RAHASIA BUNGA CUBUNG BIRU
OlehTeguh Suprianto
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : PujiS.
Gambar sampuloleh Pro's
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Pulau Neraka
dalamepisode
Rahasia Bunga Cubung Biru
128 hal. ; 12 x 18 cm
SATU
"Hiyaaat..!" Trang!
Malam yang seharusnya sunyi, tiba-tiba dipecahkan
oleh suara pertarungan di halaman depan sebuah
rumah besar yang dikelilingi pagar balok kayu tinggi
dan berujung runcing. Di sekitar tempat pertarungan
itu orang-orang bersenjata terhunus berdiri
mengelilingi. Mereka menyaksikan dua orang laki-laki
bertarung, menggunakan kepandaian tingkat tinggi.
Melihat banyaknya keringat yang bercucuran dan
debu yang melekat di badan, dapat dipastikan kalau
pertarungan itu sudah berjalan cukup lama. Sementara
malam sudah demikian larut, sedangkan pertarungan
dua laki-laki itu masih berlangsung sengit. Seakan-
akan pertarungan itu tidak akan berhenti dalam waktu
singkat.
Dua orang yang bertarung itu sudah sama-sama
berusia lanjut. Yang seorang mengenakan jubah putih
panjang, dan berambut putih tergelung ke atas.
Sedangkan seorang lagi mengenakan jubah warna biru
tua. Rambutnya panjang meriap hampir menutupi
wajahnya. Mereka sama-sama menggunakan tongkat.
Namun yang berjubah putih hanya menggunakan
tongkat kayu biasa tanpa bentuk, sedangkan lawannya
menggunakan tongkat berbentuk ular kobra yang
mengembangkan lehernya.
Pertarungan itu berjalan cepat, sehingga yang
terlihat hanya dua bayangan berkelebat saling sambar.
Setiap kali tongkat-tongkat mereka beradu, seketika
timbullah ledakan keras disertai percikan bunga api
yang menyebar ke seluruh penjuru. Meskipun tongkat
yang dipegang orang berjubah putih hanya tongkat
kayu biasa, namun kekuatannya melebihi tongkat baja
yang keras. Bahkan hantaman tongkatnya mampu
menghancurkan batusebesar kerbau.
"Hiyaaat...!"
Trak!
"Akh...!"
Tiba-tiba saja laki-laki berjubah putih memeluk
keras tertahan, dan tampak terhuyung-huyung ke
belakang sambil memegangi dadanya. Darah segar
merembes keluar dari sela-sela jari tangan yang keriput.
Pada saat itu, orang yang berbaju biru gelap melompat
cepat bagai kilat sambil tongkatnya melayangkan satu
pukulan keras. Begitu kerasnya sehingga menimbulkan
suara angin menderu bagai topan.
"Mampus kau! Hiyaaa...!"
Des!
"Aaa...!" kembali laki-laki tua berjubah putih itu
menjerit.
Hantaman tongkat berbentuk ular kobra itu tepat
mengenai kepala laki-laki tua berjubah putih.
Terdengar suara berdetak, dan seketika laki-laki
berjubah putih itu ambruk ke tanah dengan kepala
remuk. Darah mengucur dari dada dan kepalanya.
Orang berbaju biru gelap itu berdiri pongah sambil
memutar-mutar tongkatnya.
"Hayo! Siapa lagi yang ingin menyusul ke neraka!"
teriak orang berjubah biru itu, keras menantang.
Dari sekian banyak orang yang mengelilingi
halaman, tak seorang pun yang berani membuka
mulut. Laki-laki tua bertongkat ular itu mengedarkan
pandangannya ke sekeliling. Sebentar kemudian
dihampirinya laki-laki tua yang tergeletak tengah
meregang nyawa di tanah. Ditekan ujung tongkatnya ke
dada yang berlumuran darah itu.
"Anom Sura! Di mana kau sembunyikan peti itu?"
dingin nada suara laki-laki bertongkat ular itu.
Tapi orang berjubah putih itu tidak menjawab, dan
hanya mengerang merasakan sakit yang amat sangat
pada dada dan kepalanya. Darah semakin banyak
keluar.
"Baiklah. Mungkin kau lebih senang mati. Tapi aku
masih bisa mendapatkan kotak itu dari putrimu!"
dengus orangitu dingin. "Hih...!"
"Aaa...!"
Tanpa berkedip sedikit pun, orang bertongkat ular
itu menghunjamkan ujung tongkatnya hingga
menembus dada laki-laki tua berjubah putih yang
dipanggil Anom Sura. Sambil menarik kembali
tongkatnya, orang itu langsung melesat pergi. Begitu
cepatnya, sehingga sekejap saja sudah lenyap tak
berbekas.
"Guru...!"
"Paman...!"
Mereka yang berkerumun mengelilingi halaman itu
berhamburan memburu laki-laki tua berjubah putih
yang tergeletak di tanah bersimbah darah. Salah
seorang berbaju hijau yang pedangnya tergantung di
pinggang bergegas mengangkat kepala Ki Anom Sura
dan menopang dengan pahanya. "Paman...."
"Adilangu. Cepatlah pergi ke Gunung Cakal. Jemput
adikmu dan bawa ke sini," kata Ki Anom Sura lemah.
"Paman...."
"Akh...! Rasanya aku tidak kuat lagi. Adilangu,
cepatlah pergi dan katakan agar Rampita..., akh!"
"Paman...!"
"Adilangu, bawa kotak yang ada di bawah balai
semadiku. Berikan pada putriku..., akh...!"
"Paman...!"
"Guru...!"
Namun Ki Anom Sura sudah terkulai. Adilangu
memeluk laki-laki tua itu. Diusapkan tangannya ke
wajah Ki Anom Sura. Sebentar diedarkan
pandangannya ke sekeliling, menatap wajah-wajah
yang tertunduk dalam tanpa cahaya di sekelilingnya.
Kemudian Adilangu mengangkat tubuh laki-laki tua itu
dan membawanya masuk ke dalam rumah besar yang
tampakterang benderang
Tak ada sedikit pun suara yang terdengar. Semua
orang yang berkerumun di depan rumah itu hanya
diam sambil menundukkan kepala. Laki-laki itu
membaringkan tubuh Ki Anom Sura di atas dipan
kayu, kemudian duduk bersila di lantai. Semua orang
yang berada di belakangnya ikut duduk bersila. Secara
bersamaan mereka merapatkan tangannya di depan
hidung, memberi penghormatan terakhir pada laki-laki
tua itu.
***
Adilangu memacu cepat kudanya bagai dikejar se-
tan. Sepanjang jalan yang dilalui, meninggalkan
kepulan debu karena tersepak kaki-kaki kuda hitam
itu. Tak peduli ada kubangan berlumpur, pohon
tumbang melintang menghadang jalan, pemuda itu
terus memacu kudanya dengan kecepatan tinggi.
Sebuah buntalan kain di punggung berguncang-
guncang mengikuti tubuhnya yang tidak bisa diam di
atas punggung kuda.
"Hiya! Hiyaaa...!"
Adilangu semakin keras menggebah kudanya. Tidak
dipedulikan lagi jalan yang mulai sulit dilalui karena
semakin rapatnya pepohonan. Terlebih lagi jalan itu
mendaki, sedangkan kuda hitam yang ditungganginya
semakin terseok kewalahan. Binatang tunggangan itu
mendengus-dengus kelelahan. Seharian dipacu cepat
tanpa beristirahat sebentar saja. Namun pemuda itu
terus menggebah kudanya agartetap berlari kencang.
Wus...!
Tiba-tiba saja sebatang anak panah meluncur de-
ras ke arahnya. Adilangu terperanjat, lalu cepat-cepat
menarik tali kekang kudanya. Akibatnya, binatang itu
meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki
depannya tinggi-tinggi.
"Hup! Hiyaaa...!"
Adilangu melentingkan tubuhnya dan berputaran
beberapa kali di udara sebelum kakinya menjejak
tanah. Sementara, anak panah itu menancap di sebuah
pohon tidak jauh dari tempatnya mendarat. Sedangkan
kuda hitam itu langsung berlari tanpa mempedulikan
majikannya yang tertinggal. Adilangu mendengus
seraya menatap tajam ke sekeliling.
Srak! Srak...!
Adilangu langsung meraba gagang pedangnya di
pinggang ketika tiba-tiba saja di sekitarnya berlompatan
sekitar sepuluh orang bersenjatakan golok terhunus.
Mereka langsung mengepung pemuda itu. Pemuda itu
menatap seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh
tahunan saat mendengar tawa keras menggelegar dari
atas dahan pohon.
"Ha ha ha...!"
Adilangu hanya mendesis kecil. Laki-laki berwajah
penuh berewok yang berdiri di atas pohon itu terus
tertawa terbahak-bahak, seakan-akan tengah
menyaksikan suatu pertunjukan yang mengocok
perutnya. Dia mengenakan baju hitam, dan celana
hitam sebatas lutut. Tampak gagak golok berwarna
gading menyembul dipinggang. Tubuhnya besar dan
kekar, tapi anehnya dahan kecil itu tidak melengkung
menahan beban tubuhnya. Adilangu sadar kalau orang
itu pasti memiliki ilmu meringankan tubuh yang cukup
tinggi. Dan tentu saja, sepuluh orang yang
mengepungnya juga bukan orang kosong.
"Siapa kalian? Mengapa menghadang jalanku?"
tanya Adilangu ketus.
"He he he...! Anak Muda, aku tahu asalmu. Dan
tentu saja aku tahu apa yang kau bawa. Demi
keselamatanmu, tinggalkan saja mainan itu. Dan kau
boleh pergi dengan selamat!" ujar laki-laki di atas
pohon. Suaranya besar dan terdengar berat sekali.
"Hmmm..., kau pasti Barong Codet," desis Adilangu
menatap wajah laki-laki itu.
Memang pada pipi kiri laki-laki berewok itu terdapat
luka memanjang bagai lintah menempel. Luka itu
hampir menyentuh sebelah matanya. Adilangu
mengenali orang itu, karena pernah melihat pamannya
bertarung dengannya. Luka di pipi kirinya juga akibat
tergores ujung tongkat Ki AnomSura.
"Kau sudah tahu siapa diriku, Adilangu. Dan aku
tidak segan-segan membunuhmu! Tak ada lagi yang
bisa melindungimu. Si tua bangka itu sudah tenang di
neraka! Ha ha ha...!"
Adilangu mendesis geram, tapi juga heran. Dari
mana Barong Codet mengetahui kematian Ki Anom
Sura? Padahal baru kemarin Ki Anom Sura tewas di
tangan seseorang yang tidak dikenalnya. Dan tentu saja
berita kematian Ketua Padepokan Tongkat Sakti itu
belum tersebarsampai keluar.
"Dari mana kau tahu, Barong Codet?" tanya
Adilangu tidak bisa menahan keingintahuannya.
"Ha ha ha...! Semua orang sudah tahu kalau si tua
bangka itu sudah mampus!" sahut Barong Codet. "Kini
tak ada lagi penghalang untuk membalas kekalahanku!
Padepokan Tongkat Sakti harus musnah, dan mainan
itu harus menjadi milikku! Ha ha ha...!"
Adilangu terdiam. Disadari dan diketahui betul sia-
pa Barong Codet itu. Dia adalah pemimpin gerombolan
begal yang pating ditakuti di sekitar Lembah Bunga ini.
Bahkan sampai ke Kaki Gunung Cakal nama Barong
Codet sangat ditakuti. Tingkat kepandaian yang dimiliki
juga sangat tinggi. Dan Adilangu sadar kalau
kemampuannya belum bisa mengimbangi laki-laki
beringas itu. Tapi, kotak yang dibawanya tidak
mungkin begitu saja dilepaskan. Benda ini harus
sampai pada Rampita, sesuai amanat yang diberikan
pamannya sebelum ajal menjemput.
"Cepat, berikan mainan itu, Adilangu!" bentak
Barong Codet tidaksabar lagi.
'Tidak semudah itu, Barong Codet Kau harus
melangkahi dulu mayatku!" sahut Adilangu nekad,
meskipun sadar tidak akan mampu menghadapinya.
Tapi baginya lebih baik mati daripada menjadi
pengecut.
"Bocah setan! Bunuh bocah itu...!" seru Barong
Codet menggeram marah.
Serentak sepuluh orang bersenjata golok yang
mengepung Adilangu berlompatan menyerang. Pemuda
itu langsung mencabut pedangnya, menyambut
serangan sepuluh orang bersenjata golok. Suatu
pertarungan yang tidak seimbang terjadi. Satu lawan
sepuluh orang memang bukan pertarungan yang
menarik Dan sudah dapat diduga hasilnya. Baru
beberapa gebrakan saja, Adilangu sudah tampak
kewalahan menghadapi lawan-lawannya. Beberapa kali
tubuhnya harus menerima pukulan dan tendangan,
sehingga membuatnya harus jatuh bangun bergulingan
di tanah. Tapi pemuda itu tidak mengenal menyerah,
dan terus bertahan walaupun menyadari tidak akan
bisa bertahan lebih lama lagi.
Serangan sepuluh orang bersenjata golok itu kian
gencar, dan membuat ruang gerak Adilangu semakin
menyempit. Terlalu sukar bagi pemuda itu untuk bisa
meloloskan diri. Memberi serangan balasan pun sudah
sukar sekali. Sekali pun bisa, itu pun tidak ada artinya
sama sekali. Serangan yang dilakukan selalu dapat
dimentahkan sebelumsampai pada sasaran.
"Ha ha ha...!" Barong Codet tertawa terbahak-bahak
melihat Adilangu semakin taksanggup lagi bertahan.
Dari mulut dan hidung pemuda itu sudah
mengucurkan darah. Seluruh tubuhnya terasa remuk.
Bahkan untuk mengangkat pedang saja sudah tidak
sanggup lagi. Tubuhnya terlontar dari satu orang ke
orang lainnya. Adilangu benar-benar dijadikan bola,
ditendang ke sana kemari tanpa mampu membalas.
Bahkan pedangnya kini sudah terlepas dari genggaman
tangan. Pemuda itu tidak tahu lagi, sudah berapa
banyak tendangan dan pukulan mendarat di tubuhnya.
Kepalanya semakin terasa pening. Rasanya tubuh
Adilangu sudah tidak bisa lagi merasakan pukulan
maupun tendangan yang mampir di tubuhnya.
Slap!
Tiba-tiba saja ketika Adilangu terpental akibat
tendangan keras, sebuah bayangan menyambar
tubuhnya dan membawa keluar dari kepungan sepuluh
orang itu. Seketika tawa Barong Codet terhenti, dan
kontan menggeram dahsyat. Sementara itu sepuluh
orang anak buahnya langsung memutartubuhnya.
Entah bagaimana kejadiannya, tahu-tahu Adilangu
sudah berada di atas pundak seorang pemuda
berwajah tampan mengenakan baju kulit harimau.
Pemuda itu mengedarkan pandangannya berkeliling,
merayapi sepuluh orang yang kini sudah
mengepungnya. Tatapan tajamnya langsung tertuju
pada Barong Codet yang masih berada di atas dahan
pohon.
"Biadab! Mengeroyok orang yang tidak berdaya
sama sekali!" desis pemuda berbaju kulit harimau itu
dingin dan datar.
"He, bocah! Jangan campuri urusanku!" bentak
Barong Codet geram.
"Sama sekali aku tidak bermaksud mencampuri
urusanmu, Kisanak. Tapi rasanya tidak bisa kubiarkan
jika kalian seenaknya saja menyiksa orang yang sudah
tidak punya daya!" sahut pemuda itu lantang.
"Setan alas! Keparat...! Seraaang...!" maki Barong
Codet seraya memberi perintah.
"Maaf, aku tidak punya waktu untuk menghadapi
tikus macam kalian! Hup!"
Bagai kilat pemuda berbaju kulit harimau itu
melesat ke atas dan langsung lenyap seketika itu juga.
Barong Codet memaki habis-habisan. Diperintahkan
seluruh anak buahnya untuk mencari dan mengejar.
Tanpa membantah sedikit pun sepuluh orang itu segera
berlari berpencar. Sedangkan Barong Codet sendiri
langsung melompat turun dan menghentak-hentakkan
kakinya sambil memaki-maki tidak karuan.
***
Sementara itu di dalam sebuah gua batu yang
letaknya di Tebing Jurang Lembah Bunga, Adilangu
merintih sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
Dikerjapkan matanya, dan kontan tersentak begitu
menyadari dirinya berada di tempat yang sangat asing.
Tapi begitu hendak bangun, sebuah tangan mencegah
dadanya.
"Jangan bangun dulu. Berbaringlah sebentar lagi,"
terdengarsuara dari arah samping
Adilangu menoleh. Tampak seorang pemuda
berbaju kulit harimau tersenyum sambil menjauhkan
tangannya dari dada Adilangu yang sudah berbaring
lagi.
"Siapa kau, Kisanak?" tanya Adilangu.
"Aku Bayu. Dan aku telah melihatmu tengah
dikeroyok orang. Lalu kau kubawa ke sini. Tenang
sajalah. Tak ada seorang pun yang tahu tempat ini,"
jelas pemuda berbaju kulit harimau itu setelah
memperkenalkan dirinya. Dia memang Bayu yang
dikenal berjulukPendekar Pulau Neraka.
"Oh...," Adilangu mendesah panjang seraya
memejamkan matanya.
Sebentar kemudian Adilangu kembali membuka
matanya. Kini dia ingat. Dalam perjalanan, dirinya telah
dihadang Barong Codet dan sepuluh orang anak
buahnya, dan tak mampu menghadapi keroyokan
mereka. Mungkin saat itu Adilangu sudah jatuh
pingsan ketika Bayu muncul dan menyelamatkannya
dari maut. Dipandanginya pemuda berbaju kulit
harimauitu.
"Namaku Adilangu, Kisanak," Adilangu
memperkenalkan diri.
"Bayu.... Panggil saja Bayu," pinta Bayu diiringi
senyuman.
"Oh, iya. Hmmm..., di mana ini?" tanya Adilangu
seraya bergerak hendak bangkit berdiri.
Bayu membiarkan saja Adilangu bergerak,
walaupun hanya mampu duduk bersila. Diedarkan
pandangannya ke sekeliling, dan baru disadari kalau
dirinya berada dalam sebuah gua yang tidak begitu
besar dan dalam. Adilangu memandang ke mulut gua,
dan menjadi terkejut karena langsung melihat tebing
seberang dari sebuah jurang. Langsung dipandanginya
Pendekar Pulau Neraka yang tampaknya asyik
memutar-mutar daging bakar di atas perapian.
'Tempat ini masih berada di Lembah Bunga," jelas
Bayu.
"Di JurangKematian...?!" desis Adilangu ragu-ragu.
"Benar," ringan sekali jawaban Bayu.
"Oh...," lagi-lagi Adilangu mendesah.
"Kenapa? Tampaknya kau takut mendengar nama
jurang ini Itu hanya sebuah nama saja, dan tidak ada
yang perlu ditakuti di jurang ini," kata Bayu.
"Belum ada seorang pun yang bisa keluar dari
jurang ini. Itu sebabnya dinamakan Jurang Kematian,"
desah Adilangu.
Adilangu menatap dalam-dalam pemuda berbaju
kulit harimau itu. Hatinya jadi menduga-duga, siapa
sebenarnya pemuda ini? Mengapa menolong dan
membawanya ke jurang yang terkenal angker dan
menyeramkan? Semua orang lebih baik memutar
daripada harus melewati jurang ini. Sekali saja
terpeleset, dan jatuh ke dalam jurang ini tidak akan
bisa kembali lagi. Bahkan mayatnya pun lenyap begitu
saja.
"Apa itu?" tanya Adilangu menunjuk daging bakar
di atas api.
"Hanya daging rusa. Mau?" sahut Bayu seraya
menawarkan.
Adilangu tampak ragu-ragu.
"Di dasar jurang ini memang banyak kerangka
manusia dan mayat-mayat membusuk. Tapi aku belum
pernah memakan daging manusia. Masih banyak
binatang yang bisa diburu dan dimakan," kata Bayu
seperti bisa membaca keraguan Adilangu.
Bayu menyodorkan sekerat daging yang ditusuk
sebatang ranting. Adilangu menerimanya meskipun
masih diliputi keraguan. Dia belum mengenal pemuda
berbaju kulit harimau, meskipun sudah disebutkan
namanya. Baru sekali ini pemuda berbaju kulit
harimau itu dilihatnya, dan itu pun di Jurang
Kematian. Inilah yang mengganggu pikirannya. Tapi
kelihatannya Bayu tenang saja menikmati daging
panggang. Adilangu menelan ludahnya yang kering.
Sebentar pemuda itu memandangi sekerat daging di
tangannya, kemudian mencoba memakannya sedikit
Alisnya terangkat naik begitu merasakan daging
panggang ini. Lidahnya bisa membedakan rasa daging
meskipun hanya dibakar saja. Jelas kalau ini daging
rusa, bukan seperti yang ada dalam pikirannya.
Adilangu kembali menggigit dan mengunyahnya.
Bahkan mengambil satu kerat lagi. Perutnya memang
sudah lapar. Sejak pergi dari Padepokan Tongkat Sakti,
perutnya belumterisi makanan sedikit pun.
"Siapa mereka yang mengeroyokmu?" tanya Bayu
setelah cukuplama berdiam diri.
"Ceritanya panjang...," sahut Adilangu.
"Hmmm..., kelihatannya mereka ingin
membunuhmu. Kenapa?"
"Aku sendiri tidak tahu. Tapi pemimpin mereka
menghendaki barang yang kubawa ini," sahut Adilangu
seraya menepuk buntalan kain di sampingnya.
"Apa itu?"
"Hanya sebuah kotak kayu. Aku sendiri tidak tahu
isinya. Aku hanya mendapat amanat untuk
menyampaikan kotak ini pada pemiliknya."
"Kalau begitu, sebaiknya besok pagi saja kau
berangkat. Lukamutidakada yangterlalu berarti."
"Besok pagi...?"
"Iya, kenapa?"
Adilangu memandang keluar. Sungguh tidak
disadari kalau hari ini sudah malam. Itu berarti cukup
lama juga dirinya tidak sadarkan diri. Adilangu diam
membisu memandang keluar gua. Memang aneh gua
ini. Kelihatan terang seperti masih siang saja, padahal
sudah malam.
Cahaya terang itu ternyata berasal dari batu yang
banyak tersebar di tebing-tebing jurang ini. Batu-batu
itu memantulkan cahaya bulan, sehingga membuat
keadaan jurang ini terang meskipun malam hari.
Sungguh tidak diduga sama sekali, baru kali ini
Adilangu menyaksikan Jurang Kematian pada malam
hari.
***
DUA
Dengan hanya sedikit mengerahkan ilmu
meringankan tubuh, Adilangu sudah berhasil mencapai
tepi Jurang Kematian. Pemuda itu sendiri tidak
menyangka akan begitu mudah keluar dari jurang yang
sudah terkenal angker ini. Memang sesuatu yang
dikatakan angker dan berbahaya belum tentu
menakutkan. Dan sekarang Adilangu tahu kalau
Jurang Kematian sebenarnya tidaklah seangker cerita-
cerita yang didengar sebelumnya. Bahkan jurang ini
terlihat begitu indah, tak nampak sedikit pun
keangkerannya.
Hanya saja hati Adilangu masih diliputi berbagai
macam tanda tanya tentang pemuda berbaju kulit
harimau yang menyelamatkannya dari tangan maut si
Barong Codet Meksipun pemuda itu sudah memper-
kenalkan diri, tapi Adilangu masih juga bertanya-tanya,
siapa sebenarnya Bayuitu.
"Gunung Cakal masih terlalu jauh dari sini. Tapi
kau bisa menyusuri bibir jurang ini dan terus berjalan
ke arah Timur," jelas Bayu.
"Kau tidak ikut ke sana?" tanya Adilangu.
Padahal, Adilangu berharap agar pemuda berbaju
kulit harimau itu bersedia mengantarnya sampai ke
Gunung Cakal. Terus terang, hatinya masih khawatir
akan gerombolan si Barong Codet yang pasti masih
mencari dan ingin merebut kotak kayu yang dibawanya
ini. Adilangu memandangi Bayu dalam-dalam dengan
satu harapan agar yang dinanti-nantikannya terkabul.
"Rasanya aku tidak ada keperluan di Gunung
Cakal. Jadi, kau bisa melanjutkan perjalanan sendiri.
Aku yakin, jika menyusuri bibir jurang, tidak ada yang
mencegatmu lagi," kata Bayu kalem.
Adilangu mengangkat bahunya. Tidak mungkin
pemuda berbaju kulit harimau ini didesak terus agar
ikut bersamanya ke Gunung Cakal. Setelah
mengucapkan terima kasih dan berbasa-basi sebentar,
Adilangu kemudian berjalan menuju arah Timur,
menyusuri bibirjurang.
Ayunan langkah kakinya begitu pelan, seakan-akan
tidak ada gairah untuk melanjutkan perjalanannya
kembali. Dia menyesal karena tidak membawa teman
seorang pun dalam perjalanan yang banyak menempuh
rintangan dan bahaya ini. Padahal bisa saja separuh
murid pamannya dibawa. Adilangu memalingkan
mukanya ke belakang. Langkahnya seketika terhenti
karena tidak melihat lagi pemuda berbaju kulit harimau
di sana.
"Hmmm..., ke mana dia?" Adilangu bergumam
pelan bertanya pada diri sendiri.
Pemuda itu mengangkat sedikit bahunya, kemudian
kembali melanjutkan perjalanan. Rasanya tepian jurang
yang menyeramkan ini ingin ditinggalkannya. Namun
mengingat gerombolan Barong Codet dan pesan Bayu,
Adilangu jadi memantapkan hati untuk terus
menyusuri jalan yangtidak pernah dilalui orangini.
"Ha ha ha...!"
Adilangu tersentak ketika tiba-tiba mendengar tawa
menggelegar di sekitarnya. Tawa itu seperti datang dari
segala arah, dan itu pertanda pemilik suara memiliki
kemampuan tenaga dalam tinggi. Adilangu langsung
menghentikan langkahnya. Diedarkan pandangannya
ke sekeliling, namun tak seorang pun yang dilihatnya.
Wajah pemuda itu mulai terlihat memucat Pikiran-
pikiran buruk mulai menghantui benaknya.
"Jangan-jangan.... Hihhh...," Adilangu bergidik.
Tanpa berpikir panjang lagi, pemuda itu langsung
berlari kencang Namun, suara tawa itu masih juga
terdengar. Bahkan seakan-akan mengikuti setiap
ayunan kaki pemuda itu. Dan ini membuatnya semakin
kencang berlari.
"Ah...!" tiba-tiba Adilanguterpekik kaget.
Seketika pemuda itu menghentikan larinya. Entah
dari mana datangnya, tahu-tahu di depan pemuda itu
sudah berdiri seorang laki-laki tua berbaju hitam
panjang. Tangannya memegang tongkat berbentuk ular
kobra yang lehernya terkembang. Wajah Adilangu
seketika memucat, dan seluruh tubuhnya gemetar
bersimbah keringat sebesar butiran jagung.
Adilangu tahu betul, siapa orang tua berjubah hitam
ini. Dialah yang telah membunuh pamannya. Meskipun
pemuda itu belum mengetahui nama dan urusan orang
tua itu dengan Ketua Padepokan Tongkat Sakti Itu, tapi
diyakini kalau dia pasti menginginkan kotak yang
dibawanya.
"Mau apa kau menghadangku?!" bentak Adilangu,
memberanikan diri.
Orang tua bertongkat ular kobra itu hanya tertawa
kecil. Bibirnya tersenyum kecil, namun sorot matanya
begitu tajam menusuk, memancarkan sinar merah
membara bagai hendak membakar hangus seluruh
tubuh pemuda di depannya. Sedangkan Adilangu
beringsut mundur beberapa langkah, tubuhnya
bergidik ngeri. Tatapan mata laki-laki tua itu demikian
tajam, membuat jantungnya serasa berhenti berdetak
"Kuakui keberanianmu, Anak Muda. Tapi sayang,
aku harus memaksamu. Mungkin juga bisa
membunuhmu...!" dingin sekali suara orang tua
bertongkat ular kobra itu.
"Apa yang kau inginkan dariku...?" tanya Adilangu
agak bergetarsuaranya.
"Aku tahu kau berasal dari Padepokan Tongkat
Sakti. Dan tentu saja aku juga tahu kalau kau adalah
keponakan si tua bangka pengkhianat Anom Sura.
Maka, jika ingin dirimu selamat, tunjukkan padaku di
mana si tua bangka pengkhianat itu menyimpan
kotaknya!" tak ada nada pada suara laki-laki tua
bertongkat ular kobra itu.
Adilangu menelan ludahnya. Pemuda cerdas itu
langsung mengerti kalau orang tua kejam ini tidak
mengetahui dirinya tengah membawa kotak kayu aneh
dan misterius itu. Seketika otak Adilangu bekerja keras.
Ada sedikit harapan untuk bisa lolos dari cengkeraman
laki-laki tua ini.
"Aku tidak tahu," sahut Adilangu.
"Ha ha ha...! Kau pikir aku mudah percaya begitu
saja, monyet jelek! Aku tahu kau pergi dari Padepokan
Tongkat Sakti, dan tujuanmu adalah Gunung Cakal.
Hmmm.... Apa yang kau bawa itu, monyet?!"
"Pakaian," sahut Adilangu bergetar suaranya.
Pupus sudah harapan pemuda itu untuk bisa lolos dari
tangan orang tua berkepandaian tinggi ini. Namun
Adilangu masih juga mencari jalan, dan otaknya
berputar keras agar bisa lolos tanpa memeras keringat
Kalau pun dia terpaksa bertarung, paling-paling mati.
Hanya itu yang ada dalam pikirannya. Baginya lebih
baik mati daripada harus menyerah begitu saja.
"He he he...," orang tua bertongkat ular kobra itu
terkekeh. Dilangkahkan kakinya pelan menghampiri
pemuda di depannya.
"He! Mau apa kau...?!" sentak Adilangu bergegas
mundur.
"Berikan itu padaku!" bentak orang tua itu keras
dan dingin.
'Tidak! Ini hanya pakaianku saja. Tidak ada
gunanya buatmu!"
"Heh! Jangan paksa aku untuk menggunakan
kekerasan, bocah setan!" dengus orang tua bertongkat
ular kobra itu dingin.
Adilangu menelan ludah untuk ke sekian kalinya,
sambil terus bergerak mundur sambil mendekap bun-
talan kain erat-erat Matanya jelalatan mencari jalan
agar bisa lari dan terlepas dari orang tua berwajah
bengis ini. Tapi, tak ada jalan keluar untuknya. Di
sebelah kiri jurang yang cukup dalam terus menganga,
siap menelan tubuhnya. Sedangkan di sebelah
kanannya adalah dinding batu cadas yang cukuptinggi,
licin, dan berlumut tebal. Untuk berbalik dan lari,
rasanya tidak mungkin lagi. Orang tua ini pasti dengan
mudah bisa mengejar.
'He he he.... Kau tidak akan bisa lolos dariku, bocah!
Jika masih sayang nyawa, berikan itu padaku!" geram
orangtua bertongkat ular kobra itu.
"Tidak!" sentak Adilangu keras.
"Bocah setan! Kau memaksaku bermain keras,
heh...?!" geramorangitu.
Adilangu benar-benar nekat Dicabut pedangnya dan
dilintangkan di depan dada. Buntalan kain lusuhnya
disampirkan di punggung, dan diikat kuat-kuat Tak
ada pilihan lain bagi Adilangu selain mencoba melawan
semampunya. Walaupun tindakannya ini mengandung
resiko yang amat tinggi, tapi dia tidak peduli. Mati lebih
baik daripada harus menyerah dan mengkhianati
pamannya.
***
"Hih! Hiyaaa...!"
Tiba-tiba saja orang tua bertongkat ular kobra itu
berteriak keras sambil melompat bagai kilat Tongkatnya
dikibaskan ke arah kepala Adilangu. Secepat itu pula
Adilangu melompat mundur sambil menghentakkan
pedangnya.
Trang!
"Akh...!" Adilanguterpekik keras.
Seluruh tangan kanannya bergetar hebat
sedangkan pedangnya terlontar jauh begitu membentur
tongkat ular kobra itu. Dan sebelum Adilangu bisa
menyadari apa yang terjadi, mendadak saja satu
tendangan keras mendarat di dadanya.
Kembali pemuda itu berteriak keras, dan tubuhnya
terpental deras ke belakang. Punggungnya tertahan
sebatang pohon cemara hingga tumbang Adilangu
bergulingan di tanah berbatu, dan hampir saja masuk
ke dalam jurang kalau saja tangan kurus orang tua itu
tidak mencekal tangannya. Dan hanya sekali hentak
saja, pemuda itu kembali terpental menghantam
dinding batu di tepi jurangitu.
"Akh...!" lagi-lagi Adilangu memekik keras.
Pemuda itu melorot turun. Seluruh tulang-
tulangnya terasa remuk. Adilangu berusaha bangkit
berdiri sambil meringis menahan sakit, dan akhirnya
berhasil berdiri meskipun dalam keadaan limbung. Dia
tidak tahu lagi, di mana pedangnya. Mungkin terjatuh
ke dalam jurang di sana. Sementara orang tua
bertongkat ular kobra itu berdiri tegak menatap tajam
padanya. Dengan punggung merapat pada dinding
batu, Adilangu berusaha bergeser, walaupun seluruh
tubuh nyeri dan kakinya gemetar.
"Aku bisa saja membunuhmu semudah
membalikkan telapak tangan, bocah!" ancam orang
bertongkat ular kobra itu mendesis.
"Phuih! Lebih baik aku mati daripada harus
menyerah padamu!" balas Adilangu nekad.
"Pilihan tolol!"
Mendadak saja dengan satu kecepatan luar biasa,
orang tua bertongkat ular kobra itu mengecutkan
tongkatnya ke arah kepala Adilangu. Begitu cepatnya,
sehingga menimbulkan suara angin menderu bagai
topan.
Adilangu terperangah dengan mata membehak dan
mulut ternganga lebar. Rasanya tak mungkin lagi
pemuda itu mengelakkan tongkat yang melayang deras
ke arahnya itu. Namun mendadak saja, begitu kepala
tongkat hampir menghantam kepalanya, sebuah
bayangan berkelebat menahan tongkat itu Seketika
tongkat itu disentakkannya hingga terpental balik.
"Heh...?!" orangtua berjubah hitamituterkejut
Kalau saja tongkatnya tidak cepat diputar, mungkin
senjatanya itu sudah terlepas dari tangannya.
Hentakan bayangan itu demikian keras. Apalagi, orang
tua bertongkat ular kobra itu tidak mengerahkan
seluruh tenaga dalamnya, karena begitu yakin kalau
Adilangu akan tewas dalam sekali pukul saja.
"Bayu...," desah Adilangu, begitu melihat seorang
pemuda berbaju kulit harimau tahu-tahu sudah berdiri
di depannya.
"Beludak edan...!" malu orang tua bertongkat ular
kobra itu geram.
Tatapan matanya merah membara dan tajam sekali
menusuk langsung bola mata Pendekar Pulau Neraka.
Sementara Adilangu buru-buru menyingkir dari tempat
itu. Kemunculan Bayu yang begitu tiba-tiba memberi
harapan Adilangu untuk bisa menyelamatkan kotak
kayu yang menjadi tanggung jawabnya.
"Bocah gendeng! Siapa kau?!" bentak orang tua
bertongkat hitamitu gusar.
"Kau sendiri siapa, Orang Tua?" Bayu balas ber-
tanya.
"Monyet! Aku yang tanya padamu!" bentak laki-laki
tua bertongkat ular kobra itu garang.
"Aku juga bertanya padamu,' terang sekali suara
Bayu membalikkan kata-kata oranh tua itu.
"Phuih! Kau cari penyakit, bocah setan!”
Bayu hanya tersenyum saja. Digeser kakinya sedikit
ke samping, kemudian berpaling melirik Adilangu.
"Pergilah kau! Biar orang tua itu kuberi sedikit tata
krama," kata Bayu kalem.
"Oh, iya. Hati-hati, Bayu,” sahut Adilangu.
Bergegas Adilangu berjalan cepat meninggalkan
tempat itu. Kesempatan yang baik ini tidak ingin disia-
siakan begitu saja. Sementara orang tua bertongkat
ular kobra itu jadi menggereng marah. Tiba-tiba saja
dikibaskan tangan kirinya ke arah Adilangu. Seketika
itu juga sebuah benda bulat berwarna hitam melesat
dari tangannya.
Wusss!
"Adilangu, awas...!" seru Bayu keras.
Adilangu membalikkan tubuhnya. Tapi belum juga
melakukan sesuatu, benda hitam itu sudah
menghantam dadanya.
"Aaa...!" Adilangu menjerit keras melengking.
Tubuh pemuda itu terpental ke belakang, dan
ambruk keras sekali ke tanah berbatu. Darah
mengucur deras dari dada yang berlubang kecil sebesar
ibujari. Pemuda itu menggeleparsambil merintih.
"Biadab...!" desis Bayu.
Pendekar Pulau Neraka itu melesat menghampiri
Adilangu yang masih menggelepar.
"Adilangu...."
"Bayu, tolong selamatkan benda ini. Berikan pada
Rampita di Gunung Cakal.... Akh!"
"Adilangu...!"
Tapi Adilangu sudah terkulai Dari mulutnya
mengalir darah kental agak kehitaman. Pemuda dari
Padepokan Tongkat Sakti itu tewas setelah dadanya
tertembus benda hitam yang dilontarkan orang tua
bertongkat ular kobra. Pelahan Bayu bangkit berdiri
Diperhatikannya tubuh Adilangu yang mulai membiru,
kemudian berubah hitam. Pelahan-lahan tubuh anak
muda itu membusuk, lalu mencair bagai lilin terbakar.
Bergegas Bayu mengambil buntalan kain, dan
mengikatkan ke bahu kirinya.
Seluruh tubuh Adilangu benar-benar mencair, dan
yang tinggal hanya tulang belulang teronggok. Pendekar
Pulau Neraka mendesis. Diputar tubuhnya menghadap
orang tua bertongkat ular kobra yang terkekeh. Bayu
menggeretakkan rahangnya geram. Kekejaman orang
tua itu membuat darahnya mendidih seketika.
"Ha ha ha...! Nasibmu tidak akan jauh berbeda
dengan monyet tolol itu, jika berani menentang Sureng
Rana si Kobra Hitam! Ha ha ha...!" orang tua bertongkat
itutertawa tergelak-gelak.
Buat Pendekar Pulau Neraka tidak akan peduli
dengan siapa berhadapan. Baginya, yang penting
kekejaman yang terjadi di depan matanya tidak bisa
didiamkan begitu saja. Dia lahir ke dunia ini memang
ditakdirkan untuk memberantas keangkaramurkaan.
Darah Pendekar Pulau Neraka menggolak mendidih.
Gerahamnya bergemeletuk menahan geram.
Sementara laki-laki tua bertongkat hitam,yang
mengaku bernama Sureng Rana masih tertawa
terbahak-bahak. Dia juga dikenal berjuluk si Kobra
Hitam. Suatu julukan yang bisa membuat orang
merinding dan berpikir seribu kali untuk
menghadapinya. Tapi bagi Bayu tidak ada bedanya
sama sekali, dan tidak akan undursetapak pun.
"Anak Muda, aku yakin kau bukan dari Padepokan
Tongkat Sakti. Lalu untuk apa bersusah payah
mencampuri urusan ini, heh?!" dengus Sureng Rana
dingin.
"Aku memang tidak ada hubungan dengan siapa
saja. Tapi, kekejamanmu yang membuatku tidak bisa
berdiam diri!" balas Bayutidak kalah dinginnya.
"Kau akan menyesal membela pengkhianat, Anak
Muda!"
"Akan lebih menyesal lagi jika membiarkan
kekejamanmuterus berlangsung!"
"Phuih! Ternyata kepalamu keras juga, bocah! Tapi
aku ingin tahu, apa kepalamu juga sekeras batu itu!
Yeaaah...!"
Sureng Rana menghantamkan tongkatnya ke
sebuah batu sebesar anak kerbau di sampingnya.
Ledakan terdengar dahsyat, dan seketika batu itu
hancur berkeping-keping. Melihat hal itu, Bayu hanya
tersenyum tipis. Tak ada yang aneh baginya jika hanya
memecahkan sebongkah batu saja. Sambil tersenyum
mengejek, Pendekar Pulau Neraka itu menghampiri
sebongkah batu yang lebih besar dua kali lipat
Kemudian....
"Hiyaaa...!"
Sekali pukul saja batu itu hancur berantakan
menimbulkan kepulan debu membumbung tinggi ke
angkasa. Sureng Rana sampai terlonjak dua langkah ke
belakang. Sungguh tidak disangka kalau pemuda
berbaju dari kulit harimau itu mampu menghancurkan
sebongkah batu yang amat besar, hanya sekali pukul!
Bahkan dengan tangan kosong.
"Pertunjukan anak kecil!" dengus Sureng Rana
mencoba menghilangkan keterkejutannya.
"Jika kau ingin yang lebih besar, majulah!" tantang
Bayu.
"Ha ha ha...!" SurengRana tertawa terbahak-bahak.
Begitu suara tawanya menghilang, secepat kilat
laki-laki tua bertongkat ular kobra itu melesat
menerjang Bayu. Tongkatnya bergerak cepat
menimbulkan suara angin menderu-deru bagai topan.
Saat itu juga Bayu mengegoskan tubuhnya
menghindari sabetan tongkat ular kobra itu. Tapi
Pendekar Pulau Neraka itu agak terkejut juga, karena
tubuhnya hampir terpelanting terkena angin tebasan
itu.
Buru-buru Bayu melompat mundur tiga tindak.
Tapi Sureng Rana kembali menerjang ganas. Pendekar
Pulau Neraka itu menghadapinya dengan jurus-jurus
pendek, namun gerakan kakinya begitu lincah. Itu pun
masih diimbangi gerakan tubuh yang meliuk-liuklentur
untuk menghindari setiap tebasan maupun tusukan
tongkat berbentuk ular kobra itu.
Jurus-jurus berlalu cepat. Pertarungan nampaknya
masih akan berlanjut cukup lama. Sampai sejauh ini
Sureng Rana belum mampu mendesak pemuda itu.
Dan tentu saja hal ini membuatnya jadi geram
bercampur heran. Belum pernah dia berhadapan
dengan seorang pemuda yang mampu menandinginya
setelah lima jurus dikerahkan. Secara jujur Sureng
Rana mengakui ketangguhan Pendekar Pulau Neraka
ini. Laki-laki tua ini semakin penasaran, karena setelah
lewat sepuluh jurus belum juga berhasil mendesak
lawannya.
"Hup...!"
Tiba-tiba saja Sureng Rana melompat ke belakang
sejauh dua batang tombak. Dihentakkan ujung
tongkatnya ke tanah, tepat di ujung jari kakinya.
Pandangan matanya tajam menusuk dan bibirnya
terkatup rapat Ditekan tongkatnya ke tanah dengan
kedua tangan di bagian kepala tongkat berbentuk ular
itu.
"Hm Kenapa berhenti, Orang Tua?" sinis nada suara
Bayu.
"Siapa gurumu, bocah?" Sureng Rana balik berta-
nya dengan suara datar.
"Untuk apa kau tahu guruku? Kalau tidak sanggup
menandingiku, pergilah!" ketus sekali nada suara Bayu.
"Aku tidak akan membunuh orang sebelum
kuketahui siapa orang itu!"
"Baiklah. Namaku Bayu, dan berasal dari Pulau
Neraka. Dan kau tidak perlu tahu siapa guruku.
Jelas...!" tegas kata-kata Bayu.
"Lalu, mengapa kau membela orang-orang
Padepokan tongkat Sakti?" tanya Sureng Rana ingin
tahu.
"Karena aku muak melihat kekejamanmu!" sahut
Bayu dingin.
"Hmmm.... Ternyata kau belum tahu persoalannya,
bocah. Sebaiknya jangan ikut campur dalam masalah
ini. Aku tidak ingin ada orang luar ikut campur. Ini
persoalan keluarga, bocah. Kutegaskan sekali lagi, ini
persoalan keluarga dan jangan membuang-buang
tenaga percuma!" tegas sekali suara Sureng Rana.
"Hmmm...," Bayuhanya menggumamsaja.
Pendekar Pulau Neraka itu mengamari perawakan
laki-laki tua berjubah hitam yang menggenggam
tongkat berbentuk ular kobra yang tengah
mengembangkan lehernya. Kemudian diliriknya
Adilangu yang sudah menjadi seonggok kerangka.
Seluruh tubuh pemuda itu mencair dan lenyap
merembes ke dalam tanah.
"Bocah! Apakah kau tahu apa yang ada di dalam
buntalan kain itu?" Sureng Rana menunjuk buntalan
kain yang tersampir di pundak Bayu.
'Tidak," sahut Bayu terus terang
"Buntalan itu berisi kotak kayu milikku yang dicuri
Ketua Padepokan Tongkat Sakti. Aku mencoba
merebutnya kembali, tapi si bangsat Anom Sura
mempertahankannya. Tidak ada pilihan lain bagiku,
kecuali membunuhnya. Tapi kotak itu berhasil
dilarikan Adilangu," jelas Sureng Rana memberitahu isi
buntalan kain yang ada pada Pendekar Pulau Neraka
sekarangini.
"Hm.... Adilangu sudah berpesan agar aku
menyerahkan benda ini pada pemiliknya. Tapi bukan
kau, Orang Tua. Maaf," tegas Bayu.
"Dia bohong, Anak Muda!" geramSurengRana.
"Aku tidak mau tahu. Kau atau Adilangu yang
bohong, itu urusan kalian! Tapi, yang jelas, aku harus
menyampaikan amanatnya dulu. Jika kau memang
ingin memilikinya, sebaiknya kau minta dan jelaskan
pada pemiliknya nanti," kata Bayu tenang dan tegas
terdengar.
Sureng Rana menggereng geram, tapi tidak punya
pilihan lain lagi. Ucapan seseorang yang menjelang ajal
memang tidak mungkin bisa diganggu-gugat lagi. Orang
lebih percaya pada kata-kata orang menjelang ajal
daripada yang masih hidup sehat. Meskipun kata-kata
menjelang ajal bisa juga mengakibatkan malapetaka.
"Baiklah, bocah. Berikan saja benda itu pada
pemiliknya. Dan aku akan memintanya kembali,
karena benda itu sebenarnya memang milikku!" kata
SurengRana.
"Bagus!" sambut Bayu tersenyum. Tanpa berkata
apa-apa lagi, Pendekar Pulau Neraka itu berbalik dan
melangkah tenang meninggalkan laki-laki tua
bertongkat ular kobra. Sementara Sureng Rana sendiri
masih berdiri tegak memandangi punggung pemuda
berbaju kulit harimauitu.
"Hhh...! Aku harus menggunakan akal. Berbahaya
sekali kalau anak muda itu ikut campur.
Kepandaiannya sangat tinggi. Sukar rasanya bagiku
untuk menandinginya," keluh Sureng Rana dalam hati.
***
TIGA
Bayu memandangi Gunung Cakal yang berdiri
angkuh dengan puncaknya yang tertutup kabut tebal
nampak seperti menantang langit Udara di sekitar
gunung ini sejuk sekali, bahkan bisa dikatakan dingin.
Sepanjang mata memandang hanya kehijauan yang
tampak. Hampir seluruh permukaan tanahnya
ditumbuhi pepohonan yang rapat Gunung Cakal bagai
tak pernah terjamah kaki-kaki manusia.
