..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Sabtu, 08 Februari 2025

DEWA ARAK EPISODE RAJA TENGKORAK

Raja Tengkorak

 

AJI SAKA 

DEWA ARAK  RAJA TENGKORAK 
Kitab ke : 026

RAJA TENGKORAK 
Oleh Aji Saka 
Cetakan pertama 
Penerbit Cintamedia, Jakarta 
Gambar sampul oleh Herros 
Hak cipta pada Penerbit 
Dilarang mengcopy atau memperbanyak 
sebagian atau seluruh isi buku ini 
tanpa izin tertulis dari penerbit 
Aji Saka 
Serial Dewa Arak dalam episode: 
Raja Tengkorak 
128 hal., 12 x 18 cm 

SATU

Hari masih pagi sekali. Tampak matahari 
menyembul dari ufuk Timur. Bentuknya laksana, 
sebuah bola besar berwarna merah menyala. 
Di pagi yang cerah itu, suara kecipak air laut 
terdengar ketika seorang pemuda berambut putih 
keperakan mengayuhkan dayungnya. Sesekali dia 
menarik napas dalam-dalam untuk menghirup uda-
ra laut yang sejuk. 
"Sebenarnya kita hendak menuju kemana, 
Kang Arya?" tanya gadis cantik yang duduk di 
sebelah pemuda berambut putih keperakan. 
Pemuda itu tidak lain adalah Arya Buana atau 
yang dikenal dengan julukan Dewa Arak. Dia, 
bertubuh kekar dan berotot. Sepasang matanya 
menatap lembut ke wajah gadis berkulit,
 putih di 
sampingnya. 
Kemudian dia, melingkarkan tangannya 
perlahan ke bahu gadis berpakaian putih. Ada 
perasaan aman yang menyelinap di hati gadis 
berambut panjang dan berwarna hitam itu. 
"Coba tebak, Melati. Akan ke mana tujuan kita 
sebenarnya," ujar pemuda berambut putih 
keperakan tanpa menjawab pertanyaan gadis yang ter-
nyata bernamaMelati. Putri angkat Raja Bojong Gading. 
Arya mengetatkan lingkaran tangannya yang mengitari 
pangkal lengan gadis berkulit putih itu. Sehingga 
membuat tubuh mereka makin rapat. Melati merasakan 
kehangatan dalam dekapan Arya. 
"Sayang sekali, Kang. Aku lagi malas menebak," 
elak Melati sambil menyandarkan kepalanya di bahu 
Arya. 
Arya mengelus-elus rambut Melati beberapa saat 
lamanya. Dijumputnya beberapa helai, dan dibawa


ke arah hidungnya. Sementara tangan yang satunya 
sibuk mengayuh dayung. 
Pelan tapi pasti perahu itu melaju membelah 
permukaan laut yang tenang. 
"Ayolah, Kang. Beri tahu aku, ke mana tujuan kita 
sebenamya?" desak Melati tanpa mengangkat 
kepalanya. 
"Kita menuju Pulau Ular, Melati," jawab Arya pelan. 
"Apa ... ?! Pulau Ular?!" 
Melati terjingkat bagai disengat kalajengking. Bola 
matanya terbelalak lebar, dan menatap wajah Arya 
lekat-lekat. 
Arya mengangguk seraya mengulas senyum. 
"Memangnya kenapa, Melati?" kalem pemuda 
berpakaian ungu itu mengajukan pertanyaan. 
"Untuk apa kita ke tempat yang mengerikan itu, 
Kang?" 
Arya menarik napas dalam-dalam dan 
menghembuskannya kuat-kuat. 
"Kau ingat ceritaku tentang Kemamang Danau 
Neraka?" Dewa Arak malah balas bertanya. 
Melati menganggukkan kepala. Dia sedikit paham 
tempat itu. Karena Arya pemah menceritakan 
kepadanya ketika pemuda itu berada di Pulau Ular 
untuk mencari obat bagi kesembuhan dirinya (Untuk 
jelasnya, baca serial Dewa Arak dalam episode 
"Perjalanan Menantang Maut"). 
"Nah, aku datang untuk memenuhi janjiku, Melati," 
kata pemuda berambut putih keperakan itu. "Aku 
telah berjanji untuk menemuinya, setelah kau sembuh. 
Janji seorang gagah harus ditepati. Ingat, Melati. 
Seorang gagah sekali berkata hitam, tetap hitam. " 
"Ooo ... ! Jadi, kau adalah orang gagah, Kang?!" 
goda Melati seraya mencibirkan mulutnya. 
Kontan wajah Arya memerah.

"Ini..., eh...! Aku tidak bermaksud begitu..., maksudku 
...... 
"Ah...! Tidak usah pura-pura, Kang!" sergah Melati 
cepat. Raut wajahnya dibuat sungguh-sungguh. 
Seakan-akan dia memang tidak bermaksud menggoda 
Arya. "Tidak malu memuji-muji diri sendiri!" 
Semakin merah wajah Arya mendengar ucapan itu. 
Dia tahu Melati menggodanya. Dan, dia ingin 
meloloskan diri dari godaan gadis cantik yang duduk 
manja di sebelah dirinya. Tapi dia tak mampu 
menghindari godaan Melati. 
Di tengah kebingungan menghadapi ulah 
kekasihnya, mendadak langit berubah gelap. Halilintar 
menyambar tak henti-henti. Laut pun bergolak dahsyat 
Tak pelak lagi, perahu mereka terombangambing 
dipermainkan gelombang. 
Karuan saja perubahan cuaca yang mendadak itu 
membuat pasangan pendekar Sakti itu terperanjat 
kaget. 
"Ada apa, Kang?!" teriak Melati keras mengatasi 
suara riuh, agar suaranya dapat didengar oleh Arya. 
Wajah gadis berpakaian putih ini tampak pucat. 
Gentar dan ciut juga nyalinya melihat alam 
mempertunjukkan kekuatannya. 
"Entahlah, Melati," jawab Arya berteriak. "Mungkin 
akan terjadi badai!" 
Brakkk ... ! 
Dengan diiringi suara hiruk-pikuk yang memekakkan 
telinga, perahu itu hancur dihantam segulung ombak 
besar. Tubuh Dewa Arak dan Melati terpelanting, lalu 
tercebur ke laut. 
"Kang Arya...!" 
Melati menjerit keras ketika tubuhnya terpental ke 
dalam laut dan jatuh dipermainkan gelombang. Sesaat 
kepalanya timbul di dalam air. Tapi sekejap kemudian, 
tenggelam kembali diterpa segulung gelombang.

"Melatii ... !" teriak Arya kalap melihat tubuh 
kekasihnya lenyap. Tubuh pernuda berambut putih 
keperakan itu juga timbul tenggelam dalam alunan 
gelombang laut yang bergelora. 
Hatinya lega ketika melihat kepala Melati kembali 
timbul di permukaan taut. Dewa Arak berusaha sekuat 
tenaga berenang ke arah Melati, yang terpisah 
jauh dari dirinya. Dalam kekalutan hati, Arya 
berenang dengan mengerahkan seluruh tenaga 
dalamnya. 
Tapi apalah artinya kekuatan manusia, dibandingkan 
dengan kekuatan alam? Meskipun Arya berupaya 
sekuat tenaga mendekati Melati, tapi ombak besar 
telah menyeret putri angkat Raja Bojong Gading itu. 
Arya dan Melati makin jauh terpisah. 
Dewa Arak dan Melati sadar walaupun mereka 
memiliki kesaktian, tak mungkin dapat bertahan di taut 
yang berombak besar tanpa alat bantu. 
Arya kemudian mengalihkan perhatian ke sekeliling. 
Dia melihat papan pecahan perahu yang berserakan 
berada tak jauh dari dirinya. Tapi, tak sepotong 
papan pun berada di dekat Melati. Tanpa membuang-
buang waktu lagi, Arya segera meraih sepotong papan 
yang agak besar. 
"Melati...! Ambil papan ini ... !" 
Arya berteriak keras sambil melemparkan kepingan 
papan ke arah Melati, yang tubuhnya timbul tenggelam 
dipermainkan gelombang taut. 
Singgg ... ! Pyarrr ... ! 
Tak tanggung-tanggung lagi, seluruh tenaga dalam 
dikerahkan Dewa Arak ketika melempar kepingan papan 
ke arah putri angkat Raja Bojong Gading itu. Air laut 
memercik ke sana kemari tatkala terlanda papan yang 
dilontarkan Arya. 
Prasss ... ! 
Kepingan papan itu, mendarat di permukaan laut

dekat dengan Melati. Buru-buru Melati berenang 
menuju ke arah papan, yang dapat dipergunakan 
sebagai pelampung. 
Karena, kekhawatiran yang amat sangat akan 
keselamatan gadis yang dicintainya, tak hanya satu 
potong saja papan yang dilemparkan Arya. Dalam 
gulungan gelombang yang semakin menggila, dia terus 
mengambil papan-papan itu dan melemparkannya ke 
arah Melati. 
Pemuda berambut putih keperakan itu baru 
menghentikan kesibukannya, karena papan tinggal 
sekeping lagi. Dia segera meraihnya, dan 
berpegangan erat-erat sambil mengapungkan 
tubuhnya di permukaan taut 
Badai terus mengamuk. Laut pun bergolak. Halilintar 
tak henti-hentinya menyambar. Arya jatuh pingsan. 
Tapi, kedua tangannya mencengkeram erat papan 
itu. Entah karena naluri untuk menyelamatkan 
nyawanya. Atau, karena tangannya telah menjadi kaku. 
Sehingga mencekal erat kepingan papan yang 
berfungsi sebagai pelampung. 
Arya tidak tahu sama sekali kalau sewaktu pingsan, 
dirinya dipermainkan ornbak. Terkadang, tubuhnya 
dibawa oleh segulung ombak hingga ke puncak, lalu 
dihempaskan ke bawah. Dewa Arak yang terkenal 
menggemparkan dunia persilatan itu kini sama sekali 
tidak berdaya. Tubuhnya terapung mengikuti arah 
gelombang. 
ooOWKNBROoo 
"Uhhh...!" 
Arya mengeluh perlahan. Air menerpa wajahnya 
berkali-kali. Dan sinar matahari terik membakar 
tubuhnya, membuat dia siuman kembali. 
Pemuda berpakaian ungu itu mengerjap-ngerjapkan

sepasang matanya. Kepalanya dirasakan agak 
pusing. Arya beranjak bangkit ketika air laut kembali 
menerpa tubuhnya yang tergolek di pantai. Kontan 
sepasang matanya beredar berkeliling. 
"Ah ... ! Mengapa aku bisa berada di sini... kata 
pemuda berambut putih keperakan itu dalam hati. 
Arya segera berdiri. Benaknya berputar keras 
mengingat-ingat peristiwa yang dialaminya. Sedangkan 
kedua tangannya sibuk membersihkan butiranbutiran 
pasir yang melekat di pakaiannya. 
"Melati...," gumam Arya setelah mampu mengingat 
semua peristiwa yang menimpa dirinya dan Melati. 
Kepalanya menoleh ke sana kemari. Tapi, tetap tidak 
menemukan gadis berpakaian putih yang ikut pergi 
bersamanya. Ada rasa khawatir yang menyelinap di 
dalam hati kecilnya. Perasaan itu segera dibuangnya, 
dan dia berdoa dalam hati semoga Tuhan 
menyelamatkan kekasihnya. 
Pemuda berambut putih keperakan itu menyusuri 
tepian pantai. Sepasang matanya tertumbuk sebuah 
bongkahan. Sepercik harapan terbetik di hatinya. Dia 
segera mempercepat langkah kakinya. Namun tatkala 
jaraknya makin dekat, dia baru tahu kalau bongkahan 
itu sepotong kayu yang sudah lapuk. 
Arya sadar pantai tempat dirinya terdampar 
cukup luas. Lalu, disusurinya tepian pantai dengan 
mengerahkan ilmu meringankan tubuh. Sampai 
matahari tenggelam di Barat, tak juga dia 
menemukan Melati. Bahkan tidak ada sama 
sekali tanda-tanda kalau gadis berpakaian putih itu ter-
dampar di situ. 
"Melati...," desah Arya pilu. Sepasang matanya 
menerawang jauh menatap laut yang sudah tenang. 
Kemudian pandangannya dialihkan ke arah tempat 
dirinya terdampar. Perlahan-lahan kakinya melangkah 
memasuki hutan, mencari kayu untuk membuat rakit

yang akan digunakan untuk melanjutkan perjalanan ke 
Pulau Ular, dan mencari Melati. 
Arya bertindak hati-hati. Pulau itu berbeda 
dengan pulau-pulau yang pernah. dikunjunginya. Urat-
urat syaraf di sekujur tubuhnya menegang, pertanda dia 
senantiasa waspada dengan segala kemungkinan. 
Suasana di pulau itu mulai gelap, tapi tak 
menghalangi niatnya melanjutkan perjalanan

Pemuda berpakaian ungu itu tidak mengetahui bila 
gerak-geriknya diawasi sosok tubuh yang berlindung di 
balik pepohonan. Kemudian sosok tubuh yang 
mengenakan seragam tengkorak itu melesat cepat 
mendahului Arya.

DUA

"Aunggg ... !" 
Lolongan anjing hutan terdengar mengaung panjang, 
membuat suasana malam makin menyeramkan. Tampak 
beberapa sosok bayangan berkelebat cepat menuju 
mulut hutan. Menilik gerakan yang ringan dan gesit, 
dapat dipastikan kalau bayangan itu adalah orang-orang 
persilatan yang mempunyai kepandaian cukup tinggi. 
Tujuan mereka cuma satu, Hutan Jambak. 
"Kau percaya dengan berita yang tersebar itu, 
Juriga?" tanya seorang dari dua sosok tubuh yang 
bergerak cepat memasuki Hutan Jambak. 
DI bawah siraman sinar rembulan di langit, 
tampak jelas sosok bayangan yang berbicara itu. 
Seorang laki-laki bertubuh kekar dan berotot. Pada 
wajahnya terdapat kumis dan jenggot yang tak terurus. 
Urat tangannya tampak menonjol keluar. 
"Maksudmu..., tentang pemimpin besar kita, 
Dulimang?" sahut Juriga yang bertubuh kecil kurus. 
Sepasang matanya seperti orang mengantuk. 
Sedangkan wajahnya tampak pucat seperti orang 
berpenyakitan. 
"Ya...," sahut laki-laki kekar berotot yang 
ternyata bernama Dulimang. 
Sambil berkata demikian, Dulimang terus 
melangkahkan kakinya. Tak terdengar deru napas 
memburu ketika laki-laki bertubuh kekar dan berotot itu 
menjawab pertanyaan Juriga. Dari sini dapat diketahui 
kalau Dulimang memiliki kepandaian yang cukup tinggal 
Dulimang memalingkan kepalanya ke arah 
suara yang berasal dari mulut Juriga. Memang rekannya 
ingin menanggapi ucapan laki-laki bertubuh kekar dan 
berotot itu. Tapi karena dia diliputi rasa khawatir, tetap

saja dia melangkah ke depan. 
"Kau percaya kalau orang yang menyuruh kita 
datang ke tempat ini adalah pemimpin besar kita, 
Juriga?" Dulimang tidak sabar menunggu jawaban 
rekannya. 
"Hentikan pertanyaanmu, Dulimang. Jika kau masih 
sayang dengan nyawamu!" sergah Juriga. 
Kontan wajah Dulimang pucat pasi. Untung saja 
suasana remang-remang, sehingga warna pucat pada 
wajahnya tak nampak. Bentakan pelan itu telah 
menimbulkan rasa takut di hati laki-laki kekar 
berotot itu. Dia tahu Juriga tidak sembarangan 
bicara, karena dia sendiri telah mendengar keke jaman 
dan kesadisan pemimpinnya. 
"Tidak cukupkah surat yang ditancapi dengan pisau 
berkepala tengkorak sebagai bukti, Dulimang," 
ujar Juriga. 
Ucapan yang mengandung teguran keras itu 
membuat Dulimang terkesima. 
"Bukan aku tidak percaya, Juriga," Dulimang 
memperbaiki kata-kata yang diucapkan 
sebelumnya. Jelas laki-laki berkumis dan 
berjenggot lebat itu diliputi rasa gentar. 
"Tapi, bukankah menurut kabar yang kudengar, 
beliau telas tewas dalam sebuah pertempuran?!" 
suara yang keluar dari mulut Dulimang terdengar 
berhati-hati, pertanda ucapan rekannya tadi 
berpengaruh. 
"Siapa tahu beliau mempunyai murid atau keturunan, 
Dulimang. Apakah kau tidak berpikir sampai ke sana?" 
Dulimang terdiam mendengar dugaan yang 
dilontarkan Juriga. Disadari ucapan rekannya itu 
mengandung kebenaran. 
"Ya! Siapa tahu, tokoh yang mengundang mereka 
adalah murid atau keturunan pemimpin besar. Kenapa 
aku tak berpikir sampai ke situ?" rutuk Dulimang dalam

hati. 
Melihat rekannya membisu seribu bahasa, Juriga 
melanjutkan langkahnya. Dia merasa sudah cukup 
berbicara, dan tidak ingin berbincang-bincang 
lagi. Lalu, mereka berdua melanjutkan perjalanan 
tanpa berkata-kata sepatah pun. 
Juriga berjalan tanpa dibebani perasaan apa 
pun. Sedangkan Dulimang melangkah dengan 
segumpal rasa takut Ucapan rekannya telah 
membuat laki-laki kekar berotot itu diliputi rasa 
khawatir bukan kepalang. 
Perasaan itu muncul bukan tanpa penyebab. 
Dulimang telah mendengar kekejaman dan 
kesadisan pemimpin besar itu bila memperlakukan 
orang yang tak disukainya. Apalagi orang yang 
membicarakan tentang kejelekan dan keburukan 
dirinya. Dapat dipastikan ia akan menerima hukuman 
yang mengerikan dari pemimpin besar itu. Tak 
mengherankan bila perasaan takut menyergap diri 
Dulimang. 
Rasa takut dalam diri laki-laki yang bertubuh 
kekar dan berotot itu makin mendalam, bila diingat 
kalau ilmu yang dimiliki pemimpin besar mampu 
mengetahui orang yang berniat buruk, atau 
membicarakan dirinya. 
Kedua orang itu makin dalam memasuki hutan. 
Tampak beberapa sosok bayangan berkelebat dari 
berbagai jurusan. Mereka bergerak ke arah lapang an 
luas. Ternyata sudah banyak para tokoh 
persilatan berkumpul di sana. Dulimang dan 
Juriga segera membaur dalam kerumunan itu. 
Dulimang yang tengah dilanda rasa takut, 
memperhatikan suasana sekelilingnya. Sepasang 
matanya mengamati para tokoh persilatan yang 
hadir di situ. Jumlah mereka sekitar tiga puluh 
orang. Menilik gerak-gerik mereka, bisa diperkira

kan kalau para tokoh persilatan itu berasal dari 
aliran hitam. 
Aneh! Tak seorang pun yang berani membuka 
suara. Mereka semua diam membisu. Dari sikap 
yang ditunjukkan tokoh persilatan golongan hitam 
itu sudah bisa diperkirakan betapa besar pengaruh 
orang yang disebut pemimpin besar itu. 
Di sebuah lapangan luas, tampak gundukan batu 
sebesar kerbau setinggi satu tombak. Sekilas 
tampak wajah Dulimang pucat ketika menatap se-
batang tongkat bergagang kepala tengkorak yang 
tertancap di puncak gundukan batu. Begitulah ciri 
khas pemimpin besar mereka. 
"Aunggg...!" 
Tiba-tiba saja terdengar lolongan serigala.Wajah-
wajah yang sejak tadi tenang mulai berubah 
menegang. Mereka sudah tahu, jika serigala meng-
aung maka muncul sang pemimpin besar. Tapi, mereka 
tak mengerti hubungan kedua peristiwa itu. 
Begitu suara lolongan serigala lenyap, sebagian dari 
tokoh persilatan melihat sosok tubuh yang melintas di 
atas kepala mereka. Kemudian setelah itu sosok 
bayangan itu melakukan salto di udara. Dan.... 
Tappp... 
Gerakan yang indah dari sosok bayangan itu 
mengundang rasa kagum tokoh persilatan yang 
hadir di situ. Namun, yang lebih membuat tokoh-tokoh 
aliran hitam itu terpesona, ketika melihat sosok 
bayangan yang melakukan salto di udara tadi mendarat 
dengan mulus di atas tongkat berujung tengkorak 
kepala manusia, dalam posisi duduk bersila. 
Puluhan pasang mata tak berkedip menatap ke arah 
pemimpin besar mereka. Sungguh luar biasa kekuatan 
sorot mata tokoh persilatan yang duduk bersila di atas 
tongkat berujung tengkorak kepala manusia itu. 
Karena pandangannya yang tajam telah membuat

rasa gentar para tokoh persilatan beraliran hitam. 
Bagaikan kerbau yang dicucuk hidungnya, tokoh-
tokoh persilatan golongan hitam itu menundukkan 
kepalanya, tatkala sang pemimpin memandang tajam ke 
arah mereka. Hanya beberapa gelintir saja Yang berani 
menentang pandang pemimpin besar itu, termasuk 
Juriga dan Dulimang. 
Dulimang memperhatikan terus sang pemimpin itu. 
Tinggi tubuhnya sukar ditebak. Lantaran dia duduk 
dengan posisi bersila. Sedangkan wajahnya tak dapat 
dikenali sama sekali, karena tertutup kain bergambar 
tengkorak. 
Dulimang mengalihkan pandangan ketika sang 
pemimpin yang lebih patut disebut manusia tengkorak 
itu, menatap tajam ke arah dirinya. Dan, buru-buru 
kepalanya ditundukkan. Sebab sepasang mata Yang 
tajam itu memancarkan cahaya berwama kehijauan. 
Setelah mengedarkan pandangan, pemimpin besar 
yang mengenakan pakaian tengkorak itu menurunkan 
kedua tangannya yang semula terlipat di depan dada. 
Lalu, kedua tangan itu digerakkan ke belakang 
punggungnya. 
Gerakan yang dilakukan sang pemimpin itu perlahan 
sekali. Seolah-olah tidak ada pengerahan tenaga dalam 
sama sekali. Anehnya, tubuh laki-laki berpakaian 
tengkorak itu melesat cepat tanpa mampu ditangkap 
mata. Lalu, dia berdiri di atas gundukan batu besar. 
Tampak sosok tubuhnya yang agak kurus dan 
jangkung. 
"Di antara semua yang hadir di sini, ternyata masih 
ada, yang meragukan diriku sebagai Raja Tengkorak!" 
Cetus laki-laki bertubuh tinggi kurus itu. 
Terdengar suara yang aneh dari mulut laki-laki 
berjuluk Raja Tengkorak itu. Keanehan suara itu 
mungkin disebabkan selubung bergambar 
tengkorak yang menutupi seluruh kepalanya.

Barangkali juga dia mengerahkan tenaga dalam, 
sehingga suaranya bergema. 
"Aku tahu, ada beberapa gelintir di antara 
kalian yang tidak mempercayaj diriku. Dan, mereka 
berbicara di belakangku," Raja Tengkorak kembali 
melanjutkan ucapannya. "Tapi, itu masih bisa 
kumaklumi." 
Laki-laki bertubuh tinggi kurus itu menghentikan 
ucapannya. Sepasang matanya yang bercahaya 
kehijauan, terpaku pada wajah Dulimang. Karuan saja 
laki-laki kekar berotot itu menjadi cemas dan pucat. 
"Benarkah kabar yang tersebar bahwa Raja 
Tengkorak memiliki ilmu yang mampu mengetahui 
orang yang membicarakan dirinya?" tanya 
Dulimang dalam hati sambil tergesa-gesa 
menundukkan kepalanya. 
Laki-laki kekar berotot itu baru berani mengangkat 
kepalanya kembali ketika sang pemimpin besar itu 
melanjutkan ucapannya. 
"Perlu kalian ketahui, aku tidak dapat mengampuni 
seseorang yang secara terang-terangan menentangku!" 
tandas dan jelas sekali ucapan yang dikeluarkan Raja 
Tengkorak. 
Belum lenyap gema. ucapan Raja Tengkorak, tiba-
tiba beberapa sosok tubuh melesat dan langsung 
mendarat di bawah batu besar tempat Raja Tengkorak 
berdiri. 
"Memang, kami tidak percaya kau adalah Raja 
Tengkorak!" seru seorang dari tiga sosok tubuh 
yang kini berdiri di bawah Raja Tengkorak. Dia adalah 
seorang laki-laki bertubuh tinggi besar dan berhidung 
besar. Sebuah rompi terbuat dari kulit buaya 
membungkus tubuhnya yang berwarna coklat 
kehitaman. 
Dua orang yang mengenakan rompi yang 
sama, juga menganggukkan kepala pertanda

mendukung ucapan laki-laki berhidung besar tadi. 
"Siapa kau, Anjing Kecil?!" tanya Raja Tengkorak 
tenang. Sepasang matanya beredar berkeliling. 
Menatapi satu persatu wajah yang berdiri di, bawahnya. 
"Kami bejuluk Tiga Buaya Sungai Rampoa!" jawab 
laki-laki yang memiliki tahi lalat besar di pipi kiri. Dari 
nada suara dan dada yang dibusungkan ketika 
menjawab pertanyaan Raja Tengkorak, dapat diketahui 
kalau laki-laki bertahi lalat besar itu bangga 
dengan julukannya. 
"Hmh ...!" 
Raja Tengkorak mendengus. Dan begitu suara 
dengusannya lenyap, tubuhnya telah melayang ke 
bawah. Padahal tidak terlihat sedikit pun kalau dia 
menggerakkan kaki. Tiba-tiba dia telah berada dalam 
jarak satu setengah tombak di hadapan Tiga Buaya 
Sungai Rampoa. 
Kini Raja Tengkorak dan Tiga Buaya Sungai Rampoa 
saling berhadapan. Kedua tangan laki-laki bermata 
kehijauan itu dilipatkan di depan dada. Sementara 
kepalanya menatap ke tanah. Dia pun melangkah kecil-
kecil, tai peduli dengan kehadiran Tiga Buaya Sungai 
Rampoa. Jelas sikap Raja Tengkorak ini meremehkan 
calon lawannya. 
Melihat tingkah laki-laki bertubuh tinggi kurus itu, 
membuat hati Tiga Buaya Sungai Rampoa 
menjadi panas. Sebab, ketiga tokoh yang dijuluki 
Tiga Buaya Sungai Rampoa ini cukup ditakuti lawan dan 
disegani kawan di sepanjang Sungai Rampoa. Yang dari 
hulu sampai hilir, merupakan wilayah kekuasaannya. 
"Keparat ... !" laki-laki berhidung besar berteriak 
memaki. "Rupanya semua tulang-tulangmu ingin 
kupatahkan!" 
Ucapan itu mengenai sasarannya. Terbukti 
kepala Raja Tengkorak yang sejak tali tertunduk, tiba-
tiba mendongak. Ada suara gemeretak keras yang

keluar dari mulut laki-laki bertubuh tinggi kurus itu. 
"Cecak-cecak kudisan berani berlagak menjadi 
buaya sungguhan?!" Cetus Raja Tengkorak. 
Ucapan bemada tantangan telah dikeluarkan Raja 
Tengkorak. Rupanya meskipun kemarahan melanda 
hatinya, dia tidak ingin kehilangan kewibawaannya. 
Laki-laki bertubuh tinggi kurus ini tetap bersikap 
tenang, seperti layaknya seorang tokoh persilatan yang 
memiliki kepandaian tinggi menghadapi tokoh yang 
tingkatannya masih berada di bawah. 
Laki-laki bertahi lalat besar tidak sanggup lagi 
menahan kemarahannya. Sambil mengeluarkan pe-
kik melengking, dia melompat menerjang Raja 
Tengkorak. Sekali menyerang, tokoh Tiga 
Buaya Sungai Rampoa ini telah melancarkan pukulan 
bertubi-tubi ke arah dada, ulu hati, dan pusar 
lawannya, 
"Hmh ... !" 
Raja Tengkorak mengeluarkan suara dengusan dari 
hidung. Melihat dari gelagatnya, seolah-olah laki-laki 
tinggi kurus ini sama sekali tidak berniat mengelak atau 
menangkis serangan. Malah membiarkan setiap 
serangan lawan mengenai sasarannya. 
Sikap meremehkan itu, tentu saja membuat laki-laki 
bertahi lalat menggelegak amarahnya. 
"Raja Tengkorak palsu ini benar-benar telah 
merendahkan diriku!" pekik hati salah seorang Tiga 
Buaya Sungai Rampoa gusar. 
Bukkk, bukkk, bukkk..! 
Laki-laki bertahi lalat besar memukul bertubi-tubi 
dan tepat mengenai sasarannya. Tapi, bukan Raja 
Tengkorak yang merasa kesakitan, malah yang 
memukul menjerit menahan rasa sakit. Seolah-olah 
yang dipukul bukan tubuh manusia, melainkan 
sebongkah baja yang amat keras. 
Dua orang anggota Tiga Buaya Sungai Rampoa

terkejut melihat kelakuan rekannya. Tapi, sebagai tokoh 
persilatan yang telah mempunyai banyak pengalaman 
bertarung, segera menyadari apa yang telah terjadi. 
Maka.... 
Srettt...! 
Anggota Tiga Buaya Sungai Rampoa yang berhidung 
besar segera mencabut senjata andalannya yang 
berupa sebilah golok besar! Sedangkan rekannya, laki-
laki berbibir tebal mencabut senjatanya yang berupa 
gada panjang dan berduri. Mereka dengan 
kemampuan masing-masing segera memainkan 
senjatanya. 
Sementara itu, laki-laki bertahi lalat besar yang 
melihat kedatangan rekan-rekannya sambil 
membawa senjata, segera mencabut senjatanya 
pula yang berupa sebuah bola besi bulat sebesar 
kepala manusia, berduri, dan memiliki tangkai. Dia 
segera membuka jurus dengan memutar senjatanya 
bagai baling-baling. Sehingga menimbulkan suara 
mendesing merobek udara. 
"Hmh ...!” 
Raja Tengkorak mendengus dan 
menyunggingkan senyuman sins melihat gerakan-
gerakan lawannya. Tidak terlihat tanda-tanda kalau laki-
laki berpakaian tengkorak ini mewaspadai 
serangan yang bakal dilakukan Tiga Buaya Sungai 
Rampoa. Jelas, dia memandang remeh ketiga laki-
laki kasar itu. Tentu saja hal itu membuat darah tiga 
orang laki-laki berompi kulit buaya itu menjadi 
mendidih. Dan.... 
"Haaat... 
Serangan yang diiringi suara pekikan keras dari laki-
laki berhidung besar, melesat ke arah leher Raja 
Tengkorak, setelah terlebih dahulu memutar-mutarkan 
senjatanya di atas kepala. Sehingga menimbulkan suara 
mengaung keras pertanda kuatnya tenaga, yang

terkandung dalam putaran golok besar itu. 
Sedangkan kedua rekannya segera membuka 
jurus serangan. Mereka bergerak menyongsong 
Raja Tengkorak dari arah yang berbeda. Dan kemudian 
melancarkan serangan dengan senjata andalan masing-
masing. 
Raja Tengkorak tetap dengan sikapnya yang semula. 
Kedua tangannya masih berlipat di depan dada. 
Kepalanya menunduk menghadap ke tanah. Seolah-
olah tak ada musuh yang akan menyerangnya. Dia 
tetap saja memandang remeh ketiga orang laki-laki 
kasar berompi kulit buaya itu. 
Ketika serangan datang dari tiga jurusan itu 
menyambar dekat, tokoh yang mempunyai dandanan 
mendirikan bulu kuduk ini, menggerakkan kakinya. 
Sederhana saja gerakan yang dilakukan Raja 
Tengkorak. Tapi anehnya, tidak ada satu pun serangan 
lawan yang mampu mengenai anggota tubuhnya. 
Tidak hanya sampai di situ saja yang dilakukan laki-
laki berpakaian tengkorak itu. Setelah berhasil 
mengelakkan serangan ketiga orang lawan, kedua 
tangannya bergerak cepat. Sehingga, tangan yang 
sebenamya berjumlah dua itu jadi terlihat berjumlah 
puluhan. 
Kontan Tiga Buaya Sungai Rampoa merasakan 
Pandang mata mereka berkunang-kunang. Tapi, mereka 
berusaha menahan serangan yang akan di lancarkan 
Raja Tengkorak, dengan mengelak sebisa-bisanya, 
tapi.... 
Tuk, tuk, tuk. ! 
Suara-suara pelan terdengar disusul dengan 
lumpuhnya tangan Tiga Buaya Sungai Rampoa 
yang memegang senjata, disusul berjatuhannya 
senjata-senjata mereka ke tanah. Ternyata totokan Raja 
Tengkorak tepat sekali mendarat di belakang sikut 
mereka. Sehingga membuat tangan itu lumpuh untuk

beberapa saat. 
Wajah Tiga Buaya Sungai Rampoa kontan 
memucat, mereka sadar lawan yang dihadapi kali ini, 
memililki kepandaian yang tidak terukur. Tapi mereka 
telah terlambat. Raja Tengkorak tak akan membiarkan 
mereka hidup. Kekejaman tokoh sesat itu terhadap 
lawannya sudah sering didengar. Tiga Buaya 
Sungai Rampoa menyadari hal itu. Tapi, sebagai 
tokoh-tokoh persilatan tingkat tinggi, mereka lebih 
suka mati sebagai seekor harimau ketimbang hidup 
sebagai seekor anjing. Itulah sebabnya, meskipun tidak 
adanya senjata andalan di mereka tetap mengadakan 
perlawanan. 
Tiga Buaya Sungai Rampoa segera melancarkan 
serangan bertubi-tubi dengan tangan kosong ke arah 
tubuh Raja Tengkorak. Tapi serangan itu dengan mudah 
dapat digagalkan dengan ilmu meringankan tubuh 
yang dimiliki pemimpin besar itu. Tampaknya, dia ingin 
memperlihatkan tingkat ilmu yang dimilikinya di 
hadapan ketiga tokoh Sungai Rampoa itu. 
Hampir sepuluh jurus lamanya Raja Tengkorak 
mempermainkan lawan-lawannya. Dia sama sekali tidak 
mengadakan perlawanan, kecuali mengelakkan 
serangan yang datang. Laki-laki berpakaian tengkorak 
ini rupanya bermaksud mempermainkan lawan sebelum 
membunuhnya. 
Ketika napas lawan telah memburu karena rasa 
capek dan amarah yang menggelegak di dalam 
dada, baru Raja Tengkorak bertindak cepat. Kedua 
tangannya yang masih menggenggam senjata milik Tiga 
Buaya Sungai Rampoa, bergerak cepat membentuk 
pusingan. Sehingga mata tokoh persilatan yang 
menyaksikan pertarungan itu menjadi nanar. Begitu 
Pula yang dialami Tiga Buaya Sungai Rampoa. 
"Aaakh...!" 
Jerit kematian terdengar susul-menyusul diiringi
dengan tumbangnya satu persatu anggota Tiga 
Buaya Sungai Rampoa. Sungguh mengerikan kematian 
mereka. Seluruh tubuh tercabik-cabik, dan senjata 
andalan mereka sendiri tertancap di batok kepala 
masing-masing.

TIGA

"Siapa di antara kalian yang berminat menyusul 
mereka, silakan maju!" ujar Raja Tengkorak sambil 
mengedarkan pandangan berkeliling. 
Tegas dan jelas ucapan yang keluar dari mulut 
sosok berpakaian tengkorak itu. Sambil berkata 
begitu, jari telunjuk tangan kanannya menunjuk ke arah 
tiga sosok mayat yang tergeletak berlumuran darah. 
Tak satu pun tokoh yang berani membuka suara. 
Mereka merasa ngeri melihat kesaktian yang 
dipamerkan Raja Tengkorak. Tiga Buaya Sungai 
Rampoa adalah tokoh-tokoh persilatan yang cukup 
tangguh. Tapi, tak berdaya menghadapi Raja Tengkorak 
Kini semua kepala tokoh persilatan yang 
menyaksikan pertarungan tadi serentak tertunduk ke 
bawah. Tak satu pun yang berani mengangkat 
kepala. Kegentaran merayapi hati masing-masing to-
koh persilatan yang berkumpul di sebuah tanah 
lapang itu. 
"Perlu kalian semua ketahui ...” ujar Raja Tengkorak 
setelah melihat tidak ada orang yang menentang 
pandangannya. "Aku sengaja mengumpulkan kalian 
semua, demi kepentingan kalian juga. " 
Tokoh yang menggiriskan itu menghentikan 
ucapannya sebentar. Kembali pandangannya diedarkan 
ke sekeliling untuk mengenali raut-raut wajah yang 
tertunduk. 
"Selama ini, kulihat golongan kita selalu diruntuhkan 
oleh tokoh persilatan aliran putih. Apalagi ketika 
muncul seorang tokoh yang berjuluk Dewa Arak!" 
Sampai di sini, Raja Tengkorak kembali 
menghentikan ucapannya. Dia menoleh dan menatap 
tokoh-tokoh yang ada di sekelilingnya, untuk melihat

reaksi ucapannya. Dan memang, meskipun tidak 
ada suara-suara ribut yang terdengar. Tapi tampak 
wajah-wajah mereka memancarkan keterkejutan. Kepala 
mereka yang sejak tadi tertunduk, kontan terdongak 
mendengar nama Dewa Arak disebut 
"Aku tidak menginginkan golongan kita senantiasa 
menjadi permainan golongan putih. Dan, itu tak akan 
terjadi bila kita bersatu!" Raja Tengkorak menghentikan 
ucapannya sejenak untuk mengambil napas. 
"Aku telah melihat Dewa Arak datang ke 
daerah ini. Dan, sepanjang yang kudengar, setiap 
kali dia datang, pendekar yang usilan itu pasti 
menghancurkan golongan kita. Dan, aku tidak mau hal 
itu terjadi! Kalian mengerti?!" 
Kepala semua tokoh yang berada di situ terangguk. 
"Nah! Sebelum Dewa Arak menggilas kita. Dia harus 
kita dahului. Kita semua harus bersatu untuk 
melenyapkan Dewa Arak, agar golongan kita berjaya!" 
sambung laki-laki berpakaian tengkorak itu dengan 
suara yang lebih keras. Lantaran semangatnya 
terbangkit melihat sambutan dari orang-orang yang 
berada di sekelilingnya. 
"Aku yakin apabila kita bersatu, jangankan 
cuma ada satu Dewa Arak, biarpun ada puluhan 
Dewa Arak kita dapat melenyapkannya! 
Bagaimana! Kalian semua setuju dengan usulku?!" 
"Setuju ... !" 
Serempak puluhan tokoh persilatan itu menyahut. 
Menilik jawaban mereka yang begitu bersemangat 
dan berapi-api, dapat diketahui kalau mereka semua 
memang setuju dengan rencana itu. 
"Kita cincang Dewa Arak...!" teriak Dulimang keras 
sambil mengacungkan tangan ke atas. 
"Hancurkan semua tokoh golongan putih...!" sambut 
tokoh lainnya

"Kita rajai dunia persilatan...!" tokoh lainnya pun 
tak mau kalah. 
Dalam waktu sebentar saja, suasana di sekitar 
tempat itu sudah menjadi hiruk-pikuk oleh teriakan 
teriakan tokoh persilatan golongan hitam itu. 
Di balik selubung bergambar tengkorak, pemimpin 
baser itu tersenyum gembira. Dibiarkan puluhan tokoh-
tokoh persilatan itu berteriak semaunya. Setelah 
dirasanya cukup, tangan kanannya diangkat ke atas. 
Luar biasa! Seketika itu juga suara-suara berisik itu 
kontan lenyap. Dari pertunjukan ini sudah bisa 
diketahui kalau tokoh-tokoh persilatan aliran hitam yang 
hadir di situ, telah tunduk sepenuhnya pada Raja 
Tengkorak. 
"Untuk pertemuan kali ini, aku bisa memaklumi kalau 
yang hadir hanya beberapa orang. Untuk menambah 
pengikut, aku akan mengadakan pertemuan lagi. 
Kuminta kalian mengabarkan kepada tokoh-tokoh 
golongan kita lainnya. Kalian mengerti?!" 
"Mengerti ... !" sahut puluhan tokoh-tokoh persilatan 
itu serempak. 
"Perlu kalian ketahui, sekarang lawan yang 
paling berat dan harus kita taklukkan adalah Dewa 
Arak! Kita bungkam dia untuk selama-lamanya! 
Nah! Cukup sampai di sini pertemuan kita!" 
Setelah berkata demikian, Raja Tengkorak segera 
melesat dari tempat situ. Luar biasa! Hanya dalam 
beberapa langkah saja, tubuhnya telah lenyap 
ditelan kegelapan malam dan kerimbunan semak-
semak. 
Sepeninggal tokoh yang menggiriskan itu, suasana 
kembali menjadi riuh. Masing-masing tokoh persilatan 
berbicara, sehingga membuat suasana di tempat itu 
menjadi berisik bukan kepalang. 
Cukup lama juga tokoh-tokoh persilatan itu 
saling berbicara. Baru beberapa saat kemudian, mereka

mulai meninggalkan tempat itu. 
Suasana kembali menjadi hening seperti sediakala. 
Kini yang terdengar hanyalah suara kerik jangkerik 
dan binatang malam lainnya. 
ooOWKNBROoo 
"Uhhh ... !" 
Arya membuka mulutnya lebar-lebar. Kedua kaki 
dan tangannya dijulurkan sejauh-jauhnya. Semua itu 
dilakukannya untuk membuang rasa kantuk yang masih 
melanda. 
Perlahan-lahan sepasang kelopak matanya terbuka. 
Tapi langsung ditutup kembali. Karena merasa silau 
terkena sinar matahari pagi yang menyorot lewat celah-
celah dedaunan. Memang, pemuda berambut putih 
keperakan itu tertidur di atas sebatang pohon besar, 
yang batangnya saja memerlukan empat orang dewasa 
untuk mengukurnya. 
“Uaaah ... !" 
Arya kembali membuka mulutnya lebar-lebar. Jelas 
kalau perasaan ngantuk yang menderanya masih 
cukup kuat Kemudian setelah mengerjap-ngerjapkan 
sepasang kelopak matanya, dia bangkit dari 
berbaringnya. 
Pemuda tampan yang mengenakan pakaian 
berwarna ungu itu lalu mengulurkan tangan, untuk 
menjumput guci araknya yang tergantung di dahan 
pohon. 
Setelah menyampirkan gucinya di punggung, Arya 
lalu melompat turun. Gila! Cabang pohon yang 
tingginya dua setengah tombak dari tanah itu 
dilompatinya dengan ringan sekali. Tanpa menimbulkan 
suara sedikit pun, kedua kakinya mendarat di tanah. 
Hal ini tidak aneh karena ilmu meringankan tubuh 
pemuda berpakaian ungu itu memang amat tinggi

Begitu kedua kakinya mendarat di tanah, Arya lalu 
melangkah cepat meninggalkan pohon itu. Dia sengaja 
menggunakan ilmu meringankan tubuh, karena 
perutnya yang lapar segera minta diisi. 
Arya tak mengetahui letak desa yang paling 
dekat dari hutan ini. Padahal, rasa lapar telah begitu 
melilit perutnya. 
Itulah sebabnya Arya memutuskan untuk mencari 
makanan sendiri. Maka dia pun hendak mengisi 
perutnya dengan binatang-binatang penghuni hutan. 
Sekaligus mencari jejak Melati, walaupun sudah ada 
perasaan tidak akan bertemu dengan gadis itu di 
pulau ini. Karena tidak adanya tanda-tanda kalau Melati 
juga terdampar di sini. 
Arya mengedarkan pandangannya ke sana kemari. 
Tidak hanya itu saja, semak-semak pun dihampiri 
dan disibaknya. Tapi tetap saja tidak ditemukannya 
binatang-binatang buruan. 
Hutan yang disinggahi Dewa Arak kali ini memang 
lain dari biasanya. Banyak pohon-pohon besar 
berbatang coklat dan licin. Tak satu pun terdengar 
suara binatang-binatang yang biasanya menghuni 
hutan. 
Setelah lama mencari-cari dan tidak bertemu, Arya 
putus asa. Diambilnya keputusan untuk menghentikan 
pencarian. Lalu melangkah meninggalkan tempat itu 
tanpa mengedarkan pandang seperti sebelumnya. 
Perut yang lapar mendorong Dewa Arak 
mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya, agar dapat 
cepat keluar dari hutan. Sesaat kemudian, yang 
tampak hanya sekelebatan bayangan ungu yang 
melesat cepat. 
Entah sudah berapa lama pemuda berambut putih 
keperakan ini berlari. Yang jelas, tak lama kemudian, di 
hadapannya terlihat sebuah sungai. 
Wajah Arya seketika berseri-seri. Tak bisa

menyantap daging hewan penghuni hutan pun, tak 
mengapa. Karena kini ada makanan pengganti yang tak 
kalah lezatnya. Binatang-binatang penghuni 
sungai! Apa lagi kalau bukan ikan? 
Seketika itu juga Arya mempercepat larinya. 
Semangatnya seketika bangkit membayangkan 
perutnya akan terisi penuh binatang-binatang peng-
huni sungai itu. 
Sekejap kemudian Dewa Arak telah berada di pinggir 
sungai. Diamat-amatinya sejenak permukaan sungai 
yang berair jernih, sehingga sampai terlihat ke 
dasarnya. 
Senyum di mulut pemuda berpakaian ungu itu 
semakin lebar tatkala melihat ikan besar dan kecil 
berseliweran di bawah permukaan air. 
Tapi senyum itu perlahan mulai memudar, ketika 
menyadari dirinya tidak membawa alat untuk 
menangkap ikan! Lalu, Arya memutar otak, bagaimana 
caranya menangkap ikan tanpa menggunakan kail, 
jala, atau bubu? 
Cukup lama juga Dewa Arak memutar otaknya. 
Kemudian dia menemukan sebuah cara menangkap 
ikan. Dengan kayu panjang yang berujung runcing! 
Matra bergegas pandangannya diedarkan ke sekeliling 
mencari-cari benda yang dapat dipergunakan 
menangkap ikan. 
Mendadak Arya tersentak. Pandangannya tertumbuk 
pada sesosok tubuh, yang tengah duduk di pinggir 
sungai, dan bersandar pada pohon besar di 
belakangnya. Sebuah kail yang gagangnya 
ditancapkan di tanah, berada di depannya. Rupanya 
sosok tubuh itu tengah mengail! 
Pemuda berambut putih keperakan ini mengerutkan 
alisnya. Dia kebingungan sejenak. Mengapa tadi 
sewaktu menuju ke sungai ini dia tidak melihat sosok 
tubuh di situ? Tapi begitu pandangannya tertumbuk

pada pohon yang disandari sosok tubuh itu, Arya 
jadi maklum mengapa tadi tidak melihatnya. Orang itu 
terhalang batang pohon yang disandarinya. 
Seketika itu juga Dewa Arak lupa dengan 
maksudnya semula. Sepasang matanya menatap 
sosok tubuh yang tengah duduk bersandar itu. 
Sosok tubuh itu berpakaian hitam. Wajahnya tidak 
tampak jelas karena tertutup oleh taping lebar. 
Mendadak kayu kail itu terangguk-angguk. Talinya 
pun menegang. Jelas ada sesuatu yang telah 
menariknya dari dalam sungai. Apa lagi kalau bukan 
ikan? 
Arya mengerutkan alisnya ketika melihat orang 
berpakaian hitam itu tidak menarik pancingannya sama 
sekali. 
"Tertidurkah dia?" tanya Arya dalam hati. 
Kayu pancingan itu semakin keras teranggukangguk. 
Tapi, orang berpakaian hitam itu tidak juga menariknya. 
Maka Arya melangkah menghampirinya, dan berniat 
memberi tahu orang itu kalau umpan pada kailnya 
telah dimakan ikan. 
Selangkah demi selangkah Arya mendekati 
sosok tubuh berpakaian hitam itu. Tapi, sampai 
jaraknya tinggal satu batang tombak lagi, tetap saja 
orang berpakaian hitam itu sama sekali tidak 
bergerak 
"Matikah orang itu?" duga Arya lagi dalam hati. 
Dewa Arak memperhatikan perut orang itu, kontan 
sepasang mata pemuda berambut putih keperakan ini 
terbelalak karena tak ada gerak sama sekali di perut 
orang berbaju hitam itu. 
Bergegas Dewa Arak menghampiri orang bercaping 
lebih dekat lagi. Sepasang alisnya berkerut ketika 
melihat pakaian orang itu tidak hitam seluruhnya. Tapi 
ada lukisan aneh berwama putih. 
Begitu telah berada di dekat orang itu, Arya segera

berjongkok untuk memeriksa keadaan orang berpakaian 
hitam itu. 
Mendadak orang berpakaian hitam itu bangkit dari 
sandarannya, dan langsung mengirimkan totokan 
tangan bertubi-tubi ke arah dada dan ulu hati Dewa 
Arak. Jari-jari kedua tangan orang itu lures dan 
menegang kaku. Kedudukan jari-jari tangannya mirip 
jurus 'Ular'. 
Wuttt ... ! 
Angin yang berkesiut nyaring pertanda kalau 
serangan itu didukung pengerahan tenaga dalam 
yang kuat. 
Dewa Arak terkejut bukan kepalang. Serangan itu 
benar-benar di luar dugaannya. Dia sama sekali tidak 
siap untuk menghadapi serangan yang tiba-tiba 
seperti itu. 
Meskipun begitu, karena sudah terbiasa mendapat 
serangan mendadak, Dewa Arak bergerak cepat 
Kedua tangannya dihentakkan ke bawah untuk 
mematahkan serangan itu. 
Plak, plak ... ! 
Benturan kedua tangan yang sama-sama dialiri 
tenaga dalam itu menimbulkan suara yang amat 
keras. Usaha yang dilakukan Arya memang tidak sia-
sia. Serangan lawan berhasil dimentahkannya. 
Tapi meskipun din mampu mengelakkan serangan 
mendadak itu, tak urung bajunya di bagian dada 
berlobang sebesar jari tangan. 
Begitu telah berhasil memunahkan serangan itu, 
Dewa Arak segera bersalto ke belakang beberapa kali 
untuk memperbaiki keadaannya yang tidak 
menguntungkan. 
"Hih...!" 
Orang berpakaian hitam itu menjumput capingnya 
dan kemudian melontarkannya ke arah Dewa Arak. 
Wunggg...

Dengan diiringi suara mengaung keras, caping 
bambu itu meluncur deras ke arah kepala Arya. 
Pemuda berambut putih keperakan itu terkejut bukan 
kepalang. Saat caping lawan meluncur, tubuhnya 
tengah berada di udara. Sulit baginya untuk 
mengelakkan serangan itu. Menangkis dengan 
tangan kosong merupakan tindakan gegabah. Dari suara 
mengaung keras dapat diperkirakan kekuatan tenaga 
dalam pemiliknya. Arya berusaha mengelakkan 
serangan itu. Tubuhnya digeliatkan ke camping. Dan.... 
Crass... ! 
Meskipun sudah berusaha mengelakkan 
serangan itu, tak urung sebagian rambut Dewa Arak 
terserempet. Akibatnya rambut yang berwama putih 
keperakan itu pun putus! 
"Hup ...!" 
Tanpa suara Dewa Arak mendaratkan kedua kakinya 
di tanah, berbarengan dengan orang berpakaian hitam 
menangkap capingnya. Rupanya caping yang 
dilempar ke arah tubuh Arya tadi dapat berbalik 
kembali. 
Arya menatap wajah orang berpakaian hitam yang 
kini tidak mengenakan caping lagi. Seketika itu Pula 
sepasang mata pemuda berpakaian ungu ini 
terbelalak. Wajah dan pakaian orang berpakaian hitam 
itulah yang membuatnya terperanjat. 
Memang wajar kalau pemuda berambut putih 
keperakan ini merasa terkejut. Sosok berpakaian hitam 
itu ternyata mengenakan seragam tengkorak. Terlihat 
jelas gambar semua tulang-belulangnya. Tubuh yang 
tinggi kurus semakin menambah keangkerannya. 
"Siapa kau, Kisanak? Mengapa menyerangku?" 
tanya Dewa Arak penasaran. Sementara 
benaknya sibuk menduga-duga dan mengingat-
ingat siapa gerangan tokoh yang memiliki, ciri-ciri 
seperti itu.
"Hmh ... !" 
Laki-laki berpakaian hitam yang tak lain adalah Raja 
Tengkorak mendengus sebelum menjawab pertanyaan 
Arya. 
"Agar kau tidak mati penasaran, kuperkenalkan 
diriku. Aku adalah Raja Tengkorak! Dan maksudku 
menghadangmu di sini adalah untuk melenyapkan 
orang usilan sepertimu!" 
Setelah berkata demikian, kembali tangan lakilaki 
berpakaian tengkorak itu bergerak Dan....

EMPAT

Wunggg ... ! 
Suara berdengung keras mengiringi serangan caping 
bambu. Belum lagi serangan itu mengenal sasaran, Raja 
Tengkorak telah melepaskan ikatan rantai berujung 
tengkorak kepala manusia yang membelit pinggangnya. 
Begitu rantai yang panjangnya tak kurang dari dua 
tombak tidak lagi membelit pinggangnya, lakilaki 
bertubuh tinggi kurus itu segera memutarmutarkannya 
di atas kepala. Kemudian melontarkan ke arah Dewa 
Arak 
Meskipun mendapat serangan beruntun, Dewa Arak 
tidak gugup. Dia sudah dapat memperkirakan kekuatan 
tenaga dalam lawannya ketika tangan mereka saling 
berbenturan tali. 
Arya segera mengerahkan tenaga dalam ke 
tangan kanannya. Dengan keberanian luar biasa, 
luncuran caping bambu itu ditangkap. 
Tappp ... ! 
Caping bambu berhasil dipegang Dewa Arak, tapi 
pemuda berambut putih keperakan ini merasakan 
getaran hebat pada tangannya. 
Bukan hanya itu saja. Tanpa mampu ditahan, 
tubuhnya terhuyung ke belakang. Dari sini saja, 
sudah bisa diperkirakan betapa dahsyat tenaga 
dalam yang terkandung pada lemparan caping bambu 
itu. 
Ngunggg... 
Di saat itulah, serangan rantai berkepala tengkorak 
menyambar cepat ke arah kepala Dewa Arak. 
Jangankan kepala manusia, batu karang yang 
paling keras pun akan hancur apabila terkena 
hantaman rantai itu.

“Hih ...!" 
Sambil menggertakkan gigi, Dewa Arak melemparkan 
caping bambu ke rantai tengkorak yang mengarah ke 
tubuhnya. 
Prakkk .. ! 
Caping bambu itu hancur berkeping-keping tatkala 
berbenturan dengan kepala tengkorak yang terdapat di 
ujung rantai baja. 
Raja Tengkorak menggeram marah melihat 
serangannya berhasil dipatahkan Dewa Arak. Rantai 
berujung kepala tengkorak berputar-berputar di atas 
kepalanya. Lalu, diluncurkan kembali ke arah kepala 
Arya. 
Dewa Arak tidak berani bertindak main-main lagi. Dia 
sadar tokoh berjuluk Raja Tengkorak ini memililiki 
kepandaian luar biasa. Maka buru-buru dijumput guci 
arak yang tersampir di punggungnya. Lalu, ditenggak 
isinya. 
Gluk.. gluk... gluk...! 
Suara tegukan arak yang melewati tenggorokan 
pemuda berambut putih keperakan itu terdengar. Hanya 
dalam sekejap saja, hawa hangat menyebar di 
perutnya. Kemudian perlahan-lahan naik ke atas kepala. 
Di saat itulah, tengkorak yang berada di ujung rantai 
baja meluncur cepat ke arah kepala Dewa Arak. 
Dengan langkah terhuyung seperti akan jatuh, Arya 
memapak serangan itu dengan guci araknya. 
Klanggg ... ! 
Suara berdentang keras terdengar ketika tengkorak 
itu berbenturan dengan guci. 
Raja Tengkorak ternyata sangat ahli memainkan 
rantai berujung kepala tengkorak. Terbukti, begitu 
senjata andalannya tertangkis, langsung ditarik kembali 
dan diluncurkan cepat ke arah leher Dewa Arak. 
Jarak antara mereka terlalu jauh. Arya tahu 
keadaan itu sangat menguntungkan lawan. Sehingga

dia sulit melancarkan serangan-serangan balasan. 
Sementara lawan dengan mudah mengirim serangan ke 
arahnya. Senjata lawan yang panjang memungkinkan 
untuk melakukan gempuran yang membahayakan. 
Maka, pemuda berambut putih keperakan ini 
berusaha keras memperpendek jarak. 
Sebagai seorang yang mempunyai tingkat ke-
pandaian amat tinggi, tentu saja Raja Tengkorak tahu 
maksud Arya. Dia tidak menghendaki lawan mencapai 
jarak serang. Bila pemuda berambut putih keperakan itu 
berhasil memperkecil jarak, senjata rantai bajanya akan 
kehilangan keampuhan. 
Menyadari kelemahan senjata rantai bajanya, 
berbagai cara dilakukannya untuk mencegah maksud 
Arya. Serangan pun bertubi-tubi dilancarkan, agar bisa 
melompat mundur untuk mempertahankan jarak. Ketika 
Raja Tengkorak melompat ke belakang, serangan berikut 
segera menyusul untuk membuat pemuda berambut 
putih keperakan Itu tidak mampu mencecamya terus-
menerus. 
Arya mengeluh dalam hati. Disadari kalau keadaan 
seperti itu berlangsung terus, dia dapat dilumpuhkan 
lawan. Menilik sikap laki-laki berpakaian tengkorak ini, 
sudah bisa diperkirakan, kalau seandainya kalah, dia 
akan dibunuh! Padahal pemuda berambut putih 
keperakan itu masih mempunyai tugas yang teramat 
panting. Mencari Melati, baik hidup ataupun mati. 
Karena didorong oleh keinginan itulah Dewa Arak 
mengadakan perlawanan dengan seluruh kemampuan 
yang dimilikinya. Ilmu 'Belalang Sakti'nya 
dikeluarkan seluruhnya. Guci, kedua tangan, langkah 
kaki yang aneh, dan juga semburan-semburan arak 
semua dikeluarkan. 
Meskipun begitu, tetap saja usaha yang 
dilakukan pemuda berambut putih keperakan itu belum 
membuahkan hasil. Raja Tengkorak benar-benar

merupakan seorang tokoh sakti luar biasa. Dia 
mampu membuat semua usaha Arya untuk mende-
katinya kandas. 
Arya menggertakkan gigi. Lima puluh jurus telah 
berlalu, tapi tetap saja dia tidak mampu memperpendek 
jarak Dengan sendirinya, dia selalu menjadi pihak yang 
diserang dan didesak Untung saja dia memiliki jurus 
'Delapan Langkah Belalang' yang aneh, sehingga 
membuat setiap serangan rantai Raja Tengkorak 
selalu dapat dikandaskan. Tapi berapa lama dia akan 
mampu bertahan? 
Akhimya ketika telah berlalu enam puluh lima jurus 
dan dia belum mampu juga memperpendek jarak, Arya 
jadi tidak sabar lagi. 
"Hih...!" 
Pemuda berambut putih keperakan itu 
menghentakkan kedua tangannya ke depan. Lalu, 
meluncurkan pukulan jarak jauh dengan 
mempergunakan jurus 'Pukulan Belalang'. 
Wusss ... ! 
Angin keras berhawa panas menyengat dan 
menyambar deras ke arah Raja Tengkorak. "Hm 
...!" 
Laki-laki berpakaian tengkorak itu bergumam untuk 
menutupi perasaan kaget, setelah menerima pukulan 
jarak jauh yang dilancarkan Dewa Arak. 
Menyadari kedahsyatan pukulan jarak jauh 
Dewa Arak, Raja Tengkorak tidak berani bertindak 
sembarangan. Buru-buru dia melompat ke samping dan 
bergulingan di tanah. 
Dan, keadaan itu memang ditunggu-tunggu 
Dewa Arak. Begitu melihat lawannya melompat, dia 
segera memburu. 
"Hmh ... !" 
Raja Tengkorak mendengus. Jelas bukan dengus 
karena penyakit bengek, tapi dengus mengandung

cemoohan. Berbarengan dengan keluarnya dengusan 
itu, tangan kirinya bergerak mengibas. 
Sing, sing, sing...! 
Beberapa buah benda mirip pisau terbang 
menyambar cepat ke arah Dewa Arak. 
Arya kaget bukan kepalang. Tidak menduga sama 
sekali kalau lawan ternyata cerdik dan lihai. Dalam 
keadaan terjepit, dia masih mampu mengirim serangan 
yang membahayakan lawan. 
Semula pemuda berambut putih keperakan ini 
bermaksud menangkap benda mirip pisau yang 
menuju ke arahnya. Tapi niat itu diurungkan, tatkala 
mencium bau amis yang menyebar seiring serangan 
pisau-pisau terbang itu. 
Dengan kecepatan gerak seorang yang memiliki 
kepandaian tinggi, tangan Dewa Arak segera 
bergerak ke arah punggung. Kontan guci arak yang 
tadi tersampir di punggung ketika dia melancarkan 
jurus 'Pukulan Belalang', sudah terpegang kembali di 
tangan, dan kini berada di depan dada. 
Trang, trang, trang... 
Suara berdentang keras, diiringi bunga api yang 
memercik ke udara menyemaraki benturan antara guci 
dengan pisau-pisau terbang. Akibatnya sudah bisa 
diduga, pisau-pisau terbang akan berpentalan tak tentu 
arah. 
"Hup ...!" 
Raja Tengkorak bangkit berdiri, bersamaan dengan 
kedua kaki Dewa Arak yang menjejak di tanah. 
Secepat itu pula, tokoh sesat yang menggriskan itu 
kembali mengayunkan rantai bajanya. 
Wunggg ... ! 
Suara mengaung keras terdengar seiring de-
ngan rantai baja yang meluncur ke arah kepala 
Arya. Untuk kesekian kali, pemuda berambut putih 
keperakan itu gagal memperpendek jarak.

Arya buru-buru menundukkan kepala seraya 
merendahkan tubuh. Maka.... 
Wusss ... ! 
Rambut dan pakaian pemuda itu berkibar 
keras, ketika rantai berujung tengkorak manusia 
lewat di atas kepalanya. Jelas kalau sambaran rantai itu 
ditopang tenaga dalam yang amat kuat. 
Terdengar suara menggertak keras dari mulut Raja 
Tengkorak Laki-laki berpakaian hitam ini memang geram 
terhadap Dewa Arak. Karena selalu berhasil mematahkan 
serangannya. 
'Hih ... ! " 
Gila! Dengan sentakan yang cepat, rantai baja 
berujung tengkorak kepala manusia itu telah meluncur 
kembali ke arah Arya. Kali ini serangannya ditujukan 
pada kedua paha Arya. 
Tidak ada pilihan lain bagi pemuda berpakaian ungu 
itu, kecuali menjejakkan kaki ke tanah, dan melompat ke 
atas. Memang, hal itulah yang dilakukan Arya. 
"He he he... 
Raja Tengkorak tertawa terkekeh. Tangan kiri nya 
langsung bergerak. cepat ke balik baju. Dan, tiba-tiba 
melesat sejumlah pisau bergagang kepala tengkorak. 
Sing, sing, sing... 
Sebelum pisau-pisau terbang itu berhasil mendarat 
pads sasarannya, tangan laki-laki berpakaian 
tengkorak itu kembali bergerak. Dan, beberapa 
bilah pisau kembali menyambar ke arah Arya. 
Karuan saja serangan itu membuat Dewa Arak kaget 
bukan kepalang. Keadaan yang dihadapinya kurang 
menguntungkan. Karena ia masih berada di udara, dan 
sukar sekali menghindari pisau yang meluncur dalam 
posisi seperti itu. Yang dapat dilakukan pemuda 
berpakaian ungu ini hanyalah menangkis serangan itu. 
Arya memutar gucinya di depan dada untuk 
memapak serangan pisau. Setiap kali pisau membentur

guci, terdengar suara dentingan nyaring. 
"Akh...!" 
Arya memekik tertahan tatkala sebatang pisau 
berkepala tengkorak mengenai bahu kirinya. Rasa 
panas dan gatal-gatal, kontan menyengat di bagian 
tubuhnya yang terluka. Sesaat kemudian, pandangan 
pemuda berambut keperakan itu berkunang-kunang. 
"Hup ...!" 
Dengan tubuh agak terhuyung, Arya menjejakkan 
kakinya di tanah. Namun rasa posing yang mendera, 
membuat apa pun yang dilihatnya berputar. 
"He he he...!" 
Raja Tengkorak tertawa terkekeh. Dia tahu apa yang 
diderita Dewa Arak. Tanpa membuang-buang waktu, dia 
segera mengayunkan kembali rantai bajanya. 
Wunggg ... ! Bukkk.. 
Tubuh Arya terlempar ke belakang ketika tengkorak 
kepala manusia membentur bahu kanannya. Tak ayal 
lagi, sungai yang tak jauh dari tempat dia berdiri semula 
segera menampung tubuhnya. 
Byurrr...! 
Dewa Arak tercebur ke dalam sungai yang 
berarus cukup deras. Tak pelak lagi, tubuhnya 
diseret arus. Arya masih sadar, memang sengaja dia 
tidak melawan arus sungai. 
"Habisi dia...!" teriak Raja Tengkorak keras seraya 
jari telunjuk kirinya menunjuk ke arah tubuh Arya yang 
terapung di permukaan air. 
Arya merasa heran dan Samar-Samar mendengar 
perintah itu. Tidak salahkah pendengarannya? Sesaat 
kemudian rasa kagetnya lenyap, kesadarannya mulai 
pulih. Kendati pandangan masih ber kunang-kunang, 
tapi masih mampu menangkap beberapa sosok tubuh 
yang melompat dari atas ke sungai. 
Byurrr... ! Byurrr....! Byurrr... 
Air memercik tinggi ke atas tatkala beberapa sosok

tubuh berjatuhan di sungai. Ternyata mereka, adalah 
tokoh-tokoh aliran hitam, anak buah Raja Tengkorak. 
Mereka berenang dengan cepat dan berusaha menyusul 
Dewa Arak. 
Walaupun sepasang mata Arya hanya mampu 
menangkap sosok bayang-bayang dengan kabur. 
Tapi, dia berusaha meloloskan diri dari sergapan 
lawannya. Tak dihiraukannya lagi rasa gatal, sakit 
dan panas yang mendera bagian tubuhnya. Yang 
terpikir dalam benaknya, bagaimana menghindarkan 
dirinya dari ancaman bahaya. 
Dalam usaha untuk menyelamatkan dirinya dari 
kejaran pihak lawan, Dewa Arak meluncurkan jurus 
'Pukulan Belalang'nya. Serangan itu dilakukan 
sekenanya. Sebab pandangan matanya masih kabur 
dan tak mampu menangkap sosok lawannya. 
Deru angin keras berhawa panas susul-menyusul 
dilancarkan Dewa Arak. Tanpa dia tahu apakah 
serangan itu berhasil mengenai sasaran atau tidak. 
Sebetulnya dalam keadaan terluka seperti itu, 
menggunakan jurus 'Pukulan Belalang' terlalu ba nyak 
mengandung risiko. Karena jurus tersebut banyak 
menguras tenaga. Padahal, keadaan pemuda 
berambut putih keperakan ini sudah payah. Akibatnya, 
luka yang dideritanya pun semakin parah. 
Tapi, Arya terus saja mengirimkan jurus'Pukulan 
Belalang'nya. Tentu saja kedahsyatan pukulan itu 
makin berkurang karena kekuatannya pun semakin 
melemah. 
Serangan-serangan 'Pukulan Belalang' yang 
dilancarkan Dewa Arak terhenti, ketika pemuda 
berambut putih keperakan ini jatuh pingsan, tak 
sadarkan diri. 
Dewa Arak tidak tahu sama sekali kalau orang-orang 
yang mengejarnya, sebagian tewas terkena 'Pukulan 
Belalang'. Sedangkan sebagian lagi mengurungkan

niatnya karena serangan pemuda berambut putih 
keperakan itu datangnya bertubi-tubi. Sehingga 
memaksa mereka mundur dan naik ke darat 
"Maafkan kami, Ketua. Kami gagal memenuhi 
perintah Ketua," ucap Dulimang, salah seorang 
Yang selamat dari serangan pukulan jarak jauh 
Dewa Arak. 
"Hm ... !" hanya gumaman pelan menyambut ucapan 
laki-laki bertubuh kekar dan berotot itu. 
Sepasang matanya tertuju pada hulu sungai 
yang telah membawa tubuh Dewa Arak. 
“Tidak jadi soal, Dulimang. Yang jelas, belum ada 
orang yang berhasil selamat dari keganasan racun 
pisauku. " 
"Tapi..., mengapa Ketua menyuruh kami 
membinasakannya?" tanya Dulimang penuh keheranan 
mendengar ucapan Raja Tengkorak. 
"Aku ingin melihat dia mati dengan mata 
kepalaku sendiri," ucap laki-laki berpakaian serba hitam 
itu. 
Setelah berkata demikian, Raja Tengkorak 
melangkah meninggalkan tempat itu. Diikuti Dulimang 
dan rekan-rekannya.

LIMA

Suara senandung bernada gembira keluar dari mulut 
seorang kakek bertubuh tinggi kurus, dan berpakaian 
longgar berwarna hitam Dia duduk bersila di atas 
sebongkah batu besar yang menonjol melewati 
permukaan sungai. 
Di tangan kakek bertubuh tinggi kurus yang 
berwajah tirus, tergenggam sebatang joran. Jelas, 
kakek yang berpakaian hitam itu sedang memancing 
ikan. 
Sepintas perbuatan yang dilakukan kakek bertubuh 
tinggi kurus itu tidaklah aneh. Sebagian orang kerap 
berbuat serupa itu bila memancing. Namun, jika diamati 
secara cermat, akan terlihat keanehannya. 
Kakek bertubuh tinggi kurus itu duduk di atas 
permukaan batu besar yang berada di tengah-tengah 
sungai. Lebar sungai tak kurang dari sepuluh tombak 
Jadi, batu itu terletak dalam jarak lima tombak dari 
tepi sungai. Bagaimana kakek ini dapat duduk di situ? 
Padahal tidak ada batu yang menonjol dan dapat 
dijadikan perantara untuk tiba di situ. 
Dari keanehan itu sudah dapat diduga kalau kakek 
berpakaian hitam itu bukanlah tokoh sembarangan. 
Tidak semua tokoh persilatan mampu melompat dalam 
jarak seperti itu. Apalagi, tempat sasaran sulit 
dijangkau, seperti letak batu, tempat kakek bertubuh 
kurus memancing ikan. 
"Hup ... !" 
Kakek berwajah tirus itu menarik jorannya. Di ujung 
joran tampak seekor ikan berkelojotan. Sebetulnya, 
joran milik kakek bertubuh tinggi kurus itu tak pantas 
disebut joran. Karena tidak ada tali, pelampung dan 
mata kail. Ternyata benda itu hanya sebatang kayu

yang bentuknya mirip joran. Sungguh luar biasa cara 
kakek berbaju hitam itu memancing ikan. 
Sambil bersiul-siul, kakek bertubuh tinggi kurus itu 
menjumput ikan yang menggeliat di ujung joran. Lalu, 
dimasukkan ke dalam keranjang yang telah berisi 
ikan hasil tangkapan. 
Setelah memasukkan ikan ke dalam keranjang, kakek 
berwajah tirus itu kembali bermaksud mencelupkan 
jorannya ke dalam sungai. Tapi mendadak gerakan 
tangannya terhenti di udara, tatkala melihat sesosok 
tubuh yang terapung terbawa arus sungai, sekitar dua 
tombak di depannya. 
Semula tidak ada guratan perasaan apa pun di wajah 
kakek yang mengenakan pakaian berwarna hitam itu. 
Tapi, ketika sosok tubuh itu makin mendekat, bola 
matanya segera terbelalak. Perasaan kaget tampak 
jelas di wajah kakek yang mulai keriput itu. 
Sosok tubuh yang terapung itu mengenakan pakaian 
warna ungu. Rambutnya tampak berwarna putih 
keperakan. Siapa lagi kalau bukan Dewa Arak! 
Tidak salahkah penglihatanku ... ?" kata kakek 
berwajah tirus dengan suara bergetar. "Benarkah itu 
Kuku Tengkorak?" 
Sepasang mata kakek tinggi kurus itu menatap tak 
berkedip pada benda yang menancap di bahu kiri 
Arya. Pisau bergagang kepala tengkorak! 
Makin lama tubuh Dewa Arak makin mendekati 
tempat kakek berpakaian hitam. Begitu tubuh Arya 
lewat di dekat batu besar, tangan kakek berwajah 
tirus cepat menyambarnya. 
Tappp ... ! 
Baju bagian leher Arya dicekal kakek berpakaian 
hitam. Dan sekali tangannya bergerak, tubuh pemuda 
berambut putih keperakan terangkat naik dan 
diletakkannya di batu. 
Dan secepat tubuh itu tergeletak di atas batu, segera

pandangannya tertuju lekat pada bahu kiri Arya, tempat 
pisau bergagang tengkorak kepala tertancap. 
"Ya, Tuhan ... !" delis kakek bertubuh tinggi kurus 
sambil mendekapkan tangan ke arah wajahnya. 
"Benar-benar Kuku Tengkorak! Mungkinkah ini.,.?! 
Mustahil ... ! Apakah aku bermimpi?" 
Sambil berkata begitu, kakek berpakaian hitam 
mencabut pisau bergagang kepala tengkorak yang 
ternyata bernama Kuku Tengkorak. Diamatinya gagang 
dan mata pisau itu dengan cermat. 
Keadaan mata pisau menyeramkan bukan kepalang. 
Warnanya yang putih dan berkilat-kilat mencerminkan 
ketajaman yang luar biasa. Gagang pisau bertengkorak 
kepala manusia makin menambah keangkeran senjata 
yang membuat Arya tak berdaya. 
"Kuku Tengkorak...!" ujar kakek berpakaian hitam 
seraya menyipitkan matanya. "Andaikata kau bisa 
bercerita, pasti aku akan bertanya padamu. Kenapa kau 
bisa muncul kembali, sedangkan pemilikmu tak pernah 
terjun lagi ke dunia persilatan." 
Kakek berpakaian hitam menghentikan sejenak 
ucapannya. Raut kebingungan tampak tergambar di 
wajahnya. 
"Entah siapa pula pemuda ini," gumam kakek 
berwajah tirus itu sambil merayapi sekujur tubuh Dewa 
Arak. Kemudian diperiksanya denyut jantung dan nadi 
Arya. 
Mendadak tangan kakek berpakaian hitam itu ditarik 
kembali begitu memegang kulit Arya. 
"Gila...!" desis keterkejutan terlontar dari mulutnya. 
Betapa tidak? Sekujur tubuh pemuda berambut putih 
keperakan itu panas bukan main. Dia, merasakan ada 
getaran-getaran kuat di balik permukaan kulit. 
Sepasang mata kakek yang mengenakan pakaian 
berwama hitam itu menatap wajah Dewa Arak Dia tak 
percaya dengan pandangannya

"Tidak kelirukah aku? Tadi kurasakan ada getaran-
getaran kuat di balik kulit tubuhnya? Mungkinkah 
orang semuda ini telah memiliki tenaga dalam yang 
begitu tinggi? Kalau benar demikian, dia pasti 
seorang yang memiliki kepandaian luar biasa!" 
Mulut kakek bertubuh tinggi kurus mengucapkan 
kata-kata demikian, tapi sepasang matanya tercenung. 
Jelas ada sesuatu yang dipikirkannya. Kemudian 
diperiksanya lagi keadaan Arya. 
Kelopak mata Arya yang terpejam dibuka. Mulut pun 
dingangakan dan dengan teliti diperhatikan oleh kakek 
berpakaian hitam itu. 
"Sekujur tubuhnya telah terkena racun. Kalau saja 
dia tidak memiliki tenaga dalam yang bersih dan 
kuat, dia mungkin sudah tewas. Aku harus 
menyelamatkannya. Dialah saksi hidup yang bisa 
bercerita padaku mengenai ihwal Kuku Tengkorak ini!" 
Usai mengucapkan kata-kata demikian, kakek 
bertubuh tinggi kurus itu menatap kembali pisau 
yang bergagang tengkorak kepala. 
"Nasibmu baik, Anak Muda," bisik kakek berwajah 
tirus itu, seolah-olah berbicara dengan seseorang yang 
tidak pingsan. "Kau terjatuh ke tangan yang tepat " 
Kemudian kakek berpakaian hitam itu 
memanggul tubuh Dewa Arak Tanpa mempedulikan 
lagi joran dan hasil tangkapannya. 
"Hih ... !" 
Sekali menggenjotkan kaki, tubuh kakek berwajah 
tirus itu telah melayang, dan mendarat di pinggir sungai 
dengan mantap tanpa menimbulkan suara. Ringan sekali 
kakek itu melakukannya, padahal kedua tangannya 
memondong tubuh Arya. 
Begitu tiba di darat, kakek berpakaian hitam segera 
melesat dari situ. Gerakannya cepat sekali, sehingga 
yang terlihat hanya sekelebatan bayangan hitam. Jelas 
kalau kakek bertubuh tinggi kurus itu memiliki ilmu

meringankan tubuh yang tinggi. 
Dalam waktu sekejap saja, tubuh kakek 
berwajah tirus itu telah mengecil, dan lamat-
lamat hilang dari pandangan mata. 
ooOWKNBROoo
"Uhhh...” 
Arya menggeliat dan mengerjap-ngerjapkan 
sepasang matanya. Begitu kelopak matanya terbuka, 
tampak sepasang alis pemuda berambut putih 
keperakan itu bertaut Dia mulai sadar bahwa dirinya 
terbaring di balai-balai di sebuah ruangan yang 
sederhana. 
"Mengapa aku bisa berada di sini?" tanya Arya 
dalam hati. 
Matanya menatap ke sekeliling ruangan. Sepasang 
alisnya masih tetap saling bertaut, karena 
pemuda berpakaian ungu ini tengah mengingat-
ingat kejadian yang dialami sampai dia bisa berada di 
sini. 
Arya berusaha bangkit, tapi terpaksa diurungkan. 
Mulutnya menyeringai menahan rasa sakit. Yang sangat 
Memang, ada luka di bagian bahu kirinya. 
Pemuda berpakaian ungu itu menyibak bajunya. 
Tampak kain putih membalut bagian bahu yang terluka. 
Noda merah pada kain itu membantu Arya mengingat-
ingat peristiwa yang dialaminya. Kini dia teringat 
semua kejadiannya, sejak bertarung menghadapi Raja 
Tengkorak sampai dia tercebur di sungai. Melihat dari 
keadaannya, bisa diketahuli ada orang yang telah 
menolongnya. 
"Hmh ...!" 
Sebuah deheman pelan membuat Arya terkejut dan 
menoleh ke arah sumber suara. Mengapa suara langkah 
sama sekali tidak terdengar? Diakui kalau dia tengah

sibuk mengingat peristiwa yang menimpa dirinya. 
Di ambang pintu berdiri seorang kakek berwajah 
tirus dan berpakaian hitam. Tubuhnya tinggi kurus, dan 
kumis menghiasi bagian tengah atas bibir yang 
membuat angker. 
"Kau sudah sadar, Anak Muda?" tanya kakek 
berwajah tirus seraya tersenyum lebar. Lalu, dia 
melangkah ke arah tempat Arya terbaring. 
"Mengapa aku bisa berada di sini, Ki?" tanya Arya 
setelah terlebih dulu menganggukkan kepalanya 
membenarkan pertanyaan kakek berpakaian hitam itu. 
Begitu melihat bentuk tubuh kakek berwajah tiros itu, 
ada terselip rasa curiga di hati Arya. Bentuk tubuh kakek 
itu mirip sekali dengan Raja Tengkorak. Begitu pula 
dengan sepasang matanya, meski sedikit 
mencorong tajam dan berwana kehijauan laksana mata 
seekor harimau dalam gelap! 
Arya bergerak dan ingin bangkit. 
"Jangan bangkit dulu, Anak Muda," cegah kakek 
bertubuh tinggi kurus buru-buru. "Kau masih lelah dan 
perlu istirahat yang banyak. 
Terpaksa Dewa Arak mengurungkan maksudnya. 
Kembali ia berbaring. Di samping masih terasa lelah 
dan sakit pada bahu kirinya, dia pun tak ingin 
mengecewakan kakek berpakaian hitam yang telah 
menolongnya. 
Kakek berwajah tirus itu tersenyum lebar melihat 
Arya mengikuti nasihatnya. 
"Aku menemukan tubuhmu terbawa arus sungai. 
Kau terluka, dan kebetulan aku menguasai sedikit ilmu 
pengobatan. Karena itu kau kubawa ke rumah dan 
kurawat" 
"Ah ... ! Aku telah merepotkanmu, Ki," ucap Arya 
malu-malu. 
Kakek bertubuh tinggi kurus mengulapkan 
tangannya. Baru saja akan berbicara, terdengar suara

berkeruyuk pelan. Tapi karena kakek berpakaian hitam 
mempunyai pendengaran yang tajam, suara itu mudah 
dicerna. 
Wajah Arya kontan memerah. Dia tahu, mengapa 
kakek itu menghentikan percakapan. Apa lagi kalau 
bukan karena, suara perutnya yang lapar. "Perut tak 
tahu malu!" umpat Arya dalam hati. 
Plak! 
Kakek berwajah tirus menepak keningnya. Karuan 
saja tindakan itu membuat Arya merasa heran. Sebelum 
pemuda berpakaian ungu itu bertanya, terlebih dahulu 
kakek berbaju hitam itu berkata, "Tuan rumah macam 
apa aku ini? Tamu sudah dua hari tidak makan, belum 
juga disuguhi makanan." 
Setelah berkata, demikian, kakek berpakaian hitam 
itu melangkah keluar ruangan, meninggalkan Arya yang 
tercenung sendirian di balai-balai bambu yang 
beralaskan selembar tikar lusuh. 
Tidak salah dengarkah aku?" tanya Arya 
dalam hati. 
Ucapan kakek berpakaian hitam itu tadi bermakna 
bahwa dirinya tidak sadarkan diri selama dua hari. 
"Aku yang salah dengar atau kakek itu yang salah 
ucap? Kalau benar aku tidak sadarkan diri selama dua 
hari, wajar saja perutku dirasakan begin keroncongan," 
bisik hati Arya lagi. 
Tak lama kemudian, kakek berpakaian hitam itu 
muncul kembali dengan baki berisi makanan dan 
minuman yang masih hangat. Diletakkannya baki itu 
dekat Arya terbaring. 
"Makan dulu, Anak Muda. Nanti kita bicara lagi," 
kata kakek berwajah tirus seraya melangkah 
meninggalkan Arya. 
"Terima kasih, Ki," sahut Arya. "Aku hanya 
merepotkanmu saja." 
Tapi ucapan pemuda berambut putih keperakan

itu tidak mendapat jawaban, karena kakek berwajah 
tirus telah berlalu dari ruangan itu. 
Arya segera bangkit dari pembaringan, meskipun 
ada rasa nyeri yang menggigit. Arya menyantap bubur 
yang berisi racikan bermacam-macam sayuran hijau 
dan segelas teh hangat. 
ooOWKNBROoo 
"Kalau boleh kutahu, siapakah kakek sebenarnya? 
Maaf, bukan bermaksud lancang, tapi aku ingin 
mengenal orang yang telah menyelamatkan nyawaku," 
ujar Arya setelah kakek tinggi kurus berpakaian hitam 
kembali, dan duduk di sebuah kursi dekat balai-balai 
bambu. "Aku Arya, Ki. Arya Buana. " 
"Ha ha ha... 
Kakek berwajah tirus tertawa pelan mendengar 
pertanyaan Dewa Arak. Arya merasa lega mendengar 
kakek itu tidak merasa terkejut mendengar namanya. 
Biasanya setiap tokoh persilatan, langsung bisa 
menduga setelah dia memperkenalkan Nama. 
"Baiklah kalau kau rasa hal itu perlu, Arya," 
sahut kakek berpakaian hitam yang kini memanggil 
Dewa Arak dengan namanya. "Memang lebih baik kalau 
kita saling mengenal satu sama lain. Agar pembicaraan 
kita dapat berlangsung lebih menyenangkan. Namaku 
Kalpa Reksa. Seorang kakek yang tengah menunggu 
maut di tempat ini." 
Arya mengangguk-anggukkan kepala, tampak dia 
mulai paham kenapa kakek yang bernama Kalpa 
Reksa itu belum mendengar julukannya. Rupanya dia 
telah lama mengasingkan diri dari rimba persilatan. 
Padahal, gelar yang disandangnya baru beberapa bulan 
muncul di dunia persilatan. 
"Sekarang ceritakanlah siapa dirimu sebenarnya, 
dan mengapa bisa terkena senjata ini," ucap Kalpa

Reksa seraya menunjuk pisau bergagang tengkorak 
kepala manusia. 
Arya menarik napas panjang dan 
menghembuskannya kuat-kuat, sebelum menjawab 
pertanyaan Kalpa Reksa. 
"Ceritanya cukup panjang, Ki." 
"Ceritakanlah," sambut Kalpa Reksa bijaksana. "Aku 
bersedia mendengarkan. Kau tahu, Arya. Pisau ini 
hanya dimiliki oleh seorang tokoh yang aku tahu tidak 
pernah muncul lagi sampai sekarang. " 
"Jadi, kau mengenal pemiliknya, Ki?" tanya 
Dewa Arak. Perasaan terkejut dan ingin tahu, 
tampak tergambar jelas di wajah pemuda berambut 
putih keperakan itu. 
"Lebih dari sekadar mengenalnya, Arya. Karena itu 
ceritakan semuanya sejelas mungkin. Percayalah, aku 
akan mendengarkan ceritamu dengan sabar. " 
Arya bukan orang bodoh. Dia tahu kakek bertubuh 
tinggi kurus ini merasa keberatan menceritakan 
tentang pemilik pisau itu, karena itu dia tidak 
mendesaknya. Semua kejadian yang dialami, dituturkan 
Arya secara rinci. 
Kalpa Reksa mendengarkan cerita itu dengan penuh 
perhatian. Tak satu pun cerita pemuda berambut putih 
keperakan diselaknya. Dahinya berkernyit ketika Dewa 
Arak melukiskan mengenai orang yang dijuluki Raja 
Tengkorak. 
"Begitulah ceritanya, Ki," tutur Arya, menutup 
ceritanya. 
Dahi Dewa Arak berkerut tatkala melihat sikap Kalpa 
Reksa kebingungan. Sepasang matanya me natap lekat-
lekat pada wajah kakek yang duduk di sampingnya. 
Jelas cerita Arya telah memaksanya berpikir keras. 
"Selain senjata rantai baja berkepala tengkorak dan 
pisau ini, senjata apa lagi yang dipergunakannya?" 
tanya Kalpa Reksa setelah beberapa saat terdiam.

"Hanya itu, Ki," jawab Arya yang tengah 
diliputi perasaan heran. Tapi, ia tidak berani lancang 
menanyakan penyebab kakek berpakaian hitam itu 
kebingungan. 
"Hhh ... !" Kalpa Reksa menghembuskan papas berat 
"Semua ciri-ciri yang kau sebutkan itu, mirip dengan 
tokoh yang tidak pernah terdengar lagi namanya, 
karena ia telah menarik diri dari rimba persilatan. 
Bahkan julukan Raja Tengkorak persis sama." 
"Barangkali tokoh itu telah keluar dari 
pengasingannya, Ki?" kata Dewa Arak menduga. 
Kalpa Reksa menggelengkan kepala, pertanda 
menyangkal dugaan Arya. 
"Mengapa kau begitu yakin, Ki?" Arya heran melihat 
keyakinan kakek tinggi kurus itu. 
Kalpa Reksa diam. Tidak menjawab pertanyaan 
pemuda berpakaian ungu itu. 
"Mungkin benar, kau mengawasi gerak-geriknya. 
Tapi, boleh jadi dia memanfaatkan kelengahanmu, Ki. 
Lalu, dia keluar dari pengasingan dan terjun kembali ke 
rimba persilatan." 
Kalpa Reksa tercenung sejenak Dia menarik napas 
dalam-dalam, dan menghembuskannya kuat-kuat. Di 
dalam hati, diakuinya ucapan pemuda berambut putih 
keperakan itu mengandung kebenaran. 
"Ada baiknya kuberitahukan padamu mengenai 
Raja Tengkorak yang telah tidak pernah terdengar 
beritanya itu. Agar kau tahu kalau dugaanmu itu 
keliru," ujar Kalpa Reksa. 
"Aku tidak menuntut agar kau menceritakan tentang 
tokoh itu, Ki," Arya yang merasa tidak enak hati, buru-
buru menyelak. "Aku hanya mengajukan dugaan saja, 
Ki. " 
Kalpa Reksa mengulapkan tangannya. Dia 
memahami apa yang membuat gundah hati dan pikiran

"Aku mengerti, Arya. Tapi, agar tidak timbul 
prasangka buruk terhadap Raja Tengkorak. Aku kira 
perlu menceritakan padamu." 
Arya terdiam. Disadari kalau tidak mungkin 
mencegah kakek tinggi kurus itu menuturkan masalah 
sesungguhnya. Sebab niat Kalpa Reksa sudah demikian 
bulat untuk menceritakan tentang diri Raja Tengkorak. 
Yang dapat dilakukan pemuda berpakaian ungu ini 
hanya berdiam diri. 
"Hhh... !" 
Kalpa Reksa menghela napas berat sebelum 
berkisah. Seolah-olah ada beban berat yang 
menekan batinnya.

ENAM

''Puluhan tahun yang lalu, dunia persilatan 
digemparkan dengan munculnya Raja Tengkorak Tokoh 
yang mempunyai ciri-ciri seperti yang kau sebutkan, 
memiliki ilmu silat yang tinggi. Tak satu pun tokoh 
persilatan yang mampu menandinginya," ujar Kalpa 
Reksa membuka cerita. Sementara Arya hanya diam 
dan mendengarkan penuh perhatian. 
"Sayang, Raja Tengkorak lupa diri. Kepandaian yang 
tinggi itu disalahgunakan untuk menyiksa, membunuh, 
dan memperkosa. Sehingga di mana dia berada, pasti 
timbul kekacauan. Masyarakat pun diliputi ketakutan 
dan rasa khawatir. " 
Kakek berpakaian hitam itu menghentikan sejenak 
ceritanya untuk mengambil napas. Arya memperhatikan 
perubahan pada wajah kakek bertubuh tinggi kurus 
itu. Dia melihat ada rasa kesedihan yang mendalam 
pada wajah dan sorot mata Kalpa Reksa. 
"Karuan saja tindakan Raja Tengkorak yang brutal 
itu menimbulkan amarah tokoh-tokoh persilatan aliran 
putih. Banyak tokoh yang bangkit dan menentang, tapi 
semua digilas habis. Raja Tengkorak terlalu kuat 
untuk mereka." 
Kembali Kalpa Reksa menghentikan ceritanya. Kali 
ini sepasang bola matanya tampak berkaca-kaca. 
Jelas kalau cerita selanjutnya menyedihkan hatinya. 
"Meskipun dia dikenal jahat dan sadis, Raja 
Tengkorak mempunyai rasa kasih sayang yang besar. 
Dia sangat mengasihi istrinya. Sang istri pun 
sebenarnya tidak suka dengan perbuatan suaminya. 
Tapi apa dayanya, meskipun, telah berkali-kali 
melarang, Raja Tengkorak tetap saja menyebarkan 
maut," kembali Kalpa Reksa menghentikan ceritanya 
sejenak untuk mengambil napas.

"Raja Tengkorak ingin mempunyai seorang anak 
dari istri yang sangat dicintainya itu. Karena ia akan 
mewariskan kesaktian yang dimilikinya. Tapi keinginan 
itu tidak pernah terkabul. Buah hati yang dirindukannya 
tidak pernah muncul ke dunia," ujar Raja Tengkorak 
dengan suara tersendat 
Arya mengernyitkan dahi. Benaknya sibuk menduga-
duga hubungan Kalpa Reksa dengan Raja Tengkorak. 
"Akhimya, hadir juga seorang anak yang sudah lama 
mereka rindukan. Raja Tengkorak bahagia sekali. Dia 
berjanji akan memenuhi permintaan istri nya. 
Lagi-lagi Kalpa Reksa menghentikan ceritanya 
Tampak bibirnya yang kering itu bergetar hebat 
Jelas kalau kakek tinggi kurus itu tengah menahan 
gejolak perasaan. 
"Sungguh di luar dugaan," sambung Kalpa 
Reksa. "Istri Raja Tengkorak minta agar suaminya 
menghentikan tindakan kejahatan, dan mengundurkan 
diri dari dunia persilatan. Meskipun permintaan itu 
berat, Raja Tengkorak tetap memenuhinya. Sejak 
itulah Raja Tengkorak tidak pernah lagi membuat 
onar. Dan menarik diri dari rimba persilatan." 
Arya tidak menyangka kehidupan Raja Tengkorak 
sangat menarik. 
"Pada bulan ketiga, sejak Raja Tengkorak menarik 
diri, muncul adik seperguruannya dengan membawa 
kabar kalau Raja Tengkorak ditantang Pendekar Pedang 
Kilat di Lembah Gandar." 
"Jadi, Raja Tengkorak mempunyai saudara 
seperguruan?" tanya Arya tak tahan memendam 
rasa ingin tahunya. 
"Ya," cetus kakek berpakaian hitam seraya 
menganggukkan kepala. 
"Dari mana dia tahu kalau yang menjadi 
saudara seperguruannya adalah Raja Tengkorak?" kejar 
Dewa Arak

"Dari berita-berita yang tersebar mengenai ilmu dan 
senjata yang digunakan Raja Tengkorak," jelas Kalpa 
Reksa. 
"Lalu, bisa mengetahui tempat tinggalnya?" "Tentu 
saja dengan mencarinya, Arya," sahut Kalpa Reksa 
setengah menggoda. 
Arya pun diam. Tidak bertanya lagi. 
'Walaupun sang istri melarang, Raja Tengkorak tetap 
pergi juga. Pantang menolak tantangan. Begitulah 
prinsip dalam dunia persilatan. Setelah anak dan 
istrinya dititipkan pada adik seperguruannya, Raja 
Tengkorak pergi ke Lembah Gandar. Sampai di sana, 
dia tidak menemukan orang yang menantangnya. Maka 
dengan rasa heran, dia pun kembali ke rumahnya," 
Kalpa Reksa sejenak menghentikan ceritanya. 
Sepasang matanya yang cekung berkacakaca. Suara 
laki-laki berbaju hitam itu terdengar bergetar. 
"Hampir saja Raja Tengkorak pingsan ketika tiba 
di rumah. lstri dan anaknya tewas dalam keadaan 
menyedihkan. Wajah anak yang dicintainya rusak, dan 
sulit dikenali. Kecuali pakaian yang dikenakan bocah 
malang itu. Sementara, adik seperguruannya tidak 
dijumpai di situ. Dia menghilang," Kata Kalpa Reksa 
dengan suara tinggi dan penuh amarah. 
"Orang yang paling dungu pun bisa memperkirakan 
pelaku kejadian itu. Apalagi Raja Tengkorak," sambung 
Kalpa Reksa dengan nada suara masih meninggi. "Dia 
yakin kalau pelaku semua kekejian itu adalah adik 
seperguruannya." 
Arya tercenung. Sungguh tidak disangka kalau 
riwayat kehidupan Raja Tengkorak sangat tragis. 
"Berbulan-bulan Raja Tengkorak mencari adik 
seperguruannya yang bernama Turgawa. Ketika mereka 
bertemu, tak terhindarkan lagi pertarungan pun 
berlangsung sengit Raja Tengkorak berhasil 
membuntungi tangan kanan Turgawa. Sayang, sebelum

nyawanya dihabisi, tubuh adik seperguruannya jatuh 
ke dalam jurang yang cukup dalam. Setelah dia 
berhasil membalas dendam kesumatnya, Raja 
Tengkorak tidak pernah muncul lagi. Sejak itu, 
julukan Raja Tengkorak pun lenyap. Orang yang tidak 
mengetahui, menduga kalau Raja Tengkorak telah 
tewas," ucap Kalpa Reksa, menutup ceritanya. 
"Jadi, karena peristiwa itu Raja Tengkorak 
menyadari jalan yang ditempuhnya selama ini 
sesat" komentar Arya memberikan dugaan. 
Kalpa Reksa mengangguk. 
"Kematian istri dan anaknya telah menyadarkan Raja 
Tengkorak. Dia merasa sedih dan sepi ditinggal orang 
yang mencintai dan mengasihi dirinya." 
Arya diam. Ucapan kakek berpakaian hitam itu tak 
dihiraukannya lagi. Dia sibuk memikirkan makna cerita 
si kakek tentang Raja Tengkorak. 
"Dari cerita itu, aku dapat memperkirakan siapa 
sebenarnya Raja Tengkorak," ucap Arya tiba-tiba. 
Kalpa Reksa tersenyum getir menyambut ucapan 
pemuda berambut putih keperakan itu. 
"Boleh aku mengutarakan dugaanku, Ki?" 
"Silakan, Arya," kalem terdengar sambutan 
kakek berpakaian hitam itu. Tidak nampak lagi 
kesedihan dalam suaranya. 
"Tokoh yang berjuluk Raja Tengkorak tidak lain 
bernama Ki Kalpa Reksa," sebut Arya. "Kaulah 
orang yang berjuluk Raja Tengkorak itu, Ki." 
"Hhh ...!" 
Dengan menghela napes berat, kakek berwajah tiros 
itu menganggukkan kepala. 
"Dugaanmu tidak salah, Arya. Akulah Raja 
Tengkorak itu," terdengar pelan dan mirip desahan 
suara Kalpa Reksa. 
"Kini aku paham kenapa kau bersikeras bahwa Raja 
Tengkorak tidak pernah keluar sama sekali dari

pengasingan, karena kaulah orangnya," Arya mengerti 
mengapa kakek tinggi kurus itu membela mati-matian 
Raja Tengkorak 
"Yahhh...., begitulah, Arya...." 
'’Lalu, siapakah tokoh yang kini menjadi Raja 
Tengkorak itu?" tanya Dewa Arak bingung. 
"Seharusnya aku yang pantas lebih bingung 
daripada dirimu, Arya. Orang yang menguasai ilmu 
seperti yang kumiliki, tak lain adik seperguruanku. Tapi 
dia telah tewas. Sedangkan guruku sudah lama 
meninggal. Lalu, siapakah orang yang telah menyamar 
sebagai Raja Tengkorak?" tanya Kalpa Reksa bernada 
mengeluh. 
"Mungkin gurumu telah mengambil murid tanpa 
sepengetahuanmu, Ki," duga Arya setelah beberapa saat 
lamanya termenung. 
Kakek berpakaian hitam itu menggelengkan 
kepalanya. 
"Atau, mungkin tokoh itu adalah murid adik 
seperguruanmu?" ujar pemuda berpakaian ungu 
menduga. 
"Hm ... !" Kalpa Reksa bergumam menyambut ucapan 
Dewa Arak. 
"Boleh aku bertanya sesuatu, Ki?" ujar Arya 
memecah keheningan. 
"Silakan, Arya ...... sambut Kalpa Reksa memberi 
kesempatan. 
"Apakah dulu sewaktu Raja Tengkorak melakukan 
tindakan mempunyai pengikut?" 
Kalpa Reksa menggeleng. 
"Raja Tengkorak selalu bertindak sendiri, Arya. 
Kesombongan membuatnya berpikir tak perlu memiliki 
pengikut Ada apa, Arya?" kakek berpakaian hitam itu 
balas bertanya. 
"Raja Tengkorak yang telah melukai tubuhku banyak 
pengikutnya, Ki," ujar Dewa Arak.

Kalpa Reksa terdiam sejanak Dahinya berkernyit 
Jelas ada sesuatu yang mengganggu pikirannya, 
"Bila benar dia memiliki pengikut.., barangkali dapat 
ditarik kesimpulan ...... 
"Dia pasti mempunyai tujuan, Ki?" tebak Arya. 
"Tepat!" 
"Kira-kira tujuan mereka apa, Ki?" tanya Arya ingin tahu 
pendapat kakek berpakaian serba hitam itu. 
"Kurasa tidak jauh berbeda dari keinginanku, ketika 
masih menyandang julukan Raja Tengkorak," 
jawab Kalpa Reksa sambil mengelus-alas dagunya. 
"Apa itu, Ki!" 
"Merajai dunia persilatan! Dan mengangkat diri 
sendiri sebagai jagoan nomor satu!" tandas kakek 
bertubuh tinggi kurus. "Begitulah perasaan yang 
melandaku puluhan tahun lalu." 
Arya mengangguk-anggukkan kepala. Dia 
memaklumi keinginan seperti itu menguasai para tokoh 
persilatan tingkat tinggi. 
"Tapi, mereka pasti akan mengalami banyak 
hambatan dalam tindakannya," sambung Kalpa 
Reksa. 
"Mengapa, Ki?" kejar Dewa Arak. 
"Seorang tokoh sakti yang mengasingkan diri di 
Gunung Jawul, tergerak hatinya ketika mendengar 
kekacauan dan keonaran yang ditimbulkan Raja 
Tengkorak waktu dulu. Lalu, dia mengangkat dua orang 
murid." 
Kalpa Reksa diam sejenak, dan menarik napas 
dalam-dalam. 
"Kedua murid itu masing-masing memiliki sebuah 
perguruan silat Yang satu bernama Perguruan Gajah 
Putih, dan lainnya bernama Perguruan Banteng Sakti. 
Kedua perguruan silat itu telah banyak mencetak 
pendekar yang membela kebenaran. Raja Tengkorak itu 
pasti menemui kesukaran untuk mewujudkan cita-cita


merajai dunia persilatan," sambung Kalpa Reksa. 
Arya menganggukkan kepala. 
"Pembicaraan kali ini kurasa cukup dulu, Arya. 
Nanti, kita rundingkan lagi. Kau belum sembuh 
benar. Lebih baik kau beristirahat, agar kesehatanmu 
cepat pulih kembali." 
Setelah berkata demikian, kakek berwajah tirus itu 
meninggalkan Dewa Arak. 
Arya menyadari bahwa dirinya memang memerlukan 
istirahat Meskipun luka-luka akibat hantaman tengkorak 
kepala sudah sembuh, tapi tenaganya belum begitu 
pulih. Dan, dia harus sering bersemadi, agar tubuhnya 
segar kembali seperti semula. 
Pemuda berambut putih keperakan itu segera duduk 
bersila. Punggungnya ditegakkan, kedua tangannya 
terbuka lurus di depan dada. Lalu, Arya tenggelam 
dalam semadi. 
Sekejap kemudian suasana menjadi hening. 
Yang terdengar hanyalah suara desah napas halus, 
keluar dan masuk dari mulut dan hidung Dewa 
Arak. 
ooOWKNBROoo 
"Aunggg ..." 
Suara lolong anjing mengusik kesenyapan ma-lam. 
Bulan bulat muncul dan memancarkan sinar. Langit 
yang bersih dari awan membuat cukup benderang. 
Dalam suasana malam seperti itu, tampak 
berkelebatan sosok-sosok bayangan. Yang bergerak 
paling depan adalah laki-laki bertubuh tinggi kurus dan 
berpakaian tengkorak. Dialah yang dijuluk Raja 
Tengkorak. Terlihat pula sosok Juriga, Dulimang, dan 
sosok bayangan lainnya. Jumlah mereka tak kurang dari 
dua puluh orang. Mereka bergerak dari arah yang 
berbeda, tapi menuju satu arah.

"Dulimang ...... panggil Juriga pelan sambil terus 
melangkah. 
"Hm.... Ada apa ... ?'' tanya Dulimang. 
"Dia benar-benar seorang pemimpin. Di bawah 
perintahnya, kita akan berjaya. Tidak disangka setelah 
lenyap belasan tahun, dia muncul dengan cara baru," 
puji Juriga. 
"Ya," sahut Dulimang. "Dulu kita menganggap dia 
sebagai pemimpin, tapi bukan dalam arti yang 
sebenarnya. Sebab dia memang tak pernah menjadi 
pemimpin kita. Hm.... Apa yang membuatmu yakin kalau 
golongan kita akan berjaya di bawah pimpinannya?" 
Juriga tidak langsung menjawab pertanyaan itu Dia terus 
melangkahkan kakinya. Begitu pula dengan Dulimang. 
"Kau masih ingat, Dewa Arak yang terkenal telah 
berhasil dilenyapkan. Dan kini, kita akan menyerbu 
Perguruan Gajah Putih. Padahal perguruan itu adalah 
perguruan yang besar dan terkenal memiliki murid-
murid yang berilmu tinggi. Bila Perguruan Gajah Putih 
roboh, maka tinggal satu lagi tugas kita. Dan, jika kita 
berhasil menaklukkan yang terakhir, maka dunia 
persilatan berada di tangan kita!" 
Dulimang tidak lagi menyahuti ucapan rekannya. Dia 
tidak terlalu yakin kalau rencana Raja Tengkorak akan 
berhasil. Dia menyadari kehebatan ilmu yang dimiliki 
murid Perguruan Gajah Putih. Tapi dia tidak berani 
bicara, khawatir terdengar Raja Tengkorak. 
Kini kedua orang itu berlari cepat tanpa berbicara 
lagi. Benak mereka dirasuki pikiran sendirisendirt. 
Tak lama kemudian, mereka memperlambat gerakan 
larinya ketika berada di batik pohon dan semak-semak 
yang lebat 
Dalam jarak sekitar sepuluh tombak dari tempat 
mereka bersembunyi, tampak sebuah bangunan besar 
dan berpagar kayu tinggi. Mereka tahu di atas pintu 
gerbang, terpampang sebuah papan lebar, tebak

dan beruldr bertuliskan huruf-huruf yang berbunyi 
'Perguruan Gajah Putih'. 
Meskipun suasana di sekeliling tampak sunyi, 
Dulimang dan Juriga sadar betul di sekitar daerah itu 
banyak tokoh persilatan yang memiliki ilmu tinggi. 
Karena itu sambil menunggu saat penyerangan, mereka 
tetap waspada. 
Waktu terasa lama berlalu bagi pengikut Raja 
Tengkorak. Seolah-olah waktu bergerak seperti 
keong merayap. 
"Kaaak, kaaak, kaaak.. 
Mendadak suara berkaokan terdengar keras. Sekilas 
mirip suara burung gagak, tapi bagi orang yang jeli 
dapat mengetahui perbedaannya. Suara itu 
mempunyai irama, seperti sebuah sandi. 
Dan itu memang benar, seiring suara berkaokan 
keras lenyap, tampak dari balik semak-semak, sosok 
bayangan bergerak cepat menuju ke arah 
Perguruan Gajah Putih. Temyata suara berkaokan itu 
berasal dari Raja Tengkorak sebagai tanda 
penyerangan dimulai. 
Sosok-sosok tubuh itu bergerak cepat Tapi, 
kalah cepat dari sosok bayangan hitam yang tidak 
lain adalah Raja Tengkorak. Walaupun dia bergerak 
belakangan, dan telah tertinggal sekitar enam tombak, 
tapi dia mampu melewati tubuh belasan sosok 
bayangan yang menuju ke arah bangunan berpagar 
kayu. 
Raja Tengkorak terus melesat cepat menuju 
pintu gerbang Perguruan Gajah Putih. Dan.... Brakkk.. 
Pintu gerbang perguruan hancur dengan me-
ngeluarkan suara gaduh, ketika kedua tangan Raja 
Tengkorak menghantam pintu yang terbuat dari 
kayu jati tebal. 
Karuan saja suara ribut-ribut itu mengejutkan empat 
orang murid Perguruan Gajah Putih yang tengah

bejaga-jaga di pos. Mereka serentak melompat 
keluar, dan bergerak cepat ke arah pintu gerbang. 
Tapi salah seorang dari mereka tidak langsung 
menuju ke arah pintu gerbang, melainkan memukul 
kentongan yang berada di depan pos penjagaan. 
Tong, tong, tong...!" 
Riuh suara kentongan sebagai tanda bahaya 
mengusik keheningan malam. 
Dua orang murid Perguruan Gajah Putih yang tengah 
memeriksa sudut-sudut perguruan, terkejut ketika 
mendengar suara berderak keras dan bunyi kentongan 
yang bertalu-talu. 
Buru-buru kedua orang murid ini berlari ke arah 
pintu gerbang. Sambil berlari, yang satunya lagi 
terus memukul kentongan yang dibawa untuk 
memberitahukan adanya ancaman bahaya. 
Akibatnya sudah bisa diduga. Seisi Perguruan Gajah 
Putih pun gempar. Mereka semua bergegas keluar dari 
bangunan masing-masing sambil menyambar senjata.

TUJUH

Sementara itu tiga orang murid Perguruan 
Gajah Putih yang telah melompat keluar dari gardu 
penjagaan, terkejut bukan kepalang ketika melihat 
sosok bayangan hitam melesat cepat. Dan, kepingan 
dawn pinto gerbang yang tebal meluncur berhamburan. 
"Raja Tengkorak... !" desis salah seorang dari tiga 
murid Perguruan Gajah Putih yang berkumis tebal, 
seraya menghentikan langkah. Tangan mereka yang 
menggenggam gagang pedang sejak tadi, tampak 
bergetar hebat. 
"Ha ha ha... 
Laki-laki berpakaian tengkorak itu tertawa tergelak. 
Suara tawanya terdengar aneh, meskipun pelan, 
berat, dan bergema. Raja Tengkorak pun menghentikan 
langkah. Sehingga mereka berdiri berhadapan dalam 
jarak sekitar dua tombak. 
"Serang...!" seru murid Perguruan Gajah Putih yang 
berkumis tipis. Rupanya dialah yang menjadi kepala 
jaga hari itu. 
Seiring dengan teriakan itu, tiga orang murid 
Perguruan Gajah Putih bergerak cepat Mereka langsung 
berpencar, melangkah maju dengan sikap waspada. 
Kemudian.... 
"Haaat..!" 
Sambil mengeluarkan suara teriakan melengking 
nyaring, tiga orang murid Perguruan Gajah Putih 
menyerang Raja Tengkorak. Sadar lawan yang 
dihadapi sangat tangguh, ketiga orang itu menyerang 
serentak dari tiga jurusan. 
Sing, sing, sing... ! 
Suara berdesing nyaring terdengar ketika pedang-
pedang itu meluncur cepat ke arah Raja Tengkorak.

"Hmh... 
Laki-laki berpakaian tengkorak itu mendengus. Tidak 
tampak tanda-tanda yang menunjukkan kalau dia akan 
menyerang atau menangkis. 
Baru ketika serangan menyambar dekat ke arah 
tubuhnya, kedua tangan Raja Tengkorak bergerak cepat 
Tak, tak, tak.. 
Suara berdetak keras terdengar berkali-kali tatkala 
kedua tangan Raja Tengkorak berbenturan dengan 
senjata ketiga murid Perguruan Gajah Putih. 
Sungguh luar biasa! Ketiga pedang itu patah dan 
jatuh berserakan di tanah! 
Belum sempat ketiga orang murid Perguruan Gajah 
Putih berbuat sesuatu, kedua tangan Raja Tengkorak 
bergerak cepat 
"Akh .. !" 
Jerit kematian terdengar saling susul, ketika jari 
telunjuk Raja Tengkorak amblas ke dalam dahi 
ketiga orang murid Perguruan Gajah Putih yang 
bernasib malang itu. 
Tubuh mereka berkelojotan dan menggelepar. Lalu, 
diam dan tak bergerak-gerak lagi. Mereka tewas 
dengan dahi berlubang. 
Bertepatan dengan robohnya tiga murid Perguruan 
Gajah Putih, bermunculan tokoh-tokoh persilatan yang 
menjadi pengikut Raja Tengkorak. 
Dua orang murid Perguruan Gajah Putih yang baru 
tiba di pintu gerbang, terkejut bukan kepalang begitu 
melihat banyak tokoh persilatan yang berada. di dalam 
perguruan mereka. Rasa kaget berganti dengan 
kemarahan bercampur rasa gentar, ketika melihat mayat 
rekan mereka tergeletak di hadapan kaki Raja 
Tengkorak. 
Raja Tengkorak bertepuk tangan satu kali. Tampak 
pelan tepukannya. Tapi, sesaat kemudian terdengar 
suara dentuman keras laksana halilintar yang

menggelegar. 
Seketika itu pula, sekitar dua puluh pengikut laki-laki 
berseragam tengkorak itu meluruk maju, dan 
mengeluarkan seruan-seruan keras. 
Keadaan itu membuat dua orang murid Perguruan 
Gajah Putih tidak mempunyai pilihan lain, kecuali 
mempertahankan nyawa. Meskipun sadar kalau lawan 
terlalu banyak, dan didampingi Raja Tengkorak, tapi 
mereka setapak pun tidak mundur. Perguruan Gajah 
Putih harus dipertahankan sekalipun nyawa sebagai 
taruhannya. 
Pada saat yang bersamaan dengan para pengikut 
Raja Tengkorak menyerbu dua orang murid Perguruan 
Gajah Putih, tangan laki-laki berpakaian tengkorak itu 
bergerak mengibas. 
Singgg... 
Sinar terang berpendar ketika pisau bergagang 
tengkorak kepala meluncur cepat ke arah murid 
Perguruan Gajah Putih yang masih memukul kentongan 
tanda bahaya. 
Cappp... 
"Akh ... !" 
Murid Perguruan Gajah Putih yang tengah memukul 
kentongan itu memekik keras sebelum tubuhnya roboh 
dan jatuh ke tanah. Pisan bergagang tengkorak kepala 
menancap di dahinya. 
Nasib yang sama menimpa dua orang murid 
Perguruan Gajah Putih lainnya. Perlawanan mereka 
mudah dikandaskan pengikut Raja Tengkorak. Sekali 
gebrak mereka sudah roboh dengan sekujur tubuh 
penuh luka. Lawan yang dihadapi terlampau banyak, 
dan mereka memiliki kepandaian yang tinggi. 
Tanpa mempedulikan mayat-mayat murid Perguruan 
Gajah Putih, Raja Tengkorak dan pengikutnya bergerak 
masuk ke dalam perguruan. Tapi di tengah jalan, 
mereka berpapasan dengan muridmurid Perguruan

Suara denting senjata yang beradu, terdengar 
gaduh. Suasana malam yang semula sepi, kontan 
berubah bising. 
Murid-murid Perguruan Gajah Putih berjuang keras 
menghalau tamu-tamu yang tidak mereka undang. Tak 
mengherankan bila pertarungan yang terjadi sengit dan 
seru luar biasa. 
Perguruan Gajah Putih memiliki murid yang cukup 
banyak. Tak kurang dua puluh orang murid yang terlibat 
pertarungan. Kepandaian mereka rata-rata cukup 
tinggi. Sehingga pertarungan berlangsung imbang. 
Raja Tengkorak mengawasi dengan cermat 
jalannya pertarungan. Laki-laki berpakaian 
tengkorak ini sama sekali tidak ikut terjun dalam 
pertarungan. Dia adalah seorang tokoh sesat yang 
memiliki keangkuhan dan kesombongan. 
Lantaran mempunyai ilmu yang tinggi. 
Tak lama kemudian, korban di kedua belah 
pihak mulai berjatuhan. Darah muncrat dari 
tubuh-tubuh yang roboh, dan diiringi jerit kematian. 
Raja Tengkorak mulai tidak sabar menyaksikan 
Pertarungan yang berlangsung lama, tapi ketua 
Perguruan Gajah Putih belum juga muncul. 
"Ranjana...! Keluar kau...! Hadapi aku ... ! Kalau tidak,
semua muridmu kubantai sekarang juga... Aku, Raja 
Tengkorak menantangmu ..." 
Suara Raja Tengkorak keras bukan kepalang. 
Hal itu hanya bisa dilakukan bila disertai 
pengerahan tenaga dalam yang tinggi. Memang, 
tokoh sesat itu menggunakan tenaga dalam. Agar 
suaranya terdengar sampai ke seluruh bangunan Per

guruan Gajah Putih. 
Belum hilang gema suara tantangan laki-laki 
berseragam tengkorak, tiba-tiba terdengar suara 
penuh wibawa menyambut ucapan Raja 
Tengkorak 
"Kuterima tantanganmu, Raja Tengkorak....!” 
Seiring dengan lenyapnya suara itu, tampak 
sosok bayangan putih melesat keluar dari salah satu 
bangunan yang ada di Perguruan Gajah Putih. 
"Hup ...!" 
Tanpa menimbulkan suara, sosok bayangan 
putih itu mendaratkan sepasang kakinya dengan 
ringan. Tak jauh dari tempat Raja Tengkorak 
berdiri. 
"Ha ha ha ... !" 
Laki-laki berseragam tengkorak itu tertawa terbahak-
bahak. Sepasang matanya merayapi wajah dan 
sekujur tubuh orang yang berdiri di hadapannya. 
Yang tidak lain adalah Ranjana, Ketua Perguruan Gajah 
Putih. 
Ranjana bertubuh tegap dan berisi. Kumis, jenggot, 
dan cambang yang terawat rapi menghiasi wajahnya. 
Pakaiannya yang serba putih, dan Sulaman seekor 
gajah yang terbuat dari benang emas menempel pada 
dada kirinya, semakin menambah kegagahannya. 
"Kukira kau sudah kabur meninggalkan tempat ini, 
Ranjana," ejek Raja Tengkorak seraya tersenyum 
sinis. 
"Aku bukan orang sepertimu, Raja Tengkorak!" 
sergah Ranjana keras. Suaranya ternyata seperti 
juga penampilannya, keras dan berwibawa. "Kau akan 
lari begitu melihat keadaan tidak menguntungkan. 
Jangan samakan aku dengan dirimu!" 
"Sombong ... !" Raja Tengkorak memaki keras. "Raja 
Tengkorak pantang dihina orang!" 
Setelah berkata demikian, laki-laki berpakaian hitam


itu langsung menyerang dengan tendangan terbang ke 
arah leher Ranjana., Cepat dan berbahaya bukan 
main serangan Raja Tengkorak 
Ranjana tidak berani bersikap main-main. Nama 
besar Raja Tengkorak sudah lama didengarnya. 
Meskipun tokoh itu pernah menghilang belasan 
tahun. Tapi, ilmu dan kepandaiannya amat tinggi. Dan, 
kini tokoh sesat yang menggiriskan itu berada di 
hadapannya, dan tengah melancarkan serangan. 
Tahu betapa berbahayanya serangan serupa itu, 
laki-laki berwajah jantan itu tidak berani menangkis. 
Dia tahu dirinya akan rugi bila serangan itu 
ditangkis. Sebab tenaga lawan makin kuat 
dengan menerjang. Bila serangan itu ditangkis, 
maka kaki yang satu lagi dengan mudah menghajar 
dada, tanpa sempat terlindungi. Karena menangkis 
tendangan terbang seperti itu, lebih menguntungkan bila 
menggunakan dua buah tangan. 
Oleh karena itu, Ranjana tidak menangkis 
tendangan itu. Buru-buru dia melompat ke samping. 
Ketua Perguruan Gajah Putih itu tidak ingin mengambil 
risiko. Dia membuat gerakan menjauhi tubuh lawan. 
Karena kaki Raja Tengkorak yang satu lagi, belum 
dipergunakan. Dan, sangat berbahaya kalau dia 
mengelak tanpa menjauhkan diri. 
Berbareng dengan mendaratnya kedua kaki, 
Raja Tengkorak di tanah, Ranjana sudah siap 
menghadapi serangan lawan selanjutnya. 
Dan, memang serangan Raja Tengkorak meluncur 
secara tiba-tiba, cepat dan bertubi-tubi. Kedua 
tangannya terkembang membentuk cakar dan 
melesat ke arah ulu hati Ketua Perguruan Gajah Putih. 
Dengan diiringi suara mendecit nyaring dari udara 
yang terobek, cakar tangan Raja Tengkorak meluncur 
cepat. Ranjana sama sekali tidak menghindari 
serangan itu. Dia mengerahkan seluruh tenaga

dalam yang dimiliki, dan menyongsong serangan itu 
dengan jari-jari yang sama dengan lawan. 
Prat... 
"Akh ...!" 
Ketua Perguruan Gajah Putih memekik tertahan. 
Kedua tangannya terasa sakit-sakit bukan main. 
Terutama sekali jari-jari tangannya yang seakan-akan 
telah patah-patah tulangnya. Bukan hanya itu saja, 
tanpa dapat ditahan lagi tubuhnya terhuyung dua 
langkah ke belakang. Jelas kalau tenaga dalam Raja 
Tengkorak lebih kuat dari tenaga dalam yang dimiliki 
Ranjana. 
Belum lagi Ketua Perguruan Gajah Putih itu sempat 
memperbaiki kedudukannya, kaki kanan Raja 
Tengkorak kembali meluncur deras ke arahnya dengan 
tendangan lures ke arah dada. 
"Hih ...!" 
Meskipun dalam keadaan yang tidak 
menguntungkan, Ranjana masih mampu 
menunjukkan kalau dirinya bukan tokoh 
sembarangan yang gampang dipecundangi. Sekali 
menjejakkan kaki, tubuhnya telah melompat ke 
belakang. Sehingga tendangan itu mengenai tempat 
kosong. 
Raja Tengkorak tidak menyia-nyiakan kesempatan 
itu. Secepat tendangannya berhasil dielakkan, secepat 
itu pula tubuhnya melesat memburu tubuh Ranjana 
yang sedang melompat. Maksud laki-laki berseragam 
tengkorak ini sudah bisa diduga. Apa lagi kalau 
bukan menyerang tubuh yang akan mendarat di tanah. 
Begitu tubuh itu mendarat, serangan pun akan tiba. 
Jadi, sulit bagi laki-laki berwajah jantan itu untuk 
mengelak. 
Rupanya Ranjana juga sudah memperhitungkan 
hal itu. Sewaktu tubuhnya berada di udara, benaknya 
berputar cepat. Dan, dia segera. mencabut

pedangnya. 
"Hup ...!" 
Ketika kedua kakinya mendarat di tanah, pedang di 
tangannya dikelebatkan cepat. Dan.... 
Cappp ... ! 
Telak dan keras sekali pedang itu membabat leher 
Raja Tengkorak. Tak pelak lagi kepala tokoh sesat yang 
menggiriskan itu pun terbabat buntung. Kepalanya 
jatuh dan menggelinding di tanah. Sedangkan 
tubuhnya, tetap tegak berdiri dengan kedua kaki. 
Ranjana terkejut bukan kepalang melihat kenyataan 
ini. Mimpikah dia? Tidak salahkah penglihatannya? 
Mengapa begitu mudah membinasakan tokoh yang 
terkenal Sakti dan ditakuti itu? Berbagai macam 
pertanyaan bergayut di benaknya. 
Karena dilanda perasaan bingung, beberapa saat 
lamanya Ranjana terpaku kaku. Dia menatap mata 
pedangnya. Jelas dilihatnya ada darah yang membekas 
di sana. 
Tapi Ketua Perguruan Gajah Putih ini menjadi 
curiga. Karena kematian lawan begitu mudah. 
Apalagi tubuh itu tidak roboh ke tanah, tapi tetap berdiri 
tegak. 
Rasa curiga membuat Ranjana berusaha keras 
menenangkan pikirannya. Kini perhatiannya dialihkan 
pada tubuh tanpa kepala yang masih berdiri tegak 
Sepasang mata Ranjana terbelalak begitu melihat 
kenyataan di hadapannya. Betapa tidak? Kepala yang 
semula tergolek dengan bagian wajah menempel ke 
tanah, mendadak bergerak-gerak sendiri. Kepala itu 
hidup! Dan mendadak, kepala itu berbahk. Kini leher 
yang terbabat pedang tadi menempel dengan tanah. 
Dan mendadak kepala itu melayang. Karuan saja hal 
itu membuat Ketua Perguruan Gajah Putih terkejut 
bukan kepalang. Buru-buru dia melompat mundur, 
seraya memutarmutarkan pedangnya di depan dada.

Berjaga-jaga terhadap serangan kepala itu. 
Ternyata kekhawatirannya lama sekali tidak terbukti. 
Kepala itu tidak melayang ke arahnya, melainkan ke 
arah tubuh Raja Tengkorak yang masih berdiri 
tegak. Dan.... 
Tappp ... ! 
Begitu kepala itu menempel ke tempat semula, 
tangan Raja Tengkorak bergerak ke atas. Kemudian 
mengusap sambungan leher yang putus tertebas 
pedang. 
Ajaib! Ketika kedua tangan itu kembali diturunkan, 
sambungan pada bagian leher itu telah tidak terlihat 
lagi. 
"Ha ha ha...!" 
Raja Tengkorak tertawa bergelak-gelak Tawa 
kemenangan. Sementara Ranjana menatapnya dengan 
pandang mata memancarkan kengerian. 
"Jangan mimpi bisa mengalahkanku, Ranjana," kata 
laki-laki berpakaian tengkorak itu. Mulutnya yang 
terlindung dalam sebuah selubung bergambar 
tengkorak, tersenyum mengejek, 
"llmu iblis ... !" desis Ketua Perguruan Gajah Putih 
dengan perasaan ngeri melihat kedahsyatan ilmu 
lawannya. Dia pemah mendengar ilmu yang membuat 
seseorang tidak bisa mati. ilmu 'Rawa Rontek'. Tapi, 
sungguh tidak diduga sama sekali kalau Raja 
Tengkorak memiliki ilmu seperti itu. Dengan ilmu 'Rawa 
Rontek', bagian tubuh yang terpisah mudah bersatu 
kembali. Hanya dengan mengetahui kelemahannya, 
lawan yang memiliki ilmu itu baru bisa dibinasakan. 
"Ha ha ha... !" 
Raja Tengkorak tertawa terbahak-bahak. Sebuah 
tawa yang panjang, tapi mendadak berhenti seketika. 
"Hmh ... ! Saat kematianmu sudah tiba, Ranjana! 
Kini aku tidak akan main-main lagi!" 
Setelah berkata demikian, tokoh sesat yang

menggiriskan itu meluruskan kedua jari-jari tangan nya. 
Suara aneh mirip desah ular mengiringi terbentuknya 
kedudukan jari-jari seperti itu. 
Ranjana bersikap waspada. Dia sadar kalau Raja 
Tengkorak telah siap menggunakan ilmu andalannya. 
Sepasang mata Ketua Perguruan Gajah Putih menatap 
tak berkedip pada kedua tangan lawannya, yang tampak 
bergetar penuh kekuatan. 
"Haaat ... !" 
Laki-laki berwajah jantan ini berusaha tidak 
kalah gertak. Pedang di tangannya diputar-putarkan di 
depan dada sehingga menimbulkan suara berderit 
nyaring yang menyakitkan gendang telinga. 
"Hiyaaat..!" 
Diiringi suara teriakan melengking nyaring, Raja 
Tengkorak melompat menerjang Ranjana. Kedua 
tangannya yang terbuka lurus dan menegang kaku 
itu, menotok bertubi-tubi ke arah leher lawan. Ada suara 
bercicitan nyaring yang mengawali tibanya serangan 
itu. 
Ranjana tahu betapa berbahayanya serangan 
itu, maka buru-buru dia memutar pedangnya di 
depan dada. Cepat bukan main gerakannya, 
sehingga yang tampak hanyalah segulungan sinar 
putih yang mendindingi tubuhnya. Bila Raja Tengkorak 
memaksakan diri untuk meneruskan serangan, 
sebelum mencapai sasaran, pedang di tangan Ketua 
Perguruan Gajah Putih itu sudah terlebih dulu memenggal 
kedua tangannya. 
Aneh! Raja Tengkorak sama sekali tidak menarik 
pulang serangannya. Kedua tangannya tetap saja 
diluncurkan ke arah sasaran. 
Tak, tak, tak..! 
Suara berderak keras terdengar berkali-kali, tatkala 
kedua tangan itu berbenturan dengan pedang. Seakan-
akan yang berbenturan itu dua batang logam keras

"Ah…!" 
Tubuh Ranjana terhuyung-huyung ke belakang. 
Tangan yang menggenggam pedang terasa ngilu 
bukan kepalang. Terutama sekali jari-jari kedua 
tangannya. Terasa sakit-sakit bukan main. Sementara 
kedua tangan lawannya sama sekali tidak terluka. 
Tapi Ketua Perguruan Gajah Putih ini tidak bisa 
berpikir lebih lama lagi, karena Raja Tengkorak 
yang memang sudah ingin melenyapkannya, kembali 
maju menyerang. Pertarungan sengit pun tak 
terhindarkan. 
Ranjana melawan mati-matian. Dikerahkan seluruh 
kemampuan yang dimilikinya. Tapi tetap saja dia tidak 
mampu menandingi lawan. Kepandaian Raja 
Tengkorak memang berada di atasnya. 
Ketua Perguruan Gajah Putih ini memang kalah 
segala-galanya. Baik dalam hal ilmu meringankan 
tubuh, tenaga dalam, maupun mutu ilmu silat 
Belum lagi kelebihan Raja Tengkorak yang memiliki 
ilmu- ilmu aneh. Di antaranya, ilmu 'Rawa Rontek' yang 
membuatnya mampu hidup kembali. Meskipun 
seluruh anggota tubuhnya telah dipisahkan satu sama 
lain. 
Bukan hanya itu saja, Raja Tengkorak masih memiliki 
ilmu yang membuat kedua tangannya, kebal terhadap 
segala macam senjata. 'Ilmu Baju Ular Emas' 
namanya. 
Tak sampai tiga puluh jurus, Ketua Perguruan Gajah 
Putih itu sudah terdesak hebat Kalau semula dia 
mampu balas menyerang, kini dia tidak mampu 
melakukannya lagi. Ranjana hanya mampu mengelak. 
Menangkis pun jarang dilakukannya, karena hal itu bisa 
merugikan dirinya. Memang dengan kekuatan tenaga 
dalam yang berada di bawah lawannya, menangkis hanya 
akan menguntungkan lawan. 
Tappp .

Di jurus keempat puluh satu, pedang Ranjana 
tertangkap lawan. Dia berusaha menariknya, tapi sia-sia, 
karena Raja Tengkorak memiliki tenaga dalam yang 
lebih kuat daripadanya. Ketua Perguruan Gajah Putih itu 
melempar tubuhnya ke belakang dan bersalto beberapa 
kali. 
"Hmh ...!" 
Raja Tengkorak mendengus seraya 
melemparkan pedang lawan yang berhasi 
dirampasnya. 
Dengan diiringi suara mendesing nyaring yang 
menyakitkan telinga, pedang itu melesat ke arah tubuh 
Ranjana yang tengah berada di udara. 
Ranjana sama sekali tidak terkejut melihat hal itu, 
karena dia sudah memperkirakannya. ltuah sebabnya, 
begitu pedang itu meluncur ke arahnya, segera dia 
memapak dengan sarung pedangnya. 
Pyarrr ... ! 
Sarung pedang itu hancur berkeping-keping ketika 
berbenturan dengan pedang. 
Saat itulah Raja Tengkorak melancarkan serangan 
susulan. Memang, begitu melemparkan pedang pada 
Ranjana, tokoh sesat yang menggiriskan itu melompat 
mengirim serangan susulan. Kedua tangannya yang 
menegang kaku dan lurus, membentuk kedudukan jurus 
'Ular', bertubi-tubi ditusukkannya ke arah dada lawan. 
Wajah Ranjana pucat seketika. Dia tahu kalau tidak 
mungkin lagi mengelakkan serangan itu. Jalan satu-
satunya, hanya menangkis. Dan, itulah yang dilakukan 
Ketua Perguruan Gajah Putih ini. 
Plak plak .. ! Crottt ... ! 
"Akh ... !" 
Beberapa serangan bertubi-tubi itu berhasil 
ditangkisnya. Namun hasilnya membuat sambungan 
kedua pergelangan tangannya terlepas. Itulah 
sebabnya serangan lanjutan dari Raja Tengkorak

tidak bisa ditangkisnya lagi. 
Akibatnya, kedua tangan Raja Tengkorak amblas ke 
dalam dadanya. Cairan merah kental muncrat-muncrat 
di bagian yang tertembus tangan. 
Brukkk ... ! 
Seiring dengan jatuhnya tubuh Ranjana, Raja 
Tengkorak mendaratkan kedua kakinya ke tanah. 
Tokoh sesat yang menggiriskan itu menatap tubuh 
lawan yang masih menggeliat-geliat beberapa saat, 
sebelum akhimya diam dan tak bergerak lagi. 
"Hih... 
Raja Tengkorak melesat ke arah pertarungan antara 
pengikut-pengikutnya melawan murid-murid Perguruan 
Gajah Putih yang masih berlangsung sengit. 
Hebat luar biasa sepak terjang Raja Tengkorak. Ke 
mana saja tangannya bergerak, di situ ada tubuh murid 
Perguruan Gajah Putih yang roboh di tanah untuk 
selamanya. 
Suara lolong kesakitan yang disertai robohnya 
tubuh-tubuh murid Perguruan Gajah Putih, terdengar 
dan saling susul-menyusul. 
Hanya dalam waktu sekejap, tidak ada lagi 
murid Perguruan Gajah Putih yang masih berdiri tegak. 
Semua tergeletak di tanah dalam keadaan tidak 
bernyawa. 
"Geledah seluruh tempat ini ... ! Siapa pun yang 
kalian temukan segera dibunuh. Jangan disisakan 
seorang pun!" 
Tanpa menunggu perintah dua kali, tokohtokoh 
persilatan itu bergerak ke arah bangunan-bangunan 
yang ada di dalam markas Perguruan Gajah Putih. 
Mereka memasuki dan memeriksa setiap bangunan 
yang ada.. Sementara Raja Tengkorak menunggu di 
luar. 
Tak lama kemudian, belasan orang itu telah kembali. 
"Bagaimana?" tanya Raja Tengkorak cepat

"Semua tempat telah kami periksa, Ketua. Dan, 
beberapa orang pelayan yang ada di dalam telah 
kami bunuh!" lapor seorang yang berkepala botak dan 
bertubuh pendek. Dunia persilatan menjulukinya Setan 
Botak. 
Belasan tokoh persilatan itu bergerak cepat 
meninggalkan bangunan Perguruan Gajah Putih sambil 
meraih obor-obor yang terdapat di sudutsudut 
rumah. Kemudian dilemparkan ke arah ba ngunan. 
Ada yang melempar ke dalam, ke atap, dan ada juga 
yang ke jendela. 
Sesaat kemudian, api pun berkobar di setiap 
bangunan yang ada di situ. Mula-mula kecil, kemudian 
membesar dan membumbung tinggi. 
Raja Tengkorak dan pengikut-pengikutnya 
melangkah mundur menjauhi bangunan yang tengah 
diamuk api. Mereka memandang dari tempat yang agak 
jauh. Setelah seluruh bangunan itu dipastikan terbakar 
habis, Raja Tengkorak melesat cepat meninggalkan 
tempat itu diikuti oleh pengikutnya. 
Kini, tinggal bangunan Perguruan Gajah Putih yang 
masih diamuk api dan puluhan sosok tubuh yang 
tergolek tanpa nyawa. Tidak ada lagi suara denting 
senjata terdengar. Malam kembali hening, sepi, dan 
senyap.

DELAPAN

"Ha ha ha...!" 
Suara tawa pelan, berat tapi bergaung, mengejutkan 
Kalpa Reksa yang tengah termenung di depan 
rumahnya. Kakek berpakaian hitam ini memang tengah 
dilanda kebimbangan. Cerita Dewa Arak mengenai Raja 
Tengkoraklah yang menyebabkan dia bersikap 
demikian. Haruskah dia kembali ke dunia persilatan 
lagi? 
"Kau terkejut, Kalpa Reksa?!" ejek pemilik tawa yang 
tak lain adalah Raja Tengkorak. 
Jantung kakek berpakaian hitam ini berdebar keras 
ketika melihat sosok yang berdiri di hadapannya. 
"Raja Tengkorak...!" desis Kalpa Reksa. Meskipun 
agak lama, akhimya keluar juga sebutan itu dari 
mulutnya. 
"Ha ha ha...!" laki-laki berseragam tengkorak itu 
tertawa menyambuti ucapan Kalpa Reksa. 
"Tidak mungkin!" Cetus Kalpa Reksa ketika akhinya 
bisa menenangkan hatinya yang terguncang hebat 
Memang, pemandangan yang terlihat oleh kakek itu 
mengejutkan hatinya. 
"Raja Tengkorak sudah lama mati! Aku tahu betul hal 
itu! Kau pasti sengaja menggunakan nama besar Raja 
Tengkorak untuk kepentingan dirimu!" sambung Kalpa 
Reksa. 
"Keluarkan seluruh perasaan yang mengganjal di 
hatimu, Kalpa Reksa. Agar kau tidak mati penasaran! 
Aku datang kemari ingin menjemput nyawamu. Ingat! 
Kau telah membuat kesalahan besar! Kau masih ingat 
pada Turgawa?" 
Terdengar suara gemeretak dari mulut Kalpa Reksa 
ketika mendengar ucapan Raja Tengkorak Setup kali

nama Turgawa disebut, hatinya terasa dicabik-cabik 
dengan sebilah pedang tajam. 
"Tidak! Aku tidak akan melupakan manusia jahanam 
itu!" tegas kakek berwajah tirus dengan suaranya yang 
bergetar, karena menahan geram. Kalpa Reksa 
menghentikan ucapannya sejenak, untuk 
menenangkan deru napas yang penuh diliputi rasa 
amarah. 
"Jangan kau katakan kalau dirimu adalah Turgawa," 
kata Kalpa Reksa, seraya sepasang matanya menatap 
ke arah tangan Raja Tengkorak. Dilihatnya kedua 
tangan laki-laki berseragam tengkorak itu tampak 
masih utuh. Padahal, dia yakin kalau tangan Turgawa 
sudah tidak lengkap lagi. Karena dia telah menewasnya 
dalam pertarungan belasan tahun yang lalu. 
"Siapa bilang Raja Tengkorak itu adalah Turgawa?" 
tanya laki-laki berbaju tengkorak dengan suarra parau 
dan keras. "Kau telah salah mendengar berita, atau 
pendengaranmu sudah tak sempurna lag!?" 
Kontan Kalpa Reksa terguncang mendengar ucapan 
itu. Bukan kata-kata itu yang menjadi penyebabnya. 
Tapi suara itu amat dikenalnya betul meskipun telah 
belasan tahun tidak didengarnya lagi. Bagaimana 
mungkin dia bisa melupakan suara orang yang amat 
dibencinya? Kalpa Reksa tahu betul kalau pemilik suara 
itu adalah Turgawa! 
"Apa kabarmu, Kakang Reksa?!" 
Kembali pemilik suara yang mirip dengan suara 
Turgawa itu terdengar. 
Tengkuk Kalpa Reksa terasa dingin mendengar teguran 
itu. Tidak salah lagi. Pemilik suara itu adalah Turgawa, 
adik seperguruannya. Memang hanya Turgawa seorang 
yang memanggilnya dengan panggilan seperti itu. 
'’Mimpikah aku?!" tanya Kalpa Reksa dalam hati. 
"Tak mungkin.... Turgawa sudah tawas...... 
Untuk meyakinkan hati, tangannya dicubit. Tercekat

hati kakek berpakaian hitam ini tatkala rasa sakit 
mendera bagian tubuh yang dicubitnya. 
Ini menjadi pertanda kalau dia tidak bermimpi. Oleh 
karena itu, dengan jantung berdebar tegang, kepalanya 
ditolehkan ke arah asal suara. 
Kontan hati Kalpa Reksa tercekat, tatkala melihat 
sosok yang berdiri di sebelah kanan Raja 
Tengkorak dalam jarak sekitar dua tombak. 
"Kau.... Turgawa. ?! Tapi..., tak mungkin kau masih 
hidup ... ?!" ujar Kalpa Reksa dengan suara terputus-
putus. 
"Begitulah, Kang Reksa. Hampir dua puluh tahun aku 
menanggung dendam ini. Dan sekarang tibalah 
saatnya pembalasan dendam itu, Kalpa Reksa!" 
Setelah berkata demikian, Turgawa menoleh ke 
arah Raja Tengkorak. 
"Ayo, Sengkala! Balaskan dendamku... 
Raja Tengkorak yang temyata bernama Sengkala 
segera bergerak cepat menerjang Kalpa Reksa. Dan 
sekali menyerang, tokoh sesat yang menggiriskan itu 
telah menyerang dengan ilmu andalannya, 'llmu Baju 
Ular Emas' yang membuat kedua tangannya kebal 
terhadap segala jenis senjata tajam. 
Suara mencicit nyaring terdengar ketika kedua 
tangan Raja Tengkorak meluncur deras ke arah 
dada dan ulu hati Kalpa Reksa. 
"Hehhh ... ?! 'Ilmu Baju Ular Emas'?!" seru kakek 
berpakaian hitam terkejut "Dari mana kau curi ilmu itu, 
Raja Tengkorak Palsu?!" 
Sambil berkata begitu, Kalpa Reksa segera 
menyusun kedudukan jari yang mirip dengan jari-jari 
lawannya. Memang, dia juga menggunakan 'llmu 
Baju Ular Emas'. 
Lucu dan unik sekali pertarungan yang terjadi antara 
dua orang yang sama-sama memiliki ilmu serupa itu. 
Jalannya pertarungan sudah bisa ditebak. Karena

kedua belah pihak menggunakan ilmu yang sama, 
pertarungan berjalan tidak menarik. Hal ini tidak aneh 
karena baik Kalpa Reksa maupun Raja Tengkorak telah 
mengetahui perkembangan gerakan lawan. 
Suara mencicit nyaring mengiringi setiap gerakan 
kedua tokoh yang tengah bertarung itu. Jelas, kalau 
gerakan kedua orang itu selalu dilandasi dengan 
tenaga dalam tinggi. 
Seratus jurus telah berlalu. Dan selama itu 
belum nampak adanya tanda-tanda yang akan terdesak. 
Pertarungan masih berjalan seimbang. Hal ini 
membuat Turgawa jadi kehilangan kesabaran. 
"Sengkala ... ! Cepat robohkan dia...!" 
"Hih... 
Tubuh Raja Tengkorak melenting ke belakang dan 
bersalto beberapa kali di udara. 
Kalpa Reksa yang memang merasa marah bukan 
kepalang pada Raja Tengkorak palsu ini bergegas 
mengejar. 
Saat itulah, tangan Raja Tengkorak mengibas. Sing, 
sing, sing... ! 
Suara berdesing nyaring terdengar ketika beberapa 
batang pisau melesat dari tangan yang mengibas itu. 
Kalpa Reksa terkejut. Kemarahan yang membakar 
hatinya, dan keinginannya untuk segera menewaskan 
rekannya ini membuatnya kurang waspada sehingga 
lupa kemungkinan lawan akan mengirimkan serangan. 
Meskipun berada dalam keadaan sulit, di mana 
serangan datang pada saat tubuhnya tengah berada di 
udara, Kalpa Reksa masih mampu memunahkan 
serangan itu. Cepat-cepat kedua tangannya diturunkan, 
dan dengan berlandasan pada kedua tangan itu, 
tubuhnya melenting ke atas sehingga serangan-
serangen pisau itu meluncur lewat di bawahnya. 
Tapi rupanya serangan dari Raja Tengkorak tidak 
hanya itu saja. Begitu, serangan pisau-pisaunya

melesat ke arah lawan, tangannya bergerak cepat Dan.... 
Wunggg ... 
Rantai berujung tengkorak kepala itu meluncur cepat 
ke arah Kalpa Reksa. 
Kontan wajah kakek berpakaian hitam ini memucat 
Serangan susulan itu datang begitu tiba-tiba dan pada 
saat tubuhnya tengah melayang. Dengan sebisa-
bisanya tubuhnya digeliatkan, seraya menggerakkan 
tangan menangkap rantai itu. Kalpa Reksa bertindak 
nekat 
Tappp....!Bukkk.. 
"Hugh...!" 
Rantai baja itu berhasil ditangkap oleh Kalpa Reksa. 
Tapi tengkorak kepala itu tetap saja meluncur. Hanya 
saja meleset dari sasaran semula. Tidak lagi mengenai 
kepala melainkan bahu! 
Meskipun begitu tidak berarti akibatnya ringan buat 
kakek berpakaian hitam itu. Tubuhnya terpental. Dan 
ada cairan merah kental keluar dari mulutnya. Jelas 
Kalpa Reksa terluka dalam. 
"Hup ...!" 
Hebatnya dalam keadaan seperti itu, Kalpa 
Reksa masih mampu mendaratkan kedua kakinya 
di tanah, walaupun dengan agak terhuyung-
huyung. Darah kental menetes di sudut-sudut bibimya. 
Belum juga Kalpa Reksa berbuat sesuatu, rantai 
berujung tengkorak kepala milik Raja Tengkorak 
kembali meluncur. Dan.... 
Bukkk .. 
Telak dan keras sekali tengkorak kepala itu 
menghantam perut Kalpa Reksa. Tak pelak lagi, 
tubuh kakek itu terjengkang ke belakang dan jatuh 
bergulingan di tanah. Darah segar memancar deras dari 
mulut kakek berwajah tirus itu. 
"Biar aku yang memberikan pukulan terakhir, 
Sengkala ... !" sera Turgawa.

Raja Tengkorak mengurungkan niatnya. 
Dibiarkannya Turgawa melangkah maju menghampiri 
tubuh Kalpa Reksa yang tergolek. 
"He he he...!" Turgawa tertawa terkekeh. 
Tapi sebelum kakek bertangan carat itu menjatuhkan 
pukulan maut, sesosok bayangan ungu berkelebat 
Dan.... 
Tappp ... 
Hey... !" 
Turgawa terpekik kaget Tanpa sadar dia melompat 
mundur, karena sosok bayangan itu juga melancarkan 
kibasan ke arah kepalanya. 
"Grrrhhh ... !" 
Raja Tengkorak menggeram keras. Dan sekali 
kakinya bergerak menggenjot, tubuhnya telah melesat 
mengejar sosok bayangan ungu yang telah membawa 
lari Kalpa Reksa. 
Tapi sosok bayangan ungu itu sudah 
memperhitungkan hal itu. Tubuhnya berbalik sebentar. 
Dan Langan kanannya yang bebas, karena tubuh Kalpa 
Reksa dipanggul di bahu kiri, dihentakkan. 
Wusss ... ! 
Angin keras berhawa panas menyengat menyambar 
ke arah Raja Tengkorak. 
Tokoh sesat yang menggiriskan itu terperanjat Dia 
tahu kalau lawan telah mengirimkan sebuah pukulan 
jarak jauh yang dahsyat Maka dia tidak berani 
bertindak sembrono. Buru-buru dia melompat ke 
samping kanan dan bergulingan menjauh. 
Kesempatan yang hanya sedikit itu dipergunakan 
sebaik-baiknya oleh sosok bayangan ungu itu. 
Tubuhnya melesat cepat ke batik kerimbunan 
pepohonan. 
"Keparat...!" 
Begitu bangkit, Raja Tengkorak memaki lawannya 
yang telah lenyap. Lebatnya hutan menyulitkannya

untuk mengetahui arah sosok bayangan ungu itu 
melarikan diri 
"Menilik dari pakaian dan rambutnya, aku yakin 
dia adalah Dewa Arak..! Tapi begitu saktikah dia 
sehingga tidak tewas oleh pisau beracunku...!" kata 
Raja Tengkorak pelan. Memang, dia telah melihat 
sekilas ciri-ciri, sang penolong itu. 
"Aku lebih condong menduga kalau dia diselamatkan 
oleh Kalpa Reksa, Sengkala ... !" 
"Hm ... !" Raja Tengkorak hanya bergumam pelan. 
"Sudahlah ... ! Mari kita kembali. Masih banyak waktu 
lagi untuk membereskannya!". Turgawa mencoba 
menenangkan hati tokoh sesat yang menggiriskan itu. 
"Hhh ...!" 
Raja Tengkorak menghela napas berat sebelum 
akhimya melangkah meninggalkan tempat itu bersama 
Turgawa. 
ooOWKNBROoo 
"Cukup, Arya... !" kata Kalpa Reksa. 
Dan Dewa Arak yang duduk bersila sambil 
menempelkan kedua tapak tangannya untuk 
menyembuhkan luka dalam kakek berpakaian hitam itu, 
dengan cara menyalurkan tenaga dalam secara per-
lahan-lahan menarik kedua tangannya. 
Kalpa Reksa membalikkan tubuh. Kini dia 
berhadapan dengan Arya. 
"Kau telah melihat Raja Tengkorak itu, Ki?" tanya 
Arya dengan nada menuntut. 
"Yahhh ... !" jawab Kalpa Reksa dengan suara 
mendesah. "Dia benar-benar memiliki kesaktian luar 
biasa. Entah siapa yang berada di balik seragam 
tengkorak itu. Tapi yang jelas, dia murid Turgawa!" 
"Turgawa?! Adik seperguruanmu itu, Ki?! Jadi, dia 
masih hidup?!" tanya Arya dengan sepasang mata

membelalak. 
"Ya," jawab Kalpa Reksa singkat 
"Ah ... ! Pasti kakek berpakaian kuning itu! Betulkan, 
Ki?" Arya yang mulai teringat langsung saja menduga. 
Kakek berwajah tirus itu hanya menganggukkan 
kepalanya. 
"Hm ... !" Arya bergumam pelan. 
"Ada satu hal yang membuatku agak bingung, Arya. 
"Apa itu, Ki?!" 
"Ilmu 'Baju Ular Emas' yang dimiliki Raja Tengkorak 
palsu itu," ucap Kalpa Reksa lagi. "Kenapa dengan ilmu 
itu, Ki!" 
"llmu itu bukan ilmu sembarangan, Arya. Tapi ilmu 
yang terhitung aneh. Bila orang yang diwarisi ilmu itu 
tidak mempunyai hubungan darah dengan pemilik 'llmu 
Baju Ular Emas' sebelumnya, ilmu itu tidak akan 
memiliki kemampuan ke puncaknya." 
Kalpa Reksa menghentikan ucapannya. Sejenak 
untuk mengambil napas. 
"Pada Raja Tengkorak palsu itu, kulihat 'llmu Baju 
Ular Emas'nya telah mencapai puncak kesempurnaan!" 
"Berarti dia memiliki hubungan darah dengan 
Turgawa," ucap Arya sekenanya. 
"Hal itu sepertinya mustahil, Arya," bantah Kalpa 
Reksa. 
"Mengapa, Ki?" 
"Turgawa tidak mampu melakukan tugas 
sebagaimana layaknya seorang lelaki normal terhadap 
seorang wanita. Dia mandul. ltulah sebabnya, 
sewaktu kami masih sama-sama berguru, dia sering 
merasa iri padaku. Lalu, bagaimana dia bisa mempunyai 
anak?!" jelas kakek berwajah tirus panjang lebar. 
Karuan saja hal itu membuat Arya tercenung. 
Benaknya berputar keras untuk mencari jawaban. Tapi 
sampai lelah dia memikirkannya, tak juga jawaban 
bagi pertanyaan itu diketemukannya

"Kurasa lebih baik kita menyelidikinya nanti, Ki," 
usul Dewa Arak akhimya setelah beberapa saat lamanya 
tidak juga menemukan jawaban. 
Kalpa Reksa sama sekali tidak menyambuti ucapan 
itu. Dia masih saja tercenung. 
"Lalu, apa yang akan kau lakukan, Ki?" tanya 
pemuda berpakaian ungu itu ingin tahu. 
"Hhh ... !" Kakek berwajah tirus itu menarik napas 
dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kuat 
"Mungkin aku akan menjadi Raja Tengkorak kembali, 
Arya. " 
"Aku belum mengerti maksudmu, Ki," ucap Dewa 
Arak dengan alis berkerut. 
"Aku akan terjun kembali ke dunia persilatan dengan 
memakai seragam Raja Tengkorak." 
"Mengapa mesti begitu, Ki?!" Dengan perasaan 
heran pertanyaan itu diajukan Arya. 
"Nama Raja Tengkorak telah tercemar. Musti muncul 
Raja Tengkorak asli untuk memberitahukan pada dunia 
persilatan kalau kekacauan ini dilakukan oleh Raja 
Tengkorak palsu untuk menjelek-jelekkan julukan Raja 
Tengkorak. Aku yakin itulah maksud Turgawa 
memakaikan seragam tengkorak pada seorang 
tokoh yang entah siapa itu," jelas Kalpa Reksa 
panjang lebar. 
Arya terdiam. Disadari ada kebenaran dalam ucapan 
itu. 
"Mari ikut aku, Arya. 
Setelah berkata demikian, Kalpa Reksa segera 
beranjak meninggalkan tempat itu. Melewati kelebatan 
pepohonan. Sampai akhirnya tiba di depan sebatang 
pohon beringin yang telah tumbang. 
Sampai di sini, Kalpa Reksa menghentikan 
langkahnya. Kemudian dia berjongkok, dan menggali 
tanah di dekat pohon itu. 
Dengan tenaga dalamnya yang sudah mencapai

tingkatan tinggi, mudah saja bagi kakek berwajah 
tirus itu untuk menggali. Sekalipun tanah di situ 
keras. 
Tak lama kemudian terlihat sebuah peti. Kalpa Reksa 
bergegas mengangkatnya. 
"Di sinilah peralatan Raja Tengkorak kusimpan," 
ucap kakek berpakaian hitam itu sambil membuka tutup 
peti. Dan memang, di dalam peti itu terdapat pakaian 
seragam tengkorak, pisau, rantai baja berujung kepala 
tengkorak dan pedang. 
Tanpa mempedulikan Dewa Arak yang keheranan, 
Kalpa Reksa segera mengambil pakaian seragam 
tengkorak itu dan mengenakannya. Sekejap 
kemudian, di hadapan Arya telah berdiri Raja Tengkorak 
Pemuda berpakaian ungu itu menelan ludah ketika 
menyadari tidak ada perbedaan sedikit pun antara Raja 
Tengkorak palsu dengan Raja Tengkorak Kalpa 
Reksa. Baik tinggi tubuhnya maupun seragamnya. 
"Kini Raja Tengkorak telah siap untuk membersihkan 
namanya yang dicemarkan ...... 
Suara yang keluar dart mulut Kalpa Reksa mirip sekali 
dengan suara Raja Tengkorak palsu. Benar-benar tidak 
ada bedanya sedikit pun. 
"Lalu, bagaimana aku bisa membedakanmu dengan 
Raja Tengkorak palsu itu, Ki? Semuanya begitu mirip," 
tanya Arya bingung. 
Tidak usah khawatir, Arya. Kita buat sebuah kata 
rahasia. 
"Maksudmu, Ki?" Arya masih belum mengerti. 
"Begini. Apabila kau bertemu dengan Raja 
Tengkorak. Kau harus menyapanya, Raja Tengkorak. Nah, 
nanti aku akan menjawab, 'lenyapkan'. Bagaimana paham? 
Ingat, kalau jawaban yang kau terima beda, dia adalah Raja 
Tengkorak palsu!" 
Arya mengangguk pertanda mengerti. Sungguh tidak 
disangka kalau Kalpa Reksa demikian cerdik

"Nah! Kalau begitu, aku pergi dulu. Kita bekerja sandiri-
sendiri Arya. " 
Belum juga habis kata-katanya, tubuh Raja 
Tengkorak alias Kalpa Reksa telah melesat cepat 
meninggalkan pemuda berambut putih keperakan itu. 
Arya hanya bisa memandangi kepergian Kalpa Reksa. 
Sama sekali tidak disangka kalau dirinya bisa terlibat dalam 
masalah yang begini pelik. Dipandanginya bayangan 
tubuh Raja Tengkorak asli itu hingga lenyap ditelan 
kerimbunan pepohonan. Kemudian kakinya dilangkahkan 
menempuh arah yang berbeda. 
Berhasilkah Kalpa Reksa melenyapkan Raja 
Tengkorak Palsu alias Sengkala? Dan siapakah 
sesungguhnya Sengkala itu? Apa hubungannya dengan 
Turgawa, sehingga tokoh sesat yang menggiriskan itu terlihat 
sangat patuh kepadanya? Lalu, bagaimanakah nasib Melati 
yang belum diketahui sampai sekarang? 
Untuk jelasnya, silakan para pembaca mengikuti serial 
Dewa Arak selanjutnya dalam episode "Kembalinya Raja 
Tengkorak".

                             SELESAI 















Share:

0 comments:

Posting Komentar