DEWA TANGAN API
penerbit buku silat bermutu
DEWA TANGAN API
Oleh T. Hidayat
Cefakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Gambar sampul oleh Soeryadi
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa
izin tertulis dari penerbit
T. Hidayat
Serial Pendekar Naga Putih
dalam episode:
Dewa Tangan Apit
128 hal : 12 x 18 cm
SATU
"He he he...! Akan lari ke mana kau, Setan Cilik...?!"
Terdengar teriakan bernada meremehkan yang diiringi
tawa terkekeh nyaring.
Sosok tubuh berperut buncit yang mengeluarkan
suara itu berlari cepat mendaki lereng Gunung Bulang-
kang. Langkah kakinya terlihat demikian ringan dan
gesit. Sungguh tak cocok dengan bentuk tubuhnya yang
pendek gemuk. Belum lagi, perutnya yang bagaikan
wanita hamil. Tapi, semua itu ternyata sama sekali tidak
menghambat gerakannya. Dari sini saja sudah dapat
dinilai kalau kepandaian orang itu cukup tinggi.
Sedangkan sosok tubuh lain yang dikejar memiliki
perawakan tegap dan gagah. Dia terus saja berlari tanpa
mempedulikan ejekan pengejarnya. Kelihatannya, usia
orang itu paling jauh sekitar dua puluh tahun. Namun,
kepandaian ilmu larinya ternyata lumayan juga. Sehing-
ga, jarak di antara mereka tidak berubah.
Lelaki berperut buncit yang berusia sekitar lima puluh
tahun itu seperti memang sengaja tidak sungguh-sung-
guh mengejar. Dia sudah memperhitungkan kalau orang
yang dikejar tidak akan tolos dari tangannya. Itulah se-
babnya, mengapa ia tidak berusaha memperpendek jarak
di antara mereka.
Dan, apa yang diperhitungkan lelaki gendut itu
ternyata memang tidak meleset. Pemuda berwajah keras
yang memiliki sepasang mata licik itu terlihat bingung
ketika telah tiba di atas puncak Gunung Bulangkang. Dia
kemudian menghentikan larinya. Dan memang, yang
dilewatinya kini adalah jalan satu-satunya untuk menuju
puncak gunung. Sedangkan di kiri kanannya terdapat
tebing-tebing curam yang tertutup semak belukar. Rasa-
nya, tebing itu siap menelan mentah-mentah tubuhnya.
"Gila! Rasanya aku memang harus mati di tangan iblis
gendut itu!" Umpatnya dengan wajah pucat. Tubuhnya
hanya terpaku, menanti kedatangan orang yang menge-
jarnya.
"He he he...! Sudah kukatakan, kau tidak akan
mungkin lolos dari tanganku, Setan Cilik! Nah, bukan-
kah ucapanku sekarang terbukti?" Ejek lelaki setengah
baya berperut buncit itu tertawa penuh kemenangan
ketika telah dekat dengan pemuda itu. Kaki-kakinya yang
pendek kini hanya melangkah perlahan-lahan semakin
mendekati pemuda itu.
"Ha... Dedemit Bukit Saji! Jangan dikira aku akan me-
nyerah begitu saja! Meskipun aku bukan tandinganmu,
tapi jangan harap untuk bisa menangkapku!" geram
pemuda itu.
Kaki kanan pemuda itu bergeser ke belakang dan
langsung merendahkan tubuh. Sedangkan tangan kanan-
nya dengan telapak terbuka melindungi ubun-ubun ke-
pala. Sementara tangan kirinya yang mengepal menjulur
ke depan. Jelas kalau pemuda itu tidak sudi menyerah
begitu saja kepada laki-laki gendut yang dipanggil Dede-
mit Bukit Saji itu.
"Hei?! Kau masih belum menyerah juga rupanya?"
ejek Dedemit Bukit Saji. Langkah kakinya pun berhenti
ketika melihat buruannya telah bersiap menghadapi per-
tarungan mati-matian.
Dengan langkah pendek-pendek, Dedemit Bukit Saji
mengintari pemuda itu disertai kekehnya yang berkepan-
jangan. Sepasang matanya yang bulat dan tajam meneliti
bentuk kuda-kuda yang dipergunakan pemuda itu. Jelas
kalau lelaki gendut itu sangat memandang rendah lawan-
nya.
"Hmh...!"
Disertai geraman kasar, mendadak tubuh Dedemit
Bukit Saji berbalik dan membentuk kuda-kuda dengan
telapak kaki depan tergantung di atas tanah.
Melihat lawannya sudah bersiap bertarung, pemuda
itu kembali bergerak. Sepasang tangannya berputar seje-
nak disertai geseran kakinya, namun tetap dalam bentuk
kuda-kuda kokoh.
"Hiyaaat..!"
Dibarengi teriakan nyaring, tubuh pemuda itu lang-
sung melesat ke arah lawannya. Sepasang tangannya ber-
gerak susul-menyusul dalam bentuk pukulan dan tusu-
kan jari-jari tangan. Sekali serang saja, la telah melon-
tarkan serangkaian pukulan yang menimbulkan samba-
ran angin tajam.
Wuttt! Wuttt!
Heberapa buah kepalan dan tusukan jari-jari pemuda
itu meluruk di sekitar tubuh Dedemit Bukit Saji. Tapi
dengan gerakan cepat, lelaki gendut itu dapat menghin-
darinya. Bahkan dua buah pukulan yang mengarah ke
dada dan leher berhasil dipapaknya.
Plakkk! Plakkk!
"Uuugh...!"
Lelaki muda itu mengeluh pendek ketika dua buah
pukulannya terasa bagai membentur besi panas. Kuda-
kudanya tergempur mundur, akibat tangkisan lawan yang
mengandung tenaga dalam tinggi. Mulut pemuda itu kon-
tan menyeringai. Jelas, rasa sakit akibat benturan dengan
lawan telah mendera tangannya.
"Heaaah...!"
Sambil membentak kesal, pemuda itu menjejakkan
kaki ke tanah kuat-kuat untuk mematahkan daya dorong
tangkisan lawan. Sepasang tangannya bergerak cepat
agar keseimbangannya terjaga, sekaligus menyalurkan
tenaga dalam untuk menghilangkan rasa linu pada tulang
lengannya.
"Happp...!"
Saat itu Dedemit Bukit Saji sudah melompat dan lang-
sung mengirimkan pukulan lurus ke dada lawan. Sedang-
kan tangan kirinya berada di sisi telinga, siap melontar-
kan tamparan.
Melihat serangan yang mengincar dadanya datang,
pemuda itu memutar tubuh dengan menggunakan gera-
kan pinggang. Seketika kaki kirinya juga terangkat naik
melakukan tendangan lurus ke perut Iawan. Benar-benar
sebuah serangan yang patut dipuji. Karena itu dilakukan
sekaligus untuk menghindari pukulan Dedemit Bukit
Saji.
Namun, gerakan yang dilakukan Dedemit Bukit Saji
pun tidak kalah hebatnya. Kaki kirinya segera melangkah
kedepan membentuk kuda-kuda silang. Gerakan itu di-
barengi putaran tubuhnya ke samping. Lalu, tangan kiri
yang semula berada di dekat telinga bergerak turun,
untuk menghantam tulang kering Iawannya. Tidak ber-
henti sampai di situ saja. Dedemit Bukit Saji yang habis
menangkis kembali menggerakkan tangannya menghan-
tam dada lawan dengan menggunakan punggung tangan.
Desss! Buggg!
"Hugkh...!"
Tanpa dapat dicegah lagi, tangkisan dan hantaman
punggung tangan Dedemit Bukit Saji telak menemui
sasaran. Tubuh pemuda itu langsung tersentak kuat ke
belakang. Darah segar langsung menyembur membasahi
tanah berumput di sekitar tempat itu.
Tubuh pemuda itu terbanting keras di atas permu-
kaan tanah. Untuk sesaat lamanya dia hanya terduduk
sambil terbatuk-batuk. Rupanya hantaman punggung
tangan Dedemit Bukit Saji bukan sebuah pukulan ringan.
Buktinya, akibat yang dirasakan pemuda itu ternyata
cukup parah.
"He he he...! Kematian sudah berada di ambang pintu.
Lekaslah berlutut dan memohon ampun kepadaku.
Mungkin saja aku akan berbaik hati dengan memukul
pecah kepalamu. Sebuah kematian yang enak dan tidak
menyakitkan, bukan?" ejek Dedemit Bukit Saji sambil
melangkah lebar mendekati tubuh lawan yang masih ter-
duduk lesu.
"Phuih...!"
Dengan sikap kasar, pemuda itu meludah ke atas
tanah. Saat itu juga, la langsung bergerak bangkit dengan
wajah geram.
Hilang sudah kesabaran Dedemit Bukit Saji begitu
melihat sikap keras kepala lawannya. Tangannya lang-
sung bergerak cepat bagai kilat ke arah kepala pemuda
itu.
Wuuuttt!
Plakkk! Plakkk!
"Aaakh...!"
Dua kali tamparan keras telak menghajar kepala
pemuda itu. Tubuhnya kontan terpelanting ke atas tanah
berumput. Dari mulut dan hidungnya tampak mengalir
darah segar. Untunglah tamparan itu tidak sampai mem-
bunuhnya, sehingga sampai saat ini dia masih bisa ber-
napas.
"Bunuh saja aku, Iblis Gendut! Jangan dikira aku
takut menghadapi kematian!" Teriak pemuda itu dengan
wajah bersimbah darah. Ditentangnya pandangan mata
Dedemit Bukit Saji tanpa rasa gentar sedikit pun.
Namun, tiba-tiba saja Dedemit Bukit Saji menenga-
dahkan kepala memandang langit. Sepasang matanya
yang bulat itu tampak menyipit. Sepertinya dia tengah
menajamkan telinganya untuk memastikan sesuatu yang
didengarnya secara samar-samar. Dan sesaat kemudian,
senyum liciknya pun mengembang.
"Baiklah! Kalau memang itu sudah menjadi kemau-
anmu, bersiaplah untuk segera kukirim ke neraka..!" Ujar
lelaki berperut buncit itu dengan suara agak keras. Dia
sengaja berbuat demikian, sepertinya untuk memancing
sesuatu yang tengah diduganya.
"Lakukanlah! Jangan hanya mulutmu saja yang be-
sar!" Tantang pemuda itu, siap menghadapi maut yang
akan menjemput.
"Bangsat..!" sambil memaki marah, Dedemit Bukit Saji
melompat diiringi kibasan tangan. Dari angin pukulan-
nya, bisa diduga kalau serangan itu mengandung tenaga
dalam tinggi.
Wuttt!
Serangkum angin tajam berhembus mengiringi tela-
pak tangan Dedemit Bukit Saji. Tamparan itu meluncur
deras mengancam kepala pemuda itu. Dapat dipastikan,
kalau kepala orang itu akan pecah!
Namun pada saat yang amat menentukan bagi nasib
pemuda gagah itu, tiba-tiba saja sesosok bayangan hitam
berkelebat cepat bagai kilat. Tangannya Iangsung terulur
disertai bentakannya yang menggetarkan isi dada.
Wuttt!
Tiupan angin keras yang tidak kalah kuatnya dengan
tamparan Dedemit Bukit Saji, menyambar cepat dan
menggetarkan. Maka....
“Harm"
Hebat bukan main akibat pertemuan dua gelombang
tenaga sakti yang sama-sama mengandung tenaga dalam
tinggi itu. Ledakan keras terdengar menggelegar bagaikan
sambaran petir di angkasa.
"Akh...!"
Keluhan pendek terdengar dari mulut lelaki berperut
buncit yang tubuhnya terlempar tanpa dapat dicegah lagi.
Brakkk...!
Sebatang pohon besar yang berada di belakangnya,
berderak ribut ketika tubuh gendut yang masih terlindu-
ngi hawa sakti itu menghantamnya. Pohon itu langsung
tumbang diiringi suara bergemuruh.
"Gila...! Setan dari mana yang berani main-main
dengan Dedemit Bukit Saji?!" Umpat lelaki setengah baya
bertubuh gendut itu marah
Dengan tertatih-tatih, Dedemit Bukit Saji langsung
bangkit meski dengan langkah agak limbung. Di sudut
bibirnya terlihat cairan merah yang mengalir turun.
Sedangkan kedua tangannya menekap dada yang terasa
sesak dan panas membakar.
Cepat tokoh sesat itu menghirup udara banyak dan
mengerahkan hawa murni untuk memulihkan kekuatan-
nya. Tak berapa lama kemudian, gerakan-gerakan ta-
ngannya berhenti, lalu kepalanya menoleh ke arah tempat
pemuda buruannya tadi berada.
***
Sementara itu, sosok tubuh tinggi kurus yang menge-
nakan jubah hitam telah berdiri tegak didepan pemuda
itu. Setelah melepaskan pandangan sejehak ke arah
Dedemit Bukit Saji yang tengah sibuk mengobati lukanya,
sosok berjubah hitam itu pun berbalik dan merunduk.
Tangan kanannya yang berjari-jari kurus terulur hendak
memeriksa luka si pemuda.
Namun, begitu tubuh tinggi kurus yang ternyata
orang kakek itu semakin membungkuk, tiba-tiba saja
pemuda yang hendak ditolongnya malah melontarkan
sesuatu dari tangan.
Kakek tinggi kurus yang sama sekali tidak me-
nyangka kalau orang yang ditolongnya akan berbuat
demikian, tentu saja menjadi terkejut setengah mati! Tapi
karena jarak di antara keduanya terlampau dekat, maka
tidak mungkin lagi baginya untuk bisa mengelak. Akhir-
nya kakek itu mengibaskan lengan yang terulur untuk
menghalau benda halus yang belum diketahuinya itu.
Wusss!
Crab! Crab!
"Aaah...!"
Malang! Karena jaraknya terlampau dekat, maka per-
buatan kakek itu pun tidak seluruhnya berhasil. Bebe-
rapa benda halus yang seperti jarum langsung mengenai
tubuhnya. Akibatnya, dia terjajar mundur sejauh bebe-
rapa langkah.
Sedangkan pemuda yang semula terduduk lemah itu
telah menggulingkan tubuhnya, menjauhi kakek
Wusss! Crab! Crab!
"Aaah...!" Kakek tinggi kurus yang tadinya bermak-
sud menolong pemuda ltu tidak bisa mengelak lagi. Sebab
dia tidak menyangka sama sekali kalau pemuda itu akan
melepaskan jarum-jarum rahasianya!
tinggi kurus yang jelas sangat lihai. Kemudian, tubuh-
nya langsung melenting bangkit dengan gerak sangat
cekatan. Entah apa yang menyebabkan pemuda itu sam-
pai tega menyerang penolongnya.
"He he he...! Bagus, Palawa! Ternyata pengorbanan
kita tidak sia-sia...!" Terdengar gelak tawa penuh kemena-
ngan dari Dedemit Bukit Saji. Tokoh sesat itu terus saja
terbahak-bahak sambil tersenyum dan mengangguk-ang-
guk puas.
"Ha ha ha...! Jadi, sandiwara yang aku perankan tadi
sudah bagus, Guru?" Tanya pemuda yang dipanggil Pala-
wa juga tertawa-tawa penuh kepuasan.
Sementara itu, kakek tinggi kurus yang ternyata
berjuluk Dewa Tangan Api terduduk lemah dengan wajah
pucat Jelas kalau jarum-jarum halus yang menancap di
tubuhnya mengandung racun ganas.
"Hm.... Dedemit Bukit Saji. Lagi-lagi kau datang
mengganggu ketenanganku, dengan cara menjebak. Kau
masih tetap belum berubah. Bahkan sekarang kau bawa
anak muda itu untuk mengikuti kesesatanmu. Apa yang
kau kehendaki dariku kali ini, Dedemit Bukit Saji...?"
Tanya kakek berusia sekitar tujuh puluh tahun, dengan
napas tersengal.
Wajah tua yang semakin pucat itu terlihat dibasahi
peluh. Dari mimik wajahnya yang bergetar, jelas kalau ia
tengah berusaha menahan rasa sakit yang diderita.
"Ha... Jangan berpura-pura bodoh, Tua Bangka!
Seperti pada lima tahun yang lalu, kedatanganku kemari
masih dengan maksud yang sama. Aku menginginkan
Kitab Telapak Darah yang kau ciptakan. Cepat, katakan
di mana kitab itu?!" bentak Dedemit Bukit Saji.
Laki-laki berperut buncit itu kemudian melangkah
lebar mendekati kakek itu. Dari sikapnya yang tanpa
curiga, sudah dapat ditebak kalau ia tahu akan keadaan
Dewa Tangan Api, sehingga kelihatan tidak perlu khawa-
tir.
"Hhh.... Sudah beberapa kali kukatakan, Kitab Tela-
pak Darah itu telah kumusnahkan. Karena kusadari
kalau ilmu ciptaanku itu sangat berbahaya dan dapat
membawa kesesatan bagi siapa saja yang mempelajari-
nya. Jangan desak aku, Dedemit Bukit Saji. Percuma!
Kau tidak akan mendapatkannya dariku...," sahut Dewa
Tangan Api.
Napas kakek itu tampak semakin memburu. Selebar
wajahnya telah berubah kemerahan. Sepertinya, racun
akibat jarum yang dilemparkan Palawa semakin menun-
jukkan pengaruhnya.
"He he he...! Kau tidak tahu, racun apa yang sekarang
mengeram dalam tubuhmu, Peot! Tak satu obatpun yang
dapat menyembuhkanmu. Ia akan terus menyiksa selama
satu tahun. Dan setelah lewat dari waktu itu, kau akan
mati secara perlahan-lahan dengan daging terkelupas
sedikit demi sedikit. Bahkan semua persendianmu akan
terlepas satu persatu. Nah! Dapat kau bayangkan, betapa
menyedihkan akhir hidupmu, Dewa Tangan Api...," kata
Dedemit Bukit Saji sambil tertawa terbahak-bahak me-
lihat wajah kakek itu menjadi semakin pucat ketika men-
dengar keterangannya.
"Jadi..., maksudmu racun ini..., racun... racun....
Aaah...!"
Dedemit Bukit Saji tak sanggup lagi untuk menerus-
kan ucapannya. Wajahnya nampak sangat cemas ketika
mulai dapat menduga tentang racun yang mengeram
dalam tubuhnya.
"Benar! Racun itu berasal dari laba-laba biru dan
kumbang merah, yang telah berusia puluhan tahun. Aku
berhasil menemukannya di gua tempat kediaman men-
diang guruku. Sayang, beliau keburu meninggal sebelum
menciptakan obat penawarnya. Dan kau pasti pernah
dengar tentang kehebatan racun itu, bukan? Nah! Seka-
rang kau boleh menikmatinya seumur hidupmu," jelas
Dedemit Bukit Saji sambil tersenyum penuh kemenangan.
Kemudian, laki-laki gendut itu membalikkan tubuh-
nya dan berpaling kepada Palawa, anak muda yang ter-
nyata adalah murid tunggalnya.
"Mart kita pergi, Palawa. Meskipun Kitab Telapak Da-
rah telah dimusnahkan, aku yakin kakek peot itu masih
menyimpan salinannya. Ayo kita cari!" ujar Dedemit Bukit
Saji mengajak muridnya untuk memeriksa tempat kedia-
man Dewa Tangan Api.
"Dedemit Bukit Saji...! Kau benar-benar manusia Iblis
yang melebihi segala macam lblis! Kau..., kau..., Iiladab...!
Ohhh...."
Setelah memaki-maki dengan suara serak dan terpu-
tus-putus, Dewa Tangan Api roboh tak sanggup menahan
derita yang menyiksa. Rasa panas, dan gatal yang amat
hebat, akhirnya membuat tokoh tua itu jatuh tak sadar-
kan diri.
Sedangkan Dedemit Bukit Saji dan Palawa menerus-
kan langkah menuju pondok tempat kediaman Dewa
Tangan Api. Tak sedikit pun rasa iba di hati mereka
terhadap kakek renta itu. Tak dipedulikan lagi teriakan-
teriakan dan makian yang dilontarkan kakek itu kepada
mereka. Sepertinya, hati kedua orang itu memang telah
mati karena nafsu dan keserakahan.
DUA
Matahari sudah berada tepat di atas kepala ketika De-
demit Bukit Saji dan Palawa memasuki pondok kediaman
Dewa Tangan Api. Begitu berada di dalam, seluruh isi
pondok langsung diobrak-abrik. Sebentar saja, seluruh
ruangan pondok itu sudah mirip kapal pecah.
"Bedebah! Di mana si peot itu menyembunyikan Kitab
Telapak Darahnya? Rasanya tidak mungkin kalau di-
musnahkan begitu saja! Pasti kitab itu disembunyikan di
suatu tempat," umpat Dedemit Bukit Saji.
Seluruh ruangan telah habis diperiksanya. Namun,
kitab yang dicari belum juga dapat diketemukan. Tentu
eaja hatinya menjadi berang.
"Tapi, apa tidak mungkin kalau Dewa Tangan Api me-
mang benar-benar sudah memusnahkannya, Guru? Dan,
menurut cerita Guru sendiri, ilmu ciptaan Dewa Tangan
Api itu sangat berbahaya. Bahkan bisa melumpuhkan
syaraf-syaraf penting di kepala orang yang tidak kuat
menerimanya. Jadi mungkin saja kakek itu benar-benar
telah memusnahkannya," sergah Palawa mengemukakan
pendapatnya.
"Hm.... Jangan bodoh, Palawa. Sekarang, coba pikir-
lah dengan otakmu yang jernih! Si tua peot itu telah
menghabiskan waktu selama kurang lebih lima tahun,
untuk menciptakan ilmu 'Telapak Darah'. Nah! Apakah
setelah berhasil menciptakan, lalu sudi memusnahkan-
nya begitu saja? Bukankah itu perbuatan bodoh nama-
nya?" Sentak Dedemit Bukit Saji dengan suara agak
keras.
Sepertinya, kejengkelan hatinya ingin dilepaskan me-
lalui ucapan-ucapannya. Dan kebetulan hanya Palawalah
yang berada bersamanya. Maka sudah tentu kejengkelan
hatinya itu ditumpahkan kepada muridnya.
"Kalau begitu, ia pasti mempunyai tempat lain untuk
menyembunyikan kitab itu. Apakah di sekitar tempat ini
ada gua atau semacam itu, Guru?" Tanya Palawa yang
tiba-tiba saja mengeluarkan pendapatnya.
"Ahhh...! Betapa tololnya aku!" Seru Dedemit Bukit
Saji sambil menampar kepalanya perlahan. "Benar apa
yang kau ucapkan itu, Palawa. Sudah pasti si peot itu
mempunyai ruangan khusus yang dipergunakan untuk
bersemadi atau menciptakan ilmu itu. Ayo, mari kita
periksa seluruh pelosok puncak ini."
Setelah berkata demikian, Dedemit Bukit Saji lang-
sung melesat keluar meninggalkan pondok itu.
"Biar aku mencari ke sebelah Barat..!" ujar Palawa
yang keluar belakangan.
Dan, tanpa menunggu jawaban dari gurunya, pemuda
itu segera melesat ke arah Barat.
Dedemit Bukit Saji pun tak ambil peduli dengan pen-
dapat muridnya. la terus saja berlari ke sebelah Timur
puncak. Ditelitinya setiap sudut puncak Gunung itu lang-
sung untuk mencari tempat-tempat seperti yang dimak-
sud muridnya.
Cukup lama Dedemit Bukit Saji memutari seluruh
daerah puncak Gunung Bulangkang sebelah Timur.
Namun sampai sebegitu jauh, tempat yang dimaksudkan
belum juga dapat ditemukan. Sehingga, kemendongkolan
hatinya pun kembali terusik.
"Huh! Benar-benar setan, si tua bangka itu! Awas kau!
Dalam jangka waktu beberapa hari, akan kau ra-sakan
betapa jahatnya pengaruh racun yang mengeram dalam
tubuhmu!" Geram Dedemit Bukit Saji kembali memaki-
maki.
Setelah lelah mencari namun belum juga menemukan
apa-apa, lelaki berperut buncit itu bergegas kembali ke
pondok. Wajah yang dipenuhi brewok itu tampak semakin
tak sedap dipandang mata.
"Guru...! Aku sudah menemukan tempat itu...!"
Dedemit Bukit Saji yang tengah termenung itu, ter-
sentak ketika mendengar teriakan muridnya. Tanpa mem-
buang-buang waktu iagi, tokoh sesat berperut buncit itu
segera melesat menuju asal teriakan Palawa.
Tak berapa lama kemudian, Dedemit Bukit Saji sudah
aba di dekat sebuah aliran sungai. Tampak Palawa tengah
berdiri menanti di dekat sebatang pohon besar di tepi
sungai. Cepat ia berlari menghampirinya.
"Di mana kau menemukannya, Palawa...?!" Seru De-
demit Bukit Saji tak sabar, walau masih berada beberapa
tombak jauhnya dari tempat Palawa berdiri menunggu.
Palawa hanya tersenyum melihat ketidaksabaran gu-
runya. Tapi, ia sama sekali tidak menjawab. Pemuda itu
hanya berdiri menanti sampai sang Guru tiba di dekat-
nya.
"Di mana tempat itu, Palawa...? Mengapa kau diam
saja? Hayo, cepat tunjukkan tempat itu!"
Begitu tiba di dekat muridnya, Dedemit Bukit Saji
langsung memberondong Palawa dengan serentetan per-
tanyaan yang membuat senyum di wajah pemuda itu
semakin melebar.
"Sabarlah, Guru. Lagi pula, belum tentu tempat yang
kutemukan merupakan tempat semadi Dewa Tangan Api.
Dan belum tentu pula ada Kitab Telapak Darah di dalam-
nya. Jadi, jangan terlalu gembira dulu. Jangan-jangan,
hanya kekecewaan lagi yang kita dapatkan di tempat itu,"
sambut Palawa, tenang. Tentu saja sikapnya itu membuat
Dedemit Bukit Saji semakin marah.
"Diam kau, Anak Bodoh! Kau memang tidak tahu
betapa hebatnya ilmu yang diciptakan Dewa Tangan Api!
Kalau saja kita tidak menggunakan siasat, tidak mungkin
kesaktian tua bangka peot itu dapat ditandingi. Nah! Bisa
kau bayangkan, betapa hebatnya ilmu Telapak Darah'
yang diciptakannya. Sebab, ilmu itu merupakan inti dari
keseluruhan ilmu yang dimilikinya. Dapatkah kau mem-
bayangkannya, Otak Kerbau?!" Bentak Dedemit Bukit Saji
sewot. Dan memang, dia merasa tersinggung melihat
muridnya seperti tidak tertarik pada kitab itu.
"Baiklah, Guru. Mari, kita periksa gua di balik semak
belukar itu," sahut Palawa.
Pemuda itu menjadi terkejut juga melihat kemarahan
gurunya. Tapi, ketika mendengar alasan-alasan yang di-
berikan, ia pun yakin kalau perkataan gurunya mungkin
ada benarnya. Maka bergegas diajaknya orang tua itu
untuk melihat apa yang ditemukannya.
Mendengar ucapan Palawa, Dedemit Bukit Saji lang-
sung saja mengenjot tubuhnya ke arah tempat yang
ditunjuk muridnya. Rasa ketidaksabaran, membuatnya
tidak lagi mempedulikan Palawa. Sehingga, ia langsung
saja menerobos masuk ke dalam gua di balik semak belu-
kar.
"Ha ha ha...! Tidak salah lagi, Palawa! Tempat ini me-
mang jelas ruangan bersemadi kakek peot itu!" seru Dede-
mit Bukit Saji sambil tertawa terbahak-bahak. Sambil
berdiri di ambang mulut gua, sepasang mata tokoh sesat
itu berputar merayapi daerah sekeliling ruangan gua.
Dedemit Bukit Saji sama sekali tidak kecewa meski-
pun ruangan gua itu terlihat kosong. Langkahnya segera
diteruskan memasuki ruangan gua yang terdiri dari din-
ding-dinding batu alam. Udaranya terasa lembab. Sambil
mengerahkan tenaga, setiap jengkal dinding mulai dite-
kan-tekannya. Melihat dari apa yang dilakukannya, jelas
kalau Dedemit Bukit Saji tengah mencari-cari sesuatu.
Tapi mendadak tokoh sesat berwajah brewok itu
mcnghentikan pencariannya. Kepalanya kemudian meno-
leh ke arah Palawa yang masih berdiri di ambang mulut
gua. Kening Dedemit Bukit Saji berkerut melihat Palawa
hanya berdiri memperhatikan perbuatannya.
"Mengapa hanya berdiam diri saja, Palawa? Bantu aku
mencari ruangan rahasia tempat kakek peot itu menyim-
pan kitabnya!" Bentak Dedemit Bukit Saji kesal.
Dengan malas-malasan, Palawa melangkahkan kaki-
nya ke arah Dedemit Bukit Saji. Sepertinya, pemuda itu
tidak menyetujui perbuatan gurunya, karena menurutnya
hanya membuang-buang waktu saja.
"Aku pun tadi sudah meraba-raba seluruh dinding
gua ini. Tapi, tak ada satu pun yang dapat kutemukan.
Nampaknya tempat ini bukan seperti yang kita kehen-
daki, Guru," bantah Palawa dengan wajah cemberut.
"Ohhh.... Jadi, itukah sebabnya mengapa kau seperti
tidak suka dengan apa yang kuperintahkan tadi? Coba
tunjukkan, bagaimana caramu meraba dinding gua ini,"
perintah Dedemit Bukit Saji, mengejek. Sepertinya lelaki
berperut buncit itu merasa pasti kalau apa yang dilaku-
kan muridnya adalah salah.
Mendengar perintah gurunya, maka Palawa bergegas
mendekati dinding gua dan mulai meraba-raba. Secara
sepintas saja, dapat terlihat kalau cara yang dilakukan
pemuda itu sangat berbeda dengan Dedemit Bukit Saji.
"Hra... Begitukah caramu memeriksa? Jelas, kau tidak
akan menemukan apa-apa. Coba kerahkan tenagamu
melalui tekanan telapak tangan. Dengan begitu, kau akan
segera mengetahui apabila terdapat pintu-pintu rahasia.
Dan memang bukan tidak mungkin kalau di dalam salah
satu dinding gua Ini terdapat sebuah pintu rahasia," jelas
Dedemit Bukit Saji.
Setelah mendengar apa yang dikatakan gurunya,
maka Palawa mulai mengerti. Kini ia tidak lagi hanya
sekadar meraba-raba saja, melainkan menggunakan teka-
nan-tekanan menggunakan kekuatan tenaga saktinya.
Dan, mulailah terasa ada perbedaan dengan apa yang di
perbuatnya tadi. Diam-diam pemuda itu harus mengakui,
biar bagaimanapun pengalamannya masih terlalu mentah
bila dibandingkan gurunya. Dengan cerdik, disimpannya
pengetahuan itu dalam otaknya. Siapa tahu, kelak penga-
laman ini berguna bagi pengembaraannya.
"Hm.... Lihat ini, Palawa. Apa yang telah kutemukan,"
tiba-tiba terdengar suara penuh kegembiraan yang meme-
cah kesunyian ruangan gua itu.
Palawa cepat menoleh ke arah gurunya. Tampak
orang tua itu tengah membungkuk seperti memperhati-
kan sesuatu yang menarik di bawahnya. Maka, ia pun
segera mendekat. Dan apa yang dltemukan gurunya ter-
nyata benar-benar membuat wajah pemuda itu berseri-
seri. Jadi, apa yang diduga gurunya itu ternyata memang
tidak meleset.
Setelah Palawa tiba di dekatnya, barulah Dedemit
Bukit Saji memutar sebuah batu yang berada dekat mata
kakinya. Hal itu pun dilakukan dengan pengerahan te-
naga dalam. Jadi, tidak setiap orang bisa melakukannya.
Dan itu menandakan, betapa cerdiknya Dewa Tangan Api
dalam membuat ruang semadi.
Gerrrggg...!
Terdengar suara berderak diiringi bergetamya dinding
binding gua yang berada didepan Dedemit Bukit Saji dan
Palawa. Debu mengepul disertai terbukanya sebuah pintu
batu yang cukup lebar.
"Ha ha ha...! Akhirnya kutemukan juga tempat per-
sembunyianmu, Tua Bangka Peot!" Kata Dedemit Bukit
Saji sambil tertawa penuh kepuasan.
Wajahnya yang semula keruh, mendadak berseri gem-
bira. Dan, tanpa membuang-buang waktu lagi, kakinya
langsung melangkah masuk ke dalam mangan itu.
Begitu masuk ke dalam ruangan, sepasang mata De-
demit Bukit Saji langsung membentur sebuah kotak kayu
jati yang tergeletak di atas sebuah batu pipih. Tanpa
ragu-ragu lagi, tangannya langsung terulur mengambil
peti itu.
Dengan wajah tegang karena perasaan gembira tak
terkira, dibukanya penutup peti itu. Dan apa yang dilihat-
nya di dalam peti itu, benar-benar membuat sepasang
mata tokoh sesat itu terbelalak lebar.
"Lihat! Apa yang kutemukan ini, Palawa! Inilah Kitab
Telapak Darah yang selama ini kuidam-tdamkan. Ha ha
ha...! Akhirnya apa yang kucari-cari selama lima tahun ini
dapat juga kutemukan! Sebentar lagi, dunia persilatan
akan kubuat guncang!"
Tawa Dedemit Bukit Saji berkumandang bagai hendak
meruntuhkan langit-langit gua. Didekapnya kitab lusuh
bersampul kulit kayu itu dengan wajah mengadah.
"Ha ha ha..! Benar, Guru. Dunia persilatan akan gun-
cang dengan kemunculan kita. Tak ada seorang pun yang
perlu ditakuti lagi setelah ilmu 'Telapak Darah' dapat kita
kuasai!" kata Palawa.
Pemuda itu ikut merasa gembira dengan apa yang
ditemukan gurunya itu. Tawanya pun berkumandang me-
ningkahi suara tawa Dedemit Bukit Saji.
"Mari kita tinggalkan tempat ini, Palawa! Aku yakin,
tidak lama lagi dunia persilatan akan heboh!" kata Dede-
mit Bukit Saji sambil berkelebat meninggalkan tempat itu.
"Hei?! Siapa lagi yang akan membuat heboh, Guru...?"
Tanya Palawa ketika melihat sinar aneh di mata gurunya.
Jelas bukan mereka berdua yang dimaksudkan Dedemit
Bukit Saji.
"Tunggu sajalah...," sahut Dedemit Bukit Saji tanpa
mempedulikan keheranan muridnya.
***
Malam sudah cukup larut. Cahaya bulan sepotong
yang menggantung di langit pekat, tampak redup bagai
tak bergairah. Suara binatang malam menyemarak diting-
kahi hembusan angin semilir yang melenakan.
Saat itu, dalam keremangan cahaya rembulan tampak
sesosok bayangan hitam bergerak cepat bagai hantu. Ju-
bahnya yang lebar dan berwarna hitam berkibar karena
gerakannya demikian cepat.
Sosok itu terus berlari melintasi jalan lebar yang
berhubungan dengan Desa Pejagal. Begitu tiba di mulut
desa, sosok tubuh tinggi kurus itu menghentikan larinya
secara mendadak. Rimbun pepohonan menyembunyikan
tubuhnya dari pandangan.
"He he he...!"
Terdengar suara tawa terkekeh perlahan, meluncur
dari bibir sosok tubuh itu. Setelah beberapa saat me-
rayapi daerah sekitarnya, dia kembali melesat memasuki
desa. Tiba pada sebuah rumah yang terletak di mulut
desa, kakinya dijejakkan di tanah. Seketika itu juga,
tubuhnya langsung melenting dan mendarat ringan di
atap rumah.
Perlahan-lahan dan tanpa menimbulkan suara yang
mencurigakan, tangan berjari-jari kurus dan runcing itu
membuka beberapa buah genteng rumah. Sepasang
matanya yang berkilat tajam langsung merayapi keadaan
di sekitar ruangan di bawahnya.
Sesaat kemudian, tubuh tinggi kurus itu langsung
melayang turun dan hinggap di atas tanah tanpa suara
sedikit pun. Melihat dari caranya melompat turun dan
mendarat, jelas kalau sosok tinggi kurus itu memiliki
kepandaian tinggi dan sulit dicari tandingannya. Entah
apa yang dicarinya di rumah salah seorang penduduk
Desa Pejagal itu.
Kemudian, tanpa menghiraukan keadaan di sekeli-
lingnya, sosok tubuh kurus itu langsung mendekati
sebuah dipan yang terletak di sudut ruangan. Wajahnya
tampak menyeringai penuh nafsu ketika melihat sosok
tubuh ramping yang terbaring dengan kain tersingkap
sebatas paha.
"He he he.... Haluuus...," desah sosok tubuh itu sam-
bil mengelus tembut kulit paha sosok tubuh ramping
yang tengah terlelap.
Makin lama, gerakan tangannya tampak semakin liar
ditingkahi dengan napasnya yang berpacu. Karena gera-
kan tangannya semakin tak terkendali, maka wanita
muda yang tengah terlelap itu tersentak bangkit dari
tidurnya.
"Oh... ufs...?!"
Seruan tertahan wanita muda itu langsung terhenti
karena mulutnya telah tertutup tangan sosok tinggi kurus
ini. Dan sekali sentak saja, tubuh ramping itu pun telah
berada dalam pondongannya.
"Hei...! Siapa kau...?!"
Terdengar teguran yang tersendat-sendat. Rupanya
lelaki muda yang tidur di samping istrinya terbangun aki-
bat seruan tertahan tadi.
Begitu melihat istrinya telah berada dalam pondongan
sosok tubuh tinggi kurus yang tak dikenal, lelaki muda
itu langsung menyambar sebatang golok di dinding. Se-
ketika, dihunusnya golok berwarna putih yang menge-
luarkan cahaya berkilat itu.
"Mau apa kau...? Hayo, lepaskan istriku!" bentak
lelaki muda Itu sambil menudingkan ujung goloknya ke
arah sosok tinggi kurus di depannya.
Melihat ujung golok yang ditudingkan ke arahnya,
sosok tinggi kurus yang ternyata seorang lelaki tua itu
tampak memandang marah. Sepasang matanya menyi-
ratkan sinar tajam yang menggetarkan hati lelaki muda
itu. Kemudian disertai geram kemarahannya, lelaki tua
itu mengibaskan lengan kanannya secara serampangan.
Jelas, gerak yang dilakukannya bukan gerak silat.
Desss!
"Hegkh...!"
Dan akibat yang ditimbulkan gerakan tangan seram-
pangan itu ternyata sangat parah. Tubuh lelaki muda itu
langsung terpelanting deras. Padahal, jelas sekali kalau
lengan lelaki tua itu tidak sampai menyentuh tubuhnya
Tapi anehnya, tubuh yang terbanting jatuh itu langsung
saja diam tak bergerak. Lapat lapat tercium bau amis
darah yang mengalir di sekitar kepala lelaki muda itu.
Rupanya, lelaki malang itu langsung tewas tanpa sempat
merasakan sakit lagi.
Setelah melihat sasarannya diam tak bergerak, sosok
tubuh berambut putih riap-riapan itu kembali melam-
bung ke arah atap rumah. Dia terus melesat meninggal-
kan desa, lenyap di dalam kepekatan malam dan bayang
pepohonan.
"He he he...!" Sambil terkekeh parau, lelaki tua ber-
usia sekitar tujuh puluh tahun itu merebahkan tubuh
wanita muda yang dibawanya di atas rerumputan tebal.
Dan tanpa malu-malu lagi, diciuminya wajah wanita
muda yang bersimbah air mata karena ketakutan. Bah-
kan tangan berjari-jari kurus dan runcing itu mulai me-
rayap bagaikan seekor ular.
"Ohhh..., jangan..., kasihanilah saya, Tuan....n.” Ter-
dengar rintihan lemah dari mulut wanita muda Itu setelah
totokan pada lehemya dibebaskan. Gerakan perlawanan-
nya pun terlihat demikian lemah. Seolah-olah ia memang
tidak berdaya menghadapi kebuasan lelaki tua bertubuh
tinggi kurus itu.
Rintihan memelas yang keluar dari mulut wanita
muda itu sama sekali tidak menimbulkan perasaan iba di
hati-lelaki tua itu. Bahkan gerakannya semakin liar
bagaikan seekor binatang buas kelaparan. Sehingga lama
kelamaan perlawanan wanita muda itu tidak ada gunanya
lagi. Yang terdengar hanyalah deru napas lelaki tua itu
yang bagaikan kuda pacu.
Setelah puas melampiaskan nafsu binatangnya, lelaki
tua bertubuh tinggi kurus ltu kembali mengenakan
pakaiannya diiringi suara kekeh parau yang mendirikan
bulu roma.
Sedangkan wanita muda yang menjadi korban kebia-
dabannya, hanya dapat menangis menyesali nasib buruk
yang menimpa. Tapi sayang, isak tangis lirih yang me-
milukan itu sama sekali tidak menimbulkan perasaan iba
sedikit pun. Bahkan tangisan lirih itu membuat lelaki tua
itu menatap penuh kemarahan.
"Hei! Mengapa kau menangis? Kau tidak suka? Atau
ingin kepalamu kupukul hancur? Hayo, jawab!" Bentak
laki-laki tua itu tanpa perasaan iba sedikit pun. Seperti-
nya, hati orang tua itu terbuat dari batu. Hingga tangisan
itu sama sekali tidak mampu melunakkan hatinya.
Bentakan yang menggelegar tentu saja membuat
wanita muda itu pucat wajahnya. Bentakan keras yang
laksana ledakan petir di telinga itu membuat tangisnya
terhenti. Meskipun demikian, masih juga tersisak-isak
sesekali.
"Nah, begitu. Kau benar-benar menggairahkan. Malam
ini harus kita nikmati bersama. Ayo, tersenyumlah. Lihat
sang bulan di atas itu. Bukankah ia tengah tersenyum
melihat kita...?" Ujar lelaki tua itu yang sepertinya merasa
gembira karena hasratnya sudah terlampiaskan. Sambil
terkekeh gembira, tangan kanannya terulur membelai
wajah manis wanita muda itu.
Dengan tubuh yang semakin gemetar karena rasa
takut yang hebat, wanita muda itu perlahan mengegos-
kan wajahnya. Sehingga, belaian tangan sosok tinggi
kurus itu hanya mengenai angin saja. Melihat kenyataan
ini, kemarahan sosok tinggi kurus itu pun kembali ter-
bangkit.
“Kurang ajar! Kau berani menolak, ya? Kau memang
tidak patut disayang! Rasanya, kau sudah tidak berguna
lagi!” bentak lelaki tua itu.
Langsung telapak tangannya diayunkan ea rah
kepala wanita muda itu. Maka….
Wuttt! Prakkk!
Terdengar suara keras yang menandakan pecahnya
kepala wanita muda itu! Darah segar yang bercampur
cairan putih, menyembur keluar dan membasahi rerum-
putan di bawahnya. Tubuh wanita muda yang malang itu
terkulai rebah dan diam tak bergerak-gerak lagi. Ia tewas
di tangan lelaki tua yang seperti orang kurang waras itu.
Di sini, kembali lelaki berambut putih dan bertubuh
Gnggi kurus itu memperlihatkan kekuatannya. Tamparan
yang kelihatannya perlahan, ternyata sanggup meremuk-
kan batok kepala manusia. Benar-benar hebat kepan-
daian yang dimiliki sosok tubuh tinggi kurus itu
Sementara, malam semakin merayap mendekati fajar.
Suara binatang malam masih menyemarak Tak berapa
lama kemudian, suara kukuruyuk a yam jantan hutan
mulai terdengar bersahut-sahutan. Suatu pertanda bah-
wa sebentar lagi pagi akan segera tiba.
***
TIGA
Pagi hari itu, Desa Jagalan dilanda kegemparan. Para
penduduk berkerumun didepan sebuah rumah yang
letaknya di mulut desa. Pada wajah-wajah mereka ter-
gambar perasaan marah dan penasaran.
"Minggir...! Minggir...!"
Seorang lelaki gagah berusia sekitar empat puluh
tahun melangkah lebar sambil mengibaskan tangannya
ke kiri kanan. Beberapa orang penduduk yang semula
menoleh marah, langsung membungkukkan tubuhnya
begitu mengenali lelaki gagah berwajah kokoh itu.
"Oh! Kiranya, Kakang Turangga yang datang. Silakan,
Kakang...," sambut salah seorang penduduk yang semula
memandang marah karena tubuhnya didorong begitu
saja. Wajahnya yang semula berang, berubah hormat ter-
hadap lelaki gagah yang mendorong tubuhnya ke pinggir
tadi.
"Apa sebenarnya yang terjadi di sini...?" Gumam lelaki
gagah yang dipanggil Turangga itu pelan.
Melihat dari sinar matanya yang tidak ditujukan ke-
pada salah seorang penduduk, jelas kalau ia tidak begitu
memerlukan jawaban atas pertanyaannya.
Tapi, salah seorang penduduk berusia sekitar lima
puluh tahun, langsung saja mendekati Turangga dan me-
laporkan mengenai apa yang diketahuinya.
"Barta tewas...? Siapa yang telah berani membunuh-
nya? Lagi pula, kita semua tahu kalau ia memiliki kepan-
daian silat yang cukup tangguh. Jadi, siapa yang mem-
buatnya sampai tewas secara mendadak? Lalu, bagai-
mana istrinya? Apakah selamat?" Tanya Turangga berun-
tun kepada lelaki setengah baya yang melaporkan keja-
dian itu kepadanya.
"Tidak ada seorang pun yang mengetahui kejadian-
nya, Kakang. Dan mengenai istrinya, kami belum tahu.
Sebab, yang kami temukan hanya mayat Barta," sahut
lelaki berkumis tipis itu.
Rupanya, jawaban itu tidak memuaskan Turangga.
Maka lelaki gagah itu bergegas meninggalkannya dan
langsung masuk ke dalam rumah yang tertimpa musibah.
Begitu tiba di dalam ruangan, Turangga langsung
membuka kain putih yang menutupi sekujur tubuh ma-
yat itu. Setelah meneliti sejenak, pandangannya dialih-
kan kepada orang desa yang berkumpul di dalam rua-
ngan tengah itu.
"Hm.... Siapa yang paling dulu menemukan mayat
Barta ini..?" Tanya Turangga sambil mengedarkan panda-
ngannya berkeliling. Dirayapinya wajah belasan laki-laki
yang berada di ruangan itu dengan sinar mata lajam me-
nusuk.
"Aku yang lebih dulu melihatnya, Kakang. Seperti
biasanya, kami selalu berangkat ke sawah bersama-sama.
Pagi tadi, ketika mengetuk pintu dan tidak ada sahutan
sama sekali, aku segera ke pintu belakang yang biasanya
memang tidak terkunci. Tapi yang kudapati, ternyata
hanya mayat Barta. Tubuhnya telah terbujur kaku di de-
kat pembaringannya. Sedangkan istrinya, entah pergi ke
mana. Tak ada seorang pun yang mengetahuinya, Ka-
kang," sahut salah seorang lelaki pendek gemuk berwajah
putih.
"Jadi, belum ada seorang pun yang melihat istri Barta
pagi ini?" Turangga kembali menegasi dengan suara berat
dan berwibawa.
Lelaki gagah itu memang sangat disegani para pen-
duduk Desa Jagalan. Jabatannya di desa ini memang
pembantu kepercayaan kepala desa, merangkap sebagai
kepala keamanan. Sikapnya sama sekali tidak pernah
sombong. ltulah salah satu alasan, mengapa para pen
duduk menyenanginya. Maka ketika la bertanya tadi,
para penduduk langsung mengerumuninya. Sepertinya
mereka merasa yakin kalau Turangga akan dapat menye-
lesaikan masalah yang tengah terjadi di desa itu. Sebab
biasanya segala urusan yang dipegang lelaki berusia em-
pat puluh tahun itu selalu saja menemukan titik terang,
dan akhirnya selesai.
"Belum, Kakang. Kami tidak tahu harus mencari ke
mana. Kalau mereka bertengkar dan istri Barta melarikan
din dari rumah, jelas tidak mungkin. Sebab, selama ini
mereka terlihat rukun-rukun saja. Apalagi masih pasa-
ngan baru. Dan lagi, tidak ada teriakan apa-apa yang ku-
dengar semalam. Maka aku pun merasa terkejut ketika
melihat tubuh Barta sudah menjadi mayat di atas gena-
ngan darahnya sendiri. Karena merasa khawatir, aku pun
membawa beberapa orang teman untuk membantu meng-
angkat mayatnya," kembali lelaki pendek gemuk itu men-
ceritakan apa-apa yang diketahuinya.
"Hm.... Peristiwa ini harus segera kukabarkan kepada
Pimpinan Perguruan Golok Perak Aku yakin, Pendekar
Golok Sakti bersedia membantu kita untuk menyelidik
kejadian ini. Sebagai ketua partai, ia tentu tidak akan
tinggal diam melihat salah seorang anggotanya mati se-
cara menyedihkan," kata Turangga yang kemudian kem-
bali melangkah ke luar.
Sebelum meninggalkan tempat kediaman Barta, Tura-
ngga memerintahkan kepada para penduduk yang ber-
kumpul agar segera mengurus dan merapikan mayat
Barta. Paling tidak, apabila Pendekar Golok Sakti atau
wakilnya yang datang menjenguk tidak kecewa.
"Panjawa... Balung! Kemari kalian...!" Panggil Tura-
ngga kepada kedua orang pembantunya.
Dua orang laki-laki yang dipanggi] Panjawa dan
Balung bergegas menghampirinya. Setelah menerobos di
antara kerumunan penduduk, mereka tiba didepan
Turangga. Keduanya kemudian langsung membungkuk
memberi hormat kepada laki-laki gagah itu.
"Ada apa, Kakang...?" Lelaki botak bertubuh gempal
yang bemama Balung langsung saja menanyakan maksud
laki-laki gagah itu memanggilnya.
"Hm... Kalian berdua pergi ke Perguruan Golok Perak.
Sampaikan kepada salah seorang pimpinan perguruan
tentang peristiwa yang menimpa salah seorang muridnya
yang bernama Barta. Ceritakan apa adanya dan jangan
dilebih-lebihkan," perintah Turangga kepada kedua orang
pembantunya.
"Baik. Kami pergi, Kakang," pamit Balung dan Pan-
jawa berbarengan.
"Jangan lupa! Sampaikan salam hormatku kepada
Pendekar Golok Sakti," pesan Turangga mengingatkan.
"Baik, akan kami sampaikan," kali ini yang menyahut
adalah Panjawa, lelaki berusia tiga puluh tahun berwajah
kecoklatan.
Sebentar kemudian, Balung dan Panjawa telah berada
di atas punggung kuda masing-masing. Mereka bergegas
meninggalkan Desa Pejagal dengan memacu cepat kuda
masing-masing.
Sepeninggal kedua orang pembantunya itu, Turangga
bergegas menuju tempat kediaman kepala desa untuk
melaporkan mengenai peristiwa ini. Begitu berada di
punggung kuda, lelaki gagah itu langsung membedal
binatang tunggangannya yang segera melesat bagai anak
panah.
***
"Heya.... Heya...!"
Terdengar teriakan-teriakan nyaring yang ditingkahi
derap kaki kuda yang bergemuruh. Debu mengepul tinggi
membentuk bulatan-bulatan pekat di angkasa. Di antara
kepulan debu, tampak lima orang gagah memacu cepat
kuda masing-masing. Tak berapa lama kemudian, lima
orang penunggang kuda itu melintas cepat di jalan utama
yang nenuju Desa Pejagal. Saat itu hari sudah menjelang
siang. Meskipun sinar matahari tidak terlalu menyengat
kulit, tapi tubuh para penunggang kuda itu telah basah
bersimbah peluh. Tampaknya perjalanan yang mereka
tempuh cukup jauh dan melelahkan.
Lima orang yang di antaranya terdapat Balung dan
Panjawa, mulai memperlambat lari kudanya. Dan
memang, beberapa tombak di depan mereka adalah mulut
Desa Pejagal. Untuk tidak mengganggu para penduduk
dengan kepulan debu yang bergulung-gulung, maka ke-
lima orang itu hanya menjalankan kudanya lambat-
lambat.
"Kami ingin langsung melihat mayat yang kau cerita-
kan itu, Kisanak," ujar salah seorang penunggang kuda
kepada Balung.
Ucapan yang dikeluarkannya lebih tepat sebuah per-
mintaan daripada sebuah perintah. Sehingga, Balung
tidak keberatan untuk mengantarkan mereka melihat
mayat Barta.
"Baik, mari ikut aku...," ajak Balung yang kemudian
segera menolehkan kepalanya kepada Panjawa. "Kakang,
sebaiknya kau laporkan perihal kedatangan tlga orang
utusan Perguruan Golok Perak ini kepada Kakang Tu-
rangga. Aku akan mengantarkan mereka dulu untuk me-
lihat mayat Barta."
Setelah mengangguk sebagai jawaban atas yang di-
berikan Balung, Panjawa segera membedal kudanya me-
nuju tempat kediaman Kepala Desa Jagalan. Sementara,
Balung mengantarkan ketiga orang utusan Perguruan
Golok Perak untuk melihat mayat anggota perguruannya.
Dan kini Balung dan ketiga orang utusan Perguruan
Golok Perak telah tiba didepan halaman rumah Barta.
Balung segera melompat turun dari atas punggung kuda-
nya, diikuti ketiga orang utusan itu.
"Marl! Silakan masuk, Kisanak...," ajak Balung mem-
persilakan ketiga orang utusan itu.
Lelaki berkepata botak dan bertubuh gempal ini me-
nyingkir sejenak dari ambang pintu ketika ketiga orang
itu melangkah masuk.
Begitu tiba di dalam mangan, mereka langsung me-
langkah ke arah jenazah Barta yang ditutupi sehelai kain
berwarna putih. Salah seorang yang berkumis lebat dan
berwajah keras, bergegas menyingkap kain penutup
jenazah.
"Hm...."
Laki-laki berkumis lebat itu hanya bergumam dengan
rahang mengeras. Ditutupnya kain itu kembali dan me-
langkah mendekati Balung.
"Maaf, Kisanak. Apakah sudah ada usaha untuk men-
cari istri murid kami ini? Baru sekitar satu bulan mereka
menikah. Jadi, tidak mungkin kalau di antara mereka
terjadi pertengkaran. Oh, ya. Boleh aku tahu, apakah ada
keterangan lain selain dari ceritamu tadi?" Tanya lelaki
berkumis lebat itu yang jelas-jelas merasa tidak senang
melihat kematian salah seorang anggota perguruannya.
Cara dan sikap yang ditunjukkan orang itu sedemi-
kian sombong dan memandang rendah Balung. Sehingga,
laki-laki berkepala botak itu sempat tersinggung karena-
nya.
Balung menarik napas dalam-dalam untuk menen-
teramkan kegusarannya yang terbangkit atas sikap dan
ucapan lelaki berkumis lebat itu. Setelah merasa agak
tenang, maka ditatapnya tajam-tajam orang itu.
"Kisanak. Rasanya tidak ada untungnya aku menyem-
bunyikan cerita. Kalau kalian memang kurang percaya,
silakan tanyakan sendiri kepada mayat Barta. Mungkin ia
bisa memberi jawaban yang Iebih memuaskan," sahut
Balung. Kata-katanya demikian tajam, sehingga langsung
memukul balik hinaan lelaki berkumis lebat itu.
Dua orang kawan lelaki berkumis lebat itu tersentak
kaget ketika mendengar suara yang bernada tidak meng-
enakkan. Bergegas keduanya mendekat untuk menge-
tahui, apa gerangan yang tengah terjadi antara kawan
mereka dengan lelaki botak itu.
"Hm.... Ada apa ini...? Mengapa kalian berdua seperti-
nya tengah bersitegang? Tidakkah kalian bisa menghor-
mat sedikit kepada orang yang tengah mendapatkan
musibah?" Sergah lelaki tegap berusia sekitar tiga puluh
tahun.
Orang Itu memiliki wajah gagah, dan tampaknya cu-
kup berpengaruh. Meskipun ucapannya jelas ditujukan
kepada dua orang yang tengah adu urat itu, tapi sepa-
sang matanya lebih tepat menghunjam ke wajah Balung.
Seolah-olah, secara sembunyi ia sengaja menyalahkan
Balung.
Merah selebar wajah Balung ketika mendengar sindi-
ran yang membuat telinganya panas. Namun karena
orang-orang yang menurutnya sangat sombong itu masih
menyindir, maka ia pun tidak berani marah secara
terang-terangan. Ditelannya kemarahan itu, seraya men-
dinginkan otaknya agar dapat mencari jawaban untuk
memukul balik sindiran orang-orang angkuh itu.
"Hhh.... Sayang kami belum menemukan istri dari
anggota perguruanmu itu, Kisanak. Ahhh..., aku menye-
sal sekali. Padahal, Barta seorang yang baik dan sopan.
Jarang aku menemukan orang seperti dia. Biasanya
orang yang memiliki sedikit kepandaian silat, akan meng-
angkat dada dan memandang rendah orang lain. Hhh....
Sayang sekali kalau orang sepertinya harus menerima
kematian secara mengenaskan," kata Balung yang saat
itu sudah berada di dekat jenazah Barta.
Perkataan yang dikeluarkannya itu sengaja ditujukan
untuk memukul hati ketiga orang tokoh Perguruan Golok
Perak yang bersikap angkuh dan seperti tidak meman-
dang sebelah mata kepada orang lain. Dan ternyata me-
mang sangat mengena.
Lelaki bertampang beringas dan berkumis lebat itu
dah tak dapat lagi menahan kegeramannya. Sepasang
matanya tampak menyorot tajam, menyiratkan kemara-
han yang tidak bisa lagi disembunyikan. Kalau ta|a lelaki
tegap berwajah gagah yang sepertinya bertindak sebagai
pemimpin itu tidak keburu mencegah, mungkin perke-
lahian tidak bisa dihindari lagi. Padahal, saat itu Balung
sudah meraba gagang pedangnya. Dan memang, dari ekor
matanya ia sempat rnenangkap gerakan lelaki berkumis
lebat ltu.
Di saat ketegangan sudah semakin memuncak, tiba-
tiba muncul Turangga di ambang pintu. Sehingga, Balung
dan ketiga orang itu sama-sama menganggukkan kepala
ke arah Turangga. Dan dalam sekejap saja, ketegangan di
antara mereka lenyap seperti tersaput angin.
"Hm.... Saudara Turangga. Rasanya sudah cukup
Iama kami berada di sini. Karena tidak ada lagi yang bisa
dikerjakan, maka lebih baik kami pamit sekaligus untuk
mencari istri anggota perguruan kami. Siapa tahu nanti
kami bisa mendapatkan sedikit petunjuk," kata lelaki
tegap berwajah gagah itu lantang.
Dari nada ucapannya, terlihat jelas kalau ia menya-
lahkan Turangga dan kawan-kawannya yang tidak ber-
usaha mencari istri Barta. Dan sindiran itu juga dirasa-
kan Turangga.
"Baiklah, Kisanak. Kami memang sengaja belum me-
lakukan penyelidikan atas kejadian ini. Sebab, kami ma-
sih memandang Pendekar Golok Sakti. Maka, aku lang-
sung memerintahkan Balung dan Panjawa untuk segera
menyampaikan berita duka Ini kepada beliau. Setelah
beliau mengetahuinya, barulah kami akan mengambil
tindakan. Sebenarnya, kami hanya takut dikatakan lan-
cang dan juga tidak melangkahi beliau," sahut Turangga.
Rupanya, Turangga dapat bersikap tenang dan sabar
dalam menghadapi ucapan-ucapan yang jelas-jelas me-
nyinggung perasaannya itu.
"Hm.... Kami pamit dulu...," ucap laki-laki tegap itu
kemudian.
Dan tanpa berkata apa-apa lagi, ketiga utusan Per-
guruan Golok Perak itu segera beranjak meninggalkan
Desa Jagalan.
Turangga mengantarkan kepergian ketiga orang utu-
san Perguruan Golok Perak itu dengan senyum dan ang-
gukan kepala. Wajahnya sama sekali tidak memancar-
kan kemarahan meskipun ketiga orang itu tidak menoleh
lagi kepadanya.
Dipandanginya punggung ketiga orang itu yang mem-
bedal kudanya meninggalkan kepulan debu yang mem-
bumbung ke angkasa.
"Orang-orang Perguruan Golok Perak itu sombong-
sombong sekali, Kakang. Hampir-hampir saja aku ber-
tarung dengan mereka tadi. Untunglah Kakang Turangga
keburu datang. Sepertinya, ketiga orang itu masih me-
mandang Kakang," Balung yang masih mrasa sebal
dengan tingkah laku dan sikap sombong ketiga orang itu,
mengadu kepada Turangga.
"Maklumilah perasaan mereka, Balung. Mungkin keja-
dian yang menimpa Barta sangat memukul hati dan
kewibawaan Perguruan Golok Perak. Jadi, maklum saja
kalau mereka tidak dapat menahan diri dengan melontar-
kan ucapan-ucapan yang memanaskan telinga," sahut
Turangga.
Laki-laki itu tidak menyalahkan atau membela kedua
belah pihak. Dilihat dari caranya saja, sudah dapat di-
tebak kalau dia tentu bukan orang sembarangan. Panda
ngan dan sikapnya jelas menunjukkan kematangan
jiwanya. Dan kedua hal itu biasanya hanya dimiliki oleh
orang yang kepandaiannya telah cukup tinggi.
Baik Balung maupun Panjawa sama sekali tidak
berani membantah nasihat Turangga. Mereka hanya ber-
diri membisu dengan kepala tertunduk. Jelas kalau ke-
dua orang pembantunya itu sangat menyegani plmpinan-
nya.
"Lebih baik, sekarang kalian berdua ikut bersamaku.
Aku sudah meminta izin kepada kepala desa untuk men-
cari istri Barta. Menurut dugaanku, ada seseorang yang
dengan sengaja menculiknya. Sedangkan tempat persem-
bunyian satu-satunya, aku yakin adalah hutan lebat di
sebelah Barat desa kita ini," ujar Turangga.
Setelah berkata demikian, lelaki gagah itu melangkah
lebar menuju kuda tunggangannya. Sekali melompat saja,
tubuhnya telah mendarat ringan di atas punggung kuda.
Perbuatannya diikuti Balung dan Panjawa.
Sebentar kemudian, ketiga binatang beserta penung-
gangnya itu melesat meninggalkan Desa Jagalan.
***
Turangga terus menyelusuri hutan lebat dengan
diiringi Balung dan Panjawa. Semak belukar diterobos,
karena hutan ini memang jarang didatangi manusia. Bah-
kan tidak terdapat jalan setapak sedikit pun. Jadi mereka
harus membuat jalan sendiri untuk melakukan pencarian
itu.
Matahari semakin naik tinggi ketiga ketiga orang itu
sudah melewati tengah hutan. Meskipun sampai sejauh
itu belum ditemukan petunjuk sedikit pun namun mereka
sama sekali tidak berputus asa. Turangga tetap tenang di
atas punggung kudanya. Sepertinya, lelaki berusia empat
puluh tahun yang masih terlihat gagah itu merasa yakin
akan menemukan yang tengah dicarinya. Sehingga, ia
sama sekali tidak terlihat gelisah.
Lain halnya Balung dan Panjawa. Kedua orang pem-
bantu Turangga ini tampak sudah mulai tak sabar. Sese-
kali mereka menyusut peluh yang berlelehan di wajah.
Bahkan tidak jarang mata mereka melirik kepada Tura-
ngga yang tampak tenang dan sama sekali tidak merasa
letih itu. Kalau saja Balung dan Panjawa tidak bersama
pimpinannya, rasanya sudah meninggalkan hutan dan
kembali ke desa. Tapi, rasa segan terhadap pimpinannya
yang sangat tenang dan penyabar itu membuat mereka
terpaksa menahan rasa lelah dan terus mengiringi lang-
kah kaki kuda Turangga.
"Sebentar...," bisik Turangga tiba-tiba.
Ucapan laki-laki gagah itu masih diikuti gerakan ta-
ngannya. Seketika, langkah kaki kuda kedua orang pem-
bantunya tertahan. Karena baik Balung maupun Panjawa
sudah menarik tali kekang secara berbarengan.
"Ada apa, Kakang...?" Tanya Balung juga berbisik
lirih.
Seketika wajah lelaki pendek gempal berkepala botak
itu menegang ketika sepasang matanya mengikuti arah
telunjuk Turangga. Kalau saja lelaki gagah itu tidak sege-
ra menaruh telunjuknya didepan mulut, mungkin Balung
sudah bertanya lagi.
"Kalian berdua tunggu di sini, dan tunggu isyarat
dariku. Mengerti...?" Bisik Turangga, perlahan. Sehingga,
kedua orang pembantunya itu hanya dapat mengangguk
dengan wajah tegang!
Hati-hati sekali Turangga melompat turun dari atas
punggung kuda. Kemudian dengan langkah perlahan,
kaki lelaki gagah itu pun mulai melangkah mendekati
sosok tubuh berambut panjang yang tengah terbaring di
atas rerumputan.
Turangga mengambil jalan memutar untuk memasti-
kan kalau sosok tubuh itu mungkin tengah terlelap. Na-
mun, kening lelaki gagah yang biasanya penuh ketena-
ngan itu berkerut ketika matanya menangkap cairan
merah di belakang kepala sosok tubuh ramping di depan-
nya. Setelah dapat memastikan kalau cairan mengering
itu benar-benar darah manusia, Turangga segera melesat
mendekatinya.
Setelah memeriksa sejenak dan memastikan kalau
sosok tubuh ramping itu sudah tidak bernapas lagi, laki-
laki gagah itu pun mengangkat tangan kanannya me-
manggil Balung dan Panjawa.
"Dapatkah kalian mengenali, siapa mayat wanita mu-
da ini?" Tanya Turangga, seolah-olah ingin memastikan
dugaannya. Pertanyaan itu dilontarkan setelah kedua
orang pembantunya turun dan mendekat.
Sosok mayat yang mulai menebarkan aroma tak sedap
itu, digulingkan Turangga dengan menggunakan ujung
alas kakinya. Sehingga, mayat wanita muda yang semula
menelungkup itu kini membalik dan dapat terlihat jelas
wajahnya.
"Ya, Tuhan.... Bukankah wanita ini istri Barta?! Siapa
pula manusia biadab yang telah membunuhnya secara
keji ini?!" Geram Balung dengan tangan terkepal erat.
Jelas, lelaki berkepala botak itu merasa sangat marah
dengan apa yang disaksikannya. Napasnya seketika mem-
buru menahan kegeraman.
"Dia bukan hanya dibunuh, Balung. Perhatikanlah
baik-baik pakaian yang dikenakan wanita muda ini," ujar
Turangga yang memang memiliki pandangan lebih awas
dan teliti daripada kedua pembantunya.
"Biadab...! Iblis keji itu rupanya telah memperkosa
wanita malang ini terlebih dahulu sebelum membunuh-
nya! Benar-benar perbuatan keji!" Maki Balung dengan
wajah merah padam.
Panjawa dapat bersikap lebih tenang. Ia hanya me-
neliti sekujur tubuh wanita muda yang malang itu dalam
jarak beberapa langkah. Melihat dari pancaran matanya,
jelas kalau dia tengah dilanda kegeraman hebat. Namun,
ia masih dapat menahan dirinya disertai helaan napas.
***
EMPAT
Turangga termenung memikirkan kejadian yang telah
menimpa desa yang menjadi tanggungjawabnya. Sebagai
tangan kanan Kepala Desa Jagalan, yang juga menjadi
kepala keamanan desa, tentu tanggung jawabnya sangat
besar. Dan tugasnya kali ini terasa sangat berat, karena
pelaku pembunuhan yang sekaligus pemerkosaan itu
masih gelap. Lelaki gagah itu belum tahu dari mana
harus memulai penyelidikannya.
"Bagaimana, Kakang? Apakah mayat istri Barta ini
kita bawa ke desa?" Tanya Balung mengusir lamunan
yang mengganggu pikiran Turangga.
"Mmm...."
Lelaki gagah itu hanya bergumam perlahan, seolah-
olah hendak mencari jawaban atas pertanyaan Balung.
Padahal, sebenarnya ia tidak begitu mendengar perta-
nyaan pembantunya tadi. Maka, ia sengaja bergumam
agak panjang agar Balung mengulangi kembali pertanya-
annya.
"Kakang, bagaimana dengan pertanyaan Adi Balung
tadi? Apakah kita akan membawa pulang mayat ini, atau
pendam saja di sini secara sederhana. Kita tidak bisa
mendiamkannya terlalu lama, Kakang," Panjawa tiba-tiba
mengulangi pertanyaan yang diajukan Balung tadi.
Mendengar pertanyaan itu, Turangga tersenyum. Dan
senyum di wajahnya itu perlahan memudar diiringi gera-
kan tubuhnya yang bangkit berdiri. Lalu pandangannya
beredar ke sekitarnya dengan maksud mencari tempat
yang cocok untuk istirahat panjang wanita malang itu.
"Kita kuburkan saja di tempat itu...," sahut Turangga
sambil menunjuk tanah gembur di bawah sebatang pohon
besar. Kemudian kakinya melangkah ke arah pohon itu.
Tanpa diperintah dua kali, Balung dan Panjawa segera
mengangkat mayat wanita malang itu dan meletakkannya
di bawah pohon. Mereka kemudian mulai menggali de-
ngan menggunakan senjata masing-masing. Karena pe-
kerjaan itu dilakukan dengan menggunakan tenaga da-
lam, maka sebentar saja terciptalah sebuah lubang yang
cukup besar.
Kini Balung dan Panjawa kembali mengangkat mayat
wanita itu untuk dimasukkan ke dalam lubang. Namun,
sebelum tubuh kaku itu sempat mereka turunkan, tiba-
tiba terdengar bentakan keras mengejutkan.
"Keparat keji! Rupanya kalianlah yang menjadi biang
keladi kerusuhan di desa kami!" seru sebuah suara berat
menggetarkan.
Sesaat kemudian, berloncatan belasan sosok tubuh
yang segera mengurung Turangga, Balung, dan Panjawa.
Sehingga ketiga orang itu menjadi terkejut dibuatnya.
"Hei! Apa-apaan ini...?" Seru Balung yang segera me-
nurunkan kembali tubuh mayat wanita muda itu.
Hati laki-laki botak itu memang tengah dilanda ke-
kesalan, sehingga membuatnya cepat sekali menjadi ma-
rah. Dengan wajah merah padam, diambilnya golok besar
yang tadi diletakkan di atas rerumputan. Dia langsung
bersiaga menghadapi orang-orang yang mengurungnya.
"Sabar, Balung. Ini pasti hanya kesalahpahaman
saja," bisik Turangga mencoba menyabarkan Balung agar
persoalannya tidak menjadi bertambah rumit.
"Tidak perlu banyak cakap lagi! Jelas sudah, kalian
adalah iblis-iblis keji yang selama ini kami cari-cari! Ser-
buuu...!"
Tanpa memberi kesempatan kepada Turangga dan
kawan-kawannya untuk membela diri, lelaki bertubuh
kekar langsung meluruk maju disertai tebasan golok ber-
geriginya. Sepertinya, dia merupakan pimpinan belasan
orang itu.
Wuuuttt!
"Hei, tahan...!"
Turangga yang menjadi sasaran utama sambaran
golok bergerigi, langsung merendahkan kepala sambil
mencoba menyadarkan lelaki brewok bertubuh kekar itu.
Namun, lelaki brewok itu sepertinya sudah tida bisa
disabarkan lagi. Tanpa mempedulikan seruan Turangga,
goloknya kembali berputar dan berkelebat dari atas ke
bawah. Kecepatan serangannya demikian dahsyat dan
menggetarkan. Sambaran angin menderu yang ditimbul-
kannya menandakan kalau serangan itu dialiri tenaga
dalam tinggi. Sehingga, mau tidak mau Turangga harus
melompat ke belakang untuk rnenghindari ancaman
maut itu.
"Kisanak, sabarlah. Ini hanya kesalahpahaman saja!"
bujuk Turangga.
Laki-laki setengah baya itu mendaratkan kakinya se-
jauh dua batang tombak, sambil mencoba mengingatkan
lawan. Tapi sambaran yang amat kuat dan bertubi-tubi,
memaksanya untuk melakukan perlawanan. Jelas, Tura-
ngga pun tidak sudi tubuhnya dijadikan sasaran senjata
mengerikan yang digunakan lawan.
"Heaaat..!"
Dibarengi seruan nyaring, Turangga mencabut pedang
yang selaki berada di pinggangnya. Sekali berkelebat sen-
jata di tangan laki-laki gagah itu telah melakukan se-
rangkaian tangkisan untuk mematahkan serangan lawan.
Trang! Trang...l
Terdengar suara keras yang diwarnai percikan-perci-
kan bunga api berkilauan. Tubuh keduanya terjajar mun-
dur beberapa langkah ke belakang. Setelah memeriksa
senjata masing-masing, keduanya kembali saling mener-
jang hebat- Pertarungan pun semakin ramai setelah Tu-
rangga terpaksa membalas serangan lawan, daripada mati
konyol!
Di tempat lain, Balung dan Panjawa tengah disibuki
oleh keroyokan dua belas orang pengikut lelaki brewok
bertubuh kekar itu. Baik Balung raaupun Panjawa tam-
pak terdesak hebat akibat keroyokan lawan. Apalagi, ke-
pandaian yang dimiliki para pengeroyok rata-rata cukup
tinggi. Maka dapat dibayangkan, betapa sibuknya kedua
orang pembantu Turangga itu dibuatnya.
"Yeaaat..!"
Salah seorang pengeroyok bertubuh jangkung yang
berada di sisi kiri Panjawa tiba-tiba berseru nyaring. Dan
pada saat itu juga, tubuhnya langsung melesat disertai
tebasan pedang yang bergerak mendatar mengancam
perut Panjawa.
Belum lagi Panjawa sempat menghindari ancaman
maut itu, dari depan dan sisi kanan terdengar suara ber-
desing nyaring. Masing-masing serangan itu mengancam
belakang telinga dan lambung kanannya. Tentu saja Pan-
jawa menjadi semakin sibuk dan terjepit.
"Heaaat..!"
Sadar kalau untuk lolos dari ketiga serangan itu
sudah tidak mungkin, Panjawa segera berteriak nyaring.
Pedangnya langsung diputar, sehingga membentuk gulu-
ngan sinar melindungi tubuh. Maksudnya, jelas. Untuk
menghalau semua serangan ketiga orang lawannya yang
meluncur disertai hawa maut mematikan.
Trang! Trang! Brettt!
"Aaakh...!"
Pertahanan Panjawa rupanya tidak terlalu sia-sia.
Dua bilah senjata lawan yang menyerang dari kiri dan
kanan, berhasil diparahkan. Tapi sayang, seorang penye-
rang dari depan berhasil menyarangkan senjata itu di
lambung kanannya.
Diiringi jerit kesakitan yang menggema, tubuh Pan-
jawa melintir, ketika ujung pedang yang menancap di
lambungnya disentakkan ke atas secara tiba-tiba. Dapat
dibayangkan, betapa sakitnya luka akibat tusukan pe-
dang lawannya.
Darah segar seketika mengucur keluar dari luka yang
memanjang dan dalam. Panjawa terhuyung-huyung sam-
bil menekap luka yang terus saja mengucurkan darah se-
gar. Wajahnya pun sudah pucat karena banyaknya darah
yang keluar.
“Panjawa...."
Balung yang sempat mendengar teriakan Panjawa,
menjadi hilang pertahanannya. Belum lagi kekeliruannya
sempat disadari, tahu-tahu saja ujung-ujung pedang dari
dua lawannya melesak menembus bahu dan iganya. Cara
yang dilakukan kedua orang itu sama dengan yang dila-
kukan lawan Panjawa. Ujung-ujung pedang yang menan-
cap itu langsung disentakkan, sehingga sebagian daging
dan kulit tubuh Balung ikut tersentak keluar. Darah
segar pun kembali mengucur membasahi rerumputan
kering.
"Ohhh...."
Balung merintih menahan rasa pedih pada luka di tu-
buhnya. Tangan kirinya pun sibuk menutupi luka-luka di
tubuhnya. Wajahnya yang semula merah terbakar, men-
jadi pucat karena terlalu banyak kehilangan darah.
Kedua orang pembantu Turangga yang tampaknya
sudah tidak bisa bertahan lama lagi, segera merapatkan
punggungnya untuk saling menjaga. Rupanya baik Ba-
lung maupun Panjawa sudah bertekad untuk mati ber-
sama-sama. Meskipun tanpa ucapan, namun dari sinar
mata mereka jelas terpancar tekad bulat.
"Habisi kedua iblis keji itu...!"
Salah seorang pengeroyok yang mengenakan ikat
kepala berwarna merah, menuding dengan ujung pedang
ke arah Balung dan Panjawa. Kemudian tubuhnya lang-
sung meluruk, disertai sambaran senjatanya yang siap
melumatkan tubuh kedua orang pembantu Turangga itu.
Serangan sosok berikat kepala merah itu segera di-
susuli kawan-kawannya. Mereka langsung meluruk diser-
tai ayunan dan sabetan senjata. Rasanya, kali ini Balung
dan Panjawa tidak mungkin selamat. Dan memang, sera-
ngan kedua belas orang itu datang dari empat penjuru.
Maka sangat sulit bagi Balung dan Panjawa untuk dapat
lolos.
"Jangan sampai kematian kita sias-sia, Balung! Kita
harus mengajak, paling tidak dua orang untuk ikut me-
layat bersama ke akhirat!" tekad Panjawa.
Panjawa menggenggam gagang senjatanya erat-erat.
Sepasang matanya tajam tak berkedip menunggu tibanya
serangan. Jelas kalau dia berniat menggunakan sisa-sisa
tenaganya untuk melakukan perlawanan terakhir.
"Baik, Kakang. Aku pun tidak ingjn mati sia-sia!" sa-
hut Balung, mantap.
Sepasang mata Balung menatap lurus ke depan. la
hanya menggunakan ekor matanya untuk mengamati ge-
rakan pedang lawan yang siap akan merencah tubuhnya.
Kedua tangannya bergetar. Jelas, Balung telah mengerah-
kan seluruh kekuatannya di saat terakhir kehidupannya.
"Yeaaat..!"
Teriakan membahana yang dimaksudkan untuk me-
lemahkan semangat lawan, terdengar mengiringi luncu-
ran senjata-senjata belasan orang itu. Namun meskipun
demikian, baik Balung maupun Panjawa tetap tak ber-ge-
ming dari tempat semula. Hanya saja, mereka telah be-
nar-benar siap membabatkan senjata secara berbarengan
pada saat serangan lawan datang. Dengan demikian,
mereka berharap dapat membawa serta beberapa orang
lawan untuk menghadap Malaikat Maut.
Tapi pada saat yang sangat berbahaya bagi keselama-
tan Balung dan Panjawa, tiba-tiba sesosok bayangan
putih melesat cepat bagai kilat. Sepasang tangannya lang
sung mendorong ke arah belasan tubuh yang siap me-
rejam Balung dan Panjawa.
Wusss!
"Aaah...!"
Serangkum angin dingin yang menusuk tulang me-
nyambar keluar dari sepasang telapak tangan sosok baya-
ngan putih itu. Dan akibatnya hebat sekali! Belasan sosok
tubuh yang semula meluruk kedepan itu langsung ter-
tolak balik, bagai tersapu angin topan dahsyat.
Bagaikan karung basah, tubuh belasan orang itu
jatuh saling tumpang tindih. Terdengar suara gigi berge-
meretak akibat hawa dingin yang menusuk tulang bela-
san orang itu. Wajah-wajah mereka pun pucat bagaikan
tak dialiri darah. Siapa lagi orang yang mempunyai puku-
lan seperti itu kalau bukan Panji atau yang lebih dikenal
beijuluk Pendekar Naga Putih.
Sosok bayangan putih yang memang Pendekar Naga
Putih itu langsung turun tangan begitu melihat bayangan
kematian yang mengancam Balung dan Panjawa. Pende-
kar Naga Putih langsung dapat menduga kalau kedua
orang itu bukan orang jahat. Maka ia segera turun tangan
menolong. Sikap gagah yang ditunjukkan kedua orang
itulah yang membuat Pendekar Naga Putih turun tangan.
Dan sepanjang pengetahuannya, hanya orang-orang ber-
jiwa bersihlah yang menghadapi kematian dengan sikap
gagah. Lain halnya dengan golongan sesat, yang selalu
merengek ketakutan apabila menghadapi kematian.
Pendekar Naga Putih langsung memberi totokan pada
luka di tubuh Balung dan Panjawa agar darah berhenti
mengalir. Juga, diberikannya obat pulung untuk memu-
lihkan dan menghilangkan rasa sakit di tubuh mereka.
Tak berapa lama setelah Pendekar Naga Putih meng-
obati Balung dan Panjawa, datang sesosok tubuh ramping
mengenakan pakaian serba hijau. Siapa lagi sosok itu ka-
lau bukan Kenanga, kekasih Pendekar Naga Putih.
Sementara itu, Balung dan Panjawa segera melangkah
kedepan Pendekar Naga Putih. Kedua orang itu langsung
membungkuk disertai ucapan terima kasih atas pertolo-
ngan pemuda tampan berjubah putih itu.
"Kisanak, kami berdua mengucapkan ribuan terima
kasih atas pertolonganmu. Rasanya hidup kami tinggal
seujung rambut lagi. Tanpa pertolongan yang kau beri-
kan, mungkin kami berdua tidak akan menikmati sinar
matahari esok pagi. Sekali lagi, kami mengucapkan ba-
nyak terima kasih...," ucap Balung. Sedangkan Panjawa
hanya mengangguk-angguk menyetujui ucapan rekannya
itu.
"Janganlah terlalu berlebihan, Kisanak. Apa yang ku-
lakukan tadi hanya suatu kewajiban saja. Jadi, Jangan-
lah dianggap suatu budi yang harus dibalas," sambut
Panji yang membungkuk membalas penghormatan Ba-
lung dan Panjawa. Senyum ramahnya terkembang meng-
hias wajah.
Balung dan Panjawa semakin bertambah kagum me-
lihat sikap ramah dan sopan dari pemuda penolongnya.
Dari cara pemuda tampan itu membalas sikap hormatnya
saja, sudah benar-benar membuat kedua orang itu tidak
merasa rendah diri. Padahal, mereka tahu secara jelas
kalau belasan orang pengeroyok itu dibuat tidak berdaya
hanya dalam sekejap mata saja.
Tapi, sikap pemuda itu sama sekali tidak menunjuk-
kan kesombongan. Diam-diam Balung dan Panjawa me-
ngukir dalam hati sikap pemuda penolongnya.
"Mmm.... Maaf, Kisanak. Kalau boleh tahu, apakah
yang menyebabkan kalian sampai bertempur mati-mati-
an? Bukankah kalau ada masalah bisa dibicarakan se-
cara kepala dingin?" Tanya Panji mengorek keterangan
dari Balung yang memang lebih banyak bicara daripada
Panjawa.
Pendekar Naga Putih yang tengah terlibat pembica-
raan dengan Balung dan Panjawa, tiba-tiba menolehkan
kepala ke arah pertarungan lain. Ia yang semula berniat
melerai kedua orang yang tak lain Turangga dan lelaki
kekar berwajah brewok itu, segera mengurungkan niat-
nya. Dan memang, Kenanga lebih dahulu menghentikan
pertarungan itu.
"Lelaki brewok itulah yang lebih dahulu memulai per-
kelahian ini, Kisanak. Kami terpaksa membela diri karena
tidak ingin terbunuh di tangan mereka," jelas Balung me-
ngadukan kejadian yang menyebabkan pertarungan mati-
matian itu.
"Hm.... Mari kita kesana. Nampaknya mereka masih
sama-sama dipengaruhi amarah. Bisa-bisa, pertarungan
akan kembali terulang apabila masalahnya tidak segera
diselesaikan. Padahal menurut dugaanku, kalian semua
adalah orang baik-baik yang selalu berpikiran dingin,"
ujar Pendekar Naga Putih.
Kata-kata itu diucapkan Pendekar Naga Putih sambil
melangkah mendekati tempat Turangga yang lengah ber-
sitegang dengan lelaki brewok.
"Maaf kalau aku bersikap lancang dengan mencam-
puri urusan kalian," ucap Panji begitu tiba di tempat ke-
dua orang yang tengah bersitegang.
Sambil berkata demikian, Panji menelirik lelaki bre-
wok dan Turangga tanpa kentara. Sehingga, kedua orang
itu tidak sadar kalau Pendekar Naga Putih tengah menilai
mereka.
"Hhh.... Susah sekali mendamaikan mereka, Kakang.
Lebih baik biarkan saja mereka bertempur sampai puas.
Barangkali saja, dengan begitu baru tidak ada yang perlu
diributkan lagi!" dengus Kenanga. Jelas sekali kalau hati-
nya jengkel menghadapi kebandelan kedua orang yang
hendak didamaikannya itu.
Panji hanya tersenyum melihat kekesalan hati keka-
sihnya dalam menghadapi kedua orang itu. Namun, ia
tidak menyalahkan Kenanga, karena jalan untuk berbuat
kebaikan memang sangat sulit dan banyak menuntut
pengorbanan. Meskipun demikian, Panji tetap bertekad
mendamaikan kedua belah pihak yang tengah bersitegang
itu.
"Hm.... Siapa kau, Anak Muda?! Dan apa hakmu men-
campuri urusan kami? Kami tidak memerlukan seorang
penengah di sini. Apalagi orang seusiamu!" tegas lelaki
kekar berwajah brewok itu dengan sikap memandang ren-
dah dan nada mengejek.
Tapi, Pendekar Naga Putih hanya tersenyum menang-
gapinya. Sedikit pun tidak tampak kemarahan pada wa-
jahnya yang tampan. Sepertinya, sikap yang ditunjukkan
lelaki brewok itu merupakan hal yang wajar saja.
Lain halnya dengan Kenanga. Mendengar kekasihnya
diejek dengan nada yang amat tidak enak, gadis jelita itu
melangkah maju sambil bertolak pinggang. Sepasang
mata yang biasanya indah bagai bintang pagi itu, kini
nampak menggetarkan hati yang memandangnya. Hal itu
wajar saja, karena gadis jelita itu tanpa sadar telah me-
ngerahkan kekuatan tenaga sakti melalui pancaran sinar
matanya.
"Hei, Brewok! Tahukah kau, dengan siapa saat ini ber-
hadapan?! Sikapmu itu sama sekali tidak menunjukkan
sikap kependekaran! Tapi, lebih tepat sikap golongan
sesat yang memang selalu mengandalkan kepandaian
untuk menekan orang lemah! Tapi aku yakin, apabila kau
tahu sosok di hadapanmu, kau pasti akan berlutut minta
ampun! Tahu?!" Semprot Kenanga tanpa merasa gentar
sedikitpun. Sepertinya, dia memang sudah siap meng-
hadapi kemarahan lelaki brewok itu.
Lelaki kekar berwajah brewok yang ternyata bernama
Danar Pari itu, memang memiliki sifat berangasan. Dia
kini malah sudah siap membalas makian Kenanga. Sepa-
sang matanya melotot penuh ancaman. Wajah yang di-
penuhi brewok itu pun merah terbakar amarah.
Lain halnya dengan Turangga. Begitu mendengar pe-
negasan Kenanga, sepasang matanya segera saja menatap
Panji penuh selidik. Sepasang mata lelaki setengah baya
itu tampak menyipit, seperti hendak inengingat-ingat se-
suatu. Meskipun ada semacam dugaan dalam benaknya,
tapi rupanya ia masih meragukan dugaannya. Maka
tanpa ragu-ragu lagi, Turangga negera bertanya kepada
Panji.
"Kisanak. Bagiku tidak ada masalah, apakah kau
akan menjadi penengah bagi kami atau tidak. Tapi kalau
boleh tahu, siapakah kau sebenarnya? Dan mengapa
mencampuri urusan yang tidak ada sangkut pautnya
denganmu ini?" Tanya Turangga yang ingin mengetahui,
sampai di mana kepandaian pemuda tampan itu dalam
mengelakkan ucapannya.
Kenanga yang juga mendengar pertanyaan itu menjadi
tidak sabar. Tubuh ramping itu langsung berbalik dan
menghadap ke arah Turangga dengan sinar mata galak.
Sepertinya, gadis jelita itu hendak melampiaskan kejeng-
kelan hatinya kepada siapa saja. Dan kali ini yang jadi
sasarannya adalah Turangga.
Panji yang memang hafal terhadap sikap keras keka-
sihnya, segera melangkah mendekat. Ditepuknya bahu
gadis itu perlahan, seperti hendak menyabarkan. Apa
yang dilakukan pemuda itu ternyata berhasil. Sebab,
Kenanga yang merasakan tepukan kekasihnya langsung
membalikkan tubuh dan tidak lagi mempedulikan Tu-
rangga. Jelas, Kenanga hendak menyerahkan masalah itu
kepada kekasihnya.
***
LIMA
Turangga yang sejak tadi mengikuti tindak-tanduk
gadis jelita itu menjadi kagum hatinya. Diam-diam dipuji-
nya sifat gadis jelita itu, yang meski dalam keadaan
marah bagaimanapun ternyata masih menuruti kemauan
pemuda tampan berjubah putih itu. Melihat semua ini,
Turangga menduga kalau kedua anak muda itu pasti
mempunyai hubungan istimewa.
Panji melangkah semakin mendekati tempat Turangga
berdiri. Langkah pemuda itu yang ringan dan kokoh,
diam-diam diperhatikan Turangga. Dan hal ini membuat
laki-laki setengah baya itu terkejut. Sebagai orang yang
memiliki pengalaman Iuas, ia tahu kalau pemuda tampan
berjubah putih itu pass bukan orang sembarangan. Apa-
lagi, sikapnya terlihat tenang dan penuh percaya diri. Ma-
ka, Turangga semakin bertambah kagum saja dibuatnya.
"Paman," panggil Panji sambil memutar otak memilih
kata yang tepat untuk disampaikannya kepada Turangga.
"Namaku Panji. Dan orang-orang rimba persilatan menge-
nalku sebagai Pendekar Naga Putih.''
"Jadi, kaukah pemuda yang berjuluk Pendekar Naga
Putih? Dugaanku ternyata tidak meleset! Terimalah hor-
mat dari orang tua yang bodoh dan buta ini, Pendekar
Naga Putih," sahut Turangga yang tanpa ragu-ragu mem-
bungkukkan tubuhnya didepan Panji. Jelas, sikap yang
ditunjukkan lelaki setengah baya itu tidak dibuat-buat.
Mendengar kalau pemuda tampan itu adalah Pende-
kar Naga Putih, maka semua orang yang berada di tempat
itu langsung membungkukkan tubuhnya dengan sikap
hormat Tidak ketinggatan lelaki brewok yang bernama
Danar Pati. Dia juga membungkuk hormat ketika menge-
tahui julukan pemuda tampan berjubah putih itu. Bah-
kan tubuhnya dibungkukkan paling dalam di antara lain
nya. Jadi biarpun Danar Pati seorang lelaki yang memiliki
sifat berangasan, namun memiliki watak jujur yang sudi
mengakui kesalahannya.
"Sudahlah, jangan terlalu berlebihan," cegah Panji me-
rendah.
Pendekar Naga Putih menjadi merasa tidak enak me-
lihat sikap orang-orang itu yang demikian menaruh hor-
mat kepadanya. Diam-diam, hati pemuda itu semakin
mantap untuk mengetahui apa yang membuat kedua
belah pihak bertarung sengit.
"Aku tadi melihat Paman dan yang lainnya bertarung
mati-matian. Jadi aku merasa tertarik untuk mencam-
purinya. Setelah memperhatikan agak lama, aku merasa
yakin kalau Paman sekalian pasti tokoh-tokoh golongan
putih. Nah! Dengan berpegang pada dugaan itulah aku
memberanikan diri untuk menengahi urusan ini. Dan ka-
lau boleh, aku ingin mengetahui jelas pokok persoalan-
nya. Mudah mudahan saja persoalan ini dapat diselesai-
kan dengan jalan damai tanpa harus mengorbankan
nyawa percuma," jelas Panji tentang ikut campurnya
dalam masalah ini.
Sekarang, Danar Pati yang angkat bicara. Dan tanpa
ragu-ragu lagi, persoalan yang tengah dihadapinya segera
dlceritakan. Dalam nada suaranya, jelas sekali tergambar
kegeraman hati dan rasa penasaran yang amat sangat.
Sehingga, beberapa kali ceritanya harus dihentikan ka-
rena tak sanggup menahan amarah yang menggemuruh
dalam dada.
"Bayangkan saja. Bagaimana hatiku tidak penasaran,
Pendekar Naga Putih. Entah sudah berapa banyak gadis
yang lenyap tanpa dapat diketemukan lagi. Beberapa kali
iblis-iblis itu muncul, dan sengaja memancing kemarahan
kami. Tapi, mereka selalu lenyap tanpa jejak. Tidak
sedikit tokoh persilatan yang menjadi korban karena ingin
mengungkapkan peristiwa yang sangat pelik ini. Itulah
sebabnya, mengapa tanpa banyak cakap lagi kami lang-
sung menyerang saudara Turangga dan kedua orang ka-
wannya. Hal itu kami lakukan, karena takut kalau
mereka akan lenyap lagi. Jadi, terpaksa kami menye-
rangnya tanpa bertanya lagi," tutur Danar Pati. Dia juga
segera meminta maaf kepada Turangga, Balung, dan Pan-
jawa. Kedua orang pembantu Turangga itu tampaknya
telah pulih kesehatannya.
"Hm.... Jadi, Paman sudah cukup lama mengejar iblis-
iblis penculik wanita itu?" Tanya Pendekar Naga Putih.
"Benar. Dan sampai saat ini, kami belum juga berhasil
menangkap iblis itu. Jangankan menangkapnya, untuk
melihat wajahnya saja, belum mampu. Sebab, setiap kali
menunjukkan diri, iblis itu selalu saja berada dalam
tempat gelap. Sehingga, kami hanya bisa melihat baya-
ngannya saja," jelas Danar Pati sambil menundukkan
wajahnya dengan hati penasaran.
"Lalu, bagaimana dengan Paman Turangga? Apakah
persoalan yang Paman hadapi sama?" Tanya Panji me-
ngalihkan pandangannya kepada Turangga yang semen-
jak tadi hanya diam mendengar penuturan Danar Pati.
Turangga tidak segera menjawab pertanyaan pemuda
tampan itu. Ditariknya napas terlebih dahulu sebelum
memulai ceritanya. Sebab, apa yang akan diceritakannya
masih belum jelas benar. Dan memang, ia sendiri belum
mengetahui apa yang menyebabkan kematian Barta dan
istrinya.
"Persoalan yang kuhadapi, memang tidak serumit apa
yang tengah dihadapi Danar Pati. Kejadian ini baru per-
tama sekali menimpa desa kami, dan tanpa seorang saksi
pun yang memergokinya. Jadi, kami masih belum menge-
tahui secara pasti, siapa dan apa yang menjadi penyebab
kematian Barta dan istrinya. Yang jelas, istri Barta diculik
dan diperkosa secara biadab di dalam hutan ini, sebelum
dibunuh manusia berwatak keji itu," jeias Turangga.
"Hm... Persoalan ini ternyata masih sangat gelap. Tapi
yang jelas, ada kemungkinan pelaku yang dimaksud
Paman Danar Pari dan Paman Turangga memiliki suatu
pertalian atau hubungan. Meskipun belum bisa kupasti-
kan, namun aku akan berusaha membantu Paman ber-
dua dalam memecahkan persoalan ini. Sekarang, ada
baiknya kalau kita menyusun rencana untuk menjebak
penculik dan pemerkosa biadab itu," usul Panji setelah
mendengarkan keterangan Danar Pati maupun Turangga.
***
Matahari sudah semaldn bergeser ke arah Barat,
ketika dua sosok tubuh bergerak cepat melintasi padang
rumput luas. Menilik dari gerakannya, jelas kalau kedua
orang itu merupakan tokoh persilatan tingkat atas. Dan
memang, ilmu lari cepat yang digunakan telah mencapai
tingkat tinggi.
Yang seorang bertubuh pendek gemuk, dan berperut
buncit Dia berlari tanpa mempedulikan sekitarnya. Tata-
pan matanya yang bulat dan menyiratkan ketidak-waja-
ran, menyorot tajam. Siapa saja yang beradu pandang
dengannya pasti bergidik ngeri. Wajahnya yang dipenuhi
bulu hitam itu membuatnya terlihat semakin angker.
Apalagi, di pipi kirinya terdapat segaris luka melintang.
Sehingga, semakin lengkaplah keangkeran wajahnya.
Sedangkan yang seorang lagi, tubuhnya tampak tegap
dan gagah. Wajahnya mencerminkan kekerasan. Sedang-
kan sepasang matanya memancar licik, menandakan
kalau ia memiliki otak cerdik. Dalam usianya yang paling
jauh baru sekitar dua puluh satu tahun, ia terlihat
matang pemikirannya. Apalagi kegesitan dan keringanan
gerakannya tidak kalah dengan orang tua di sebelahnya.
Benar-benar seorang pemuda yang bisa dikatakan ber-
bahaya.
"Ke mana kita, Guru...?" Tanya pemuda itu, ketika
tiba pada sebuah persimpangan jalan.
Pemuda itu memperlambat larinya, untuk kemudian
berhenti sama sekali. Dari caranya bertanya, jelas kalau
dia belum mengetahui arah tujuannya.
"Hm...."
Laki-laki berperut buncit yang juga telah menghen-
tikan larinya, memandang bingung ke arah persimpangan
jalan itu. Sejenak kepalanya berpaling kepada pemuda di
sebelahnya, seolah-olah meminta pertimbangan mengenai
arah yang akan ditempuh.
Pemuda berwajah keras itu menggelengkan wajahnya
sambil mengangkat bahu. Sepertinya persoalan Itu ingin
diserahkannya kepada lelaki gendut yang dipanggil guru
itu. Tampaknya ia tidak mengetahui kebingungan guru-
nya, dan hanya memandang berkeliling menikmati ke-
indahan alam sekitarnya.
"Hei! Ayo bantu aku berpikir. Jangan hanya diam saja
seperti kerbau!"
Sambil membentak pemuda itu, si lelaki gendut me-
layangkan tangan kanannya menampar perlahan kepala
pemuda itu.
Tamparan perlahan dan bentakan rupanya cukup me-
ngejutkan pemuda itu. Cepat kepalanya menoleh dengan
kening berkerut. Jelas, ia merasa tidak suka dengan apa
yang diperbuat gurunya tadi.
"Ah! Mengapa aku yang harus diajak berpikir? Kalau
aku disuruh memilih, maka akan kupilih jalan yang di se-
belah kanan. Sebab, jalan itu terlihat lebih enak. Apalagi,
di kiri kanannya banyak terdapat pepohonan dan sawah
yang padinya telah menguning. Tentu rasanya menggem-
birakan melakukan perjalanan sambil menikmati keinda-
han di sekeliling tempat itu," sahut pemuda berwajah
keras itu sekenanya. Ucapan itu memang bukan berda
sarkan pemikiran, tapi berdasarkan kesenangan dirinya
sendiri.
Tapi anehnya, lelaki gendut yang dipanggil guru itu
sama sekali tidak mempedulikannya. Bahkan malah ter-
tawa terkekeh-kekeh dan mengangguk-anggukkah kepala
sebagai tanda kepuasan hatinya atas pilihan muridnya.
Melihat dari tindak tanduknya yang aneh dan wajahnya
yang selalu terhias senyum aneh itu, jelas kalau pikiran-
nya tidak waras sebagaimana mestinya.
"Bagus...! Kau memang benar-benar seorang murid
berbakti, Palawa. Jalan yang kau tunjukkan ltu memang
tepat sekali. Karena, di sanalah Perguruan Ruyung Maut
berdiri. Jadi, jalan yang kau tunjukkan itu memang
betul!" Seru lelaki berperut gendut yang tak lain adalah
Dedemit Bukit Saji. Entah apa maksudnya ia hendak
mengunjungi Perguruan Ruyung Maut seperti yang di-
ucapkannya tadi.
Dedemit Bukit Saji dan muridnya yang bernama Pa-
lawa sudah cukup lama turun gunung setelah berhasil
mempelajari ilmu-ilmu yang terkandung dalam Kitab Te-
lapak Darah. Hanya sayangnya, otak lelaki gendut ber-
usia sekitar lima puluh tahun lebih itu agak terganggu
setelah menamatkan isi kitab. Padahal, ada beberapa ba-
gian isi kitab itu yang hilang. Sepertinya, itu memang
sengaja dihilangkan. Entah apa sebabnya. Yang menge-
tahuinya hanyalah seorang kakek sakti yang berjuluk
Dewa Tangan Api, karena dialah yang lelah menciptakan
ilmu pukulan 'Telapak Darah* yang sangat ganas dan
berbahaya.
Untungnya Palawa dapat bersikap lebih cerdik dari-
pada gurunya. Sengaja seluruh kandungan isi kitab itu
tidak dipelajarinya. Yang dipelajarinya hanya beberapa
bagian yang penting-penting saja, sehingga otaknya tidak
mengalami gangguan sebagaimana yang dialami gurunya.
Dan kini, setelah genap hampir setengah tahun guru
dan murid itu menggembleng diri dengan ilmu yang
kabarnya sangat mengerikan itu, mereka pun turun ke
dunia ramai. Tujuan mereka kali ini adalah Perguruan
Ruyung Maut.
Tak berapa lama kemudian, mereka bergegas meng-
genjot tubuhnya melintasi jalanan berdebu yang dipenuhi
pula oleh bebatuan bertonjolan. Tapi, semua itu sama
sekali tidak menghambat lari mereka. Padahal, jalan yang
dilewati cukup sulit karena tertutup debu tebal.
Namun, kedua orang itu sama sekali tidak pedulikan
jalan yang dilalui. Dedemit Bukit Saji dan Palawa kini
terus melintasi daerah persawahan cukup luas.
Setelah melewati persawahan, kini langkah kaki sosok
tubuh itu berhenti didepan sebuah pintu gerbang yang
terbuat dari kayu gelondongan.
"Hm.... Aku yakin, di sinilah tempatnya monyet jelek
yang berjuluk Ruyung Delapan Bayangan. Ayolah, kita
harus menemuinya," ajak Dedemit Bukit Saji. Tanpa me-
nunggu jawaban muridnya, dia segera melompat melewati
pintu gerbang yang cukup tinggi.
Enak saja tubuh gendut itu melambung bagai sebuah
bola karet yang ringan. Ketika berada di atas pintu ger-
bang yang ujungnya runcing, mendadak tubuh gendut itu
berputar seperti sengaja mempertontonkan kebolehannya.
Sepasang tangannya terkembang dan perlahan menepak
ujung-ujung pintu gerbang itu. Sesaat kemudian, tubuh-
nya kembali melenting manis, dan hinggap di tengah
halaman depan. Ringan, dan tanpa menimbulkan suara
sedikit pun. Hebat memang ilmu meringankan tubuh
yang dipertunjukkannya. Rasanya, jarang ada orang yang
mampu melakukan hal seperti itu.
Palawa yang masih berdiri menyaksikan pertunjukan
gurunya, hanya tersenyum dikulum. Begitu tubuh guru-
nya lenyap, kakinya segera dijejakkan ke tanah. Sesaat
kemudian, tubuhnya langsung melayang. Bagaikan se-
ekor burung besar. Dan gerakan itu masih ditambah
gerakan kedua tangannya yang mengembang ke kiri dan
kanan. Tingkah pemuda itu memang benar-benar mirip
seekor burung, apabila tengah mengembangkan sayap-
nya.
Seperti juga yang tadi dilakukan gurunya, sepasang
tangan Palawa bergerak cepat melakukan tepukan perla-
han pada ujung-ujung pintu gerbang Perguruan Ruyung
Maut. Setelah melenting dan berputaran beberapa kali,
kedua kakinya menjejak tanah tanpa suara sedikit pun.
"Ha ha ha...! Guru ternyata semakin hebat saja
gerakannya. Aku jadi kagum sekali melihatmu melewati
pintu gerbang sialan itu," ujar Palawa tertawa memuji
kehebatan gurunya.
"Hm... Kau pun sudah memiliki kemajuan yang sangat
pesat, Palawa. Gerakanmu ternyata telah hampir menya-
maiku. Jangan-jangan kau sudah metewatiku. He he
he...!"
Setelah berkata demikian, Dedemit Bukit Saji meng-
umbar tawanya berkepanjangan. Namun anehnya, meski-
pun tawa tokoh sesat itu bergema sampai jauh, tapi tak
seorang pun yang tampak datang menyambutnya. Tentu
saja hal itu membuat keduanya menjadi keheranan. Dan
hal ini baru mereka sadari.
"Kurang ajar...! Apakah Ruyung Delapan Bayangan
sudah melarikan diri? Mengapa sunyi sekali? Bahkan
seorang murid pun Udak tampak batang hidungnya!"
umpat Dedemit Bukit Saji, geram.
"Kalau memang tidak ada, ya kita pergi. Untuk apa di
sini lama-lama," sahut Palawa seena tanpa mempedulikan
perasaan gurunya.
Memang sifat guru dan murid ini tidak lumrah! Ter-
kadang saling berbantahan hanya karena persoalan
sepele, tapi semua itu lenyap begitu saja setelah salah
satu merasa disenangkan oleh yang lain. Sikap yang di-
tunjukkan Palawa memang sangat berbeda dengan mu-
rid-murid lain pada umumnya. Sikapnya tampak bebas
dan tidak terikat peraturan apa pun.
"Kau mencariku, Dedemit Bukit Saji...?" Tiba-tiba saja
terdengar sebuah suara menggetarkan, yang disalurkan
kekuatan tenaga dalam. Bersamaan terdengamya suara
lantang itu, tiga sosok tubuh keluar dari dalam rumah
besar di tengah perguruan. Mereka langsung melangkah
ke arah demit Bukit Saji dan Palawa.
"Ha ha ha...! Akhirnya kau muncul juga Ruyung
Delapan Bayangan! Hei? Ada Pendekar Golok Sakti juga,
rupanya! Dan.... Ha ha ha... Bukankah yang seorang lagi
itu Ki Bardala si Tendangan Maut..! Ha ha ha.... Tidak
kusangka, ternyata kau telah mengundang mereka hanya
untuk menjaga selembar nyawamu, Ruyung Delapan Ba-
yangan?" ejek Dedemit Bukit Saji sambil tertawa ter-
bahak-bahak, melihat lawannya ternyata telah memanggil
bantuan.
Tapi, lelaki gemuk pendek yang sombong itu sama
sekali tidak kelihatan gentar. Sepertinya ia sangat percaya
dengan kepandaian yang sekarang dimiliki.
"Hm.... Kau jangan mengada-ada, Dedemit Bukit Saji.
Aku sama sekali tidak mengundang mereka. Saat ini kami
bertiga memang tengah berembuk sehubungan adanya
penculikan-penculikan dan juga perkosaan yang tengah
terjadi belakangan ini. Secara kebetulan, kedatangan me-
reka sangat bertepatan dengan kedatanganmu. Dan ja-
ngan berpikir kalau aku akan mengeroyokmu. Tidak! Aku
akan tetap menghadapimu seorang diri, seperti sepuluh
tahun yang lalu. Kuharap, kau sudah mempersiapkan diri
sebaik mungkin. Dan kali ini, jangan harap aku akan
membebaskanmu seperti waktu itu," balas Ruyung Dela-
pan Bayangan yang segera melolos senjatanya dari balik
punggung.
Wungngng! Wungngng...!
Terdengar suara mengaung nyaring ketika ruyung
emas di tangan pendekar berusia lima puluh tahun itu
berputaran di atas kepala.
Dedemit Bukit Saji tertawa terbahak-bahak melihat
kelakuan lawannya Dengan langkah lebar, dia maju bebe-
rapa tjndak ke depan.
"Lebih baik kau ajak kedua orang temanmu itu untuk
maju bersama-sama, Ruyung Delapan Bayangan. Jangan
sampai kau menyesal karena tidak meng-kuti anjuranku.
Cepatlah, sebelum semuanya terlambat!" tantang Dedemit
Bukit Saji, pongah.
"Hm.... Jangan sesumbar dulu, Dedemit Bukit Saji.
Nanti kau akan kecewa, karena kubuat jungkir balik se-
perti pada waktu sepuluh tahun yang lalu....," balas
Ruyung Delapan Bayangan tersenyum menimpati ejekan
lawan.
"Hmh...!"
Dedemit Bukit Saji tidak mengatakan apa-apa lagi.
Langkahnya segera bergeser membenruk kuda-kuda yang
terlihat kokoh kuat bagai sebuah gunung karang. Sepa-
sang tangannya terkembang ke kiri dan kanan menim-
bulkan deru angin ribut.
"Mulailah, Dedemit Bukit Saji. Aku sudah ber siap...,"
tantang Ruyung Delapan Bayangan.
Ketua Perguruan Ruyung Maut itu memainkan sen-
jatanya hingga menimbulkan angin tajam yang ber-
kesiutan. Jelas, pendekar itu tidak ingin membuka sera-
ngan terlebih dahulu. Sepertinya, ia lebih suka bersikap
menunggu serangan lawan.
"Tidak bisa, Ruyung Delapan Bayangan. Sebagai Tuan
rumah, seharusnya kaulah yang memulainya. Tapi kalau
kau memang takut, tentu saja aku akan menyerang mes-
ki terpaksa," sahut Dedemit Bukit Saji balik menantang
lawannya.
"Baik! Nah, sambutlah...!" bentak Ruyung Delapan
Bayangan.
Pendekar itu segera melcmpat disertai sambaran ru-
yung emasnya yang kadang-kadang berputar memben-
tuk lingkaran. Dan di satu saat, ruyung itu mampu me-
luncur lurus bagai sebatang tongkat yang diluncurkan.
Benar-benar sebuah pemnainan senjata yang indah dan
dahsyat.
Melihat lawan sudah mulai membuka serangan, De-
demit Bukit Saji bergerak mundur sambil menyiapkan
dirinya. Serangan yang melewati samping tubuhnya lang-
sung dibalas oleh sebuah tendangan kilat yang sangat
mengejutkan.
Zebbb!
Tendangan Dedemit Bukit Saji yang meluncur lurus
menuju perut lawannya, hanya mengenai tempat kosong.
Lalu, kembali datang serangan, berupa sambaran ruyung
emas yang mengancam tubuh Dedemit Rukit Saji.
Namun, gerakan yang dilakukan Dedemit Bukit Saji
benar-benar mengejutkan. Tendangan yang semula me-
ngenai angin kosong itu tiba-tiba berputar dari dalam ke
luar. Maksudnya untuk mematahkan serangan ruyung
lawan dan sekaligus mengancam batang leher Ruyung
Delapan Bayangan.
Wuttt! Wuttt!
Desss! Plakkk!
Hantaman ruyung emas itu terpental balik akibat
putaran kaki Dedemit Bukit Saji. Tokoh sesat berperut
buncit yang rupanya sudah memperhitungkan kekuatan
tenaganya, terus saja membabatkan kaki mengincar bela-
kang leher Ruyung Delapan Bayangan.
Wuttt...!
"Akh...!"
Ruyung Delapan Bayangan berseru tertahan melihat
kaki lawannya masih terus meluncur setelah mematah
kan serangan ruyungnya. Sadar akan bahaya yang meng-
ancam, maka pendekar itu segera melempar tubuhnya ke
belakang. Dia langsung melakukan beberapa kali salto di
udara, untuk menjauhi lawannya.
Dedemit Bukit Saji rupanya teiak ingin kehilangan ke-
sempatan begitu saja. Ketika lawannya terlihat melempar
tubuh ke belakang, kaki yang menendang itu cepat di-
tekuk dan langsung menjejak tanah! Saat itu, tubuhnya
yang gendut melayang ke arah Ruyung Delapan Bayangan
yang masih mengapung di udara. Dengan sikap tubuh
lurus bagai tonggak, tokoh sesat itu mendorongkan sepa-
sang telapak tangannya ke arah dada lawan.
Bukan main terkejutnya hati Ruyung Delapan Ba-
yangan ketika melihat serangan datang. Karena sudah
tidak mungkin lagi mengelak, maka seluruh kekuatan
tenaga dalamnya bergegas dikerahkan untuk melindungi
tubuh agar jangan sampai terluka parah.
Pada saat yang amat berbahaya bagi keselamatan Ru-
yung Delapan Bayangan, Ki Bardala yang semenjak tadi
mengikuti jalannya pertarungan langsung melesat cepat
untuk menyelamatkan kawannya. Begitu menyerang, se-
pasang kakinya langsung berputaran mengirim serang-
kaian tendangan maut!
Perbuatan Ki Bardala tentu saja membuat Dedemit
Bukit Saji menjadi geram. Tindakan itu membuat tokoh
sesat berperut buncit itu terpaksa harus menunda sera-
ngannya. Kini perhatiannya beralih kepada Ki Bardala
untuk menghadapi tendangan maut kakek itu. Cepat
sepasang tangannya yang terbuka berputar memapak
tendangan lawan.
Plak! Plak! Plak!
"Akh...!"
Terdengar seruan tertahan ketika tiga buah tenda-
ngan Ki Bardala berhasil dipatahkan Dedemit Bukit Saji
dengan tamparan telapak tangannya. Tubuh pendekar
berusia enam puluh tahun itu terpentil balik, karena
tenaga dalamnya masih kalah kuat dengan lawannya.
Tapi, Ki Bardala segera menunjukkan kebolehannya
dengan mematahkan daya luncur tubuhnya. Dengan be-
berapa kali gerakan berputar, tubuh kakek Itu dapat
mendarat di tanah dengan kedua kaki terlebih dahulu.
Sehingga, tubuhnya tidak sampai terbanting.
"Hm.... Kau semakin hebat saja, Dedemit Bukit Saji..,"
puji Ki Bardala tulus.
Ucapan kakek itu bukan hanya sekadar bualan saja.
Harus diakui kalau tangkisan yang dilakukan tokoh sesat
itu begitu dahsyat. Padahal sepuluh tahun yang lalu, to-
koh sesat berperut buncit itu dapat dipecundangi Ruyung
Delapan Bayangan hanya dalam empat puluh jurus. Tapi
sekarang, justru Dedemit Bukit Saji-lah yang hampir me-
nundukkan lawannya hanya dalam waktu kurang dari
tiga puluh jurus. Benar-benar suatu kemajuan yang sa-
ngat pesat.
"He he he.... Sudah kukatakan sejak semula, majulah
kalian bersama-sama. Tapi, kalian ternyata merasa ter-
lalu tinggi untuk mengeroyokku. Dan sebagai akibat ke-
sombongan itu, nyawa Ruyung Delapan Bayangan hampir
saja meninggalkan raganya," ejek Dedemit Bukit Saji ter-
tawa bergelak.
Sepertinya tokoh sesat yang dulu pernah dipecun-
dangi Ruyung Delapan Bayangan merasa bangga dengan
hasil yang dicapai selama ini. Dan itu telah dibuktikannya
dengan membuat Ruyung Delapan Bayangan, kalang-
kabut dalam waktu kurang dari tiga puluh jurus. Tentu
saja hatinya menjadi semakin sombong saja.
***
ENAM
"Hm... Jangan terlalu bangga dulu, Iblis Gendut! Mes-
kipun tadi aku terdesak, itu karena aku merasa kasihan
melihat dirimu. Terus terang, tadi aku tidak bersunguh-
sungguh menyerang. Tapi sekarang, jangan harap dapat
kesempatan seperti tadi lagi. Mari kita buktikan!" gertak
Ruyung Delapan Bayangan memancing amarah lawan.
Setelah berkata demikian, pendekar itu melompat ke
depan. Ruyung emasnya kembali diputar-putar dengan
gerakan indah dan cepat.
Wungngng! Wungngng...!
Putaran ruyung yang menimbulkan angin menderu-
deru itu sama sekali tidak membuat Dedemit Bukit Saji
gentar. Dengan tatapan tajam menusuk jantung, tokoh
sesat berperut buncit Itu menarik mundur kakinya.
Kemudian tubuhnya direndahkan dengan menekuk lutut.
Sepasang tangannya terkembang ke kiri dan kanan, terus
berputar ke atas untuk kemudian turun di bawah ping-
gang.
"Hm.... Hadapilah ilmu 'Telapak Darah' yang baru ku-
rampungkan ini..," geram Dedemit Bukit Saji dingin, na-
mun mengandung getaran yang mempengaruhi daya pikir
lawan.
Bent! Bent!
Serangkum angin panas yang amat kuat menebar
mengiringi gerakan tangan tokoh sesat itu. Sekilas, ter-
lihat kedua telapak tangan Dedemit Bukit Saji mengepul-
kan asap samar yang juga berhawa panas. Sepertinya, ia
sudah tidak sabar untuk menamatkan nyawa lawannya.
"Yeaaat...!"
Dibarengi bentakan menggeledek, tubuh gendut itu
meluruk ke arah Ruyung Delapan Bayangan. Sepasang
tangannya yang menebarkan uap panas menyambar-
nyambar dahsyat.
Wuttt! Wuttt!
Sambaran angin panas yang menimbulkan suara
mencicit tajam menulikan telinga, mengiringi serangan
tokoh sesat itu. Sepintas saja, jelas terlihat kalau sera-
ngan yang dilancarkannya memang benar-benar berba-
haya dan mengandung hawa maut.
Menyadari bahayanya serangan lawan, maka lelaki
gagah yang menjadi Ketua Perguruan Ruyung Maut itu
cepat memutar senjatanya semakin cepat. Seluruh tenaga
sakdnya dikerahkan ketika merasakan sambaran hawa
panas yang menerpa tubuhnya. Kali ini, ia benar-benar
harus menggunakan ilmu andalan untuk menghadapi
serangan itu.
Wungngng! Wungngng..!
Putaran ruyung yang semakin kuat dan menimbulkan
suara mengaung, ternyata masih belum dapat mengalah-
kan deru angin pukulan Dedemit Bukit Saji. Sehingga
suara mencicit tajam yang dibarengi hawa panas itu tetap
saja mengganggu perhatiannya.
Kedua tokoh yang merupakan musuh bebuyutan itu
kembali saling menerjang dahsyat. Ruyung emas di ta-
ngan lelaki gagah berusia lima puluh tahun itu berpu-
taran cepat dan menyambar-nyambar bagaikan seekor
burung wallet. Setiap kali sambarannya selalu diiringi
suara mengaung menggetarkan dada. Benar-benar tidak
bisa diremehkan kali ini. Jelas, ucapan yang dikeluar-
kannya tadi bukan merupakan bualan belaka.
Tapi, Dedemit Bukit Saji pun tidak tinggal diam. Ilmu
'Telapak Darah' yang dikatakannya tadi memang benar-
benar luar biasa. Setiap sambaran telapak tangannya
selalu disertai hembusan hawa panas menyengat. Se-
hingga dalam waktu beberapa jurus saja, tubuh Ruyung
Delapan Bayangan sudah dibanjiri peluh. Bahkan setiap
sambaran ruyung emasnya selalu saja bertolak balik
ketika hampir menyentuh lawannya. Tentu saja hal itu
membuatnya terdesak hebat
"Heaaah...!"
Ketika pertarungan memasuki Jurus yang kelima be-
las, tiba-tiba Dedemit Bukit Saji mengeluarkan bentakan
mengejutkan. Berbarengan suara bentakan itu, tubuh
gendut itu melayang disertai hantaman telapak tangan
secara bergantian dan susul-menyusul.
Tentu saja rangkaian serangan Dedemit Bukit Saji
membuat Ruyung Delapan Bayangan menjadi tercekat.
Sambaran-sambaran hawa panas yang semula terasa
tidak begitu kuat, kini mulai terasa menyentuh permu-
kaan kulit. Sebab, hantaman-hantaman telapak tangan
lawan seperti mengelilingi tubuhnya. Maka pendekar itu
hanya dapat bertarung mundur tanpa melakukan sera-
ngan balasan.
Meskipun demikian, Ruyung Delapan Bayang sama
sekali tidak merasa putus harapan. Ruyung emasnya te-
tap digerakkan walaupun sadar kalau hal itu tidak ber-
guna banyak. Sebab setiap kali senjatanya menyambar,
ruyung itu selalu saja berbalik dan meng-ancam dirinya
sendiri. Hal itu disebabkan kuatnya sambaran hawa
panas yang juga menebar dari tubuh lawan. Sehingga,
dapat dtpastikan kalau Ruyung Delapan Bayangan tidak
dapat bertahan lebih lama lagi.
Ki Bardala dan Pendekar Golok Sakti yang mengikuti
jalannya pertarungan, tentu saja menjadi cemas. Sadar
akan keselamatan nyawa kawannya, maka kedua orang
pendekar itu pun memutuskan untuk ikut menerjunkan
diri dalam pertempuran itu.
"Dedemit Bukit Saji...! Sambutlah seranganku...!"
Setelah memberikan peringatan kepada lawannya,
tubuh kedua orang pendekar itu meluruk terjun ke dalam
kancah pertarungan.
Tapi sayang niat kedua orang itu tidak tercapai. Selagi
tubuh keduanya meluruk ke arah pertarungan Dedemit
Bukit Saji dan Ruyung Delapan Bayangan, tahu-tahu saja
sesosok bayangan lain telah melesat memotong arus lun-
curan tubuh mereka. Siapa lagi bayangan itu kalau
bukan Palawa yang sejak tadi juga mengikuti jalannya
pertarungan seru itu.
"Jangan ganggu mereka...! Kalau tangan kalian ludah
gatal, marilah lota bermain-main sejenak...!" tantang
Palawa sebelum melompat untuk menyambut KI Bardala
dan Pendekar Golok Sakti yang bermaksud masuk ke
dalam pertarungan.
Bukan main geramnya hati kedua tokoh golongan
putih itu Karena dengan datangnya anak muda yang
menjegal serangannya, berarti telah hilanglah kesempatan
untuk menolong Ruyung Delapan Bayangan. Maka
dengan kemarahan yang meluap-luap, mereka segera
menerjang Palawa dengan serangkaian serangan gencar.
Hal itu dimaksudkan agar salah seorang dari mereka bisa
pergi.
"Bedebah, kau! Minggir...!" bentak Ki Bardala. Serta-
merta laki-laki tua Itu mengayunkan kedua kakinya
melakukan serangkaian tendangan maut. Sekali bergerak
saja, kedua kakinya telah melancarkan delapan kali
tendangan dengan sasaran berbeda-beda. Sehingga mau
tak mau, Palawa menjadi terperangah dibuatnya.
Pendekar Golok Sakti pun tidak ketinggatan. Sepa-
sang golok perak yang tergenggam di tangannya berkere-
dep menyilaukan mata. Sepasang senjata ampuh itu ber-
kelebatan menyambar-nyambar di sekitar tubuh Palawa.
Tapi pemuda itu sama sekali tidak kelihatan gentar.
Meskipun serangan yang dilancarkan kedua orang tokoh
tua itu begitu dahsyat namun Palawa dapat berslkap
tenang dalam menghadapinya.
Palawa yang memang sudah bersiap menghadapi per-
tarungan, langsung saja mengumbar pukulan telapak ta-
ngan yang juga menimbulkan hawa panas seperti halnya
Dedemit Bukit Saji. Rupanya, Palawa pun sudah pula
mengeluarkan ilmu 'Telapak Darah' yang sangat ampuh.
"Yeaaat...!"
Dibarengi teriakan parau, sepasang telapak tangan
pemuda itu meluncur deras ke dada Ki Bardala. Sejenak
laki-laki tua itu terperangah, namun segera memutar kaki
kanan untuk menghalau serangan itu. Maka tanpa dapat
dicegah lagi, dua gelombang tenaga sakti yang sama-sama
kuat itu sating berbenturan keras.
Blarrr...!
Terdengar ledakan keras yang disusul terlemparnya
tubuh Ki Bardala ke belakang. Namun, tubuh kakek itu
dapat berjumpalitan dan langsung mendaratkan kakinya
ke tanah, tanpa menderita luka sedikit pun! Hanya saja,
wajahnya agak sedikit pucat! Dirasakan ada selaput hawa
hangat yang meresap ke dadanya. Tapi karena rasa itu
tidak begitu menyakitkan, maka pendekar itu pun tidak
mempedulikannya.
Sedangkan tubuh Palawa sendiri, hanya terjajar mun-
dur sejauh empat langkah ke belakang. Hal itu menanda-
kan kalau tenaga dalamnya berada dua tingkat di atas
tenaga dalam Ki Bardala. Tentu saja kakek itu hampir tak
percaya melihatnya.
"Gila...! Hebat sekali tenaga dalam yang dimiliki pe-
muda itu. Entah apa hubungannya dengan Dedemit Bukit
Saji? Mungkinkah pemuda itu muridnya? Tapi, mengapa
kepandaian dan kekuatan tenaga dalamnya hampir me-
nyamai iblis itu sendiri?" gumam Ki Bardala tak habis
mengerti ketika merasakan betapa kuatnya tenaga dalam
yang dimiliki Palawa.
Tentu saja ia tidak tahu kalau guru dan murid itu sa-
ma-sama mempelajari ilmu 'Telapak Darah' secara berbarengan. Sehingga tenaga dalam yang dimiliki tidak ber-
selisih jauh.
Sementara itu, Pendekar Golok Sakti tengah men-
cecar Palawa dengan sambaran-sambaran senjatanya
yang bertubi-tubi bagaikan gelombang lautan. Sepertinya
pendekar itu tidak ingin memberi kesempatan sedikit pun
kepada lawannya untuk membalas. Maka kalau dilihat
sepintas, Jelas Palawa terdesak oleh serangan-serangan
gencar iawannya.
Tapi, tidak demikian halnya yang dirasakan Palawa.
Pemuda berotak licik itu sengaja berbuat demikian untuk
memancing kemarahan lawan. Maka ia pun berpura-pura
terdesak dan tak mampu melancarkan serangan balasan.
Dengan demikian, lawannya diharapkan akan lengah dan
pertahanannya pun terbuka. Pada saat itu, barulah Pa-
lawa akan menggempur lawannya habis-habisan.
Apa yang diduga Palawa mulai terlihat. Pendekar Go-
lok Sakti yang sebenarnya tokoh berpengalaman, menjadi
semakin penasaran. Serangannya yang selama sepuluh
jurus itu sama sekali tidak bisa menyentuh tubuh Pa-
lawa. Jangankan untuk melukai, untuk menyentuh ujung
baju lawannya pun sangat sulit. Tentu saja ia semakin
bernafsu untuk segera menjatuhkan lawan.
Palawa yang mulai melihat pancingannya membawa
hasil, semakin berani membiarkan tubuhnya diserang.
Beberapa kali ujung golok yang memancarkan sinar ke-
perakan hampir melukai tubuhnya. Untunglah tubuhnya
masih sempat dimiringkan, sehingga ujung golok lawan
hanya mengenai ujung bajunya.
Melihat serangan-serangannya mulai dapat menyen-
tuh lawan, Pendekar Golok Sakti pun semakin bertambah
semangatnya. Kilatan-kilatan perak semakin ganas me-
nyambar-nyambar. Dan memang, Pendekar Golok Sakti
sudah tidak sabar untuk menyelesaikan pertarungan se
cepatnya. Namun sayang, ia tidak sadar kalau hal itu
akan mendatangkan kerugian yang sangat besar baginya.
"Yeaaa...!"
Pada saat serangan lawan tengah gencar-gencarnya,
tiba-tiba Palawa membentak keras mengejutkan Pendekar
Golok Sakti. Saat itu juga, pemuda licik itu meluruk sam-
bil menampar-nampar keras menimbulkan suara mencicit
tajam.
Plak! Plak...!
"Aaakh...!"
Terdengar pekik kesakitan keluar dari mulut Pendekar
Golok Sakti. Dia benar-benar terkejut begitu melihat Pa-
lawa melancarkan serangan balasan yang tak terduga.
Apalagi, pemuda itu pun mengiririginya dengan bentakan
yang sangat mengejutkan.
Maka, tak ayal lagi tubuh Pendekar Golok Sakti ter-
pental bergulingan akibat tamparan lawan yang meng-
hantam dada dan pelipisnya.
"Huagkh...!"
Segumpal darah kental teriompat dari mulut pendekar
itu. Perlahan tangan kanannya mengurut dada yang
terasa nyeri dan panas akibat hantaman tadi. Tapi, wajah
pendekar itu mendadak pucat. Matanya terbeliak ketika
mendapati titik-titik darah yang bersembulan dari setiap
pori-pori tubuhnya.
"Ahhh...!"
Dengan wajah yang semakin pucat, Pendekar Golok
Sakti meneliti seluruh anggota tubuhnya. Lelaki gagah
yang tak pernah merasa gentar menghadapi maut itu, kini
semakin terbelalak ngeri melihat keadaan dirinya.
"Aaargh...!" .
Bagaikan orang yang kehilangan ingatan, Pendekar
Golok Sakti meraung setinggi langit. Hatinya benar-benar
ngeri melihat seluruh pori-pori di tubuhnya telah me
ngalir darah segar. Dengan gerakan timbung, pendekar
itu bangkit dan beriarian kesana kemari.
Tapi hal itu tidak bertangsung lama. Pendekar Golok
Sakti kini ambruk, karena tubuhnya mendadak lemas.
Setelah berkelojotan sesaat, dia tewas dalam keadaan me-
nyedihkan.
Apa yang dialami Pendekar Golok Sakti, ternyata juga
menimpa diri Ki Bardala. Ia yang semula terbelalak ngeri
melihat apa yang terjadi terhadap sahabatnya, tersentak
kaget bagai disengat kalajengking. Betapa tidak? Sebab
dari seluruh sepasang lengannya, tampak mulai menitik
cairan merah. Dengan wajah tegang, Ki Bardala mengha-
pus perlahan dengan harapan titik-titik darah itu hanya-
lah percikan dari tubuh sahabatnya.
Tapi ketegangan di wajah kakek itu semakin menjadi-
jadi, ketika ujung jarinya yang gemetar mencoba meng-
hapus titik-titik darah dari pori-pori lengannya muncul
lagi titik darah yang lainnya. Bahkan kini mulai menyebar
di sepanjang lengannya, untuk kemudian terus ber-
kepanjangan ke sekujur tubuhnya. Melihat hal ini, betapa
ngerinya hati Ki Bardala melihat keadaan dirinya yang
baru kali ini dialami.
Palawa yang memang sudah mengetahui akibat pu-
kulan ilmu 'Telapak Darah' tertawa terbahak-bahak
Pemuda licik itu benar-benar merasa puas dengan hasil
yang telah dicapainya. Dengan langkah lebar, dihampiri-
nya Ki Bardala yang tengah bergulat dengan maut.
"Ha ha ha.... Jangan dikira hanya orang yang terkena
pukulan saja akan mengalami hal itu. Tapi, sedikit ben-
turan dengan pengerahan tenaga dalam pun bisa men-
datangkan kematian yang mengerikan," jelas Palawa sam-
bil tertawa-tawa puas. Sedikit pun tidak ada rasa iba me-
lihat betapa mengerikannya keadaan tubuh Ki Bardala
saat itu.
Ki Bardala yang semula tidak mengerti kalau keadaan
itu juga menimpa dirinya, mulai dapat menebak setelah
mendengar keterangan Palawa. Ia teringat kakinya sem-
pat berbenturan dengan telapak tangan pemuda licik itu.
Pasti, itulah yang menyebabkan la mengalami hal yang
serupa dengan Pendekar Golok Sakti.
"Bangsat kau, Manusia Iblis! Ilmu setan apa yang kau
pergunakan ini?!" Teriak Ki Bardala yang semakin kalang-
kabut bagai orang kebakaran jenggot.
Sadar kalau kematian sudah tidak mungkin dapat di-
hindari lagi, maka Ki Bardala menjadi nekat. Disambar-
nya sebilah golok perak yang tergeletak tidak jauh dekat
kakinya. Disertai teriakan parau, tubuh Ki Bardala lang-
sung meluncur ke arah Palawa!
Melihat kenekatan lawannya, Palawa sama sekali
tidak gentar. Dengan sebaris senyum licik, pemuda itu
berdiri menunggu dengan kedua kaki terpentang lebar.
"Hmh...!"
Sambil menggeram marah, Palawa memutar kedua
tangannya secara bersilangan didepan dada. Sedangkan,
matanya tetap tertuju kepada Ki Bardala yang semakin
mendekat.
Dan ketika jarak antara mereka hanya tinggal satu
batang tombak lagi, terdengar bentakan keras yang meng-
getarkan isi dada.
"Haaat..!"
Palawa membarengi bentakannya dengan dorongan
telapak tangan kanan kedepan. Serangkum angin panas
terlontar dan langsung menghantam dada Ki Bardala
dengan hebatnya.
Desss...!
Tak ubahnya sehelai daun kering, tubuh kakek itu
terlempar deras disertai semburan darah segar dari
mulutnya. Raung kematian terdengar menggema seiring
terbantingnya tubuh Ki Bardala atau si Tendangan Maut
di atas rerumputan.
Apa yang dialami tubuh tua itu ternyata mengerikan
sekali. Tubuh Ki Bardala yang tengah berkelojotan mere-
gang nyawa, meleleh bagaikan gumpalan es mencair!
Asap tipis yang menebarkan bau busuk mengepul seiring
lenyapnya tubuh Ki Bardala.
Dan kini tubuh si Tendangan Maut lenyap tanpa be-
kas. Yang tersisa hanyalah cairan merah menggenang di
atas rerumputan hijau. Kakek yang namanya cukup ter-
kenal dalam kalangan rimba persilatan itu tewas di ta-
ngan seorang pemuda tak dikenal, namun memiliki ilmu
'Telapak Darah' yang amat menggiriskan!
"Ha ha ha.... Ternyata jerih payahku selama ini tidak
sia-sia!"
Celak tawa penuh kepuasan berkumandang meng-
getarkan Perguruan Ruyung Maut Palawa benar-benar
merasa puas dengan hasil yang telah dicapainya.
"Benar, Palawa. Kini tidak ada lagi yang perlu ditakuti
di dunia ini. Dengan sempumanya ilmu 'Telapak Darah'
yang kita miliki, tak seorang pun akan dapat menghalangi
kita," sambut suara parau tertawa bergelak sambil me-
langkah mendekati pemuda itu.
"Ah, Guru.... Bagaimana dengan Ruyung Delapan Ba-
yangan? Apakah telah berhasil ditundukkan?" Tanya Pa-
lawa ketika melihat Dedemit Bukit Saji tengah melangkah
ke arahnya.
"Ha ha ha.... Sebelum kau menyelesaikan lawanmu,
aku telah lebih dulu menghabisi nyawa manusia sombong
itu. Nasibnya pun sama dengan yang dialami lawanmu
itu," sahut Dedemit Bukit Saji, jelas-jelas sangat gembira
dengan hasil mereka berdua.
"Kalau begitu, kita berdua telah hampir mencapai titik
kesempurnaan," seru Palawa gembira.
"Ayo, kita pergi...," ajak Dedemit Bukit Saji tidak me-
nanggapi ucapan muridnya.
Tanpa banyak cakap lagi, Palawa segera melangkah
mengikuti gurunya. Saat itu, sinar kemerahan telah
menghiasi kaki langjt sebelah Barat. Pertanda sang men-
tari bersiap naik ke peraduannya.
***
TUJUH
Irama gamelan mengalun lembut merasuk telinga.
Suara itu berasal dari dalam sebuah bangunan besar
yang terlihat ramai. Wajah-wajah terhias senyum baha-
gia tampak hilir mudik memadati halaman. Melihat dari
hiasan-hiasan yang menyemarak, jelas kalau si pemilik
rumah tengah mengadakan suatu pesta.
Seorang lelaki setengah baya yang mengenakan
pakaian indah, tak henti-hentinya mengumbar senyum
menyambut para tamu yang datang. Sinar kebahagiaan
jelas terpancar di matanya.
Pada ruangan depan yang terhias indah, tampak dua
sosok tubuh duduk bersanding di pelaminan mengenakan
pakaian indah. Wajah lelaki muda dan wanita cantik di
sebelahnya terhias senyum menyalami para tamu yang da
tang. Sepertinya, mereka benar-benar bahagia menikmati
kehidupan baru menjadi suami istri.
"Pasangan mempelai itu benar-benar cocok dan me-
nimbulkan rasa iri di hatiku. Kau benar-benar pandai
dalam memilih menantu, Prakosa," bisik seorang lelaki
gendut berpakaian mewah.
Menilik dari sikap dan pakaian yang dikenakan, pa-
ling tidak dia merupakan seorang hartawan kaya. Selesai
mengucapkan kata-kata itu, tawanya berderai menambah
kebisingan.
"Ha ha ha.... Maruta... Maruta. Akan kau ke manakan
kelima orang istrimu itu? Apakah lima orang Istri yang
cantik dan muda masih kurang memuaskanmu?" Sahut
laki-laki setengah baya itu, dengan suara rendah.
la yang merupakan tuan rumah pesta itu, senantiasa
selalu bersikap ramah dalam menyambut tamu-tamunya.
Tidak peduli, apakah tamu yang datang itu merupakan
orang terhormat atau hanya penduduk biasa. Itulah salah
satu sifat Juragan Prakosa yang sangat disukai penduduk
Desa Rawa Jati. Meskipun ia salah satu orang terkaya di
desa itu, namun dalam menyebarkan undangan ia tidak
memilih. Maka wajar saja kalau pesta pemikahan putra
pertamanya itu berlangsung ramai dan meriah.
Di tengah ramainya suasana pesta yang diadakan Ju-
ragan Prakosa, tiba-tiba terdengar suara terkekeh serak.
Hebatnya, suara kekeh itu sanggup menindih irama ga-
melan yang menyemarakkan pesta.
Para tamu yang saat itu tengah mencicipi hidangan,
serentak menoleh ka arah asal suara. Wajah-wajah mere-
ka tampak menyiratkan sinar kemarahan ke arah sosok
tubuh tinggi kurus yang melangkah menuju rumah besar
itu.
"Hm.... Apa maksudnya kakek-kakek gila itu datang
kemari? Apakah Juragan Prakosa juga mengundang
orang seperti itu?" bisik salah seorang tamu. Dia memang
merasa terganggu dengan kehadiran kakek tinggi kurus
berpakaian compang-camping itu.
"Kurasa tidak. Mungkin orang gila itu merasa tertarik
melihat keramaian di sini, kemudian melangkah menda-
tanginya. Biasa, untuk mencari makanan," sahut lelaki
berkumis tipis menyahuti ucapan teman sebangkunya.
Tapi kakek berpakaian compang-camping dan beram-
but putih panjang yang awut-awutan itu terus saja me-
langkah sambil tertawa-tawa serak. Tidak dipedulikan
pandangan para tamu yang tertuju kepadanya. Melihat
dari penampilannya, jelas kalau kakek tinggi kurus itu
memang bukanlah orang waras.
"He he he.... Ramai..., ramai.... Lucu...," celoteh kakek
itu. Pandangannya beredar sambil memperlihatkan gigi-
giginya yang hitam tak terawat. Kakinya terus saja ter-
ayun menuju ruangan utama tempat terdapat pasangan
pengantin rumah itu.
Dua orang pengawat keluarga Juragan Prakosa, tentu
saja tidak ingin mendapat marah dari majikannya. Maka
keduanya cepat bergerak menghadang langkah kakek gila
itu.
"Hei, Kakek Gila! Ayo, pergi dan tinggalkan tempat ini!
Atau aku akan menyeretmu secara paksa!" Bentak salah
seorang tukang pukul Juragan Prakosa, sambil memutar-
mutar kumisnya dengan lagak dibuat seram.
"He he he.... Dua kerbau menghadang jalan. Galak-
galak bertampang seram. Lucu.., lucu...," kata kakek itu
seraya tertawa gembira.
Sambil berkata demikian, jari telunjuknya yang ber-
kuku hitam ditudingkan ke wajah kedua orang itu ber-
gantian. Sementara tangan kirinya sibuk mengusap-usap
perut, berlagak seperti orang mules.
'Tua bangka keparat! Berani kau mengatakan kami
sebagai kerbau! Apakah kau memang sengaja ingin men-
cari keributan di sini?" Bentak lelaki berkepala botak itu
menahan kegeramannya.
Kalau saja tempat itu tidak ramai, mungkin sudah di-
terjangnya kakek itu. Tapi karena ia tidak ingin meng-
ganggu acara pesta, maka kemarahan itu ditahan di da-
lam dada.
Orang kedua yang memiliki tubuh tinggi besar dan
berwajah cukup gagah melangkah semakin dekat Tanpa
berbicara apa-apa, diambilnya beberapa macam penga-
nan dari atas meja. Lalu, diserahkannya kepada kakek
gila itu.
Tapi kakek gila itu sama sekali tidak mempedulikan
sikap baik mereka. Uluran tangan itu sama sekali tidak
disambutnya. Bahkan sepasang matanya yang senantiasa
berputar liar menatap wajah lelaki tinggi besar itu lekat-
lekat. Kepalanya ditelengkan ke kiri kanan dengan sikap
lucu.
Perbuatan kakek itu tentu saja menimbulkan tawa
berderai dari para undangan. Sikap ketolol-tololan yang
ditunjukkannya benar-benar menggelitik perut. Sehingga
tanpa sadar, para undangan tertawa geli. Merah selebar
wajah lelaki tinggi besar itu mendengar tawa yang jelas-
jelas ditujukan kepadanya. Namun, kemarahan dan ke-
dongkolan hatinya ditahan sekuat tenaga.
"Kakek, ambillah. Makanan ini enak sekali...," bujuk
lelaki tinggi besar itu sambil kembali meng-angsurkan
makanan yang berada dalam genggaman.
Namun, apa yang dilakukan. kakek gila itu benar-be-
nar di luar dugaan. Tanpa berkata sepatah pun, tangan-
nya bergerak cepat menyambar makanan di tangan lelaki
tinggi besar itu. Namun yang membuat orang-orang ter-
pekik ngeri adalah, bukan hanya makanan itu saja yang
diambil si kakek gila. Tapi, telapak tangan lelaki tinggi
besar itu pun ikut tertarik hingga putus sebatas perge-
langan. Maka, hiruk-pikuklah suasana pesta yang semula
ramai dan meriah itu.
"Akh...!" terdengar keluhan tertahan, ketika orang
tinggi tegap itu menyadari keadaan tangannya.
Lelaki tinggi besar yang merupakan salah seorang pe-
ngawal Juragan Prakosa itu langsung berteriak kesakitan
sambil memegangi lengan kanannya yang putus! Wajah-
nya yang kecoklatan itu berubah pucat sambil menatapi
cairan merah yang tak henti-hentinya menyembur mem-
basahi lantai.
"Gila...!" seru lelaki berkepala botak yang juga me-
rupakan tukang pukul Juragan Prakosa.
Jelas, wajah lelaki botak itu dicekam kengerian me-
lihat keadaan kawannya. Rasa terkejut yang menguasai
hati membuatnya tidak sanggup mengetuarkan sepatah
kata pun.
Sementara itu, kakek gila berambut riap-riapan sama
sekali tidak mempedulikan kedua orang tukang pukul
Juragan Prakosa. Telapak tangan sebatas pergelangan
yang masih menggenggam makanan itu dilemparkannya
begitu saja. Kemudian, kakinya melangkah lebar mema-
suki ruangan pengantin sambil memperdengarkan kekeh
seraknya.
Juragan Prakosa yang merasa terkejut ketika men-
dengar jeritan-jeritan para tamu undangannya, bergegas
ke luar. Wajah lelaki setengah baya itu berubah geram
ketika melihat seorang kakek tinggi kurus yang mirip
jembel gila tengah melangkah ke arahnya.
"Keparar! Usir dan enyahkan kakek gila itu dari
sini...!" teriak Juragan Prakosa kepada empat orang tu-
kang pukul yang senantaasa berada di belakangnya.
Tanpa diperintah dua kali, empat orang tukang pukul
itu langsung berlompatan dan mengurung kakek gila.
Mereka menyangka kalau kakek berambut awut-awutan
itu hanya merupakan pengemis gila biasa. Maka salah se-
orang dari mereka langsung mengulur tangan menjam-
bret leher baju kakek itu, lalu menariknya ke luar.
Namun, kegemparan pun kembali terjadi Tukang
pukul bertubuh gemuk yang terlihat sangat kuat itu sama
sekali tidak berhasil mengangkat tubuh kurus kakek gila
itu. Seolah-olah, tubuh kakek gila itu berubah menjadi
patung batu yang amat berat.
"He he he.... Kau sangat membosankan! Pergilah, aku
tidak suka padamu," kata kakek tinggi kurus sambil
menggerakkan tangan kirinya yang juga menjambret leher
lelaki gemuk itu.
"Aaah...!"
Tukang pukul bertubuh gemuk yang belum hilang
rasa keheranannya, kembali dibuat terbelalak! Tubuhnya
yang semestinya tidak mungkin dapat diangkat kakek itu,
ternyata dengan mudah dapat dilemparkan hanya sekali
sentak saja.
Brakkk!
Pohon besar di sudut halaman rumah itu bergetar
ketika terhmpa tubuh gemuk itu. Setelah mengerang lirih
menahan rasa sakit, lelaki gemuk itu pun pingsan seke-
tika.
"Bangsat! Bunuh kakek gila itu...!" teriak salah
seorang lainnya yang bertubuh kekar dan berwajah kasar,
sambil menghunus senjatanya. Dia langsung melompat
membabat tubuh tinggi kurus itu.
Dua orang tukang pukul lain yang juga sudah tidak
bisa menahan sabar, segera mencabut senjata masing-
masing dan menyabetkan ke tubuh kakek itu.
Namun kakek gila itu seperti tidak mempedulikan
serangan para pengeroyoknya, dan malah enak saja me-
lenggang masuk menuju tempat pasangan pengantin ber-
sanding. Dan ketika ujung-ujung senjata hampir me-
nyentuh tubuhnya, tangan kanannya langsung mengibas
perlahan seperti mengusir pergi seekor lalat.
Bresss!
"Aaa...l"
Hebat sekali akibat yang ditimbulkan kibasan per-
lahan kakek gila itu. Tiga sosok tubuh pengeroyoknya
langsung terpental balik bagaikan dihembus kekuatan
raksasa yang tak tampak. Semburan darah segar seketika
membasahi lantai. Dan, ketiga orang tukang pukul Jura-
gan Prakosa itu pun tewas seketika.
Sedangkan kakek gila itu sudah berada di ambang
pintu. Sepasang matanya yang tajam bergerak merayapi
sekitar ruangan yang tertata rapi dan indah. Seringai di
wajahnya terkembang begitu melihat tubuh ramping
pengantin wanita yang saat itu tengah diungsikan.
"He he he.... Mau lari ke mana kau, Manisku...?" kata
kakek gila itu.
Tubuh tua itu langsung saja melesat dan menyambar
tubuh molek berpakaian indah. Kemudian, tanpa mem-
pedulikan keributan dan teriakan-teriakan marah orang
orang yang berada di dalam ruangan, tubuh si kakek gila
langsung melesat dan lenyap di balik tembok pembatas
rumah.
"Kejar...! Tangkap penculik gila itu...!" Juragan Pra-
kosa berteriak-teriak memanggjl para tukang pukulnya.
Bagaikan orang kesetanan, lelaki setengah baya itu
berlarian kian kemari dengan perasaan kalut.
Sedangkan pengantin pria yang tadi hendak melindu-
ngi mempelai wanitanya, sudah tergeletak pingsan akibat
sambaran tangan si kakek gila.
Semua kejadian yang berlangsung demikian cepat dan
tak terduga itu membuat para tamu yang berada di dalam
ruangan terpaku bagai patung. Kesadaran mereka baru
pulih ketika terdengar teriakan Juragan Prakosa. Sua-
sana pun semakin kalut, karena para tamu yang tersadar
langsung berlarian mencari keselamatan masing-masing.
Para tukang pukul Juragan Prakosa yang hanya ting-
gal tiga orang, bergegas mengejar si penculik. Beberapa
orang tamu yang memiliki keberanian ikut pula mengejar
kakek gila itu.
Namun sayang, kepandaian ilmu lari penculik itu ter-
nyata sangat hebat. Dalam waktu yang singkat saja,
bayangan tubuhnya telah mencapai perbatasan Desa Ra-
wa Jati. Untuk kemudian, lenyap di antara pepohonan.
Tentu saja para pengejar yang hanya memiliki sedikit
kepandaian menjadi kehilangan jejak. Mereka hanya ber-
diri saja sambil mencari-cari dengan pandangan matanya
di dekat mulut desa. Ketika tidak seorang pun yang me-
lihat bayangan si penculik, baru tukang pukul dan bebe-
rapa orang tamu itu bergegas kembali ke rumah Juragan
Prakosa untuk melaporkan hasil pengejaran mereka.
***
"Lepaskan aku...! Lepaskan...!"
Gadis cantik yang berada dalam pondongan lelaki
tinggi kurus itu meronta-ronta ketakutan. Wajahnya yang
semula terhias cantik sudah dibasahi air mata. Namun,
dekapan kakek gila yang menculiknya dari rumah Jura-
gan Prakosa itu ternyata sangat erat dan sulit sekali di-
lepaskan. Sehingga, wanita muda itu hanya dapat mena-
ngis sedih.
"Uh, uh..., bisamu hanya menangis saja, Kuntilanak!
Tidak bisakah kau tersenyum dan menyenangkan hatiku?
Atau kau memang ingin kusiksa agar tangismu ber-
henti?!" ancam kakek gila itu. Wajahnya yang kumal itu
tampak cemberut tak senang.
Karena tangis wanita muda itu tak juga berhenti, ma-
ka ketika tiba di dalam sebuah hutan kecil, kakek gila itu
melemparkan tubuh dalam pondongannya ke atas tanah
berumput. Melihat dari caranya yang kasar itu, jelas
kalau hati kakek itu merasa tidak senang mendengar
tangisan wanita yang diculiknya.
Brukkk!
Gadis manis itu menggeliatkan tubuh, karena ping-
gulnya terasa sakit akibat terbentur akar pohon yang
menonjol di permukaan tanah. Wajahnya tetap menun-
duk tak berani menatap sepasang mata beringas kakek
gila itu.
"Hayo! Mengapa tidak menangis lagi, Budak Hina!"
Bentak si kakek gila sambil mengulurkan tangannya
menjambret baju yang dikenakan wanita itu.
Brettt!
"Aaaw...!"
Perempuan muda itu menjerit dan tubuhnya ter-
lempar bergulingan. Kedua tangannya yang berjari-jari
lentik itu sibuk menyembunyikan bagian dadanya yang
terbuka, ketika pakaiannya robek terenggut tangan kakek
gila yang menjambretnya secara kasar.
Sadar akan bahaya yang akan menimpa, maka tanpa
mempedulikan pakaiannya, perempuan muda itu berge-
rak bangkit dan langsung melarikan diri.
"He he he.... Bagus... bagus! Larilah sesukamu. Aku
senang dengan permainan ini...," ledek kakek gila itu
sambil terkekeh gembira. Dibiarkannya gadis itu melari-
kan diri semakin jauh ke dalam hutan. Tak berapa lama
kemudian, barulah kakek itu melangkahkan kakinya me-
nyusul perempuan itu.
Sambil terus memperdengarkan tawa terkekeh, kakek
gila itu melangkah lambat-lambat menuju ke dalam hu-
tan. Meskipun langkahnya terlihat lambat, namun jarak
belasan tombak yang ditempuh dapat dicapai hanya
dalam waktu singkat. Benar-benar suatu kepandaian
ilmu meringankan tubuh yang sukar diukur.
Pengejaran yang dilakukan kakek gila itu tentu saja
tidak berlangsung lama. Dalam waktu singkat saja, tam-
paklah bayangan wanita buruannya itu. Nampaknya,
kakek itu hanya memerlukan beberapa langkah lagi un-
tuk dapat menangkap gadis muda itu.
Rasa takut semakin hebat menguasai hati gadis itu
ketika menoleh ke belakang. Tampak kakek gila berambut
awut-awutan itu sudah semakin dekat dengan dirinya.
"Ohhh...!"
Karena terlalu sering menoleh ke belakang, akhirnya
tubuh gadis itu terjerembab karena kakinya terantuk
akar pohon. Dengan gerakan kalut, ia berusaha bangkit
berdiri. Tapi baru saja hendak melangkah, sebuah ceng-
keraman kuat membuat gadis itu menahan jeritannya.
Sebelum gadis itu menyadari keadaannya, tahu-tahu
saja tubuhnya tertarik ke belakang. Dia kembali jatuh ke
dalam pelukan kakek gila yang terkekeh sambil menciumi
kulit lehernya.
Namun, sebelum sesuatu yang lebih mengerikan me-
nimpa gadis cantik bernasib malang itu terjadi, terdengar
bentakan keras.
"Jahanam keji! Lepaskan gadis tak berdosa itu..!" Ber-
barengan bentakan yang menggetarkan itu, beberapa so-
sok tubuh berlompatan keluar dari semak-semak. Begitu
tiba, mereka langsung bergerak mengurung kakek gila
yang tengah dirasuki nafsu iblis itu.
Bukan main marahnya kakek gila itu melihat ada
orang yang berani mengganggu kesenangannya. Dengan
gerakan kasar, dilemparkannya tubuh wanita muda da-
lam pelukan nya. Sepasang matanya yang tajam menco-
rong, merayapi belasan orang yang mengurungnya.
Tatapan sepasang mata yang menggetarkan itu mem-
buat belasan orang pengepungnya tersentak mundur
dengan wajah pucat. Hanya dua orang saja yangtetap di
tempat, dan menentang pandangan mata kakek gila itu
tanpa rasa gentar sedikit pun.
"Dewa Tangan Api...!" seru salah seorang pengepung
yang ikut melompat mundur. Nada suaranya terdengar
penuh keraguan. Jelas, lelaki kekar yang berwajah bre-
wok itu masih meragukan ucapannya.
"Hei? Benarkah dia Dewa Tangan Api, Paman Danar
Pati...?" Tanya pemuda berjubah putih yang menentang
pandang mata kakek itu.
Pemuda itu hampir-hampir tak percaya dengan peng-
lihatannya. Sedangkan gadis jelita berpakaian serba hijau
yang berada di sebelah kiri pemuda itu hanya berdiri
tegak, dan tetap menatap ke arah kakek gila yang ter-
nyata adalah Dewa Tangan Api.
"Rasanya mataku masih awas, Pendekar Naga Putih.
Jelas, kakek ini adalah Dewa Tangan Api. Aku masih
dapat mengenalinya meskipun pakaian dan penampilan-
nya sudah seperti seorang jembel gila. Hhh.... Mengapa ia
sampai berbuat demikian? Padahal setahuku, ia telah
lama menyadari kesesatannya dan menyembunyikan diri
di Gunung Bulangkang. Tapi, mengapa sekarang kembali
berbuat kejahatan?" desah orang yang bemama Danar
Pati.
Dia rupanya telah mengenal Dewa Tangan Api cukup
baik. Bahkan lelaki kekar berwajah brewok itu tahu ten-
tang masa lalu kakek gila itu. Sehingga, ia dapat mene-
rang-kannya kepada pemuda berjubah putih yang me-
mang Pendekar Naga Putih.
***
Dugaan Danar Pari memang tidak salah. Kakek gila
itu memang Dewa Tangan Api. Hanya yang tidak dike-
tahuinya adalah penyebab kegilaan dan bangkitnya nafsu
jahat dalam diri kakek itu. Memang, sebenarnya Dewa
Tangan Api terkena racun yang telah lama mengeram di
tubuhnya. Itu terjadi ketika dia bertarung dengan Dede-
mit Bukit Saji. Racun itu dilepaskan murid tokoh sesat
itu yang bernama Palawa secara licik. Dan setelah melalui
penderitaan panjang yang menyakitkan, akhirnya Dewa
Tangan Api kini menjelma menjadi seorang iblis keji
hamba nafsu.
Racun jahat yang menurut Dedemit Bukit Saji belum
ada obatnya itu telah merusakkan syaraf-syaraf di kepala-
nya. Sehingga, kesadarannya pun lenyap. Dia sama sekali
tidak menyadari tingkah lakunya yang dikutuk tokoh-
tokoh persilatan golongan putih. Sebab yang menjadi ke-
inginan kakek itu hanyalah, bagai-mana harus melam-
piaskan nafsu binatangnya yang senantiasa bergolak tak
tertahankan. Itulah yang menyebabkan, mengapa seorang
kakek seperti Dewa Tangan Api masih tega melakukan
perbuatan-perbuatan biadab dan keji.
"Hm.... Rasanya dapat kuduga, apa yang menyebab-
kan Dewa Tangan Api sampai tega melakukan perbuatan
perbuatan keji selama ini," gumam Panji, perlahan. Se-
dangkan sepasang matanya tetap saja mengawasi kakek
itu.
"Hm.... Apa yang menjadi penyebabnya, Pendekar Na-
ga Putih...?" Tanya Danar Pari memandang Pendekar
Naga Putih dengan sinar mata heran.
"Coba perhatjkan tingkah laku dan sinar matanya.
Rasanya, ada keanehan yang menguasainya. Apakah
Paman tidak dapat melihatnya," jelas Panji.
"Ya, ya.... Aku melihatnya. Sinar matanya begitu liar
dan tidak wajar. Apalagi caranya berpakaian. Jelas kalau
Dewa Tangan Api telah menjadi orang tak waras. Dan,
ketidakwarasannya itulah yang telah menyeretnya mela-
kukan perbuatan-perbuatan keji dan biadab. Tapi, apa
yang membuatnya bisa menjadi gila?" Tanya Danar Pati
seraya menggeleng-gelengkan kepala tak mengerti.
"Tidak perlu heran, Paman. Meskipun kepandaian
Dewa Tangan Api sangat tinggi, tapi masih banyak orang
yang dapat melebihi kesaktiannya Dan mungkin saja dia
pernah bertarung melawan orang yang seperti kusebut-
kan itu. Entah karena pukulan ataupun senjata-senjata
beracun, yang jelas ia berhasil dilukai lawannya. Hingga
akhirnya, Dewa Tangan Api kini menjadi orang gila yang
selalu berkeliaran mencari mangsa. Hal seperti itu bisa
saja terjadi, Paman," sahut Panji menerangkan dugaan-
nya.
Danar Pati, Kenanga, maupun yang lain mengang-
guk-anggukkan kepala mendengar uraian Panji. Seperti-
nya, keterangan pemuda itu dapat diterima akal. Dan
memang, mungkin saja hal seperti itu terjadi.
"Lalu, apa yang harus kita lakukan sekarang, Pen-
dekar Naga Putih...?" Tanya Danar Pati yang merasa
kehilangan akal.
Dan memang, untuk menghadapi kakek gila yang ber-
kepandaian tinggi itu memang sangat berbahaya. Kalau ia
dan kawan-kawannya nekat mengeroyok, sama saja me-
ngantarkan nyawa sia-sia. Maka, lelaki brewok itu
sengaja menyerahkan persoalan kepada Pendekar Naga
Putih. Tentu saja maksudnya agar Panji menghadapi
kakek sakti itu.
"Hm.... Paman dan yang lainnya harap me-nyingkir
dulu. Aku akan berusaha sekuat tenaga menundukkan-
nya. Kalau nasibku baik, mungkin selamat. Sebab me-
lihat sinar matanya, jelas kalau Dewa Tangan Api seperti
ingin menelan tubuh kita bulat-bulat," sahut Panji me-
rendah.
Setelah berkata demikian, pemuda tampan yang
mengenakan jubah putih itu melangkah beberapa tindak
kedepan. Langkahnya terhenti dalam jarak kurang dari
dua tombak di hadapan Dewa Tangan Api yang menatap
penuh nafsu membunuh.
***
DELAPAN
Melihat Panji sudah melangkah menghampiri Dewa
Tangan Api, Danar Pati dan yang lain berjalan menjauhi
tempat itu. Sebab mereka sadar sepenuhnya kalau per-
tarungan antara kedua orang sakti itu akan sangat ber-
bahaya bagi keselamatan jiwa.
"Hmh...!"
Dewa Tangan Api menggeram gusar. Rupanya keda-
tangan pemuda itu semakin membuatnya marah. Dan
tanpa peringatan lagi, kakek itu langsung mendorongkan
telapak tangan kanan dengan pukulan jarak jauh.
Wusss,..!
Serangkum angin kuat berhawa panas menyengat
menerjang deras tubuh Pendekar Naga Putih. Daun-daun
pohon yang terkena hawa sambaran angin pukulan itu
langsung berjatuhan dalam keadaan kering. Dapat di-
bayangkan, betapa dahsyatnya hawa panas yang terkan-
dung di dalam pukulan tadi.
Panji tentu saja tahu akan bahaya yang mengancam-
nya. Maka 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' dalam tubuhnya
langsung bergolak dan membentuk lapisan kabut ber-
sinar putih keperakan. Berbarengan muneulnya kabut
yang menyelimuri sekujur tubuhnya, bertiuplah angin
dingin menusuk tulang.
Pendekar Naga Putih sengaja tidak beranjak dari tem-
patnya berdiri. Dia tahu, apabila pukulan jarak jauh ka-
kek itu dihindari, maka lawan akan kembali menyusuli
dengan pukulan-pukulan dahsyat. Dan hal itu tentu saja
dapat menghilangkan kesempatan baginya untuk melaku-
kan serangan balasan. Itulah sebabnya, mengapa pemuda
itu memutuskan untuk memapak pukulan jarak jauh
Dewa Tangan Api.
"Hmh...!"
Disertai gerengan menggetarkan, sepasang tangan
Pendekar Naga Putih bergerak naik lurus menuding
langit. Kemudian meluncur turun dan terhenti didepan
dada dalam posisi menyilang.
"Yeaaah...!"
Sambil membentak keras, Pendekar Naga Putih men-
dorong telapak tangan kanannya dengan menggunakan
lebih separuh tenaga saktinya. Maksudnya untuk men-
jaga, jangan sampai menderita kerugian dalam gebrakan
adu tenaga dalam itu.
Wusss...!
Angin dingin yang dapat membekukan darah melun-
cur pesat menimbulkan suara mencicit tajam. Angin
pukulan yang terlontar dari telapak tangan pemuda itu
melesat memapak pukulan jarak jauh lawan.
Blarrr...!
Dua gelombang tenaga sakti yang maha dahsyat itu
saling berbenturan menimbulkan ledakan dahsyat seperti
hendak merobohkan gunung. Bukan main hebatnya
tenaga sakti yang dimiliki kedua tokoh sakti itu.
Tapi hebatnya, meskipun benturan itu telah mem-
buat bumi di sekitarnya bergetar, namun tubuh mereka
satu sama lain hanya terjajar mundur sejauh empat
langkah ke belakang. Dari sini saja sudah dapat dinilai
kalau kekuatan yang dimiliki Panji dan Dewa Tangan Api
berimbang.
Panji sama sekali tidak merasa heran terhadap ke-
kuatan yang dimiliki lawannya. Dan memang, nama Dewa
Tangan Api telah sangat terkenal dan termasuk tokoh
silat kelas satu pada masa itu. Ingatan itu pula yang
membuatnya harus berhati-hati dalam menghadapi kakek
gila yang berkepandaian tinggi itu.
"Bangsat! Bocah setan...!" umpat Dewa Tangan Api
sambil mengibaskan kedua tangannya untuk memperoleh
keseimbangan. Kemudian, dengan gerakan aneh, kedua
kakinya bergeser ke kiri dan kanan. Kemudian dia ber-
gerak maju ke arah Pendekar Naga Putih.
Wuttt! Wuttt!
Sambaran angin panas yang mencicit tajam, menyer-
tai pukulan-pukulan Dewa Tangan Api yang terkadang
bergerak lurus mengancam dada. Tapi di lain saat, sepa-
sang tangan itu berputaran membentuk lingkaran gelom-
bang bagai dinding berhawa menyengat.
Pendekar Naga Putih yang memang telah menyadari
akan kehebatan lawan, tidak ingin bertindak kepalang
tanggung. Melihat lawan sudah menerjang maju kembali,
maka pemuda itu bergegas menggeser kaki kanannya ke
samping. Sedangkan sepasang tangannya yang sudah
membentuk cakar naga, bergerak susul-menyusul disertai
langkah kakinya.
"Haiiit...!"
Dibarengi bentakan keras, sepasang tangan Pendekar
Naga Putih mulai menyambar-nyambar mengancam tu-
buh lawan. Sambaran angin dingin yang mencicit tajam
menyertai setiap ayunan tangannya.
Namun Dewa Tangan Api juga tidak ingin tinggal
diam. Sambil berkelebatan menghindari sambaran cakar
naga lawan, sesekali kakek gila itu pun melontarkan
serangan balasan yang tidak kalah berbahayanya dengan
serangan lawan. Sehingga, pertempuran yang berlang-
sung antara kedua orang tokoh sakti itu semakin seru
dan menegangkan.
Bettt!
Panji menggeser kaki kiri ke samping sambil meren-
dahkan tubuh untuk menghindari hantaman telapak
tangan lawan yang mengincar dada. Begitu hantaman itu
luput, tubuh Pendekar Naga Putih langsung mengegos
disertai tendangan kilat yang meluncur deras menuju pe-
lipis Dewa Tangan Api.
Meskipun dalam keadaan kurang waras, namun ka-
kek itu ternyata tidak kehilangan kepandaiannya. Tubuh-
nya segera didoyongkan ke belakang saat tendangan
miring lawan meluruk menuju pelipis. Gerakan itu masih
dibarengi tepisan tangan kanan yang tepat menghantam
tumit Panji.
Plakkk!
Terdengar suara keras ketika telapak tangan kakek
gila itu menepiskan tendangan lawan. Namun, tendangan
yang berhasil ditepiskan itu terus saja berputar mengikuti
tenaga sampokan tangan Dewa Tangan Api. Sepertinya,
hal itu memang sudah diperhitungkan Pendekar Naga
Putih.
Dan sebelum kakek gila itu menyadari, tahu-tahu saja
tendangan lawan kembali menyambar deras. Kali ini
bukan pelipis yang menjadi sasaran, melainkan lambung
Dewa Tangan Api.
Zebbb!
Kegilaan itu ternyata tidak mengurangi kewaspada-
annya terhadap ancaman bahaya. Melihat datangnya ten-
dangan lawan yang meluruk mengincar lambung, cepat
tubuhnya meloncat ke atas dan terus melakukan bebe-
rapa kali salto di udara.
Tapi kali ini Pendekar Naga Putih tidak sudi mem-
biarkan lawan lolos begitu saja. Ketika lawannya terlihat
melontarkan tubuhnya ke atas, pemuda itu segera mena-
rik pulang tendangannya. Sacepat telapak kakinya meng-
hentak bumi, secepat itu pula tubuhnya melesat menyu-
suli tubuh Dewa Tangan Api. Gerakannya dibarengi
dengan dorongan kedua tangannya yang terbuka.
Keadaan itu tentu saja sangat sulit bagi Dewa Tangan
Api untuk menghindar. Maka tanpa dapat dicegah lagi,
sepasang telapak tangan itu pun menghantam telak dada-
nya.
"Huagkh...!"
Hantaman dahsyat yang telak mengenai dada kakek
itu, membuat tubuhnya terlontar bagaikan sehelai daun
kering. Semburan darah yang keluar dari mulut kakek itu
muncrat membasahi rerumputan hijau.
Brukkk!
Bagaikan sehelai kain basah, tubuh kakek itu lang-
sung ambruk di atas permukaan tanah.
Melihat tubuh lawannya diam Udak bergerak, Pende-
kar Naga Putih bergegas menghampirinya. Tapi pada saat
jarak di antara mereka hanya tinggal beberapa tindak
lagi, tiba-tiba saja tubuh Dewa Tangan Api melenting
bangkit Langsung diterjangnya Pendekar Naga Putih de-
ngan dorongan sepasang telapak tangan.
"Aaah..,!"
Bukan main terperanjatnya hati Pendekar Naga Putih
melihat serangan tak terduga yang amat berbahaya bagi
keselamatannya. Untunglah 'Tenaga Sakti Gerhana Bu-
lan' yang ada dalam dirinya telah terlatih baik. Maka
ketika sambaran angin panas datang menerpanya, tenaga
sakti dalam tubuhnya pun bergerak dan langsung me-
lindunginya.
Hantaman telapak tangan lawan yang hanya tinggal
beberapa jengkal dari tubuhnya, langsung dipapak Pen-
dekar Naga Putih dengan menggunakan seluruh kekuatan
tenaga sakti yang ada dalam dirinya. Hal itu dilakukan,
semata-mata untuk melindungi dirinya dari kematian.
Sebab, disadari betul kalau saat itu Dewa Tangan Api
pasti mengerahkan seluruh kekuatan untuk menghabisi
orang yang mengganggunya.
Blarrr....'
Tanpa dapat dicegah lagi, dua gelombang tenaga
dahsyat ltu kembali bertemu. Asap putih kehitaman lang-
sung mengepul akibat pertemuan dua tenaga dalam yang
berlainan sifat.
Akibat yang diderita Panji pun tidak ringan. Tubuhnya
terlempar ke belakang, hingga menabrak sebatang pohon
yang langsung tumbang menimbulkan suara bergemuruh.
"Heaaah...!"
Sadar kalau benturan dahsyat itu telah mengakibat-
kan luka dalam yang tidak ringan, cepat Panji menghim-
pun kekuatan hawa murninya. Didorongnya keluar pe-
ngaruh benturan yang terasa mengganjal di dalam dada-
nya.
Sedangkan keadaan Dewa Tangan Api, jelas lebih
parah. Apalagi saat benturan itu terjadi, ia masih dalam
keadaan terluka dalam. Sehingga tubuh kurus itu terlem-
par bagaikan sehelai daun kering Dari mulutnya tampak
menyembur darah segar.
Brakkk..!
Sebatang pohon yang berada di belakangnya, tak kuat
menahan daya luncur tubuh kakek itu. Terdengar suara
berderak ribut ketika pohon itu tumbang. Sementara, tu-
buh Dewa Tangan Api sendiri tergolek lemah dengan
napas satu-satu. Jelas, kalau luka yang kali ini dialami-
nya lebih parah. Sehingga orang tua tidak mampu lagi
bangkit.
Panji yang sudah mengusir pengaruh benturan me-
langkah mendekati tubuh Dewa Tangan Api. Kini sikap-
nya lebih hati-hati. Bahkan, pemuda itu tela menyiapkan
tenaga saktinya untuk berjaga-jaga dari kecurangan
kakek gila itu.
Namun, ketika melihat betapa keadaan Dewa Tangan
Api benar-benar parah, Panji pun bergerak membungkuk
dan melakukan beberapa kali totokan untuk mengurangi
penderitaan kakek itu. Lalu, dijejalkannya sebutir obat
berwarna putih yang berkhasiat menyembuhkan luka
dalam.
"Bagaimana keadaannya, Kakang...? Apakah masih
bisa disembuhkan?" Tanya Kenanga yang tahu tahu telah
berada di samping Panji.
Pendekar Naga Putih tersenyum dan mengedarkan
pandangannya kepada Danar Pati dan yang lainnya. Ru-
panya mereka telah berkumpul di belakang pemuda itu.
"Untunglah Dewa Tangan Api memiliki kekuatan tu-
buh yang luar biasa. Sehingga benturan dahsyat tadi
tidak sampai membuatnya tewas. Rasanya semua telah
berakhir, Paman. Aku akan membawa Dewa Tangan Api
untuk menyembuhkan luka-luka ataupun racun yang
mengeram di dalam tubuhnya. Tolong antarkan gadis itu
pulang. Dan jangan lupa sampaikan salamku kepada Pa-
man Turangga," pamit Panji yang segera meletakkan tu-
buh Dewa Tangan Api di atas bahunya.
Lalu, bersama Kenanga, mereka berpisah dengan rom-
bongan Danar Pati.
"Selamat jalan, Pendekar Naga Putih...," desah Danar
Pati, parau. Jelas kalau laki-laki brewok ini merasa berat
untuk berpisah dengan pendekar muda yang sangat dika-
guminya itu.
Setelah bayangan tubuh Panji dan Kenanga lenyap,
Danar Pari pun mengajak rombongannya untuk mening-
galkan tempat itu.
***
Pendekar Naga Putih dan Kenanga yang telah cukup
jauh meninggalkan Danar Pati dan kawan-kawannya,
tiba-tiba berbalik dengan wajah tegang.
"Kau dengar suara itu, Kenanga...?" Tanya Panji
seperti hendak memastikan apa yang didengarnya.
"Aku pun mendengarnya, Kakang. Sepertinya jeritan
itu berasal dari tempat rombongan Paman Danar Pati
yang baru saja kita tinggalkan?" Sahut Kenanga yang juga
menjadi tegang.
Tanpa banyak cakap lagi, Pendekar Naga Putih segera
melesat cepat mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya.
Sebab, nalurinya membisikkan sesuatu yang mengerikan
tengah menimpa rombongan sahabatnya Itu.
Pendekar Naga Putih terus melesat ketika tidak me-
nemukan rombongan Danar Pati di tempat semula. Dia
menduga kalau rombongan sahabatnya itu pasti hendak
meninggalkan hutan. Maka Panji segera mengambil jalan
setapak yang menuju mulut hutan. Sementara Kenanga
hanya mengikuti beberapa tombak di belakangnya.
Jerit kematian yang merasuk telinganya, membuat pe-
muda tampan itu semakin mempercepat larinya. Sehing-
ga, tubuhnya hanya seperti bayangan putih yang berge-
rak menyelinap di antara pepohonan hutan.
"Ahhh...!"
Pendekar Naga Putih berseru tertahan ketika melihat
enam sosok tubuh bergeletakan mandi darah! Dikenali-
nya betul kalau keenam orang itu adalah anggota rom-
bongan Danar Pati. Maka cepat kepalanya menoleh ke
arah pertempuran yang tengah berlangsung ramai. Tam-
pak seorang lelaki gemuk berperut buncit tengah dikero-
yok Danar Pati dan kawan-kawannya. Melihat keadaan
sahabatnya itu tengah terancam maut, maka tanpa mem-
buang-buang waktu lagi, Pendekar Naga Putih segera ber-
kelebat menuju ke arena pertempuran. Hal itu dilakukan-
nya setelah terlebih dahulu mengamankan Dewa Tangan
Api.
"Heaaat..!"
Plakkk!
Begitu tiba, Pendekar Naga Putih langsung melepas-
kan sebuah tamparan keras untuk menyelamatkan Danar
Pati dari ancaman maut. Kedatangannya memang sangat
tepat. Sehingga, tamparan lelaki gemuk berperut buncit
itu dapat dipukul mundur. Kalau tidak, mungkin batok
kepala Danar Pati sudah pecah berhamburan akibat tam-
paran lawannya.
Danar Pati menarik napas lega ketika mengetahui ka-
lau yang telah mendongnya adalah Pendekar Naga Putih.
Bergegas ia dan kawan-kawannya menyingkir dari arena
pertempuran. Karena, saat itu Panji sudah bertarung he-
bat melawan laki-laki berperut buncit yang tak lain dari
Dedemit Bukit Saji.
Panji yang saat itu telah langsung melontarkan sera-
ngan-serangan kilat ke arah Dedemit Bukit Saji, menjadi
terkejut sekali. Dan memang, kepandaian laki-laki sete-
ngah baya itu ternyata sangat hebat. Bahkan boleh dibi-
lang tidak kalah hebat dengan kepandaian Dewa Tangan
Api.
"Heaaah...!"
Plakkk! Plakkk! Bukkk!
"Aaakh...!"
Dua buah serangan Panji yang mengarah dada dan
lambung Dedemit Bukit Saji, berhasil ditangkis lawan.
Bahkan tokoh sesat itu sempat pula mengirimkan sebuah
hantaman tinju ke perut Pendekar Naga Putih.
Pendekar Naga Putih menghapus cairan merah yang
mengalir di sudut bibimya. Sadar kalau tenaga saktinya
masih belum pulih akibat bertempur mati-matian mela-
wan Dewa Tangan Api, maka tanpa ragu-ragu lagi, Pe-
dang Naga Langit yang tergantung di punggungnya segera
dicabut.
Sring!
Kilatan sinar keemasan berkeredep menyilaukan
mata. Kini Pedang Naga Langit telah tergenggam erat di
tangan kanan Pendekar Naga Putih. Dan tanpa memberi
kesempatan kepada lawan, pemuda itu cepat memutar
pedang dan langsung membabatkannya secara mendatar.
Wuttt!
"Eh...?!"
Bukan main terkejutnya hati Dedemit Bukit Saji
ketika merasakan hawa aneh yang keluar dari pedang
lawan. Cepat ia melompat ke belakang hingga dua batang
tombak jauhnya. Rupanya sekali melihat saja, tokoh sesat
berperut buncit itu tahu kalau senjata yang berada di
tangan lawan sangat ampuh dan berpengaruh.
"Palawa! Hayo bantu aku merebut pedang di tangan
pemuda ini!" Teriak Dedemit Bukit Saji sambil menoleh ke
arah pemuda bertubuh tegap yang tengah bertarung me-
lawan Kenanga, dibantu Danar Pati dan kawan-kawan-
nya.
"Tidak bisa. Guru! Seharusnya kaulah yang memban-
tuku! Lihat! Aku sedang terdesak!" Sahut pemuda itu
yang tak lain dari Palawa, murid Dedemit Bukit Saji.
Sambil menyahut, pemuda itu kembali melompat meng-
hindari sambaran Pedang Sinar Rembulan yang meng-
ancam perut.
Elakan Palawa ternyata tidak membuat senjata itu
berhenti menyerang! Sebab begitu serangannya lotos, Ke-
nanga memutar senjatanya. Pedang itu langsung bergerak
turun menyambar pinggang lawannya. Gerakannya yang
cepat dan tak terduga itu, tentu saja membuat Palawa
semakin kalang kabut. Maka, la pun segera melompat
jauh ke belakang. Setelah melakukan beberapa kali salto
di udara, barulah pemuda itu dapat menarik napas Iega.
Tapi, kelegaan di hati Palawa tidak berlangsung lama.
Sebab, baik Kenanga, Danar Pati, dan kawan-kawannya,
kembali datang menyerbu ke arahnya. Tentu saja Palawa
tidak sudi tubuhnya dirajam senjata-senjata lawan. Maka
tubuhnya segera bergerak menghindar, diselingi pukulan
balasannya sesekali.
Sementara itu, pertempuran antara Panji melawan
Dedemit Bukit Saji sudah kembali berlangsung. Tokoh
sesat berusia lima puluh tahun itu tengah mati-matian
menghindari sabetan pedang lawan yang benar-benar
membuatnya mati langkah! Sebab, ke mana saja berlari
menghindar, selalu saja senjata Panji membayanginya.
Sehingga, Dedemit Bukit Saji menjadi kalang kabut.
Panji yang kelihatan jelas ingin segera menyelesaikan
pertarungan, segera melancarkan serangan susul-menyu-
sul bagaikan gelombang laut yang tak pernah putus. Se-
hingga, gulungan-gulungan sinar keemasan semakin me-
ngurung rapat tubuh lawannya dari segala arah. Samba-
ran-sambaran Pedang Naga Langit yang menimbulkan
hawa menggiriskan, membuat Dedemit Bukit Saji sema-
kin kelabakan dan tidak sempat menggunakan jurus an-
dalannya, ilmu 'Telapak Darah'. Tentu saja hal itu mem-
buat jurus-jurusnya jadi kacau dan tidak terarah.
Sehingga, serangan-serangan Panji semakin gencar meng-
incar tubuhnya.
Pada saat pertarungan memasuki jurus ketujuh pu-
luh, tiba-tiba terdengar pekikan nyaring dari mulut Pen-
dekar Naga Putih. Saat itu juga, tubuh Panji mencelat
naik dan melambung ke udara. Rupanya, pemuda itu
ingin segera mengakhiri pertempuran dengan mengguna-
kan jurus 'Naga Sakti Meluruk ke Dalam Bumi'.
"Heaaat..!"
Bukan main terkejutnya hati Dedemit Bukit Saji me-
lihat serangan yang dilancarkan lawan. Bulatan sinar ke-
emasan berpendar dan menyilaukan mata membuatnya
tidak sanggup memandang. Apalagi deru angin tajam
yang ditimbulkan putaran senjata lawan seperti membuat
urat-urat tubuhnya lumpuh seketika. Maka....
Bretttl! Brett!
"Aaargh...!"
Dedemit Bukit Saji berteriak setinggi langit ketika
ujung pedang Pendekar Naga Putih menghunjam tubuh-
nya berkali-kali. Darah segar memercik mengiringi ter-
lemparnya tubuh gemuk berperut buncit itu.
Berbarengan tewasnya Dedemit Bukit Saji, terdengar
raungan panjang yang menggetarkan hutan. Sebentar
kemudian, tampak terbanting sosok tubuh tegap. Siapa
lagi kalau bukan Palawa. Cairan merah tampak mengalir
turun dari luka-luka di tubuh pemuda itu. Setelah ber-
kelojotan sesaat, tubuh Palawa meng-hembuskan napas-
nya yang terakhir. Pemuda itu tewas di ujung pedang
Kenanga, Danar Pati, dan kawan-kawannya.
"Dedemit Bukit Saji...," gumam Pendekar Naga Putih
memandangi mayat lawannya. "Rupanya ia kembali mem-
buat keonaran setelah bertahun-tahun menghilang dari
rimba persilatan."
"Ya! Syukurlah kini ia telah tewas di tanganmu, Pen-
dekar Naga Putih. Tentunya penyebab kegilaan Dewa Ta-
ngan Api pun pasti karena diracuni oleh tokoh sesat ini,
sehingga pikirannya berubah. Dedemit Bukit Saji memang
terkenal dengan racun-racunnya yang sangat jahat. Kami
mengucapkan terima kasih atas pertolonganmu, dan juga
Kenanga. Untunglah kedatangan kalian tepat pada wak-
tunya. Kalau tidak, mungkin kami sudah melayat ke a-
khirat," ucap Danar Pati seraya membungkukkan tubuh-
nya dalam-dalam ke arah Panji dan Kenanga.
Panji tersenyum sambil mengulurkan tangan meraih
bahu kekasihnya.
"Sudahlah, Paman. Sekarang kami benar-benar
hendak pamit Dan mudah-mudahan, tidak ada lagi yang
menghalangi perjalanan Paman dan kawan-kawan lain-
nya," kata Pendekar Naga Putih seraya menarik napas
lega.
Dengan tubuh Dewa Tangan Api yang kembali berada
di atas bahu Panji, sepasang pendekar itu melangkah
meninggalkan Danar Pati dan kawan-kawannya. Mereka
mengantar kepergian Pendekar Naga Putih dan Kenanga
dengan pandangan penuh terima kasih.
"Lebih baik kuburkan dulu mayat kedua orang ini.
Setelah itu, barulah kita lanjutkan perjalanan," usul Da-
nar Pati melihat bayangan pasangan pendekar muda itu
lenyap dari pandangan.
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar