..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Sabtu, 01 Februari 2025

NAGA GENI EPISODE BARA API DI LAUT KIDUL

Bara Api Di Laut Kidul

 

SATU

WAJAH PERAK sang rembulan masih menyinarkan 
cahayanya ke arah permukaan bumi. Pantulan 
sinarnya pada permukaan daun yang basah oleh 
embun malam, berkilat-kilat gemerlapan laksana 
permata-permata yang bertaburan.
Sementara itu, di dalam rumah yang terletak di 
ujung Desa Mijen, tampaklah tiga orang duduk di 
balai-balai dalam suasana penuh keakraban.
Ki Rebab Pandan tak habis-habis kekagumannya 
menatap wajah Pendekar Bayangan yang kini telah 
menanggalkan topengnya. Wajah itu yang lebih tua 
daripada dirinya, masih juga menampakkan 
kesegarannya dan cerah. Sepasang kumis dan jenggot 
keputihan menghias wajahnya. Demikian pula mata 
Pendekar Bayangan yang tampaknya sudah tua itu, 
masih pula bersinar bening dan tajam.
“Nah, Ki Rebab Pandan. Sekarang, silakan Andika 
berceritera tentang Panembahan Jatiwana dan Ki 
Topeng Reges itu. Kami ingin sekali mendengarnya, 
lebih-lebih dengan kisah Landean Tunggal yang sangat 
mengharukan itu,” ujar Mahesa Wulung dengan penuh 
hormat.
“Ya. Berceriteralah, Kisanak. Saya rasa, aku pun 
pernah mendengar nama Panembahan Jatiwana 
beberapa puluh tahun yang lalu,” sambung Pendekar 
Bayangan pula.
“Oh, ya, ya. Baiklah. Aku mulai saja dengan ceri-
teraku. Kita mulai pada waktu yang telah silam, kira-
kira duapuluh tahun yang lalu. Di waktu itu, saya 
masih mengabdi pada Panembahan Jatiwana sebagai 
seorang cantrik, seorang cantrik yang masih sangat

muda sekali yang kadang-kadang menangis bila 
bertengkar dengan kawannya,” Ki Rebab Pandan 
berhenti sejenak sambil menyeruput wedang jahenya.
“Hmm, ceritera Andika mulai menarik,” gumam 
Pendekar Bayangan seraya menelan ubi rebus yang 
telah dikunyahnya. “Teruskanlah. Kami akan mende-
ngarnya sampai selesai.”
“Baiklah, dan lebih menarik lagi bila aku me-
ngatakan pada Andika berdua, bahwa aku sebenarnya
adalah putera Panembahan Jatiwana sendiri!” ujar Ki 
Rebab Pandan.
“Ha, Andika putera Panembahan Jatiwana?!” seru 
Pendekar Bayangan dan Mahesa Wulung berbareng 
saking kaget dan herannya.
“Begitulah. Sedang Landean Tunggal yang waktu itu 
berusia jauh lebih tua dari aku, menjadi murid 
kesayangan Bapak Panembahan Jatiwana. Ia seorang 
yang baik, dan terhadap diriku ia sungguh menaruh 
rasa sayang dan kasih. Bagiku ia merupakan seorang 
kakak yang sejati.”
Suasana Padepokan Gunung Merapi ini sangat 
tenteram dan damai. Perguruan Panembahan Jatiwana 
berlangsung dengan baik serta cukup terkenal dimana-
mana, di segenap pesisir utara dan selatan Jawa. 
Tetapi suasana tenteram dan damai tadi akan segera 
berubah, bila pada suatu sore yang cerah kami berdua 
dengan Kakang Landean Tunggal mengantar 
Panembahan Jatiwana berjalan-jalan menuruni lereng 
gunung sebelah selatan.
“Angger Landean Tunggal dan kau, Rebab Pandan. 
Apakah kalian telah memahami loncatan-loncatan 
Srigunting yang telah aku ajarkan kemarin?” berkata 
Panembahan Jatiwana sambil menghentikan 
langkahnya.

“Sudah, Guru. Kami berdua telah mempelajarinya, 
tetapi mungkin masih kurang sempurna,” jawab 
Landean Tunggal.
“Tak apalah, Angger. Justru kalian berdua kuajak 
kemari ini, selain untuk berjalan-jalan menghirup 
udara sore sesegar ini, juga aku ingin melihat sampai 
di manakah kalian telah memahami loncatan-loncatan 
Srigunting itu,” berkata Panembahan Jatiwana seraya 
menatap kedua muridnya, membuat kedua orang itu 
tertunduk segan. “Memanglah, suatu permulaan pasti 
kurang sempurna. Tetapi dengan latihan-latihan dan 
ketekunan pastilah hal itu bisa dicapai Angger.”
“Terima kasih, Guru,” sela Landean Tunggal. 
“Apakah guru bermaksud....”
“Memang aku ingin melihatnya, Landean,” sahut 
Panembahan Jatiwana segera. “Supaya aku dapat 
mengetahui kekurangan-kekurangannya.”
“Baik, Guru,” kata Landean Tunggal dengan me-
nganggukkan kepalanya kemudian melangkah surut 
ke belakang dua langkah. Setelah memusatkan 
tenaganya, dengan segera ia menjejak tanah dan 
melesatlah tubuhnya ke udara bagaikan gerak burung 
srigunting dengan tiga putaran di atas untuk sejurus 
kemudian ia mendarat kembali ke tanah dengan tegak.
Melihat kelincahan Landean Tunggal, orang tua ini 
tersenyum lega. “Hmmm, ya, ya. Itu cukup baik, 
Angger. Nah, kini aku pun ingin melihat loncatanmu, 
Rebab Pandan.”
“Siap, Guru,” Rebab Pandan menghormat kemudian 
ia pun meloncat ke udara dengan tiga kali putaran 
tubuhnya seperti bola, persis yang dikerjakan Landean 
Tunggal. Tetapi ketika mendarat iapun menunjukkan 
gaya tersendiri. Ia telah mendarat di tanah dengan 
berjongkok. Karuan saja Landean Tunggal serta

Panembahan Jatiwana terperanjat kagum!
“Hebat kau, Adi Rebab Pandan,” seru Landean 
Tunggal memuji.
“Bagus, bagus. Kalian berdua ternyata murid yang 
cerdas. Loncatan-loncatan tadi cukup sempurna. Dan 
akan lebih sempurna jika Angger berdua bisa lebih 
lama berloncatan dan bersilat di udara.” Panembahan 
Jatiwana berhenti berkata, demi dilihatnya kedua 
muridnya itu terlongoh-longoh mendengar tutur 
katanya.
“Bersilat di udara?” seru mereka kaget.
“Ya, bersilat di udara, sehingga akan sesuai dengan 
namanya. Loncatan srigunting! Apakah Angger pernah 
melihat burung srigunting yang terbang berjumpalitan 
di udara kesana kemari?”
“Pernah, Guru,” ujar Landean Tunggal. “Tetapi itu 
berarti kita harus mengerahkan segenap ilmu meri-
ngankan tubuh.”
“Tak salah lagi, Angger!” sahut Panembahan 
Jatiwana membenarkan. “Bila kalian telah mampu 
melakukannya, maka tak mustahil Angger akan dapat 
meloncat dan berputaran serta bersilat di udara dalam 
waktu yang cukup lama.” Orang tua ini berhenti 
sejenak seraya menatapi kedua muridnya, kemudian ia 
melanjutkan kata-katanya, “Nah, baiklah. Untuk 
jelasnya aku akan memberi contoh kepada Angger 
berdua.”
Mendengar ujar gurunya, Landean Tunggal serta 
Rebab Pandan berdebar-debar hatinya, sebab mereka 
belum pernah melihat orang tua ini mempertunjukkan 
loncatan srigunting dalam bentuk tata kelahi dan silat.
“Hyaaat!”
Tiba-tiba lamunan mereka dikejutkan oleh sebuah 
teriakan nyaring dan mata mereka menangkap baya

ngan tubuh gurunya melesat ke atas udara tinggi-
tinggi dan berjumpalitan kesana kemari serta memutar 
tongkat kayunya seperti pusaran angin berderu-deru 
menakjubkan. Gerakan ini dilakukan dengan cepat 
serta lincah, selincah gerak burung srigunting. 
Sesudah bersilat di udara sesaat tadi, Panembahan 
Jatiwana lalu melayang ke bawah dan mendarat 
kembali di atas tanah.
Ketika mendarat itu, Panembahan Jatiwana masih 
melihat kedua orang muridnya tersebut terdiam 
membisu.
“Kalian tak perlu heran, Angger. Jika kalian terus 
senantiasa berlatih dengan gigih, pastilah kelak Angger 
akan dapat melakukannya pula.”
“Terima kasih, Guru.”
“Dan sekarang,” kata Panembahan Jatiwana kepada 
kedua orang muridnya, “marilah kita berlatih loncatan 
srigunting dalam pengetrapan tata silat. Kalian boleh 
menyerangku berbareng!”
Berbareng dengan kata-katanya itu, ia melihat 
betapa kedua muridnya segera memasang kuda-kuda 
siaga. Landean Tunggal bergeser surut ke belakang, 
sementara Rebab Pandan melingkar ke kanan dua 
langkah. Kedua pasang mata mereka menatap tajam 
ke arah dirinya.
“Heh, heh, heh, bagus! Bagus! Kalau sudah begitu 
baiknya kita mulai saja latihan ini. Ayo, seranglah 
saja,” ujar Panembahan Jatiwana kegirangan serta 
bersiaga sepenuhnya.
Tiba-tiba sebuah angin berdesir dingin, dan ter-
nyata secara cepat dan diam-diam Landean Tunggal 
telah melancarkan serangan pukulan ke arah orang 
tua ini.
Sementara itupun Rebab Pandan dengan sigapnya

mengirimkan sebuah tendangan kaki ke arah lambung 
gurunya. Biarpun dalam hati kedua murid 
Panembahan Jatiwana itu segan melakukan serangan-
serangan ini namun merekapun yakin bahwa gurunya 
jauh berada di atas tingkatan ilmu mereka, sehingga 
dengan demikian keduanya tidak usah kuatir kalau-
kalau Panembahan Jatiwana itu terluka karenanya.
Dugaan mereka ternyata benar. Sebelum serangan 
mereka sempat menyentuh kulit tubuh orang tua ini, 
mendadak saja Panembahan Jatiwana telah melesat ke 
udara. Serangan-serangan mereka hanya 
mendapatkan udara kosong belaka.
Dasar Landean Tunggal termasuk murid gemble-
ngan orang tua ini, maka begitu serangannya gagal ia 
tidak lantas berputus asa. Iapun cepat mengetrapkan 
ilmu loncatan srigunting dan sambil melesat ke udara, 
kedua tangannya telah melancarkan pukulan 
beruntun.
Tetapi orang tua ini sekali lagi membuat putaran di 
udara dan loloslah ia dari gempuran Landean Tunggal, 
membuat muridnya ini terpekik kagum. Kini 
Panembahan Jatiwana ganti melayang turun dan 
menyerang Landean Tunggal dengan tepukan telapak 
tangan. Serangan ini begitu tiba-tiba dan hanya 
menggunakan sedikit tenaga, namun akibatnya sangat 
menakjubkan. Lengan Landean Tunggal yang terkena 
gempuran telapak tangan tadi tergetar dan kesemutan, 
sehingga ia terpaksa lekas-lekas mendarat ke tanah.
Belum habis Panembahan Jatiwana mengawasi 
Landean Tunggal mendarat ke tanah, tiba-tiba dari 
arah samping meluncur satu serangan pula dengan 
hebatnya. Maka cepat-cepat orang tua ini melengos ke 
samping. Dan alangkah kagetnya, bila penyerang ini 
tidak lain si Rebab Pandan.


“Hyaat!”
Plaak!
Tahu-tahu tangan Rebab Pandan tergempur oleh 
telapak tangan Panembahan Jatiwana, sampai pemuda 
ini tergetar surut ke belakang. Tapi baiknya ia cepat-
cepat berputar di udara hingga getaran tadi punah 
karenanya. Sejurus kemudian iapun turun ke tanah 
kembali.
Begitu pula orang tua itu. Iapun turun ke tanah, 
biarpun hanya sebentar. Sebab setelah itu iapun 
melesat kembali ke udara dengan sigap dan lincah.
Dalam waktu yang sama, Landean Tunggal telah 
mengejarnya dengan loncatan Srigunting ke arah 
gurunya, dan bertempurlah mereka kembali ganti-
berganti. Maka tak ubahnya gerakan burung 
srigunting, ketiganya berloncatan ke udara serta 
bertempur dan sesaat mendarat kembali ke tanah 
untuk kemudian berlenting lagi ke udara.
Kalau mula-mula keduanya segan bertempur
melawan gurunya, kini tanpa terasa mereka telah 
mengerahkan segenap ilmunya dalam menghadapi 
orang tua ini.
Mereka bertempur dengan seru sampai puluhan 
jurus dihabiskan. Tetapi tiba-tiba saja di tengah 
pertempuran yang seru ini, Panembahan Jatiwana 
telah berseru, “Tahan! Kita sudahi latihan ini!”
Tentu saja kedua muridnya itu terlongoh keheranan 
melihat gurunya menutup latihan tersebut secara tiba-
tiba. Mereka menduga keras pastilah ada sesuatu 
kejadian yang penting, sampai orang tua ini berbuat 
begitu.
“Angger berdua, dengarlah dengan baik-baik. Angin 
dari arah selatan ini telah membawa getaran-getaran 
aneh. Getaran dari pertarungan yang seru!”

Mendengar ujar gurunya ini, Landean Tunggal serta 
Rebab Pandan terpaksa memusatkan pendengarannya 
dan setelah beberapa lama berusaha, dapatlah mereka 
mendengar getaran-getaran dari arah selatan.
“Benar, Guru! Rupanya telah terjadi pertarungan di 
sebelah selatan sana!” seru Rebab Pandan.
“Nah, marilah kita pergi ke sana. Kita akan lihat 
apakah yang telah bertarung disana,” kata 
Panembahan Jatiwana sekaligus memberi isyarat 
kepada kedua muridnya itu.
Sebentar saja ketiga orang itu telah berloncatan ke 
arah lereng Gunung Merapi sebelah selatan dengan 
cepatnya.
Ketiga orang itu masing-masing bertanya di dalam 
hati, apakah gerangan yang tengah terjadi di lereng 
selatan sana? Pertarungan manusia ataukah pertaru-
ngan antara binatang buas? Getaran-getaran tadi 
makin terdengar jelas apabila mereka semakin jauh 
menuju ke lereng selatan.
Di antara keremangan cahaya senja, di antara 
semak-semak ilalang di dataran kecil, terlihatlah tiga 
bayangan bergerak-gerak dengan cepatnya, saling 
melibat.
Panembahan Jatiwana dengan kedua muridnya itu 
segera bergerak lebih dekat ke arah ketiga bayangan 
itu, dan kini tampaklah dengan jelas apa yang tengah 
terjadi di hadapan mereka.
Seorang pemuda dengan mati-matian bertahan 
terhadap serangan dua ekor harimau tutul! 
Tampaknya ia seorang pemberani, sebab ia hanya 
menggunakan sebuah ranting kayu dalam menghadapi 
kedua binatang buas itu. Pada tubuhnya tampaklah 
goresan-goresan dan luka-luka berdarah.
Rupa-rupanya kedua ekor harimau tutul itu sudah

sangat kelaparan, sehingga gerakan mereka tampak 
semakin ganas. Loncatan-loncatan, terkaman serta 
raungan yang menyeramkan terdengar memenuhi 
tempat itu. Mereka merangsang pemuda itu dengan 
ganas. Bau darah manusia yang menetes-netes dari 
luka-luka itu sangat merangsang nafsu laparnya.
Sementara itu sang pemuda calon korbannya telah 
banyak menderita luka-luka. Gerakannya menjadi 
semakin lamban, apalagi darahnya telah banyak yang 
keluar dari luka-luka tubuhnya. Ditambah dengan 
rasa lelah yang kelewat sangat, maka si pemuda itu 
sudah berputus asa kiranya. Ia tak mampu lagi 
menangkis cakaran-cakaran kuku-kuku tajam dari 
kedua harimau tutul itu, hingga bertambahlah luka-
luka baru yang menghiasi kulitnya.
Dalam detik-detik yang kritis ketika pemuda itu 
roboh ke tanah dan kedua harimau itu siap 
menerkamnya, sekonyong-konyong dua buah batu 
sebesar telur ayam telah melesat menerjang tubuh 
kedua ekor harimau itu hingga keduanya jatuh 
bergulingan ke tanah dengan raungan kesakitan.
Tentu saja kedua binatang tadi menjadi marah, bila 
serangannya telah terganggu akibat lemparan batu-
batu tersebut. Mereka cepat bangkit dan mengendap. 
Mulutnya tampak menyeringai lebar, hingga gigi-gigi 
dan taringnya yang runcing kelihatan sangat seram.
Keduanya menatap tajam ke arah utara dan 
tampaklah seorang tua bertongkat kayu, berdiri de-
ngan kokoh laksana tonggak baja yang tak 
tergoyahkan badai ataupun gempa. Sedang agak jauh 
di belakang orang tua itu, berdiri pula dua orang muda 
yang tidak lain adalah Landean Tunggal beserta Rebab 
Pandan.
Kedua macan tutul tersebut tidak lekas-lekas

memulai serangannya, seolah-olah mereka tengah 
mengukur tenaga lawannya. Agaknya mereka 
keheranan dengan kekuatan orang tua itu yang telah 
berhasil merobohkannya dengan lemparan batu!
Tetapi sesaat kemudian, mereka mulai menggeram 
dan bersiaga. Panembahan Jatiwana tidak merasa 
gentar karenanya, selain memutar tongkat kayunya 
sampai berdesing menerbitkan angin.
Tiba-tiba seekor di antaranya menerkam ganas ke 
arah Panembahan Jatiwana, namun orang tua ini 
keburu meloncat ke udara sementara tongkatnya tetap 
berputar hebat! Kejadian berikutnya sangat cepat dan 
sukar ditangkap mata. Tubuh macan tutul yang 
menerkam tadi tahu-tahu menggeliat serta 
menggerung keras akibat tongkat kayu Sang 
Panembahan menggempur batok kepalanya, dan 
sejurus kemudian macan tutul itu rebah ke tanah de-
ngan kepala yang pecah!
Dalam waktu yang sama, ketika Panembahan 
Jatiwana masih mengambang di udara, macan tutul 
yang kedua segera meloncat tinggi-tinggi dengan kuku 
jari-jarinya yang mengembang penuh, siap merobek 
tubuh orang tua ini. Akan tetapi sekali lagi 
Panembahan Jatiwana berputar di udara dan kembali 
tongkat kayunya beraksi.
Prak!
Raungan hebat memecah kesunyian senja, apabila 
tongkat itu membentur tulang punggung harimau ini. 
Gemertak tulang patah serta disusul oleh tubuh si 
tutul terhempas ke tanah telah mengejutkan Landean 
Tunggal serta Rebab Pandan. Tak nyana, bahwa 
gurunya yang sudah setua itu masih mampu 
merobohkan dua ekor macan tutul dalam beberapa 
gebrakan saja. Mereka sesaat masih menatapi bangkai

kedua ekor macan tutul yang kini tergeletak di tanah 
bermandi darah!
Landean Tunggal serta Rebab Pandan buru-buru 
berlari mendekati gurunya.
“Oooh, Guru tak apa-apa?” sapa Landean Tunggal 
penuh kecemasan.
“Maaf, kami berdua tak sempat membantu,” ujar 
Rebab Pandan agak menyesal, sebab sebenarnya mere-
ka tak sampai hati membiarkan orang tua ini bersusah 
payah berjumpalitan menghadapi kedua macan tutul 
itu.
“Tak apa, Angger. Aku masih tetap baik-baik saja. 
Marilah kita cepat-cepat menolong orang itu! Kita 
harus menyelamatkan jiwanya!”
“Baik, Guru,” ujar mereka berbareng.
Ketiganya segera bergegas mendekati si pemuda 
tadi, yang tergeletak dengan tubuhnya penuh luka-
luka berdarah.
“Ah, kasihan dia. Mudah-mudahan jiwanya dapat 
tertolong,” berkata orang tua itu seraya berjongkok di 
samping tubuh si pemuda berkumis lebat yang 
terkapar di tanah tak berdaya.
“Ooh, Bapak telah menolong jiwaku,” desis si 
pemuda sambil menyeringai kesakitan. “Terima kasih.”
“Tenanglah, Angger,” Panembahan Jatiwana berkata 
lirih. “Biarlah bapak membalut luka-lukamu.”
Selesai berkata Sang Panembahan segera me-
ngambil selembar kain putih selebar ikat kepala serta 
dirobeknya menjadi beberapa bagian. Kemudian ia 
memetik daun-daun pohon-pohon kemeladingan serta 
diremas-remasnya hingga lumat, untuk kemudian 
dibubuhkan pada luka-luka itu.
“Nah, untuk sementara ini cukup untuk 
menghentikan darahmu yang mengalir dari luka-luka,”

kata Sang Panembahan sambil membalut luka-luka si 
pemuda.
Sementara itu, Rebab Pandan yang memandang 
wajah si pemuda berkumis lebat hatinya seketika 
berdebar-debar. Entah apa sebabnya, ia tidak 
mengetahui. Hatinya merasa curiga terhadap pemuda 
ini, maka iapun menyela berbicara, “Maaf, Kisanak. 
Siapakah Kisanak dan mengapa berada di tempat ini?”
“Eh, saya bernama Umpakan dan saya... eh saya... 
hanya berjalan jalan saja ke tempat ini. Kemudian 
kedua macan tutul tadi menyerangku,” jawab si 
pemuda berkumis lebat tadi tergagap-gagap, 
menambah kecurigaan Rebab Pandan.
“Angger Rebab Pandan! Simpanlah pertanyaan-
pertanyaanmu untuk waktu yang akan datang, bila 
Kisanak ini telah sembuh dari luka-lukanya,” sambung 
Panembahan Jatiwana.
Mendengar tutur kata gurunya itu, Rebab Pandan 
tertunduk malu. Kata-kata tadi seolah-olah sebagai 
sindiran yang menunjukkan ketidak-sabaran serta 
kecurigaan yang berlebihan.
“Marilah kita papah Kisanak ini ke padepokan kita,” 
ajak Panembahan Jatiwana kepada kedua muridnya.
Maka tak lama kemudian ketiganya beranjak. 
Rebab Pandan serta Landean Tunggal memapah tubuh 
Umpakan yang masih kelihatan payah, sedang 
Panembahan Jatiwana berjalan di sebelah muka. Me-
reka mendaki jalan yang semula menuju ke arah 
utara, kembali ke Padepokan Gunung Merapi.
Saputan warna-warna merah lembayung tinggal 
sepotong-sepotong di cakrawala barat, pertanda bahwa 
malam segera menjelang. Beberapa ekor kelelawar 
mulai keluar dari sarangnya untuk mencari makan, 
dengan mencicit serta mengepak-ngepakkan sayapnya

mengarungi udara malam.
Langkah-langkah mereka makin lambat sebab jalan 
mulai mendaki berbelok-belok dan mereka harus 
berhati-hati, sebab kini tubuh Umpakan merupakan 
beban yang cukup berat.
Ketika keempat orang itu tiba di pintu gerbang 
Padepokan Gunung Merapi yang ditumbuhi oleh 
sebuah pohon jati tua, maka tergopoh-gopohlah para 
cantrik menyongsong mereka. Kedatangan rombongan 
itu, yang disertai oleh seorang dalam keadaan luka-
luka serta dipapah oleh Landean Tunggal dan Rebab 
Pandan, menyebabkan mereka saling bertanya-tanya 
di dalam hati mereka sendiri, apakah yang telah 
terjadi, dan siapakah tamu yang dipapah dalam 
keadaan luka-luka tersebut?
Mereka segera masuk ke dalam rumah dan diba-
ringkannya tubuh Umpakan di atas sebuah balai-balai. 
Panembahan Jatiwana buru-buru mencuci kedua 
belah tangannya bersih-bersih, lalu ia menuangkan 
sebuah lodong tembikar yang berisi cairan obat ke 
dalam cawan dari tempurung kelapa serta kemudian 
dengan hati-hati diminumkannya ke mulut Umpakan.
Suasana sesaat menjadi hening. Perhatian masing-
masing tertuju kepada Umpakan. Rebab Pandan yang 
sejak tadi telah berusaha mengatasi rasa curiganya 
terhadap Umpakan ini, namun tak mudah kiranya. 
Relung hatinya seolah-olah berbisik, bahwa Umpakan 
adalah orang yang tidak baik kelakuannya!
Beberapa waktu kemudian, tampaklah Umpakan 
telah tertidur lelap. Nafasnya tampak teratur sedang 
kulit tubuhnya kini tidak sepucat tadi melainkan 
kemerahan seperti sedia kala.
Melihat ini, Panembahan Jatiwana segera memberi 
isyarat kepada Landean Tunggal serta Rebab Pandan

dan juga para cantrik, untuk meninggalkan ruangan 
itu.
“Yah, Angger berdua serta para cantrik. Kini biarlah 
Kisanak ini beristirahat sepenuhnya. Marilah kita pun 
beristirahat, agar besok kita bisa bangun lebih pagi. 
Banyak pekerjaan yang harus kita selesaikan.”
“Baik, Bapak Guru,” ujar Landean Tunggal dan 
setelah bersama-sama Rebab Pandan serta para 
cantrik mengangguk hormat, mereka kemudian me-
ninggalkan ruangan itu. Begitu pula, Sang 
Panembahan tua ini bergegas ke arah kamarnya.
Akhirnya sepilah ruangan itu, juga sepi pula 
Padepokan Gunung Merapi yang telah diselimuti oleh 
kabut malam. Alam seolah tertidur semuanya, kecuali 
suara binatang-binatang malam yang bersahutan.
Namun di sebelah ruangan kamar di dalam rumah 
padepokan itu, Landean Tunggal serta Rebab Pandan 
tidak segera dapat tidur sebab mereka masih disibuki 
oleh pikiran-pikiran tentang diri Umpakan yang baru 
saja mereka tolong itu.
“Ssst, Adi Rebab Pandan. Mengapa kau belum tidur 
juga?” bisik Landean Tunggal kepada adik 
seperguruannya yang berbaring di sampingnya.
“Maaf, Kakang. Aku merasa curiga terhadap 
Umpakan,” jawab Rebab Pandan.
Landean Tunggal agak terkejut mendengar kata-
kata Rebab Pandan, tapi kemudian iapun maklum 
bahwa adik seperguruannya itu mempunyai perasaan 
yang tajam.
“Apa sebabnya kau curigai dia, Adi?” tanya Landean 
Tunggal kemudian.
“Kakang masih ingat ketika aku bertanya 
kepadanya, mengapa ia sampai berada di tempat ini? 
Ternyata Umpakan tadi telah menjawabnya dengan

tergagap-gagap.”
“Ah, mungkin itu disebabkan luka-luka ataupun 
kelelahannya, Adik Rebab Pandan,” sela Landean 
Tunggal.
“Bisa jadi, Kakang. Tetapi bagiku hal itu lebih 
berkesan sebagai suatu kebohongan,” bisik Rebab 
Pandan. “Aku yakin ia telah menyembunyikan 
sesuatu.”
“Hmm, kalau itu benar, kita harus berhati-hati 
mulai sekarang, Adik,” ujar Landean Tunggal. 
“Terutama kita harus menjaga keselamatan Bapak 
Guru.”
“Betul Kakang. Aaaah...,” Rebab Pandan berkata di-
susul dengan menguap, “aku telah mengantuk, 
Kakang.”
“Kalau begitu, marilah kita tidur, Adik,” potong 
Landean Tunggal.
Keduanya lalu memejamkan mata serta 
menenangkan pikiran dan beberapa waktu kemudian 
merekapun mulai tertidur dengan pulasnya. Agaknya 
mereka telah kelelahan sehabis berlatih sore hari tadi 
bersama gurunya.
***

DUA

KEHADIRAN UMPAKAN pada Padepokan Gunung 
Merapi ini semula tidak membawa perubahan apa-apa. 
Bahkan yang terlihat adalah kerajinan Umpakan 
dalam berguru dan menuntut ilmu ajaran 
Panembahan Jatiwana. Ilmu jaya kawijayan, 
kesantrian serta keluhuran budi, semua dipelajarinya,

tetapi pada bagian yang ketiga tersebut nampaknya 
cukup sulit untuk diterimanya. Bahkan tidak jarang 
terjadi perdebatan dengan Panembahan Jatiwana 
tentang ilmu keluhuran budi tersebut.
Hal ini tentu saja mengherankan panembahan tua 
itu, sebab tidak demikian halnya dengan Landean 
Tunggal serta Rebab Pandan. Keduanya dengan mudah 
memahami ilmu keluhuran budi tadi.
Sebenarnya ilmu itu hampir setiap orang bisa 
menerimanya, sebab sangat mudah dipahami. Seperti 
bagaimana keharusan menghormati serta menaati 
segala perintah Tuhan Yang Maha Besar, menghormati 
raja, menghormati guru, orang tua, saudara tua serta 
sahabat dan juga terhadap sesama makhluk di 
marcapada ini. Dengan demikian maka tidak mustahil 
ilmu keluhuran budi ini akan menciptakan 
ketentraman dan kedamaian hidup bebrayan di dunia.
Tetapi bagi orang yang jiwanya sudah terlalu kotor 
sering berbuat kejahatan pastilah sukar menerimanya. 
Sebab jiwanya seolah-olah sudah tertutup untuk ilmu 
keluhuran budi ini. Sedang sebaliknya untuk hal-hal 
yang busuk, mereka akan lebih meresapkannya.
Namun rupanya Panembahan Jatiwana tidak terlalu 
berprasangka buruk terhadap diri Umpakan. Ia hanya 
menganggap bahwa hati Umpakan terlalu tumpul 
untuk memahami keluhuran budi, seperti halnya anak 
kecil yang terlalu sulit untuk memahami bahwa 
gerhana matahari bukanlah karena sang matahari 
ditelan oleh Buto Ijo, tetapi karena matahari tertutup 
oleh bayangan rembulan.
Oleh karenanya, Sang Panembahan berusaha 
sungguh-sungguh untuk menolong Umpakan. Ia tidak 
ingin dikatakan terlalu berat sebelah dalam 
membimbing murid-muridnya. Demikianlah, waktu

beredar dengan cepat dan selama ini hampir tak 
terasa. Sudah tiga tahun lebih Umpakan tinggal 
bersama mereka di padepokan lereng Gunung Merapi.
Akhirnya, Sang Panembahan Jatiwana sebagai 
seorang yang telah arif bijaksana dapatlah sedikit-
sedikit memahami kecurigaan Rebab Pandan waktu 
mula-mula bertemu dengan Umpakan. Kini pun orang 
tua ini bertanya-tanya dalam hati, benarkah Umpakan 
orang yang baik-baik? Dan pertanyaan ini akhirnya 
lebih keras merunyam dada apabila pada suatu pagi, 
orang tua ini mengajak ketiga muridnya untuk me-
ngadakan latihan silat dan tata kelahi.
Dalam latihan ini, masing-masing berusaha 
menunjukkan kecakapannya yang selama ini telah 
dipelajari dan ditekuninya.
Suatu ketika, tibalah giliran pertandingan antara 
Landean Tunggal menghadapi Umpakan.
Sesudah keduanya membungkuk hormat kepada 
Panembahan Jatiwana, mereka segera bersiaga dan 
tiba-tiba saja latihan itupun dibuka dengan satu se-
rangan mengagetkan dari Umpakan yang dilancarkan 
sangat cepat ke arah Landean Tunggal. Panembahan 
Jatiwana menjadi terkejut karenanya demikian pula 
Rebab Pandan.
Untunglah Landean Tunggal bukan anak kemarin 
sore. Dengan tangkasnya ia mengelak dari serangan 
itu, malahan dengan lincah iapun bergerak membalas 
menyerang ke arah Umpakan disertai tebasan sisi 
telapak tangan.
Mendapat serangan ini, Umpakan segera 
melontarkan diri ke udara berjumpalitan dengan ilmu 
loncatan Srigunting. Tubuhnya seakan-akan terbang. 
Namun Landean Tunggal tidak tinggal diam 
karenanya. Iapun secepat kilat melesat ke atas


mengejar Umpakan. Maka keduanyapun makin terlibat 
dalam pertempuran sengit.
Panembahan Jatiwana melihat bahwa Umpakan 
makin beringas dalam geraknya. Apa yang dilihatnya 
kemudian, jelas bahwa Umpakan betul-betul 
bertempur dengan segala nafsu dan ilmunya! 
Tandangnya segarang serigala lapar. Menerjang, 
menerkam, menyambar seolah-olah ia kerasukan 
setan.
Meskipun begitu, Landean Tunggal tidak lekas 
menjadi gugup. Iapun menjadi semakin cepat 
geraknya. Kemampuan Umpakan menyerang ia selalu 
dapat melihatnya dan segera membalasnya dengan 
hebat!
Rebab Pandan yang mengetahui gerakan Umpakan, 
seketika berdebar-debar hatinya. Gerakan tadi ter-
nyata telah merupakan gerak percampuran antara 
gerak ajaran Padepokan Gunung Merapi bercampur 
gerak yang lain, sehingga membingungkan pandangan 
mata. Rupa-rupanya saja sebelum Umpakan datang di 
tempat ini ia pernah pula belajar silat di tempat lain.
Begitulah, pertempuran tadi semakin bertambah 
hebat. Di dalam hati Umpakan mengumpat-umpat 
bahwa Landean Tunggal masih dapat menyamai 
ketangkasannya, bahkan lama-kelamaan pastilah diri-
nya akan dikalahkan oleh rekannya itu! Sebagai anak 
yang berdarah muda ia tidak menginginkan hal itu.
Suatu ketika Umpakan melancarkan tendangan 
maut ke arah rusuk lawannya, tetapi Landean Tunggal 
lebih cepat berputar seperempat lingkaran sambil me-
nyambut serangan tadi dengan tebasan sisi telapak ta-
ngan dan selanjutnya...
Praak!
Terjadilah benturan antara sisi telapak tangan

Landean Tunggal dengan tulang betis Umpakan, disu-
sul oleh pekik kesakitan dari mulut Umpakan.
Landean Tunggalpun tergetar ke belakang sampai 
terhuyung-huyung, sedang Umpakan jatuh terpelan-
ting ke atas tanah.
Panembahan Jatiwana serta Rebab Pandan terkejut 
karenanya. Keduanya segera beranjak untuk meng-
hentikan latihan itu. Lebih-lebih dengan orang tua ini. 
Ia tidak ingin melihat keduanya betul-betul berkelahi 
ataupun sampai terluka salah satu di antaranya.
Betapapun sesungguhnya Panembahan Jatiwana 
merasa bangga bahwa muridnya telah mampu 
bertempur sehebat itu, namun keduanya adalah hasil 
didikan, hasil gemblengan dari Padepokan Gunung 
Merapi. Maka iapun tidak ingin bahwa ilmu ajarannya 
itu saling berbentur sendiri.
“Landean Tunggal! Umpakan! Sudahlah! Cukup 
sekian saja latihan ini!” terdengar seruan nyaring dari 
Panembahan Jatiwana, mengumandang di halaman 
padepokan itu.
Sebagai seorang murid yang patuh, seruan itu 
sudah cukup berarti. Maka Landean Tunggal lekas-
lekas melontarkan diri ke belakang menjauhi Umpakan 
yang kini sedang berdiri kembali.
Rebab Pandan menarik nafas lega mendengar 
seruan Panembahan Jatiwana. Tetapi tidak 
demikianlah dengan Umpakan. Relung-relung hatinya
telah diamuk perasaan jengkel dan marah. Sehingga ia 
cepat-cepat berdiri kembali dan menyerang ke arah 
Landean Tunggal.
Serangan itu sungguh tak terduga kecepatannya. 
Dan yang lebih parah lagi, Landean Tunggal tak 
bersiaga pada waktu itu. Hingga seandainya ia 
terpukul oleh Umpakan boleh dipastikan kalau ia

roboh!
Tiba-tiba dalam saat yang begitu tegang, sebuah 
bayangan melesat mencegat serangan Umpakan dan 
sejurus kemudian Umpakan terhenti langkahnya.
Rebab Pandan yang mengikuti kejadian itu, 
serentak terhenyak takjub. Apa yang dilihatnya, tahu-
tahu lengan Umpakan terpegang oleh jari-jemari 
Panembahan Jatiwana, sampai saudara tua 
seperguruan ini meringis kesakitan. Oleh Umpakan 
dirasanya lengannya terjepit oleh jari-jari gurunya, 
seperti terjepit oleh lempengan-lempengan besi.
“Umpakan, kau tak mendengar kata-kataku, 
Angger? Ingatlah, kau hanya berlatih saja,” terdengar 
Panembahan Jatiwana menyapa lirih dengan nada 
penuh wibawa. “Lihatlah, lawan yang kau hadapi 
sekarang. Bukankah itu saudara seperguruanmu
sendiri, si Angger Landean Tunggal?”
Oleh hal ini, apalagi karena cepitan dari jari 
gurunya yang hebat itu, Umpakan seperti tersadar dari 
perbuatannya. Maka ia segera menunduk ke tanah de-
ngan wajah penuh kecewa dan menyesal.
“Maaf, Bapak Guru. Aku agak terlanjur tadi,” desis 
Umpakan memecah kesunyian.
Biar berkata begitu, hatinya tak urung mengutuk. 
Ia menganggap kalau gurunya lebih menyayangi 
Landean Tunggal daripada dirinya sendiri. Buktinya, ia 
hampir-hampir terkalahkan oleh Landean Tunggal. 
“Hmm, pasti Bapak Guru lebih banyak memberi 
gemblengan kepada si Landean Tunggal itu!” Demikian 
hati Umpakan penuh kata-kata dan kekecewaan yang 
tidak terlahirkan.
“Hmm. Kalau kalian telah sadar, sekarang 
berjabatan tanganlah agar kalian tak akan saling 
mendendam lagi!” ujar orang tua itu seraya

melepaskan pegangannya.
Dan akhirnya kedua murid itu saling berjabat ta-
ngan memenuhi permintaan gurunya. Saat itu 
kelihatan sekali kecanggungan Umpakan ketika ia 
mengulurkan tangan untuk menjabat tangan Landean 
Tunggal, seolah-olah ia sangat terpaksa melakukan hal 
itu.
Maka sejak itulah Panembahan Jatiwana telah 
mulai dapat menilai sampai dimana kemampuan 
masing-masing muridnya. Dengan begitu ia telah 
dapat mengira-ngira kepada siapakah kelak ia harus 
menyerahkan Padepokan Gunung Merapi ini. Tidak 
lain adalah kepada Landean Tunggal serta dibantu 
oleh Rebab Pandan.
Untuk itu, panembahan tua itu bertindak sangat 
hati-hati. Ia tidak ingin terang-terangan menunjukkan 
kekecewaan atas sifat-sifat Umpakan yang suka main 
menang sendiri. Dan sebagai orang tua yang bijaksana, 
ia sangat pandai mengasuh ketiga muridnya ini. Ia 
tidak menginginkan satu kericuhan di padepokannya 
yang selama ini telah dibinanya dengan bersusah 
payah.
***
Sebagai seorang pemuda yang punya harga diri, ia 
tidak mau begitu saja merasa tertinggal oleh 
ketangkasan si Landean Tunggal. Itulah sebabnya 
setelah kejadian itu, sejak ia dikalahkan oleh Landean 
Tunggal, Umpakan diam-diam sering menyendiri ke 
tempat-tempat sunyi untuk berlatih silat. Bagi dirinya, 
ia belum merasa puas sebelum dapat mengalahkan 
Landean Tunggal.
Dalam pada itu, baik Panembahan Jatiwana, 
Landean Tunggal maupun Rebab Pandan tidak pernah

tahu, kemana si Umpakan pergi. Mereka memang se-
ngaja tidak ingin menanyakan hal itu kepada 
Umpakan. Biarlah murid ketiganya ini berbuat 
memenuhi gejolak hatinya, asal ia tidak menyusahkan 
padepokan itu serta orang-orang di sekitarnya.
Demikianlah, pada suatu hari Landean Tunggal 
serta Rebab Pandan berjalan-jalan keluar padepokan. 
Keduanya berangkat pagi-pagi ketika matahari mulai 
memanahkan sinar-sinarnya ke lereng timur Gunung 
Merapi.
Diam-diam di dalam hati kedua pemuda ini penuh 
rasa ingin tahu, di manakah selama ini Umpakan 
menghilang. Kadang-kadang tiga hari tiga malam si 
Umpakan tidak pulang ke padepokan, lalu selang satu 
hari ia muncul dan dua hari lagi iapun sudah pergi.
Landean Tunggal bersama Rebab Pandan mula-
mula menuruni lereng sebelah barat, kemudian 
membelok ke selatan. Mereka mulai memasang 
ketajaman telinganya untuk mendengar, kalau-kalau 
mereka dapat mengetahui tempat Umpakan berlatih 
silat. Getaran dari gerakan ilmu silat saja sudah cukup 
bagi mereka untuk dapat ditangkap oleh ketajaman 
telinganya.
Ketika mereka mulai menginjak lereng selatan, 
benar-benarlah keduanya dibikin kaget oleh getaran 
yang bersimpang siur dan berdesau dari arah hutan 
kecil, di dekat sebuah mata air.
“Adi Rebab Pandan, kau dengar itu, Adi?” gumam 
Landean Tunggal seraya menggamit tangan adik 
seperguruannya.
“Ya, Kakang. Aku juga mendengar suara itu,” jawab 
Rebab Pandan sambil memandang Landean Tunggal 
penuh tanda tanya.
Dan keduanya tiba-tiba saja lalu teringat akan

pertemuannya dengan Umpakan di tempat ini pula. 
Sedang kini, di tempat itu pula mereka mendengar 
suara-suara aneh, karuan saja sesaat bulu tengkuk 
mereka meremang saking ngerinya.
“Kakang Landean Tunggal, apakah kita akan 
mendekati suara itu?” tanya Rebab Pandan 
kecemasan.
“Apakah Adi merasa takut?” ujar Landean Tunggal 
kemudian.
“Bukan takut, Kakang. Tetapi aku kuatir kalau 
Bapak Guru marah, sebab kita tidak lebih dulu 
memberi tahu kepada beliau.”
“Jangan kuatir, Adi. Biarlah nanti aku yang 
dimarahi oleh Bapak Panembahan. Kita hanya akan 
mendekati suara itu untuk sekedar mengetahui saja. 
Kalau nanti ternyata ada yang penting, barulah kita 
beritahukan kepada Bapak Guru,” Landean Tunggal 
berkata.
Mendengar ini, Rebab Pandan menjadi tidak kuatir 
lagi. “Baiklah, Kakang. Aku setuju denganmu.”
“Nah, marilah kita berhati-hati mendekati tempat 
itu sekarang,” berkata Landean Tunggal kemudian 
bersama Rebab Pandan mengendap-endap mendekati 
hutan kecil itu, dari mana suara berdesau dan 
getaran-getaran hebat terdengar.
Kedua pemuda itu kemudian menyelinap dan mene-
robos semak ilalang serta rumpun pisang. Dengan sa-
ngat hati-hati mereka selangkah demi selangkah 
melewati sebuah mata air.
Tiba-tiba Rebab Pandan menarik lengan Landean 
Tunggal, hingga kakak seperguruannya ini terbengong 
keheranan. “Ada apa, Adi Rebab Pandan?!”
“Lihatlah ini, Kakang!” ujar Rebab Pandan sambil 
menunjuk ke tanah yang lembab di tepi mata air.

“Jejak-jejak kaki manusia!” desis Landean Tunggal 
sambil mengawasi ke bawah. “Dan lebih dari jejak 
seorang!”
Karuan saja Landean Tunggal memuji setengah 
mati akan ketajaman perasaan dan indera si Rebab 
Pandan. Dalam hati ia merasa kagum akan 
kemampuan adik seperguruannya itu.
“Agaknya jejak-jejak ini ada hubungannya dengan 
suara bising itu, Kakang Landean!” sela Rebab Pandan. 
“Ayo, cepatlah kita melihat mereka, Kakang.”
“Ya, marilah, Adik,” Landean Tunggal berkata 
seraya secepat kilat mengendap-endap kembali ke arah 
tempat itu.
Beberapa saat kemudian, tibalah mereka di tempat 
itu. Kedua pemuda itu segera menguak dedaunan de-
ngan jari-jarinya dan betapa terperanjatnya bila ia 
melihat suatu pemandangan di balik dedaunan itu.
Seorang yang bertubuh pendek agak bungkuk de-
ngan kepala gundul duduk membelakangi mereka dan 
sementara itu, di depan si gundul kelihatanlah 
Umpakan bersilat dengan gerakan yang cepat bagai 
hantu. Tubuhnya merupakan gumpalan sinar yang 
berkelebatan amat cepat, sementara tangan dan 
kakinya sebentar-sebentar melancarkan serangan ke 
udara kosong. Meskipun tanpa sasaran, pukulan ta-
ngan dan kaki menimbulkan angin dan memecah 
udara sehingga menimbulkan suara berdesau dan 
daun-daun kering beterbangan kian-kemari!
“Stt, Kakang Landean, siapakah si gundul itu?” 
bisik Rebab Pandan kepada telinga kakak 
seperguruannya.
“Hiss. Jangan keras-keras. Kita perhatikan saja 
gerakan silat Umpakan ini. Mungkin ada gunanya bagi 
kita nanti,” ujar Landean Tunggal dengan suara yang

sangat lembut.
Rebab Pandan cuma mengangguk saja.
Gerakan Umpakan itu kini makin cepat bernada 
ganas, dan si gundul yang menunggunya itu me-
ngangguk-angguk serta bertepuk kegirangan.
“Hi, hi, hi, bagus, cah bagus. Kamu memang bocah 
yang hebat. Untunglah aku bertemu dengan kamu, 
bocah. Hi, hi, hi, sekarang si Jobin Karang ini punya 
murid yang tangguh! Dan sebentar lagi akan malang-
melintang di pulau Jawa! Hi, hi, hi.”
Mendengar nama si gundul yang menyebut 
namanya Jobin Karang itu, Rebab Pandan menggamit 
lengan Landean Tunggal. Keduanya saling berpanda-
ngan penuh tanda tanya. Rebab Pandan mengangkat 
bahunya sebagai tanda tidak tahu, tetapi kemudian 
Landean Tunggal berbisik ke telinga Rebab Pandan, 
“Nama itu pernah kudengar sebagai tokoh hitam dari 
Laut Kidul!”
Oleh keterangan tadi, mau tak mau Rebab Pandan 
terperanjat seketika. Apa yang selama ini dikuatirkan 
ternyata benar, bahwa Umpakan seorang yang tidak 
baik, yang kini ternyata berkawan dengan tokoh hitam. 
Si Jobin Karang.
Sementara itu, Umpakan telah mengakhiri 
latihannya. Dengan satu lontaran jungkir balik di 
udara, kemudian ia mendarat di tanah di depan Jobin 
Karang dalam posisi kaki bersila, selanjutnya ia 
membungkuk hormat di depan orang gundul itu.
“Hih, hi, hi, hi. Aku senang, cah. Aku bangga de-
ngan kemajuan itu. Tapi kenapa kau tidak mau cepat-
cepat bergabung dengan kami? Mengapa lebih kerasan 
dan betah tinggal di padepokan bobrok itu?!” terdengar 
si gundul berkata.
“Maaf, Ki Jobin,” jawab Umpakan. “Aku belum bisa

tinggal bersamamu sekarang, sebab masih ada 
beberapa soal yang harus kuselesaikan di Padepokan 
Gunung Merapi itu!”
“Hmm, terserah padamu, bocah. Tetapi apa jadinya 
jika para peronda Asemarang dan Banyubiru dapat 
menemukan dirimu disini? Pasti kau akan dilumatkan 
di tempat ini beramai-ramai!”
“Kalau itu terjadi, aku akan melawan mereka de-
ngan sekuat tenaga, Ki Jobin. Mereka akan kuhajar 
dengan ilmu silat ajaranmu ini!”
“Hi, hi, hi, baiklah. Aku tak perlu mencemaskan 
dirimu, Umpakan. Ilmu silatku tadi sudah cukup buat 
menghadapi mereka.”
Ketika itu Landean Tunggal berbisik kepada Rebab 
Pandan, “Adik, dugaanmu dulu rupanya benar. Si 
Umpakan adalah seorang buronan. Ia tengah dikejar 
oleh peronda-peronda dari Asemarang dan Banyubiru.”
“Ah, sungguh berbahaya nasib Bapak Panembahan. 
Jika para peronda itu mengetahui bahwa Umpakan 
menjadi muridnya, pastilah mereka akan menyalahkan 
guru kita. Sebab beliau telah melindungi seorang 
buronan!” ujar Rebab Pandan.
Tiba-tiba sebelum mereka melanjutkan kata-kata-
nya, tangan Landean Tunggal buru-buru menutup 
mulut Rebab Pandan, sebab bersamaan dengan itu si 
gundul Jobin Karang tahu-tahu menoleh ke belakang 
seraya berseru nyaring.
“Hee, aku mendengar kasak-kusuk di pohon sana! 
Hih, rupanya pisau ini harus bekerja!”
Dengan kata-kata itu, Jobin Karang secepat kilat 
melemparkan sebuah pisau kecil panjang yang diambil 
dari balik bajunya.
Traak!
“Ciiat!”

