AJI SAKA
DEWA ARAK RAJA TENGKORAK
Kitab ke : 026
RAJA TENGKORAK
Oleh Aji Saka
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Gambar sampul oleh Herros
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Aji Saka
Serial Dewa Arak dalam episode:
Raja Tengkorak
128 hal., 12 x 18 cm
SATU
Hari masih pagi sekali. Tampak matahari
menyembul dari ufuk Timur. Bentuknya laksana,
sebuah bola besar berwarna merah menyala.
Di pagi yang cerah itu, suara kecipak air laut
terdengar ketika seorang pemuda berambut putih
keperakan mengayuhkan dayungnya. Sesekali dia
menarik napas dalam-dalam untuk menghirup uda-
ra laut yang sejuk.
"Sebenarnya kita hendak menuju kemana,
Kang Arya?" tanya gadis cantik yang duduk di
sebelah pemuda berambut putih keperakan.
Pemuda itu tidak lain adalah Arya Buana atau
yang dikenal dengan julukan Dewa Arak. Dia,
bertubuh kekar dan berotot. Sepasang matanya
menatap lembut ke wajah gadis berkulit,
putih di
sampingnya.
Kemudian dia, melingkarkan tangannya
perlahan ke bahu gadis berpakaian putih. Ada
perasaan aman yang menyelinap di hati gadis
berambut panjang dan berwarna hitam itu.
"Coba tebak, Melati. Akan ke mana tujuan kita
sebenarnya," ujar pemuda berambut putih
keperakan tanpa menjawab pertanyaan gadis yang ter-
nyata bernamaMelati. Putri angkat Raja Bojong Gading.
Arya mengetatkan lingkaran tangannya yang mengitari
pangkal lengan gadis berkulit putih itu. Sehingga
membuat tubuh mereka makin rapat. Melati merasakan
kehangatan dalam dekapan Arya.
"Sayang sekali, Kang. Aku lagi malas menebak,"
elak Melati sambil menyandarkan kepalanya di bahu
Arya.
Arya mengelus-elus rambut Melati beberapa saat
lamanya. Dijumputnya beberapa helai, dan dibawa
ke arah hidungnya. Sementara tangan yang satunya
sibuk mengayuh dayung.
Pelan tapi pasti perahu itu melaju membelah
permukaan laut yang tenang.
"Ayolah, Kang. Beri tahu aku, ke mana tujuan kita
sebenamya?" desak Melati tanpa mengangkat
kepalanya.
"Kita menuju Pulau Ular, Melati," jawab Arya pelan.
"Apa ... ?! Pulau Ular?!"
Melati terjingkat bagai disengat kalajengking. Bola
matanya terbelalak lebar, dan menatap wajah Arya
lekat-lekat.
Arya mengangguk seraya mengulas senyum.
"Memangnya kenapa, Melati?" kalem pemuda
berpakaian ungu itu mengajukan pertanyaan.
"Untuk apa kita ke tempat yang mengerikan itu,
Kang?"
Arya menarik napas dalam-dalam dan
menghembuskannya kuat-kuat.
"Kau ingat ceritaku tentang Kemamang Danau
Neraka?" Dewa Arak malah balas bertanya.
Melati menganggukkan kepala. Dia sedikit paham
tempat itu. Karena Arya pemah menceritakan
kepadanya ketika pemuda itu berada di Pulau Ular
untuk mencari obat bagi kesembuhan dirinya (Untuk
jelasnya, baca serial Dewa Arak dalam episode
"Perjalanan Menantang Maut").
"Nah, aku datang untuk memenuhi janjiku, Melati,"
kata pemuda berambut putih keperakan itu. "Aku
telah berjanji untuk menemuinya, setelah kau sembuh.
Janji seorang gagah harus ditepati. Ingat, Melati.
Seorang gagah sekali berkata hitam, tetap hitam. "
"Ooo ... ! Jadi, kau adalah orang gagah, Kang?!"
goda Melati seraya mencibirkan mulutnya.
Kontan wajah Arya memerah.
"Ini..., eh...! Aku tidak bermaksud begitu..., maksudku
......
"Ah...! Tidak usah pura-pura, Kang!" sergah Melati
cepat. Raut wajahnya dibuat sungguh-sungguh.
Seakan-akan dia memang tidak bermaksud menggoda
Arya. "Tidak malu memuji-muji diri sendiri!"
Semakin merah wajah Arya mendengar ucapan itu.
Dia tahu Melati menggodanya. Dan, dia ingin
meloloskan diri dari godaan gadis cantik yang duduk
manja di sebelah dirinya. Tapi dia tak mampu
menghindari godaan Melati.
Di tengah kebingungan menghadapi ulah
kekasihnya, mendadak langit berubah gelap. Halilintar
menyambar tak henti-henti. Laut pun bergolak dahsyat
Tak pelak lagi, perahu mereka terombangambing
dipermainkan gelombang.
Karuan saja perubahan cuaca yang mendadak itu
membuat pasangan pendekar Sakti itu terperanjat
kaget.
"Ada apa, Kang?!" teriak Melati keras mengatasi
suara riuh, agar suaranya dapat didengar oleh Arya.
Wajah gadis berpakaian putih ini tampak pucat.
Gentar dan ciut juga nyalinya melihat alam
mempertunjukkan kekuatannya.
"Entahlah, Melati," jawab Arya berteriak. "Mungkin
akan terjadi badai!"
Brakkk ... !
Dengan diiringi suara hiruk-pikuk yang memekakkan
telinga, perahu itu hancur dihantam segulung ombak
besar. Tubuh Dewa Arak dan Melati terpelanting, lalu
tercebur ke laut.
"Kang Arya...!"
Melati menjerit keras ketika tubuhnya terpental ke
dalam laut dan jatuh dipermainkan gelombang. Sesaat
kepalanya timbul di dalam air. Tapi sekejap kemudian,
tenggelam kembali diterpa segulung gelombang.
"Melatii ... !" teriak Arya kalap melihat tubuh
kekasihnya lenyap. Tubuh pernuda berambut putih
keperakan itu juga timbul tenggelam dalam alunan
gelombang laut yang bergelora.
Hatinya lega ketika melihat kepala Melati kembali
timbul di permukaan taut. Dewa Arak berusaha sekuat
tenaga berenang ke arah Melati, yang terpisah
jauh dari dirinya. Dalam kekalutan hati, Arya
berenang dengan mengerahkan seluruh tenaga
dalamnya.
Tapi apalah artinya kekuatan manusia, dibandingkan
dengan kekuatan alam? Meskipun Arya berupaya
sekuat tenaga mendekati Melati, tapi ombak besar
telah menyeret putri angkat Raja Bojong Gading itu.
Arya dan Melati makin jauh terpisah.
Dewa Arak dan Melati sadar walaupun mereka
memiliki kesaktian, tak mungkin dapat bertahan di taut
yang berombak besar tanpa alat bantu.
Arya kemudian mengalihkan perhatian ke sekeliling.
Dia melihat papan pecahan perahu yang berserakan
berada tak jauh dari dirinya. Tapi, tak sepotong
papan pun berada di dekat Melati. Tanpa membuang-
buang waktu lagi, Arya segera meraih sepotong papan
yang agak besar.
"Melati...! Ambil papan ini ... !"
Arya berteriak keras sambil melemparkan kepingan
papan ke arah Melati, yang tubuhnya timbul tenggelam
dipermainkan gelombang taut.
Singgg ... ! Pyarrr ... !
Tak tanggung-tanggung lagi, seluruh tenaga dalam
dikerahkan Dewa Arak ketika melempar kepingan papan
ke arah putri angkat Raja Bojong Gading itu. Air laut
memercik ke sana kemari tatkala terlanda papan yang
dilontarkan Arya.
Prasss ... !
Kepingan papan itu, mendarat di permukaan laut
dekat dengan Melati. Buru-buru Melati berenang
menuju ke arah papan, yang dapat dipergunakan
sebagai pelampung.
Karena, kekhawatiran yang amat sangat akan
keselamatan gadis yang dicintainya, tak hanya satu
potong saja papan yang dilemparkan Arya. Dalam
gulungan gelombang yang semakin menggila, dia terus
mengambil papan-papan itu dan melemparkannya ke
arah Melati.
Pemuda berambut putih keperakan itu baru
menghentikan kesibukannya, karena papan tinggal
sekeping lagi. Dia segera meraihnya, dan
berpegangan erat-erat sambil mengapungkan
tubuhnya di permukaan taut
Badai terus mengamuk. Laut pun bergolak. Halilintar
tak henti-hentinya menyambar. Arya jatuh pingsan.
Tapi, kedua tangannya mencengkeram erat papan
itu. Entah karena naluri untuk menyelamatkan
nyawanya. Atau, karena tangannya telah menjadi kaku.
Sehingga mencekal erat kepingan papan yang
berfungsi sebagai pelampung.
Arya tidak tahu sama sekali kalau sewaktu pingsan,
dirinya dipermainkan ornbak. Terkadang, tubuhnya
dibawa oleh segulung ombak hingga ke puncak, lalu
dihempaskan ke bawah. Dewa Arak yang terkenal
menggemparkan dunia persilatan itu kini sama sekali
tidak berdaya. Tubuhnya terapung mengikuti arah
gelombang.
ooOWKNBROoo
"Uhhh...!"
Arya mengeluh perlahan. Air menerpa wajahnya
berkali-kali. Dan sinar matahari terik membakar
tubuhnya, membuat dia siuman kembali.
Pemuda berpakaian ungu itu mengerjap-ngerjapkan
sepasang matanya. Kepalanya dirasakan agak
pusing. Arya beranjak bangkit ketika air laut kembali
menerpa tubuhnya yang tergolek di pantai. Kontan
sepasang matanya beredar berkeliling.
"Ah ... ! Mengapa aku bisa berada di sini... kata
pemuda berambut putih keperakan itu dalam hati.
Arya segera berdiri. Benaknya berputar keras
mengingat-ingat peristiwa yang dialaminya. Sedangkan
kedua tangannya sibuk membersihkan butiranbutiran
pasir yang melekat di pakaiannya.
"Melati...," gumam Arya setelah mampu mengingat
semua peristiwa yang menimpa dirinya dan Melati.
Kepalanya menoleh ke sana kemari. Tapi, tetap tidak
menemukan gadis berpakaian putih yang ikut pergi
bersamanya. Ada rasa khawatir yang menyelinap di
dalam hati kecilnya. Perasaan itu segera dibuangnya,
dan dia berdoa dalam hati semoga Tuhan
menyelamatkan kekasihnya.
Pemuda berambut putih keperakan itu menyusuri
tepian pantai. Sepasang matanya tertumbuk sebuah
bongkahan. Sepercik harapan terbetik di hatinya. Dia
segera mempercepat langkah kakinya. Namun tatkala
jaraknya makin dekat, dia baru tahu kalau bongkahan
itu sepotong kayu yang sudah lapuk.
Arya sadar pantai tempat dirinya terdampar
cukup luas. Lalu, disusurinya tepian pantai dengan
mengerahkan ilmu meringankan tubuh. Sampai
matahari tenggelam di Barat, tak juga dia
menemukan Melati. Bahkan tidak ada sama
sekali tanda-tanda kalau gadis berpakaian putih itu ter-
dampar di situ.
"Melati...," desah Arya pilu. Sepasang matanya
menerawang jauh menatap laut yang sudah tenang.
Kemudian pandangannya dialihkan ke arah tempat
dirinya terdampar. Perlahan-lahan kakinya melangkah
memasuki hutan, mencari kayu untuk membuat rakit
yang akan digunakan untuk melanjutkan perjalanan ke
Pulau Ular, dan mencari Melati.
Arya bertindak hati-hati. Pulau itu berbeda
dengan pulau-pulau yang pernah. dikunjunginya. Urat-
urat syaraf di sekujur tubuhnya menegang, pertanda dia
senantiasa waspada dengan segala kemungkinan.
Suasana di pulau itu mulai gelap, tapi tak
menghalangi niatnya melanjutkan perjalanan
Pemuda berpakaian ungu itu tidak mengetahui bila
gerak-geriknya diawasi sosok tubuh yang berlindung di
balik pepohonan. Kemudian sosok tubuh yang
mengenakan seragam tengkorak itu melesat cepat
mendahului Arya.
DUA
"Aunggg ... !"
Lolongan anjing hutan terdengar mengaung panjang,
membuat suasana malam makin menyeramkan. Tampak
beberapa sosok bayangan berkelebat cepat menuju
mulut hutan. Menilik gerakan yang ringan dan gesit,
dapat dipastikan kalau bayangan itu adalah orang-orang
persilatan yang mempunyai kepandaian cukup tinggi.
Tujuan mereka cuma satu, Hutan Jambak.
"Kau percaya dengan berita yang tersebar itu,
Juriga?" tanya seorang dari dua sosok tubuh yang
bergerak cepat memasuki Hutan Jambak.
DI bawah siraman sinar rembulan di langit,
tampak jelas sosok bayangan yang berbicara itu.
Seorang laki-laki bertubuh kekar dan berotot. Pada
wajahnya terdapat kumis dan jenggot yang tak terurus.
Urat tangannya tampak menonjol keluar.
"Maksudmu..., tentang pemimpin besar kita,
Dulimang?" sahut Juriga yang bertubuh kecil kurus.
Sepasang matanya seperti orang mengantuk.
Sedangkan wajahnya tampak pucat seperti orang
berpenyakitan.
"Ya...," sahut laki-laki kekar berotot yang
ternyata bernama Dulimang.
Sambil berkata demikian, Dulimang terus
melangkahkan kakinya. Tak terdengar deru napas
memburu ketika laki-laki bertubuh kekar dan berotot itu
menjawab pertanyaan Juriga. Dari sini dapat diketahui
kalau Dulimang memiliki kepandaian yang cukup tinggal
Dulimang memalingkan kepalanya ke arah
suara yang berasal dari mulut Juriga. Memang rekannya
ingin menanggapi ucapan laki-laki bertubuh kekar dan
berotot itu. Tapi karena dia diliputi rasa khawatir, tetap
saja dia melangkah ke depan.
"Kau percaya kalau orang yang menyuruh kita
datang ke tempat ini adalah pemimpin besar kita,
Juriga?" Dulimang tidak sabar menunggu jawaban
rekannya.
"Hentikan pertanyaanmu, Dulimang. Jika kau masih
sayang dengan nyawamu!" sergah Juriga.
Kontan wajah Dulimang pucat pasi. Untung saja
suasana remang-remang, sehingga warna pucat pada
wajahnya tak nampak. Bentakan pelan itu telah
menimbulkan rasa takut di hati laki-laki kekar
berotot itu. Dia tahu Juriga tidak sembarangan
bicara, karena dia sendiri telah mendengar keke jaman
dan kesadisan pemimpinnya.
"Tidak cukupkah surat yang ditancapi dengan pisau
berkepala tengkorak sebagai bukti, Dulimang,"
ujar Juriga.
Ucapan yang mengandung teguran keras itu
membuat Dulimang terkesima.
"Bukan aku tidak percaya, Juriga," Dulimang
memperbaiki kata-kata yang diucapkan
sebelumnya. Jelas laki-laki berkumis dan
berjenggot lebat itu diliputi rasa gentar.
"Tapi, bukankah menurut kabar yang kudengar,
beliau telas tewas dalam sebuah pertempuran?!"
suara yang keluar dari mulut Dulimang terdengar
berhati-hati, pertanda ucapan rekannya tadi
berpengaruh.
"Siapa tahu beliau mempunyai murid atau keturunan,
Dulimang. Apakah kau tidak berpikir sampai ke sana?"
Dulimang terdiam mendengar dugaan yang
dilontarkan Juriga. Disadari ucapan rekannya itu
mengandung kebenaran.
"Ya! Siapa tahu, tokoh yang mengundang mereka
adalah murid atau keturunan pemimpin besar. Kenapa
aku tak berpikir sampai ke situ?" rutuk Dulimang dalam
hati.
Melihat rekannya membisu seribu bahasa, Juriga
melanjutkan langkahnya. Dia merasa sudah cukup
berbicara, dan tidak ingin berbincang-bincang
lagi. Lalu, mereka berdua melanjutkan perjalanan
tanpa berkata-kata sepatah pun.
Juriga berjalan tanpa dibebani perasaan apa
pun. Sedangkan Dulimang melangkah dengan
segumpal rasa takut Ucapan rekannya telah
membuat laki-laki kekar berotot itu diliputi rasa
khawatir bukan kepalang.
Perasaan itu muncul bukan tanpa penyebab.
Dulimang telah mendengar kekejaman dan
kesadisan pemimpin besar itu bila memperlakukan
orang yang tak disukainya. Apalagi orang yang
membicarakan tentang kejelekan dan keburukan
dirinya. Dapat dipastikan ia akan menerima hukuman
yang mengerikan dari pemimpin besar itu. Tak
mengherankan bila perasaan takut menyergap diri
Dulimang.
Rasa takut dalam diri laki-laki yang bertubuh
kekar dan berotot itu makin mendalam, bila diingat
kalau ilmu yang dimiliki pemimpin besar mampu
mengetahui orang yang berniat buruk, atau
membicarakan dirinya.
Kedua orang itu makin dalam memasuki hutan.
Tampak beberapa sosok bayangan berkelebat dari
berbagai jurusan. Mereka bergerak ke arah lapang an
luas. Ternyata sudah banyak para tokoh
persilatan berkumpul di sana. Dulimang dan
Juriga segera membaur dalam kerumunan itu.
Dulimang yang tengah dilanda rasa takut,
memperhatikan suasana sekelilingnya. Sepasang
matanya mengamati para tokoh persilatan yang
hadir di situ. Jumlah mereka sekitar tiga puluh
orang. Menilik gerak-gerik mereka, bisa diperkira
kan kalau para tokoh persilatan itu berasal dari
aliran hitam.
Aneh! Tak seorang pun yang berani membuka
suara. Mereka semua diam membisu. Dari sikap
yang ditunjukkan tokoh persilatan golongan hitam
itu sudah bisa diperkirakan betapa besar pengaruh
orang yang disebut pemimpin besar itu.
Di sebuah lapangan luas, tampak gundukan batu
sebesar kerbau setinggi satu tombak. Sekilas
tampak wajah Dulimang pucat ketika menatap se-
batang tongkat bergagang kepala tengkorak yang
tertancap di puncak gundukan batu. Begitulah ciri
khas pemimpin besar mereka.
"Aunggg...!"
Tiba-tiba saja terdengar lolongan serigala.Wajah-
wajah yang sejak tadi tenang mulai berubah
menegang. Mereka sudah tahu, jika serigala meng-
aung maka muncul sang pemimpin besar. Tapi, mereka
tak mengerti hubungan kedua peristiwa itu.
Begitu suara lolongan serigala lenyap, sebagian dari
tokoh persilatan melihat sosok tubuh yang melintas di
atas kepala mereka. Kemudian setelah itu sosok
bayangan itu melakukan salto di udara. Dan....
Tappp...
Gerakan yang indah dari sosok bayangan itu
mengundang rasa kagum tokoh persilatan yang
hadir di situ. Namun, yang lebih membuat tokoh-tokoh
aliran hitam itu terpesona, ketika melihat sosok
bayangan yang melakukan salto di udara tadi mendarat
dengan mulus di atas tongkat berujung tengkorak
kepala manusia, dalam posisi duduk bersila.
Puluhan pasang mata tak berkedip menatap ke arah
pemimpin besar mereka. Sungguh luar biasa kekuatan
sorot mata tokoh persilatan yang duduk bersila di atas
tongkat berujung tengkorak kepala manusia itu.
Karena pandangannya yang tajam telah membuat
rasa gentar para tokoh persilatan beraliran hitam.
Bagaikan kerbau yang dicucuk hidungnya, tokoh-
tokoh persilatan golongan hitam itu menundukkan
kepalanya, tatkala sang pemimpin memandang tajam ke
arah mereka. Hanya beberapa gelintir saja Yang berani
menentang pandang pemimpin besar itu, termasuk
Juriga dan Dulimang.
Dulimang memperhatikan terus sang pemimpin itu.
Tinggi tubuhnya sukar ditebak. Lantaran dia duduk
dengan posisi bersila. Sedangkan wajahnya tak dapat
dikenali sama sekali, karena tertutup kain bergambar
tengkorak.
Dulimang mengalihkan pandangan ketika sang
pemimpin yang lebih patut disebut manusia tengkorak
itu, menatap tajam ke arah dirinya. Dan, buru-buru
kepalanya ditundukkan. Sebab sepasang mata Yang
tajam itu memancarkan cahaya berwama kehijauan.
Setelah mengedarkan pandangan, pemimpin besar
yang mengenakan pakaian tengkorak itu menurunkan
kedua tangannya yang semula terlipat di depan dada.
Lalu, kedua tangan itu digerakkan ke belakang
punggungnya.
Gerakan yang dilakukan sang pemimpin itu perlahan
sekali. Seolah-olah tidak ada pengerahan tenaga dalam
sama sekali. Anehnya, tubuh laki-laki berpakaian
tengkorak itu melesat cepat tanpa mampu ditangkap
mata. Lalu, dia berdiri di atas gundukan batu besar.
Tampak sosok tubuhnya yang agak kurus dan
jangkung.
"Di antara semua yang hadir di sini, ternyata masih
ada, yang meragukan diriku sebagai Raja Tengkorak!"
Cetus laki-laki bertubuh tinggi kurus itu.
Terdengar suara yang aneh dari mulut laki-laki
berjuluk Raja Tengkorak itu. Keanehan suara itu
mungkin disebabkan selubung bergambar
tengkorak yang menutupi seluruh kepalanya.
Barangkali juga dia mengerahkan tenaga dalam,
sehingga suaranya bergema.
"Aku tahu, ada beberapa gelintir di antara
kalian yang tidak mempercayaj diriku. Dan, mereka
berbicara di belakangku," Raja Tengkorak kembali
melanjutkan ucapannya. "Tapi, itu masih bisa
kumaklumi."
Laki-laki bertubuh tinggi kurus itu menghentikan
ucapannya. Sepasang matanya yang bercahaya
kehijauan, terpaku pada wajah Dulimang. Karuan saja
laki-laki kekar berotot itu menjadi cemas dan pucat.
"Benarkah kabar yang tersebar bahwa Raja
Tengkorak memiliki ilmu yang mampu mengetahui
orang yang membicarakan dirinya?" tanya
Dulimang dalam hati sambil tergesa-gesa
menundukkan kepalanya.
Laki-laki kekar berotot itu baru berani mengangkat
kepalanya kembali ketika sang pemimpin besar itu
melanjutkan ucapannya.
"Perlu kalian ketahui, aku tidak dapat mengampuni
seseorang yang secara terang-terangan menentangku!"
tandas dan jelas sekali ucapan yang dikeluarkan Raja
Tengkorak.
Belum lenyap gema. ucapan Raja Tengkorak, tiba-
tiba beberapa sosok tubuh melesat dan langsung
mendarat di bawah batu besar tempat Raja Tengkorak
berdiri.
"Memang, kami tidak percaya kau adalah Raja
Tengkorak!" seru seorang dari tiga sosok tubuh
yang kini berdiri di bawah Raja Tengkorak. Dia adalah
seorang laki-laki bertubuh tinggi besar dan berhidung
besar. Sebuah rompi terbuat dari kulit buaya
membungkus tubuhnya yang berwarna coklat
kehitaman.
Dua orang yang mengenakan rompi yang
sama, juga menganggukkan kepala pertanda
mendukung ucapan laki-laki berhidung besar tadi.
"Siapa kau, Anjing Kecil?!" tanya Raja Tengkorak
tenang. Sepasang matanya beredar berkeliling.
Menatapi satu persatu wajah yang berdiri di, bawahnya.
"Kami bejuluk Tiga Buaya Sungai Rampoa!" jawab
laki-laki yang memiliki tahi lalat besar di pipi kiri. Dari
nada suara dan dada yang dibusungkan ketika
menjawab pertanyaan Raja Tengkorak, dapat diketahui
kalau laki-laki bertahi lalat besar itu bangga
dengan julukannya.
"Hmh ...!"
Raja Tengkorak mendengus. Dan begitu suara
dengusannya lenyap, tubuhnya telah melayang ke
bawah. Padahal tidak terlihat sedikit pun kalau dia
menggerakkan kaki. Tiba-tiba dia telah berada dalam
jarak satu setengah tombak di hadapan Tiga Buaya
Sungai Rampoa.
Kini Raja Tengkorak dan Tiga Buaya Sungai Rampoa
saling berhadapan. Kedua tangan laki-laki bermata
kehijauan itu dilipatkan di depan dada. Sementara
kepalanya menatap ke tanah. Dia pun melangkah kecil-
kecil, tai peduli dengan kehadiran Tiga Buaya Sungai
Rampoa. Jelas sikap Raja Tengkorak ini meremehkan
calon lawannya.
Melihat tingkah laki-laki bertubuh tinggi kurus itu,
membuat hati Tiga Buaya Sungai Rampoa
menjadi panas. Sebab, ketiga tokoh yang dijuluki
Tiga Buaya Sungai Rampoa ini cukup ditakuti lawan dan
disegani kawan di sepanjang Sungai Rampoa. Yang dari
hulu sampai hilir, merupakan wilayah kekuasaannya.
"Keparat ... !" laki-laki berhidung besar berteriak
memaki. "Rupanya semua tulang-tulangmu ingin
kupatahkan!"
Ucapan itu mengenai sasarannya. Terbukti
kepala Raja Tengkorak yang sejak tali tertunduk, tiba-
tiba mendongak. Ada suara gemeretak keras yang
keluar dari mulut laki-laki bertubuh tinggi kurus itu.
"Cecak-cecak kudisan berani berlagak menjadi
buaya sungguhan?!" Cetus Raja Tengkorak.
Ucapan bemada tantangan telah dikeluarkan Raja
Tengkorak. Rupanya meskipun kemarahan melanda
hatinya, dia tidak ingin kehilangan kewibawaannya.
Laki-laki bertubuh tinggi kurus ini tetap bersikap
tenang, seperti layaknya seorang tokoh persilatan yang
memiliki kepandaian tinggi menghadapi tokoh yang
tingkatannya masih berada di bawah.
Laki-laki bertahi lalat besar tidak sanggup lagi
menahan kemarahannya. Sambil mengeluarkan pe-
kik melengking, dia melompat menerjang Raja
Tengkorak. Sekali menyerang, tokoh Tiga
Buaya Sungai Rampoa ini telah melancarkan pukulan
bertubi-tubi ke arah dada, ulu hati, dan pusar
lawannya,
"Hmh ... !"
Raja Tengkorak mengeluarkan suara dengusan dari
hidung. Melihat dari gelagatnya, seolah-olah laki-laki
tinggi kurus ini sama sekali tidak berniat mengelak atau
menangkis serangan. Malah membiarkan setiap
serangan lawan mengenai sasarannya.
Sikap meremehkan itu, tentu saja membuat laki-laki
bertahi lalat menggelegak amarahnya.
"Raja Tengkorak palsu ini benar-benar telah
merendahkan diriku!" pekik hati salah seorang Tiga
Buaya Sungai Rampoa gusar.
Bukkk, bukkk, bukkk..!
Laki-laki bertahi lalat besar memukul bertubi-tubi
dan tepat mengenai sasarannya. Tapi, bukan Raja
Tengkorak yang merasa kesakitan, malah yang
memukul menjerit menahan rasa sakit. Seolah-olah
yang dipukul bukan tubuh manusia, melainkan
sebongkah baja yang amat keras.
Dua orang anggota Tiga Buaya Sungai Rampoa
terkejut melihat kelakuan rekannya. Tapi, sebagai tokoh
persilatan yang telah mempunyai banyak pengalaman
bertarung, segera menyadari apa yang telah terjadi.
Maka....
Srettt...!
Anggota Tiga Buaya Sungai Rampoa yang berhidung
besar segera mencabut senjata andalannya yang
berupa sebilah golok besar! Sedangkan rekannya, laki-
laki berbibir tebal mencabut senjatanya yang berupa
gada panjang dan berduri. Mereka dengan
kemampuan masing-masing segera memainkan
senjatanya.
Sementara itu, laki-laki bertahi lalat besar yang
melihat kedatangan rekan-rekannya sambil
membawa senjata, segera mencabut senjatanya
pula yang berupa sebuah bola besi bulat sebesar
kepala manusia, berduri, dan memiliki tangkai. Dia
segera membuka jurus dengan memutar senjatanya
bagai baling-baling. Sehingga menimbulkan suara
mendesing merobek udara.
"Hmh ...!”
Raja Tengkorak mendengus dan
menyunggingkan senyuman sins melihat gerakan-
gerakan lawannya. Tidak terlihat tanda-tanda kalau laki-
laki berpakaian tengkorak ini mewaspadai
serangan yang bakal dilakukan Tiga Buaya Sungai
Rampoa. Jelas, dia memandang remeh ketiga laki-
laki kasar itu. Tentu saja hal itu membuat darah tiga
orang laki-laki berompi kulit buaya itu menjadi
mendidih. Dan....
"Haaat...
Serangan yang diiringi suara pekikan keras dari laki-
laki berhidung besar, melesat ke arah leher Raja
Tengkorak, setelah terlebih dahulu memutar-mutarkan
senjatanya di atas kepala. Sehingga menimbulkan suara
mengaung keras pertanda kuatnya tenaga, yang
terkandung dalam putaran golok besar itu.
Sedangkan kedua rekannya segera membuka
jurus serangan. Mereka bergerak menyongsong
Raja Tengkorak dari arah yang berbeda. Dan kemudian
melancarkan serangan dengan senjata andalan masing-
masing.
Raja Tengkorak tetap dengan sikapnya yang semula.
Kedua tangannya masih berlipat di depan dada.
Kepalanya menunduk menghadap ke tanah. Seolah-
olah tak ada musuh yang akan menyerangnya. Dia
tetap saja memandang remeh ketiga orang laki-laki
kasar berompi kulit buaya itu.
Ketika serangan datang dari tiga jurusan itu
menyambar dekat, tokoh yang mempunyai dandanan
mendirikan bulu kuduk ini, menggerakkan kakinya.
Sederhana saja gerakan yang dilakukan Raja
Tengkorak. Tapi anehnya, tidak ada satu pun serangan
lawan yang mampu mengenai anggota tubuhnya.
Tidak hanya sampai di situ saja yang dilakukan laki-
laki berpakaian tengkorak itu. Setelah berhasil
mengelakkan serangan ketiga orang lawan, kedua
tangannya bergerak cepat. Sehingga, tangan yang
sebenamya berjumlah dua itu jadi terlihat berjumlah
puluhan.
Kontan Tiga Buaya Sungai Rampoa merasakan
Pandang mata mereka berkunang-kunang. Tapi, mereka
berusaha menahan serangan yang akan di lancarkan
Raja Tengkorak, dengan mengelak sebisa-bisanya,
tapi....
Tuk, tuk, tuk. !
Suara-suara pelan terdengar disusul dengan
lumpuhnya tangan Tiga Buaya Sungai Rampoa
yang memegang senjata, disusul berjatuhannya
senjata-senjata mereka ke tanah. Ternyata totokan Raja
Tengkorak tepat sekali mendarat di belakang sikut
mereka. Sehingga membuat tangan itu lumpuh untuk
beberapa saat.
Wajah Tiga Buaya Sungai Rampoa kontan
memucat, mereka sadar lawan yang dihadapi kali ini,
memililki kepandaian yang tidak terukur. Tapi mereka
telah terlambat. Raja Tengkorak tak akan membiarkan
mereka hidup. Kekejaman tokoh sesat itu terhadap
lawannya sudah sering didengar. Tiga Buaya
Sungai Rampoa menyadari hal itu. Tapi, sebagai
tokoh-tokoh persilatan tingkat tinggi, mereka lebih
suka mati sebagai seekor harimau ketimbang hidup
sebagai seekor anjing. Itulah sebabnya, meskipun tidak
adanya senjata andalan di mereka tetap mengadakan
perlawanan.
Tiga Buaya Sungai Rampoa segera melancarkan
serangan bertubi-tubi dengan tangan kosong ke arah
tubuh Raja Tengkorak. Tapi serangan itu dengan mudah
dapat digagalkan dengan ilmu meringankan tubuh
yang dimiliki pemimpin besar itu. Tampaknya, dia ingin
memperlihatkan tingkat ilmu yang dimilikinya di
hadapan ketiga tokoh Sungai Rampoa itu.
Hampir sepuluh jurus lamanya Raja Tengkorak
mempermainkan lawan-lawannya. Dia sama sekali tidak
mengadakan perlawanan, kecuali mengelakkan
serangan yang datang. Laki-laki berpakaian tengkorak
ini rupanya bermaksud mempermainkan lawan sebelum
membunuhnya.
Ketika napas lawan telah memburu karena rasa
capek dan amarah yang menggelegak di dalam
dada, baru Raja Tengkorak bertindak cepat. Kedua
tangannya yang masih menggenggam senjata milik Tiga
Buaya Sungai Rampoa, bergerak cepat membentuk
pusingan. Sehingga mata tokoh persilatan yang
menyaksikan pertarungan itu menjadi nanar. Begitu
Pula yang dialami Tiga Buaya Sungai Rampoa.
"Aaakh...!"
Jerit kematian terdengar susul-menyusul diiringi
dengan tumbangnya satu persatu anggota Tiga
Buaya Sungai Rampoa. Sungguh mengerikan kematian
mereka. Seluruh tubuh tercabik-cabik, dan senjata
andalan mereka sendiri tertancap di batok kepala
masing-masing.
TIGA
"Siapa di antara kalian yang berminat menyusul
mereka, silakan maju!" ujar Raja Tengkorak sambil
mengedarkan pandangan berkeliling.
Tegas dan jelas ucapan yang keluar dari mulut
sosok berpakaian tengkorak itu. Sambil berkata
begitu, jari telunjuk tangan kanannya menunjuk ke arah
tiga sosok mayat yang tergeletak berlumuran darah.
Tak satu pun tokoh yang berani membuka suara.
Mereka merasa ngeri melihat kesaktian yang
dipamerkan Raja Tengkorak. Tiga Buaya Sungai
Rampoa adalah tokoh-tokoh persilatan yang cukup
tangguh. Tapi, tak berdaya menghadapi Raja Tengkorak
Kini semua kepala tokoh persilatan yang
menyaksikan pertarungan tadi serentak tertunduk ke
bawah. Tak satu pun yang berani mengangkat
kepala. Kegentaran merayapi hati masing-masing to-
koh persilatan yang berkumpul di sebuah tanah
lapang itu.
"Perlu kalian semua ketahui ...” ujar Raja Tengkorak
setelah melihat tidak ada orang yang menentang
pandangannya. "Aku sengaja mengumpulkan kalian
semua, demi kepentingan kalian juga. "
Tokoh yang menggiriskan itu menghentikan
ucapannya sebentar. Kembali pandangannya diedarkan
ke sekeliling untuk mengenali raut-raut wajah yang
tertunduk.
"Selama ini, kulihat golongan kita selalu diruntuhkan
oleh tokoh persilatan aliran putih. Apalagi ketika
muncul seorang tokoh yang berjuluk Dewa Arak!"
Sampai di sini, Raja Tengkorak kembali
menghentikan ucapannya. Dia menoleh dan menatap
tokoh-tokoh yang ada di sekelilingnya, untuk melihat
reaksi ucapannya. Dan memang, meskipun tidak
ada suara-suara ribut yang terdengar. Tapi tampak
wajah-wajah mereka memancarkan keterkejutan. Kepala
mereka yang sejak tadi tertunduk, kontan terdongak
mendengar nama Dewa Arak disebut
"Aku tidak menginginkan golongan kita senantiasa
menjadi permainan golongan putih. Dan, itu tak akan
terjadi bila kita bersatu!" Raja Tengkorak menghentikan
ucapannya sejenak untuk mengambil napas.
"Aku telah melihat Dewa Arak datang ke
daerah ini. Dan, sepanjang yang kudengar, setiap
kali dia datang, pendekar yang usilan itu pasti
menghancurkan golongan kita. Dan, aku tidak mau hal
itu terjadi! Kalian mengerti?!"
Kepala semua tokoh yang berada di situ terangguk.
"Nah! Sebelum Dewa Arak menggilas kita. Dia harus
kita dahului. Kita semua harus bersatu untuk
melenyapkan Dewa Arak, agar golongan kita berjaya!"
sambung laki-laki berpakaian tengkorak itu dengan
suara yang lebih keras. Lantaran semangatnya
terbangkit melihat sambutan dari orang-orang yang
berada di sekelilingnya.
"Aku yakin apabila kita bersatu, jangankan
cuma ada satu Dewa Arak, biarpun ada puluhan
Dewa Arak kita dapat melenyapkannya!
Bagaimana! Kalian semua setuju dengan usulku?!"
"Setuju ... !"
Serempak puluhan tokoh persilatan itu menyahut.
Menilik jawaban mereka yang begitu bersemangat
dan berapi-api, dapat diketahui kalau mereka semua
memang setuju dengan rencana itu.
"Kita cincang Dewa Arak...!" teriak Dulimang keras
sambil mengacungkan tangan ke atas.
"Hancurkan semua tokoh golongan putih...!" sambut
tokoh lainnya
"Kita rajai dunia persilatan...!" tokoh lainnya pun
tak mau kalah.
Dalam waktu sebentar saja, suasana di sekitar
tempat itu sudah menjadi hiruk-pikuk oleh teriakan
teriakan tokoh persilatan golongan hitam itu.
Di balik selubung bergambar tengkorak, pemimpin
baser itu tersenyum gembira. Dibiarkan puluhan tokoh-
tokoh persilatan itu berteriak semaunya. Setelah
dirasanya cukup, tangan kanannya diangkat ke atas.
Luar biasa! Seketika itu juga suara-suara berisik itu
kontan lenyap. Dari pertunjukan ini sudah bisa
diketahui kalau tokoh-tokoh persilatan aliran hitam yang
hadir di situ, telah tunduk sepenuhnya pada Raja
Tengkorak.
"Untuk pertemuan kali ini, aku bisa memaklumi kalau
yang hadir hanya beberapa orang. Untuk menambah
pengikut, aku akan mengadakan pertemuan lagi.
Kuminta kalian mengabarkan kepada tokoh-tokoh
golongan kita lainnya. Kalian mengerti?!"
"Mengerti ... !" sahut puluhan tokoh-tokoh persilatan
itu serempak.
"Perlu kalian ketahui, sekarang lawan yang
paling berat dan harus kita taklukkan adalah Dewa
Arak! Kita bungkam dia untuk selama-lamanya!
Nah! Cukup sampai di sini pertemuan kita!"
Setelah berkata demikian, Raja Tengkorak segera
melesat dari tempat situ. Luar biasa! Hanya dalam
beberapa langkah saja, tubuhnya telah lenyap
ditelan kegelapan malam dan kerimbunan semak-
semak.
Sepeninggal tokoh yang menggiriskan itu, suasana
kembali menjadi riuh. Masing-masing tokoh persilatan
berbicara, sehingga membuat suasana di tempat itu
menjadi berisik bukan kepalang.
Cukup lama juga tokoh-tokoh persilatan itu
saling berbicara. Baru beberapa saat kemudian, mereka
mulai meninggalkan tempat itu.
Suasana kembali menjadi hening seperti sediakala.
Kini yang terdengar hanyalah suara kerik jangkerik
dan binatang malam lainnya.
ooOWKNBROoo
"Uhhh ... !"
Arya membuka mulutnya lebar-lebar. Kedua kaki
dan tangannya dijulurkan sejauh-jauhnya. Semua itu
dilakukannya untuk membuang rasa kantuk yang masih
melanda.
Perlahan-lahan sepasang kelopak matanya terbuka.
Tapi langsung ditutup kembali. Karena merasa silau
terkena sinar matahari pagi yang menyorot lewat celah-
celah dedaunan. Memang, pemuda berambut putih
keperakan itu tertidur di atas sebatang pohon besar,
yang batangnya saja memerlukan empat orang dewasa
untuk mengukurnya.
“Uaaah ... !"
Arya kembali membuka mulutnya lebar-lebar. Jelas
kalau perasaan ngantuk yang menderanya masih
cukup kuat Kemudian setelah mengerjap-ngerjapkan
sepasang kelopak matanya, dia bangkit dari
berbaringnya.
Pemuda tampan yang mengenakan pakaian
berwarna ungu itu lalu mengulurkan tangan, untuk
menjumput guci araknya yang tergantung di dahan
pohon.
Setelah menyampirkan gucinya di punggung, Arya
lalu melompat turun. Gila! Cabang pohon yang
tingginya dua setengah tombak dari tanah itu
dilompatinya dengan ringan sekali. Tanpa menimbulkan
suara sedikit pun, kedua kakinya mendarat di tanah.
Hal ini tidak aneh karena ilmu meringankan tubuh
pemuda berpakaian ungu itu memang amat tinggi
Begitu kedua kakinya mendarat di tanah, Arya lalu
melangkah cepat meninggalkan pohon itu. Dia sengaja
menggunakan ilmu meringankan tubuh, karena
perutnya yang lapar segera minta diisi.
Arya tak mengetahui letak desa yang paling
dekat dari hutan ini. Padahal, rasa lapar telah begitu
melilit perutnya.
Itulah sebabnya Arya memutuskan untuk mencari
makanan sendiri. Maka dia pun hendak mengisi
perutnya dengan binatang-binatang penghuni hutan.
Sekaligus mencari jejak Melati, walaupun sudah ada
perasaan tidak akan bertemu dengan gadis itu di
pulau ini. Karena tidak adanya tanda-tanda kalau Melati
juga terdampar di sini.
Arya mengedarkan pandangannya ke sana kemari.
Tidak hanya itu saja, semak-semak pun dihampiri
dan disibaknya. Tapi tetap saja tidak ditemukannya
binatang-binatang buruan.
Hutan yang disinggahi Dewa Arak kali ini memang
lain dari biasanya. Banyak pohon-pohon besar
berbatang coklat dan licin. Tak satu pun terdengar
suara binatang-binatang yang biasanya menghuni
hutan.
Setelah lama mencari-cari dan tidak bertemu, Arya
putus asa. Diambilnya keputusan untuk menghentikan
pencarian. Lalu melangkah meninggalkan tempat itu
tanpa mengedarkan pandang seperti sebelumnya.
Perut yang lapar mendorong Dewa Arak
mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya, agar dapat
cepat keluar dari hutan. Sesaat kemudian, yang
tampak hanya sekelebatan bayangan ungu yang
melesat cepat.
Entah sudah berapa lama pemuda berambut putih
keperakan ini berlari. Yang jelas, tak lama kemudian, di
hadapannya terlihat sebuah sungai.
Wajah Arya seketika berseri-seri. Tak bisa
menyantap daging hewan penghuni hutan pun, tak
mengapa. Karena kini ada makanan pengganti yang tak
kalah lezatnya. Binatang-binatang penghuni
sungai! Apa lagi kalau bukan ikan?
Seketika itu juga Arya mempercepat larinya.
Semangatnya seketika bangkit membayangkan
perutnya akan terisi penuh binatang-binatang peng-
huni sungai itu.
Sekejap kemudian Dewa Arak telah berada di pinggir
sungai. Diamat-amatinya sejenak permukaan sungai
yang berair jernih, sehingga sampai terlihat ke
dasarnya.
Senyum di mulut pemuda berpakaian ungu itu
semakin lebar tatkala melihat ikan besar dan kecil
berseliweran di bawah permukaan air.
Tapi senyum itu perlahan mulai memudar, ketika
menyadari dirinya tidak membawa alat untuk
menangkap ikan! Lalu, Arya memutar otak, bagaimana
caranya menangkap ikan tanpa menggunakan kail,
jala, atau bubu?
Cukup lama juga Dewa Arak memutar otaknya.
Kemudian dia menemukan sebuah cara menangkap
ikan. Dengan kayu panjang yang berujung runcing!
Matra bergegas pandangannya diedarkan ke sekeliling
mencari-cari benda yang dapat dipergunakan
menangkap ikan.
Mendadak Arya tersentak. Pandangannya tertumbuk
pada sesosok tubuh, yang tengah duduk di pinggir
sungai, dan bersandar pada pohon besar di
belakangnya. Sebuah kail yang gagangnya
ditancapkan di tanah, berada di depannya. Rupanya
sosok tubuh itu tengah mengail!
Pemuda berambut putih keperakan ini mengerutkan
alisnya. Dia kebingungan sejenak. Mengapa tadi
sewaktu menuju ke sungai ini dia tidak melihat sosok
tubuh di situ? Tapi begitu pandangannya tertumbuk
pada pohon yang disandari sosok tubuh itu, Arya
jadi maklum mengapa tadi tidak melihatnya. Orang itu
terhalang batang pohon yang disandarinya.
Seketika itu juga Dewa Arak lupa dengan
maksudnya semula. Sepasang matanya menatap
sosok tubuh yang tengah duduk bersandar itu.
Sosok tubuh itu berpakaian hitam. Wajahnya tidak
tampak jelas karena tertutup oleh taping lebar.
Mendadak kayu kail itu terangguk-angguk. Talinya
pun menegang. Jelas ada sesuatu yang telah
menariknya dari dalam sungai. Apa lagi kalau bukan
ikan?
Arya mengerutkan alisnya ketika melihat orang
berpakaian hitam itu tidak menarik pancingannya sama
sekali.
"Tertidurkah dia?" tanya Arya dalam hati.
Kayu pancingan itu semakin keras teranggukangguk.
Tapi, orang berpakaian hitam itu tidak juga menariknya.
Maka Arya melangkah menghampirinya, dan berniat
memberi tahu orang itu kalau umpan pada kailnya
telah dimakan ikan.
Selangkah demi selangkah Arya mendekati
sosok tubuh berpakaian hitam itu. Tapi, sampai
jaraknya tinggal satu batang tombak lagi, tetap saja
orang berpakaian hitam itu sama sekali tidak
bergerak
"Matikah orang itu?" duga Arya lagi dalam hati.
Dewa Arak memperhatikan perut orang itu, kontan
sepasang mata pemuda berambut putih keperakan ini
terbelalak karena tak ada gerak sama sekali di perut
orang berbaju hitam itu.
Bergegas Dewa Arak menghampiri orang bercaping
lebih dekat lagi. Sepasang alisnya berkerut ketika
melihat pakaian orang itu tidak hitam seluruhnya. Tapi
ada lukisan aneh berwama putih.
Begitu telah berada di dekat orang itu, Arya segera
berjongkok untuk memeriksa keadaan orang berpakaian
hitam itu.
Mendadak orang berpakaian hitam itu bangkit dari
sandarannya, dan langsung mengirimkan totokan
tangan bertubi-tubi ke arah dada dan ulu hati Dewa
Arak. Jari-jari kedua tangan orang itu lures dan
menegang kaku. Kedudukan jari-jari tangannya mirip
jurus 'Ular'.
Wuttt ... !
Angin yang berkesiut nyaring pertanda kalau
serangan itu didukung pengerahan tenaga dalam
yang kuat.
Dewa Arak terkejut bukan kepalang. Serangan itu
benar-benar di luar dugaannya. Dia sama sekali tidak
siap untuk menghadapi serangan yang tiba-tiba
seperti itu.
Meskipun begitu, karena sudah terbiasa mendapat
serangan mendadak, Dewa Arak bergerak cepat
Kedua tangannya dihentakkan ke bawah untuk
mematahkan serangan itu.
Plak, plak ... !
Benturan kedua tangan yang sama-sama dialiri
tenaga dalam itu menimbulkan suara yang amat
keras. Usaha yang dilakukan Arya memang tidak sia-
sia. Serangan lawan berhasil dimentahkannya.
Tapi meskipun din mampu mengelakkan serangan
mendadak itu, tak urung bajunya di bagian dada
berlobang sebesar jari tangan.
Begitu telah berhasil memunahkan serangan itu,
Dewa Arak segera bersalto ke belakang beberapa kali
untuk memperbaiki keadaannya yang tidak
menguntungkan.
"Hih...!"
Orang berpakaian hitam itu menjumput capingnya
dan kemudian melontarkannya ke arah Dewa Arak.
Wunggg...
Dengan diiringi suara mengaung keras, caping
bambu itu meluncur deras ke arah kepala Arya.
Pemuda berambut putih keperakan itu terkejut bukan
kepalang. Saat caping lawan meluncur, tubuhnya
tengah berada di udara. Sulit baginya untuk
mengelakkan serangan itu. Menangkis dengan
tangan kosong merupakan tindakan gegabah. Dari suara
mengaung keras dapat diperkirakan kekuatan tenaga
dalam pemiliknya. Arya berusaha mengelakkan
serangan itu. Tubuhnya digeliatkan ke camping. Dan....
Crass... !
Meskipun sudah berusaha mengelakkan
serangan itu, tak urung sebagian rambut Dewa Arak
terserempet. Akibatnya rambut yang berwama putih
keperakan itu pun putus!
"Hup ...!"
Tanpa suara Dewa Arak mendaratkan kedua kakinya
di tanah, berbarengan dengan orang berpakaian hitam
menangkap capingnya. Rupanya caping yang
dilempar ke arah tubuh Arya tadi dapat berbalik
kembali.
Arya menatap wajah orang berpakaian hitam yang
kini tidak mengenakan caping lagi. Seketika itu Pula
sepasang mata pemuda berpakaian ungu ini
terbelalak. Wajah dan pakaian orang berpakaian hitam
itulah yang membuatnya terperanjat.
Memang wajar kalau pemuda berambut putih
keperakan ini merasa terkejut. Sosok berpakaian hitam
itu ternyata mengenakan seragam tengkorak. Terlihat
jelas gambar semua tulang-belulangnya. Tubuh yang
tinggi kurus semakin menambah keangkerannya.
"Siapa kau, Kisanak? Mengapa menyerangku?"
tanya Dewa Arak penasaran. Sementara
benaknya sibuk menduga-duga dan mengingat-
ingat siapa gerangan tokoh yang memiliki, ciri-ciri
seperti itu.
"Hmh ... !"
Laki-laki berpakaian hitam yang tak lain adalah Raja
Tengkorak mendengus sebelum menjawab pertanyaan
Arya.
"Agar kau tidak mati penasaran, kuperkenalkan
diriku. Aku adalah Raja Tengkorak! Dan maksudku
menghadangmu di sini adalah untuk melenyapkan
orang usilan sepertimu!"
Setelah berkata demikian, kembali tangan lakilaki
berpakaian tengkorak itu bergerak Dan....
EMPAT
Wunggg ... !
Suara berdengung keras mengiringi serangan caping
bambu. Belum lagi serangan itu mengenal sasaran, Raja
Tengkorak telah melepaskan ikatan rantai berujung
tengkorak kepala manusia yang membelit pinggangnya.
Begitu rantai yang panjangnya tak kurang dari dua
tombak tidak lagi membelit pinggangnya, lakilaki
bertubuh tinggi kurus itu segera memutarmutarkannya
di atas kepala. Kemudian melontarkan ke arah Dewa
Arak
Meskipun mendapat serangan beruntun, Dewa Arak
tidak gugup. Dia sudah dapat memperkirakan kekuatan
tenaga dalam lawannya ketika tangan mereka saling
berbenturan tali.
Arya segera mengerahkan tenaga dalam ke
tangan kanannya. Dengan keberanian luar biasa,
luncuran caping bambu itu ditangkap.
Tappp ... !
Caping bambu berhasil dipegang Dewa Arak, tapi
pemuda berambut putih keperakan ini merasakan
getaran hebat pada tangannya.
Bukan hanya itu saja. Tanpa mampu ditahan,
tubuhnya terhuyung ke belakang. Dari sini saja,
sudah bisa diperkirakan betapa dahsyat tenaga
dalam yang terkandung pada lemparan caping bambu
itu.
Ngunggg...
Di saat itulah, serangan rantai berkepala tengkorak
menyambar cepat ke arah kepala Dewa Arak.
Jangankan kepala manusia, batu karang yang
paling keras pun akan hancur apabila terkena
hantaman rantai itu.
“Hih ...!"
Sambil menggertakkan gigi, Dewa Arak melemparkan
caping bambu ke rantai tengkorak yang mengarah ke
tubuhnya.
Prakkk .. !
Caping bambu itu hancur berkeping-keping tatkala
berbenturan dengan kepala tengkorak yang terdapat di
ujung rantai baja.
Raja Tengkorak menggeram marah melihat
serangannya berhasil dipatahkan Dewa Arak. Rantai
berujung kepala tengkorak berputar-berputar di atas
kepalanya. Lalu, diluncurkan kembali ke arah kepala
Arya.
Dewa Arak tidak berani bertindak main-main lagi. Dia
sadar tokoh berjuluk Raja Tengkorak ini memililiki
kepandaian luar biasa. Maka buru-buru dijumput guci
arak yang tersampir di punggungnya. Lalu, ditenggak
isinya.
Gluk.. gluk... gluk...!
Suara tegukan arak yang melewati tenggorokan
pemuda berambut putih keperakan itu terdengar. Hanya
dalam sekejap saja, hawa hangat menyebar di
perutnya. Kemudian perlahan-lahan naik ke atas kepala.
Di saat itulah, tengkorak yang berada di ujung rantai
baja meluncur cepat ke arah kepala Dewa Arak.
Dengan langkah terhuyung seperti akan jatuh, Arya
memapak serangan itu dengan guci araknya.
Klanggg ... !
Suara berdentang keras terdengar ketika tengkorak
itu berbenturan dengan guci.
Raja Tengkorak ternyata sangat ahli memainkan
rantai berujung kepala tengkorak. Terbukti, begitu
senjata andalannya tertangkis, langsung ditarik kembali
dan diluncurkan cepat ke arah leher Dewa Arak.
Jarak antara mereka terlalu jauh. Arya tahu
keadaan itu sangat menguntungkan lawan. Sehingga
dia sulit melancarkan serangan-serangan balasan.
Sementara lawan dengan mudah mengirim serangan ke
arahnya. Senjata lawan yang panjang memungkinkan
untuk melakukan gempuran yang membahayakan.
Maka, pemuda berambut putih keperakan ini
berusaha keras memperpendek jarak.
Sebagai seorang yang mempunyai tingkat ke-
pandaian amat tinggi, tentu saja Raja Tengkorak tahu
maksud Arya. Dia tidak menghendaki lawan mencapai
jarak serang. Bila pemuda berambut putih keperakan itu
berhasil memperkecil jarak, senjata rantai bajanya akan
kehilangan keampuhan.
Menyadari kelemahan senjata rantai bajanya,
berbagai cara dilakukannya untuk mencegah maksud
Arya. Serangan pun bertubi-tubi dilancarkan, agar bisa
melompat mundur untuk mempertahankan jarak. Ketika
Raja Tengkorak melompat ke belakang, serangan berikut
segera menyusul untuk membuat pemuda berambut
putih keperakan Itu tidak mampu mencecamya terus-
menerus.
Arya mengeluh dalam hati. Disadari kalau keadaan
seperti itu berlangsung terus, dia dapat dilumpuhkan
lawan. Menilik sikap laki-laki berpakaian tengkorak ini,
sudah bisa diperkirakan, kalau seandainya kalah, dia
akan dibunuh! Padahal pemuda berambut putih
keperakan itu masih mempunyai tugas yang teramat
panting. Mencari Melati, baik hidup ataupun mati.
Karena didorong oleh keinginan itulah Dewa Arak
mengadakan perlawanan dengan seluruh kemampuan
yang dimilikinya. Ilmu 'Belalang Sakti'nya
dikeluarkan seluruhnya. Guci, kedua tangan, langkah
kaki yang aneh, dan juga semburan-semburan arak
semua dikeluarkan.
Meskipun begitu, tetap saja usaha yang
dilakukan pemuda berambut putih keperakan itu belum
membuahkan hasil. Raja Tengkorak benar-benar
merupakan seorang tokoh sakti luar biasa. Dia
mampu membuat semua usaha Arya untuk mende-
katinya kandas.
Arya menggertakkan gigi. Lima puluh jurus telah
berlalu, tapi tetap saja dia tidak mampu memperpendek
jarak Dengan sendirinya, dia selalu menjadi pihak yang
diserang dan didesak Untung saja dia memiliki jurus
'Delapan Langkah Belalang' yang aneh, sehingga
membuat setiap serangan rantai Raja Tengkorak
selalu dapat dikandaskan. Tapi berapa lama dia akan
mampu bertahan?
Akhimya ketika telah berlalu enam puluh lima jurus
dan dia belum mampu juga memperpendek jarak, Arya
jadi tidak sabar lagi.
"Hih...!"
Pemuda berambut putih keperakan itu
menghentakkan kedua tangannya ke depan. Lalu,
meluncurkan pukulan jarak jauh dengan
mempergunakan jurus 'Pukulan Belalang'.
Wusss ... !
Angin keras berhawa panas menyengat dan
menyambar deras ke arah Raja Tengkorak. "Hm
...!"
Laki-laki berpakaian tengkorak itu bergumam untuk
menutupi perasaan kaget, setelah menerima pukulan
jarak jauh yang dilancarkan Dewa Arak.
Menyadari kedahsyatan pukulan jarak jauh
Dewa Arak, Raja Tengkorak tidak berani bertindak
sembarangan. Buru-buru dia melompat ke samping dan
bergulingan di tanah.
Dan, keadaan itu memang ditunggu-tunggu
Dewa Arak. Begitu melihat lawannya melompat, dia
segera memburu.
"Hmh ... !"
Raja Tengkorak mendengus. Jelas bukan dengus
karena penyakit bengek, tapi dengus mengandung
cemoohan. Berbarengan dengan keluarnya dengusan
itu, tangan kirinya bergerak mengibas.
Sing, sing, sing...!
Beberapa buah benda mirip pisau terbang
menyambar cepat ke arah Dewa Arak.
Arya kaget bukan kepalang. Tidak menduga sama
sekali kalau lawan ternyata cerdik dan lihai. Dalam
keadaan terjepit, dia masih mampu mengirim serangan
yang membahayakan lawan.
Semula pemuda berambut putih keperakan ini
bermaksud menangkap benda mirip pisau yang
menuju ke arahnya. Tapi niat itu diurungkan, tatkala
mencium bau amis yang menyebar seiring serangan
pisau-pisau terbang itu.
Dengan kecepatan gerak seorang yang memiliki
kepandaian tinggi, tangan Dewa Arak segera
bergerak ke arah punggung. Kontan guci arak yang
tadi tersampir di punggung ketika dia melancarkan
jurus 'Pukulan Belalang', sudah terpegang kembali di
tangan, dan kini berada di depan dada.
Trang, trang, trang...
Suara berdentang keras, diiringi bunga api yang
memercik ke udara menyemaraki benturan antara guci
dengan pisau-pisau terbang. Akibatnya sudah bisa
diduga, pisau-pisau terbang akan berpentalan tak tentu
arah.
"Hup ...!"
Raja Tengkorak bangkit berdiri, bersamaan dengan
kedua kaki Dewa Arak yang menjejak di tanah.
Secepat itu pula, tokoh sesat yang menggriskan itu
kembali mengayunkan rantai bajanya.
Wunggg ... !
Suara mengaung keras terdengar seiring de-
ngan rantai baja yang meluncur ke arah kepala
Arya. Untuk kesekian kali, pemuda berambut putih
keperakan itu gagal memperpendek jarak.
Arya buru-buru menundukkan kepala seraya
merendahkan tubuh. Maka....
Wusss ... !
Rambut dan pakaian pemuda itu berkibar
keras, ketika rantai berujung tengkorak manusia
lewat di atas kepalanya. Jelas kalau sambaran rantai itu
ditopang tenaga dalam yang amat kuat.
Terdengar suara menggertak keras dari mulut Raja
Tengkorak Laki-laki berpakaian hitam ini memang geram
terhadap Dewa Arak. Karena selalu berhasil mematahkan
serangannya.
'Hih ... ! "
Gila! Dengan sentakan yang cepat, rantai baja
berujung tengkorak kepala manusia itu telah meluncur
kembali ke arah Arya. Kali ini serangannya ditujukan
pada kedua paha Arya.
Tidak ada pilihan lain bagi pemuda berpakaian ungu
itu, kecuali menjejakkan kaki ke tanah, dan melompat ke
atas. Memang, hal itulah yang dilakukan Arya.
"He he he...
Raja Tengkorak tertawa terkekeh. Tangan kiri nya
langsung bergerak. cepat ke balik baju. Dan, tiba-tiba
melesat sejumlah pisau bergagang kepala tengkorak.
Sing, sing, sing...
Sebelum pisau-pisau terbang itu berhasil mendarat
pads sasarannya, tangan laki-laki berpakaian
tengkorak itu kembali bergerak. Dan, beberapa
bilah pisau kembali menyambar ke arah Arya.
Karuan saja serangan itu membuat Dewa Arak kaget
bukan kepalang. Keadaan yang dihadapinya kurang
menguntungkan. Karena ia masih berada di udara, dan
sukar sekali menghindari pisau yang meluncur dalam
posisi seperti itu. Yang dapat dilakukan pemuda
berpakaian ungu ini hanyalah menangkis serangan itu.
Arya memutar gucinya di depan dada untuk
memapak serangan pisau. Setiap kali pisau membentur
guci, terdengar suara dentingan nyaring.
"Akh...!"
Arya memekik tertahan tatkala sebatang pisau
berkepala tengkorak mengenai bahu kirinya. Rasa
panas dan gatal-gatal, kontan menyengat di bagian
tubuhnya yang terluka. Sesaat kemudian, pandangan
pemuda berambut keperakan itu berkunang-kunang.
"Hup ...!"
Dengan tubuh agak terhuyung, Arya menjejakkan
kakinya di tanah. Namun rasa posing yang mendera,
membuat apa pun yang dilihatnya berputar.
"He he he...!"
Raja Tengkorak tertawa terkekeh. Dia tahu apa yang
diderita Dewa Arak. Tanpa membuang-buang waktu, dia
segera mengayunkan kembali rantai bajanya.
Wunggg ... ! Bukkk..
Tubuh Arya terlempar ke belakang ketika tengkorak
kepala manusia membentur bahu kanannya. Tak ayal
lagi, sungai yang tak jauh dari tempat dia berdiri semula
segera menampung tubuhnya.
Byurrr...!
Dewa Arak tercebur ke dalam sungai yang
berarus cukup deras. Tak pelak lagi, tubuhnya
diseret arus. Arya masih sadar, memang sengaja dia
tidak melawan arus sungai.
"Habisi dia...!" teriak Raja Tengkorak keras seraya
jari telunjuk kirinya menunjuk ke arah tubuh Arya yang
terapung di permukaan air.
Arya merasa heran dan Samar-Samar mendengar
perintah itu. Tidak salahkah pendengarannya? Sesaat
kemudian rasa kagetnya lenyap, kesadarannya mulai
pulih. Kendati pandangan masih ber kunang-kunang,
tapi masih mampu menangkap beberapa sosok tubuh
yang melompat dari atas ke sungai.
Byurrr... ! Byurrr....! Byurrr...
Air memercik tinggi ke atas tatkala beberapa sosok
tubuh berjatuhan di sungai. Ternyata mereka, adalah
tokoh-tokoh aliran hitam, anak buah Raja Tengkorak.
Mereka berenang dengan cepat dan berusaha menyusul
Dewa Arak.
Walaupun sepasang mata Arya hanya mampu
menangkap sosok bayang-bayang dengan kabur.
Tapi, dia berusaha meloloskan diri dari sergapan
lawannya. Tak dihiraukannya lagi rasa gatal, sakit
dan panas yang mendera bagian tubuhnya. Yang
terpikir dalam benaknya, bagaimana menghindarkan
dirinya dari ancaman bahaya.
Dalam usaha untuk menyelamatkan dirinya dari
kejaran pihak lawan, Dewa Arak meluncurkan jurus
'Pukulan Belalang'nya. Serangan itu dilakukan
sekenanya. Sebab pandangan matanya masih kabur
dan tak mampu menangkap sosok lawannya.
Deru angin keras berhawa panas susul-menyusul
dilancarkan Dewa Arak. Tanpa dia tahu apakah
serangan itu berhasil mengenai sasaran atau tidak.
Sebetulnya dalam keadaan terluka seperti itu,
menggunakan jurus 'Pukulan Belalang' terlalu ba nyak
mengandung risiko. Karena jurus tersebut banyak
menguras tenaga. Padahal, keadaan pemuda
berambut putih keperakan ini sudah payah. Akibatnya,
luka yang dideritanya pun semakin parah.
Tapi, Arya terus saja mengirimkan jurus'Pukulan
Belalang'nya. Tentu saja kedahsyatan pukulan itu
makin berkurang karena kekuatannya pun semakin
melemah.
Serangan-serangan 'Pukulan Belalang' yang
dilancarkan Dewa Arak terhenti, ketika pemuda
berambut putih keperakan ini jatuh pingsan, tak
sadarkan diri.
Dewa Arak tidak tahu sama sekali kalau orang-orang
yang mengejarnya, sebagian tewas terkena 'Pukulan
Belalang'. Sedangkan sebagian lagi mengurungkan
niatnya karena serangan pemuda berambut putih
keperakan itu datangnya bertubi-tubi. Sehingga
memaksa mereka mundur dan naik ke darat
"Maafkan kami, Ketua. Kami gagal memenuhi
perintah Ketua," ucap Dulimang, salah seorang
Yang selamat dari serangan pukulan jarak jauh
Dewa Arak.
"Hm ... !" hanya gumaman pelan menyambut ucapan
laki-laki bertubuh kekar dan berotot itu.
Sepasang matanya tertuju pada hulu sungai
yang telah membawa tubuh Dewa Arak.
“Tidak jadi soal, Dulimang. Yang jelas, belum ada
orang yang berhasil selamat dari keganasan racun
pisauku. "
"Tapi..., mengapa Ketua menyuruh kami
membinasakannya?" tanya Dulimang penuh keheranan
mendengar ucapan Raja Tengkorak.
"Aku ingin melihat dia mati dengan mata
kepalaku sendiri," ucap laki-laki berpakaian serba hitam
itu.
Setelah berkata demikian, Raja Tengkorak
melangkah meninggalkan tempat itu. Diikuti Dulimang
dan rekan-rekannya.
LIMA
Suara senandung bernada gembira keluar dari mulut
seorang kakek bertubuh tinggi kurus, dan berpakaian
longgar berwarna hitam Dia duduk bersila di atas
sebongkah batu besar yang menonjol melewati
permukaan sungai.
Di tangan kakek bertubuh tinggi kurus yang
berwajah tirus, tergenggam sebatang joran. Jelas,
kakek yang berpakaian hitam itu sedang memancing
ikan.
Sepintas perbuatan yang dilakukan kakek bertubuh
tinggi kurus itu tidaklah aneh. Sebagian orang kerap
berbuat serupa itu bila memancing. Namun, jika diamati
secara cermat, akan terlihat keanehannya.
Kakek bertubuh tinggi kurus itu duduk di atas
permukaan batu besar yang berada di tengah-tengah
sungai. Lebar sungai tak kurang dari sepuluh tombak
Jadi, batu itu terletak dalam jarak lima tombak dari
tepi sungai. Bagaimana kakek ini dapat duduk di situ?
Padahal tidak ada batu yang menonjol dan dapat
dijadikan perantara untuk tiba di situ.
Dari keanehan itu sudah dapat diduga kalau kakek
berpakaian hitam itu bukanlah tokoh sembarangan.
Tidak semua tokoh persilatan mampu melompat dalam
jarak seperti itu. Apalagi, tempat sasaran sulit
dijangkau, seperti letak batu, tempat kakek bertubuh
kurus memancing ikan.
"Hup ... !"
Kakek berwajah tirus itu menarik jorannya. Di ujung
joran tampak seekor ikan berkelojotan. Sebetulnya,
joran milik kakek bertubuh tinggi kurus itu tak pantas
disebut joran. Karena tidak ada tali, pelampung dan
mata kail. Ternyata benda itu hanya sebatang kayu
yang bentuknya mirip joran. Sungguh luar biasa cara
kakek berbaju hitam itu memancing ikan.
Sambil bersiul-siul, kakek bertubuh tinggi kurus itu
menjumput ikan yang menggeliat di ujung joran. Lalu,
dimasukkan ke dalam keranjang yang telah berisi
ikan hasil tangkapan.
Setelah memasukkan ikan ke dalam keranjang, kakek
berwajah tirus itu kembali bermaksud mencelupkan
jorannya ke dalam sungai. Tapi mendadak gerakan
tangannya terhenti di udara, tatkala melihat sesosok
tubuh yang terapung terbawa arus sungai, sekitar dua
tombak di depannya.
Semula tidak ada guratan perasaan apa pun di wajah
kakek yang mengenakan pakaian berwarna hitam itu.
Tapi, ketika sosok tubuh itu makin mendekat, bola
matanya segera terbelalak. Perasaan kaget tampak
jelas di wajah kakek yang mulai keriput itu.
Sosok tubuh yang terapung itu mengenakan pakaian
warna ungu. Rambutnya tampak berwarna putih
keperakan. Siapa lagi kalau bukan Dewa Arak!
Tidak salahkah penglihatanku ... ?" kata kakek
berwajah tirus dengan suara bergetar. "Benarkah itu
Kuku Tengkorak?"
Sepasang mata kakek tinggi kurus itu menatap tak
berkedip pada benda yang menancap di bahu kiri
Arya. Pisau bergagang kepala tengkorak!
Makin lama tubuh Dewa Arak makin mendekati
tempat kakek berpakaian hitam. Begitu tubuh Arya
lewat di dekat batu besar, tangan kakek berwajah
tirus cepat menyambarnya.
Tappp ... !
Baju bagian leher Arya dicekal kakek berpakaian
hitam. Dan sekali tangannya bergerak, tubuh pemuda
berambut putih keperakan terangkat naik dan
diletakkannya di batu.
Dan secepat tubuh itu tergeletak di atas batu, segera
pandangannya tertuju lekat pada bahu kiri Arya, tempat
pisau bergagang tengkorak kepala tertancap.
"Ya, Tuhan ... !" delis kakek bertubuh tinggi kurus
sambil mendekapkan tangan ke arah wajahnya.
"Benar-benar Kuku Tengkorak! Mungkinkah ini.,.?!
Mustahil ... ! Apakah aku bermimpi?"
Sambil berkata begitu, kakek berpakaian hitam
mencabut pisau bergagang kepala tengkorak yang
ternyata bernama Kuku Tengkorak. Diamatinya gagang
dan mata pisau itu dengan cermat.
Keadaan mata pisau menyeramkan bukan kepalang.
Warnanya yang putih dan berkilat-kilat mencerminkan
ketajaman yang luar biasa. Gagang pisau bertengkorak
kepala manusia makin menambah keangkeran senjata
yang membuat Arya tak berdaya.
"Kuku Tengkorak...!" ujar kakek berpakaian hitam
seraya menyipitkan matanya. "Andaikata kau bisa
bercerita, pasti aku akan bertanya padamu. Kenapa kau
bisa muncul kembali, sedangkan pemilikmu tak pernah
terjun lagi ke dunia persilatan."
Kakek berpakaian hitam menghentikan sejenak
ucapannya. Raut kebingungan tampak tergambar di
wajahnya.
"Entah siapa pula pemuda ini," gumam kakek
berwajah tirus itu sambil merayapi sekujur tubuh Dewa
Arak. Kemudian diperiksanya denyut jantung dan nadi
Arya.
Mendadak tangan kakek berpakaian hitam itu ditarik
kembali begitu memegang kulit Arya.
"Gila...!" desis keterkejutan terlontar dari mulutnya.
Betapa tidak? Sekujur tubuh pemuda berambut putih
keperakan itu panas bukan main. Dia, merasakan ada
getaran-getaran kuat di balik permukaan kulit.
Sepasang mata kakek yang mengenakan pakaian
berwama hitam itu menatap wajah Dewa Arak Dia tak
percaya dengan pandangannya
"Tidak kelirukah aku? Tadi kurasakan ada getaran-
getaran kuat di balik kulit tubuhnya? Mungkinkah
orang semuda ini telah memiliki tenaga dalam yang
begitu tinggi? Kalau benar demikian, dia pasti
seorang yang memiliki kepandaian luar biasa!"
Mulut kakek bertubuh tinggi kurus mengucapkan
kata-kata demikian, tapi sepasang matanya tercenung.
Jelas ada sesuatu yang dipikirkannya. Kemudian
diperiksanya lagi keadaan Arya.
Kelopak mata Arya yang terpejam dibuka. Mulut pun
dingangakan dan dengan teliti diperhatikan oleh kakek
berpakaian hitam itu.
"Sekujur tubuhnya telah terkena racun. Kalau saja
dia tidak memiliki tenaga dalam yang bersih dan
kuat, dia mungkin sudah tewas. Aku harus
menyelamatkannya. Dialah saksi hidup yang bisa
bercerita padaku mengenai ihwal Kuku Tengkorak ini!"
Usai mengucapkan kata-kata demikian, kakek
bertubuh tinggi kurus itu menatap kembali pisau
yang bergagang tengkorak kepala.
"Nasibmu baik, Anak Muda," bisik kakek berwajah
tirus itu, seolah-olah berbicara dengan seseorang yang
tidak pingsan. "Kau terjatuh ke tangan yang tepat "
Kemudian kakek berpakaian hitam itu
memanggul tubuh Dewa Arak Tanpa mempedulikan
lagi joran dan hasil tangkapannya.
"Hih ... !"
Sekali menggenjotkan kaki, tubuh kakek berwajah
tirus itu telah melayang, dan mendarat di pinggir sungai
dengan mantap tanpa menimbulkan suara. Ringan sekali
kakek itu melakukannya, padahal kedua tangannya
memondong tubuh Arya.
Begitu tiba di darat, kakek berpakaian hitam segera
melesat dari situ. Gerakannya cepat sekali, sehingga
yang terlihat hanya sekelebatan bayangan hitam. Jelas
kalau kakek bertubuh tinggi kurus itu memiliki ilmu
meringankan tubuh yang tinggi.
Dalam waktu sekejap saja, tubuh kakek
berwajah tirus itu telah mengecil, dan lamat-
lamat hilang dari pandangan mata.
ooOWKNBROoo
"Uhhh...”
Arya menggeliat dan mengerjap-ngerjapkan
sepasang matanya. Begitu kelopak matanya terbuka,
tampak sepasang alis pemuda berambut putih
keperakan itu bertaut Dia mulai sadar bahwa dirinya
terbaring di balai-balai di sebuah ruangan yang
sederhana.
"Mengapa aku bisa berada di sini?" tanya Arya
dalam hati.
Matanya menatap ke sekeliling ruangan. Sepasang
alisnya masih tetap saling bertaut, karena
pemuda berpakaian ungu ini tengah mengingat-
ingat kejadian yang dialami sampai dia bisa berada di
sini.
Arya berusaha bangkit, tapi terpaksa diurungkan.
Mulutnya menyeringai menahan rasa sakit. Yang sangat
Memang, ada luka di bagian bahu kirinya.
Pemuda berpakaian ungu itu menyibak bajunya.
Tampak kain putih membalut bagian bahu yang terluka.
Noda merah pada kain itu membantu Arya mengingat-
ingat peristiwa yang dialaminya. Kini dia teringat
semua kejadiannya, sejak bertarung menghadapi Raja
Tengkorak sampai dia tercebur di sungai. Melihat dari
keadaannya, bisa diketahuli ada orang yang telah
menolongnya.
"Hmh ...!"
Sebuah deheman pelan membuat Arya terkejut dan
menoleh ke arah sumber suara. Mengapa suara langkah
sama sekali tidak terdengar? Diakui kalau dia tengah
sibuk mengingat peristiwa yang menimpa dirinya.
Di ambang pintu berdiri seorang kakek berwajah
tirus dan berpakaian hitam. Tubuhnya tinggi kurus, dan
kumis menghiasi bagian tengah atas bibir yang
membuat angker.
"Kau sudah sadar, Anak Muda?" tanya kakek
berwajah tirus seraya tersenyum lebar. Lalu, dia
melangkah ke arah tempat Arya terbaring.
"Mengapa aku bisa berada di sini, Ki?" tanya Arya
setelah terlebih dulu menganggukkan kepalanya
membenarkan pertanyaan kakek berpakaian hitam itu.
Begitu melihat bentuk tubuh kakek berwajah tiros itu,
ada terselip rasa curiga di hati Arya. Bentuk tubuh kakek
itu mirip sekali dengan Raja Tengkorak. Begitu pula
dengan sepasang matanya, meski sedikit
mencorong tajam dan berwana kehijauan laksana mata
seekor harimau dalam gelap!
Arya bergerak dan ingin bangkit.
"Jangan bangkit dulu, Anak Muda," cegah kakek
bertubuh tinggi kurus buru-buru. "Kau masih lelah dan
perlu istirahat yang banyak.
Terpaksa Dewa Arak mengurungkan maksudnya.
Kembali ia berbaring. Di samping masih terasa lelah
dan sakit pada bahu kirinya, dia pun tak ingin
mengecewakan kakek berpakaian hitam yang telah
menolongnya.
Kakek berwajah tirus itu tersenyum lebar melihat
Arya mengikuti nasihatnya.
"Aku menemukan tubuhmu terbawa arus sungai.
Kau terluka, dan kebetulan aku menguasai sedikit ilmu
pengobatan. Karena itu kau kubawa ke rumah dan
kurawat"
"Ah ... ! Aku telah merepotkanmu, Ki," ucap Arya
malu-malu.
Kakek bertubuh tinggi kurus mengulapkan
tangannya. Baru saja akan berbicara, terdengar suara
berkeruyuk pelan. Tapi karena kakek berpakaian hitam
mempunyai pendengaran yang tajam, suara itu mudah
dicerna.
Wajah Arya kontan memerah. Dia tahu, mengapa
kakek itu menghentikan percakapan. Apa lagi kalau
bukan karena, suara perutnya yang lapar. "Perut tak
tahu malu!" umpat Arya dalam hati.
Plak!
Kakek berwajah tirus menepak keningnya. Karuan
saja tindakan itu membuat Arya merasa heran. Sebelum
pemuda berpakaian ungu itu bertanya, terlebih dahulu
kakek berbaju hitam itu berkata, "Tuan rumah macam
apa aku ini? Tamu sudah dua hari tidak makan, belum
juga disuguhi makanan."
Setelah berkata, demikian, kakek berpakaian hitam
itu melangkah keluar ruangan, meninggalkan Arya yang
tercenung sendirian di balai-balai bambu yang
beralaskan selembar tikar lusuh.
Tidak salah dengarkah aku?" tanya Arya
dalam hati.
Ucapan kakek berpakaian hitam itu tadi bermakna
bahwa dirinya tidak sadarkan diri selama dua hari.
"Aku yang salah dengar atau kakek itu yang salah
ucap? Kalau benar aku tidak sadarkan diri selama dua
hari, wajar saja perutku dirasakan begin keroncongan,"
bisik hati Arya lagi.
Tak lama kemudian, kakek berpakaian hitam itu
muncul kembali dengan baki berisi makanan dan
minuman yang masih hangat. Diletakkannya baki itu
dekat Arya terbaring.
"Makan dulu, Anak Muda. Nanti kita bicara lagi,"
kata kakek berwajah tirus seraya melangkah
meninggalkan Arya.
"Terima kasih, Ki," sahut Arya. "Aku hanya
merepotkanmu saja."
Tapi ucapan pemuda berambut putih keperakan
itu tidak mendapat jawaban, karena kakek berwajah
tirus telah berlalu dari ruangan itu.
Arya segera bangkit dari pembaringan, meskipun
ada rasa nyeri yang menggigit. Arya menyantap bubur
yang berisi racikan bermacam-macam sayuran hijau
dan segelas teh hangat.
ooOWKNBROoo
"Kalau boleh kutahu, siapakah kakek sebenarnya?
Maaf, bukan bermaksud lancang, tapi aku ingin
mengenal orang yang telah menyelamatkan nyawaku,"
ujar Arya setelah kakek tinggi kurus berpakaian hitam
kembali, dan duduk di sebuah kursi dekat balai-balai
bambu. "Aku Arya, Ki. Arya Buana. "
"Ha ha ha...
Kakek berwajah tirus tertawa pelan mendengar
pertanyaan Dewa Arak. Arya merasa lega mendengar
kakek itu tidak merasa terkejut mendengar namanya.
Biasanya setiap tokoh persilatan, langsung bisa
menduga setelah dia memperkenalkan Nama.
"Baiklah kalau kau rasa hal itu perlu, Arya,"
sahut kakek berpakaian hitam yang kini memanggil
Dewa Arak dengan namanya. "Memang lebih baik kalau
kita saling mengenal satu sama lain. Agar pembicaraan
kita dapat berlangsung lebih menyenangkan. Namaku
Kalpa Reksa. Seorang kakek yang tengah menunggu
maut di tempat ini."
Arya mengangguk-anggukkan kepala, tampak dia
mulai paham kenapa kakek yang bernama Kalpa
Reksa itu belum mendengar julukannya. Rupanya dia
telah lama mengasingkan diri dari rimba persilatan.
Padahal, gelar yang disandangnya baru beberapa bulan
muncul di dunia persilatan.
"Sekarang ceritakanlah siapa dirimu sebenarnya,
dan mengapa bisa terkena senjata ini," ucap Kalpa
Reksa seraya menunjuk pisau bergagang tengkorak
kepala manusia.
Arya menarik napas panjang dan
menghembuskannya kuat-kuat, sebelum menjawab
pertanyaan Kalpa Reksa.
"Ceritanya cukup panjang, Ki."
"Ceritakanlah," sambut Kalpa Reksa bijaksana. "Aku
bersedia mendengarkan. Kau tahu, Arya. Pisau ini
hanya dimiliki oleh seorang tokoh yang aku tahu tidak
pernah muncul lagi sampai sekarang. "
"Jadi, kau mengenal pemiliknya, Ki?" tanya
Dewa Arak. Perasaan terkejut dan ingin tahu,
tampak tergambar jelas di wajah pemuda berambut
putih keperakan itu.
"Lebih dari sekadar mengenalnya, Arya. Karena itu
ceritakan semuanya sejelas mungkin. Percayalah, aku
akan mendengarkan ceritamu dengan sabar. "
Arya bukan orang bodoh. Dia tahu kakek bertubuh
tinggi kurus ini merasa keberatan menceritakan
tentang pemilik pisau itu, karena itu dia tidak
mendesaknya. Semua kejadian yang dialami, dituturkan
Arya secara rinci.
Kalpa Reksa mendengarkan cerita itu dengan penuh
perhatian. Tak satu pun cerita pemuda berambut putih
keperakan diselaknya. Dahinya berkernyit ketika Dewa
Arak melukiskan mengenai orang yang dijuluki Raja
Tengkorak.
"Begitulah ceritanya, Ki," tutur Arya, menutup
ceritanya.
Dahi Dewa Arak berkerut tatkala melihat sikap Kalpa
Reksa kebingungan. Sepasang matanya me natap lekat-
lekat pada wajah kakek yang duduk di sampingnya.
Jelas cerita Arya telah memaksanya berpikir keras.
"Selain senjata rantai baja berkepala tengkorak dan
pisau ini, senjata apa lagi yang dipergunakannya?"
tanya Kalpa Reksa setelah beberapa saat terdiam.
"Hanya itu, Ki," jawab Arya yang tengah
diliputi perasaan heran. Tapi, ia tidak berani lancang
menanyakan penyebab kakek berpakaian hitam itu
kebingungan.
"Hhh ... !" Kalpa Reksa menghembuskan papas berat
"Semua ciri-ciri yang kau sebutkan itu, mirip dengan
tokoh yang tidak pernah terdengar lagi namanya,
karena ia telah menarik diri dari rimba persilatan.
Bahkan julukan Raja Tengkorak persis sama."
"Barangkali tokoh itu telah keluar dari
pengasingannya, Ki?" kata Dewa Arak menduga.
Kalpa Reksa menggelengkan kepala, pertanda
menyangkal dugaan Arya.
"Mengapa kau begitu yakin, Ki?" Arya heran melihat
keyakinan kakek tinggi kurus itu.
Kalpa Reksa diam. Tidak menjawab pertanyaan
pemuda berpakaian ungu itu.
"Mungkin benar, kau mengawasi gerak-geriknya.
Tapi, boleh jadi dia memanfaatkan kelengahanmu, Ki.
Lalu, dia keluar dari pengasingan dan terjun kembali ke
rimba persilatan."
Kalpa Reksa tercenung sejenak Dia menarik napas
dalam-dalam, dan menghembuskannya kuat-kuat. Di
dalam hati, diakuinya ucapan pemuda berambut putih
keperakan itu mengandung kebenaran.
"Ada baiknya kuberitahukan padamu mengenai
Raja Tengkorak yang telah tidak pernah terdengar
beritanya itu. Agar kau tahu kalau dugaanmu itu
keliru," ujar Kalpa Reksa.
"Aku tidak menuntut agar kau menceritakan tentang
tokoh itu, Ki," Arya yang merasa tidak enak hati, buru-
buru menyelak. "Aku hanya mengajukan dugaan saja,
Ki. "
Kalpa Reksa mengulapkan tangannya. Dia
memahami apa yang membuat gundah hati dan pikiran
"Aku mengerti, Arya. Tapi, agar tidak timbul
prasangka buruk terhadap Raja Tengkorak. Aku kira
perlu menceritakan padamu."
Arya terdiam. Disadari kalau tidak mungkin
mencegah kakek tinggi kurus itu menuturkan masalah
sesungguhnya. Sebab niat Kalpa Reksa sudah demikian
bulat untuk menceritakan tentang diri Raja Tengkorak.
Yang dapat dilakukan pemuda berpakaian ungu ini
hanya berdiam diri.
"Hhh... !"
Kalpa Reksa menghela napas berat sebelum
berkisah. Seolah-olah ada beban berat yang
menekan batinnya.
ENAM
''Puluhan tahun yang lalu, dunia persilatan
digemparkan dengan munculnya Raja Tengkorak Tokoh
yang mempunyai ciri-ciri seperti yang kau sebutkan,
memiliki ilmu silat yang tinggi. Tak satu pun tokoh
persilatan yang mampu menandinginya," ujar Kalpa
Reksa membuka cerita. Sementara Arya hanya diam
dan mendengarkan penuh perhatian.
"Sayang, Raja Tengkorak lupa diri. Kepandaian yang
tinggi itu disalahgunakan untuk menyiksa, membunuh,
dan memperkosa. Sehingga di mana dia berada, pasti
timbul kekacauan. Masyarakat pun diliputi ketakutan
dan rasa khawatir. "
Kakek berpakaian hitam itu menghentikan sejenak
ceritanya untuk mengambil napas. Arya memperhatikan
perubahan pada wajah kakek bertubuh tinggi kurus
itu. Dia melihat ada rasa kesedihan yang mendalam
pada wajah dan sorot mata Kalpa Reksa.
"Karuan saja tindakan Raja Tengkorak yang brutal
itu menimbulkan amarah tokoh-tokoh persilatan aliran
putih. Banyak tokoh yang bangkit dan menentang, tapi
semua digilas habis. Raja Tengkorak terlalu kuat
untuk mereka."
Kembali Kalpa Reksa menghentikan ceritanya. Kali
ini sepasang bola matanya tampak berkaca-kaca.
Jelas kalau cerita selanjutnya menyedihkan hatinya.
"Meskipun dia dikenal jahat dan sadis, Raja
Tengkorak mempunyai rasa kasih sayang yang besar.
Dia sangat mengasihi istrinya. Sang istri pun
sebenarnya tidak suka dengan perbuatan suaminya.
Tapi apa dayanya, meskipun, telah berkali-kali
melarang, Raja Tengkorak tetap saja menyebarkan
maut," kembali Kalpa Reksa menghentikan ceritanya
sejenak untuk mengambil napas.
"Raja Tengkorak ingin mempunyai seorang anak
dari istri yang sangat dicintainya itu. Karena ia akan
mewariskan kesaktian yang dimilikinya. Tapi keinginan
itu tidak pernah terkabul. Buah hati yang dirindukannya
tidak pernah muncul ke dunia," ujar Raja Tengkorak
dengan suara tersendat
Arya mengernyitkan dahi. Benaknya sibuk menduga-
duga hubungan Kalpa Reksa dengan Raja Tengkorak.
"Akhimya, hadir juga seorang anak yang sudah lama
mereka rindukan. Raja Tengkorak bahagia sekali. Dia
berjanji akan memenuhi permintaan istri nya.
Lagi-lagi Kalpa Reksa menghentikan ceritanya
Tampak bibirnya yang kering itu bergetar hebat
Jelas kalau kakek tinggi kurus itu tengah menahan
gejolak perasaan.
"Sungguh di luar dugaan," sambung Kalpa
Reksa. "Istri Raja Tengkorak minta agar suaminya
menghentikan tindakan kejahatan, dan mengundurkan
diri dari dunia persilatan. Meskipun permintaan itu
berat, Raja Tengkorak tetap memenuhinya. Sejak
itulah Raja Tengkorak tidak pernah lagi membuat
onar. Dan menarik diri dari rimba persilatan."
Arya tidak menyangka kehidupan Raja Tengkorak
sangat menarik.
"Pada bulan ketiga, sejak Raja Tengkorak menarik
diri, muncul adik seperguruannya dengan membawa
kabar kalau Raja Tengkorak ditantang Pendekar Pedang
Kilat di Lembah Gandar."
"Jadi, Raja Tengkorak mempunyai saudara
seperguruan?" tanya Arya tak tahan memendam
rasa ingin tahunya.
"Ya," cetus kakek berpakaian hitam seraya
menganggukkan kepala.
"Dari mana dia tahu kalau yang menjadi
saudara seperguruannya adalah Raja Tengkorak?" kejar
Dewa Arak
"Dari berita-berita yang tersebar mengenai ilmu dan
senjata yang digunakan Raja Tengkorak," jelas Kalpa
Reksa.
"Lalu, bisa mengetahui tempat tinggalnya?" "Tentu
saja dengan mencarinya, Arya," sahut Kalpa Reksa
setengah menggoda.
Arya pun diam. Tidak bertanya lagi.
'Walaupun sang istri melarang, Raja Tengkorak tetap
pergi juga. Pantang menolak tantangan. Begitulah
prinsip dalam dunia persilatan. Setelah anak dan
istrinya dititipkan pada adik seperguruannya, Raja
Tengkorak pergi ke Lembah Gandar. Sampai di sana,
dia tidak menemukan orang yang menantangnya. Maka
dengan rasa heran, dia pun kembali ke rumahnya,"
Kalpa Reksa sejenak menghentikan ceritanya.
Sepasang matanya yang cekung berkacakaca. Suara
laki-laki berbaju hitam itu terdengar bergetar.
"Hampir saja Raja Tengkorak pingsan ketika tiba
di rumah. lstri dan anaknya tewas dalam keadaan
menyedihkan. Wajah anak yang dicintainya rusak, dan
sulit dikenali. Kecuali pakaian yang dikenakan bocah
malang itu. Sementara, adik seperguruannya tidak
dijumpai di situ. Dia menghilang," Kata Kalpa Reksa
dengan suara tinggi dan penuh amarah.
"Orang yang paling dungu pun bisa memperkirakan
pelaku kejadian itu. Apalagi Raja Tengkorak," sambung
Kalpa Reksa dengan nada suara masih meninggi. "Dia
yakin kalau pelaku semua kekejian itu adalah adik
seperguruannya."
Arya tercenung. Sungguh tidak disangka kalau
riwayat kehidupan Raja Tengkorak sangat tragis.
"Berbulan-bulan Raja Tengkorak mencari adik
seperguruannya yang bernama Turgawa. Ketika mereka
bertemu, tak terhindarkan lagi pertarungan pun
berlangsung sengit Raja Tengkorak berhasil
membuntungi tangan kanan Turgawa. Sayang, sebelum
nyawanya dihabisi, tubuh adik seperguruannya jatuh
ke dalam jurang yang cukup dalam. Setelah dia
berhasil membalas dendam kesumatnya, Raja
Tengkorak tidak pernah muncul lagi. Sejak itu,
julukan Raja Tengkorak pun lenyap. Orang yang tidak
mengetahui, menduga kalau Raja Tengkorak telah
tewas," ucap Kalpa Reksa, menutup ceritanya.
"Jadi, karena peristiwa itu Raja Tengkorak
menyadari jalan yang ditempuhnya selama ini
sesat" komentar Arya memberikan dugaan.
Kalpa Reksa mengangguk.
"Kematian istri dan anaknya telah menyadarkan Raja
Tengkorak. Dia merasa sedih dan sepi ditinggal orang
yang mencintai dan mengasihi dirinya."
Arya diam. Ucapan kakek berpakaian hitam itu tak
dihiraukannya lagi. Dia sibuk memikirkan makna cerita
si kakek tentang Raja Tengkorak.
"Dari cerita itu, aku dapat memperkirakan siapa
sebenarnya Raja Tengkorak," ucap Arya tiba-tiba.
Kalpa Reksa tersenyum getir menyambut ucapan
pemuda berambut putih keperakan itu.
"Boleh aku mengutarakan dugaanku, Ki?"
"Silakan, Arya," kalem terdengar sambutan
kakek berpakaian hitam itu. Tidak nampak lagi
kesedihan dalam suaranya.
"Tokoh yang berjuluk Raja Tengkorak tidak lain
bernama Ki Kalpa Reksa," sebut Arya. "Kaulah
orang yang berjuluk Raja Tengkorak itu, Ki."
"Hhh ...!"
Dengan menghela napes berat, kakek berwajah tiros
itu menganggukkan kepala.
"Dugaanmu tidak salah, Arya. Akulah Raja
Tengkorak itu," terdengar pelan dan mirip desahan
suara Kalpa Reksa.
"Kini aku paham kenapa kau bersikeras bahwa Raja
Tengkorak tidak pernah keluar sama sekali dari
pengasingan, karena kaulah orangnya," Arya mengerti
mengapa kakek tinggi kurus itu membela mati-matian
Raja Tengkorak
"Yahhh...., begitulah, Arya...."
'’Lalu, siapakah tokoh yang kini menjadi Raja
Tengkorak itu?" tanya Dewa Arak bingung.
"Seharusnya aku yang pantas lebih bingung
daripada dirimu, Arya. Orang yang menguasai ilmu
seperti yang kumiliki, tak lain adik seperguruanku. Tapi
dia telah tewas. Sedangkan guruku sudah lama
meninggal. Lalu, siapakah orang yang telah menyamar
sebagai Raja Tengkorak?" tanya Kalpa Reksa bernada
mengeluh.
"Mungkin gurumu telah mengambil murid tanpa
sepengetahuanmu, Ki," duga Arya setelah beberapa saat
lamanya termenung.
Kakek berpakaian hitam itu menggelengkan
kepalanya.
"Atau, mungkin tokoh itu adalah murid adik
seperguruanmu?" ujar pemuda berpakaian ungu
menduga.
"Hm ... !" Kalpa Reksa bergumam menyambut ucapan
Dewa Arak.
"Boleh aku bertanya sesuatu, Ki?" ujar Arya
memecah keheningan.
"Silakan, Arya ...... sambut Kalpa Reksa memberi
kesempatan.
"Apakah dulu sewaktu Raja Tengkorak melakukan
tindakan mempunyai pengikut?"
Kalpa Reksa menggeleng.
"Raja Tengkorak selalu bertindak sendiri, Arya.
Kesombongan membuatnya berpikir tak perlu memiliki
pengikut Ada apa, Arya?" kakek berpakaian hitam itu
balas bertanya.
"Raja Tengkorak yang telah melukai tubuhku banyak
pengikutnya, Ki," ujar Dewa Arak.
Kalpa Reksa terdiam sejanak Dahinya berkernyit
Jelas ada sesuatu yang mengganggu pikirannya,
"Bila benar dia memiliki pengikut.., barangkali dapat
ditarik kesimpulan ......
"Dia pasti mempunyai tujuan, Ki?" tebak Arya.
"Tepat!"
"Kira-kira tujuan mereka apa, Ki?" tanya Arya ingin tahu
pendapat kakek berpakaian serba hitam itu.
"Kurasa tidak jauh berbeda dari keinginanku, ketika
masih menyandang julukan Raja Tengkorak,"
jawab Kalpa Reksa sambil mengelus-alas dagunya.
"Apa itu, Ki!"
"Merajai dunia persilatan! Dan mengangkat diri
sendiri sebagai jagoan nomor satu!" tandas kakek
bertubuh tinggi kurus. "Begitulah perasaan yang
melandaku puluhan tahun lalu."
Arya mengangguk-anggukkan kepala. Dia
memaklumi keinginan seperti itu menguasai para tokoh
persilatan tingkat tinggi.
"Tapi, mereka pasti akan mengalami banyak
hambatan dalam tindakannya," sambung Kalpa
Reksa.
"Mengapa, Ki?" kejar Dewa Arak.
"Seorang tokoh sakti yang mengasingkan diri di
Gunung Jawul, tergerak hatinya ketika mendengar
kekacauan dan keonaran yang ditimbulkan Raja
Tengkorak waktu dulu. Lalu, dia mengangkat dua orang
murid."
Kalpa Reksa diam sejenak, dan menarik napas
dalam-dalam.
"Kedua murid itu masing-masing memiliki sebuah
perguruan silat Yang satu bernama Perguruan Gajah
Putih, dan lainnya bernama Perguruan Banteng Sakti.
Kedua perguruan silat itu telah banyak mencetak
pendekar yang membela kebenaran. Raja Tengkorak itu
pasti menemui kesukaran untuk mewujudkan cita-cita
merajai dunia persilatan," sambung Kalpa Reksa.
Arya menganggukkan kepala.
"Pembicaraan kali ini kurasa cukup dulu, Arya.
Nanti, kita rundingkan lagi. Kau belum sembuh
benar. Lebih baik kau beristirahat, agar kesehatanmu
cepat pulih kembali."
Setelah berkata demikian, kakek berwajah tirus itu
meninggalkan Dewa Arak.
Arya menyadari bahwa dirinya memang memerlukan
istirahat Meskipun luka-luka akibat hantaman tengkorak
kepala sudah sembuh, tapi tenaganya belum begitu
pulih. Dan, dia harus sering bersemadi, agar tubuhnya
segar kembali seperti semula.
Pemuda berambut putih keperakan itu segera duduk
bersila. Punggungnya ditegakkan, kedua tangannya
terbuka lurus di depan dada. Lalu, Arya tenggelam
dalam semadi.
Sekejap kemudian suasana menjadi hening.
Yang terdengar hanyalah suara desah napas halus,
keluar dan masuk dari mulut dan hidung Dewa
Arak.
ooOWKNBROoo
"Aunggg ..."
Suara lolong anjing mengusik kesenyapan ma-lam.
Bulan bulat muncul dan memancarkan sinar. Langit
yang bersih dari awan membuat cukup benderang.
Dalam suasana malam seperti itu, tampak
berkelebatan sosok-sosok bayangan. Yang bergerak
paling depan adalah laki-laki bertubuh tinggi kurus dan
berpakaian tengkorak. Dialah yang dijuluk Raja
Tengkorak. Terlihat pula sosok Juriga, Dulimang, dan
sosok bayangan lainnya. Jumlah mereka tak kurang dari
dua puluh orang. Mereka bergerak dari arah yang
berbeda, tapi menuju satu arah.
"Dulimang ...... panggil Juriga pelan sambil terus
melangkah.
"Hm.... Ada apa ... ?'' tanya Dulimang.
"Dia benar-benar seorang pemimpin. Di bawah
perintahnya, kita akan berjaya. Tidak disangka setelah
lenyap belasan tahun, dia muncul dengan cara baru,"
puji Juriga.
"Ya," sahut Dulimang. "Dulu kita menganggap dia
sebagai pemimpin, tapi bukan dalam arti yang
sebenarnya. Sebab dia memang tak pernah menjadi
pemimpin kita. Hm.... Apa yang membuatmu yakin kalau
golongan kita akan berjaya di bawah pimpinannya?"
Juriga tidak langsung menjawab pertanyaan itu Dia terus
melangkahkan kakinya. Begitu pula dengan Dulimang.
"Kau masih ingat, Dewa Arak yang terkenal telah
berhasil dilenyapkan. Dan kini, kita akan menyerbu
Perguruan Gajah Putih. Padahal perguruan itu adalah
perguruan yang besar dan terkenal memiliki murid-
murid yang berilmu tinggi. Bila Perguruan Gajah Putih
roboh, maka tinggal satu lagi tugas kita. Dan, jika kita
berhasil menaklukkan yang terakhir, maka dunia
persilatan berada di tangan kita!"
Dulimang tidak lagi menyahuti ucapan rekannya. Dia
tidak terlalu yakin kalau rencana Raja Tengkorak akan
berhasil. Dia menyadari kehebatan ilmu yang dimiliki
murid Perguruan Gajah Putih. Tapi dia tidak berani
bicara, khawatir terdengar Raja Tengkorak.
Kini kedua orang itu berlari cepat tanpa berbicara
lagi. Benak mereka dirasuki pikiran sendirisendirt.
Tak lama kemudian, mereka memperlambat gerakan
larinya ketika berada di batik pohon dan semak-semak
yang lebat
Dalam jarak sekitar sepuluh tombak dari tempat
mereka bersembunyi, tampak sebuah bangunan besar
dan berpagar kayu tinggi. Mereka tahu di atas pintu
gerbang, terpampang sebuah papan lebar, tebak
dan beruldr bertuliskan huruf-huruf yang berbunyi
'Perguruan Gajah Putih'.
Meskipun suasana di sekeliling tampak sunyi,
Dulimang dan Juriga sadar betul di sekitar daerah itu
banyak tokoh persilatan yang memiliki ilmu tinggi.
Karena itu sambil menunggu saat penyerangan, mereka
tetap waspada.
Waktu terasa lama berlalu bagi pengikut Raja
Tengkorak. Seolah-olah waktu bergerak seperti
keong merayap.
"Kaaak, kaaak, kaaak..
Mendadak suara berkaokan terdengar keras. Sekilas
mirip suara burung gagak, tapi bagi orang yang jeli
dapat mengetahui perbedaannya. Suara itu
mempunyai irama, seperti sebuah sandi.
Dan itu memang benar, seiring suara berkaokan
keras lenyap, tampak dari balik semak-semak, sosok
bayangan bergerak cepat menuju ke arah
Perguruan Gajah Putih. Temyata suara berkaokan itu
berasal dari Raja Tengkorak sebagai tanda
penyerangan dimulai.
Sosok-sosok tubuh itu bergerak cepat Tapi,
kalah cepat dari sosok bayangan hitam yang tidak
lain adalah Raja Tengkorak. Walaupun dia bergerak
belakangan, dan telah tertinggal sekitar enam tombak,
tapi dia mampu melewati tubuh belasan sosok
bayangan yang menuju ke arah bangunan berpagar
kayu.
Raja Tengkorak terus melesat cepat menuju
pintu gerbang Perguruan Gajah Putih. Dan.... Brakkk..
Pintu gerbang perguruan hancur dengan me-
ngeluarkan suara gaduh, ketika kedua tangan Raja
Tengkorak menghantam pintu yang terbuat dari
kayu jati tebal.
Karuan saja suara ribut-ribut itu mengejutkan empat
orang murid Perguruan Gajah Putih yang tengah
bejaga-jaga di pos. Mereka serentak melompat
keluar, dan bergerak cepat ke arah pintu gerbang.
Tapi salah seorang dari mereka tidak langsung
menuju ke arah pintu gerbang, melainkan memukul
kentongan yang berada di depan pos penjagaan.
Tong, tong, tong...!"
Riuh suara kentongan sebagai tanda bahaya
mengusik keheningan malam.
Dua orang murid Perguruan Gajah Putih yang tengah
memeriksa sudut-sudut perguruan, terkejut ketika
mendengar suara berderak keras dan bunyi kentongan
yang bertalu-talu.
Buru-buru kedua orang murid ini berlari ke arah
pintu gerbang. Sambil berlari, yang satunya lagi
terus memukul kentongan yang dibawa untuk
memberitahukan adanya ancaman bahaya.
Akibatnya sudah bisa diduga. Seisi Perguruan Gajah
Putih pun gempar. Mereka semua bergegas keluar dari
bangunan masing-masing sambil menyambar senjata.
TUJUH
Sementara itu tiga orang murid Perguruan
Gajah Putih yang telah melompat keluar dari gardu
penjagaan, terkejut bukan kepalang ketika melihat
sosok bayangan hitam melesat cepat. Dan, kepingan
dawn pinto gerbang yang tebal meluncur berhamburan.
"Raja Tengkorak... !" desis salah seorang dari tiga
murid Perguruan Gajah Putih yang berkumis tebal,
seraya menghentikan langkah. Tangan mereka yang
menggenggam gagang pedang sejak tadi, tampak
bergetar hebat.
"Ha ha ha...
Laki-laki berpakaian tengkorak itu tertawa tergelak.
Suara tawanya terdengar aneh, meskipun pelan,
berat, dan bergema. Raja Tengkorak pun menghentikan
langkah. Sehingga mereka berdiri berhadapan dalam
jarak sekitar dua tombak.
"Serang...!" seru murid Perguruan Gajah Putih yang
berkumis tipis. Rupanya dialah yang menjadi kepala
jaga hari itu.
Seiring dengan teriakan itu, tiga orang murid
Perguruan Gajah Putih bergerak cepat Mereka langsung
berpencar, melangkah maju dengan sikap waspada.
Kemudian....
"Haaat..!"
Sambil mengeluarkan suara teriakan melengking
nyaring, tiga orang murid Perguruan Gajah Putih
menyerang Raja Tengkorak. Sadar lawan yang
dihadapi sangat tangguh, ketiga orang itu menyerang
serentak dari tiga jurusan.
Sing, sing, sing... !
Suara berdesing nyaring terdengar ketika pedang-
pedang itu meluncur cepat ke arah Raja Tengkorak.
"Hmh...
Laki-laki berpakaian tengkorak itu mendengus. Tidak
tampak tanda-tanda yang menunjukkan kalau dia akan
menyerang atau menangkis.
Baru ketika serangan menyambar dekat ke arah
tubuhnya, kedua tangan Raja Tengkorak bergerak cepat
Tak, tak, tak..
Suara berdetak keras terdengar berkali-kali tatkala
kedua tangan Raja Tengkorak berbenturan dengan
senjata ketiga murid Perguruan Gajah Putih.
Sungguh luar biasa! Ketiga pedang itu patah dan
jatuh berserakan di tanah!
Belum sempat ketiga orang murid Perguruan Gajah
Putih berbuat sesuatu, kedua tangan Raja Tengkorak
bergerak cepat
"Akh .. !"
Jerit kematian terdengar saling susul, ketika jari
telunjuk Raja Tengkorak amblas ke dalam dahi
ketiga orang murid Perguruan Gajah Putih yang
bernasib malang itu.
Tubuh mereka berkelojotan dan menggelepar. Lalu,
diam dan tak bergerak-gerak lagi. Mereka tewas
dengan dahi berlubang.
Bertepatan dengan robohnya tiga murid Perguruan
Gajah Putih, bermunculan tokoh-tokoh persilatan yang
menjadi pengikut Raja Tengkorak.
Dua orang murid Perguruan Gajah Putih yang baru
tiba di pintu gerbang, terkejut bukan kepalang begitu
melihat banyak tokoh persilatan yang berada. di dalam
perguruan mereka. Rasa kaget berganti dengan
kemarahan bercampur rasa gentar, ketika melihat mayat
rekan mereka tergeletak di hadapan kaki Raja
Tengkorak.
Raja Tengkorak bertepuk tangan satu kali. Tampak
pelan tepukannya. Tapi, sesaat kemudian terdengar
suara dentuman keras laksana halilintar yang
menggelegar.
Seketika itu pula, sekitar dua puluh pengikut laki-laki
berseragam tengkorak itu meluruk maju, dan
mengeluarkan seruan-seruan keras.
Keadaan itu membuat dua orang murid Perguruan
Gajah Putih tidak mempunyai pilihan lain, kecuali
mempertahankan nyawa. Meskipun sadar kalau lawan
terlalu banyak, dan didampingi Raja Tengkorak, tapi
mereka setapak pun tidak mundur. Perguruan Gajah
Putih harus dipertahankan sekalipun nyawa sebagai
taruhannya.
Pada saat yang bersamaan dengan para pengikut
Raja Tengkorak menyerbu dua orang murid Perguruan
Gajah Putih, tangan laki-laki berpakaian tengkorak itu
bergerak mengibas.
Singgg...
Sinar terang berpendar ketika pisau bergagang
tengkorak kepala meluncur cepat ke arah murid
Perguruan Gajah Putih yang masih memukul kentongan
tanda bahaya.
Cappp...
"Akh ... !"
Murid Perguruan Gajah Putih yang tengah memukul
kentongan itu memekik keras sebelum tubuhnya roboh
dan jatuh ke tanah. Pisan bergagang tengkorak kepala
menancap di dahinya.
Nasib yang sama menimpa dua orang murid
Perguruan Gajah Putih lainnya. Perlawanan mereka
mudah dikandaskan pengikut Raja Tengkorak. Sekali
gebrak mereka sudah roboh dengan sekujur tubuh
penuh luka. Lawan yang dihadapi terlampau banyak,
dan mereka memiliki kepandaian yang tinggi.
Tanpa mempedulikan mayat-mayat murid Perguruan
Gajah Putih, Raja Tengkorak dan pengikutnya bergerak
masuk ke dalam perguruan. Tapi di tengah jalan,
mereka berpapasan dengan muridmurid Perguruan
Suara denting senjata yang beradu, terdengar
gaduh. Suasana malam yang semula sepi, kontan
berubah bising.
Murid-murid Perguruan Gajah Putih berjuang keras
menghalau tamu-tamu yang tidak mereka undang. Tak
mengherankan bila pertarungan yang terjadi sengit dan
seru luar biasa.
Perguruan Gajah Putih memiliki murid yang cukup
banyak. Tak kurang dua puluh orang murid yang terlibat
pertarungan. Kepandaian mereka rata-rata cukup
tinggi. Sehingga pertarungan berlangsung imbang.
Raja Tengkorak mengawasi dengan cermat
jalannya pertarungan. Laki-laki berpakaian
tengkorak ini sama sekali tidak ikut terjun dalam
pertarungan. Dia adalah seorang tokoh sesat yang
memiliki keangkuhan dan kesombongan.
Lantaran mempunyai ilmu yang tinggi.
Tak lama kemudian, korban di kedua belah
pihak mulai berjatuhan. Darah muncrat dari
tubuh-tubuh yang roboh, dan diiringi jerit kematian.
Raja Tengkorak mulai tidak sabar menyaksikan
Pertarungan yang berlangsung lama, tapi ketua
Perguruan Gajah Putih belum juga muncul.
"Ranjana...! Keluar kau...! Hadapi aku ... ! Kalau tidak,
semua muridmu kubantai sekarang juga... Aku, Raja
Tengkorak menantangmu ..."
Suara Raja Tengkorak keras bukan kepalang.
Hal itu hanya bisa dilakukan bila disertai
pengerahan tenaga dalam yang tinggi. Memang,
tokoh sesat itu menggunakan tenaga dalam. Agar
suaranya terdengar sampai ke seluruh bangunan Per
guruan Gajah Putih.
Belum hilang gema suara tantangan laki-laki
berseragam tengkorak, tiba-tiba terdengar suara
penuh wibawa menyambut ucapan Raja
Tengkorak
"Kuterima tantanganmu, Raja Tengkorak....!”
Seiring dengan lenyapnya suara itu, tampak
sosok bayangan putih melesat keluar dari salah satu
bangunan yang ada di Perguruan Gajah Putih.
"Hup ...!"
Tanpa menimbulkan suara, sosok bayangan
putih itu mendaratkan sepasang kakinya dengan
ringan. Tak jauh dari tempat Raja Tengkorak
berdiri.
"Ha ha ha ... !"
Laki-laki berseragam tengkorak itu tertawa terbahak-
bahak. Sepasang matanya merayapi wajah dan
sekujur tubuh orang yang berdiri di hadapannya.
Yang tidak lain adalah Ranjana, Ketua Perguruan Gajah
Putih.
Ranjana bertubuh tegap dan berisi. Kumis, jenggot,
dan cambang yang terawat rapi menghiasi wajahnya.
Pakaiannya yang serba putih, dan Sulaman seekor
gajah yang terbuat dari benang emas menempel pada
dada kirinya, semakin menambah kegagahannya.
"Kukira kau sudah kabur meninggalkan tempat ini,
Ranjana," ejek Raja Tengkorak seraya tersenyum
sinis.
"Aku bukan orang sepertimu, Raja Tengkorak!"
sergah Ranjana keras. Suaranya ternyata seperti
juga penampilannya, keras dan berwibawa. "Kau akan
lari begitu melihat keadaan tidak menguntungkan.
Jangan samakan aku dengan dirimu!"
"Sombong ... !" Raja Tengkorak memaki keras. "Raja
Tengkorak pantang dihina orang!"
Setelah berkata demikian, laki-laki berpakaian hitam
itu langsung menyerang dengan tendangan terbang ke
arah leher Ranjana., Cepat dan berbahaya bukan
main serangan Raja Tengkorak
Ranjana tidak berani bersikap main-main. Nama
besar Raja Tengkorak sudah lama didengarnya.
Meskipun tokoh itu pernah menghilang belasan
tahun. Tapi, ilmu dan kepandaiannya amat tinggi. Dan,
kini tokoh sesat yang menggiriskan itu berada di
hadapannya, dan tengah melancarkan serangan.
Tahu betapa berbahayanya serangan serupa itu,
laki-laki berwajah jantan itu tidak berani menangkis.
Dia tahu dirinya akan rugi bila serangan itu
ditangkis. Sebab tenaga lawan makin kuat
dengan menerjang. Bila serangan itu ditangkis,
maka kaki yang satu lagi dengan mudah menghajar
dada, tanpa sempat terlindungi. Karena menangkis
tendangan terbang seperti itu, lebih menguntungkan bila
menggunakan dua buah tangan.
Oleh karena itu, Ranjana tidak menangkis
tendangan itu. Buru-buru dia melompat ke samping.
Ketua Perguruan Gajah Putih itu tidak ingin mengambil
risiko. Dia membuat gerakan menjauhi tubuh lawan.
Karena kaki Raja Tengkorak yang satu lagi, belum
dipergunakan. Dan, sangat berbahaya kalau dia
mengelak tanpa menjauhkan diri.
Berbareng dengan mendaratnya kedua kaki,
Raja Tengkorak di tanah, Ranjana sudah siap
menghadapi serangan lawan selanjutnya.
Dan, memang serangan Raja Tengkorak meluncur
secara tiba-tiba, cepat dan bertubi-tubi. Kedua
tangannya terkembang membentuk cakar dan
melesat ke arah ulu hati Ketua Perguruan Gajah Putih.
Dengan diiringi suara mendecit nyaring dari udara
yang terobek, cakar tangan Raja Tengkorak meluncur
cepat. Ranjana sama sekali tidak menghindari
serangan itu. Dia mengerahkan seluruh tenaga
dalam yang dimiliki, dan menyongsong serangan itu
dengan jari-jari yang sama dengan lawan.
Prat...
"Akh ...!"
Ketua Perguruan Gajah Putih memekik tertahan.
Kedua tangannya terasa sakit-sakit bukan main.
Terutama sekali jari-jari tangannya yang seakan-akan
telah patah-patah tulangnya. Bukan hanya itu saja,
tanpa dapat ditahan lagi tubuhnya terhuyung dua
langkah ke belakang. Jelas kalau tenaga dalam Raja
Tengkorak lebih kuat dari tenaga dalam yang dimiliki
Ranjana.
Belum lagi Ketua Perguruan Gajah Putih itu sempat
memperbaiki kedudukannya, kaki kanan Raja
Tengkorak kembali meluncur deras ke arahnya dengan
tendangan lures ke arah dada.
"Hih ...!"
Meskipun dalam keadaan yang tidak
menguntungkan, Ranjana masih mampu
menunjukkan kalau dirinya bukan tokoh
sembarangan yang gampang dipecundangi. Sekali
menjejakkan kaki, tubuhnya telah melompat ke
belakang. Sehingga tendangan itu mengenai tempat
kosong.
Raja Tengkorak tidak menyia-nyiakan kesempatan
itu. Secepat tendangannya berhasil dielakkan, secepat
itu pula tubuhnya melesat memburu tubuh Ranjana
yang sedang melompat. Maksud laki-laki berseragam
tengkorak ini sudah bisa diduga. Apa lagi kalau
bukan menyerang tubuh yang akan mendarat di tanah.
Begitu tubuh itu mendarat, serangan pun akan tiba.
Jadi, sulit bagi laki-laki berwajah jantan itu untuk
mengelak.
Rupanya Ranjana juga sudah memperhitungkan
hal itu. Sewaktu tubuhnya berada di udara, benaknya
berputar cepat. Dan, dia segera. mencabut
pedangnya.
"Hup ...!"
Ketika kedua kakinya mendarat di tanah, pedang di
tangannya dikelebatkan cepat. Dan....
Cappp ... !
Telak dan keras sekali pedang itu membabat leher
Raja Tengkorak. Tak pelak lagi kepala tokoh sesat yang
menggiriskan itu pun terbabat buntung. Kepalanya
jatuh dan menggelinding di tanah. Sedangkan
tubuhnya, tetap tegak berdiri dengan kedua kaki.
Ranjana terkejut bukan kepalang melihat kenyataan
ini. Mimpikah dia? Tidak salahkah penglihatannya?
Mengapa begitu mudah membinasakan tokoh yang
terkenal Sakti dan ditakuti itu? Berbagai macam
pertanyaan bergayut di benaknya.
Karena dilanda perasaan bingung, beberapa saat
lamanya Ranjana terpaku kaku. Dia menatap mata
pedangnya. Jelas dilihatnya ada darah yang membekas
di sana.
Tapi Ketua Perguruan Gajah Putih ini menjadi
curiga. Karena kematian lawan begitu mudah.
Apalagi tubuh itu tidak roboh ke tanah, tapi tetap berdiri
tegak.
Rasa curiga membuat Ranjana berusaha keras
menenangkan pikirannya. Kini perhatiannya dialihkan
pada tubuh tanpa kepala yang masih berdiri tegak
Sepasang mata Ranjana terbelalak begitu melihat
kenyataan di hadapannya. Betapa tidak? Kepala yang
semula tergolek dengan bagian wajah menempel ke
tanah, mendadak bergerak-gerak sendiri. Kepala itu
hidup! Dan mendadak, kepala itu berbahk. Kini leher
yang terbabat pedang tadi menempel dengan tanah.
Dan mendadak kepala itu melayang. Karuan saja hal
itu membuat Ketua Perguruan Gajah Putih terkejut
bukan kepalang. Buru-buru dia melompat mundur,
seraya memutarmutarkan pedangnya di depan dada.
Berjaga-jaga terhadap serangan kepala itu.
Ternyata kekhawatirannya lama sekali tidak terbukti.
Kepala itu tidak melayang ke arahnya, melainkan ke
arah tubuh Raja Tengkorak yang masih berdiri
tegak. Dan....
Tappp ... !
Begitu kepala itu menempel ke tempat semula,
tangan Raja Tengkorak bergerak ke atas. Kemudian
mengusap sambungan leher yang putus tertebas
pedang.
Ajaib! Ketika kedua tangan itu kembali diturunkan,
sambungan pada bagian leher itu telah tidak terlihat
lagi.
"Ha ha ha...!"
Raja Tengkorak tertawa bergelak-gelak Tawa
kemenangan. Sementara Ranjana menatapnya dengan
pandang mata memancarkan kengerian.
"Jangan mimpi bisa mengalahkanku, Ranjana," kata
laki-laki berpakaian tengkorak itu. Mulutnya yang
terlindung dalam sebuah selubung bergambar
tengkorak, tersenyum mengejek,
"llmu iblis ... !" desis Ketua Perguruan Gajah Putih
dengan perasaan ngeri melihat kedahsyatan ilmu
lawannya. Dia pemah mendengar ilmu yang membuat
seseorang tidak bisa mati. ilmu 'Rawa Rontek'. Tapi,
sungguh tidak diduga sama sekali kalau Raja
Tengkorak memiliki ilmu seperti itu. Dengan ilmu 'Rawa
Rontek', bagian tubuh yang terpisah mudah bersatu
kembali. Hanya dengan mengetahui kelemahannya,
lawan yang memiliki ilmu itu baru bisa dibinasakan.
"Ha ha ha... !"
Raja Tengkorak tertawa terbahak-bahak. Sebuah
tawa yang panjang, tapi mendadak berhenti seketika.
"Hmh ... ! Saat kematianmu sudah tiba, Ranjana!
Kini aku tidak akan main-main lagi!"
Setelah berkata demikian, tokoh sesat yang
menggiriskan itu meluruskan kedua jari-jari tangan nya.
Suara aneh mirip desah ular mengiringi terbentuknya
kedudukan jari-jari seperti itu.
Ranjana bersikap waspada. Dia sadar kalau Raja
Tengkorak telah siap menggunakan ilmu andalannya.
Sepasang mata Ketua Perguruan Gajah Putih menatap
tak berkedip pada kedua tangan lawannya, yang tampak
bergetar penuh kekuatan.
"Haaat ... !"
Laki-laki berwajah jantan ini berusaha tidak
kalah gertak. Pedang di tangannya diputar-putarkan di
depan dada sehingga menimbulkan suara berderit
nyaring yang menyakitkan gendang telinga.
"Hiyaaat..!"
Diiringi suara teriakan melengking nyaring, Raja
Tengkorak melompat menerjang Ranjana. Kedua
tangannya yang terbuka lurus dan menegang kaku
itu, menotok bertubi-tubi ke arah leher lawan. Ada suara
bercicitan nyaring yang mengawali tibanya serangan
itu.
Ranjana tahu betapa berbahayanya serangan
itu, maka buru-buru dia memutar pedangnya di
depan dada. Cepat bukan main gerakannya,
sehingga yang tampak hanyalah segulungan sinar
putih yang mendindingi tubuhnya. Bila Raja Tengkorak
memaksakan diri untuk meneruskan serangan,
sebelum mencapai sasaran, pedang di tangan Ketua
Perguruan Gajah Putih itu sudah terlebih dulu memenggal
kedua tangannya.
Aneh! Raja Tengkorak sama sekali tidak menarik
pulang serangannya. Kedua tangannya tetap saja
diluncurkan ke arah sasaran.
Tak, tak, tak..!
Suara berderak keras terdengar berkali-kali, tatkala
kedua tangan itu berbenturan dengan pedang. Seakan-
akan yang berbenturan itu dua batang logam keras
"Ah…!"
Tubuh Ranjana terhuyung-huyung ke belakang.
Tangan yang menggenggam pedang terasa ngilu
bukan kepalang. Terutama sekali jari-jari kedua
tangannya. Terasa sakit-sakit bukan main. Sementara
kedua tangan lawannya sama sekali tidak terluka.
Tapi Ketua Perguruan Gajah Putih ini tidak bisa
berpikir lebih lama lagi, karena Raja Tengkorak
yang memang sudah ingin melenyapkannya, kembali
maju menyerang. Pertarungan sengit pun tak
terhindarkan.
Ranjana melawan mati-matian. Dikerahkan seluruh
kemampuan yang dimilikinya. Tapi tetap saja dia tidak
mampu menandingi lawan. Kepandaian Raja
Tengkorak memang berada di atasnya.
Ketua Perguruan Gajah Putih ini memang kalah
segala-galanya. Baik dalam hal ilmu meringankan
tubuh, tenaga dalam, maupun mutu ilmu silat
Belum lagi kelebihan Raja Tengkorak yang memiliki
ilmu- ilmu aneh. Di antaranya, ilmu 'Rawa Rontek' yang
membuatnya mampu hidup kembali. Meskipun
seluruh anggota tubuhnya telah dipisahkan satu sama
lain.
Bukan hanya itu saja, Raja Tengkorak masih memiliki
ilmu yang membuat kedua tangannya, kebal terhadap
segala macam senjata. 'Ilmu Baju Ular Emas'
namanya.
Tak sampai tiga puluh jurus, Ketua Perguruan Gajah
Putih itu sudah terdesak hebat Kalau semula dia
mampu balas menyerang, kini dia tidak mampu
melakukannya lagi. Ranjana hanya mampu mengelak.
Menangkis pun jarang dilakukannya, karena hal itu bisa
merugikan dirinya. Memang dengan kekuatan tenaga
dalam yang berada di bawah lawannya, menangkis hanya
akan menguntungkan lawan.
Tappp .
Di jurus keempat puluh satu, pedang Ranjana
tertangkap lawan. Dia berusaha menariknya, tapi sia-sia,
karena Raja Tengkorak memiliki tenaga dalam yang
lebih kuat daripadanya. Ketua Perguruan Gajah Putih itu
melempar tubuhnya ke belakang dan bersalto beberapa
kali.
"Hmh ...!"
Raja Tengkorak mendengus seraya
melemparkan pedang lawan yang berhasi
dirampasnya.
Dengan diiringi suara mendesing nyaring yang
menyakitkan telinga, pedang itu melesat ke arah tubuh
Ranjana yang tengah berada di udara.
Ranjana sama sekali tidak terkejut melihat hal itu,
karena dia sudah memperkirakannya. ltuah sebabnya,
begitu pedang itu meluncur ke arahnya, segera dia
memapak dengan sarung pedangnya.
Pyarrr ... !
Sarung pedang itu hancur berkeping-keping ketika
berbenturan dengan pedang.
Saat itulah Raja Tengkorak melancarkan serangan
susulan. Memang, begitu melemparkan pedang pada
Ranjana, tokoh sesat yang menggiriskan itu melompat
mengirim serangan susulan. Kedua tangannya yang
menegang kaku dan lurus, membentuk kedudukan jurus
'Ular', bertubi-tubi ditusukkannya ke arah dada lawan.
Wajah Ranjana pucat seketika. Dia tahu kalau tidak
mungkin lagi mengelakkan serangan itu. Jalan satu-
satunya, hanya menangkis. Dan, itulah yang dilakukan
Ketua Perguruan Gajah Putih ini.
Plak plak .. ! Crottt ... !
"Akh ... !"
Beberapa serangan bertubi-tubi itu berhasil
ditangkisnya. Namun hasilnya membuat sambungan
kedua pergelangan tangannya terlepas. Itulah
sebabnya serangan lanjutan dari Raja Tengkorak
tidak bisa ditangkisnya lagi.
Akibatnya, kedua tangan Raja Tengkorak amblas ke
dalam dadanya. Cairan merah kental muncrat-muncrat
di bagian yang tertembus tangan.
Brukkk ... !
Seiring dengan jatuhnya tubuh Ranjana, Raja
Tengkorak mendaratkan kedua kakinya ke tanah.
Tokoh sesat yang menggiriskan itu menatap tubuh
lawan yang masih menggeliat-geliat beberapa saat,
sebelum akhimya diam dan tak bergerak lagi.
"Hih...
Raja Tengkorak melesat ke arah pertarungan antara
pengikut-pengikutnya melawan murid-murid Perguruan
Gajah Putih yang masih berlangsung sengit.
Hebat luar biasa sepak terjang Raja Tengkorak. Ke
mana saja tangannya bergerak, di situ ada tubuh murid
Perguruan Gajah Putih yang roboh di tanah untuk
selamanya.
Suara lolong kesakitan yang disertai robohnya
tubuh-tubuh murid Perguruan Gajah Putih, terdengar
dan saling susul-menyusul.
Hanya dalam waktu sekejap, tidak ada lagi
murid Perguruan Gajah Putih yang masih berdiri tegak.
Semua tergeletak di tanah dalam keadaan tidak
bernyawa.
"Geledah seluruh tempat ini ... ! Siapa pun yang
kalian temukan segera dibunuh. Jangan disisakan
seorang pun!"
Tanpa menunggu perintah dua kali, tokohtokoh
persilatan itu bergerak ke arah bangunan-bangunan
yang ada di dalam markas Perguruan Gajah Putih.
Mereka memasuki dan memeriksa setiap bangunan
yang ada.. Sementara Raja Tengkorak menunggu di
luar.
Tak lama kemudian, belasan orang itu telah kembali.
"Bagaimana?" tanya Raja Tengkorak cepat
"Semua tempat telah kami periksa, Ketua. Dan,
beberapa orang pelayan yang ada di dalam telah
kami bunuh!" lapor seorang yang berkepala botak dan
bertubuh pendek. Dunia persilatan menjulukinya Setan
Botak.
Belasan tokoh persilatan itu bergerak cepat
meninggalkan bangunan Perguruan Gajah Putih sambil
meraih obor-obor yang terdapat di sudutsudut
rumah. Kemudian dilemparkan ke arah ba ngunan.
Ada yang melempar ke dalam, ke atap, dan ada juga
yang ke jendela.
Sesaat kemudian, api pun berkobar di setiap
bangunan yang ada di situ. Mula-mula kecil, kemudian
membesar dan membumbung tinggi.
Raja Tengkorak dan pengikut-pengikutnya
melangkah mundur menjauhi bangunan yang tengah
diamuk api. Mereka memandang dari tempat yang agak
jauh. Setelah seluruh bangunan itu dipastikan terbakar
habis, Raja Tengkorak melesat cepat meninggalkan
tempat itu diikuti oleh pengikutnya.
Kini, tinggal bangunan Perguruan Gajah Putih yang
masih diamuk api dan puluhan sosok tubuh yang
tergolek tanpa nyawa. Tidak ada lagi suara denting
senjata terdengar. Malam kembali hening, sepi, dan
senyap.
DELAPAN
"Ha ha ha...!"
Suara tawa pelan, berat tapi bergaung, mengejutkan
Kalpa Reksa yang tengah termenung di depan
rumahnya. Kakek berpakaian hitam ini memang tengah
dilanda kebimbangan. Cerita Dewa Arak mengenai Raja
Tengkoraklah yang menyebabkan dia bersikap
demikian. Haruskah dia kembali ke dunia persilatan
lagi?
"Kau terkejut, Kalpa Reksa?!" ejek pemilik tawa yang
tak lain adalah Raja Tengkorak.
Jantung kakek berpakaian hitam ini berdebar keras
ketika melihat sosok yang berdiri di hadapannya.
"Raja Tengkorak...!" desis Kalpa Reksa. Meskipun
agak lama, akhimya keluar juga sebutan itu dari
mulutnya.
"Ha ha ha...!" laki-laki berseragam tengkorak itu
tertawa menyambuti ucapan Kalpa Reksa.
"Tidak mungkin!" Cetus Kalpa Reksa ketika akhinya
bisa menenangkan hatinya yang terguncang hebat
Memang, pemandangan yang terlihat oleh kakek itu
mengejutkan hatinya.
"Raja Tengkorak sudah lama mati! Aku tahu betul hal
itu! Kau pasti sengaja menggunakan nama besar Raja
Tengkorak untuk kepentingan dirimu!" sambung Kalpa
Reksa.
"Keluarkan seluruh perasaan yang mengganjal di
hatimu, Kalpa Reksa. Agar kau tidak mati penasaran!
Aku datang kemari ingin menjemput nyawamu. Ingat!
Kau telah membuat kesalahan besar! Kau masih ingat
pada Turgawa?"
Terdengar suara gemeretak dari mulut Kalpa Reksa
ketika mendengar ucapan Raja Tengkorak Setup kali
nama Turgawa disebut, hatinya terasa dicabik-cabik
dengan sebilah pedang tajam.
"Tidak! Aku tidak akan melupakan manusia jahanam
itu!" tegas kakek berwajah tirus dengan suaranya yang
bergetar, karena menahan geram. Kalpa Reksa
menghentikan ucapannya sejenak, untuk
menenangkan deru napas yang penuh diliputi rasa
amarah.
"Jangan kau katakan kalau dirimu adalah Turgawa,"
kata Kalpa Reksa, seraya sepasang matanya menatap
ke arah tangan Raja Tengkorak. Dilihatnya kedua
tangan laki-laki berseragam tengkorak itu tampak
masih utuh. Padahal, dia yakin kalau tangan Turgawa
sudah tidak lengkap lagi. Karena dia telah menewasnya
dalam pertarungan belasan tahun yang lalu.
"Siapa bilang Raja Tengkorak itu adalah Turgawa?"
tanya laki-laki berbaju tengkorak dengan suarra parau
dan keras. "Kau telah salah mendengar berita, atau
pendengaranmu sudah tak sempurna lag!?"
Kontan Kalpa Reksa terguncang mendengar ucapan
itu. Bukan kata-kata itu yang menjadi penyebabnya.
Tapi suara itu amat dikenalnya betul meskipun telah
belasan tahun tidak didengarnya lagi. Bagaimana
mungkin dia bisa melupakan suara orang yang amat
dibencinya? Kalpa Reksa tahu betul kalau pemilik suara
itu adalah Turgawa!
"Apa kabarmu, Kakang Reksa?!"
Kembali pemilik suara yang mirip dengan suara
Turgawa itu terdengar.
Tengkuk Kalpa Reksa terasa dingin mendengar teguran
itu. Tidak salah lagi. Pemilik suara itu adalah Turgawa,
adik seperguruannya. Memang hanya Turgawa seorang
yang memanggilnya dengan panggilan seperti itu.
'’Mimpikah aku?!" tanya Kalpa Reksa dalam hati.
"Tak mungkin.... Turgawa sudah tawas......
Untuk meyakinkan hati, tangannya dicubit. Tercekat
hati kakek berpakaian hitam ini tatkala rasa sakit
mendera bagian tubuh yang dicubitnya.
Ini menjadi pertanda kalau dia tidak bermimpi. Oleh
karena itu, dengan jantung berdebar tegang, kepalanya
ditolehkan ke arah asal suara.
Kontan hati Kalpa Reksa tercekat, tatkala melihat
sosok yang berdiri di sebelah kanan Raja
Tengkorak dalam jarak sekitar dua tombak.
"Kau.... Turgawa. ?! Tapi..., tak mungkin kau masih
hidup ... ?!" ujar Kalpa Reksa dengan suara terputus-
putus.
"Begitulah, Kang Reksa. Hampir dua puluh tahun aku
menanggung dendam ini. Dan sekarang tibalah
saatnya pembalasan dendam itu, Kalpa Reksa!"
Setelah berkata demikian, Turgawa menoleh ke
arah Raja Tengkorak.
"Ayo, Sengkala! Balaskan dendamku...
Raja Tengkorak yang temyata bernama Sengkala
segera bergerak cepat menerjang Kalpa Reksa. Dan
sekali menyerang, tokoh sesat yang menggiriskan itu
telah menyerang dengan ilmu andalannya, 'llmu Baju
Ular Emas' yang membuat kedua tangannya kebal
terhadap segala jenis senjata tajam.
Suara mencicit nyaring terdengar ketika kedua
tangan Raja Tengkorak meluncur deras ke arah
dada dan ulu hati Kalpa Reksa.
"Hehhh ... ?! 'Ilmu Baju Ular Emas'?!" seru kakek
berpakaian hitam terkejut "Dari mana kau curi ilmu itu,
Raja Tengkorak Palsu?!"
Sambil berkata begitu, Kalpa Reksa segera
menyusun kedudukan jari yang mirip dengan jari-jari
lawannya. Memang, dia juga menggunakan 'llmu
Baju Ular Emas'.
Lucu dan unik sekali pertarungan yang terjadi antara
dua orang yang sama-sama memiliki ilmu serupa itu.
Jalannya pertarungan sudah bisa ditebak. Karena
kedua belah pihak menggunakan ilmu yang sama,
pertarungan berjalan tidak menarik. Hal ini tidak aneh
karena baik Kalpa Reksa maupun Raja Tengkorak telah
mengetahui perkembangan gerakan lawan.
Suara mencicit nyaring mengiringi setiap gerakan
kedua tokoh yang tengah bertarung itu. Jelas, kalau
gerakan kedua orang itu selalu dilandasi dengan
tenaga dalam tinggi.
Seratus jurus telah berlalu. Dan selama itu
belum nampak adanya tanda-tanda yang akan terdesak.
Pertarungan masih berjalan seimbang. Hal ini
membuat Turgawa jadi kehilangan kesabaran.
"Sengkala ... ! Cepat robohkan dia...!"
"Hih...
Tubuh Raja Tengkorak melenting ke belakang dan
bersalto beberapa kali di udara.
Kalpa Reksa yang memang merasa marah bukan
kepalang pada Raja Tengkorak palsu ini bergegas
mengejar.
Saat itulah, tangan Raja Tengkorak mengibas. Sing,
sing, sing... !
Suara berdesing nyaring terdengar ketika beberapa
batang pisau melesat dari tangan yang mengibas itu.
Kalpa Reksa terkejut. Kemarahan yang membakar
hatinya, dan keinginannya untuk segera menewaskan
rekannya ini membuatnya kurang waspada sehingga
lupa kemungkinan lawan akan mengirimkan serangan.
Meskipun berada dalam keadaan sulit, di mana
serangan datang pada saat tubuhnya tengah berada di
udara, Kalpa Reksa masih mampu memunahkan
serangan itu. Cepat-cepat kedua tangannya diturunkan,
dan dengan berlandasan pada kedua tangan itu,
tubuhnya melenting ke atas sehingga serangan-
serangen pisau itu meluncur lewat di bawahnya.
Tapi rupanya serangan dari Raja Tengkorak tidak
hanya itu saja. Begitu, serangan pisau-pisaunya
melesat ke arah lawan, tangannya bergerak cepat Dan....
Wunggg ...
Rantai berujung tengkorak kepala itu meluncur cepat
ke arah Kalpa Reksa.
Kontan wajah kakek berpakaian hitam ini memucat
Serangan susulan itu datang begitu tiba-tiba dan pada
saat tubuhnya tengah melayang. Dengan sebisa-
bisanya tubuhnya digeliatkan, seraya menggerakkan
tangan menangkap rantai itu. Kalpa Reksa bertindak
nekat
Tappp....!Bukkk..
"Hugh...!"
Rantai baja itu berhasil ditangkap oleh Kalpa Reksa.
Tapi tengkorak kepala itu tetap saja meluncur. Hanya
saja meleset dari sasaran semula. Tidak lagi mengenai
kepala melainkan bahu!
Meskipun begitu tidak berarti akibatnya ringan buat
kakek berpakaian hitam itu. Tubuhnya terpental. Dan
ada cairan merah kental keluar dari mulutnya. Jelas
Kalpa Reksa terluka dalam.
"Hup ...!"
Hebatnya dalam keadaan seperti itu, Kalpa
Reksa masih mampu mendaratkan kedua kakinya
di tanah, walaupun dengan agak terhuyung-
huyung. Darah kental menetes di sudut-sudut bibimya.
Belum juga Kalpa Reksa berbuat sesuatu, rantai
berujung tengkorak kepala milik Raja Tengkorak
kembali meluncur. Dan....
Bukkk ..
Telak dan keras sekali tengkorak kepala itu
menghantam perut Kalpa Reksa. Tak pelak lagi,
tubuh kakek itu terjengkang ke belakang dan jatuh
bergulingan di tanah. Darah segar memancar deras dari
mulut kakek berwajah tirus itu.
"Biar aku yang memberikan pukulan terakhir,
Sengkala ... !" sera Turgawa.
Raja Tengkorak mengurungkan niatnya.
Dibiarkannya Turgawa melangkah maju menghampiri
tubuh Kalpa Reksa yang tergolek.
"He he he...!" Turgawa tertawa terkekeh.
Tapi sebelum kakek bertangan carat itu menjatuhkan
pukulan maut, sesosok bayangan ungu berkelebat
Dan....
Tappp ...
Hey... !"
Turgawa terpekik kaget Tanpa sadar dia melompat
mundur, karena sosok bayangan itu juga melancarkan
kibasan ke arah kepalanya.
"Grrrhhh ... !"
Raja Tengkorak menggeram keras. Dan sekali
kakinya bergerak menggenjot, tubuhnya telah melesat
mengejar sosok bayangan ungu yang telah membawa
lari Kalpa Reksa.
Tapi sosok bayangan ungu itu sudah
memperhitungkan hal itu. Tubuhnya berbalik sebentar.
Dan Langan kanannya yang bebas, karena tubuh Kalpa
Reksa dipanggul di bahu kiri, dihentakkan.
Wusss ... !
Angin keras berhawa panas menyengat menyambar
ke arah Raja Tengkorak.
Tokoh sesat yang menggiriskan itu terperanjat Dia
tahu kalau lawan telah mengirimkan sebuah pukulan
jarak jauh yang dahsyat Maka dia tidak berani
bertindak sembrono. Buru-buru dia melompat ke
samping kanan dan bergulingan menjauh.
Kesempatan yang hanya sedikit itu dipergunakan
sebaik-baiknya oleh sosok bayangan ungu itu.
Tubuhnya melesat cepat ke batik kerimbunan
pepohonan.
"Keparat...!"
Begitu bangkit, Raja Tengkorak memaki lawannya
yang telah lenyap. Lebatnya hutan menyulitkannya
untuk mengetahui arah sosok bayangan ungu itu
melarikan diri
"Menilik dari pakaian dan rambutnya, aku yakin
dia adalah Dewa Arak..! Tapi begitu saktikah dia
sehingga tidak tewas oleh pisau beracunku...!" kata
Raja Tengkorak pelan. Memang, dia telah melihat
sekilas ciri-ciri, sang penolong itu.
"Aku lebih condong menduga kalau dia diselamatkan
oleh Kalpa Reksa, Sengkala ... !"
"Hm ... !" Raja Tengkorak hanya bergumam pelan.
"Sudahlah ... ! Mari kita kembali. Masih banyak waktu
lagi untuk membereskannya!". Turgawa mencoba
menenangkan hati tokoh sesat yang menggiriskan itu.
"Hhh ...!"
Raja Tengkorak menghela napas berat sebelum
akhimya melangkah meninggalkan tempat itu bersama
Turgawa.
ooOWKNBROoo
"Cukup, Arya... !" kata Kalpa Reksa.
Dan Dewa Arak yang duduk bersila sambil
menempelkan kedua tapak tangannya untuk
menyembuhkan luka dalam kakek berpakaian hitam itu,
dengan cara menyalurkan tenaga dalam secara per-
lahan-lahan menarik kedua tangannya.
Kalpa Reksa membalikkan tubuh. Kini dia
berhadapan dengan Arya.
"Kau telah melihat Raja Tengkorak itu, Ki?" tanya
Arya dengan nada menuntut.
"Yahhh ... !" jawab Kalpa Reksa dengan suara
mendesah. "Dia benar-benar memiliki kesaktian luar
biasa. Entah siapa yang berada di balik seragam
tengkorak itu. Tapi yang jelas, dia murid Turgawa!"
"Turgawa?! Adik seperguruanmu itu, Ki?! Jadi, dia
masih hidup?!" tanya Arya dengan sepasang mata
membelalak.
"Ya," jawab Kalpa Reksa singkat
"Ah ... ! Pasti kakek berpakaian kuning itu! Betulkan,
Ki?" Arya yang mulai teringat langsung saja menduga.
Kakek berwajah tirus itu hanya menganggukkan
kepalanya.
"Hm ... !" Arya bergumam pelan.
"Ada satu hal yang membuatku agak bingung, Arya.
"Apa itu, Ki?!"
"Ilmu 'Baju Ular Emas' yang dimiliki Raja Tengkorak
palsu itu," ucap Kalpa Reksa lagi. "Kenapa dengan ilmu
itu, Ki!"
"llmu itu bukan ilmu sembarangan, Arya. Tapi ilmu
yang terhitung aneh. Bila orang yang diwarisi ilmu itu
tidak mempunyai hubungan darah dengan pemilik 'llmu
Baju Ular Emas' sebelumnya, ilmu itu tidak akan
memiliki kemampuan ke puncaknya."
Kalpa Reksa menghentikan ucapannya. Sejenak
untuk mengambil napas.
"Pada Raja Tengkorak palsu itu, kulihat 'llmu Baju
Ular Emas'nya telah mencapai puncak kesempurnaan!"
"Berarti dia memiliki hubungan darah dengan
Turgawa," ucap Arya sekenanya.
"Hal itu sepertinya mustahil, Arya," bantah Kalpa
Reksa.
"Mengapa, Ki?"
"Turgawa tidak mampu melakukan tugas
sebagaimana layaknya seorang lelaki normal terhadap
seorang wanita. Dia mandul. ltulah sebabnya,
sewaktu kami masih sama-sama berguru, dia sering
merasa iri padaku. Lalu, bagaimana dia bisa mempunyai
anak?!" jelas kakek berwajah tirus panjang lebar.
Karuan saja hal itu membuat Arya tercenung.
Benaknya berputar keras untuk mencari jawaban. Tapi
sampai lelah dia memikirkannya, tak juga jawaban
bagi pertanyaan itu diketemukannya
"Kurasa lebih baik kita menyelidikinya nanti, Ki,"
usul Dewa Arak akhimya setelah beberapa saat lamanya
tidak juga menemukan jawaban.
Kalpa Reksa sama sekali tidak menyambuti ucapan
itu. Dia masih saja tercenung.
"Lalu, apa yang akan kau lakukan, Ki?" tanya
pemuda berpakaian ungu itu ingin tahu.
"Hhh ... !" Kakek berwajah tirus itu menarik napas
dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kuat
"Mungkin aku akan menjadi Raja Tengkorak kembali,
Arya. "
"Aku belum mengerti maksudmu, Ki," ucap Dewa
Arak dengan alis berkerut.
"Aku akan terjun kembali ke dunia persilatan dengan
memakai seragam Raja Tengkorak."
"Mengapa mesti begitu, Ki?!" Dengan perasaan
heran pertanyaan itu diajukan Arya.
"Nama Raja Tengkorak telah tercemar. Musti muncul
Raja Tengkorak asli untuk memberitahukan pada dunia
persilatan kalau kekacauan ini dilakukan oleh Raja
Tengkorak palsu untuk menjelek-jelekkan julukan Raja
Tengkorak. Aku yakin itulah maksud Turgawa
memakaikan seragam tengkorak pada seorang
tokoh yang entah siapa itu," jelas Kalpa Reksa
panjang lebar.
Arya terdiam. Disadari ada kebenaran dalam ucapan
itu.
"Mari ikut aku, Arya.
Setelah berkata demikian, Kalpa Reksa segera
beranjak meninggalkan tempat itu. Melewati kelebatan
pepohonan. Sampai akhirnya tiba di depan sebatang
pohon beringin yang telah tumbang.
Sampai di sini, Kalpa Reksa menghentikan
langkahnya. Kemudian dia berjongkok, dan menggali
tanah di dekat pohon itu.
Dengan tenaga dalamnya yang sudah mencapai
tingkatan tinggi, mudah saja bagi kakek berwajah
tirus itu untuk menggali. Sekalipun tanah di situ
keras.
Tak lama kemudian terlihat sebuah peti. Kalpa Reksa
bergegas mengangkatnya.
"Di sinilah peralatan Raja Tengkorak kusimpan,"
ucap kakek berpakaian hitam itu sambil membuka tutup
peti. Dan memang, di dalam peti itu terdapat pakaian
seragam tengkorak, pisau, rantai baja berujung kepala
tengkorak dan pedang.
Tanpa mempedulikan Dewa Arak yang keheranan,
Kalpa Reksa segera mengambil pakaian seragam
tengkorak itu dan mengenakannya. Sekejap
kemudian, di hadapan Arya telah berdiri Raja Tengkorak
Pemuda berpakaian ungu itu menelan ludah ketika
menyadari tidak ada perbedaan sedikit pun antara Raja
Tengkorak palsu dengan Raja Tengkorak Kalpa
Reksa. Baik tinggi tubuhnya maupun seragamnya.
"Kini Raja Tengkorak telah siap untuk membersihkan
namanya yang dicemarkan ......
Suara yang keluar dart mulut Kalpa Reksa mirip sekali
dengan suara Raja Tengkorak palsu. Benar-benar tidak
ada bedanya sedikit pun.
"Lalu, bagaimana aku bisa membedakanmu dengan
Raja Tengkorak palsu itu, Ki? Semuanya begitu mirip,"
tanya Arya bingung.
Tidak usah khawatir, Arya. Kita buat sebuah kata
rahasia.
"Maksudmu, Ki?" Arya masih belum mengerti.
"Begini. Apabila kau bertemu dengan Raja
Tengkorak. Kau harus menyapanya, Raja Tengkorak. Nah,
nanti aku akan menjawab, 'lenyapkan'. Bagaimana paham?
Ingat, kalau jawaban yang kau terima beda, dia adalah Raja
Tengkorak palsu!"
Arya mengangguk pertanda mengerti. Sungguh tidak
disangka kalau Kalpa Reksa demikian cerdik
"Nah! Kalau begitu, aku pergi dulu. Kita bekerja sandiri-
sendiri Arya. "
Belum juga habis kata-katanya, tubuh Raja
Tengkorak alias Kalpa Reksa telah melesat cepat
meninggalkan pemuda berambut putih keperakan itu.
Arya hanya bisa memandangi kepergian Kalpa Reksa.
Sama sekali tidak disangka kalau dirinya bisa terlibat dalam
masalah yang begini pelik. Dipandanginya bayangan
tubuh Raja Tengkorak asli itu hingga lenyap ditelan
kerimbunan pepohonan. Kemudian kakinya dilangkahkan
menempuh arah yang berbeda.
Berhasilkah Kalpa Reksa melenyapkan Raja
Tengkorak Palsu alias Sengkala? Dan siapakah
sesungguhnya Sengkala itu? Apa hubungannya dengan
Turgawa, sehingga tokoh sesat yang menggiriskan itu terlihat
sangat patuh kepadanya? Lalu, bagaimanakah nasib Melati
yang belum diketahui sampai sekarang?
Untuk jelasnya, silakan para pembaca mengikuti serial
Dewa Arak selanjutnya dalam episode "Kembalinya Raja
Tengkorak".
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar