..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Selasa, 11 Februari 2025

PENDEKAR NAGA PUTIH EPISODE DENDAM PENDEKAR CACAT

matjenuh

 

T. Hidayat 
DENDAM PENDEKAR CACAT 
CINTAMEDIA 
penerbit buku silat bermutu 
DENDAM PENDEKAR CACAT 
Oleh T. Hidayat 
Cetakan pertama 
Penerbit Cintamedia, Jakarta 
Penyunting : Tarech R. 
Gambar sampul oleh Soeryadi 
Hak cipta pada 
Penerbit Dilarang mengcopy atau 
memperbanyak sebagian atau seluruh 
isi buku ini tanpa izin tertulis 
dari penerbit 
T. Hidayat 
Serial Pendekar Naga Putih 
dalam episode: 
Dendam Pendekar Cacat 
128 hal. ; 12 x 18 cm

SATU

Kegelapan malam yang menyelimuti permukaan 
bumi, perlahan-lahan memudar. Kokok ayam jan-
tan saling bersahutan menyambut cahaya jingga 
yang menyemburat di ufuk Timur. Tak lama ke-
mudian, surya pun muncul dan mulai memancar-
kan sinamya menerangi alam semesta. 
Saat itu, sesosok tubuh tegap tampak bergerak 
lincah menuruni Lereng Gunung Siluman. Wajah-
nya yang bersih dan tampan, selalu terhias senyum 
gembira. Langkah-langkah kakinya pun terlihat 
ringan dan mantap. Menilik dari gerakan-gerakan 
yang dilakukannya, jelas pemuda itu bukan orang 
sembarangan. 
"Haiiit...!" 
Ketika tiba di tepi sebuah sungai yang melintang, 
pemuda berusia sekitar tujuh belas tahun itu ber-
seru nyaring. Bersamaan dengan itu, tubuhnya 
langsung melambung ke tengah sungai. 
Sungguh mengagumkan sekali! Tubuh pemuda 
yang meluncur turun di tengah sungai itu, kembali 
melenting ketika ujung kaki kanannya ditotolkan 
pada sebuah batu yang permukaannya menonjol di 
atas air. 
Setelah berjumpalitan sebanyak empat kali, pe-
muda itu mendaratkan kedua kakinya di seberang 
sungai. kemudian tubuhnya berbalik kembali meng-
hadap ke sungai, tampak senyum di bibirnya sema-
kin melebar. Jelas, ia merasa gembira karena dapat 
melewati sungai selebar tiga tombak, hanya dengan 
dua kali lompatan.

"Hm.... Ayah pasti gembira melihat kemajuan 
ilmu yang kuperoleh selama tiga tahun ini. Tentu ia 
akan memuji Pendekar Kera Siluman yang telah 
mendidikku. Entah bagaimana pendapat ibu menge-
nai kemajuan yang telah kucapai selama ini? Meski-
pun ia tidak begitu suka melihatku lebih memen-
tingkan ilmu silat, mudah-mudahan saja ia ikut 
merasa gembira," gumam pemuda itu sambil terse-
nyum. Binar-binar kerinduan pun terpancar dari 
sinar matanya. 
Untuk beberapa saat lamanya, pemuda itu terme-
nung seraya melepaskan pandangannya menera-
wang cakrawala. Bayangan wajah ayah, ibu, dan 
adiknya menari-nari di benaknya. Sepasang mata-
nya nampak semakin bercahaya, karena sebentar 
lagi akan berjumpa dengan orang yang sangat 
dicintainya. 
"Ahhh..., Adik Milani tentunya sudah dewasa dan 
menjadi seorang gadis cantik. Mmm..., tunggulah, 
Adikku! Sebentar lagi kita akan bertemu dan dapat 
bermain seperti dulu. Ah, betapa hatiku rindu akan 
masa-masa indah kita...," desah pemuda tampan 
berwajah agak bulat itu. Sepasang alisnya yang 
tebal dan hitam, tampak bergerak-gerak lucu ketika 
bayangan masa kecil bersama adiknya bermain-
main di kepalanya. 
Perasaan rindu yang menggelegak dan menyesak-
kan dada, membuat pemuda itu cepat membalikkan 
tubuhnya. Sesaat kemudian, tubuh tegap itu telah 
melesat cepat bagaikan anak panah. 
Kegembiraan hati pemuda itu tergambar jelas 
dari gerakan-gerakan langkah kakinya. Terkadang ia 
berjumpalitan hingga beberapa kali, sambil memper-
dengarkan suara tawanya yang berkepanjangan.

Untung di sekiiar tempat itu tidak ada orang yang 
melihat Bngkah lakunya. Kalau saja ada orang yang 
sempat memergokinya, tentu ia akan disangka 
sebagai pemuda gila. 
*** 
"Tuan Muda Wiranta...!" 
Seorang petani berusia sekitar empat puluh ta-
hun, berseru dengan suara hampir berbisik. Sepa-
sang matanya nampak agak sayu, menatap tajam ke 
arah wajah pemuda yang melintas di dekat sawah-
nya. 
Pemuda yang tengah berlari-lari kecil itu, meno-
leh dan memandang berkeliling. Rupanya panggilan 
itu sempat tertangkap pendengarannya. Terbukti 
pandangannya diedarkan ke sumber suara 
Petani yang wajahnya agak kecoklatan karena 
terlalu sering terbakar sinar matahari itu, bergegas 
naik dari sawahnya. Kemudian, ia melangkah me-
lewati pemuda itu sambil berbisik lirih. Namun, 
terdengar jelas oleh pemuda yang bernama Wiranta. 
"Tuan muda, ikut aku! Tapi, jangan terlalu ken-
tara. Berpura-puralah agar tidak terlalu mencuriga-
kan...," bisik petani itu ketika lewat di depan 
Wiranta. 
Tanpa menunggu jawaban atas ucapannya, lelaki 
bertubuh agak gemuk itu bergegas melangkahkan 
kakinya menuju ke luar perbatasan desa. 
Meskipun dengan wajah agak bingung, Wiranta 
memutuskan untuk mengikuti petunjuk petani itu. 
Langkah kakinya diperlambat. Seolah-olah hendak 
mengatur jarak di antara mereka.

Beberapa orang petani yang tadi sempat menoleh-
kan kepalanya ke arah Wiranta, kembali menerus-
kan pekerjaannya dengan sikap masa bodoh. Meski-
pun mereka sempat merasa heran ketika melihat 
pemuda itu tidak jadi memasuki desa. Namun, para 
petani itu tidak ambil peduli. Di hati mereka tidak 
ada terbersit rasa curiga sedikit pun terhadap kedua 
orang itu. 
Wiranta yang semula melangkahkan kakinya se-
cara perlahan, tiba-tiba bergegas mengejar petani di 
depannya yang berlari cepat. Karena tidak ingin ter-
tinggal, pemuda itu segera mengerahkan ilmu lari-
nya. Keadaan sekitar yang hanya ditumbuhi pepo-
honan, membuat gerak keduanya menjadi leluasa. 
Ketika sampai di sebuah hutan kecil yang sunyi, 
Wiranta memperlambat larinya. Kemudian ia me-
langkah pelan ketika melihat sosok petani yang 
dikejarnya tengah berdiri menanti kedatangannya. 
Sebagai seorang pemuda yang sejak kecil telah 
dilatih selalu waspada, Wiranta tidak mudah per-
caya begitu saja dengan petani itu. Sambil memper-
siapkan tenaga dalamnya yang segera disalurkan ke 
seluruh tubuh, pemuda itu melangkah hati-hati 
menghampiri petani aneh itu. 
"Tidak perlu curiga kepadaku, Tuan Muda. Kau 
pasti telah mengenalku dengan baik," ucap petani 
itu yang rupanya maklum dengan sikap hati-hali 
Wiranta. 
Sambil berkata demikian, petani itu membuka tu-
dung bambunya. Bahkan, ia pun mencopot cam-
bang yang menghiasi kedua pipinya. 
"Kau... kau.... Bukankah Paman Losarang...?" 
seru Wiranta hampir berteriak gembira, bila petani 
itu tidak cepat menutup mulutnya dengan telunjuk.

"Ahhh..., Paman! Bagaimana kabarmu sekarang? 
Mengapa kau tiba-tiba menjadi seorang petani?" ujar 
Wiranta heran, seraya melompat dan memeluk tu-
buh lelaki gemuk itu. Karena ia kenal betul dengan 
petani yang tak lain adalah pelayan kepercayaan ke-
luarganya. Tentu saja rasa curiga yang menyelinap 
di hatinya menjadi sirna. 
"Aku baik-baik saja, Tuan Muda...," sambut Ki 
Losarang yang terharu melihat kegembiraan majikan 
mudanya setelah tiga tahun tidak bertemu. 
“Paman, bagaimana keadaan ayah, ibu dan Adik 
Milani? Dan, mengapa Paman berada di tempat ini? 
Apakah Paman telah berbuat kesalahan dan diusir 
dari perguruan?" Tanya Wiranta sambil melepaskan 
pelukannya. Dengan tangan yang masih melekat di 
kedua bahu Ki Losarang, ditatapinya penuh setidik 
wajah pelayan keluarganya itu. 
Ki Losarang yang semula memang hendak me-
nyampaikan sesuatu kepada majikan mudanya itu, 
terpaksa menelan ucapan yang sudah berada di 
ujung lidahnya. Hatinya tidak tega ketika melihat 
kegembiraan pemuda itu. Tak mengherankan bila Ki 
Losarang tidak langsung menjawab pertanyaan tuan 
mudanya. la menjatuhkan tubuhnya di bawah seba-
tang pohon dengan disertai helaan napas berat 
'Tuan muda. Kulihat gerakanmu sudah semakin 
gesit dan mantap sekarang. Rupanya selama tiga 
tahun terakhir ini, Tuan Muda telah berlatih dengan 
tekun di bawah bimbingan Pendekar Kera Siluman 
yang menjadi sahabat baik Tuan Besar. Ah..., betapa 
gembiranya hatiku melihat kemajuanmu yang 
sangat pesat itu...," ujar Ki Losarang mengalihkan 
perhatian tuan mudanya dengan memuji kemajuan 
ilmu yang telah dicapai pemuda itu. Terdengar

suara tawanya menyembunyikan perasaan petani 
itu. 
Tetapi Wiranta bukanlah orang bodoh. Walaupun 
Ki Losarang berusaha mengalihkan pembicaraan, 
pemuda itu menangkap sesuatu yang tidak beres. 
Namun, la berpura-pura dungu. Begitu pula suara 
tawa sumbang orang tua itu, ditanggapinya dengan 
wajar saja. Hal itu jelas menandakan Wiranta ada-
lah seorang pemuda yang cerdik. 
Sambil mencoba bersikap wajar, Wiranta men-
ceritakan tentang keadaannya selama tiga tahun 
tinggal di Gunung Siluman. Semua itu dilakukannya 
agar pelayan setia keluarganya tidak merasa curiga. 
Sikap Wiranta yang tampak wajar itu, semakin 
membuat Ki Losarang terharu. Walaupun ia telah 
berusaha menutupi kesedihannya dengan cara me-
nyimak cerita majikan mudanya, tetap saja gamba-
ran kedukaan terpancar dari sepasang matanya. 
Meski kedua orang itu tengah terlibat pembica-
raan, namun pikiran mereka bercabang. Bahkan 
dalam hati masing-masing menyimpan pertanyaan-
pertanyaan. Mendadak mereka tersentak ketika ter-
dengar suara bentakan keras! 
"Ha ha ha...! Akhimya kau dapat juga kutemui, 
Losarang! Rupanya di slni kau bersembunyi selama 
ini!" 
Suara bentakan yang keras itu, disusul dengan 
bertoncatannya sosok-sosok tubuh dari balik se-
mak-semak. Mereka langsung bergerak dan menge-
pung kedua orang itu. 
"Hei! Siapa mereka itu, Paman? Dan, mengapa 
Paman bermusuhan dengan orang-orang itu...?" 
Ujar Wiranta sambil melompat bangkit dengan otot

otot tubuh menegang. Dipandanginya wajah Ki Lo-
sarang dengan penuh tanda tanya. 
Ki Losarang yang sudah bangkit berdiri itu, me-
mandang para pengepungnya dengan wajah pucat. 
Jelas, orang tua itu tengah dilanda rasa takut yang 
hebat. 
Namun, yang sesungguhnya dikhawatirkan Ki Lo-
sarang bukanlah keselamatan dirinya, melainkan 
na-sib majikan mudanya. Itulah yang membuat wa-
jahnya menjadi pucat 
"Tuan muda. Sebaiknya larilah jauh-jauh dari 
tempat ini! Biar Paman saja yang mencegah mere-
ka," bisik Ki Losarang dengan nada penuh kete-
gangan. Sambil berkata demikian, lelaki itu melolos 
golok yang terselip di pinggangnya. 
"Maaf, Paman. Aku bukan pengecut! Apalagi per-
soalan yang Paman hadapi ini masih sangat gelap 
bagiku. Jadi, maaf kalau kali ini aku tidak menuruti 
permintaan Paman," tegas Wiranta tanpa bermak-
sud membantah. 
"Ahhh..., jadi pemuda ini putra Ki Tambak Baya?! 
Ha ha ha.... Pucuk dicinta ulam tiba.... Benar-benar 
nasibku hari ini sedang baik! Tidak disangka kalau 
sekali bergerak, aku telah mendapatkan dua umpan 
berharga! Bahkan sangat berharga!" ujar lelaki ber-
tubuh gemuk yang mengenakan rompi kulit hari-
mau loreng. Dadanya yang terbuka, tampak dihiasi 
bulu-bulu hitam. 
Lelaki gemuk berkepala botak dengan alis mata 
yang lebat dan hitam itu, seperti sengaja memamer-
kan kekuatannya. Terdengar dari suara tawanya 
yang besar dan berkepanjangan. 
Wiranta sempat kaget mendengar suara tawa 
yang mengandung tenaga dalam luar biasa itu.

Cepat pemuda itu menyalurkan hawa murni untuk 
melindungi dadanya dari guncangan. Sehingga sua-
ra tawa itu sama sekali tidak berpengaruh bagi 
dirinya. 
Lain halnya dengan Ki Losarang. Tubuh orang 
tua itu tampak agak terhuyung akibat serangan 
yang dilancarkan melalui suara tawa keras itu. 
Untunglah suara tawa itu hanya sebentar. Kalau 
tidak, mungkin Ki Losarang sudah menderita luka 
dalam. 
"Anak-anak, serang kedua orang itu! Bunuh, dan 
jangan kasih ampun!" Perintah lelaki berkepala bo-
tak yang mengenakan rompi kulit harimau, seraya 
melolos sebuah pecut berduri yang tergantung di 
pinggangnya. 
Melihat keadaan itu, baik Wiranta maupun Ki 
Losarang bersiap-siap dan saling beradu punggung. 
Karena tidak mempunyai kesempatan untuk ber-
tanya lebih jauh, pemuda itu tidak banyak cakap 
lagi. Segera ia memasang kuda-kuda seperti seekor 
kera yang sedang marah. 
Posisi yang digunakan Wiranta memang terlihat 
aneh dan lucu. Kedua kakinya menekuk rendah. 
Sedangkan kedua kakinya dalam posisi menjinjit, 
membuat tubuhnya terlihat pendek. Apalagi tubuh 
pemuda itu agak membungkuk. Sehingga keadaan 
Wiranta tak ubahnya seperti seekor kera. Sepasang 
tangannya yang menunjuk didepan wajah dan dada, 
memang benar-benar membuatnya terlihat lucu. 
Sayang, para pengepungnya tidak sadar dengan 
jurus yang tengah dipersiapkan pemuda itu, sebuah 
jurus andalan terampuh. Bahkan, jurus itu telah 
diyakininya selama kurang lebih tiga tahun. Maka,

sudah dapat dibayangkan kemahiran pemuda itu 
dalam mempergunakannya. 
"Heaaat..!" 
Diiringi teriakan keras dari lelaki botak yang me-
rupakan pimpinan belasan orang itu, serentak para 
pengepung Wiranta dan Ki Losarang bergerak maju. 
Terdengar suara sambaran belasan batang senja-
ta berdesingan dan mengancam tubuh Wiranta dan 
Ki Losarang. Namun, keduanya bergerak cepat dan 
lincah menyambut serangan-serangan lawannya. 
Pertempuran sengit pun tidak dapat dihindari lagi. 
Wiranta seperti menghadapi ujian terhadap ilmu 
yang dituntutnya selama tiga tahun di bawah bim-
bingan Pendekar Kera Siluman, tentu saja menjadi 
gembira bukan main. Sambaran-sambaran senjata 
para pengeroyoknya, dielakkan pemuda remaja itu 
dengan kelitan-kelitan indah yang membingungkan. 
Bahkan, tidak jarang pemuda itu berjumpalitan lak-
sana seekor kera. Sehingga, para pengeroyoknya 
sempat dibuat kerepotan oleh kelincahan pemuda 
itu. 
“Yiaaah...!" 
Setelah merasa cukup puas menguji ilmu meri-
ngankan tubuhnya, Wiranta melontarkan serangan-
serangan balasan yang mengejutkan. Sepasang ta-
ngannya bergerak melakukan totokan-totokan kilat, 
sehingga lawan yang terkena jari tangannya lang-
sung roboh dengan tubuh berlubang. Tentu saja apa 
yang dilakukan pemuda itu membuat musuhnya 
menjadi gentar. Tanpa sadar mereka bergerak 
mundur dan menjauhi pemuda remaja itu. 
Kenyataan itu membuat lelaki berkepala botak 
menjadi gelap wajahnya. Sambil mengeluarkan ge-
rengan seperti harimau luka, tubuh gemuk itu meluncur dengan disertai ledakan-ledakan pecut ber-
durinya yang memekakkan telinga. 
Jdarrr...! Jdarrr...! 
Asap tipis berhawa panas mengepul setiap kali 
cambuk berduri itu meledak keras. Dari suara leda-
kan yang sanggup menggetarkan isi dada, jelas me-
nandakan tenaga yang tersalur melalui cambuk 
berduri itu sangat dahsyat. 
Wiranta sempat terkejut melihat kelihaian lawan 
dalam mempergunakan senjatanya. Untung ia telah 
dibekali dengan kelincahan gerak yang dapat mem-
bingungkan lawannya. Sehingga, setiap kali cambuk 
berduri lawan meledak mengancam tubuhnya, se-
lalu saja Wiranta dapat mengelakkannya. 
"Haitt...!" 
Jdarrr...! Jdarrr...! 
Lelaki berkepala botak itu rupanya semakin ber-
tambah penasaran. Sambaran-sambaran cambuk-
nya yang selalu tidak mengenai sasaran, membuat-
nya semakin bernafsu. Maka, ia pun merubah gera-
kan-gerakan senjatanya. 
Kali ini, cambuk berduri di tangan ielaki gemuk 
yang mengenakan rompi kulit harimau itu meledak-
ledak, dan berputaran di atas kepalanya sendiri. 
Dengan badan cambuk yang masih tetap melingkar, 
lelaki botak itu melontarkan serangan-serangannya. 
Wiranta sempat kerepotan menghadapi serangan-
serangan lawannya kali ini. Ledakan-ledakan cam-
buk yang selalu diawali dengan bunyi berdesing 
nyaring itu, benar-benar membuat pendengarannya 
terganggu. Sehingga, beberapa kali serangan lawan 
nyaris mengenai tubuhnya. 
"Ha ha ha...! Baru tahu kau sekarang, Bocah! Se-
bentar lagi Cambuk Kelabang akan merobek-robek

kulit tubuhmu!" terdengar suara tawa lelaki berke-
pala botak itu. Sambil melontarkan ucapan bernada 
sombong, ia terus saja melancarkan serangan 
dengan gerakan yang semakin cepat dan ganas. 
Crattt! 
"Aaakhhh...!" 
Wiranta memekik tertahan ketika punggungnya 
dihantam senjata lawan, ketika ia berjumpalitan di 
udara. Dengan gerakan indah, tubuhnya kembali 
melenting dan berputar beberapa kali. Meski agak 
terhuyung, pemuda itu mampu mendaratkan kedua 
kakinya di atas tanah. 
Rasa pedih dan panas akibat lecutan lawan, 
membuat kemarahan pemuda itu bangkit seketika. 
Namun, rasa geram terhadap lawannya segera di-
tunda. Pandangannya dialihkan ke arah Ki Losarang 
yang keadaannya nampak sudah mulai payah. Di 
beberapa bagian tubuh orang tua itu telah terluka 
oleh senjata lawan. Sehingga Wiranta bergegas me-
lesat membantunya. 
"Mau ke mana kau, Bangsat Cilik...? Biarkan saja 
orang tua keparat itu menikmati kematiannya!" ben-
tak lelaki berkepala botak yang berjuluk Cambuk 
Kelabang. Cambuknya kembali berputar berdesi-
ngan untuk kemudian meledak-ledak mengejutkan. 
Jdarrr...! Jdarrr...! 
"Aaakhhh...!" 
Kembali Wiranta menjerit kesakitan ketika cam-
buk berduri lawan melecut tubuhnya dua kali. Itu 
terjadi karena perhatian pemuda itu terpecah ketika 
mendengar jerit kematian Ki Losarang. Sehingga 
Wiranta harus membayar mahal akibat kelalaiannya 
itu.

Darah segar semakin mengucur dari luka yang 
dideritanya, sehingga menimbulkan rasa pedih yang 
amat sangat, membuat pemuda itu menggigit bibir-
nya kuat-kuat. Tanpa mempedulikan serangan 
lawan, cepat ia bergulingan mendekati tubuh bekas 
pelayan keluarganya yang tengah sekarat. 
"Paman...!" panggil Wiranta sambil mengangkat 
tubuh Ki Losarang dan dibawanya menjauh dari la-
wan-Iawannya. 
"Tuan muda... Pergilah, selamatkan dirimu.... 
Perguruan kita telah dikuasai orang-orang jahat...," 
ujar Ki Losarang dengan suara terputus-putus. 
Dari luka memanjang dan cukup dalam di bagian 
depan tubuhnya, semakin banyak mengeluarkan 
darah. Menilik luka-luka yang diderita Ki Losarang, 
jelas keadaan orang tua itu sudah tidak dapat ter-
tolong lagi. 
"Katakan! Siapa orang-orang keji itu, Paman? 
Dan, ke mana ayah, ibu serta Adik Milani...? Kata-
kan, Paman! Siapa mereka? Apa yang terjadi dengan 
ayah, ibu dan adikku...?" Wiranta berteriak-teriak 
sambil mengguncang-guncangkan tubuh Ki Losa-
rang. Namun usahanya sia-sia, sebab orang tua itu 
telah menghembuskan napasnya yang terakhir di 
pangkuan pemuda itu. 
"Aaahhh...!" 
Wiranta tersentak ketika menyadari Ki Losarang 
sudah tidak bernyawa lagi. 
"Biadab kau, Manusia-manusia Keji! Kalian apa-
kan ayah, ibu dan adikku? Apa salah mereka kepa-
da kalian?" Teriak Wiranta yang mencemaskan 
nasib orang-orang yang dicintainya. 
"He he he.... Percuma saja kau berteriak-teriak 
seperti itu, Bocah! Karena sebentar lagi kau pun

akan segera menyusul pelayanmu itu. Bersiaplah...," 
sahut Cambuk Kelabang sambil memperdengarkan 
tawanya yang berkepanjangan. 
Diingatkan tentang bekas pelayannya, membuat 
Wiranta teringat dengan ucapan terakhir Ki Losa-
rang. Cepat pemuda itu melompat mundur, kemu-
dian berlari dan menyelinap di antara pepohonan. 
"Kejar bangsat cilik itu...!" perintah Cambuk Kela-
bang yang segera melakukan pengejaran dengan di-
ikuti para pengikutnya. 
***

DUA

"Hm.... Jadi kalian tidak berhasil membunuh bo-
cah ingusan itu? Memalukan!" teriak lelaki bertubuh 
tegap yang wajahnya dilindungi topeng karet ttpis, 
dan sangat buruk. 
Lelaki bertubuh tegap itu berjalan hilir-mudik, 
sambil menggendong kedua tangannya ke belakang. 
Sepasang mata yang tersembunyi di balik topeng 
itu, nampak berkilat penuh kemarahan. 
"Ampunkan kebodohan kami, Ketua Topeng Se-
tan. Meskipun masih berusia muda, namun putra Ki 
Tambak Baya itu ternyata memiliki kepandaian cu-
kup tinggi. Kami berjanji akan membawa kepalanya, 
bila kami diizinkan untuk mencarinya," ucap lelaki 
gemuk berkepala botak yang berjuluk Cambuk 
Kelabang sambil menyembah-nyembah. 
Mendengar jawaban itu, lelaki tegap yang berju-
luk Topeng Setan itu membalikkan tubuhnya. Di-
tatapnya si Cambuk Kelabang dengan sinar mata 
berkilat tajam. Jelas, Ia sama sekali tidak menyukai 
jawaban itu. 
"Huh! Seharusnya kau malu menyandang nama 
besarmu itu, Cambuk Kelabang! Belasan tahun kau 
malang-melintang dalam dunia persilatan. Tapi 
menghadapi seorang bocah saja kau tidak becus! 
Padahal, kau dibantu beberapa orang pengikutmu. 
Tidakkah kau merasa bahwa kejadian itu merupa-
kan sebuah tamparan keras bagimu? Kalau sampai 
dunia persilatan mendengarnya, bisa-bisa pamormu 
akan jatuh, Cambuk Kelabang! Apakah kau sadar

akan hal itu?!" Bentak Topeng Setan dengan nada 
suara yang semakin berang. 
'Tapi.... Tapi...." 
"Sudahlah! Tidak perlu banyak alasan lagi! Dan, 
kau tidak perlu susah-susah mencarl bocah itu. Aku 
yakin dia tidak akan pergi jauh dari kita," potong 
Topeng Setan ketika si Cambuk Kelabang masih 
hendak membantah. 
Setelah berkata demikian. Topeng Setan menja-
tuhkan tubuhnya di atas kursi bergagang gading. 
Sepasang matanya yang tersembunyi di balik to-
peng, tetap menatap tajam ke arah si Cambuk Kela-
bang. 
"Bagaimana Ketua dapat mengetahuinya...?" Ta-
nya si Cambuk Kelabang seraya mengangkat wajah-
nya perlahan. Jelas, ia ingin sekali mendengar ja-
waban dari lelaki bertubuh tegap yang mengenakan 
topeng itu. 
"Hm.... Ke mana lagi kalau bukan ke cabang-ca-
bang Perguruan Perisai Besi yang telah kita takluk-
kan. Seperti telah kita ketahui, perguruan itu me-
miliki tiga cabang dan tersebar di tiga tempat. Salah 
satunya terletak di kota kadipaten. Sebagai putra Ki 
Tambak Baya, Wiranta jelas satu-satunya ahli waris 
keempat perguruan itu. Karena Perguruan Perisai 
Besi berada dekat Desa Talung yang sudah kita 
kuasai, tentu ia akan mendatangi salah satu atau 
ketiga cabang lainnya dengan maksud meminta 
bantuan. Ha ha ha.... Sayang ia tidak tahu...," ucap 
Topeng Setan. Seketika itu juga tawanya meledak 
tanpa terbendung lagi. 
'Tapi, bukankah ketiga cabang Perguruan Perisai 
Besi itu sudah kita kuasai, Ketua...?" kilah si Cam-
buk Kelabang mengerutkan keningnya dengan wajah dungu. Seolah-olah lelaki berkepala botak itu 
belum mengerti akan seluruh ucapan sang Ketua. 
Dan, suara tawa yang berkepanjangan dari Topeng 
Setan itu membuatnya makin bingung. 
"Bodoh kau, Cambuk Kelabang! Justru hal itulah 
yang membuat perutku tergelitik. Bocah dungu itu 
jelas akan segera lenyap. Sebab, ketua tiap-tiap 
cabang telah kuperintahkan untuk membunuh ke-
turunan Ki Tambak Baya. Di samping itu, aku 
masih mempunyai senjata lain. Kalau bocah itu da-
pat meloloskan diri dari ketiga ketua cabang itu, 
maka senjata itu akan kupergunakan," ucap Topeng 
Setan menyiratkan senyum licik yang menyimpan 
misteri. 
"Apa itu, Ketua...?" Tanya si Cambuk Kelabang 
yang ingin mengetahui rencana rahasia ketuanya. 
Namun, Topeng Setan yang telah berhasil menun-
dukkan seluruh Perguruan Perisai Besi, hanya ter-
senyum di balik topeng karetnya. 
"Hm.... Kelak kalian akan tahu sendiri," sahut 
lelaki tegap itu berteka-teki." Sekarang kalian boleh 
pergi," lanjutnya dengan nada yang tak ingin di-
bantah. 
Tanpa banyak cakap lagi, si Cambuk Kelabang 
bergerak bangkit dengan diikuti sembilan orang 
pengikutnya. Setelah memberi hormat kepada ke-
tuanya, mereka pun bergegas meninggalkan 
ruangan itu. 
*** 
"Uuuhhh...." 
Terdengar keluhan lirih dari mulut mungil seo-
rang gadis cantik berpakaian serba hijau. Terpaan

sinar matahari pagi yang menerobos melalui dedau-
nan pohon, membuat sepasang mata dara itu ter-
buka dan berkerjap-kerjap beberapa kali. 
"Hai! Hari telah menjelang siang rupanya...," seru 
dara itu tersentak bangkit dari tidurnya. Sepasang 
matanya yang bulat dan jernih itu kembali menger-
jap-ngerjap. Tampaknya, terpaan cahaya matahari 
pagi membuat pandangannya agak silau. 
Setelah pandangan matanya mulai terbiasa de-
ngan cahaya matahari pagi, ratapannya beredar ber-
keliling. Sepasang matanya yang indah itu terhenti 
pada sesosok tubuh berjubah putih. 
"Hm.... Sedaaap.... Harum sekali aroma sarapan 
kita yang kau buat pagi ini, Kakang," ujar dara jelita 
itu sambil melompat dan menghampiri sosok ber-
jubah putih itu. 
Begitu mendekati sosok yang ternyata seorang 
pemuda tampan itu, langsung saja dara jelita itu 
menyambar sebatang bambu yang masih berada di 
atas bara. Diambilnya ikan bakar sebesar telapak 
tangan. Dan.... 
"Heit, nanti dulu!" seru pemuda tampan itu sam-
bil menyambar ikan bakar di tangan sang dara. 
"Kau harus membersihkan tubuhmu dulu. Sete-
lah itu, baru kau boleh menikmati ikan bakar ini," 
ujar pemuda tampan itu mengingatkan 
"Ah, aku hampir lupa! Habis, bau ikan bakar ini 
benar-benar sedap. Tak aneh kan kalau perutku 
langsung berkeruyuk? Hi hi hi...," kilah gadis 
berpakaian serba hijau itu seraya tertawa manja. 
Setelah ikan bakar itu diletakkan kembali pada 
tempatnya, dara yang raut wajahnya sangat cantik 
itu bergegas bangkit. Lalu, ia berlari-lari kecil menuju sebuah aliran sungai yang aimya jernih dan 
sejuk. 
Tidak berapa lama kemudian, gadis itu pun telah 
kembali dengan wajah segar kemerahan. Kejelita-
annya tampak semakin nyata. Pemuda tampan yang 
tengah duduk menunggui ikan bakarnya, menoleh 
dan sepasang matanya langsung lekat pada wajah 
jelita itu. Sinar kekaguman terpancar jelas di wajah-
nya. 
"Kau semakin bertambah cantik saja, Kenanga...," 
puji pemuda tampan itu ketika dara jelita yang ber-
nama Kenanga duduk di sampingnya. 
"Ahhh...," desah dara itu manja. "Heran, belaka-
ngan ini Kakang pandai sekali merayu? Mulai genit 
ya…?" goda Kenanga mengulum senyumnya sambil 
mengerling nakal. 
Gadis cantik itu sama sekali tidak menyadari 
kalau tingkah lakunya semakin mempunyai daya 
pikat. 
"Hm.... Jadi, aku tidak boleh memuji kekasihku 
sendiri...?" ucap pemuda berjubah putih yang ter-
nyata Panji atau yang lebih dikenal berjuluk Pen-
dekar Naga Putih. 
Sambil bertanya demikian, tangan kanannya me-
lepaskan batang bambu yang digunakan untuk 
membakar ikan. Lalu tangannya terulur perlahan 
memeluk bahu Kenanga. Jelas, pemuda itu semakin 
terpesona dengan sikap gadis jelita itu. 
'Tentu saja boleh. Lagi pula kalau aku tidak can-
tik, mana mungkin Kakang akan suka kepadaku, 
betul kan...?" Ujar Kenanga yang tidak berusaha 
mengelak dari pelukan kekasihnya. Bahkan gadis 
jelita itu menyandarkan kepalanya ke dada Panji.

Pemuda berjubah putih itu tidak menyahut. Per-
lahan, diangkatnya wajah sang dara jelita. Lalu, di-
kecupnya bibir merah basah itu dengan penuh cinta 
dan kasih sayang. 
"Mmmhhh...." 
Kenanga bergumam lirih ketika merasakan getar-
getar kenikmatan yang menjalari sekujur tubuhnya. 
Dibalasnya ciuman mesra pemuda pujaannya itu 
dengan tidak kalah hangat Sehingga untuk bebe-
rapa saat, mereka pun terlena dan tenggelam dalam 
lautan asmara yang membuat lupa terhadap ikan 
bakar yang terpanggang di atas bara. 
Panji bergegas melepaskan ciumannya ketika bau 
sangit menyengat hidungnya. Kepalanya segera me-
noleh dan teringat akan ikan yang dibakarnya. 
"Ahhh...!" seru Panji terkejut melihat sebagian 
ikan bakarnya telah menghitam seperti arang. Cepat 
disambarnya ikan-ikan itu dari atas bara. 
"Hi hi hi...! Salah Kakang sendiri. Mengapa ikan-
ikan itu dilupakan...," goda Kenanga terkekeh lucu 
ketika melihat wajah kekasihnya yang tampak 
panik. 
"Hm.... Kalau saja kecantikanmu tidak menggo-
daku, belum tentu ikan ini akan hangus." Balas 
Panji tak mau kalah. 
"Ihhh, enak saja menyalahkan orang...," sergah 
Kenanga yang segera mengulurkan tangan, men-
cubit tubuh pemuda pujaannya. 
Namun, tangan Panji bergerak lebih cepat dan 
menangkap lengan halus itu. Lalu, ditariknya se-
hingga tubuh Kenanga kembali jatuh ke dalam pelu-
kan Pendekar Naga Putih. 
"Ayolah kita habiskan dulu ikan-ikan ini. Rasa-
nya lebih nikmat menyantap ikan yang masih hangat," ajak Panji seraya menyodorkan seekor ikan 
bakar kepada kekasihnya. 
Tanpa banyak bicara lagi, Kenanga pun segera 
menyantap ikan bakar pemberian Panji. Sesekali 
mata indahnya mengerling ke arah kekasihnya. Dari 
tarikan senyum di bibir Kenanga, jelas rasa ikan itu 
tidak mengecewakan. 
Suasana di sekitar tempat itu sangat sepi. Angin 
bertiup pelan membuat ikan bakar yang mereka 
santap semakin nikmat. 
*** 
"Sssttt...!" 
Panji merapatkan jari telunjuk ke bibirnya ketika 
melihat Kenanga hendak berbicara. Ditariknya tu-
buh gadis jelita itu ke balik gerombolan semak yang 
ada di belakang mereka. 
Kenanga yang semula ingin bertanya, terdiam 
ketika Panji menunjuk ke satu arah. Dara jelita itu 
baru mengerti, tampak dari kejauhan sesosok tubuh 
tegap tengah berlari terhuyung-huyung. Karena 
jarak antara mereka dengan sosok tubuh itu cukup 
jauh dan terhalang pepohonan, maka mereka tidak 
dapat mengenali secara jelas wajah sosok tubuh itu. 
"Mari kita bayangi dia. Menilik dari gerakannya, 
orang itu seperti tengah menderita luka," ujar Panji 
mengajak kekasihnya untuk membayangi sosok tu-
buh itu. 
Panji mengatur jarak agar tidak sampai terlihat, 
atau menimbulkan kecurigaan sosok tubuh itu. Se-
hingga mereka dapat membayangi dengan leluasa 
tanpa khawatir diketahui.


Sedangkan sosok tubuh tegap yang terkadang 
membungkuk dan terbatuk ttu, terus melesat keluar 
hutan. Menilik dari caranya berlari, jelas sosok tu-
buh itu bukanlah orang sembarangan. Meskipun 
agak tertatih-tatih, namun ayunan langkah kakinya 
terlihat ringan dan mantap. Pertanda sosok tubuh 
tegap itu memiliki ilmu lari yang cukup Bnggi. 
Tidak berapa lama kemudian, sosok tubuh itu 
tiba di kaki sebuah bukit yang nampak subur. Lang-
kahnya baru terhenti ketika ia sampai di depan se-
buah pintu gerbang yang terbuat dari susunan 
kayu-kayu bulat. 
"Buka pintu...! Aku, Wiranta hendak bertemu 
dengan Paman Janar Pari...!" 
Sosok tubuh tegap yang ternyata Wiranta itu, 
berteriak ketika dari sebuah pos jaga tampak se-
buah kepala dan menjenguk ke bawah. 
Mendengar teriakan Wiranta, kepala manusia 
yang menjenguk itu menghilang. Tak berapa lama 
kemudian, pintu gerbang berderit dan terbuka se-
dikit. 
"Silakan, Tuan Muda Wiranta...," ujar lelaki ber-
kumis tipis yang merupakan penjaga pintu gerbang 
Perguruan Perisai Besi itu. 
Tanpa rasa curiga sedikit pun, Wiranta bergegas 
melangkahkan kakinya memasuki pintu gerbang. 
Sekejap kemudian, tubuh pemuda itu lenyap se-
iring tertutupnya pintu gerbang. 
Panji dan Kenanga yang berada belasan tombak 
dari bangunan perguruan itu, saling berpandangan 
satu sama lain. Seperti telah mendapat kata sepa-
kat, keduanya pun menunggu hingga beberapa saat 
lamanya.
Setelah cukup lama menunggu, bangunan itu te-
tap saja bisu dan sunyi. Pintu gerbang perguruan 
itu tetap tertutup rapat. Sehingga pasangan pende-
kar muda itu bergegas bangkit, dan keluar dari tem-
pat persembunyiannya. 
"Kelihatannya tidak ada sesuatu di bangunan 
perguruan itu, Kakang," ucap Kenanga memandang 
Panji seperti meminta persetujuan. 
"Yah..., aku kira mungkin begitu. Ayo, kita pergi 
dari tempat ini! Jangan-jangan malah kita yang di-
curigai mereka," ujar Panji sambil mengajak Kena-
nga meninggalkan tempat itu. 
Sementara, di dalam bangunan Perguruan Perisai 
Besi, Wiranta tengah berhadapan dengan seorang 
lelaki berusia sekiiar lima puluh tahun lebih. Saat 
itu mereka tengah berada di dalam ruang tengah ba-
ngunan utama Perguruan Perisai Besi. 
"Sabarlah, Tuan Muda. Kita tidak boleh tergesa-
gesa menarik kesimpulan. Apalagi Tuan Muda telah 
meninggalkan perguruan selama tiga tahun. Jadi, 
semua dugaanmu belum tentu benar," ujar lelaki 
bertubuh gemuk itu dengan suara dalam. Rupanya 
ia tidak mau menerima begitu saja mengenai semua 
hal yang dipaparkan pemuda itu. 
"Tapi, Paman Danar Pari. Orang-orang itu telah 
membunuh Paman Losarang. Bahkan aku sempat 
mendengar ucapan lelaki botak bersenjatakan cam-
buk berduri. Dan, lelaki itu pula yang menyebabkan 
aku terluka seperti ini. Apakah dengan semua bukti-
bukti itu Paman masih juga belum mau percaya? 
Hm.... Kalau saja aku bisa bertemu dengan Paman 
Wilangga, tentu semua persoalan ini segera diberes-
kannya, tanpa perlu membuang-buang waktu. Sa-
yang adik ayahku telah pergi merantau lima tahun

yang silam. Kalau tidak, tentu ia dapat membantuku 
menyelidiki keadaan ayah," ujar Wiranta sambil ber-
gerak bangkit dari kursinya. 
Sementara Ki Janar Pari sama sekali tidak ber-
gerak, hanya sepasang matanya mengikuti gerak-
gerik Wiranta. Tak sepatah kata pun yang keluar 
dari mulut lelaki tua itu. Seolah-olah ia tidak peduli 
dengan kegelisahan Wiranta yang mondar-mandir di 
depannya berkali-kali. 
Ki Janar Pari tersentak kaget tatkala tubuh 
Wiranta berbalik mendadak. Sepasang mata pemuda 
itu nampak berkilat menghunjam bola mata Ketua 
Perguruan Perisai Besi wilayah Utara. Perguruan itu 
merupakan cabang dari Perguruan Perisai Besi yang 
terletak di dekat Desa Taking. 
"Paman, masih setiakah kau kepada ayahku...?" 
tiba-tiba saja Wiranta melontarkan pertanyaan itu 
dengan nada tajam dan menuntut jawaban sejujur-
nya. 
Ki Janar Pari tidak segera menjawab pertanyaan 
tajam itu. Meski lelaki tua itu berusaha untuk tetap 
terlihat tenang, namun jelas hatinya sangat terkejut 
mendengar pertanyaan itu. Sehingga lelaki tua itu 
membisu tanpa kata. Setelah ia yakin sudah mampu 
menguasai dirinya kembali, sepasang matanya me-
natap pemuda yang berdiri sekitar satu tombak 
dihadapannya. 
"Apa maksud ucapanmu itu, Wiranta?" Tanya Ki 
Janar Pari sambil bergerak bangkit dari kursinya. 
Sambil berkata demikian, pandangan mata pe-
muda itu ditentangnya dengan berani. Padahal, Ki 
Janar Pari tidak patut berlaku demikian. Mengingat 
pemuda itu merupakan putra pendiri Perguruan Pe-
risai Besi yang seharusnya dihormati. Apalagi Wiranta merupakan putra tunggal yang kelak akan 
menggantikan ayahnya memimpin perguruan itu 
secara keseluruhan. Dan, itu diketahui jelas oleh 
ketua cabang wilayah Utara. 
Wiranta sempat melenggak mendengar ucapan Ki 
Janar Pari. Terbetik rasa kecurigaan di hatinya me-
lihat sikap orang tua yang telah diberi keeperca-
yaan oleh ayahnya itu. Diam-diam pemuda itu mulai 
merasa khawatir ketika terlintas berbagai dugaan di 
benaknya. Sebab, tidak biasanya Ki Janar Pati me-
lontarkan ucapan bernada keras kepadanya. Tentu 
saja hal itu membuat kening Wiranta berkerut. 
"Paman belum menjawab pertanyaanku, menga-
pa?" balas Wiranta yang kemarahannya bangkit 
melihat sikap bawahan ayahnya itu. 
"Kalau kau memang sangat menginginkan jawa-
ban atas pertanyaanmu, baiklah!" ujar Ki Janar Pari 
dengan nada geram. Melihat dari sikapnya, jelas 
kalau Ki Janar Pati sama sekali tidak memandang 
sebelah mata kepada Wiranta. 
Belum sempat Wiranta berpikir lebih jauh ten-
tang sikap aneh yang ditunjukkan Ki Janar Pari, ter-
dengar orang tua itu bertepuk tangan sebanyak tiga 
kali. 
Sesaat kemudian belasan sosok tubuh berkele-
batan dan langsung mengurung Wiranta. Senjata 
belasan murid Perguruan Perisai Besi yang telan-
jang itu, tampak berkeredepan menyilaukan mata. 
"Apa maksud semua ini, Paman...?" seru Wiranta 
terkejut. Hatinya berdebar keras dan otot syarafnya 
menegang. 
"Artinya, kau harus ditenyapkan dari muka bumi 
ini, Bocah Sombong! Dengan begitu, kau baru bisa

menemui arwah ayahmu di akhirat sana," ujar Ki 
Janar Pari seraya terbahak-bahak berkepanjangan. 
"Kau... kau...." 
Wiranta tak mampu untuk meneruskan ucapan-
nya. Harinya benar-benar terpukul melihat Kenya-
taan itu. Jelas, lelaki tua kepercayaan ayahnya ini 
telah berkhianat dan berpihak dengan orang lain. 
"Ahhh, kenapa Paman sampai tega mengkhianati 
ayah? Apa yang dijanjikan orang-orang jahat itu 
kepada Paman?" Tanya Wiranta sambil terhuyung 
mundur karena tidak kuat menerima kenyataan 
pahit yang terbentang didepan matanya. 
Harinya geram melihat pengkhianatan orang yang 
telah bertahun-tahun dididik ayahnya itu. Tapi, 
orang itu ternyata membalas keluhuran budi ayah-
nya dengan sebuah pengkhianatan keji. 
"Sudah! Tidak perlu banyak cakap! Anak-anak, 
ayo selesaikan bocah itu!" perintah Ki Janar Pari 
dengan suara menggelegar. Jelas hati orang tua itu 
memang telah menyeleweng. Sehingga ucapan-uca-
pan yang dilontarkan Wiranta semakin menimbul-
kan api kemarahan di hati lelaki tua itu. 
Wiranta masih belum bisa mempercayai semua 
kenyataan didepan matanya. Sejenak pemuda itu 
terpaku bagaikan patung. Raut wajahnya tampak 
berkerut-kerut seperti tengah berusaha menekan 
pen-deritaan hebat yang mengguncang jiwanya. 
***

TIGA.


"Heaaat..!" 
Suara teriakan nyaring itu membuat Wiranta 
tersentak dari lamunannya. Sadar kalau dirinya 
tengah terancam bahaya maut, maka pemuda itu 
pun nekat melakukan perlawanan terhadap orang-
orang yang telah mengkhianati ayahnya. 
Sambaran senjata orang pertama yang menye-
rangnya, dikelitkan Wiranta dengan egosan tubuh 
ke kiri. Berbarengan dengan itu, tangannya lang-
sung menyambar senjata lawan. Sedangkan pemilik-
nya jatuh telentang terkena sebuah hantaman keras 
pada alat vitalnya yang dikerahkan dengan tenaga 
dalam. Akibatnya tubuh penyerang itu langsung 
menggeloso tewas. 
Bagaikan seekor singa luka, Wiranta mengamuk 
hebat dengan pedang di tangannya. Senjata itu ber-
kelebatan membentuk kilatan sinar yang membawa 
maut Setiap kali pedang itu berkelebat, selalu ada 
tubuh lawan terkapar tewas. Dalam waktu singkat, 
senjata pemuda itu telah roerobohkan tujuh orang 
pengeroyoknya. 
Amukan Wiranta temyata membuat lawannya 
yang lain menjadi gentar. Terbukti serangan-sera-
ngan mereka semakin mengendor. Kalaupun mereka 
melancarkan serangan, selalu diiringi dengan lom-
patan mundur. Sebab senjata pemuda itu senan-
tiasa berkelebat menyongsong serangan lawannya. 
Akibatnya kepungan terhadap pemuda itu semakin 
longgar. 
"Bangsat!"

Ki Janar Pari yang melihat belasan anak buah-
nya tidak berdaya menghadapi amukan pemuda itu, 
melompat ke tengah arena pertempuran sambil me-
maki kalap. 
"Heaaah...!" 
Dibarengi sebuah bentakan keras, pedang di ta-
ngan Ki Janar Pari berdesingan membentuk gulu-
ngan sinar yang bergerak turun-naik seperti ombak 
di laut lepas. 
Melihat serangan dahsyat itu, Wiranta bergegas 
melompat mundur sejauh satu tombak. Begitu 
kedua kakinya menjejak tanah, cepat tubuhnya di-
bungkukkan seraya ujung pedang menuding langit. 
Sedangkan tangan kirinya dengan jari-jari terbuka 
dan berada didepan wajahnya yang tertunduk seper-
ti menekuri tanah. Itulah jurus pembuka dari Ilmu 
Pedang Kera Siluman'. 
"Heaaat...!" 
Tepat ketika serangan pedang Ki Janar Pari me-
luncur datang, Wiranta mengibaskan senjatanya 
membentuk lingkaran. Gerakan itu dilakukan sam-
bil tubuhnya membungkuk dengan kuda-kuda 
sangat rendah. Sehingga, secara sepintas gerakan 
pemuda itu seperti seekor kera yang ketakutan. 
Namun, akibatnya sungguh luar biasa sekali! 
Sambaran pedang lawan yang meluncur ke dada-
nya, terpental karena tangkisan keras yang dilancar-
kan pemuda itu. Bahkan, gerakan pedang di tangan 
Wiranta masih dilanjutkan dengan putaran balik 
dari bawah ke atas. Kecepatan gerak serangan bala-
sannya, sangat mengejutkan dan sama sekali tidak 
diduga lawannya. 
Wuttt..! 
"Aih...!"


Ki Janar Pari berseru tertahan dengan wajah 
agak memucat Cepat tubuhnya dilempar ke bela-
kang, dan langsung berjumpalitan beberapa kali di 
udara. 
Serangan pedang Wiranta temyata tidak hanya 
berhenti di situ saja. Terbukti saat tubuh Ki Janar 
Pari sedang berada di udara, pemuda itu ikut pula 
melesat disertai putaran senjatanya yang menim-
bulkan desingan hebat. 
Karuan saja Ki Janar Pari yang saat itu masih 
mengapung di udara menjadi terkejut setengah 
mati! Sama sekali tidak disangkanya kalau majikan 
muda yang dikhianatinya itu memiliki kepandaian 
yang demikian hebat. Sehingga, dalam beberapa ge-
brakan saja, ia nyaris celaka di tangan pemuda itu. 
Sadar untuk mengelak sudah tidak mungkin, 
maka Ki Janar Pari memapaki serangan lawannya 
dengan ayunan pedang melingkar bersilangan. 
Trang! Trang! 
"Aih...!" 
Bunga api berpijar ketika dua senjata yang sama-
sama digerakkan tenaga dalam itu saling berbentu-
ran keras. 
Ki Janar Pari yang posisinya memang lebih lemah 
dibandingkan lawannya, memekik tertahan. Tubuh 
lelaki gemuk itu terpental ke belakang hingga satu 
setengah tombak jauhnya. Untung ia masih sempat 
menyelamatkan tubuhnya sehingga tidak terbanting 
di tanah. Setelah melakukan dua kali putaran salto 
di udara, lelaki tua itu mendaratkan sepasang kaki-
nya ke tanah dengan ringan dan mantap. 
"Gila...! Tidak kusangka kepandaian bocah kepa-
rat itu sudah maju demikian pesat!" umpat Ki Janar Pari sambil mengusap peluh dingin yang meni-
tik di keningnya. 
"Kau tidak apa-apa, Kakang...?" Tanya salah 
seorang lelaki anggota Perguruan Perisai Besi yang 
berdua rekannya menghampiri Ki Janar Pari. 
Melihat dari caranya menghadapi lelaki tua itu, jelas 
kedua orang itu bukan anggota biasa. 
'Tidak, Adi Ringgit. Aku baik-baik saja," ujar Ki 
Janar Pari tanpa menoleh kepada orang yang di-
panggil dengan nama Ringgit itu. 
"Rasanya kita harus bersama-sama meringkus 
pemuda sombong itu, Kakang," usul Sunggara, sete-
ngah berbisik. 
Kecemasan tergambar jelas pada wajah yang 
keras dan berkumis tebal itu. Karena la sempat 
menyaksikan Ki Janar Pari didesak habis-habisan 
oleh Wiranta. 
"Hm.... Kukira memang sebaiknya begitu, Adi 
Sunggara. Kepandaian bocah itu benar-benar telah 
maju pesat, setelah dibimbing oleh Pendekar Kera 
Siluman. Hhh.... Tidak kusangka...," gumam Ki 
Janar Pari sambil menggeleng kagum. 
Setelah mendapat persetujuan Ki Janar Pari, 
kedua orang yang memang merupakan pembantu 
utamanya itu, bergegas mencabut pedang masing-
masing. Kemudian, ketiga tokoh utama Perguruan 
Perisai Besi wilayah Utara itu pun bergerak me-
nyebar mengurung Wiranta. 
Berdebar hati Wiranta ketika melihat ketiga orang 
tokoh utama itu maju secara berbarengan. Sadar 
untuk menghadapi keroyokan ketiga orang itu ia 
tidak mungkin unggul. Maka, pemuda itu memutus-
kan untuk membawa salah satu atau dua di antara

mereka sebagai penebus, jika ia sampai tewas di 
tangan para pengkhianat ayahnya itu. 
Namun, sebelum keempat orang itu saling ge-
brak, tiba-tiba terdengar sebuah seruan yang mem-
buat jantung mereka berdebar keras. 
"Tahan...!" 
Serentak keempat orang yang siap bertarung itu 
menolehkan kepalanya ke arah asal suara yang 
sangat berpengaruh itu. 
*** 
"Guru...!" 
Wiranta berseru dengan dada serasa sesak mena-
han keharuan. Tanpa mempedulikan ketiga lawan-
nya, pemuda itu berlari menyambut kedatangan 
lelaki gagah berusia lima puluh tahun dan berambut 
putih riap-riapan. Lelaki itu tampak berdiri tegak 
menanti Wiranta. 
"Guru.... Ahhh, syukurlah kau datang tepat pada 
waktunya Kalau tidak, niscaya aku sudah tewas di 
tangan para pengkhianat itu. Mereka... mereka telah 
mengkhianati ayah, Guru. Entah siapa yang telah 
menghasut dan meracuni pikiran mereka," ungkap 
Wiranta. 
Kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulut 
Wiranta. Sepertinya pemuda itu ingin menumpah-
kan semua apa yang mengganjal hatinya kepada 
lelaki tua itu. 
"Wiranta, Muridku. Kau pergilah lebih dulu. Saat 
ini lawan-lawan kita terlalu kuat. Aku akan menco-
ba untuk menghalau mereka. Setelah itu, aku akan 
menyusulmu ke Lembah Siluman. Tunggulah aku di 
Sana. Dan, jangan coba-coba kau melakukan tindakan bodoh!" Pesan Pendekar Kera Siluman yang 
telah mendidik Wiranta selama tiga tahun itu. 
Tanpa menunggu jawaban dari muridnya, Pen-
dekar Kera Siluman melangkah lebar menghampiri 
ketiga tokoh utama Perguruan Perisai Besi wilayah 
Utara. 
'Tapi, bagaimana dengan ayah, ibu dan adikku, 
Guru? Mereka… Apakah sudah tewas?" Tanya Wi-
ranta yang masih penasaran. 
Pemuda itu mengejar gurunya. Dijajarinya lang-
kah lelaki setengah baya yang masih gagah itu. Se-
pasang matanya menyapu wajah sang Guru, la ber-
harap jawaban dari gurunya atas pertanyaan yang 
mengusik pikirannya. 
"Wiranta. Sudah kukatakan, kita menghadapi 
musuh yang sangat kuat. Bukan ketiga orang ini 
yang kutakuti. Tapi, orang yang menghasut mereka 
yang aku khawafirkan. Kalau sampai orang itu 
muncul, sukar bagi kita untuk menyelamatkan diri. 
Mengenai keluargamu, kita selidiki belakangan. 
Nah, pergilah sekarang!" ujar Pendekar Kera Silu-
man dengan nada hampir berbisik. 
Meskipun hatinya masih merasa berat, Wiranta 
terpaksa mengikuti perintah gurunya. Beberapa 
orang murid perguruan yang hendak mencegahnya, 
langsung dibabat habis oleh pemuda itu. Kemeng-
kalan dan kekalutan hatinya, membuat ia berubah 
bagaikan iblis haus darah. Sehingga, tidak ada seo-
rang pun yang berani mencegah kepergiannya, sete-
lah belasan orang dari mereka tewas terbabat 
pedang Wiranta. 
Sebelum melesat meninggalkan bangunan Pergu-
ruan Perisai Besi, Wiranta sempat menoleh ke arah 
pertarungan yang berlangsung antara gurunya dengan tiga orang tokoh utama perguruan itu. Melihat 
gurunya dapat mendesak ketiga orang lawannya, 
lega hati pemuda itu. Kemudian tubuhnya lenyap di 
balik pintu gerbang. 
Setibanya di luar bangunan, Wiranta langsung 
melesat mengerahkan ilmu lari cepatnya. Sesaat 
kemudian, sosok tubuhnya berkelebat cepat, sehing-
ga yang tampak hanya bayang-bayang samar. Lalu, 
lenyap di balik pepohonan. 
Sementara itu, pertarungan yang berlangsung 
antara Pendekar Kera Siluman dan tiga orang tokoh 
utama Perguruan Perisai Besi, masih berlangsung 
sengit. 
"Heaaat...!" 
Ki Janar Pari benar-benar penasaran dengan ke-
hebatan lawannya. Meski ia bersama kedua orang 
pembantunya telah berusaha mendesak, namun 
tetap saja keadaan tidak berubah. 
Wuuut..! 
Teriakan Ki Janar Pari yang disertai sambaran 
pedangnya, dielakkan Pendekar Kera Siluman de-
ngan menarik mundur tubuhnya ke samping. Ber-
barengan dengan itu, sebuah tendangan yang dilon-
tarkan lawan di sebelah kanannya, sekaligus dihin-
darkan. Begitu kedua serangan lawannya luput, 
lelaki setengah baya itu langsung mengirimkan sera-
ngan balasan yang cepat dan tak terduga datang-
nya. 
Bukkk! Desss...! 
"Akh...!" 
"Hugkh...!" 
Tubuh Janar Pari dan Sunggara langsung ter-
pelanting keras akibat pukulan dan tendangan yang 
telak menghantam dada dan lambung mereka.


Ringgit yang melihat kedua kawannya terkena 
hantaman lawan, cepat melompat dan membabat-
kan pedangnya dengan gerakan mendatar. 
Swing...! 
Terdengar suara berdesing nyaring ketika pedang 
di tangan Ringgit berkelebat mengancam Pendekar 
Kera Siluman. 
Untuk dapat melukai pendekar seperti lelaki be-
rambut putih riap-riapan itu, tentu saja bukan hal 
yang mudah. Meskipun sambaran pedang Ringgit 
bergerak cepat dan berbahaya, ternyata dengan 
mudah dapat diatasi Pendekar Kera Siluman. 
Mata pedang lawan yang tajam lewat beberapa 
jengkal didepan tubuhnya, ketika pendekar itu me-
narik tubuh ke belakang dengan kuda-kuda ren-
dah. Begitu sambaran senjata lawan luput, tubuh-
nya langsung bergerak maju diiringi sebuah tenda-
ngan kilat. 
Plakkk...! 
Ringgit yang merasa tidak sempat lagi mengelak, 
segera menepiskan tendangan itu dengan telapak 
tangan kirinya. Akibatnya, tubuh lelaki kurus ber-
usia sekitar empat puluh tahun itu, hampir terpe-
lanting kalau ia tidak cepat menguasai dirinya. 
Belum sempat Ringgit memperbaiki posisinya 
yang masih dalam keadaan terhuyung, terdengar 
suara menderu yang ditimbulkan hantaman telapak 
tangan Pendekar Kera Siluman. 
Bugkh...! 
"Hugkh...!" 
Gedoran telapak tangan yang mengandung ke-
kuatan tenaga dalam itu, menghantam telak dada 
Ringgit. Untung lelaki itu masih sempat memiring-
kan tubuh saat telapak tangan lawan menghajar
tubuhnya. Meskipun begitu, ia tetap terpelanting 
sejauh satu setengah tombak. Namun, luka yang 
dideritanya tidak terlalu parah. 
Setelah lawan terakhirnya dapat dibuat terpen-
tal, Pendekar Kera Siluman langsung melesat me-
ninggalkan lawan-lawannya. Kemudian tubuh lelaki 
tegap itu lenyap di balik pagar kayu tebal yang me-
ngelilingi bangunan perguruan itu. 
Anehnya, Ki Janar Pari dan kedua orang pem-
bantunya sama sekali tidak berusaha mengejar. 
Sepertinya mereka merasa gentar menghadapi pen-
dekar itu. Kepandaian yang dimilikinya memang 
jauh lebih tinggi dari mereka. Terbukti ketiga tokoh 
utama Perguruan Perisai Besi itu tak mampu 
merobohkannya, setelah bertarung lebih dari enam 
puluh jurus. 
"Apa yang harus kita lakukan selanjutnya, Ka 
kang?" Tanya Ringgit sambil tetap memandang ke 
arah lenyapnya tubuh Pendekar Kera Siluman. 
"Kita tunggu saja perintah dari ketua...," sahut Ki 
Janar Pati singkat. Kemudian, lelaki setengah baya 
itu membalikkan tubuhnya. Dan, lenyap di balik 
pintu bangunan utama perguruan itu. 
Ringgit dan Sunggara saling berpandangan seje-
nak. Setelah memerintahkan murid-muridnya untuk 
membersihkan bekas-bekas pertempuran, kedua 
pembantu utama Ki Janar Pari bergegas meninggal-
kan tempat itu. 
*** 
Pemuda berusia sekitar tujuh belas tahun itu 
duduk termenung di atas sebuah batu besar. Tata-
pan matanya tampak kosong. Sesekali terdengar

helaan napasnya yang berat dan panjang. Jelas 
hatinya dilanda keresahan yang hebat. 
Meskipun pemuda itu terlihat tengah tenggelam 
dalam arus pikirannya, namun pendengarannya te-
tap dipasang. Telinganya menangkap gerak langkah 
ringan mendatangi tempat itu, cepat tubuhnya me-
lesat dan lenyap di balik semak-semak yang rimbun. 
Sepasang mata pemuda yang temyata memang 
Wiranta itu menatap tajam ke arah jalan setapak 
yang merupakan satu-satunya jalan untuk mema-
suki Lembah Siluman. Wajahnya yang semula ter-
lihat menegang, mendadak berseru ketika ia menge-
nali orang yang memasuki lembah itu. 
"Guru...!" Panggil Wiranta sambil berlari menyam-
but kedatangan lelaki gagah yang usianya sudah 
lebih dari lima puluh tahun itu. 
Namun, lelaki itu tak ubahnya seperti seorang 
lelaki muda berusia dua puluh tahunan. Bahkan 
wajahnya yang terlindung rambut putih itu terlihat 
bersih dan nampak segar. Hanya saja sepasang ma-
ta yang biasanya terlihat tajam dan menimbulkan 
rasa segan itu, kini nampak kuyu seperti tidak me-
miliki sinar kehidupan. 
"Guru..., kau... kau baik-baik saja...?" Tanya Wi-
ranta heran setelah menangkap sinar mata orang 
tua itu. 
"Tidak ada apa-apa, Wiranta. Aku baik-baik saja. 
Memang ada rasa lelah setelah menempuh perjala-
nan yang cukup jauh. Maklumlah aku sudah lama 
tidak melakukan perjalanan jauh," ujar Pendekar 
Kera Siluman sambil terus melangkah menuju ke 
sebuah bangunan, yang terletak di sebelah Timur 
lembah itu.

"Wiranta, tahukah kau, apa penyebab kejadian 
yang menimpa perguruan ayahmu...?" Tanya Pen-
dekar Kera Siluman saat keduanya melangkah ber-
sisian menuju bangunan besar itu. 
"Entahlah, Guru. Tapi, rasanya ayah tidak per-
nah bercerita kalau beliau mempunyai musuh. 
Mmm.... Mungkin itu terjadi sehubungan dengan 
kemajuan Perguruan Perisai Besi yang dipimpin 
ayah. Sebab, sampai saat ini, perguruan yang mem-
punyai cabang di beberapa tempat, rasanya dapat 
dihitung dengan jari. Jadi, mungkin saja ada seo-
rang tokoh yang merasa iri. Kemudian, ia meng-
hasut atau memberikan janji-janji manis kepada 
para pengikut ayah. Dan, usaha orang itu tampak-
nya berhasil. Kalau melihat perguruan cabang Utara 
yang telah dikuasai mereka, bukan mustahil kedua 
cabang lainnya telah pula mereka tundukkan," ujar 
Wiranta dengan nada geram. 
Tatapan mata pemuda itu berubah menyiratkan 
rasa penasaran bercampur dendam. Karena ia sama 
sekali belum mengetahui secara jelas nasib ayah, 
ibu dan adik perempuannya. 
"Hm.... Pernahkah ayahmu menceritakan sesuatu 
yang bersifat rahasia kepadamu?" Tanya Pendekar 
Kera Siluman, tetap tanpa menoleh. Pandangan 
matanya lurus kedepan tanpa sekali pun berpaling. 
"Maksud, Guru...?" 
"Yahhh..., adakah sesuatu rahasia yang pernah 
diceritakan ayahmu? Misalnya, sebuah benda mus-
tika atau sejenis surat yang menurut ayahmu 
sangat penting artinya bagi keluarga kalian," ucap 
Pendekar Kera Siluman menerangkan lebih jelas 
maksud pertanyaannya.

Pertanyaan gurunya tidak segera dijawab oleh 
Wiranta. Pemuda itu malah termenung dengan 
kening berkerut dalam. Jelas, ia tengah menguras 
ingatannya mengenai apa-apa yang berhubungan 
dengan pertanyaan gurunya. 
"Ingat-ingatlah! Sebab, hal itu merupakan kunci 
dari semua peristiwa pahit yang menimpa keluarga-
mu," ujar Pendekar Kera Siluman mengingatkan. 
"Kurasa tidak ada, Guru. Baik benda mustika 
maupun sejenis surat pusaka. Keduanya tidak per-
nah kudengar dari ayah. Aku yakin kedua benda itu 
tidak pernah dimilikinya. Kecuali, sebatang pedang 
ampuh yang telah mengangkat namanya dalam du-
nia persilatan. Hanya itu saja, Guru," jawab Wiranta 
menuturkan dugaannya. 
"Hm.... Kalau pedang itu, aku pun telah lama 
mengetahuinya," ucap Pendekar Kera Siluman ber-
desah kecewa. 
"Tidak salah lagi, Guru. Kurasa manusia laknat 
yang menguasai perguruan itu adalah orang yang 
merasa iri dan gila akan ketenaran. Melihat betapa 
perguruan ayahku semakin maju, ia pun berusaha 
untuk merebutnya," ujar Wiranta lagi dengan nada 
suara yang tegas dan yakin. 
"Bisa juga begitu. Tapi, aku yakin ada sesuatu 
penyebab lain timbulnya peristiwa itu," ungkap Pen-
dekar Kera Siluman seraya menghela napas pan-
jang. 
Kemudian, mereka melanjutkan perjalanan tanpa 
berkata-kata lagi. Keduanya membisu. Baik Wiranta 
maupun Pendekar Kera Siluman tenggelam dengan 
pikirannya masing-masing. 
***

EMPAT

"Lepaskan aku, Praja...! Kurang ajar kau...!" ben-
tak seorang gadis cantik sambil meronta dan ber-
usaha membebaskan dirinya dari pelukan seorang 
lelaki muda berwajah beringas. 
Begitu dirinya terbebas dari dekapan lelaki yang 
hendak berbuat kurang ajar terhadapnya, tangan 
gadis cantik itu langsung melayangkan sebuah tam-
paran keras. 
Wuuut...! 
Namun, lelaki muda yang dipanggil Praja itu ter-
nyata mampu bergerak cepat. Dengan menarik 
mundur tubuhnya ke belakang, maka tamparan 
gadis cantik itu pun luput. 
"Hm... mengapa kau malah menyerangku, Milani? 
Sadarkah kau bahwa aku harus mempertaruhkan 
nyawa untuk menyelamatkan dirimu dari cengkera-
man orang-orang berhati busuk itu? Dasar kau 
tidak tahu berterima kasih!" maki Praja dengan se-
ngit. Wajahnya tampak semakin merah karena ter-
bakar nafsu iblis yang membuatnya menjadi gelap 
mata. 
"Setan kau, Praja! Beginikah caramu memperla-
kukan aku? Kau kira setelah berhasil menyelamat-
kan aku, lalu kau dapat memperlakukan diriku se-
enaknya? Huh! Kalau saja ayahku rnasih hidup dan 
melihat kekurangajaranmu. ini, tentu kau akan di-
lumatnya habis-habisan! Dasar manusia tidak tahu 
diuntung! Bertahun-tahun ayahku mendidikmu dan 
memperbolehkanmu tinggal di Perguruan Perisai 
Besi, tak tahunya kau hanyalah manusia kotor yang

tidak bedanya dengan Topeng Setan dan para be-
gundalnya!" umpat gadis cantik yang ternyata ber-
nama Milani. Jelas, ia benar-benar marah sekali 
dengan pemuda yang usianya sekitar dua puluh 
tahun lebih itu. 
"Hm.... Kau memang perempuan yang tidak mem-
punyai perasaan! Rasa cinta yang selalu kutunjuk-
kan melalui pandangan mata maupun sikapku se-
lama ini, hanya kau anggap sampah! Tidak patutkah 
diriku sebagai murid ayahmu untuk jatuh cinta ke-
padamu? Salahkah kalau aku tergila-gila kepada-
mu? Tapi, kau selalu menganggapku sebagai kacung 
hina yang hanya pantas untuk diperintah! Kesom-
bonganmu itulah yang membuat aku merasa sakit 
hati. Maka, ketika kesempatan terbuka lebar, aku 
tidak menyia-nyiakannya. Katakanlah bahwa kau 
pun mencintai aku, Milani. Dan, marilah kita pergi 
mencari tempat sunyi yang jauh dari segala kebusu-
kan dunia. Aku berjanji akan menyayangimu sam-
pai mati...," ucapan yang se-mula keras dan berapi-
api, berubah dengan kata-kata membujuk. Bahkan, 
ketika Praja mengucap-kan kata-kata terakhir, tam-
pak sepasang matanya memandang sayu ke arah 
Milani. 
Ungkapan perasaan pemuda itu tentu saja mem-
buat wajah Milani menjadi pucat. Ia benar-benar 
tidak menyangka sama sekali kalau pemuda yang 
menjadi salah seorang murid utama ayahnya itu, 
ternyata mencintainya sampai sedemikian parah. 
Padahal, sikap baik dan penuh perhatian Praja se-
lama ini, ditanggapinya sebagai sikap seorang saha-
bat. Meskipun ucapan pemuda itu sempat menyen-
tuh perasaannya. Tetapi sikap kurang ajar Praja 
telah membuat Milani merasa muak.

"Hm.... Jadi begitukah sifat seorang lelaki bila 
mencintai wanita? Berusaha menodainya justru 
pada saat wanita itu ditimpa kemalangan. Itukah 
bukti kau sangat menyayangi dan mencintaiku, 
Praja...?" ucap Milani sambil bertolak pinggang dan 
menatap pemuda itu dengan wajah sinis. Dari sinar 
berkilat yang memancar di mata gadis itu, dapat 
ditebak kalau ia benar-benar tidak bisa menerima 
perlakuan pemuda itu. 
"Maafkan aku, Milani. Aku benar-benar khilaf. 
Rasanya..., aku tidak dapat hidup tanpa dirimu...," 
sahut Praja dengan wajah memerah. Sepertinya ia 
benar-benar merasa menyesal atas kelakuannya 
yang tidak senonoh terhadap Milani. 
Sambil menatap sayu ke arah wajah gadis yang 
dirindukannya siang malam itu, Praja melangkah 
dan menjatuhkan dirinya, berlutut di bawah kaki 
Milani. Demikian hebatnya racun asmara yang 
menggerogoti hati pemuda itu. Dengan tanpa me-
rasa malu lagi ia rela merendahkan dirinya berlutut 
di hadapan gadis itu. Jelas, Milani telah membuat 
Praja tergila-gila. 
"Baiklah. Aku maafkan kekhilafanmu itu. Seka-
rang pergilah dan tinggalkan aku sendiri," dingin 
dan tegas jawaban yang keluar dari bibir gadis 
cantik itu. Rupanya kemarahan hati Milani sirna 
melihat sikap Praja yang sangat menyesali perbuat-
annya. 
"Ah, tidak! Aku tidak akan membiarkanmu pergi 
seorang diri, Milani! Marilah kita pergi bersama. Aku 
berjanji tidak akan melakukan kesalahan itu untuk 
kedua kalinya," seru Praja sambil melompat bangkit 
dan menatap Milani penuh permohonan. Jelas, pemuda itu tidak ingin membiarkan Milani pergi dari 
sisinya. 
"Sudahlah, Praja. Lupakan persoalan di antara 
kita. Pergilah. Masih banyak urusan yang harus ku-
selesaikan," kilah Milani mempertahankan ucapan-
nya. Melihat dari sikapnya, jelas keputusan gadis 
cantik itu tidak bisa ditawar-tawar lagi. 
Mendengar ucapan itu, gemetar seluruh tubuh 
Praja. Sepasang mata yang semula menatap sayu 
dan penuh harap itu, berkilat marah. Bahkan, 
wajahnya pun kembali berubah bengis. 
"Tidak mungkin!" teriak pemuda itu dengan suara 
keras dan lantang, sehingga menyelusup sampai 
beberapa belas tombak jauhnya. "Tidak! Kau tidak 
boleh pergi meninggalkan aku! Kau harus ikut ke 
mana aku pergi, Milani!" Lanjut Praja dengan suara 
bergetar karena terbawa perasaan kecewanya. 
Melihat dari sikap dan kata-katanya, Praja hendak 
memaksakan kemauannya terhadap gadis itu. 
Milani yang semula akan membantah, cepat me-
lompat ke samping ketika melihat Praja sudah kem-
bali menerjangnya. Lalu, gadis cantik itu melempar 
tubuhnya ke belakang, dan langsung melakukan 
beberapa kali putaran salto di udara. 
"Hentikan, Praja!" bentak Milani begitu kedua 
kakinya menginjak tanah. "Kalau kau masih tetap 
memaksa, jangan salahkan aku jika bertindak kasar 
terhadapmu!" Ancam Milani sambil memasang 
kuda-kuda. Melihat dari sikap dan wajahnya, jelas 
kalau ancaman gadis cantik itu tidak main-main. 
Namun, Praja yang sudah seperti orang kerasu-
kan setan, tidak peduli dengan ancaman Milani. 
Sambil berseru keras, kembali Praja melontarkan 
serangan-serangannya.

Betrr! Bettt! 
Cengkeraman-cengkeraman yang dilancarkan 
Praja membuat darah gadis cantik itu mendidih. 
Sebab, serangan pemuda itu selalu diarahkan ke 
dadanya. Kemarahan yang dipendam Milani pun 
meledak dan berkobar. 
"Kurang ajar...! Pemuda gila ini benar-benar tidak 
bisa diberi hati!" desis Milani dengan wajah merah 
padam. 
Wuttt...! 
Milani menggeser tubuhnya untuk menghindari 
cengkeraman yang hendak meremas dadanya. De-
ngan gerakan indah dan tak terduga, gadis cantik 
itu langsung melontarkan serangan balasan dengan 
dua buah pukulan sekaligus. 
Praja yang seperti sudah tidak memikirkan kese-
lamatan dirinya, cepat memapaki dua buah puku-
lan yang mengancam wajah dan perutnya! Maka.... 
Plakkk! Dukkk! 
"Uhhh...!" 
Keduanya sama-sama mengeluh dan terjajar 
mundur. Praja tampak meringis sambil memijat-
mijat lengannya. Kuda-kudanya yang tergempur 
lebih jauh empat langkah dari gadis cantik itu, 
menandakan kekuatan yang dimilikinya setingkat di 
bawah Milani. 
Sebagai putri satu-satunya dari Ki Tambak Baya, 
tentu saja gadis cantik itu dibekali dengan ilmu-ilmu 
tinggi. Wajar kalau ia memiliki kepandaian lebih 
tinggi dari lawannya. Meskipun tidak berbeda jauh, 
tapi jelas mendatangkan keuntungan bagi dirinya. 
Sebaliknya, Praja bukan tidak tahu selisih ke-
pandaian di antara mereka. Namun, tekadnya yang

menggebu-gebu untuk memiliki putri gurunya itu, 
membuatnya tidak peduli. 
"Hm... biar bagaimanapun, aku harus memiliki-
mu, Milani!" ucap Praja dengan suara menggeram 
perlahan. Tekadnya itu terpancar jelas pada sepa-
sang matanya yang berkilat-kilat menakutkan. 
Geram bukan main hati Milani melihat keneka-
tan pemuda itu. Ada perasaan cemas membayang di 
wajahnya. Sebab bila seseorang telah berbuat nekat, 
maka segala rasa tidak dipedulikannya lagi. Dan, 
kini pemuda di hadapannya jelas sudah seperti 
orang gila. Sehingga, untuk dapat menundukkan-
nya, Milani harus benar-benar penuh perhitungan. 
Kalau tidak, bukan mustahil Praja akan bisa men-
jatuhkannya. 
"Yeaaat...!" 
Dibarengi sebuah bentakan nyaring, tubuh pe-
muda gagah itu kembali meluncur ke arah Milani. 
Serangan-serangan yang dilancarkannya tampak 
lebih ganas. Praja tidak lagi menggunakan cengkera-
man. Kepalan-kepalan tangannya pun sesekali ter-
lontar mengancam tubuh Milani. 
Sambil berusaha menekan kemarahannya, Mila-
ni mulai membalas setiap serangan yang dilontar-
kan pemuda itu. Pertarungan pun terlihat lebih seru 
dan ramai. 
Empat puluh jurus telah lewat, namun kedua-
nya terlihat masih sama-sama kuat dan gesit. Bah-
kan, Milani yang bertarung dengan penuh ketega-
ngan, terlihat mulai dapat mendesak Praja dengan 
pukulan-pukulan dan tendangan yang susul-me-
nyusul. 
"Haiiit...!"

Milani berseru nyaring sambil melontarkan tela-
pak tangannya ketika melihat kesempatan baik. 
Blaggg! 
"Hugkh...!" 
Praja yang sama sekali tidak menduga serangan 
lawannya, memekik kesakitan. Hantaman telapak 
tangan gadis itu telak menghajar dada kirinya. 
Sehingga tubuh pemuda itu terjajar limbung. 
Sadar kalau pemuda itu tidak boleh diberi kesem-
patan untuk membangun serangan, maka pada saat 
tubuh lawan terhuyung, kembali Milani berseru 
nyaring. 
Desss...! 
"Huaghk...!" 
Bagai disentakkan tenaga yang amat kuat, tu-
buh Praja langsung terlempar dan jatuh terguling-
guling hingga dua tombak jauhnya. Darah segar 
muncrat dari tubuh pemuda itu. Dadanya serasa 
remuk akibat tendangan keras menghantam telak 
dadanya. 
"Huh! Itulah upahnya bagi orang yang berani ber-
buat tidak sopan kepadaku!" Umpat Milani yang 
segera melesat meninggalkan tubuh Praja. Tidak di-
pedulikannya tubuh pemuda yang tergeletak lemah 
sambil merintih lirih itu. 
Tidak lama sepeninggal Milani, Praja bergerak 
bangkit dan melangkah tertatih-tatih meninggalkan 
tempat itu. Praja pergi dengan membawa hati yang 
patah dan luka dalam yang cukup parah. 
*** 
Seorang gadis cantik bernyanyi-nyanyi kecil sam-
bil menggosok kulit tubuhnya yang halus. Sesekali

tubuhnya direndam di dalam air sungai yang sejuk 
dan jernih. Wajahnya yang kemerahan, tampak 
semakin menonjolkan kecantikan yang dimilikinya. 
Tidak berapa lama kemudian, gadis cantik itu be-
renang ke tepian sungai. Pada sebuah tempat yang 
terlindung batu besar, gadis itu merapat ke tepi. 
Kemudian, melangkah naik dan masuk ke dalam 
semak-semak untuk melindungi tubuhnya dari pan-
dangan orang. 
"Hey...!" tiba-riba gadis itu berseru kaget Wajah-
nya yang semula kemerahan, mendadak pucat se-
perti tak berdarah. "Jahanam! Kurang ajar! Siapa 
yang berani menyembunyikan pakaianku!" 
Namun, tidak ada suara yang menyambut benta-
kan gadis itu. Sambil menutupi tubuh dengan de-
daunan, gadis cantik itu melangkah perlahan-lahan 
dan meneliti sekitarnya. Sepasang matanya yang 
bulat terbelalak ketika melihat tumpukan pakaian-
nya tergeletak di bawah pohon. 
Sejenak diperhatikannya sekitar tempat itu. Se-
telah cukup lama menunggu dan tidak ada suara-
suara yang mencurigakan, gadis cantik itu pun 
melangkah mendekati tumpukan pakaiannya. 
"Auw...!" 
Gadis cantik yang ternyata Milani itu berteriak 
kaget ketika tiba di bawah pohon, mendadak tubuh-
nya terjerat jaring yang tertutup oleh dedaunan 
kering. Belum sempat menyadari apa yang telah me-
nimpa dirinya, tahu-tahu sesosok tubuh telah mele-
sat dan menotok lumpuh tubuh gadis cantik itu. 
"Ha ha ha...! Akhirnya kau dapat juga kumiliki, 
Kekasihku," ujar seorang pemuda bertubuh tegap 
yang menatap Milani dengan wajah penuh nafsu.

"Keparat! Turunkan aku, Praja! Kalau kau me-
mang seorang laki-laki sejati, ayo kita bertarung 
sampai seribu jurus!" tantang Milani berteriak-teriak 
marah, seraya tangannya sibuk berusaha menutupi 
bagian-bagian tubuhnya yang paling vital dengan 
daun. 
Ingin rasanya gadis cantik itu mencabik-cabik 
tubuh Praja, yang telah berubah bagaikan orang 
gila. Perasaan marah, malu, benci dan dendam, ber-
campur baur dalam hati Milani. Sehingga, ia tidak 
tahu lagi harus bagaimana bertindak. 
Sementara Praja masih tertawa-tawa sambil me-
natapi tubuh montok yang sudah tidak berdaya itu. 
Mungkin merasa kurang puas hanya dengan me-
natap saja, tiba-tiba pemuda itu mengeluarkan pe-
dangnya. Sekali lompat saja, jaring yang tergantung 
di atas pohon itu langsung putus tatkala disambar 
pedang Praja. 
Brukkk! 
Milani meringis kesakitan ketika tubuhnya ter-
banting di atas tanah. Wajah gadis cantik itu sema-
kin bertambah pucat melihat Praja melangkah ke 
arahnya. 
"Binatang kau, Praja! Awas! Kalau kau berani 
berlaku tidak sopan, kelak akan kukuliti tubuhmu!" 
Milani berteriak-teriak mengancam. 
Namun, Praja yang sudah menotok lumpuh gadis 
cantik itu, sama sekali tidak peduli. Bahkan teria-
kan dan jeritan Milani semakin membuatnya ber-
nafsu. Sambil terkekeh, tangannya mulai bergerak 
menggerayangi sekujur tubuh gadis cantik itu yang 
memang sudah tidak mampu untuk berbuat apa-
apa, hanya air mata yang turun perlahan memba-
sahi wajahnya.

Puas dengan apa yang rfilakukannya, Praja se-
gera memondong gadis itu. Kemudian dengan lang-
kah perlahan, ia meninggalkan tepi sungai. 
"Mau kau bawa ke mana aku, Manusia Iblis?!" 
teriak Milani dengan suara parau. Hampir habis 
suara gadis cantik itu karena berteriak-teriak. Na-
mun, Praja tetap saja tidak mempedulikannya. 
Sambil melangkah, tangan pemuda itu tak henti-
hentinya mengelus pinggul Milani yang berada da-
lam pondongannya. Tawanya pun terus berkepan-
jangan mengiringi langkah kakinya. 
Tidak berapa lama kemudian, tibalah mereka di 
sebuah gubuk tempat menginap para pemburu yang 
sudah tak terpakai. Praja bergegas melangkah ma-
suk, tanpa rasa curiga sedikit pun. Dibaringkannya 
tubuh Milani di atas balai-balai bambu yang telah 
reyot. 
"Nah, sekarang kita hanya tinggal berdua, Sa-
yangku. Marilah kita nikmati pertemuan kita ini," 
ucap Praja sambil membelai wajah Milani yang telah 
bersimbah air mata. 
"Mengapa Hdak kau bunuh saja aku, Praja? Bagi-
ku mati lebih baik daripada hidup terhina. Bunuh-
lah aku, Praja...," ucap Milani dengan suara pelan 
dan mengandung isak. Sepertinya gadis cantik itu 
sadar kalau Praja memang sudah tidak bisa dirubah 
lagi. Pemuda itu benar-benar telah berubah karena 
memendam cinta yang patah. 
"He he he... mengapa harus kubunuh! Sekarang 
kau boleh menyombongkan kecantikanmu yang te-
lah membuatku menderita, Milani. Tapi, sebentar 
lagi, semua itu akan menjadi milikku, dan terus 
menjadi milikku. Maka, sebaiknya kau menyerah 
sajalah, dan jangan membuatku marah, mengerti!"

ujar Praja tenang. Meski nada suaranya terdengar 
lembut, namun mengandung ancaman. 
Tanpa banyak cakap lagi, Praja segera menerkam 
tubuh Milani dengan nafsu yang meluap-luap. Tidak 
dipedulikannya isak tangis gadis cantik itu, yang 
terdengar sangat memilukan. Karena merasa tidak 
berdaya menghadapi keganasan nafsu iblis yang 
berkobar dalam diri pemuda itu. 
"Manusia rendah! Minggat kau....'" 
Tiba-tiba saja, selagi Praja bergulat melampias-
kan nafsu bejatnya terhadap Milani, berkelebat se-
sosok bayangan hijau. Begitu tiba, tangannya lang-
sung mencengkeram leher baju bagian belakang 
pemuda yang tengah kerasukan setan itu. 
Sekali sosok berpakaian serba hijau itu menyen-
takkan tangannya, tubuh Praja langsung melayang 
menjebol dinding papan gubuk tua itu. 
"Aaa...!" 
Terdengar jeritan ngeri dari mulut lelaki muda 
itu. Tubuhnya terbanting keluar gubuk dengan 
suara berdebuk nyaring! Praja menggeliat sejenak 
sebelum berusaha bangkit berdiri. 
"AaaK..!" 
Praja yang baru saja bergerak bangkit, tersentak 
kaget ketika di depannya telah berdiri tegak se-
orang pemuda tampan yang mengenakan jubah ber-
warna putih. Yang membuat ia tersentak mundur 
adalah sepasang mata pemuda itu yang mencorong 
tajam bagaikan mata naga dalam gelap. Kontan 
wajah Praja berubah pias. 
"Sssia... pa... kau..?" ucap Praja terbata-bata 
sambil kakinya terus melangkah mundur. Setelah 
terpisah cukup jauh, baru langkahnya terhenti.

"Jangan biarkan manusia binatang itu pergi, Ka-
kang...!" 
Terdengar sebuah suara yang disusul dengan ber-
kelebatannya sosok bayangan hijau dari dalam 
gubuk itu. Rupanya sosok itu adalah orang yang 
melemparkan tubuh Praja ke luar. 
Kembali hati Praja tersentak ketika melihat wa-
jah sosok berpakaian hijau itu dengan jelas. Mulut 
lelaki muda itu ternganga dengan wajah ketololan. 
Dalam pancaran sinar matanya, terbayang jelas rasa 
kekaguman yang tak dapat disembunyikan. 
"Kau... manusia ataukah bidadari yang turun dari 
langit...?" ucap pemuda itu ketika melihat wajah 
jelita yang sangat mempesona dari sosok berpakaian 
serba hijau itu. Sedangkan sepasang matanya tak 
lepas dari raut wajah yang benar-benar membuat-
nya tak mampu untuk bergerak. 
"Hm... aku adalah Dewi Maut yang dirugaskan 
untuk mencabut nyawa burukmu! Bersiaplah!" sa-
hut gadis jelita berpakaian serba hijau itu dengan 
nada suara datar dan dingin. 
Meremang bulu kuduk Praja ketika mendengar 
jawaban yang bagaikan hendak membekukan tu-
buhnya. Demikian dinginnya suara dara jelita itu, 
sehingga tubuh lelaki muda itu menggigil bagai 
orang terserang demam. 
"Kurasa kita tidak perlu membunuhnya, Kena-
nga. Cukup kita beri pelajaran agar dia kapok," tiba-
tiba pemuda tampan berjubah putih itu berkata 
sambil melangkah dan tangannya menahan tinda-
kan dara jetita yang ternyata adalah Kenanga itu. 
Mendengar ucapan pemuda berjubah putih yang 
tak lain dari Panji atau lebih dikenal berjuluk Pen-
dekar Naga Putih, Kenanga seperti merasa tak puas.

Namun, ia tidak berusaha membantahnya. Hanya 
saja rasa tak puas tergambar jelas pada raut wajah-
nya yang berubah muram. 
Selagi pasangan pendekar itu membisu, sesosok 
bayangan merah berkelebat, dan langsung meng-
ayunkan pedang di tangannya untuk memenggal 
leher Praja yang masih terpaku bagai patung. Dan... 
Crakkk...! 
Mata pedang yang tajam berkilat itu, tepat mene-
bas batang leher Praja Lelaki muda itu tak sempat 
berteriak lagi, karena kepalanya telah jatuh dan 
menggelinding ke tanah. Darah pun mengalir seiring 
tubuh Praja yang tanpa kepala itu roboh. 
Panji yang semula hendak mencegah, menahan 
seruannya. Karena saat itu mata pedang sudah me-
menggal leher Praja yang tak sempat menghindar 
lagi. Sehingga lelaki muda itu pun tewas secara 
tragis. 
Kenanga melangkah menghampiri gadis cantik 
berpakaian merah yang ternyata adalah Milani. Di-
belainya punggung gadis itu dengan maksud agar 
tangisnya reda. 
"Sudahlah, Nisanak. Bukankah bahaya sudah 
lewat...?" bujuk Kenanga dengan suara lembut Lalu 
dibawanya Milani ke bawah sebatang pohon besar. 
Keduanya duduk berdampingan. Dibiarkannya gadis 
cantik itu menumpahkan segala kesedihan hatinya. 
***

LIMA

"Pemuda itu sebenarnya salah seorang murid 
ayahku. Aku sama sekali tidak menduga kalau ia 
berani berbuat tidak sopan kepadaku. Dan, tadi dia 
berlaku kasar terhadap diriku. Andaikata kalian 
tidak segera datang menolong, mungkin aku sudah 
ternoda oleh manusia busuk itu. Dia terpaksa 
kubunuh. Karena aku tahu, dia tidak akan pernah 
menyadari kesalahannya," Milani menghentikan 
ceritanya, dan menyeka air mata yang membasahi 
pipinya. 
Kenanga yang semula hendak mengajukan bebe-
rapa pertanyaan, terpaksa dirundanya ketika me-
lihat Panji datang menghampiri mereka. Pemuda itu 
duduk bergabung dengan Kenanga dan Milani se-
telah menguburkan mayat Praja. 
Milani mengangkat wajahnya ketika Panji datang 
bergabung. Sepasang matanya menatap pemuda itu 
penuh selidik. Mata wanita cantik itu terus meng-
ikuti gerak-gerik Panji, hingga pemuda itu duduk di 
sebelah Kenanga. 
"Kisanak, kau... kau sebenarnya siapa...? Mmm... 
Maksudku, apakah kau mempunyai Julukan..?" Ta-
nya Milani agak ragu-ragu. Sepasang matanya tetap 
menatap sosok Panji seperti hendak memastikan 
dugaannya. 
Panji yang melihat wajah penuh harap-harap 
cemas itu, segera saja dapat menebak kalau gadis 
cantik itu telah menduga siapa dirinya yang sebe-
narnya. Maka, pemuda itu pun tidak tega membuyarkan harapan yang tergambar jelas di wajah dan 
sinar mata gadis itu. 
"Namaku Panji. Orang-orang rimba persilatan 
memberikan julukan Pendekar Naga Putih. Sebuah 
julukan kosong yang berlebihan, bukan?" jawab 
Panji seraya tersenyum. 
"Ahhh...! Jadi... jadi dugaanku tidak meleset!" 
seru Milani setengah berteriak. 
Panji dan Kenanga menatap wajah Milani yang 
sedang gembira, karena apa yang diduga gadis itu 
ternyata tidak keliru sama sekali. 
"Kau... kau benar-benar Pendekar Naga Putih! 
Oh..., terima kasih, Tuhan. Temyata apa yang sering 
ayah katakan itu benar. Setiap kejadian yang me-
nimpa kita, tentu ada hikmahnya," desah gadis can-
tik itu seraya mendongakkan wajahnya dan me-
natap ke arah cakrawala biru. Jelas, hati Milani 
benar-benar sangat gembira dan bahagia. 
Setelah puas meluapkan kegembiraan hatinya, 
Milani kembali mengalihkan pandangannya ke arah 
Panji. Lenyap sudah kesedihan yang semula menye-
limuti hati gadis cantik itu. Bahkan, wajah cantik 
itu tampak semakin berseri ketika menatap Pende-
kar Naga Putih. 
"Mmm... Pendekar Naga Putih, bolehkah aku me-
manggilmu dengan sebutan Kakang Panji saja...?" 
Tanya Milani seraya menggeserkan tubuhnya men-
dekati Panji. Gadis itu lupa kalau di tempat itu ada 
seorang wanita lain yang menatapnya dengan sinar 
mata tajam. 
Kenanga yang merasa dilupakan Milani, berusa-
ha menekan rasa cemburunya. Walaupun sudah 
berusaha untuk menutupi perasaan cemburunya, 
tetap saja perasaan itu tidak dapat disembunyikan

nya. Hal itu tercermin dari wama gelap yang ter-
pancar dari wajah Kenanga. 
"Tentu saja boleh. Bukankah begitu, Kenanga?" 
jawab Panji sambil menoleh ke arah kekasihnya. 
Pemuda itu sadar betapapun lembut dan sabar-
nya hati Kenanga, tentu gadis jelita itu merasa tidak 
enak karena Milani seperti melupakan kehadiran-
nya. Perasaan itulah yang membuat Panji melibat-
kan kekasihnya dalam percakapan itu. 
"Ah, maafkan aku. Nisanak. Aku terlalu gembira 
dapat bertemu dengan Kakang Panji, sampai-sam-
pai aku melupakanmu. Kuharap kau sudi memaaf-
kan kekhilafanku," ucap Milani yang teringat kepada 
Kenanga ketika Panji menoleh ke arah gadis jelita 
yang telah menolongnya itu. 
Mendung yang menyelimuti wajah Kenanga le-
nyap ketika mendengar permintaan maaf Milani. 
Senyumnya pun mengembang, pertanda ia telah 
memaklumi sikap gadis cantik itu. 
"Tentu saja boleh," sahut Kenanga buru-buru. 
Karena ia tidak ingin Milani melihat warna kecem-
buruan di wajahnya. 
"Terima kasih, Nini Kenanga...," ucap Milani 
seraya menganggukkan kepalanya sambil tersenyum 
manis. 
"Panggillah aku dengan Kenanga saja. Bukankah 
kita telah menjadi sahabat?" kilah Kenanga dengan 
wajah yang dihiasi senyum tulus. 
"Milani, apakah yang membuatmu gembira begitu 
mengetahui diriku? Apakah hanya karena kau ingin 
bertemu denganku, atau ada sesuatu yang mem-
buatmu ingin berjumpa denganku?" Tanya Panji 
menyelidik setelah terdiam beberapa saat.

"Benar, Milani. Kalau kau mempunyai persoalan, 
ceritakanlah kepada kami. Siapa tahu kami bisa 
membantu," timpal Kenanga dengan nada suara 
kembali wajar. Karena rasa cemburunya telah 
lenyap melihat sikap Milani yang tulus. 
Milani tidak segera mengutarakan apa yang 
tengah dihadapinya saat itu. Dia menarik napas 
berulangkali seperti hendak meredakan gemuruh di 
dalam dadanya. Setelah tertunduk sesaat, gadis 
cantik itu mulai memaparkan peristiwa yang telah 
menimpa keluarganya. 
Baik Panji maupun Kenanga mendengar cerita 
Milani penuh perhatian. Keduanya tidak satu pun 
memotong cerita gadis cantik itu. 
"Begitulah nasib yang telah menimpa keluarga-
ku. Selanjutnya seperti yang telah kalian saksikan 
tadi, diriku hampir ternoda," ujar Milani menutup 
ceritanya dengan wajah sedih. Tampak butiran air 
mata kembali bergulir di pipinya ketika ia teringat 
dengan ayah, ibu, dan abangnya. 
"Jadi, pada saat kejadian itu, kakakmu yang ber-
nama Wiranta belum kembali?" Tanya Kenanga yang 
ikut merasakan kesedihan Milani. 
"Belum. Bahkan sampai saat ini, aku belum ber-
jumpa dengan Kakang Wiranta. Mudah-mudahan 
saja, tidak ada sesuatu yang terjadi dengan dirinya. 
Sebab, menurut perhitunganku, Kakang Wiranta 
saat ini pasti sudah kembali ke rumah," ujar Milani 
dengan suara serak. 
"Apakah kau masih dapat mengenali orang yang 
berjuluk Topeng Setan Itu?" Tanya Panji yang me-
rasa belum pernah mendengar seorang tokoh sesat 
yang memiliki julukan aneh seperti itu. 
'Tidak, Kakang," sahut Milani menggeleng lemah.

"Hm… kalau begitu, sebaiknya kita segera selidiki 
saja," timpal Kenanga mengajukan usul. 
"Bagaimana, Milani? Apakah kau sudah siap 
menghadapi pembunuh orang tuamu...?" Tanya 
Panji sambil menoleh dan menatap gadis cantik itu. 
"Setiap saat aku selalu siap untuk menghadapi 
jahanam terkutuk itu, Kakang," ujar Milani berse-
mangat "Kapan kita berangkat?" 
'Tentu saja sekarang. Apakah kau ingin menung-
gu sampai menjadi nenek-nenek?" sambut Kenanga 
mencoba menimbulkan suasana gembira di antara 
mereka. 
Tanpa banyak cakap lagi, ketiganya bergegas me-
ninggalkan tempat itu. Karena mereka mengguna-
kan ilmu lari cepat, maka sekejap saja tubuh ketiga-
nya lenyap ditelan lebatnya pepohonan hutan. 
*** 
Sesosok tubuh yang mengenakan pakaian serba 
putih berlari cepat di bawah siraman cahaya bulan. 
Sepasang kakinya seperti tidak menyentuh permu-
kaan tanah, terus bergerak mendaki Lereng Gu-
nung Siluman. Kakinya terus bergerak mendekan 
bagian belakang sebuah bangunan tua yang men-
jadi tempat tinggal Pendekar Kera Siluman. 
Rupanya kedatangan sosok tubuh berpakaian 
serba putih itu memang telah ditunggu penghuni 
bangunan itu. Sebab ada sesosok tubuh tegap ber-
diri dan menanti di taman belakang bangunan tua 
tersebut. 
Sosok berpakaian serba putih yang bertubuh 
sama tegap dengan Pendekar Kera Siluman, menghentikan larinya ketika melihat orang yang ingin 
dijumpainya telah menunggu. 
Dengan langkah perlahan, diharnpirinya sosok 
yang tak lain adalah Pendekar Kera Siluman. Lang-
kah lelaki berpakaian serba putih itu terhenti dalam 
jarak satu setengah tombak dari Pendekar Kera 
Siluman. 
"Mana bocah celaka itu, Kera Siluman? Cepat 
serahkan kepadaku!" ujar lelaki berpakaian serba 
putih itu membuka percakapan dengan nada dingin. 
"Kau.... Jadi, kaulah si Topeng Setan itu? Tidak 
kusangka tindakanmu begitu keji dan tega mem-
bunuh Ki Tambak Baya dan keluarganya. Sekarang 
apa yang hendak kau lakukan terhadap Wiranta?" 
Tanya Pendekar Kera Siluman yang telah mengenal 
baik siapa orang yang bersembunyi di balik topeng 
buruk itu. 
"Hm.... Aku akan membunuhnya! Cepat berikan 
bocah itu kepadaku, atau terpaksa aku membunuh-
mu seperti Ki Tambak Baya!" ancam lelaki berpa-
kaian serba putih itu yang berjuluk Topeng Setan. 
"Tidak! Aku tidak akan menyerahkan Wiranta 
kepadamu. Sepanjang topeng buruk itu kau kena-
kan dan menyuruhku untuk mencari Wiranta, 
jangan harap permintaanmu itu kukabulkan. Dan, 
sekarang tidak usah kau berharap aku akan me-
nyerahkan anak itu kepadamu," tegas Pendekar 
Kera Siluman tidak peduli dengan kegeraman 
lawannya. 
"Kalau begitu, kau pun harus kulenyapkan! 
Sambutlah kemahanmu, Kera Siluman...!" ujar To-
peng Setan sambil melesat dengan diiringi serang-
kaian pukulan maut yang mematikan.

Namun, Pendekar Kera Siluman yang telah ber-
siap, langsung menyambut serangan lawan dengan 
tidak kalah hebatnya. Sehingga, kedua tokoh itu 
bertarung sengit. 
Wuuut...! 
Pendekar Kera Siluman yang melihat tamparan 
lawan tak mungkin dielakkan, segera mengangkat 
tangan kirinya menyambut serangan lawan. Dan.... 
Plakkk! 
"UhhK..!" 
Kaget bukan main hati pendekar berambut putih 
itu ketika kuda-kudanya tergempur karena tampa-
ran Topeng Setan. Bahkan tangan yang digunakan 
untuk menangkis itu, terasa linu hingga ke tulang. 
"Gila! Ilmu apa yang membuatnya memiliki ke-
majuan sedemikian pesat? Hm.... Aku harus lebih 
berhati-hati menghadapi serangan-serangannya," 
gumam Pendekar Kera Siluman sambil menatap 
tajam lawannya. 
"Haiitt..!" 
Dibarengi sebuah bentakan menggetarkan dada, 
tampak Topeng Setan melontarkan sebuah pukulan 
jarak jauh sehingga menimbulkan deruan angin 
yang dahsyat. 
Wusss...! 
Blarrr...! 
Sebatang pohon sebesar satu setengah kali 
pelukan orang dewasa, langsung tumbang akibat 
terkena hantaman angin pukulan yang ditontarkan 
Topeng Setan. Untung Pendekar Kera Siluman cepat 
bergulingan ke samping. Sehingga pukulan tokoh 
sesat yang sakti itu tidak sampai mengenai tubuhnya.

Namun, Pendekar Kera Siluman yang baru bang-
kit itu, kembali menggeser langkahnya guna meng-
hindari serbuan lawan. Tubuh lelaki gagah itu ber-
kelebatan cepat dan menyelinap di antara sam-
baran tangan-tangan maut lawannya. 
Dalam pertarungan adu kegesitan itu, Pendekar 
Kera Siluman kembali dikejutkan oleh kepandaian 
lawannya. Topeng Setan ternyata memiliki ilmu me-
ringankan tubuh yang luar biasa sekali. Sehingga, 
ketika pertarungan menginjak jurus kelima puluh, 
lelaki gagah itu terpaksa menerima sebuah gedoran 
telapak tangan lawan pada dadanya. 
Wuttt! 
Blaggg! 
"Hugkh...!" 
Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh Pendekar Kera 
Siluman langsung terjengkang keras hingga satu 
setengah tombak jauhnya. Gumpalan darah segar 
muncrat dari mulutnya. Jelas, hantaman telapak 
tangan lawan telah melukai bagian dalam tubuh-
nya. 
"Haaat..!" 
Topeng Setan tidak ingin berlama-lama mengha-
bisi lawannya. Saat tubuh lawannya terhuyung, to-
koh sesat yang sakti dan berhati kejam itu langsung 
saja mengejar dengan lontaran pukulan mautnya. 
"Uhhh...!" 
Meskipun keadaannya sudah cukup parah, na-
mun Pendekar Kera Siluman tidak sudi menerima 
pukulan lawan begitu saja. Sebisa-bisanya lelaki 
gagah itu berkelit dan berusaha melontarkan sera-
ngan balasan ke arah tubuh lawannya. 
Sayang, selain kepandaian lawannya beberapa 
tingkat lebih tinggi, keadaan lelaki gagah itu pun
sudah cukup payah. Sehingga serangan-serangan 
balasan yang dilakukannya, dengan mudah dapat 
dielakkan Topeng Setan. Bahkan, pukulan-pukulan 
yang dilakukan tokoh sesat itu semakin memper-
sempit ruang geraknya. Sehingga lelaki gagah itu 
terdesak hebat. 
Ketika pertarungan menginjak jurus yang ke-
enam puluh dua, Pendekar Kera Siluman kembali 
menerima dua buah pukulan telak pada dada dan 
lambungnya. 
Buggg! Desss! 
"Huagkh...!" 
Selagi tubuh lelaki gagah itu terlempar ke bela-
kang, Topeng Setan melesat dengan dorongan tela-
pak tangannya yang langsung mengarah ke dada 
lawan. 
Desss...! 
"Aaargh...!" 
Hantaman sepasang telapak tangan berkekuatan 
dahsyat itu, menghajar telak dada Pendekar Kera 
Siluman. Akibatnya, tubuh lelaki gagah itu kembali 
terjengkang deras hingga menghantam sebatang po-
hon besar yang berada di belakangnya. Kemudian 
tubuhnya menggeloso ke tanah dan tewas! 
"Hm...." 
Topeng Setan yang tengah memperhatikan mayat 
Pendekar Kera Siluman itu, menggeram lirih. Tiba-
tiba telinganya menangkap suara langkah orang ber-
lari di sebelah Selatan lembah. Sekilas kepalanya 
menoleh ke arah hutan yang berjarak beberapa 
belas tombak dari tempatnya berdiri. Sejurus kemu-
dian, tubuh tegap itu pun melesat melakukan pengejaran.

*** 
"Hm...." 
Lelaki berpakaian serba putih itu menggeram lirih 
sambil menatap sosok bayangan yang berlari bebe-
rapa tombak di depannya. Sesaat kemudian, lelaki 
yang tak lain Topeng Setan itu, langsung menjejak-
kan kakinya ke tanah. 
Bagaikan seekor burung besar, tubuh Topeng Se-
tan melambung melewati kepala sosok tubuh di 
depannya itu. Dan mendaratkan kakinya beberapa 
langkah didepan buruannya dengan posisi membe-
lakangi sosok tubuh itu. 
"Ha ha ha...! Hendak lari ke mana kau, Bocah...?" 
tegur Topeng Setan sambil membalikkan tubuhnya 
menghadapi sosok tubuh yang temyata adalah Wi-
ranta. 
Wiranta yang sempat melihat tubuh gurunya ter-
pental dan tidak bangkit lagi itu, segera lari mening-
galkan kediaman gurunya. Pemuda ini sadar tidak 
mungkin dapat menghadapi lelaki berpa-kaian putih 
yang dikenal berjuluk Topeng Setan itu. Pikiran itu-
lah yang membuatnya menyingkir dan menghindari 
musuh besarnya itu. 
Sayang, gerakan langkah Wiranta sempat ter-
tangkap pendengaran Topeng Setan yang sangat 
peka itu. Sehingga, ia pun dapat dikejar oleh tokoh 
bertopeng buruk yang memiliki kepandaian sukar 
diukur itu. 
"Apa yang kau inginkan dariku, Manusia Ja-
hat..?" ujar Wiranta dengan dada berdebar tegang. 
Ditatapnya wajah yang tersembunyi di balik topeng 
buruk itu, tanpa rasa gentar sedikit pun.

Melihat betapa pemuda itu bersiap-siap hendak 
melakukan perlawanan, Topeng Setan memperde-
ngarkan suara tawanya yang menggetarkan jantung. 
Wiranta terjajar mundur karena pengaruh kekuatan 
yang ditimbulkan suara tawa itu. 
"Iblis...!" Desis Wiranta yang merasa bulu ku-
duknya meremang mendengar suara tawa yang 
menyeramkan itu. Ditekannya perasaan takut yang 
menyelimuti hatinya. Meski agak berdebar, diten-
tangnya pandangan mata tokoh menyeramkan itu. 
"He he he... Terimalah kematianmu, Bocah...," 
ujar Topeng Setan sambil mengibaskan tangannya 
perlahan ke arah Wiranta. 
Wuttt..! 
Hebat sekali akibat kibasan tangan yang keliha-
tan sembarangan itu. Serangkum angin keras ber-
tiup dan meluncur ke arah tubuh Wiranta. Pemuda 
itu terkejut bukan kepalang. 
Sadar kalau kibasan angin dari pukulan lawan-
nya sangat berbahaya, cepat Wiranta melempar 
tubuhnya ke samping. Begitu serangan lawan luput, 
pemuda itu melompat kedepan, dan langsung me-
ngirimkan serangkaian serangan dengan pengera-
han seluruh tenaganya. 
Topeng Setan hanya memperdengarkan suara 
dengusan mengejek. Serangkalan serangan yang di-
lontarkan Wiranta dipandangnya dengan sebelah 
mata. Dibiarkannya serangan itu menghantam 
tubuhnya. 
Bukkk! Bukkk! Bukkk! 
"Aaakh...!" 
Wiranta terkejut bukan main ketika tangannya 
telak mengenai tubuh lawan. Seketika ia pula kedua 
tangannya terasa panas seperti terbakar. Sehingga,


pemuda itu menjerit kesakitan. Bahkan, tubuhnya 
terlempar sejauh satu batang tombak. Kenyataan itu 
tentu saja membuatnya bingung dan panik. 
Belum sempat Wiranta mengatur posisinya, tu-
buh Topeng Setan sudah melompat dengan disertai 
sebuah pukulan yang meluncur deras mengancam 
dadanya. Dan... 
Plakkk...! 
Serangan yang kemudian berubah menjadi tam-
paran keras itu, menghantam telak wajah Wiranta. 
Tubuh pemuda itu pun melintir bagaikan orang ma-
buk. Lalu, terbanting keras di atas tanah berumput. 
Agaknya Topeng Setan tidak ingin membunuh 
langsung pemuda itu. Terbukti tamparannya tidak 
menewaskan Wiranta. Meskipun tubuh Wiranta ter-
banting keras, namun ia masih mampu bangkit dan 
berdiri. 
"Uhhh...," Wiranta mengeluh menahan rasa sakit 
sambil meraba pipi sebelah kanannya yang terasa 
panas bagaikan terbakar. Terkejut bukan main hati 
pemuda itu, ketika mendapati Kenyataan bahwa pipi 
sebelah kirinya telah melepuh. 
"Jahanam keji...!" desis pemuda itu kalap. Tam-
paran keras yang telah merusakkan sebagian wajah-
nya itu, membuat Wiranta menjadi semakin nekat. 
Maka, bagaikan kesetanan, diterjangnya tokoh sesat 
itu tanpa mempedulikan keselamatan dirinya lagi. 
Justru tindakan Wiranta itu semakin membuka 
peluang bagi lawannya. Sebab, serangan yang di-
lontarkan secara membabi buta itu akan membuat 
pertahanan dirinya menjadi lemah. Sehingga se-
rangan pemuda itu dengan mudah dapat dipatah-
kan lawannya. Maka, ketika menginjak jurus yang 
kelima belas....

Krakkkh...! 
"Aaargh...!" 
Wiranta meraung kesakitan ketika lengan kanan 
lawan terayun dan menghajar lututnya. Terdengar 
suara berderak keras saat lengan bertenaga kuat itu 
mematahkan persendian lututnya. 
Tanpa rasa Iba sedikit pun, Topeng Setan kembali 
melontarkan sebuah pukulan keras yang menghan-
tam dada pemuda itu. 
Buggg...! 
"Huagkh...!" 
Darah segar muncrat mengiringi terlemparnya tu-
buh pemuda itu. Sebuah mulut jurang yang menga-
nga di belakangnya, langsung menelan tubuh Wi-
ranta tanpa ampun. 
"Aaa...!" 
Terdengar jeritan ngeri mengiringi lenyapnya 
tubuh pemuda itu ke dalam jurang, yang penuh de-
ngan baru karang runcing dan tajam. 
"Ha ha ha...! Mampuslah kau, Bocah Celaka...," 
teriak si Topeng Setan seraya tertawa terbahak-
bahak. 
Tawa tokoh sesat itu bergenia mengiringi tubuh 
Wiranta yang lenyap ke dalam jurang. Tak berapa 
lama kemudian, manusia berhati iblis itu pun ber-
kelebat meninggalkan tempat itu. Hanya suara 
tawanya saja yang masih terdengar bergenia dan 
berkepanjangan. 
***

ENAM

Sesosok tubuh tegap berdiri menatapi bangunan 
Perguruan Perisai Besi. Setelah cukup lama me-
mandangi bangunan yang dikelilingi pagar kayu 
bulat itu, tampak kakinya mulai melangkah meng-
hampiri pintu gerbang yang tertutup rapat. 
Aneh! Sosok tubuh tegap itu ternyata tidak dapat 
berjalan wajar. Langkahnya tampak terpincang-pin-
cang. Tongkat kayu berwarna kuning gading, yang 
semula digunakan sebagai penyangga tubuhnya 
untuk berdiri, kini digunakan untuk membantu 
kakinya melangkah. Jelas, lelaki bertubuh tegap itu 
tidak memiliki kaki yang sempurna. 
"Hei! Siapa kau...? Mau apa kau datang kemari? 
Pergilah! Kami tidak mau memberimu sedekah...!" 
Lelaki tegap yang kaki kanannya pincang itu, 
menengadahkan kepala dan menatap ke arah se-
buah kepala di atas pos penjagaan. Rambutnya yang 
panjang meriap, disibak oleh angin Sehingga, 
tampak seraut wajah buruk yang bertotol-totol 
hitam. Hidungnya yang besar terdengar menge-
luarkan dengusan kasar ketika melihat penjaga itu 
menatapnya dengan senyum menghina. 
"Aku bukan pemalas yang datang hendak me-
minta derma. Tapi, kedatanganku kemari justru 
ingin berjumpa dengan Ki Janar Pari. Ada sebuah 
berita penting yang hendak kusampaikan pada-nya. 
Harap kau suka menyampaikan kepada ke-tuamu 
itu," terdengar suara serak dan parau yang keluar 
dari bibir tebal milik lelaki muda yang cacat pada 
kaki dan wajahnya itu.

Sayang, penjaga pintu gerbang itu Bdak cermat 
memperhatikannya. Kalau saja ia bemndak sedikit 
lebih teliti, mungkin kejanggalan orang itu dapat 
dilihatnya. Meskipun lelaki berwajah buruk itu 
berbicara perlahan saja, namun semua yang 
diucapkannya sangat jelas terdengar di telinga. 
Padahal, pos jaga di atas gerbang itu tiingginya 
sekitar tiga sampai empat tombak. Pertanda lelaki 
cacat itu bukanlah orang sembarangan. 
Lelaki berambut riap-riapan yang wajahnya dapat 
membuat orang lari tunggang langgang bila 
berjumpa dengannya di waktu malam, perlahan 
merundukkan kepalanya. Kembali rambutnya jatuh 
menutupi wajah. Lalu, masih dengan gerak kepala 
perlahan, ditatapnya pintu gerbang yang tertutup 
rapat itu. 
Tidak berapa lama kemudian, terdengar suara 
berderak ribut. Seiring dengan suara itu, pintu 
gerbang Perguruan Perisai Besi perlahan-lahan 
terbuka. 
Dari balik pintu gerbang yang terbuka sedikit itu, 
dua sosok tubuh melangkah keluar. Kemu-dian, 
disusul dengan empat sosok tubuh lain ber-gerak 
keluar. 
"Siapa kau, Sobat Muda? Ada keperluan apa 
mencari Ki Janar Pah?" Tanya salah seorang dari 
kedua lelaki gagah yang berwajah keras dan 
berkumis hitam lebat. Sepasang matanya bergerak 
meneliti wajah yang tersembunyi di balik rambut 
meriap itu. 
"Kalau kau memang membawa berita yang cukup 
penrjng, biar kami yang akan menyampai-kannya 
nanti," timpal lelaki kedua yang bermata cekung, 
namun tajam bagaikan mata pisau. Melihat dari
caranya, jelas ia maupun kawannya sama sekali 
tidak menyukai kehadiran lelaki tegap berambut 
meriap itu. 
Meskipun kedua orang itu melontarkan per-
tanyaan dengan nada ketus, namun sosok tubuh 
pemuda itu sama sekali tidak peduli. Kepalanya 
tetap saja tertunduk dengan pandangan menekuri 
tanah. 
"Aku ingin berjumpa dengan Ki Janar Pari, dan 
tidak ada sangkut pautnya dengan kalian...," ujar 
lelaki berambut meriap itu tanpa mengangkat 
wajahnya. 
Ucapan lelaki Itu bernada parau dan dingin, 
namun ia sama sekali tidak memandang sebelah 
mata kepada kedua orang yang berdiri di hada-
pannya. 
Wajah kedua orang lelaki itu menjadi merah, 
ketika mereka mendengar jawaban yang jelas me-ru-
pakan penghinaan. Mereka pun menjadi marah dan 
berang. 
"Bangsat! Angkat kepalamu! Dan lihat kami baik-
baik, dengan siapa kau tengah berhadapan saat ini, 
Keparat Rendah!" bentak lelaki berkumis lebat itu 
sambil mengepalkan tangannya sehingga menimbul-
kan suara gemeretak keras. Jelas, ia merasa terhina 
dengan jawaban yang seperti disengaja itu. 
Sebelum lelaki yang satunya sempat ikut mem-
bentak, sosok tegap berambut riap riapan itu sudah 
menyahuti. 
"Hm.... Siapa yang tidak kenal dengan dua orang 
tokoh utama Perguruan Perisai Besi. Nama Ki 
Ringgit dan Ki Sunggara sudah ramai dibica-rakan 
kaum rimba persilatan. Sayangnya...," lelaki 
berambut riap-riapan itu sengaja tidak menyelesaikan kalimat terakhirnya. Sepertinya ia ingin 
memancing rasa penasaran kedua tokoh utama 
Perguruan Perisai Besi itu. 
Jawaban lelaki tegap Itu tentu saja membuat Ki 
Ringgit dan Ki Sunggara tersentak kaget. Heran 
bukan main mereka ketika sosok itu dapat me-
ngenalinya dengan baik. Padahal, sepengetahuan 
mereka, lelaki tegap itu tidak sekali pun meng-
angkat kepalanya sejak mereka keluar dari pintu 
gerbang. 
"Hm.... Bagus kalau kau telah mengenal kami 
berdua. Tentu kau menyadari kedudukan kami di 
dalam perguruan ini. Nah, mengapa kau tidak 
melanjutkan ucapanmu?" tegur Ki Ringgit seraya 
menatap lelaki berambut riap-riapan itu dengan 
pandangan semakin tajam. 
"Sayangnya... kalian berdua temyata makhluk-
makhluk berhati busuk, dan tega mengkhianati 
guru kalian sendiri. Dan, aku datang kemari un-tuk 
menghukum pengkhianat-pengkhianat seperti si 
keparat Janar Pari itu!" jawabnya dengan nada 
suara mengandung getaran dendam. Sambil ber-
kata demikian, kepalanya didongakkan dan ram-but 
yang sejak tadi menutup wajahnya disibak-kan. 
"Ahhh..!" 
Kontan enam orang lelaki itu melompat mundur 
disertai seruan ngeri. Wajah mereka pucat bagai-
kan melihat hantu di siang bolong. Jangankan 
dalam kenyataan, dalam mimpi pun rasanya mereka 
tidak pernah terpikir akan melihat wajah seburuk 
dan seseram itu. Bahkan, pimpi-nan mereka yang 
dijuluki sebagai Topeng Setan masih lebih baik 
ketimbang wajah lelaki tegap di depan mereka itu.

Maka, wajar kalau keenam orang itu tersentak 
kaget. 
"Sssi... siapa... kau...? Apa... apa yang kau cari di 
tempat ini...?" Tanya Ki Ringgit gagap. Karena 
hatinya masih terguncang melihat wajah yang buruk 
dan menakutkan. 
"Hm.... Aku adalah Pendekar Cacat yang di-
tugaskan untuk merenggut nyawa-nyawa kotor 
seperti kalian!" dingin dan menggetarkan jawaban 
yang keluar dari lelaki tegap berambut riap-riapan 
itu. 
Selesai mengucapkan kalimat yang mengerikan 
itu, kakinya melangkah menghampiri keenam orang 
lelaki yang masih terkesima menatapnya. Sepasang 
mata lelaki berwajah buruk itu nampak berkilat, 
memancarkan dendam kesumat yang sangat dalam. 
"Mampuslah kalian, Manusia-manusia Berhati 
Busuk!" desisnya sambil mengibaskan tangan kanan 
ke arah enam orang itu. 
Wuuut...! 
Kibasan tangan lelaki berwajah buruk yang 
mengaku berjuluk Pendekar Cacat itu berkelebat 
cepat menimbulkan angin tajam berkesiutan. 
Plakkk! Plakkk! 
"Aaakh...!" 
Dua orang anggota Perguruan Perisai Besi yang 
tak sempat menghindar, langsung terpelanting de-
ngan tengkorak kepala retak! Jerit kematian terde-
ngar mengiringi tewasnya kedua orang malang itu. 
"Keparat...!" desis Ki Ringgit yang telah berhasil 
menekan guncangan dalam hatinya. Cepat dica-
butnya pedang yang terselip di pinggangnya. 
"Yeaaat..!"

Disertai seruan nyaring, Ki Ringgit langsung me-
lompat sambil membabatkan pedangnya de-ngan 
kecepatan kilat. 
Wuuut..! 
Pendekar Cacat yang melihat datangnya sam-bar-
an pedang lawan, cepat menggeser tubuhnya ke 
samping. Lalu, segera mengirimkan sebuah 
tendangan kilat, begitu ujung pedang Ki Ringgit 
lewat di depan tubuhnya. 
Namun tendangan yang semula meluncur ke 
perut lawan, kembali ditarik ketika ia melihat 
sambaran pedang lain yang hendak menebas 
kakinya. Kemudian, tubuh yang ketika melakukan 
tendangan itu bertopang dengan tongkat kayunya, 
melenting ke belakang dengan disertai sambaran 
tongkatnya. 
Bettt...! 
Trangngng...! 
Terdengar suara berdentang nyaring ketika tong-
kat lelaki cacat itu dipapaki pedang Ki Ringgit. 
 "Aihhh...!" 
Tokoh kedua Perguruan Perisai Besi wilayah 
Utara itu memekik tertahan! Akibat benturan keras 
itu membuat tubuhnya terhuyung hingga satu 
setengah tombak. Karuan saja kenyataan itu 
semakin membuatnya penasaran. 
"Yeaaat...!" 
Dibarengi seruan keras, tubuh Ki Ringgit mele-sat 
dan langsung menerjang lelaki bermuka buruk yang 
tengah bertarung dengan Ki Sunggara. Maka, 
pertempuran yang berlangsung didepan pintu 
gerbang perguruan itu makin ramai dan sengit. 
Dua orang murid yang sejak tadi hanya berdiri 
menonton, bergegas menyelinap masuk ke dalam

bangunan perguruan. Rupanya mereka hendak 
melaporkan kejadian itu kepada Ki Janar Pari yang 
menjadi Ketua Perguruan Perisai Besi cabang 
wilayah Utara. 
*** 
"Haaat..!" 
Dibarengi teriakan yang menggetarkan jantung, 
tubuh lelaki cacat itu melesat seperti anak panah. 
Tongkat sepanjang enam jengkal di tangannya, 
meluncur dengan suara mengaung tajam. 
Ki Sunggara yang menjadi sasaran hantaman 
tongkat itu, berusaha mengelak sambil memutar pe-
dang di tangannya. Sehingga membentuk gulu-ngan 
sinar yang dapat membentengi tubuhnya. Namun, 
gerakannya telah terbaca oleh lawan, membuatnya 
tak sempat lagi melindungi pung-gungnya dari 
hantaman tongkat lawan. Maka... 
Buggg...! 
"Aaakh...!" 
Hantaman telak tongkat kayu bulat itu, mem-
buat Ki Sunggara memekik kesakitan. Darah segar 
terlom-pat dari mulutnya. Sedangkan tubuhnya 
sendiri terlempar sejauh satu batang tombak lebih. 
Bukan main marahnya Ki Ringgit yang menyak-
sikan kejadian itu. Bagaikan banteng terluka, pe-
dangnya diputar sedemikian rupa dengan menge-
rahkan seluruh tenaga dan kecepatan yang dimi-
likinya. Sambil membentak keras, tokoh kedua 
cabang Perguruan Perisai Besi wilayah Utara itu 
menerjang lawan dengan serangan-serangan ba-
gaikan gelombang lautan. 
Wuttt! Wuttt! Wuttt!

Namun Pendekar Cacat sama sekali tidak men-
jadi gentar. Dengan langkah-langkah aneh yang 
membingungkan, tubuhnya bergerak mengelakkan 
samba; pedang Ki Ringgit. Bahkan, sesekali tong-
katnya terlontar melakukan serangan balasan. 
Diam-diam hati Ki Ringgit merasa penasaran 
sekali. Sebab, setiap pedangnya menyambar, la-
wannya selalu saja dengan mudah mengelakkan-
nya. Se-olah-olah ilmu pedang miliknya itu telah 
dikenal lawannya. Tentu saja kenyataan itu me-
nimbulkan berbagai pertanyaan dalam benaknya. 
Sayang, Ki Ringgit tidak sempat berpikir lebih 
jauh. Sebab, saat itu tongkat di tangan lawan mulai 
mendesaknya dengan serangan yang susul-
menyusul bagaikan tidak pernah putus. Karuan saja 
Ki Ringgit menjadi kelabakan. 
Untung pada saat yang gawat itu, Ki Sunggara 
telah kembali datang membantunya. Sehingga, ia 
dapat menarik napas lega karena terbebas dari 
gempuran lawan, meskipun bersifat sementara. 
Harapan Ki Ringgit rupanya tidak beriangsung 
lama. Sebab, ketika pertarungan menginjak pada 
Jurus keempat puluh, tongkat Pendekar Cacat tiba-
tiba berubah gerakannya. Bahkan, serangan kali ini 
jauh lebih hebat dan mengerikan. 
Kaget bukan main hati Ki Ringgit dan Ki 
Sunggara melihat kenyataan itu. Mereka sama 
sekali tidak menyangka kalau lawannya masih 
memiliki ilmu lain yang belum digunakannya. Maka, 
tanpa banyak cakap lagi, keduanya melom-pat 
mundur, dan menyiapkan ilmu pedang pasa-ngan 
yang menjadi andalan mereka. 
"Haaat..!"

Hebat sekali serangan yang dilancarkan sera-
ngan berpasangan itu. Bagi lawan yang belum 
pernah mengenalnya, tentu akan kewalahan karena 
pertahanan yang dibuat Ki Ringgit dan Ki Sunggara 
sangat ketat. Sekilas pandang saja, dapat ditebak 
kalau ilmu pedang pasangan itu memiliki inti 
pertahanan yang amat kuat dan sukar ditembus 
lawan. 
Tapi, tidak demikian halnya dengan lelaki ber-
wajah buruk itu. Ilmu pedang pasangan yang di-gu-
nakan lawannya disambut dengan suara de-ngusan 
mengejek. Kemudian, tanpa gentar sedikit pun, 
tubuhnya langsung meluncur memapaki serangan 
kedua lawannya. 
Kembali Ki Ringgit dan Ki Sunggara melongo 
heran. Serangan-serangan ilmu pedang pasangan 
mereka seolah-olah tidak berarti bagi lawannya. 
Bahkan, tubuh lawan dengan mudah menyelinap di 
antara kilatan cahaya pedang. SeperBnya lelaki 
berwajah buruk itu tahu betul kelemahan ilmu 
pedang pasangan lawannya. Sehingga kedua tokoh 
utama Perguruan Perisai Besi wilayah Utara itu 
kembali dapat didesak lawannya. 
"Yeaaat...!" 
Ketika pertarungan memasuki jurus kelima 
puluh, tiba-tiba Pendekar Cacat memekik nyaring. 
Dibarengi dengan putaran tongkatnya yang me-
nimbulkan deru angin keras, tubuh tegap itu 
meluruk ke arah kedua orang lawannya. 
Wuuut..! 
Prakkk! Buggg...! 
"Aaakh...!" 
Hebat sekali serangan yang dilancarkan Pen-
dekar Cacat. Sehingga, baik Ki Ringgit maupun ki Sunggara terpaksa harus menyerahkan nyawanya di 
tangan lelaki cacat itu. Hantaman keras tongkat 
lawan mengenai kepala dan menembus jantung-nya. 
Membuat kedua orang tokoh itu menggelepar dan 
tewas. 
"Hm... Itulah ganjaran bagi pengkhianat-peng-
khianat macam kalian...!" desis Pendekar Cacat de-
ngan nada dingin. 
Tak berapa lama kemudian, lelaki berwajah 
buruk itu melangkah terpincang-pincang mema-suki 
gedung perguruan. 
"Berhenti...!" 
Terdengar bentakan menggelegar dibarengi 
munculnya sosok tubuh gemuk menghadang jalan 
lelaki cacat itu. 
"Keparat! Siapa kau sebenarnya? Dan, apa yang 
kau inginkan dengan berbuat keonaran di tempat 
ini?" geram lelaki gemuk yang tak lain dari Ki Janar 
Pari. 
"Hm.... Janar Pari! Kau tidak pantas dibiarkan 
hidup lebih lama lagi! Bersiaplah untuk menerima 
hukuman mati, Manusia Tak Tahu Balas Budi!" 
Desis Pendekar Cacat dengan nada dingin dan 
mendirikan bulu roma. 
"Bangsat! Rejam lelaki buruk itu...!" perintah Ki 
Janar Pari seraya menudingkan telunjuknya ke arah 
lelaki cacat itu. 
"Tunggu...!" 
Puluhan murid Perguruan Perisai Besi yang se-
mula meluruk maju, menghenrikan langkahnya 
ketika mendengar teriakan menggelegar yang 
membuat dada mereka berdebar keras. 
"Dengarlah kalian, hai murid-murid Perguruan 
Perisai Besi! Jika kalian tidak ingin disebut sebagai

murid durhaka, jangan campuri urusan ini! Sebab, 
manusia busuk yang bernama Janar Pari ini, telah 
bersekongkol dengan iblis-iblis keji, dan membunuh 
Ki Tambak Waja yang menjadi guru besar kalian 
semua! Maka, bagi yang tidak ingin disebut murid 
murtad, menyingkirlah, dan tinggalkan tempat ini," 
ujar Pendekar Cacat sambil mengedarkan 
pandangan matanya berkeliling. 
"Jangan dengarkan ocehannya! Tunggu apa lagi? 
Lumatkan lelaki buruk itu!" teriak Ki Janar Pari 
dengan suara keras. 
"Yeaaat..!" 
Tanpa membantah lagi, puluhan murid Per-
guruan Perisai Besi berteriak-teriak dan menyerbu 
Pendekar Cacat. Suara-suara senjata mereka ber-
desingan menyambar tubuh lelaki cacat yang segera 
berlompatan menghindarinya. 
"Haiiit..!" 
Sambil memekik nyaring, tubuh Pendekar Cacat 
melayang ke arah Ki Janar Pari yang berdiri 
menonton. Tongkat di tangannya langsung berpu-
taran dengan kecepatan kilat. 
Tentu saja Ki Janar Pari tidak mau tinggal diam. 
Dicabutnya pedang yang tergantung di ping-gang. 
Lalu, disambutnya putaran tongkat lelaki cacat itu. 
Trang! Trang! 
Terdengar benturan keras ketika senjata kedua 
orang itu saling bertumbukan di udara. Kaget bukan 
main hati Ki Janar Pari ketika kuda-kudanya 
tergempur mundur hingga satu tombak ke belakang. 
"Gila! Tenaga manusia cacat ini hebat sekali...!" 
Desis Ki Janar Pari sambil menyeringai menahan 
rasa ngilu yang menggjgit pergelangannya.

Namun, Ki Janar Pari tidak sempat berpikir lebih 
jauh. Sebab, lawannya telah kembali mener-jang! 
Bahkan, serangannya kali ini jauh lebih hebat dan 
semula. Karuan saja hati tokoh utama Perguruan 
Perisai Besi itu semakin terkejut. 
Pertempuran sengit antara kedua tokoh itu nam-
pak semakin mendebarkan. Para murid Ki Janar 
Pari hanya berdiri menonton dari kejauhan. Sebab, 
bila mereka mencampuri pertempuran, hanya akan 
merepotkan ketuanya saja. Sehingga, mereka bdak 
berani melibatkan diri dalam per-tarungan sengit 
itu. 
Sementara Itu, Ki Janar Pati semakin terkejut 
ketika setiap kali ia berganti jurus, selalu saja dapat 
dikenali lawannya dengan baik. Seakan-akan jurus-
jurus yang digunakannya itu bukan lagi rahasia per-
guruan. Kenyataan itu tentu saja membuatnya tak 
berkutik dalam menghadapi se-rangan-serangan 
balasan yang dilontarkan lawan-nya. 
"Haiiit...!" 
Ketika pertarungan memasuki jurus yang kelima 
puluh, Ki Janar Pati sudah kewalahan dan tidak 
sempurna lagi melancarkan serangan bala-san. 
Semen-tara putaran tongkat lawan bagaikan 
tangan-tangan maut, terus mendesaknya dengan 
kecepatan dan kekuatan yang menggetarkan. Le-laki 
setengah baya itu tidak mampu lagi meng-hindari 
sebuah tusukan lawan yang dikerahkan dengan 
kekuatan hebat, meluncur ke arah teng-gorokannya. 
Jrosss...! 
"Eeekh...!" 
Ki Janar Pati mengerang kefika ujung tongkat 
Pendekar Cacat tertanam dalam tenggorokannya.

Darah segar menyembur dari luka berlubang yang 
cukup besar. 
"Hih...!" 
Belum lagi Ki Janar Pati menyadari keadaan-nya, 
lelaki berwajah buruk itu kembali membentak 
sambil menyabetkan tongkatnya ke arah kepala 
Ketua Perguruan Perisai Besi wilayah Utara itu. 
Krakkk...! 
Tanpa sempat berteriak lagi, tubuh Ki Janar Pali 
melorot ke tanah dengan kepala retak. Setelah 
menggelepar beberapa saat, tubuh lelaki setengah 
tua itu tewas di hadapan puluhan orang murid-nya. 
"Rawat perguruan ini baik-baik, dan kuburkan 
mayat-mayat yang mengotori bangunan ini. Kelak 
aku akan kembali ke sini," ujar Pendekar Cacat 
kepada puluhan orang murid yang hanya meng-
angguk dengan wajah pucat. Jelas, mereka merasa 
gentar dengan lelaki cacat yang berkepandaian 
tinggi itu. 
Setelah meninggalkan pesannya, Pendekar Ca-cat 
langsung melesat meninggalkan Perguruan Perisai 
Besi wilayah Utara. Sesaat kemudian, tubuhnya 
telah lenyap di balik pintu gerbang. 
*** 
TUJUH


Sesosok tubuh tegap berkelebatan cepat me-
lintasi jalan utama Desa Taking, Rambutnya yang 
panjang berWbaran diterpa angin yang berhembus

cukup keras. Gerakannya cepat dan ringan sekali. 
Jelas, sosok tubuh tegap itu memiliki ilmu me-
ringankan tubuh yang tinggi. 
Aneh! Sosok tubuh tegap itu tidak melalui mulut 
Desa Taking. Tetapi berbelok dan meng-ambil jalan 
melalui pematang sawah. Di sini, kehe-batan ilmu 
meringankan tubuh kembali dipertun-jukkannya. 
Meskipun jalan yang dilaluinya sangat kecil, namun 
semua itu tidak menjadi halangan baginya. 
"Haiiit...!" 
Sambil berseru nyaring, lelaki bertubuh tegap itu 
menjejakkan kakinya ke tanah. Dan, tubuhnya lang-
sung melambung ke dataran yang lebih tinggi di de-
pannya. Ringan sekali kedua kakinya men-darat di 
dataran tinggi itu. 
Setelah mengedarkan pandangannya sejenak, 
sosok yang temyata Pendekar Cacat, melangkah 
tertatih-tatih. Tongkat bulat berwarna kuning gading 
menjadi penyangga kala ia melangkah terpincang-
pincang. 
Desa Talung sudah jauh berada di belakang 
punggungnya, dan tidak ditolehnya sama sekali. 
Langkahnya yang terpincang-pincang itu terus 
terayun di atas jalan berbatu. 
Tak berapa lama kemudian, langkahnya ter-henti. 
Dari balik rimbunan semak belukar, dipan-danginya 
sebuah bangunan perguruan yang ber-diri kokoh 
dengan dikelilingi pagar kayu bulat. 
"Hm.... Tunggulah pembalasanku, Topeng Se-
tan...," desis Pendekar Cacat dengan nada geram. 
Sinar matanya yang berkilat tajam memancarkan 
dendam yang membara. 
Sambil tetap mengawasi bangunan perguruan itu, 
Pendekar Cacat menanti hari menjadi gelap. Karena

saat itu senja terlihat mulai turun menyelimuti 
permukaan bumi. Ketika keremangan senja mulai 
merata, lelaki berwajah buruk itu berkelebat di 
antara bayang-bayang pepohonan yang 
menyembunyikan sosok tubuhnya. 
Setibanya di bagian belakang perguruan itu, lang-
kahnya dihentikan sejenak. 
"Hm.... Biarpun untuk ini harus mengorbankan 
nyawa, tetap dendam ini akan kubalas," desisnya 
mengambil keputusan tanpa rasa ragu sedikit pun. 
Setelah menetapkan keputusannya, Pendekar Ca-
cat menggenjot tubuhnya. Bagaikan seekor burung 
besar, tubuh tegap itu rnelambung mele-wati pagar 
kayu bulat setinggi tiga tombak. Persis ketika 
tubuhnya berada di atas pagar, tangan kanannya 
perlahan memukul pagar. Kemudian tubuh tegap itu 
kembali melenting dan berjum-palitan beberapa kali 
di udara. Lalu, mendaratkan kedua kakinya di 
taman belakang bangunan per-guruan itu. 
Rupanya nasib Pendekar Cacat kurang ber-
untung. Saat tubuhnya melambung, seorang lelaki 
berkepala botak yang mengenakan rompi dari kulit 
harimau, sempat menangkap bayangan tubuhnya. 
"Hei...! Siapa itu...?" bentak lelaki berkepala botak 
itu dengan suara keras. Disusul dengan lesatan 
tubuhnya yang langsung mengejar baya-ngan lelaki 
berwajah buruk itu. 
Teriakan yang cukup keras itu, sempat pula 
terdengar oleh beberapa penjaga yang tengah ber-
tugas. Sehingga tempat itu segera ramai oleh para 
penjaga yang juga telah mendengar seruan lelaki 
berkepala botak itu. 
Pendekar Cacat terkejut bukan main. Sadar kalau 
tidak mungkin lagi menyembunyikan diri, maka dengan langkah tertatih-tatih lelaki cacat itu keluar 
dari tempat persembunyiannya. 
"He he he.... Manusia cacat! Apa yang kau cari di 
tempat ini?" Terdengar teguran mengejek yang 
keluar dari mulut lelaki berkepala botak yang tak 
lain adalah si Cambuk Kelabang. 
Setelah berkata demikian, tangan si Cambuk 
Kelabang bergerak memerintahkan murid-murid-
nya untuk mengepung lelaki berwajah buruk itu. 
"Cambuk Kelabang...," desis Pendekar Cacat 
ketika mengenali lelaki berkepala botak yang me-
mimpin orang-orangnya untuk mengepung. Tam-
pak kilatan cahaya dendam dari sepasang mata 
lelaki cacat itu. Sedangkan ejekan lelaki botak itu 
sama sekali tidak dipedulikannya. 
"Hm.... Bekuk pencuri kesasar itu! Bawa meng-
hadap Ketua Topeng Setan...!" perintah si Cambuk 
Kelabang dengan suara lantang. 
Tanpa diperintah dua kali, belasan lelaki ber-
seragam putih bergerak menyerbu lelaki cacat itu. 
"Hmh...!" 
Sambil menggeram gusar, Pendekar Cacat me-
ngibaskan tongkat di tangannya ke sekeliling tem-
pat itu. 
Wuuut..! 
Serangkum angin keras berhembus ketika tong-
kat di tangan Pendekar Cacat diputar dengan 
mengerahkan tenaga dalam. 
Karuan saja mereka yang semula bergerak me-
nyerbu menjadi mundur. Sehingga dalam sekejap 
saja, para pengepung dibuat berantakan oleh lelaki 
cacat. 
Gusar bukan main hati lelaki berkepala botak itu 
ketika menyaksikan kenyataan didepan hidungnya.

Wajah si Cambuk Kelabang yang memang agak 
gelap, nampak semakin bertambah kelam. Jelas, ia 
sangat marah dengan kejadian yang baru saja 
berlangsung di hadapannya. 
"Kurang ajar...!" desisnya dengan nada geram 
Cepat tangan kanannya bergerak meloloskan cam-
buk berduri yang terlilit di pinggangnya. Maka.... 
Jdarrr! Jdarrr! 
Terdengar suara ledakan keras yang meme-
kakkan gendang telinga, ketika lelaki berkepala 
botak itu melecutkan cambuknya berkali-kali. Asap 
tipis tampak mengepul selling bau amis yang 
menyengat hidung. 
"Gila...! Rupanya keparat botak itu telah me-
lumuri racun pada cambuknya. Padahal, beberapa 
waktu lalu, cambuk itu belum berlumur racun. 
Hm... Aku harus lebih berhati-hati dalam meng-
hadapi cambuk berduri itu..," gumam Pendekar 
Cacat sambil bersiap menghadapi segala kemung-
kinan. 
"Yeaaat...!" 
Dibarengi sebuah teriakan nyaring, tubuh lelaki 
gemuk berkepala botak itu langsung melesat disertai 
lecutan cambuknya yang meledak-ledak. 
Jdarrr! Jdarrr...! 
Cambuk berduri itu melecut-lecut mengincar 
bagian-bagian terlemah dari tubuh Pendekar Cacat. 
Namun, dengan gerakan yang ringan dan langkah-
langkah aneh, tubuh lelaki cacat itu meloncat kian 
kemari dengan lincahnya. Sehingga, ujung-ujung 
cambuk berduri itu tidak sampai menyentuh 
tubuhnya. 
"Haiiit..!"

Pada suatu kesempatan baik, Pendekar Cacat 
menghantamkan tongkatnya dengan kecepatan yang 
menggetarkan. 
Wuuut...! 
Sambaran angin keras menderu seiring dengan 
ayunan tongkat yang digerakkan melalui kekuatan 
tenaga dalam. 
Beberapa pengepung yang mencoba membo-kong 
lelaki berwajah buruk itu, terpelanting keras tanpa 
sanggup bangkit lagi. Tubuh mereka ber-kelojotan 
sesaat, sebelum menghembuskan napas-nya yang 
terakhir. Jelas, hantaman tongkat Pen-dekar Cacat 
mengandung tenaga sakti yang luar biasa. 
"Gila...!" umpat si Cambuk Kelabang dengan 
wajah semakin bertambah gelap. 
Dengan disertai bentakan nyaring, tubuh lelaki 
berkepala botak itu kembali meluruk maju disertai 
putaran cambuknya yang menderu dan mendesis-
desis tajam. Kepulan asap tipis berbau amis sema-
kin kuat menyergap hidung lelaki cacat itu. 
"Heaaah...!" 
Geram bukan main hati Pendekar Cacat melihat 
kecurangan lawannya. Bokongan cambuk lawan-nya 
berhasil dielakkan. Kemudian, ujung tongkat-nya 
bergerak dengan kecepatan kilat ke arah tubuh 
lawan. 
Bukkk! Desss...! 
"Aaakh...!" 
Si Cambuk Kelabang memekik kesakitan. Se-
rangan balasan tongkat lawannya menghajar telak 
batang leher dan dadanya. Kontan darah segar me-
nyembur dari mulut lelaki berkepala botak itu. 
Tubuhnya yang besar, jatuh berdebuk di atas tanah. 
Setelah berkelojotan sesaat, tubuhnya diam dan tak

bergerak lagi. Si Cambuk Kelabang tewas akibat 
hantaman tongkat di tangan Pendekar Cacat. 
Namun, lelaki cacat yang baru saja menewas-kan 
musuhnya tersentak kaget. Hampir bersa-maan 
dengan robohnya tubuh Cambuk Kelabang, sesosok 
bayangan melesat dengan kecepatan kilat, dan 
langsung mengirimkan tendangan keras ke dada 
Pendekar Cacat. 
Desss...! 
"Huagkh...!" 
Karena posisinya saat itu sama sekali belum siap, 
maka tendangan keras tadi menghajar telak 
dadanya. Bagai dilemparkan tangan raksasa yang 
tak tampak, tubuh Pendekar Cacat terpental deras 
hingga dua tombak lebih. Kemudian jatuh ber-
guling-guling dan memuntahkan darah segar. 
Meskipun dadanya terasa sesak dan tulangnya 
terasa seperti remuk, Pendekar Cacat masih ber-
usaha bangkit. Kedua kakinya terlihat agak goyah 
ketika ia memaksakan berdiri. 
Belum sempat lelaki berwajah buruk itu berdiri 
tegak, sosok bayangan putih itu kembali meluruk 
dengan pukulan maut yang menimbulkan suara 
mencicit tajam. Jelas, pukulan yang dilancarkan 
sosok bayangan putih itu merupakan pukulan maut 
yang bisa membawa kematian bagi lawan-nya. 
Pendekar Cacat yang mengatami luka cukup pa 
rah itu, hanya mampu memandang serangan la-
wannya dengan pasrah. Sebab keadaannya sudah 
sangat lemah sehingga tidak mungkin menghin-dari 
serangan lawannya. 
"Heaaat...!" 
Mendadak pada saat yang gawat bagi kese-
lamatan lelaki cacat itu, sesosok bayangan putih

lainnya melesat dan langsung memapak pukulan 
maut sosok bayangan putih yang pertama. Maka.... 
Plakkk! Dukkk! 
"Akh...!" 
"Uhhh...!" 
Terjadilah benturan hebat yang seolah-olah hen-
dak meruntuhkan bangunan perguruan itu. 
Kemudian disusul seruan kaget dari kedua sosok 
bayangan putih yang saling bentrok pukulan itu. 
Terlihat kedua sosok bayangan putih itu sama-
sama terpental hingga mencapai dua tombak 
jauhnya Namun, keduanya mampu metakukan salto 
di udara beberapa kali untuk mematahkan daya 
luncur tubuh masing-masing. Dan, keduanya 
mendarat di atas tanah dalam waktu yang ber-
samaan. 
*** 
"Pendekar Naga Putih...!" desis sosok berpa-kaian 
putih sambil menatap lawannya setengah tidak 
percaya. 
Sepasang mata yang tersembunyi di balik topeng 
karet itu berkilat tajam. Jelas, ia merasa tak senang 
ada orang mencampuri urusannya. 
"Hm.... Kau pastilah orang yang berjuluk Topeng 
Setan, bukan?" ucap sosok berjubah putih dengan 
sikap tenang. Wajahnya yang tampan tampak 
mengulas senyum. Tubuhnya yang tegap masih 
terselimut lapisan kabut tipis bersinar putih 
keperakan. Tidak salah lagi, orang berjubah putih 
itu adalah Panji yang lebih dikenal berjuluk Pendekar Naga Putih.

Selagi kedua sosok yang sama-sama menge-
nakan pakaian warna putih itu saling tatap, dua 
sosok tubuh lain mendaratkan kakinya di depan 
lelaki buruk rupa yang tengah memegangi dada-nya. 
"Kisanak, kau... kau terluka...?" sapa sosok yang 
baru tiba sambil menyentuh bahu Pendekar Cacat. 
Wajahnya yang cantik tampak menylratkan sinar 
penuh iba. 
Lelaki cacat yang semula merunduk itu, per-
lahan mengangkat kepalanya Sinar matanya ter-
tegun sejenak. Pendekar Cacat merasa terkejut 
melihat gadis berpakaian merah muda yang tadi 
menegurnya. Bibirnya yang tebal dan berwarna 
hitam, menggerimit seperti hendak mengucapkan 
sesuatu. Namun, yang keluar dari mulutnya hanya 
desahan panjang. 
"Kau hendak mengatakan apa, Kisanak...!" Tanya 
gadis cantik itu dengan pandangan penuh selidik. 
Meskipun dara cantik itu sempat kaget ketika 
melihat wajah yang buruk dan menakutkan itu, tapi 
harinya merasa dekat dan iba sekali terhadap lelaki 
berwajah mengerikan itu. 
"Kau.... Apakah kau bernama Milani. Nisa-
nak...?" Tanya Pendekar Cacat terbata-bata. Nada 
suaranya agak ragu-ragu, namun jelas kalau ia 
sangat berharap dugaannya tidak keliru. 
"Benar! Namaku memang Milani. Kau... siapa-kah 
kau, Kisanak? Bagaimana kau bisa mengenal-ku? 
Rasanya..., kita tidak pemah saling bertemu 
sebelumnya?" Tanya gadis yang ternyata Milani itu 
dengan wajah keheranan. 
Wajar kalau Milani merasa heran. Sebab, boleh 
dibilang, gadis cantik ini hampir tidak pemah keluar 
dari perguruan yang dipimpm ayahnya. Tentu saja

hatinya merasa heran mendengar lelaki cacat itu 
mengetahui namanya. 
"Milani..., percayakah kau kalau aku ini adalah 
Wiranta, kakakmu?" ucap Pendekar Cacat sambil 
menatap tepat ke bola mata Milani. Sepertinya ia 
hendak menegasi sambutan gadis cantik itu atas 
ucapannya. 
Tentu saja Milani tersentak kaget mendengar 
pengakuan yang sama sekali tidak diduganya itu. 
Gadis cantik itu baru mengerti mengapa ia merasa 
sangat dekat dengan lelaki buruk itu, meskipun 
baru pertama kali bertemu. Tapi Milani tidak bisa 
percaya begitu saja. Sebab, bisa saja orang ber-
wajah buruk itu memang telah mengenatnya. Dan, 
mencoba memanfaatkan kesempatan untuk mak-
sud-maksud tertentu. 
"Aku telah menduga kalau kau tidak percaya 
dengan ucapanku. Aku mengerti keraguan hati-mu. 
Sebab, gadis cantik mana yang sudi mem-punyai se-
orang kakak berwajah seperti setan," tu-tur 
Pendekar Cacat tertunduk sedih. Jelas, hati-nya 
merasa terpukul ketika melihat sikap Milani yang 
tidak sudi mengakui dirinya sebagai kakak 
kandungnya. 
"Maaf, Kisanak. Bukan aku tidak suka mem-
punyai seorang kakak seperti apa yang kau katakan 
itu," sahut Milani yang merasa tidak enak untuk 
mengatakan 'berwajah buruk'. Karena ia takut lelaki 
cacat itu akan menjadi lebih tersing-gung. 
Milani tercenung sejenak seraya menatap tajam 
ke arah tubuh ielaki berwajah buruk itu. Seolah-
olah ia ingin mencari kepastian di tubuh lelaki yang 
mengaku bernama Wiranta itu.

'Tapi haruskah aku mempercayai begitu saja 
ucapanmu? Kalau memang kau benar-benar 
kakakku, tunjukkanlah tanda yang ada pada diri-
mu. Sebab, keluarga kami memiliki tanda khusus 
pada lengan kanannya yang tidak bisa ditiru orang 
iain," tegas Milani sambil menatap wajah buruk itu 
dengan penuh selidik. 
Tanpa ragu-ragu lagi, Pendekar Cacat segera 
merobek baju pada pangkal lengannya. Dan, tanda 
khusus yang dikehendaki Milani temyata memang 
ada pada pangkal lengan lelaki berwajah buruk itu. 
Keraguan di wajah gadis cantik itu pun lenyap 
seketika. Dipeluknya tubuh lelaki cacat itu tanpa 
rasa jijik sedikit pun. 
"Kakang.... Apa yang terjadi denganmu? Me-
ngapa kau sampai menderita seperti ini?" isak 
Milani sambil menyembunyikan wajahnya di dada 
lelaki buruk yang memang Wiranta itu. 
"Nantilah akan kucentakan. Sekarang, sebaik-nya 
kita bereskan dulu manusia manusia jahanam yang 
telah menghancurkan kebahagiaan keluarga kita...," 
sahut Wiranta sambil melepaskan pelukan adiknya. 
Gadis cantik berpakaian serba hijau yang sejak 
tadi hanya berdiri terpaku, sempat diliputi keha-
ruan melihat pertemuan kakak beradik itu. Ke-
malangan telah memisahkan mereka. Kini, kedua-
nya bertemu lagi, meskipun dalam keadaan yang 
sama sekali tidak mereka inginkan bersama. 
"Milani. Biar kulihat dulu luka yang diderita 
kakakmu. Kau berjaga-jaga saja...," ujar gadis ber-
pakaian hijau yang tak lain adalah Kenanga. 
Setelah berkata demikian, Kenanga mengambil 
sebutir obat berwarna putih dari dalam kantung 
kain yang tergantung di pinggang kirinya. Kemu

dian, diserahkannya sebutir kepada Wiranta. Usai 
menyerahkan obat gadis jelita itu pun bangkit dan 
mengedarkan pandangan ke sekeliling. Sedangkan 
Wiranta sudah tenggelam dalam semadinya untuk 
melancarkan peredaran darahnya kembali. 
"Mengapa puluhan orang lelaki itu tidak menye-
rang kita, Milani?" Tanya Kenanga yang merasa 
heran melihat puluhan orang pengikut Topeng Setan 
sama sekali tidak bergerak menyerang. Tapi, mereka 
tetap dalam posisi mengepung dengan senjata di 
tangan. 
"Hm.... Mungkin mereka masih merasa enggan 
untuk menyerangku. Itu pertanda hati mereka 
belum sepenuhnya terbawa oleh lelaki jahanam 
yang berjuluk Topeng Setan itu. Hal ini tentu cukup 
menggem-birakan bagiku. Sebab, seandai-nya 
mereka tidak lagi memandangku, tentu sejak tadi 
kita sudah kerepotan. Bahkan, mungkin saja 
Kakang Wiranta menjadi tewas. Kulihat kesehatan 
tubuhnya masih sangat lemah," sahut Milani sam-
bil mengedarkan pandangannya berkeliling. 
Namun, kelegaan hati Milani tidak beriangsung 
lama. Tiba-tiba berkelebat tiga sosok bayangan dari 
dalam bangunan utama perguruan itu. Keda-tangan 
ketiga orang itulah yang membuat keadaan menjadi 
berubah. 
"Hei! Mengapa kalian diam saja? Ayo, cincang 
ketiga orang itu!" perintah salah seorang dari ke-tiga 
orang itu dengan suara mengandung teguran. 
Milani dan Kenanga mematingkan wajah ke arah 
asal suara itu. Kening gadis itu berkerut ketika 
melihat seorang wanita tua berwajah keri-put. Sinar 
mata nenek itu nampak tajam dan me-ngerikan.

Sedangkan dua orang lainnya adalah lelaki ber-
tubuh gagah dan memiliki sikap agak angkuh. Dan, 
itu terlihat jelas baik dari sikap maupun pandangan 
matanya yang menyiratkan ejekan. Sepertinya 
mereka memandang remeh terhadap kedua orang 
gadis cantik itu. 
"Eh...!" Sentak salah satu dari kedua orang lelaki 
itu agak kaget ketika sempat melihat wajah Milani 
lebih tegas. Tampak jelas rasa terkejut terpancar 
pada wajahnya. 
"Ada apa, Adi Basra...?" Tanya kawannya yang 
memiliki kumis Bpis dan cambang. Sebab ia me-
rasa heran melihat kekagetan pada wajah kawan-
nya yang bernama Basra itu. 
"Bukankah itu putri Ki Tambak Baya..?" Tanya 
Basra meminta pendapat lelaki berkumis tipis itu. 
"Hai..., benar! Pantas aku seperti pernah me-lihat 
wajahnya. Hm.... Kalau begitu, kita harus hati-hati. 
Sebab, sebagai putri Ki Tambak Baya tentu saja ia 
memiliki kepandaian cukup luma-yan," bisik lelaki 
berkumis tipis itu mengingatkan kawannya. 
Lelaki berwajah gagah yang dipanggil Basra itu 
mengangguk perlahan. Sedangkan sepasang mata-
nya telah beralih ke arah gadis berpakaian serba 
hijau yang memiliki paras jelita dan sangat mem-
pesona. Basra langsung terpikat ketika melihat 
gadis jelita itu. Terlihat pada tatapannya yang tak 
pemah lepas dari raut wajah Kenanga. 
Sementara itu, puluhan lelaki bersenjata yang 
semula hanya mengepung, kini mulai bergerak 
setelah mendapat perinrah dari nenek bermata 
mengerikan itu. 
Nenek yang terkenal dengan julukan Kunti-lanak 
Hutan Manuk itu terkekeh serak. Tongkat kepala

tengkorak di tangannya diketukkan ke tanah 
beberapa kail Setelah itu, kakinya yang kurus dan 
mengenakan gelang perak melangkah beberapa 
tindak. Keningnya tampak berkerut ketika melihat 
lelaki berwajah buruk yang tengah bangkit setelah 
menyelesaikan semadinya. 
"Bunuh ketiga orang itu...!" teriak Kuntilanak 
Hutan Manuk dengan suara parau, seraya mengi-
baskan tongkat kepala tengkoraknya sebagai aba-
aba untuk menyerang. 
*** 
DELAPAN


"Heaaat..!" 
Sambil berteriak keras, puluhan murid Pergu-
ruan Perisai Besi bergerak menyerang Kenanga dan 
dua orang putra Ki Tambak Baya. 
Kenanga telah meloloskan Pedang Sinar Rem-
bulan yang melingkari pinggangnya. Senjata pusa-
ka yang mengeluarkan sinar putih keperakan itu 
diputar sedemikian rupa, sehingga membentuk 
gulungan sinar yang mengejutkan para pengero-
yoknya. 
Demikian pula halnya dengan Wiranta. Lelaki 
bermuka buruk yang berjuluk Pendekar Cacat itu 
memutar tongkatnya di depan dada, sehingga 
menimbulkan deruan angin yang berputar hebat 
Kesehatannya yang telah pulih berkat pil pem-
berian Kenanga, membuat semangatnya terbang-kit. 
Dengan gagah, tubuhnya melesat menghalau musuh 
yang mengepung mereka.


Milani pun tidak tinggat diam, pedang yang ter-
genggam di tangannya, berkelebatan menyambar-
nyambar bagaikan kilatan-kilatan tangan maut yang 
siap merenggut nyawa lawan-lawannya. 
Hebat bukan main gempuran yang dilancarkan 
ketiga orang pendekar muda itu. Dalam waktu 
sekejap, puluhan pengeroyok itu dibuatnya kocar-
kacir. Darah segar muncrat seiring jerit kematjan 
yang susul-menyusul, menambah semarak sua-sana 
pertempuran. 
Kuntilanak Hutan Manuk dan dua orang lelaki 
gagah yang semula memandang enteng ketiga 
lawannya, menjadi terkejut bukan main. Maka, 
ketiga tubuh itu segera melayang memasuki kan-
cah pertempuran. 
Masuknya ketiga tokoh sesat itu, membuat ke-
adaan berubah seketika. Sehingga Kenanga, Mila-ni, 
dan Wiranta terpaksa meningkarkan serangan-
serangannya. Dan, jika mereka tidak ingin tewas 
dalam pertempuran, maka harus selalu waspada. 
Sebab kehadiran ketiga pentolan lawan itu mem-
buat pertarungan semakin bertambah ramai dan 
sengit. 
"Haaat...!" 
Wiranta yang telah menjelma menjadi seorang 
lelaki cacat itu, berteriak nyaring sambil mem-
babatkan tongkatnya menyapu dua orang lawan 
yang hendak membokongnya. Begitu tubuh kedua 
lawannya terjungkal, Pendekar Cacat langsung 
mengirimkan totokan maut. Jerit kematian terde-
ngar melolong ketika ujung tongkat Wiranta me-
nembus tenggorokan mereka. 
"Yeaaat..!"

Lelaki bertubuh tegap yang bernama Basra cepat 
memanfaatkan kesempatan selagi Wiranta 
membelakanginya. Pedang di tangannya berdesing 
nyaring merobek udara malam. 
Namun, Wiranta bukanlah lelaki cacat yang gam-
pang ditaklukkan. Meskipun tubuhnya tidak 
sempurna akibat kekejaman Topeng Setan, tapi 
kepandaian yang dimilikinya sangat tinggi. Maka 
ketika merasakan sambaran angin tajam dari 
belakangnya, cepat-cepat pemuda itu menjatuh-kan 
tubuhnya, dan langsung menyodokkan ujung 
tongkatnya ke arah dada lawan. 
Wuuut..! 
"Aaah...!" 
Gerakan tak terduga yang dilakukan Wiranta 
membuat lawannya terpekik kaget Untung Basra 
sempat memiringkan tubuhnya ke samping, 
sehingga tusukan maut itu tidak sampai mengenai 
dadanya. Kemudian, terpaksa tubuhnya berjum-
palitan beberapa kali ketika tongkat lawan ber-putar 
mengancam kepalanya. 
"Hm.... Rupanya Ketua Perguruan Perisai Besi 
cabang wilayah Barat telah bersekongkol dengan To-
peng Setan. Pantas ketika kudatangi kau tidak ada 
di tempat, Ki Basra. Rupanya kau sudah ber-ada di 
sini. Rencana apa yang tengah kau susun saat ini, 
Pengkhianat?" geram Wiranta yang me-ngenal baik 
Ki Basra sebagai pengikut ayahnya yang menjabat 
Ketua Perguruan Perisai Besi wila-yah Barat. 
Kegeraman pemuda itu pun semakin menjadi-jadi. 
"Tidak perlu banyak bacot! Susullah tua bangka 
itu di akhirat!" bentak Ki Basra seraya menyerang 
Wiranta dengan ayunan pedangnya. 
Bettt! Bettt!

Wiranta melangkah ke kiri-kanan dengan 
gerakan-gerakan aneh untuk menghindari sera-
ngan beruntun lawannya. Dan ketika memasuki 
jurus keempat puluh, ia melihat sebuah peluang 
yang sangat baik, langsung saja pemuda cacat itu 
menyabetkan tongkatnya dengan sepenuh tenaga. 
Wuuut...! Prakkk...! 
Hantaman tongkat yang amat kuat itu, telak 
menghajar pelipis Ki Basra. Darah segar mengucur 
sailing dengan tubuh lelaki setengah tua itu ter-
jengkang dan terhempas ke tanah. Tubuh itu ber-
kelojotan, sebelum tewas dengan mata mendelik. 
Setelah menewaskan lawannya, Pendekar Cacat 
mengamuk hebat. Belasan lawan dibabat dengan 
tongkatnya, sehingga para pengeroyok itu terpe-
lanting ke kanan dan kiri. Disusul kemudian sebuah 
hantaman keras dari senjata yang tergeng-gam di 
tangan Wiranta. Jerit kematian terdengar pilu 
seiring darah mengucur dari luka-luka yang 
menganga di leher mereka. 
Dalam pertarungan lain, Kenanga dan Milani juga 
mengamuk hebat seperti banteng terluka. Belasan 
pengeroyoknya dihajar habis-habisan. Namun, 
sebagian dapat diselematkan oleh tiga orang 
pentolannya. 
Wiranta yang melihat adiknya terdesak oleh se-
orang lelaki berkumis tipis, segera melesat dan lang-
sung menerjang lelaki yang dikenalnya se-bagai 
murid ayahnya dan menjadi ketua per-guruan di 
wilayah Timur. Sehingga Milani dapat menarik 
napas lega. 
"Keparat busuk! Mampuslah kau...!" maki 
Wiranta sambil menyabetkan tongkatnya dengan 
kekuatan penuh.

Namun, lawannya temyata cukup gesit Selain 
sambaran tongkat pemuda cacat itu dapat dihin-
darinya, ia pun sempat pula melakukan serangan 
balasan. Sehingga pertarungan keduanya pun ber-
langsung sengit dan seru. 
*** 
"Yeaaat..!" "Heaaat...!" 
Di arena lain, Pendekar Naga Putih sudah pula 
berhadapan dengan gembong penjahat yang 
berjuluk Topeng Setan. Kedua tokoh yang memiliki 
kesaktian dahsyat itu saling menerjang dahsyat. 
Pertempuran yang beriangsung antara kedua to-
koh sakti itu, jauh lebih mendebarkan ketim-bang 
pertempuran-pertempuran lainnya. Sehingga 
suasana di sekitar arena pertarungan mereka 
bagaikan terlanda angin topan yang mengerikan. 
Beberapa batang pohon sebesar pelukan orang 
dewasa bertumbangan akibat angin pukulan me-
reka yang nyasar. Bahkan pagar kayu bulat yang 
berada dekat mereka, roboh berkeping-keping. 
Dapat dibayangkan, berapa mengerikannya perta-
rungan kedua tokoh maha sakti itu. 
Panji yang telah menggunakan jurus andalan-
nya, bergerak menyambar-nyambar dengan ceng-
keraman-cengkeraman mautnya. Suara sambaran 
angin yang berasal dari pukulannya mencicit tajam, 
menandakan kekuatan hebat yang terkan-dung di 
dalamnya. Bahkan, hawa dingin yang memancar 
keluar dari tubuh pemuda itu membuat keadaan di 
sekitar arena pertempuran seperti di-landa badai 
salju.

Namun, lawan yang dihadapi pendekar muda itu 
pun bukan tokoh sembarangan. Sambaran-
sambaran angin pukulannya menebarkan hawa 
panas menyengat Sehingga suhu udara di sekitar 
pertarungan berubah-ubah. 
Bila si Topeng Setan tengah berada di atas angin, 
maka udara di sekitar arena pertempuran menjadi 
panas menyengat Sebaliknya, bila Pende-kar Naga 
Putih mendesak lawannya, suhu udara pun menjadi 
dingin bagai menembus tulang. Untung kedua tokoh 
sakti itu sama-sama memiliki daya tahan tubuh 
yang tidak lumrah bagi manu-sia. Jika tidak, 
niscaya bagian dalam tubuh mereka akan rusak 
akibat pergantian udara yang tidak menentu itu. 
"Heaaat..!" 
Pada saat pertarungan menginjak pada jurus 
keseratus enam puluh, tiba-tiba si Topeng Setan 
berteriak menggetarkan dada. Bersamaan dengan 
itu, tubuhnya melesat dengan disertai lontaran-
lontaran 
Bersamaan dengan teriakan yang menggetarkan 
dada, si Topeng Setan melesat disertai lontaran 
pukulannya yang mencicit tajam. 
Blarrr...! 
Pagar kayu bulat yang berada di belakang Panji, 
langsung roboh menimbulkan suara berderak ri-but! 
pukulannya yang mencicit tajam. Blarrr...! 
Pagar kayu bulat yang berada di belakang Panji, 
langsung roboh menimbulkan suara berderak ribut 
Pecahan kayu berhamburan akibat angin pukulan 
berhawa panas menyengat yang terlontar dari 
telapak tangan si Topeng Setan. Untung pemuda 
berjubah putih itu sempat melompat ke samping.

Kalau tidak, pastilah tubuh Panji akan terluka 
parah bila terkena pukulan maut itu. 
Panji yang semakin menyadari kedahsyatan ilmu 
lawannya, segera merubah gerakannya. Se-pasang 
tangannya yang membentuk cakar naga, berputar 
sebentar di depan tubuhnya. Terdengar suara 
bercuitan seiring putaran tangannya. Sesaat 
kemudian, sepasang tangannya bergerak cepat 
saling susul-menyusul dengan disertai langkah 
kakinya yang menimbulkan guratan-guratan da-lam 
di tanah tempatnya berpijak. 
"Hmh...!" 
Topeng Setan menggeram kasar ketika melihat 
perubahan gerak lawannya. Bergegas lelaki tegap itu 
menggeser kaki kanannya ke belakang, mem-bentuk 
kuda-kuda menyerong. Sepasang tangan-nya 
tampak bergetar karena menyimpan kekuatan hebat 
di dalamnya. Sesaat kemudian, sepasang tangan 
kokoh itu bergerak menyabet ke kiri-kanan dengan 
gerakan yang sangat cepat. 
Bettt! Bettt! Bettt! 
Sambil melontarkan pukulan-pukulan maut dan 
disertai langkah kaki berbentuk aneh, si To-peng 
Setan berteriak mengguncangkan bangunan pergu-
ruan itu. 
"Heaaa...!" 
Wusss...! 
Begitu jarak di antara mereka tinggal satu 
setengah tombak, lelaki tegap itu mendorongkan 
sepasang telapak tangannya kedepan. Hembusan 
angin tajam berhawa panas menyengat, terlontar 
dari sepasang telapak tangannya.

Panji yang tidak ingin keringgalan, segera men-
dorongkan telapak tangannya. Dan, pada waktu se-
rangan dilancarkan secara bersamaan, maka.... 
Blarrr...! 
Ledakan dahsyat laksana hendak menggun-cang-
kan jagat terdengar ketika dua kekuatan raksasa itu 
saling berbenturan satu sama lain. 
"Aaargh...!" 
Si Topeng Setan berteriak ngeri ketika tubuh-nya 
terdorong dan rnelambung di udara. Sedang-kan 
tubuh Pendekar Naga Putih hanya terhuyung sejauh 
sepuluh langkah. Sinar putih keperakan dan sinar 
kuning keemasan berpendar menyelimuti tubuhnya. 
Kedua sinar itu menandakan kalau Panji tidak men-
derita luka dalam akibat bentrokan tersebut 
Melihat tubuh lawannya terpental, Panji cepat 
memantek kakinya di tanah. Seketika itu juga daya 
luncur tubuhnya langsung lenyap. Begitu daya 
dorong benturan tadi dapat dipatahkan, langsung 
tubuhnya melesat mengejar lawannya yang masih 
melayang di udara. 
Bukkk! Desss...! 
"Huagkh...!" 
Darah segar langsung keluar dari mulut si 
Topeng Setan. Sedangkan tubuhnya tersentak keras 
dan membentur sebatang pohon besar yang lang-
sung berderak tumbang. 
Bergegas Panji melompat ke arah tubuh lawan-
nya yang menggelosot sambil merintih lirih. 
 "Tahan...!" 
Pendekar Naga Putih mengangkat tangannya ber-
maksud mencegah lelaki berwajah buruk yang akan 
menghantamkan tongkatnya ke kepala si Topeng Se-
tan yang tergeletak tak bernyawa.

"Mengapa kau mencegahku? Orang ini telah 
menghancurkan hidupku! MenyingkiHah.'" bentak 
Wiranta sambil menatap tajam ke arah Panji. 
"Sabarlah, Kakang...," ujar Milani mencegah Wi-
ranta yang hendak menyerang Panji, setelah mem-
babat lawan-lawannya. 
“Tahan nafsu amarahmu, Wiranta," ucap Kena-
nga berusaha menenangkan pemuda cacat itu 
ketika berada di dekatnya, seusai menghabisi orang-
orang yang mengeroyoknya. 
"Hm... aku ingin melihat wajah di balik topeng 
jelek ini. Apakah wajah aslinya jauh lebih buruk 
daripada topeng yang dikenakannya?" desah Panji 
sambil merenggut topeng karet Upis yang selama ini 
menyembunyikan wajah lelaki tegap itu. 
"Paman Wilangga...!?" 
Wiranta dan Milani berteriak berbarengan dengan 
wajah pucat. Kedua kakak beradik itu sama-sama 
melangkah mundur dengan wajah tidak percaya de-
ngan apa yang disaksikannya. 
"Paman.... Mengapa... mengapa Paman melaku-
kan semua ini...?" teriak Wiranta yang sejak kecil 
memang sangat dekat dengan orang yang dipanggil 
paman olehnya itu. Diguncangnya tubuh lelaki ber-
usia empat puluh lima tahun yang tengah sekarat 
itu. Air mata tampak mengembang di bola mata 
lelaki berwajah buruk itu. 
Tokoh sesat berjuluk Topeng Setan yang ter-nyata 
adalah Wilangga, adik tin Ki Tambak Baya itu, 
perlahan membuka matanya yang tampak meredup. 
"Wiranta... Milani..., maaf... kan aku...," desah Ki 
Wilangga dengan susah payah. "Aku... aku telah 
menjadi gila setelah mempelajari ilmu-ilmu tinggi 
yang kutemukan dalam sebuah gua di kaki Gunung

Tumbal. Ilmu-ilmu tinggi itu ternyata sangat jahat 
dan telah meracuni pikiranku. Sehingga, aku sam-
pai merebut perguruan milik ayahmu ini, dan mem-
bunuhnya," ucapan Ki Wilangga terhenti sejenak. 
Tampak dengan susah payah lelaki setengah baya 
itu berusaha mengumpulkan kekuatannya untuk 
menceritakan segala kesalahan yang telah dilaku-
kannya. 
"Paman...!" Milani yang wajahnya sudah dibasahi 
air mata, memanggil sambil mengguncangkan tubuh 
pamannya. Sedangkan Wiranta tertunduk dengan 
wajah sedih. 
"Milani.. Wiranta...," panggil Ki Wilangga lagi 
dengan nada yang semakin lemah. "Pengaruh ilmu 
iblis itu ternyata telah membangkitkan segala apa 
yang pernah kurasakan dulu. Ketahuilah, aku dan 
ayahmu pernah bertengkar karena memperebut-kan 
ibumu yang sama-sama kami cintai. Namun, waktu 
itu aku dapat menyadarinya ketika ibumu men-
jatuhkan pilihannya kepada ayahmu. Tapi, semen-
jak menguasai ilmu iblis itu, timbul sakit hatiku dan 
berniat untuk memiliki ibumu dengan segala cara. 
Namun, setelah ayahmu dapat ku-bunuh, seluruh 
perguruan dan cabangnya berada di bawah kekua-
saanku. Sedangkan ibumu ternyata memilih lebih 
baik mati daripada menjadi istriku. Hhh..., kematian 
ibumu membuat jiwaku semakin guncang. Sehingga 
aku membenci kalian. Sebab dalam bayanganku 
kalian berdua adalah jelmaan Ki Tambak Baya. Itu-
lah sebabnya kenapa kau ingin membunuh kalian 
berdua. Wiranta, Milani..., maukah kalian memaaf-
kan aku?" Tanya Ki Wilangga setelah mengakhiri 
penjelasannya.

"Kami... kami memaafkanmu, Paman. Sekarang 
sebaiknya Paman tidak usah banyak bicara. Kami 
akan meminta pertolongan Pendekar Naga Putih 
untuk menyembuhkan luka-lukamu," ujar Milani 
yang berharap lelaki tegap itu tetap hidup. Sebab, 
hanya Ki Wilangga yang tinggal setelah ayah dan 
ibunya tewas. 
"Aku tidak mungkin dapat sembuh lagi, Milani. 
Seluruh pembuluh darahku telah hancur akibat 
pukulan dahsyat Pendekar Naga Putih. Karena aku 
ingin menjelaskan persoalan ini kepada kalian ber-
dua, maka aku mencoba bertahan beberapa saat," 
ujar orang tua itu seraya tersenyum getir. 
"Paman..., apakah Paman juga yang telah mem-
bunuh Pendekar Kera Siluman? Ketika aku dan 
Pendekar Naga Putih mendatangi Lembah Silu-man, 
kami menemukan mayat pendekar itu di tepi sebuah 
hutan. Menurut Kakang Panji, kematian guru Ka-
kang Wiranta disebabkan pukulan yang mengan-
dung hawa panas. Ketika Paman bertarung dengan 
Pendekar Naga Putih tadi, aku sempat menyaksikan 
pukulan Paman yang mengandung hawa panas. Ka-
rena itu, aku teringat dengan dugaan Pendekar Naga 
Putih tentang pembunuh guru Kakang Wiranta," 
Tanya Milani. 
"Hhh..., benar, Milani. Akulah yang telah mem-
bunuh Pendekar Kera Siluman. Karena dia tidak 
mau kuajak menjadi pengikutku. Akh...!" 
Selesai berkata demikian, Ki Wilangga mengerang 
dengan wajah menegang. Sesaat kemudian kepala-
nya terkulai di pangkuan Milani. Lelaki tua itu tewas 
dengan bibir menyunggingkan senyum. Rupanya 
semua penjelasan itu telah membuat kematiannya 
terasa lebih ringan.

"Paman...!" Milani berseru sambil mengguncang-
guncangkan tubuh Ki Wilangga. Tangisnya meledak 
di atas dada orang tua itu. 
Wiranta sendiri hanya tertunduk tanpa suara. 
Hanya gelombang di dadanya saja yang menanda-
kan kalau pemuda itu pun merasa terpukul dengan 
kematian pamannya. 
Kenanga yang merasa tidak tahan mendengar 
isak tangis Milani, segera menyandarkan kepalanya 
di dada Panji. Kedua tangan gadis jelita itu memeluk 
tubuh kekasihnya erat-erat. 
Panji sendiri menekan keharuan yang menye-
ruak dalam dadanya. Dibelainya rambut Kenanga, 
seolah-olah dengan berbuat demikian, ia berharap 
dapat memberi tambahan kekuatan dalam hati 
kekasihnya. 
Sang surya naik merambat dan menyebarkan 
sinarnya ke seluruh permukaan bumi. Seberkas ca-
haya menembus celah-celah dedaunan pohon yang 
tumbuh di halaman bangunan Perguruan Perisai 
Besi. Tampak cahaya itu menerpa wajah sepasang 
pendekar muda yang akan meninggal-kan tempat 
itu. Setelah dua hari Panji dan Kenanga menemani 
dan menghibur Wiranta dan Milani yang sedang 
dirundung kemalangan. Namun, sepasang pendekar 
muda itu telah berniat untuk melanjutkan perjala-
nannya. Dengan hati berat mereka terpaksa mening-
galkan kedua sahabat barunya itu. 
Dengan diantar Wiranta, Milani, dan belasan 
murid Perguruan Perisai Besi yang telah sadar, 
pasangan pendekar itu melangkah meninggalkan 
bangunan Perguruan Perisai Besi.


Setelah sosok Panji dan Kenanga hilang dari pan-
dangan, Wiranta dan Milani melangkah memasuki 
bangunan yang dikelilingi pagar kayu bulat. 
"Kakang. Kau belum menceritakan pengalaman 
yang pemah kau janjikan itu," ujar Milani sambil 
memeluk pinggang Wiranta saat mereka melang-kah 
menuju bangunan utama perguruan itu. 
"Hhh..., sebuah pengalaman yang sangat menge-
sankan. Ketika tubuhku meluncur ke dalam jurang 
setelah dilukai Paman Wilangga, secara kebetulan 
aku tertahan batang pohon yang terjulur di dinding 
tebing. Begitu tersadar dari pingsan, aku melihat 
sebuah gua di dinding tebing. Aku sadar bahwa gua 
itulah satu-satunya yang dapat kujadikan tempat 
tinggal. Ternyata di dalam gua itu kutemukan ke-
rangka seorang wanita tua dengan tongkat tergeng-
gam di tangannya. Kupelajari lukisan gerakan-
gerakan orang bersilat yang terdapat di dinding gua. 
Setelah itu, kuikuti petunjuk yang terdapat dalam 
lukisan itu. Pada dinding itu tertulis sederet huruf. 
Kemudian aku mengikuti lorong gua yang terletak di 
sebelah kiri. Lalu aku menemukan gua bercabang, 
dan kutelusuri gua yang besar itu. Kemudian, di 
sanalah aku mempelajari gerakan-gerakan silat," 
ujar Wiranta mengakhiri ceritanya sambil menghela 
napas. 
"Lalu, ke manakah tembusan gua itu...?" Tanya 
Milani yang rupanya masih belum puas sebelum 
mendengar semua cerita Wiranta. 
"Yah..., mungkin nenek sakti itu yang membuat 
tembusan. Tapi, entah kenapa ia tidak mau keluar 
dari dalam gua itu. Dan, memilih mati di dalam gua. 
Mungkin saat tembusan gua itu selesai, umurnya 
sudah terlalu tua. Sehingga, ia tidak mempunyai

keinginan untuk terjun ke dunia ramai lagi. Seperti 
yang sering kita dengar dari cerita ayah mengenai 
tokoh-tokoh sakti, mereka lebih suka menyepi 
ketimbang hidup di dunia ramai. Setelah beberapa 
lama menyusuri lorong gua itu, tibalah aku di se-
buah tepian pantai. Kemudian berjumpa dengan-
mu," ujar Wiranta seraya mengetatkan pelukannya 
dan menatap wajah adiknya. 
"Kalau begitu, apa yang membuat wajah Kakang 
menjadi rusak? Rasanya sejak tadi Kakang tidak 
menyinggungny a." 
"Hm..., aku sengaja menggunakan topeng karet 
tipis ini untuk menghindari Topeng Setan dan 
orang-orangnya. Dengan begitu, aku dapat lebih 
leluasa untuk menyelidiki manusia yang berjuluk 
Topeng Setan itu," sahut Wiranta seraya membuka 
topeng yang selama ini menyembunyikan wajah-nya. 
Maka, tampakIah wajah asli pemuda itu yang bersih 
dan gagah. 
"Ahhh..., Kakang sengaja mempermainkan aku 
selama ini, ya?" ucap gadis cantik itu manja, sambil 
mencubit pinggang Wiranta. 
"Hm.... Untung aku tidak menjadi gila seperti 
paman...," gurau Wiranta yang segera menyambar 
tubuh Milani dan dipondongnya memasuki bangu-
nan utama Perguruan Perisai Besi. 
Sebentar saja tubuh kedua orang kakak-beradik 
itu lenyap di balik pintu tebal. Hanya suara me-reka 
saja yang terdengar hingga keluar bangunan per-
guruan ttu. 
Beberapa orang murid yang tengah membersih-
kan halaman, menggelengkan kepalanya dan terse-
nyum melihat kegembiraan kedua orang majikan mereka.


                                 SELESAI



































Share:

0 comments:

Posting Komentar