Pelahan-lahan Bayu mengayunkan kakinya
mendaki Lereng Gunung Cakal. Sesekali tubuhnya
bergeletar merasakan angin dingin berhembus menerpa
tubuhnya. Saat ini senja sudah mulai turun, matahari
hampir tenggelam di balik cakrawala belahan Barat
Udara begitu dingin menggigilkan. Entah kalau malam
hari, mungkin tak akan sanggup bertahan tanpa
penghangat. Namun Pendekar Pulau Neraka itu terus
mengayunkan kakinya melangkah tanpa
menghiraukan dingin yangsemakin menggigilkan.
"Hmmm..., tempat yang cocok untuk melatih ilmu
olah kanuragan," gumam Bayu dalam hati.
Sambil terus berjalan, Pendekar Pulau Neraka itu
melatih pengerahan hawa murni. Udara dingin seperti
ini memang sangat cocok untuk melatih kekuatan yang
berpusat di dalam tubuh. Bayu merasakan ayunan
kakinya begitu ringan, bahkan sepertinya tidak
menjejak tanah. Tak ada suara sedikit pun terdengar
setiap kali kakinya terayun melangkah. Semakin tinggi
hawa murni dan tenaga dalam yang dikerahkan,
semakin ringan tubuhnya. Bahkan Bayu jadi khawatir
kalau-kalauakan terbawa angin seperti daun kering.
Tanpa terasa, Pendekar Pulau Neraka itu tiba di
Puncak Gunung Cakal. Ilmu tenaga dalam yang
dikerahkan membuat pemuda berbaju kulit harimau
itu tidak merasa kalau baru saja habis mendaki sebuah
gunung yang sangat tinggi. Gunung yang seluruh
puncaknya terselimut kabut tebal. Bahkan juga
tertimbun salju abadi yang tak akan cair sepanjang
jaman. Hawa di puncak gunung ini demikian dingin,
seakan-akan hendak membekukan tubuh Pendekar
Pulau Neraka itu. Kalau saja tidak mengerahkan hawa
murni, mungkin sudah sejaktadi Bayu mati kaku.
Bayu mengedarkan pandangannya ke sekeliling.
Sepanjang mata memandang, hanya salju dan pohon-
pohon cemara yang terlihat. Seluruh permukaan
puncak gunung ini bagai terselimut gumpalan kapas
putih yang hampir membenam kaki pemuda berbaju
kulit harimau itu. Keraguan mulai mengganggu
Pendekar Pulau Neraka. Semakin jauh melintasi
puncak gunung ini, semakin sulit kakinya terayun.
Bayu seperti berjalan di dalam lautan lumpur, namun
dingin membekukan. Seluruh tubuhnya tak lagi terasa
hangat, bahkan aliran darahnya terasa membeku.
"Hmmm..., rasanya tidak mungkin ada orang yang
hidup di sini," gumam Bayu dalam hati.
Meskipun hati diliputi keraguan, namun Pendekar
Pulau Neraka itu tetap mengayunkan langkahnya.
Padahal langkahnya semakin sulit saja diayunkan.
Permukaan salju di puncak gunung ini bertambah
tebal. Kedua kakinya hampir terbenam melewati lutut
Sedangkan hawa dingin semakin terasa membekukan
tulang Namun Bayu terus berjalan dengan mata
menerawangjauh.
Sementara malam sudah jatuh, dan seluruh alam
terselimut kegelapan. Semakin sukar bagi Bayu untuk
terus berjalan. Tapi tidak mungkin lagi untuk kembali,
karena sudah sampai lebih dari setengah perjalanan.
Pendekar Pulau Neraka seperti terjebak di dalam
kubangan lumpur salju. Kalau saja pengerahan hawa
murninya belum mencapai taraf kesempurnaan, tidak
akan mungkin mampu bertahan. Tapi hati pemuda
berbaju kulit harimau itu ragu pada keadaan alam yang
tidak ramah ini.
"Uh, dinginnya...," keluh Bayu menggigil. Semakin
jauh berjalan, semakin sukar ditempuh perjalanan ini
Selain udara yang begitu dingin, salju sudah
membenam sampai ke paha. Bayu tidak tahu lagi,
apakah kakinya sudah membeku. Karena kakinya
terasakan sukar sekali digerakkan. Pendekar Pulau
Neraka itu mendongakkan kepala. Tampak gumpalan-
gumpalan salju turun bagai kapas putih melayang
ditebarkan dari langit Sementara angin semakin bertiup
kencang, dan udara pun semakin terasa dingin
membekukan tulang
"Uh! Akutidak bisa bertahan di sini terus!" dengus
Bayu.
Pemuda berbaju kulit harimau itu mengedarkan
pandangannya ke sekeliling. Sudah sangat jarang
pepohonan yang ada. Kalau pun ada, hanya pohon
cemara. Itu pun jaraknya sangat berjauhan. Pendekar
PulauNeraka itu menatapsebatang pohon cemara yang
tidak jauh di depannya. Dalam jarak yang cukup jauh
lagi, masih ada sebatang pohon cemara tua.
"Hup! Hiyaaa...!"
Bayu mengerahkan seluruh tenaga dalamnya. Dan
seketika itu juga, dikerahkan ilmu meringankan
tubuhnya. Bagai kilat, Pendekar Pulau Neraka itu
melesat keluar dari timbunan salju yang semakin
menebal. Pemuda berbaju kulit harimau itu meluruk
deras, dan hinggap di pohon cemara tua. Hampir saja
pohon itu tumbang menahan berat badannya, kalau
saja tidak buru-buru mengerahkan ilmu meringankan
tubuh. Namun begitu pohon cemara yang sudah tua ini
masih juga bergoyang.
"Hup! Hiyaaa...!"
Kembali Bayu melentingkan tubuhnya menembus
hujan salju. Bagai seekor burung elang, pemuda itu
meluruk deras berputaran beberapa kali di udara
sebelum kembali hinggap di pohon cemara satunya lagi.
Dengan sebelah tangan, dipeluknya batang pohon itu.
Diedarkan pandangannya berkeliling. Hatinya
menggerutu. Karena sepanjang mata, yang terlihat
hanya gumpalan putih bagai tak bertepi Dia tidak tahu,
berapa luasnya Puncak Gunung Cakal ini. Sungguh
tidak disangka kalau akan menemukan keadaan alam
yang sangat ganjil dan baru pertama kafi ini dialami.
Untunglah, kini matanya melihat sesuatu.
"Hm..., tampaknya ada gua di sana," gumam Bayu
pelan.
Tanpa menunggu waktu lagi, Pendekar Pulau
Neraka itu melentingkan tubuhnya melesat menuju
mulut gua yang dilihatnya. Bayu tidak mau mengambil
resiko lagi, dan terus berlompatan dari satu pohon ke
pohon lainnya. Dan dalam waktu tidak berapa lama
saja, Pendekar Pulau Neraka sudah tiba di depan
sebuah mulut gua kecil yang hampir tertutup salju.
Disibakkan mulut gua itu, lalu merangkak masuk ke
dalam. Dingin sekali udara di dalam gua ini
Sambil meraba-raba dinding gua, Pendekar Pulau
Neraka itu terus berjalan masuk lebih ke dalam. Atap
gua ini cukup tinggi, sehingga bisa berdiri tegak tanpa
takut kepalanya terantuk batu. Bayu terus berjalan
sambil merayap meraba-raba dinding gua. Sungguh
tidak disangka kalau gua yang kelihatan kecil ini
ternyata sangat panjang, dan keadaannya juga lapang.
Udara di dalam gua ini cukup dingin, tapi tidak
sedingin di luarsana.
"Uh! Sebaiknya aku bermalam dulu di sini.
Hmmm..., banyak ranting kering di sini," gumam Baya
Pendekar Pulau Neraka itu mengumpulkan ranting
kering yang banyak berserakan di sekitar lantai gua.
Kemudian dinyalakanlah api menggunakan dua buah
batu yang dibentur-benturkan. Percikan bunga api
membakar ranting-ranting kering itu. Keadaan gua
yang gelap jadi terang oleh cahaya api. Bayu duduk
bersila di dekat api itu.
"Hhh..., lumayan...," desahnya sambil menggosok-
gosok kedua telapak tangannya.
***
"Grrr...!"
"Eh...!" Bayutersentak kaget.
Baru saja akan merebahkan diri, mendadak
terdengar suara menggereng, hingga membuat seluruh
dinding gua ini bergetar. Bayu buru-buru melompat
bangkit berdiri. Matanya menatap lorong gua yang
panjang dan gelap. Cahaya api tidak mampu menerangi
seluruh gua ini.
"Ghrrr...!"
"Hmmm...," Bayu menggumam begitu mendengar
gerengan sekali lagi.
Dan belum sempat Pendekar Pulau Neraka itu
berpikir jauh, tiba-tiba saja muncul sesosok tubuh
besar berwarna putih. Bayu terlonjak ke belakang
beberapa tindak. Hatinya terkejut bukan main melihat
sesosok makhluk berbulu serba putih dengan bentuk
kepala seperti anjing. Tapi makhluk itu demikian besar,
dan sepasang bola matanya merah menatap liar.
"Beruang...?!" desis Bayu sambil melangkah
mundur pelahan.
Belum pernah Bayu melihat beruang begini besar
yang seluruh bulunya berwarna putih bagai kapas.
Beberapa kali Pendekar Pulau Neraka melihat beruang,
tapi tidak pernah yang seperti ini. Kaki pemuda berbaju
kulit harimau itu terus bergerak mundur, dan beruang
putih itu terus bergerak maju sambil menggerung-
gerung memperlihatkan baris-baris gigi yang bertaring
tajam.
"Ghrauughk...!"
Beruang putih itu menggerung keras, membuat
seluruh dinding gua bergetar bagai hendak runtuh.
Bahkan batu-batu di langit-langit gua mulai
berjatuhan. Bayu melompat ke belakang sejauh dua
batang tombak, dan hampir mencapai mulut gua yang
sedikit lagi tertutup salju tebal. Angin dingin menerpa
kencang punggungnya. Sementara beruang putih itu
semaian mendekat sambil menggerung-gerung
memperlihatkan taring giginya.
"Maaf, aku tidak tahu kalau ini tempatmu," ucap
Bayu mencoba berdamai.
Tapi beruang putih itu malah menggeram keras
menggetarkan. Mulutnya terbuka lebar, memamerkan
taring-taring giginya yang tajam bersembulan keluar.
Bayu menelan ludahnya yang terasa pahit. Binatang
liar ini tidak mungkin bisa diajak berdamai lagi. Dan
sebelum Pendekar Pulau Neraka itu melakukan sesua-
tu, mendadaksaja....
"Ghrauuughk..!"
Bagai kilat beruang putih itu melompat menerjang.
"Hup! Hiyaaa...!"
Bayu tak punya pilihan lain lagi, dan langsung
melesat keluar gua. Diterjangnya gumpalan salju dan
dinginnya udara yang membekukan tulang. Dua kali
Pendekar Pulau Neraka itu berjumpalitan di udara,
kemudian manis sekali hinggap di salah satu dahan
pohon yang tidak seberapa jauh di depan mulut gua.
"Ghraughk..!"
"Edan!" dengus Bayu.
Salju di sekitar mulut gua berhamburan diterjang
beruang putih raksasa itu. Bayu sampai ternganga
takjub. Kedua matanya membeliak lebar begitu melihat
beruang putih itu berdiri sambil menggerung-gerung
liar menggapai-gapaikan tangannya. Sungguh tidak
disangka, ternyata beruang itu tingginya hampir
menyamai pohon cemara. Dan sebelum Bayu bisa
berpikir panjang, tiba-tiba saja kuku-kuku binatang liar
itu menyampok pohon tempat Bayu berada.
Prak!
"Hiyaaa...!"
Tepat saat pohon itu hancur, Bayu melentingkan
tubuhnya. Tiga kali tubuhnya berputaran di udara
sebelum mendarat ringan di atas salju. Dengan
mempergunakan ilmu meringankan tubuh, Pendekar
Pulau Neraka itu bisa berdiri tegak di atas permukaan
salju. Tak sedikit pun kakinya tenggelam. Kekaguman
masih meliputi wajahnya terhadap binatang raksasa
itu.
"Sayang sekali kalau binatang langka ini harus
"mati," gumam Bayu dalam hati.
Tapi jalan pikiran Pendekar Pulau Neraka itu belum
sampai jauh, karena beruang putih raksasa itu sudah
kembali menerjang ganas. Terpaksa Bayu hanya bisa
berlompatan menghindari setiap terkaman binatangitu.
Udara dingin tidak lagi dihiraukan. Pikirannya tertuju
penuh pada binatang raksasa liar ini. Sepertinya
beruang putih ini tidak mengenal putus asa, meskipun
setiap kali terkamannya tidak mengenai sasaran.
Bahkan pohon-pohon yang terkena terjangannya
langsung hancur berkeping-keping. Bayu semakin
kagum akan kekuatan tenaga binatang putih ini.
"Ayo, serang terus. Aku ingin tahu, sampai di mana
kekuatanmu!" tantang Bayu.
"Ghraughk...!"
Beruang putih yang seperti mengerti tantangan
Pendekar Pulau Neraka, langsung meraung keras dan
terus menerjang semakin ganas. Sedangkan Bayu
sengaja mempermainkan, dan hanya berlompatan
menghindar tanpa membalas satu kali pun. Ingin
diketahui, sampai di mana kekuatan tenaga beruang
putih itu. Dengan mempergunakan ilmu meringankan
tubuh, tak ada masalah bagi Bayu, meskipun udara
dingin dan angin berhembus kencang. Salju lunak yang
tebal tidak menjadikan halangan berarti baginya.
Gerakannya tetap lincah, bahkan sering kali mengecoh
binatang putih ini.
"Ha ha ha...! Kau mulai lemas, Sobat!" Bayu
kesenangan melihat beruang putih itu mulai melemah.
Bahkan gerangannya tidak sedahsyat tadi. Bayu
memandangi beruang putih itu yang kini diam sambil
menggeleng-gelengkan kepalanya. Walaupun masih
menggerung, tapi terdengar pelan, tak lagi keras seperti
semula.
"Ayo, Sobat Serang aku...!" tantang Bayu seraya
berkacak pinggang.
Tapi beruang putih itu malah mendekam,
memperdengarkan gerangan lirih. Sedikit pun tidak
dipedulikannya pemuda berbaju kulit harimau itu lagi.
Binatang itu hanya mencakar-cakar salju di depannya.
Melihat sikap beruang putih itu, Bayu jadi bingung.
Keningnya berkerut memperhatikan binatang raksasa
berbulu putih bersih bagai kapas itu. Pelahan Bayu
bergerak mendekati, tapi beruang itu tetap saja diam
tak bergeming.
"Kenapa, Sobat? Takut...?" ejek Bayu.
"Dia tidaktakut!"
"Heh...?!"
***
Bayu terkejut bukan main ketika tiba-tiba terdengar
suara lembut dari arah gua. Pendekar Pulau Neraka itu
langsung memandang ke arah mulut gua, dan semakin
terperanjat begitu melihat di sana sudah berdiri seorang
gadis berbaju putih bersih bagai salju. Pakaiannya
sangat ketat, sehingga membentuk tubuhnya yang
ramping dan indah. Kulitnya juga putih dengan kedua
pipi kemerahan bagai sepasang tomat ranum.
Bayu sampai tidak berkedip memandangi gadis itu.
Seorang gadis yang demikian cantik, seakan-akan bagai
dewi yang baru turun dari kahyangan. Gadis itu
menjentikkan ujung jarinya. Dan sungguh aneh bin
ajaib. Beruang putih yang tingginya hampir menyamai
pohon cemara itu seketika menggerung, lalu dengan
malas bangkit dan melangkah masuk ke dalam gua.
Sebentar binatang itu menoleh memandang Bayu,
kemudian terus melangkah masuk ke dalam gua.
Belum lagi Pendekar Pulau Neraka itu bisa
memahami, gadis cantik itu mengangkat kedua
tangannya ke atas tinggi-tinggi Seketika dihentakkan
tangannya ke bawah setengah merentang. Dan
pelahan-lahan telapak tangannya dirapatkan ke depan
dada.
"Hiyaaa...!"
Tiba-tiba saja gadis itu merentangkan tangannya ke
samping. Dan dalam sekejap saja angin berhenti
berhembus, dan keajaiban pun terjadi. Semua salju di
permukaan Gunung Cakal ini tiba-tiba saja lenyap. Dan
seluruh permukaan tanah kini ditumbuhi rerumputan
hijau. Bayu jadi tercengang. Dipandanginya gadis
cantik yang masih berdiri di depan mulut gua. Dia
melipat kedua tangannya di depan dada.
"Hebat..,", puji Bayu tanpa sadar. Seketika saja
pujian terlontar dari mulutnya.
"Apa maksudmu datang ke sini?" tanya gadis cantik
berbaju putih itu dingin, sedingin tatapan matanya.
"Oh! Eh..., aku mencari seseorang," sahut Bayu
agaktergagap.
"Apa kau tidak tahu kalau daerah ini sangat ter--
larang? Sebaiknya segera angkat kaki dari sini sebelum
sahabatku melumat tubuhmu!" ujar gadis itu setengah
mengancam.
"Maaf. Sungguh aku tidak tahu. Tapi aku mendapat
amanat untuk menemui seseorang di sini," kata Bayu
sopan.
"Orang yang kau cari tidak ada di sini. Sebaiknya
cepat pergi!"
Bayu mengangkat bahunya. Tapi belum juga
berbalik, terlintas satu pikiran di benaknya.
"Apa lagi yang kautunggu?" sentak gadis itu ketus.
"Maaf, boleh bertanya?" pinta Bayu ramah.
"Katakan, sebelum aku berubah pikiran untuk
membunuhmu!"
"Apakah ada orang yang tinggal di sekitar Gunung
Cakal ini?" tanya Bayu memanfaatkan kesempatan
yangsedikit ini.
"Tidak!" sahut gadis itusingkat.
'Terima kasih."
Bayu langsung membalikkan tubuhnya dan
melangkah pergi.
"Huh! Tidak ada orang lain di sini. Sebaiknya aku
kembali saja ke Padepokan Tongkat Sakti!" dengus
Bayu tanpa menghentikan ayunan kakinya.
"He! Tunggu...!" sentak gadis itutiba-tiba.
Bayu menghentikan langkahnya, lalu berbalik
menghadap ke arah gadis berbaju putih itu kembal
"Kau tadi bilangapa?" tanya gadis itu.
'Tidak. Aku hanya bicara sendiri," jawab Baya
"Kalau tidak salah, kau tadi menyebut-nyebut
Padepokan Tongkat Sakti. Apakah kau berasal dari
sana?"
"Bukan. Bahkan aku sendiri tidak tahu tentang
Padepokan Tongkat Sakti."
"Kisanak, aku belumtuli dan mendengar jelas kalau
kau ingin kembali ke Padepokan Tongkat Sakti!" agak
ketus nada suara gadis itu. "Katakan yang sebenarnya,
apa maksudmu datang ke sini?"
Bayu tidak langsung menyahuti. Diangkat bahunya
dan diperhatikannya gadis itu dari ujung kepala sampai
ke ujung kaki. Pendekar Pulau Neraka itu jadi teringat
akan pesan Adilangu menjelang ajal. Kotak kayu yang
berada di dalam buntalan kain ini harus diberikan pada
seseorang yang tinggal di Gunung Cakal. Dia memang
tidaktahu siapa orangnya, kecuali namanya saja.
"Kisanak! Jika kau memang berasal dari Padepokan
Tongkat Sakti, kau pasti hendak menemuiku," tegas
gadis itu lagi.
"Hmmm...," Bayu hanya menggumam saja, dan
belum mau percaya begitu saja pada kata-kata gadis
ini.
"Atau kau hanya seorang utusan saja? Katakan,
apa yang kau bawa dari Padepokan Tongkat Sakti?"
desak gadis itu.
Bayu masih belum membuka mulut, dan malah
semakin tajam memperhatikan gadis ini. Sedangkan
gadis berbaju putih itu semakin penasaran karena
pemuda di depannya belum juga mau menjawab setiap
pertanyaannya. Sorot matanya mencerminkan
ketidaksabaran. Tapi tampaknya gadis itu masih
berusaha menahan diri.
"Nisanak, apakah kau yang bernama Rampita?"
Bayu malah bertanya.
Entah kenapa, tiba-tiba saja gadis itu tertawa
renyah. Begitu lepasnya sehingga baris-baris gigi yang
putih rapi terlihat jelas. Bayusampai menelan ludahnya
memandangi kecantikan gadis di depannya ini. Begitu
cantik dan sempurnanya, seakan-akan tanpa cacat
sedikit pun
***
Bayu mengayunkan kakinya mengikuti langkah
gadis itu yang masuk ke dalam gua. Kalau saja gadis
itu tidak memberi isyarat agar mengikutinya, Pendekar
Pulau Neraka itu tidak akan ikut masuk kembali ke
dalam gua. Bukannya takut bertemu lagi beruang putih
raksasa itu, tapi tidak ingin mencelakakan binatang
cantik yangliaritu.
Bayu melangkah di belakang gadis itu.
Diperhatikannya setiap relung gua ini. Sebuah gua yang
cukup panjang dan berliku. Bahkan banyak cabang
yang bisa membuatnya bingung jika harus keluar lagi
seorang diri. Sepanjang lorong yang dilewati bentuknya
serupa, bahkan sukar dicari perbedaannya.
Mereka berhenti melangkah setelah tiba di suatu
rongga yang cukup luas dan diterangi beberapa obor
yangterpancang di setiap sudut. Ada sekitarlima mulut
cabang gua di dalam sini, dan keadaannya serupa
persis. Bahkan yang dilewatinya juga sama persis baik
ukuran maupun bentuknya. Bayu menatap sebuah
batu pipih yang terletak di bagian tengah ruangan ini.
Sementara gadis itu lalu duduk di atas batu itu. Ditatap
dan dipersilakannya Pendekar Pulau Neraka itu agar
duduk di sebuah batu yang terletak tidak jauh di
samping mulut gua yang tadi dilaluinya. Bayu
kemudian duduk bersila di sana.
"Kisanak Jika kau mencari Rampita, maka kini
sudah bertemu orangnya," tegas gadis itulembut
"Kau, Rampita...?" Bayuingin menegaskan.
"Benar. AkuRampita."
"Bagaimana bisa kupercayai kalau kau benar-benar
Rampita," Bayu meminta bukti.
"Jika kau memang utusan Padepokan Tongkat
Sakti, kau pasti kenal ayahku," tegas Rampita lagi.
Bayu hanya diam saja. Sebenarnya dia tidak tahu
tentang Padepokan Tongkat Sakti, tapi harus berpura-
pura tahu untuk meyakinkan diri kalau gadis itu
memang benarRampita.
"Padepokan Tongkat Sakti letaknya tidak jauh dari
Lembah Bunga. Ayahku bernama Anom Sura, Ketua
Padepokan Tongkat Sakti. Nah, apakah sudah yakin
sekarang?"
"Kau tahu, kenapa aku datang ke sini?" tanya Bayu.
'Tidak," sahut Rampita.
Bayu kembali terdiam. Waktu itu dia hanya
bertemu Adilangu. Dan menjelang ajalnya, Adilangu
hanya memberikan satu kalimat tanpa penjelasan rinci.
Tapi dari nada suaranya,Bayu bisa memastikan kalau
Adilangu ingin menyerahkan kotak kayu tanpa pem-
beritahuan lebih dahulu.
Pendekar Pulau Neraka itu melepaskan ikatan
buntalan kain di bahu, lalu meletakkan benda itu di
depannya. Sementara Rampita hanya memandangi!
saja tanpa berkata-kata sedikit pun.
"Terus terang, aku bukan dari Padepokan Tongkat
Sakti. Dan aku sendiri tidak tahu, di mana Padepokan
Tongkat Sakti itu," kata Bayu.
"Lalu, mengapa kau ingin bertemu denganku?'
tanya Rampita.
Bayu langsung menceritakan perjalanannya. Dari
pertemuannya dengan Adilangu, hingga pemuda itu
tewas di tangan laki-laki tua berjubah hitam yang
mengaku bernama Sureng Rana atau berjuluk si Kobra
Hitam. Sedikit pun Pendekar Pulau Neraka itu tidak
mengurangi atau melebihkan ceritanya. Sementara
Rampita hanya diam mendengarkan sampai pemuda
berbaju kulit harimau itu menyelesaikan ceritanya.
Untuk sementara keheningan menyelimuti mereka
berdua.
"Pasti telah terjadi sesuatu, sehingga Ayah harus
memberikan kotak pusaka itu padaku," ujar Rampita
memecahkan keheningan.
Rampita turun dari atas batu yang didudukinya,
kemudian berjalan menghampiri Bayu dan
membungkuk mengambil buntalan kain di depan
Pendekar Pulau Neraka itu. Gadis itu kemudian
berbalik sambil membawa buntalan kain itu dan duduk
kembali di tempatnya.
Hati-hati sekali gadis itu membuka ikatan kain.
Dikeluarkannya sebuah kotak kayu berukir yang sudah
kelihatan tua, namun warnanya belum pudar. Rampita
tersenyum begitu membuka tutup kotak kayu itu,
kemudian menutupnya kembali dan meletakkan di
sampingnya. Ditatapnya pemuda berbaju kulit harimau
di depannya.
"Kau tahu apa isi kotak kayu ini?" tanya Rampita.
"Tidak. Aku tidak membukanya sama sekali," jawab
Bayu jujur.
"Hmmm..., sejak tadi aku belum mengetahui
namamu. Siapa namamu?"
"Bayu."
"Ke mana tujuanmu setelah ini?" tanya Rampita
lagi.
"Tidak ada tujuan. Aku pergi ke mana saja aku
suka, mengikuti langkah kakiku."
"Baiklah. Aku berterima kasih karena kau sudah
bersusah payah mengantarkan benda ini. Sebaiknya
besok siang saja kau lanjutkan perjalananmu. Dan kau
boleh menginap di sini, tapi tempatnya tidaklayak."
"Terima kasih, ini sudah lebih dari cukup."
"Hmmm...," Rampita tersenyum manis.
***
EMPAT
Pagi-pagi sekali Bayu sudah meninggalkan gua di
Puncak Gunung Cakal. Sungguh aneh sekali! Puncak
gunung ini kini tidak ada salju sedikit pun, tidak seperti
kemarin. Tapi Bayu tidak ambil peduli. Bergegas
ditinggalkannya tempat itu sambil mempergunakan
ilmu meringankan tubuhnya. Sementara gadis cantik
berbaju putih ketat yang mengaku bernama Rampita
mengantarkan sampai di depan mulut gua.
Gadis itu mengangkat tangannya tinggi-tinggi ke
atas setelah bayangan tubuh Pendekar Pulau Neraka
itu tidak terlihat lagi. Dan ketika jari-jari tangannya
menjentik, mendadak saja bertiup angin kencang.
Seketika seluruh puncak gunung ini berselimut kabut
Tak berapa lama saja, dari langit berhamburan benda-
benda putih yang halus bagai kapas.
Dalam waktu tidak berapa lama, seluruh
permukaan tanah di Puncak Gunung Cakal ini sudah
terselimut salju. Sepanjang mata memandang hanya
warna putih yang teriihat, bagai berada di ladang kapas
yang sangat luas. Gadis itu menyunggingkan senyum,
kemudian memutar tubuhnya dan melangkah masuk
ke dalam gua.
Dengan langkah yang sangat ringan, gadis yang
mengaku bernama Rampita itu berjalan menyusuri gua
tempat tinggalnya. Ayunan kakinya ringan sekali,
namun terlihat cepat Karena telah sangat hafal dengan
liku-liku gua ini. Maka dalam waktu tidak berapa lama
saja dia sudah tiba di ruangan yang cukup luas dan
diterangi cahaya api obor yang tidak kunjung padam.
Gadis itu duduk kembali di batu pipih berwarna putih
berkilat Diambil kotak kayu berukir dan dibuka
tutupnya.
"Huh! Pasti pemuda itu yang mengambilnya!"
dengus Rampita sambil menutup kotakitu.
Seketika dilemparkannya kotak itu, hingga hancur
berkeping-keping begitu menghantam dinding gua.
Wajah gadis itu memerah, dan bibirnya terkatup rapat.
Gerahamnya bergemeletuk seakan menahan
kemarahan. Matanya tajam memandangi kotak kayu
berukir yang sudah hancur berkeping-keping. Kini
tinggal kayu-kayusaja, tanpa ada satu benda lain.
Plok! Plok! Plok!
Tiga kali gadis itu menepuk tangan, maka tidak
lama kemudian dari mulut-mulut lorong gua bermun-
culan sekitar sepuluh orang wanita berpakaian putih-
putih. Di pinggang mereka melilit sehelai selendang
berwarna biru. Di punggung masing-masing tersampir
sebilah pedang. Gadis-gadis itu berkumpul dan duduk
bersila di depan Rampita.
"Dengar! Aku tidak akan banyak bicara. Hari ini
juga kalian turun gunung dan bunuh laki-laki bernama
Bayu! Dia mengenakan baju kulit harimau, tanpa
membawa senjata apa pun juga. Kalian jangan banyak
tanya. Bunuh saja laki-laki itu dan hancurkan
Padepokan Tongkat Sakti. Paham...!" tegas nada suara
Rampita.
"Paham, Gusti Ayu...," sahut sepuluh gadis itu
serempak.
"Berangkatlah sekarang!"
Tanpa ada yang membantah, sepuluh gadis berbaju
putih itu bergegas pergi. Sedangkan Rampita masih
tetap duduk di atas batu pipih. Ditariknya napas
panjang setelah sepuluh orang gadis itu tidak terlihat
lagi
"Beruang Putih, kemarilah!" seruRampita keras.
"Grhauuughk...!"
Bersamaan terdengarnya gerungan keras, dari
sebuah mulut gua di depan gadis itu muncul seekor
beruang berbulu putih bagai kapas. Binatang bertubuh
besar yang tingginya hampir menyamai pohon cemara
itu mendekam di depan Rampita. Suara genangannya
terdengar pelan, bahkan bisa dikatakan lirih.
"Sudah saatnya kita hancurkan Padepokan Tongkat
Sakti, Beruang Putih," tegas Rampita seraya bergerak
turun dari atas batu.
"Ghrrr...!" beruang putih hanya menggerung pelan.
"Ayo!"
Sekali lesatan saja, Rampita sudah duduk di
punggung binatang raksasa itu. Kemudian beruang
putih itu melompat meninggalkan tempat itu. Sungguh
cepat, bagai kilat. Dalam sekejap saja, binatang itu
sudah lenyap di lorong gua menuju keluar.
Sementara itu Bayu baru saja sampai di Kaki
Gunung Cakal. Pendekar Pulau Neraka itu
menghenyakkan tubuhnya duduk di bawah sebatang
pohon yang cukup rindang, sehingga melindungi
dirinya dari sengatan cahaya matahari. Angin
berhembus lembut, membuat kelopak mata Pendekar
Pulau Neraka itu terasa berat. Kepalanya terangguk
menahan rasa kantuk yang tiba-tiba menyerang
dahsyat
"Oaaah..., kenapa berat sekali mataku ini," keluh
Bayu seraya menggosok-gosok matanya.
Bayu menggeleng-gelengkan kepalanya, mencoba
mengusir rasa kantuk yang menyerang begitu dahsyat
Rasanya kantuknya tidak kuat lagi ditahan. Baru kali
ini Pendekar Pulau Neraka mengalami kantuk demikian
hebat. Padahal, semalaman dia tidur nyenyak dalam
kehangatan gua.
"Uh! Aku merasa ada kelainan...," dengus Bayu.
Mendapat pikiran demikian, Pendekar Pulau Neraka itu
langsung saja menggerak-gerakkan tangannya di depan
dada. Kemudian diletakkan kedua tangannya di depan
dada dengan tangan kanan berada di tangan kiri.
Punggung telapak tangan menyatu rapat dan jari
telunjuk mengacung ke atas.
"Ufh! Hsss...!" Bayu mengatur jalan napasnya.
Pelahan namun pasti, Pendekar Pulau Neraka itu
menyalurkan hawa murni ke seluruh urat syaraf. Dan
perasaannya semakin yakin kalau ada yang tidak beres
di tempat ini. Dirasakan adanya suatu perlawanan
halus yanghampir tidak terasakan.
"Ilmu 'Sirep'...," desis,Bayu bisa mengenali adanya
penyebaran suatuilmu di sekitarnya.
Pendekar Pulau Neraka itu menolehkan kepalanya
ke kanan, dan tiba-tiba saja dihentakkan kedua
tangannya ke samping kanan.
"Hiyaaa...!"
Satu hembusan angin keras muncul dari telapak
tangan pemuda berbaju kulit harimau itu. Dan seketika
itu juga sebatang pohon yang cukup besar tumbang
terhantam pukulan jarak jauh yang dilepaskan
PendekarPulauNeraka.
Tepat saat pohon itu tumbang, berkelebat satu
bayangan putih ke angkasa. Dan begitu Bayu
melompat berdiri, dari balik pohon dan semak belukar
bermunculan gadis-gadis berbaju putih mengenakan
selendang biru pada pinggangnya. Gadis-gadis
berwajah cantikitulangsung bergerak mengepung.
"Hmmm..., siapa kalian?" tanya Bayu seraya
mengamati sepuluh gadis cantik yang kini sudah
mengepungnya.
"Jangan banyak omong! Seraaang...!" salah seorang
gadis berseru keras.
"Hiyaaa! Yeaaah...!"
Seketika itu juga gadis cantik berbaju putih yang
berjumlah sepuluh orang itu berlompatan menyerang
Pendekar Pulau Neraka. Begitu cepat dan tiba-tiba
sekali, sehingga Bayu tidak sempat lagi menghalau.
Bergegas diegoskan tubuhnya ketika salah seorang
yang berada di depan melontarkan satu pukulan keras
bertenaga dalam tinggi. Dan belum juga pemuda
berbaju kulit harimau itu bisa menarik pulang
tubuhnya, datang lagi serangan dari arah kiri. Terpaksa
Pendekar Pulau Neraka melompat ke belakang
menghindari pukulan keras itu. Dan pada saat yang
hampir bersamaan, seorang gadis yang berada di
belakangnya melontarkan tendangan keras
menggeledek Kali ini Bayutaksempat lagi berkelit
Bughk!
"Ugh...!" Bayu melenguh pendek. Pendekar Pulau
Neraka itu terhuyung ke depan. Pada saat itu satu
pukulan kembali datang dari arah depan. Dan Bayu
hanya bisa terpekik saat pukulan keras bertenaga
dalam cukup tinggi itu menghantam telak dadanya. Tak
ampun lagi, tubuh Pendekar Pulau Neraka itu
terjungkal keras ke belakang, hingga bergulingan di
tanah.
"Edan...!" dengus Bayu memalu. Belum juga
Pendekar Pulau Neraka itu bisa bangkit berdiri, salah
seorang lawan sudah menghunus pedang dan
membabatkan ke tubuhnya. Terpaksa Bayu harus
bergulingan di tanah menghindari tebasan pedang itu.
Pendekar Pulau Neraka benar-benar kewalahan, karena
tidak diberi kesempatan sama sekali untuk bangkit
berdiri. Hunjaman pedang datang silih berganti bagai
hujan mengurung tubuhnya, sehingga terpaksa harus
bergelimpangan menghindar.
"Keparat! Hih...!"
Darah Pendekar Pulau Neraka itu langsung
mendidih. Tepat ketika sebatang pedang lawan
mengarah ke dada, secepat kilat Pendekar Pulau
Neraka itu merapatkan kedua tangannya menjepit
pedang itu kuat-kuat Dan pada saat pemilik pedang
itu menghentakkan senjatanya, Bayu
mempergunakan kesempatan yang hanya sedikit ini
dengan baik. Tubuhnya dibuat ringan bagai kapas,
sehingga ikut terpental naik.
Pada saat yang tepat dengan kecepatan bagai kilat
Bayu melepaskan satu tendangan bertenaga dalam
sempurna. Tendangan keras dan riba-riba itu tidak
dapat terhindari lagi. Gadis yang pedangnya terkunci di
tangan Pendekar Pulau Neraka itu kontan terpekik
terkena tendangan keras bertenaga dalam sempurna.
"Akh...!"
Gadis itu terpental jauh ke belakang sampai
menabrak pohon. Bersamaan dengan itu, Bayu
menjentikkan pedang yang dirampasnya. Seketika
pedang itu meluncur deras ke arah gadis yang sedang
melorot turun dengan punggung menempel pada
batang pohon. Tak pelak lagi, pedang itu menancap di
dadanya hingga tembus ke punggung.
"Aaa...!"
Jeritan melengking tinggi itu mengejutkan
kesembilan gadis lainnya. Mereka langsung
berlompatan mundur, dan seketika terkejut melihat
salah seorang temannya tewas dengan dada tertembus
pedangnya sendiri. Tubuh gadis itu tertahan di pohon,
karena pedangitutembus hingga menancap di pohon.
"Siapa kalian? Kenapa menyerangku...?" Pendekar
Pulau Neraka mengambil kesempatan ini untuk
bertanya.
Tak ada seorang pun dari sembilan gadis itu yang
menjawab. Mereka hanya mendesis bagai ular. Tatapan
mereka begitu tajam, memancarkan amarah yang
menggelegak tak tertahankan lagi. Dan Bayu merasa
tidak ada gunanya bertanya. Siapa pun gadis-gadis ini,
pasti berniat hendak membunuhnya. Pendekar Pulau
Neraka itu begitu yakin, karena tadi telah merasakan
ilmu'Sirep' yang hampir membuatnya tertidur.
"Seraaang...!" riba-riba salah seorang berteriak
memberi perintah.
Sembilan orang gadis cantik berbaju putih itu
kembali menyerang. Kali ini serangannya semakin
dahsyat dan tidak mengenal kompromi lagi Tapi untuk
kali ini persiapan Bayu sudah matang. Tubuhnya
meliuk-liuk bagai belut menghindari setiap tebasan dan
tusukan pedang para pengeroyoknya. Kedua kakinya
bergerak lincah mengimbangi gerakan tubuh.
Pertarungan yang sebenarnya tidak seimbang, tapi
Pendekar Pulau Neraka bukanlah pemuda kosong.
Tingkat kepandaiannya tinggi sekali, sehingga sukar
diukur. Berbagai macam pola serangan telah dijalankan
gadis-gadis berbaju putih itu, tapi tetap saja mengalami
kesukaran mendesak pemuda itu. Bahkan beberapa
kali mereka kelabakan menerima serangan balik
PendekarPulauNeraka yang selalu datang tiba-tiba dan
cepat luar biasa.
Trang!
Bayu menangkis satu sabetan pedang yang
mengarah ke leher dengan pergelangan tangan
kanannya. Gadis yang pedangnya beradu dengan
pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka itu
tampak meringis dan tangannya bergetar. Pada saat itu,
Bayu tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Dengan
kecepatan luar biasa, pemuda berbaju kulit harimauitu
melompat seraya melontarkan satu tendangan kilat
menggeledek.
"Hiyaaat..!"
Des!
"Aaakh...!" gadis itu menjerit keras melengking.
Satu tendangan saja sudah membuat lawannya
terpelanting keras ke tanah. Dari mulutnya
menyemburkan darah kental berwarna merah segar.
Hanya sebentar mampu menggeliat, sesaat kemudian,
gadis itu diam tak bergerak-gerak lagi. Dia tewas
dengan dada remuk terkena tendangan geledek
bertenaga dalam sangat sempurna dari Pendekar Pulau
Neraka itu.
Kematian seorang temannya lagi tidak
menyurutkan tekad yang lainnya. Bahkan mereka
malah semakin berang, dan terus melancarkan
serangan gencar dan berbahaya. Pedang-pedang
berkelebatan di sekitar tubuh Pendekar Pulau Neraka.
Sedangkan,pemuda berbaju kulit harimau itu tidak
punya kesempatan untuk menggunakan senjatanya
yang terkenal dahsyat dan mematikan. Senjata di
tangan kanan itu hanya bisa dipergunakan untuk
menangkis pedang yangtak mungkin dihindari lagi.
***
"Berhenti...!"
Tiba-tiba saja terdengar bentakan keras. Seketika
itu juga pertarungan berhenti. Delapan orang gadis
cantik berbaju putih yang semuanya menggenggam
pedang terhunus berlompatan mundur. Dan mereka
langsung menjatuhkan diri, dan berlutut ketika melihat
seorang laki-laki bertubuh gemuk yang tingginya tidak
lebih dari seorang bocah berusia sepuluh tahun. Laki-
laki itu mengenakan jubah putih, sedangkan kepalanya
gundul. Tapi seluruh wajahnya hampir tertutup kumis
dan berewok tebal berwarna dua.
"Mundur kalian!" bentak laki-laki cebol itu. Suara-
nya terdengar besar dan berat sekali, namun nadanya
penuh kewibawaan.
Delapan orang gadis cantik berbaju putih ketat itu
bergegas bergerak mundur. Mereka segera berdiri di
belakang laki-laki cebol itu, dan serempak
memasukkan pedang ke dalam warangka di punggung.
Sementara Bayu hanya berdiri tegak memandangi
orang tua cebol itu. Keningnya berkerut, mencoba
mengingat-ingat Tapi rasanya belum pernah bertemu
orang cebol seperti ini.
"Anak Muda, kenapa kau membantai murid-
muridku?" tanya orang tua cebol itu dingin nada
suaranya.
"Tanyakan saja pada mereka! Aku tidak
mendahului, tapi merekalah yang memulai lebih
dahulu!" jawab Bayu mendengus.
"Murid-muridku tidak akan pernah menyerang
seseorangjika tidak didahului."
"Aku tidak akan menjawab! Kau bisa tanyakan
sendiri pada mereka!"
Laki-laki tua cebol itu berbalik dan memandangi
delapan orang gadis cantik yang langsung berlutut
sambil menundukkan kepala. Sementara Bayu hanya
diam saja, dan wajahnya tampak memberengut kesal.
"Benar kalian yang memulai?" tanya laki-laki tua
cebol itu dingin.
"Ampun, Eyang Banadu. Laki-laki ini telah
mengotori tempat suci, dan mencoba mengganggu
Gusti Ayu Seruni," jawab salah seorang gadis yang
berada paling kanan.
"Dusta...!" bentak Bayu menahan geram.
Laki-laki tua cebol yang dipanggil Eyang Banadu
membalikkan tubuhnya kembali. Ditatapnya tajam-
tajam Pendekar Pulau Neraka itu. Pengaduan salah
seorang gadis itu membuat wajah Bayu memerah bagai
kepiting rebus, dan hanya bisa menggeram mendengar
tuduhan tanpa bukti itu. Dia sendiri tidak mengenal
gadis-gadis ini yang tiba-tiba saja menyerang tanpa
bicara lagi.
"Kau mengatakan muridku berkata dusta. Itu sama
artinya menghinaku, Anak Muda!" dengus Eyang
Banadu.
"Huh! Guru dan murid sama saja!" dengus Bayu
sengit "Baik, apa keinginan kalian sebenarnya?"
Eyang Banadu terperangah mendapatkan
tantangan begitu terbuka dari seorang pemuda yang
baru berusia sekitar dua puluh tahunan lebih. Tapi
orang tua cebol itu tersenyum, dan mendadak tertawa
terbahak-bahak. Begitu lepas tawanya sehingga
perutnya yang buncit terguncang-guncang.
Bayu jadi tertegun melihat sikap orang tua cebol itu,
namun hanya diam saja dengan mata tajam tak
berkedip. Meskipun orang tua cebol itu kelihatan te-
nang dan tertawa renyah, tapi Bayu tetap berwaspada.
Bagaimanapun juga, seorang guru pasti memiliki
tingkat kepandaian tinggi. Bayu jadi teringat gurunya
sendiri. Meskipun cacat, tapi ilmu olah kanuragannya
sangat tinggi dan sukar dicari tandingannya.
"Aku kagum atas keberanianmu, Anak Muda. Siapa
namamu?" tanya Eyang Banadu.
"Bayu," sahut Bayu singkat
"Selama ini belum pernah aku bertemu seorang
anak muda yang berani menantangku. Hm.... Anak
muda, jika kau tidak keberatan, aku ingin sedikit
bermain denganmu," halus sekali kata-kata Eyang
Banadu, tapi maksudnya jelas dan tegas.
"Baiklah. Tapi maaf, apakah ini berarti kau berniat
membela muridmu?"
"Ha ha ha.... Itu urusanku, Anak muda. Tapi kalau
muridku bersalah, aku yang akan memberikan
hukumannya. Dan jika kau memang bersalah, aku
tidakakan segan-segan membunuhmu. Paham...?!"
"Aku terima dengan baik."
"Bagus! Bersiaplah! Hiyaaa...!"
Tiba-tiba saja Eyang Banadu melompat cepat bagai
kilat menerjang Pendekar Pulau Neraka sambil
melontarkan dua pukulan beruntun. Sementara Bayu
yang memang sudah siap sejak tadi, langsung
menggeser kaki ke samping sambil meliukkan
tubuhnya untuk berkelit Serangan orang tua cebol itu
hanya mengenai tempat kosong, tapi secepat kilat
menyerang kembali sebelum Bayu bisa menguasai
keseimbangan tubuhnya.
Satu tendangan keras menggeledek dilepaskan
orang tua cebol itu. Dan Bayu tidak punya kesempatan
berkelit lagi. Dengan mengerahkan tenaga dalamnya,
Pendekar Pulau Neraka itu mengibaskan tangan kiri
menyampok tendangan Eyang Banadu.
Des!
"Ikh...!" Eyang Banadu terperanjat
Buru-buru dilentingkan tubuhnya ke belakang
beberapa tindak. Sungguh tidak disangka kalau tenaga
dalam yang dimiliki anak muda berbaju kulit harimau
itu luar biasa sekali. Persendian kakinya sampai nyeri,
dan tulang-tulang kakinya bagai remuk.
"Bagus! Ternyata kau punya kemampuan juga,
Anak Muda!" puji Eyang Banadutulus.
'Terima kasih. Sekarang giliranku. Bersiaplah,
yeaaah...!"
Setelah menyelesaikan perkataannya, Bayu
langsung menggeser kakinya menyusur tanah
menghampiri orang tua cebol itu. Dan secepat kilat
dilepaskan satu pukulan bertenaga dalam sempurna.
Eyang Banadu terperanjat. Buru-buru dibuang
tubuhnya ke samping menghindari serangan pemuda
berbaju kulit harimau itu. Tapi tanpa diduga sama
sekali, Bayu menghentakkan kakinya sambil memutar
tubuh dan bertumpu pada sebelah kakinya lagi.
"Hiyaaa...!"
Ufs...!"
Kalau saja Eyang Banadu tidak cepat merunduk,
barangkali kepalanya akan terpisah terkena sambaran
kaki yang begitu keras bertenaga dalam sempurna.
Namun demikian, orang tua cebol itu sempat juga
terhuyung terkena sambaran angin tendangan
PendekarPulauNeraka.
Pertarungan kedua tokoh tangguh itu terus
berlangsung sengit Semakin lama jurus-jurus
dikeluarkan semakin dahsyat dan berbahaya.
Kelengahan sedikit saja pasti berakibat dahsyat.
Sementara delapan orang gadis berbaju putih hanya
menyaksikan penuh ketegangan. Tentu saja mereka
berharap agar gurunya dapat memenangkan
pertarungan ini. Tapi sampai sejauh ini belum ada
tanda-tanda yang bakal terdesak. Kedua orang itu
masih terus bertarung dalamirama tingkat tinggi
Jurus demi jurus berlalu cepat. Tanpa terasa
mereka sudah menghabiskan tidak kurang dari dua
puluh jurus. Namun kelihatannya pertarungan belum
akan cepat berakhir. Keduanya masih sama-sama
tangguh, dan masih banyak memiliki jurus berbahaya.
Hanya saja sampai sejauh ini, mereka tetap
menggunakan tangan kosong, tanpa senjata sama
sekali.
Bet!
Tepat pada jurus keempat puluh, Eyang Banadu
melepaskan kalung untaian batu hitam yang
dikenakannya, dan langsung dikebutkan ke arah kaki
Bayu. Secepat kilat Pendekar Pulau Neraka melompat
menghindari sabetan untaian batu hitam itu. Dua kali
tubuhnya berputaran di udara sebelum hinggap atas
sebongkah batu.
"Yeaaah...!"
Secepat kilat Eyang Banadu melentingkan
tubuhnya, langsung menghantamkan untaian kalung
batu hitam itu pada Pendekar Pulau Neraka. Tepat
ketika untaian kalung batu hitam hampir menghantam
tubuhnya, Bayu melesat ke atas, sehingga kalung
hitamitu hanya menghantam batu.
Glarrr...!
Ledakan keras terdengar tepat saat bongkahan batu
sebesar kerbau hancur berantakan. Serpihan batu dan
debu mengepul, membumbung tinggi ke angkasa. Bayu
sampai terpana menyaksikan kedahsyatan senjata
aneh orang tua cebol itu. Memang kalung hitam itu
adalah senjata sangat dahsyat, sehingga mampu
menghancurkan sebongkah batu sebesar badan ker-
bau.
Bayu buru-buru menyilangkan tangan kanan di
depan dada begitu kakinya mendarat di tanah. Pada
saat itu, Eyang Banadu sudah kembali melompat
sambil mengayunkan untaian kalung hitamnya. Dan
ketika orang tua cebol itu berada di udara, bagai kilat
Bayu melompat sambil mengebutkan tangan
kanannya.
"Hiyaaa...!"
Swing!
Dari pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau
Neraka itu melesat sebuah benda berbentuk cakra
bersegi enam. Cakra Maut itu melesat, melebihi
sebatang anak panah lepas dari busur ke arah untaian
kalung yang berada dalam genggaman tangan Eyang
Banadu.
Cring!
"Akh...!" Eyang Banadu terpekik tertahan ketika
Cakra Maut menghantam kalung hitamnya.
Bahkan orang tua cebol itu sampai terpental ke
belakang sejauh dua batang tombak, namun manis
sekali berhasil mendarat dengan kedua kakinya. Pada
saat yang sama, Bayu sudah menghentakkan tangan
kanannya kembali ke depan begitu kakinya menyentuh
tanah.
"Yeaaah...!"
"Uts!"
Buru-buru Eyang Banadu berlompatan memutar
tubuhnya ke belakang menghindari terjangan Cakra
Maut bersegi enam itu. Tapi belum juga kakinya
menyentuh tanah, Cakra Maut itu sudah menyerang
kembali bagai kilat. Eyang Banadu terperangah. Buru-
buru diegoskan tubuhnya mencoba menghindar.
Namun....
Cras!
"Akh...!" lagi-lagi orang tua eebol itu memekik.
Ujung Cakra Maut berhasil merobek bahu kanan
Eyang Banadu. Darah segar kontan muncrat keluar tak
terbendung lagi Laki-laki cebol itu terhuyung ke
belakang beberapa langkah. Ditekap bahunya yang
terluka dengan tangannya. Sementara Bayu berdiri
tegak dan mengangkat tangan kanannya. Seketika
Cakra Maut kembali menempel di pergelangan tangan
kanan PendekarPulau Neraka.
"Bagaimana, Orang Tua?" tanya Bayu.
"Kau hebat, Anak Muda. Kali ini aku mengaku
kalah," sahut Eyang Banadu. "Tapi satu saat nanti, aku
akan kembali menantangmu!"
"Aku tunggu tantanganmu, Orang Tua," sambut
Bayu sambil tersenyum manis.
Eyang, Banadu langsung melesat pergi. Demikian
pula delapan orang gadis cantik berbaju putih yangikut
meninggalkan tempat itu. Mereka pergi
mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Sementara
Bayu hanya memandangi sambil tersenyum. Dalam
hati diakui juga ketangguhan orang tua cebol itu.
***
LIMA
Bayu tersentak bangun dari tidurnya ketika tiba-
tiba mendengar suara pertarungan. Pendekar Pulau
Neraka itu bergegas menggelinjang bangkit. Sebentar
didongakkan kepalanya, mencoba mencari arah suara
pertarungan itu. Dan begitu bisa menemukan arah
suara itu, langsung melesat ke sana.
Begitu sempurna ilmu meringankan tubuh yang
dimiliki Pendekar Pulau Neraka, sehingga dalam
sekejap saja sudah tiba di bagian Barat Lereng Gunung
Cakal ini. Pemuda berbaju kulit harimau itu terkejut
saat melihat dua orang tengah bertarung sengit.
Seorang laki-laki tua berbaju biru tua kehitam-hitaman
tengah menggempur seorang gadis muda berwajah
cantik.
Dari tongkat yang digunakan, Bayu sudah bisa
mengenali kalau laki-laki tua itu adalah Sureng Rana
atau berjuluksi Kobra Hitam. Sedangkan lawannya....
Belum pernah Bayu melihatnya di sekitar Gunung
Cakal ini. Tapi kelihatannya gadis berbaju hijau muda
itu kewalahan menghadapi gempuran Sureng Rana.
Bayu mengedarkan pandangannya ke selatar
pertarungan. Tampak tidak kurang dari dua puluh
orang bergelimpangan berlumuran darah.
"Akh...!" Bayu tersentak ketika tiba-tiba mendengar
pekikan tertahan. Tampak gadis berbaju hijau muda
terhuyung-huyung ke belakang sambil mendekap dada
sebelah kiri bagian atas. Dan pada saat itu Sureng
Rana sudah melompat sambil mengibaskan tongkat
ular kobranya Sudah dapat dipastikan, gadis itu tak
mungkin dapal berkelit lagi. Tapi....
Trak!
"He...!" Sureng Rana terkejut ketika tiba-tiba saja
tongkatnya berbalik saat hampir menghantam kepala
gadis itu.
Dan belum lagi keterkejutan Sureng Rana hilang,
tahu-tahu di depan gadis berbaju hijau muda itu sudah
berdiri Pendekar Pulau Neraka. Pemuda berbaju kulit
harimau itu menggenggam sebatang ranting kering
yang besarnya tidak lebih dari sebesar jari. Dan
panjangnya hanya sekitarlima jengkal saja.
"Bayu...," desis Sureng Rana mengenali pemuda
berbaju kulit harimauitu.
"Tidak jera-jeranya kau membantai orang, Kobra
Hitam!" desis Bayu dingin.
"Heh...! Apa urusanmu, bocah? Minggir!" bentak
SurengRana sengit.
"Sudah kukatakan, aku selalu berurusan dengan
manusia kejamsepertimu!"
"Phuih! Kemarin kau boleh berbesar hati, bocah!
Tapi sekarang jangan harap bisa lolos dari kematian!']
"Hidup dan matiku bukan di tanganmu, Kobra
Hitam. Aku khawatir malah kaulah yang lebih dahulu
ke neraka," dingin sekali nada suara Bayu.
Sureng Rana menggeram marah. Gerahamnya
bergerut-gerut pertanda laki-laki tua bertongkat ular
kobra itu tidak dapat lagi menahan amarahnya.
Sementara Bayu sempat melirik gadis berbaju hijau
muda di belakang agak ke samping. Gadis itu tampak
duduk bersila, dan kedua tangannya merapat di depan
dada. Melihat gadis itu sedang menjalankan semadi,
Bayu menggeser kakinya lebih ke depan lagi.
"Hmmm.... Kautidak membawa benda itu, Pendekar
Pulau Neraka. Di mana kau sembunyikan kotak kayu
itu?" suara Sureng Rana terdengar setengah
menggumam.
“Sudah sampai pada pemiliknya" sahut Bayu kalem
"Apa...?!" Sureng Rana terperanjat bukan main. Dan
Pendekar Pulau Neraka juga berkerut keningnya. Tidak
diduga kalau jawabannya akan membuat laki-laki tua
bertongkat ular kobra itu demikian terperanjat Bahkan
matanya sampai mendelik bagai hendak mencelat
keluar. Bayu melirik gadis berbaju hijau kembali ketika
SurengRana menataptajam pada gadis itu.
"Kau jangan main-main, bocah setan! Kepada siapa
kau berikan kotak kayu itu?" dengus Sureng Rana
menggeram.
"Sudah kukatakan pada pemiliknya! Apa masih
kurang percaya pada kata-kataku?” bentak Bayu mulai
sengit.
“Bocah! Kau tahu Siapa itu Rampita?" tanya Sureng
Rana.
Bayu tidak langsung menjawab. Pertanyaan Sureng
Rana dianggapnya aneh dan terlalu mengada-ada. Tapi
keningPendekarPulauNeraka itu berkerut juga.
"Hh! Aku yakin, kau juga berminat memiliki benda
itu, Anak Muda. Baiklah. Jika demikian, kau harus
berhadapan denganku!" desis SurengRana.
Setelah berkata demikian, Sureng Rana langsung
memutar tongkatnya. Begitu cepat putaran tongkat itu,
sehingga yang terlihat hanya bulatan hitam
membentuk tameng di depan laki-laki tua itu. Dan
Bayu langsung bersiap. Digeser kakinya sedikit
Matanya tajam tak berkedip memperhatikan setiap
gerak yang dilakukan si Kobra Hitam.
"Tahan seranganku! Hiyaaa...!"
Tiba-tiba saja Sureng Rana melompat dan
tongkatnya terus diputar-putar bagai baling-baling.
Bayu yang sudah siap sejak tadi, bergegas menggeser
kakinya ke samping sejauh lima langkah. Seketika
dimiringkan tubuhnya menghindari sabetan tongkat
yang berputar kencangitu.
"Uts!"
Angin putaran tongkat hitam itu demikian keras,
sehingga membuat Pendekar Pulau Neraka sedikit
terhuyung. Tapi cepat-cepat pemuda berbaju kulit
harimau itu menguasai keseimbangan tubuhnya. Dan
seketika itu juga dikibaskan tangan kanannya sambil
melompat mundur beberapa tindak.
Tampak satu kilatan keemasan melesat dari
pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka. Ternyata
pemuda berbaju kulit harimau itu sudah melepaskan
senjata Cakra Mautnya. Senjata bersegi enamyang ujung-
ujungnya runcing melengkung itu, tepat menghantam
bagian tengah putaran tongkat si Kobra Hitam.
Trang!
"Akh...!"
Seketika itu juga putaran tongkat berhenti bersa-
maan terdengarnya pekikan tertahan. Dan Bayu
mengangkat tangan kanannya ke atas kepala. Seketika
Cakra Maut kembali melekat di pergelangan tangan
kanannya.
"Keparat..!" desis Sureng Rana menggeram.
Tampak darah mengucur dari jari-jari tangan yang
menggenggam tongkat berbentuk ular kobra
mengembang. Ternyata Cakra Maut bukan hanya
menghentikan putaran tongkat itu, tapi juga berhasil
melukai tangan pemiliknya.
'Pergilah, sebelum pikiranku berubah!" dengus Bayu
dingin.
"Phuih!" Sureng Rana menyemburkan ludahnya.
Tanpa mempedulikan luka pada tangannya, laki-laki
tua itu kembali menggerak-gerakkan tongkatnya,
membuka jurus-jurus penyerangan. Dan Bayu kembali
siap dengan tangan melipat di depan dada. Matanya
sangat tajam memperhatikan setiap gerakan yang
dilakukan si Kobra Hitamitu.
"Mampus kau, bocah keparat! Hiyaaat..!"
Sambil berteriak keras, Sureng Rana melompat
menerjang Pendekar Pulau, Neraka. Tongkatnya
dikebutkan beberapa kali disertai pengerahan tenaga da
lam tinggi. Sungguh dahsyat luar biasa! Setiap kali
tongkat itu dikebutkan menimbulkan suara angin
menderu bagai terjadi badai.
"Hup...!"
Sungguh manis gerakan-gerakan yang dilakukan
Pendekar Pulau Neraka saat menghindari setiap
serangan si Kobra Hitam. Tubuhnya meliuk-liuk seperti
karet, diimbangi gerakan kaki yang lincah dan cepat
namun terasa ringan. Bahkan telapak kaki pemuda
berbaju kulit harimau itu seperti tidak menyentuh
tanah.
"Hiya! Yeaaah...!"
Sureng Rana semakin berang melihat lawannya
yang masih berusia muda seperti mempermainkan.
Sudah lebih dari lima jurus dikerahkan, tapi tak satu
pun Bayu balas menyerang. Pendekar Pulau Neraka itu
hanya berkelit dan menghindar sambil terus bergerak
mundur menjauhi gadis berbaju hijau muda yang
masih bersemadi. Hal ini memang disengaja, agar
Sureng Rana tidak bermain licik. Bayu tahu betul
watakorang golongan hitam macam Sureng Rana ini.
"Aku masih memberimu kesempatan, Sureng
Rana!" seru Bayu seraya memiringkan tubuhnya
menghindari tebasan tongkat si Kobra Hitam.
"Phuih! Mampus kau, keparat..!"
Sureng Rana semakin sengit. Giginya bergemeletuk
tak dapat lagi menahan amarah. Wajah tua keriput itu
jadi memerah, dan matanya liar bernyala-nyala bagai
sepasang bola api. Serangan-serangan yang dilakukan
semakin terlihat berbahaya. Bahkan kini Bayu tampak
kerepotan menghindarinya. Beberapa kali Pendekar
Pulau Neraka itu mengendus dan gerahamnya
menggeretak, tapi masih berusaha mengendalikan diri.
***
Namun menghadapi kenyataan bahwa Sureng Rana
tidak lagi bermain-main dan ingin membunuhnya,
Bayu tak dapat lagi mengekang diri. Darahnya seketika
menggelegak ketika satu pukulan keras lawan ber-
sarang di punggung dan membuatnya tersuruk jatuh
mencium tanah.
Saat berada di tanah, kemarahan Bayu langsung
mencapai puncak Sureng Rana malah mencecarnya
habis-habisan. Terpaksa Pendekar Pulau Neraka itu
bergulingan menghindari setiap tebasan dan tusukan
tongkat berbentuk ular kobra berwarna hitam kelam
itu. Hingga pada satu tusukan yang tepat mengarah ke
dada, Bayu tidak berusaha menghindar. Dan tepat
ketika ujung tongkat si Kobra Hitam hampir mencapai
dadanya, cepat bagai kilat Pendekar Pulau Neraka itu
merapatkan kedua telapak tangannya untuk menjepit
ujungtongkat yang runcingitu.
Tap!
"Hup!"
Sungguh cerdik Pendekar Pulau Neraka. Tepat pada
saat Sureng Rana menghentakkan tongkat diringankan
tubuhnya sehingga ikut terbawa naik dan melenting ke
udara. Pada saat itu Bayu menghentakkan tangannya
melepaskan jepitan pada tongkat itu. Dan tanpa diduga
sama sekali kakinya melayang deras ke arah punggung
si Kobra Hitam.
Des!
"Akh.„!" Sureng Rana terpekiktertahan.
Sepakan kaki Bayu tepat menghantam
punggungnya. Untung saja Bayu tidak penuh
mengerahkan tenaga dalamnya, sehingga Sureng Rana
hanya sempat terdorong ke depan beberapa langkah.
Tapi bibirnya meringis juga menahan sakit pada
punggungnya.
"Yaaah...!"
Sambil berteriak keras, Sureng Rana cepat memutar
tubuhnya. Dan secepat itu pula tongkat ular kobra itu
diputar untuk menyampok kaki PendekarPulauNeraka
yang barusaja mendarat di tanah.
"Uts! Hup...!"
Terpaksa Bayu melentingkan tubuhnya kembali ke
udara. Pada saat yang sama, Sureng Rana
menghentakkan tangan kirinya ke atas. Seketika dari
tangannya keluar benda bulat hitam yang meluncur
bagai kilat ke arah PendekarPulauNeraka.
Wusss!
"Yeaaah...!"
Tak ada pilihan lain lagi bagi Bayu yang berada di
udara. Sambil memutar tubuhnya yang berjumpalitan,
dihentakkan tangan kanannya. Seketika itu. juga Cakra
Maut melesat menyambut benda hitam yang
dilontarkan Sureng Rana.
Glaaarrr...!
Ledakan keras terjadi ketika dua benda dahsyat
beradu di udara. Tampak asap tebal menyebar disertai
percikan bunga api. Bayu mengangkat tangan
kanannya ke atas ketika kakinya mendarat di tanah.
Maka Cakra Maut itu kembali melesat balik dan
menempel di pergelangan tangan Pendekar Pulau
Neraka itu. Namun secepat itu pula Bayu
menghentakkan tangannya kembali dengan tubuh
membungkuk agak miring ke kiri.
"Yeaaah...!"
Wut!
Cakra Maut kembali melesat dari pergelangan
tangan Pendekar Pulau Neraka. Lesatannya demikian
cepat, melebihi lesatan anak panah lepas dari busur.
Hal ini membuat Sureng Rana terperangah. Buru-buru
dikibaskan tongkatnya menyampok senjata cakra
bersegi enamitu.
Trang!
Satu benturan keras terjadi.
"Akh...!" lagi-lagi SurengRana terpekik.
Laki-laki tua itu terdorong ke belakang beberapa
tindak. Tampak tangannya bergetar dan wajahnya agak
memucat Sedangkan bibirnya bergetar, dan matanya
membeliak lebar. Si Kobra Hitam itu hampir tidak
percaya kalau tenaga dalamnya masih di bawah
pemuda berbaju kulit harimauitu.
Tapi Sureng Rana tidak sempat berpikir jauh lagi.
Karena, Cakra Maut yang masih berada di udara cepat
berputar bagai memiliki mata, dan langsung
menyambar ke arah kepala laki-laki tua itu.
"Uts!"
Buru-buru Sureng Rana merundukkan kepalanya,
maka Cakra Maut bersegi enam itu lewat sedikit di atas
kepalanya. Tapi ikat kepala laki-laki itu sempat terbabat
dan lepas terbawa angin lesatan Cakra Maut Pendekar
PulauNeraka. Bahkan Sureng Rana sampai memegangi
kepalanya. Laki-laki tua itu tak bisa lagi berpikir,
karena Cakra Maut sudah kembali berbalik dan
menyerangnya. Namun matanya sempat melirik ke
arah Bayu yang tengah menggerak-gerakkan tangannya
mengendalikan senjata andalan itu.
"Yeaaah...!"
Sambil mengecutkan tongkatnya untuk
menyampok senjata Cakra Maut bersegi enam itu,
Sureng Rana melesat ke arah Pendekar Pulau Neraka.
Kaki kirinya terhentak memberi tendangan keras ke
arah kepala.
"Yaaah...!"
Sungguh di luar dugaan sama sekali. Ternyata Bayu
tidak berkelit sedikit pun. Bahkan dengan sigapnya
diangkat kedua tangannya menyilang di atas kepala,
sehingga tendangan kaki si Kobra Hitam menghantam
tangan pendekarPulau Neraka.
Tepat ketika terjadi benturan keras, Bayu memutar
tubuhnya hingga kepalanya berada di bawah, disangga
oleh kedua tangannya. Lalu kaiti Pendekar Pulau
Neraka menghentak keras disertai pengerahan tenaga
dalam tinggi sekali. Satu serangan balik yang
meminjam tenaga lawan itu sungguh tidak terduga
sama sekali. Dan....
Des!
"Aaakh...!" SurengRana terpekik keras.
Sepasang telapak kaki Pendekar Pulau Neraka tepat
menjejak perut si Kobra Hitam. Begitu kerasnya,
sehingga orang tua bertongkat ular kobra itu terpental
deras dan jauh. Luncuran tubuhnya baru berhenti
setelah menghantam sebatang pohon hingga hancur
berkeping-keping
Sementara Bayu tidak ingin menunggu lama lagi
Segera diangkat tangannya, maka Cakra Maut yang
sejak tadi melayang-layang di udara langsung melesat
balik Begitu senjata bersegi enam itu melekat di
pergelangan tangan. Dengan cepat Bayu
menghentakkan kembali ke depan.
"Hiyaaa...!"
Wusss!
Seketika Cakra Maut kembali melesat dengan
kecepatan luar biasa. Senjata andalan Pendekar Pulau
Neraka itu melunak deras ke arah si Kobra Hitam yang
tengah berusaha bangkit berdiri. Tapi belum juga laki
laki tua itu mampu berdiri tegak, Cakra Maut sudah
menghantam dadanya.
Crab!
"Aaa...!" kembali SurengRana menjerit keras.
Sebentar laki-laki tua itu masih mampu berdiri, tapi
sesaat kemudian ambruk ke tanah berkelojotan. Begitu
Cakra Maut yang terbenam dalam dada Sureng Rana
keluar balik pada pemiliknya, darah langsung muncrat
dari dada yangterbelah itu.
Bayu berdiri tegak sambil melipat tangan di depan
dada. Senjata saktinya kini sudah kembali menempel di
pergelangan tangan kanan PendekarPulauNeraka.
Sesaat dipandanginya si Kobra Hitam yang
menggelepar meregang nyawa. Memang tak ada
seorang pun yang tahan jika terhunjam senjata maut
Pendekar Pulau Neraka itu. Demikian pula nasib
Sureng Rana. Dia tewas dengan dada berlubang
berlumuran darah segar.
***
Bayu mengalihkan pandangannya ke arah gadis
berbaju hijau muda yang masih duduk bersila
meskipun tidak lagi bersemadi. Wajah gadis itu tampak
pucat. Malah pandangan matanya begitu sayu bagai
tak memiBki gairah hidup. Bayu menghampiri, lalu
duduk di depan gadis itu. Sebentar dipandanginya
wajah gadis itu, kemudian pandangannya beralih pada
dada sebelah kiri atas, tempat terdapatnya luka memar
menghitamsebesar kepalan tangan.
"Kau terluka, Nisanak," ujar Bayu pelahan.
"Hanya sedikit Sebentar lagi juga hilang," sahut
gadis itu seraya mencoba tersenyum. 'Terima kasih, kau
telah menyelamatkan nyawaku."
"Lupakan itu. Tampaknya kau membutuhkan
pertolongan."
Gadis berbaju hijau itu mencoba tersenyum, tapi
tiba-tiba berubah jadi meringis seperti menahan sakit
Bayu menggeser duduknya lebih mendekat, lalu
menjulurkan tangannya ke arah noda hitam sebesar
kepalan tangan di dada kiri gadis itu.
"Maaf," ucap Bayu. Pendekar Pulau Neraka itu
merapatkan telapak tangannya di dada kiri gadis
berbaju hijau. Kelopak mata gadis itu terpejam, seraya
menggigit-gigit bibirnya sendiri. Sementara Bayu terus
menatap tangannya yang menutup noda hitam di dada
kiri itu. Tampak wajah Pendekar Pulau Neraka
kelihatan menegang dan memerah, lalu seluruh
tubuhnya bergetar bagai tersengat lebah.
"Hoek...!"
Gadis berbaju hijau muda itu tiba-tiba
memuntahkan segumpal darah kental berwarna hitam
pekat Wajahnya semakin memucat Namun Bayu tepat
menekan dada kiri gadis itu kuat-kuat Asap tipis
mengepul dari sela-sela jari PendekarPulauNeraka.
"Yeaaah...!" tiba-tiba saja Bayu berteriak keras. Dan
seketika itu juga dihentakkan tangannya, dan langsung
ditarik kembali. Tubuh gadis itu berguncang hebat, dan
kembali memuntahkan darah. Kali ini berwarna merah,
namun masih ada sedikit gumpalan kehitaman.
"Hsss...!" Bayu menarik napas dalam-dalam melalui
mulut.
Tangan kanannya terbuka sejajar dada. Sedangkan
tangan kiri terkepal sejajar pinggangnya. Tatapan
matanya masih terlihat tajam. Dan kembali Pendekar
Pulau Neraka itu berteriak keras. Dengan cepat dada
kiri gadis itu digedor, dan secepat itu pula ditarik
kembali tangannya. Tampak tubuh gadis itu
berguncang hebat lalu memekik tertahan.
"Akh! Hoeeek....'"
"Hhh...!" Bayu menarik napas panjang melihat
muntahan yang sudah bersih. Muntahan yang ketiga
kali ini hanya berupa darah.
"Ohhh...," gadis itu merintih lirih.
"Jika tidak segera dikeluarkan, racun itu bisa me-
rusak seluruh jaringan urat syarafmu. Hhh.... Untung
saja belum merambat sampai ke pembuluh darah,"
jelas Bayu.
'Terima kasih," hanya itu yang bisa keluar dari
mulut gadis ini.
"Sebentarlagi kau akan pulih kembali," jelas Bayu
lagi:
Gadis itu hanya tersenyumsaja.
Bayu menggeser duduknya menjauh.
Diperhatikannya gadis itu yang kini sedang bersemadi
untuk memulihkan kondisi tubuhnya.
Hanya sebentar saja gadis itu bersemadi, dan kini
wajahnya sudah kembali segar. Belahan pipinya
kembali diwarnai rona merah. Bibirnya tersenyum
seakan-akan hendak mengucapkan terima kasih sekali
lagi pada pemuda berbaju kulit harimau itu. Tapi
tampaknya gadis itu tahu kalau pemuda di depannya
tidak memerlukan ucapan terima kasih.
"Kenapa kau menolongku?" tanya gadis itu
kemudian.
"Karena kau butuh pertolongan," sahut Bayu
kalem.
Kembali gadis itutersenyum manis.
"Boleh aku tahu, kenapa kau bisa bentrok dengan si
Kobra Hitam?" tanya Bayu.
"Hhh..., sudah lama Sureng Rana jadi musuh besar
keluargaku. Entah kenapa dia selalu menginginkan
kotak kayu yang disimpan Ayah," desah gadis itu pelan.
"Kotak kayu...?.'" Bayutersentak kaget.
"Iya, kenapa? Tampaknya kauterkejut..."
"Oh! Apakah...," suara Bayu terputus, lalu
mendesah menghembuskan napas panjang.
Pendekar Pulau Neraka itu mengamati wajah gadis
di depannya dalam-dalam. Mendapat pandangan
seperti itu, gadis berbaju hijau itu menjadi jengah juga.
Wajahnya bersemu merah, dan bola matanya berputar.
Hanya saja dia tidak ingin memalingkan ke arah lain,
meskipun hatinya berdetak kencang
"Nisanak! Boleh aku tahu namamu?" pinta Bayu.
'Tentu saja boleh. Namaku Rampita," jawab gadis
itusenang hati.
"Ohhh...," Bayu mendesah panjang sambil menepak
keningnya.
"Eh! Kau kenapa...?" tanya gadis yang mengaku
bernama Rampita itu tidak mengerti akan tingkah
pemuda berbaju kulit harimauini.
"Ah! Kenapa ada dua Rampita di dunia ini...?" keluh
Bayu.
***
ENAM
Rampita benar-benar tak mengerti mendengar
keluhan pemuda berbaju kulit harimau itu. Kini malah
berbalik, dia yang kini memandangi wajah tampan di
depannya. Sedangkan Bayu hanya mendongakkan
kepala, dan beberapa kali menghembuskan napas
panjang.
"Kisanak...," sapa Rampita, pelan suaranya.
"Bayu. Panggil saja aku Bayu," potong Bayu
memperkenalkan diri.
"Hm..., tampaknya kau kebingungan. Ada apa?
Kenapa mengatakan ada dua Rampita?" tanya gadis itu
ingin tahu.
"Hhh..., sukar dijelaskan. Aku jadi tidak mengerti,
apakah kau ini memang Rampita atau malah hanya
mengaku-aku saja. Tapi aku juga tidak yakin kalau dia
benar," ujar Bayuterdengar mengeluh.
"Siapa yang kau maksudkan, Ki...?"
"Bayu."
"Oh, iya. Hmmm..., boleh memanggilmu Kakang
Bayu? Kelihatannya kaulebih tua usianya dariku."
"Boleh saja."
"Hm..., Kakang Siapa yang dimaksudkan dengan
Rampita satunya lagi?" gadis berbaju hijau muda itu
mengulangi, pertanyaannya.
"Hhh...! Sukar mengatakannya...," desah Bayulirih.
Tanpa diminta lagi, Pendekar Pulau Neraka itu
menceritakan semua yang dialami. Mulai dari
pertemuannya dengan Adilangu yang telah berpesan
sebelum ajal menjemput, sampai pertemuannya dengan
seorang gadis yang tinggal di Puncak Gunung Cakal.
Gadis itu juga mengaku bernama Rampita. Saat itu
Bayu percaya saja dan menyerahkan kotak kayu yang
diamanatkan Adilangu padanya.
"Hm..., aku tahu kini. Kau pasti bertemu Seruni si
Gadis Salju," gumam Rampita setelah Bayu
menyelesaikan ceritanya.
"Oh! Kalau begitu, aku telah salah memberi kotak
yang diamanatkan Adilangu," lagi-lagi Bayu mengeluh.
"Bukan salahmu, Kakang. Aku bisa mengerti.
Seruni memang mengetahui persis keluargaku.
Makanya tidak ada kesulitan baginya untuk
mengelabuimu," ujar Rampita membesarkan hati
PendekarPulauNeraka.
"Rampita. Boleh aku tahu, kenapa mereka
menginginkan kotak kayu itu?" pinta Bayu.
"Aku sendiri tidak tahu, Kakang. Kotak kayu itu
sudah ada sebelum aku lahir. Yaaah..., yang kuketahui,
hanya si Kobra Hitam saja yang begitu ingin
menguasainya. Sedangkan Ayah selalu
mempertahankan. Sudah bertahun-tahun si Kobra
Hitam mencoba merebutnya, tapi baru sekarang
rupanya berhasil membunuh ayahku. Untung saja dia
tidak berhasil menguasai kotak kayu itu," ujar Rampita
memberitahu.
"Oh, jadi ayahmu sudah...?" Bayu tidak
meneruskan pertanyaannya.
"Mereka yang memberitahu," jelas Rampita seraya
menunjuk mayat-mayat yang bergelimpangan.
Bayu memandangi mayat-mayat itu.
"Siapa mereka?" tanya Bayu.
"Mereka adalah murid setia ayahku yang sengaja
meninggalkan Padepokan Tongkat Sakti untuk
menemuiku di sini. Mereka juga mengatakan kalau
Padepokan Tongkat Sakti sudah hancur oleh
gerombolan Barong Codet"
Bayu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Gerombolan Barong Codet memang pernah
didengarnya dari Adilangu. Bahkan Pendekar Pulau
Neraka sempat menyelamatkan pemuda itu dari
cengkeraman tangan iblis si Barong Codet. Meskipun
tidaksempat bentrok, karena saat itu keadaan Adilangu
cukup gawat
"Rampita. Kalau boleh tahu, kenapa kau tinggal di
sini dan tidak bersama-sama ayahmu?" tanya Bayu jadi
ingin tahulebih banyak lagi.
"Ayahku yang menghendaki. Aku tinggal tidak jauh
dari sini, bersama Paman dan Bibi. Tapi mereka sudah
meninggal. Bibi lebih dahulu meninggal. Dan setahun
kemudian, Paman menyusul. Sebenarnya ayahku ingin
mengambilku kembali, tapi aku menolak. Aku lebih
senang tinggal di tempat sunyi seperti ini sambil
memperdalamilmu yang kumiliki."
"Lalu, apa yang akan kau lakukan sekarang?" tanya
Bayu.
"Entahlah," desah Rampita.
"Kau tidak ingin merebut kembali warisan
ayahmu?"
"Mungkin tidak. Biarlah Seruni yang memilikinya."
"Aneh sekali...," gumam Bayu tidak mengerti sikap
gadis ini.
'Tidak ada yang aneh, Kakang. Bagiku benda itu
hanya membawa malapetaka saja. Aku bisa
merebutnya kembali dari tangan Seruni. Tapi, apakah
itu akan menyelesaikan masalah? Tidak, Kakang Malah
menurutku akan menimbulkan masalah baru lagi.
Bukannya tidak mungkin mereka akan mengejarku
untuk merebut kotak itu. Bahkan guru Seruni pasti
ikut campur tangan."
Bayu terdiam membisu. Secara jujur memang di-
akui kebenaran kata-kata Rampita. Sudah banyak
darah tertumpah hanya karena memperebutkan
sebuah benda yang dianggap memiliki pamor dahsyat
Bahkan seluruh orang rimba persilatan
mempermasalahkannya. Sebagian besar dari mereka,
bentrok hanya karena memperebutkan sebuah benda
pusaka.
Tapi Bayu juga tidak menyetujui sikap gadis ini,
yang kelihatannya menunjukkan kurang berbakti pada
orang tua. Tidak seharusnya Rampita menyepelekan
sebuah benda peninggalan orang tuanya. Sesuatu yang
menjadi keramat dan diwasiatkan sudah selayaknya
dipertahankannya, meskipun dengan darah dan nyawa.
Tapi Rampita sepertinya tidak ambil peduli, walaupun
sudah mempunyai pegangan hidup yang diyakini
memiliki kebenaran.
"Rampita, apakah kau tidak berhasrat membalas
kematian ayahmu?" tanyai Bayu jadi ingin lebih tahu
lagi tentang gadis ini.
"Untuk apa? Orang yang membunuh ayahku sudah
tewas, meskipun bukan dengan tanganku sendiri,"
jawabRampita tegas.
"Lalu bagaimana dengan pedepokan ayahmu?"
"Padepokan Tongkat Sakti sudah hancur. Murid-
murid yang tersisa pun sudah tewas semuanya di sini.
Untuk apa mempersoalkannya lagi? Maaf, Kakang.
Dendam tidak akan menyelesaikan semua persoalan.
Bahkan akan melahirkan dendam baru yang tidak
akan berhenti sampai salah satu pihak musnah tanpa
meninggalkan keturunan lagi."
"Bukan maksudku menyuruhmu membalas
dendam. Tapi paling tidak kau bisa membangun
Padepokan Tongkat Sakti kembali."
"Ah! Rasanya aku lebih suka hidup begini.
Kehidupan yang damai, menyatu dengan alam dan
mendekatkan diri pada Hyang Widi. Rasanya hidup
seperti itu lebih nikmat daripada harus selalu cemas
dan bergelimang darah," kembali Rampita
mengemukakan prinsiphidupnya.
Bayu hanya mengangkat bahunya saja. Tidak ada
hak baginya untuk mempengaruhi gadis ini. Gaya
hidup yang diinginkan memang berbeda jauh dengan
dirinya. Sampai sekarang Pendekar Pulau Neraka
masih terus mencari pembunuh-pembunuh ayahnya.
Bahkan sampai sekarang belum diyakini kalau ibunya
tewas. Bayu percaya kalau ibunya masih hidup dan
sekarang berada di suatu tempat.
***
Dua hari lamanya Bayu tinggal di sebuah pondok
kecil milik Rampita. Pendekar Pulau Neraka itu
mengakui kalau cara hidup yang dijalankan gadis ini
sungguh damai. Jauh dari persoalan-persoalan duniawi
yang menyeret ke arah napsu keserakahan jika tidak
bisa mengendalikan diri. Tapi Bayu tidak mungkin bisa
hidupseperti ini sebelum bertemuibunya.
Pagi-pagi sekali Pendekar Pulau Neraka sudah
bersiap-siap hendak meninggalkan tempat ini. Dengan
ayunan kaki tenang, dia keluar dari pondok kecil ini.
Pemuda berbaju kulit harimau itu menghirup napas
dalam-dalam saat berada di luar pondok. Masih terlalu
gelap, matahari juga belum menampakkan sinarnya.
Namun suara kokok dan kicauan burung sudah me-
nyemarakkan sekelilingnya.
"Hmmm..., indah sekali...," desahan halus terucap
dari bibir Bayu.
"Tidak akan indah jika seperti ini...!" tiba-tiba
terdengarsahutan dari arah samping kanan.
Bayu memalingkan muka ke arah suara itu. Dan
seketika matanya terbeliak begitu melihat Rampita
terikat dalam posisi terbalik di pohon. Kedua kakinya
terikat menyatu berada di atas. sedangkan kepalanya
terjuntai ke bawah. Di dekat gadis itu berdiri seorang
gadis cantik berbaju putih. Di belakangnya tampak
seekor beruang berbulu putih yang sangat besar,
mendekam di bawah pohon.
"Rampita...," desis Bayu. "Heh! Apa yang kau
lakukan pada Rampita?!"
"Heh! Jika kau ingin dia selamat, serahkan Bunga
Cubung Biru padaku!" dingin sekali suara gadis berbaju
putih itu.
Gadis muda itu memang pernah bertemu Bayu, dan
mengaku bernama Rampita. Padahal sebenarnya
bernama Seruni, yang dikenal berjulukGadis Salju.
"Kakang..., turuti saja keinginannya," celetuk
Rampita pelan.
Bayu masih terdiam. Ditatapnya dalam-dalam
Rampita yang tengah tergantungterbalik dengan kepala
berada di bawah. Wajah gadis itu memerah, tapi bukan
karena marah. Memang, dalam posisi seperti itu, darah
tak seimbang lagi mengalir. Bayu heran juga
mendengar perkataan Rampita. Gadis ini seolah-olah
pasrah, dan tidak sedikit pun mencoba memberontak
Padahal, kalau mau mudah saja baginya melepaskan
diri. Toh, kedua tangannya bebas tak terbelenggu.
Sedangkan Rampita menatap Bayu, namun sinar
matanya penuh permohonan agar Pendekar Pulau
Neraka itusuka menuruti permintaan Seruni.
"Rampita...," desah Bayu pelahan tanpa sadar.
"Penuhi saja permintaannya, Kakang," kata
Rampita lirih.
"Tapi..., tapi aku tidak tahu apa yang diinginkan-
nya...?!" Bayu benar-benar tidak mengerti.
"Jangan pura-pura bodoh, Bayu!" bentak Seruni
sengit. "Aku tahu, Bunga Cubung Biru ada padamu.
Cepat serahkan! Kautidak berhak memilikinya!"
"Bunga Cubung Biru...?! Apa lagi yang
dikatakannya, Rampita?" Bayu semakin kebingungan
tidak mengerti.
Rampita hanya diam saja. Ditatapnya dalam-dalam
pemuda berbaju kulit harimau itu. Sedangkan Bayu
sendiri tampak seperti orang bodoh. Sebentar
dipandangi Rampita, sebentar kemudian beralih pada
Seruni yang berkacak pinggang dengan mata mendelik
marah tidaksabaran.
Saat semuanya sedangterdiam, mendadak saja....
"Yeaaah...!"
Bayu dan Seruni tersentak kaget begitu tiba-tiba
Rampita berteriak keras. Dan seketika itu juga,
tubuhnya melesat ke udara. Entah bagaimana
kejadiannya, tahu-tahu ikatan tambang di kaki gadis
itu terlepas. Dan bahkan dia telah mendarat di samping
kanan Pendekar Pulau Neraka sebelum ada yang
menyadari apa yang baru saja terjadi.
Bayu memandangi Rampita sebentar, kemudian
beralih ke arah tambang yang masih tergantung di
pohon. Ikatan tambang itu masih tetap seperti semula.
Tidak ada yang berubah, dan malah tambang itu tidak
putus. Kembali Pendekar Pulau Neraka itu
memandangi gadis di sampingnya. Sedangkan yang
dipandangi melangkah majutiga tindak
"Tidak ada gunanya terus mendesak, Seruni. Aku
yakin Kakang Bayu tidak memiliki yang kau cari," tegas
Rampita. Nada suaranya datar dan terasa dingin.
"Huh!" Seruni hanya mendengus saja.
"Pergilah, Seruni. Cari Bunga Cubung Biru
untukmu sendiri," kata Rampita lagi.
"Kau pikir aku akan percaya begitu saja padamu,
Rampita? Kalian pasti sudah bekerja sama!" dengus
Seruni ketus.
"Seruni..., apakah kau sudah tidak percaya lagi
padaku? Sama sekali aku tidak memiliki Bunga
Cubung Biru. Lagi pula sudah kukatakan kalau aku
tidak ingin memilikinya. Biarlah kau saja yang
memilikinya. Aku rela."
"Kata-katamu selalu manis, Rampita. Pantas saja
Ayah selalu berpihak padamu!"
"Jangan lagi melibatkan Ayah, Seruni. Biarkan Ayah
tenang di alam kubur," agak dingin nada suara
Rampita.
"Akan kugali kuburannya!"
"Seruni...!" sentak Rampita terkejut.
Tapi sebelum Rampita bisa berkata lagi, Seruni
sudah melesat pergi. Sedangkan beruang putih ikut
melompat sambil meraung keras menggelegar. Rampita
ingin mengejar, tapi segera diurungkan niatnya begitu
mendengar panggilan lembut Pendekar Pulau Neraka.
Gadis itu membalikkan tubuhnya, langsung menatap
bola mata pemuda berbaju kulit harimauitu.
"Tidak akan kubiarkan dia melakukan hal itu, Ka-
kang," tegas Rampita.
"Apa yang akan kau lakukan?" tanya Bayu.
"Kalau sampai kuburan Ayah benar-benar dibong-
kar, aku tidak peduli lagi siapa dia!" desis Rampita
setengah menggeram.
Bayu diam dengan mata tajam memandang wajah
cantik di depannya. Banyak yang ingin diketahuinya,
tapi melihat sorot mata Rampita begitu tajam, Bayu
mengurungkan keinginannya. Meskipun rasa
penasaran menyelimuti seluruh hatinya. Betapa tidak?
Sikap Rampita terasa begitu aneh, bahkan sukar
diterima akal sehat Pendekar Pulau Neraka itu.
Bayu mengayunkan kakinya mengikuti langka kaki
gadis itu. Disejajarkan langkahnya di sampin Rampita
yang berjalan cepat mempergunakan ilmu meringankan
tubuh. Agak terkejut juga Pendekar Pulau Neraka itu
saat menyadari ilmu meringankan tubuh Rampita
begitu tinggi, sehingga perlu juga diimbangi. Sebentar
saja mereka sudah jauh meninggalkan pondok kecil
tempat tinggal gadis itu.
"Rampita, bisa aku bicara padamu?" pinta Bayu
tidak bisa lagi menahan rasa keingintahuannya.
"Bicaralah," jawab Rampita tanpa mengendorkan
kecepatan jalannya.
"Tolong jelaskan, apa sebenarnya yang terjadi?"
pinta Bayu berharap. Pendekar Pulau Neraka memang
paling tidak betah jika dihadapkan pada persoalan yang
mengandungteka-teki seperti ini.
Berhadapan dengan manusia-manusia aneh yang
memiliki tingkah polah yang sukar dimengerti, memang
bukanlah pengalaman yang mengenakkan. Dan
Pendekar Pulau Neraka itu sama sekali tidak menyukai
hal ini Dia paling benci terhadap segala macam teka-
teki yang membuat kepalanya berdenyut. Bahkan
membuat hatinya terus diselimuti berbagai macam
pertanyaan dan rasa penasaran.
"Untuk apa? Kau sendiri sudah tahu," Rampita
menanggapi ringan.
Bayu menghentikan langkahnya. Dan Rampita juga
ikut berhenti. Untuk beberapa saat lamanya mereka
saling melemparkan pandang. Pelahan namun pasti,
Rampita memalingkan mukanya ke arah lain. Entah
kenapa, hatinya selalu bergetar jika bertemu pandang
dengan pemuda ini. Suatu perasaan yang belum
pernah terjadi pada dirinya. Tapi Rampita tidak ingin
memanjakan perasaannya. Gadis itu selalu saja bisa
menghalau, meskipun sering kali timbul selama
Pendekar Pulau Neraka ini masih terlihat, dan begitu
dekat di sampingnya.
'Terus terang, aku sebenarnya tidak ingin terlibat
Tapi sukar bagiku untuk menghindarinya. Masih
banyak yang belum kuketahui tentang semua ini,
Rampita," tutur Bayu berterus terang.
"Apa lagi yang ingin kau ketahui?" tanya Rampita.
"Banyak. Terutama tentang kotak kayu, Bunga
Cubung Biru, kau, dan mereka yang menginginkan
kotakitu," tegas Bayu.
"Hm..., jadi selama ini apa saja yang kau ketahui?"
Rampita malah bertanya terus.
"Aku sendiri tidak tahu. Tiba-tiba saja diriku terlibat
dalam masalah yang aku sendiri tidak bisa memahami.
Dan semua yang kuketahui kuceritakan padamu."
Rampita tersenyum manis. Diayunkan kakinya
pelahan. Sebentar Bayu memandangi Rampita, dan
sempat menelan bulat-bulat senyuman manis gadis itu.
Kemudian Pendekar Pulau Neraka ikut melangkah dan
mensejajarkan ayunan kakinya di samping gadis
berbajuhijau muda itu.
"Rampita, apa sebenarnya yang sedang
diperebutkan?" tanya Bayu.
"Kotak kayu yang berisi Bunga Cubung Biru," sahut
Rampita tanpa menghentikan ayunan kakinya.
"Apa itu?"
"Hanya sekuntum bunga yang hanya tumbuh satu
kali dalam seratus tahun. Bunga itu tidak akan layu
atau rusak selama tidak ada yang merusaknya. Begitu
banyak gunanya, sehingga banyak orang yang
menginginkan. Mereka bersedia mempertaruhkan
nyawa demi mendapatkan bunga itu," jelas Rampita.
"Kau tahu apa keistimewaannya?" Bayuingin tahu.
"Sukar untuk mengatakannya. Tapi yang jelas,
bunga itu telah menyelamatkan nyawaku dari sengatan
ular kobra. Hanya dalam sekejap racun ular itu keluar
tanpa meninggalkan bekas sedikit pun."
Sedikitnya Bayu sudah bisa mengerti kalau bunga
itutentu memiliki khasiat yangsangat langka. Buktinya
orang berani mempertaruhkan nyawa hanya untuk
sekuntum bunga. Bahkan si Kobra Hitam sendiri telah
bertahun-tahun mencoba merebutnya dari tangan
Anom Sura. Dan Bayu jadi ingin tahu, bagaimana ayah
Rampita itu bisa memiliki Bunga Cubung Biru...?
Waktu Bayu menanyakannya, Rampita hanya
tersenyum saja. Memang tadi sudah dijawab kalau
bunga itu telah menjadi pusaka warisan leluhur gadis
itu, yang secara turun temurun hingga sampai ke
tangan ayahnya. Bertahun-tahun pula bunga itu selalu
menjadi masalah, dan pemiliknya tidak akan merasa
tenang. Selalu saja datang persoalan dari orang-orang
yang menginginkan bunga itu.
Satu keistimewaan yang sangat luar biasa. Orang
yang memiliki Bunga Cubung Biru bisa menjadi tabib
paling mujarab tanpa harus mempelajari ilmu
pengobatan dan segala macam ramuan. Bunga itu
sudah membantu banyak. Bisa menyembuhkan segala
macam penyakit, baik penyakit dalam maupun luar.
Bahkan dapat menolak segala jenis racun yang dahsyat
sekali pun.
Sambil terus berjalan, Rampita menceritakan ten-
ang Bunga Cubung Biru. Juga tentang leluhurnya yang
sudah bertahun-tahun memiliki bunga itu. Gadis itu
sendiri tidak tahu, sejak kapan dan bagaimana
leluhurnya memilikinya. Tapi yang jelas, dia enggan
memilikinya. Dan Bayu hanya bisa mempercayai saja
tanpa ingin menanyakan sebabnya. Dalam pikiran
Pendekar Pulau Neraka itu, mungkin Rampita tidak
ingin kehidupannya terganggu.
Tanpa terasa mereka sudah tiba di depan
Padepokan Tongkat Sakti yang hangus terbakar.
Rampita berdiri tegak memandangi puing-puing
reruntuhan padepokan yang didirikan ayahnya. Masih
terlihat asap mengepul dari reruntuhan yang terbakar
hangus. Mayat-mayat masih terlihat berserakan dalam
keadaan rusak. Mungkin telah menjadi santapan
binatang binatang liar. Mayat-mayat yang mulai
membusuk itu menyebarkan bau tidak sedap.
Sementara matahari sudah naik tinggi di atas kepala.
Sinarnya yang terik begitu menyengat, seakan-akan
hendak membakar kulit.
"Hmmm..., seharusnya Seruni sudah sampai di
sini," gumamRampita.
"Mungkin tidak ke sini," sahut Bayutanpa diminta.
"Kau yakin, Kakang?" tanya Rampita.
Belum juga Bayu menjawab pertanyaan itu,
mendadaksaja terdengar tawa menggelegar. Dan belum
juga hilang tawa itu, tiba-tiba bermunculan orang-orang
bersenjata golok terhunus. Mereka langsung
mengepung Pendekar Pulau Neraka dan Rampita. Bayu
menatap tajam seorang laki-laki bertubuh tinggi kekar,
yang wajahnya terdapat luka memanjang hampir
membelah pipi.
"Barong Codet...," desis Bayu mengenali.
"Hmmm...," sedangkan Rampita hanya menggumam
tidakjelas.
***
TUJUH
"Sudah kuduga! Kau pasti kembali lagi ke sini,
bocah!" dingin dan besar sekali suara Barong Codet.
Laki-laki bertubuh tinggi besar dan berwajah buruk
itu melangkah beberapa tindak mendekati Bayu dan
Rampita. Sedangkan anak buah Barong Codet yang
berjumlah sekitar dua puluh orang sudah menggerak-
gerakkan goloknya di depan dada. Mereka tampaknya
sudah siap, tinggal menunggu perintah saja.
Bayu dan Rampita hanya diamsaja, namun tatapan
mereka begitu tajam ke arah Barong Codet Sedangkan
Bayu sudah mengedarkan pandangannya ke sekeliling
mencoba mengukur kekuatan gerombolan perampok
yang sangat ditakuti di sekitar daerah Lembah Bunga
ini. Kelompok manusia kasar yang sudah terkenal
kekejamannya sampai keluar Lembah Bunga.
"Rampita! Serahkan Bunga Cubung Biru padaku,
dan kau boleh pergi dengan selamat dari sini!" ujar
Barong Codet seraya menataptajamRampita.
"Bunga itu tidak ada padaku!" sahut Rampita tidak
kalah dinginnya.
"Phuah! Aku tidak main-main, bocah setan! Aku
tahu, kalau manusia tolol murid ayahmu telah
diselamatkan monyet buduk itu. Dan aku juga tahu
kalau Adilangu sudah mampus di tangan Sureng Rana.
Kemudian kotak kayu berisi Bunga Cubung Bini
dibawa monyet itu. Dan sekarang dia bersamamu. Nah!
Mana bunga itu...?!" lantang sekali suara BarongCodet.
"Sudah kukatakan, bunga itu tidak ada padaku!"
dengus Rampita sengit.
"Aku tidak ada waktu bermain-main, Rampita!"
ancam Barong Codet mendesis.
"Lalu, apa maumu?" tantang Rampita tajam
Barong Codet menggereng kecil. Tatapan matanya
begitu tajam. Namun di balik tatapan mata itu,
tersimpan sesuatu yang liar. Benaknya langsung
dipenuhi pikiran-pikiran kotor melihat kecantikan dan
keindahan tubuh Rampita. Barong Codet menjilati
bibirnya sendiri yang hampir tertutup berewok dan
kumis.
"Sayang sekali, kau terlalu cantik untuk mati di
tanganku, Rampita," agak lunak suara Barong Codet
kali ini.
Rampita hanya mendengus saja. Gadis itu sudah
tahu, siapa Barong Codet itu. Dan dia begitu muak
melihat tatapan mata laki-laki kasar itu. Namun
Rampita masih bisa meredam gejolak darahnya yang
sudah mendidih dalam dada.
"Baiklah. Kau boleh memiliki bunga itu, Rampita.
Tapi kau harus ikut dan hidup bersamaku. He he he...,"
Barong Codet terkekeh.
'Tawaran yang menarik. Tapi sayang sekali, kau
begitu jelek untuk menjadi pendampingku," ujar
Rampita halus.
"Setan...!" geram Barong Codet
Kata-kata halus gadis itu membuat wajah Barong
Codet memerah seketika. Betapa tidak? Ucapan
Rampita memang halus, namun sangat menyakitkan
telinga. Sedangkan Bayu hanya tersenyum, bahkan
tidak bisa menahan rasa geli. Pendekar Pulau Neraka
itu terkikik Hal ini membuat Barong Codet semakin
geram, dan langsung mendelik ke arah Bayu.
"Keparat! Kau menertawakanku, bocah setan...!"
geram Barong Codet mengkelap.
Kemarahan dan perasaan terhina di dada Barong
Codet seketika ditumpahkan pada Bayu. Tanpa banyak
bicara lagi, laki-laki yang wajahnya terdapat luka
memanjang membelah pipinya itu langsung melompat
menerjang Pendekar Pulau Neraka. Terjangannya
sangat cepat dan tiba-tiba sekali.
Namun begitu telapak kaki Barong Codet hampir
bersarang di dada, bergegas Bayu mengegoskan
tubuhnya ke samping sedikit miring. Maka tendangan
Barong Codet lewat sedikit di depan dada. Dan pada
saat itu, Bayu cepat menghentakkan tangannya ke
pinggang.
Buk!
"Ughk..!" BarongCodet mengeluh pendek.
Sodokan tangan Pendekar Pulau Neraka memang
tidak terduga dan tidak terhindari lagi. Laki-laki kasar
itu terhuyung ke belakang dengan tubuh setengah
membungkuk. Bibirnya meringis merasakan nyeri dan
mual pada perutnya. Untung saja Bayu tidak menge-
rahkan penuh kekuatan tenaga dalamnya, sehingga
Barong Codet hanya merasakan sedikit nyeri dan
mual
"Keparat! Hiyaaa...!"
Sambil memaki dan berteriak keras, Barong Codet
kembali menerjang pemuda berbaju kulit harimau itu
Kafi ini dia tidak mau bermain-main lagi. Dua pukulan
bertenaga dalam cukup tinggi dilontarkan ke bagian
tubuh Bayu. Namun manis sekali Pendekar Pulau
Neraka itu berhasil berkelit mengelakkannya. Bahkan
kembali memberikan satu sodokan balasan ke arah
dada.
"Uts!"
Buru-buru Barong Codet menarik mundur
tubuhnya ke belakang Tapi Bayu juga cepat menarik
kembali sodokan tangannya. Dan sambil menyusur
tanah, Pendekar Pulau Neraka itu mendekati Barong
Codet. Dan dengan kecepatan bagai kilat, pemuda
berbaju kulit harimau itu mengibaskan tangan kirinya
disusul satu hentakan kaki agak memutar
"Yeaaah...!"
Des! Buk!
"Aaakh...!" BarongCodet terpekik keras.
Dua kali pukulan dan tendangan Bayu mendarat
telak di tubuh laki-laki tinggi besar itu. Tak ampun lagi,
tubuh tinggi besar itu terpental deras sekali ke
belakang. Sebatang pohon yang terlanggar tubuhnya
langsung tumbang tanpa ampun. Sementara Bayu
sudah berdiri tegak, seraya melirik sedikit pada
Rampita yang memberikan senyuman kecil.
"Setan keparat! Seraaang...!" umpat Barong Codet
langsung memberi perintah pada anak buahnya.
"Hiya! Yeaaah...!"
Seketika itu juga dua puluh orang anak buah
Barong Codet berlompatan menyerang Pendekar Pulau
Neraka. Golok-golok mereka berkelebat cepat berkilatan
tertimpa cahaya matahari.
"Menyingkirlah, Rampita!" seru Bayu keras. Tanpa
diminta dua kali, Rampita langsung melompat
menjauh. Pada saat itu Bayu sudah mengegoskan
tubuhnya menghindari tebasan golok yang mengarah
ke dada. Dan tangkas sekali, Pendekar Pulau Neraka
itu menghentakkan tangannya menyodok iga
penyerangnya.
Dughk!
"Heghk...!" orangitu melenguh.
Dan sebelum lawan sempat menyadari apa yang
terjadi, Bayu langsung memberikan gedoran keras
bertenaga dalamtinggi ke dada penyerangnya ini.
"Yeaaah...!"
Des!
Orang itu terpental jauh ke belakang tanpa
bersuara lagi. Tubuhnya ambruk ke tanah, dan tewas
seketika itu juga. Dadanya tampak remuk melesak ke
dalam. Darah mengucur dari mulut dan hidungnya.
Namun Bayu belum bisa menarik napas lega. Ternyata
lawan-lawan yang lain kembali menyerang ganas.
Beberapa golok berkelebat di sekitar tubuh Pendekar
Pulau Neraka yang meliuk-liuk menghindari setiap
serangan.
Bahkan meskipun dalam keadaan terkurung rapat,
Bayu masih sempat memberi serangan balasan yang
tidak kalah mautnya. Pekik pertempuran berbaur
menjadi satu dengan jerit kesakitan. Satu persatu
tubuh lawan bergelimpangan ke tanah dalam keadaan
tak bernyawa lagi. Meskipun tidak menggunakan
senjata, namun kedua tangan Pendekar Pulau Neraka
itu merupakan senjata ampuh yang sukar dicari
tandingannya Setiap pukulan maupun sodokan
tangannya mengandung pengerahan tenaga dalam
yangsudah mencapai taraf kesempurnaan.
***
Sementara itu Rampita yang menyaksikan
pertarungan dari tempat yang tidak terlalu jauh,
semakin mengagumi Pendekar Pulau Neraka itu.
Betapa tidak? Menghadapi dua puluh orang bersenjata
golok yang selama ini menjadi momok setiap orang,
ternyata pemuda itu mampu membuat lawan jungkir
balik. Bahkan dalam waktu tidak terlalu lama, hampir
separuh lawan telah bergelimpangan tak bernyawa lagi.
Bayu kelihatan seperti bermain-main saja. Dia
berlompatan dan berkelit sambil sesekali melontarkan
pukulan mautnya yang sangat dahsyat Setiap kali
melontarkan pukulan, terdengar jeritan melengking
tinggi yang kemudian disusul menggeleparnya seorang
pengeroyoknya. Satu persatu mereka dibuat tewas
dengan dada remuk atau kepala pecah.
"Hiyaaa...!"
Melihat anak buahnya semakin berkurang, Barong
Codet jadi marah bukan main. Ketika melihat Rampita
asyik mengawasi jalannya pertarungan, dengan licik
sekali laki-laki kasar itu melompat sambil mencabut
goloknya menerjang gadis itu.
Wut!
"Heh...! Hap!"
Rampita terkejut dan buru-buru melompat mundur
ke belakang tiga tindak sambil menarik tubuhnya ke
samping menghindari tebasan goloklawan.
"Curang!" dengus Rampita geram.
Barong Codet tidak mempedulikan gerutuan gadis
itu, dan malah sudah kembali menyerang. Goloknya
yang terhunus berkelebatan mengincar bagian-bagian
tubuh Rampita yang mematikan. Gadis itu terpaksa
harus jumpalitan, karena tidak diberi kesempatan
untuk balas menyerang.
"Hup! Hiyaaa...!"
Tepat ketika golok Barong Codet mengibas ke arah
kaki, Rampita cepat-cepat melompat dan menjejak
ujung golok itu dengan jari kakinya. Kemudian
tubuhnya melenting ke udara, dan berputar sekali.
Sungguh luar biasa sekali! Dalam keadaan di udara,
gadis itu masih bisa memberi satu tendangan
menggeledek ke arah kepala lawannya.
"Uts!"
Barong Codet buru-buru merunduk sambil
mengibaskan goloknya ke atas kepala. Dan Rampita
bergegas menarik kembali kakinya. Gadis itu berputar
sekali lagi, lalu mendarat manis di belakang laki-laki
itu.
"Hiyaaat..!"
Sebelum laki-laki kasar itu memutar tubuhnya,
Rampita sudah memberi satu gedoran keras ke
punggung lawan. Sodokan keras- mengandung tenaga
dalam cukup tinggi itu membuat Barong Codet
tersentak. Tubuhnya terjungkal keras ke tanah dan
wajahnya terantuk akar pohon yang menyembul keluar
dari dalam tanah.
"Monyet!" geram Barong Codet
Dengan punggung tangan, Barong Codet menyeka
darah yang keluar dari hidung akibat terantuk akar
pohon tadi. Mulutnya mendesis dan bibirnya
menyeringai. Sedangkan matanya liar menatap buas ke
tubuh Rampita. Barong Codet menggerak-gerakkan
goloknya di depan dada, kemudian berteriak keras dan
berlari cepat menerjang gadis itu.
"Yaaat..!"
"Hup!"
Rampita langsung merapatkan kedua telapak
tangannya di depan dada begitu Barong Codet
menusukkan goloknya. Dan tepat sekali kedua tangan
yang halus dan berjari lentik itu mengunci golok lawan
di depan dadanya.
"Uh!"
Barong Codet berusaha menarik goloknya, tapi
merasakan goloknya seperti masuk dalam sebuah
penjepit baja yang sangat kuat Bahkan goloknya tak
bergerak sama sekali meskipun sudah mengerahkan
tenaga dalam. Sementara Rampita tersenyum tipis,
seolah-olah mengejeklaki-laki itu.
"Yap!"
Tiba-tiba saja gadis itu menghentakkan tangannya
ke samping, tepat pada saat Barong Codet mencoba
menarik goloknya. Dan....
"Heh...?!"
Barong Codet terkejut setengah mati. Golok
kesayangannya patah jadi dua bagian. Dan sebelum
keterkejutannya hilang, secepat kilat Rampita
mengirimkan satu tendangan keras disusul satu
pukulan bertenaga dalam tinggi.
Buk!
Buk!
"Aaakh...!" Barong Codet memekik panjang
melengking.
Tubuh tinggi besar dan kekar itu terpental jauh ke
belakang, dan ambruk keras ke tanah. Sementara,
Rampita dengan ujung jari kakinya menjentik sebilah
golok yang tergeletak di depan kakinya. Golok itu
terpental ke atas. Dengan tangkas sekali gadis itu me-
nangkap, dan langsung melemparkannya ke arah
Barong Codet yang baru saja menggeletak di tanah.
Swing!
Crab!
"Aaa...!" kembali Barong Codet menjerit keras.
Dadanya tertembus sebilah golok yang dilemparkan
Rampita. Begitu dalamnya, sehingga hanya tangkainya
saja yang terlihat. Hanya sebentar Barong Codet
berkelojotan, kemudian diamtak berkutik lagi.
Plok! Plok....
"Ah...," Rampita tersentak mendengar suara
tepukan.
Ternyata Bayu bertepuk tangan di antara mayat-
mayat yang bergelimpangan di sekitarnya. Rupanya
Pendekar Pulau Neraka itu juga sudah menyelesaikan
pertarungannya. Jelas sekali, tak satu pun lawannya
yang dibiarkan hidup. Semuanya tewas bersimbah
darah membasahi bumi.
****
"Hebat1 Kau mampu menundukkan pemimpin
perampok, Rampita," puji Bayu tulus seraya
menghampiri gadis berbaju hijau muda itu.
"Ah...," Rampita hanya mendesah saja.
Gadis itu langsung memalingkan wajahnya ke arah
lain. Rampita tidak ingin pemuda itu melihat
perubahan wajahnya yang memerah tersipu. Sungguh,
sulit membohongi dirinya sendiri saat ini. Hatinya
begitu senang dan sangat menyukai pujian Bayu tadi.
Bahkan ingin mendengar sekali lagi pujian itu. Pujian
yang terdengar tulus dan datang dari seorang pemuda
tampan.
"Tidak kusangka, gadis secantikmu memiliki
kepandaian begitu tinggi," kembali Bayu memuji.
Pemuda ini sudah berada di sampingRampita.
"Ah, sudahlah Kakang. Bukan saatnya untuk
memuji. Masih banyak yang harus kulakukan," ujar
Rampita mencoba mengelak, meskipun sangat
bertentangan dengan kata hatinya.
"Apa yang akan kau lakukan sekarang, Rampita?"
tanya Bayu.
Rampita tidak bisa menjawab dengan cepat karena
memang tidak tahu harus melakukan apa. Gadis itu
tadi hanya asal bicara saja untuk menghentikan pujian
Bayu. Untuk menghilangkan kegugupannya, Rampita
mengayunkan kakinya pelahan. Bayu hanya
memandangi, kemudian ikut melangkah dan mense
jajarkan ayunan kakinya di samping gadis ini
Mereka terus berjalan tanpa berbicara lagi, dan baru
berhenti setelah tiba pada suatu tempat Tampak sekali
wajah Rampita berubah memerah seketika. Tatapannya
lurus tak berkedip memandang sebuah makam yang
terbongkar tak karuan.
"Ayah...!" pelak Rampita seketika.
Gadis itu langsung memburu dan berlutut di depan
kuburan yang terbongkar itu. Ketika melongok ke
dalam, ternyata....
"Oh, tidak..!" jerit Rampita langsung memalingkan
mukanya.
Bayu bergegas menghampiri dan menjulurkan ke-
palanya. Pendekar Pulau Neraka itu juga bergegas me-
malingkan mukanya, tidak sanggup menyaksikan se-
mua yang ada dalam lubang itu. Jasad Anom Sura
telah tercabik-cabik hancur berantakan. Bayu
mendekap pundak Rampita dan mengajaknya berdiri.
Kemudian gadis itu diajak menjauh dari pusara Ketua
Padepokan Tongkat Sakti itu.
Bayu mendudukkan Rampita di sebuah pohon
tumbang, kemudian menghampiri makam itu. Pen-
dekar Pulau Neraka mengambil dua batang golok yang
menggeletak di tanah. Dengan golok itu diuruknya
kembali kuburan itu. Disertai pengerahan tenaga dalam
dan kecepatan gerak, Pendekar Pulau Neraka itu
menyelesaikan pekerjaannya dalam waktu tidak berapa
lama.
Sementara Rampita terdongak sambil menarik
napas dalam-dalam. Gadis itu mencoba menahan air
matanya, tapi tak kuasa juga. Setitik air bening
menggulir di pipinya. Bayu membuang golok yang
digunakan untuk menguruk makam itu, kemudian
menghampiri Rampita. Pendekar Pulau Neraka itu
merengkuh pundak Rampita dan memeluknya.
"Menangislah! Itu akan meredakan sedikit
penderitaanmu," ujar Bayulembut.
Kata-kata lembut pemuda berbaju kulit harimau itu
membuat tangis Rampita meledak seketika. Gadis itu
langsung menyembunyikan wajahnya di dada Bayu.
Seluruh tubuh Rampita terguncang di dalam pelukan
Pendekar Pulau Neraka. Selama hidupnya, mungkin
hanya dua kali Rampita menangis. Pertama, waktu
hadir ke dunia. Dan kedua, sekarangini.
Malah Rampita tidak menangis ketika ibunya
meninggal. Baginya kematian merupakan takdir yang
akan dialami semua manusia dan seluruh makhluk
hidup di dunia ini. Takdir yang tak bisa ditawar-tawar
lagi. Tapi begitu melihat kuburan ayahnya terbongkar
dan jasad ayahnya hancur tercabik, gadis itu tak kuasa
lagi membendung perasaannya.
***
"Selama ini aku selalu menghindari kekerasan, dan
tidak ingin ada dendam di hatiku. Tapi...," keluhan
Rampita terputus.
Gadis itu menarik napas dalam-dalam. Masih
tersisa air mata di kelopak mata gadis itu. Sedangkan
Bayu hanya diam mendengarkan. Dibiarkan saja
Rampita mengeluarkan seluruh isi hatinya. Bayu dapat
merasakan betapa beratnya penderitaan gadis ini. Siapa
pun pelakunya, perbuatan membongkar kuburan
memang tidak bisa dimaafkan begitu saja. Apalagi
sampai merusakjasad yangsudah terkubur.
"Kakang, apa yang harus kulakukan sekarang?
Apakah aku harus meminta pertanggungjawaban
manusia iblis itu...?" pertanyaan Rampita seperti untuk
dirinya sendiri.
Sukar bagi Bayu menjawab pertanyaan itu.
Pendekar Pulau Neraka ini hanya menarik napas
panjang dan menghembuskannya kuat-kuat
Dipandangi dalam-dalam bola mata bulat di
sampingnya. Sedangkan Rampita membalas dengan
sinar mata bagai berharap menerima jawaban dari
pertanyaannya.
"Aku bisa merasakan apa yang kau rasakan
sekarang ini, Rampita. Terus terang, aku sendiri belum
bisa menghapus dendam di hatiku," ungkap Bayu
pelan dan lembut sekali suaranya.
"Terima kasih, Kakang. Siapa pun orangnya, dia
harus mati!" desis Rampita dingin.
"Bagaimana jika Seruni yang melakukannya?" tanya
Bayu agak memancing.
Rampita tidak langsung menjawab, tapi malah
menatap dalam-dalam Pendekar Pulau Neraka itu.
Pertanyaan Bayu barusan seperti menyengat benaknya.
Rampita mematingkan pandangannya ke arah lain, dan
langsung tertumbuk pada pusara ayahnya ya kini
sudah rapi kembali.
"Kenapa kau tanyakan itu, Kakang?" tanya Rampita
pelan.
"Apa kau sudah lupa ancamannya, Rampita?" Bayu
balik bertanya.
"Tidak," sahut Rampita mendesah. "Tapi...."
"Kenapa? Bisa saja dia yang melakukan. Orang
seperti Seruni akan melakukan apa saja demi mencapai
keinginannya," tegas Bayu.
"Kau benar, kakang. Seruni memang akan
melakukan apa saja asal kehendaknya tercapai.
Bahkan dia...," kembali suara Rampita terputus.
Bayu menatap dalam-dalam wajah yang kini ber-
ubah mendung itu. Sepertinya Rampita menyimpan
sesuatu yang membuat hatinya seperti tersayat Dan
pemuda berbaju kulit harimau itu menduga keras
kalau ini ada hubungannya dengan Seruni. Sejak
mengenal gadis ini, dalam benaknya memang sudah
diliputi berbagai macam pertanyaan yang belum
terjawab.
Pertanyaan itu semakin melekat dan membesar
sejak pagi tadi. Rampita kelihatan begitu mengalah
pada Seruni. Bahkan gadis ini rela disiksa, digantung
terbalik tanpa melakukan perlawanan sedikit pun. Dan
yang lebih mengherankan lagi, Rampita rela kalau
Bunga Cubung Biru jatuh ke tangan Seruni. Ada
hubungan apa antara Rampita dan Seruni sebenarnya?
Bahkan Seruni tahu persis keluarga Rampita. Dan
sepertinya mereka sudah kenal cukuplama.
"Aku memang belum mengenalmu lebih jauh.
Bahkan aku tidak tahu siapa dirimu dan Seruni Tapi
rasanya aku mencium adanya suatu hubungan antara
kau dengan Seruni. Kau selalu bersikap mengalah,
bahkan rela digantung tanpa melawan sedikit pun.
Padahal aku yakin kau bisa melawan," ungkap Bayu
tentang ganjalan di hatinya.
"Ah! Sebaiknya lupakan saja, Kakang. Anggap saja
tidak terjadi sesuatu barusan," desah Rampita
meminta.
Bayu semakin tidak mengerti terhadap sikap gadis
ini. Pendekar Pulau Neraka itu jadi terdiam. Sementara
Rampita sudah bangkit berdiri. Ditatap sejenak pusara
ayahnya, kemudian berbalik dan berjalan gontai
meninggalkan tempat yang dipenuhi mayat
bergelimpangan ini.
Sementara Bayu masih duduk memandangi gadis
yang terus berjalan pelahan. Pendekar Pulau Neraka itu
bangkit berdiri, dan berjalan menyusul Rampita.
Sebentar saja Bayu sudah berada di samping gadis itu
Mereka berjalan meninggalkan tempat itu tanpa
berkata-kata lagi. Namun dalam benak Bayu masih
tersimpan teka-teki yang belum terpecahkan.
Pendekar Pulau Neraka mencoba menduga-duga
hubungan Rampita dengan Seruni. Namun rasanya
sukar sekali. Sementara gadis itu masih saja membisu.
Pandangan matanya menerawang jauh. Bayu
memandangi gadis yang berjalan di sampingnya. Dan
tiba-tiba saja Pendekar Pulau Neraka tersentak Baru
disadari kalau ada yang luput dari perhatiannya. Ya...,
Seruni dan Rampita begitu mirip! Baik wajah maupun
bentuk tubuhnya. Hanya saja dandanan dan bentuk
pakaian mereka yang berbeda. Bayu semakin dalam
memandangi wajah gadis itu. Seketika dicobanya untuk
membayangkan wajah Seruni. Benar! Kedua gadis itu
miripsekali, seperti....
"Rampita, apakah Seruni itu saudaramu?" tanya
Bayu agak ragu-ragusuaranya.
Rampita tampak terkejut, lalu berpaling menatap
pemuda berbaju kulit harimau di sampingnya. Gadis
itu sampai berhenti melangkah, dan cukup lama
memandang Bayu.
"Maaf, kalau pertanyaanku menyinggungmu," ucap
Bayu buru-buru.
"Kenapa kau berpikir sampai ke situ, Kakang?"
tanya Rampita.
"Mungkin karena mataku melihat ada kemiripan
pada kalian berdua," sahut Bayu seraya mengangkat
pundaknya.
Rampita kembali terdiam, kemudian melanjutkan
langkahnya. Gadis itu tidak ingin menjawab pertanyaan
Bayu barusan, namun sikapnya kini berubah. Kini
wajahnya semakin terselimut mendung tebal. Bayu
mengangkat pundaknya tinggi-tinggi. Meskipun masih
penasaran, tapi Pendekar Pulau Neraka tidak ingin
bertanya lagi
***
DELAPAN
Perjalanan Bayu dan Rampita terhalang sebuah
sungai kecil. Tapi sebenarnya bukan karena sungai itu
yang menjadi penghalang, melainkan seorang gadis dan
seekor beruang putih yang berada di tepi sungai itu.
Gadis berbaju putih itu duduk mencangkung di atas
sebongkah batu, seakan-akan sengaja menunggu.
"Aku selalu bisa menebak, ke arah mana kau pergi,
Rampita," ujar gadis berbaju putih yang dikenali
bernama Seruni.
Suaranya terdengar tenang, dan bibirnya yang
merah selalu mengulas senyuman manis. Sementara
Bayu memandangi Seruni dan Rampita bergantian.
Sungguh...! Pendekar Pulau Neraka itu seperti melihat
satu wajah pada dua orang gadis itu. Mereka begitu
mirip satu sama lain. Hanya pakaian dan tata
rambutnya saja yang berbeda. Tapi itu semua tidak
menutupi kemiripan wajahnya.
Kalausaja baju dan tata rambut mereka sama, pasti
sukar membedakannya. Dan Bayu memang tidak bisa
menemukan perbedaan pada wajah dan bentuk tubuh
kedua gadis itu. Dan ini belum lama disadarinya. Bayu
semakin bertanya-tanya, apakah kedua gadis ini
saudara kembar? Sementara Seruni sudah turun dari
batu. Dia berdiri tegak di samping beruang putih yang
mendekamsambil mencakar-cakartanah di depannya.
"Apa lagi yang kau inginkan dariku, Seruni?" tanya
Rampita.
"Bunga Cubung Biru," sahut Seruni tajam.
"Bukankah kausudah mendapatkannya?"
"Aku muak dengan kepura-puraanmu, Rampita!"
bentakSeruni kasar. "Berikan bunga itu padaku!"
"Sudah berapa kali kukatakan, aku tidak memiliki
Bunga Cubung Biru," tegas Rampita.
Ada sedikit nada kekesalan pada suara Rampita.
Dan ini diketahui jelas oleh Bayu. Bahkan sinar mata
gadis itu juga memancarkan sesuatu yang sukar
diterka. Namun Bayu bisa menebak kalau dalam diri
Rampita tengah bergolak dua kutub yang saling
bertentangan.
"Dengar, Rampita. Aku sudah cukup sabar
menunggu, dan tidak bisa bermain-main lagi. Kau
dengar itu, Rampita...!" keras sekali suara Seruni.
Rampita berdecak sambil menggeleng-gelengkan
kepalanya. Diayunkan kalanya melangkah beberapa
tindak Sedangkan Seruni berkacak pinggang dan
wajahnya memerah. Sementara Bayu hanya mengawasi
saja. Pendekar Pulau Neraka ini belum ingin
melakukan sesuatu sebelum merasa pasti kebenaran
kedua gadis ini.
"Baiklah. Apa yang kau inginkan sekarang?" dingin
sekali nada suara Rampita terdengar.
Sepertinya Rampita sudah kehilangan
kesabarannya, dan lantas berdiri tegak bersikap
menantang. Tatapan matanya tajam, dan gerahamnya
bergemeletuk
Kedua tangannya terkepal erat agak berkeringat.
Tak ada yang tahu, apa yang sedang terjadi di dalam
batin gadis ini. Hanya dia sendiri yangtahu.
"Kau yang menginginkannya, Rampita!
Bersiaplah...! Hiyaaat!"
Seruni langsung melompat menerjangRampita. Dua
pukulan beruntun langsung dilepaskan. Rampita
kelihatan masih berdiri tegak, seakan-akan tidak ber-
geming menerima serangan itu. Hal ini membuat Bayu
jadi cemas juga. Tapi, begitu serangan Seruni sudah
dekat, mendadak saja gadis itu menghentakkan kedua
tangannya ke depan.
"Yeaaah...!"
Duk!
Rampita benar-benar menyongsong pukulan
Seruni, sehingga kedua tangannya membentur keras
tangan gadis berbaju putih itu. Tampak Seruni
terpental balik sejauh dua batang tombak, sedangkan
Rampita hanya terdorong dua langkah. Tiga kali Seruni
berputaran di udara sebelum mendarat manis.
"Bagus! Aku ingin tahu, sampai di mana tingkat
kepandaianmu, Rampita!" dengus Seruni dingin.
Sret!
Seruni langsung mencabut pedangnya. Sedangkan
Rampita masih berdiri tegak. Meskipun kelihatan
tenang, namun jelas sekali kalau raut wajah gadis itu
menegang. Matanya tidak berkedip menatap pedang di
tangan Seruni.
'Tahan seranganku, Rampita! Hiyaaat...!" Dua kali
Seruni berlompatan. Kemudian begitu kakinya
menjejak tanah di depan Rampita, langsung dikibaskan
pedangnya ke arah kaki gadis berbaju hijau muda itu
sambil merendahkan tubuhnya. Wut!
"Hup! Hiyaaa...!"
Sigap sekali Rampita mengangkat sebelah kakinya
seraya menarik mundur kaki lainnya. Dan sebelum
Seruni bisa menarik pulang pedangnya yang tidak
mengenai sasaran, Rampita cepat-cepat
menghentakkan kakinya ke depan.
"Ikh!"
Seruni tampak tersentak kaget. Buru-buru lebih
direndahkan tubuhnya dengan kepala merunduk.
Tendangan Rampita lewat di atas kepala gadis itu. Tapi
sungguh tidak disangka sama sekali. Ternyata Rampita
malah meneruskan dengan satu lompatan kecil, dan
sambil memutar tubuhnya dikirimkan satu pukulan ke
arah punggung Seruni. Tak pelak lagi, gadis itu terpekik
menerima pukulan keras di punggung.
"Akh! Curang...!"
Sambil mengumpat geram, Seruni memutar
tubuhnya seraya mengibaskan pedangnya menyilang
sejajar dada. Manis sekali Rampita menarik tubuhnya
ke belakang, dan meliukkannya begitu ujung pedang
lewat di depan dadanya. Kembali Rampita
menghentakkan tangannya. Kali ini mengarah ke
pergelangan tangan kanan Seruni yang menggenggam
pedang.
"Lepas...!"
Plak!
"Akh...!" lagi-lagi Seruni terpekik.
Gadis itu tak bisa lagi mempertahankan pedangnya
yang lepas terpental ke udara. Dan sebelum Seruni bisa
melesat mengejar pedangnya, Rampita sudah memberi
satu tendangan keras. Tendangan itu tak dapat
dihindari lagi, tepat mengenai dada Seruni.
Lagi-lagi gadis berbaju putih yang berjuluk si Gadis
Salju itu memekik keras. Tubuhnya kontan terpental
sejauh tiga batang tombak. Keras sekali Seruni jatuh ke
tanah dan bergulingan beberapa kali. Namun dia cepat
melompat bangkit meskipun tubuhnya limbung.
Tampak darah menetes keluar dari sudut bibirnya.
"Keparat..!" geram Seruni seraya menyeka darah di
bibir dengan punggungtangannya.
"Kembalilah kau ke Puncak Gunung Cakal, Seruni,"
kata Rampita datar.
"Phuih! Aku belum kalah!" bentak Seruni. Sesaat
kemudian Seruni merentangkan tangannya ke
samping, dan dengan cepat merapatkan kedua telapak
tangannya di atas kepala. Pelahan tangannya turun
sampai ke depan dada. Lalu....
"Hiyaaa...!" sambil berterik keras, Seruni
menghentakkan tangannya ke atas!
Seketika itu juga, entah dari mana datangnya,
tiba-tiba saja bertiup angin kencang menderu-deru.
Dan udara di sekitar tempat ini menjadi dingin mem-
bekukan. Tak lama kemudian dari langit turun butir-
butir putih seperti gumpalan kapas yang melayang-
layang jatuh ke bumi. Udara pun semakin terasa
dingin. ,
"Hmmm...," Rampita bergumam kecil.
"Ayo! Lawan aji 'Salju Menyiram Bukit', Rampita!"
seru Seruni langsung tertawa terbahak-bahak
Rampita kemudian merapatkan kedua tangannya di
depan dada. Kemudian diliukkan tubuhnya ke kanan
dan ke kiri secara pelarian dengan kaki tertekuk ke
depan. Sebentar gadis itu menarik napas panjang,
lalu....
"Aji 'Pati Agni'...!" seru Rampita keras.
Secepat tangan Rampita menghentak ke depan,
seketika itu juga dari telapak tangannya berkobar api
yang mengeluarkan hawa panas membara. Melihat hal
itu, Seruni langsung merapatkan tangannya di depan
dada. Dan sambil berteriak keras, dihentakkan
tangannya ke depan. Seketika itu juga badai salju
mengarah ke tubuh Rampita.
***
Agak lama juga kedua gadis itu bertarung ilmu
kesaktian. Sementara Bayu hanya dapat menyaksikan
tanpa mampu berbuat ana-apa. Diam-diam Pendekar
Pulau Neraka itu mengagumi kedigdayaan kedua gadis
cantik ini. Sungguh dahsyat luar biasa ilmu kesaktian
yang dimiliki mereka.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Dalam waktu yang bersamaan, kedua gadis itu
berlompatan ke depan sambil merentangkan tangan
lurus ke depan. Dan pada satu titik, kedua telapak
tangan mereka beradu. Seketika terjadi ledakan
dahsyat, disusul terpentalnya tubuh masing-masing ke
belakang. Tampak Rampita berjumpalitan di udara
beberapa kali sebelum kakinya mendarat manis di
tanah.
Sedangkan Seruni jatuh berguling di tanah hingga
membentur sebatang pohon. Gadis itu menjerit keras,
namun cepat bangkit berdiri. Dari mulutnya
menyemburkan darah kental. Kedua kakinya bergetar,
dan tubuhnya limbung. Seakan-akan dia tak mampu
lagi berdiri.
"Ughk!" Seruni mengeluh. Sedangkan Rampita
hanya tersenyum kecil. Tak sedikit pun ada perubahan
pada diri gadis berbaju hijau muda itu. Sikapnya
tenang, dan wajahnya menyiratkan kematangan jiwa
dari seorang gadis yang memiliki kepandaian tinggi.
Sementara Seruni menggerak-gerakkan tangannya di
depan dada. Terdengar suara desisan panjang bagai
ular.
"Beruang Putih! Bunuh dia!" perintah Seruni.
"Ghrauuughk...!" beruang putih yang sejak tadi
diam mendekam, meraung keras sambil mengangkat
kepalanya ke atas. Binatang itu lalu bangkit berdiri de-
ngan kedua kakinya, dan kembali meraung. Sungguh
luar biasa. Tinggi beruang putih itu hampir menyamai
pohon cemara.
"Ghraughk...!"
Sambil menggerung keras, beruang putih itu me-
lompat menerjang Rampita. Satu cakar depannya
menyampok cepat, membuat Rampita terperangah
sesaat Namun secepat kilat gadis'itu melentingkan
tubuhnya ke belakang menghindar. Tapi angin
sampokan beruang putih raksasa itu membuat
tubuhnya tak terkendali. Dan sebelum gadis itu bisa
menguasai keseimbangan tubuhnya, beruang putih
raksasa itu sudah kembali menyampokkan tangannya.
Bret!
"Aaakh...!" Rampita menjerit keras.
Sampokan beruang putih itu tak dapat dihindari
lagi. Kuku-kuku yang tajam berhasil merobek perut
Rampita. Darah merembes keluar seketika, dan gadis
berbaju hijauitu terhuyung-huyung ke belakangsambil
mendekap perutnya.
Belum lagi Rampita bisa menguasai keadaan diri-
nya, beruang putih itu sudah kembali menyerang sam-
bil menggerung keras. Tak mungkin lagi Rampita
mengelak. Gadis itu hanya membeliak dengan wajah
memerah. Dan pada saat kaki depan beruang itu
menyampok kembali, mendadak berkelebat sebuah
bayangan kuning menyambartubuh Rampita.
Brak!
Sampokan beruang itu menghantam sebatang
pohon yang sangat besar hingga hancur berkeping-
keping. Tampak dalam jarak yang cukup jauh, Bayu
memondong tubuh Rampita. Pendekar Pulau Neraka
itu meletakkan Rampita di tempat yang aman,
kemudian langsung melompat menghadang beruang
putih yang sudah berlari mengejar ke arah mereka
"Hiyaaa...!"
Sambil berteriak keras. Bayu mengirimkan dua
pukulan beruntun bertenaga dalam sempurna sekali.
Pukulan itu tak terelakkan lagi, dan tepat mendarat
di bagian dada beruang putih raksasa itu.
Duk! Bughk...!
"Ghraughk...!"
Beruang putih itu mengangkat kedua kaki
depannya tinggi-tinggi sambil meraung keras.
Dikibaskan cakar-cakarnya ke arah Pendekar Pulau
Neraka. Namun berkat kelincahan yang luar biasa
cepatnya, Bayu berhasil mengelakkan serangan
beruang putih raksasa itu. Bahkan beberapa kali
pemuda berbaju kulit harimau itu berhasil
mendaratkan pukulan dan tendangan keras bertenaga
dalam penuh.
Tapi sungguh luar biasa! Beruang putih raksasa itu
hanya menggerung dan langsung menyerang tanpa
mengalami rasa sakit sama sekali. Bahkan serangan-
serangannya semakin dahsyat dan berbahaya, sehingga
beberapa kali Bayu harus berjumpalitan
menghindarinya. Seluruh bagian tubuh dan kepala
beruang putih itu sudah kena hantaman bertenaga
dalam tinggi dari Pendekar Pulau Neraka, tapi tak satu
pun yang mencederai binatang raksasa itu.
"Edan! Binatang apa ini...?!" dengus Bayu. Bayu
memutar otaknya, mencari cara untuk bisa
mengalahkan binatang raksasa liar ini. Disadari kalau
binatang raksasa ini pasti tidak sembarangan. Sambil
berpikir keras memutar otak, Bayu terus memberi
pukulan-pukulan keras dan tendangan menggeledek
bertenaga dalam sangat tinggi. Hal ini membuat
binatang itu semakin marah, sehingga mengamuk
membabi buta. Akibatnya, tempat sekitar pertarungan
hancur berantakan.
"Binatang ini berbahaya sekali. Hhh! Terpaksa aku
harus membunuhnya!" dengus Bayu dalamhati.
Pendekar Pulau Neraka itu kemudian melentingkan
tubuhnya ke udara hingga melewati kepala beruang
putih itu. Dan sambil mengerahkan seluruh kekuatan
tenaga dalam, dihantamkan satu pukulan keras di
tengah-tengah kepala binatang raksasa itu.
"Hiyaaa...!"
Des!
"Ghraughk...!"
Beruang putih raksasa itu mengibaskan tangannya
ke atas sambil menggeleng-gelengkan kepala. Mungkin
kepalanya terasa sakit terhantam pukulan bertenaga
dalam sempurna itu. Dan pada saat itu, Bayu melesat
ke depan. Begitu kakinya menjejak tanah, dengan
tubuh setengah membungkuk, Pendekar Pulau Neraka
itu mengibaskan tangan kanannya.
Seketika itu juga Cakra Maut bersegi enam melesat
secepat kiat. Dan tak pelak lagi, senjata itu meng-
hunjam tepat di antara kedua mata beruang putih rak-
sasa itu. Binatang itu kontan meraung keras. Bayu
menghentakkan tangannya, maka Cakra Maut kembali
melesat balik dan menempel di pergelangan tangan
pemuda berbaju kulit harimauitu.
"Hiyaaa...!"
Bayu tidak ingin lagi memberi kesempatan. Selagi
beruang raksasa itu merasa kesakitan akibat luka pada
keningnya, Pendekar Pulau Neraka kembali melontar-
kan Cakra Maut-nya. Seketika senjata bersegi enam itu
kembali melesat secepat kilat, dan kali ini menancap
tepat di mata kiri binatang raksasa itu. Secepat kilat
Bayu melentingkan tubuhnya, dan langsung melontar-
kan satu pukulan bertenaga dalam sempurna ke mata
kanan beruang putih itu.
"Aaarghk...!"
"Yeaaah...!"
Satu tendangan menggeledek disarangkan Pendekar
Pulau Neraka tepat di dada, membuat binatang raksasa
itu limbung sambil meraung keras. Darah sudah
bercucuran mengotori bulu-bulu putihnya. Binatang
raksasa itu tak dapat lagi melihat, karena kedua
matanya pecah berlumuran darah.
Sementara itu Bayu melirik pedang Seruni yang
tertancap di pohon. Sedangkan Cakra Maut sudah
kembali menempel di pergelangan tangannya. Bagai
seekor tupai, Pendekar Pulau Neraka itu melompat, dan
langsung mencabut pedang Seruni. Tanpa menyentuh
tanah lagi, pemuda berbaju kulit harimau itu
melentingkan tubuh sambil berjumpalitan di udara ke
arah beruang putih raksasa itu. "Hiyaaat...!"
Sambil berteriak keras, Bayu mengibaskan pedang
yang telah diambil dari pohon ke leher beruang putih
itu. Tebasannya yang disertai pengerahan tenaga da-
lam- tinggi itu tepat merobek leher beruang putih
raksasa.
Bret!
"Yeaaah...!"
Crab!
"Aaargh...!"
"Hih!"
Bayu menusukkan pedangnya ke dada binatang
raksasa itu hingga amblas sampai ke tangkai. Ditarik
pedang itu keluar sambil merobek dada beruang putih
hingga menganga lebar. Darah bercucuran deras
membasahi tanah. Dan begitu Bayu hendak menghun-
jamkan lagi pedang itu, beruang putih raksasa itu
sudah ambruk menggelepar di tanah.
Tring!
"Oh! Tidak!" tiba-tiba Seruni menjerit keras dan
langsung menghambur ke arah binatang
kesayangannya.
Bayu melepaskan pedang itu ke tanah. Sebentar
Pendekar Pulau Neraka memandangi beruang putih
raksasa itu, kemudian langsung melompat ke arah
Rampita yang duduk bersila di bawah pohon agak jauh
dari tempat pertarungan. Bayu membantu gadis itu
berdiri dengan memeluk pinggangnya, lalu
menyampirkan tangan Rampita ke pundaknya.
"Tunggu dulu, Kakang," ujar Rampita ketika Bayu
hendak membawanya pergi
Bayu menatap Seruni yang tengah memeluk dan
menangisi binatang beruang putih raksasa itu. Tidak
lama Seruni menangis, kemudian bangkit berdiri
sambil mengambil pedangnya yang tergeletak di tanah.
Gadis itu berdiri tegak dengan mata merah basah
menataptajamPendekar PulauNeraka.
"Tunggu pembalasanku, Bayu!" desis Seruni dingin.
Gadis itu langsung melesat cepat pergi. Sedangkan
Bayu hanya mendesah panjang saja. Kemudian
dibawanya Rampita pergi dari tempat itu. Tapi rupanya
gadis itu cukup berat terluka. Dia sepertinya tak
mampu lagi berjalan. Tanpa meminta persetujuan lagi,
Pendekar Pulau Neraka itu memondong tubuh Rampita
dan membawanya pergi.
Kau harus segera diobati, Rampita," kata Bayu.
"Hhh...," Rampita hanya menarik napas kecil.
Ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Pendekar
Pulau Neraka memang sudah mencapai taraf kesem-
purnaan. Sehingga, dalam sekejap saja bayangan
tubuhnya sudah lenyap tak berbekas lagi. Seperti
hilang ditelan lebatnya hutan di sekitar Lembah Bunga
ini.
Dan belum begitu lama Bayu pergi membawa
Rampita, muncul seorang laki-laki bertubuh cebol,
berkepala botak, dan berperut buncit. Orang tua cebol
yang ternyata Eyang Banadu itu terperanjat begitu
melihat seekor beruang putih raksasa tergeletak
berlumuran darah tak bernyawa lagi.
"Oh, beruangku...."
Eyang Banadu menubruk beruang putih itu, lalu
memeluknya. Tapi sebentar kemudian laki-laki tua itu
bangkit berdiri, tepat pada saat Seruni muncul bersama
delapan orang gadis cantik. Mereka semua
mengenakan baju putih. Selendang biru melilit
pinggang masing-masing bersama pedang yang
tersampir di punggung.
"Siapa yang melakukan ini, Seruni?" tanya Eyang
Banadu.
"Bayu, Eyang," sahut Seruni.
"Hmmm..., Bayu. Nyawa beruang putihku harus
ditebus dengan nyawamu. Kau harus mampus, Bayu."
geram Eyang Banadu.
Suara Eyang Banadu menggema ke seluruh pelosok
penjuru mata angin. Tanpa sadar, laki-laki tua cebol itu
menggeram sambil mengerahkan tenaga dalamnya.
Sementara itu, Bayu dan Rampita entah sudah berada
di mana.
Nah! Pembaca yang budiman. Di manakah
sebenarnya Bunga Cubung Biruitu? Apakah yang akan
terjadi bila Eyang Banadu berhasil bertemu Pendekar
Pulau Neraka? Ada hubungan apa antara Seruni dan
Rampita? Jika Anda ingin tahu semua jawabannya,
tunggu kisah Pendekar Pulau Neraka berikutnya, da-
lam kisah "RAHASIADARA AYU".
TAMAT
0 comments:
Posting Komentar