SATU
WAJAH PERAK sang rembulan masih menyinarkan
cahayanya ke arah permukaan bumi. Pantulan
sinarnya pada permukaan daun yang basah oleh
embun malam, berkilat-kilat gemerlapan laksana
permata-permata yang bertaburan.
Sementara itu, di dalam rumah yang terletak di
ujung Desa Mijen, tampaklah tiga orang duduk di
balai-balai dalam suasana penuh keakraban.
Ki Rebab Pandan tak habis-habis kekagumannya
menatap wajah Pendekar Bayangan yang kini telah
menanggalkan topengnya. Wajah itu yang lebih tua
daripada dirinya, masih juga menampakkan
kesegarannya dan cerah. Sepasang kumis dan jenggot
keputihan menghias wajahnya. Demikian pula mata
Pendekar Bayangan yang tampaknya sudah tua itu,
masih pula bersinar bening dan tajam.
“Nah, Ki Rebab Pandan. Sekarang, silakan Andika
berceritera tentang Panembahan Jatiwana dan Ki
Topeng Reges itu. Kami ingin sekali mendengarnya,
lebih-lebih dengan kisah Landean Tunggal yang sangat
mengharukan itu,” ujar Mahesa Wulung dengan penuh
hormat.
“Ya. Berceriteralah, Kisanak. Saya rasa, aku pun
pernah mendengar nama Panembahan Jatiwana
beberapa puluh tahun yang lalu,” sambung Pendekar
Bayangan pula.
“Oh, ya, ya. Baiklah. Aku mulai saja dengan ceri-
teraku. Kita mulai pada waktu yang telah silam, kira-
kira duapuluh tahun yang lalu. Di waktu itu, saya
masih mengabdi pada Panembahan Jatiwana sebagai
seorang cantrik, seorang cantrik yang masih sangat
muda sekali yang kadang-kadang menangis bila
bertengkar dengan kawannya,” Ki Rebab Pandan
berhenti sejenak sambil menyeruput wedang jahenya.
“Hmm, ceritera Andika mulai menarik,” gumam
Pendekar Bayangan seraya menelan ubi rebus yang
telah dikunyahnya. “Teruskanlah. Kami akan mende-
ngarnya sampai selesai.”
“Baiklah, dan lebih menarik lagi bila aku me-
ngatakan pada Andika berdua, bahwa aku sebenarnya
adalah putera Panembahan Jatiwana sendiri!” ujar Ki
Rebab Pandan.
“Ha, Andika putera Panembahan Jatiwana?!” seru
Pendekar Bayangan dan Mahesa Wulung berbareng
saking kaget dan herannya.
“Begitulah. Sedang Landean Tunggal yang waktu itu
berusia jauh lebih tua dari aku, menjadi murid
kesayangan Bapak Panembahan Jatiwana. Ia seorang
yang baik, dan terhadap diriku ia sungguh menaruh
rasa sayang dan kasih. Bagiku ia merupakan seorang
kakak yang sejati.”
Suasana Padepokan Gunung Merapi ini sangat
tenteram dan damai. Perguruan Panembahan Jatiwana
berlangsung dengan baik serta cukup terkenal dimana-
mana, di segenap pesisir utara dan selatan Jawa.
Tetapi suasana tenteram dan damai tadi akan segera
berubah, bila pada suatu sore yang cerah kami berdua
dengan Kakang Landean Tunggal mengantar
Panembahan Jatiwana berjalan-jalan menuruni lereng
gunung sebelah selatan.
“Angger Landean Tunggal dan kau, Rebab Pandan.
Apakah kalian telah memahami loncatan-loncatan
Srigunting yang telah aku ajarkan kemarin?” berkata
Panembahan Jatiwana sambil menghentikan
langkahnya.
“Sudah, Guru. Kami berdua telah mempelajarinya,
tetapi mungkin masih kurang sempurna,” jawab
Landean Tunggal.
“Tak apalah, Angger. Justru kalian berdua kuajak
kemari ini, selain untuk berjalan-jalan menghirup
udara sore sesegar ini, juga aku ingin melihat sampai
di manakah kalian telah memahami loncatan-loncatan
Srigunting itu,” berkata Panembahan Jatiwana seraya
menatap kedua muridnya, membuat kedua orang itu
tertunduk segan. “Memanglah, suatu permulaan pasti
kurang sempurna. Tetapi dengan latihan-latihan dan
ketekunan pastilah hal itu bisa dicapai Angger.”
“Terima kasih, Guru,” sela Landean Tunggal.
“Apakah guru bermaksud....”
“Memang aku ingin melihatnya, Landean,” sahut
Panembahan Jatiwana segera. “Supaya aku dapat
mengetahui kekurangan-kekurangannya.”
“Baik, Guru,” kata Landean Tunggal dengan me-
nganggukkan kepalanya kemudian melangkah surut
ke belakang dua langkah. Setelah memusatkan
tenaganya, dengan segera ia menjejak tanah dan
melesatlah tubuhnya ke udara bagaikan gerak burung
srigunting dengan tiga putaran di atas untuk sejurus
kemudian ia mendarat kembali ke tanah dengan tegak.
Melihat kelincahan Landean Tunggal, orang tua ini
tersenyum lega. “Hmmm, ya, ya. Itu cukup baik,
Angger. Nah, kini aku pun ingin melihat loncatanmu,
Rebab Pandan.”
“Siap, Guru,” Rebab Pandan menghormat kemudian
ia pun meloncat ke udara dengan tiga kali putaran
tubuhnya seperti bola, persis yang dikerjakan Landean
Tunggal. Tetapi ketika mendarat iapun menunjukkan
gaya tersendiri. Ia telah mendarat di tanah dengan
berjongkok. Karuan saja Landean Tunggal serta
Panembahan Jatiwana terperanjat kagum!
“Hebat kau, Adi Rebab Pandan,” seru Landean
Tunggal memuji.
“Bagus, bagus. Kalian berdua ternyata murid yang
cerdas. Loncatan-loncatan tadi cukup sempurna. Dan
akan lebih sempurna jika Angger berdua bisa lebih
lama berloncatan dan bersilat di udara.” Panembahan
Jatiwana berhenti berkata, demi dilihatnya kedua
muridnya itu terlongoh-longoh mendengar tutur
katanya.
“Bersilat di udara?” seru mereka kaget.
“Ya, bersilat di udara, sehingga akan sesuai dengan
namanya. Loncatan srigunting! Apakah Angger pernah
melihat burung srigunting yang terbang berjumpalitan
di udara kesana kemari?”
“Pernah, Guru,” ujar Landean Tunggal. “Tetapi itu
berarti kita harus mengerahkan segenap ilmu meri-
ngankan tubuh.”
“Tak salah lagi, Angger!” sahut Panembahan
Jatiwana membenarkan. “Bila kalian telah mampu
melakukannya, maka tak mustahil Angger akan dapat
meloncat dan berputaran serta bersilat di udara dalam
waktu yang cukup lama.” Orang tua ini berhenti
sejenak seraya menatapi kedua muridnya, kemudian ia
melanjutkan kata-katanya, “Nah, baiklah. Untuk
jelasnya aku akan memberi contoh kepada Angger
berdua.”
Mendengar ujar gurunya, Landean Tunggal serta
Rebab Pandan berdebar-debar hatinya, sebab mereka
belum pernah melihat orang tua ini mempertunjukkan
loncatan srigunting dalam bentuk tata kelahi dan silat.
“Hyaaat!”
Tiba-tiba lamunan mereka dikejutkan oleh sebuah
teriakan nyaring dan mata mereka menangkap baya
ngan tubuh gurunya melesat ke atas udara tinggi-
tinggi dan berjumpalitan kesana kemari serta memutar
tongkat kayunya seperti pusaran angin berderu-deru
menakjubkan. Gerakan ini dilakukan dengan cepat
serta lincah, selincah gerak burung srigunting.
Sesudah bersilat di udara sesaat tadi, Panembahan
Jatiwana lalu melayang ke bawah dan mendarat
kembali di atas tanah.
Ketika mendarat itu, Panembahan Jatiwana masih
melihat kedua orang muridnya tersebut terdiam
membisu.
“Kalian tak perlu heran, Angger. Jika kalian terus
senantiasa berlatih dengan gigih, pastilah kelak Angger
akan dapat melakukannya pula.”
“Terima kasih, Guru.”
“Dan sekarang,” kata Panembahan Jatiwana kepada
kedua orang muridnya, “marilah kita berlatih loncatan
srigunting dalam pengetrapan tata silat. Kalian boleh
menyerangku berbareng!”
Berbareng dengan kata-katanya itu, ia melihat
betapa kedua muridnya segera memasang kuda-kuda
siaga. Landean Tunggal bergeser surut ke belakang,
sementara Rebab Pandan melingkar ke kanan dua
langkah. Kedua pasang mata mereka menatap tajam
ke arah dirinya.
“Heh, heh, heh, bagus! Bagus! Kalau sudah begitu
baiknya kita mulai saja latihan ini. Ayo, seranglah
saja,” ujar Panembahan Jatiwana kegirangan serta
bersiaga sepenuhnya.
Tiba-tiba sebuah angin berdesir dingin, dan ter-
nyata secara cepat dan diam-diam Landean Tunggal
telah melancarkan serangan pukulan ke arah orang
tua ini.
Sementara itupun Rebab Pandan dengan sigapnya
mengirimkan sebuah tendangan kaki ke arah lambung
gurunya. Biarpun dalam hati kedua murid
Panembahan Jatiwana itu segan melakukan serangan-
serangan ini namun merekapun yakin bahwa gurunya
jauh berada di atas tingkatan ilmu mereka, sehingga
dengan demikian keduanya tidak usah kuatir kalau-
kalau Panembahan Jatiwana itu terluka karenanya.
Dugaan mereka ternyata benar. Sebelum serangan
mereka sempat menyentuh kulit tubuh orang tua ini,
mendadak saja Panembahan Jatiwana telah melesat ke
udara. Serangan-serangan mereka hanya
mendapatkan udara kosong belaka.
Dasar Landean Tunggal termasuk murid gemble-
ngan orang tua ini, maka begitu serangannya gagal ia
tidak lantas berputus asa. Iapun cepat mengetrapkan
ilmu loncatan srigunting dan sambil melesat ke udara,
kedua tangannya telah melancarkan pukulan
beruntun.
Tetapi orang tua ini sekali lagi membuat putaran di
udara dan loloslah ia dari gempuran Landean Tunggal,
membuat muridnya ini terpekik kagum. Kini
Panembahan Jatiwana ganti melayang turun dan
menyerang Landean Tunggal dengan tepukan telapak
tangan. Serangan ini begitu tiba-tiba dan hanya
menggunakan sedikit tenaga, namun akibatnya sangat
menakjubkan. Lengan Landean Tunggal yang terkena
gempuran telapak tangan tadi tergetar dan kesemutan,
sehingga ia terpaksa lekas-lekas mendarat ke tanah.
Belum habis Panembahan Jatiwana mengawasi
Landean Tunggal mendarat ke tanah, tiba-tiba dari
arah samping meluncur satu serangan pula dengan
hebatnya. Maka cepat-cepat orang tua ini melengos ke
samping. Dan alangkah kagetnya, bila penyerang ini
tidak lain si Rebab Pandan.
“Hyaat!”
Plaak!
Tahu-tahu tangan Rebab Pandan tergempur oleh
telapak tangan Panembahan Jatiwana, sampai pemuda
ini tergetar surut ke belakang. Tapi baiknya ia cepat-
cepat berputar di udara hingga getaran tadi punah
karenanya. Sejurus kemudian iapun turun ke tanah
kembali.
Begitu pula orang tua itu. Iapun turun ke tanah,
biarpun hanya sebentar. Sebab setelah itu iapun
melesat kembali ke udara dengan sigap dan lincah.
Dalam waktu yang sama, Landean Tunggal telah
mengejarnya dengan loncatan Srigunting ke arah
gurunya, dan bertempurlah mereka kembali ganti-
berganti. Maka tak ubahnya gerakan burung
srigunting, ketiganya berloncatan ke udara serta
bertempur dan sesaat mendarat kembali ke tanah
untuk kemudian berlenting lagi ke udara.
Kalau mula-mula keduanya segan bertempur
melawan gurunya, kini tanpa terasa mereka telah
mengerahkan segenap ilmunya dalam menghadapi
orang tua ini.
Mereka bertempur dengan seru sampai puluhan
jurus dihabiskan. Tetapi tiba-tiba saja di tengah
pertempuran yang seru ini, Panembahan Jatiwana
telah berseru, “Tahan! Kita sudahi latihan ini!”
Tentu saja kedua muridnya itu terlongoh keheranan
melihat gurunya menutup latihan tersebut secara tiba-
tiba. Mereka menduga keras pastilah ada sesuatu
kejadian yang penting, sampai orang tua ini berbuat
begitu.
“Angger berdua, dengarlah dengan baik-baik. Angin
dari arah selatan ini telah membawa getaran-getaran
aneh. Getaran dari pertarungan yang seru!”
Mendengar ujar gurunya ini, Landean Tunggal serta
Rebab Pandan terpaksa memusatkan pendengarannya
dan setelah beberapa lama berusaha, dapatlah mereka
mendengar getaran-getaran dari arah selatan.
“Benar, Guru! Rupanya telah terjadi pertarungan di
sebelah selatan sana!” seru Rebab Pandan.
“Nah, marilah kita pergi ke sana. Kita akan lihat
apakah yang telah bertarung disana,” kata
Panembahan Jatiwana sekaligus memberi isyarat
kepada kedua muridnya itu.
Sebentar saja ketiga orang itu telah berloncatan ke
arah lereng Gunung Merapi sebelah selatan dengan
cepatnya.
Ketiga orang itu masing-masing bertanya di dalam
hati, apakah gerangan yang tengah terjadi di lereng
selatan sana? Pertarungan manusia ataukah pertaru-
ngan antara binatang buas? Getaran-getaran tadi
makin terdengar jelas apabila mereka semakin jauh
menuju ke lereng selatan.
Di antara keremangan cahaya senja, di antara
semak-semak ilalang di dataran kecil, terlihatlah tiga
bayangan bergerak-gerak dengan cepatnya, saling
melibat.
Panembahan Jatiwana dengan kedua muridnya itu
segera bergerak lebih dekat ke arah ketiga bayangan
itu, dan kini tampaklah dengan jelas apa yang tengah
terjadi di hadapan mereka.
Seorang pemuda dengan mati-matian bertahan
terhadap serangan dua ekor harimau tutul!
Tampaknya ia seorang pemberani, sebab ia hanya
menggunakan sebuah ranting kayu dalam menghadapi
kedua binatang buas itu. Pada tubuhnya tampaklah
goresan-goresan dan luka-luka berdarah.
Rupa-rupanya kedua ekor harimau tutul itu sudah
sangat kelaparan, sehingga gerakan mereka tampak
semakin ganas. Loncatan-loncatan, terkaman serta
raungan yang menyeramkan terdengar memenuhi
tempat itu. Mereka merangsang pemuda itu dengan
ganas. Bau darah manusia yang menetes-netes dari
luka-luka itu sangat merangsang nafsu laparnya.
Sementara itu sang pemuda calon korbannya telah
banyak menderita luka-luka. Gerakannya menjadi
semakin lamban, apalagi darahnya telah banyak yang
keluar dari luka-luka tubuhnya. Ditambah dengan
rasa lelah yang kelewat sangat, maka si pemuda itu
sudah berputus asa kiranya. Ia tak mampu lagi
menangkis cakaran-cakaran kuku-kuku tajam dari
kedua harimau tutul itu, hingga bertambahlah luka-
luka baru yang menghiasi kulitnya.
Dalam detik-detik yang kritis ketika pemuda itu
roboh ke tanah dan kedua harimau itu siap
menerkamnya, sekonyong-konyong dua buah batu
sebesar telur ayam telah melesat menerjang tubuh
kedua ekor harimau itu hingga keduanya jatuh
bergulingan ke tanah dengan raungan kesakitan.
Tentu saja kedua binatang tadi menjadi marah, bila
serangannya telah terganggu akibat lemparan batu-
batu tersebut. Mereka cepat bangkit dan mengendap.
Mulutnya tampak menyeringai lebar, hingga gigi-gigi
dan taringnya yang runcing kelihatan sangat seram.
Keduanya menatap tajam ke arah utara dan
tampaklah seorang tua bertongkat kayu, berdiri de-
ngan kokoh laksana tonggak baja yang tak
tergoyahkan badai ataupun gempa. Sedang agak jauh
di belakang orang tua itu, berdiri pula dua orang muda
yang tidak lain adalah Landean Tunggal beserta Rebab
Pandan.
Kedua macan tutul tersebut tidak lekas-lekas
memulai serangannya, seolah-olah mereka tengah
mengukur tenaga lawannya. Agaknya mereka
keheranan dengan kekuatan orang tua itu yang telah
berhasil merobohkannya dengan lemparan batu!
Tetapi sesaat kemudian, mereka mulai menggeram
dan bersiaga. Panembahan Jatiwana tidak merasa
gentar karenanya, selain memutar tongkat kayunya
sampai berdesing menerbitkan angin.
Tiba-tiba seekor di antaranya menerkam ganas ke
arah Panembahan Jatiwana, namun orang tua ini
keburu meloncat ke udara sementara tongkatnya tetap
berputar hebat! Kejadian berikutnya sangat cepat dan
sukar ditangkap mata. Tubuh macan tutul yang
menerkam tadi tahu-tahu menggeliat serta
menggerung keras akibat tongkat kayu Sang
Panembahan menggempur batok kepalanya, dan
sejurus kemudian macan tutul itu rebah ke tanah de-
ngan kepala yang pecah!
Dalam waktu yang sama, ketika Panembahan
Jatiwana masih mengambang di udara, macan tutul
yang kedua segera meloncat tinggi-tinggi dengan kuku
jari-jarinya yang mengembang penuh, siap merobek
tubuh orang tua ini. Akan tetapi sekali lagi
Panembahan Jatiwana berputar di udara dan kembali
tongkat kayunya beraksi.
Prak!
Raungan hebat memecah kesunyian senja, apabila
tongkat itu membentur tulang punggung harimau ini.
Gemertak tulang patah serta disusul oleh tubuh si
tutul terhempas ke tanah telah mengejutkan Landean
Tunggal serta Rebab Pandan. Tak nyana, bahwa
gurunya yang sudah setua itu masih mampu
merobohkan dua ekor macan tutul dalam beberapa
gebrakan saja. Mereka sesaat masih menatapi bangkai
kedua ekor macan tutul yang kini tergeletak di tanah
bermandi darah!
Landean Tunggal serta Rebab Pandan buru-buru
berlari mendekati gurunya.
“Oooh, Guru tak apa-apa?” sapa Landean Tunggal
penuh kecemasan.
“Maaf, kami berdua tak sempat membantu,” ujar
Rebab Pandan agak menyesal, sebab sebenarnya mere-
ka tak sampai hati membiarkan orang tua ini bersusah
payah berjumpalitan menghadapi kedua macan tutul
itu.
“Tak apa, Angger. Aku masih tetap baik-baik saja.
Marilah kita cepat-cepat menolong orang itu! Kita
harus menyelamatkan jiwanya!”
“Baik, Guru,” ujar mereka berbareng.
Ketiganya segera bergegas mendekati si pemuda
tadi, yang tergeletak dengan tubuhnya penuh luka-
luka berdarah.
“Ah, kasihan dia. Mudah-mudahan jiwanya dapat
tertolong,” berkata orang tua itu seraya berjongkok di
samping tubuh si pemuda berkumis lebat yang
terkapar di tanah tak berdaya.
“Ooh, Bapak telah menolong jiwaku,” desis si
pemuda sambil menyeringai kesakitan. “Terima kasih.”
“Tenanglah, Angger,” Panembahan Jatiwana berkata
lirih. “Biarlah bapak membalut luka-lukamu.”
Selesai berkata Sang Panembahan segera me-
ngambil selembar kain putih selebar ikat kepala serta
dirobeknya menjadi beberapa bagian. Kemudian ia
memetik daun-daun pohon-pohon kemeladingan serta
diremas-remasnya hingga lumat, untuk kemudian
dibubuhkan pada luka-luka itu.
“Nah, untuk sementara ini cukup untuk
menghentikan darahmu yang mengalir dari luka-luka,”
kata Sang Panembahan sambil membalut luka-luka si
pemuda.
Sementara itu, Rebab Pandan yang memandang
wajah si pemuda berkumis lebat hatinya seketika
berdebar-debar. Entah apa sebabnya, ia tidak
mengetahui. Hatinya merasa curiga terhadap pemuda
ini, maka iapun menyela berbicara, “Maaf, Kisanak.
Siapakah Kisanak dan mengapa berada di tempat ini?”
“Eh, saya bernama Umpakan dan saya... eh saya...
hanya berjalan jalan saja ke tempat ini. Kemudian
kedua macan tutul tadi menyerangku,” jawab si
pemuda berkumis lebat tadi tergagap-gagap,
menambah kecurigaan Rebab Pandan.
“Angger Rebab Pandan! Simpanlah pertanyaan-
pertanyaanmu untuk waktu yang akan datang, bila
Kisanak ini telah sembuh dari luka-lukanya,” sambung
Panembahan Jatiwana.
Mendengar tutur kata gurunya itu, Rebab Pandan
tertunduk malu. Kata-kata tadi seolah-olah sebagai
sindiran yang menunjukkan ketidak-sabaran serta
kecurigaan yang berlebihan.
“Marilah kita papah Kisanak ini ke padepokan kita,”
ajak Panembahan Jatiwana kepada kedua muridnya.
Maka tak lama kemudian ketiganya beranjak.
Rebab Pandan serta Landean Tunggal memapah tubuh
Umpakan yang masih kelihatan payah, sedang
Panembahan Jatiwana berjalan di sebelah muka. Me-
reka mendaki jalan yang semula menuju ke arah
utara, kembali ke Padepokan Gunung Merapi.
Saputan warna-warna merah lembayung tinggal
sepotong-sepotong di cakrawala barat, pertanda bahwa
malam segera menjelang. Beberapa ekor kelelawar
mulai keluar dari sarangnya untuk mencari makan,
dengan mencicit serta mengepak-ngepakkan sayapnya
mengarungi udara malam.
Langkah-langkah mereka makin lambat sebab jalan
mulai mendaki berbelok-belok dan mereka harus
berhati-hati, sebab kini tubuh Umpakan merupakan
beban yang cukup berat.
Ketika keempat orang itu tiba di pintu gerbang
Padepokan Gunung Merapi yang ditumbuhi oleh
sebuah pohon jati tua, maka tergopoh-gopohlah para
cantrik menyongsong mereka. Kedatangan rombongan
itu, yang disertai oleh seorang dalam keadaan luka-
luka serta dipapah oleh Landean Tunggal dan Rebab
Pandan, menyebabkan mereka saling bertanya-tanya
di dalam hati mereka sendiri, apakah yang telah
terjadi, dan siapakah tamu yang dipapah dalam
keadaan luka-luka tersebut?
Mereka segera masuk ke dalam rumah dan diba-
ringkannya tubuh Umpakan di atas sebuah balai-balai.
Panembahan Jatiwana buru-buru mencuci kedua
belah tangannya bersih-bersih, lalu ia menuangkan
sebuah lodong tembikar yang berisi cairan obat ke
dalam cawan dari tempurung kelapa serta kemudian
dengan hati-hati diminumkannya ke mulut Umpakan.
Suasana sesaat menjadi hening. Perhatian masing-
masing tertuju kepada Umpakan. Rebab Pandan yang
sejak tadi telah berusaha mengatasi rasa curiganya
terhadap Umpakan ini, namun tak mudah kiranya.
Relung hatinya seolah-olah berbisik, bahwa Umpakan
adalah orang yang tidak baik kelakuannya!
Beberapa waktu kemudian, tampaklah Umpakan
telah tertidur lelap. Nafasnya tampak teratur sedang
kulit tubuhnya kini tidak sepucat tadi melainkan
kemerahan seperti sedia kala.
Melihat ini, Panembahan Jatiwana segera memberi
isyarat kepada Landean Tunggal serta Rebab Pandan
dan juga para cantrik, untuk meninggalkan ruangan
itu.
“Yah, Angger berdua serta para cantrik. Kini biarlah
Kisanak ini beristirahat sepenuhnya. Marilah kita pun
beristirahat, agar besok kita bisa bangun lebih pagi.
Banyak pekerjaan yang harus kita selesaikan.”
“Baik, Bapak Guru,” ujar Landean Tunggal dan
setelah bersama-sama Rebab Pandan serta para
cantrik mengangguk hormat, mereka kemudian me-
ninggalkan ruangan itu. Begitu pula, Sang
Panembahan tua ini bergegas ke arah kamarnya.
Akhirnya sepilah ruangan itu, juga sepi pula
Padepokan Gunung Merapi yang telah diselimuti oleh
kabut malam. Alam seolah tertidur semuanya, kecuali
suara binatang-binatang malam yang bersahutan.
Namun di sebelah ruangan kamar di dalam rumah
padepokan itu, Landean Tunggal serta Rebab Pandan
tidak segera dapat tidur sebab mereka masih disibuki
oleh pikiran-pikiran tentang diri Umpakan yang baru
saja mereka tolong itu.
“Ssst, Adi Rebab Pandan. Mengapa kau belum tidur
juga?” bisik Landean Tunggal kepada adik
seperguruannya yang berbaring di sampingnya.
“Maaf, Kakang. Aku merasa curiga terhadap
Umpakan,” jawab Rebab Pandan.
Landean Tunggal agak terkejut mendengar kata-
kata Rebab Pandan, tapi kemudian iapun maklum
bahwa adik seperguruannya itu mempunyai perasaan
yang tajam.
“Apa sebabnya kau curigai dia, Adi?” tanya Landean
Tunggal kemudian.
“Kakang masih ingat ketika aku bertanya
kepadanya, mengapa ia sampai berada di tempat ini?
Ternyata Umpakan tadi telah menjawabnya dengan
tergagap-gagap.”
“Ah, mungkin itu disebabkan luka-luka ataupun
kelelahannya, Adik Rebab Pandan,” sela Landean
Tunggal.
“Bisa jadi, Kakang. Tetapi bagiku hal itu lebih
berkesan sebagai suatu kebohongan,” bisik Rebab
Pandan. “Aku yakin ia telah menyembunyikan
sesuatu.”
“Hmm, kalau itu benar, kita harus berhati-hati
mulai sekarang, Adik,” ujar Landean Tunggal.
“Terutama kita harus menjaga keselamatan Bapak
Guru.”
“Betul Kakang. Aaaah...,” Rebab Pandan berkata di-
susul dengan menguap, “aku telah mengantuk,
Kakang.”
“Kalau begitu, marilah kita tidur, Adik,” potong
Landean Tunggal.
Keduanya lalu memejamkan mata serta
menenangkan pikiran dan beberapa waktu kemudian
merekapun mulai tertidur dengan pulasnya. Agaknya
mereka telah kelelahan sehabis berlatih sore hari tadi
bersama gurunya.
***
DUA
KEHADIRAN UMPAKAN pada Padepokan Gunung
Merapi ini semula tidak membawa perubahan apa-apa.
Bahkan yang terlihat adalah kerajinan Umpakan
dalam berguru dan menuntut ilmu ajaran
Panembahan Jatiwana. Ilmu jaya kawijayan,
kesantrian serta keluhuran budi, semua dipelajarinya,
tetapi pada bagian yang ketiga tersebut nampaknya
cukup sulit untuk diterimanya. Bahkan tidak jarang
terjadi perdebatan dengan Panembahan Jatiwana
tentang ilmu keluhuran budi tersebut.
Hal ini tentu saja mengherankan panembahan tua
itu, sebab tidak demikian halnya dengan Landean
Tunggal serta Rebab Pandan. Keduanya dengan mudah
memahami ilmu keluhuran budi tadi.
Sebenarnya ilmu itu hampir setiap orang bisa
menerimanya, sebab sangat mudah dipahami. Seperti
bagaimana keharusan menghormati serta menaati
segala perintah Tuhan Yang Maha Besar, menghormati
raja, menghormati guru, orang tua, saudara tua serta
sahabat dan juga terhadap sesama makhluk di
marcapada ini. Dengan demikian maka tidak mustahil
ilmu keluhuran budi ini akan menciptakan
ketentraman dan kedamaian hidup bebrayan di dunia.
Tetapi bagi orang yang jiwanya sudah terlalu kotor
sering berbuat kejahatan pastilah sukar menerimanya.
Sebab jiwanya seolah-olah sudah tertutup untuk ilmu
keluhuran budi ini. Sedang sebaliknya untuk hal-hal
yang busuk, mereka akan lebih meresapkannya.
Namun rupanya Panembahan Jatiwana tidak terlalu
berprasangka buruk terhadap diri Umpakan. Ia hanya
menganggap bahwa hati Umpakan terlalu tumpul
untuk memahami keluhuran budi, seperti halnya anak
kecil yang terlalu sulit untuk memahami bahwa
gerhana matahari bukanlah karena sang matahari
ditelan oleh Buto Ijo, tetapi karena matahari tertutup
oleh bayangan rembulan.
Oleh karenanya, Sang Panembahan berusaha
sungguh-sungguh untuk menolong Umpakan. Ia tidak
ingin dikatakan terlalu berat sebelah dalam
membimbing murid-muridnya. Demikianlah, waktu
beredar dengan cepat dan selama ini hampir tak
terasa. Sudah tiga tahun lebih Umpakan tinggal
bersama mereka di padepokan lereng Gunung Merapi.
Akhirnya, Sang Panembahan Jatiwana sebagai
seorang yang telah arif bijaksana dapatlah sedikit-
sedikit memahami kecurigaan Rebab Pandan waktu
mula-mula bertemu dengan Umpakan. Kini pun orang
tua ini bertanya-tanya dalam hati, benarkah Umpakan
orang yang baik-baik? Dan pertanyaan ini akhirnya
lebih keras merunyam dada apabila pada suatu pagi,
orang tua ini mengajak ketiga muridnya untuk me-
ngadakan latihan silat dan tata kelahi.
Dalam latihan ini, masing-masing berusaha
menunjukkan kecakapannya yang selama ini telah
dipelajari dan ditekuninya.
Suatu ketika, tibalah giliran pertandingan antara
Landean Tunggal menghadapi Umpakan.
Sesudah keduanya membungkuk hormat kepada
Panembahan Jatiwana, mereka segera bersiaga dan
tiba-tiba saja latihan itupun dibuka dengan satu se-
rangan mengagetkan dari Umpakan yang dilancarkan
sangat cepat ke arah Landean Tunggal. Panembahan
Jatiwana menjadi terkejut karenanya demikian pula
Rebab Pandan.
Untunglah Landean Tunggal bukan anak kemarin
sore. Dengan tangkasnya ia mengelak dari serangan
itu, malahan dengan lincah iapun bergerak membalas
menyerang ke arah Umpakan disertai tebasan sisi
telapak tangan.
Mendapat serangan ini, Umpakan segera
melontarkan diri ke udara berjumpalitan dengan ilmu
loncatan Srigunting. Tubuhnya seakan-akan terbang.
Namun Landean Tunggal tidak tinggal diam
karenanya. Iapun secepat kilat melesat ke atas
mengejar Umpakan. Maka keduanyapun makin terlibat
dalam pertempuran sengit.
Panembahan Jatiwana melihat bahwa Umpakan
makin beringas dalam geraknya. Apa yang dilihatnya
kemudian, jelas bahwa Umpakan betul-betul
bertempur dengan segala nafsu dan ilmunya!
Tandangnya segarang serigala lapar. Menerjang,
menerkam, menyambar seolah-olah ia kerasukan
setan.
Meskipun begitu, Landean Tunggal tidak lekas
menjadi gugup. Iapun menjadi semakin cepat
geraknya. Kemampuan Umpakan menyerang ia selalu
dapat melihatnya dan segera membalasnya dengan
hebat!
Rebab Pandan yang mengetahui gerakan Umpakan,
seketika berdebar-debar hatinya. Gerakan tadi ter-
nyata telah merupakan gerak percampuran antara
gerak ajaran Padepokan Gunung Merapi bercampur
gerak yang lain, sehingga membingungkan pandangan
mata. Rupa-rupanya saja sebelum Umpakan datang di
tempat ini ia pernah pula belajar silat di tempat lain.
Begitulah, pertempuran tadi semakin bertambah
hebat. Di dalam hati Umpakan mengumpat-umpat
bahwa Landean Tunggal masih dapat menyamai
ketangkasannya, bahkan lama-kelamaan pastilah diri-
nya akan dikalahkan oleh rekannya itu! Sebagai anak
yang berdarah muda ia tidak menginginkan hal itu.
Suatu ketika Umpakan melancarkan tendangan
maut ke arah rusuk lawannya, tetapi Landean Tunggal
lebih cepat berputar seperempat lingkaran sambil me-
nyambut serangan tadi dengan tebasan sisi telapak ta-
ngan dan selanjutnya...
Praak!
Terjadilah benturan antara sisi telapak tangan
Landean Tunggal dengan tulang betis Umpakan, disu-
sul oleh pekik kesakitan dari mulut Umpakan.
Landean Tunggalpun tergetar ke belakang sampai
terhuyung-huyung, sedang Umpakan jatuh terpelan-
ting ke atas tanah.
Panembahan Jatiwana serta Rebab Pandan terkejut
karenanya. Keduanya segera beranjak untuk meng-
hentikan latihan itu. Lebih-lebih dengan orang tua ini.
Ia tidak ingin melihat keduanya betul-betul berkelahi
ataupun sampai terluka salah satu di antaranya.
Betapapun sesungguhnya Panembahan Jatiwana
merasa bangga bahwa muridnya telah mampu
bertempur sehebat itu, namun keduanya adalah hasil
didikan, hasil gemblengan dari Padepokan Gunung
Merapi. Maka iapun tidak ingin bahwa ilmu ajarannya
itu saling berbentur sendiri.
“Landean Tunggal! Umpakan! Sudahlah! Cukup
sekian saja latihan ini!” terdengar seruan nyaring dari
Panembahan Jatiwana, mengumandang di halaman
padepokan itu.
Sebagai seorang murid yang patuh, seruan itu
sudah cukup berarti. Maka Landean Tunggal lekas-
lekas melontarkan diri ke belakang menjauhi Umpakan
yang kini sedang berdiri kembali.
Rebab Pandan menarik nafas lega mendengar
seruan Panembahan Jatiwana. Tetapi tidak
demikianlah dengan Umpakan. Relung-relung hatinya
telah diamuk perasaan jengkel dan marah. Sehingga ia
cepat-cepat berdiri kembali dan menyerang ke arah
Landean Tunggal.
Serangan itu sungguh tak terduga kecepatannya.
Dan yang lebih parah lagi, Landean Tunggal tak
bersiaga pada waktu itu. Hingga seandainya ia
terpukul oleh Umpakan boleh dipastikan kalau ia
roboh!
Tiba-tiba dalam saat yang begitu tegang, sebuah
bayangan melesat mencegat serangan Umpakan dan
sejurus kemudian Umpakan terhenti langkahnya.
Rebab Pandan yang mengikuti kejadian itu,
serentak terhenyak takjub. Apa yang dilihatnya, tahu-
tahu lengan Umpakan terpegang oleh jari-jemari
Panembahan Jatiwana, sampai saudara tua
seperguruan ini meringis kesakitan. Oleh Umpakan
dirasanya lengannya terjepit oleh jari-jari gurunya,
seperti terjepit oleh lempengan-lempengan besi.
“Umpakan, kau tak mendengar kata-kataku,
Angger? Ingatlah, kau hanya berlatih saja,” terdengar
Panembahan Jatiwana menyapa lirih dengan nada
penuh wibawa. “Lihatlah, lawan yang kau hadapi
sekarang. Bukankah itu saudara seperguruanmu
sendiri, si Angger Landean Tunggal?”
Oleh hal ini, apalagi karena cepitan dari jari
gurunya yang hebat itu, Umpakan seperti tersadar dari
perbuatannya. Maka ia segera menunduk ke tanah de-
ngan wajah penuh kecewa dan menyesal.
“Maaf, Bapak Guru. Aku agak terlanjur tadi,” desis
Umpakan memecah kesunyian.
Biar berkata begitu, hatinya tak urung mengutuk.
Ia menganggap kalau gurunya lebih menyayangi
Landean Tunggal daripada dirinya sendiri. Buktinya, ia
hampir-hampir terkalahkan oleh Landean Tunggal.
“Hmm, pasti Bapak Guru lebih banyak memberi
gemblengan kepada si Landean Tunggal itu!” Demikian
hati Umpakan penuh kata-kata dan kekecewaan yang
tidak terlahirkan.
“Hmm. Kalau kalian telah sadar, sekarang
berjabatan tanganlah agar kalian tak akan saling
mendendam lagi!” ujar orang tua itu seraya
melepaskan pegangannya.
Dan akhirnya kedua murid itu saling berjabat ta-
ngan memenuhi permintaan gurunya. Saat itu
kelihatan sekali kecanggungan Umpakan ketika ia
mengulurkan tangan untuk menjabat tangan Landean
Tunggal, seolah-olah ia sangat terpaksa melakukan hal
itu.
Maka sejak itulah Panembahan Jatiwana telah
mulai dapat menilai sampai dimana kemampuan
masing-masing muridnya. Dengan begitu ia telah
dapat mengira-ngira kepada siapakah kelak ia harus
menyerahkan Padepokan Gunung Merapi ini. Tidak
lain adalah kepada Landean Tunggal serta dibantu
oleh Rebab Pandan.
Untuk itu, panembahan tua itu bertindak sangat
hati-hati. Ia tidak ingin terang-terangan menunjukkan
kekecewaan atas sifat-sifat Umpakan yang suka main
menang sendiri. Dan sebagai orang tua yang bijaksana,
ia sangat pandai mengasuh ketiga muridnya ini. Ia
tidak menginginkan satu kericuhan di padepokannya
yang selama ini telah dibinanya dengan bersusah
payah.
***
Sebagai seorang pemuda yang punya harga diri, ia
tidak mau begitu saja merasa tertinggal oleh
ketangkasan si Landean Tunggal. Itulah sebabnya
setelah kejadian itu, sejak ia dikalahkan oleh Landean
Tunggal, Umpakan diam-diam sering menyendiri ke
tempat-tempat sunyi untuk berlatih silat. Bagi dirinya,
ia belum merasa puas sebelum dapat mengalahkan
Landean Tunggal.
Dalam pada itu, baik Panembahan Jatiwana,
Landean Tunggal maupun Rebab Pandan tidak pernah
tahu, kemana si Umpakan pergi. Mereka memang se-
ngaja tidak ingin menanyakan hal itu kepada
Umpakan. Biarlah murid ketiganya ini berbuat
memenuhi gejolak hatinya, asal ia tidak menyusahkan
padepokan itu serta orang-orang di sekitarnya.
Demikianlah, pada suatu hari Landean Tunggal
serta Rebab Pandan berjalan-jalan keluar padepokan.
Keduanya berangkat pagi-pagi ketika matahari mulai
memanahkan sinar-sinarnya ke lereng timur Gunung
Merapi.
Diam-diam di dalam hati kedua pemuda ini penuh
rasa ingin tahu, di manakah selama ini Umpakan
menghilang. Kadang-kadang tiga hari tiga malam si
Umpakan tidak pulang ke padepokan, lalu selang satu
hari ia muncul dan dua hari lagi iapun sudah pergi.
Landean Tunggal bersama Rebab Pandan mula-
mula menuruni lereng sebelah barat, kemudian
membelok ke selatan. Mereka mulai memasang
ketajaman telinganya untuk mendengar, kalau-kalau
mereka dapat mengetahui tempat Umpakan berlatih
silat. Getaran dari gerakan ilmu silat saja sudah cukup
bagi mereka untuk dapat ditangkap oleh ketajaman
telinganya.
Ketika mereka mulai menginjak lereng selatan,
benar-benarlah keduanya dibikin kaget oleh getaran
yang bersimpang siur dan berdesau dari arah hutan
kecil, di dekat sebuah mata air.
“Adi Rebab Pandan, kau dengar itu, Adi?” gumam
Landean Tunggal seraya menggamit tangan adik
seperguruannya.
“Ya, Kakang. Aku juga mendengar suara itu,” jawab
Rebab Pandan sambil memandang Landean Tunggal
penuh tanda tanya.
Dan keduanya tiba-tiba saja lalu teringat akan
pertemuannya dengan Umpakan di tempat ini pula.
Sedang kini, di tempat itu pula mereka mendengar
suara-suara aneh, karuan saja sesaat bulu tengkuk
mereka meremang saking ngerinya.
“Kakang Landean Tunggal, apakah kita akan
mendekati suara itu?” tanya Rebab Pandan
kecemasan.
“Apakah Adi merasa takut?” ujar Landean Tunggal
kemudian.
“Bukan takut, Kakang. Tetapi aku kuatir kalau
Bapak Guru marah, sebab kita tidak lebih dulu
memberi tahu kepada beliau.”
“Jangan kuatir, Adi. Biarlah nanti aku yang
dimarahi oleh Bapak Panembahan. Kita hanya akan
mendekati suara itu untuk sekedar mengetahui saja.
Kalau nanti ternyata ada yang penting, barulah kita
beritahukan kepada Bapak Guru,” Landean Tunggal
berkata.
Mendengar ini, Rebab Pandan menjadi tidak kuatir
lagi. “Baiklah, Kakang. Aku setuju denganmu.”
“Nah, marilah kita berhati-hati mendekati tempat
itu sekarang,” berkata Landean Tunggal kemudian
bersama Rebab Pandan mengendap-endap mendekati
hutan kecil itu, dari mana suara berdesau dan
getaran-getaran hebat terdengar.
Kedua pemuda itu kemudian menyelinap dan mene-
robos semak ilalang serta rumpun pisang. Dengan sa-
ngat hati-hati mereka selangkah demi selangkah
melewati sebuah mata air.
Tiba-tiba Rebab Pandan menarik lengan Landean
Tunggal, hingga kakak seperguruannya ini terbengong
keheranan. “Ada apa, Adi Rebab Pandan?!”
“Lihatlah ini, Kakang!” ujar Rebab Pandan sambil
menunjuk ke tanah yang lembab di tepi mata air.
“Jejak-jejak kaki manusia!” desis Landean Tunggal
sambil mengawasi ke bawah. “Dan lebih dari jejak
seorang!”
Karuan saja Landean Tunggal memuji setengah
mati akan ketajaman perasaan dan indera si Rebab
Pandan. Dalam hati ia merasa kagum akan
kemampuan adik seperguruannya itu.
“Agaknya jejak-jejak ini ada hubungannya dengan
suara bising itu, Kakang Landean!” sela Rebab Pandan.
“Ayo, cepatlah kita melihat mereka, Kakang.”
“Ya, marilah, Adik,” Landean Tunggal berkata
seraya secepat kilat mengendap-endap kembali ke arah
tempat itu.
Beberapa saat kemudian, tibalah mereka di tempat
itu. Kedua pemuda itu segera menguak dedaunan de-
ngan jari-jarinya dan betapa terperanjatnya bila ia
melihat suatu pemandangan di balik dedaunan itu.
Seorang yang bertubuh pendek agak bungkuk de-
ngan kepala gundul duduk membelakangi mereka dan
sementara itu, di depan si gundul kelihatanlah
Umpakan bersilat dengan gerakan yang cepat bagai
hantu. Tubuhnya merupakan gumpalan sinar yang
berkelebatan amat cepat, sementara tangan dan
kakinya sebentar-sebentar melancarkan serangan ke
udara kosong. Meskipun tanpa sasaran, pukulan ta-
ngan dan kaki menimbulkan angin dan memecah
udara sehingga menimbulkan suara berdesau dan
daun-daun kering beterbangan kian-kemari!
“Stt, Kakang Landean, siapakah si gundul itu?”
bisik Rebab Pandan kepada telinga kakak
seperguruannya.
“Hiss. Jangan keras-keras. Kita perhatikan saja
gerakan silat Umpakan ini. Mungkin ada gunanya bagi
kita nanti,” ujar Landean Tunggal dengan suara yang
sangat lembut.
Rebab Pandan cuma mengangguk saja.
Gerakan Umpakan itu kini makin cepat bernada
ganas, dan si gundul yang menunggunya itu me-
ngangguk-angguk serta bertepuk kegirangan.
“Hi, hi, hi, bagus, cah bagus. Kamu memang bocah
yang hebat. Untunglah aku bertemu dengan kamu,
bocah. Hi, hi, hi, sekarang si Jobin Karang ini punya
murid yang tangguh! Dan sebentar lagi akan malang-
melintang di pulau Jawa! Hi, hi, hi.”
Mendengar nama si gundul yang menyebut
namanya Jobin Karang itu, Rebab Pandan menggamit
lengan Landean Tunggal. Keduanya saling berpanda-
ngan penuh tanda tanya. Rebab Pandan mengangkat
bahunya sebagai tanda tidak tahu, tetapi kemudian
Landean Tunggal berbisik ke telinga Rebab Pandan,
“Nama itu pernah kudengar sebagai tokoh hitam dari
Laut Kidul!”
Oleh keterangan tadi, mau tak mau Rebab Pandan
terperanjat seketika. Apa yang selama ini dikuatirkan
ternyata benar, bahwa Umpakan seorang yang tidak
baik, yang kini ternyata berkawan dengan tokoh hitam.
Si Jobin Karang.
Sementara itu, Umpakan telah mengakhiri
latihannya. Dengan satu lontaran jungkir balik di
udara, kemudian ia mendarat di tanah di depan Jobin
Karang dalam posisi kaki bersila, selanjutnya ia
membungkuk hormat di depan orang gundul itu.
“Hih, hi, hi, hi. Aku senang, cah. Aku bangga de-
ngan kemajuan itu. Tapi kenapa kau tidak mau cepat-
cepat bergabung dengan kami? Mengapa lebih kerasan
dan betah tinggal di padepokan bobrok itu?!” terdengar
si gundul berkata.
“Maaf, Ki Jobin,” jawab Umpakan. “Aku belum bisa
tinggal bersamamu sekarang, sebab masih ada
beberapa soal yang harus kuselesaikan di Padepokan
Gunung Merapi itu!”
“Hmm, terserah padamu, bocah. Tetapi apa jadinya
jika para peronda Asemarang dan Banyubiru dapat
menemukan dirimu disini? Pasti kau akan dilumatkan
di tempat ini beramai-ramai!”
“Kalau itu terjadi, aku akan melawan mereka de-
ngan sekuat tenaga, Ki Jobin. Mereka akan kuhajar
dengan ilmu silat ajaranmu ini!”
“Hi, hi, hi, baiklah. Aku tak perlu mencemaskan
dirimu, Umpakan. Ilmu silatku tadi sudah cukup buat
menghadapi mereka.”
Ketika itu Landean Tunggal berbisik kepada Rebab
Pandan, “Adik, dugaanmu dulu rupanya benar. Si
Umpakan adalah seorang buronan. Ia tengah dikejar
oleh peronda-peronda dari Asemarang dan Banyubiru.”
“Ah, sungguh berbahaya nasib Bapak Panembahan.
Jika para peronda itu mengetahui bahwa Umpakan
menjadi muridnya, pastilah mereka akan menyalahkan
guru kita. Sebab beliau telah melindungi seorang
buronan!” ujar Rebab Pandan.
Tiba-tiba sebelum mereka melanjutkan kata-kata-
nya, tangan Landean Tunggal buru-buru menutup
mulut Rebab Pandan, sebab bersamaan dengan itu si
gundul Jobin Karang tahu-tahu menoleh ke belakang
seraya berseru nyaring.
“Hee, aku mendengar kasak-kusuk di pohon sana!
Hih, rupanya pisau ini harus bekerja!”
Dengan kata-kata itu, Jobin Karang secepat kilat
melemparkan sebuah pisau kecil panjang yang diambil
dari balik bajunya.
Traak!
“Ciiat!”
Landean Tunggal serta Rebab Pandan tak terkira
kagetnya mendengar bunyi itu, yang tepat berasal dari
sebuah dahan pohon yang melintang di atas kepala
mereka.
Ketika kedua pemuda itu menoleh ke atas,
tampaklah seekor tupai tertancap pada dahan pohon
oleh sebuah pisau panjang hampir separo lebih masuk
ke dalam kayu!
Melihat hal itu, Rebab Pandan serta Landean
Tunggal menarik nafas lega. Untunglah bukan kepala
mereka yang ditembusi oleh pisau itu. Untuk itu
keduanya bersyukur, tetapi juga tak kalah kagumnya
melihat tenaga lemparan si Jobin Karang itu.
“Hi, hi, hi untunglah hanya seekor bajing saja. He,
Umpakan, apakah kau juga sanggup meniru
lemparanku tadi, ha?!” terdengar Jobin Karang me-
nyapa Umpakan.
“Mudah-mudahan, Guru!” kata Umpakan sambil
bergerak cepat mencabut pisaunya, lalu dilemparnya
ke arah bangkai tupai tadi.
Claak!
Pisau itu pun menghunjam tepat pada tubuh
binatang itu, di samping pisau gurunya, si Jobin
Karang. Hanya saja pisau tadi menancap kurang dari
separo. Namun hal itu sudah cukup membanggakan
Jobin Karang.
“Hi, hi, bagus, bagus. Nah, kiranya latihan cukup
untuk hari ini. Besok kau datang ke sini sore hari.
Sekarang marilah kita mengaso sejenak.”
Dalam pada itu, Landean Tunggal serta Rebab
Pandan mengendap-endap kembali menjauhi tempat
itu. Dedaunan serta semak-semak lebat cukup baik
melindungi mereka, hingga keduanya selamat serta
terlindung dari pandangan mata Jobin Karang serta
Umpakan.
Maka sejak saat itulah, Landean Tunggal serta
Rebab Pandan sering datang ke tempat ini untuk
mengintip latihan-latihan Umpakan bersama Ki Jobin
Karang. Dengan begitu kedua pemuda itu dapat
mengetahui semua gerakan-gerakan silat Umpakan
serta jurus-jurusnya.
Akhirnya setelah berpuluh-puluh kali Umpakan
digembleng oleh Ki Jobin Karang, ia menjadi seorang
pendekar yang tangguh. Umpakan yang sekarang
bukanlah Umpakan yang dahulu, dan sejak ini ia
sudah memperlihatkan ketangguhannya. Terutama
kepada orang-orang petani di seluruh kaki Gunung
Merapi, ia sering memamerkan keperkasaannya. Tidak
jarang beberapa orang petani telah naik ke Padepokan
Gunung Merapi untuk mengadukan kelakuan
Umpakan ke hadapan Panembahan Jatiwana.
Bila sudah mendapat laporan begitu, Sang
Panembahan tidak jarang bersedih hati mendengar
kelakuan muridnya yang sering menyakiti orang-orang
tak bersalah. Lalu panembahan tua ini terpaksa
mengeluarkan uang ataupun benda-benda berharga
untuk sekadar mengganti apa-apa yang telah
dirusakkan oleh perbuatan Umpakan kepada para
petani itu.
Pernah terjadi, si Umpakan ingin minum air kelapa
muda. Disuruhnya seorang petani untuk me-
ngambilkan kelapa muda itu. Tetapi karena kurang
cepat, maka si Umpakan menjadi marah. Kemudian
pohon kelapa tadi dengan tiga kali tendangan kakinya
telah roboh ke tanah.
Kadang-kadang Panembahan Jatiwana merasa
menyesal telah menerima Umpakan sebagai muridnya.
Begitulah, kekurang-ajaran Umpakan tadi makin
meluas. Lebih-lebih ketika pada suatu hari seorang
petani bernama Pak Dadap telah tergopoh-gopoh me-
ngadu pada Panembahan Jatiwana, yang pada saat itu
tengah duduk-duduk bersama Landean Tunggal serta
Rebab Pandan.
“Oh, celaka, Sang Panembahan. Ketiwasan!” ujar
Pak Dadap dengan nafas kempas-kempis. Agaknya ia
telah berlari ketika menuju ke padepokan ini.
“Hee, mengapa, Ki Dadap? Ada apa?” sapa
Panembahan Jatiwana tak kalah bingungnya.
“Angger Umpakan! Angger Umpakan murid ketiga
Sang Panembahan, telah bertengkar dengan anak
gadisku, si Rara Sendang!”
“Hee?! Kakang Umpakan lebih kurang ajar lagi
rupanya! Maaf, Bapak Panembahan. Aku harus kesana
secepat mungkin!” seru Rebab Pandan sambil loncat
keluar rumah.
Landean Tunggal yang melihat adik seperguruannya
tadi meloncat keluar, iapun secepat kilat menyusulnya.
“Adik Rebab Pandan, Tunggu! Kau tak boleh kesana
seorang diri! Berbahaya!”
Sebentar saja kedua pemuda itu telah berloncatan
dan lenyap di balik pepohonan.
“Wah, celaka ini, Ki Dadap!” seru Panembahan
Jatiwana cemas. “Ayolah kita pergi ke rumahmu!”
“Baik, Sang Panembahan.”
Kedua orang tua itupun cepat-cepat berjalan me-
nuju ke timur, menuruni Padepokan Gunung Merapi.
Jauh di bawah sana, di kaki timur Gunung Merapi
terlihatlah petak-petak sawah yang terhampar dengan
rapi. Daun-daun padi yang menghijau berombak-
ombak diusap oleh angin pegunungan yang segar.
Akan tetapi suasana pagi yang segar ini dipecahkan
oleh jeritan dan teriakan seorang gadis.
“Tinggalkan aku seorang diri! Pergi! Pergi! Aku tak
butuh pertolonganmu! Biar aku urus sendiri sawahku
ini!”
Gadis tadi, yang berwajah manis dan berkulit sawo
matang, tampak mencoba mengusir seorang pemuda
berkumis tebal yang mencoba mendekati dirinya.
“Hua, ha, ha, ha. Kowe semakin manis kalau
marah, wong ayu! Dengarlah sekali lagi kata-kataku!
Ikutlah dengan diriku ke Laut Kidul. Kau akan jadi
istriku dan hidup makmur di sana.”
“Tidak! Tidak! Aku sudah berkali-kali berkata
kepadamu, Kakang Umpakan, kalau aku lebih suka
tinggal disini!” seru Rara Sendang keras-keras.
“Ooo, kau ingin selamanya tinggal di tempat busuk
ini, seperti katak dalam tempurung?! Di lain tempat
masih banyak pemandangan yang indah, kota-kota
yang besar, keramaian, tontonan, pakaian yang indah-
indah! Apakah kau tidak ingin melihat itu semua?”
“Biar aku dibilang sebagai katak, aku akan tetap
tinggal disini! Aku benci kepadamu!”
“Kau benci kepadaku?! Apakah aku kurang tampan
untuk menjadi suamimu?” ujar Umpakan.
“Kau cukup tampan, Kakang Umpakan. Namun
ketampanan bukanlah barang yang penting bagiku.”
“Ha, ha, ha, rupa-rupanya ada orang lain yang telah
menempati hatimu, Rara Sendang!”
“Biar! Itu bukan urusanmu, Kakang!”
Umpakan terus mendekati Rara Sendang, sehingga
gadis ini terpaksa mundur-mundur sambil me-
ngacung-acungkan sebilah tongkat kayu di tangannya.
“Berhenti! Jangan mencoba menggodaku, Kakang.
Atau tongkat kayu ini akan menghajarmu!” berkata
demikian Rara Sendang sambil memutar tongkat
kayunya yang dipegang pada pertengahannya. Dengan
demikian maka tongkat tadi berputar bagai baling-
baling.
“Hua, ha, ha. Hebat! Hebat! Bocah ayu pandai
bermain silat!” kata Umpakan sambil cekakakan
tertawa. “Tapi di depan hidungku jangan menyombong
begitu, hee!”
“Hyaat,” Rara Sendang berteriak nyaring sambil
menyerang Umpakan dengan pusaran tongkat
kayunya. Tetapi si pendekar kumis tebal ini cuma
berkelit ke samping dan loloslah ia dari serangan
tongkat kayu itu.
Kini Umpakan ganti menyabetkan telapak ta-
ngannya ke arah Rara Sendang dengan tenaga yang
sangat kecil. Memang sesungguhnya ia cuma
bermaksud menakut-nakuti gadis itu saja. Namun ia
pun terpaksa kagum bila gadis ini melesat ke samping
menghindari serangan Umpakan itu. Rara Sendang
terus menyerang Umpakan dengan sengitnya, maka
terjadilah pertempuran singkat selama delapan jurus.
Sebab pada jurus ke sembilan, tiba-tiba Umpakan
menggerakkan tangannya secara cepat dan tahu-tahu
telah menempel tangan Rara Sendang yang sebelah
kanan.
“Lepas tongkatmu sekarang!” terdengar Umpakan
berteriak-nyaring dan terlepaslah tongkat kayu itu dari
jari-jari Rara Sendang.
Kemudian sebelum gadis ini berbuat lain, tahu-tahu
dirinya telah dipeluk oleh Umpakan. Karuan saja si
gadis ini berteriak ngeri, seperti kalau dirambati oleh
ulat berbulu. “Aduh! Lepaskan, setan! Lepaskan!”
“Ha, ha, ha, Kau boleh berteriak semaumu, Rara
Sendang. Tapi tak seorang pun yang akan....”
“Aduh! Aaakh!”
Umpakan terpaksa melepaskan Rara Sendang,
sebab tiba-tiba sebuah batu sebesar buah salak me-
nyambar lengannya, hingga pendekar ini terpaksa
berteriak kesakitan melolong-lolong.
Rara Sendang cepat-cepat berlari ke arah sosok
tubuh yang baru datang dari balik semak belukar.
“Ooh, Kakang Rebab Pandan. Untung kau lekas
datang, Kakang. Si Umpakan telah menggangguku!”
“Tenang, Adi. Lihatlah aku datang bersama Kakang
Landean Tunggal. Kau tak perlu kuatir!” ujar Rebab
Pandan dengan perasaan jengkel dan marah kepada
Umpakan, sebab saudara seperguruannya ini telah
berani menggoda gadis pujaannya!
“Setan kau, Rebab Pandan dan Landean Tunggal!
Kalian selalu menggangguku!” umpat Umpakan serta
mengacungkan jari telunjuknya ke arah muka kedua
saudara seperguruannya.
“Apa maksudmu mengganggu Adi Rara Sendang ini,
Kakang Umpakan?!” seru Rebab Pandan.
“Bocah ingusan! Kau tahu apa dengan urusanku,
ha?! Ketahuilah, aku ingin mengambil Rara Sendang
sebagai isteriku.”
“Hmm, kau lihat sendiri, gadis ini tidak senang de-
nganmu. Apakah kau akan memiliki seseorang dalam
wujud jasmaniahnya saja, sedang hati dan perasa-
annya tetap tertambat pada orang lain?!”
“Persetan! Jangan cuma berkoar saja, kau bocah
ingusan! Marilah kita berkelahi untuk mengukur
kejantanan kita!”
“Baik! Aku siap melayanimu, Kakang Umpakan,”
ujar Rebab Pandan, sekaligus bersiaga membuka jurus
silat pertama. Juga Landean Tunggal segera memasang
kewaspadaannya.
Umpakan segera bersiaga pula. Sayangnya, sebelum
kedua pendekar ini bertempur seru, sekonyong
konyong melesatlah satu bayangan berjubah abu-abu
ke arah mereka.
“Tahan!” terdengar suara nyaring dari bayangan
tadi yang tidak lain adalah Panembahan Jatiwana!
Sedang di belakangnya berdirilah Ki Dadap dengan
wajah suram.
“Kau akan membuat kericuhan lagi, Angger
Umpakan?!” ujar Panembahan Jatiwana dengan
lembut.
“Tidak, Sang Panembahan! Aku cuma bersenda-
gurau dengan Adi Rara Sendang ini,” jawab Umpakan.
“Baiklah, untuk sesaat akan kita lupakan hal ini,”
kata Rebab Pandan menyela dengan jengkel.
“Angger Umpakan, sekarang silakan Angger mening-
galkan tempat ini, biar tidak terjadi perselisihan di
antara kita lebih parah.”
“Baiklah, untuk saat ini aku masih bersedia me-
ngalah. Akan tetapi, untuk perkara-perkara
selanjutnya, jangan harap aku sudi mengalah!”
Habis berkata demikian, Umpakan segera mening-
galkan mereka di persawahan itu. Ia terus menuju ke
lereng selatan dan lenyap di balik pepohonan.
Peristiwa ini ternyata makin menambah jurang
perbedaan pendapat antara Umpakan dengan orang-
orang Padepokan Gunung Merapi itu. Maka semenjak
itu, Umpakan makin jarang tidur di padepokan.
Baginya, rumah padepokan itu dianggapnya tempat
yang paling bobrok. Tidak menyenangkan.
Dan juga sejak peristiwa itu, Rebab Pandan tambah
sering berkunjung ke rumah Rara Sendang, untuk
sekedar membantu dan menjaga gadis manis yang
menjadi bunga terindah di kaki Gunung Merapi.
Begitulah, satu peristiwa memang kadang-kadang
dapat menimbulkan hal-hal yang aneh. Umpakan kini
makin tekun melatih dan menambah ilmu silatnya di
bawah bimbingan si gundul Ki Jobin Karang dari Laut
Kidul.
***
TIGA
PADA SUATU sore, Panembahan Jatiwana
memanggil kedua muridnya di ruang tengah. Sesudah
ketiga orang itu duduk di balai-balai mereka saling
menghormat.
Sesaat suasana tampak hening. Di depan
Panembahan Jatiwana bersila, tergeletaklah sebuah
alat musik gesek yakni sebuah rebab dengan
penggeseknya, sedang di dekat benda itu pula
terlihatlah sebuah cincin permata yang bersinar
kuning kemilau.
Melihat kedua benda ini, Landean Tunggal serta
Rebab Pandan bertanya-tanya di dalam hatinya.
Apakah gerangan maksud gurunya memasang benda-
benda itu di depan mereka?
“Angger berdua, hari ini aku akan membicarakan
sesuatu yang penting bersama kalian,” terdengar
Panembahan Jatiwana membuka percakapan itu.
“Sampai dengan hari ini, aku telah memancang cukup
membimbingmu dalam berbagai ilmu yang bermanfaat
bagi hidupmu kelak. Kini umurku makin bertambah
dan aku semakin tua. Padepokan Gunung Merapi ini
telah aku bangun dengan susah-payah serta
senantiasa menjaga nama baik perguruan kita ini.
Tetapi nama baik tadi hampir-hampir dirusakkan oleh
Umpakan. Kalau boleh berterus terang, sebenarnya
bapak merasa kecewa dengan menerima Umpakan
sebagai keluarga perguruan padepokan ini. Aku sama
sekali tidak nyana kalau dia berkelakuan begitu.
Lebih-lebih dengan ceritera kalian bahwa ia telah
berkawan dengan orang-orang golongan hitam itu, aku
lebih kecewa lagi. Agaknya ia mau membalaskan sakit
hatinya yang dahulu kepada kita. Dan kau, Angger
Landean Tunggal serta Rebab Pandan, kalian harus
berhati-hati terhadapnya. Hindarilah pertengkaran de-
ngan dirinya, sebab mulai saat ini aku akan
mencalonkan Angger Landean Tunggal sebagai
penggantiku kelak, dan Rebab Pandan sebagai
wakilnya. Nah, apakah kalian sanggup menerimanya?”
Kedua pendekar muda ini tertunduk penuh haru
mendengar kata-kata gurunya. Mereka tidak mengira
bahwa gurunya telah mempercayakan satu tugas
luhur sebesar itu. Sejurus kemudian kedua anak
muda itu mengangkat wajahnya serta terlihatlah ma-
tanya berkaca-kaca.
“Sanggup, Guru! Kami akan bersedia memimpin
dan meneruskan perguruan kita dengan menjaganya
mati-matian. Kalau perlu kami rela mengorbankan jiwa
untuknya,” ujar Landean Tunggal.
“Hmm, yah aku merasa syukur atas kesanggupan
kalian. Dengan begitu, kekecewaanku terhadap
Umpakan sedikit terobati karenanya,” berkata
Panembahan Jatiwana sambil mengangguk-angguk.
“Kemudian ada satu tugas yang akan kuserahkan
kepada kalian, Angger. Tetapi sebelum itu, bapak ingin
menyerahkan benda-benda ini kepada Angger berdua.
Cincin ini yang bernama Galuh Punar, kuserahkan
kepada Angger Landean Tunggal. Ia akan menjagamu
dari pengaruh serta serangan racun dan bisa yang
jahat. Terimalah ini Angger!”
Landean Tunggal dengan tangan bergetar menerima
cincin Galuh Punar yang memancarkan cahaya
kekuningan itu, lalu dipakainya pada jari manis ta-
ngan kanannya. “Terima kasih, Guru.”
“Dan kepadamu, Angger Rebab Pandan, ambillah
rebab ini untukmu. Kerangka rebab ini terbuat dari
tulang binatang badak dari Ujung Kulon, yang
kerasnya hampir menyamai besi baja. Dalam keadaan
terpaksa, alat ini dapat kau pergunakan sebagai
senjata dalam pertempuran. Sedang bunyi gesekannya
bila dilambari dengan tenaga dalam akan dapat
mempengaruhi sesuatu keadaan.”
Disertai rasa yang bangga dan penuh haru pula,
Rebab Pandan menerima rebab itu dari tangan
Panembahan Jatiwana. Ia tak mengira bahwa ayahnya
akan menyerahkan benda itu kepadanya, sebab sejak
kecil ia telah merindukan rebab itu. Masih teringat
jelas ketika masa kecilnya, Panembahan Jatiwana
sering menggesek rebab ini untuk membujuknya, bila
ia menangis sebab dimarahi oleh ibunya. Sekarang
rebab itu telah menjadi miliknya, dan diam-diam ia
berjanji dalam dirinya untuk merawat barang itu
sebaik-baiknya. “Terima kasih, Bapak,” ujar Rebab
Pandan.
“Angger berdua, setelah kalian menerima kedua
benda itu, bapak akan mengatakan tugas yang akan
kuserahkan kepadamu. Ketahuilah Angger, kita
mempunyai beberapa kitab berisi macam-macam ilmu.
Salah satu di antaranya yang bernama Kitab Hijau,
berisi ilmu silat tataran tinggi. Seperti halnya ilmu
loncatan Srigunting yang telah kalian terima dari
ajaranku itu, berasal dari kitab ini pula,” Panembahan
Jatiwana berhenti sejenak, lalu memungut sebuah
kitab bersampul warna hijau yang terletak di sebuah
lemari di belakangnya. “Nah, Angger berdua. Inilah
kitab itu! Bagian terakhir, dari Kitab Hijau ini berisi
ilmu Netra Dahana yang dahsyat, yang kelak boleh
kalian pelajari juga. Tetapi sayang sekali, Angger. Kitab
ini masih mempunyai kelengkapan yang harus kita
cari. Kelengkapannya ialah sebuah kaca rias
berbentuk bulat, bertangkai logam kaca biru. Mungkin
Angger berdua akan heran mendengar keteranganku
ini, tapi begitulah keterangan yang tertulis di dalam
kitab ini. Benda itu disebut kaca Sirna Praba.”
“Mengapa disebut Sirna Praba, Bapak?” bertanya
Rebab Pandan, penuh rasa ingin tahu.
“Sebab bila ia terkena sesuatu cahaya, kaca tadi
akan memantulkan cahaya tersebut dengan kekuatan
yang dahsyat, yaitu seratus kali dari kekuatan cahaya
semula. Maka sinar tersebut tidak mustahil akan sang-
gup membakar hangus sesuatu benda!” ujar
Panembahan Jatiwana.
Keterangan ini membuat Landean Tunggal maupun
Rebab Pandan terpekur keheranan. Keduanya merasa
heran bahwa di zaman sekarang ini masih ada benda
yang sehebat itu. Mereka lantas teringat pada cerita
wayang dari kitab Ramayana. Di saat pertempuran
antara Prabu Rama melawan Dasamuka ada seorang
panglima perang Alengka yang sakti. Seorang raksasa
yang bernama Bukbis. Ia sanggup membakar musnah
lawannya dengan sinar api panas yang memancar dari
mata. Tetapi Sang Hanoman punya akal. Dengan
lembaran kaca tembaga yang teramat lebar, maka
dihadapilah Bukbis tadi. Tentu saja Bukbis kaget.
Dikiranya ia melihat musuhnya, maka iapun
memancarkan sinar apinya. Namun sinar tadi
terpantul kembali mengenai dirinya dan akhirnya
matilah dia dengan ditimbuni kaca tembaga tadi,
hingga tubuhnya hangus dan hancur.
“Di manakah kaca Sinar Praba tadi berada, Guru?”
bertanya pula Rebab Pandan kepada Panembahan
Jatiwana.
“Hmm, dia tersimpan di dalam Candi Gedong
Songo, di lereng Gunung Ungaran. Kalau Angger
berdua telah tiba disana, carilah sebuah patung
Ganesya. Di belakang patung tadi terdapat sebuah
kotak batu. Nah, di dalamnya tersimpan kaca Sirna
Praba itu.”
“Ooh, mengapakah ia tersimpan disana, Guru?
Bukankah ia benda yang sangat berharga?” ujar
Landean Tunggal.
“Ya, mungkin karena itulah benda tadi tersimpan di
situ, sebab ia tak boleh jatuh ke tangan orang
sembarangan. Sangat berbahaya akibatnya!” berkata
Panembahan Jatiwana. “Ia hanya boleh dimiliki oleh si
pemegang Kitab Hijau ini!”
Suasana sesaat menjadi hening. Sang Panembahan
berdiam diri, demikian pula Landean Tunggal serta
Rebab Pandan. Kalau Panembahan Jatiwana bertanya
dalam hati, apakah kedua muridnya ini sanggup
mencari benda itu, maka lain lagi dengan kedua
muridnya ini. Landean Tunggal serta Rebab Pandan
ingin lekas-lekas mencari kaca Sirna Praba itu secepat
mungkin.
“Bagaimana, Angger sekalian? Apakah kiranya
Angger berkeberatan dengan tugas mencari benda
tersebut?” ujar Panembahan Jatiwana mengatasi kehe-
ningan.
“Tidak, Guru. Kami tidak akan keberatan untuk
mencari benda itu,” menjawab si Landean Tunggal
mantap, hingga orang tua ini manggut-manggut puas.
“Dan setiap waktu kami akan berangkat segera bila
telah diizinkan oleh Bapak Guru,” kata Rebab Pandan
menyambung.
“Bagus, bagus. Besok pagi-pagi, Angger berdua
boleh berangkat secepatnya ke utara,” Panembahan
Jatiwana berkata pula. “Dan ingatlah segala petunjuk-
petunjuk yang telah aku ceriterakan tadi.”
“Semua telah kami ingat dengan baik-baik. Bapak
Guru tidak perlu merasa kuatir karenanya,” berkata
Landean Tunggal menegaskan percakapannya. “Kami
berdua akan berusaha sungguh-sungguh untuk
mencari kaca Sirna Praba sampai ketemu.”
“Terima kasih, Angger berdua. Ehh, diam-diam ini
telah kelewat malam, Angger sekalian. Marilah kita
mempersiapkan segala sesuatu untuk
keberangkatanmu besok,” ujar Panembahan Jatiwana,
dan sampai di situ berakhirlah percakapan ketiga
orang itu.
Mereka lalu menyiapkan keperluan untuk
perjalanan besok. Satu perjalanan yang tidak dapat
dipandang ringan, sebab mereka harus mendaki dan
menuruni lereng-lereng gunung serta jurang dan
menerobos hutan-hutan lebat untuk mencapai daerah
percandian Gedong Songo di lereng Gunung Ungaran.
***
Pagi itu di halaman depan rumah Padepokan
Gunung Merapi, tampaklah dua ekor kuda
ditambatkan pada pohon jeruk, sedang di sampingnya
berdirilah seorang tua bersama seorang pemuda tegap
lagi asyik bercakap-cakap.
“Ah, sebentar lagi akan berangkat, tapi Adik Rebab
Pandan belum juga muncul,” ujar si pemuda dengan
nada kurang sabar.
Sebaliknya si orang tua cuma tersenyum-senyum
sambil bergumam. “Heh, heh, heh. Itulah kalau orang
muda lagi dimabuk cinta. Biarlah, kau tunggu
sebentar lagi, Angger Landean Tunggal. Mungkin
adikmu Rebab Pandan digelendoti oleh Rara Sendang,
sebab pergi ke Gunung Ungaran sejauh itu akan
makan waktu yang cukup lama.”
“Oooh, itulah Bapak, mereka datang,” desis
Landean Tunggal, dan Panembahan Jatiwana segera
berpaling ke arah timur dimana dua orang muda-mudi
bergandengan.
Setelah mereka dekat, buru-buru Panembahan
Jatiwana berkata, “Eeh, kalian panjang umur, Angger.
Baru saja kami bicarakan, tahu-tahu sudah datang.”
“Betul juga ya, Sang Panembahan. Kok seperti
Raden Harjuna saja. Kalau dirasani tahu-tahu
muncul!” sela Landean Tunggal menggoda adik
seperguruannya yang baru tiba bersama kekasihnya,
Rara Sendang.
Digoda oleh kakak seperguruan serta gurunya itu,
tentu saja si Rebab Pandan jadi blingsatan malu,
sementara si gadis tertunduk disertai senyum manis
dan ibu jari kakinya mengorek-ngorek tanah.
“Ah, maaf Bapak Guru dan Kakang Landean
Tunggal. Aku baru saja pamit minta diri kepada Pak
Dadap sekeluarga. Maksudku cuma sebentar, tapi Adi
Rara Sendang ini, menahanku agak lama. Ia cemas
kalau aku menemui bahaya di jalan,” kata Rebab
Pandan.
“Lha, kan betul omongku tadi, Angger Landean
Tunggal? Heh, heh, heh, janganlah kau terlalu mengu-
atirkan kangmasmu ini, Rara Sendang. Percayalah
kalau ada apa-apa di perjalanan, pasti Angger Landean
Tunggal akan menjaganya. Harjunamu ini tak akan
hilang, Nini Rara Sendang.”
Oleh kata-kata Sang Panembahan, si gadis manis
berkulit sawo matang yang hatinya semula
mencemaskan kepergian Rebab Pandan, serentak
menjadi tenang. Maka iapun berkata penuh hormat,.
“Terima kasih, Sang Panembahan. Kini hatiku tidak
lagi secemas tadi.”
“Nah, begitulah namanya cinta sejati. Kemana pun
sang kekasih pergi menunaikan tugas, tak perlu
dicemaskan lagi. Biar bagaimanapun jadinya, kalau
sudah ditakdirkan menjadi jodohnya, pasti akan tetap
bersatu juga. Sekarang, mumpung matahari belum
terlalu tinggi, kalian kuizinkan berangkat, Angger
berdua,” ujar Panembahan Jatiwana seraya menepuk
bahu kedua muridnya itu dan merekapun lalu
membungkuk hormat serta meminta diri.
“Hati-hati, Kakang,” ujar Rara Sendang menyela.
“Dan semoga Tuhan akan melindungi kalian dari
marabahaya.”
“Terima kasih!” seru Rebab Pandan dan Landean
Tunggal berbareng sambil memacu kudanya ke arah
utara menyusuri lereng Gunung Merapi dari arah
barat.
Kabut putih masih menyelimuti lereng-lereng
gunung sebelah atas laksana gumpalan kapas raksasa.
Ditambah dengan kelebatan hutan lereng Gunung
Merapi dan sekali-sekali terdengar raungan binatang
buas, maka bagi seorang yang berhati kecil akan
segera ketakutan setengah mati. Betapa tidak? Tempat
itu masih sangat asing dan jarang dijamah orang,
hingga Landean Tunggal dan Rebab Pandan harus
berhati-hati dalam memilih jalan.
Namun mereka telah tergembleng oleh Panembahan
Jatiwana, baik jiwa ataupun raganya dalam
menghadapi setiap rintangan. Maka perjalanan ini
walaupun penuh bahaya dan sukar, kedua pemuda
tadi justru malah merasa senang, sebab apa saja yang
telah diajarkan oleh Panembahan Jatiwana, semua
dapat ditrapkan dan dipraktekkan disini. Seperti
bagaimana memilih jalan yang baik, mengenal suara
binatang buas, macam-macam tumbuh-tumbuhan,
dan masih banyak lagi lainnya.
Mereka terus menuju ke utara menuruni lereng
Gunung Merapi sebelah barat, dan sejurus kemudian
keduanya telah tiba di kaki gunung itu. Jalan disini
lebih banyak yang mendatar, sehingga kuda-kuda me-
reka lebih bisa berlari cepat.
Agak jauh di sebelah utara, tampaklah kemegahan
Gunung Merbabu yang tinggi perkasa tak ubahnya de-
ngan Gunung Merapi di sebelah selatan. Gunung tadi
makin lama makin dekat, apalagi setelah keduanya
tiba di kaki bukitnya. Terasalah betapa kecilnya
manusia berhadapan dengan kemegahan alam ciptaan
Tuhan.
Perjalanan ini terasa amat jauh bagi Landean
Tunggal serta Rebab Pandan. Setelah mereka
menyusuri kaki Gunung Merbabu dan ke utara,
tibalah keduanya pada sebuah tebing yang landai dan
di bawahnya terlihatlah satu lembah yang luas.
Beberapa petak-petak sawah yang luas hampir
memenuhi sepertiga dari lembah itu. Itulah tanah
perdikan Banyubiru yang terkenal subur.
“Kakang Landean Tunggal, hari telah sore,” kata
Rebab Pandan. “Bagaimana kalau kita singgah di Desa
Banyubiru itu?”
“Hmm, baik, Adi. Memang aku pun bermaksud me-
ngajakmu bermalam di desa itu. Kita akan singgah
dulu melepaskan lelah dan besok kita lanjutkan lagi
perjalanan ini,” ujar Landean Tunggal sekaligus
menderapkan kudanya menuruni lembah Banyubiru
dan di belakangnya menyusul Rebab Pandan.
Ketika mereka tiba di lembah itu, kegelapan senja
telah merayapi daerah perdikan Banyubiru dan desa
kecil itu seperti tertelan oleh kegelapan dan kesepian.
Tetapi sejurus kemudian beberapa dian lampu telah
dipasang di dalam rumah-rumah. Juga di depan
rumah penduduk beberapa orang tampak bergerombol
bercakap-cakap. Beberapa di antaranya tampak berke-
rudung kain seolah-olah kedinginan oleh hawa senja
pegunungan yang dingin. Namun bagi Landean
Tunggal serta Rebab Pandan yang berpikiran tajam,
tahulah bahwa di balik kerudung kain tadi setidak-
tidaknya terselip parang ataupun pedang yang
membuat tonjolan-tonjolan pada kerudung kain
tersebut.
Orang-orang tadi memandang tajam ke arah
Landean Tunggal serta Rebab Pandan ketika mereka
makin mendekati tempat orang-orang itu bergerombol.
Namun setelah orang-orang tersebut menatap wajah
Landean Tunggal serta Rebab Pandan yang cerah dan
bening, merekapun lalu mengangguk hormat.
“Permisi, Kisanak sekalian,” sapa Landean Tunggal
kepada orang-orang itu dengan ramahnya.
“Oooh, mari silakan,” ujar seorang yang paling tua
di antaranya. “Anak berdua ini mau kemana?”
“Kami menuju ke Ungaran, Bapak,” kata Landean
Tunggal. “Tapi malam ini terpaksa singgah bermalam
disini.”
“Ooh, begitu. Nah, anak berdua boleh menginap di
warung itu malam ini. Tapi hati-hati, Nak. Tengah
malam nanti jangan keluar pintu, sebab desa ini
tengah diintai bencana!”
“Diintai bencana?” ujar Landean Tunggal seraya
menarik tali kekang kudanya agar berhenti. Kedua
pemuda ini cepat-cepat turun dari atas kuda, sebab
bercakap-cakap dengan lawan bicara yang berdiri di
bawah serta lebih tua itu tidaklah sopan.
“Maksud Bapak?” ulang Landean Tunggal penuh
rasa ingin tahu. Demikian pula Rebab Pandan menjadi
tertarik oleh hal ini.
“Sebenarnya kami adalah para penjaga keamanan
Desa Banyubiru ini. Beberapa waktu yang lalu kami
telah berhasil mengepung dua orang berandal yang
mencoba mengganggu desa kami, tetapi agaknya mere-
ka orang-orang gemblengan, sebab mereka melawan
dengan gigih. Seorang di antaranya berhasil melo-
loskan diri dari kepungan dan seorang lagi akhirnya
tewas di tangan kami. Begitulah kejadian tadi rupanya
berbuntut panjang sampai saat ini. Rupa-rupanya
seorang berandal yang berhasil lolos tadi telah
mengundang teman-temannya untuk menyerbu desa
ini pada tengah malam nanti.”
“Dari manakah hal itu bisa diketahui?” ujar Rebab
Pandan keheranan.
“Mereka telah mengirimkan surat ancaman itu pada
sebatang anak panah yang ditembakkan ke halaman
balai desa!” jawab si orang tua.
“Hebat!” desis Landean Tunggal.
“Memang hebat, Nak. Sebab kali ini mereka akan
datang bersama dua orang tokoh sakti!” sambung si
orang tua. “Maka jika tengah malam nanti terjadi pe-
nyerangan, anak berdua tetaplah tinggal di dalam
rumah. Biar kami yang akan menghadapi mereka.
Tetapi jika kiranya anak berdua berlapang dada, kami
akan dengan senang hati menerima bantuanmu dalam
menyambut penyerbuan itu.”
“Eh, baiklah, Bapak. Kami akan mencoba
keberanian kami. Mudah-mudahan tidak terlalu
mengecewakan para Kisanak disini,” kata Landean
Tunggal. “Kini izinkanlah kami singgah ke warung itu
dahulu.”
“Wah silakan, Anak berdua. Maaf, kami telah terlalu
lama menghentikanmu!” si orang tua tadi berkata sete-
ngah malu.
Landean Tunggal dan Rebab Pandan sekali lagi me-
ngangguk hormat dan berlalulah mereka dengan
menuntun kudanya, sebab jarak warung itu sudah
tidak begitu jauh lagi.
***
Warung itu sudah ditutup pintunya, sebab malam
telah tiba dan tidak bakal ada pengunjung lagi. Di
ruang tengah, di sebuah kamar yang disediakan bagi
para penginap, terdapat beberapa balai-balai bambu
berukuran kecil untuk satu orang. Landean Tunggal
serta Rebab Pandan berbaring pada balai-balai itu!
Malam yang kebetulan pada musim kemarau ini
dihiasi oleh sang purnama yang memancarkan sinar
peraknya ke lembah itu. Lembah yang subur dengan
sawah-sawah yang disebut Banyubiru, malam ini
kelihatan sepi. Jalan desa telah pula sepi, lengang. Tak
seorang pun penduduk keluar rumah kecuali para
penjaga keamanan desa pada berjaga-jaga di pintu-
pintu masuk desa. Mereka tengah menanti penye-
rangan para berandal yang mengancam Desa
Banyubiru, di tengah malam nanti.
Betapapun mereka telah siap berjaga-jaga, namun
tak urung rongga dada orang-orang itu berdegupan
keras, sebab mereka sadar bahwa kali ini harus
bertempur melawan berandal-berandal yang sakti. Me-
reka tak henti-hentinya mengawasi tanah-tanah
pegunungan yang mengelilingi lembah Banyubiru itu.
Sementara itu dalam saat yang sama, di tebing
lembah di sebelah timur, tampaklah limabelas orang
berkuda berhenti di balik semak ilalang.
Dua orang yang di depan agaknya pemimpin
rombongan itu, sebab keduanya tampak berkata-kata
asyik. Yang satu masih muda sedang yang satu lagi se-
tengah tua.
“Kakang Botorsewu, sebentar lagi tengah malam,”
ujar seorang pemuda berwajah angker dengan
rambutnya yang gondrong awut-awutan kepada teman
di sampingnya yang mempunyai tubuh kekar berwajah
hampir persegi kaku. Kumis dan jenggotnya kasar
serabutan kurang teratur.
“Kau sudah gatal untuk mencincang mereka, Adik
Rikma Rembyak?” sahut Botorsewu kepada
sahabatnya yang masih muda dan berkalung terompet
kulit siput. “Sabarlah! Aku peringatkan, kita harus
bertempur hati-hati. Apalagi sebagai tokoh bajak laut,
bukankah kurang biasa bertempur di daratan!”
“Hah, bagiku sama saja. Pokoknya asal aku tiup
terompet siput ini, mereka akan jadi kelabakan sete-
ngah mati dan Kakang Botorsewu serta berandal-
berandal tinggal memukul hancur desa ini.”
“Hua, ha, ha, baiklah, Adik Rikma Rembyak. Aku
percaya akan kemampuannya terompet siputmu itu.
Baiklah Adi, mari kita mulai pesta ini! Ha, ha, ha,”
Botorsewu terkekeh-kekeh ketawa.
Rikma Rembyak segera meniup terompet siputnya.
Maka keluarlah satu nada melengking mengalun
menelusuri tebing lembah dan turun ke Desa
Banyubiru dengan suara berpusaran seperti suara
siulan berpuluh-puluh setan lapar mengharap
mangsa.
Mula-mula nada itu sangat rendah dan orang-orang
desa serta para penjaga keamanan mengira itu berasal
dari bunyi angin kemarau pegunungan yang bertiup
deras. Akan tetapi setelah nada tadi berangsur-angsur
meliuk tinggi, terperanjatlah orang-orang desa
tersebut.
Kini merayaplah rasa takut dan ngeri ke dada mere-
ka. Siapa tak akan takut bila di tengah malam terang
bulan, tahu-tahu terdengar bunyi lengkingan meru-
nyam hati. Celakanya bunyi terompet siput Rikma
Rembyak tadi tidak hanya sampai di situ saja. Kini
makin meninggilah bunyi tersebut sampai me-
nyakitkan telinga dan mendirikan bulu tengkuk.
Maka akibatnya hebat sekali. Para penduduk
bergentayangan nabrak-nabrak sambil menutupi
kedua telinganya dengan tangan demikian pula para
penjaga desa tadi. Bagi yang berpikiran tajam serta
buru-buru menutup kedua lobang telinganya dengan
sobekan kain ataupun gumpalan kapas, pastilah akan
terbebas dari pengaruh bunyi alunan terompet siput si
Rikma Rembyak tadi. Tetapi bagi yang kurang
mengerti, jangan diharap kalau mereka tidak
bergulingan di tanah sambil menjerit-jerit setengah
menangis. Maka dalam saat-saat yang seperti ini,
hanya orang tulilah yang paling beruntung, sebab ia
tidak akan termakan oleh lengkingan suara tadi.
Untunglah di saat-saat yang begini kritis masih ada
dua orang di antaranya yang terbebas dari bunyi tadi,
meskipun mereka sama sekali tanpa menutup kedua
lobang telinganya.
“Ayo, Adi Rebab Pandan. Kini tibalah saatnya kita
menolong mereka!” seru Landean Tunggal sambil
meloncat keluar dari pintu warung penginapan, diikuti
oleh Rebab Pandan yang menggenggam rebabnya
lengkap dengan alat penggeseknya.
“Kakang Landean Tunggal, berjagalah di pintu
gerbang desa. Aku akan melawan bunyi ini!” berkata
demikian Rebab Pandan sekaligus menggenjotkan
tubuhnya ke atas dengan ilmu loncatan Srigunting dan
melesatlah ia ke atas genting warung penginapan.
Sementara Landean Tunggal melesat ke gerbang
masuk Desa Banyubiru, Rebab Pandan bersila di atas
genting sambil menggesek rebabnya. Sebentar
kemudian, meluncurlah alunan lagu dari senar-senar
rebab yang digesek oleh tangan Rebab Pandan. Bunyi
irama rebab tadi sangat lembut tapi tajam seakan-
akan luapan dari rasa hati Rebab Pandan yang
menentang bunyi alunan terompet siput si Rikma
Rembyak dari atas tebing sana.
Walaupun irama terompet siput Rikma Rembyak
datang bergulung-gulung bagai ombak badai Laut
Kidul, tetapi bunyi gesekan Rebab Pandan pada alat
musik geseknya itu meliuk-liuk lincah, laksana seekor
naga yang tengah berenang menyelusuri samudera.
Dan kemudian bila kedua gulung suara itu bertemu,
terjadilah benturan dahsyat di udara.
Blaaar!
Rikma Rembyak yang masih duduk di punggung
kudanya di samping Botorsewu menjadi tercengang
kebingungan melihat tiupan terompet siputnya
mendapat perlawanan dari arah desa. Sambil terus
meniup terompet siputnya semakin keras, Rikma
Rembyak gerenengan di dalam dada. “Eeh, gila, kurang
ajar! Setan mana yang berani lancang menandingi
terompet siputku ini?!”
Sekali lagi ia mengerahkan tenaga dalamnya dan
meniup terompet siputnya dengan hebat, namun
untuk kesekian kalinya pula Rikma Rembyak si
pendekar muda dari kawanan berandal ini terpaksa
terbengong mengkal, apabila suara alunan dari senar-
senar rebab yang digesek itu semakin menindih suara
lengkingan terompetnya.
“Kakang Botorsewu! Wah, keparat orang-orang desa
itu! Rupanya mereka juga menyimpan pendekar sakti.
Ayo, kita serbu saja mereka sekarang ini!” seru Rikma
Rembyak.
“Bagus, Adik Rikma Rembyak!” jawab Botorsewu
sambil melolos parang dari ikat pinggangnya yang
berkilat ketimpa sinar bulan.
Parang yang sudah dilolos itu segera diacungkan ke
atas dan kemudian ia berteriak dengan suara
menggeledek, “Kawan-awan, lihatlah baik-baik desa di
lembah itu. Sepuluh orang mengikuti kami dan tiga
orang penembak panah menjalankan tugasnya!”
Sesudah berkata begitu, Botorsewu bersama Rikma
Rembyak segera menderapkan kudanya menuruni
lembah diikuti oleh kesepuluh anak buahnya lalu di-
susul tiga orang pemanah yang telah mempersiapkan
panah apinya. Mereka memacu kudanya dan bagai
serigala-serigala kelaparan mendekati pintu gerbang
desa.
“Serbuuuu!” teriak Botorsewu, berbareng tiga panah
api melesat ke arah desa dan membakar dua buah
rumah penduduk.
Di pintu gerbang masuk desa, Landean Tunggal
telah selesai mempersiapkan pertahanan bersama para
penjaga desa. Beberapa bambu berduri dipasang
melintang pada pintu gerbang untuk menghalangi
serbuan itu.
Melihat ini Rebab Pandan tak tinggal diam. Sambil
berloncatan dari genting rumah yang satu ke genting
rumah yang lain, ia memutar rebabnya di tangan serta
berkali-kali menyampok jatuh panah-panah api yang
bersiutan di udara.
Kemudian Rebab Pandan melesat turun ke tanah
serta berlari ke arah pintu gerbang desa di sebelah
timur, dari mana serbuan berandal-berandal tadi
dipusatkan!
Di pihak kaum berandal, Botorsewu menggertakkan
giginya ketika panah-panah api tadi tak memenuhi
maksudnya, yaitu membakar rumah penduduk serta
menimbulkan kekacauan! Maka bersama tiga orang
anak buahnya yang bersenjata pedang, mereka
mendekati pintu gerbang desa.
Keempat orang berandal itu memutar pedangnya
bagai angin puyuh dan sebentar saja, bambu-bambu
berduri yang melintang pada pintu gerbang itu telah
terpotong-potong putus berserakan ke tanah.
Mereka segera menyerbu masuk ke desa, sayangnya
tiba-tiba para penjaga desa lebih cepat bertindak.
Ketiga orang yang di belakang kena sergap dan
robohnya mereka dari kudanya termakan oleh senjata-
senjata penjaga desa. Sedang yang terdepan, yaitu
Botorsewu segera terlibat dalam pertempuran melawan
Landean Tunggal.
“Setan! Kau berani melawan Botorsewu, hah?!”
“Ha, ha, Landean Tunggal siap melayanimu, sobat!”
Kesepuluh orang berandal lain yang dipimpin oleh
Rikma Rembyak segera pula menyerbu masuk ke arah
desa. Ternyata di balik semak-semak di tepi desa, para
penjaga desa telah bersiaga dengan sepenuhnya.
Maka begitu pasukan berandal itu mendekati pintu
gerbang desa, berloncatanlah dari semak-semak di
pinggir jalan para penjaga desa menyergap berandal-
berandal tersebut.
Sebentar saja tempat itu telah menjadi arena
pertempuran dan adu senjata yang seru. Rikma
Rembyak menebas-nebaskan pedangnya dengan ganas
hingga menakutkan pada pihak penyergap, dan
sebentar pula pedangnya telah berhasil membacok
lengan seorang penjaga desa, hingga orang ini menjerit
hebat.
Ketika sekali lagi ia bermaksud membacokkan
pedangnya untuk membereskan orang tadi, mendadak
pedangnya terasa membentur sesuatu benda.
Traak!
Alangkah kagetnya Rikma Rembyak ketika sebuah
bayangan yang baru saja melesat itu tahu-tahu telah
menangkis bacokan pedangnya, sampai tangannya
tergetar pedih! Yang membuat heran Rikma Rembyak
ialah ketika ia memperhatikan benda yang
menghalangi bacokan pedangnya ini, ternyata hanya
sebuah rebab belaka!
“Setan keparat! Anak gendruwo! Siapa ini edan-
edanan, bertempur dengan alat musik? Apakah kamu
kekurangan senjata?!” teriak Rikma Rembyak sambil
meloncat turun dari punggung kudanya!
“Berandal tengik! Rupanya kaulah yang membuat
suara bising tadi!” seru Rebab Pandan sambil me-
nyambut serangan Rikma Rembyak. Ia melihat musuh
ini berkalung terompet kulit siput.
“Dan kau juga rupanya yang lancang mengganggu
tiupan terompetku dengan rebab bobrok itu?!” teriak
Rikma Rembyak seraya menebaskan pedangnya ke
arah leher Rebab Pandan dalam kecepatan angin
badai, sementara dalam kepala ia sudah
membayangkan bahwa leher lawannya ini akan putus
dengan sekali tebas saja.
Namun mendadak Rikma Rembyak terpaksa
melompong mulutnya bila tahu-tahu pedangnya cuma
menyambar angin. Sedang Rebab Pandan, pendekar
muda dari Gunung Merapi, meloncat ke udara dengan
gesit sebelum pedang lawan sempat menyentuh
tubuhnya.
Dengan penuh keheranan, Rikma Rembyak melihat
bahwa lawannya melesat ke udara dan jungkir balik
laksana sikap burung srigunting. Bersamaan Rebab
Pandan mendarat ke tanah, Rikma Rembyak memburu
dan sekali lagi menebaskan pedangnya.
Untuk kedua kalinya Rebab Pandan
memperlihatkan kegesitannya. Cepat-cepat tangan
kirinya yang menggenggam alat pengengsel rebab
menangkis tebasan pedang lawan.
Traang! Terpaksa Rikma Rembyak terkejut setengah
mati dengan hal ini, dan tiba-tiba dilihatnya pula rebab
yang digenggam oleh tangan kanan lawannya menyam-
bar hebat ke arah kepalanya. Untunglah ia cepat-cepat
mengendap. Kalau terlambat sedikit saja pastilah
tubuhnya sudah tak berkepala lagi!
Di tempat lain Botorsewu menyerang Landean
Tunggal dengan sambaran-sambaran parangnya.
Parang tersebut yang berkilat tajam dan besar me-
nyambar-nyambar cepat sekali, sebab digerakkan oleh
tangan yang perkasa dan berotot gempal. Hanya saja
Botorsewu belum tahu bahwa lawannya adalah
Landean Tunggal, murid Panembahan Jatiwana. Maka
hanya cukup dilambari kelincahan gerak serta
loncatan-loncatan Srigunting, loloslah Landean
Tunggal dari incaran-incaran maut senjata lawannya.
Yang sangat menjengkelkan hati Botorsewu ialah
lawannya ini. Ia tetap bertangan kosong dalam
menghadapi serangan-serangan parangnya! Keduanya
semakin ganas bertempur terjang menerjang,
berloncatan di udara dan gerakan mereka bagai
bayang-bayang saking cepatnya.
Sedang di pojok barat, para penjaga desa bertempur
mati-matian melawan kesepuluh orang berandal.
Hampir-hampir saja orang-orang desa tadi terkalahkan
oleh berandal itu, kalau saja dari arah sebuah rumah
tidak keburu muncul seorang tua yang berjalan
seenaknya!
Tiba-tiba seorang dari penjaga desa yang lagi
bertempur, melihat kedatangan orang tua itu.
“Ki Canggah Banyubiru!” teriaknya seru hingga me-
ngagetkan para berandal tadi.
Melihat orang tua itu, empat orang berandal
melepaskan diri dari libatan pertempuran dengan para
penjaga desa, serta menyerbu Ki Canggah Banyubiru.
Namun orang tua ini dengan tenang melepas ikat
kepalanya dan menyongsong serangan keempat
berandal tersebut. Keempat senjata pedang di tangan
berandal-berandal tadi berkelebat dan menebas-nebas
hebat, tetapi dengan enaknya si orang tua tadi
berloncatan lincah dan menelusup di antara
sambaran-sambaran pedang lawan. Kemudian setelah
beberapa kejap tiba-tiba ia memutar dan
menggerakkan ikat kepalanya! Tar! Tar! Taar!
Terdengar tiga ledakan berturut-turut dan tiga orang
dari penyerangnya roboh terlempar ke tanah.
Yang seorang berteriak ngeri setengah kaget. Cepat-
cepat ia memutar tubuh untuk lari, tapi Ki Canggah
Banyubiru lebih cepat bergerak. Taaar! Sekali lagi ikat
kepalanya melenting dan menyambar tulang punggung
berandal tadi dan rebahlah penyerang yang keempat
ke tanah dengan darah segar tersembur dari
mulutnya.
Setelah itu, orang tua itu cepat-cepat menerjunkan
diri ke arena pertempuran yang tengah berkecamuk
hebat. Dalam pada itu, sambil bertempur tadi Ki
Canggah Banyubiru sempat melirik ke arah Landean
Tunggal dan Rebab Pandan yang bertempur gigih
melawan kedua orang pemimpin berandal-berandal ini.
Betapa kagumnya dan memuji dalam hati, bahwa
tamu-tamu yang menginap di warung desa mampu
bertempur sehebat itu!
Serangan-serangan parang dari Botorsewu rupanya
semakin hebat, dan melihat hal ini Landean Tunggal
melompat ke samping serta melepas ikat pinggangnya.
Ikat pinggang kulit tadi lalu diputarnya di atas kepala
dengan sekuat tenaga, maka timbullah suara berdesau
menakutkan. Sedang ujung ikat pinggang yang
dipasangi oleh timangan baja biru tadi, berkeredapan
merupakan cahaya biru.
Botorsewu tidak tunggu lama lagi. Secepat kilat ia
menerjang ke arah Landean Tunggal, tetapi tiba-tiba
merasa tangan kanannya yang menggenggam pedang
tergempur oleh satu tenaga raksasa hingga pedangnya
terpelanting lepas dibarengi oleh mulutnya berteriak
kesakitan. Botorsewu berusaha menguasai dirinya,
namun sekali lagi ujung-ujung ikat pinggang Landean
Tunggal yang terbuat dari baja biru tadi menyambar
kepalanya, bagai sambaran geledek!
“Eaakh!” Botorsewu seketika terjerembab ke tanah
dengan kepala berlumuran darah. Sesaat tubuhnya
mengejang dan kemudian diam tak bergerak. Mati!
Melihat pemimpinnya mati, sisa-sisa berandal tadi
menjadi kendor semangat tempurnya. Sedang di
sebelah lain, si Rikma Rembyak mengutuk-ngutuk
dalam hati, bila lawannya yang sama-sama masih
muda ini sedikit demi sedikit berhasil mendesaknya!
Dan memang benarlah! Rebab Pandan
melipatgandakan serangannya. Lebih-lebih setelah ia
tahu bahwa pemimpin berandal telah ditewaskan oleh
kakak seperguruannya!
“Cepat bertekuk lutut, sebelum kau mampus di ta-
ngan Rebab Pandan!” teriak Rebab Pandan.
“Kunyuk edan! Mana ada orang mau menyerah
kepada tukang penggesek rebab macam tampangmu
itu!” jawab Rikma Rembyak sambil memperhebat
permainan pedangnya, tapi mendadak senjata
lawannya menyambar ke arah kepalanya, maka cepat-
cepat ia menangkis dengan pedangnya. Traang!
Mendadak saja kaki Rebab Pandan beraksi dengan
cepat. Sebuah tendangan telah menyambar ke dada
Rikma Rembyak dan pendekar dari pihak berandal
yang masih muda ini, terpelanting jungkir balik di
tanah. Sementara itu Rikma Rembyak dapat melihat
bahwa sebagian kekuatan dari teman-temannya telah
hancur, apalagi Botorsewu telah mati.
Dengan secepat geraknya, tiba-tiba Rikma Rembyak
melesat ke samping dan meloncat ke salah satu
punggung kuda, seraya berteriak, “Kawan-kawan, ayo
kita mundur!!”
Mendengar itu, tiga orang berandal segera meloncat
ke punggung kuda dan memacunya ke arah timur
mengikuti Rikma Rembyak! Seorang lagi dari berandal
yang terluka parah mencoba meloncat ke punggung
kuda, tapi rupa-rupanya tenaganya telah habis,
sehingga loncatannya tidak sampai dan terhempaslah
ia ke tanah dan mati!
Begitulah pertempuran tadi selesai. Sebelas
berandal termasuk Botorsewu telah tewas. Sedang di
pihak penduduk tiga orang tewas dan beberapa luka-
luka.
Atas kemenangan ini, karuan saja para penduduk
dan penjaga-penjaga keamanan serta Ki Canggah
Banyubiru sangat berterima kasih kepada Landean
Tunggal dan Rebab Pandan.
Malam kembali sepi, sedang di balai desa, sibuklah
orang-orang mengurus korban-korban pertempuran
tadi. Dalam hati penduduk desa sejak malam itu,
timbullah rasa tenteram dan damai yang telah
dirindukannya. Mereka tak perlu lagi cemas akan
pengacauan dari kaum berandal tadi, sebab sebagian
besar dari kekuatan mereka telah musnah. Sementara
itu Landean Tunggal serta Rebab Pandan kembali ke
warung penginapan dan tidurlah mereka dengan
pulasnya.
***
EMPAT
LANDEAN TUNGGAL mengerdip-ngerdipkan mata-
nya ketika terasa bahwa berkas-berkas sinar matahari
jatuh menimpa pelupuk matanya.
“Wah, matahari sudah tinggi! Agak kesiangan ini!”
desis Landean Tunggal serta bangkit dengan segera.
Ketika dilihatnya ke samping, tampaklah adik
seperguruannya juga masih tertidur pulas, seperti
orang yang kelelahan.
Memang ketika teringat akan kejadian tadi malam,
maklumlah ia bahwa pertempuran menghadapi para
berandal itu sangat melelahkan. Maka tak heranlah
bila adik seperguruannya, si Rebab Pandan itu yang
biasanya selalu bangun pagi-pagi, kali ini masih belum
membuka mata.
Landean Tunggal bermaksud membiarkannya
untuk sebentar waktu lagi. Namun ketika ia teringat
akan tugas yang mereka kerjakan, lalu segeralah ia
menepuk-nepuk pundak Rebab Pandan.
“Hyaat!”
Cegg!
Rebab Pandan bangun dan langsung mengirim satu
pukulan ke arah Landean Tunggal, tapi untungnya ta-
ngan Rebab Pandan itu tiba-tiba ditangkap oleh
cengkeraman Landean Tunggal.
“Hai, mengapa kau, Adik?!” seru Landean Tunggal
setengah heran, sedang Rebab Pandan cuma meringis
segan.
“Heh, heh. Maaf, Kakang Landean. Aku tengah
bermimpi bertempur melawan Rikma Rembyak tadi
malam. Dan ketika Andika membangunkan aku,
kukira musuh lain yang mau mengeroyokku!”
“Ha, ha, ha. Tak apalah, Adi! Aku malah bangga
bahwa Adi tetap waspada, meskipun dalam keadaan
mimpi!” ujar Landean Tunggal. “Marilah kita berkemas,
Adi. Kita akan cepat-cepat meneruskan perjalanan ke
Gedong Songo.”
“Baik, Kakang.”
Kedua pendekar muda ini segera berkemas-kemas
dan membersihkan badan dengan air sumur yang
sejuk menyegarkan. Sesudah selesai dan membayar
sewa kamar serta makanan, mereka meneruskan
perjalanannya kembali ke arah utara.
Sewaktu mereka melewati jalan desa itu, tampaklah
beberapa orang berbisik-bisik lalu mengangguk hormat
kepada Landean Tunggal dan Rebab Pandan. Agaknya
mereka telah tahu bahwa kedua pendekar muda inilah
yang telah menolong desa mereka dari pengacauan
berandal-berandal gunung.
Sesudah mereka keluar dari pintu gerbang desa,
dipacunya kedua kudanya menuju utara.
Sepanjang perjalanan hanya gunung dan hutan-
hutan lebat serta gemericik air yang mengalir dari sela-
sela batu mengiringi panorama alam yang indah. Mere-
ka jadi terhibur oleh karenanya. Keindahan alam tadi
seperti wajah seorang puteri yang mengelu-elukan
perjuangan mereka dalam mengusir kaum berandal
yang telah sekian lama membikin rusuh. Kini wajah
alam itu seperti cerah, angin bertiup segar dan udara
cerah.
Landean Tunggal dan Rebab Pandan menambah
kecepatan lari kudanya. Tak antara lama, tibalah me-
reka di sebuah sungai kecil yang tidak begitu dalam,
sebab sungai itu merupakan awal dari sebuah sungai
yang panjang mengalir ke utara, yakni Sungai
Tuntang.
“Cepat Adi, kita menyeberang! Sebentar lagi kita
sampai. Lihatlah gunung yang mendekam di utara
sana. Itulah Gunung Ungaran yang kita tuju, Adi,”
ajak Landean Tunggal serta menderapkan kudanya
menyeberangi sungai kecil yang dalamnya hanya
selutut kaki kudanya.
“Di manakah letak candi-Candi Gedong Songo itu,
Kakang?” kembali bertanya Rebab Pandan.
“Kalau kita sama mendaki kaki Gunung Ungaran
dan kemudian membelok ke arah timur laut, di lereng
itulah kita akan menjumpai candi-candi itu.”
Sungai kecil itu telah mereka seberangi. Kini
keduanya menempuh hutan-hutan kecil di kaki
Gunung Ungaran sebelah selatan. Dalam perjalanan
ini, Landean Tunggal berkali-kali tersenyum bila
mendengar adik seperguruan yang berkuda di sebelah
belakang itu bersenandung tembang Dandanggula
ataupun tembang lainnya yang mendambakan
kerinduan hati seorang pemuda yang teringat akan
gadisnya. Landean Tunggal yang cukup bijaksana
membiarkan saja Rebab Pandan bersenandung tadi
dan ia tak akan mengganggunya. Apalagi suara itu
sangat empuk dan merdu, hingga perjalanan mereka
tak terasa telah menginjak lereng sebelah timur.
Landean Tunggal sendiri sering bertanya-tanya
dalam hati, kapankah hatinya juga akan tertambat
pada seorang gadis seperti Rebab Pandan ini? Tapi
anehnya sampai saat ini ia masih belum tergerak
hatinya ke arah itu, kecuali ke arah keluhuran budi
dan semua pelajaran ilmu dari Panembahan Jatiwana.
Di lereng timur itu, kabut putih sebentar-sebentar
melayang ringan berarak-arak sampai sinar matahari
siang sebentar hilang dan sebentar muncul. Bunyi se-
rangga, terutama tenggeret atau yang biasa disebut
garengpung itu berdengung bersahut-sahutan dari
pohon-pohon sarangan dan pohon-pohon lainnya.
Pohon-pohon pakis, bunga-bunga anggrek liar dan
sulur-suluran, sebagai ciri utama dari tumbuh-
tumbuhan tanah pegunungan banyak tumbuh di sana-
sini dengan lebatnya.
Kuda mereka tidak lagi dapat berpacu karena jalan
yang mereka lalui penuh berbatu-batu lagi curam. Me-
reka sebentar-sebentar melepaskan lelah serta
beristirahat secukupnya sambil menikmati nasi yang
telah dikepal-kepal sebesar genggaman tangan. Sedang
lauknya ikan asin yang mereka beli dari warung peng-
inapan di Desa Banyubiru pagi tadi.
Menjelang matahari turun ke cakrawala barat,
kedua pendekar muda tadi telah sampai ke daerah
percandian. Dari jauh, tampaklah remang-remang
bentuk Candi Gedong Songo yang kelabu kehitaman.
Akan tetapi, benarkah bahwa perjalanan mereka
lancar? Sebab di balik semak-semak pohon pakis
berloncatanlah satu bayangan laki-laki tua, berambut
panjang terurai dengan wajah keriput tua tersenyum
dengan sinisnya ke arah dua pendekar muda tadi! Dan
gerak loncatannya yang ringan bagai kapas itu
dapatlah segera diukur betapa hebatnya ilmu
meringankan tubuh kakek tua ini.
“Haa, apakah yang mau dikerjakan oleh bocah-
bocah ingusan di senja-senja begini ini? Apakah mere-
ka tidak tahu bahwa daerah ini termasuk wewenang
kekuasaan Gombelwadas? Heh, heh, heh, baiknya aku
tunggu dulu apa maunya mereka!” gumam kakek tua
tadi seraya berloncatan lagi membayangi Landean
Tunggal serta Rebab Pandan dari balik semak-semak.
Dalam pada itu, kedua pendekar muda tadi cepat-
cepat mendekati daerah percandian yang telah gelap.
Mereka lalu turun dari kuda dan menambatkannya
sekali pada sebuah pohon pakis.
“Kakang Landean Tunggal, di manakah kita akan
bermalam kali ini?” tanya Rebab Pandan kepada kakak
seperguruannya.
“Hmm, disini tak ada rumah penduduk, Adi. Tapi
janganlah kuatir. Tak ada jeleknya kita menginap di
relung-relung candi rusak itu, daripada kita kaku kedi-
nginan di luar sini.”
“Setuju, Kakang,” sahut Rebab Pandan dengan
tersenyum.
Maka kedua pendekar muda itupun mempersiapkan
tempat untuk tidur. Dengan berlandaskan bantal
kepala kuda serta masing-masing berselimut selembar
kain, mereka segera merebahkan dirinya ke lantai batu
dan tak lama kemudian tertidurlah keduanya
kelelahan. Di luar, udara dingin terasa menusuk
tulang sumsum.
Sedang di balik semak-semak, si kakek tua tadi
mengangguk geram. “Hah! Mereka tidur di situ. Bagus,
bagus! Aku sekarang belum tahu maksud-maksud me-
reka. Baiklah, aku akan tunggu sampai besok pagi!”
Habis menggerundal begitu, kakek tersebut melesat
ke samping dan lenyaplah tubuhnya di gelap malam
yang telah mencengkam daerah Gedong Songo. Daerah
ini masih jarang didatangi manusia dan di sekeli-
lingnya masih dipagari oleh hutan lebat. Oleh sebab itu
daerah ini sangat sepi baik siang dan lebih-lebih
malam hari. Maka tak heranlah bila kedatangan
Landean Tunggal serta Rebab Pandan ke tempat candi-
candi tua ini sangat mengherankan bagi si kakek tua
yang menyebut namanya Gombelwadas itu.
Sang malam terus beredar tanpa lelahnya dan sang
waktu tak terasa cepat berlalu. Demikianlah sisa-sisa
malam telah bergeser ke langit sebelah barat,
sementara ujung fajar pagi mengintai dari cakrawala
timur.
Sayup-sayup terdengar kokok ayam hutan dan
beberapa ekor jengkerik masih mendering merdu,
seakan-akan masih berusaha menahan kepergian sang
malam.
Landean Tunggal serta Rebab Pandan telah bangun
di sinar pagi yang pertama menyentuh daerah Gedong
Songo itu. Keduanya lalu membersihkan diri pada ma-
ta air di dekat candi.
“Adi Rebab Pandan, marilah kita mulai mencari
Kaca Sirna Praba!” ajak Landean Tunggal kepada adik
seperguruannya.
“Kita harus mencari patung Ganesya lebih dulu
Kakang,” ujar Rebab Pandan. “Dan ini tidak mudah,
sebab di daerah ini pasti ada lebih dari satu patung
Ganesya!”
“Yah, tapi kita harus menemukan kaca itu, biar
bagaimana pun sukarnya, Adik!” berkata Landean
Tunggal. “Bukankah Kitab Hijau milik perguruan kita
tidak akan lengkap bila kaca Sirna Praba tadi tidak
kita temukan?”
“Dari mana kita akan mulai mencari benda itu,
Kakang?”
“Kita periksa saja tempat ini dari selatan dan
kemudian menuju ke utara,” ujar Landean Tunggal,
dan kemudian keduanya mulailah memeriksa candi-
candi itu dari sebelah selatan.
Tiap relung dan sudut dari candi-candi itu
ditelusuri serta diteliti dengan seksama. Pada candi
pertama diketemukan patung Ganesya, tapi peti batu
seperti yang dipesan oleh Panembahan Jatiwana tidak
mereka ketemukan.
Biar begitu kedua orang ini tidak berputus asa. Me-
reka terus mencari dan mencari hingga pada candi
yang paling utara, mereka menemukan lagi sebuah
patung Ganesya.
Patung Ganesya berkepala gajah yang
melambangkan kebijaksanaan dan ilmu pengetahuan
ini duduk bersila dengan megah, dan kedua pendekar
muda tadi cepat mendekatinya.
Landean Tunggal dengan hati berdegupan mene-
ngok celah-celah di bagian belakang patung ini, dan
tiba-tiba terbelalaklah matanya bila ia menatap sebuah
kotak batu berukir kasar. Dengan segera Landean
Tunggal memungut kotak batu tadi sambil
bergemetaran tangannya, sebab hatinya dipenuhi
pertanyaan, apakah betul benda yang dicari, tersimpan
di dalam kotak batu ini?
“Adi Rebab Pandan,” seru Landean Tunggal kepada
adik seperguruannya yang berdiri di belakangnya de-
ngan terperanjat pula menatapi kotak batu itu,
“lihatlah, Adi. Kita telah menemukannya! Menemukan
benda yang diminta oleh guru kita!”
“Akh, syukurlah, Kakang. Syukurlah! Hampir saja
aku berputus asa karenanya,” ujar Rebab Pandan
terbata-bata penuh haru.
“Ayo, kita periksa di luar, Adik!” seru Landean
Tunggal tak sabar, sebab ia ingin lekas-lekas
mengetahui benda yang telah bersusah payah
dicarinya.
Keduanya lalu berloncatan keluar candi dan berdiri
dekat pintu gerbang candi yang berjenjang.
Hati-hati sekali mereka membuka peti batu
tersebut. Begitu tutupnya terbuka, maka kedua
pendekar muda itu lebih terpesona lagi. Memang
terasa bahagia, bila sesuatu benda yang bersusah-
susah payah dicarinya, kini betul-betul diketemukan.
Sebab kaca yang berbingkai logam baja biru, seperti
yang biasa digunakan untuk berias itu, terletak di
dalamnya.
“Oooh, benar-benar menakjubkan, Kakang!” kata
Rebab Pandan. Dan Landean Tunggal pun tak habis
kagumnya menatapi kaca Sirna Praba tadi.
Tetapi selagi mereka diliputi kekagumannya
terhadap benda ini, sekonyong-konyong berkelebat
satu bayangan manusia menyambar ke arah mereka.
Sebuah tangan yang berjari-jari penuh keriput ketuaan
berkembang siap menyambar kaca Sirna Praba itu.
Tentu saja kedua pemuda ini terperanjat bukan
main. Rebab Pandan secepat kilat mengayunkan
senjata rebabnya ke arah tangan tadi dan terjadilah
satu benturan. Weess. Trak!
Bayangan tadi kemudian berjumpalitan di udara
dan mendarat di tanah dengan bertolak pinggang,
sambil meringis sinis ia berkata, “Heh, heh, heh,
terimalah tadi sekadar salam perkenalan dari
Gombelwadas, penguasa daerah lereng Ungaran ini.”
“Terima kasih, Kakek! Tapi apakah maksudmu
mencoba mengganggu kami?” ujar Landean Tunggal
agak curiga.
“Heh, heh. Jangan pura-pura kamu, bocah ingusan!
Apa kau kira aku tidak melek, kalau kalian telah
menemukan benda berharga itu!” seru Gombelwadas
garang!
“Apa pula maksudmu, Kakek?” sela Rebab Pandan
pula, karena iapun kurang senang dengan munculnya
orang tua ini. Dalam hati ia sudah menduga akan
timbul persengketaan dengan dirinya.
“Keparat! Kalian banyak ngomong saja! Lekas kalian
serahkan benda itu kepadaku. Sebagai penguasa
daerah ini, aku berhak menguasai segala barang yang
terdapat disini!”
“Haa, apakah ada seorang yang mengangkat Kakek
sebagai penguasa daerah ini?!” berseru Rebab Pandan
jengkel.
“Kurang ajar, masih saja berkelakar bodoh! Yang
mengangkat adalah diriku sendiri! Tahu, kowe?!”
“Hmm, kami tak akan begitu saja menyerahkan
benda ini, Kakek! Dari jauh kami telah bersusah payah
mencarinya ke sini dan kini ada orang yang dengan
enak mau mengambilnya. Tidak! Benda ini telah kami
ketemukan dan akan kami bawa pergi!”
“Kunyuk! Rupanya harus kuambil dengan paksa!”
teriak Gombelwadas dan melesatlah ia tiba-tiba ke
arah Landean Tunggal serta Rebab Pandan. “Hyaat!”
Kedua pendekar tadi sangat terperanjat dan
terpaksa keduanya terhuyung-huyung ke belakang
karena tersampok oleh angin pukulan si kakek tua
yang dahsyat.
Oleh kenyataan ini, kedua pendekar tadi dapat
mengukur bahwa kekuatan Gombelwadas tadi setaraf
dengan guru mereka. Panembahan Jatiwana! Karuan
saja mereka terpaksa bertempur sepenuh tenaga, bila
tidak ingin mati konyol!
Sebentar saja terjadilah pertempuran dahsyat!
Ketiganya bergerak bagai bayangan berkelebatan
saking cepatnya.
Biar kakek tua Gombelwadas ini seperti orang yang
sudah tak bertenaga, yang kira-kira sekali pukul akan
menggeletak di tanah, namun tidak demikianlah ke-
nyataannya! Bahkan tenaganya malah berlipat-lipat!
Geraknya sangat garang, laksana seekor macan lapar,
sedang kedua tangannya berkali-kali menerkam de-
ngan ganasnya!
Tapi yang dilawan kali ini adalah murid-murid
gemblengan Panembahan Jatiwana. Kedua pemuda
tadi bergerak lincah, menghindari setiap terkaman si
kakek tua dan lama-kelamaan mereka merasa
terdesak oleh lawannya. Keduanya sama sekali tak
sempat membalas, kecuali hanya bertahan saja. Itu
pun sudah untung, sebab tandang kakek tua tadi
semakin ganas!
Kakek Gombelwadas juga keheranan menghadapi
kedua lawan mudanya ini. Tak mengira sama sekali
bahwa mereka mampu bertempur melawan dirinya
sampai sekian lama! Maka tiba-tiba ia mengibaskan ta-
ngannya dan berkeredapanlah jarum-jarum kecil
berbisa menyambar ke arah Landean Tunggal dan
Rebab Pandan.
Diserang begini macam, mereka sangat terkejut dan
untunglah mereka dapat menguasai dirinya. Dengan
lompatan Srigunting, keduanya lolos dari sambaran-
sambaran jarum berbisa tadi.
Berbareng itu pula, Gombelwadas melesat ke arah
Rebab Pandan. Tahu-tahu pundak pendekar muda ini
kena tercengkeram oleh jari-jari si kakek tua dan
selanjutnya tubuh Rebab Pandan kena terhempaskan
ke tanah oleh Gombelwadas hingga bergulingan de-
ngan meringis. Setelah itu si kakek tua ganti berpaling
ke arah Landean Tunggal.
“Heh, heh, heh, tahu rasa kau bocah ingusan!” ejek
Gombelwadas dan sekali lagi ia mengibaskan ta-
ngannya ke arah Landean Tunggal.
Berpuluh jarum berbisa terbang menyambar cepat,
tapi Landean Tunggal cukup memiringkan tubuh
menghindari jarum-jarum tadi. Sayang, bahwa jarum-
jarum tersebut terbang dalam keadaan tersebar ke
samping hingga tiga buah di antaranya menancap ke
lengan Landean Tunggal.
Melihat ini, si kakek tua terkekeh senang, sebab
pasti lawannya akan binasa sekejap lagi. Namun ia
terpaksa menghentikan ketawanya bila Landean
Tunggal dengan enaknya mencabut ketiga jarum
berbisa itu dan membuangnya ke tanah. Kakek tua itu
tidak tahu bahwa Landean Tunggal mengenakan cincin
Galuh Punar yang dapat menawarkan racun dan bisa
sehebat apapun!
Kini Landean Tunggal tahulah bahwa mereka
menghadapi tokoh sakti yang luar biasa. Maka kaca
Sirna Praba tersebut yang masih digenggamnya
diarahkan menentang sinar matahari, sambil
menghadapi arah Kakek Gombelwadas berdiri!
Sinar matahari dengan sendirinya tercampak me-
nimpa kaca tersebut. Landean Tunggal sebenarnya tak
bermaksud menggunakan kaca Sirna Praba ini, tetapi
ia sudah benar-benar kehabisan akal menghadapi
Kakek Gombelwadas yang hebat begitu. Apalagi adik
seperguruannya telah kena dihempaskan ke tanah dan
kini masih terbaring peringisan.
Begitulah sinar panas matahari tadi terpantulkan
oleh kaca Sirna Praba dan diarahkanlah oleh Landean
Tunggal ke arah Kakek Gombelwadas. Maka terjadilah
akibat yang hebat ketika sinar panas matahari me-
nimpa tubuh Kakek Gombelwadas.
Orang tua tadi seketika menjerit hebat dan tubuh-
nya terbakar sampai bergulingan rebah ke tanah
sambil berserabutan tangan dan kakinya. Sebentar
kemudian apipun padam dan Gombelwadas yang sakti
itu mati dengan tubuh hangus seperti daging sate.
Landean Tunggal merasa ngeri melihat akibat
pantulan sinar panas yang dipantulkan oleh kaca
Sirna Praba ini. Iapun segera menyimpan kaca tadi di
dalam bajunya dan cepat-cepat ia menolong Rebab
Pandan. Dengan sedikit pijatan-pijatan yang teratur
pada pundak adik seperguruannya, sembuhlah si
Rebab Pandan dari rasa pedih dan sakit yang kelewat
sangat, akibat cengkeraman Kakek Gombelwadas.
Tak beda dengan Landean Tunggal, Rebab Pandan
pun terperanjat melihat kehebatan dan akibat dari
sinar pantulan kaca Sirna Praba tersebut. Belum
pernah ia melihat kengerian seperti itu.
“Kakang, ah hebat sekali kaca Sirna Praba ini!”
desah Rebab Pandan disertai hati yang ngeri.
“Itulah agaknya mengapa kaca ini tersimpan di
tempat terpencil seperti ini, seperti yang dikuatirkan
oleh Bapak Guru. Sebab jika ia sampai jatuh di tangan
orang sembarangan, berbahaya akibatnya, bukan?”
Rebab Pandan mengangguk membenarkan
perkataan Landean Tunggal.
“Adik Rebab Pandan, kini selesailah tugas kita ini.
Marilah kita lekas-lekas berkemas untuk perjalanan
pulang ke Padepokan Gunung Merapi.”
“Baik, Kakang Landean. Marilah!”
Sebentar saja mereka telah rampung berkemas, dan
segera berpacu ke arah selatan menuruni lereng kaki
Gunung Ungaran sebelah timur.
Perjalanan pulang kali ini terasa lebih cepat dan
ringan bila dibanding sewaktu mereka berangkat.
Tambahan lagi, mereka telah berhasil mendapatkan
kaca Sirna Praba yang mereka cari, hingga langkah-
langkah kuda mereka seolah-olah terasa lebih ringan.
Di hadapan mereka terbentanglah lembah Banyubiru,
sedang di sebelah selatan sana berdiri Gunung
Merbabu dan Merapi.
***
LIMA
BERKALI-KALI Sang Panembahan Jatiwana berjalan
mondar-mandir di halaman Padepokan Gunung Mera-
pi. Hatinya kadang-kadang merasa cemas, tapi juga
kadang-kadang menjadi tenang, bahkan penuh
harapan bahwa kedua muridnya akan berhasil
menemukan kaca Sirna Praba yang dimaksud.
Kedua muridnya, Landean Tunggal serta Rebab
Pandan, telah satu pekan lebih lamanya pergi mening-
galkan padepokan dan sampai senja ini mereka belum
kembali.
Ketika itu terasa bahwa Padepokan Gunung Merapi
menjadi lebih sunyi daripada hari-hari yang lalu.
Sedang kenyataannya, para cantrik dan abdi
padepokan selalu menemani dan menghibur orang tua
ini, demikian pula sampai pada senja sekarang.
Di senja ini, ketika Sang Panembahan lagi mondar-
mandir tadi, tampaklah seorang cantrik tergopoh-
gopoh dari arah jalan masuk ke halaman padepokan.
“Oh, Sang Panembahan tak perlu lagi bercemas hati
sekarang. Lihatlah dari tebing barat itu. Kedua anak
murid Sang Panembahan telah kembali dengan
selamat. Mereka tengah naik menuju kemari,” ujar
cantrik tadi terasa sebagai siraman air embun ke hati
Sang Panembahan. Segar dan dingin, menenangkan
hatinya yang lagi kecemasan menanti kedua anak
muridnya pulang.
“Eh, ya Allah! Syukurlah, cantrik. Kita sudah
berhari-hari menantinya, bukan?” ujar Sang
Panembahan terbata-bata saking gugupnya dan
gembira.
Panembahan Jatiwana lalu bergegas ke pintu
gerbang diikuti oleh beberapa orang cantrik keluarga
padepokan. Mereka sesaat berdiri di situ memandang
ke arah tebing sebelah barat.
Dan betullah apa yang dikatakan cantrik tadi, sebab
tak antara lama muncullah dua anak muda berkuda
dari tebing barat, seolah-olah muncul dari balik tanah.
Keduanya menuju ke pintu gerbang padepokan di
mana Panembahan Jatiwana dan para cantrik berdiri
menyambut mereka. Ketika kuda-kuda mereka makin
mendekat, Landean Tunggal serta Rebab Pandan
cepat-cepat meloncat turun dari punggung kuda.
Keduanya lalu mengangguk hormat ke hadapan
gurunya, dan panembahan tua ini segera menepuk-
nepuk pundak mereka.
“Bagaimana, Angger sekalian, apakah tugasmu
telah berhasil?”
“Berkat doa Bapak Guru, kami berdua telah
berhasil mendapatkan kaca Sirna Praba,” berkata
Landean Tunggal.
“Wah, syukurlah, Angger. Dengan begitu akan lebih
sempurnalah perguruan kita ini. Mari Angger berdua,
silakan segera masuk ke rumah. Kita akan lebih puas
bercakap-cakap, dan aku ingin mendengar kisah
perjalanan kalian.”
“Terima kasih, Guru,” ujar Landean Tunggal dan
bersama Rebab Pandan, keduanya masuk ke dalam
rumah, setelah lebih dulu membasuh kakinya dengan
air tempayan di dekat pintu.
Demikianlah mereka duduk di ruang depan,
sementara seorang cantrik menyuguhkan minuman
serta ketela rebus yang masih hangat.
Landean Tunggal berceritera tentang perjalanan me-
reka ke daerah Gedong Songo itu, dan Panembahan
Jatiwana mau tak mau mengagumi kedua muridnya
yang telah berhasil mengatasi segala bahaya yang
dijumpainya. Dan paling bangga lagi buat Sang
Panembahan ialah diketemukannya kaca Sirna Praba
ini. Maka ia tak habis kagumnya mengamat-amati
kaca ini. Apa yang diimpikan akan kelengkapan Kitab
Hijau selama ini, betul-betul terlaksana sekarang.
Maka semenjak kembalinya Landean Tunggal serta
Rebab Pandan ke padepokan ini dengan selamat dan
pula diketemukannya benda ampuh tersebut, suasana
padepokan ini terlihat lebih cemerlang dan semarak
lagi.
Tetapi apakah yang begitu akan dapat berlangsung
terus? Sayangnya tidak begitu nyatanya. Sebab setelah
lima hari mereka kembali ke padepokan, Sang
Panembahan telah mengambil suatu keputusan, suatu
maksud yang telah sekian lama ditunggunya.
Pagi itu Sang Panembahan telah memanggil kedua
muridnya ke ruang depan. Sesudah mereka duduk di
balai-balai, Sang Panembahan memungut kaca Sirna
Praba serta Kitab Hijau.
“Nah Angger berdua, kini tibalah saatnya kalian
menerima kewajiban sebagai wakilku kelak. Kitab
Hijau serta kaca ini harus kalian simpan dan pelajari
baik-baik,” Panembahan Jatiwana berkata dengan
mantap. “Dan aku minta Angger Landean Tunggal
menyimpannya!”
“Beribu terima kasih, Bapak Guru,” ujar Landean
Tunggal serta Rebab Pandan berbareng. Kedua pende-
kar muda ini benar-benar merasa terharu karenanya.
Suasana sesaat menjadi hening, namun mendadak
dari balik pintu masuk, muncullah Umpakan dengan
wajah cemberut.
“Hah! Rupanya benarlah apa dugaanku semula,
bahwa Bapak Guru terlalu berat sebelah terhadap
muridnya. Mengapa justru aku tidak ikut dipercaya
untuk menyimpan kedua benda itu?” berkata
Umpakan seraya mengacungkan tangannya ke arah
Kitab Hijau dan kaca Sirna Praba.
Pasti saja mereka itu terperanjat terhadap sikap
Umpakan yang muncul tiba-tiba dan bersikap kurang
sopan yang berkata sambil berdiri dengan sikap acak-
acakan seperti orang hutan tak mengenal tatakrama.
Bila sesungguhnya mereka dalam hati merasa
mengkal dan marah namun ketiganya adalah orang-
orang yang pandai menguasai perasaan serta tahu me-
ngaturnya mana yang perlu dilahirkan dan mana yang
tidak. Mereka seolah-olah tak menjadi heran ataupun
takut terhadap sikap Umpakan ini.
Oleh sikap ini, Umpakan merasa seperti diperma-
inkan ataupun diremehkan sekali, maka tiba-tiba ia
menggeram marah, serta berteriak garang. “Hah,
kalian orang-orang yang tak mengenal rasa adil dan
bersekongkol menyisihkan diriku! Tapi kalian jangan
menyesal bila aku berhasil menghancurkan Padepokan
Gunung Merapi, seperti ini!”
Berkata demikian itu, Umpakan berbareng
memukul dinding kayu dengan seru!
Braak! Dinding tersebut pecah berlobang akibatnya.
Baik Panembahan Jatiwana, Landean Tunggal,
serta Rebab Pandan terbelalak melihat akibat pukulan
Umpakan yang mampu melobangi tembus dinding
kayu setebal dua jari, semudah melobangi selembar
daun!
“Hua, hua, hua, kalian tahu? Kalian melek dengan
kekuatan pukulanku ini? Nah, aku tak ingin keke-
rasan lebih lanjut, maka serahkan kedua benda itu
kepadaku!” ujar Umpakan.
“Manusia tak tahu diuntung!” teriak Landean
Tunggal marah. “Kalau tahu tabiatmu seburuk ini, dari
dulu tak perlu kami menyelamatkan dirimu dari
mulut-mulut macan itu. Biar kamu mendekam dalam
perut binatang itu!”
“Hah! Tak perlu mengungkit-ungkit barang yang
telah lalu! Tak guna! Yang penting adalah sekarang,
waktu yang kini kita hadapi! Kalau kepingin mencoba
kekuatanku, ayo kulayani sekarang juga, Landean
Tunggal!” berseru Umpakan serta meloncat ke
halaman, sedang Landean Tunggalpun menyusulnya
meloncat keluar.
Tanpa berkata lagi, Umpakan langsung
mengirimkan serangan ganas ke arah Landean
Tunggal, tapi betapa kaget ia bila dengan gesit Landean
Tunggal berhasil menghindar. Dan sebentar kemudian
di halaman Padepokan Gunung Merapi ini terjadi
pertarungan yang dahsyat. Umpakan menumplak
segala kegesitan, ketangkasan serta kesaktiannya
untuk melawan Landean Tunggal. Namun kesemuanya
ini, seakan-akan terhempas musnah menghadapi
kekuatan lawan. Yang lebih mengherankan bagi
Umpakan ialah gerakan silat Landean Tunggal yang
senantiasa menyamai bahkan tahu cara-cara
menangkis jurus-jurus silat ajaran Ki Jobin Karang.
Oleh karenanya Umpakan makin terdesak setelah
menghabiskan tiga puluh jurus.
Mendapat lawan yang tangguh begini, Umpakan
lebih mata gelap. Cepat ia menggerakkan kedua ta-
ngannya ke balik baju serta secepat kilat
dikibaskannya ke arah Landean Tunggal!
“Awas Kakang Landean!” seru Rebab Pandan
memperingatkan kakak seperguruannya bila dilihatnya
delapan buah pisau kecil panjang berkilatan melesat
ke tubuh Landean Tunggal. Demikian pula Sang
Panembahan berdesir hatinya melihat hal ini.
Untunglah, Landean Tunggal lebih cepat lagi
gerakannya!
Dengan menjejak tanah tubuhnya melesat ke udara
dalam gaya loncatan Srigunting dan semua orang
menahan nafas melihat kejadian berikutnya yang
cuma sekejap saja.
Tiga buah pisau lewat di bawah tubuh Landean
Tunggal, sedang yang empat buah lainnya masing-
masing kena terjepit oleh jari-jari kedua belah tangan,
kaki dan yang satu lagi kena terjepit oleh mulutnya!
Umpakan terpaksa melompong mulutnya melihat
adegan yang begitu hebat seperti tak masuk akal.
Belum lagi ia sempat bertindak lagi, tahu-tahu tubuh
Landean Tunggal melesat ke arah dirinya dan
terasalah kedua kaki lawannya bagai tembok baja
mendobrak dadanya, dan tanpa berkutik tubuhnya
terhempas ke belakang jungkir balik di tanah berbatu
batu. Tapi masih untung ia mengetrapkan ilmu meng-
entengkan tubuh walaupun secara tiba-tiba hingga
luka-luka yang dideritanya tidak seberapa banyak.
Hanya benjol bengkak serta tergores berdarah pada
kulit.
“Aduh... keparat kowe, Landean Tunggal!” ujar
Umpakan sambil sempoyongan berdiri. “Baik, kau
menang sekarang! Tapi awas, tunggulah
pembalasanku nanti!”
Umpakan terhuyung-huyung meninggalkan tempat
itu ke arah selatan, diikuti oleh pandangan semua ma-
ta orang-orang di padepokan.
“Angger Landean, ah keadaan semakin ruwet
agaknya. Tak urung Umpakan tadi akan kembali lagi
kemari. Jika ia membawa teman-temannya golongan
hitam ataupun berandal-berandal, celakalah kita. Nah,
begini saja Angger Landean Tunggal. Kau pindah saja
ke Jepara di pesisir utara sana. Bawalah dan
simpanlah Kitab Hijau serta kaca Sirna Praba ini
olehmu,” berkata Sang Panembahan dengan hati risau.
“Besok pagi berangkatlah Angger kesana. Dengan
begitu maka kita terpencar menjadi dua, dan salah
satu akan bisa selamat dari keganasan Umpakan.”
“Baiklah, Gapak Guru,” jawab Landean Tunggal
tertunduk sedih dan memanglah ia teramat sedih bila
meninggalkan Padepokan Gunung Merapi ini, seperti
yang terjadi pada keesokan harinya. Dengan sangat
mengharukan perpisahan dengan Panembahan
Jatiwana, Rebab Pandan dan para cantrik serta
keluarga padepokan berlangsung di pagi hari itu.
Landean Tunggal berkuda ke arah barat dan
sebentar-sebentar dia menengok ke belakang serta
melambai-lambaikan tangannya. Padepokan Gunung
Merapi tadi semakin jauh dan bertambah jauh dari
matanya, namun semakin dekat di dalam hatinya.
***
Sementara itu jauh di sebelah selatan sana, di tepi
pantai Laut Kidul.
Di sela bunyi-bunyi deburan ombak yang
mendahsyat bergulung-gulung memecah ke pantai,
berloncatanlah sebuah bayangan manusia ke udara
laksana gerakan seekor burung camar meniti buih.
Lincah, cekatan dan gesit!
“Bagus, bocah! Bagus! Tak percuma aku
menggemblengmu di Laut Kidul ini!” teriak seorang
laki-laki berkepala gundul yang berdiri di samping
seorang pemuda berambut gondrong awut-awutan.
“Nah, Rikma Rembyak! Lihatlah gerakan Umpakan
itu dengan baik. Sebagai murid termuda, kau harus
lebih banyak belajar dulu kepada Umpakan sebelum
langsung menerima pelajaran dari aku. Maka kau
harus menganggap Umpakan sebagai gurumu pula!”
“Baik, Ki Jobin Karang,” kata pemuda gondrong
tadi.
Keduanya sangat mengagumi gerakan Umpakan
dan begitulah dari hari ke hari dan dari minggu ke
bulan, Umpakan terus berlatih lebih giat. Segala
petunjuk dan nasehat Ki Jobin Karang dipatuhinya
betul-betul. Dalam dirinya ia masih menyimpan
dendam yang membara terhadap Landean Tunggal,
merupakan satu bara api di Laut Kidul!
Hampir setiap hari ketiganya berlatih seru di pantai.
Mulai dari Pantai Congot di sebelah barat sampai ke
Parangtritis di sebelah timur telah mereka jelajahi
dalam latihan-latihan tadi.
Dalam waktu-waktu senggang, mereka bertiga se-
ring memancing ikan di laut ini. Mereka sengaja
melakukannya selain untuk dimakannya, yang penting
adalah untuk melatih kesabaran dan kecekatan.
Kedua unsur tadi sangat penting dalam ilmu silat.
Pada suatu hari seperti biasanya mereka tengah
asyik memancing. Tapi jika Ki Jobin Karang dan Rikma
Rembyak telah mendapat beberapa ekor ikan,
Umpakan masih belum dapat seekor pun. Hal itu tentu
saja menimbulkan rasa kesal di dada Umpakan.
Untunglah, pada tarikan pancingnya yang kelima
belas, Umpakan berbesar hati sebab terasa sangat
berat! Maka secepat kilat ditariknya tali pancingnya ke
atas. Tetapi apakah yang terjadi? Sungguh
mengejutkan sekali! Satu hal yang sangat ganjil!
Bukan ikan ataupun sesuatu binatang laut lainnya
yang dapat dimakan, tetapi sebuah topeng! Yah,
sebuah topeng dari logam tipis yang telah rusak dan
penuh rumah-rumah siput yang menempel pada
sebagian besar sisinya telah tergantung pada mata
pancing milik Umpakan.
Ki Jobin Karang dan Rikma Rembyak tercengang
dibuatnya! Dan selanjutnya, tiba-tiba saja Ki Jobin
Karang membungkuk hormat di depan Umpakan yang
lagi sibuk mengamat-amati topeng rusak itu.
“Heei, mengapa engkau, Guru?!” seru Umpakan
kaget.
“Topeng itu! Topeng yang bocah pegang itu adalah
topeng lambang keperkasaan serta kesaktian yang
pernah dimiliki oleh kaum berandal dari Laut Kidul.
Topeng itu telah sekian lama hilang, ketika pemimpin
kami yang memakainya telah tewas dan tercebur ke
laut ini dalam suatu pertarungan melawan seorang
pendekar Majapahit bernama Harya Nagageni yang
bersenjata cambuk pusaka yang menyala biru
kehijauan! Nah, dengan topeng yang bocah temukan
ini, berarti kaulah yang beruntung. Kaulah yang akan
membangun kembali kejayaan berandal Laut Kidul
yang telah musnah!”
Umpakan terhenyak kaget mendengar penuturan Ki
Jobin Karang tersebut. Tak mengira bahwa dirinya
kejatuhan rejeki nomplok sebesar itu, satu keberun-
tungan yang benar-benar tak terduga olehnya!
Ketiganya lalu berjalan pulang. Sampai di rumah,
Umpakan cepat-cepat membersihkan topeng tadi de-
ngan hati-hati dan cermat, sedang Ki Jobin Karang
dan Rikma Rembyak menunggunya.
“Hmm, lihatlah, Guru. Sekarang ia telah bersih, tapi
beberapa bagian ada yang rusak dan tergores seperti
ini.”
“Tidak apa-apa, Umpakan, itu dapat diperbaiki
nanti!”
“Terima kasih, Guru!” ujar Umpakan puas sambil
melepas ikat kepalanya hingga terurailah rambutnya
yang panjang. Topeng tadi dicobanya pada mukanya
dan ternyata sangat sesuai. “Hmm, topeng ini akan
kupakai dan sejak saat ini aku akan bergelar Ki
Topeng Reges!”
Semenjak saat itu, sejak topeng tadi diperbaiki serta
dipakainya, Ki Topeng Reges seperti mendapat
tambahan tenaga baru, dan keinginannya untuk
membalas dendam atas kekalahannya kepada Landean
Tunggal semakin berkobar. Apalagi jika ia mengingat
akan kedua benda pusaka yang kini berada di tangan
Landean Tunggal itu. Semua itu harus direbutnya!
Tapi kapankah maksud itu dapat terlaksana? Ini yang
selalu dipikirkannya!
Maka pada suatu hari ia berunding dengan Ki Jobin
Karang, muridnya si Rikma Rembyak dan beberapa
orang berandal yang sengaja tinggal bersama mereka
untuk berguru.
“Ki Jobin Karang, Rikma Rembyak dan murid-
muridku yang lain, kalian aku minta berkumpul disini
untuk mengetahui rencana-rencana dari gerombolan
kita! Dalam waktu yang dekat ini aku akan menjelajah
ke Gunung Merapi di sebelah utara sana, sebab kalian
telah tahu bahwa kita mempunyai musuh utama yang
bercokol di Padepokan Gunung Merapi itu! Jika mere-
ka dapat kita kalahkan, maka nama perguruan kita
dapatlah lebih terkenal lagi di mana-mana. Hutan-
hutan dan daerah-daerah seperti Mentaok,
Prambanan, Gunung Kidul, Borobudur, Banyubiru dan
lain-lainnya akan segera jatuh ke tangan kita! Heh,
heh, heh, mungkin pula kita pun akan dapat me-
ngangkangi pesisir utara sana! Untuk itu semua, aku
bersama Ki Jobin Karang akan pergi untuk sementara
waktu. Kalian kuharap tinggal di sini menjaga daerah
pantai kita, dan Rikma Rembyak akan memimpin
kalian sebagai wakilku! Bagaimana konco-konco, ada
yang kurang jelas?”
“Sudah mengerti, Guru,” jawab Rikma Rembyak
seraya mengangguk. “Kami akan menjaga tempat ini
sebaik-baiknya.”
“Hmm, begitulah yang aku harapkan!” ujar Ki
Topeng Reges dengan hati senang. Dalam hatinya ia
merasa lega bahwa kali ini ia akan datang ke
Padepokan Gunung Merapi serta membuat
perhitungan dengan Landean Tunggal.
Kini ia akan menunjukkan kesaktiannya kepada
mereka yang telah berkali-kali menyakitkan hatinya.
Wajah-wajah Panembahan Jatiwana, Rebab Pandan
serta terutama Landean Tunggal selalu menghantui
pikirannya. Meskipun sesungguhnya dalam hati
kecilnya ia mengakui bahwa dirinya sendirilah yang
mula-mula bersalah dan merusak ketenteraman
Padepokan Gunung Merapi itu, namun apa yang kini
berkuasa dalam dirinya adalah kebutaan. Kebutaan
akan kebenaran yang sesungguhnya. Rasa dendam
cemburu, dan sombong saling bergelut di rongga
dadanya dan ini semua sudah tak dapat dikekangnya.
Yang dapat terbayang dalam kepalanya hanyalah
pembalasan dendam. Mereka, orang-orang padepokan
tadi, harus tunduk di telapak kakinya, serta merayap
minta belas kasihan di hadapan Ki Topeng Reges!
Begitulah pada suatu pagi, Ki Topeng Reges
bersama Ki Jobin Karang telah pergi meninggalkan
Laut Kidul menuju ke utara. Keduanya berkuda untuk
mempercepat waktu dan menghemat tenaga, sebab
mereka yakin bahwa segera akan terjadi pertarungan
melawan orang-orang Padepokan Gunung Merapi!
Dengan memacu kuda-kudanya seperti angin lalu,
Topeng Reges serta Ki Jobin Karang mendekati Gu-
nung Merapi. Dan menjelang senja, di saat matahari
mendekati kaki langit sebelah barat, mereka telah tiba
di lereng kaki Merapi.
Seperti tak sabar rupanya, kedua pendekar
berandal tadi menderap kudanya ke atas menelusuri
jalan kecil yang menuju ke arah Padepokan Gunung
Merapi.
Dalam pada itu, seorang cantrik yang kebetulan
tengah memeriksa hasil kebunnya di lereng gunung,
tiba-tiba telah memergoki kedatangan kedua orang ini.
Dengan terpekik kaget cantrik itu menatap seorang
penunggang kuda yang berwajah seperti hantu, me-
nyeramkan.
Cantrik tua ini hampir tak dapat membedakan
apakah itu wajah asli ataukah wajah tiruan, karena
memang cahaya senja membuatnya samar-samar.
Karena takut dan kagetnya, orang tua ini berlari,
namun alangkah kagetnya bila tahu-tahu si wajah
hantu yang tidak lain Ki Topeng Reges ini meloncat
dari punggung kudanya serta menerkam tubuhnya.
“Berhenti, setan! Aku butuh ocehanmu!” teriak Ki
Topeng Reges sambil menggoncang-goncang bahu
cantrik tua itu. Kini orang tua itu dapatlah mengetahui
bahwa wajah yang seperti hantu ini adalah sebuah
topeng!
“Aduh, aduh, jangan sakiti saya!” rintih cantrik tua
tadi ketakutan. “Ssss... saya tak tahu apa-apa, Tuan.”
Plak! Plak! Dua buah tamparan ganas mampir di
pelipis orang tua ini, sampai menjerit kesakitan.
“Lekas katakan! Apakah hari ini, si tua Jatiwana,
Landean Tunggal serta Rebab Pandan ada di rumah!”
seru Ki Topeng Reges.
“Ooh... yang ada cuma Bapak Guru dan Rebab
Pandan saja, sedang... sedang Landean Tunggal telah
pindah ke Jepara...”
“Haa?! Pindah ke Jepara? Keparat si kunyuk itu
telah minggat ke utara! Hmm, kemanapun ia lari akan
kita kejar! Bukankah begitu, Ki Jobin Karang?!” seru
Topeng Reges.
“Bagus, aku akan selalu mengikutimu! Tapi apakah
kita tidak perlu singgah ke padepokan itu? Biar kita
beri sedikit pelajaran kepada si orang tua, Jatiwana
itu!”
“Yah! Aku setuju! Ayo kita cepat kesana!” seru
Topeng Reges serta menghempaskan tubuh cantrik tua
itu ke tanah dan ia meloncat kembali ke punggung
kuda serta memacunya ke arah jalan masuk ke
Padepokan Gunung Merapi.
Sementara itu Panembahan Jatiwana dan Rebab
Pandan yang lagi asyik berbicara di ruang depan, tiba
tiba dikagetkan oleh sebuah teriakan menggeledek dari
arah halaman.
“Kakek peot Jatiwana! Ayo, lekas keluar! Aku si
Umpakan telah kembali, dan siap mengadu tenaga de-
nganmu! Hai kakek pengecut, cepat keluar!”
Rebab Pandan yang mendengar teriakan itu menjadi
naik darah. Cepat ia beranjak keluar, tetapi tiba-tiba
sebuah cengkeraman yang kuat menahan langkahnya!
“Sabar, Angger Rebab Pandan! Apakah kau lupa
bahwa kau dan Landean Tunggal adalah pewaris dari
perguruan ini?! Jika kau sampai cedera, maka
harapanku tadi adalah sia-sia belaka! Nah, biarlah aku
yang keluar sendirian. Kau tak perlu ikut! Sekali lagi
aku tekankan, bahwa aku melarangmu keluar apapun
yang terjadi pada diriku! Angger sembunyi saja di sini!”
Panembahan Jatiwana meloncat keluar, sedang
Rebab Pandan tetap bersembunyi dengan kecemasan.
Dari celah-celah lobang dinding ia mengintai keluar.
Sementara itu tangannya telah menyambar rebabnya
yang tergeletak sejak tadi.
Dari celah dinding tadi dapatlah ia menyaksikan
gurunya yang kini berdiri tenang di halaman
padepokan menyongsong dua orang berkuda yang
telah tiba di pintu gerbang padepokan.
Kali ini baik panembahan tua maupun Rebab
Pandan yang mengintip dari dalam tempat sembunyi
itu terperanjat melihat salah seorang tamunya yang
berwajah seperti hantu, yakni Ki Topeng Reges! Topeng
yang dipakai oleh Umpakan ini ternyata mempunyai
daya pengaruh yang membuat lawannya berkecil hati
dan merasa ngeri.
Tiba-tiba tanpa berkata lagi kedua tamu tadi
langsung menyerang Panembahan Jatiwana dengan
ganas. Ketiganya segera bertempur hebat dan sebentar
saja telah menghabiskan puluhan jurus. Mereka
bergerak sangat cepat sampai sukar diikuti oleh
pandangan mata.
Ternyata panembahan tua ini menghadapi tokoh-
tokoh kuat yang tak mudah dapat dikalahkan, bahkan
dirinya sendiri menjadi terdesak lama-kelamaan oleh
Ki Jobin Karang dan Topeng Reges! Akhirnya, sebuah
pukulan tangan Ki Jobin Karang berhasil menelusup
pertahanannya lalu menggempur bahunya.
Akibatnya, panembahan tua ini terhempas ke tanah
diiringi ketawa berderai dari mulut Ki Jobin Karang
serta Topeng Reges! Dengan segera Panembahan
Jatiwana berusaha bangkit, namun sekonyong-
konyong sebuah tendangan kaki Topeng Reges
menggempur kembali pundaknya hingga orang tua ini
terhempas kembali ke tanah dengan mengaduh
kesakitan!
“Akh! Kau terkutuk, Umpakan! Kau akan terhukum
oleh perbuatanmu sendiri!”
Mendengar ini, Umpakan atau Ki Topeng Reges ser-
ta Ki Jobin Karang makin bertambah ganas. Keduanya
seperti kerasukan setan menghajar panembahan tua
ini dengan pukulan serta tendangan kaki ganti-ber-
ganti, sampai ia kelesetan di tanah babak-belur.
Sementara itu Rebab Pandan yang menyaksikan
peristiwa ini, cepat menggesek rebabnya dengan nada
yang menggayut-gayut pedih dan menyebabkan Ki
Topeng Reges serta Ki Jobin Karang terhuyung disertai
rasa panik dan bingung yang bercampur aduk menjadi
satu, hingga mereka terpaksa menghentikan pukulan
serta tendangannya pada tubuh Panembahan
Jatiwana.
“Ayo, Ki Jobin Karang! Cepat kita tinggalkan tempat
keparat ini! Lekas!” teriak Ki Topeng Reges sambil
mendekati kudanya.
“Baik... baik! Aduh suara apa ini yang telah
menggores menyayat hati! Keparat!” desah Ki Jobin
Karang seraya meloncat ke punggung kudanya, lalu
mengikuti Topeng Reges meninggalkan halaman
Padepokan Gunung Merapi menuju ke arah barat.
Begitu keduanya lenyap di balik lereng barat, Rebab
Pandan secepat kilat meloncat ke halaman diikuti oleh
beberapa orang cantrik tergopoh-gopoh berlari keluar.
Tubuh Panembahan Jatiwana yang pingsan segera
digotong ke dalam rumah oleh Rebab Pandan dibantu
oleh para cantrik dan mereka merawatnya dengan
seksama. Kalau mengingat kejadian tadi, Rebab
Pandan marahnya bukan main, tetapi tokh ini telah
dikehendaki Panembahan Jatiwana, hingga ia tak
berani berbuat apa-apa.
***
ENAM
ANGIN SIANG bertiup di selatan kota Jepara dengan
segarnya, menghilangkan panas dan udara gersang.
Beberapa rumah petani berdiri di dekat kebun dan
tanah persawahan yang subur kehijauan.
Seorang pemuda berkumis tebal, memanggul pacul
sedang berjalan ke arah sebuah rumah. Tetapi ia tiba-
tiba dikagetkan oleh seorang laki-laki setengah tua
yang dikenalnya sebagai tetangga, menghentikan jalan-
nya.
“Angger Landean Tunggal. Ssstt, aku tadi lihat dua
orang berkuda yang berwajah seram telah masuk ke
dalam rumahmu. Keduanya sesaat berada di rumah
itu dan akhirnya keluar dengan mendekap sesuatu
benda!”
“Wah celaka ini,” desis Landean Tunggal seraya
meloncat ke dalam rumah. “Hmmm semua berserakan,
pastilah kedua tamu tadi mencari sesuatu!”
Hati Landean Tunggal berdebar-debar. Selama
tinggal dan mengasingkan diri di kota Jepara,
semuanya tampak tenteram. Namun hari ini tidaklah
demikian. Dan tiba-tiba saja ia lalu teringat kepada
sesuatu! Sesuatu yang selama ini disimpan dan
dibawanya ke Jepara atas permintaan gurunya.
Panembahan Jatiwana. Dimasukinya ruang kamar
tempat ia tidur. Di sini pun barang-barang berserakan.
Cepat-cepat Landean Tunggal membuka sebuah
gerobok, sebuah peti kayu tempat menyimpan pakaian
dan benda-benda berharga lainnya.
“Aduh! Kaca Sirna Praba dan Kitab Hijau pemberian
guru telah hilang!” seru Landean Tunggal dengan
suara gemetar saking kagetnya. Dilihatnya sebuah peti
kayu kecil berukir tempat menyimpan kedua benda
tersebut telah hilang dari tempatnya semula.
Bagai orang kebingungan Landean Tunggal berlari
keluar halaman rumah. Memang dilihatnya di atas
tanah banyak terdapat bekas-bekas telapak kaki kuda,
sedang si orang tua tetangganya masih saja berdiri di
situ.
“Benar, Pak Suta! Mereka telah mencuri hartaku!”
ujar Landean Tunggal. “Kemana arahnya mereka pergi,
Pak?!”
“Keduanya datang dari arah selatan, Angger! Dan
mereka kembali ke arah selatan pula!” kata Pak Suta
terbata-bata.
“Terimakasih, Pak. Aku akan mengejar mereka! Titip
rumahku sebentar!” seru Landean Tunggal seraya
berlari ke belakang menyiapkan kudanya.
Orang tua tadipun ikut pula membantunya. “Hati-
hati, Angger, agaknya mereka berdua adalah orang-
orang jahat!”
“Baik, Bapak. Aku berangkat sekarang!” Landean
Tunggal berkata serta meloncat ke punggung kuda dan
memacunya kabur ke arah selatan.
Debu jalan berkepul-kepul naik oleh derapan kaki
kuda Landean Tunggal tadi, dan begitu pula jauh di
mukanya di jalan yang sama, tampaklah dua ekor ku-
da dipacu oleh penunggang-penunggangnya. Seorang
di antaranya yang berwajah hantu tampak mengepit
sebuah peti kayu kecil berukir indah.
“Bapak Ki Jobin Karang, lihatlah, kita telah berhasil
mendapatkan kitab pusaka Hijau dan kaca Sirna
Praba yang telah sekian lama kita impi-impikan!”
“Ha, ha, ha, aku pun turut gembira, Topeng Reges!
Dengan begitu perguruan kita akan menjadi lebih
kuat!” kata Ki Jobin Karang, sementara itu udara siang
makin terasa panas.
“Wah, kita telah menempuh jarak yang panjang, Ki
Jobin Karang! Baiklah kita istirahat sebentar di hutan
kecil itu!” ajak Topeng Reges lalu membelokkan
kudanya ke kiri menuju ke sebuah hutan kecil di
sebelah timur jalan.
“Carilah sebuah mata air untuk menyegarkan
tubuh, Angger Topeng Reges. Juga kuda-kuda kita
perlu minum!” seru Ki Jobin Karang yang berpacu di
belakang kuda Ki Topeng Reges.
Setelah beberapa saat mereka menerobos hutan
kecil itu, berhentilah keduanya di sebuah mata air
kecil yang jernih.
“Nah, ini kebetulan sekali, Ki Jobin Karang.
Badanku pun terasa sangat kering!” ujar Ki Topeng
Reges.
Ditanggalkannya topeng itu setelah mereka turun
dari kuda, lalu dibasuhnya mukanya dengan air sejuk
ini. Setelah itu lalu tangan, kaki dan leher serta
dadanya dibasahi dengan air, hingga terasa tenaganya
kembali segar. Demikian pula dengan Ki Jobin Karang.
Sesudah mereka puas menyegarkan tubuh dan kuda-
kuda, merekapun minum dengan lahapnya. Keduanya
lalu beristirahat sepenuhnya.
Dalam pada itu, Ki Topeng Reges telah memakai
kembali topengnya dan tampak ia sibuk membuka-
buka lembaran Kitab Hijau tersebut. Pada bagian
pertama, ia tak tertarik akan isinya. Demikian pula
bagian tengah ia melewatinya saja. Tapi pada bagian
terakhir ia sangat tertarik akan isinya yang
memaparkan Ilmu Sakti Netra Dahana. Ternyata kaca
berbingkai logam biru yang terdapat di dalam kotak
kayu tadi, ada hubungannya dengan ilmu ini! Kaca ini
adalah kaca pusaka yang mampu mengatasi Ilmu
Sakti Netra Dahana.
Ki Topeng Reges mengangguk-anggukkan kepalanya
puas, mengetahui akan rahasia kedua benda pusaka
tadi. Bukankah dihubungkan dengan topeng yang ia
pakai ini, akan sesuai dan menjadikan dirinya sakti
tak terkalahkan?! Sejenak kemudian terpikirlah satu
keputusan yang akhirnya akan merubah dirinya
sebagai Topeng Reges yang sakti!
Kedua orang tadi masih beristirahat ketika matahari
bergeser perlahan-lahan ke arah barat, hingga sinar-
nya tidak lagi terang. Tempat tadi menjadi suram.
Tetapi sebuah semak tiba-tiba terkuak lebar oleh jari-
jari dan muncullah sebuah wajah bermata tajam me-
ngawasi kedua orang tadi.
“Hmm, rupanya kedua orang inilah yang mencuri
Kitab Hijau dan kaca Sirna Praba! Tapi tunggulah,
Landean Tunggal kali ini akan menunjukkan
kegesitannya!”
Dengan menggerundal begitu, tiba-tiba melesatlah
tubuh Landean Tunggal ke arah Topeng Reges bagai
selembar kapas terhempas angin. Itulah kehebatan
ilmu Kitab Hijau yang telah digabung dengan loncatan
Srigunting! Dengan menjejak tanah saja, Landean
Tunggal dapat melenting ke arah yang ia sukai tanpa
bersuara!
Ki Topeng Reges yang tengah berbaring setengah
ngantuk di samping Ki Jobin Karang, tiba-tiba terkejut
merasakan angin dingin yang bertiup kencang ke arah
mereka. Kemudian sebuah bayangan menyambar peti
kayu berukir yang tergeletak di samping tubuhnya,
membuat dirinya terhenyak kaget. Belum lagi ia
sempat berbuat sesuatu, sebuah tendangan kaki seko-
nyong-konyong melanggar dadanya hingga Ki Topeng
Reges terhempas ke tanah dan demikian pula nasibnya
si Jobin Karang. Begitu ia berusaha menerkam
Landean Tunggal yang telah berhasil merebut peti
berukir tadi, lawannya ini cuma berkelit ke samping
dan tangan kanannya mengirimkan satu pukulan yang
bersarang ke dagunya, menyebabkan Ki Jobin Karang
terpelanting jatuh. Setelah itu Landean Tunggal
melesat arah utara dan lenyap di balik semak ilalang!
Sambil mengutuk, Ki Jobin Karang peringisan
terduduk di tanah, sementara Ki Topeng Reges masih
terbaring dengan dada sesak.
“Hee, Angger Topeng Reges! Mengapa tidak kita
kejar orang itu. Ia telah merebut kembali peti pusaka
itu!” seru Ki Jobin Karang setengah marah. “Ah, sia-sia
perjalanan kita ini!”
“Tenang saja, Ki Jobin Karang! Peti kayu berukir
tadi hanya berisi Kitab Hijau saja, sedang kaca Sirna
Praba serta lembaran-lembaran terakhir dari Kitab
Hijau yang berisi Ilmu sakti Netra Dahana telah aku
robek! Nah, lihatlah ini, Ki Jobin Karang!” kata Ki
Topeng Reges seraya mengeluarkan sebuah kaca dan
lembaran-lembaran kertas dari balik bajunya.
Ini semua menyebabkan Ki Jobin Karang terbeliak
matanya.
“Uaaah, bejat! Angger memang pandai bersiasat!”
puji Ki Jobin Karang. “Pantas kalau Angger menjadi
pemimpin!”
Mendengar pujian tadi, Topeng Reges cuma
terkekeh ketawa kegirangan dan kemudian berkata.
“Tapi tadi aku tak sempat membalas tendangan kaki
Landean Tunggal. Ia memang hebat bukan? Biarlah
kali ini merasa menang. Tetapi tunggulah setelah aku
mempelajari Ilmu Sakti Netra Dahana ini. Jangan
harap aku akan membiarkannya hidup lebih lama
lagi!”
“Mmm, sekarang kemana tujuan kita, Topeng
Reges?” tanya Ki Jobin Karang. “Kita kembali saja ke
Laut Kidul?”
“Tidak! Marilah kita mencari tempat yang sepi di
kaki Gunung Muria itu untuk mempelajari lembaran-
lembaran kertas ini!” berkata Ki Topeng Reges. “Dan
sesudah berhasil, kita akan mencari si kunyuk
Landean Tunggal!”
Ki Jobin Karang mengangguk setuju. “Baik, Angger!
Ke mana pun engkau pergi, aku akan senantiasa me-
ngikutimu!”
Kemudian mereka berkemas-kemas meninggalkan
tempat tersebut dan berkuda ke arah selatan,
menempuh hutan-hutan lebat di kaki Gunung Muria
yang kini telah disaput oleh warna-warna merah senja.
***
Sejak saat itu, sesudah Landean Tunggal berhasil
merebut kembali Kitab Hijau pemberian Panembahan
Jatiwana dari tangan Ki Topeng Reges, ia sibuk dan
senantiasa memperdalam latihan-latihan silatnya.
Berhari dan berminggu-minggu ia membajakan diri-
nya.
Kitab Hijau tadi dipelajarinya kembali berkali-kali,
seperti kurang puas rasanya jika dibiarkan tertutup
saja! Kadang-kadang ia menyesali dirinya karena
bagian terakhir dari Kitab Hijau yang berisi Ilmu Sakti
Netra Dahana belum sempat dipelajarinya. Dan bagi-
an-bagian itu telah hilang! Oh, betapa marah nanti bila
gurunya Sang Panembahan Jatiwana mendengar hal
ini.
Bila Landean tunggal menghubungkan kejadian-
kejadian tadi dengan peristiwa-peristiwa yang telah
silam, maka sekonyong-konyong berdebar-debarlah
dadanya. Ya, selama ia tinggal di tempat ini tak
seorang pun tahu bahwa ia menyimpan Kitab Hijau
dan kaca Sirna Praba. Dua pusaka sakti yang jarang
tandingannya.
Kalau begitu, siapakah yang tahu bahwa kedua
benda pusaka dipegang olehnya? Tak ada yang tahu!
Kecuali Panembahan Jatiwana, Rebab Pandan dan...
Umpakan! Yah, nama yang terakhir tadi tiba-tiba
menggoncangkan dadanya! Bukankah Umpakan tadi
yang pernah mengirikan benda-benda tadi ketika
masih berada di Padepokan Gunung Merapi? Dan
orang yang mengenakan topeng hantu tadi mempunyai
ciri-ciri dari bentuk tubuh Umpakan.
Dalam hati kecil Landean Tunggal, terselip juga rasa
penyesalannya terhadap gurunya. Mengapa orang tua
itu terlalu percaya dan terbuka tangan hingga
menerima Umpakan sebagai muridnya? Kini teman
seperguruannya itu telah menjadi tokoh berandal yang
sakti dan merajai golongan hitam di Laut Kidul.
Bahkan Umpakan telah berani terang-terangan
menentang Panembahan Jatiwana.
“Ah... betapapun marahnya dan menghukumku,
aku akan menerimanya. Bapak Panembahan Jatiwana
harus aku beritahu akan hilangnya kaca Sirna Praba
dan lembaran-lembaran dari Kitab Hijau yang telah
dirobek. Aku berkeyakinan bahwa orang bertopeng itu
adalah Umpakan sendiri!” Begitu Landean Tunggal
berkata-kata sendiri di dalam hatinya. “Baiknya aku
berangkat hari ini juga, sebab hal tadi sangat gawat
dan lagi sarana apakah untuk menghadapinya, hanya
Panembahan Jatiwana yang lebih tahu....”
Landean Tunggal kemudian mempersiapkan
kudanya dan juga barang-barang yang perlu ia bawa,
terutama Kitab Hijau itu. Dengan perasaan yang sa-
ngat berat Landean Tunggal meninggalkan rumah dan
tempat itu, karena telah bertahun ia tempati dengan
tenteram.
Demikianlah, Landean Tunggal lalu melarikan
kudanya ke arah selatan menyusuri kaki Gunung
Muria. Dilewatinya hutan-hutan kecil dan desa-desa
yang hanya terdiri dari beberapa rumah saja. Sebentar
ia mendaki tanah bergunung-gunung dan sebentar
turun ke lembah datar.
Setelah beberapa saat ia berkuda, sampailah ia di
lembah kaki Gunung Muria sebelah selatan yang
dipagari oleh hutan lebat, maka berhentilah ia sejenak
memandang hutan tersebut yang membentang dengan
megahnya. Hutan tadi masih jarang diinjak kaki
manusia sebab banyak terdapat binatang buas
ataupun serangga-serangga berbisa. Malahan ia
pernah mendengar bahwa disini terdapat ular-ular
yang berukuran luar biasa besarnya, di samping
sejenis serangga semacam laba-laba yang dapat
tumbuh sampai setinggi manusia.
Untuk itu semua Landean Tunggal tidak heran,
sebab Panembahan Jatiwana sendiri pernah
memberitahunya bahwa di tempat-tempat terpencil,
lembah ataupun sangat tinggi dari permukaan laut,
sehingga sinar matahari jarang sampai, akan
banyaklah kehidupan-kehidupan yang aneh, seperti
binatang-binatang raksasa dan sangat berbisa sampai
kepada tumbuh-tumbuhan yang menghisap darah dan
memakan daging.
Namun Landean Tunggal bukanlah berkecil hati
menghadapi keadaan alam yang begitu seramnya.
Maka setelah sesaat ia berhenti, ditepuknya leher
kudanya kembali agar berjalan. Tapi anehnya kuda
tadi malah meringkik dengan kaki depannya yang
berjingkrakan panik.
“Ada suatu yang berbahaya!” desis Landean Tunggal
dan pandangan matanya menyusuri segenap
pepohonan dan semak-semak yang kini tampak
kegelapan oleh awan-awan mendung hitam yang
berarak-arak mengalir ke arah selatan.
Tiba-tiba saja di balik pepohonan yang lebat itu,
mata Landean Tunggal menatap adanya kilatan-kilatan
cahaya merah yang sebentar menyala dan sebentar
padam seperti mempunyai jarak yang tertentu.
Cepat Landean Tunggal meloncat turun dari
kudanya dan kemudian ia mengendap-endap ke arah
kilatan-kilatan cahaya di balik pepohonan tadi untuk
mengetahui, apakah sebenarnya yang tengah terjadi.
“Heh, mungkinkah itu api dari hantu termamang,
seperti yang diceriterakan oleh orang-orang tua?”
gumam Landean Tunggal. Pikirannya lalu
membayangkan sebuah bentuk tubuh yang terdiri dari
api menyala, tengah keluar dari dalam tanah dengan
kaki di atas dan kepala di bawah! Itulah bentuk hantu
yang pernah ia dengar dari mulut ke mulut.
Langkah Landean Tunggal makin dekat dan
bertambah dekat hingga kilatan-kilatan cahaya api itu
seperti terasa membakar tubuhnya. Dilihatnya bebe-
rapa rumpun semak terhangus seperti abu.
Dengan hati-hati sekali ia menguakkan semak-
semak tadi dan hampir saja terbeliak sambil menjerit
pendekar ini menyaksikan pemandangan di depannya.
Disana, dilihatnya seorang bertopeng seperti hantu
tengah berloncatan kesana-kemari sambil sekali-sekali
memancarkan kilatan cahaya api dari matanya ke arah
dedaunan, hingga semak-belukar di sekelilingnya ha-
ngus terbakar menjadi abu.
Sungguh dahsyat dan mengerikan! Itulah Ilmu Sakti
Netra Dahana yang terdapat di dalam Kitab Hijau
pemberian Panembahan Jatiwana! Dan orang yang
bertopeng itu, adalah yang mencurinya. Ia masih me-
ngenal baik-baik orang bertopeng hantu ini.
Serasa ia mau meremas si topeng hantu ini, tapi tak
mungkin. Kini ia telah menguasai Ilmu Netra Dahana,
dan untuk melawannya ia tak kuasa sama sekali,
sebab kaca Sirna Praba itupun telah jatuh ke tangan si
wajah hantu itu pula. Hanya kaca itulah yang sanggup
melawan Ilmu Netra Dahana!
Dalam beragu hati itu, mendadak Landean Tunggal
merasakan satu hempasan angin dari arah samping.
Seperti satu gerak naluriah yang telah mendarah da-
ging, Landean Tunggal mengendapkan tubuh sambil
bersiaga penuh.
Prak! Sebuah pukulan tangan dari orang yang
berkepala gundul setengah tua dan agak bongkok telah
berhasil ditangkis dengan tangan kirinya hingga
masing-masing tergetar surut. Landean Tunggal cepat
membalas, tapi orang inipun dengan lincah berkelit ke
samping. Kemudian ia berkacak pinggang.
“Ha, ha, ha, sekaranglah saat kita mengukur
tenaga, kunyuk. Inilah Ki Jobin Karang dari Laut
Kidul!”
Landean Tunggal terkejut dan segera dapat me-
ngenal wajah itu. Ya, tak salah lagi. Inilah Ki Jobin
Karang yang dulu menggembleng Umpakan di lereng
Merapi. Maka cepat-cepat ia bersiaga dan memang
tepat, sebab tiba-tiba Ki Jobin Karang menyerang
ganas ke arah dirinya. Disambutnya serangan itu dan
terjadilah pertempuran yang seru! Sekali ini Landean
Tunggal betul-betul mencurahkan segenap ilmunya.
Mendadak sebuah bayangan lain melesat dan
langsung menyerang Landean Tunggal pula. Inilah Ki
Topeng Reges! Lidah-lidah api yang ganas berkali-kali
menyambar dari bola matanya siap membakar
Landean Tunggal menjadi sate!
Menghadapi keroyokan ini, Landean Tunggal benar-
benar merasa terdesak, tak tahu ia bagaimana caranya
menghadapi Ilmu Sakti Netra Dahana yang kini telah
dikuasai oleh Ki Topeng Reges. Bukankah kaca Sirna
Praba yang ampuh itupun telah jatuh ke tangan
pendekar berwajah hantu ini?
Akhirnya Landean Tunggal melesatkan dirinya ke
udara, kemudian larilah ia ke arah utara, menuju ke
kaki Gunung Muria sebelah barat.
Melihat lawannya lari, Ki Topeng Reges menggeram
marah. “Kurang ajar! Lekas Ki Jobin Karang, ayo, kita
kejar si keparat itu!”
Sebentar saja terjadilah kejar-mengejar di kaki
Gunung Muria itu. Ketiga manusia tadi berkejaranlah
laksana tiga ekor belalang saling berloncatan amat
gesitnya. Landean Tunggal yang berlari paling cepat
sibuk mencari siasat untuk melepaskan diri dari
kejaran kedua orang lawannya itu. Maka dicobanya ia
berlari terpotong-potong bertukar arah sebentar
membelok ke kiri dan sebentar membelok ke kanan.
Dengan begitu ia berharap akan lolos dari mereka de-
ngan segera.
Memanglah, sesungguhnya Ki Topeng Reges dan Ki
Jobin Karang sudah hampir kehilangan jejak Landean
Tunggal. Namun mereka tak putus asa, sebab mereka
bertelinga tajam. Dari getaran-getaran langkah kaki
Landean Tunggal saja, mereka telah dapat mengetahui
ke arah mana lawannya berlari.
Sambil mengejar tadi, Ki Topeng Reges memperde-
ngarkan suara ketawanya yang bergetaran dan
semakin lama semakin nyaring mengerikan telinga.
Bahkan kali ini suara tertawa Ki Topeng Reges yang
dilambari dengan segenap tenaga dalam seperti
menyusuri segenap pepohonan dan lekuk-lekuk lereng
serta jurang-jurang, sedemikian mengerikan seakan-
akan memenuhi seluruh rimba dan menelan Landean
Tunggal yang tengah berlari di depan para
pengejarnya. Begitu hebatnya pengaruh suara tertawa
tadi, hingga dada Landean Tunggal seperti tergoncang-
goncang. Tanpa terasa mereka telah tiba di sebuah
dataran luas dikelilingi oleh sebuah jurang yang dalam
bernama Jurang Mati!
“Hua, ha, ha, lekas menyerah saja dan serahkan
Kitab Hijau milikmu, supaya kau aku ampuni!” ancam
Ki Topeng Reges.
“Keparat! Kalian boleh memiliki kitab itu, setelah
kalian terlebih dulu melangkahi mayatku!” teriak
Landean Tunggal dengan seramnya!
“Hyaat! Modar kowe!” teriak Ki Topeng Reges
bersama Jobin Karang yang menerjang Landean
Tunggal berbareng, dan kembali terjadilah
pertempuran hebat di tepi Jurang Mati.
Ki Jobin Karang terus mendesak Landean Tunggal
sampai ke tepi jurang. Sebuah tebasan telapak ta-
ngannya tiba-tiba dapat menggempur pundak kiri
lawannya hingga pendekar muda ini terpekik
kesakitan. Namun dalam saat itu pula Landean
Tunggal pun mengirimkan sebuah genjotan tangan,
tepat di arah ulu hati Ki Jobin Karang hingga pendekar
berandal ini ternganga mulutnya tanpa bersuara,
kecuali semburan-semburan kecil darah segar yang
keluar dari tenggorokannya.
Sesaat tubuh si pendekar gundul ini oleng dan
kemudian terpelanting ke bawah. Beberapa suara
benturan keras dibarengi jerit mengerikan mengiringi
tubuh Ki Jobin Karang yang melayang ke Jurang Mati
dan membentur batu-batu tonjolan di lereng jurang.
Melihat hal ini, betapa marahnya Ki Topeng Reges!
Dan tidak heranlah bila ia mempergencar serangannya
dengan Ilmu Sakti Netra Dahana.
Rasa sakit pada pundak kiri Landean Tunggal
semakin terasa pedih sehingga geraknya menjadi
terganggu. Ketika ia melihat sebuah jalan rintisan yang
turun ke arah Jurang Mati ini, Landean Tunggal buru-
buru melesatkan diri ke arah jalan ini, sedang Ki
Topeng Reges tak mau tertinggal lolos oleh lawannya,
sehingga iapun terus mengejar lawannya menuruni
Jurang Mati!
Landean Tunggal menjadi kaget bila jalan kecil ini
berakhir pada sebuah lobang gua pada lereng terjal.
Tanpa pikir panjang ia cepat-cepat masuk ke dalam.
Ternyata Ki Topeng Regespun memburunya ke dalam
lobang gua ini, membuat Landean Tunggal kebingu-
ngan. Tiba-tiba ia menemukan sebuah ruangan lain di
dalam goa ini dan tanpa pikir panjang lagi ia
menyelinap ke dalamnya.
“Hua, ha, ha, ha, bersembunyi di situ? Baiklah,
kalau kau berkeras kepala mengangkangi Kitab Hijau
itu. Matilah engkau di dalam sana!” seru Ki Topeng
Reges seraya menerjang tepi lobang tersebut sampai
beberapa bongkah batu runtuh menutup lobang ini.
Kemudian sekali lagi kakinya beraksi dan sekali lagi
sehingga akhirnya bongkah-bongkah batu tadi telah
menutup lobang ini seluruhnya. Setelah ini Ki Topeng
Reges lalu mengeluarkan sepotong tabung bambu kecil
dan membuka sumbatnya sekali.
“Nah, nah, keluarlah sobat. Kau aku tempatkan di
goa ini untuk menjaga tawananku, si kunyuk Landean
Tunggal yang bandel!” guman Ki Topeng Reges sambil
mengawasi seekor laba-laba hitam keluar dari tabung
bambu itu dan kemudian larilah makhluk kecil ini ke
tempat gelap.
“Ha, ha, ha. Dalam beberapa saat nanti, laba-laba
tadi akan tumbuh dan berkembang sebesar dan seting-
gi manusia. Dengan begitu maka tak mungkinlah bila
Landean Tunggal tadi dapat lolos dari tempat ini
hidup-hidup!” Ki Topeng Reges segera bergegas keluar
dan meninggalkan tempat ini.
Sementara itu, di dalam lubang goa yang telah
tersumbat oleh bongkah-bongkah batu, si Landean
Tunggal terduduk di dasar goa yang licin dan lembab.
Untunglah di langit-langit goa ini terdapat lubang-
lubang yang tembus udara sampai ke atas, hingga ia
masih dapat bernafas dengan leluasa. Di samping itu
berkas-berkas sinar matahari masuk lewat lubang
langit-langit goa itu pula.
Landean Tunggal berputus asa kini. Tak mungkin ia
dapat keluar lagi, lebih-lebih setelah ia melihat pundak
kirinya yang bengkak kemerahan. Agaknya pukulan Ki
Jobin Karang tadi bukan sekedar pukulan kosong,
tetapi pukulan yang memutus saraf-saraf dan merusak
otot-otot gerak hingga separuh tubuhnya yang kiri
terasa lumpuh dan pedih.
Landean Tunggal lama-lama terbiasa dengan
kegelapan ruang goa ini. Kini ia sudah dapat mengenal
segala sesuatu di sekeliling dirinya. Dikeluarkannya
Kitab Hijau yang sedari tadi disimpan di balik bajunya
dengan terbungkus selembar kain putih selebar ikat
kepala. Kain itu disobeknya sebagian, sedang sisanya
dipergunakan untuk mengalasi Kitab Hijau yang
diletakkan di dekat kakinya.
Dengan menahan sakit, Landean Tunggal telah
menggigit ujung jari telunjuk kanannya sampai
mengeluarkan tetesan-tetesan darah. Demikianlah,
pada sobekan kain tadi, dibuatnya sebuah surat yang
ditulis oleh Landean Tunggal dengan darah dari jari
telunjuknya.
“Aku hanya turut berharap semoga tempat ini
diketemukan oleh seorang pendekar budiman,” gumam
Landean Tunggal seorang diri.
Demikianlah, sesudah itu ia bersemadi menanti
saat pertolongan tiba, hingga berhari, berminggu, dan
berbulan-bulan, bahkan bertahun lamanya sampai pa-
da saat akhir hayatnya, ia tetap bersemadi di goa itu.
“Nah, demikianlah ceriteraku ini berakhir. Semoga
Kisanak Pendekar Bayangan dan Mahesa Wulung tidak
kecewa,” ujar Ki Rebab Pandan kepada kedua pende-
ngarnya yang masih terpesona beberapa saat.
“Hebat dan sangat mengharukan, sobat!” desis
Pendekar Bayangan dengan mata berkaca-kaca me-
ngenangkan nasib Landean Tunggal.
Demikian pula Mahesa Wulung merasakan betapa
hatinya tersayat pilu merasakan penanggungan
Landean Tunggal yang malang. Terbayang kembali
ketika ia bertemu dengan kerangka Landean Tunggal,
dan menemukan kedua benda pusakanya, yakni cincin
permata Galuh Punar dan Kitab Hijaunya.
Tempat itu sesaat menjadi sunyi senyap, masing-
masing tengah bergelut dengan pikirannya sendiri-
sendiri. Namun satu hal yang menjadi pikiran utama
dan sama, adalah Ki Topeng Reges! Kepadanyalah me-
reka akan menuntut balas atas kematian Landean
Tunggal dan atas segala kekejaman serta kejahatan
yang telah dikerjakan!
Nah, para pembaca yang budiman, itulah tadi ceri-
tera “Bara Api di Laut Kidul” dari Seri Naga Geni yang
kami sudahi. Tetapi benarkah bahwa Ki Topeng Reges
yang berilmu Netra Dahana itu tak terkalahkan?
Untuk menjawab pertanyaan ini, tunggu ceritera seri
Naga Geni berikutnya, yakni “Keruntuhan Netra Dahana”.
T A M A T
0 comments:
Posting Komentar