..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Minggu, 02 Februari 2025

PENDEKAR DARI PULAU NERAKA EPISODE RAHASIA DARAH AYU

Rahasia Darah Ayu

 

RAHASIA DARA AYU
Oleh Teguh Suprianto
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Gambar sampul oleh Pro's
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Pulau Neraka
dalam episode:
Rahasia Dara Ayu
128 hal. ; 12 x 18 cm

SATU

Udara pagi ini begitu sejuk, setelah semalaman bumi
diguyur hujan lebat dari langit. Angin berhembus lembut
mempermainkan dedaunan basah oleh sisa air hujan. Di antara
pepohonan dan rerumputan liar, terlihat seorang pemuda
berbaju kulit harimau sedang berjalan-jalan menikmati
kesegaran udara pagi ini. Sesekali tangannya meraih bunga
yang tumbuh liar, lalu mencampakkannya ke udara. Angin
yang bertiup basah menghempaskan bunga itu sebelum jatuh
ke tanah.
Pemuda berbaju kulit harimau itu menghentikan ayunan
kakinya begitu tiba di depan sebuah gubuk kecil yang ringkih
bagai hendak rubuh. Pandangan matanya begitu nanar,
menatap lurus gubuk kecil reyot di depannya. Pintu gubuk
yang tertutup rapat, tiba-tiba terkuak memperdengarkan suara
bergerit nyaring menyakitkan telinga.
Dari dalam gubuk itu keluar seorang perempuan tua
mengenakan baju panjang yang lusuh dan kumal. Warnanya
hampir pudar ditelan usia. Begitu pula perempuan tua itu.
Entah sudah berapa tahun usianya. Tapi yang jelas lebih dari
tujuh puluh tahun. Tubuhnya yang bungkuk disangga sebuah
tongkat kayu berwarna coklat kehitaman Perempuan tua itu
melangkah menghampiri pemuda berbaju kulit harimau yang
memandanginya dengan sinar mata sayu.
"Bagaimana keadaannya, Nyi Rampik?" tanya pemuda
berbaju kulit harimau itu.
"Yaaah.... Meskipun sulit, tapi masih bisa kuhambat
sedikit Berdoalah, Nak Bayu," sahut perempuan tua yang
dipanggil Nyi Rampik itu sedikit mendesah.

"Apakah ada harapan sembuh?" tanya pemuda berbaju
kulit harimau yang ternyata memang Bayu atau si Pendekar
Pulau Neraka.
"Mudah-mudahan Hanya saja...," Nyi Rampik tidak
melanjutkan ucapannya.
"Hanya apa?"
"Mungkin hanya mampu bertahan beberapa hari saja, tapi
mungkin juga bisa lebih. Tapi asal dia tidak banyak
menggunakan kekuatan tenaga dalam yang akan membuka
saluran jalan darahnya."
Bayu terdiam membisu. Matanya menerobos ke dalam
gubuk kecil reyot di depannya, melalui pundak Nyi Rampik.
Tampak di sebuah dipan kayu beralaskan daun tikar pandan,
tergolek seorang wanita muda berbaju hijau muda. Tarikan
napasnya kelihatan begitu lemah meskipun teratur lembut
Sampai saat ini Pendekar Pulau Neraka tidak tahu lagi, apa
yang harus dilakukannya. Pertarungan gadis Itu melawan
Seruni berakibat sangat parah. Entah ilmu apa yang digunakan
Seruni, sehingga membuat Rampita semakin lemah. Tenaganya
keluar tak terkontrol. Bahkan setiap kali menggunakan tenaga
dalam, selalu memuntahkan darah. Tak ada tanda-tanda kalau
gadis itu terluka. Tapi menurut Nyi Rampik, Rampita
mengalami luka dalam yang sangat parah, dan kemungkinan
merenggut nyawanya. Nyi Rampik sendiri tidak tahu, luka apa
sebenarnya yang diderita Rampita.
"Mungkin hanya ada satu cara yang dapat menyembuhkan
lukanya, Nak Bayu," ujar Nyi Rampik
"Segala kemungkinan harus kita coba, Nyi," tegas Bayu.
"Hm..., kau tahu Bunga Cubung Biru?"
Bayu tersentak mendengar Nyi Rampik menyebut Bunga
Cubung Biru. Ditatapnya dalam-dalam perempuan tua itu. Tapi
kemudian Pendekar Pulau Neraka mendesah panjang,

menghembuskan napas berat Rampita bisa terluka begitu
karena persoalan Bunga Cubung Biru yang belum terselesaikan
sampai sekarang (Baca Serial Pendekar Pulau Neraka, dalam
kisah: "Rahasia Bunga Cubung Biru").
"Ada apa, Nak Bayu?" tanya Nyi Rampik
"Hhh...!" Bayu menghembuskan napas panjang dan berat
Meskipun baru kemarin Bayu mengenal perempuan tua ini,
tapi sudah bisa dipercayainya. Nyi Rampik seorang perempuan
tua yang dikenal karena ahli dalam ilmu pengobatan. Hampir
semua orang di bagian Barat Kaki Gunung Cakal ini mengenal
betul tabib itu. Dan Bayu mengetahui tentang perempuan tua
ini juga dari para penghuni sebuah desa di Kaki Gunung Cakal
sebelah Barat ini
Biasanya seorang tabib tidak akan berpihak pada siapa pun.
Dia akan mengobati siapa saja yang datang meminta
pertolongan kepadanya. Malah akan melindungi dengan
taruhan nyawa sekali pun. Karena itu Bayu tidak segan-segan
lagi menceritakan semua yang terjadi pada diri Rampita
sehingga mengalami luka yang sangat parah ini (Baca serial
Pendekar Pulau Neraka, dalam kisah: "Rahasia Bunga Cubung
Biru"). Sedangkan Nyi Rampik mendengarkan penuh
perhatian.
"Hm..., jadi gadis itu pewaris tunggal Bunga Cubung
Biru?" ujar Nyi Rampik seperti bertanya pada dirinya sendiri.
"Benar, Nyi. Tapi dia sendiri tidak tahu, di mana Bunga
Cubung Biru itu. Bahkan amanat yang diberikan ayahnya
menjelang ajal telah menimbulkan malapetaka," sahut Bayu
agak mendesah.
"Bunga itu memang langka dan sangat berkhasiat Tidak
banyak orang yang beruntung sehingga bisa memilikinya.
Memang setiap keberadaannya selalu menimbulkan bencana

besar. Banyak orang yang ingin memilikinya, bahkan sampai
berani mempertaruhkan nyawa," agak bergumam nada suara
Nyi Rampik, seakan berkata pada dirinya sendiri.
Bayu hanya diam saja.
"Memang banyak penyakit yang bisa kuobati. Tapi untuk
penyakit dalam akibat pertarungan seperti ini..., rasanya sukar
sekali. Aku harus tahu dulu ilmu apa yang digunakan," lanjut
Nyi Rampik.
"Mungkin Rampita sendiri tahu, Nyi," kata Bayu.
"Kau sendiri?"
'Tidak."
Nyi Rampik memandangi pemuda berbaju kulit harimau
itu. Jelas sekali kalau sorot mata perempuan tua itu tidak
mempercayai jawaban Bayu. Padahal Pendekar Pulau Neraka
itu menjawab sejujurnya. Bayu memang tidak tahu ilmu apa
yang digunakan Seruni Yang diketahuinya adalah, Seruni
memiliki sebuah ilmu aneh yang bisa membuat badai salju.
***
Sudah tiga hari ini Bayu terpaksa tinggal di gubuk Nyi
Rampik. Rampita memang sudah bisa bangun, tapi keadaannya
masih terlalu lemah. Nyi Rampik tidak mengijinkan gadis itu
pergi sebelum sembuh benar. Perempuan tua itu masih terus
mencoba menyembuhkan luka yang diderita Rampita.
Malam itu Pendekar Pulau Neraka masih belum bisa
memejamkan mata. Sementara malam terus merayap semakin
tinggi. Angin berhembus kencang menebarkan udara dingin
menusuk tulang. Pemuda berbaju kulit harimau itu menoleh
ketika mendengar langkah kaki menghampiri. Bibirnya
tersenyum melihat Rampita menghampiri. Gadis itu duduk di

sampingnya, sementara wajahnya masih kelihatan lemah dan
agak pucat
"Belum tidur, Rampita?" pelan suara Bayu.
"Tidak bisa tidur," sahut Rampita juga pelan suaranya.
"Seharusnya kau tidur. Tidak baik angin malam bagi
kesembuhanmu."
Rampita tersenyum tipis, namun tidak bersuara seraya
matanya menerawang jauh. Sementara Bayu merayapi wajah
cantik di sampingnya. Pandangan pemuda itu beralih ke arah
gubuk kecil yang hanya diterangi pelita minyak jarak Sunyi
sekali tempat ini. Sangat terpencil, jauh dari jingkungan
pemukiman penduduk
"Kakang...," Rampita berpaling menatap Bayu.
"Hm...," Bayu hanya menggumam kecil.
Sesaat mereka hanya saling tatap dalam kebisuan.
"Ada apa, Rampita?" tanya Bayu.
"Kau jadi pergi, besok?" tanya Rampita.
'Tentu. Aku akan mencari Bunga Cubung Biru untukmu,"
sahut Bayu setengah mendesah.
"Sia-sia saja, Kakang," lirih sekali suara Rampita.
"Aku yakin, ayahmu pasti menyimpan bunga itu di suatu
tempat yang sangat rahasia. Malah sampai-sampai kau sendiri
tidak mengetahuinya."
Rampita terdiam, wajahnya tertunduk merayapi tanah di
ujung kakinya. Gadis itu memungut sepotong ranting kering
dan menggores-goreskannya di tanah. Sedangkan Bayu hanya
memperhatikan tanpa membuka mulutnya yang terkunci rapat
"Kotak kayu itu sudah kau serahkan pada Seruni. Ayah
tidak pernah mengeluarkan Bunga Cubung Biru dari dalam
kotak itu," tegas Rampita masih terdengar pelan suaranya.
'Tapi Seruni bilang kotak itu sudah kosong. Bahkan
menuduhku sudah mengambil bunga itu, Rampita. Aku yakin

kalau ayahmu sudah memindahkannya ke lain tempat" sangkal
Bayu.
"Kau belum tahu siapa sebenarnya Seruni itu, Kakang. Dia
sangat.licik. Segala cara selalu dilakukannya demi mencapai
segala keinginannya. Aku merasa...," kata-kata Rampita
terputus.
"Kenapa, Rampita?" desak Bayu.
Rampita tidak langsung menjawab. Diangkat kepalanya,
langsung menatap pemuda di sampingnya. Agak dalam juga
gadis itu merayapi wajah Pendekar Pulau Neraka. Seakan-akan
ingin diyakini kalau yang duduk di sampingnya ini seorang
pemuda berwajah tampan dan berkepandaian sangat tinggi.
Sedangkan Bayu membiarkan saja gadis itu menatapi
wajahnya.
"Kau tampan sekali, Kakang. Hati-hatilah terhadap
Seruni," desah Rampita kembali menunduk
Bayu jadi mengerutkan kerungnya. Sungguh sulit
dimengerti ucapan Rampita barusan. Namun di balik suaranya,
Pendekar Pulau Neraka itu menangkap sesuatu yang sukar
diartikan. Hanya Rampita sendiri yang bisa memastikan
ucapannya tadi.
"Tampaknya kau kenal sekali dengan Seruni, Rampita,"
pancing Bayu.
Rampita mengangkat kepalanya lalu tersenyum tipis.
Kembali pandangannya menerawang jauh ke depan. Tatapan
matanya begitu kosong, lurus tak berkedip. Gadis itu seperti
tengah mengingat sesuatu, atau tengah terbayang-bayang masa
lalunya. Bibirnya yang kecil memerah itu tak lepas
mengembangkan senyuman tipis hampir tak terlihat. Tapi
senyum itu mendadak lenyap bersamaan dengan redupnya
cahaya matanya.
"Siapa sebenarnya Seruni itu, Rampita?" tanya Bayu.

Pendekar Pulau Neraka itu semakin ingin tahu saja, karena
dirasakan adanya sesuatu yang tersembunyi di antara kedua
gadis ini. Dugaan kalau antara Rampita dan Seruni memiliki
hubungan darah, tak pernah lenyap dari benak Bayu. Walaupun
Rampita sendiri belum memberi jawaban yang diharapkan.
Satu teka-teki besar masih menyelimuti diri gadis itu.
"Untuk apa kau selalu menanyakan itu, Kakang?" Rampita
balik bertanya.
Bayu tidak bisa menjawab. Keingintahuannya hanya
karena didorong rasa penasaran terhadap sikap Rampita pada
Seruni. Gadis ini selalu saja mengalah, bahkan sampai-sampai
rela mengalami luka dalam begitu parah. Bayu yakin, ada
sesuatu antara Rampita dan Seruni. Sesuatu yang selalu
ditutupi dan dirahasiakan gadis ini.
"Sudah malam. Aku tidur dulu, Kakang," ujar Rampita
seraya bangkit berdiri.
Sebelum Bayu sempat membuka suara, gadis itu sudah
melangkah menuju gubuk kecil. Pendekar Pulau Neraka terus
memandangi gadis itu sampai lenyap di dalam gubuk kecil itu.
Pemuda berbaju kulit harimau itu masih duduk di bangku di
bawah pohon, dan pandangannya tak beralih dari gubuk kecil
yang hanya diterangi sebuah pelita minyak jarak
Sementara malam terus merambat semakin larut Udara pun
semakin dingin. Namun Pendekar Pulau Neraka tetap bertahan
duduk di bawah pohon. Otaknya terus berputar, untuk bisa
menemukan jawaban dari teka-teki gadis itu. Begitu sulitnya
teka-teki itu, sehingga sukar dipecahkan.
"Hhh...!" Bayu menarik napas panjang dan
menghembuskannya kuat-kuat.
Pendekar Pulau Neraka itu bangkit berdiri, lalu berjalan
gontai menuju gubuk kecil yang berdinding bilik bambu.
Terlalu banyak lubang pada dinding gubuk itu, sehingga

cahaya pelita mampu menerobos keluar. Bayu menghempaskan
tubuhnya di balai bambu, kemudian merebahkan diri. Kedua
tangannya terlipat untuk membantali kepalanya.
"Hhh...! Kenapa aku begitu memikirkannya...?" diasah
Bayu diiringi hembusan napas panjang.
***
Pagi-pagi sekali Bayu sudah bersiap-siap meninggalkan
tempat sunyi dan terpencil ini. Hatinya sudah bertekad hendak
mencari Bunga Cubung Biru. Sekuntum bunga langka yang
hanya tumbuh satu kali dalam seratus tahun. Nyi Rampik sudah
mengatakan kalau hanya bunga itu yang dapat menyembuhkan
luka dalam Rampita.
Bayu memandangi Rampita yang mengantarkan sampai ke
pinggir sungai di belakang gubuk Nyi Rampik. Pendekar Pulau
Neraka itu memandangi wajah cantik yang sedikit tertunduk
Entah kenapa, pemuda tampan ini seperti berat berpisah
dengan Rampita. Dia.sendiri tidak tahu tentang perasaannya ini
Belum pernah dirasakan hal seperti ini pada seorang gadis.
"Aku harap bisa secepatnya kembali ke sini dengan Bunga
Cubung Biru," kata Bayu pelan.
"Mengapa kau ingin sekali mendapatkan bunga itu,
Kakang?" tanya Rampita seraya mengangkat kepadanya
memandang Pendekar Pulau Neraka itu.
"Bunga itu sangat berarti bagimu, Rampita. Hanya dengan
bunga itulah kau bisa sembuh, pulih seperti semula."
"Tapi kau akan mendapatkan kesulitan besar, Kakang."
"Apa pun namanya, aku selalu bergelimang segala macam
kesulitan. Percayalah. Semuanya pasti bisa kuatasi dan kembali
membawa Bunga Cubung Biru," Bayu meyakinkan gadis ini.

"Aku tidak bisa mengatakan apa-apa, Kakang. Hati-hatilah.
Aku akan menunggumu di sini," ucap Rampita pelan.
Bayu menggamit pundak gadis itu. Ditatapnya dalam-
dalam wajah cantik itu. Untuk beberapa saat lamanya mereka
saling bertatapan tanpa bicara separah kata pun Pelahan
telunjuk Bayu menyentuh dagu gadis itu, lalu mengangkatnya
hingga terdongak. Rampita memejamkan matanya pelahan
ketika Bayu mendekatkan wajahnya ke wajah gadis itu.
Semakin dekat, semakin terasa desahan napasnya yang
menerpa kulit wajah kemerahan.
Bayu memandangi bibir mungil yang setengah terbuka.
Bibir indah yang selalu merah basah dan menantang. Lembut
sekali Pendekar Pulau Neraka mengecup bibir yang agak
bergetar itu. Hanya sekali kecupan lembut, namun sudah
membuat seluruh tubuh Rampita bergetar bagai tersengat
ribuan lebah beracun. Gadis itu masih memejamkan matanya
meskipun kecupan itu telah hilang dari bibirnya.
Pelahan Rampita membuka mata, dan langsung
menundukkan kepalanya. Sekilas terbersit rona merah pada
wajahnya. Entah kenapa, tiba-tiba saja gadis itu jadi gugup, dan
tidak sanggup memandang sorot mata pemuda tampan ini.
"Aku pergi dulu, Rampita," pamit Bayu.
"Ya...," hanya itu yang keluar dari bibir mungil Rampita.
Bayu menepuk pundak gadis itu, kemudian melangkah
meninggalkannya. Rampita baru mengangkat kepalanya setelah
pemuda itu pergi cukup jauh. Gadis itu berdiri mematung
memandangi kepergian Pendekar Pulau Neraka itu. Pelahan
diusap bibirnya dengan jari-jarinya yang bergetar.
"Kakang...," desah Rampita lirih.
Rampita masih berdiri mematung meskipun bayangan
tubuh Pendekar Pulau Neraka sudah tidak terlihat lagi. Gadis
itu baru membalikkan tubuhnya, tapi tidak jadi melangkah.

Ternyata tiba-tiba saja di depannya sudah berdiri Nyi Rampik
yang langsung tersenyum. Seketika wajah Rampita memerah,
lalu buru-buru menundukkan kepalanya.
'Pemuda yang gagah sekali," gumam Nyi Rampik seraya
melangkah menghampiri Rampita.
Rampita hanya diam saja. Pelahan diangkat kepalanya, tapi
tak sanggup memandang bola mata perempuan tua di
depannya. Entah kenapa, ada rasa malu menyelinap di hati
gadis ini. Kalau saja bisa, mungkin sudah disimpan bibirnya.
Kecupan lembut Pendekar Pulau Neraka begitu membekas, tak
akan terlupakan sepanjang hidupnya. Kecupan pertama seorang
pemuda yang telah menggetarkan relung hatinya.
"Kau sudah mengatakannya, Rampita?" tanya Nyi Rampik
seraya memandangi gadis itu dalam-dalam. Rampita
menggelengkan kepalanya pelahan.
"Kenapa?"
"Aku.... Aku tidak sanggup mengatakannya, Nyi. Dia
sudah berkorban banyak untukku. Rasanya tidak sanggup
untuk melukai hatinya," lirih sekali suara Rampita.
"Aku bisa memahami perasaanmu, Rampita. Yaaah...,
memang sukar mengatakannya. Tapi aku percaya, Bayu
seorang pemuda yang tegar. Dia pasti bisa menerima semuanya
dengan lapang dada dan besar hati, meskipun pahit"
"Itulah yang membuatku tidak bisa, Nyi."
"Aku tidak menyalahkanmu, Rampita. Semuanya memang
sudah digariskan Hyang Widi. Kira hanya sebuah pelakon yang
memainkan peranan di atas panggung luas ini. Serahkan saja
segalanya pada Yang Kuasa," lembut sekali suara Nyi Rampik.
"Nyi...."
Rampita tak kuasa lagi membendung perasaannya. Gadis
itu menghambur, menjatuhkan diri dalam pelukan perempuan

tua ini. Sedangkan Nyi Rampik hanya menepuk-nepuk
punggung gadis itu, dan mengelus rambutnya yang hitam
berbau harum.
"Sudahlah, Rampita. Doakan saja agar Bayu bisa
membawa Bunga Cubung Biru. Bagaimanapun juga, kau
sendirilah yang harus menyelesaikan semua ini. Bukan Bayu,
atau siapa saja!" tegas Nyi Rampik seraya melepaskan pelukan
gadis itu.
"Benar. Memang hanya aku yang bisa, Nyi. Bukan orang
lain, atau pun Kakang Bayu," desah Rampita lirih.
Nyi Rampik merengkuh pundak gadis itu, lalu
membawanya melangkah meninggalkan tepian sungai kecil ini.
Mereka berjalan pelahan dengan pikiran masing-masing.
"Nyi...."
"Ada apa?"
"Apakah tidak sebaiknya aku sendiri yang mencari bunga
itu, Nyi?" Rampita memandangi wajah perempuan tua yang
berjalan dengan bantuan sebatang tongkat di sampingnya.
"Jangan menyiksa dirimu, Rampita. Kau belum pulih
benar," sahut Nyi Rampik agak terkejut.
'Tapi, Nyi...."
"Kau sendiri tidak tahu di mana bunga itu, bukan?" potong
Nyi Rampik cepat
Rampita terdiam. Kakinya terus terayun pelahan.
Kepalanya tertunduk dalam memperhatikan ujung-ujung
kakinya yang menapak pelahan di samping perempuan tua ahli
pengobatan ini.
"Nyi, boleh menanyakan sesuatu padamu?" pinta Rampita
setelah lama berdiam diri.
"Katakan, apa yang ingin kau tanyakan."

"Kenapa Nyi Rampik berpura-pura tidak mengenalku di
depan Kakang Bayu?" tanya Rampita.
Nyi Rampik tidak langsung menjawab. Ditariknya napas
panjang dan dihembuskannya kuat-kuat Sementara Rampita
memandangi, menunggu jawaban perempuan tua itu. Tapi yang
ditunggu-tunggu tidak kunjung datang. Nyi Rampik masih
berdiam diri tanpa menghentikan ayunan kakinya.
Sampai mereka tiba di pondok, Nyi Rampik belum juga
memberi jawaban dari pertanyaan Rampita. Meskipun
berharap, namun gadis itu tidak ingin mendesak, dan hanya
diam saja. Mereka kemudian duduk berdampingan di samping
pondok, di atas tumpukan kayu bakar yang belum semuanya
terbelah.
"Ayo, Rampita. Tenaga dalammu harus bisa kau latih
kembali. Mudah-mudahan kau masih menyimpan sedikit
kekuatan," kata Nyi Rampik setelah cukup lama berdiam diri
membisu.
"Baiklah," sahut Rampita setengah mendesah.
"Kalau masih memiliki sedikit tenaga dalam, aku yakin
kau akan pulih. Aku akan membantumu dengan penyaluran
hawa murni ke dalam tubuhmu." ,
"Nyi, bukankah itu berbahaya?" sentak Rampita terkejut
"Demi kau, Rampita. Ayo, jangan membantah!"
"Baik, Nyi."
***
DUA

Desa Temanggal adalah satu-satunya desa yang berada di
Kaki Gunung Cakal sebelah Timur. Sebenarnya tidak lagi
cocok disebut desa, karena begitu besar dan penduduknya
begitu rapat. Desa itu lebih tepat disebut kota kadipaten. Tapi
rupanya penduduk di sini lebih senang menyebutnya sebuah
desa, daripada sebuah kota.
Saat menjelang senja, Bayu sudah tiba di desa itu. Tidak
mungkin lagi perjalanannya diteruskan, karena sebentar lagi
malam tiba. Untuk mencapai Lembah Bunga, masih diperlukan
tiga hari perjalanan lagi dari desa ini. Pendekar Pulau Neraka
itu memasuki sebuah kedai yang tidak terlalu padat
pengunjungnya. Seorang pelayan atau mungkin juga pemilik
kedai menghampiri, menyambut ramah disertai senyum
mengumbar lebar. Laki-laki tua bertubuh gemuk ini membawa
Bayu ke meja kosong. Sungguh beruntung, karena meja ini
bersebelahan langsung dengan jendela yang menghadap keluar.
Jadi pemuda berbaju kulit harimau ini bisa langsung
memandang keadaan luar.
"Pesan apa, Den?" tanya laki-laki tua gemuk itu ramah.
Apa saja yang bisa membuat perutku kenyang," sahut Bayu
seenaknya.
"Wah! Makanan di sini lengkap, Den. Kalau dibawa
semua, meja ini tentu tidak muat," seloroh laki-laki gemuk itu.
"Kalau begitu, sediakan saja arak dan makanan
secukupnya. Apa saja yang disediakan tidak akan kutolak, asal
enak."
"Baik, Den"
Laki-laki gemuk itu bergegas ke belakang. Sementara Bayu
mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan kedai ini.

Tidak begitu banyak pengunjung, dan hanya beberapa meja
saja yang terisi. Dari tampang, pakaian, serta senjata yang
disandang, Bayu dapat memastikan kalau mereka rata-rata dari
kalangan persilatan Tapi ada juga beberapa orang yang
kelihatannya dari kalangan biasa.
Pendekar Pulau Neraka itu mengalihkan perhatiannya
keluar melalui jendela di sampingnya. Kening pemuda berbaju
kulit harimau itu menjadi berkerut, karena hampir semua orang
yang lewat di jalan menyandang senjata berbagai macam
bentuk dan ukuran. Kembali diedarkan pandangannya ke
sekeliling kedai ini. Pada saat itu pemilik kedai menghampiri
sambil membawa baki cukup besar, penuh berisi makanan dan
seguci arak.
"Silakan dinikmati, Den," ucap laki-laki gemuk itu setelah
meletakkan semua pesanan Bayu di meja.
'Terima kasih," sambut Bayu seraya tersenyum.
Laki-laki tua gemuk itu bergegas meninggalkan tamunya,
dan kembali sibuk melayani tamu-tamu lainnya. Sementara
Bayu menikmati santapannya. Agak geli juga hatinya melihat
hampir seluruh meja di hadapannya penuh piring makanan.
Memang tidak akan mungkin dihabiskan semuanya. Beginilah
jadinya kalau memesan makanan asal memesan saja.
"He! Pergi sana! Tidak ada makanan sisa buatmu!" tiba-
tiba terdengar bentakan keras mengejutkan.
Bayu yang baru saja akan menenggak araknya, jadi
tertahan. Dilayangkan pandangannya ke arah suara bentakan
tadi. Tampak laki-laki tua gemuk pemilik kedai ini berkacak
pinggang di depan pintu. Seorang laki-laki tua kurus kering dan
berpakaian compang camping berdiri terbungkuk di depannya.
Seluruh tubuh dan pakaiannya kotor berdebu. Tubuhnya
disangga sebatang tongkat kayu bercabang dua pada bagian
ujung atas.

"Biarkan dia makan bersamaku, Ki!" teriak Bayu.
Laki-laki gemuk pemilik kedai itu terkejut Dipandanginya
Bayu setengah tidak percaya. Bahkan hampir semua
pengunjung kedai ini juga mengalihkan pandangannya ke arah
Pendekar Pulau Neraka itu. Namun pemuda berbaju kulit
harimau itu tidak peduli, lalu bangkit berdiri dan menghampiri
pengemis tua itu. Dibawanya orang itu ke mejanya.
"Duduk di sini, Kisanak," kata Bayu.
"Oh, terima kasih. Terima kasih, Den Biar di bawah saja,"
ujar pengemis tua itu.
"Duduklah di bangku, Ki," Bayu memaksa.
Dengan sikap penuh hormat pengemis tua itu duduk di
depan Bayu. Sementara pemuda berbaju kulit harimau itu
meminta satu piring lagi. Maka pemilik kedai bertubuh gemuk
itu memberi sebuah piring. Namun pandangan matanya masih
tidak bisa mempercayai sikap tamunya ini.
"Makanlah sepuasmu. Kalau perlu, bungkus yang tersisa
untuk keluargamu," kata Bayu.
'Terima kasih, Den," ucap pengemis tua itu.
Bayu tersenyum, lalu segera menenggak araknya yang tadi
belum sempat menyentuh bibirnya. Pendekar Pulau Neraka itu
tersenyum-senyum melihat pengemis tua ini melahap makanan
yang terhidang disertai napsu besar. Mungkin sudah beberapa
hari dia tidak bertemu, makanan. Sedangkan Bayu hanya
makan sedikit saja.
"Raden tidak makan?" tanya pengemis tua itu melihat
Bayu tidak meneruskan makannya.
"Aku sudah kenyang. Habiskan saja, Ki," sahut Bayu
ramah.

"Ah! Kalau saja semua orang sebaik Raden, tentu tidak
akan banyak pengemis yang mari kelaparan," desah pengemis
tua itu.
"Tidak selamanya aku berbuat begini, Ki," jelas Bayu terus
terang diiringi senyum tipis.
"Oh, kenapa Raden berbuat baik padaku?"
Bayu tidak menjawab, tapi hanya tersenyum saja.
Kemudian dipanggilnya pemilik kedai bertubuh gemuk itu,
untuk membayar semua makanan dan minuman yang telah
dipesan. Pemilik kedai itu menyebutkan harganya, dan Bayu
membayarnya semua. Bahkan juga meminta untuk
membungkus sisa makanannya untuk dibawa pengemis tua itu.
"Makanlah yang enak. Semua sudah kubayar," ucap Bayu
seraya mengayunkan kakinya meninggalkan kedai itu.
Tinggal pengemis tua itu terbengong dengan mulut penuh
makanan. Demikian juga laki-laki gemuk pemilik kedai ini.
Belum pernah dilihatnya ada orang begitu berbaik hati,
mengajak seorang pengemis tua makan satu meja bersamanya.
Bahkan membayar semua makanan dengan uang berlebih.
Tidak ada yang tahu, kenapa pemuda berbaju kulit harimau itu
berbuat demikian. Memang, yang diinginkannya hanyalah agar
makanan yang dipesan tidak terbuang percuma. Kebetulan
sekali ada pengemis, maka semua makanannya bisa diberikan
kepada pengemis tua itu.
***
Tepat ketika matahari baru saja berada di atas kepala, Bayu
melewati perbatasan Desa Temanggal. Namun ayunan langkah
kaki Pendekar Pulau Neraka itu terhenti tiba-tiba, ketika
mendengar suara orang mengaduh disertai bentakan-bentakan

keras. Suara itu datang dari balik sebuah bukit batu yang tidak
terlalu tinggi, dan berada di sebelah kanan.
"Hup!"
Sekali lompatan saja, Pendekar Pulau Neraka sudah berada
di atas bukit batu kecil itu. Seketika matanya terbeliak begitu
melihat tiga orang laki-laki bertubuh kekar dan bertampang
kasar tengah menganiaya seorang laki-laki tua bertubuh kurus,
berpakaian compang camping.
"Huh! Rupanya kau memilih mampus daripada
menunjukkan di mana Rampita berada, heh...?!" bentak salah
seorang seraya memberi satu pukulan keras ke wajah laki-laki
tua itu.
Des!
"Akh...!" laki-laki tua berpakaian pengemis itu terpekik.
Tubuh yang kurus kering itu tersungkur jatuh ke tanah.
Darah mengalir keluar dari mulutnya. Dan sebelum pengemis
tua itu bisa bangkit berdiri, kembali datang satu tendangan
keras mendarat di tubuhnya. Tak pelak lagi, dia terguling
beberapa kali sambil merintih kesakitan.
"Katakan! Di mana Rampita!" bentak seorang yang
mengenakan baju biru tua.
"Sungguh, aku tidak tahu di mana gadis itu berada," sahut
pengemis tua itu.
"Phuih!"
Dug!
"Akh...!"
Kembali terdengar pekikan keras ketika satu pukulan keras
bersarang lagi di tubuh kurus tua itu. Belum lagi hilang
pekikan itu, kembali salah seorang yang mengenakan baju
merah melayangkan pukulannya. Tapi mendadak saja....
Tap!

"Heh...!" laki-laki kekar berbaju merah itu terkejut.
Dan sebelum ada yang menyadari apa yang terjadi,
mendadak saja laki-laki berbaju merah itu terpekik. Seketika
tubuhnya terpental ke atas, namun masih bisa bersalto sebelum
mendarat lunak di tanah. Sedangkan dua orang lainnya menjadi
terpana begitu di dekat pengemis tua sudah berdiri seorang
pemuda berbaju kulit harimau.
Pemuda yang tak lain adalah Pendekar Pulau Neraka itu
membantu pengemis tua berdiri, kemudian merayapi tiga laki-
laki berwajah kasar di depannya. Pandangan mata Bayu begitu
tajam menusuk.
"Memalukan! Menganiaya orang tua tak berdaya...!"
dengus Bayu dingin.
"He, Kisanak! Jangan ikut campur urusanku!" bentak orang
berbaju biru geram.
"Kalian mencari Rampita, maka harus berurusan dulu
denganku!" dingin sekali suara Bayu.
Ketiga laki-laki bertubuh kekar itu terperanjat kaget,
sehingga sampai terlompat mundur dua langkah dan saling
berpandangan satu sama lain. Sedangkan Bayu dengan halus
mendorong pengemis tua ke belakang. Bibirnya
menyunggingkan senyuman tipis. Dilangkahkan kakinya tiga
tindak ke depan. Kedua tangannya terlibat di depan dada.
"Kalian jangan hanya bisa mengeroyok orang tua. Hayo,
hadapi aku!" tantang Bayu lantang.
"Siapa kau, Kisanak!" bentak laki-laki berbaju merah.
'Tidak perlu kalian tahu siapa aku! Pergi dari sini, atau
ingin merasakan kepalan tanganku!" Bayu memberikan dua
pilihan.
"Beludak! Hajar bocah kurang ajar ini!" geram laki-laki
yang berbaju merah kembali membentak, karena merasa
diremehkan.

Seketika itu juga ketiga orang bertubuh kekar itu
berlompatan menyerang Pendekar Pulau Neraka. Meskipun
diserang secara bersamaan, namun Pendekar Pulau Neraka
hanya mengegoskan tubuhnya sedikit Dan tanpa diduga sama
sekali tangannya berkelebat cepat bagai kilat.
Entah bagaimana kejadiannya, tahu-tahu ketiga orang itu
berpentalan diiringi pekikan keras. Mereka bergelimpangan di
tanah, namun cepat bangkit Sesaat ketiga orang itu saling
berpandangan, lalu masing-masing mencabut golok yang
terselip di pinggang.
"Mampus kau keparat! Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
"Hih!"
Bayu langsung merentangkan kakinya ke samping,
kemudian dengan cepat memiringkan tubuhnya ketika sebuah
golok berkelebat mengarah ke dada. Dan sebelum golok itu
tertarik pulang, secepat kilat Pendekar Pulau Neraka
menghentakkan tangannya.
Digh!
"Akh...!" laki-laki berbaju merah yang mengibaskan golok
itu menjerit keras.
Dan sebelum lawan terpental, kembali Bayu melayangkan
satu tendangan keras bertenaga dalam tinggi. Tak pelak lagi,
laki-laki bertubuh kekar mengenakan baju merah itu terpental
deras ke belakang. Tubuhnya keras sekali menghantam dinding
batu. Dia mengerang sambil menggeliat lalu diam tak berkutik
lagi. Dari mulut dan hidungnya mengucurkan darah.
Sedangkan dadanya tampak melesak masuk ke dalam.
Dua orang lainnya menjadi geram bukan main melihat
seorang temannya tewas dengan dada remuk. Mereka langsung
berlompatan menyerang dengan permainan golok yang cepat

dan dahsyat. Namun Bayu bukanlah lawan enteng. Akibatnya,
mudah sekali Pendekar Pulau Neraka membuat senjata lawan-
lawannya terpental. Sebelum mereka bisa berbuat sesuatu,
Bayu sudah melancarkan beberapa pukulan yang tak satu pun
luput dari sasaran. Jeritan-jeritan melengking terdengar saling
sambut, kemudian dua sosok tubuh kekar itu menggelepar di
tanah.
Bayu menghampiri pengemis tua begitu melihat lawannya
sudah tak berkutik, tanpa nyawa lagi. Pengemis tua itu hanya
memandangi Bayu. Mereka memang sudah pernah bertemu
sebelumnya di sebuah kedai
"Kenapa mereka mencari Rampita, Ki?" tanya Bayu
langsung.
"Aku tidak tahu," sahut pengemis tua itu.
"Hm..., mereka memaksamu," gumam Bayu dengan kening
berkerut "Siapa mereka, dan apa hubunganmu dengan
Rampita?"
Pengemis tua itu tidak langsung menjawab. Dia hanya
memandangi pemuda berbaju kulit harimau itu dalam-dalam,
kemudian tanpa berkata sedikit pun, melangkah pergi.
"Hey...! Tunggu!" seru Bayu seraya mengejar.
"Pergilah, Anak Muda. Jangan ganggu aku. Aku yakin, kau
pasti sama seperti yang lain. Berpura-pura baik dan
menolongku, padahal hatimu busuk!" agak ketus nada suara
pengemis tua itu.
Bukan main terkejutnya Bayu mendengar kata-kata ketus
itu. Pendekar Pulau Neraka tadi bertindak cepat dengan
membunuh ketiga laki-laki itu, karena mendadak hatinya panas
mendengar nama Rampita disebut-sebut. Dan lagi pula, Bayu
memang tengah menyelidiki, siapa sebenarnya Rampita itu.
Seorang Dara Ayu penuh misteri. Bayu sendiri tidak mengerti

kenapa begitu memperhatikan gadis itu. Padahal mereka kenal
belum begitu lama.
***
Karena Bayu terus mengikuti, pengemis tua itu
menghentikan langkahnya. Laki-laki tua itu lalu memandang
tajam pemuda berbaju kulit harimau itu. Sungguh berbeda
sekali sikapnya ketika mereka bertemu pertama kali di kedai
Tatapan mata pengemis tua itu kini tidak lagi terlihat sayu, tapi
begitu tajam menusuk. Bahkan berdirinya tegak, tidak
membungkuk seperti orang kelaparan yang meminta belas
kasihan hanya untuk sesuap makanan.
"Kenapa kau mengikutiku terus, Anak Muda?" dengus
pengemis tua itu dingin.
"Jawab dulu pertanyaanku, Ki," sahut Bayu kalem.
Pengemis tua itu menatap Bayu tajam.
"Aku yakin, kau sendiri tidak tahu di mana Rampita kini
berada. Lagi pula, apa hubunganmu dengan Rampita?" agak
dingin nada suara pengemis tua itu.
"Justru karena mereka menghubung-hubungkan dirimu
dengan Rampita, maka itu jadi urusanku!" sentak Bayu ketus.
"Heh?! Apa urusanmu dengan Rampita?" sekarang
pengemis tua itu yang terperanjat.
Bayu hanya tersenyum-senyum kecil. Disandarkan
punggungnya di sebuah pohon yang cukup rindang, menaungi
dirinya dari sengatan sinar matahari Sedangkan pengemis tua
memandangi dengan kening yang semakin berkerut dalam.
"Anak Muda, siapa kau sebenarnya?" tanya pengemis tua.
"Kau sendiri, siapa?" Bayu malah balik bertanya, dan
bersikap seenaknya.

"Anak Muda, kau memang telah menolongku dari
kelaparan. Tapi itu bukan berarti aku berhutang budi padamu!"
desis pengemis tua itu dingin.
"Aku tidak pernah membicarakan balas budi, dan tidak
akan pernah!" tegas kata-kata Bayu. "Aku hanya ingin
mengingatkan kalau di antara kita berada dalam situasi sama.
Tapi tampaknya kau tidak menginginkan. Baik..., aku akan
pergi. Dan selamanya kau tidak akan bisa bertemu Rampita!"
Setelah berkata demikian, Bayu langsung memutar
tubuhnya dan melangkah pergi.
'Tunggu...!" cegah pengemis tua cepat-cepat.
Bayu menghentikan ayunan kakinya, kembali berbalik
menghadap pengemis tua kurus kering itu.
"Ada apa lagi? Bukankah tadi menyuruhku pergi?"
"Aku mengaku kalah padamu, Anak Muda," ujar pengemis
tua itu pelan. ,
"Hah...?! Bertarung juga belum, kenapa mengaku kalah?"
"Pertarungan bukan hanya adu kekuatan, Anak Muda. Kita
tadi sudah melakukan satu pertarungan, berupa pertarungan
mental! Dan aku mengakui kekalahanku. "
Bayu mengangkat bahunya. Kepalanya menoleh ke kiri,
kemudian menghampiri sebongkah batu yang tidak begitu
besar, tidak jauh di sebelah kirinya. Pendekar Pulau Neraka itu
duduk mencangkung di situ Sedangkan pengemis tua itu
seenaknya duduk di tanah, bernaung di bawah pohon tidak jauh
di depan Bayu.
"Sebaiknya kita mulai dengan memperkenalkan diri
masing-masing, Anak Muda," usul pengemis tua itu memulai.
"Kau bisa memanggilku Dewa Pengemis."
"Kau tentu punya nama lahir, bukan?" Bayu tidak puas.
"Aku tidak tahu lagi namaku yang sebenarnya."

"Baiklah kalau begitu."
"Siapa namamu, Anak Muda?"
"Bayu"
"Siapa yang lebih dulu menceritakan hubungan kita
dengan Rampita?"
"Kau dulu."
Laki-laki tua kurus berpakaian compang-camping yang
mengenalkan diri sebagai Dewa Pengemis itu tersenyum kecut.
Kepalanya tergeleng beberapa kali. Secara jujur, dalam hati
diakui keteguhan pemuda berbaju kulit harimau ini. Meskipun
kata-katanya selalu terdengar tegas, bahkan menjurus kasar,
tapi Dewa Pengemis masih menangkap adanya kelembutan
pada sorot mata Bayu.
"Sebenarnya aku bukanlah orang lain bagi Rampita
Karena, aku adalah kakak kandung ayahnya," Dewa Pengemis
memulai menjelaskan di hadapan Pendekar Pulau Neraka.
"Bagaimana aku bisa mempercayaimu, Dewa Pengemis?"
sergah Bayu.
"Itu urusanmu, Bayu. Yang jelas, jauh-jauh aku datang dari
Selatan ingin bertemu adik dan keponakanku. Tapi ternyata
adikku sudah tewas, dan padepokan yang didirikan dengan
susah payah telah hancur. Tapi aku tetap berusaha untuk
bertemu keponakanku di Gunung Cakal. Tapi ternyata Rampita
juga sudah tidak ada lagi di sana. Sungguh tidak kumengerti,
karena selama berada di sini, sudah tiga kali aku bentrok
dengan orang-orang yang tidak bisa kumengerti apa maksud
mereka mencari Rampita. Aku benar-benar tidak tahu."
Bayu terdiam, tapi pandangannya agak dalam ke mata
Dewa Pengemis. Memang sudah disaksikannya, begitu banyak
orang dari kalangan rimba persilatan tumpah di selatar Kaki
Gunung Cakal. Bahkan sampai ke Lembah Bunga. Tapi

Pendekar Pulau Neraka itu belum mau percaya begitu saja pada
laki-laki tua pengemis ini.
"Kau sudah pernah bertemu Rampita sebelumnya?" tanya
Bayu menguji.
"Beberapa kali," sahut Dewa Pengemis.
Di mana biasanya kau bertemu Rampita?"
"Di Puncak Gunung Cakal. Tepatnya di sebuah gua yang
menjadi tempat tinggalnya. Semula keponakanku itu tinggal
bersama Paman dan Bibi dari ibunya. Tapi setelah paman dan
bibinya meninggal, tidak pernah kujumpainya lagi sampai
sekarang. Entah sudah berapa tahun tidak kulihat," jelas Dewa
Pengemis.
Bayu semakin dalam memandangi laki-laki tua pengemis
itu. Pendekar Pulau Neraka memang pernah ke Puncak Gunung
Cakal, menemui Rampita. Tapi ternyata bukan gadis itu yang
tinggal di sana. Melainkan seorang yang hampir mirip dengan
Rampita. Gadis cantik yang hidupnya bersama seekor binatang
beruang putih raksasa, dan juga penuh misteri!
Sebenarnya Bayu ingin mengatakan kalau di Puncak
Gunung Cakal sekarang bukan lagi menjadi tempat tinggal
Rampita, tapi seorang gadis penuh misteri bernama Seruni
Namun saat mendengar cerita Dewa Pengemis, pikiran Bayu
langsung berubah. Pendekar Pulau Neraka itu langsung bisa
mengetahui kalau Seruni telah meninggalkan Puncak Gunung
Cakal. Juga, Bayu sudah bisa menebak untuk apa gadis itu
pergi.
"Dewa Pengemis, boleh aku tahu. Apakah paman dan bibi
Rampita tidak mempunyai anak? tanya Bayu yang tiba-tiba
mendapat pemikiran yang mungkin bisa mengungkap tabir
misteri ini.

"Kenapa kau tanyakan itu, Bayu?" tanya Dewa Pengemis
tanpa menjawab pertanyaan Pendekar Pulau Neraka tadi.
"Maaf. Dalam saat seperti ini, aku tidak bisa begitu saja
mempercayai setiap orang. Apalagi yang berhubungan dengan
Rampita. Masalahnya, hampir semua orang mengetahui seluk-
beluk keluarga gadis itu," jelas Bayu.
Dewa Pengemis mengangguk-anggukkan kepalanya tanda
mengerti ucapan Pendekar Pulau Neraka itu, kemudian
tersenyum. Entah apa arti senyumnya itu. Bayu sendiri sukar
untuk memahaminya.
"Aku senang kalau Rampita berada di tempat yang aman
dalam keadaan selamat. Tapi...," kata-kata Dewa Pengemis
terputus.
'Tapi, kenapa...?"
Belum lagi Dewa Pengemis melanjutkan kata-katanya,
mendadak saja sebuah bayangan hijau berkelebat Dan tahu-
tahu di antara kedua orang itu berdiri gadis cantik mengenakan
baju wama hijau muda. Baik Bayu maupun Dewa Pengemis
terbeliak kaget. Mereka sampai terlonjak berdiri, dan mata
terbuka lebar seolah-olah tidak mempercayai apa yang dilihat
kini.
***
TIGA

Bayu tidak bisa berkata apa-apa. Baginya sulit dimengerti
kenapa tiba-tiba saja Rampita muncul di tempat ini. Sementara
Dewa Pengemis sudah menghampiri gadis itu dan berdiri di
sampingnya. Sedangkan pemuda berbaju kulit harimau itu
masih terdiam mengamati gadis cantik yang berdiri di
depannya. Seakan-akan ingin dipastikan kalau gadis itu
memang benar Rampita.
"Hh! Tidak kusangka kau begitu licik, Kakang. Kau
hendak memperdaya pamanku!" dingin sekali nada suara
Rampita.
"Rampita, apa yang kau lakukan di sini? Bukankah kau..,"
suara Bayu terputus.
"Sikap dan kata-katamu memang manis, Kakang. Sayang
sekali, maksud burukmu bisa kutangkap, walaupun
tersembunyi di balik sikap dan kata-kata manismu," desis
Rampita ketus.
"Rampita, kenapa kau...? Apa yang kau katakan?" Bayu
jadi tidak mengerti pada sikap Rampita.
"Kau memang pandai berpura-pura, Kakang. Tapi semua
akal licikmu sudah kuketahui! Kau harus mati, Kakang!
Hiyaaa...!"
"He! Tunggu...!"sentak Bayu.
Tapi Rampita sudah tidak bisa dicegah lagi. Gadis itu
sudah cepat melompat menerjangnya. Terpaksa Bayu harus
berkelit menghindari serangan gadis berbaju hijau muda itu.
Sementara Dewa Pengemis juga tampak kebingungan, tidak
mengerti akan semua ini. Dia hanya dapat diam menyaksikan
Rampita yang tengah menyerang Bayu dengan gencar.

Serangan-serangan yang dilancarkan Rampita begitu
bertubi-tubi sehingga membuat Bayu harus jumpalitan
menghindarinya. Beberapa kali Pendekar Pulau Neraka itu
berseru agar Rampita menghentikan serangannya, tapi tidak
dipedulikan. Bahkan semakin memperhebat serangan-
serangannya.
Menyadari kalau gadis ini tidak mungkin lagi bisa
dihentikan, Bayu menjadi gusar juga. Pendekar Pulau Neraka
paling tidak suka dengan posisi seperti ini, yang hanya bisa
berkelit dan menghindar tanpa dapat membalas sedikit pun.
Dan pada saat Rampita mengarahkan satu pukulan keras ke
arah dada, dengan cepat Bayu menyilangkan tangannya di
depan dada. Satu benturan keras pun tak dapat dihindari lagi.
"Akh...!" Rampita terpekik keras ketika pukulannya
terhalang tangan Pendekar Pulau Neraka.
Tepat pada saat itu, Bayu menghentakkan tangan kirinya
ke arah lambung. Begitu cepat gerakan tangannya, sehingga
Rampita tak mungkin mengelak lagi. Sodokan tangan kiri Bayu
tepat mendarat di lambung gadis itu. .
Des!
"Ughk...!" Rampita mengeluh panjang.
Selagi tubuh Rampita terbungkuk, Bayu cepat-cepat
melompat ke belakang sejauh dua batang tombak. Sementara
Rampita terhuyung-huyung ke belakang sambil mendekap
lambungnya. Seketika wajah gadis itu memerah bagai terbakar.
Seraya menyumpah dan memaki habis-habisan.
"Paman, manusia keparat itulah yang membunuh Ayah!
Sudah lama aku mencarinya. Dia harus mati, Paman!" teriak
Rampita seraya meringis menahan rasa mual yang mulai
menggerogoti perutnya.
"Rampita...," Dewa Pengemis kelihatan ragu-ragu.

'Percayalah padaku, Paman. Aku punya saksi," desak
Rampita.
Dewa Pengemis kelihatan ragu-ragu. Sebentar ditatapnya
Bayu, sebentar kemudian beralih ke arah Rampita yang tengah
berusaha mengatur napasnya untuk mengusir rasa mual dan
nyeri pada lambungnya. Sodokan tangan kiri Bayu memang
cukup keras, meskipun tidak disertai pengerahan tenaga dalam.
Namun begitu, sudah membuat Rampita hampir mati tertahan
napasnya.
"Kenapa diam saja, Paman. Bunuh dia. Keparat itu
membunuh ayahku, menghancurkan Padepokan Tongkat Sakti.
Bahkan juga mencuri Bunga Cubung Biru!" bentak Rampita
gusar melihat Dewa Pengemis masih diam saja ragu-ragu.
"Rampita, apa yang kau lakukan ini...?!" sentak Bayu tidak
mengerti dengan sikap gadis itu.
"Diam kau, keparat! Pembunuh busuk!" sentak Rampita
berang.
"Heh...?!" Bayu tersentak kaget.
Belum pernah Bayu melihat Rampita berkata sekasar itu.
Bahkan belum pernah terlihat begitu berang. Namun belum
juga Pendekar Pulau Neraka itu bisa berpikir lebih jauh,
mendadak saja Dewa Pengemis sudah melompat sambil
berteriak keras. Tongkat kayu yang kelihatan rapuh itu diputar
kencang, dan dikibaskan ke arah kepala Pendekar Pulau
Neraka.
"Yeaaah...!"
"Uts!"
Buru-buru Bayu merundukkan kepalanya. Maka sabetan
tongkat Dewa Pengemis lewat sedikit di atas kepala. Namun
demikian, pemuda berbaju kulit harimau itu bisa merasakan
angin tebasan tongkat rapuh itu. Sungguh dahsyat dan

mengandung hawa panas menyengat Dan sebelum Bayu
mengangkat kepalanya, mendadak saja Dewa Pengemis sudah
melepaskan satu tendangan menggeledek bertenaga dalam
cukup tinggi.
"Jebol! Yeaaah...!"
Bughk!
"Ugh...!"
Bayu terjengkang ke belakang sejauh dua batang tombak
Meskipun tidak sampai ambruk ke tanah, namun cukup
membuatnya limbung juga. Didekap perutnya yang terasa
mual. Tendangan Dewa Pengemis begitu keras dan bertenaga
dalam cukup tinggi. Bayu tak bisa lagi bertahan, dan langsung
memuntahkan darah agak kental dari mulurnya. Seketika
pandangan matanya jadi nanar.
"Hiyaaat...!"
Dewa Pengemis tidak lagi menunggu lama, langsung
melompat sambil cepat memutar tongkatnya. Sementara Bayu
masih belum bisa menghilangkan rasa mual pada perutnya.
Tapi mendapat serangan lagi, Pendekar Pulau Neraka bergegas
membanting tubuhnya ke tanah, lalu bergulingan beberapa kali
menghindari tebasan dan tusukan tongkat kayu secara beruntun
"Hup!"
Cepat Bayu melompat bangkit. Pada saat itu Dewa
Pengemis sudah kembali bergerak menyerang. Kakinya cepat
menyusur tanah, membuat debu berkepul bagai tersepak kaki
kuda yang dipacu cepat. Ujung tongkatnya lurus ke depan
mengarah dada Pendekar Pulau Neraka.
"Hiyaaat...!"
"Hap! Yeaaah...!"
Tap!

Cepat Bayu menggerakkan tangannya. Dan tepat ketika
ujung tongkat hampir menyentuh dada, Pendekar Pulau Neraka
itu merapatkan kedua tangannya di depan dada. Seketika ujung
tongkat Dewa Pengemis terjepit di antara telapak tangan Bayu
yang menyatu rapat. Tapi Dewa Pengemis rupanya tidak
kehilangan akal. Sambil melentingkan tubuh ke depan,
dihentakkan kakinya menendang dada Pendekar Pulau Neraka
itu.
"Yeaaah...!"
"Hih!"
Buru-buru Bayu menghentakkan tangannya ke depan
seraya melepaskan jepitannya pada tongkat laki-laki tua
pengemis itu, dan secepat itu pula melompat mundur sejauh
tiga langkah. Pada saat yang sama, Dewa Pengemis berputaran
di udara, kemudian mendarat di tanah dengan manis sekali.
Baru saja Bayu hendak membuka mulut untuk bicara, tiba-
tiba saja terdengar teriakan keras. Dan seketika Pendekar Pulau
Neraka itu terkejut. Ternyata dari arah samping kiri, Rampita
sudah melompat sambil menghunus pedang ke arahnya.
Wut! Wuk...!
"Hiyaaat..!"
Cepat sekali Bayu menarik tubuhnya ke belakang
menghindari tebasan pedang gadis berbaju hijau muda itu. Dan
secepat itu pula, sambil melentingkan tubuhnya ke belakang
secara berputar, dikirimkan satu tendangan keras.
Kalau saja Rampita tidak cepat-cepat melangkah mundur,
pasti dadanya terhajar tendangan itu. Namun sebelum gadis itu
sempat melakukan serangan kembali, Bayu sudah memberikan
satu pukulan jarak jauh yang keras bertenaga dalam sempurna
sekali. Rampita terperanjat Buru-buru dilentingkan tubuhnya,


berjumpalitan di udara beberapa kali. Pukulan jarak jauh
Pendekar Pulau Neraka hanya mengenai sasaran kosong.
"Rampita, mundur...!" teriak Dewa Pengemis.
"Tidak! Aku harus membalas kematian Ayah!" seru
Rampita tidak kalah kerasnya.
Gadis itu tidak mempedulikan peringatan laki-laki tua-
pengemis itu. Secepat kakinya menjejak tanah, secepat itu pula
kembali menyerang Pendekar Pulau Neraka. Dengan pedang di
tangan, Rampita bagai dewi maut yang siap mencabut nyawa.
Pedangnya berkelebatan cepat mengurung setiap gerak
Pendekar Pulau Neraka.
Tapi serangan-serangan gadis itu mudah sekali dapat
dimentahkan. Bahkan tanpa diduga sama sekali, mendadak saja
Bayu berhasil menyarangkan satu tendangan ke dada gadis itu.
Rampita terpekik, langsung terlontar cukup jauh ke belakang.
"Rampita...!" seru pengemis tua itu, sambil melompat ke
depan mendekati Pendekar Pulau Neraka. Dengan tongkat kayu
di tangan, laki-laki tua itu menyerang Pendekar Pulau Neraka
dengan ganas sekali. Serangan-serangan tongkatnya sungguh
berbahaya. Bahkan tongkat itu seperti memiliki mata. Ke mana
Bayu menghindari, selalu diikuti.
"Huh! Aku bosan dengan permainan ini! Hiyaaa...!"
dengus Bayu langsung saja mencelat ke atas.
Dan sebelum Dewa Pengemis bisa menyadari, Pendekar
Pulau Neraka sudah menukik deras. Langsung saja dikirimkan
satu pukulan keras ke arah dada begitu kakinya menjejak tanah
tepat di depan Dewa Pengemis.
Des!
"Aaakh...!" Dewa Pengemis menjerit keras.
Pukulan Bayu telak menghantam dada Dewa Pengemis,
membuat laki-laki tua itu terpental dan jatuh tepat di samping

Rampita yang sudah bisa bangkit berdiri. Dewa Pengemis
berusaha berdiri, tapi mengeluh merasakan nyeri pada dadanya.
Sepertinya ada beberapa tulang dadanya yang patah. Dewa
Pengemis bisa berdiri juga meskipun harus enahan rasa sakit
yang luar biasa.
"Kita pergi saja, Paman," ujar Rampita memberikan saran
"Baiklah, ayo!" sambut Dewa Pengemis.
Tanpa menunggu waktu lagi, Dewa Pengemis dan Rampita
berbalik dan berlari cepat meninggalkan tempat itu. Bayu
hendak mengejar, tapi segera mengurungkan niatnya. Dia
hanya berdiri tegak memandangi kedua orang yang semakin
jauh.
***
Bayu mengayunkan kakinya pelahan membelah hutan lebat
Begitu lebarnya, sehingga matahari seakan-akan sulit
meneroboskan cahayanya. Sekitar hutan ini begitu lembab.
Sepanjang jalan yang dilalui hanya tumpukan daun kering dan
lumut licin berembun. Jamur sangat subur tumbuh di balik
batang dan akar serta pohon-pohon yang sudah mati.
Pendekar Pulau Neraka itu melangkah pelahan sambil
memikirkan kemunculan Rampita. Benar-benar tidak
dimengerti akan sikap gadis itu yang jauh berubah. Sepertinya
Rampita adalah seorang gadis asing. Begitu garang dan liar
sekali. Bayu benar-benar tidak mengerti akan perubahan sikap
gadis itu yang begitu tiba-tiba. Bahkan menuduhnya sebagai
pembunuh ayahnya.
"Hm..., sebaiknya aku kembali ke gubuk Nyi Rampik,"
gumam Bayu.

Tanpa menunggu waktu lagi, Pendekar Pulau Neraka itu
langsung melesat ke atas pohon. Bagai seekor burung elang,
pemuda berbaju kulit harimau itu berlompatan dari pohon satu
ke pohon lainnya, bagai tidak menyentuh daun sedikit pun.
Begitu ringan dan sempurna ilmu meringankan tubuh Pendekar
Pulau Neraka, sehingga bisa berlompatan di atas pohon seperti
berada di atas permukaan tanah saja. Setiap dedaunan atau
ranting yang digunakan untuk pijakan, tak ada goyangan sama
sekali.
Dalam waktu tidak berapa lama saja, Pendekar Pulau
Neraka itu sudah sampai di depan pondok kecil reyot milik Nyi
Rampik Suasananya begitu sunyi senyap. Pelahan-lahan Bayu
menghampiri pondok itu. Ditajamkan mata dan telinganya.
Namun yang terdengar hanya desiran angin. Bahkan tidak
terlihat adanya tanda-tanda mencurigakan. Suasananya tidak
berubah, tetap sunyi seperti hari-hari yang lalu.
"Rampita...!" seru Bayu keras memanggil.
Sepi. Tak ada sahutan sedikit pun. Bayu jadi curiga dengan
keadaan yang sunyi begini. Langkahnya terhenti di depan pintu
pondok yang sedikit terbuka. Pelahan didorongnya pintu itu.
Bunyi bergerit membuat debaran jantung Pendekar Pulau
Neraka itu jadi semakin kencang.
Kosong! Tak ada seorang pun di dalam pondok ini. Tapi
begitu Bayu hendak melangkah pergi, mendadak saja matanya
menangkap sesuatu yang mencurigakan di kolong balai bambu.
Bergegas Pendekar Pulau Neraka itu menghampiri, lalu
membungkuk melihat ke bawah kolong balai bambu.
"Nyi Rampik...!" desis Bayu terbeliak.
Di dalam kolong balai bambu ini tergeletak seorang
perempuan tua yang sangat dikenal Pendekar Pulau Neraka.
Buru-buru pemuda berbaju kulit harimau itu menarik keluar

Nyi Rampik, dan memindahkannya ke atas balai bambu
beralaskan tikar daun pandan.
"Biadab...!" desis Bayu menggeram.
Nyi Rampik dalam keadaan pingsan. Darah di sudut
bibirnya hampar mengering. Pertanda cukup lama perempuan
tua itu pingsan. Seluruh wajah perempuan tua ini memar
membiru. Bayu mengedarkan pandangannya ke sekeliling
ruangan kecil ini. Tak ada tanda-tanda bekas ada perkelahian di
sini. Keadaannya cukup rapi. Tapi, di lantai dekat pintu
belakang terdapat bercak darah mengering
Bergegas Bayu menghampiri pintu yang langsung menuju
bagian belakang. Pintu itu terbuka lebar, dan Bayu langsung
menerobos. Kini Pendekar Pulau Neraka itu sudah berada di
bagian halaman belakang. Tampak pepohonan yang sengaja
ditanam Nyi Rampik hancur berantakan. Bercak-bercak darah
mengering terlihat di mana-mana. Begitu banyak jejak kaki
manusia tertera jelas di tanah.
"Hm..., di mana Rampita?" tanya Bayu jadi teringat
dengan gadis itu.
"Ha ha ha...!" tiba-tiba saja terdengar tawa lepas
menggelegar.
Bayu langsung memutar tubuhnya. Entah dari mana
datangnya, tahu-tahu di depannya kini sudah berdiri seorang
laki-laki berusia sekitar lima puluh tahunan. Wajahnya cukup
gagah dihiasi kumis tipis. Tubuhnya kekar berotot, dan berdada
bidang yang berbulu. Bayu mengedarkan pandangannya ke
sekeliling ketika mendengar suara berkeresek dedaunan kering.
Dan sekitarnya kini bermunculan orang-orang bersenjata
tombak Jumlah mereka begitu banyak, lebih dari lima puluh
orang. Semuanya bersenjata tombak yang bagian ujungnya
berkeluk seperti mata keris. Mereka semua langsung membuat
lingkaran mengepung, sehingga tak ada satu celah sedikit pun.

Pendekar Pulau Neraka kembali mengalihkan
pandangannya pada laki-laki setengah baya yang masih gagah
di depannya. Dari pakaian yang dikenakan, sepertinya dia
bukan dari kalangan persilatan. Demikian pula orang-orang
yang mengepungnya. Mereka mengenakan seragam bagai
seorang prajurit kerajaan. Tapi, entah dari kerajaan mana. Tak
ada lambang yang bisa menyatakan mereka datang dari suatu
kerajaan.
***
"Kau yang bernama Bayu?" tanya laki-laki setengah baya
itu.
"Benar. Dan kau siapa?"
"Aku Panglima Gajah Sodra. Aku sengaja menunggumu di
sini untuk membawamu ke Istana Cagar Angin," tegas laki-laki
setengah baya itu yang mengaku bernama Panglima Gajah
Sodra.
. "Maaf, Gusti Panglima. Sepertinya kita belum pernah
bertemu. Kenapa Gusti Panglima ingin membawaku ke
istana?" tanya Bayu, sopan.
"Sebaiknya kau jangan banyak tanya, Bayu. Gusti Prabu
sendiri yang akan bertemu denganmu."
"Aneh.... Apa urusannya Gusti Prabu ingin bertemu
denganku?" gumam Bayu seperti bertanya pada diri sendiri.
"Bayu! Perlu kau ketahui. Aku ditugaskan membawamu ke
istana dengan cara apa pun. Kuharap jangan membangkang,
agar tidak menyulitkan dirimu sendiri!" tegas Panglima Gajah
Sodra lagi.
"Kau mengancamku, Gusti Panglima," desis Bayu kurang
senang.

'Terserah apa anggapanmu. Suka atau tidak suka, harus
ikut denganku!"
"Kalau aku menolak?"
Panglima Gajah Sodra menggerung pelahan. Tatapan
matanya sangat tajam menusuk langsung bola mata Pendekar
Pulau Neraka. Sedangkan Bayu sudah bersiap menghadapi
segala kemungkinan. Diedarkan pandangannya ke sekeliling,
seakan-akan tengah mengukur kekuatan para prajurit Kerajaan
Cagar Angin ini. Jumlah yang cukup banyak, dan pasti mereka
prajurit pilihan dengan tingkat kemampuan rata-rata cukup
tinggi.
Selain membawa tombak, mereka juga menyandang
pedang di pinggang masing-masing. Sedangkan Panglima
Gajah Sodra hanya membawa pedang yang masih tergantung di
pinggang. Tapi di pinggangnya juga melilit seutas cambuk
hitam yang ujungnya menyerupai bentuk buntut kuda. Bayu
bergumam pelahan, entah apa yang digumamkan itu.
"Adya Bala...!" seru Panglima Gajah Sodra lantang.
Satu teriakan menggemuruh terdengar dari para Prajurit itu.
Mereka mengangkat tombak ke atas sambil berteriak
menyambut seruan Panglima Gajah Sodra. Sementara Bayu
sudah menggeser kakinya sedikit ke samping. Sudah bisa
diduga, pasti mereka akan memberikan serangan.
"Bayu, jangan paksa aku menggunakan kekerasan," desis
Panglima Gajah Sodra memperingatkan sekali lagi.
"Hm...," Bayu hanya menggumam kecil sambil
mengerutkan kening.
Panglima Gajah Sodra mendengus. Diangkat tangannya ke
atas, maka seluruh prajuritnya sudah siap dengan tombak
terhunus. Ketika Panglima Gajah Sodra menghentakkan
tangannya ke depan, mendadak saja....

'Tunggu....'" terdengar bentakan keras dan lantang.
Para prajurit yang sudah siap hendak menyerang Pendekar
Pulau Neraka, seketika mengurungkan niatnya. Panglima
Gajah Sodra langsung memutar tubuhnya ke kiri. Dan seketika
itu juga dijatuhkan dirinya berlutut seraya merapatkan tangan
di depan hidung. Namun yang terjadi pada Bayu lain lagi.
Pendekar Pulau Neraka itu membeliakkan matanya, seakan-
akan tidak percaya dengan apa yang disaksikannya ini.
"Seruni...," desis Bayu mengenali perempuan muda
berbaju putih yang baru datang itu.
Gadis berbaju putih itu melangkah tenang mendekati
Panglima Gajah Sodra. Sebentar ditatapnya laki-laki setengah
baya yang bersikap penuh rasa hormat itu. Kemudian
pandangannya beralih pada Pendekar Pulau Neraka yang masih
belum mempercayai semua yang dihadapinya ini.
"Gusti Ayu, Anak Muda ini mencoba membangkang,"
lapor Panglima Gajah Sodra.
"Apa Paman sudah mengatakan?" tanya Seruni.
"Sudah, Gusti Ayu. Tapi malah ditantang."
Seruni menatap Pendekar Pulau Neraka, lalu melangkah
menghampiri dan berhenti setelah jaraknya tinggal sekitar lima
langkah lagi. Sedangkan Bayu hanya diam saja, tapi benaknya
terus berputar keras. Gadis yang bernama Seruni ini memang
sungguh misterius. Pertama mengaku bernama Rampita.
Kemudian menjadi gadis liar dengan seekor beruang putih
raksasa. Dan kini muncul dalam keadaan lain lagi. Bayu jadi
bertanya-tanya, siapa sebenarnya dara ayu ini..?
"Kenapa kau menolak undangan Prabu Nata Kesuma,
Bayu?" tanya Seruni agak datar nada suaranya.
"Aku tidak merasa diundang, mereka ingin membawaku
secara paksa!" sahut Bayu ketus.

"Mereka tidak akan memaksa jika kau bersedia ke istana,"
Seruni tidak percaya pada jawaban Pendekar Pulau Neraka.
Bayu terdiam beberapa saat. Otaknya menimbang-nimbang
undangan yang tidak pernah dimengerti ini. Tapi bagi Pendekar
Pulau Neraka itu bukan masalah undangannya, melainkan rasa
penasarannya pada diri gadis ini Mungkin jika ikut ke Istana
Kerajaan Cagar Angin, bisa mengetahui siapa sebenarnya
Seruni Dara ayu yang penuh misteri.
"Baiklah. Aku penuhi undangan raja kalian," tegas Bayu
setelah berpikir cukup lama.
Seruni tersenyum. Kemudian berpaling pada Panglima
Gajah Sodra. Diperintahkannya laki-laki itu untuk
mempersiapkan kuda. Dengan segera Panglima Gajah Sodra
kembali memerintahkan para prajuritnya mempersiapkan kuda.
Saat itu ketegangan bisa teratasi, namun dalam pikiran Bayu
masih dipenuhi berbagai macam pertanyaan dan dugaan.
Terutama mengenai dara ayu yang bernama Seruni. Rasa ingin
tahunya semakin besar melihat sikap Panglima Gajah Sodra
dan seluruh prajuritnya begitu hormat pada gadis ini. Bahkan
memanggilnya dengan sebutan Gusti Ayu. Suatu sebutan
penghormatan bagi seorang wanita.
***

EMPAT

Sama sekali Bayu tidak menyangka kalau di sekitar
Gunung Cakal dan Lembah Bunga ada sebuah bangunan
megah yang merupakan Istana Kerajaan Cagar Angin. Juga
tidak diduga kalau daerah ini merupakan wilayah kerajaan itu.
Dan yang lebih mengherankan lagi, Prabu Nata Kesuma
ternyata masih begitu muda. Mungkin usianya baru sekitar dua
puluh tahun.
Bayu memandangi ruangan besar yang ternyata memang
Balai Sema Agung Istana Cagar Angin ini. Cukup banyak
orang yang ada di sini, selain Prabu Nata Kesuma yang duduk
di singgasana yang didampingi Seruni. Di belakang raja muda
itu berdiri beberapa gadis cantik mengenakan baju putih dan
memakai selendang wama biru yang membelit pinggang. Bayu
pernah bertemu gadis-gadis cantik itu, bahkan dua orang telah
tewas di tangannya. Jumlah mereka kini tinggal delapan orang
lagi
Agak ke depan di samping kanan, duduk seorang laki-laki
setengah baya, bertampang kasar. Tubuhnya tegap dan terlihat
masih gagah. Dialah Panglima Gajah Sodra. Sementara di
sebelahnya duduk beberapa orang pembesar lainnya.
Sedangkan Bayu hanya berdiri saja di tengah-tengah mereka
semua. Di belakang Pendekar Pulau Neraka itu terdapat sekitar
dua puluh orang prajurit bersenjata tombak panjang.
"Aku senang kau sudi memenuhi undanganku, Bayu," ujar
Prabu Nata Kesuma. Suaranya begitu lembut, bahkan seperti
wanita saja. Senyuman di bibir yang merah bagai bibir
perempuan selalu terkembang.
"Hm...," Bayu hanya menggumam kecil.

"Mungkin panglimaku memperlakukanmu kurang
mengenakan. Maafkan, tidak seharusnya terjadi adu
ketegangan," sambung Prabu Nata Kesuma.
"Langsung saja, Gusti Prabu. Apa maksud Gusti Prabu
mengundangku kemari?" celetuk Bayu tanpa memberi sikap
hormat sedikit pun.
Sikap Bayu yang begitu berani membuat para pembesar
menjadi memberengut tidak senang. Terlebih lagi Panglima
Gajah Sodra yang hampir saja menerjang. Untung Prabu Nata
Kesuma lebih dulu memberi isyarat dengan mengangkat
tangannya sedikit. Dan Bayu memang tidak peduli, karena
sejak semula memang sudah tidak senang terhadap sikap
panglima itu. Kalau saja bukan karena rasa ingin tahunya
mengenai diri Seruni, tidak mungkin Pendekar Pulau Neraka
itu ada di ruangan besar dan megah ini.
"Bayu, kudengar kau sekarang memiliki Bunga Cubung
Biru. Benar itu?" ujar Prabu Nata Kesuma lembut.
"Dari mana kau tahu?" tanya Bayu agak kaget juga
meskipun sudah menduga pasti ada hubungannya dengan
Bunga Cubung Biru yang tengah dihebohkan sekarang ini.
"Kau tentu sudah kenal gadis ini, Bayu?" Prabu Nata
Kesuma menoleh pada/ Seruni yang duduk di sampingnya.
Bayu tidak menjawab, tapi hanya memandang Seruni yang
tersenyum-senyum membalas pandangannya. Pendekar Pulau
Neraka kembali mengalihkan pandangannya ke arah Prabu
Nata Kesuma.
"Apa saja yang dikatakannya?" tanya Bayu.
"Tidak banyak Tapi..., ah sudahlah. Mungkin kau lelah.
Sebaiknya, beristirahatlah dulu. Kamar untukmu sudah
disiapkan," jelas Prabu Nata Kesuma seraya menjentikkan
jarinya.


Seruni bangkit berdiri, lalu menghampiri Pendekar Pulau
Neraka.
"Mari, kutunjukkan kamar untukmu," ujar Seruni manis.
Sebentar Bayu menatap gadis itu, kemudian berpaling ke
arah Prabu Nata Kesuma. Raja muda itu mengangguk sedikit
dan tersenyum. Tanpa berkata apa pun, Bayu mengikuti Seruni
menuju kamar untuknya.
Sepeninggal Pendekar Pulau Neraka itu, Panglima Gajah
Sodra menghampiri Prabu Nata Kesuma. Diberikannya hormat
dengan merapatkan kedua tangannya di depan hidung.
"Gusti, kenapa tidak kita paksa saja agar mengaku," kata
Panglima Gajah Sodra.
"Aku masih punya rencana yang lebih baik lagi, Paman
Gajah Sodra. Kita sudah melakukan banyak kekerasan. Aku
khawatir, rakyat akan tahu tentang kita yang sebenarnya,
sehingga akan menambah kesulit an kita semua, Paman. Aku
tidak ingin semuanya berantakan sebelum berhasil
mendapatkan Bunga Cubung Biru itu," jelas Prabu Nata
Kesuma lembut. Namun dalam nada suaranya mengandung
tekanan yang amat dalam.
"Gusti Prabu, hamba dengar si Dewa Pengemis terlihat di
sekitar Desa Temanggal. Bahkan beberapa telik sandi
mengatakan melihat Rampita bersama Dewa Pengemis," lapor
Panglima Gajah Sodra.
"Jangan hiraukan, Paman. Mereka bukanlah tandinganku.
Biarkan saja mereka menjual obat, aku yakin tak akan ada yang
mau mempercayainya lagi," sembur Prabu Nata Kesuma.
"Ampun, Gusti Prabu. Hamba hanya merasa khawatir.
Sebab anak buah hamba tewas ketika bentrok dengan Dewa
Pengemis."

"Sudahlah, aku akan kembali ke bilik semadi," Prabu Nata
Kesuma bangkit berdiri dari singgasananya.
Delapan orang gadis cantik yang mendampinginya ikut
berjalan di belakang raja muda itu. Sedangkan semua orang
yang berada di ruangan Balai Sema Agung itu menundukkan
kepala seraya merapatkan tangan di depan hidung. Mereka
baru mengangkat kepala kembali setelah Prabu Nata Kesuma
keluar dari tempat itu.
***
Malam belum begitu larut Namun Bayu sudah terlelap di
alam mimpi. Kamar yang disediakan Prabu Nata Kesuma
memang sungguh menyenangkan, sehingga membuatnya lebih
cepat jatuh tidur dari biasanya. Suasana begitu sunyi dan gelap.
Hanya cahaya bulan yang menerobos masuk menerangi kamar
itu. Dalam keremangan cahaya bulan terlihat sesosok tubuh
menyelinap di bawah jendela luar kamar yang ditempati
Pendekar Pulau Neraka.
Sosok tubuh hitam yang seluruh kepalanya terselubung
kain hitam pekat, dan hanya bagian mata saja yang terlihat
Sosok tubuh berbaju hitam itu mencoba mencongkel jendela.
Hanya sedikit suara yang terdengar, maka jendela sudah
terbuka lebar. Diperhatikannya Bayu yang masih terlelap
dalam buaian mimpi.
Slap!
Sungguh ringan gerakan sosok tubuh hitam itu. Tanpa
menimbulkan suara sedikit pun, dia melompat masuk melalui
jendela yang sudah terbuka lebar. Sebentar diawasinya Bayu,
lalu pelahan-lahan bergerak mendekati pembaringan.
Tangannya menggapai-gapai mencari sesuatu di atas meja.
Lalu berpindah ke lemari, dinding, dan setiap sudut di kamar

ini. Bahkan permadani yang menjadi alas lantai kamar ini pun
tak luput dari perhatiannya. Namun yang dicari belum juga
ditemukan. Sosok hitam itu kini memusatkan perhatiannya
pada Pendekar Pulau Neraka yang tampaknya masih terlelap
tidur.
Namun begitu kakinya hendak melangkah menghampiri,
tanpa disengaja tangannya menyentuh sebuah jambangan yang
berada di pinggir meja. Jambangan dari tanah liat itu jatuh dan
pecah di lantai dengan menimbulkan suara berisik.
"Siapa itu...?"
Seketika Bayu menggelinjang bangkit dari pembaringan.
Pada saat itu sosok tubuh hitam melesat melalui jendela.
"Hai...?!" seru Bayu keras.
Tapi sebelum sosok tubuh hitam itu keluar, tangannya
dikibaskan sambil memutar tubuhnya. Seketika melesat sebuah
benda berwarna kemerahan ke arah Pendekar Pulau Neraka.
Sebelum Bayu sempat menyadari, orang berbaju hitam itu
sudah cepat melesat keluar.
"Uts! Hup...!"
Bayu langsung memiringkan tubuhnya, maka benda bulat
kecil kemerahan itu lewat di depan dadanya. Secepat itu pula,
Pendekar Pulau Neraka melompat mengejar melalui jendela
juga. Sekilas masih terlihat bayangan hitam berkelebat
melompati tembok benteng istana bagian belakang. Tanpa
membuang-buang waktu lagi, Pendekar Pulau Neraka itu
mengejar. Gerakannya sungguh cepat dan ringan, sehingga
dalam sekejap saja sudah melompati tembok benteng yang
tinggi itu.
"Huh!" Bayu mendengus begitu kakinya menjejak tanah di
luar tembok benteng.


Sosok tubuh hitam itu lenyap tak terlihat lagi bayangannya.
Bagian belakang istana ini memang seperti hutan saja.
Pohonnya besar-besar dan rapat, sehingga menyulitkan sinar
bulan meneranginya. Meskipun Bayu sudah memasang
penglihatan tajam, tetap saja tidak bisa menemukan sosok
tubuh hitam itu lagi.
"Hm..., siapa dia? Apa maksudnya memasuki kamarku...?"
Bayu jadi bertanya-tanya sendiri.
Pendekar Pulau Neraka itu kembali melompati tembok
benteng. Tanpa menimbulkan suara sedikit pun, kakinya
mendarat di bagian dalam belakang istana ini Namun baru saja
hendak melangkah, mendadak pemuda berbaju kulit harimau
itu mengurungkan niatnya. Dipandanginya sosok tubuh
ramping yang tiba-tiba sudah berdiri dekat di depannya.
"Seruni...," desis Bayu pelahan.
"Tidak ada yang perlu kau selidiki di sini, Bayu," kata
Seruni sebelum Bayu membuka mulut
"Hm..., kau sendiri sedang apa di sini?" agak datar suara
Bayu.
"Aku bebas melakukan apa saja di tempat ini, Bayu. Lain
halnya denganmu. Kau jadi pengawasanku, Pemuda Tampan."
Bayu mendengus berat. Diayunkan kakinya melewati gadis
itu. Seruni hanya memandangi sambil menyunggingkan
senyuman. Gadis itu mengikuti dan mensejajarkan langkahnya
di samping Pendekar Pulau Neraka. Mereka berhenti setelah
sampai di depan jendela kamar yang ditempati Bayu. Jendela
itu masih terbuka lebar.
"Kau keluar lewat jendela, Bayu?" nada suara Seruni
seperti menyelidik
"Apa urusanmu?" dengus Bayu.

'Itu menjadi tanggung jawabku, Bayu. Selama berada di
sini, keselamatanmu di tanganku. Coba kalau ada yang melihat,
kau bisa disangka pencuri."
"Kau menganggap diriku seperti anak kecil, Seruni," agak
sinis nada suara Bayu.
"Aku ingatkan padamu, Bayu. Kau tamu di sini!" tajam
suara Seruni
Bayu hanya tersenyum sinis lalu enak sekali tubuhnya
melompati jendela dan masuk ke dalam kamarnya. Belum juga
pemuda berbaju kulit harimau itu menutup jendela, Seruni
sudah ikut melompat ikut masuk ke dalam kamar ini.
Dihampirinya meja dan dinyalakan pelita, sehingga ruangan
yang cukup besar dan indah ini terang benderang.
"He! Kamarmu berantakan...?!" seru Seruni terkejut.
"Ada pencuri yang masuk ke sini!" dengus Baya
Seruni memandangi pemuda berbaju kulit harimau itu,
kemudian mengedarkan pandangannya ke sekeliling.
Sedangkan Bayu hanya berdiri saja bersandar di samping
jendela. Seruni menghampiri, dan berdiri begitu dekat di depan
Bayu. Hampir tak ada jarak di antara mereka.
"Seharusnya kau laporkan hal ini pada penjaga, Bayu,"
kata Seruni pelan.
"Hh! Aku tidak percaya pada penjaga tolol begitu!" dengus
Bayu.
Pendekar Pulau Neraka itu hendak menjauh. Tapi Seruni
lebih cepat melingkarkan tangannya ke pinggang. Bayu agak
terkejut Dan sebelum hilang keterkejutannya, tahu-tahu gadis
itu sudah melumat ganas bibirnya. Hampir saja Bayu
kehilangan napas, dan untuk sesaat termangu. Tak tahu, apa
yang harus diperbuatnya.
Seruni melepaskan pagutannya. Dilingkarkan tangannya di
leher Pendekar Pulau Neraka itu. Dipandanginya wajah

pemuda di depannya lekat-lekat. Dan Bayu sendiri juga
memandangi wajah yang begitu dekat dengannya, tapi belum
memberi tanggapan atas rangsangan yang dilakukan gadis ini.
"Kau tahu, Bayu. Sejak pertama kali melihatmu, aku sudah
terpikat denganmu," jelas Seruni pelan agak berbisik.
Pelahan dan halus sekali Bayu melepaskan rangkulan gadis
itu. Digeser tubuhnya ke samping, lalu melangkah
menghampiri kursi di samping pembaringan. Pendekar Pulau
Neraka itu menghenyakkan tubuhnya di kursi itu. Sementara
Seruni masih saja berdiri memandanginya. Dua kali Bayu
menghembuskan napas panjang. Entah apa yang ada di dalam
hati pemuda ini
"Siapa kau sebenarnya, Seruni?" tanya Bayu sambil
menatap tajam ke wajah gadis itu.
Seruni tidak langsung menjawab, tapi malah tersenyum
dan menghampiri Pendekar Pulau Neraka itu. Sambil
menghembuskan napas panjang, gadis itu menghenyakkan
tubuhnya di samping Bayu. Digeser duduknya, dan dirapatkan
tubuhnya ke tubuh pemuda itu. Tangannya melingkar di
pinggang Bayu, dan kepalanya direbahkan ke pundak.
Sementara Bayu hanya diam saja tak menanggapi. Seruni
mengangkat kepalanya. Dipandanginya wajah pemuda tampan
itu dalam-dalam. Pelahan-lahan didekatkan wajannya ke wajah
Bayu, dan dikecup bibir pemuda itu lembut. Sebentar Seruni
melepaskan kecupannya, lalu melumatnya dalam-dalam.
Mendapat rangsangan begitu rupa, Bayu jadi gelisah.
Kelelakiannya langsung tergugah, tapi masih bisa mengendali-
kan diri. Dengan halus sekali dilepaskan pelukan Seruni dan
bangkit berdiri.
"Kenapa menolak, Bayu?" tanya Seruni membe-rengut.

Bayu diam saja. Ditariknya napas panjang, dan di-
hembuskannya kuat-kuat Ditatapnya Seruni dalam-dalam.
Gadis ini memang cantik dan menggairahkan. Tapi Bayu jadi
teringat peringatan Rampita sebelum meninggalkan gadis itu di
pondok Nyi Rampik.
Namun sebentar kemudian Bayu juga jadi bertanya-tanya
tentang diri Rampita. Sewaktu dibawa ke istana ini, dia ada di
pondok Nyi Rampik. Sedangkan perempuan tua itu dalam
keadaan pingsan dan Rampita sudah tidak ada lagi. Dan
sebelumnya Pendekar Pulau Neraka bertemu Rampita. Bahkan
gadis itu kini membencinya di depan seorang laki-laki tua yang
bernama Dewa Pengemis. Rampita mengakui kalau Dewa
Pengemis adalah pamannya. Demikian juga si Dewa Pengemis,
yang mengaku sebagai paman dari gadis itu. Dan sekarang di
hadapannya ada seorang gadis yang hampir mirip Rampita.
Seorang gadis yang juga penuh terselimut misteri.
"Sudah malam, Seruni. Sebaiknya kembali saja ke
kamarmu," kata Bayu lembut
"Aku ingin tidur di sini!" dengus Seruni.
Bayu terhenyak kaget Sungguh tidak disangka gadis ini
akan seberani itu. Sementara Seruni sudah berdiri dan
menghampiri Pendekar Pulau Neraka yang tengah diliputi
berbagai macam perasaan di dalam dirinya. Tanpa berkata apa-
apa lagi, gadis itu memeluk dan...
"Seruni..," desah Bayu mencoba mengelakkan ciuman
gadis itu.
"Huh!" dengus Seruni.
Dengan wajah memberengut kesal, gadis itu melepaskan
pelukannya dan melangkah mundur.
"Kau menolakku, Bayu. Ini pasti gara-gara Rampita!"
dengus Seruni geram.

"Seruni...."
"Baik! Kau akan lihat sendiri, Bayu. Dan jangan harap
akan bisa bertemu Rampita lagi. Maka kau tentu tidak akan
bisa menolakku lagi! Huh...!"
"Seruni, dengar dulu...!"
Tapi Seruni sudah bergegas meninggalkan kamar itu.
Dibukanya pintu dengan kasar dan dihempaskannya dengan
kasar pula. Suara pintu terbanting begitu keras, sehingga
seluruh dinding ruangan ini sampai bergetar. Bayu
menggeleng-gelengkan kepalanya melihat sikap gadis itu.
Seorang gadis yang cantik, liar, berkepandaian cukup tinggi
tapi terselimut misteri.
***
Seruni melangkah lebar-lebar disertai wajah memberengut.
Dengan sikap kasar, dibukanya satu pintu kamar yang tertutup
rapat. Sebuah kamar besar dan indah, namun hanya diterangi
satu pelita kecil. Gadis itu semakin memberengut melihat di
atas pembaringan dua orang tengah bergumul tak
mempedulikan kehadirannya. Dengan kasar dibantingnya pintu
itu hingga tertutup. Maka, dua orang di pembaringan itu kontan
terkejut
Mereka langsung buru-buru merapikan diri. Tampak yang
laki-laki melompat dari pembaringan. Seorang pemuda
berwajah tampan yang dikenal bernama Prabu Nata Kesuma.
Sedangkan yang wanita berwajah cantik. Sikapnya kelihatan
takut-takut ketika turun dari pembaringan. Pakaiannya belum
begitu benar, sehingga bagian dadanya masih terbuka.
"Seruni, apa-apaan ini...?!" sentak Prabu Nata Kesuma.

"Suruh gendakmu ini keluar!" rungut Seruni Prabu Nata
Kesuma meminta wanita itu keluar. Diberikannya satu kecupan
di bibir gendak itu, sementara Seruni memalingkan muka. Dia
tidak peduli ketika wanita itu memberi sembah dengan
merapatkan kedua tangannya di depan hidung. Dengan sikap
hati-hati sekali dibukanya pintu, lalu keluar dan menutup pintu
kembali. Prabu Nata Kesuma merapikan pakaiannya, kemudian
duduk di tepi pembaringan. Sedangkan Seruni masih saja
berdiri dengan wajah kusut.
"Ada apa, Seruni?" tanya Prabu Nata Kesuma lembut
"Huh! Dia menghinaku, Kakang. Dia menolakku!" rungut
Seruni seraya menghempaskan tubuhnya di kursi.
"Bayu, maksudmu?"
"Siapa lagi? Dia pasti sudah dipengaruhi Rampita!"
Prabu Nata Kesuma tersenyum, kepalanya menggeleng
beberapa kali. Laki-laki itu bangkit dari pembaringan dan
melangkah menghampiri gadis itu. Dia duduk di samping
Seruni, lalu menggenggam hangat tangan gadis itu. Tapi gadis
itu menarik tangannya dengan kasar.
"Seruni, kau adikku satu-satunya. Tidak ada seorang pun
yang boleh menghinamu. Akan kujatuhkan hukuman padanya
besok," tegas Prabu Nata Kesuma.
"Bukan itu yang kuinginkan, Kakang!"
"Lalu?"
"Kakang, buat dia menurut padaku..."
"Ha ha ha...!" Prabu Nata Kesuma malah tertawa terbahak-
bahak.
Dan Seruni semakin memberengut kesal.
"Bagaimana aku bisa membuat ramuan Pelebur Jiwa
sekarang ini, Seruni. Kau sendiri kan tahu, tanpa Sari Bunga
Cubung Biru tidak ada yang bisa kulakukan. Sedangkan

sampai sekarang bunga itu belum berhasil didapatkan," kata
Prabu Nata Kesuma setelah reda tawanya.
"Huh! Kakang selalu saja memikirkan Bunga Cubung
Biru!" dengus Seruni memberengut.
"Dengar, Seruni. Kelangsungan kehidupan kita terletak
pada bunga itu. Aku yakin kekuasaanku tidak akan bertahan
lama jika tidak mendapatkan kembali bunga itu. Bunga
Cubung Biru sangat penting bagiku, Seruni. Juga untukmu...!"
'Tapi Bayu tidak memilikinya, Kakang. Aku yakin bunga
itu tidak ada padanya."
"Kenapa kau begitu yakin, Seruni?" tanya Prabu Nata
Kesuma.
'Tadi sudah kucoba memasuki kamarnya. Sudah kucari,
kuobrak-abrik seluruh kamarnya, tapi tidak ada. Juga sudah
kucoba untuk merayunya, tetap saja tidak ada, Kakang.
Bahkan...," suara Seruni terputus.
"Kau terus merayu dan dia menolakmu, begitu? Ha ha
ha...!" Prabu Nata Kesuma tertawa terbahak-bahak.
'Tidak lucu!" bentak Seruni memberengut Tapi mukanya
memerah juga. "Sudahlah, Adikku. Bukan hanya dia pemuda
tampan di dunia ini. Kau bisa mendapatkan sepuluh yang lebih
tampan darinya," Prabu Nata Kesuma mencoba mendinginkan
hati adiknya.
"Bayu bukan hanya tampan saja, Kakang. Tapi ilmu
kedigdayaannya tinggi sekali. Bahkan dia berhasil membunuh
beruang putih piaraan Eyang Banadu." (Baca serial Pendekar
Pulau Neraka dalam kisah: "Rahasia Bunga Cubung Biru").
"Apa...?!" Prabu Nata Kesuma terperanjat
"Apakah Eyang Banadu tidak menceritakan padamu,
Kakang?" tanya Seruni yang juga kaget melihat kakaknya

begitu terkejut mendengar beruang putih tewas oleh Pendekar
Pulau Neraka.
'Tidak. Kenapa tidak kau ceritakan hal ini padaku, Seruni?"
nada suara Prabu Nata Kesuma terdengar menyesal.
"Hh..., aku pikir Eyang Banadu sudah mengatakannya
padamu."
"Eyang Banadu tidak mengatakan apa-apa. Dia hanya
mengatakan untuk sementara tidak bisa kembali karena ada
urusan. Hanya itu yang dikatakannya."
"Eyang Banadu ingin mencari Bayu. Katanya, ingin
menagih hutang beruang putihnya," sambung Seruni,
"Huh! Kalau begitu, Bayu harus dipenjara. Dan aku akan
mengutus orang untuk memanggil Eyang Banadu!" tegas kata-
kata Prabu Nata Kesuma.
"Kakang...!" Seruni terkejut
Gadis itu menyesal telah memberitahu perihal kematian
beruang putih milik guru mereka. Dan sekarang tidak mungkin
lagi niat kakaknya untuk memenjarakan Bayu bisa dicegah.
Kalau sampai hal itu terjadi, tak mungkin pemuda itu bisa
diharapkan lagi. Seruni tak bisa lagi membohongi dirinya
sendiri, kalau sudah begitu terpikat Bukan saja oleh
ketampanan, tapi ilmu kedigdayaan yang dimiliki Bayu yang
membuat hatinya semakin terpikat
Belum pernah Seruni merasakan kecemburuan pada
seorang pemuda. Kecemburuan itu datang ketika melihat Bayu
berada satu pondok bersama Rampita. Gadis itu tak bisa lagi
mengelak kalau benih cinta sudah tumbuh di hatinya. Dia
mencintai Pendekar Pulau Neraka, yang seharusnya menjadi
musuhnya.
Seruni benar-benar tidak bisa berbuat apa-apa lagi ketika
Prabu Nata Kesuma memanggil pengawal dan memerintahkan
untuk memenjarakan Bayu malam ini juga. Gadis itu hanya

bisa diam terpaku di kursi yang didudukinya. Tidak mungkin
ucapan kakaknya yan seorang raja di sini bisa ditentangnya
Dia mencintai Bayu, tapi juga tidak bisa menentang
kakaknya.
"Kenapa Kakang memenjarakannya?" tanya Seruni tanpa
disadari.
"Kenapa kau tanyakan itu, Seruni?" Prabu Nata Kesuma
malah balik bertanya.
Seruni langsung terdiam. Ditundukkan kepalanya, lalu
pelahan bangkit berdiri dan melangkah ke pintu.
"Seruni...," panggil Prabu Nata Kesuma.
Seruni tidak jadi keluar, meskipun telah membuka pintu
kamar ini. Diputar tubuhnya, menghadap pada kakaknya.
Dengan pandangan sayu ditatapnya wajah pemuda tampan itu.
"Tidurlah, kau perlu istirahat" ucap Prabu Nata Kesuma.
Seruni hanya mengangguk, kemudian berbalik dan
langsung melangkah keluar. Pintu kembali tertutup begitu
Seruni berada di luar kamar. Sementara Prabu Nata Kesuma
masih berdiri memandangi pintu yang tertutup. Keningnya
agak berkerut, pertanda tengah memikirkan sesuatu. Mungkin
tengah memikirkan sikap Seruni yang mendadak berubah
ketika dirinya memerintahkan pengawal untuk memenjarakan
Bayu.
"Rasanya tidak mungkin kalau Seruni jatuh cinta...,"
gumam Prabu Nata Kesuma bicara pada dirinya sendiri.
***

LIMA

Bayu benar-benar tidak mengerti, kenapa dijebloskan
dalam penjara. Bisa saja Pendekar Pulau Neraka memberontak,
tapi melihat begitu banyak prajurit di sekitarnya, rasanya tidak
mungkin mengambil resiko terlalu besar. Tanpa mengadakan
perlawanan sedikit pun, Pendekar Pulau Neraka itu dijebloskan
dalam ruangan penjara yang kotor dan berbau tidak sedap.
Ada enam orang penjaga di depan pintu penjara ini,
sehingga tak ada kemungkinan untuk meloloskan diri. Ruangan
ini terbuat dari batu tebal dan berlumut. Tak ada lampu pelita.
Satu-satunya penerangan hanyalah dari sinar bulan yang
menerobos masuk melalui celah batu kecil pada langit-langit
Pintu penjara ini terbuat dari jeruji besi baja yang kuat.
Mungkin jeruji besi ini bisa dipatahkan, tapi Bayu tidak
tahu berapa penjaga yang harus dilewatinya. Di depan penjara
ini saja ada enam penjaga. Belum lagi di pintu keluar, atau
mungkin lebih banyak lagi di sekitar bangunan penjara ini.
Yang pasti tidak mudah baginya untuk keluar. Namun selagi
Pendekar Pulau Neraka itu berpikir keras, mendadak saja....
"Ughk!"
"Akh!"
Pekikan tertahan dan keluhan pendek terdengar beruntun.
Bayu jadi terbengong melihat enam orang penjaga roboh dan
tewas seketika. Sebelum Pendekar Pulau Neraka dapat
mengerti, mendadak saja di depan pintu penjara muncul Seruni.
Gadis ini membuka pintu penjara, lalu menyeretnya keluar dari
ruangan pengap berbau tidak sedap ini.
"Seruni, kenapa kau...?"

"Jangan banyak tanya! Ayo ikuti aku!" potong Seruni cepat
sebelum Bayu menyelesaikan pertanyaannya.
Pendekar Pulau Neraka itu tidak bertanya lagi, dan
langsung menuruti saja ke mana gadis itu membawanya pergi.
Mereka menyusuri lorong bangunan penjara yang sempit dan
pengap ini. Sampai di ujung lorong, Seruni membuka sebuah
pintu yang terbuat dari kayu jati tebal. Bunyi bergerit
terdengar.
"Ayo, cepat!" sentak Seruni sambil menarik tangan Bayu.
Mereka melewati pintu itu, dan Seruni menutupnya
kembali. Keadaan begitu gelap, tak ada penerangan sama
sekali. Bayu mengayunkan kakinya ketika Seruni
menyentakkan tangannya. Mereka kembali berjalan pelahan.
Bayu merasakan kalau mereka berjalan menurun. Suasana yang
begini gelap membuat mereka tidak bisa bergerak cepat.
Ditambah lagi, jalan yang dilalui begitu licin.
Tapi rupanya lorong gelap ini tidak begitu panjang. Dan
kini mereka sudah dihadang lagi oleh sebuah pintu besi. Seruni
mengeluarkan anak kunci dari balik lipatan bajunya untuk
membuka pintu. Bayu membantu menarik pintu itu agar
terbuka. Secercah cahaya bulan langsung menerobos
menerangi.
Mereka bergegas keluar. Seruni menutup kembali pintu
besi itu dan menguncinya. Disimpannya kembali kunci itu di
balik lipatan bajunya. Sementara Bayu mengedarkan
pandangannya berkeliling.
"Di mana ini?" tanya Bayu.
"Di luar bagian Barat istana," sahut Seruni.
Bayu belum sempat bertanya lagi, karena Seruni sudah
menyeretnya kembali. Mereka kemudian berlari kecil masuk ke
sebuah hutan kecil yang tidak begitu lebat Tidak seperti
bangunan-bangunan istana lainnya yang selalu berdiri di

tengah-tengah kota, istana ini justru berada di tengah-tengah
hutan.
Seruni berhenti berlari setelah cukup jauh mereka
meninggalkan Istana Cagar Angin. Bayu juga ikut berhenti.
Mereka benar-benar di dalam hutan sekarang ini. Tak ada yang
bisa dilihat kecuali kegelapan dan pepohonan yang besar dan
rapat Hanya gerit binatang malam yang terdengar.
"Kenapa aku kau bebaskan, Seruni?" tanya Bayu tidak
mengerti.
"Maaf, aku harus cepat kembali. Mereka tidak boleh tahu
kalau aku telah membebaskanmu," kata Seruni tanpa menjawab
pertanyaan pemuda berbaju kulit harimau itu.
“Tapi..."
Bayu tak sempat lagi meneruskan ucapannya, karena
Seruni telah lebih cepat memeluk dan melumat bibir Pendekar
Pulau Neraka itu. Kejadian yang begitu cepat dan tidak sempat
disadari lagi. Sebelum Bayu bisa berkata apa-apa, gadis itu
sudah berlari cepat meninggalkannya. Pemuda itu hanya bisa
memandangi kepergian Seruni hingga lenyap ditelan kegelapan
malam.
"Aneh...," desah Bayu seraya mengangkat bahunya.
Bayu mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Tatapan
matanya langsung tertumbuk pada kerlip cahaya yang timbul
tenggelam di antara pepohonan yang menghitam. Tanpa
berpikir panjang lagi, Pendekar Pulau Neraka itu langsung
berjalan cepat menuju arah cahaya itu.
***
Bayu memandangi sebuah pondok kecil yang terbuat dari
bilik bambu dan beratapkan daun rumbia. Cahaya yang

dilihatnya tadi ternyata dari sebuah pelita kecil yang tergantung
di beranda pondok kecil ini. Bayu melangkah mendekati ke
pintu yang terbuka. Sebentar Pendekar Pulau Neraka berhenti
dan melongok ke dalam. Tak ada seorang pun di dalam pondok
ini. Tapi....
Belum juga Pendekar Pulau Neraka itu sempat berpikir
jauh, mendadak saja mendengar suara mendesing dari arah
belakang. Tak sempat lagi Bayu menoleh, tapi dengan cepat
dimiringkan tubuhnya ke samping Maka sebuah benda seperti
anak panah meluncur lewat di samping kepalanya. "
"Hup!"
Bergegas Pendekar Pulau Neraka itu melompat
"Nyi Rampik...!" desis Bayu terkejut begitu melihat
seorang perempuan tua tahu-tahu sudah berdiri tidak jauh di
depannya.
"Bayu...!" perempuan tua yang ternyata memang Nyi
Rampik itu juga terkejut
"Kenapa ada di sini, Nyi?" tanya Bayu seraya
menghampiri
"Hhh...! Ceritanya panjang, Bayu," sahut Nyi Rampik
bernada mengeluh.
Mereka kemudian duduk di beranda pondok kecil ini.
"Di mana Rampita, Nyi?" tanya Bayu yang teringat
Rampita.
"Itulah, Bayu.... Kenapa aku pergi dan mencarimu"
"Katakan, Nyi. Apa yang terjadi sebenarnya?" tanya Bayu
mendesak.
"Tidak lama kau pergi, datang seorang laki-laki tua
bertubuh cebol yang ingin menculik Rampita. Aku dan
Rampita berusaha melawan, tapi laki-laki itu terlalu tangguh.

Aku berhasil melukainya, tapi dia malah membuatku pingsan.
Begitu sadar, ternyata Rampita sudah tidak ada lagi. Tapi
sebelum aku pingsan, samar-samar aku dengar kalau laki-laki
itu mencarimu," Nyi Rampik menceritakan dengan singkat
Bayu tertegun diam membisu. Dia tahu, siapa laki-laki
cebol itu. Seorang tua bertubuh kecil gemuk yang bernama
Eyang Banadu. Tapi yang tidak bisa dimengerti adalah, kenapa
Eyang Banadu mencarinya? Dan kini malah menyandera
Rampita untuk jaminan kedatangannya.
Bayu teringat ketika kembali ke pondok perempuan tua ini
dalam keadaan kosong, kecuali Nyi Rampik yang tengah
pingsan. Dan di situ dia bertemu Panglima Gajah Sodra.
Pendekar Pulau Neraka menatap perempuan tua yang
duduk di depannya. Tarikan napas berat terdengar dari hidung
Pendekar Pulau Neraka itu.
"Di mana dia menungguku, Nyi?" tanya Bayu.
"Di Lembah Bunga. Kau tahu Padepokan Tongkat Sakti,
bukan? Di sana dia menunggumu," sahut Nyi Rampik.
"Ya, aku tahu. Padepokan itu sudah hancur," desah Bayu.
"Kasihan anak itu. Penderitaan tidak pernah berhenti
mengikutinya...," desah Nyi Rampik.
Bayu semakin dalam memandangi perempuan tua itu.
Desahan Nyi Rampik tadi terasa aneh di telinganya. Dan
rupanya perempuan tua itu baru menyadari. Dipalingkan
mukanya, seakan-akan tak sanggup menerima tatapan
Pendekar Pulau Neraka ini. Tatapan begitu tajam menusuk,
seperti menuntut banyak darinya.
"Sepertinya kau sudah mengenal Rampita cukup lama,
Nyi," ujar Bayu, bernada curiga.

Nyi Rampik tidak menjawab, tapi hanya menarik napas
panjang saja. Sedangkan Bayu semakin dalam memandangi
wajah tua di depannya ini.
"Kau menyembunyikan sesuatu, Nyi?" desak Bayu.
"Aku tidak tahu, apa yang harus kukatakan padamu. Bayu.
Aku merasa bersalah karena tidak berterus terang padamu
waktu itu. Aku memang sudah mengenal lama, bahkan sejak
Rampita masih kecil," pelan sekali suara Nyi Rampik.
"Kenapa kau berpura-pura tidak mengenalnya, Nyi?" Bayu
benar-benar tidak mengerti.
Memang terlalu banyak kepura-puraan yang ditemui
Pendekar Pulau Neraka di sekitar Gunung Cakal ini. Bahkan
sepertinya hampir semua orang selalu berpura-pura. Sukar
baginya untuk bisa memahami. Bahkan sulit untuk
mempercayai seorang pun di sini.
"Sukar untuk dijelaskan, Bayu. Masalahnya ini
menyangkut kesetiaanku," kata Nyi Rampik pelan.
"Kesetiaan? Aku tidak mengerti maksudmu, Nyi."
"Kau akan mengerti jika sudah bertemu Dewa Pengemis,
Bayu."
Bayu tersentak kaget. Dia ingat, kalau pernah bertemu
seorang laki-laki tua berpakaian pengemis. Bahkan sempat
ditolongnya. Tapi laki-laki tua yang mengaku bernama Dewa
Pengemis itu justru malah menyerangnya setelah Rampita
muncul. Bayu sendiri jadi tidak mengerti, kenapa tiba-tiba
Rampita muncul lalu menuduhnya yang tidak-tidak. Dan
sekarang Nyi Rampik mengatakan kalau Rampita diculik
Eyang Banadu.
Semakin sukar bagi Pendekar Pulau Neraka untuk bisa
mengetahui kebenaran semua ini. Terlalu banyak peristiwa
yang sukar dipahami. Bayu merasakan dirinya masuk dalam

lingkaran manusia-manusia aneh dengan segala tingkah polah
yang membingungkan. Tapi hal ini justru membuat Pendekar
Pulau Neraka itu semakin ingin tahu, dan tidak mungkin
diungkapkan sekaligus. Paling tidak dia harus mempercayai
satu orang. Apakah mungkin Nyi Rampik bisa dipercayai?
Atau Seruni, dara ayu penuh misteri yang sikapnya begitu
aneh?
Sementara waktu terus berputar sesuai kodratnya.
Terdengar ayam jantan berkokok, dan burung-burung berkicau,
pertanda malam akan segera berganti. Namun kegelapan masih
menyelimuti sekitarnya. Bayu baru tersadar, kalau sekarang
berada di suatu tempat yang tidak diketahui apa namanya.
'Tempat apa ini, Nyi?" tanya Bayu.
"Sebelah Selatan Lembah Bunga. Kalau kau ingin ke
Padepokan Tongkat Sakti, tidak berapa jauh lagi. Pondok ini
baru kudirikan siang tadi," jelas Nyi Rampik.
"Kita tunggu sampai siang nanti, Nyi."
"Kau akan menemui si cebol itu, Bayu?"
"Ya," sahut Bayu mantap.
Bayu memang sudah memutuskan untuk pergi ke
Padepokan Tongkat Sakti yang diketahuinya sudah hancur.
Pendekar Pulau Neraka ingin membuktikan kata-kata Nyi
Rampik. Jika memang benar, perempuan tua ini mungkin bisa
dipercayainya. Paling tidak, ada satu orang yang bisa dipercaya
daripada tidak sama sekali. Mungkin dengan begini bisa
diungkapkan satu persatu dari semua teka-teki yang tengah di-
hadapinya.
***
Bayu memandangi sekitar Padepokan Tongkat Sakti yang
telah rata dengan tanah. Pemandangan yang memang tidak
sedap dinikmati. Di antara reruntuhan bekas padepokan itu,

mayat-mayat bergelimpangan dalam keadaan rusak. Bahkan
sebagian tinggal tulang belulang berserakan. Bau tidak sedap
menyengat hidung. Pendekar Pulau Neraka mengalihkan
perhatiannya ke suatu arah.
Dan memang di situ telah ada seorang laki-laki tua
bertubuh kecil gemuk, dan berkepala gundul berkilat Dia
berdiri tidak jauh di depan, di bawah sebatang pohon beringin
yang cukup besar dan rindang. Tampak Rampita terikat di
pohon itu.
"He he he.... Akhirnya kau datang juga, Bayu," suara laki-
laki gemuk cebol itu terdengar serak dan berat
"Hati-hati, Bayu. Dia keturunan dari tanah India. Ilmu
kedigdayaannya sangat tinggi," bisik Nyi Rampik yang berada
di samping Pendekar Pulau Neraka.
Bayu hanya menggumam kecil saja. Diayunkan kakinya
menghampiri laki-laki tua cebol itu. Tatapan matanya begitu
tajam menusuk. Sedikit pun perhatiannya tidak dialihkan dari
orang tua cebol keturunan India ini. Bayu memang sudah
pernah bertemu sekali. Tapi, waktu itu Pendekar Pulau Neraka
yakin kalau laki-laki yang bernama Eyang Banadu ini sudah
mengeluarkan seluruh kemampuannya.
Sekarang mereka berdua berhadapan lagi. Saat ini Bayu
sudah tahu kalau Eyang Banadu jelas ada hubungannya dengan
Seruni dan Prabu Nata Kesuma. Di Istana Kerajaan Cagar
Angin, Pendekar Pulau Neraka itu juga telah lihat delapan
gadis murid laki-laki cebol ini. Bayu menghentikan langkahnya
sekitar dua batang tombak jaraknya di depan Eyang Banadu.
"Semula aku menghormatimu, Eyang Banadu. Kau
bijaksana, tidak mendengarkan pengaduan sepihak. Tapi
perbuatanmu ini sungguh memalukan. Membuat rasa hormatku
pupus," terdengar dingin nada suara Bayu.

"He he he.... Sungguh pandai kau bermain kata-kata, Bayu.
Maaf, aku telah memanfaatkan gadis ini. Tapi hanya itulah cara
yang kuperoleh untuk mengundangmu datang ke sini," sambut
Eyang Banadu ringan.
"Hm.... Kau hanya menginginkanku, Eyang Banadu.
Kenapa tidak kau lepaskan gadis itu?" tetap dingin nada suara
Bayu.
Sambil terkekeh Eyang Banadu cepat menggerakkan
tongkatnya. Dan seketika itu juga tambang yang mengikat
Rampita di pohon terputus.
"Nah! Sekarang tinggal urusan kita berdua, Bayu," ujar
Eyang Banadu.
"Kenapa kau menantangku dengan cara licik seperti ini,
Eyang Banadu?" tanya Bayu ingin tahu.
"Karena kau telah membunuh binatang piaraanku, dan
harus ditebus dengan darahmu sendiri, Bayu!" tegas Eyang
Banadu.
"Oh.... Jadi beruang putih itu milikmu?" Bayu langsung
bisa menangkap.
"Benar! Sekarang aku ingin meminta tanggung jawabmu!"
"Kenapa tidak minta tanggung jawab pada Seruni? Dialah
yang membawa beruang putih itu dan menyuruh menyerangku.
Rasanya salah jika meminta tanggung jawabku, Eyang
Banadu!"
"Jangan menyalahkan orang lain, Bayu! Muridku mencoba
melindungi diri dari napsu kotormu!" bentak Eyang Banadu.
"He...!" Bayu tersentak. "Apa lagi yang diperbuat:
Seruni...?"
"Heh! Kau berpura-pura mengantarkan kotak kayu berisi
Bunga Cubung Biru, padahal punya maksud buruk pada
muridku. Kau tahu, Seruni adalah murid kesayanganku! Tak

ada seorang pun yang bisa berlaku kurang ajar padanya. Nah!
Bersiaplah, Bayu...!"
Bayu tak punya waktu lagi untuk menjelaskan, karena
Eyang Banadu sudah melompat menyerang sambil berteriak
keras. Laki-laki tua cebol itu mengebutkan tongkatnya
beberapa kali, membuat Pendekar Pulau Neraka terpaksa
jumpalitan menghindari. Sungguh dahsyat serangan-serangan
yang dilancarkan Eyang Banadu. Setiap kebutan tongkatnya
mengandung hawa dingin membekukan disertai hembusan
angin kencang bagai hendak menghempaskan Pendekar Pulau
Neraka itu.
"Yeaaah...!"
Wuk!
Pertarungan memang tak dapat dihindari lagi. Kali ini
Eyang Banadu bertarung sungguh-sungguh. Terbukti serangan-
serangannya sungguh dahsyat, membuat Pendekar Pulau
Neraka agak kelabakan menghadapinya. Tongkat kayu yang
digunakan sebagai senjata, sungguh dahsyat luar biasa. Batu
dan pepohonan hancur terkena hantamannya.
Dalam waktu tidak berapa lama saja, tempat yang sudah
berantakan semakin porak poranda akibat pertarungan itu.
Namun sampai sejauh ini, Bayu belum balas menyerang.
Meskipun sesekali melontarkan pukulan keras, namun tidak
berarti sama sekali. Kelihatan sekali kalau Pendekar Pulau
Neraka itu tidak sungguh-sungguh dalam pertarungan ini.
"Phuih! Kau menghinaku, Anak Muda!" bentak Eyang
Banadu seraya mengirimkan satu pukulan tangan kiri yang
keras.
"Uts!"
Bayu mengegoskan tubuhnya ke samping, maka pukulan
orang tua cebol itu luput dari sasaran. Namun sebelum Bayu

bisa menarik tubuhnya kembali, Eyang Banadu sudah memberi
satu sodokan tongkat ke arah dada.
Wuk!
"Yaaah...!"
Bayu terpaksa memutar tubuhnya ke belakang. Tapi Eyang
Banadu terus mencecar dengan tusukan dan kibasan tongkat
beberapa kali. Terpaksa Pendekar Pulau Neraka harus
berjumpalitan berputaran menghindari serangan beruntun ini.
Pemuda berbaju kulit harimau itu melentingkan tubuhnya ke
udara ketika Eyang Banadu menghentakkan tongkatnya ke arah
kaki.
"Hiyaaa...!"
Dua kali Bayu berputaran di udara, kemudian manis sekali
hinggap di tanah sekitar dua batang tombak di belakang laki-
laki tua cebol itu. Cepat sekali Eyang Banadu memutar
tubuhnya.
'Tunggu! Dengarlah penjelasanku dulu!" bentak Bayu
cepat
"Tidak ada lagi penjelasan, Anak Muda! Kau harus
mampus hari ini! Hiyaaat..!"
Rupanya Eyang Banadu tidak bisa lagi diajak bicara.
Kemarahannya sudah memuncak, sehingga kembali melompat
menerjang dahsyat Pendekar Pulau Neraka. Serangannya cepat
luar biasa disertai pengerahan tenaga dalam yang tinggi. Tak
ada lagi kesempatan bagi Pendekar Pulau Neraka untuk
memberi penjelasan yang sebenarnya. Pemuda itu terpaksa
berkelit menghindari serangan orang tua cebol itu.
Serangan-serangan yang dilakukan Eyang Banad semakin
meningkat Dan Bayu tidak bisa lagi bermain main kali ini.
Sedikit saja kelengahan akan berakibat fatal buat dirinya
sendiri. Terpaksa Pendekar Pula Neraka itu melayani secara
sungguh-sungguh pula. Di tempat yang tidak begitu jauh,

Rampita menyaksikan! pertarungan itu disertai perasaan
cemas. Dia mengharapkan Bayu dapat cepat menyelesaikan
pertarungan ini. Sementara Nyi Rampik menyaksikan
pertarungan itu dari tempat yang agak jauh.
"Lepas...!"
Tiba-tiba Bayu berseru keras. Dan seketika itu juga
dihentakkan tangannya, tepat saat Eyang Banadu
menghantamkan tongkatnya ke kepala Pendekar Pulau Neraka
itu. Tak dapat dihindari lagi. Tongkat kayu itu beradu keras
dengan pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka.
Tring!
Sebelum laki-laki tua cebol itu hilang dari keterkejutannya,
secepat kilat Bayu sudah mengirimkan pukulan menggeledek
ke dada orang tua cebol itu.
Deeesss!
"Ughk...!" Eyang Banadu mengeluh pendek. Tak sempat
menghindari lagi pukulan yang keras itu!
Trak!
"Eh...?!" Eyang Banadu terperanjat
Tongkat kayunya terbelah jadi dua bagian. Dan sebelum
laki-laki tua cebol itu hilang dari keterkejutannya, secepat kilat
Bayu sudah mengirimkan pukulan keras menggeledek,
mengarah ke bagian dada orang tua cebol itu.
"Yeaaah...!"
Duk!
"Ughk...!" Eyang Banadu mengeluh pendek.
Pukulan Bayu yang keras tak dapat dihindari lagi Tubuh
gemuk cebol itu terpental sejauh tiga batang tombak. Beberapa
kali Eyang Banadu bergulingan di tanah, namun mampu cepat
bangkit kembali meskipun agak limbung. Darah menetes
keluar dari sudut bibirnya. Orang tua cebol itu melemparkan

tongkat yang terbelah, kemudian melepaskan untaian kalung
hitam dari lehernya.
Wuk! Wuk...!
"Hiyaaat..!"
Sambil memutar-mutar kalung batu hitamnya. Eyang
Banadu melompat menerjang kembali. Bayu menggeser
kakinya sedikit ke samping. Pada saat yang sama laki-laki
cebol itu melemparkan kalungnya dengan kecepatan tinggi.
Tak mungkin lagi bagi Bayu menghindarinya. Cepat-cepat
dimiringkan tubuhnya ke kiri, lalu....
"Yeaaah...!
Swing!
Begitu tangan kanan Pendekar Pulau Neraka itu bergerak
cepat seketika Cakra Maut bersegi enam melesat Senjata itu
langsung menyambar untaian kalung hitam yang melayang
deras di angkasa. Satu benturan keras terjadi, disertai ledakan
dahsyat menggelegar. Seketika bunga api memercik menyebar
ke segala penjuru.
Untuk kedua kalinya Eyang Banadu terperangah. Untaian
kalung hitamnya hancur berantakan. Sedangkan Cakra Maut
bersegi eram melesat berbalik ke arah pemiliknya, dan
menempel kembali di pergelangan tangan pemuda berbaju kulit
harimau itu. Dan sebelum Eyang Banadu bisa menguasai
keterkejutannya, Bayu sudah melesatkan kembali senjata
mautnya.
Sing...!
"Uts!"
Buru-buru Eyang Banadu melompat ke samping
menghindari senjata bulat bersegi enam itu. Namun belum juga
bisa berdiri tegak sempurna, Cakra Maut sudah kembali
melesat ke arahnya. Seketika laki-laki tua cebol itu hanya bisa
membeliak.

Cras!
"Aaakh...!" Eyang Banadu menjerit keras melengking.
Ujung-ujung Cakra Maut berhasil merobek dada laki-laki
tua cebol itu. Seketika darah muncrat keluar membasahi
dadanya. Eyang Banadu terhuyung-huyung ke belakang sambil
mendekap dadanya yang sobek cukup panjang.
"Kau yang menghendaki kematianmu sendiri, Eyang
Banadu! Hiya!" seru Bayu keras.
Saat Cakra Maut kembali menempel di pergelangan tangan
pemuda berbaju kulit harimau itu, secepat itu pula dia
melompat sambil mengirimkan satu pukulan keras bertenaga
dalam sangat sempurna. Eyang Banadu tak mungkin lagi
berkelit Dan....
Bughk!
"Aaa...!" untuk kedua kalinya Eyang Banadu menjerit
melengking tinggi.
Pukulan yang dilontarkan Pendekar Pulau Neraka tepat
menghantam kepala gundul orang tua gemuk cebol itu.
Terdengar suara berderak dari batok kepala yang pecah.
Tampak darah merembes keluar dari kepala tanpa rambut itu.
Sebentar Eyang Banadu masih bisa berdiri, kemudian tubuhnya
limbung dan ambruk menggelepar di tanah.
Bayu berdiri tegak memandangi tubuh cebol yang
menggelepar meregang nyawa. Tak lama berselang, Eyang
Banadu menghembuskan napasnya yang terakhir. Darah kini
menggenang dari dada dan kepalanya. Bayu melangkah
mundur beberapa tindak, kemudian berbalik. Pada saat itu
Rampita berlari menghampiri diikuti Nyi Rampik.
"Kakang...!" seru Rampita.
***
ENAM

Belum juga Rampita sampai, mendadak saja sebuah
bayangan berkelebat menyambar ke arah Pendekar Pulau
Neraka. Begitu cepatnya, sehingga pemuda berbaju kulit
harimau itu tidak sempat menyadari. Dan tahu-tahu Bayu
merasakan dadanya sesak, lalu tubuhnya terpental keras ke
belakang hingga menghantam sebatang pohon.
"Uhk...!" Bayu mengeluh sambil berdiri.
Sebelum Pendekar Pulau Neraka itu bisa bangkit berdiri
tegak, bayangan itu kembali meluruk deras ke arahnya. Cepat-
cepat Bayu melompat ke samping dan menjatuhkan diri ke
tanah. Dia bergulingan beberapa kali, lalu bergegas melompat
bangkit Pada saat itu, terlihat bayangan itu kembali meluruk
menyambarnya. Kali ini Bayu tidak menghindar, siap
menerima dengan kaki terbuka lebar agak menekuk.
"Hiyaaa...!"
Cepat sekali Bayu menghentakkan kedua tangannya ke
depan disertai pengerahan tenaga dalam penuh. Tepat pada saat
itu, bayangan itu segera melesat ke atas menghindari benturan
dengan Pendekar Pulau Neraka. Namun Bayu tak mau tinggal
diam. Secepat kilat dilentingkan tubuhnya ke atas, dan kembali
dilontarkan satu pukulan keras bertenaga dalam tinggi.
"Hiyaaat..!"
Dughk!
Hantaman Bayu tepat mengenai sasaran, tapi tangannya
jadi terasa nyeri. Bahkan tubuhnya terlontar jatuh, bergulingan
di tanah. Demikian juga bayangan itu. Dia terjatuh keras ke
tanah. Hampir bersamaan mereka bangkit berdiri.

"Dewa Pengemis...!" desis Bayu begitu mengenali
bayangan yang menyerangnya tadi.
"Paman...!" Rampita tersentak begitu bisa mengenali pula.
Rampita buru-buru berlari dan berdiri di tengah-tengah
ketika Dewa Pengemis hendak melancarkan serangan kembali.
Pada saat itu Nyi Rampik juga menghampiri laki-laki tua kurus
kering yang berpakaian compang camping itu.
"Hentikan, Kakang!" bentak Nyi Rampik.
"Heh...?!" Dewa Pengemis tampak terkejut melihat Nyi
Rampik ada di sini.
"Apa-apaan ini...?!" bentak Nyi Rampik nampak gusar.
"Minggir, Rampik. Biar kuhajar bocah keparat itu!" dengus
Dewa Pengemis dingin.
"Kenapa? Apa salahnya padamu, Kakang?" tanya Nyi
Rampik tidak mengerti.
"Kau jangan coba-coba melindunginya, Rampik. Dia sudah
berani mengganggu Rampita dan menculiknya!"
"Paman...!" Rampita terkejut
"Edan! Setan mana yang menutup matamu, Kakang?"
dengus Nyi Rampik
"Heh...?!" Dewa Pengemis terlonjak.
Laki-laki tua kurus itu memandangi Nyi Rampik dan
Rampita bergantian. Sinar matanya seperti tidak mempercayai
apa yang didengarnya tadi. Kemudian matanya beralih menatap
Bayu. Bahkan saat itu Rampita menghampiri Bayu dan berdiri
di sampingnya. Hal ini semakin membuat Dewa Pengemis jadi
bengong seperti orang tolol.
"Ada apa ini? Rampita...!" Dewa Pengemis seakan-akan
meminta penjelasan.
"Dari dulu kelakuanmu tidak pernah berubah! Pakai
otakmu, Kakang...!" dengus Nyi Rampik bernada kesal.

Dewa Pengemis tampak semakin kebingungan.
Dipandanginya ketiga orang di sekitarnya. Sementara Rampita
menggandeng tangan Bayu dan mengajak menghampiri laki-
laki tua pengemis itu. Gadis itu tersenyum, seperti mengerti
kebingungan yang dialami Dewa Pengemis.
"Kenapa Paman membenci Kakang Bayu?" tanya Rampita
lembut
"Aku..., aku...," Dewa Pengemis jadi gelagapan.
"Sudahlah, ini hanya salah paham saja," Bayu menengahi.
Tidak tega juga hanya melihat laki-laki tua itu jadi serba salah.
"Aku tahu, ini pasti gara-gara si Seruni!" desis Nyi Rampik
''Jangan menuduh sembarang dulu, Nyi. Belum tentu ada
sangkut pautnya dengan Seruni," sergah Rampita.
"Pasti! Anak nakal itu selalu saja bikin ulah. Kali ini sudah
keterlaluan. Kau jangan membelanya terus, Rampita!" Nyi
Rampik memperingatkan.
'Tapi, Nyi...."
"Tidak ada tapi-tapian!" bentak Nyi Rampik, cepat
memotong ucapan Rampita. "Aku kasihan padamu, Rampita.
Sejak kecil selalu menderita, tapi kau terus mengalah. Kenapa?
Kenapa kau terus mengalah, Rampita...?"
Rampita diam saja. Sedangkan Bayu hanya memandangi
kedua wanita itu, disertai sinar mata keheranan Sementara
Dewa Pengemis sendiri masih diliputi ketidakmengertian akan
semua kejadian ini. Diam-diam didekatinya Pendekar Pulau
Neraka, lalu dicoleknya lengan pemuda itu. Bayu menoleh, lalu
menggeser kakinya menjauhi Rampita. Dia berjalan mengikuti
laki-laki tua pengemis itu.
"Jelaskan padaku, ada apa semua ini?" tanya Dewa
Pengemis minta penjelasan.
"Aku sendiri tidak mengerti...," sahut Bayu.

"Edan! Barangkali semua orang sudah gila. Huh! Kenapa
aku jadi ikut-ikutan gila...?!" rungut Dewa Pengemis.
"Ki... Hm, boleh aku memanggilmu begitu?"
'Terserah."
"Kenapa kau tiba-tiba memusuhi dan menyerangku, Ki?"
tanya Bayu.
"Justru itu yang ingin kutanyakan padamu! Kenapa kau
menculik Rampita?!" Dewa Pengemis malah balik bertanya.
"Aku tidak menculik Rampita. Aku justru ke sini untuk
membebaskannya dari tangan Eyang Banadu."
"Heh!" Dewa Pengemis tampak terkejut
"Ada apa, Ki?" tanya Bayu.
Dewa Pengemis menatap Bayu dalam-dalam, kemudian
pandangannya beralih pada sosok tubuh cebol tua yang
tergeletak tak bernyawa di tanah. Kembali ditatapnya pemuda
berbaju kulit harimau itu seperti tidak percaya.
"Kau mengalahkannya...?" nada suara Dewa Pengemis
seperti tidak mempercayai kalau Bayu yang menewaskan
Eyang Banadu.
"Benar. Kenapa?"
"Aku sendiri belum tentu sanggup menandinginya.
Bagaimana kau bisa mengalahkannya, Bayu?"
"Aku sendiri tidak tahu. Mungkin karena dia dirasuk
kemarahan, sehingga tidak bisa mengendalikan diri," sahut
Bayu seenaknya.
"Kau tahu, di daerah ini Eyang Banadu tidak ada yang
menandingi. Ah, sudahlah.... Itu urusanmu. Tapi...," Dewa
Pengemis kembali menatap Bayu dalam-dalam. "Benar kau
tidak menculik Rampita?"
"Apa perlu bersumpah? Kalau tidak percaya, tanyakan saja
kepada Rampita sendiri."

"Aneh...! Padahal semalaman aku menjagainya. Kenapa
bisa kecolongan...?" Dewa Pengemis bergumam seperti bicara
pada dirinya sendiri.
"Semalaman..?! Ki, Rampita sudah ada di sini sejak
kemarin."
"Tidak mungkin! Semalam dia masih ada bersamaku!"
bantah Dewa Pengemis.
"Ah..., mungkinkah ini ulah Seruni?" desah Bayu pelan.
"Ini bukan waktunya main-main, Bayu!"
"Aku tidak main-main. Hm.... Sebaiknya persoalan kita
pecahkan bersama, lalu cari biang keladinya. Bagaimana?"
"Kau benar, Bayu."
Kedua laki-laki yang semula bersitegang itu, kemudian
menghampiri Rampita dan Nyi Rampik yang juga tengah
membicarakan persoalan yang sedang dihadapi. Mereka
berempat kemudian berkumpul, duduk di sebuah batang pohon
rindang. Mereka menyatukan pendapat dan mencari kebenaran
yang selama ini seperti dipermainkan.
***
Memang sukar untuk dimengerti, namun akhirnya mereka
menyadari kalau selama ini menjadi boneka permainan.
Mereka sengaja diadu domba agar timbul perpecahan satu
sama lain, sehingga saling bentrok. Terutama antara Pendekar
Pulau Neraka dengan Dewa Pengemis. Terlebih lagi laki-laki
tua berpakaian compang camping itu yang baru menyadari
dirinya telah dipermainkan seorang wanita yang menyamar
menjadi Rampita. Dan mereka semua tahu, siapa wanita itu.
Tapi yang lebih penting lagi, semua persoalan ini ternyata

bertumpu pada sekuntum Bunga Cubung Biru yang sampai
sekarang belum ada seorang pun yang memilikinya.
Tak ada seorang pun yang tahu, di mana Bunga Cubung
Biru kini. Namun di lain hal, semuanya jadi prihatin terhadap
nasib Rampita. Gadis ini akan terus lemah tanpa daya jika tidak
segera diobati oleh bunga itu. Bahkan mungkin nyawa gadis ini
bakal terenggut jika sekali saja menggunakan ilmu tenaga
dalam. Secara alamiah, penggunaan tenaga dalam akan
membuka aliran darah. Dan itu akan mengakibatkan sejenis
racun dan luka dalam di tubuh gadis itu akan meluas sehingga
akan berakibat sangat parah baginya.
"Sekarang, apa yang harus kita lakukan?" tanya Bayu
memancing pendapat
Tak ada satu pun yang menjawab. Mereka hanya saling
melemparkan pandang. Satu pertanyaan yang mudah
dilontarkan, namun terasa sukar dijawab.
"Baiklah. Karena ini menyangkut keselamatan Rampita,
aku mengusulkan untuk mencari Bunga Cubung Biru terlebih
dahulu. Kita singkirkan semua persoalan dengan Seruni atau
siapa saja. Bagaimana?" Bayu memberikan usul.
"Aku terserah saja...," Rampita menanggapi.
Gadis itu memang sudah pasrah, karena tahu tidak akan
bisa pulih tanpa Bunga Cubung Biru. Tak ada satu tabib pun
yang bisa menyembuhkan luka-lukanya. Memang Rampita
sendiri tidak tahu, dengan apa Seruni melukainya. Waktu itu
Nyi Rampik sudah memberi usul agar meminta obat penawar
pada Seruni, tapi hal itu tidak akan mungkin. Karena, mereka
semua tahu siapa gadis itu. Hanya saja mereka memang tidak
memberitahukan Bayu. Dan Pendekar Pulau Neraka itu sendiri
tidak suka mendesak. Dia yakin kalau antara Rampita dan
Seruni ada suatu hubungan. Bisa saja mereka bersaudara,
bahkan mungkin bisa dikatakan saudara kembar


"Dari mana kita mulai mencari bunga itu?" tanya Dewa
Pengemis.
'Yang kutahu, Anom Sura menyimpan bunga itu dalam
kotak kayu yang disimpan di bawah altar semadinya," jelas Nyi
Rampik.
"Kotak itu sudah ada di tangan Seruni, tapi katanya bunga
itu tidak ada di dalam kotak. Bahkan Kakang Bayu dituduh
sebagai orang yang mengambilnya," sergah Rampita.
"Sedangkan kita sendiri tahu, Bayu tidak memiliki bunga
itu," sambung Nyi Rampik.
"Hm.„. Ada satu tempat yang sangat rahasia...," gumam
Dewa Pengemis. 'Tapi aku tidak yakin kalau Anom Sura
menyimpannya di sana."
"Segala kemungkinan harus dilaksanakan, Ki," celetuk
Bayu.
"Kau yang lebih dekat dengan Anom Sura, jadi pasti lebih
tahu tentang dia, Kakang," tegas Nyi Rampik.
Dewa Pengemis bangkit berdiri. Sebentar dipandanginya
reruntuhan bangunan Padepokan Tongkat Sakti. Kemudian
kakinya terayun melangkah. Bayu, Nyi Rampik, dan Rampita
mengikuti dari belakang. Mereka hanya bisa bertanya-tanya
dalam hati, apa yang akan dilakukan laki-laki tua pengemis ini.
Sedangkan Dewa Pengemis terus melangkah pelahan
mendekati reruntuhan bangunan bekas padepokan tanpa
berbicara sedikit pun juga. Dilewatinya reruntuhan bangunan
itu, lalu terus berjalan menuju sebuah bangunan batu yang
sudah hancur berantakan. Laki-laki tua berpakaian compang
camping itu berhenti di dekat situ.
"Bayu, bisa kau singkirkan batu-batu ini?" tanya Dewa
Pengemis seraya berpaling menatap pada Pendekar Pulau
Neraka.

Bayu tak menjawab, tapi lalu melangkah ke depan
beberapa tindak. Sedangkan Dewa Pengemis mundur
mendekati Nyi Rampik dan Rampita. Sebentar Pendekar Pulau
Neraka berdiri tegak dengan kedua tangan terkepal di samping
tubuhnya. Kemudian digeser kakinya hingga terentang.
Pelahan sekali tangannya bergerak ke depan dada, lalu kedua
telapak tangannya merapat
Pelan-pelan Bayu menggosok-gosok kedua telapak
tangannya. Kemudian tangan kanannya naik ke atas dan tangan
kiri ditarik hingga sejajar pinggang. Cepat sekali ditarik tangan
kanannya hingga sejajar dada. Lalu....
"Hiyaaa...!"
Seketika itu juga Bayu menghentakkan telapak tangan
kanannya yang terbuka lebar ke depan. Pada saat itu terdengar
suara menggemuruh. Tampak batu-batuan yang bertumpuk
tidak beraturan di depannya berpentalan. Sebentar saja semua
batu telah berserakan ke segala arah. Tinggal sebuah batu besar
yang tampaknya tertanam di dalam tanah, sehingga hanya
bagian atasnya saja yang terlihat
"Hebat!" puji Dewa Pengemis tulus. "Ilmu apa yang kau
gunakan itu, Bayu?"
"Aku menamakan jurus 'Sapuan Gelombang Samudra',"
sahut Bayu.
"Sungguh dahsyat."
'Tapi itu belum sempurna, Ki," Bayu merendah.
"Ayolah, kita angkat batu itu," ajak Dewa Pengemis.
"Ki...."
Bayu menahan dada laki-laki tua pengemis itu yang
hendak melangkah menghampiri. Dewa Pengemis
menghentikan langkahnya, lalu tersenyum dan terangguk Bisa
dimengerti maksud pemuda berbaju kulit harimau itu.
Selangkah kakinya mundur.

Bayu menggerak-gerakkan tangannya di depan dada,
kemudian menghentakkan kedua tangannya ke depan sambil
berteriak keras. Tampak dari kedua telapak tangannya
meluncur secercah cahaya kuning keemasan. Cahaya itu
langsung menyambar batu yang terbenam ke dalam tanah itu.
Ledakan keras terdengar menggelegar. Seketika batu itu hancur
berkeping-keping, menimbulkan debu yang mengepul
membumbung tinggi ke angkasa.
Begitu debu menyebar terbawa angin, tampak sebuah
lubang yang cukup besar berbentuk segi empat. Di tengah-
tengah lubang itu terlihat sebuah kotak terbuat dari besi
berwarna kemerahan. Dewa Pengemis bergegas menghampiri,
lalu masuk ke dalam lubang itu dan mengambil kotak besi.
Bayu membantu laki-laki tua itu keluar dari dalam lubang.
Dewa Pengemis membuka tutup besi. Tampak di dalam
kotak besi kemerahan itu terdapat sekuntum bunga berwarna
biru yang mengeluarkan cahaya terang berkilauan. Bunga itu
bentuknya mirip bunga teratai, tapi ukurannya lebih kecil.
Wajah Dewa Pengemis, Nyi Rampik, dan Rampita berseri-seri.
"Sudah kuduga, pasti Anom Sura menyimpannya di situ,"
desah Dewa Pengemis seraya menyerahkan kotak besi yang
sudah tertutup lagi pada Rampita. "Ini milikmu, jaga dengan
baik"
Rampita menerimanya, namun bibirnya bergetar dan
matanya berkaca-kaca. Benda yang selama ini menjadi pangkal
segala kerusuhan, ternyata berhasil dimilikinya lagi. Bunga
ajaib yang akan memulihkan keadaan tubuhnya kembali seperti
semula. Rampita menyerahkan kotak besi berisi Bunga Cubung
Biru itu pada Nyi Rampik.
"Buatkan obat untukku, Nyi," ucap Rampita agak tersendat
suaranya.

"Baik, Gusti Ayu," sahut Nyi Rampak seraya menerima
kotak besi itu, bersikap penuh rasa hormat
"Gusti Ayu...?!" Bayu mendesis tidak mengerti. Pendekar
Pulau Neraka itu memandangi Rampita dan Nyi Rampik
bergantian. Sungguh hatinya terkejut dan tidak mengerti,
kenapa Nyi Rampik memanggil Rampita dengan sebutan Gusti
Ayu. Suatu sebutan yang biasa digunakan putri-putri
bangsawan atau kerabat kerajaan. Tapi Bayu belum bisa
menanyakan, karena Dewa Pengemis sudah menggeret
tangannya meninggalkan tempat itu. Meninggalkan Rampita
dan Nyi Rampik yang langsung sibuk menyiapkan peralatan
yang dibawa untuk membuat ramuan obat dari Bunga Cubung
Biru.
***
Bayu mengayunkan kakinya pelahan-lahan, berjalan
semakin jauh meninggalkan reruntuhan Padepokan Tongkat
Sakti. Sementara di sampingnya berjalan Dewa Pengemis.
Sesekali mereka berhenti dan menoleh ke belakang. Tampak
Nyi Rampik masih sibuk mempersiapkan peralatan untuk
membuat ramuan Bunga Cubung Biru. Tanpa terasa kedua
orang itu sudah begitu jauh meninggalkan kedua wanita itu.
"Bayu...."
"Ya?" Bayu menghentikan langkahnya.
Pendekar Pulau Neraka itu membalikkan tubuh menghadap
Dewa Pengemis yang rupanya sudah lebih dahulu berhenti
berjalan. Sesaat mereka hanya saling tatap saja.
"Maaf, aku telah berlaku buruk padamu," ucap Dewa
Pengemis.

"Lupakan saja," desah Bayu seraya tersenyum.
"Bayu, boleh aku bertanya secara pribadi padamu?"
"Kenapa tidak?"
"Kenapa kau selalu membela Rampita?" tanya Dewa
Pengemis.
"Aku...? Aku...," Bayu tidak bisa menyelesaikan
jawabannya.
Terus terang, dia sendiri tidak tahu, kenapa selalu membela
gadis itu. Rampita memang cantik. Bukan hanya wajahnya,
tapi juga hatinya. Bayu dapat merasakan kecantikan seutuhnya
pada gadis itu. Tapi untuk menjawab pertanyaan Dewa
Pengemis, terasa sulit sekail
"Kenapa kau tanyakan itu, Ki?" Bayu malah balik
bertanya.
"Jika kau tidak suka menjawabnya, lupakan saja. Ah!
Pikiran orang tua memang selalu macam-macam. Lupakan
saja, Bayu."
"Sikap yang sangat aneh!" dengus Bayu dalam hati. Benar-
benar sulit memahami sikap laki-laki tua ini.
Sesaat kedua orang itu membisu, seperti mencari kata-kata
yang tepat untuk berbicara kembali.
"Baiklah, kalau begitu aku yang akan bertanya padamu.
Boleh?" Bayu mengalah.
"Apa yang ingin kau tanyakan?"
'Tentang Rampita."
Dewa Pengemis mengerutkan keningnya.
"Siapa dia sebenarnya, Ki?" tanya Bayu.
Baru sekarang pertanyaan yang selalu menjadi ganjalan di
benaknya bisa dilontarkan. Dan Dewa Pengemis nampak
terhenyak mendengar pertanyaan Pendekar Pulau Neraka itu.
Sesaat laki-laki tua itu terdiam membisu. Sepertinya tengah

berpikir keras, menimbang-nimbang untuk menjawab
pertanyaan yang terasa sangat berat ini.
"Aku yakin, kau begitu dalam mengenalnya. Bahkan
Rampita memanggilmu dengan sebutan Paman. Itu sudah
menandakan antara kau dan Rampita punya hubungan," tegas
Bayu lagi.
"Kenapa kau ingin tahu tentang dia, Bayu?" tanya Dewa
Pengemis.
"Kenapa? Karena aku merasa ada keanehan pada
dirinya. Dan itu selalu mengganggu pikiranku. Kau ta-hu, Ki.
Hatiku tidak akan pernah puas jika hanya sete-ngah jalan saja.
Kau pasti bisa memahami maksudku,"
jelas Bayu.
"Kau mencintainya, Bayu?" tebak Dewa Pengemis
langsung.
"Jangan tanyakan itu, Ki! Aku baru beberapa hari
mengenalnya!" dengus Bayu kurang senang.
Tidak dipungkiri, Bayu sempat juga bergetar mendengar
tebakan laki-laki tua pengemis itu. Dia sendiri tidak tahu
dengan perasaannya kali ini Belum pernah hatinya begitu
penasaran ingin mengetahui diri seorang gadis. Bahkan belum
pernah mempunyai perasaan seperti ini sebelumnya. Dalam
petualangannya, sering dijumpainya gadis-gadis, tapi tidak ada
yang sempat menggetarkan hatinya.
Entah kenapa, begitu bertemu Rampita, mendadak saja
timbul berbagai macam perasaan yang sulit dicari arti dan
sebabnya. Tapi yang jelas, Pendekar Pulau Neraka itu telah
menumpahkan seluruh perhatiannya. Bahkan ada rasa cemas
begitu mengetahui Rampita terluka dalam yang cukup parah
dan sukar disembuhkan.

"Rampita memang membutuhkan seseorang yang bisa
memberi perlindungan kepadanya. Sedangkan aku sudah tua,
tidak mungkin bisa melindunginya terus menerus. Kasihan
dia.... Mungkin sudah takdirnya harus bergelimang penderitaan
yang tak kunjung reda," kata-kata Dewa Pengemis seakan-akan
bernada mengeluh.
Bayu langsung bisa mengerti, tapi tidak bisa memutuskan
secepat ini. Dia harus tahu betul, siapa Rampita itu sebenarnya,
dan mengapa selalu mengalah pada Seruni. Apakah antara
kedua gadis itu memiliki hubungan dekat? Berbagai macam
pertanyaan yang belum terjawab menghantui benak Pendekar
Pulau Neraka itu.
"Rampita sebenarnya bukan orang lain bagiku. Dia
keponakanku satu-satunya yang tersisa. Ayahnya adalah adik
kandungku sendiri," Dewa Pengemis mulai membuka sedikit
tabir yang menyelimuti Rampita.
Bayu hanya diam saja mendengarkan, karena inilah saat
yang tepat untuk bisa mengetahui tentang diri Rampita
sesungguhnya. Dan kesempatan seperti ini sudah lama
dinantikan.
"Keluarga kami terpecah belah karena adanya Bunga
Cubung Biru. Bunga itu memang banyak memberi manfaat,
tapi juga tidak sedikit mendatangkan malapetaka. Kami harus
selalu menghadapi tantangan dan bahaya yang tak pernah
kunjung padam selama bunga itu masih ada, walaupun semua
hal itu disadari betul. Pernah kami sepakat untuk
memusnahkannya saja, tapi ayah Rampita tidak menyetujui.
Dia rela menyimpan bunga itu dengan segala resiko yang akan
dihadapinya," sambung Dewa Pengemis.
"Aku mengerti, kenapa kau bisa dengan mudah
menemukan tempat persembunyian bunga itu," gumam Bayu
seperti untuk dirinya sendiri.

"Kau salah jika menyangka Anom Sura adalah ayah
Rampita, Bayu," tegas Dewa Pengemis.
"O...?!" Bayu terhenyak. Langsung dikerutkan keningnya.
"Anom Sura sebenarnya bukan ayah kandung Rampita.
Memang sejak masih bayi Rampita diasuh dan dibesarkan
olehnya."
"Lalu, siapa Anom Sura itu?"
"Adikku, berarti juga pamannya Rampita."
"Lantas, di mana ayahnya sekarang?"
"Ayah Rampita sebenarnya bernama Ki Laban. Atau juga
Wira Kerti, yang berjuluk Satria Pedang Perak."
"Hm...," gumam Bayu tidak jelas.
"Waktu Rampita baru berusia satu bulan, datang bencana.
Sekelompok orang persilatan menyerbu hendak merebut Bunga
Cubung Biru. Dan malangnya, ibu gadis itu tewas. Tapi Wira
Kerti berhasil menyelamatkan putrinya dan membawa ke
Padepokan Tongkat Sakti ini Dia sendiri kemudian
mengembara untuk membalas dendam mencari pembunuh
istrinya."
"Lalu, apakah dia membawa Bunga Cubung Biru?"
"Bunga itu berhasil jatuh ke tangan seorang wanita
berkepandaian tinggi. Aku, Rampik, dan Anom Sura berhasil
merebutnya kembali. Dan kami sepakat agar Anom Sura yang
menyimpannya."
"Hm..., lalu, apa hubungannya Rampita dengan Seruni?"
tanya Bayu, berusaha membuka tabir hubungan dua gadis itu.
"Inilah yang menyulitkan, Bayu. Setahun setelah Wira
Kerti mengembara, datang seorang wanita membawa anak. Dia
terluka berat, tapi bayi perempuannya dalam keadaan sehat
Wanita itu mengaku sebagai istri Wira Kerti. Semula kami
tidak mau percaya. Tapi setelah satu minggu wanita itu

meninggal, datang seorang tua bertubuh cebol mengakuinya
sebagai saudaranya. Dan bayi perempuan itu diakuinya sebagai
keponakannya. Kami tak bisa berbuat banyak, lalu
menyerahkan bayi perempuan itu padanya."
Bayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Pendekar Pulau
Neraka tahu siapa laki-laki cebol itu. Dia tentu Eyang Banadu
yang sudah tewas di tangannya. Dan dugaan Bayu hampir
terbukti, bahwa antara Seruni dan Rampita tentu masih satu
darah. Wajah mereka begitu mirip, bahkan seperti saudara
kembar saja. Paling tidak, Seruni dan Rampita memiliki satu
Ayah lain Ibu.
"Satu hal lagi yang perlu kau ketahui, Bayu," sambung
Dewa Pengemis.
"Apa itu?" tanya Bayu.
"Wira Kerti sebenarnya seorang raja di Cagar Angin. Kami
semua bersaudara dan sepakat menyerahkan tahta padanya,
karena dia lebih pantas dan selalu bertindak adil. Tapi usianya
tidak berlangsung lama. Kami semua cerai berai. Bahkan jadi
tidak mengenal satu sama lainnya karena harus menyelamatkan
diri masing-masing."
"Kenapa?"
"Ada sekelompok orang yang tidak menyukai kehidupan
kami. Dan kelompok itu akhirnya juga pecah. Tapi ada satu
orang yang berhasil menguasai Istana Cagar Angin hingga
sekarang ini."
"Siapa?" tanya Bayu ingin tahu.
"Nata Kesuma."
"Nata Kesuma..?!" Bayu tidak percaya.
Bagaimana mungkin Bayu bisa mempercayai? Nata
Kesuma masih begitu muda. Dan kalau pun terlibat, tentu
usianya sudah sama dengan Dewa Pengemis ini. Rasanya sukar

dipercaya. Tapi setelah mendengar penjelasan Dewa Pengemis,
Bayu semakin tercengang saja.
'Tapi, kenapa dia mengakui Seruni sebagai adiknya?"
tanya Bayu.
Itulah, Bayu. Dia selalu memecah belah keluarga besar
kami, sehingga tidak mengatakan dirinya yang sebenarnya
pada Seruni. Dia sebenarnya sudah tua, bahkan usianya
mungkin dua kali lipat dariku."
"Hebat! Ilmu apa yang dipakai untuk bisa awet muda...?"
Bayu seperti bertanya pada diri sendiri.
"Ilmu 'Pati Sukma Bayangan'. Ilmu itu sudah dikuasainya
dengan sempurna, sehingga bisa membuat dirinya tetap muda
tanpa dipengaruhi usia. Ilmu itu sangat langka, dan tidak
sembarangan orang bisa menguasainya."
Bayu berdecak kagum.
"Satu hal lagi, Bayu. Dengan ilmu itu, Nata Kesuma sukar
ditandingi Dia tidak akan mari walaupun tubuhnya tertembus
ribuan senjata pusaka yang maha sakti sekali pun."
"O...?!" Bayu semakin kagum.
''Itu sebabnya kami lebih baik menyingkir daripada
berhadapan dengannya. Mencari perkara dengannya sama saja
bunuh diri."
"Setiap ilmu pasti punya kelemahan, Ki."
"Memang! Tapi Nata Kesuma sudah memindahkan
kelemahan dirinya ke dalam sebuah cupu emas yang berada di
dalam sabuk pinggangnya. Tanpa cupu itu semua ilmunya
lenyap, dan dia akan kembali tua."
Bayu mengangguk-anggukkan kepalanya.
***

TUJUH

Malam sudah demikian larut. Suasana di sekitar Istana
Cagar Angin begitu sunyi. Hanya beberapa penjaga saja masih
terlihat terkantuk menjalankan tugasnya. Namun di taman
belakang istana, terlihat Seruni tengah duduk menyendiri di
sebuah bangku taman tidak jauh dari kolam.
Dari sikapnya, sudah bisa ditebak kalau gadis itu gelisah.
Beberapa kali dihembuskan napas panjang dan terasa berat.
Sejak melepaskan Bayu dari penjara, gadis ini selalu diliputi
perasaan gelisah. Padahal perbuatannya tidak ada yang
mengetahui. Bahkan Prabu Nata Kesuma sendiri sampai
sekarang tidak mengetahuinya.
Gadis itu tidak tahu kalau ada sepasang mata
mengawasinya dari tempat tersembunyi. Dia baru tahu saat
merasa ada seseorang berdiri di belakangnya. Saat menoleh....
"Oh...!" Seruni hampir terpekik.
"Ssst..."
"Kakang Bayu.... Ada apa ke sini?" agak berbisik suara
Seruni.
Yang mengawasi Seruni sejak tadi memang Pendekar
Pulau Neraka. Laki-laki berbaju kulit harimau itu menarik
tangan Seruni dan membawanya ke tempat terlindung. Gadis
itu menuruti saja tanpa membantah sedikit pun Hatinya sudah
begitu terpikat pada pemuda tampan ini, dan tidak peduli kalau
pernah bentrok. Bahkan sekarang Bayu menjadi buronan
kakaknya.
"Kenapa kau ke sini, Kakang?" tanya Seruni.
"Aku rindu padamu, Seruni," sahut Bayu berbisik.
"Ah, Kakang...," desah Seruni langsung berbunga hatinya.
Tanpa malu-malu lagi, gadis itu menjatuhkan diri dan
memeluk Pendekar Pulau Neraka. Dan Bayu membalasnya

dengan hangat. Tapi saat Seruni hendak mendekatkan bibirnya
ke bibir pemuda itu, Bayu cepat-cepat menahan dengan jarinya
ke bibir gadis itu.
"Kenapa? Kau rindu padaku, bukan?"
"Ya, aku rindu padamu. Tapi tidak di sini"
"Di mana? Di kamarku?"
Bayu hanya tersenyum saja sambil menggeleng-gelengkan
kepalanya. Pendekar Pulau Neraka itu mengedarkan
pandangannya ke sekeliling, kemudian menatap Seruni dalam-
dalam. Gadis itu masih melingkarkan tangannya ke leher
pemuda berbaju kulit harimau itu.
"Sudah kusiapkan sebuah pondok untuk kita, Seruni," kata
Bayu berbisik dekat telinga gadis itu.
"Oh, benarkah...?" berbinar mata Seruni.
'Itu juga kalau kau suka."
'Tentu suka sekali, Kakang."
"Ayolah, selagi tidak ada yang melihat."
Seruni tersenyum manis sekali. Diberikannya satu kecupan
lembut di bibir pemuda itu, sebelum Bayu dapat mencegahnya.
Dan Seruni menuruti saja ketika Bayu mengajaknya melompati
pagar benteng. Tak ada yang menyaksikan, sementara malam
terus merayap semakin larut Dan kedua orang itu lenyap di
balik pagar tembok benteng yang tinggi dan kokoh.
***
Bayu dan Seruni sambil berpegangan tangan berlari-lari
kecil menembus hutan di malam gelap gulita ini Seruni tidak
tahu, ke mana pemuda itu membawanya pergi. Tapi semua tak
dipedulikannya karena hatinya begitu berbunga, melambung
tinggi ke angkasa.

Mereka berhenti di depan sebuah pondok kecil yang
terbuat dari bilik bambu dan beratapkan daun rumbia. Hanya
sebuah pelita kecil yang menyala redup di dalam pondok.
Seruni memandangi pondok itu. Dilingkarkan tangannya ke
pinggang Bayu. Bibirnya tersenyum manis dan bola matanya
berbinar bagai bintang yang bergemerlapan di langit hitam.
"Hanya ini yang bisa kubuat untukmu," kata Bayu
"Indah sekati, Kakang. Aku suka," sambut Seruni semakin
mengetatkan pelukannya pada pinggang pemuda itu.
"Masuk, yuk?" ajak Bayu.
Sebentar Seruni memandang wajah tampan pemuda itu,
kemudian kembali tersenyum dan mengangguk. Mereka
berjalan pelahan menuju ke pondok itu. Bayu membuka
pintunya dan mempersilakan Seruni masuk. Gadis itu
melangkah masuk dan memandangi bagian dalam pondok ini.
Hanya pelita kecil dari buah jarak yang berada tergantung di
tengah-tengah. Nyala api yang redup sepertinya sanggup
menerangi seluruh bagian dalam pondok.
"Kakang.... akh!"
Seruni tak sempat lagi mengucapkan kata-kata, dan
langsung terkulai begitu membalikkan tubuh. Bayu cepat
menangkap gadis itu, lalu membaringkannya ke lantai pondok.
Pada saat itu masuk tiga orang ke dalam pondok. Bayu bangkit
dan melangkah mundur.
"Aku hanya membuatnya pingsan sebentar," jelas Bayu.
"Kau hebat, Bayu," puji Dewa Pengemis.
"Sebenarnya aku benci dengan rencana ini," dengus Bayu.
"Aneh, kenapa kau membenci rencanamu sendiri?" tanya
Nyi Rampik
"Pekerjaan seorang pengecut"

'Tapi tidak ada cara lain lagi, Bayu. Kau lihat apakah
Rampita mirip Seruni?" Nyi Rampik mendorong Rampita agar
maju.
Bayu tidak bisa berkata apa-apa. Tak ada lagi yang bisa
membedakan, mana Rampita dan mana Seruni. Kedua gadis ini
serupa, seakan tak berbeda sedikit pun. Benar-benar seperti
saudara kembar. Padahal mereka hanya satu ayah, lain ibu. Dan
Rampita tahu kalau antara dirinya dengan Seruni satu Ayah. Itu
sebabnya dia selalu mengalah, karena dia sendiri tidak
bernapsu dengan segala macam urusan duniawi.
Sementara itu Dewa Pengemis sudah mengikat Seruni
dengan tambang, dan membaringkannya di dipan bambu.
Dihampirinya Rampita yang kini sudah berubah, baik tata
rambut maupun pakaiannya. Gadis ini akan menyamar jadi
Seruni, seperti yang sering dilakukan Seruni dalam
melaksanakan aksinya. Sering orang menyangka kalau
Rampita adalah gadis liar, binal, dan selalu membuat onar.
Padahal sebenarnya yang melakukan adalah Seruni. Gadis itu
memanfaatkan kesamaan antara mereka berdua untuk
mengotori nama Rampita.
"Sebaiknya kau cepat ke Istana Cagar Angin, Rampita,"
tegas Dewa Pengemis.
"Aku tidak yakin kalau akan berhasil, Paman," kata
Rampita ragu-ragu.
"Yakinkan dirimu, Rampita. Semua ini demi kebaikanmu
sendiri," Nyi Rampik memberi semangat
"Kau tidak lupa orang-orang di Istana Cagar Angin,
Rampita?" tanya Dewa Pengemis.
'Tidak," sahut Rampita.
"Bagus. Hanya kau harus berhati-hati pada Panglima Gajah
Sodra. Dia punya pandangan tajam," Nyi Rampik
memperingatkan.

"Baiklah, aku berangkat sekarang," ujar Rampita
memantapkan hatinya.
"Hati-hati, Rampita. Ingat! Begitu memperoleh cupu itu,
kau harus segera ke sini," pesan Nyi Rampik.
Rampita mengangguk, kemudian melangkah keluar
pondok Bayu bergegas mengikuti gadis itu.
"Kau kuantar sampai ke istana," kata Bayu menawarkan
jasa.
Rampita tidak menolak, karena memang membutuhkan
seseorang untuk teman dalam perjalanan Mereka berjalan cepat
meninggalkan pondok itu. Namun di tengah perjalanan, mereka
berhenti. Rampita memutar tubuhnya. Dipandanginya dalam-
dalam bola mata pemuda berbaju kulit harimau itu.
"Aku tahu, setelah semua ini berakhir kau pasti
meninggalkanku," pancing Rampita pelan.
Bayu tidak berkata apa-apa.
"Kakang, apakah salah jika seorang gadis mengatakan isi
hatinya lebih dahulu?"
'Tidak," sahut Bayu.
'Tapi...."
Bayu cepat menutup bibir gadis itu dengan dua jari
tangannya. Pemuda itu melangkah semakin dekat Begitu
dekatanya, sehingga hampir tidak ada jarak di antara mereka.
Pelahan Bayu menurunkan tangannya, dan berhenti di bahu.
Untuk beberapa saat mereka hanya diam saling pandang.
Pelahan wajah Bayu mendekati wajah gadis itu. Sedangkan
Rampita hanya bisa memejamkan mata dengan wajah
terdongak. Bibir yang memerah sedikit terbuka itu agak
bergetar. Bayu memandangi bibir yang bergetar terbuka itu,
kemudian melumat bibir itu disertai kecupan lembut
membangkitkan gairah.

"Oh...," Rampita mendesah lirih.
Gadis itu merapatkan tubuhnya dan memeluk leher Bayu
erat Agak lama mereka saling berpelukan dengan bibir
menyatu rapat. Pelahan Bayu melepaskan pagutannya, dan
mereka kembali saling pandang.
"Kakang, aku...."
"Aku tahu apa yang akan kau ucapkan, Rampita," potong
Bayu cepat. Rampita terdiam.
"Ayolah, kau harus sampai di istana malam ini juga," Bayu
mengingatkan.
Mereka melepaskan pelukan, dan kembali berjalan cepat
menuju Istana Cagar Angin. Mereka berjalan bergandengan
tangan Sesekali Rampita mencuri pandang menatap wajah
tampan di sampingnya. Gadis itu tidak tahu, kalau hati Bayu
sendiri tengah bergolak.
Kelembutan, ketegaran, dan segala sikap gadis ini telah
menggoyahkan benteng pertahanan Pendekar Pulau Neraka.
Entah, Bayu sendiri tidak tahu, apakah ini yang dinamakan
cinta? Pemuda itu memang belum pernah merasakan yang
namanya cinta. Dan memang dia tidak bisa membohongi diri
sendiri. Sekeping hatinya telah terkoyak oleh panah asmara
yang tertanam dalam. Sukar baginya untuk membantah. Bayu
benar-benar menyukai gadis ini, tapi tidak ingin larut dalam
gelombang cinta.
***
Rampita ragu-ragu juga untuk mengetuk pintu kamar
pribadi Prabu Nara Kesuma. Tapi akhirnya dimantapkan
hatinya. Namun belum juga mengetuk pintu, tiba-tiba saja
muncul Panglima Gajah Sodra.

"Gusti Ayu...."
"Oh!" Rampita terkejut
Cepat Rampita menghilangkan kegugupannya. Namun
sorot mata Panglima Gajah Sodra membuat hatinya bergetar
dan jantungnya berdebar tidak menentu. Menyamar seperti ini
merupakan pengalaman terbaru dalam hidupnya. Tidak heran
jika gadis itu harus bisa menguasai perasaannya.
"Maaf, Gusti Ayu. Gusti Prabu tidak ada di dalam kamar
ini," kata Panglima Gajah Sodra memberitahu.
"Oh, di mana?" tanya Rampita.
"Apakah Gusti Ayu lupa? Ini hari ketujuh, purnama
kelima. Gusti Prabu selalu berada di ruang semadi setiap hari
ketujuh, dan baru keluar setelah matahari tenggelam nanti."
"Oh, iya. Aku lupa," desah Rampita buru-buru.
"Apakah ada sesuatu, Gusti Ayu?"
'Tidak," buru-buru Rampita menjawab.
Tanpa berkata apa-apa lagi, gadis itu segera meninggalkan
pintu kamar itu. Sementara Panglima Gajah Sodra
memperhatikan sambil mengerutkan kening.
"Gusti Ayu...," panggil Panglima Gajah Sodra.
Rampita menghentikan langkahnya disertai gemuruh
dadanya. Dia teringat pesan Nyi Rampik agar selalu waspada
pada Panglima Gajah Sodra. Mengingat pesan itu, dadanya
semakin bergemuruh kencang. Hatinya khawatir kalau
penyamarannya akan terbongkar sebelum maksudnya tercapai.
"Maaf, Gusti Ayu. Mengapa Gusti tidak membawa
pedang?" tanya Panglima Gajah Sodra yang sudah berada di
depan Rampita kembali.
"Ada di kamar," sahut Rampita sekenanya.
'Tidak biasanya Gusti meninggalkan pedang," ada nada
kecurigaan pada suara Gajah Sodra.

"Apakah ada larangan untuk tidak membawa pedang?"
Rampita mendelik, mencoba menghalau kegugupannya.
"Ampun, Gusti Ayu. Hamba hanya mengingatkan saja."
"Sudahlah! Aku akan ke kamar. Jangan ganggu aku. Dan
beritahu kalau Kakang Prabu sudah selesai bersemadi."
Rampita buru-buru meninggalkan Panglima Gajah Sodra
yang membungkukkan badan sedikit memberi hormat Tapi
laki-laki setengah baya itu malah memandangi dengan kening
berkerut dan mata agak menyipit
Sementara Rampita terus berjalan menuju kamarnya.
Dengan tergesa-gesa dibukanya pintu kamar dan terus masuk.
Gadis itu mengunci kamar itu dan menghamburkan diri ke
pembaringan. Tapi mendadak saja hatinya tersentak ketika
sebuah tangan menyentuh pundaknya.
"Oh!"
"Sss...."
"Kakang...," desah Rampita langsung duduk begitu melihat
Bayu tahu-tahu sudah duduk di tepi pembaringan ini
"Bagaimana Kakang bisa masuk ke sini?"
"Sejak semalam aku sudah berada di sini," sahut Bayu
kalem.
"Seharusnya Kakang bersama Paman Dewa Pengemis dan
Nyi Rampik."
"Aku mencemaskanmu, Rampita."
"Ah, Kakang...."
Bayu memberi senyuman. Tapi sesaat kemudian mata
Pendekar Pulau Neraka itu menyipit. Dipandanginya wajah
Rampita yang agak memucat.
"Ada apa, Rampita?" tanya Bayu. "Kau mendapat
kesulitan?"

'Panglima Gajah Sodra. Kelihatannya mencurigaiku," sahut
Rampita memberitahu. "Dia menanyakan pedang. Aku tidak
tahu kalau Seruni tidak pernah melepaskan pedangnya."
"Itu di meja," Bayu menunjuk sebuah meja.bundar di
samping pintu. Di sana tergeletak sebilah pedang.
"Bagaimana pedang itu ada di sini?"
"Waktu kau masuk ke sini, Ki Dewa Pengemis datang
membawa pedang itu untuk diberikan kepadamu. Makanya aku
berada di sini menunggumu. Ke mana saja kau semalaman?"
"Menghafal istana ini. Semalaman aku mengelilinginya."
Untuk beberapa saat tak ada lagi yang berbicara. Dan
mereka hanya saling pandang saja, kemudian sama-sama
tersenyum. Entah apa yang membuat mereka tersenyum. Yang
jelas Rampita langsung menundukkan wajahnya. Tapi Bayu
kembali mengangkat wajah gadis itu dengan dua jari
tangannya.
"Kau sudah bertemu Prabu Nata Kesuma?" tanya Bayu
"Belum. Hari ini dia bersemadi sampai malam nanti," sahut
Rampita.
"Hm..., sebaiknya kau beristirahat saja. Tenangkan hati dan
pikiranmu. Kesalahan kecil saja bisa menyulitkanmu,
Rampita."
"Baik, Kakang. Tapi...."
"Kenapa?"
"Panglima Gajah Sodra. Rasanya hatiku tidak sanggup
menerima sorot matanya. Dia sepertinya tahu kalau aku bukan
Seruni."
"Kau tenang saja. Biar aku yang menanganinya."
"Apa yang akan kau lakukan, Kakang?"
"Menjauhkan dia darimu. Tenang saja, pokoknya usahakan
agar mendapatkan cupu itu."

"Aku usahakan, Kakang."
"Bagus!"
Bayu memberi satu kecupan lembut di bibir gadis Itu.
"Kakang...."
Rampita menahan tangan Pendekar Pulau Neraka yang
akan bangkit berdiri.
"Kau mau ke mana?" tanya Rampita.
"Aku akan membereskan Panglima Gajah Sodra. Dialah
satu-satunya orang yang berbahaya bagi kita."
Kecemasan jelas terpancar dari sorot mata Rampita. Dan
Bayu menepuk punggung tangan gadis itu yang mencekal
tangannya, berusaha memberi ketenangan. Tapi Rampita malah
menarik tangan Pendekar Pulau Neraka itu, dan melingkarkan
tangannya di leher. Pemuda itu terpaksa menahan dengan
tangan bertumpu di pembaringan.
"Beri aku ketenangan, Kakang," bisik Rampita agak
mendesah.
Bayu melingkarkan tangannya di pinggang ramping gadis
itu Dan kini bibir mereka sudah menyatu rapat Tak ada lagi
kata-kata yang terucapkan. Hanya desah napas dan suara
kecupan yang terdengar. Pelahan-lahan tubuh mereka rebah di
atas pembaringan. Rampita mendesah panjang, menahan berat
badan Pendekar Pulau Neraka. Saat gadis itu menggelinjang,
tanpa disadari bagian bawah pakaiannya tersingkap.
Rampita merintih lirih ketika merasakan jari-jari tangan
Bayu menjalari kulit pahanya yang gempal. Gadis itu buru-
buru mencekal tangan Bayu yang hampir saja nyasar ke daerah
terlarang. Rampita membawanya ke tempat lain di samping
tubuhnya. Kembali tangan Bayu menjalar. Gadis itu buru-buru
menepis, lalu menggelinjang keluar dari himpitan pemuda itu.
"Jangan, Kakang...," desah Rampita.

Bayu memandangi gadis itu, kemudian bangkit dan turun
dari pembaringan. Rampita merapikan pakaiannya yang sempat
berantakan, sehingga beberapa bagian tubuhnya terbuka.
"Maafkan aku, Kakang," ucap Rampita lirih.
'Tidak ada yang perlu dimaafkan Kau benar, Rampita,"
tegas Bayu.
"Aku mencintaimu, Kakang. Tapi aku tidak ingin...."
"Ssst.., sudahlah. Seharusnya aku yang minta maaf padamu
"
Bayu melangkah mendekati jendela. Dibukanya pintu
jendela sedikit, lalu mengawasi keadaan luar.
"Aku pergi dulu, Rampita."
Sebelum Rampita memberikan jawaban, Bayu sudah
melesat keluar melalui jendela. Rampita bergegas memburu,
dan berhenti di ambang jendela yang terbuka lebar. Tak teriihat
lagi bayangan tubuh Pendekar Pulau Neraka itu. Rampita
mendesah panjang. Entah merasa bersyukur atau menyesali,
karena kesuciannya telah terselamatkan.
***

DELAPAN

“Panglima Gajah Sodra mengatakan kalau kau ingin
bertemu denganku. Ada apa, Seruni?" tanya Prabu Nata
Kesuma.
"Ada yang ingin kubicarakan denganmu, Kakang," kata
Rampita. Prabu Nata Kesuma memang belum sadar kalau gadis
yang berada di depannya ini bukan Seruni.
"Katakan saja."
"Aku takut Kakang marah," Rampita mencoba merajuk
"Ha ha ha...! Kenapa harus marah, Seruni? Katakan saja.
Apa yang ingin kau bicarakan?"
'Tentang Bunga Cubung Biru."
"Hm..., kau sudah mendapatkannya?" Prabu Nata Kesuma
langsung bersungguh-sungguh mendengar Bunga Cubung Biru
disebut.
"Belum. Tapi aku ingin tahu, untuk apa bunga itu bagimu,
Kakang?"
"Kau kan tahu, Seruni. Bunga Cubung Biru banyak sekali
kegunaannya. Salah satu kegunaannya bisa menyempurnakan
hidup dan seluruh ilmu-ilmu yang kumiliki. Apa kau tidak
bangga mempunyai Kakak yang digdaya? Pertanyaanmu aneh-
aneh saja, Seruni."
'Tapi, kenapa Kakang tidak memberiku ilmu-ilmu
yang Kakang miliki?" '
"Untuk apa? Dengan kepandaian yang kau miliki sekarang
pun sudah sukar dicari tandingannya. Ilmu yang kau peroleh
dari Eyang Banadu sudah cukup tinggi."
'Tapi aku ingin seperti Kakang," rajuk Rampita.

"Itu tidak mungkin, Seruni. Semua ilmuku tidak boleh ada
yang bisa menyamai. Tidak sembarang orang bisa
menguasainya. Ah, sudahlah. Kenapa kau mempermasalahkan
itu? Yang penting tugasmu adalah mendapatkan Bunga
Cubung Biru."
Rampita terdiam. Gadis itu melihat ke pinggang pemuda
tampan yang sebenarnya sudah berusia lebih dari seratus tahun.
"Ke mana sabukmu, Kakang?" tanya Rampita tidak
melihat Prabu Nata Kesuma memakai sabuk.
"Oh!" Prabu Nata Kesuma terperanjat seperti baru tersadar
kalau tidak lagi mengenakan sabuk emasnya. "Pasti tertinggal
di bilik semadi."
"Ah, Kakang sudah sudah mulai pelupa. Biasanya sabuk
itu tidak pernah ketinggalan."
"Aku terburu-buru tadi. Seruni, bisa tolong ambilkan
sabukku?"
Rampita tersenyum. Entah kenapa, hatinya menjadi
gembira mendengar permintaan Prabu Nata Kesuma. Sungguh
tidak disangka akan semudah ini tugasnya. Tanpa menunggu
waktu lagi, gadis itu langsung bangkit dan melangkah keluar
dari kamar itu. Tapi belum juga melewati pintu, Prabu Nata
Kesuma sudah memanggilnya.
"Cepat kau bawa ke sini, aku harus segera membersihkan
diri," pesan Prabu Nata Kesuma.
"Baik, Kakang," sahut Rampita.
Bergegas gadis itu keluar dari kamar pribadi raja yang
kelihatannya muda itu. Sementara Prabu Nata Kesuma masih
duduk bersila beralaskan permadani tebal berwarna biru muda.
Diraba-raba pinggangnya yang tidak mengenakan sabuk emas.
Di dalam sabuk itu tersimpan sebuah cupu kecil yang menjadi
segala pusat kekuatan dan ilmu-ilmu yang dimilikinya.

"Hhh...! Untung Seruni mengingatkan," desahnya.
***
Rampita menimang-nimang sabuk emas di tangannya.
Bibirnya tersenyum mengamati sabuk yang indah ini.
Kemudian dikenakannya sabuk itu di pinggangnya. Pas! Tidak
kekecilan atau kebesaran. Padahal ukuran pinggangnya dengan
pinggang Prabu Nata Kesuma tidak sama. Tapi, sabuk ini pas
sekali.
Rampita menutupi sabuk itu dengan melilitkan selendang
berwarna biru muda, kemudian keluar dari bilik semadi itu.
Dua orang penjaga membungkukkan badan memberi hormat.
Rampita bergegas meninggalkan bilik semadi itu. Tapi baru
saja berjalan sekitar tiga batang tombak, tampak di depannya
berjalan Panglima Gajah Sodra. Ayunan kakinya lebar-lebar
dan nampak tergesa-gesa.
"Gusti Ayu, hamba diminta untuk membawa sabuk Gusti
Prabu," jelas Panglima Gajah Sodra begitu dekat di depan
Rampita.
"Justru aku baru dari bilik semadi, tidak ada sabuk Kakang
Prabu di sana," ujar Rampita.
'Tapi, tadi Gusti Prabu mengatakan kalau Gusti, Ayu
sedang mengambil sabuknya yang tertinggal di bilik semadi."
"Kenyataannya tidak ada! Kalau tidak percaya, cari saja
sendiri!" dengus Rampita.
Panglima Gajah Sodra bergegas masuk ke dalam bilik
semadi Sedangkan Rampita tersenyum tipis memperhatikan
Tidak lama kemudian laki-laki setengah baya itu keluar lagi,
dan berhenti di depan Rampita yang tersenyum sinis.
"Percaya tidak? Sabuk itu tidak ada," ujar Rampita sinis.

"Hamba harus segera melaporkannya, Gusti Ayu."
"Sekalian katakan, aku akan berburu ke hutan."
Rampita bergegas pergi meninggalkan Panglima Gajah
Sodra. Sedangkan laki-laki setengah baya itu segera melangkah
pergi menuju kamar pribadi Prabu Nata Kesuma. Beberapa
prajurit yang berpapasan dan memberi hormat, tidak ditanggapi
sama sekali Panglima Gajah Sodra bergegas masuk ke kamar
yang besar dan indah itu.
"Mana sabukku?" tanya Prabu Nata Kesuma langsung.
"Tidak ada, Gusti Prabu," sahut Panglima Gajah Sodra
seraya memberi hormat.
'Tidak ada...?!" Prabu Nata Kesuma mendelik.
"Gusti Ayu Seruni juga tidak menemukannya di...."
"Panggil Seruni ke sini!" bentak Prabu Nata Kesuma
memotong cepat
'Tapi, Gusti. Gusti Ayu Seruni sudah pergi berburu ke
hutan."
"Apa kau bilang...?!" Prabu Nata Kesuma semakin berang.
"Ampun Gusti Prabu," buru-buru Panglima Gajah Sodra
memberikan sembah.
"Cepat kejar, dan bawa ke sini! Aku tidak mau tahu, hidup
atau mati. Bawa anak itu ke sini dan serahkan sabuknya
padaku!"
"Hamba laksanakan segera, Gusti Prabu."
Panglima Gajah Sodra bergegas keluar dari ruangan itu.
Sementara Prabu Nata Kesuma tampak gusar. Wajahnya
memerah dan gerahamnya bergemeletuk
menahan geram.
"Edan! Malam-malam begini berburu!" dengus Prabu Nata
Kesuma.
Tapi mendadak saja Prabu Nata Kesuma tersentak, dan
buru-buru berlari keluar kamar pribadinya. Tapi Panglima

Gajah Sodra sudah tidak terlihat lagi. Laki-laki itu bergegas
menuju kamar Seruni. Ditendangnya pintu kamar itu hingga
jebol berantakan. Dipandanginya setiap sudut kamar itu.
Matanya langsung tertuju pada sebilah pedang yang tergeletak
di atas meja.
"Setan! Dia pasti bukan Seruni! Pasti Rampita...!" geram
Prabu Nara Kesuma baru tersadar.
Bergegas Prabu Nata Kesuma keluar dari kamar itu. Laki-
laki yang sebenarnya sudah tua itu berteriak-teriak memanggil
semua prajuritnya sambil terus berlari keluar istana. Seluruh
prajurit langsung berlarian dan berkumpul di depan istana.
Prabu Nata Kesuma berdiri bertolak pinggang di ujung tangga
beranda.
"Mana Panglima Gajah Sodra?" tanya Prabu Nata Kesuma
lantang.
"Gusti Panglima membawa seratus-prajurit menyusul
Gusti Ayu Seruni," jawab salah seorang punggawa.
"Siapkan kudaku' Bawa seluruh senjata dan kerahkan
kekuatan kalian. Kejar Seruni hidup atau mati!" perintah Prabu
Nata Kesuma keras menggelegar.
Tak ada seorang prajurit pun yang berani membantah.
Mereka bergegas melaksanakan perintah itu. Dan tidak lama
kemudian serombongan besar bergerak meninggalkan Istana
Cagar Angin. Prabu Nata Kesuma berkuda paling depan
didampingi empat punggawa. Hampir seribu prajurit yang
mengiringinya. Itu pertanda seluruh kekuatan Kerajaan Cagar
Angin telah meninggalkan istana.
***

Sementara itu di pinggiran hutan, Bayu sudah menghadang
rombongan yang dipimpin Panglima Gajah Sodra. Pendekar
Pulau Neraka itu langsung mengamuk menghajar para prajurit
hingga berantakan. Jerit dan pekikan melengking memecah
kesunyian di tengah malam ini Tubuh-tubuh bergelimpangan
bersimbah darah. Bayu bertarung menggunakan jurus-jurus
cepat Senjata mautnya tergenggam di tangan, membabat setiap
prajurit yang tak sempat lagi menghindar.
Saat hampir seluruh prajurit tewas, muncul Rampita yang
langsung menerjunkan diri dalam kancah pertempuran.
Kemunculan gadis itu membuat sisa-sisa prajurit itu semakin
kelabakan, bahkan berusaha melarikan diri. Bayu melihat
Panglima Gajah Sodra mencoba kabur, namun cepat-cepat
dihadangnya. Pada saat itu, Rampita juga sudah menghabiskan
sisa prajurit yang ada dan sudah berdiri di samping Pendekar
Pulau Neraka.
"Sejak semula aku sudah curiga padamu, Rampita!"
dengus Panglima Gajah Sodra dingin.
"Sayang terlambat, Panglima Gajah Sodra. Aku sudah
menguasai sabuk emas Nata Kesuma," ujar Rampita disertai
senyum sinis.
Rampita melepaskan selendang biru yang membelit
pinggangnya, dan melemparkan begitu saja ke samping.
Tampak di pinggangnya melilit sebuah sabuk berwarna
keemasan. Panglima Gajah Sodra mendelik, melihat sabuk
emas itu berada di pinggang Rampita. Sedangkan gadis itu
tersenyum-senyum penuh kemenangan.
"Bersiaplah menerima hukumanmu, pengkhianat!" geram
Rampita.
Seketika itu juga Rampita melompat menerjang Panglima
Gajah Sodra. Terjangan gadis itu demikian dahsyat. Hal ini

membuat laki-laki setengah baya itu terperangah sejenak,
namun cepat berkelit dan memberi serangan balasan.
Tapi Rampita bukanlah wanita sembarangan. Apalagi
derita akibat luka dalam yang dialaminya sudah lenyap oleh
Bunga Cubung Biru. Bahkan kini dengan sabuk emas di
pinggang, gadis ini bergerak begitu cepat seringan kapas. Hal
ini membuat lawannya sebentar saja sudah terdesak hebat
Beberapa kali pukulan dan tendangan Rampita mendarat di
tubuhnya.
Panglima Gajah Sodra menyadari kalau tidak akan
mungkin bisa menandingi Rampita yang mengenakan sabuk
emas itu. Bahkan ketika ujung pedangnya berhasil menggores
bahu kanan gadis itu, tak ada luka sedikit pun. Kulit Rampita
jadi kebal, bahkan tenaga dalamnya berlipat ganda. Sabuk
emas yang dikenakan gadis itu sudah merasuk, sehingga
membuatnya semakin tangguh dua kali lipat
"Mampus kau! Hiyaaa...!" seru Rampita keras.
Seketika itu juga Rampita melontarkan satu pukulan keras
ke dada Panglima Gajah Sodra. Pukulan yang begitu cepat dan
bertenaga dalam sangat tinggi itu tak dapat dihindari lagi, tepat
menghantam dada lawan.
Dughk!
"Aaakh...!" Panglima Gajah Sodra menjerit keras.
Tubuh laki-laki setengah baya itu terlontar hebat sejauh
beberapa batang tombak. Rampita langsung melompat
mengejar, dan memberi satu tendangan menggeledek disertai
pukulan dahsyat ke bagian kepala. Terdengar suara berderak
dari kepala yang pecah. Panglima Gajah Sodra kembali
menjerit melengking. Tubuhnya seketika ambruk, langsung
diam tak berkutik lagi. Darah merembes keluar dari kepala
yang remuk

Rampita berdiri tegak memandangi mayat Panglima Gajah
Sodra Kepalanya menoleh ketika merasakan bahunya disentuh
lembut Ternyata Bayu sudah berdiri di sampingnya. Rampita
menyandarkan kepalanya di dada Pendekar Pulau Neraka itu.
"Ayo, Rampita. Kita harus segera menemui Dewa
Pengemis dan Nyi Rampik," ajak Bayu.
"Ayo, Kakang."
Tapi belum juga mereka berjalan meninggalkan tempat itu,
mendadak terdengar suara menggemuruh dari arah belakang.
Kedua anak muda itu langsung memutar tubuhnya berbalik.
Tampak debu mengepul di udara. Semakin jelas terdengar.
Suara ratusan ekor kuda dipacu cepat disertai teriakan-teriakan
keras menggelegar. Bayu dan Rampita saling berpandangan.
"Mereka mengejar, Kakang," desah Rampita.
"Ya! Jumlah mereka begitu banyak," sahut Bayu.
"Bagaimana, Kakang?"
Bayu tidak segera menjawab. Dan sebelum bisa
mengeluarkan suara, ribuan prajurit berkuda yang langsung
dipimpin Prabu Nata Kesuma sudah muncul. Bayu dan
Rampita saling berpandangan. Sungguh tidak disangka kalau
Prabu Nata Kesuma akan membawa begitu banyak prajurit
***
"Rampita! Serahkan sabuk itu padaku!" bentak Prabu Nata
Kesuma lantang.
"Heh, enak saja! Sabuk ini milikku!" dengus Rampita
ketus.
"Dengar, Rampita. Aku akan mengampunimu, asal kau
serahkan sabuk itu padaku," Prabu Nata Ke-suma mencoba
membujuk.
"Sekali tidak, tetap tidak!" tegas Rampita


"Setan...!" geram Prabu Nata Kesuma.
Kemarahan laki-laki muda tampan itu semakin memuncak
melihat sabuk emasnya sudah membelit pinggang Rampita.
Dan dia tahu, orang yang mengenakan sabuk itu akan sukar
dikalahkan. Meskipun tanpa sabuk itu dia masih memiliki
kekuatan, tapi sebagian besar sudah lenyap.
"Hari ini riwayatmu tamat, Prabu Nata Kesuma!" desis
Rampita dingin
"Setan keparat...! Seraaang...!" seru Prabu Nata Kesuma
tak dapat lagi menahan kemarahannya.
Seketika itu juga, ribuan prajurit yang sejak tadi sudah siap
menunggu perintah langsung berhamburan menyerbu Pendekar
Pulau Neraka dan Rampita. Tentu saja kedua orang itu jadi
gelagapan. Meskipun mereka memiliki kepandaian sangat
tinggi, tentu tidak mungkin sanggup menghadapi ribuan
prajurit ini.
"Mati kita, Kakang...," desis Rampita.
Namun belum juga para prajurit itu mencapai Bayu dan
Rampita, mendadak saja bertebaran ribuan anak panah
menghujani para prajurit itu. Seketika terdengar jerit dan
pekikan melengking, disusul tumbangnya prajurit-prajurit
dengan tubuh tertancap panah.
Belum juga ada yang sempat menyadari, tiba-tiba saja dari
segala arah berlarian orang-orang berpakaian compang
camping membawa tongkat yang beraneka ragam bentuknya.
Mereka langsung menyerang para prajurit yang masih
dihinggapi kepanikan. Tak dapat dihindari lagi, pertempuran
masai pun terjadi. Jerit dan pekik melengking disertai teriakan-
teriakan pertempuran bercampur menjadi satu. Tampak Prabu
Nata Kesuma kelabakan mengatur para prajuritnya yang
berantakan. Teriakan-teriakannya yang keras memberi
perintah, tenggelam dalam hiruk pikuknya suara pertempuran.

Saat itu Bayu melihat seorang laki-laki tua kurus kering
tengah mengamuk membantai para prajurit dengan tongkatnya.
Tidak jauh darinya, tampak seorang perempuan tua berjubah
kumal yang juga mengamuk menggunakan tongkat Bayu
mengenali mereka. Dan ternyata Rampita juga melihat Kedua
anak muda itu saling berpandangan sejenak.
"Bagaimana, Kakang?" tanya Rampita meminta pendapat
"Kau bantu Dewa Pengemis dan Nyi Rampik, sementara
aku akan menghadapi Prabu Nata Kesuma," kata Bayu.
"Baik, Kakang," sahut Rampita.
Gadis itu tidak membuang-buang waktu lagi, langsung
terjun ke dalam kancah pertempuran. Sementara Bayu
melompat mendekati Prabu Nata Kesuma yang tengah
menggempur para pengemis yang mengeroyoknya. Meskipun
tanpa sabuk emas, namun Prabu Nata Kesuma tidak bisa
dianggap enteng. Pukulan dan tendangannya masih berbahaya,
walau kadar kekuatannya jauh berkurang.
"Mundur semua...!" seru Bayu keras.
"Bayu...," desis Prabu Nata Kesuma.
Para pengemis yang mengeroyok Prabu Nata Kesuma
langsung berlompatan mundur. Mereka kemudian menyatu
bersama yang lainnya, menggempur para prajurit yang semakin
kedodoran. Entah sudah berapa orang bergelimpang tak
bernyawa. Tapi banyak juga yang berhasil melarikan diri.
Pertempuran terus berlangsung meskipun para prajurit
Kerajaan Cagar Angin semakin terdesak hebat
"Aku lawanmu, Prabu Nata Kesuma!" desis Bayu dingin.
"Huh! Menyesal kau kubiarkan hidup!" dengus Prabu Nata
Kesuma.
"Tidak ada gunanya lagi penyesalan. Bersiaplah, Prabu
Nata Kesuma!"

Bayu langsung menggerakkan tangannya di depan dada.
Pandangannya tajam menusuk langsung bola mata Prabu Nata
Kesuma. Sedikit Bayu menggeser kakinya ke samping.
Sedangkan Prabu Nata Kesuma sudah melintangkan pedangnya
di depan dada. Juga, digeser kakinya pelahan mengikuti gerak
kaki Pendekar Pulau Neraka itu.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Mereka sama-sama berlompatan menyerang. Prabu Nata
Kesuma mengibaskan pedangnya ke arah leher. Namun manis
sekali Bayu berkelit, bahkan dengan cepat melontarkan satu
pukulan keras bertenaga dalam sempurna.
Pukulan Bayu yang cepat dan keras, masih dapat dihindari
lawannya. Namun pertarungan tidak berhenti sampai di situ.
Masing-masing mengerahkan jurus-jurus dahsyat dan
berbahaya. Meskipun hanya menggunakan tangan kosong, tapi
pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka itu sangat
dahsyat Setiap tebasan pedang Prabu Nata Kesuma selalu
ditangkis de ngan pergelangan tangannya yang terdapat Cakra
Maut Senjata andalan yang jarang digunakan jika tidak dalam
keadaan terdesak.
Dalam waktu sebentar saja, puluhan jurus telah terlewati.
Namun pertarungan masih berlangsung sengit Bayu mengakui
kalau lawannya ini sangat tangguh, meskipun sebagian
kekuatannya telah sirna akibat sabuk emas yang menyimpan
kekuatannya sudah berpindah tangan.
"Hiyaaa...!" tiba-tiba Prabu Nata Kesuma berteriak keras.
Seketika itu juga dikibaskan pedangnya cepat mengarah ke
kepala. Tak ada lagi kesempatan bagi Bayu yang baru saja
menghindari tendangan menggeledek lawannya ini. Dengan
cepat digerakkan tangan kanannya menangkis pedang itu.
Tring!

Benturan keras terjadi sehingga menimbulkan bunga api.
Selagi pedang Prabu Nata Kesuma terpental balik, cepat-
cepat Bayu memiringkan tubuhnya. Dan secepat itu pula
dikibaskan tangan kanannya ke atas. Cakra Maut melesat
cepat bagai kilat ke arah dada Prabu Nata Kesuma yang tidak
menyadari akan serangan kilat itu.
Crab!
"Aaa...!" Prabu Nata Kesuma menjerit keras melengking.
Cakra Maut yang dilepaskan Bayu menembus dada Prabu
Nata Kesuma hingga tembus ke punggung. Dan sebelum laki-
laki itu bisa menguasai tubuhnya, Cakra Maut yang melesat
melalui punggung, terbalik cepat Senjata itu langsung
membabat lehernya. Sekati lagi Prabu Nata Kesuma menjerit
melengking tinggi. Darah muncrat dari dada dan leher.
Cakra Maut kembali menempel di pergelangan Pendekar
Pulau Neraka. Saat itu juga Bayu melentingkan tubuhnya
sambil berteriak keras. Dan dengan satu tendangan keras
menggeledek yang mendarat di tubuh Prabu Nata Kesuma,
Pendekar Pulau Neraka membuat lawannya seketika itu juga
ambruk menggelepar ke tanah. Sebentar kemudian, tubuh
penguasa Kerajaan Cagar Angin itu diam tak bergerak-gerak
lagi.
Keanehan terjadi Laki-laki muda tampan itu berangsur-
angsur berubah tua keriput. Prabu Nata Kesuma kembali ke
asalnya, seorang laki-laki tua yang berusia lebih dari seratus
tahun Bayu memandangi sambil bergerak mundur beberapa
tindak. Pada saat yang sama, para prajurit Kerajaan Cagar
Angin sudah melarikan diri setelah melihat rajanya tewas.
Sebagian pengemis mengejar, tapi sebagian lagi diam saja
sambil mengurangi lelah.

Bayu memutar tubuhnya ketika mendengar langkah
menghampiri. Rampita berjalan cepat menghampiri Pendekar
Pulau Neraka diikuti Dewa Pengemis dan Nyi Rampik. Gadis
itu langsung memeluk Bayu dan memberi satu kecupan di
bibir.
'Terima kasih. Untung kau cepat datang, Ki," ucap Bayu
setelah Rampita melepaskan pelukannya.
"Sudah kuduga hal ini akan terjadi, jadi cepat-cepat
kukumpulkan rakyatku," jelas Dewa Pengemis.
Bayu memandangi para pengemis yang berjajar
di belakang laki-laki tua itu. Meskipun dari kalangan
pengemis, tapi kemampuan yang dimiliki sungguh luar
biasa.
"Bagaimaan dengan Seruni?" tanya Bayu.
"Biar aku yang menangani. Bagaimanapun juga dia masih
keponakanku," celetuk Nyi Rampik.
"Dan kau bisa kembali ke istana, Rampita," sambung
Dewa Pengemis.
Rampita tidak menyahut, tapi malah memandangi Bayu.
Seakan-akan gadis itu meminta pendapat Pendekar Pulau
Neraka. Dewa Pengemis menggamit lengan Nyi Rampik dan
mengajaknya pergi. Kedua orang tua itu seperti sengaja
membiarkan dua anak muda ini berbicara berdua saja.
"Maaf, Rampita. Aku harus pergi," kata Bayu pelan
"Ya. Kita memang tidak bisa bersama-sama. Aku juga
akan kembali ke Gunung Cakal. Di sanalah tempatku, bukan di
istana," desah Rampita.
Sesaat mereka saling berpandangan
"Kapan kau akan pergi, Kakang?" tanya Rampita.
"Secepatnya," jawab Bayu singkat
"Boleh minta sesuatu?"
"Katakan saja."

"Aku ingin kau tinggal bersamaku untuk beberapa hari."
Sukar bagi Bayu untuk menolak permintaan gadis ini.
Dipandanginya bola mata bening indah itu, kemudian
dilingkarkan tangannya di pinggang yang ramping. Tubuh
mereka merapat, sementara wajah mereka juga begitu dekat
Rampita melingkarkan tangannya di leher pemuda itu. Tak ada
kata-kata terucapkan. Tahu-tahu bibir mereka sudah menyatu
rapat, mengikuti alur gelombang asmara yang disadari tak akan
bisa bersatu.


                              SELESAI


Share:

0 comments:

Posting Komentar