..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Rabu, 12 Februari 2025

PENDEKAR NAGA PUTIH EPISODE TERDAMPAR DI PULAU ASING

matjenuh

 

T. Hidayat 
TERDAMPAR Dl PULAU ASING 
ACINTAMEDIA 
penerbit buku silat bermutu 
TERDAMPAR DI PULAU ASING 
Oleh T. Hidayat 
Cetakan pertama 
Penerbit Cintamedia, Jakarta 
Penyunting : Tarech R. 
Gambar sampul oleh Soeryadi 
Hak cipta pada Penerbit 
Dilarang mengcopy atau memperbanyak 
sebagian atau seluruh Isi buku ini 
tanpa ijin tertulis dari penerbit 
T. Hidayat 
Serial Pendekar Naga Putih 
dalam episode: 
Terdampar di Pulau Asing 
128 hal ; 12 x 18 cm

SATU

"Uhhh...." 
Seorang pemuda tampan berjubah putih meng-
geliat dan mengeluh lirih. Kelopak matanya terbuka 
perlahan-lahan. Dengan gerakan lemah, ia mencoba 
Bangkit dari atas balai-balai bambu, tempat tubuh-
nya terbaring. 
"Jangan banyak bergerak dulu, Tuan. Kesehatan-
mu belum begitu pulih," ujar seorang wanita ber-
wajah manis sambil mencegah pemuda itu bangkit. 
Dengan dcrakan lembut dan penuh kasih, ditekan-
nya bahu pemuda itu agar berbaring kembali. 
Entah merasa tidak enak atau bagaimana, akhir-
nya pemuda itu kembali merebahkan tubuhnya. 
Pada pancaran wajahnya tergambar jelas kelelahan 
yang amat sangat 
"Di manakah aku, Nyai...? Dan, siapakah kau...?" 
Tanya pemuda itu sambil merayapi wajah wanita 
yang berusia sekitar tiga puluh tahun Itu. 
Wanita berwajah manis yang memiliki sifat ke-
ibuan itu kembali tersenyum lembut. Di hatinya 
tidak sedikit pun terbersit perasaan risih ketika 
pemuda tampan itu memandangi wajahnya. 
'Tuan berada di gubuk kami. Menurut cerita ayah-
ku yang membawa Tuan kemari, Tuan ditemukan 
dalam keadaan tak sadarkan diri di tepi pantai. Tapi, 
aku tidak tahu pasti di pantai sebelah mana Tuan di-
temukan. Sebaiknya, nanti tanyakan sendiri pada 
ayah setelah pulang dari pasar. Sambil menunggu, 
sebaiknya Tuan istirahat Mmm... Kalau Tuan suka, 
aku sudah menyediakan bubur hangat," ujar wanita 
itu seraya akan beranjak keluar dari kamar sempit itu.


"Nyai, tunggu...!" cegah pemuda tampan itu sam-
bil bendak bergerak bangkit dari berbaringnya. 
Melihat pemuda itu akan bergerak bangkit, ber-
gegas wanita itu menghampiri dan menekan kedua 
bahunya perlahan. 
'Tuan sangat keras kepala!" omel wanita itu, 
dengan melepaskan senyum menggoda. Kembali tu-
buhnya dihenyakkan di tepi pembaringan. "Apa yang 
ingin Tuan katakan kepadaku?" 
"Mmm.... Bolehkah kutahu nama Nyai...?" Tanya 
pemuda tampan yang berusia sekitar dua puluh satu 
tahun itu. Tubuhnya yang tegap, telah terbaring 
kembali. 
"Mengapa tidak boleh? Namaku Sumirah. Aku 
tinggal di gubuk ini bersama ayahku yang bernama 
Ki Rungga. Puas? Atau masih ada pertanyaan lain 
yang ingin Tuan ajukan? Kalau masih ada, ber-
tanyalah. Sebab, aku masih ada beberapa pekerjaan 
yang harus diselesaikan," ucap wanita bernama 
Sumirah itu sambil tersenyum. Melihat dari wajah 
dan sikap ramahnya, jelas kalau wanita ini sangat 
senang dengan keberadaan pemuda itu di gubuknya. 
Sumirah menunggu tanggapan pemuda berjubah 
putih itu beberapa saat. Dipandanginya wajah tam-
pan yang tengah termenung itu dengan penuh 
selidik. Ingin Ia menanyakan siapa dan dari mana 
sebenarnya pemuda bertubuh tegap itu. Tapi, 
keinginan itu disimpannya dalam hati. Sebab, ada 
perasaan malu menyelimuti hatinya. Apalagi sikap 
pemuda itu sangat sopan. Sehingga menimbulkan 
rasa segan. Lalu, di-putuskannya untuk menunggu, 
meskipun hati kecil-nya berharap agar pemuda yang 
terbaring itu mau bercerita tantang dirinya. 
Sumirah mengalihkan pandangannya ketika 
pemuda itu tersentak dari lamunannya. Sadar kalau 
dirinya tengah diperhatikan, wanita itu mengangkat

wajahnya perlahan. Lalu, dibalasnya tatapan pemu-
da itu dengan senyum lembut menghiasi wajahnya. 
"Nyai, aku sangat berterima kasih sekali atas 
segala pertolonganmu dan ayahmu.... Ehm... namaku 
Panji. Untuk sementara ini, aku belum bisa bercerita 
banyak. Tubuhku masih terasa lemah, dan aku 
belum mampu mengingat semua peristiwa yang 
kualami. Tapi, aku berjanji akan menceritakan ten-
tang diriku sepulang ayahmu dari pasar nanti. Maaf, 
kalau kehadiranku di tempat ini telah membuat 
kalian repot," ujar pemuda berjubah putih yang ter-
nyata memang Panji atau yang lebih dikenal berjuluk 
Pendekar Naga Putih. 
"Baiklah, Panji.... Dan kalau kau suka, makanlah 
bubur hangat itu untuk mengembalikan tenagamu. 
Sudah hampir satu hari penuh kau terbaring tanpa 
sadarkan diri. Entah apa yang telah kau alami, se-
hingga tenagamu sampai terkuras," ucap Sumirah 
sambil beranjak bangkit dan melangkah keluar dari 
kamar. 
Wanita berwajah lembut dan sangat penyabar ini 
menoleh sejenak, kemudian tubuh ramping itu 
lenyap di balik pintu. 
Panji sempat terkejut ketika mendengar dirinya 
telah terbaring hampir seharian penuh di atas balai-
balai bambu itu. Namun, hal itu tidak ditanyakan-
nya. Karena hal itu akan membuat Sumirah lebih 
lama menemaninya. Bukan karena ia tidak me-
nyukai kehadiran wanita itu. Tapi, sebagai seorang 
pendekar, tentu saja keadaan tubuhnya yang sangat 
lemah di hadapan orang lain, tidak begitu disukai-
nya. Itulah sebabnya mengapa dibiarkannya saja 
wanita itu pergi. 
Setelah Sumirah berlalu dari kamar, Panji 
bergegas melakukan semadi untuk mengembalikan 
kesehatan tubuhnya.

*** 
Derrr! Derrr! Derrr...! 
"Hei! Ki Rungga...! Cepat buka pintu...!" 
Seorang lelaki bertampang kasar yang mengena-
kan anting-anting bulat di telinga kanannya, meng-
gedor-gedor pintu rumah Ki Rungga. Sikapnya tam-
pak kntar dan galak. Tangan kirinya menggenggam 
sebilah giilok yang menyembul di pinggang kanan-
nya. 
Setelah menunggu beberapa saat, dan pintu 
belum juga terbuka, lelaki kasar itu menjadi tak 
sabar. Dengan wajah gelap, diterjangnya pintu yang 
terbuat dari kayu itu. Dan.... 
Brakkk..! 
Pintu rumah itu jebol dan hancur berkeping-
keping. Dan dengan darah mendidih, bergegas lelaki 
kasar itu melompat masuk. Kemudian disusul oleh 
dua orang rekannya, yang sejak tadi hanya diam di 
sampingnya. 
"Ayahku... ayahku tidak ada di rumah...," terde-
ngar suara lirih yang bergetar menyambut kehadiran 
ketiga orang lelaki kasar itu. 
"Ahhh! Lihatlah, Kakang Karpala! Tanpa setahu 
kita, rupanya Ki Rungga menyimpan seorang gadis 
cantik di dalam rumahnya. Sungguh pandai sekali 
orang tua itu menyembunyikannya dari kita," ujar 
salah seorang dari ketiga orang itu sambil menatap 
wajah Sumirah yang pucat pasi. 
Lelaki bertampang kasar yang bernama Karpala 
itu tertawa terbahak-bahak. Kedua kakinya melang-
kah perlahan mendekati putri Ki Rungga. Sepasang 
matanya menjilati sekujur tubuh Sumirah yang 
hanya mengenakan kain sebatas dada.

"Hm.... Mengapa kau tidak membukakan pintu 
Rupanya kau lebih suka kami bersikap kasar, ya?” 
geram Karpala seraya tangannya menyentuh wajah 
Sumirah. 
Melihat hal itu, Sumirah segera menelengkan 
kepalanya, menghindari jamahan tangan Karpala. 
"Mau apa kalian sebenarnya? Kalau memang perlu 
dengan ayahku, kalian dapat kembali lagi kemari,” 
ujar Sumirah semakin ketakutan ketika tangan Kar-
pala semakin kurang ajar hendak merayapi dadanya. 
Wanita itu pun menggeser langkahnya, menjauhi 
lelaki kasar yang hendak berbuat tidak senonoh 
terhadapnya. 
"He he he.... Kau jangan berpura-pura alim, Nyai. 
Aku tahu Ki Rungga telah menyembunyikan seorang 
pemuda tampan untukmu, bukan? Nah, kalau kau 
ingin selamat, serahkan pemuda asing itu kepada 
kami Kalau tidak, keluarga ini akan mendapat ke-
sulitan,” ancam Karpala sambil melangkah mende-
kati Sumira yang merapatkan tubuhnya ke dinding. 
"Aku tidak tahu apa yang Tuan bicarakan. Lebih 
baik kalian segera tinggalkan tempat ini Kalau tidak 
aku akan berteriak. Dan, orang-orang di desa ini 
akan menghukum kalian," ujar Sumirah dengan 
dada berdebar. 
Tapi, wanita berwajah manis itu berusaha me-
nyembunyikan rasa ketakutannya. Diam-diam hati-
nya berharap agar pemuda tampan yang bernama 
Panji tidak keluar dari kamarnya. Sebab, bila hal itu 
terjadi keadaan akan semakin runyam. 
Namun, harapan wanita itu pupus ketika pintu 
kamar yang terletak beberapa langkah dari tempat-
nya berdiri, tiba-tiba berderit. Dari balik daun pintu 
yang terbuka, muncul seorang pemuda tampan 
berjubah putih.

Sumirah sangat gembira ketika melihat wajah 
tampan yang semula terlihat lelah, kini nampak 
segar makin bercahaya. Senyum lembut yang meng-
hiasi wajah pemuda itu, dibalasnya dengan tak kalah 
manis. 
Hingga Sumirah lupa akan dirinya yang sedang 
dalam keadaan terancam maut. 
"Nah, sekarang kau tidak bisa berbohong lagi, Nyi. 
Bukankah pemuda itu yang ditemukan Ki Rungga di 
tepi pantai? He he he.... Rupanya kau merasa senang 
ditemaninya. Dan, kau takut kalau kami akan 
membawanya pergi," ujar Karpala sambil terkekeh 
serak. 
Sekilas pandangan lelaki kasar itu menatap penuh 
selidik ke arah Panji. Jelas, kalau kehadiran Panji di 
dalam rumah ini tidak disukainya. 
"Nyai, kau tidak perlu khawatir. Biarkan pemuda 
itu kami bawa pergi dari sini, Dan, kau boleh ber-
senang-senang dengan Kakang Karpala. Bukankah 
begitu, Kakang?" timpal lelaki lain yang berkepala 
botak dengan kumis dan jenggot menghias wajah-
nya. Sehingga, wajah yang hitam itu nampak sema-
kin Garang. 
"Ha ha ha.... Bagus, Adi! Bagus... Ayo, cepat kalian 
bawa pemuda itu, dan tunggu aku di luar,” sahut 
Karpala yang segera hendak memeluk tubuh 
Sumirah. 
"Jangan ganggu wanita itu!" bentak Panji dengan 
suara pelan, tapi mengandung perbawa yang amat 
kuat Sehingga, hati Karpala sendiri merasa tergetar. 
Lengan lelaki beranting-anting itu tetap menga-
pung di udara, bagaikan sebuah area batu. Sedang-
kan kepalanya menoleh ke arah pemuda berjubah 
putih yang tengah menatapnya dengan sinar mata 
mencorong tajam dan menggiriskan. 
"Ahhh...!"

Tanpa sadar, lelaki berwajah kasar itu kaget. 
Kakinya melangkah mundur beberapa tindak me-
lihat tatapan mata pemuda itu yang membuatnya 
gentar dan ngeri. 
"Jangan pandangi aku seperti itu, Bocah Keparat. 
Matamu seperti mata iblis! Aku tidak suka melihat-
nya!” bentak Karpala. Suaranya sengaja dikeraskan 
menghalau rasa gentar yang menyelimuti hatinya. 
Padahal, pemuda tampan itu tidak melakukan 
gerakan apa-apa, hanya matanya yang memandang 
lekat-lekat ke wajah Karpala. 
Selagi lelaki bertampang kasar itu melangkah 
mundur, Sumirah bergegas lari dan sembunyi di 
belakang tubuh Panji. Wajah wanita itu terlihat 
penuh kecemasan. Apalagi kekejaman Karpala dan 
dua orang temannya sudah lama diketahuinya. Tak 
heran kalau ia mengkhawatirkan keselamatan Panji. 
"Panji, sebaiknya kau pergilah. Tinggalkan tempat 
ini. Mereka..., mereka sering bertindak kejam ter-
hadap orang yang tak disukainya. Dan, kepandaian 
silatnya tinggi," bisik Sumirah, terdengar bergetar 
suaranya. Sekilas, putri Ki Rungga yang berwajah 
manis itu sangat cemas akan keselamatan Panji. 
"Tenanglah, Nyai. Aku yakin mereka tidak akan 
bertindak kasar di dalam rumah ini. Bersembunyi-
lah di kamar. Biarkan aku yang membereskan 
persoalan ini dengan mereka di luar. Percayalah, 
mereka pasti tidak akan berbuat jahat terhadapku," 
bujuk Panji, mcnenangkan hati Sumirah. Sambil 
berkata demikian, didorongnya tubuh wanita itu ke 
dalam kamarnya. 
"Tapi.... Tapi, Panji...." 
"Sudahlah, Nyai. Percayalah, tidak akan terjadi 
apa-apa terhadapku. Mereka pasti akan mengerti 
kalau aku bukan orang jahat, dan tidak akan 
merugikan mereka," potong Panji cepat.

Sumirah langsung terdiam mendengar ucapan 
Pemuda berjubah putih itu. 
"Mari kita bicarakan persoalan ini di luar, 
Kisanak," ajak Panji yang segera melangkahkan 
kakinya menuju pintu keluar. Langkah pemuda itu 
tenang, dan sikapnya sama sekali tidak mencermin-
kan rasa takut. Sehingga Karpala dan kawan-kawan-
nya bertindak hati-hati, dan tidak berbuat apa-apa. 
Kecuali memandangi Panji seperti orang linglung. 
Begitu tubuh pemuda berjubah putih itu lenyap 
balik pintu, cepat-cepat Karpala dan kedua kawan-
nya bergerak mengejar. Mereka berloncatan, takut 
orang yang memang sedang dicari-cari itu melarikan 
diri. 
Rasa heran dan penasaran semakin bertambah 
ketika mereka tiba di luar, ternyata pemuda itu 
tengah menanti mereka dengan sikap tenang. Bah-
kan, bibir pemuda berjubah putih itu menyung-
gingkan senyuman. Sehingga Karpala dan kawan-
nya, semakin mengerti. 
Keheranan di wajah Karpala berubah menjadi 
sinar kebengisan ketika teringat tugas yang diem-
bannya. Sikapnya yang tadi nampak tolol itu berubah 
ganas. 
"Hei, Anak Muda! Perlu kau ketahui, kami 
ditugaskan majikan kami untuk membawamu hidup 
atau mati. Dan, kau tidak boleh membantah!" tegas 
Karpala mengandung ancaman maut. 
Sambil berkata demikian, tangan lelaki kasar 
meraba gagang golok yang tersembul di pinggang. 
Jelas, tindakan itu bermaksud untuk menakut-
nakuti Panji. 
"Maaf, karena aku tidak mengenal majikan kalian, 
maka permintaanmu terpaksa kutolak," tegas Panji 
dengan nada pelan.

Jawaban yang diberikan Panji bukan tanpa 
alasan. Sebab, selain ia sadar berada di tempat yang 
masih sangat asing, juga tidak ingin terjebak ke-
dalam sarang macan. Dan, semua itu dapat dilihat-
nya dari sikap ketiga lelaki kasar yang berhadapan 
dengannya. Karena itu, sikapnya tetap waspada. 
"Hm.... Kalau begitu, aku akan memaksamu 
dengan kekerasan!" geram Karpala yang segera men-
cabut golok panjangnya. 
Kemudian, tangan lelaki kasar itu bergerak mem-
beri isyarat perintah kepada dua orang temannya 
untuk mengepung Panji. Rupanya sikap Pendekar 
Naga Putih yang tenang, telah membuatnya bersikap 
hati-hati. Apalagi, penampilan pemuda berjubah pu-
tih itu menimbulkan perbawa yang membuat hatinya 
menjadi gentar. 
"Serang...!" 
Setelah beberapa saat terdiam, Karpala berseru 
memerintahkan kedua orang kawannya untuk me-
nyerang. Sedangkan ia sendiri tetap tidak bergerak. 
Namun sepasang matanya, tetap mengawasi Panji. 
Jelas, lelaki yang mengenakan anting-anting bulat 
pada telinga kanannya itu ingin melihat apa yang 
dilakukan Panji dalam menghadapi kedua teman-
nya. 
"'Heaaat..!" 
Sambil berteriak nyaring, kedua lelaki kasar itu 
segera menerjang Panji dengan sambaran golok pan-
jangnya. 
Pendekar Naga Putih sama sekali tidak beranjak 
dari tempatnya. Diamatinya saja gerakan kedua 
lawannya. Bibirnya tersenyum setelah mengetahui 
kalau mereka hanya menggunakan tenaga kasar 
untuk menyerang. Tentu saja serangan itu sama 
sekali tidak berarti baginya. Karena itu, ia tidak ber-
usaha mengelak.

Melihat lagak ketiga lelaki kasar yang hanya 
mengandalkan kekerasan itu, membuat Panji ingin 
memberikan pelajaran terhadap mereka, agar tidak 
tinggi hati dan memandang remeh orang lain. Dan 
Pendekar Naga Putih ingin menundukkan mereka 
tanpa kekerasan. 
Sambaran dua bilah golok panjang meluncur 
mengancam tubuh Panji. Menyadari lawan tidak 
mengetahui serangannya, mereka menambah tenaga 
dalam untuk menggerakkan senjatanya. 
Trakkk! Trakkk! 
Hantaman dua batang golok yang bertenaga itu, 
memang tepat mengenai punggung dan dada Pen-
dekar Naga Putih. Namun, kedua bilah golok lang-
sung patah ketika menghantam telak tubuh yang 
telah diselimuti kabut bersinar putih keperakan itu. 
Bahkan, tubuh kedua penyerang itu terpental sejauh 
satu setengah tombak sambil menjerit keras memilu-
kan. 
Terkejut bukan main hati Karpala melihat kedua 
tubuh rekannya terhempas ke tanah sambil me-
rintih kesakitan. Tampak lengan mereka membeng-
kak sebatas pergelangan. Jelas tenaga yang mereka 
gunakan telah membalik, dan melukai diri sendiri. 
Rasa penasaran Karpala semakin menjadi-jadi. 
Maka, tanpa berpikir panjang, ia langsung melompat 
sammbil membabatkan golok panjangnya ke arah 
tubuh Panji. 
Walaupun serangan lelaki kasar itu jauh lebih 
cepat dan kuat ketimbang kedua kawannya, Pende-
kar Naga Putih tetap tidak bergeming sedikit pun. 
Ditunggunya serangan golok lawan tanpa berusaha 
mengelak. Dan.... 
Trakkk! 
"Aaa...!"

Karpala menjerit ngeri ketika tubuhnya terlempar 
sejauh dua batang tombak. Dan, itu terjadi karena 
tenaga yang dipergunakannya lebih hebat dari kedua 
Iawannya. 
"Pemuda iblis...! Lari...!" teriak Karpala yang 
merasa tidak akan unggul melawan Panji. Dan 
mereka pun segera mengambil langkah seribu. 
"Kau..., kau tidak apa-apa, Panji...?" Tanya Sumi-
rah. Raut kecemasan tampak di wajahnya. 
Wanita berparas cukup cantik itu memang sejak 
tadi menyaksikan kejadian yang dianggapnya sangat 
luar biasa. Terbukti, selain raut kecemasan, juga 
terlihat adanya keheranan dan kekaguman di wajah-
nya. 
Panji hanya tersenyum, kemudian melangkah 
masuk ke dalam gubuk. Sedangkan Sumirah me-
nyusul dengan berbagai macam perasaan yang 
bergayut di benaknya. 
* * *

DUA

"Jadi kau terpisah dari kawan wanitamu, yang 
bernama Kenanga itu?" Tanya Sumirah setelah Panji 
menceritakan pengalamannya sehingga sampai ter-
lempar di pulau itu. 
Panji yang berada tepat didepan Sumirah tertun-
duk lesu. Terdengar helaan napas berat yang men-
cerminkan kegalauan hati pemuda itu. Perlahan-
lahan kepalanya terangkat ke atas. Dan, pandangan-
nya kearah ke luar jendela yang terbuka lebar. 
Tampak sepasang mata yang tajam itu berubah sayu. 
Dan, keningnya berkerut seperti tengah merenung. 
"Yahhh.... Badai yang ganas itu telah menghem-
paskan kapal yang kami tumpangi. Kemudian kapal 
itu pecah berantakan akibat terhantam batu karang. 
Aku tak berdaya sama sekali melawan keganasan 
alam laut itu. Untunglah aku sempat meraih se-
keping papan dari pecahan kapal yang berserakan. 
Dan, selama tiga hari tiga malam, aku terapung di 
tengah samudera luas yang bagaikan tidak bertepi 
itu," jelas Panji yang kembali teringat akan nasib 
kekasihnya. 
"Lalu, bagaimana kau bisa terdampar di pulau ini? 
Aimkah karena sekeping kayu dari pecahan kapal itu 
yang membawamu kemari?" Tanya Sumirah sambil 
menatap wajah Panji dengan perasaan iba. 
Putri tunggal Ki Rungga itu sepertinya sangat 
tertarik dengan Panji. Hal itu terlihat jelas dari tata-
pan matanya. Bahkan sikapnya pun sangat lembut 
dan penuh perhatian ketika merawat dan melayani 
pemuda itu. Tak ubahnya seorang kakak terhadap 
adik kandungnya.

Panji bukannya tidak tahu akan perasaan wanita 
itu. Bahkan, anggapan Sumirah terhadap dirinya 
pun sudah dapat diduga. Dan, karena hal itu pula-
lah yang membuat Panji menceritakan apa yang 
dialaminya ketika berada di samudera luas. 
"Bukan hanya sekeping kayu itu yang membuat-
ku terdampar di pantai pulau ini. Tapi, aku sen-
dirilah yang mendayung sekeping papan itu setelah 
badai reda! Karena terlalu banyak mengerahkan 
tenaga hingga melampaui batas itulah, membuatku 
tak sadarkan diri setelah tiba di tepian pantai ini. 
Hm... Apakah nama pulau ini, Nyai...?" Tanya Panji 
sambil memandangi wajah wanita itu lekat-lekat. 
Sumirah sama sekali tidak berusaha mengelak 
dari tatapan pemuda itu. Bahkan, dia balas meman-
dangi sambil tersenyum lembut. Dirayapinya wajah 
Panji tanpa rasa jengah sedikit pun. 
"Panji, apakah kau mencintai wanita itu...? Dia 
kekasihmu, bukan...?" Tanya Sumirah seolah-olah 
tidak mendengar pertanyaan pemuda berjubah putih 
itu. Sambil bertanya demikian, sepasang mata ter-
hunjam tepat di bola mata Pendekar Naga Putih. 
"Benar, Nyai. Wanita itu memang kekasihku. Dan, 
aku sangat mencintainya. Hhh..., sayang aku tidak 
bisa munyelamatkannya dari keganasan alam. Entah 
bagaimana nasibnya...? Mudah-mudahan saja dia 
selamat," desah Panji penuh harap. 
"Kenanga pasti seorang gadis cantik dan lembut. 
Ah..., andai saja dia ada di sini, bersamamu. Ingin 
aku berkenalan dengannya...," gumam Sumirah, 
seolah-olah berkata kepada diri sendiri. 
"Ya, dia memang sangat cantik, Nyai. Dia tidak 
banyak menuntut dan selalu bersikap mengalah. 
Padahal, kalau dia mau, tentu bisa hidup bersama 
seorang pangeran yang kaya. Tapi ternyata dia me-
milihku, yang hanya seorang petualang miskin ini.

Hal itulah yang membuatku semakin menyayangi 
dan mencintainya," desah Panji sambil menghem-
buskan napas penuh sesal. 
"Mengapa kalian naik kapal layar? Apakah kalian 
sengaja hendak pergi pesiar?" 
"Kebetulan waktu itu kami melewati sebuah per-
kampungan nelayan. Kenanga mungkin tertarik 
ketika melihat perahu besar sedang merapat di 
dermaga. Lalu ia mengajakku untuk ikut berlayar 
dengan kapal itu. Selanjutnya, yah..., seperti yang 
baru kuceritakan tadi, Nyai." 
"Jadi, kalian sama sekali tidak mempunyai tuju-
an?" Tanya Sumirah tak mengerti. 
Wanita berwajah manis itu memang belum me-
ngenal siapa sebenarnya Panji. Andaikan pemuda ini 
menceritakan tentang dirinya yang sesungguhnya. 
Sumirah pun tak akan mengetahuinya. Karena ia 
memang bukan orang persilatan. 
"Ya..., seperti perjalanan yang selama ini kami 
lakukan, selalu tanpa tujuan. Aneh bukan? Tapi, itu 
kami lakukan semata-mata ingin mengetahui hal-hal 
yang baru. Karena kami berdua memang merupakan 
orang-orang yang menyukai petualangan. Dan, ke-
pergian kami mengikuti kapal layar itu pun didorong 
rasa ingin bertualang," sahut Panji tersnyum ketika 
melihat wajah Sumirah memancarkan rasa heran. 
Pembicaraan mereka tiba-tiba terputus ketika 
mendengar suara terbatuk-batuk yang cukup keras 
dari luar rumah. Tidak lama kemudian, nampak 
sesosok tubuh kurus melangkah memasuki ruangan 
itu. 
"Hm.... Kau sudah sehat, Anak Muda...?" tegur 
lelaki kurus berusia sekitar enam puluh tahun itu. 
Nada suaranya terdengar agak dingin. "Kalau sudah 
sehat pergilah! Dan tanggalkan pulau ini. Kau bisa

menyewa seorang nelayan untuk menyeberang ke 
daratan terdekat." 
"Ayah...! Mengapa Ayah berkata demikian? Kese-
hatan Panji belum begitu pulih. Ayah, la masih 
memerlukan istirahat beberapa hari lagi, supaya 
tenaganya yang terkuras itu dapat kembali seperti 
sediakala. Berilah dia kesempatan untuk beristi-
rahat, Ayah,” ujar Sumirah yang segera beranjak 
bangkit menghampiri ayahnya. 
Dengan raut wajah yang diliputi rasa heran dan 
tidak percaya, wanita itu memandangi wajah ayah-
nya penuh selidik. Hati kecilnya bertanya-tanya 
ketika melihat sinar kecemasan membayang di wajah 
lelaki tua itu. Dan, pikirannya segera menghubung-
kan kecemasan orang tua itu dengan peristiwa yang 
baru saja dialaminya. 
"Kau lihat sendiri, Sumirah. Wajah pemuda itu 
telah nampak segar dan berseri. Dan, itu menanda-
kan bahwa ia telah sehat. Bukankah begitu, Anak 
Muda?" Ujar Ki Rungga mengalihkan pandangannya 
kepada Panji. 
"Benar, Ki. Kesehatanku memang sudah pulih. 
Aku sangat berterima kasih sekali atas kesediaan Aki 
yang telah bersusah-payah menolongku. Maaf, andai-
kan kehadiranku telah mengganggu ketenteraman 
rumah ini," sahut Panji tersenyum sambil membung-
kukkan tubuhnya dengan sikap sopan dan hormat. 
"Tidak! Kau tidak boleh pergi, Panji! Kau masih 
belum tahu keadaan pulau ini. Selain itu, di mana 
kau akan bermalam jika hari gelap?" cegah Sumirah 
yang segera menghadang langkah Panji di ambang 
pintu. Jelas, wanita itu tidak menginginkan keeper-
gian pemuda yang telah mendatangkan kegembiraan 
di hatinya. 
Kl Rungga terpaku melihat sikap putrinya itu. Dia 
Kini tahu perasaan yang terkandung di dalam hati

Sumirah. Sebab perasaan orang tua itu sama de-
ngan yang dikhawatirkan putrinya. Namun, semua 
perasaan itu dipendamnya. Karena ada beberapa hal 
yang membuat Ki Rungga terpaksa menekan pera-
saannya. 
"Sumirah. Sadarkah kau akan sikapmu itu? Dan 
tahukah kau kalau kehadiran pemuda ini bisa mem-
buat hidup kita susah?" ucap Ki Rungga dengan ta-
jam dan kening berkerut. Jelas, orang tua itu sudah 
dapat meraba apa yang bakal menimpa keluarga jika 
Panji tetap berada di rumah itu. 
"Apakah mereka...?" Sumirah menggantung kata-
katanya karena ucapannya dipotong oleh ayahnya. 
"Ya..., dan tidak lama lagi Karpala dan kawan-
kawannya akan datang kemari. Mereka menghen-
daki Panji!" ungkap Ki Rungga sambil mengalihkan 
panda-ngannya ke arah Panji. "Anak muda, katakan 
dengan jujur. Apakah kau suka kalau aku dan 
Sumirah mendapat kesusahan?" 
"Sudah tentu tidak, Ki. Apalagi kalian telah 
menolongku. Kalau saja ada sesuatu yang dapat aku 
perbuat untuk membalas budi kalian, meskipun 
dengan taruhan nyawa, tetap akan kulakukan," 
sambung Panji yang semakin merasa tidak enak 
karena kehadirannya telah mendatangkan rasa tidak 
tenang di hati Ki Rungga. 
"Nah, kalau kau memang ingin menolong kami, 
tinggalkan rumah ini. Atau, lebih baik lagi, kau ting-
galkan Pulau Mimpi ini. Kau bisa menyewa seorang 
nelayan yang dapat mengantarkanmu ke seberang. 
Turutilah nasihatku kalau kau ingin selamat," tegas 
Ki Kungga yang segera mengalihkan pandangannya 
ke luar jendela. Sepertinya lelaki tua itu tidak 
sanggup lagi menentang sinar mata Panji yang tajam 
seperti mata pedang itu.

"Baiklah, kalau itu yang Aki inginkan. Aku 
permisi, Ki, Sumirah. Maaf jika aku telah membuat 
kalian susah," pamit Panji yang segera melangkah 
ketika wanita berwajah manis itu memberi jalan 
kepada pemuda itu. 
"Hati-hatilah, Panji...," ucap Sumirah dengan 
suara serak. Tentu saja hati wanita itu merasa berat 
untuk melepas kepergian Panji. 
Tanpa menoleh lagi, Panji mengayunkan langkah-
nya menuju tepian pantai. Meskipun ada rasa pena-
saran dalam hatinya, namun perasaan itu berusaha 
ditekannya. Karena ia tidak menginginkan ke-
hadirannya membuat kebahagiaan dan ketenangan 
hidup orang lain terganggu. 
*** 
Panji yang telah cukup jauh meninggalkan rumah 
KI Rungga menolehkan kepalanya ketika mendengar 
suara bentakan keras. Keningnya berkerut melihat 
belasan orang lelaki tengah berkerumun didepan 
rumah yang baru saja ditinggalkannya. 
Terdorong rasa ingin tahu, pemuda itu melang-
kah mendekati rumah Ki Rungga. Dari balik bilik 
rumah seorang penduduk, Panji mengintai belasan 
orang itu. 
"Aaauw...! Lepaskan! Jahanam kalian..., pergi...!” 
terdengar suara jeritan seorang wanita dari dalam 
rumah Ki Rungga. 
Sejenak Panji tertegun ketika mendengar jeritan 
Sumirah. Dengan mengabaikan permintaan Ki Rung-
ga, tubuh pemuda itu langsung melesat laksana anak 
panah lepas dari busur. 
Dalam sekejap saja, Panji telah berdiri tegak di 
belakang belasan lelaki bertampang kasar itu. Lang

sung saja ia menerobos masuk ketika jeritan Su-
mirah kembali terdengar. 
Darah pemuda berjubah putih itu mendidih ketika 
melihat tubuh Ki Rungga terkapar di tanah. Darah 
segar tampak mengucur deras dari bagian tubuh 
yang terluka. 
"Jahanam...!" desis kemarahan terlontar dari bibir 
pemuda itu. Sepasang matanya menatap tajam ke 
arah empat orang lelaki yang juga tengah meman-
danginya. 
Tatapan sepasang mata Pendekar Naga Putih yang 
laksana kilatan mata pedang itu, membuat keempat 
lelaki kasar itu tersentak mundur beberapa langkah. 
Ketegangan jelas terbayang di wajah mereka! 
"Sssi... siapa kau? Apa..., apa yang kau cari di 
sini...?" Tanya salah seorang yang memlliki goresan 
luka di pipi kirinya. Ucapan yang terbata-bata, 
menandakan kalau hatinya tergetar dengan sikap 
dan tatapan iwmuda berjubah putih itu. 
"Hm...." 
Panji yang sudah merasa geram melihat keadaan 
Ki Rungga, menggeram gusar. Tanpa menjawab se-
patah kata pun, pemuda itu langsung mengibaskan 
tangannya ke arah empat orang lelaki kasar yang 
telah menyiksa orang tua itu. 
Wuuut! 
"Aaah...!" 
Hebat sekali akibat kibasan tangan Pendekar Naga 
Putih. Meskipun terlihat bergerak perlahan, tapi 
keempat orang lelaki kasar itu menjerit ngeri. Tubuh 
mereka langsung terjungkal dan menjebol dinding 
papan yang memang sudah rapuh. 
Tanpa mempedulikan korbannya, Panji langsung 
melesat ke kamar Sumirah. Kaget bukan kepalang 
hatinya ketika menyaksikan putri Ki Rungga itu

merintih dan tak berdaya dibekap lelaki bertampang 
kasar. 
Wanita lembut berwajah manis itu tampak me-
ronta-ronta, berusaha melepaskan bekapan Karpala 
dan lima orang pengikutnya. Sementara seorang 
lelaki uumuk berkepala botak, dengan napas men-
dengus berusaha menggagahi wanita itu. 
"lblisss...!" 
Dibarengi suara mendesis yang meluncur dari sela 
bibirnya, tubuh Panji langsung melayang ke arah dua 
orang lelaki yang tengah memegangi kaki Sumirah. 
Sekali tangannya dikibaskan, tubuh kedua orang 
melambung hingga menjebol atap rumah! 
Tindakan Pendekar Naga Putih tidak berhenti 
sampai di situ saja. Dua orang lelaki yang tengah 
memegangi lengan Sumirah langsung disambarnya. 
Salah seorang dari mereka yang ternyata Karpala, 
mencoba mengelak sambaran tangan pemuda itu. 
Namun, tak urung tangannya terkena cengkeraman 
Panji. 
"Aaa...!" 
Kedua orang itu berteriak ngeri ketika Panji 
menyentakkan kedua tangannya dengan pengerahan 
tenaga dalam. Sesaat kemudian, kedua tubuh lelaki 
itu meluncur deras. Dan.... 
Brolll...! 
Kembali terdengar suara hiruk-pikuk ketika tubuh 
mereka menjebol atap rumah. Tubuh keduanya lang-
sung menggelepar ketika terbanting ke tanah. Sama 
dengan yang lainnya, kedua orang itu pun langsung 
pingsan. 
"Apa...? Siapa...?" 
Lelaki gemuk berkepala botak yang nafsunya ham-
pir terlampiaskan itu, tergagap ketika melihat tubuh 
kawan-kawannya terjungkal dan menjebol dinding 
dan atap rumah. Rasa kagetnya berubah menjadi

marah ketika dilihatnya sosok pemuda tampan 
berjubah putih berdiri di hadapannya. 
"Binatang...!" geram Panji sambil mengirimkan 
pukulan menggeledek ke arah dada lelaki gemuk ber-
kepala botak itu. 
Wuuut...! 
Lelaki berkepala botak itu rupanya cukup gesit! 
Pukulan keras tangan kanan Pendekar Naga Putin 
berhasil dielakkan dengan melompat ke atas. 
Panji sama sekali tidak merasa heran melihat tam-
parannya luput. Sebab, dari semula sudah dike-
tahuinya kalau lelaki berkepala botak itu memang 
cukup berisi. Maka, ketika pukulannya tak mengenai 
sasaran, pemuda itu bergegas mengirimkan pukulan 
berantai. 
Bent! Bettr! Bettt! 
Terkejut bukan main hati lelaki berkepala botak 
itu melihat serangan yang dilontarkan lawannya. Se-
hingga, ia sibuk mengelakkan tiga buah pukulan 
yang mengancam tubuhnya. 
Bukkk! 
"Aaakh..!" 
Lelaki berkepala botak itu menjerit ketika pukulan 
keras yang meluncur ke arah dadanya tidak dapat 
dielakkan. Tubuhnya terjengkang dan menjebol din-
ding kamar hingga terguling ke luar rumah. 
"Panji....!" panggil Sumirah segera berlari memeluk 
tubuh pemuda tampan itu. "Untunglah kau cepat 
datang, Panji Mereka..., mereka...." 
Sumirah tidak sanggup melanjutkan kata-katanya 
karena saat itu juga tangisnya telah meledak. 
Panji yang selama hidupnya belum pemah mera-
sakan kasih sayang dari seorang kakak, menggerak-
kan tangannya dan membelai rambut Sumirah yang 
hitam dan ikal. Ada keharuan yang menyelinap di

dalam hati pemuda tampan itu ketika melihat 
pakaian Sumirah yang robek. 
"Sudahlah, Sumirah. Sebaiknya kita segera 
melihat keadaan ayahmu. Kau..., kau tidak apa-apa, 
bukan...?" Tanya Panji sambil mengangkat wajah 
wanita itu dari dadanya. Ditatapnya sepasang mata 
yang basah itu dengan hati berdebar. 
Sumirah yang mengerti ke mana arah pertanyaan 
Panji, menggeleng lemah. Untuk meyakinkan hati 
pemuda itu, ia tersenyum, tanpa menyadari kalau 
saat itu wajahnya masih basah oleh air mata. 
Mau tak mau Panji pun tersenyum melihatnya. 
Perlahan tangan pemuda itu terulur. Dihapusnya air 
mata yang masih menempel di wajah wanita itu 
dengan jemari tangannya. Setelah itu, dituntunnya 
Sumirah untuk melihat keadaan Ki Rungga. 
"Ayaaah...!" 
Sumirah terpekik ketika melihat tubuh ayahnya 
tergeletak pingsan dan berlumuran darah di sudut 
ruangan depan. Diguncang-guncangnya tubuh Ki 
Rungga tumbil memanggil-manggil nama orang tua 
itu. 
Panji yang menangkap kegalauan hati wanita itu, 
bergegas mendekatinya. Disentuhnya bahu Sumirah 
dan diremasnya dengan perlahan. 
"Ayahmu tidak apa-apa, Sumirah. la hanya ping-
san," jelas Panji yang segera mengangkat tubuh 
orang tua itu, dan membaringkannya di atas balai-
balai bambu. 
"Ohhh...," Sumirah menghela napas lega setelah 
mendengar keterangan Panji. Ia pun bergegas bangkit 
dan mengikuti langkah pemuda itu. 
"Kau tunggulah sebentar. Aku hendak melihat 
orang-orang kasar itu," ujar Panji Dan sebelum 
Sumirah sempat menjawab, tubuh pemuda itu telah 
lenyap di balik pintu.
Tak lama kemudian, Panji sudah kembali lagi. 
Pemuda itu tidak menemukan seorang pun didepan 
sana. Rupanya para penjahat itu jera merasakan 
kehebatan Pendekar Naga Putih. 
"Bagaimana, Panji..?" Tegur wanita itu ketika 
melihat pemuda itu masuk ke dalam rumah. 
"Syukurlah mereka sudah pergi. Mudah-mudahan 
saja kejadian ini tidak terulang lagi," ucap Panji ber-
harap. 
Sumirah tidak menanggapi ucapan pemuda itu. 
Karena pikiran dan hatinya masih diliputi perasaan 
khawatir melihat keadaan ayahnya. Lagi pula, ia 
tengah sibuk membersihkan darah yang melekat di 
wajah Ki Rungga. 
***

TIGA

"Heya...! Heya...!" 
Terdengar teriakan parau yang diselingi lecutan 
cambuk seperti mencabik-cabik udara. 
Seorang lelaki berwajah brewok, memacu kudanya 
bagaikan orang dikejar setan. Suara teriakan yang 
parau dan berat, meningkahi derap kaki kuda yang 
bergemuruh. 
Puluhan penunggang kuda yang berada di bela-
kangnya, rata-rata bertampang kasar dan bengis. 
Menilik wajah mereka yang kecoklatan, jelas kalau 
orang-orangg itu selalu terpanggang sinar matahari. 
Lelaki brewok yang usianya sekitar empat puluh 
tahun itu, terus memacu cepat kudanya memasuki 
Desa Pari. Tubuhnya melayang turun ketika tiba 
didepan sebuah pondok kayu yang nampak sudah 
reyot dan tua. 
Tindakan lelaki brewok itu diikuti puluhan orang 
lainnya. Mereka langsung berlompatan turun dan 
bergerak menyebar. Dan dalam waktu singkat, pon-
dok itu telah terkepung rapat dan ketat. Sehingga tak 
mungkin orang dapat lolos dari kurungan itu. 
Dengan langkah lebar dan sorot mata bengis, 
lelaki brewok bertubuh kekar itu menghampiri pintu 
pondok. Dan, sekali menggerakkan kaki, pintu 
pondok itu langsung hancur berkeping-keping! 
"Bangsat tua Ki Rungga! Keluar kau! Cepat serah-
kan pemuda keparat itu!" bentak lelaki brewok itu 
setelah berada di ruang tengah pondok milik Ki 
Rungga. 
Wajah kemerahan itu tampak berubah gelap 
ketika tidak seorang pun dijumpainya di dalam 
pondok.

"Setan! Awas kau, Ki Rungga! Jika aku berhasil 
menemukanmu, akan kucincang tubuhmu...," geram 
lelaki brewok itu sambil mengepalkan kedua telapak 
tangannya, sehingga terdengar bunyi berkerotokan 
nyaring. Jelas, kalau ia tengah dilanda rasa marah 
yang hebat. 
"Bakar rumah celaka ini...!" perintah lelaki brewok 
itu kepada para pengikutnya. 
Tanpa menunggu perintah dua kali, para pengikut 
lelaki brewok itu segera melemparkan obor yang 
memang sudah dipersiapkan. Seketika itu juga, api 
langsung berkobar melahap pondok milik Ki Rungga 
yang terbuat dari kayu itu. Terdengar suara berkero-
tokan ketika satu persatu kayu penyangga pondok 
itu patah termakan api yang kian membesar. 
"Kumpulkan semua penduduk Desa Pari ini! Aku 
ingin tahu, apakah mereka telah bersekongkol 
dengan tua bangka yang tidak tahu diuntung itu!" 
Kembali lelaki brewok itu berteriak lantang. 
Tanpa diperintah dua kali, separuh dari para 
pengikutnya segera menghambur dan mendatangi 
rumah-rumah penduduk Desa Pari. 
Tak lama kemudian, sekitar lima puluh orang 
penduduk perkampungan nelayan itu telah berkum-
pul di sebuah tanah lapang berpasir yang cukup 
luas. Wajah-wajah mereka tampak tertunduk pucat. 
"Hm... Kemari kau, Orang Tua...," panggil lelaki 
brewok itu sambil menunjuk seorang lelaki berusia 
sekitar enam puluh tahun. 
Walaupun wajah lelaki brewok itu agak pucat, tapi 
terpancar jelas dari sinar matanya sikap yang tegas 
dan berwibawa. Pertanda ia bukanlah orang samba-
rangan. 
Dengan hati yang galau, lelaki tua berjenggot 
putih ini melangkah mendekati lelaki brewok yang 
memang-gilnya. Sepasang matanya menarap tajam

ke arah wajah lelaki brewok yang hanya berjarak 
satu tindak di depannya. 
"Bangsat! Berani kau berlaku tidak sopan ter-
hadap Algojo Pantai!" Bentak lelaki brewok itu sambil 
melecutkan cambuk di tangannya dengan kecepatan 
Maut. 
Ctarrr! Ctarrr...! 
"Akh...!" 
Lelaki tua itu menjerit kesakitan ketika pecut di 
tangan lelaki brewok menghantam tubuhnya berkali-
kali. Akibatnya, tubuh orang tua itu jatuh terguling-
guling Tampak guratan-guratan merah di beberapa 
bagian tubuhnya meneteskan darah. Sedangkan 
pakaian yang dikenakannya terlihat sobek dan 
berdarah. 
Sadar akan Bndakannya, orang rua itu bergerak 
bangkit tanpa berniat untuk melawan. Kemudian 
merangkak mendekati lelaki brewok yang mengaku 
berjuluk Algojo Pantai. 
"Hm.... Bagus..., bagus...! Rupanya otakmu masih 
dapat berpikir jernih," ujar Algojo Pantai tersenyum 
dengan nada mengejek dan jumawa. 
Sementara itu, para pengikut Algojo Pantai. Ter-
tawa terpingkal-pingkal. Hati mereka geli menyaksi-
kah kelakuan lelaki tua itu yang merangkak seperti 
anjing. 
"Sekarang jawab pertanyaanku! Ingat! Sebab jawa-
ban yang tidak menyenangkan, akan membuatmu 
rugi!" ancam Algojo Pantai tersenyum licik. 
"Baik.., baik...," sahut lelaki tua itu seraya meng-
angguk-anggukkan kepala tanpa berani membantah. 
"Tunjukkan di mana Ki Rungga sekarang bera-
da...?" Tanya Algojo Pantai sambil mempermainkan 
cambuk di tangannya. 
"Maaf, aku..., aku betul-betul tidak tahu...," jawab 
orang tua itu dengan wajah menegang.

"Bangsat..!" bentak Algojo Pantai sambil menga-
yunkan cambuknya beberapa kali ke tubuh orang 
tua malang itu 
Ledakan cambuk terdengar berkali-kali, ditingkahi 
suara jerit kesakitan yang menyayat. Tubuh orang 
tua itu berkelojotan, dan darah meleleh dari luka-
luka di beberapa bagian tubuhnya. 
Namun, percikan-percikan darah dan jerit orang 
tua itu sama sekali tidak dipedulikan Algojo Pantai. 
Bahkan, semua itu semakin membuatnya kerasukan 
seperti orang gila. Sehingga, lecutan cambuknya 
semakin sering dan kian keras. 
"Cepat katakan! Di mana Ki Rungga dan pemuda 
itu bersembunyi? Atau cambuk ini akan terus meren-
cah tubuhmu sampai tewas!" Bentak Algojo Pantai 
dengan suara menggelegar. 
"Aku..., aku Bdak tahu, Tuan...," rintih lelaki tua 
itu di antara ledakan cambuk yang mendera di 
sekujur tubuhnya. Sehingga pakaian yang dikena-
kannya robek di sana-sini. Bahkan, sekujur tubuh-
nya sudah dilumuri darah yang terus mengucur 
setiap cambuk itu melecut lubuhnya. 
"Coba kau maju ke depan, Nenek Peot...!" seru 
Algojo Pantai sambil menudingkan telunjuknya ke 
arah Morang wanita berusia sekitar enam puluh 
tahun. Jelas, ia berniat menyiksa wanita tua itu 
untuk memperoleh keterangan tentang Ki Rungga 
dan pemuda berjubah putih. 
Gemetar sekujur tubuh wanita tua itu ketika 
melihat jari Algojo Pantai menuding ke arahnya. 
Merasa ngeri dengan suara ledakan cambuk yang dl 
nmang-amangkan ke tubuhnya, nenek itu pun mena-
ngis ketakutan. 
"Tuan, apa salah kami...? Mengapa perbuatan Ki 
Rungga, Tuan timpakan kepada kami? Kalau saja 
ada salah seorang penduduk yang mengetahuinya,

tentu akan dilaporkan sekarang juga. Tapi, percaya-
lah Tuan. Kami semua memang benar-benar tidak 
tahu, ujar seorang lelaki gemuk bermuka hitam yang 
tidak tega melihat wanita tua itu akan disiksa. 
Sehingga, Ia memberanikan diri mengungkapkan 
rasa penasaran di hatinya. 
"Hm..., begitu? Jadi, kau tidak mengetahui di 
mana Ki Rungga dan pemuda asing itu bersembunyi. 
Kalau begitu, semua penduduk Desa Pari ini akan 
kusiksa sampai mati!" geram Algojo Pantai sambil 
memutar cambuknya di atas kepala. 
Wuuut... 
Ctarrr...! 
Ujung cambuk Algojo Pantai meluncur dan lang-
sung melecut tubuh gemuk lelaki bermuka hitam itu 
berkali-kali. Terdengar jerit kesakitan yang menyayat 
hati ketika ujung cambuk itu terus menghantam 
korbannya yang terpaksa bergulingan di atas tanah. 
Lecutan cambuk yang berpuluh kali mendera 
lelaki bermuka hitam itu, membuat pakaiannya 
robek di sana-sini. Sedangkan tubuh korban akibat 
lecutan cambuk itu telah mengeluarkan darah segar, 
yang jugn menodai ujung cambuk. Sungguh malang 
dan betapa tersiksanya nelayan gemuk berwajah 
hitam itu. 
Algojo Pantai menghenbkan lecutan cambuknya 
setelah melihat korbannya tidak bergerak lagi. Rupa-
nya nelayan gemuk berwajah hitam itu jatuh pingsan 
karena tak sanggup lagi menahan rasa sakit yang 
dideritanya. 
"Hayo, kalian kuberi waktu untuk berpikir. Jika 
kuhitung sampai sepuluh masih belum juga ada yang 
membuka mulut, jangan katakan aku kejam jika 
kalian mengalami nasib yang serupa dengan orang 
ini!" uncam Algojo Pantai dengan wajah yang sema-
kin bertambah bengis. Sambil berkata demikian, kaki

kanannya menginjak tubuh nelayan berwajah hitam 
yang hngeletak pingsan. 
"Satu.... Dua.... Tiga...," sambil menghitung 
dengan pelan, Algojo Pantai melangkahkan kakinya 
mengitari para nelayan. Diamatinya satu persatu 
wajah nelayan yang pucat dan gemetar itu. 
Bukan main geramnya hati Algojo Pantai ketika 
hitungan sampai ke delapan, belum tertihat seorang 
pun yang mengeluarkan suara untuk menjawab per-
tanyaannya. 
"Sembilan...," kembali terdengar suara Algojo 
Pantai melanjutkan hitungannya dengan wajah yang 
semakin gelap. Giginya tampak bergemeletuk keras 
karena para nelayan itu masih juga belum ada yang 
mengeluarkan suara. 
"Sepu...." 
"Tunggu...!" terdengar seruan nyaring yang me-
motong hitungan lelaki brewok itu. 
Suara teriakan yang nyaring dan menimbulkan 
pengaruh getaran dalam dada itu, membuat semua 
orang yang berada di tempat itu memalingkan wajah-
nya ke satu arah. 
* * * 
Para penduduk Desa Pari, termasuk Algojo Pantai 
dan kawan-kawannya, menjadi terkejut ketika me-
lihat sosok berjubah putih tengah melangkah tegap 
mendatangi tempat itu. 
Hembusan angin laut yang cukup keras, membuat 
rambut lelaki berjubah putih yang panjang itu ter-
sibak ke belakang. Sehingga tampaklah wajah se-
orang lelaki muda yang tampan dan penuh ketena-
ngan. 
Pemuda tampan berjubah putih itu tak lain adalah 
Panji. Langkahnya dihentikan dalam jarak satu tom

bak di hadapan pemimpin orang-orang kasar itu. 
Meskipun wajah tampan itu tetap menampilkan 
senyum tenang, namun sepasang matanya menatap 
tajam ke arah Algojo Pantai. Sehingga membuat lelaki 
brewok itu melangkah mundur tanpa sadar. 
Pendekar Naga Putih mengedarkan pandangan 
berkeliling. Wajahnya sama sekali tidak menunjuk-
kan kegentaran. Meskipun dirinya telah dikepung 
oleh dua puluh orang berwajah kasar dengan senjata 
tertuju kepadanya. 
"Ha ha ha...! Kau benar-benar berhati macan, 
Uncnh. Baguslah kalau kau datang sendiri untuk 
menyerahkan diri. Jadi, kami tidak perlu menyiksa 
penduduk desa ini, dan bersusah-payah mencarimu," 
ujar Algojo Pantai lantang. Sehingga suaranya terde-
ngar oleh semua orang yang hadir di tanah lapang 
yang luas itu. 
"Hm.... Sayang dugaanmu keliru, Kisanak Keda-
tanganku kemari, bukanlah untuk menyerahkan diri 
kepada manusia kejam seperti kau. Sebaliknya, 
malah aku ingin mengusirmu dengan cara halus 
maupun kasar. Dan kuharap, kalian tidak usah 
datang meng-ganggu Desa Pari ini lagi," sahut Panji 
sambil tersenyum lebar. 
"Kau ingin melawan Banjai si Algojo Pantai...? 
Benar-benar mengagumkan sekali!" ucap lelaki 
brewok itu tertawa pelan. 
"Tentu saja. Bukan hanya kau dan pengikutmu, 
Algojo Pantai. Tapi, siapa pun yang melakukan tinda-
kan sewenang-wenang di depanku, akan kucegah. 
Kalau perlu kuberi sedikit pelajaran agar tidak lagi 
mengulangi perbuatannya. Apalagi kedatanganku ke 
Pulau Mimpi yang terpencil ini tidak kurencanakan. 
Ini, dikarenakan aku terdampar. Lalu, ditemukan 
dan dirawat Ki Rungga. Apakah keberadaanku di 
tempat ini merupakan satu kesalahan besar,

sehingga kalian bersikeras hendak menangkapku? 
Coba kau katakan, Algojo Pantai! Kesalahan apa yang 
telah kuperbuat hingga kalian mengejar-ngejarku?" 
Tanya Panji penasaran atas kejadian-kejadian yang 
dialami-nya di Pulau Mimpi ini. 
"Tentu saja kesalahanmu sangat besar, Ketahui-
lah, Pulau Mimpi tidak memperkenankan orang asing 
menginjakkan kakinya di daerah. Apabila hal itu 
terjadi, maka hukuman matilah yang harus diterima. 
Karena ada keistimewaan untukmu maka kau hanya 
diusir dari pulau ini. Tapi, sayang keputusan itu te-
lah kucabut Karena kau telah mencelakakan kawan-
kawan kami beberapa hari lalu. Jadi keputusan itu 
sudah berubah. Jika kau sampai tertangkap, bukan 
hanya diusir. Tapi, kematianlah jalan terbaik yang 
kau miliki. Karena itu lebih baik menyerah. Dengan 
begitu, kami tidak perlu repot-repot lagi untuk mem-
bekukmu secara paksa, Kisanak," Algojo Pantai sam-
bil melangkah maju tiga tindak, semakin mendekati 
tempat Pendekar Naga putih berada. 
"Hm.... Tidak perlu berpura-pura, Algojo Pantai. 
Semua kejadian di Pulau Mimpi ini sudah kuketahui 
dari Ki Rungga. Bukankah Sepasang Manusia Sesat 
yang telah menyuruhmu untuk menangkap atau 
membunuh setiap orang asing yang menginjakkan 
kakinya ke pulau ini? Hm.... Sayang kali ini tugasmu 
tidak mudah untuk kau laksanakan!" ujar Panji 
dengan nada menantang. 
"Keparat! Kau rupanya benar-benar sudah hidup! 
Anak-anak, bunuh pemuda itu! Penggal batang leher-
nya...!" perintah Algojo Pantai dengan suara meng-
gelegar karena amarah yang menggelegak dalam 
dada. 
Panji hanya memperdengarkan gumaman tak 
jelas. Ditatapnya puluhan lelaki kasar yang mulai 
bergerak maju dan mengepungnya. Sedikit pun


Pendekar Naga Putih tidak bergeser dari tempatnya 
berdiri. Pemuda itu tetap tegak dengan tatapan mata 
mencorong tajam. 
"Heaaa...!" 
Diiringi teriakan membahana, puluhan pengepung 
itu langsung menerjang Panji dengan sambaran dan 
tusukan senjatanya. Kilatan-kilatan cahaya senjata 
yang terpantul akibat terpaan sinar matahari, bagai-
kan tangan-tangan maut yang siap merenggut nyawa 
pemuda berjubah putih itu. 
Wuuut! Wuuuk! 
Dua buah tusukan ujung tombak yang mengarah 
ke Iambung dan dadanya, dielakkan Panji dengan 
memiringkan sedikit tubuhnya. Berbarengan dengan 
itu, kedua tangannya bergerak menangkap senjata 
lawan, dan langsung menariknya kuat-kuat! 
Bukkk! Desss! 
Tubuh kedua lawannya, langsung terpental dan 
nmbruk tanpa dapat bangkit lagi. Keduanya terge-
letak pingsan akibat hantaman tangan Panji yang 
berisi tenaga dalam yang amat kuat. 
Kembali terdengar jerit kesakitan ketika sepasang 
kepalan Pendekar Naga Putih menyambar-nyambar 
cepat. Sebentar saja, enam orang lawannya terjun 
mencium tanah, tanpa mampu bangkit lagi. 
Melihat kejadian yang tidak disangka-sangka para 
pengepung lainnya langsung bergerak mundur 
dengan wajah pucat. Jelas, gebrakan-gebrakan yang 
dilontarkan pemuda berjubah putih itu sangat me-
ngejutkan pengeroyoknya. Sehingga, untuk beberapa 
saat lama-nya, gerombolan lelaki kasar itu hanya 
dapat menatap dalam jarak tiga tombak. Dan, tak 
seorang yang berani menyerang pemuda itu. 
"Keparat! Mengapa kalian menjadi penakut, Hah! 
Hayo, serbu pemuda setan itu! Pancing dia agar 
meng-hambur-hamburkan tenaganya. Setelah itu,

baru penggal lehernya untuk persembahan Ketua 
Agung...!” perintah si Algojo Pantai kepada para 
pengikutnya untuk kembali menyerang pemuda 
berjubah putih. 
Sedangkan Algojo Pantai sendiri tidak diam. 
Dicabutnya sebilah golok besar yang tergantung di 
pinggangnya. Terdengar suara mengaung ketika 
lelaki brewok itu memutar senjatanya den kecepatan 
yang mengagumkan. 
"Yeaaa...!" 
Sambil berseru keras, tubuh gemuk itu dengan 
disertai ayunan golok besarnya yang menyeramkan. 
Wuuut..! 
"Hm...," gumam Panji ketika menghindari sam-
baran golok besar Algojo Pantai yang bernama asli 
Bajal itu. 
Pendekar Naga Putih terus melangkah mundur 
untuk melihat sejauh mana kehebatan ilmu golok 
yang memang terlihat aneh dan asing baginya. 
Gerakan-gerakan ilmu silat yang dimainkan lelaki 
brewok itu, terlihat seperti gerakan orang mabuk. 
Dan, Panji sempat dibuatnya kagum. Sebab, meski-
pun gerakan lawannya agak aneh dan janggal, 
ternyata sangat membingungkan dan berbahaya. 
Sehingga, beberapa kali ujung golok besar itu nyaris 
mencium tubuh Pendekar Naga Putih. 
Sambil menghindari sambaran golok lawan, Panji 
mempelajari ilmu golok yang masih asing itu. Setelah 
kelemahannya diketahui, barulah Panji melancarkan 
serangan balasan. Dalam waktu singkat saja, Algojo 
Pantai dibuat tidak berdaya. 
"Setan...!" umpat lelaki gemuk berwajah brewok ini 
jengkel. 
Algojo Pantai hampir tidak percaya kalau pemuda 
asing yang semula dianggapnya remeh itu, ternyata 
mampu membuatnya tidak berkutik. Padahal, semua

kepandaian yang dimilikinya telah dikeluarkan untuk 
meringkus pemuda berjubah putih itu. 
"Hahhh...!" 
Algojo Pantai membentak keras untuk menghi-
langkan pengaruh hawa dingln yang terasa mem-
bekukan Jalan darahnya. Namun, meskipun ber-
usaha sekuat tenaga untuk melawan hawa dingin 
yang menggigit itu, tetap saja tubuhnya menggigil 
seperti orang diserang demam. 
Hanya dalam dua puluh lima jurus, Panji telah 
membuat lawannya kalang-kabut. Sebuah hantaman 
telapak tangannya yang berisi 'Tenaga Sakti Gerhana 
Bulan', meluncur deras ke arah dada lawannya. 
"Hugkh...!" 
Bagaikan layang-layang putus, tubuh Algojo Pan-
tai terlempar deras hingga dua tombak jauhnya. 
Darah segar mengucur dari mulutnya. Sedangkan 
hawa dingin yang merasuk ke dalam tubuhnya, 
membuat lelaki gemuk itu menggigil hebat. Tak 
berapa lama kemudian, tubuh lelaki kejam itu 
mengejang kaku. Mati. 
Melihat pemimpinnya tewas, tiga belas lelaki kasar 
yang sejak tadi hanya menonton saja, serentak meng-
hambur dan melompat keatas punggung kuda 
masing-masing. Kemudian, mereka langsung mema-
cu binatang itu tanpa menoleh lagi. 
"Husyaaa.... Husyaaa...!" 
Beberapa orang penduduk yang merasa jengkel 
dengan gerombolan itu, berteriak-teriak menakut-
nakuti. Sehingga para pengikut Algojo Pantai yang 
tersisa itu melarikan kudanya semakin kencang. 
"Mengapa mereka tidak dibunuh saja, Kisana Aku 
khawatir mereka akan kembali dalam jumlah yang 
lebih besar, disertai pemimpin-pemimpin mereka 
yang sakti...," ujar salah seorang penduduk Desa

Pari, sambil menatap Panji dengan pandangan mata 
yang tidaak puas atas sikap pemuda itu. 
"Tidak perlu, Paman. Dan, aku yakin mereka pasti 
tidak akan kembali lagi ke sini. Sebab, aku sendiri 
yang akan pergi mengunjungi markas mereka," sahut 
Panji yang saat itu tengah mengobati beberapa 
korban akibat lecutan cambuk Algojo Pantai. 
Selesai mengobati orang-orang yang tertimpa ke-
malangan itu, Panji pamit meninggalkan tempat itu. 
Sebelum pergi, pemuda itu terlebih dahulu menya-
darkan anak buah Algojo Pantai yang telah dibuatnya 
pingsan. Sesudah melepaskan orang-orang itu pergi, 
Panji melesat meninggalkan para penduduk Desa 
Pari itu. Luar biasa! Orang-orang desa itu takjub dan 
hanya mampu menatap sosok bayangan putih 
dengan penuh kekaguman. Setelah sosok pemuda 
berjubah putih itu lenyap, mereka bergerak pulang 
ke rumah dengan suara riuh menceritakan sepak 
terjang Pendekar Naga Putih. 
***
EMPAT

Wajah Panji tampak sungguh-sungguh menden-
dengar cerita Ki Rungga. Kemudian pemuda berjubah 
putih itu tersenyum dengan mata bersinar cerah se-
telah mengetahui letak bangunan dan tempat kedia-
man majikan Pulau Mimpi itu. Dia pun pamit dengan 
orang tua yang telah menolongnya. Kemudian tubuh-
nya melesat cepat, sehingga hanya tampak seperti 
bayan-bayang samar yang hampir tidak tertangkap 
biasa. 
Setelah cukup lama berlari, pemuda itu memper-
lambat gerakannya. Lalu langkahnya berhenti sama 
sekali ketika tiba di mulut sebuah hutan lebat. 
Ditelusurinya hutan itu dengan langkah perlahan. 
"Hm.... Menurut keterangan Ki Rungga, letak ba-
ngunan majikan pulau ini berada di luar Hutan 
Dandara dan mengarah ke Selatan. Sayang, orang itu 
tidak begitu jelas mengatakan jumlah pengikut 
Sepasang Manusia Sesat, yang telah merebut pulau 
ini dari orang yang berhak," gumam Panji sambil me-
langkah memasuki hutan. 
Ketika melangkah di dalam hutan, tiba-tiba 
telinganya menangkap suara denting senjata dan 
teriakan-teriakan orang bertempur. Sehingga, untuk 
beberapa saat lamanya, pemuda itu menghentikan 
langkah kakinya. Kemudian kepalanya ditelengkan 
ke asal suara. 
"Hm.... Sepertinya suara pertempuran itu berasal 
dari sebelah Timur hutan ini...," gumam Panji menge-
rutkan keningnya, sambil menduga-duga siapa gera-
ngan yang tengah bertarung di dalam Hutan Dandara 
itu.

Sekali menjejakkan kakinya ke tanah, tubuh Pen-
dekar Naga Putih melesat cepat hingga beberapa 
batang tombak jauhnya. Kemudian terus berlari de-
ngan mengerahkan ilmu meringankan tubuh, agar 
secepat mungkin tiba ke tempat pertempuran yang 
diduganya itu. 
Sesaat kemudian, Pendekar Naga Putih tiba di 
sebuah tempat yang beberapa tombak di depannya 
terdapat lapangan berumput yang cukup luas. Di 
situ disaksikannya pertempuran tak seimbang yang 
tengah berlangsung. 
Sambil mengendap-endap, Panji bergerak maju 
dan mendekati arena pertempuran itu. Dari balik 
semak-semak yang cukup tersembunyi, Panji meng-
awasi jalannya pertempuran itu dengan jelas. 
Sepasang mata Pendekar Naga Putih terus berge-
rak mengikuti pertempuran yang berlangsung tidak 
adil itu. Keningnya berkerut ketika mengetahui, 
pihak yang terdesak itu adalah seorang gadis muda 
yang sangat cantik. Sedangkan lawannya yang 
berjumlah lima orang lelaki itu, tampak semakin 
menguasai pertempuran. 
Meskipun demikian, Pendekar Naga Putih tidak 
segera membantu gadis cantik yang tengah terjepit 
itu. Lantaran ia ingin mengetahui secara jelas 
masalah yang membuat kedua belah pihak bertikai. 
Panji tidak ingin bertindak keliru. Sebab salah-salah 
bertindak bisa-bisa la membelah pihjak yang justru 
seharusnya tidak dibela. 
Tapi, Panji tidak tega membiarkan gadis cantik itu 
menjadi bulan-bulanan pengeroyoknya. Sehingga, 
ketika ia melihat gadis itu kembali terancam oleh 
pukulan salah seorang lawannya, pemuda itu segera 
melesat keluar dari tempat persembunyiannya. 
"Tahan...!"

Sambil berseru keras, Pendekar Naga Putih lang-
sung memapaki pukulan yang mengancam dada 
gadis cantik itu. Dan.... 
Plakkk! 
"Aaah...!" 
Orang yang pukulannya terpapak oleh telapak 
tangan Panji, berteriak kaget Tubuhnya terlempar ke 
belakang hingga satu setengah tombak jauhnya. Dan, 
terbanting ke atas tanah berumput dengan suara 
ber-debuk nyaring. 
"Uhhh..., gila! Siapa manusia usil yang berani 
memapak pukulanku...," rintih lelaki berkumis lebat 
itu sambil mencoba bangkit berdlri. Namun, tubuh-
nya kembali terjatuh. Karena dadanya terasa sesak 
dan tangannya seperti lumpuh akibat tangkisan Pen-
dekar Naga Putih. 
Datangnya sosok yang di sekeliling tubuhnya 
memancarkan sinar putih keperakan itu, membuat 
empat orang lelaki lainnya segera berlompatan mun-
dur. Sehingga, pertempuran itu terhenti dengan sen-
dirinya. 
Sedangkan wanita cantik bertubuh langsing dan 
padat itu, jelas merasa gembira dengan kehadiran 
sosok berselimut lapisan kabut keperakan itu. Tanpa 
rasa canggung sedikit pun, kakinya dilangkahkan 
menghampiri Panji. Seulas senyum manis tersung-
ging di bibirnya. 
"Kuucapkan beribu terima kasih atas pertolongan-
mu, Kisanak. Kalau saja kau tidak keburu datang, 
mungkin aku tidak dapat menikmati indahnya mata-
hari esok," ucap gadis cantik itu sambil membung-
kukkan badannya dengan penuh hormat. 
"Tidak perlu sungkan-sungkan, Nyai. Apa yang 
kulakukan ini, sudah menjadi kewajibanku," sahut 
Panji seraya membalas penghormatan wanita cantik 
itu.

Wanita itu tersenyum sambil menyeka cairan 
merah yang mengalir di sudut bibirnya dengan pung-
gung tangan. 
"Kau terluka, Nyai...?" Tanya Panji, cemas. 
"Ah, tidak terlalu mengkhawatirkan. Lagi pula 
lukanya sudah tidak terasa lagi...," jawab wanita can-
tik itu tersenyum malu, ketika disadarinya pemuda 
tampan itu menatap wajahnya penuh perhatian. 
Panji mengerti akan kekeliruannya, segera dangan 
matanya diarahkan ke arah lima orang lelaki yang 
telah berdiri tegak menatap keduanya. Sorot mata 
mereka yang beringas, jelas mencerminkan kemara-
han yang hebat. 
"Siapakah kau, Kisanak? Mengapa mencampuri 
urusan kami?" tegur salah seorang dari lima lelaki itu 
dengan suara mengandung ancaman. 
"Maaf. Aku terpaksa, karena tidak tahan melihat 
ketidakadilan yang berlangsurig di hadapanku. Sebe-
tulnya sebagai laki-laki, kalian harus malu menge-
royok seorang gadis muda," ujar Panji dengan suara 
tenang, namun terdengar agak menyakitkan bagi 
kelima orang itu. 
"Huhhh! Kau tahu apa?! Wanita cantik ini sangat 
berbahaya bagi kami. Sehingga, kalau tidak dibunuh, 
kamilah yang akan celaka di tangannya. Oleh karena 
itu, sebaiknya kau menyingkirlah! Biar gadis ini kami 
yang mengurusnya!" tjmpal lelaki berwajah kehi-
taman. Dari sikapnya, dapat diketahui kalau dirinya 
adalah pimpinan dari kelima lelaki itu. 
"Hm.... Kalau boleh kutahu, apa yang telah dilaku-
kan gadis ini kepada kalian...?" Tanya Panji yan ingin 
mengetahui persoalannya dari kelima orang bertam-
pang bengis itu. 
Kemudian, Panji mengalihkan perhatiannya kepa-
da gadis cantik yang berdiri di sebelah kanannya. 
Melihat raut wajahnya yang lembut dan tampak tak

berdosa, rasanya tidak mungkin kalau gadis itu telah 
melakukan kejahatan. Apalagi sifat dan suaranya 
yang lembut. Jelas, tak terkesan sama sekali kalau 
gadis itu sudah melakukan tindakan yang keji. 
Karena itu, Penndekar Naga Putih yakin telah mem-
bela pihak yang benar. 
"Sudahlah, Kakang. Mengapa kita harus meladeni 
ocehan pemuda usilan itu. Lebih baik bereskan saja, 
sebab kalau diberi hati mereka akan semakin ber-
tindak kurang ajar kepada kita," geram lelaki ber-
kumis lebat, lanpa sedikit pun melepaskan tatapan-
nya ke wajah Panji. Jelas, ia masih mendendam 
terhadap apa yang telah dilakukan pemuda berjubah 
putih itu terhadap dirinya. 
Sejenak orang tertua dari kelima lelaki itu terdiam. 
Sepertinya usul lelaki berkumis lebat itu sedang 
dipertimbangkannya. 
"Hmh...." 
Sesaat kemudian, lelaki kekar berwajah kehitaman 
itu mengeluarkan suara geraman, sambil menggerak-
kan kedua tangannya sebagai perintah untuk me-
ngurung Panji dan gadis itu. Sedangkan ia sendiri 
sudah bergerak maju dengan senjata di tangan. 
Melihat sikap kelima lelaki berwajah bengis itu, 
Panji sadar kalau pertarungan tidak mungkin dapat 
dihindari lagi. Maka, dengan langkah tenang, pe-
muda berjubah putih itu maju beberapa tindak. Pen-
dekar Naga Putih telah siap menghadapi keinginan 
kelima orang lelaki itu. Sedangkan gadis cantik di 
sebelahnya dimintanya untuk menyingkir. 
*** 
"Hm.... Rupanya kau memang hendak membela 
putri Ki Raga Baya! Baiklah kalau begitu! Jangan me-
nyesal kalau kau akan tewas di tangan kami...!"

geram lelaki kekar berwajah kehitaman itu sambil 
menggerakkan pedang yang berada di tangan 
kanannya seca menyilang. 
Wuuut! Wuuut..! 
Terdengar sambaran angin pedang mengaum 
tajam yang diiringi kilatan sinar kehijauan. 
"Heaaat..!" 
Bersamaan dengan teriakan nyaring lelaki kekar 
itu, tubuhnya segera melesat disertai kibasan pe-
dangnya. Sehingga menimbulkan deruan angin yang 
mendesing nyaring. 
Sementara, keempat kawannya ikut pula bergerak 
melingkari Pendekar Naga Putih. Dan, Panji kini 
dikurung dari lima arah. 
Menyadari kepandaian kelima orang pengeroyok 
itu tidak bisa dipandang ringan, Panji tidak sungkan-
sungkan lagi membalas serangan lawan-lawannya. 
Dan dalam sekejap saja, mereka telah terlibat dalam 
sebuah pertarungan yang sengit. 
Bettt! Bettt! Bettt! 
Panji menggeser kakinya dengan gerakan yang ce-
pat dan mantap. Sambaran pedang salah seorang 
lawannya yang datang bertubi-tubi, dielakkannya 
tanpa mengalami kesulitan. Kemudian disusul 
dengan lompatan ke kiri, guna menghindari tusukan 
pedang lawan yang mengancam lambungnya. 
"Heaaah...!" 
Sambil membentak keras, Pendekar Naga Putih 
melesat ke belakang dengan gerakan berputar. Se-
kaligus dilepaskannya sebuah tendangan berputar 
yang mengancam kepala lawan di belakangnya. 
Karuan saja lawan yang menjadi sasaran tendang-
an Pendekar Naga Putih merasa terkejut setengah 
mati. Karena serangan yang dilancarkan pemuda 
berjubah putih itu benar-benar mendadak dan sama 
sekali tidak diduganya. Apalagi saat itu posisi Panji

memang tidak memungkinkan untuk melakukan ten-
dangan berputar. Wajar kalau lawannya menjadi 
terkesima sesaat. 
Meskipun dengan gerakan yang terlihat gugup, 
lelaki berwajah pucat yang menjadi sasaran serangan 
Pendekar Naga Putih, segera mengangkat tangan kiri, 
sambil mengerahkan segenap kekuatan tenaga 
dalamnya. 
Plakkk! 
"Uhhh...!" 
Upaya menghindari diri dari tendangan Panji 
memang terlihat berhasil. Tapi, karena kekuatan 
tenaganya jauh di bawah kekuatan lawan, maka 
tubuh orang itu pun terjungkal karena tak sanggup 
menahan kekuatan tendangan itu. 
Panji yang semula berniat melanjutkan serangan-
nya, bergegas menarik tubuhnya dan didoyongkan ke 
belakang. Sebab, pada saat itu, serangan lain telah 
datang mengancamnya. Dan, begitu senjata lawan 
dari sebelah kanan lewat sejengkal didepan tubuh-
nya, langsung Panji melontarkan hantaman tebpak 
tangannya dengan menyilangkan kakl kiri. Sehingga, 
tubuhnya doyong ke samping mengikuti serangan-
nya. Dan... 
"Hugkh...!" 
Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh orang itu ter-
jengkang akibat hantaman tebpak tangan Panji yang 
menghajar telak tulang iganya. Darah segar langsung 
keluar dari mulutnya. Karena hantaman telapak 
tangan pemuda itu mengandung kekuatan 'Tenaga 
Sakti Gerhana Bulan' yang memang sangat dahsyat. 
Bagaikan sehelai kain basah, tubuh lelaki itu 
ambruk dan tak bergerak lagi. 
Tewasnya sabh seorang dari pengeroyok itu mem-
buat yang lainnya berlompatan mundur. Mereka 
berkumpul dalam jarak dua tombak dari tempat Panji berdiri. Terlihat keempat orang itu saling bertukar 
pandang. Seolah-olah mereka tengah merundingkan 
sesuatu. 
Sesaat kemudian, keempat orang itu saling meng-
angguk perlahan. Kemudian, seperti diberi aba-aba, 
keempat lelaki berwajah bengis itu berlompatan ke-
semak-semak Dan mereka langsung lenyap dari pan-
dangan Pendekar Naga Putih. 
Sedangkan Panji sendiri yang merasa tidak mem-
punyai urusan dengan keempat orang itu, tetap saja 
tidak bergerak dari tempatnya berdiri. Sedikit pun 
tidak terlintas dalam benaknya untuk melakukan 
pengejaran terhadap orang-orang itu. Setelah keem-
pat orang laki-laki kasar itu lenyap, Panji segera 
membalikkan langkahnya dan melangkah mendekati 
gadis cantik yang saat Itu tengah menatapnya 
dengan pandangan mata penuh kagum. 
"Wah! Kepandaianmu sangat hebat, Kakang! Kalau 
saja mereka tidak melarikan diri, mungkin tidak 
sampai sepuluh jurus lagi nyawanya melayang ter-
sambar pukulanmu yang hebat itu," ucap gadis 
cantik itu seraya menatap lekat-lekat ke wajah Panji 
dengan rasa kagum. Sepertinya wanita itu memang 
tidak berusaha menyembunyikan perasaannya. 
"Kau keliru, Nyai. Untunglah mereka melarikan 
diri dan tidak melanjutkan pertempuran. Kalau 
tidak, mungkin aku akan mengalami kesulitan 
menghadapi gempuran-gempuran mereka yang tidak 
bisa dipandang remeh itu," kilah Panji merendah. 
"Ah! Kau terlalu merendahkan kepandaianmu Ka-
kang.... Mmm..., bolehkah kutahu namamu, Kakang? 
Dan, darimanakah kau berasal? Sebab, kalau men-
dengar logat bicaramu, jelas kau bukanlah pendu-
duk pulau ini," ujar gadis cantik itu, sambil tetap 
menatap wajah Panji lekat-lekat.

"Namaku Panji. Dan datang dari sebuah daratan 
yang tidak bisa kupastikah dari tempat ini. Dan 
kedatanganku ke pulau ini sama sekali tanpa 
sengaja. Jelasnya, aku terdampar dan diselamatkan 
oleh se-orang penduduk Desa Pari yang baik hati. 
Dan siapakah kau, Nyai? Mengapa pula mereka 
sangat memusuhimu?" Tanya Panji sambil melang-
kah dan duduk di atas sebuah batu besar yang 
terletak di bawah sebatang pohon. 
"Hhh... Akan memakan waktu lama kalau kuce-
ritakan seluruhnya. Singkatnya, aku bernama Rara 
Ningrum, putri Ki Raga Baya yang menjadi majikan 
Pulau Mimpi ini. Malam tadi, aku berusaha mencari 
tempat ayahku ditawan. Sayang, mereka sempat me-
mergoki dan mengejarku hingga ke Hutan Dandara 
ini. Ahhh..., aku memang tidak berguna. Kasihan 
sekali ayah...," desah gadis cantik yang mengaku ber-
nama Rata Ningrum itu seraya menundukkan wajah-
nya yang berubah gelap. Terdengar isak lirih yang 
tertahan Tampaknya wanita itu tak ingin suara 
tangisnya terdengar oleh Panji. 
"Tabahkan hatimu, Ningrum. Jangan cepat ber-
kecil hati. Aku akan berusaha membantumu, sejauh 
aku mampu. Mudah-mudahan saja, bantuanku yang 
mungkin tidak banyak berguna, dapat menyelamat-
kan ayahmu yang kini ditawan Sepasang Manusia 
Sesat. Mm. Dan, tentu saja kalau kau sudi menerima 
bantuanku," ujar Panji yang tersentuh hatinya ketika 
melihat raut kesedihan yang membayang di wajah 
gadis cantik itu. 
"Dari mana Kakang mengetahui tentang manusia-
manusia laknat yang merebut pulau ini? Dan, apa 
lagikah yang Kakang ketahui?" Tanya Rara Ningrum 
membelalakkan sepasang matanya saat mendengar 
ucapan Panji.

Tanpa sadar, Rara Ningrum mencekal lengan pe-
muda berjubah putih itu erat-erat. Terkejut bukan 
kepalang hati wanita itu ketika mengetahui kalau 
Panji telah memahami tentang orang-orang yang 
menguasai Pulau Mimpi saat ini. 
"Tidak banyak yang kuketahui dari Ki Rungga 
yang telah menyelamatkanku itu, Ningrum. Dengan 
kesaktiannya, Sepasang Manusia Sesat itu telah 
merebut pulau ini dari tangan ayahmu. Dan, sedikit 
kuketahui tentang keluargamu dan letak bangunan 
bekas kediaman ayahmu dulu," jawab Panji sambil 
melepas panndangannya ke arah cakrawala luas. 
"Ibu dan kakak laki-lakiku telah dibunuh Sepa-
sang Manusia Sesat itu, hanya untuk memaksa ayah 
agar memberitahukan tempat penyimpanan harta 
pusaka leluhur kami. Sedangkan aku sendiri berhasil 
melarikan diri saat Sepasang Manusia Sesat itu 
membasmi pengawal-pengawal ayahku. Ah..., aku 
sangat berterima kasih sekali kalau kau sudi mem-
bantuku Kakang. Melihat dari kepandaianmu saat 
menghadapi Lima Setan Hitam itu, aku merasa yakin 
ayah dapat diselamatkan. Sebab, kelima lelaki bengis 
itu merupakan pembantu-pembantu utama Sepasang 
Manusia Sesat. Dan, kepandaian mereka sangat ting-
gi. Nah, kalau mereka saja dapat Kakang pecundangi 
kurang dari lima puluh jurus. Maka, aku yakin kalau 
Kakang mampu menghadapi manusia-manusia lak-
nat, yang telah membunuh ibu dan kakakku. Aku..., 
aku sangat berterima kasih sekali kalau Kakang 
memang sudi membantuku," luapan rasa gembira 
Rara Ningrum tidak hanya terucap di mulut saja. 
Bahkan, sebagai ungkapan rasa gembiranya itu, 
tubuhnya langsung di jatuhkan ke dalam pelukan 
Panji. Sehingga, pemuda itu mau tak mau menjadi 
jengah dibuatnya.

Panji yang semula berniat melepaskan pelukan 
gadis itu, tak tega hatanya ketika merasakan sema-
kin eratnya kedua lengan Rara Ningrum melekat di 
tubuhnya. Meskipun dengan wajah kemerahan, Pen-
dekar Naga Putih terpaksa mendiamkan perbuatan 
gadis itu untuk beberapa saat lamanya. 
"Ningrum..., untuk dapat membebaskan ayahmu, 
terlebih dahulu kita harus mengetahui berapa ba-
nyak kekuatan yang dimiliki Sepasang Manusia Sesat 
itu. Dan, yang penting lagi, kita harus mengetahui 
secara tepat di mana tempat ayahmu ditahan. Sebab, 
dengan begitu akan memudahkan kita membebaskan 
ayahmu," ujar Panji, mengemukakan pendapatnya. 
Seiring dengan penjelasannya, secara perlahan 
Panji melepaskan pelukan Rara Ningrum. Didorong-
nya tubuh padat yang hangat itu dengan gerakan 
halus lekali. Sehingga, Rara Ningrum sendiri tidak 
begitu memperhatikannya. Karena pikirannya ter-
curah kepada apa yang diucapkan pemuda itu. 
"Kau benar, Kakang. Ah, betapa bodohnya aku se-
lama ini. Sebab, aku sama sekali belum mengetahui 
tempat ayah ditawan. Hhh, untunglah sampai saat 
ini aku masih dilindungi Tuhan. Entah bagaimana 
nasibku kalau sampai bisa ditawan mereka," gumam 
Rara Ningrum dengan wajah sendu. 
Teringat akan nasib ayahnya, gadis cantik itu 
kembali terisak sedih. Sepertinya ia merasa putus 
asa ketika mendengar ucapan Panji. Dan, memang ia 
tidak lahu tempat ayahnya ditahan Sepasang Manu-
sia Sesat ilu. 
"Sudahlah, Ningrum. Meskipun kau belum menge-
tahuinya, bukan berarti kita tidak bisa menyelamat-
kan ayahmu. Bukankah untuk mendapatkan kete-
rangan itu tidak terlalu sulit? Kita bisa meringkus 
salah seorang pengikut Sepasang Manusia Sesat itu, 
dan memaksanya bicara. Hentikanlah tangismu,

Ningrum. Marilah kita berpikir tenang," bujuk Panji 
sambil mengusap lembut bahu Rara Ningrum. De-
ngan maksud agar dapat memberikan kekuatan 
kepada gadis itu. 
"Kau..., kau tidak tahu, Kakang. Sepasang Manu-
sia Sesat itu sangat kejam. Bahkan, para pengikut-
nya sendiri sangat takut kepada pemimpinnya. Ku-
rasa sangat sulit sekali untuk mengorek keterangan 
dari mereka...," sahut Rara Ningrum sambil men-
jatuhkan wajahnya di dada Panji. Tangisnya kembali 
meledak dan terdengar begitu memilukan. 
Pendekar Naga Putih sadar, jiwa gadis yang me-
meluk tubuhnya itu tengah terguncang oleh pukul-
an-pukulan batin yang diterimanya. Karena itu, Panji 
tidak menolak ketika Rara Ningrum menyandarkan 
kepala di dadanya seraya memeluk erat tubuhnya. 
Hati pemuda itu semakin iba ketika merasakan dada-
nya hangat oleh air mata gadis cantik itu. Sehingga 
perasaan itu mendorongnya untuk membelai rambut 
Rara Ningrum dengan perlahan. 
"Biar bagaimanapun, kita tidak boleh berputus 
asa, Ningrum. Dan, aku akan berusaha mencari jalan 
untuk menolong ayahmu...," bisik Panji halus dan 
membujuk. 
Namun, pemuda berjubah putih itu menjadi bi-
ngung ketika usai mengucapkan kata-kata itu. Ter-
nyata tangis Rara Ningrum bukannya berhenti, tapi 
malah semakin kuat dan memilukan. 
Dengan helaan napas panjang, Panji melepaskan 
pardangannya ke arah cakrawala dari menatap 
Lputih kapas yang terbawa hembusan angin. 
* * *

LIMA

Angin berhembus begitu kencang di tengah malam 
yang pekat ini. Hal itu bisa terlihat dari daun-daun 
yang bergemerisik, bahkan banyak yang berguguran 
ke tanah. Dan, samar-samar terlihat tiak-titik air 
hujan mulai berjatuhan. Tampak langit pun semakin 
kelam dengan awan-awan hitam yang bergumpal 
membentuk seperti kain hitam yang membentang. 
Dalam suasana seperti itu, dua sosok tubuh 
terlihat bergerak tanpa merasa terganggu sedikit pun 
dengan malam yang pekat itu. Bahkan, sepertinya 
suasana malam yang menyeramkah dan udara yang 
dingin, membuat kedua sosok tubuh itu lebih leluasa 
bergerak, tanpa merasa khawatir dengan bunyi ber-
derak ribut yang ditimbulkan pepohonan di sekitar-
nya. 
Meskipun kegelapan menghadang perjalanan me-
reka, namun keduanya tetap dapat bergerak lebih ce-
pat dari manusia-manusla umumnya. Andaikan ada 
orang yang melihat gerakan kedua sosok tubuh itu, 
tentu akan menduga kalau mereka adalah makhluk 
halus yang sedang bergentayangan. 
Tidak lama kemudian, kedua sosok bayangan itu 
tiba di sebuah gedung besar yang tampak megah dan 
kokoh. Sekilas gedung megah itu terlihat seperti 
sebuah istana kerajaan yang megah dan indah. 
Sosok pertama yang bentuk tubuhnya lebih kecil, 
menggerakkan tangannya memberi isyarat agar ka-
wannya segera mengikuti. Kemudian, tanpa berkata 
sepatah pun, sosok bayangan kedua yang berjubah 
putih bergerak mengikuti. 
Rupanya sosok pertama yang mengenakan pa-
kaian serba hitam itu menuntun kawannya ke bagian


belakang gedung. Lantaran tempat itu gelap dan sepi, 
sehingga tidak akan terlihat oleh seorang penjaga 
pun. Dan tanpa ragu-ragu lagi, keduanya segera 
melayang dan mendarat sejenak di atas dinding 
tembok yang mengeliling bangunan megah itu. 
Setelah mengawasi keadaan sekelilingnya, kedua 
nosok bayangan itu pun melayang turun secara ber-
samaan. Begitu rhenjejakkan kakinya di halaman 
dalam belakang gedung itu, keduanya tetap tidak 
bergerak dalam posisi merunduk. Sebab, saat itu 
terlihat beberapa orang penjaga melintas melakukan 
perondaan. sehingga, mereka harus menunggu sem-
bilan peronda itu lewat. 
Setelah para peronda itu berlalu, kedua sosok 
bayangan itu segera melesat dan merapatkan tubuh-
nya pada dinding yang agak gelap, sehingga dapat 
menyembunyikan tubuh mereka dari penglihatan 
para penjaga. 
"Ningrum..., ingat pesanku! Jangan bertindak du-
lu. Kedatangan kita kali ini hanya untuk menyelidiki 
keadaan. Turuti saja kata-kataku, kalau kau tidak 
ingin tertangkap. Sebab, bukan mustahil di dalam 
gedung dan sekUar halaman ini, mereka menempat-
kan penjaga demi keamanan gedung. Ingat! Mereka 
adalah tokoh-tokoh sesat berpengalaman. Dan, bu-
kan tidak mungkin kalau mereka mempunyai musuh 
lain, selain kita berdua," bisik sosok bayangan 
berjubah putih itu sambil menyentuh lembut bahu 
sosok di sampingnya yang bernama Ningrum. 
Sedangkan sosok berjubah putih itu tak lain adalah 
Panji. 
Terdengar helaan napas lega Pendekar Naga Putih 
ketika melihat kepala gadis cantik itu mengangguk. 
Meskipun dalam hati tidak menyetujui sepenuhnya, 
gadis itu berusaha untuk menghormati Panji dengan 
mematuhi ucapannya.


Tanpa mengalami kesulitan sedikit pun, kedua 
sosok bayangan itu terus mengitari dan memeriksa 
seluruh bangunan gedung itu. Gagal menemukan 
apa yang dicarinya, mereka bergegas kembali me-
ninggalkan gedung megah itu, dan terus melompat 
melewati tembok pembatas. Kemudian, mereka 
meng-hilang di balik kegelapan malam. 
"Jangan berputus asa, Ningrum. Biarpun kita be-
lum mengetahui di mana ayahmu ditahan, tapi aku 
tetap akan berusaha menemukannya," hibur Panji 
sebelum mereka meninggalkan gedung megah itu. 
"Terima kasih, Kakang...," ujar Rara Ningrum, per-
lahan. 
Kedua tubuh itu melesat cepat melintasi pepo-
honan yang rimbun. Meskipun udara malam dingin 
menusuk tulang, tak menghalangi gerakan mereka. 
Panji dan Rara Ningrum bergerak cepat dengan piki-
ran masing-masing. 
* * * 
Panji meneguk minuman yang berada di atas meja 
depannya. Pandangan matanya sesekali melirik ke 
wajah gadis cantik yang tengah termenung di hada-
pannya. Perlahan, diturunkannya gelas bambunya. 
Dan dengan hati-hati, diletakkannya gelas itu di atas 
meja. Seolah-olah pemuda itu tidak ingin menggang-
gu lamunan gadis itu. 
"Ahhh..., bukan main segarnya tuak yang kau 
hidangkan ini, Ningrum. Dari mana kau memperoleh-
nya...?" Tanya Panji tersenyum sambil menatap tajam 
wajah cantik yang tengah termenung itu. 
Seperti orang baru tersadar dari alam lamunan-
nya, Rara Ningrum tersentak. Lalu, menarik wajah-
nya dengan helaan napas yang panjang. Dengan

sepasang matanya yang bening itu, dibalasnya 
tatapan Pendekar Naga Putih dengan penuh selidik. 
"Tuak itu adalah minuman kegemaran ayahku, 
Kakang. Sedangkan gubuk ini adalah tempat kami 
beristirahat setelah berburu. Dan, ayah sengaja me-
nyimpan beberapa guci di tempat ini. Kalau kau 
menyukainya, aku bisa mengambil seguci lagi,” sahut 
Rara Ningrum dengan suaranya yang terdengai se-
perti desahan halus. 
"Hm.... Sebenarnya aku tidak begitu suka 
terhadap minuman ini. Tapi, karena rasa tuak ini 
benar benar enak, tentu saja aku ingin meneguknya 
sampai puas. Itu pun kalau kau tidak keberatan...," 
ujar Panji seraya kembali meneguk sisa tuaknya. 
Terdengar suara berdecap yang keluar dari bibir 
pemuda itu, sambil menurunkan gelas bambunya 
perlahan. 
Ningrum yang tadi masuk ke dalam untuk meng-
ambil tuak, kembali sambil menenteng sebuah guci 
sambil tersenyum. Namun, senyum manis yang lem-
but di bibir gadis cantik itu berubah sinis ketika 
melihat kepala Panji bergoyang-goyang dengan kelo-
pak mata mengerjap-ngerjap. 
"Hugkh...!" 
Mendadak tubuh Panji tersentak ke belakang 
bersama kursi yang didudukinya. Terdengar suara 
napasnya yang berat. 
"Kau..., kau.... Tuak ini mengandung racun ja-
hat…!" desis Panji terbatuk-batuk hebat. 
Sambil memegangi perut dan leher, Panji mencoba 
bergerak bangkit. Tampak wajahnya memerah. Entah 
pengaruh racun yang dibubuhkan Rara Ningrum, 
atau karena pemuda itu terlalu banyak menenggak 
tuak. Sehingga tubuhnya oleng, dan Panji terlihat 
sangat tersiksa sekali dengan keadaan itu.

"Hi hi hi..! Ternyata orang yang sangat tersohor di 
daratan besar, sangat mudah dikelabui. Seharusnya, 
julukanmu bukan Pendekar Naga Putih, Panji. Nama 
Pendekar Bodoh rasanya lebih patut untukmu," ejek 
Rara Ningrum seraya tertawa menunjukkan sifatnya 
yang asli. Bahkan, suaranya yang lembut itu terasa 
menyembunyikan sifat yang kejam dan mengerikan. 
Panji yang berdiri dengan tubuh oleng, menatap 
Kara Ningrum setengah tidak percaya. Sulit di-
bayangan, di balik kelembutan wajah dan sikap gadis 
itu ternyata menyimpan kekejaman dan kelicikan. 
Kalau pemuda itu tidak mengalaminya sendiri, 
mungkin Panji tidak akan mudah percaya begitu 
saja. Sebab, bagaimana mungkin seorang gadis lem-
but seperti yang kini berada di hadapannya ini dapat 
memainkan sandiwara yang sangat sempurna. Ja-
ngankan orang lain, ia sendiri yang selalu bertindak 
waspada dan penuh perhitungan dalam menghadapi 
seseorang, ternyata masih dapat dikelabui oleh wa-
nita cantik itu. Benar-benar sukar untuk dimengerti. 
"Ningrum.... Siapakah kau sebenarnya...? Menga-
pa..., mengapa kau demikian tega menipuku? Apa 
yang sebenarnya yang kau inginkan dariku...?" ucap 
Panji terbata-bata. 
Sepasang mata Pendekar Naga Putih yang biasa-
nya tajam mencorong itu, kini tampak meredup dan 
beberapa kali mengerjap lelah. 
Sementara Rara Ningrum masih tetap memperde-
ngarkan tawanya yang merdu dan kegenitan. Dengan 
langkah gemutai, gadis itu menghampiri Panji. Se-
pertinya ia benar-benar yakin terhadap keampuhan 
racun yang dicampurkannya ke dalam minuman 
Panji. Karena itu, ia tidak merasa khawatir sama se-
kali kalau pemuda itu akan mengamuk dan mencelakakannya.

"Hi hi hi.... Kau tebaklah sendiri, Pendekar Naga 
Putih. Apakah kau tidak bisa menduga siapa diriku 
sebenarnya...? Hm..., temyata kau tidak secerdik dan 
sepandai dugaanku..." dengus Rara Ningrum sambil 
mendorong tubuh Panji dengan telapak tangannya. 
Dorongan yang kelihatannya hanya perlahan dan 
asal saja itu, ternyata akibatnya tidak sederhana. 
Sebab, tubuh Panji yang terdorong telapak tangan 
halus itu, terpental menabrak dinding kayu di 
belakangnya hingga jebol! Dapat dibayangkan, 
betapa hebatnya tenaga dalam yang tersembunyi 
dalam telapak tangan wanita cantik itu. 
"Hugkh...!" 
Panji mengerang kesakitan sambil tetap meme-
gangi perutnya. Wajah pemuda itu tampak semakin 
merah menahankan rasa sakit yang dideritanya. 
Bahkan, sepasang matanya yang jernih itu telah 
berwarna merah bagaikan bola api. 
Sambil memperdengarkan erangan lirih, Panji me-
rangkak bangkit dengan susah payah. Namun, 
gerakan pemuda itu terhenti ketika ia merasakan 
beban berat yang menindih punggungnya. Perlahan, 
Pendekar Naga Putih mencoba menengadahkan ke-
palanya untuk melihat benda apa yang telah mene-
kan punggungnya sedemikian berat. 
Sepasang mata pendekar muda itu semakin mem-
beliak ketika melihat sebuah kaki kokoh didepan 
wajahnya. Dengan setengah memaksa, Panji terus 
mengangkat kepalanya untuk melihat wajah si pemi-
lik kaki itu, selain ingin mengetahui apa yang dilaku-
kan orang itu sehingga membuatnya tak mampu 
bangkit. 
 "Ha ha ha...! Tak kusangka sedemikian mudah-
nya menundukkan pendekar yang konon ditakuti di 
daratan besar. Hm.... Sayang aku tidak sempat 
meng-undang tokoh-tokoh persilatan untuk menyaksikan kematianmu yang menyedihkan ini, Pendekar 
Naga Putih. Tapi biar bagaimanapun, aku tetap 
merasa puas dengan hasil kerja istriku yang cantik 
dan pandai itu. Ha ha ha...!" ucap lelaki tinggi besar 
yang menekan lubuh Panji, sambil tertawa terbahak-
bahak. 
Lelaki tinggi besar berusia sekitar empat puluh 
tahun yang meletakkan kaki kanannya di atas pung-
gung Panji itu memandang wajah tak berdaya di ba-
wahnya dengan bengis. 
"Kau..., kau siapakah...? Mengapa kau melakukan 
semua ini kepadaku...? Bukankah di antara kita 
tidak ada permusuhan?" ujar Panji yang kembali 
mengerang sambil menekan perutnya kuat-kuat. 
Sepertinya pemuda itu merasakan sakit yang hebat 
dalam perutnya. 
"Baiklah, Pendekar Naga Putih. Agar kau tidak 
mati penasaran, aku akan memberitahukan kepada-
mu. Lihatlah baik-baik, orang yang saat ini berada di 
hadapanmu adalah Sepasang Manusia Sesat. Dan, 
nama itu telah kau ketahui dari seorang nelayan tua. 
Dan, orang yang kau kenal sebagai Rara Ningrum itu, 
sesungguhnya adalah istriku. la dijuluki sebagai Iblis 
Cantik Berwajah Malaikat. Sedangkan aku sendiri 
dikenal berjuluk Raja iblis Pantai Timur. Kami ber-
dua adalah Sepasang Manusia Sesat, yang suatu 
saat akan menguasai dunia persilatan! Ha ha ha...!" 
tutur Raja Iblis Pantai Timur sambil memperdengar-
kan suara tawanya yang parau. 
'Tapi, mengapa kalian memusuhiku...?" desak 
Panji seraya menyeringai menahan rasa sakit yang 
dideritanya. 
"Hm.... Ketahuilah, Pendekar Naga Putih. Saat ini 
kami berdua tengah menghadapi suatu masalah 
penting yang tidak boleh diganggu oleh siapa pun. 
Itulah sebabnya mengapa aku memerintahkan untuk

membunuh orang asing yang mendarat di pulau ini. 
Maka, ketika aku mendengar ada seorang pemuda 
asing terdampar di dekat Desa Pari, langsung ku-
perintahkan orang-orangku untuk mencari dan mem-
bunuhmu," sahut Iblis Cantik Berwajah Malaikat 
mengakhiri keterangannya dengan suara tawanya 
yang berkepanjangan dan melengking tinggi. 
"Ketika Karpala dan beberapa orang anak buahku 
dapat kau pecundangi, kami segera mencari tahu 
siapa sebenarnya pemuda asing yang terdampar itu. 
Setelah kami mengetahui ciri-cirimu, tentu saja aku 
dapat menebak dengan mudah bahwa pemuda yang 
terdampar itu adalah Pendekar Naga Putih. Lalu, 
kami atur rencana untuk menjebakmu. Temyata 
tugas yang diakukan istriku dapat dijalankannya 
dengan mudah. Ha ha ha...!" Lelaki tinggi besar yang 
mengaku berjuluk Raja Iblis Pantai Timur itu tertawa 
bergelak-gelak melihat wajah Panji yang menggam-
barkan rasa penasaran setelah mendengar ketera-
ngannya. 
"Kalian..., benar-benar manusia sesat yang keji!" 
maki Panji yang kembali menyeringai menahan rasa 
sakit pada tubuhnya. 
"Jangan khawatir, Panji. Racun yang kucampur 
dalam minumanmu tidaklah mematikan. Hanya se-
dikit rasa sakit yang akan kau derita selama bebe-
rapa hari. Setelah itu, tubuhmu akan mengalami ke-
lumpuhan. Sehingga sulit bagimu untuk bertarung. 
Sebab sedikit saja mengerahkan tenaga, kematianlah 
yang akan kau terima. Ingat itu baik-baik!" ujar Iblis 
Cantik Berwajah Malaikat seraya tersenyum manis. 
"Mengapa kau tidak langsung membunuhku? Apa 
lagi yang kau kehendaki dariku...?" teriak Panji 
menekan kemarahan dalam dadanya. 
Dada Pendekar Naga Putih bagai hendak pecah 
ketika kemarahannya memuncak. Geram sekali hati

nya ketika teringat begitu mudahnya terperangkap 
oleh Sepasang Manusia Sesat berhati keji itu. 
"Hm.... Kami mempunyai rencana untuk itu. Kau 
boleh lihat sendiri nanti.... Ha ha ha...," sahut Raja 
Iblis Pantai Timur tanpa meninggalkan suara tawa-
nya yang khas. 
"Aaakh...!" 
Panji mengerang dan berguUngan ketika rasa ka-
ku dalam tubuhnya hampir tidak sanggup ditahan-
nya. Setelah meregang dengan urat-urat wajah ber-
sembulan, kepala pemuda itu terkulai dan tubuhnya 
tidak bergerak-gerak lagi. 
"Hm.... Dia pingsan, Kakang...," ucap Iblis Cantik 
Berwajah Malaikat sambil mengerling ke arah lelaki 
tinggi besar di sampingnya. 
"Biar aku yang akan membawanya," sahut Raja 
Iblis Pantai Timur sambil menyambar tubuh Panji, 
dan meletakkan di bahu kanannya. Kemudian, istri-
nya diajak untuk meninggalkan tempat itu. 
* * * 
"Uhhh...!" 
Terdengar keluhan lirih dari seorang pemuda, ber-
jubah putih yang tengah terbaring di atas tumpukan 
jerami kering. Tampak tubuhnya menggeliat sebelum 
kedua kelopak matanya terbuka dan mengerjap-nger-
jap. 
"Ahhh…, dimanakah aku?" gumam pemuda ber-
jubah putih yang tak lain dari Panji itu, seraya 
bergerak bangkit dan mengedarkan pandangannya 
berkeliling. 
Kening Pendekar Naga Putih berkerut dalam ke-
tika melihat sosok seorang gadis muda tengah duduk 
di sudut tempat itu. Meskipun wajah itu terlihat de-
mikian lusuh dan lelah, tapi semua itu tidak mampu

menyembunyikan kecantikan wajahnya. Apalagi ke-
tika sepasang mata gadis itu mengerling ke arah Pan-
ji, hampir saja jantung pemuda itu copot dibuatnya. 
"Kenanga...," desis Panji tanpa sadar. 
Pendekar Naga Putih terkejut ketika melihat sepa-
sang mata bulat yang bening itu menatap ke arah-
nya. la kenal betul dengan sepasang mata itu. Sebab, 
sepasang bola mata indah itu adalah milik kekasih-
nya, yang saat badai mengamuk, hilang dan belum 
diketahui bagaimana nasibnya. 
"Kau siapakah, Kisanak...? Dan, mengapa sampai 
bisa ditawan manusia-manusia busuk itu? Atau kau 
sengaja diutus mereka untuk membujukku dengan 
kerampanan wajahmu itu? Huh! Percuma! Meskipun 
wajahmu setampan malaikat aku tetap tidak akan 
sudi membujuk ayahku untuk memberitahukan tem-
pat penyimpanan harta pusaka leluhur kami. Jangan 
kau kira, aku tidak tahu rencana busuk yang telah 
kalian atur. Jangan coba-coba mendekatiku! Sandi-
wara konyolmu tidak akan mampu melunakkan hati-
ku!" umpat wanita cantik itu dengan tekanan suara 
yang kasar dan menyakitkan. Dan, sepasang mata 
indah itu tampak menatap Panji dengan penuh ke-
bencian. 
"Ahhh...." 
Panji terionjak mundur bagaikan disengat kala 
jengking. Wajah pemuda itu nampak pucat. Bahkan, 
napasnya pun terasa berat seperti tersumbat. 
Pendekar Naga Putih mengeluh dalam hati. Hati-
nya benar-benar ngeri sekali ketika melihat sinar 
kebencian yang terpancar dalam sepasang mata 
indah itu. Pemuda itu merasa seolah-olah Kenanga-
lah yang menatapnya dengan penuh kebencian. 
Sehingga hati-nya terkejut dan berdebar-debar. 
Panji benar-benar tidak habis mengerti, mengapa 
sepasang mata gadis itu sama persis dengan mata

kekasihnya. Sebab, pandangan gadis itu membuat-
nya merasa seperti tengah berhadapan dengan Kena-
nga. Panji kenal betul dengan sepasang mata itu. 
Andaikan wajah gadis itu tersembunyi di balik cadar, 
dan hanya sepasang matanya yang tampak, tentu 
pemuda itu akan menduga kalau gadis itu adalah 
kekasihnya. Karena itu Pendekar Naga Putih hampir 
tidak percaya dengan pengtihatannya sendiri. 
Namun, keterkejutan Panji di mata gadis cantik 
itu hanya dianggap sebagai kepura-puraan. Sehing-
ga, gadis itu semakin bertambah sinis saja menatap 
wajah Panji. 
"Huh! Jangan harap aku akan terpengaruh dengan 
keterkejutanmu itu, Kisanak. Sudah kukatakan, per-
cuma segala macam sandiwara yang kau pertunjuk-
kan itu! Oleh karena itu, sebaiknya kau minta 
kepada majikanmu untuk keluar dari kamarku ini! 
Katakan kepadanya, bahwa sandiwara murahanmu 
telah dapat kuketahui!" ujar gadis itu dengan suara 
ketus dan galak. 
Panji menarik napas panjang dan berulang-ulang 
sambil menyenderkan tubuhnya ke dinding kamar. 
Hal itu dilakukannya untuk menahan gejolak rasa 
rindu terhadap Kenanga. Sepasang matanya dipejam-
kan untuk beberapa saat lamanya, Pemuda berwajah 
tampan itu benar-benar tidak sanggup melihat sinar 
mata wanita yang duduk di hadapannya ini. la 
merasa terus-menerus diteror dengan tuduhan dan 
sorot kebencian. Ngeri hati Panji seandainya Kena-
nga-lah yang melontarkan tuduhan dengan sorot 
mata kebencian itu kepadanya. 
Melihat tubuh pemuda berjubah putih itu melorot 
jatuh dengan mata terpejam dan tubuh bersandar di 
dinding, gadis cantik itu bungkam seketika. Namun, 
sepasang matanya tetap mengawasi wajah Panji yang 
masih memejamkan matanya rapat-rapat. Diam-diam

ada perasaan heran dalam wajah gadis itu ketika 
melihat wajah di depannya tampak menderita sekali 
akibat ucapan yang dilontarkannya secara kasar dan 
tanpa perasaan itu. 
"Apakah pemuda ini benar-benar menderita kare-
na kata-kataku? Dapatkah seseorang memainkan 
sandiwara dengan sedemikian sempurnanya? Dan, 
mengapa pandangan mata pemuda itu seperti me-
nyimpan kerinduan yang dalam ketika melihatku? 
Kalau memang pemuda itu ditugaskan untuk mem-
bunuhku seperti yang sudah-sudah mereka lakukan, 
mengapa tampaknya seperti sungguh-sungguh? Ah, 
siapa tahu pemuda berjubah putih ini memang 
seorang pemalu sandiwara yang pandai. Sehingga ia 
sengaja dikirim untuk mengelabuiku?" desah hati 
gadis cantik itu resah. 
Suasana dalam kamar itu kini menjadi hening 
Gadis cantik itu kembali termenung seperti yang 
dilakukannya ketika Panji masih belum sadar dari 
pingsannya. Dan, gadis itu tidak lagi menghiraukan 
Pendekar Naga Putih yang masih menyandarkan 
tubuhnya ke dinding kamar dengan mata terpejam 
rapat. 
* * *
ENAM

Setelah cukup lama menyandarkan tubuhnya de-
ngan mata terpejam. Hati Panji baru merasa tenang 
dan tenteram. Meskipun perasaan rindu dan ber-
salah sudah tidak mengganggunya lagi, namun mata-
nya tetap dipejamkan rapat-rapat. Hanya saja posisi 
tubuhnya telah berubah. Kini tubuh yang tegap itu 
tidak lagi bersandar pada dinding, tapi ditegakkan 
dalam sikap semadi. 
Dalam posisi seperti itu, Panji merasa lebih tenang 
dalam melepaskan pikirannya. Lalu, dikajinya semua 
peristiwa dari sejak berada di rumah Ki Rungga, 
hingga berada di sebuah gubuk dalam Hutan Dan-
dara. 
"Hm... Dikiranya sedemikian mudah untuk me-
ngelabui aku," desah Panji dalam hari, ketika teringat 
saat akan meneguk tuak yang disuguhkan oleh Rara 
Ningrum waktu itu. "Percuma aku dibekali ilmu 
pengobatan apabila tidak dapat membedakan antara 
minuman yang beracun dan tidak. Hm.... Sepasang 
Manusia Sesat itu mengira kalau aku telah terkecoh 
oleh mereka. Padahal, justru merekalah yang telah 
terkecoh oleh sandiwaraku." 
Senyum Pendekar Naga Putih terkembang, ketika 
teringat akan kejadian pada waktu ia berpura-pura 
terkena racun yang dicampurkan Rara Ningrum 
dalam tuak yang disuguhkan untuknya. 
"Bukan aku yang bodoh. Justru merekalah yang 
terlalu tolol dan angkuh. Ningrum sama sekali sadar 
kalau ucapanku yang memuji kenikmatannya, hanya 
merupakan siasatku saja. Ketika ia ke dalam kamar 
dan kembali mengambil guci, semua racun yang 
masuk ke dalam tubuhku sudah musnah. Wanita itu

tidak tahu kalau dalam tubuhku terdapat sebuah 
kekuatan yang berasal dari Pedang Naga Langit, 
yakni 'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi'. Kekuatan ini 
mampu menolak dan memusnahkan setiap racun 
yang masuk ke dalam tubuhku. Dan, ketika wanita 
sesat itu kembali sambil menenteng guci tuak, semua 
racun dalam tubuhku sudah musnah oleh tenaga 
saktiti itu," desis Panji dalam hati. 
Pendekar Naga Putih kembali tersenyum sambil 
tetap memejamkan matanya. Pemuda itu sama sekali 
tidak sadar kalau tingkahnya tengah diamati oleh 
gadis cantik yang galak itu. Dan, kembali pemuda 
berjubah putih itu melanjutkan lamunan tentang 
pengalamannya selama berada di pulau asing itu. 
Beberapa perisriwa kembali terlintas di benaknya. 
Pemuda tampan itu tersenyum penuh kemenangan. 
Sebab, jenis racun di dalam tuak itu sudah dikenal-
nya. Juga telah diketahui akibat yang ditimbulkan 
racun itu terhadap orang yang terkena sasarannya. 
Sehingga, dengan pengaturan tenaga yang dibuatnya 
sedemikian rupa, Panji dapat mengelabui wanita 
yang berjuluk Iblis Cantik Berwajah Malaikat itu. 
Bahkan, Raja Iblis Pantai Timur pun telah tertipu 
mentah-mentah. 
Panji yang pikirannya tengah terpusat kepada 
pengalaman-pengalamannya itu, tetap saja memiliki 
pendengaran yang peka. Maka, ketika mendengar 
ada suara langkah lembut menghampirinya, pemuda 
itu membuka kedua kelopak matanya, dan menoleh 
ke arah si pemilik langkah lembut itu. 
"Kulihat sejak tadi kau tersenyum-senyum seorang 
diri seperti orang kehilangan ingatan. Apa sebenar-
nya yang tengah kau rencanakan? Hm..., aku tahu! 
Kau mungkin tengah mencari akal untuk memainkan 
sandiwara lagi, bukan? Kembali kuingatkan, Kisa-
nak! Simpan sandiwara murahanmu itu! Karena aku

tidak akan bisa kau pengaruhi, mengerti?!" Tegas 
gadis cantik itu dengan nada yang tetap ketus dan 
galak. 
Mendengar suara makian dari gadis cantik itu, 
Panji hanya tersenyum tanpa menatap wajah gadis 
itu. Sebab, ia takut melihat sepasang bola mata gadis 
itu yang dapat membangkitkan kerinduannya terha-
dap Kenanga. Itulah yang membuat Panji dapat 
bersikap tenang, dan sama sekali tidak terpengaruh 
dengan ucapan-ucapan gadis cantik itu. 
"Nyai, kau pastilah putri Ki Raga Baya yang ber-
nama Rara Ningrum, bukan? Tidak perlu kau men-
jawab. Karena aku sudah dapat menduganya. Satu 
hal yang yang perlu kau ketahui, Nyai. Meskipun aku 
masuk ke tempat ini memang atas kemauanku 
sendiri dengan cara mengelabui Sepasang Manusia 
Sesat itu, namun kedatanganku bukanlah dengan 
maksud seperti tuduhanmu itu. Sebaliknya, kedata-
nganku ingin menyelidiki di mana tempat Ki Raga 
Baya ditawan orang-orang berhati keji itu," jelas Panji 
tanpa memberikan kesempatan kepada gadis itu 
untuk memotong ucapannya. 
Setelah menarik napas dalam-dalam untuk me-
nenangkan hatinya, Pendekar Naga Putih mengang-
kat wajahnya dan menatap seraut wajah cantik itu 
sambil tersenyum lembut. Lantaran ia ingin melihat 
pengaruh ucapannya terhadap gadis galak itu. 
"Tunggu.... Masih ada lagi yang ingin kusampai-
kan," cegah Panji seraya mengangkat tangan kanan 
nya, ketika gadis itu hendak berbicara. Kemudian, 
dengan gerakan perlahan pemuda itu mengisyarat-
kan agar gadis itu sudi mendekat dan duduk di atas 
tumpukan jerami kering di sebelahnya. 
"Huh! Kau kira dengan semua keteranganmu Itu 
kau sudah bisa dipercaya? Lalu, kau...."

"Sabar, Nyai. Bukankah sudah kukatakan bahwa 
aku masih ingin menyampaikan beberapa cerita Iagi,” 
potong Panji cepat "Kau boleh percaya dan boleh juga 
tidak dengan apa yang akan kusampaikan. Tapi 
sebelumnya, aku mempunyai satu permintaan dan 
kuharap kau sudi meluluskannya, Nyai." 
Gadis cantik yang memang Rara Ningrum, putri Ki 
Raga Baya, tercenung sejenak mendengar ucapan 
pemuda berjubah putih itu. Hatinya sempat merasa 
heran karena mau mendengarkan kata-kata pemuda 
itu. Bahkan, tubuhnya sudah dijatuhkan dan duduk 
di tumpukan jerami kering di sebelah kanan pemuda 
berjubah putih itu. 
"Katakan, apa yang kau ingjnkan...?" ucap Rara 
Ningrum setelah terdiam beberapa saat lamanya. 
Meskipun suara gadis itu sudah tidak segalak 
semula, namun tetap saja mengandung ketegasan. 
Sehingga Panji menjadi kagum dengan sikap hati-
hati gadis cantik itu. 
"Permintaanku tidak sulit Tapi, mungkin cukup 
berat untuk kau lakukan," sahut Panji sambil me-
natap wajah gadis itu yang juga tengah menatapnya 
dengan kening berkerut. Dan, pemuda itu terpaksa 
harus menekan kembali gejolak rindunya ketika 
menatap sepasang mata bulat yang sangat mirip 
dengan mata Kenanga. 
"Tidak perlu bertele-tele! Cepat katakan!" dengus 
Rara Ningrum tajam. 
"Nyai, tataplah aku, telitilah seluruh wajahku. 
Lalu katakan, apakah wajah sepertiku ini mirip 
dengan orang yang tengah bersandiwara? Nah, 
nilailah sendiri. Dan, aku akan menerimanya dengan 
hati lapang. Kalau memang kau temukan ada pan-
caran kelicikan atau gambaran keculasan, kau boleh 
tidak mempercayaiku," pinta Panji sambil menggeser 
tubuhnya hingga tepat berhadapan dengan gadis

cantik itu. Lalu, ditatapnya wajah gadis itu lekat-
lekat. 
Mendengar permintaan yang aneh dan lucu itu, 
hampir Rara Ningrum hdak bisa menahan tawanya. 
Namun, perasaan itu ditekannya ketika teringat bah-
wa orang yang tengah dihadapinya adalah pemuda 
asing, yang sama sekali tidak dikenalnya. Sadar 
kalau sikap manisnya bisa mengakibatkan bencana, 
maka gadis itu pun mengeraskan hatinya dan balas 
menatap tajam pemuda di hadapannya. 
"Hm.... Meskipun wajahmu tidak menunjukkan 
tanda-tanda seorang penjahat, namun semua itu bu-
kan jaminan. Sebab, wanita iblis yang merebut pulau 
ini dari tangan ayahku pun memiliki wajah yang 
lembut dan sama sekali tidak nampak jahat. Tapi, 
nyatanya ia seorang wanita berhati keji dan licik. 
Walaupun begitu, aku bersedia mendengarkan cerita-
mu, silakan!” Ucap Rara Ningrum setelah berpikir 
bahwa tidak ada ruginya mendengarkan apa yang 
akan disampaikan pemuda itu kepadanya. 
"Terima kasih, Nyai. Rasanya hal itu cukup mem-
buat perasaanku lega," ujar Panji yang semakin ber-
tambah kagum dengan sikap hati-hati Rara Ningrum. 
Walaupun usia gadis itu tidak berbeda jauh dengan 
Kenanga, namun jelas bahwa Rara Ningrum memiliki 
sikap yang lebih matang ketimbang kekasihnya. 
Dengan singkat dan jelas, Pendekar Naga Putih 
menceritakan pengalamannya bertemu dengan Iblis 
Cantik Berwajah Malaikat yang mengaku sebagai 
Rara Ningrum. Selain itu, diceritakan pula tentang 
siapa dirinya dan bagaimana sampai terdampar di 
pulau ini. Bahkan, untuk meyakinkan hati gadis itu, 
Panji terpaksa memamerkan kedua tenaga sakti yang 
dimilikinya. Karena kedua tenaga sakti itu merupa-
kan ilmu yang sangat langka, dan tidak mungkin

dimiliki orang lain, sehingga Rara Ningrum sempat 
terbelalak menyaksikannya. 
"Nah, Ningrum. Dengan kepandaian yang kumiliki 
saat ini, katakanlah dengan jujur, pantaskah aku 
berada dalam pengaruh Sepasang Manusia Sesat ...?" 
Tanya Panji setelah mengakhiri ceritanya. 
Sementara Rara Ningrum yang masih terpesona 
dengan dua tenaga sakti yang dipertunjukkan Panji, 
belum dapat menjawab pertanyaan yang diajukan 
pemuda tampan itu. Rasa terkejutnya belum hilang 
ketika menyaksikan ilmu-ilmu dahsyat yang ditun-
jukkan Panji kepadanya. 
"Ningrum...," panggil Panji ketika melihat gadis itu 
masih tetap terbengong-bengong. 
"Eh, apa..., apa...?" sahut Rara Ningrum tersadar 
dari keterpakuannya. Tampak wajah cantik itu dija-
lari rona merah. Karena menyadari sikapnya yang 
memalukan tadi. 
"Hm..., kau tidak mendengar pertanyaanku...," 
tegur Panji tersenyum ketika melihat wajah gadis itu 
menjadi tersipu. 
"Kakang..., masih ada lagikah ilmu milikmu yang 
belum kau tunjukkan padaku...?" Tanya Rara Ning-
rum yang menyebut Panji dengan panggilan kakang. 
Jelas, panggilan itu mengungkapkan perasaan yang 
terkandung di dalam hati gadis cantik itu. Sebab, 
tidak mungkin Rara Ningrum akan memanggil demi-
kian kalau hatinya masih tidak mempercayai Pende-
kar Naga Putih. 
"Pertanyaanmu aneh, Ningrum. Mengapa kau ber-
tanya demikian?" ujar Panji seraya mengerutkan 
keningnya ketika mendengar pertanyaan yang aneh 
dari Ningrum. 
Namun, setelah Pendekar Naga Putih mengamati 
raut wajah gadis cantik itu, tidak ditemukannya 
ejekan ataupun cemoohan terhadap apa yang telah

dilakukannya tadi. Bahkan sinar matanya tampak 
penuh permohonan. Sehingga pemuda itu merasa 
tidak tega untuk menolaknya. 
"Maaf kalau pertanyaanku ini terdengar aneh, 
Kakang. Terus terang, selama ini aku belum pernah 
menyaksikan ilmu-ilmu yang Kakang tunjukkan 
padaku tadi Bahkan, terlintas dalam benakku pun 
tidak, Kuharap Kakang sudi memaklumi pertanyaan-
ku. Dan, kalau Kakang tidak keberatan, aku ingin 
melihat ilmu yang mungkin belum Kakang tunjukkan 
padaku. Karena aku sekarang telah mempercayaimu 
sepenuhnya, dan tentu saja aku mengharapkan ban-
tuan Kakang, Itu pun kalau Kakang tidak keberatan," 
jelas Rara Ningrum dengan wajah sungguh-sungguh. 
"Hm.... Sebenarnya tidak ada lagi yang dapat ku-
perlihatkan kepadamu, Ningrum. Kalaupun masih 
ada, mungkin tidak akan aneh bagimu. Sebab, ilmu 
ini mempunyai kaitan erat dengan 'Tenaga Sakti Ilmu 
Panas Bumi' yang tadi kutunjukkan kepadamu," ujar 
Panji yang merasa senang dengan pengakuan gadis 
itu karena telah menaruh kepercayaan penuh 
kepadanya. 
"Tunjukkanlah, Kakang. Aku ingin menyaksikan-
nya...," desak Rara Ningrum dengan sepasang mata 
berbinar. 
"Baiklah. Mudah-mudahan saja kau tidak 
kecewa," jawab Panji yang tidak sanggup melihat 
pancaran sinar mata Rara Ningrum. 
Karena tidak ingin mengecewakan perasaan gadis 
Itu, maka Pendekar Naga Putih segera mengerahkan 
tenaga batinnya dan disatukan dengan Pedang Naga 
Langit yang tersimpan dalam tubuhnya. 
Rara Ningrum membelalakkan matanya setengah 
tidak percaya ketika melihat sebilah pedang bersinar 
keemasan yang serta merta telah berada dalam 
genggaman tangan pemuda itu. Hampir saja gadis itu

memekik, ketika pedang yang berukuran lebih besar 
dan lebih panjang dari pedang biasa itu, bergerak 
naik dan berputaran di sekeliling tubuh Panji. 
Bahkan gadis itu sempat merasa ngeri ketika Pedang 
Naga Langit bergerak mengitari tubuhnya. Sehingga 
tubuh gadis itu gemetar karena kengerian yang 
mencekam hatinya. Pedang keramat itu memang 
memiliki perbawa yang mengerikan. 
"Cukup, Kakang. Cukup...," desah Rara Ningrum 
dengan suara yang hampir tak terdengar. 
Pendekar Naga Putih yang tidak lagi memejamkan 
kelopak matanya seperti pada waktu mendapatkan 
ilmu itu, segera menarik pulang Pedang Naga Langit, 
dan disatukan kembali ke dalam tubuhnya. Secara 
mendadak, pedang itu lenyap dari pandangan Rara 
Ningrum. 
"Luar biasa sekali, Kakang! Dan, aku yakin kalau 
itu bukanlah ilmu sihir seperti yang pernah kulihat. 
Hm.... sekarang aku tidak ragu-ragu lagi, Kakanglah 
orang yang dapat menyelamatkan pulau ini dari 
tangan manusia-manusia rakus itu," ujar Rara Ning-
rum sambil menatap Panji dengan penuh kagum. 
Menyaksikan tatapan Rara Ningrum, hati Panji 
sempat bergetar aneh. Wajah pemuda itu menegang 
ketika melihat sinar cinta yang tersembunyi dalam 
pandangan mata gadis itu. Karuan saja hal itu mem-
buat hati Panji khawatlr. 
"Mudah-mudahan apa yang kulihat ini hanya 
perasaanku saja. Kalau tidak, bagaimana aku harus 
mengatakannya? Ah, Kenanga! Kalau saja saat ini 
kau berada di sampingku, tidak perlu aku merasa 
khawatir seperti saat ini. Sebab, keberadaanmu, 
tentu akan membuat Ningrum sadar. Dan tidak akan 
kecewa. Yahhh, mudah-mudahan saja dugaanku 
tidak benar...," desah Panji dalam hati.

*** 
"Ningrum...," panggil Panji setelah mereka sama-
sama hanyut dalam alam pikiran masing-masing. 
Hal itu dapat dilihat Pendekar Naga Putih dari 
sinar mata gadis itu yang tampak menerawang dan 
kosong. Entah apa yang sedang dilamunkannya sam-
pai sedemikian terlena, dan tidak menyadari keadaan 
sekelilingnya. 
"Hm...," sambut Rara Ningrum setengah mende-
sah. 
"Apakah Sepasang Manusia Sesat itu menguasai 
pulau ini hanya untuk merebut pusaka peninggalan 
leluhurmu? Mungkinkah ada hal-hal lain yang 
mereka Inginkan...?" Tanya Panji yang sedikit merasa 
heran. Meskipun disadarinya banyak manusia saling 
bunuh hanya karena harta dan kedudukan, namun 
Pendekar Naga Putih ingin mengetahui penyebab 
lain, yang mendorong Sepasang Manusia Sesat mere-
but Pulau Mimpi. 
"Itu hanya salah satu dari tujuan mereka, Kakang. 
Selain Sepasang Manusia Sesat ingin menguasai 
pulau dan merebut pusaka leluhur kami, di pulau ini 
juga tersimpan harta karun. Karena itu pulau ini di-
sebut sebagai Pulau Mimpi. Apakah kira-kira Kakang 
tidak dapat menduganya?" Rara Ningrum balik ber-
tanya sambil menatap Panji dengan sepasang mata 
indahnya. 
Pendekar Naga Putih kembali menekan perasaan-
nya ketika melihat kilatan aneh di mata gadis cantik 
itu. Hati pemuda itu kian cemas ketika melihat sikap 
aneh yang tersirat dari sepasang mata Rara Ningrum. 
Dan, cahaya itu selalu membuat hatinya gemas. 
Sehingga, Panji terpaksa menekan gejolak yang 
bergolak di dadanya, sebelum menjawab pertanyaan 
Ningrum.

"Mmm..., mungkin pulau ini menyimpan sesuatu 
yang sangat berharga. Tapi, entahlah...? Aku tidak 
bisa menebaknya. Satu hal yang mungkin membuat 
tempat ini dinamakan Pulau Mimpi karena keindah-
annya. Dan, aku sudah menyaksikan semua itu ke-
tika melintasi Hutan Dandara. Selama aku bepergian 
dari satu tempat ke tempat lainnya, baru Hutan 
Dandara itulah yang demikian indah dan mempe-
sona. Sangat menyenangkan sekali kalau dapat 
tinggal dan membangun sebuah pondok di sana," 
sahut Panji yang mengalihkan pandang matanya ke 
arah langit-langit kamar. Jelas, ia tidak sanggup 
menatap sepasang mata Rara Ningrum. 
"Tidak, bukan keindahan tempat ini yang mem-
buat orang menyebutnya Pulau Mimpi. Tapi, karena 
harta karun yang ada di dasar laut yang membuat 
pulau ini menjadi incaran orang-orang berhati 
serakah,” bantah Rara Ningrum masih berteka-teki. 
Sepertinya gadis cantik itu sengaja ingin membuat 
hati Panji penasaran dengan keterangannya yang 
serba sedikit itu. 
"Apa itu, Ningrum...?" desak Panji yang merasa 
penasaran. 
"Butiran mutiara, Kakang. Biji-biji putih yang me-
ngeluarkan sinar mempesona itulah yang membuat 
orang-orang serakah sering mendatangi pulau ini, 
dan merebutnya dari tangan ayah. Sedangkan ayah 
sendiri tidak begitu tertarik dengan kekayaan alam 
pulau ini. Karena beliau bukanlah orang serakah," 
jelas Rara Ningrum sambil menatap wajah Panji 
lekat-lekat. Sepertinya gadis cantik itu ingin menge-
tahui apakah sahabat barunya ini tertarik dengan 
harta karun itu atau tidak. 
"Ohhh..., jadi itu yang menyebabkan tempat ini 
dinamakan Pulau Mimpi. Tidak aneh! Di dunia ini 
banyak orang yang hidupnya hanya mengejar harta

dan kedudukan. Dan, itu merupakan suatu hal yang 
biasa saja," ujar Panji seraya menghembuskan 
napasnya. 
Setelah mendengar keterangan gadis itu, Pendekar 
Naga Putih semakin mengerti mengapa Sepasang 
Manusia Sesat tidak memperbolehkan orang-orang 
asing mendatangi pulau ini. Dan, ia pun maklum de-
ngan perbuatan tokoh sesat yang mengejar dan ingin 
membunuhnya itu. Rupanya benda-benda itu yang 
membuat Sepasang Manusia Sesat menjaga pulau Ini 
secara ketat. 
Tiba-tiba saja, Panji memberi isyarat kepada Rara 
ningrum. 
***
TUJUH

Rara Ningrum yang semula tidak mengerti dengan 
kelakuan Panji, menjadi heran. Namun, isyarat 
pemuda itu tetap diikutinya. Dan setelah telinganya 
menangkap suara langkah kaki beberapa orang men-
datangi tempat itu, baru ia mengerti. Hatinya sema-
kin kagum setelah mengetahui kepekaan pendenga-
ran pemuda berjubah putih itu. 
Sambil duduk termenung dalam sikap semula, 
Rara Ningrum membiarkan pikirannya melayang ke 
arah pemuda tampan yang baru saja dikenalnya itu. 
Dan, ia tahu betul penyebab perasaan aneh yang 
membuat hatinya menjadi gundah. Rara Ningrum 
sadar kalau Panji telah membuat hatinya tertarik. 
Selain memiliki ilmu kepandaian tinggi, sikap 
pemuda itu sangat sopan dan menimbulkan rasa 
hormat. 
"Ah, Kakang Panji memang seorang pemuda yang 
hebat, dan tidak ada bandingannya. Tentu banyak 
gadis yang tertarik dengan sikap maupun ketena-
ngannya. Hhh..., apakah aku sudah tertarik kepada-
nya...?" desah hati Rara Ningrum yang merasakan 
getaran aneh bila bertatapan dengan pemuda itu. 
Namun ia belum yakin sepenuhnya. Sebab, baginya 
sulit menerka apa yang terkandung dalam hati 
pemuda Itu. 
Suara derit daun pintu yang terkuak dari luar 
membuat gadis cantik itu menengadahkan kepalanya 
sejenak. Kemudian kembali menunduk ketika me-
lihat benda yang disodorkan penjaga, melalui celah-
celah pintu yang hanya terbuka sedikit. Setelah itu, 
pintu kembali tertutup. Dan, terdengar suara lang-
kah kaki penjaga itu yang menjauh.

"Mereka hanya mengjrim makanan untuk kita, 
Kakang," ujar Rara Ningrum memberitahukan Panji 
sambil menggeser tubuhnya mendekati pemuda itu. 
"Apakah selama ini mereka sering mengirimkan 
makanan seperti itu untukmu...?" Tanya Panji yang 
segera bangkit dan mengambil makanan itu. Kemu-
dian disodorkannya kepada Rara Ningrum yang 
segera menyambut tanpa ragu. 
"Begitulah, Kakang. Mungkin sekarang hari sudah 
siang. Hhh..., benar-benar membosankan, setiap hari 
selalu terkurung dalam ruangan yang pengap ini," 
desah Rara Ningrum sambil tangannya mengambil 
minuman yang diletakkan Panji di samping kanan 
gadis cantik itu. 
Panji tidak menanggapi ucapan Rara Ningrum. 
Saat itu makanan dan minuman yang disuguhkan 
untuk mereka tengah ditelitinya. Kening pemuda itu 
berkerut ketika mencium adanya sesuatu yang aneh 
dalam makanan dan minuman itu. Meskipun ia tidak 
dapat langsung menduga jenis racun yang dicampur-
kan ke dalam hidangan itu, namun Panji mengetahui 
kalau semua hidangan itu telah mengandung racun. 
Untuk dapat mengetahui jenis racun yang dicam-
purkan ke dalam makanan dan minuman itu, Panji 
mencicipinya setelah terlebih dahulu mengcrahkan 
'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi', yang memang mam-
pu melenyapkan segala jenis racun. 
Setelah minuman itu mengalir ke dalam kerongko-
ngannya, barulah Panji mengetahui jenis racun yang 
dicampur ke dalam makanan dan minuman itu. 
Meskipun demikian, ia sama sekali tidak mencegah 
Rara Ningrum yang menyantap makanan itu tanpa 
curiga sedikit pun. Sebab, ia ingin mengetahui mak-
sud Sepasang Manusia Sesat itu mencampurkan 
racun ke dalam makanan dan minuman. Karena itu 
dibiarkannya saja Rara Ningrum terkena pengaruh

racun, yang diketahuinya tidak akan membawa 
kematian. 
Diam-diam Panji merasa bersyukur, kedua tokoh 
sesat yang menawan mereka tidak mengetahui kalau 
dirinya memiliki ilmu pengobatan. Pemuda berjubah 
putih itu tersenyum membayangkan keterkejutan 
mereka jika mengetahui racun itu tidak mempenga-
ruhi dirinya. Dan Pendekar Naga Putih ingin mem-
buat kejutan itu! 
"Mengapa kau tidak makan, Kakang? Apakah kau 
takut makanan dan minuman ini dicampuri racun? 
Hm.... Percuma kau memiliki kekuatan sakti apabila 
masih merasa takut dengan racun...," goda Rara 
Ningrum ketika melihat Panji tidak menyentuh ma-
kanan atau minuman sedikit pun. 
"Nantilah, Ningrum. Aku belum merasa Tapi, 
kalau kurang, boleh kau ambit bagianku ini... ujar 
Panji menawarkan, sambil mengangsurkan maka-
nannya kepada gadis itu. 
"Kurang ajar! Apa kau pikir perutku ini mengem-
bang seperti balon? Aku tidak serakus seperti yang 
kau sangka, Kakang," maki Rara Ningrum. 
Meskipun marah, namun dari sinar matanya, Pan-
ji tahu kalau Rara Ningrum sama sekali tidak merasa 
tersinggung. Panji tertawa kecil ketika melihat mulut 
gadis cantik itu cemberut. Malah perbuatan gadis itu 
semakin membuat wajahnya menarik dan memikat. 
"Gila...!" desis hati Panji sambil mengalihkan pan-
dangannya, dan berpura-pura memperhatikan rua-
ngan yang mengurung mereka. 
Sambil bangkit dan melangkah pelan, Panji mene-
kan getaran aneh saat beradu pandang dengan Rara 
Ningrum. Bersamaan dengan itu, melintas bayangan 
kekasihnya. Kerinduan yang menyesakkan dadanya 
selalu muncul bila memandang bola mata putri Ki

Raga Baya itu. Sehingga, hati Panji menjadi resah 
dan tidak bisa bersikap tenang. 
Sebenamya, apa yang dirasakan Panji tidak akan 
pernah terjadi apabila nasib kekasihnya diketahui. 
Dan, ada perasaan bersalah yang selalu menghantui 
batinnya. Karena itu seBap kali matanya menatap 
lekat lekat bola mata Rara Ningrum, pemuda ber-
jubah putih Ini menjadi gelisah. Sepertinya ia melihat 
tatapan Kenanga dalam sinar mata Rara Ningrum. 
"Ohhh...." 
Tiba-tiba saja Rara Ningrum merasakan pandang-
annya berkunang-kunang setelah menghabiskan ma-
kanannya. Gadis cantik itu mengeluh sambil memi-
jat-mijat keningnya yang terasa pusing. Sedangkan 
wajahnya tampak mulai kemerahan. Titik-titik keri-
ngat pun mengalir dari keningnya. Jelas, racun yang 
dicampur ke dalam makanan itu sudah mulai 
bekerja. 
Panji sendiri yang sudah menduga akibat yang 
bakal dihadapi Rara Ningrum berpura-pura kaget 
dan panik Kemudian pemuda itu melangkah terburu-
buru mendekati gadis itu. Pemuda berjubah putih itu 
tidak merasa khawatir sedikit pun. Sebab, racun itu 
tidak berbahaya dan hanya pembius yang dapat 
menimbulkan rangsangan birahi. 
"Ohhh..., mengapa udara tiba-tiba menjadi panas 
sekali, Kakang? Apakah..., apakah kau tidak merasa-
kannya?" desah Rara Ningrum yang mulai meng-
geliat-geliat bagaikan orang kepanasan. Sedangkan 
wajahnya semakin memerah, dan bibirnya mulai 
membentuk senyuman yang penuh rangsangan. 
Meskipun demikian, Panji tetap saja tidak beru-
saha untuk menolong Rara Ningrum dari penderita-
annya. Sebab menurut perkiraannya, tidak lama lagi 
pasti ada orang yang datang ke tempat itu.

Dugaan Panji ternyata tidak meleset! Tak berapa 
lama kemudian, terdengar suara langkah kaki men-
datangi tempat itu. Cepat-cepat Panji mengerahkan 
Tenaga Sakti Inti Panas Bumi'nya. Sehingga, keada-
annya pun tidak berbeda dengan apa yang dialami 
Rara ningrum. 
Terdengar suara derit pintu yang terbuka, disusul 
masuknya enam orang lelaki kasar. Sedangkan di 
belakangnya, tampak empat orang lelaki kasar ber-
wajah bengis yang berjuluk Lima Setan Hitam. 
Empat dari lima lelaki berpakaian serba hitam itu 
pernah berhadapan dengan Panji di dalam Hutan 
Dandara. 
"Hm.... Cepat angkat kedua orang itu! Bawa 
keduanya menghadap ketua!" terdengar perintah 
yang keluar dari salah seorang lelaki bengis itu. 
Wajahnya yang tampak kehitaman menjadi semakin 
hitam ketika melihat wajah Panji. Sepertinya ia 
masih menyimpan dendam terhadap pemuda yang 
telah menewaskan salah seorang rekannya itu. 
Tanpa diperintah dua kali, enam orang lelaki ber-
gegas mendekati Panji dan Rara Ningrum yang te-
ngah menggelepar dengan peluh meleleh dan mem-
basahi pakaian mereka. Namun, sebelum mereka 
sempat menyentuh tubuh kedua orang itu, terdengar 
sebuah bentakan yang menghentikan gerakan ke-
enam lelaki kasar itu. 
"Tunggu...!" seru salah seorang dari Lima Setan 
Hitam. 
"Ada apa lagi, Adi...?" tegur lelaki kekar berwajah 
kehitaman yang merasa tidak senang dengan kela-
kuan adik seperguruannya. 
"Hm.... Kita harus menotok lumpuh dulu tubuh 
mereka sebelum membawanya. Sebab, aku khawatir 
kalau pemuda itu hanya berpura-pura saja, Kakang,"

sahut lelaki berkumis lebat itu sambil menahan 
langkahnya. 
"Ah, kau bodoh sekali, Adi. Bukankah kita semua 
telah tahu, pemuda yang berjuluk Pendekar Naga 
Putih ini sudah dilumpuhkan oleh ketua kita. 
Sedangkan obat yang kini berada dalam tubuhnya 
telah membuatnya tak berdaya. Meskipun kelum-
puhannya telah terbebas, namun pikirannya tidak 
dapat berfungsi dengan baik. Sebab, pengaruh obat 
perangsang itu, menurut ketua, sangat kuat sekali. 
Sehingga korbannya tidak dapat berpikir jernih," 
jelas lelaki kekar berwajah kehitaman itu. 
Mendengar penjelasan itu, lelaki berkumis tebal 
yang semula hendak menotok Panji dan Rara Ning-
rum, kembali melangkah mundur setelah memerin-
tahkan untuk mengangkat kedua tubuh yang tengah 
tergeletak kepayahan itu. 
Tanpa mengalami kesulitan sedikit pun, keenam 
orang lelaki kasar itu bergegas mem bawa tubuh 
Panji dan Rara Ningrum ke luar. Tak berapa lama 
kemudian, tempat itu kembali sunyi. 
*** 
"Ketua, kami Lima Setan Hitam datang meng-
hadap...," ujar lelaki kekar bermuka kehitaman, 
tnewa tali tiga orang rekannya. 
"Hm.... Bagus... Cepat bawa kereta. Kita segera 
berangkat ke tempat tua bangka yang keras kepala 
itu. Ingin kulihat, apakah ia masih dapat bertahan 
melihat putrinya berzinah di depan matanya dengan 
seorang pemuda asing," dengus lelaki tinggi besar 
berwajah bengis itu sambil bergerak bangkit dari 
kursinya. 
"Hi hi hi...! Aku yakin kali ini ia akan menyerah, 
Kakang. Dan, pusaka pulau ini akan segera menjadi

milik kita," timpal wanita cantik berwajah lembut, 
seraya memperdengarkan suara tawanya yang me-
lengking berkepanjangan. 
Sepeninggal Lima Setan Hitam, sepasang suami 
istri itu pun segera melangkah lebar dari dalam rua-
ngan megah yang lebar itu. Mereka terus berjalan 
menuju sebuah kereta kuda, yang telah siap didepan 
halaman gedung itu. 
Setelah berada di dalam kereta, lelaki tinggi besar 
yang berjuluk Raja Iblis Pantai Timur itu mengulap-
kan tangannya. Sebentar kemudian, kereta kuda itu 
bergerak meninggalkan halaman gedung. Di bela-
kangnya menyusul sebuah kereta kuda lain, tempat 
Panji dan Rara Ningrum berada. 
Saat itu matahari sudah semakin bergeser. Sinar-
nya memancar garang menjilati permukaan bukit. 
Namun, dua kereta kuda itu terus bergerak maju 
tanpa mempedulikan pariasnya sengatan matahari 
yang terik slang itu. 
Laju kereta yang semula cepat, mulai agak lambat 
ketika melalui jalan berbatu dan berbelok-belok. Ke-
mudian kedua kereta kuda itu berhenti didepan 
mulut gua yang kiri kanannya dijaga dua orang 
kakek kembar berpakaian merah dan hitam. 
Kedua penjaga berwajah sama itu membungkuk 
hormat ketika Sepasang Manusia Sesat keluar dari 
dalam kereta pertama. 
"Salam, Ketua...," ucap keduanya dengan gerakan-
gerakan tangan yang terlihat aneh. 
"Hm.... Bagaimana keadaan tua bangka keras ke-
pala itu, Siluman Kembar Teluk Merah?" Tanya Baja 
Iblis Pantai Timur, dingin. 
"Ampun, Ketua Ki Raga Baya tetap tidak mau 
menunjukkan harta pusaka leluhurnya. Sepertinya ia 
lebih baik mati daripada menunjukkan tempat

penyimpanan harta itu," jawab kakek berpakaian 
merah, tanpa mengangkat kepalanya. 
"Bawa tua bangka itu keluar! Aku ingin tahu, 
apakah kali ini ia masih tetap tidak mau membuka 
mulutnya?" Dengus Raja Iblis Pantai Timur, seraya 
membalikkan tubuhnya dan melangkah ke arah 
sebuah bangunan sederhana yang hanya beberapa 
tombak letaknya didepan mulut gua. 
Sedangkan Iblis Cantik Berwajah Malaikat, me-
langkah lebar menuju kereta kuda tempat Panji dan 
Rara Ningrum berada. 
"Seret pemuda dan gadis itu keluar! Bawa mereka 
ke pondok, cepat!" perintah wanita berhati iblis itu 
kepada Lima Setan Hitam. 
Tanpa diperintah dua kali, Lima Setan Hitam se-
gera mematuhi perintah Iblis Cantik Berwajah Mala-
ikat. 
Dengan pandangan bengis, iblis Cantik Berwajah 
Malaikat mengjringi anak buahnya yang membawa 
tubuh Panji dan Rara Ningrum. Jelas sekali adanya 
sorot kebencian dari sepasang mata wanita cantik 
berhati Iblis itu. Entah apa yang menyebabkan 
wanita cantik itu membenci Panji. 
Tubuh Panji dan Rara Ningrum dilemparkan begi-
tu saja di halaman depan pondok. Sehingga, kedua-
nya merintih akibat bantingan yang cukup keras itu. 
Meskipun demiklan, mereka tetap memejamkan ma-
ta. Karena keduanya masih dalam keadaan setengah 
sadar. 
"Hm.... Sebentar lagi kita akan menyaksikan 
sebuah pertunjukan yang langka dan menarik. Ha ha 
ha...! Betapa akan geger dunia persilatan bila berita 
tentang berzinahnya Pendekar Naga Putih dengan 
putri Majikan Pulau Mimpi, tersiar hingga ke daratan 
besar. Tentu keadaan akan ramai sekali...," ujar Raja 
Iblis Pantai Timur dengan suara parau dan berat.

"Benar, Kakang. Dan, yang lebih menggembirakan, 
nama kita tentu akan semakin disegani dan ditakuti 
kaum rimba persilatan. Sebab, kita berdualah yang 
sanggup membuat pendekar muda itu tidak ber-
daya," sambut Iblis Cantik Berwajah Malaikat dengan 
suaranya yang tjnggi dan merdu. Jelas, Sepasang 
Manusia Sesat itu benar-benar memiliki hati yang 
keji dan tak berperasaan. Hal itu tercermin dari 
rencana mereka yang jahat dan kotor. 
"Hm.... Ikat tua bangka tak tahu diuntung itu ke 
batang pohon! Biar dia dapat menyaksikan bagai-
mana nikmatnya melihat pertunjukan yang akan 
berlangsung di depan matanya," perintah Raja Iblis 
Pantai Timur, begitu melihat seorang lelaki setengah 
baya keluar dari dalam gua. Wajah dan pakaiannya 
kusut dan tak karuan. Sedangkan di kanan-kirinya 
terdapat dua orang kakek kembar bertubuh tinggi 
kekar. Mereka selalu dipanggil dengan julukan Silu-
man Kembar Teluk Merah. 
Tanpa banyak tanya lagi, kakek kembar itu pun 
segera melaksanakan perintah ketuanya. Dengan 
sigap, keduanya mengikatkan rantai-rantai baja pada 
kedua tangan dan kaki orang tua itu ke batang 
pohon. Kemudian, keduanya segera berdiri di kiri-
kanan lelaki setengah baya itu yang tak lain adalah 
Ki Raga Baya. 
"Hm.... Kekejaman apa lagi yang akan kau 
tunjukkan kepadaku, Manusia Sesat? Apakah masih 
belum cukup kau bunuh putra dan istriku?" dengus 
lelaki setengah baya itu seraya menatap Raja Iblis 
Pantai Timur dan Iblis Cantik Berwajah Malaikat 
dengan pandangan mata tajam dan penuh ejekan 
"Dengar, meskipun kali ini kau akan menyiksaku, 
tetap tidak akan kuberitahukan di mana tempat 
harta leluhurku! Hmh...! Usahamu akan sia-sia, 
Manusia Keji!"

"Ha ha ha...! Kita lihat saja sebentar lagi, Raga 
Baya! Dan, buktikanlah ucapanmu itu!" sahut Raja 
Iblis Pantai Timur tertawa terbahak-bahak Sedikit 
pun hatinya tidak marah meskipun Ki Raga Baya 
melon-tarkan makian yang menyakitkan telinganya. 
Ki Raga Baya mengalihkan pandangannya ke arah 
dua sosok tubuh yang tergeletak tak berdaya di hala-
man pondok itu. Sepasang matanya menyipit, ber-
usaha mengenali kedua sosok tubuh itu. 
"Ningrum...? Rupanya kau telah jatuh pula ke 
tangan manusia culas itu. Hhh.... Sepertinya tidak 
ada harapan lagi bagiku untuk dapat merebut pulau 
ini dari tangan Sepasang Manusia Sesat. Hm.... 
Siapakah pemuda yang bersama Ningrum itu? Dan, 
mengapa manusia-manusia keji itu menawannya? 
Demikian pentingkah arti pemuda itu bagi mereka?" 
gumam Ki Raga Baya seraya mengerutkan keningnya 
ketika melihat sosok berjubah putih, yang tergeletak 
di dekat tubuh putrinya. Karena tidak mengenal 
pemuda itu, maka Ki Raga Baya tidak lagi memper-
hatikannya. Hanya sosok Ningrum yang dipandangi-
nya dengan penuh iba. 
"Hm.... Kau tentu heran melihat pemuda itu, 
bukan?" ujar Raja Iblis Pantai Timur kepada Ki Raga 
Baya. “Ketahuilah, Tua Bangka! Pemuda itu adalah 
Pendekar Naga Putih yang namanya telah menggun-
cangkan daratan besar. Dan, kau segera akan me-
lihat sebuah pertunjukan yang tidak pernah terlintas 
dalam pikiran tuamu itu. Atau mungkin kau dapat 
menduganya...?" 
Mendengar pemuda yang bersama putrinya itu 
adalah Pendekar Naga Putih, Ki Raga Baya sempat 
berubah wajahnya. Memang, julukan itu sudah sam-
pai ke Pulau Mimpi ini. Hal itu tidak aneh, karena 
pada masa ia masih menguasai pulau, banyak peda-
gang-pedagang dari daratan besar datang mengun

jungi Pulau Mimpi dengan kapal-kapal dagang. 
Kedatangan mereka karena tertarik dengan mutira 
Pulau Mimpi, yang terkenal indah dan bermutu 
tinggi. Sehingga, hampir tiap bulan kapal-kapal besar 
singgah di pulaunya untuk menukar mutiara dengan 
barang-barang kebutuhan penduduk Pulau Mimpi. 
Dari para pedagang itulah Ki Raga Baya pernah 
mendengar tentang munculnya Pendekar Naga Putih 
yang telah mengguncangkan tokohtokoh sesat di 
daratan besar. 
"Heran, mengapa pendekar muda itu sampai ber-
ada di pulau ini? Sepengetahuanku, Sepasang Manu-
sia Sesat itu tidak pemah memperbolehkan orang 
luar memasuki pulau ini sejak mereka berkuasa. 
Sedangkan pedagang-pedagang yang biasanya me-
ngunjungi pulau ini telah mereka bantai secara 
kejam. Lalu, dengan apa pemuda yang terkenal sakti 
itu sampai di pulau ini? Dan, bagaimana ia bisa ter-
tawan...?" desah hati Ki Raga Baya yang merasa 
heran dengan keberadaan Pendekar Naga Putih di 
pulau itu. 
Sama sekali tidak terlintas dalam pikiran laki-laki 
setengah baya itu kalau keberadaan Pendekar Naga 
Putih di pulau ini karena terdampar. 
"Lalu, apa hubungannya pendekar muda itu 
denganku, Raja Iblis Pantai Timur? Dan, hendak kau 
apakan dia...?" Tanya Ki Raga Baya yang merasa 
tidak sabar untuk mengetahui apa yang akan dilaku-
kan manusia sesat itu terhadap putrinya dan Pende-
kar Naga Putih. 
"Ha ha ha...! Bersabarlah, Raga Baya. Pengaruh 
obat yang mereka minum baru sampai pada tahap 
pertama. Dan, pada tahap selanjutnya, baru bisa kau 
saksikan dengan mata kepalamu. Mereka akan 
berzinah didepan matamu yang lamur itu. Cepatlah 
ambil keputusan, sebelum kau menyaksikan per

tunjukan yang pasti sangat menarik itu," ujar Raja 
Iblis Pantai Timur tanpa meninggalkan suara tawa-
nya yang lantang menggelegar. 
"Biadab! Keji sekali rencanamu, Manusia Sesat! 
Kau..., kau benar-benar binatang kotor yang men-
jijikkan...!" teriak Ki Raga Baya menjadi pucat wajah-
nya demi mendengar ancaman Raja Iblis Pantai Ti-
mur itu. Sungguh tidak diduganya sama sekali kalau 
pikiran tokoh sesat itu sampai sedemikian keji dan 
kotor. 
Dengan wajah pucat dan dada bergelombang me-
nahan marah, Ki Raga Baya menundukkan kepala-
nya dalam-dalam. Hati orang tua itu menjerit dan 
hampir tidak sanggup untuk menghadapi ujian yang 
semakin berat mendera jiwanya itu. Sepasang mata-
nya nampak basah oleh genangan air mata, yang 
berusaha ditahannya agar tidak jatuh. 
"Ah, Ningrum..... Betapa malang nasibmu, Anak-
ku. Kalau saja kau dalam keadaan sadar, tentu kita 
akan dapat berbicara untuk merundingkan hal ini. 
Tapi, iblis itu ternyata sangat licik! Ia sengaja mem-
buatmu pingsan dan membiusmu dengan racun 
pembangkit birahi. Sehingga, keputusan itu sepe-
nuhnya menjadi tanggung jawabku. Ah..., apa yang 
harus kulakukan...?" desis hati Ki Raga Baya 
merintih. 
Sejenak orang tua itu melepaskan pandangannya 
ke arah sosok Pendekar Naga Putih. Rasa iba per-
lahan menyelinap di hatinya, tatkala melihat kalau 
pendekar muda itu harus tersiksa karena dirinya. 
Disadarinya betapa akan tersiksanya hati pemuda itu 
bila sadar, dan mengetahui apa yang telah dilaku-
kannya. Sebuah perbuatan keji yang dikutuk orang 
banyak. Dan, bukan tidak mungkin pemuda itu akan 
menjadi gila. Karena sebagai seorang pendekar besar 
dan namanya dikagumi seluruh tokoh-tokoh persilatan dan masyarakat awam, tentu peristiwa ini akan 
sangat menyiksa batinnya. 
Ki Raga Baya sedih membayangkan peristiwa yang 
akan menimpa Pendekar Naga Putih. Hati kecilnya 
yakin setelah peristiwa ini, Sepasang Manusia Sesat 
akan melepaskan mereka. Kemudian, menyebarluas-
kan peristiwa aib itu kepada kaum persilatan. Dan, 
hal itu tentu akan membuat Rara Ningrum serta 
Pendekar Naga Putih menderita batinnya. Itulah yang 
membuat orang tua itu sedih. Sehingga, Ki Raga 
Baya memutuskan untuk menunjukkan tempat pe-
nyimpanan harta pusaka leluhurnya. Baginya kepu-
tusan itu lebih baik ketimbang penderitaan yang 
akan dihadapi Rara Ningrum dan Pendekar Naga 
Putih. 
***

DELAPAN

"Bagaimana, Ki Raga Baya...? Cepatlah! Waktumu 
hampir habis!" desak Raja Iblis Pantai Timur tak 
sabar. 
Senyuman licik di wajah tokoh sesat itu mengem-
bang setelah melihat perubahan sikap Ki Raga Baya. 
Dan, Raja Iblis Pantai Timur sudah dapat menebak 
keputusan yang akan diambil Ki Raga Baya. 
"Raja Iblis Pantai Timur! Benarkah kau akan me-
lepaskan mereka bila tempat penyimpanan harta itu 
kutunjukkan?" Tanya Ki Raga Baya dengan nada 
ragu. Hati kecilnya memang tidak mempercayai 
manusia sesat itu. 
"Jangan takut. Begitu kau antarkan aku ke tem-
pat penyimpanan harta leluhurmu, mereka berdua 
langsung kubebaskan. Maka, janganlah kau mem-
buang-buang waktu lagi. Sebab, sebentar lagi mereka 
akan segera tersadar dari keadaan itu. Lalu, kejadian 
selanjutnya bisa kau bayangkan sendiri. Mereka 
akan saling tenang bagaikan binatang-binatang ke-
laparan. Apakah kau memang ingin menyaksikan-
nya...?" pancing Raja Iblis Pantai Timur. 
"Hm..., kalau begitu, cepat kau berikan obat pe-
nawarnya kepada mereka, dan aku akan mengantar-
kanmu begitu putriku dan Pendekar Naga Putih 
dibebaskan," sahut Ki Raga Baya yang wajahnya 
semakin pucat karena bayangan-bayangan buruk 
menari-nari di benaknya. Sehingga, peluh dingin 
menetes membasahi wajah dan tubuhnya. 
"Tidak bisa, Raga Baya! Kau berada di pihak yang 
kalah! Oleh karena itu, akulah yang berhak me-
nentukan...!" bentak Raja Iblis Pantai Timur. Hatinya

geram melihat orang tua itu masih ragu-ragu untuk 
menga-takannya. 
Ki Raga Baya terdiam ketika mendengar bentakan 
Raja Iblis Pantai Timur. Dan, ia menyadari akan ke 
adaannya yang memang tidak bisa untuk menekan 
lawan. Setetah termenung sambil menarik napas ber-
kali-kali, orang tua itu kembali mengangkat wajah-
nya dan menatap Raja Iblis Pantai Timur. 
"Baiklah, aku mengalah...," sahut Ki Raga Baya 
tertunduk sedih. Suaranya terdengar demikian lemah 
dan hampir tidak tertangkap telinga. 
"Kalau begitu, tunjukkan tempat itu sekarang...," 
kembali Raja Iblis Pantai Timur mendesak. 
"Bagaimana aku dapat menunjukkannya kalau 
tangan dan kakiku masih terbelenggu seperti ini..," 
kilah Ki Raga Baya gusar. 
"Hm.... Bebaskan orang tua itu...!" perintah lelaki 
tinggi besar itu kepada Siluman Kembar Teluk Merah 
yang segera melaksanakannya. . 
"Manusia keji! Kau memang lebih pantas menjadi 
binatang daripada seorang manusia...!" 
Tiba-tiba terdengar suara bentakan menggelegar 
yang mengejutkan semua orang. Dan, rasa kaget 
mereka semakin menjadi-jadi ketika melihat orang 
yang mengeluarkan suara bentakan dahsyat itu. 
Sosok tubuh itu terlapis kabut berwarna putih 
keperakan dan lapisan sinar kuning keemasan. Hati 
mereka tergetar dengan mata terbelalak lebar. Dan 
untuk beberapa saat lamanya, semua orang yang 
berada di tempat itu tertegun dengan mulut 
ternganga tak percaya. 
"Heaaat..!" 
Suara teriakan dari mulut sosok tubuh aneh itu 
dibarengi dengan ayunan tangannya. 
Wusss...!

Terdengar suara bercuitan keras ketika dari 
tangan sosok tubuh itu meluncur pukulan yang 
mengandung hawa panas luar biasa! 
Blarrr..." 
Raja Iblis Pantai Timur dan Iblis Cantik Berwajah 
Malaikat cepat tersadar. Sepasang Manusia Sesat itu 
langsung melompat berjumpalitan menghindari 
pukulan dahsyat itu. Sehingga, pondok yang mereka 
tempati berderak roboh. 
Dan sebelum semuanya tersadar akan apa yang 
terjadi, sosok tubuh aneh yang tak lain dari Pendekar 
Naga Putih itu telah melesat setelah terlebih dahulu 
menyambar tubuh Rara Ningrum. 
Siluman Kembar Teluk Merah yang melihat sosok 
tubuh aneh tengah meluncur ke arahnya, cepat me-
lompat mundur dengan wajah ngeri. Sehingga, 
mereka melupakan Ki Raga Baya karena ingin 
menyelamatkan diri. 
Blarrr! Blarrr! 
Kembali terdengar dua kali ledakan dahsyat yang 
seolah-olah akan mengguncangkan tempat itu. Un-
tung Siluman Kembar Teluk Merah telah bertindak 
cepat dengan melemparkan tubuhnya ke belakang 
beberapa kali. Sehingga, keduanya selamat dari 
pukulan maut Pendekar Naga Putih. 
"Cepat Ki...!" seru Panji sambil menyambor lengan 
Ki Raga Baya dan segera membawanya lari bagaikan 
terbang. 
"Bedebah! Kejar mereka...!" Raja Iblis Pantai Timur 
berteriak gusar sambil melompat melakukan penge-
jaran. 
Namun, para pengejar itu terbelalak dan pucat 
wajahnya ketika melihat buruannya berbalik dan me-
lontarkan pukulan-pukulan jarak jauh. 
Dam! Darrr...! 
"Aaa...!"

Terdengar jerit kematian yang menyayat. Dan 
disusul terlontarnya empat sosok tubuh akibat 
terlanggar angin pukulan berhawa panas menyengat. 
Keempat tubuh itu langsung ambruk dan tewas 
dengan kulit seperti terbakar. 
"Gila...!" umpat salah seorang dari Siluman Kem-
bar Teluk Merah, yang menyaksikan korban akibat 
pukulan maut itu. Sehingga, mereka melangkah 
mundur dengan wajah pucat. 
Sedangkan Panji kembali menyambar tubuh Ki 
Raga Baya dan Rara Ningrum. Kemudian cepat mele-
sat dengan kecepatan kilat. Beberapa saat kemudian, 
tubuh pemuda itu lenyap ditelan kelebatan semak 
dan pepohonan. 
"Setan! Cari dan bunuh mereka...!" umpat Raja 
Iblis Pantai Timur. Hati tokoh sesat itu gusar melihat 
kejadian yang sama sekali tidak disangkanya itu. 
Sebenarnya, kalau saja Sepasang Manusia Sesat 
dan para pengikutnya dapat bersikap lebih tenang, 
belum tentu Panji dapat meloloskan diri dari tempat 
itu. Apalagi dengan membawa tubuh Rara Ningrum 
dan Ki Raga Baya. 
Tetapi, orang-orang sesat itu telah terkesima dan 
gentar dengan pancaran Tenaga Sakti Gerhana Bu-
lan' dan 'Tenaga Sakti lnti Panas Bumi' yang ditun-
jukkan Panji secara begitu mendadak, sehingga 
membuat lawannya panik dan ngeri. Lagi pula, 
gebrakan-gebrakan yang dilontarkan Panji telah 
membuat mereka semakin kalut, dan tidak sempat 
mengeluarkan kepandaiannya. Akibatnya Pendekar 
Naga Putih de-ngan mudah dapat meloloskan diri 
dari. 
***

Setelah merasa yakin cukup jauh dari jangkauan 
para pengejarnya, Panji memperlambat larinya. Ke-
mudian berhenti di dekat sebuah semak belukar. 
Dengan kekuatan tenaga sakti yang dimilikinya, 
Panji melepaskan rantai baja yang masih melingkar 
di tangan dan kaki Ki Raga Baya. Sehingga, orang 
tua itu dapat menarik napas lega. 
"Bagaimana keadaanmu, Ki? Apakah kau siap 
bertarung? Sebab, saat ini adalah waktu yang sangat 
tepat untuk merebut kembali Pulau Mimpi dari ta-
ngan mereka. Dengan menggempur mereka di tempat 
ini, tentu saja akan lebih ringan. Bukankah tempat 
ini cukup jauh dari gedung kediamanmu? Tentu 
mereka tidak bisa menghubungi para pengikutnya 
yang berada di gedung itu," ujar Panji setelah mem-
bebaskan orang tua itu dari belenggu. 
"Meskipun tenagaku belum pulih seluruhnya, 
rasanya aku mampu untuk menghadapi mereka. 
Hanya saja, racun yang mereka jejalkan kepadaku, 
membuat dadaku terasa nyeri bila mengerahkan 
tenaga terlalu banyak. Jadi, aku tidak bisa memasti-
kan, apakah aku mampu bertahan dalam pertem-
puran atau tidak," sahut Ki Raga Baya dengan wajah 
cemas. 
Mendengar keterangan itu, Pendekar Naga Putih 
tidak mau membuang-buang waktu. Karena bunta-
lan pakaian serta obat-obatannya telah hilang ketika 
ia hanyut di laut, maka segera diambilnya tindakan 
cepat. Dimintanya Ki Raga Baya memusatkan pikiran 
dan mengosongkan tenaga dengan sikap seperti 
orang bersemadi. Dan, melalui punggung orang tua 
itu, Panji memindahkan tenaga sakti yang berasal 
dari Pedang Naga Langit ke dalam tubuh Ki Raga 
Baya. Hanya itulah satu-satunya jalan yang terpikir 
olehnya.

Setelah Panji melepaskan kedua telapak tangan-
nya dari punggung orang tua itu, tampak tubuh Ki 
Raga Baya bergetar hebat. Tak berapa lama kemu-
dian, terbentuklah lapisan sinar keemasan yang 
menyelimuti sekujur tubuh orang tua itu! 
Kejadian itu tidak berlangsung lama. Tenaga sakti 
yang berasal dari Pedang Naga Langit segera meng-
usir dan menghilangkan semua racun yang meng-
endap di dalam tubuh Ki Raga Baya. Sehingga, 
wajahnya yang semula pucat, nampak mulai keme-
rahan. Pertanda kesehatan orang tua itu sudah 
mulai pulih. 
"Ahhh..., benar-benar tak dapat kupercaya! Bagai-
mana mungkin aku dapat sembuh sedemikian cepat? 
Ilmu apakah yang kau miliki, Pendekar Naga 
Putih...?" Tanya Ki Raga Baya yang menatap Panji 
dengan wajah berseri gembira. 
"Lain waktu aku akan menceritakannya, Ki. Seka-
rang yang penting, kita harus melenyapkan penga-
ruh racun pembius yang mengendap dalam tubuh 
Ningrum," ujar Panji yang segera membungkuk dan 
membalikkan tubuh Rara Ningrum. Kemudian kem-
bali ditempelkan kedua telapak tangannya ke pung-
gung gadis cantik yang mulai sadar itu. 
Namun, begitu ‘Tenaga Sakti Inti Panas Bumi’ me-
rasuk ke dalam tubuh Rara Ningrum, kontan tubuh 
langsung itu bergetar, meskipun tidak sehebat Ki 
Raga Baya. Sebab, racun yang berada dalam tubuh 
gadis itu jauh lebih ringan ketimbang yang meng-
endap dalam tubuh ayahnya. Sehingga, pengobatan-
nya pun tidak memakan waktu yang lama. 
Pendekar Naga Putih segera menarik telapak 
tangannya, ketika merasakan aliran tenaga sakti 
yang dikerahkannya telah mengalir balik. Pemuda itu 
menarik napas lega ketika melihat wajah Rara Ning-
rum perlahan membaik kembali. Sedangkan wama

merah yang menyelimuti wajah gadis itu sudah mulai 
memudar. Pertanda racun dalam tubuh gadis itu 
telah lenyap oleh tenaga sakti yang berasal dari 
Pedang Naga Langit. 
"Untuk sementara Aki tunggulah di sini menjaga 
Rara Ningrum. Biar aku yang mencari Sepasang 
Manusia Sesat untuk membuat perhitungan," pinta 
Panji. 
Tanpa menunggu jawaban dari Ki Raga Baya, 
tubuh Pendekar Naga Putih segera melesat mening-
gal-kan tempat itu. Majikan Pulau Mimpi itu hanya 
bisa menggelengkan kepalanya dengan hati penuh 
kagum. Kini ia benar-benar menyaksikan dengan 
mata kepalanya sendiri kesaktian dan sikap pende-
kar muda itu. Dan semua cerita yang didengarnya, 
ternyata memang tidak terlalu berlebihan. 
"Hm.... Pantas saja tokoh-tokoh sesat di daratan 
besar menjadi kalang-kabut! Kepandaian pemuda itu 
memang luar biasa sekali. Entah sudah sampai di 
mana tingkat ilmu yang dicapainya? Rasanya sulit 
untuk mengukur kepandaian pemuda perkasa itu. 
Gumam Ki Raga Baya yang masih memandang ke 
arah lenyapnya tubuh Panji. 
Tidak sulit bagi Panji untuk menemukan Sepasang 
Manusia Sesat. Sebab, sepasang suami istri itu pun 
tengah mencarinya. Senyum di bibir Panji mengem-
bang ketika melihat kedua orang itu tengah berlari 
menuju ke arahnya. 
"Hm... Hendak ke manakah kalian berdua...? Ada-
kah yang bisa kubantu, Ningrum...?" sapa Panji 
Sengaja. Iblis Cantik Berwajah Malaikat dipanggilnya 
dengan sebutan 'Ningrum'. Karena saat pertama kali 
bertemu, wanita licik itu mengaku bernama Rara 
Ningrum untuk mengelabui Panji. 
"Keparat! Bagaimana kau sampai bisa terbebas 
dari pengaruh racun-racunku, Pendekar Naga Putih?


Bukankah sewaktu kusuguhi tuak beracun, kau me-
minumnya?" Tanya Iblis Cantik Berwajah Malaikat 
yang merasa penasaran sekali melihat Panji ternyata 
masih segar bugar, tanpa ada tanda-tanda keracu-
nan. 
"Hm.... Tidak perlu kuterangkan. Jelasnya, aku 
memang memiliki semacam kekebalan terhadap 
segala jenis racun. Selain itu, aku pun dapat menun-
jukkan tanda-tanda seperti orang yang keracunan. 
Jadi, kalau selama ini aku telah menipumu, Ning-
rum" Panji tanpa senium sedikit pun. Karena hati 
benar-benar marah dengan Iblis Cantik Berwajah 
Malaikat yang telah menipunya. 
"Keparat! Ilmu setan apa pun yang kau mainkan 
jangan harap Sepasang Manusia Sesat akan tunduk 
kepadamu! Sekarang tubuhmu akan kuremas karena 
telah membuat impianku berantakan!” 
“Heaaat..!" 
Dibarengi sebuah teriakan nyaring, tubuh Cantik 
Berwajah Malaikat segera melesat ke Panji. Sepasang 
tangannya yang berkulit halus, bertubi-tubi me-
lontarkan pukulan-pukulan maut yang berbahaya. 
Panji tidak mau lagi main-main. Setelah melompat 
sejauh satu tombak ke belakang, pemuda itu lang-
sung menyiapkan ilmu andalannya. 
"Hmh...!" 
Sambil menggereng lirih, Panji memutar-mutar 
tangannya didepan dada. Sadar kalau yang dihadapi-
nya adalah tokoh-tokoh sakti yang tidak bisa dipan-
dang ringan, maka Panji langsung mengerahkan 
kedua tenaga saktinya. Karuan saja hal itu membuat 
Sepasang Manusia Sesat terkejut. 
"Haaat..!" 
Dibarengi sebuah bentakan yang sanggup mem-
buat lawan tersentak, Panji meluruk dan menerjang 
kedua orang lawannya.

Bettt! Wuttt! 
Sepasang tangan Pendekar Naga Putih yang mem-
bentuk cakar naga, menyambar-nyambar dengan ke-
cepatan yang menggiriskan. Sambaran angin panas 
dan dingin berganti-ganti memenuhi sekitar arena 
pertarungan. Sehingga, kedua lawannya semakin ter-
kejut ketika merasakan hawa yang tidak menentu 
itu. 
Namun, biar bagaimanapun Sepasang Manusia 
Sesat itu memang tidak bisa dipandang ringan. Ke-
pandaian keduanya telah dibuktikan dengan jatuh-
nya Pulau Mimpi ke tangan mereka. Maka, pertaru-
ngan ketiga tokoh sakti itu tentu saja seru dan 
mendebarkan. 
Pertarungan yang dalam waktu singkat telah 
memakan empat puluh jurus itu, terlihat semakin 
bertambah sengjt. Sepasang Manusia Sesat sudah 
pula mengeluarkan ilmu gabungan mereka, yang di-
rasakan Panji sangat kuat pertahanannya. Sehingga, 
dalam jurus-jurus selanjutnya, sempat pula Pende-
kar Naga Putih dibuat kewalahan. 
"Haiiit..!" 
Seruan nyaring dari mulut Pendekar Naga Putih 
kembali terdengar saat melompat menghindar sam-
baran tangan Iblis Cantik Berwajah Malaikat yang 
susul-menyusul membayangi tubuhnya. Sehingga, 
Panji semakin berhati-hati dalam menghadapi 
serangan wanita cantik itu. Sebab, kepandaian yang 
diperlihatkan kali ini, jauh berbeda dengan yang 
pernah disaksikannya ketika pertama kali bertemu di 
dalam Hutan Dandara. Meskipun hal itu sudah dapat 
diduganya, tetap saja ia terdesak. 
Ketika pertarungan menginjak jurus yang kesem-
bilan puluh, Panji mengangkat tangan kanannya 
untuk memapaki hantaman telapak tangan Raja Iblis 
Pantai Timur yang mengancam lambungnya. Dan....

Plakkk! 
"Aaah...!" 
Raja Iblis Pantai Timur menjerit ketika telapak 
tangan Panji, yang mengeluarkan hawa panas seperti 
sengatan api, bertumbukan dengan tangannya. 
Tubuh tinggi besar ttu terjajar mundur hingga satu 
tombak lebih. 
"Setan keparat..!" maki Raja Iblis Pantai Timur 
sambil menyeringai Wajahnya semakin beringas meli 
hat kulit lengannya yang terbentur tangan lawan me-
lepuh. Kenyataan itu tentu saja membuat kemarah-
annya semakin menjadi-jadi. 
Namun, sebelum lelaki tinggi besar itu kembali 
memasuki pertempuran, terdengar jerit kesakitan 
yang disusul terlemparnya tubuh Iblis Cantik Ber-
wajah Malaikat ke arahnya. 
Terpaksa Raja Iblis Pantai Timur mengurungkan 
niatnya. Dan, segera menyambut tubuh Istrinya de-
ngan kedua telapak tangannya. Sehingga, tubuh 
molek itu tidak sampai terjatuh ke tanah. 
"Kau..., kau tidak apa-apa, Nyai...?" Tanya Raja 
Iblis Pantai Timur cemas ketika dilihatnya cairan 
merah menetes dari sudut bibir wanita cantik itu. 
"Tidak, Kakang...," sahut Iblis Cantik Berwajah 
Malaikat sambil menyeringai menekan perutnya yang 
terkena pukulan tangan kiri Panji. Dan, pengaruh 
pukulan itu terlihat dengan menggigilnya tubuh 
molek dalam pelukan suaminya. 
"Hm... Orang-orang seperti kalian memang tidak 
patut dibiarkan menikmati hidup lebih lama lagi. 
Sebab, hanya bencana dan keonaranlah yang kalian 
ciptakan di permukaan bumi ini. Jadi, semestinya 
kalian dilenyapkan saja!" ujar Panji yang segera 
melangkah mundur beberapa tindak. 
Sepasang Manusia Sesat mengerutkan keningnya 
ketika melihat lawannya memasang kuda-kuda menunggang kuda. Tangan kanan pemuda itu teracung 
perlahan dengan diserrai getaran halus. Sedangkan 
tangan kirinya tampak bergerak turun perlahan de-
ngan telapak tangan terbuka seperti hendak mene-
kan tanah. Jelas, Panji tengah menyiapkan jurus-
jurus terampuh dari 'Ilmu Naga Sakti'nya. 
 "Haiiit..!" 
Diiringi 'Pekikan Naga Marah', tubuh Panji melesat 
ke arah lawannya yang tengah terpaku bagai patung. 
Dengan gerakan berputar seperti baling-baling, Panji 
meluruk dan menerkam Sepasang Manusia Sesat itu. 
Sadar akan kedahsyatan serangan pemuda itu. 
Raja Iblis Pantai Timur dan Iblis Cantik Berwajah 
Malaikat serentak merenggang untuk memecah 
perhatian lawan. Kemudian, dengan langkah-langkah 
lambat tapi kokoh, keduanya bersiap menyambut 
serangan Pendekar Naga Putih. Raja Iblis Pantai 
Timur yang tidak mengetahui keistimewaan jurus 
yang dipergunakan lawan, bergegas menggeser tu-
buhnya ke samping. Sambil bersiap untuk melontar-
kan pukulan balasan dengan kekuatan penuh. 
Tapi, bukan main terperanjatnya hati lelaki tinggi 
besar itu ketika melihat tubuh Panji tetap meluncur 
dengan cakar-cakarnya dan menebarkan hawa maut. 
Bahkan, saking cepatnya gerakan putaran tangan 
pemuda itu, tidak sempat lagi Raja Iblis Pantai Timur 
menghindar. Sehingga, ia terpaksa berbuat nekat dan 
kembali siap memapaki serangan Panji. 
Namun, begitu cakar Pendekar Naga Putih ber-
tumbukan secara aneh, lengan pemuda itu berputar 
dan langsung cengkeramannya bersarang di dada 
lelaki tinggi besar itu. 
Brettt! Desss! 
"Aaakh...!" 
Terdengar teriakan ngeri dari Raja Iblis Pantai 
Timur ketika cengkeraman dan hantaman telapak

tangan Panji telak bersarang di lambung dan dada-
nya. Sehingga, tanpa dapat ditahan lagi, tubuh lelaki 
kekar berotot itu terjungkal mencium tanah. 
Karena tidak ingin membuang-buang waktu lagi, 
maka Panji langsung mengirimkan tendangan maut 
pada saat lawannya tengah berdiri limbung. Maka.... 
Desss...! 
"Aargh...!" 
Raja Iblis Pantai Timur tersentak keras hingga dua 
tombak lebih. Tendangan yang menghantam telak 
dadanya itu, membuat gumpalan darah segar ter-
lompat keluar dari mulutnya. Tubuh lelaki tinggi 
besar itu kembali terjatuh ketika hendak bangkit. 
Kemudian meregang dan berkelojotan sejenak, sebe-
lum menghembuskan napasnya yang terakhir. 
Tewasnya tokoh sesat itu akibat tulang-tulang dada-
nya remuk dihantam tendangan yang keras dari 
Pendekar Naga Putih. 
Iblis Cantik Berwajah Malaikat yang menyaksikan 
kematian suaminya, berteriak bagai orang gila! Saat 
itu juga, tubuhnya langsung melesat dengan sera-
ngan yang hebat dan mematikan. 
Bettt! Bettt! 
Panji menggeser tubuhnya dua tindak ke samping 
untuk menghindari serangan berantai lawannya. Dan 
langsung dikirimkannya cengkeraman maut dengan 
kecepatan yang menggetarkan. 
Karuan saja wanita iblis itu kelabakan. Serangan 
balasan yang dilontarkan Panji benar-benar sulit se-
kali untuk dihindari. Sehingga sebisa-bisanya wanita 
itu menangkis dengan tangannya. Namun.... 
Plakkk! Bukkk! Brettt! 
"Aaakh...!" 
Meskipun berhasil menangkis satu pukulan Panji, 
namun pukulan dan sambaran cakar naga yang me-
nyusulinya, tak mampu lagi dielakkan Iblis Cantik

Berwajah Malaikat! Tubuh tangsing dan padat itu 
kontan terlempar disertai ceceran darah yang me-
ngalir dari hikanya. 
Tubuh Iblis Cantik Berwajah Malaikat menggele-
par, dan dari mulutnya memuntahkan darah segar. 
Hantaman yang telak mengenai perutnya, membuat 
wanita cantik itu tidak mampu bangkit lagi. Dari 
luka akibat sambaran cakar naga Panji, darah segar 
terus mengalir. Sehingga, wanita cantik itu tidak 
sanggup lagi untuk hidup lebih lama. Beberapa saat 
kemudian ia pun menghembuskan napas terakhir-
nya, menyusul suaminya. 
"Hhh...," Panji menghela napas lega setelah me-
nundukkan Sepasang Manusia Sesat. 
"Kakang...!" 
Panji mengerutkan keningnya mendengar suara 
merdu yang memanggilnya. Matanya ditegasi untuk 
melihat wanita yang tengah berlari-lari kecil ke arah-
nya. Sosok ramping itu baru dapat dikenali setelah 
dilihatnya sosok lelaki setengah baya yang melang-
kah di belakang sosok ramping itu. 
Begitu tiba, gadis yang tak lain dari Rara Ningrum 
itu langsung memegang tangan Panji bagaikan saha-
bat yang telah lama tak berjumpa. 
"Ningrum, syukurlah kau selamat..." hanya itu 
ucapan yang keluar dari mulut Panji. 
"Berkat pertotonganmu, Panji. Siluman Kembar 
Teluk Merah sudah kami tundukkan, begitu pula 
dengan Lima Iblis Hitam. Sekarang tinggal bagai-
mana kita merebut tempat kediamanku," ujar Ki 
Raga Baya tersenyum begitu tiba di dekat Panji. 
Rupanya Rara Ningrum telah menceritakan segala-
nya kepada orang tua itu. Sehingga tanpa ragu-ragu 
lagi, Ki Raga Baya memanggil nama pemuda itu. 
Ajakan tidak langsung itu segera disambut baik 
oleh Panji. Kemudian ketiga orang itu pun segera

berangkat menuju gedung megah yang merupakan 
tempat kediaman Majikan Pulau Mimpi. 
*** 
Tidak sulit bagi Ki Raga Baya untuk kembali 
merebut gedungnya. Sebab, yang berada di dalam 
gedung hanyalah murid-murid rendahan dari Sepa-
sang Manusia Sesat. Sehingga dalam waktu singkat, 
gedung itu sudah dapat dikuasai. 
Panji yang merasa tugasnya di tempat itu telah 
selesai, segera meninggalkan Ki Raga Baya dan Rara 
Ningrum tanpa pamit. Pendekar Naga Putih tidak 
ingin mengganggu kegembiraan pesta yang dilang-
sungkan Majikan Pulau Mimpi itu. Maka, pemuda itu 
lenyap begitu saja tanpa diketahui Ki Raga Baya 
maupun Rara Ningrum. 
Setelah meninggalkan kediaman Ki Raga Baya, 
Panji langsung menemui Ki Rungga dan Sumirah 
yang ditinggalkannya di tempat tersembunyi, di sebe-
lah Selatan Pulau Mimpi. 
"Panji...!" 
Wanita berwajah manis yang usianya sekitar tiga 
puluh tahun itu, berlari ketika melihat seorang 
pemuda berjubah putih tengah melangkah menuju 
pondoknya. Begitu tiba, langsung dipeluknya 
pemuda itu dengan penuh keharuan. 
"Nyai..., apakah kau baik-baik saja...? Bagaimana 
dengan Ki Rungga?" sapa Panji sambil membalas 
pelukan wanita yang hanya mengenakan kain 
sebatas dada sebagai penutup tubuhnya. Siapa lagi 
wanita itu kalau bukan Sumirah. 
"Kami berdua sehat sepertj sediakala, Panji. Ba-
gaimana dengan usahamu? Tentu kau berhasil, bu-
kan?" Tanya Sumirah tanpa melepaskan pelukannya.

"Berkat doamu, Nyai...," sahut Panji singkat. 
"Kedatanganku hanya untuk pamit Karena segalanya 
telah kembali seperti biasa, aku berniat hendak 
mencari Kenanga. Mudah-mudahan saja ia mengala-
mi nasib baik sepertiku,” desah Panji separuh ber-
harap. 
Sumirah menundukkan wajahnya yang mendadak 
mendung ketika mendengar ucapan Panji. Namun, la 
sadar kalau pemuda yang disukainya itu memang 
harus pergi, dan memastikan nasib ke-kasihnya. 
"Berjanjilah untuk menengokku apabila kau telah 
mengetahui nasib Kenanga, Panji...," desah Sumirah 
yang tidak bisa berbuat apa-apa lagi. 
"Ingat-ingatlah kami, Panji...," pesan Ki Rungga 
yang juga telah berada di tempat itu, mengantai 
kepergian Panji. 
"Terima kasih, Ki, Sumirah...," ujar Panji seraya 
menyalami kedua orang yang telah menolongnya 
selama berada di Pulau Mimpi. 
Setelah mengucapkan kata-kata perpisahan, 
tubuh Panji langsung melesat meninggalkan tempat 
itu. Kemudian bayangan tubuhnya pun hilang dari 
panda-ngan kedua orang itu, Sengaja Panji tidak 
menoleh lagi. Karena hatinya merasa berat untuk 
meninggalkan kedua orang yang sangat baik dan 
teliti dalam merawatnya. 
"Selamat tinggal Pulau Mimpi...," desah Panji 
seraya melambaikan tangannya ketika telah berada 
di atas sebuah perahu. Pendekar Naga Putih mening-
galkan pulau itu dengan menyewa seorang nelayan 
untuk mengantarkannya ke daratan terdekat.

                               SELESAI








Share:

0 comments:

Posting Komentar