..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Senin, 10 Februari 2025

PENDEKAR NAGA PUTIH EPISODE DEWA TANGAN API

matjenuh

 


DEWA TANGAN API 

penerbit buku silat bermutu 
DEWA TANGAN API 
Oleh T. Hidayat 
Cefakan pertama 
Penerbit Cintamedia, Jakarta 
Penyunting : Puji S. 
Gambar sampul oleh Soeryadi 
Hak cipta pada Penerbit 
Dilarang mengcopy atau memperbanyak 
sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa 
izin tertulis dari penerbit 
T. Hidayat 
Serial Pendekar Naga Putih 
dalam episode: 
Dewa Tangan Apit 
128 hal : 12 x 18 cm

SATU

"He he he...! Akan lari ke mana kau, Setan Cilik...?!" 
Terdengar teriakan bernada meremehkan yang diiringi 
tawa terkekeh nyaring. 
Sosok tubuh berperut buncit yang mengeluarkan 
suara itu berlari cepat mendaki lereng Gunung Bulang-
kang. Langkah kakinya terlihat demikian ringan dan 
gesit. Sungguh tak cocok dengan bentuk tubuhnya yang 
pendek gemuk. Belum lagi, perutnya yang bagaikan 
wanita hamil. Tapi, semua itu ternyata sama sekali tidak 
menghambat gerakannya. Dari sini saja sudah dapat 
dinilai kalau kepandaian orang itu cukup tinggi. 
Sedangkan sosok tubuh lain yang dikejar memiliki 
perawakan tegap dan gagah. Dia terus saja berlari tanpa 
mempedulikan ejekan pengejarnya. Kelihatannya, usia 
orang itu paling jauh sekitar dua puluh tahun. Namun, 
kepandaian ilmu larinya ternyata lumayan juga. Sehing-
ga, jarak di antara mereka tidak berubah. 
Lelaki berperut buncit yang berusia sekitar lima puluh 
tahun itu seperti memang sengaja tidak sungguh-sung-
guh mengejar. Dia sudah memperhitungkan kalau orang 
yang dikejar tidak akan tolos dari tangannya. Itulah se-
babnya, mengapa ia tidak berusaha memperpendek jarak 
di antara mereka. 
Dan, apa yang diperhitungkan lelaki gendut itu 
ternyata memang tidak meleset. Pemuda berwajah keras 
yang memiliki sepasang mata licik itu terlihat bingung 
ketika telah tiba di atas puncak Gunung Bulangkang. Dia 
kemudian menghentikan larinya. Dan memang, yang 
dilewatinya kini adalah jalan satu-satunya untuk menuju 
puncak gunung. Sedangkan di kiri kanannya terdapat

tebing-tebing curam yang tertutup semak belukar. Rasa-
nya, tebing itu siap menelan mentah-mentah tubuhnya. 
"Gila! Rasanya aku memang harus mati di tangan iblis 
gendut itu!" Umpatnya dengan wajah pucat. Tubuhnya 
hanya terpaku, menanti kedatangan orang yang menge-
jarnya. 
"He he he...! Sudah kukatakan, kau tidak akan 
mungkin lolos dari tanganku, Setan Cilik! Nah, bukan-
kah ucapanku sekarang terbukti?" Ejek lelaki setengah 
baya berperut buncit itu tertawa penuh kemenangan 
ketika telah dekat dengan pemuda itu. Kaki-kakinya yang 
pendek kini hanya melangkah perlahan-lahan semakin 
mendekati pemuda itu. 
"Ha... Dedemit Bukit Saji! Jangan dikira aku akan me-
nyerah begitu saja! Meskipun aku bukan tandinganmu, 
tapi jangan harap untuk bisa menangkapku!" geram 
pemuda itu. 
Kaki kanan pemuda itu bergeser ke belakang dan 
langsung merendahkan tubuh. Sedangkan tangan kanan-
nya dengan telapak terbuka melindungi ubun-ubun ke-
pala. Sementara tangan kirinya yang mengepal menjulur 
ke depan. Jelas kalau pemuda itu tidak sudi menyerah 
begitu saja kepada laki-laki gendut yang dipanggil Dede-
mit Bukit Saji itu. 
"Hei?! Kau masih belum menyerah juga rupanya?" 
ejek Dedemit Bukit Saji. Langkah kakinya pun berhenti 
ketika melihat buruannya telah bersiap menghadapi per-
tarungan mati-matian. 
Dengan langkah pendek-pendek, Dedemit Bukit Saji 
mengintari pemuda itu disertai kekehnya yang berkepan-
jangan. Sepasang matanya yang bulat dan tajam meneliti 
bentuk kuda-kuda yang dipergunakan pemuda itu. Jelas 
kalau lelaki gendut itu sangat memandang rendah lawan-
nya. 
"Hmh...!"

Disertai geraman kasar, mendadak tubuh Dedemit 
Bukit Saji berbalik dan membentuk kuda-kuda dengan 
telapak kaki depan tergantung di atas tanah. 
Melihat lawannya sudah bersiap bertarung, pemuda 
itu kembali bergerak. Sepasang tangannya berputar seje-
nak disertai geseran kakinya, namun tetap dalam bentuk 
kuda-kuda kokoh. 
"Hiyaaat..!" 
Dibarengi teriakan nyaring, tubuh pemuda itu lang-
sung melesat ke arah lawannya. Sepasang tangannya ber-
gerak susul-menyusul dalam bentuk pukulan dan tusu-
kan jari-jari tangan. Sekali serang saja, la telah melon-
tarkan serangkaian pukulan yang menimbulkan samba-
ran angin tajam. 
Wuttt! Wuttt! 
Heberapa buah kepalan dan tusukan jari-jari pemuda 
itu meluruk di sekitar tubuh Dedemit Bukit Saji. Tapi 
dengan gerakan cepat, lelaki gendut itu dapat menghin-
darinya. Bahkan dua buah pukulan yang mengarah ke 
dada dan leher berhasil dipapaknya. 
Plakkk! Plakkk! 
"Uuugh...!" 
Lelaki muda itu mengeluh pendek ketika dua buah 
pukulannya terasa bagai membentur besi panas. Kuda-
kudanya tergempur mundur, akibat tangkisan lawan yang 
mengandung tenaga dalam tinggi. Mulut pemuda itu kon-
tan menyeringai. Jelas, rasa sakit akibat benturan dengan 
lawan telah mendera tangannya. 
"Heaaah...!" 
Sambil membentak kesal, pemuda itu menjejakkan 
kaki ke tanah kuat-kuat untuk mematahkan daya dorong 
tangkisan lawan. Sepasang tangannya bergerak cepat 
agar keseimbangannya terjaga, sekaligus menyalurkan 
tenaga dalam untuk menghilangkan rasa linu pada tulang 
lengannya.

"Happp...!" 
Saat itu Dedemit Bukit Saji sudah melompat dan lang-
sung mengirimkan pukulan lurus ke dada lawan. Sedang-
kan tangan kirinya berada di sisi telinga, siap melontar-
kan tamparan. 
Melihat serangan yang mengincar dadanya datang, 
pemuda itu memutar tubuh dengan menggunakan gera-
kan pinggang. Seketika kaki kirinya juga terangkat naik 
melakukan tendangan lurus ke perut Iawan. Benar-benar 
sebuah serangan yang patut dipuji. Karena itu dilakukan 
sekaligus untuk menghindari pukulan Dedemit Bukit 
Saji. 
Namun, gerakan yang dilakukan Dedemit Bukit Saji 
pun tidak kalah hebatnya. Kaki kirinya segera melangkah 
kedepan membentuk kuda-kuda silang. Gerakan itu di-
barengi putaran tubuhnya ke samping. Lalu, tangan kiri 
yang semula berada di dekat telinga bergerak turun, 
untuk menghantam tulang kering Iawannya. Tidak ber-
henti sampai di situ saja. Dedemit Bukit Saji yang habis 
menangkis kembali menggerakkan tangannya menghan-
tam dada lawan dengan menggunakan punggung tangan. 
Desss! Buggg! 
"Hugkh...!" 
Tanpa dapat dicegah lagi, tangkisan dan hantaman 
punggung tangan Dedemit Bukit Saji telak menemui 
sasaran. Tubuh pemuda itu langsung tersentak kuat ke 
belakang. Darah segar langsung menyembur membasahi 
tanah berumput di sekitar tempat itu. 
Tubuh pemuda itu terbanting keras di atas permu-
kaan tanah. Untuk sesaat lamanya dia hanya terduduk 
sambil terbatuk-batuk. Rupanya hantaman punggung 
tangan Dedemit Bukit Saji bukan sebuah pukulan ringan. 
Buktinya, akibat yang dirasakan pemuda itu ternyata 
cukup parah.

"He he he...! Kematian sudah berada di ambang pintu. 
Lekaslah berlutut dan memohon ampun kepadaku. 
Mungkin saja aku akan berbaik hati dengan memukul 
pecah kepalamu. Sebuah kematian yang enak dan tidak 
menyakitkan, bukan?" ejek Dedemit Bukit Saji sambil 
melangkah lebar mendekati tubuh lawan yang masih ter-
duduk lesu. 
"Phuih...!" 
Dengan sikap kasar, pemuda itu meludah ke atas 
tanah. Saat itu juga, la langsung bergerak bangkit dengan 
wajah geram. 
Hilang sudah kesabaran Dedemit Bukit Saji begitu 
melihat sikap keras kepala lawannya. Tangannya lang-
sung bergerak cepat bagai kilat ke arah kepala pemuda 
itu. 
Wuuuttt! 
Plakkk! Plakkk! 
"Aaakh...!" 
Dua kali tamparan keras telak menghajar kepala 
pemuda itu. Tubuhnya kontan terpelanting ke atas tanah 
berumput. Dari mulut dan hidungnya tampak mengalir 
darah segar. Untunglah tamparan itu tidak sampai mem-
bunuhnya, sehingga sampai saat ini dia masih bisa ber-
napas. 
"Bunuh saja aku, Iblis Gendut! Jangan dikira aku 
takut menghadapi kematian!" Teriak pemuda itu dengan 
wajah bersimbah darah. Ditentangnya pandangan mata 
Dedemit Bukit Saji tanpa rasa gentar sedikit pun. 
Namun, tiba-tiba saja Dedemit Bukit Saji menenga-
dahkan kepala memandang langit. Sepasang matanya 
yang bulat itu tampak menyipit. Sepertinya dia tengah 
menajamkan telinganya untuk memastikan sesuatu yang 
didengarnya secara samar-samar. Dan sesaat kemudian, 
senyum liciknya pun mengembang.

"Baiklah! Kalau memang itu sudah menjadi kemau-
anmu, bersiaplah untuk segera kukirim ke neraka..!" Ujar 
lelaki berperut buncit itu dengan suara agak keras. Dia 
sengaja berbuat demikian, sepertinya untuk memancing 
sesuatu yang tengah diduganya. 
"Lakukanlah! Jangan hanya mulutmu saja yang be-
sar!" Tantang pemuda itu, siap menghadapi maut yang 
akan menjemput. 
"Bangsat..!" sambil memaki marah, Dedemit Bukit Saji 
melompat diiringi kibasan tangan. Dari angin pukulan-
nya, bisa diduga kalau serangan itu mengandung tenaga 
dalam tinggi. 
Wuttt! 
Serangkum angin tajam berhembus mengiringi tela-
pak tangan Dedemit Bukit Saji. Tamparan itu meluncur 
deras mengancam kepala pemuda itu. Dapat dipastikan, 
kalau kepala orang itu akan pecah! 
Namun pada saat yang amat menentukan bagi nasib 
pemuda gagah itu, tiba-tiba saja sesosok bayangan hitam 
berkelebat cepat bagai kilat. Tangannya Iangsung terulur 
disertai bentakannya yang menggetarkan isi dada. 
Wuttt! 
Tiupan angin keras yang tidak kalah kuatnya dengan 
tamparan Dedemit Bukit Saji, menyambar cepat dan 
menggetarkan. Maka.... 
“Harm" 
Hebat bukan main akibat pertemuan dua gelombang 
tenaga sakti yang sama-sama mengandung tenaga dalam 
tinggi itu. Ledakan keras terdengar menggelegar bagaikan 
sambaran petir di angkasa. 
"Akh...!" 
Keluhan pendek terdengar dari mulut lelaki berperut 
buncit yang tubuhnya terlempar tanpa dapat dicegah lagi. 
Brakkk...!

Sebatang pohon besar yang berada di belakangnya, 
berderak ribut ketika tubuh gendut yang masih terlindu-
ngi hawa sakti itu menghantamnya. Pohon itu langsung 
tumbang diiringi suara bergemuruh. 
"Gila...! Setan dari mana yang berani main-main 
dengan Dedemit Bukit Saji?!" Umpat lelaki setengah baya 
bertubuh gendut itu marah 
Dengan tertatih-tatih, Dedemit Bukit Saji langsung 
bangkit meski dengan langkah agak limbung. Di sudut 
bibirnya terlihat cairan merah yang mengalir turun. 
Sedangkan kedua tangannya menekap dada yang terasa 
sesak dan panas membakar. 
Cepat tokoh sesat itu menghirup udara banyak dan 
mengerahkan hawa murni untuk memulihkan kekuatan-
nya. Tak berapa lama kemudian, gerakan-gerakan ta-
ngannya berhenti, lalu kepalanya menoleh ke arah tempat 
pemuda buruannya tadi berada. 
*** 
Sementara itu, sosok tubuh tinggi kurus yang menge-
nakan jubah hitam telah berdiri tegak didepan pemuda 
itu. Setelah melepaskan pandangan sejehak ke arah 
Dedemit Bukit Saji yang tengah sibuk mengobati lukanya, 
sosok berjubah hitam itu pun berbalik dan merunduk. 
Tangan kanannya yang berjari-jari kurus terulur hendak 
memeriksa luka si pemuda. 
Namun, begitu tubuh tinggi kurus yang ternyata 
orang kakek itu semakin membungkuk, tiba-tiba saja 
pemuda yang hendak ditolongnya malah melontarkan 
sesuatu dari tangan. 
Kakek tinggi kurus yang sama sekali tidak me-
nyangka kalau orang yang ditolongnya akan berbuat 
demikian, tentu saja menjadi terkejut setengah mati! Tapi 
karena jarak di antara keduanya terlampau dekat, maka

tidak mungkin lagi baginya untuk bisa mengelak. Akhir-
nya kakek itu mengibaskan lengan yang terulur untuk 
menghalau benda halus yang belum diketahuinya itu. 
Wusss! 
Crab! Crab! 
"Aaah...!" 
Malang! Karena jaraknya terlampau dekat, maka per-
buatan kakek itu pun tidak seluruhnya berhasil. Bebe-
rapa benda halus yang seperti jarum langsung mengenai 
tubuhnya. Akibatnya, dia terjajar mundur sejauh bebe-
rapa langkah. 
Sedangkan pemuda yang semula terduduk lemah itu 
telah menggulingkan tubuhnya, menjauhi kakek 
Wusss! Crab! Crab! 
"Aaah...!" Kakek tinggi kurus yang tadinya bermak-
sud menolong pemuda ltu tidak bisa mengelak lagi. Sebab 
dia tidak menyangka sama sekali kalau pemuda itu akan 
melepaskan jarum-jarum rahasianya!

tinggi kurus yang jelas sangat lihai. Kemudian, tubuh-
nya langsung melenting bangkit dengan gerak sangat 
cekatan. Entah apa yang menyebabkan pemuda itu sam-
pai tega menyerang penolongnya. 
"He he he...! Bagus, Palawa! Ternyata pengorbanan 
kita tidak sia-sia...!" Terdengar gelak tawa penuh kemena-
ngan dari Dedemit Bukit Saji. Tokoh sesat itu terus saja 
terbahak-bahak sambil tersenyum dan mengangguk-ang-
guk puas. 
"Ha ha ha...! Jadi, sandiwara yang aku perankan tadi 
sudah bagus, Guru?" Tanya pemuda yang dipanggil Pala-
wa juga tertawa-tawa penuh kepuasan. 
Sementara itu, kakek tinggi kurus yang ternyata 
berjuluk Dewa Tangan Api terduduk lemah dengan wajah 
pucat Jelas kalau jarum-jarum halus yang menancap di 
tubuhnya mengandung racun ganas. 
"Hm.... Dedemit Bukit Saji. Lagi-lagi kau datang 
mengganggu ketenanganku, dengan cara menjebak. Kau 
masih tetap belum berubah. Bahkan sekarang kau bawa 
anak muda itu untuk mengikuti kesesatanmu. Apa yang 
kau kehendaki dariku kali ini, Dedemit Bukit Saji...?" 
Tanya kakek berusia sekitar tujuh puluh tahun, dengan 
napas tersengal. 
Wajah tua yang semakin pucat itu terlihat dibasahi 
peluh. Dari mimik wajahnya yang bergetar, jelas kalau ia 
tengah berusaha menahan rasa sakit yang diderita. 
"Ha... Jangan berpura-pura bodoh, Tua Bangka! 
Seperti pada lima tahun yang lalu, kedatanganku kemari 
masih dengan maksud yang sama. Aku menginginkan 
Kitab Telapak Darah yang kau ciptakan. Cepat, katakan 
di mana kitab itu?!" bentak Dedemit Bukit Saji. 
Laki-laki berperut buncit itu kemudian melangkah 
lebar mendekati kakek itu. Dari sikapnya yang tanpa 
curiga, sudah dapat ditebak kalau ia tahu akan keadaan

Dewa Tangan Api, sehingga kelihatan tidak perlu khawa-
tir. 
"Hhh.... Sudah beberapa kali kukatakan, Kitab Tela-
pak Darah itu telah kumusnahkan. Karena kusadari 
kalau ilmu ciptaanku itu sangat berbahaya dan dapat 
membawa kesesatan bagi siapa saja yang mempelajari-
nya. Jangan desak aku, Dedemit Bukit Saji. Percuma! 
Kau tidak akan mendapatkannya dariku...," sahut Dewa 
Tangan Api. 
Napas kakek itu tampak semakin memburu. Selebar 
wajahnya telah berubah kemerahan. Sepertinya, racun 
akibat jarum yang dilemparkan Palawa semakin menun-
jukkan pengaruhnya. 
"He he he...! Kau tidak tahu, racun apa yang sekarang 
mengeram dalam tubuhmu, Peot! Tak satu obatpun yang 
dapat menyembuhkanmu. Ia akan terus menyiksa selama 
satu tahun. Dan setelah lewat dari waktu itu, kau akan 
mati secara perlahan-lahan dengan daging terkelupas 
sedikit demi sedikit. Bahkan semua persendianmu akan 
terlepas satu persatu. Nah! Dapat kau bayangkan, betapa 
menyedihkan akhir hidupmu, Dewa Tangan Api...," kata 
Dedemit Bukit Saji sambil tertawa terbahak-bahak me-
lihat wajah kakek itu menjadi semakin pucat ketika men-
dengar keterangannya. 
"Jadi..., maksudmu racun ini..., racun... racun.... 
Aaah...!" 
Dedemit Bukit Saji tak sanggup lagi untuk menerus-
kan ucapannya. Wajahnya nampak sangat cemas ketika 
mulai dapat menduga tentang racun yang mengeram 
dalam tubuhnya. 
"Benar! Racun itu berasal dari laba-laba biru dan 
kumbang merah, yang telah berusia puluhan tahun. Aku 
berhasil menemukannya di gua tempat kediaman men-
diang guruku. Sayang, beliau keburu meninggal sebelum 
menciptakan obat penawarnya. Dan kau pasti pernah

dengar tentang kehebatan racun itu, bukan? Nah! Seka-
rang kau boleh menikmatinya seumur hidupmu," jelas 
Dedemit Bukit Saji sambil tersenyum penuh kemenangan. 
Kemudian, laki-laki gendut itu membalikkan tubuh-
nya dan berpaling kepada Palawa, anak muda yang ter-
nyata adalah murid tunggalnya. 
"Mart kita pergi, Palawa. Meskipun Kitab Telapak Da-
rah telah dimusnahkan, aku yakin kakek peot itu masih 
menyimpan salinannya. Ayo kita cari!" ujar Dedemit Bukit 
Saji mengajak muridnya untuk memeriksa tempat kedia-
man Dewa Tangan Api. 
"Dedemit Bukit Saji...! Kau benar-benar manusia Iblis 
yang melebihi segala macam lblis! Kau..., kau..., Iiladab...! 
Ohhh...." 
Setelah memaki-maki dengan suara serak dan terpu-
tus-putus, Dewa Tangan Api roboh tak sanggup menahan 
derita yang menyiksa. Rasa panas, dan gatal yang amat 
hebat, akhirnya membuat tokoh tua itu jatuh tak sadar-
kan diri. 
Sedangkan Dedemit Bukit Saji dan Palawa menerus-
kan langkah menuju pondok tempat kediaman Dewa 
Tangan Api. Tak sedikit pun rasa iba di hati mereka 
terhadap kakek renta itu. Tak dipedulikan lagi teriakan-
teriakan dan makian yang dilontarkan kakek itu kepada 
mereka. Sepertinya, hati kedua orang itu memang telah 
mati karena nafsu dan keserakahan.

DUA

Matahari sudah berada tepat di atas kepala ketika De-
demit Bukit Saji dan Palawa memasuki pondok kediaman 
Dewa Tangan Api. Begitu berada di dalam, seluruh isi 
pondok langsung diobrak-abrik. Sebentar saja, seluruh 
ruangan pondok itu sudah mirip kapal pecah. 
"Bedebah! Di mana si peot itu menyembunyikan Kitab 
Telapak Darahnya? Rasanya tidak mungkin kalau di-
musnahkan begitu saja! Pasti kitab itu disembunyikan di 
suatu tempat," umpat Dedemit Bukit Saji. 
Seluruh ruangan telah habis diperiksanya. Namun, 
kitab yang dicari belum juga dapat diketemukan. Tentu 
eaja hatinya menjadi berang. 
"Tapi, apa tidak mungkin kalau Dewa Tangan Api me-
mang benar-benar sudah memusnahkannya, Guru? Dan, 
menurut cerita Guru sendiri, ilmu ciptaan Dewa Tangan 
Api itu sangat berbahaya. Bahkan bisa melumpuhkan 
syaraf-syaraf penting di kepala orang yang tidak kuat 
menerimanya. Jadi mungkin saja kakek itu benar-benar 
telah memusnahkannya," sergah Palawa mengemukakan 
pendapatnya. 
"Hm.... Jangan bodoh, Palawa. Sekarang, coba pikir-
lah dengan otakmu yang jernih! Si tua peot itu telah 
menghabiskan waktu selama kurang lebih lima tahun, 
untuk menciptakan ilmu 'Telapak Darah'. Nah! Apakah 
setelah berhasil menciptakan, lalu sudi memusnahkan-
nya begitu saja? Bukankah itu perbuatan bodoh nama-
nya?" Sentak Dedemit Bukit Saji dengan suara agak 
keras. 
Sepertinya, kejengkelan hatinya ingin dilepaskan me-
lalui ucapan-ucapannya. Dan kebetulan hanya Palawalah

yang berada bersamanya. Maka sudah tentu kejengkelan 
hatinya itu ditumpahkan kepada muridnya. 
"Kalau begitu, ia pasti mempunyai tempat lain untuk 
menyembunyikan kitab itu. Apakah di sekitar tempat ini 
ada gua atau semacam itu, Guru?" Tanya Palawa yang 
tiba-tiba saja mengeluarkan pendapatnya. 
"Ahhh...! Betapa tololnya aku!" Seru Dedemit Bukit 
Saji sambil menampar kepalanya perlahan. "Benar apa 
yang kau ucapkan itu, Palawa. Sudah pasti si peot itu 
mempunyai ruangan khusus yang dipergunakan untuk 
bersemadi atau menciptakan ilmu itu. Ayo, mari kita 
periksa seluruh pelosok puncak ini." 
Setelah berkata demikian, Dedemit Bukit Saji lang-
sung melesat keluar meninggalkan pondok itu. 
"Biar aku mencari ke sebelah Barat..!" ujar Palawa 
yang keluar belakangan. 
Dan, tanpa menunggu jawaban dari gurunya, pemuda 
itu segera melesat ke arah Barat. 
Dedemit Bukit Saji pun tak ambil peduli dengan pen-
dapat muridnya. la terus saja berlari ke sebelah Timur 
puncak. Ditelitinya setiap sudut puncak Gunung itu lang-
sung untuk mencari tempat-tempat seperti yang dimak-
sud muridnya. 
Cukup lama Dedemit Bukit Saji memutari seluruh 
daerah puncak Gunung Bulangkang sebelah Timur. 
Namun sampai sebegitu jauh, tempat yang dimaksudkan 
belum juga dapat ditemukan. Sehingga, kemendongkolan 
hatinya pun kembali terusik. 
"Huh! Benar-benar setan, si tua bangka itu! Awas kau! 
Dalam jangka waktu beberapa hari, akan kau ra-sakan 
betapa jahatnya pengaruh racun yang mengeram dalam 
tubuhmu!" Geram Dedemit Bukit Saji kembali memaki-
maki. 
Setelah lelah mencari namun belum juga menemukan 
apa-apa, lelaki berperut buncit itu bergegas kembali ke

pondok. Wajah yang dipenuhi brewok itu tampak semakin 
tak sedap dipandang mata. 
"Guru...! Aku sudah menemukan tempat itu...!" 
Dedemit Bukit Saji yang tengah termenung itu, ter-
sentak ketika mendengar teriakan muridnya. Tanpa mem-
buang-buang waktu iagi, tokoh sesat berperut buncit itu 
segera melesat menuju asal teriakan Palawa. 
Tak berapa lama kemudian, Dedemit Bukit Saji sudah 
aba di dekat sebuah aliran sungai. Tampak Palawa tengah 
berdiri menanti di dekat sebatang pohon besar di tepi 
sungai. Cepat ia berlari menghampirinya. 
"Di mana kau menemukannya, Palawa...?!" Seru De-
demit Bukit Saji tak sabar, walau masih berada beberapa 
tombak jauhnya dari tempat Palawa berdiri menunggu. 
Palawa hanya tersenyum melihat ketidaksabaran gu-
runya. Tapi, ia sama sekali tidak menjawab. Pemuda itu 
hanya berdiri menanti sampai sang Guru tiba di dekat-
nya. 
"Di mana tempat itu, Palawa...? Mengapa kau diam 
saja? Hayo, cepat tunjukkan tempat itu!" 
Begitu tiba di dekat muridnya, Dedemit Bukit Saji 
langsung memberondong Palawa dengan serentetan per-
tanyaan yang membuat senyum di wajah pemuda itu 
semakin melebar. 
"Sabarlah, Guru. Lagi pula, belum tentu tempat yang 
kutemukan merupakan tempat semadi Dewa Tangan Api. 
Dan belum tentu pula ada Kitab Telapak Darah di dalam-
nya. Jadi, jangan terlalu gembira dulu. Jangan-jangan, 
hanya kekecewaan lagi yang kita dapatkan di tempat itu," 
sambut Palawa, tenang. Tentu saja sikapnya itu membuat 
Dedemit Bukit Saji semakin marah. 
"Diam kau, Anak Bodoh! Kau memang tidak tahu 
betapa hebatnya ilmu yang diciptakan Dewa Tangan Api! 
Kalau saja kita tidak menggunakan siasat, tidak mungkin 
kesaktian tua bangka peot itu dapat ditandingi. Nah! Bisa

kau bayangkan, betapa hebatnya ilmu Telapak Darah' 
yang diciptakannya. Sebab, ilmu itu merupakan inti dari 
keseluruhan ilmu yang dimilikinya. Dapatkah kau mem-
bayangkannya, Otak Kerbau?!" Bentak Dedemit Bukit Saji 
sewot. Dan memang, dia merasa tersinggung melihat 
muridnya seperti tidak tertarik pada kitab itu. 
"Baiklah, Guru. Mari, kita periksa gua di balik semak 
belukar itu," sahut Palawa. 
Pemuda itu menjadi terkejut juga melihat kemarahan 
gurunya. Tapi, ketika mendengar alasan-alasan yang di-
berikan, ia pun yakin kalau perkataan gurunya mungkin 
ada benarnya. Maka bergegas diajaknya orang tua itu 
untuk melihat apa yang ditemukannya. 
Mendengar ucapan Palawa, Dedemit Bukit Saji lang-
sung saja mengenjot tubuhnya ke arah tempat yang 
ditunjuk muridnya. Rasa ketidaksabaran, membuatnya 
tidak lagi mempedulikan Palawa. Sehingga, ia langsung 
saja menerobos masuk ke dalam gua di balik semak belu-
kar. 
"Ha ha ha...! Tidak salah lagi, Palawa! Tempat ini me-
mang jelas ruangan bersemadi kakek peot itu!" seru Dede-
mit Bukit Saji sambil tertawa terbahak-bahak. Sambil 
berdiri di ambang mulut gua, sepasang mata tokoh sesat 
itu berputar merayapi daerah sekeliling ruangan gua. 
Dedemit Bukit Saji sama sekali tidak kecewa meski-
pun ruangan gua itu terlihat kosong. Langkahnya segera 
diteruskan memasuki ruangan gua yang terdiri dari din-
ding-dinding batu alam. Udaranya terasa lembab. Sambil 
mengerahkan tenaga, setiap jengkal dinding mulai dite-
kan-tekannya. Melihat dari apa yang dilakukannya, jelas 
kalau Dedemit Bukit Saji tengah mencari-cari sesuatu. 
Tapi mendadak tokoh sesat berwajah brewok itu 
mcnghentikan pencariannya. Kepalanya kemudian meno-
leh ke arah Palawa yang masih berdiri di ambang mulut

gua. Kening Dedemit Bukit Saji berkerut melihat Palawa 
hanya berdiri memperhatikan perbuatannya. 
"Mengapa hanya berdiam diri saja, Palawa? Bantu aku 
mencari ruangan rahasia tempat kakek peot itu menyim-
pan kitabnya!" Bentak Dedemit Bukit Saji kesal. 
Dengan malas-malasan, Palawa melangkahkan kaki-
nya ke arah Dedemit Bukit Saji. Sepertinya, pemuda itu 
tidak menyetujui perbuatan gurunya, karena menurutnya 
hanya membuang-buang waktu saja. 
"Aku pun tadi sudah meraba-raba seluruh dinding 
gua ini. Tapi, tak ada satu pun yang dapat kutemukan. 
Nampaknya tempat ini bukan seperti yang kita kehen-
daki, Guru," bantah Palawa dengan wajah cemberut. 
"Ohhh.... Jadi, itukah sebabnya mengapa kau seperti 
tidak suka dengan apa yang kuperintahkan tadi? Coba 
tunjukkan, bagaimana caramu meraba dinding gua ini," 
perintah Dedemit Bukit Saji, mengejek. Sepertinya lelaki 
berperut buncit itu merasa pasti kalau apa yang dilaku-
kan muridnya adalah salah. 
Mendengar perintah gurunya, maka Palawa bergegas 
mendekati dinding gua dan mulai meraba-raba. Secara 
sepintas saja, dapat terlihat kalau cara yang dilakukan 
pemuda itu sangat berbeda dengan Dedemit Bukit Saji. 
"Hra... Begitukah caramu memeriksa? Jelas, kau tidak 
akan menemukan apa-apa. Coba kerahkan tenagamu 
melalui tekanan telapak tangan. Dengan begitu, kau akan 
segera mengetahui apabila terdapat pintu-pintu rahasia. 
Dan memang bukan tidak mungkin kalau di dalam salah 
satu dinding gua Ini terdapat sebuah pintu rahasia," jelas 
Dedemit Bukit Saji. 
Setelah mendengar apa yang dikatakan gurunya, 
maka Palawa mulai mengerti. Kini ia tidak lagi hanya 
sekadar meraba-raba saja, melainkan menggunakan teka-
nan-tekanan menggunakan kekuatan tenaga saktinya. 
Dan, mulailah terasa ada perbedaan dengan apa yang di

perbuatnya tadi. Diam-diam pemuda itu harus mengakui, 
biar bagaimanapun pengalamannya masih terlalu mentah 
bila dibandingkan gurunya. Dengan cerdik, disimpannya 
pengetahuan itu dalam otaknya. Siapa tahu, kelak penga-
laman ini berguna bagi pengembaraannya. 
"Hm.... Lihat ini, Palawa. Apa yang telah kutemukan," 
tiba-tiba terdengar suara penuh kegembiraan yang meme-
cah kesunyian ruangan gua itu. 
Palawa cepat menoleh ke arah gurunya. Tampak 
orang tua itu tengah membungkuk seperti memperhati-
kan sesuatu yang menarik di bawahnya. Maka, ia pun 
segera mendekat. Dan apa yang dltemukan gurunya ter-
nyata benar-benar membuat wajah pemuda itu berseri-
seri. Jadi, apa yang diduga gurunya itu ternyata memang 
tidak meleset. 
Setelah Palawa tiba di dekatnya, barulah Dedemit 
Bukit Saji memutar sebuah batu yang berada dekat mata 
kakinya. Hal itu pun dilakukan dengan pengerahan te-
naga dalam. Jadi, tidak setiap orang bisa melakukannya. 
Dan itu menandakan, betapa cerdiknya Dewa Tangan Api 
dalam membuat ruang semadi. 
Gerrrggg...! 
Terdengar suara berderak diiringi bergetamya dinding 
binding gua yang berada didepan Dedemit Bukit Saji dan 
Palawa. Debu mengepul disertai terbukanya sebuah pintu 
batu yang cukup lebar. 
"Ha ha ha...! Akhirnya kutemukan juga tempat per-
sembunyianmu, Tua Bangka Peot!" Kata Dedemit Bukit 
Saji sambil tertawa penuh kepuasan. 
Wajahnya yang semula keruh, mendadak berseri gem-
bira. Dan, tanpa membuang-buang waktu lagi, kakinya 
langsung melangkah masuk ke dalam mangan itu. 
Begitu masuk ke dalam ruangan, sepasang mata De-
demit Bukit Saji langsung membentur sebuah kotak kayu 
jati yang tergeletak di atas sebuah batu pipih. Tanpa

ragu-ragu lagi, tangannya langsung terulur mengambil 
peti itu. 
Dengan wajah tegang karena perasaan gembira tak 
terkira, dibukanya penutup peti itu. Dan apa yang dilihat-
nya di dalam peti itu, benar-benar membuat sepasang 
mata tokoh sesat itu terbelalak lebar. 
"Lihat! Apa yang kutemukan ini, Palawa! Inilah Kitab 
Telapak Darah yang selama ini kuidam-tdamkan. Ha ha 
ha...! Akhirnya apa yang kucari-cari selama lima tahun ini 
dapat juga kutemukan! Sebentar lagi, dunia persilatan 
akan kubuat guncang!" 
Tawa Dedemit Bukit Saji berkumandang bagai hendak 
meruntuhkan langit-langit gua. Didekapnya kitab lusuh 
bersampul kulit kayu itu dengan wajah mengadah. 
"Ha ha ha..! Benar, Guru. Dunia persilatan akan gun-
cang dengan kemunculan kita. Tak ada seorang pun yang 
perlu ditakuti lagi setelah ilmu 'Telapak Darah' dapat kita 
kuasai!" kata Palawa. 
Pemuda itu ikut merasa gembira dengan apa yang 
ditemukan gurunya itu. Tawanya pun berkumandang me-
ningkahi suara tawa Dedemit Bukit Saji. 
"Mari kita tinggalkan tempat ini, Palawa! Aku yakin, 
tidak lama lagi dunia persilatan akan heboh!" kata Dede-
mit Bukit Saji sambil berkelebat meninggalkan tempat itu. 
"Hei?! Siapa lagi yang akan membuat heboh, Guru...?" 
Tanya Palawa ketika melihat sinar aneh di mata gurunya. 
Jelas bukan mereka berdua yang dimaksudkan Dedemit 
Bukit Saji. 
"Tunggu sajalah...," sahut Dedemit Bukit Saji tanpa 
mempedulikan keheranan muridnya. 
*** 
Malam sudah cukup larut. Cahaya bulan sepotong 
yang menggantung di langit pekat, tampak redup bagai

tak bergairah. Suara binatang malam menyemarak diting-
kahi hembusan angin semilir yang melenakan. 
Saat itu, dalam keremangan cahaya rembulan tampak 
sesosok bayangan hitam bergerak cepat bagai hantu. Ju-
bahnya yang lebar dan berwarna hitam berkibar karena 
gerakannya demikian cepat. 
Sosok itu terus berlari melintasi jalan lebar yang 
berhubungan dengan Desa Pejagal. Begitu tiba di mulut 
desa, sosok tubuh tinggi kurus itu menghentikan larinya 
secara mendadak. Rimbun pepohonan menyembunyikan 
tubuhnya dari pandangan. 
"He he he...!" 
Terdengar suara tawa terkekeh perlahan, meluncur 
dari bibir sosok tubuh itu. Setelah beberapa saat me-
rayapi daerah sekitarnya, dia kembali melesat memasuki 
desa. Tiba pada sebuah rumah yang terletak di mulut 
desa, kakinya dijejakkan di tanah. Seketika itu juga, 
tubuhnya langsung melenting dan mendarat ringan di 
atap rumah. 
Perlahan-lahan dan tanpa menimbulkan suara yang 
mencurigakan, tangan berjari-jari kurus dan runcing itu 
membuka beberapa buah genteng rumah. Sepasang 
matanya yang berkilat tajam langsung merayapi keadaan 
di sekitar ruangan di bawahnya. 
Sesaat kemudian, tubuh tinggi kurus itu langsung 
melayang turun dan hinggap di atas tanah tanpa suara 
sedikit pun. Melihat dari caranya melompat turun dan 
mendarat, jelas kalau sosok tinggi kurus itu memiliki 
kepandaian tinggi dan sulit dicari tandingannya. Entah 
apa yang dicarinya di rumah salah seorang penduduk 
Desa Pejagal itu. 
Kemudian, tanpa menghiraukan keadaan di sekeli-
lingnya, sosok tubuh kurus itu langsung mendekati 
sebuah dipan yang terletak di sudut ruangan. Wajahnya 
tampak menyeringai penuh nafsu ketika melihat sosok

tubuh ramping yang terbaring dengan kain tersingkap 
sebatas paha. 
"He he he.... Haluuus...," desah sosok tubuh itu sam-
bil mengelus tembut kulit paha sosok tubuh ramping 
yang tengah terlelap. 
Makin lama, gerakan tangannya tampak semakin liar 
ditingkahi dengan napasnya yang berpacu. Karena gera-
kan tangannya semakin tak terkendali, maka wanita 
muda yang tengah terlelap itu tersentak bangkit dari 
tidurnya. 
"Oh... ufs...?!" 
Seruan tertahan wanita muda itu langsung terhenti 
karena mulutnya telah tertutup tangan sosok tinggi kurus 
ini. Dan sekali sentak saja, tubuh ramping itu pun telah 
berada dalam pondongannya. 
"Hei...! Siapa kau...?!" 
Terdengar teguran yang tersendat-sendat. Rupanya 
lelaki muda yang tidur di samping istrinya terbangun aki-
bat seruan tertahan tadi. 
Begitu melihat istrinya telah berada dalam pondongan 
sosok tubuh tinggi kurus yang tak dikenal, lelaki muda 
itu langsung menyambar sebatang golok di dinding. Se-
ketika, dihunusnya golok berwarna putih yang menge-
luarkan cahaya berkilat itu. 
"Mau apa kau...? Hayo, lepaskan istriku!" bentak 
lelaki muda Itu sambil menudingkan ujung goloknya ke 
arah sosok tinggi kurus di depannya. 
Melihat ujung golok yang ditudingkan ke arahnya, 
sosok tinggi kurus yang ternyata seorang lelaki tua itu 
tampak memandang marah. Sepasang matanya menyi-
ratkan sinar tajam yang menggetarkan hati lelaki muda 
itu. Kemudian disertai geram kemarahannya, lelaki tua 
itu mengibaskan lengan kanannya secara serampangan. 
Jelas, gerak yang dilakukannya bukan gerak silat. 
Desss!

"Hegkh...!" 
Dan akibat yang ditimbulkan gerakan tangan seram-
pangan itu ternyata sangat parah. Tubuh lelaki muda itu 
langsung terpelanting deras. Padahal, jelas sekali kalau 
lengan lelaki tua itu tidak sampai menyentuh tubuhnya 
Tapi anehnya, tubuh yang terbanting jatuh itu langsung 
saja diam tak bergerak. Lapat lapat tercium bau amis 
darah yang mengalir di sekitar kepala lelaki muda itu. 
Rupanya, lelaki malang itu langsung tewas tanpa sempat 
merasakan sakit lagi. 
Setelah melihat sasarannya diam tak bergerak, sosok 
tubuh berambut putih riap-riapan itu kembali melam-
bung ke arah atap rumah. Dia terus melesat meninggal-
kan desa, lenyap di dalam kepekatan malam dan bayang 
pepohonan. 
"He he he...!" Sambil terkekeh parau, lelaki tua ber-
usia sekitar tujuh puluh tahun itu merebahkan tubuh 
wanita muda yang dibawanya di atas rerumputan tebal. 
Dan tanpa malu-malu lagi, diciuminya wajah wanita 
muda yang bersimbah air mata karena ketakutan. Bah-
kan tangan berjari-jari kurus dan runcing itu mulai me-
rayap bagaikan seekor ular. 
"Ohhh..., jangan..., kasihanilah saya, Tuan....n.” Ter-
dengar rintihan lemah dari mulut wanita muda Itu setelah 
totokan pada lehemya dibebaskan. Gerakan perlawanan-
nya pun terlihat demikian lemah. Seolah-olah ia memang 
tidak berdaya menghadapi kebuasan lelaki tua bertubuh 
tinggi kurus itu. 
Rintihan memelas yang keluar dari mulut wanita 
muda itu sama sekali tidak menimbulkan perasaan iba di 
hati-lelaki tua itu. Bahkan gerakannya semakin liar 
bagaikan seekor binatang buas kelaparan. Sehingga lama 
kelamaan perlawanan wanita muda itu tidak ada gunanya 
lagi. Yang terdengar hanyalah deru napas lelaki tua itu 
yang bagaikan kuda pacu.

Setelah puas melampiaskan nafsu binatangnya, lelaki 
tua bertubuh tinggi kurus ltu kembali mengenakan 
pakaiannya diiringi suara kekeh parau yang mendirikan 
bulu roma. 
Sedangkan wanita muda yang menjadi korban kebia-
dabannya, hanya dapat menangis menyesali nasib buruk 
yang menimpa. Tapi sayang, isak tangis lirih yang me-
milukan itu sama sekali tidak menimbulkan perasaan iba 
sedikit pun. Bahkan tangisan lirih itu membuat lelaki tua 
itu menatap penuh kemarahan. 
"Hei! Mengapa kau menangis? Kau tidak suka? Atau 
ingin kepalamu kupukul hancur? Hayo, jawab!" Bentak 
laki-laki tua itu tanpa perasaan iba sedikit pun. Seperti-
nya, hati orang tua itu terbuat dari batu. Hingga tangisan 
itu sama sekali tidak mampu melunakkan hatinya. 
Bentakan yang menggelegar tentu saja membuat 
wanita muda itu pucat wajahnya. Bentakan keras yang 
laksana ledakan petir di telinga itu membuat tangisnya 
terhenti. Meskipun demikian, masih juga tersisak-isak 
sesekali. 
"Nah, begitu. Kau benar-benar menggairahkan. Malam 
ini harus kita nikmati bersama. Ayo, tersenyumlah. Lihat 
sang bulan di atas itu. Bukankah ia tengah tersenyum 
melihat kita...?" Ujar lelaki tua itu yang sepertinya merasa 
gembira karena hasratnya sudah terlampiaskan. Sambil 
terkekeh gembira, tangan kanannya terulur membelai 
wajah manis wanita muda itu. 
Dengan tubuh yang semakin gemetar karena rasa 
takut yang hebat, wanita muda itu perlahan mengegos-
kan wajahnya. Sehingga, belaian tangan sosok tinggi 
kurus itu hanya mengenai angin saja. Melihat kenyataan 
ini, kemarahan sosok tinggi kurus itu pun kembali ter-
bangkit.
“Kurang ajar! Kau berani menolak, ya? Kau memang 
tidak patut disayang! Rasanya, kau sudah tidak berguna 
lagi!” bentak lelaki tua itu. 
Langsung telapak tangannya diayunkan ea rah 
kepala wanita muda itu. Maka…. 
Wuttt! Prakkk! 
Terdengar suara keras yang menandakan pecahnya 
kepala wanita muda itu! Darah segar yang bercampur 
cairan putih, menyembur keluar dan membasahi rerum-
putan di bawahnya. Tubuh wanita muda yang malang itu 
terkulai rebah dan diam tak bergerak-gerak lagi. Ia tewas 
di tangan lelaki tua yang seperti orang kurang waras itu. 
Di sini, kembali lelaki berambut putih dan bertubuh 
Gnggi kurus itu memperlihatkan kekuatannya. Tamparan 
yang kelihatannya perlahan, ternyata sanggup meremuk-
kan batok kepala manusia. Benar-benar hebat kepan-
daian yang dimiliki sosok tubuh tinggi kurus itu 
Sementara, malam semakin merayap mendekati fajar. 
Suara binatang malam masih menyemarak Tak berapa 
lama kemudian, suara kukuruyuk a yam jantan hutan 
mulai terdengar bersahut-sahutan. Suatu pertanda bah-
wa sebentar lagi pagi akan segera tiba. 
***

TIGA

Pagi hari itu, Desa Jagalan dilanda kegemparan. Para 
penduduk berkerumun didepan sebuah rumah yang 
letaknya di mulut desa. Pada wajah-wajah mereka ter-
gambar perasaan marah dan penasaran. 
"Minggir...! Minggir...!" 
Seorang lelaki gagah berusia sekitar empat puluh 
tahun melangkah lebar sambil mengibaskan tangannya 
ke kiri kanan. Beberapa orang penduduk yang semula 
menoleh marah, langsung membungkukkan tubuhnya 
begitu mengenali lelaki gagah berwajah kokoh itu. 
"Oh! Kiranya, Kakang Turangga yang datang. Silakan, 
Kakang...," sambut salah seorang penduduk yang semula 
memandang marah karena tubuhnya didorong begitu 
saja. Wajahnya yang semula berang, berubah hormat ter-
hadap lelaki gagah yang mendorong tubuhnya ke pinggir 
tadi. 
"Apa sebenarnya yang terjadi di sini...?" Gumam lelaki 
gagah yang dipanggil Turangga itu pelan. 
Melihat dari sinar matanya yang tidak ditujukan ke-
pada salah seorang penduduk, jelas kalau ia tidak begitu 
memerlukan jawaban atas pertanyaannya. 
Tapi, salah seorang penduduk berusia sekitar lima 
puluh tahun, langsung saja mendekati Turangga dan me-
laporkan mengenai apa yang diketahuinya. 
"Barta tewas...? Siapa yang telah berani membunuh-
nya? Lagi pula, kita semua tahu kalau ia memiliki kepan-
daian silat yang cukup tangguh. Jadi, siapa yang mem-
buatnya sampai tewas secara mendadak? Lalu, bagai-
mana istrinya? Apakah selamat?" Tanya Turangga berun-
tun kepada lelaki setengah baya yang melaporkan keja-
dian itu kepadanya.

"Tidak ada seorang pun yang mengetahui kejadian-
nya, Kakang. Dan mengenai istrinya, kami belum tahu. 
Sebab, yang kami temukan hanya mayat Barta," sahut 
lelaki berkumis tipis itu. 
Rupanya, jawaban itu tidak memuaskan Turangga. 
Maka lelaki gagah itu bergegas meninggalkannya dan 
langsung masuk ke dalam rumah yang tertimpa musibah. 
Begitu tiba di dalam ruangan, Turangga langsung 
membuka kain putih yang menutupi sekujur tubuh ma-
yat itu. Setelah meneliti sejenak, pandangannya dialih-
kan kepada orang desa yang berkumpul di dalam rua-
ngan tengah itu. 
"Hm.... Siapa yang paling dulu menemukan mayat 
Barta ini..?" Tanya Turangga sambil mengedarkan panda-
ngannya berkeliling. Dirayapinya wajah belasan laki-laki 
yang berada di ruangan itu dengan sinar mata lajam me-
nusuk. 
"Aku yang lebih dulu melihatnya, Kakang. Seperti 
biasanya, kami selalu berangkat ke sawah bersama-sama. 
Pagi tadi, ketika mengetuk pintu dan tidak ada sahutan 
sama sekali, aku segera ke pintu belakang yang biasanya 
memang tidak terkunci. Tapi yang kudapati, ternyata 
hanya mayat Barta. Tubuhnya telah terbujur kaku di de-
kat pembaringannya. Sedangkan istrinya, entah pergi ke 
mana. Tak ada seorang pun yang mengetahuinya, Ka-
kang," sahut salah seorang lelaki pendek gemuk berwajah 
putih. 
"Jadi, belum ada seorang pun yang melihat istri Barta 
pagi ini?" Turangga kembali menegasi dengan suara berat 
dan berwibawa. 
Lelaki gagah itu memang sangat disegani para pen-
duduk Desa Jagalan. Jabatannya di desa ini memang 
pembantu kepercayaan kepala desa, merangkap sebagai 
kepala keamanan. Sikapnya sama sekali tidak pernah 
sombong. ltulah salah satu alasan, mengapa para pen

duduk menyenanginya. Maka ketika la bertanya tadi, 
para penduduk langsung mengerumuninya. Sepertinya 
mereka merasa yakin kalau Turangga akan dapat menye-
lesaikan masalah yang tengah terjadi di desa itu. Sebab 
biasanya segala urusan yang dipegang lelaki berusia em-
pat puluh tahun itu selalu saja menemukan titik terang, 
dan akhirnya selesai. 
"Belum, Kakang. Kami tidak tahu harus mencari ke 
mana. Kalau mereka bertengkar dan istri Barta melarikan 
din dari rumah, jelas tidak mungkin. Sebab, selama ini 
mereka terlihat rukun-rukun saja. Apalagi masih pasa-
ngan baru. Dan lagi, tidak ada teriakan apa-apa yang ku-
dengar semalam. Maka aku pun merasa terkejut ketika 
melihat tubuh Barta sudah menjadi mayat di atas gena-
ngan darahnya sendiri. Karena merasa khawatir, aku pun 
membawa beberapa orang teman untuk membantu meng-
angkat mayatnya," kembali lelaki pendek gemuk itu men-
ceritakan apa-apa yang diketahuinya. 
"Hm.... Peristiwa ini harus segera kukabarkan kepada 
Pimpinan Perguruan Golok Perak Aku yakin, Pendekar 
Golok Sakti bersedia membantu kita untuk menyelidik 
kejadian ini. Sebagai ketua partai, ia tentu tidak akan 
tinggal diam melihat salah seorang anggotanya mati se-
cara menyedihkan," kata Turangga yang kemudian kem-
bali melangkah ke luar. 
Sebelum meninggalkan tempat kediaman Barta, Tura-
ngga memerintahkan kepada para penduduk yang ber-
kumpul agar segera mengurus dan merapikan mayat 
Barta. Paling tidak, apabila Pendekar Golok Sakti atau 
wakilnya yang datang menjenguk tidak kecewa. 
"Panjawa... Balung! Kemari kalian...!" Panggil Tura-
ngga kepada kedua orang pembantunya. 
Dua orang laki-laki yang dipanggi] Panjawa dan 
Balung bergegas menghampirinya. Setelah menerobos di 
antara kerumunan penduduk, mereka tiba didepan

Turangga. Keduanya kemudian langsung membungkuk 
memberi hormat kepada laki-laki gagah itu. 
"Ada apa, Kakang...?" Lelaki botak bertubuh gempal 
yang bemama Balung langsung saja menanyakan maksud 
laki-laki gagah itu memanggilnya. 
"Hm... Kalian berdua pergi ke Perguruan Golok Perak. 
Sampaikan kepada salah seorang pimpinan perguruan 
tentang peristiwa yang menimpa salah seorang muridnya 
yang bernama Barta. Ceritakan apa adanya dan jangan 
dilebih-lebihkan," perintah Turangga kepada kedua orang 
pembantunya. 
"Baik. Kami pergi, Kakang," pamit Balung dan Pan-
jawa berbarengan. 
"Jangan lupa! Sampaikan salam hormatku kepada 
Pendekar Golok Sakti," pesan Turangga mengingatkan. 
"Baik, akan kami sampaikan," kali ini yang menyahut 
adalah Panjawa, lelaki berusia tiga puluh tahun berwajah 
kecoklatan. 
Sebentar kemudian, Balung dan Panjawa telah berada 
di atas punggung kuda masing-masing. Mereka bergegas 
meninggalkan Desa Pejagal dengan memacu cepat kuda 
masing-masing. 
Sepeninggal kedua orang pembantunya itu, Turangga 
bergegas menuju tempat kediaman kepala desa untuk 
melaporkan mengenai peristiwa ini. Begitu berada di 
punggung kuda, lelaki gagah itu langsung membedal 
binatang tunggangannya yang segera melesat bagai anak 
panah. 
*** 
"Heya.... Heya...!" 
Terdengar teriakan-teriakan nyaring yang ditingkahi 
derap kaki kuda yang bergemuruh. Debu mengepul tinggi 
membentuk bulatan-bulatan pekat di angkasa. Di antara

kepulan debu, tampak lima orang gagah memacu cepat 
kuda masing-masing. Tak berapa lama kemudian, lima 
orang penunggang kuda itu melintas cepat di jalan utama 
yang nenuju Desa Pejagal. Saat itu hari sudah menjelang 
siang. Meskipun sinar matahari tidak terlalu menyengat 
kulit, tapi tubuh para penunggang kuda itu telah basah 
bersimbah peluh. Tampaknya perjalanan yang mereka 
tempuh cukup jauh dan melelahkan. 
Lima orang yang di antaranya terdapat Balung dan 
Panjawa, mulai memperlambat lari kudanya. Dan 
memang, beberapa tombak di depan mereka adalah mulut 
Desa Pejagal. Untuk tidak mengganggu para penduduk 
dengan kepulan debu yang bergulung-gulung, maka ke-
lima orang itu hanya menjalankan kudanya lambat-
lambat. 
"Kami ingin langsung melihat mayat yang kau cerita-
kan itu, Kisanak," ujar salah seorang penunggang kuda 
kepada Balung. 
Ucapan yang dikeluarkannya lebih tepat sebuah per-
mintaan daripada sebuah perintah. Sehingga, Balung 
tidak keberatan untuk mengantarkan mereka melihat 
mayat Barta. 
"Baik, mari ikut aku...," ajak Balung yang kemudian 
segera menolehkan kepalanya kepada Panjawa. "Kakang, 
sebaiknya kau laporkan perihal kedatangan tlga orang 
utusan Perguruan Golok Perak ini kepada Kakang Tu-
rangga. Aku akan mengantarkan mereka dulu untuk me-
lihat mayat Barta." 
Setelah mengangguk sebagai jawaban atas yang di-
berikan Balung, Panjawa segera membedal kudanya me-
nuju tempat kediaman Kepala Desa Jagalan. Sementara, 
Balung mengantarkan ketiga orang utusan Perguruan 
Golok Perak untuk melihat mayat anggota perguruannya. 
Dan kini Balung dan ketiga orang utusan Perguruan 
Golok Perak telah tiba didepan halaman rumah Barta.

Balung segera melompat turun dari atas punggung kuda-
nya, diikuti ketiga orang utusan itu. 
"Marl! Silakan masuk, Kisanak...," ajak Balung mem-
persilakan ketiga orang utusan itu. 
Lelaki berkepata botak dan bertubuh gempal ini me-
nyingkir sejenak dari ambang pintu ketika ketiga orang 
itu melangkah masuk. 
Begitu tiba di dalam mangan, mereka langsung me-
langkah ke arah jenazah Barta yang ditutupi sehelai kain 
berwarna putih. Salah seorang yang berkumis lebat dan 
berwajah keras, bergegas menyingkap kain penutup 
jenazah. 
"Hm...." 
Laki-laki berkumis lebat itu hanya bergumam dengan 
rahang mengeras. Ditutupnya kain itu kembali dan me-
langkah mendekati Balung. 
"Maaf, Kisanak. Apakah sudah ada usaha untuk men-
cari istri murid kami ini? Baru sekitar satu bulan mereka 
menikah. Jadi, tidak mungkin kalau di antara mereka 
terjadi pertengkaran. Oh, ya. Boleh aku tahu, apakah ada 
keterangan lain selain dari ceritamu tadi?" Tanya lelaki 
berkumis lebat itu yang jelas-jelas merasa tidak senang 
melihat kematian salah seorang anggota perguruannya. 
Cara dan sikap yang ditunjukkan orang itu sedemi-
kian sombong dan memandang rendah Balung. Sehingga, 
laki-laki berkepala botak itu sempat tersinggung karena-
nya. 
Balung menarik napas dalam-dalam untuk menen-
teramkan kegusarannya yang terbangkit atas sikap dan 
ucapan lelaki berkumis lebat itu. Setelah merasa agak 
tenang, maka ditatapnya tajam-tajam orang itu. 
"Kisanak. Rasanya tidak ada untungnya aku menyem-
bunyikan cerita. Kalau kalian memang kurang percaya, 
silakan tanyakan sendiri kepada mayat Barta. Mungkin ia 
bisa memberi jawaban yang Iebih memuaskan," sahut

Balung. Kata-katanya demikian tajam, sehingga langsung 
memukul balik hinaan lelaki berkumis lebat itu. 
Dua orang kawan lelaki berkumis lebat itu tersentak 
kaget ketika mendengar suara yang bernada tidak meng-
enakkan. Bergegas keduanya mendekat untuk menge-
tahui, apa gerangan yang tengah terjadi antara kawan 
mereka dengan lelaki botak itu. 
"Hm.... Ada apa ini...? Mengapa kalian berdua seperti-
nya tengah bersitegang? Tidakkah kalian bisa menghor-
mat sedikit kepada orang yang tengah mendapatkan 
musibah?" Sergah lelaki tegap berusia sekitar tiga puluh 
tahun. 
Orang Itu memiliki wajah gagah, dan tampaknya cu-
kup berpengaruh. Meskipun ucapannya jelas ditujukan 
kepada dua orang yang tengah adu urat itu, tapi sepa-
sang matanya lebih tepat menghunjam ke wajah Balung. 
Seolah-olah, secara sembunyi ia sengaja menyalahkan 
Balung. 
Merah selebar wajah Balung ketika mendengar sindi-
ran yang membuat telinganya panas. Namun karena 
orang-orang yang menurutnya sangat sombong itu masih 
menyindir, maka ia pun tidak berani marah secara 
terang-terangan. Ditelannya kemarahan itu, seraya men-
dinginkan otaknya agar dapat mencari jawaban untuk 
memukul balik sindiran orang-orang angkuh itu. 
"Hhh.... Sayang kami belum menemukan istri dari 
anggota perguruanmu itu, Kisanak. Ahhh..., aku menye-
sal sekali. Padahal, Barta seorang yang baik dan sopan. 
Jarang aku menemukan orang seperti dia. Biasanya 
orang yang memiliki sedikit kepandaian silat, akan meng-
angkat dada dan memandang rendah orang lain. Hhh.... 
Sayang sekali kalau orang sepertinya harus menerima 
kematian secara mengenaskan," kata Balung yang saat 
itu sudah berada di dekat jenazah Barta.

Perkataan yang dikeluarkannya itu sengaja ditujukan 
untuk memukul hati ketiga orang tokoh Perguruan Golok 
Perak yang bersikap angkuh dan seperti tidak meman-
dang sebelah mata kepada orang lain. Dan ternyata me-
mang sangat mengena. 
Lelaki bertampang beringas dan berkumis lebat itu 
dah tak dapat lagi menahan kegeramannya. Sepasang 
matanya tampak menyorot tajam, menyiratkan kemara-
han yang tidak bisa lagi disembunyikan. Kalau ta|a lelaki 
tegap berwajah gagah yang sepertinya bertindak sebagai 
pemimpin itu tidak keburu mencegah, mungkin perke-
lahian tidak bisa dihindari lagi. Padahal, saat itu Balung 
sudah meraba gagang pedangnya. Dan memang, dari ekor 
matanya ia sempat rnenangkap gerakan lelaki berkumis 
lebat ltu. 
Di saat ketegangan sudah semakin memuncak, tiba-
tiba muncul Turangga di ambang pintu. Sehingga, Balung 
dan ketiga orang itu sama-sama menganggukkan kepala 
ke arah Turangga. Dan dalam sekejap saja, ketegangan di 
antara mereka lenyap seperti tersaput angin. 
"Hm.... Saudara Turangga. Rasanya sudah cukup 
Iama kami berada di sini. Karena tidak ada lagi yang bisa 
dikerjakan, maka lebih baik kami pamit sekaligus untuk 
mencari istri anggota perguruan kami. Siapa tahu nanti 
kami bisa mendapatkan sedikit petunjuk," kata lelaki 
tegap berwajah gagah itu lantang. 
Dari nada ucapannya, terlihat jelas kalau ia menya-
lahkan Turangga dan kawan-kawannya yang tidak ber-
usaha mencari istri Barta. Dan sindiran itu juga dirasa-
kan Turangga. 
"Baiklah, Kisanak. Kami memang sengaja belum me-
lakukan penyelidikan atas kejadian ini. Sebab, kami ma-
sih memandang Pendekar Golok Sakti. Maka, aku lang-
sung memerintahkan Balung dan Panjawa untuk segera 
menyampaikan berita duka Ini kepada beliau. Setelah

beliau mengetahuinya, barulah kami akan mengambil 
tindakan. Sebenarnya, kami hanya takut dikatakan lan-
cang dan juga tidak melangkahi beliau," sahut Turangga. 
Rupanya, Turangga dapat bersikap tenang dan sabar 
dalam menghadapi ucapan-ucapan yang jelas-jelas me-
nyinggung perasaannya itu. 
"Hm.... Kami pamit dulu...," ucap laki-laki tegap itu 
kemudian. 
Dan tanpa berkata apa-apa lagi, ketiga utusan Per-
guruan Golok Perak itu segera beranjak meninggalkan 
Desa Jagalan. 
Turangga mengantarkan kepergian ketiga orang utu-
san Perguruan Golok Perak itu dengan senyum dan ang-
gukan kepala. Wajahnya sama sekali tidak memancar-
kan kemarahan meskipun ketiga orang itu tidak menoleh 
lagi kepadanya. 
Dipandanginya punggung ketiga orang itu yang mem-
bedal kudanya meninggalkan kepulan debu yang mem-
bumbung ke angkasa. 
"Orang-orang Perguruan Golok Perak itu sombong-
sombong sekali, Kakang. Hampir-hampir saja aku ber-
tarung dengan mereka tadi. Untunglah Kakang Turangga 
keburu datang. Sepertinya, ketiga orang itu masih me-
mandang Kakang," Balung yang masih mrasa sebal 
dengan tingkah laku dan sikap sombong ketiga orang itu, 
mengadu kepada Turangga. 
"Maklumilah perasaan mereka, Balung. Mungkin keja-
dian yang menimpa Barta sangat memukul hati dan 
kewibawaan Perguruan Golok Perak. Jadi, maklum saja 
kalau mereka tidak dapat menahan diri dengan melontar-
kan ucapan-ucapan yang memanaskan telinga," sahut 
Turangga. 
Laki-laki itu tidak menyalahkan atau membela kedua 
belah pihak. Dilihat dari caranya saja, sudah dapat di-
tebak kalau dia tentu bukan orang sembarangan. Panda

ngan dan sikapnya jelas menunjukkan kematangan 
jiwanya. Dan kedua hal itu biasanya hanya dimiliki oleh 
orang yang kepandaiannya telah cukup tinggi. 
Baik Balung maupun Panjawa sama sekali tidak 
berani membantah nasihat Turangga. Mereka hanya ber-
diri membisu dengan kepala tertunduk. Jelas kalau ke-
dua orang pembantunya itu sangat menyegani plmpinan-
nya. 
"Lebih baik, sekarang kalian berdua ikut bersamaku. 
Aku sudah meminta izin kepada kepala desa untuk men-
cari istri Barta. Menurut dugaanku, ada seseorang yang 
dengan sengaja menculiknya. Sedangkan tempat persem-
bunyian satu-satunya, aku yakin adalah hutan lebat di 
sebelah Barat desa kita ini," ujar Turangga. 
Setelah berkata demikian, lelaki gagah itu melangkah 
lebar menuju kuda tunggangannya. Sekali melompat saja, 
tubuhnya telah mendarat ringan di atas punggung kuda. 
Perbuatannya diikuti Balung dan Panjawa. 
Sebentar kemudian, ketiga binatang beserta penung-
gangnya itu melesat meninggalkan Desa Jagalan. 
*** 
Turangga terus menyelusuri hutan lebat dengan 
diiringi Balung dan Panjawa. Semak belukar diterobos, 
karena hutan ini memang jarang didatangi manusia. Bah-
kan tidak terdapat jalan setapak sedikit pun. Jadi mereka 
harus membuat jalan sendiri untuk melakukan pencarian 
itu. 
Matahari semakin naik tinggi ketiga ketiga orang itu 
sudah melewati tengah hutan. Meskipun sampai sejauh 
itu belum ditemukan petunjuk sedikit pun namun mereka 
sama sekali tidak berputus asa. Turangga tetap tenang di 
atas punggung kudanya. Sepertinya, lelaki berusia empat 
puluh tahun yang masih terlihat gagah itu merasa yakin
akan menemukan yang tengah dicarinya. Sehingga, ia 
sama sekali tidak terlihat gelisah. 
Lain halnya Balung dan Panjawa. Kedua orang pem-
bantu Turangga ini tampak sudah mulai tak sabar. Sese-
kali mereka menyusut peluh yang berlelehan di wajah. 
Bahkan tidak jarang mata mereka melirik kepada Tura-
ngga yang tampak tenang dan sama sekali tidak merasa 
letih itu. Kalau saja Balung dan Panjawa tidak bersama 
pimpinannya, rasanya sudah meninggalkan hutan dan 
kembali ke desa. Tapi, rasa segan terhadap pimpinannya 
yang sangat tenang dan penyabar itu membuat mereka 
terpaksa menahan rasa lelah dan terus mengiringi lang-
kah kaki kuda Turangga. 
"Sebentar...," bisik Turangga tiba-tiba. 
Ucapan laki-laki gagah itu masih diikuti gerakan ta-
ngannya. Seketika, langkah kaki kuda kedua orang pem-
bantunya tertahan. Karena baik Balung maupun Panjawa 
sudah menarik tali kekang secara berbarengan. 
"Ada apa, Kakang...?" Tanya Balung juga berbisik 
lirih. 
Seketika wajah lelaki pendek gempal berkepala botak 
itu menegang ketika sepasang matanya mengikuti arah 
telunjuk Turangga. Kalau saja lelaki gagah itu tidak sege-
ra menaruh telunjuknya didepan mulut, mungkin Balung 
sudah bertanya lagi. 
"Kalian berdua tunggu di sini, dan tunggu isyarat 
dariku. Mengerti...?" Bisik Turangga, perlahan. Sehingga, 
kedua orang pembantunya itu hanya dapat mengangguk 
dengan wajah tegang! 
Hati-hati sekali Turangga melompat turun dari atas 
punggung kuda. Kemudian dengan langkah perlahan, 
kaki lelaki gagah itu pun mulai melangkah mendekati 
sosok tubuh berambut panjang yang tengah terbaring di 
atas rerumputan.


Turangga mengambil jalan memutar untuk memasti-
kan kalau sosok tubuh itu mungkin tengah terlelap. Na-
mun, kening lelaki gagah yang biasanya penuh ketena-
ngan itu berkerut ketika matanya menangkap cairan 
merah di belakang kepala sosok tubuh ramping di depan-
nya. Setelah dapat memastikan kalau cairan mengering 
itu benar-benar darah manusia, Turangga segera melesat 
mendekatinya. 
Setelah memeriksa sejenak dan memastikan kalau 
sosok tubuh ramping itu sudah tidak bernapas lagi, laki-
laki gagah itu pun mengangkat tangan kanannya me-
manggil Balung dan Panjawa. 
"Dapatkah kalian mengenali, siapa mayat wanita mu-
da ini?" Tanya Turangga, seolah-olah ingin memastikan 
dugaannya. Pertanyaan itu dilontarkan setelah kedua 
orang pembantunya turun dan mendekat. 
Sosok mayat yang mulai menebarkan aroma tak sedap 
itu, digulingkan Turangga dengan menggunakan ujung 
alas kakinya. Sehingga, mayat wanita muda yang semula 
menelungkup itu kini membalik dan dapat terlihat jelas 
wajahnya. 
"Ya, Tuhan.... Bukankah wanita ini istri Barta?! Siapa 
pula manusia biadab yang telah membunuhnya secara 
keji ini?!" Geram Balung dengan tangan terkepal erat. 
Jelas, lelaki berkepala botak itu merasa sangat marah 
dengan apa yang disaksikannya. Napasnya seketika mem-
buru menahan kegeraman. 
"Dia bukan hanya dibunuh, Balung. Perhatikanlah 
baik-baik pakaian yang dikenakan wanita muda ini," ujar 
Turangga yang memang memiliki pandangan lebih awas 
dan teliti daripada kedua pembantunya. 
"Biadab...! Iblis keji itu rupanya telah memperkosa 
wanita malang ini terlebih dahulu sebelum membunuh-
nya! Benar-benar perbuatan keji!" Maki Balung dengan 
wajah merah padam.

Panjawa dapat bersikap lebih tenang. Ia hanya me-
neliti sekujur tubuh wanita muda yang malang itu dalam 
jarak beberapa langkah. Melihat dari pancaran matanya, 
jelas kalau dia tengah dilanda kegeraman hebat. Namun, 
ia masih dapat menahan dirinya disertai helaan napas. 
***

EMPAT

Turangga termenung memikirkan kejadian yang telah 
menimpa desa yang menjadi tanggungjawabnya. Sebagai 
tangan kanan Kepala Desa Jagalan, yang juga menjadi 
kepala keamanan desa, tentu tanggung jawabnya sangat 
besar. Dan tugasnya kali ini terasa sangat berat, karena 
pelaku pembunuhan yang sekaligus pemerkosaan itu 
masih gelap. Lelaki gagah itu belum tahu dari mana 
harus memulai penyelidikannya. 
"Bagaimana, Kakang? Apakah mayat istri Barta ini 
kita bawa ke desa?" Tanya Balung mengusir lamunan 
yang mengganggu pikiran Turangga. 
"Mmm...." 
Lelaki gagah itu hanya bergumam perlahan, seolah-
olah hendak mencari jawaban atas pertanyaan Balung. 
Padahal, sebenarnya ia tidak begitu mendengar perta-
nyaan pembantunya tadi. Maka, ia sengaja bergumam 
agak panjang agar Balung mengulangi kembali pertanya-
annya. 
"Kakang, bagaimana dengan pertanyaan Adi Balung 
tadi? Apakah kita akan membawa pulang mayat ini, atau 
pendam saja di sini secara sederhana. Kita tidak bisa 
mendiamkannya terlalu lama, Kakang," Panjawa tiba-tiba 
mengulangi pertanyaan yang diajukan Balung tadi. 
Mendengar pertanyaan itu, Turangga tersenyum. Dan 
senyum di wajahnya itu perlahan memudar diiringi gera-
kan tubuhnya yang bangkit berdiri. Lalu pandangannya 
beredar ke sekitarnya dengan maksud mencari tempat 
yang cocok untuk istirahat panjang wanita malang itu. 
"Kita kuburkan saja di tempat itu...," sahut Turangga 
sambil menunjuk tanah gembur di bawah sebatang pohon 
besar. Kemudian kakinya melangkah ke arah pohon itu.

Tanpa diperintah dua kali, Balung dan Panjawa segera 
mengangkat mayat wanita malang itu dan meletakkannya 
di bawah pohon. Mereka kemudian mulai menggali de-
ngan menggunakan senjata masing-masing. Karena pe-
kerjaan itu dilakukan dengan menggunakan tenaga da-
lam, maka sebentar saja terciptalah sebuah lubang yang 
cukup besar. 
Kini Balung dan Panjawa kembali mengangkat mayat 
wanita itu untuk dimasukkan ke dalam lubang. Namun, 
sebelum tubuh kaku itu sempat mereka turunkan, tiba-
tiba terdengar bentakan keras mengejutkan. 
"Keparat keji! Rupanya kalianlah yang menjadi biang 
keladi kerusuhan di desa kami!" seru sebuah suara berat 
menggetarkan. 
Sesaat kemudian, berloncatan belasan sosok tubuh 
yang segera mengurung Turangga, Balung, dan Panjawa. 
Sehingga ketiga orang itu menjadi terkejut dibuatnya. 
"Hei! Apa-apaan ini...?" Seru Balung yang segera me-
nurunkan kembali tubuh mayat wanita muda itu. 
Hati laki-laki botak itu memang tengah dilanda ke-
kesalan, sehingga membuatnya cepat sekali menjadi ma-
rah. Dengan wajah merah padam, diambilnya golok besar 
yang tadi diletakkan di atas rerumputan. Dia langsung 
bersiaga menghadapi orang-orang yang mengurungnya. 
"Sabar, Balung. Ini pasti hanya kesalahpahaman 
saja," bisik Turangga mencoba menyabarkan Balung agar 
persoalannya tidak menjadi bertambah rumit. 
"Tidak perlu banyak cakap lagi! Jelas sudah, kalian 
adalah iblis-iblis keji yang selama ini kami cari-cari! Ser-
buuu...!" 
Tanpa memberi kesempatan kepada Turangga dan 
kawan-kawannya untuk membela diri, lelaki bertubuh 
kekar langsung meluruk maju disertai tebasan golok ber-
geriginya. Sepertinya, dia merupakan pimpinan belasan 
orang itu.

Wuuuttt! 
"Hei, tahan...!" 
Turangga yang menjadi sasaran utama sambaran 
golok bergerigi, langsung merendahkan kepala sambil 
mencoba menyadarkan lelaki brewok bertubuh kekar itu. 
Namun, lelaki brewok itu sepertinya sudah tida bisa 
disabarkan lagi. Tanpa mempedulikan seruan Turangga, 
goloknya kembali berputar dan berkelebat dari atas ke 
bawah. Kecepatan serangannya demikian dahsyat dan 
menggetarkan. Sambaran angin menderu yang ditimbul-
kannya menandakan kalau serangan itu dialiri tenaga 
dalam tinggi. Sehingga, mau tidak mau Turangga harus 
melompat ke belakang untuk rnenghindari ancaman 
maut itu. 
"Kisanak, sabarlah. Ini hanya kesalahpahaman saja!" 
bujuk Turangga. 
Laki-laki setengah baya itu mendaratkan kakinya se-
jauh dua batang tombak, sambil mencoba mengingatkan 
lawan. Tapi sambaran yang amat kuat dan bertubi-tubi, 
memaksanya untuk melakukan perlawanan. Jelas, Tura-
ngga pun tidak sudi tubuhnya dijadikan sasaran senjata 
mengerikan yang digunakan lawan. 
"Heaaat..!" 
Dibarengi seruan nyaring, Turangga mencabut pedang 
yang selaki berada di pinggangnya. Sekali berkelebat sen-
jata di tangan laki-laki gagah itu telah melakukan se-
rangkaian tangkisan untuk mematahkan serangan lawan. 
Trang! Trang...l 
Terdengar suara keras yang diwarnai percikan-perci-
kan bunga api berkilauan. Tubuh keduanya terjajar mun-
dur beberapa langkah ke belakang. Setelah memeriksa 
senjata masing-masing, keduanya kembali saling mener-
jang hebat- Pertarungan pun semakin ramai setelah Tu-
rangga terpaksa membalas serangan lawan, daripada mati 
konyol!

Di tempat lain, Balung dan Panjawa tengah disibuki 
oleh keroyokan dua belas orang pengikut lelaki brewok 
bertubuh kekar itu. Baik Balung raaupun Panjawa tam-
pak terdesak hebat akibat keroyokan lawan. Apalagi, ke-
pandaian yang dimiliki para pengeroyok rata-rata cukup 
tinggi. Maka dapat dibayangkan, betapa sibuknya kedua 
orang pembantu Turangga itu dibuatnya. 
"Yeaaat..!" 
Salah seorang pengeroyok bertubuh jangkung yang 
berada di sisi kiri Panjawa tiba-tiba berseru nyaring. Dan 
pada saat itu juga, tubuhnya langsung melesat disertai 
tebasan pedang yang bergerak mendatar mengancam 
perut Panjawa. 
Belum lagi Panjawa sempat menghindari ancaman 
maut itu, dari depan dan sisi kanan terdengar suara ber-
desing nyaring. Masing-masing serangan itu mengancam 
belakang telinga dan lambung kanannya. Tentu saja Pan-
jawa menjadi semakin sibuk dan terjepit. 
"Heaaat..!" 
Sadar kalau untuk lolos dari ketiga serangan itu 
sudah tidak mungkin, Panjawa segera berteriak nyaring. 
Pedangnya langsung diputar, sehingga membentuk gulu-
ngan sinar melindungi tubuh. Maksudnya, jelas. Untuk 
menghalau semua serangan ketiga orang lawannya yang 
meluncur disertai hawa maut mematikan. 
Trang! Trang! Brettt! 
"Aaakh...!" 
Pertahanan Panjawa rupanya tidak terlalu sia-sia. 
Dua bilah senjata lawan yang menyerang dari kiri dan 
kanan, berhasil diparahkan. Tapi sayang, seorang penye-
rang dari depan berhasil menyarangkan senjata itu di 
lambung kanannya. 
Diiringi jerit kesakitan yang menggema, tubuh Pan-
jawa melintir, ketika ujung pedang yang menancap di 
lambungnya disentakkan ke atas secara tiba-tiba. Dapat

dibayangkan, betapa sakitnya luka akibat tusukan pe-
dang lawannya. 
Darah segar seketika mengucur keluar dari luka yang 
memanjang dan dalam. Panjawa terhuyung-huyung sam-
bil menekap luka yang terus saja mengucurkan darah se-
gar. Wajahnya pun sudah pucat karena banyaknya darah 
yang keluar. 
“Panjawa...." 
Balung yang sempat mendengar teriakan Panjawa, 
menjadi hilang pertahanannya. Belum lagi kekeliruannya 
sempat disadari, tahu-tahu saja ujung-ujung pedang dari 
dua lawannya melesak menembus bahu dan iganya. Cara 
yang dilakukan kedua orang itu sama dengan yang dila-
kukan lawan Panjawa. Ujung-ujung pedang yang menan-
cap itu langsung disentakkan, sehingga sebagian daging 
dan kulit tubuh Balung ikut tersentak keluar. Darah 
segar pun kembali mengucur membasahi rerumputan 
kering. 
"Ohhh...." 
Balung merintih menahan rasa pedih pada luka di tu-
buhnya. Tangan kirinya pun sibuk menutupi luka-luka di 
tubuhnya. Wajahnya yang semula merah terbakar, men-
jadi pucat karena terlalu banyak kehilangan darah. 
Kedua orang pembantu Turangga yang tampaknya 
sudah tidak bisa bertahan lama lagi, segera merapatkan 
punggungnya untuk saling menjaga. Rupanya baik Ba-
lung maupun Panjawa sudah bertekad untuk mati ber-
sama-sama. Meskipun tanpa ucapan, namun dari sinar 
mata mereka jelas terpancar tekad bulat. 
"Habisi kedua iblis keji itu...!" 
Salah seorang pengeroyok yang mengenakan ikat 
kepala berwarna merah, menuding dengan ujung pedang 
ke arah Balung dan Panjawa. Kemudian tubuhnya lang-
sung meluruk, disertai sambaran senjatanya yang siap 
melumatkan tubuh kedua orang pembantu Turangga itu.

Serangan sosok berikat kepala merah itu segera di-
susuli kawan-kawannya. Mereka langsung meluruk diser-
tai ayunan dan sabetan senjata. Rasanya, kali ini Balung 
dan Panjawa tidak mungkin selamat. Dan memang, sera-
ngan kedua belas orang itu datang dari empat penjuru. 
Maka sangat sulit bagi Balung dan Panjawa untuk dapat 
lolos. 
"Jangan sampai kematian kita sias-sia, Balung! Kita 
harus mengajak, paling tidak dua orang untuk ikut me-
layat bersama ke akhirat!" tekad Panjawa. 
Panjawa menggenggam gagang senjatanya erat-erat. 
Sepasang matanya tajam tak berkedip menunggu tibanya 
serangan. Jelas kalau dia berniat menggunakan sisa-sisa 
tenaganya untuk melakukan perlawanan terakhir. 
"Baik, Kakang. Aku pun tidak ingjn mati sia-sia!" sa-
hut Balung, mantap. 
Sepasang mata Balung menatap lurus ke depan. la 
hanya menggunakan ekor matanya untuk mengamati ge-
rakan pedang lawan yang siap akan merencah tubuhnya. 
Kedua tangannya bergetar. Jelas, Balung telah mengerah-
kan seluruh kekuatannya di saat terakhir kehidupannya. 
"Yeaaat..!" 
Teriakan membahana yang dimaksudkan untuk me-
lemahkan semangat lawan, terdengar mengiringi luncu-
ran senjata-senjata belasan orang itu. Namun meskipun 
demikian, baik Balung maupun Panjawa tetap tak ber-ge-
ming dari tempat semula. Hanya saja, mereka telah be-
nar-benar siap membabatkan senjata secara berbarengan 
pada saat serangan lawan datang. Dengan demikian, 
mereka berharap dapat membawa serta beberapa orang 
lawan untuk menghadap Malaikat Maut. 
Tapi pada saat yang sangat berbahaya bagi keselama-
tan Balung dan Panjawa, tiba-tiba sesosok bayangan 
putih melesat cepat bagai kilat. Sepasang tangannya lang

sung mendorong ke arah belasan tubuh yang siap me-
rejam Balung dan Panjawa. 
Wusss! 
"Aaah...!" 
Serangkum angin dingin yang menusuk tulang me-
nyambar keluar dari sepasang telapak tangan sosok baya-
ngan putih itu. Dan akibatnya hebat sekali! Belasan sosok 
tubuh yang semula meluruk kedepan itu langsung ter-
tolak balik, bagai tersapu angin topan dahsyat. 
Bagaikan karung basah, tubuh belasan orang itu 
jatuh saling tumpang tindih. Terdengar suara gigi berge-
meretak akibat hawa dingin yang menusuk tulang bela-
san orang itu. Wajah-wajah mereka pun pucat bagaikan 
tak dialiri darah. Siapa lagi orang yang mempunyai puku-
lan seperti itu kalau bukan Panji atau yang lebih dikenal 
beijuluk Pendekar Naga Putih. 
Sosok bayangan putih yang memang Pendekar Naga 
Putih itu langsung turun tangan begitu melihat bayangan 
kematian yang mengancam Balung dan Panjawa. Pende-
kar Naga Putih langsung dapat menduga kalau kedua 
orang itu bukan orang jahat. Maka ia segera turun tangan 
menolong. Sikap gagah yang ditunjukkan kedua orang 
itulah yang membuat Pendekar Naga Putih turun tangan. 
Dan sepanjang pengetahuannya, hanya orang-orang ber-
jiwa bersihlah yang menghadapi kematian dengan sikap 
gagah. Lain halnya dengan golongan sesat, yang selalu 
merengek ketakutan apabila menghadapi kematian. 
Pendekar Naga Putih langsung memberi totokan pada 
luka di tubuh Balung dan Panjawa agar darah berhenti 
mengalir. Juga, diberikannya obat pulung untuk memu-
lihkan dan menghilangkan rasa sakit di tubuh mereka. 
Tak berapa lama setelah Pendekar Naga Putih meng-
obati Balung dan Panjawa, datang sesosok tubuh ramping 
mengenakan pakaian serba hijau. Siapa lagi sosok itu ka-
lau bukan Kenanga, kekasih Pendekar Naga Putih.

Sementara itu, Balung dan Panjawa segera melangkah 
kedepan Pendekar Naga Putih. Kedua orang itu langsung 
membungkuk disertai ucapan terima kasih atas pertolo-
ngan pemuda tampan berjubah putih itu. 
"Kisanak, kami berdua mengucapkan ribuan terima 
kasih atas pertolonganmu. Rasanya hidup kami tinggal 
seujung rambut lagi. Tanpa pertolongan yang kau beri-
kan, mungkin kami berdua tidak akan menikmati sinar 
matahari esok pagi. Sekali lagi, kami mengucapkan ba-
nyak terima kasih...," ucap Balung. Sedangkan Panjawa 
hanya mengangguk-angguk menyetujui ucapan rekannya 
itu. 
"Janganlah terlalu berlebihan, Kisanak. Apa yang ku-
lakukan tadi hanya suatu kewajiban saja. Jadi, Jangan-
lah dianggap suatu budi yang harus dibalas," sambut 
Panji yang membungkuk membalas penghormatan Ba-
lung dan Panjawa. Senyum ramahnya terkembang meng-
hias wajah. 
Balung dan Panjawa semakin bertambah kagum me-
lihat sikap ramah dan sopan dari pemuda penolongnya. 
Dari cara pemuda tampan itu membalas sikap hormatnya 
saja, sudah benar-benar membuat kedua orang itu tidak 
merasa rendah diri. Padahal, mereka tahu secara jelas 
kalau belasan orang pengeroyok itu dibuat tidak berdaya 
hanya dalam sekejap mata saja. 
Tapi, sikap pemuda itu sama sekali tidak menunjuk-
kan kesombongan. Diam-diam Balung dan Panjawa me-
ngukir dalam hati sikap pemuda penolongnya. 
"Mmm.... Maaf, Kisanak. Kalau boleh tahu, apakah 
yang menyebabkan kalian sampai bertempur mati-mati-
an? Bukankah kalau ada masalah bisa dibicarakan se-
cara kepala dingin?" Tanya Panji mengorek keterangan 
dari Balung yang memang lebih banyak bicara daripada 
Panjawa.

Pendekar Naga Putih yang tengah terlibat pembica-
raan dengan Balung dan Panjawa, tiba-tiba menolehkan 
kepala ke arah pertarungan lain. Ia yang semula berniat 
melerai kedua orang yang tak lain Turangga dan lelaki 
kekar berwajah brewok itu, segera mengurungkan niat-
nya. Dan memang, Kenanga lebih dahulu menghentikan 
pertarungan itu. 
"Lelaki brewok itulah yang lebih dahulu memulai per-
kelahian ini, Kisanak. Kami terpaksa membela diri karena 
tidak ingin terbunuh di tangan mereka," jelas Balung me-
ngadukan kejadian yang menyebabkan pertarungan mati-
matian itu. 
"Hm.... Mari kita kesana. Nampaknya mereka masih 
sama-sama dipengaruhi amarah. Bisa-bisa, pertarungan 
akan kembali terulang apabila masalahnya tidak segera 
diselesaikan. Padahal menurut dugaanku, kalian semua 
adalah orang baik-baik yang selalu berpikiran dingin," 
ujar Pendekar Naga Putih. 
Kata-kata itu diucapkan Pendekar Naga Putih sambil 
melangkah mendekati tempat Turangga yang lengah ber-
sitegang dengan lelaki brewok. 
"Maaf kalau aku bersikap lancang dengan mencam-
puri urusan kalian," ucap Panji begitu tiba di tempat ke-
dua orang yang tengah bersitegang. 
Sambil berkata demikian, Panji menelirik lelaki bre-
wok dan Turangga tanpa kentara. Sehingga, kedua orang 
itu tidak sadar kalau Pendekar Naga Putih tengah menilai 
mereka. 
"Hhh.... Susah sekali mendamaikan mereka, Kakang. 
Lebih baik biarkan saja mereka bertempur sampai puas. 
Barangkali saja, dengan begitu baru tidak ada yang perlu 
diributkan lagi!" dengus Kenanga. Jelas sekali kalau hati-
nya jengkel menghadapi kebandelan kedua orang yang 
hendak didamaikannya itu.

Panji hanya tersenyum melihat kekesalan hati keka-
sihnya dalam menghadapi kedua orang itu. Namun, ia 
tidak menyalahkan Kenanga, karena jalan untuk berbuat 
kebaikan memang sangat sulit dan banyak menuntut 
pengorbanan. Meskipun demikian, Panji tetap bertekad 
mendamaikan kedua belah pihak yang tengah bersitegang 
itu. 
"Hm.... Siapa kau, Anak Muda?! Dan apa hakmu men-
campuri urusan kami? Kami tidak memerlukan seorang 
penengah di sini. Apalagi orang seusiamu!" tegas lelaki 
kekar berwajah brewok itu dengan sikap memandang ren-
dah dan nada mengejek. 
Tapi, Pendekar Naga Putih hanya tersenyum menang-
gapinya. Sedikit pun tidak tampak kemarahan pada wa-
jahnya yang tampan. Sepertinya, sikap yang ditunjukkan 
lelaki brewok itu merupakan hal yang wajar saja. 
Lain halnya dengan Kenanga. Mendengar kekasihnya 
diejek dengan nada yang amat tidak enak, gadis jelita itu 
melangkah maju sambil bertolak pinggang. Sepasang 
mata yang biasanya indah bagai bintang pagi itu, kini 
nampak menggetarkan hati yang memandangnya. Hal itu 
wajar saja, karena gadis jelita itu tanpa sadar telah me-
ngerahkan kekuatan tenaga sakti melalui pancaran sinar 
matanya. 
"Hei, Brewok! Tahukah kau, dengan siapa saat ini ber-
hadapan?! Sikapmu itu sama sekali tidak menunjukkan 
sikap kependekaran! Tapi, lebih tepat sikap golongan 
sesat yang memang selalu mengandalkan kepandaian 
untuk menekan orang lemah! Tapi aku yakin, apabila kau 
tahu sosok di hadapanmu, kau pasti akan berlutut minta 
ampun! Tahu?!" Semprot Kenanga tanpa merasa gentar 
sedikitpun. Sepertinya, dia memang sudah siap meng-
hadapi kemarahan lelaki brewok itu. 
Lelaki kekar berwajah brewok yang ternyata bernama 
Danar Pari itu, memang memiliki sifat berangasan. Dia

kini malah sudah siap membalas makian Kenanga. Sepa-
sang matanya melotot penuh ancaman. Wajah yang di-
penuhi brewok itu pun merah terbakar amarah. 
Lain halnya dengan Turangga. Begitu mendengar pe-
negasan Kenanga, sepasang matanya segera saja menatap 
Panji penuh selidik. Sepasang mata lelaki setengah baya 
itu tampak menyipit, seperti hendak inengingat-ingat se-
suatu. Meskipun ada semacam dugaan dalam benaknya, 
tapi rupanya ia masih meragukan dugaannya. Maka 
tanpa ragu-ragu lagi, Turangga negera bertanya kepada 
Panji. 
"Kisanak. Bagiku tidak ada masalah, apakah kau 
akan menjadi penengah bagi kami atau tidak. Tapi kalau 
boleh tahu, siapakah kau sebenarnya? Dan mengapa 
mencampuri urusan yang tidak ada sangkut pautnya 
denganmu ini?" Tanya Turangga yang ingin mengetahui, 
sampai di mana kepandaian pemuda tampan itu dalam 
mengelakkan ucapannya. 
Kenanga yang juga mendengar pertanyaan itu menjadi 
tidak sabar. Tubuh ramping itu langsung berbalik dan 
menghadap ke arah Turangga dengan sinar mata galak. 
Sepertinya, gadis jelita itu hendak melampiaskan kejeng-
kelan hatinya kepada siapa saja. Dan kali ini yang jadi 
sasarannya adalah Turangga. 
Panji yang memang hafal terhadap sikap keras keka-
sihnya, segera melangkah mendekat. Ditepuknya bahu 
gadis itu perlahan, seperti hendak menyabarkan. Apa 
yang dilakukan pemuda itu ternyata berhasil. Sebab, 
Kenanga yang merasakan tepukan kekasihnya langsung 
membalikkan tubuh dan tidak lagi mempedulikan Tu-
rangga. Jelas, Kenanga hendak menyerahkan masalah itu 
kepada kekasihnya. 
***
LIMA

Turangga yang sejak tadi mengikuti tindak-tanduk 
gadis jelita itu menjadi kagum hatinya. Diam-diam dipuji-
nya sifat gadis jelita itu, yang meski dalam keadaan 
marah bagaimanapun ternyata masih menuruti kemauan 
pemuda tampan berjubah putih itu. Melihat semua ini, 
Turangga menduga kalau kedua anak muda itu pasti 
mempunyai hubungan istimewa. 
Panji melangkah semakin mendekati tempat Turangga 
berdiri. Langkah pemuda itu yang ringan dan kokoh, 
diam-diam diperhatikan Turangga. Dan hal ini membuat 
laki-laki setengah baya itu terkejut. Sebagai orang yang 
memiliki pengalaman Iuas, ia tahu kalau pemuda tampan 
berjubah putih itu pass bukan orang sembarangan. Apa-
lagi, sikapnya terlihat tenang dan penuh percaya diri. Ma-
ka, Turangga semakin bertambah kagum saja dibuatnya. 
"Paman," panggil Panji sambil memutar otak memilih 
kata yang tepat untuk disampaikannya kepada Turangga. 
"Namaku Panji. Dan orang-orang rimba persilatan menge-
nalku sebagai Pendekar Naga Putih.'' 
"Jadi, kaukah pemuda yang berjuluk Pendekar Naga 
Putih? Dugaanku ternyata tidak meleset! Terimalah hor-
mat dari orang tua yang bodoh dan buta ini, Pendekar 
Naga Putih," sahut Turangga yang tanpa ragu-ragu mem-
bungkukkan tubuhnya didepan Panji. Jelas, sikap yang 
ditunjukkan lelaki setengah baya itu tidak dibuat-buat. 
Mendengar kalau pemuda tampan itu adalah Pende-
kar Naga Putih, maka semua orang yang berada di tempat 
itu langsung membungkukkan tubuhnya dengan sikap 
hormat Tidak ketinggatan lelaki brewok yang bernama 
Danar Pati. Dia juga membungkuk hormat ketika menge-
tahui julukan pemuda tampan berjubah putih itu. Bah-
kan tubuhnya dibungkukkan paling dalam di antara lain

nya. Jadi biarpun Danar Pati seorang lelaki yang memiliki 
sifat berangasan, namun memiliki watak jujur yang sudi 
mengakui kesalahannya. 
"Sudahlah, jangan terlalu berlebihan," cegah Panji me-
rendah. 
Pendekar Naga Putih menjadi merasa tidak enak me-
lihat sikap orang-orang itu yang demikian menaruh hor-
mat kepadanya. Diam-diam, hati pemuda itu semakin 
mantap untuk mengetahui apa yang membuat kedua 
belah pihak bertarung sengit. 
"Aku tadi melihat Paman dan yang lainnya bertarung 
mati-matian. Jadi aku merasa tertarik untuk mencam-
purinya. Setelah memperhatikan agak lama, aku merasa 
yakin kalau Paman sekalian pasti tokoh-tokoh golongan 
putih. Nah! Dengan berpegang pada dugaan itulah aku 
memberanikan diri untuk menengahi urusan ini. Dan ka-
lau boleh, aku ingin mengetahui jelas pokok persoalan-
nya. Mudah mudahan saja persoalan ini dapat diselesai-
kan dengan jalan damai tanpa harus mengorbankan 
nyawa percuma," jelas Panji tentang ikut campurnya 
dalam masalah ini. 
Sekarang, Danar Pati yang angkat bicara. Dan tanpa 
ragu-ragu lagi, persoalan yang tengah dihadapinya segera 
dlceritakan. Dalam nada suaranya, jelas sekali tergambar 
kegeraman hati dan rasa penasaran yang amat sangat. 
Sehingga, beberapa kali ceritanya harus dihentikan ka-
rena tak sanggup menahan amarah yang menggemuruh 
dalam dada. 
"Bayangkan saja. Bagaimana hatiku tidak penasaran, 
Pendekar Naga Putih. Entah sudah berapa banyak gadis 
yang lenyap tanpa dapat diketemukan lagi. Beberapa kali 
iblis-iblis itu muncul, dan sengaja memancing kemarahan 
kami. Tapi, mereka selalu lenyap tanpa jejak. Tidak 
sedikit tokoh persilatan yang menjadi korban karena ingin 
mengungkapkan peristiwa yang sangat pelik ini. Itulah

sebabnya, mengapa tanpa banyak cakap lagi kami lang-
sung menyerang saudara Turangga dan kedua orang ka-
wannya. Hal itu kami lakukan, karena takut kalau 
mereka akan lenyap lagi. Jadi, terpaksa kami menye-
rangnya tanpa bertanya lagi," tutur Danar Pati. Dia juga 
segera meminta maaf kepada Turangga, Balung, dan Pan-
jawa. Kedua orang pembantu Turangga itu tampaknya 
telah pulih kesehatannya. 
"Hm.... Jadi, Paman sudah cukup lama mengejar iblis-
iblis penculik wanita itu?" Tanya Pendekar Naga Putih. 
"Benar. Dan sampai saat ini, kami belum juga berhasil 
menangkap iblis itu. Jangankan menangkapnya, untuk 
melihat wajahnya saja, belum mampu. Sebab, setiap kali 
menunjukkan diri, iblis itu selalu saja berada dalam 
tempat gelap. Sehingga, kami hanya bisa melihat baya-
ngannya saja," jelas Danar Pati sambil menundukkan 
wajahnya dengan hati penasaran. 
"Lalu, bagaimana dengan Paman Turangga? Apakah 
persoalan yang Paman hadapi sama?" Tanya Panji me-
ngalihkan pandangannya kepada Turangga yang semen-
jak tadi hanya diam mendengar penuturan Danar Pati. 
Turangga tidak segera menjawab pertanyaan pemuda 
tampan itu. Ditariknya napas terlebih dahulu sebelum 
memulai ceritanya. Sebab, apa yang akan diceritakannya 
masih belum jelas benar. Dan memang, ia sendiri belum 
mengetahui apa yang menyebabkan kematian Barta dan 
istrinya. 
"Persoalan yang kuhadapi, memang tidak serumit apa 
yang tengah dihadapi Danar Pati. Kejadian ini baru per-
tama sekali menimpa desa kami, dan tanpa seorang saksi 
pun yang memergokinya. Jadi, kami masih belum menge-
tahui secara pasti, siapa dan apa yang menjadi penyebab 
kematian Barta dan istrinya. Yang jelas, istri Barta diculik 
dan diperkosa secara biadab di dalam hutan ini, sebelum 
dibunuh manusia berwatak keji itu," jeias Turangga.

"Hm... Persoalan ini ternyata masih sangat gelap. Tapi 
yang jelas, ada kemungkinan pelaku yang dimaksud 
Paman Danar Pari dan Paman Turangga memiliki suatu 
pertalian atau hubungan. Meskipun belum bisa kupasti-
kan, namun aku akan berusaha membantu Paman ber-
dua dalam memecahkan persoalan ini. Sekarang, ada 
baiknya kalau kita menyusun rencana untuk menjebak 
penculik dan pemerkosa biadab itu," usul Panji setelah 
mendengarkan keterangan Danar Pati maupun Turangga. 
*** 
Matahari sudah semaldn bergeser ke arah Barat, 
ketika dua sosok tubuh bergerak cepat melintasi padang 
rumput luas. Menilik dari gerakannya, jelas kalau kedua 
orang itu merupakan tokoh persilatan tingkat atas. Dan 
memang, ilmu lari cepat yang digunakan telah mencapai 
tingkat tinggi. 
Yang seorang bertubuh pendek gemuk, dan berperut 
buncit Dia berlari tanpa mempedulikan sekitarnya. Tata-
pan matanya yang bulat dan menyiratkan ketidak-waja-
ran, menyorot tajam. Siapa saja yang beradu pandang 
dengannya pasti bergidik ngeri. Wajahnya yang dipenuhi 
bulu hitam itu membuatnya terlihat semakin angker. 
Apalagi, di pipi kirinya terdapat segaris luka melintang. 
Sehingga, semakin lengkaplah keangkeran wajahnya. 
Sedangkan yang seorang lagi, tubuhnya tampak tegap 
dan gagah. Wajahnya mencerminkan kekerasan. Sedang-
kan sepasang matanya memancar licik, menandakan 
kalau ia memiliki otak cerdik. Dalam usianya yang paling 
jauh baru sekitar dua puluh satu tahun, ia terlihat 
matang pemikirannya. Apalagi kegesitan dan keringanan 
gerakannya tidak kalah dengan orang tua di sebelahnya. 
Benar-benar seorang pemuda yang bisa dikatakan ber-
bahaya.

"Ke mana kita, Guru...?" Tanya pemuda itu, ketika 
tiba pada sebuah persimpangan jalan. 
Pemuda itu memperlambat larinya, untuk kemudian 
berhenti sama sekali. Dari caranya bertanya, jelas kalau 
dia belum mengetahui arah tujuannya. 
"Hm...." 
Laki-laki berperut buncit yang juga telah menghen-
tikan larinya, memandang bingung ke arah persimpangan 
jalan itu. Sejenak kepalanya berpaling kepada pemuda di 
sebelahnya, seolah-olah meminta pertimbangan mengenai 
arah yang akan ditempuh. 
Pemuda berwajah keras itu menggelengkan wajahnya 
sambil mengangkat bahu. Sepertinya persoalan Itu ingin 
diserahkannya kepada lelaki gendut yang dipanggil guru 
itu. Tampaknya ia tidak mengetahui kebingungan guru-
nya, dan hanya memandang berkeliling menikmati ke-
indahan alam sekitarnya. 
"Hei! Ayo bantu aku berpikir. Jangan hanya diam saja 
seperti kerbau!" 
Sambil membentak pemuda itu, si lelaki gendut me-
layangkan tangan kanannya menampar perlahan kepala 
pemuda itu. 
Tamparan perlahan dan bentakan rupanya cukup me-
ngejutkan pemuda itu. Cepat kepalanya menoleh dengan 
kening berkerut. Jelas, ia merasa tidak suka dengan apa 
yang diperbuat gurunya tadi. 
"Ah! Mengapa aku yang harus diajak berpikir? Kalau 
aku disuruh memilih, maka akan kupilih jalan yang di se-
belah kanan. Sebab, jalan itu terlihat lebih enak. Apalagi, 
di kiri kanannya banyak terdapat pepohonan dan sawah 
yang padinya telah menguning. Tentu rasanya menggem-
birakan melakukan perjalanan sambil menikmati keinda-
han di sekeliling tempat itu," sahut pemuda berwajah 
keras itu sekenanya. Ucapan itu memang bukan berda
sarkan pemikiran, tapi berdasarkan kesenangan dirinya 
sendiri. 
Tapi anehnya, lelaki gendut yang dipanggil guru itu 
sama sekali tidak mempedulikannya. Bahkan malah ter-
tawa terkekeh-kekeh dan mengangguk-anggukkah kepala 
sebagai tanda kepuasan hatinya atas pilihan muridnya. 
Melihat dari tindak tanduknya yang aneh dan wajahnya 
yang selalu terhias senyum aneh itu, jelas kalau pikiran-
nya tidak waras sebagaimana mestinya. 
"Bagus...! Kau memang benar-benar seorang murid 
berbakti, Palawa. Jalan yang kau tunjukkan ltu memang 
tepat sekali. Karena, di sanalah Perguruan Ruyung Maut 
berdiri. Jadi, jalan yang kau tunjukkan itu memang 
betul!" Seru lelaki berperut gendut yang tak lain adalah 
Dedemit Bukit Saji. Entah apa maksudnya ia hendak 
mengunjungi Perguruan Ruyung Maut seperti yang di-
ucapkannya tadi. 
Dedemit Bukit Saji dan muridnya yang bernama Pa-
lawa sudah cukup lama turun gunung setelah berhasil 
mempelajari ilmu-ilmu yang terkandung dalam Kitab Te-
lapak Darah. Hanya sayangnya, otak lelaki gendut ber-
usia sekitar lima puluh tahun lebih itu agak terganggu 
setelah menamatkan isi kitab. Padahal, ada beberapa ba-
gian isi kitab itu yang hilang. Sepertinya, itu memang 
sengaja dihilangkan. Entah apa sebabnya. Yang menge-
tahuinya hanyalah seorang kakek sakti yang berjuluk 
Dewa Tangan Api, karena dialah yang lelah menciptakan 
ilmu pukulan 'Telapak Darah* yang sangat ganas dan 
berbahaya. 
Untungnya Palawa dapat bersikap lebih cerdik dari-
pada gurunya. Sengaja seluruh kandungan isi kitab itu 
tidak dipelajarinya. Yang dipelajarinya hanya beberapa 
bagian yang penting-penting saja, sehingga otaknya tidak 
mengalami gangguan sebagaimana yang dialami gurunya.

Dan kini, setelah genap hampir setengah tahun guru 
dan murid itu menggembleng diri dengan ilmu yang 
kabarnya sangat mengerikan itu, mereka pun turun ke 
dunia ramai. Tujuan mereka kali ini adalah Perguruan 
Ruyung Maut. 
Tak berapa lama kemudian, mereka bergegas meng-
genjot tubuhnya melintasi jalanan berdebu yang dipenuhi 
pula oleh bebatuan bertonjolan. Tapi, semua itu sama 
sekali tidak menghambat lari mereka. Padahal, jalan yang 
dilewati cukup sulit karena tertutup debu tebal. 
Namun, kedua orang itu sama sekali tidak pedulikan 
jalan yang dilalui. Dedemit Bukit Saji dan Palawa kini 
terus melintasi daerah persawahan cukup luas. 
Setelah melewati persawahan, kini langkah kaki sosok 
tubuh itu berhenti didepan sebuah pintu gerbang yang 
terbuat dari kayu gelondongan. 
"Hm.... Aku yakin, di sinilah tempatnya monyet jelek 
yang berjuluk Ruyung Delapan Bayangan. Ayolah, kita 
harus menemuinya," ajak Dedemit Bukit Saji. Tanpa me-
nunggu jawaban muridnya, dia segera melompat melewati 
pintu gerbang yang cukup tinggi. 
Enak saja tubuh gendut itu melambung bagai sebuah 
bola karet yang ringan. Ketika berada di atas pintu ger-
bang yang ujungnya runcing, mendadak tubuh gendut itu 
berputar seperti sengaja mempertontonkan kebolehannya. 
Sepasang tangannya terkembang dan perlahan menepak 
ujung-ujung pintu gerbang itu. Sesaat kemudian, tubuh-
nya kembali melenting manis, dan hinggap di tengah 
halaman depan. Ringan, dan tanpa menimbulkan suara 
sedikit pun. Hebat memang ilmu meringankan tubuh 
yang dipertunjukkannya. Rasanya, jarang ada orang yang 
mampu melakukan hal seperti itu. 
Palawa yang masih berdiri menyaksikan pertunjukan 
gurunya, hanya tersenyum dikulum. Begitu tubuh guru-
nya lenyap, kakinya segera dijejakkan ke tanah. Sesaat

kemudian, tubuhnya langsung melayang. Bagaikan se-
ekor burung besar. Dan gerakan itu masih ditambah 
gerakan kedua tangannya yang mengembang ke kiri dan 
kanan. Tingkah pemuda itu memang benar-benar mirip 
seekor burung, apabila tengah mengembangkan sayap-
nya. 
Seperti juga yang tadi dilakukan gurunya, sepasang 
tangan Palawa bergerak cepat melakukan tepukan perla-
han pada ujung-ujung pintu gerbang Perguruan Ruyung 
Maut. Setelah melenting dan berputaran beberapa kali, 
kedua kakinya menjejak tanah tanpa suara sedikit pun. 
"Ha ha ha...! Guru ternyata semakin hebat saja 
gerakannya. Aku jadi kagum sekali melihatmu melewati 
pintu gerbang sialan itu," ujar Palawa tertawa memuji 
kehebatan gurunya. 
"Hm... Kau pun sudah memiliki kemajuan yang sangat 
pesat, Palawa. Gerakanmu ternyata telah hampir menya-
maiku. Jangan-jangan kau sudah metewatiku. He he 
he...!" 
Setelah berkata demikian, Dedemit Bukit Saji meng-
umbar tawanya berkepanjangan. Namun anehnya, meski-
pun tawa tokoh sesat itu bergema sampai jauh, tapi tak 
seorang pun yang tampak datang menyambutnya. Tentu 
saja hal itu membuat keduanya menjadi keheranan. Dan 
hal ini baru mereka sadari. 
"Kurang ajar...! Apakah Ruyung Delapan Bayangan 
sudah melarikan diri? Mengapa sunyi sekali? Bahkan 
seorang murid pun Udak tampak batang hidungnya!" 
umpat Dedemit Bukit Saji, geram. 
"Kalau memang tidak ada, ya kita pergi. Untuk apa di 
sini lama-lama," sahut Palawa seena tanpa mempedulikan 
perasaan gurunya. 
Memang sifat guru dan murid ini tidak lumrah! Ter-
kadang saling berbantahan hanya karena persoalan 
sepele, tapi semua itu lenyap begitu saja setelah salah

satu merasa disenangkan oleh yang lain. Sikap yang di-
tunjukkan Palawa memang sangat berbeda dengan mu-
rid-murid lain pada umumnya. Sikapnya tampak bebas 
dan tidak terikat peraturan apa pun. 
"Kau mencariku, Dedemit Bukit Saji...?" Tiba-tiba saja 
terdengar sebuah suara menggetarkan, yang disalurkan 
kekuatan tenaga dalam. Bersamaan terdengamya suara 
lantang itu, tiga sosok tubuh keluar dari dalam rumah 
besar di tengah perguruan. Mereka langsung melangkah 
ke arah demit Bukit Saji dan Palawa. 
"Ha ha ha...! Akhirnya kau muncul juga Ruyung 
Delapan Bayangan! Hei? Ada Pendekar Golok Sakti juga, 
rupanya! Dan.... Ha ha ha... Bukankah yang seorang lagi 
itu Ki Bardala si Tendangan Maut..! Ha ha ha.... Tidak 
kusangka, ternyata kau telah mengundang mereka hanya 
untuk menjaga selembar nyawamu, Ruyung Delapan Ba-
yangan?" ejek Dedemit Bukit Saji sambil tertawa ter-
bahak-bahak, melihat lawannya ternyata telah memanggil 
bantuan. 
Tapi, lelaki gemuk pendek yang sombong itu sama 
sekali tidak kelihatan gentar. Sepertinya ia sangat percaya 
dengan kepandaian yang sekarang dimiliki. 
"Hm.... Kau jangan mengada-ada, Dedemit Bukit Saji. 
Aku sama sekali tidak mengundang mereka. Saat ini kami 
bertiga memang tengah berembuk sehubungan adanya 
penculikan-penculikan dan juga perkosaan yang tengah 
terjadi belakangan ini. Secara kebetulan, kedatangan me-
reka sangat bertepatan dengan kedatanganmu. Dan ja-
ngan berpikir kalau aku akan mengeroyokmu. Tidak! Aku 
akan tetap menghadapimu seorang diri, seperti sepuluh 
tahun yang lalu. Kuharap, kau sudah mempersiapkan diri 
sebaik mungkin. Dan kali ini, jangan harap aku akan 
membebaskanmu seperti waktu itu," balas Ruyung Dela-
pan Bayangan yang segera melolos senjatanya dari balik 
punggung.

Wungngng! Wungngng...! 
Terdengar suara mengaung nyaring ketika ruyung 
emas di tangan pendekar berusia lima puluh tahun itu 
berputaran di atas kepala. 
Dedemit Bukit Saji tertawa terbahak-bahak melihat 
kelakuan lawannya Dengan langkah lebar, dia maju bebe-
rapa tjndak ke depan. 
"Lebih baik kau ajak kedua orang temanmu itu untuk 
maju bersama-sama, Ruyung Delapan Bayangan. Jangan 
sampai kau menyesal karena tidak meng-kuti anjuranku. 
Cepatlah, sebelum semuanya terlambat!" tantang Dedemit 
Bukit Saji, pongah. 
"Hm.... Jangan sesumbar dulu, Dedemit Bukit Saji. 
Nanti kau akan kecewa, karena kubuat jungkir balik se-
perti pada waktu sepuluh tahun yang lalu....," balas 
Ruyung Delapan Bayangan tersenyum menimpati ejekan 
lawan. 
"Hmh...!" 
Dedemit Bukit Saji tidak mengatakan apa-apa lagi. 
Langkahnya segera bergeser membenruk kuda-kuda yang 
terlihat kokoh kuat bagai sebuah gunung karang. Sepa-
sang tangannya terkembang ke kiri dan kanan menim-
bulkan deru angin ribut. 
"Mulailah, Dedemit Bukit Saji. Aku sudah ber siap...," 
tantang Ruyung Delapan Bayangan. 
Ketua Perguruan Ruyung Maut itu memainkan sen-
jatanya hingga menimbulkan angin tajam yang ber-
kesiutan. Jelas, pendekar itu tidak ingin membuka sera-
ngan terlebih dahulu. Sepertinya, ia lebih suka bersikap 
menunggu serangan lawan. 
"Tidak bisa, Ruyung Delapan Bayangan. Sebagai Tuan 
rumah, seharusnya kaulah yang memulainya. Tapi kalau 
kau memang takut, tentu saja aku akan menyerang mes-
ki terpaksa," sahut Dedemit Bukit Saji balik menantang 
lawannya.

"Baik! Nah, sambutlah...!" bentak Ruyung Delapan 
Bayangan. 
Pendekar itu segera melcmpat disertai sambaran ru-
yung emasnya yang kadang-kadang berputar memben-
tuk lingkaran. Dan di satu saat, ruyung itu mampu me-
luncur lurus bagai sebatang tongkat yang diluncurkan. 
Benar-benar sebuah pemnainan senjata yang indah dan 
dahsyat. 
Melihat lawan sudah mulai membuka serangan, De-
demit Bukit Saji bergerak mundur sambil menyiapkan 
dirinya. Serangan yang melewati samping tubuhnya lang-
sung dibalas oleh sebuah tendangan kilat yang sangat 
mengejutkan. 
Zebbb! 
Tendangan Dedemit Bukit Saji yang meluncur lurus 
menuju perut lawannya, hanya mengenai tempat kosong. 
Lalu, kembali datang serangan, berupa sambaran ruyung 
emas yang mengancam tubuh Dedemit Rukit Saji. 
Namun, gerakan yang dilakukan Dedemit Bukit Saji 
benar-benar mengejutkan. Tendangan yang semula me-
ngenai angin kosong itu tiba-tiba berputar dari dalam ke 
luar. Maksudnya untuk mematahkan serangan ruyung 
lawan dan sekaligus mengancam batang leher Ruyung 
Delapan Bayangan. 
Wuttt! Wuttt! 
Desss! Plakkk! 
Hantaman ruyung emas itu terpental balik akibat 
putaran kaki Dedemit Bukit Saji. Tokoh sesat berperut 
buncit yang rupanya sudah memperhitungkan kekuatan 
tenaganya, terus saja membabatkan kaki mengincar bela-
kang leher Ruyung Delapan Bayangan. 
Wuttt...! 
"Akh...!" 
Ruyung Delapan Bayangan berseru tertahan melihat 
kaki lawannya masih terus meluncur setelah mematah

kan serangan ruyungnya. Sadar akan bahaya yang meng-
ancam, maka pendekar itu segera melempar tubuhnya ke 
belakang. Dia langsung melakukan beberapa kali salto di 
udara, untuk menjauhi lawannya. 
Dedemit Bukit Saji rupanya teiak ingin kehilangan ke-
sempatan begitu saja. Ketika lawannya terlihat melempar 
tubuh ke belakang, kaki yang menendang itu cepat di-
tekuk dan langsung menjejak tanah! Saat itu, tubuhnya 
yang gendut melayang ke arah Ruyung Delapan Bayangan 
yang masih mengapung di udara. Dengan sikap tubuh 
lurus bagai tonggak, tokoh sesat itu mendorongkan sepa-
sang telapak tangannya ke arah dada lawan. 
Bukan main terkejutnya hati Ruyung Delapan Ba-
yangan ketika melihat serangan datang. Karena sudah 
tidak mungkin lagi mengelak, maka seluruh kekuatan 
tenaga dalamnya bergegas dikerahkan untuk melindungi 
tubuh agar jangan sampai terluka parah. 
Pada saat yang amat berbahaya bagi keselamatan Ru-
yung Delapan Bayangan, Ki Bardala yang semenjak tadi 
mengikuti jalannya pertarungan langsung melesat cepat 
untuk menyelamatkan kawannya. Begitu menyerang, se-
pasang kakinya langsung berputaran mengirim serang-
kaian tendangan maut! 
Perbuatan Ki Bardala tentu saja membuat Dedemit 
Bukit Saji menjadi geram. Tindakan itu membuat tokoh 
sesat berperut buncit itu terpaksa harus menunda sera-
ngannya. Kini perhatiannya beralih kepada Ki Bardala 
untuk menghadapi tendangan maut kakek itu. Cepat 
sepasang tangannya yang terbuka berputar memapak 
tendangan lawan. 
Plak! Plak! Plak! 
"Akh...!" 
Terdengar seruan tertahan ketika tiga buah tenda-
ngan Ki Bardala berhasil dipatahkan Dedemit Bukit Saji 
dengan tamparan telapak tangannya. Tubuh pendekar

berusia enam puluh tahun itu terpentil balik, karena 
tenaga dalamnya masih kalah kuat dengan lawannya. 
Tapi, Ki Bardala segera menunjukkan kebolehannya 
dengan mematahkan daya luncur tubuhnya. Dengan be-
berapa kali gerakan berputar, tubuh kakek Itu dapat 
mendarat di tanah dengan kedua kaki terlebih dahulu. 
Sehingga, tubuhnya tidak sampai terbanting. 
"Hm.... Kau semakin hebat saja, Dedemit Bukit Saji..," 
puji Ki Bardala tulus. 
Ucapan kakek itu bukan hanya sekadar bualan saja. 
Harus diakui kalau tangkisan yang dilakukan tokoh sesat 
itu begitu dahsyat. Padahal sepuluh tahun yang lalu, to-
koh sesat berperut buncit itu dapat dipecundangi Ruyung 
Delapan Bayangan hanya dalam empat puluh jurus. Tapi 
sekarang, justru Dedemit Bukit Saji-lah yang hampir me-
nundukkan lawannya hanya dalam waktu kurang dari 
tiga puluh jurus. Benar-benar suatu kemajuan yang sa-
ngat pesat. 
"He he he.... Sudah kukatakan sejak semula, majulah 
kalian bersama-sama. Tapi, kalian ternyata merasa ter-
lalu tinggi untuk mengeroyokku. Dan sebagai akibat ke-
sombongan itu, nyawa Ruyung Delapan Bayangan hampir 
saja meninggalkan raganya," ejek Dedemit Bukit Saji ter-
tawa bergelak. 
Sepertinya tokoh sesat yang dulu pernah dipecun-
dangi Ruyung Delapan Bayangan merasa bangga dengan 
hasil yang dicapai selama ini. Dan itu telah dibuktikannya 
dengan membuat Ruyung Delapan Bayangan, kalang-
kabut dalam waktu kurang dari tiga puluh jurus. Tentu 
saja hatinya menjadi semakin sombong saja. 
***

ENAM

"Hm... Jangan terlalu bangga dulu, Iblis Gendut! Mes-
kipun tadi aku terdesak, itu karena aku merasa kasihan 
melihat dirimu. Terus terang, tadi aku tidak bersunguh-
sungguh menyerang. Tapi sekarang, jangan harap dapat 
kesempatan seperti tadi lagi. Mari kita buktikan!" gertak 
Ruyung Delapan Bayangan memancing amarah lawan. 
Setelah berkata demikian, pendekar itu melompat ke 
depan. Ruyung emasnya kembali diputar-putar dengan 
gerakan indah dan cepat. 
Wungngng! Wungngng...! 
Putaran ruyung yang menimbulkan angin menderu-
deru itu sama sekali tidak membuat Dedemit Bukit Saji 
gentar. Dengan tatapan tajam menusuk jantung, tokoh 
sesat berperut buncit Itu menarik mundur kakinya. 
Kemudian tubuhnya direndahkan dengan menekuk lutut. 
Sepasang tangannya terkembang ke kiri dan kanan, terus 
berputar ke atas untuk kemudian turun di bawah ping-
gang. 
"Hm.... Hadapilah ilmu 'Telapak Darah' yang baru ku-
rampungkan ini..," geram Dedemit Bukit Saji dingin, na-
mun mengandung getaran yang mempengaruhi daya pikir 
lawan. 
Bent! Bent! 
Serangkum angin panas yang amat kuat menebar 
mengiringi gerakan tangan tokoh sesat itu. Sekilas, ter-
lihat kedua telapak tangan Dedemit Bukit Saji mengepul-
kan asap samar yang juga berhawa panas. Sepertinya, ia 
sudah tidak sabar untuk menamatkan nyawa lawannya. 
"Yeaaat...!" 
Dibarengi bentakan menggeledek, tubuh gendut itu 
meluruk ke arah Ruyung Delapan Bayangan. Sepasang

tangannya yang menebarkan uap panas menyambar-
nyambar dahsyat. 
Wuttt! Wuttt! 
Sambaran angin panas yang menimbulkan suara 
mencicit tajam menulikan telinga, mengiringi serangan 
tokoh sesat itu. Sepintas saja, jelas terlihat kalau sera-
ngan yang dilancarkannya memang benar-benar berba-
haya dan mengandung hawa maut. 
Menyadari bahayanya serangan lawan, maka lelaki 
gagah yang menjadi Ketua Perguruan Ruyung Maut itu 
cepat memutar senjatanya semakin cepat. Seluruh tenaga 
sakdnya dikerahkan ketika merasakan sambaran hawa 
panas yang menerpa tubuhnya. Kali ini, ia benar-benar 
harus menggunakan ilmu andalan untuk menghadapi 
serangan itu. 
Wungngng! Wungngng..! 
Putaran ruyung yang semakin kuat dan menimbulkan 
suara mengaung, ternyata masih belum dapat mengalah-
kan deru angin pukulan Dedemit Bukit Saji. Sehingga 
suara mencicit tajam yang dibarengi hawa panas itu tetap 
saja mengganggu perhatiannya. 
Kedua tokoh yang merupakan musuh bebuyutan itu 
kembali saling menerjang dahsyat. Ruyung emas di ta-
ngan lelaki gagah berusia lima puluh tahun itu berpu-
taran cepat dan menyambar-nyambar bagaikan seekor 
burung wallet. Setiap kali sambarannya selalu diiringi 
suara mengaung menggetarkan dada. Benar-benar tidak 
bisa diremehkan kali ini. Jelas, ucapan yang dikeluar-
kannya tadi bukan merupakan bualan belaka. 
Tapi, Dedemit Bukit Saji pun tidak tinggal diam. Ilmu 
'Telapak Darah' yang dikatakannya tadi memang benar-
benar luar biasa. Setiap sambaran telapak tangannya 
selalu disertai hembusan hawa panas menyengat. Se-
hingga dalam waktu beberapa jurus saja, tubuh Ruyung 
Delapan Bayangan sudah dibanjiri peluh. Bahkan setiap

sambaran ruyung emasnya selalu saja bertolak balik 
ketika hampir menyentuh lawannya. Tentu saja hal itu 
membuatnya terdesak hebat 
"Heaaah...!" 
Ketika pertarungan memasuki Jurus yang kelima be-
las, tiba-tiba Dedemit Bukit Saji mengeluarkan bentakan 
mengejutkan. Berbarengan suara bentakan itu, tubuh 
gendut itu melayang disertai hantaman telapak tangan 
secara bergantian dan susul-menyusul. 
Tentu saja rangkaian serangan Dedemit Bukit Saji 
membuat Ruyung Delapan Bayangan menjadi tercekat. 
Sambaran-sambaran hawa panas yang semula terasa 
tidak begitu kuat, kini mulai terasa menyentuh permu-
kaan kulit. Sebab, hantaman-hantaman telapak tangan 
lawan seperti mengelilingi tubuhnya. Maka pendekar itu 
hanya dapat bertarung mundur tanpa melakukan sera-
ngan balasan. 
Meskipun demikian, Ruyung Delapan Bayang sama 
sekali tidak merasa putus harapan. Ruyung emasnya te-
tap digerakkan walaupun sadar kalau hal itu tidak ber-
guna banyak. Sebab setiap kali senjatanya menyambar, 
ruyung itu selalu saja berbalik dan meng-ancam dirinya 
sendiri. Hal itu disebabkan kuatnya sambaran hawa 
panas yang juga menebar dari tubuh lawan. Sehingga, 
dapat dtpastikan kalau Ruyung Delapan Bayangan tidak 
dapat bertahan lebih lama lagi. 
Ki Bardala dan Pendekar Golok Sakti yang mengikuti 
jalannya pertarungan, tentu saja menjadi cemas. Sadar 
akan keselamatan nyawa kawannya, maka kedua orang 
pendekar itu pun memutuskan untuk ikut menerjunkan 
diri dalam pertempuran itu. 
"Dedemit Bukit Saji...! Sambutlah seranganku...!" 
Setelah memberikan peringatan kepada lawannya, 
tubuh kedua orang pendekar itu meluruk terjun ke dalam 
kancah pertarungan.

Tapi sayang niat kedua orang itu tidak tercapai. Selagi 
tubuh keduanya meluruk ke arah pertarungan Dedemit 
Bukit Saji dan Ruyung Delapan Bayangan, tahu-tahu saja 
sesosok bayangan lain telah melesat memotong arus lun-
curan tubuh mereka. Siapa lagi bayangan itu kalau 
bukan Palawa yang sejak tadi juga mengikuti jalannya 
pertarungan seru itu. 
"Jangan ganggu mereka...! Kalau tangan kalian ludah 
gatal, marilah lota bermain-main sejenak...!" tantang 
Palawa sebelum melompat untuk menyambut KI Bardala 
dan Pendekar Golok Sakti yang bermaksud masuk ke 
dalam pertarungan. 
Bukan main geramnya hati kedua tokoh golongan 
putih itu Karena dengan datangnya anak muda yang 
menjegal serangannya, berarti telah hilanglah kesempatan 
untuk menolong Ruyung Delapan Bayangan. Maka 
dengan kemarahan yang meluap-luap, mereka segera 
menerjang Palawa dengan serangkaian serangan gencar. 
Hal itu dimaksudkan agar salah seorang dari mereka bisa 
pergi. 
"Bedebah, kau! Minggir...!" bentak Ki Bardala. Serta-
merta laki-laki tua Itu mengayunkan kedua kakinya 
melakukan serangkaian tendangan maut. Sekali bergerak 
saja, kedua kakinya telah melancarkan delapan kali 
tendangan dengan sasaran berbeda-beda. Sehingga mau 
tak mau, Palawa menjadi terperangah dibuatnya. 
Pendekar Golok Sakti pun tidak ketinggatan. Sepa-
sang golok perak yang tergenggam di tangannya berkere-
dep menyilaukan mata. Sepasang senjata ampuh itu ber-
kelebatan menyambar-nyambar di sekitar tubuh Palawa. 
Tapi pemuda itu sama sekali tidak kelihatan gentar. 
Meskipun serangan yang dilancarkan kedua orang tokoh 
tua itu begitu dahsyat namun Palawa dapat berslkap 
tenang dalam menghadapinya.

Palawa yang memang sudah bersiap menghadapi per-
tarungan, langsung saja mengumbar pukulan telapak ta-
ngan yang juga menimbulkan hawa panas seperti halnya 
Dedemit Bukit Saji. Rupanya, Palawa pun sudah pula 
mengeluarkan ilmu 'Telapak Darah' yang sangat ampuh. 
 "Yeaaat...!" 
Dibarengi teriakan parau, sepasang telapak tangan 
pemuda itu meluncur deras ke dada Ki Bardala. Sejenak 
laki-laki tua itu terperangah, namun segera memutar kaki 
kanan untuk menghalau serangan itu. Maka tanpa dapat 
dicegah lagi, dua gelombang tenaga sakti yang sama-sama 
kuat itu sating berbenturan keras. 
Blarrr...! 
Terdengar ledakan keras yang disusul terlemparnya 
tubuh Ki Bardala ke belakang. Namun, tubuh kakek itu 
dapat berjumpalitan dan langsung mendaratkan kakinya 
ke tanah, tanpa menderita luka sedikit pun! Hanya saja, 
wajahnya agak sedikit pucat! Dirasakan ada selaput hawa 
hangat yang meresap ke dadanya. Tapi karena rasa itu 
tidak begitu menyakitkan, maka pendekar itu pun tidak 
mempedulikannya. 
Sedangkan tubuh Palawa sendiri, hanya terjajar mun-
dur sejauh empat langkah ke belakang. Hal itu menanda-
kan kalau tenaga dalamnya berada dua tingkat di atas 
tenaga dalam Ki Bardala. Tentu saja kakek itu hampir tak 
percaya melihatnya. 
"Gila...! Hebat sekali tenaga dalam yang dimiliki pe-
muda itu. Entah apa hubungannya dengan Dedemit Bukit 
Saji? Mungkinkah pemuda itu muridnya? Tapi, mengapa 
kepandaian dan kekuatan tenaga dalamnya hampir me-
nyamai iblis itu sendiri?" gumam Ki Bardala tak habis 
mengerti ketika merasakan betapa kuatnya tenaga dalam 
yang dimiliki Palawa. 
Tentu saja ia tidak tahu kalau guru dan murid itu sa-
ma-sama mempelajari ilmu 'Telapak Darah' secara berbarengan. Sehingga tenaga dalam yang dimiliki tidak ber-
selisih jauh. 
Sementara itu, Pendekar Golok Sakti tengah men-
cecar Palawa dengan sambaran-sambaran senjatanya 
yang bertubi-tubi bagaikan gelombang lautan. Sepertinya 
pendekar itu tidak ingin memberi kesempatan sedikit pun 
kepada lawannya untuk membalas. Maka kalau dilihat 
sepintas, Jelas Palawa terdesak oleh serangan-serangan 
gencar iawannya. 
Tapi, tidak demikian halnya yang dirasakan Palawa. 
Pemuda berotak licik itu sengaja berbuat demikian untuk 
memancing kemarahan lawan. Maka ia pun berpura-pura 
terdesak dan tak mampu melancarkan serangan balasan. 
Dengan demikian, lawannya diharapkan akan lengah dan 
pertahanannya pun terbuka. Pada saat itu, barulah Pa-
lawa akan menggempur lawannya habis-habisan. 
Apa yang diduga Palawa mulai terlihat. Pendekar Go-
lok Sakti yang sebenarnya tokoh berpengalaman, menjadi 
semakin penasaran. Serangannya yang selama sepuluh 
jurus itu sama sekali tidak bisa menyentuh tubuh Pa-
lawa. Jangankan untuk melukai, untuk menyentuh ujung 
baju lawannya pun sangat sulit. Tentu saja ia semakin 
bernafsu untuk segera menjatuhkan lawan. 
Palawa yang mulai melihat pancingannya membawa 
hasil, semakin berani membiarkan tubuhnya diserang. 
Beberapa kali ujung golok yang memancarkan sinar ke-
perakan hampir melukai tubuhnya. Untunglah tubuhnya 
masih sempat dimiringkan, sehingga ujung golok lawan 
hanya mengenai ujung bajunya. 
Melihat serangan-serangannya mulai dapat menyen-
tuh lawan, Pendekar Golok Sakti pun semakin bertambah 
semangatnya. Kilatan-kilatan perak semakin ganas me-
nyambar-nyambar. Dan memang, Pendekar Golok Sakti 
sudah tidak sabar untuk menyelesaikan pertarungan se

cepatnya. Namun sayang, ia tidak sadar kalau hal itu 
akan mendatangkan kerugian yang sangat besar baginya. 
"Yeaaa...!" 
Pada saat serangan lawan tengah gencar-gencarnya, 
tiba-tiba Palawa membentak keras mengejutkan Pendekar 
Golok Sakti. Saat itu juga, pemuda licik itu meluruk sam-
bil menampar-nampar keras menimbulkan suara mencicit 
tajam. 
Plak! Plak...! 
"Aaakh...!" 
Terdengar pekik kesakitan keluar dari mulut Pendekar 
Golok Sakti. Dia benar-benar terkejut begitu melihat Pa-
lawa melancarkan serangan balasan yang tak terduga. 
Apalagi, pemuda itu pun mengiririginya dengan bentakan 
yang sangat mengejutkan. 
Maka, tak ayal lagi tubuh Pendekar Golok Sakti ter-
pental bergulingan akibat tamparan lawan yang meng-
hantam dada dan pelipisnya. 
"Huagkh...!" 
Segumpal darah kental teriompat dari mulut pendekar 
itu. Perlahan tangan kanannya mengurut dada yang 
terasa nyeri dan panas akibat hantaman tadi. Tapi, wajah 
pendekar itu mendadak pucat. Matanya terbeliak ketika 
mendapati titik-titik darah yang bersembulan dari setiap 
pori-pori tubuhnya. 
"Ahhh...!" 
Dengan wajah yang semakin pucat, Pendekar Golok 
Sakti meneliti seluruh anggota tubuhnya. Lelaki gagah 
yang tak pernah merasa gentar menghadapi maut itu, kini 
semakin terbelalak ngeri melihat keadaan dirinya. 
"Aaargh...!" . 
Bagaikan orang yang kehilangan ingatan, Pendekar 
Golok Sakti meraung setinggi langit. Hatinya benar-benar 
ngeri melihat seluruh pori-pori di tubuhnya telah me

ngalir darah segar. Dengan gerakan timbung, pendekar 
itu bangkit dan beriarian kesana kemari. 
Tapi hal itu tidak bertangsung lama. Pendekar Golok 
Sakti kini ambruk, karena tubuhnya mendadak lemas. 
Setelah berkelojotan sesaat, dia tewas dalam keadaan me-
nyedihkan. 
Apa yang dialami Pendekar Golok Sakti, ternyata juga 
menimpa diri Ki Bardala. Ia yang semula terbelalak ngeri 
melihat apa yang terjadi terhadap sahabatnya, tersentak 
kaget bagai disengat kalajengking. Betapa tidak? Sebab 
dari seluruh sepasang lengannya, tampak mulai menitik 
cairan merah. Dengan wajah tegang, Ki Bardala mengha-
pus perlahan dengan harapan titik-titik darah itu hanya-
lah percikan dari tubuh sahabatnya. 
Tapi ketegangan di wajah kakek itu semakin menjadi-
jadi, ketika ujung jarinya yang gemetar mencoba meng-
hapus titik-titik darah dari pori-pori lengannya muncul 
lagi titik darah yang lainnya. Bahkan kini mulai menyebar 
di sepanjang lengannya, untuk kemudian terus ber-
kepanjangan ke sekujur tubuhnya. Melihat hal ini, betapa 
ngerinya hati Ki Bardala melihat keadaan dirinya yang 
baru kali ini dialami. 
Palawa yang memang sudah mengetahui akibat pu-
kulan ilmu 'Telapak Darah' tertawa terbahak-bahak 
Pemuda licik itu benar-benar merasa puas dengan hasil 
yang telah dicapainya. Dengan langkah lebar, dihampiri-
nya Ki Bardala yang tengah bergulat dengan maut. 
"Ha ha ha.... Jangan dikira hanya orang yang terkena 
pukulan saja akan mengalami hal itu. Tapi, sedikit ben-
turan dengan pengerahan tenaga dalam pun bisa men-
datangkan kematian yang mengerikan," jelas Palawa sam-
bil tertawa-tawa puas. Sedikit pun tidak ada rasa iba me-
lihat betapa mengerikannya keadaan tubuh Ki Bardala 
saat itu.

Ki Bardala yang semula tidak mengerti kalau keadaan 
itu juga menimpa dirinya, mulai dapat menebak setelah 
mendengar keterangan Palawa. Ia teringat kakinya sem-
pat berbenturan dengan telapak tangan pemuda licik itu. 
Pasti, itulah yang menyebabkan la mengalami hal yang 
serupa dengan Pendekar Golok Sakti. 
"Bangsat kau, Manusia Iblis! Ilmu setan apa yang kau 
pergunakan ini?!" Teriak Ki Bardala yang semakin kalang-
kabut bagai orang kebakaran jenggot. 
Sadar kalau kematian sudah tidak mungkin dapat di-
hindari lagi, maka Ki Bardala menjadi nekat. Disambar-
nya sebilah golok perak yang tergeletak tidak jauh dekat 
kakinya. Disertai teriakan parau, tubuh Ki Bardala lang-
sung meluncur ke arah Palawa! 
Melihat kenekatan lawannya, Palawa sama sekali 
tidak gentar. Dengan sebaris senyum licik, pemuda itu 
berdiri menunggu dengan kedua kaki terpentang lebar. 
 "Hmh...!" 
Sambil menggeram marah, Palawa memutar kedua 
tangannya secara bersilangan didepan dada. Sedangkan, 
matanya tetap tertuju kepada Ki Bardala yang semakin 
mendekat. 
Dan ketika jarak antara mereka hanya tinggal satu 
batang tombak lagi, terdengar bentakan keras yang meng-
getarkan isi dada. 
"Haaat..!" 
Palawa membarengi bentakannya dengan dorongan 
telapak tangan kanan kedepan. Serangkum angin panas 
terlontar dan langsung menghantam dada Ki Bardala 
dengan hebatnya. 
Desss...! 
Tak ubahnya sehelai daun kering, tubuh kakek itu 
terlempar deras disertai semburan darah segar dari 
mulutnya. Raung kematian terdengar menggema seiring

terbantingnya tubuh Ki Bardala atau si Tendangan Maut 
di atas rerumputan. 
Apa yang dialami tubuh tua itu ternyata mengerikan 
sekali. Tubuh Ki Bardala yang tengah berkelojotan mere-
gang nyawa, meleleh bagaikan gumpalan es mencair! 
Asap tipis yang menebarkan bau busuk mengepul seiring 
lenyapnya tubuh Ki Bardala. 
Dan kini tubuh si Tendangan Maut lenyap tanpa be-
kas. Yang tersisa hanyalah cairan merah menggenang di 
atas rerumputan hijau. Kakek yang namanya cukup ter-
kenal dalam kalangan rimba persilatan itu tewas di ta-
ngan seorang pemuda tak dikenal, namun memiliki ilmu 
'Telapak Darah' yang amat menggiriskan! 
"Ha ha ha.... Ternyata jerih payahku selama ini tidak 
sia-sia!" 
Celak tawa penuh kepuasan berkumandang meng-
getarkan Perguruan Ruyung Maut Palawa benar-benar 
merasa puas dengan hasil yang telah dicapainya. 
"Benar, Palawa. Kini tidak ada lagi yang perlu ditakuti 
di dunia ini. Dengan sempumanya ilmu 'Telapak Darah' 
yang kita miliki, tak seorang pun akan dapat menghalangi 
kita," sambut suara parau tertawa bergelak sambil me-
langkah mendekati pemuda itu. 
"Ah, Guru.... Bagaimana dengan Ruyung Delapan Ba-
yangan? Apakah telah berhasil ditundukkan?" Tanya Pa-
lawa ketika melihat Dedemit Bukit Saji tengah melangkah 
ke arahnya. 
"Ha ha ha.... Sebelum kau menyelesaikan lawanmu, 
aku telah lebih dulu menghabisi nyawa manusia sombong 
itu. Nasibnya pun sama dengan yang dialami lawanmu 
itu," sahut Dedemit Bukit Saji, jelas-jelas sangat gembira 
dengan hasil mereka berdua. 
"Kalau begitu, kita berdua telah hampir mencapai titik 
kesempurnaan," seru Palawa gembira.

"Ayo, kita pergi...," ajak Dedemit Bukit Saji tidak me-
nanggapi ucapan muridnya. 
Tanpa banyak cakap lagi, Palawa segera melangkah 
mengikuti gurunya. Saat itu, sinar kemerahan telah 
menghiasi kaki langjt sebelah Barat. Pertanda sang men-
tari bersiap naik ke peraduannya. 
***
TUJUH

Irama gamelan mengalun lembut merasuk telinga. 
Suara itu berasal dari dalam sebuah bangunan besar 
yang terlihat ramai. Wajah-wajah terhias senyum baha-
gia tampak hilir mudik memadati halaman. Melihat dari 
hiasan-hiasan yang menyemarak, jelas kalau si pemilik 
rumah tengah mengadakan suatu pesta. 
Seorang lelaki setengah baya yang mengenakan 
pakaian indah, tak henti-hentinya mengumbar senyum 
menyambut para tamu yang datang. Sinar kebahagiaan 
jelas terpancar di matanya. 
Pada ruangan depan yang terhias indah, tampak dua 
sosok tubuh duduk bersanding di pelaminan mengenakan 
pakaian indah. Wajah lelaki muda dan wanita cantik di 
sebelahnya terhias senyum menyalami para tamu yang da 
tang. Sepertinya, mereka benar-benar bahagia menikmati 
kehidupan baru menjadi suami istri. 
"Pasangan mempelai itu benar-benar cocok dan me-
nimbulkan rasa iri di hatiku. Kau benar-benar pandai 
dalam memilih menantu, Prakosa," bisik seorang lelaki 
gendut berpakaian mewah. 
Menilik dari sikap dan pakaian yang dikenakan, pa-
ling tidak dia merupakan seorang hartawan kaya. Selesai 
mengucapkan kata-kata itu, tawanya berderai menambah 
kebisingan. 
"Ha ha ha.... Maruta... Maruta. Akan kau ke manakan 
kelima orang istrimu itu? Apakah lima orang Istri yang 
cantik dan muda masih kurang memuaskanmu?" Sahut 
laki-laki setengah baya itu, dengan suara rendah. 
la yang merupakan tuan rumah pesta itu, senantiasa 
selalu bersikap ramah dalam menyambut tamu-tamunya. 
Tidak peduli, apakah tamu yang datang itu merupakan

orang terhormat atau hanya penduduk biasa. Itulah salah 
satu sifat Juragan Prakosa yang sangat disukai penduduk 
Desa Rawa Jati. Meskipun ia salah satu orang terkaya di 
desa itu, namun dalam menyebarkan undangan ia tidak 
memilih. Maka wajar saja kalau pesta pemikahan putra 
pertamanya itu berlangsung ramai dan meriah. 
Di tengah ramainya suasana pesta yang diadakan Ju-
ragan Prakosa, tiba-tiba terdengar suara terkekeh serak. 
Hebatnya, suara kekeh itu sanggup menindih irama ga-
melan yang menyemarakkan pesta. 
Para tamu yang saat itu tengah mencicipi hidangan, 
serentak menoleh ka arah asal suara. Wajah-wajah mere-
ka tampak menyiratkan sinar kemarahan ke arah sosok 
tubuh tinggi kurus yang melangkah menuju rumah besar 
itu. 
"Hm.... Apa maksudnya kakek-kakek gila itu datang 
kemari? Apakah Juragan Prakosa juga mengundang 
orang seperti itu?" bisik salah seorang tamu. Dia memang 
merasa terganggu dengan kehadiran kakek tinggi kurus 
berpakaian compang-camping itu. 
"Kurasa tidak. Mungkin orang gila itu merasa tertarik 
melihat keramaian di sini, kemudian melangkah menda-
tanginya. Biasa, untuk mencari makanan," sahut lelaki 
berkumis tipis menyahuti ucapan teman sebangkunya. 
Tapi kakek berpakaian compang-camping dan beram-
but putih panjang yang awut-awutan itu terus saja me-
langkah sambil tertawa-tawa serak. Tidak dipedulikan 
pandangan para tamu yang tertuju kepadanya. Melihat 
dari penampilannya, jelas kalau kakek tinggi kurus itu 
memang bukanlah orang waras. 
"He he he.... Ramai..., ramai.... Lucu...," celoteh kakek 
itu. Pandangannya beredar sambil memperlihatkan gigi-
giginya yang hitam tak terawat. Kakinya terus saja ter-
ayun menuju ruangan utama tempat terdapat pasangan 
pengantin rumah itu.

Dua orang pengawat keluarga Juragan Prakosa, tentu 
saja tidak ingin mendapat marah dari majikannya. Maka 
keduanya cepat bergerak menghadang langkah kakek gila 
itu. 
"Hei, Kakek Gila! Ayo, pergi dan tinggalkan tempat ini! 
Atau aku akan menyeretmu secara paksa!" Bentak salah 
seorang tukang pukul Juragan Prakosa, sambil memutar-
mutar kumisnya dengan lagak dibuat seram. 
"He he he.... Dua kerbau menghadang jalan. Galak-
galak bertampang seram. Lucu.., lucu...," kata kakek itu 
seraya tertawa gembira. 
Sambil berkata demikian, jari telunjuknya yang ber-
kuku hitam ditudingkan ke wajah kedua orang itu ber-
gantian. Sementara tangan kirinya sibuk mengusap-usap 
perut, berlagak seperti orang mules. 
'Tua bangka keparat! Berani kau mengatakan kami 
sebagai kerbau! Apakah kau memang sengaja ingin men-
cari keributan di sini?" Bentak lelaki berkepala botak itu 
menahan kegeramannya. 
Kalau saja tempat itu tidak ramai, mungkin sudah di-
terjangnya kakek itu. Tapi karena ia tidak ingin meng-
ganggu acara pesta, maka kemarahan itu ditahan di da-
lam dada. 
Orang kedua yang memiliki tubuh tinggi besar dan 
berwajah cukup gagah melangkah semakin dekat Tanpa 
berbicara apa-apa, diambilnya beberapa macam penga-
nan dari atas meja. Lalu, diserahkannya kepada kakek 
gila itu. 
Tapi kakek gila itu sama sekali tidak mempedulikan 
sikap baik mereka. Uluran tangan itu sama sekali tidak 
disambutnya. Bahkan sepasang matanya yang senantiasa 
berputar liar menatap wajah lelaki tinggi besar itu lekat-
lekat. Kepalanya ditelengkan ke kiri kanan dengan sikap 
lucu.

Perbuatan kakek itu tentu saja menimbulkan tawa 
berderai dari para undangan. Sikap ketolol-tololan yang 
ditunjukkannya benar-benar menggelitik perut. Sehingga 
tanpa sadar, para undangan tertawa geli. Merah selebar 
wajah lelaki tinggi besar itu mendengar tawa yang jelas-
jelas ditujukan kepadanya. Namun, kemarahan dan ke-
dongkolan hatinya ditahan sekuat tenaga. 
"Kakek, ambillah. Makanan ini enak sekali...," bujuk 
lelaki tinggi besar itu sambil kembali meng-angsurkan 
makanan yang berada dalam genggaman. 
Namun, apa yang dilakukan. kakek gila itu benar-be-
nar di luar dugaan. Tanpa berkata sepatah pun, tangan-
nya bergerak cepat menyambar makanan di tangan lelaki 
tinggi besar itu. Namun yang membuat orang-orang ter-
pekik ngeri adalah, bukan hanya makanan itu saja yang 
diambil si kakek gila. Tapi, telapak tangan lelaki tinggi 
besar itu pun ikut tertarik hingga putus sebatas perge-
langan. Maka, hiruk-pikuklah suasana pesta yang semula 
ramai dan meriah itu. 
"Akh...!" terdengar keluhan tertahan, ketika orang 
tinggi tegap itu menyadari keadaan tangannya. 
Lelaki tinggi besar yang merupakan salah seorang pe-
ngawal Juragan Prakosa itu langsung berteriak kesakitan 
sambil memegangi lengan kanannya yang putus! Wajah-
nya yang kecoklatan itu berubah pucat sambil menatapi 
cairan merah yang tak henti-hentinya menyembur mem-
basahi lantai. 
"Gila...!" seru lelaki berkepala botak yang juga me-
rupakan tukang pukul Juragan Prakosa. 
Jelas, wajah lelaki botak itu dicekam kengerian me-
lihat keadaan kawannya. Rasa terkejut yang menguasai 
hati membuatnya tidak sanggup mengetuarkan sepatah 
kata pun. 
Sementara itu, kakek gila berambut riap-riapan sama 
sekali tidak mempedulikan kedua orang tukang pukul

Juragan Prakosa. Telapak tangan sebatas pergelangan 
yang masih menggenggam makanan itu dilemparkannya 
begitu saja. Kemudian, kakinya melangkah lebar mema-
suki ruangan pengantin sambil memperdengarkan kekeh 
seraknya. 
Juragan Prakosa yang merasa terkejut ketika men-
dengar jeritan-jeritan para tamu undangannya, bergegas 
ke luar. Wajah lelaki setengah baya itu berubah geram 
ketika melihat seorang kakek tinggi kurus yang mirip 
jembel gila tengah melangkah ke arahnya. 
"Keparar! Usir dan enyahkan kakek gila itu dari 
sini...!" teriak Juragan Prakosa kepada empat orang tu-
kang pukul yang senantaasa berada di belakangnya. 
Tanpa diperintah dua kali, empat orang tukang pukul 
itu langsung berlompatan dan mengurung kakek gila. 
Mereka menyangka kalau kakek berambut awut-awutan 
itu hanya merupakan pengemis gila biasa. Maka salah se-
orang dari mereka langsung mengulur tangan menjam-
bret leher baju kakek itu, lalu menariknya ke luar. 
Namun, kegemparan pun kembali terjadi Tukang 
pukul bertubuh gemuk yang terlihat sangat kuat itu sama 
sekali tidak berhasil mengangkat tubuh kurus kakek gila 
itu. Seolah-olah, tubuh kakek gila itu berubah menjadi 
patung batu yang amat berat. 
"He he he.... Kau sangat membosankan! Pergilah, aku 
tidak suka padamu," kata kakek tinggi kurus sambil 
menggerakkan tangan kirinya yang juga menjambret leher 
lelaki gemuk itu. 
"Aaah...!" 
Tukang pukul bertubuh gemuk yang belum hilang 
rasa keheranannya, kembali dibuat terbelalak! Tubuhnya 
yang semestinya tidak mungkin dapat diangkat kakek itu, 
ternyata dengan mudah dapat dilemparkan hanya sekali 
sentak saja. 
Brakkk!

Pohon besar di sudut halaman rumah itu bergetar 
ketika terhmpa tubuh gemuk itu. Setelah mengerang lirih 
menahan rasa sakit, lelaki gemuk itu pun pingsan seke-
tika. 
"Bangsat! Bunuh kakek gila itu...!" teriak salah 
seorang lainnya yang bertubuh kekar dan berwajah kasar, 
sambil menghunus senjatanya. Dia langsung melompat 
membabat tubuh tinggi kurus itu. 
Dua orang tukang pukul lain yang juga sudah tidak 
bisa menahan sabar, segera mencabut senjata masing-
masing dan menyabetkan ke tubuh kakek itu. 
Namun kakek gila itu seperti tidak mempedulikan 
serangan para pengeroyoknya, dan malah enak saja me-
lenggang masuk menuju tempat pasangan pengantin ber-
sanding. Dan ketika ujung-ujung senjata hampir me-
nyentuh tubuhnya, tangan kanannya langsung mengibas 
perlahan seperti mengusir pergi seekor lalat. 
Bresss! 
"Aaa...l" 
Hebat sekali akibat yang ditimbulkan kibasan per-
lahan kakek gila itu. Tiga sosok tubuh pengeroyoknya 
langsung terpental balik bagaikan dihembus kekuatan 
raksasa yang tak tampak. Semburan darah segar seketika 
membasahi lantai. Dan, ketiga orang tukang pukul Jura-
gan Prakosa itu pun tewas seketika. 
Sedangkan kakek gila itu sudah berada di ambang 
pintu. Sepasang matanya yang tajam bergerak merayapi 
sekitar ruangan yang tertata rapi dan indah. Seringai di 
wajahnya terkembang begitu melihat tubuh ramping 
pengantin wanita yang saat itu tengah diungsikan. 
"He he he.... Mau lari ke mana kau, Manisku...?" kata 
kakek gila itu. 
Tubuh tua itu langsung saja melesat dan menyambar 
tubuh molek berpakaian indah. Kemudian, tanpa mem-
pedulikan keributan dan teriakan-teriakan marah orang

orang yang berada di dalam ruangan, tubuh si kakek gila 
langsung melesat dan lenyap di balik tembok pembatas 
rumah. 
"Kejar...! Tangkap penculik gila itu...!" Juragan Pra-
kosa berteriak-teriak memanggjl para tukang pukulnya. 
Bagaikan orang kesetanan, lelaki setengah baya itu 
berlarian kian kemari dengan perasaan kalut. 
Sedangkan pengantin pria yang tadi hendak melindu-
ngi mempelai wanitanya, sudah tergeletak pingsan akibat 
sambaran tangan si kakek gila. 
Semua kejadian yang berlangsung demikian cepat dan 
tak terduga itu membuat para tamu yang berada di dalam 
ruangan terpaku bagai patung. Kesadaran mereka baru 
pulih ketika terdengar teriakan Juragan Prakosa. Sua-
sana pun semakin kalut, karena para tamu yang tersadar 
langsung berlarian mencari keselamatan masing-masing. 
Para tukang pukul Juragan Prakosa yang hanya ting-
gal tiga orang, bergegas mengejar si penculik. Beberapa 
orang tamu yang memiliki keberanian ikut pula mengejar 
kakek gila itu. 
Namun sayang, kepandaian ilmu lari penculik itu ter-
nyata sangat hebat. Dalam waktu yang singkat saja, 
bayangan tubuhnya telah mencapai perbatasan Desa Ra-
wa Jati. Untuk kemudian, lenyap di antara pepohonan. 
Tentu saja para pengejar yang hanya memiliki sedikit 
kepandaian menjadi kehilangan jejak. Mereka hanya ber-
diri saja sambil mencari-cari dengan pandangan matanya 
di dekat mulut desa. Ketika tidak seorang pun yang me-
lihat bayangan si penculik, baru tukang pukul dan bebe-
rapa orang tamu itu bergegas kembali ke rumah Juragan 
Prakosa untuk melaporkan hasil pengejaran mereka. 
*** 
"Lepaskan aku...! Lepaskan...!"

Gadis cantik yang berada dalam pondongan lelaki 
tinggi kurus itu meronta-ronta ketakutan. Wajahnya yang 
semula terhias cantik sudah dibasahi air mata. Namun, 
dekapan kakek gila yang menculiknya dari rumah Jura-
gan Prakosa itu ternyata sangat erat dan sulit sekali di-
lepaskan. Sehingga, wanita muda itu hanya dapat mena-
ngis sedih. 
"Uh, uh..., bisamu hanya menangis saja, Kuntilanak! 
Tidak bisakah kau tersenyum dan menyenangkan hatiku? 
Atau kau memang ingin kusiksa agar tangismu ber-
henti?!" ancam kakek gila itu. Wajahnya yang kumal itu 
tampak cemberut tak senang. 
Karena tangis wanita muda itu tak juga berhenti, ma-
ka ketika tiba di dalam sebuah hutan kecil, kakek gila itu 
melemparkan tubuh dalam pondongannya ke atas tanah 
berumput. Melihat dari caranya yang kasar itu, jelas 
kalau hati kakek itu merasa tidak senang mendengar 
tangisan wanita yang diculiknya. 
Brukkk! 
Gadis manis itu menggeliatkan tubuh, karena ping-
gulnya terasa sakit akibat terbentur akar pohon yang 
menonjol di permukaan tanah. Wajahnya tetap menun-
duk tak berani menatap sepasang mata beringas kakek 
gila itu. 
"Hayo! Mengapa tidak menangis lagi, Budak Hina!" 
Bentak si kakek gila sambil mengulurkan tangannya 
menjambret baju yang dikenakan wanita itu. 
Brettt! 
"Aaaw...!" 
Perempuan muda itu menjerit dan tubuhnya ter-
lempar bergulingan. Kedua tangannya yang berjari-jari 
lentik itu sibuk menyembunyikan bagian dadanya yang 
terbuka, ketika pakaiannya robek terenggut tangan kakek 
gila yang menjambretnya secara kasar.

Sadar akan bahaya yang akan menimpa, maka tanpa 
mempedulikan pakaiannya, perempuan muda itu berge-
rak bangkit dan langsung melarikan diri. 
"He he he.... Bagus... bagus! Larilah sesukamu. Aku 
senang dengan permainan ini...," ledek kakek gila itu 
sambil terkekeh gembira. Dibiarkannya gadis itu melari-
kan diri semakin jauh ke dalam hutan. Tak berapa lama 
kemudian, barulah kakek itu melangkahkan kakinya me-
nyusul perempuan itu. 
Sambil terus memperdengarkan tawa terkekeh, kakek 
gila itu melangkah lambat-lambat menuju ke dalam hu-
tan. Meskipun langkahnya terlihat lambat, namun jarak 
belasan tombak yang ditempuh dapat dicapai hanya 
dalam waktu singkat. Benar-benar suatu kepandaian 
ilmu meringankan tubuh yang sukar diukur. 
Pengejaran yang dilakukan kakek gila itu tentu saja 
tidak berlangsung lama. Dalam waktu singkat saja, tam-
paklah bayangan wanita buruannya itu. Nampaknya, 
kakek itu hanya memerlukan beberapa langkah lagi un-
tuk dapat menangkap gadis muda itu. 
Rasa takut semakin hebat menguasai hati gadis itu 
ketika menoleh ke belakang. Tampak kakek gila berambut 
awut-awutan itu sudah semakin dekat dengan dirinya. 
"Ohhh...!" 
Karena terlalu sering menoleh ke belakang, akhirnya 
tubuh gadis itu terjerembab karena kakinya terantuk 
akar pohon. Dengan gerakan kalut, ia berusaha bangkit 
berdiri. Tapi baru saja hendak melangkah, sebuah ceng-
keraman kuat membuat gadis itu menahan jeritannya. 
Sebelum gadis itu menyadari keadaannya, tahu-tahu 
saja tubuhnya tertarik ke belakang. Dia kembali jatuh ke 
dalam pelukan kakek gila yang terkekeh sambil menciumi 
kulit lehernya.

Namun, sebelum sesuatu yang lebih mengerikan me-
nimpa gadis cantik bernasib malang itu terjadi, terdengar 
bentakan keras. 
"Jahanam keji! Lepaskan gadis tak berdosa itu..!" Ber-
barengan bentakan yang menggetarkan itu, beberapa so-
sok tubuh berlompatan keluar dari semak-semak. Begitu 
tiba, mereka langsung bergerak mengurung kakek gila 
yang tengah dirasuki nafsu iblis itu. 
Bukan main marahnya kakek gila itu melihat ada 
orang yang berani mengganggu kesenangannya. Dengan 
gerakan kasar, dilemparkannya tubuh wanita muda da-
lam pelukan nya. Sepasang matanya yang tajam menco-
rong, merayapi belasan orang yang mengurungnya. 
Tatapan sepasang mata yang menggetarkan itu mem-
buat belasan orang pengepungnya tersentak mundur 
dengan wajah pucat. Hanya dua orang saja yangtetap di 
tempat, dan menentang pandangan mata kakek gila itu 
tanpa rasa gentar sedikit pun. 
"Dewa Tangan Api...!" seru salah seorang pengepung 
yang ikut melompat mundur. Nada suaranya terdengar 
penuh keraguan. Jelas, lelaki kekar yang berwajah bre-
wok itu masih meragukan ucapannya. 
"Hei? Benarkah dia Dewa Tangan Api, Paman Danar 
Pati...?" Tanya pemuda berjubah putih yang menentang 
pandang mata kakek itu. 
Pemuda itu hampir-hampir tak percaya dengan peng-
lihatannya. Sedangkan gadis jelita berpakaian serba hijau 
yang berada di sebelah kiri pemuda itu hanya berdiri 
tegak, dan tetap menatap ke arah kakek gila yang ter-
nyata adalah Dewa Tangan Api. 
"Rasanya mataku masih awas, Pendekar Naga Putih. 
Jelas, kakek ini adalah Dewa Tangan Api. Aku masih 
dapat mengenalinya meskipun pakaian dan penampilan-
nya sudah seperti seorang jembel gila. Hhh.... Mengapa ia 
sampai berbuat demikian? Padahal setahuku, ia telah

lama menyadari kesesatannya dan menyembunyikan diri 
di Gunung Bulangkang. Tapi, mengapa sekarang kembali 
berbuat kejahatan?" desah orang yang bemama Danar 
Pati. 
Dia rupanya telah mengenal Dewa Tangan Api cukup 
baik. Bahkan lelaki kekar berwajah brewok itu tahu ten-
tang masa lalu kakek gila itu. Sehingga, ia dapat mene-
rang-kannya kepada pemuda berjubah putih yang me-
mang Pendekar Naga Putih. 
*** 
Dugaan Danar Pari memang tidak salah. Kakek gila 
itu memang Dewa Tangan Api. Hanya yang tidak dike-
tahuinya adalah penyebab kegilaan dan bangkitnya nafsu 
jahat dalam diri kakek itu. Memang, sebenarnya Dewa 
Tangan Api terkena racun yang telah lama mengeram di 
tubuhnya. Itu terjadi ketika dia bertarung dengan Dede-
mit Bukit Saji. Racun itu dilepaskan murid tokoh sesat 
itu yang bernama Palawa secara licik. Dan setelah melalui 
penderitaan panjang yang menyakitkan, akhirnya Dewa 
Tangan Api kini menjelma menjadi seorang iblis keji 
hamba nafsu. 
Racun jahat yang menurut Dedemit Bukit Saji belum 
ada obatnya itu telah merusakkan syaraf-syaraf di kepala-
nya. Sehingga, kesadarannya pun lenyap. Dia sama sekali 
tidak menyadari tingkah lakunya yang dikutuk tokoh-
tokoh persilatan golongan putih. Sebab yang menjadi ke-
inginan kakek itu hanyalah, bagai-mana harus melam-
piaskan nafsu binatangnya yang senantiasa bergolak tak 
tertahankan. Itulah yang menyebabkan, mengapa seorang 
kakek seperti Dewa Tangan Api masih tega melakukan 
perbuatan-perbuatan biadab dan keji. 
"Hm.... Rasanya dapat kuduga, apa yang menyebab-
kan Dewa Tangan Api sampai tega melakukan perbuatan

perbuatan keji selama ini," gumam Panji, perlahan. Se-
dangkan sepasang matanya tetap saja mengawasi kakek 
itu. 
"Hm.... Apa yang menjadi penyebabnya, Pendekar Na-
ga Putih...?" Tanya Danar Pari memandang Pendekar 
Naga Putih dengan sinar mata heran. 
"Coba perhatjkan tingkah laku dan sinar matanya. 
Rasanya, ada keanehan yang menguasainya. Apakah 
Paman tidak dapat melihatnya," jelas Panji. 
"Ya, ya.... Aku melihatnya. Sinar matanya begitu liar 
dan tidak wajar. Apalagi caranya berpakaian. Jelas kalau 
Dewa Tangan Api telah menjadi orang tak waras. Dan, 
ketidakwarasannya itulah yang telah menyeretnya mela-
kukan perbuatan-perbuatan keji dan biadab. Tapi, apa 
yang membuatnya bisa menjadi gila?" Tanya Danar Pati 
seraya menggeleng-gelengkan kepala tak mengerti. 
"Tidak perlu heran, Paman. Meskipun kepandaian 
Dewa Tangan Api sangat tinggi, tapi masih banyak orang 
yang dapat melebihi kesaktiannya Dan mungkin saja dia 
pernah bertarung melawan orang yang seperti kusebut-
kan itu. Entah karena pukulan ataupun senjata-senjata 
beracun, yang jelas ia berhasil dilukai lawannya. Hingga 
akhirnya, Dewa Tangan Api kini menjadi orang gila yang 
selalu berkeliaran mencari mangsa. Hal seperti itu bisa 
saja terjadi, Paman," sahut Panji menerangkan dugaan-
nya. 
Danar Pati, Kenanga, maupun yang lain mengang-
guk-anggukkan kepala mendengar uraian Panji. Seperti-
nya, keterangan pemuda itu dapat diterima akal. Dan 
memang, mungkin saja hal seperti itu terjadi. 
"Lalu, apa yang harus kita lakukan sekarang, Pen-
dekar Naga Putih...?" Tanya Danar Pati yang merasa 
kehilangan akal. 
Dan memang, untuk menghadapi kakek gila yang ber-
kepandaian tinggi itu memang sangat berbahaya. Kalau ia

dan kawan-kawannya nekat mengeroyok, sama saja me-
ngantarkan nyawa sia-sia. Maka, lelaki brewok itu 
sengaja menyerahkan persoalan kepada Pendekar Naga 
Putih. Tentu saja maksudnya agar Panji menghadapi 
kakek sakti itu. 
"Hm.... Paman dan yang lainnya harap me-nyingkir 
dulu. Aku akan berusaha sekuat tenaga menundukkan-
nya. Kalau nasibku baik, mungkin selamat. Sebab me-
lihat sinar matanya, jelas kalau Dewa Tangan Api seperti 
ingin menelan tubuh kita bulat-bulat," sahut Panji me-
rendah. 
Setelah berkata demikian, pemuda tampan yang 
mengenakan jubah putih itu melangkah beberapa tindak 
kedepan. Langkahnya terhenti dalam jarak kurang dari 
dua tombak di hadapan Dewa Tangan Api yang menatap 
penuh nafsu membunuh. 
***
DELAPAN


Melihat Panji sudah melangkah menghampiri Dewa 
Tangan Api, Danar Pati dan yang lain berjalan menjauhi 
tempat itu. Sebab mereka sadar sepenuhnya kalau per-
tarungan antara kedua orang sakti itu akan sangat ber-
bahaya bagi keselamatan jiwa. 
"Hmh...!" 
Dewa Tangan Api menggeram gusar. Rupanya keda-
tangan pemuda itu semakin membuatnya marah. Dan 
tanpa peringatan lagi, kakek itu langsung mendorongkan 
telapak tangan kanan dengan pukulan jarak jauh. 
Wusss,..! 
Serangkum angin kuat berhawa panas menyengat 
menerjang deras tubuh Pendekar Naga Putih. Daun-daun 
pohon yang terkena hawa sambaran angin pukulan itu 
langsung berjatuhan dalam keadaan kering. Dapat di-
bayangkan, betapa dahsyatnya hawa panas yang terkan-
dung di dalam pukulan tadi. 
Panji tentu saja tahu akan bahaya yang mengancam-
nya. Maka 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' dalam tubuhnya 
langsung bergolak dan membentuk lapisan kabut ber-
sinar putih keperakan. Berbarengan muneulnya kabut 
yang menyelimuri sekujur tubuhnya, bertiuplah angin 
dingin menusuk tulang. 
Pendekar Naga Putih sengaja tidak beranjak dari tem-
patnya berdiri. Dia tahu, apabila pukulan jarak jauh ka-
kek itu dihindari, maka lawan akan kembali menyusuli 
dengan pukulan-pukulan dahsyat. Dan hal itu tentu saja 
dapat menghilangkan kesempatan baginya untuk melaku-
kan serangan balasan. Itulah sebabnya, mengapa pemuda 
itu memutuskan untuk memapak pukulan jarak jauh 
Dewa Tangan Api.

"Hmh...!" 
Disertai gerengan menggetarkan, sepasang tangan 
Pendekar Naga Putih bergerak naik lurus menuding 
langit. Kemudian meluncur turun dan terhenti didepan 
dada dalam posisi menyilang. 
"Yeaaah...!" 
Sambil membentak keras, Pendekar Naga Putih men-
dorong telapak tangan kanannya dengan menggunakan 
lebih separuh tenaga saktinya. Maksudnya untuk men-
jaga, jangan sampai menderita kerugian dalam gebrakan 
adu tenaga dalam itu. 
Wusss...! 
Angin dingin yang dapat membekukan darah melun-
cur pesat menimbulkan suara mencicit tajam. Angin 
pukulan yang terlontar dari telapak tangan pemuda itu 
melesat memapak pukulan jarak jauh lawan. 
Blarrr...! 
Dua gelombang tenaga sakti yang maha dahsyat itu 
saling berbenturan menimbulkan ledakan dahsyat seperti 
hendak merobohkan gunung. Bukan main hebatnya 
tenaga sakti yang dimiliki kedua tokoh sakti itu. 
Tapi hebatnya, meskipun benturan itu telah mem-
buat bumi di sekitarnya bergetar, namun tubuh mereka 
satu sama lain hanya terjajar mundur sejauh empat 
langkah ke belakang. Dari sini saja sudah dapat dinilai 
kalau kekuatan yang dimiliki Panji dan Dewa Tangan Api 
berimbang. 
Panji sama sekali tidak merasa heran terhadap ke-
kuatan yang dimiliki lawannya. Dan memang, nama Dewa 
Tangan Api telah sangat terkenal dan termasuk tokoh 
silat kelas satu pada masa itu. Ingatan itu pula yang 
membuatnya harus berhati-hati dalam menghadapi kakek 
gila yang berkepandaian tinggi itu. 
"Bangsat! Bocah setan...!" umpat Dewa Tangan Api 
sambil mengibaskan kedua tangannya untuk memperoleh

keseimbangan. Kemudian, dengan gerakan aneh, kedua 
kakinya bergeser ke kiri dan kanan. Kemudian dia ber-
gerak maju ke arah Pendekar Naga Putih. 
Wuttt! Wuttt! 
Sambaran angin panas yang mencicit tajam, menyer-
tai pukulan-pukulan Dewa Tangan Api yang terkadang 
bergerak lurus mengancam dada. Tapi di lain saat, sepa-
sang tangan itu berputaran membentuk lingkaran gelom-
bang bagai dinding berhawa menyengat. 
Pendekar Naga Putih yang memang telah menyadari 
akan kehebatan lawan, tidak ingin bertindak kepalang 
tanggung. Melihat lawan sudah menerjang maju kembali, 
maka pemuda itu bergegas menggeser kaki kanannya ke 
samping. Sedangkan sepasang tangannya yang sudah 
membentuk cakar naga, bergerak susul-menyusul disertai 
langkah kakinya. 
"Haiiit...!" 
Dibarengi bentakan keras, sepasang tangan Pendekar 
Naga Putih mulai menyambar-nyambar mengancam tu-
buh lawan. Sambaran angin dingin yang mencicit tajam 
menyertai setiap ayunan tangannya. 
Namun Dewa Tangan Api juga tidak ingin tinggal 
diam. Sambil berkelebatan menghindari sambaran cakar 
naga lawan, sesekali kakek gila itu pun melontarkan 
serangan balasan yang tidak kalah berbahayanya dengan 
serangan lawan. Sehingga, pertempuran yang berlang-
sung antara kedua orang tokoh sakti itu semakin seru 
dan menegangkan. 
Bettt! 
Panji menggeser kaki kiri ke samping sambil meren-
dahkan tubuh untuk menghindari hantaman telapak 
tangan lawan yang mengincar dada. Begitu hantaman itu 
luput, tubuh Pendekar Naga Putih langsung mengegos 
disertai tendangan kilat yang meluncur deras menuju pe-
lipis Dewa Tangan Api.

Meskipun dalam keadaan kurang waras, namun ka-
kek itu ternyata tidak kehilangan kepandaiannya. Tubuh-
nya segera didoyongkan ke belakang saat tendangan 
miring lawan meluruk menuju pelipis. Gerakan itu masih 
dibarengi tepisan tangan kanan yang tepat menghantam 
tumit Panji. 
Plakkk! 
Terdengar suara keras ketika telapak tangan kakek 
gila itu menepiskan tendangan lawan. Namun, tendangan 
yang berhasil ditepiskan itu terus saja berputar mengikuti 
tenaga sampokan tangan Dewa Tangan Api. Sepertinya, 
hal itu memang sudah diperhitungkan Pendekar Naga 
Putih. 
Dan sebelum kakek gila itu menyadari, tahu-tahu saja 
tendangan lawan kembali menyambar deras. Kali ini 
bukan pelipis yang menjadi sasaran, melainkan lambung 
Dewa Tangan Api. 
Zebbb! 
Kegilaan itu ternyata tidak mengurangi kewaspada-
annya terhadap ancaman bahaya. Melihat datangnya ten-
dangan lawan yang meluruk mengincar lambung, cepat 
tubuhnya meloncat ke atas dan terus melakukan bebe-
rapa kali salto di udara. 
Tapi kali ini Pendekar Naga Putih tidak sudi mem-
biarkan lawan lolos begitu saja. Ketika lawannya terlihat 
melontarkan tubuhnya ke atas, pemuda itu segera mena-
rik pulang tendangannya. Sacepat telapak kakinya meng-
hentak bumi, secepat itu pula tubuhnya melesat menyu-
suli tubuh Dewa Tangan Api. Gerakannya dibarengi 
dengan dorongan kedua tangannya yang terbuka. 
Keadaan itu tentu saja sangat sulit bagi Dewa Tangan 
Api untuk menghindar. Maka tanpa dapat dicegah lagi, 
sepasang telapak tangan itu pun menghantam telak dada-
nya. 
"Huagkh...!"

Hantaman dahsyat yang telak mengenai dada kakek 
itu, membuat tubuhnya terlontar bagaikan sehelai daun 
kering. Semburan darah yang keluar dari mulut kakek itu 
muncrat membasahi rerumputan hijau. 
Brukkk! 
Bagaikan sehelai kain basah, tubuh kakek itu lang-
sung ambruk di atas permukaan tanah. 
Melihat tubuh lawannya diam Udak bergerak, Pende-
kar Naga Putih bergegas menghampirinya. Tapi pada saat 
jarak di antara mereka hanya tinggal beberapa tindak 
lagi, tiba-tiba saja tubuh Dewa Tangan Api melenting 
bangkit Langsung diterjangnya Pendekar Naga Putih de-
ngan dorongan sepasang telapak tangan. 
"Aaah..,!" 
Bukan main terperanjatnya hati Pendekar Naga Putih 
melihat serangan tak terduga yang amat berbahaya bagi 
keselamatannya. Untunglah 'Tenaga Sakti Gerhana Bu-
lan' yang ada dalam dirinya telah terlatih baik. Maka 
ketika sambaran angin panas datang menerpanya, tenaga 
sakti dalam tubuhnya pun bergerak dan langsung me-
lindunginya. 
Hantaman telapak tangan lawan yang hanya tinggal 
beberapa jengkal dari tubuhnya, langsung dipapak Pen-
dekar Naga Putih dengan menggunakan seluruh kekuatan 
tenaga sakti yang ada dalam dirinya. Hal itu dilakukan, 
semata-mata untuk melindungi dirinya dari kematian. 
Sebab, disadari betul kalau saat itu Dewa Tangan Api 
pasti mengerahkan seluruh kekuatan untuk menghabisi 
orang yang mengganggunya. 
Blarrr....' 
Tanpa dapat dicegah lagi, dua gelombang tenaga 
dahsyat ltu kembali bertemu. Asap putih kehitaman lang-
sung mengepul akibat pertemuan dua tenaga dalam yang 
berlainan sifat.

Akibat yang diderita Panji pun tidak ringan. Tubuhnya 
terlempar ke belakang, hingga menabrak sebatang pohon 
yang langsung tumbang menimbulkan suara bergemuruh. 
"Heaaah...!" 
Sadar kalau benturan dahsyat itu telah mengakibat-
kan luka dalam yang tidak ringan, cepat Panji menghim-
pun kekuatan hawa murninya. Didorongnya keluar pe-
ngaruh benturan yang terasa mengganjal di dalam dada-
nya. 
Sedangkan keadaan Dewa Tangan Api, jelas lebih 
parah. Apalagi saat benturan itu terjadi, ia masih dalam 
keadaan terluka dalam. Sehingga tubuh kurus itu terlem-
par bagaikan sehelai daun kering Dari mulutnya tampak 
menyembur darah segar. 
Brakkk..! 
Sebatang pohon yang berada di belakangnya, tak kuat 
menahan daya luncur tubuh kakek itu. Terdengar suara 
berderak ribut ketika pohon itu tumbang. Sementara, tu-
buh Dewa Tangan Api sendiri tergolek lemah dengan 
napas satu-satu. Jelas, kalau luka yang kali ini dialami-
nya lebih parah. Sehingga orang tua tidak mampu lagi 
bangkit. 
Panji yang sudah mengusir pengaruh benturan me-
langkah mendekati tubuh Dewa Tangan Api. Kini sikap-
nya lebih hati-hati. Bahkan, pemuda itu tela menyiapkan 
tenaga saktinya untuk berjaga-jaga dari kecurangan 
kakek gila itu. 
Namun, ketika melihat betapa keadaan Dewa Tangan 
Api benar-benar parah, Panji pun bergerak membungkuk 
dan melakukan beberapa kali totokan untuk mengurangi 
penderitaan kakek itu. Lalu, dijejalkannya sebutir obat 
berwarna putih yang berkhasiat menyembuhkan luka 
dalam.

"Bagaimana keadaannya, Kakang...? Apakah masih 
bisa disembuhkan?" Tanya Kenanga yang tahu tahu telah 
berada di samping Panji. 
Pendekar Naga Putih tersenyum dan mengedarkan 
pandangannya kepada Danar Pati dan yang lainnya. Ru-
panya mereka telah berkumpul di belakang pemuda itu. 
"Untunglah Dewa Tangan Api memiliki kekuatan tu-
buh yang luar biasa. Sehingga benturan dahsyat tadi 
tidak sampai membuatnya tewas. Rasanya semua telah 
berakhir, Paman. Aku akan membawa Dewa Tangan Api 
untuk menyembuhkan luka-luka ataupun racun yang 
mengeram di dalam tubuhnya. Tolong antarkan gadis itu 
pulang. Dan jangan lupa sampaikan salamku kepada Pa-
man Turangga," pamit Panji yang segera meletakkan tu-
buh Dewa Tangan Api di atas bahunya. 
Lalu, bersama Kenanga, mereka berpisah dengan rom-
bongan Danar Pati. 
"Selamat jalan, Pendekar Naga Putih...," desah Danar 
Pati, parau. Jelas kalau laki-laki brewok ini merasa berat 
untuk berpisah dengan pendekar muda yang sangat dika-
guminya itu. 
Setelah bayangan tubuh Panji dan Kenanga lenyap, 
Danar Pari pun mengajak rombongannya untuk mening-
galkan tempat itu. 
*** 
Pendekar Naga Putih dan Kenanga yang telah cukup 
jauh meninggalkan Danar Pati dan kawan-kawannya, 
tiba-tiba berbalik dengan wajah tegang. 
"Kau dengar suara itu, Kenanga...?" Tanya Panji 
seperti hendak memastikan apa yang didengarnya. 
"Aku pun mendengarnya, Kakang. Sepertinya jeritan 
itu berasal dari tempat rombongan Paman Danar Pati

yang baru saja kita tinggalkan?" Sahut Kenanga yang juga 
menjadi tegang. 
Tanpa banyak cakap lagi, Pendekar Naga Putih segera 
melesat cepat mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya. 
Sebab, nalurinya membisikkan sesuatu yang mengerikan 
tengah menimpa rombongan sahabatnya Itu. 
Pendekar Naga Putih terus melesat ketika tidak me-
nemukan rombongan Danar Pati di tempat semula. Dia 
menduga kalau rombongan sahabatnya itu pasti hendak 
meninggalkan hutan. Maka Panji segera mengambil jalan 
setapak yang menuju mulut hutan. Sementara Kenanga 
hanya mengikuti beberapa tombak di belakangnya. 
Jerit kematian yang merasuk telinganya, membuat pe-
muda tampan itu semakin mempercepat larinya. Sehing-
ga, tubuhnya hanya seperti bayangan putih yang berge-
rak menyelinap di antara pepohonan hutan. 
"Ahhh...!" 
Pendekar Naga Putih berseru tertahan ketika melihat 
enam sosok tubuh bergeletakan mandi darah! Dikenali-
nya betul kalau keenam orang itu adalah anggota rom-
bongan Danar Pati. Maka cepat kepalanya menoleh ke 
arah pertempuran yang tengah berlangsung ramai. Tam-
pak seorang lelaki gemuk berperut buncit tengah dikero-
yok Danar Pati dan kawan-kawannya. Melihat keadaan 
sahabatnya itu tengah terancam maut, maka tanpa mem-
buang-buang waktu lagi, Pendekar Naga Putih segera ber-
kelebat menuju ke arena pertempuran. Hal itu dilakukan-
nya setelah terlebih dahulu mengamankan Dewa Tangan 
Api. 
"Heaaat..!" 
Plakkk! 
Begitu tiba, Pendekar Naga Putih langsung melepas-
kan sebuah tamparan keras untuk menyelamatkan Danar 
Pati dari ancaman maut. Kedatangannya memang sangat 
tepat. Sehingga, tamparan lelaki gemuk berperut buncit

itu dapat dipukul mundur. Kalau tidak, mungkin batok 
kepala Danar Pati sudah pecah berhamburan akibat tam-
paran lawannya. 
Danar Pati menarik napas lega ketika mengetahui ka-
lau yang telah mendongnya adalah Pendekar Naga Putih. 
Bergegas ia dan kawan-kawannya menyingkir dari arena 
pertempuran. Karena, saat itu Panji sudah bertarung he-
bat melawan laki-laki berperut buncit yang tak lain dari 
Dedemit Bukit Saji. 
Panji yang saat itu telah langsung melontarkan sera-
ngan-serangan kilat ke arah Dedemit Bukit Saji, menjadi 
terkejut sekali. Dan memang, kepandaian laki-laki sete-
ngah baya itu ternyata sangat hebat. Bahkan boleh dibi-
lang tidak kalah hebat dengan kepandaian Dewa Tangan 
Api. 
"Heaaah...!" 
Plakkk! Plakkk! Bukkk! 
"Aaakh...!" 
Dua buah serangan Panji yang mengarah dada dan 
lambung Dedemit Bukit Saji, berhasil ditangkis lawan. 
Bahkan tokoh sesat itu sempat pula mengirimkan sebuah 
hantaman tinju ke perut Pendekar Naga Putih. 
Pendekar Naga Putih menghapus cairan merah yang 
mengalir di sudut bibimya. Sadar kalau tenaga saktinya 
masih belum pulih akibat bertempur mati-matian mela-
wan Dewa Tangan Api, maka tanpa ragu-ragu lagi, Pe-
dang Naga Langit yang tergantung di punggungnya segera 
dicabut. 
Sring! 
Kilatan sinar keemasan berkeredep menyilaukan 
mata. Kini Pedang Naga Langit telah tergenggam erat di 
tangan kanan Pendekar Naga Putih. Dan tanpa memberi 
kesempatan kepada lawan, pemuda itu cepat memutar 
pedang dan langsung membabatkannya secara mendatar. 
Wuttt!

"Eh...?!" 
Bukan main terkejutnya hati Dedemit Bukit Saji 
ketika merasakan hawa aneh yang keluar dari pedang 
lawan. Cepat ia melompat ke belakang hingga dua batang 
tombak jauhnya. Rupanya sekali melihat saja, tokoh sesat 
berperut buncit itu tahu kalau senjata yang berada di 
tangan lawan sangat ampuh dan berpengaruh. 
"Palawa! Hayo bantu aku merebut pedang di tangan 
pemuda ini!" Teriak Dedemit Bukit Saji sambil menoleh ke 
arah pemuda bertubuh tegap yang tengah bertarung me-
lawan Kenanga, dibantu Danar Pati dan kawan-kawan-
nya. 
"Tidak bisa. Guru! Seharusnya kaulah yang memban-
tuku! Lihat! Aku sedang terdesak!" Sahut pemuda itu 
yang tak lain dari Palawa, murid Dedemit Bukit Saji. 
Sambil menyahut, pemuda itu kembali melompat meng-
hindari sambaran Pedang Sinar Rembulan yang meng-
ancam perut. 
Elakan Palawa ternyata tidak membuat senjata itu 
berhenti menyerang! Sebab begitu serangannya lotos, Ke-
nanga memutar senjatanya. Pedang itu langsung bergerak 
turun menyambar pinggang lawannya. Gerakannya yang 
cepat dan tak terduga itu, tentu saja membuat Palawa 
semakin kalang kabut. Maka, la pun segera melompat 
jauh ke belakang. Setelah melakukan beberapa kali salto 
di udara, barulah pemuda itu dapat menarik napas Iega. 
Tapi, kelegaan di hati Palawa tidak berlangsung lama. 
Sebab, baik Kenanga, Danar Pati, dan kawan-kawannya, 
kembali datang menyerbu ke arahnya. Tentu saja Palawa 
tidak sudi tubuhnya dirajam senjata-senjata lawan. Maka 
tubuhnya segera bergerak menghindar, diselingi pukulan 
balasannya sesekali. 
Sementara itu, pertempuran antara Panji melawan 
Dedemit Bukit Saji sudah kembali berlangsung. Tokoh 
sesat berusia lima puluh tahun itu tengah mati-matian

menghindari sabetan pedang lawan yang benar-benar 
membuatnya mati langkah! Sebab, ke mana saja berlari 
menghindar, selalu saja senjata Panji membayanginya. 
Sehingga, Dedemit Bukit Saji menjadi kalang kabut. 
Panji yang kelihatan jelas ingin segera menyelesaikan 
pertarungan, segera melancarkan serangan susul-menyu-
sul bagaikan gelombang laut yang tak pernah putus. Se-
hingga, gulungan-gulungan sinar keemasan semakin me-
ngurung rapat tubuh lawannya dari segala arah. Samba-
ran-sambaran Pedang Naga Langit yang menimbulkan 
hawa menggiriskan, membuat Dedemit Bukit Saji sema-
kin kelabakan dan tidak sempat menggunakan jurus an-
dalannya, ilmu 'Telapak Darah'. Tentu saja hal itu mem-
buat jurus-jurusnya jadi kacau dan tidak terarah. 
Sehingga, serangan-serangan Panji semakin gencar meng-
incar tubuhnya. 
Pada saat pertarungan memasuki jurus ketujuh pu-
luh, tiba-tiba terdengar pekikan nyaring dari mulut Pen-
dekar Naga Putih. Saat itu juga, tubuh Panji mencelat 
naik dan melambung ke udara. Rupanya, pemuda itu 
ingin segera mengakhiri pertempuran dengan mengguna-
kan jurus 'Naga Sakti Meluruk ke Dalam Bumi'. 
"Heaaat..!" 
Bukan main terkejutnya hati Dedemit Bukit Saji me-
lihat serangan yang dilancarkan lawan. Bulatan sinar ke-
emasan berpendar dan menyilaukan mata membuatnya 
tidak sanggup memandang. Apalagi deru angin tajam 
yang ditimbulkan putaran senjata lawan seperti membuat 
urat-urat tubuhnya lumpuh seketika. Maka.... 
Bretttl! Brett! 
"Aaargh...!" 
Dedemit Bukit Saji berteriak setinggi langit ketika 
ujung pedang Pendekar Naga Putih menghunjam tubuh-
nya berkali-kali. Darah segar memercik mengiringi ter-
lemparnya tubuh gemuk berperut buncit itu.

Berbarengan tewasnya Dedemit Bukit Saji, terdengar 
raungan panjang yang menggetarkan hutan. Sebentar 
kemudian, tampak terbanting sosok tubuh tegap. Siapa 
lagi kalau bukan Palawa. Cairan merah tampak mengalir 
turun dari luka-luka di tubuh pemuda itu. Setelah ber-
kelojotan sesaat, tubuh Palawa meng-hembuskan napas-
nya yang terakhir. Pemuda itu tewas di ujung pedang 
Kenanga, Danar Pati, dan kawan-kawannya. 
"Dedemit Bukit Saji...," gumam Pendekar Naga Putih 
memandangi mayat lawannya. "Rupanya ia kembali mem-
buat keonaran setelah bertahun-tahun menghilang dari 
rimba persilatan." 
"Ya! Syukurlah kini ia telah tewas di tanganmu, Pen-
dekar Naga Putih. Tentunya penyebab kegilaan Dewa Ta-
ngan Api pun pasti karena diracuni oleh tokoh sesat ini, 
sehingga pikirannya berubah. Dedemit Bukit Saji memang 
terkenal dengan racun-racunnya yang sangat jahat. Kami 
mengucapkan terima kasih atas pertolonganmu, dan juga 
Kenanga. Untunglah kedatangan kalian tepat pada wak-
tunya. Kalau tidak, mungkin kami sudah melayat ke a-
khirat," ucap Danar Pati seraya membungkukkan tubuh-
nya dalam-dalam ke arah Panji dan Kenanga. 
Panji tersenyum sambil mengulurkan tangan meraih 
bahu kekasihnya. 
"Sudahlah, Paman. Sekarang kami benar-benar 
hendak pamit Dan mudah-mudahan, tidak ada lagi yang 
menghalangi perjalanan Paman dan kawan-kawan lain-
nya," kata Pendekar Naga Putih seraya menarik napas 
lega. 
Dengan tubuh Dewa Tangan Api yang kembali berada 
di atas bahu Panji, sepasang pendekar itu melangkah 
meninggalkan Danar Pati dan kawan-kawannya. Mereka 
mengantar kepergian Pendekar Naga Putih dan Kenanga 
dengan pandangan penuh terima kasih.
"Lebih baik kuburkan dulu mayat kedua orang ini. 
Setelah itu, barulah kita lanjutkan perjalanan," usul Da-
nar Pati melihat bayangan pasangan pendekar muda itu 
lenyap dari pandangan. 




                                 SELESAI 


Share:

0 comments:

Posting Komentar