..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Senin, 03 Februari 2025

PENDEKAR PULAU NERAKA EPISODE RATU LEMBAH MAYAT

Ratu Lembah Mayat

 

RATU LEMBAH MAYAT 
Oleh Teguh Suprianto 
Cetakan Pertama
Penerbit Cinta Media, Jakarta
Penyunting : Puji S
Gambar Sampul : Pro’s 
Hak Cipta Pada Penerbit
Dilarang Mengcopy atau Memperbanyak
Sebagian atau Seluruh Isi Buku Ini
Tanpa Izin Tertulis dari Penerbit
Teguh S
Serial Pendekar Pulau Neraka
Dalam Episode 026 :
Ratu Lembah Mayat
128 Hal ; 12 x 28 cm

SATU

Di sebuah bukit kecil yang tidak 
begitu lebat pepohonannya, Bayu tengah 
mengayunkan kakinya perlahan-lahan 
menyusuri jalan berbatu. Matahari siang 
ini bersinar begitu terik, membuat 
sekujur tubuh pemuda berbaju kulit 
harimau itu bersimbah keringat. Seekor 
monyet kecil berbulu hitam ikut 
berlari-lari kecil di belakangnya, sambil 
bersuara ribut. Beberapa kali binatang 
itu memungut kerikil, dan menyambit 
pung-gung pemuda berbaju kulit harimau 
ini.
Tapi Bayu seperti tidak 
mempedulikan, dan terus saja melangkah 
perlahan-lahan. Beberapa kali keringat
yang mengalir membasahi wajahnya diseka 
dengan punggung tangan. Pemuda yang 
dikenal berjuluk Pendekar Pulau Neraka 
itu menghentikan ayunan kakinya. Wajahnya 
berpaling sedikit ketika merasakan 
punggungnya terkena sambitan kerikil dari 
belakang. Entah sudah berapa kali 
punggungnya terasa disambit batu kerikil. 
Bibimya tersenyum melihat monyet kecil


berdiri di belakangnya, memandang sayu 
padanya.
"Kau lelah, Tiren...?" ujar Bayu 
dengan bibir menyunggingkan senyum. 
"Nguk!"
"Naiklah ke pundakku sini," kata Bayu 
lagi.
Monyet ketll itu berjingkrak 
kegirangan. Cepat-cepat dihampirlnya 
Pendekar Pulau Neraka. Bayu mengulurkan 
tangannya. Diambilnya tangan monyet 
keliru, lalu diangkat sampai binatang 
berbulu hitam itu bertengger di 
pundaknya. Pemuda berbaju kulit harimau
Itu kembali mengayunkan kakinya perlahan 
menyusuri tanah berbatu yang panas, bagai 
berjalan di atas bara api. Siang ini 
memang terasa begitu panas. Bayu 
merasakan kulitnya seperti terbakar.
"Ada sungai, Tiren. Enak sekali kalau 
mandi, ya...?" kata Bayu. 
"Nguk!" Tiren hanya mengangguk saja. 
Bayu tersenyum, dan menepuk kaki monyet 
kecil yang nangkring di pundaknya ini.
Kakinya terus saja berjalan mendekati 
sungai kecil yang mengalir di depannya. 
Air sungai itu tampaknya jernih sekali, 
sehingga batu-batuan yang menjadi 
dasarnya, teriihat jelas. Tapi baru saja

Pendekar Pulau Neraka berjongkok hendak 
membasuh tangannya, mendadak saja.... 
"Tolooong...!" 
"Heh..?!"
Bayu tersentak kaget ketika 
tiba-tiba terdengar teriakan kerns 
melengking tinggi. Teriakan itu demikian 
keras, sehingga terdengar jelas dari 
tempat Pendekar Pulau Neraka berdiri. Dan 
belum lagi hilang jeritan tadi dari 
pendengaran, menyusul bentakan bentakan 
kasar, ditingkahi jeritan-jeritan minta 
tolong.
"Hup!"
Tanpa menghiraukan air sungai yang 
pasti sangat sejuk, Pendekar Pulau Neraka 
cepat melompati sungai kecil ini. Dan 
begitu kakinya menjejak tanah berbatu di 
seberang sungai, langsung berlari cepat 
mempergunakan ilmu meringankan tubuh. 
Begitu sempurrnanya ilmu meringankan 
tubuh yang dimiliki, sehingga dalam waktu 
sekejapan mata saja sudah lenyap dari 
pandangan mata. Sementara teriakan dan 
bentakan-bentakan keras, masih terdengar 
dari dalam hutan di seberang sungai kecil 
ini. Dan bayangan Pendekar Pulau Neraka 
sudah tidak teriihat lagi, tenggelam 
ditelan hutan yang tidak begitu lebat.

***
"Hei...!"
Bayu terhenyak kaget begitu melihat 
empat orang wanita tengah berusaha 
menggantung seorang anak muda berusia 
sekitar tujuh belas tahun. Bentakan Bayu 
yang begitu keras dan tidak disengaja 
tadi, membuat empat wanita yang tengah 
berusaha menggantung itu tersentak kaget. 
Mereka begitu terkejut, sampai-sampai 
terlompat ke belakang. Akibatnya anak 
muda yang hampir tergantung di pohon itu 
jatuh bergulingan di tanah berumput 
kering.
Sementara empat wanita berwajah 
cantik yang hanya mengenakan cawat dari 
kulit kayu itu berlompatan ke depan Bayu. 
Pemuda berbaju kulit harimau itu hanya 
terbeliak melihat wanita-wanita cantik 
setengah telanjang berdiri sekitar enam 
langkah di depannya. Hampir seluruh tubuh 
mercka yang berkulit putih itu terbuka.
Hanya bagian di bawah pusar dan dada saja 
yang tertutup kulit kayu. Mereka semua 
membawaombak panjang dari kayu, yang 
bagian ujung atasnya terbuat dari besi 
baja hitam.

"Siapa kau?! Berani-beraninya 
mcngejutkan kami!" bentak salah seorang 
wanita yang berdiri paling kanan.
"Maaf. Aku tadi terkejut melihat 
kalian ingin menggantung anak itu," ucap 
Bayu sopan.
"Itu bukan urusanmu!" bentak wanita 
itu lagi, ketus.
Bayu jadi terhenyak mendengar 
kata-kata yang begitu ketus. Ditatapnya 
wanita itu dalam-dalam. Sedangkan yang 
ditatap, malah membalas tidak kalah 
tajam. Sementara monyet kecil berbulu 
hitam yang bertengger di pundak Pendekar 
Pulau Neraka juga menatap empat wanita 
itu.
"Kakang...! Bebaskan aku. Mereka 
akan membunuhku...!" seru anak muda yang 
masih tergolek di tanah berumput.
"Dlam kau, Monyet!" bentak wanita 
yang berdiri paling kanan itu kasar. 
"Krakkkh...!"
Tiren melonjak mendengar bentakan 
wanita itu tadi. Bayu segera 
menepuk-nepuk kaki monyet kecil itu, 
mencoba menenangkannya. Kata-kata wanita 
itu tadi sudah menyinggung hati monyet 
kecil ini Dan tiba-tiba saja, Tiren 
melompat turun dengan gerakan ringan dan 
indah sekali. Begitu kakinya menjejak


tanah, dia cepat beriari menghampiri anak 
muda yang tergolek tak berdaya di tanah.
"Hei! Mau apa kau, Monyet Jelek...?!" 
bentak wanita itu makin kasar.
"Nguk! Nguk! Khraiiigkh...!"
Wuk!
Tiba-tiba saja wanita bercawat itu 
melemparkan tombaknya ke arah monyet 
kecil berbulu hitam milik Bayu. Tindakan 
wanita ini membuat Pendekar Pulau Neraka 
tersentak kaget. Secepat kilat dia 
melompat menyambar tombak yang meluruk 
deras ke arah Tiren.
"Hiyaaa...!"
Tap!
Bayu berhasil menangkap tombak, 
kerika ujungnya sekitar sejengkal lagi 
tepat rnenghunjam tubuh Tiren. Pendekar 
Pulau Neraka bergulingan beberapa kali di 
tanah, lalu cepat melompat berdiri. Di 
tangan kanannya sudah tergenggam sebatang 
tombak kayu berujung baja hitam runcing.
Sementara Tiren sudah berada di 
belakang anak muda yang tergolek di tanah, 
tidak jauh dari pohon tempat dia akan 
digantung pada lehernya tadi. Cekatan 
sekali monyet kecil itu membuka ikatan 
yang membelenggu kedua tangan anak muda 
ini. Dan begitu tali yang mengikat

tangannya terlepas, pemuda belasan tahun 
itu bergegas berdiri.
Pemuda itu melepaskan tali yang 
melingkar di lehernya, lalu tiba-tiba 
saja melompat ke arah Bayu. Tindakan yang 
tidak terduga itu membuat Bayu sampai 
tidak menyadari. Cepat sekali gerakan 
pemuda itu, dan tahu-tahu sudah merampas 
tombak yang berada ditangan kanan Bayu. 
Langsung tubuhnya melesat cepat ke arah 
salah seorang wanita bercawat yang hampir 
saja menggantungnya tadi.
"Mampus kau! Hiyaaa...!"
Bet!
"Uts!"
Wanita cantik bercawat itu cepat 
memiringkan tubuhnya ke kanan, 
menghindari hujaman ujung tombak di 
tangan anak muda belasan tahun itu. Pada 
saat yang bersamaan, tombaknya 
dihentakkan untuk menghantam tombak yang 
sudah lewat di samping tubuhnya.
Trak!
Tak pelak lagi, dua senjata beradu 
keras.
"Akh...!" pemuda belasan tahun itu 
memekik keras agak tertahan.
Tombak yang berada di tangannya 
sekerika terpental keudara. Pada saat 
itu, wanita yang tidak menggenggam tombak


melesat cepat ke udara. Manis sekali 
tombaknya ditangkap kembali, dan cepat 
meluruk turun dengan gerakan yang begitu 
indah.
"Yeaaah...!"
Begitu kakinya menjejak tanah, 
langsung diberikannya satu sodokan keras 
ke arah dada anak muda belasan tahun itu. 
Gerakan yang begitu cepat tak dapat 
dihindari, telak bersarang di dada anak 
muda belasan tahun itu. 
Des!
“Akh...!" untuk kedua kalinya anak 
muda itu memekik keras agak tertahan. 
Tubuhnya terpental ke belakang sejauh dua 
batang tombak. Pada saat itu, seorang 
wanita lain .sudah melompat sambil 
berteriak nyaring. Langsung 
dilepaskannya satu tendangan menggeledek 
yang mengandung pengerahan tenaga dalam 
tinggi. Sudah dapat dipastikan, kalau 
pemuda berusia belasan tahun itu tak 
mungkin dapat menghindar.
"Yeaaah...!"
Tapi pada saat yang gawat ini, 
tiba-tiba saja Bayu melesat cepat bagai 
kilat menyambar tubuh anak muda itu. Maka 
tendangan keras yang dilancarkan wanita 
cantik bercawat ini jadi tidak mengenai 
sasaran. Tendangannya hanya menghantam

pohon yang cukup besar, hingga tumbang. 
Sementara Bayu sudah membawa anak muda 
belasan tahun itu ke tempat yang cukup 
aman, ditemani Tiren. Bayu kembali 
melompat menghadang, begitu empat wanita 
cantik bercawat itu sudah bergerak 
mendekati.
"Berhenti...!" bentak Bayu keras 
menggelegar.
"Menyingkir kau, Kisanak! Kau akan 
menyesal mencampuri urusan kami!" sentak 
salah seorang wanita cantik bercawat itu.
"Tunggu...! Kenapa kalian ingin 
membunuh anak ini?" tanya Bayu. 
“Itu bukan urusanmu!"
"Minggir, kau!"
Bayu jadi tersentak mendengar 
bentakan-bentakan begitu kasar dari 
wanita-wanita cantik bercawat ini. Wanita 
yang seharusnya bersikap lembut itu 
ternyata begitu kasar kata-katanya. Dan 
kini empat wanita cantik bercawat itu 
sudah bergerak menyebar mengurung dari 
empat arah. Mereka terus bergerak 
perlahan memutari Pendekar Pulau Neraka. 
Sedangkan Bayu hanya memperhatikan saja 
lewat sudut matanya.
Dalam beberapa gebrakan tadi saja, 
Bayu sudah dapat menilai kalau 
wanita-wanita bercawat ini memiliki


kepandaian yang rata-rata cukup tinggi. 
Dan tentu saja dia tidak bisa berbuat 
gegabah dalam menghadapinya, meskipun 
sudah bisa mengukur tingkat kepandaian 
mereka. 
"Seraaang...!"
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
***
Secara serentak, empat wanita cantik 
bercawat itu berlompatan menyerang Bayu. 
Tombak-tombak mereka berkelebatan di 
sekitar tubuh Pendekar Pulau Neraka. 
Namun dengan gerakan-gerakan manis, dan 
liukan indah, Bayu berhasil menghindari 
setiap serangan yang datang dari empat 
arah.
Tapi serangan-serangan yang 
dilakukan empat wanita itu begitu gencar. 
Dan kemudian serangan mereka berubah 
secara cepat dan bergantian. Hal ini 
membuat Bayu jadi agak kerepotan 
menghadapinya. Beberapa kali tubuhnya 
terpaksa dijatuhkan ke tanah. Dia 
kemudian bergelimpangan menghindari 
serangan yang datang begitu gencar, bagai 
tak akan pernah berhenti. Dan beberapa 
kali pula, Pendekar Pulau Neraka terpaksa

menangkis tombak-tombak menggunakan 
pergelangan tangan kanannya. 
Trang!
Setiap kali ujung tombak beradu
dengan benda bersegi enam di pergelangan 
tangan Pendekar Pulau Neraka, selalu 
terjadi percikan bunga api. Beberapa kali 
Bayu mencoba, dan merasa memiliki 
kesempatan setiap kali ujung tombak lawan 
membentur Cakra Maut yang berada di 
pergelangan tangan kanannya. Ketika satu 
tombak meluruk deras dari arah depan 
dadanya, tangan kanannya cepat dikibaskan 
untuk menangkis serangan tombak bermata 
hitam itu.
"Yeaaah...!"
Trang!
Tepat pada saat ujung tombak hitam 
itu beradu dengan Cakra Maut di 
pergelangan tangannya, Bayu cepat 
melentingkan tubuhnya ke belakang. Pada 
saat itu juga dilepaskannya satu pukulan 
keras ke arah wanita yang berada di 
belakangnya, disertai putaran tubuhnya di 
udara. Begitu cepatnya serangan yang 
dilakukan Pendekar Pulau Neraka, sehingga 
wanita cantik bercawat itu tidak dapat 
lagi menghindar.
"Hlyaaa...!" 
Diegkh!

"Akh...!" wanita itu terpekik keras, 
agak tertahan.
Tubuhnya terpental ke belakang 
begitu pukulan yang dllepaskan Pendekar 
Pulau Neraka tepat menghantam dadanya. 
Dan sebelum ada yang menyadari, pendekar 
berbaju kulit harimau itu sudah bergerak 
cepat, melompat ke kanan. Satu tendangan 
keras menggeledek dilepaskan, disertai 
pengerahan tenaga dalam tinggi. Serangan 
Pendekar Pulau Neraka kali ini juga tak 
dapat dihindari lagi.
Des!
"Ughk!"
Wanita itu terhuyung-huyung sambil 
mengeluh pendek Tendangan Bayu tepat 
bersarang di perutnya. Maka kesempatan 
ini tidak disia-siakan Pendekar Pulau 
Neraka. Kembali tubuhnya bergerak cepat, 
berlompatan mempergunakan ilmu 
meringankan tubuh yang sudah begitu 
sempurna. Begitu cepat gerakan yang 
dilakukan Pendekar Pulau Neraka, sehingga 
yang teriihat hanya bayangan kuning 
berkelebatan menyambar empat wanita 
cantik bercawat itu.
Pekikan-pekikan keras terdengar 
saling susul, disertai terpentalnya tubuh 
tubuh indah setengah telanjang itu. Dan 
tahu-tahu, Pendekar Pulau Neraka sudah

berdiri tegak dengan tangan menggenggam 
empat batang tombak. Entah bagaimana 
caranya, senjata-senjata lawan berhasil 
dirampasnya. Sedangkan wanita-wanita 
cantik bercawat itu jadi terkejut, begitu 
bisa bangkit berdiri.
"Persoalan ini belum selesai, 
Keparat...!" geram salah seorang wanita 
itu.
Dan setelah berkata demikian, 
tubuhnya melesat pergi diikuti tiga 
wanita lainnya. Bayu hanya memandangi 
saja sampai keempat wanita itu lenyap dari 
pandangannya. Dia memegang keempat batang 
tombak itu dengan kedua tangannya, 
kemudian....
Trak!
Hanya sekali hentak ke paha saja, 
empat batang tombak itu sudah berpatahan, 
masing-masing menjadi dua bagian. Bayu 
melemparkannya begitu saja ke tanah. 
Kemudian tubuhnya berputar berbalik dan 
melangkah menghampiri anak muda yang 
ditemani Tiren. Monyet kecil berbulu 
hitam itu berlari-lari menghampiri, lalu 
melompat ringan, dan naik ke pundak 
Pendekar Pulau Neraka.
"Nguk!"
Bayu menepuk-nepuk kaki Tiren yang 
sudah nangkring di pundak kanannya.


Kakinya terus melangkah menghampiri anak 
muda belasan tahun yang masih berdiri di 
bawah pohon. Pendekar Pulau Neraka baru 
berhenti setelah jaraknya tinggal sekitar 
tiga langkah lagi di depan anak muda itu.
"Kau tidak apa-apa?" tanya Bayu.
"Tidak. Terima kasih atas 
pertolonganmu," ucap pemuda itu.
Bayu hanya tersenyum saja sambil 
menepuk pundak anak muda belasan tahun 
itu. Kemudian,
Pendekar Pulau Neraka mengajaknya 
berjalan meninggalkan tempat Ini. Mereka 
berjalan berdampingan tanpa berkata-kata 
lagi. Entah apa yang ada di dalam batin 
masing-masing, sehingga tak ada seorang 
pun membuka suara lebih dahulu. Padahal, 
mereka sudah cukup jauh meninggalkan 
tempat pertarungan tadi.
"Siapa namamu?" Tanya Bayu mengisi 
kebisuan yang terjadi cukup lama tadi.
"Parindra," Sahut anak muda itu 
singkat.
"Kenapa berada di hutan ini?" tanya 
Bayu lagi.
"Aku sedang berburu dan mencari kayu 
bakar," sahut pemuda Itu lagi.
Pendekar Pulau Neraka berhenti 
melangkah, langsung memperhatikan pemuda 
itu dari ujung kepala sampai ke ujung

kaki. Bayu seperti tidak percaya atas 
Jawaban anak muda ini barusan. Kulit 
pemuda belasan tahun yang mengaku bernama 
Parindra ini putih bersih seperti 
layaknya putra-putra bangsawan. 
Pakaiannya pun tergolong berharga mahal, 
karena terbuat dari bahan sutra halus 
bersulamkan bunga-bunga indah di bagian
dadanya.
Kasarnya memang tidak mungkin kalau 
anak muda yang kelihatannya dari keluarga 
bangsawan ini berada di dalam hutan. 
Bahkan sedang berburu dan mencari kayu 
bakar! Sedangkan Parindra yang menyadari 
tengah diamati hanya diam saja. Sebentar 
kemudian tubuhnya dihempaskan, duduk di 
bawah pohon yang cukup rindang untuk
menaungi dirinya dari sengatan matahari 
yang begitu terik membakar. Sementara 
Bayu masih berdiri memperhatikan pemuda 
berwajah cukup tampan itu.
"Parindra...," lembut suara Bayu.
Parindra mengangkat wajahnya, 
menatap wajah Bayu. Pendekar Pulau Neraka 
agak terhenyak melihat sepasang bola mata 
anak muda ini tiba-tiba berkaca-kaca. 
Kemudian Pendekar Pulau Neraka duduk di 
depannya, lalu memandangi lekat-lekat. 
Sedangkan Parindra menundukkan kepala 
perlahan. Tangannya mencabut rerumputan,

dan melemparkannya sambil menghempaskan 
napas berat.
"Kenapa mereka ingin menggantungmu 
tadi?" tanya Bayu, tetap lembut nada 
suaranya.
"Mereka menuduhku sebagai pencuri," 
sahut Parindra, agak mendengus suaranya.
"Pencuri...? Ha ha ha...!"
Entah kenapa, tiba-tiba saja Bayu 
jadi tertawa terbahak-bahak. 
Tenggorokannya terasa digelitik men-
dengar jawaban Parindra barusan. 
Sedangkan Parindra jadi mendengus, sambil 
menatap tajam pemuda berbaju kulit 
harimau ini. Perlahan suara tawa Bayu 
mereda, dan akhimya berhenti sama sekali.
"Tidak ada yang perlu 
ditertawakan...!" dengus Parindra.
"Maaf. Bukannya aku hendak 
menyinggung perasaanmu, tapi...," Bayu 
kembali tertawa terbahak-bahak.
Parindra lagi-lagi mendengus tidak 
senang, lalu langsung bangkit berdiri dan 
mengayunkan kakinya kembali dengan cepat. 
Bayu cepat-cepat melompat bangkit dan 
mengejar anak muda itu. Langkahnya 
disejajarkan di sampaing pemuda belasan 
tahun ini. Suara tawanya sudah tidak lagi 
terdengar di telinga.

