..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Sabtu, 01 Februari 2025

PENDEKAR PULAU NERAKA EPISODE LINGKARAN RANTAI SETAN

Lingkaran Rantai Setan



 SATU


Di pagi buta yang seharusnya hening, tiba-
tiba pecah oleh suara jeritan melengking tinggi.
Tidak berapa lama kemudian terdengar suara-
suara teriakan orang bertarung, disertai denting
senjata beradu. Tapi suara pertarungan itu hanya
sebentar. Lalu pertarungan itu pun berhenti,
disusul terdengarnya jeritan melengking tinggi
yang kemudian tenggelam terbawa angin pagi.
Pagi yang masih gelap gulita itu seketika jadi
terang benderang oleh cahaya pelita dan obor
yang dinyalakan dari rumah-rumah.
Sebentar saja sudah banyak orang berlarian
dari dalam rumahnya masing-masing, menuju
ke arah datangnya suara tadi. Mereka berhenti di
depan sebuah rumah yang tampak rusak.
Bahkan pada bagian belakangnya terbakar. Api
cepat membesar melahap rumah yang terbuat
dari kayu itu. Tampak seseorang berlari keluar
dengan terhuyung-huyung, dan langsung jatuh
begitu sampai di luar. Orang yang memadati
sekitar rumah itu langsung bergerak
menolongnya.
"Jruda...! Apa yang terjadi?" tanya seorang
laki-laki setengah baya dan berkumis tebal
hampir menutupi bibirnya. Lengannya

menopang tubuh pemuda berusia sekitar dua
puluh tahun yang tadi keluar dari dalam rumah
terbakar itu.
"Me..., ah!" pemuda yang dipanggil Jruda itu
langsung terkulai.
"Jruda...! Jruda...!" laki-laki setengah baya itu
menggoyang-goyangkan tubuh Jruda, tapi tetap
saja pemuda itu tidak bergerak.
"Dalaga...," terdengar sapaan lembut dari arah
belakang.
Laki-laki setengah baya itu mengangkat
kepalanya. Lalu menoleh ke belakang. Tampak
seorang kakek berjubah putih telah berdiri di
belakang laki-laki setengah baya itu. Rambut
dan janggutnya juga memutih semua.
Ditepuknya pundak laki-laki setengah baya
yang namanya dipanggil Dalaga. Dia bangkit
berdiri , sambil memondong tubuh Jruda yang
berlumuran darah.
"Hanya pingsan. Sebaiknya cepat bawa ke
rumahmu," kata kakek tua berjubah putih itu
lembut, namun terdengar penuh wibawa.
"Baik, Eyang," sahut Dalaga.
Dalaga melangkah sambil memondong tubuh
Jruda yang pingsan, menyibakkan orang yang
berkerumun. Sementara beberapa laki laki mulai
mencoba memadamkan api yang semakin
membesar melahap rumah dari kayu itu. Pagi
buta yang masih gelap ini jadi terang benderang


oleh cahaya api dari rumah yang terbakar.
Dalaga terus melangkah tergesa-gesa menuju
rumahnya yang tidak jauh dari rumah terbakar
itu.
Sementara di belakang Dalaga berjalan laki-
laki tua berjubah putih, diikuti beberapa orang
bersenjata golok terselip di pinggang. Dalaga
membaringkan tubuh Jruda di dipan kayu yang
berada di beranda rumahnya. Laki-laki tua
berjubah putih itu memeriksa tubuh Jruda,
kemudian kepalanya terangguk-angguk.
Diberikannya beberapa totokah di sekitar luka
yang terus mengucurkan darah. Totokan itu
ternyata untuk menghentikan darah.
"Eyang Paladi...," tertahan suara Dalaga.
"Jangan cemas! Adikmu hanya pingsan.
Lukanya tidak seberapa parah. Sebentar juga
siuman," kata Eyang Paladi kalem.
Dalaga membersihkan darah yang mengotori
tubuh Jruda dengan sobekan kain yang dibasahi
air dari tempayan di samping dipan kayu ini.
Sementara Eyang Paladi berbicara dengan enam
orang pemuda yang bersenjata golok di
pinggang. Enam orang pemuda itu bergegas
pergi melangkah tergesa-gesa. Eyang Paladi
kembali duduk di tepi dipan. Sedangkan Dalaga
sudah selesai membalut luka-luka di tubuh
adiknya.

"Ini kejadian yang ketiga kalinya, Dalaga.
Kurasa sudah waktunya kau katakan semua
yang terjadi. Bukan hanya keluarga dan sanak
saudaramu yang terancam, tapi juga
ketentraman semua penduduk Desa Kiting ini,"
tegas Eyang Paladi.
"Aku tidak tahu, Eyang," ujar Dalaga
sungguh-sungguh.
"Hhh...!" Eyang Paladi menarik napas
panjang.
Laki-laki tua itu menatap Dalaga dalam-
dalam, seakan-akan mencari kesungguhan dari
sinar matanya. Kembali ditariknya napas
panjang dan dihembuskannya kuat-kuat. Saat
itu, dua orang bersenjata golok di pinggang
datang. Mereka segera membungkuk hormat
pada Eyang Paladi.
"Eyang, kami menemukan benda ini di depan
rumah Jruda," jelas salah seorang sambil
menyerahkan sebuah rantai yang bertaut
membentuk lingkaran.
Eyang Paladi menerima rantai berwarna
merah darah itu. Ada sepuluh lingkaran yang
saling bertaut Sejenak Eyang Paladi merayapi
benda di tangannya itu, kemudian menatap lebih
dalam pada Dalaga. Sedangkan yang ditatap
hanya menundukkan kepalanya saja.

"Dua peristiwa yang lalu juga ditemukan
benda jenis seperti ini. Hmmm.... Aku menduga
kejadian ini akan berbuntut panjang," ujar Eyang
Paladi setengah bergumam.
Eyang Paladi kembali menatap dua orang
muridnya yang masih berdiri di depan beranda.
Diperintahkan kedua muridnya untuk pergi.
Dua orang pemuda itu menjura memberi
hormat, kemudian berbalik dan melangkah
pergi. Eyang Paladi kembali duduk di tepi
dipan. Sebentar dipandangi Jruda yang masih
belum sadarkan diri, kemudian pandangannya
beralih pada Dalaga yang tetap tertunduk
merayapi wajah adiknya.
"Dalaga, kuminta besok siang temui aku di
pesanggrahan," pinta Eyang Paladi seraya
bangkit berdiri.
"Baik, Eyang," sahut Dalaga ikut berdiri, dan
langsung menjura memberi hormat
"Sebentar lagi adikmu siuman. Rawat sebaik-
baiknya, besok siang kau harus membawanya
serta menemuiku," kata Eyang Paladi lagi.
"Baik, Eyang."
"Hm...."
Eyang Paladi melangkah meninggalkan
beranda rumah yang kecil, namun berhalaman
cukup luas ini. Dalaga bergegas menggotong
tubuh adiknya, lalu membawanya masuk ke
dalam. Di dalam, seorang perempuan yang

keadaannya berantakan menyongsongnya. Dia
bergegas membantu Dalaga membawa Jruda,
dan membaringkannya di pembaringan yang
ada di ruangan tengah.
"Kenapa dia, Kakang?" tanya perempuan
sambil menggelung rambutnya.
"Aku tidak tahu. Rumahnya terbakar," sahut
Dalaga.
"Oh...!" perempuan itu menutup mulutnya
terkejut. "Lalu, istri dan anaknya...?"
Dalaga tidak menpwab. Dihenyakkan
tubuhnya di kursi dekat jendela, binar matanya
kosong, langsung menangkap sosok tubuh
ramping yang berdiri membelakangi pintu
sambil bersandar pada dinding sebuah kamar.
Gadis berusia sekitar delapan belas tahun itu
melangkah menghampiri pembaringan.
Diambilnya kendi dan waskom, lalu dituangkan
air kendi itu ke dalam waskom. Diambilnya
secarik kain. Dengan lembut dibersihkan wajah
dan tubuh Jruda dari kotoran debu dan darah
kering.
"Aku akan keluar, rawat dia baik-baik," kata
Dalaga berpesan.
Dalaga langsung bangkit dan melangkah
keluar. Sedangkan dua wanita di dalam rumah
itu saling berpandangan. Tidak ada yang
membuka suara lebih dahulu. Dari raut wajah
mereka, terlihat jelas kedukaan yang dalam dan
rasa kecemasan.
***
Siang belum lagi naik tinggi. Dua orang laki-
laki berjalan pelahan-lahan menuju sebuah
tempat yang memiliki bangunan bagai kuil.
Bangunan kecil terdiri dari batu-batu
bertumpuk, dihiasi pahatan gambar-gambar
penuh makna. Kedua laki-laki itu berhenti
melangkah setelah tiba di depan tangga kuil itu.
Tidak berapa lama, muncul Eyang Paladi dari
dalam kuil itu. Dituruninya undakan itu satu
persatu dengan hati-hati sekali. Tidak ada lagi
orang lain di sekitar pesanggrahan ini. Hanya
mereka bertiga.
Eyang Paladi, Dalaga, dan Jruda. Pembalut
masih terlihat di beberapa bagian tubuh Jruda.
Wajahnya juga masih terlihat pucat.
"Kami datang memenuhi panggilanmu,
Eyang," ujar Dalaga seraya menjura hormat,
diikuti Jruda.
"Ikut aku," kata Eyang Paladi.
Dalaga dan Jruda melangkah di belakang
Eyang Paladi, menuju bagian belakang kuil
dengan memutari bagian samping kanan. Ketiga
orang itu berhenti di depan sebuah pendopo

kecil di tengah-tengah halaman belakang. Eyang
Paladi duduk di pendopo itu, sedangkan Dalaga
serta Jruda juga duduk bersila di depan Eyang
Paladi.
Dalaga sudah bisa menebak kalau Eyang
Paladi pasti akan membicarakan hal penting
yang ada kaitannya dengan peristiwa malam itu.
Juga dua peristiwa sebelumnya yang meminta
banyak korban nyawa. Pendopo di belakang kuil
Pesanggrahan Bumi Lawa ini oleh Eyang Paladi
selalu dijadikan tempat untuk mengadakan
pembicaraan penting.
"Kau tahu, kenapa aku memintamu datang ke
sini, Dalaga?" ujar Eyang Paladi setengah
bertanya.
'Tentu, Eyang," sahut Dalaga penuh rasa
hormat.
"Peristiwa malam itu adalah yang ketiga
kalinya. Sudah banyak korban yang jatuh. Dan
aku tidak ingin lagi melihat korban-korban
lainnya," kata Eyang Paladi memulai
percakapannya.
"Apa yang harus kulakukan, Eyang?" tanya
Dalaga.
"Kau kenal benda ini, Dalaga?" Eyang Paladi
mengeluarkan tiga buah rantai berwarna merah
menyala dari balik lipatan jubahnya. Diletakkan
tiga rantai yang masing-masing berjumlah
sepuluh lingkaran itu di lantai.

Dalaga memandangi benda-benda itu dengan
kepala tertunduk. Begitu juga Jruda. Kedua
orang itu hanya diam saja sambil menundukkan
kepala dalam-dalam. Sementara Eyang Paladi
memandangi dengan tajam.
"Jujur saja padaku, Dalaga. Juga kau, Jruda.
Kalian berdua adalah muridku yang paling
kusayangi. Bahkan ayah kalian sudah kuanggap
sebagai adik sendiri. Sayang dia terlalu cepat
meninggalkan dunia ini. Kalau saja ayahmu
masih hidup tentu peristiwa ini tidak akan
terulang sampai tiga kali, " ujar Eyang Paladi
pelan suaranya.
"Apa yang harus kulakukan, Eyang. Aku
sendiri tidak tahu benda itu," kata Dalaga seraya
mengangkat kepalanya.
"Hm...," Eyang Paladi menggumam tidak
jelas. Dia menatap Jruda.
Sedangkan yang ditatap hanya menunduk
saja. Malah sebentar-sebentar memijat-mijat
tangan kirinya sendiri. Kain pembalut masih
menutupi tangan kiri sampai ke siku dari
pangkal lengan. Sementara Dalaga hanya diam
saja dengan bibir terkatup rapat.
"Dari semua korban, hanya kau yang bisa
selamat, Jruda. Ceritakan dari awal kejadiannya,
hingga kau mendapat luka seperti itu," pinta
Eyang Paladi.

"Kejadiannya begitu cepat, Eyang. Aku hanya
melihat dua orang berbaju serba hitam. Mereka
membunuh anak dan istriku, Eyang. Aku
berusaha melawan, tapi mereka terlalu kuat dan
sangat tinggi tingkat kepandaiannya," Jruda
mencoba menceritakan singkat
"Kau kenali wajah mereka?" tanya Eyang
Paladi.
"Tidak. Mereka memakai topeng. Hanya
matanya saja yang terlihat," sahut Jruda
berusaha mengingat-ingat
"Jruda, apa kedua orang tersebut
mengucapkan sesuatu?" tanya Eyang Paladi lagi.
"Tidak. Mereka datang membongkar jendela,
dan langsung membunuh anak dan istriku yang
sedang tidur. Salah seorang mencoba
membunuhku, tapi berhasil kuhindari. Aku
tidak sempat lagi mengambil pedang, Eyang.
Mereka berdua mengeroyokku. Sedangkan aku
mencemaskan.... Oh...," Jruda berhenti, dan
kembali tertunduk.
"Aku bisa mengerti perasaanmu, Jruda.
Bukannya aku ingin membangkitkan kembali
dukamu, tapi hanya ingin menyelesaikan
persoalan ini," kata Eyang Paladi.
Jruda hanya menganggukkan kepalanya saja.
"Sejak terjadi peristiwa kedua, aku memang
sudah menduga bakal ada peristiwa
pembunuhan berikutnya hanya saja aku tidak

habis pikir, kenapa hanya ke-luarga dan sanak
keluarga kalian saja yang menjadi
korban. Apa kalian punya musuh? Atau,
mungkin sanak keluarga kalian...?"
"Entahlah, Eyang. Tapi yang jelas aku sendiri
tidak punya musuh," sahut Dalaga lebih dahulu.
"Dan kau, Jruda?" Eyang Paladi menatap
pemuda di samping Dalaga.
"Tidak, Eyang. Aku hidup dalam
kesederhanaan, tapi merasa bahagia karena
hidup dari hasil kerja memeras keringatku
sendiri. Rasanya aku tidak punya musuh.
Menyakiti sesama saja tidak pernah, Eyang,"
jelas Jruda.
"Sejak kecil aku sudah mengenal kalian
berdua. Aku tahu kalau kalian tidak berbohong
dan menyembunyikan sesuatu," ucap Eyang
Paladi.
Dalaga dan Jruda saling berpandangan. Kata-
kata Eyang Paladi itu memang terdengar lembut
dan tenang, tapi mengandung kecurigaan yang
dalam. Mereka sudah bersama-sama selama
puluhan tahun, dan sudah bisa mengenal watak
satu sama lain. Tapi baru kali ini Dalaga dan
Jruda menangkap adanya nada
ketidakpercayaan dari nada suara Eyang Paladi.
Ketidakpercayaan itu datang karena tiga
peristiwa yang meminta korban jiwa tidak
sedikit. Terakhir, peristiwa malam itu yang


merenggut nyawa istri dan dua anak Jruda serta
lima orang teman-teman Jruda yang kebetulan
malam itu menginap di sana. Dan mereka semua
adalah murid Eyang Paladi.
Eyang Paladi bangkit berdiri, kemudian
melangkah meninggalkan bangunan pendopo
itu. Dalaga dan Jru-p da masih tetap duduk
bersila saling melempar pandang. Mereka
kemudian berdiri dan berjalan pergi setelah
Eyang Paladi jauh meninggalkan pendopo di
belakang kuil Puri Pesanggrahan Bumi Lawa ini.
Tak ada lagi yang membuka suara. Semuanya
diam membisu mengiringi ayunan kaki yang
semakin jauh meninggalkan pesanggrahan itu.
Sementara senja mulai merayap turun. Matahari
hampir tenggelam di balik cakrawala sebelah
Barat. Sinarnya yang redup, terasa lembut
menyentuh kulit. Dalaga dan Jruda tidak
langsung kembali ke rumah, tapi menengok
tegalan dulu. Letaknya memang tidak jauh dari
pesanggrahan itu.
***
Dalaga menghenyakkan tubuhnya di
rerumputan yang cukup tebal, ternaungi pohon
beringin. Jruda tetap saja berdiri di samping
kakaknya. Mereka memandang jauh ke depan,

menembus cakrawala yang memerah jingga.
Cukup lama juga mereka berdiam diri, sibuk
dengan pikiran masing-masing.
"Hhh...! Eyang Paladi tidak percaya lagi pada
kita, Jruda," desah Dalaga agak mengeluh.
"Ya. Aku juga merasakannya, Kakang. Tapi
kita harus berbuat apa...? Kita memang tidak
tahu siapa orang yang berbuat itu," sahut Jruda
seraya menempatkan diri, duduk di samping
kakaknya.
"Benar tidak dapat kau kenali orang itu,
Jruda?" tanya Dalaga.
"Kau sendiri mulai tidak percaya padaku,
Kakang."
"Aku percaya. Hanya rasanya, kok aneh.
Selama menuntut ilmu pada Eyang Paladi,
belum pernah aku bertarung secara sungguh-
sungguh. Tidak ada musuh dalam diriku dan
kehidupanku selama ini."
"Kau pikir aku juga punya musuh?"
"Kita berdua sama, Jruda. Kita dilahirkan dan
dibesarkan di desa ini. Hm.... Apa mungkin
persoalan ini menyangkut orang tua kita, atau
mungkin juga saudara-saudara kita...?" Dalaga
menebak-nebak.
"Jangan menduga terlalu jauh dulu, kakang.
Sekarang ini kita seperti berada di dalam lorong

gelap, tanpa tahu jalan yang harus ditempuh,"
Jruda memperingatkan.
'Terus terang, Jruda. Aku jadi penasaran.
Siapa orang yang akan membantai keluarga
kita...?" Dalaga seperti bicara pada dirinya
sendiri.
Jruda hanya diam saja. Tidak mudah untuk
menjawab pertanyaan itu. Dia sendiri tidak tahu
siapa kedua orang yang membantai keluarganya,
juga lima orang temannya yang kebetulan
menginap malam itu di rumahnya. Meskipun
sempat bertarung beberapa jurus, tapi tidak bisa
mengenali dua pembunuh itu.
Malam itu sangat gelap, ditambah lagi dua
pembunuh itu memakai pakaian yang berwarna
gelap. Sukar untuk mengenalinya. Jurus-
jurusnya pun begitu cepat dan dahsyat, tidak
mudah dikenali sumbernya.
Agak lama juga kakak beradik itu terdiam
membisu. Beberapa kali terdengar tarikan napas
panjang dan berat Sementara suasana semakin
meremang. Angin pun sudah mulai
menyebarkan udara dingin. Tapi Dalaga dan
Jruda masih tetap duduk di bawah pohon di
pinggir tegalan. Tidak ada lagi orang yang lewat
di tempat ini. Semua penduduk Desa Kiting
tidak ada lagi yang berani keluar rumah jika
senja sudah datang. Peristiwa-peristiwa

pembunuhan liar yang terjadi tiga kali di desa ini
membuat mereka dicekam perasaan takut.
"Sudah hampir malam, Kakang," ujar Jruda
seraya bangkit berdiri.
"Pulanglah dulu, aku masih ingin di sini,"
ujar Dalaga tetap duduk.
"Kau tidak apa-apa sendirian, Kakang?"
"Katakan pada istriku, sebentar lagi aku
pulang."
"Baiklah."
Jruda mengayunkan kakinya meninggalkan
tegalan itu. Sedangkan Dalaga masih tetap
duduk bersandar pada batang pohon.
Pandangannya menerawang jauh, memikirkan
kejadian-kejadian yang mengerikan selama ini
Desa yang selama ini tentram dan damai, kini
berubah bagai dipenuhi kabut maut yang setiap
saat bisa saja merenggut nyawa Kabut maut itu
bermula dari terbantainya satu keluarga kakak
sulung Dalaga. Sepekan kemudian, disusul
terbantainya keluarga pamannya. Dan kemarin
malam keluarga adiknya. Semua tewas, hanya
Jruda yang masih bisa diselamatkan nyawanya.
Trrek!
"Eh...!" Dalaga tersentak kaget begitu tiba-tiba
terdengar suara ranting patah.
Secepat kilat laki-laki setengah baya itu
melompat bangkit, dan langsung berbalik. Tapi
belum juga bisa berpikir jauh, mendadak saja

seberkas cahaya kuning berkilat melesat cepat ke
arahnya. Dalaga langsung memiringkan tubuh
ke kanan sambil menggeser kakinya sedikit.
Sinar kuning itu lewat di samping tubuhnya, dan
terus menghantam sebatang pohon kelapa
hingga tumbang.
"Hup!"
Dalaga bergegas melompat ke kanan,
menghindari pohon kelapa yang jatuh ke
arahnya. Dan belum lagi bisa berbuat sesuatu,
mendadak saja dari balik sebuah pohon muncul
dua orang berbaju biru tua yang sangat ketat,
sehingga membentuk tubuhnya yang ramping
dan tegap berisi.
Dalaga terkesiap begitu melihat wajah kedua
orang yang memakai topeng berbentuk muka
babi. Sebilah pedang masing-masing tersampir
di punggung. Mereka juga memakai sabuk
dengan bola-bola emas melilit pinggangnya.
Dalaga tahu kalau cahaya keemasan yang
hampir menghantam tubuhnya tadi adalah salah
satu dari bola-bola kecil berwarna kuning
keemasan dari sabuk orang itu.
"Siapa kalian?!" tanya Dalaga agak
membentak.
"Hm...," salah seorang bergumam.
Dan bersamaan dengan terlemparnya sebuah
rantai merah bertaut sepuluh lingkaran, salah

seorang langsung melompat bagai kilat
menerjang. Dalaga terkesiap sejenak, lalu buru-
buru membanting tubuhnya ke tanah dan
bergulingan beberapa kali. Namun begitu
melompat bangkit, salah seorang lagi sudah
melompat cepat sambil melayangkan satu
tendangan kilat bertenaga dalam sangat tinggi.
Dalaga tidak mungkin lagi berkelit. Posisi
tubuhnya saat ini tidak memungkinkan. Maka
tendangan keras itu langsung menghantam
dadanya, hingga laki-laki setengah baya itu
terpental jauh ke belakang. Sebongkah batu
besar terguling terlanda tubuh Dalaga.
"Hiaaat...!"
Dalaga membeliak lebar begitu orang yang
menendangnya kembali melompat sambil
mencabut pedang. Cahaya keperakan dari
pedang yang terhunus, berkelebat cepat
mengarah ke leher Dalaga. Dan sesaat
kemudian...
"Aaa...!" Dalaga menjerit melengking tinggi.
Hanya sebentar Dalaga mampu bergerak,
kemudian roboh menggelepar. Kepalanya telah
terpisah dari leher! Sebelum Dalaga diam, dua
orang bertopeng muka babi itu sudah melesat
cepat meninggalkan tempat itu. Tinggal Dalaga
sendiri meregang nyawa. Dari lehernya yang
buntung tanpa kepala, mengalir darah segar
membasahi rerumputan. Tepat di saat terdengar

suara lolongan panjang anjing hutan, Dalaga
tidak bergerak-gerak lagi. Tubuhnya terbujur
bersimbah darah, sedangkan kepalanya berada
cukup jauh dari lehernya.
***

DUA

Kematian Dalaga makin menggemparkan
penduduk Desa Kiting. Sungguh tragis!
Kepalanya buntung, dan hampir seluruh
tubuhnya dicabik anjing-anjing hutan yang
kelaparan. Semalaman Dalaga terbujur menjadi
santapan anjing liar. Dan baru pagi harinya
ditemukan, ketika penduduk akan ke tegalan.
Dalam hal ini, yang paling terpukul adalah
Jruda.
Semua orang tahu kalau kemarin Jruda
bersama-sama dengan kakaknya. Bahkan ketika
Eyang Paladi meninggalkan pesanggrahan,
mereka masih bersama-sama. Pandangan sinis
dan bernada menuduh terlontar dari mulut
penduduk untuk pemuda itu. Jruda semakin
tertekan. Apalagi Eyang Paladi juga
mencurigainya, meskipun dia sudah
mengatakan yang sebenarnya. Dia dan Dalaga
memang ke tegalan itu setelah pulang dari
pesanggrahan. Hanya saja Jruda pulang lebih
dahulu, meninggalkan Dalaga sendirian di sana.
Tapi keterangan Jruda tidak ada yang
mempercayai, bahkan Eyang Paladi sendiri tidak
percaya.
"Kau juga tidak percaya padaku, Rimah?"
datar nada suara Jruda. Pandangannya lurus

menatap istri kakaknya yang tidak henti-
hentinya mengeluarkan air mata.
Rimah diam saja. Disusut air matanya dengan
ujung kebaya. Suaminya sudah terkubur, dan
dia kini sendirian harus mengurus empat orang
anak. Mereka semua duduk di balai bambu di
ruangan tengah: Parti, anak sulungnya hanya
duduk tertunduk saja di samping ibunya.
"Aku akan mencari pembunuh keparat itu!"
desis Jruda geram.
"Apa yang akan kau lakukan, Jruda?" tanya
Rimah tersendat
Jruda tidak langsung menjawab. Dia sendiri
tidak tahu, apa yang harus dilakukannya. Laki-
laki berusia sekitar dua puluh lima tahun itu
memandang keluar jendela. Tampak empat
orang murid Eyang Paladi berjaga-jaga di sekitar
rumah itu. Jruda tahu kalau masih ada beberapa
lagi di sekitar rumah ini, dan dia tahu kalau
Eyang Paladi tidak meninggalkan rumah ini
selama dia masih berada di dalam. Sakit hati
Jruda, tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa.
Menyalahkan kecurigaan Eyang Paladi saja dia
tidak bisa. Posisinya saat ini memang sulit.
Banyak orang yang melihatnya terakhir bersama
Dalaga di tegalan itu, di mana mayat Dalaga
tergeletak dengan tubuh koyak dan kepala
buntung.

"Aku tidak menyalahkan kalian, jika tidak
mengijinkan lagi aku tinggal di sini. Nasib kita
sama. Sama-sama kehilangan orang yang kita
cintai. Tapi sekarang ini aku jadi orang yang
dicurigai sebagai pembunuhnya. Akan
kubuktikan kalau aku tidak bersalah," pelan,
namun terdengar tegas nada suara Jruda.
"Aku tidak menuduhmu, Jruda. Kau boleh
tinggal di sini. Kami semua membutuhkan
perlindunganmu," ujar Rimah seraya menyusut
air matanya.
"Benar! Paman harus tetap tinggal di sini,"
sambung Parti, anak sulung Dalaga. Dia cukup
cantik, masih gadis dan baru berusia sekitar
delapan belas tahun.
"Aku akan melindungi kalian semua, tapi
tidak di rumah ini Aku tidak bisa tinggal di sini
lagi. Percayalah pada Eyang Paladi. Beliau pasti
melindungi kalian semua," kata Jruda terharu.
Sebab, hanya keluarga ini saja yang tidak
menuduhnya sebagai pembunuh keji yang telah
menewaskan Dalaga.
"Lalu, kau akan ke mana?" tanya Rimah.
'Tidak jauh dari sini, tapi juga tidak kelihatan
orang lain," sahut Jruda.
"Hhh...! Seharusnya Eyang Paladi tidak
melimpahkan tuduhan seperti itu padamu,
Jruda. Aku menyesal...," desah Rimah.

"Semua sudah terjadi, Kak. Tidak ada yang
perlu disesalkan lagi. Semua tuduhan itu
kuterima, meskipun aku merasa tidak bersalah.
Aku yakin, ada orang yang menginginkan
keluarga kita hancur," tegas Jruda.
"Siapa...?" Rimah seperti bertanya pada
dirinya sendiri.
"Entahlah," sahut Jruda mendesah. "Sekarang
ini kita semua belum tahu. Aku yakin, satu saat
nanti akan mengetahuinya!" tekad Jruda.
Untuk beberapa saat tidak ada yang bicara
lagi. Jruda bangkit berdiri dan melangkah
menghampiri jendela. Matanya mengarah
keluar, mengamati keadaan sekitarnya. Tampak
sepi. Tidak ada seorang penduduk pun yang
berani keluar rumah, meski hari masih siang.
Terlihat beberapa orang murid Eyang Paladi
berjaga-jaga. Bukan saja di rumah ini, tapi juga
di rumah keluarga Jruda yang lain, serta tempat-
tempat yang cukup memungkinkan.
Memang banyak murid Eyang Paladi.
Semuanya udak kurang dari lima puluh orang.
Dan rata-rata masih berusia sekitar dua puluh
tahun. Masih muda-muda, namun memiliki
kepandaian yang lumayan. Eyang Paladi sendiri
sebenarnya masih memiliki murid utama yang
berjumlah sepuluh orang. Rata-rata
kemampuannya hampir menyamai Dalaga dan
Jruda yang juga murid tertua Eyang Paladi.

Jruda sendiri menjadi murid Eyang Paladi
setelah berusia sekitar tujuh bglas tahun.
Sebelumnya dia mempelajari ilmu olah
kanuragan dari ayahnya sendiri, yang menjadi
salah seorang pendiri Padepokan Mega Kiting.
Padepokan itu kini dipimpin Eyang Paladi
setelah ayah Jruda meninggal.
"Hhh...!" Jruda menghembuskan napas
panjang.
Sebentar dia berbalik, lalu menatap pada
Rimah dan keempat anaknya. Langkahnya
pelahan mendekati pintu, dan membukanya.
Tampak dua orang murid Eyang Paladi berjaga-
jaga di depan pintu. Mereka d sempat melirik
sedikit pada Jruda.
"Jadi pergi, Paman Jruda?" tanya salah
seorang bernada sinis.
"Hm.„," Jruda hanya menggumam kecil. Laki-
laki berusia dua puluh lima tahun berbaju
kuning gading itu melangkah setelah menutup
kembali pintunya. Jalannya tidak tergesa-gesa.
Semua murid Eyang Paladi memandanginya
dengan tatapan sinis. Beberapa kepala terlihat
menyembul keluar dari dalam rumah. Para
penduduk Desa Kiting hanya bisa memandang
dari balik pintu dan jendela.
Jruda bisa merasakan pandangan mereka
semua, dan hanya mampu meredam semua yang
bergejolak dalam hatinya. Tapi disadari kalau

mereka semua tidak bisa disalahkan. Jruda terus
melangkah menuju arah Timur, ke arah sebuah
bukit yang tidak terlalu tinggi menjulang dengan
pohon-pohon tumbuh subur merapat
"Akan kubuktikan...!" desis Jruda bertekad
dalam hati.
***
Tiga hari setelah kcpergian Jruda, suasana
Desa Kiting semakin tidak menentu. Setiap hari
selalu saja terjadi pembunuhan. Bukan saja
sanak keluarga Jruda, tapi juga penduduk yang
tidak tahu menahu dengan urusan itu. Kabut
tebal menyelimuti seluruh Desa Kiting. Semua
penduduk dicekam rasa takut yang amat sangat
Tidak ada lagi tempat yang aman. Pembunuh
misterius itu dapat masuk ke rumah kapan saja
dia mau, dan selalu meninggalkan mayat.
Siang itu udara panas sekali. Matahari
bersinar terik tanpa terhalang awan sedikit pun
di langit Tak ada angin bertiup, sehingga
menambah panasnya udara siang ini. Seorang
penunggang kuda hitam membelah jalan
berdebu pelahan-lahan. Penunggangnya masih
muda, berkulit kuning langsat bagai kulit
wanita. Tapi dari raut wajahnya terlihat jelas
kalau itu seorang pemuda.

Penunggang kuda itu sempat melirik seorang
laki-laki yang tengah duduk di tepi jalan sambil
berteduh di bawah pohon yang cukup rindang.
Sebelah kakinya sengaja direndam dalam aliran
air yang bening dan sejuk. Pemuda berbaju dari
kulit harimau itu sama sekali tidak peduli pada
kuda yang melintas pelahan di depannya. Malah
matanya agak terpejam dengan kepala bersandar
pada batang pohon.
Kuda hitam tegap jtu terus berjalan
membelah jalan berdebu. Penunggangnya juga
tidak lagi memperhatikan sekelilingnya.
Pandangannya tetap lurus mengarah pada
sebuah bangunan yang cukup besar dan
memanjang, dikelilingi pagar kayu bulat yang
cukup tinggi. Kuda hitam itu berhenti tepat di
depan pintu pagar kayu yang dijaga dua orang
bersenjata golok terselip di pinggangnya.
"Maaf. Apakah Eyang Paladi ada?" tanya
pemuda itu ramah.
"Kisanak siapa?" tanya salah seorang penjaga
tanpa menjawab pertanyaan pemuda itu.
"Aku Pramana, cucu Eyang Paladi," sahut
penunggang kuda itu.
Kedua penjaga yang juga murid Eyang Paladi
itu memperhatikan sejenak, lalu menggeser
memberi jalan. Pemuda yang mengaku bernama
Pramana itu menggebah kudanya pelahan. Kuda
hitam itu pun kembali berjalan memasuki

halaman yang luas, dikelilingi pagar kayu
gelondongan yang tinggi dan tampak kokoh.
"Hup...!"
Pramana melompat turun sebelum kuda
hitam itu berhenti melangkah. Dan dengan dua
kali putaran saja, sudah tiba di ujung atas
undakan beranda bangunan besar dengan
bagian samping memanjang bagai barak. Tepat
pada saat kaki pemuda itu menjejak lantai, dari
dalam muncul Eyang Paladi didampingi dua
orang murid utamanya
"Eyang...," ucap Pramana langsung berlutut
memberi hormat.
"Pramana...!" Eyang Paladi nampak terkejut.
Buru-buru dihampiri dan dibangunkannya
pemuda itu. Pramana bangkit berdiri, lalu
menjura sekali lagi dengan membungkukkan
tubuhnya sedikit Eyang Paladi memandangi
wajah tampan di depannya. Kemudian bola
matanya berputar merayapi seluruh tubuh yang
mengenakan baju putih ketat, sehingga
memetakan tubuhnya yang tegap padat dan
berotot
"Kenapa tidak memberitahu dulu kalau ingin
datang, Pramana?" tanya Eyang Paladi seraya
membawa cucunya itu masuk ke dalam.
Dua orang murid laki-laki tua itu
meneruskan langkahnya keluar. Eyang Paladi
membawa cucunya ke bagian tengah dari salah

satu bangunan besar di Padepokan Mega Kiting,
yang hanya satu-satunya di Desa Kiting ini.
Perguruan silat itu memang sudah cukup lama
terbentuk, dan didirikan oleh seorang pendekar
ternama pada masa tiga puluh tahun yang lalu.
Eyang Paladi tinggal meneruskan saja, karena
merupakan sahabat kental pendekar itu.
"Kau datang sendiri?" tanya Eyang Paladi
setelah mereka duduk di kursi saling
berhadapan. Hanya sebuah meja bundar
menghalangi. "Kenapa tidak kau bawa adikmu?"
tanya Eyang Paladi lagi. Padahal pertanyaannya
yang pertama saja belum terjawab.
"Rawuni menyusul nanti," sahut Pramana.
Eyang Paladi mengangguk-anggukkan
kepalanya.
"Aku dan Rawuni bermaksud ingin menetap.
Itu pun kalau Eyang mengijinkan," ungkap
Pramana langsung tanpa basa-basi lagi.
'Tentu saja boleh, Pramana. Dari dulu aku
sudah memintamu dan adikmu tinggal di sini.
Kapan saja pintu rumah ini selalu terbuka
untukmu," kata Eyang Paladi senang. \
'Terima kasih, Eyang," ucap Pramana.
"Bagaimana keadaan keluarga pamanmu?"
tanya Eyang Paladi.
"Semua baik-baik saja, Eyang," sahut
Pramana diiringi senyuman tipis.

"Aku senang mendengarnya. Kau ingin
tinggal di sini sudah pamitan dengan
pamanmu?"
"Sudah! Bahkan Paman sendiri yang
menganjurkan. Katanya agar aku dan Rawuni
bisa menambah kepandaian di sini."
"Ha ha ha...! Apa lagi yang bisa kuberikan
padamu, Pramana? Aku yakin, Paman Darwala
sudah memberikan semua yang dimiliki.
Buktinya, pedang kesayangan pamanmu
sekarang telah kau sandang. Itu berarti kau
sudah menguasai jurus 'Tarian Dewa Pedang'."
Pramana hanya tersenyum saja. Terasa
hambar senyuman pemuda itu, tapi Eyang
Paladi tidak memperhatikannya. Dia terlalu
gembira dengan kedatangan cucunya. Terlebih
lagi Pramana mengatakan hendak menetap di
pesanggrahan ini, yang memang sudah
diharapkannya sejak dulu. Tepatnya ketika cucu-
cucunya ini masih kecil, dan ditinggal mati
kedua orang tuanya.
"Ayo, Pramana. Akan kutunjukkan
kamarmu," kata Eyang Paladi seraya bangkit
berdiri.
Pramana kembali tersenyum, lalu ikut berdiri
dan melangkah mengikuti Eyang Paladi.
Matanya selalu memperhatikan setiap ruangan
yang dilewati. Beberapa murid Eyang Paladi
menjura memberi hormat saat berpapasan, tapi

sempat juga melirik pemuda yang berjalan di
belakang Ketua Padepokan Mega Kiting itu. Dan
Pramana juga mengetahui, tapi diam saja. Pura-
pura tidak tahu.
***
Seekor kuda hitam berpacu cepat
meninggalkan Desa Kiting. Kuda itu menuju ke
arah Timur, di mana terpampang sebuah bukit
tidak terlalu tinggi. Debu mengepul tersepak
kaki kuda yang berlari cepat bagai dikejar setan.
Penunggangnya seorang pemuda berwajah
tampan, dan berkulit kuning langsat seperti
wanita. Memasuki daerah hutan di kaki bukit
itu, kuda hitam itu tidak juga memperlambat
larinya.
Tapi mendadak saja kuda hitam itu berhenti
berlari, lalu meringkik keras sambil mengangkat
kedua kaki depannya. Penunggang kuda itu
terperanjat, langsung melompat. Tubuhnya
berputaran tiga kali di udara, lalu ringan sekali
kakinya menjejak tanah. Tampak kuda hitam itu
mendengus-dengus menghentak-hentakkan kaki
depannya ke tanah.
"Hm.... Tenanglah, Hitam. Aku juga tahu,"
gumam pemuda itu pelan.
Sebentar pemuda itu menatap ke satu arah,
lalu dengan cepat dikibaskan tangan kanannya.

Dan secepat tangan itu bergerak, secepat itu pula
secercah cahaya merah melesat bagai sebatang
anak panah lepas dari busur. Sinar merah itu
meluncur deras menembus semak belukar di
depannya.
Siap!
Bersamaan dengan menghilangnya cahaya
merah itu ke dalam semak, melesat satu sosok
tubuh ke atas. Dua kali tubuh itu berputar di
udara, lalu manis sekali mendarat sekitar tiga
batang tombak di depan pemuda berbaju putih
itu.
"Siapa kau?! Kenapa menghadang jalanku?!"
bentak pemuda berbaju putih itu.
"Seharusnya aku yang bertanya padamu!"
dengus orang yang ternyata Jruda.
"Hm.... Aku tidak kenal siapa dirimu,"
gumam pemuda itu dengan kening agak
berkerut
'Tapi aku kenal denganmu, Pramana!" dingin
nada suara Jruda.
"Siapa kau sebenarnya?" dengus Pramana
terkejut, karena orang di depannya mengenal
dirinya.
"Kau tidak perlu tahu diriku. Yang harus kau
ketahui hanya satu. Jangan coba-coba
mengganggu kehidupan kami. Kau tidak berhak
hidup di Desa Kiting. Jelas...!" dingin sekali suara
Jruda.

"Hey...! Apa hakmu melarangku tinggal di
sana?"
"Jangan banyak tanya! Desa Kiting bukan
tempatmu. Sebaiknya tinggalkan desa itu, dan
jangan kembali lagi!" bentak Jruda.
"Kau mengancam, Kisanak."
'Terserah penilaianmu. Aku bisa berlaku
lebih kejam darimu!"
"O...! Hebat! Ternyata kau punya nyali besar
juga sehingga berani menantangku."
"Tidak ada yang kutakuti, termasuk
gurumu!"
"Bagus! Bersiaplah, Kisanak! Hiyaaat..!"
Pramana langsung saja membuka jurus. Dan
bagaikan seekor kijang, tubuhnya melompat
menerjang Jruda yang sejak tadi sudah bersiap.
Pertarungan dua orang itu tidak dapat dihindari
lagi. Meskipun Pramana tidak mengetahui
alasan orang itu membencinya, tapi pantang
baginya mendapat tantangan terbuka seperti itu.
Tidak tanggung-tanggung, Pramana menyerang
disertai pengerahan tenaga dalam yang sangat
tinggi.
Sebentar saja, tempat di sekitar pertarungan
itu sudah porak poranda bagai terkeria amukan
seribu ekor gajah. Pohon-pohon tumbang, dan
batu-batuan pecah berantakan. Debu mengepul
tinggi ke udara, membentuk awan yang

menyesakkan dada. Namun pertarungan itu
tidak juga berhenti, bahkan semakin sengit saja.
Malah setelah melewati sepuluh jurus, masing-
masing sudah menghunus senjata. Mereka
bertarung dengan pedang tergenggam, siap
mencabik siapa saja yang lebih rendah
kepandaiannya.
Trang!
"Ikh...!' Jruda tersentak ketika menangkis
tebasan pedang Pramana. Dia langsung
melompat mundur tiga tindak.
Dan belum lagi Jruda bisa menguasai
tangannya yang bergetar akibat adu senjata tadi,
Pramana sudah melompat sambil mengarahkan
ujung pedangnya ke arah dada. Cepat sekali
Jruda melompat ke samping menghindari
tusukan pedang itu, dan langsung melentingkan
tubuhnya ke atas. Manis sekali kakinya hinggap
di atas dahan, lalu pedangnya dikibaskan ke
salah satu ranting.
"Hait..!"
Cras!
Bukan main terkejutnya Pramana. Tiba-tiba
saja tubuhnya terangkat naik, dan terkurung
jaring yang begitu kuat. Pramana berusaha
memberontak, tapi jaring itu demikian kenyal.
Tubuhnya tertekuk, dan pedangnya jatuh ke


tanah. Pramana tergantung, terbungkus jaring
sekitar dua batang tombak tingginya dari tanah.
"Hup...!"
Jruda melompat turun, dan berdiri tegak
bertolak pinggang begitu mendarat. Kepalanya
mendongak memandang Pramana yang
berusaha melepaskan jaring
yang membelenggu tubuhnya, hingga
tergantung seperti itu.
"Ha ha ha...! Kau akan mati pelahan,
Pramana! Selamat menikmati kematianmu!" seru
Jruda tertawa terbahak-bahak.
Pramana menggeram, memaki, dan
menyumpah serapah. Tapi Jruda malah semakin
keras tawanya. Dia berbalik dan melangkah
menghampiri pohon besar. Seutas tambang
terikat di pohon itu. Dibukanya tambang itu dan
diturunkan Pramana pelahan-lahan. Setelah
jaraknya cukup dekat ke tanah, Jruda mengikat
lagi tambang itu ke pohon.
Sambil tertawa terbahak-bahak, Jruda berlari
cepat dan menghilang ke dalam hutan. Sebentar
masih terdengar suara tawanya, kemudian
pelahan-lahan menghilang tersapu angin.
Sementara Pramana berusaha melepaskan diri
dari jeratan jaring itu. Dicobanya untuk
memutuskan jaring. Meskipun sudah
mengeluarkan tenaga dalam penuh, tapi jaring

itu tetap tidak mau putus. Pramana sadar kalau
jaring ini terbuat dari bahan yang sangat kuat.
"Setan!" rutuk Pramana sengit.
Pemuda itu memandang pedangnya $ang
tergeletak di tanah. Dikeluarkan kakinya, dan
berusaha menjangkau pedangnya. Tapi tidak
juga sampai. Sia-sia saja semua usaha yang
dilakukannya. Pramana meru-tuk dan memaki
habis-habisan. Tidak ada lagi yang bisa
dilakukannya. Dan dia tahu, kalau malam
tempat ini dipenuhi anjing hutan yang
kelaparan. Jaraknya cukup untuk binatang liar
itu menjangkau tubuhnya. Pramana jelas tidak
mau mati sia-sia begini.
Meskipun tahu akan sia-sia, tapi Pramana
berusaha melepaskan diri dari jerat menyakitkan
hati ini. Baginya lebih baik mati dalam
pertarungan daripada tersiksa tanpa daya seperti
ini. Otaknya berpikir keras mencari cara untuk
bisa terlepas. Namun segala cara yang
digunakan hanya membuatnya memaki,
mengumpat habis-habisan.
"Setan! Siapa pun dia, harus mampus di
tanganku!" maki Pramana geram.
***

TIGA

Senja terus merayap lambat menjelang
malam. Pramana masih tergantung di dalam
jaring. Peluh sudah sejak tadi membasahi
sekujur tubuhnya. Jelas hatinya tampak putus
asa, karena segala usaha yang dilakukan tidak
berhasil untuk melepaskan diri dari jaring
keparat ini. Pemuda itu menoleh ketika
mendengar siulan yang timbul tenggelam
terbawa angin senja. Siulan tanpa irama yang
jelas, semakin terdengar mendekat ke arahnya.
"Hey...!" teriak Pramana sekuat-kuatnya.
Teriakan Pramana menggema, terpantul
dinding-dinding bukit dan lembah serta hutan.
Beberapa kali Pramana berteriak disertai
pengerahan tenaga dalam. Tapi siulan itu tetap
terdengar berirama sumbang.
"Hey...! Siapa kau di situ?! Cepat kesini...!"
teriak Pramana keras.
Suara siulan itu berhenti. Pramana
mengedarkan pandangannya ke sekeliling, dan
tatapannya langsung tertuju pada sebuah semak
yang bergerak-gerak. Jantungnya berdebar,
berharap ada orang yang datang dan bersedia
menolongnya. Sama sekali tidak diharapkan
kalau binatang buas yang muncul.

"Oh...," Pramana mendesah panjang ketika
dari dalam semak muncul seorang laki-laki
muda berpakaian kulit harimau. Pemuda itu
tertegun melihat seseorang tengah tergantung
dalam jaring seperti ikan. Dia berhenti
melangkah dan memandangi dengan perasaan
heran.
"Kisanak, cepat turunkan aku...," pinta
Pramana.
"He...! Kau bisa bicara...?! Kukira kau monyet
yang terperangkap!" seru pemuda itu.
"Ini bukan waktunya bergurau, Kisanak!
Cepat turunkan aku dari sini!" bentak Pramana
gusar.
"Ck ck ck... Galak juga," pemuda berbaju kulit
harimau itu berdecak sambil menggeleng-
gelengkan kepalanya.
Pelahan pemuda itu melangkah semakin
mendekati. Dipandangi Pramana yang tampak
geram, karena merasa dirinya jadi tontonan. Tapi
Pramana berusaha meredam kemarahannya.
Saat itu pemuda berbaju aneh itu sangat
dibutuhkan pertolongannya untuk
melepaskannya dari jaring keparat ini.
Sedangkan pemuda berbaju kulit harimau itu
malah melangkah memutarinya. Beberapa kali
mulutnya berdecak sambil menggeleng-
gelengkan kepala. Lagaknya seperti seorang
saudagar yang tengah mengagumi barang indah

dan langka. Tentu saja tingkah pemuda itu
membuat Pramana jadi gusar, namun masih bisa
menahan din.
"Kisanak...!" tegur Pramana tidak sabar lagi.
"Oh...! Kau bicara lagi...?" pemuda berbaju
kulit harimau itu menatap Pramana.
"Lepaskan jaring ini! Aku akan memberimu
imbalan yang pantas," bujuk Pramana.
"Kau seperti anak saudagar kaya, atau kau
putra pembesar kerajaan yang kesasar?" pemuda
itu seperti berbicara kepada dirinya sendiri.
'Terserah apa saja! Cepat! Lepaskanlah aku
dari jaring keparat ini, Kisanak!" dengus
Pramana tidak sabar.
"Hm...," pemuda itu bergumam dan
memandangi Pramana yang nampak gusar,
namun penuh harap untuk bisa terlepas dari
perangkap jaring ini
Pemuda berbaju kulit harimau itu memungut
pedang yang tergeletak di tanah. Ditimang-
timangnya pedang itu, lalu diberikannya pada
Pramana. Kasar sekali Pramana merebut pedang
itu, kemudian langsung berusaha berdiri.
Seketika ditebaskan pedangnya pada tambang
yang mengikat bagian atas jaring ini. Tambang
itu putus, dan Pramana jatuh bersama jaring
yang masih mengurung dirinya.

Pramana berusaha keluar dari jaring itu.
Dimasukkan pedangnya dalam sarungnya,
setelah lepas dari jaring yang membelenggunya.
Sebentar ditatapnya pemuda berbaju kulit
harimau yang menolongnya, kemudian tanpa
berkata apa-apa lagi Pramana langsung berbalik
dan melangkah cepat menghampiri kuda
hitamnya yang setia menunggui sambil
merumput sekenyang-kenyangnya.
"Hup!" Pramana melompat naik ke punggung
kuda itu.
Sekali gebah saja, kuda hitam itu langsung
melesat pergi meninggalkan debu yang
mengepul bercampur daun-daun kering.
Sedangkan pemuda berbaju kulit harimau hanya
memandangi saja sambil menggeleng-gelengkan
kepala, kemudian kembali melangkah. Mulutnya
bersiul-siul mendendangkan lagu tanpa irama
yang pasti.
"Berhenti...!"
Pemuda berbaju kulit harimau itu terkejut
ketika mendengar bentakan yang keras dan tiba-
tiba dari arah belakang. Tubuhnya berbalik dan
tahu-tahu di depannya kini sudah berdiri
seorang laki-laki berusia sekitar dua puluh lima
tahun. Sebilah pedang panjang tergantung di
pinggang. Siulan pemuda berbaju kulit harimau
itu terhenti seketika.

"Kau yang melepaskan tawananku...?" laki-
laki yang ternyata adalah Jruda itu menunjuk
jaring yang tergeletak di sampingnya.
'Tawanan...?" pemuda berbaju kulit harimau
itu mengerutkan keningnya.
"Kau yang lewat di sini, tentu kaulah yang
memutuskan jaring ini!" dengus Jruda.
"Aku tidak memutuskan jaring itu. Dia
sendiri yang melakukannya," bantah pemuda
berbaju harimau itu kalem.
"Mustahil! Tidak ada yang mampu
memutuskan jaring ini. Pasti kaulah yang
menolongnya!"
"Menolong siapa? Aku hanya memberikan
pedang yang tergeletak di tanah, kemudian dia
sendiri yang memutuskan tambang itu, dan
keluar dari jaringmu."
"Sama saja, tolol!" bentak Jruda geram.
"He...! Kenapa marah?"
"Kau melepaskan tawanan berhargaku, maka
kau harus bertanggung jawab!" geram Jruda.
Setelah berkata demikian, Jruda langsung saja
melompat menerjang.
"Hey...! Tunggu!"
Tapi Jruda tidak peduli terhadap peringatan
itu. Pemuda itu diserangnya dengan beberapa
pukulan beruntun dan mengandung tenaga
dalam cukup tinggi.

Pemuda berbaju kulit harimau itu
beriompatan menghindari serangan yang
dansyat dan cepat. Jruda semakin geram, karena
beberapa serangannya selalu gagal.
"Uh! Rupanya di sini banyak orang gila!
Tidak ada urusan main serang saja...!" lenguh
pemuda berbaju kulit harimau itu seraya tidak
berhenti berkelit.
Tiba-tiba saja dengan kecepatan yang sangat
tinggi dan sukar diduga, pemuda itu melenting
ke atas. Dan secepat itu pula, menukik deras.
Tangan kirinya berkelebat cepat, langsung
menghantam bahu kanan Jruda.
"Hegh!"
Jruda berusaha bertahan, tapi seketika itu
juga ambruk ke tanah setelah satu totokan jari
mendarat di lehernya. Pemuda berbaju kulit
harimau itu berdiri tegak di dekat tubuh yang
tergeletak tidak berdaya, karena jalan darahnya
tertotok. Sebentar pemuda itu memandangi,
kemudian berbalik hendak pergi.
"Hey...J Tunggu!" seru Jruda berusaha
menggeliat. Tapi seluruh tubuhnya terasa
lumpuh, sukar digerakkan lagi.
Pemuda berbaju kulit harimau itu tidak jadi
melangkah pergi, dan kembali berbalik menatap
laki-laki yang tergeletak tak berdaya.

"Bebaskan aku! Jangan tinggalkan aku di
sini," kata Jruda memohon.
"Heran.... Kenapa semua orang takut di sini
sendirian? Apakah tempat ini sarang dedemit?"
gumam pemuda itu seperti bicara untuk dirinya
sendiri.
"Jangan bergurau, Kisanak. Cepat bebaskan
sebelum...." '
Belum juga Jruda menghabiskan ucapannya,
tiba-tiba terdengar lolongan anjing hutan yang
panjang mendirikan bulu kuduk. Seketika itu
juga wajah Jruda pucat pasi. Kalau saja tubuhnya
bisa bergerak, mungkin sudah gemetar. Suara
lolongan anjing hutan itu semakin terdengar
dekat. Terlebih, bukan hanya satu.
Lolongan itu saling sahut, seperti sama-sama
memberitahu ada manusia di sekitar tempat ini.
"Cepat, sebelum keparat-keparat itu muncul!"
sentak Jruda.
"Hanya anjing, kenapa harus takut?" pemuda
berbaju dari kulit harimau itu kelihatan tenang
saja, dan malah duduk di samping Jruda.
"Gila kau! Bebaskan totokanmu cepat!"
rungut Jruda berusaha menggelinjang.
Sementara lolongan anjing semakin banyak
terdengar. Begitu dekat terdengar, sehingga
membuat Jruda semakin pucat wajahnya. Dia
berusaha menggelinjang, mencoba
membebaskan totokan pemuda berbaju kulit

harimau itu Tapi totokan itu sangat kuat sekali,
karena disalurkan lewat pengerahan tenaga
dalam sempurna. Jruda sadar kalau tenaga
dalam dan hawa murninya kalah jauh, dan tidak
mungkin terbebas dari totokan kalau bukan
pemuda berbaju kulit harimau itu sendiri yang
melakukannya.
"Sudah kukatakan, hanya anjing...," ujar
pemuda itu terputus seketika.
Satu ekor anjing hutan muncul dari semak.
Tidak berapa lama kemudian datang lagi. Dan
jumlahnya pun semakin bertambah banyak.
Datang dari segala penjuru, langsung
membentuk lingkaran mengepung kedua orang
itu.
"Huh! Bodoh...! Cari mampus!" gerutu Jruda
putus asa.
"Hm...," pemuda berbaju kulit harimau itu
menggumam pelahan. Hampir tidak terdengar
gumamannya.
Cepat sekali tangan pemuda itu bergerak,
dan jari-jarinya bergerak lincah menotok jalan
darah di tubuh Jruda. Totokan pembuka itu
kontan bekerja, lalu Jruda menggelinjang bangkit
berdiri. Tapi seekor anjing hutan menggerung.
Jruda langsung diam tidak bergerak-gerak lagi.
Kedua bola matanya membeliak begitu melihat
puluhan anjing hutan liar sudah mengepungnya.

Sedangkan pemuda berbaju kulit harimau itu
masih tetap duduk tenang.
"Jangan menimbulkan perhatian. Tetap saja
tenang," perintah pemuda berbaju kulit harimau
itu kalem.
"Huh! Ini semua gara-garamu!" rungut Jruda.
"Tenanglah, diam saja. Jangan banyak bicara."
"Kalau kau menuruti kata-kataku tadi, tidak
akan jadi begini. Huh...!" gerutu Jruda habis-
habisan.
Sedangkan pemuda berbaju kulit harimau itu
tetap duduk tenang tanpa bergerak sedikit pun.
Jruda masih menggerutu. Segera ditarik
pedangnya keluar dari sarungnya. Dan begitu
pedangnya keluar, mendadak seekor anjing
hutan liar itu meraung keras, lalu melompat
menerjang cepat.
"Hait...!"
Wut!
Jruda mengibaskan pedangnya cepat. Anjing
hutan itu menggerung keras, dan jatuh
menggelepar dengan perut sobek terbabat
pedang Melihat temannya tewas seketika,
anjing-anjing lainnya menggeram marah
memperlihatkan taring-taringnya yang tajam
mengerikan. Jruda bersiap-siap dengan pedang
terhunus

"Kau membuat kesulitan!" dengus pemuda
berbaju kulit harimau.
"Diam kau!" bentak Jruda sengit. "Semua ini
gara-garamu!"
"Sebentar lagi mereka akan menyerang,
mengoyak tubuhmu. Satu nyawa mereka belum
cukup jika dibayar darah dan dagingmu," ujar
pemuda berbaju kulit harimau itu lagi. Suaranya
tetap tenang.
Jruda jadi menatap tajam pemuda yang masih
duduk bersila tenang, tidak bergeming sedikit
pun. Dia terpaku mendengar kata-kata pemuda
itu. Kata-kata yang begitu aneh terdengar di
telinga, dan begitu dalam mengandung banyak
arti.
Tapi belum juga Jruda bisa memahami kata-
kata pemuda berbaju kulit harimau itu,
mendadak saja dua ekor anjing hutan yang
mengepung tempat ini melompat sambil
bersuara keras menggetarkan jantung. Jruda
kontan melompat sambil mengibaskan
pedangnya. Seekor meraung keras, dan
terjungkal bersimbah darah. Jruda kembali
membabatkan pedangnya untuk yang seekor
lagi. Tapi belum juga pedangnya mengenai
sasaran, beberapa ekor sekaligus sudah
melompat lagi. Jruda berpelantingan,
berlompatan menghindari serangan anjing-
anjing hutan itu. Pedangnya berkelebatan cepat

membabat binatang-binatang liar yang kelaparan
itu.
"Setan...!" dengus Jruda menggeram.
Matanya sempat melirik pemuda berbaju
kulit harimau yang tetap duduk tenang bersila.
Tidak ada anjing seekor pun yang
memperhatikan pemuda berbaju kulit harimau
itu. Bahkan kini semakin banyak saja yang
menyerang, dan berusaha melumpuhkan Jruda.
Tidak terhitung lagi, berapa yang tewas terbabat
pedang. Dan anjing-anjing hutan itu bukannya
takut, tapi malah semakin ganas saja.
"Kisanak, apa yang kau lakukan di situ!
Bantu aku...!" seru Jruda yang mulai kewalahan
menghadapi keroyokan anjing liar yang ganas
ini.
Tapi pemuda berbaju kulit harimau itu diam
saja. Tetap duduk tenang tanpa bergeming
sedikit pun juga. Jruda jadi heran, tapi tidak
sempat memperhatikan dan berpikir banyak.
Keroyokan anjing liar ini sudah membuatnya
repot Apalagi jumlahnya semakin banyak saja,
meskipun tidak sedikit yang tewas terbabat
pedangnya.
"Huh! Bisa habis napasku kalau begini!"
dengus Jruda tersengal.
Jruda melirik sebuah pohon yang berada di
dekatnya. Dikibaskan pedangnya cepat maka

tiga ekor an jing menggerung terbabat pedang
itu. Secepat kilat Jruda melompat ke atas, dan
berputaran dua kali di udara. Tapi belum sempat
mencapai dahan, tubuhnya sudah meluncur ke
bawah lagi. Padahal anjing-anjing hutan itu
sudah menunggu sambil menggonggong
memperlihatkan taringnya.
"Mati aku...!" lenguK Jruda.
Mendadak Jruda melihat sebuah benda
meluncur deras ke arah kakinya. Maka
dimanfaatkanlah benda itu, dan langsung
ditotok dengan ujung jarinya. Jruda kembali
melesat naik, dan hinggap di atas dahan pohon
tinggi. Anjing-anjing liar itu ribut
menggonggong di bawah pohon. Mereka
berebut hendak naik, tapi tidak berhasil. Jruda
menarik napas panjang. Diliriknya sebuah serat
kulit kayu yang tertancap cukup dalam di
batang pohon ini. Kemudian dipandangi
pemuda berbaju kulit harimau yang masih tetap
duduk bersila. Di tangan kiri pemuda itu
tergenggam sebatang kulit kayu kering. Jruda
tahu, kalau kulit kayu kering itu tadi
dilemparkan pemuda itu untuk menyelamatkan
nyawanya.
"Diam saja di sana, jangan bergerak sedikit
pun. Masukkan pedangmu ke dalam
sarungnya," perintah pemuda berbaju kujit

harimau itu pelan. Gerak bibirnya hampir saja
tidak terlihat.
Suara yang begitu pelan, namun terdengar
sangat jelas di telinga. Jruda tahu kalau pemuda
itu berkata benar, dan dia menurutinya. Hatinya
kagum juga dengan ilmu memindahkan suara
yang dimiliki pemuda berbaju dari kulit
harimau itu. Sungguh sempurna! Bahkan saat
mengeluarkan suara, mulutnya tidak bergerak
sama sekali
***
Jruda yang nangkring di atas pohon, semakin
keheranan. Ternyata pemuda berbaju kulit
harimau itu tetap saja duduk bersila, meskipun
ratusan ekor anjing hutan liar simpang siur di
sekitarnya. Anjing-anjing itu seperti tidak
menghiraukan, atau mungkin tidak melihat.
Binatang-binatang liar itu malah menunggui
Jruda di bawah pohon.
"Kisanak! Kalau kau bisa mengendalikan
binatang-binatang itu, usirlah dari sini!" seru
Jruda
"Jangan banyak bicara. Suaramu menggoda
mereka!" pemuda itu memperingati disertai
pengerahan ilmu memindahkan suara.
Jruda langsung menggelinjang, karena
peringatan itu menjadi kenyataan. Dua ekor
anjing liar itu mencoba melompat ke atas. Tapi

jatuh lagi sebelum sampai pada sasarannya.
Jruda kontan diam. Matanya tidak berkedip
memandangi binatang-binatang liar yang
banyak mengelilinginya di bawah pohon ini.
Jruda duduk di dahan pohon tanpa bergerak
sedikit pun. Anjing-anjing liar itu mulai
menggerung tidak sabar. Sementara perut
mereka sudah minta diisi, maka satu demi satu
mulai meninggalkan tempat itu. Jruda
memperhatikan binatang-binatang liar itu pergi.
Agak lama juga, tapi akhirnya semua binatang
liar itu pergi semua.
"Jangan turun dulu!" pemuda berbaju kulit
harimau itu memperingatkan.
Jruda yang akan melompat turun,
mengurungkan niatnya. Dan peringatan itu
memang benar. Ternyata masih ada seekor lagi
yang belum meninggalkan tempat ini. Binatang
liar itu mengelilingi pohon tempat Jruda masih
berada di atasnya. Binatang buas itu
menggerung-gerung. Sebentar dia mendongak
ke atas, lalu berjalan lemah gemulai
meninggalkan tempat itu. Jruda menunggu
sampai binatang liar itu tidak terlihat lagi, tapi
masih tetap di dahan pohon itu. Dipandangi
pemuda berbaju kulit harimau yang masih tetap
duduk bersila dengan tenang.
"Kisanak, boleh aku turun sekarang?" tanya
Jruda.

"Kalau takut, jangan turun," sahut pemuda
itu kalem.
"Kampret!" gerutu Jruda.
Tanpa menunggu waktu lagi, Jruda
melompat turun. Ringan sekali gerakannya. Dan
begitu kakinya menapak tanah, tidak ada suara
sedikit pun yang ditimbulkan. Dia melangkah
mendekati pemuda yang masih duduk tenang.
"Kisanak! Siapa kau sebenarnya?" tanya Jruda
mulai ramah.
"Perlukah itu?" pemuda itu malah balik
bertanya seraya bangkit berdiri.
"Kau sudah menyelamatkan nyawaku, maka
aku berhutang padamu. Sudah sepantasnya kita
saling mengenal. Aku Jruda, asalku dari Desa
Kiting," Jruda lebih dahulu memperkenalltan
namanya.
"Nama yang bagus."
Pemuda berbaju dari kulit harimau itu
melangkah pelahan-lahan meninggalkan tempat
itu. Jruda mengikuti, dan mensejajarkan langkah
di sampingnya.
"Kau belum menyebutkan namamu,
Kisanak," desak Jruda.
"Bayu. Panggil saja aku Bayu," sahut pemuda
yang memakai baju dari kulit harimau itu kalem,
sambil terus mengayunkan langkahnya.

"Kau tentu bukan dari Desa Kiting. Apa kau
seorang pendekar?" tebak Jruda.
"Hanya pengembara yang kebetulan lewat,"
sahut Bayu tetap kalem.
"Ilmu apa yang kau gunakan untuk
menghalau anjing-anjing liar itu?" tanya Jruda
ingin tahu.
"Tidak ada ilmu. Aku hanya diam saja tanpa
melakukan apa-apa," sahut Bayu.
"Mustahil. Binatang-binatang itu seperti buta,
tidak melihatmu," Jruda tidak percaya.
Bayu hanya tersenyum saja. Dia tadi memang
menggunakan ilmu 'Halimun’ yang diperoleh
dari seorang pertapa tua. Bayu mampu
meningkatkan ilmu itu dan
menyempurnakannya dalam waktu tidak lama.
Bahkan bisa menyamarkan diri pada tujuan
tertentu yang dipilihnya. Seperti terhadap
anjing-anjing hutan itu. Binatang-binatang liar
itu tidak bisa melihatnya, bahkan tidak bisa
mencium bau badannya. Tapi karena ilmu itu
tidak ditujukan pada Jruda, maka laki-laki yang
masih kelihatan muda itu masih bisa jelas
melihatnya. Tadinya Bayu ingin melindungi
Jruda dengan ilmunya. Tapi sikap Jruda yang
menentang, membuat ilmu 'Halimun' tidak ada
kekuatan.
Memang aneh. Ilmu itu hanya bisa digunakan
jika tidak ada tantangan. Bahkan Bayu bisa

menyamarkan seseorang agar tidak terlihat,
asalkan orang itu pasrah dan tidak
menentangnya. Kedua laki-laki itu terus berjalan
tanpa berkata-kata lagi. Meskipun Jruda masih
penasaran, tapi tidak lagi mendesak. Dia tahu
watak seorang pendekar yang selalu merendah.
***

EMPAT

Suasana di Padepokan Mega Kiting tampak
tenang. Eyang Paladi tampak tengah duduk-
duduk di beranda depan bersama sepuluh orang
murid-murid pilihannya. Mereka berbincang-
bincang tentang suasana Desa Kiting yang
semakin kacau keadaannya. Sudah banyak orang
yang melihat bahwa yang membuat neraka di
desa ini ada dua orang. Mereka mengenakan
topeng berbentuk muka babi!
Orang misterius itu semakin sering
berkeliaran di malam hari, dan tidak takut akan
bentrok dengan murid-murid Padepokan Mega
Kiting. Tidak sedikit murid padepokan itu yang
tewas. Tentu saja ini membuat Eyang Paladi
semakin gundah. Sampai saat ini dia belum bisa
menemukan dua orang misterius itu.
Saat Eyang Paladi dan sepuluh orang murid
utamanya sedang berbincang-bincang, tiba-tiba
seorang muridnya datang tergopoh-gopoh.
Seluruh tubuhnya penuh debu, dan berkeringat,
napasnya tersengal, langsung jatuh berlutut di
tangga beranda. Eyang Paladi bergegas bangkit
dan menghampiri.
"Ada apa?" tanya Eyang Paladi. ,
"Celaka, Eyang. Mereka menjarah rumah
Paman Gering...," lapor anak muda itu tersendat.

Eyang Paladi tidak berkata-kata lagi,
langsung melompat cepat bagai kilat. Sepuluh
orang murid utamanya bergegas mengikuti. Di
malam yang gelap itu, Eyang Paladi beriari cepat
mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Dia
tahu, arah mana yang harus ditempuh. Paman
Gering adalah orang yang amat dekat
dengannya. Dia termasuk saudara sepupu
pendiri Padepokan Mega Kiting ini.
"Mundur...!" seru Eyang Paladi begitu tiba di
depan rumah Paman Gering.
Sekitar delapan orang murid laki-laki tua
berjubah putih itu berlompatan mundur.
Tampak di sekitar halaman rumah yang tidak
begitu luas, tergeletak tidak kurang dari enam
mayat. Darah bercucuran dari tubuh-tubuh yang
sudah tidak bernyawa lagi itu.
Eyang Paladi melangkah menghampiri dua
orang berbaju gelap, yang wajahnya tertutup
topeng berbentuk muka babi. Kedua orang itu
saling berpandangan sejenak, kemudian
menggeser kakinya lebih merapatkan jarak.
Eyang Paladi berhenti melangkah setelah
jaraknya tinggal sekitar dua batang tombak lagi.
"Apa maksud kalian membuat resah
penduduk desa ini?!" tanya Eyang Paladi tegas.
Kedua orang itu tidak membuka suara sedikit
pun. Bahkan bergerak saja tidak. Namun dari
bola mata yang tersembunyi di balik topeng,

sudah dapat dipastikan kalau mereka
merencanakan untuk melarikan diri.
"Siapa kalian sebenarnya? Dari mana kalian
datang?" tanya Eyang Paladi lagi.
"Eyang, mereka tidak pernah bicara!
Mungkin bisu," celetuk salah seorang murid
yang tadi bertarung.
"Hm...," gumam Eyang Paladi pelahan. "Aku
ingin tahu, apa benar kalian bisu?"
Setelah bergumam demikian, Eyang Paladi
langsung melompat cepat bagaikan kilat. Namun
secepat laki-laki tua itu melompat, secepat itu
pula kedua orang itu melentingkan tubuhnya ke
atas, dan langsung melesat kabur dengan arah
yang berlawanan. Sejenak Eyang Paladi
kebingungan, namun dengan cepat melompat
mengejar salah seorang.
"Kejar yang seorang lagi!" seru Eyang Paladi
keras.
Lima orang murid utama orang tua itu
bergegas mengejar yang seorang, dan lima orang
lagi mengikuti Eyang Paladi. Sedangkan murid-
murid yang tadi bertarung, segera membereskan
mayat-mayat yang bergelimpangan. Saat itu
malam sudah demikian larut. Eyang Paladi
berhenti berlari pada persimpangan jalan yang
menuju ke tiga arah. Orang yang dikejarnya
menghilang di tempat ini.

"Huh!" dengus Eyang Paladi kesal.
Lima orang muridnya tiba dan segera
menghampiri. Mereka semua melayangkan
pandang, berusaha menembus kegelapan
malam. Tapi tak terlihat satu bayangan pun
berkelebat Lagi-lagi Eyang Paladi mendengus
kesal, karena buruannya lenyap begitoi saja
tanpa meninggalkan bekas sedikit pun.
"Kalian tetap mencari, aku menunggu di
padepokan," perintah Eyang Paladi.
"Baik, Eyang," sahut lima orang muridnya itu
seraya membungkuk memberi hormat.
Eyang Paladi melangkah cepat meninggalkan
lima orang muridnya. Tapi belum jauh
melangkah, datang tema orang yang mengejar ke
arah lain. Mereka melaporkan kalau buruannya
hilang. Eyang Paladi mendengus kesal.
"Kalian cari terus. Kalau ada perkembangan,
cepat laporkan padaku!" perintah Eyang Paladi.
Kelima orang muridnya itu menjura memberi
hormat, kemudian kembali mencari buruan yang
hilang begitu saja bagai hantu. Eyang Paladi
kembali melangkah cepat menuju
padepokannya. Dia singgah dulu di rumah
Paman Gering. Ada sedikit kelegaan karena
tidak satu pun keluarga Paman Gering yang
tewas. Hanya Paman Gering saja menderita luka
ringan di bahu kanannya. Tapi luka itu sudah
terbalut kain putih. Eyang Paladi kembali ke

padepokannya setelah memastikan semuanya
selamat. Hanya murid-muridnya saja yang jadi
korban malam ini. Dan itu berarti sudah lebih
dari separuh murid Padepokan Mega Kiting
yang tewas, setelah munculnya si pembunuh
misterius bertopeng muka babi!
Eyang Paladi tersentak kaget begitu baru saja
melangkah menaiki undakan beranda rumah
Padepokan Mega Kiting. Di ambang pintu
rumah utama padepokan itu sudah berdiri dua
anak muda. Yang seorang laki-laki, dan seorang
lagi perempuan berwajah cukup cantik. Mereka
adalah Pramana dan adiknya yang bernama
Rawuni. Eyang Paladi kembali melangkah
menatap undakan itu. Dihenyakkan tubuhnya di
kursi kayu berukir.
"Eyang kelihatan susah. Ada apa?" tegur
Rawuni.
"Tidak ada apa-apa," sahut Eyang Paladi
ringan.
"Aku tahu apa yang terjadi, Eyang," kata
Rawuni.
"Rawuni...!" sentak Pramana. Tapi ucapan
Rawuni sudah membuat Eyang Paladi menoleh
menatap kedua cucunya itu. Rawuni menatap
kakaknya tajam. Tidak sedikit pun ada rasa
gentar di hatinya melihat tatapan mata pemuda
itu.

"Apa yang kau ketahui, Rawuni?" tanya
Eyang Paladi.
"Eyang gelisah karena...."
"Rawuni!" sentak Pramana. "Jangan
mencampuri urusan Eyang Paladi."
"Kita berdua tahu, Kakang. Kenapa harus
menutupi?"
"Apa yang kalian ketahui?" tanya Eyang
Paladi mendesak.
'Tentang dua orang bertopeng muka babi,"
sahut Rawuni.
"Dari mana kalian tahu itu?" tanya Eyang
Paladi agak terkejut juga.
Baru kemarin kedua cucunya ini tinggal di
Padepokan Mega Kiting, tapi sudah mengetahui
persoalan yang terjadi. Padahal setahu Eyang
Paladi, mereka belum keluar dari padepokan,
walaupun hanya untuk jalan-jalan. Eyang Paladi
menatap kedua cucunya bergantian. Sedangkan
yang ditatap hanya menundukkan kepalanya
saja. Sesekali Pramana melirik adiknya. Sungguh
sangat disesali sikap Rawuni yang dianggap
berlaku lancang.
"Rawuni! Dari mana kau tahu tentang orang
bertopeng muka babi itu?" desak Eyang Paladi.
"Hanya dengar saja, Eyang. Semua murid
padepokan ini selalu membicarakan itu," sahut
Rawuni.

"Hhh...!" Eyang Paladi menarik napas
panjang.
"Hari sudah larut, Eyang. Sebaiknya tidur,
beristirahat," usul Pramana.
"Kalian tidurlah dulu. Aku masih menunggu
murid-muridku," tolak Eyang Paladi.
Pramana menggamit tangan adiknya, lalu
sama-sama melangkah masuk ke dalam.
Sementara Eyang Paladi tetap duduk di
kursinya, menunggu murid-muridnya yang
tengah mengejar dua orang bertopeng muka
babi.
Sementara Pramana menyeret Rawuni begitu
sampai di kamarnya, sehingga gadis itu hampir
jatuh. Pramana langsung menutup pintu
kamarnya. Di pandanginya Rawuni dalam-
dalam.
"Untuk apa kau katakan itu pada Eyang,
Rawuni?!" tajam nada suara Pramana.
"Toh alasanku kuat, Kakang. Eyang juga bisa
mempercayai alasanku," sahut Rawuni tidak
kalah tajamnya.
"Tapi untuk apa...?!"
"Untuk apa...?! Hhh...! Seharusnya kau bisa
menjawab sendiri, Kakang. Jangan berpikiran
picik," Rawuni tersenyum sinis.
Pramana menggaruk-garuk kepalanya yang
tidak gatal. Tubuhnya berbalik, kemudian

tangannya memukul dinding. Sebentar dia
berbalik lagi, lalu melangkah menghampiri
pembaringan. Dibanting tubuhnya di situ.
Sedangkan Rawuni hanya memandangi saja.
Pramana menatap jauh ke langit-langit
kamarnya.
"Aku tidak mengerti, apa yang kau pikirkan,
Rawuni. Tapi aku tidak bisa berkata apa-apa.
Hanya satu yang kuinginkan, jagalah
keselamatan diri kita masing-masing," kata
Pramana pelan.
"Kau mulai tidak mempercayaiku, Kakang."
"Bukannya tidak mempercayaimu. Tapi kau
harus ingat dan selalu harus ingat, Rawuni."
"Aku tidak pernah lupa, Kakang. Karena kita
berada di sini, adalah untuk meneruskan cita-
cita Ayah."
"Pergilah ke kamarmu," ujar Pramana seraya
memejamkan matanya.
Rawuni membalikkan tubuhnya, kemudian
melangkah mendekati pintu kamar ini. Tapi
belum juga gadis itu membuka pintu, Pramana
sudah memanggil lagi. Rawuni membalikkan
tubuhnya, tidak jadi membuka pintu kamar ini.
"Ada apa lagi?" tanya Rawuni.
"Kau sudah tahu orang yang
menggantungku?" tanya Pramana seraya
memiringkan tubuhnya.

"Aku heran, mengapa kau bisa digantung
seperti itu?"
Pramana memang sudah menceritakan
peristiwa pahit di hutan pada adiknya, ketika
akan menjemput Rawuni yang ingin juga tinggal
di pesanggrahan ini Pemuda itu jadi penasaran,
karena belum dapat mengetahui orang itu
sampai sekarang. Demikian pula orang yang
sudah menolong membebaskannya. Tapi
Pramana kesal, karena orang itu malah
mengejeknya. Bahkan menganggapnya seekor
monyet yang terperangkap. Baginya, jelas itu
suatu penghinaan yang harus dibalas dengan
penggalan kepala. Tapi karena orang itu telah
menolongnya, maka diurungkan niatnya untuk
memenggal kepalanya.
"Jangan mengejekku, Rawuni. Si keparat itu
licik! Curang! Menggunakan jebakan!" rungut
Pramana menggerutu.
Rawuni mengangkat bahunya. Semuanya
memang sudah diketahui dari cerita Pramana
sendiri.
"Kau sudah tahu siapa orang itu, Rawuni?"
tanya Pramana lagi.
"Belum. Tapi orang yang menolongmu
bernama Bayu, atau dikenal sebagai Pendekar
Pulau Neraka," sahut Rawuni.
"Pendekar Pulau Neraka...," gumam Pramana
seraya menelentangkan tubuhnya kembali.

"Aku tahu hal itu dari salah seorang murid
utama Padepokan Mega Kiting ini. Dari ciri-ciri
yang kau katakan, dia bisa mengenalinya," kata
Rawuni lagi.
"Dia pernah bertemu?"
"Belum. Tapi katanya nama Pendekar Pulau
Neraka sudah demikian terkenal. Pendekar
muda yang tangguh, dan sukar dicari
tandingannya. Tapi sampai sekarang ini dia
belum bisa dimasukkan dalam golongan mana
pun. Tindakannya masih belum teratur. Yaaah...,
termasuk kita juga. Aku sendiri belum yakin
ke...."
"Rawuni...!" sentak Pramana kembali
menggelimpang memandang adiknya.
"Maaf," ucap Rawuni cepat-cepat.
"Kau harus membiasakan diri untuk
menyimpan rahasia, Rawuni."
"Aku minta maaf, Kakang. Kadang-kadang
sukar sekali untuk mengunci mulut..."
"Seperti yang kau lakukan pada Eyang Paladi
tadi!" rungut Pramana.
Rawuni hanya diam saja.
"Kembalilah ke kamarmu. Tidak enak kalau
ada yang tahu kau ada di sini, meskipun kau
adikku sendiri," ujar Pramana.
Rawuni mengangkat bahunya, kemudian
berbalik dan membuka pintu.

"Rawuni, cari keterangan tentang orang itu,"
kata Pramana tanpa membalik sedikit pun.
"Jangan khawatir, Kakang. Paling lambat lusa
sudah bisa mengetahuinya," sahut Rawuni
langsung melangkah keluar dan menutup
kembali pintu kamar itu.
"Kau memang adikku yang baik, Rawuni,"
desah Pramana bergumam. "Tidak seharusnya
aku menyeretmu dalam persoalan ini. Kau
terlalu baik, polos, dan lugu."
Pramana menarik napas panjang-panjang,
dan menghembuskannya kuat-kuat Tubuhnya
tetap berbaring, tapi matanya menerawang jauh
menembus langit-langit kamar ini. Sementara
malam terus merayap semakin jauh. Terdengar
suara percakapan di depan. Begitu pelan dan
sulit didengar. Tapi Pramana bisa mengenali
suara Eyang Paladi. Hanya saja orang yang
diajak bicara sulit untuk dikenali suaranya.
"Heh...! Aku seperti mengenal suara itu?"
Pramana tersentak bangkit dari pembaringan.
Tiba-tiba saja bisa dikenali suara itu, tapi
sukar untuk mengingatnya. Kapan dan di mana
pernah mendengarnya. Terlalu pelan dan samar-
samar. Pramana berusaha menajamkan
telinganya, tapi percakapan itu sudah tidak
terdengar lagi. Sunyi...! Pramana kembali
menghenyakkan tubuhnya, berbaring menatap
langit-langit kamar.

"Hmmm..., siapa yang bicara dengan Eyang
Paladi? Sepertinya pernah kukenal suaranya...,"
gumam Pramana dalam hati. "Siapa, ya...?"
***
Pagi-pagi sekali Pramana sudah menemui
Eyang Paladi di balai latihan yang berada di
samping kanan rumah utama Padepokan Mega
Kiting ini. Eyang Paladi yang sedang melatih
tenaga dalam, agak terkejut juga melihat
kedatangan cucunya pagi-pagi begini
Dihentikan latihannya, lalu duduk bersila di
lantai bangsal latihan ini.
"Duduk, Pramana," ujar Eyang Paladi.
Pramana menjura memberi hormat,
kemudian duduk bersila di depan laki-laki
pemimpin Padepokan Mega Kiting ini.
'Tidak biasanya pagi-pagi begini sudah
bangun. Ada yang ingin kau bicarakan
denganku, Pramana?" Eyang Paladi langsung
menuju pada pokok persoalannya.
"Benar," sahut Pramana singkat.
"Katakan saja. Di tempat ini tidak ada
rahasia."
"Semalam aku mendengar ada tamu. Siapa
dia, Eyang?" Pramana langsung saja pada pokok
pembicaraannya.

"Kau mencuri dengar pembicaraanku,
Pramana?" agak terkejut juga Eyang Paladi
mendengar pertanyaan cucunya ini.
'Tidak begitu jelas. Tapi aku seperti pernah
mendengar suara tamu itu. Yang jelas, bukan
suara murid-murid di sini, Eyang," Pramana
berhenti sebentar. "Bukan maksudku untuk usil,
Eyang. Tapi aku seperti pernah mengenalnya.
Barangkali saja bisa mengenal lebih jauh. Atau
mungkin malah temanku sendiri."
"Dia Bayu, lebih dikenal berjuluk Pendekar
Pulau Neraka. Sengaja kuundang ke sini untuk
meminta bantuan mengatasi manusia bertopeng
muka babi. Desa ini sudah seperti neraka,
Pramana. Lebih dari separuh muridku tewas,
dan semua penduduk semakin dicekam
ketakutan. Terlebih lagi para kerabat keluarga
pendiri padepokan ini."
"Bayu...," desis Pramana menggumamkan
nama Pendekar Pulau Neraka.
Baru semalam Rawuni menyebut nama itu.
Nama dari seseorang yang pernah menolongnya
dari jeratan jaring jebakan di dalam hutan.
Ternyata orang itu memang pendekar tangguh.
Tidak mungkin Eyang Paladi meminta
bantuannya kalau tidak memiliki kemampuan
yang sangat tinggi. Dan yang pasti, persoalan
yang dihadapi sudah tidak mampu lagi
ditanganinya sendiri.

"Kau kenal dengannya, Pramana?" tegur
Eyang Paladi.
"Sekali pernah bertemu," sahut Pramana.
"Kalau ingin menemuinya, dia ada di bangsal
belakang. Mungkin masih tidur," kata Eyang
Paladi lagi.
"Nanti saja, Eyang. Aku ingin jalan-jalan
dulu, melihat-lihat suasana di desa," tolak
Pramana halus.
"Hati-hatilah. Kalau perlu, bawa beberapa
orang muridku."
'Terima kasih, Eyang. Aku bisa jaga diri."
"Aku percaya padamu, Pramana. Tapi aku
tidak ingin melibatkan dirimu dan adikmu
dalam kemelut ini."
"Mudah-mudahan tidak," sahut Pramana
seraya bangkit berdiri.
Pramana menjura memberi hormat,
kemudian berbalik melangkah keluar dari
bangsal latihan ini. Sementara Eyang Paladi
kembali melanjutkan latihannya. Tapi belum
juga jauh berlatih, muncul seorang pemuda
berbaju dari kulit harimau. Pemuda itu
membungkukkan tubuhnya sedikit dan duduk
di depan Eyang Paladi.
"Aku lihat ada yang baru keluar dari sini,"
kata pemuda itu.
"Cucuku, Bayu," sahut Eyang Paladi.

"Hmmm...," pemuda berbaju kulit harimau
yang memang tidak lain adalah Bayu si
Pendekar Pulau Neraka itu hanya bergumam
kecil.
"Ada apa? Kau pernah bertemu dengannya?"
tanya Eyang Paladi melihat raut wajah Pendekar
Pulau Neraka agak berubah.
"Sekali. Tapi rasanya tidak penting," sahut
Bayu.
"Kalau begitu, ada apa kau ke sini
menemuiku pagi-pagi begini?"
"Hanya ingin lebih jelas lagi, Eyang," sahut
Bayu.
"Ya.... Semua memang harus dijelaskan dari
awal kepadamu, meskipun aku yakin kau sudah
menyelidiki terlebih dahulu sebelum
menemuiku semalam. Tapi aku sungguh
berterima kasih karena kau bersedia
membantuku. Juga membantu mengeluarkan
penduduk desa ini dari kobaran api neraka,"
kata Eyang Paladi.
Bayu hanya tersenyum saja.
***

LIMA

Dua buah bayangan terlihat berkelebat cepat
dan menyelinap ke tiap rumah-rumah penduduk
Desa Kiting, lalu berhenti di belakang sebuah
rumah yang tidak begitu besar. Mereka saling
bertatapan sebentar, lalu salah seorang
melangkah pelahan mendekati pintu belakang
yang sedikit terbuka. Pelahan sekali tangannya
mendorong pintu itu. Suara berderik terdengar
dari pintu yang terkuak pelahan.
"Siapa itu...?" terdengar suara dari dalam.
Tak ada sahutan sedikit pun. Orang berbaju
serba gelap yang wajahnya tertutup topeng
muka babi itu mengibaskan tangannya cepat,
ketika tiba-tiba dari bagian dalam rumah ini
muncul seseorang. Secercah cahaya melesat
cepat bagai kilat ke arah orang yang baru
muncul itu.
"Akh...!" terdengar suara pekikan tertahan.
Seketika itu juga sesosok tubuh terjungkal
dengan dada berlubang. Ternyata itu adalah
sosok tubuh wanita setengah baya, yang
kemudian langsung tewas seketika. Dari
dadanya mengalir darah segar.
"Ibu...!" terdengar jeritan melengking.
"Hih!"

Orang berbaju gelap yang wajahnya tertutup
topeng itu kembali mengibaskan tangannya.
Secercah cahaya kembali berkelebat cepat
Cahaya itu terpancar dari sebilah pisau kecil
yang tipis. Tapi orang yang menghambur ke
arah mayat wanita setengah baya itu cepat
menjatuhkan diri, sehingga pisau kecil itu lewat
di atas tubuhnya.
Namun pisau kecil itu terus meluruk dan
menancap dalam di dada seorang anak berusia
sekitar delapan tahun yang baru saja terbangun
dari dipan. Anak itu menjerit keras, dan
langsung ambruk tidak bangun-bangun lagi.
Orang berbaju gelap yang wajahnya tertutup
topeng itu, melompat cepat Langsung
dihantamkan satu pukulan keras bertenaga
dalam tinggi pada orang-orang yang baru
terbangun. Kembali dua jeritan melengking
terdengar, disusul tergeletaknya dua sosok
tubuh. Yang seorang masih kecil, sedangkan
seorang lagi sudah menginjak remaja. Orang itu
berbalik, kemudian menatap seorang wanita
muda berusia sekitar delapan belas tahun yang
tergeletak pingsan di samping mayat wanita
setengah baya. Dia sudah mengangkat
tangannya hendak melontarkan satu pukulan,
tapi....
"Tahan!"

Bersamaan dengan terdengarnya suara
cegahan, muncul seorang berbaju gelap dan
wajahnya ditutupi topeng yang sama persis
dengan orang yang sudah menewaskan empat
orang dalam waktu singkat.
"Kita membutuhkan keterangannya. Biarkan
dia hidup untuk beberapa saat saja," kata orang
yang baru datang.
"Hmmrn.., baiklah."
Orang yang baru masuk tadi segera
mengangkat tubuh wanita muda yang tergeletak
pingsan, kemudian cepat sekali melompat
keluar, diikuti yang seorang lagi. Kesunyian
kembali menyelimuti seluruh rumah itu. Orang
bertopeng yang melompat belakangan, sempat
menyambar pelita dan melemparkannya ke
dalam rumah. Suara letupan kecil terdengar,
kemudian api kontan berkobar besar melahap isi
rumah itu. Lidah api terus menjilat dinding yang
terbuat dari belahan papan.
"Kebakaran...! Kebakaran...!"
Tidak berapa lama kemudian terdengar
teriakan-teriakan ribut, kemudian terdengar
kentongan bambu dipukul bertalu-talu. Sebentar
saja di sekitar rumah itu sudah banyak orang.
Tanpa ada yang memerintah, mereka berusaha
memadamkan api yang semakin mengganas
dengan menggunakan peralatan apa saja.

Beberapa orang bersenjata golok di pinggang,
menerobos masuk ke dalam. Mereka keluar lagi
sambil membawa tubuh-tubuh tak bernyawa
lagi.
***
Jauh di suatu tempat di luar perbatasan Desa
Kiting sebelah Timur, tampak dua orang
berpakaian serba gelap tengah berdiri tegak
memandangi gadis muda yang tergolek pingsan.
Kedua orang bertopeng muka babi itu saling
berpandangan.
"Sebaiknya kau kembali. Jangan sampai ada
yang mencurigakan," usul salah seorang.
"Kalau ada yang menanyakanmu?"
"Bilang saja aku sedang berlatih di bukit.
Katakan, kalau itu kebiasaanku! Selalu berlatih
di tengah malam buta."
"Baiklah, aku pergi dulu. Tapi jangan terlalu
lama di sini. Tempatnya tidak aman, sewaktu-
waktu mereka bisa datang."
"Jangan khawatir. Justru kaulah yang harus
dicemaskan."
"Sudahlah! Aku pergi dulu."
"Cepat! Sebelum ada yang menyadari."
"Baik."

Salah satu dari orang bertopeng muka babi
itu segera melesat pergi. Begitu cepatnya
melesat, sehingga dalam sekejap saja bayangan
tubuhnya telah lenyap dari pandangan.
Sementara orang bertopeng yang satu lagi,
duduk bersila di samping tubuh gadis yang
belum juga sadarkan diri. Jari-jari tangan orang
bertopeng itu bergerak lincah di beberapa bagian
tubuh gadis itu, kemudian ditunggunya dengan
sabar sambil berdiam diri.
Tidak lama berselang, gadis itu mulai siuman.
Dia merintih lirih. Kepalanya bergerak
menggeleng kanan dan ke kiri. Pelahan-lahan
sekali dibuka kelopak matanya. Gadis itu kontan
menjerit begitu melihat wajah persis seekor babi
berada di dekatnya. Dia berusaha
menggelinjang, tapi seluruh tubuhnya sukar
digerakkan.
"Jangan takut! Aku tidak akan melukaimu
kalau kau bersedia menjawab terus terang
beberapa pertanyaanku," tegas orang bertopeng
muka babi itu.
"Siapa kau?" agak bergetar suara gadis yang
ternyata adalah Parti, putri sulung Dalaga.
"Sebut saja aku sesuka hatimu. Aku tidak
punya nama," sahut orang bertopeng itu.
"Kau.... Kau yang membunuh keluargaku!
Kau kejam...! Pembunuh...!" Parti berusaha

melepaskan totokan orang itu, tapi sungguh kuat
totokan itu.
Parti memang pernah belajar ilmu olah
kanuragan dari ayahnya. Meskipun tidak begitu
tinggi, tapi pengerahan hawa murni dan tenaga
dalam terus dilatihnya setiap hari.
"Makilah sepuasmu, Manis. Toh sebentar lagi
kau akan menyusul yang lain ke neraka," ujar
orang bertopeng itu kalem.
Parti terdiam membisu. Bola matanya
menatap tajam, lurus ke bola mata yang cukup
tersembunyi di balik topeng bermuka babi itu.
Pelahan-lahan rasa takutnya mulai hilang.
Timbul kebencian dan dendam karena
mengenali orang bertopeng inilah yang
membunuh ayahnya. Bahkan malam tadi baru
menewaskan semua adik dan ibunya.
"Apa yang kau ingin ketahui dariku?" tanya
Parfi mencoba mengalah. Disadari kalau
kondisinya saat ini tidak memungkinkan untuk
berdebat dan berkeras kepala.
"Katakan, di mana Jruda berada?" tanya
orang bertopeng itu.
"Aku tidak tahu," sahut Parfi.
"Jangan coba-coba berdusta! Aku tahu kau
ponakan Jruda. Di mana dia sekarang?!" bentak
orang itu mulai gusar.
"Aku tidak tahu!" sahut Parti.

"Rupanya kau keras kepala juga, Manis.
Baiklah. Mungkin bisa mengaku dengan caraku
ini."
"Heh...! Apa yang kau lakukan?!"
Bret!
"Au...!" Parti terpekik kaget
Kasar sekali orang bertopeng itu merenggut
baju bagian dada Parti, sehingga koyak. Dada
yang membusung indah itu terbuka lebar tanpa
penutup lagi. Wajah gadis itu jadi pucat pasi. Dia
berusaha melepaskan totokan di tubuhnya. Tapi,
tetap saja tidak berhasil meskipun sudah
mengerahkan hawa murni di dalam tubuhnya.
Dengan tenaga dalam pun tidak kunjung
berhasil juga.
"Jangan...!" pekik Parti.
"Katakan, di mana pamanmu berada?" dingin
nada suara orang bertopeng itu.
"Aku tidak tahu.... Aku mohon, lepaskan
aku...," Parti mulai merintih memohon belas
kasihan.
Bret!
"Auwh...!" kembali Parfi memekik tertahan.
Tubuh gadis itu semakin lebar terbuka. Air
mata mulai berlinang membasahi pipinya yang
ranum. Hampir seluruh tubuh Parti terbuka,
sehingga menampakkan lekuk-lekuk tubuhnya
yang indah terbungkus kulit putih mulus tanpa

cacat. Hanya bagian pinggul ke bawah saja yang
masih tertutup. Tapi sepasang paha yang gempal
sudah mencuat keluar.
"Aku tidak main-main, Manis. Tubuhmu
menggairahkan sekali. Katakan, di mana
pamanmu sekarang berada!"
"Tidak..., jangan lakukan itu...," rintih Parti,
semakin deras air matanya mengalir.
Jari-jari tangan orang bertopeng itu mulai
bermain-main di tubuh yang berkulit putih
mulus itu. Sementara Parti merintih memohon
belas kasihan. Tapi rintihannya malah membuat
orang bertopeng itu semakin liar. Direnggutnya
kain yang menutupi bagian pinggul ke bawah.
Kembali Parti memekik dan menangis, merintih
memohon agar orang itu melepaskannya.
"Ah...," orang itu mendesah.
Tampak bola mata yang terlindung di balik
topeng itu berkilat menjilati tubuh yang terbuka
tanpa penutup lagi. Tangannya semakin liar
merayapi lekuk-lekuk tubuh yang menggiurkan
itu. Parti memejamkan matanya ketika jari
tangan orang itu menyentuh bagian paling
berharga pada tubuhnya.
"Jangan lakukan itu.... Aku mohon jangan,"
rintih Parti.
"Terlambat Manis," desah orang itu.

Keputusasaan sudah menghinggapi hati
gadis yang sudah tidak berdaya lagi itu.
Tubuhnya tertotok, sukar untuk digerakkan.
Sedangkan orang bertopeng itu semakin liar saja
menggerayanginya. Air mata semakin deras
mengalir. Dan Parti tidak sanggup lagi
membuka matanya, seakan-akan sudah pasrah
dengan apa yang akan terjadi pada dirinya.
"Akh...!" tiba-tiba saja orang bertopeng itu
memekik keras tertahan.
Entah bagaimana kejadiannya, tahu-tahu
tubuh orang bertopeng itu terpental, langsung
menghantam sebatang pohon hingga tumbang.
Parti membuka matanya, dan langsung
mendelik begitu melihat seorang pemuda
berbaju kulit harimau tahu-tahu sudah berdiri di
dekatnya. Pemuda itu memungut kain yang
teronggok di tanah, lalu menutupi tubuh gadis
itu. Dibukanya totokan jalan darah di tubuh
Parti, sehingga gadis itu bisa bergerak kembali.
Bergegas Parfi bangkit, dan cepat melilitkan kain
itu ke tubuhnya.
Sementara itu orang bertopeng muka babi
segera melompat bangkit berdiri. Dia
menggeram keras. Sepasang bola matanya
memerah menatap tajam pemuda berbaju kulit
harimau itu.
"Iblis keparat..!" geram orang bertopeng itu.

"Kurasa kaulah iblis itu," dingin nada suara
pemuda berbaju kulit harimau.
"Phuih! Mampus kau! Hiyaaat..!"
Pemuda berbaju kulit harimau yang memang
adalah Pendekar Pulau Neraka itu menggeser
kakinya sedikit ke samping begitu orang
bertopeng itu melompat menerjang. Dan saat
pukulan orang bertopeng muka babi luput,
Pendekar Pulau Neraka mengibaskan tangannya
ke depan, langsung menghantam perut
lawannya dengan keras.
"Hugh!" orang itu mengeluh pendek.
Tubuhnya sedikit membungkuk.
Selagi tubuhnya terbungkuk, Pendekar Pulau
Neraka melayangkan satu pukulan ke wajahnya.
Orang bertopeng muka babi itu memekik
tertahan. Kepalanya terdongak ke atas.
Topengnya pun terlepas, mental ke udara.
"Keparat kau, Bayu!" geram orang itu.
Dan selagi Pendekar Pulau Neraka agak
terpana, orang itu melesat cepat melarikan diri.
Memang, tidak sempat lagi untuk dikejar, karena
bayangan orang itu lenyap seketika. Bayu
memungut topeng muka babi yang tergeletak di
tanah. Sebentar dipandangi benda yang selama
ini menjadi momok menakutkan seluruh
penduduk Desa Kiting. Bayu membalikkan
tubuhnya, menghadap Parti yang berdiri saja

dengan tubuh yany sudah terbungkus selembar
kain.
"Kau tidak apa-apa?" tanya Bayu seraya
melangkah mendekati gadis itu.
"Tidak. Tidak apa-apa, terima kasih," sahut
Parti.
"Aku Bayu," Pendekar Pulau Neraka
memperkenalkan diri.
"Parti," gadis itu juga memperkenalkan diri.
"Sebaiknya kau cepat pulang. Di mana
rumahmu? Mari kuantar kau pulang," kata Bayu
lagi.
"Aku dari Desa Kiting. Rasanya tidak jauh
dari sini."
"Aku tahu desa itu."
Parti mengayunkan kakinya pelahan-lahan.
Dan Pendekar Pulau Neraka juga berjalan di
samping gadis itu. Tangannya menenteng
topeng berbentuk wajah babi berwarna biru tua,
hampir kehitaman. Mereka berjalan tanpa
berkata-kata lagi. Terlebih lagi Parti. Gadis itu
masih dihinggapi berbagai macam perasaan
setelah terlepas dari cengkeraman orang
bertopeng muka babi. Sedangkan Bayu sendiri
belum ingin banyak tanya. Bisa dipahami
kebisuan gadis di sebelahnya.
***

Bayu melemparkan topeng berbentuk muka
babi ke depan Jruda. Laki-laki berbaju putih
yang sudah kumal itu terkejut. Dipungutnya
topeng itu, lalu dipandanginya beberapa saat
Kemudian diangkat kepalanya, langsung
menatap Pendekar Pulau Neraka yang berdiri
saja di depannya.
"Dari mana kau dapatkan ini, Bayu?" tanya
Jruda.
"Yang punya," sahut Bayu kalem.
"Kau bertemu si topeng keparat itu...?!" Jruda
terhenyak setengah tidak percaya.
"Ya, Tapi dia sempat kabur. Hanya benda ini
yang tertinggal," sahut Baya
"Bayu, kau lihat wajahnya?" tanya Jruda lagi.
Bayu hanya menggeleng-gelengkan
kepalanya. Malam itu memang gelap sekali.
Apalagi orang bertopeng itu sangat cepat
gerakannya. Sukar untuk melihat wajah orang
itu yang sesungguhnya.
Jruda juga terdiam. Entah apa yang ada
dalam pikirannya saat ini. Kembali dipandangi
topeng berbentuk muka babi di tangannya.
Manusia bertopeng inilah yang membuat petaka
bagi seluruh penduduk Desa Kiting. Terutama
pada keluarga dan sanak saudaranya. Entah
sudah berapa nyawa melayang. Jruda

mengangkat kepalanya menatap Pendekar Pulau
Neraka. Sejak pertemuan pertama kali, mereka
memang selalu berhubungan. Terlebih lagi saat
ini, Bayu memang diminta Eyang Paladi untuk
menangkap manusia bertopeng yang telah
menjadikan Desa Kiting bagai neraka.
Sedangkan Jruda sendiri sudah menceritakan
semuanya.
"Bayu! Kau diminta Eyang Paladi untuk
mencari manusia bertopeng muka babi ini.
Tentunya Eyang Paladi memerintahkanmu
untuk menangkapku...," kata Jruda pelan
suaranya.
'Tidak. Sedikit pun Eyang Paladi tidak
menyebut-nyebut namamu," sahut Bayu.
"Lucu...!"
"Kenapa?"
"Justru Eyang Paladi yang mencurigaiku.
Bahkan juga mengusirku dari Desa kiting.
Memang tidak secara kasar, tapi sudah
membuatku sakit."
"Kulihat Eyang Paladi adalah orang yang
bijaksana. Aku yakin dia punya maksud
tersendiri, sehingga memintamu meninggalkan
desa itu untuk sementara," Bayu mencoba
menengahi.
"Aku kenal Eyang Paladi sejak aku masih
kecil dulu. Puluhan tahun aku mengenalnya.
Sedangkan kau baru beberapa hari saja. Aku

tahu persis siapa dia, Bayu...," ada sedikit
tekanan pada nada suara Jruda.
Bayu mengerutkan keningnya. Dirasakan
tekanan suara Jruda tadi bernada kecewa. Ada
sesuatu yang tertahan di dalam hatinya. Dan
Pendekar Pulau Neraka bisa merasakannya,
walaupun belum tahu maknanya. Yang jelas,
Bayu merasakan peristiwa yang terjadi di Desa
Kiting ini bagai lingkaran rantai setan. Saling
berkait, dan tidak mudah dipisah-pisahkan.
Sukar dicari penyelesaiannya.
Saat Pendekar Pulau Neraka disibukkan oleh
pikirannya, Jruda mengeluarkan sebuah rantai
berwarna merah menyala. Rantai itu saling
bertaut, sehingga membentuk lingkaran yang
menyatu. Cincin-cincin rantai itu berjumlah
sepuluh buah. Jruda meletakkan rantai itu di
tanah, tepat di depan Pendekar Pulau Neraka.
"Keparat itu selalu meninggalkan benda ini
pada korban-korbannya," kata Jruda.
Bayu hanya melirik sedikit pada benda yang
pernah dilihatnya dari Eyang Paladi. Laki-laki
tua pemimpin Padepokan Mega Kiting juga
menyimpannya. Bahkan sudah menceritakan hal
itu dengan jelas kepada Pendekar Pulau Neraka.
"Berhari-hari aku mencoba memecahkan arti
rantai itu," sambung Jruda lagi.
"Sudah diperoleh pemecahannya?" tanya
Bayu ingin tahu.

"Belum," sahut Jruda.
"O..."
'Tapi aku sedikit memahami maksudnya."
"Apa?"
"Jumlah rantai yang sepuluh. Itu pertanda
jumlah keluargaku. Sampai sekarang ini sudah
tujuh orang yang tewas. Dan yang telah
kudengar, dua orang sudah meninggalkan Desa
Kiting. Aku sendiri tidak tahu kapan dan ke
mana perginya. Yang kuketahui, mereka pergi
waktu malam," jelas Jruda.
"Sepuluh.... Tujuh tewas, dua pergi...,"
gumam Bayu pelan. "Itu berarti tinggal kau
sendiri yang masih ada di sekitar desa ini,
"sambung Bayu.
"Benar," sahut Jruda.
Bayu mengangguk-anggukkan kepalanya
"Semua korban adalah sanak saudaraku,
Bayu. Memang ada beberapa penduduk dan
murid Padepokan Mega Kiting yang menjadi
korban. Tapi itu bukan tujuannya karena
beberapa penduduk dan murid Padepokan
Mega Kiting memergoki dan berusaha
menangkapnya. Yang sebenarnya diincar orang
bertopeng muka babi itu hanyalah keluarga dan
sanak saudaraku. Hhh...! Aku sendiri masih
belum mengerti, untuk apa dia membantai habis
semua saudaraku...?" ada sedikit keluhan pada
nada suara Jruda.

Bayu terdiam. Keluhan Jruda membuat
benaknya bekerja keras. Memang satu hal yang
tidak mungkin, jika seseorang membunuh tanpa
alasan yang jelas. Bayu jadi teringat gadis yang
ditolongnya dari cengkeraman napsu iblis orang
misterius itu. Tidak banyak yang diceritakan
gadis itu, dan nampaknya Parti tidak tahu
banyak tentang peristiwa yang sedang terjadi di
Desa Kiting. Tapi gadis itu sempat mengatakan
kalau semua keluarganya tewas. Sedangkan
masih ada satu yang hidup, tapi entah di mana.
"Jruda, apakah ada keluargamu yang
bernama Parti?" tanya Bayu.
"Oh! Di mana kau bertemu dengannya?"
Jruda tersentak kaget.
"Semalam, di hutan di kaki bukit ini. Dia
nyaris diperkosa. Ibu dan adik-adiknya tewas
semalam.'
"Biadab keparat...!" desis Jruda menggeram.
"Dia sudah tenang di rumahnya. Ada Eyang
Paladi yang menjaga," lanjut Bayu.
"Aku harus menemuinya. Hanya dia yang
masih bisa selamat. Keluargaku tidak boleh
musnah. Harus ada yang hidup!" tegas kata-kata
Jruda.
"Bagaimana kau akan menemuinya? Kau
sendiri mengatakan kalau tidak akan kembali

lagi ke desa itu sebelum orang bertopeng muka
babi itu lenyap."
"Bayu! Bisakah kau membawa Parti ke sini?
Aku mohon, Bayu. Bukannya takut tapi aku
masih menghormati Eyang Paladi. Aku tidak
ingin kembali sebelum manusia keparat itu
lenyap dari muka bumi."
'Tidak terlalu sulit."
"Terima kasih, Bayu."
Pendekar Pulau Neraka hanya tersenyum saja.
***

ENAM

Malam telah demikian larut. Sengaja Bayu
berada di rumah Parti. Gadis itu tampak lelap
tertidur di pembaringan. Bayu keluar dari kamar
itu, dan langsung menuju ke belakang. Bagaikan
seekor burung, Pendekar Pulau Neraka itu
melesat naik ke atas atap. Dan pada saat itu,
terlihat dua bayangan berkelebat masuk ke
dalam rumah.
"Aaa...!" tiba-tiba terdengar jeritan dari dalam
rumah.
"Hup!" Bayu langsung melompat turun.
Tepat ketika kakinya menjejak tanah, sebuah
bayangan gelap berkelebat menerjangnya.
Pendekar Pulau Neraka itu membanting tubuh
ke tanah, lalu dengan cepat melompat masuk
menerjang jendela. Tampak di dalam kamar,
Parti tengah berusaha memberontak dari seretan
seseorang yang berbaju gelap dan seluruh kepala
tertutup kain hitam.
"Hiaaat...!"
Bayu kontan melompat, dan menghantamkan
tendangan ke punggung orang itu. Orang
berbaju gelap itu terjungkal keras menabrak
dinding hingga jebol. Cekalannya pada tangan

Parti terlepas. Bayu bergegas membangunkan
gadis yang telah menangis sesenggukan.
"Kau diam di sini, jangan ke mana-mana,"
kata Bayu memperingatkan. Parti hanya
mengangguk saja.
"Hup!"
Bagai kilat, Pendekar Pulau Neraka itu
melesat keluar. Tapi belum juga kakinya
menjejak tanah, sudah disambut oleh dua orang
berpakaian gelap. Jelas terlihat yang seorang
mengenakan topeng berbentuk wajah babi.
Sedangkan seorang lagi hanya mengenakan
selubung kain berwarna biru gelap. Bayu
melentingkan tubuhnya ke atas, melewati dua
kepala itu. Dengan manis kakinya mendarat di
tanah. Langsung diputar tubuhnya sambil
dilayangkan satu tendangan berputar
menyamping.
Dug! Bug!
Dua tubuh hitam berwajah tidak jelas,
terpental tersapu tendangan yang keras
bertenaga dalam tinggi. Pekikan-pekikan
tertahan terdengar. Dua orang itu jatuh
bergelimpangan di tanah. Bayu kembali
melompat dan segera mengirimkan beberapa
pukulan keras bertenaga dalam sangat tinggi.
Bahkan bisa dikatakan mencapai taraf
kesempurnaan. Tapi dua orang bertopeng itu
masih mampu berkelit cepat.

Pukulan Pendekar Pulau Neraka
menghantam tanah, hingga terbongkar
membentuk lubang yang cukup dalam dan
besar. Pendekar Pulau Neraka segera berbalik.
Dimiringkan tubuhnya sedikit agak
membungkuk, lalu dengan cepat tangan
kanannya dikebutkan.
"Hiyaaa...!"
Wut!
Secercah cahaya keperakan melesat cepat dari
pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka.
Cahaya keperakan yang berasal dari senjata
Cakra Maut itu segera melesat cepat bagai kilat
menyambar tubuh orang yang mengenakan
selubung kain.
"Awas...!" terdengar seruan peringatan.
"Hap...!"
Orang berselubung kain itu cepat
membanting diri ke tanah, tapi ujung Cakra
Maut masih sempat merobek bahu kanannya.
Terdengar pekikan tertahan, dan orang itu
bergelimpangan, kemudian cepat-cepat bangkit
berdiri. Sedangkan yang seorang lagi melompat
cepat, menyambar tubuh temannya. Seperti kilat,
mereka melesat kabur demikian cepat. Bayu
tidak sempat lagi mengejar. Dihentakkan tangan
kanannya ke atas, maka Cakra Maut kembali
menempel di pergelangan tangan kanannya.

Bayu bergegas masuk ke dalam rumah,
langsung menuju kamar Parti. Gadis itu masih
menangis, duduk di tepi pembaringan. Pendekar
berbaju kulit harimau itu menghampiri dan
duduk di samping gadis itu. Direngkuhnya bahu
Parti dan dibiarkan gadis itu menangis dalam
pelukannya.
"Mereka sudah pergi. Kau tidak apa-apa,
Parti?" lembut suara Bayu.
Parti masih sulit menjawab, tapi kepalanya
mengangguk. Diangkat wajahnya dan
ditatapnya pemuda yang masih merengkuhnya
dalam pelukan. Pelahan gadis itu melepaskan
pelukan Bayu, dan menyusut air mata dengan
ujung bajunya.
"Mereka pasti datang lagi, Kakang," ujar Parti
di sela isak tangisnya.
"Bukan malam ini," sahut Bayu.
"Kakang...," terputus suara gadis itu.
"Apa yang ingin kau katakan? Katakanlah,"
pinta Bayu tetap lembut suaranya.
"Jangan tinggalkan aku, Kakang. Aku takut
sendirian."
"Kau tidak sendirian, karena masih ada
pamanmu. Dia menunggumu, Parti," jelas Bayu.
"Paman Jruda...?" tebak Parti langsung.
"Benar."
"Paman Jruda masih hidup?" 'Tentu saja."
"Oh..., di mana sekarang?"

Kesedihan Parti langsung hilang seketika itu
juga. Seberkas cahaya harapan muncul dalam
sinar matanya, kala mendengar pamannya masih
hidup. Semula disangka kalau tinggal dirinya
yang tersisa. Semua sanak saudaranya sudah
tewas terbantai dua orang bertopeng muka babi.
Parti benar-benar gembira saat ini.
"Berkemaslah. Sekarang juga kau akan
kubawa ke sana," kata Bayu seraya bangkit
berdiri.
"Baik, sebentar."
Gadis itu bergegas membereskan beberapa
potong pakaian, kemudian membungkusnya
dengan selembar kain yang sudah lusuh,
sehingga bisa dijinjing. Tidak seberapa berat.
Hanya buntalan baju saja yang dapat dibawa,
ditambah sedikit bekal peninggalan orang
tuanya. Bayu melangkah keluar, diikuti gadis
itu.
"Maaf, aku harus menggendongmu," kata
Bayu setelah berada di depan pintu rumah ini.
"Eh!" Parti terkejut.
Tapi belum sempat gadis itu berkata sesuatu,
Pendekar Pulau Neraka sudah menyambar
tubuhnya, langsung melesat cepat menembus
kegelapan malam. Sekejap saja bayangan tubuh
mereka lenyap tanpa bekas.
***

Suara ketukan pintu terdengar berulang-
ulang. Eyang Paladi menunggu di depan pintu
yang tertutup rapat. Kembali tangannya
mengetuk pintu. Tidak lama kemudian
terdengar ayunan kaki terseret mendekati pintu,
maka pintu itu pun terbuka. Dari dalam muncul
seraut wajah cantik berambut panjang terkepang
me-nyampir ke bahu. Gadis itu membuka pintu
lebar-lebar.
"Kenapa kakakmu, Rawuni?" tanya Eyang
Paladi begitu melihat luka di bahu Pramana.
"Oh..., eh," Rawuni tergagap.
"Jatuh dari kuda, Eyang," buru-buru Pramana
menjawab.
"Hm...," gumam Eyang Paladi tidak jelas.
Laki-laki tua berjubah putih itu melangkah
masuk, seraya memandang jendela yang terbuka
lebar. Kemudian ditatapnya wajah kedua
cucunya. Tampak Rawuni hanya menundukkan
kepala saja. Sedangkan Pramana terus
memegangi bahunya yang masih mengucurkan
darah. Eyang Paladi menghampiri Pramana, dan
melihat luka di bahu pemuda itu. Dua kali
diberikan totokan, maka darah berhenti mengalir
seketika.
"Sejak tadi aku di luar rumah, tapi tidak
melihat kau berkuda. Malam-malam begini mau
apa berkuda?" nada suara Eyang Paladi
terdengar curiga.

Pramana hanya diam saja. Tatapannya tertuju
pada adiknya yang juga diam agak tertunduk.
Rawuni bergegas melangkah menghampiri
jendela untuk menutup jendela itu. Tapi Eyang
Paladi lebih dulu mencegahnya. Laki-laki tua itu
melangkah menghampiri jendela yang masih
terbuka. Sebentar dia memandang keluar.
Sedangkan kakak beradik itu saling
berpandangan dengan bibir terkunci rapat.
"Apa yang terjadi padamu, Pramana?" tanya
Eyang Paladi seraya membalikkan tubuhnya.
Pramana diam saja, tidak menjawab sedikit
pun.
"Aku tahu kau tidak mungkin jatuh dari
kuda, dari dulu kau pandai berkuda. Kenapa
bahumu?" desak Eyang Paladi lagi.
'Tidak apa-apa, Eyang," sahut Pramana
berusaha tenang.
"Kau bertarung?" desak Eyang Paladi.
'Tidak," sahut Pramana lagi.
'Puluhan tahun aku berkecimpung di dalam
dunia persilatan, jadi aku tahu betul macam-
macam luka. Tidak ada gunanya berbohong
padaku, Pramana. Kau bertarung?" desak Eyang
Paladi tetap tidak percaya jawaban cucunya.
"Hanya latihan denganku tadi, Eyang,"
celetuk Rawuni cepat-cepat.

"Hm...," Eyang Paladi menatap tajam pada
Rawuni
Sedangkan Rawuni buru-buru menunduk
Rasanya tidak sanggup balas menatap laki-laki
tua itu. Dari sikap kedua cucunya, Eyang Paladi
sudah bisa meraba kalau mereka menyimpan
sesuatu. Dan luka di bahu Pramana sudah jelas
akibat tergores senjata tajam. Meskipun tidak
begitu dalam, tapi cukup membuatnya
beristirahat selama dua hari.
"Kalian menyembunyikan sesuatu dariku...!"
desis Eyang Paladi dingin. «
Pramana dan Rawuni hanya diam saja.
Mereka saling berpandangan beberapa saat.
Sementara Eyang Paladi menatap tajam ke arah
mereka secara bergantian. Dia begitu yakin kalau
kedua cucunya menyembunyikan sesuatu. Entah
apa yang disembunyikan. Yang jelas, di bahu
yang terluka itu sudah menunjukkan kalau
kedua cucunya mempunyai persoalan.
"Baiklah. Jika tidak berterus terang, kalian
akan kukirim kembali pada pamanmu," tegas
Eyang Paladi. "Aku paling tidak suka pada
orang yang menyimpan rahasia di depanku."
Setelah berkata demikian, Eyang Paladi
langsung melangkah keluar. Laki-laki tua itu
menutup kembali pintu kamar ini. Sedangkan

Rawuni dan Pramana hanya saling tatap saja
tanpa berkata-kata sedikit pun.
"Eyang kelihatan marah sekali, kakang," ujar
Rawuni pelarian. Hampir tidak terdengar
suaranya.
"Kau akan mengatakan padanya, Rawuni?"
agak kurang senang nada suara Pramana.
"Sebaiknya memang berterus terang saja,
Kakang," kata Rawuni tetap pelan.
'Tidak!" sentak Pramana tegas.
'Tapi..., Eyang Paladi pasti mengirim utusan
ke Paman Darwala. Masalahnya, suatu saat pasti
Eyang Paladi akan tahu juga."
'Tidak akan terjadi, Rawuni. Tidak ada
utusan yang akan sampai ke sana. Percayalah
padaku! Tidak ada yang dapat mengetahui
semua ini, termasuk Eyang Paladi."
"Kakang...," agak bergetar suara Rawuni.
"Jangan gentar, Rawuni. Semua yang kita
lakukan karena hak leluhur kita yang terinjak-
injak. Ingat, Rawuni! Kita berdua sudah
bersumpah di depan pusara Ayah. Apa pun
yang terjadi, harus...."
"Kakang...," potong Rawuni cepat.
Pramana langsung diam. Pada saat itu,
terdengar suara halus di atas atap kamar ini.
Kedua kakak beradik itu terdiam karena
mendengar suara langkah kaki yang begitu halus
berjalan di atap. Dengan tatapan mata, mereka

mengikuti suara langkah itu. Pramana menatap
Rawuni ketika tidak lagi mendengar suara itu.
Tepat berhenti di tengah-tengah atap kamar ini.
Pramana memberi isyarat dengan jari
telunjuknya. Rawuni mengangguk mengerti.
Seketika itu juga, dia melesat keluar melalui
jendela kamar yang masih terbuka lebar.
Pramana cepat melompat begitu Rawuni sudah
berada di luar. Mereka langsung melesat ke atas
atap.
"Siapa kau...!" bentak Rawuni keras, begitu
kakinya menjejak atap.
Seseorang yang tubuhnya merapat di atap,
terkejut setengah mati. Dia langsung
menggelinjang, melompat bangkit. Tapi belum
juga kakinya menjejak atap, Pramana sudah
menerjang dari arah samping. Orang itu tidak
sempat lagi untuk mengelak. Dihentakkan kedua
tangannya ke samping, dan membentur,,
tendangan Pramana yang mengandung
kekuatan tenaga dalam cukup tinggi.
Dug!
"Akh...!" orang itu terpekik tertahan Seketika
itu juga tubuhnya terpental jatuh ke bawah.
Rawuni dan Pramana bergegas meluruk turun
mengejar. Tapi orang itu lebih cepat lagi melesat
kabur. Kedua anak muda cucu Eyang Paladi itu

berusaha melompat mengejar. Tapi belum juga
bertindak, tiba-tiba....
"Awas...!" seru Rawuni keras.
Orang itu berbalik cepat. Seketika dari tangan
yang terkebut meluncur beberapa benda kecil
memancarkan cahaya kemerahan. Benda-benda
kecil bulat itu meluruk deras ke arah dua orang
itu. Rawuni dan Pramana dibuat jumpalitan
menghindari terjangan benda-benda bulat
berwarna merah itu. Pada saat mereka tengah
kewalahan, orang yang mengenakan baju warna
merah muda itu melesat cepat melompati pagar
kayu yang tinggi dan kokoh, langsung lenyap
ditelan gelap.
"Phuih!" Pramana menyemburkan ludahnya
kesal.
Rawuni menghampiri kakaknya, menatap
pemuda itu dalam-dalam. Pramana membalas
tatapan adiknya.
"Sudah ada yang tahu, Kakang," kata Rawuni
pelan.
"Huh!" Pramana hanya mendengus saja,
kemudian berbalik. Dia melompat masuk ke
dalam kanun nya melalui jendela.
Rawuni masih berdiri beberapa saat
memandang ke arah kepergian orang yang
menghilang tanpa diketahui jejaknya. Gadis itu
kemudian melompat masuk melalui jendela
kamar kakaknya. Sesaat kemudian , suasana jadi

sunyi sepi, tak terdengar suara sedikit pun.
Tampak dari balik pagar kayu yang bagian
ujung atasnya runcing, menyembul sebuah
kepala. Seraut wajah yang masih muda dengan
bibir menyunggingkan senyuman tipis, menatap
langsung ke arah jendela kamar yang terlihat
terang terbuka.
***
Pramana memacu kudanya cepat. Kuda
hitam tinggi tegap itu beriari bagai dikejar setan.
Debu mengepul membumbung tinggi ke udara,
tersepak kaki-kaki kuda yang dipacu
berkecepatan tinggi. Pandangan pemuda itu
tidak lepas ke arah seekor kuda yang juga
dipacu cepat di depannya.
"Hoi..., tunggu...!" seru Pramana keras.
Tampak penunggang kuda di depan itu
menoleh. Segera ditarik tali kekang kudanya,
hingga berhenti seketika Pramana menghampiri,
dan menghadang di depan. Kuda hitamnya
mendengus-dengus kelelahan.
"Oh, Den Pramana. Ada apa Raden
menghalangi jalanku?" tegur laki-laki muda
salah seorang murid utama Eyang Paladi di
Padepokan Mega Kiting.

"Kau akan ke Gunung Damalaya?" tanya
Pramana langsung.
"Benar, Raden. Eyang Paladi yang
memerintahkan," sahut orang itu.
"Untuk apa?" 'Tidak tahu, Raden. Eyang
Paladi hanya menitipkan surat Katanya, harus
disampaikan segera dan ditunggu jawabannya."
"Coba kulihat suratnya."
"Oh! Maaf, Raden...."
"Berikan surat itu!" bentak Pramana.
Murid Padepokan Mega Kiting itu jadi
kebingungan, sebab dia sudah dipesan untuk
tidak memberikan surat ini pada orang lain,
kecuali pada Paman Darwala, ketua padepokan
di Gunung Damalaya. Melihat utusan itu seperti
tidak bersedia memberikan surat Eyang Paladi,
Pramana semakin gusar.
"Aku bisa main kasar, tahu!" ancam Pramana.
"Maaf, Raden. Aku tidak bisa memberikan
surat ini pada siapa pun."
"Setan...!" geram Pramana: Seketika itu juga
Pramana mencabut pedangnya. Bagai kilat,
dikibaskan pedang itu ke arah leher urusan
murid Padepokan Mega Kiting. Tapi yang
dihadapi adalah murid utama pilihan Eyang
Paladi. Dengan manis sekali ditarik kepalanya ke
belakang, sehingga tebasan pedang Pramana
luput dari sasaran. Namun pemuda itu sudah
kembali mengibaskan pedangnya, kali ini

menebas leher kuda utusan itu hingga bunting
seketika.
"Hup!"
Utusan itu melompat begitu kudanya
menggelepar rubuh dengan kepala buntung.
Pramana juga bergegas melompat, kembali
menyerang mempergunakan jurus-jurus pedang
yang sangat dahsyat.
Utusan itu tampak ragu-ragu
menghadapinya. Dia hanya berlompatan dan
berkelit menghindari setiap serangan yang
datang. Tapi menghadapi kenyataan bahwa
serangan itu tidak main-main, utusan itu jadi
geram juga.
"Raden, hentikan...!" seru utusan itu mencoba
menyadarkan Pramana.
"Kau tinggal pilih, surat itu atau nyawamu!"
dengus Pramana.
"Uts!"
Utusan itu merundukkan kepalanya ketika
pedang Pramana berkelebat menyambar ke arah
kepalanya. Tapi belum juga dapat mengangkat
kepalanya kembali, mendadak saja saru
tendangan keras menghantam dadanya. Murid
utama Padepokan Mega Kiting itu mengeluh
pendek. Tubuhnya terjejer ke belakang beberapa
langkah. Maka Pramana tidak menyia-nyiakan
kesempatan ini. Selagi utusan itu limbung,

dengan cepat dihunjamkan pedangnya ke dada.
Dan....
"Aaakh...!" utusan itu menjerit melengking
tinggi.
"Hih!"
Pramana mencabut pedangnya yang
terbenam di dada murid Padepokan Mega Kiting
itu. Lalu dengan keras dilontarkan satu pukulan
bertenaga dalam tinggi ke dada yang
mengucurkan darah segar.
Bruk!
Tak pelak lagi, utusan itu ambruk ke tanah
keras sekali. Sebentar dia menggeliat, lalu diam
tak berkutik lagi. Pramana memasukkan
pedangnya kembali ke dalam sarungnya di
pinggang. Seketika digeledah tubuh orang itu,
lalu ditemukanlah gulungan daun lontar terikat
pita biru muda. Cepat-cepat Pramana melompat
ke punggung kudanya lalu digebahnya kuat-
kuat.
Kuda hitam itu meringkik keras sambil
mengangkat kaki depannya tinggi-tinggi.
Seketika itu juga binatang itu melesat cepat bagai
anak panah lepas dari busurnya. Kuda hitam itu
beriari cepat membawa Pramana di
punggungnya, meninggalkan mayat seekor kuda
dan seorang murid utama Padepokan Mega
Kiting.

***
"Kakang, dipanggil Eyang Paladi!" ujar
Rawuni seraya menyembulkan kepalanya dari
pintu kamar kakaknya.
Pramana yang tengah membaca surat pada
daun lontar, menoleh memandang adiknya.
Buru-buru dlli pat surat itu dan disimpannya di
balik lipatan baju. Pemuda itu melompat turun
dari pembaringan, dan melangkah menghampiri
Rawuni. Dibukanya pintu lebar-lebar. Lalu
keluar tanpa berkata apa-apa lagi. Rawuni
mengikutinya. Gadis itu sempat menutup
kembali pintu kamar kakaknya.
"Ada apa Eyang memanggilku?" tanya
Pramana terus saja melangkah di samping
adiknya.
"Tidak tahu. Eyang menunggu di bangsal
latihan," sahut Rawuni.
Pramana tidak bertanya lagi. Mereka segera
menuju bangsal latihan yang ada di samping
bangunan utama Padepokan Mega Kiting.
Mereka melihat Eyang Paladi duduk bersila
beralaskan permadani tebal yang lembut
berwarna biru muda. Eyang Paladi memberi
isyarat pada kedua cucunya untuk duduk.
Mereka mengambil tempat di depan laki-laki tua
itu, duduk bersila di lantai.

'Pramana, kau tahu kenapa dipanggil ke
sini?" tanya Eyang Paladi langsung pada pokok
persoalannya.
Pramana hanya menggelengkan kepalanya
saja.
"Seorang murid utamaku tewas terbunuh di
perbatasan. Padahal dia kuberi tugas penting,
dan tidak ada seorang pun yang tahu," kata
Eyang Paladi disertai tatapan mata tajam
menusuk langsung kepada Pramana. Sedangkan
yang ditatap hanya menunduk saja. Demikian
pula dengan Rawuni.
"Aku pernah mengatakan sesuatu pada
kalian, dan ini ada hubungannya dengan tugas
muridku," lanjut Eyang Paladi.
"Eyang mencurigai kami...?" Pramana
mengangkat kepalanya.
"Aku tidak berkata begitu, Pramana. Kau
tahu, apa yang kutugaskan pada muridku?"
Pramana menggelengkan kepalanya.
"Rawuni?"
"Tidak," sahut Rawuni seraya menggeleng.
"Ada sesuatu yang hilang darinya, dan itu
sangat penting bagiku. Hmmm..., sudahlah. Itu
urusanku," kata Eyang Paladi.
Pramana dan Rawuni saling berpandangan.
"Pergilah, kembali ke kamarmu," kata Eyang
Paladi.

Pramana dan Rawuni bangkit berdiri, dan
sama-sama menjura sedikit memberi hormat.
Mereka lalu berbalik dan berjalan keluar. Setelah
kedua orang itu meninggalkan bangsal latihan
ini, dari pintu lain muncul seorang pemuda
tampan berbaju kulit harimau. Eyang Paladi
memberi isyarat agar duduk. Pemuda itu duduk
bersila di depan laki-laki tua itu.
"Aku belum bisa menemukan jawaban
kecurigaanmu, Bayu. Mereka cucu-cucuku yang
baik, penurut, dan tidak pemah membantah
perintah orang tua. Sukar bagiku untuk
mempercayai kalau mereka adalah
manusia-manusia bertopeng muka babi itu," kata
Eyang Paladi pelan.
"Aku belum menuduh mereka, Eyang. Hanya
curiga saja," ujar Bayu.
"Kau punya bukti?"
"Sedikit. Aku lihat Pramana membunuh salah
seorang muridmu di perbatasan. Itu sebabnya
aku ke sini." "
"Kau tidak salah, Bayu?"
"Semalam Jruda mendengar mereka
merencanakan sesuatu di dalam kamarnya.
Mereka mengetahui, tapi untungnya Jruda bisa
menghindar."
"Jruda...?!" Eyang Paladi nampak terkejut.

"Benar. Bahkan kini Parti bersamanya. Maaf,
kalau selama ini tidak pernah kuceritakan
tentang mereka," ucap Bayu.
'Tidak mengapa, Bayu. Aku sengaja
menyuruhnya pergi dari desa ini agar tidak ikut
tewas. Aku juga menyesal tidak terlalu
memperhatikan keselamatan Parti."
"Mereka menghargai maksud baikmu, Eyang.
Percayalah, mereka mencoba mencari manusia
bertopeng muka babi itu tanpa ada prasangka
buruk terhadapmu. Mereka tahu betul kalau kau
tidak tahu apa-apa, bahkan berniat baik," Bayu
meyakinkan.
"Bayu, bisa kau antar aku untuk bertemu
mereka?" pinta Eyang Paladi.
"Sayang sekali, Eyang. Mereka saat ini tidak
ingin ditemui siapa pun. Demi keselamatan
mereka sendiri."
"Aku mengerti."
Mereka kembali berbincang-bincang sampai
hari menjelang senja. Banyak yang dibicarakan,
terutama tentang dua orang bertopeng yang
sampai saat ini masih berkeliaran. Eyang Paladi
sendiri bermaksud mengetahui tentang kedua
cucunya itu. Dan diam-diam diutus seorang
muridnya lagi ke Gunung Damalaya untuk
menemui Paman Darwala. Dia ingin tahu,
apakah benar Pramana dan Rawuni sudah
berpamitan untuk tinggal di sini.
***

TUJUH

Kegemparan kembali melanda seluruh Desa
Kiting. Malam yang seharusnya hening sunyi,
mendadak hiruk pikuk. Hampir semua
penduduk desa itu keluar dari rumahnya.
Tampak dua orang berbaju biru gelap
berlompatan dari satu atap ke atap rumah
lainnya. Mereka membawa obor untuk
membakar rumah-rumah penduduk. Maka Desa
Kiting seketika jadi lautan api. Di mana-mana
api berkobar melahap rumah-rumah yang
sebagian besar terbuat dari belahan papan dan
beratapkan daun rumbia.
Eyang Paladi tampak sibuk memerintahkan
seluruh muridnya untuk memadamkan api.
Delapan murid utama Padepokan Mega Kiting,
berusaha menghadang dua orang berbaju biru
gelap yang masih berlompatan membakar
rumah lainnya. Dua orang itu bagai kemasukan
setan. Tangan kiri memegang obor, dan tangan
kanan menggenggam pedang.
Delapan orang murid utama Eyang Paladi itu
berusaha mendesak kedua orang bertopeng.
Tapi, kemampuan mereka berada di bawah dua
orang itu. Dalam sebentar saja, tiga orang telah
tergeletak tewas berlumuran darah. Eyang

Paladi tampak gusar melihat tiga muridnya
tewas dalam waktu sebentar saja.
"Mundur...!" tiba-tiba terdengar bentakan
keras menggelegar.
Lima orang murid Padepokan Mega Kiting
berlompatan mundur. Tapi salah seorang
berhasil terbabat lehernya hingga buntung. Tak
ada jeritan. Tubuh tanpa kepala itu langsung
ambruk dan tewas seketika. Tampak seorang
pemuda berbaju kulit harimau melompat
menghadang dua orang berbaju biru gelap. Yang
seorang memakai topeng bermuka babi,
sedangkan seorang lagi hanya mengenakan
selubung kain pada kepalanya.
"Bayu...," desah Eyang Paladi melihat
kemunculan Pendekar Pulau Neraka.
Laki-laki tua berjubah putih itu langsung
melompat, dan mendarat ringan di samping kiri
Bayu Hanggara. Sementara dua orang yang
menjadi momok menakutkan selama ini, saling
berpandangan sejenak, kemudian sama-sama
mengangguk..
"'Seribu Pisau Terbang'...!" tiba-tiba salah
seorang dari mereka berteriak keras
"Heh...!" Eyang Paladi tersentak kaget
Tapi belum lagi rasa keterkejutan laki-laki tua
itu hilang, tiba-tiba kedua orang yang dijuluki si
Topeng Muka Babi itu mengibaskan tangannya
cepat. Maka seketika itu juga pisau kecil

beterbangan bagai hujan. Pendekar Pulau
Neraka berlompatan menghindari serbuan
pisau-pisau terbang itu. Demikian juga Eyang
Paladi. Beberapa pisau yang nyasar, menancap
pada orang-orang yang tidak bisa menghindari
lagi. Jerit dan pekik melengking terdengar saling
sambut.
"Keparat..!" geram Bayu melihat tidak kurang
dari sepuluh penduduk dan beberapa murid
Eyang Paladi terjungkal tewas tersambar pisau
yang nyasar.
"Akh...!"
Tiba-tiba saja terdengar pekikan tertahan.
Bayu menoleh sedikit, dan menjadi terkejut
ketika melihat Eyang Paladi terhuyung-huyung
dengan sebilah pisau tertanam pada dadanya.
Belum lagi Pendekar Pulau Neraka itu bisa
bertindak, tiba-tiba saja....
"Hiyaaat...!"
Seorang yang memakai kain selubung pada
kepalanya melompat cepat sambil menusukkan
pedangnya ke arah dada Eyang Paladi. Dan
seorang lagi melontarkan pisau-pisau kecil yang
tipis pada Pendekar Pulau Neraka. Saat itu Bayu
tidak bisa berbuat apa-apa. Apalagi untuk
menolong Eyang Paladi. Dia sendiri sibuk
menghindari serbuan pisau-pisau terbang itu
yang seperti tidak ada habisnya.

"Aaa...!" Eyang Paladi menjerit melengking
tinggi.
"Eyang...!" seru Bayu terperanjat
Tampak orang berselubung kain pada kepala
menghentakkan pedangnya yang tertanam
dalam pada dada laki-laki tua itu. Darah
langsung muncrat keluar dari dada yang bolong.
Belum lagi Eyang Paladi bisa menutup lukanya,
satu tendangan keras menggeledek menghantam
kepalanya.
Kembali Eyang Paladi menjerit keras.
Tubuhnya limbung, lalu ambruk ke tanah.
Kepalanya retak, dan darah mengalir deras.
Bayu kontan melompat memburu, tapi orang
berselubung kain hitam itu sudah lebih cepat
melompat menghindar. Maka seketika itu juga
dua orang yang dijuluki si Muka Topeng Babi itu
melesat kabur bagai kilat, dan dalam sekejap saja
sudah hilang dari pandangan mata.
"Eyang...," desis Bayu sambil berlutut di
samping tubuh laki-laki tua yang terbujur
berlumuran darah.
"Eyang...," Bayu mengguncang-guncang
tubuh Eyang Paladi.
Tapi laki-laki tua itu tetap diam. Tidak ada
lagi nyawa di tubuhnya. Bayu mengangkat
kepalanya, lalu bangkit berdiri setelah
merebahkan tubuh tua itu. Tiga orang murid

Padepokan Mega Kiting bergegas maju dan
menggotong tubuh gurunya.
"Bawa ke padepokan," perintah Bayu. Tanpa
membantah sedikit pun, mayat Eyang Paladi
dibawa ke Padepokan Mega Kiting. Sementara
penduduk dan beberapa murid padepokan
lainnya masih sibuk memadamkan api. Bayu
berdiri tegak meman dang sekitarnya. Beberapa
wanita tampak menangis. Ada yang menangisi
anaknya, atau suaminya yang tewas. Ada juga
yang menangisi rumahnya yang habis erbakar.
Bayu mendesah panjang. Kakinya terayun
melangkah menuju Padepokan Mega Kiting.
***
Sementara itu jauh di perbatasan Utara Desa
Kiting, tampaklah dua orang berpakaian gelap
tengah berdiri tegak memandangi kobaran api
yang masih membesar melahap rumah-rumah
penduduk. Seluruh kepala dan wajahnya
terselubung kain dan topeng. Salah seorang
membuka topengnya, tampak di baliknya
tersembunyi seraut wajah cantik. Sedangkan
yang seorang lagi, membuka selubung kain di
kepalanya. Seraut wajah tampan terlihat begitu
selubungnya terbuka.

"Seharusnya kau tidak membunuh Eyang
Paladi, Kakang," terdengar desahan pelan
bernada menyesal.
"Terpaksa! Aku tidak ingin rahasia kita
terbongkar, Rawuni. Eyang Paladi mengenali
jurus 'Seribu Pisau Terbang'."
"Hhh...!"
Mereka memang Pramana dan Rawuni, dua
orang cucu Eyang Paladi. Kini keduanya terdiam
dengan mata langsung mengarah ke desa yang
masih membara oleh kobaran api yang melahap
beberapa rumah. Kembali terdengar tarikan
napas panjang dari bibir mungil Rawuni.
Pramana memperhatikan adiknya lekat-lekat.
"Apa yang kau pikirkan, Rawuni?" tegur
Pramana. "Tidak ada," sahut Rawuni seraya
mendesah panjang.
"Rawuni..., janganlah kau turuti kata hati.
Kita sama-sama sudah berjanji di depan pusara
Ayah untuk membalas kematiannya," tegas
Pramana.
"Aku tidak menyesal karena memang sudah
tekad kita, Kakang," sahut Rawuni. „
'Tinggal dua orang lagi, Rawuni. Setelah itu,
selesai sudah semuanya," Pramana
mengingatkan.
"Aku sangsi, Kakang...," pelan suara Rawuni.

"Hey...!" Pramana tersentak kaget. Langsung
ditatapnya dalam-dalam wajah adiknya.
"Pendekar Pulau Neraka itu, Kakang...."
"Jangan hiraukan manusia keparat itu,
Rawuni. Kalau perlu, bunuh sekalian!"
"Kepandaiannya sangat tinggi, Kakang.
Rasanya sulit untuk menandinginya. Aku yakin,
dia bukan orang sembarangan. Apakah dia
orang bayaran yang disewa Eyang Paladi? Aku
seperti pernah mendengar julukannya itu," kata
Rawuni setengah bergumam.
"Sudahlah! Hanya satu orang saja, dan bisa
kita kelabui. Ayo, kita kembali ke padepokan,
sebelum ada yang mencurigai kita," ajak
Pramana.
'Tidak perlu ke sana, Kakang," cegah Rawuni.
"Kenapa?" tanya Pramana tidak mengerti.
"Aku merasakan kalau Pendekar Pulau
Neraka sudah mengetahui tentang diri kita."
"Hm...," gumam Pramana tidak jelas.
"Kau ingat panggilan Eyang Paladi siang
tadi?"
'Tentu! Kenapa?"
"Aku punya firasat lain, Kakang. Sepertinya
panggilan Eyang Paladi sengaja untuk
memancing kita. Aku bisa melihat ada bayangan
dari pintu lain. Seperti seseorang yang sengaja
bersembunyi sambil mendengarkan. Sikap

Eyang juga terasa aneh," kata Rawuni
mengemukakan kecurigaannya.
Pramana terdiam membisu. Memang diakui
kalau Rawuni lebih cerdas dan lebih tajam
penglihatannya. Dan lagi firasatnya tidak pernah
meleset.
"Kau tahu, Kakang. Waktu kau membunuh
utusan itu, aku juga melihat ada seseorang di
balik sebuah pohon tengah mengawasimu. Aku
memang tidak memberitahumu, karena kukira
hanya orang biasa saja. Tapi aku jadi mulai
curiga dengan panggilan dan pertanyaan-
pertanyaan Eyang Paladi pada kita," kata
Rawuni lagi.
"Kau mengikuti aku, Rawuni?"
"Untuk berjaga-jaga, Kakang."
Kembali Pramana terdiam membisu.
Keningnya berkerut dalam, pertanda sedang
berpikir keras. Dua kali ditariknya napas
panjang dan berat. Kemudian pandangannya
kembali beralih ke arah Desa Kiting. Api masih
terlihat berkobar, meskipun tidak sebesar tadi
"Kakang, sebaiknya kita tidak kembali ke
desa itu. Biarkan suasana jadi tenang sambil
mengamari kalau-kalau Jruda dan Parti muncul.
Aku tidak ingin mengorbankan penduduk lagi.
Sudah cukup rasanya membuat mereka

sengsara. Biar mereka ingat, kesengsaraan sangat
pedih!" kata Rawuni.
"Baiklah. Kita tunggu selama beberapa hari
sampai keadaan kembali tenang," akhirnya
Pramana mengalah juga.
***
Suasana mendung menyelimuti seluruh
wajah Desa Kiting. Tidak ada lagi orang yang
bisa dijadikan panutan. Satu-satunya orang yang
dihormati dan selalu menjadi pedoman telah
tewas terbunuh. Padepokan Mega Kiting dalam
keadaan kosong, tidak memiliki pemimpin lagi.
Sudah dua hari Bayu terpaksa tinggal di
Padepokan Mega Kiting. Keyakinannya semakin
bertambah, bahwa yang selama ini membuat
kerusuhan adalah dua orang cucu Eyang Paladi
sendiri. Hanya saja Bayu belum bisa mengetahui,
mengapa Pramana dan Rawuni melakukan hal
itu...? Bayu hanya menunggu kedatangan Paman
Darwala. Hanya orang itu yang mungkin bisa
menjelaskan semuanya.
Siang ini langit terselimut awan tebal
menghitam, seakan-akan alam turut berduka
atas kematian Eyang Paladi dan beberapa orang
lainnya hanya dalam waktu semalam saja. Bayu
berdiri di beranda depan pada bangunan utama

Padepokan Mega Kiting. Di sampingnya berdiri
Jruda dan Parti. Pendekar Pulau Neraka itu
memang sengaja membawa mereka ke
padepokan ini, demi keselamatan. Di samping
itu mereka memang hendak ke sini begitu
mendengar kematian Eyang Paladi.
"Kau yakin Paman Darwala akan datang hari
ini Bayu?" tanya Jruda ingin memastikan.
"Keterangan dari utusan memang begitu,"
sahut Bayu kalem.
"Hhh.... Aku tidak habis mengerti, mengapa
Pramana dan Rawuni melakukan itu?" gumam
Jruda.
"Semasih hidup, Eyang Paladi pernah cerita
padaku. Padepokan ini dibangun oleh dua orang
pendekar. Tapi yang seorang tewas secara
misterius dengan meninggalkan dua orang anak.
Yang seorang laki-laki, dan seorang lagi
perempuan. Usia mereka baru sekitar sepuluh
dan tujuh tahun...," kata Bayu pelan.
"Mereka adalah ayahku dan ayahnya
Pramana," sambut Jruda. "Tapi, apa
hubungannya...?"
"Mungkin," desah Bayu.
"Pramana dan Rawuni dibawa pamannya
setelah kematian ayahnya. Memang, sampai saat
ini tidak diketahui siapa yang menewaskannya.

Hanya sebuah rantai...," mendadak Jruda
menghentikan ceritanya.
"Kenapa, Jruda?" tanya Bayu.
"Ya...! Rantai merah...! Kini aku ingat! Di
lehernya terikat rantai berwarna merah. Dan
itu...," kembali Jruda terdiam memutuskan kata-
katanya.
"Ada apa dengan rantai merah itu, Jruda?"
tanya Bayu ingin tahu.
"Aku tidak tahu, Bayu. Waktu itu aku masih
kecil, jadi belum tahu apa-apa. Memang akulah
yang menemukan mayatnya pertama kali,
kemudian baru ayahku. Leher mayat itu terbelit
rantai berwarna merah darah. Rantai merah itu
diambil Ayah dan disimpannya. Sampai Ayah
meninggal, rantai itu tetap terkubur membelit
pinggangnya. Dan itu memang sudah
amanatnya. Hhh...! Sekarang rantai itu muncul
lagi. Terpotong-potong menjadi sepuluh
lingkaran yang sama ditemukan pada setiap
korban. Lingkaran Rantai Setan...," Jruda
mendesis pada akhir kata-katanya.
"Lingkaran Rantai Setan...? Apa maksudmu?"
tanya Bayu.
"Sukar dijelaskan, Bayu. Itu hanya sebuah
kata-kata kiasan dari seseorang yang memiliki
dendam pada ayah-ayah kami. Aku dan
Pramana. Mereka mengabadikannya dengan

membuat sebuah rantai berwarna merah darah.
Mereka ingin keturunannya selalu ingat, bahwa
dendam itu bukan suatu penyelesaian akhir dari
suatu masalah. Rantai itu disimpan ayahku. Tapi
ditemukan membelit leher ayah Pramana," Jruda
mencoba untuk menjelaskan lebih rinci.
"Ada orang lain lagi yang melihatnya waktu
itu?" tanya Bayu.
"Eyang Paladi dan Paman Darwala," sahut
Jruda.
'Tepat...!" sentak Bayu tiba-tiba.
"Apa maksudmu, Bayu?" tanya Jruda tidak
mengerti.
Bayu tidak menjawab. Diambilnya rantai
yang tergantung pada tiang beranda padepokan
ini. Benda itulah yang selalu dijadikan lambang
oleh Padepokan Mega Kiting. Tapi sampai
sekarang tidak ada yang menyadari artinya, baik
murid-murid padepokan itu sendiri. Hanya
orang-orang tertentu saja yang tahu maknanya.
Bayu menimang-nimang rantai merah itu, lalu
meletakkan kembali pada tempatnya semula.
Sementara itu Parti hanya diam saja
mendengarkan tanpa berkata sedikit pun. Gadis
itu masih belum bisa memahami semua
pembicaraan tersebut. Dia memang masih terlalu
muda dan tidak tahu permasalahannya.
"Ada berapa rantai yang dibuat ayahmu?"
tanya Bayu setelah cukup lama berdiam diri.

"Hanya satu yang asli. Itu pun telah terkubur
bersama Ayah," sahut Jruda.
"Dan kau pernah bertemu Pramana setelah
dibawa pamannya?" tanya Bayu lagi.
"Hanya sekali, tapi tidak secara langsung.
Pramana tidak mengenaliku sama sekali. Hanya
tahu namaku saja."
"Pantas.... Dia tidak mengenalimu ketika kau
gantung," gumam Bayu.
"Sejak terjadi peristiwa ini, dan munculnya
Pramana, sudah kuduga kalau dialah biang
keladinya. Itu sebabnya aku ingin
membunuhnya, tapi gagal. Kepandaiannya jauh
lebih tinggi dariku."
"Persoalannya sudah jelas, sekarang tinggal
menunggu Paman Darwala saja. Mudah-
mudahan dia bersedia membantu menyadarkan
keponakannya," kata Bayu.
"Hanya kematian yang bisa
menyadarkannya, Bayu."
"Hilangkan rasa dendam di hatimu, Jruda."
"Mereka telah membunuh banyak orang!
Hanya hukuman mati yang pantas untuk
mereka, Bayu."
Pendekar Pulau Neraka hanya mengangkat
bahu saja.
***

DELAPAN

Empat ekor kuda berpacu cepat keluar dari
Padepokan Mega Kiting, menuju ke sebelah
Utara Desa Kiting. Paling depan sekali terlihat
seorang laki-laki berusia hampir mencapai tujuh
puluh tahun. Dialah Paman Darwala. Di
belakangnya tiga orang laki-laki juga berkuda.
Tampak di antara mereka adalah Pendekar
Pulau Neraka, Jruda, dan seorang murid utama
Padepokan Mega Kiting.
Mereka berhenti setelah tiba di luar
perbatasan desa sebelah Utara. Masing-masing
penunggang melompat turun dari punggung
kudanya. Paman Darwala memandangi
sekitarnya. Bayu dan Jruda menghampiri.
'Bagaimana Paman bisa memastikan mereka
ada di sini?" tanya Jruda.
"Ayah mereka dimakamkan di sini. Aku
yakin mereka ada di sekitar tempat ini," jawab
Paman Darwala.
Jruda tidak bertanya lagi. Dia juga
mengedarkan pandangannya berkeliling.
Tempat ini sunyi sekali, tidak ada seorang pun
yang teriihat kecuali mereka berempat. Jruda
melirik Bayu yang tengah melangkah mendekati
sebuah makam yang kelihatan tidak terawat.
Sebentar Pendekar Pulau Neraka itu
memandangi, kemudian berbalik menghampiri
yang lainnya.

"Aku hampir tidak percaya kalau mereka
yang melakukan semua kekejaman ini.
Meskipun mereka muridku dan sekaligus
keponakanku, tapi perbuatan mereka tidak bisa
diampuni. Aku tidak pernah mengajarkan pada
mereka untuk berbuat seperti ini," tegas Paman
Darwala menyesali tindakan Pramana dan
Rawuni.
Jruda hanya diam saja. Demikian pula Bayu
dan seorang murid Padepokan Mega Kiting
yang ikut serta.
"Aku menyesal telah menceritakan semua
peristiwa yang menimpa ayah mereka. Tapi
sungguh, dalam hatiku tidak bermaksud
menyulut api dendam. Apalagi dendam
terhadap keluargamu, Jruda. Antara keluarga
kita terjalin persaudaraan yang kuat. Aku sendiri
tidak percaya kalau ayahmu yang membunuh
adikku," sambung Paman Darwala.
"Semua sudah terjadi, Paman," ujar Jruda.
"Ya! Semua karena kesalahanku yang tidak
mampu mendidik mereka dengan baik," Paman
Darwala menyesali.
"Bukan kesalahan Paman, tapi karena
kutukan. Dan itu baru terjadi sekarang."
"Jruda, aku mohon padamu. Sebaiknya
serahkan mereka padaku. Biar aku sendiri yang
akan memberi hukuman padanya. Mereka
adalah keponakanku, sekaligus murid-muridku.

Aku mohon padamu, Jruda?” ujar Paman
Darwala penuh harap.
Jruda menarik napas berat. Memang sukar
untuk memenuhi permintaan Paman Darwala.
Tapi begitu mendapat lirikan dari Pendekar
Pulau Neraka, Jruda mengangguk.
'Terima kasih, Jruda. Kebaikan hatimu tidak
akan kulupakan," ucap Paman Darwala.
"Ah! Sudahlah, Paman. Sebaiknya kita segera
menemukan mereka. Aku tidak ingin lagi
melihat darah orang-orang tidak berdosa
menyirami bumi," kata Jruda.
Tidak ada lagi yang bicara. Semua melangkah
menyibak hutan yang tidak seberapa lebat.
Mereka tidak tahu kalau sepasang mata sejak
tadi selalu mengamati dari tempat yang cukup
tersembunyi. Dan pemilik sepasang mata itu
melesat cepat begitu empat orang itu semakin
masuk ke dalam hutan.
***
Rawuni terkejut melihat kakaknya datang
tergesa-gesa dengan napas memburu. Keringat
membasahi seluruh wajah dan leher Pramana.
Pemuda itu langsung menarik tangan adiknya,
dan membawanya keluar dari gua.

"Ada apa, Kakang?" tanya Rawuni tidak
mengerti.
'Tinggalkan tempat ini cepat" ajak Pramana
menyuruh adiknya naik ke kuda.
Dengan keadaan masih kebingungan,
Rawuni naik juga ke punggung kudanya.
Pramana bergegas melompat ke kuda hitamnya
yang tinggi dan kekar. Kedua orang itu
menggebah kudanya masing-masing. Rawuni
masih bertanya-tanya, mensejajarkan langkah
kaki kudanya di samping Pramana.
"Ada apa, kakang? Kenapa buru-buru?" tanya
Rawuni masih penasaran akan sikap kakaknya.
"Mereka mengetahui tempat ini," kata
Pramana sambil terus memacu cepat kudanya.
"Mereka siapa?"
"Jruda dan Pendekar Pulau Neraka. Bahkan
Paman Darwala juga bersama mereka," sahut
Pramana.
Mendengar penjelasan kakaknya, Rawuni
segera menghentikan lari kudanya. Pramana
bergegas menarik tali kekang kudanya. Kuda
hitam itu meringkik, dan kontan berhenti
seketika. Pramana memutar tubuh kudanya,
menghadap gadis itu.
"Aku tidak suka jadi buronan seperti ini!"
dengus Rawuni agak keras suaranya.

"Mereka akan membunuh kita, Rawuni," kata
Pramana.
"Aku tidak ingin jadi pengecut! Semua yang
kulakukan, harus kupertanggungjawabkan.
Kalau kau ingin pergi, pergilah!" tegas kata-kata
Rawuni.
"Rawuni...!" sentak Pramana terkejut
"Beberapa hari ini aku selalu memikirkan
semua perbuatan kita, Kakang. Terus terang, aku
masih ragu akan kebenaran dari semua
perbuatan kita...," pelan nada suara Rawuni,
namun mengandung ketegasan.
"Kau ini bicara apa, Rawuni? Sudahlah, ayo
kita pergi!" ajak Pramana.
"Tidak! Aku akan menunggu mereka di sini!"
sentak Rawuni tegas.
"Kau gila, Rawuni. Ada Paman Darwala
bersama mereka!"
"Sungguh tidak kusangka kalau kakakku
seorang pengecut. Menyesal aku mengikutimu,
Kakang. Seharusnya aku tahu kalau semua yang
kita lakukan bukan karena membalas kematian
ayah. Tapi karena napsu setanmu yang ingin
membunuh Jruda. Kau sakit hati karena gadis
yang kau sukai lebih memilih Jruda untuk jadi
suaminya. Kau pengecut Kakang! Melampiaskan
sakit hatimu dengan dalih membalas kematian
Ayah!"

"Cukup, Rawuni!" bentak Pramana memerah
wajahnya.
"Akuilah, Kakang. Aku lebih senang kalau
kau mengakui semuanya. Kau ingin
membalaskan sakit hatimu, bukan?" desak
Rawuni yang mulai menyadari
kalau semua perbuatannya hanya karena
bujukan kakaknya yang ingin membalas sakit
hati.
Rawuni baru menyadari semuanya setelah
mendengar Pramana mengigau dalam tidurnya
semalam. Sungguh mati, gadis itu tidak
menyangka ada maksud tertentu dari semua
rencana gila ini. Dan Rawuni sangat menyesal,
karena Pramana justru malah mengotori nama
ayah mereka sendiri. Menodai persaudaraan
yang telah dibangun sekian puluh tahun
lamanya.
"Aku memang sakit hati terhadap Jruda. Aku
sudah bersumpah untuk membunuhnya dan
semua keturunannya!" ujar Pramana mengakui
dengan tegas.
"Tapi, kenapa kau membunuh semuanya?
Bahkan mereka yang tidak tahu apa-apa ikut jadi
korban. Kenapa, Kakang...?" Rawuni meminta
penjelasan.
"Semua itu termasuk bagian dari rencanaku,
Rawuni. Padepokan Mega Kiting harus kita

kuasai. Aku tidak ingin padepokan itu nantinya
jatuh ke tangan mereka!"
'Tapi, bukankah itu sudah keputusan Ayah?!
Memang Jruda yang akan mewarisi padepokan
itu. Dan kita sendiri sudah diwarisi padepokan
milik Paman Darwala. Kenapa kau ingin
menguasai Padepokan Mega Kiting, Kakang?
Padepokan itu kecil, tidak ada artinya sama
sekali."
"Bukan itu yang kuinginkan, Rawuni. Tapi
daerah nya. Kau mengerti maksudku?"
"Oh...," Rawuni mendesah sambil
menggeleng kan kepala beberapa kali.
Gadis itu tidak menyangka kalau pikiran
kakaknya sepicik itu. Memang, Desa Kiting
memiliki aliran sungai yang mengandung biji
emas. Rupanya Pramana meng inginkan semua
itu untuk memperkaya diri. Yang pasti bukan
hanya karena itu. Rawuni juga bisa mengetahui
adanya tujuan tertentu. Jelas, Pramana ingin
menjadikan Desa Kiting menjadi wilayah
kekuasaannya, seperti yang pernah dilakukan
ayah mereka ketika masih hidup.
"Dengar, Rawuni. Aku akan membangun
desa itu menjadi lebih besar, dan akan berkuasa
di sana. Ingin kutunjukkan pada Ayah, kalau
aku dapat melebihinya. Itu sebabnya aku ingin
menguasai padepokannya terlebih dahulu, dan
melenyapkan semua orang yang bisa menjadi

duri dalam diriku. Kau mengerti, Rawuni?
Meskipun aku tahu kalau Ayah terbunuh oleh
orang yang tidak dikenal, tapi aku tidak ingin
ada orang lain menguasai padepokan itu.
Terutama Desa Kiting!" tegas kata-kata Pramana.
"Sungguh tidak kuduga kalau kau punya
pikiran picik seperti itu, Kakang. Kalau tahu
sejak dulu, tidak bakalan aku ikut. Membantai
mereka yang tidak berdosa, membuat neraka
pada mereka. Aku menyesal, Kakang. Benar-
benar menyesal...!" keluh Rawuni setelah
mengetahui semua yang ada di balik rencana
kakaknya ini.
"Tidak ada kata penyesalan, Rawuni.
Bagaimanapun juga kau telah ikut dalam
permainan ini, dan tidak bisa menghindar begitu
saja," kata Pramana tenang diiringi senyuman
lebar.
"Kau menjebakku, Kakang!" desis Rawuni
tidak senang.
"Sudahlah, Rawuni. Tidak ada gunanya
berdebat. Sebaiknya kita jalan lagi. Untuk
sementara kita tinggalkan tempat ini," bujuk
Pramana.
'Tidak! Aku akan kembali pada Paman
Darwala, dan memohon ampun padanya!" keras
pendirian Rawuni.
"Rawuni...!"

"Dia benar, Pramana...," tiba-tiba terdengar
suara.
Pramana dan Rawuni tersentak kaget. Kedua
orang itu cepat melompat turun dari punggung
kudanya masing-masing. Tatapan mereka tajam
menusuk langsung ke arah datangnya suara tadi.
Tampak seorang pemuda berbaju kulit harimau
tahu-tahu sudah berdiri tegak di atas sebongkah
batu cadas yang hitam berkilat
***
"Pendekar Pulau Neraka...," desis Pramana
mengenali pemuda berbaju kulit harimau itu.
Belum lagi hilang sepenuhnya rasa terkejut
kakak beradik itu, dari balik batu muncul Paman
Darwala, Jruda, dan seorang murid Padepokan
Mega Kiting Bayu melompat turun dari atas
batu. Mereka melangkah lebih mendekat lalu
berhenti setelah jaraknya sekitar dua batang
tombak lagi di depan Pramana dan Rawuni.
"Rawuni, menjauhlah dari kakakmu!"
perintah Paman Darwala tegas.
"Kau tetap di sini, Rawuni!" sentak Pramana
sambil mencekal tangan adiknya.
"Tidak!" sentak Rawuni mengibaskan cekalan
kakaknya.

Rawuni segera berlari menjauh begitu
terlepas dari cekalan kakaknya.
"Rawuni...!" bentak Pramana gusar.
Kegusaran Pramana bertambah melihat
Paman Darwala menyongsong menyambut
gadis itu. Dan seketika itu juga, Pramana
mengecutkan tangannya. Secercah cahaya
berkelebat cepat keluar dari tangannya. Tampak
dua buah pisau kecil tipis meluncur ke arah
Rawuni.
"Rawuni, awas...!" seru Paman Darwala
terkejut.
Tapi Rawuni tidak sempat lagi untuk
menghindar. Namun Pendekar Pulau Neraka
sudah menghentakkan tangan kanannya.
Seketika itu juga Cakra Maut melesat dari
pergeiangan Pendekar Pulau Neraka. Cakra
Maut menghantam dua pisau yang hampir saja
menembus punggung Rawuni. Pada saat yang
sama, gadis itu menjatuhkan tubuhnya ke tanah
dan bergulingan beberapa kali.
Bayu menghentakkan tangan kanannya ke
atas, maka Cakra Maut kembali melesat balik,
lalu menempel kembali pada pergeiangan
tangan kanannya. Pramana menggeram gusar
melihat Pendekar Pulau Neraka menggagalkan
maksudnya.

"Kau terlalu banyak ikut campur, pendekar
setan! Mampus kau! Hiyaaat...!"
Pramana tidak bisa lagi menahan gejolak
hatinya yang tengah disulut api dendam
membara. Bisikan iblis sudah merasuki hati
pemuda itu. Dia melompat cepat bagai kilat
menerjang Pendekar Pulau Neraka. Namun
manis sekali Bayu mengelakkan serangan itu.
Bahkan tanpa diduga sama sekali, tangan kirinya
menyodok ke arah perut.
"Hughk...!" Pramana mengeluh pendek.
Pemuda itu terhuyung-huyung ke belakang
sambil memegangi perutnya. Kalau saja sodokan
itu disertai pengerahan tenaga dalam, pasti
semua isi pertunya sudah ambrol keluar. Tapi
sodokan tenaga luar itu mampu membuat bola
mata Pramana berputar, dan perutnya terasa
mual.
Hanya sebentar Pramana mengatur napas
untuk mengusir rasa mual pada perutnya,
kemudian sudah kembali menyerang Pendekar
Pulau Neraka dengan jurus-jurus pendek yang
cepat dan dahsyat.
Bayu bisa merasakan kalau setiap pukulan
dan tendangan Pramana mengandung
pengerahan tenaga dalam yang cukup tinggi.
Memang sudah bisa diukur sampai di mana
ketinggian tenaga dalam Pramana Hingga ketika
satu pukulan keras menggeledek meng arah ke

dadanya, dengan cepat Bayu menyodokkan
tangan kanan, menyambut pukulan itu.
Trak!
"Akh!" Pramana memekik tertahan.
Pemuda itu kontan melompat mundur tiga
tindak. Bibirnya meringis merasakan sakit di
seluruh tangan kirinya yang beradu dengan
tangan kanan pendekar muda itu. Pramana
menyadari kalau tenaga dalamnya masih di
bawah Pendekar Pulau Neraka. Cepat pemuda
itu mencabut pedangnya yang tergantung di
pinggang.
Sret!
"Hm...," Bayu menggumam melihat pedang
sudah terhunus dalam genggaman Pramana.
PendekarPulau Neraka menggeser kakinya ke
samping bebe-rapa tindak.
Sementara itu semua orang yang ada di situ
memperhatikan dengan perasaan tegang.
Mereka tidak berkedip memandangi dua orang
yang saling berhadapan, siap melakukan
pertarungan tingkat tinggi.
"Hiyaaa...!"
"Hait..!"
Pramana melompat cepat bagai kilat sambil
membabatkan pedangnya beberapa kali ke arah
bagian-bagian tubuh lawan yang mematikan.

Dan Bayu yang sudah siap sejak tadi,
mengerahkan jurus 'Kelelawar Maut'! Jurus Bayu
itu didapat dari seorang pendekar yang bergelar
Pendekar Kelelawar dari Selatan. Jurus andalan
ini jarang digunakan. Bayu bertarung dengan
kedua tangan sering mengembang. Gerak
tubuhnya begitu lentur, meliuk-liuk
menghindari setiap tebasan dan tusukan pedang
Pramana yang dahsyat dan mengandung tenaga
dalam tinggi.
***
Pertarungan antara Pramana melawan
Pendekar Pulau Neraka berjalan sengit. Tapi
baru saja lima jurus terlewati, sudah kelihatan
kalau Pramana tidak mampu lagi menahan
gempuran Bayu Hanggara. Beberapa kali
tubuhnya harus rela menerima pukulan
pendekar muda itu. Pramana sudah jatuh
bangun, tapi masih tetap tidak undur barang
sedikit pun. Dia tahu kalau setiap pukulan yang
diterimanya tidak mengandung tenaga dalam,
tapi cukup nyeri juga. Dan ini membuat
Pramana merasa terhina.
"Phuih!" Pramana menyemburkan ludahnya.
Cepat sekali Pramana menyerang kembali
dengan jurus-jurus andalannya. Namun baru

beberapa gebrakan saja, tanpa diduga sama
sekali satu pukulan telak Pendekar Pulau Neraka
membuat pemuda itu terjungkal ke belakang,
menghantam sebongkah batu besar hingga
hancur berantakan.
"Keparat! Hiyaaat...!" Pramana mengumpat,
langsung melompat bangkit dan menyerang.
Wut! Wut!
Dua kali tebasan pedang Pramana berhasil
dihindari Pendekar Pulau Neraka. Kegigihan
Pramana membuat hati Bayu kagum, tapi juga
gusar karena sifat keras kepalanya. Sudah
diberikan keringanan untuk mundur, malah
semakin liar saja. Menyerang membabi buta
tanpa menghiraukan lagi norma-norma ilmu
olah kanuragan yang benar.
"Hih! Hyaaa...!"
Bayu melentingkan tubuhnya ke atas, ketika
satu tebasan pedang Pramana mengincar
kakinya. Pendekar Pulau Neraka itu melewati
kepala Pramana, dan kakinya langsung
mendupak kepala pemuda itu.
"Akh...!" Pramana memekik keras tertahan.
Dupakan kaki Pendekar Pulau Neraka tepat
menghantam kepalanya. Pramana jadi limbung.
Dan pada saat tu, satu pukulan telak bertenaga

dalam penuh, dilepaskan Bayu. Pukulan itu
tidak terbendung lagi, langsung menghantam
dada Pramana.
"Aaakh...!" lagi-lagi Pramana menjerit keras.
"Kakang...!" teriak Rawuni seketika.
Tubuh Pramana terbanting keras ke tanah.
Pemuda itu menggelepar merasakan sakit yang
amat sangat di bagian dada. Mulut dan
hidungnya mengucurkan darah. Pelipisnya pun
sobek cukup lebar. Pramana berusaha bangkit
berdiri, tapi tubuhnya limbung. Dengan
menahan sakit pada ronga dada dan kepalanya,
Pramana berlari cepat sambil mengangkat
pedangnya tinggi-tinggi ke atas kepala.
"Hiyaaat..!"
"Hup! Hiyaaa...!"
Bayu menghentakkan tangan kanannya ke
depan, maka seketika itu juga dari pergelangan
tangan kanannya meluncur Cakra Maut. Senjata
andalan Pendekar Pulau Neraka itu tepat
menghunjam dada Pramana, hingga tembus ke
punggung. Cakra Maut terus melesat dan
berputar balik begitu Bayu mengangkat
tangannya ke atas. Cakra Maut berwarna
keperakan itu kembali menempel di pergelangan
tangan Pendekar Pulau Neraka.
Sementara itu Pramana semakin limbung.
Darah mengucur deras dari luka-luka di

tubuhnya, terutama pada bagian dada dan
punggungnya yang berlubang. Hanya sebentar
Pramana mampu bangkit berdiri, kemudian
ambruk menggelepar di tanah.
"Kakang...!" seru Rawuni keras.
Gadis itu akan memburu, tapi tangannya
keburu ditangkap Paman Darwala. Rawuni
berbalik dan menangis dalam pelukan
pamannya. Semua yang menyaksikan kejadian
itu hanya diam membisu. Semua mata terpaku
pada Pramana, biang keladi keonaran di Desa
Kiting. Itu semua karena rasa sakit hatinya pada
Jruda.
Paman Darwala membawa Rawuni
meninggalkan tempat itu. Gadis itu masih
menangis, melangkah dalam pelukan pamannya.
Sementara Jruda dibantu salah seorang murid
Padepokan Mega Kiting mengangkat tubuh
Pramana yang sudah membujur mayat. Mereka
menaruhnya di atas kuda hitam, milik Pramana
sendiri. Murid Padepokan Mega Kiting
menuntun kuda itu dengan tangan kanannya,
sedangkan tangan kiri menuntun kuda milik
Rawuni. Jruda memandangi Pendekar Pulau
Neraka, yang kemudian datang
menghampirinya.
"Aku tidak tahu, harus mengucapkan apa
kepadamu, Bayu," kata Jruda pelahan.

"Hhh...!" Bayu hanya menarik napas panjang
saja.
"Kuharap kau bersedia singgah dulu di
padepokan. Meskipun kita semua sudah
mendengar pengakuan Pramana, tapi Paman
Darwala pasti meminta Rawuni untuk
mengatakan semuanya. Aku tidak tahu,
hukuman apa yang akan dijatuhkan terhadap
Rawuni," kata Jruda lagi.
"Kalau bisa, jangan terlalu berat. Biarkan dia
menikmati kehidupan ini. Aku yakin, dia gadis
yang baik," ujar Bayu memberi saran.
"Ini permintaanmu, Bayu?"
"Katakanlah begitu."
"Akan kusampaikan pada Paman Darwala
nanti. Aku juga tidak menginginkan jika Rawuni
dijatuhi hukuman yang berat. Malah dia akan
kuajak membangun kembali Padepokan Mega
Kiting, dan akan kuselidiki kematian ayahnya.
Kalau pun memang terbukti ayahku yang
melakukannya, biar aku yang menanggung
semuanya," kata Jruda mantap.
Bayu tersenyum dan menepuk bahu Jruda,
kemudian berbalik dan melangkah pergi. Jruda
memandangi kepergian Pendekar Pulau Neraka
itu. Segera dibalikkan tubuhnya, dan kembali
menuju Desa Kiting. Sementara Paman Darwala
dan yang lainnya sudah menunggu di atas kuda.

Jruda langsung melompat naik ke punggung
kudanya.
"Apa yang dikatakannya padamu, Jruda?"
tanya Paman Darwala.
"Dia menginginkan aku dan Rawuni
membangun kembali Padepokan Mega Kiting,
dan berharap dari padepokan itu muncul
pendekar pembela kebenaran," sahut Jruda.
"Sungguh mulia hatinya. Bagaimana
denganmu, Rawuni?" Paman Darwala
memandang pada keponakannya.
"Aku harus menjalani hukuman lebih dahulu,
Paman," sahut Rawuni lirih.
"Hukumanmu tetap ada."
"Aku rasa, aku tidak sanggup lagi ke Desa
Kiting, Paman. Kalau boleh, biarkan aku
mengembara untuk menebus segala dosa-
dosaku dengan memberantas ketidakadilan,"
pinta Rawuni.
Paman Darwala tersenyum terharu.
Ditepuknya pundak gadis itu, lalu dihentakkan
tali kekang kuda nya. Mereka semua bergerak
menuju kembali ke Desa Kiting. Tapi di
persimpangan jalan, mereka berpisah Paman
Darwala dan Rawuni langsung menuju ke
tempat asal mereka sambil membawa mayat
Pramana. Sedangkan Jruda dan murid
Padepokan Mega Kiting kembali ke padepokan.

"Kasihan kau, Rawuni. Terjebak dalam
Lingkaran Rantai Setan...," desah Jruda dalam
hati.

                             SELESAI




Share:

0 comments:

Posting Komentar