Landean Tunggal serta Rebab Pandan tak terkira 
kagetnya mendengar bunyi itu, yang tepat berasal dari 
sebuah dahan pohon yang melintang di atas kepala 
mereka.
Ketika kedua pemuda itu menoleh ke atas, 
tampaklah seekor tupai tertancap pada dahan pohon 
oleh sebuah pisau panjang hampir separo lebih masuk 
ke dalam kayu!
Melihat hal itu, Rebab Pandan serta Landean 
Tunggal menarik nafas lega. Untunglah bukan kepala 
mereka yang ditembusi oleh pisau itu. Untuk itu 
keduanya bersyukur, tetapi juga tak kalah kagumnya 
melihat tenaga lemparan si Jobin Karang itu.
“Hi, hi, hi untunglah hanya seekor bajing saja. He, 
Umpakan, apakah kau juga sanggup meniru 
lemparanku tadi, ha?!” terdengar Jobin Karang me-
nyapa Umpakan.
“Mudah-mudahan, Guru!” kata Umpakan sambil 
bergerak cepat mencabut pisaunya, lalu dilemparnya 
ke arah bangkai tupai tadi.
Claak!
Pisau itu pun menghunjam tepat pada tubuh 
binatang itu, di samping pisau gurunya, si Jobin 
Karang. Hanya saja pisau tadi menancap kurang dari 
separo. Namun hal itu sudah cukup membanggakan 
Jobin Karang.
“Hi, hi, bagus, bagus. Nah, kiranya latihan cukup 
untuk hari ini. Besok kau datang ke sini sore hari. 
Sekarang marilah kita mengaso sejenak.”
Dalam pada itu, Landean Tunggal serta Rebab 
Pandan mengendap-endap kembali menjauhi tempat 
itu. Dedaunan serta semak-semak lebat cukup baik 
melindungi mereka, hingga keduanya selamat serta 
terlindung dari pandangan mata Jobin Karang serta

Umpakan.
Maka sejak saat itulah, Landean Tunggal serta 
Rebab Pandan sering datang ke tempat ini untuk 
mengintip latihan-latihan Umpakan bersama Ki Jobin 
Karang. Dengan begitu kedua pemuda itu dapat 
mengetahui semua gerakan-gerakan silat Umpakan 
serta jurus-jurusnya.
Akhirnya setelah berpuluh-puluh kali Umpakan 
digembleng oleh Ki Jobin Karang, ia menjadi seorang 
pendekar yang tangguh. Umpakan yang sekarang 
bukanlah Umpakan yang dahulu, dan sejak ini ia 
sudah memperlihatkan ketangguhannya. Terutama 
kepada orang-orang petani di seluruh kaki Gunung 
Merapi, ia sering memamerkan keperkasaannya. Tidak 
jarang beberapa orang petani telah naik ke Padepokan 
Gunung Merapi untuk mengadukan kelakuan 
Umpakan ke hadapan Panembahan Jatiwana.
Bila sudah mendapat laporan begitu, Sang 
Panembahan tidak jarang bersedih hati mendengar 
kelakuan muridnya yang sering menyakiti orang-orang 
tak bersalah. Lalu panembahan tua ini terpaksa 
mengeluarkan uang ataupun benda-benda berharga 
untuk sekadar mengganti apa-apa yang telah 
dirusakkan oleh perbuatan Umpakan kepada para 
petani itu.
Pernah terjadi, si Umpakan ingin minum air kelapa 
muda. Disuruhnya seorang petani untuk me-
ngambilkan kelapa muda itu. Tetapi karena kurang 
cepat, maka si Umpakan menjadi marah. Kemudian 
pohon kelapa tadi dengan tiga kali tendangan kakinya 
telah roboh ke tanah.
Kadang-kadang Panembahan Jatiwana merasa 
menyesal telah menerima Umpakan sebagai muridnya.
Begitulah, kekurang-ajaran Umpakan tadi makin

meluas. Lebih-lebih ketika pada suatu hari seorang
petani bernama Pak Dadap telah tergopoh-gopoh me-
ngadu pada Panembahan Jatiwana, yang pada saat itu 
tengah duduk-duduk bersama Landean Tunggal serta 
Rebab Pandan.
“Oh, celaka, Sang Panembahan. Ketiwasan!” ujar 
Pak Dadap dengan nafas kempas-kempis. Agaknya ia 
telah berlari ketika menuju ke padepokan ini.
“Hee, mengapa, Ki Dadap? Ada apa?” sapa 
Panembahan Jatiwana tak kalah bingungnya.
“Angger Umpakan! Angger Umpakan murid ketiga 
Sang Panembahan, telah bertengkar dengan anak 
gadisku, si Rara Sendang!”
“Hee?! Kakang Umpakan lebih kurang ajar lagi 
rupanya! Maaf, Bapak Panembahan. Aku harus kesana 
secepat mungkin!” seru Rebab Pandan sambil loncat 
keluar rumah.
Landean Tunggal yang melihat adik seperguruannya 
tadi meloncat keluar, iapun secepat kilat menyusulnya. 
“Adik Rebab Pandan, Tunggu! Kau tak boleh kesana 
seorang diri! Berbahaya!”
Sebentar saja kedua pemuda itu telah berloncatan 
dan lenyap di balik pepohonan.
“Wah, celaka ini, Ki Dadap!” seru Panembahan 
Jatiwana cemas. “Ayolah kita pergi ke rumahmu!”
“Baik, Sang Panembahan.”
Kedua orang tua itupun cepat-cepat berjalan me-
nuju ke timur, menuruni Padepokan Gunung Merapi.
Jauh di bawah sana, di kaki timur Gunung Merapi 
terlihatlah petak-petak sawah yang terhampar dengan 
rapi. Daun-daun padi yang menghijau berombak-
ombak diusap oleh angin pegunungan yang segar.
Akan tetapi suasana pagi yang segar ini dipecahkan 
oleh jeritan dan teriakan seorang gadis.

“Tinggalkan aku seorang diri! Pergi! Pergi! Aku tak 
butuh pertolonganmu! Biar aku urus sendiri sawahku 
ini!”
Gadis tadi, yang berwajah manis dan berkulit sawo 
matang, tampak mencoba mengusir seorang pemuda 
berkumis tebal yang mencoba mendekati dirinya.
“Hua, ha, ha, ha. Kowe semakin manis kalau 
marah, wong ayu! Dengarlah sekali lagi kata-kataku! 
Ikutlah dengan diriku ke Laut Kidul. Kau akan jadi 
istriku dan hidup makmur di sana.”
“Tidak! Tidak! Aku sudah berkali-kali berkata 
kepadamu, Kakang Umpakan, kalau aku lebih suka 
tinggal disini!” seru Rara Sendang keras-keras.
“Ooo, kau ingin selamanya tinggal di tempat busuk 
ini, seperti katak dalam tempurung?! Di lain tempat 
masih banyak pemandangan yang indah, kota-kota 
yang besar, keramaian, tontonan, pakaian yang indah-
indah! Apakah kau tidak ingin melihat itu semua?”
“Biar aku dibilang sebagai katak, aku akan tetap 
tinggal disini! Aku benci kepadamu!”
“Kau benci kepadaku?! Apakah aku kurang tampan 
untuk menjadi suamimu?” ujar Umpakan.
“Kau cukup tampan, Kakang Umpakan. Namun 
ketampanan bukanlah barang yang penting bagiku.”
“Ha, ha, ha, rupa-rupanya ada orang lain yang telah 
menempati hatimu, Rara Sendang!”
“Biar! Itu bukan urusanmu, Kakang!”
Umpakan terus mendekati Rara Sendang, sehingga 
gadis ini terpaksa mundur-mundur sambil me-
ngacung-acungkan sebilah tongkat kayu di tangannya.
“Berhenti! Jangan mencoba menggodaku, Kakang. 
Atau tongkat kayu ini akan menghajarmu!” berkata 
demikian Rara Sendang sambil memutar tongkat 
kayunya yang dipegang pada pertengahannya. Dengan

demikian maka tongkat tadi berputar bagai baling-
baling.
“Hua, ha, ha. Hebat! Hebat! Bocah ayu pandai
bermain silat!” kata Umpakan sambil cekakakan 
tertawa. “Tapi di depan hidungku jangan menyombong 
begitu, hee!”
“Hyaat,” Rara Sendang berteriak nyaring sambil 
menyerang Umpakan dengan pusaran tongkat 
kayunya. Tetapi si pendekar kumis tebal ini cuma 
berkelit ke samping dan loloslah ia dari serangan 
tongkat kayu itu.
Kini Umpakan ganti menyabetkan telapak ta-
ngannya ke arah Rara Sendang dengan tenaga yang 
sangat kecil. Memang sesungguhnya ia cuma 
bermaksud menakut-nakuti gadis itu saja. Namun ia 
pun terpaksa kagum bila gadis ini melesat ke samping 
menghindari serangan Umpakan itu. Rara Sendang 
terus menyerang Umpakan dengan sengitnya, maka 
terjadilah pertempuran singkat selama delapan jurus. 
Sebab pada jurus ke sembilan, tiba-tiba Umpakan 
menggerakkan tangannya secara cepat dan tahu-tahu 
telah menempel tangan Rara Sendang yang sebelah 
kanan.
“Lepas tongkatmu sekarang!” terdengar Umpakan 
berteriak-nyaring dan terlepaslah tongkat kayu itu dari 
jari-jari Rara Sendang.
Kemudian sebelum gadis ini berbuat lain, tahu-tahu 
dirinya telah dipeluk oleh Umpakan. Karuan saja si 
gadis ini berteriak ngeri, seperti kalau dirambati oleh 
ulat berbulu. “Aduh! Lepaskan, setan! Lepaskan!”
“Ha, ha, ha, Kau boleh berteriak semaumu, Rara 
Sendang. Tapi tak seorang pun yang akan....”
“Aduh! Aaakh!”
Umpakan terpaksa melepaskan Rara Sendang,

sebab tiba-tiba sebuah batu sebesar buah salak me-
nyambar lengannya, hingga pendekar ini terpaksa 
berteriak kesakitan melolong-lolong.
Rara Sendang cepat-cepat berlari ke arah sosok 
tubuh yang baru datang dari balik semak belukar.
“Ooh, Kakang Rebab Pandan. Untung kau lekas 
datang, Kakang. Si Umpakan telah menggangguku!”
“Tenang, Adi. Lihatlah aku datang bersama Kakang 
Landean Tunggal. Kau tak perlu kuatir!” ujar Rebab 
Pandan dengan perasaan jengkel dan marah kepada 
Umpakan, sebab saudara seperguruannya ini telah 
berani menggoda gadis pujaannya!
“Setan kau, Rebab Pandan dan Landean Tunggal! 
Kalian selalu menggangguku!” umpat Umpakan serta 
mengacungkan jari telunjuknya ke arah muka kedua 
saudara seperguruannya.
“Apa maksudmu mengganggu Adi Rara Sendang ini, 
Kakang Umpakan?!” seru Rebab Pandan.
“Bocah ingusan! Kau tahu apa dengan urusanku, 
ha?! Ketahuilah, aku ingin mengambil Rara Sendang 
sebagai isteriku.”
“Hmm, kau lihat sendiri, gadis ini tidak senang de-
nganmu. Apakah kau akan memiliki seseorang dalam 
wujud jasmaniahnya saja, sedang hati dan perasa-
annya tetap tertambat pada orang lain?!”
“Persetan! Jangan cuma berkoar saja, kau bocah 
ingusan! Marilah kita berkelahi untuk mengukur 
kejantanan kita!”
“Baik! Aku siap melayanimu, Kakang Umpakan,” 
ujar Rebab Pandan, sekaligus bersiaga membuka jurus 
silat pertama. Juga Landean Tunggal segera memasang 
kewaspadaannya.
Umpakan segera bersiaga pula. Sayangnya, sebelum 
kedua pendekar ini bertempur seru, sekonyong

konyong melesatlah satu bayangan berjubah abu-abu 
ke arah mereka.
“Tahan!” terdengar suara nyaring dari bayangan 
tadi yang tidak lain adalah Panembahan Jatiwana! 
Sedang di belakangnya berdirilah Ki Dadap dengan 
wajah suram.
“Kau akan membuat kericuhan lagi, Angger 
Umpakan?!” ujar Panembahan Jatiwana dengan 
lembut.
“Tidak, Sang Panembahan! Aku cuma bersenda-
gurau dengan Adi Rara Sendang ini,” jawab Umpakan.
“Baiklah, untuk sesaat akan kita lupakan hal ini,” 
kata Rebab Pandan menyela dengan jengkel.
“Angger Umpakan, sekarang silakan Angger mening-
galkan tempat ini, biar tidak terjadi perselisihan di 
antara kita lebih parah.”
“Baiklah, untuk saat ini aku masih bersedia me-
ngalah. Akan tetapi, untuk perkara-perkara 
selanjutnya, jangan harap aku sudi mengalah!”
Habis berkata demikian, Umpakan segera mening-
galkan mereka di persawahan itu. Ia terus menuju ke 
lereng selatan dan lenyap di balik pepohonan.
Peristiwa ini ternyata makin menambah jurang 
perbedaan pendapat antara Umpakan dengan orang-
orang Padepokan Gunung Merapi itu. Maka semenjak 
itu, Umpakan makin jarang tidur di padepokan. 
Baginya, rumah padepokan itu dianggapnya tempat 
yang paling bobrok. Tidak menyenangkan.
Dan juga sejak peristiwa itu, Rebab Pandan tambah 
sering berkunjung ke rumah Rara Sendang, untuk 
sekedar membantu dan menjaga gadis manis yang 
menjadi bunga terindah di kaki Gunung Merapi.
Begitulah, satu peristiwa memang kadang-kadang 
dapat menimbulkan hal-hal yang aneh. Umpakan kini
makin tekun melatih dan menambah ilmu silatnya di 
bawah bimbingan si gundul Ki Jobin Karang dari Laut 
Kidul.
***
TIGA


PADA SUATU sore, Panembahan Jatiwana 
memanggil kedua muridnya di ruang tengah. Sesudah 
ketiga orang itu duduk di balai-balai mereka saling 
menghormat.
Sesaat suasana tampak hening. Di depan 
Panembahan Jatiwana bersila, tergeletaklah sebuah 
alat musik gesek yakni sebuah rebab dengan 
penggeseknya, sedang di dekat benda itu pula 
terlihatlah sebuah cincin permata yang bersinar 
kuning kemilau.
Melihat kedua benda ini, Landean Tunggal serta 
Rebab Pandan bertanya-tanya di dalam hatinya. 
Apakah gerangan maksud gurunya memasang benda-
benda itu di depan mereka?
“Angger berdua, hari ini aku akan membicarakan 
sesuatu yang penting bersama kalian,” terdengar 
Panembahan Jatiwana membuka percakapan itu. 
“Sampai dengan hari ini, aku telah memancang cukup 
membimbingmu dalam berbagai ilmu yang bermanfaat 
bagi hidupmu kelak. Kini umurku makin bertambah 
dan aku semakin tua. Padepokan Gunung Merapi ini 
telah aku bangun dengan susah-payah serta
senantiasa menjaga nama baik perguruan kita ini. 
Tetapi nama baik tadi hampir-hampir dirusakkan oleh 
Umpakan. Kalau boleh berterus terang, sebenarnya 
bapak merasa kecewa dengan menerima Umpakan

sebagai keluarga perguruan padepokan ini. Aku sama 
sekali tidak nyana kalau dia berkelakuan begitu. 
Lebih-lebih dengan ceritera kalian bahwa ia telah 
berkawan dengan orang-orang golongan hitam itu, aku 
lebih kecewa lagi. Agaknya ia mau membalaskan sakit 
hatinya yang dahulu kepada kita. Dan kau, Angger 
Landean Tunggal serta Rebab Pandan, kalian harus 
berhati-hati terhadapnya. Hindarilah pertengkaran de-
ngan dirinya, sebab mulai saat ini aku akan 
mencalonkan Angger Landean Tunggal sebagai 
penggantiku kelak, dan Rebab Pandan sebagai 
wakilnya. Nah, apakah kalian sanggup menerimanya?”
Kedua pendekar muda ini tertunduk penuh haru 
mendengar kata-kata gurunya. Mereka tidak mengira 
bahwa gurunya telah mempercayakan satu tugas 
luhur sebesar itu. Sejurus kemudian kedua anak 
muda itu mengangkat wajahnya serta terlihatlah ma-
tanya berkaca-kaca.
“Sanggup, Guru! Kami akan bersedia memimpin 
dan meneruskan perguruan kita dengan menjaganya 
mati-matian. Kalau perlu kami rela mengorbankan jiwa 
untuknya,” ujar Landean Tunggal.
“Hmm, yah aku merasa syukur atas kesanggupan 
kalian. Dengan begitu, kekecewaanku terhadap 
Umpakan sedikit terobati karenanya,” berkata 
Panembahan Jatiwana sambil mengangguk-angguk. 
“Kemudian ada satu tugas yang akan kuserahkan 
kepada kalian, Angger. Tetapi sebelum itu, bapak ingin 
menyerahkan benda-benda ini kepada Angger berdua. 
Cincin ini yang bernama Galuh Punar, kuserahkan 
kepada Angger Landean Tunggal. Ia akan menjagamu 
dari pengaruh serta serangan racun dan bisa yang 
jahat. Terimalah ini Angger!”
Landean Tunggal dengan tangan bergetar menerima

cincin Galuh Punar yang memancarkan cahaya 
kekuningan itu, lalu dipakainya pada jari manis ta-
ngan kanannya. “Terima kasih, Guru.”
“Dan kepadamu, Angger Rebab Pandan, ambillah 
rebab ini untukmu. Kerangka rebab ini terbuat dari 
tulang binatang badak dari Ujung Kulon, yang 
kerasnya hampir menyamai besi baja. Dalam keadaan 
terpaksa, alat ini dapat kau pergunakan sebagai 
senjata dalam pertempuran. Sedang bunyi gesekannya 
bila dilambari dengan tenaga dalam akan dapat 
mempengaruhi sesuatu keadaan.”
Disertai rasa yang bangga dan penuh haru pula, 
Rebab Pandan menerima rebab itu dari tangan 
Panembahan Jatiwana. Ia tak mengira bahwa ayahnya 
akan menyerahkan benda itu kepadanya, sebab sejak 
kecil ia telah merindukan rebab itu. Masih teringat 
jelas ketika masa kecilnya, Panembahan Jatiwana 
sering menggesek rebab ini untuk membujuknya, bila 
ia menangis sebab dimarahi oleh ibunya. Sekarang 
rebab itu telah menjadi miliknya, dan diam-diam ia 
berjanji dalam dirinya untuk merawat barang itu 
sebaik-baiknya. “Terima kasih, Bapak,” ujar Rebab 
Pandan.
“Angger berdua, setelah kalian menerima kedua 
benda itu, bapak akan mengatakan tugas yang akan 
kuserahkan kepadamu. Ketahuilah Angger, kita 
mempunyai beberapa kitab berisi macam-macam ilmu. 
Salah satu di antaranya yang bernama Kitab Hijau, 
berisi ilmu silat tataran tinggi. Seperti halnya ilmu 
loncatan Srigunting yang telah kalian terima dari 
ajaranku itu, berasal dari kitab ini pula,” Panembahan 
Jatiwana berhenti sejenak, lalu memungut sebuah 
kitab bersampul warna hijau yang terletak di sebuah 
lemari di belakangnya. “Nah, Angger berdua. Inilah

kitab itu! Bagian terakhir, dari Kitab Hijau ini berisi 
ilmu Netra Dahana yang dahsyat, yang kelak boleh 
kalian pelajari juga. Tetapi sayang sekali, Angger. Kitab 
ini masih mempunyai kelengkapan yang harus kita 
cari. Kelengkapannya ialah sebuah kaca rias 
berbentuk bulat, bertangkai logam kaca biru. Mungkin 
Angger berdua akan heran mendengar keteranganku 
ini, tapi begitulah keterangan yang tertulis di dalam 
kitab ini. Benda itu disebut kaca Sirna Praba.”
“Mengapa disebut Sirna Praba, Bapak?” bertanya 
Rebab Pandan, penuh rasa ingin tahu.
“Sebab bila ia terkena sesuatu cahaya, kaca tadi 
akan memantulkan cahaya tersebut dengan kekuatan 
yang dahsyat, yaitu seratus kali dari kekuatan cahaya 
semula. Maka sinar tersebut tidak mustahil akan sang-
gup membakar hangus sesuatu benda!” ujar 
Panembahan Jatiwana.
Keterangan ini membuat Landean Tunggal maupun 
Rebab Pandan terpekur keheranan. Keduanya merasa 
heran bahwa di zaman sekarang ini masih ada benda 
yang sehebat itu. Mereka lantas teringat pada cerita 
wayang dari kitab Ramayana. Di saat pertempuran 
antara Prabu Rama melawan Dasamuka ada seorang 
panglima perang Alengka yang sakti. Seorang raksasa 
yang bernama Bukbis. Ia sanggup membakar musnah 
lawannya dengan sinar api panas yang memancar dari 
mata. Tetapi Sang Hanoman punya akal. Dengan 
lembaran kaca tembaga yang teramat lebar, maka 
dihadapilah Bukbis tadi. Tentu saja Bukbis kaget. 
Dikiranya ia melihat musuhnya, maka iapun 
memancarkan sinar apinya. Namun sinar tadi 
terpantul kembali mengenai dirinya dan akhirnya 
matilah dia dengan ditimbuni kaca tembaga tadi, 
hingga tubuhnya hangus dan hancur.

“Di manakah kaca Sinar Praba tadi berada, Guru?” 
bertanya pula Rebab Pandan kepada Panembahan 
Jatiwana.
“Hmm, dia tersimpan di dalam Candi Gedong 
Songo, di lereng Gunung Ungaran. Kalau Angger 
berdua telah tiba disana, carilah sebuah patung 
Ganesya. Di belakang patung tadi terdapat sebuah 
kotak batu. Nah, di dalamnya tersimpan kaca Sirna 
Praba itu.”
“Ooh, mengapakah ia tersimpan disana, Guru? 
Bukankah ia benda yang sangat berharga?” ujar 
Landean Tunggal.
“Ya, mungkin karena itulah benda tadi tersimpan di 
situ, sebab ia tak boleh jatuh ke tangan orang 
sembarangan. Sangat berbahaya akibatnya!” berkata 
Panembahan Jatiwana. “Ia hanya boleh dimiliki oleh si 
pemegang Kitab Hijau ini!”
Suasana sesaat menjadi hening. Sang Panembahan 
berdiam diri, demikian pula Landean Tunggal serta 
Rebab Pandan. Kalau Panembahan Jatiwana bertanya 
dalam hati, apakah kedua muridnya ini sanggup 
mencari benda itu, maka lain lagi dengan kedua 
muridnya ini. Landean Tunggal serta Rebab Pandan 
ingin lekas-lekas mencari kaca Sirna Praba itu secepat 
mungkin.
“Bagaimana, Angger sekalian? Apakah kiranya 
Angger berkeberatan dengan tugas mencari benda 
tersebut?” ujar Panembahan Jatiwana mengatasi kehe-
ningan.
“Tidak, Guru. Kami tidak akan keberatan untuk 
mencari benda itu,” menjawab si Landean Tunggal 
mantap, hingga orang tua ini manggut-manggut puas.
“Dan setiap waktu kami akan berangkat segera bila 
telah diizinkan oleh Bapak Guru,” kata Rebab Pandan

menyambung.
“Bagus, bagus. Besok pagi-pagi, Angger berdua 
boleh berangkat secepatnya ke utara,” Panembahan 
Jatiwana berkata pula. “Dan ingatlah segala petunjuk-
petunjuk yang telah aku ceriterakan tadi.”
“Semua telah kami ingat dengan baik-baik. Bapak 
Guru tidak perlu merasa kuatir karenanya,” berkata 
Landean Tunggal menegaskan percakapannya. “Kami 
berdua akan berusaha sungguh-sungguh untuk 
mencari kaca Sirna Praba sampai ketemu.”
“Terima kasih, Angger berdua. Ehh, diam-diam ini 
telah kelewat malam, Angger sekalian. Marilah kita 
mempersiapkan segala sesuatu untuk 
keberangkatanmu besok,” ujar Panembahan Jatiwana, 
dan sampai di situ berakhirlah percakapan ketiga 
orang itu.
Mereka lalu menyiapkan keperluan untuk 
perjalanan besok. Satu perjalanan yang tidak dapat 
dipandang ringan, sebab mereka harus mendaki dan 
menuruni lereng-lereng gunung serta jurang dan 
menerobos hutan-hutan lebat untuk mencapai daerah 
percandian Gedong Songo di lereng Gunung Ungaran.
***
Pagi itu di halaman depan rumah Padepokan 
Gunung Merapi, tampaklah dua ekor kuda 
ditambatkan pada pohon jeruk, sedang di sampingnya 
berdirilah seorang tua bersama seorang pemuda tegap 
lagi asyik bercakap-cakap.
“Ah, sebentar lagi akan berangkat, tapi Adik Rebab 
Pandan belum juga muncul,” ujar si pemuda dengan 
nada kurang sabar.
Sebaliknya si orang tua cuma tersenyum-senyum

sambil bergumam. “Heh, heh, heh. Itulah kalau orang 
muda lagi dimabuk cinta. Biarlah, kau tunggu 
sebentar lagi, Angger Landean Tunggal. Mungkin 
adikmu Rebab Pandan digelendoti oleh Rara Sendang, 
sebab pergi ke Gunung Ungaran sejauh itu akan 
makan waktu yang cukup lama.”
“Oooh, itulah Bapak, mereka datang,” desis 
Landean Tunggal, dan Panembahan Jatiwana segera 
berpaling ke arah timur dimana dua orang muda-mudi 
bergandengan.
Setelah mereka dekat, buru-buru Panembahan 
Jatiwana berkata, “Eeh, kalian panjang umur, Angger. 
Baru saja kami bicarakan, tahu-tahu sudah datang.”
“Betul juga ya, Sang Panembahan. Kok seperti 
Raden Harjuna saja. Kalau dirasani tahu-tahu 
muncul!” sela Landean Tunggal menggoda adik 
seperguruannya yang baru tiba bersama kekasihnya, 
Rara Sendang.
Digoda oleh kakak seperguruan serta gurunya itu, 
tentu saja si Rebab Pandan jadi blingsatan malu, 
sementara si gadis tertunduk disertai senyum manis 
dan ibu jari kakinya mengorek-ngorek tanah.
“Ah, maaf Bapak Guru dan Kakang Landean 
Tunggal. Aku baru saja pamit minta diri kepada Pak 
Dadap sekeluarga. Maksudku cuma sebentar, tapi Adi 
Rara Sendang ini, menahanku agak lama. Ia cemas 
kalau aku menemui bahaya di jalan,” kata Rebab 
Pandan.
“Lha, kan betul omongku tadi, Angger Landean 
Tunggal? Heh, heh, heh, janganlah kau terlalu mengu-
atirkan kangmasmu ini, Rara Sendang. Percayalah 
kalau ada apa-apa di perjalanan, pasti Angger Landean 
Tunggal akan menjaganya. Harjunamu ini tak akan 
hilang, Nini Rara Sendang.”

Oleh kata-kata Sang Panembahan, si gadis manis 
berkulit sawo matang yang hatinya semula 
mencemaskan kepergian Rebab Pandan, serentak 
menjadi tenang. Maka iapun berkata penuh hormat,. 
“Terima kasih, Sang Panembahan. Kini hatiku tidak 
lagi secemas tadi.”
“Nah, begitulah namanya cinta sejati. Kemana pun 
sang kekasih pergi menunaikan tugas, tak perlu 
dicemaskan lagi. Biar bagaimanapun jadinya, kalau 
sudah ditakdirkan menjadi jodohnya, pasti akan tetap 
bersatu juga. Sekarang, mumpung matahari belum 
terlalu tinggi, kalian kuizinkan berangkat, Angger 
berdua,” ujar Panembahan Jatiwana seraya menepuk 
bahu kedua muridnya itu dan merekapun lalu 
membungkuk hormat serta meminta diri.
“Hati-hati, Kakang,” ujar Rara Sendang menyela. 
“Dan semoga Tuhan akan melindungi kalian dari 
marabahaya.”
“Terima kasih!” seru Rebab Pandan dan Landean 
Tunggal berbareng sambil memacu kudanya ke arah 
utara menyusuri lereng Gunung Merapi dari arah 
barat.
Kabut putih masih menyelimuti lereng-lereng 
gunung sebelah atas laksana gumpalan kapas raksasa. 
Ditambah dengan kelebatan hutan lereng Gunung 
Merapi dan sekali-sekali terdengar raungan binatang 
buas, maka bagi seorang yang berhati kecil akan 
segera ketakutan setengah mati. Betapa tidak? Tempat 
itu masih sangat asing dan jarang dijamah orang, 
hingga Landean Tunggal dan Rebab Pandan harus 
berhati-hati dalam memilih jalan.
Namun mereka telah tergembleng oleh Panembahan 
Jatiwana, baik jiwa ataupun raganya dalam 
menghadapi setiap rintangan. Maka perjalanan ini

walaupun penuh bahaya dan sukar, kedua pemuda 
tadi justru malah merasa senang, sebab apa saja yang 
telah diajarkan oleh Panembahan Jatiwana, semua 
dapat ditrapkan dan dipraktekkan disini. Seperti 
bagaimana memilih jalan yang baik, mengenal suara 
binatang buas, macam-macam tumbuh-tumbuhan, 
dan masih banyak lagi lainnya.
Mereka terus menuju ke utara menuruni lereng 
Gunung Merapi sebelah barat, dan sejurus kemudian 
keduanya telah tiba di kaki gunung itu. Jalan disini 
lebih banyak yang mendatar, sehingga kuda-kuda me-
reka lebih bisa berlari cepat.
Agak jauh di sebelah utara, tampaklah kemegahan 
Gunung Merbabu yang tinggi perkasa tak ubahnya de-
ngan Gunung Merapi di sebelah selatan. Gunung tadi 
makin lama makin dekat, apalagi setelah keduanya 
tiba di kaki bukitnya. Terasalah betapa kecilnya 
manusia berhadapan dengan kemegahan alam ciptaan 
Tuhan.
Perjalanan ini terasa amat jauh bagi Landean 
Tunggal serta Rebab Pandan. Setelah mereka 
menyusuri kaki Gunung Merbabu dan ke utara, 
tibalah keduanya pada sebuah tebing yang landai dan 
di bawahnya terlihatlah satu lembah yang luas. 
Beberapa petak-petak sawah yang luas hampir 
memenuhi sepertiga dari lembah itu. Itulah tanah 
perdikan Banyubiru yang terkenal subur.
“Kakang Landean Tunggal, hari telah sore,” kata 
Rebab Pandan. “Bagaimana kalau kita singgah di Desa 
Banyubiru itu?”
“Hmm, baik, Adi. Memang aku pun bermaksud me-
ngajakmu bermalam di desa itu. Kita akan singgah 
dulu melepaskan lelah dan besok kita lanjutkan lagi 
perjalanan ini,” ujar Landean Tunggal sekaligus

menderapkan kudanya menuruni lembah Banyubiru 
dan di belakangnya menyusul Rebab Pandan.
Ketika mereka tiba di lembah itu, kegelapan senja 
telah merayapi daerah perdikan Banyubiru dan desa 
kecil itu seperti tertelan oleh kegelapan dan kesepian.
Tetapi sejurus kemudian beberapa dian lampu telah 
dipasang di dalam rumah-rumah. Juga di depan 
rumah penduduk beberapa orang tampak bergerombol 
bercakap-cakap. Beberapa di antaranya tampak berke-
rudung kain seolah-olah kedinginan oleh hawa senja 
pegunungan yang dingin. Namun bagi Landean 
Tunggal serta Rebab Pandan yang berpikiran tajam, 
tahulah bahwa di balik kerudung kain tadi setidak-
tidaknya terselip parang ataupun pedang yang 
membuat tonjolan-tonjolan pada kerudung kain 
tersebut.
Orang-orang tadi memandang tajam ke arah 
Landean Tunggal serta Rebab Pandan ketika mereka 
makin mendekati tempat orang-orang itu bergerombol. 
Namun setelah orang-orang tersebut menatap wajah 
Landean Tunggal serta Rebab Pandan yang cerah dan 
bening, merekapun lalu mengangguk hormat.
“Permisi, Kisanak sekalian,” sapa Landean Tunggal 
kepada orang-orang itu dengan ramahnya.
“Oooh, mari silakan,” ujar seorang yang paling tua 
di antaranya. “Anak berdua ini mau kemana?”
“Kami menuju ke Ungaran, Bapak,” kata Landean 
Tunggal. “Tapi malam ini terpaksa singgah bermalam 
disini.”
“Ooh, begitu. Nah, anak berdua boleh menginap di 
warung itu malam ini. Tapi hati-hati, Nak. Tengah 
malam nanti jangan keluar pintu, sebab desa ini 
tengah diintai bencana!”
“Diintai bencana?” ujar Landean Tunggal seraya

menarik tali kekang kudanya agar berhenti. Kedua 
pemuda ini cepat-cepat turun dari atas kuda, sebab 
bercakap-cakap dengan lawan bicara yang berdiri di 
bawah serta lebih tua itu tidaklah sopan.
“Maksud Bapak?” ulang Landean Tunggal penuh 
rasa ingin tahu. Demikian pula Rebab Pandan menjadi 
tertarik oleh hal ini.
“Sebenarnya kami adalah para penjaga keamanan 
Desa Banyubiru ini. Beberapa waktu yang lalu kami 
telah berhasil mengepung dua orang berandal yang 
mencoba mengganggu desa kami, tetapi agaknya mere-
ka orang-orang gemblengan, sebab mereka melawan 
dengan gigih. Seorang di antaranya berhasil melo-
loskan diri dari kepungan dan seorang lagi akhirnya 
tewas di tangan kami. Begitulah kejadian tadi rupanya 
berbuntut panjang sampai saat ini. Rupa-rupanya 
seorang berandal yang berhasil lolos tadi telah 
mengundang teman-temannya untuk menyerbu desa 
ini pada tengah malam nanti.”
“Dari manakah hal itu bisa diketahui?” ujar Rebab 
Pandan keheranan.
“Mereka telah mengirimkan surat ancaman itu pada 
sebatang anak panah yang ditembakkan ke halaman 
balai desa!” jawab si orang tua.
“Hebat!” desis Landean Tunggal.
“Memang hebat, Nak. Sebab kali ini mereka akan 
datang bersama dua orang tokoh sakti!” sambung si 
orang tua. “Maka jika tengah malam nanti terjadi pe-
nyerangan, anak berdua tetaplah tinggal di dalam 
rumah. Biar kami yang akan menghadapi mereka. 
Tetapi jika kiranya anak berdua berlapang dada, kami 
akan dengan senang hati menerima bantuanmu dalam 
menyambut penyerbuan itu.”
“Eh, baiklah, Bapak. Kami akan mencoba

keberanian kami. Mudah-mudahan tidak terlalu 
mengecewakan para Kisanak disini,” kata Landean 
Tunggal. “Kini izinkanlah kami singgah ke warung itu 
dahulu.”
“Wah silakan, Anak berdua. Maaf, kami telah terlalu 
lama menghentikanmu!” si orang tua tadi berkata sete-
ngah malu.
Landean Tunggal dan Rebab Pandan sekali lagi me-
ngangguk hormat dan berlalulah mereka dengan 
menuntun kudanya, sebab jarak warung itu sudah 
tidak begitu jauh lagi.
***
Warung itu sudah ditutup pintunya, sebab malam 
telah tiba dan tidak bakal ada pengunjung lagi. Di 
ruang tengah, di sebuah kamar yang disediakan bagi 
para penginap, terdapat beberapa balai-balai bambu 
berukuran kecil untuk satu orang. Landean Tunggal 
serta Rebab Pandan berbaring pada balai-balai itu!
Malam yang kebetulan pada musim kemarau ini 
dihiasi oleh sang purnama yang memancarkan sinar 
peraknya ke lembah itu. Lembah yang subur dengan 
sawah-sawah yang disebut Banyubiru, malam ini 
kelihatan sepi. Jalan desa telah pula sepi, lengang. Tak 
seorang pun penduduk keluar rumah kecuali para 
penjaga keamanan desa pada berjaga-jaga di pintu-
pintu masuk desa. Mereka tengah menanti penye-
rangan para berandal yang mengancam Desa 
Banyubiru, di tengah malam nanti.
Betapapun mereka telah siap berjaga-jaga, namun 
tak urung rongga dada orang-orang itu berdegupan 
keras, sebab mereka sadar bahwa kali ini harus 
bertempur melawan berandal-berandal yang sakti. Me-
reka tak henti-hentinya mengawasi tanah-tanah

pegunungan yang mengelilingi lembah Banyubiru itu.
Sementara itu dalam saat yang sama, di tebing 
lembah di sebelah timur, tampaklah limabelas orang 
berkuda berhenti di balik semak ilalang.
Dua orang yang di depan agaknya pemimpin 
rombongan itu, sebab keduanya tampak berkata-kata 
asyik. Yang satu masih muda sedang yang satu lagi se-
tengah tua.
“Kakang Botorsewu, sebentar lagi tengah malam,” 
ujar seorang pemuda berwajah angker dengan 
rambutnya yang gondrong awut-awutan kepada teman 
di sampingnya yang mempunyai tubuh kekar berwajah 
hampir persegi kaku. Kumis dan jenggotnya kasar 
serabutan kurang teratur.
“Kau sudah gatal untuk mencincang mereka, Adik 
Rikma Rembyak?” sahut Botorsewu kepada 
sahabatnya yang masih muda dan berkalung terompet 
kulit siput. “Sabarlah! Aku peringatkan, kita harus
bertempur hati-hati. Apalagi sebagai tokoh bajak laut, 
bukankah kurang biasa bertempur di daratan!”
“Hah, bagiku sama saja. Pokoknya asal aku tiup 
terompet siput ini, mereka akan jadi kelabakan sete-
ngah mati dan Kakang Botorsewu serta berandal-
berandal tinggal memukul hancur desa ini.”
“Hua, ha, ha, baiklah, Adik Rikma Rembyak. Aku 
percaya akan kemampuannya terompet siputmu itu. 
Baiklah Adi, mari kita mulai pesta ini! Ha, ha, ha,” 
Botorsewu terkekeh-kekeh ketawa.
Rikma Rembyak segera meniup terompet siputnya. 
Maka keluarlah satu nada melengking mengalun 
menelusuri tebing lembah dan turun ke Desa 
Banyubiru dengan suara berpusaran seperti suara 
siulan berpuluh-puluh setan lapar mengharap 
mangsa.

Mula-mula nada itu sangat rendah dan orang-orang 
desa serta para penjaga keamanan mengira itu berasal 
dari bunyi angin kemarau pegunungan yang bertiup 
deras. Akan tetapi setelah nada tadi berangsur-angsur 
meliuk tinggi, terperanjatlah orang-orang desa 
tersebut.
Kini merayaplah rasa takut dan ngeri ke dada mere-
ka. Siapa tak akan takut bila di tengah malam terang 
bulan, tahu-tahu terdengar bunyi lengkingan meru-
nyam hati. Celakanya bunyi terompet siput Rikma 
Rembyak tadi tidak hanya sampai di situ saja. Kini 
makin meninggilah bunyi tersebut sampai me-
nyakitkan telinga dan mendirikan bulu tengkuk.
Maka akibatnya hebat sekali. Para penduduk 
bergentayangan nabrak-nabrak sambil menutupi 
kedua telinganya dengan tangan demikian pula para 
penjaga desa tadi. Bagi yang berpikiran tajam serta 
buru-buru menutup kedua lobang telinganya dengan 
sobekan kain ataupun gumpalan kapas, pastilah akan 
terbebas dari pengaruh bunyi alunan terompet siput si 
Rikma Rembyak tadi. Tetapi bagi yang kurang 
mengerti, jangan diharap kalau mereka tidak 
bergulingan di tanah sambil menjerit-jerit setengah 
menangis. Maka dalam saat-saat yang seperti ini, 
hanya orang tulilah yang paling beruntung, sebab ia 
tidak akan termakan oleh lengkingan suara tadi.
Untunglah di saat-saat yang begini kritis masih ada 
dua orang di antaranya yang terbebas dari bunyi tadi, 
meskipun mereka sama sekali tanpa menutup kedua 
lobang telinganya.
“Ayo, Adi Rebab Pandan. Kini tibalah saatnya kita 
menolong mereka!” seru Landean Tunggal sambil 
meloncat keluar dari pintu warung penginapan, diikuti 
oleh Rebab Pandan yang menggenggam rebabnya

lengkap dengan alat penggeseknya.
“Kakang Landean Tunggal, berjagalah di pintu 
gerbang desa. Aku akan melawan bunyi ini!” berkata 
demikian Rebab Pandan sekaligus menggenjotkan 
tubuhnya ke atas dengan ilmu loncatan Srigunting dan 
melesatlah ia ke atas genting warung penginapan.
Sementara Landean Tunggal melesat ke gerbang 
masuk Desa Banyubiru, Rebab Pandan bersila di atas 
genting sambil menggesek rebabnya. Sebentar 
kemudian, meluncurlah alunan lagu dari senar-senar 
rebab yang digesek oleh tangan Rebab Pandan. Bunyi 
irama rebab tadi sangat lembut tapi tajam seakan-
akan luapan dari rasa hati Rebab Pandan yang 
menentang bunyi alunan terompet siput si Rikma 
Rembyak dari atas tebing sana.
Walaupun irama terompet siput Rikma Rembyak 
datang bergulung-gulung bagai ombak badai Laut 
Kidul, tetapi bunyi gesekan Rebab Pandan pada alat 
musik geseknya itu meliuk-liuk lincah, laksana seekor 
naga yang tengah berenang menyelusuri samudera. 
Dan kemudian bila kedua gulung suara itu bertemu, 
terjadilah benturan dahsyat di udara.
Blaaar!
Rikma Rembyak yang masih duduk di punggung 
kudanya di samping Botorsewu menjadi tercengang 
kebingungan melihat tiupan terompet siputnya 
mendapat perlawanan dari arah desa. Sambil terus 
meniup terompet siputnya semakin keras, Rikma 
Rembyak gerenengan di dalam dada. “Eeh, gila, kurang 
ajar! Setan mana yang berani lancang menandingi 
terompet siputku ini?!”
Sekali lagi ia mengerahkan tenaga dalamnya dan 
meniup terompet siputnya dengan hebat, namun 
untuk kesekian kalinya pula Rikma Rembyak si

pendekar muda dari kawanan berandal ini terpaksa 
terbengong mengkal, apabila suara alunan dari senar-
senar rebab yang digesek itu semakin menindih suara 
lengkingan terompetnya.
“Kakang Botorsewu! Wah, keparat orang-orang desa 
itu! Rupanya mereka juga menyimpan pendekar sakti. 
Ayo, kita serbu saja mereka sekarang ini!” seru Rikma 
Rembyak.
“Bagus, Adik Rikma Rembyak!” jawab Botorsewu 
sambil melolos parang dari ikat pinggangnya yang 
berkilat ketimpa sinar bulan.
Parang yang sudah dilolos itu segera diacungkan ke 
atas dan kemudian ia berteriak dengan suara 
menggeledek, “Kawan-awan, lihatlah baik-baik desa di 
lembah itu. Sepuluh orang mengikuti kami dan tiga 
orang penembak panah menjalankan tugasnya!”
Sesudah berkata begitu, Botorsewu bersama Rikma 
Rembyak segera menderapkan kudanya menuruni 
lembah diikuti oleh kesepuluh anak buahnya lalu di-
susul tiga orang pemanah yang telah mempersiapkan 
panah apinya. Mereka memacu kudanya dan bagai 
serigala-serigala kelaparan mendekati pintu gerbang 
desa.
“Serbuuuu!” teriak Botorsewu, berbareng tiga panah 
api melesat ke arah desa dan membakar dua buah 
rumah penduduk.
Di pintu gerbang masuk desa, Landean Tunggal 
telah selesai mempersiapkan pertahanan bersama para 
penjaga desa. Beberapa bambu berduri dipasang 
melintang pada pintu gerbang untuk menghalangi 
serbuan itu.
Melihat ini Rebab Pandan tak tinggal diam. Sambil 
berloncatan dari genting rumah yang satu ke genting 
rumah yang lain, ia memutar rebabnya di tangan serta

berkali-kali menyampok jatuh panah-panah api yang 
bersiutan di udara.
Kemudian Rebab Pandan melesat turun ke tanah 
serta berlari ke arah pintu gerbang desa di sebelah 
timur, dari mana serbuan berandal-berandal tadi 
dipusatkan!
Di pihak kaum berandal, Botorsewu menggertakkan 
giginya ketika panah-panah api tadi tak memenuhi 
maksudnya, yaitu membakar rumah penduduk serta 
menimbulkan kekacauan! Maka bersama tiga orang 
anak buahnya yang bersenjata pedang, mereka 
mendekati pintu gerbang desa.
Keempat orang berandal itu memutar pedangnya 
bagai angin puyuh dan sebentar saja, bambu-bambu 
berduri yang melintang pada pintu gerbang itu telah 
terpotong-potong putus berserakan ke tanah.
Mereka segera menyerbu masuk ke desa, sayangnya 
tiba-tiba para penjaga desa lebih cepat bertindak. 
Ketiga orang yang di belakang kena sergap dan 
robohnya mereka dari kudanya termakan oleh senjata-
senjata penjaga desa. Sedang yang terdepan, yaitu 
Botorsewu segera terlibat dalam pertempuran melawan 
Landean Tunggal.
“Setan! Kau berani melawan Botorsewu, hah?!”
“Ha, ha, Landean Tunggal siap melayanimu, sobat!”
Kesepuluh orang berandal lain yang dipimpin oleh 
Rikma Rembyak segera pula menyerbu masuk ke arah 
desa. Ternyata di balik semak-semak di tepi desa, para 
penjaga desa telah bersiaga dengan sepenuhnya.
Maka begitu pasukan berandal itu mendekati pintu 
gerbang desa, berloncatanlah dari semak-semak di 
pinggir jalan para penjaga desa menyergap berandal-
berandal tersebut.
Sebentar saja tempat itu telah menjadi arena

pertempuran dan adu senjata yang seru. Rikma 
Rembyak menebas-nebaskan pedangnya dengan ganas 
hingga menakutkan pada pihak penyergap, dan 
sebentar pula pedangnya telah berhasil membacok 
lengan seorang penjaga desa, hingga orang ini menjerit 
hebat.
Ketika sekali lagi ia bermaksud membacokkan 
pedangnya untuk membereskan orang tadi, mendadak 
pedangnya terasa membentur sesuatu benda.
Traak!
Alangkah kagetnya Rikma Rembyak ketika sebuah 
bayangan yang baru saja melesat itu tahu-tahu telah 
menangkis bacokan pedangnya, sampai tangannya 
tergetar pedih! Yang membuat heran Rikma Rembyak 
ialah ketika ia memperhatikan benda yang 
menghalangi bacokan pedangnya ini, ternyata hanya 
sebuah rebab belaka!
“Setan keparat! Anak gendruwo! Siapa ini edan-
edanan, bertempur dengan alat musik? Apakah kamu 
kekurangan senjata?!” teriak Rikma Rembyak sambil 
meloncat turun dari punggung kudanya!
“Berandal tengik! Rupanya kaulah yang membuat 
suara bising tadi!” seru Rebab Pandan sambil me-
nyambut serangan Rikma Rembyak. Ia melihat musuh 
ini berkalung terompet kulit siput.
“Dan kau juga rupanya yang lancang mengganggu 
tiupan terompetku dengan rebab bobrok itu?!” teriak 
Rikma Rembyak seraya menebaskan pedangnya ke 
arah leher Rebab Pandan dalam kecepatan angin 
badai, sementara dalam kepala ia sudah 
membayangkan bahwa leher lawannya ini akan putus 
dengan sekali tebas saja.
Namun mendadak Rikma Rembyak terpaksa 
melompong mulutnya bila tahu-tahu pedangnya cuma

menyambar angin. Sedang Rebab Pandan, pendekar 
muda dari Gunung Merapi, meloncat ke udara dengan 
gesit sebelum pedang lawan sempat menyentuh
tubuhnya.
Dengan penuh keheranan, Rikma Rembyak melihat 
bahwa lawannya melesat ke udara dan jungkir balik 
laksana sikap burung srigunting. Bersamaan Rebab 
Pandan mendarat ke tanah, Rikma Rembyak memburu 
dan sekali lagi menebaskan pedangnya.
Untuk kedua kalinya Rebab Pandan 
memperlihatkan kegesitannya. Cepat-cepat tangan 
kirinya yang menggenggam alat pengengsel rebab 
menangkis tebasan pedang lawan.
Traang! Terpaksa Rikma Rembyak terkejut setengah 
mati dengan hal ini, dan tiba-tiba dilihatnya pula rebab
yang digenggam oleh tangan kanan lawannya menyam-
bar hebat ke arah kepalanya. Untunglah ia cepat-cepat 
mengendap. Kalau terlambat sedikit saja pastilah 
tubuhnya sudah tak berkepala lagi!
Di tempat lain Botorsewu menyerang Landean 
Tunggal dengan sambaran-sambaran parangnya. 
Parang tersebut yang berkilat tajam dan besar me-
nyambar-nyambar cepat sekali, sebab digerakkan oleh 
tangan yang perkasa dan berotot gempal. Hanya saja 
Botorsewu belum tahu bahwa lawannya adalah 
Landean Tunggal, murid Panembahan Jatiwana. Maka 
hanya cukup dilambari kelincahan gerak serta 
loncatan-loncatan Srigunting, loloslah Landean 
Tunggal dari incaran-incaran maut senjata lawannya.
Yang sangat menjengkelkan hati Botorsewu ialah 
lawannya ini. Ia tetap bertangan kosong dalam 
menghadapi serangan-serangan parangnya! Keduanya 
semakin ganas bertempur terjang menerjang, 
berloncatan di udara dan gerakan mereka bagai

bayang-bayang saking cepatnya.
Sedang di pojok barat, para penjaga desa bertempur 
mati-matian melawan kesepuluh orang berandal. 
Hampir-hampir saja orang-orang desa tadi terkalahkan 
oleh berandal itu, kalau saja dari arah sebuah rumah 
tidak keburu muncul seorang tua yang berjalan 
seenaknya!
Tiba-tiba seorang dari penjaga desa yang lagi 
bertempur, melihat kedatangan orang tua itu. 
“Ki Canggah Banyubiru!” teriaknya seru hingga me-
ngagetkan para berandal tadi.
Melihat orang tua itu, empat orang berandal 
melepaskan diri dari libatan pertempuran dengan para 
penjaga desa, serta menyerbu Ki Canggah Banyubiru.
Namun orang tua ini dengan tenang melepas ikat 
kepalanya dan menyongsong serangan keempat 
berandal tersebut. Keempat senjata pedang di tangan 
berandal-berandal tadi berkelebat dan menebas-nebas 
hebat, tetapi dengan enaknya si orang tua tadi 
berloncatan lincah dan menelusup di antara 
sambaran-sambaran pedang lawan. Kemudian setelah 
beberapa kejap tiba-tiba ia memutar dan 
menggerakkan ikat kepalanya! Tar! Tar! Taar! 
Terdengar tiga ledakan berturut-turut dan tiga orang 
dari penyerangnya roboh terlempar ke tanah.
Yang seorang berteriak ngeri setengah kaget. Cepat-
cepat ia memutar tubuh untuk lari, tapi Ki Canggah 
Banyubiru lebih cepat bergerak. Taaar! Sekali lagi ikat 
kepalanya melenting dan menyambar tulang punggung 
berandal tadi dan rebahlah penyerang yang keempat 
ke tanah dengan darah segar tersembur dari 
mulutnya.
Setelah itu, orang tua itu cepat-cepat menerjunkan 
diri ke arena pertempuran yang tengah berkecamuk

hebat. Dalam pada itu, sambil bertempur tadi Ki 
Canggah Banyubiru sempat melirik ke arah Landean 
Tunggal dan Rebab Pandan yang bertempur gigih 
melawan kedua orang pemimpin berandal-berandal ini. 
Betapa kagumnya dan memuji dalam hati, bahwa 
tamu-tamu yang menginap di warung desa mampu 
bertempur sehebat itu!
Serangan-serangan parang dari Botorsewu rupanya 
semakin hebat, dan melihat hal ini Landean Tunggal 
melompat ke samping serta melepas ikat pinggangnya. 
Ikat pinggang kulit tadi lalu diputarnya di atas kepala 
dengan sekuat tenaga, maka timbullah suara berdesau 
menakutkan. Sedang ujung ikat pinggang yang 
dipasangi oleh timangan baja biru tadi, berkeredapan 
merupakan cahaya biru.
Botorsewu tidak tunggu lama lagi. Secepat kilat ia 
menerjang ke arah Landean Tunggal, tetapi tiba-tiba 
merasa tangan kanannya yang menggenggam pedang 
tergempur oleh satu tenaga raksasa hingga pedangnya 
terpelanting lepas dibarengi oleh mulutnya berteriak 
kesakitan. Botorsewu berusaha menguasai dirinya, 
namun sekali lagi ujung-ujung ikat pinggang Landean 
Tunggal yang terbuat dari baja biru tadi menyambar 
kepalanya, bagai sambaran geledek!
“Eaakh!” Botorsewu seketika terjerembab ke tanah 
dengan kepala berlumuran darah. Sesaat tubuhnya 
mengejang dan kemudian diam tak bergerak. Mati!
Melihat pemimpinnya mati, sisa-sisa berandal tadi 
menjadi kendor semangat tempurnya. Sedang di 
sebelah lain, si Rikma Rembyak mengutuk-ngutuk 
dalam hati, bila lawannya yang sama-sama masih 
muda ini sedikit demi sedikit berhasil mendesaknya!
Dan memang benarlah! Rebab Pandan 
melipatgandakan serangannya. Lebih-lebih setelah ia

tahu bahwa pemimpin berandal telah ditewaskan oleh 
kakak seperguruannya!
“Cepat bertekuk lutut, sebelum kau mampus di ta-
ngan Rebab Pandan!” teriak Rebab Pandan.
“Kunyuk edan! Mana ada orang mau menyerah 
kepada tukang penggesek rebab macam tampangmu 
itu!” jawab Rikma Rembyak sambil memperhebat 
permainan pedangnya, tapi mendadak senjata 
lawannya menyambar ke arah kepalanya, maka cepat-
cepat ia menangkis dengan pedangnya. Traang!
Mendadak saja kaki Rebab Pandan beraksi dengan 
cepat. Sebuah tendangan telah menyambar ke dada 
Rikma Rembyak dan pendekar dari pihak berandal 
yang masih muda ini, terpelanting jungkir balik di 
tanah. Sementara itu Rikma Rembyak dapat melihat 
bahwa sebagian kekuatan dari teman-temannya telah 
hancur, apalagi Botorsewu telah mati.
Dengan secepat geraknya, tiba-tiba Rikma Rembyak 
melesat ke samping dan meloncat ke salah satu 
punggung kuda, seraya berteriak, “Kawan-kawan, ayo 
kita mundur!!”
Mendengar itu, tiga orang berandal segera meloncat 
ke punggung kuda dan memacunya ke arah timur 
mengikuti Rikma Rembyak! Seorang lagi dari berandal 
yang terluka parah mencoba meloncat ke punggung 
kuda, tapi rupa-rupanya tenaganya telah habis, 
sehingga loncatannya tidak sampai dan terhempaslah 
ia ke tanah dan mati!
Begitulah pertempuran tadi selesai. Sebelas 
berandal termasuk Botorsewu telah tewas. Sedang di 
pihak penduduk tiga orang tewas dan beberapa luka-
luka.
Atas kemenangan ini, karuan saja para penduduk 
dan penjaga-penjaga keamanan serta Ki Canggah

Banyubiru sangat berterima kasih kepada Landean 
Tunggal dan Rebab Pandan.
Malam kembali sepi, sedang di balai desa, sibuklah 
orang-orang mengurus korban-korban pertempuran 
tadi. Dalam hati penduduk desa sejak malam itu, 
timbullah rasa tenteram dan damai yang telah 
dirindukannya. Mereka tak perlu lagi cemas akan 
pengacauan dari kaum berandal tadi, sebab sebagian 
besar dari kekuatan mereka telah musnah. Sementara 
itu Landean Tunggal serta Rebab Pandan kembali ke 
warung penginapan dan tidurlah mereka dengan 
pulasnya.
***
EMPAT


LANDEAN TUNGGAL mengerdip-ngerdipkan mata-
nya ketika terasa bahwa berkas-berkas sinar matahari 
jatuh menimpa pelupuk matanya.
“Wah, matahari sudah tinggi! Agak kesiangan ini!” 
desis Landean Tunggal serta bangkit dengan segera. 
Ketika dilihatnya ke samping, tampaklah adik 
seperguruannya juga masih tertidur pulas, seperti 
orang yang kelelahan.
Memang ketika teringat akan kejadian tadi malam, 
maklumlah ia bahwa pertempuran menghadapi para 
berandal itu sangat melelahkan. Maka tak heranlah 
bila adik seperguruannya, si Rebab Pandan itu yang 
biasanya selalu bangun pagi-pagi, kali ini masih belum 
membuka mata.
Landean Tunggal bermaksud membiarkannya 
untuk sebentar waktu lagi. Namun ketika ia teringat


akan tugas yang mereka kerjakan, lalu segeralah ia 
menepuk-nepuk pundak Rebab Pandan.
“Hyaat!”
Cegg!
Rebab Pandan bangun dan langsung mengirim satu 
pukulan ke arah Landean Tunggal, tapi untungnya ta-
ngan Rebab Pandan itu tiba-tiba ditangkap oleh 
cengkeraman Landean Tunggal.
“Hai, mengapa kau, Adik?!” seru Landean Tunggal 
setengah heran, sedang Rebab Pandan cuma meringis
segan.
“Heh, heh. Maaf, Kakang Landean. Aku tengah 
bermimpi bertempur melawan Rikma Rembyak tadi 
malam. Dan ketika Andika membangunkan aku, 
kukira musuh lain yang mau mengeroyokku!”
“Ha, ha, ha. Tak apalah, Adi! Aku malah bangga 
bahwa Adi tetap waspada, meskipun dalam keadaan 
mimpi!” ujar Landean Tunggal. “Marilah kita berkemas, 
Adi. Kita akan cepat-cepat meneruskan perjalanan ke 
Gedong Songo.”
“Baik, Kakang.”
Kedua pendekar muda ini segera berkemas-kemas 
dan membersihkan badan dengan air sumur yang 
sejuk menyegarkan. Sesudah selesai dan membayar 
sewa kamar serta makanan, mereka meneruskan 
perjalanannya kembali ke arah utara.
Sewaktu mereka melewati jalan desa itu, tampaklah 
beberapa orang berbisik-bisik lalu mengangguk hormat 
kepada Landean Tunggal dan Rebab Pandan. Agaknya 
mereka telah tahu bahwa kedua pendekar muda inilah 
yang telah menolong desa mereka dari pengacauan 
berandal-berandal gunung.
Sesudah mereka keluar dari pintu gerbang desa, 
dipacunya kedua kudanya menuju utara.

Sepanjang perjalanan hanya gunung dan hutan-
hutan lebat serta gemericik air yang mengalir dari sela-
sela batu mengiringi panorama alam yang indah. Mere-
ka jadi terhibur oleh karenanya. Keindahan alam tadi 
seperti wajah seorang puteri yang mengelu-elukan 
perjuangan mereka dalam mengusir kaum berandal 
yang telah sekian lama membikin rusuh. Kini wajah 
alam itu seperti cerah, angin bertiup segar dan udara 
cerah.
Landean Tunggal dan Rebab Pandan menambah 
kecepatan lari kudanya. Tak antara lama, tibalah me-
reka di sebuah sungai kecil yang tidak begitu dalam, 
sebab sungai itu merupakan awal dari sebuah sungai 
yang panjang mengalir ke utara, yakni Sungai 
Tuntang.
“Cepat Adi, kita menyeberang! Sebentar lagi kita 
sampai. Lihatlah gunung yang mendekam di utara 
sana. Itulah Gunung Ungaran yang kita tuju, Adi,” 
ajak Landean Tunggal serta menderapkan kudanya 
menyeberangi sungai kecil yang dalamnya hanya 
selutut kaki kudanya.
“Di manakah letak candi-Candi Gedong Songo itu, 
Kakang?” kembali bertanya Rebab Pandan.
“Kalau kita sama mendaki kaki Gunung Ungaran 
dan kemudian membelok ke arah timur laut, di lereng 
itulah kita akan menjumpai candi-candi itu.”
Sungai kecil itu telah mereka seberangi. Kini 
keduanya menempuh hutan-hutan kecil di kaki 
Gunung Ungaran sebelah selatan. Dalam perjalanan 
ini, Landean Tunggal berkali-kali tersenyum bila 
mendengar adik seperguruan yang berkuda di sebelah 
belakang itu bersenandung tembang Dandanggula 
ataupun tembang lainnya yang mendambakan 
kerinduan hati seorang pemuda yang teringat akan

gadisnya. Landean Tunggal yang cukup bijaksana 
membiarkan saja Rebab Pandan bersenandung tadi 
dan ia tak akan mengganggunya. Apalagi suara itu 
sangat empuk dan merdu, hingga perjalanan mereka 
tak terasa telah menginjak lereng sebelah timur.
Landean Tunggal sendiri sering bertanya-tanya 
dalam hati, kapankah hatinya juga akan tertambat 
pada seorang gadis seperti Rebab Pandan ini? Tapi 
anehnya sampai saat ini ia masih belum tergerak 
hatinya ke arah itu, kecuali ke arah keluhuran budi 
dan semua pelajaran ilmu dari Panembahan Jatiwana.
Di lereng timur itu, kabut putih sebentar-sebentar 
melayang ringan berarak-arak sampai sinar matahari 
siang sebentar hilang dan sebentar muncul. Bunyi se-
rangga, terutama tenggeret atau yang biasa disebut 
garengpung itu berdengung bersahut-sahutan dari 
pohon-pohon sarangan dan pohon-pohon lainnya. 
Pohon-pohon pakis, bunga-bunga anggrek liar dan 
sulur-suluran, sebagai ciri utama dari tumbuh-
tumbuhan tanah pegunungan banyak tumbuh di sana-
sini dengan lebatnya.
Kuda mereka tidak lagi dapat berpacu karena jalan 
yang mereka lalui penuh berbatu-batu lagi curam. Me-
reka sebentar-sebentar melepaskan lelah serta 
beristirahat secukupnya sambil menikmati nasi yang 
telah dikepal-kepal sebesar genggaman tangan. Sedang 
lauknya ikan asin yang mereka beli dari warung peng-
inapan di Desa Banyubiru pagi tadi.
Menjelang matahari turun ke cakrawala barat, 
kedua pendekar muda tadi telah sampai ke daerah 
percandian. Dari jauh, tampaklah remang-remang 
bentuk Candi Gedong Songo yang kelabu kehitaman.
Akan tetapi, benarkah bahwa perjalanan mereka 
lancar? Sebab di balik semak-semak pohon pakis

berloncatanlah satu bayangan laki-laki tua, berambut 
panjang terurai dengan wajah keriput tua tersenyum 
dengan sinisnya ke arah dua pendekar muda tadi! Dan 
gerak loncatannya yang ringan bagai kapas itu 
dapatlah segera diukur betapa hebatnya ilmu 
meringankan tubuh kakek tua ini.
“Haa, apakah yang mau dikerjakan oleh bocah-
bocah ingusan di senja-senja begini ini? Apakah mere-
ka tidak tahu bahwa daerah ini termasuk wewenang 
kekuasaan Gombelwadas? Heh, heh, heh, baiknya aku 
tunggu dulu apa maunya mereka!” gumam kakek tua 
tadi seraya berloncatan lagi membayangi Landean 
Tunggal serta Rebab Pandan dari balik semak-semak.
Dalam pada itu, kedua pendekar muda tadi cepat-
cepat mendekati daerah percandian yang telah gelap. 
Mereka lalu turun dari kuda dan menambatkannya 
sekali pada sebuah pohon pakis.
“Kakang Landean Tunggal, di manakah kita akan 
bermalam kali ini?” tanya Rebab Pandan kepada kakak 
seperguruannya.
“Hmm, disini tak ada rumah penduduk, Adi. Tapi 
janganlah kuatir. Tak ada jeleknya kita menginap di 
relung-relung candi rusak itu, daripada kita kaku kedi-
nginan di luar sini.”
“Setuju, Kakang,” sahut Rebab Pandan dengan 
tersenyum.
Maka kedua pendekar muda itupun mempersiapkan 
tempat untuk tidur. Dengan berlandaskan bantal 
kepala kuda serta masing-masing berselimut selembar 
kain, mereka segera merebahkan dirinya ke lantai batu 
dan tak lama kemudian tertidurlah keduanya 
kelelahan. Di luar, udara dingin terasa menusuk 
tulang sumsum.
Sedang di balik semak-semak, si kakek tua tadi


mengangguk geram. “Hah! Mereka tidur di situ. Bagus, 
bagus! Aku sekarang belum tahu maksud-maksud me-
reka. Baiklah, aku akan tunggu sampai besok pagi!”
Habis menggerundal begitu, kakek tersebut melesat 
ke samping dan lenyaplah tubuhnya di gelap malam 
yang telah mencengkam daerah Gedong Songo. Daerah 
ini masih jarang didatangi manusia dan di sekeli-
lingnya masih dipagari oleh hutan lebat. Oleh sebab itu 
daerah ini sangat sepi baik siang dan lebih-lebih 
malam hari. Maka tak heranlah bila kedatangan 
Landean Tunggal serta Rebab Pandan ke tempat candi-
candi tua ini sangat mengherankan bagi si kakek tua 
yang menyebut namanya Gombelwadas itu.
Sang malam terus beredar tanpa lelahnya dan sang 
waktu tak terasa cepat berlalu. Demikianlah sisa-sisa 
malam telah bergeser ke langit sebelah barat, 
sementara ujung fajar pagi mengintai dari cakrawala 
timur.
Sayup-sayup terdengar kokok ayam hutan dan 
beberapa ekor jengkerik masih mendering merdu, 
seakan-akan masih berusaha menahan kepergian sang 
malam.
Landean Tunggal serta Rebab Pandan telah bangun 
di sinar pagi yang pertama menyentuh daerah Gedong 
Songo itu. Keduanya lalu membersihkan diri pada ma-
ta air di dekat candi.
“Adi Rebab Pandan, marilah kita mulai mencari 
Kaca Sirna Praba!” ajak Landean Tunggal kepada adik 
seperguruannya.
“Kita harus mencari patung Ganesya lebih dulu 
Kakang,” ujar Rebab Pandan. “Dan ini tidak mudah, 
sebab di daerah ini pasti ada lebih dari satu patung 
Ganesya!”
“Yah, tapi kita harus menemukan kaca itu, biar

bagaimana pun sukarnya, Adik!” berkata Landean 
Tunggal. “Bukankah Kitab Hijau milik perguruan kita 
tidak akan lengkap bila kaca Sirna Praba tadi tidak 
kita temukan?”
“Dari mana kita akan mulai mencari benda itu, 
Kakang?”
“Kita periksa saja tempat ini dari selatan dan 
kemudian menuju ke utara,” ujar Landean Tunggal, 
dan kemudian keduanya mulailah memeriksa candi-
candi itu dari sebelah selatan.
Tiap relung dan sudut dari candi-candi itu 
ditelusuri serta diteliti dengan seksama. Pada candi 
pertama diketemukan patung Ganesya, tapi peti batu 
seperti yang dipesan oleh Panembahan Jatiwana tidak 
mereka ketemukan.
Biar begitu kedua orang ini tidak berputus asa. Me-
reka terus mencari dan mencari hingga pada candi 
yang paling utara, mereka menemukan lagi sebuah 
patung Ganesya.
Patung Ganesya berkepala gajah yang 
melambangkan kebijaksanaan dan ilmu pengetahuan 
ini duduk bersila dengan megah, dan kedua pendekar 
muda tadi cepat mendekatinya.
Landean Tunggal dengan hati berdegupan mene-
ngok celah-celah di bagian belakang patung ini, dan 
tiba-tiba terbelalaklah matanya bila ia menatap sebuah 
kotak batu berukir kasar. Dengan segera Landean 
Tunggal memungut kotak batu tadi sambil 
bergemetaran tangannya, sebab hatinya dipenuhi 
pertanyaan, apakah betul benda yang dicari, tersimpan 
di dalam kotak batu ini?
“Adi Rebab Pandan,” seru Landean Tunggal kepada 
adik seperguruannya yang berdiri di belakangnya de-
ngan terperanjat pula menatapi kotak batu itu,

“lihatlah, Adi. Kita telah menemukannya! Menemukan 
benda yang diminta oleh guru kita!”
“Akh, syukurlah, Kakang. Syukurlah! Hampir saja 
aku berputus asa karenanya,” ujar Rebab Pandan 
terbata-bata penuh haru.
“Ayo, kita periksa di luar, Adik!” seru Landean 
Tunggal tak sabar, sebab ia ingin lekas-lekas 
mengetahui benda yang telah bersusah payah 
dicarinya.
Keduanya lalu berloncatan keluar candi dan berdiri 
dekat pintu gerbang candi yang berjenjang.
Hati-hati sekali mereka membuka peti batu 
tersebut. Begitu tutupnya terbuka, maka kedua 
pendekar muda itu lebih terpesona lagi. Memang 
terasa bahagia, bila sesuatu benda yang bersusah-
susah payah dicarinya, kini betul-betul diketemukan. 
Sebab kaca yang berbingkai logam baja biru, seperti 
yang biasa digunakan untuk berias itu, terletak di 
dalamnya.
“Oooh, benar-benar menakjubkan, Kakang!” kata 
Rebab Pandan. Dan Landean Tunggal pun tak habis 
kagumnya menatapi kaca Sirna Praba tadi.
Tetapi selagi mereka diliputi kekagumannya 
terhadap benda ini, sekonyong-konyong berkelebat 
satu bayangan manusia menyambar ke arah mereka. 
Sebuah tangan yang berjari-jari penuh keriput ketuaan 
berkembang siap menyambar kaca Sirna Praba itu.
Tentu saja kedua pemuda ini terperanjat bukan 
main. Rebab Pandan secepat kilat mengayunkan 
senjata rebabnya ke arah tangan tadi dan terjadilah 
satu benturan. Weess. Trak!
Bayangan tadi kemudian berjumpalitan di udara 
dan mendarat di tanah dengan bertolak pinggang, 
sambil meringis sinis ia berkata, “Heh, heh, heh,

terimalah tadi sekadar salam perkenalan dari 
Gombelwadas, penguasa daerah lereng Ungaran ini.”
“Terima kasih, Kakek! Tapi apakah maksudmu 
mencoba mengganggu kami?” ujar Landean Tunggal 
agak curiga.
“Heh, heh. Jangan pura-pura kamu, bocah ingusan! 
Apa kau kira aku tidak melek, kalau kalian telah 
menemukan benda berharga itu!” seru Gombelwadas 
garang!
“Apa pula maksudmu, Kakek?” sela Rebab Pandan 
pula, karena iapun kurang senang dengan munculnya 
orang tua ini. Dalam hati ia sudah menduga akan 
timbul persengketaan dengan dirinya.
“Keparat! Kalian banyak ngomong saja! Lekas kalian 
serahkan benda itu kepadaku. Sebagai penguasa 
daerah ini, aku berhak menguasai segala barang yang 
terdapat disini!”
“Haa, apakah ada seorang yang mengangkat Kakek 
sebagai penguasa daerah ini?!” berseru Rebab Pandan 
jengkel.
“Kurang ajar, masih saja berkelakar bodoh! Yang 
mengangkat adalah diriku sendiri! Tahu, kowe?!”
“Hmm, kami tak akan begitu saja menyerahkan 
benda ini, Kakek! Dari jauh kami telah bersusah payah 
mencarinya ke sini dan kini ada orang yang dengan 
enak mau mengambilnya. Tidak! Benda ini telah kami 
ketemukan dan akan kami bawa pergi!”
“Kunyuk! Rupanya harus kuambil dengan paksa!” 
teriak Gombelwadas dan melesatlah ia tiba-tiba ke 
arah Landean Tunggal serta Rebab Pandan. “Hyaat!”
Kedua pendekar tadi sangat terperanjat dan 
terpaksa keduanya terhuyung-huyung ke belakang 
karena tersampok oleh angin pukulan si kakek tua 
yang dahsyat.

Oleh kenyataan ini, kedua pendekar tadi dapat 
mengukur bahwa kekuatan Gombelwadas tadi setaraf 
dengan guru mereka. Panembahan Jatiwana! Karuan 
saja mereka terpaksa bertempur sepenuh tenaga, bila 
tidak ingin mati konyol!
Sebentar saja terjadilah pertempuran dahsyat! 
Ketiganya bergerak bagai bayangan berkelebatan 
saking cepatnya.
Biar kakek tua Gombelwadas ini seperti orang yang 
sudah tak bertenaga, yang kira-kira sekali pukul akan 
menggeletak di tanah, namun tidak demikianlah ke-
nyataannya! Bahkan tenaganya malah berlipat-lipat! 
Geraknya sangat garang, laksana seekor macan lapar, 
sedang kedua tangannya berkali-kali menerkam de-
ngan ganasnya!
Tapi yang dilawan kali ini adalah murid-murid 
gemblengan Panembahan Jatiwana. Kedua pemuda 
tadi bergerak lincah, menghindari setiap terkaman si 
kakek tua dan lama-kelamaan mereka merasa 
terdesak oleh lawannya. Keduanya sama sekali tak 
sempat membalas, kecuali hanya bertahan saja. Itu 
pun sudah untung, sebab tandang kakek tua tadi 
semakin ganas!
Kakek Gombelwadas juga keheranan menghadapi 
kedua lawan mudanya ini. Tak mengira sama sekali 
bahwa mereka mampu bertempur melawan dirinya 
sampai sekian lama! Maka tiba-tiba ia mengibaskan ta-
ngannya dan berkeredapanlah jarum-jarum kecil 
berbisa menyambar ke arah Landean Tunggal dan 
Rebab Pandan.
Diserang begini macam, mereka sangat terkejut dan 
untunglah mereka dapat menguasai dirinya. Dengan 
lompatan Srigunting, keduanya lolos dari sambaran-
sambaran jarum berbisa tadi.

Berbareng itu pula, Gombelwadas melesat ke arah 
Rebab Pandan. Tahu-tahu pundak pendekar muda ini 
kena tercengkeram oleh jari-jari si kakek tua dan 
selanjutnya tubuh Rebab Pandan kena terhempaskan 
ke tanah oleh Gombelwadas hingga bergulingan de-
ngan meringis. Setelah itu si kakek tua ganti berpaling 
ke arah Landean Tunggal.
“Heh, heh, heh, tahu rasa kau bocah ingusan!” ejek 
Gombelwadas dan sekali lagi ia mengibaskan ta-
ngannya ke arah Landean Tunggal.
Berpuluh jarum berbisa terbang menyambar cepat, 
tapi Landean Tunggal cukup memiringkan tubuh 
menghindari jarum-jarum tadi. Sayang, bahwa jarum-
jarum tersebut terbang dalam keadaan tersebar ke 
samping hingga tiga buah di antaranya menancap ke 
lengan Landean Tunggal.
Melihat ini, si kakek tua terkekeh senang, sebab 
pasti lawannya akan binasa sekejap lagi. Namun ia 
terpaksa menghentikan ketawanya bila Landean 
Tunggal dengan enaknya mencabut ketiga jarum 
berbisa itu dan membuangnya ke tanah. Kakek tua itu 
tidak tahu bahwa Landean Tunggal mengenakan cincin 
Galuh Punar yang dapat menawarkan racun dan bisa 
sehebat apapun!
Kini Landean Tunggal tahulah bahwa mereka 
menghadapi tokoh sakti yang luar biasa. Maka kaca 
Sirna Praba tersebut yang masih digenggamnya 
diarahkan menentang sinar matahari, sambil 
menghadapi arah Kakek Gombelwadas berdiri!
Sinar matahari dengan sendirinya tercampak me-
nimpa kaca tersebut. Landean Tunggal sebenarnya tak 
bermaksud menggunakan kaca Sirna Praba ini, tetapi 
ia sudah benar-benar kehabisan akal menghadapi 
Kakek Gombelwadas yang hebat begitu. Apalagi adik

seperguruannya telah kena dihempaskan ke tanah dan 
kini masih terbaring peringisan.
Begitulah sinar panas matahari tadi terpantulkan 
oleh kaca Sirna Praba dan diarahkanlah oleh Landean 
Tunggal ke arah Kakek Gombelwadas. Maka terjadilah 
akibat yang hebat ketika sinar panas matahari me-
nimpa tubuh Kakek Gombelwadas.
Orang tua tadi seketika menjerit hebat dan tubuh-
nya terbakar sampai bergulingan rebah ke tanah 
sambil berserabutan tangan dan kakinya. Sebentar 
kemudian apipun padam dan Gombelwadas yang sakti 
itu mati dengan tubuh hangus seperti daging sate.
Landean Tunggal merasa ngeri melihat akibat 
pantulan sinar panas yang dipantulkan oleh kaca 
Sirna Praba ini. Iapun segera menyimpan kaca tadi di 
dalam bajunya dan cepat-cepat ia menolong Rebab 
Pandan. Dengan sedikit pijatan-pijatan yang teratur 
pada pundak adik seperguruannya, sembuhlah si 
Rebab Pandan dari rasa pedih dan sakit yang kelewat 
sangat, akibat cengkeraman Kakek Gombelwadas.
Tak beda dengan Landean Tunggal, Rebab Pandan 
pun terperanjat melihat kehebatan dan akibat dari 
sinar pantulan kaca Sirna Praba tersebut. Belum 
pernah ia melihat kengerian seperti itu.
“Kakang, ah hebat sekali kaca Sirna Praba ini!” 
desah Rebab Pandan disertai hati yang ngeri.
“Itulah agaknya mengapa kaca ini tersimpan di 
tempat terpencil seperti ini, seperti yang dikuatirkan 
oleh Bapak Guru. Sebab jika ia sampai jatuh di tangan 
orang sembarangan, berbahaya akibatnya, bukan?”
Rebab Pandan mengangguk membenarkan 
perkataan Landean Tunggal.
“Adik Rebab Pandan, kini selesailah tugas kita ini. 
Marilah kita lekas-lekas berkemas untuk perjalanan
pulang ke Padepokan Gunung Merapi.”
“Baik, Kakang Landean. Marilah!”
Sebentar saja mereka telah rampung berkemas, dan 
segera berpacu ke arah selatan menuruni lereng kaki 
Gunung Ungaran sebelah timur.
Perjalanan pulang kali ini terasa lebih cepat dan 
ringan bila dibanding sewaktu mereka berangkat. 
Tambahan lagi, mereka telah berhasil mendapatkan 
kaca Sirna Praba yang mereka cari, hingga langkah-
langkah kuda mereka seolah-olah terasa lebih ringan. 
Di hadapan mereka terbentanglah lembah Banyubiru, 
sedang di sebelah selatan sana berdiri Gunung 
Merbabu dan Merapi.
***
LIMA


BERKALI-KALI Sang Panembahan Jatiwana berjalan 
mondar-mandir di halaman Padepokan Gunung Mera-
pi. Hatinya kadang-kadang merasa cemas, tapi juga 
kadang-kadang menjadi tenang, bahkan penuh 
harapan bahwa kedua muridnya akan berhasil 
menemukan kaca Sirna Praba yang dimaksud.
Kedua muridnya, Landean Tunggal serta Rebab 
Pandan, telah satu pekan lebih lamanya pergi mening-
galkan padepokan dan sampai senja ini mereka belum 
kembali.
Ketika itu terasa bahwa Padepokan Gunung Merapi 
menjadi lebih sunyi daripada hari-hari yang lalu. 
Sedang kenyataannya, para cantrik dan abdi 
padepokan selalu menemani dan menghibur orang tua 
ini, demikian pula sampai pada senja sekarang.

Di senja ini, ketika Sang Panembahan lagi mondar-
mandir tadi, tampaklah seorang cantrik tergopoh-
gopoh dari arah jalan masuk ke halaman padepokan.
“Oh, Sang Panembahan tak perlu lagi bercemas hati 
sekarang. Lihatlah dari tebing barat itu. Kedua anak 
murid Sang Panembahan telah kembali dengan 
selamat. Mereka tengah naik menuju kemari,” ujar 
cantrik tadi terasa sebagai siraman air embun ke hati 
Sang Panembahan. Segar dan dingin, menenangkan 
hatinya yang lagi kecemasan menanti kedua anak 
muridnya pulang.
“Eh, ya Allah! Syukurlah, cantrik. Kita sudah 
berhari-hari menantinya, bukan?” ujar Sang 
Panembahan terbata-bata saking gugupnya dan 
gembira.
Panembahan Jatiwana lalu bergegas ke pintu 
gerbang diikuti oleh beberapa orang cantrik keluarga 
padepokan. Mereka sesaat berdiri di situ memandang 
ke arah tebing sebelah barat.
Dan betullah apa yang dikatakan cantrik tadi, sebab 
tak antara lama muncullah dua anak muda berkuda 
dari tebing barat, seolah-olah muncul dari balik tanah.
Keduanya menuju ke pintu gerbang padepokan di 
mana Panembahan Jatiwana dan para cantrik berdiri 
menyambut mereka. Ketika kuda-kuda mereka makin 
mendekat, Landean Tunggal serta Rebab Pandan 
cepat-cepat meloncat turun dari punggung kuda. 
Keduanya lalu mengangguk hormat ke hadapan 
gurunya, dan panembahan tua ini segera menepuk-
nepuk pundak mereka.
“Bagaimana, Angger sekalian, apakah tugasmu 
telah berhasil?”
“Berkat doa Bapak Guru, kami berdua telah 
berhasil mendapatkan kaca Sirna Praba,” berkata

Landean Tunggal.
“Wah, syukurlah, Angger. Dengan begitu akan lebih 
sempurnalah perguruan kita ini. Mari Angger berdua, 
silakan segera masuk ke rumah. Kita akan lebih puas 
bercakap-cakap, dan aku ingin mendengar kisah 
perjalanan kalian.”
“Terima kasih, Guru,” ujar Landean Tunggal dan 
bersama Rebab Pandan, keduanya masuk ke dalam 
rumah, setelah lebih dulu membasuh kakinya dengan 
air tempayan di dekat pintu.
Demikianlah mereka duduk di ruang depan, 
sementara seorang cantrik menyuguhkan minuman 
serta ketela rebus yang masih hangat.
Landean Tunggal berceritera tentang perjalanan me-
reka ke daerah Gedong Songo itu, dan Panembahan 
Jatiwana mau tak mau mengagumi kedua muridnya 
yang telah berhasil mengatasi segala bahaya yang
dijumpainya. Dan paling bangga lagi buat Sang 
Panembahan ialah diketemukannya kaca Sirna Praba 
ini. Maka ia tak habis kagumnya mengamat-amati 
kaca ini. Apa yang diimpikan akan kelengkapan Kitab 
Hijau selama ini, betul-betul terlaksana sekarang.
Maka semenjak kembalinya Landean Tunggal serta 
Rebab Pandan ke padepokan ini dengan selamat dan 
pula diketemukannya benda ampuh tersebut, suasana 
padepokan ini terlihat lebih cemerlang dan semarak 
lagi.
Tetapi apakah yang begitu akan dapat berlangsung 
terus? Sayangnya tidak begitu nyatanya. Sebab setelah 
lima hari mereka kembali ke padepokan, Sang 
Panembahan telah mengambil suatu keputusan, suatu 
maksud yang telah sekian lama ditunggunya.
Pagi itu Sang Panembahan telah memanggil kedua 
muridnya ke ruang depan. Sesudah mereka duduk di

balai-balai, Sang Panembahan memungut kaca Sirna 
Praba serta Kitab Hijau.
“Nah Angger berdua, kini tibalah saatnya kalian 
menerima kewajiban sebagai wakilku kelak. Kitab 
Hijau serta kaca ini harus kalian simpan dan pelajari 
baik-baik,” Panembahan Jatiwana berkata dengan 
mantap. “Dan aku minta Angger Landean Tunggal 
menyimpannya!”
“Beribu terima kasih, Bapak Guru,” ujar Landean 
Tunggal serta Rebab Pandan berbareng. Kedua pende-
kar muda ini benar-benar merasa terharu karenanya.
Suasana sesaat menjadi hening, namun mendadak 
dari balik pintu masuk, muncullah Umpakan dengan 
wajah cemberut.
“Hah! Rupanya benarlah apa dugaanku semula, 
bahwa Bapak Guru terlalu berat sebelah terhadap 
muridnya. Mengapa justru aku tidak ikut dipercaya 
untuk menyimpan kedua benda itu?” berkata 
Umpakan seraya mengacungkan tangannya ke arah 
Kitab Hijau dan kaca Sirna Praba.
Pasti saja mereka itu terperanjat terhadap sikap 
Umpakan yang muncul tiba-tiba dan bersikap kurang 
sopan yang berkata sambil berdiri dengan sikap acak-
acakan seperti orang hutan tak mengenal tatakrama.
Bila sesungguhnya mereka dalam hati merasa 
mengkal dan marah namun ketiganya adalah orang-
orang yang pandai menguasai perasaan serta tahu me-
ngaturnya mana yang perlu dilahirkan dan mana yang 
tidak. Mereka seolah-olah tak menjadi heran ataupun 
takut terhadap sikap Umpakan ini.
Oleh sikap ini, Umpakan merasa seperti diperma-
inkan ataupun diremehkan sekali, maka tiba-tiba ia 
menggeram marah, serta berteriak garang. “Hah, 
kalian orang-orang yang tak mengenal rasa adil dan

bersekongkol menyisihkan diriku! Tapi kalian jangan 
menyesal bila aku berhasil menghancurkan Padepokan 
Gunung Merapi, seperti ini!”
Berkata demikian itu, Umpakan berbareng 
memukul dinding kayu dengan seru!
Braak! Dinding tersebut pecah berlobang akibatnya.
Baik Panembahan Jatiwana, Landean Tunggal, 
serta Rebab Pandan terbelalak melihat akibat pukulan 
Umpakan yang mampu melobangi tembus dinding 
kayu setebal dua jari, semudah melobangi selembar 
daun!
“Hua, hua, hua, kalian tahu? Kalian melek dengan 
kekuatan pukulanku ini? Nah, aku tak ingin keke-
rasan lebih lanjut, maka serahkan kedua benda itu 
kepadaku!” ujar Umpakan.
“Manusia tak tahu diuntung!” teriak Landean 
Tunggal marah. “Kalau tahu tabiatmu seburuk ini, dari 
dulu tak perlu kami menyelamatkan dirimu dari 
mulut-mulut macan itu. Biar kamu mendekam dalam 
perut binatang itu!”
“Hah! Tak perlu mengungkit-ungkit barang yang 
telah lalu! Tak guna! Yang penting adalah sekarang, 
waktu yang kini kita hadapi! Kalau kepingin mencoba 
kekuatanku, ayo kulayani sekarang juga, Landean 
Tunggal!” berseru Umpakan serta meloncat ke 
halaman, sedang Landean Tunggalpun menyusulnya 
meloncat keluar.
Tanpa berkata lagi, Umpakan langsung 
mengirimkan serangan ganas ke arah Landean 
Tunggal, tapi betapa kaget ia bila dengan gesit Landean 
Tunggal berhasil menghindar. Dan sebentar kemudian 
di halaman Padepokan Gunung Merapi ini terjadi 
pertarungan yang dahsyat. Umpakan menumplak
segala kegesitan, ketangkasan serta kesaktiannya

untuk melawan Landean Tunggal. Namun kesemuanya 
ini, seakan-akan terhempas musnah menghadapi 
kekuatan lawan. Yang lebih mengherankan bagi 
Umpakan ialah gerakan silat Landean Tunggal yang 
senantiasa menyamai bahkan tahu cara-cara 
menangkis jurus-jurus silat ajaran Ki Jobin Karang. 
Oleh karenanya Umpakan makin terdesak setelah 
menghabiskan tiga puluh jurus.
Mendapat lawan yang tangguh begini, Umpakan 
lebih mata gelap. Cepat ia menggerakkan kedua ta-
ngannya ke balik baju serta secepat kilat 
dikibaskannya ke arah Landean Tunggal!
“Awas Kakang Landean!” seru Rebab Pandan 
memperingatkan kakak seperguruannya bila dilihatnya 
delapan buah pisau kecil panjang berkilatan melesat 
ke tubuh Landean Tunggal. Demikian pula Sang 
Panembahan berdesir hatinya melihat hal ini.
Untunglah, Landean Tunggal lebih cepat lagi 
gerakannya!
Dengan menjejak tanah tubuhnya melesat ke udara 
dalam gaya loncatan Srigunting dan semua orang 
menahan nafas melihat kejadian berikutnya yang 
cuma sekejap saja.
Tiga buah pisau lewat di bawah tubuh Landean 
Tunggal, sedang yang empat buah lainnya masing-
masing kena terjepit oleh jari-jari kedua belah tangan, 
kaki dan yang satu lagi kena terjepit oleh mulutnya!
Umpakan terpaksa melompong mulutnya melihat 
adegan yang begitu hebat seperti tak masuk akal.
Belum lagi ia sempat bertindak lagi, tahu-tahu tubuh 
Landean Tunggal melesat ke arah dirinya dan 
terasalah kedua kaki lawannya bagai tembok baja 
mendobrak dadanya, dan tanpa berkutik tubuhnya 
terhempas ke belakang jungkir balik di tanah berbatu

batu. Tapi masih untung ia mengetrapkan ilmu meng-
entengkan tubuh walaupun secara tiba-tiba hingga 
luka-luka yang dideritanya tidak seberapa banyak. 
Hanya benjol bengkak serta tergores berdarah pada 
kulit.
“Aduh... keparat kowe, Landean Tunggal!” ujar 
Umpakan sambil sempoyongan berdiri. “Baik, kau 
menang sekarang! Tapi awas, tunggulah 
pembalasanku nanti!”
Umpakan terhuyung-huyung meninggalkan tempat 
itu ke arah selatan, diikuti oleh pandangan semua ma-
ta orang-orang di padepokan.
“Angger Landean, ah keadaan semakin ruwet 
agaknya. Tak urung Umpakan tadi akan kembali lagi 
kemari. Jika ia membawa teman-temannya golongan 
hitam ataupun berandal-berandal, celakalah kita. Nah, 
begini saja Angger Landean Tunggal. Kau pindah saja 
ke Jepara di pesisir utara sana. Bawalah dan
simpanlah Kitab Hijau serta kaca Sirna Praba ini 
olehmu,” berkata Sang Panembahan dengan hati risau. 
“Besok pagi berangkatlah Angger kesana. Dengan 
begitu maka kita terpencar menjadi dua, dan salah 
satu akan bisa selamat dari keganasan Umpakan.”
“Baiklah, Gapak Guru,” jawab Landean Tunggal 
tertunduk sedih dan memanglah ia teramat sedih bila 
meninggalkan Padepokan Gunung Merapi ini, seperti 
yang terjadi pada keesokan harinya. Dengan sangat 
mengharukan perpisahan dengan Panembahan 
Jatiwana, Rebab Pandan dan para cantrik serta 
keluarga padepokan berlangsung di pagi hari itu.
Landean Tunggal berkuda ke arah barat dan 
sebentar-sebentar dia menengok ke belakang serta 
melambai-lambaikan tangannya. Padepokan Gunung 
Merapi tadi semakin jauh dan bertambah jauh dari

matanya, namun semakin dekat di dalam hatinya.
***
Sementara itu jauh di sebelah selatan sana, di tepi 
pantai Laut Kidul.
Di sela bunyi-bunyi deburan ombak yang 
mendahsyat bergulung-gulung memecah ke pantai, 
berloncatanlah sebuah bayangan manusia ke udara 
laksana gerakan seekor burung camar meniti buih. 
Lincah, cekatan dan gesit!
“Bagus, bocah! Bagus! Tak percuma aku 
menggemblengmu di Laut Kidul ini!” teriak seorang 
laki-laki berkepala gundul yang berdiri di samping 
seorang pemuda berambut gondrong awut-awutan.
“Nah, Rikma Rembyak! Lihatlah gerakan Umpakan 
itu dengan baik. Sebagai murid termuda, kau harus 
lebih banyak belajar dulu kepada Umpakan sebelum 
langsung menerima pelajaran dari aku. Maka kau 
harus menganggap Umpakan sebagai gurumu pula!”
“Baik, Ki Jobin Karang,” kata pemuda gondrong 
tadi.
Keduanya sangat mengagumi gerakan Umpakan 
dan begitulah dari hari ke hari dan dari minggu ke 
bulan, Umpakan terus berlatih lebih giat. Segala 
petunjuk dan nasehat Ki Jobin Karang dipatuhinya 
betul-betul. Dalam dirinya ia masih menyimpan 
dendam yang membara terhadap Landean Tunggal, 
merupakan satu bara api di Laut Kidul!
Hampir setiap hari ketiganya berlatih seru di pantai. 
Mulai dari Pantai Congot di sebelah barat sampai ke 
Parangtritis di sebelah timur telah mereka jelajahi 
dalam latihan-latihan tadi.
Dalam waktu-waktu senggang, mereka bertiga se-
ring memancing ikan di laut ini. Mereka sengaja

melakukannya selain untuk dimakannya, yang penting 
adalah untuk melatih kesabaran dan kecekatan. 
Kedua unsur tadi sangat penting dalam ilmu silat.
Pada suatu hari seperti biasanya mereka tengah 
asyik memancing. Tapi jika Ki Jobin Karang dan Rikma 
Rembyak telah mendapat beberapa ekor ikan, 
Umpakan masih belum dapat seekor pun. Hal itu tentu 
saja menimbulkan rasa kesal di dada Umpakan.
Untunglah, pada tarikan pancingnya yang kelima 
belas, Umpakan berbesar hati sebab terasa sangat 
berat! Maka secepat kilat ditariknya tali pancingnya ke 
atas. Tetapi apakah yang terjadi? Sungguh 
mengejutkan sekali! Satu hal yang sangat ganjil!
Bukan ikan ataupun sesuatu binatang laut lainnya 
yang dapat dimakan, tetapi sebuah topeng! Yah, 
sebuah topeng dari logam tipis yang telah rusak dan 
penuh rumah-rumah siput yang menempel pada 
sebagian besar sisinya telah tergantung pada mata 
pancing milik Umpakan.
Ki Jobin Karang dan Rikma Rembyak tercengang 
dibuatnya! Dan selanjutnya, tiba-tiba saja Ki Jobin 
Karang membungkuk hormat di depan Umpakan yang 
lagi sibuk mengamat-amati topeng rusak itu.
“Heei, mengapa engkau, Guru?!” seru Umpakan 
kaget.
“Topeng itu! Topeng yang bocah pegang itu adalah 
topeng lambang keperkasaan serta kesaktian yang 
pernah dimiliki oleh kaum berandal dari Laut Kidul. 
Topeng itu telah sekian lama hilang, ketika pemimpin 
kami yang memakainya telah tewas dan tercebur ke 
laut ini dalam suatu pertarungan melawan seorang 
pendekar Majapahit bernama Harya Nagageni yang 
bersenjata cambuk pusaka yang menyala biru 
kehijauan! Nah, dengan topeng yang bocah temukan

ini, berarti kaulah yang beruntung. Kaulah yang akan 
membangun kembali kejayaan berandal Laut Kidul 
yang telah musnah!”
Umpakan terhenyak kaget mendengar penuturan Ki 
Jobin Karang tersebut. Tak mengira bahwa dirinya 
kejatuhan rejeki nomplok sebesar itu, satu keberun-
tungan yang benar-benar tak terduga olehnya!
Ketiganya lalu berjalan pulang. Sampai di rumah, 
Umpakan cepat-cepat membersihkan topeng tadi de-
ngan hati-hati dan cermat, sedang Ki Jobin Karang 
dan Rikma Rembyak menunggunya.
“Hmm, lihatlah, Guru. Sekarang ia telah bersih, tapi 
beberapa bagian ada yang rusak dan tergores seperti 
ini.”
“Tidak apa-apa, Umpakan, itu dapat diperbaiki 
nanti!”
“Terima kasih, Guru!” ujar Umpakan puas sambil 
melepas ikat kepalanya hingga terurailah rambutnya 
yang panjang. Topeng tadi dicobanya pada mukanya 
dan ternyata sangat sesuai. “Hmm, topeng ini akan 
kupakai dan sejak saat ini aku akan bergelar Ki 
Topeng Reges!”
Semenjak saat itu, sejak topeng tadi diperbaiki serta 
dipakainya, Ki Topeng Reges seperti mendapat 
tambahan tenaga baru, dan keinginannya untuk 
membalas dendam atas kekalahannya kepada Landean 
Tunggal semakin berkobar. Apalagi jika ia mengingat 
akan kedua benda pusaka yang kini berada di tangan 
Landean Tunggal itu. Semua itu harus direbutnya! 
Tapi kapankah maksud itu dapat terlaksana? Ini yang 
selalu dipikirkannya!
Maka pada suatu hari ia berunding dengan Ki Jobin 
Karang, muridnya si Rikma Rembyak dan beberapa 
orang berandal yang sengaja tinggal bersama mereka

untuk berguru.
“Ki Jobin Karang, Rikma Rembyak dan murid-
muridku yang lain, kalian aku minta berkumpul disini 
untuk mengetahui rencana-rencana dari gerombolan 
kita! Dalam waktu yang dekat ini aku akan menjelajah 
ke Gunung Merapi di sebelah utara sana, sebab kalian 
telah tahu bahwa kita mempunyai musuh utama yang 
bercokol di Padepokan Gunung Merapi itu! Jika mere-
ka dapat kita kalahkan, maka nama perguruan kita 
dapatlah lebih terkenal lagi di mana-mana. Hutan-
hutan dan daerah-daerah seperti Mentaok, 
Prambanan, Gunung Kidul, Borobudur, Banyubiru dan 
lain-lainnya akan segera jatuh ke tangan kita! Heh, 
heh, heh, mungkin pula kita pun akan dapat me-
ngangkangi pesisir utara sana! Untuk itu semua, aku 
bersama Ki Jobin Karang akan pergi untuk sementara 
waktu. Kalian kuharap tinggal di sini menjaga daerah 
pantai kita, dan Rikma Rembyak akan memimpin 
kalian sebagai wakilku! Bagaimana konco-konco, ada 
yang kurang jelas?”
“Sudah mengerti, Guru,” jawab Rikma Rembyak 
seraya mengangguk. “Kami akan menjaga tempat ini 
sebaik-baiknya.”
“Hmm, begitulah yang aku harapkan!” ujar Ki 
Topeng Reges dengan hati senang. Dalam hatinya ia 
merasa lega bahwa kali ini ia akan datang ke 
Padepokan Gunung Merapi serta membuat 
perhitungan dengan Landean Tunggal.
Kini ia akan menunjukkan kesaktiannya kepada 
mereka yang telah berkali-kali menyakitkan hatinya. 
Wajah-wajah Panembahan Jatiwana, Rebab Pandan 
serta terutama Landean Tunggal selalu menghantui 
pikirannya. Meskipun sesungguhnya dalam hati 
kecilnya ia mengakui bahwa dirinya sendirilah yang

mula-mula bersalah dan merusak ketenteraman 
Padepokan Gunung Merapi itu, namun apa yang kini 
berkuasa dalam dirinya adalah kebutaan. Kebutaan 
akan kebenaran yang sesungguhnya. Rasa dendam 
cemburu, dan sombong saling bergelut di rongga 
dadanya dan ini semua sudah tak dapat dikekangnya. 
Yang dapat terbayang dalam kepalanya hanyalah 
pembalasan dendam. Mereka, orang-orang padepokan 
tadi, harus tunduk di telapak kakinya, serta merayap 
minta belas kasihan di hadapan Ki Topeng Reges!
Begitulah pada suatu pagi, Ki Topeng Reges 
bersama Ki Jobin Karang telah pergi meninggalkan 
Laut Kidul menuju ke utara. Keduanya berkuda untuk 
mempercepat waktu dan menghemat tenaga, sebab 
mereka yakin bahwa segera akan terjadi pertarungan 
melawan orang-orang Padepokan Gunung Merapi!
Dengan memacu kuda-kudanya seperti angin lalu, 
Topeng Reges serta Ki Jobin Karang mendekati Gu-
nung Merapi. Dan menjelang senja, di saat matahari 
mendekati kaki langit sebelah barat, mereka telah tiba 
di lereng kaki Merapi.
Seperti tak sabar rupanya, kedua pendekar 
berandal tadi menderap kudanya ke atas menelusuri 
jalan kecil yang menuju ke arah Padepokan Gunung 
Merapi.
Dalam pada itu, seorang cantrik yang kebetulan 
tengah memeriksa hasil kebunnya di lereng gunung, 
tiba-tiba telah memergoki kedatangan kedua orang ini. 
Dengan terpekik kaget cantrik itu menatap seorang 
penunggang kuda yang berwajah seperti hantu, me-
nyeramkan.
Cantrik tua ini hampir tak dapat membedakan 
apakah itu wajah asli ataukah wajah tiruan, karena 
memang cahaya senja membuatnya samar-samar.

Karena takut dan kagetnya, orang tua ini berlari, 
namun alangkah kagetnya bila tahu-tahu si wajah 
hantu yang tidak lain Ki Topeng Reges ini meloncat 
dari punggung kudanya serta menerkam tubuhnya.
“Berhenti, setan! Aku butuh ocehanmu!” teriak Ki 
Topeng Reges sambil menggoncang-goncang bahu 
cantrik tua itu. Kini orang tua itu dapatlah mengetahui 
bahwa wajah yang seperti hantu ini adalah sebuah 
topeng!
“Aduh, aduh, jangan sakiti saya!” rintih cantrik tua 
tadi ketakutan. “Ssss... saya tak tahu apa-apa, Tuan.”
Plak! Plak! Dua buah tamparan ganas mampir di 
pelipis orang tua ini, sampai menjerit kesakitan.
“Lekas katakan! Apakah hari ini, si tua Jatiwana, 
Landean Tunggal serta Rebab Pandan ada di rumah!” 
seru Ki Topeng Reges.
“Ooh... yang ada cuma Bapak Guru dan Rebab 
Pandan saja, sedang... sedang Landean Tunggal telah 
pindah ke Jepara...”
“Haa?! Pindah ke Jepara? Keparat si kunyuk itu 
telah minggat ke utara! Hmm, kemanapun ia lari akan 
kita kejar! Bukankah begitu, Ki Jobin Karang?!” seru 
Topeng Reges.
“Bagus, aku akan selalu mengikutimu! Tapi apakah 
kita tidak perlu singgah ke padepokan itu? Biar kita 
beri sedikit pelajaran kepada si orang tua, Jatiwana 
itu!”
“Yah! Aku setuju! Ayo kita cepat kesana!” seru 
Topeng Reges serta menghempaskan tubuh cantrik tua 
itu ke tanah dan ia meloncat kembali ke punggung 
kuda serta memacunya ke arah jalan masuk ke 
Padepokan Gunung Merapi.
Sementara itu Panembahan Jatiwana dan Rebab 
Pandan yang lagi asyik berbicara di ruang depan, tiba

tiba dikagetkan oleh sebuah teriakan menggeledek dari 
arah halaman.
“Kakek peot Jatiwana! Ayo, lekas keluar! Aku si 
Umpakan telah kembali, dan siap mengadu tenaga de-
nganmu! Hai kakek pengecut, cepat keluar!”
Rebab Pandan yang mendengar teriakan itu menjadi 
naik darah. Cepat ia beranjak keluar, tetapi tiba-tiba 
sebuah cengkeraman yang kuat menahan langkahnya!
“Sabar, Angger Rebab Pandan! Apakah kau lupa 
bahwa kau dan Landean Tunggal adalah pewaris dari 
perguruan ini?! Jika kau sampai cedera, maka 
harapanku tadi adalah sia-sia belaka! Nah, biarlah aku 
yang keluar sendirian. Kau tak perlu ikut! Sekali lagi 
aku tekankan, bahwa aku melarangmu keluar apapun 
yang terjadi pada diriku! Angger sembunyi saja di sini!”
Panembahan Jatiwana meloncat keluar, sedang
Rebab Pandan tetap bersembunyi dengan kecemasan. 
Dari celah-celah lobang dinding ia mengintai keluar. 
Sementara itu tangannya telah menyambar rebabnya 
yang tergeletak sejak tadi.
Dari celah dinding tadi dapatlah ia menyaksikan 
gurunya yang kini berdiri tenang di halaman 
padepokan menyongsong dua orang berkuda yang 
telah tiba di pintu gerbang padepokan.
Kali ini baik panembahan tua maupun Rebab 
Pandan yang mengintip dari dalam tempat sembunyi 
itu terperanjat melihat salah seorang tamunya yang 
berwajah seperti hantu, yakni Ki Topeng Reges! Topeng 
yang dipakai oleh Umpakan ini ternyata mempunyai 
daya pengaruh yang membuat lawannya berkecil hati 
dan merasa ngeri.
Tiba-tiba tanpa berkata lagi kedua tamu tadi 
langsung menyerang Panembahan Jatiwana dengan 
ganas. Ketiganya segera bertempur hebat dan sebentar

saja telah menghabiskan puluhan jurus. Mereka 
bergerak sangat cepat sampai sukar diikuti oleh 
pandangan mata.
Ternyata panembahan tua ini menghadapi tokoh-
tokoh kuat yang tak mudah dapat dikalahkan, bahkan 
dirinya sendiri menjadi terdesak lama-kelamaan oleh 
Ki Jobin Karang dan Topeng Reges! Akhirnya, sebuah 
pukulan tangan Ki Jobin Karang berhasil menelusup 
pertahanannya lalu menggempur bahunya.
Akibatnya, panembahan tua ini terhempas ke tanah 
diiringi ketawa berderai dari mulut Ki Jobin Karang 
serta Topeng Reges! Dengan segera Panembahan 
Jatiwana berusaha bangkit, namun sekonyong-
konyong sebuah tendangan kaki Topeng Reges 
menggempur kembali pundaknya hingga orang tua ini 
terhempas kembali ke tanah dengan mengaduh 
kesakitan!
“Akh! Kau terkutuk, Umpakan! Kau akan terhukum 
oleh perbuatanmu sendiri!”
Mendengar ini, Umpakan atau Ki Topeng Reges ser-
ta Ki Jobin Karang makin bertambah ganas. Keduanya 
seperti kerasukan setan menghajar panembahan tua 
ini dengan pukulan serta tendangan kaki ganti-ber-
ganti, sampai ia kelesetan di tanah babak-belur.
Sementara itu Rebab Pandan yang menyaksikan 
peristiwa ini, cepat menggesek rebabnya dengan nada 
yang menggayut-gayut pedih dan menyebabkan Ki 
Topeng Reges serta Ki Jobin Karang terhuyung disertai 
rasa panik dan bingung yang bercampur aduk menjadi 
satu, hingga mereka terpaksa menghentikan pukulan 
serta tendangannya pada tubuh Panembahan 
Jatiwana.
“Ayo, Ki Jobin Karang! Cepat kita tinggalkan tempat 
keparat ini! Lekas!” teriak Ki Topeng Reges sambil

mendekati kudanya.
“Baik... baik! Aduh suara apa ini yang telah 
menggores menyayat hati! Keparat!” desah Ki Jobin
Karang seraya meloncat ke punggung kudanya, lalu 
mengikuti Topeng Reges meninggalkan halaman 
Padepokan Gunung Merapi menuju ke arah barat.
Begitu keduanya lenyap di balik lereng barat, Rebab 
Pandan secepat kilat meloncat ke halaman diikuti oleh 
beberapa orang cantrik tergopoh-gopoh berlari keluar.
Tubuh Panembahan Jatiwana yang pingsan segera 
digotong ke dalam rumah oleh Rebab Pandan dibantu 
oleh para cantrik dan mereka merawatnya dengan 
seksama. Kalau mengingat kejadian tadi, Rebab 
Pandan marahnya bukan main, tetapi tokh ini telah 
dikehendaki Panembahan Jatiwana, hingga ia tak 
berani berbuat apa-apa.
***
ENAM


ANGIN SIANG bertiup di selatan kota Jepara dengan 
segarnya, menghilangkan panas dan udara gersang. 
Beberapa rumah petani berdiri di dekat kebun dan 
tanah persawahan yang subur kehijauan.
Seorang pemuda berkumis tebal, memanggul pacul 
sedang berjalan ke arah sebuah rumah. Tetapi ia tiba-
tiba dikagetkan oleh seorang laki-laki setengah tua 
yang dikenalnya sebagai tetangga, menghentikan jalan-
nya.
“Angger Landean Tunggal. Ssstt, aku tadi lihat dua 
orang berkuda yang berwajah seram telah masuk ke 
dalam rumahmu. Keduanya sesaat berada di rumah

itu dan akhirnya keluar dengan mendekap sesuatu 
benda!”
“Wah celaka ini,” desis Landean Tunggal seraya 
meloncat ke dalam rumah. “Hmmm semua berserakan, 
pastilah kedua tamu tadi mencari sesuatu!”
Hati Landean Tunggal berdebar-debar. Selama 
tinggal dan mengasingkan diri di kota Jepara, 
semuanya tampak tenteram. Namun hari ini tidaklah 
demikian. Dan tiba-tiba saja ia lalu teringat kepada 
sesuatu! Sesuatu yang selama ini disimpan dan 
dibawanya ke Jepara atas permintaan gurunya. 
Panembahan Jatiwana. Dimasukinya ruang kamar 
tempat ia tidur. Di sini pun barang-barang berserakan. 
Cepat-cepat Landean Tunggal membuka sebuah 
gerobok, sebuah peti kayu tempat menyimpan pakaian 
dan benda-benda berharga lainnya.
“Aduh! Kaca Sirna Praba dan Kitab Hijau pemberian 
guru telah hilang!” seru Landean Tunggal dengan 
suara gemetar saking kagetnya. Dilihatnya sebuah peti 
kayu kecil berukir tempat menyimpan kedua benda 
tersebut telah hilang dari tempatnya semula.
Bagai orang kebingungan Landean Tunggal berlari 
keluar halaman rumah. Memang dilihatnya di atas 
tanah banyak terdapat bekas-bekas telapak kaki kuda, 
sedang si orang tua tetangganya masih saja berdiri di 
situ.
“Benar, Pak Suta! Mereka telah mencuri hartaku!” 
ujar Landean Tunggal. “Kemana arahnya mereka pergi, 
Pak?!”
“Keduanya datang dari arah selatan, Angger! Dan 
mereka kembali ke arah selatan pula!” kata Pak Suta 
terbata-bata.
“Terimakasih, Pak. Aku akan mengejar mereka! Titip 
rumahku sebentar!” seru Landean Tunggal seraya

berlari ke belakang menyiapkan kudanya.
Orang tua tadipun ikut pula membantunya. “Hati-
hati, Angger, agaknya mereka berdua adalah orang-
orang jahat!”
“Baik, Bapak. Aku berangkat sekarang!” Landean 
Tunggal berkata serta meloncat ke punggung kuda dan 
memacunya kabur ke arah selatan.
Debu jalan berkepul-kepul naik oleh derapan kaki 
kuda Landean Tunggal tadi, dan begitu pula jauh di 
mukanya di jalan yang sama, tampaklah dua ekor ku-
da dipacu oleh penunggang-penunggangnya. Seorang 
di antaranya yang berwajah hantu tampak mengepit 
sebuah peti kayu kecil berukir indah.
“Bapak Ki Jobin Karang, lihatlah, kita telah berhasil 
mendapatkan kitab pusaka Hijau dan kaca Sirna 
Praba yang telah sekian lama kita impi-impikan!”
“Ha, ha, ha, aku pun turut gembira, Topeng Reges! 
Dengan begitu perguruan kita akan menjadi lebih 
kuat!” kata Ki Jobin Karang, sementara itu udara siang 
makin terasa panas.
“Wah, kita telah menempuh jarak yang panjang, Ki 
Jobin Karang! Baiklah kita istirahat sebentar di hutan 
kecil itu!” ajak Topeng Reges lalu membelokkan 
kudanya ke kiri menuju ke sebuah hutan kecil di 
sebelah timur jalan.
“Carilah sebuah mata air untuk menyegarkan 
tubuh, Angger Topeng Reges. Juga kuda-kuda kita 
perlu minum!” seru Ki Jobin Karang yang berpacu di 
belakang kuda Ki Topeng Reges.
Setelah beberapa saat mereka menerobos hutan 
kecil itu, berhentilah keduanya di sebuah mata air 
kecil yang jernih.
“Nah, ini kebetulan sekali, Ki Jobin Karang. 
Badanku pun terasa sangat kering!” ujar Ki Topeng

Reges.
Ditanggalkannya topeng itu setelah mereka turun 
dari kuda, lalu dibasuhnya mukanya dengan air sejuk 
ini. Setelah itu lalu tangan, kaki dan leher serta 
dadanya dibasahi dengan air, hingga terasa tenaganya 
kembali segar. Demikian pula dengan Ki Jobin Karang. 
Sesudah mereka puas menyegarkan tubuh dan kuda-
kuda, merekapun minum dengan lahapnya. Keduanya 
lalu beristirahat sepenuhnya.
Dalam pada itu, Ki Topeng Reges telah memakai 
kembali topengnya dan tampak ia sibuk membuka-
buka lembaran Kitab Hijau tersebut. Pada bagian 
pertama, ia tak tertarik akan isinya. Demikian pula 
bagian tengah ia melewatinya saja. Tapi pada bagian 
terakhir ia sangat tertarik akan isinya yang 
memaparkan Ilmu Sakti Netra Dahana. Ternyata kaca 
berbingkai logam biru yang terdapat di dalam kotak 
kayu tadi, ada hubungannya dengan ilmu ini! Kaca ini 
adalah kaca pusaka yang mampu mengatasi Ilmu 
Sakti Netra Dahana.
Ki Topeng Reges mengangguk-anggukkan kepalanya 
puas, mengetahui akan rahasia kedua benda pusaka 
tadi. Bukankah dihubungkan dengan topeng yang ia 
pakai ini, akan sesuai dan menjadikan dirinya sakti 
tak terkalahkan?! Sejenak kemudian terpikirlah satu 
keputusan yang akhirnya akan merubah dirinya 
sebagai Topeng Reges yang sakti!
Kedua orang tadi masih beristirahat ketika matahari 
bergeser perlahan-lahan ke arah barat, hingga sinar-
nya tidak lagi terang. Tempat tadi menjadi suram. 
Tetapi sebuah semak tiba-tiba terkuak lebar oleh jari-
jari dan muncullah sebuah wajah bermata tajam me-
ngawasi kedua orang tadi.
“Hmm, rupanya kedua orang inilah yang mencuri

Kitab Hijau dan kaca Sirna Praba! Tapi tunggulah, 
Landean Tunggal kali ini akan menunjukkan 
kegesitannya!”
Dengan menggerundal begitu, tiba-tiba melesatlah
tubuh Landean Tunggal ke arah Topeng Reges bagai 
selembar kapas terhempas angin. Itulah kehebatan 
ilmu Kitab Hijau yang telah digabung dengan loncatan 
Srigunting! Dengan menjejak tanah saja, Landean 
Tunggal dapat melenting ke arah yang ia sukai tanpa 
bersuara!
Ki Topeng Reges yang tengah berbaring setengah 
ngantuk di samping Ki Jobin Karang, tiba-tiba terkejut 
merasakan angin dingin yang bertiup kencang ke arah 
mereka. Kemudian sebuah bayangan menyambar peti 
kayu berukir yang tergeletak di samping tubuhnya, 
membuat dirinya terhenyak kaget. Belum lagi ia 
sempat berbuat sesuatu, sebuah tendangan kaki seko-
nyong-konyong melanggar dadanya hingga Ki Topeng 
Reges terhempas ke tanah dan demikian pula nasibnya 
si Jobin Karang. Begitu ia berusaha menerkam 
Landean Tunggal yang telah berhasil merebut peti 
berukir tadi, lawannya ini cuma berkelit ke samping 
dan tangan kanannya mengirimkan satu pukulan yang 
bersarang ke dagunya, menyebabkan Ki Jobin Karang 
terpelanting jatuh. Setelah itu Landean Tunggal 
melesat arah utara dan lenyap di balik semak ilalang!
Sambil mengutuk, Ki Jobin Karang peringisan 
terduduk di tanah, sementara Ki Topeng Reges masih 
terbaring dengan dada sesak.
“Hee, Angger Topeng Reges! Mengapa tidak kita 
kejar orang itu. Ia telah merebut kembali peti pusaka 
itu!” seru Ki Jobin Karang setengah marah. “Ah, sia-sia 
perjalanan kita ini!”
“Tenang saja, Ki Jobin Karang! Peti kayu berukir

tadi hanya berisi Kitab Hijau saja, sedang kaca Sirna 
Praba serta lembaran-lembaran terakhir dari Kitab 
Hijau yang berisi Ilmu sakti Netra Dahana telah aku 
robek! Nah, lihatlah ini, Ki Jobin Karang!” kata Ki 
Topeng Reges seraya mengeluarkan sebuah kaca dan 
lembaran-lembaran kertas dari balik bajunya.
Ini semua menyebabkan Ki Jobin Karang terbeliak 
matanya.
“Uaaah, bejat! Angger memang pandai bersiasat!” 
puji Ki Jobin Karang. “Pantas kalau Angger menjadi 
pemimpin!”
Mendengar pujian tadi, Topeng Reges cuma 
terkekeh ketawa kegirangan dan kemudian berkata. 
“Tapi tadi aku tak sempat membalas tendangan kaki 
Landean Tunggal. Ia memang hebat bukan? Biarlah 
kali ini merasa menang. Tetapi tunggulah setelah aku 
mempelajari Ilmu Sakti Netra Dahana ini. Jangan 
harap aku akan membiarkannya hidup lebih lama 
lagi!”
“Mmm, sekarang kemana tujuan kita, Topeng 
Reges?” tanya Ki Jobin Karang. “Kita kembali saja ke 
Laut Kidul?”
“Tidak! Marilah kita mencari tempat yang sepi di 
kaki Gunung Muria itu untuk mempelajari lembaran-
lembaran kertas ini!” berkata Ki Topeng Reges. “Dan 
sesudah berhasil, kita akan mencari si kunyuk 
Landean Tunggal!”
Ki Jobin Karang mengangguk setuju. “Baik, Angger! 
Ke mana pun engkau pergi, aku akan senantiasa me-
ngikutimu!”
Kemudian mereka berkemas-kemas meninggalkan 
tempat tersebut dan berkuda ke arah selatan, 
menempuh hutan-hutan lebat di kaki Gunung Muria 
yang kini telah disaput oleh warna-warna merah senja.

***
Sejak saat itu, sesudah Landean Tunggal berhasil 
merebut kembali Kitab Hijau pemberian Panembahan 
Jatiwana dari tangan Ki Topeng Reges, ia sibuk dan 
senantiasa memperdalam latihan-latihan silatnya. 
Berhari dan berminggu-minggu ia membajakan diri-
nya.
Kitab Hijau tadi dipelajarinya kembali berkali-kali, 
seperti kurang puas rasanya jika dibiarkan tertutup 
saja! Kadang-kadang ia menyesali dirinya karena 
bagian terakhir dari Kitab Hijau yang berisi Ilmu Sakti 
Netra Dahana belum sempat dipelajarinya. Dan bagi-
an-bagian itu telah hilang! Oh, betapa marah nanti bila 
gurunya Sang Panembahan Jatiwana mendengar hal 
ini.
Bila Landean tunggal menghubungkan kejadian-
kejadian tadi dengan peristiwa-peristiwa yang telah 
silam, maka sekonyong-konyong berdebar-debarlah 
dadanya. Ya, selama ia tinggal di tempat ini tak 
seorang pun tahu bahwa ia menyimpan Kitab Hijau 
dan kaca Sirna Praba. Dua pusaka sakti yang jarang 
tandingannya.
Kalau begitu, siapakah yang tahu bahwa kedua 
benda pusaka dipegang olehnya? Tak ada yang tahu! 
Kecuali Panembahan Jatiwana, Rebab Pandan dan... 
Umpakan! Yah, nama yang terakhir tadi tiba-tiba 
menggoncangkan dadanya! Bukankah Umpakan tadi 
yang pernah mengirikan benda-benda tadi ketika 
masih berada di Padepokan Gunung Merapi? Dan 
orang yang mengenakan topeng hantu tadi mempunyai 
ciri-ciri dari bentuk tubuh Umpakan.
Dalam hati kecil Landean Tunggal, terselip juga rasa 
penyesalannya terhadap gurunya. Mengapa orang tua 
itu terlalu percaya dan terbuka tangan hingga

menerima Umpakan sebagai muridnya? Kini teman 
seperguruannya itu telah menjadi tokoh berandal yang 
sakti dan merajai golongan hitam di Laut Kidul. 
Bahkan Umpakan telah berani terang-terangan 
menentang Panembahan Jatiwana.
“Ah... betapapun marahnya dan menghukumku, 
aku akan menerimanya. Bapak Panembahan Jatiwana 
harus aku beritahu akan hilangnya kaca Sirna Praba 
dan lembaran-lembaran dari Kitab Hijau yang telah 
dirobek. Aku berkeyakinan bahwa orang bertopeng itu 
adalah Umpakan sendiri!” Begitu Landean Tunggal 
berkata-kata sendiri di dalam hatinya. “Baiknya aku 
berangkat hari ini juga, sebab hal tadi sangat gawat 
dan lagi sarana apakah untuk menghadapinya, hanya 
Panembahan Jatiwana yang lebih tahu....”
Landean Tunggal kemudian mempersiapkan 
kudanya dan juga barang-barang yang perlu ia bawa, 
terutama Kitab Hijau itu. Dengan perasaan yang sa-
ngat berat Landean Tunggal meninggalkan rumah dan 
tempat itu, karena telah bertahun ia tempati dengan 
tenteram.
Demikianlah, Landean Tunggal lalu melarikan 
kudanya ke arah selatan menyusuri kaki Gunung 
Muria. Dilewatinya hutan-hutan kecil dan desa-desa 
yang hanya terdiri dari beberapa rumah saja. Sebentar 
ia mendaki tanah bergunung-gunung dan sebentar 
turun ke lembah datar.
Setelah beberapa saat ia berkuda, sampailah ia di 
lembah kaki Gunung Muria sebelah selatan yang 
dipagari oleh hutan lebat, maka berhentilah ia sejenak 
memandang hutan tersebut yang membentang dengan 
megahnya. Hutan tadi masih jarang diinjak kaki 
manusia sebab banyak terdapat binatang buas 
ataupun serangga-serangga berbisa. Malahan ia

pernah mendengar bahwa disini terdapat ular-ular 
yang berukuran luar biasa besarnya, di samping 
sejenis serangga semacam laba-laba yang dapat 
tumbuh sampai setinggi manusia.
Untuk itu semua Landean Tunggal tidak heran, 
sebab Panembahan Jatiwana sendiri pernah 
memberitahunya bahwa di tempat-tempat terpencil, 
lembah ataupun sangat tinggi dari permukaan laut, 
sehingga sinar matahari jarang sampai, akan 
banyaklah kehidupan-kehidupan yang aneh, seperti 
binatang-binatang raksasa dan sangat berbisa sampai 
kepada tumbuh-tumbuhan yang menghisap darah dan 
memakan daging.
Namun Landean Tunggal bukanlah berkecil hati 
menghadapi keadaan alam yang begitu seramnya. 
Maka setelah sesaat ia berhenti, ditepuknya leher 
kudanya kembali agar berjalan. Tapi anehnya kuda 
tadi malah meringkik dengan kaki depannya yang 
berjingkrakan panik.
“Ada suatu yang berbahaya!” desis Landean Tunggal 
dan pandangan matanya menyusuri segenap 
pepohonan dan semak-semak yang kini tampak 
kegelapan oleh awan-awan mendung hitam yang 
berarak-arak mengalir ke arah selatan.
Tiba-tiba saja di balik pepohonan yang lebat itu, 
mata Landean Tunggal menatap adanya kilatan-kilatan 
cahaya merah yang sebentar menyala dan sebentar 
padam seperti mempunyai jarak yang tertentu.
Cepat Landean Tunggal meloncat turun dari 
kudanya dan kemudian ia mengendap-endap ke arah 
kilatan-kilatan cahaya di balik pepohonan tadi untuk 
mengetahui, apakah sebenarnya yang tengah terjadi.
“Heh, mungkinkah itu api dari hantu termamang, 
seperti yang diceriterakan oleh orang-orang tua?”

gumam Landean Tunggal. Pikirannya lalu 
membayangkan sebuah bentuk tubuh yang terdiri dari 
api menyala, tengah keluar dari dalam tanah dengan 
kaki di atas dan kepala di bawah! Itulah bentuk hantu 
yang pernah ia dengar dari mulut ke mulut.
Langkah Landean Tunggal makin dekat dan 
bertambah dekat hingga kilatan-kilatan cahaya api itu 
seperti terasa membakar tubuhnya. Dilihatnya bebe-
rapa rumpun semak terhangus seperti abu.
Dengan hati-hati sekali ia menguakkan semak-
semak tadi dan hampir saja terbeliak sambil menjerit 
pendekar ini menyaksikan pemandangan di depannya. 
Disana, dilihatnya seorang bertopeng seperti hantu 
tengah berloncatan kesana-kemari sambil sekali-sekali 
memancarkan kilatan cahaya api dari matanya ke arah 
dedaunan, hingga semak-belukar di sekelilingnya ha-
ngus terbakar menjadi abu.
Sungguh dahsyat dan mengerikan! Itulah Ilmu Sakti 
Netra Dahana yang terdapat di dalam Kitab Hijau 
pemberian Panembahan Jatiwana! Dan orang yang 
bertopeng itu, adalah yang mencurinya. Ia masih me-
ngenal baik-baik orang bertopeng hantu ini.
Serasa ia mau meremas si topeng hantu ini, tapi tak 
mungkin. Kini ia telah menguasai Ilmu Netra Dahana, 
dan untuk melawannya ia tak kuasa sama sekali, 
sebab kaca Sirna Praba itupun telah jatuh ke tangan si 
wajah hantu itu pula. Hanya kaca itulah yang sanggup 
melawan Ilmu Netra Dahana!
Dalam beragu hati itu, mendadak Landean Tunggal 
merasakan satu hempasan angin dari arah samping. 
Seperti satu gerak naluriah yang telah mendarah da-
ging, Landean Tunggal mengendapkan tubuh sambil 
bersiaga penuh.
Prak! Sebuah pukulan tangan dari orang yang

berkepala gundul setengah tua dan agak bongkok telah 
berhasil ditangkis dengan tangan kirinya hingga 
masing-masing tergetar surut. Landean Tunggal cepat 
membalas, tapi orang inipun dengan lincah berkelit ke 
samping. Kemudian ia berkacak pinggang.
“Ha, ha, ha, sekaranglah saat kita mengukur 
tenaga, kunyuk. Inilah Ki Jobin Karang dari Laut 
Kidul!”
Landean Tunggal terkejut dan segera dapat me-
ngenal wajah itu. Ya, tak salah lagi. Inilah Ki Jobin 
Karang yang dulu menggembleng Umpakan di lereng 
Merapi. Maka cepat-cepat ia bersiaga dan memang 
tepat, sebab tiba-tiba Ki Jobin Karang menyerang 
ganas ke arah dirinya. Disambutnya serangan itu dan 
terjadilah pertempuran yang seru! Sekali ini Landean 
Tunggal betul-betul mencurahkan segenap ilmunya.
Mendadak sebuah bayangan lain melesat dan 
langsung menyerang Landean Tunggal pula. Inilah Ki 
Topeng Reges! Lidah-lidah api yang ganas berkali-kali 
menyambar dari bola matanya siap membakar 
Landean Tunggal menjadi sate!
Menghadapi keroyokan ini, Landean Tunggal benar-
benar merasa terdesak, tak tahu ia bagaimana caranya 
menghadapi Ilmu Sakti Netra Dahana yang kini telah 
dikuasai oleh Ki Topeng Reges. Bukankah kaca Sirna 
Praba yang ampuh itupun telah jatuh ke tangan 
pendekar berwajah hantu ini?
Akhirnya Landean Tunggal melesatkan dirinya ke 
udara, kemudian larilah ia ke arah utara, menuju ke 
kaki Gunung Muria sebelah barat.
Melihat lawannya lari, Ki Topeng Reges menggeram 
marah. “Kurang ajar! Lekas Ki Jobin Karang, ayo, kita 
kejar si keparat itu!”
Sebentar saja terjadilah kejar-mengejar di kaki

Gunung Muria itu. Ketiga manusia tadi berkejaranlah 
laksana tiga ekor belalang saling berloncatan amat 
gesitnya. Landean Tunggal yang berlari paling cepat 
sibuk mencari siasat untuk melepaskan diri dari 
kejaran kedua orang lawannya itu. Maka dicobanya ia 
berlari terpotong-potong bertukar arah sebentar 
membelok ke kiri dan sebentar membelok ke kanan. 
Dengan begitu ia berharap akan lolos dari mereka de-
ngan segera.
Memanglah, sesungguhnya Ki Topeng Reges dan Ki 
Jobin Karang sudah hampir kehilangan jejak Landean 
Tunggal. Namun mereka tak putus asa, sebab mereka 
bertelinga tajam. Dari getaran-getaran langkah kaki 
Landean Tunggal saja, mereka telah dapat mengetahui 
ke arah mana lawannya berlari.
Sambil mengejar tadi, Ki Topeng Reges memperde-
ngarkan suara ketawanya yang bergetaran dan 
semakin lama semakin nyaring mengerikan telinga. 
Bahkan kali ini suara tertawa Ki Topeng Reges yang 
dilambari dengan segenap tenaga dalam seperti 
menyusuri segenap pepohonan dan lekuk-lekuk lereng 
serta jurang-jurang, sedemikian mengerikan seakan-
akan memenuhi seluruh rimba dan menelan Landean 
Tunggal yang tengah berlari di depan para 
pengejarnya. Begitu hebatnya pengaruh suara tertawa 
tadi, hingga dada Landean Tunggal seperti tergoncang-
goncang. Tanpa terasa mereka telah tiba di sebuah 
dataran luas dikelilingi oleh sebuah jurang yang dalam 
bernama Jurang Mati!
“Hua, ha, ha, lekas menyerah saja dan serahkan 
Kitab Hijau milikmu, supaya kau aku ampuni!” ancam 
Ki Topeng Reges.
“Keparat! Kalian boleh memiliki kitab itu, setelah 
kalian terlebih dulu melangkahi mayatku!” teriak

Landean Tunggal dengan seramnya!
“Hyaat! Modar kowe!” teriak Ki Topeng Reges
bersama Jobin Karang yang menerjang Landean 
Tunggal berbareng, dan kembali terjadilah 
pertempuran hebat di tepi Jurang Mati.
Ki Jobin Karang terus mendesak Landean Tunggal 
sampai ke tepi jurang. Sebuah tebasan telapak ta-
ngannya tiba-tiba dapat menggempur pundak kiri 
lawannya hingga pendekar muda ini terpekik 
kesakitan. Namun dalam saat itu pula Landean 
Tunggal pun mengirimkan sebuah genjotan tangan, 
tepat di arah ulu hati Ki Jobin Karang hingga pendekar 
berandal ini ternganga mulutnya tanpa bersuara, 
kecuali semburan-semburan kecil darah segar yang 
keluar dari tenggorokannya.
Sesaat tubuh si pendekar gundul ini oleng dan 
kemudian terpelanting ke bawah. Beberapa suara 
benturan keras dibarengi jerit mengerikan mengiringi 
tubuh Ki Jobin Karang yang melayang ke Jurang Mati 
dan membentur batu-batu tonjolan di lereng jurang.
Melihat hal ini, betapa marahnya Ki Topeng Reges! 
Dan tidak heranlah bila ia mempergencar serangannya 
dengan Ilmu Sakti Netra Dahana.
Rasa sakit pada pundak kiri Landean Tunggal 
semakin terasa pedih sehingga geraknya menjadi 
terganggu. Ketika ia melihat sebuah jalan rintisan yang 
turun ke arah Jurang Mati ini, Landean Tunggal buru-
buru melesatkan diri ke arah jalan ini, sedang Ki 
Topeng Reges tak mau tertinggal lolos oleh lawannya, 
sehingga iapun terus mengejar lawannya menuruni 
Jurang Mati!
Landean Tunggal menjadi kaget bila jalan kecil ini 
berakhir pada sebuah lobang gua pada lereng terjal. 
Tanpa pikir panjang ia cepat-cepat masuk ke dalam.

Ternyata Ki Topeng Regespun memburunya ke dalam 
lobang gua ini, membuat Landean Tunggal kebingu-
ngan. Tiba-tiba ia menemukan sebuah ruangan lain di 
dalam goa ini dan tanpa pikir panjang lagi ia 
menyelinap ke dalamnya.
“Hua, ha, ha, ha, bersembunyi di situ? Baiklah, 
kalau kau berkeras kepala mengangkangi Kitab Hijau 
itu. Matilah engkau di dalam sana!” seru Ki Topeng 
Reges seraya menerjang tepi lobang tersebut sampai 
beberapa bongkah batu runtuh menutup lobang ini. 
Kemudian sekali lagi kakinya beraksi dan sekali lagi 
sehingga akhirnya bongkah-bongkah batu tadi telah 
menutup lobang ini seluruhnya. Setelah ini Ki Topeng 
Reges lalu mengeluarkan sepotong tabung bambu kecil 
dan membuka sumbatnya sekali.
“Nah, nah, keluarlah sobat. Kau aku tempatkan di 
goa ini untuk menjaga tawananku, si kunyuk Landean 
Tunggal yang bandel!” guman Ki Topeng Reges sambil 
mengawasi seekor laba-laba hitam keluar dari tabung 
bambu itu dan kemudian larilah makhluk kecil ini ke 
tempat gelap.
“Ha, ha, ha. Dalam beberapa saat nanti, laba-laba 
tadi akan tumbuh dan berkembang sebesar dan seting-
gi manusia. Dengan begitu maka tak mungkinlah bila 
Landean Tunggal tadi dapat lolos dari tempat ini 
hidup-hidup!” Ki Topeng Reges segera bergegas keluar 
dan meninggalkan tempat ini.
Sementara itu, di dalam lubang goa yang telah 
tersumbat oleh bongkah-bongkah batu, si Landean 
Tunggal terduduk di dasar goa yang licin dan lembab. 
Untunglah di langit-langit goa ini terdapat lubang-
lubang yang tembus udara sampai ke atas, hingga ia 
masih dapat bernafas dengan leluasa. Di samping itu 
berkas-berkas sinar matahari masuk lewat lubang

langit-langit goa itu pula.
Landean Tunggal berputus asa kini. Tak mungkin ia 
dapat keluar lagi, lebih-lebih setelah ia melihat pundak 
kirinya yang bengkak kemerahan. Agaknya pukulan Ki 
Jobin Karang tadi bukan sekedar pukulan kosong, 
tetapi pukulan yang memutus saraf-saraf dan merusak 
otot-otot gerak hingga separuh tubuhnya yang kiri 
terasa lumpuh dan pedih.
Landean Tunggal lama-lama terbiasa dengan 
kegelapan ruang goa ini. Kini ia sudah dapat mengenal 
segala sesuatu di sekeliling dirinya. Dikeluarkannya 
Kitab Hijau yang sedari tadi disimpan di balik bajunya 
dengan terbungkus selembar kain putih selebar ikat 
kepala. Kain itu disobeknya sebagian, sedang sisanya 
dipergunakan untuk mengalasi Kitab Hijau yang 
diletakkan di dekat kakinya.
Dengan menahan sakit, Landean Tunggal telah 
menggigit ujung jari telunjuk kanannya sampai 
mengeluarkan tetesan-tetesan darah. Demikianlah, 
pada sobekan kain tadi, dibuatnya sebuah surat yang 
ditulis oleh Landean Tunggal dengan darah dari jari 
telunjuknya.
“Aku hanya turut berharap semoga tempat ini 
diketemukan oleh seorang pendekar budiman,” gumam 
Landean Tunggal seorang diri.
Demikianlah, sesudah itu ia bersemadi menanti 
saat pertolongan tiba, hingga berhari, berminggu, dan 
berbulan-bulan, bahkan bertahun lamanya sampai pa-
da saat akhir hayatnya, ia tetap bersemadi di goa itu.
“Nah, demikianlah ceriteraku ini berakhir. Semoga 
Kisanak Pendekar Bayangan dan Mahesa Wulung tidak 
kecewa,” ujar Ki Rebab Pandan kepada kedua pende-
ngarnya yang masih terpesona beberapa saat.
“Hebat dan sangat mengharukan, sobat!” desis

Pendekar Bayangan dengan mata berkaca-kaca me-
ngenangkan nasib Landean Tunggal.
Demikian pula Mahesa Wulung merasakan betapa 
hatinya tersayat pilu merasakan penanggungan 
Landean Tunggal yang malang. Terbayang kembali 
ketika ia bertemu dengan kerangka Landean Tunggal, 
dan menemukan kedua benda pusakanya, yakni cincin 
permata Galuh Punar dan Kitab Hijaunya.
Tempat itu sesaat menjadi sunyi senyap, masing-
masing tengah bergelut dengan pikirannya sendiri-
sendiri. Namun satu hal yang menjadi pikiran utama 
dan sama, adalah Ki Topeng Reges! Kepadanyalah me-
reka akan menuntut balas atas kematian Landean 
Tunggal dan atas segala kekejaman serta kejahatan 
yang telah dikerjakan!
Nah, para pembaca yang budiman, itulah tadi ceri-
tera “Bara Api di Laut Kidul” dari Seri Naga Geni yang 
kami sudahi. Tetapi benarkah bahwa Ki Topeng Reges 
yang berilmu Netra Dahana itu tak terkalahkan? 
Untuk menjawab pertanyaan ini, tunggu ceritera seri 
Naga Geni berikutnya, yakni “Keruntuhan Netra Dahana”.


                            T A M A T


Share:

0 comments:

Posting Komentar