"Melihat kulitmu yang putih dan 
pakaianmu yang tentu berharga mahal, 
rasanya tidak mungkin kalau kau seorang 
pencuri, Parindra. Paling tidak, kau anak 
bangsawan. Atau, anak seorang juragan 
kaya yang tinggal di kota besar," kata 
Bayu menilai.
"Aku memang bukan pencuri!" sahut 
Parindra maslh bersuara agak mendengus.
"Lalu, kenapa mereka menuduhmu 
pencuri dan ingin menggantungmu?" tanya 
Bayu mengejar.
Parindra tidak menjawab, dan terus 
saja mengayunkan kakinya dengan cepat. 
Sedangkan Bayu tetap berada di 
sampingnya, sambil tidak henti-hentinya 
memperhatikan anak muda belasan tahun 
ini. Tiba-tiba saja di benaknya timbul 
berbagai macam pikiran mengenai anak muda 
ini. Entah kenapa, hatinya merasa ada 
sesuatu yang tersembunyi pada diri 
Parindra. Sesuatu yang bisa membahayakan 
keselamatan jiwanya. Benarkah dugaan 
Pendekar Pulau Neraka ini...?
***

DUA

Saat senja merayap turun menyelimuti 
sebagian permukaan bumi, Pendekar Pulau 
Neraka dan Parindra baru sampai di sebuah 
desa yang tidak begitu besar. Rumah-rumah 
di sini letaknya pun cukup rapat. 
Keadaannya juga tidak begitu ramai. 
Bahkan bisa dikatakan sunyi. Hanya ada 
beberapa orang saja yang teriihat berada 
di luar rumah. Kedua orang itu terus 
melangkah menyusuri jalan tanah berdebu 
yang membelah di bagian tengah desa kecil 
ini. Mereka menuju sebuah kedai yang masih 
buka.
Seorang perempuan separuh baya 
tampak tergopoh-gopoh menyambut, begitu 
melihat Bayu dan Parindra muncul di depan 
pintu kedai. Dengan sikap ramah dan 
senyuman dibuat-buat, wanita separuh baya 
bertubuh sedang itu menuntun kedua anak 
muda ini ke sebuah meja yang terletak di 
bawah jendela.
"Mau makan, atau hanya minum saja?" 
wanita itu menawarkan dengan sikap ramah.
"Dua-duanya," sahut Bayu.
Wanita separuh baya itu tersenyum, 
lalu bergegas ke belakang. Bayu mengambil

sesisir pisang yang tergantung di 
dekatnya, lalu diberikannya pada Tiren 
yang tentu saja senang menerimanya. 
Monyet kecil berbulu hitam itu duduk di 
jendela sambil menikmati pisang. 
Sedangkan Bayu mengedarkan pandangan ke 
sekeliling kedai ini
Hanya ada tiga pengunjung selain 
dirinya dan Parindra. Dan tampaknya, 
ketiga pengunjung kedai ini Juga 
pendatang seperti dirinya. Hal ini bisa 
dipastikan dari pakaian yang dikenakan. 
Teriebih lagi, ketiga orang itu membawa 
pedang yang tersampir di pinggang. Dan di 
sudut ruangan kedai ini juga masih ada 
seorang pengunjung lagi. Seorang 
laki-laki tua yang tampaknya sudah mabuk 
karena kebanyakan minum arak Ada lebih 
lima guci arak besar tergeletak di 
mejanya. Bayu kembali mengedarkan 
pandangan berkeliling. Tak ada lagi 
pengunjung di kedai ini.
Pandangan Pendekar Pulau Neraka 
beralih pada wanita separuh baya yang 
datang kembali sambil membawa baki berisi 
penuh pesanan yang diminta Bayu. Dengan 
sikap ramah dan senyuman tetap 
tersungglng di bibir, wanita itu 
meletakkan makanan dan mlnuman di atas 
meja bundar dari kayu berwarna kecoklatan

Ini. Setelah meletakkan seluruh pesanan 
tamunya ini, bergegas dia melangkah lagi 
ke belakang.
"Kau tidak lapar, Parindra...?" 
tegur Bayu melihat Parindra hanya diam 
saja, tidak menyentuh hidangan.
Parindra baru menikmati makanannya 
setelah di-tegur, tanpa sedikit pun 
berblcara. Sambil makan, kepalanya pun 
terus tertunduk, seakan-akan 
menyembunyikan wajah dari pandangan orang 
lain. Sedangkan Bayu tidak sempat 
memperhatikan, karena terlalu asyik 
menikmati hidangannya. Memang sudah tiga 
hari ini Pendekar Pulau Neraka tidak pemah 
menikmati makanan selezat ini.
Sementara mereka merukmati makanan 
yang terhidang, tanpa disadari, tiga 
orang yang duduk agak jauh tengah 
memperhatikan Parindra yang terus ter-
tunduk. Mereka berbicara berbisik-bisik 
sambil terus memperhatikan pemuda itu. 
Namun sama sekali baik Bayu maupun 
Parindra tidak menyadari.
Ketiga laki-laki yang kelihatan 
berusia rata-rata tiga puluh tahun itu 
terus memperhatikan Parindra. Perawakan 
mereka cukup gagah, dan berpakaian indah 
terbuat dari bahan sutra halus. Dilihat 
dari pakaian yang dikenakan, dengan


penampilan bersih dan parlente, sudah 
dapat diduga kalau mereka bukanlah orang 
sembarangan.
"Kakang...," panggil Parindra pelan 
tanpa mengangkat wajah sedikit pun juga.
"Hm...," Bayu hanya menggumam saja.
"Kalau sudah makan, kita langsung 
pergi dari desa ini," ujar Parindra, tetap 
pelan suaranya.
"Sudah sore, Parindra. Sebentar lagi 
malam menjelang. Apa tidak sebaiknya cari 
penginapan di desa ini saja...?" usul 
Bayu.
"Desa ini tidak aman, meskipun hanya 
semalaman saja," kilah Parindra, tetap 
pelan dengan kepala tertunduk.
Bayu menghentikan makannya. 
Dipandanginya anak muda belasan tahun 
ini, yang tetap saja tertunduk. Parindra 
juga sudah sejak tadi tidak meneruskan 
makannya. Memang sebelum memasuki desa 
ini tadi, Parindra sudah tidak ingin 
melanjutkan perjalanan. Bahkan tadinya 
dia ingin menunggu saja di luar desa. Bayu 
sendiri tidak tahu, kenapa Parindra 
seperti enggan berada di desa kecil ini. 
Tapi dia tidak ingin bertanya banyak, 
karena Parindra lebih pendiam dan tidak 
banyak bicara. Bahkan jika ditanya pun, 
jawabannya hanya sepotong-potong saja.

Pendekar Pulau Neraka memanggil 
wanita separuh baya pemilik kedai ini. 
Setelah berbicara sebentar, kemudian 
dibayarnya harga makanan yang dipesannya. 
Sementara itu Tiren melompat naik ke 
pundak Pendekar Pulau Neraka. Sesisir 
pisang telah berpindah ke dalam perut 
monyet berbulu hitam ini. Sedangkan 
Parindra sudah keluar lebih dahulu. Bayu 
terpaksa bergegas mengejar Parindra yang 
terus saja berjalan cepat meninggalkan 
kedai itu.
"Parindra, ada apa denganmu...?" 
tanya Bayu jadi tidak sabar melihat sikap 
Parindra yang begitu tertutup.
Parindra tidak menjawab, dan malah 
terus saja berjalan cepat hendak 
meninggalkan desa kecil yang membuat 
kepalanya jadi berdenyut pening. Pendekar 
Pulau Neraka menghadang langkah Parindra, 
tepat di perbatasan desa sebelah Timur. 
Pemuda itu terpaksa menghentikan 
langkahnya.
"Katakan! Ada apa denganmu...?" 
desak Bayu.
"Mereka akan membunuhku, kalau tahu 
aku ada di desa ini," jelas Parindra.
"Mereka siapa...?"
"Kami...!"
"Heh...?!"

***
Pendekar Pulau Neraka terkejut 
begitu tiba-tiba saja terdengar suara 
keras menggema. Wajahnya cepat berpaling 
ke arah datangnya suara itu. Entah dari 
mana datangnya. Tahu-tahu di tempat ini 
sudah ada tiga orang laki-laki berusia 
tiga puluh tahun. Dan tentu saja Bayu 
mengenali mereka, ketika di kedai tadi. 
Mereka juga pengunjung kedai yang duduk 
agak jauh dari mejanya tadi.
Melihat ketiga laki-laki itu, wajah 
Parindra mendadak saja pucat pasi, bagai 
tak pernah dialiri darah. Anak muda 
berusia tujuh belas tahun itu menggeser 
kakinya ke belakang Bayu. Kelihatannya 
seperti ingin berlindung di balik tubuh 
Pendekar Pulau Neraka ini. Sikap Parindra
yang kelihatan ketakutan itu membuat Bayu 
jadi mengerutkan keningnya.
"Parindra! Kemari kau...!" bentak 
salah seorang yang mengenakan baju warna 
merah menyala.
“Tidak...!" sahut Parindra, agak 
bergetar suaranya.
"Anak tidak tahu diuntung...!" 
dengus laki-laki lainnya yang mengenakan 
baju biru muda.

Seketika laki-laki berbaju biru muda 
itu tiba-tiba saja melompat Tangannya 
langsung terulur hendak meraih Parindra 
yang berlindung di belakang tubuh 
Pendekar Pulau Neraka. Tindakan itu tentu 
saja membuat Bayu tersentak. Maka 
cepat-cepat tangan kanannya dikebutkan ke 
arah tangan orang berbaju biru muda yang 
menjulur ke depan. 
"Hait...!"
Laki-laki berbaju biru muda itu 
cepat-cepat menarik tangannya pulang, 
sebelum berbenturan dengan tangan kanan 
Bayu yang mengibas cepat. Pada saat yang 
sama, salah seorang yang mengenakan baju 
warna kuning sudah melompat cepat ke arah 
Parindra.
Melihat gelagat yang kurang baik ini, 
Bayu cepat-cepat melentingkan tubuh ke 
belakang sambil menyambar pinggang 
Parindra. Beberapa kali Pendekar Pulau 
Neraka melakukan putaran di udara, lalu 
manis sekali menjejakkan kakinya di tanah 
berumput. Langsung didorongnya dada 
Parindra, sehingga pemuda belasan tahun 
itu merapat ke pohon yang cukup besar 
untuk tempat belindung.
"Jangan ke mana-mana," pesan Bayu.
Pendekar Pulau Neraka mengayunkan 
kakinya ke depan beberapa tindak

Sementara tiga orang laki-laki dengan 
pedang tersampir di pinggang 
masing-masing, sudah bergerak maju 
menghampiri. Wajah mereka tampak memerah, 
bagai menyimpan kemarahan atas tindakan 
Bayu yang menyelamatkan Parindra.
"Kau menyingkir, Tiren," ujar Bayu 
pada monyet kecil yang masih saja 
nangkring di pundaknya.
"Nguk!"
Tiren cepat melompat turun dari 
punggung Pendekar Pulau Neraka, lalu 
berlari-lari kecil menghampiri Parindra. 
Monyet kecil berbulu hitam itu segera me-
lompat naik ke punggung pemuda berusia 
belasan tahun ini. Parindra agak terpekik 
sedikit, tapi langsung tersenyum begitu 
melihat monyet kecil berbulu hitam ini 
duduk tenang di pundaknya.
"Berhenti, kalian..!" bentak Bayu 
sambil merentangkan tangan kanan ke 
depan.
Tiga orang laki-laki bersenjata 
pedang di pinggang itu seketika 
menghentikan ayunan langkahnya, begitu 
mendengar bentakan Bayu yang keras dan 
tegas. Sedangkan Bayu tetap berdiri 
tegak, bersikap penuh kewaspadaan. 
Tatapan matanya begitu tajam merayapi 
tiga orang di depannya, seakan-akan

sedang mengukur tingkat kepandaian 
mereka.
"Siapa kau...?!" bentak salah 
seorang yang mengenakan baju merah.
"Aku Bayu. Dan kalian sendiri 
siapa...?" Bayu balik bertanya setelah 
memperkenalkan diri.
"Kau tidak perlu tahu siapa kami!" 
dengus orang yang berbaju biru muda.
"Sebaiknya cepat menyingkir, sebelum 
kupatahkan batang lehermu!" sambung orang 
yang berbaju kuning.
"Ada urusan apa, kalian dengan 
Parindra?" tanya Bayu tanpa mempedulikan 
kata-kata yang bernada kasar dan 
meremehkan dari ketiga orang itu.
"Banyak mulut..! Mampus kau, 
hiyaaat..!"
Laki-laki yang berbaju merah 
seketika saja melompat cepat bagai kilat 
menerjang Pendekar Pulau Neraka. Satu
pukulan keras disertai pengerahan tenaga 
dalam tinggi, dilepaskan ke arah dada 
pemuda berbaju kulit harimau ini.
"Halt!"
Tapi manis sekali Bayu 
menghindarinya dengan mengegoskan tubuh 
ke kanan. Hampir saja Bayu memberikan 
pukulan balasan. Untung saja orang itu 
cepat melentingkan tubuh ke belakang,

begitu serangannya tidak mengenai 
sasaran. Dan pada saat yang bersamaan, 
seorang yang berbaju biru muda sudah 
melompat hendak melewati kepala Bayu.
"Yeaaah...!"
Bayu cepat melompat ke belakang, 
seraya melepaskan satu pukulan keras 
disertai pengerahan tenaga dalam yang 
sudah mencapai taraf kesempurnaan. 
Pukulan tangan kanan Pendekar Pulau 
Neraka seketika beradu keras dengan 
kepalan tangan orang berbaju biru muda. 
Dua kekuatan tenaga dalam saling 
berbenturan dahsyat sekali, dan tak dapat 
dihindari. Akibatnya, terdengar ledakan 
keras menggelegar yang begitu dahsyat 
memekakkan telinga.
Tampak orang berbaju biru muda itu 
terpekik keras, dan tubuhnya terpental ke 
belakang sejauh beberapa batang tombak. 
Keras sekali tubuhnya jatuh menghantam 
tanah, lalu bergulingan beberapa kali 
sebelum berhenti tertahan sebongkah batu 
yang cukup besar. Dia berusaha bangkit 
berdiri, tapi dari mulutnya memuntahkan 
darah kental agak kehitaman. 
"Hoeeek...!"
Sementara Bayu berhasil menguasai 
keseimbangan tubuhnya, dan kembali 
menjejakkan kakinya di tanah tanpa


tergoyahkan sedikit pun. Kejadian yang 
begitu cepat dan tidak terduga tadi, 
membuat dua laki-laki lain jadi 
terbeliak. Mereka seakan-akan baru saja 
melek, dan menyadari kalau pemuda berbaju 
kulit harimau ini tidak bisa dianggap 
enteng.
"Selangkah lagi kalian maju, nasib 
kalian tentu akan sebagus dia!" ancam 
Bayu, dingin menggetarkan.
Dua orang laki-laki itu seperti 
ragu-ragu. Mereka sama-sama memandang ke 
arah temannya yang tampak tak berdaya, 
tergeletak di tanah berumput. Mulutnya 
penuh darah kental agak kehitaman. 
Seperti diberi aba-aba saja, mereka 
bergegas menghampiri temannya yang 
tergeletak. Gerakan halus di dadanya, 
menandakan kalau orang berbaju biru muda 
itu masih bernapas.
"Bagaimana...?" tanya orang berbaju 
merah, agak berbisik suaranya.
"Sebaiknya mundur saja dulu. 
Tampaknya, Adi Rakasa terluka dalam cukup 
parah," sahut orang berbaju kuning.
Orang yang mengenakan baju merah 
memutar tubuhnya menatap Bayu yang masih 
berdiri tegak dan bersikap menantang. 
Sedangkan orang yang berbaju kuning sudah 
membantu temannya berdiri.

"Ayo, kita pergL..," ajak orang 
berbaju kuning yang memapah temannya.
Sedangkan orang berbaju merah masih 
menatap tajam penuh kata-kata bernada 
ancaman, tubuhnya diputar dan bergegas 
menyusul dua orang temannya yang sudah 
meninggalkan tempat ini
***
"Siapa mereka?" tanya Bayu tanpa 
berpaling dari orang yang bergerak cepat 
meninggalkan tempatnya.
Parindra tidak menjawab pertanyaan 
itu. Seolah-olah tidak didengarnya ucapan 
Bayu. Pandangan matanya tak lepas dari 
tiga orang yang semakin jauh pergi. 
Sementara Bayu memutar tubuhnya, lalu 
menghampiri anak muda itu. Monyet kecil 
berbulu hitam di pundak Parindra, 
melompat berpindah kebahu kanan Pendekar 
Pulau Neraka. Dipeluknya leher Bayu, 
seakan-akan ingin menyatakan 
kegembiraannya melihat pemuda berbaju 
kulit harimau ini berhasil mengalahkan 
tiga orang lawannya.
"Siapa mereka, Parindra...?" Bayu 
mengulangi pertanyaannya yang belum 
terjawab tadi.

"Oh..., aku..., aku...," Parindra 
jadi tergagap.
"Jangan katakan kau tidak tahu siapa 
mereka, Parindra," agak dalam nada suara 
Bayu.
Parindra diam dengan kepala 
tertunduk, menekuri ujung jari kakinya. 
Sementara Bayu berada sekitar dua langkah 
lagi di depannya. Pendekar Pulau Neraka 
memandangi dengan sinar mata memancar 
tajam. Perlahan Parindra mengangkat 
wajahnya, dan langsung bertemu pandang 
dengan mata pemuda berbaju kulit harimau 
di depannya. Kemudian tubuhnya 
dihempaskan, duduk bersandar di batang 
pohon. Terdengar hembusan napas yang 
panjang dan terasa begitu berat. 
Sedangkan Bayu masih berdiri saja di 
tempatnya, memandangi pemuda belasan 
tahun ini
"Baiklah.... Kalau kau tetap diam 
saja seperti itu, tidak ada gunanya lagi 
aku bersamamu," tegas Bayu.
Setelah berkata demikian, Bayu 
memutar tubuhnya berbalik Kakinya terayun 
melangkah meninggalkan Parindra yang 
masih duduk saja di bawah pohon. Ketika 
Bayu berjalan sejauh tiga batang tombak, 
Parindra cepat bangkit berdiri. Bergegas 
kakinya melangkah mengejar dan

mensejajarkan diri di samping Pendekar 
Pulau Neraka.
"Sebaiknya kau pulang saja, 
Parindra. Tidak ada gunanya mengikutiku 
terus," ujar Bayu tanpa menghentikan 
langkahnya.
"Kau tidak ingin mengantarku, 
Kakang...?" nada suara Parindra terdengar 
memohon.
"Ke mana aku harus mengantarmu? Kau 
sendiri tidak pernah mengatakan di mana 
rumahmu."
"Di Desa Batang," Parindra memberi 
tahu desa tempat tinggalnya.
"Tidak jauh dari sini."
"Memang. Hanya menyeberangi sungai 
saja."
"Lalu, kenapa kau tidak pulang 
sendiri...?" pancing Bayu.
"Aku takut," pelan sekali suara 
Parindra.
"Apa yang kau takutkan...? Pulang 
tidak membawa binatang buruan? Kau takut 
orang tuamu marah?"
Parindra menggelengkan kepala. 
Wajahnya kembali berubah murung. Bayu 
jadi gemas juga melihat sikap anak muda 
yang cepat sekali berubah jadi pendiam dan 
murung ini Sebentar Bayu memperhatikan, 
kemudian kembali mengayunkan langkahnya

perlahan-lahan. Sementara senja semakin 
merayap turun. Suasana pun semakin 
meremang. Tak berapa lama lagi, malam 
pasti jatuh menyelimuti mayapada.
"Kau punya persoalan, Parindra...?" 
tanya Bayu lebih hati-hati, agar tidak 
berkesan mendesak.
"Sebenamya, aku tidak berburu. Aku 
lari dari rumah," jelas Parindra, pelan.
"Kenapa...?" Bayu agak terkejut juga 
mendengar pengakuan ini.
"Mereka membakar rumahku. Membunuh 
ibu, dan adikku...," semakin pelan suara 
Parindra.
Bayu menghentikan langkahnya. Dia 
jadi tertegun, tidak menyangka akan hal 
ini. Dipandanginya wajah Parindra 
dalam-dalam, seakan-akan ingin mencari 
kebenaran dari kata-kata yang barusan 
saja didengarnya. Tampak jelas, kedua 
bola mata anak muda itu merembang 
berkaca-kata.
"Mereka melontarkan tuduhan-tuduhan 
keji pada ibu. Aku takut, lalu lari 
menyelamatkan diri ketika mereka membunuh 
ibu dan adikku," sambung Parindra.
"Ceritakan! Apa yang terjadi 
sebenarnya, Parindra," pinta Bayu ingin 
lebih tegas lagi

"Beberapa hari ini, terjadi beberapa 
pembunuhan di Desa Batang. Katanya, 
beberapa orang sempat memergoki pembunuh 
itu. Dan mereka langsung menuduh ibu 
sebagai pelakunya! Kata mereka, wajah 
pembunuh itu mirip ibu. Maka tuduhan itu 
langsung dijatuhkan tanpa menyelidiki 
lebih dahulu. Mereka membunuh ibu dan 
membakar habis rumah kami"
"Banyak korbannya?" tanya Bayu lagi
"Tiga orang."
"Baru tiga...?!"
"lya. Mereka langsung mendatangi 
rumah kami, dan menyeret ibu dan adikku ke 
luar. Lalu mereka membunuh dengan keji, 
tanpa bertanya lebih dahulu. Kemudian 
rumah kami dibakar habis. Bahkan, mereka 
juga melemparkan mayat ibu dan adikku ke 
dalam rumah yang sedang terbakar. 
Sementara aku berhasil selamat, karena 
saat itu tengah tidak berada di dalam 
rumah. Aku sempat melihat semua kejadian 
itu, dan terus saja berlari menyelamatkan 
diri, sebelum ada yang mengetahui."
"Setelah itu, apa masih terjadi 
pembunuhan di sana?" tanya Bayu.
"Aku tidak tahu. Empat hari aku 
berada di dalam hutan, dan tidak berani 
kembali lagi ke sana," jelas Parindra.


"Kau tahu, siapa tiga orang yang 
melihat ibumu Jadi pembunuh?" tanya Bayu.
"Salah satunya, Paman Karpak. Dan dua 
orang lalnnya aku tidak tahu."
Bayu mengangguk-anggukkan kepala. 
Dia melihat persoalan yang dihadapi 
Parindra begitu pelik. Dan memang, tidak 
mudah membersihkan nama yang sudah 
ternoda.
"Parindra.... Siapa wanita-wanita 
yang hampir menggantungmu di hutan tadi. 
Dan siapa ketiga laki-laki itu tadi?" 
tanya Bayu ingin tahu lebih banyak lagi.
”Kalau yang wanita, aku tidak tahu. 
Tapi ketiga orang tadi, mereka dari 
Padepokan Kalong Hitam. Aku sempat 
menjadi murid di padepokan itu. Dan mereka 
mengejarku. Aku sendiri tidak tahu 
mengapa mereka ingin menangkapku," jelas 
Parindra kembali.
'Tapi kenapa kau memintaku 
mengantarkan pulang...?" tanya Bayu lagi.
"Aku ingin, agar kau menjelaskan pada 
mereka bahwa tuduhan itu salah alamat. Aku 
ingin kau membantuku membersihkan nama 
keluargaku kembali," sahut Parindra 
mengemukakan keinginannya.
Bayu mengangkat bahunya sedikit.

"Aku tidak janji, dan harus 
kuselidiki dulu kebenarannya," ujar Bayu 
setelah terdiam beberapa saat
"Kau tidak percaya padaku...?"
"Bukannya tidak percaya, Parindra. 
Aku hanya ingin mencari kepastian dan 
kebenaran yang nyata. Aku tidak ingin 
bertindak gegabah, yang bisa-bisa malah 
jadi bumerang bagi diriku sendiri. Kau 
mengerti maksudku, Parindra...?"
Parindra hanya menganggukkan kepala 
saja. Bisa dimengerti, apa yang 
dimaksudkan pemuda berbaju kulit harimau 
ini. Memang tidak mudah untuk mempercayai 
begitu saja ceritanya. Dan dia tahu, Bayu 
sebenarnya ingin mencari keterangan lebih 
dahulu. Setelah itu, baru bisa ditentukan 
langkah selanjutnya yang harus diambil. 
Parindra sendiri tidak ingin mendesak 
Bayu. Justru kalau mendesak, tentu 
Pendekar Pulau Neraka akan semakin 
curiga. Bisa-bisa semua ceritanya hanya 
dianggap khayalan kosong belaka. Mendapat 
pildran begitu, Parindra jadi diam dan 
mencoba untuk bisa mengerti. Sebaiknya 
kita cari tempat yang aman dulu, dan tidak 
jauh dari Desa Batang. Aku tidak ingin kau 
terus bersamaku, karena bisa mengurangi 
ruang gerakku," kata Bayu lagi.

"Aku bisa mengerti, Kakang. Terima 
kasih, karena kau bersedia membantuku 
menyelesaikan persoalan ini," ujar 
Parindra.
Bayu menepuk pundak anak muda belasan 
tahun ini, kemudian mengajaknya melangkah 
lagi. Mereka berjalan bersisian tanpa 
berbicara lagi. Sementara di dalam 
benaknya, Bayu terus mencerna dan 
memikirkan semua cerita Parindra tadi. 
Untuk saat ini, memang belum bisa 
mengambil satu kesimpulan. Dan Pendekar 
Pulau Neraka harus mencari keterangan 
dulu agar mengetahui persoalan sebenamya, 
sebelum mengambll tindakan.
"Aku punya tempat yang tak seorang 
pun tahu," kata Parindra tiba-tiba. 
"Hm.... Di mana?"
"Sebelah Timur Desa Batang. Hanya aku
sendiri yang tahu tempat itu," sahut 
Parindra.
"Baiklah. Ayo, ke sana...."
Kini mereka berjalan cepat Bayu 
melihat kalau Parindra sudah tidak murung 
lagi. Anak muda belasan tahun itu berjalan 
mempergunakan ilmu meringankan tubuh, 
sehingga Bayu juga terpaksa 
mengimbanginya. Sedangkan saat itu, 
matahari sudah hampir tenggelam di balik 
cakrawala sebelah Barat Sinarnya yang

memerah, membias di antara pucuk 
pepohonan. Begitu indah pemandangannya. 
Tapi keindahan itu tak mungkin bisa
dinikmati Bayu dan Parindra yang berjalan 
cepat menuju ke Desa Batang.
***
TIGA


Tempat yang dimaksudkan Parindra 
memang cocok sebagai tempat 
persembunyian. Sebuah gua yang cukup 
besar dan nyaman, letaknya pun 
terlindung. Dan orang tak mungkin 
menyangka kalau di antara bebatuan dan 
pohon-pohon yang begitu rapat tersembunyi 
sebuah mulut gua yang memang kecil, dan 
hanya bisa dimasuki dengan cara merangkak 
Tapi, di dalamnya sangat besar luar biasa.
Memasuki gua ini, serasa berada dalam 
sebuah ruangan dalam tanah yang sengaja 
dibuat untuk tempat persembunyian. 
Udaranya juga cukup hangat karena di 
tengah-tengah gua ini terdapat sebuah 
kolam air yang terus bergolak mendidih. 
Uap air dari kolam itu membuat udara di di


sini terasa hangat Sebuah lubang yang 
cukup besar di dinding atas tepat di atas 
kolam itu, membuat keadaan di dalam gua 
ini cukup terang oleh sinar rembulan. 
Sehingga, tak periu lagi membuat api 
unggun.
"Dulu, aku sering ke sini bersama 
ayah," jelas Parindra. Tapi sayang, ayah 
telah mendahului ketika aku baru berusia 
empat belas tahun."
Bayu hanya diam saja mendengarkan 
sambil duduk bersandar di dinding gua 
batu. Sedangkan Tiren, sudah sejak tadi 
melingkar di sampingnya. Tumpukan daun 
kering menjadi alas tidur monyet kecil inL
"Ayah tewas dalam pertarungan dengan 
lawannya," sambung Parindra mengenang. 
“Tapi beliau juga berhasil membunuh 
lawannya, sebelum benar-benar tewas. 
Pertarungan yang adil, dan keduanya 
sama-sama tewas."
"Kau melihat pertarungan itu?" tanya 
Bayu.
"Bukan hanya aku, tapi semua orang di 
Desa Batang menyaksikannya. Bahkan semua 
penghuni Padepokan Kalong Hitam dan 
beberapa orang dari kalangan persilatan 
juga menyaksikan," sahut Parindra.
"Oh...?!" Bayu mendesah.

Pendekar Pulau Neraka tidak 
menyangka kalau Parindra temyata putra 
seorang tokoh persilatan. Dari ceritanya 
saja, sudah bisa diduga kalau orang tua 
Parindra seorang tokoh persilatan yang 
punya nama. Buktinya, pertarungan itu 
disaksikan begitu banyak orang Tapi, 
kenapa sekarang semua orang malah 
membenci keluarganya...? Bahkan 
orang-orang Padepokan Kalong Hitam dan 
semua penduduk Desa Batang ikut 
memusuhinya. Yang lebih mengherankan 
lagi, Ibu dan adik anak muda ini dibunuh 
oleh mereka setelah membakar habis 
rumahnya. Hal inilah yang membuat Bayu 
tidak habis mengerti.
Sampai jauh malam mereka terus 
berbincang-bincang. Dan Bayu semakin 
mengenal anak muda belasan tahun ini. 
Hatinya langsung tergerak, setelah 
mengetahui kisah hidup Parindra. Dia jadi 
teringat dirinya sendiri, yang sejak 
masih bayi merah sudah ditinggal kedua 
orang tuanya. Sampai saat ini, Bayu pun 
tidak tahu keberadaan ibunya. Apakah 
sudah mati, atau masih hidup. Sementara 
Parindra sudah mendengkur, Bayu masih 
belum dapat memejamkan matanya. Entah apa 
yang ada di benaknya saat inL Beberapa

kali terdengar tarikan napas yang 
panjang.
***
Pagi-pagi sekali Bayu sudah 
meninggalkan gua itu. Sementara Parindra 
tetap tinggal di sana. Dari keterangan 
yang diberikan Parindra, Pendekar Pulau 
Neraka cepat bisa menemukan reruntuhan 
rumah anak muda itu. Bayu berdiri tegak 
memandangi puing-puing rumah yang hangus 
terbakar. Dari reruntuhan puing itu, bisa 
diduga kalau rumah ini tadinya cukup 
besar.
Pendekar Pulau Neraka memalingkan 
mukanya ketika mendengar suara langkah 
ringan dari arah belakang. Cepat tubuhnya 
diputar berbalik, ketika tampak seorang 
laki-laki tua berjubah putih berjalan ke 
arahnya. Sebatang tongkat kayu berkeluk 
tak beraturan tergenggam di tangan 
kanannya. Seluruh rambutnya yang panjang 
sudah memutih.
"Apa yang kau lakukan di sini, Anak 
Muda?" tanya orang tua itu. Nada suaranya 
berat, dan dingin sekali.
"Aku mencari tempat tinggal Ratu 
Lembah Mayat," sahut Bayu. Suaranya 
sengaja dibuat sopan, meskipun sikap

orang tua berjubah putih ini kelihatan 
tidak bersahabat
Mendengar nama Ratu Lembah Mayat 
laki-laki tua itu jadi menyipit matanya. 
Diperhatikannya Bayu dari ujung kepala 
hingga ke ujung kaki. Sedangkan Bayu hanya 
diam saja diperhatikan dengan sinar mata 
tajam, bagai menaruh kecurigaan.
"Apa hubunganmu, sehingga mencari 
Ratu Lembah Mayat?" tanya orang tua itu. 
Suaranya masih tetap terdengar dingin tak 
bersahabat
"Ada sesuatu yang harus 
kusampaikan," sahut Bayu. "Apakah Paman 
tahu di mana tempat tinggal-nya?"
"Dia sudah mati," sahut orang tua 
itu, tetap dingin nada suaranya. 
"Mati...?!"
"Benar. Dan sebaiknya cepat 
tinggalkan desa ini, Anak Muda."
“Tapi, ada keluarganya yang hidup, 
bukan...?"
"Tidak! Semuanya sudah mati. Kau bisa 
lihat reruntuhan rumahnya."
Pendekar Pulau Neraka berpaling 
sedikit melirik reruntuhan rumah yang 
hangus terbakar. Kemudian tatapannya 
kembali pada laki-laki tua berjubah putih 
di depannya.

"Kalau tidak ada keperluan lagi, 
sebaiknya cepat tinggalkan desa ini, Anak 
Muda. Aku tidak ingin ada pertumpahan 
darah lagi di sini," tegas orang tua itu, 
langsung mengusir.
"Kenapa...? Aku datang ke sini bukan 
untuk mencari permusuhan, Paman."
"Apa pun yang kau katakan, 
kehadiranmu di sini tidak diinginkan. Dan 
aku hanya memberimu peringatan satu kali. 
Maaf, aku tidak ada waktu untukmu."
"Hei..., tunggu...!"
Tapi orang tua berjubah putih itu 
sudah berbalik dan melangkah ringan 
meninggalkan Pendekar Pulau Neraka. Dari 
ayunan kakinya saja, sudah dapat dinilai 
kalau orang tua itu memiliki tingkat 
kepandaian tinggi. Begitu ringan ayunan
kakinya, sehingga bagai tak menyentuh 
tanah sedikit pua Sebentar saja, bayangan 
tubuhnya sudah jauh meninggalkan tempat 
ini, menghilang di tikungan jalan. 
Sementara Bayu masih berdiri tertegun di 
tempatnya. Otaknya bekeria keras, untuk 
mengerti maksud ucapan laki-laki tua itu 
tadi. Kata-kata yang tak bersahabat dan 
bernada ancaman yang tidak bisa dianggap 
enteng.
"Aneh.... Mengapa semua orang begitu 
benci mendengar nama Ratu Lembah

Mayat..?" Bayu menggumam perlahan, 
berbicara pada dirinya sendiri.
Bukan hanya laki-laki tua itu saja 
yang kelihatan benci begitu mendengar 
nama Ratu Lembah Mayat disebut Tapi 
tadi.... Sebelum Bayu sampai di sini, ada 
dua orang yang langsung lari begitu 
ditanya letak tempat tinggal Ratu Lembah 
Mayat Bayu jadi keheranan, karena 
tampaknya semua penduduk Desa Batang ini 
seperti ketakutan. Bahkan membenci orang 
yang bemama Ratu Lembah Mayat
Bayu kembali memandangi reruntuhan 
rumah yang sudah rata dengan tanah. 
Meskipun kelihatannya sudah beberapa hari 
hangus terbakar, tapi masih teriihat 
sedikit asap tipis mengepul dari situ. 
Reruntuhan rumah inilah yang ditunjukkan 
Parindra sebagai bekas rumahnya dulu. Dan 
laki-laki tua tadi, mengatakan kalau ini 
bekas tempat tinggal Ratu Lembah Mayat 
Jadi, memang benar ibu Parindra berjuluk 
Ratu Lembah Mayat Hanya saja, Parindra 
tidak mengakui, dan mengatakan kalau 
julukan itu hanya mengada-ada saja.
"Ratu Lembah Mayat... Hm.„, apa benar 
istri Pendekar Cakar Naga berjuluk Ratu 
Lembah Mayat?" Bayu bergumam sendiri 
dalam hati

Baru saja Bayu hendak mengayunkan 
kakinya meninggalkan tempat itu, mendadak 
saja dari jalan di depannya teriihat 
banyak orang mendatangi. Pendekar Pulau 
Neraka jadi berkerut keningnya, melihat 
banyak orang menuju ke arahnya. Mereka 
semua membawa senjata dari berbagai 
bentuk, dan tampaknya datang tidak dengan 
maksud bersahabat.
Dan sebelum Pendekar Pulau Neraka 
bisa mengerti, mendadak saja terdengar 
seruan-seruan yang begitu lantang. Itu 
pun masih disusul berlariannya 
orang-orang yang menghampiri. Bayu jadi, 
tersentak kaget ketika beberapa batang 
tombak berhamburan ke arahnya.
"Heh...?!"
Bayu cepat berlompatan sambil 
mengebutkan kedua tangannya, menangkis 
tombak-tombak yang berhamburan di 
sekitamya. Belum lagi sempat menarik 
napas, dua orang sudah melompat maju. 
Pendekar Pulau Neraka langsung diancam 
dengan serangan senjata golok terhunus! 
"Hait..!"
***

Tak ada lagi kesempatan bagi Pendekar 
Pulau Neraka untuk menghentikan mereka. 
Orang-orang itu sudah mengepung dan 
menyerang tanpa memberi kesempatan 
sedikit pun untuk bertanya. Terpaksa Bayu 
berjumpalitan menghindari setiap 
serangan yang datang dari segala penjuru.
"Setan...! Bisa habis napasku kalau 
begini terus!" dengus Bayu dalam hari.
Bayu benar-benar kesal, dan hanya 
dapat menggerutu serta mengumpat dalam 
hari. Tak ada sedikit pun kesempatan 
baginya untuk bisa keluar dari kepungan 
orang-orang ini. Pendekar Pulau Neraka 
sendiri tidak bisa berbuat banyak 
menghadapi keroyokan yang begitu rapat. 
Beberapa kali diberikannya serangan 
balasan, berupa pukulan-pukulan keras 
yang tidak disertai pengerahan tenaga 
dalam tinggi. Tapi, tetap saja kesempatan 
untuk keluar dari kepungan ini tidak ada. 
Padahal, beberapa orang sudah jatuh 
bergelimpangan terkena pukulan Pendekar 
Pulau Neraka.
Pukulan-pukulan yang dilepaskan 
Pendekar Pulau Neraka memang tidak 
berbahaya, sehingga tak menimbulkan 
korban seorang pun juga. Mereka yang 
terkena pukulan itu, bisa cepat bangkit 
berdiri lagi. Bahkan kembali menyerang

ganas. Hal ini membuat Bayu semakin 
kerepotan menghadapinya. Dan tentu saja 
ruang geraknya pun semakin menyempit. 
Pukulan pukulannya pun semakin jarang 
terlontar. 
Wusss!
Tiba-tiba saja, berhembus angin yang 
begitu keras bagai terjadi badai topan di 
tengah samudera. Angin yang datang 
tiba-tiba itu menimbulkan suara menderu 
yang menggetarkan hari. Akibatnya 
orang-orang yang mengeroyok Bayu jadi 
berhamburan, berpentalan diterjang angin 
yang begitu keras. Bahkan batu-batuan pun 
beterbangan. Pepohonan mulai terbongkar 
sampai ke akamya. Jeritan-jeritan panjang 
melengking tinggi terdengar di antara 
deru angin yang begitu dahsyat Bayu 
sendiri mengerahkan tenaga dalam agat 
tidak terhempas hembusan angin yang 
begitu dahsyat dan tiba-tiba ini. 
Pendekar Pulau Neraka sempat melihat 
orang-orang yang tadi mengeroyok, berham-
buran seperti segumpal kapas yang 
diterbangkan angin Tak ada seorang pun 
yang mampu bertahan. Bahkan beberapa di 
antara mereka sudah tergeletak terhimpit 
pohon atau batu-batu. Jeritan-jeritan 
melengking masih terdengar sating susul, 
ditingkahi deru angin yang semakin



dahsyat Sementara Bayu masih tetap 
mencoba bertahan di tempatnya.
"Huh! Ini bukan angin biasa. Aku 
mulai merasakan hawa panas di dalamnya," 
dengus Bayu dalam hari.
Menyadari kalau badai yang datang ini 
bukan karena peristiwa alam biasa, Bayu 
segera mengerahkan ilmu meringankan 
tubuhnya. Dan seketika itu juga, tubuh 
Pendekar Pulau Neraka melayang bagai 
sehelai daun yang terhembus angin. 
Seketika dimanfaatkannya tenaga hembusan 
angin ini untuk melepaskan diri dari 
serangan badai yang begitu dahsyat Dan 
begitu dorongan angin terasa berkurang 
kekuatannya, cepat-cepat tubuhnya 
melenting, lalu berputaran beberapa kali 
di udara.
"Hup! Yeaaah...!"
Ringan sekali Pendekar Pulau Neraka 
menjejakkan kaki di tanah. Sedikit pun tak 
terdengar suara saat kedua kakinya 
mendarat di tanah. Bayu berdiri tegak 
dengan sinar mata menyorot tajam, dan 
beredar berkeliling. Pada saat itu, angin 
yang dahsyat tersebut benar-benar sudah 
berhenti.
"Nguk...!"
Bayu cepat memutar tubuhnya ke kanan, 
begitu monyet kecil di pundaknya bersuara

pelan. Entah dari mana datangnya, 
tahu-tahu sekitar sepuluh tombak di 
depannya sudah berdiri seseorang 
mengenakan jubah panjang berwama hitam. 
Rambutnya panjang teriap, dan hampir 
menutupi seluruh wajahnya. Sehingga, Bayu 
sukar mengenalinya. Sebatang tongkat yang 
bagian ujung atasnya berbentuk tengkorak 
kepala manusia, tergenggam di tangan 
kanan. Bayu menyipitkan matanya, mencoba 
memperhatikan orang itu lebih Jelas lagi
"Hm...," Bayu menggumam perlahan 
dalam hari.
"Pergilah dari sini, Anak Muda. Dan 
sebaiknya jangan mencampuri urusan ini. 
Pergilah! Sebelum aku bertindak lebih 
kejam padamu!" terdengar dingin sekali 
nada suara orang itu.
"Siapa kau? Apa maksudmu memamerkan 
tenaga dalam seperti itu?" tanya Bayu 
tegas.
"Hik hik hik..! Itu baru permulaan, 
Anak Muda."
"Hm...," Bayu hanya menggumam kecil.
Baru sekali ini Pendekar Pulau Neraka 
melihat orang berjubah hitam itu. Dan dari 
suaranya saja, sudah bisa diduga kalau 
orang itu pasti seorang perempuan tua. Dan 
yang pasti, kepandaiannya telah tinggi, 
karena bisa menciptakan badai topan

begitu dahsyat Bayu semakin menyipitkan 
matanya, mencoba memperhatikan lebih 
jelas. Kakinya bergerak perlahan, 
melangkah ke depan.
Tapi orang berjubah hitam itu malah 
bergerak mundur seperti melayang di atas 
tanah. Tak teriihat sedikit pun gerakan 
kakinya. Sehingga, Bayu tak dapat lebih 
mendekat lagi, dan langsung menghentikan 
langkahnya. Orang berjubah hitam Itu juga 
berhenti bergerak ke belakang.
"Demi keselamatanmu sendiri, kuharap 
kau segera angkat kaki dari desa ini. Tak 
ada yang bisa diharapkan di sini," tegas 
orang berjubah hitam Itu lagi. Suaranya 
tetap terdengar dingin tak bersahabat
"Kenapa semua orang mengusirku? 
Apakah desa ini terlarang bagi pengembara 
sepertiku...?" tanya Bayu seperti 
bertanya pada dirinya sendiri.
"Kau tidak akan mendapatkan jawaban, 
Anak Muda. Tak ada tempat sejengkal pun di 
desa ini untukmu!" sahut orang berjubah 
hitam itu agak mendengus.
"Sayang sekali. Sepertinya, aku 
tidak bisa meninggalkan desa ini 
cepat-cepat" ujar Bayu kalem.
"Keras kepala...!" desis orang 
berjubah hitam itu mendengus kesal.

Bayu memutar tubuhnya dan melangkah 
pergi tanpa berkata-kata lagi. Dia malah 
berjalan menuju Desa Batang.
"Mau ke mana kau, Bocah...?!" bentak 
orang berjubah hitam itu.
"Ke Desa Batang," sahut Bayu 
seenaknya, tanpa menghentikan 
langkahnya.
"Bocah setan...! Berhenti kau...!"
Tapi Bayu tidak mempedulikan lagi, 
dan terus saja berjalan tenang. Dan begitu 
sudah berjalan sejauh tiga batang tombak, 
tiba-tiba saja dari arah belakang terasa 
angin berhembus keras. Seketika Bayu 
cepat melentingkan tubuh ke udara, tanpa 
berpaling lagi ke belakang.
"Yeaaah...!"
Pada saat itu, di bawah tubuhnya 
berkelebat bayangan hitam yang begitu 
cepat luar biasa. Tiga kali Bayu berputar 
di udara, kemudian manis sekali 
menjejakkan kakinya di tanah.

"Bocah setan...! Berhenti kau...!"
Tapi Pendekar Pulau Neraka tidak 
peduli. Dia terus saja berjalan. Dan 
ketika dari belakang dirasakan-nya angin 
berhembus keras, Bayu segera melentingkan 
tubuhnya tanpa berpaling lagi! Rupanya, 
sesosok ba-yangan hitam itu telah 
menyerang dengan cepatnya!

Sebentar diperhatikannya orang 
berjubah hitam yang sudah cepat berbalik. 
Dan sebelum orang berjubah hitam itu 
kembali melakukan serangan, Pendekar 
Pulau Neraka sudah melesat cepat 
mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang 
cukup sempurna. Begitu cepat gerakannya, 
sehingga dalam sekejapan mata saja 
bayangan tubuhnya sudah lenyap tak 
teriihat lagi. Bagaikan tertelan bumi 
saja layaknya. Hilangnya Pendekar Pulau 
Neraka membuat orang berjubah hitam ini 
jadi terbengong.
"Bocah setan...!" dia mengumpat 
berang.
Beberapa saat orang berjubah hitam 
itu masih berdiri tegak di tempatnya. 
Sepasang bola matanya yang tersembunyi di 
balik riapan rambutnya yang panjang, 
teriihat menyorot tajam, dan beredar 
berkeliling. Tapi Pendekar Pulau Neraka 
memang sudah lenyap tak berbekas lagi Tak 
ada seorang pun yang dapat dilihatnya, 
kecuali keadaan sekitar yang hancur 
berantakan akibat terlanda angin badai 
tadi. Beberapa tubuh tak bernyawa, 
bergelimpangan tumpang tindih bersama 
bebatuan dan pepohonan tumbang.

"Huh! Bocah setan itu harus 
disingkirkan, sebelum membuat susah 
nantinya!" dengus orang berjubah hitam 
itu lagi.
Dan tanpa berkata apa-apa lagi, 
tubuhnya cepat melesat pergi menuju Desa 
Batang. Begitu ringan dan cepatnya, 
sehingga sebentar saja sudah jauh me-
ninggalkan tempat ini. Sementara tanpa 
diketahuinya, Bayu sebenamya masih berada 
di tempat itu. Pendekar Pulau Neraka 
bersembunyi di balik sebatang pohon yang 
cukup besar sambil memperhatikan orang 
berjubah hitam itu. Begitu orang itu 
lenyap dari pandangannya, barulah 
Pendekar Pulau Neraka keluar dari balik 
pohon.
"Hm.... Siapa dia...?" gumam Bayu 
bertanya sendiri dalam hati.
***

Malam sudah cukup larut menyelimuti 
seluruh permukaan bumi di Desa Batang. 
Suasana desa yang tidak begitu besar itu 
pun, terasa sunyi sekali Hanya beberapa 
peronda saja yang teriihat berjaga-jaga 
di beberapa tempat di desa itu. Hampir 
semua rumah di sini dalam keadaan gelap. 
Para penduduk hanya memasang sebuah 
pelita kecil di beranda depan saja. Tapi, 
ada satu rumah yang tampak terang 
benderang pada bagian dalamnya. Rumah itu 
kelihatan paling besar di desa ini, dan 
berhalaman luas.
Di bagian ruangan depan rumah itu 
teriihat enam orang laki-laki duduk 
melingkar di lantai yang beralas-kan 
selembar anyaman tikar daun pandan. Di 
antara mereka tampak seorang laki-laki 
tua berjubah putih, berambut putih. 
Dialah laki-laki tua yang pemah menemui 
dan memberi peringatan pada Pendekar 
Pulau Neraka. Di Desa Batang ini, dia 
dikenal dengan nama Eyang Bagasrana. Dia 
memang orang yang tertua dan amat 
disegani, dan juga guru besar di Padepokan 
Kalong Hitam. Dan Desa Batang sendiri

juga dikenal berjuluk Desa Padepokan 
Kalong Hitam. Karena, hampir semua 
penduduknya merupakan mu rid Eyang 
Bagasrana.
Sedangkan tiga orang yang duduk di 
samping kanan dan kirinya masih kelihatan 
muda. Dan mungkin baru berusia antara dua 
puluh lima atau tiga .puluh tahun. Mereka 
juga pernah bertemu Pendekar Pulau 
Neraka. Yang mengenakan baju kuning 
adalah Sutrana. Sedangkan yang berbaju 
merah adalah Badur, dan Rakasa yang 
memakai baju warna biru muda. Sementara 
yang bernama Rakasa pernah terluka akibat 
pertarungannya dengan Pendekar Pulau 
Neraka.
Sedangkan dua orang lagi sudah 
berusia separuh baya. Melihat dari 
pakaian dan senjata yang disandang, sudah 
dapat dipastikan kalau mereka bukan orang 
sembarangan. Yang mengenakan baju hijau 
bernama Karpak. Goloknya berukuran besar, 
dan tergeletak di depannya. Dan seorang 
lagi bernama Ladra. Bajunya juga berwama 
hijau, dan memegang sebatang tombak 
pendek yang ujungnya bermata tiga.
"Satu lagi orang asing datang ke desa 
ini. Dan siang tadi, sudah meminta korban 
cukup banyak...," laki-laki tua berjubah 
putih itu membuka suara.

"Ada tiga puluh orang yang tewas. 
Sementara sisanya, terluka cukup parah," 
sambung Karpak
"Apakah orang itu mengenakan baju 
dari kulit harimau...?" tanya Badur.
"Benar," sahut orang tua berjubah 
putih.
"Kami sempat bertarung di luar Desa 
Gambut Dia bersama Parindra. Waktu itu 
aku, Sutrana dan Rakasa belum mengetahui 
persoalan yang sebenarnya;" jelas Badur 
lagi.
"Kalau begitu, dia benar-benar ada 
hubungannya dengan keluarga Pendekar 
Cakar Naga...," gumam Eyang Bagasrana.
"Benarkah itu, Eyang...?" Karpak 
seperti meminta penjelasan.
"Anak muda itu menanyakan tempat 
tinggal Ratu Lembah Mayat Hm.... Dia pasti 
hanya berpura-pura saja bertanya begitu. 
Kedatangannya ke sini, pasti ingin 
menyelidiki kematian istri Pendekar Cakar 
Naga," duga Eyang Bagasrana.
"Apa yang harus kita lakukan 
sekarang, Eyang?" tanya Ladra.
"Yang pasti, Parindra sudah 
bercerita banyak padanya. Dan bukannya 
tidak mungkin, ceritanya 
ditambah-tambahkan supaya berkesan semua 
orang di desa ini telah membantai

keluarganya secara keji," sambung 
Sutrana.
"Eyang.... Kesalahpahaman ini harus 
segera diluruskan. Sekarang kita harus 
mencarinya, dan menjelaskan kebenaranya. 
Kalau tidak, dia akan tetap menyangka 
buruk pada semua orang di Desa Batang 
ini," sambung Ladra.
"Percuma saja, Paman Ladra," selak 
Badur.
"Apanya yang percuma...?"
"Parindra tidak sudi lagi kembali ke 
sini. Bahkan terang-terangan menentang 
dan membenci kita semua," jelas Badur.
"Dalam hal ini, aku yang bertanggung 
jawab. Dan harus kuselesaikan sendiri," 
selak Eyang Bagasrana.
"Tidak, Eyang...!" sentak Sutrana. 
"Bukan hanya Eyang sendiri yang harus 
bertindak. Tapi semua orang di Desa Batang 
ini juga terlibat"
"Benar, Eyang. Persoalan ini harus 
segera diselesaikan. Dan yang terpenting, 
Parindra harus segera ditemukan. Dia 
harus diberi penjelasan yang sebenarnya. 
Kalaupun pendiriannya tetap tidak 
berubah, itu memang sudah haknya. Dan kita 
tetap berkewajiban membersihkan nama 
Pendekar Cakar Naga. Terutama, nama istri 
dan anak-anaknya," sambung Karpak

"Eyang.... Bagaimana kalau kita 
temui dulu anak muda berbaju kulit harimau 
itu," usul Ladra.
"Maksudmu..?" tanya Eyang Bagasrana 
tidak mengerti.
"Serahkan saja padaku, Eyang. Toh, 
dia belum bertemu denganku," ujar Ladra 
diiringi senyuman. 1
"Dengar, Ladra. Aku tidak ada waktu 
untuk bermain-main...!" dengus Eyang 
Bagasrana.
Ladra hanya tersenyum saja. Dia 
bangkit berdiri, dan membungkukkan 
badannya untuk memberi hormat pada 
laki-laki tua itu. Kemudian tubuhnya 
berbalik, langsung berjalan ke luar 
meninggalkan ruangan itu.
"Apa yang akan dilakukannya...?" 
tanya Eyang Bagasrana seperti bertanya 
pada diri sendiri.
Tentu saja yang lain tidak bisa 
menjawab. Mereka tidak tahu, apa yang akan 
dilakukan Ladra pada pemuda berbaju kulit 
harimau. Sementara mereka semua terdiam, 
Ladra sudah memacu cepat kudanya 
meninggalkan rumah berukuran cukup besar 
itu. Sementara malam terus merayap 
semakin larut, menyelimuti seluruh 
permukaan bumi Desa Batang. Suasana di 
desa itu pun semakin terasa sunyi. Hanya

suara binatang malam saja yang terdengar 
mengisi kesunyian malam.
***
"Hup...!"
Ladra melompat turun dari punggung 
kudanya dengan gerakan ringan sekali. 
Kakinya melangkah sambil menuntun 
kudanya, mendekati seorang pemuda yang 
duduk bersila di depan api unggun. Api 
yang menyala tidak seberapa besar itu 
sudah cukup mengusir udara dingin malam 
ini. Pemuda yang mengenakan baju kulit 
harimau itu hanya mengangkat wajahnya 
sedikit, begitu Ladra sudah berada di 
depannya.
"Maaf, boleh menumpang menghangatkan 
badan di sini?" ujar Ladra dengan suara 
dan sikap dibuat lembut
"Silakan," sahut pemuda berbaju 
kulit harimau yang tak lain Pendekar Pulau 
Neraka. 
"Terima kasih."
Ladra duduk bersila di depan Pendekar 
Pulau Neraka. Kedua telapak tangannya 
digosok-gosokkan di atas api. Bayu 
menambahkan sebatang ranting kedalam api. 
Diperhatikannya laki-laki setengah baya 
yang membawa tombak pendek bermata tiga di

depannya Sedangkan Ladra seperti tidak 
peduli kalau dirinya diperhatikan.
“Tampaknya Kisanak seorang 
pengembara...," pancing Ladra lagi.
"Benar," sahut Bayu singkat
"Aku Ladra. Dan biasanya orang 
memanggilku si Tombak Mata Tiga," Ladra 
memperkenalkan diri.
"Aku Bayu," Bayu juga memperkenalkan 
diri, tapi tidak menyebutkan julukannya 
yang terkenal angker dan bisa membuat bulu 
kuduk meremang.
"Apakah tujuan perjalananmu adalah 
Desa Batang, Kisanak..?" tanya Ladra 
lagi.
"Benar," sahut Bayu.
"Sayang sekali. Desa itu sekarang ini 
tidak enak disinggahi," pelan suara 
Ladra.
"Kenapa...?" tanya Bayu dengan mata 
sedikit menyipit
"Beberapa hari ini, terjadi 
malapetaka yang menimpa desa itu. Sebuah 
gerombolan yang dipimpin Ratu Lembah 
Mayat telah memporakporandakan desa itu. 
Bahkan sampai menimbulkan banyak korban 
jiwa. Peristiwa itu terjadi setelah 
adanya pertarungan antara Pendekar Cakar 
Naga melawan si Mata Setan dari Bukit 
Jagal Pertarungan itu sebenarnya terjadi


di luar Desa Batang. Tapi, Pendekar Cakar 
Naga dan keluarganya memang dulu tinggal 
di sana. Bahkan sekarang keluarganya 
sudah musnah. Hanya seorang putranya saja 
yang sampai saat ini tidak jelas rimbanya. 
Semua orang di Desa Batang, terutama Ketua 
Padepokan Kalong Hitam, mengharapkan 
kehadiran putra Pendekar Cakar Naga itu," 
jelas Ladra tentang keadaan Desa Batang 
dengan panjang lebar.
Sedangkan Bayu mendengarkan penuh 
perhatian. Keningnya jadi berkerut, dan 
matanya menyipit memperhatikan wajah 
laki-laki setengah baya di depannya. Dia 
jadi teringat semua cerita Parindra. Apa 
yang baru saja didengar dari Ladra, tidak 
beda jauh dengan penuturan Parindra. Tapi 
ada sedikit perbedaan. Parindra 
mengatakan kalau ibunya dijuluki si Ratu 
Lembah Mayat oleh penduduk Desa Batang. 
Dan mereka membantainya dengan keji.
Sedangkan Ladra mengatakan, ada 
orang lain lagi yang bernama Ratu Lembah 
Mayat, Pendekar Pulau Neraka juga jadi 
teringat pada orang tua berjubah putih, 
ketika berada di dekat reruntuhan puing 
tempat tinggal Pendekar Cakar Naga. Orang 
tua berjubah putih itu mengatakan 
reruntuhan itu tempat tinggal si Ratu 
Lembah Mayat

"Boleh aku tahu, siapa sebenamya Ratu 
Lembah Mayat itu?" tanya Bayu bernada 
menyelidik
"Sayang sekali. Sampai saat ini, 
tidak ada yang tahu, siapa Ratu Lembah 
Mayat itu," sahut Ladra.
"Apakah dia masih juga muncul?" tanya 
Bayu lagi.
“Tidak, Tapi orang-orangnya sudah 
dua kali datang. Mereka memang tidak 
mengambil apa-apa. Tapi setiap 
kemunculannya, selatu menimbuikan korban 
nyawa. Bahkan selalu mengobrak-abrik 
rumah penduduk Mereka seperti mencari 
sesuatu, tapi tampaknya belum 
menemukannya," jelas Ladra lagi. 
"Apa yang dicarinya?"
"Sayang sekali, aku tidak tahu. 
Mereka pun pernah membongkar kuburan 
Pendekar Cakar Naga. Bahkan mengkais 
reruntuhan rumahnya. Juga membongkar 
kuburan istri dan anak perempuan Pendekar 
Cakar Naga. Mereka seperti mencari 
sesuatu dari sana," kata Ladra lagi.
"Berapa orang jumlah mereka?"
"Enam. Tapi yang dua orang, sangat 
sukar ditandingi kepandaiannya. 
Sementara yang empat orang, hanya biasa 
saja kemampuannya."

Bayu terdiam. Pandangannya 
menerawang jauh ke depan. Perasaannya 
mengatakan kalau persoalan yang 
dihadapinya sekarang ini semakin pelik 
Tapi, sudah bisa disimpulkan kalau ibu 
Parindra sebenarnya bukan si Ratu Lembah 
Mayat. Dan tampaknya, ada sesuatu yang 
diinginkan orang berjuluk Ratu Lembah 
Mayat itu dari Pendekar Cakar Naga. 
Sesuatu yang belum diketahui secara 
pasti.
Bayu jadi teringat pertemuannya 
dengan Parindra. Anak muda belasan tahun 
itu hampir mati digantung empat orang 
wanita yang mengenakan cawat Mereka 
menuduh Parindra sebagai pencuri. Bayu 
jadi termenung, mengkaitkan semua 
peristiwa dan cerita yang didapat selama 
ini. Seketika timbul pertanyaan dalam 
hatinya. Apakah empat orang yang hampir 
menggantung Parindra adalah anak buah 
Ratu Lembah Mayat..?
"Paman.... Bolehkah bertanya 
sesuatu?" pinta Bayu hari-hati.
"Silakan," ujar Ladra.
"Apakah benar orang-orang Desa 
Batang yang membunuh keluarga Pendekar 
Cakar Naga?" tanya Bayu, lebih hati-hati 
lagi.


"Itulah yang menjadi penyesalan 
kami, Anak Muda. Waktu itu, kami tidak 
lagi menyelidiki lebih dulu. Kami gelap 
mata. Karena orang yang bernama Ratu 
Lembah Mayat, wajahnya sangat mirip istri 
Pendekar Cakar Naga. Dan kami langsung 
menuduhnya begitu saja," ada nada 
penyesalan dalam suara Ladra.
“Tapi, kenapa semua orang di desa itu 
tidak menyukai kehadiranku?" tanya Bayu 
begitu bisa memastikan kalau Ladra salah 
seorang penduduk Desa Batang.
"Sejak peristiwa itu, kami memang 
selatu mencurigai setiap pendatang. 
Bahkan melarang pendatang untuk memasuki 
Desa Batang. Kami ingin menyelesaikan 
semua kemelut ini sendiri, tanpa ada 
campur tangan orang asing," jelas Ladra.
"Aku mengerti...," ucap Bayu bisa 
memaklumi.
"Kisanak! Kudengar, kau tahu 
Parindra berada. Boleh aku bertemu 
dengannya?" pinta Ladra.
"Maaf, sekarang ini aku tidak bisa 
memberi tahu di mana Parindra berada," 
halus sekali Bayu menolak permlntaan itu.
Ladra mengangkat bahunya. 
"Kuharap Paman bisa mengerti," ujar 
Bayu.

"Aku mengerti Keadaan memang tidak 
memungkinkan untuk bisa saling 
mempercayai satu sama lain." 
"Terima kasih."
***
Bayu dan Ladra tengah asyik bertukar 
pikiran, tiba-tiba saja dikejutkan 
teriakan panjang melengking tinggi, 
disusul teriihatnya kobaran api dari Desa 
Batang. Mereka terlonjak kaget, dan 
langsung melompat berdiri. Dan sebelum 
bergerak, tiba-tiba saja teriihat 
beberapa bayangan berkelebat melewati 
perbatasan desa.
"Hup...!"
Tanpa membuang-buang waktu lagi, 
Bayu segera melesat pergi mengejar 
bayangan yang berkelebat cepat bagai 
kilat itu. Begitu cepat dan sempurnanya 
ilmu meringankan tubuh yang dimiliki 
Pendekar Pulau Neraka, sehingga dalam 
sekejap saja sudah lenyap ditelan 
kegelapan. Akibatnya Ladra jadi bengong 
seperti kerbau melihat lalat di ujung 
hidungnya.
Sementara itu Bayu sudah 
meninggalkan Ladra yang cepat-cepat 
melompat naik ke punggung kudanya. Di

antara keremangan cahaya bulan, Bayu 
dapat melihat tujuh orang bergerak cepat 
di depannya.
Mereka menuju hutan lebat di sebelah 
Selatan Desa Batang, dan terletak di 
sebuah bukit kecil. Dan di balik bukit 
itu, terdapat sebuah lembah yang 
dinamakan Lembah Mayat
"Hup! Yeaaah...!"
Bagaikan seekor burung elang, Bayu 
melesat secepat kilat mengejar tujuh 
orang yang berlari cepat mempergunakan 
ilmu meringankan tubuh bertaraf tinggi. 
Beberapa kali Pendekar Pulau Neraka 
menjejakkan ujung kakinya di dahan 
pepohonan. Lalu begitu berhasil melewati 
kepala ketujuh orang itu, cepat tubuhnya 
meluruk turun menghadang.
Kemunculan Bayu yang begitu 
tiba-tiba, membuat ketujuh orang itu 
terkejut setengah mati. Mereka langsung 
berhenti berlari. Bayu sendiri tersentak 
kaget karena enam orang di antara mereka 
adalah gadis muda yang hanya mengenakan 
cawat sebagai penutup tubuh. Sedangkan 
yang seorang lagi, adalah perempuan tua 
berjubah hitam. Rambutnya teriap panjang 
hampir menutupi wajahnya. Dari keremangan 
cahaya bulan, Bayu sempat melihat wajah 
perempuan tua itu seperti wajah

tengkorak, saat rambutnya yang menutupi 
mata tersibak.
"Setan...! Rupanya kau belum juga 
pergi dari sini...!" dengus perempuan tua 
berjubah hitam itu sengit
"Aku tidak akan pergi sebelum 
menghentikan angkara murkamu!" sahut Bayu 
tidak kalah dinginnya. 
"Phuih! Apa urusanmu mengaturku, 
Bocah Setan...!" perempuan tua itu 
semakin berang mendengar kata-kata 
Pendekar Pulau Neraka.
"Aku berurusan dengan siapa saja yang 
mengumbar nafsu iblis. Termasuk juga 
kalian!"
"Keparat..!"
Perempuan tua itu menghentakkan 
tongkatnya ke tanah. Seketika empat gadis 
muda bercawat itu berlompatan mundur. 
Gerakan mereka ringan sekali. Tak ada 
suara sedikit pun yang ditimbulkan ketika 
mereka menjejak tanah sekitar beberapa 
langkah di depan Pendekar Pulau Neraka. 
Tanpa mengucapkan sesuatu, empat gadis 
muda berparas cantik itu langsung 
menyerang menggunakan tombak panjang 
bermata hitam.
"Uts! Yeaaah...!"
Bayu bergegas menarik tubuh ke kanan, 
ketika satu batang tombak menyodok ke arah

dada. Dan begitu mata tombak lewat di 
depan dada, cepat sekali tangan kirinya 
dikebutkan, langsung menyodok ke arah 
perut Begitu cepatnya gerakan tangan kiri 
Pendekar Pulau Neraka, sehingga gadis 
yang menyerangnya tidak dapat lagi 
menghindar.
Des!
"Ugkh...!" dia mengeluh dan 
terhuyung ke belakang dengan tubuh agak 
membungkuk
Belum lagi Bayu sempat menarik tegak 
tubuhnya, kembali datang serangan dari 
arah lain. Cepat-cepat Pendekar Pulau 
Neraka melentingkan tubuh ke belakang, 
lalu berputaran dua kali untuk 
menghindari hunjaman tombak panjang 
bermata hitam. Dan ketika tombak itu lewat 
di bawah kakinya, ujung jari kakinya cepat 
dijejakkan ke ujung mata tombak berwama 
hitam. Lalu, manis sekali, Bayu melenting 
ke atas melewati kepala gadis cantik 
bercawat itu.
"Hiyaaa...!"
Keras sekali Bayu melepaskan satu 
pukulan ke arah batok kepala gadis ini. 
Tapi tanpa diduga sama sekali, satu orang 
gadis lainnya melesat cepat sambil 
mengebutkan tombak ke arah dada Pendekar 
Pulau Neraka.

"Uts...!"
Bayu menarik pulang pukulannya, lalu 
memutar tubuhnya dua kali sebelum 
mendarat kembali di tanah. Belum juga 
Pendekar Pulau Neraka sempat menarik 
napas, dua orang gadis yang berada di 
samping perempuan berjubah hitam itu 
cepat mengebutkan tangan kanannya. Dan 
dari telapak tangan kanannya, seketika 
melesat benda-benda kecil berwama hitam 
seperti jarum.
Wusss!
"Hup! Yeaaah...!"
Bayu terpaksa berjumpalitan di 
udara, menghindari serbuan jarum-jarum 
hitam itu. Beberapa kali tubuhnya 
melakukan putaran di udara, dan baru men-
jejak tanah setelah jarum-jarum hitam itu 
lewat tanpa menyentuh tubuhnya sedikit 
pun.
Saat itu juga Bayu dikejutkan 
suara-suara dari pepohonan yang tumbang 
di belakangnya. Pendekar Pulau Neraka 
jadi tersentak kaget Karena jarum-jarum 
hitam yang menghantam pepohonan temyata 
membuat pohon itu bertumbangan.
"Gila...!" desis Bayu terkejut 
setengah mati.
Bisa dibayangkan jika jarum-jarum 
hitam itu sampai menembus kulit tubuh

Pendekar Pulau Neraka. Tubuhnya bisa 
hancur seperti pohon-pohon di bela-
kangnya. Dan selagi Pendekar Pulau Neraka 
tertegun bengong, tiba-tiba saja salah 
seorang dari gadis muda di samping 
perempuan berjubah hitam itu melesat 
cepat bagai kilat
"Hiyaaat..!"
"Uts!"
Kalau saja Pendekar Pulau Neraka
tidak segera membanting tubuh ke tanah, 
sudah pasti pukulan bertenaga dalam 
tinggi yang dilepaskan gadis bercawat itu 
menghantam dadanya. Beberapa kali 
Pendekar Pulau Neraka bergulingan di 
tanah, menghindari hujaman beberapa 
tombak yang datang begitu tubuhnya jatuh 
ke tanah.
Dan begitu memiliki kesempatan, 
bergegas Pendekar Pulau Neraka melompat 
bangkit berdiri sambil melepaskan 
tendangan menyamping dengan kedua kakinya 
yang merentang lebar. Tindakan itu begitu 
cepat dan tiba-tiba, kakinya tak dapat 
lagi dihindari dua orang gadis yang berada 
di kanan kirinya. Mereka terpekik keras 
agak tertahan, begitu dadanya terkena 
tendangan Pendekar Pulau Neraka.
Kembali Bayu melakukan putaran ke 
belakang sejauh dua batang tombak, begitu

kakinya menjejak tanah sebentar. Dengan 
manis sekali, kakinya yang kokoh mendarat 
di tanah. Dan di depannya, kini sudah 
berdiri berjajar enam orang gadis cantik 
bercawat Empat orang di antaranya 
memegang tombak panjang bermata hitam. 
Sedangkan dua orang lagi, membawa pedang 
yang masih tersampir di punggung. 
Sementara perempuan berjubah hitam, 
berdiri di belakang keenam gadis cantik 
bercawat ini.
"Kau memang tangguh, Anak Muda," 
terasa dingin nada suara perempuan 
berjubah hitam itu. 
"Terima kasih," ucap Bayu seraya 
tersenyum tipis. 
"Kau tentu seorang pendekar. Apa 
julukanmu?" kejar perempuan berjubah 
hitam itu seperti penasaran.
"Apakah itu penting bagimu, 
Nisanak..?" Bayu malah balik bertanya.
"Aku kenal banyak pendekar di dunia 
ini. Tapi rasanya aku belum pernah 
melihatmu. Apalagi mendengar julukanmu. 
Hal itu penting bagiku, agar bisa 
kutentukan apakah kau pantas berhadapan 
denganku atau tidak!"
"O, begitukah...?" 
"Apa julukanmu, Anak Muda?" 
"Pendekar Pulau Neraka."

"Setan...! Rupanya kau yang bergelar 
Pendekar Pulau Neraka...!" dengus 
perempuan berjubah hitam itu menggeram.
Bayu jadi menyipitkan matanya, 
merayapi perempuan bermuka seperti 
tengkorak di depannya. Sedangkan enam 
orang gadis cantik yang berdiri berjajar, 
tampak tinggal menunggu perintah saja 
untuk melakukan penyerangan. Mereka 
menatap tajam, tanpa berkedip ke arah 
pemuda berbaju kulit harimau di depannya.
"Seharusnya aku membunuhmu, Bocah 
Setan. Tapi, kau belum waktunya 
berhadapan denganku. Masih banyak urusan 
yang harus kuselesaikan. Satu saat nanti, 
kau harus berhadapan denganku, Pendekar 
Pulau Neraka. Ada tagihan hutang nyawa 
yang harus kau bayar padaku!" tegas 
perempuan berjubah hitam itu.
Setelah berkata demikian, perempuan 
berjubah hitam itu langsung melesat 
pergi. Dan enam gadis cantik bercawat, 
bergegas melesat mengikuti.
"Hey, tunggu...!" seru Bayu.
Tapi wanita-wanita itu sudah cepat 
menghilang ditelan kegelapan malam. 
Mereka lenyap di dalam hutan yang cukup 
lebat. Jadi, tidak ada gunanya bagi Bayu 
untuk mengejar. Hutan di bukit kecil ini 
lebat sekali. Dan wanita-wanita itu bisa

saja menuju ke arah yang sulit diduga di 
dalam hutan.
"Apakah dia yang disebut Ratu Lembah 
Mayat..?" gumam Bayu bertanya sendiri 
dengan suara pelan.
***
LIMA


Matahari baru saja menampakkan diri 
di ufuk Timur. Sinarnya yang memerah, 
terasa hangat membangunkan seluruh 
penghuni mayapada. Burung-burung 
berkicau riang menyambut datangnya sang 
fajar. Di sebelah Timur Desa Batang, 
teriihat Parindra merangkak keluar dari 
dalam gua baru. Disibaknya semak yang 
menutupi mulut gua itu. 
"Uhhh...!"
Parindra menggeliatkan tubuh, sambil 
menghirup udara segar pagi ini. Bibirnya 
tersenyum memandangi burung-bururtg yang 
berkicau sambil berlompatan riang dari 
satu dahan ke dahan lain. Sepasang kelinci 
berbulu putih, kelihatan riang berkejaran 
bebas di atas rerumputan. Parindra


seperti iri melihat kehidupan bebas di 
alam ini.
"Seandainya aku bisa bebas seperti 
mereka...," desah Parindra perlahan.
Angan-angan yang diinginkan Parindra 
memang tidak berlebihan. Siapa pun di 
dunia ini, pasti menginginkan kebebasan 
dalam segala hal. Terlebih lagi, sekarang 
ini kebebasan yang dimilikinya 
benar-benar musnah. Tak ada lagi ruang 
gerak bagi pemuda itu. Semua yang ada di 
sekitamya seakan-akan menuding
RATU LEMBAH MAYAT
76
dan menclbir tajam. Pemuda belasan 
tahun itu meng-ayunkan kakinya 
periahan-lahan sambil memperhatikan 
binatang-binatang di sekitamya. Setiap 
kali melihat burung burung bercanda riang 
di atas dahan, bibimya selalu 
menyunggingkan senyuman pahit Hatinya 
merasa iri melihat kegembiraan dan 
kebebasan burung-burung itu.
"Hik hik hik..!" 
"Oh...?!"
Parindra terperanjat setengah mati 
ketika tiba-tiba saja terdengar tawa 
terkikik yang mendirikan bulu kuduk. Dan 
belum lagi hilang keterkejutannya, 
tiba-tiba saja dari atas pepohonan

meluncur sebuah bayangan hitam, disusul 
enam orang gadis-gadis cantik bercawat 
kulit kayu.
Parindra ingin berlari, tapi enam 
orang gadis cantik bercawat itu sudah
beriompatan mengepungnya. Seluruh wajah 
pemuda itu jadi memucat Tubuhnya 
bergetar, dengan keringat dingin 
bercucuran deras dari pori-pori kulitnya. 
Matanya menatap tajam pada wanita 
berjubah hitam dan berambut panjang 
teriap hampir menutupi wajahnya. Parindra 
bergidik begitu melihat jelas wajah 
perempuan berjubah hitam itu. Wajahnya 
begitu buruk, seperti tengkorak yang 
sudah terkubur puluhan tahun.
"Kau tidak bisa lolos dariku, 
Parindra," terasa dingin sekali nada 
suara wanita berjubah hitam ini.
"Apa yang kau inginkan dariku...?" 
tanya Parindra, bergetar.
"Pedang Cakar Naga," sahut wanita 
berjubah hitam itu, tetap dingin dan datar 
suaranya.
"Aku tidak tahu mengenai pedang itu," 
kata Parindra lagi.
"Hik hik hik..! Masa kau tidak tahu 
di mana pedang milik ayahmu? Tapi 
sudahlah, yang penting sekarang di mana

kau sembunyikan mustika itu, Parindra...? 
'
"Aku..., aku tidak tahu!" semakin 
bergetar suara Parindra.
"Aku tidak ada waktu untuk 
bermain-main, Parindra," desis wanita 
berjubah hitam itu dingin.
Parindra mengeluh dalam hari. 
Hatinya berharap Pendekar Pulau Neraka 
muncul saat ini. Tapi yang diharapkan, 
sama sekali tidak menampakkan batang 
hidungnya. Sementara empat orang gadis 
cantik bercawat sudah bergerak 
mendekatinya. Keringat yang mengucur di 
seluruh tubuhnya, semakin deras saja. 
Maka, seluruh bajunya basah bagai 
tercebur ke dalam sungai.
"Jangan ganggu aku...! Aku tidak tahu 
apa-apa tentang mustika itu!" dengus 
Parindra.
"Kau memang keras kepala, Parindra. 
Tidak ubahnya seperti ayahmu! Akan kau 
rasa kan akibat sikapmu yang keras 
kepala!" desis wanita berjubah hitam itu, 
tetap dingin nada suaranya.
"Apa yang akan kalian lakukan...?"
Pertanyaan Parindra tak ada yang 
menjawab. Dan tiba-tiba saja, dua orang 
gadis bercawat itu melompat menerkam 
Parindra. Pemuda itu terpekik kaget tidak

menyangka. Dicobanya untuk berkelit, 
dengan melompat ke kanan beberapa 
langkah. Tapi sebelum bisa menguasai 
keseimbangan tubuhnya, tiba-tiba saja 
seorang gadis bercawat sudah melesat 
cepat, dan memberi satu pukulan keras ke 
punggungnya. 
"Akh...!" Parindra terpekik keras. 
Pemuda belasan tahun itu tersuruk jatuh
mencium tanah. Tubuhnya menggelimpang 
beberapa kali, lalu cepat-cepat bangkit 
berdiri. Dan pada saat itu, satu tendangan 
keras kembali bersarang di dadanya. Untuk 
kedua kalinya, Parindra berteriak nyaring 
merasakan nyeri dan sesak pada dadanya. 
Pemuda itu jatuh terguling di tanah 
berumput yang masih dibasahi embun.
Parindra mencoba bangkit berdiri. 
Tapi sebelum berdiri tegak, satu pukulan 
keras sudah mendarat lagi di wajahnya. 
Begitu keras pukulan itu, sehingga darah 
langsung muncrat keluar dari mulutnya. 
Parindra memekik sekuat-kuatnya, 
merasakan sakit yang amat sangat di 
wajahnya.
Selagi pemuda itu terhuyung-huyung, 
tiba-tiba saja salah seorang gadis 
bercawat yang menyandang pedang di 
punggung sudah melesat cepat ke belakang-
nya. Tahu-tahu, tubuh Parindra sudah

diringkus, dan tangannya dipelintir ke 
belakang. Parindra berteriak kesakitan 
dan meringis merasakan tangannya seperti 
patah dipelintir ke belakang punggungnya.
"Akh...!"
"Aku bisa mematahkan tanganmu dengan 
mudah, tahu...?!" bentak gadis bercawat 
itu dingin. 
"Setan! Iblis kalian...!" maki 
Parindra. Tapi Parindra kembali terpekik 
keras begitu gadis bercawat ini 
menyentakkan tangannya ke belakang. 
Sedangkan lima gadis lainnya hanya 
berdiri saja sambil menyaksikan 
ketidakberdayaan pemuda ini. Mereka 
berdiri berjajar di belakang wanita 
berjubah hitam yang terkekeh melihat 
Parindra meringis kesakitan. Darah masih 
mengucur deras dari mulut dan hidungnya. 
Meskipun dia anak seorang pendekar 
ternama, tapi kepandaian yang dimiliki 
Parindra masih begitu rendah. Maka dengan 
mudah sekali dia dapat ditaklukkan.
"Siapkan tali...!" perintah wanita 
berjubah hitam itu dengan suara lantang 
menggelegar.
Dua orang gadis bercawat itu segera 
melepaskan tali dari serat sabut kelapa 
yang melilit pinggangnya. Mereka segera 
membuat lingkaran dengan tali itu, dan

melemparkan ujung satunya ke atas dahan 
pohon yang cukup besar dan kuat. Gadis 
yang meringkus Parindra kemudian 
menyerahkan pemuda ini pada gadis satunya 
lagi yang memegang tambang lain. Dengan 
cepat ditangkapnya tangan Parindra, dan 
membawanya ke belakang punggung. Cekatan 
sekali kedua tangan anak muda itu diikat 
ke belakang. Parindra mencoba 
memberontak, tapi usahanya hanya sia-sia 
saja, Dia berteriak-teriak, memaki, dan 
mengumpat habis-habisan. Namun tak ada 
seorang pun yang mempedulikannya. Gadis 
yang mengikat tangan Parindra kemudian 
mendorong pemuda itu sampai ke bawah 
tambang yang siap menggantungnya.
"Setan! Iblis...! Lepaskan aku...!" 
jerit Parindra terus memberontak 
sebisanya.
Tenaga Parindra memang cukup kuat, 
sehingga terpaksa harus dipegangi dua 
orang gadis. Sementara seorang gadis 
lainnya mengalungkan tambang ke leher 
anak muda belasan tahun ini. Parindra 
masih saja menggeliat, mencoba 
memberontak. Tapi, kekuatannya 
benar-benar tidak berarti dibandingkan 
gadis-gadis bercawat ini.
"Setan! Kubunuh kalian...!" maki 
Parindra berang.

"Hik hik hik...!" wanita berjubah 
hitam yang wajahnya seperti tengkorak itu 
hanya tertawa saja mendengar makian 
Parindra.
Wanita berjubah hitam itu 
menghentakkan tong-kajnya ke tanah tiga 
kali. Seketika dua orang gadis yang 
memegangj ujung tambang langsung menarik 
tambang itu. Akibatnya lingkaran tambang 
yang melilit di leher Parindra jadi 
menegang, mencekik leher anak muda itu. 
Parindra mendelik dengan mulut ternganga. 
Keringat semakin banyak bercucuran di 
sekujur tubuhnya.
"Lepaskan aku, Pengecut! Ayo, kita 
bertarung sampai mati...!" tantang 
Parindra jadi kalap.
"Hik hik hik...!"
***
Tantangan Parindra sama sekali tidak 
dihiraukan wanita berjubah hitam itu. 
Salah seorang gadis yang menyandang 
pedang di punggung, menghampiri wanita 
berjubah hitam itu. Mulutnya didekatkan 
ke telinga wanita itu.
"Ada apa, Andari?" tanya wanita 
berjubah hitam

"Apa tidak terburu-buru membunuhnya, 
Gusti Ratu?" suara wanita bercawat yang 
dipanggil Andari itu pelan sekali, dan 
hampir tidak terdengar.
"Aku hanya ingin dia membuka mulut," 
sahut wanita berjubah hitam itu.
"Kukira Gusti Ratu ingin 
membunuhnya."
"Kalau terpaksa."
“Tapi yang penting menemukan mustika 
itu dulu, Gusti Ratu. Karena benda itu 
sangat penting bagi kesempurnaan ilmu 
yang Gusti Ratu miliki. Tanpa Mustika 
Cakar Naga, tidak mungkin semua rencana 
besar kita bisa terlaksana," Andari 
mengingatkan.
"Mustika itu memang harus 
kudapatkan, Andari. Benda itu lebih 
penting dari apa pun juga di dunia ini
Sudah lama aku menginginkannya. Dan 
sekarang, kesempatan itu terbuka lebar 
bagiku, sebelum orang-orang persilatan 
mengetahuinya," tegas Ratu Lembah Mayat
Andari terdiam.
"Sekarang, laksanakan perintahku. 
Gantung dia, tapi jangan sampai mati Aku 
ingin dia membuka mulut dulu sebelum ke 
neraka."
"Baik, Gusti Ratu," sahut Andari.

Gadis berparas cantik yang hanya 
memakai cawat dan penutup dada itu 
melangkah beberapa tindak ke depan. Lalu 
diperintahkannya dua orang gadis yang 
memegangi tambang untuk menggantung 
Parindra. Mendengar perintah itu, kedua 
gadis bercawat langsung saja menarik 
tambang. Akibatnya, Parindra tergantung 
beberapa jengkal dari tanah.
"Aaakh...!"
Parindra menggeliat-geliat. Kedua 
matanya mendelik lebar, dan napasnya 
mulai tersengal. Mulut anak muda itu 
ternganga, dan lidahnya mulai menjulur ke 
luar. Tubuhnya terus menggelepar, 
bergantung seperti ayam disembelih. Tapi 
begitu pandangan Parindra mulai mengabur, 
tiba-tiba saja secercah cahaya kuning 
keemasan melesat cepat bagai kilat 
menyambar tambang yang menggantung anak 
muda belasan tahun itu.
Tasss! 
Bruk..!
Seketika itu juga Parindra jatuh 
terguling di tanah, ketika tambang yang 
menggantungnya putus tersambar benda 
kuning keemasan tadi. Hal ini tentu saja 
membuat Ratu Lembah Mayat dan enam orang 
gadis pengikutnya jadi terperanjat 
Terlebih lagi, dua gadis yang memegangj

ujung tambang. Mereka sampai terpental ke 
belakang sejauh beberapa langkah. Enam 
orang gadis bercawat itu bergegas 
berlompatan ke belakang Ratu Lembah Mayat 
Sedangkan Parindra sudah tergeletak diam 
seperti mati.
"Setan belang...! Siapa yang berani 
main-main denganku...?! Keluar kau...!" 
bentak Ratu Lembah Mayat geram.
"He he he...!"
"Heh...?!"
Bukan main terkejutnya Ratu Lembah 
Mayat ketika tiba-tiba melesat sebuah 
bayangan dari bafik sebongkah baru besar. 
Tahu-tahu, di depannya sudah berdiri 
seorang laki-laki tua mengenakan baju 
compang-camping penuh tambalan. Sebatang 
tongkat kayu berwama merah tergenggam di 
tangannya. Rambutnya yang sudah hampir 
memutih semua teriap tak beraturan, 
dengan sedikit gelungan di bagian atas 
kepalanya.
"He he he...! Dari dulu kelakuanmu 
tidak pernah berubah, Rara Durga," terasa 
dingin nada suara laki-laki tua berbaju 
compang-camping penuh tambalan itu.
"Phuih! Jangan harap bisa mencampuri 
urusanku, Pengemis Tongkat Merah!" dengus 
Ratu Lembah Mayat yang dipanggil dengan 
nama sebenamya oleh laki-laki tua itu.

"Sebenamya, aku juga tidak ingin 
mencampuri urusanmu lagi, Rara Durga. 
Tapi kuperhatikan, kau semakin 
menjadi-jadi saja. Tindakanmu semakin 
brutal, sampai-sampai tega hendak 
menggantung keponakanmu sendiri," tegas 
Pengemis Tongkat Merah, tetap kering dan 
serak suaranya.
“Pergilah kau, Pengemis Tongkat 
Merah. Jangan menunggu darahku naik..!" 
ancam Ratu Lembah Mayat lagi.
Pengemis Tongkat Merah 
menggeleng-gelengkan kepala sambil 
berdecak seperti cecak Kakinya melangkah 
menghampiri Parindra yang tergeletak di 
tanah dengan tangan terikat ke belakang 
Seutas tambang masih melilit lehemya. 
Pengemis Tongkat Merah membungkuk, 
memeriksa urat nadi di pergelangan tangan 
Parindra. Terdengar tarikan napas panjang 
Kemudian dia kembali tegak berdiri di 
samping tubuh anak muda itu.
"Aku tahu apa yang kau inginkan. Dan 
seharusnya tidak perlu melakukan hal 
seperti ini, Rara Durga," desah Pengemis 
Tongkat Merah. Nada suaranya terdengar 
seperti menyesal.
"Aku tidak butuh nasihatmu!" bentak 
Ratu Lembah Mayat

"Rupanya, iblis telah benar-benar 
menguasai hatimu, Cah Ayu. Pantas saja kau 
menutupi wajahmu dengan topeng buruk 
begitu," sindir Pengemis Tongkat Merah 
seraya menggeleng-gelengkan kepala.
"Setan...! Kalau kau masih hidup, 
segala gerakku selalu saja kau 
perhatikan. Sudah selayaknya sekarang kau 
mampus, Pengemis Tongkat Merah!" desis 
Ratu Lembah Mayat dingin.
Setelah berkata demikian, Ratu 
Lembah Mayat melompat sambil berteriak 
lantang menggelegar. Satu sabetan 
tongkatnya yang berkepala tengkorak, mem-
buat si Pengemis Tongkat Merah terpaksa 
melentingkan tubuh ke belakang. Setelah 
melakukan beberapa kali putaran, manis 
sekali kakinya menjejak tanah.
Namun sebelum sempat mengatur sikap 
tubuhnya, Ratu Lembah Mayat yang bemama 
asli Rara Durga sudah kembali melompat 
menerjang. Tongkat berkepala tengkorak 
dikebutkan disertai pengerahan tenaga 
dalam tinggi sekali. Begitu kuatnya 
kebutan tongkat itu, sehingga menimbulkan 
deru angin bagai badai topan. 
"Hiyaaat..!" 
"Hup! Yeaaah...!"
Pertarungan antara Pengemis Tongkat 
Merah melawan Ratu Lembah Mayat memang

tidak dapat dihindari lagi. Tampak sekali 
kalau wanita berjubah hitam yang wajahnya 
terselubung topeng tengkorak, sangat 
bernafsu ingin segera menjatuhkan 
lawannya. Namun beberapa kali serangan 
dilakukan, Pengemis Tongkat Merah masih 
mampu menghindar. Tapi, tampaknya 
pengemis itu juga mendapat kesulitan 
untuk balas menyerang.
***
Sementara Ratu Lembah Mayat 
bertarung dengan si Pengemis Tongkat 
Merah, dua orang gadis bercawat yang 
menyandang pedang di punggung sudah 
bergerak menghampiri Parindra. Empat 
orang gadis lainnya bergegas menghampiri. 
Empat orang gadis itu mengangkat tubuh 
Parindra, dan mengusungnya diatas pundak. 
Namun mereka belum beranjak pergi, dan 
masih memperhatikan jalannya 
pertarungan.
"Bawa anak itu ke lembah. Nanti aku 
menyusul...!" seru Ratu Lembah Mayat 
keras menggelegar. 
Rupanya, wanita berjubah hitam itu 
melihat perbuatan anak buahnya yang telah 
mengamankan Parindra. Tanpa menunggu 
perintah dua kali, empat gadis bercawat

yang membawa Parindra cepat berlari 
meninggalkan tempat itu dengan 
mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang 
sudah mencapai tjngkat tinggi. Sehingga, 
sebentar saja mereka sudah jauh 
meninggalkan tempat itu. Sementara dua 
orang gadis lainnya masih tetap tinggal di 
sana, bersiap-siap membantu pimpinannya 
jika mengalami desakan.
"Apa yang akan kau lakukan pada anak 
itu, Rara Durga...?" tanya Pengemis 
Tongkat Merah jadi gusar.
"Bukan urusanmu! Hiyaaat..!" bentak 
Ratu Lembah Mayat lantang menggelegar.
Wuk!
"Uts!"
Hampir saja ujung tongkat Ratu Lembah 
Mayat yang berbentuk kepala tengkorak itu 
menghantam kepala Pengemis Tongkat Merah. 
Untung saja pengemis itu segera merunduk, 
sehingga tongkat Ratu Lembah Mayat lewat 
sedikit saja di atas kepalanya. Angin 
sabetannya begitu terasa, mengandung 
udara panas yang begitu menyengat. 
Pengemis Tongkat Merah tampak terkejut 
begitu merasakan hawa panas yang 
menyengat di atas kepalanya.
"Hup!"
Cepat-cepat pengemis itu melompat ke 
belakang sejauh lima langkah. Sebentar


kemudian kedua tangannya melakukan 
beberapa gerakan cepat di depan dada, lalu 
memutar tongkatnya bagai baling-baling. 
Tatapan matanya begitu tajam, menyorot 
langsung ke bola mata Ratu Lembah Mayat
"Jurus 'Tongkat Beracunmu mengalami 
kemajuan pesat, Rara Durga," desah 
Pengemis Tongkat Merah memuji.
"Asal kau tahu saja. Jurus itu 
kupersiapkan untuk mengirimmu ke neraka, 
Pengemis Tongkat Merah. Kau terlalu usil, 
selalu saja mencampuri urusanku!" sambut 
Ratu Lembah Mayat, tidak kalah dingin.
Pengemis Tongkat Merah mendengus 
saja. Dia tahu, jurus 'Tongkat Beracun' 
yang telah dikuasai wanita berjubah hitam 
ini sangat dahsyat luar biasa. Lima tahun 
yang lalu, pengemis itu juga pernah 
bertarung melawan Ratu Lembah Mayat yang 
juga menggunakan jurus ini. Tapi, waktu 
itu dia masih bisa menahan. Dan tampaknya, 
Ratu Lembah Mayat sudah lebih 
menyempurnakan lagi. Terbukti, hawa panas 
yang dirasakan begitu menyengat dan udara 
di sekitamya juga menyesakkan. Kalau saja 
pengemis itu tadi tidak cepat menahan 
napas dan menyalurkan hawa murni ke 
seluruh tubuh, barangkali sekarang ini 
sudah tergeletak Bahkan juga meregang

nyawa, karena menghisap udara beracun 
dari jurus 'Tongkat Beracun'.
“Tahan jurus 'Tongkat Beracunku ini, 
Pengemis Tongkat Merah! Hiyaaat..!"
Sambil berteriak nyaring melengking 
tinggi, Ratu Lembah Mayat melompat cepat 
bagai kilat menyerang si Pengemis Tongkat 
Merah. Tongkat yang berkepala tengkorak 
itu berputaran cepat menimbulkan suara 
deru angin disertai hembusan hawa panas 
yang menyengat Akibatnya, udara di 
sekitamya jadi terasa sesak
"Hup! Yeaaah...!"
Bet!
Pengemis Tongkat Merah cepat-cepat 
mengebutkan tongkatnya, menangkis 
serangan tongkat Ratu Lembah Mayat yang 
begitu kuat dan cepat luar biasa. Tak 
pelak lagi, dua batang tongkat beradu 
keras di udara.
Trak!
Glarrr...!
Begitu kerasnya tongkat itu beradu, 
sehingga menimbulkan ledakan dahsyat 
menggelegar. Tampak Pengemis Tongkat 
Merah terpental ke belakang sejauh dua 
batang tombak Tubuhnya berputaran di 
udara beberapa kali, sebelum kakinya 
berhasil menjejak tanah. Sedangkan Ratu 
Lembah Mayat manis sekali langsung


mendarat di tanah. Sementara itu Pengemis 
Tongkat Merah jadi terbeliak melihat 
tongkat merah andalannya terpenggal jadi 
dua bagian.
"Heh...?!"
"Ha ha ha...!" Ratu Lembah Mayat 
tertawa terbahak-bahak melihat tongkat 
laki-laki tua itu patah jadi dua bagian.
"Gila...! Benar-benar pesat kemajuan 
yang dicapainya...," desah Pengemis 
Tongkat Merah. "Kalau Mustika Cakar Naga 
sampai dimilikinya, tentu tak ada lag! 
yang dapat menandinginya. Keinginan 
gilanya untuk menguasai seluruh rimba 
persilatan benar-benar akan 
dilaksanakan."
"Bersiaplah untuk mampus, Manusia 
Usil!" dengus Ratu Lembah Mayat
Setelah berkata demikian, Ratu 
Lembah Mayat kembali memutar tongkatnya 
dengan cepat di depan dada. Lalu mendadak 
saja tongkat itu dikebutkan ke depan. Pada 
saat itu, tiba-tiba saja berhembus angin 
topan yang sangat dahsyat. Begitu kuatnya 
hembusan angin ini, membuat si Pengemis 
Tongkat Merah sampai terdorong beberapa 
langkah ke belakang Dan sebelum sempat 
melakukan sesuatu, tahu-tahu Ratu Lembah 
Mayat sudah melesat cepat dengan ujung

tongkat berkepala tengkorak terhunus ke 
depan.
"Mampus kau, hiyaaat...!"
"Hap!"
Tak ada lag! kesempatan bagi Pengemis 
Tongkat Merah untuk menghadapi serangan 
yang begitu cepat dan beruntun ini Maka 
tubuhnya cepat melenting ke udara. Tapi 
hembusan angin topan yang begitu kuat, 
membuat keseimbangan tubuhnya jadi goyah. 
Dan ketika Ratu Lembah Mayat mengibaskan 
tongkat ke arah dada, Pengemis Tongkat 
Merah tak dapat lag! Berkelit menghindar. 
Begkh! 
"Akh,..!"
Tubuh Pengemis Tongkat Merah 
terpental jauh ke belakang begitu dadanya 
terhantam pukulan ujung tongkat berbentuk 
kepala tengkorak manusia itu. Keras 
sekali tubuhnya jatuh ke tanah, dan 
bergulingan beberapa kali. Namun cepat 
pengemis itu melompat bangkit berdiri, 
meskipun dua kali memuntahkan darah segar 
dari mulutnya.
Selagi masih merasakan nyeri dan 
sesak napas di dadanya, lagi-lagi Ratu 
Lembah Mayat sudah melancarkan serangan 
cepat. Begitu cepatnya, sehingga Pengemis 
Tongkat Merah benar-benar tidak dapat 
berbuat apa-apa lagi.


"Hiyaaa...!"
Der...!
"Aaakh...!"
Satu gedoran yang begitu keras, 
disertai pengerahan tenaga dalam tinggi, 
seketika mendarat telak di dada laki-laki 
tua itu. Akibatnya tubuh pengemis itu 
terpental ke belakang seperti sehelai 
daun kering tertiup angin Dua batang pohon 
yang cukup besar, seketika hancur 
berkeping-keping terianda tubuhnya.
Dan begitu menggelimpang di tanah, 
Ratu Lembah Mayat sudah melesat 
memburunya. Ujung tongkat yang runcing 
itu segera dihunjamkan ke dada Pengemis 
Tongkat Merah. Tapi begitu ujung tongkat 
yang runcing itu hampir memanggang dada si 
Pengemis Tongkat Merah, mendadak saja 
berkelebat sebuah bayangan kuning 
menyambar tubuh laki-laki tua itu. Begitu 
cepatnya berkelebat, sehingga Ratu Lembah 
Mayat sendiri pun tidak sempat menyadari. 
Maka, ujung tongkatnya temyata hanya 
menghunjam tanah kosong.
"Hei,..?!" Ratu Lembah Mayat 
tersentak kaget
Wajahnya jadi terlongong begitu 
melihat lawannya yang sudah tak berdaya 
lagi, tahu-tahu lenyap tanpa diketahui 
rimbanya. Tongkatnya yang terbenam di

tanah hampir separuh itu segera 
dicabutnya. Sambil mendengus berang,
tubuhnya diputar. Seketika pandangannya 
beredar ke sekeliling. Tapi, si Pengemis 
Tongkat Merah sudah lenyap bagai tertelan 
bumi saja.
"Setan belang...! Keparat..!" geram 
Ratu Lembah Mayat mengumpat marah.
Mata Ratu Lembah Mayat kini menatap 
dua orang gadis yang juga terbengong 
begitu menyadari si Pengemis Tongkat 
Merah lenyap begitu saja. Kemudian 
perempuan itu melangkah dengan kaki 
terhentak kesal mendekati dua orang gadis 
pengikutnya.
"Kalian lihat, ke mana si keparat itu 
pergi?" tanya Ratu Lembah Mayat masih 
dengan nada suara mendesis geram.
Kedua gadis itu hanya menggelengkan 
kepala saja.
"Edan...! Bagaimana mungkin dia bisa 
lenyap begitu saja...?"
Ratu Lembah Mayat kembali 
mengedarkan pandangan ke sekeliling, 
kemudian kembali menatap dua gadis 
bercawat di depannya. Tanpa berkata 
apa-apa lagi, dia berbalik dan 
mengayunkan kaki sambil mengayun ayunkan 
tongkatnya. Beberapa kali tongkatnya

dihentakkan ke tanah sambil mendengus 
berat.
"Ayo, kita kembali ke lembah," ajak 
Ratu Lembah Mayat.
Kedua gadis itu bergegas mengjkuti 
dari belakang. Tak ada seorang pun yang 
berani membuka suara. Mereka tahu, hari 
perempuan berjubah hitam ini sedang 
kesal. Karena, lawan yang sudah tidak 
berdaya bisa lenyap begitu saja tanpa 
diketahui sebabnya.
***
ENAM


Malam sudah menyelimuti seluruh 
permukaan bumi. Kegelapan begitu nyata, 
tanpa adanya sinar bulan sedikit pun 
membias di angkasa. Bahkan bintang pun tak 
nampak langit begitu kelam, terbungkus 
awan tebal menghitam. Angin malam 
berhembus agak kencang, menyebarkan udara 
dingin yang menggigilkan, sampai merasuk 
ke dalam tulang.
Di dalam sebuah relung gua, terlihat 
seorang laki-laki tua mengenakan baju

compang-camping tergolek dengan napas 
lemah. Seonggok api unggun, membuat 
keadaan di dalam gua itu terasa hangat. 
Tidak jauh dari laki-laki tua itu, tampak 
seorang pemuda berbaju kulit harimau 
tengah duduk bersila memandangi wajahnya. 
Entah sudah berapa lama, laki-laki tua 
yang temyata adalah si Pengemis Tongkat 
Merah itu terbaring dengan mata tertutup.
Tepat ketika terdengar lolongan 
anjing hutan, kelopak mata laki-laki tua 
itu terbuka. Bergegas tubuhnya bangkit 
duduk, dan terkejut begitu melihat di 
dekatnya duduk seorang pemuda tampan 
mengenakan baju dari kulit harimau. Di 
pangkuan pemuda itu mebngkar seekor 
monyet kecil berbulu hitam. Pemuda itu 
tersenyum, lalu kepalanya terangguk 
sedikit
"Kaukah yang menyelamatkanku dari 
Ratu Lembah Mayat...?" tanya Pengemis 
Tongkat Merah.
"Hanya kebetulan saja, Ki," sahut 
pemuda itu me-rendah.
"Hm.... Rasanya kita pernah 
bertemu," gumam Pengemis Tongkat Merah 
seraya memandangi pemuda di depannya.
"Di kedai, tapi tidak sempat bertegur 
sapa."

"Benar...! Waktu itu kau bersama 
Parindra, putra sulung Pendekar Cakar 
Naga."
Pemuda berbaju kulit harimau yang tak 
lain Pendekar Pulau Neraka hanya 
tersenyum saja. Tapi senyumnya terasa 
begitu kecut, dan seperti dipaksakan. 
Sedangkan Pengemis Tongkat Merah hanya 
tertunduk, seakan-akan berduka ketika 
teringat kalau Parindra sekarang berada 
di dalam cengkeraman si Ratu Lembah Mayat. 
Dia menyesal, karena gagal menyelamatkan 
nyawa anak muda itu.
Untuk beberapa saat lamanya mereka 
berdiam diri, sibuk dengan fikiran 
masing-masing. Hampir bersamaan, mereka 
menghembuskan napas panjang yang begitu 
berat Kemudian mereka saling melemparkan 
pandang, seperti telah mengetahui isi 
hari masing-masing.
"Maaf. Aku tidak bisa menyelamatkan 
Parindra dari tangan mereka. Aku tahu, kau 
sudah bersusah payah membawanya sampai ke 
sini," ucap Pengemis Tongkat Merah lirih.
“Tidak perlu menyesali diri, Ki. 
Mudah-mudahan saja tidak terjadi sesuatu 
pada diri Parindra," sahut Bayu. 
"Aku tahu, ke mana mereka membawa Pa-
rindra. Hanya saja, masalahnya kini...," 
Bayu tidak meneruskan kata-katanya.

"Aku tahu, Anak Muda...."
"Bayu. Panggil saja aku Bayu, Ki," 
potong Bayu meminta.
"Memang sulit masuk ke Lembah Mayat 
Terlalu banyak jebakan yang tidak bisa 
diduga, tersebar di sana. Dan letak Istana 
Ratu Lembah Mayat sangat sulit didekati," 
sambung Pengemis Tongkat Merah yang 
sempat terputus pembicaraannya tadi. 
"Lagi pula kalau berhasil menyelamatkan 
anak itu, apa mungkin dia bisa diterima 
kembali di Desa Batang...? Semua orang di 
desa itu sangat membencinya."
"Semua itu hanya kesalahpahaman 
belaka, Ki. Aku rasa mereka sudah 
menyadari kesalahannya, dan kini 
menyesali perbuatannya yang ceroboh. 
Tanpa berpikir panjang dulu," kata Bayu.
"Bagaimana kau bisa mengatakan semua 
itu hanya salah faham saja, Bayu?" 
Pengemis Tongkat Merah jadi tidak 
mengerti.
"Aku tahu dari salah seorang sesepuh 
desa itu," sahut Bayu.
"Kau percaya pada kata-katanya, 
Bayu?"
"Entahlah.... Masih harus dibuktikan 
dulu, kalau tindakan mereka pada keluarga 
Pendekar Cakar Naga hanya didasari 
kesalahpahaman dan kecerobohan. Bahkan

sampai menimbulkan korban nyawa," sahut 
Bayu dengan suara agak mendesah.
"Apa pun namanya, mereka harus 
bertanggung Jawab atas kematian istri 
Pendekar Cakar Naga. dan anaknya yang tak 
berdosa," desis Pengemis Tongkat Merah. 
Terutama Eyang Bagasrana,yang memimpin 
pembantaian itu. Dialah yang harus 
bertanggung jawab penuh!"
"Mereka memang harus bertanggung 
jawab, Ki. Tapi kurasa masih bisa 
diselesaikan dengan cara musyawarah dan 
kekeluargaan. Sehingga, tidak akan 
terjadi perselisihan lebih lanjut yang 
bisa menimbulkan banyak korban."
"Kau benar, Bayu. Tapi yang penting 
sekarang, secepatnya Parindra harus 
diselamatkan," selak Pengemis Tongkat 
Merah.
"Benar Ki, Besok pagi-pagi sekali, 
kita berangkat ke Lembah Mayat. Hm.... 
Apakah kau kuat menempuh perjalanan berat 
Ki?"
"Aku tidak tahu, apa yang kau 
lakukan. Keadaan tubuhku benar-benar 
pulih seperti sedia kala. Terima kasih, 
Anak Muda," ucap Pengemis Tongkat Merah.
"Sudahlah, Ki. Aku hanya memberi hawa 
murni. Untung saja, kau mampu membendung 
hawa racun di tenggorokan, sehingga tidak

sempat menjalar sampai ke Jantung," 
lagi-lagi Bayu merendah.
"Bagaimanapun juga, aku patut 
mengucapkan terima kasih padamu, Bayu. 
Dan ini merupakan hutang yang tak mungkin 
terbayar."
"Sebaiknya, kita istirahat saja 
malam ini, Ki. Kita harus menempuh 
perjalanan berat besok pagi."
"Mudah-mudahan saja tidak terjadi 
sesuatu pada Parindra," desah Pengemis 
Tongkat Merah.
"Kau yakin, Ki...?" tanya Bayu seraya 
mengerutkan keningnya.
"Ya. Karena Parindra itu 
keponakannya."
"Maksudmu, Ki...?" Bayu tidak 
mengerti.
"Ratu Lembah Mayat adalah adik 
ibunya."
"Oh...," Bayu mendesah tidak 
menyangka. “Tapi, kenapa dia ingin 
membunuh Parindra?"
"Sudah lama dia menginginkan batu 
mustika yang ada Pedang Cakar Naga. Tapi 
dia tidak bisa memilikinya selama 
Pendekar Cakar Naga masih hidup. Dan 
sekarang kesempatan itu datang padanya," 
Pengemis Tongkat Merah menjelaskan.


"Lalu di mana sebenamya pedang itu?" 
tanya Bayu.
"Itulah persoalannya. Pedang itu 
menghilang setelah Pendekar Cakar Naga 
tewas dalam pertarungan," sahut Pengemis 
Tongkat Merah.
Bayu mengangguk-anggukkan 
kepalanya. Pemuda berbaju kulit harimau 
itu lalu memindahkan monyet kecil dari 
pangkuannya ke atas rerumputan kering 
Kemudian merebahkannya di samping 
tubuhnya.
Sementara Pengemis Tongkat Merah 
masih tetap duduk bersila. Kedua 
tangannya diletakkan di atas lututnya 
yang tertekuk Sebentar kemudian, kelopak 
matanya kembali terpejam. Rupanya dia 
bersemadi untuk menyempumakan kesehatan 
tubuhnya agar bisa seperti semula 
kembali, ketika belum mengalami cedera 
akibat pertarungannya dengan Ratu Lembah 
Mayat.
***
Hangatnya sinar matahari membuat 
Pendekar Pulau Neraka menggeliat. 
Sebentar matanya dikerjapkan, lalu 
menggerinjang bangun. Bibimya 
menyunggingkan senyuman begitu melihat

monyet kecil berbulu hitam mencerecet 
sambil berjingkrakan, bercanda dengan 
Pengemis Tongkat Merah.
"Kau sudah bangun, Bayu...?"
Bayu hanya tersenyum saja, lalu 
berdiri dan berjalan mendekati kolam batu 
yang berair jernih. Kemudian muka dan 
tangan dibasuhnya. Sementara Pengemis 
Tongkat Merah sudah berdiri. Tiren, 
monyet kecil berbulu hitam sudah berada di 
pundak kanan laki-laki tua berbaju kumal 
penuh tambalan itu. Begitu Bayu mendekat, 
Tiren cepat berpindah ke pundak Pendekar 
Pulau Neraka.
"Bagaimana tidurmu, Ki?" tanya Bayu.
"Lumayan," sahut Pengemis Tongkat 
Merah.
Padahal, semalaman dia tidak tidur 
untuk bersemadi sampai matahari muncul di 
ufuk Timur. Sedangkan Bayu tidur nyenyak 
sekali. Mereka kemudian merangkak keluar 
dari dalam gua. Ruangan di dalam gua ini 
memang luas sekali. Tapi untuk masuk ke 
dalam gua ini harus merangkak, karena 
lorong mulut gua ini begitu kecil.
"Hhh...! Segar sekali udara pagi 
ini...," desah Bayu begitu sampai di luar 
gua.
Sementara Pengemis Tongkat Merah 
baru saja keluar dari mulut gua yang

sempit Kakinya melangkah menghampiri 
Pendekar Pulau Neraka yang tengah 
menikmati udara segar. Sebentar Pengemis 
Tongkat Merah berhenti di samping pemuda 
berbaju kulit harimau ini, kemudian 
melangkah beberapa tindak ke depan. 
Tubuhnya membungkuk, memungut sebatang 
tongkat kayu berwama merah. Diamatinya 
tongkat yang bagian tengahnya terpotong.
"Ini potongannya, Ki” kata Bayu 
yang tahu-tahu sudah berdiri di samping 
Pengemis Tongkat Merah.
Laki-laki tua berbaju kumal penuh 
tambalan itu berpaling sedikit, lalu 
menerima potongan tongkat merah 
kebanggaannya dari tangan Pendekar Pulau 
Neraka. Diamatinya dua potongan tongkat 
merah itu, kemudian disambungnya tepat 
pada tempat yang patah. Dan kini, 
digenggamnya bagian yang tersambung itu 
dengan tangan kanannya. Periahan-lahan 
tongkat itu diangkat sampai melewati di 
atas kepalanya.
Bayu hanya memperhatikan saja. 
Kening Pendekar Pulau Neraka jadi 
berkerut melihat asap kehitaman mengepul 
dari sela-sela jari tangan yang 
menggenggam tongkat itu. Tampak bibir 
Pengemis Tongkat Merah bergerak-gerak

bergetar, memperdengarkan dengungan 
seperti lebah.
"Hap! Yeaaah...!"
Begitu asap hitam yang mengepul dari 
genggaman tangan kanannya menipis, 
Pengemis Tongkat Merah melemparkan 
tongkat itu ke udara. Tongkat itu melayang 
tinggi ke angkasa, lalu berputaran cepat 
sekali. Sehingga, yang teriihat hanya 
lingkaran merah dari tongkat yang 
berputaran cepat di angkasa.
"Hup...!"
Bagaikan seekor burung elang, 
Pengemis Tongkat Merah melesat cepat ke 
angkasa. Seketika tangannya menangkap 
tongkat merah, lalu meluruk turun dengan 
gerakan indah sekali. Tanpa bersuara 
sedikit pun, laki-laki tua berbaju kumal 
penuh tambalan ini men-darat kembali 
tidak jauh dari Pendekar Pulau Neraka. 
Bibimya tersenyum memperhatikan 
tongkatnya yang sudah kembali tersambung 
utuh sediakala.
"Hebat..," desis Bayu tanpa sadar.
“Tongkat ini merupakan nyawa kedua 
baglku," jelas Pengemis Tongkat Merah 
seraya menimang-nimang tongkat merahnya.
Dan memang, dengan tongkat merah itu 
julukannya menjadi Pengemis Tongkat 
Merah. Sebatang tongkat yang sepertinya

tidak memiliki arti sama sekali, tapi bisa 
menjadi sebuah senjata sangat ampuh. Baru 
saja dia memperiihatkan satu kesaktian 
yang membuat Pendekar Pulau Neraka 
terkagum-kagum.
Betapa tidak..? Tongkat yang sudah 
patah menjadi dua bagian bisa tersambung 
lagi! Bahkan tanpa memperiihatkan 
sambungannya sedikit pun juga. Tongkat 
itu seperti tidak pernah patah 
sebelumnya.
Benar-benar sebuah benda sederhana, 
tapi sangat berarti bagi pemiliknya. 
Karena, tanpa tongkat itu Pengemis 
Tongkat Merah tidak ada artinya sama 
sekali. Bahkan jurus-jurusnya berubah tak 
berarti. Namun Pengemis Tongkat Merah 
memang tidak pernah memperdalam 
jurus-jurus tangan kosong. Dan ini 
merupakan satu kelemahannya yang sulit 
ditutupi.
"Kita berangkat sekarang?" ajak 
Pengemis Tongkat Merah.
"Ayo...."
Tanpa banyak bicara lagi, mereka 
melangkah meninggalkan tempat itu menuju 
Lembah Mayat. Pengemis Tongkat Merah 
memang sudah pernah ke Lembah Mayat Dan 
dari sini, memerlukan waktu sedikitnya 
satu hari berjalan kaki. Tapi jika

mempergunakan ilmu lari cepat yang 
diimbangi pengerahan ilmu meringankan 
tubuh, bisa ditempuh tidak sampai 
setengah hari.
Tapi belum juga mereka jauh 
meninggalkan mulut gua batu itu, 
tiba-tiba terdengar langkah kaki kuda 
dari arah depan. Seperti ada yang memberi
aba-aba, Bayu dan Pengemis Tongkat Merah 
langsung menghentikan ayunan kakinya. 
Sebentar mereka saling melemparkan 
pandang, kemudian sama-sama melompat ke 
atas. Hampir bersamaan, mereka mendarat 
di atas dahan pohon yang sama.
"Hm.... Siapa mereka...?" gumam Bayu 
perlahan, seperti bertanya pada dirinya 
sendiri, begitu samar-samar melihat ada 
sekitar lima orang menunggang kuda menuju 
ke arah ini.
"Aku tahu, siapa mereka," sahut 
Pengemis Tongkat Merah juga pelan 
suaranya, dan hampir tidak terdengar 
telinga Bayu yang berada di sampingnya.
Pendekar Pulau Neraka berpaling 
sedikit menatap Pengemis Tongkat Merah. 
Pada saat itu, kelima orang penunggang 
kuda sudah demikian dekat. Dan sebentar 
lagi pasti akan lewat di bawah pohon ini. 
Bayu kembali memperhatikan lima orang 
laki-laki penunggang kuda yang kini baru

teriihat jelas. Dan seketika, jantungnya 
seperti berhenti berdetak begitu 
mengenali empat orang dari kelima 
penunggang kuda itu.
"Hup...!"
***
Bayu tersentak kaget ketika 
tiba-tiba saja Pengemis Tongkat Merah 
meluruk turun dari pohon ini. Tak ada 
kesempatan lagi bagi Pendekar Pulau 
Neraka untuk mencegah. Pengemis Tongkat 
Merah sudah mendarat menghadang lima 
orang penunggang kuda itu. Kemunculan 
Pengemis Tongkat Merah yang begitu 
tiba-tiba, tentu saja mengejutkan kelima 
penunggang kuda itu. Kuda-kuda mereka 
seketika meringkik keras, seraya 
mengangkat kedua kaki depannya 
tinggi-tinggl
"Pengemis edan...! Minggir kau!" 
bentak salah seorang penunggang kuda yang 
berusia sekitar lima puluh tahun
Sementara Bayu yang berada di atas 
pohon hanya memperhatikan saja. Dia 
mengenali empat orang dari kelima 
penunggang kuda yang sudah turun dari kuda 
masing-masing. Salah seorang dari mereka 
adalah Ladra. Dia memang pernah bercerita

banyak dengan Pendekar Pulau Neraka. 
Sementara tiga anak muda teman Ladra 
memang sempat bertarung dengannya. 
Tepatnya ketika dia masih bersama
Parindra di pinggiran sebuah desa. 
Sedangkan yang seorang lagi, sama sekali 
Bayu belum pernah melihat
Tentu saja, Bayu tidak mengenal 
Karpak yang menyandang senjata sebilah 
golok berukuran besar. Karena, dia baru 
sekali datang ke Desa Batang. Dan itu juga 
harus menghadapi keroyokan penduduk Desa 
Batang. Dari Ladra, Pendekar Pulau Neraka 
tahu sebab-sebab penduduk Desa Batang 
menyerangnya.
"Mau apa kau menghadang kami, 
Pengemis Tongkat Merah?" tanya Ladra 
dengan suara dibuat sopan, tidak seperti 
Karpak yang tahu-tahu sudah membentak 
kasar tadi.
Sedangkan Pengemis Tongkat Merah 
hanya tersenyum saja mendapat pertanyaan 
Ladra yang nada-nya dibuat sopan. Kakinya 
melangkah beberapa tindak ke depan, dan 
berhenti sekitar dua batang tombak lagi di 
depan lima orang ini.
"Aku tahu, ke mana kalian akan pergi. 
Sebaiknya, kalian kembali saja," tegas 
Pengemis Tongkat Merah.

"Phuah! Apa urusanmu melarang kami, 
heh...?!" sentak Karpak tidak senang.
"Ratu Lembah Mayat bukan lawan 
tanding kalian Menghadapi anak buahnya 
saja, kalian tidak akan mampu. Sebaiknya, 
kembali saja daripada mengantarkan nyawa 
sia-sia," tetap tenang dan tegas suara 
Pengemis Tongkat Merah.
"Jangan pedulikan omongannya! Ayo, 
kita pergi..!" ajak Karpak
Setelah berkata demikian, Karpak 
langsung melompat naik ke punggung 
kudanya. Tiga orang anak muda yang pernah 
bertarung melawan Pendekar Pulau Neraka 
juga segera berlompatan naik ke punggung 
kuda masing-masing. Kini tinggal Ladra 
yang masih berdiri di depan Pengemis 
Tongkat Merah. 
"Ayo, Ladra...!" seru Karpak. Ladra 
diam saja. Hatinya seperti bimbang 
setelah mendengar peringatan Pengemis 
Tongkat Merah. Dia tahu, siapa laki-laki 
berpakaian kumal penuh tambalan ini 
Memang Pengemis Tongkat Merah tidak asing 
lagi di Desa Batang. Dia adalah sahabat 
kental Pendekar Cakar Naga, sekaligus 
sahabat Eyang Bagasrana, Ketua Padepokan 
Kalong Hitam yang bermarkas di Desa 
Batang. Tingkat kapandaian Pengemis 
Tongkat Merah tidak bisa diragukan lagi

Bahkan bisa disejajarkan dengan Pendekar 
Cakar Naga.
"Ladra, kau mau ikut apa tidak..?" 
Karpak sudah tidak sabar lagi.
Perlahan Ladra berpaling menatap 
Karpak yang sudah berada di punggung 
kudanya, kemudian beralih pada Pengemis 
Tongkat Merah. Jelas sekali kalau hatinya 
bimbang Tapi, akhimya dia melangkah 
mendekati Pengemis Tongkat Merah dan 
berdiri di samping laki laid tua 
berpakaian kumal penuh tambalan itu.
"Kau saja yang pergi, Karpak," ujar 
Ladra tegas, setelah mengambil keputusan.
"Heh...?! Apa katamu...?" Karpak 
jadi terperanjat. 
"Kurasa memang tidak ada gunanya kita 
ke sana. Ratu Lembah Mayat bukan tandingan 
kita, Karpak," ujar Ladra lagj.
"Pengecut...?" desis Karpak 
menggeram. 
“Terserah apa katamu, Karpak. 
Rasanya, aku sudah memilih yang benar." 
"Huh!"
Karpak menatap tajam Ladra dan 
Pengemis Tongkat Merah bergantian, 
kemudian menggebah cepat kudanya. Tiga 
anak muda yang berada di belakang Karpak, 
juga segera menggebah kudanya mengikuti 
laki-laki setengah baya bersenjata golok

berukuran besar itu. Mereka melewati 
Pengemis Tongkat Merah dan Ladra yang 
hanya bisa memandangi, menyesali tindakan 
Karpak yang nekat hendak ke Lembah Mayat
"Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu 
pada mereka," desah Pengemis Tongkat 
Merah perlahan.
Sedangkan Ladra hanya memandangi 
kepergian Karpak dan tiga orang anak muda 
itu. Mereka semakin jauh, dan lenyap 
begitu masuk ke dalam hutan yang cukup 
lebat Ladra dan Pengemis Tongkat Merah 
masih tetap berdiri diam, meskipun empat 
orang dan Desa Batang itu sudah tidak 
terlihat lagi.
"Mau apa mereka ke sana, Ladra?" 
tanya Pengemis Tongkat Merah.
"Membebaskan Parindra," jelas Ladra.
"Membebaskan Parindra...?" Pengemis 
Tongkat Merah terkejut mendengar jawaban 
Ladra yang perlahan, tapi cukup jelas 
terdengar.
Laki-laki tua berbaju kumal penuh 
tambalan itu memandangi Ladra 
tajam-tajam. Hatinya benar-benar 
terkejut Karena setahunya, tak ada 
seorang pun yang tahu kalau sekarang ini 
Parindra berada di tangan Ratu Lembah 
Mayat Hanya dia dan Pendekar Pulau Neraka

saja yang tahu. Dan peristiwa itu juga 
baru terjadi kemarin.
"Dan mana kau tahu kalau Parindra ada 
di sana?" tanya Pengemis Tongkat Merah 
bernada rnenyelidik. 
"Karpak yang memberi tahu," sahut 
Ladra. 
"Heh...?!" lagi-lagi Pengemis 
Tongkat Merah tersentak kaget.
"Ada apa, Pengemis Tongkat 
Merah...?" tanya Ladra, tidak mengerti.
Pengemis Tongkat Merah tidak 
menjawab, dan segera berteriak memanggil 
Bayu sambil mendongakkan kepala ke atas. 
Tap lagi-lagi hatinya tersentak kaget 
Temyata di atas pohon tidak terlihat lag! 
Pendekar Pulau Neraka.
"Ke mana dia...?" desah Pengemis 
Tongkat Merah menggumam pelan.
"Bayu...? Apakah dia Pendekar Pulau 
Neraka...?" tanya Ladra.
"Benar. Tadi dia ada di atas pohon 
itu."
"Jangan-jangan..."
"Ayo kita susul mereka!"
Tanpa menunggu waktu lagi, Pengemis 
Tongkat Merah melesat cepat meninggalkan 
tempat itu. Ladra Juga segera melesat 
mempergunakan ilmu meringankan tubuh, 
tidak lagi mempedulikan kudanya yang

asyik merumput di bawah pohon. Begitu 
tingginya ilmu meringankan tubuh yang 
dimiliki dua orang itu, sehingga sebentar 
saja sudah lenyap tak teriihat lagi. 
Mereka telah tertelan oleh lebatnya 
pepohonan yang menyemaki seluruh 
permukaan bukit kecil ini.
***
TUJUH


Sementara itu, Karpak, Sutrana, 
Badur, dan Rakasa sudah sampai di tepi 
Lembah Mayat Nama yang dimiliki lembah 
kecil ini memang bisa membuat bulu kuduk 
merinding. Tapi, sebenamya lembah ini 
indah sekali. Tak ada tanda-tanda 
keangkeran di sekitamya, seperti yang 
banyak dikatakan orang. Sepanjang mata 
memandang, hanya keindahan saja yang 
tampak Namun tak akan ada yang menyangka 
kalau lembah ini mengandung sejuta bahaya 
mengancam.
"Sepertinya mudah untuk masuk ke 
sana...," gumam Sutrana.

Mereka semua memandang sebuah 
bangunan yang terbuat dari batu. Bangunan 
itu menyerupai sebuah candi di 
tengah-tengah lembah indah ini. Bentuknya 
sangat indah, dan tidak mencerminkan 
keangkeran sedikit pun. Apa yang selama 
ini didengar tentang Istana Lembah Mayat 
ternyata jauh berbeda dengan 
kebenarannya. Tak ada kesan menyeramkan. 
Yang ada, justru keindahan yang sukar 
dilukiskan.
"Ayo, kita ke sana," ajak Karpak
Mereka segera menggebah kuda 
menuruni lembah ini. Jalan yang dilalui 
cukup landai, dan mudah dilewati kuda. 
Tapi belum juga jauh bergerak, tiba-tiba 
saja tanah di tempat mereka terbongkar. 
Seketika dari dalam tanah itu, 
berhamburan puluhan batang tombak bermata 
hitam.
"Awas...!" seru Sutrana yang 
mengetahui lebih dulu.
"Hiyaaa...!" 
"Yeaaah...!"
Sutrana, Badur, dan Rakasa 
berlompatan dari punggung kuda. Mereka 
berputaran di udara menghindari 
tombak-tombak yang berhamburan di sekitar 
tubuh. Sedangkan Karpak malah memacu 
cepat kudanya ke depan. Aneh...!

Tombak-tombak itu malah melewati atas 
kepala Karpak. Dan begitu lewat dari tanah 
yang terbongkar, Karpak cepat 
menghentikan lari kudanya. Wajahnya 
berpaling menatap tiga laki-laki yang 
sibuk menghindari serbuan tombak-tombak 
yang bermunculan dari dalam tanah, dan 
seperti tidak ada habisnya.
"Hiyaaa...!"
Cepat sekali Karpak menggebah 
kudanya, tanpa mempedulikan tiga 
laki-laki yang sibuk menyelamatkan diri
dari hujan tombak bermata hitam ini. Dia 
terus menggebah kudanya mendekati 
bangunan berbentuk candi yang berada di 
tengah-tengah lembah. Dan begitu Karpak 
lenyap di dalam bangunan dari batu itu, 
seketika tanah yang menganga terbongkar 
langsung bergerak menutup. Maka hujan 
tombak pun seketika berhenti.
"Heh...?! Di mana Paman Karpak...?" 
tanya Sutrana.
Badur dan Rakasa tidak menjawab. 
Mereka tadi memang terlalu sibuk 
menyelamatkan din dari serbuan 
tombak-tombak yang datang seperti hujan. 
Sejenak mereka saling melempar pandang. 
Tak tahu, ke mana Karpak pergi. Keindahan 
lembah ini seketika lenyap dari pandangan 
mereka. Temyata di balik keindahan lembah

ini tersembunyi sejuta bahaya yang siap 
mengancam.
"Bagaimana sekarang...?" tanya 
Rakasa seperti bertanya pada diri 
sendiri.
"Bagaimana lagi...?" Badur malah 
balik bertanya. Dan selagi kebingungan, 
tiba-tiba saja tanah-tanah di sekitar 
mereka berhamburan terbongkar. 
Akibatnya, ketiga laki-laki ini 
terperanjat Begitu terkejutnya, sehingga 
sampai berlompatan merapat beradu 
pungung. Dari tanah yang terbongkar tadi, 
bermunculan gadis-gadis cantik yang hanya 
mengenakan cawat dan penutup dada. Mereka 
semua memegang senjata tombak panjang 
bermata hitam pekat Ada sepuluh gadis 
cantik dengan tombak terhunus ke depan, 
telah berdiri mengepung ketiga laki-laki
ini. 
"Hiyaaa...!" 
" Yeaaah...!"
Tanpa berkata apa-apa lagi, sepuluh 
gadis cantik bercawat itu langsung 
berlompatan menyerang ketiga laki-laki 
dari Desa Batang itu. Serangan mereka 
begitu serempak, dengan mata tombak 
tertuju langsung ke tubuh ketiga 
laki-laki ini.

"Keluarkan pedang..!" teriak Sutrana 
memberi perintah.
Sret!
"Hiyaaat..!"
Secara bersamaan, Badur dan Rakasa 
mencabut pedang mengikuti perintah 
Sutrana. Pedang mereka langsung dikebut, 
menyampok tombak-tombak yang meluncur 
deras mengancam nyawa. Denting senjata 
beradu seketika terdengar meningkahi 
teriakan-teriak-an keras yang saling 
susul.
Pertarungan memang tak dapat 
dihindari lagi. Sepuluh orang gadis 
bercawat itu menyerang cepat secara 
berganhan dari segala arah. Dan terkadang 
mereka bertukar tempat membuat Sutrana, 
Badur, dan Rakasa jadi kelabakan 
menghadapi mereka.
"Berpencar...!" seru Sutrana 
lantang.
Badur dan Rakasa langsung 
beriompatan ke arah kanan dan kiri. Mereka 
berpencar, membuat sepuluh orang gadis 
bercawat ini jadi kebingungan. Dan di saat 
mereka belum bisa menentukan apa-apa, 
ketiga laki-laki dari Desa Batang itu 
sudah menyerang cepat Pedang mereka 
berkelebat membabat ke arah dada dan 
leher. Begitu cepatnya serangan yang

dilakukan, sehingga membuat gadis-gadis 
bercawat ini jadi kelabakan. Tak ada lagi 
kesempatan bagi mereka untuk berkelit.
"Aaa...!"
Jerit dan pekikan melengking tinggi 
seketika terdengar saling susul. 
***
"Ada sesuatu yang harus kusampaikan 
segera, Gusti Ratu. Dan ini penting 
sekali," sahut Karpak. Sikapnya tampak 
hormat sekali.
"Apa itu...? Katakan cepat 
Karpak...?"
“Tentang Batu Mustika Cakar Naga."
"Hm...," Ratu Lembah Mayat 
mengerutkan keningnya mendengar mustika 
yang dicari-carinya disebut laki-laki 
separuh baya ini.
"Sebenamya mustika itu masih ada di 
Desa Batang, Gusti Ratu. Dan, Eyang 
Bagasrana sendirilah yang menyimpannya," 
sambung Karpak memberi tahu.
"Keparat..!" geram Ratu Lembah Mayat 
mendesis. "Mengapa kau tidak 
mengatakannya dari dulu, Karpak?"
"Aku baru mengetahui pagi ini, Gusti 
Ratu. Aku tadi melihat Eyang Bagasrana 
mengeluarkan mustika itu dari tempat

penyimpanannya. Mustika itu disimpan di 
dalam kotak kecil, dan ditaruh di belakang 
lukisan di dalam kamamya," jelas Karpak 
lagi.
“Tua bangka keparat..! Rupanya dia 
sendiri juga hendak memilikinya," desis 
Ratu Lembah Mayat menggeram.
"Gusti Ratu! Izinkan aku mengambil 
pusaka itu, dan membunuh orang tua tidak 
tahu diri itu," selak Andari yang berada 
di samping kanan Ratu Lembah Mayat
"Lakukanlah, Andari. Kau sudah mampu 
menandingi orang tua keparat itu," Ratu 
Lembah Mayat langsung menyetujui.
"Aku segera berangkat, Gusti Ratu."
Andari mengajak empat gadis lain yang 
ada di ruangan ini. Mereka menjura memberi 
hormat pada iwanita berjubah hitam itu, 
kemudian bergegas meninggalkan ruangan. 
Sebentar kemudian mereka sudah tidak 
terlihat lagi, tenggelam di balik pintu 
yang segera tertutup. Namuntak berapa 
lama, Andari sudah masuk kembali dengan 
langkah tergopoh-gopoh, dan segera 
menjatuhkan din" berlutut
"Ada apa, Andari...?" tanya Ratu 
Lembah Mayat
"Ampun, Gusti Ratu. Ada tiga tikus 
menyelusup ke sini," lapor Andari.

Ratu Lembah Mayat menatap tajam 
Karpak yang masih duduk bersimpuh dengan 
kepala tertunduk. Karpak buru-buru 
memberi sembah. Dia tahu, ketiga tikus 
yang dimaksud adalah Sutrana, Badur, dan 
Rakasa.
"Ampun, Gusti Prabu. Hamba memang 
membawa mereka, tapi hamba tinggalkan di 
tempat jebakan. Hamba tidak mengira kalau 
mereka bisa selamat sampai sini," sanggah 
Karpak buru-buru.
"Bereskan mereka, Andari," perintah 
Ratu Lembah Mayat
"Baik, Gusti Ratu," sahut Andari, 
seraya memberi hormat
Gadis bercawat itu segera bangkit 
berdiri dan melangkah keluar dengan 
ayunan kaki cepat dan lebar. Ratu Lembah 
Mayat melangkah dua tindak kedepan, 
menghampiri Karpak yang masih duduk 
bersila dilantai.
"Bangun kau, Karpak," desis Ratu 
Lembah Mayat dingin.
"Ampunkan hamba, Gusti Ratu," ucap 
Karpak seraya bangkit berdiri.
Tapi begitu berdiri, tiba-tiba saja 
Ratu Lembah Mayat melayangkan satu 
pukulan keras dengan tangan kiri. Pukulan 
yang begitu cepat dan keras tadi tidak 
diduga sama sekali. Akibatnya, Karpak

terpekik dan terpental deras ke belakang. 
Keras sekali punggungnya menghantam 
dinding batu hingga seluruh ruangan ini 
bergetar.
Karpak melorot turun dengan bibir 
meringis. Darah segar mengucur dari sudut 
bibirnya. Dadanya seketika jadi terasa 
sesak, terkena pukulan bertenaga dalam 
tinggi. Sambil mengatur jalan napasnya 
yang tersengal, laki-laki separuh baya 
itu mencoba bangkit berdiri.
"Sudah kukatakan, tidak perlu 
membawa orang kalau ke sini! Kau memang 
tidak bisa dipercaya, Karpak! Selalu saja 
menimbulkan kesulitan...!" desis Ratu 
Lembah Mayat dingin dan menggetarkan nada 
suaranya.
"Ampun, Gusti Ratu. Hamba..., 
hamba...."
“Tak ada lagi ampun bagimu, Tikus 
Keparat!"
"Apa yang akan kau...?" Karpak 
terbeliak melihat Ratu Lembah Mayat 
semakin dekat, dengan ujung tongkat 
terarah lurus ke dada.
"Kau tidak ada gunanya lagi, Karpak," 
desis Ratu Lembah Mayat semakin dingin.
“Tap... tapi..., aku sudah berbuat 
banyak padamu. Aku sudah mengelabui semua 
orang Aku berhasil membuat mereka

membunuh keluarga Pendekar Cakar Naga. 
Lalu kenapa sakarang kau akan 
membunuhku...?" suara Karpak semakin 
terdengar bergetar.
"Itu sudah tugasmu, Karpak 
Bersiaplah untuk mati...!"
“Tunggu dulu...!"
Tapi Ratu Lembah Mayat sudah tidak 
dapat dicegah lagi Dan tiba-tiba saja 
tongkatnya bergerak cepat membuat Karpak 
hanya mampu membeliak lebar tanpa mampu 
berbuat sesuatu. Sehingga....
Bet!
Crab!
"Aaa...!"
Jeritan panjang melengking tinggi 
terdengar menyayat begitu ujung tombak 
Ratu Lembah Mayat menghunjam dalam dada 
laki-laki separuh baya ini Begitu Ratu 
Lembah Mayat mencabut tongkatnya, se-
ketika darah menyembur keluar dari dada 
yang berlubang sampai ke punggung.
Sebentar Karpak masih mampu berdiri, 
kemudian tubuhnya ambruk ke lantai. Darah 
terus mengalir deras menggenang di bawah 
tubuhnya. Seketika itu juga, Karpak tewas 
tanpa mampu memberi perlawanan sedikit 
pun.


"Manusia sepertimu, sudah 
sepantasnya mampus!" dengus Ratu Lembah 
Mayat
Sambil mendengus berat wanita 
berjubah hitam itu menendang tubuh Karpak 
yang sudah tak bernyawa lagi. Kemudian 
kakinya melangkah mendekati pintu yang 
tertutup rapat Tongkatnya terayun-ayun di 
tangan kanan. Dengan ujung tongkat 
dibukanya pintu dari kayu jati tebal 
berukir itu.
“Tinggal si keparat Eyang Bagasrana. 
Hhh...! Dia juga harus mampus di 
tanganku!" desis Ratu Lembah Mayat 
sebelum melangkah keluar dari ruangan 
besar ini
Pintu kayu jati tebal itu langsung 
tertutup begitu Ratu Lembah Mayat 
melewatinya. Suasana di dalam ruangan 
berdinding dan beratap batu itu jadi sunyi 
senyap. Kini tinggal mayat Karpak saja 
yang masih tergolek bergenang darah di 
lantai batu yang hitam dan dingin
***
Sementara di ruangan lain, tampak 
Sutrana, Badur, dan Rakasa tengah 
berhadapan melawan empat orang gadis 
cantik bercawat yang bersenjatakan tombak

panjang bermata hitam. Sedangkan dua 
orang gadis lain hanya memperhatikan 
pertarungan itu saja.
Tampaknya pertarungan berjalan cukup 
imbang. Terbukti, mereka sama-sama 
memberi serangan secara bergantian. 
Ketiga laki-laki dari Desa Batang itu juga 
sudah mempergunakan pedang. Entah sudah 
berapa jurus berkelahi. Dan begitu empat 
orang gadis bercawat melakukan gerakan 
berputar mengelilingi ketiga laki-laki 
itu, keadaan langsung berubah. 
Ujung-ujung tombak yang berkelebatan 
cepat, semakin sulit dihalau. Dan hingga 
suatu saat...
"Rakasa, awas...!" seru Sutrana 
tiba-tiba.
Rakasa yang baru saja menghindari 
satu pukulan dari arah depan, terkejut 
begitu mendengar teriakan Sutrana. Dan 
pemuda itu tidak sempat lagi berbuat 
sesuatu ketika sebuah tombak meluncur 
deras dari arah samping kanan. Namun 
tubuhnya masih sempat digerakkan sedikit 
Sehingga....
Bret!
"Akh...!" Rakasa menjerit keras.
Kalau saja tubuhnya tidak 
digerakkan, ujung tombak berwarna hitam 
itu pasti akan menembus dadanya. Tapi

justru karena gerakan tubuhnya, sehingga 
bahu kanannya terkena ujung tombak. 
Rakasa terhuyung-huyung ke belakang 
sambil tangannya mendekap bahunya yang 
robek mengucurkan darah. Pada saat itu, 
seorang gadis bercawat tiba-tiba melompat 
cepat sambil melepaskan satu pukulan 
keras bertenaga dalam tinggi.
"Oh...?!" Rakasa mengeluh pendek
Namun ketika pukulan itu hampir saja 
menghan-tam dadanya, mendadak saja sebuah 
bayangan kuning berkelebat menghantam 
gadis bercawat itu.
"Akh...!" gadis itu memekik keras.
Tubuh gadis itu terpental sejauh dua 
batang tombak ke belakang. Keras sekali 
punggungnya menghantam dinding batu 
bangunan candi mi, sehingga jebol 
berantakan. Entah dari mana datangnya, 
tahu-tahu di samping Rakasa sudah berdiri 
seorang pemuda tampan mengenakan baju 
kulit harimau. Begitu kerasnya pukulan 
yang dilepaskannya, sehingga gadis ber-
cawat tadi seketika tewas tergeletak di 
antara reruntuhan batu dinding bangunan 
candi ini. Dari mulutnya tampak mengalir 
darah kental.
Tewasnya satu gadis itu, membuat 
gadis-gadis bercawat lain jadi 
berlompatan mundur menghentikan

pertarungan. Sutrana dan Badur juga 
bergegas berlompatan mendekati Rakasa 
yang masih menekap bahunya. Darah masih 
mengucur deras dari bahu laki-laki itu.
"Kenapa kau menolong kami,..?" tanya 
Sutrana seraya menatap pemuda berbaju 
kulit harimau yang tak lain adalah 
Pendekar Pulau Neraka.
"Simpan dulu pertanyaanmu. 
Sebaiknya, cepat kembali ke desa," tegas 
Bayu yang menyadari kalau keadaan dalam 
bahaya. Pendekar Pulau Neraka itu sendiri 
sudah menyembunyikan monyet 
kesayangannya di tempat yang aman, 
sebelum menuju ke tempat ini.
Mendengar ucapan Bayu yang tegas itu, 
Sutrana langsung terdiam.
"Kisanak, apa maksudmu berkata 
seperti itu?" selak Badur.
"Cepat tinggalkan tempat ini. Aku 
akan menghadang mereka...!" seru Bayu. 
"Hiyaaat..!"
Pendekar Pulau Neraka tidak 
menghiraukan pertanyaan Badur dan 
Sutrana. Tubuhnya langsung saja melompat 
cepat bagai kilat menyerang lima orang 
gadis cantik bercawat yang masih hidup. 
Lima orang gadis bercawat ini jadi 
kelabakan menerima serangan-serangan 
Bayu yang begitu cepat Iuar biasa. Setiap

pukulan yang dilepaskan, mengandung 
pengerahan tenaga dalam tinggi dan sukar 
diimbangi. Mereka terpaksa berjumpalitan 
menghindari setiap serangan Pendekar 
Pulau Neraka.
"Bagaimana, Kakang Sutrana?" tanya 
Badur, minta pendapat
"Aku rasa, dia benar. Ayo, kita 
tinggalkan tempat ini," sahut Sutrana.
“Tapi, bagaimana dengan 
Parindra...?" tanya Rakasa lagi.
"Dia tidak mungkin ada di sini. 
Cepatiah! Ini kesempatan baik untuk 
meninggalkan tempat ini. Ayo...," ajak 
Sutrana lagi.
"Kau masih kuat Rakasa?" tanya Badur.
"Jangan hiraukan aku. Ayo, cepat kita 
berangkat," ajak Rakasa.
Ketiga laki-laki dari Desa Batang itu 
bergegas meninggalkan bangunan berbentuk 
candi ini. Sementara, Bayu terus 
menggempur lima orang gadis bercawat 
dengan jurus-jurus tingkat tinggi yang 
dahsyat Pendekar Pulau Neraka sempat 
melihat ketiga laki-laki dari Desa Batang 
itu meninggalkan tempat ini. Dan seketika 
itu juga, tangan kanannya dikebutkan 
cepat sambil berteriak nyaring 
menggelegar.

"Hiyaaa...!"
Wuk!
***

Begitu tangan kanan Bayu berkelebat 
cepat, seketika itu juga Cakra Maut yang 
selalu menempel di pergelangan tangannya 
melesat cepat bagai kilat Begitu 
cepatnya, sehingga salah seorang gadis 
bercawat yang menggenggam tombak tidak 
dapat lagi berkelit Dia memekik keras 
melengking ringgi begitu Cakra Maut 
membedah lehernya.
"Aaa...!"
Darah langsung muncrat keluar dari 
lehernya yang robek tersambar Cakra Maut 
Bayu cepat melesat ke udara, menangkap 
senjata mautnya itu. Dan selagi berada di 
udara, kembali tangan kanannya bergerak 
cepat mengebut ke arah salah seorang gadis 
lainnya.
Bet!
Crab!
"Aaa...!"

Kembali terdengar jeritan panjang 
melengking ringgi, disusul ambruknya satu 
orang gadis lagi. Cakra Maut menembus dada 
mereka hingga lewat ke pung-gung. 
Sementara Bayu sudah meluruk deras ke arah 
satu orang gadis lain yang memegang 
tombak. Satu pukulan keras dilepaskan 
Pendekar Pulau Neraka dengan kecepatan 
ringgi, dlsertai pengerahan tenaga dalam 
yang sudah mencapai taraf kesempumaan. 
"Hiyaaat..!" 
Des!
"Aaakh...!"
Gadis cantik bercawat itu tidak dapat 
lagi menghindar. Seketika pukulan 
Pendekar Pulau Neraka telah menghantam 
dadanya, sehingga membuatnya terpental 
sejauh beberapa tombak. Hanya sebentar 
saja gadis itu mampu menggeliat, kemudian 
diam tak bemyawa lagi. Darah langsung 
merembes keluar dari mulut dan hidungnya.
Bayu menjejakkan kakinya dengan 
ringan sekali di lantai batu yang keras 
dan licin. Tubuhnya berputar, menatap dua 
orang gadis lain yang masing-masing sudah 
menggenggam pedang tersilang di depan 
dada. Mereka kelihatan gentar melihat 
empat orang tewas dalam waktu tidak begitu 
lama.


"Di mana kalian sembunyikan 
Parindra?" tanya Bayu dingin.
"Cari saja sendiri!" dengus Andari 
ketus.
"Hm. Rupanya, kalian cukup setia pada 
ratu busuk itu!" dengus Bayu.
"Keparat..!" geram Andari.
Kedua gadis itu saling mengerdipkan 
mata, kemudian sama-sama berlompatan 
cepat menyerang Pendekar Pulau Neraka 
dari dua jurusan. Pedang mereka 
berkelebat cepat membabat bagian-bagian 
tubuh pemuda berbaju kulit harimau itu. 
Tapi dengan lincah dan gerakan cepat, Bayu 
berhasil mementahkan serangan yang 
tertuju padanya. Beberapa kali 
pedang-pedang itu terpaksa harus 
ditangkis dengan Cakra Maut yang selalu
menempel di pergelangan tangan kanan.
Dan setiap kali senjata-senjata itu 
beradu, selalu menimbulkan dentingan 
keras disertai percikan bunga api. Jurus 
demi jurus berlalu cepat Dan Bayu mulai 
merasakan kalau tingkat kepandaian yang 
dimiliki kedua gadis ini jauh lebih tinggi 
dibandingkan empat gadis yang sudah 
tergeletak tak bemyawa lagi.
"Rupanya kalian lebih memilih mati, 
daripada bekerjasama menumpas 
kejahatan!" geram Bayu jadi sengit.

"Baik! Terimalah ini... Hiyaaat..!"
Tiba-tiba saja Pendekar Pulau Neraka 
melesat tinggi keudara. Dan dengan cepat 
sekali, tangan kanannya dikebutkan kearah 
salah seorang gadis bercawat itu. Begitu 
cepat kebutan itu. Sehingga begitu Cakra 
Maut melesat gadis yang memegang pedang
itu jadi kelabakan setengah mati.
"Hatt...!"
Cepat-cepat pedangnya dikebutkan, 
untuk menangkis Cakra Maut yang meluruk 
deras ke arahnya. 
Trang!
Satu benturan keras terjadi, dan 
seketika gadis itu terpekik keras. 
Tubuhnya terpental dua batang tombak ke 
belakang. Sedangkan pedangnya terpenggal 
ter-sambar Cakra Maut senjata andalan 
Pendekar Pulau Neraka. Dan sebelum dia 
sempat menyadari apa yang terjadi, Bayu 
sudah meluruk deras sambil melontarkan 
satu pukulan keras menggeledek mengandung 
pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Hiyaaa...!"
Diegkh!
"Akh...!"
Kembali gadis itu memekik keras 
begitu pukulan Pendekar Pulau Neraka 
mendarat telak di dadanya. Tubuhnya 
terlontar jauh ke belakang, dan keras

sekat menghantam lantai batu yang licin 
dan keras. Sebentar tubuhnya menggeliat 
dan mulutnya mengerang, kemudian 
mengejang kaku. Dan kini dia sudah diam 
tidak bergerak-gerak lagi. Sementara Bayu 
kembali mendarat sambil langsung 
mengangkat tangan kanannya ke atas 
kepala. Cakra Maut seketika kembali 
menempel di pergelangan tangan kanan 
Pendekar Pulau Neraka.
Dan kini tinggal satu orang gadjjs 
lagi yang masih hidup. Dan tampaknya, 
hatinya semakin gentar karena menyadari 
tinggal sendiri. Bayu menatap tajam gadis 
yang bernama Andari ini. Kakinya kini 
terayun perlahan-lahan mendekati. 
Sedangkan gadis itu bergerak mundur 
perlahan.
"Cukup...!"
Tiba-tiba terdengar bentakan keras 
menggelegar.
Bayu langsung berhenti melangkah, 
dan berpaling ke kanan. Entah dari mana 
datangnya, tahu-tahu di depan sebuah 
pintu yang terbuka sudah berdiri seorang 
wanita berjubah hitam. Di depannya, 
Parindra berdiri dengan tangan 
terpelintir ke belakang punggung Pemuda 
belasan tahun itu meringis kesakitan, 
merasakan tangannya seperti remuk

terpelintir ke belakang. Melihat Ratu 
Lembah Mayat muncul, Andari bergegas 
menghampiri. Wajahnya seketika jadi 
cerah, merasa ada kesempatan untuk bisa 
melihat matahari esok pagi.
"Akhirnya kau muncul juga, Ratu 
Busuk...!" desis Bayu dingin.
***
"Selangkah lagi kau bergerak, anak 
ini mampus!" ancam Ratu Lembah Mayat tidak 
main-main.
"Jangan hiraukan aku, Kakang...!" 
seru Parindra. 
"Akh...!"
"Diam, Bocah Setan...!"
Parindra menggeliat merasakan sakit 
yang amat sangat pada tangan kanannya. 
Tulang tangan kanannya terasa bagai remuk 
dipelintir keras ke belakang punggungnya. 
Sedangkan Pendekar Pulau Neraka hanya 
menggeretak geram melihat tindakan Ratu 
Lembah Mayat yang dianggapnya pengecut, 
dengan menyandera seorang anak muda yang 
tidak punya daya apa-apa.
"Lepaskan anak itu...!" bentak Bayu 
geram.

"Aku akan menukar anak ini dengan 
Mustika Cakar Naga," kata Ratu Lembah 
Mayat dingin.
Setelah berkata demikian, Ratu 
Lembah Mayat langsung melesat cepat 
keluar dari dalam ruangan ini. Andari 
segera mengikuti perempuan berjubah hitam 
itu. Namun, Bayu juga tidak sudi 
ketinggalan. Dengan mengerahkan ilmu 
meringankan tubuh yang sempurna, Pendekar 
Pulau Neraka melesat mengejar.
Beberapa kali Bayu melakukan putaran 
di udara, lalu manis sekali mendarat 
menghadang di depan perempuan berjubah 
hitam itu. Terpaksa Ratu Lembah Mayat 
menghentikan larinya. Seketika 
diberikannya beberapa totokan pada jalan 
darah Parindra. Akibatnya anak muda itu
seketika lemas tak berdaya lagi. Hampir 
saja Parindra jatuh kalau saja Andari 
tidak segera menangkap tubuh anak muda 
belasan tahun ini.
"Hiyaaat..!"
Bagaikan kilat, Ratu Lembah Mayat 
melompat cepat menyerang Pendekar Pulau 
Neraka. Tongkatnya berkelebat cepat 
mengarah ke kepala pemuda berbaju kulit 
harimau itu. Namun dengan gerakan manis 
sekali, Bayu mengegoskan kepalanya. Maka, 
ujung tongkat berbentuk tengkorak kepala

manusia itu hanya lewat saja di depan muka 
Pendekar Pulau Neraka.
"Hup! Yeaaah...!"
Bayu bergegas melentingkan tubuh ke 
belakang, dan mendarat sejauh dua batang 
tombak, Pendekar Pulau Neraka kini tidak 
tanggung-tanggung lagi menghadapinya. 
Dia merasakan kebutan tongkat perempuan 
berjubah hitam ini mengandung hawa panas 
yang menyengat Dan begitu kakinya 
menjejak tanah, tubuhnya cepat membungkuk 
agak miring ke kiri. Lalu, tangan kanannya 
ditarik sampai ke depan dada.
"Yeaaah...!" 
Bet!
Sambil mengerahkan tenaga dalam, 
Bayu mengebutkan tangan kanannya ke 
depan. Seketika itu juga Cakra Maut yang 
selalu menempel di pergelangan tangannya, 
melesat cepat bagai kilat.
"Hap!"
Ratu Lembah Mayat cepat mengebutkan 
tongkat menyampok senjata andalan 
Pendekar Pulau Neraka. Tak pelak lagi, dua 
senjata ampuh beradu keras di udara, 
menciptakan ledakan dahsyat menggelegar 
disertai percikan bunga api yang menyebar 
ke seluruh penjuru.
Bayu cepat-cepat mengangkat tangan 
kanannya ke atas kepala, begitu

senjatanya berbalik. Cakra berwarna 
keperakan yang sisinya berjumlah enam itu 
kembali menempel di pergelangan tangan 
Pendekar Pulau Neraka.
"Senjatamu memang hebat, Pendekar 
Pulau Neraka. Tapi jangan harap bisa 
menandingi Ratu Lembah Mayat..!" desis 
Ratu Lembah Mayat dingin.
"Kita Iihat saja. Siapa yang lebih 
unggul," sambut Bayu tidak kalah 
dingjnnya.
“Tahan seranganku, Bocah! 
Hiyaaat..!"
Cepat sekali Ratu Lembah Mayat 
melompat menyerang. Tongkatnya bergerak 
cepat berkelebat mengarah ke beberapa 
bagian tubuh Bayu yang paling rawan. Maka 
Pendekar Pulau Neraka terpaksa 
berjumpalitan menghindari 
serangan-serangan yang begitu cepat dan 
berbahaya ini. Beberapa kali tongkat ber-
kepala tengkorak itu terpaksa ditangkis, 
dengan pergelangan tangan kanannya. Dan 
setiap kali menangkis tongkat itu, 
tangannya langsung bergetar. Pendekar 
Pulau Neraka benar-benar merasakan 
kedahsyatan tenaga dalam yang dimiliki 
perempuan berjubah hitam ini.
Jurus demi jurus berlalu cepat Tak 
terasa, sebentar saja mereka sudah

menghabiskan lebih dari lima jurus. Tapi 
sampai sejauh ini, belum ada tanda-tanda 
kalau pertarungan itu bakal berhenti. 
Bahkan pertarungan semakin berjalan 
dahsyat sekali. Mereka sama-sama 
mengeluarkan jurus-jurus ampuh dan 
dahsyat Sedikit kelengahan saja, bisa 
berakibat parah. Pertarungan baru 
berjalan beberapa saat dan tempat di 
sekitar pertarungan sudah porak-poranda 
bagai diamuk badai topan yang dahsyat.
Sepuluh jurus sudah berlalu, namun 
pertarungan masih juga berlangsung. Bayu 
merasakan kalau perempuan berjubah hitam 
ini tidak dapat dipandang sebelah mata. 
Jurus-jurus yang dimilikinya ternyata 
begitu dahsyat Terlebih lagi, tongkat 
berkepala tengkorak itu. Setiap 
kebutannya mengandung hawa panas 
menyengat luar biasa. Dan Pendekar Pulau 
Neraka bisa merasakan adanya hawa racun 
dari setiap kebutan tongkat berkepala 
tengkorak itu. Maka terpaksa jalan 
napasnya dipindahkan ke perut.
"Lima jurus lagi, bisa-bisa dia 
membunuhku. Hhh...! Ini tidak boleh 
terjadi...!" dengus Bayu dalam
Menyadari kalau tidak mungkin bisa 
bertahan lama, Pendekar Pulau Neraka 
cepat memutar otaknya. Dicarinya jalan

agar bisa mengakhiri pertarungan ini, 
sebelum pertahanan napasnya habis. Dan 
Pendekar Pulau Neraka sudah bisa 
mengukur, sampai di mana kemampuan 
pertahanan napas perutnya.
"Hap! Yeaaah...!"
Begitu Ratu Lembah Mayat mengebutkan 
tongkatnya ke arah kaki, kesempatan ini 
tidak disia-siakan Bayu begitu saja. 
Cepat tubuhnya melesat ke udara, dan 
melakukan putaran dua kali Lalu cepat 
sekali tangan kanannya dikebutkan ke arah 
kepala perempuan berjubah hitam itu.
"Hiyaaa...!"
Wuk!
"Hait..!"
Bet!
Bergegas Ratu Lembah Mayat 
menyampokkan tongkatnya begitu Cakra Maut 
melesat cepat dari pergelangan tangan 
Pendekar Pulau Neraka. dan ketika tongkat 
berkepala tengkorak berhasil menyampok 
senjata yang dilepaskan lawan, tiba-tiba 
saja Pendekar Pulau Neraka meluruk deras 
sambil melontarkan satu pukulan keras 
bertenaga dalam sempuma.
"Hiyaaa...!"
"Heh...?!"
Bukan main terkejutnya perempuan 
berjubah hitam itu melihat datangnya

serangan. Maka, buru-buru tubuhnya 
ditarik ke belakang. Tapi tanpa diduga 
sama sekali, Bayu malah menarik 
pukulannya. Bahkan cepat menggantinya 
dengan satu tendangan keras mengge-ledek 
yang begitu cepat luar biasa. Perpindahan 
pola serangan yang begitu cepat, membuat 
Ratu Lembah Mayat tak dapat lagi 
menghindar.
Diegkh!
"Akh...!"
Tendangan Bayu temyata tepat 
menghantam dada perempuan berjubah hitam 
ini. Begitu kerasnya tendangan yang 
dilepaskan Pendekar Pulau Neraka, 
sehingga membuat Ratu Lembah Mayat 
terjungkal keras ke belakang. Dan sebelum 
lawan sempat melakukan sesuatu, Bayu 
sudah mengebutkan tangan kanan ke depan, 
dengan tubuh agak sedikit membungkuk.
'Yeaaah...!"
Bet!
Slap...!
Ratu Lembah Mayat hanya dapat 
mendelik melihat Cakra Maut bersegi enam 
meluruk deras ke arahnya. Cepat-cepat 
tongkatnya dikebutkan untuk menyampok 
senjata maut Pendekar Pulau Neraka.
Trang!

Perempuan berjubah hitam itu memang 
berhasil menyampok senjata yang 
dilepaskan Bayu. Tapi dia kembali 
terpekik. Temyata tiba-tiba saja Bayu 
melepaskan satu pukulan keras disertai 
pengerahan tenaga dalam tinggi sekali. 
Memang begitu keras pukulan Pendekar 
Pulau Neraka. Akibatnya Ratu Lembah Mayat 
terjungkal ke tanah, langsung bergulingan 
beberapa kali sebelum bisa bangkit 
berdiri.
Dan sebelum keseimbangan tubuhnya 
bisa dikuasai, kembali Pendekar Pulau 
Neraka sudah melompat melakukan serangan 
cepat bagai kilat Untuk kedua kalinya, 
pukulan Pendekar Pulau Neraka mendarat di 
dada Ratu Lembah Mayat Bayu cepat 
mengangkat tangan kanannya ke atas 
kepala, di saat perempuan berjubah hitam 
itu terpental ke belakang Dan begitu Cakra 
Maut menempel di pergelangan tangan 
kanannya, seketika itu juga dikebutkan 
kembali disertai. pengerahan tenaga dalam 
tinggi sekali.
"Hiyaaa...!"
Bet! 
Wusss!
Crab!
"Aaa...!"

Ratu Lembah Mayat memang tidak dapat 
lagi menghindar dalam keadaan tubuh 
kehilangan keseimbangan. Teriebih lagi, 
dia baru saja mendapat pukulan keras di 
dadanya. Keras sekali tubuhnya terbanting 
ke tanah, begitu Cakra Maut bersegi enam 
menghantam dadanya. Begitu kerasnya 
Iontaran senjata maut itu, sehingga 
tembus sampai ke punggung Ratu Lembah 
Mayat Dan kini senjata itu berputar balik 
ke arah pemiliknya.
Bret! 
"Aaa...!"
Satu jeritan panjang melengking 
tinggi terdengar keras menyayat Tampak 
darah muncrat deras sekali dari leher yang 
terkoyak lebar, akibat tertebas Cakra 
Maut Perempuan berjubah hitam itu masih 
mampu berdiri tegak beberapa saat 
kemudian ambruk menggelepar di tanah. Dia 
mengerang dan menggelepar meregang nyawa. 
Dari leher, dada, dan punggungnya terus 
mengucurkan darah. Sementara, Bayu 
berdiri tegak setelah Cakra Maut kembali 
menempel di pergelangan tangan kanan.
Tidak lama kemudian, Ratu Lembah 
Mayat sudah mengejang kaku, lalu diam tak 
bergerak-gerak lagi. Tepat pada saat itu,

muncul Pengemis Tongkat Merah bersama 
Ladra dan tiga pemuda dari Desa Batang. 
Bahkan kini muncul juga Eyang Bagasrana 
bersama beberapa orang muridnya yang juga 
penduduk Desa Batang
Melihat kedatangan orang-orang itu, 
Andari merasa tidak akan mampu lagi 
menandingi mereka. Teriebih lagi Gusti 
Ratunya telah tewas. Lebih baik dia tidak 
usah melawan orang-orang sakti itu lagi, 
dan hidup tenang di desa lain. Berpikir 
demikian, Andari segera melepaskan 
pegangannya pada Parindra dan langsung 
melesat kabur, membiarkan anak muda 
belasan tahun itu jatuh tergeletak di 
tanah dalam keadaan tubuh lemas tertotok.
"Kau tidak apa apa, Bayu...?" tanya 
Pengemis Tongkat Merah begitu berada di 
samping Pendekar Pulau Neraka.
"Tidak," sahut Bayu seraya melirik 
Parindra yang tengah dibebaskan dari 
totokan oleh Eyang Bagasrana.
"Maaf. Aku datang terlambat," ucap 
Pengemis Tongkat Merah juga memandang 
pada Eyang Bagasrana.
"Tidak," sahut Bayu sambil melirik 
pedang yang ada di tangan Eyang Bagasrana. 
"Apakah itu Pedang Cakar Naga...?"
"Benar," sahut Eyang Bagasrana.

"Bagaimana pedang itu bisa berada di 
tanganmu?" tanya Pengemis Tongkat Merah.
"Istri Pendekar Cakar Naga yang 
memberikannya padaku," sahut Eyang 
Bagasrana. 
"Setelah suaminya meninggal, dia 
sudah merasa bakal terjadi sesuatu. 
Terutama, batu mustika pada gagang pedang 
ini yang memiliki kekuatan dahsyat"
"Lalu, kenapa kau membunuhnya?" 
tanya Pengemis Tongkat Merah lagi.
"ltulah kesalahanku yang terbesar. 
Aku terlalu percaya pada omongan Karpak, 
yang ternyata orang suruhan Ratu Lembah 
Mayat," pelan suara Eyang Bagasrana. 
"Jika kau ingin menghukumku, aku rela 
menerimanya."
Tak ada sahutan sama sekali. Dan 
begitu Pengemis Tongkat Merah berpaling 
ke arah Pendekar Pulau Neraka, matanya 
jadi terbeliak. Karena pemuda berbaju 
kulit harimau itu sudah lenyap, tak ada 
lagi disampingnya. Begitu cepat dan 
sempurnanya ilmu meringankan tubuh yang 
dimiliki, sehingga kepergian Pendekar 
Pulau Neraka sama sekali tidak diketahui 
lagi.
Sementara itu, Parindra yang sudah 
sadar kembali hanya diam saja diberi 
penjelasan Eyang Bagasrana. Sedangkan

Pengemis Tongkat Merah pun, diam-diam 
meninggalkan tempat ini, mengikuti Bayu 
yang sudah sejak tadi pergi entah ke mana. 
Tak ada seorang pun yang menyadari. 
Perhatian mereka semua tertumpah pada 
Parindra dan Eyang Bagasrana.
Mereka pun meninggalkan tempat itu, 
tanpa ada yang menyadari kalau orang yang 
menyelesaikan semua kemelut ini sudah 
pergi begitu saja. Mereka seperti lupa, 
dan terlalu gembira karena putra Pendekar 
Cakar Naga masih hidup. Terutama, Eyang 
Bagasrana yang begitu menyesali 
kebodohannya, karena bisa dikelabui 
Karpak. Akibatnya, mereka tdah 
melenyapkan nyawa orang yang seharusnya 
dijaga keselamatannya.

                              SELESAI


Share:

0 comments:

Posting Komentar