TRAGEDI GUNUNG LANGKENG
Oleh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Gambar sampul oleh Pro's
Hak cipta pada Penerbit Dila-
rang mengcopy atau memperba-
nyak scbagian atau seluruh isi
buku ini tanpa izin tertulis
dari penerbit
SATU
Suasana pagi di Gunung Langkeng terasa
sejuk dan menyegarkan. Kicauan murai yang ber-
loncatan dari dahan ke dahan, semakin menyema-
rakkan suasana pagi itu. Hembusan angin pun si-
lir-silir lembut, bagai elusan tangan bidadari.
Sayangnya, suasana pagi yang hening itu dirusak
oleh bentakan-bentakan nyaring yang menggetar-
kan lembah. Gumpalan-gumpalan kabut yang me-
nyelimuti puncak Gunung Langkeng seketika
buyar akibat sambaran angin keras yang mener-
panya.
Di atas puncak gunung itu ternyata dua
sosok tubuh tengah bertarung sengit. Jelas sekali
kalau kedua sosok tubuh itu berusaha saling men-
jatuhkan.
"Sambutlah 'Pukulan Memecah Badaiku,
Panggali...! Heaaattt..!"
Dibarengi bentakan nyaring yang meme-
kakkan telinga, tubuh orang itu meluruk maju
disertai putaran kedua tangannya.
Wuttt! Wuttt!
Angin keras bertiup kencang akibat puta-
ran sepanjang tangan yang mengandung tenaga
dalam tinggi itu. Dari putaran tangan yang demi-
kian cepat dan hampir tidak terlihat mata, terlon-
tar pukulan-pukulan maut yang sangat berba-
haya.
Kehebatan ilmu 'Pukulan Memecah Badai',
memang tidak bisa dianggap enteng. Jangankan
terkena pukulan. Bahkan anginnya saja, sudah
dapat membuat roboh pohon sepelukan orang de-
wasa. Dapat dibayangkan, betapa hebatnya seran-
gan yang dilakukan orang itu.
Namun, lelaki muda berusia sekitar lima
betas tahun yang dipanggil Panggali tidak terlihat
gentar sedikit pun! Melihat datangnya sambaran
pukulan yang membuat rambut berkibar, tubuh-
nya segera digeser doyong ke kanan. Gerakannya
juga diikuti langkah kaki kanan yang terayun ber-
putar dan membuat lompatan kecil. Sambil me-
lompat, kaki kirinya terayun menggunakan jurus
'Tendangan Angin Topan'.
"Awas kepalamu, Kuncara!" seru Panggali
mengingatkan.
Mengetahui serangannya tidak membawa
hasil, lelaki muda yang berusia sebaya Panggali itu
menarik pulang serangannya. Dan itu pun masih
dibarengi liukan tubuhnya, menggunakan kuda-
kuda rendah yang tertumpu pada kaki kanan.
Maka, tendangan Panggali pun hanya menyambar
angin kosong.
Kuncara yang semula berniat mengirimkan
serangan balasan, bergegas melempar tubuhnya
jauh ke belakang. Dan memang, jurus 'Tendangan
Angin Topan' yang dimainkan Panggali memang
hebat sekali. Sepasang kakinya terus berputar me-
lakukan serangkaian tendangan yang menderu-
deru. Seolah-olah, kedua kakinya tidak pernah
menyentuh permukaan tanah. Benar-benar se-
buah jurus tendangan hebat dan sesuai dengan
namanya.
Karena tidak juga mendapat kesempatan
balas menyerang, kesabaran Kuncara pun hilang.
Dengan pengerahan seluruh tenaga dalamnya,
tangan kanan pemuda itu terangkat untuk me-
nangkis tendangan yang mengancam batang le-
hernya. Dan....
Wuttt... Plakkk!
"Uhhh...!"
Kuncara mengeluh pendek. Tangkisan itu
rupanya telah membuatnya cukup menderita ke-
rugian. Keadaannya yang tidak menguntungkan,
membuat tubuhnya terdorong hingga setengah
tombak. Dan sebelum kuda-kudanya sempat ter-
kuasai, sebuah tendangan keras telah membuat
lelaki muda berwajah keras itu terjungkal ke bela-
kang.
Buggg!
"Hugkh...!"
Akibat tendangan keras itu, Kuncara ter-
lempar bergulingan sampai tiga tombak jauhnya.
"Kuncara...!"
Panggali berlari menghambur ke arah tu-
buh Kuncara yang tergeletak lemah.
"Kau.. tidak apa-apa, Kuncara...?" tanya
Panggali, cemas. Cepat tubuhnya membungkuk,
dan memeriksa tubuh Kuncara.
"Tidak perlu khawatir, Panggali. Meskipun
tendanganmu tadi cukup keras, namun tidak akan
membuatnya terluka parah," tiba-tiba saja seorang
kakek berusia sekitar tujuh puluh tahun telah
berdiri di belakang Panggali.
"Eyang...," sapa Panggali, begitu mengeta-
hui kakek yang berdiri di belakangnya.
Cepat pemuda itu menjatuhkan diri, berlu-
tut di depan kakek yang tersenyum lembut sambil
mengelus-elus jenggotnya yang panjang dan ber-
warna putih.
"Eyang...!"
Kuncara yang semula rebah itu pun, lang-
sung bangkit saat melihat kedatangan gurunya.
Kemudian, ia pun berlutut di samping Panggali.
"Bagaimana, Kuncara...?" tanya kakek itu
seraya tersenyum lembut sambil mengusap ram-
but kedua orang muridnya.
"Tidak apa-apa, Eyang. Hanya masih tersi
sa sedikit rasa sesak. Untunglah tendangan itu ti-
dak terlalu keras. Kalau saja Panggali menambah
sedikit tenaganya, mungkin aku akan mengalami
luka parah," sahut Kuncara sambil menyeringai
karena rasa nyeri yang mengganggu pernafasan-
nya.
"Hm.„. Coba kulihat...," pinta kakek itu
sambil membungkuk dan meraba dada Kuncara.
Kening kakek itu terlihat agak berkerut ke-
tika memeriksa luka akibat tendangan Panggali.
Dipijatnya perlahan-lahan bagian dada Kuncara
yang terdapat luka memar berwarna kebiruan.
"Hm..„ Untunglah tubuhmu sempat terlin-
dungi oleh tenaga dalam. Sehingga, yang kau deri-
ta hanya luka memar saja dan tidak sampai melu-
kai bagian dalam tubuhmu," gumam kakek itu
sambil bergerak bangkit. "Teruskanlah latihan ka-
lian. Gerakan-gerakan kalian sudah jauh lebih
baik, dan tinggal menyempurnakannya saja."
Sebentar mata tua itu menatap kedua
orang muridnya, kemudian kakek itu melangkah
meninggalkan kedua orang remaja yang menjadi
muridnya.
"Kau mendapat kemajuan yang pesat seka-
li, Panggali. Padahal, beberapa hari yang lalu ke-
pandaian kita masih seimbang. Tapi hari ini, aku
benar-benar tidak sanggup menandingimu. Apa-
kah Eyang Sanca Wisesa memberi petunjuk kepa-
damu?" tanya Kuncara menyelidik.
Panggali yang ditatap sedemikian rupa oleh
saudara seperguruannya, hanya tersenyum diser-
tai helaan napas beratnya. Kakinya melangkah
perlahan-lahan ke arah sebuah batu besar yang
tidak jauh dari tempat mereka berdiri.
Setelah keduanya duduk saling berhada-
pan, Panggali memandangi wajah Kuncara sebelum menjawab pertanyaan.
"Hhh.... Sebenarnya kau tidak akan begitu
mudah terkena tendanganku, kalau saja suka me-
nuruti nasihat Eyang Sanca Wisesa untuk selalu
menyempurnakan ilmu-ilmu yang diturunkan ke-
pada kita. Aku memang meminta petunjuk beliau
setiap kali mendapatkan ilmu baru yang tidak be-
gitu kupahami. Nah! Kalau kau pun ingin mempe-
roleh kemajuan sepertiku, maka rajin-rajinlah me-
latihnya," jelas Panggali sambil tersenyum mena-
tapi wajah Kuncara yang terlihat menunduk.
"Jadi dengan kata lain, kau tidak suka bila
aku sering bermain di dalam hutan setelah selesai
berlatih? Hhh ... Aku pergi ke dalam hutan untuk
menghilangkan kejenuhan, Panggali. Apakah kau
tidak merasa bosan dengan kegiatan kita selama
ini? Setiap hari hanya berlatih dan mengerjakan
hal-hal yang membosankan! Rasanya, aku sudah
tidak bisa bertahan lebih lama lagi di tempat sepi
dan terpencil seperti ini," sahut Kuncara, agak
kesal mendengar nasihat Panggali kepadanya.
"Bukan begitu maksudku, Kuncara. Aku
sama sekali tidak merasa keberatan terhadap apa
yang kau lakukan selama ini. Tapi karena kau
yang meminta, maka kukatakan apa adanya. Ju-
ga, tidak baik mengungkapkan perasaan itu. In-
gatlah! Betapa besar budi yang dilimpahkan Eyang
Sanca Wisesa. Ia telah bersusah payah mendidik
kita selama ini. Dan itu bukan untuk kepentingan
beliau, melainkan untuk diri kita sendiri. Lagi pu-
la, kalau kepandaian kita sudah cukup, eyang
pasti mengizinkan kita untuk turun melihat dunia
ramai. Jadi, simpanlah rasa jenuhmu itu. Dan ka-
lau ingin cepat melihat dunia ramai, rajin-rajinlah
berlatih. Dengan begitu, kau bisa lebih cepat me-
ninggalkan tempat ini," Panggali menasihati. Di
wajahnya terbayang kecemasan melihat betapa
Kuncara hanya menunduk seperti tidak sudi men-
dengarkan ucapannya.
Agak lama kedua orang remaja itu diam,
terbawa alam pikiran masing-masing. Suasana
pun mendadak hening. Hanya desir angin lembut
yang mendesau lirih menerpa tubuh mereka.
"Aku ingin menenangkan pikiran...."
Mendadak saja Kuncara bangkit dari du-
duknya. Dan, tanpa menunggu jawaban dari
Panggali, tubuhnya sudah melesat ke arah mulut
hutan.
"Hhh...."
Panggali hanya dapat menghela napas me-
mandangi punggung Kuncara yang hanya tinggal
baying-bayang samar. Pandangan matanya terus
saja mengikuti gerak tubuh saudara seperguruan-
nya yang semakin mendekati mulut hutan.
"Anak itu aneh sekali. Entah apa yang di-
cari di dalam hutan lebat itu? Dan apa lagi yang
harus kukatakan pada eyang, apabila beliau me-
nanyakannya? Selama ini, aku memang berbohong
dengan mengatakan kalau Kuncara lebih suka
berlatih di Hutan Langkeng. Tapi, bagaimana ka-
lau tanpa sepengetahuanku eyang telah mengeta-
huinya lebih dulu? Ahhh.... Bagaimana seharus-
nya aku menjelaskan hal ini, agar Kuncara tidak
mendapat marah dari eyang?" keluh Panggali den-
gan wajah bingung.
Karena tidak tahu apa yang harus diper-
buatnya, maka Panggali pun menyalurkannya me-
lalui latihan. Selesai berlatih, dia pergi ke sungai
untuk membersihkan tubuhnya.
Kini Panggali telah siap untuk pulang ke pondok,
yang letaknya cukup jauh dari tempat latihannya.
***
Kuncara, pemuda berusia tujuh belas ta-
hun itu berlari menerobos semak belukar. Makin
lama, langkahnya semakin jauh memasuki hutan
lebat hingga tak berapa lama kemudian, ia tiba di
sebuah tempat yang agak terbuka. Ke tempat itu-
lah biasanya pemuda itu menyepi untuk mene-
nangkan pikirannya.
Begitu tiba di depan pondok yang memang
sengaja dibuatnya, Kuncara tidak segera masuk.
Ia duduk termenung di puncak anak tangga yang
menuju pintu. Sesekali, terdengar helaan napas
berat yang mewakili kegundahan hatinya.
Sepertinya, Kuncara belum bisa menerima
kekalahannya tadi oleh Panggali. Menurutnya, ia
tidak pernah malas berlatih. Pemuda itu tadi sen-
gaja tidak membantah nasihat Panggali, karena ti-
dak ingin perang mulut dengan saudara sepergu-
ruan satu-satunya. Lagi pula kalau mencoba
membantah, pasti Panggali yang pandai bicara itu
akan dapat mengalahkannya. Dan hal itu tentu
akan lebih menyakitkan hati.
"Hhh.... Eyang memang pilih kasih. Beliau
pasti memberi petunjuk-petunjuk padanya untuk
dapat mengalahkan aku. Ah, eyang telah bertin-
dak tidak adil!" desah pemuda remaja itu geram,
sambil meninju telapak tangannya keras-keras.
Kuncara memang sadar kalau Panggali le-
bih dekat dengan gurunya. Dia sering membantu
Eyang Sanca Wisesa dalam tugas sehari-hari. Ti-
dak seperti dirinya, yang lebih suka bermain dan
jarang berbicara kepada eyang gurunya. Kalaupun
berbicara, pasti hanya nasihat-nasihat membo-
sankan yang akan diterima. Itu yang paling tidak
disukai. Dan itu pula yang membuatnya lebih senang menyendiri di dalam Hutan Langkeng ini.
"Yahhh.... Di sini lebih tenang dan hening.
Tidak seperti berada dekat eyang ataupun Pangga-
li. Bosan rasanya mendengar nasihat dan petuah
yang hanya itu-itu saja," gumam Kuncara yang se-
gera bangkit dan melangkahkan kakinya menuru-
ni anak tangga.
Kakinya terus melangkah sambil menenga-
dahkan kepala memandangi alam sekelilingnya.
Sesekali, ditendangnya batu-batu kecil yang bera-
da di ujung kakinya. Langkahnya terus terayun
semakin menjauhi pondok yang dibuatnya sendiri.
Dan pemuda itu belum akan kembali ke tempat
tinggal gurunya apabila sinar matahari masih setia
menyinari permukaan bumi. Begitulah yang diper-
buatnya hampir setiap hari. Tapi, tidak jarang ia
pulang dengan membawa kayu bakar untuk me-
nyenangkan hati eyang gurunya maupun Panggali.
Wajah tampan dan bersih itu kembali murung ke-
tika teringat saudara seperguruannya. Terbayang
kembali ketika tubuhnya terkena tendangan telak
Panggali. Teringat akan hal itu, Kuncara langsung
meraba dadanya perlahan.
"Hm.... Sudah tidak terasa sakit. Dan luka
memarnya pun sudah mulai pudar. Ah! Rupanya
Eyang Sanca Wisesa pandai pula mengobati. Apa-
kah kepandaian itu diturunkan juga kepada Pang-
gali? Hm.... Aku harus mencari keterangan ten-
tang hal ini. Kalau ini memang benar ilmu itu di-
turunkan kepadanya, jelaslah kalau eyang me-
mang pilih kasih," kembali berbagai dugaan me-
menuhi benak Kuncara. Wajah tampan itu tampak
termenung dan terangguk-angguk.
Pikiran-pikiran jelek itu tanpa sadar telah
membuat Kuncara kehilangan kepekaan dirinya.
Sehingga, ia sama sekali tidak menyadari adanya
sepasang mata yang menatap dari balik pepoho-
nan.
Sejenak mata bulat dan bening itu berpu-
tar merayapi sekelilingnya. Setelah memastikan
kalau pemuda itu memang berada seorang diri,
maka dia segera menampakkan diri.
***
"Ehem...! Apa yang tengah dilamunkan,
Cah Bagus...? Sepertinya, kau tengah dilanda ke-
resahan?" tegur suara merdu bernada genit dari
pemilik mata bulat itu.
Tentu saja teguran itu membuat Kuncara
terkejut setengah mati. Cepat-cepat tubuhnya ber-
balik, langsung menatap tajam ke arah si em-
punya suara.
Keterkejutan di mata pemuda itu berubah
menjadi kekaguman yang tidak bisa disembunyi-
kan. Sebab, orang yang menegurnya ternyata seo-
rang wanita yang cantik molek. Apalagi, wanita
cantik itu melangkah menghampiri disertai leng-
gak-lenggok yang sangat memikat! Pinggulnya
yang seperti menari-nari itu membuat Kuncara ja-
di tak sadar menelan ludahnya sendiri.
"Si... siapa... kau, Nyai...?" tanya Kuncara
tergagap.
Pemuda remaja itu benar-benar terpesona
oleh penampilan dan gaya wanita cantik yang pe-
nuh daya pikat itu. Sehingga, sepasang mata pe-
muda itu tak juga beralih dari pinggul padat dan
berbentuk indah. Akibatnya hati Kuncara bagai
melambung di awang-awang.
"Hik hik hik...! Cah Bagus, kau lupa kalau
belum menjawab pertanyaanku? Tapi, itu tidak
apa-apa. Aku memang suka kepadamu. Maka, biarlah pertanyaanmu itu kujawab," suara genit
yang mendayu-dayu itu kembali mengusik kete-
nangan Kuncara.
Rasanya pemuda itu bukan tengah men-
dengarkan orang berbicara, melainkan seperti
orang yang bernyanyi menghibur hatinya.
Wanita cantik dan genit yang usianya jelas
sudah tidak muda lagi itu, meneruskan langkah-
nya dengan gerakan memikat. Begitu tiba di depan
Kuncara, tangannya terulur menyentuh kedua ba-
hu pemuda remaja itu.
"Benarkah kau ingin tahu namaku, Cah
Bagus...?" nyanyian merdu itu kembali membuat
Kuncara terlena.
Melihat dari cara maupun gayanya, jelas
kalau wanita cantik itu sangat berpengalaman da-
lam menghadapi laki-laki. Maka, wajarlah kalau
Kuncara hampir tidak berdaya menghadapinya.
"Beb..., benar..., Nyai...," sahut Kuncara
sambil berusaha menghindari sentuhan jemari
lentik wanita cantik itu.
Dengan wajah yang kemerahan, pemuda
remaja ini melangkah mundur. Napasnya terasa
sesak, karena degup di dadanya terus memukul
keras.
"Ihhh..., mengapa menghindar, Cah Bagus?
Apakah kau tidak suka kepadaku? Ah! Sayang se-
kali! Kalau begitu, biarlah aku pergi saja...?" desah
wanita cantik itu merajuk.
Kemudian, dengan gerakan manja dan
amat memikat, wanita cantik yang genit itu berpu-
ra-pura membalikkan tubuhnya. Dia segera me-
lenggang meninggalkan Kuncara yang terpaku ba-
gai patung.
"Nanti dulu..., Nyai...!" cegah Kuncara yang
separuh hatinya sudah terpikat kecantikan mau
pun gerak-gerik wanita cantik itu. Sehingga, tanpa
sadar kakinya melangkah mengejar. Kemudian,
tangannya langsung terulur menyentuh bahu wa-
nita itu.
"Hm.... Kau ini bagaimana sih, Cah Bagus?
Aku mendekat, kau menghindar. Tapi ketika aku
hendak pergi, kau menahannya. Bagaimana ini?"
ledek wanita itu, dengan lagak genit disertai se-
nyum memikat.
Mendengar teguran itu kesadaran Kuncara kemba-
li pulih. Tangannya segera ditarik, lalu melangkah
mundur sejauh empat tindak. Selebar wajah pe-
muda itu kembali dironai warna merah. Apalagi
ketika dalam benaknya terlintas bayangan Eyang
Sanca Wisesa dan Panggali. Apa kata guru dan
saudara seperguruannya, bila memergokinya ber-
duaan dengan seorang wanita cantik di tengah hu-
tan? Sudah pasti mereka akan menduga yang ti-
dak-tidak.
Mengingat kedua orang itu, hati Kuncara
pun menjadi tegang. Ini tidak boleh sampai dike-
tahui Eyang Sanca Wisesa atau Panggali. Satu-
satunya jalan, wanita genit itu harus diusir pergi
sebelum salah satu dari mereka ada yang memer-
gokinya. Berpikir demikian, Kuncara pun menatap
tajam wanita cantik itu.
"Hm.... Siapa pun adanya kau, sebaiknya
lekas tinggalkan tempat ini! Sadarkah kau, kalau
saat ini tengah berada di daerah kediaman Eyang
Sanca Wisesa? Jadi, sebelum guruku mengeta-
huinya, lebih baik cepat tinggalkan tempat ini," te-
gas Kuncara dengan sikap berubah.
"Hei!?"
Tentu saja wanita genit itu terkejut melihat
perubahan sikap Kuncara yang berbalik seperti
memusuhinya. Padahal, jelas-jelas kalau pemuda
itu sudah tergoda olehnya tadi. Entah pikiran apa
yang telah mengubah sikapnya.
"Aiiih.... Mengapa kau berbalik mengan-
camku, Cah Bagus? Lagi pula, apa yang harus di-
takuti dari gurumu itu? Kau tidak berbuat apa-
apa, bukan?" bantah wanita cantik itu tersenyum
memikat.
Sepertinya ia masih mencoba menaklukkan
Kuncara dengan senyum dan keelokan tubuhnya.
Bahkan sepasang matanya pun mengerling penuh
arti.
"Sudahlah! Aku tidak ingin perang mulut
denganmu. Sekarang cepat tinggalkan tempat ini.
Atau, terpaksa aku akan berbuat kasar!" tegas
Kuncara dengan sinar mata mengancam.
Tiba-tiba, sikap wanita cantik itu berbalik
ketika mendengar kata-kata Kuncara yang sema-
kin kasar. tingkahnya yang semula penuh daya
pikat, kini berubah galak. Sambil bertolak ping-
gang, wanita cantik itu balas menatap sambil ter-
senyum mengejek.
"Hm.... Ingin kulihat, sampai di mana kau
bisa memaksa Nyai Kalawirang! Lakukanlah! Jan-
gan hanya bicara saja!" sinis sekali suara wanita
cantik yang mengaku bernama Nyai Kalawirang
itu. Bahkan nada suaranya mengandung tantan-
gan bagi Kuncara.
"Melihat dari sikapmu, aku yakin kau bu-
kan wanita biasa, Nyai. Mungkin kau orang persi-
latan berarti yang sering kudengar dari eyang gu-
ruku. Tapi, jangan harap aku akan gentar meski-
pun kau memang dari kalangan kaum rimba per-
silatan," tegas Kuncara sambil melangkah mundur
dan bersiap menghadapi wanita cantik yang penuh
daya pikat itu.
"Lakukanlah! Jangan hanya. mulutmu saja
yang besar!" kembali Nyai Kalawirang menantang.
Sikapnya tetap tenang. Jelas, dia seorang yang
sangat yakin akan kepandaian yang dimiliki.
"Baik!" dengus Kuncara yang mulai ter-
singgung melihat sikap wanita itu. "Sambutlah se-
rangan ini..., hiaaat...!"
Dibarengi teriakan nyaring, tubuh pemuda
itu bergerak cepat melontarkan serangan berba-
haya. Tapi meskipun hatinya merasa marah, ru-
panya Kuncara masih memandang wanita itu se-
bagai orang yang tidak berbahaya. Maka serangan-
serangannya pun tidak menggunakan tenaga se-
penuhnya.
Bettt! Wuttt!
Nyai Kalawirang tersenyum mengejek meli-
hat serangan Kuncara. Tubuhnya baru bergerak
pada saat kepalan lawan hampir mengenai tubuh-
nya. Enak saja wanita cantik itu menggeser kaki
kanannya ke belakang disertai tarikan tubuhnya.
Berbarengan dengan itu, tangan kanannya berge-
rak cepat menepiskan pukulan Kuncara.
Plak!
"Ugkh...!"
Tangkisan yang kelihatannya perlahan dan
asal gerak saja, ternyata cukup mengejutkan Kun-
cara. Tubuh pemuda itu terdorong balik ke bela-
kang dan hampir terjatuh. Untung saja tubuhnya
buru-buru dilempar dan langsung bersalto di uda-
ra.
"Gila! Wanita cantik ini ternyata bukan
orang sembarangan!" maki Kuncara begitu kedua
kakinya menginjak permukaan tanah.
Kepalan tangan kanan pemuda itu terasa
linu akibat tepisan telapak tangan Nyai Kalawi-
rang. Namun, Kuncara mencoba menghibur di-
rinya. Diyakini kalau tenaga dalam yang dikerah
kannya tadi hanya sebagian saja dan belum sepe-
nuhnya.
"Bagaimana, Cah Bagus? Apakah masih
bersikeras hendak mengusirku? Dengan kepan-
daianmu yang dangkal itu, jangan harap akan da-
pat mengalahkan Nyai Kalawirang. Lebih baik,
ikutlah bersamaku. Dan kau akan mendapatkan
ilmu-ilmu tinggi yang tidak ada tandingannya,"
bujuk Nyai Kalawirang.
"Hm... Jangan sombong dulu, Nyai. Ilmu
yang kugunakan belum seberapa. Tapi kalau me-
mang kau mampu menjatuhkanku kali ini, mung-
kin tawaranmu akan kupertimbangkan. Syarat-
nya, kau harus mengalahkan aku kurang dari dua
puluh jurus. Bagaimana?" sahut Kuncara. Pemuda
itu sepertinya mulai tertarik mendengar tawaran
Nyai Kalawirang.
Kuncara bukanlah orang bodoh. Melihat
gerakan wanita itu tadi, diyakini kalau kepandaian
Nyai Kalawirang sangat tinggi. Dan kalau ternyata
wanita itu mampu menjatuhkannya dalam waktu
kurang dari dua puluh jurus, tidak ada salahnya
wanita genit itu diangkat menjadi guru. Tentu
sangat menyenangkan menjadi murid wanita genit
yang cantik itu.
***
"Hik hik hik...!"
Nyai Kalawirang mengikik gembira men-
dengar syarat yang diajukan Kuncara. la yang su-
dah dapat menilai kemampuan pemuda remaja
itu, tentu saja langsung bisa menebak hasilnya.
Terbayang dalam benaknya, betapa pemuda per-
kasa itu akan bertekuk lutut di bawah telapak kakinya.
"Hik hik hik...! Kalau sudah menjadi mu-
ridku, aku bukan saja akan menurunkan ilmu-
ilmu tinggi kepadamu. Tapi juga suatu ilmu khu-
sus yang tidak akan dapat dilupakan seumur hi-
dupmu," kata Nyai Kalawirang sambil sepasang
matanya berkedip-kedip manja.
"Ilmu khusus...?" gumam Kuncara mengu-
langi ucapan Nyai Kalawirang.
Sebagai seorang remaja hijau dan selama
hidup belum pernah bergaul dengan wanita, tentu
saja Kuncara belum mengerti arah pembicaraan
wanita genit itu.
"Ya! Ilmu yang hanya dimiliki Nyai Kalawi-
rang seorang. Dan ilmu itu akan kuturunkan ke-
padamu, apabila kau mau menjadi muridku,"
kembali wanita genit yang berusia sekitar empat
puluh tahun namun masih cantik itu membujuk
Kuncara.
Merasa pening dengan ucapan-ucapan Nyai
Kalawirang yang sama sekali tidak dimengerti, ke-
kesalan Kuncara pun kembali bangkit. Sambil me-
lakukan gerak pembukaan jurus 'Pukulan Meme-
cah Badai', ia membentak lawannya.
"Sudahlah, tidak perlu banyak cakap lagi!
Lebih baik, sekarang bersiap-siaplah menghadapi
seranganku
ini!" seru Kuncara mengingatkan.
"Haiiit...!"
Bentakan nyaring berkumandang yang
disusul melesatnya tubuh Kuncara ke arah Nyai
Kalawirang.
Bettt! Wuttt!
Sepasang tangan pemuda itu bergerak ce-
pat disertai sambaran-sambaran angin tajam yang
menderu-deru.
Melihat gerakan tangan dan sambaran an
gin pukulan yang dilontarkan Kuncara, Nyai Kala-
wirang terbelalak kagum. Jelas kalau hatinya san-
gat terkejut melihat jurus-jurus yang digunakan
pemuda itu.
"Aiiihhh.... Inikah jurus 'Pukulan Memecah
Badai' yang menjadi kebanggaan Tua Bangka San-
ca Wisesa itu? Hm.... Aku harus mendapatkan-
nya," gumam Nyai Kalawirang penuh minat. Seca-
ra sepintas, terbayang senyum licik di bibir wanita
cantik itu.
Wuuut!
Kepalan Kuncara yang menimbulkan angin
berkesiutan dan mengancam lambung, dielakkan
Nyai Kalawirang dengan menarik tubuhnya ke be-
lakang. Saat itu juga, tubuhnya mengegos ke kiri
dengan gerakan cepat. Berbarengan dengan itu,
tangan kanannya bergerak menotok punggung
Kuncara. Cepat dan tangkas bukan main gera-
kannya.
Cuiiit!
Suara angin berkesiutan yang mengancam
punggungnya, membuat Kuncara sadar akan ada
ancaman pada dirinya. Cepat pemuda itu menja-
tuhkan tubuhnya kedepan, dan langsung bergu-
lingan menjauh.
"Haiiit..!"
Nyai Kalawirang yang tidak ingin memberi
kesempatan bagi lawan untuk menyerang, segera
melesat mengejar Kuncara. Sepasang tangan wani-
ta cantik itu bergerak susul-menyusul dan bertu-
bi-tubi.
Tentu saja Kuncara menjadi terkejut seten-
gah mati. Sepasang tangan lawan yang terus men-
gejarnya, membuatnya tidak mempunyai kesempa-
tan bangkit berdiri. Sehingga, ia hanya dapat ber-
gulingan sambil menghindari totokan-totokan
yang siap menyambut tubuhnya.
Kesal karena merasa tidak berdaya meng-
hadapi sergapan-sergapan tangan lawan, Kuncara
terpaksa berbuat nekat. Pada jurus kedua belas,
ketika jari-jari tangan kiri Nyai Kalawirang melun-
cur ke arah tengkuknya, tiba-tiba tubuh pemuda
remaja itu melenting disertai putaran kaki kanan-
nya dalam jurus 'Tendangan Angin Topan', yang
merupakan salah satu ilmu andalan Eyang Sanca
Wisesa.
"Heaaat..!"
Bettt! Bettt! Bettt!
Hebat sekali ilmu tendangan yang diguna-
kan Kuncara itu. Sekali melompat saja, sepasang
kakinya telah melakukan serangkaian tendangan
maut dan berbahaya. Rupanya dalam hal penggu-
naan 'Tendangan Angin Topan', Kuncara tidak ka-
lah dengan Panggali. Hanya saja, ia kalah matang
karena kurang tekun berlatih. Meskipun begitu,
gerakan yang dilancarkannya kali ini benar-benar
membuat Nyai Kalawirang semakin kagum.
"Aihhh..., ilmu 'Tendangan Angin Topan'.
Hebat... Hebat..!" puji wanita genit itu sambil me-
lompat mundur menghindari sepasang kaki yang
berputaran cepat bagai baling-baling.
Meskipun mulutnya mengeluarkan pujian,
namun dari caranya menghadapi serangan-
serangan 'Tendangan Angin Topan', Nyai Kalawi-
rang sama sekali tidak mengalami kesulitan. Se-
pasang kakinya bergerak lincah mengikuti lonta-
ran-lontaran kaki lawan. Jelas dari caranya meng-
hadapi serangan itu, ia seperti sudah mengenal
ilmu yang digunakan Kuncara.
Pada saat pertarungan memasuki jurus
yang kedelapan belas, tiba-tiba saja Nyai Kalawi-
rang berseru nyaring disertai lesatan tubuhnya
yang mengejutkan.
"Haiiit..!"
Berbarengan dengan seruan itu, sepasang
lengannya terkembang ke kiri-kanan. Kemudian,
tubuhnya berputar balik ketika kaki kanan lawan
meluruk ke arah dagunya. Sambil berputar demi-
kian, dengan gerakan aneh sepasang kaki wanita
cantik itu meluncur cepat mengancam lambung
kiri lawan. Dan...
Desss! Desss!
"Hugkh...!"
Tubuh Kuncara yang saat itu tengah me-
layang di udara, tersentak balik ketika sepasang
kaki Nyai Kalawirang berturut-turut menghantam
lambungnya. Dan sebelum tubuh pemuda itu
sempat mencium tanah, sebuah totokan lawan te-
lah hinggap di dadanya.
Maka tanpa ampun lagi, tubuh Kuncara
terbanting keras di atas tanah berumput.
Kuncara menggelinjang menahan rasa sa-
kit akibat tendangan dan totokan Nyai Kalawirang
yang telak menghantam tubuhnya. Darah segar
mengalir dari sudut bibir, disertai erangan lirih.
"Hik hik hik...! Tubuhmu kuat sekali, Cah Bagus.
Kalau orang lain yang menerima tendanganku,
pasti nyawanya sudah melayang ke akhirat," puji
Nyai Kalawirang sambil melangkahkan kakinya
menghampiri Kuncara.
Namun, Kuncara sudah tidak dapat men-
dengar ucapan wanita cantik itu lagi. Luka dalam
yang dideritanya, membuat pemuda itu tak sadar-
kan diri. Sementara, cairan merah terus saja men-
galir melalui sela-sela bibirnya.
Nyai Kalawirang, tokoh sesat berkepan-
daian tinggi itu membungkukkan tubuhnya dan
memeriksa luka Kuncara. Wanita cantik namun
memiliki sifat cabul dan kejam itu menyungging-
kan senyum penuh kemenangan dan siasat licik.
Setelah memastikan kalau pemuda remaja
itu benar-benar pingsan, diangkatnya tubuh yang
terkulai lemah itu. Kemudian, dipondong dan di-
bawanya ke dalam pondok milik pemuda itu sen-
diri.
***
DUA
Matahari sudah semakin naik tinggi ketika
tubuh Kuncara yang terbaring lemah di atas balai-
balai bambu itu mulai bergerak lemah. Tubuh ba-
gian atasnya yang sudah tidak tertutup pakaian
tampak berwarna kemerahan dan dibasahi peluh.
"Ouuuhhh...!"
Rintihan lirih yang keluar dari bibirnya ter-
dengar aneh. Perlahan sepasang mata pemuda itu
yang juga telah berwarna merah, mulai bergerak
membuka. Wajahnya yang tampan itu pun telah
dijalari warna merah.
"Kau sudah siuman, Cah Bagus...? Seben-
tar lagi, kita akan mulai pelajaran yang pasti amat
kau sukai," kata Nyai Kalawirang, merayu.
Saat itu Nyai Kalawirang duduk ditepi ba-
lai-balai tempat tubuh Kuncara terbaring. Semen-
tara, pemuda itu terus saja mendesis-desis, mena-
tap sayu ke arah wanita cantik ini.
"Nyai... Kau..., cantik sekali...," desah Kun-
cara. Nadanya terdengar bergetar aneh.
Sambil berdesah lirih, pemuda itu mengu-
lur tangannya membelai wajah Nyai Kalawirang.
Jemari tangan pemuda itu pun tampak bergetar
dan berkeringat.
Nyai Kalawirang yang sebenarnya seorang
yang memiliki nafsu iblis itu membiarkan saja elu-
san tangan
Kuncara. Malah, pakaiannya pun dilepaskan. Se-
ketika tampaklah dua bukit ranum yang putih dan
mulus. Dan yang pasti, sanggup membuat mata
Kuncara menari-nari. Desahan napasnya pun se-
perti terengah-engah. Nyai Kalawirang kemudian
menarik tangan pemuda itu ke belahan dadanya.
"Hik hik hik... Marilah, Cah Bagus. Jangan
ragu-ragu. Hari ini aku akan membawamu ke du-
nia lain yang selama ini belum kau temui...," de-
sah wanita Iblis itu, manja.
Sepasang tangan Nyai Kalawirang yang
berkulit halus itu, melingkar di leher Kuncara.
Bahkan, jemari tangannya yang lentik mulai ber-
gerak meraba dan meremas tubuh pemuda itu.
"Aaah...."
Desah yang mengandung nafsu iblis me-
luncur dari bibir Kuncara. Pemuda yang tidak sa-
dar kalau dirinya telah dijelajahi ramuan perang-
sang itu langsung menyergap tubuh molek Nyai
Kalawirang. Langsung digumulinya tubuh tanpa
benang sehelai pun itu penuh nafsu.
Tentu saja Nyai Kalawirang yang memang
sangat menyukai pemuda-pemuda tampan, me-
nyambutnya penuh kehangatan. Tanpa dapat di-
cegah lagi, dua tubuh berlainan jenis itu terus
berpacu dalam birahi di dalam pondok di tengah
Hutan Langkeng.
Di antara desahan napas yang laksana ku-
da pacu itu kadang terdengar tawa mengikik Nyai
Kalawirang. Sementara Kuncara yang dalam pen-
garuh obat keji, bagai tak pernah puas dengan apa
yang dilakukannya. Keduanya baru menghentikan
pergumulan itu saat hari menjadi gelap. Kelelahan
yang sangat, membuat mereka tertidur lelap.
***
"Ouhhh...."
Suara kukuruyuk ayam hutan jantan
membangunkan Kuncara dari tidurnya. Bagaikan
orang yang baru tersadar dari mimpi, pemuda itu
menggosok mata dan memandang berkeliling.
"Aaah...!"
Bagaikan disengat kalajengking, Kuncara
tersentak bangkit dan melompat turun dengan wa-
jah pucat pasi. Sepasang matanya terbelalak lebar,
ketika melihat tubuh Nyai Kalawirang terbaring di
sampingnya dalam keadaan polos.
"Apa..., apa yang telah kulakukan...!? Men-
gapa..., mengapa aku tertidur di pondok ini?
Oooh...."
Kuncara terduduk lesu ketika melihat kea-
daan dirinya yang tanpa pakaian itu. Ia menatap
berganti-ganti dengan mata terbelalak dan bibir
bergetar. Ditutupinya seluruh wajah disertai kelu-
han penuh sesal.
"Aihhh, Cah Bagus. Mengapa bersedih...?"
tegur Nyai Kalawirang.
Rupanya dia terbangun ketika mendengar
suara Kuncara. Tanpa malu-malu lagi, jemari tan-
gannya yang lentik dan halus itu bergayut di leher
Kuncara. Dibisikkannya kata-kata mesra yang
membuat tubuh pemuda itu bergetar bagai terse-
rang demam.
Kuncara, pemuda polos yang selama hi-
dupnya belum pernah tersentuh wanita itu, lang-
sung menggigil hebat. Apalagi, wanita yang bersa-
manya adalah orang yang sangat berpengalaman
dalam membawa gairah laki-laki. Maka, pemuda
itu pun kembali terjebak dalam permainan keji
yang menyesatkan.
Perbuatan terkutuk itu kembali terulang.
Mereka kembali saling gumul disertai dengus na-
pas yang berpacu. Kuncara, murid Eyang Sanca
Wisesa, kembali tak mampu menolak bujukan
maupun belaian Nyai Kalawirang. Ia semakin
tenggelam dan bertekuk lutut di bawah kekuasaan
nafsu wanita itu.
Kuncara terkulai lemah setelah melam-
piaskan nafsu yang menyentak-nyentak dalam di-
rinya. Pemuda remaja itu rebah telentang di sisi
Nyai Kalawirang yang memandangnya dengan se-
nyum puas.
***
"Aaahhh...."
Tiba-tiba saja Kuncara tersentak dan mele-
paskan pelukannya pada tubuh Nyai Kalawirang.
Sinar matahari yang menerobos masuk melalui ce-
lah-celah dinding kamar, membuat pemuda itu
tersadar dari keadaannya. Cepat ia bangkit dan
mengenakan pakaiannya.
"Aku harus segera kembali, Nyai. Eyang
Sanca Wisesa dan Panggali tentu tengah mencari-
cariku saat ini. Aku tidak ingin kalau mereka
sampai menengok kemari dan menemukan kita
berdua di tempat ini. Tolong bantu aku mengum-
pulkan kayu bakar, Nyai. Mudah-mudahan alasan
yang kuberikan kepada mereka bisa diterima,"
ujar Kuncara.
Napas pemuda itu tampak memburu kare-
na rasa tegang. Wajahnya pun terlihat pucat. Se-
pertinya ia benar-benar takut apabila perbuatan-
nya bersama Nyai Kalawirang itu sampai diketahui
salah satu dari kedua orang itu.
Nyai Kalawirang sebenarnya merasa tidak
suka ketika mendengar ucapan Kuncara. Namun
mengingat rencana yang telah disusunnya, maka
dengan gerakan malas ia pun bangkit. Tanpa ber-
kata apa-apa, dibantunya Kuncara untuk men-
gumpulkan kayu bakar.
Tak berapa lama kemudian, pekerjaan me-
reka selesai. Setelah menggabung dan mengikat
kayu bakar itu kuat-kuat, Kuncara membalikkan
tubuhnya. Dipandanginya wajah Nyai Kalawirang,
seolah-olah ingin menyimpan wajah cantik itu da-
lam benaknya.
"Aku pergi dulu, Nyai. Hati-hatilah, jangan
sampai kehadiranmu diketahui salah seorang dari
mereka," pesan Kuncara dengan napas terengah-
engah.
Usai berkata demikian, pemuda itu pun
bergegas pergi setelah melihat anggukan dan se-
nyum manis Nyai Kalawirang. Sementara, wanita
cantik itu berdiri tegak menatapi kepergian Kunca-
ra. Senyum manis yang menghias wajahnya, beru-
bah menjadi senyum sinis.
"Hm.... Tunggulah kau, Sanca Wisesa! Tak
lama lagi, aku akan datang mengambil nyawamu!"
desis bibir merah menantang itu dengan sorot ma-
ta mendirikan bulu roma!
***
TIGA
"Ha ha ha...! Bagus, Nyai! Bagus! Rencana
pertama kita sudah berjalan mulus. Selangkah la-
gi, dendam kita akan terbalas lunas berikut bunga-bunganya!"
Tiba-tiba terdengar tawa serak menggun-
cangkan hutan. Bersamaan dengan itu, berkelebat
sesosok bayangan tinggi besar meluncur turun.
Sepasang kakinya yang besar dan berat mendarat
di atas tanah, di dekat Nyai Kalawirang. Bumi di
sekitar tempat itu bagaikan terguncang ketika kaki
kakek bertubuh raksasa itu mendarat.
Penampilan kakek itu benar-benar menye-
ramkan. Tubuhnya yang kekar berotot dipenuhi
bulu tebal di sekitar dadanya. Wajahnya panjang,
dan rambutnya terurai bebas mirip wajah seekor
singa jantan. Bahkan ketika tertawa, nampak se-
pasang gigi yang menyerupai taring di kiri-kanan
mulutnya. Sepasang matanya yang terbentuk pan-
jang berputar- putar tak ubahnya mata binatang
buas.
"Hm.... Singa Gurun Setan, kedatanganmu
hanya akan membuat rencana kita berantakan.
Kalau pemuda yang bernama Kuncara itu sampai
melihatmu, mungkin tidak akan pernah datang la-
gi untuk menemuiku. Bahkan, bisa jadi akan
mengadukan keberadaanmu kepada Tua Bangka
Sanca Wisesa itu. Sebaiknya, kau sembunyi saja
dulu. Nanti setelah kita berhasil menguras semua
ilmu Sanca Wisesa melalui pemuda itu, baru kau
boleh menampakkan diri di hadapanku," ketus
dan dingin sekali sambutan Nyai Kalawirang ter-
hadap kakek bertubuh raksasa yang berjuluk Sin-
ga Gurun Setan.
"Ha ha ha... Mengapa mesti marah-marah,
Nyai? Apakah kau khawatir kalau lelaki muda
yang berdaging segar itu kurebut? Jangan takut,
Nyai. Aku sudah paham akan kesenanganmu yang
satu itu. Aku janji, tidak akan mengganggunya,"
tegas Singa Gurun Setan, sama sekali tidak mera-
sa marah melihat sambutan yang tidak menyenangkan itu.
"Huh! Kalau berani mengganggunya, akan
kurobek perutmu yang dipenuhi daging manusia
itu!" balas Nyai Kalawirang sambil menatap Singa
Gurun Setan dengan sinar mata mengancam.
Kakek raksasa itu hanya tertawa berderai
mendengar ancaman Nyai Kalawirang yang mendi-
rikan bulu roma. Singa Gurun Setan yang terkenal
sebagai tokoh iblis pemakan daging manusia itu
melangkahkan kakinya, semakin mendekati Nyai
Kalawirang. Tawa seraknya tetap berkumandang
mengiringi langkahnya.
"Sudahlah, Nyai. Untuk apa kita berteng-
kar? Bukankah kita sudah sepakat untuk saling
membantu dalam menghadapi Sanca Wisesa itu.
Hm.... Kulihat, kepandaian anak muda itu boleh
juga, Nyai. Jurus 'Pukulan Pemecah Badai' dan
'Tendangan Angin Topan'nya lumayan juga. Hanya
saja, masih banyak terdapat kelemahan di sana-
sini. Kau harus dapat membujuk pemuda itu agar
mau memperlihatkan ilmu-ilmunya kepada kita.
Bagaimana, Nyai? Apakah kau yakin bisa membu-
juknya?" tanya Singa Gurun Setan.
Laki-laki bertubuh tinggi besar itu mende-
katkan wajahnya ke wajah cantik Nyai Kalawirang.
Sekilas, terlihat cuping hidung kakek raksasa itu
bergerak-gerak ketika mencium bau harum tubuh
wanita itu
"Hm.... Rupanya secara diam-diam kau te-
lah melihat semua perbuatanku, ya? Dan kau
sengaja menantang harga diriku dengan perkataan
konyol itu? Huh! lihat saja nanti! Pemuda itu pasti
akan bertekuk lutut dan menuruti semua yang
kuminta. Kalau kau tidak yakin akan kemampua-
nku, silahkan lihat buktinya nanti!" tandas Nyai
Kalawirang.
Wanita cantik itu merasa tersinggung atas
pertanyaan yang bernada menantang tadi. Meski-
pun kata-katanya terdengar ketus, namun wanita
cantik itu lama sekali tidak menghindar ketika
lengan yang besar dan berbulu kasar itu mengelus
punggungnya.
Memang aneh dan sukar dimengerti sifat
tokoh-tokoh sesat rimba persilatan. Terkadang
mereka saling bertengkar hanya karena persoalan
sepele. Tapi, tidak jarang pula saling bantu untuk
melenyapkan tokoh-tokoh golongan putih yang
menjadi musuh mereka.
Demikian pula halnya dengan Nyai Kalawi-
rang Meskipun sambutan yang meluncur dari bi-
birnya terasa pedas dan menyakitkan perasaan,
namun sama sekali tidak menghindar ketika ka-
kek bertubuh raksasa itu mulai mencium wajah
dan lehernya. Malah dari kerongkongannya ter-
dengar erangan manja yang mengundang hasrat
"Marilah, Nyai. Sekarang adalah waktu un-
tuk kita berdua...," desah Singa Gurun Setan den-
gan napas memburu.
Tanpa menunggu jawaban lagi, dipondong-
nya tubuh molek Nyai Kalawirang dan dibawanya
masuk ke dalam pondok.
Beberapa saat kemudian, yang terdengar
hanyalah tawa manja Nyai Kalawirang dan dengus
napas Singa Gurun Setan.
***
"Hik hik hik... Bagus, Kuncara! Kemajuan
yang kau peroleh sudah cukup pesat. Aku yakin,
tidak lama lagi kau akan dapat menyempurnakan
ilmu-ilmu yang kuturunkan kepadamu itu," seru
wanita cantik berpakaian serba kuning itu dengan
nada agak genit. Siapa lagi kalau bukan Nyai Ka-
lawirang yang tengah menyaksikan Kuncara mela-
tih ilmu-ilmu miliknya.
Hebat sekali kesabaran yang dimiliki wani-
ta cantik itu. Telah hampir tiga bulan Nyai Kalawi-
rang melatih Kuncara dengan menurunkan ilmu-
ilmunya kepada pemuda remaja itu. Semua itu di-
lakukan demi tercapainya pembalasan dendam
terhadap Eyang Sanca Wisesa yang menjadi mu-
suh lamanya.
Nyai Kalawirang berusaha menghindari ke-
curigaan pemuda itu dengan jalan mengajarkan
ilmu yang dimiliki. Dan melalui pemuda itu pula
ilmu-ilmu andalan Eyang Sanca Wisesa dipelajari
untuk mencari kelemahannya. Sebab disadari be-
tul, kalau untuk mengalahkan kakek sakti itu ha-
rus mengetahui ilmu-ilmunya terlebih dahulu. Un-
tuk itulah ia berusaha mengoreknya melalui pe-
muda yang telah ditaklukkannya. Itu pun harus
dilakukan secara bertahap, karena takut-takut
Kuncara jadi curiga. Bahkan kehadirannya di
tempat itu bisa-bisa diketahui Eyang Sanca Wise-
sa. Maka, akan sia-sialah segala jerih-payahnya
selama ini.
Pemikiran itu membuat Nyai Kalawirang
demikian tekun dan sabar. Dan ia tidak terburu-
buru untuk meminta Kuncara memperlihatkan il-
mu-ilmu yang dipelajari dari kakek yang digdaya
itu.
Kuncara yang telah menyelesaikan latihan-
nya, bergegas melangkah menghampiri Nyai Kala-
wirang. Tanpa malu-malu lagi, dipeluknya tubuh
wanita cantik itu. Lalu dibelainya lembut rambut
indah milik wanita yang tengah duduk di anak
tangga di depan pintu pondok milik Kuncara sendiri.
"Sabarlah, Kuncara. Kau baru saja selesai
berlatih. Lebih baik, bersihkan dulu tubuhmu.
Kau tahu, bau kecut keringatmu sungguh meng-
ganggu seleraku," tolak Nyai Kalawirang mene-
piskan jemari Kuncara yang mulai nakal.
"Hm.... Bagaimana kalau kau menemaniku,
Nyai? Ayolah. Bukankah kita hanya berdua di hu-
tan ini?" Ajak Kuncara sambil menarik lengan wa-
nita cantik itu, dan hendak membawanya pergi
menuju aliran sungai.
"Jangan, Kuncara. Berbahaya! Bagaimana
kalau saudara seperguruanmu memergoki kita?
Kau akan diusir mereka nanti," tolak Nyai Kalawi-
rang.
Sebenarnya bukan kepergian Kuncara yang
menimbulkan rasa cemas di hatinya. Sebab, kalau
sampai pemuda itu diusir pergi dari Gunung
Langkeng, bisa hancur rencananya selama ini.
"Mengapa mesti takut, Nyai? Kalau mereka
memang berani mengusirku, aku tidak akan ke-
cewa. Bukankah aku akan selalu bersamamu?"
bantah Kuncara, tak mau kalah. Kembali ditarik-
nya tangan Nyai Kalawirang.
"Tidak, Kuncara! Kalau memang ingin ku
temani, marilah kita pergi ke aliran sungai di kaki
Gunung Langkeng ini saja. Kurasa tempat itu jauh
lebih aman," usul Nyai Kalawirang yang tidak kua-
sa menolak keinginan Kuncara.
"Begitu pun boleh. Asal bersamamu, di
mana saja aku bersedia, Nyai," sahut Kuncara
tanpa berpikir lagi.
"Tunggu dulu, Kuncara...," cegah Nyai Ka-
lawirang ketika melihat adanya kesempatan baik
untuk melihat, sampai di mana Kuncara bersedia
menuruti permintaannya.
"Ada apa lagi, Nyai...?" Kuncara menoleh ke
arah Nyai Kalawirang yang saat itu juga tengah
menatapnya. Sementara, alis pemuda itu tampak
berkerut.
Nyai Kalawirang tidak segera menjawab
pertanyaan Kuncara. Ditatapnya pemuda itu lekat-
lekat, tepat di kedua bola matanya. Sepertinya
wanita cantik itu tengah menilai kesungguhan
Kuncara.
"Benarkah kau bersedia ke mana saja asal-
kan bersamaku, Kuncara?" tanya Nyai Kalawirang
tanpa senyum. Nada suaranya pun terdengar me-
nuntut jawaban pasti.
"Tentu saja, Nyai. Apakah kau masih mera-
gukan cintaku..?" Kuncara balik bertanya.
Kerutan di kening pemuda itu terlihat se-
makin jelas. Sepertinya, ia masih belum mengerti
kemana arah pertanyaan wanita genit itu.
"Hm... Apakah kau bersedia memenuhi se-
gala permintaanku?" desak Nyai Kalawirang tanpa
mempedulikan pertanyaan Kuncara. Sedikit pun
tidak diperlihatkan kemanjaannya kali ini. Sehing-
ga pemuda itu semakin kebingungan.
"Apa sebenarnya maksudmu, Nyai...?"
"Jawab dulu pertanyaanku. Bersediakah
kau menuruti segala permintaanku?" tegas Nyai
Kalawirang tak peduli dengan kebingungan Kun-
cara.
"Mmm.... Kalau aku sanggup, tentu akan
kupenuhi, Nyai. Tapi coba jelaskan kepadaku, apa
sebenarnya yang kau inginkan dariku," pinta Kun-
cara yang sepertinya tidak menyukai sikap Nyai
Kalawirang saat itu.
"Ah, sudahlah. Ayo, kita pergi...," ajak Nyai
Kalawirang sambil menarik tangan pemuda itu.
Nyai Kalawirang, iblis betina yang cantik
menyudahi pembicaraan ketika melihat sinar ke
curigaan di mata pemuda itu. Dengan gerak tubuh
membayangkan kemanjaan dan senyum memikat,
ditariknya pemuda itu menuruni lereng Gunung
Langkeng.
Kuncara pun tidak membantah ajakan wa-
nita yang memang telah membuatnya mabuk as-
mara. Ia sudah lupa akan kecurigaannya ketika
melihat sikap wanita cantik itu telah kembali se-
perti semula. Genit dan penuh daya pikat.
Kedua insan berlainan jenis itu terus berla-
ri menuruni lereng Gunung Langkeng. Sepanjang
perjalanan, tawa dan canda terdengar meningkahi.
Mereka tak ubahnya sepasang insan muda yang
tengah dimabuk asmara.
Matahari naik semakin tinggi. Sinarnya
yang kuning keemasan memancar, mengiringi
langkah kaki dua sosok tubuh. Salah satu di anta-
ranya, adalah seorang pemuda tampan berwajah
bersih. Rambutnya yang panjang dan hitam dihia-
si ikat kepala berwarna putih. Senyum ramah
yang membayangkan kebesaran jiwanya, senan-
tiasa menghias wajahnya. Sepintas saja, orang su-
dah dapat menebak akan kematangan jiwanya.
Sedangkan yang berjalan di sebelah kirinya adalah
seorang wanita muda berpakaian serba hijau. Tu-
buhnya ramping dan padat berisi. Kulit tubuhnya
yang putih dan halus tampak sangat pas dengan
warna pakaiannya. Hidungnya kecil mancung
dengan sepasang mata yang bersinar cerah bagai-
kan bintang pagi. Bibirnya yang merah segar dan
berbentuk indah, nampak menawan dipandang
mata. Sukar sekali menggambarkan kecantikan
dan pesona yang terdapat pada diri gadis itu. Yang
jelas, rasanya tak seorang lelaki pun sanggup un-
tuk menyimpan kekaguman apabila melihatnya.
"Hhh..., panas sekali udara hari ini. Segar
rasanya membayangkan berendam di air pegu-
nungan," gumam gadis jelita itu sambil menyusut
peluh di keningnya. "Bagaimana kalau kita beristi-
rahat sejenak di sungai sebelah depan itu, Ka-
kang?"
Pemuda tampan berjubah putih itu terse-
nyum menatap kawan seperjalanannya. Sesaat
kemudian, tangannya terulur membelai lembut
rambut kepala gadis itu yang tebal dan hitam.
"Kau lelah, Kenanga...?" tanya pemuda
tampan itu lembut dan mengandung rasa cinta
yang dalam. Semua itu jelas terlihat dari sikap dan
caranya bertanya.
"Tidak, Kakang. Tapi, suara gemercik air
sungai itu seolah-olah mengundangku untuk me-
nikmatinya. Apakah Kakang tidak merasakan
keinginan seperti Itu?" kilah dara jelita berpakaian
hijau itu yang tak lain adalah Kenanga, kekasih
Pendekar Naga Putih.
"Sedikit," jawab pemuda tampan itu terse-
nyum menggoda. "Biarlah aku menunggumu di si-
ni."
Pemuda yang sudah pasti Pendekar Naga
Putih itu menghenyakkan pantat di bawah seba-
tang pohon berdaun rindang.
"Tapi.... Mungkin agak lama, Kakang...," je-
las suara jelita itu meragu. Sepertinya ia merasa
enggan untuk meninggalkan Pendekar Naga Putih
berlama-lama.
"Tidak apa-apa, Kenanga. Biar sampai be-
sok pun, aku akan tetap menunggu," jawab Panji
tersenyum lembut
"Kalau begitu, aku akan berendam sampai
besok. Aku pergi dulu, Kakang...," balas Kenanga
dengan suara manja. Dan, tanpa menunggu jawa-
ban dari pemuda itu, Kenanga bergegas menuju
aliran sungai yang hanya beberapa tombak di de-
pannya.
Dengan senyum manis yang belum me-
ninggalkan wajahnya, gadis jelita itu melangkah
riang menuruni sungai. Sepasang matanya berpu-
tar mencari tempat yang menurutnya cocok untuk
merendam tubuh. Baru saja beberapa tombak me-
langkah menyusuri tepi sungai, sepasang mata
bintang itu terbelalak kaget.
"Tak tahu malu...!" geram Kenanga dengan
suara agak keras dan bernada marah. Langsung
tubuhnya berbalik dan meninggalkan tempat itu
dengan wajah merah.
Dua sosok tubuh polos yang tengah beren-
dam sambil bercanda itu tentu saja menjadi terke-
jut setengah mati. Salah seorang di antaranya ber-
gegas naik. Dia adalah pemuda berwajah tampan.
Jelas ia sangat terkejut melihat kehadiran orang
lain yang sama sekali tidak diduga itu.
Lain halnya dengan teman pemuda itu.
Wanita cantik yang berusia sekitar empat puluh
tahun itu memandang marah kepada Kenanga.
Apalagi, umpatan yang terlontar dari mulut gadis
berpakaian hijau itu sempat tertangkap pendenga-
rannya.
"Hei, tunggu...!" teriak wanita cantik yang
tak lain Nyai Kalawirang itu.
Setelah mengenakan pakaiannya, wanita
genit itu langsung melesat mengejar orang yang
dianggap telah mengganggunya. Tubuh Nyai Kala-
wirang melambung tinggi dan berjumpalitan me-
lewati kepala Kenanga. Dalam sekejapan mata sa-
ja, wanita genit itu sudah berdiri bertolak ping-
gang menghadang jalan
"Coba ulangi ucapanmu tadi...!" bentak
Nyai Kalawirang dengan wajah dingin.
"Ucapan apa...?!" Kenanga tak mau kalah
gertak. Kata muaknya semakin menjadi-jadi meli-
hat kegalakan wanita genit itu.
"Hm.... Selain usilan, rupanya kau pun
seorang pengecut yang tidak mau mengakui uca-
panmu!" ejek Nyai Kalawirang dengan nada sangat
menghina.
Sekilas sepasang mata Kenanga menyi-
ratkan kemarahan mendengar hinaan Nyai Kala-
wirang. Ditentangnya pandangan mata wanita ge-
nit itu tanpa kegentaran sedikit pun.
"Dengar, Nisanak! Aku sudah berusaha un-
tuk tidak mencampuri urusanmu dengan mening-
galkan tempat ini. Tapi, ternyata kau sengaja hen-
dak mencari gara-gara. Kau memang tidak tahu
malu! Itulah makianku tadi, kalau kau memang
ingin mendengarnya lagi!" sahut Kenanga menan-
tang.
"Kurang ajar! Kurobek mulutmu, Manusia
Lancang!" bentak Nyai Kalawirang marah.
Begitu ucapannya selesai, tubuh wanita genit itu
langsung meluruk dengan sebuah tamparan keras.
Wuuuttt!
"Hm.... Tidak semudah itu, Nyai...," ejek
Kenanga yang langsung menggeser tubuhnya
doyong ke belakang.
Begitu tamparan Nyai Kalawirang lewat tu-
buhnya dilempar ke belakang sejauh dua tombak
"Tunggu...!" seru Kenanga disertai penge-
rahan tenaga dalam. Sehingga, suaranya sempat
membuat Nyai Kalawirang tertegun sejenak.
Meskipun demikian, Nyai Kalawirang tidak
sudi untuk menghentikan serangannya. Memang,
dengan luputnya tamparan itu telah membuat
kemarahannya semakin menggelegak.
"Coba kau tahan yang ini..!" seru Nyai Ka
lawirang semakin bernafsu.
Bettt! Wuttt!
Rupanya serangan yang dilancarkan iblis
betina itu sudah tidak main-main lagi. Sepasang
tangannya bergerak cepat saling susul. Sambaran
angin pukulannya pun menderu tajam, membuat
pakaian Kenanga berkibar dibuatnya.
Tapi, lawan yang dihadapinya kali ini bu-
kanlah gadis sembarangan. Kenanga yang sadar
kalau wanita cantik itu memiliki kepandaian ting-
gi, mulai mengeluarkan kepandaiannya. Tubuhnya
yang ramping itu bergerak cepat menghindari se-
rangan-serangan gencar Nyai Kalawirang. Bahkan
gadis jelita itu mulai membangun serangan yang
tidak kalah cepat dan berbahaya. Sehingga perta-
rungan berlangsung semakin ramai dan sengit.
Jurus demi jurus berlalu cepat. Pertempu-
ran yang semula berlangsung di tepi sungai, terus
bergeser semakin menjauhi sungai.
"Haiiittt..!"
Memasuki jurus yang ketiga puluh, tiba-
tiba Nyai Kalawirang berseru nyaring disertai pen-
gerahan tenaga dalam. Seiring seruannya, gerakan
wanita genit itu pun berubah. Tubuhnya yang
ramping padat itu mulai meliuk-liuk bagaikan
seekor ular besar. Kedua kakinya melangkah
aneh. Terkadang wanita cantik itu seperti tak pe-
duli akan datangnya sambaran pukulan lawan.
Tapi di lain kesempatan, tubuhnya melom-
pat-lompat ganas bagai seekor kuda liar.
"Aihhh...!"
Kenanga berseru tertahan ketika hampir
saja sambaran tangan kanan lawan mengenai le-
hernya. Cepat tubuhnya dilempar ke belakang dan
langsung melakukan beberapa kali salto di udara.
Kedua kakinya mendarat, ketika jarak di antara
mereka terpisah sekitar tiga batang tombak jauh-
nya.
"Mau lari ke mana kau, Keparat! Tak seo-
rang pun yang dapat hidup setelah berani meng-
hina Nyai Kalawirang!" bentak wanita genit itu
yang segera mengejar Kenanga dengan serangan-
serangan aneh dan membingungkan.
"hhhhmm…."
Kenanga yang saat itu tengah menyiapkan
jurus 'Bidadari Menabur Bunga', sama sekali tidak
mempedulikan ucapan Nyai Kalawirang. Ia hanya
bergumam perlahan sambil menggerakkan sepa-
sang tangan menyilang di depan dada.
Sejurus kemudian, tubuh dara jelita itu
melesat cepat disertai putaran tangannya yang
membentuk bulatan-bulatan di udara. Dan dari
bulatan-bulatan itu terkadang menyembul totokan
maupun tusukan jari-jari tangan yang mengincar
kelemahan-kelemahan di tubuh Nyai Kalawirang.
Bettt! Wuttt!
"Haiiit..!"
Nyai Kalawirang sempat terkejut melihat
kehebatan dan kecepatan gerak lawan. Sambil
berseru nyaring, dipapaknya tusukan jari-jari tan-
gan lawan yang tahu-tahu saja telah mengincar
tenggorokan.
Plakkk!
Benturan telapak tangan yang menimbul-
kan ledakan keras itu membuat tubuh keduanya
terjajar mundur ke belakang.
"Uhhh...!"
Dara jelita berpakaian hijau itu mengeluh
lirih. Tangkisan yang dilakukan Nyai Kalawirang
membuat tulang lengannya terasa nyeri dan linu.
Sungguh tidak disangka kalau kekuatan tenaga
dalam wanita genit itu ternyata masih berada di
atas kekuatannya. Tentu saja hal itu membuatnya
terkejut.
Nyai Kalawirang sendiri sempat merasa
terkejut melihat kekuatan tenaga dalam lawannya.
Tentu saja hal itu membuatnya semakin penasa-
ran. Maka tanpa memberi kesempatan kepada la-
wannya untuk bersiap, tubuh wanita genit itu
kembali meluncur dengan serangan-serangan
aneh dan ganas.
"Yeaaat..!"
Bettt! Wuttt!
Sekali melompat Nyai Kalawirang langsung
melontarkan serangkaian serangan mematikan.
Gerakan tangan dan kakinya yang memiliki peru-
bahan tak terduga, membuat Kenanga sibuk
menghalaunya. Sehingga dalam beberapa jurus
saja, gadis itu terdesak hebat.
"Ihhh...."
Kenanga memekik tertahan ketika hampir
saja tusukan jari tangan Nyai Kalawirang hampir
mengenai pelipisnya. Untunglah tubuhnya masih
sempat dimiringkan ke kanan. Sehingga tusukan
jari tangan lawan hanya lewat beberapa jari di
samping kepalanya.
Namun, serangan Nyai Kalawirang kali ini
memang benar-benar hebat. Tusukan jari-jari
yang semula meluncur lurus itu berbalik dan ber-
putar mengancam leher lawan dengan tebasan sisi
telapak tangan. Bahkan tanpa tanggung-tanggung
lagi, wanita genit itu membarenginya dengan se-
buah hantaman telapak tangan ke dada.
Tentu saja Kenanga yang tak menyangka
perubahan gerak lawan itu menjadi terkejut seten-
gah mati. Cepat tubuhnya diliukkan membuat ge-
rak setengah melingkar dengan kuda-kuda ren-
dah. Sedangkan kedua tangannya dengan jari-jari
terbuka melekat di sisi pinggang, siap melontarkan
serangan balasan.
Sayang, wanita genit yang licik itu sudah
dapat meraba gerakannya. Kedua serangan yang
ternyata hanya merupakan gerak tipu itu, menda-
dak ditarik pulang. Kemudian, tubuhnya langsung
berputar dan mengirim sebuah tendangan keras
ke arah dada lawan.
Desss!
"Hugkh...!"
Tendangan yang tak terduga itu, tentu saja
tak mungkin dielakkan Kenanga. Maka tanpa da-
pat dicegah lagi, tubuh dara jelita itu terjengkang
ke belakang. Pada saat tubuh dara jelita itu me-
layang di udara, sesosok bayangan putih berkele-
bat bagai kilat dan langsung mengulur tangan
menangkap tubuh Kenanga.
Tappp!
Begitu tubuh Kenanga berada dalam pon-
dongannya, sosok bayangan putih itu langsung
melenting dan melakukan beberapa kali salto se-
belum mendaratkan kakinya ke tanah.
Tanpa menimbulkan suara sedikit pun, so-
sok bayangan putih itu, mendaratkan kakinya di
atas tanah. Direbahkannya tubuh dara jelita itu di
atas rerumputan tebal.
"Kau tidak apa-apa, Kenanga...?" tanya so-
sok bayangan putih itu, lembut dan penuh kece-
masan. Dihapusnya lelehan darah yang mengalir
di sudut bibir Kenanga dengan jemari tangan.
"Dadaku... sakit sekali, Kakang. Rasanya
sukar sekali bernapas...," rintih Kenanga lirih. Se-
ringai kenyerian tampak tergambar nyata di wajah
jelita itu.
Sosok bayangan putih yang memang Panji
itu bergegas mengeluarkan obat dari dalam bunta
lan pakaiannya.
"Telanlah obat ini. Mudah-mudahan dapat
mengurangi rasa nyeri di dalam dadamu," ujar
Panji lembut.
Tanpa banyak cakap lagi, Kenanga yang
memang percaya penuh akan kepandaian keka-
sihnya langsung menelan obat pemberian Panji.
"Nah! Sekarang, istirahatlah. Agar, tena-
gamu pulih," ujar pemuda tampan itu lagi dengan
suara tetap tenang, seolah-olah sama sekali tidak
merasa khawatir akan luka dalam yang diderita
kekasihnya.
***
Sejak melihat adanya sosok bayangan pu-
tih yang menyelamatkan lawannya, Nyai Kalawi-
rang sudah dapat menilai kehebatan si penolong
itu. Untuk menghadapi dara jelita itu saja, ia su-
dah harus menggunakan ilmu andalannya. Takut
kalau-kalau sosok berjubah putih yang sudah pas-
ti kepandaiannya berada di atas gadis itu menda-
tangkan kesusahan, maka Nyai Kalawirang segera
berkelebat meninggalkan tempat itu bersama Kun-
cara. Dan tentu saja hal itu dilakukan dengan
berbagai pertimbangan. Antara lain, takut rencana
yang telah disusun berbulan-bulan gagal hanya
karena terlalu menuruti amarah.
Itulah sebabnya, mengapa ketika Panji me-
noleh ke arah tempat Nyai Kalawirang berdiri, ia
sudah tidak melihat wanita genit itu lagi.
"Hm.... Rupanya ia telah meninggalkan
tempat ini selagi aku sibuk mengurusi Kenanga.
Entah siapa wanita cantik itu? Melihat akibat ten-
dangannya tadi, aku yakin kalau dia bukan orang
sembarangan. Kalau tidak, sulit rasanya bagi wanita itu untuk dapat mengalahkan Kenanga," gu-
mam Panji, setelah mengedarkan pandangannya
ke sekitar tempat itu.
"Ke mana wanita cabul itu, Kakang...?"
tanya Kenanga sambil melangkah menghampiri
Panji. Rupanya, dia sudah sembuh dari rasa sakit
akibat tendangan Nyai Kalawirang tadi.
Pendekar Naga Putih yang tengah terme-
nung memikirkan siapa adanya wanita cantik itu,
tersentak dari lamunan. Kepalanya segera ditoleh-
kan ke belakang. Senyumnya mengembang ketika
melihat gadis jelita itu tengah melangkah ke arah-
nya.
"la sudah pergi. Bagaimana dengan luka-
mu? Apakah sudah benar-benar sembuh...?" tanya
Panji tetap berdiri di tempatnya menunggu keda-
tangan kekasihnya.
"Sudah tidak terasa nyeri lagi, Kakang.
Hanya tinggal luka memar yang tidak perlu dik-
hawatirkan. Dalam beberapa hari, pasti akan hi-
lang dengan sendirinya," sahut Kenanga terse-
nyum manis.
Wajah jelita itu nampak sudah segar keme-
rahan. Pertanda Kenanga sudah benar-benar se-
hat.
"Sekarang marilah kita duduk. Ceritakan-
lah..., mengapa kau sampai bertarung dengan wa-
nita itu? " pinta Panji yang segera melangkah ke
arah sebuah batu pipih dekat pohon besar.
Kenanga yang masih merasa penasaran
atas kekalahannya, segera menceritakan awal mu-
la pertarungan tadi. Sedangkan Panji hanya men-
dengarkan tanpa memotong cerita.
"Begitulah, Kakang. Walaupun sejak semu-
la sudah aku duga kelihaian wanita genit itu, na-
mun sama sekali tidak kusangka kalau sedemi
kian hebatnya. Melihat dari tingkah laku dan il-
mu-ilmunya yang ganas dan penuh tipu daya licik
itu, aku dapat menilai kalau wanita itu pasti tokoh
sesat yang amat jahat," jelas Kenanga menutup ce-
ritanya.
"Hm.... Kalau begitu, penyebab perkelahian
tadi hanya salah paham saja. Sudahlah. Urusan
ini tidak perlu diperpanjang lagi. Sebaiknya, kita
teruskan saja perjalanan kita," ajak Panji yang se-
gera bangkit dari duduknya.
"Tapi, Kakang. Rasanya hatiku masih be-
lum puas atas kekalahanku tadi. Ingin sekali aku
membalasnya untuk meruntuhkan kesombongan
wanita genit itu," Kenanga masih mencoba mem-
bantah, karena rasa penasarannya.
"Sudahlah, Kenanga. Tidak ada gunanya
menuruti hawa amarah. Kekalahan merupakan
sesuatu yang wajar. Dan lagi, kita sama sekali ti-
dak mempunyai urusan dengan kedua orang itu.
Kepergian wanita genit itu tadi sudah merupakan
isyarat kalau dia tidak ingin bermusuhan dengan
kita," bujuk Panji sambil membelai lembut pung-
gung kekasihnya. Kemudian, ditariknya lengan
gadis jelita itu untuk pergi meninggalkan kaki Gu-
nung Langkeng.
Karena tidak ingin berbantahan dengan
kekasihnya, maka Kenanga tidak menolak ajakan
Panji. Meski dengan hati kurang puas, kakinya
pun mulai melangkah menjauhi tempat yang telah
meninggalkan kenangan pahit baginya.
***
EMPAT
"Mengapa harus melarikan diri seperti
orang pengecut Nyai?" tanya Kuncara.
Pemuda itu merasa tidak suka atas perbu-
atan itu. Saat itu mereka sudah berada di depan
pondok yang terdapat di tengah Hutan Langkeng.
"Hm.... Jangan bodoh, Kuncara. Perbuatan
ini bukan berarti pengecut. Tapi, itu menandakan
kepintaran kita," bantah Nyai Kalawirang agak ke-
tus.
Rupanya wanita tokoh sesat ini pun tidak
suka dicap sebagai pengecut. Hal itu tersirat jelas
pada wajahnya yang cemberut.
"Menandakan kepintaran...? Apa maksud
Nyai?" desak Kuncara.
Pemuda itu memang belum mengerti, ke
mana maksud perkataan Nyai Kalawirang. Dita-
tapnya wajah wanita genit itu lekat-lekat dengan
sinar mata penuh tuntutan.
"Ah! Bodoh sekali kau, Kuncara. Meskipun
aku belum tahu secara pasti, tapi jelas ada ke-
mungkinan kalau sosok bayangan putih yang me-
nolong gadis jelita itu memiliki kepandaian tinggi.
Kalau aku sampai bertarung dengannya, tentu
akan memakan waktu lama. Lalu, bagaimana ka-
lau pertarungan itu sampai terdengar gurumu?
Nah! Bukankah hubungan kita akan diketahui gu-
rumu dan saudara seperguruanmu yang bernama
Panggali itu? Kau suka kalau mereka mengetahui
hubungan kita?" jawab Nyai Kalawirang mengaju-
kan alasannya.
Mendengar penjelasan itu, wajah Kuncara
yang semula menyimpan penasaran menjadi pu-
cat. Ia benar-benar tidak berpikir sampai sejauh
itu. Tentu saja ucapan Nyai Kalawirang membuat
nya tersadar dan merasa bersalah.
"Maafkan aku, Nyai. Kau benar. Kalau
sampai guru atau Panggali mengetahui hubungan
kita, tentu beliau akan marah sekali," sesal Kun-
cara menyadari kebodohannya.
Melihat pemuda itu menundukkan wajah-
nya dengan penuh penyesalan, maka sikap Nyai
Kalawirang kembali berubah lunak. Dibelainya
rambut kepala dan wajah pemuda remaja itu lem-
but. Dibisikkannya kata-kata yang membuat Kun-
cara mengangkat wajahnya.
"Sudahlah! Jangan bersedih, Kuncara. Le-
bih baik tunjukkan ilmu 'Pukulan Memecah Badai'
dan 'Tendangan Angin Topan' yang diajarkan gu-
rumu. Aku akan mencoba menunjukkan kelema-
han-kelemahan gerakanmu, agar kau tidak kalah
apabila bertarung melawan Panggali," bujuk Nyai
Kalawirang mengajukan usul, bernada lembut.
"Ah! Kau benar, Nyai. Aku harus dapat
menunjukkan kepada Eyang Sanca Wisesa kalau
bisa sebaik Panggali," tegas Kuncara, mantap.
Semangat pemuda itu terbangkit setelah
mendengar ucapan Nyai Kalawirang. Tanpa me-
nunggu lagi, dia bergegas bangkit dan melangkah
ke depan pondok yang berhalaman luas.
Kuncara berdiri tegak sambil menghem-
buskan napasnya berkali-kali sebelum memainkan
jurus 'Pukulan Memecah Badai'. Sesaat kemudian,
kedua kakinya mulai bergeser ke kiri-kanan mem-
bentuk kuda-kuda bagai menunggang kuda.
"Haiiittt..!"
***
"Bagaimana, Nyai? Apakah jurus-jurusku
tadi sudah cukup baik? Mohon petunjuk dari
Nyai...," pinta Kuncara setelah menyelesaikan lati-
hannya.
Wajah pemuda itu tampak berseri penuh
kebanggaan. Apalagi setelah mendapat pujian dari
wanita secantik dan semolek Nyai Kalawirang.
Jangankan seorang pemuda hijau seperti Kuncara.
Biar lelaki yang memiliki banyak pengalaman pun,
akan merasa bangga dipuji perempuan cantik.
"Gerakan-gerakanmu sudah cukup baik,
Kuncara. Sekarang, marilah kita berlatih bersama-
sama. Pergunakanlah kedua ilmu andalanmu itu.
Dan aku akan mencoba menutup kelemahan-
kelemahan gerakanmu," ajak Nyai Kalawirang
sambil melangkah ke tengah lapangan rumput itu.
"Dengan senang hati, Nyai...," sambut Kun-
cara tanpa merasa curiga sedikit pun.
Sepertinya pemuda itu benar-benar telah
menaruh kepercayaan penuh kepada wanita can-
tik yang telah menjatuhkan hatinya itu.
Dengan penuh kegembiraan, Nyai Kalawi-
rang mulai bersiap menghadapi kedua jurus am-
puh Eyang Sanca Wisesa yang diwariskan kepada
Kuncara.
Menjelang sore, kedua orang itu baru sele-
sai berlatih. Nyai Kalawirang membiarkan saja ke-
tika Kuncara berpamit hendak kembali ke tempat
gurunya. Rupanya, wanita cantik itu masih memi-
kirkan jurus-jurus ampuh yang tadi dimainkan
Kuncara.
"Nyai, aku pergi dulu...," pamit Kuncara.
Pemuda itu merasa heran melihat Nyai Ka-
lawirang nampak masih termenung bagai patung.
Dihampirinya wanita cantik itu, lalu diulurkan
tangannya untuk menyentuh kedua bahunya.
"Kenapa, Nyai...?" tanya Kuncara cemas
melihat wanita cantik itu hanya menunduk diam.
"Oh...! Aku tidak apa-apa, Kuncara. Hanya
merasa agak pening sedikit. Jurus-jurus tadi be-
nar-benar membuat aku pusing," sahut Nyai Ka-
lawirang tersentak dari lamunannya. "Pulanglah.
Jangan terlalu mencemaskan diriku,"
"Baiklah kalau begitu. Jaga dirimu baik-
baik, Nyai," ujar Kuncara lembut.
Sebelum meninggalkan tempat itu, Kunca-
ra menyempatkan untuk mencium lembut bibir
Nyai Kalawirang yang merah menantang.
Sepeninggal Kuncara, Nyai Kalawirang me-
langkah memasuki pondok. Jurus-jurus ampuh
Eyang Sanca Wisesa masih saja memenuhi be-
naknya.
***
LIMA
Matahari baru saja muncul dan menam-
pakkan kekuasaannya. Saat itu, nampak dua so-
sok tubuh melangkah meninggalkan pondok tem-
pat kediaman Eyang Sanca Wisesa.
Kedua sosok tubuh itu tak lain dari Kunca-
ra dan Panggali. Seperti biasa, setiap pagi mereka
selalu berlatih bersama-sama untuk menyempur-
nakan ilmu-ilmu mereka.
"Kulihat kemajuan yang kau peroleh sudah
semakin pesat, Kuncara. Bagaimana kalau pagi ini
berlatih bersama-sama untuk melihat kemajuan
kita masing-masing?" usul Panggali yang memang
selalu memperhatikan kemajuan Kuncara.
Karena merasa tertarik, maka Panggali
mengajukan usul itu. Dan kata-kata itu berarti
sebuah tantangan bagi Kuncara.
Kuncara yang hampir setengah tahun belakangan
ini bergaul intim dengan Nyai Kalawirang, tentu
saja telah lama menunggu ucapan itu keluar dari
mulut Panggali. Sengaja tantangan itu tidak dike-
luarkan lebih dulu, karena takut kalau-kalau uca-
pannya akan menimbulkan kecurigaan Panggali.
Maka ketika saudara seperguruannya mengajukan
usul yang memang ditunggu-tunggu, ia pun lang-
sung menerima gembira.
"Baiklah, Panggali. Selama setengah tahun
ini, aku telah berlatih keras sesuai anjuranmu.
Dan rasanya, kali ini aku tidak akan jatuh di tan-
ganmu seperti dulu. Maka kuharap kau berhati-
hati," sahut Kuncara.
Pemuda itu sudah merasa yakin akan da-
pat mengalahkan saudara seperguruannya kali ini.
Keyakinan itu dikarenakan telah mendapatkan pe-
tunjuk dari Nyai Kalawirang. Hal itu tentu saja
tanpa sepengetahuan Panggali maupun eyang gu-
runya.
"Hm.... Bagus. Kalau begitu, kau harus
menunjukkan hasil latihanmu selama setengah
tahun ini," tantang Panggali seraya tersenyum le-
bar.
Panggali sama sekali tidak merasa tersing-
gung atas ucapan Kuncara. Sebaliknya, ia malah
merasa bersyukur kalau saudara seperguruannya
benar-benar telah berlatih keras seperti yang se-
lama ini dianjurkan.
Begitu tiba di tempat mereka biasa berla-
tih, kedua orang pemuda yang usianya sebaya itu
berdiri berhadapan dalam jarak dua batang tom-
bak
"Bersiaplah, Panggali. Harap berhati-
hatilah...," pesan Kuncara dengan kepala tegak.
Sikap yang ditunjukkan pemuda itu kali
ini, benar-benar angkuh dan memandang rendah
lawan.
"Aku sudah siap, Kuncara," sahut Panggali
sambil menggeser kedua kakinya membentuk ku-
da-kuda silang.
Sambil merendahkan kedua kakinya,
Panggali mengulur tangan kirinya yang berbentuk
kepalan halus ke arah lawan. Sedangkan tangan
kirinya berada di atas kepala dengan telapak-
telapak terbuka. Itulah pembukaan jurus kedua
dari ilmu 'Pukulan Memecah Badai'.
"Hmh...!"
Kuncara mendengus penuh ejekan melihat
persiapan Panggali. Lalu ia pun membentuk kuda-
kuda rendah dan mempersiapkan jurus
'Tendangan Angin Topan' yang tidak kalah am-
puhnya.
"Jaga seranganku, Panggali...! Haaattt...!"
Dibarengi sebuah seruan nyaring, tubuh
Kuncara meluncur cepat bagaikan anak panah le-
pas dari busur.
Bettt! Wukkk!
Sepasang kaki Kuncara berputar bagai bal-
ing-baling dan langsung mengirimkan serangkaian
tendangan kilat ke seluruh kelemahan di tubuh
Panggali.
"Bagus...."
Sambil berseru memuji, Panggali mengges-
er kaki kirinya ke samping. Tubuhnya meliuk ce-
pat bagaikan seekor ular menghindari penggebuk.
Tangan kanan dan kirinya membarengi dengan
pukulan lurus mengancam dada dan lambung
Kuncara. Hal itu dilakukan Panggali karena telah
mengenal betul akan kelemahan lawan dalam
menggunakan ilmu 'Tendangan Angin Topan'.
Tapi, apa yang dilakukan Kuncara benar
benar membuat Panggali terkejut. Ia yang telah
lama mengetahui kelemahan Kuncara dalam se-
tiap mengeluarkan ilmu tendangan itu, tentu saja
menjadi heran melihat kaki kanan lawan yang
berputar tiba-tiba meluncur turun mengancam be-
lakang lehernya.
Sadar kalau kedudukannya sangat lemah
untuk melakukan tangkisan, maka Panggali
menggulingkan tubuhnya ke kiri. Karena kalau se-
rangan diteruskan, dialah yang akan menderita
kerugian paling parah.
Itulah sebabnya, mengapa ia lebih memilih
menghindari diri.
Kuncara yang dalam beberapa jurus saja
telah berhasil membuat Panggali kalang kabut ter-
tawa sombong. Untuk menunjukkan kalau dirinya
berada di atas angin, sengaja Kuncara tidak men-
gejar Panggali. Dia malah hanya berdiri tegak me-
nanti saudara seperguruannya bangkit.
"Ilmu apa yang kau pergunakan itu, Kun-
cara? Setahuku, gerak itu sama sekali tidak terda-
pat dalam jurus 'Tendangan Angin Topan'? Dari
mana kau mendapatkannya?" tegur Panggali den-
gan napas agak memburu.
Pemuda itu sadar betul, apabila mengenai
sasarannya, mungkin ia akan mengalami luka
sangat parah. Bahkan mungkin tulang belakang
lehernya akan patah akibat tendangan keras Kun-
cara tadi.
"Hm.... Itulah hasil latihanku selama ini.
Sengaja tidak kutunjukkan saat kita berlatih. Ma-
ka, wajar saja kalau kau merasa terkejut sudah-
lah, ayo kita lanjutkan permainan yang menggem-
birakan ini," tantang Kuncara.
Lagak pemuda itu sangat menyakitkan.
Nada suaranya pun terdengar sombong dan sangat
merendahkan Panggali.
Selesai berkata demikian, Kuncara lang-
sung melompat dan melancarkan serangan tanpa
menunggu jawaban Panggali. Sepasang kakinya
kembali melancarkan tendangan-tendangan yang
sangat berbahaya. Karena sasaran yang dituju
adalah jalan-jalan darah besar di tubuh Panggali.
Panggali yang menyadari betapa berbahaya
serangan Kuncara, hanya berusaha menghindar
saja. Namun sesekali sepasang tangannya melun-
cur melakukan balasan. Bahkan tenaga yang dike-
rahkan dalam setiap melakukan serangan bala-
san, dikerahkan seluruhnya. Dan memang, seran-
gan yang dilakukan Kuncara sangat ganas dan
membahayakan.
"Haiiittt..!"
Wuttt! Wuttt! Bettt!
Tiga buah tendangan yang dilontarkan
Kuncara secara susul-menyusul dapat dielakkan
Panggali dengan menarik mundur tubuhnya sam-
bil membungkuk. Kemudian, serangan itu diba-
lasnya dengan pukulan dan tusukan jari-jari tan-
gan ke tubuh lawan. Gerakan yang dilakukan
Panggali itu sudah tepat sekali. Karena, saat itu
pertahanan lambung dan perut Kuncara terbuka
lebar.
Kuncara yang telah mendapatkan petunjuk
dari Nyai Kalawirang tentu mengetahui bagian ter-
lemah jurus serangannya itu. Namun, itu memang
disengaja untuk memancing perhatian Panggali.
Maka begitu kedua serangan lawan hampir men-
genai tubuhnya, barulah tubuhnya berbalik dan
melancarkan tendangan berputar secara tak ter-
duga dan....
Buggg!
"Huagkh...!"
Dibarengi melontarnya darah segar dari
mulut, tubuh Panggali pun terpental deras ke be-
lakang. Pemuda itu langsung jatuh berdebuk me-
nimbulkan suara keras.
Kuncara berlari menghampiri tubuh Pang-
gali yang tergeletak lemah di atas rerumputan.
"Kau hebat.., Kuncara. Kali ini aku menga-
ku kalah padamu," lirih sekali kata-kata Panggali
ketika mengatakan hal itu.
Sedangkan Kuncara hanya tersenyum, lalu
pantatnya dijatuhkan di samping Panggali. Ter-
dengar suara tawanya, menandakan kepuasan ha-
ti pemuda itu. Sepertinya dia benar-benar puas
dengan hasil yang dicapainya itu.
***
"Kuncara.... Bolehkah aku tahu, dari mana
kau mendapatkan gerakan aneh untuk mengisi
kelemahan jurusmu tadi?" tanya Panggali.
Pemuda itu berusaha bangkit meski terasa
sesak. Ditariknya napas menghilangkan rasa se-
sak itu. Untunglah tendangan yang dilancarkan
Kuncara tidak terlampau keras. Selain itu ia pun
telah melindungi tubuhnya dengan pengerahan
tenaga dalam. Sehingga luka yang dideritanya ti-
dak terlalu parah.
"Tentu saja diriku sendiri Panggali. Sejak
kekalahanku dulu aku berusaha mencari penye-
babnya. Setelah aku menemukannya, maka ku-
buat gerakan penuh tipu daya untuk menyamar-
kan penglihatan lawan. Dan ternyata aku berhasil
gemilang," jawab Kuncara lepas, tanpa keraguan
sedikit pun.
"Hm...," Panggali hanya bergumam lirih se-
bagai tanda percaya atas keterangan Kuncara.
Sementara, di dalam hati pemuda itu, sa-
ma sekali keterangan saudara seperguruannya ti-
dak dipercayai. Diam-diam Panggali berniat me-
nyelidiki kegiatan Kuncara di Hutan Langkeng.
Karena tempat itulah satu-satunya tempat ber-
main Kuncara selama ini.
Tanpa mempedulikan keadaan Panggali,
Kuncara bangkit dari duduknya dan berlatih se-
perti biasa. Sedangkan Panggali beristirahat untuk
memulihkan tenaga dan menyembuhkan lukanya.
Usai melakukan latihan, Kuncara melang-
kah menghampiri Panggali yang saat itu telah me-
nyelesaikan semadinya.
"Aku pergi dulu, Panggali. Silakan berlatih
sepuasmu agar lain kali tidak sampai terkena ten-
danganku."
Setelah mengucapkan kata-kata yang
membuat kuping Panggali panas, Kuncara berlalu
menuju ke dalam Hutan Langkeng seperti biasa.
Sepeninggal Kuncara, Panggali termenung
di tempatnya. Setelah menimbang-nimbang, ak-
hirnya diputuskan untuk menyelidiki kegiatan
Kuncara selama ini. Setelah mengambil keputu-
san, tubuh pemuda itu pun melesat menuju Hu-
tan Langkeng.
***
Sambil tersenyum-senyum penuh kepua-
san, Kuncara melangkah ringan menuju pondok
yang didirikannya di tengah Hutan Langkeng. Ke-
lihatan sekali pemuda itu merasa gembira telah
berhasil menjatuhkan Panggali.
"Nyai...! Apakah kau ada di dalam...?" seru
Kuncara sambil melangkahkan kakinya mendekati
pintu pondok yang tertutup rapat.
Belum lagi kakinya menyentuh anak tang-
ga pertama, sesosok tubuh ramping telah berdiri
di depan pintu pondok.
"Ada apa, Kuncara? Mengapa berteriak-
teriak?" tegur Nyai Kalawirang sambil merapikan
rambutnya yang berantakan. Wajah wanita genit
itu kusut masai.
Sambil memamerkan senyumnya yang
memikat, Nyai Kalawirang melangkah menuruni
anak tangga. Wanita cantik itu tidak berusaha
mengelak ketika Kuncara memburunya dan lang-
sung menciumi sambil berbisik parau.
"Aku berhasil, Nyai. Panggali, murid emas
eyang guruku itu telah dapat kujatuhkan. Terima
kasih atas segala petunjuk yang kau berikan ini,
Nyai," ucap Kuncara tanpa melepaskan pelukan-
nya dari tubuh molek itu.
"Hm.... Bagus kalau begitu. Dan mulai se-
karang kau harus mematuhi segala perintahku.
Apakah kau bersedia?" tanya Nyai Kalawirang mu-
lai berani menekan pemuda itu.
"Tentu saja, Nyai. Tapi sekarang aku in-
gin...."
Kuncara tidak meneruskan ucapannya.
Langsung dipondongnya tubuh molek yang meng-
gairahkan itu ke dalam pondok.
Nyai Kalawirang tentu saja tahu apa yang
diinginkan pemuda itu. Tapi tidak seperti bi-
asanya, kali ini wanita genit itu berusaha mele-
paskan pelukan Kuncara.
"Jangan sekarang, Kuncara. Hari ini aku
merasa lelah sekali. Lebih baik, nanti saja kalau
aku sudah merasa lebih sehat" elak Nyai Kalawi-
rang.
Setelah berkata demikian, wanita cantik itu
melangkahkan kakinya menuruni tangga menuju
halaman depan pondok.
"Baiklah, Nyai. Kalau kau merasa kurang
sehat aku tidak memaksa," sahut Kuncara.
Pemuda itu segera berlari mengikuti lang-
kah kaki Nyai Kalawirang. Lalu, dipeluknya tubuh
wanita itu dari belakang. Kemudian, diajaknya
duduk di atas rerumputan.
Sementara itu, tanpa sepengetahuan mere-
ka, sepasang mata di balik rimbunan semak belu-
kar menyaksikan semua perbuatan Nyai Kalawi-
rang dan Kuncara dengan sinar mata berkilat.
"Hm.... Siapa pun adanya wanita cantik
yang bersama Kuncara itu, jelas bukan orang
sembarangan. Melihat dari sikap Kuncara yang
begitu manis dan penurut, dapat kuduga kalau di
antara mereka pasti telah terjalin hubungan erat.
Entah sejak kapan Kuncara bergaul dengan wani-
ta cantik yang jelas sangat berbahaya itu?" gumam
pemilik sepasang mata di balik rimbunan semak
belukar. Siapa lagi orang itu kalau bukan Pangga-
li.
Panggali yang bersifat lebih pendiam dan
memiliki pandangan luas, mulai dapat meraba
perbuatan Kuncara selama ini. Meskipun baru
melihat sekali, namun Panggali sudah dapat me-
nebak kalau wanita cantik yang bersama Kuncara
itu bukan orang baik-baik. Maka, iapun berniat
mengadukan hal itu kepada eyang gurunya.
Setelah mengambil keputusan demikian,
Panggali segera meninggalkan tempat itu dengan
gerakan perlahan. Sebab, sedikit saja menimbul-
kan suara mencurigakan, bukan tidak mungkin
akan terdengar oleh mereka. Sedangkan untuk
menangkap basah perbuatan Kuncara, ia tidak be-
rani karena selain belum tahu bagaimana tangga-
pan Kuncara, wanita cantik itu pun patut diperhitungkan juga. Sebab, bukan tidak mungkin me-
mergoki secara langsung, kedua orang itu akan
mengeroyoknya. Dan itu sama sekali tidak diin-
ginkan Panggali. Maka ia pun mengambil keputu-
san untuk mengadukannya kepada Eyang Sanca
Wisesa.
***
"Kuncara, sebaiknya kau pulang sekarang.
Besok, baru kau kembali lagi kemari. Mudah-
mudahan besok rasa lelahku sudah hilang," pinta
Nyai Kalawirang sambil mengecup lembut wajah
Kuncara.
"Hhh.... Sebenarnya aku enggan sekali un-
tuk pulang. Lagi pula hari masih siang. Tapi kare-
na kau kurang sehat baiklah. Tapi, besok aku ti-
dak mau ditolak seperti ini lagi" kata Kuncara,
dengan wajah kecewa.
"Tentu, Kuncara. Besok diriku kuper-
siapkan sebaik mungkin. Hari ini aku benar-benar
tidak ingin diganggu," sahut Nyai Kalawirang se-
raya tersenyum lembut.
Setelah menatap lekat-lekat wajah Nyai Ka-
lawirang, Kuncara segera bangkit dan melangkah
meninggalkan tempat itu dengan wajah lesu. Se-
dangkan Nyai Kalawirang hanya menatapi pung-
gung pemuda itu disertai senyum liciknya.
Sepeninggal Kuncara, dari dalam pondok muncul
seraut wajah menyeramkan. Sepasang matanya
yang seperti mata binatang liar, berputar sejenak
memeriksa keadaan di sekelilingnya. Setelah me-
mastikan kalau di tempat itu hanya tinggal Nyai
Kalawirang seorang, barulah kakek berwajah mirip
singa jantan itu melangkah keluar dari dalam
pondok.
Nyai Kalawirang menolehkan kepala ketika
telinganya menangkap langkah berat menghampiri
tempatnya.
"Hampir saja dia memergoki kita, Nyai. Un-
tunglah dia berteriak sebelumnya. Kalau tidak, en-
tah bagaimana tanggapannya melihat wanita can-
tik yang diimpikannya berada dalam pelukanku.
Malah bisa jadi dia akan mengamuk dan mening-
galkanmu," kata kakek menyeramkan yang tak
lain dari Singa Gurun Setan. Sambil menjatuhkan
tubuhnya di samping Nyai Kalawirang.
"Hm.... Sebenarnya tidak ada lagi yang per-
lu ditakuti dari pemuda itu. Tapi, alangkah baik-
nya kalau dia dapat diajak bekerja sama. Sebab, ia
merupakan seorang pembantu yang baik dan bisa
diandalkan. Bagaimana menurutmu, Singa Gurun
Setan?" tanya Nyai Kalawirang mengajukan usul.
"Tapi, apakah tidak terlalu membahayakan,
Nyai? Walaupun telah benar-benar jatuh ke dalam
pelukanmu, kelihatannya pemuda itu masih be-
lum kau kuasai sepenuhnya," sergah Singa Gurun
Setan meragu.
"Jangan khawatir. Mulai besok, aku akan
memberikan tekanan-tekanan padanya agar mau
mematuhi segala perintahku. Tapi kalau menolak,
apa susahnya melenyapkan nya?" sahut Nyai Ka-
lawirang yang mulai menunjukkan sifat aslinya.
"Ha ha ha...! Tentu saja tidak sulit, Nyai.
Untuk melenyapkan pemuda itu, bagiku semudah
membalikkan telapak tangan," sambut Singa Gu-
run Setan terbahak serak.
Mendengar ucapan itu, Nyai Kalawirang
mengikik gembira. Sambil tertawa-tawa kedua
orang tokoh sesat itu bangkit berdiri dan melang-
kah bergandengan menuju pondok. Tak lama sete-
lah tubuh mereka lenyap di balik pintu, terdengar
tertawa cekikikan yang ditingkahi suara derit ba-
lai-balai bambu.
***
Pemuda tampan berusia delapan belas ta-
hun itu melangkah lesu sambil menggendong kayu
bakar di bahu kanannya. Diletakkannya kayu ba-
kar bawaannya di atas tumpukan kayu bakar
lainnya, di samping pondok bambu sederhana.
Baru saja pemuda tampan yang tak lain
dari Kuncara itu duduk melepaskan lelah, tiba-
tiba muncul Panggali menghampiri.
"Kuncara, Eyang Sanca Wisesa memang-
gilmu. Beliau menunggu di ruang tengah," ujar
Panggali begitu tiba di depan Kuncara.
Wajah Panggali terlihat tidak ramah dan
seperti tengah menyimpan kemarahan.
"Pergilah dulu, aku segera menyusul," sa-
hut Kuncara tanpa semangat. Kepalanya tetap sa-
ja menunduk seperti enggan menatap wajah sau-
dara seperguruannya.
"Tidak, Kuncara. Eyang menyuruh kita
berdua untuk menghadap sekarang juga," desak
Panggali dengan suara yang tidak enak didengar.
Kuncara mengangkat wajahnya mendengar
suara Panggali yang lain dari biasanya itu. Dan
ketika melihat sinar mata saudara seperguruan-
nya, hatinya berdebar tegang. Jelas sinar mata itu
menyiratkan rasa muak penuh hinaan. Tentu saja
hati Kuncara semakin tak karuan. Berbagai du-
gaan semakin memenuhi benaknya.
"Baik, aku segera menghadap...," sahut
Kuncara.
Pemuda itu menarik napas berulang-ulang untuk
menenteramkan hatinya yang dipenuhi debar ke
tegangan. Kemudian, ia bangkit dari duduknya
dan melangkah mengikuti Panggali.
Kuncara yang dapat meraba sikap Pangga-
li, memutar otaknya untuk mengatur siasat licik.
Melihat sikap dan cara Panggali, ia tahu saudara
seperguruannya mungkin telah memergoki ketika
ia sedang bersama Nyai Kalawirang. Hanya itulah
satu-satunya dugaan yang ada dalam hatinya. Se-
bab selain itu, Kuncara merasa yakin tidak mem-
punyai kesalahan lain yang patut ditakuti. Maka,
otaknya segera bekerja mempersiapkan jawaban
apabila dugaannya benar.
"Masuklah...," sambut suara berat dan se-
rak ketika Panggali dan Kuncara memasuki pon-
dok kediaman Eyang Sanca Wisesa.
"Guru... Kami datang menghadap...."
Sambil berkata demikian, Panggali dan
Kuncara menjatuhkan diri, berlutut di hadapan
kakek berusia sekitar tujuh puluh tahun lebih.
Kakek itu bersila sambil memejamkan mata den-
gan wajah tenang menyiratkan sinar kesabaran.
Saat kedua orang muridnya sudah duduk
bersila di depannya, perlahan Eyang Sanca Wisesa
membuka kedua matanya. Begitu terbuka, sinar
mata yang tajam bagai ujung pedang itu langsung
menatap tajam ke bola mata Kuncara.
"Kuncara.... Menurut keterangan Panggali,
kau telah bergaul dengan orang luar. Benar-
kah...?" tanya Eyang Sanca Wisesa langsung tanpa
basa-basi lagi.
Seketika Kuncara tersentak. Hampir pasti
dugaannya benar.
"Bergaul dengan orang luar bagaimana,
Eyang? Aku sungguh belum mengerti maksud per-
tanyaan Eyang itu?" jawab Kuncara berbohong,
sambil balas menatap pandangan mata Eyang
Sanca Wisesa. Bahkan tanpa rasa gentar sedikit
pun. Tentu saja hal itu membuat gurunya menjadi
ragu.
"Hm.... Coba ceritakan apa yang kau lihat
di dalam Hutan Langkeng, Panggali," pinta Eyang
Sanca Wisesa mengalihkan pandangan kepada
Panggali. Sinar mata yang tajam bagai ujung pe-
dang itu, sejenak membuat Panggali gugup.
Setelah menarik napas berulang-ulang,
Panggali segera menceritakan mengenai yang dili-
hatnya tadi pagi. Sedangkan Eyang Sanca Wisesa
mendengarkan dengan kening berkerut.
"Bohong...!" bantah Kuncara dengan suara
menggelegar.
Sambil berkata demikian, pemuda itu ber-
gegas bangkit dari duduknya. Dengan wajah me-
rah padam, Kuncara menundingkan telunjuknya
ke wajah saudara seperguruannya.
"Jelas ini fitnah, Eyang. Aku yakin Panggali
hanya merasa iri karena pagi tadi telah kukalah-
kan ketika berlatih bersama! Dan rasa iri itu
membuatnya tega melemparkan fitnah kepada ku!"
teriak Kuncara yang menjadi marah bukan main.
"Benar kau kalah berlatih bersama Kunca-
ra, Panggali?" tegur Eyang Sanca Wisesa bernada
penuh tuntutan.
Jelas kakek itu merasa tidak senang kepa-
da Panggali. Sebab hal itu tidak diceritakan kepa-
danya.
"Benar, Eyang. Tapi, kekalahanku itu tidak
mutlak. Sebab Kuncara telah menggunakan gerak-
gerak aneh yang asing bagiku. Karena tidak kudu-
ga, maka aku dapat terkena tendangan Kuncara,"
sahut Panggali dengan wajah agak pucat.
Diam-diam hati pemuda itu mengutuk keli-
cikan Kuncara yang ternyata pandai memutarbalikkan kenyataan. Padahal, selama ini ia mengenal
Kuncara sebagai orang yang jarang berbicara. Ka-
laupun berdebat dengannya, Kuncara tidak akan
pernah menang. Maka, ia pun heran melihat beta-
pa pandainya pemuda itu hari ini. Sehingga, gu-
runya pun seperti memihak kepada Kuncara. Dan
tentu saja hal itu membuatnya menjadi cemas.
"Tunjukkan gerak-gerak aneh yang dis-
ebutkan Panggali itu, Kuncara," pinta Eyang San-
ca Wisesa beralih kepada Kuncara.
Tanpa ragu-ragu lagi, Kuncara segera me-
nunjukkan gerakan-gerakan yang digunakan keti-
ka menjatuhkan Panggali. Melihat betapa gurunya
mengangguk-anggukkan kepala, hati Kuncara pun
menjadi lega.
"Hm.... Bagaimana kau dapat memperoleh
gerakan untuk menutup kelemahan permainan ju-
rusmu itu, Kuncara?" tanya Eyang Sanca Wisesa,
tanpa nada kemarahan sedikit pun.
"Aku menciptakannya sendiri, Eyang. Piki-
ran itu kudapatkan setelah kalah bertarung den-
gan Panggali pada setengah tahun yang lalu. Apa-
kah perbuatanku itu salah, Eyang...?" tanya Kun-
cara bagaikan orang tak berdosa.
Senyum pemuda itu mulai mengembang
ketika tidak melihat nada kemarahan lagi dalam
setiap pertanyaan gurunya.
"Sama sekali tidak salah. Bahkan aku me-
rasa bangga dengan apa yang telah kau dapatkan
itu. Sudahlah. Kalian berdua boleh pergi. Aku in-
gin beristirahat," ujar Eyang Sanca Wisesa.
Setelah berkata demikian kedua mata ka-
kek itu pun kembali terpejam, tanda kalau benar-
benar tidak ingin diganggu.
Melihat sikap Eyang Sanca Wisesa, Kunca-
ra dan Panggali pun bergegas bangkit dan meninggalkan pondok itu.
Panggali menghentikan langkahnya di depan pintu
pondok. Ditatapinya punggung Kuncara yang tan-
pa banyak cakap lagi langsung meninggalkan pon-
dok Eyang Sanca Wisesa. Diam-diam Panggali ber-
janji untuk menangkap basah Kuncara. Benar-
benar tidak disangka kalau Kuncara akan demi-
kian pandainya mengelak dari pertanyaan gu-
runya. Hatinya benar-benar benci memikirkan ka-
ta-kata Kuncara yang lancar, dengan wajah tanpa
dosa. Apalagi mengingat, betapa ia dibuat malu di
hadapan Eyang Sanca Wisesa tadi.
"Hm.... Tunggulah, Kuncara. Aku akan
menangkap basah perbuatanmu yang memalukan
itu!" ancam Panggali seraya mengepalkan tinjunya
erat-erat, hingga menimbulkan suara berkeroto-
kan nyaring.
***
"Eyang...!"
Pemuda tampan itu berteriak keras cepat
menuju pondok tempat kediaman Eyang Wisesa.
Begitu tiba di depan pintu pondok, tubuhnya lang-
sung melesat ke dalam.
Eyang Sanca Wisesa yang baru saja me-
langkahkan kakinya mendekati pintu, segera
menggeser tubuhnya agar tidak sampai bertubru-
kan dengan sosok tubuh yang melompat masuk
itu.
"Kuncara, ada apa...? Mengapa berteriak-
teriak seperti orang kemasukan setan...?" tegur
Eyang Sanca Wisesa begitu dapat mengenali sosok
tubuh yang hampir menabraknya.
"Eyang! Dugaanku ternyata benar!" sahut
Kuncara.
Napas pemuda itu tampak terengah-engah.
Di sudut bibirnya tampak cairan merah mengalir.
Sepertinya, dia telah mengalami luka yang cukup
parah.
"Kau terluka, Kuncara...?" tanya kakek itu
sambil mengulur tangan hendak memeriksa luka
di tubuh Kuncara.
"Panggali.... Panggali ternyata sengaja me-
lemparkan fitnah keji kepadaku untuk menutupi
perbuatannya. Siang ini, aku memergokinya ten-
gah bermesraan dengan seorang wanita genit be-
rusia sekitar empat puluh tahun. Pasti wajahnya
yang cantik itulah, penyebab jatuhnya Panggali ke
dalam pelukan wanita itu. Sayang, Panggali tidak
menghiraukan nasihatku. Mereka berdua menge-
royokku. Dan akibatnya, aku mengalami luka,
Eyang..," lapor Kuncara sambil sesekali menyerin-
gai menekap dadanya.
"Di mana mereka...?" tanya Eyang Sanca
Wisesa dengan nada suara yang berusaha mene-
kan kesabaran.
Namun, wajah kakek itu nampak pucat je-
las hatinya sangat terpukul atas laporan Kuncara.
"Di dalam gua dekat sungai, Eyang...," sa-
hut Kuncara cepat. "Tapi..., wanita yang bersama
Panggali itu lihai sekali, Eyang..."
"Hm.... Kau tinggallah di sini...," ujar Eyang
Sanca Wisesa cepat.
Belum lagi Kuncara sempat mengangguk,
tubuh kakek itu telah lenyap dan hanya tampak
bayangannya saja di kejauhan. Senyum iblis pun
tersungging di wajah Kuncara.
"Biar tahu rasa kau, Panggali!" gumam pe-
muda itu seraya tersenyum penuh kemenangan.
Sementara itu, Eyang Sanca Wisesa telah
berlari cepat menuju aliran sungai. Dalam waktu
yang singkat saja, kakek sakti itu telah tiba di
tempat Panggali berada.
Wajah kakek itu berubah merah ketika me-
lihat di depan mulut gua itu terdapat dua sosok
tubuh yang hampir tak berpakaian. Gemetar selu-
ruh tubuh renta itu didera pukulan batin yang
sangat berat.
"Panggali..., keluar kau...!" terdengar ben-
takan menggeledek yang bergetar keluar dari mu-
lut kakek itu.
Bagaikan disambar petir, pucat selebar wa-
jah Panggali. Seluruh tubuhnya bergetar ketika
mendengar suara yang amat dikenalnya.
Sedangkan sosok tubuh setengah telanjang
lainnya yang tak lain Nyai Kalawirang, melompat
keluar setelah mengenakan pakaiannya. Dengan
wajah berang, wanita cantik berusia empat puluh
tahun itu langsung menuding wajah Eyang Sanca
Wisesa.
"Tua bangka tak tahu adat! Kau rupanya
memang senang mengintip perbuatan orang, ya!
Tidak tahu malu!" maki Nyai Kalawirang tanpa ra-
sa gentar sedikit pun. Bahkan pada wajah cantik
itu terlihat senyum penuh ejekan.
"Hm.... Rupanya kau, Nyai Kalawirang, Ma-
sih belum jera juga setelah ku pecundangi pada
waktu yang lalu. Sebaiknya pergi, dan tinggalkan
tempat ini sebelum kesabaranku habis!" ancam
Eyang Sanca Wisesa.
Sama sekali orang tua itu tidak mempedu-
likan Nyai Kalawirang. Karena saat itu perhatian-
nya lebih tertuju kepada Panggali.
"Huh! Tua bangka sombong! Kau akan ra-
sakan bagianmu nanti!"
Setelah mengeluarkan ancaman itu, tubuh
Nyai Kalawirang langsung melesat pergi. Dari ke
jauhan, lapat-lapat terdengar tawanya yang me-
nyebalkan.
Eyang Sanca Wisesa sama sekali tidak
mempedulikan kepergian Nyai Kalawirang. Sepa-
sang mata kakek itu sudah terhunjam ke sosok
tubuh Panggali yang seluruh tubuhnya gemetar
bagai orang terserang demam. Sekilas, terlihat wa-
jah kakek itu menyeringai menahan rasa nyeri di
dadanya, menyaksikan kelakuan murid ter-
sayangnya. Sepertinya, jiwa kakek itu telah terpu-
kul hebat.
***
Panggali berdiri dengan wajah tertunduk
pucat. Tidak ada bantahan sedikit pun yang ter-
lontar dari mulutnya. Sebab disadari sepenuhnya
kalau bantahan itu tidak akan dapat melunakkan
hati kakek yang berhati keras dan tegas dalam
melatih dirinya dan Kuncara. Hanya ia tidak men-
gerti, mengapa semua itu harus dilakukannya?
"Kau sadar atas kesalahanmu, Panggali...?"
tegur Eyang Sanca Wisesa dengan suara parau.
Dari tekanan nada suaranya, jelas kalau
kakek itu berusaha menekan kemarahannya.
"Tapi, Eyang...."
"Sebaiknya segera angkat kaki dari tempat
ini. Jangan coba membela diri. Karena, mata kepa-
laku sendiri yang telah menyaksikan perbuatan-
mu! Mudah-mudahan setelah kau terjun ke dalam
dunia ramai, sifat busukmu itu berubah," geram
Eyang Sanca Wisesa. Suaranya terdengar mengge-
letar menekan kepedihan hatinya.
"Ampunkan aku, Eyang.... Jagalah diri
Eyang baik-baik...," rintih Panggali dengan suara
parau.
Hati pemuda itu benar-benar sedih men-
dengar kata-kata guru yang disayanginya. Sadar
kalau perbuatannya tidak mungkin dapat pen-
gampunan, maka Panggali hanya dapat bersujud
di bawah kaki kakek itu.
"Pergilah. Simpan nasihatmu itu untuk di-
rimu sendiri...," sahut Eyang Sanca Wisesa men-
gangkat wajahnya menatap langit biru yang jernih.
Dari kerut-kerut di wajahnya, jelas sekali
kalau kakek itu amat terpukul atas perbuatan
Panggali. Terdengar helaan napas berat mewakili
kepedihan hatinya.
"Eyang...."
Panggali mengangkat tubuhnya bangkit.
Dengan mata basah, pemuda itu membalikkan tu-
buhnya. Kemudian, ia langsung berlari mening-
galkan puncak Gunung Langkeng. Baru beberapa
langkah berlari, Panggali membalikkan tubuhnya.
Dipandanginya wajah Eyang Sanca Wisesa dari ke-
jauhan. Sepasang mata basah itu terus berputar
mengelilingi sekitar puncak itu. Sepertinya, semua
kenangan di dalam benaknya ingin disimpan di
hati. Setelah puas memandangi semua yang ada di
sekitar puncak Gunung Langkeng, Panggali me-
mutar tubuhnya. Kemudian, dia melangkah gontai
menuruni lereng gunung.
"Ahhh, Panggali... Kau benar-benar telah
mengecewakan aku...," bisik kakek itu lirih penuh
kedukaan.
Dipandanginya punggung pemuda itu den-
gan perasaan tak menentu. Lama setelah bayan-
gan Panggali menghilang di balik tikungan jalan,
barulah Eyang Sanca Wisesa memutar tubuh dan
meninggalkan tempat itu.
"Uhhh...."
Baru beberapa tindak kakinya melangkah,
terlihat wajah kakek itu menyeringai sambil me-
nekap dadanya. Rupanya pukulan batin itu ter-
lampau berat bagi orang setua Eyang Sanca Wise-
sa. Kedukaan kembali timbul, mengingat murid
satu-satunya yang diharapkan dapat meneruskan
ilmunya, ternyata telah melakukan perbuatan
rendah dan memalukan. Betapa sangat menya-
kitkan.
Eyang Sanca Wisesa menghentikan lang-
kahnya sejenak. Ditatapnya cakrawala, sambil
menghirup udara sebanyak-banyaknya. Baru sete-
lah itu langkahnya dilanjutkan menuju pondok.
Sementara itu, tanpa sepengetahuan Eyang
Sanca Wisesa, sepasang mata basah menatapinya
dari balik sebatang pohon besar. Terdengar kelu-
han lirih dari mulut pemuda itu.
"Ampuni aku, Eyang,... Aku telah meng-
hancurkan harapan dan cita-citamu selama ini...,"
desah pemuda itu pilu.
Setelah bayangan kakek itu lenyap, baru-
lah tubuhnya berputar meninggalkan puncak Gu-
nung Langkeng tempat ia dididik sejak berusia li-
ma tahun. Dari langkah kakinya yang gontai, jelas
pemuda itu mengalami pukulan batin atas keja-
dian tadi.
Sedangkan di tempat lain, di balik rimbu-
nan semak belukar, tampak dua sosok tubuh me-
natap gembira. Terdengar kekeh serak dan genit
dari mulut keduanya. Mereka tak bin adalah Singa
Gurun Setan dan Nyai Kalawirang yang merasa
bangga melihat keberhasilan siasatnya itu. Mereka
pun segera melesat
pergi setelah tubuh Eyang Sanca Wisesa dan
Panggali lenyap dari pandangan.
Dengan wajah harap-harap cemas, Kunca-
ra berlari-lari kecil memasuki Hutan Langkeng.
Ketika Eyang Sanca Wisesa terlihat kembali den-
gan wajah membayangkan kedukaan, pemuda itu
sudah hampir memastikan kalau rencananya ber-
hasil baik. Maka bergegas ditemuinya Nyai Kalawi-
rang.
Pemuda tampan itu sempat tertegun meli-
hat Nyai Kalawirang ternyata telah berdiri me-
nunggunya di depan pondok. Dan yang membuat
wajahnya seketika masam adalah, adanya seorang
kakek raksasa berwajah menyeramkan berdiri di
samping wanita cantik itu. Dengan dada terbakar
rasa cemburu, Kuncara menatap tajam ke arah
kakek berwajah singa itu.
"Hik hik hik..! Mengapa kau terlihat tidak
begitu gembira, Kuncara? Bukankah rencana yang
kita buat semalam sudah berhasil dengan baik?
Apa lagi yang dirisaukan?" tegur Nyai Kalawirang.
Wanita itu berpura-pura tidak mengetahui
perasaan Kuncara. Dengan langkah yang dibuat-
buat didekatinya Kuncara.
"Siapa kakek muka singa itu, Nyai? Selama
ini aku belum pernah melihatnya? Mengapa tahu-
tahu berada di tempatku ini?" bisik Kuncara tanpa
berusaha menyembunyikan perasaan cembu-
runya.
Sepasang mata pemuda itu tetap mengawasi Singa
Gurun Setan dengan sinar mata menyelidik. Se-
pertinya, Kuncara hendak menilai hubungan anta-
ra kakek itu dengan Nyai Kalawirang.
"Ah! Aku sampai lupa!" seru wanita genit
itu berpura-pura sambil menampar keningnya per-
lahan. "Dia adalah sahabat baikku yang berjuluk
Singa Gurun Setan. Perlu kau ketahui, Kuncara.
Kami adalah dua orang sahabat yang pernah dipe-
cundangi gurumu pada sepuluh tahun yang lalu.
Sekarang, kami sudah merasa cukup kuat untuk
melakukan pembalasan kepadanya. Nah kau boleh
pilih. Ikut bersamaku, atau ingin membela eyang
gurumu itu?"
Nyai Kalawirang tanpa tedeng aling-aling
lagi menekan Kuncara. Melihat dari sikap dan na-
danya berbicara, jelas wanita genit itu merasa ya-
kin kalau Kuncara akan lebih memilihnya.
Untuk beberapa saat lamanya, Kuncara
termenung. Meskipun sudah lama merasa tidak
suka kepada gurunya, namun untuk memilih ke-
dua hal tersebut, ia masih merasa ragu.
"Mengapa harus melawan guruku, Nyai?
Apakah tidak sebaiknya kalau kita pergi saja me-
ninggalkan tempat itu tanpa mengganggu beliau?
Aku akan turut ke mana kau pergi, Nyai,"
Akhirnya setelah berpikir beberapa saat
lamanya, keluar juga ucapan dari mulut Kuncara.
Tapi sayang, ucapan itu sama sekali tidak menye-
nangkan hati Nyai Kalawirang.
"Tidak bisa, Kuncara. Bila ingin ikut ber-
samaku dan tetap menjadi kekasihku, harus terle-
bih dahulu membalaskan sakit hati yang selama
ini membuatku tersiksa. Kalau tidak mau, boleh
pergi ke mana saja kau suka. Tapi ingat! Jangan
campuri dan halangi niatku ini!" ancam Nyai Ka-
lawirang mulai menunjukkan keaslian sifatnya.
"Ha ha ha...! Sebaiknya kita tak usah
membuang-buang waktu lagi, Nyai. Ini adalah saat
yang paling tepat untuk melakukan pembalasan.
Si tua bangka itu pasti sekarang tengah memikir-
kan murid kesayangannya. Kesempatan sebaik ini
tidak boleh dilewatkan begitu saja."
Singa Gurun Setan yang semenjak tadi
hanya diam membisu, mulai angkat bicara. Sete-
lah berkata demikian, kakinya melangkah mende-
kati Nyai Kalawirang.
"Hm.... Rupanya kaulah yang menghasut
Nyai Kalawirang untuk memusuhi guruku, Kakek
Jelek! Keparat, Kubunuh kau...!" bentak Kuncara
melampiaskan kemarahannya kepada Singa Gu-
run Setan.
Kemudian tubuh pemuda itu langsung me-
lesat, siap melontarkan serangan maut kepada
Singa Gurun Setan.
"Kuncara.... Tahan...!"
Melihat Kuncara telah melompat dan hen-
dak menyerang Singa Gurun Setan, Nyai Kalawi-
rang membentak dan langsung melompat meng-
hadang pemuda itu.
"Mengapa, Nyai?! Biar kubunuh orang yang
telah menghasutmu ini!" seru Kuncara dengan wa-
jah pucat.
Hati pemuda itu benar-benar telah jatuh ke
dalam perangkap cinta Nyai Kalawirang. Akibat-
nya, terpaksa Kuncara menahan serangannya dan
berdiri menatap wanita itu dengan wajah sedih.
"Kuncara! Selain kau tidak bakal menang
melawan Singa Gurun Setan, aku pun tidak akan
membiarkan perbuatanmu itu!" bentak Nyai Kala-
wirang.
Sama sekali hati wanita itu tidak tersentuh
dengan pandangan penuh kasih dari Kuncara.
"Nyai..., kau..., kau tidak mencintaiku la-
gi...?" tanya Kuncara lirih dan parau.
Dalam ucapan pemuda itu terkandung kepedihan
yang mendalam. Jelas, kalau Kuncara benar-benar
mencintai Nyai Kalawirang. Entah cinta karena
nafsu atau memang ucapan itu keluar dari hatinya
yang tulus.
"Tentu saja aku masih mencintaimu, Kun-
cara. Tapi kalau benar-benar mencintaiku, kau
harus menuruti semua kata-kata dan perintahku!
Kalau tidak, aku tidak akan sudi melihat wajahmu
lagi!" sahut Nyai Kalawirang.
Sepertinya Nyai Kalawirang masih memer-
lukan tenaga pemuda itu untuk kepentingannya.
Itulah sebabnya, ia masih berusaha membawa
Kuncara ke pihaknya. Kalau tidak, tentu pemuda
itu sudah dibunuhnya sejak tadi.
Perasaan cinta dan ingin selalu berdekatan dengan
Nyai Kalawirang, ternyata telah membutakan mata
Kuncara. Padahal, selama ini ia diasuh Eyang
Sanca Wisesa. Dan perasaan cinta itu pulalah
yang membuat Kuncara terpaksa mengikuti ke-
mauan wanita genit hamba nafsu itu.
"Baiklah, Nyai. Aku akan mematuhi segala
perintahmu, asalkan kita tetap bersama," sahut
pemuda itu mengambil keputusan.
"Nah! Begitu baru bagus...," seru Nyai Ka-
lawirang gembira.
Dan, tanpa malu-malu lagi, dipeluknya tu-
buh Kuncara erat-erat.
"Mari kita pergi...," lanjut wanita itu sambil
melangkah meninggalkan Hutan Langkeng. Kun-
cara pun melangkah di belakang Nyai Kalawirang.
Singa Gurun Setan tertawa terbahak-bahak
melihat keberhasilan Nyai Kalawirang. Tanpa ba-
nyak cakap lagi, ia pun segera mengiringi di bela-
kang kedua orang itu.
***
"Hai...! Tua bangka Sanca Wisesa! Keluar
kau...! Aku Nyai Kalawirang dan Singa Gurun Se-
tan datang menagih hutang!" terdengar seruan ke-
ras yang ditujukan kepada penghuni pondok di
tengah puncak Gunung Langkeng itu.
Nyai Kalawirang dan Singa Gurun Setan,
berdiri berdampingan dengan sikap pongah. Se-
dangkan Kuncara berdiri di belakang kedua tokoh
sesat itu dengan wajah agak pucat. Biar bagaima-
napun, pemuda itu masih merasa ragu untuk me-
nyakiti gurunya. Tapi, perasaan cintanya terhadap
Nyai Kalawirang, telah membuatnya menjadi sesat.
"Hm.... Nyai Kalawirang, Singa Gurun Se-
tan. Rupanya kalian yang datang," sambut kakek
renta yang tak lain dari Eyang Sanca Wisesa.
Namun, mata tua itu sejenak tertegun me-
lihat Kuncara di antara mereka. Sekali pandang
saja, kakek itu sadar kalau ia telah melakukan ke-
salahan besar dengan mempercayai murid yang
dididiknya sejak berusia lima tahun itu.
"Kuncara.... Kiranya apa yang dikatakan
Panggali bukan hanya fitnah belaka. Kau..., kau
telah tersesat dengan bersekutu kepada mereka.
Kembalilah, Kuncara. Jangan ikuti hawa nafsumu.
Kau akan menyesal nanti," bujuk Eyang Sanca
Wisesa dengan wajah semakin berduka.
Baru saja ia mengusir pergi Panggali, kini
muncul Kuncara murid yang tinggal satu-satunya
itu. Dan kedatangan pemuda itu sudah jelas bu-
kan dengan niat baik. Maka semakin berdukalah
hati kakek renta itu. Dan ia pun sadar kalau ke-
matiannya sudah berada di ambang pintu.
"Jangan dengarkan ocehan tua bangka
bermulut palsu itu, Kuncara. Ingatlah! Tua bangka
itu telah berlaku tidak adil. Dia lebih menyayangi
Panggali daripada dirimu. Maka, sudah sepatutnya
kakek bermulut palsu itu dibinasakan!" bujuk
Nyai Kalawirang berbisik di telinga Kuncara. Kare-
na, ia merasa khawatir kalau-kalau pendirian pe-
muda itu menjadi berubah.
Setelah berkata demikian, Nyai Kalawirang
segera melompat ke hadapan Eyang Sanca Wisesa.
Perbuatan itu diikuti Singa Gurun Setan. Kedua
tokoh sesat itu menatap penuh dendam ke arah
lawannya.
"Bersiaplah untuk menerima pembalasan
kami, Sanca Wisesa...!" bentak Nyai Kalawirang
sambil melolos sebuah cambuk berpucuk sembi-
lan.
Jtarrr! Cterrr!
Terdengar ledakan-ledakan keras ketika
Nyai Kalawirang melecutkan cambuk mata sembi-
lannya berkali-kali di udara. Tenaga yang dikerah-
kannya tidak kepalang tanggung. Memang, wanita
itu sadar betul kalau lawannya bukanlah orang
sembarangan.
Singa Gurun Setan tidak ketinggalan. Ka-
kek bertubuh raksasa dan berwajah menyeramkan
itu pun sudah pula mempersiapkan ilmu andalan-
nya yang amat mengerikan. Kuku-kuku jari tan-
gannya tampak bergetar dan mengepulkan uap ti-
pis dan berbau busuk. Menilik dari bau yang di-
timbulkannya, jelas kuku-kuku Singa Gurun Se-
tan mengandung racun jahat yang mematikan.
Itulah jurus 'Cakar Siluman Singa' yang membuat
nama kakek raksasa itu amat ditakuti dalam ka-
langan rimba persilatan.
"Hm..."
Melihat kedua orang calon lawannya sudah
mengeluarkan ilmu andalannya masing-masing,
Eyang Sanca Wisesa segera melompat ke halaman
samping pondok.
Begitu sepasang kakinya hinggap di atas
rumput tebal, sepasang tangan kakek itu langsung
berputaran hingga menimbulkan deru angin kuat
Rupanya, ia sudah pula mengeluarkan ilmu
'Pukulan Memecah Badai' yang merupakan salah
satu ilmu andalannya. Dengan ilmu itu pula, pada
sepuluh tahun yang lalu Nyai Kalawirang dan Sin-
ga Gurun Setan dapat ditundukkan.
"Majulah kalian...," tantang Eyang Sanca
Wisesa dengan suara yang mengandung perbawa
kuat.
Biarpun melihat adanya Kuncara di antara
lawannya, namun kakek itu sama sekali tidak me-
rasa gentar. Meskipun bukan tidak mungkin kalau
kedua orang itu telah mempelajari ilmunya melalui
Kuncara, tetap saja Eyang Sanca Wisesa memain-
kan ilmu andalannya itu.
"Haiiit..!"
Disertai teriakan menggeledek bagai singa
luka, tubuh Singa Gurun Setan melesat dengan
kedua cengkeraman mautnya. Sepasang cakar be-
racun itu menyambar cepat mengarah leher dan
perut Eyang Sanca Wisesa.
Bettt! Wukkk!
Cepat kakek itu menggeser tubuhnya,
menghindari cakaran maut lawan. Kemudian, di-
balasnya dengan hantaman telapak tangan kanan
yang langsung mengancam dada Singa Gurun Se-
tan.
Wuttt!
Hantaman telapak tangan Eyang Sanca Wi-
sesa berhasil dielakkan lawannya. Namun, secepat
kilat tubuh kakek itu berputar disertai sebuah
tendangan kilat yang meluncur deras ke arah dagu
Singa Gurun Setan.
Zebbb!
"Aaaihhh...!"
Bukan main terkejutnya kakek raksasa itu
melihat serangan yang cepat tak terduga. Untun-
glah ia tidak kehilangan akal. Begitu tendangan
lawan tiba, cepat tubuhnya didoyongkan ke bela-
kang dan langsung melempar tubuh melakukan
beberapa kali salto di udara. Selamatlah kakek
raksasa itu dari ancaman ilmu 'Tendangan Angin
Topan' yang digabungkan secara tak terduga den-
gan ilmu 'Pukulan Memecah Badai'. Benar-benar
hebat dan mengejutkan hasil perpaduan kedua il-
mu dahsyat yang dilakukan Eyang Sanca Wisesa.
Kakek sakti dari Gunung Langkeng yang
semula berniat mengejar lawan, cepat melompat
mundur ketika merasakan sambaran angin kuat
disertai ledakan yang mengancam dari samping.
Jtarrr! Cterrr!
Hantaman cambuk yang meledak-ledak
memekakkan telinga itu hanya mengenai angin
kosong. Karena, Eyang Sanca Wisesa telah berge-
rak cepat menjauhkan dirinya dari ancaman cam-
buk maut itu. Bahkan masih sempat melakukan
tusukan jari-jari tangan kiri yang meluncur lurus
mengancam tubuh Nyai Kalawirang.
Siuuut!
Terdengar suara mencicit tajam ketika jari-
jari tangan Eyang Sanca Wisesa menusuk cepat
bagai kilat. Nyai Kalawirang bergegas menarik
mundur kaki kanannya ke belakang. Sambil ber-
buat demikian, cambuknya dikibaskan langsung
mengancam sembilan jalan darah di tubuh lawan-
nya. Gerakan cambuk itu benar-benar membuat
Eyang Sanca Wisesa kewalahan.
Belum lagi serangan cambuk Nyai Kalawi-
rang sempat dihalaunya, tahu-tahu dari samping
sebelah kanan meluncur cengkeraman Singa Gu
run Setan. Dari angin sambarannya, dapat ditebak
kalau kakek menyeramkan itu telah mengerahkan
seluruh tenaganya.
Jtarrr! Prattt! Desss! "Aaakh...!"
Meskipun Eyang Sanca Wisesa yang dalam
keadaan terjepit itu mampu menangkis sambaran
cambuk Nyai Kalawirang, namun sebuah tendan-
gan keras telah membuat tubuh kakek renta itu
terjungkal disertai semburan darah segar dari mu-
lutnya.
Rupanya cengkeraman yang dilakukan
Singa Gurun Setan hanya merupakan tipuan se-
mata. Akibatnya, tubuh Eyang Sanca Wisesa ter-
jungkal tertendang oleh kakek raksasa yang bersa-
rang tepat di dadanya.
Sedangkan Nyai Kalawirang yang cambuk-
nya sempat ditangkis lawan, terdorong mundur
beberapa langkah ke belakang. Hal itu dikarena-
kan, tenaga dalam yang dimilikinya masih berada
di bawah tenaga dalam Eyang Sanca Wisesa. Na-
mun, wanita cantik yang genit itu memang patut
mendapat pujian. Dorongan tangkisan lawan ter-
nyata dapat dimanfaatkannya sebaik mungkin.
Pada saat tubuhnya terdorong mundur,
wanita cantik itu bergegas memutar tubuh dengan
menyilangkan kaki depan ke belakang. Dan saat
itu juga, tubuhnya yang ramping langsung melesat
disertai lecutan cambuknya.
Saat itu, Eyang Sanca Wisesa yang tengah
bergulingan tak sempat lagi untuk menghindari le-
cutan cambuk Nyai Kalawirang yang datang ber-
tubi-tubi.
Ctarrr! Jterrr!
"Aarghhh...!"
Eyang Sanca Wisesa meraung ketika ujung
cambuk yang runcing itu berkali-kali melecut tubuhnya.
Tubuh tua itu menggelepar bagai ayam dis-
embelih. Darah pun mengalir dari pakaiannya
yang telah terkoyak, akibat lecutan cambuk yang
mengandung tenaga dalam tinggi.
Belum lagi siksaan itu berakhir, sebuah
tendangan keras dari telapak kaki raksasa milik
Singa Gurun Setan, telah membuat tubuh renta
itu terlontar beberapa tombak.
Bruggg!
"Aaahhh...!"
Erang kesakitan meluncur dari mulut ka-
kek renta itu. Wajahnya berkerinyut menahan ra-
sa sakit yang diderita. Tubuh Eyang Sanca Wisesa
terkapar lemah, antara sadar dan tidak. Yang me-
nandakan kalau kakek itu masih tersadar adalah
erangan lirih yang keluar dari bibirnya.
"Hik hik hik...! Kau tidak akan kubunuh,
Tua Bangka! Kematian terlalu enak bagimu!" ejek
Nyai Kalawirang.
Wanita itu berdiri tegak di dekat tubuh lemah tak
berdaya. Kemudian wanita kejam itu menolehkan
kepalanya ke arah Kuncara yang hanya dapat
memandang dengan wajah pucat
"Kuncara...!" seru Nyai Kalawirang "Cabut
senjatamu! Kalau memang benar-benar ingin ikut
bersamaku, buntungi kedua lengan dan kaki ka-
kek ini! Biar dia tidak membahayakan kita di ke-
mudian hari."
Nyai Kalawirang sengaja menyuruh Kunca-
ra untuk melakukan perbuatan itu. Selain hal itu
dapat menunjukkan kesetiaan Kuncara, sekaligus
ingin memukul perasaan musuhnya dengan me-
nyuruh muridnya melakukan penyiksaan. Perbua-
tan itu tentu akan mendatangkan kedukaan besar
bagi Eyang Sanca Wisesa. Benar-benar keji sekali
iblis wanita berwajah cantik itu.
Sedangkan Kuncara sendiri langsung pucat
wajahnya. Pemuda itu tidak mempunyai pilihan
lagi, selain menuruti perintah Nyai Kalawirang.
Karena sudah telanjur basah, maka Kuncara ber-
niat menceburkan dirinya sekaligus. Sambil
menggigit bibirnya kuat-kuat, pemuda itu menca-
but pedang yang terselip di pinggang kanannya.
"Ampuni aku, Eyang...!" gumam pemuda
itu berbisik lirih.
Sebentar kemudian pedang itu diayunkan
untuk membabat kedua kaki Eyang Sanca Wisesa,
orang tua yang telah mendidiknya dari kecil.
Crakkk! Crakkk!
"Aaarghhh...!"
Kakek renta itu meraung setinggi langit ke-
tika sepasang kakinya tertebas putus hampir
mencapai pangkal paha. Tubuhnya bergulingan
bermandikan darah segar yang langsung menyem-
bur dari luka di kedua kakinya.
Belum lagi siksaan itu berkurang, pedang
di tangan Kuncara kembali menebas dua kali.
Crasss! Crakkk!
Raung kesakitan kembali terdengar mero-
bek angkasa. Tubuh kakek yang malang itu kem-
bali bergulingan didera sengsara. Untunglah
Eyang Sanca Wisesa telah jatuh pingsan, sehingga
rasa sakit yang meremas jantungnya tidak lagi di-
rasakan.
"Bagus, Kuncara. Ayo, kita tinggalkan tem-
pat ini. Biarkan saja tubuh tua bangka itu," perin-
tah Nyai Kalawirang sambil menarik tangan Kun-
cara dan membawanya pergi.
"Ha ha ha...! Selamat menikmati penderi-
taan, Sanca Wisesa," ledek Singa Gurun Setan
sambil melangkahkan kakinya mengikuti Nyai Kalawirang dan Kuncara yang sudah lebih dulu me-
ninggalkan tempat itu.
Tinggallah tubuh sengsara Eyang Sanca
Wisesa terkapar tak berdaya. Hanya semilir angin
puncak Gunung Langkeng saja yang masih setia
menemaninya.
***
Pemuda bertubuh tegap itu melangkah lesu
dengan wajah tertunduk. Menilik dari garis-garis
wajahnya, jelas kalau dia tengah menderita puku-
lan batin yang amat berat. Pakaian yang dikena-
kannya pun lusuh dan kumal, menandakan kalau
dia telah cukup lama tidak menggantinya.
"Ohhh..., mengapa semua itu harus kula-
kukan...? Bagaimana mungkin aku bisa terjatuh
ke dalam pelukan wanita iblis itu...?" gumam pe-
muda berwajah gagah itu penuh sesal.
Dengan wajah geram, ditendangnya sebutir
kerikil untuk melampiaskan kekesalan hatinya.
Pemuda gagah yang tak lain dari Panggali itu
menghenyakkan tubuhnya di tepi jalan, di bawah
sebatang pohon. Ditengadahkan wajahnya, men-
coba mengingat kejadian yang menimpa dirinya.
Masih terbayang jelas dalam ingatan Pang-
gali, ketika keesokan pagi setelah ia dan Kuncara
dipanggil Eyang Sanca Wisesa, ia pergi menyelidiki
ke dalam Hutan Langkeng. Tekadnya yang bulat
ingin menangkap basah Kuncara, ternyata telah
menyebabkannya terusir dari puncak Gunung
Langkeng. Memang benar, ia telah berhasil mene-
mukan wanita genit yang pernah dilihatnya ber-
sama Kuncara. Bahkan saat itu, wanita genit yang
dicurigainya tengah bersama seorang kakek rak-
sasa bermuka singa. Namun, setelah Panggali ber
tarung dan dikalahkan, ia tidak ingat apa-apa lagi.
Ia pun tidak mengerti, mengapa tahu-tahu saja
sudah berada di dalam gua bersama wanita genit
itu, saat didatangi gurunya. Apalagi saat itu, kea-
daannya benar-benar sangat memalukan.
"Ahhh..., apa sebenarnya yang terjadi den-
gan diriku...?" desah Panggali seraya menekap wa-
jahnya dengan kedua telapak tangan.
Sepertinya pemuda itu sudah tidak mem-
pedulikan lagi keadaan dirinya yang mirip seorang
gembel yang selalu mengganggu. Pikirannya ha-
nyalah, perbuatan terkutuk dan amat memalukan
itu.
"Hhh..., aku harus mencari tahu, apa yang
telah menyebabkan aku melakukan perbuatan
memalukan itu. Satu-satunya orang yang harus
kucurigai hanyalah Kuncara. Ya! Pasti dia menge-
tahui semua ini. Bahkan bukan tidak mungkin ka-
lau semua ini adalah rencana nya yang diatur ber-
sama wanita iblis itu. Hm.... Awas kau, Kuncara!
Tunggulah pembalasanku...!" geram Panggali sam-
bil mengepalkan tinjunya kuat-kuat.
Namun, semangat pemuda itu kembali lun-
tur ketika teringat wanita cantik dan kakek muka
singa yang amat lihai itu. Dugaannya kalau kedua
orang itu bersekutu dengan Kuncara membuatnya
menjadi lemas. Sebab, tidak mungkin mengalah-
kan kedua orang itu. Jangankan maju bersama-
sama, untuk mengalahkan salah satu dari mereka
saja jelas tidak mungkin Entah, bagaimana ca-
ranya ia dapat membongkar kebusukan Kuncara.
Untuk meminta bantuan gurunya, jelas tidak bisa
diharapkan.
"Ohhh..., apa yang harus kulakukan? Ke-
pada siapa aku bisa meminta bantuan? Mengha-
dapi mereka seorang diri, sama saja bunuh diri.
Ohhh..., Tuhan. Tolonglah hambamu...," desah
Panggali putus asa.
Dalam keadaan hampir putus asa itu, tiba-
tiba Panggali teringat cerita gurunya tentang to-
koh-tokoh persilatan. Wajahnya segera ditenga-
dahkan memandang hamparan langit biru. Seo-
lah-olah ia ingin mengingat semua yang pernah
diceritakan gurunya tentang pendekar-pendekar
pembela kebenaran.
"Ketahuilah, Muridku. Meskipun dalam
dunia ini banyak terdapat orang kejam berhati ib-
lis, tapi tidak sedikit pula yang berjiwa bersih. Ke-
lompok orang berjiwa bersih itu dinamakan pen-
dekar-pendekar pembela kebenaran. Dan mereka
tidak segan-segan turun tangan membela orang-
orang lemah tanpa pamrih. Untuk menjadi orang
seperti itulah kalian kudidik di tempat ini."
Panggali mengusap wajahnya perlahan ke-
tika teringat wejangan gurunya. Perlahan ia bang-
kit berdiri, dan mengayun langkah memasuki per-
batasan sebuah desa.
"Desa Teja Mukti...," bibir pemuda tegap itu
menggerimit. membaca tulisan yang terdapat pada
tiang batu di tepi jalan. "Apakah pendekar-
pendekar yang diceritakan Eyang Sanca Wisesa
ada di Desa Teja Mukti ini? Kalau ada, bagaimana
aku bisa mengetahui kalau ia seorang pendekar
yang dimaksud eyang?"
Cukup lama Panggali termenung memikirkan hal
itu. Ia yang dari kecil tidak pernah berhubungan
dengan dunia luar, tentu saja menjadi bingung.
Seperti diketahui, selama ini ia hanya tinggal di
atas puncak Gunung Langkeng. Tidak ada orang
lain yang menemaninya, selain Kuncara dan
Eyang Sanca Wisesa. Maka wajar saja kalau pe-
muda gunung itu buta akan kehidupan luar Pun
cak Gunung Langkeng. Dan ia pun tidak tahu,
siapa orang-orang yang disebut sebagai pendekar.
Karena, cerita itu hanya didengar dari mulut gu-
runya saja.
"Hm.... Orang yang kucari adalah pendekar
pemberantas kejahatan," gumam pemuda itu
sambil menjentikkan jarinya.
Senyum di wajah Panggali segera mengembang.
Sepertinya, dia telah menemukan cara untuk
mencari orang yang disebut sebagai pendekar itu.
Maka, bergegas kakinya mulai melangkah mema-
suki batas Desa Teja Mukti.
Tak berapa lama kemudian, Panggali tiba
di mulut desa. Bagaikan orang bodoh, sepasang
matanya berputar merayapi rumah-rumah di seki-
tarnya.
Sepasang mata pemuda itu bam berhenti
ketika pandangannya tertumbuk pada sebuah ke-
dai makan yang tampak ramai dikunjungi orang.
Setelah mengacak-acak rambutnya hingga wajah-
nya tampak seram, pemuda itu pun mengayun
langkahnya memasuki kedai. Dipilihnya salah sa-
tu meja yang kosong.
"Makan...!" teriak Panggali sambil mengge-
brak meja hingga menimbulkan suara berderak
rebut.
Sebelah kaki pemuda itu naik ke atas kur-
si. Sedangkan tangan kanannya berada di ping-
gang. Sikap pemuda itu sudah tak ubahnya seo-
rang jagoan pasar.
Puluhan pasang mata serentak menoleh ke
arah Panggali. Beberapa di antaranya tampak
memandang dengan sinar mata tak senang. Se-
dangkan yang bernyali kecil, langsung saja angkat
kaki meninggalkan kedai makan. Maka dalam se-
kejap saja, hiruk-pikuklah suasana di dalam kedai
makan itu.
"Hm.... Taruh kembali makanan itu. Biar
kuberi pelajaran orang yang tak tahu adat ini," ge-
ram seorang lelaki brewok bertubuh gemuk.
Sambil berkata demikian, tangannya yang
besar dan berbulu lebat itu mendorong pelayan se-
tengah baya. Sehingga, pelayan yang semula hen-
dak menyiapkan permintaan Panggali, kembali ke
tempatnya semula.
Dengan langkah lebar, lelaki gemuk berwa-
jah brewok itu menghampiri Panggali. Langkahnya
sengaja diberat-beratkan, hingga menimbulkan
suara berdebum. Hal itu dimaksudkan untuk
membuat Panggali gentar.
"Kisanak! Tidak dapatkah kau berlaku se-
dikit sopan? Sadarkah kau, kalau caramu itu bisa
menimbulkan kemarahan orang?" bentak lelaki
brewok itu yang menghentikan langkahnya bebe-
rapa tindak dari tempat Panggali.
Bentakan keras itu sama sekali tidak
membuat Panggali gentar. Dipandanginya orang
itu dari ujung kaki sampai ujung rambut. Satu pa-
tah kata pun tidak terlontar dari bibirnya sebagai
jawaban atas pertanyaan tadi. Sebaliknya, Pangga-
li malah melontarkan pertanyaan setelah selesai
mengamati orang itu.
"Apakah kau seorang pendekar...?" tanya
Panggali penuh harap.
Pertanyaan yang dianggap lucu itu tentu
saja membuat lelaki brewok dan beberapa orang
lainnya tertawa terbahak-bahak. Sehingga, Pang-
gali menjadi heran dibuatnya.
"Apakah pertanyaanku salah...?" ujar pe-
muda tegap itu mengedarkan pandangannya den-
gan wajah ketololan.
"Ha ha ha...!"
Kembali orang-orang yang masih tinggal di
dalam kedai makan itu tertawa mendengar perta-
nyaan Panggali. Bahkan beberapa orang di anta-
ranya jatuh terduduk sambil memegangi perut
yang terasa mules.
"Ha ha ha...! Kukira kau perampok kesa-
sar. Tak tahunya hanya seorang pemuda gila!" le-
dek lelaki brewok itu seraya tertawa terpingkal-
pingkal.
Ia benar-benar tidak bisa menahan ta-
wanya ketika mendengar pertanyaan yang baginya
jelas sangat lucu.
Melihat betapa semua orang yang berada di
kedai itu mentertawai pertanyaannya, keheranan
Panggali seketika berubah menjadi kemarahan.
Digebraknya meja kuat-kuat dengan wajah merah
padam.
"Bangsat! Rupanya kalian semua sengaja
hendak mengejekku! Apa dipikir aku tidak bisa
menampar mulut kalian yang kurang ajar!" bentak
Panggali, menggelegar.
Tentu saja bentakan yang didorong tenaga
dalam tinggi itu sangat mengejutkan. Tawa yang
riuh rendah langsung lenyap seketika. Bahkan be-
berapa orang di antaranya yang jelas tidak memi-
liki kepandaian silat, langsung terduduk lemas di
atas kursinya. Wajah mereka pun pucat pasi aki-
bat bentakan yang mengguncangkan jantung itu.
"Dasar orang gila! Mulutmulah yang harus
kutampar...!" seru lelaki brewok itu balas memaki
Panggali.
Seperti ingin membuktikan ucapannya, la-
ki-laki brewok itu langsung mengayun tangan me-
nampar mulut pemuda yang dianggap orang gila.
"Ha..."
Melihat datangnya tamparan yang baginya
lambat itu, Panggali hanya mengeluarkan suara
mengejek. Tamparan itu sama sekali tidak dielak-
kan. Karena sekali melihat saja, langsung dapat
dinilai kalau lelaki brewok itu hanya mengguna-
kan tenaga kasar dalam melakukan tamparan.
Plakkk!
"Aaaduhhh...!"
Lelaki gemuk brewok itu berteriak kesaki-
tan ketika tamparannya tepat menghantam pipi
Panggali. Tubuh gemuk itu kontan terjajar mun-
dur menabrak meja di belakangnya, hingga me-
nimbulkan suara hiruk-pikuk.
Orang-orang yang berada di dalam kedai
itu melongo keheranan. Jelas-jelas mereka melihat
wajah pemuda itu terkena tamparan. Tapi, men-
gapa yang terjatuh justru orang yang menampar?
Benar-benar tak masuk akal kejadian itu.
Sedangkan bagi Panggali sendiri, hal itu
bukanlah sesuatu yang aneh. Sebagai murid ke-
sayangan Eyang Sanca Wisesa, tentu saja dia telah
memiliki tenaga dalam tinggi. Dan tenaga itu dis-
alurkannya ke wajah, untuk melindungi dari tam-
paran si brewok. Tentu saja lelaki brewok yang ti-
dak memiliki tenaga dalam terjungkal dibuatnya.
"Pemuda iblis...!" desis beberapa orang
pengunjung kedai yang tidak mengerti ilmu silat.
Mereka langsung mengambil langkah seri-
bu, meninggalkan kedai itu. Sedangkan empat
orang lainnya termasuk si brewok, langsung men-
gurung Panggali dengan senjata terhunus. Menilik
gerakannya, jelas kalau mereka hanyalah memiliki
ilmu silat pasaran yang mengandalkan tenaga ka-
sar saja.
Panggali hanya bergumam menghadapi ku-
rungan empat orang kasar itu. la pun melesat ke-
luar kedai karena tidak ingin merugikan pemilik
kedai.
"Bangsat! Mau lari ke mana kau, Pemuda
Gila...!" teriak lelaki brewok itu sambil melompat
mengejar.
Perbuatan lelaki brewok itu diikuti ketiga
orang kawannya. Mereka kembali langsung men-
gurung Panggali di depan kedai. Pemuda itu me-
mang sengaja menunggu pengeroyoknya. Dan ba-
ginya, memang lebih baik bertarung di luar kedai
agar orang yang menyaksikannya lebih banyak.
Tentu saja dengan harapan, agar ada pendekar
yang ikut melihat perbuatannya.
"Serbu....!" seru laki-laki brewok itu sambil
melompat maju disertai ayunan senjatanya.
Panggali berdiri tenang menghadapi empat
batang golok yang mengancamnya. Begitu seran-
gan tiba, tubuh pemuda itu menyelinap di antara
sinar golok pengeroyoknya. Gerakan itu dibarengi
kibasan tangan yang hampir tidak terlihat mata.
Wuttt! Wuttt!
Plakkk! Plakkk! Plakkk!
Sekali bergerak saja, empat orang pengeroyok
langsung jatuh berdebuk di atas tanah. Senjata-
senjata mereka terpental entah ke mana. Terden-
gar rintih kesakitan dari mulut keempat orang ka-
sar itu. Karena, masing-masing telah terkena tam-
paran tangan Panggali yang cukup untuk meng-
hentikan keroyokan.
Pemuda gagah bertubuh tegap itu berdiri
memandangi tubuh keempat pengeroyoknya. Pada
wajahnya tampak jelas kekecewaan melihat penge-
royoknya dapat dirobohkan hanya sekali gebrak
saja. Dan hal ini justru membuat Panggali kecewa.
Lamunan pemuda itu mendadak buyar ke-
tika terdengar bentakan keras mengandung tenaga
dalam.
"Manusia keparat dari mana yang berani
mengacau desa ini...!" bentak suara berat itu.
Sebentar kemudian, berkelebat dua sosok
tubuh ke tengah bekas arena pertarungan.
Panggali cepat menolehkan kepala dengan
senyum lebar menghias wajah. Sebab dari benta-
kan itu, jelas terkandung tenaga dalam tinggi.
Bayangan tentang pendekar rimba persilatan pun
melintas di benaknya.
"Hm.... Kedua orang itu pasti yang dinama-
kan pendekar," gumamnya penuh harap.
Dan tanpa membuang-buang waktu lagi,
Panggali pun memutar tubuhnya langsung me-
langkah mendekati kedua orang yang baru tiba.
Kedua orang yang baru tiba itu langsung
menghunus senjata begitu melihat Panggali me-
langkah mendekati. Melihat dari pakaian dan
rambut pemuda itu, mereka menduga kalau Pang-
gali adalah orang gila.
"Aha.... Kalian pasti pendekar-pendekar
rimba persilatan. Ayo, majulah. Serang aku...,"
tantang Panggali, persis seperti orang kurang wa-
ras.
"Kurang ajar! Dasar orang gila! Ayo kita
tangkap dia, Kakang Jumena...," ujar laki-laki
berkepala botak yang memiliki tubuh kekar bero-
tot.
Setelah berkata demikian, laki-laki besar itu lang-
sung melesat sambil menyabetkan pedang dengan
gerakan menyilang.
Lelaki tinggi kurus yang dipanggil Jumena
itu segera melesat menyusuli kawannya. Pedang di
tangannya berputar membentuk gulungan sinar
menyilaukan mata. Sepintas saja, dapat ditebak
kalau orang yang bernama Jumena itu memiliki
kepandaian yang lebih tinggi dari kawannya. Hal
itu dapat dilihat dari caranya memainkan senjata.
"Hiaaattt..!"
Wuttt! Bettt!
"Bagus...!" puji Panggali gembira sambil
menggeser kaki kanannya ke samping dengan ku-
da-kuda rendah.
Sambil mengelak sepasang tangannya
langsung melontarkan dua buah pukulan ke arah
perut dan dada kedua orang pengeroyoknya.
Zebbb! Wukkk!
Serangan balasan yang cepat dan kuat itu
tentu saja membuat kedua orang lawan terkejut.
Cepat keduanya memutar tubuh, membentuk
lingkaran. Itu dilakukan untuk menghindari an-
caman pukulan Panggali. Bahkan mereka lang-
sung melancarkan serangan balasan yang cukup
berbahaya.
"Ah.... Bagus...!" lagi-lagi terdengar pujian
dari mulut Panggali.
Sambaran senjata lawan yang mengancam
leher dan lambung, dielakkan pemuda itu dengan
menarik mundur kaki depan sambil mendoyong-
kan tubuh ke belakang. Gerakan yang dilakukan
Panggali tidak berhenti sampai di situ saja. Pemu-
da bertubuh tegap itu langsung membalas dengan
pukulan dan tendangan cepat dan mengejutkan.
Namun, kekompakan gerak kedua orang
lawannya itu memang benar-benar hebat. Sehing-
ga, Panggali semakin gembira dibuatnya.
Pertarungan yang cukup seru dan ramai
itu tentu saja menarik perhatian penduduk Desa
Teja Mukti. Sehingga setelah pertarungan berlang-
sung selama dua puluh jurus, tempat itu sudah
dipadati penduduk setempat.
"Dalam beberapa jurus lagi, kedua orang
pembantu kepala desa itu pasti akan kalah, Kakang...," bisik seorang dara jelita berpakaian hijau.
Gadis itu berdiri di antara kerumunan
penduduk di samping seorang pemuda tampan
yang mengenakan jubah putih. Melihat dari sikap
dan caranya menilai, jelas kalau dara jelita itu
memiliki kepandaian silat yang cukup tinggi.
"Ya! Kerjasama kedua orang itu memang
cukup baik. Tapi sayang, pemuda yang dikira
orang gila itu memiliki kepandaian di atas mereka.
Bahkan sepertinya tidak bersungguh-sungguh da-
lam menghadapi keroyokan lawannya. Entah apa
maksudnya membuat kekacauan desa ini?" sahut
pemuda tampan itu yang juga berbisik. Sedangkan
sepasang matanya yang tajam, tetap tidak beralih
dari arena pertarungan.
"Hiaaat..!"
Ketika pertarungan telah memasuki jurus
yang kedua puluh lima, tiba-tiba saja Panggali
berseru nyaring mengejutkan kedua orang penge-
royoknya. Berbarengan teriakan itu, tiba-tiba saja
gerakannya dirubah.
Wuttt! Wukkk!
Apa yang dilakukan Panggali benar-benar
mengejutkan. Sepasang tangannya mengibas ke
kiri-kanan, menimbulkan sambaran angin kuat.
Rupanya, pemuda tegap itu telah mengeluarkan
salah satu ilmu andalannya, 'Pukulan Memecah
Badai'.
Bukan hanya kedua orang pengeroyok itu
saja yang menjadi terkejut melihat perubahan ge-
rak lawan. Bahkan dara jelita berpakaian hijau
dan pemuda tampan berjubah putih itu juga me-
mandang kagum.
"Lihat! Pemuda itu mulai mengeluarkan il-
mu andalannya...," bisik pemuda berjubah putih,
persis di telinga dara jelita yang berdiri di samping
kirinya.
"Apa tidak membahayakan kedua orang
pembantu kepala desa itu, Kakang...?" tanya dara
berpakaian serba hijau itu terlihat agak camas.
"Lihat saja...," sahut pemuda berjubah pu-
tih itu sambil tetap mengikuti jalannya pertarun-
gan.
Saat itu, Jumena dan orang berkepala bo-
tak tampak sudah semakin terdesak hebat. Seran-
gan-serangan Panggali yang menimbulkan samba-
ran angin kuat benar-benar membuat mereka tak
berkutik. Sehingga, mereka hanya dapat bermain
mundur tanpa mampu melancarkan serangan ba-
lasan.
"Hihhh...!"
Sambil membentak, Panggali mendorong-
kan kedua telapak tangannya ke depan. Serangan
angin kuat menyambar kedua orang pengeroyok
yang hanya bisa memandang dengan wajah pucat.
Wusss!
Namun tanpa ada yang menyadari, tiba-
tiba berkelebat sebuah bayangan putih yang lang-
sung memapak serangan Panggali.
Bresss!
Terdengar benturan keras yang membuat
udara di sekitar tempat itu bergetar keras. Bahkan
disusul dengan terlemparnya tubuh Panggali se-
jauh dua batang tombak ke belakang.
Namun, kelincahan pemuda bertubuh te-
gap itu memang patut dipuji. Dengan beberapa
kali putaran manis, daya lontar itu berhasil dipu-
nahkan. Sehingga, Panggali dapat mendarat manis
di tanah. Meskipun ketika menyentuh tanah gera-
kannya limbung, tapi perbuatan pemuda itu telah
membuat para penduduk terpukau kagum.
Sementara, di tengah arena pertarungan
telah berdiri gagah sesosok tubuh berjubah putih.
Sedangkan Jumena dan lelaki kekar berkepala bo-
tak yang mengeroyok Panggali masih berdiri pucat
di belakang sosok tubuh itu.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Kisa-
nak," lirih dan agak bergetar ucapan lelaki tinggi
kurus yang bernama Jumena itu. Karena, saat itu
hatinya masih diliputi ketegangan.
Sedangkan sosok berjubah putih itu men-
gangguk ramah sambil memamerkan senyum lem-
but.
***
DELAPAN
"Siapa kau, Kisanak..? Tenaga dalammu
hebat sekali...," seru Panggali merasa terkejut bu-
kan main merasakan kekuatan tenaga dalam pe-
muda berjubah putih itu.
"Namaku, Panji. Orang-orang rimba persi-
latan menjulukiku sebagai Pendekar Naga Putih.
Kalau boleh kutahu, siapakah namamu dan men-
gapa kau seperti sengaja mencari keributan?" sa-
hut Panji yang balik melontarkan pertanyaan. Na-
da suara pemuda itu sama sekali tidak mengan-
dung permusuhan. Bahkan terkesan bersahabat.
"Pendekar Naga Putih... Pendekar Naga Pu-
tih...," gumam Panggali mencoba mengingat-ingat.
Jelas, sepertinya ia pernah mendengar julukan itu
sebelumnya.
Pemuda tampan berjubah putih yang me-
mang Pendekar Naga Putih itu memandang Pang-
gali dengan kening berkerut. Tadi julukannya sen-
gaja diperkenalkan, sebab sempat didengar tadi
kalau pemuda bertubuh tegap itu seperti sengaja
hendak mencari orang yang menggunakan julukan
pendekar. Maka, dirinya diperkenalkan untuk me-
lihat tanggapan pemuda gagah itu.
"Ahhh..., aku ingat sekarang. Guru pernah
bercerita tentang seorang pendekar muda yang te-
lah
mengguncangkan dunia persilatan pada masa ini.
Dan pendekar muda itu berjuluk Pendekar Naga
Putih, Kaukah pendekar muda itu, Kisanak..?"
tanya Panggali dengan suara penuh harap. Bah-
kan tatapan sepasang matanya pun jelas meng-
gambarkan harapan.
"Seingatku, julukan Pendekar Naga Putih
adalah pemberian orang-orang rimba persilatan.
Sedangkan tentang terguncangnya dunia persila-
tan karena kehadiranku, sama sekali tidak kuke-
tahui. Jadi, maaf kalau aku tidak bisa menjawab
pertanyaan itu," sahut Panji, seolah-olah merasa
menyesal karena tidak bisa memberi jawaban yang
memuaskan.
"Aku tidak peduli semua itu. Yang kubu-
tuhkan adalah seorang pendekar sakti. Karena,
aku sangat membutuhkan bantuannya. Kulihat
kepandaianmu tadi sangat hebat. Tapi, aku belum
begitu yakin kalau belum mencoba secara sung-
guh-sungguh. Sekarang bersiaplah! Jaga dirimu
baik-baik kalau tidak ingin celaka atau tewas ka-
renanya," tegas Panggali tanpa senyum.
Dan begitu ucapan pemuda itu selesai, ke-
dua telapak kakinya bergeser membentuk kuda-
kuda seperti menunggang kuda. Gerakan itu diba-
rengi putaran sepasang tangannya kemudian ber-
gerak turun naik seiring langkah kakinya.
Bettt! Bettt!
Panji sempat tertegun melihat akibat yang
ditimbulkan gerakan lawan. Hembusan angin ke
ras yang menerpa tubuhnya, membuat pemuda
tampan ini sadar akan bahayanya serangan itu.
"Kisanak! Jangan gegabah! Perbuatanmu
ini sangat berbahaya...!" seru Panji mengingatkan.
Tapi karena Pendekar Naga Putih melihat
pemuda itu seperti tak peduli, maka napasnya
disedot dalam-dalam. Dikerahkannya 'Tenaga Sak-
ti Gerhana Bulan' untuk menghadapi gempuran
yang sudah pasti sangat dahsyat itu.
Wusss!
Hawa dingin menusuk tulang langsung
menyebar berbarengan dengan terbentuknya lapi-
san kabut putih bersinar yang menyelimuti selu-
ruh tubuh pemuda tampan itu.
"Sambutlah pukulanku! Hiaaattt..!"
Diawali teriakan mengguntur, tubuh Pang-
gali langsung melesat disertai dorongan kedua te-
lapak tangannya dalam jurus 'Pukulan Memecah
Badai' yang konon kedahsyatannya tidak diragu-
kan.
Sadar betapa berbahayanya serangan la-
wan, maka tubuh Panji pun segera melesat me-
mapak dengan dorongan sepasang telapak tangan.
"Hiattt..!"
Blarrr...!
Ledakan keras terdengar menggetarkan
udara di sekitar arena pertarungan, disusul ber-
pentalnya tubuh Panggali diiringi suara jerit ken-
geriannya.
Brugkh!
Kembali suara berdebuk keras terdengar
ketika tubuh Panggali terbanting ke atas tanah.
Pemuda bertubuh tegap itu menggigil bagaikan
terserang demam hebat. Bahkan di sekeliling tu-
buhnya, muncul kabut putih yang menandakan
kalau 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' telah merasuk
ke dalam tubuhnya.
Sedangkan Panji sendiri, tetap tak bergem-
ing di tempatnya. Walaupun tenaga dalamnya ti-
dak dikerahkan sampai ke puncak, namun sudah
cukup untuk menghadapi gempuran Panggali. Hal
itu tentu saja sudah diketahuinya sejak semula.
Entah apa yang akan dialami Panggali apabila
Pendekar Naga Putih mengerahkan tenaga sepe-
nuhnya.
Melihat keadaan lawan, Panji pun bergegas
menghampiri. Pemuda itu membungkukkan tu-
buh, memeriksa tubuh Panggali. Menilik dari wa-
jah Pendekar Naga Putih yang tenang setelah me-
meriksa tubuh lawannya, dapat ditebak kalau
nyawa pemuda itu masih bisa diselamatkan.
Panji menjejalkan sebutir obat pulung ber-
warna merah setelah memijat dan menghapus da-
rah di sudut bibir pemuda itu. Semua perbuatan-
nya dilakukan cepat dan penuh ketelitian.
Tak berapa lama kemudian, terlihat Pang-
gali mulai membuka kedua kelopak matanya. Se-
nyumnya langsung mengembang begitu melihat
wajah Panji di dekatnya.
"Jelas, kaulah orang yang kucari-cari, Pen-
dekar Naga Putih. Marilah kita segera pergi ke
Gunung Langkeng. Di sanalah kepandaianmu di-
butuhkan," ajak Panggali begitu sadar dari ping-
sannya.
"Sabarlah, Kisanak. Pulihkan dulu keseha-
tanmu. Setelah itu, barulah kita bicarakan masa-
lah yang tengah kau hadapi itu," sergah Panji.
Bibir Pendekar Naga Putih tersenyum melihat se-
mangat dan ketabahan pemuda gagah itu. Lalu,
Panji bangkit dan melangkah mendekati Kenanga
yang tengah menantinya.
Setelah Panggali menyelesaikan semadi
dan menceritakan persoalannya, maka Panji dan
Kenanga mengikuti pemuda gagah itu. Tujuan me-
reka adalah Gunung Langkeng, tempat kediaman
Eyang Sanca Wisesa.
***
"Tolong.... Tolong...!"
Seorang gadis manis bertubuh ramping
dan berpakaian awut-awutan berlari cepat sambil
berteriak-teriak. Tidak dipedulikan lagi telapak
kakinya yang telanjang sehingga menginjak duri
tajam. Wajahnya yang bulat telur itu, tampak pu-
cat dan basah oleh air mata.
"He he he...! Mau lari ke mana kau, Manis.
Percuma saja berteriak-teriak. Tempat ini sangat
jauh dari perumahan penduduk," ujar seorang
pemuda tampan bertelanjang dada yang menge-
jarnya sambil tertawa gembira.
Gadis manis itu terus saja berlari tanpa
mempedulikan arah. Yang terpikir hanyalah mela-
rikan diri sejauh-jauhnya untuk menghindari pe-
muda tampan di belakangnya. Pakaian yang dike-
nakannya pun sudah semakin tak karuan. Banyak
sobekan di sana-sini akibat tersangkut ranting-
ranting pohon.
Sedangkan pemuda tampan yang menge-
jarnya seperti sengaja mempermainkan gadis itu.
Padahal kalau dilihat dari caranya berlari, jelas
kepandaian silatnya tidak rendah. Sekilas saja,
sudah dapat ditebak kalau pemuda itu tidak ber-
sungguh-sungguh dalam melakukan pengejaran.
Sehingga, pemuda itu tak ubahnya bagai seekor
harimau yang mempermainkan buruannya.
Tengah asyiknya pemuda tampan itu mela-
kukan pengejaran sambil tertawa-tawa gembira,
tiba-tiba saja berkelebat sesosok bayangan yang
langsung menyambar tubuh gadis itu.
Weeesss.... Tappp!
"Auw…!"
Terdengar pekik tertahan dari gadis manis
itu ketika merasakan tubuhnya ditangkap dan
langsung dibawa terbang. Sekejap kemudian, so-
sok bayangan itu pun lenyap bersama gadis dalam
pondongannya. Keduanya menghilang begitu saja,
di balik semak belukar yang tumbuh rapat.
Bukan main terkejutnya pemuda tampan
itu ketika melihat buruannya lenyap disambar so-
sok tubuh yang memiliki gerakan cepat bagai kilat,
sambil bertolak pinggang, pemuda itu berdiri ang-
kuh merayapi sekitarnya.
"Hei! Manusia pengecut! Tunjukkan dirimu
kalau benar-benar jantan! Jangan bisanya hanya
main sembunyi seperti maling!" bentak pemuda
tampan itu mengerahkan tenaga dalam. Sehingga,
gema suaranya terdengar jauh hingga belasan
tombak
"Hm.... Siapa yang pengecut, Kuncara? Dan
siapa pula maling itu?" terdengar ejekan yang be-
rasal dari belakang pemuda tampan bernama
Kuncara itu.
Pemuda tampan bertelanjang baju itu me-
mang Kuncara. Rupanya, nafsu iblis yang dibang-
kitkan Nyai Kalawirang sudah semakin menggila.
Sehingga, pemuda itu mulai tidak puas hanya
dengan menggauli Nyai Kalawirang. Maka diculik-
nya gadis-gadis desa untuk dijadikan pemuas naf-
su iblisnya.
"Oh! Rupanya kau, Panggali. Sedang apa
kau di sini, Murid Murtad?" ejek Kuncara.
Sama sekali dia tidak merasa gentar meli-
hat kedatangan Panggali. Sebab, ia yakin dengan
kepandaian yang dimilikinya sekarang. Jadi jelas,
Panggali dengan mudah akan dapat ditundukkan-
nya. Itulah sebabnya, mengapa sikapnya demikian
sombong.
"Setan! Kaulah murid murtad yang durha-
ka itu, Kuncara. Kau bukan saja telah memfitnah-
ku dengan menggunakan Nyai Kalawirang! Tapi
yang lebih keji lagi, kau tega menyiksa guru hanya
karena tubuh molek wanita iblis itu! Kau benar-
benar manusia iblis! Sepantasnya, kau tidak hi-
dup bersama manusia! Lebih tepat kau bersama-
sama iblis-iblis Hutan Langkeng!" bentak Panggali.
Pemuda itu rupanya sudah mengunjungi
Gunung Langkeng dan menemukan tubuh sengsa-
ra gurunya. Dan memang, Eyang Sanca Wisesa
masih bisa diselamatkan karena Panggali, Pende-
kar Naga Putih, dan Kenanga cepat datang. Kemu-
dian Panji mengobatinya, agar darah yang keluar
dari tubuh tua itu berhenti. Dan ketika Eyang
Sanca Wisesa sadar, ia menyuruh Panggali untuk
mencari Kuncara, saudara seperguruannya yang
murtad itu.
Kuncara sempat bergetar hatinya ketika
mendengar ucapan Panggali. Jelas, saudara seper-
guruannya itu telah kembali ke puncak dan me-
nemukan tubuh gurunya yang telah cacat. Kunca-
ra pun sadar, kalau Eyang Wisesalah yang telah
menyuruh pemuda itu untuk mencarinya. Namun,
semua perasaan itu kembali ditekannya. Dan si-
kapnya pun kembali sombong.
"Hm.... Rupanya kau sampai pula ke tem-
pat ini, Murid Emas?" kembali Kuncara mengejek
disertai senyum liciknya.
"Setelah beberapa hari mengikuti jejakmu,
aku singgah di desa yang kehilangan gadis-gadis
dan pemuda-pemuda tampan. Sungguh tak ku
sangka kalau itu semua adalah hasil perbuatan
biadabmu, Kuncara. Kau benar-benar telah beru-
bah menjadi iblis! Tak ada lagi hukuman yang le-
bih tepat untukmu, selain kematian!" bentak
Panggali.
Semula Panggali hanya menduga bahwa
Kuncara hanya terbujuk rayuan Nyai Kalawirang
saja. Tapi setelah melihat dengan mata kepala
sendiri, Panggali benar-benar tidak mengerti. Men-
gapa Kuncara telah berubah sedemikian jauhnya.
Sedikit pun tidak terlihat bekas-bekas hasil didi-
kan Eyang Sanca Wisesa.
"Tidak usah berpura-pura suci, Panggali.
Bukankah kau juga pernah menikmati kehanga-
tan tubuh Nyai Kalawirang? Dan kalau sekarang
ingin menikmati gadis manis milikku itu, tidak
usah malu-malu. Ambillah. Aku masih bisa men-
cari yang lain," kata Kuncara mencoba mengin-
gatkan tentang perbuatan Panggali dengan Nyai
Kalawirang.
"Dasar manusia kotor! Jangan dikira aku
tidak tahu, mengapa aku sampai berbuat begitu.
Semua itu adalah hasil permainan sihir Singa Gu-
run Setan. Guru telah memberitahukan kepadaku.
Jadi jelas, perbuatanku itu sama sekali bukan ka-
rena kemauanku sendiri. Dan guru pun telah me-
nyadari kekeliruannya," sahut Panggali.
Rupanya pemuda itu telah mendapat pen-
jelasan dari Eyang Sanca Wisesa. Itu semua diceri-
takan gurunya setelah sembuh berkat perawatan
Pendekar Naga Putih yang datang bersamanya.
"Jadi, apa maumu sekarang?" tantang
Kuncara dengan lagak sangat sombong.
"Menghukum mu! Aku akan membawamu
hidup atau mati ke hadapan Eyang Sanca Wisesa!
Bersiaplah...!" geram Panggali.
Pemuda itu segera mencabut keluar pe-
dang yang terselip di pinggangnya. Sengaja senja-
tanya digunakan, karena Kuncara telah benar-
benar lihai.
"Hm.... Pantas nyalimu menjadi besar. Ru-
panya kau membawa teman," ejek Kuncara begitu
melihat tiga sosok tubuh di belakang Panggali. Sa-
lah satu di antaranya adalah gadis buruannya ta-
di. Sepasang mata pemuda itu pun sempat menyi-
pit ketika melihat seraut wajah yang amat jelita di
antara ketiga orang itu.
"Ha ha ha.... Ada apa ribut-ribut, Kuncara?
Hei? Rupanya kita kedatangan daging-daging se-
gar hari ini."
Tiba-tiba saja terdengar suara serak yang meng-
gema. Belum lagi gema suara serak itu hilang, ter-
dengar suara berdebum mengiringi kemunculan
seorang kakek raksasa bermuka singa. Siapa lagi
kalau bukan
Singa Gurun Setan si pemakan daging manusia.
Rupanya, penciumannya yang sudah seperti bina-
tang buas itu telah membaui daging-daging segar.
Sehingga, ia pun mendatangi sumber bau itu.
"Hik hik hik... Jangan serakah, Kakek Ra-
kus! Ingat! Dua orang anak tampan itu harus me-
nemaniku dulu sebelum dimasukkan ke dalam pe-
rut buncitmu," ujar suara merdu sosok tubuh
ramping yang menyusuli kedatangan kakek raksa-
sa itu.
Begitu tiba, sepasang mata wanita cantik
berhati iblis itu merayapi wajah Panji yang berada
di belakang Panggali. Jelas, Nyai Kalawirang mera-
sa tertarik dengan pemuda tampan berjubah putih
itu.
"Pendekar Naga Putih.... Merekalah de-
dengkot yang menyebabkan semua kejadian di
perguruanku. Keduanya memiliki kepandaian
sangat tinggi. Kuharap berhati-hatilah untuk
menghadapinya," seru Panggali.
Pemuda itu sengaja mengeraskan suaranya ketika
memanggil Pendekar Naga Putih. Hal itu dimak-
sudkan untuk membuat gentar hati kedua orang
tokoh sesat itu.
Setelah berkata demikian, Panggali kembali
menoleh ke arah Kuncara. Pedang terhunus di
tangannya sudah berputar membentuk gulungan
sinar yang membungkus tubuhnya.
"Mari kita selesaikan urusan kita, Kunca-
ra...!" dengus Panggali.
Pemuda itu segera bergerak mendekati
saudara seperguruannya yang murtad. Dan tanpa
basa-basi lagi dia langsung melompat menerjang
Kuncara.
"Hiaaattt..!"
Wukkk! Wukkk!
Melihat Panggali sudah mulai membuka
serangan, maka Kuncara pun tidak tinggal diam.
Tubuhnya melesat memapak serangan lawan. Se-
hingga dalam waktu yang singkat saja, keduanya
sudah terlibat sebuah pertarungan hidup atau ma-
ti.
***
Sementara itu, Singa Gurun Setan dan
Nyai Kalawirang tengah menatap tajam ke arah
Panji. Dipandanginya pemuda tampan berjubah
putih itu dari atas ke bawah.
"Anak muda! Benarkah kau yang berjuluk
Pendekar Naga Putih," tanya Singa Gurun Setan
seperti tak percaya.
Meskipun kakek bertubuh raksasa itu te
lah lama mendengar sepak terjang Pendekar Naga
Putih, namun sama sekali tidak menyangka kalau
orangnya ternyata masih demikian muda. Tentu
saja hal itu menimbulkan rasa ragu di hatinya.
"Benar! Akulah yang berjuluk Pendekar
Naga Putih. Apakah penampilanku mengecewa-
kanmu?" tanya Panji seraya tersenyum tenang.
Kemudian, pemuda itu melangkah maju se-
telah terlebih dahulu membisikkan sesuatu ke te-
linga kekasihnya.
"Awasi pertarungan itu. Kulihat, kepan-
daian Panggali masih di bawah kepandaian Kun-
cara," bisik Panji sebagai isyarat agar kekasihnya
bersiap-siap turun tangan apabila Panggali terde-
sak.
Panji menghentikan langkahnya dalam ja-
rak satu setengah tombak dari kedua orang tokoh
sesat itu. Sikapnya terlihat tetap tenang, dengan
wajah terhias senyum.
"Tidak perlu banyak cakap lagi, Singa Gu-
run Setan. Melihat dari sikapnya yang tenang, je-
las pemuda ini berisi. Kita harus menyingkirkan-
nya sebelum membuat susah," ujar Nyai Kalawi-
rang yang mulai percaya akan ucapan Panggali
tentang Pendekar Naga Putih.
"Benar! Tidak peduli siapa pun dirimu,
Anak Muda. Yang jelas, hari ini kau akan menjadi
santapanku!" ancam Singa Gurun Setan mengge-
ram bagai seekor singa jantan.
Sepasang tangan kakek bertubuh raksasa
itu terkembang membentuk cakar. Dan itu pun
masih dibarengi tatapan matanya yang mengan-
dung kekuatan sihir.
Jangan dipandang rendah tatapan sepa-
sang mata kakek raksasa itu. Akibatnya, lawan
yang tidak terlatih kuat tenaga dalamnya akan
terpaku hanya karena pandangan tajam menusuk
jantung itu.
Tapi, yang kali ini dihadapi Singa Gurun
Setan adalah Pendekar Naga Putih. Dan pemuda
itu telah sangat berpengalaman dalam menghada-
pi berbagai jenis ilmu sihir. Sekali pandang saja,
Panji langsung dapat menilai kalau kepandaian
sihir yang dimiliki lawannya ini terhitung masih
rendah tingkatannya. Sehingga untuk menghada-
pinya, ia tidak perlu menggunakan Pedang Naga
Langit yang tergantung di punggung.
"Heeeaaa...!"
Dibarengi bentakan menggeledek, Singa
Gurun Setan mulai membuka serangan. Tubuh-
nya yang tinggi besar itu meluruk disertai samba-
ran kuku-kukunya yang mengandung racun ga-
nas.
Melihat lawan sudah mulai menyerang,
Panji bergegas mengerahkan tenaga dalamnya. Se-
lapis kabut bersinar putih keperakan mulai me-
nyebar mengelilingi tubuhnya. Munculnya lapisan
kabut yang melindungi sekujur tubuh Panji, ter-
nyata disertai tiupan hawa dingin menusuk tu-
lang.
Bukan main terperanjatnya Nyai Kalawi-
rang menyaksikan lapisan kabut dan hawa dingin
menusuk itu. Sadar kalau pemuda yang menjadi
lawannya memang benar-benar Pendekar Naga
Putih, maka wanita itu pun segera melesat mem-
bantu kawannya.
"Haittt..!"
Sambil melompat, wanita cantik berhati ib-
lis itu langsung mengeluarkan senjata ampuhnya.
Cambuk mata sembilan di tangannya meluncur
mematuk-matuk ke sembilan jalan darah kema-
tian di tubuh lawannya. Benar-benar sebuah serangan keji yang berbahaya.
Tapi, Pendekar Naga Putih pun sudah tidak
akan bersikap lunak lagi. Setelah mendengar se-
pak terjang kedua orang itu dari Panggali, Panji
berniat melenyapkan kedua tokoh sesat kawakan
yang sudah tidak mungkin disadarkan kembali.
Terbukti, perbuatan balas dendam mereka terha-
dap Eyang Sanca Wisesa yang di luar batas peri-
kemanusiaan. Padahal kakek itu pernah mengam-
puni mereka dengan harapan agar dapat sadar.
Tapi kenyataannya, mereka semakin ganas dan
brutal. Maka, Panji pun tidak mempunyai pilihan
lagi selain melenyapkan mereka.
Itulah sebabnya, mengapa begitu memapak
serangan kedua orang lawannya, Pendekar Naga
Putih langsung mengeluarkan 'Ilmu Silat Naga
Sakti'nya. Padahal, biasanya ilmu andalan itu
hanya digunakan apabila sudah sangat terdesak.
Tak lain, karena ingin mempersingkat pertarun-
gan, Panji langsung mengerahkannya.
Tentu saja gempuran yang dilakukan pemuda itu
hebat bukan kepalang. Sambaran-sambaran cakar
naganya yang diiringi hawa dingin menusuk,
membuat kedua orang lawannya bagaikan dikeli-
lingi benteng salju. Apalagi serangan-serangan
yang dilancarkan mereka, selalu saja terpental ba-
lik akibat lapisan kabut yang mengelilingi tubuh
pemuda berjubah putih itu. Dapat dibayangkan,
betapa terkejutnya hati kedua tokoh sesat itu me-
lihat kehebatan lawannya kali ini.
"Yeaaattt..!"
Memasuki jurus yang keempat puluh, Sin-
ga Gurun Setan yang merasa penasaran tiba-tiba
memekik nyaring. Sepasang tangannya yang besar
dan berbulu lebat itu menyambar cepat menim-
bulkan deru angin keras.
Wuttt! Wukkk!
Sepasang cakar beracun kakek raksasa itu
meluncur deras mengancam dada dan lambung
Pendekar Naga Putih. Melihat kecepatan dan ke-
kuatannya, jelas kalau Singa Gurun Setan telah
mengeluarkan segenap tenaga dalamnya. Tentu
saja serangan itu tidak bisa dibuat main-main.
Belum lagi sambaran maut itu tiba, Nyai
Kalawirang membarenginya dengan lecutan cam-
buk mata sembilan yang meledak-ledak menulikan
telinga. Kesembilan mata cambuk wanita genit itu
langsung meluncur ke titik-titik terlemah di tubuh
Pendekar Naga Putih. Sungguh berbahaya kea-
daan pemuda itu.
Namun Pendekar Naga Putih yang seka-
rang, bukanlah pendekar hijau. Puluhan pengala-
man bertarung yang pernah dihadapinya, telah
membuat perhitungan pemuda itu semakin masak
dan teliti.
Maka ketika serangan dari berbagai arah
itu datang mengancam tubuhnya, Pendekar Naga
Putih segera menarik rapat kedua telapak kakinya
dan merendahkan tubuh dengan menekuk lutut.
Sepasang tangannya yang semula merangkap di
depan dada, di-sentakkan ke kiri kanan disertai
luncuran tubuhnya.
"Heaaat...!"
Hebat sekali jurus 'Naga Sakti Naik ke Lan-
git' yang dipancarkan Pendekar Naga Putih. Se-
rangkum hawa dingin yang amat kuat bergelom-
bang mengiringi luncuran tubuhnya.
Bresss...!
"Aaakh...!"
Terdengar jerit kesakitan yang disusul ter-
pentalnya tubuh kedua orang lawannya. Hanta-
man sepasang tangan Pendekar Naga Putih yang
mengibas, ternyata mampu membuat mereka tak
sanggup bertahan. Memang hebat jurus yang dike-
rahkan Pendekar Naga Putih. Sehingga, tubuh ke-
dua orang lawannya bagaikan selembar daun ker-
ing yang diterbangkan angin.
Tubuh Singa Gurun Setan terbanting ja-
tuh, menimbulkan suara berdebuk keras. Sedang-
kan Nyai Kalawirang masih dapat menyelamatkan
dirinya dengan berputaran beberapa kali di udara.
Itu disebabkan, wanita cantik itu menggunakan
senjata. Sehingga, tangannya tidak langsung ber-
sentuhan dengan lengan Pendekar Naga Putih.
Maka, akibatnya pun tidak terlalu parah.
Lain halnya dengan Singa Gurun Setan.
Karena menyerang dengan menggunakan cakar,
maka akibat yang dideritanya lebih parah daripada
Nyai Kalawirang. Sehingga, keseimbangan tubuh-
nya tidak dapat dipertahankan lagi.
Tapi, Pendekar Naga Putih rupanya tidak
ingin bertindak kepalang tanggung. Singa Gurun
Setan yang baru saja berdiri tegak itu, kembali di-
terjangnya dengan dua kali sambaran cakarnya.
Bukan main terkejutnya hati kakek bertu-
buh raksasa. Wajahnya yang menyeramkan lang-
sung pucat begitu melihat bahaya maut yang da-
tang mengancam. Meskipun telah berusaha men-
gelak, namun sepasang tangan Pendekar Naga Pu-
tih yang bagai ular hidup itu tetap saja menghajar
telak tubuhnya.
Brettt! Brettt!
"Aaarghhh...!"
Raungan panjang menggema bagai hendak
mengguncangkan hutan, disusul melintirnya tu-
buh raksasa itu. Seketika semburan darah segar
keluar dari mulutnya. Bahkan juga terdapat luka
menganga di tubuhnya. Bumi bagaikan berguncang ketika tubuh raksasa itu ambruk dengan ku-
lit tubuh membiru. Singa Gurun Setan langsung
tewas dalam keadaan beku.
Nyai Kalawirang menjerit bagai binatang
luka. Kematian kawan dan juga kekasihnya itu,
membuatnya nekat membokong Panji dengan le-
cutan cambuk.
Ctar.... Jtarrr!
Cambuk mata sembilan di tangan Nyai Ka-
lawirang meledak-ledak dahsyat menimbulkan
gumpalan-gumpalan asap hitam. Kesembilan
ujung cambuk itu meluncur deras mengancam ba-
gian belakang tubuh Pendekar Naga Putih.
Pendekar Naga Putih pun bukan tidak tahu
akan datangnya ancaman maut itu. Namun begitu
lecutan ujung-ujung cambuk itu siap merejam tu-
buhnya, tahu-tahu saja tubuhnya melenting tinggi
melewati ujung-ujung cambuk lawan.
"Heyattt..!"
Dibarengi pekik yang menggetarkan jan-
tung, tubuh Panji berputar di udara. Pendekar Na-
ga Putih langsung meluncur deras, sambil menge-
rahkan jurus 'Naga Sakti Meluruk ke Dalam Bu-
mi'.
Dapat dibayangkan, betapa ngeri hati Nyai
Kaliwirang ketika melihat tubuh lawan meluncur
datang disertai hawa dingin yang membekukan
urat-urat tubuhnya. Akibatnya, wanita cantik
yang selama hidupnya tidak mengenal arti kata
takut itu menjadi pucat wajahnya. Saat itu, bukan
lagi tubuh Pendekar Naga putih yang dilihatnya.
Melainkan Malaikat Pencabut Nyawa yang tengah
menghampirinya. Maka....
Breshhh!
"Wuaaa...!"
Nyai Kalawirang menjerit setinggi langit ke
tika sepasang telapak tangan Pendekar Naga Putih
telak menghantam punggungnya. Tubuh molek itu
terlempar deras bagai selembar daun kering.
"Hegkhhh...!"
Begitu terbanting di atas tanah berumput,
tubuh wanita cantik yang semasa hidupnya sangat
menggairahkan itu berkelojotan bagai ayam dis-
embelih. Sesaat kemudian, Nyai Kalawirang pun
tewas dalam keadaan tubuh yang dingin dan be-
ku.
"Hhh..."
Panji menarik napas melihat mayat kedua
orang lawannya itu. Terselip sedikit rasa sesal di
hatinya, karena terpaksa harus membunuh kedua
orang lawannya. Namun, kekejaman kedua orang
tokoh sesat itu memang sudah melewati takaran.
Tak lama kemudian, pemuda itu pun melangkah-
kan kakinya meninggalkan mayat kedua orang la-
wannya.
Sementara itu, pertarungan yang berlang-
sung di tempat lain, sudah pula mencapai pun-
caknya.
"Haaattt..!"
Kuncara yang sudah semakin mendesak
lawan, tiba-tiba berseru nyaring sambil melompat
tinggi. Kedua kakinya bergerak cepat melakukan
serangkaian tendangan lewat jurus 'Tendangan
Angin Topan' yang telah dipadukan dengan gera-
kan aneh.
Desss! Buggg! Diggg!
"Aaakhhh...!"
Tiga kali tendangan yang dilakukan Kunca-
ra telak menghantam dada dan perut Panggali.
Tubuh pemuda tegap itu kontan terjengkang keras
ke belakang.
Untunglah pada saat Kuncara ingin me
nyusuli serangannya, sesosok bayangan hijau ber-
kelebat cepat memapak. Sehingga, tendangan yang
dimaksudkan untuk menghabisi nyawa Panggali
bertumbukkan dengan sepasang lengan berjari-
jari lentik.
Plakkk!
"Uhhh...!"
Tubuh keduanya yang tengah melambung
di udara itu langsung terpental balik. Namun,
masing-masing ternyata mampu mengimbangi
daya lontarnya. Sehingga, dengan beberapa kali
putaran di udara satu sama lain dapat mendarat
selamat.
Sosok berpakaian hijau yang tak lain dari
Kenanga menahan langkahnya ketika sebuah te-
pukan halus menyentuh bahu kanan. Wanita jelita
itu menarik napas lega ketika melihat orang yang
menepuk bahunya.
"Kakang...," desah dara jelita itu tersenyum
manis ketika melihat kekasihnya selamat.
Pemuda yang tak lain Panji itu mengang-
guk sebagai isyarat agar Kenanga mundur. Sebab
sekali lihat saja, Pendekar Naga Putih dapat meni-
lai kepandaian Kuncara.
"Kuncara, sadarlah. Kembalilah kepada gu-
rumu. Tinggalkan semua kesesatan yang selama
ini kau lakukan. Aku yakin, gurumu pasti akan
memberi pengampunan," bujuk Panji mencoba
menyadarkan Kuncara dari kesesatannya.
"Huh! Apakah kau kira setelah mampu
mengalahkan kedua orang bodoh itu dirimu kau
anggap paling hebat! Hm.... Jangan mimpi, Kisa-
nak! Meskipun kau memiliki delapan tangan, na-
mun aku tidak akan gentar! Aku siap mengadu
nyawa denganmu!" bentak Kuncara dengan wajah
merah padam.
Setelah berkata demikian, pemuda itu me-
lipat kedua tangannya di depan dada. Dihem-
buskannya napas perlahan-lahan sambil mengge-
rakkan kedua tangan ke arah berlawanan. Jelas,
pemuda itu tidak berhasil dibujuk Panji.
"Sadarlah, Kuncara. Percuma kau...."
"Jangan banyak bacot! Sambutlah puku-
lanku...! Yeaattt..!"
Sambil berteriak memotong ucapan Panji,
Kuncara langsung melompat disertai pukulan-
pukulan maut yang berbahaya.
Bettt! Bettt!
Merasa percuma mengajak Kuncara kem-
bali ke jalan yang benar, Pendekar Naga Putih ti-
dak lagi banyak cakap. Cepat-cepat tubuhnya ber-
geser ke belakang menghindari ancaman pukulan
Kuncara yang bertubi-tubi. Sampai lima jurus pe-
muda itu menyerang, Panji belum juga melancar-
kan serangan balasan. Sepertinya, ia masih me-
nunggu kesempatan baik untuk menyerang.
"Yeaaa...!"
Bagaikan orang kemasukan setan, Kuncara
terus saja mengumbar pukulan-pukulan yang dis-
elingi tendangan maut. Namun, sampai sejauh itu,
Panji tetap saja mengelak sambil sesekali menang-
kis jika terpaksa.
Pada saat pertarungan memasuki jurus ke-
tiga puluh dua, Panji yang melihat adanya kesem-
patan baik langsung mengirim tendangan maut ke
perut Kuncara.
Zebbb!
Ternyata Kuncara cukup awas. Tendangan
lawan dapat dielakkan dengan memiringkan tubuh
ke samping kanan. Tapi sayang, kegesitan Kunca-
ra masih belum dapat mengimbangi Pendekar Na-
ga Putih. Tahu-tahu saja, tebasan telapak tangan
miring pemuda itu telah singgah di punggung
Kuncara.
Desss!
"Higkhhh...!"
Hantaman telak itu kontan membuat tu-
buh Kuncara terhuyung beberapa langkah ke be-
lakang. Tapi sebelum pemuda itu sempat mem-
perbaiki kuda-kudanya, kembali sebuah tamparan
telak telah membuatnya tersungkur ke atas tanah.
Brukkk!
Kuncara menggeliat menahan rasa sakit
pada dadanya. Hantaman telapak tangan Pende-
kar Naga Putih terasa bagaikan merontokkan isi
dadanya. Sehingga, untuk beberapa saat lamanya,
Kuncara hanya dapat mengerang sambil mengge-
liat-geliat menahan rasa sakit dan nyeri yang me-
nusuk-nusuk dadanya.
"Sadarlah, Kuncara. Petualanganmu sudah
berakhir. Kau masih sangat muda. Dan masih ba-
nyak yang dapat dilakukan untuk menebus kesa-
lahanmu itu," Pendekar Naga Putih yang telah be-
rada di dekat tubuh Kuncara kembali mencoba
membujuknya.
"Orang sepertinya tidak seharusnya dibiar-
kan hidup!" tiba-tiba saja terdengar teriakan ma-
rah dari arah belakang Pendekar Naga Putih.
Tapi pada saat Pendekar Naga Putih meno-
lehkan kepalanya, tahu-tahu saja Panggali berke-
lebat sambil mengayunkan pedangnya.
"Yeaaa..!"
Crakkk...!
Seketika itu juga, kepala Kuncara mengge-
linding terpisah dari tubuhnya. Panggali berdiri te-
gak dengan pedang yang masih berlumuran darah
segar.
"Semoga Tuhan mengampuni kesalahan
kesalahanmu, Kuncara," gumam Panggali, serak.
Sebab, biar bagaimanapun Kuncara adalah
saudara seperguruannya yang hidup bersamanya
sejak kecil. Sebenci-bencinya terhadap Kuncara,
tapi ketika melihat mayat saudara seperguruannya
itu, hatinya tersentuh juga.
"Sudahlah, Panggali. Lebih baik kuburkan
mayat-mayat ini. Setelah itu, kembalilah ke pun-
cak Gunung Langkeng. Kasihan gurumu yang ca-
cat itu. Kau harus menemaninya," hibur Panji
sambil menepuk perlahan bahu Panggali.
Tanpa banyak cakap lagi, Panggali dan
Pendekar Naga Putih segera menguburkan ketiga
mayat lawan-lawannya. Panggali masih sempat
termenung sejenak di samping makam Kuncara
yang masih basah.
Tak berapa lama kemudian, Panggali bang-
kit dan mendekati Pendekar Naga Putih yang saat
itu sudah bersama Kenanga dan gadis desa yang
hampir menjadi korban kebiadaban Kuncara.
"Panggali. Antarkanlah gadis itu kembali ke
desanya. Aku pergi dulu...," pamit Pendekar Naga
Putih.
Sebelum Panggali sempat mengucapkan
rasa terima kasihnya, tiba-tiba bayangan kedua
orang pendekar itu sudah lenyap ditelan kereman-
gan hutan.
"Mari kuantarkan pulang, Nisanak. Di ma-
nakah desa tempat tinggalmu?" tanya Panggali
menatap wajah manis di depannya.
Ada getar aneh menyelinap di relung hati
pemuda itu ketika melihat wajah gadis di depan-
nya.
"Tidak ada gunanya kembali ke desa kela-
hiranku. Semua keluargaku sudah dibunuh orang
yang bernama Kuncara itu. Kalau Kakang Panggali
tidak keberatan, biarlah aku ikut bersamamu,"
pinta gadis desa yang manis itu, polos.
"Tapi, aku hanya orang gunung. Lagi pula,
di sana sangat sepi. Kau pasti tidak akan betah."
Meskipun bibirnya berkata demikian, na-
mun hati kecil Panggali ingin mendengar gadis
manis itu bersikeras ikut dengannya. Ditunggunya
jawaban yang keluar dari bibir merah basah itu
dengan hati berdebar tegang.
"Biarlah! Asalkan, Kakang tidak kebera-
tan," sahut gadis itu tersipu malu.
Merasa yakin kalau gadis itu memiliki pe-
rasaan yang sama dengannya, maka Panggali
mengulur tangan menggandeng bahu tubuh ramp-
ing di sampingnya. Hatinya berdebar gembira keti-
ka tidak merasakan adanya penolakan.
Senja pun jatuh, meneduhi hati kedua in-
san yang kini sudah saling cinta itu.
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar