T. Hidayat
TERDAMPAR Dl PULAU ASING
ACINTAMEDIA
penerbit buku silat bermutu
TERDAMPAR DI PULAU ASING
Oleh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Tarech R.
Gambar sampul oleh Soeryadi
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh Isi buku ini
tanpa ijin tertulis dari penerbit
T. Hidayat
Serial Pendekar Naga Putih
dalam episode:
Terdampar di Pulau Asing
128 hal ; 12 x 18 cm
SATU
"Uhhh...."
Seorang pemuda tampan berjubah putih meng-
geliat dan mengeluh lirih. Kelopak matanya terbuka
perlahan-lahan. Dengan gerakan lemah, ia mencoba
Bangkit dari atas balai-balai bambu, tempat tubuh-
nya terbaring.
"Jangan banyak bergerak dulu, Tuan. Kesehatan-
mu belum begitu pulih," ujar seorang wanita ber-
wajah manis sambil mencegah pemuda itu bangkit.
Dengan dcrakan lembut dan penuh kasih, ditekan-
nya bahu pemuda itu agar berbaring kembali.
Entah merasa tidak enak atau bagaimana, akhir-
nya pemuda itu kembali merebahkan tubuhnya.
Pada pancaran wajahnya tergambar jelas kelelahan
yang amat sangat
"Di manakah aku, Nyai...? Dan, siapakah kau...?"
Tanya pemuda itu sambil merayapi wajah wanita
yang berusia sekitar tiga puluh tahun Itu.
Wanita berwajah manis yang memiliki sifat ke-
ibuan itu kembali tersenyum lembut. Di hatinya
tidak sedikit pun terbersit perasaan risih ketika
pemuda tampan itu memandangi wajahnya.
'Tuan berada di gubuk kami. Menurut cerita ayah-
ku yang membawa Tuan kemari, Tuan ditemukan
dalam keadaan tak sadarkan diri di tepi pantai. Tapi,
aku tidak tahu pasti di pantai sebelah mana Tuan di-
temukan. Sebaiknya, nanti tanyakan sendiri pada
ayah setelah pulang dari pasar. Sambil menunggu,
sebaiknya Tuan istirahat Mmm... Kalau Tuan suka,
aku sudah menyediakan bubur hangat," ujar wanita
itu seraya akan beranjak keluar dari kamar sempit itu.
"Nyai, tunggu...!" cegah pemuda tampan itu sam-
bil bendak bergerak bangkit dari berbaringnya.
Melihat pemuda itu akan bergerak bangkit, ber-
gegas wanita itu menghampiri dan menekan kedua
bahunya perlahan.
'Tuan sangat keras kepala!" omel wanita itu,
dengan melepaskan senyum menggoda. Kembali tu-
buhnya dihenyakkan di tepi pembaringan. "Apa yang
ingin Tuan katakan kepadaku?"
"Mmm.... Bolehkah kutahu nama Nyai...?" Tanya
pemuda tampan yang berusia sekitar dua puluh satu
tahun itu. Tubuhnya yang tegap, telah terbaring
kembali.
"Mengapa tidak boleh? Namaku Sumirah. Aku
tinggal di gubuk ini bersama ayahku yang bernama
Ki Rungga. Puas? Atau masih ada pertanyaan lain
yang ingin Tuan ajukan? Kalau masih ada, ber-
tanyalah. Sebab, aku masih ada beberapa pekerjaan
yang harus diselesaikan," ucap wanita bernama
Sumirah itu sambil tersenyum. Melihat dari wajah
dan sikap ramahnya, jelas kalau wanita ini sangat
senang dengan keberadaan pemuda itu di gubuknya.
Sumirah menunggu tanggapan pemuda berjubah
putih itu beberapa saat. Dipandanginya wajah tam-
pan yang tengah termenung itu dengan penuh
selidik. Ingin Ia menanyakan siapa dan dari mana
sebenarnya pemuda bertubuh tegap itu. Tapi,
keinginan itu disimpannya dalam hati. Sebab, ada
perasaan malu menyelimuti hatinya. Apalagi sikap
pemuda itu sangat sopan. Sehingga menimbulkan
rasa segan. Lalu, di-putuskannya untuk menunggu,
meskipun hati kecil-nya berharap agar pemuda yang
terbaring itu mau bercerita tantang dirinya.
Sumirah mengalihkan pandangannya ketika
pemuda itu tersentak dari lamunannya. Sadar kalau
dirinya tengah diperhatikan, wanita itu mengangkat
wajahnya perlahan. Lalu, dibalasnya tatapan pemu-
da itu dengan senyum lembut menghiasi wajahnya.
"Nyai, aku sangat berterima kasih sekali atas
segala pertolonganmu dan ayahmu.... Ehm... namaku
Panji. Untuk sementara ini, aku belum bisa bercerita
banyak. Tubuhku masih terasa lemah, dan aku
belum mampu mengingat semua peristiwa yang
kualami. Tapi, aku berjanji akan menceritakan ten-
tang diriku sepulang ayahmu dari pasar nanti. Maaf,
kalau kehadiranku di tempat ini telah membuat
kalian repot," ujar pemuda berjubah putih yang ter-
nyata memang Panji atau yang lebih dikenal berjuluk
Pendekar Naga Putih.
"Baiklah, Panji.... Dan kalau kau suka, makanlah
bubur hangat itu untuk mengembalikan tenagamu.
Sudah hampir satu hari penuh kau terbaring tanpa
sadarkan diri. Entah apa yang telah kau alami, se-
hingga tenagamu sampai terkuras," ucap Sumirah
sambil beranjak bangkit dan melangkah keluar dari
kamar.
Wanita berwajah lembut dan sangat penyabar ini
menoleh sejenak, kemudian tubuh ramping itu
lenyap di balik pintu.
Panji sempat terkejut ketika mendengar dirinya
telah terbaring hampir seharian penuh di atas balai-
balai bambu itu. Namun, hal itu tidak ditanyakan-
nya. Karena hal itu akan membuat Sumirah lebih
lama menemaninya. Bukan karena ia tidak me-
nyukai kehadiran wanita itu. Tapi, sebagai seorang
pendekar, tentu saja keadaan tubuhnya yang sangat
lemah di hadapan orang lain, tidak begitu disukai-
nya. Itulah sebabnya mengapa dibiarkannya saja
wanita itu pergi.
Setelah Sumirah berlalu dari kamar, Panji
bergegas melakukan semadi untuk mengembalikan
kesehatan tubuhnya.
***
Derrr! Derrr! Derrr...!
"Hei! Ki Rungga...! Cepat buka pintu...!"
Seorang lelaki bertampang kasar yang mengena-
kan anting-anting bulat di telinga kanannya, meng-
gedor-gedor pintu rumah Ki Rungga. Sikapnya tam-
pak kntar dan galak. Tangan kirinya menggenggam
sebilah giilok yang menyembul di pinggang kanan-
nya.
Setelah menunggu beberapa saat, dan pintu
belum juga terbuka, lelaki kasar itu menjadi tak
sabar. Dengan wajah gelap, diterjangnya pintu yang
terbuat dari kayu itu. Dan....
Brakkk..!
Pintu rumah itu jebol dan hancur berkeping-
keping. Dan dengan darah mendidih, bergegas lelaki
kasar itu melompat masuk. Kemudian disusul oleh
dua orang rekannya, yang sejak tadi hanya diam di
sampingnya.
"Ayahku... ayahku tidak ada di rumah...," terde-
ngar suara lirih yang bergetar menyambut kehadiran
ketiga orang lelaki kasar itu.
"Ahhh! Lihatlah, Kakang Karpala! Tanpa setahu
kita, rupanya Ki Rungga menyimpan seorang gadis
cantik di dalam rumahnya. Sungguh pandai sekali
orang tua itu menyembunyikannya dari kita," ujar
salah seorang dari ketiga orang itu sambil menatap
wajah Sumirah yang pucat pasi.
Lelaki bertampang kasar yang bernama Karpala
itu tertawa terbahak-bahak. Kedua kakinya melang-
kah perlahan mendekati putri Ki Rungga. Sepasang
matanya menjilati sekujur tubuh Sumirah yang
hanya mengenakan kain sebatas dada.
"Hm.... Mengapa kau tidak membukakan pintu
Rupanya kau lebih suka kami bersikap kasar, ya?”
geram Karpala seraya tangannya menyentuh wajah
Sumirah.
Melihat hal itu, Sumirah segera menelengkan
kepalanya, menghindari jamahan tangan Karpala.
"Mau apa kalian sebenarnya? Kalau memang perlu
dengan ayahku, kalian dapat kembali lagi kemari,”
ujar Sumirah semakin ketakutan ketika tangan Kar-
pala semakin kurang ajar hendak merayapi dadanya.
Wanita itu pun menggeser langkahnya, menjauhi
lelaki kasar yang hendak berbuat tidak senonoh
terhadapnya.
"He he he.... Kau jangan berpura-pura alim, Nyai.
Aku tahu Ki Rungga telah menyembunyikan seorang
pemuda tampan untukmu, bukan? Nah, kalau kau
ingin selamat, serahkan pemuda asing itu kepada
kami Kalau tidak, keluarga ini akan mendapat ke-
sulitan,” ancam Karpala sambil melangkah mende-
kati Sumira yang merapatkan tubuhnya ke dinding.
"Aku tidak tahu apa yang Tuan bicarakan. Lebih
baik kalian segera tinggalkan tempat ini Kalau tidak
aku akan berteriak. Dan, orang-orang di desa ini
akan menghukum kalian," ujar Sumirah dengan
dada berdebar.
Tapi, wanita berwajah manis itu berusaha me-
nyembunyikan rasa ketakutannya. Diam-diam hati-
nya berharap agar pemuda tampan yang bernama
Panji tidak keluar dari kamarnya. Sebab, bila hal itu
terjadi keadaan akan semakin runyam.
Namun, harapan wanita itu pupus ketika pintu
kamar yang terletak beberapa langkah dari tempat-
nya berdiri, tiba-tiba berderit. Dari balik daun pintu
yang terbuka, muncul seorang pemuda tampan
berjubah putih.
Sumirah sangat gembira ketika melihat wajah
tampan yang semula terlihat lelah, kini nampak
segar makin bercahaya. Senyum lembut yang meng-
hiasi wajah pemuda itu, dibalasnya dengan tak kalah
manis.
Hingga Sumirah lupa akan dirinya yang sedang
dalam keadaan terancam maut.
"Nah, sekarang kau tidak bisa berbohong lagi, Nyi.
Bukankah pemuda itu yang ditemukan Ki Rungga di
tepi pantai? He he he.... Rupanya kau merasa senang
ditemaninya. Dan, kau takut kalau kami akan
membawanya pergi," ujar Karpala sambil terkekeh
serak.
Sekilas pandangan lelaki kasar itu menatap penuh
selidik ke arah Panji. Jelas, kalau kehadiran Panji di
dalam rumah ini tidak disukainya.
"Nyai, kau tidak perlu khawatir. Biarkan pemuda
itu kami bawa pergi dari sini, Dan, kau boleh ber-
senang-senang dengan Kakang Karpala. Bukankah
begitu, Kakang?" timpal lelaki lain yang berkepala
botak dengan kumis dan jenggot menghias wajah-
nya. Sehingga, wajah yang hitam itu nampak sema-
kin Garang.
"Ha ha ha.... Bagus, Adi! Bagus... Ayo, cepat kalian
bawa pemuda itu, dan tunggu aku di luar,” sahut
Karpala yang segera hendak memeluk tubuh
Sumirah.
"Jangan ganggu wanita itu!" bentak Panji dengan
suara pelan, tapi mengandung perbawa yang amat
kuat Sehingga, hati Karpala sendiri merasa tergetar.
Lengan lelaki beranting-anting itu tetap menga-
pung di udara, bagaikan sebuah area batu. Sedang-
kan kepalanya menoleh ke arah pemuda berjubah
putih yang tengah menatapnya dengan sinar mata
mencorong tajam dan menggiriskan.
"Ahhh...!"
Tanpa sadar, lelaki berwajah kasar itu kaget.
Kakinya melangkah mundur beberapa tindak me-
lihat tatapan mata pemuda itu yang membuatnya
gentar dan ngeri.
"Jangan pandangi aku seperti itu, Bocah Keparat.
Matamu seperti mata iblis! Aku tidak suka melihat-
nya!” bentak Karpala. Suaranya sengaja dikeraskan
menghalau rasa gentar yang menyelimuti hatinya.
Padahal, pemuda tampan itu tidak melakukan
gerakan apa-apa, hanya matanya yang memandang
lekat-lekat ke wajah Karpala.
Selagi lelaki bertampang kasar itu melangkah
mundur, Sumirah bergegas lari dan sembunyi di
belakang tubuh Panji. Wajah wanita itu terlihat
penuh kecemasan. Apalagi kekejaman Karpala dan
dua orang temannya sudah lama diketahuinya. Tak
heran kalau ia mengkhawatirkan keselamatan Panji.
"Panji, sebaiknya kau pergilah. Tinggalkan tempat
ini. Mereka..., mereka sering bertindak kejam ter-
hadap orang yang tak disukainya. Dan, kepandaian
silatnya tinggi," bisik Sumirah, terdengar bergetar
suaranya. Sekilas, putri Ki Rungga yang berwajah
manis itu sangat cemas akan keselamatan Panji.
"Tenanglah, Nyai. Aku yakin mereka tidak akan
bertindak kasar di dalam rumah ini. Bersembunyi-
lah di kamar. Biarkan aku yang membereskan
persoalan ini dengan mereka di luar. Percayalah,
mereka pasti tidak akan berbuat jahat terhadapku,"
bujuk Panji, mcnenangkan hati Sumirah. Sambil
berkata demikian, didorongnya tubuh wanita itu ke
dalam kamarnya.
"Tapi.... Tapi, Panji...."
"Sudahlah, Nyai. Percayalah, tidak akan terjadi
apa-apa terhadapku. Mereka pasti akan mengerti
kalau aku bukan orang jahat, dan tidak akan
merugikan mereka," potong Panji cepat.
Sumirah langsung terdiam mendengar ucapan
Pemuda berjubah putih itu.
"Mari kita bicarakan persoalan ini di luar,
Kisanak," ajak Panji yang segera melangkahkan
kakinya menuju pintu keluar. Langkah pemuda itu
tenang, dan sikapnya sama sekali tidak mencermin-
kan rasa takut. Sehingga Karpala dan kawan-kawan-
nya bertindak hati-hati, dan tidak berbuat apa-apa.
Kecuali memandangi Panji seperti orang linglung.
Begitu tubuh pemuda berjubah putih itu lenyap
balik pintu, cepat-cepat Karpala dan kedua kawan-
nya bergerak mengejar. Mereka berloncatan, takut
orang yang memang sedang dicari-cari itu melarikan
diri.
Rasa heran dan penasaran semakin bertambah
ketika mereka tiba di luar, ternyata pemuda itu
tengah menanti mereka dengan sikap tenang. Bah-
kan, bibir pemuda berjubah putih itu menyung-
gingkan senyuman. Sehingga Karpala dan kawan-
nya, semakin mengerti.
Keheranan di wajah Karpala berubah menjadi
sinar kebengisan ketika teringat tugas yang diem-
bannya. Sikapnya yang tadi nampak tolol itu berubah
ganas.
"Hei, Anak Muda! Perlu kau ketahui, kami
ditugaskan majikan kami untuk membawamu hidup
atau mati. Dan, kau tidak boleh membantah!" tegas
Karpala mengandung ancaman maut.
Sambil berkata demikian, tangan lelaki kasar
meraba gagang golok yang tersembul di pinggang.
Jelas, tindakan itu bermaksud untuk menakut-
nakuti Panji.
"Maaf, karena aku tidak mengenal majikan kalian,
maka permintaanmu terpaksa kutolak," tegas Panji
dengan nada pelan.
Jawaban yang diberikan Panji bukan tanpa
alasan. Sebab, selain ia sadar berada di tempat yang
masih sangat asing, juga tidak ingin terjebak ke-
dalam sarang macan. Dan, semua itu dapat dilihat-
nya dari sikap ketiga lelaki kasar yang berhadapan
dengannya. Karena itu, sikapnya tetap waspada.
"Hm.... Kalau begitu, aku akan memaksamu
dengan kekerasan!" geram Karpala yang segera men-
cabut golok panjangnya.
Kemudian, tangan lelaki kasar itu bergerak mem-
beri isyarat perintah kepada dua orang temannya
untuk mengepung Panji. Rupanya sikap Pendekar
Naga Putih yang tenang, telah membuatnya bersikap
hati-hati. Apalagi, penampilan pemuda berjubah pu-
tih itu menimbulkan perbawa yang membuat hatinya
menjadi gentar.
"Serang...!"
Setelah beberapa saat terdiam, Karpala berseru
memerintahkan kedua orang kawannya untuk me-
nyerang. Sedangkan ia sendiri tetap tidak bergerak.
Namun sepasang matanya, tetap mengawasi Panji.
Jelas, lelaki yang mengenakan anting-anting bulat
pada telinga kanannya itu ingin melihat apa yang
dilakukan Panji dalam menghadapi kedua teman-
nya.
"'Heaaat..!"
Sambil berteriak nyaring, kedua lelaki kasar itu
segera menerjang Panji dengan sambaran golok pan-
jangnya.
Pendekar Naga Putih sama sekali tidak beranjak
dari tempatnya. Diamatinya saja gerakan kedua
lawannya. Bibirnya tersenyum setelah mengetahui
kalau mereka hanya menggunakan tenaga kasar
untuk menyerang. Tentu saja serangan itu sama
sekali tidak berarti baginya. Karena itu, ia tidak ber-
usaha mengelak.
Melihat lagak ketiga lelaki kasar yang hanya
mengandalkan kekerasan itu, membuat Panji ingin
memberikan pelajaran terhadap mereka, agar tidak
tinggi hati dan memandang remeh orang lain. Dan
Pendekar Naga Putih ingin menundukkan mereka
tanpa kekerasan.
Sambaran dua bilah golok panjang meluncur
mengancam tubuh Panji. Menyadari lawan tidak
mengetahui serangannya, mereka menambah tenaga
dalam untuk menggerakkan senjatanya.
Trakkk! Trakkk!
Hantaman dua batang golok yang bertenaga itu,
memang tepat mengenai punggung dan dada Pen-
dekar Naga Putih. Namun, kedua bilah golok lang-
sung patah ketika menghantam telak tubuh yang
telah diselimuti kabut bersinar putih keperakan itu.
Bahkan, tubuh kedua penyerang itu terpental sejauh
satu setengah tombak sambil menjerit keras memilu-
kan.
Terkejut bukan main hati Karpala melihat kedua
tubuh rekannya terhempas ke tanah sambil me-
rintih kesakitan. Tampak lengan mereka membeng-
kak sebatas pergelangan. Jelas tenaga yang mereka
gunakan telah membalik, dan melukai diri sendiri.
Rasa penasaran Karpala semakin menjadi-jadi.
Maka, tanpa berpikir panjang, ia langsung melompat
sammbil membabatkan golok panjangnya ke arah
tubuh Panji.
Walaupun serangan lelaki kasar itu jauh lebih
cepat dan kuat ketimbang kedua kawannya, Pende-
kar Naga Putih tetap tidak bergeming sedikit pun.
Ditunggunya serangan golok lawan tanpa berusaha
mengelak. Dan....
Trakkk!
"Aaa...!"
Karpala menjerit ngeri ketika tubuhnya terlempar
sejauh dua batang tombak. Dan, itu terjadi karena
tenaga yang dipergunakannya lebih hebat dari kedua
Iawannya.
"Pemuda iblis...! Lari...!" teriak Karpala yang
merasa tidak akan unggul melawan Panji. Dan
mereka pun segera mengambil langkah seribu.
"Kau..., kau tidak apa-apa, Panji...?" Tanya Sumi-
rah. Raut kecemasan tampak di wajahnya.
Wanita berparas cukup cantik itu memang sejak
tadi menyaksikan kejadian yang dianggapnya sangat
luar biasa. Terbukti, selain raut kecemasan, juga
terlihat adanya keheranan dan kekaguman di wajah-
nya.
Panji hanya tersenyum, kemudian melangkah
masuk ke dalam gubuk. Sedangkan Sumirah me-
nyusul dengan berbagai macam perasaan yang
bergayut di benaknya.
* * *
DUA
"Jadi kau terpisah dari kawan wanitamu, yang
bernama Kenanga itu?" Tanya Sumirah setelah Panji
menceritakan pengalamannya sehingga sampai ter-
lempar di pulau itu.
Panji yang berada tepat didepan Sumirah tertun-
duk lesu. Terdengar helaan napas berat yang men-
cerminkan kegalauan hati pemuda itu. Perlahan-
lahan kepalanya terangkat ke atas. Dan, pandangan-
nya kearah ke luar jendela yang terbuka lebar.
Tampak sepasang mata yang tajam itu berubah sayu.
Dan, keningnya berkerut seperti tengah merenung.
"Yahhh.... Badai yang ganas itu telah menghem-
paskan kapal yang kami tumpangi. Kemudian kapal
itu pecah berantakan akibat terhantam batu karang.
Aku tak berdaya sama sekali melawan keganasan
alam laut itu. Untunglah aku sempat meraih se-
keping papan dari pecahan kapal yang berserakan.
Dan, selama tiga hari tiga malam, aku terapung di
tengah samudera luas yang bagaikan tidak bertepi
itu," jelas Panji yang kembali teringat akan nasib
kekasihnya.
"Lalu, bagaimana kau bisa terdampar di pulau ini?
Aimkah karena sekeping kayu dari pecahan kapal itu
yang membawamu kemari?" Tanya Sumirah sambil
menatap wajah Panji dengan perasaan iba.
Putri tunggal Ki Rungga itu sepertinya sangat
tertarik dengan Panji. Hal itu terlihat jelas dari tata-
pan matanya. Bahkan sikapnya pun sangat lembut
dan penuh perhatian ketika merawat dan melayani
pemuda itu. Tak ubahnya seorang kakak terhadap
adik kandungnya.
Panji bukannya tidak tahu akan perasaan wanita
itu. Bahkan, anggapan Sumirah terhadap dirinya
pun sudah dapat diduga. Dan, karena hal itu pula-
lah yang membuat Panji menceritakan apa yang
dialaminya ketika berada di samudera luas.
"Bukan hanya sekeping kayu itu yang membuat-
ku terdampar di pantai pulau ini. Tapi, aku sen-
dirilah yang mendayung sekeping papan itu setelah
badai reda! Karena terlalu banyak mengerahkan
tenaga hingga melampaui batas itulah, membuatku
tak sadarkan diri setelah tiba di tepian pantai ini.
Hm... Apakah nama pulau ini, Nyai...?" Tanya Panji
sambil memandangi wajah wanita itu lekat-lekat.
Sumirah sama sekali tidak berusaha mengelak
dari tatapan pemuda itu. Bahkan, dia balas meman-
dangi sambil tersenyum lembut. Dirayapinya wajah
Panji tanpa rasa jengah sedikit pun.
"Panji, apakah kau mencintai wanita itu...? Dia
kekasihmu, bukan...?" Tanya Sumirah seolah-olah
tidak mendengar pertanyaan pemuda berjubah putih
itu. Sambil bertanya demikian, sepasang mata ter-
hunjam tepat di bola mata Pendekar Naga Putih.
"Benar, Nyai. Wanita itu memang kekasihku. Dan,
aku sangat mencintainya. Hhh..., sayang aku tidak
bisa munyelamatkannya dari keganasan alam. Entah
bagaimana nasibnya...? Mudah-mudahan saja dia
selamat," desah Panji penuh harap.
"Kenanga pasti seorang gadis cantik dan lembut.
Ah..., andai saja dia ada di sini, bersamamu. Ingin
aku berkenalan dengannya...," gumam Sumirah,
seolah-olah berkata kepada diri sendiri.
"Ya, dia memang sangat cantik, Nyai. Dia tidak
banyak menuntut dan selalu bersikap mengalah.
Padahal, kalau dia mau, tentu bisa hidup bersama
seorang pangeran yang kaya. Tapi ternyata dia me-
milihku, yang hanya seorang petualang miskin ini.
Hal itulah yang membuatku semakin menyayangi
dan mencintainya," desah Panji sambil menghem-
buskan napas penuh sesal.
"Mengapa kalian naik kapal layar? Apakah kalian
sengaja hendak pergi pesiar?"
"Kebetulan waktu itu kami melewati sebuah per-
kampungan nelayan. Kenanga mungkin tertarik
ketika melihat perahu besar sedang merapat di
dermaga. Lalu ia mengajakku untuk ikut berlayar
dengan kapal itu. Selanjutnya, yah..., seperti yang
baru kuceritakan tadi, Nyai."
"Jadi, kalian sama sekali tidak mempunyai tuju-
an?" Tanya Sumirah tak mengerti.
Wanita berwajah manis itu memang belum me-
ngenal siapa sebenarnya Panji. Andaikan pemuda ini
menceritakan tentang dirinya yang sesungguhnya.
Sumirah pun tak akan mengetahuinya. Karena ia
memang bukan orang persilatan.
"Ya..., seperti perjalanan yang selama ini kami
lakukan, selalu tanpa tujuan. Aneh bukan? Tapi, itu
kami lakukan semata-mata ingin mengetahui hal-hal
yang baru. Karena kami berdua memang merupakan
orang-orang yang menyukai petualangan. Dan, ke-
pergian kami mengikuti kapal layar itu pun didorong
rasa ingin bertualang," sahut Panji tersnyum ketika
melihat wajah Sumirah memancarkan rasa heran.
Pembicaraan mereka tiba-tiba terputus ketika
mendengar suara terbatuk-batuk yang cukup keras
dari luar rumah. Tidak lama kemudian, nampak
sesosok tubuh kurus melangkah memasuki ruangan
itu.
"Hm.... Kau sudah sehat, Anak Muda...?" tegur
lelaki kurus berusia sekitar enam puluh tahun itu.
Nada suaranya terdengar agak dingin. "Kalau sudah
sehat pergilah! Dan tanggalkan pulau ini. Kau bisa
menyewa seorang nelayan untuk menyeberang ke
daratan terdekat."
"Ayah...! Mengapa Ayah berkata demikian? Kese-
hatan Panji belum begitu pulih. Ayah, la masih
memerlukan istirahat beberapa hari lagi, supaya
tenaganya yang terkuras itu dapat kembali seperti
sediakala. Berilah dia kesempatan untuk beristi-
rahat, Ayah,” ujar Sumirah yang segera beranjak
bangkit menghampiri ayahnya.
Dengan raut wajah yang diliputi rasa heran dan
tidak percaya, wanita itu memandangi wajah ayah-
nya penuh selidik. Hati kecilnya bertanya-tanya
ketika melihat sinar kecemasan membayang di wajah
lelaki tua itu. Dan, pikirannya segera menghubung-
kan kecemasan orang tua itu dengan peristiwa yang
baru saja dialaminya.
"Kau lihat sendiri, Sumirah. Wajah pemuda itu
telah nampak segar dan berseri. Dan, itu menanda-
kan bahwa ia telah sehat. Bukankah begitu, Anak
Muda?" Ujar Ki Rungga mengalihkan pandangannya
kepada Panji.
"Benar, Ki. Kesehatanku memang sudah pulih.
Aku sangat berterima kasih sekali atas kesediaan Aki
yang telah bersusah-payah menolongku. Maaf, andai-
kan kehadiranku telah mengganggu ketenteraman
rumah ini," sahut Panji tersenyum sambil membung-
kukkan tubuhnya dengan sikap sopan dan hormat.
"Tidak! Kau tidak boleh pergi, Panji! Kau masih
belum tahu keadaan pulau ini. Selain itu, di mana
kau akan bermalam jika hari gelap?" cegah Sumirah
yang segera menghadang langkah Panji di ambang
pintu. Jelas, wanita itu tidak menginginkan keeper-
gian pemuda yang telah mendatangkan kegembiraan
di hatinya.
Kl Rungga terpaku melihat sikap putrinya itu. Dia
Kini tahu perasaan yang terkandung di dalam hati
Sumirah. Sebab perasaan orang tua itu sama de-
ngan yang dikhawatirkan putrinya. Namun, semua
perasaan itu dipendamnya. Karena ada beberapa hal
yang membuat Ki Rungga terpaksa menekan pera-
saannya.
"Sumirah. Sadarkah kau akan sikapmu itu? Dan
tahukah kau kalau kehadiran pemuda ini bisa mem-
buat hidup kita susah?" ucap Ki Rungga dengan ta-
jam dan kening berkerut. Jelas, orang tua itu sudah
dapat meraba apa yang bakal menimpa keluarga jika
Panji tetap berada di rumah itu.
"Apakah mereka...?" Sumirah menggantung kata-
katanya karena ucapannya dipotong oleh ayahnya.
"Ya..., dan tidak lama lagi Karpala dan kawan-
kawannya akan datang kemari. Mereka menghen-
daki Panji!" ungkap Ki Rungga sambil mengalihkan
panda-ngannya ke arah Panji. "Anak muda, katakan
dengan jujur. Apakah kau suka kalau aku dan
Sumirah mendapat kesusahan?"
"Sudah tentu tidak, Ki. Apalagi kalian telah
menolongku. Kalau saja ada sesuatu yang dapat aku
perbuat untuk membalas budi kalian, meskipun
dengan taruhan nyawa, tetap akan kulakukan,"
sambung Panji yang semakin merasa tidak enak
karena kehadirannya telah mendatangkan rasa tidak
tenang di hati Ki Rungga.
"Nah, kalau kau memang ingin menolong kami,
tinggalkan rumah ini. Atau, lebih baik lagi, kau ting-
galkan Pulau Mimpi ini. Kau bisa menyewa seorang
nelayan yang dapat mengantarkanmu ke seberang.
Turutilah nasihatku kalau kau ingin selamat," tegas
Ki Kungga yang segera mengalihkan pandangannya
ke luar jendela. Sepertinya lelaki tua itu tidak
sanggup lagi menentang sinar mata Panji yang tajam
seperti mata pedang itu.
"Baiklah, kalau itu yang Aki inginkan. Aku
permisi, Ki, Sumirah. Maaf jika aku telah membuat
kalian susah," pamit Panji yang segera melangkah
ketika wanita berwajah manis itu memberi jalan
kepada pemuda itu.
"Hati-hatilah, Panji...," ucap Sumirah dengan
suara serak. Tentu saja hati wanita itu merasa berat
untuk melepas kepergian Panji.
Tanpa menoleh lagi, Panji mengayunkan langkah-
nya menuju tepian pantai. Meskipun ada rasa pena-
saran dalam hatinya, namun perasaan itu berusaha
ditekannya. Karena ia tidak menginginkan ke-
hadirannya membuat kebahagiaan dan ketenangan
hidup orang lain terganggu.
***
Panji yang telah cukup jauh meninggalkan rumah
KI Rungga menolehkan kepalanya ketika mendengar
suara bentakan keras. Keningnya berkerut melihat
belasan orang lelaki tengah berkerumun didepan
rumah yang baru saja ditinggalkannya.
Terdorong rasa ingin tahu, pemuda itu melang-
kah mendekati rumah Ki Rungga. Dari balik bilik
rumah seorang penduduk, Panji mengintai belasan
orang itu.
"Aaauw...! Lepaskan! Jahanam kalian..., pergi...!”
terdengar suara jeritan seorang wanita dari dalam
rumah Ki Rungga.
Sejenak Panji tertegun ketika mendengar jeritan
Sumirah. Dengan mengabaikan permintaan Ki Rung-
ga, tubuh pemuda itu langsung melesat laksana anak
panah lepas dari busur.
Dalam sekejap saja, Panji telah berdiri tegak di
belakang belasan lelaki bertampang kasar itu. Lang
sung saja ia menerobos masuk ketika jeritan Su-
mirah kembali terdengar.
Darah pemuda berjubah putih itu mendidih ketika
melihat tubuh Ki Rungga terkapar di tanah. Darah
segar tampak mengucur deras dari bagian tubuh
yang terluka.
"Jahanam...!" desis kemarahan terlontar dari bibir
pemuda itu. Sepasang matanya menatap tajam ke
arah empat orang lelaki yang juga tengah meman-
danginya.
Tatapan sepasang mata Pendekar Naga Putih yang
laksana kilatan mata pedang itu, membuat keempat
lelaki kasar itu tersentak mundur beberapa langkah.
Ketegangan jelas terbayang di wajah mereka!
"Sssi... siapa kau? Apa..., apa yang kau cari di
sini...?" Tanya salah seorang yang memlliki goresan
luka di pipi kirinya. Ucapan yang terbata-bata,
menandakan kalau hatinya tergetar dengan sikap
dan tatapan iwmuda berjubah putih itu.
"Hm...."
Panji yang sudah merasa geram melihat keadaan
Ki Rungga, menggeram gusar. Tanpa menjawab se-
patah kata pun, pemuda itu langsung mengibaskan
tangannya ke arah empat orang lelaki kasar yang
telah menyiksa orang tua itu.
Wuuut!
"Aaah...!"
Hebat sekali akibat kibasan tangan Pendekar Naga
Putih. Meskipun terlihat bergerak perlahan, tapi
keempat orang lelaki kasar itu menjerit ngeri. Tubuh
mereka langsung terjungkal dan menjebol dinding
papan yang memang sudah rapuh.
Tanpa mempedulikan korbannya, Panji langsung
melesat ke kamar Sumirah. Kaget bukan kepalang
hatinya ketika menyaksikan putri Ki Rungga itu
merintih dan tak berdaya dibekap lelaki bertampang
kasar.
Wanita lembut berwajah manis itu tampak me-
ronta-ronta, berusaha melepaskan bekapan Karpala
dan lima orang pengikutnya. Sementara seorang
lelaki uumuk berkepala botak, dengan napas men-
dengus berusaha menggagahi wanita itu.
"lblisss...!"
Dibarengi suara mendesis yang meluncur dari sela
bibirnya, tubuh Panji langsung melayang ke arah dua
orang lelaki yang tengah memegangi kaki Sumirah.
Sekali tangannya dikibaskan, tubuh kedua orang
melambung hingga menjebol atap rumah!
Tindakan Pendekar Naga Putih tidak berhenti
sampai di situ saja. Dua orang lelaki yang tengah
memegangi lengan Sumirah langsung disambarnya.
Salah seorang dari mereka yang ternyata Karpala,
mencoba mengelak sambaran tangan pemuda itu.
Namun, tak urung tangannya terkena cengkeraman
Panji.
"Aaa...!"
Kedua orang itu berteriak ngeri ketika Panji
menyentakkan kedua tangannya dengan pengerahan
tenaga dalam. Sesaat kemudian, kedua tubuh lelaki
itu meluncur deras. Dan....
Brolll...!
Kembali terdengar suara hiruk-pikuk ketika tubuh
mereka menjebol atap rumah. Tubuh keduanya lang-
sung menggelepar ketika terbanting ke tanah. Sama
dengan yang lainnya, kedua orang itu pun langsung
pingsan.
"Apa...? Siapa...?"
Lelaki gemuk berkepala botak yang nafsunya ham-
pir terlampiaskan itu, tergagap ketika melihat tubuh
kawan-kawannya terjungkal dan menjebol dinding
dan atap rumah. Rasa kagetnya berubah menjadi
marah ketika dilihatnya sosok pemuda tampan
berjubah putih berdiri di hadapannya.
"Binatang...!" geram Panji sambil mengirimkan
pukulan menggeledek ke arah dada lelaki gemuk ber-
kepala botak itu.
Wuuut...!
Lelaki berkepala botak itu rupanya cukup gesit!
Pukulan keras tangan kanan Pendekar Naga Putin
berhasil dielakkan dengan melompat ke atas.
Panji sama sekali tidak merasa heran melihat tam-
parannya luput. Sebab, dari semula sudah dike-
tahuinya kalau lelaki berkepala botak itu memang
cukup berisi. Maka, ketika pukulannya tak mengenai
sasaran, pemuda itu bergegas mengirimkan pukulan
berantai.
Bent! Bettr! Bettt!
Terkejut bukan main hati lelaki berkepala botak
itu melihat serangan yang dilontarkan lawannya. Se-
hingga, ia sibuk mengelakkan tiga buah pukulan
yang mengancam tubuhnya.
Bukkk!
"Aaakh..!"
Lelaki berkepala botak itu menjerit ketika pukulan
keras yang meluncur ke arah dadanya tidak dapat
dielakkan. Tubuhnya terjengkang dan menjebol din-
ding kamar hingga terguling ke luar rumah.
"Panji....!" panggil Sumirah segera berlari memeluk
tubuh pemuda tampan itu. "Untunglah kau cepat
datang, Panji Mereka..., mereka...."
Sumirah tidak sanggup melanjutkan kata-katanya
karena saat itu juga tangisnya telah meledak.
Panji yang selama hidupnya belum pemah mera-
sakan kasih sayang dari seorang kakak, menggerak-
kan tangannya dan membelai rambut Sumirah yang
hitam dan ikal. Ada keharuan yang menyelinap di
dalam hati pemuda tampan itu ketika melihat
pakaian Sumirah yang robek.
"Sudahlah, Sumirah. Sebaiknya kita segera
melihat keadaan ayahmu. Kau..., kau tidak apa-apa,
bukan...?" Tanya Panji sambil mengangkat wajah
wanita itu dari dadanya. Ditatapnya sepasang mata
yang basah itu dengan hati berdebar.
Sumirah yang mengerti ke mana arah pertanyaan
Panji, menggeleng lemah. Untuk meyakinkan hati
pemuda itu, ia tersenyum, tanpa menyadari kalau
saat itu wajahnya masih basah oleh air mata.
Mau tak mau Panji pun tersenyum melihatnya.
Perlahan tangan pemuda itu terulur. Dihapusnya air
mata yang masih menempel di wajah wanita itu
dengan jemari tangannya. Setelah itu, dituntunnya
Sumirah untuk melihat keadaan Ki Rungga.
"Ayaaah...!"
Sumirah terpekik ketika melihat tubuh ayahnya
tergeletak pingsan dan berlumuran darah di sudut
ruangan depan. Diguncang-guncangnya tubuh Ki
Rungga tumbil memanggil-manggil nama orang tua
itu.
Panji yang menangkap kegalauan hati wanita itu,
bergegas mendekatinya. Disentuhnya bahu Sumirah
dan diremasnya dengan perlahan.
"Ayahmu tidak apa-apa, Sumirah. la hanya ping-
san," jelas Panji yang segera mengangkat tubuh
orang tua itu, dan membaringkannya di atas balai-
balai bambu.
"Ohhh...," Sumirah menghela napas lega setelah
mendengar keterangan Panji. Ia pun bergegas bangkit
dan mengikuti langkah pemuda itu.
"Kau tunggulah sebentar. Aku hendak melihat
orang-orang kasar itu," ujar Panji Dan sebelum
Sumirah sempat menjawab, tubuh pemuda itu telah
lenyap di balik pintu.
Tak lama kemudian, Panji sudah kembali lagi.
Pemuda itu tidak menemukan seorang pun didepan
sana. Rupanya para penjahat itu jera merasakan
kehebatan Pendekar Naga Putih.
"Bagaimana, Panji..?" Tegur wanita itu ketika
melihat pemuda itu masuk ke dalam rumah.
"Syukurlah mereka sudah pergi. Mudah-mudahan
saja kejadian ini tidak terulang lagi," ucap Panji ber-
harap.
Sumirah tidak menanggapi ucapan pemuda itu.
Karena pikiran dan hatinya masih diliputi perasaan
khawatir melihat keadaan ayahnya. Lagi pula, ia
tengah sibuk membersihkan darah yang melekat di
wajah Ki Rungga.
***
TIGA
"Heya...! Heya...!"
Terdengar teriakan parau yang diselingi lecutan
cambuk seperti mencabik-cabik udara.
Seorang lelaki berwajah brewok, memacu kudanya
bagaikan orang dikejar setan. Suara teriakan yang
parau dan berat, meningkahi derap kaki kuda yang
bergemuruh.
Puluhan penunggang kuda yang berada di bela-
kangnya, rata-rata bertampang kasar dan bengis.
Menilik wajah mereka yang kecoklatan, jelas kalau
orang-orangg itu selalu terpanggang sinar matahari.
Lelaki brewok yang usianya sekitar empat puluh
tahun itu, terus memacu cepat kudanya memasuki
Desa Pari. Tubuhnya melayang turun ketika tiba
didepan sebuah pondok kayu yang nampak sudah
reyot dan tua.
Tindakan lelaki brewok itu diikuti puluhan orang
lainnya. Mereka langsung berlompatan turun dan
bergerak menyebar. Dan dalam waktu singkat, pon-
dok itu telah terkepung rapat dan ketat. Sehingga tak
mungkin orang dapat lolos dari kurungan itu.
Dengan langkah lebar dan sorot mata bengis,
lelaki brewok bertubuh kekar itu menghampiri pintu
pondok. Dan, sekali menggerakkan kaki, pintu
pondok itu langsung hancur berkeping-keping!
"Bangsat tua Ki Rungga! Keluar kau! Cepat serah-
kan pemuda keparat itu!" bentak lelaki brewok itu
setelah berada di ruang tengah pondok milik Ki
Rungga.
Wajah kemerahan itu tampak berubah gelap
ketika tidak seorang pun dijumpainya di dalam
pondok.
"Setan! Awas kau, Ki Rungga! Jika aku berhasil
menemukanmu, akan kucincang tubuhmu...," geram
lelaki brewok itu sambil mengepalkan kedua telapak
tangannya, sehingga terdengar bunyi berkerotokan
nyaring. Jelas, kalau ia tengah dilanda rasa marah
yang hebat.
"Bakar rumah celaka ini...!" perintah lelaki brewok
itu kepada para pengikutnya.
Tanpa menunggu perintah dua kali, para pengikut
lelaki brewok itu segera melemparkan obor yang
memang sudah dipersiapkan. Seketika itu juga, api
langsung berkobar melahap pondok milik Ki Rungga
yang terbuat dari kayu itu. Terdengar suara berkero-
tokan ketika satu persatu kayu penyangga pondok
itu patah termakan api yang kian membesar.
"Kumpulkan semua penduduk Desa Pari ini! Aku
ingin tahu, apakah mereka telah bersekongkol
dengan tua bangka yang tidak tahu diuntung itu!"
Kembali lelaki brewok itu berteriak lantang.
Tanpa diperintah dua kali, separuh dari para
pengikutnya segera menghambur dan mendatangi
rumah-rumah penduduk Desa Pari.
Tak lama kemudian, sekitar lima puluh orang
penduduk perkampungan nelayan itu telah berkum-
pul di sebuah tanah lapang berpasir yang cukup
luas. Wajah-wajah mereka tampak tertunduk pucat.
"Hm... Kemari kau, Orang Tua...," panggil lelaki
brewok itu sambil menunjuk seorang lelaki berusia
sekitar enam puluh tahun.
Walaupun wajah lelaki brewok itu agak pucat, tapi
terpancar jelas dari sinar matanya sikap yang tegas
dan berwibawa. Pertanda ia bukanlah orang samba-
rangan.
Dengan hati yang galau, lelaki tua berjenggot
putih ini melangkah mendekati lelaki brewok yang
memang-gilnya. Sepasang matanya menarap tajam
ke arah wajah lelaki brewok yang hanya berjarak
satu tindak di depannya.
"Bangsat! Berani kau berlaku tidak sopan ter-
hadap Algojo Pantai!" Bentak lelaki brewok itu sambil
melecutkan cambuk di tangannya dengan kecepatan
Maut.
Ctarrr! Ctarrr...!
"Akh...!"
Lelaki tua itu menjerit kesakitan ketika pecut di
tangan lelaki brewok menghantam tubuhnya berkali-
kali. Akibatnya, tubuh orang tua itu jatuh terguling-
guling Tampak guratan-guratan merah di beberapa
bagian tubuhnya meneteskan darah. Sedangkan
pakaian yang dikenakannya terlihat sobek dan
berdarah.
Sadar akan Bndakannya, orang rua itu bergerak
bangkit tanpa berniat untuk melawan. Kemudian
merangkak mendekati lelaki brewok yang mengaku
berjuluk Algojo Pantai.
"Hm.... Bagus..., bagus...! Rupanya otakmu masih
dapat berpikir jernih," ujar Algojo Pantai tersenyum
dengan nada mengejek dan jumawa.
Sementara itu, para pengikut Algojo Pantai. Ter-
tawa terpingkal-pingkal. Hati mereka geli menyaksi-
kah kelakuan lelaki tua itu yang merangkak seperti
anjing.
"Sekarang jawab pertanyaanku! Ingat! Sebab jawa-
ban yang tidak menyenangkan, akan membuatmu
rugi!" ancam Algojo Pantai tersenyum licik.
"Baik.., baik...," sahut lelaki tua itu seraya meng-
angguk-anggukkan kepala tanpa berani membantah.
"Tunjukkan di mana Ki Rungga sekarang bera-
da...?" Tanya Algojo Pantai sambil mempermainkan
cambuk di tangannya.
"Maaf, aku..., aku betul-betul tidak tahu...," jawab
orang tua itu dengan wajah menegang.
"Bangsat..!" bentak Algojo Pantai sambil menga-
yunkan cambuknya beberapa kali ke tubuh orang
tua malang itu
Ledakan cambuk terdengar berkali-kali, ditingkahi
suara jerit kesakitan yang menyayat. Tubuh orang
tua itu berkelojotan, dan darah meleleh dari luka-
luka di beberapa bagian tubuhnya.
Namun, percikan-percikan darah dan jerit orang
tua itu sama sekali tidak dipedulikan Algojo Pantai.
Bahkan, semua itu semakin membuatnya kerasukan
seperti orang gila. Sehingga, lecutan cambuknya
semakin sering dan kian keras.
"Cepat katakan! Di mana Ki Rungga dan pemuda
itu bersembunyi? Atau cambuk ini akan terus meren-
cah tubuhmu sampai tewas!" Bentak Algojo Pantai
dengan suara menggelegar.
"Aku..., aku Bdak tahu, Tuan...," rintih lelaki tua
itu di antara ledakan cambuk yang mendera di
sekujur tubuhnya. Sehingga pakaian yang dikena-
kannya robek di sana-sini. Bahkan, sekujur tubuh-
nya sudah dilumuri darah yang terus mengucur
setiap cambuk itu melecut lubuhnya.
"Coba kau maju ke depan, Nenek Peot...!" seru
Algojo Pantai sambil menudingkan telunjuknya ke
arah Morang wanita berusia sekitar enam puluh
tahun. Jelas, ia berniat menyiksa wanita tua itu
untuk memperoleh keterangan tentang Ki Rungga
dan pemuda berjubah putih.
Gemetar sekujur tubuh wanita tua itu ketika
melihat jari Algojo Pantai menuding ke arahnya.
Merasa ngeri dengan suara ledakan cambuk yang dl
nmang-amangkan ke tubuhnya, nenek itu pun mena-
ngis ketakutan.
"Tuan, apa salah kami...? Mengapa perbuatan Ki
Rungga, Tuan timpakan kepada kami? Kalau saja
ada salah seorang penduduk yang mengetahuinya,
tentu akan dilaporkan sekarang juga. Tapi, percaya-
lah Tuan. Kami semua memang benar-benar tidak
tahu, ujar seorang lelaki gemuk bermuka hitam yang
tidak tega melihat wanita tua itu akan disiksa.
Sehingga, Ia memberanikan diri mengungkapkan
rasa penasaran di hatinya.
"Hm..., begitu? Jadi, kau tidak mengetahui di
mana Ki Rungga dan pemuda asing itu bersembunyi.
Kalau begitu, semua penduduk Desa Pari ini akan
kusiksa sampai mati!" geram Algojo Pantai sambil
memutar cambuknya di atas kepala.
Wuuut...
Ctarrr...!
Ujung cambuk Algojo Pantai meluncur dan lang-
sung melecut tubuh gemuk lelaki bermuka hitam itu
berkali-kali. Terdengar jerit kesakitan yang menyayat
hati ketika ujung cambuk itu terus menghantam
korbannya yang terpaksa bergulingan di atas tanah.
Lecutan cambuk yang berpuluh kali mendera
lelaki bermuka hitam itu, membuat pakaiannya
robek di sana-sini. Sedangkan tubuh korban akibat
lecutan cambuk itu telah mengeluarkan darah segar,
yang jugn menodai ujung cambuk. Sungguh malang
dan betapa tersiksanya nelayan gemuk berwajah
hitam itu.
Algojo Pantai menghenbkan lecutan cambuknya
setelah melihat korbannya tidak bergerak lagi. Rupa-
nya nelayan gemuk berwajah hitam itu jatuh pingsan
karena tak sanggup lagi menahan rasa sakit yang
dideritanya.
"Hayo, kalian kuberi waktu untuk berpikir. Jika
kuhitung sampai sepuluh masih belum juga ada yang
membuka mulut, jangan katakan aku kejam jika
kalian mengalami nasib yang serupa dengan orang
ini!" uncam Algojo Pantai dengan wajah yang sema-
kin bertambah bengis. Sambil berkata demikian, kaki
kanannya menginjak tubuh nelayan berwajah hitam
yang hngeletak pingsan.
"Satu.... Dua.... Tiga...," sambil menghitung
dengan pelan, Algojo Pantai melangkahkan kakinya
mengitari para nelayan. Diamatinya satu persatu
wajah nelayan yang pucat dan gemetar itu.
Bukan main geramnya hati Algojo Pantai ketika
hitungan sampai ke delapan, belum tertihat seorang
pun yang mengeluarkan suara untuk menjawab per-
tanyaannya.
"Sembilan...," kembali terdengar suara Algojo
Pantai melanjutkan hitungannya dengan wajah yang
semakin gelap. Giginya tampak bergemeletuk keras
karena para nelayan itu masih juga belum ada yang
mengeluarkan suara.
"Sepu...."
"Tunggu...!" terdengar seruan nyaring yang me-
motong hitungan lelaki brewok itu.
Suara teriakan yang nyaring dan menimbulkan
pengaruh getaran dalam dada itu, membuat semua
orang yang berada di tempat itu memalingkan wajah-
nya ke satu arah.
* * *
Para penduduk Desa Pari, termasuk Algojo Pantai
dan kawan-kawannya, menjadi terkejut ketika me-
lihat sosok berjubah putih tengah melangkah tegap
mendatangi tempat itu.
Hembusan angin laut yang cukup keras, membuat
rambut lelaki berjubah putih yang panjang itu ter-
sibak ke belakang. Sehingga tampaklah wajah se-
orang lelaki muda yang tampan dan penuh ketena-
ngan.
Pemuda tampan berjubah putih itu tak lain adalah
Panji. Langkahnya dihentikan dalam jarak satu tom
bak di hadapan pemimpin orang-orang kasar itu.
Meskipun wajah tampan itu tetap menampilkan
senyum tenang, namun sepasang matanya menatap
tajam ke arah Algojo Pantai. Sehingga membuat lelaki
brewok itu melangkah mundur tanpa sadar.
Pendekar Naga Putih mengedarkan pandangan
berkeliling. Wajahnya sama sekali tidak menunjuk-
kan kegentaran. Meskipun dirinya telah dikepung
oleh dua puluh orang berwajah kasar dengan senjata
tertuju kepadanya.
"Ha ha ha...! Kau benar-benar berhati macan,
Uncnh. Baguslah kalau kau datang sendiri untuk
menyerahkan diri. Jadi, kami tidak perlu menyiksa
penduduk desa ini, dan bersusah-payah mencarimu,"
ujar Algojo Pantai lantang. Sehingga suaranya terde-
ngar oleh semua orang yang hadir di tanah lapang
yang luas itu.
"Hm.... Sayang dugaanmu keliru, Kisanak Keda-
tanganku kemari, bukanlah untuk menyerahkan diri
kepada manusia kejam seperti kau. Sebaliknya,
malah aku ingin mengusirmu dengan cara halus
maupun kasar. Dan kuharap, kalian tidak usah
datang meng-ganggu Desa Pari ini lagi," sahut Panji
sambil tersenyum lebar.
"Kau ingin melawan Banjai si Algojo Pantai...?
Benar-benar mengagumkan sekali!" ucap lelaki
brewok itu tertawa pelan.
"Tentu saja. Bukan hanya kau dan pengikutmu,
Algojo Pantai. Tapi, siapa pun yang melakukan tinda-
kan sewenang-wenang di depanku, akan kucegah.
Kalau perlu kuberi sedikit pelajaran agar tidak lagi
mengulangi perbuatannya. Apalagi kedatanganku ke
Pulau Mimpi yang terpencil ini tidak kurencanakan.
Ini, dikarenakan aku terdampar. Lalu, ditemukan
dan dirawat Ki Rungga. Apakah keberadaanku di
tempat ini merupakan satu kesalahan besar,
sehingga kalian bersikeras hendak menangkapku?
Coba kau katakan, Algojo Pantai! Kesalahan apa yang
telah kuperbuat hingga kalian mengejar-ngejarku?"
Tanya Panji penasaran atas kejadian-kejadian yang
dialami-nya di Pulau Mimpi ini.
"Tentu saja kesalahanmu sangat besar, Ketahui-
lah, Pulau Mimpi tidak memperkenankan orang asing
menginjakkan kakinya di daerah. Apabila hal itu
terjadi, maka hukuman matilah yang harus diterima.
Karena ada keistimewaan untukmu maka kau hanya
diusir dari pulau ini. Tapi, sayang keputusan itu te-
lah kucabut Karena kau telah mencelakakan kawan-
kawan kami beberapa hari lalu. Jadi keputusan itu
sudah berubah. Jika kau sampai tertangkap, bukan
hanya diusir. Tapi, kematianlah jalan terbaik yang
kau miliki. Karena itu lebih baik menyerah. Dengan
begitu, kami tidak perlu repot-repot lagi untuk mem-
bekukmu secara paksa, Kisanak," Algojo Pantai sam-
bil melangkah maju tiga tindak, semakin mendekati
tempat Pendekar Naga putih berada.
"Hm.... Tidak perlu berpura-pura, Algojo Pantai.
Semua kejadian di Pulau Mimpi ini sudah kuketahui
dari Ki Rungga. Bukankah Sepasang Manusia Sesat
yang telah menyuruhmu untuk menangkap atau
membunuh setiap orang asing yang menginjakkan
kakinya ke pulau ini? Hm.... Sayang kali ini tugasmu
tidak mudah untuk kau laksanakan!" ujar Panji
dengan nada menantang.
"Keparat! Kau rupanya benar-benar sudah hidup!
Anak-anak, bunuh pemuda itu! Penggal batang leher-
nya...!" perintah Algojo Pantai dengan suara meng-
gelegar karena amarah yang menggelegak dalam
dada.
Panji hanya memperdengarkan gumaman tak
jelas. Ditatapnya puluhan lelaki kasar yang mulai
bergerak maju dan mengepungnya. Sedikit pun
Pendekar Naga Putih tidak bergeser dari tempatnya
berdiri. Pemuda itu tetap tegak dengan tatapan mata
mencorong tajam.
"Heaaa...!"
Diiringi teriakan membahana, puluhan pengepung
itu langsung menerjang Panji dengan sambaran dan
tusukan senjatanya. Kilatan-kilatan cahaya senjata
yang terpantul akibat terpaan sinar matahari, bagai-
kan tangan-tangan maut yang siap merenggut nyawa
pemuda berjubah putih itu.
Wuuut! Wuuuk!
Dua buah tusukan ujung tombak yang mengarah
ke Iambung dan dadanya, dielakkan Panji dengan
memiringkan sedikit tubuhnya. Berbarengan dengan
itu, kedua tangannya bergerak menangkap senjata
lawan, dan langsung menariknya kuat-kuat!
Bukkk! Desss!
Tubuh kedua lawannya, langsung terpental dan
nmbruk tanpa dapat bangkit lagi. Keduanya terge-
letak pingsan akibat hantaman tangan Panji yang
berisi tenaga dalam yang amat kuat.
Kembali terdengar jerit kesakitan ketika sepasang
kepalan Pendekar Naga Putih menyambar-nyambar
cepat. Sebentar saja, enam orang lawannya terjun
mencium tanah, tanpa mampu bangkit lagi.
Melihat kejadian yang tidak disangka-sangka para
pengepung lainnya langsung bergerak mundur
dengan wajah pucat. Jelas, gebrakan-gebrakan yang
dilontarkan pemuda berjubah putih itu sangat me-
ngejutkan pengeroyoknya. Sehingga, untuk beberapa
saat lama-nya, gerombolan lelaki kasar itu hanya
dapat menatap dalam jarak tiga tombak. Dan, tak
seorang yang berani menyerang pemuda itu.
"Keparat! Mengapa kalian menjadi penakut, Hah!
Hayo, serbu pemuda setan itu! Pancing dia agar
meng-hambur-hamburkan tenaganya. Setelah itu,
baru penggal lehernya untuk persembahan Ketua
Agung...!” perintah si Algojo Pantai kepada para
pengikutnya untuk kembali menyerang pemuda
berjubah putih.
Sedangkan Algojo Pantai sendiri tidak diam.
Dicabutnya sebilah golok besar yang tergantung di
pinggangnya. Terdengar suara mengaung ketika
lelaki brewok itu memutar senjatanya den kecepatan
yang mengagumkan.
"Yeaaa...!"
Sambil berseru keras, tubuh gemuk itu dengan
disertai ayunan golok besarnya yang menyeramkan.
Wuuut..!
"Hm...," gumam Panji ketika menghindari sam-
baran golok besar Algojo Pantai yang bernama asli
Bajal itu.
Pendekar Naga Putih terus melangkah mundur
untuk melihat sejauh mana kehebatan ilmu golok
yang memang terlihat aneh dan asing baginya.
Gerakan-gerakan ilmu silat yang dimainkan lelaki
brewok itu, terlihat seperti gerakan orang mabuk.
Dan, Panji sempat dibuatnya kagum. Sebab, meski-
pun gerakan lawannya agak aneh dan janggal,
ternyata sangat membingungkan dan berbahaya.
Sehingga, beberapa kali ujung golok besar itu nyaris
mencium tubuh Pendekar Naga Putih.
Sambil menghindari sambaran golok lawan, Panji
mempelajari ilmu golok yang masih asing itu. Setelah
kelemahannya diketahui, barulah Panji melancarkan
serangan balasan. Dalam waktu singkat saja, Algojo
Pantai dibuat tidak berdaya.
"Setan...!" umpat lelaki gemuk berwajah brewok ini
jengkel.
Algojo Pantai hampir tidak percaya kalau pemuda
asing yang semula dianggapnya remeh itu, ternyata
mampu membuatnya tidak berkutik. Padahal, semua
kepandaian yang dimilikinya telah dikeluarkan untuk
meringkus pemuda berjubah putih itu.
"Hahhh...!"
Algojo Pantai membentak keras untuk menghi-
langkan pengaruh hawa dingln yang terasa mem-
bekukan Jalan darahnya. Namun, meskipun ber-
usaha sekuat tenaga untuk melawan hawa dingin
yang menggigit itu, tetap saja tubuhnya menggigil
seperti orang diserang demam.
Hanya dalam dua puluh lima jurus, Panji telah
membuat lawannya kalang-kabut. Sebuah hantaman
telapak tangannya yang berisi 'Tenaga Sakti Gerhana
Bulan', meluncur deras ke arah dada lawannya.
"Hugkh...!"
Bagaikan layang-layang putus, tubuh Algojo Pan-
tai terlempar deras hingga dua tombak jauhnya.
Darah segar mengucur dari mulutnya. Sedangkan
hawa dingin yang merasuk ke dalam tubuhnya,
membuat lelaki gemuk itu menggigil hebat. Tak
berapa lama kemudian, tubuh lelaki kejam itu
mengejang kaku. Mati.
Melihat pemimpinnya tewas, tiga belas lelaki kasar
yang sejak tadi hanya menonton saja, serentak meng-
hambur dan melompat keatas punggung kuda
masing-masing. Kemudian, mereka langsung mema-
cu binatang itu tanpa menoleh lagi.
"Husyaaa.... Husyaaa...!"
Beberapa orang penduduk yang merasa jengkel
dengan gerombolan itu, berteriak-teriak menakut-
nakuti. Sehingga para pengikut Algojo Pantai yang
tersisa itu melarikan kudanya semakin kencang.
"Mengapa mereka tidak dibunuh saja, Kisana Aku
khawatir mereka akan kembali dalam jumlah yang
lebih besar, disertai pemimpin-pemimpin mereka
yang sakti...," ujar salah seorang penduduk Desa
Pari, sambil menatap Panji dengan pandangan mata
yang tidaak puas atas sikap pemuda itu.
"Tidak perlu, Paman. Dan, aku yakin mereka pasti
tidak akan kembali lagi ke sini. Sebab, aku sendiri
yang akan pergi mengunjungi markas mereka," sahut
Panji yang saat itu tengah mengobati beberapa
korban akibat lecutan cambuk Algojo Pantai.
Selesai mengobati orang-orang yang tertimpa ke-
malangan itu, Panji pamit meninggalkan tempat itu.
Sebelum pergi, pemuda itu terlebih dahulu menya-
darkan anak buah Algojo Pantai yang telah dibuatnya
pingsan. Sesudah melepaskan orang-orang itu pergi,
Panji melesat meninggalkan para penduduk Desa
Pari itu. Luar biasa! Orang-orang desa itu takjub dan
hanya mampu menatap sosok bayangan putih
dengan penuh kekaguman. Setelah sosok pemuda
berjubah putih itu lenyap, mereka bergerak pulang
ke rumah dengan suara riuh menceritakan sepak
terjang Pendekar Naga Putih.
***
EMPAT
Wajah Panji tampak sungguh-sungguh menden-
dengar cerita Ki Rungga. Kemudian pemuda berjubah
putih itu tersenyum dengan mata bersinar cerah se-
telah mengetahui letak bangunan dan tempat kedia-
man majikan Pulau Mimpi itu. Dia pun pamit dengan
orang tua yang telah menolongnya. Kemudian tubuh-
nya melesat cepat, sehingga hanya tampak seperti
bayan-bayang samar yang hampir tidak tertangkap
biasa.
Setelah cukup lama berlari, pemuda itu memper-
lambat gerakannya. Lalu langkahnya berhenti sama
sekali ketika tiba di mulut sebuah hutan lebat.
Ditelusurinya hutan itu dengan langkah perlahan.
"Hm.... Menurut keterangan Ki Rungga, letak ba-
ngunan majikan pulau ini berada di luar Hutan
Dandara dan mengarah ke Selatan. Sayang, orang itu
tidak begitu jelas mengatakan jumlah pengikut
Sepasang Manusia Sesat, yang telah merebut pulau
ini dari orang yang berhak," gumam Panji sambil me-
langkah memasuki hutan.
Ketika melangkah di dalam hutan, tiba-tiba
telinganya menangkap suara denting senjata dan
teriakan-teriakan orang bertempur. Sehingga, untuk
beberapa saat lamanya, pemuda itu menghentikan
langkah kakinya. Kemudian kepalanya ditelengkan
ke asal suara.
"Hm.... Sepertinya suara pertempuran itu berasal
dari sebelah Timur hutan ini...," gumam Panji menge-
rutkan keningnya, sambil menduga-duga siapa gera-
ngan yang tengah bertarung di dalam Hutan Dandara
itu.
Sekali menjejakkan kakinya ke tanah, tubuh Pen-
dekar Naga Putih melesat cepat hingga beberapa
batang tombak jauhnya. Kemudian terus berlari de-
ngan mengerahkan ilmu meringankan tubuh, agar
secepat mungkin tiba ke tempat pertempuran yang
diduganya itu.
Sesaat kemudian, Pendekar Naga Putih tiba di
sebuah tempat yang beberapa tombak di depannya
terdapat lapangan berumput yang cukup luas. Di
situ disaksikannya pertempuran tak seimbang yang
tengah berlangsung.
Sambil mengendap-endap, Panji bergerak maju
dan mendekati arena pertempuran itu. Dari balik
semak-semak yang cukup tersembunyi, Panji meng-
awasi jalannya pertempuran itu dengan jelas.
Sepasang mata Pendekar Naga Putih terus berge-
rak mengikuti pertempuran yang berlangsung tidak
adil itu. Keningnya berkerut ketika mengetahui,
pihak yang terdesak itu adalah seorang gadis muda
yang sangat cantik. Sedangkan lawannya yang
berjumlah lima orang lelaki itu, tampak semakin
menguasai pertempuran.
Meskipun demikian, Pendekar Naga Putih tidak
segera membantu gadis cantik yang tengah terjepit
itu. Lantaran ia ingin mengetahui secara jelas
masalah yang membuat kedua belah pihak bertikai.
Panji tidak ingin bertindak keliru. Sebab salah-salah
bertindak bisa-bisa la membelah pihjak yang justru
seharusnya tidak dibela.
Tapi, Panji tidak tega membiarkan gadis cantik itu
menjadi bulan-bulanan pengeroyoknya. Sehingga,
ketika ia melihat gadis itu kembali terancam oleh
pukulan salah seorang lawannya, pemuda itu segera
melesat keluar dari tempat persembunyiannya.
"Tahan...!"
Sambil berseru keras, Pendekar Naga Putih lang-
sung memapaki pukulan yang mengancam dada
gadis cantik itu. Dan....
Plakkk!
"Aaah...!"
Orang yang pukulannya terpapak oleh telapak
tangan Panji, berteriak kaget Tubuhnya terlempar ke
belakang hingga satu setengah tombak jauhnya. Dan,
terbanting ke atas tanah berumput dengan suara
ber-debuk nyaring.
"Uhhh..., gila! Siapa manusia usil yang berani
memapak pukulanku...," rintih lelaki berkumis lebat
itu sambil mencoba bangkit berdlri. Namun, tubuh-
nya kembali terjatuh. Karena dadanya terasa sesak
dan tangannya seperti lumpuh akibat tangkisan Pen-
dekar Naga Putih.
Datangnya sosok yang di sekeliling tubuhnya
memancarkan sinar putih keperakan itu, membuat
empat orang lelaki lainnya segera berlompatan mun-
dur. Sehingga, pertempuran itu terhenti dengan sen-
dirinya.
Sedangkan wanita cantik bertubuh langsing dan
padat itu, jelas merasa gembira dengan kehadiran
sosok berselimut lapisan kabut keperakan itu. Tanpa
rasa canggung sedikit pun, kakinya dilangkahkan
menghampiri Panji. Seulas senyum manis tersung-
ging di bibirnya.
"Kuucapkan beribu terima kasih atas pertolongan-
mu, Kisanak. Kalau saja kau tidak keburu datang,
mungkin aku tidak dapat menikmati indahnya mata-
hari esok," ucap gadis cantik itu sambil membung-
kukkan badannya dengan penuh hormat.
"Tidak perlu sungkan-sungkan, Nyai. Apa yang
kulakukan ini, sudah menjadi kewajibanku," sahut
Panji seraya membalas penghormatan wanita cantik
itu.
Wanita itu tersenyum sambil menyeka cairan
merah yang mengalir di sudut bibirnya dengan pung-
gung tangan.
"Kau terluka, Nyai...?" Tanya Panji, cemas.
"Ah, tidak terlalu mengkhawatirkan. Lagi pula
lukanya sudah tidak terasa lagi...," jawab wanita can-
tik itu tersenyum malu, ketika disadarinya pemuda
tampan itu menatap wajahnya penuh perhatian.
Panji mengerti akan kekeliruannya, segera dangan
matanya diarahkan ke arah lima orang lelaki yang
telah berdiri tegak menatap keduanya. Sorot mata
mereka yang beringas, jelas mencerminkan kemara-
han yang hebat.
"Siapakah kau, Kisanak? Mengapa mencampuri
urusan kami?" tegur salah seorang dari lima lelaki itu
dengan suara mengandung ancaman.
"Maaf. Aku terpaksa, karena tidak tahan melihat
ketidakadilan yang berlangsurig di hadapanku. Sebe-
tulnya sebagai laki-laki, kalian harus malu menge-
royok seorang gadis muda," ujar Panji dengan suara
tenang, namun terdengar agak menyakitkan bagi
kelima orang itu.
"Huhhh! Kau tahu apa?! Wanita cantik ini sangat
berbahaya bagi kami. Sehingga, kalau tidak dibunuh,
kamilah yang akan celaka di tangannya. Oleh karena
itu, sebaiknya kau menyingkirlah! Biar gadis ini kami
yang mengurusnya!" tjmpal lelaki berwajah kehi-
taman. Dari sikapnya, dapat diketahui kalau dirinya
adalah pimpinan dari kelima lelaki itu.
"Hm.... Kalau boleh kutahu, apa yang telah dilaku-
kan gadis ini kepada kalian...?" Tanya Panji yan ingin
mengetahui persoalannya dari kelima orang bertam-
pang bengis itu.
Kemudian, Panji mengalihkan perhatiannya kepa-
da gadis cantik yang berdiri di sebelah kanannya.
Melihat raut wajahnya yang lembut dan tampak tak
berdosa, rasanya tidak mungkin kalau gadis itu telah
melakukan kejahatan. Apalagi sifat dan suaranya
yang lembut. Jelas, tak terkesan sama sekali kalau
gadis itu sudah melakukan tindakan yang keji.
Karena itu, Penndekar Naga Putih yakin telah mem-
bela pihak yang benar.
"Sudahlah, Kakang. Mengapa kita harus meladeni
ocehan pemuda usilan itu. Lebih baik bereskan saja,
sebab kalau diberi hati mereka akan semakin ber-
tindak kurang ajar kepada kita," geram lelaki ber-
kumis lebat, lanpa sedikit pun melepaskan tatapan-
nya ke wajah Panji. Jelas, ia masih mendendam
terhadap apa yang telah dilakukan pemuda berjubah
putih itu terhadap dirinya.
Sejenak orang tertua dari kelima lelaki itu terdiam.
Sepertinya usul lelaki berkumis lebat itu sedang
dipertimbangkannya.
"Hmh...."
Sesaat kemudian, lelaki kekar berwajah kehitaman
itu mengeluarkan suara geraman, sambil menggerak-
kan kedua tangannya sebagai perintah untuk me-
ngurung Panji dan gadis itu. Sedangkan ia sendiri
sudah bergerak maju dengan senjata di tangan.
Melihat sikap kelima lelaki berwajah bengis itu,
Panji sadar kalau pertarungan tidak mungkin dapat
dihindari lagi. Maka, dengan langkah tenang, pe-
muda berjubah putih itu maju beberapa tindak. Pen-
dekar Naga Putih telah siap menghadapi keinginan
kelima orang lelaki itu. Sedangkan gadis cantik di
sebelahnya dimintanya untuk menyingkir.
***
"Hm.... Rupanya kau memang hendak membela
putri Ki Raga Baya! Baiklah kalau begitu! Jangan me-
nyesal kalau kau akan tewas di tangan kami...!"
geram lelaki kekar berwajah kehitaman itu sambil
menggerakkan pedang yang berada di tangan
kanannya seca menyilang.
Wuuut! Wuuut..!
Terdengar sambaran angin pedang mengaum
tajam yang diiringi kilatan sinar kehijauan.
"Heaaat..!"
Bersamaan dengan teriakan nyaring lelaki kekar
itu, tubuhnya segera melesat disertai kibasan pe-
dangnya. Sehingga menimbulkan deruan angin yang
mendesing nyaring.
Sementara, keempat kawannya ikut pula bergerak
melingkari Pendekar Naga Putih. Dan, Panji kini
dikurung dari lima arah.
Menyadari kepandaian kelima orang pengeroyok
itu tidak bisa dipandang ringan, Panji tidak sungkan-
sungkan lagi membalas serangan lawan-lawannya.
Dan dalam sekejap saja, mereka telah terlibat dalam
sebuah pertarungan yang sengit.
Bettt! Bettt! Bettt!
Panji menggeser kakinya dengan gerakan yang ce-
pat dan mantap. Sambaran pedang salah seorang
lawannya yang datang bertubi-tubi, dielakkannya
tanpa mengalami kesulitan. Kemudian disusul
dengan lompatan ke kiri, guna menghindari tusukan
pedang lawan yang mengancam lambungnya.
"Heaaah...!"
Sambil membentak keras, Pendekar Naga Putih
melesat ke belakang dengan gerakan berputar. Se-
kaligus dilepaskannya sebuah tendangan berputar
yang mengancam kepala lawan di belakangnya.
Karuan saja lawan yang menjadi sasaran tendang-
an Pendekar Naga Putih merasa terkejut setengah
mati. Karena serangan yang dilancarkan pemuda
berjubah putih itu benar-benar mendadak dan sama
sekali tidak diduganya. Apalagi saat itu posisi Panji
memang tidak memungkinkan untuk melakukan ten-
dangan berputar. Wajar kalau lawannya menjadi
terkesima sesaat.
Meskipun dengan gerakan yang terlihat gugup,
lelaki berwajah pucat yang menjadi sasaran serangan
Pendekar Naga Putih, segera mengangkat tangan kiri,
sambil mengerahkan segenap kekuatan tenaga
dalamnya.
Plakkk!
"Uhhh...!"
Upaya menghindari diri dari tendangan Panji
memang terlihat berhasil. Tapi, karena kekuatan
tenaganya jauh di bawah kekuatan lawan, maka
tubuh orang itu pun terjungkal karena tak sanggup
menahan kekuatan tendangan itu.
Panji yang semula berniat melanjutkan serangan-
nya, bergegas menarik tubuhnya dan didoyongkan ke
belakang. Sebab, pada saat itu, serangan lain telah
datang mengancamnya. Dan, begitu senjata lawan
dari sebelah kanan lewat sejengkal didepan tubuh-
nya, langsung Panji melontarkan hantaman tebpak
tangannya dengan menyilangkan kakl kiri. Sehingga,
tubuhnya doyong ke samping mengikuti serangan-
nya. Dan...
"Hugkh...!"
Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh orang itu ter-
jengkang akibat hantaman tebpak tangan Panji yang
menghajar telak tulang iganya. Darah segar langsung
keluar dari mulutnya. Karena hantaman telapak
tangan pemuda itu mengandung kekuatan 'Tenaga
Sakti Gerhana Bulan' yang memang sangat dahsyat.
Bagaikan sehelai kain basah, tubuh lelaki itu
ambruk dan tak bergerak lagi.
Tewasnya sabh seorang dari pengeroyok itu mem-
buat yang lainnya berlompatan mundur. Mereka
berkumpul dalam jarak dua tombak dari tempat Panji berdiri. Terlihat keempat orang itu saling bertukar
pandang. Seolah-olah mereka tengah merundingkan
sesuatu.
Sesaat kemudian, keempat orang itu saling meng-
angguk perlahan. Kemudian, seperti diberi aba-aba,
keempat lelaki berwajah bengis itu berlompatan ke-
semak-semak Dan mereka langsung lenyap dari pan-
dangan Pendekar Naga Putih.
Sedangkan Panji sendiri yang merasa tidak mem-
punyai urusan dengan keempat orang itu, tetap saja
tidak bergerak dari tempatnya berdiri. Sedikit pun
tidak terlintas dalam benaknya untuk melakukan
pengejaran terhadap orang-orang itu. Setelah keem-
pat orang laki-laki kasar itu lenyap, Panji segera
membalikkan langkahnya dan melangkah mendekati
gadis cantik yang saat Itu tengah menatapnya
dengan pandangan mata penuh kagum.
"Wah! Kepandaianmu sangat hebat, Kakang! Kalau
saja mereka tidak melarikan diri, mungkin tidak
sampai sepuluh jurus lagi nyawanya melayang ter-
sambar pukulanmu yang hebat itu," ucap gadis
cantik itu seraya menatap lekat-lekat ke wajah Panji
dengan rasa kagum. Sepertinya wanita itu memang
tidak berusaha menyembunyikan perasaannya.
"Kau keliru, Nyai. Untunglah mereka melarikan
diri dan tidak melanjutkan pertempuran. Kalau
tidak, mungkin aku akan mengalami kesulitan
menghadapi gempuran-gempuran mereka yang tidak
bisa dipandang remeh itu," kilah Panji merendah.
"Ah! Kau terlalu merendahkan kepandaianmu Ka-
kang.... Mmm..., bolehkah kutahu namamu, Kakang?
Dan, darimanakah kau berasal? Sebab, kalau men-
dengar logat bicaramu, jelas kau bukanlah pendu-
duk pulau ini," ujar gadis cantik itu, sambil tetap
menatap wajah Panji lekat-lekat.
"Namaku Panji. Dan datang dari sebuah daratan
yang tidak bisa kupastikah dari tempat ini. Dan
kedatanganku ke pulau ini sama sekali tanpa
sengaja. Jelasnya, aku terdampar dan diselamatkan
oleh se-orang penduduk Desa Pari yang baik hati.
Dan siapakah kau, Nyai? Mengapa pula mereka
sangat memusuhimu?" Tanya Panji sambil melang-
kah dan duduk di atas sebuah batu besar yang
terletak di bawah sebatang pohon.
"Hhh... Akan memakan waktu lama kalau kuce-
ritakan seluruhnya. Singkatnya, aku bernama Rara
Ningrum, putri Ki Raga Baya yang menjadi majikan
Pulau Mimpi ini. Malam tadi, aku berusaha mencari
tempat ayahku ditawan. Sayang, mereka sempat me-
mergoki dan mengejarku hingga ke Hutan Dandara
ini. Ahhh..., aku memang tidak berguna. Kasihan
sekali ayah...," desah gadis cantik yang mengaku ber-
nama Rata Ningrum itu seraya menundukkan wajah-
nya yang berubah gelap. Terdengar isak lirih yang
tertahan Tampaknya wanita itu tak ingin suara
tangisnya terdengar oleh Panji.
"Tabahkan hatimu, Ningrum. Jangan cepat ber-
kecil hati. Aku akan berusaha membantumu, sejauh
aku mampu. Mudah-mudahan saja, bantuanku yang
mungkin tidak banyak berguna, dapat menyelamat-
kan ayahmu yang kini ditawan Sepasang Manusia
Sesat. Mm. Dan, tentu saja kalau kau sudi menerima
bantuanku," ujar Panji yang tersentuh hatinya ketika
melihat raut kesedihan yang membayang di wajah
gadis cantik itu.
"Dari mana Kakang mengetahui tentang manusia-
manusia laknat yang merebut pulau ini? Dan, apa
lagikah yang Kakang ketahui?" Tanya Rara Ningrum
membelalakkan sepasang matanya saat mendengar
ucapan Panji.
Tanpa sadar, Rara Ningrum mencekal lengan pe-
muda berjubah putih itu erat-erat. Terkejut bukan
kepalang hati wanita itu ketika mengetahui kalau
Panji telah memahami tentang orang-orang yang
menguasai Pulau Mimpi saat ini.
"Tidak banyak yang kuketahui dari Ki Rungga
yang telah menyelamatkanku itu, Ningrum. Dengan
kesaktiannya, Sepasang Manusia Sesat itu telah
merebut pulau ini dari tangan ayahmu. Dan, sedikit
kuketahui tentang keluargamu dan letak bangunan
bekas kediaman ayahmu dulu," jawab Panji sambil
melepas panndangannya ke arah cakrawala luas.
"Ibu dan kakak laki-lakiku telah dibunuh Sepa-
sang Manusia Sesat itu, hanya untuk memaksa ayah
agar memberitahukan tempat penyimpanan harta
pusaka leluhur kami. Sedangkan aku sendiri berhasil
melarikan diri saat Sepasang Manusia Sesat itu
membasmi pengawal-pengawal ayahku. Ah..., aku
sangat berterima kasih sekali kalau kau sudi mem-
bantuku Kakang. Melihat dari kepandaianmu saat
menghadapi Lima Setan Hitam itu, aku merasa yakin
ayah dapat diselamatkan. Sebab, kelima lelaki bengis
itu merupakan pembantu-pembantu utama Sepasang
Manusia Sesat. Dan, kepandaian mereka sangat ting-
gi. Nah, kalau mereka saja dapat Kakang pecundangi
kurang dari lima puluh jurus. Maka, aku yakin kalau
Kakang mampu menghadapi manusia-manusia lak-
nat, yang telah membunuh ibu dan kakakku. Aku...,
aku sangat berterima kasih sekali kalau Kakang
memang sudi membantuku," luapan rasa gembira
Rara Ningrum tidak hanya terucap di mulut saja.
Bahkan, sebagai ungkapan rasa gembiranya itu,
tubuhnya langsung di jatuhkan ke dalam pelukan
Panji. Sehingga, pemuda itu mau tak mau menjadi
jengah dibuatnya.
Panji yang semula berniat melepaskan pelukan
gadis itu, tak tega hatanya ketika merasakan sema-
kin eratnya kedua lengan Rara Ningrum melekat di
tubuhnya. Meskipun dengan wajah kemerahan, Pen-
dekar Naga Putih terpaksa mendiamkan perbuatan
gadis itu untuk beberapa saat lamanya.
"Ningrum..., untuk dapat membebaskan ayahmu,
terlebih dahulu kita harus mengetahui berapa ba-
nyak kekuatan yang dimiliki Sepasang Manusia Sesat
itu. Dan, yang penting lagi, kita harus mengetahui
secara tepat di mana tempat ayahmu ditahan. Sebab,
dengan begitu akan memudahkan kita membebaskan
ayahmu," ujar Panji, mengemukakan pendapatnya.
Seiring dengan penjelasannya, secara perlahan
Panji melepaskan pelukan Rara Ningrum. Didorong-
nya tubuh padat yang hangat itu dengan gerakan
halus lekali. Sehingga, Rara Ningrum sendiri tidak
begitu memperhatikannya. Karena pikirannya ter-
curah kepada apa yang diucapkan pemuda itu.
"Kau benar, Kakang. Ah, betapa bodohnya aku se-
lama ini. Sebab, aku sama sekali belum mengetahui
tempat ayah ditawan. Hhh, untunglah sampai saat
ini aku masih dilindungi Tuhan. Entah bagaimana
nasibku kalau sampai bisa ditawan mereka," gumam
Rara Ningrum dengan wajah sendu.
Teringat akan nasib ayahnya, gadis cantik itu
kembali terisak sedih. Sepertinya ia merasa putus
asa ketika mendengar ucapan Panji. Dan, memang ia
tidak lahu tempat ayahnya ditahan Sepasang Manu-
sia Sesat ilu.
"Sudahlah, Ningrum. Meskipun kau belum menge-
tahuinya, bukan berarti kita tidak bisa menyelamat-
kan ayahmu. Bukankah untuk mendapatkan kete-
rangan itu tidak terlalu sulit? Kita bisa meringkus
salah seorang pengikut Sepasang Manusia Sesat itu,
dan memaksanya bicara. Hentikanlah tangismu,
Ningrum. Marilah kita berpikir tenang," bujuk Panji
sambil mengusap lembut bahu Rara Ningrum. De-
ngan maksud agar dapat memberikan kekuatan
kepada gadis itu.
"Kau..., kau tidak tahu, Kakang. Sepasang Manu-
sia Sesat itu sangat kejam. Bahkan, para pengikut-
nya sendiri sangat takut kepada pemimpinnya. Ku-
rasa sangat sulit sekali untuk mengorek keterangan
dari mereka...," sahut Rara Ningrum sambil men-
jatuhkan wajahnya di dada Panji. Tangisnya kembali
meledak dan terdengar begitu memilukan.
Pendekar Naga Putih sadar, jiwa gadis yang me-
meluk tubuhnya itu tengah terguncang oleh pukul-
an-pukulan batin yang diterimanya. Karena itu, Panji
tidak menolak ketika Rara Ningrum menyandarkan
kepala di dadanya seraya memeluk erat tubuhnya.
Hati pemuda itu semakin iba ketika merasakan dada-
nya hangat oleh air mata gadis cantik itu. Sehingga
perasaan itu mendorongnya untuk membelai rambut
Rara Ningrum dengan perlahan.
"Biar bagaimanapun, kita tidak boleh berputus
asa, Ningrum. Dan, aku akan berusaha mencari jalan
untuk menolong ayahmu...," bisik Panji halus dan
membujuk.
Namun, pemuda berjubah putih itu menjadi bi-
ngung ketika usai mengucapkan kata-kata itu. Ter-
nyata tangis Rara Ningrum bukannya berhenti, tapi
malah semakin kuat dan memilukan.
Dengan helaan napas panjang, Panji melepaskan
pardangannya ke arah cakrawala dari menatap
Lputih kapas yang terbawa hembusan angin.
* * *
LIMA
Angin berhembus begitu kencang di tengah malam
yang pekat ini. Hal itu bisa terlihat dari daun-daun
yang bergemerisik, bahkan banyak yang berguguran
ke tanah. Dan, samar-samar terlihat tiak-titik air
hujan mulai berjatuhan. Tampak langit pun semakin
kelam dengan awan-awan hitam yang bergumpal
membentuk seperti kain hitam yang membentang.
Dalam suasana seperti itu, dua sosok tubuh
terlihat bergerak tanpa merasa terganggu sedikit pun
dengan malam yang pekat itu. Bahkan, sepertinya
suasana malam yang menyeramkah dan udara yang
dingin, membuat kedua sosok tubuh itu lebih leluasa
bergerak, tanpa merasa khawatir dengan bunyi ber-
derak ribut yang ditimbulkan pepohonan di sekitar-
nya.
Meskipun kegelapan menghadang perjalanan me-
reka, namun keduanya tetap dapat bergerak lebih ce-
pat dari manusia-manusla umumnya. Andaikan ada
orang yang melihat gerakan kedua sosok tubuh itu,
tentu akan menduga kalau mereka adalah makhluk
halus yang sedang bergentayangan.
Tidak lama kemudian, kedua sosok bayangan itu
tiba di sebuah gedung besar yang tampak megah dan
kokoh. Sekilas gedung megah itu terlihat seperti
sebuah istana kerajaan yang megah dan indah.
Sosok pertama yang bentuk tubuhnya lebih kecil,
menggerakkan tangannya memberi isyarat agar ka-
wannya segera mengikuti. Kemudian, tanpa berkata
sepatah pun, sosok bayangan kedua yang berjubah
putih bergerak mengikuti.
Rupanya sosok pertama yang mengenakan pa-
kaian serba hitam itu menuntun kawannya ke bagian
belakang gedung. Lantaran tempat itu gelap dan sepi,
sehingga tidak akan terlihat oleh seorang penjaga
pun. Dan tanpa ragu-ragu lagi, keduanya segera
melayang dan mendarat sejenak di atas dinding
tembok yang mengeliling bangunan megah itu.
Setelah mengawasi keadaan sekelilingnya, kedua
nosok bayangan itu pun melayang turun secara ber-
samaan. Begitu rhenjejakkan kakinya di halaman
dalam belakang gedung itu, keduanya tetap tidak
bergerak dalam posisi merunduk. Sebab, saat itu
terlihat beberapa orang penjaga melintas melakukan
perondaan. sehingga, mereka harus menunggu sem-
bilan peronda itu lewat.
Setelah para peronda itu berlalu, kedua sosok
bayangan itu segera melesat dan merapatkan tubuh-
nya pada dinding yang agak gelap, sehingga dapat
menyembunyikan tubuh mereka dari penglihatan
para penjaga.
"Ningrum..., ingat pesanku! Jangan bertindak du-
lu. Kedatangan kita kali ini hanya untuk menyelidiki
keadaan. Turuti saja kata-kataku, kalau kau tidak
ingin tertangkap. Sebab, bukan mustahil di dalam
gedung dan sekUar halaman ini, mereka menempat-
kan penjaga demi keamanan gedung. Ingat! Mereka
adalah tokoh-tokoh sesat berpengalaman. Dan, bu-
kan tidak mungkin kalau mereka mempunyai musuh
lain, selain kita berdua," bisik sosok bayangan
berjubah putih itu sambil menyentuh lembut bahu
sosok di sampingnya yang bernama Ningrum.
Sedangkan sosok berjubah putih itu tak lain adalah
Panji.
Terdengar helaan napas lega Pendekar Naga Putih
ketika melihat kepala gadis cantik itu mengangguk.
Meskipun dalam hati tidak menyetujui sepenuhnya,
gadis itu berusaha untuk menghormati Panji dengan
mematuhi ucapannya.
Tanpa mengalami kesulitan sedikit pun, kedua
sosok bayangan itu terus mengitari dan memeriksa
seluruh bangunan gedung itu. Gagal menemukan
apa yang dicarinya, mereka bergegas kembali me-
ninggalkan gedung megah itu, dan terus melompat
melewati tembok pembatas. Kemudian, mereka
meng-hilang di balik kegelapan malam.
"Jangan berputus asa, Ningrum. Biarpun kita be-
lum mengetahui di mana ayahmu ditahan, tapi aku
tetap akan berusaha menemukannya," hibur Panji
sebelum mereka meninggalkan gedung megah itu.
"Terima kasih, Kakang...," ujar Rara Ningrum, per-
lahan.
Kedua tubuh itu melesat cepat melintasi pepo-
honan yang rimbun. Meskipun udara malam dingin
menusuk tulang, tak menghalangi gerakan mereka.
Panji dan Rara Ningrum bergerak cepat dengan piki-
ran masing-masing.
* * *
Panji meneguk minuman yang berada di atas meja
depannya. Pandangan matanya sesekali melirik ke
wajah gadis cantik yang tengah termenung di hada-
pannya. Perlahan, diturunkannya gelas bambunya.
Dan dengan hati-hati, diletakkannya gelas itu di atas
meja. Seolah-olah pemuda itu tidak ingin menggang-
gu lamunan gadis itu.
"Ahhh..., bukan main segarnya tuak yang kau
hidangkan ini, Ningrum. Dari mana kau memperoleh-
nya...?" Tanya Panji tersenyum sambil menatap tajam
wajah cantik yang tengah termenung itu.
Seperti orang baru tersadar dari alam lamunan-
nya, Rara Ningrum tersentak. Lalu, menarik wajah-
nya dengan helaan napas yang panjang. Dengan
sepasang matanya yang bening itu, dibalasnya
tatapan Pendekar Naga Putih dengan penuh selidik.
"Tuak itu adalah minuman kegemaran ayahku,
Kakang. Sedangkan gubuk ini adalah tempat kami
beristirahat setelah berburu. Dan, ayah sengaja me-
nyimpan beberapa guci di tempat ini. Kalau kau
menyukainya, aku bisa mengambil seguci lagi,” sahut
Rara Ningrum dengan suaranya yang terdengai se-
perti desahan halus.
"Hm.... Sebenarnya aku tidak begitu suka
terhadap minuman ini. Tapi, karena rasa tuak ini
benar benar enak, tentu saja aku ingin meneguknya
sampai puas. Itu pun kalau kau tidak keberatan...,"
ujar Panji seraya kembali meneguk sisa tuaknya.
Terdengar suara berdecap yang keluar dari bibir
pemuda itu, sambil menurunkan gelas bambunya
perlahan.
Ningrum yang tadi masuk ke dalam untuk meng-
ambil tuak, kembali sambil menenteng sebuah guci
sambil tersenyum. Namun, senyum manis yang lem-
but di bibir gadis cantik itu berubah sinis ketika
melihat kepala Panji bergoyang-goyang dengan kelo-
pak mata mengerjap-ngerjap.
"Hugkh...!"
Mendadak tubuh Panji tersentak ke belakang
bersama kursi yang didudukinya. Terdengar suara
napasnya yang berat.
"Kau..., kau.... Tuak ini mengandung racun ja-
hat…!" desis Panji terbatuk-batuk hebat.
Sambil memegangi perut dan leher, Panji mencoba
bergerak bangkit. Tampak wajahnya memerah. Entah
pengaruh racun yang dibubuhkan Rara Ningrum,
atau karena pemuda itu terlalu banyak menenggak
tuak. Sehingga tubuhnya oleng, dan Panji terlihat
sangat tersiksa sekali dengan keadaan itu.
"Hi hi hi..! Ternyata orang yang sangat tersohor di
daratan besar, sangat mudah dikelabui. Seharusnya,
julukanmu bukan Pendekar Naga Putih, Panji. Nama
Pendekar Bodoh rasanya lebih patut untukmu," ejek
Rara Ningrum seraya tertawa menunjukkan sifatnya
yang asli. Bahkan, suaranya yang lembut itu terasa
menyembunyikan sifat yang kejam dan mengerikan.
Panji yang berdiri dengan tubuh oleng, menatap
Kara Ningrum setengah tidak percaya. Sulit di-
bayangan, di balik kelembutan wajah dan sikap gadis
itu ternyata menyimpan kekejaman dan kelicikan.
Kalau pemuda itu tidak mengalaminya sendiri,
mungkin Panji tidak akan mudah percaya begitu
saja. Sebab, bagaimana mungkin seorang gadis lem-
but seperti yang kini berada di hadapannya ini dapat
memainkan sandiwara yang sangat sempurna. Ja-
ngankan orang lain, ia sendiri yang selalu bertindak
waspada dan penuh perhitungan dalam menghadapi
seseorang, ternyata masih dapat dikelabui oleh wa-
nita cantik itu. Benar-benar sukar untuk dimengerti.
"Ningrum.... Siapakah kau sebenarnya...? Menga-
pa..., mengapa kau demikian tega menipuku? Apa
yang sebenarnya yang kau inginkan dariku...?" ucap
Panji terbata-bata.
Sepasang mata Pendekar Naga Putih yang biasa-
nya tajam mencorong itu, kini tampak meredup dan
beberapa kali mengerjap lelah.
Sementara Rara Ningrum masih tetap memperde-
ngarkan tawanya yang merdu dan kegenitan. Dengan
langkah gemutai, gadis itu menghampiri Panji. Se-
pertinya ia benar-benar yakin terhadap keampuhan
racun yang dicampurkannya ke dalam minuman
Panji. Karena itu, ia tidak merasa khawatir sama se-
kali kalau pemuda itu akan mengamuk dan mencelakakannya.
"Hi hi hi.... Kau tebaklah sendiri, Pendekar Naga
Putih. Apakah kau tidak bisa menduga siapa diriku
sebenarnya...? Hm..., temyata kau tidak secerdik dan
sepandai dugaanku..." dengus Rara Ningrum sambil
mendorong tubuh Panji dengan telapak tangannya.
Dorongan yang kelihatannya hanya perlahan dan
asal saja itu, ternyata akibatnya tidak sederhana.
Sebab, tubuh Panji yang terdorong telapak tangan
halus itu, terpental menabrak dinding kayu di
belakangnya hingga jebol! Dapat dibayangkan,
betapa hebatnya tenaga dalam yang tersembunyi
dalam telapak tangan wanita cantik itu.
"Hugkh...!"
Panji mengerang kesakitan sambil tetap meme-
gangi perutnya. Wajah pemuda itu tampak semakin
merah menahankan rasa sakit yang dideritanya.
Bahkan, sepasang matanya yang jernih itu telah
berwarna merah bagaikan bola api.
Sambil memperdengarkan erangan lirih, Panji me-
rangkak bangkit dengan susah payah. Namun,
gerakan pemuda itu terhenti ketika ia merasakan
beban berat yang menindih punggungnya. Perlahan,
Pendekar Naga Putih mencoba menengadahkan ke-
palanya untuk melihat benda apa yang telah mene-
kan punggungnya sedemikian berat.
Sepasang mata pendekar muda itu semakin mem-
beliak ketika melihat sebuah kaki kokoh didepan
wajahnya. Dengan setengah memaksa, Panji terus
mengangkat kepalanya untuk melihat wajah si pemi-
lik kaki itu, selain ingin mengetahui apa yang dilaku-
kan orang itu sehingga membuatnya tak mampu
bangkit.
"Ha ha ha...! Tak kusangka sedemikian mudah-
nya menundukkan pendekar yang konon ditakuti di
daratan besar. Hm.... Sayang aku tidak sempat
meng-undang tokoh-tokoh persilatan untuk menyaksikan kematianmu yang menyedihkan ini, Pendekar
Naga Putih. Tapi biar bagaimanapun, aku tetap
merasa puas dengan hasil kerja istriku yang cantik
dan pandai itu. Ha ha ha...!" ucap lelaki tinggi besar
yang menekan lubuh Panji, sambil tertawa terbahak-
bahak.
Lelaki tinggi besar berusia sekitar empat puluh
tahun yang meletakkan kaki kanannya di atas pung-
gung Panji itu memandang wajah tak berdaya di ba-
wahnya dengan bengis.
"Kau..., kau siapakah...? Mengapa kau melakukan
semua ini kepadaku...? Bukankah di antara kita
tidak ada permusuhan?" ujar Panji yang kembali
mengerang sambil menekan perutnya kuat-kuat.
Sepertinya pemuda itu merasakan sakit yang hebat
dalam perutnya.
"Baiklah, Pendekar Naga Putih. Agar kau tidak
mati penasaran, aku akan memberitahukan kepada-
mu. Lihatlah baik-baik, orang yang saat ini berada di
hadapanmu adalah Sepasang Manusia Sesat. Dan,
nama itu telah kau ketahui dari seorang nelayan tua.
Dan, orang yang kau kenal sebagai Rara Ningrum itu,
sesungguhnya adalah istriku. la dijuluki sebagai Iblis
Cantik Berwajah Malaikat. Sedangkan aku sendiri
dikenal berjuluk Raja iblis Pantai Timur. Kami ber-
dua adalah Sepasang Manusia Sesat, yang suatu
saat akan menguasai dunia persilatan! Ha ha ha...!"
tutur Raja Iblis Pantai Timur sambil memperdengar-
kan suara tawanya yang parau.
'Tapi, mengapa kalian memusuhiku...?" desak
Panji seraya menyeringai menahan rasa sakit yang
dideritanya.
"Hm.... Ketahuilah, Pendekar Naga Putih. Saat ini
kami berdua tengah menghadapi suatu masalah
penting yang tidak boleh diganggu oleh siapa pun.
Itulah sebabnya mengapa aku memerintahkan untuk
membunuh orang asing yang mendarat di pulau ini.
Maka, ketika aku mendengar ada seorang pemuda
asing terdampar di dekat Desa Pari, langsung ku-
perintahkan orang-orangku untuk mencari dan mem-
bunuhmu," sahut Iblis Cantik Berwajah Malaikat
mengakhiri keterangannya dengan suara tawanya
yang berkepanjangan dan melengking tinggi.
"Ketika Karpala dan beberapa orang anak buahku
dapat kau pecundangi, kami segera mencari tahu
siapa sebenarnya pemuda asing yang terdampar itu.
Setelah kami mengetahui ciri-cirimu, tentu saja aku
dapat menebak dengan mudah bahwa pemuda yang
terdampar itu adalah Pendekar Naga Putih. Lalu,
kami atur rencana untuk menjebakmu. Temyata
tugas yang diakukan istriku dapat dijalankannya
dengan mudah. Ha ha ha...!" Lelaki tinggi besar yang
mengaku berjuluk Raja Iblis Pantai Timur itu tertawa
bergelak-gelak melihat wajah Panji yang menggam-
barkan rasa penasaran setelah mendengar ketera-
ngannya.
"Kalian..., benar-benar manusia sesat yang keji!"
maki Panji yang kembali menyeringai menahan rasa
sakit pada tubuhnya.
"Jangan khawatir, Panji. Racun yang kucampur
dalam minumanmu tidaklah mematikan. Hanya se-
dikit rasa sakit yang akan kau derita selama bebe-
rapa hari. Setelah itu, tubuhmu akan mengalami ke-
lumpuhan. Sehingga sulit bagimu untuk bertarung.
Sebab sedikit saja mengerahkan tenaga, kematianlah
yang akan kau terima. Ingat itu baik-baik!" ujar Iblis
Cantik Berwajah Malaikat seraya tersenyum manis.
"Mengapa kau tidak langsung membunuhku? Apa
lagi yang kau kehendaki dariku...?" teriak Panji
menekan kemarahan dalam dadanya.
Dada Pendekar Naga Putih bagai hendak pecah
ketika kemarahannya memuncak. Geram sekali hati
nya ketika teringat begitu mudahnya terperangkap
oleh Sepasang Manusia Sesat berhati keji itu.
"Hm.... Kami mempunyai rencana untuk itu. Kau
boleh lihat sendiri nanti.... Ha ha ha...," sahut Raja
Iblis Pantai Timur tanpa meninggalkan suara tawa-
nya yang khas.
"Aaakh...!"
Panji mengerang dan berguUngan ketika rasa ka-
ku dalam tubuhnya hampir tidak sanggup ditahan-
nya. Setelah meregang dengan urat-urat wajah ber-
sembulan, kepala pemuda itu terkulai dan tubuhnya
tidak bergerak-gerak lagi.
"Hm.... Dia pingsan, Kakang...," ucap Iblis Cantik
Berwajah Malaikat sambil mengerling ke arah lelaki
tinggi besar di sampingnya.
"Biar aku yang akan membawanya," sahut Raja
Iblis Pantai Timur sambil menyambar tubuh Panji,
dan meletakkan di bahu kanannya. Kemudian, istri-
nya diajak untuk meninggalkan tempat itu.
* * *
"Uhhh...!"
Terdengar keluhan lirih dari seorang pemuda, ber-
jubah putih yang tengah terbaring di atas tumpukan
jerami kering. Tampak tubuhnya menggeliat sebelum
kedua kelopak matanya terbuka dan mengerjap-nger-
jap.
"Ahhh…, dimanakah aku?" gumam pemuda ber-
jubah putih yang tak lain dari Panji itu, seraya
bergerak bangkit dan mengedarkan pandangannya
berkeliling.
Kening Pendekar Naga Putih berkerut dalam ke-
tika melihat sosok seorang gadis muda tengah duduk
di sudut tempat itu. Meskipun wajah itu terlihat de-
mikian lusuh dan lelah, tapi semua itu tidak mampu
menyembunyikan kecantikan wajahnya. Apalagi ke-
tika sepasang mata gadis itu mengerling ke arah Pan-
ji, hampir saja jantung pemuda itu copot dibuatnya.
"Kenanga...," desis Panji tanpa sadar.
Pendekar Naga Putih terkejut ketika melihat sepa-
sang mata bulat yang bening itu menatap ke arah-
nya. la kenal betul dengan sepasang mata itu. Sebab,
sepasang bola mata indah itu adalah milik kekasih-
nya, yang saat badai mengamuk, hilang dan belum
diketahui bagaimana nasibnya.
"Kau siapakah, Kisanak...? Dan, mengapa sampai
bisa ditawan manusia-manusia busuk itu? Atau kau
sengaja diutus mereka untuk membujukku dengan
kerampanan wajahmu itu? Huh! Percuma! Meskipun
wajahmu setampan malaikat aku tetap tidak akan
sudi membujuk ayahku untuk memberitahukan tem-
pat penyimpanan harta pusaka leluhur kami. Jangan
kau kira, aku tidak tahu rencana busuk yang telah
kalian atur. Jangan coba-coba mendekatiku! Sandi-
wara konyolmu tidak akan mampu melunakkan hati-
ku!" umpat wanita cantik itu dengan tekanan suara
yang kasar dan menyakitkan. Dan, sepasang mata
indah itu tampak menatap Panji dengan penuh ke-
bencian.
"Ahhh...."
Panji terionjak mundur bagaikan disengat kala
jengking. Wajah pemuda itu nampak pucat. Bahkan,
napasnya pun terasa berat seperti tersumbat.
Pendekar Naga Putih mengeluh dalam hati. Hati-
nya benar-benar ngeri sekali ketika melihat sinar
kebencian yang terpancar dalam sepasang mata
indah itu. Pemuda itu merasa seolah-olah Kenanga-
lah yang menatapnya dengan penuh kebencian.
Sehingga hati-nya terkejut dan berdebar-debar.
Panji benar-benar tidak habis mengerti, mengapa
sepasang mata gadis itu sama persis dengan mata
kekasihnya. Sebab, pandangan gadis itu membuat-
nya merasa seperti tengah berhadapan dengan Kena-
nga. Panji kenal betul dengan sepasang mata itu.
Andaikan wajah gadis itu tersembunyi di balik cadar,
dan hanya sepasang matanya yang tampak, tentu
pemuda itu akan menduga kalau gadis itu adalah
kekasihnya. Karena itu Pendekar Naga Putih hampir
tidak percaya dengan pengtihatannya sendiri.
Namun, keterkejutan Panji di mata gadis cantik
itu hanya dianggap sebagai kepura-puraan. Sehing-
ga, gadis itu semakin bertambah sinis saja menatap
wajah Panji.
"Huh! Jangan harap aku akan terpengaruh dengan
keterkejutanmu itu, Kisanak. Sudah kukatakan, per-
cuma segala macam sandiwara yang kau pertunjuk-
kan itu! Oleh karena itu, sebaiknya kau minta
kepada majikanmu untuk keluar dari kamarku ini!
Katakan kepadanya, bahwa sandiwara murahanmu
telah dapat kuketahui!" ujar gadis itu dengan suara
ketus dan galak.
Panji menarik napas panjang dan berulang-ulang
sambil menyenderkan tubuhnya ke dinding kamar.
Hal itu dilakukannya untuk menahan gejolak rasa
rindu terhadap Kenanga. Sepasang matanya dipejam-
kan untuk beberapa saat lamanya, Pemuda berwajah
tampan itu benar-benar tidak sanggup melihat sinar
mata wanita yang duduk di hadapannya ini. la
merasa terus-menerus diteror dengan tuduhan dan
sorot kebencian. Ngeri hati Panji seandainya Kena-
nga-lah yang melontarkan tuduhan dengan sorot
mata kebencian itu kepadanya.
Melihat tubuh pemuda berjubah putih itu melorot
jatuh dengan mata terpejam dan tubuh bersandar di
dinding, gadis cantik itu bungkam seketika. Namun,
sepasang matanya tetap mengawasi wajah Panji yang
masih memejamkan matanya rapat-rapat. Diam-diam
ada perasaan heran dalam wajah gadis itu ketika
melihat wajah di depannya tampak menderita sekali
akibat ucapan yang dilontarkannya secara kasar dan
tanpa perasaan itu.
"Apakah pemuda ini benar-benar menderita kare-
na kata-kataku? Dapatkah seseorang memainkan
sandiwara dengan sedemikian sempurnanya? Dan,
mengapa pandangan mata pemuda itu seperti me-
nyimpan kerinduan yang dalam ketika melihatku?
Kalau memang pemuda itu ditugaskan untuk mem-
bunuhku seperti yang sudah-sudah mereka lakukan,
mengapa tampaknya seperti sungguh-sungguh? Ah,
siapa tahu pemuda berjubah putih ini memang
seorang pemalu sandiwara yang pandai. Sehingga ia
sengaja dikirim untuk mengelabuiku?" desah hati
gadis cantik itu resah.
Suasana dalam kamar itu kini menjadi hening
Gadis cantik itu kembali termenung seperti yang
dilakukannya ketika Panji masih belum sadar dari
pingsannya. Dan, gadis itu tidak lagi menghiraukan
Pendekar Naga Putih yang masih menyandarkan
tubuhnya ke dinding kamar dengan mata terpejam
rapat.
* * *
ENAM
Setelah cukup lama menyandarkan tubuhnya de-
ngan mata terpejam. Hati Panji baru merasa tenang
dan tenteram. Meskipun perasaan rindu dan ber-
salah sudah tidak mengganggunya lagi, namun mata-
nya tetap dipejamkan rapat-rapat. Hanya saja posisi
tubuhnya telah berubah. Kini tubuh yang tegap itu
tidak lagi bersandar pada dinding, tapi ditegakkan
dalam sikap semadi.
Dalam posisi seperti itu, Panji merasa lebih tenang
dalam melepaskan pikirannya. Lalu, dikajinya semua
peristiwa dari sejak berada di rumah Ki Rungga,
hingga berada di sebuah gubuk dalam Hutan Dan-
dara.
"Hm... Dikiranya sedemikian mudah untuk me-
ngelabui aku," desah Panji dalam hari, ketika teringat
saat akan meneguk tuak yang disuguhkan oleh Rara
Ningrum waktu itu. "Percuma aku dibekali ilmu
pengobatan apabila tidak dapat membedakan antara
minuman yang beracun dan tidak. Hm.... Sepasang
Manusia Sesat itu mengira kalau aku telah terkecoh
oleh mereka. Padahal, justru merekalah yang telah
terkecoh oleh sandiwaraku."
Senyum Pendekar Naga Putih terkembang, ketika
teringat akan kejadian pada waktu ia berpura-pura
terkena racun yang dicampurkan Rara Ningrum
dalam tuak yang disuguhkan untuknya.
"Bukan aku yang bodoh. Justru merekalah yang
terlalu tolol dan angkuh. Ningrum sama sekali sadar
kalau ucapanku yang memuji kenikmatannya, hanya
merupakan siasatku saja. Ketika ia ke dalam kamar
dan kembali mengambil guci, semua racun yang
masuk ke dalam tubuhku sudah musnah. Wanita itu
tidak tahu kalau dalam tubuhku terdapat sebuah
kekuatan yang berasal dari Pedang Naga Langit,
yakni 'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi'. Kekuatan ini
mampu menolak dan memusnahkan setiap racun
yang masuk ke dalam tubuhku. Dan, ketika wanita
sesat itu kembali sambil menenteng guci tuak, semua
racun dalam tubuhku sudah musnah oleh tenaga
saktiti itu," desis Panji dalam hati.
Pendekar Naga Putih kembali tersenyum sambil
tetap memejamkan matanya. Pemuda itu sama sekali
tidak sadar kalau tingkahnya tengah diamati oleh
gadis cantik yang galak itu. Dan, kembali pemuda
berjubah putih itu melanjutkan lamunan tentang
pengalamannya selama berada di pulau asing itu.
Beberapa perisriwa kembali terlintas di benaknya.
Pemuda tampan itu tersenyum penuh kemenangan.
Sebab, jenis racun di dalam tuak itu sudah dikenal-
nya. Juga telah diketahui akibat yang ditimbulkan
racun itu terhadap orang yang terkena sasarannya.
Sehingga, dengan pengaturan tenaga yang dibuatnya
sedemikian rupa, Panji dapat mengelabui wanita
yang berjuluk Iblis Cantik Berwajah Malaikat itu.
Bahkan, Raja Iblis Pantai Timur pun telah tertipu
mentah-mentah.
Panji yang pikirannya tengah terpusat kepada
pengalaman-pengalamannya itu, tetap saja memiliki
pendengaran yang peka. Maka, ketika mendengar
ada suara langkah lembut menghampirinya, pemuda
itu membuka kedua kelopak matanya, dan menoleh
ke arah si pemilik langkah lembut itu.
"Kulihat sejak tadi kau tersenyum-senyum seorang
diri seperti orang kehilangan ingatan. Apa sebenar-
nya yang tengah kau rencanakan? Hm..., aku tahu!
Kau mungkin tengah mencari akal untuk memainkan
sandiwara lagi, bukan? Kembali kuingatkan, Kisa-
nak! Simpan sandiwara murahanmu itu! Karena aku
tidak akan bisa kau pengaruhi, mengerti?!" Tegas
gadis cantik itu dengan nada yang tetap ketus dan
galak.
Mendengar suara makian dari gadis cantik itu,
Panji hanya tersenyum tanpa menatap wajah gadis
itu. Sebab, ia takut melihat sepasang bola mata gadis
itu yang dapat membangkitkan kerinduannya terha-
dap Kenanga. Itulah yang membuat Panji dapat
bersikap tenang, dan sama sekali tidak terpengaruh
dengan ucapan-ucapan gadis cantik itu.
"Nyai, kau pastilah putri Ki Raga Baya yang ber-
nama Rara Ningrum, bukan? Tidak perlu kau men-
jawab. Karena aku sudah dapat menduganya. Satu
hal yang yang perlu kau ketahui, Nyai. Meskipun aku
masuk ke tempat ini memang atas kemauanku
sendiri dengan cara mengelabui Sepasang Manusia
Sesat itu, namun kedatanganku bukanlah dengan
maksud seperti tuduhanmu itu. Sebaliknya, kedata-
nganku ingin menyelidiki di mana tempat Ki Raga
Baya ditawan orang-orang berhati keji itu," jelas Panji
tanpa memberikan kesempatan kepada gadis itu
untuk memotong ucapannya.
Setelah menarik napas dalam-dalam untuk me-
nenangkan hatinya, Pendekar Naga Putih mengang-
kat wajahnya dan menatap seraut wajah cantik itu
sambil tersenyum lembut. Lantaran ia ingin melihat
pengaruh ucapannya terhadap gadis galak itu.
"Tunggu.... Masih ada lagi yang ingin kusampai-
kan," cegah Panji seraya mengangkat tangan kanan
nya, ketika gadis itu hendak berbicara. Kemudian,
dengan gerakan perlahan pemuda itu mengisyarat-
kan agar gadis itu sudi mendekat dan duduk di atas
tumpukan jerami kering di sebelahnya.
"Huh! Kau kira dengan semua keteranganmu Itu
kau sudah bisa dipercaya? Lalu, kau...."
"Sabar, Nyai. Bukankah sudah kukatakan bahwa
aku masih ingin menyampaikan beberapa cerita Iagi,”
potong Panji cepat "Kau boleh percaya dan boleh juga
tidak dengan apa yang akan kusampaikan. Tapi
sebelumnya, aku mempunyai satu permintaan dan
kuharap kau sudi meluluskannya, Nyai."
Gadis cantik yang memang Rara Ningrum, putri Ki
Raga Baya, tercenung sejenak mendengar ucapan
pemuda berjubah putih itu. Hatinya sempat merasa
heran karena mau mendengarkan kata-kata pemuda
itu. Bahkan, tubuhnya sudah dijatuhkan dan duduk
di tumpukan jerami kering di sebelah kanan pemuda
berjubah putih itu.
"Katakan, apa yang kau ingjnkan...?" ucap Rara
Ningrum setelah terdiam beberapa saat lamanya.
Meskipun suara gadis itu sudah tidak segalak
semula, namun tetap saja mengandung ketegasan.
Sehingga Panji menjadi kagum dengan sikap hati-
hati gadis cantik itu.
"Permintaanku tidak sulit Tapi, mungkin cukup
berat untuk kau lakukan," sahut Panji sambil me-
natap wajah gadis itu yang juga tengah menatapnya
dengan kening berkerut. Dan, pemuda itu terpaksa
harus menekan kembali gejolak rindunya ketika
menatap sepasang mata bulat yang sangat mirip
dengan mata Kenanga.
"Tidak perlu bertele-tele! Cepat katakan!" dengus
Rara Ningrum tajam.
"Nyai, tataplah aku, telitilah seluruh wajahku.
Lalu katakan, apakah wajah sepertiku ini mirip
dengan orang yang tengah bersandiwara? Nah,
nilailah sendiri. Dan, aku akan menerimanya dengan
hati lapang. Kalau memang kau temukan ada pan-
caran kelicikan atau gambaran keculasan, kau boleh
tidak mempercayaiku," pinta Panji sambil menggeser
tubuhnya hingga tepat berhadapan dengan gadis
cantik itu. Lalu, ditatapnya wajah gadis itu lekat-
lekat.
Mendengar permintaan yang aneh dan lucu itu,
hampir Rara Ningrum hdak bisa menahan tawanya.
Namun, perasaan itu ditekannya ketika teringat bah-
wa orang yang tengah dihadapinya adalah pemuda
asing, yang sama sekali tidak dikenalnya. Sadar
kalau sikap manisnya bisa mengakibatkan bencana,
maka gadis itu pun mengeraskan hatinya dan balas
menatap tajam pemuda di hadapannya.
"Hm.... Meskipun wajahmu tidak menunjukkan
tanda-tanda seorang penjahat, namun semua itu bu-
kan jaminan. Sebab, wanita iblis yang merebut pulau
ini dari tangan ayahku pun memiliki wajah yang
lembut dan sama sekali tidak nampak jahat. Tapi,
nyatanya ia seorang wanita berhati keji dan licik.
Walaupun begitu, aku bersedia mendengarkan cerita-
mu, silakan!” Ucap Rara Ningrum setelah berpikir
bahwa tidak ada ruginya mendengarkan apa yang
akan disampaikan pemuda itu kepadanya.
"Terima kasih, Nyai. Rasanya hal itu cukup mem-
buat perasaanku lega," ujar Panji yang semakin ber-
tambah kagum dengan sikap hati-hati Rara Ningrum.
Walaupun usia gadis itu tidak berbeda jauh dengan
Kenanga, namun jelas bahwa Rara Ningrum memiliki
sikap yang lebih matang ketimbang kekasihnya.
Dengan singkat dan jelas, Pendekar Naga Putih
menceritakan pengalamannya bertemu dengan Iblis
Cantik Berwajah Malaikat yang mengaku sebagai
Rara Ningrum. Selain itu, diceritakan pula tentang
siapa dirinya dan bagaimana sampai terdampar di
pulau ini. Bahkan, untuk meyakinkan hati gadis itu,
Panji terpaksa memamerkan kedua tenaga sakti yang
dimilikinya. Karena kedua tenaga sakti itu merupa-
kan ilmu yang sangat langka, dan tidak mungkin
dimiliki orang lain, sehingga Rara Ningrum sempat
terbelalak menyaksikannya.
"Nah, Ningrum. Dengan kepandaian yang kumiliki
saat ini, katakanlah dengan jujur, pantaskah aku
berada dalam pengaruh Sepasang Manusia Sesat ...?"
Tanya Panji setelah mengakhiri ceritanya.
Sementara Rara Ningrum yang masih terpesona
dengan dua tenaga sakti yang dipertunjukkan Panji,
belum dapat menjawab pertanyaan yang diajukan
pemuda tampan itu. Rasa terkejutnya belum hilang
ketika menyaksikan ilmu-ilmu dahsyat yang ditun-
jukkan Panji kepadanya.
"Ningrum...," panggil Panji ketika melihat gadis itu
masih tetap terbengong-bengong.
"Eh, apa..., apa...?" sahut Rara Ningrum tersadar
dari keterpakuannya. Tampak wajah cantik itu dija-
lari rona merah. Karena menyadari sikapnya yang
memalukan tadi.
"Hm..., kau tidak mendengar pertanyaanku...,"
tegur Panji tersenyum ketika melihat wajah gadis itu
menjadi tersipu.
"Kakang..., masih ada lagikah ilmu milikmu yang
belum kau tunjukkan padaku...?" Tanya Rara Ning-
rum yang menyebut Panji dengan panggilan kakang.
Jelas, panggilan itu mengungkapkan perasaan yang
terkandung di dalam hati gadis cantik itu. Sebab,
tidak mungkin Rara Ningrum akan memanggil demi-
kian kalau hatinya masih tidak mempercayai Pende-
kar Naga Putih.
"Pertanyaanmu aneh, Ningrum. Mengapa kau ber-
tanya demikian?" ujar Panji seraya mengerutkan
keningnya ketika mendengar pertanyaan yang aneh
dari Ningrum.
Namun, setelah Pendekar Naga Putih mengamati
raut wajah gadis cantik itu, tidak ditemukannya
ejekan ataupun cemoohan terhadap apa yang telah
dilakukannya tadi. Bahkan sinar matanya tampak
penuh permohonan. Sehingga pemuda itu merasa
tidak tega untuk menolaknya.
"Maaf kalau pertanyaanku ini terdengar aneh,
Kakang. Terus terang, selama ini aku belum pernah
menyaksikan ilmu-ilmu yang Kakang tunjukkan
padaku tadi Bahkan, terlintas dalam benakku pun
tidak, Kuharap Kakang sudi memaklumi pertanyaan-
ku. Dan, kalau Kakang tidak keberatan, aku ingin
melihat ilmu yang mungkin belum Kakang tunjukkan
padaku. Karena aku sekarang telah mempercayaimu
sepenuhnya, dan tentu saja aku mengharapkan ban-
tuan Kakang, Itu pun kalau Kakang tidak keberatan,"
jelas Rara Ningrum dengan wajah sungguh-sungguh.
"Hm.... Sebenarnya tidak ada lagi yang dapat ku-
perlihatkan kepadamu, Ningrum. Kalaupun masih
ada, mungkin tidak akan aneh bagimu. Sebab, ilmu
ini mempunyai kaitan erat dengan 'Tenaga Sakti Ilmu
Panas Bumi' yang tadi kutunjukkan kepadamu," ujar
Panji yang merasa senang dengan pengakuan gadis
itu karena telah menaruh kepercayaan penuh
kepadanya.
"Tunjukkanlah, Kakang. Aku ingin menyaksikan-
nya...," desak Rara Ningrum dengan sepasang mata
berbinar.
"Baiklah. Mudah-mudahan saja kau tidak
kecewa," jawab Panji yang tidak sanggup melihat
pancaran sinar mata Rara Ningrum.
Karena tidak ingin mengecewakan perasaan gadis
Itu, maka Pendekar Naga Putih segera mengerahkan
tenaga batinnya dan disatukan dengan Pedang Naga
Langit yang tersimpan dalam tubuhnya.
Rara Ningrum membelalakkan matanya setengah
tidak percaya ketika melihat sebilah pedang bersinar
keemasan yang serta merta telah berada dalam
genggaman tangan pemuda itu. Hampir saja gadis itu
memekik, ketika pedang yang berukuran lebih besar
dan lebih panjang dari pedang biasa itu, bergerak
naik dan berputaran di sekeliling tubuh Panji.
Bahkan gadis itu sempat merasa ngeri ketika Pedang
Naga Langit bergerak mengitari tubuhnya. Sehingga
tubuh gadis itu gemetar karena kengerian yang
mencekam hatinya. Pedang keramat itu memang
memiliki perbawa yang mengerikan.
"Cukup, Kakang. Cukup...," desah Rara Ningrum
dengan suara yang hampir tak terdengar.
Pendekar Naga Putih yang tidak lagi memejamkan
kelopak matanya seperti pada waktu mendapatkan
ilmu itu, segera menarik pulang Pedang Naga Langit,
dan disatukan kembali ke dalam tubuhnya. Secara
mendadak, pedang itu lenyap dari pandangan Rara
Ningrum.
"Luar biasa sekali, Kakang! Dan, aku yakin kalau
itu bukanlah ilmu sihir seperti yang pernah kulihat.
Hm.... sekarang aku tidak ragu-ragu lagi, Kakanglah
orang yang dapat menyelamatkan pulau ini dari
tangan manusia-manusia rakus itu," ujar Rara Ning-
rum sambil menatap Panji dengan penuh kagum.
Menyaksikan tatapan Rara Ningrum, hati Panji
sempat bergetar aneh. Wajah pemuda itu menegang
ketika melihat sinar cinta yang tersembunyi dalam
pandangan mata gadis itu. Karuan saja hal itu mem-
buat hati Panji khawatlr.
"Mudah-mudahan apa yang kulihat ini hanya
perasaanku saja. Kalau tidak, bagaimana aku harus
mengatakannya? Ah, Kenanga! Kalau saja saat ini
kau berada di sampingku, tidak perlu aku merasa
khawatir seperti saat ini. Sebab, keberadaanmu,
tentu akan membuat Ningrum sadar. Dan tidak akan
kecewa. Yahhh, mudah-mudahan saja dugaanku
tidak benar...," desah Panji dalam hati.
***
"Ningrum...," panggil Panji setelah mereka sama-
sama hanyut dalam alam pikiran masing-masing.
Hal itu dapat dilihat Pendekar Naga Putih dari
sinar mata gadis itu yang tampak menerawang dan
kosong. Entah apa yang sedang dilamunkannya sam-
pai sedemikian terlena, dan tidak menyadari keadaan
sekelilingnya.
"Hm...," sambut Rara Ningrum setengah mende-
sah.
"Apakah Sepasang Manusia Sesat itu menguasai
pulau ini hanya untuk merebut pusaka peninggalan
leluhurmu? Mungkinkah ada hal-hal lain yang
mereka Inginkan...?" Tanya Panji yang sedikit merasa
heran. Meskipun disadarinya banyak manusia saling
bunuh hanya karena harta dan kedudukan, namun
Pendekar Naga Putih ingin mengetahui penyebab
lain, yang mendorong Sepasang Manusia Sesat mere-
but Pulau Mimpi.
"Itu hanya salah satu dari tujuan mereka, Kakang.
Selain Sepasang Manusia Sesat ingin menguasai
pulau dan merebut pusaka leluhur kami, di pulau ini
juga tersimpan harta karun. Karena itu pulau ini di-
sebut sebagai Pulau Mimpi. Apakah kira-kira Kakang
tidak dapat menduganya?" Rara Ningrum balik ber-
tanya sambil menatap Panji dengan sepasang mata
indahnya.
Pendekar Naga Putih kembali menekan perasaan-
nya ketika melihat kilatan aneh di mata gadis cantik
itu. Hati pemuda itu kian cemas ketika melihat sikap
aneh yang tersirat dari sepasang mata Rara Ningrum.
Dan, cahaya itu selalu membuat hatinya gemas.
Sehingga, Panji terpaksa menekan gejolak yang
bergolak di dadanya, sebelum menjawab pertanyaan
Ningrum.
"Mmm..., mungkin pulau ini menyimpan sesuatu
yang sangat berharga. Tapi, entahlah...? Aku tidak
bisa menebaknya. Satu hal yang mungkin membuat
tempat ini dinamakan Pulau Mimpi karena keindah-
annya. Dan, aku sudah menyaksikan semua itu ke-
tika melintasi Hutan Dandara. Selama aku bepergian
dari satu tempat ke tempat lainnya, baru Hutan
Dandara itulah yang demikian indah dan mempe-
sona. Sangat menyenangkan sekali kalau dapat
tinggal dan membangun sebuah pondok di sana,"
sahut Panji yang mengalihkan pandang matanya ke
arah langit-langit kamar. Jelas, ia tidak sanggup
menatap sepasang mata Rara Ningrum.
"Tidak, bukan keindahan tempat ini yang mem-
buat orang menyebutnya Pulau Mimpi. Tapi, karena
harta karun yang ada di dasar laut yang membuat
pulau ini menjadi incaran orang-orang berhati
serakah,” bantah Rara Ningrum masih berteka-teki.
Sepertinya gadis cantik itu sengaja ingin membuat
hati Panji penasaran dengan keterangannya yang
serba sedikit itu.
"Apa itu, Ningrum...?" desak Panji yang merasa
penasaran.
"Butiran mutiara, Kakang. Biji-biji putih yang me-
ngeluarkan sinar mempesona itulah yang membuat
orang-orang serakah sering mendatangi pulau ini,
dan merebutnya dari tangan ayah. Sedangkan ayah
sendiri tidak begitu tertarik dengan kekayaan alam
pulau ini. Karena beliau bukanlah orang serakah,"
jelas Rara Ningrum sambil menatap wajah Panji
lekat-lekat. Sepertinya gadis cantik itu ingin menge-
tahui apakah sahabat barunya ini tertarik dengan
harta karun itu atau tidak.
"Ohhh..., jadi itu yang menyebabkan tempat ini
dinamakan Pulau Mimpi. Tidak aneh! Di dunia ini
banyak orang yang hidupnya hanya mengejar harta
dan kedudukan. Dan, itu merupakan suatu hal yang
biasa saja," ujar Panji seraya menghembuskan
napasnya.
Setelah mendengar keterangan gadis itu, Pendekar
Naga Putih semakin mengerti mengapa Sepasang
Manusia Sesat tidak memperbolehkan orang-orang
asing mendatangi pulau ini. Dan, ia pun maklum de-
ngan perbuatan tokoh sesat yang mengejar dan ingin
membunuhnya itu. Rupanya benda-benda itu yang
membuat Sepasang Manusia Sesat menjaga pulau Ini
secara ketat.
Tiba-tiba saja, Panji memberi isyarat kepada Rara
ningrum.
***
TUJUH
Rara Ningrum yang semula tidak mengerti dengan
kelakuan Panji, menjadi heran. Namun, isyarat
pemuda itu tetap diikutinya. Dan setelah telinganya
menangkap suara langkah kaki beberapa orang men-
datangi tempat itu, baru ia mengerti. Hatinya sema-
kin kagum setelah mengetahui kepekaan pendenga-
ran pemuda berjubah putih itu.
Sambil duduk termenung dalam sikap semula,
Rara Ningrum membiarkan pikirannya melayang ke
arah pemuda tampan yang baru saja dikenalnya itu.
Dan, ia tahu betul penyebab perasaan aneh yang
membuat hatinya menjadi gundah. Rara Ningrum
sadar kalau Panji telah membuat hatinya tertarik.
Selain memiliki ilmu kepandaian tinggi, sikap
pemuda itu sangat sopan dan menimbulkan rasa
hormat.
"Ah, Kakang Panji memang seorang pemuda yang
hebat, dan tidak ada bandingannya. Tentu banyak
gadis yang tertarik dengan sikap maupun ketena-
ngannya. Hhh..., apakah aku sudah tertarik kepada-
nya...?" desah hati Rara Ningrum yang merasakan
getaran aneh bila bertatapan dengan pemuda itu.
Namun ia belum yakin sepenuhnya. Sebab, baginya
sulit menerka apa yang terkandung dalam hati
pemuda Itu.
Suara derit daun pintu yang terkuak dari luar
membuat gadis cantik itu menengadahkan kepalanya
sejenak. Kemudian kembali menunduk ketika me-
lihat benda yang disodorkan penjaga, melalui celah-
celah pintu yang hanya terbuka sedikit. Setelah itu,
pintu kembali tertutup. Dan, terdengar suara lang-
kah kaki penjaga itu yang menjauh.
"Mereka hanya mengjrim makanan untuk kita,
Kakang," ujar Rara Ningrum memberitahukan Panji
sambil menggeser tubuhnya mendekati pemuda itu.
"Apakah selama ini mereka sering mengirimkan
makanan seperti itu untukmu...?" Tanya Panji yang
segera bangkit dan mengambil makanan itu. Kemu-
dian disodorkannya kepada Rara Ningrum yang
segera menyambut tanpa ragu.
"Begitulah, Kakang. Mungkin sekarang hari sudah
siang. Hhh..., benar-benar membosankan, setiap hari
selalu terkurung dalam ruangan yang pengap ini,"
desah Rara Ningrum sambil tangannya mengambil
minuman yang diletakkan Panji di samping kanan
gadis cantik itu.
Panji tidak menanggapi ucapan Rara Ningrum.
Saat itu makanan dan minuman yang disuguhkan
untuk mereka tengah ditelitinya. Kening pemuda itu
berkerut ketika mencium adanya sesuatu yang aneh
dalam makanan dan minuman itu. Meskipun ia tidak
dapat langsung menduga jenis racun yang dicampur-
kan ke dalam hidangan itu, namun Panji mengetahui
kalau semua hidangan itu telah mengandung racun.
Untuk dapat mengetahui jenis racun yang dicam-
purkan ke dalam makanan dan minuman itu, Panji
mencicipinya setelah terlebih dahulu mengcrahkan
'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi', yang memang mam-
pu melenyapkan segala jenis racun.
Setelah minuman itu mengalir ke dalam kerongko-
ngannya, barulah Panji mengetahui jenis racun yang
dicampur ke dalam makanan dan minuman itu.
Meskipun demikian, ia sama sekali tidak mencegah
Rara Ningrum yang menyantap makanan itu tanpa
curiga sedikit pun. Sebab, ia ingin mengetahui mak-
sud Sepasang Manusia Sesat itu mencampurkan
racun ke dalam makanan dan minuman. Karena itu
dibiarkannya saja Rara Ningrum terkena pengaruh
racun, yang diketahuinya tidak akan membawa
kematian.
Diam-diam Panji merasa bersyukur, kedua tokoh
sesat yang menawan mereka tidak mengetahui kalau
dirinya memiliki ilmu pengobatan. Pemuda berjubah
putih itu tersenyum membayangkan keterkejutan
mereka jika mengetahui racun itu tidak mempenga-
ruhi dirinya. Dan Pendekar Naga Putih ingin mem-
buat kejutan itu!
"Mengapa kau tidak makan, Kakang? Apakah kau
takut makanan dan minuman ini dicampuri racun?
Hm.... Percuma kau memiliki kekuatan sakti apabila
masih merasa takut dengan racun...," goda Rara
Ningrum ketika melihat Panji tidak menyentuh ma-
kanan atau minuman sedikit pun.
"Nantilah, Ningrum. Aku belum merasa Tapi,
kalau kurang, boleh kau ambit bagianku ini... ujar
Panji menawarkan, sambil mengangsurkan maka-
nannya kepada gadis itu.
"Kurang ajar! Apa kau pikir perutku ini mengem-
bang seperti balon? Aku tidak serakus seperti yang
kau sangka, Kakang," maki Rara Ningrum.
Meskipun marah, namun dari sinar matanya, Pan-
ji tahu kalau Rara Ningrum sama sekali tidak merasa
tersinggung. Panji tertawa kecil ketika melihat mulut
gadis cantik itu cemberut. Malah perbuatan gadis itu
semakin membuat wajahnya menarik dan memikat.
"Gila...!" desis hati Panji sambil mengalihkan pan-
dangannya, dan berpura-pura memperhatikan rua-
ngan yang mengurung mereka.
Sambil bangkit dan melangkah pelan, Panji mene-
kan getaran aneh saat beradu pandang dengan Rara
Ningrum. Bersamaan dengan itu, melintas bayangan
kekasihnya. Kerinduan yang menyesakkan dadanya
selalu muncul bila memandang bola mata putri Ki
Raga Baya itu. Sehingga, hati Panji menjadi resah
dan tidak bisa bersikap tenang.
Sebenamya, apa yang dirasakan Panji tidak akan
pernah terjadi apabila nasib kekasihnya diketahui.
Dan, ada perasaan bersalah yang selalu menghantui
batinnya. Karena itu seBap kali matanya menatap
lekat lekat bola mata Rara Ningrum, pemuda ber-
jubah putih Ini menjadi gelisah. Sepertinya ia melihat
tatapan Kenanga dalam sinar mata Rara Ningrum.
"Ohhh...."
Tiba-tiba saja Rara Ningrum merasakan pandang-
annya berkunang-kunang setelah menghabiskan ma-
kanannya. Gadis cantik itu mengeluh sambil memi-
jat-mijat keningnya yang terasa pusing. Sedangkan
wajahnya tampak mulai kemerahan. Titik-titik keri-
ngat pun mengalir dari keningnya. Jelas, racun yang
dicampur ke dalam makanan itu sudah mulai
bekerja.
Panji sendiri yang sudah menduga akibat yang
bakal dihadapi Rara Ningrum berpura-pura kaget
dan panik Kemudian pemuda itu melangkah terburu-
buru mendekati gadis itu. Pemuda berjubah putih itu
tidak merasa khawatir sedikit pun. Sebab, racun itu
tidak berbahaya dan hanya pembius yang dapat
menimbulkan rangsangan birahi.
"Ohhh..., mengapa udara tiba-tiba menjadi panas
sekali, Kakang? Apakah..., apakah kau tidak merasa-
kannya?" desah Rara Ningrum yang mulai meng-
geliat-geliat bagaikan orang kepanasan. Sedangkan
wajahnya semakin memerah, dan bibirnya mulai
membentuk senyuman yang penuh rangsangan.
Meskipun demikian, Panji tetap saja tidak beru-
saha untuk menolong Rara Ningrum dari penderita-
annya. Sebab menurut perkiraannya, tidak lama lagi
pasti ada orang yang datang ke tempat itu.
Dugaan Panji ternyata tidak meleset! Tak berapa
lama kemudian, terdengar suara langkah kaki men-
datangi tempat itu. Cepat-cepat Panji mengerahkan
Tenaga Sakti Inti Panas Bumi'nya. Sehingga, keada-
annya pun tidak berbeda dengan apa yang dialami
Rara ningrum.
Terdengar suara derit pintu yang terbuka, disusul
masuknya enam orang lelaki kasar. Sedangkan di
belakangnya, tampak empat orang lelaki kasar ber-
wajah bengis yang berjuluk Lima Setan Hitam.
Empat dari lima lelaki berpakaian serba hitam itu
pernah berhadapan dengan Panji di dalam Hutan
Dandara.
"Hm.... Cepat angkat kedua orang itu! Bawa
keduanya menghadap ketua!" terdengar perintah
yang keluar dari salah seorang lelaki bengis itu.
Wajahnya yang tampak kehitaman menjadi semakin
hitam ketika melihat wajah Panji. Sepertinya ia
masih menyimpan dendam terhadap pemuda yang
telah menewaskan salah seorang rekannya itu.
Tanpa diperintah dua kali, enam orang lelaki ber-
gegas mendekati Panji dan Rara Ningrum yang te-
ngah menggelepar dengan peluh meleleh dan mem-
basahi pakaian mereka. Namun, sebelum mereka
sempat menyentuh tubuh kedua orang itu, terdengar
sebuah bentakan yang menghentikan gerakan ke-
enam lelaki kasar itu.
"Tunggu...!" seru salah seorang dari Lima Setan
Hitam.
"Ada apa lagi, Adi...?" tegur lelaki kekar berwajah
kehitaman yang merasa tidak senang dengan kela-
kuan adik seperguruannya.
"Hm.... Kita harus menotok lumpuh dulu tubuh
mereka sebelum membawanya. Sebab, aku khawatir
kalau pemuda itu hanya berpura-pura saja, Kakang,"
sahut lelaki berkumis lebat itu sambil menahan
langkahnya.
"Ah, kau bodoh sekali, Adi. Bukankah kita semua
telah tahu, pemuda yang berjuluk Pendekar Naga
Putih ini sudah dilumpuhkan oleh ketua kita.
Sedangkan obat yang kini berada dalam tubuhnya
telah membuatnya tak berdaya. Meskipun kelum-
puhannya telah terbebas, namun pikirannya tidak
dapat berfungsi dengan baik. Sebab, pengaruh obat
perangsang itu, menurut ketua, sangat kuat sekali.
Sehingga korbannya tidak dapat berpikir jernih,"
jelas lelaki kekar berwajah kehitaman itu.
Mendengar penjelasan itu, lelaki berkumis tebal
yang semula hendak menotok Panji dan Rara Ning-
rum, kembali melangkah mundur setelah memerin-
tahkan untuk mengangkat kedua tubuh yang tengah
tergeletak kepayahan itu.
Tanpa mengalami kesulitan sedikit pun, keenam
orang lelaki kasar itu bergegas mem bawa tubuh
Panji dan Rara Ningrum ke luar. Tak berapa lama
kemudian, tempat itu kembali sunyi.
***
"Ketua, kami Lima Setan Hitam datang meng-
hadap...," ujar lelaki kekar bermuka kehitaman,
tnewa tali tiga orang rekannya.
"Hm.... Bagus... Cepat bawa kereta. Kita segera
berangkat ke tempat tua bangka yang keras kepala
itu. Ingin kulihat, apakah ia masih dapat bertahan
melihat putrinya berzinah di depan matanya dengan
seorang pemuda asing," dengus lelaki tinggi besar
berwajah bengis itu sambil bergerak bangkit dari
kursinya.
"Hi hi hi...! Aku yakin kali ini ia akan menyerah,
Kakang. Dan, pusaka pulau ini akan segera menjadi
milik kita," timpal wanita cantik berwajah lembut,
seraya memperdengarkan suara tawanya yang me-
lengking berkepanjangan.
Sepeninggal Lima Setan Hitam, sepasang suami
istri itu pun segera melangkah lebar dari dalam rua-
ngan megah yang lebar itu. Mereka terus berjalan
menuju sebuah kereta kuda, yang telah siap didepan
halaman gedung itu.
Setelah berada di dalam kereta, lelaki tinggi besar
yang berjuluk Raja Iblis Pantai Timur itu mengulap-
kan tangannya. Sebentar kemudian, kereta kuda itu
bergerak meninggalkan halaman gedung. Di bela-
kangnya menyusul sebuah kereta kuda lain, tempat
Panji dan Rara Ningrum berada.
Saat itu matahari sudah semakin bergeser. Sinar-
nya memancar garang menjilati permukaan bukit.
Namun, dua kereta kuda itu terus bergerak maju
tanpa mempedulikan pariasnya sengatan matahari
yang terik slang itu.
Laju kereta yang semula cepat, mulai agak lambat
ketika melalui jalan berbatu dan berbelok-belok. Ke-
mudian kedua kereta kuda itu berhenti didepan
mulut gua yang kiri kanannya dijaga dua orang
kakek kembar berpakaian merah dan hitam.
Kedua penjaga berwajah sama itu membungkuk
hormat ketika Sepasang Manusia Sesat keluar dari
dalam kereta pertama.
"Salam, Ketua...," ucap keduanya dengan gerakan-
gerakan tangan yang terlihat aneh.
"Hm.... Bagaimana keadaan tua bangka keras ke-
pala itu, Siluman Kembar Teluk Merah?" Tanya Baja
Iblis Pantai Timur, dingin.
"Ampun, Ketua Ki Raga Baya tetap tidak mau
menunjukkan harta pusaka leluhurnya. Sepertinya ia
lebih baik mati daripada menunjukkan tempat
penyimpanan harta itu," jawab kakek berpakaian
merah, tanpa mengangkat kepalanya.
"Bawa tua bangka itu keluar! Aku ingin tahu,
apakah kali ini ia masih tetap tidak mau membuka
mulutnya?" Dengus Raja Iblis Pantai Timur, seraya
membalikkan tubuhnya dan melangkah ke arah
sebuah bangunan sederhana yang hanya beberapa
tombak letaknya didepan mulut gua.
Sedangkan Iblis Cantik Berwajah Malaikat, me-
langkah lebar menuju kereta kuda tempat Panji dan
Rara Ningrum berada.
"Seret pemuda dan gadis itu keluar! Bawa mereka
ke pondok, cepat!" perintah wanita berhati iblis itu
kepada Lima Setan Hitam.
Tanpa diperintah dua kali, Lima Setan Hitam se-
gera mematuhi perintah Iblis Cantik Berwajah Mala-
ikat.
Dengan pandangan bengis, iblis Cantik Berwajah
Malaikat mengjringi anak buahnya yang membawa
tubuh Panji dan Rara Ningrum. Jelas sekali adanya
sorot kebencian dari sepasang mata wanita cantik
berhati Iblis itu. Entah apa yang menyebabkan
wanita cantik itu membenci Panji.
Tubuh Panji dan Rara Ningrum dilemparkan begi-
tu saja di halaman depan pondok. Sehingga, kedua-
nya merintih akibat bantingan yang cukup keras itu.
Meskipun demiklan, mereka tetap memejamkan ma-
ta. Karena keduanya masih dalam keadaan setengah
sadar.
"Hm.... Sebentar lagi kita akan menyaksikan
sebuah pertunjukan yang langka dan menarik. Ha ha
ha...! Betapa akan geger dunia persilatan bila berita
tentang berzinahnya Pendekar Naga Putih dengan
putri Majikan Pulau Mimpi, tersiar hingga ke daratan
besar. Tentu keadaan akan ramai sekali...," ujar Raja
Iblis Pantai Timur dengan suara parau dan berat.
"Benar, Kakang. Dan, yang lebih menggembirakan,
nama kita tentu akan semakin disegani dan ditakuti
kaum rimba persilatan. Sebab, kita berdualah yang
sanggup membuat pendekar muda itu tidak ber-
daya," sambut Iblis Cantik Berwajah Malaikat dengan
suaranya yang tjnggi dan merdu. Jelas, Sepasang
Manusia Sesat itu benar-benar memiliki hati yang
keji dan tak berperasaan. Hal itu tercermin dari
rencana mereka yang jahat dan kotor.
"Hm.... Ikat tua bangka tak tahu diuntung itu ke
batang pohon! Biar dia dapat menyaksikan bagai-
mana nikmatnya melihat pertunjukan yang akan
berlangsung di depan matanya," perintah Raja Iblis
Pantai Timur, begitu melihat seorang lelaki setengah
baya keluar dari dalam gua. Wajah dan pakaiannya
kusut dan tak karuan. Sedangkan di kanan-kirinya
terdapat dua orang kakek kembar bertubuh tinggi
kekar. Mereka selalu dipanggil dengan julukan Silu-
man Kembar Teluk Merah.
Tanpa banyak tanya lagi, kakek kembar itu pun
segera melaksanakan perintah ketuanya. Dengan
sigap, keduanya mengikatkan rantai-rantai baja pada
kedua tangan dan kaki orang tua itu ke batang
pohon. Kemudian, keduanya segera berdiri di kiri-
kanan lelaki setengah baya itu yang tak lain adalah
Ki Raga Baya.
"Hm.... Kekejaman apa lagi yang akan kau
tunjukkan kepadaku, Manusia Sesat? Apakah masih
belum cukup kau bunuh putra dan istriku?" dengus
lelaki setengah baya itu seraya menatap Raja Iblis
Pantai Timur dan Iblis Cantik Berwajah Malaikat
dengan pandangan mata tajam dan penuh ejekan
"Dengar, meskipun kali ini kau akan menyiksaku,
tetap tidak akan kuberitahukan di mana tempat
harta leluhurku! Hmh...! Usahamu akan sia-sia,
Manusia Keji!"
"Ha ha ha...! Kita lihat saja sebentar lagi, Raga
Baya! Dan, buktikanlah ucapanmu itu!" sahut Raja
Iblis Pantai Timur tertawa terbahak-bahak Sedikit
pun hatinya tidak marah meskipun Ki Raga Baya
melon-tarkan makian yang menyakitkan telinganya.
Ki Raga Baya mengalihkan pandangannya ke arah
dua sosok tubuh yang tergeletak tak berdaya di hala-
man pondok itu. Sepasang matanya menyipit, ber-
usaha mengenali kedua sosok tubuh itu.
"Ningrum...? Rupanya kau telah jatuh pula ke
tangan manusia culas itu. Hhh.... Sepertinya tidak
ada harapan lagi bagiku untuk dapat merebut pulau
ini dari tangan Sepasang Manusia Sesat. Hm....
Siapakah pemuda yang bersama Ningrum itu? Dan,
mengapa manusia-manusia keji itu menawannya?
Demikian pentingkah arti pemuda itu bagi mereka?"
gumam Ki Raga Baya seraya mengerutkan keningnya
ketika melihat sosok berjubah putih, yang tergeletak
di dekat tubuh putrinya. Karena tidak mengenal
pemuda itu, maka Ki Raga Baya tidak lagi memper-
hatikannya. Hanya sosok Ningrum yang dipandangi-
nya dengan penuh iba.
"Hm.... Kau tentu heran melihat pemuda itu,
bukan?" ujar Raja Iblis Pantai Timur kepada Ki Raga
Baya. “Ketahuilah, Tua Bangka! Pemuda itu adalah
Pendekar Naga Putih yang namanya telah menggun-
cangkan daratan besar. Dan, kau segera akan me-
lihat sebuah pertunjukan yang tidak pernah terlintas
dalam pikiran tuamu itu. Atau mungkin kau dapat
menduganya...?"
Mendengar pemuda yang bersama putrinya itu
adalah Pendekar Naga Putih, Ki Raga Baya sempat
berubah wajahnya. Memang, julukan itu sudah sam-
pai ke Pulau Mimpi ini. Hal itu tidak aneh, karena
pada masa ia masih menguasai pulau, banyak peda-
gang-pedagang dari daratan besar datang mengun
jungi Pulau Mimpi dengan kapal-kapal dagang.
Kedatangan mereka karena tertarik dengan mutira
Pulau Mimpi, yang terkenal indah dan bermutu
tinggi. Sehingga, hampir tiap bulan kapal-kapal besar
singgah di pulaunya untuk menukar mutiara dengan
barang-barang kebutuhan penduduk Pulau Mimpi.
Dari para pedagang itulah Ki Raga Baya pernah
mendengar tentang munculnya Pendekar Naga Putih
yang telah mengguncangkan tokohtokoh sesat di
daratan besar.
"Heran, mengapa pendekar muda itu sampai ber-
ada di pulau ini? Sepengetahuanku, Sepasang Manu-
sia Sesat itu tidak pemah memperbolehkan orang
luar memasuki pulau ini sejak mereka berkuasa.
Sedangkan pedagang-pedagang yang biasanya me-
ngunjungi pulau ini telah mereka bantai secara
kejam. Lalu, dengan apa pemuda yang terkenal sakti
itu sampai di pulau ini? Dan, bagaimana ia bisa ter-
tawan...?" desah hati Ki Raga Baya yang merasa
heran dengan keberadaan Pendekar Naga Putih di
pulau itu.
Sama sekali tidak terlintas dalam pikiran laki-laki
setengah baya itu kalau keberadaan Pendekar Naga
Putih di pulau ini karena terdampar.
"Lalu, apa hubungannya pendekar muda itu
denganku, Raja Iblis Pantai Timur? Dan, hendak kau
apakan dia...?" Tanya Ki Raga Baya yang merasa
tidak sabar untuk mengetahui apa yang akan dilaku-
kan manusia sesat itu terhadap putrinya dan Pende-
kar Naga Putih.
"Ha ha ha...! Bersabarlah, Raga Baya. Pengaruh
obat yang mereka minum baru sampai pada tahap
pertama. Dan, pada tahap selanjutnya, baru bisa kau
saksikan dengan mata kepalamu. Mereka akan
berzinah didepan matamu yang lamur itu. Cepatlah
ambil keputusan, sebelum kau menyaksikan per
tunjukan yang pasti sangat menarik itu," ujar Raja
Iblis Pantai Timur tanpa meninggalkan suara tawa-
nya yang lantang menggelegar.
"Biadab! Keji sekali rencanamu, Manusia Sesat!
Kau..., kau benar-benar binatang kotor yang men-
jijikkan...!" teriak Ki Raga Baya menjadi pucat wajah-
nya demi mendengar ancaman Raja Iblis Pantai Ti-
mur itu. Sungguh tidak diduganya sama sekali kalau
pikiran tokoh sesat itu sampai sedemikian keji dan
kotor.
Dengan wajah pucat dan dada bergelombang me-
nahan marah, Ki Raga Baya menundukkan kepala-
nya dalam-dalam. Hati orang tua itu menjerit dan
hampir tidak sanggup untuk menghadapi ujian yang
semakin berat mendera jiwanya itu. Sepasang mata-
nya nampak basah oleh genangan air mata, yang
berusaha ditahannya agar tidak jatuh.
"Ah, Ningrum..... Betapa malang nasibmu, Anak-
ku. Kalau saja kau dalam keadaan sadar, tentu kita
akan dapat berbicara untuk merundingkan hal ini.
Tapi, iblis itu ternyata sangat licik! Ia sengaja mem-
buatmu pingsan dan membiusmu dengan racun
pembangkit birahi. Sehingga, keputusan itu sepe-
nuhnya menjadi tanggung jawabku. Ah..., apa yang
harus kulakukan...?" desis hati Ki Raga Baya
merintih.
Sejenak orang tua itu melepaskan pandangannya
ke arah sosok Pendekar Naga Putih. Rasa iba per-
lahan menyelinap di hatinya, tatkala melihat kalau
pendekar muda itu harus tersiksa karena dirinya.
Disadarinya betapa akan tersiksanya hati pemuda itu
bila sadar, dan mengetahui apa yang telah dilaku-
kannya. Sebuah perbuatan keji yang dikutuk orang
banyak. Dan, bukan tidak mungkin pemuda itu akan
menjadi gila. Karena sebagai seorang pendekar besar
dan namanya dikagumi seluruh tokoh-tokoh persilatan dan masyarakat awam, tentu peristiwa ini akan
sangat menyiksa batinnya.
Ki Raga Baya sedih membayangkan peristiwa yang
akan menimpa Pendekar Naga Putih. Hati kecilnya
yakin setelah peristiwa ini, Sepasang Manusia Sesat
akan melepaskan mereka. Kemudian, menyebarluas-
kan peristiwa aib itu kepada kaum persilatan. Dan,
hal itu tentu akan membuat Rara Ningrum serta
Pendekar Naga Putih menderita batinnya. Itulah yang
membuat orang tua itu sedih. Sehingga, Ki Raga
Baya memutuskan untuk menunjukkan tempat pe-
nyimpanan harta pusaka leluhurnya. Baginya kepu-
tusan itu lebih baik ketimbang penderitaan yang
akan dihadapi Rara Ningrum dan Pendekar Naga
Putih.
***
DELAPAN
"Bagaimana, Ki Raga Baya...? Cepatlah! Waktumu
hampir habis!" desak Raja Iblis Pantai Timur tak
sabar.
Senyuman licik di wajah tokoh sesat itu mengem-
bang setelah melihat perubahan sikap Ki Raga Baya.
Dan, Raja Iblis Pantai Timur sudah dapat menebak
keputusan yang akan diambil Ki Raga Baya.
"Raja Iblis Pantai Timur! Benarkah kau akan me-
lepaskan mereka bila tempat penyimpanan harta itu
kutunjukkan?" Tanya Ki Raga Baya dengan nada
ragu. Hati kecilnya memang tidak mempercayai
manusia sesat itu.
"Jangan takut. Begitu kau antarkan aku ke tem-
pat penyimpanan harta leluhurmu, mereka berdua
langsung kubebaskan. Maka, janganlah kau mem-
buang-buang waktu lagi. Sebab, sebentar lagi mereka
akan segera tersadar dari keadaan itu. Lalu, kejadian
selanjutnya bisa kau bayangkan sendiri. Mereka
akan saling tenang bagaikan binatang-binatang ke-
laparan. Apakah kau memang ingin menyaksikan-
nya...?" pancing Raja Iblis Pantai Timur.
"Hm..., kalau begitu, cepat kau berikan obat pe-
nawarnya kepada mereka, dan aku akan mengantar-
kanmu begitu putriku dan Pendekar Naga Putih
dibebaskan," sahut Ki Raga Baya yang wajahnya
semakin pucat karena bayangan-bayangan buruk
menari-nari di benaknya. Sehingga, peluh dingin
menetes membasahi wajah dan tubuhnya.
"Tidak bisa, Raga Baya! Kau berada di pihak yang
kalah! Oleh karena itu, akulah yang berhak me-
nentukan...!" bentak Raja Iblis Pantai Timur. Hatinya
geram melihat orang tua itu masih ragu-ragu untuk
menga-takannya.
Ki Raga Baya terdiam ketika mendengar bentakan
Raja Iblis Pantai Timur. Dan, ia menyadari akan ke
adaannya yang memang tidak bisa untuk menekan
lawan. Setetah termenung sambil menarik napas ber-
kali-kali, orang tua itu kembali mengangkat wajah-
nya dan menatap Raja Iblis Pantai Timur.
"Baiklah, aku mengalah...," sahut Ki Raga Baya
tertunduk sedih. Suaranya terdengar demikian lemah
dan hampir tidak tertangkap telinga.
"Kalau begitu, tunjukkan tempat itu sekarang...,"
kembali Raja Iblis Pantai Timur mendesak.
"Bagaimana aku dapat menunjukkannya kalau
tangan dan kakiku masih terbelenggu seperti ini..,"
kilah Ki Raga Baya gusar.
"Hm.... Bebaskan orang tua itu...!" perintah lelaki
tinggi besar itu kepada Siluman Kembar Teluk Merah
yang segera melaksanakannya. .
"Manusia keji! Kau memang lebih pantas menjadi
binatang daripada seorang manusia...!"
Tiba-tiba terdengar suara bentakan menggelegar
yang mengejutkan semua orang. Dan, rasa kaget
mereka semakin menjadi-jadi ketika melihat orang
yang mengeluarkan suara bentakan dahsyat itu.
Sosok tubuh itu terlapis kabut berwarna putih
keperakan dan lapisan sinar kuning keemasan. Hati
mereka tergetar dengan mata terbelalak lebar. Dan
untuk beberapa saat lamanya, semua orang yang
berada di tempat itu tertegun dengan mulut
ternganga tak percaya.
"Heaaat..!"
Suara teriakan dari mulut sosok tubuh aneh itu
dibarengi dengan ayunan tangannya.
Wusss...!
Terdengar suara bercuitan keras ketika dari
tangan sosok tubuh itu meluncur pukulan yang
mengandung hawa panas luar biasa!
Blarrr..."
Raja Iblis Pantai Timur dan Iblis Cantik Berwajah
Malaikat cepat tersadar. Sepasang Manusia Sesat itu
langsung melompat berjumpalitan menghindari
pukulan dahsyat itu. Sehingga, pondok yang mereka
tempati berderak roboh.
Dan sebelum semuanya tersadar akan apa yang
terjadi, sosok tubuh aneh yang tak lain dari Pendekar
Naga Putih itu telah melesat setelah terlebih dahulu
menyambar tubuh Rara Ningrum.
Siluman Kembar Teluk Merah yang melihat sosok
tubuh aneh tengah meluncur ke arahnya, cepat me-
lompat mundur dengan wajah ngeri. Sehingga,
mereka melupakan Ki Raga Baya karena ingin
menyelamatkan diri.
Blarrr! Blarrr!
Kembali terdengar dua kali ledakan dahsyat yang
seolah-olah akan mengguncangkan tempat itu. Un-
tung Siluman Kembar Teluk Merah telah bertindak
cepat dengan melemparkan tubuhnya ke belakang
beberapa kali. Sehingga, keduanya selamat dari
pukulan maut Pendekar Naga Putih.
"Cepat Ki...!" seru Panji sambil menyambor lengan
Ki Raga Baya dan segera membawanya lari bagaikan
terbang.
"Bedebah! Kejar mereka...!" Raja Iblis Pantai Timur
berteriak gusar sambil melompat melakukan penge-
jaran.
Namun, para pengejar itu terbelalak dan pucat
wajahnya ketika melihat buruannya berbalik dan me-
lontarkan pukulan-pukulan jarak jauh.
Dam! Darrr...!
"Aaa...!"
Terdengar jerit kematian yang menyayat. Dan
disusul terlontarnya empat sosok tubuh akibat
terlanggar angin pukulan berhawa panas menyengat.
Keempat tubuh itu langsung ambruk dan tewas
dengan kulit seperti terbakar.
"Gila...!" umpat salah seorang dari Siluman Kem-
bar Teluk Merah, yang menyaksikan korban akibat
pukulan maut itu. Sehingga, mereka melangkah
mundur dengan wajah pucat.
Sedangkan Panji kembali menyambar tubuh Ki
Raga Baya dan Rara Ningrum. Kemudian cepat mele-
sat dengan kecepatan kilat. Beberapa saat kemudian,
tubuh pemuda itu lenyap ditelan kelebatan semak
dan pepohonan.
"Setan! Cari dan bunuh mereka...!" umpat Raja
Iblis Pantai Timur. Hati tokoh sesat itu gusar melihat
kejadian yang sama sekali tidak disangkanya itu.
Sebenarnya, kalau saja Sepasang Manusia Sesat
dan para pengikutnya dapat bersikap lebih tenang,
belum tentu Panji dapat meloloskan diri dari tempat
itu. Apalagi dengan membawa tubuh Rara Ningrum
dan Ki Raga Baya.
Tetapi, orang-orang sesat itu telah terkesima dan
gentar dengan pancaran Tenaga Sakti Gerhana Bu-
lan' dan 'Tenaga Sakti lnti Panas Bumi' yang ditun-
jukkan Panji secara begitu mendadak, sehingga
membuat lawannya panik dan ngeri. Lagi pula,
gebrakan-gebrakan yang dilontarkan Panji telah
membuat mereka semakin kalut, dan tidak sempat
mengeluarkan kepandaiannya. Akibatnya Pendekar
Naga Putih de-ngan mudah dapat meloloskan diri
dari.
***
Setelah merasa yakin cukup jauh dari jangkauan
para pengejarnya, Panji memperlambat larinya. Ke-
mudian berhenti di dekat sebuah semak belukar.
Dengan kekuatan tenaga sakti yang dimilikinya,
Panji melepaskan rantai baja yang masih melingkar
di tangan dan kaki Ki Raga Baya. Sehingga, orang
tua itu dapat menarik napas lega.
"Bagaimana keadaanmu, Ki? Apakah kau siap
bertarung? Sebab, saat ini adalah waktu yang sangat
tepat untuk merebut kembali Pulau Mimpi dari ta-
ngan mereka. Dengan menggempur mereka di tempat
ini, tentu saja akan lebih ringan. Bukankah tempat
ini cukup jauh dari gedung kediamanmu? Tentu
mereka tidak bisa menghubungi para pengikutnya
yang berada di gedung itu," ujar Panji setelah mem-
bebaskan orang tua itu dari belenggu.
"Meskipun tenagaku belum pulih seluruhnya,
rasanya aku mampu untuk menghadapi mereka.
Hanya saja, racun yang mereka jejalkan kepadaku,
membuat dadaku terasa nyeri bila mengerahkan
tenaga terlalu banyak. Jadi, aku tidak bisa memasti-
kan, apakah aku mampu bertahan dalam pertem-
puran atau tidak," sahut Ki Raga Baya dengan wajah
cemas.
Mendengar keterangan itu, Pendekar Naga Putih
tidak mau membuang-buang waktu. Karena bunta-
lan pakaian serta obat-obatannya telah hilang ketika
ia hanyut di laut, maka segera diambilnya tindakan
cepat. Dimintanya Ki Raga Baya memusatkan pikiran
dan mengosongkan tenaga dengan sikap seperti
orang bersemadi. Dan, melalui punggung orang tua
itu, Panji memindahkan tenaga sakti yang berasal
dari Pedang Naga Langit ke dalam tubuh Ki Raga
Baya. Hanya itulah satu-satunya jalan yang terpikir
olehnya.
Setelah Panji melepaskan kedua telapak tangan-
nya dari punggung orang tua itu, tampak tubuh Ki
Raga Baya bergetar hebat. Tak berapa lama kemu-
dian, terbentuklah lapisan sinar keemasan yang
menyelimuti sekujur tubuh orang tua itu!
Kejadian itu tidak berlangsung lama. Tenaga sakti
yang berasal dari Pedang Naga Langit segera meng-
usir dan menghilangkan semua racun yang meng-
endap di dalam tubuh Ki Raga Baya. Sehingga,
wajahnya yang semula pucat, nampak mulai keme-
rahan. Pertanda kesehatan orang tua itu sudah
mulai pulih.
"Ahhh..., benar-benar tak dapat kupercaya! Bagai-
mana mungkin aku dapat sembuh sedemikian cepat?
Ilmu apakah yang kau miliki, Pendekar Naga
Putih...?" Tanya Ki Raga Baya yang menatap Panji
dengan wajah berseri gembira.
"Lain waktu aku akan menceritakannya, Ki. Seka-
rang yang penting, kita harus melenyapkan penga-
ruh racun pembius yang mengendap dalam tubuh
Ningrum," ujar Panji yang segera membungkuk dan
membalikkan tubuh Rara Ningrum. Kemudian kem-
bali ditempelkan kedua telapak tangannya ke pung-
gung gadis cantik yang mulai sadar itu.
Namun, begitu ‘Tenaga Sakti Inti Panas Bumi’ me-
rasuk ke dalam tubuh Rara Ningrum, kontan tubuh
langsung itu bergetar, meskipun tidak sehebat Ki
Raga Baya. Sebab, racun yang berada dalam tubuh
gadis itu jauh lebih ringan ketimbang yang meng-
endap dalam tubuh ayahnya. Sehingga, pengobatan-
nya pun tidak memakan waktu yang lama.
Pendekar Naga Putih segera menarik telapak
tangannya, ketika merasakan aliran tenaga sakti
yang dikerahkannya telah mengalir balik. Pemuda itu
menarik napas lega ketika melihat wajah Rara Ning-
rum perlahan membaik kembali. Sedangkan wama
merah yang menyelimuti wajah gadis itu sudah mulai
memudar. Pertanda racun dalam tubuh gadis itu
telah lenyap oleh tenaga sakti yang berasal dari
Pedang Naga Langit.
"Untuk sementara Aki tunggulah di sini menjaga
Rara Ningrum. Biar aku yang mencari Sepasang
Manusia Sesat untuk membuat perhitungan," pinta
Panji.
Tanpa menunggu jawaban dari Ki Raga Baya,
tubuh Pendekar Naga Putih segera melesat mening-
gal-kan tempat itu. Majikan Pulau Mimpi itu hanya
bisa menggelengkan kepalanya dengan hati penuh
kagum. Kini ia benar-benar menyaksikan dengan
mata kepalanya sendiri kesaktian dan sikap pende-
kar muda itu. Dan semua cerita yang didengarnya,
ternyata memang tidak terlalu berlebihan.
"Hm.... Pantas saja tokoh-tokoh sesat di daratan
besar menjadi kalang-kabut! Kepandaian pemuda itu
memang luar biasa sekali. Entah sudah sampai di
mana tingkat ilmu yang dicapainya? Rasanya sulit
untuk mengukur kepandaian pemuda perkasa itu.
Gumam Ki Raga Baya yang masih memandang ke
arah lenyapnya tubuh Panji.
Tidak sulit bagi Panji untuk menemukan Sepasang
Manusia Sesat. Sebab, sepasang suami istri itu pun
tengah mencarinya. Senyum di bibir Panji mengem-
bang ketika melihat kedua orang itu tengah berlari
menuju ke arahnya.
"Hm... Hendak ke manakah kalian berdua...? Ada-
kah yang bisa kubantu, Ningrum...?" sapa Panji
Sengaja. Iblis Cantik Berwajah Malaikat dipanggilnya
dengan sebutan 'Ningrum'. Karena saat pertama kali
bertemu, wanita licik itu mengaku bernama Rara
Ningrum untuk mengelabui Panji.
"Keparat! Bagaimana kau sampai bisa terbebas
dari pengaruh racun-racunku, Pendekar Naga Putih?
Bukankah sewaktu kusuguhi tuak beracun, kau me-
minumnya?" Tanya Iblis Cantik Berwajah Malaikat
yang merasa penasaran sekali melihat Panji ternyata
masih segar bugar, tanpa ada tanda-tanda keracu-
nan.
"Hm.... Tidak perlu kuterangkan. Jelasnya, aku
memang memiliki semacam kekebalan terhadap
segala jenis racun. Selain itu, aku pun dapat menun-
jukkan tanda-tanda seperti orang yang keracunan.
Jadi, kalau selama ini aku telah menipumu, Ning-
rum" Panji tanpa senium sedikit pun. Karena hati
benar-benar marah dengan Iblis Cantik Berwajah
Malaikat yang telah menipunya.
"Keparat! Ilmu setan apa pun yang kau mainkan
jangan harap Sepasang Manusia Sesat akan tunduk
kepadamu! Sekarang tubuhmu akan kuremas karena
telah membuat impianku berantakan!”
“Heaaat..!"
Dibarengi sebuah teriakan nyaring, tubuh Cantik
Berwajah Malaikat segera melesat ke Panji. Sepasang
tangannya yang berkulit halus, bertubi-tubi me-
lontarkan pukulan-pukulan maut yang berbahaya.
Panji tidak mau lagi main-main. Setelah melompat
sejauh satu tombak ke belakang, pemuda itu lang-
sung menyiapkan ilmu andalannya.
"Hmh...!"
Sambil menggereng lirih, Panji memutar-mutar
tangannya didepan dada. Sadar kalau yang dihadapi-
nya adalah tokoh-tokoh sakti yang tidak bisa dipan-
dang ringan, maka Panji langsung mengerahkan
kedua tenaga saktinya. Karuan saja hal itu membuat
Sepasang Manusia Sesat terkejut.
"Haaat..!"
Dibarengi sebuah bentakan yang sanggup mem-
buat lawan tersentak, Panji meluruk dan menerjang
kedua orang lawannya.
Bettt! Wuttt!
Sepasang tangan Pendekar Naga Putih yang mem-
bentuk cakar naga, menyambar-nyambar dengan ke-
cepatan yang menggiriskan. Sambaran angin panas
dan dingin berganti-ganti memenuhi sekitar arena
pertarungan. Sehingga, kedua lawannya semakin ter-
kejut ketika merasakan hawa yang tidak menentu
itu.
Namun, biar bagaimanapun Sepasang Manusia
Sesat itu memang tidak bisa dipandang ringan. Ke-
pandaian keduanya telah dibuktikan dengan jatuh-
nya Pulau Mimpi ke tangan mereka. Maka, pertaru-
ngan ketiga tokoh sakti itu tentu saja seru dan
mendebarkan.
Pertarungan yang dalam waktu singkat telah
memakan empat puluh jurus itu, terlihat semakin
bertambah sengjt. Sepasang Manusia Sesat sudah
pula mengeluarkan ilmu gabungan mereka, yang di-
rasakan Panji sangat kuat pertahanannya. Sehingga,
dalam jurus-jurus selanjutnya, sempat pula Pende-
kar Naga Putih dibuat kewalahan.
"Haiiit..!"
Seruan nyaring dari mulut Pendekar Naga Putih
kembali terdengar saat melompat menghindar sam-
baran tangan Iblis Cantik Berwajah Malaikat yang
susul-menyusul membayangi tubuhnya. Sehingga,
Panji semakin berhati-hati dalam menghadapi
serangan wanita cantik itu. Sebab, kepandaian yang
diperlihatkan kali ini, jauh berbeda dengan yang
pernah disaksikannya ketika pertama kali bertemu di
dalam Hutan Dandara. Meskipun hal itu sudah dapat
diduganya, tetap saja ia terdesak.
Ketika pertarungan menginjak jurus yang kesem-
bilan puluh, Panji mengangkat tangan kanannya
untuk memapaki hantaman telapak tangan Raja Iblis
Pantai Timur yang mengancam lambungnya. Dan....
Plakkk!
"Aaah...!"
Raja Iblis Pantai Timur menjerit ketika telapak
tangan Panji, yang mengeluarkan hawa panas seperti
sengatan api, bertumbukan dengan tangannya.
Tubuh tinggi besar ttu terjajar mundur hingga satu
tombak lebih.
"Setan keparat..!" maki Raja Iblis Pantai Timur
sambil menyeringai Wajahnya semakin beringas meli
hat kulit lengannya yang terbentur tangan lawan me-
lepuh. Kenyataan itu tentu saja membuat kemarah-
annya semakin menjadi-jadi.
Namun, sebelum lelaki tinggi besar itu kembali
memasuki pertempuran, terdengar jerit kesakitan
yang disusul terlemparnya tubuh Iblis Cantik Ber-
wajah Malaikat ke arahnya.
Terpaksa Raja Iblis Pantai Timur mengurungkan
niatnya. Dan, segera menyambut tubuh Istrinya de-
ngan kedua telapak tangannya. Sehingga, tubuh
molek itu tidak sampai terjatuh ke tanah.
"Kau..., kau tidak apa-apa, Nyai...?" Tanya Raja
Iblis Pantai Timur cemas ketika dilihatnya cairan
merah menetes dari sudut bibir wanita cantik itu.
"Tidak, Kakang...," sahut Iblis Cantik Berwajah
Malaikat sambil menyeringai menekan perutnya yang
terkena pukulan tangan kiri Panji. Dan, pengaruh
pukulan itu terlihat dengan menggigilnya tubuh
molek dalam pelukan suaminya.
"Hm... Orang-orang seperti kalian memang tidak
patut dibiarkan menikmati hidup lebih lama lagi.
Sebab, hanya bencana dan keonaranlah yang kalian
ciptakan di permukaan bumi ini. Jadi, semestinya
kalian dilenyapkan saja!" ujar Panji yang segera
melangkah mundur beberapa tindak.
Sepasang Manusia Sesat mengerutkan keningnya
ketika melihat lawannya memasang kuda-kuda menunggang kuda. Tangan kanan pemuda itu teracung
perlahan dengan diserrai getaran halus. Sedangkan
tangan kirinya tampak bergerak turun perlahan de-
ngan telapak tangan terbuka seperti hendak mene-
kan tanah. Jelas, Panji tengah menyiapkan jurus-
jurus terampuh dari 'Ilmu Naga Sakti'nya.
"Haiiit..!"
Diiringi 'Pekikan Naga Marah', tubuh Panji melesat
ke arah lawannya yang tengah terpaku bagai patung.
Dengan gerakan berputar seperti baling-baling, Panji
meluruk dan menerkam Sepasang Manusia Sesat itu.
Sadar akan kedahsyatan serangan pemuda itu.
Raja Iblis Pantai Timur dan Iblis Cantik Berwajah
Malaikat serentak merenggang untuk memecah
perhatian lawan. Kemudian, dengan langkah-langkah
lambat tapi kokoh, keduanya bersiap menyambut
serangan Pendekar Naga Putih. Raja Iblis Pantai
Timur yang tidak mengetahui keistimewaan jurus
yang dipergunakan lawan, bergegas menggeser tu-
buhnya ke samping. Sambil bersiap untuk melontar-
kan pukulan balasan dengan kekuatan penuh.
Tapi, bukan main terperanjatnya hati lelaki tinggi
besar itu ketika melihat tubuh Panji tetap meluncur
dengan cakar-cakarnya dan menebarkan hawa maut.
Bahkan, saking cepatnya gerakan putaran tangan
pemuda itu, tidak sempat lagi Raja Iblis Pantai Timur
menghindar. Sehingga, ia terpaksa berbuat nekat dan
kembali siap memapaki serangan Panji.
Namun, begitu cakar Pendekar Naga Putih ber-
tumbukan secara aneh, lengan pemuda itu berputar
dan langsung cengkeramannya bersarang di dada
lelaki tinggi besar itu.
Brettt! Desss!
"Aaakh...!"
Terdengar teriakan ngeri dari Raja Iblis Pantai
Timur ketika cengkeraman dan hantaman telapak
tangan Panji telak bersarang di lambung dan dada-
nya. Sehingga, tanpa dapat ditahan lagi, tubuh lelaki
kekar berotot itu terjungkal mencium tanah.
Karena tidak ingin membuang-buang waktu lagi,
maka Panji langsung mengirimkan tendangan maut
pada saat lawannya tengah berdiri limbung. Maka....
Desss...!
"Aargh...!"
Raja Iblis Pantai Timur tersentak keras hingga dua
tombak lebih. Tendangan yang menghantam telak
dadanya itu, membuat gumpalan darah segar ter-
lompat keluar dari mulutnya. Tubuh lelaki tinggi
besar itu kembali terjatuh ketika hendak bangkit.
Kemudian meregang dan berkelojotan sejenak, sebe-
lum menghembuskan napasnya yang terakhir.
Tewasnya tokoh sesat itu akibat tulang-tulang dada-
nya remuk dihantam tendangan yang keras dari
Pendekar Naga Putih.
Iblis Cantik Berwajah Malaikat yang menyaksikan
kematian suaminya, berteriak bagai orang gila! Saat
itu juga, tubuhnya langsung melesat dengan sera-
ngan yang hebat dan mematikan.
Bettt! Bettt!
Panji menggeser tubuhnya dua tindak ke samping
untuk menghindari serangan berantai lawannya. Dan
langsung dikirimkannya cengkeraman maut dengan
kecepatan yang menggetarkan.
Karuan saja wanita iblis itu kelabakan. Serangan
balasan yang dilontarkan Panji benar-benar sulit se-
kali untuk dihindari. Sehingga sebisa-bisanya wanita
itu menangkis dengan tangannya. Namun....
Plakkk! Bukkk! Brettt!
"Aaakh...!"
Meskipun berhasil menangkis satu pukulan Panji,
namun pukulan dan sambaran cakar naga yang me-
nyusulinya, tak mampu lagi dielakkan Iblis Cantik
Berwajah Malaikat! Tubuh tangsing dan padat itu
kontan terlempar disertai ceceran darah yang me-
ngalir dari hikanya.
Tubuh Iblis Cantik Berwajah Malaikat menggele-
par, dan dari mulutnya memuntahkan darah segar.
Hantaman yang telak mengenai perutnya, membuat
wanita cantik itu tidak mampu bangkit lagi. Dari
luka akibat sambaran cakar naga Panji, darah segar
terus mengalir. Sehingga, wanita cantik itu tidak
sanggup lagi untuk hidup lebih lama. Beberapa saat
kemudian ia pun menghembuskan napas terakhir-
nya, menyusul suaminya.
"Hhh...," Panji menghela napas lega setelah me-
nundukkan Sepasang Manusia Sesat.
"Kakang...!"
Panji mengerutkan keningnya mendengar suara
merdu yang memanggilnya. Matanya ditegasi untuk
melihat wanita yang tengah berlari-lari kecil ke arah-
nya. Sosok ramping itu baru dapat dikenali setelah
dilihatnya sosok lelaki setengah baya yang melang-
kah di belakang sosok ramping itu.
Begitu tiba, gadis yang tak lain dari Rara Ningrum
itu langsung memegang tangan Panji bagaikan saha-
bat yang telah lama tak berjumpa.
"Ningrum, syukurlah kau selamat..." hanya itu
ucapan yang keluar dari mulut Panji.
"Berkat pertotonganmu, Panji. Siluman Kembar
Teluk Merah sudah kami tundukkan, begitu pula
dengan Lima Iblis Hitam. Sekarang tinggal bagai-
mana kita merebut tempat kediamanku," ujar Ki
Raga Baya tersenyum begitu tiba di dekat Panji.
Rupanya Rara Ningrum telah menceritakan segala-
nya kepada orang tua itu. Sehingga tanpa ragu-ragu
lagi, Ki Raga Baya memanggil nama pemuda itu.
Ajakan tidak langsung itu segera disambut baik
oleh Panji. Kemudian ketiga orang itu pun segera
berangkat menuju gedung megah yang merupakan
tempat kediaman Majikan Pulau Mimpi.
***
Tidak sulit bagi Ki Raga Baya untuk kembali
merebut gedungnya. Sebab, yang berada di dalam
gedung hanyalah murid-murid rendahan dari Sepa-
sang Manusia Sesat. Sehingga dalam waktu singkat,
gedung itu sudah dapat dikuasai.
Panji yang merasa tugasnya di tempat itu telah
selesai, segera meninggalkan Ki Raga Baya dan Rara
Ningrum tanpa pamit. Pendekar Naga Putih tidak
ingin mengganggu kegembiraan pesta yang dilang-
sungkan Majikan Pulau Mimpi itu. Maka, pemuda itu
lenyap begitu saja tanpa diketahui Ki Raga Baya
maupun Rara Ningrum.
Setelah meninggalkan kediaman Ki Raga Baya,
Panji langsung menemui Ki Rungga dan Sumirah
yang ditinggalkannya di tempat tersembunyi, di sebe-
lah Selatan Pulau Mimpi.
"Panji...!"
Wanita berwajah manis yang usianya sekitar tiga
puluh tahun itu, berlari ketika melihat seorang
pemuda berjubah putih tengah melangkah menuju
pondoknya. Begitu tiba, langsung dipeluknya
pemuda itu dengan penuh keharuan.
"Nyai..., apakah kau baik-baik saja...? Bagaimana
dengan Ki Rungga?" sapa Panji sambil membalas
pelukan wanita yang hanya mengenakan kain
sebatas dada sebagai penutup tubuhnya. Siapa lagi
wanita itu kalau bukan Sumirah.
"Kami berdua sehat sepertj sediakala, Panji. Ba-
gaimana dengan usahamu? Tentu kau berhasil, bu-
kan?" Tanya Sumirah tanpa melepaskan pelukannya.
"Berkat doamu, Nyai...," sahut Panji singkat.
"Kedatanganku hanya untuk pamit Karena segalanya
telah kembali seperti biasa, aku berniat hendak
mencari Kenanga. Mudah-mudahan saja ia mengala-
mi nasib baik sepertiku,” desah Panji separuh ber-
harap.
Sumirah menundukkan wajahnya yang mendadak
mendung ketika mendengar ucapan Panji. Namun, la
sadar kalau pemuda yang disukainya itu memang
harus pergi, dan memastikan nasib ke-kasihnya.
"Berjanjilah untuk menengokku apabila kau telah
mengetahui nasib Kenanga, Panji...," desah Sumirah
yang tidak bisa berbuat apa-apa lagi.
"Ingat-ingatlah kami, Panji...," pesan Ki Rungga
yang juga telah berada di tempat itu, mengantai
kepergian Panji.
"Terima kasih, Ki, Sumirah...," ujar Panji seraya
menyalami kedua orang yang telah menolongnya
selama berada di Pulau Mimpi.
Setelah mengucapkan kata-kata perpisahan,
tubuh Panji langsung melesat meninggalkan tempat
itu. Kemudian bayangan tubuhnya pun hilang dari
panda-ngan kedua orang itu, Sengaja Panji tidak
menoleh lagi. Karena hatinya merasa berat untuk
meninggalkan kedua orang yang sangat baik dan
teliti dalam merawatnya.
"Selamat tinggal Pulau Mimpi...," desah Panji
seraya melambaikan tangannya ketika telah berada
di atas sebuah perahu. Pendekar Naga Putih mening-
galkan pulau itu dengan menyewa seorang nelayan
untuk mengantarkannya ke daratan terdekat.
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar