahat di sini barang sejenak?" Bayu
menyambuti dengan suara lantang juga.
"Ini bukan tempat persinggahan. Sebaiknya cepat
pergi sebelum terjadi sesuatu pada dirimu!"
"Aku tidak akan mengganggu. Hanya istirahat se-
bentar."
"Bocah setan...! Pergi cepat! Jangan sampai kesa-
baranku habis...!"
Bayu tertegun sejenak mendengar kata-kata yang
begitu kasar, dan tak ada sedikit pun nada persahaba-
tan. Meskipun kehadirannya tidak disukai, tapi Pende-
kar Pulau Neraka tetap berdiri tegak di depan pintu
pondok ini. Sementara, monyet kecil yang tadi berada
di pundak Bayu kini sudah berada di atas atap pondok
itu.
Monyet kecil yang bernama Tiren itu berjingkrakan
sambil mencerecet di atas atap. Kedua tangannya
mencabik-cabik atap yang terbuat dari alang-alang
kering. Bayu sendiri tidak mengerti maksud tingkah
monyet kecil itu. Seakan-akan, Tiren sengaja membuat
keributan dan merusak pondok kecil ini
"Setan alas! Siapa yang merusak atap pondok
itu..?!" bentak suara itu terdengar menggeram.
Tapi Tiren tidak mempedulikan dengan bentakan
tadi. Binatang itu terus mencerecet ribut sambil mem-
porak-porandakan atap pondok. Namun mendadak sa-
ja atap pondok itu jebol, tepat ketika Tiren melompat
cepat dan kembali hinggap di pundak Bayu. Monyet
kecil itu kembali melompat, dan hinggap di cabang po-
hon yang cukup tinggi. Dia terus mencerecet ribut
sambil berjingkrakan.
Slap...!
Tiba-tiba saja dari dalam pondok melesat sebuah
bayangan hitam, langsung meluruk deras ke arah mo-
nyet kecil yang mencerecet berjingkrakan di atas da-
han pohon. Melihat jiwa monyet kecil itu terancam,
Bayu tidak tinggal diam begitu saja. Cepat tubuhnya
melenting, memapak arus bayangan hitam itu. Secepat
kilat pula, Pendekar Pulau Neraka melepaskan satu
pukulan disertai pengerahan tenaga dalam tidak pe-
nuh.
"Yeaaah...!"
"Ufh! Yeaaah...!"
Bayangan hitam itu berputar ke belakang, sehingga
membuat pukulan Bayu hanya menyambar angin ko-
song saja. Secara bersamaan mereka menjejakkan kaki
di tanah. Kini, sekitar satu batang tombak di depan
Bayu telah berdiri seseorang mengenakan baju ketat
warna hitam pekat. Wajahnya sukar dikenali karena
hampir tertutup rambut yang teriap panjang tak tera-
tur.
Bayu melangkah mundur beberapa tindak tanpa
berkedip memperhatikan sosok tubuh berbaju hitam,
cukup ketat di depannya. Seluruh kulit tangan, dada
dan wajahnya penuh benjolan seperti bisul berwarna
kemerahan. Tatapan matanya begitu tajam, memerah
bagaikan sepasang bola api. Pendekar Pulau Neraka
terkesiap saat melihat sabuk yang melilit pinggang
orang berbaju hitam itu. Sabuk itu terbuat dari serat-
serat emas, yang kepalanya bergambar lambang Kadi-
paten Patarukan. Pada sabuk itu tergantung sebilah
pedang yang cukup panjang. Juga, terselip sebilah ke-
ris yang hanya tampak tangkainya saja.
"Paman. Apakah kau Paman Waskita...?" tanya
Bayu terdengar ragu-ragu nada suaranya.
"Siapa kau, Anak Muda?! Kenapa berada di sini?!"
laki-laki berwajah buruk penuh benjolan itu malah ba-
lik bertanya.
"Namaku Bayu. Aku ke sini sedang mencari seseo-
rang yang bernama Paman Waskita," sahut Bayu men-
jelaskan maksud sebenarnya.
'Tidak ada nama Waskita di sini. Yang ada hanya
Serigala Penghisap Darah!" sahut laki-laki bermuka
buruk itu. "Akulah Serigala Penghisap Darah. Bukan
Waskita...!"
Bayu kembali memperhatikan lebih teliti laki-laki
berwajah buruk penuh benjolan itu lebih dalam lagi.
Pendekar Pulau Neraka menaksir kalau usia orang itu
paling tinggi sekitar lima puluh tahun. Diingat-
ingatnya ciri-ciri tentang Waskita yang sedang dica-
rinya. Ingatnya langsung tertuju pada sabuk yang di-
kenakan laki-laki separuh baya ini. Anggraini pernah
mengatakan kalau Waskita tidak pernah melepaskan
sabuknya, yang merupakan hadiah khusus dari Adipa-
ti Antapara.
"Mungkinkah ini Paman Waskita? Tapi...," Bayu ti-
dak melanjutkan jalan pikirannya yang tiba-tiba terbe-
tik satu pertanyaan yang membingungkan dirinya.
***
Pikiran Bayu disibuki oleh dugaan tentang siapa
laki-laki berwajah buruk penuh benjolan yang tadi
mengaku berjuluk Serigala Penghisap Darah di depan-
nya ini. Namun tiba-tiba saja, orang bermuka buruk
itu melompat menerjang dengan kecepatan bagaikan
kilat. Begitu cepatnya, sehingga Bayu tidak lagi memi-
liki kesempatan menghindar lagi.
"Hap...!"
Cepat sekali Pendekar Pulau Neraka membanting
tubuhnya ke tanah, lalu bergulingan beberapa kali.
Dan bergegas dia kembali melompat bangkit berdiri.
Tapi baru saja kakinya menjejak tanah, si Serigala
Penghisap Darah sudah kembali meluruk deras me-
nyerangnya. Kali ini Bayu menunggu sampai orang
bermuka buruk penuh benjolan itu dekat. Dan....
"Hiyaaa...!"
Begitu berada di dalam jangkauannya, cepat sekali
Bayu memiringkan tubuhnya ke kanan. Langsung di-
lontarkannya satu pukulan ke bawah yang keras diser-
tai pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai ta-
raf kesempurnaan.
Begh!
"Argkh...!"
Serigala Penghisap Darah meraung keras begitu
punggungnya terkena pukulan telak Bayu. Begitu ke-
rasnya pukulan tadi, sehingga orang bermuka buruk
itu sampai tersungkur mencium tanah. Tapi dia cepat
bangkit berdiri. Sebentar Serigala Penghisap Darah
menggerung marah sambil menyeka darah yang keluar
dari bibirnya.
Sambil menggerung keras, orang bermuka buruk
penuh benjolan itu melompat cepat menyerang Pende-
kar Pulau Neraka kembali. Namun, kali ini Bayu be-
nar-benar sudah siap menghadapinya. Cepat-cepat tu-
buhnya melenting ke atas, sehingga dua pukulan be-
runtun yang mengarah ke tubuhnya hanya lewat saja.
Dan yang lebih mengejutkan lagi, gerakannya tak ber-
suara sedikit pun.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Pertarungan memang tidak dapat dihindari lagi.
Bayu sendiri awalnya agak kelabakan juga menghada-
pi serangan-serangan yang begitu cepat dan beruntun.
Namun semua itu cepat bisa diatasinya. Bahkan terus
mengimbangi hingga pertarungan kembali berjalan
sengit. Meskipun Pendekar Pulau Neraka jarang me-
nyerang dan hanya lebih banyak bertahan, tapi si Seri-
gala Penghisap Darah terlalu sukar mendesaknya.
Apalagi sampai menjatuhkannya.
Serangan-serangan yang dilancarkannya memang
membuat Bayu sedikit kerepotan. Tapi tak satu pun
pukulan maupun tendangan yang bisa mengenai tu-
buh Pendekar Pulau Neraka. Dan setelah pertarungan
melewati lima jurus, laki-laki setengah baya berwajah
buruk penuh benjolan itu langsung meningkatkan se-
rangannya. Bahkan kini sudah mencabut pedangnya
yang sejak tadi tergantung saja di pinggang.
Sret!
"Hiyaaa...!"
Bet!
"Uts!"
Hampir saja tebasan pedang itu mengenai leher
Bayu. Untung saja Pendekar Pulau Neraka segera me-
narik kepalanya ke belakang. Tapi pada saat yang
hampir sama, satu tendangan dilepaskan si Serigala
Penghisap Darah dengan kecepatan luar biasa. Akibat-
nya Bayu tak ada kesempatan lagi menghindarinya.
"Yeaaah...!"
Begh!
“Ugkh…!” Bayu mengeluh tertahan.
Pendekar Pulau Neraka terbungkuk saat perutnya
terpaksa menerima tendangan yang cepat dan keras
menggeledek itu. Tubuhnya terhuyung-huyung ke be-
lakang sambil memegangi perutnya. Rasa mual men-
dadak saja menyerang perutnya, seakan-akan seluruh
isi perutnya hendak keluar. Dan sebelum Pendekar Pu-
lau Neraka bisa menguasai diri, laki-laki separuh baya
berwajah buruk penuh benjolan itu sudah melancar-
kan satu serangan lagi dengan kecepatan luar biasa.
"Hiyaaat..!"
"Hait!"
Bruk!
Bayu cepat-cepat menjatuhkan tubuhnya ke tanah,
dan terus bergulingan menghindari hunjaman-
hunjaman pedang si Serigala Penghisap Darah yang
makin gencar mencecarnya. Beberapa kali Bayu ter-
paksa bergulir, dan baru bisa melompat bangkit berdiri
begitu memiliki kesempatan yang sedikit sekali. Bebe-
rapa kali tubuhnya berputaran di udara, lalu manis
sekali kakinya kembali menjejak tanah sekitar dua ba-
tang tombak di depan Serigala Penghisap Darah.
"Gila! Dia bertarung seperti kesetanan. Tidak bera-
turan sama sekali...!" dengus Bayu dalam hati.
***
ENAM
"Jangan harap bisa lari dariku, Bocah!" desis Seri-
gala Penghisap Darah, dingin dan datar nada sua-
ranya.
Bagaikan kilat, laki-laki separuh baya berwajah
buruk penuh benjolan itu melompat cepat sambil men-
julurkan pedangnya lurus ke arah dada Pendekar Pu-
lau Neraka. Pada saat itu, Bayu cepat memiringkan
tubuhnya ke kiri agak membungkuk. Kakinya dipen-
tang lebar, dan lututnya tertekuk hampir menyentuh
tanah. Dan begitu manusia buruk itu sudah dekat,
mendadak saja Bayu mengibaskan tangan kanannya,
ke depan.
"Yeaaah...!"
Wusss!
Seketika itu juga, melesat secercah sinar kepera-
kan yang keluar dari sebuah benda bulat pipih bersegi
enam dari pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka.
Begitu cepatnya melesat, sehingga si Serigala Penghisap Darah tidak sempat lagi menghindari.
Crab!
Senjata ampuh bernama Cakra Maut itu langsung
menghantam dada si Serigala Penghisap Darah. Tapi
satu keanehan terjadi. Tiba-tiba saja, Cakra Maut ter-
pental balik begitu menghantam dada si Serigala Peng-
hisap Darah. Sedangkan manusia bertubuh penuh
benjolan seperti bisul itu hanya terpental sedikit ke
atas. Keseimbangan tubuhnya cepat terkuasai dengan
melakukan putaran beberapa kali di udara. Dan kini
manis sekali kedua kakinya yang kokoh mendarat di
tanah.
"Hap!"
Bayu cepat mengangkat tangan kanannya ke atas
kepala. Maka Cakra Maut kembali menempel di perge-
langan tangan kanan. Pemuda berbaju kulit harimau
itu jadi tercenung, melihat lawan tidak terluka sedikit
pun. Padahal tadi jelas sekali kalau Cakra Maut meng-
hantam dadanya. Namun laki-laki separuh baya ber-
wajah penuh benjolan itu malah masih tetap berdiri
tegak. Tak ada sedikit pun luka di dadanya.
"Ha ha ha...!" si Serigala Penghisap Darah jadi ter-
tawa terbahak-bahak.
"Gila...!" desis Bayu hampir tidak percaya. Bayu
kembali memiringkan tubuhnya ke kiri, sedikit agak
membungkuk. Lalu kaki kanannya ditarik sehingga
merentang cukup lebar. Lututnya ditekuk sampai
hampir menyentuh tanah. Tatapan matanya begitu ta-
jam, sambil memusatkan pikiran pada kekuatan Cakra
Maut yang menempel di pergelangan tangan kanannya.
Perlahan-lahan tangan kanannya ditarik ke depan da-
da. Lalu....
"Yeaaah...!"
Bagaikan kilat, Bayu menghentakkan tangan ka
nannya ke depan sambil menarik tubuhnya agar berdi-
ri tegak. Seketika itu juga Cakra Maut yang menempel
di pergelangan tangan kanan berkelebat cepat, lang-
sung menghantam telak dada si Serigala Penghisap
Darah.
Bres!
Cakra Maut langsung menembus dada manusia
bertubuh penuh benjolan itu. Begitu sempurnanya te-
naga dalam yang dikerahkan Pendekar Pulau Neraka,
sehingga membuat Cakra Maut sampai tembus ke
punggung. Lalu, senjata itu melesat balik kepada pemi-
liknya. Cepat-cepat Bayu mengangkat tangan kanan ke
atas kepala. Maka Cakra Maut kembali menempel di
pergelangan tangan kanan pemuda berbaju kulit hari-
mau itu.
"Ha ha ha...!" si Serigala Penghisap Darah masih te-
tap tertawa-tawa.
"Gila...!" desis Bayu setengah tidak percaya.
Jelas, tadi Cakra Maut telah menghunjam dada si
Serigala Penghisap Darah, hingga menembus pung-
gung. Tapi, tak ada luka sedikit pun di dadanya. Dan
ini membuat Bayu semakin tidak mengerti. Baru kali
ini Pendekar Pulau Neraka menghadapi lawan yang
kebal terhadap senjata maut andalannya. Perlahan-
lahan pemuda berbaju kulit harimau itu melangkah
mundur beberapa tindak.
"Keluarkan seluruh kesaktianmu. Anak Muda. Aku
tahu, kedatanganmu atas perintah Gusti Wanengpati.
Kau menginginkan ini, bukan...?"
“Keris Kala Muyeng…" desis Bayu terperanjat.
Kembali Pendekar Pulau Neraka melompat ke bela-
kang beberapa langkah, begitu si Serigala Penghisap
Darah mengeluarkan sebilah keris yang masih seten-
gah jadi. Bentuk keris itu tidak beraturan, dan ber
warna hitam legam. Asap kehitaman bercampur merah
tampak keluar dari ujung keris itu, dan langsung me-
nyebarkan bau busuk tidak sedap. Seakan-akan di se-
keliling tempat ini dipenuhi mayat yang sudah mem-
busuk.
Bayu merasakan perutnya jadi mual hendak mun-
tah. Kembali kakinya bergeser ke belakang beberapa
langkah, ketika si Serigala Penghisap Darah itu me-
langkah perlahan mendekati. Melihat keris yang sudah
terhunus itu, Bayu semakin yakin kalau orang yang
dihadapinya ini adalah Waskita. Meskipun, sosok tu-
buh dan wajahnya sudah berubah, bagaikan sosok
mayat hidup yang mengerikan sekali.
"Keris itu bukan hanya mempengaruhi jiwanya, ta-
pi sudah merubah seluruh jiwa dan raganya. Hhh...!
Apa yang harus kulakukan sekarang...? Tidak mudah
menundukkannya dalam keadaan sudah begini," keluh
Bayu dalam hati.
Pendekar Pulau Neraka berpikir keras, mencari ja-
lan keluar untuk dapat menundukkan Waskita yang
kini benar-benar sudah berubah. Dan itu sudah pasti
akibat pengaruh Keris Kala Muyeng, yang kini benar-
benar menjadi senjata pusaka penyebar maut. Semen-
tara itu, Waskita yang menjuluki dirinya Serigala
Penghisap Darah terus melangkah maju semakin men-
dekati Pendekar Pulau Neraka.
'Terpaksa, aku harus menghindar dulu kali ini,"
ujar Bayu memutuskan di dalam hati.
Pendekar Pulau Neraka memanggil Tiren yang ma-
sih berada di atas dahan. Setelah monyet kecil itu
hinggap di bahunya, cepat sekali Bayu berbalik, dan
berlari cepat meninggalkan tempat ini.
"Ha ha ha...!" Waskita yang kini menjuluki dirinya
sebagai Serigala Penghisap Darah, tertawa terbahak
bahak melihat lawannya kabur.
Sama sekali dia tidak mengejar. Bahkan cepat me-
lesat masuk kembali ke dalam pondok kecilnya. Sua-
sana di tengah hutan yang lebat itu kembali sunyi tan-
pa terdengar suara sedikit pun. Sedangkan Bayu su-
dah begitu jauh meninggalkan tempat itu. Dia kembali
ke seberang jurang, tempat Ki Wanengpati dan
Anggraini menunggu.
***
Ki Wanengpati termenung diam. Pandangannya ko-
song tertuju lurus ke depan, setelah Bayu mencerita-
kan pengalamannya di dalam hutan seberang jurang.
Sedangkan Anggraini juga hanya bisa diam meman-
dangi Pendekar Pulau Neraka yang mengelus-elus ke-
pala monyet kecil dalam pangkuannya. Mereka masih
berada di dekat bibir jurang yang tidak seberapa lebar
itu.
"Dia benar-benar akan berubah menjadi makhluk
liar yang sukar ditaklukkan lagi. Tak ada satu senjata
satu pun di dunia ini yang sanggup membunuhnya,
keluh Ki Wanengpati perlahan, seakan-akan berbicara
pada dirinya sendiri.
"Bagaimanapun juga, kita harus menghentikannya,
Ki. Sebelum bencana yang lebih besar lagi terjadi aki-
bat kebrutalannya," selak Anggraini tegas.
"Benar! Kita memang harus menghentikannya. Tapi
sulit jika sudah mulai berubah begitu. Pengaruh Keris
Kala Muyeng memang cepat. Terlebih lagi, jiwa Waskita
memang tidak terkendali dan sudah dikuasai nafsu
keserakahan. Hal ini akan mempercepat pengalihan
raganya, dari manusia menjadi iblis penghisap darah
seluruhnya," jelas Ki Wanengpati. "Dan kalau Keris Ka
la Muyeng telah benar-benar sempurna menguasai se-
luruh jiwa dan raganya, dunia ini pasti akan menjadi
neraka. Tak ada seorang pun yang dapat menghenti-
kannya lagi."
"Mungkin kita bisa menghadapinya bersama-sama,
Ki." selak Bayu mengemukakan pendapat.
'Percuma. Seribu pendekar berkepandaian tinggi
sekalipun, tak akan sanggup menghadapinya," sergah
Ki Wanengpati.
Bayu dan Anggraini hanya bisa saling pandang.
Mereka sungguh tidak menyangka kalau akan seperti
ini akhirnya. Terlebih lagi Bayu. Semula dugaannya
akan mudah merebut keris itu dari tangan Waskita.
Dan kalau bisa, sekalian menyadarkan atas kekeli-
ruannya ini. Mengingat, kepandaian yang dimiliki
Waskita sebenarnya tidaklah seberapa tinggi. Tapi,
ternyata Keris Kala Muyeng telah merubahnya menjadi
seorang manusia digdaya tanpa tanding yang berhati
iblis dan haus darah manusia.
"Apa tidak ada cara untuk keluar dari persoalan
ini, Ki?" tanya Anggraini.
"Satu-satunya cara hanyalah memisahkan keris itu
dari Waskita. Dan itu pun akan berakibat parah bagi
Waskita sendiri. Sifatnya akan semakin liar, dan tidak
mempedulikan keselamatan dirinya lagi," Ki Waneng-
pati tertunduk lesu.
Bayu dan Anggraini bisa merasakan kepedihan hati
laki-laki tua ini. Bagaimanapun juga, Waskita adalah
anak angkat sekaligus murid kesayangannya. Memang
tidak mudah menghadapi kenyataan pahit ini. Mereka
semua menyadari kalau akibat yang akan diterima
Waskita hanyalah kematian. Dan memang itu jalan sa-
tu-satunya untuk menghentikan pengaruh jahat dari
Keris Kala Muyeng yang kini telah hampir sempurna
menguasainya.
"Ah, Maaf. Tidak seharusnya sikapku seperti ini,"
ucap Ki Wanengpati cepat-cepat menyadari sikapnya
yang tidak pantas sebagai seorang ksatria.
"Tidak mengapa, Ki. Kami mengerti...," sahut Bayu
bisa merasakan perasaan laki-laki tua ini.
"Ki! Apa tidak sebaiknya hal ini kita beritahukan
pada Gusti Adipati...?" saran Anggraini.
"Aku rasa tidak perlu. Nini Anggraini. Aku khawa-
tir, Gusti Adipati akan mengerahkan para prajurit ka-
dipaten. Jika itu terjadi, sama saja tindakan bunuh di-
ri. Dan itu berarti juga akan menghancurkan seluruh
Kadipaten Patarukan. Bahkan bukannya tidak mung-
kin akan menyebar ke kadipaten-kadipaten lain," sa-
hut Ki Wanengpati menyanggah saran Anggraini.
"Ki! Boleh ku tahu, di mana kau mendapatkan
benda untuk membuat keris itu?" tanya Bayu tiba-tiba.
"Untuk apa kau ketahui, Pendekar Pulau Neraka?"
Ki Wanengpati malah balik bertanya.
"Mungkin di sana bisa kudapatkan satu penyele-
saian yang terbaik," jawab Bayu.
"Apa yang akan kau lakukan di sana?" tanya Ki
Wanengpati tidak mengerti.
"Sama seperti yang kau lakukan ketika menda-
patkan bahan pembuat keris itu," sahut Bayu mantap.
"Dan selama kau melakukannya, dunia sudah
hancur. Aku melakukannya lebih dari sepuluh tahun.
Bersemadi selama satu hari penuh, setiap purnama.
Dan yang terakhir, aku bersemadi. Mati Geni selama
tujuh hari tujuh malam. Jadi sia-sia saja jika kau me-
lakukan itu, Pendekar Pulau Neraka," jelas Ki Waneng-
pati singkat.
"Mungkin aku bisa mempersingkat, Ki."
"Selama itu, korban sudah semakin banyak berja
tuhan. Dan Waskita juga semakin sempurna saja di-
pengaruhi kekuatan jahat Keris Kala Muyeng."
"Kita harus mencoba segala cara, meskipun berat
akibatnya, Ki," Bayu tetap bertekad.
Ki Wanengpati terdiam. Dipandanginya wajah Pen-
dekar Pulau Neraka dan Anggraini bergantian. Tatapan
mata Bayu mencerminkan kesungguhan dan kemauan
yang bulat. Ki Wanengpati menghembuskan napas
panjang, kemudian bangkit berdiri diikuti Bayu dan
Anggraini.
"Baiklah, kalau itu maumu. Tapi, aku tidak yakin
akan berhasil," ujar Ki Wanengpati akhirnya menyerah
juga.
"Akan kuhadapi segala akibatnya, Ki" tegas Bayu
mantap.
"Ikutlah aku."
***
Kini Bayu, Ki Wanengpati, dan Anggraini menuju
ke gua, tempat Ki Wanengpati mendapatkan benda
pembuat Keris Kala Muyeng. Saat itu, malam sudah ja-
tuh menyelimuti seluruh permukaan bumi Kadipaten
Patarukan. Di istana kadipaten, Adipati Antapara tam-
pak gelisah sambil berjalan mondar-mandir di ruangan
tengah yang luas dan cukup megah ini. Duduk di se-
buah kursi tak jauh dari jendela yang terbuka lebar,
tampak seorang laki-laki tua mengenakan jubah putih
panjang, di tangan kanannya tergenggam sebatang
tongkat berwarna putih.
Laki-laki tua itulah yang dikenal sebagai ketua se-
buah padepokan yang letaknya tidak jauh dari Kota
Kadipaten Patarukan ini. Namanya Eyang Badranaya,
guru Anggraini yang sekaligus juga ayah angkat gadis
itu. Baru sore tadi Eyang Badranaya berada di istana
kadipaten ini. Kedatangannya ke kadipaten ini pun se-
telah Anggraini meninggalkan padepokan bersama
Pendekar Pulau Neraka. Dan sebenarnya, Adipati An-
tapara sendiri adalah murid Eyang Badranaya juga,
sebelum menjabat sebagai adipati menggantikan ayah-
nya yang telah mangkat.
"Kenapa lama sekali, Eyang? Ke mana sebenarnya
mereka...?" tanya Adipati Antapara seperti bertanya
pada diri sendiri.
"Katanya mereka hendak langsung ke sini, Nanda
Adipati," sahut Eyang Badranaya.
"Seharusnya mereka sudah sampai terlebih dahu-
lu, Eyang. Tapi sampai malam begini, kenapa belum
juga sampai..?" lagi-lagi Adipati Antapara yang masih
berusia muda itu bertanya.
"Mungkin mereka menemui halangan di jalan.
Tunggu saja sebentar lagi," hibur Eyang Badranaya,
mencoba menenangkan keresahan hati adipati muda
itu.
Pada saat itu seorang anak muda berpakaian sera-
gam prajurit kadipaten datang memasuki ruangan ten-
gah ini. Dia langsung berlutut di depan Adipati Anta-
para sambil merapatkan kedua telapak tangan di de-
pan hidung.
"Ada apa, prajurit?" tanya Adipati Antapara.
"Gusti Wanengpati hendak menghadap, Gusti Adi-
pati," sahut prajurit muda itu penuh rasa hormat.
"Suruh masuk segera," perintah Adipati Antapara.
"Hamba, Gusti Adipati."
Prajurit muda itu memberi sembah, lalu bergegas
meninggalkan ruangan itu. Tak lama prajurit muda itu
pergi, muncul Ki Wanengpati bersama Anggraini. Me-
reka segera berlutut di depan Adipati Antapara, sambil
merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung.
Adipati Antapara yang masih berusia muda itu
mengangkat tangan kanannya sedikit. Kemudian di-
persilakannya Ki Wanengpati dan Anggraini untuk
mengambil tempat di kursi yang telah disediakan.
Anggraini mengambil tempat di samping kanan
Eyang Badranaya. Sedangkan Ki Wanengpati mengam-
bil tempat di samping kirinya. Sementara Adipati An-
tapara duduk di seberang meja di depan mereka. Bebe-
rapa saat tak ada yang membuka suara. Adipati Anta-
para merayapi wajah-wajah di depannya secara ber-
gantian. Pandangannya kini tertumbuk agak lama ke-
tika menatap wajah Anggraini yang cantik, dengan
bentuk bibir mungil dan selalu merah merekah.
"Dari mana saja kau, Anggraini? Kenapa baru da-
tang sekarang?" Eyang Badranaya membuka suara le-
bih dahulu.
Anggraini tidak langsung menjawab. Ditatapnya Ki
Wanengpati. Laki-laki tua yang usianya kira-kira se-
baya dengan Eyang Badranaya itu hanya mengang-
gukkan kepala sedikit saja. Maka Anggraini langsung
menceritakan perjalanannya bersama Pendekar Pulau
Neraka, sampai bertemu Ki Wanengpati. Kemudian,
mereka ke hutan di Bukit Patarukan. Di sana Pende-
kar Pulau Neraka bertemu Waskita yang sudah cukup
banyak berubah. Sampai-sampai, pendekar digdaya itu
tidak mampu menandinginya. Anggraini menceritakan
sampai mengantarkan Bayu ke dalam gua, tempat Ki
Wanengpati mendapatkan benda pembuat Keris Kala
Muyeng itu.
Anggraini menceritakan singkat, namun sangat je-
las dan mudah dimengerti. Tak ada seorang pun yang
berbicara sampai gadis itu menyelesaikan ceritanya.
Bahkan sampai selesai pun, tak ada yang membuka
suara. Cerita gadis itu membuat Eyang Badranaya dan
Adipati Antapara jadi terdiam, dengan kening berkerut
cukup dalam. Jelas mereka tengah disibuki oleh piki-
ran masing-masing.
"Eyang! Sudah separah itukah Waskita, sehingga
Pendekar Pulau Neraka harus melakukan semadi?"
tanya Adipati Antapara setelah cukup lama tak ada
yang membuka suara.
"Aku kenal Pendekar Pulau Neraka. Kalau sudah
sampai melakukan semadi itu, pasti terlalu sulit ba-
ginya menghadapi Waskita," sahut Eyang Badranaya.
"Berapa lama dia akan bersemadi?" tanya Adipati
Antapara lagi.
"Sukar dikatakan, Ananda Adipati. Masalahnya ti-
dak semudah yang kita bayangkan. Terlebih lagi, seka-
rang ini jiwa dan raga Waskita benar-benar telah diku-
asai kekuatan jahat Keris Kala Muyeng. Sudah pasti,
yang ada di dalam diri Waskita bukanlah jiwanya sen-
diri. Dan apa yang dilakukannya, tidak pernah disadari
karena seluruh jiwa dan perasaannya sudah tertutup
pengaruh jahat Keris Kala Muyeng...," nada suara
Eyang Badranaya terdengar terputus.
"Gusti Adipati, izinkan hamba menghadapinya.
Hambalah yang seharusnya bertanggung jawab dalam
persoalan ini, karena semua sumbernya dari hamba
sendiri," selak Ki Wanengpati.
"Itu namanya tindakan bunuh diri, Adi Wanengpa-
ti," ujar Eyang Badranaya cepat, sebelum Adipati An-
tapara menjawab permintaan laki-laki tua penasihat-
nya ini.
"Benar, Ki Wanengpati. Sebaiknya, untuk sementa-
ra waktu semuanya diserahkan saja pada Pendekar
Pulau Neraka. Kalau ternyata dia gagal, baru kita ha-
dapi Waskita bersama-sama," ujar Adipati Antapara.
'Tapi, Gusti...."
"Sudahlah, Adi Wanengpati. Kau sudah cukup be-
rusaha keras. Kau pasti lelah, sebaiknya beristirahat-
lah dulu," potong Eyang Badranaya cepat.
Ki Wanengpati menatap Eyang Badranaya seben-
tar, kemudian beralih pada Adipati Antapara yang
menganggukkan kepalanya sedikit. Setelah memberi
sembah penghormatan, Ki Wanengpati beranjak bang-
kit dari duduknya. Kemudian, kakinya melangkah per-
lahan hendak meninggalkan ruangan ini.
"Sebaiknya kau tidur di sini saja, Ki," ujar Adipati
Antapara.
'Terima kasih, Gusti. Biarkan hamba pulang saja
malam ini," tolak Ki Wanengpati halus.
Adipati Antapara tidak dapat mencegah lagi. Se-
mentara Ki Wanengpati sudah menghilang, tertelan
pintu yang tertutup kembali begitu dilewatinya. Se-
mentara di ruangan ini tinggal Adipati Antapara, Eyang
Badranaya, dan Anggraini. Mereka terdiam untuk be-
berapa saat, dengan pikiran masing-masing terus ber-
kecamuk.
"Aku tinggal dulu, Eyang. Penat rasanya tubuhku,"
ujar Adipati Antapara berpamitan.
"Silakan, Ananda Adipati," sahut Eyang Badranaya.
Adipati muda itu menjura memberi hormat yang
dibalas Eyang Badranaya juga dengan penghormatan
yang sama. Adipati Antapara menganggukkan kepala
sedikit pada Anggraini. Sementara gadis itu hanya
memberi senyum tipis. Kemudian, pemuda itu melang-
kah meninggalkan ruangan ini
"Anggraini..," panggil Eyang Badranaya setelah
Adipati Antapara tidak terlihat lagi di dalam ruangan
yang cukup besar ini.
"Ya, Eyang," sahut Anggraini.
"Bisa kau antarkan aku ke tempat Waskita besok
pagi?" pinta Eyang Badranaya.
"Mau apa Eyang ke sana?" Anggraini terkejut men-
dengar permintaan itu.
"Aku ingin menjajal tingkatan pengaruh keris itu
padanya. Mungkin dengan cara seperti itu, aku bisa
menjajaki kemungkinan untuk mencari kelemahan-
nya," sahut Eyang Badranaya beralasan.
"Apa itu perlu, Eyang?" tanya Anggraini.
"Segala kemungkinan perlu dicoba terlebih dahulu,
sebelum mengambil keputusan, Anggraini"
Anggraini terdiam. Kata-kata yang sama barusan
juga pernah didengar dari mulut Pendekar Pulau Ne-
raka. Apakah orang-orang bijak di dalam rimba persi-
latan memang selalu mempunyai pandangan hidup
sama...? Anggraini tidak sempat menjabarkan pemiki-
rannya yang tiba-tiba muncul itu. Karena, Eyang Ba-
dranaya sudah bangkit berdiri dan melangkah mening-
galkan ruangan ini. Anggraini bergegas pula mening-
galkan ruangan tengah yang sangat besar dan indah
ini.
Sudah berapa kali gadis itu menginap di istana ka-
dipaten ini. Sehingga, dia tidak lagi merasa canggung.
Bahkan sebagian prajurit penjaga di lingkungan istana
ini sudah mengenalnya dengan baik. Yang lebih me-
nyenangkan, gadis itu diperlakukan sama dengan putri
kaum bangsawan lainnya. Anggraini juga sudah tahu,
kamar mana yang akan ditempati untuk istirahat tan-
pa harus diberitahukan lagi.
Sementara malam terus merayap semakin larut.
Dan suasana di lingkungan istana kadipaten ini terasa
lain dari biasanya. Adipati Antapara memang sudah
memerintahkan agar melipatgandakan penjagaan di
sekeliling istana. Sehingga, dimana-mana selalu terli
hat para prajurit menjaga keamanan istana ini.
***
TUJUH
Pagi-pagi sekali di saat matahari belum lagi me-
nampakkan dirinya, Eyang Badranaya dan Anggraini
sudah memacu cepat kudanya. Keluar dari benteng Is-
tana Kadipaten Patarukan. Tapi belum juga begitu
jauh mereka pergi, dari arah belakang terlihat seekor
kuda tengah berpacu cepat. Di punggungnya, tampak
seorang pemuda mengenakan baju putih ketat dengan
sebilah pedang tergantung di pinggang.
Eyang Badranaya menoleh ke belakang begitu me-
rasakan ada yang membuntuti. Keningnya jadi berke-
rut begitu mengetahui siapa yang membuntutinya.
Anggraini juga berpaling ke belakang. Dan kini mereka
jadi menghentikan lari kudanya hampir bersamaan.
"Nanda Adipati.... Mau apa dia mengikuti...?" desis
Eyang Badranaya perlahan.
Penunggang kuda itu memang Adipati Antapara.
Hanya pakaiannya saja yang berubah, tidak seperti bi-
asanya jika berada dalam istana kadipaten. Dengan
pakaian biasa seperti ini, tak akan ada seorang pun
yang bisa mengenali, kecuali orang-orang yang dekat
dengannya. Adipati Antapara tersenyum begitu dekat
dengan Eyang Badranaya dan Anggraini.
"Kenapa bengong...?" tegur Adipati Antapara.
"Ananda Adipati, hendak ke mana dengan pakaian
seperti ini?" tanya Eyang Badranaya.
"Ikut kalian...," sahut Adipati Antapara kalem.
"Ayo...?"
Eyang Badranaya dan Anggraini jadi saling melem-
parkan pandang, melihat Adipati Antapara sudah
menggebah kudanya perlahan-lahan melewati mereka.
Guru dan murid itu pun segera melajukan kudanya,
dan mensejajarkan di samping adipati muda ini. Tidak
mungkin mereka mencegah adipati itu untuk ikut ke
tempat persembunyian Waskita.
Mereka menjalankan kuda perlahan-lahan menuju
ke Bukit Patarukan yang merupakan hutan lebat, dan
jarang dimasuki manusia. Biasanya mereka yang ting-
gal di Kadipaten Patarukan ini hanya mengambil kayu
dari pinggiran hutan saja. Tak seorang pun yang bera-
ni lebih masuk lagi ke dalam, kecuali yang memang
pekerjaannya berburu.
"Gusti..."
"Eh! Jangan panggil gusti! Panggil saja Kakang
Antapara," potong Adipati Antapara, cepat memu-
tuskan ucapan Anggraini.
'Tapi..," Anggraini ingin membantah.
"Kau boleh memanggilku dengan sebutan itu kalau
di kadipaten. Tapi di sini, aku tidak suka mendengar
sebutan itu," lagi-lagi Adipati Antapara memotong ce-
pat.
Anggraini jadi terdiam. Ditatapnya Eyang Badra-
naya. Sedangkan laki-laki tua berjubah putih itu
hanya menganggukkan kepala saja. Dia memang su-
dah tahu kalau Adipati Antapara tidak suka jika di-
panggil gusti, bila sedang berada di luar kadipaten. Hal
itu sudah diketahuinya, sejak pemuda ini masih me-
nuntut ilmu di padepokannya, dan belum menjabat
sebagai adipati.
"Apa yang akan kau katakan, Anggraini?" ujar Adi-
pati Antapara melihat Anggraini jadi terdiam saja.
'Tidak jadi," sahut Anggraini jadi sungkan.
"Kenapa...? Bukankah tadi kau ingin mengatakan
sesuatu?"
'Tapi... Ah, tidak. Hamba...."
"Aku tahu. Kau pasti ingin menanyakan, kenapa
aku berpakaian seperti ini, dan meninggalkan kadipa-
ten. Begitu, bukan...?" tebak Adipati Antapara lang-
sung.
Anggraini hanya diam saja. Dalam hatinya, me-
mang diakui kalau ingin bertanya seperti itu tadi. Tapi,
dia takut adipati muda ini tersinggung.
"Asal kau tahu saja, Anggraini. Sebenarnya aku le-
bih senang bepergian seperti ini. Melakukan perjala-
nan dan berpetualang mencari pengalaman, daripada
harus duduk-duduk di kadipaten. Eyang Badranaya
pasti sudah lebih tahu. Bukan begitu, Eyang?" Adipati
Antapara menatap laki-laki tua di sampingnya.
Eyang Badranaya hanya menganggukkan kepala
saja sambil menyunggingkan senyuman tipis di bibir-
nya yang hampir tertutup kumis putih. Sedangkan
Anggraini hanya terdiam saja. Sesekali matanya men-
curi pandang pada wajah tampan di sampingnya ini.
Entah kenapa, gadis ini jadi membandingkan antara
Adipati Antapara dengan Bayu si Pendekar Pulau Ne-
raka. Anggraini jadi memaki diri sendiri dalam hati.
Dibuangnya jauh-jauh pikiran yang membanding-
bandingkan antara pemuda ini dengan Pendekar Pulau
Neraka. Suatu pikiran yang dianggapnya konyol, yang
timbul dari kepala seorang gadis seperti dirinya.
"Berapa lama lagi sampai ke sana?" tanya Adipati
Antapara saat mereka telah memasuki hutan di Bukit
Patarukan.
"Mungkin tengah hari nanti, kalau tidak ada ha-
langan," sahut Anggraini.
"Sebaiknya kau berjalan di depan, Anggraini," ujar
Eyang Badranaya.
"Baik, Eyang," sahut Anggraini.
Gadis itu memacu kudanya lebih cepat, mendahu-
lui yang lain. Kini Anggraini berada paling depan, men-
jadi penunjuk jalan ke tempat persembunyian Waskita.
Mereka terus memacu kudanya dengan kecepatan
yang semakin diperlambat. Karena semakin jauh ma-
suk ke dalam hutan ini, semakin lebat pepohonan
yang menghadang. Dan tentu saja hal itu membuat
kuda-kuda yang mereka tunggangi kurang lancar ja-
lannya. Belum lagi harus menerobos semak, dan
menghalau akar-akar pohon yang bergelantungan
menghalangi perjalanan ini. Tapi mereka terus maju,
meskipun semakin tersendat saja.
***
Tepat seperti yang dikatakan Anggraini, mereka ti-
ba di tepi jurang di saat matahari berada di atas kepa-
la. Mereka berlompatan turun dari kuda masing-
masing. Adipati Antapara melangkah sampai berada di
bibir jurang yang tidak terlalu besar ini. Sedangkan
Anggraini dan Eyang Badranaya berdiri sekitar tiga
langkah di belakang adipati muda itu. Perlahan Adipati
Antapara memalingkan kepala ke belakang. Eyang Ba-
dranaya menghampiri dan berdiri di sampingnya.
Anggraini juga mengikuti berdiri di samping lain pe-
muda itu.
"Tak ada seorang pun yang berani menyeberangi
jurang ini. Daerah itu dinamakan Lereng Kematian,
karena tak seorang pun yang pernah kembali setelah
menginjakkan kakinya di sana. Terlalu banyak bina-
tang buas dan berbisa," kata Adipati Antapara, seten-
gah bergumam nada suaranya.
"Kalau Bayu bisa kembali dengan selamat, pasti ce-
rita itu hanya isapan jempol belaka," tanggap Eyang
Badranaya.
"Memang hanya kepercayaan yang salah dan tidak
berdasar. Aku sendiri pernah menjelajah selama tiga
hari di sana. Malah tak ada seekor binatang pun yang
kujumpai," sambung Adipati Antapara.
"Lantas, bagaimana?" tanya Eyang Badranaya.
"Mudah-mudahan saja Waskita masih ada di sana.
Aku ingin sekali melihat bagaimana ujudnya sekarang
ini," kata Adipati Antapara.
Setelah berkata demikian, tiba-tiba saja Adipati An-
tapara melesat cepat dengan ringan sekali. Beberapa
kali tubuhnya melakukan putaran di udara dengan
manis, lalu berhasil mendarat di tepi seberang jurang
ini. Pemuda itu berbalik dan menatap Eyang Badra-
naya dan Anggraini yang juga sudah berlompatan me-
nyeberangi jurang yang tidak seberapa lebar ini. Mere-
ka juga berhasil mendarat manis sekali.
"Ayo...," ajak Adipati Antapara.
Ketiga orang itu terus melanjutkan perjalanan den-
gan berjalan kaki. Keadaan hutan di Lereng Kematian
ini cukup lebat juga, sehingga mereka tidak dapat ber-
gerak lebih cepat lagi. Namun mereka bergerak cepat
dengan mempergunakan ilmu meringankan tubuh.
Sehingga dalam waktu tidak berapa lama saja, sudah
nampak sebuah pondok kecil yang letaknya cukup ter-
sembunyi di antara pepohonan yang cukup rapat.
Ketiga orang itu memperlambat ayunan kakinya,
mendekati pondok kecil di depan sana. Dan mereka
baru berhenti melangkah setelah tinggal sekitar tiga
batang tombak lagi dari pondok kecil yang cukup ter-
sembunyi letaknya. Sejenak mereka saling melempar-
kan pandang, seakan-akan sama-sama memberi peringatan untuk berhati-hati. Dan baru saja mereka
hendak melangkahkan kaki kembali, tiba-tiba saja ter-
dengar bentakan keras menggelegar dari dalam pon-
dok.
"Berhenti...!"
Bentakan itu bukan main kerasnya, sehingga
membuat Adipati Antapara, Eyang Badranaya, dan
muridnya terkejut setengah mati. Mereka jadi mengu-
rungkan niatnya untuk melangkah mendekati pondok
kecil yang cukup tersembunyi itu. Kembali mereka sal-
ing melemparkan pandangan, kemudian sama-sama
menatap ke arah pondok kecil yang tak seberapa jauh
lagi di depan Adipati Antapara melangkah beberapa
tindak ke depan. Matanya tidak berkedip menatap lu-
rus ke arah pintu pondok yang tertutup rapat.
"Sebaiknya kalian kembali saja, daripada mem-
buang nyawa sia-sia di sini...!" kembali terdengar sua-
ra keras menggelegar dari dalam pondok.
"Waskita...! Aku Adipati Antapara, ingin bicara
denganmu!" bujuk Adipati Antapara dengan suara
yang juga keras, karena dikeluarkan lewat pengerahan
tenaga dalam tinggi.
"Aku tidak peduli siapa kau! Pergi cepat sebelum
kesabaranku habis!" sahut suara dari dalam pondok
itu lagi.
"Keluarlah, Waskita. Kita bisa bicarakan ini secara
baik-baik," bujuk Adipati Antapara.
"Jangan paksa aku bertindak! Pergi kalian semua!
Cepaaat..!"
Begitu kerasnya suara dari dalam pondok itu,
membuat Adipati Antapara jadi terlompat ke belakang
beberapa tindak. Sedangkan Eyang Badranaya dan
Anggraini bergegas menghampiri adipati muda itu.
"Kuberi kesempatan sekali lagi, sebelum kubunuh
kalian semua!" kembali terdengar suara keras mengge-
legar dari dalam pondok.
"Sebaiknya kita menyingkir dulu, Anakku," ujar
Eyang Badranaya setengah berbisik. 'Tampaknya
Waskita telah benar-benar dikuasai Keris Kala
Muyeng."
"Aku akan memaksa dia keluar, Eyang," tegas Adi-
pati Antapara.
Tidak ada lagi kesempatan bagi Eyang Badranaya
untuk membujuk Adipati Antapara agar menyingkir
dulu dari tempat ini. Karena mendadak saja pintu
pondok kecil itu terbuka, dan melesat sebuah bayan-
gan hitam dari dalamnya. Cepat sekali bayangan hitam
itu berkelebat tahu-tahu di depan mereka sudah berdi-
ri suatu sosok makhluk berwajah penuh benjolan. Se-
hingga raut wajahnya begitu mengerikan untuk dipan-
dang.
Rambutnya yang teriap tak beraturan, hampir me-
nutupi raut wajahnya yang penuh benjolan itu. Sebilah
pedang panjang tampak tergantung di pinggangnya.
Dan di balik sabuk yang melilit pinggangnya, terselip
sebilah keris yang kelihatannya baru setengah jadi. Dia
berdiri tegak bertolak pinggang. Sepasang bola ma-
tanya memerah, menatap tajam Adipati Antapara.
"Kalian benar-benar ingin mampus...!" desis orang
berwajah buruk itu dingin menggetarkan.
"Waskita! Kau sadar, siapa yang berdiri di depan-
mu?" tegur Eyang Badranaya.
"Aku tidak peduli, siapa dia!" dengus laki-laki sepa-
ruh baya yang berwajah penuh benjolan itu. "Siapa
pun yang mencoba mengganggu ketenteraman ku, ha-
rus mati di sini!"
"Waskita...."
"Aku bukan Waskita! Aku Serigala Penghisap Darah...!" bentak laki-laki separuh baya itu memutuskan
ucapan Eyang Badranaya.
"Aku tidak peduli siapa namamu sekarang. Tapi
aku tetap mengenalimu, Waskita," desak Eyang Ba-
dranaya.
"Ha ha ha...!" Waskita yang sudah dikuasai kekua-
tan Keris Kala Muyeng, jadi tertawa terbahak-bahak
mendengar kata-kata Eyang Badranaya barusan.
Mendadak saja, Waskita mengebutkan tangan ka-
nannya ke arah Eyang Badranaya. Seketika itu juga,
secercah sinar merah melesat cepat bagaikan kilat ke
arah laki-laki tua berjubah putih itu.
"Awas, Eyang...!" teriak Anggraini memperingatkan.
"Uts!"
Hampir saja sinar merah itu menghantam tubuh
Eyang Badranaya, kalau tubuhnya tidak segera ditarik
ke kanan. Sinar merah itu melesat cepat di samping
kiri tubuhnya, dan langsung menghantam pohon yang
berada di belakang laki-laki tua ini. Seketika pohon itu
hancur berkeping-keping, terkena sambaran sinar me-
rah tadi.
"Bagus? Ternyata kau mampu juga menghindari
seranganku, Orang Tua," desis Waskita dingin.
Eyang Badranaya yang menyadari kalau Waskita
tak mungkin lagi bisa disadarkan, segera bersiap me-
nerima serangan kembali. Sedangkan Waskita sudah
menggeser kakinya ke kanan beberapa tindak. Tatapan
matanya begitu tajam, menusuk langsung ke bola ma-
ta laki-laki tua itu. Seakan-akan dia sedang mengukur
tingkat kepandaian yang dimiliki Eyang Badranaya.
Sementara itu Anggraini dan Adipati Antapara su-
dah menyingkir menjauhi tempat ini. Mereka sekarang
berada di tempat yang cukup jauh dan jangkauan per-
tempuran, yang tidak mungkin dielakkan lagi.
'Tahan seranganku, Orang Tua! Hiyaaa...!" seru
Waskita keras menggelegar.
Cepat sekali, si Serigala Penghisap Darah melom-
pat menyerang Eyang Badranaya. Secepat itu pula, pe-
dangnya dicabut, dan langsung dikibaskan ke arah
leher laki-laki tua berjubah putih ini.
"Hait!"
Eyang Badranaya tidak berusaha menghindari se-
rangan itu. Bahkan tongkatnya malah dikebutkan, un-
tuk menyampok tebasan pedang Waskita. Laki-laki tua
ini mengerahkan seluruh kemampuan tenaga dalam-
nya, yang langsung disalurkan ke tongkat.
Trak!
"Heh...?!"
Bukan main terkejutnya Eyang Badranaya, karena
tongkatnya terpenggal jadi dua bagian begitu berben-
turan dengan pedang Waskita. Cepat-cepat dia melom-
pat mundur sejauh satu batang tombak. Tapi baru sa-
ja kakinya menjejak tanah, Waskita sudah kembali
melancarkan serangannya cepat luar biasa.
"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"
Pedang di tangan Waskita berkelebat cepat mengu-
rung seluruh tubuh Eyang Badranaya. Akibatnya laki-
laki tua berjubah putih itu terpaksa berjumpalitan
menghindari serangan-serangan gencar.
Beberapa kali pedang di tangan Waskita hampir
merobek kulit tubuhnya. Tapi sampai sejauh ini,
Eyang Badranaya masih mampu menghindari. Bahkan
beberapa kali pula mampu melancarkan serangan ba-
lasan.
"Modar...!" teriak Eyang Badranaya tiba-tiba.
Cepat sekali laki-laki tua itu melancarkan satu pu-
kulan keras menggeledek, disertai pengerahan tenaga
dalam tinggi. Begitu cepatnya pukulan itu, sehingga
Waskita tidak sempat lagi menghindar. Pukulan itu te-
pat menghantam dada yang bergerenjul penuh benjo-
lan.
Diegkh!
"lkh...!" Eyang Badranaya terpekik kecil agak terta-
han.
Cepat-cepat laki-laki tua itu menarik pulang tan-
gannya, dan melompat sejauh setengah tombak. Eyang
Badranaya merasakan seperti menghantam sebongkah
batu cadas yang begitu keras tadi. Tulang-tulang jari
tangannya seperti remuk, dan terasa nyeri sekali. Se-
dangkan Waskita sama sekali tidak terpengaruh oleh
pukulan keras yang dilancarkan laki-laki tua ini.
Bahkan Waskita melangkah maju sambil menge-
butkan pedangnya di depan dada. Sedangkan Eyang
Badranaya terus bergerak mundur sambil mencari ce-
lah untuk melancarkan serangan. Namun serangan-
serangan yang dilancarkan Waskita, membuat Eyang
Badranaya tak mampu lagi memberi serangan balasan.
Dan satu dua pukulan keras terpaksa diterimanya, se-
hingga membuat laki-laki tua itu bergelimpangan di
tanah.
Dalam beberapa jurus saja, Waskita sudah benar-
benar menguasai pertarungan ini. Dan Eyang Badra-
naya semakin terdesak saja, seakan-akan tak mampu
lagi memberi perlawanan berarti. Dan memang Waski-
ta tidak memberi kesempatan pada laki-laki tua itu
untuk melancarkan serangan balasan.
"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"
Mendadak saja, Waskita mengubah pola serangan-
nya. Tubuhnya berputar cepat, sementara tangan ka-
nannya yang memegang pedang merentang lurus,
mengarah ke dada Eyang Badranaya. Gerakan yang
begitu cepat membuat laki-laki tua itu jadi kelabakan
menghindarinya. Dia berlompatan, dan berjumpalitan
menghindari setiap tebasan pedang yang disertai gera-
kan tubuh berputaran cepat.
Selagi Eyang Badranaya sibuk menghindari teba-
san pedang yang bergerak cepat bagai memiliki mata,
mendadak saja Waskita cepat merubah jurus tangan-
nya tanpa diduga sama sekali. Laki-laki separuh baya
yang bentuk tubuh dan wajahnya sudah berubah pe-
nuh benjolan itu tiba-tiba saja melentingkan tubuh ke
udara. Lalu, tubuhnya meluruk deras, sambil mengi-
baskan pedangnya cepat mengincar kepala.
Yeaaah...!"
"Heh...?!"
***
DELAPAN
"Yeaaa...!"
Eyang Badranaya benar-benar tak mampu lagi
menghindari serangan yang begitu cepat. Laki-laki tua
itu hanya bisa membeliakkan mata. Namun begitu
ujung pedang Waskita hampir saja membelah kepa-
lanya, mendadak saja sebuah bayangan kuning berke-
lebat cepat menghantam tubuh laki-laki separuh baya
yang wajahnya bergerenjul penuh benjolan itu.
Des!
"Aaakh...!" Waskita terpekik keras.
Seketika itu juga tubuhnya terpental balik, dan
berputaran beberapa kali. Bayangan kuning itu kem-
bali berkelebat cepat, lalu terdengar suara dua buah
logam yang beradu keras. Terlihat bunga api memer-
cik, disusul terpentalnya pedang Waskita ke angkasa.
Bayangan kuning itu melesat ke udara, mengejar pe-
dang itu. Sedangkan Waskita masih berjumpalitan di
udara. Dan begitu kaki Waskita mendarat manis di ta-
nah, bayangan kuning itu juga meluruk turun.
"Bayu...," desis Eyang Badranaya begitu melihat di
depannya sudah berdiri seorang pemuda mengenakan
baju kulit harimau.
Pemuda tampan berbaju kulit harimau itu mem-
buang pedang yang berhasil dirampasnya dari tangan
Waskita. Sedangkan Waskita sendiri hanya mendengus
dan menggeram marah. Matanya tampak memerah
menatap liar Pendekar Pulau Neraka. Sedikit Bayu me-
lirik Eyang Badranaya, kemudian menatap Adipati An-
tapara dan Anggraini yang berada cukup jauh pada
tempat yang cukup aman. Kembali ditatapnya Waskita
yang menjuluki dirinya sebagai Serigala Penghisap Da-
rah. Saat itu Eyang Badranaya sudah berdiri di samp-
ing Bayu, diikuti Anggraini dan Adipati Antapara.
"Menyingkirlah. Biar aku yang menghadapinya,"
ujar Bayu perlahan tanpa mengalihkan pandangannya
dari si Serigala Penghisap Darah.
"Kau sudah mendapatkan kelemahannya, Bayu?"
tanya Eyang Badranaya.
Bayu tidak menjawab, dan hanya tersenyum tipis
saja, hampir tidak terlihat. Kemudian kakinya bergerak
terayun dua langkah ke depan. Tatapan matanya tetap
tajam, tertuju lurus ke bola mata si Serigala Penghisap
Darah. Saat itu, Eyang Badranaya memberi isyarat pa-
da Anggraini dan Adipati Antapara untuk menyingkir.
Tanpa membantah sedikit pun, mereka bergerak men-
jauh. Eyang Badranaya sendiri melangkah mundur
perlahan-lahan, dan baru berhenti setelah jaraknya
cukup jauh dari si Serigala Penghisap Darah dan Pen-
dekar Pulau Neraka yang berdiri saling menatap tajam.
"Keluarkan keris Kala Muyeng mu, Serigala Penghi-
sap Darah!" desis Bayu, dingin dan datar nada sua-
ranya.
"Phuih! Kau datang hanya mengantarkan nyawa
saja, Bocah!" dengus Waskita tidak kalah dinginnya.
"Kita lihat saja. Siapa yang lebih dulu terbang ke
neraka," kali ini suara Bayu terdengar kalem.
"Setan alas...! Tahan seranganku. Hiyaaat..!"
Waskita jadi geram mendengar tantangan Pendekar
Pulau Neraka barusan. Bagaikan kilat, tubuhnya cepat
melompat menerjang sambil mencabut kerisnya yang
terselip di pinggang. Keris itu langsung dikibaskan ke
arah dada Pendekar Pulau Neraka.
Bet!
"Hait..!"
Bayu hanya menarik tubuhnya sedikit ke belakang,
membuat keris yang baru setengah jadi itu hanya le-
wat sedikit saja di depan dada. Pada saat itu, cepat di-
lepaskannya satu tendangan keras, sambil memiring-
kan tubuh ke kiri.
"Yeaaah...!"
"Hup!"
Waskita melompat ke belakang setengah berputa-
ran, menghindari tendangan keras Pendekar Pulau Ne-
raka. Tapi begitu kakinya menjejak tanah, cepat sekali
Bayu melompat. Langsung dilepaskannya satu puku-
lan lurus ke arah dada. Tak ada lagi kesempatan bagi
Waskita untuk menghindar. Maka cepat-cepat kerisnya
dikebutkan ke depan dada.
"Hait!"
Namun yang terjadi mengejutkan sekali. Dengan
gerakan manis sekali, Bayu merundukkan tubuhnya
sedikit. Namun tangannya langsung bergerak cepat ke
arah perut. Dan sambil bergerak cepat Pendekar Pulau
Neraka menyambar sarung Keris Kala Muyeng yang
berada di balik ikat pinggang si Serigala Penghisap Da-
rah.
Bet!
"Hey...?!"
Waskita tersentak kaget. Cepat-cepat diburunya
Pendekar Pulau Neraka. Tapi, Bayu sudah cepat mele-
sat ke belakang dan melakukan putaran beberapa kali.
Lalu, manis sekali kakinya menjejak di sebatang dahan
yang tidak begitu tinggi. Tangan kanannya kini telah
menggenggam warangka keris yang terbuat dari kayu
hitam. Pemuda berbaju kulit harimau itu tersenyum
sambil memegangi warangka Keris Kala Muyeng di de-
pan dada. Sedangkan Waskita hanya berdiri saja den-
gan geraham bergemeletuk menahan geram.
***
"Bocah setan...! Turun kau...!" bentak Waskita ge-
ram.
"Kenapa tidak kau saja yang naik ke sini...?" tan-
tang Bayu memanasi.
"Keparat..!"
Waskita benar-benar geram setengah mati, tapi
tampaknya ragu-ragu menuruti tantangan Pendekar
Pulau Neraka. Dia hanya berdiri tegak dengan sinar
mata tajam memerah dan berapi-api menatap Bayu
yang berdiri di atas dahan cukup tinggi. Bahkan Pen-
dekar Pulau Neraka memain-mainkan sarung keris
yang berhasil dirampasnya dari balik sabuk si Serigala
Penghisap Darah.
"Ayo, ke sini.... Kita bertarung di atas pohon," tan-
tang Bayu terus memanasi.
"Ghrrr...!" Waskita jadi menggerung geram bagai
kan binatang buas yang liar.
Sepasang bola matanya semakin memerah berapi-
api. Benjolan-benjolan di seluruh wajah dan tubuhnya,
terus bertumbuhan semakin banyak. Sehingga, hampir
menutupi bentuk wajahnya. Sehingga wajahnya tidak
sedap dipandang. Bau busuk semakin menyebar me-
nyengat hidung, keluar dari Keris Kala Muyeng yang
tergenggam di tangan si Serigala Penghisap Darah.
Asap hitam pun terus mengepul keluar dari ujung ke-
ris yang terhunus telanjang. Dan itulah yang membuat
benjolan-benjolan pada tubuhnya makin bertambah.
Pada saat itu, tiba-tiba saja dari pohon yang lain
meluruk turun satu makhluk kecil dan hitam ke arah
si Serigala Penghisap Darah. Makhluk kecil hitam den-
gan suara kecil mencerecet ribut itu, tahu-tahu hing-
gap di atas kepala Waskita. Akibatnya si Serigala
Penghisap Darah itu terkejut, dan langsung mengi-
baskan kepala ke atas. Tapi makhluk kecil hitam yang
ternyata seekor monyet itu cepat melompat turun, dan
berlarian berputaran mengelilingi si Serigala Penghisap
Darah sambil mencerecet ribut.
'Terus, Tiren! Bagus...! Buat dia pusing tujuh kelil-
ing!" seru Bayu senang melihat monyet kecil itu meng-
ganggu perhatian si Serigala Penghisap Darah.
"Monyet jelek! Pergi kau...!" bentak Waskita geram.
Tapi monyet kecil yang bernama Tiren itu terus
bergerak memutari Waskita sambil mencerecet ribut.
Dan tiba-tiba saja, binatang itu melompat dari arah be-
lakang, dan langsung hinggap di tengkuk si Serigala
Penghisap Darah. Waskita jadi jengkel, sehingga me-
nepuk tengkuknya. Tapi, Tiren sudah lebih cepat lagi
melompat, sehingga tepukan Waskita hanya mengenai
tengkuknya sendiri. Tiren terus berlompatan cepat,
dan kembali melompat dari belakang. Kali ini hinggap
di kepala Waskita sebentar, dan kembali melompat ce-
pat begitu tangan Waskita melayang hendak menam-
parnya.
Kelakuan Tiren yang seperti sengaja menimbulkan
kemarahan itu memang membuat Waskita semakin
jengkel. Dia menggerung-gerung geram, dengan bola
mata semakin memerah berapi-api karena monyet ke-
cil berbulu hitam itu terus menggodanya.
"Monyet setan! Hiyaaa...!"
Sambil berseru nyaring, Waskita mengibaskan ke-
ris ke arah monyet kecil yang berjingkrakan di depan-
nya. Asap hitam yang mengepul dari ujung keris itu ti-
ba-tiba saja meluruk deras ke arah Tiren. Tapi monyet
kecil berbulu hitam itu cepat melompat menghindar
sambil mencerecet ribut. Satu ledakan keras mengge-
legar terdengar ketika ujung asap hitam itu menghan-
tam tanah. Begitu kerasnya, sehingga membuat tanah
terbongkar menimbulkan kepulan debu yang mem-
bumbung tinggi ke angkasa.
Bayu sendiri yang berada di atas pohon jadi terke-
jut setengah mati melihat tindakan Waskita barusan.
Sedangkan Tiren jadi tampak ketakutan hingga cepat-
cepat melompat dan hinggap di pundak Pendekar Pu-
lau Neraka. Monyet kecil itu menyembunyikan wajah-
nya di belakang kepala Bayu.
"Kemarikan monyet itu, Setan...!" geram Waskita
berang.
"Bagus, Tiren. Kau sudah membangkitkan seman-
gatnya. Sekarang tinggal kau alihkan perhatiannya pa-
damu. Aku akan berusaha merebut kerisnya," ujar
Bayu, berbisik sambil menepuk-nepuk tubuh monyet
kecil yang masih menyembunyikan mukanya.
Tiren hanya mengkirik kecil. Rupanya binatang itu
masih ketakutan atas tindakan Waskita tadi, yang
membuatnya terkejut. Bayu bisa mengerti kalau mo-
nyet kecil ini ketakutan.
"Jangan takut, Tiren. Aku pasti melindungimu," hi-
bur Bayu menenangkannya. "Ayo, alihkan perhatian-
nya lagi."
Tiren masih tetap menyembunyikan mukanya di
belakang Pendekar Pulau Neraka.
"Ayo, Tiren. Ini kesempatan baik untuk mengalih-
kan perhatiannya. Hanya kau satu-satunya yang bisa
melakukannya," bujuk Bayu.
Perlahan Tiren mengeluarkan kepala dari belakang
kepala Bayu. Ditatapnya Pendekar Pulau Neraka, ke-
mudian beralih pada Waskita yang mendengus dan
menggeram dengan berang.
"Ayo...."
"Nguk!"
Tiren kembali melompat turun. Tapi begitu kakinya
menjejak tanah, Waskita sudah langsung meluruk
sambil menghunus keris. Begitu cepat gerakannya,
membuat monyet kecil itu jadi mencerecet ketakutan.
Dia cepat melompat, sehingga hunjaman Keris Kala
Muyeng hanya mengenai tanah kosong. Hal ini mem-
buat Waskita benar-benar geram.
"Setaannnnn…! Kubunuh kau, Monyet Jelek!"
"Nguk!"
***
Sambil meraung keras, Waskita mengangkat keris-
nya tinggi-tinggi ke atas kepala. Pada saat itu Bayu
melesat cepat sambil mengerahkan ilmu meringankan
tubuh yang sudah mencapai taraf kesempurnaan. Be-
gitu cepatnya lesatan Pendekar Pulau Neraka, sehingga
Waskita tidak sempat lagi memperhatikan. Terlebih,
saat itu perhatiannya memang sedang terpusat pada
monyet kecil yang telah membuatnya jengkel.
Tap!
"Heh...?!"
Si Serigala Penghisap Darah terkejut setengah ma-
ti, ketika tangannya tersentak. Dan lebih terkejut Lagi,
begitu menyadari kerisnya sudah berpindah tangan.
Begitu disadari apa yang telah terjadi, Bayu sudah
berdiri di samping Tiren. Dan monyet kecil itu cepat
melompat naik ke pundak Bayu dengan gerakan lin-
cah. Sementara Eyang Badranaya, Adipati Antapara,
dan Anggraini yang menyaksikan semua itu jadi mena-
rik napas lega melihat Bayu telah menguasai Keris Ka-
la Muyeng.
Trek!
Bayu memasukkan keris itu ke dalam warang-
kanya. Lalu, diberikannya keris itu pada Tiren yang
langsung menerimanya. Sementara Waskita mengge-
rung-gerung marah melihat senjatanya sudah tidak
berada lagi di tangannya. Hatinya begitu marah, kare-
na merasa tertipu mentah-mentah tanpa mampu me-
nyadari siasat Pendekar Pulau Neraka sebelumnya.
"Berikan keris itu pada Eyang Badranaya, Tiren.
Lewat pepohonan saja," ujar Bayu.
"Nguk!"
Tiren segera melompat ke atas pohon yang dekat,
lalu terus berlompatan dari pohon yang satu ke pohon
lainnya. Melihat monyet kecil itu berlompatan di atas
pohon sambil membawa Keris Kala Muyeng, Waskita
tidak ingin melepaskan begitu saja. Maka cepat-cepat
dia melompat mengejar. Tapi pada saat itu, Bayu yang
memang sudah menyadari tindakan yang akan dilaku-
kan Waskita, cepat melompat menerjang si Serigala
Penghisap Darah.
"Hiyaaa...!"
Bagaikan kilat Bayu melepaskan satu pukulan
keras disertai pengerahan tenaga dalam sempurna.
Begitu cepatnya serangan yang dilakukan Bayu, se-
hingga Waskita tidak sempat lagi menghindari.
Buk!
"Aaakh...!" Waskita menjerit keras.
Laki-laki separuh baya itu terpental balik, dan ja-
tuh bergulingan beberapa kali. Dua batang pohon yang
terlanda tubuhnya langsung roboh membuat tanah di
sekitarnya bergetar bagaikan diguncang gempa. Se-
mentara Bayu manis sekali sudah mendarat kembali di
tanah.
Tanpa Keris Kala Muyeng berada di tangan, Waski-
ta memang tidak memiliki daya Lagi. Maka kekebalan
tubuhnya pun juga sirna, meskipun pengaruh jahat
dari keris itu masih menguasainya. Dan kesempatan
ini tidak disia-siakan Pendekar Pulau Neraka. Dengan
cepat Bayu memiringkan tubuh ke kiri agak terbung-
kuk. Kemudian kaki kanannya ditarik merentang, den-
gan lutut tertekuk hampir menyentuh tanah. Tepat ke-
tika Waskita melompat bangkit berdiri, Bayu cepat
mengibaskan tangan kanannya ke depan.
"Hiyaaa...!"
Wusss!
Bagaikan kilat, Cakra Maut yang selalu menempel
di pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka
melesat cepat ke arah dada si Serigala Penghisap Da-
rah. Begitu cepatnya senjata berbentuk bintang segi
enam itu melesat, sehingga Waskita tidak punya ke-
sempatan menghindar lagi.
Crab!
"Aaakh...!" Waskita menjerit keras melengking tinggi.
Cakra Maut tepat menghantam dada si Serigala
Penghisap Darah. Begitu kerasnya Cakra Maut itu ter-
lontar, sehingga sampai menembus punggung. Senjata
maut Pendekar Pulau Neraka kembali melesat balik
pada pemiliknya. Bayu cepat mengangkat tangan ka-
nannya. Dan begitu Cakra Maut kembali menempel di
pergelangan tangan kanannya, kembali dilontarkan
disertai pengerahan tenaga dalam sempurna sekali.
"Hiyaaa...!"
Wusss!
Crab!
"Aaa...!"
Lagi-lagi Waskita menjerit keras melengking tinggi.
Kali ini Cakra Maut merobek tenggorokannya, hingga
darah kembali menyembur keluar deras sekali. Senjata
berwarna keperakan bersegi enam itu kembali menem-
pel di pergelangan tangan pemiliknya. Sementara
Waskita masih tetap berdiri, meskipun tubuhnya lim-
bung. Darah terus mengucur keluar dari dada, pung-
gung, dan lehernya yang bolong akibat tertembus Ca-
kra Maut.
Dengan langkah gontai, Waskita menghampiri Pen-
dekar Pulau Neraka. Bola matanya masih memerah
menyala-nyala. Sedangkan Bayu menggeser kakinya ke
kanan beberapa langkah. Meskipun darah semakin
banyak bercucuran keluar, tampaknya Waskita masih
sanggup bertahan. Namun demikian, ayunan langkah-
nya sudah begitu gontai.
"Pergi kau, Iblis! Hiyaaa...!"
Sambil berseru nyaring, Bayu melompat cepat ba-
gaikan kilat. Satu tendangan keras menggeledek cepat
dilepaskan Pendekar Pulau Neraka disertai pengerahan
tenaga dalam tinggi. Tendangan itu diarahkan lang-
sung ke kepala. Begitu cepatnya serangan itu, mem
buat si Serigala Penghisap Darah tak mampu lagi
menghindarinya.
Prak!
"Aaa...!"
Waskita berputaran beberapa kali ketika tendan-
gan yang dilepaskan Pendekar Pulau Neraka menghan-
tam keras kepalanya. Seketika Serigala Penghisap Da-
rah jatuh bergulingan di tanah. Kepalanya retak, se-
hingga darah merembes keluar semakin deras. Tubuh-
nya menggelepar, dan suaranya menggerung-gerung
seperti binatang terluka terkena panah pemburu. Se-
mentara Bayu yang memperhatikan saja dengan sikap
agak tegang.
Cukup lama juga Waskita meregang, menggerung,
dan menggelepar menyongsong maut. Hingga akhir-
nya, dia mengejang kaku dan diam tak bergerak-gerak
lagi. Bayu baru bisa menarik napas lega setelah meli-
hat lawannya sudah tak bergerak lagi. Pada saat itu,
Eyang Badranaya, Adipati Antapara, dan Anggraini
bergegas menghampiri. Di pundak Eyang Badranaya
duduk monyet kecil berbulu hitam yang langsung ber-
pindah ke pundak Bayu begitu dekat
"Semuanya sudah berakhir sekarang," desah Bayu
hampir tak terdengar suaranya.
"Kukira kau memiliki sesuatu yang dapat menga-
lahkan Keris Kala Muyeng, Bayu," tebak Eyang Badra-
naya.
"Tidak ada satu senjata pun di dunia ini yang da-
pat mengalahkannya, Eyang. Hanya ini...," jelas Bayu
sambil menunjuk keningnya.
Eyang Badranaya tersenyum. Dia mengerti, kalau
Bayu mengalahkan Waskita yang sudah dikuasai ke-
kuatan jahat Keris Kala Muyeng hanya dengan kecer-
dikan dan siasat jitu. Memang tak ada satu pun benda
sakti di dunia ini yang dapat mengalahkan otak manu-
sia yang memang diciptakan lebih sempurna, daripada
apa pun yang ada di dunia ini.
Dan itu semua, sebenarnya tidak luput dari jasa
Tiren, monyet kecil yang cerdik milik Pendekar Pulau
Neraka. Monyet kecil itu berani mempertaruhkan ji-
wanya sendiri untuk mengalihkan perhatian Waskita.
Sehingga, Bayu dapat merebut Keris Kala Muyeng dari
tangan si Serigala Penghisap Darah. Tanpa keris itu,
kekuatan Waskita tidak ada artinya lagi. Meskipun,
bentuk tubuhnya tetap bergerenjul penuh benjolan se-
perti bisul.
"Bagaimana dengan keris ini, Bayu?" tanya Eyang
Badranaya yang memegang Keris Kala Muyeng.
"Sebaiknya simpan saja di tempat yang aman. Ber-
bahaya sekali jika menggunakannya, tanpa dapat
menguasai kekuatan yang ada padanya," sahut Bayu.
Eyang Badranaya menatap Adipati Antapara, dan
menyodorkan keris itu.
"Tidak. Sebaiknya kau saja yang menyimpannya,
Eyang," Adipati Antapara menolak keris itu.
"Benar! Di tangan Eyang, keris itu lebih aman,"
sambung Bayu.
"Baiklah...," desah Eyang Badranaya tidak bisa
menolak lagi.
Laki-laki tua berjubah putih itu menyelipkan Keris
Kala Muyeng ke dalam balik lipatan jubahnya. Jika be-
rada dalam warangka, keris itu tidak memiliki daya
kekuatan sama sekali. Tapi jika sudah keluar dari wa-
rangkanya, maka akan dapat cepat menguasai jiwa
pemegangnya.
"Mari kita pulang," ajak Adipati Antapara.
"Sebaiknya, aku kembali meneruskan perjalanan
saja. Kita berpisah di sini," pamit Bayu.
'Tidak! Kau menjadi tamuku di istana," sentak Adi-
pati Antapara tegas.
"Terima kasih, perjalananku masih...."
"Aku mengundangmu. Dan jika kau menolak, aku
tidak akan mengizinkan kau masuk ke kadipaten ku
selamanya," potong Adipati Antapara cepat.
”Ayolah, Bayu. Satu dua hari, tidak akan meng-
ganggu perjalananmu," bujuk Eyang Badranaya.
Bayu hanya mengangkat bahunya saja, dan tidak
bisa lagi menolak undangan adipati muda yang men-
gundangnya secara setengah memaksa ini. Tapi, Bayu
bisa memaklumi. Adipati Antapara pasti akan menja-
mu untuk mengucapkan terima kasih. Dan sebenar-
nya, hal seperti ini tidak diinginkannya. Tapi, dia tidak
bisa menolak setelah Eyang Badranaya juga memin-
tanya.
Mereka kemudian melangkah meninggalkan tempat
itu. Tinggallah mayat Waskita yang telah membuat be-
berapa korban di Kadipaten Patarukan terbujur kaku
bersama perbuatannya, ini semua akibat seluruh ji-
wanya dikuasai kekuatan jahat dari Keris Kala
Muyeng. Adipati Antapara sendiri akan mengirimkan
para prajurit untuk mengurus mayat Waskita, sesam-
painya nanti di istana kadipatenan.
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar