• Sabtu, 08 Februari 2025

    Penghuni Lembah Malaikat

     

    PENGHUNI LEMBAH MALAIKAT

    Oleh Aji Saka
    Cetakan pertama
    Penerbit Cintamedia, Jakarta
    Penyunting : Puji S.
    Gambar sampul oleh Herros
    Hak cipta pada Penerbit
    Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
    atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit
    Aji Saka
    Serial Dewa Arak dalam episode:
    Penghuni Lembah Malaikat
    128 hal. ; 12 x 18 cm

    SATU

    Siang ini suasana di mayapada panas sekali. Matahari
    telah berada tepat di atas kepala. Sinarnya yang garang,
    seolah-olah hendak memanggang semua yang ada di
    permukaan mayapada ini.
    "Hhh...!" terdengar helaan napas panjang.
    Tampak seorang gadis yang berambut panjang, tengah
    mengusap peluh yang membasahi wajah dan leher dengan
    saputangan. Sebentar kepalanya menengadah ke atas. Sorot

    matanya memancarkan kejengkelan terhadap bola raksasa
    yang menyilaukan di atas sana.
    Gadis itu memiliki wajah cantik bukan main. Kulit
    wajah, leher, dan punggung tangannya yang tidak ter-
    bungkus pakaian putihnya tampak putih, halus, dan mulus.
    Sehingga kian menambah kecantikannya. Apalagi dandanan
    rambutnya yang terurai sampai ke bawah bahu.
    Dengan langkah tenang dan penuh percaya diri, gadis
    berpakaian putih itu memasuki sebuah kedai. Sejenak
    langkahnya tertahan di ambang pintu, memperhatikan
    suasana dalam kedai.
    Ternyata kedai itu cukup ramai oleh pengunjungnya.
    Dari sekian meja yang terdapat di sana, hanya dua yang
    masih kosong.
    Gadis berwajah cantik itu melangkah menghampiri
    meja yang masih kosong. Tidak dipedulikannya pandang
    mata liar dari semua pengunjung kedai. Bahkan ada
    beberapa di antara mereka yang bersuit-suit. Tapi, gadis itu
    sama sekali tidak peduli. Dia tahu kalau sebagian besar
    orang yang berada di dalam kedai ini adalah tokoh persilatan.
    Hal itu bisa diketahui dari gerak-gerik, dan senjata yang
    tersandang. Maka, dimakluminya saja semua itu. Selama
    dirinya tidak diganggu, dia akan bersikap wajar saja. Begitu
    keputusan yang diambilnya.
    Tenang dan penuh percaya diri gadis itu duduk di
    kursinya. Dengan hati-hati, pedangnya yang sejak tadi
    tersampir di punggung diletakkan di atas meja. Jelas, gadis
    ini adalah seorang tokoh persilatan pula. Sepasang matanya
    yang tajam, dan sesekali tampak mencorong, kian
    memperjelas dugaan itu.
    Seorang bertubuh pendek, gemuk, dan berperut
    gendut melangkah tergopoh-gopoh menghampiri gadis
    berpakaian putih itu. Usianya sukar ditaksir. Wajahnya yang
    tembem, memang menyulitkan orang untuk memperkirakan
    usianya. Tapi yang jelas, tak kurang dari tiga puluh lima
    tahun.
    "Mau pesan apa, Nisanak?" tanya laki-laki berperut
    gendut ramah. Rupanya, dia adalah pemilik kedai ini.
    "Ayam panggang dan teh manis, Ki...," sahut gadis
    berpakaian putih itu.

    "Randu...," potong laki-laki bertubuh pendek itu cepat,
    begitu gadis berpakaian putih itu menghentikan ucapannya.
    Gadis berambut panjang itu tersenyum manis. "Aku
    Melati...."
    "Akan segera kuambil pesananmu, Nini Melati," kata
    Ki Randu yang merasa senang mendapat sambutan yang
    begitu baik dari seorang gadis berwajah begitu cantik jelita
    laksana bidadari.
    Setelah berkata demikian, pemilik kedai itu segera
    beranjak untuk menyediakan pesanan gadis berpakaian
    putih itu. Dia ternyata Melati, putri angkat Raja Bojong
    Gading.
    "Tunggu sebentar, Ki...."
    Cegahan Melati membuat pemilik kedai itu meng-
    hentikan langkah, dan memalingkan wajahnya.
    "Ada yang bisa kubantu, Ni?" tanya Ki Randu seraya
    menghampiri gadis berpakaian putih itu.
    "Apakah kau pernah melihat seorang pemuda be-
    rambut putih keperakan lewat sini, Ki? Pakaiannya ungu,
    dan di punggungnya tersampir sebuah guci arak," kali ini
    ucapan Melati terdengar pelan.
    Mungkin dia tidak ingin ada orang lain yang
    mendengar pertanyaannya kecuali laki-laki berperut gendut
    itu.
    Ki Randu mengernyitkan keningnya sejenak, seakan
    akan tengah mengingat-ingat. Beberapa saat lamanya dia
    bersikap demikian, sebelum akhirnya menggelengkan kepala.
    "Sayang sekali, Ni. Aku tak melihatnya," suara pemilik
    kedai ini terdengar penuh penyesalan.
    Dan memang, laki-laki bertubuh pendek itu merasa
    menyesal karena tidak bisa menjawab pertanyaan gadis yang
    telah bersikap begitu ramah padanya.
    Melati segera mengembangkan senyum.
    "Tidak apa-apa, Ki," ujar Melati, seolah-olah me-
    mahami dengan ketidaktahuan Ki Randu atas perta-
    nyaannya. "O, ya. Apa nama desa ini?"
    "Desa Garu, Ni."
    Melati mengangguk-anggukkan kepala.
    Ki Randu tidak langsung berlalu, dan masih berdiri di
    situ beberapa saat lamanya. Barangkali saja gadis yang
    berpakaian putih Itu masih hendak mengajukan pertanyaan.

    Baru setelah yakin kalau Melati tidak bertanya lagi, lalu
    kakinya melangkah untuk mengambil pesanan gadis itu.
    Tak lama kemudian, Ki Randu sudah kembali sambil
    membawa makanan yang dipesan putri angkat Raja Bojong
    Gading itu.
    Tanpa mempedulikan suasana sekelilingnya, Melati
    lalu menyantap pesanannya. Perlahan-lahan sekali, karena
    dia sudah terbiasa hidup di istana yang penuh tata krama.
    Rupanya, gadis berpakaian putih itu makan sambil
    melamun. Hal ini diketahui dari pandangan matanya yang
    terpaku pada satu titik. Menilik dari raut wajahnya yang
    muram, bisa diperkirakan kalau yang mengganggu
    pikirannya adalah sesuatu yang menyedihkan hatinya.
    Memang tidak salah! Melati kini teringat gurunya yang
    bernama Ki Julaga. Dia telah tewas di tangan Ruksamurka.
    Dan di saat dia tengah memikirkan cara membalas dendam
    pada kakek yang sakti luar biasa itu, didengar kabar kalau
    Ruksamurka tewas di tangan Dewa Arak (Untuk jelasnya,
    silakan ikuti Serial Dewa Arak dalam episode "Dendam Tokoh
    Buangan").
    Tapi sampai sekarang melacak jejak pemuda itu, tetap
    saja belum diketemukannya. Memang beberapa kali, Melati
    berhasil menemukan petunjuk tentang kekasihnya. Tapi
    setelah sampai di sana, orang yang dicarinya telah lenyap!
    Dan kini dia telah kehilangan jejak sama sekali!
    Melati sama sekali tidak tahu kalau beberapa pasang
    mata tengah mengawasi semua gerak-geriknya. Dan
    andaikata tahu, tidak akan dipedulikannya. Memang dia saat
    ini tidak berminat terlibat keributan.
    Kematian gurunya yang mengerikan, dan kegagalan-
    nya mencari jejak kekasihnya membuat semangat gadis itu
    merosot jauh. Saat ini, Melati tengah membutuhkan
    seseorang untuk menumpahkan seluruh ganjalan hatinya.
    Tak lama kemudian. Melati pun menyelesaikan
    makannya. Setelah beristirahat sejenak, buru-buru
    makanannya dibayar. Kemudian kakinya melangkah
    meninggalkan kedai, diiringi tatapan berpasang-pasang mata
    liar yang berada di situ.
    ***

    Tanpa peduli pada sinar terik matahari yang me-
    manggang kulitnya yang putih mulus, Melati terus me-
    langkah. Kepalanya tertunduk ke bawah. Tampak jelas,
    betapa loyo dan tidak bersemangat sikapnya.
    Gadis itu sama sekali tidak peduli pada pandangan
    orang-orang yang berpapasan dengannya di jalan. Kakinya
    terus saja melangkah. Pendengarannya yang tajam
    menangkap adanya langkah kaki tak jauh di belakangnya.
    Tapi, gadis berpakaian putih itu tetap saja tidak peduli.
    Selangkah demi selangkah rumah-rumah penduduk
    yang semula padat mulai jarang. Kini, Melati telah mulai
    melewati tanah lapang luas yang hanya ditumbuhi sedikit
    rumput dan semak-semak yang tidak begitu tinggi.
    Mendadak langkah-langkah kaki yang sejak tadi
    terdengar pelan, kini mulai agak keras dan bertubi-tubi.
    Tanpa melihat pun. Melati tahu kalau pemilik langkah-
    langkah yang sejak tadi mengikuti kini berusaha me-
    nyusulnya.
    Tak lama kemudian, di hadapan Melati telah berdiri
    berjajar empat orang berwajah kasar, mereka semua
    memandang kepadanya dengan sinar mata kurang ajar dan
    senyum memuakkan.
    "He he he...!"
    Seorang di antara mereka yang bercambang lebat
    terkekeh-kekeh. Pandangan mata mereka menjilati sekujur
    tubuh gadis berpakaian putih itu. Sorot mata mereka bagai
    seekor serigala kelaparan yang melihat anak kambing gemuk.
    Melati mengangkat kepalanya yang sejak tadi
    ditundukkan. Sepasang matanya tampak berkilat tajam
    penuh kemarahan ketika menatap keempat sosok tubuh yang
    berdiri di hadapannya. Meskipun sewaktu di ambang pintu
    kedai hanya mengamati sekilas, tapi bisa dikenali kalau
    merekalah yang tadi berada di kedai.
    Amarah Melati memang telah bangkit. Dan seperti
    biasa, kemarahannya tidak akan reda bila sebelum
    menemukan pelampiasan. Maka, sudah bisa dipastikan
    kalau pertarungan tidak akan bisa dielakkan lagi.
    "Ha ha ha...! Bila melotot seperti itu, kau malah
    terlihat lebih cantik, Manis." Seorang yang berkumis jarang-
    jarang menggoda kurang ajar. Tangan kanannya sibuk
    memilin-milin kumis yang hanya beberapa lembar.

    Terdengar suara gemeretak dari mulut Melati ketika
    kemarahannya tidak bisa ditahan lagi. Ejekan laki laki
    berkumis jarang-jarang itu seperti api disiram minyak tanah.
    "Hih...!"
    Gigi Melati bergemerutuk menahan marah. Jari-jari
    tangan kanannya yang terkembang membentuk cakar,
    diulurkan ke depan. Arahnya jelas pada laki-laki berkumis
    jarang-jarang.
    Melihat hal ini, laki-laki berkumis jarang-jarang dan
    ketiga orang rekannya malah tertawa bergelak. Mereka semua
    merasa geli melihat tindakan Melati. Jarak antara mereka
    hanya dapat dijangkau tangan manusia, yang panjangnya
    paling sedikit satu setengah kali ukuran biasa.
    Tapi ternyata tawa mereka kontan terhenti, dan
    berganti keterkejutan! Ternyata tangan gadis berpakaian
    putih itu benar-benar berhasil menangkap leher baju laki-laki
    berkumis jarang-jarang.
    Mereka tak habis pikir. Salahkah perhitungan me-
    reka? Sehingga, jarak yang sebenarnya hanya sejangkauan
    tangan, terlihat jadi satu setengah jangkauan? Ataukah gadis
    itu diam-diam melangkah maju? Tapi, jelas-jelas terlihat
    kalau Melati sama sekali tidak bergeming dari tempatnya
    semula! Mereka sama sekali tidak tahu kalau murid Ki Julaga
    itu mengeluarkan jurus 'Naga Merah Mengulur Kuku', dalam
    juluran tangannya tadi.
    Tapi ketiga orang itu tidak bisa berpikir lebih lama
    lagi. Karena, begitu Melati telah berhasil mencengkeram leher
    baju laki-laki berkumis jarang-jarang itu, secepat itu
    ditariknya.
    Sebelum keempat orang itu berbuat sesuatu, tangan
    kiri Melati telah bergerak menampar ke arah pipi.
    Plak, plak, plak...!
    Suara nyaring terdengar ketika telapak tangan yang
    bentuknya kecil dan halus mendarat di pipi laki-laki
    berkumis jarang-jarang beberapa kali.
    Melihat dari kepala laki-laki berkumis jarang-jarang
    yang berpaling ke sana kemari mengikuti arah tamparan,
    bisa diperkirakan kalau tamparan itu keras sekali.
    Untung saja Melati mengerahkan sebagian kecil
    tenaganya. Kalau sedikit saja ditambah pengerahan tenaga

    dalamnya, laki-laki berkumis jarang-jarang itu pasti tewas
    dengan sekujur tulang-tulang pipi remuk!
    Meskipun begitu, tak urung darah muncrat keluar
    dari mulut laki-laki itu. Kedua pipinya langsung bengkak dan
    membiru, sehingga membuat sepasang matanya hampir tak
    terlihat lagi.
    "Hmh...!"
    Sambil mengeluarkan dengusan di hidung, Melati
    mengayunkan tangan yang mencekal leher baju. Kelihatan
    pelan saja gerakan itu. Tapi akibatnya, tubuh laki-laki itu
    terlempar jauh seperti diseruduk banteng!
    Brukkk...!
    Dibarengi berdebuk keras, tubuh laki-laki kasar yang
    sial itu mendarat di tanah berjarak sekitar enam tombak dari
    tempatnya semula.
    "Keparat...!"
    Laki-laki berkumis jarang-jarang itu berseru memaki
    setelah beberapa saat lamanya mengaduh-aduh kesakitan.
    Suaranya terdengar aneh, karena pipinya bengkak
    menggembung. Dan begitu gema ucapannya habis, dia lalu
    bangkit berdiri. Kini goloknya langsung dicabut.
    Ketiga orang rekannya yang sejak tadi terdiam seperti
    terpaku, langsung sadar begitu mendengar makian rekannya.
    "Perempuan liar! Perempuan tak tahu diuntung...!"
    maki laki-laki berkumis jarang-jarang itu. "Kau rupanya tidak
    suka diperlakukan baik-baik! Kalau begitu maumu, kuturuti!
    Jangan menyesal bila kau kami telanjangi dan kami perkosa
    sampai mati!"
    Sepasang mata Melati langsung mencorong tajam.
    Kemarahan amat sangat seketika melanda hatinya.
    Dan semua ini terjadi akibat ucapan lelaki berkumis
    jarang-jarang itu.
    Tapi baik laki-laki berkumis jarang-jarang maupun
    ketiga rekannya sama sekali tidak merasa gentar. Mereka
    tahu kalau gadis berpakaian putih telah begitu marah. Dan
    mereka pun tahu kalau Melati memiliki ilmu kepandaian.
    Tapi, seberapa sih tingginya kepandaian seorang gadis yang
    masih muda? Mustahil kalau gadis ini tidak bisa
    ditundukkan.
    Diiringi pekikan nyaring, keempat orang itu menyerbu
    Melati. Karena masih ingin menikmati kemolekan tubuh putri

    angkat Raja Bojong Gading itu, mereka tidak menggunakan
    senjata dalam serangan ini.
    Melati yang telah dilanda kemarahan, tidak ingin
    bertindak tanggung-tanggung lagi. Disadarinya kalau orang-
    orang macam ini amat berbahaya. Tampak jelas kalau
    mereka sulit disadarkan. Kalau dibiarkan hidup pun pasti
    hanya akan menimbulkan korban bagi orang lain. Maka gadis
    berpakaian putih ini bertekad melenyapkan empat orang itu
    selama-lamanya.
    Tapi sebelum gadis berpakaian putih bertindak....
    "Manusia-manusia tidak tahu malu! Bisanya hanya
    mengeroyok seorang wanita!"
    Berbarengan terdengarnya bentakan itu, melesat
    sesosok bayangan keemasan. Langung dipapaknya serangan
    empat orang kasar itu.
    Maka sesaat kemudian, terdengar pekikan-pekikan
    disusul berpentalannya tubuh-tubuh empat orang
    pengeroyok Melati.
    Diiringi suara berdebuk keras, tubuh-tubuh mereka
    jatuh di tanah. Mereka kontan tidak bergerak lagi untuk
    selamanya. Karena saat tubuh mereka terpental, nyawa
    mereka pun ikut melayang
    "Orang-orang seperti mereka sudah seharusnya
    dikirim ke neraka selama-lamanya...," kata sosok bayangan
    keemasan itu sambil membalikkan tubuhnya menghadap
    Melati, setelah teriebih dahulu mengebut-ngebutkan
    pakaiannya.
    "Terima kasih atas pertolonganmu, Kisanak," ucap
    Melati pelan tidak bersemangat.
    Tidak nampak adanya kegembiraan pada wajah
    Melati, karena mendapatkan pertolongan. Memang, gadis
    berpakaian putih itu sama sekali tidak membutuhkannya.
    Tanpa dibantu pun, dia mampu melenyapkan keempat orang
    itu.
    "Lupakanlah. Tolong-menolong antara sesama
    manusia adalah merupakan hal biasa," elak sosok tubuh
    keemasan itu merendah sambil tersenyum lebar.
    Dia ternyata seorang pemuda berwajah tampan.
    Sebaris bulu-bulu halus dan tipis di atas bibirnya kian
    menambah ketampanannya. Pakaiannya indah dan mewah
    menandakan kalau dia adalah orang berada. Atau paling

    tidak, putra seorang pejabat kerajaan. Melati tersenyum
    hambar sebagai tanggapannya.
    Gadis itu mengenalinya sebagai orang yang tadi
    berada di kedai juga.
    "O, ya. Siapakah namamu, Nisanak? Dan mengapa
    berada di sini? Lalu, hendak ke manakah tujuannya?"
    Bertubi-tubi pemuda tampan berpakaian terbuat dari
    benang-benang emas itu mengajukan pertanyaan. "Aku
    Palguna."
    "Aku Melati dan tengah mencari kawanku," sahut
    Melati mulai agak bersemangat. Sekilas, timbul harapan di
    hatinya. Barangkali saja, pemuda tampan berpakaian warna
    emas ini mengetahui Dewa Arak berada.
    "Kalau boleh tahu..., siapakah kawanmu itu, Nini
    Melati?" tanya Palguna sigap. "Dan, bagaimana ciri-cirinya?"
    "Namanya Arya Buana. Dia seorang pemuda berusia
    sekitar dua puluh dua tahun. Pakaiannya berwarna ungu,
    menyandang guci di punggung...."
    "Dan memiliki rambut yang berwarna putih kepe-
    rakan...?!" potong Palguna.
    "Benar! Apakah kau melihatnya, Palguna?" tanya
    Melati cepat. Semangatnya kontan bangkit begitu mendengar
    sambutan Palguna.
    Palguna menganggukkan kepala.
    "Di mana, Palguna?" tanya Melati cepat. Keinginannya
    untuk bertemu kekasihnya memang sudah menggebu-gebu.
    "Mengenai tempatnya, aku tidak bisa menunjukkan
    secara pasti. Dan andaikata kuberitahukan, kau juga tidak
    akan mengetahuinya."
    "Hm...! Lalu...?" Suara Melati mulai pelan kembali.
    Seri di wajahnya pun kontan lenyap.
    "Bagaimana kalau kita pergi bersama-sama ke sana?"
    usul Palguna.
    Melati tercenung sejenak. Dahinya tampak berkernyit
    dalam pertanda, kalau tengah berpikir keras.
    "Baiklah kalau begitu," kata gadis berpakaian putih
    itu setelah beberapa saat lamanya terdiam. "Tapi, ingat.
    Kalau kau menipuku... jangan harap akan membiarkanmu
    hidup!"
    "Ha ha ha...!" Palguna tertawa bergelak. "Siapa sih
    yang tega menipu seorang gadis secantikmu, Melati?!"


    Sepasang mata Melati berkilat mendengar ucapan
    Palguna. Kontan wajah pemuda berpakaian mewah itu
    berubah.
    "Maaf. Aku bukan bermaksud kurang ajar. Melati,"
    ucap Palguna buru-buru memperbaiki ucapan sebelumnya.
    "Aku hanya mengatakan apa adanya."
    Melati sama sekali tidak menanggapinya.
    "Kurasa, kita harus secepatnya menuju tempat ka-
    wanku itu sebelum dia pergi...," kata Melati, mengalihkan
    pembicaraan.
    "Kau benar, Melati," sambut Palguna cepat.
    Lega hatinya melihat Melati tidak melanjutkan
    persoalan tadi. Watak gadis berpakaian putih ini memang
    sukar diduga.
    Setelah berkata demikian, Palguna segera melesat ke
    depan. Tahu kalau gadis berpakaian putih itu adalah seorang
    persilatan juga, pemuda berpakaian mewah itu tanpa ragu-
    ragu segera mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya.
    Sehingga dalam beberapa kali langkah saja, dia sudah
    berjarak belasan tombak dari tempat semula.
    Melati hanya menggerakkan bagian bibir atasnya saja
    melihat hal itu. Entah apa maksudnya, hanya dia sendiri
    yang tahu. Berbarengan kembalinya bibir atasnya ke tempat
    semula, tubuhnya pun melesat ke depan.
    Luar biasa! Hanya dalam beberapa kali langkah saja,
    gadis itu telah hampir berhasil menyusul Palguna yang telah
    berkelebat lebih dahulu. Sekejap kemudian. Melati telah
    berlari mensejajari Palguna.
    Begitu mereka telah berlari berdampingan. Melati pun
    mengurangi kecepatan larinya. Gadis itu yakin kalau seluruh
    ilmu meringankan tubuh yang dimiliki dikerahkan, Palguna
    akan tertinggal jauh.
    "Kau.... Kau ternyata hebat juga, Melati." kata Palguna
    kaget. Napasnya terdengar memburu. Jelas kalau seluruh
    kemampuan yang dimiliki telah dikerahkan.
    "Hm...!' gumam Melati perlahan.
    Kedua orang itu berlari cepat meninggalkan tempat
    mereka tadi bertemu. Sama sekali tidak dipedulikan lagi
    mayat empat orang kasar yang hendak mengganggu Melati.

    DUA

    Melati dan Palguna masih saja berlari walau suasana
    gelap menyelimuti bumi. Malam memang telah tiba.
    Rembulan yang tampak di langit laksana berbentuk alis
    seorang gadis manis, tampak begitu tidak berdaya menerangi
    persada.
    "Apakah sebaiknya kita beristirahat dulu, Melati?"
    usul Palguna seraya menolehkan kepala menatap wajah
    cantik yang berada di sebelahnya.
    Kedua alis Melati hampir bertautan mendengar usul
    yang diajukan pemuda berpakaian mewah itu. Meskipun
    begitu, langkahnya sama sekali tidak dihentikan. Sehingga,
    mau tidak mau Palguna terus juga berlari kalau tidak ingin
    tertinggal.
    "Baiklah," ucap Melati memutuskan. "Tapi, di mana
    tempat berisirahat?"
    Sambil berkata demikian, dan tanpa menghentikan
    larinya, gadis berpakaian putih itu mengedarkan pandangan
    ke sekeliling.
    "Tak jauh di depan kita ada sebuah rumah kosong.
    Aku tahu persis, karena pernah tinggal di sana," sambut
    Palguna penuh gairah.
    Tampak jelas kalau pemuda itu ingin sekali
    beristirahat. Maka begitu mendengar persetujuan Melati,
    langkahnya yang semula sudah mengendur jadi cepat
    kembali.
    Ucapan Palguna ternyata bukan bualan belaka. Tak
    lama kemudian, pandangan Melati telah tertumbuk pada
    sebuah bangunan besar dan megah di kejauhan.
    Dalam suasana malam remang-remang dan lebih
    cenderung gelap karena di langit hanya diterangi bulan sabit,
    bangunan megah itu jadi terlihat menyeramkan. Lebih mirip
    rumah hantu daripada rumah manusia!
    Karena Melati dan Palguna berlari mempergunakan
    ilmu lari cepat, dalam waktu sebentar saja bangunan yang
    semula terlihat jauh di depan kini telah dekat.

    Melati menghentikan larinya ketika jarak antara
    mereka dengan bangunan megah yang dikelilingi pagar
    tembok tinggi dan kumuh itu tinggal satu tombak lagi.
    Melihat Melati berhenti, Palguna pun menahan langkahnya
    pula.
    "Ada apa, Melati?" tanya pemuda berpakaian mewah
    itu ketika melihat Melati memperhatikan sekeliling bangunan
    megah di depannya.
    "Apakah kau tidak salah, Palguna? Kita akan
    beristirahat di tempat seperti ini?" tanya Melati bernada
    teguran.
    Palguna mengangguk.
    "Memangnya kenapa, Melati?" Pemuda berpakaian
    mewah itu malah balas bertanya.
    "Tidak bisa kubayangkan, bagaimana di dalam rumah
    itu, Palguna. Keadaan di luarnya saja sudah demikian tidak
    terurus."
    "Ha ha ha...! Yang tampak di luar, belum tentu sama
    dengan dalamnya, Melati," jawab Palguna setengah
    menggurui. "Kujamin, begitu melihat bagian dalamnya kau
    akan betah tinggal di sana!"
    "Maksudmu...?" meskipun sudah cukup jelas, tapi
    Melati masih juga mengajukan pertanyaan.
    "Bagian dalam bangunan itu bersih, Melati. Obor-
    obornya pun bertengger di sana-sini. Jadi kalau kau tidak
    betah gelap, tinggal nyalakan obor-obor itu saja. Beres, kan?"
    Melati terdiam.
    "Ayolah," ajak Palguna sambil mengulurkan tangan,
    memegang tangan Melati untuk mengajak masuk ke dalam.
    "Tidak usah menuntunku, Palguna," ketus suara
    gadis berpakaian putih itu seraya menepiskan tangan
    pemuda berpakaian mewah yang akan menggandengnya.
    "Aku bukan kambing!"
    "Maaf. Maaf," Palguna buru-buru meminta pengertian,
    sebelum amarah putri angkat Raja Bojong Gading itu kian
    menjadi-jadi. "Aku lupa diri karena ingin buru-buru
    menunjukkan bagian dalam bangunan ini "
    "Lupakanlah, Palguna," Melati mengulapkan ta-
    ngannya. Jelas kalau tidak ingin memperpanjang masalah
    itu.

    Palguna tidak berani bersikap sembrono lagi. Dia pun
    mendahului melangkah masuk gerbang yang sudah memiliki
    pintu.
    Melati melangkah mengikuti di belakang Palguna.
    Pemuda berpakaian mewah itu kelihatan melangkah tanpa
    memperhatikan sekelilingnya. Namun, Melati malah bersikap
    waspada. Pendengarannya dipasang setajam mungkin.
    Sekujur urat syaraf dan ototnya pun menegang, bersikap
    menghadapi segala kemungkinan.
    Tapi ternyata semua kecurigaan Melati sama sekali
    tidak beralasan. Sampai mereka melewati halaman depan
    yang cukup luas, dan tiba di teras bangunan itu, sama sekali
    tidak terjadi apa-apa.
    Krittt...!
    Suara bergerit tajam terdengar ketika Palguna
    mendorongkan daun pintu yang terbuat dari kayu jati tebal
    dan berukir. Menilik dari bunyinya, sudah bisa diketahui
    kalau daun pintu itu sudah lama tidak dipergunakan.
    Begitu daun pintu terkuak, Palguna segera melangkah
    masuk ke dalam diikuti Melati. Suasana gelap menyergap
    begitu daun pintu itu tertutup kembali.
    Tentu saja hal ini membuat Melati tegang. Di tempat
    gelap seperti ini, pandangan matanya sama sekali tidak
    berguna. Yang diandalkan hanya pendengarannya untuk
    berjaga-jaga terhadap serangan gelap yang datang.
    Ketegangan yang melanda Melati tidak berlangsung
    lama. Karena sesaat kemudian, terdengar suara berdetak dari
    beradunya dua buah batu disusul memerciknya bunga-bunga
    api, sehingga, keadaan sekelilingnya agak terlihat, meskipun
    hanya sekejap.
    Tanpa melihat pun, Melati tahu, siapa yang mengadu
    batu-batu itu. Siapa lagi kalau bukan Palguna? Pemuda
    berpakaian mewah itu ternyata tengah sibuk membuat api
    untuk menyalakan obor.
    Tak sampai tiga kali membenturkan batu, suasana di
    sekitar tempat itu sudah terang benderang oleh obor yang
    teipampang di dinding dekat pintu.
    Palguna mengulurkan tangan dan mengambil obor
    itu.
    "Mari, Melati. Kita cari kamar-kamar yang paling baik
    untuk tempat beristirahat...."

    Langkah gadis berpakaian putih itu terhenti ketika
    mendengar ucapan Palguna. Dalam jilatan sinar obor yang
    cukup terang, terlihat kalau wajah Melati menegang.
    Sementara sepasang matanya pun berkilat-kilat.
    "Maksudmu.... Kita tinggal dalam satu kamar,
    Palguna? Kau kira aku wanita apa?!" kata Melati. Suaranya
    bergetar, karena tegang.
    Ada nada kemarahan dalam ucapan gadis itu. Sudah
    dapat dipastikan, kalau saja Palguna mengangguk, gadis
    berambut panjang itu akan menyerang kalang kabut.
    Palguna bukan orang bodoh. Jelas dia menangkap
    adanya kemarahan dalam ucapan itu.
    "Jangan salah mengerti, Melati," ucap Palguna buru-
    buru. "Tentu saja, tidak demikian. Kau salah mengartikan
    ucapanku tadi."
    "Hhh...!" Melati menghela napas berat. "Maafkan aku,
    Palguna. Aku terlalu cepat terbawa amarah."
    "Tidak mengapa. Lupakanlah," sambut pemuda
    berpakaian mewah itu bijaksana.
    Sebuah senyum lebar tampak mengembang di bibir
    Palguna. Ini menjadi pertanda kalau dia tidak tersinggung
    atas sikap kasar Melati.
    "Mari kutunjukkan kamar untuk beristirahat."
    Setelah memperhatikan satu demi satu kamar yang
    ada di bangunan itu, Melati memilih sebuah kamar yang
    berada di tingkat dua. Sementara Palguna memilih sebuah
    kamar di sebelahnya.
    ***
    "Ah…!"
    Sebuah desah kelegaan keluar dari mulut Melati
    ketika tubuhnya direbahkan di pembaringan. Kemudian
    sepasang matanya dipejamkan. Tak lama kemudian, desah
    napas Melati pun mulai pelan dan teratur.
    Tapi baru juga mulai terlelap, sebuah suara men-
    desing yang tidak begitu keras, telah membuat Melati terjaga.
    Cepat laksana kilat, gadis itu melompat dari pembaringan
    dan bergulingan di lantai.
    Cappp...!

    Benda yang ternyata sebatang ranting sepanjang
    sejengkal, menghunjam di dinding bagian atas sampai
    setengahnya lebih.
    Melati sempat tersentak melihat kehebatan tenaga
    dalam orang yang melemparkan ranting itu. Buktinya,
    ranting sebesar kelingking itu mampu menembus tembok
    yang keras! Kalau saja tidak bertindak sigap, mungkin gadis
    itu sudah celaka tadi!
    Alis Melati hampir bertautan ketika melihat ada
    kelainan pada ranting itu. Pada bagian tengahnya nampak
    tergantung segulungan kain yang terikat.
    Perasaan heran dan ingin tahu membuat Melati
    bangkit dari berbaringnya. Diperhatikannya suasana
    sekelilingnya sejenak. Baru setelah diyakini tidak ada bahaya
    yang akan mengancam, gadis berpakaian putih itu berjalan
    menghampiri tempat ranting itu tertancap.
    Meskipun yakin kalau keadaan telah aman, Melati
    tetap tidak menghilangkan kewaspadaan. Sambil melangkah
    mendekati tempat ranting, matanya diedarkan ke sekeliling.
    Ada sebuah kesimpulan yang didapat. Ranting itu
    diluncurkan lewat jendela yang daunnya terbuka!
    Hanya dengan mengerahkan sebagian tenaga da-
    lamnya, Melati segera mencabut ranting itu. Mudah saja dia
    melakukannya.
    Sambil tetap mengedarkan pandangan ke daun
    Jendela, Melati mengambil gulungan kain itu, lalu
    membukanya. Dan seperti yang sudah diduga, tampak tertera
    huruf-huruf di atas gulungan kain itu. Melati pun
    membacanya dalam hati.
    Cepat tinggalkan tempat ini kalau kau masih sayang
    dirimu. Ada bahaya besar yang tengah mengancammu. Maaf,
    hanya ini yang bisa kulakukan. Aku tidak bisa membantu
    lebih jauh.
    Dahi melati berkernyit membaca pesan yang
    terkandung dalam gulungan kain itu. Benarkah apa yang
    dikatakan pengirim surat ini? Benarkah ada bahaya besar
    yang tengah mengancamnya? Tapi kalau ingin
    memberitahukan ada bahaya, kenapa musti mengirim
    serangan maut. Untung dia bisa mengelak. Kalau tidak?

    Berpikir hal itu, membuat Melati melayangkan
    pandangan kembali ke pembaringan. Seketika itu juga
    hatinya tersentak tatkala pandangannya dialihkan ke arah
    tempat ranting itu terhunjam.
    Letak tertancapnya ranting terlalu tinggi. Jaraknya
    tak kurang dari satu setengah tombak. Sementara, tinggi
    pembaringan itu tidak sampai setengah tombak. Begitu
    bodohkah orang yang telah mengirim serangan gelap itu?
    Padahal menilik hunjaman pada dinding, bisa diperkirakan
    kalau orang yang telah mengirim serangan itu adalah tokoh
    lihai!
    Tentu saja Melati tidak begitu mudah percaya.
    Meskipun begitu, peringatan tadi sama sekali tidak di-
    kesampingkan. Gadis berpakaian putih itu mengambil jalan
    tengah, yang diyakininya benar. Dia akan tetap berada di
    dalam bangunan ini, tapi tetap waspada penuh.
    Dengan bertindak seperti itu, Melati mendapat dua
    buah keuntungan. Kalau peringatan itu memang benar, dia
    telah bersiap-siap menghadapi bahaya yang datang
    mengancam. Sedangkan andaikata tidak benar dan
    merupakan perangkap, dia tidak masuk perangkap yang
    dipasang pengirim pemberitahuan itu.
    Melati menghela napas lega setelah mengambil
    keputusan. Setelah menyimpan gulungan kain yang berisikan
    pesan untuknya, kakinya melangkah menghampiri jendela
    dengan kewaspadaan penuh.
    Tapi sampai Melati menutupkan jendela yang da-
    unnya terbuka, tidak terjadi apa-apa.
    Gadis berpakaian putih itu kembali ke pembaring-
    annya dengan benak dipenuhi berbagai pertanyaan. Siapakah
    orang yang telah mengirimkan peringatan itu? Benarkah ada
    bahaya mengancam?
    Dengan adanya kejadian tadi, Melati tidak ingin
    lertidur kembali. Memang, dia kembali menghampiri
    pembaringan. Tapi tidak untuk tidur, melainkan bersemadi.
    Gadis berpakaian putih itu lalu duduk bersila.
    Punggungnya diluruskan. Kedua tangan dengan jari-jari
    terbuka dipertemukan di depan dada. Sementara arah ujung-
    ujung jarinya menuding ke langit.
    Tak lama kemudian, putri angkat Raja Bojong Gadis
    itu telah tenggelam dalam keheningan semadinya. Kini yang

    terdengar hanyalah desah napas yang keluar masuk dari
    hidung dan mulut Melati.
    Belum juga Melati sampai di pintu, mendadak...
    Brakkk...!

    Daun pintu itu dihajar dari luar. Dan pada saat itulah
    dari balik pintu yang tertutup rapat terlihat sesosok
    bayangan hitam melangkah masuk. Melati terkejut bukan
    main melihat hal ini!
    Belum berapa lama tenggelam dalam keheningan
    semadinya, pendengaran Melati yang tajam mendengar
    adanya suara pelan dari luar pintu. Kalau saat itu Melati
    tidak tengah bersemadi, mungkin tidak akan mendengarnya.
    Dari sini saja, bisa diketahui kelihaian pemilik langkah itu.
    Tanpa menunggu waktu lebih lama lagi, gadis ber-
    pakaian putih itu langsung menghentikan semadinya.
    Benaknya sibuk menduga-duga. Siapakah orang itu? Yang
    pasti, bukan Palguna. Pemuda berpakaian mewah itu tidak
    memiliki kepandaian sampai setinggi pemilik langkah itu!
    Ringan tanpa suara, Melati melompat turun dari
    pembaringan dan berjalan mendekati pintu. Tapi belum juga
    tiba di sana, mendadak....
    Brakkk...!
    Daun pintu itu hancur berkeping-keping. Karuan saja
    hal ini membuat Melati terkejut bukan kepalang. Gadis itu
    segera melompat ke belakang. Dan pada saat itulah dari balik
    pintu yang tertutup rapat, melesat sesosok bayangan hitam.
    Dalam suasana kamar Melati yang remang-remang,
    karena hanya ada obor kecil yang dipancarkan di dinding
    ruangan, tampak samar-samar sosok tubuh yang tengah
    menghancurkan pintu itu.
    Sosok bayangan itu bertubuh tegap. Kulit wajahnya
    coklat, dipenuhi kumis dan cambang bauk lebat.
    Melati tidak bisa memperhatikan lebih lama lagi
    karena laki-laki berpakaian hitam itu langsung melancarkan
    serangan pukulan bertubi-tubi ke arahnya.
    Melati tidak berani bertindak ceroboh. Dari angin
    berkesiutan yang mengiringi tibanya serangan, bisa
    diperkirakan kekuatan tenaga dalam laki-laki bercambang
    bauk lebat itu.


    Itulah sebabnya, gadis berpakaian putih itu cepat
    melempar tubuh ke pembaringan.
    Laki-laki berpakaian hitam itu menggeram keras
    begitu melihat serangannya dielakkan lawan. Tapi secepat itu
    pula dilancarkan serangan susulan lain. Kali ini, berupa
    hentakan kedua tangan yang terkepal ke arah tubuh Melati di
    pembaringan.
    Wuttt...! Brakkk...!
    Pembaringan itu hancur berkeping-keping terkena
    pukulan jarak jauh yang dilancarkan laki-laki bercambang
    bauk lebat. Untung Melati telah lebih dulu melenting
    menjauhi pembaringan.
    "Hup...!"
    Secepat kedua kakinya hinggap di tanah, secepat itu
    pula Melati mempersiapkan ilmu andalan. Ilmu 'Cakar Naga
    Merah'! Kedua tangannya memerah sampai sebatas
    pergelangan ketika jari-jarinya dikembangkan membentuk
    cakar naga. Sekarang, gadis berpakaian putih itu telah siap
    menghadapi serangan lanjutan.
    "Haaat...!"
    Sambil mengeluarkan pekikan mengguntur yang
    membuat keadaan di sekitar tempat itu bergetar hebat, laki-
    laki berpakaian hitam itu kembali menyerang Melati.
    Sementara gadis itu kini telah bersiap langsung
    menyambutnya. Tak pelak lagi, pertarungan sengit pun
    terjadi.
    Pertarungan antara kedua orang itu ternyata hebat
    bukan kepalang. Suara angin berciut dan mencicit ikut
    menyemaraki pertarungan. Udara seperti terobek oleh setiap
    serangan yang dilancarkan.
    Karena kedua tokoh yang bertarung sama-sama
    memiliki ilmu meringankan tubuh tinggi, maka pertarungan
    itu berlangsung cepat. Dalam waktu sebentar saja,
    pertarungan telah berlangsung lima puluh jurus. Dan selama
    itu, tidak terlihat adanya tanda-tanda yang akan keluar
    sebagai pemenang.
    Melati menggertakkan gigi. Rasa penasaran yang amat
    sangat menggayuti dada. Dia yakin, lawannya sanggup
    dikalahkan. Karena, dia memang lebih unggul dalam segala
    hal. Baik dalam hal ilmu silat, ilmu meringankan tubuh,
    maupun tenaga dalam. Tapi tempat pertarungan yang sempit

    membuatnya sedikit mengalami kesulitan. Memang ilmu
    'Cakar Naga Merah', membutuhkan tempat luas untuk dapat
    berkembang.
    Ada satu tambahan lagi yang membuat Melati ke-
    sulitan mengalahkan lawan. Rasa khawatirnya kalau
    bangunan ini roboh bila seluruh kemampuannya dikerahkan,
    membuat serangan gadis ini jadi setengah-setengah.
    Memang, keadaan ruangan itu sudah semrawut.
    Semua perabotan yang berada di situ tetah porak-poranda.
    Dinding-dinding bangunan pun telah retak di sana-sini.
    Kalau pertarungan itu berlangsung terus, tidak mustahil
    bangunan itu akan runtuh.
    "Hih...!"
    Mendadak laki-laki berpakaian hitam itu mengger-
    takkan gigi seraya melempar tubuh ke belakang.
    Melati yang ingin membekuk lawan, tidak ingin
    memberi kesempatan. Dia ingin tahu, alasan laki-laki
    bercambang bauk itu menyerangnya. Maka, gadis berpakaian
    putih itu pun segera melesat memburu.
    Tapi, rupanya laki-laki berpakaian hitam itu sudah
    memperkirakannya. Terbukti ketika tubuhnya berada di
    udara, kedua tangannya dimasukkan ke balik baju. Dan
    ketika dikeluarkan kembali, tangan itu bergerak mengibas.
    Singgg...!
    Suara berdesing nyaring, diikuti berkeredepnya
    beberapa buah benda berkilau yang tidak lain pisau terbang,
    meluncur cepat ke arah tubuh Melati.
    Putri angkat Raja Bojong Gading ini terperanjat.
    Serangan seperti ini memang sama sekali di luar dugaannya.
    Dan hal ini terjadi karena nafsunya terlalu terburu untuk
    merobohkan lawan. Tapi meskipun begitu, Melati tidak
    menjadi gugup karenanya.
    Untuk mengelakkan serangan memang merupakan
    suatu hal yang tidak mungkin. Tubuhnya tengah berada di
    udara saat ini. Tidak ada tempat yang dapat dijadikan
    landasan untuk mengelak. Menggeliatkan tubuh pun tidak
    mungkin, karena pisau-pisau terbang itu meluncur berjajar.
    Jalan satu-satunya hanyalah menangkis serangan itu.
    Maka dengan kecepatan gerakan seorang ahli pedang, dalam
    sekejapan mata Melati telah menghunus pedangnya.
    Langsung disabetnya pisau-pisau terbang itu.

    Trang, bang, trang...!
    Dentang nyaring suara benda logam beradu seketika
    terdengar. Maka pisau-pisau terbang itu pun berpentalan tak
    tentu arah.
    Kesempatan yang hanya sekejap itu dimanfaatkan
    sebaik-baiknya oleh laki-laki berpakaian hitam itu. Tubuhnya
    melesat ke arah pintu. Rupanya, dia tahu gelagat kalau gadis
    berpakaian putih itu tak akan bisa dikalahkannya. Maka, ia
    memilih kabur sebelum mari konyol!

    TIGA

    "Hup...!"
    Begitu kedua kakinya mendarat di tanah, Melati
    segera bergerak mengejar. Tapi begitu tiba di ambang pintu,
    langkah kakinya dihentikan. Suasana di luar ternyata gelap.
    Jadi, tidak ada gunanya melakukan pengejaran dalam
    kadaan gelap.
    Untuk sesaat, benak gadis berpakaian putih itu
    berputar sebelum akhirnya teringat pada Palguna.
    Melati terjingkat bagai disengat kalajengking ketika
    teringat pemuda berpakaian mewah itu. Ya! Siapa tahu
    Palguna pun mendapat serangan serupa. Menilik dari
    kepandaian laki-laki bercambang bauk lebat itu, bisa
    diperkirakan kalau Palguna bukan tandingannya.
    Teringat akan Palguna membuat Melati kembali ke
    kamarnya. Dijumputnya obor kecil yang terpancang di
    dinding Dan dengan obor di tangan, gadis itu keluar dari
    kamarnya. Tujuannya sudah jelas. Kamar Palguna!
    Melati melangkah, bersikap waspada penuh. Pen-
    dengarannya dipasang setajam mungkin agar dapat
    menangkap suara sekecil apa pun.
    Selangkah demi selangkah gadis berpakaian putih itu
    melangkah maju. Dan dengan demikian, selangkah demi
    selangkah pula, jaraknya dengan kamar Palguna semakin
    dekat
    Hampir Melati terpekik ketika melihat pintu kamar
    Palguna! Ambang pintu itu kini sudah tidak memiliki daun
    lagi. Sehingga, sinar obor yang terpancang di dinding kamar
    membias sampai ke depan kamar.
    Dengan perasaan khawatir, putri angkat Raja Bojong
    Gading ini melangkah menghampiri. Meskipun keinginan
    untuk segera mengetahui nasib Palguna demikian menggebu-
    gebu namun masih bisa ditahannya. Disadari kalau sikap
    sembrono dan buru-buru malah akan mencelakakan dirinya.
    Tapi lagi-lagi kekhawatiran Melati sama sekali tidak
    terbukti. Sampai di ambang pintu kamar Palguna, tidak ada
    kejadian apa pun yang menimpa.

    "Palguna...!" jerit Melati keras oleh perasaan kaget
    ketika melihat tubuh pemuda berpakaian mewah itu
    tergeletak di lantai.
    Setelah berkata demikian, Melati bergerak meng-
    hampiri tubuh Palguna. Meskipun begitu, kewaspadaan gadis
    itu sama sekali tidak berkurang. Sepasang matanya beredar
    ke sekeliling ruangan itu.
    Walau hanya sekilas, tapi cukup bagi Melati untuk
    mengetahui keadaan kamar ini. Yang jelas tak berbeda
    dengan kamarnya. Porak-poranda! Jelas, kalau di tempat ini
    telah terjadi sebuah pertarungan sengit.
    Dengan sepasang mata yang tetap memperhatikan
    suasana sekelilingnya, Melati berjongkok begitu telah berada
    di dekat tubuh Palguna yang tergolek. Gadis berpakaian
    putih itu ingin memeriksa keadaan Palguna.
    Di saat itulah, tanpa diduga-duga, tangan Palguna
    bergerak. Cepat bukan main gerakannya. Tambahan lagi,
    jaraknya terlampau dekat dengan Melati. Lagi pula, hal ini
    sama sekali tidak disangka-sangka. Maka, kejadian yang
    terjadi pun seperti yang sudah diduga.
    Tukkk...!
    Telak dan tepat sekali jari telunjuk Palguna menotok
    jalan darah di bahu kanan Melati. Kontan tubuh gadis
    berpakaian putih itu pun terkulai lemas, seperti sehelai
    karung basah.
    Kini Melati tidak berdaya lagi. Sekujur tubuhnya
    lemas seketika.
    "Ha ha ha...!"
    Palguna tertawa bergelak seraya bangkit berdiri,
    begitu tubuh Melati merosot dan jatuh di lantai. Dalam
    keremangan sinar obor, wajah pemuda berpakaian mewah itu
    ternyata terlihat menyeramkan.
    "Palguna! Apa yang kau lakukan?!" tanya Melati keras.
    Ada nada kemarahan dalam pertanyaan yang lebih mirip
    teguran itu.
    "Ha ha ha...!"
    Palguna kembali tertawa bergelak. Karuan saja hal itu
    membuat kemarahan Melati semakin berkobar. Tapi, apa
    dayanya sekarang? Jangankan menyerang, menggerakkan
    ujung jari pun tidak mampu!

    "Kau belum mengerti juga, Manis?" Palguna malah
    balas bertanya.
    Kali ini tampak jelas kekurangajaran baik pada suara
    maupun sikap pemuda itu. Sungguh berbeda dengan sikap
    yang ditunjukkan sebelumnya.
    "Hanya satu hal yang telah kumengerti sekarang...,"
    pelan, tapi tajam ucapan Melati.
    "Apa itu. Manis?" tanya Palguna ingin tahu.
    "Kau adalah seekor serigala berbulu domba! Seorang
    pengecut yang tidak berani berhadapan langsung denganku!"
    tandas Melati tegas. "Masih lebih baik empat orang yang
    menghadangku kemarin!"
    "Ha ha ha...!"
    Palguna kembali tertawa. Menilik gerak-geriknya,
    tampak kalau dia tengah dilanda perasaan gembira. Tapi,
    mendadak saja tawa itu dihentikan.
    "Rupanya hanya wajahmu saja yang cantik. Manis.
    Tapi, otakmu bebal! Tidakkah kau duga kalau semua ini
    sudah kurencanakan?!"
    Wajah Melati kontan berubah hebat.
    "Maksudmu...?"
    "Empat orang yang menghadangmu adalah suruh-
    anku! Dengan cara itu, bagiku mudah untuk dapat
    berkenalan denganmu dan memancingmu kemari!"
    Palguna menghentikan ucapan sejenak untuk me-
    narik napas.
    "Terus terang, aku tidak berani menantangmu secara
    langsung. Aku tahu, kau memiliki kepandaian tinggi. Kalau
    aku memang, tidak menjadi masalah karena langsung bisa
    menangkapmu. Tapi kalau aku kalah? Itulah sebabnya, aku
    menyerangmu secara menyamar menjadi orang bercambang
    bauk lebat."
    "Jadi.... Orang berpakaian hitam itu kau?!" tanya
    Melati, kaget.
    "Kau tidak menyangka bukan?!" ejek pemuda
    berpakaian mewah itu, merasa menang.
    Melati terdiam. Kini jelas sudah kalau semua itu
    sudah direncanakan Palguna secara rapi. Seketika itu pula,
    ingatan gadis berpakaian putih itu melayang pada pesan
    yang diberikan orang yang tidak diketahui tadi. Satu hal yang
    diketahuinya adalah, orang yang mengirim pesan itu telah

    mengetahui akan adanya bahaya yang mengancam. Ini
    berarti orang yang mengirim pesan itu tahu tentang Palguna.
    "Satu hal yang perlu kau ketahui, Manis," sambung
    Palguna lagi "Aku telah tahu, siapa adanya orang yang kau
    cari itu. Bukankah Dewa Arak?!"
    Pemuda berpakaian mewah itu menghentikan
    ucapannya untuk menunggu jawaban Melati. Tapi, ternyata
    gadis berpakaian putih itu sama sekali, tidak
    menanggapinya. Palguna yang tengah mabuk kemenangan,
    sama sekali tidak mempedulikannya. Dia memang tidak
    membutuhkan jawaban gadis itu.
    "Aku telah dapat menduga, siapa orang yang kau cari,
    sewaktu kau menanyakannya pada laki-laki gendut pemilik
    kedai. Pertanyaanmu itulah yang mendorongku untuk
    merencanakan semua ini. Dari pertanyaan itu, bisa kutebak.
    Kalau kau adalah wanita yang kudengar selalu bersama
    Dewa Arak! Itulah sebabnya, aku bersikap hati-hati. Sungguh
    sama sekati tidak kusangka-sangka kalau sekali bertindak,
    aku langsung mendapat dua umpan. Kau, dan Dewa Arak!"
    "Apakah kau mempunyai urusan dengan Dewa
    Arak?!" tanya Melati dengan suara kering.
    Disadari kalau seorang seperti kekasihnya lebih
    banyak mempunyai musuh daripada teman. Tak terhitung
    sudah, lawan-lawan pemuda berambut putih keperakan itu
    terbunuh. Padahal setiap lawan yang dibunuh, sudah pasti
    mempunyai guru, murid, atau kerabat yang akan
    mendendam karena kematiannya.
    Palguna menganggukkan kepala.
    "Lalu... mengapa kau menawanku?" pancing Melati.
    "Ha ha ha...! Ada dua hal yang membuatku mena-
    hanmu, Manis," jawab pemuda berpakaian mewah itu.
    "Apa itu?" tanya Melati sekenanya.
    Gadis berpakaian putih ini berusaha mengulur-ulur
    waktu selama mungkin. Dan selama mengajak pemuda
    berpakaian mewah itu berbicara, tenaga dalamnya
    dikerahkan untuk membebaskan jalan darah yang tertotok.
    "Pertama, karena kau dapat kugunakan untuk me-
    mancing Dewa Arak. Dan kedua, ini yang penting. Wajahmu
    yang cantik molek dan tubuhmu yang menggiurkan, dapat
    kumanfaatkan selama menunggu kedatangan Dewa Arak."

    Terdengar suara menggertakkah dari mulut Melati
    ketika mendengar ucapan terakhir Palguna.
    "Kalau kau berani menyentuh tubuhku... akan
    kuhancurkan semua tulang tubuhmu!" pelan dan bergetar
    ucapan yang keluar dari mulut Melati. Jelas kalau perkataan
    itu dikeluarkan penuh perasaan.
    Orang seperti Palguna mana bisa ditakut-takuti?
    Apalagi pada saat itu tengah dirasuki nafsu! Pemuda
    berpakaian mewah itu tertawa bergelak ketika mendengar
    ancaman gadis berpakaian putih itu.
    "Kau kira, orang sepertiku bisa kau takut-takuti,
    Manis? Keliru besar kalau menyangka begitu."
    Wajah Melati pucat pasi. Seketika, rasa takut yang
    amat sangat terhadap sesuatu yang mengerikan melanda
    pada dirinya. Putri angkat Raja Bojong Gading yang belum
    pernah mengenal rasa takut, untuk pertama kalinya dilanda
    perasaan takut yang hebat.
    "Jangan harap akan bisa mati enak, apabila berani
    menyentuh tubuhku, Palguna," dalam cekaman rasa takut
    yang memuncak, hanya ancaman yang bisa dilakukan Melati.
    Seperti juga sebelumnya, ancaman Melati yang kali ini
    pun hanya ditanggapi tawa bergelak Palguna. Dan seiring
    selesai tawa itu, tangan pemuda berpakaian mewah itu mulai
    terulur.
    Palguna rupanya memang hendak membuat hati
    Melati tersiksa oleh rasa takut menggelegak. Walaupun nafsu
    yang bergelora dalam dadanya mendesak-desak untuk
    melampiaskan hasrat tapi hal itu tidak langsung
    dilakukannya.
    Tangan Palguna hinggap di dahi Melati yang mulus,
    kemudian perlahan-lahan merayap turun ke pelipis, pipi,
    mulut, dan beranjak ke leher. Selama tangan pemuda
    berpakaian mewah itu berkeliaran, Melati tak henti-hentinya
    berteriak memaki. Deru napasnya bersaing dengan deru
    napas Palguna. Hanya saja, napas Palguna memburu karena
    dilanda nafsu. Sedangkan napas Melati karena cekaman rasa
    takut yang bergelora.
    Kini tangan Palguna telah tiba di leher. Dan sekali
    tangan itu bergerak turun dan merenggut pakaian, nasib
    Melati selanjutnya sudah bisa diduga.

    Melati pun menyadari hal itu. Suaranya sudah serak
    karena terlalu banyak melontarkan ancaman yang sama
    sekali tidak ditanggapi Palguna. Karena cekaman rasa takut
    yang memuncak akan terjadinya sesuatu yang mengerikan,
    tanpa sadar tetes-tetes air bening menggulir turun di pipinya
    yang putih.
    Meskipun suasana remang-remang, tapi Palguna
    tentu saja melihat. Hatinya pun semakin gembira. Memang
    aneh watak orang-orang jahat. Dia akan senang melihat
    orang lain menderita. Semakin besar penderitaan yang
    dialami orang lain, semakin gembira hatinya.
    Mendadak gerakan tangan Palguna terhenti. Ke-
    palanya pun menoleh ke belakang. Sikapnya tampak
    waspada sekaii, karena mendengar adanya suara
    mencurigakan di belakangnya.
    Melati yang sama sekali tidak mendengar apa pun
    karena tenggelam oleh rasa takut yang menggelegak,
    mencoba memasang pendengarannya. Padahal, air matanya
    masih menganak sungai di pipinya.
    Palguna benar! Ada seseorang yang berada di luar
    kamar. Mudah-mudahan saja, orang itu bukan kawan
    Palguna. Itu harapan Melati. Mendadak saja terlintas dugaan
    di benaknya. Apakah orang yang berada di luar kamar itu
    adalah orang yang telah mengirim pesan untuknya?
    "Keparat...! Berarti kau mempermainkan aku, Pe-
    ngecut...!"
    Palguna yang merasa geram karena kesenangannya
    terganggu, membentak keras seraya bangkit berdiri. Dia lalu
    melangkah keluar ruangan dengan sikap hati-hati.
    Tapi sebelum berhasil ke ambang pintu, dari balik
    dinding sebelah kanan melesat sesosok bayangan. Cepat
    bukan main gerakannya. Sehingga ketika melewati pintu,
    hanya berupa sekelebat bayangan hitam saja.
    "Hei...!"
    Palguna segera melesat mengejar. Tapi, ternyata sosok
    bayangan itu memiliki gerakan gesit. Sehingga, dalam
    beberapa kali lesatan saja, sudah lenyap di keremangan
    rumah itu.
    "Keparat...!" maki Palguna dengan kegeraman yang
    tampak jelas dalam suaranya. Dengan obor di tangan,

    kepalanya menoleh ke sana kemari untuk mencari-cari sosok
    bayangan hitam tadi.
    Mendadak langkah pemuda itu terhenti ketika teringat
    sesuatu. Melati! Jangan-jangan sosok bayangan itu telah
    menipunya, kemudian membawa lari tahanannya.
    Mendapat dugaan seperti itu, membuat Palguna
    khawatir bukan kepalang. Buru-buru tubuhnya berbalik dan
    melesat kembali ke kamarnya.
    ***
    Palguna tiba di ambang pintu kamarnya bertepatan
    dengan melompat masuknya sosok bayangan hitam dari
    jendela. Dugaan pemuda berpakaian mewah itu ternyata
    benar!
    Rupanya, sosok bayangan hitam tidak menyangka
    kalau Palguna akan kembali secepat itu. Terbukti, dia
    kelihatan kaget bukan kepalang. Meskipun tidak tampak
    jelas karena wajahnya dipenuhi coreng-moreng arang hitam,
    tapi dari langkahnya yang secara mendadak berhenti, tampak
    jelas perasaan kaget bagai melanda hatinya.
    Begitu melihat sosok bayangan hitam itu, tanpa
    membuang-buang waktu lagi. Palguna segera meng-
    hentakkan kedua kepalannya ke depan. Langsung di-
    lepaskannya serangan pukulan jarak jauh.
    Wuttt...!
    Deru angin keras mengiringi tibanya serangan
    pukulan itu. Bisa diperkirakan kuatnya tenaga yang
    terkandung dalam serangan Palguna ini.
    Sosok tubuh berwajah coreng-moreng yang menilik
    dari bentuk tubuhnya adalah seorang laki-laki, rupanya juga
    bisa memperkirakan kedahsyatan serangan itu. Hal ini bisa
    dilihat dari ketidakberaniannya memapak pukulan jarak jauh
    itu dengan pukulan jarak jauh pula. Bahkan tubuhnya malah
    dilempar ke samping dan bergulingan.
    Dengan mengelaknya laki-laki berwajah coreng
    moreng itu, maka serangan pukulan jarak jauh Palguna terus
    meluncur ke belakang, jendela yang memang tepat di
    belakang laki-laki berpakaian hitam itu kontan terhantam.
    Brakkk...!

    Jendela itu kontan hancur berantakan mengeluarkan
    suara hiruk pikuk memekakkan telinga.
    Baik Palguna maupun laki-laki berwajah penuh
    coreng-moreng itu sama sekali tidak sempat memper-
    hatikannya.
    Palguna begitu melihat serangannya berhasil die-
    lakkan, segera saja menyusulnya dengan serangan berupa
    pukulan bertubi-tubi ke arah dada dan ulu hati lawan. Jelas,
    kalau dia berkeinginan untuk secepatnya merobohkan lawan.
    Laki-laki berpakaian hitam itu tidak punya pilihan
    lain lagi, kecuali menangkis. Memang pada saat itu, dia baru
    saja bangkit dari bergulingnya. Tidak ada lagi kesempatan
    mengelak baginya.
    Plak, plak, plak...!
    Keras bukan main ledakan yang terjadi akibat ber-
    adunya dua pasang tangan yang sama-sama memiliki tenaga
    dalam tinggi. Tubuh kedua orang itu sama-sama terhuyung-
    huyung dua langkah ke belakang. Ternyata, tenaga dalam
    kedua orang itu berimbang.
    Palguna menggeram menyadari kalau lawan mampu
    menandingi tenaga dalamnya. Padahal, tadi seluruh tenaga
    yang dimilikinya telah dikerahkan. Apalagi, saat itu hatinya
    tengah dilanda perasaan amarah yang menggelora.
    Tapi secepat kedudukannya diperbaiki, secepat itu
    pula Palguna melompat menerjang lawan.
    Sadar akan ketangguhan lawan, tanpa ragu-garu lagi
    Palguna mengeluarkan senjata andalan dari pinggang,
    sebuah ruyung berbatang tiga. Dan dengan senjata itu di
    tangan dia meluruk ke arah laki-laki berpakaian hitam itu.
    Kali ini pemuda berpakaian mewah itu kalah cepat.
    Laki-laki berwajah coreng-moreng itu telah lebih dulu lari
    meninggalkannya. Dia melesat kabur, melalui jendela yang
    telah hancur berantakan. Rupanya begitu tubuhnya
    terhuyung karena benturan tadi, laki-laki berpakaian hitam
    itu memanfaatkannya untuk melesat kabur dari situ.
    Palguna segera berkelebat menyusul ke arah jendela.
    Dan dengan sikap waspada, kepalanya dilongokkan keluar.
    Ditelusurinya suasana di bawah sana dengan pandangan
    matanya. Tapi sampai lelah pandangannya beredar, hanya
    kesunyian yang dilihatnya. Tak terlihat sepotong makhluk
    pun di bawah sana.

    Dengan wajah masih menampakkan kemarahan
    hebat, Palguna melangkah meninggalkan jendela. Dahinya
    berkemyit dalam memikirkan laki-laki berwajah coreng-
    moreng tadi. Siapakah sebenarnya laki-laki yang ternyata
    lihai itu? Mengapa berada di sini? Dan mengapa hendak
    menyelamatkan tahanannya? Mengapa dia melatikan diri,
    padahal hanya baru bertarung segebrakan saja? Bukankah
    jika bertarung sungguhan belum tentu kalah? Berbagai
    macam pertanyaan bergayut di benak Palguna.
    Dan dengan kepala masih dipenuhi berbagai macam
    pertanyaan, Palguna menghempaskan pantatnya di
    pembaringan, setelah menyimpan kembali ruyungnya di
    pinggang. Dibiarkan saja Melati terbaring di lantai.
    Keinginannya untuk memperkosa gadis berpakaian
    putih itu telah berkurang banyak, karena adanya gangguan
    yang sama sekali tidak disangka-sangka. Palguna khawatir,
    laki-laki berpakaian hitam itu datang lagi di saat dirinya
    lengah. Dan bila itu terjadi, mungkin dirinya akan celaka.
    Laki-laki berwajah coreng-moreng itu terbukti memiliki
    kepandaian seimbang dengannya.
    Dalam keadaan biasa pun, Palguna tidak yakin akan
    bisa mengalahkan laki-laki berwajah coreng-moreng. Apalagi,
    kalau dirinya berada dalam keadaan lengah.
    Itulah sebabnya, kini Palguna tidak mengganggu
    Melati. Pemuda berpakaian mewah itu sibuk berjaga-jaga
    terhadap kedatangan laki-laki berpakaian hitam yang luar
    biasa.
    Kini Palguna tidak tidur. Dia duduk di atas pem-
    baringan, bersikap waspada. Sementara benaknya masih
    dipenuhi berbagai pertanyaan mengenai laki-laki berwajah
    coreng-moreng tadi.

    EMPAT

    Palguna merasa waktu begitu lama sekali berlalu.
    Seolah-olah, malam begitu lambat seperti seekor keong
    merayap. Pemuda itu berusaha keras untuk tidak tertidur,
    atau berbuat tidak senonoh terhadap Melati
    Hal itu mau tidak mau harus dilakukan Palguna,
    karena kekawatirannya atas kedatangan laki-laki berpakaian
    hitam yang tangguh.
    Bukan hanya Palguna saja yang tidak ingin tertidur.
    Melati pun demikian pula. Gadis berpakaian putih itu tengah
    menunggu jalan darahnya lancar sendiri. Tapi untuk tidak
    membuat curiga, matanya dipejamkan agar disangka tidur.
    Sedikit demi sedikit Melati merasakan jalan darah
    yang tertotok mulai bebas. Hanya memakan waktu yang tidak
    begitu lama lagi, gadis itu akan kembali bebas seperti
    sediakala.
    Namun harapan Melati kandas. Palguna rupanya
    bukan orang bodoh. Dia tahu pengaruh totokan itu lama-
    kelamaan akan punah sendiri. Apalagi kalau yang ditotok
    adalah orang seperti Melati yang memiliki tenaga dalam
    tinggi.
    Pemuda berpakaian mewah itu bangkit dari pem-
    baringannya dan kembali menotok Melati, baru kemudian
    kembali ke pembaringan lagi dan bersikap waspada.
    Palguna sama sekali tidak menggunakan kesempatan
    itu untuk berbuat tidak senonoh terhadap Melati. Dan
    khawatir akan terlupa, sehingga laki-laki berwajah coreng-
    moreng muncul, dan langsung menyerangnya.
    Tidak bisa dibayangkan, betapa dongkolnya hati
    Melati ketika Palguna kembali menotoknya. Usahanya pun
    dihentikan untuk membebaskan pengaruh totokan itu
    dengan tenaga dalamnya. Dalam kungkungan rasa kesal itu,
    Melati memejamkan matanya. Dia bermaksud tidur saja.
    Tak lama kemudian, terdengar desahan halus napas
    Melati ketika tertidur.
    Palguna hanya dapat mengawasi dengan perasaan
    dongkol melihat tahanannya dapat tertidur nikmat.
    Sedangkan dirinya sibuk berjaga-jaga terhadap kemunculan
    laki-laki berwajah coreng-moreng itu. Berkali-kali dalam

    penantiannya, pemuda berpakaian mewah itu memaki sejadi-
    jadinya.
    Tapi sampai matahari muncul di ufuk Timur dan
    sorotnya yang lembut menyinari mayapada ini, laki-laki
    berwajah coreng-moreng itu sama sekali tidak muncul batang
    hidungnya.
    Karuan saja hal ini membuat Palguna kian bertambah
    geram. Sejak malam hingga pagi, matanya turus dipasang
    dengan kewaspadaan tidak pernah kendur. Tapi orang yang
    ditunggu-tunggunya sama sekali tidak datang. Maka,
    jengkelnya tidak bisa diperkirakan lagi.
    Bukan hanya itu saja. Sejak malam tadi, beberapa
    kali ludahnya harus ditelan melihat tubuh molek meng-
    giurkan tertidur pulas di lantai. Melati seperti sengaja
    menantangnya! Dada gadis berpakaian putih itu terlihat
    turun naik dalam helaan napas yang teratur sewaktu tidur.
    Perlahan-lahan Melati membuka sepasang kelopak
    matanya setelah terlebih dahulu mengerjap-ngerjapkannya.
    Melihat gadis berpakaian putih itu telah bangun.
    Palguna lalu melompat turun dari pembaringan. Dijumputnya
    sebuah rantai baja yang tebal dan kelihatan kuat, yang
    terletak di bawah pembaringan.
    Rantai baja itu berjumlah dua julur. Panjang masing-
    masing hampir mencapai setengah tombak. Dan pada ujung-
    ujung rantai, terpasang gelang-gelang yang juga terbuat dari
    baja tebal dan terlihat kuat.
    Dengan sikap kasar, Palguna memasangkan gelang-
    gelang baja itu pada pergelangan tangan dan kaki Melati.
    Baru setelah itu totokan pada gadis itu dilepaskan.
    Melati hanya bisa memaki-maki dalam hati. Dia sudah
    bosan melakukannya. Suaranya telah serak dan
    tenggorokannya terasa sakit-sakit karena terlalu banyak
    memaki. Dan gadis berpakaian putih itu tidak mau
    menambah penderitaannya dengan memaki-maki Palguna
    kembali.
    "Bangun, Wanita Sial!" seru Palguna keras seraya
    menarik tangan Melati kasar.
    "Laki-laki pengecut...!" Melati akhirnya tidak kuat lagi
    menahan kemarahan yang melonjak-lonjak dalam dada.
    "Kalau kau benar laki-laki, bebaskan aku! Dan kita bisa
    bertarung sampai ada yang mati!"

    "Kau kira bisa membodohiku dengan kata-kata usang
    itu, Wanita Liar?!" sindir Palguna sinis.
    Perasaan tegang sewaktu berjaga-jaga terhadap
    kedatangan laki-laki berwajah coreng-moreng, dan rasa
    jengkel, membuatnya tidak bisa menyambut ucapan Melati
    dengan kata-kata bernada ejekan dan penuh tawa.
    Melati terdiam mendengar sambutan itu.
    "Kau tahu, Wanita Sial. Aku akan menggunakanmu
    untuk memancing kedatangan Dewa Arak! Tokoh sombong
    itu telah berhutang nyawa padaku! Dan, nyawanyalah
    sebagai tebusannya! Dengan adanya kau di tanganku, tidak
    sulit menaklukkan Dewa Arak!" jelas Palguna.
    "Kau memang manusia pengecut, Palguna! Orang
    sepertimu tidak pantas menjadi manusia. Tapi lebih pantas
    sebagai anjing kurap!" maki Melati keras.
    "Tutup mulutmu, Wanita Liar!" bentak Palguna, keras.
    "Kalau tidak mau menutup mulutmu juga, kau akan
    kutelanjangi!"
    Merah padam wajah Melati seketika mendengar
    ancaman yang tidak senonoh itu. Tapi, rupanya ancaman itu
    cukup ampuh. Terbukti gadis berpakaian putih itu tidak
    berkata-kata lagi ketika Palguna menyeretnya keluar.
    Rupanya bangunan megah yang terlihat tua itu
    banyak menyimpan peralatan Palguna. Dari dalam gudang,
    dikeluarkan sebuah kereta yang ditarik dua ekor kuda.
    Dengan kasar, Palguna menarik Melati masuk ke
    dalam kereta kuda. Sementara, dia sendiri duduk di depan, di
    bangku kusir. Khawatir kalau gadis berpakaian putih itu
    bertindak macam-macam, pemuda berpakaian mewah itu
    telah kembali menotok lumpuh Melati.
    "Hiya...! Hiyaaa...!"
    Palguna melecutkan cambuknya ke pantat dua ekor
    kuda ttu. Seketika itu juga binatang itu mulai bergerak
    menarik kereta.
    Tanpa diketahui Palguna, di atas atas gerobak itu
    nampak tertelungkup sesosok tubuh berpakaian hitam.
    Menilik dari kedua telapak tangannya yang dirapatkan pada
    atap kereta, bisa diperkirakan kalau tenaganya dikerahkan
    agar tidak terbanting jatuh. Apalagi, bila jalan yang dilalui
    buruk.

    LIMA

    Seorang pemuda tampan berambut putih keperakan
    dan berpakaian ungu melangkah perlahan melalui jalan
    utama Desa Gede. Sebuah guci arak terbuat dari perak
    tersampir di punggungnya. Menilik dari ciri-cirinya, sudah
    bisa ditebak sosok pemuda berambut putih keperakan itu.
    Siapa lagi kalau bukan Arya Buana alias Dewa Arak.
    Desa Gede ternyata terhitung sebuah desa ramai,
    meskipun saat itu hari sudah agak siang. Jalan utama desa
    ini banyak dilalui orang-orang lalu lalang. Setiap orang yang
    melihat Arya Buana selalu akan menoleh dengan kening
    berkemyit dalam. Rupanya, mereka merasa heran melihat
    seorang pemuda sudah memiliki warna rambut demikian.
    Tapi Arya Buana sendiri berpura-pura tidak tahu.
    Dengan sikap tidak peduli dia terus saja melangkah. Sempat
    juga terdengar bisik-bisik dari orang-orang yang menilik
    gerak-geriknya adalah orang-orang yang cukup memiliki ilmu
    silat. Pelan saja. Tapi karena pendengaran pemuda
    berpakaian ungu ini memang luar biasa tajam, bukan hal
    yang aneh bila ucapan itu bisa didengarnya.
    "Mungkinkah dia itu Dewa Arak...?!" sebuah suara
    parau dari mulut seorang laki-laki bergigi tonggos terdengar.
    "Kalau melihat ciri-ciri, tidak salah. Tapi mungkinkah
    orangnya semuda itu?" jawab kawannya. Dia pemuda
    berwajah hitam.
    "Tapi menurut berita yang kudengar, Dewa Arak
    memang seorang pemuda...," bantah laki-laki bergigi tonggos
    lagi
    Hanya itu ucapan terakhir yang terdengar Arya
    Buana. Itu pun hanya samar-samar saja. Ucapan selanjutnya
    tidak tertangkap telinganya lagi Memang, seiring semakin
    menjauhnya Dewa Arak dari orang yang
    mempercakapkannya, suara itu dengan sendirinya semakin
    tidak terdengar.

    Pemuda berpakaian ungu itu terus saja melangkah.
    Sehingga, semakin lama semakin menjauhi tempat orang
    yang mempercakapkannya.
    "Tuan Dewa Arak...!"
    Panggilan keras dari arah samping membuat Arya
    Buana menolehkan kepala tanpa sadar. Suara itu terdengar
    kecil dan melengking. Jelas, orang yang mengeluarkan suara
    itu adalah seorang lelaki yang belum dewasa.
    Dari depan sebuah kedai, tampak berlari-lari seorang
    anak lelaki. Paling banyak, usianya baru dua belas tahun.
    Pakaiannya kumal dan lusuh. Jelas, kalau dia bukan berasal
    dari keluarga berada.
    Arya Buana tidak melanjutkan langkahnya, dan
    hanya berdiri diam menunggu kedatangan anak itu. Ingin
    diketahui, mengapa anak itu memanggilnya. Adalah
    merupakan sebuah hal yang mengherankan kalau seorang
    anak bisa mengenal julukannya. Dari manakah anak itu
    mengetahuinya? Apakah orang tua anak itu adalah seorang
    tokoh persilatan yang telah mendengar julukannya? Macam-
    macam pertanyaan bergayut di benak Dewa Arak.
    Tak lama kemudian, anak berpakaian kumal itu telah
    berada di dekat Arya Buana. Napasnya terdengar agak
    terengah.
    "Ada apa?" tanya pemuda berpakaian ungu dengan
    suara dibuat sepelan mungkin, agar anak itu tidak menjadi
    takut.
    "Apakah, Tuan Dewa Arak?" tanya anak lelaki
    berpakaian kumal itu. Sepasang matanya tertuju pada
    rambut Arya Buana.
    "Benar," jawab Arya Buana sambil menganggukkan
    kepala. "Kau siapa, Anak Baik? Dan dari mana tahu
    julukanku?"
    "Namaku Jumadi."
    "Jumadi? Nama yang bagus," puji Dewa Arak. "Nah,
    Jumadi. Sekarang katakan, dari mana kau tahu julukanku?"
    "Dari orang yang menyuruhku menitipkan ini," jawab
    Jumadi polos sambil menyerahkan segulungan kain pada
    Arya Buana.
    Pemuda berpakaian ungu itu segera menerima
    angsuran gulungan kain dengan dada berdebar tegang.
    Tanpa melihat pun sudah bisa diketahui kalau di dalam

    gulungan kain itu terdapat pesan. Entah permohonan
    pertolongan, tantangan, atau ancaman.
    "Terima kasih, Jumadi," ucap Dewa Arak ketika
    gulungan kain itu telah diterimanya.
    Kemudian Dewa Arak menjumput uang yang ada di
    buntalan kainnya. Lalu, diberikannya pada bocah lelaki itu.
    "Ini untukmu."
    "Maaf, Tuan Dewa Arak. Aku tidak bisa meneri-
    manya," tolak Jumadi sopan.
    "Heh...?! Kenapa?" Sepasang alis Arya Buana hampir
    bertautan.
    "Orang yang menitipkan itu telah memberi upah
    padaku."
    "Kalau kau tidak mau menerima uang ini, aku pun
    tidak mau menerima gulungan kain ini," gertak pemuda
    berpakaian ungu itu seraya mengangsurkan gulungan kain
    kembali.
    Jumadi kebingungan sejenak, sebelum akhirnya
    mengulurkan tangan menerimanya.
    "Terima kasih, Tuan," ucap bocah lelaki berbaju lusuh
    itu.
    Arya Buana hanya tersenyum. Dan dengan dada
    berdebar tegang, dibukanya gulungan kain itu, dan langsung
    dibaca isinya. Sedangkan Jumadi yang rupanya tahu diri,
    segera beranjak meninggalkan pemuda berambut putih
    keperakan itu.
    Dewa Arak....
    Melati, kekasihmu ada di tanganku. Silakan datang
    untuk mengambilnya, bila kau menginginkan dia selamat. Aku
    menunggumu di Lembah Malaikat.
    "Melati...," desah Dewa Arak.
    Seketika perasaan Arya Buana resah karena khawatir
    akan keselamatan kekasihnya. Berbagai macam dugaan
    berkecamuk dalam benaknya. Benarkah Melati ditawan orang
    yang bertempat tinggal di Lembah Malaikat? Dan di manakah
    gerangan letak Lembah Malaikat?
    Arya Buana menggerakkan jari-jari tangannya me-
    remas gulungan kain itu. Kontan kain itu hancur berkeping

    keping, mengeluarkan suara gemerisik pelan. Karena, Arya
    Buana mengerahkan tenaga pada remasannya.
    "Jumadi! Tunggu sebentar...!"
    Jumadi yang telah berjalan sekitar lima tombak,
    menghentikan langkah dan menoleh.
    Hanya sekali langkah, Dewa Arak telah berada di
    hadapan Jumadi.
    "Kau tahu, siapa orang yang mengirimkan pesan ini
    untukku?" tanya Arya Buana tanpa mempedulikan
    keheranan bocah berpakaian lusuh itu. Rupanya, Jumadi
    merasa heran melihat hanya dengan sekali langkah pemuda
    berpakaian ungu itu telah berada di hadapannya.
    Jumadi menggelengkan kepala.
    "Bisa kau beritahukan ciri-cirinya?" desak pemuda
    berambut putih keperakan itu. Dewa Arak memang ingin
    mengetahui, siapa sebenarnya orang yang telah mampu
    menyandera Melati.
    Jumadi mengernyitkan dahinya dalam usaha
    mengingat-ingat orang yang telah mengirimkan pesan itu
    untuk Dewa Arak.
    "Orangnya masih muda, Tuan.... Tampan, berkulit
    putih, dan berpakaian mewah...."
    Sepasang alis Dewa Arak hampir bertautan men-
    dengar ciri-ciri yang disebutkan bocah berpakaian lusuh itu.
    Arya Buana mencoba mengingat-ingat, barangkali saja
    pernah bertemu orang yang dimaksud. Tapi sampai lelah
    mengingat, diyakininya kalau tidak pernah bertemu orang itu
    sebelumnya.
    "O, ya, Tuan.... Masih ada lagi titipan untuk Tuan."
    Sambil berkata demikian, Jumadi yang rupanya baru
    teringat mengambil sesuatu dari balik bajunya. Kemudian,
    diangsurkannya pada Dewa Arak.
    Wajah Arya Buana langsung berubah ketika melihat
    benda yang dipegang Jumadi. Dewa Arak kenal betul pemilik
    benda yang ternyata adalah sebuah pita yang berujung bunga
    melati. Itu adalah hiasan yang tergantung di pedang Melati!
    Tidak salah lagi! Kekasihnya telah ditawan!
    Dengan tangan agak gemetar, Dewa Arak mengambil
    pita berwarna merah yang di ujungnya tergantung bunga
    melati. Ditatapnya bunga itu beberapa saat lamanya.
    Berbagai macam perasaan bercampur aduk dalam hati

    pemuda berambut putih keperakan itu. Rasa rindu, cemas,
    dan marah bercampur aduk menjadi satu.
    "Apakah orang itu memberitahukan padamu, di mana
    letaknya Lembah Malaikat itu, Jumadi?" tanya Arya Buana
    Jumadi menganggukkan kepala pertanda membe-
    narkan.
    "Orang itu memang memberitahukannya. Lembah
    Malaikat terletak di Bukit Jambul. Tuan tahu letaknya?"
    Arya Buana menggelengkan kepala. Dan memang,
    sebenarnya dia tidak tahu letak Bukit Jambul itu.
    "Orang yang menitipkan pesan mengatakan. Tuan
    harus melakukan perjalanan ke arah Timur. Lama perjalanan
    ke sana, selama satu hari menunggang kuda. Bukit itu akan
    tampak dari kejauhan, Tuan. Warnanya putih. Begitulah
    keterangan yang diberikan orang itu."
    Arya Buana mengernyitkan kening. Sungguh tidak
    diduga kalau perjalanan menuju Lembah Malaikat cukup
    jauh juga.
    "Terima kasih, Jumadi."
    Setelah berkata demikian, Arya Buana membalikkan
    tubuhnya dan melangkah meninggalkan tempat ini. Dalam
    keinginannya untuk segera tiba dan menyelamatkan
    kekasihnya, pemuda berpakaian ungu itu langsung
    mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuh. Hanya sekali
    langkah saja, Dewa Arak telah berada dalam jarak sebelas
    tombak dari tempatnya semula.
    "Wahhh...!"
    Jumadi berseru takjub. Sepasang matanya terbelalak
    lebar ketika melihat dalam sekejapan saja, tubuh Dewa Arak
    telah mengecil menjadi sebesar kepalan tangan. Kemudian,
    akhirnya lenyap ditelan kejauhan.
    Bukan hanya Jumadi saja yang terperanjat. Orang-
    orang yang kebetulan melihat pun berdecak penuh kagum.
    ***
    Arya Buana melakukan perjalanan cepat. Dia hanya
    menghentikan larinya apabila kedua kakinya telah tidak kuat
    lagi melangkah.

    Karena melakukan perjalanan seperti itu, maka
    keesokan harinya Dewa Arak telah memasuki mulut sebuah
    desa yang terletak dekat Lembah Malaikat.
    Dengan rambut kusut masai, dan kedua kaki yang
    terasa lelah bukan kepalang, pemuda berpakaian ungu itu
    melangkah perlahan memasuki sebuah kedai.
    Arya Buana tertegun di ambang pintu kedai ketika
    melihat suasana kedai yang sepi. Beberapa buah meja dan
    kursi yang terdapat di situ, tampak kosong dari pengunjung.
    Hanya ada seorang pengunjung kedai yang tengah sibuk
    menyantap makanan.
    Dia adalah seorang kakek yang memiliki kumis dan
    jenggot sedikit, tapi berwarna putih. Rambutnya panjang dan
    berwarna putih pula. Pakaiannya longgar, dan berwarna
    coklat.
    Rupanya kakek berpakaian coklat itu mengetahui
    pula, kedatangan Dewa Arak. Buktinya, perhatian pada
    santapannya dialihkan. Kemudian kepalanya terdongak.
    Terkesiap hati Arya Buana ketika melihat sepasang
    mata kakek berpakaian longgar itu. Yang mencorong tajam,
    berwarna kehijauan. Mirip mata seekor kucing dalam gelap.
    Dari sepasang mata itu saja, sudah bisa diperkirakan kalau
    kakek itu bukan orang sembarangan. Dia adalah tokoh yang
    memiliki kepandaian tinggi. Sorot mata yang tajam
    mencorong itu telah membuktikannya.
    Tapi hanya sesaat saja dua pasang mata yang sama-
    sama tajam mencorong itu bertemu. Karena, Arya Buana
    telah beranjak menuju sebuah meja kosong. Sedangkan
    kakek berpakaian coklat itu telah disibukkan kembali oleh
    makanannya.
    "Akan pesan apa, Den?" tanya seorang kakek kecil
    kurus berjenggot panjang sopan. Rupanya dia pemilik kedai
    itu.
    "Arak seguci besar dan ayam panggang," sebut Arya
    Buana.
    Kakek kecil kurus itu melangkah ke dalam untuk
    mempersiapkan pesanan Dewa Arak.
    Sambil duduk menanti pesanannya, Arya Buana
    mengedarkan pandangan berkeliling. Tapi, kembali
    pandangannya tertumbuk pada sepasang mata yang
    mencorong tajam dari kakek berpakaian coklat.

    Anehnya, begitu pandangan mereka bertemu, kakek
    berpakaian coklat longgar itu menundukkan kepala.
    Rupanya, dia tidak ingin diketahui kalau tengah
    memperhatikan Arya Buana.
    Tentu saja sikap kakek itu membuat Arya Buana
    merasa curiga, dan seketika itu pula sikapnya berubah
    waspada. Pemuda berambut putih keperakan itu yakin,
    kakek berpakaian coklat itu memperhatikannya.
    Perasaan curiga yang timbul membuat Arya Buana
    diam-diam memperhatikan kakek itu pula.
    Arya Buana terpaksa mengalihkan perhatian ketika
    pemilik kedai itu telah kembali sambil membawa pesanannya.
    Pemuda berpakaian ungu itu menunggu sampai kakek
    berjenggot panjang itu meletakkan pesanan di mejanya.
    "Apakah nama desa ini, Ki?" tanya Arya Buana sambil
    meraih salah satu guci arak, dan menuangkan isinya ke
    dalam sebuah gelas bambu.
    "Desa Jambul," jawab kakek kecil kurus itu.
    "Hm...," sebuah gumaman tak jelas dari mulut Dewa
    Arak menyambut! jawaban pemilik kedai.
    "Memangnya Aden hendak ke mana?" tanya kakek
    berjenggot panjang itu.
    "Lembah Malaikat...," jawab Dewa Arak kalem. Tapi,
    tanggapan kakek berjenggot panjang itu tidak sesederhana
    sahutan Arya Buana.
    "Lembah Malaikat...?!" pemilik kedai itu bertanya
    dengan suara bergetar. Nada suara, maupun raut wajahnya
    menunjukkan kegelisahan hebat
    "Benar, Ki. Kenapa?" Pemuda berpakaian ungu itu
    balas bertanya ketika melihat keterkejutan kakek kecil kurus.
    "Mau apa kau ke sana, Anak Muda?" Mendadak nada
    suara kakek berjenggot panjang itu berubah. Tidak lagi sopan
    dan ramah seperti semula, tapi keras dan kasar.
    Arya Buana bukan orang bodoh. Pemuda itu tentu
    saja bisa merasakan perubahan sikap pemilik kedai itu. Dan
    ini terjadi, setelah mengatakan hendak menuju Lembah
    Malaikat. Pasti ada apa-apanya di sana.
    "Meskipun sudah tua, dan hanya memiliki sedikit
    ilmu bela diri, tapi tak akan kubiarkan kau mengusik tempat
    suci itu!" sambung kakek kecil kurus mantap, begitu melihat
    Dewa Arak tercenung.

    "Tenanglah, Ki," Arya Buana yang sama sekali tidak
    mau terpancing dalam amarah, buru-buru menenangkan
    pemilik kedai itu. "Duduklah dulu, dan kita bicarakan
    masalah ini secara baik-baik."
    Kakek berjenggot panjang itu tercenung sejenak dan
    tidak langsung menanggapi ajakan Dewa Arak. Ditatapnya
    sejenak wajah pemuda berambut putih keperakan itu. Baru
    ketika dijumpai adanya kesungguhan pada wajah itu, kakek
    itu duduk di kursi di hadapan Dewa Arak. Hanya meja
    persegi yang membatasi tubuh-tubuh mereka.
    "Bisa kau ceritakan padaku mengenai Lembah
    Malaikat itu, Ki?" tanya Dewa Arak memulai pembicaraan.
    "Maaf, Anak Muda. Bukannya aku tidak ingin
    memberitahukannya. Tapi sebelum kau mengatakan
    tujuanmu ke sana, aku tidak bisa menceritakannya," tolak
    kakek kecil kurus itu.
    "Hhh...!"
    Dewa Arak menghela napas berat. Disadari kalau
    tidak ada gunanya meminta keterangan dari kakek berjenggot
    panjang itu. Arya Buana melihat adanya sorot pantang
    mundur pada sepasang mata pemilik kedai ini.
    "Baiklah, K'!," ujar pemuda berpakaian ungu itu,
    mengalah. "Perlu kau ketahui. Aku pun baru sekali ini
    mengetahui bahwa ada tempat yang bernama Lembah
    Malaikat. Dan itu pun dari orang yang bersangkutan."
    "Apa maksud ucapanmu itu, Anak Muda?!" tanya
    kakek berjenggot panjang, tak mengerti.
    "Ceritanya cukup panjang, Ki. Kau bersedia men-
    dengarkannya?" tanya Arya Buana. Dia memang berniat
    menerangkan semua, agar kakek kecil kurus ini mengerti.
    "Ceritakanlah," sambut pemilik kedai ini.
    Arya Buana mengerling ke arah meja kakek bungkuk
    berpakaian coklat longgar. Lirikan matanya mengandung arti,
    karena khawatir pembicaraannya terdengar. Kakek
    berjenggot panjang itu pun rupanya mengerti.
    "Tidak perlu khawatir. Dia bisu dan tuli," jelas kakek
    kecil kurus itu.
    "Hm...," pemuda berpakaian ungu itu hanya
    menggumam pelan.
    "Aku adalah seorang pengelana, Ki," Arya Buana
    memulai. "Masuk hutan dan desa adalah kegemaranku. Tapi,

    kemarin aku mendapat surat dari seseorang yang
    menitipkannya pada bocah lelaki"
    Arya Buana menghentikan ceritanya sejenak untuk
    melihat tanggapan pemilik kedai ini. Tapi, kakek kecil kurus
    itu ternyata diam saja, tidak menanggapi sedikit pun.
    "Isi surat itu, memintaku untuk datang ke Lembah
    Malaikat. Apabila aku tidak ke sana, kawanku yang
    diculiknya akan dibunuh!"
    "Bohong! Kau mengada-ada, Anak Muda!" Kakek
    berjenggot panjang itu bangkit dari duduknya. Seketika
    wajahnya merah padam. Kemarahan yang hebat tampak
    memancar pada wajahnya.
    "Aku tidak bohong, Ki," masih tetap tenang ucapan
    Dewa Arak. Bahkan masih tetap duduk di kursi sambil
    menenggak minumannya.
    "Cabut ucapanmu, atau ingin kuusir keluar seperti
    anjing geladak?!"
    Berkilat sepasang mata pemuda berambut putih
    keperakan itu mendengarnya. Memang, Arya Buana merasa
    tersinggung juga atas sikap yang ditunjukkan kakek itu.
    Maka, perlahan-lahan dia bangkit dari duduknya.
    "Aku tidak akan mencabut ucapanku! Malah, aku
    akan mengobrak-abrik Lembah Malaikat. Akan kuhancurkan
    tempat itu kalau sampai terjadi apa-apa dengan kekasihku!"
    Keras sekali ucapan Dewa Arak karena disertai
    amarah yang meluap-luap. Kekhawatiran akan nasib Melati-
    lah yang menyebabkannya bersikap demikian. Saat hatinya
    benar-benar cemas memikirkan nasib kekasihnya, eh malah
    dimaki-maki! Siapa yang tidak kesal? Padahal, dia telah
    berusaha keras berbicara baik-baik.
    Setelah mengeluarkan ancaman demikian, Arya
    Buana duduk kembali di kursinya. Kemudian guci arak perak
    di punggung dijumputnya, dan diletakkan di atas meja. Baru
    setelah itu, arak pesanan dituangkan ke guci peraknya yang
    hanya tinggal sedikit isinya. Dan kini guci arak itu
    disampirkan kembali di punggungnya.
    "Ini bayarannya, Ki," kata Arya Buana sambi! me-
    letakkan uang pembayaran makanan dan minuman itu di
    atas meja, kemudian bangkit berdiri dan berjalan keluar.
    "Anak Muda! Tunggu...!"

    Terpaksa Dewa Arak menghentikan langkahnya begitu
    mendengar panggilan kakek kecil kurus. Belum juga
    kepalanya menoleh, kakek itu telah bergerak cepat
    menghampiri.
    "Benarkah semua yang kau katakan tadi? Sebe-
    narnya, teman atau kekasihmu orang yang diculik itu?" tanya
    kakek pemilik kedai ini.
    Kali ini suara kakek kecil kurus itu tidak keras seperti
    sebelumnya, tapi sudah mulai melunak. Ucapan keras Dewa
    Arak tadi memang telah membuatnya bersikap demikian.
    Tambahan lagi, dia melihat adanya nada kesungguhan dalam
    ucapan pemuda berambut putih keperakan itu.
    Amarah pemuda berpakaian ungu sedikit mereda
    tatkala mendengar ucapan pemilik kedai yang mulai
    melunak.
    "Aku mengatakan apa adanya, Ki. Dan orang yang
    diculik itu sebenarnya adalah kekasihku!" jelas Dewa Arak.
    "Ada hal yang mencurigakan kalau begitu," kata
    kakek kecil kurus itu seraya mengangguk-anggukkan kepala.
    "Aku sama sekali tidak mengerti maksudmu, Ki?"
    Sepasang alis pemuda berambut putih keperakan itu hampir
    bertautan. Raut ketidakmengertian tampak jelas di wajahnya.
    "Apa yang kau ketahui tentang Lembah Malaikat?"
    kakek berjenggot panjang itu malah balas bertanya.
    Arya Buana menggelengkan kepala. Pemuda ber-
    pakaian ungu itu sama sekali tidak tahu tentang Lembah
    Malaikat.
    "Sudah kuduga," keluh kakek kecil kurus, mendesah.
    "Kau mau kuceritakan?"
    Pemuda berpakaian ungu itu mengangguk.
    "Kalau begitu, dengarkan baik-baik," kakek pemilik
    kedai itu memulai ceritanya.

    ENAM

    "Sekitar sepuluh tahun yang lalu, desa ini diserbu
    segerombolan perampok yang ingin menjarah. Para penduduk
    tentu saja tidak membiarkan, sehingga harus angkat senjata
    mengadakan perlawanan."
    Kakek kecil kurus itu menghentikan ceritanya se-
    jenak. Dahinya nampak berkernyit. Jelas kalau dia tengah
    berusaha mengingat-ingat rentetan kejadian yang pernah
    diketahuinya.
    "Tapi usaha kami seperti membenturkan telur ke
    batu. Para perampok itu terlalu kuat. Satu demi satu,
    penduduk berguguran. Padahal jumlah kami lebih banyak.
    Akhir dari pertarungan sudah bisa diterka. Penduduk akan
    tewas semua dan para perampok akan berhasil menjarah isi
    desa ini."
    Kembali kakek berjenggot panjang itu menghentikan
    ceritanya sejenak. Tapi, kali ini untuk mengambil napas.
    "Saat itulah muncul seorang kakek berpakaian putih
    yang membantu kami melawan rombongan perampok itu. Dia
    ternyata sakti bukan kepalang. Hanya dengan kibasan-
    kibasan tangan saja, para perampok itu dibuat pontang-
    panting. Hanya sebagian kecil saja yang dibiarkan hidup.
    Begitu pula dengan pimpinannya."
    Kakek pemilik kedai itu menghentikan ceritanya
    kembali. Tenggorokannya terasa kering sehingga harus
    dibasahi. Dia memang terlalu semangat bercerita.
    "Kakek sakti itu kemudian tinggal di sebuah lembah di
    Bukit Jambul. Penduduk desa ini menamakannya Lembah
    Malaikat, karena kakek itu memang seperti malaikat saja.
    Beliau selalu datang menolong kami tepat pada saat yang
    diperlukan. Berkali-kali dia datang dan mengusir setiap orang
    jahat yang hendak datang kemari. Di samping itu, dia pun
    sering pula mengobati penduduk desa ini yang sakit," tutur
    kakek berjenggot panjang itu menutup ceritanya.
    Arya Buana mengangguk-anggukkan kepala.
    "Oleh karena itu, aku tidak senang ketika kau me-
    nyatakan ingin pergi ke Lembah Malaikat, Anak Muda."
    "Mengapa, Ki?" tanya Arya Buana. "Bukankah
    sekarang kau tahu maksud kedatanganku ke sana?"

    "Hhh...!" Kakek kecil kurus itu menghela napas berat.
    "Lembah Malaikat adalah sebuah tempat suci, Anak Muda.
    Aku tidak ingin kau pergi ke sana. Karena, kau adalah
    seorang pemuda pemabukan! Kami tidak ingin arakmu
    mengotori tempat suci itu."
    Merah wajah Arya Buana mendengar ucapan itu.
    Meskipun begitu, Dewa Arak tidak marah. Dia tahu
    kalau kakek berjenggot panjang itu tidak bermaksud
    mengejek, tapi hanya mengatakan yang sebenarnya.
    "Apalagi ketika mendengar ucapanmu selanjutnya.
    Aku menjadi lebih marah lagi!" sambung kakek pemilik kedai
    itu berapi-api.
    Arya Buana menarik napas dalam-dalam dan
    menghembuskannya kuat-kuat.
    "Aku tidak menuduh kalau pelaku penculik kekasihku
    adalah penghuni Lembah Malaikat, Ki" pelan ucapan pemuda
    berpakaian ungu itu.
    "Hm...," hanya gumam tak jelas kakek itu yang
    menyambuti ucapan Dewa Arak.
    "Aku datang hanya untuk memenuhi pesan penculik
    itu. Dan kebetulan, tempat yang diinginkannya adalah
    Lembah Malaikat"
    "Hhh...!"
    Kakek berjenggot panjang itu hanya mampu menghela
    napas berat. Disadari kalau sikapnya tidak patut bila terus
    melarang pemuda berambut putih keperakan itu
    menyelamatkan kekasihnya.
    "Aku berjanji akan menjaga kesucian Lembah Ma-
    laikat semampuku, Ki," janji Arya Buana tulus.
    Kakek kecil kurus itu hanya bisa tersenyum getir
    mendengar ucapan Arya Buana. Kemudian, kedua bahunya
    diangkat. Pasrah.
    "Terima kasih, Ki," ucap Arya Buana gembira. "O. ya.
    Aku ingin beristirahat sebentar untuk melepaskan lelah.
    Apakah ada kamar kosong?"
    "Ada, Anak Muda. Mari...!"
    Sambil berkata demikian, kakek berjenggot panjang
    itu berjalan mendahului Arya Buana. Diantarkannya pemuda
    berambut putih keperakan itu ke tempat yang akan
    dipesannya.

    "Inilah kamar itu, Anak Muda," ujar kakek kecil kurus
    itu sambil membuka pintu sebuah kamar.
    Arya Buana memperhatikan ruangan dalam kamar itu
    sejenak. Memang sebuah kamar yang cukup rapi. Kemudian,
    kakinya melangkah masuk ke dalam.
    Kakek pemilik kedai segera melangkah meninggalkan
    tempat ini. Sementara, pemuda berambut putih keperakan
    itu lalu, membaringkan tubuh di balai-balai bambu. Tak lama
    kemudian. Dewa Arak sudah tertidur pulas.
    ***
    Matahari telah tergelincir dari titik tengahnya ketika
    Arya Buana telah berada di atas puncak Bukit Jambul.
    Pandangannya tertuju ke bawah, tempat yang ditunjukkan
    orang yang telah menculik Melati. Lembah Malaikat.
    ""Hih...!"
    Pemuda berambut putih keperakan itu mengger-
    takkan gjgi. Tubuhnya pun melayang ke bawah. Indah dan
    manis gerakannya.
    Tukkk!
    Kedua kaki pemuda berambut putih keperakan itu
    mendarat ringan di batu yang menonjol. Kemudian, tubuhnya
    melenting. Kembali ditotoknya tonjolan batu lain. Dengan
    cara itu Arya Buana menuruni puncak dan menuju ke
    Lembah Malaikat.
    "Hup...!"
    Ringan tanpa suara kedua kaki pemuda berpakaian
    ungu itu mendarat di tanah, dan langsung mengedarkan
    pandangan berkeliling.
    Sikap waspada Dewa Arak tidak percuma. Mendadak
    terdengar suara mendesing nyaring, disusul berkelebatnya
    benda-benda berwarna putih berkilat ke arahnya.
    Dewa Arak tidak berani bertindak ceroboh. Dari suara
    mendesing yang mengiringi tibanya serangan, sudah bisa
    diperkirakan kekuatan yang terkandung di dalamnya.
    Buru-buru Dewa Arak membanting tubuh, kemudian
    bergulingan di tanah. Sehingga, benda-benda berkilat yang
    ternyata adalah pisau-pisau terbang itu menyambar tempat
    kosong.
    "Ha ha ha...!"

    Sebuah suara tawa keras bergelak terdengar ketika
    Dewa Arak bangkit dari bergulingnya.
    Arya Buana menatap sosok tubuh yang berdiri dalam
    jarak lima tombak di hadapannya. Semua cocok dengan apa
    yang dikatakan Jumadi. Seorang pemuda tampan, berkulit
    putih, dan berpakaian yang terbuat dari benang-benang
    emas.
    "Kaukah orang yang telah mengirimkan pesan
    untukku?" tanya Arya Buana. Sengaja hal itu ditanyakannya,
    untuk memastikan kebenaran.
    "Tidak salah!" sahut pemuda berpakaian mewah yang
    tidak lain dari Palguna, pongah.
    "Mengapa kau menawan Melati, Kisanak?!"
    "Karena aku punya urusan denganmu, Dewa Arak!"
    tandas Palguna tegas.
    Sepasang alis Arya Buana hampir bertautan men-
    dengar jawaban itu.
    "Kalau kau mempunyai urusan denganku, mengapa
    harus menawan orang yang tidak bersalah?!" desak pemuda
    berpakaian ungu itu. Ada nada kegeraman dalam suaranya.
    Sambil berkata demikian. Dewa Arak melangkah
    maju. Dengan sendirinya, jarak mereka pun bertambah
    dekat.
    "Hmh...!"
    Palguna tidak langsung menjawab pertanyaan itu,
    melainkan mendengus. Sikapnya terlihat begitu meremehkan
    Arya Buana.
    "Semula aku tidak berniat membawanya dalam
    persoalan kita, Dewa Arak! Tapi kupikir, dengan menahan
    dia, tidak terlalu sulit memancing kedatanganmu untuk
    menyelesaikan urusan kita. Dan ternyata, cara itu manjur.
    Kau datang begitu cepat. Bahkan melebihi perkiraanku
    semula."
    Arya Buana menarik napas panjang-panjang dan
    menghembuskannya kuat-kuat.
    "Sebenarnya..., apa urusan itu, Kisanak?!" tanya Dewa
    Arak mencoba tenang. Dan memang, setelah hal seperu itu
    dilakukan harinya jadi lebih tenang.
    "Kau ingat dengan Gerda, Dewa Arak?!" tanya
    Palguna.

    Kini tidak ada lagi tawa dan canda di wajahnya. Yang
    tampak hanyalah sorot dendam yang membara. Bahkan nada
    suaranya pun mengandung kemarahan hebat.
    Tanpa perlu mengingat-ingat lebih lama lagi, Dewa
    Arak langsung mengerti orang yang dimaksud Palguna. Gerda
    alias Bomantara, si Siluman Tengkorak Putih adalah lawan
    tangguh yang pertama sekali dihadapinya. Saat itu, dia baru
    mendapat julukan Dewa Arak (Untuk jelasnya, silakan baca
    serial Dewa Arak dalam episode perdananya "Pedang
    Bintang").
    Dewa Arak mengangguk-anggukkan kepalanya.
    "Nah! Aku adalah adik kandung Gerda! Namaku
    Palguna! Kini sudah jelas, mengapa aku mencari-carimu,
    bukan?"
    Arya Buana tidak terlampau kaget mendengar ja-
    waban pemuda berpakaian mewah itu. Begitu Palguna
    menyebutkan nama Gerda, sudah bisa diperkirakan kalau
    pemuda berpakaian mewah itu memiliki hubungan dengan
    tokoh sesat itu.
    "Sungguh sama sekali tidak kusangka. Aku akan
    mendapat dua keuntungan sekaligus dengan tertawannya
    Melati, kekasihmu itu," sambung Palguna lagi. Kali ini
    dengan sinar mata memancarkan kekejian.
    Arya Buana diam saja. Sama sekali tidak diselak
    semua ucapan pemuda berpakaian mewah itu.
    "Aku tidak akan percaya kalau tidak mengalaminya
    sendiri, Dewa Arak. Kekasihmu itu ternyata masih gadis! Ha
    ha ha...! Sampai sekarang tubuhnya masih terasa nikmat.
    Luar biasa! Kau bodoh, Dewa Arak! Bunga sesegar itu tidak
    buru-buru dipetik. Dan, akulah orang yang mendapat
    keberuntungan mencicipi kemolekan tubuh kekasihmu itu.
    Orang yang pertama, Dewa Arak!"
    Terdengar suara bergemerutuk dari mulut Dewa Arak
    ketika gigi-giginya beradu keras. Bukan hanya itu saja. Suara
    berkerotokan nyaring pun terdengar ketika dalam kemarahan
    yang meluap, tenaga dalam Arya Buana bergolak sendiri. Dari
    atas kepalanya seketika mengepul asap putih tipis. Ini
    menandakan kalau 'Tenaga Sakti Inti Matahari', yang jarang
    digunakan telah keluar sendiri tanpa disadari Dewa Arak.
    "Iblis! Manusia jahanam...!


    Setelah beberapa saat lamanya, Arya Buana terdiam
    dalam keterkejutan dan kemarahannya, akhirnya keluar juga
    ucapan itu.
    Dalam kemarahannya, Arya Buana tampak berubah
    begitu mengerikan! Sepasang matanya mencorong tajam
    memancarkan hawa maut. Wajahnya pun membesi.
    Rambutnya yang berwarna putih keperakan membuat
    wajahnya terlihat kian menyeramkan.
    "Kau... akan kuhancurkan seluruh tulang-tulang
    tubuhmu...!"
    Terdengar bergetar dan tersendat-sendat ucapan yang
    keluar dari mulut Dewa Arak. Hal ini karena perasaan
    amarah yang bergelora. Sekujur tubuhnya tampak menggigil
    hebat.
    Palguna terperanjat melihat keadaan Dewa Arak.
    Tanpa dapat ditahan lagi, sekujur bulu-bulu di tubuhnya
    berdiri semua karena perasaan ngeri yang mencekam. Dia
    memang sengaja membakar hati pemuda berambut putih
    keperakan itu, namun tidak disangka kalau akibatnya akan
    seperti ini.
    Tapi Palguna bukan seorang bocah yang mudah
    untuk ditakut-takuti. Pemuda berpakaian mewah ini segera
    menekan perasaan ngerinya, dan bersiap-siap menghadapi
    Dewa Arak.
    "Haaat...!"
    Sambil berteriak menggelegar sehingga membuat
    seluruh lembah bergetar hebat, Arya Buana melompat
    menenang Palguna. Dalam kemarahan amat sangat, Dewa
    Arak sampai tidak sempat menyambar gucinya. Langsung
    dilancarkan serangan lewat ilmu' Sepasang Tangan Penakluk
    Naga'.
    Dengan kecepatan yang sukar diikuti mata, tangan
    kanan Dewa Arak yang jari-jarinya membentuk cakar,
    menyambar ke arah pelipis.
    Hati Palguna tercekat menyaksikan kecepatan
    gerakan Dewa Arak. Apalagi ada sambaran angin berhawa
    panas luar biasa, sebelum serangan itu sendiri tiba. Dalam
    jarak setengah tombak saja, angin serangan itu sudah terasa
    menyengat kulit. Panas bukan kepalang!
    Palguna tidak berani mencari penyakit. Buru-buru
    senjata andalannya dikeluarkan. Sebuah ruyung berbatang

    tiga. Dan secepat senjata itu dikeluarkan, secepat itu pula
    disabetkan ke arah tangan Dewa Arak.
    Takkk...!
    Bagaikan dua batang logam keras berbenturan,
    terdengar bunyi beradunya tangan Arya Buana dengan
    ruyung Palguna.
    "Ahhh...!"
    Palguna menjerit keras ketika sekujur tangannya
    terasa tergetar hebat hampir lumpuh! Sehingga, ruyungnya
    hampir-hampir terlepas dari pegangan. Hawa panas merayap
    dari ujung ruyung ke telapak tangannya.
    Meskipun demikian pemuda berpakaian mewah tidak
    menjadi gentar karenanya. Sambil menggertakkan gigi,
    ruyung di tangannya di ayunkan ke arah kepala Dewa Arak.
    Arya Buana tidak berani bertindak main-main. Dia
    tahu, sambaran ruyung itu mampu menghancurkan batu
    yang paling keras sekalipun. Maka buru-buru direndahkan
    tubuhnya, sehingga serangan Palguna menyambar di atas
    kepalanya.
    Tidak hanya itu saja yang dilakukan Arya Buana. Kaki
    kanannya meluncur ke arah lutut kanan Palguna. Tapi
    dengan manis pemuda berpakaian mewah itu
    mengelakkannya. Lalu melancarkan serangan balasan.
    Sesaat kemudian, kedua belah pihak sudah terlibat
    dalam pertarungan sengit.
    ***
    Arya Buana yang tengah dilanda kemarahan hebat,
    tidak memberi kesempatan sedikit pun pada Palguna.
    Pemuda berambut putih keperakan itu telah benar-benar
    lupa segala-galanya. Yang ada di benaknya hanya satu.
    Membunuh Palguna!
    Dewa Arak sama sekali tidak menyadari kalau terjadi
    sebuah keanehan. Ilmu 'Sepasang Tangan Penakluk Naga',
    dan ilmu 'Delapan Cara Menaklukkan Harimau' ternyata
    mampu digabungkan dengan pemakaian 'Tenaga Sakti Inti
    Matahari'! Padahal selama ini, hanya ilmu 'Belalang Sakti'
    saja yang bisa digabungkan dengan 'Tenaga Sakti Inti
    Matahari'! Itu pun hanya terkadang saja. Karena, 'Tenaga
    Sakti Inti Matahari' mempunyai ilmu sendiri yang terdapat

    dalam jurus 'Membakar Matahari'! Rupanya, kemarahan
    hebatlah yang membuat kedua ilmu itu bisa disatukan!
    Yang menjadi tersiksa adalah Palguna. Dia terpon-
    tang-panting ke sana kemari untuk menyelamatkan selembar
    nyawanya. Dalam beberapa jurus saja, dia telah terdesak
    hebat. Dewa Arak dalam kemarahannya, benar-benar mampu
    menggilas habis semua pertahanan Palguna.
    Kalau dibandingkan, tingkat kepandaian Palguna
    memang masih di bawah Dewa Arak. Pemuda berpakaian
    mewah itu kalah dalam segala-galanya. Apalagi, Arya Buana
    dalam kemarahannya tidak bersikap setengah-setengah lagi.
    Tak aneh kalau dalam beberapa gebrakan saja, Palguna
    terdesak hebat
    Sekujur tubuh pemuda berpakaian mewah itu telah
    basah oleh peluh yang keluar akibat hawa panas yang keluar
    dari setiap serangan Dewa Arak. Wajah Palguna telah merah
    padam, karena hawa panas yang menyengat
    Sudah dapat diperkirakan kalau tidak sampai lima
    belas jurus, Palguna akan tewas di tangan Dewa Arak.
    "Sungguh tidak bijaksana sekali. Mengandalkan
    kepandaian hanya untuk bertindak sewenang-wenang...."
    Seiring lenyapnya gema ucapan itu, melesat sesosok
    bayangan putih ke arah kancah pertarungan. Langsung
    dipapaknya serangan Dewa Arak yang mengancam ke arah
    Palguna. Angin dingin meresap ke tulang sumsum ketika
    tangan sosok bayangan itu bergerak memapak tangan Arya
    Buana.
    Cesss...! Cesss...!
    Terdengar suara seperti besi panas dicelupkan dalam
    air dingin ketika kedua tangan Dewa Arak berbenturan
    dengan tangan sosok bayangan putih.
    Baik Dewa Arak maupun sosok bayangan putih itu
    sama-sama terhuyung dua langkah ke belakang. Dari sini
    saja sudah bisa diketahui kalau tenaga dalam kedua orang
    itu berimbang.
    Arya Buana menghentikan gerakannya. Dia tidak
    ingin bertindak sembrono dengan langsung menyerang lagi.
    Dari benturan tadi, sudah bisa diketahui kalau sosok
    bayangan putih itu memiliki tenaga dalam tinggi yang
    mengandung hawa dingin. Jadi, berlawanan dengan tenaga
    dalam yang dimilikinya.

    Di hadapan Dewa Arak, tampak seorang kakek
    berkepala botak mengenakan pakaian putih longgar.
    Kumis, jenggot, dan cambangnya telah memutih se-
    mua.
    "Guru...!" sebut Palguna seraya memberi hormat
    "Ada apa ini, Palguna?" tanya kakek berpakaian putih
    yang ternyata adalah guru pemuda berpakaian mewah itu.
    "Dia adalah orang yang telah membunuh kakak
    kandungku, Guru," jelas Palguna
    "Hm...! Jadi, dia Dewa Arak...?" tanya kakek berkumis
    putih itu.
    "Benar, Guru."
    Kakek berpakaian putih itu mengalihkan tatapan
    pada Arya Buana yang sejak tadi juga tengah memper-
    hatikannya.
    "Tidak kusangka kau akan sekejam itu, Anak Muda,"
    kata kakek berjenggot putih itu sambil menggelengkan
    kepala. "Dulu, sewaktu kau membunuh kakak kandungnya,
    aku tidak ingin ikut campur. Karena, aku tahu kalau Gerda
    memang bukan orang baik-baik. Tapi sekarang di depan
    mataku, kau hendak membunuh adiknya pula. Aku, Jasuri
    guru dari pemuda ini, ingin menjajal kelihaianmu. Mari,
    Dewa Arak. Kita bermain-main sebentar. Ingin kulihat,
    sampai di mana kelihaianmu sehingga sampai bertindak
    sesombong itu!"
    "Muridnya setan. Gurunya pun pasti iblis!" desis Arya
    Buana dengan suara bergetar.
    Kemarahan yang masih bergelora di dalam dada
    karena kegagalannya membunuh Palguna, kini dilampiaskan
    pada Jasuri.
    Setelah berkata demikian, Dewa Arak lalu menjumput
    guci arak, dan menuangkan ke dalam mulutnya.


    TUJUH

    Gluk... Gluk... Gluk...!
    Suara tegukan terdengar ketika arak yang dituangkan
    melewati kerongkongan Arya Buana. Sesaat kemudian, ada
    hawa hangat yang menyebar dalam perut pemuda berambut
    putih keperakan itu. Lalu hawa hangat itu perlahan merayap
    naik ke atas kepala. Sekejap kemudian, tubuh Dewa Arak
    mulai limbung.
    "Inikah ilmu 'Belalang Sakti' yang membuat kau jadi
    manusia sombong, Dewa Arak...?! Ingin kuketahui,
    mampukah ilmu 'Belut Salju' milikku menghadapi ilmumu!"
    Setelah berkata demikian, Jasuri meletakkan kedua
    tangan di sisi-sisi pinggangnya. Jari-jarinya terbuka lurus,
    dan telapak tangan menghadap ke langit. Kemudian,
    perlahan-lahan tapi penuh tenaga, tangannya dijulurkan ke
    depan, seraya membalikkan telapak tangan jadi menghadap
    ke bumi.
    Seketika itu pula ada hawa dingin berhembus dari
    kedua tangan yang dijulurkan.
    "Hihhh...!"
    Kakek berpakaian putih itu menarik kembali kedua
    tangannya yang terjulur. Berbeda dengan sewaktu
    menjulurkan, sewaktu menarik, Jasuri melakukannya secara
    cepat dan seketika. Maka secepat kedua tangan itu ditarik,
    secepat itu pula dilancarkan serangan ke arah Dewa Arak.
    Kedua tangan itu melakukan totokan bertubi-tubi ke arah
    dada dan ulu hati.
    Cit, cit, cit...!
    Suara bercicitan nyaring, diiringi hawa dingin yang
    membekukan tubuh mengiringi ribanya serangan totokan-
    totokan Jasuri.
    Dewa Arak tidak berani main-main. Disadari kalau
    lawan yang dihadapi amat tangguh. Dan itu bisa diketahui
    dari benturan yang terjadi sebelumnya. Maka buru-buru
    kakinya melangkah ke kanan sambil mendoyongkan tubuh.

    Sehingga, serangan lawan lewat sejengkal di samping kiri
    pinggangnya.
    Hawa dingin yang amat sangat berhembus. Untung
    saja, Dewa Arak telah mengerahkan ilmu 'Tenaga Sakti Inti
    Matahari'. Kalau tidak, mungkin sudah menggigil seluruh
    tubuh saking dinginnya udara yang berhembus.
    Tidak hanya mengelak saja yang dilakukan Dewa
    Arak. Nyatanya, dia langsung melancarkan serangan balasan.
    Tangan kirinya meluncur cepat ke arah pelipis.
    Tapi Jasuri bukan orang sembarangan. Meskipun
    tidak dikenal dalam rimba persilatan, karena tidak pernah
    melakukan tindakan yang menggemparkan, kepandaian yang
    dimilikinya benar-benar luar biasa.
    Menghadapi serangan balasan Dewa Arak, tubuhnya
    hanya direndahkan dengan cara menekuk kaki kanan dalam-
    dalam. Sedangkan kaki kirinya dijulurkan merapat tanah.
    Wuttt...!
    Serangan Arya Buana mengenai tempat kosong, lewat
    beberapa jengkal di atas kepalanya. Melihat rambut Jasuri
    yang berkibar keras, bisa di perkirakan kekuatan yang
    terkandung dalam serangan itu.
    Pada saat yang bersamaan tangan kiri Jasuri menotok
    ke arah ulu hati Dewa Arak. Maka tidak ada jalan lain bagi
    Arya Buana kecuali menangkisnya. Dia tidak memilih
    mengelak, karena hal itu akan membuatnya terus terdesak.
    Dan Dewa Arak tidak ingin hal itu terjadi.
    Plakkk...!
    Untuk kedua kalinya, terjadi benturan keras antara
    kedua tangan tokoh sakti itu. Kembali tubuh kedua tokoh
    yang berbeda usia itu terhuyung mundur satu langkah ke
    belakang.
    Tapi, baik Dewa Arak maupun Jasuri sama sekali
    tidak mempedulikan hal itu. Berkat kemampuan yang
    dimiliki, bukan merupakan hal yang sulit untuk mematahkan
    kekuatan yang mendorong tubuh mereka. Dan, kembali
    mereka saling melancarkan serangan berikutnya.
    Pertarungan yang berlangsung memang dahsyat
    bukan kepalang. Arya Buana dengan ilmu 'Belalang
    Sakti'nya, terlihat trengginas sekali. Gerakan dan kembangan
    ilmunya sulit diterka lawan, karena memiliki perubahan yang
    begitu mendadak dan tiba-tiba. Dari lemas dan meliuk-liuk

    seperti orang akan jatuh, menjadi keras dan kasar.
    Kemudian, kembali lemas dan meliuk-liuk. Begitu
    seterusnya.
    Tapi bukan hanya ilmu Dewa Arak saja yang bersifat
    demikian. Jasuri pun memiliki ilmu yang memiliki sifat
    serupa. Dengan ilmu 'Belut Salju'nya, gerakannya pun
    meliuk-liuk. Lalu secara tak terduga-duga, meluncur cepat ke
    arah sasaran. Gerakannya mengingatkan orang pada ular!
    Semua itu masih ditambah lagi dengan keistimewaan
    ilmu masing-masing. Arya Buana dengan ilmu 'Belalang
    Sakti'nya mengeluarkan hawa panas menyengat saat tangan
    atau kakinya bergerak. Sedangkan ilmu 'Belut Salju' milik
    Jasuri mengeluarkan hawa dingin yang membekukan tubuh.
    Akibatnya bisa diduga. Dalam jarak tak kurang
    sepuluh tombak dari arena pertarungan, berhembus angin
    panas menyengat dan hawa dingin yang membekukan kulit
    silih berganti.
    Berkali-kali terdengar suara seperti ada besi panas
    yang direndam dalam air dingin, setiap kali terjadi benturan
    antara tangan-tangan Dewa Arak dengan Jasuri.
    Palguna yang telah bisa memperkirakan kedahsyatan
    pertarungan yang terjadi, sudah sejak tadi menjauh dari
    arena pertarungan. Diperhatikannya pertarungan itu dalam
    jarak dua belas tombak dari arena.
    Pertarungan antara Dewa Arak dan Jasuri memang
    menggiriskan hati. Daun-daun pohon yang terlanda angin
    pukulan Arya Buana kontan layu. Sementara daun-daun
    pohon yang terkena hawa serangan Jasuri, kontan
    berembun.
    Bukan hanya itu saja. Keadaan kancah pertarungan
    sudah tidak karuan lagi. Seolah-olah, tempat itu telah
    dibajak oleh belasan ekor kerbau. Tanah terbongkar, dan
    pohon-pohon bertumbangan. Itu pun masih ditambah debu
    yang mengepul tinggi. Belum lagi suara mencicit dan
    menderu yang mengiringi setiap serangan Arya Buana atau
    Jasuri.
    Seratus jurus telah berlalu. Tapi sampai selama itu,
    tak nampak tanda-tanda yang akan keluar sebagai
    pemenang. Pertarungan masih berlangsung imbang. Karena
    baik dalam hal tenaga dalam ataupun ilmu meringankan
    tubuh, keduanya berada dalam satu tingkat.

    Meskipun tidak terdesak oleh lawannya, tapi Jasuri
    tahu kalau lama-kelamaan akan dirobohkan Dewa Arak.
    Usianya sudah tua, sedangkan Arya Buana masih sangat
    mudah. Lambat laun, jelas dia akan kalah oleh kodrat alam.
    Maka akan lebih dulu lelah ketimbang Dewa Arak.
    Jika hal itu terjadi, Dewa Arak tidak akan terlalu sulit
    menggilasnya. Dan Jasuri tidak ingin hal itu terjadi.
    Keselamatannya memang tidak terlalu dipikirkan. Tapi,
    keselamatan Palguna-lah yang menjadi beban.
    Maka kakek berpakaian putih itu bertekad untuk
    mengadu nyawa. Disadarinya kalau Dewa Arak tidak akan
    mungkin bisa dikalahkan. Pemuda berambut putih
    keperakan itu memang memiliki kepandaian luar biasa!
    Setelah mendapat keputusan itu, serangan-serangan
    Jasuri pun semakin dahsyat. Sekarang serangan-
    serangannya selalu memojokkan Dewa Arak. Memang, kakek
    berpakaian putih itu berniat mengadu nyawa!
    Dewa Arak terkejut bukan kepalang begitu merasakan
    perubahan mendadak dalam serangan-serangan lawan.
    Sebagai seorang tokoh tingkat tinggi, Arya Buana tentu saja
    menyadari maksud tersembunyi lawan dengan perubahan
    serangannya. Dan dia tidak ingin meladeninya.
    Oleh karena itu, Dewa Arak selalu menghindar setiap
    kali lawan melakukan serangan yang bersifat memojokkan
    dengan maksud mengadu nyawa.
    Tapi berapa lawan Dewa Arak dapat bersikap seperti
    itu, dengan bermain kucing-kucingan? Padahal orang yang
    menyerangnya adalah tokoh yang berkepandaian setaraf
    dengannya dalam segala hal!
    "Haaat..!"
    Diiringi suara melengking nyaring, Jasuri melompat
    menerjang Dewa Arak. Kedua tangannya yang membentuk
    jari-jari terbuka lurus menghentak cepat ke arah dada Dewa
    Arak.
    Wajah Arya Buana berubah seketika. Hal yang di-
    khawatirkannya ternyata terjadi juga. Apalagi, dia tidak
    memiliki kesempatan mengelak. Memang, Jasuri telah
    memojokkannya dalam keadaan sedemikian rupa. Dewa Arak
    tidak punya pilihan lain lagi, kecuali menyambut serangan
    lawan dengan gerakan serupa.
    "Hiyaaat..!"

    Dengan teriakan tak kalah keras, Dewa Arak me-
    lompat menyambuti. Kedua tangannya lurus ke depan
    membentuk jari-jari terkembang. Ada hawa panas
    menyambar di sekitar tempat itu, seiring terhentaknya kedua
    tangan itu.
    Blaggg...!
    Baik Dewa Arak maupun Jasuri sama-sama ter-
    jengkang ke belakang dan terguling di tanah. Lalu....
    "Huakh...!"
    Dari mulut Dewa Arak dan Jasuri keluar darah
    kental. Kedua tokoh mi sama-sama teriuka dalam, karena
    terkena serangan satu sama lain. Arya Buana menggigil
    kedinginan, sementara Jasuri menggeliat-geliat kepanasan.
    Jasuri yang sudah bertekad mengajak Dewa Arak mati
    bersama, segera berusaha bangkit. Tapi ternyata tidak
    mampu, dan terguling di tanah. Jelas, kalau luka yang
    dideritanya parah bukan main.
    Berbeda dengan Jasuri, Dewa Arak langsung ber-
    usaha untuk bersila, kemudian bersemadi. Disadari kalau
    luka dalam yang dideritanya amat parah. Maka, dia akan
    mengobatinya dengan penyaluran hawa murni.
    Jasuri pun akhirnya menyadari hal itu pula. Beta-
    papun kuat keinginannya untuk membalas dendam, tapi
    kalau keadaan tidak memungkinkan bagaimana bisa
    melakukannya? Maka, kakek berpakaian putih lalu
    bersemadi!
    Memang akibat benturan tenaga dalam secara
    langsung itu hebat sekali! Baik Dewa Arak maupun Jasuri
    sama-sama menderita luka dalam karena kuatnya tenaga
    dalam satu sama lain.
    Palguna terkekeh. Meskipun tidak memiliki tingkat
    kepandaian seperti Dewa Arak atau Jasuri, tapi dia pun
    mengerti kejadian yang diderita Dewa Arak dan gurunya.
    Maka dengan senyum keji menghias mulut, dihampirinya
    Dewa Arak yang tengah bersemadi untuk memulihkan luka
    dalamnya.
    "Ha ha ha...! Kini saat kematianmu telah tiba, Dewa
    Arak...!" kata pemuda berpakaian mewah itu sambil tertawa
    bergelak.
    Dewa Arak sama sekali tidak merasa terkejut, karena
    sudah menduga kalau Palguna akan bertindak licik. Kalau

    menuruti perasaan hati, ingin rasanya tubuh pemuda yang
    licik itu diterjangnya. Tapi apa dayanya? Dia tengah
    menderita luka dalam! Jangankan menyerang, untuk bangkit
    berdiri pun sulit! Maka yang dapat dilakukannya hanyalah
    memandang semua yang akan dilakukan Palguna dengan
    sepasang mata terbelalak.
    Berlainan dengan Dewa Arak yang tidak merasa kaget
    dengan apa yang akan dilakukan Palguna, Jasuri justru
    kaget bukan kepalang.
    "Palguna! Apa yang akan kau lakukan?!" tanya kakek
    berpakaian putih itu setengah membentak. Terpaksa
    semadinya ditunda.
    "Membalas dendam pada orang yang telah membunuh
    kakak kandungku. Guru," kalem saja jawaban Palguna.
    "Mumpung dia tidak berdaya."
    "Tidak malukah kau, Palguna? Membunuh lawan yang
    tidak berdaya? Kelakuanmu seperti seorang, pengecut?!"
    tegas Jasuri dengan suara semakin tinggi, dan sepasang
    mata semakin membelalak.
    Palguna hanya tersenyum saja. Sama sekali tidak
    disambuti ucapan keheranan gurunya itu.
    Dewa Arak yang juga jadi menunda semadinya,
    mengernyitkan dahi begitu mendengar ucapan Jasuri. Sekali
    lihat saja, dia tahu kalau kakek berpakaian putih itu benar-
    benar tidak menyukai tindakan yang akan dilakukan
    Palguna! Serentetan perasaan tidak enak melanda hati
    pemuda berambut putih keperakan ini. Jangan-jangan
    Palguna telah mengadu domba antara dirinya dengan Jasuri
    untuk mengeruk keuntungan? Perasaan penasaran ini
    membuat Arya Buana berminat mengungkapnya.
    "Mengapa musti malu, Ki," kata Dewa Arak pelan tapi
    terdengar jelas. "Jangankan terhadapku. Pada seorang wanita
    saja, dia berlaku licik. Dengan cara curang, dia telah
    menawan kekasihku dan menyuruhku datang ke tempat ini.
    Kalau aku tidak mau datang, kekasihku akan dibunuh! Tapi
    apa yang kudengar dari mulutnya, membuatku jadi marah
    besar, Ki. Kekasihku yang ditahan telah diperkosanya...."
    "Ahhh...!" Seruan keterkejutan terdengar dari mulut
    Jasuri. Wajahnya tampak berubah-ubah. Sebentar pucat,
    dan sebentar merah. "Benarkah semua ucapan Dewa Arak
    itu, Palguna?"


    Palguna hanya tersenyum mengejek tersungging di
    bibirnya untuk mengiyakan pertanyaan itu.
    "Manusia terkutuk...!" maki Jasuri keras seraya
    berusaha bangkit dari duduk bersilanya. Sudah bisa diduga
    maksudnya. Dia hendak menyerang Palguna.
    Tapi baru juga kedua kakinya berdiri, tubuhnya
    langsung terjungkal roboh. Darah segar memancur deras dari
    mulutnya. Rupanya, kakek berpakaian putih ini terhitung
    orang yang keras hati. Dengan bertelekan pada kedua
    tangan, dia berusaha bangkit dari telungkupnya. Beberapa
    saat lamanya, kedua tangan itu mengejang dan bergetar.
    Kemudian, akhirnya tubuh itu roboh di tanah. Jasuri tidak
    mampu untuk bangkit lagi.
    "Ki...!" seru Dewa Arak terkejut. Ada nada ke-
    khawatiran dalam suaranya.
    "Ha ha ha...!"
    Palguna tertawa bergelak.
    "Palguna! Manusia iblis! Kau boleh membunuhku,
    karena aku adalah pembunuh kakakmu. Tapi gurumu itu
    harus kau tolong kalau tidak akan tewas!" teriak Dewa Arak.
    "Apa peduliku dengan nasib tua bangka itu?!" sergah
    Palguna keras. "Dia pun sama sekali tidak pernah peduli
    pada sakit hatiku karena kematian kakakku di tanganmu,
    Dewa Arak! Di waktu aku menyatakan hasrat untuk
    membalas dendam padamu, dia malah melarangku. Katanya,
    kakakku memang bersalah! Huhhh! Guru macam apa itu?!
    Jangankan untuk membantu, merestui kepergianku saja
    tidak! Dia boleh mampus bersama-sama denganmu!"
    "Benarkah semua yang kau katakan itu, Den
    Palguna?" terdengar sebuah suara serak menyelak
    pembicaraan, ketika Palguna menghentikan ucapannya.
    Palguna, Dewa Arak, dan Jasuri mengalihkan pan-
    dangan ke arah asal suara. Tampak seorang kakek bertubuh
    bungkuk, berpakaian lusuh, dan berwajah buruk berdiri tak
    jauh dari mereka.
    Arya Buana mengernyitkan dahi karena memang tidak
    mengenal kakek berwajah buruk itu. Tapi alisnya mengernyit
    dalam memperhatikan kakek bungkuk berwajah buruk.
    Dirasakan dia pernah melihatnya di sebuah kedai yang akan
    menuju Lembah Malaikat ini. Sebaliknya Palguna dan Jasuri

    rupanya mengenalnya. Terbukti, kakek bertubuh bungkuk
    itu mengenal Palguna.
    "Hm..., Ki Pancar...! Apa maksud ucapanmu, Ki?"
    tanya Palguna dengan sikap waspada. Karena, Ki Pancar
    adalah salah seorang dari dua pelayan tempat tinggal Jasuri.
    "He he he...! Tenang, Den. Aku berada di pihakmu.
    Percayalah. Kau boleh puaskan hatimu pada Dewa Arak. Dan
    aku akan mengurus Jasuri. Hampir sepuluh tahun aku
    menanti kesempatan untuk membalas sakit hati ini. Seperti
    juga kau, muridku pun mati terbunuh. Tapi bukan oleh Dewa
    Arak, melainkan oleh Jasuri"
    "Siapa muridmu itu, Ki?" tanya Palguna denga
    perasaan curiga yang masih bergelora.
    Pemuda berpakaian mewah itu tidak begitu bodoh
    dengan langsung percaya begitu saja pada semua keterangan
    yang diberikan kakek bertubuh bungkuk itu.
    "Kepala rampok yang akan menghancurkan Desa
    Jambul."

    DELAPAN

    "Apa?!" sepasang mata Palguna terbelalak lebar
    karena rasa tidak percaya yang begitu besar.
    "Sudah lama aku menantikan saat-saat seperti ini,
    Den," kata Ki Pancar. "Dan apabila mencoba menghalangiku,
    kau pun akan menerima akibat yang sama. Menyingkirlah,
    Den. Kau urus saja Dewa Arak. Biar aku yang mengurus
    Jasuri."
    Palguna melihat adanya kesungguhan dalam ucapan
    dan sikap Ki Pancar. Maka, dia pun bergerak menyingkir
    memberi jalan pada kakek bertubuh bungkuk itu untuk
    mendekati Jasuri. Walaupun begitu, pemuda berpakaian
    mewah itu bukan orahg bodoh.
    Dia tidak langsung percaya, walau telah melihat
    semua kesungguhan itu. Sepasang matanya memperhatikan
    semua gerak-gerik kakek berwajah buruk itu.
    "Jasuri! Sekarang tiba saatnya bagiku untuk mem-
    balas dendam atas kematian muridku...!"
    Tapi sebelum kakek bertubuh bungkuk itu sempat
    berbuat sesuatu, melesat sesosok bayangan abu-abu ke
    arahnya. Langsung dilancarkannya serangan bertubi-tubi ke
    arah leher kakek itu.
    Ki Pancar terperanjat melihat hal ini. Terpaksa
    urusannya dengan Jasuri ditunda. Buru-buru tubuhnya
    dilempar ke belakang dan bergulingan menjauh.
    Ternyata bukan hanya kakek bertubuh bungkuk itu
    saja yang melempar tubuh ke belakang dan bergulingan di
    tanah. Palguna pun demikian pula. Rupanya, seperti juga Ki
    Pancar, pemuda berpakaian mewah itu juga mendapat
    serangan mendadak. Hanya saja bukan sosok bayangan abu-
    abu, melainkan sosok bayangan putih!
    Begitu Ki Pancar dan Palguna bangkit berdiri, di
    hadapan kedua calon korban mereka telah berdiri sosok
    penyerang itu. Baik Palguna maupun Ki Pancar rupanya
    mengenal penyerang masing-masing.
    Berdiri membelakangi Dewa Arak, tampak seorang
    gadis cantik jelita berpakaian putih dan berambut panjang.
    Siapa lagi kalau bukan Melati?

    Sedangkan yang berdiri membelakangi Jasuri adalah
    seorang perempuan tua bertubuh sedang. Dia mengenakan
    pakaian abu-abu. Kulit wajahnya belum berkeriput,
    meskipun semua rambutnya yang panjang telah memutih.
    Palguna menatap wajah Melati dan nenek berpakaian
    abu-abu silih berganti. Raut keterkejutan tampak di
    wajahnya yang tampan, karena melihat kedatangan Melati
    yang bisa berbarengan dengan nenek berwajah segar itu.
    "Kau..?! Bagaimana bisa lolos?" tanya Palguna. Sorot
    rata pemuda itu memancarkan kebingungan melihat Melati
    bisa berdiri di situ. Bukankah gadis berpakaian putih itu
    telah ditotoknya, setelah disembunyikan di salah satu gua di
    Lembah Malaikat?
    "Aku yang menyelamatkannya, Den," nenek ber-
    pakaian abu-abu yang menyahuti.
    "Jadi,kau rupanya Nyi Pari?! Berani benar menentang
    tindakanku?! Kau tidak ingat siapa dirimu? Kau hanya
    pelayan! Dan aku adalah tuanmu!" tandas pemuda
    berpakaian mewah penuh rasa geram.
    "Tapi sekarang kau bukan lagi tuanku, Palguna!"
    tandas nenek berwajah segar yang ternyata bernama Nyi Pari.
    "Kau menjadi tuanku, karena kau sebagai murid Ki Jasuri.
    Dialah tuanku yang sebenarnya. Sekarang karena kau
    hendak membunuh tuanku, aku terpaksa menentangmu?!"
    Palguna menarik napas dalam-dalam dan
    menghembuskannya kuat-kuat. Perasaan gelisahlah yang
    menyebabkannya bersikap demikian. Dia tahu keadaan kini
    telah berbalik. Semula menguntungkan pihaknya, tapi kini
    tak lagi. Melati adalah seorang lawan yang tangguh. Belum
    lagi Nyi Pari! Mampukah Ki Pancar menandingi nenek yang
    telah mewarisi hampir seluruh kepandaian Jasuri?
    Sementara, Ki Pancar baru datang belum sepuluh tahun.
    Belajar ilmu silat dari Jasuri pun belum sampai lima tahun.
    Itu pun tak penuh.
    "Bagaimana kau bisa menemukan tempat persem-
    bunyian gadis itu, Nyi Pari?" tanya Palguna setelah
    kebingungan beberapa saat lamanya.
    "Hi hi hi…!
    Nyi Pari tertawa terkikih. Sama sekali tidak buru-buru
    disahutinya pertanyaan pemuda berpakaian mewah itu. Dia
    terus saja tertawa geli sambil menutup mulut.

    "Ternyata aku lebih cerdik darimu, Palguna. Kau tahu,
    akulah orang yang telah membuatmu tidak bisa tidur
    semalaman di dalam bangunan tempat kau menyimpan
    kereta kuda," jelas nenek berpakaian abu-abu itu setelah
    rasa gelinya hilang.
    "Jadi... jadi... kau...?!" terdengar ucapan gagap yang
    keluar dari mulut Palguna.
    "Aku mengikuti perjalananmu sejak kau keluar dari
    Lembah Malaikat, Palguna. Karena khawatir kau akan
    membalas dendam pada Dewa Arak. Jadi, tidak perlu heran
    kalau aku tahu semua sepak terjangmu di luar sana."
    Kini Palguna pun mengerti semuanya, tapi tidak bisa
    berpikir lebih lama lagi. Karena, Melati yang rupanya sangat
    mendendam padanya, tidak akan tahan lagi menahan
    kesabaran.
    "Hihhh...!"
    Gadis berpakaian putih itu melompat menerjang
    Palguna. Dan dalam sekali serang saja, tanpa ragu-ragu
    sudah dikeluarkan ilmu andalannya. 'Cakar Naga Merah'!
    Begitu tubuhnya telah berada di udara, dan dekat
    dengan Palguna, mendadak gadis berpakaian putih itu
    memutar tubuhnya sambil mengibaskan kaki. Inilah jurus
    'Naga Merah Menyabetkan Ekor'.
    Wuttt…!
    Angin keras menderu tatkala kaki Melati menyambar
    cepat ke arah pelipis Palguna. Andaikata mengenai sasaran,
    kepala pemuda berpakaian mewah itu pasti akan pecah.
    Palguna tentu saja tahu kedahsyatan serangan itu.
    Maka tanpa membuang-buang waktu lagi, tubuhnya segera
    direndahkan. Sehingga, serangan itu lewat beberapa jengkal
    di atas kepalanya. Pada saat yang sama, tangan kirinya
    menyodok cepat ke arah perut diiringi suara mencicit
    nyaring.
    Tapi Melati memang sudah memperhitungkan hal itu.
    Maka tangan kanannya yang berbentuk cakar disampokkan
    ke bawah.
    Prattt...!
    Palguna meringis begitu jari-jari tangan Melati yang
    berbentuk cakar menghantam punggung tangannya. Kulit
    tangannya langsung terkelupas. Bahkan darah segar pun
    merembes keluar.

    "Hup...!"
    Tepat saat Palguna melompat mundur, Melati
    mendaratkan kedua kakinya di tanah. Secepat kedua kakinya
    hinggap, secepat itu pula dilancarkan serangan susulan ke
    arah Palguna. Sesaat kemudian kedua anak muda itu sudah
    terlibat dalam pertarungan seru dan menarik.
    ***
    "Menyingkirlah dari situ, Nyi Pari. Sebelum perasaan
    sabarku hilang dan turun tangan membunuhmu."
    Sambil berkata demikian, Ki Pancar melangkah
    menghampiri Nyi Pari. Ada sorot ancaman dalam raut wajah
    dan suaranya.
    "Kaulah yang akan kulenyapkan, Pancar. Sudah sejak
    dulu aku merasa curiga padamu. Hanya karena Ki Jasuri
    terlalu baik hati, aku tidak mengutarakan kecurigaanku.
    Tapi, diam-diam aku selalu memperhatikan semua gerak-
    gerikmu. Dan ternyata, kecurigaanku benar."
    ''Ha ha ha...! Hebat permainan sandiwaraku, bukan?"
    sambut Ki Pancar sambil tertawa lebar.
    "Hmh...!" Nyi Pari mendengus. "Jangan terlalu yakin,
    Pancar. Aku tahu, sosok bayangan hitam yang muncul dan
    menyerang Ki Jasuri adalah kau. Itu terjadi setelah beberapa
    bulan kedatanganmu. Tidak salah bukan, dugaanku?"
    Tawa kakek berwajah buruk lenyap mendengar
    ucapan Nyi Pari.
    "Tapi, kau pasti tidak tahu, mengapa aku menyerang
    dengan cara menyamar dan menyembunyikan wajah!"
    "Hi hi hi...! Kau kira aku sebodoh Palguna, Pancar?!"
    Nyi Pari tertawa mengejek.
    "Aku tahu alasanmu. Apa lagi kalau bukan karena
    takut kedokmu terbongkar? Bukankah begitu, Pancar?!"
    Kakek berwajah buruk tidak bisa berkata apa-apa
    lagi. Semua yang dikatakan nenek berpakaian abu-abu itu
    memang benar!
    "Aku pun tahu, siapa adanya dirimu. Pancar. Itu
    setelah kau mengatakan kalau Turangga, kepala rampok
    yang tewas di Desa Jambul adalah muridmu," sambung Nyi
    Pari lagi.

    Ki Pancar terdiam tak menyambuti. Tapi dari sikapnya
    terlihat jelas kalau dia tengah menunggu kelanjutan ucapan
    nenek berpakaian abu-abu itu.
    "Kau adalah Hantu Bungkuk Tanpa Nyawa!" tandas
    nenek berpakaian abu-abu tegas.
    Ki Pancar tertawa bergelak.
    "Ha ha ha...! Akhirnya kau tahu juga. Pari. Tapi
    sayang, sudah terlambat. Tidak ada lagi orang yang akan bisa
    menghalangi tindakanku."
    Setelah berkata demikian, kakek berwajah buruk itu
    kembali melangkah maju. Seketika, hal ini membuat Nyi Pari
    terkesiap. Sekujur urat-urat syarafnya menegang penuh
    kewaspadaan, bersiap menghadapi segala kemungkinan.
    Memang, setelah yakin kalau Ki Pancar adalah tokoh
    yang berjuluk Hantu Bungkuk Tanpa Nyawa, Nyi Pari jadi
    bersikap hati-hati. Dia telah mendengar sepak terjang tokoh
    ini. Dia adalah tokoh yang amat ditakuti di daerah Utara.
    Telah puluhan, bahkan ratusan kali bertarung tanpa
    terkalahkan. Tak terhitung sudah banyaknya tokoh
    persilatan golongan putih yang tewas di tangannya. Karena
    wajahnya yang buruk dan tubuhnya yang bungkuk, dia
    dijuluki Hantu Bungkuk. Dan karena tidak pernah ada orang
    yang mampu mengalahkannya, dia mendapat julukan Tanpa
    Nyawa.
    Telah belasan, bahkan mungkin lebih dari dua puluh
    tahun, Hantu Bungkuk Tanpa Nyawa bercokol di daerah
    Utara tanpa ada seorang pun yang mampu menandinginya.
    Dari sini saja sudah bisa diperkirakan kelihaian kakek
    berwajah buruk ini. Namun ketika mendengar banyak tokoh
    hitam yang di atas tingkatannya mati oleh Ki Jasuri, maka
    dia mengatur siasat untuk melenyapkannya. Salah satunya,
    menyamar jadi pembantu Ki Jasuri.
    "Kuberikan kesempatan bagimu untuk pergi. Pari.
    Cepat, sebelum keputusanku berubah!"
    "Tidak! Sekali kubilang tidak, selamanya akan tetap
    tidak!" tegas nenek berpakaian abu-abu itu.
    "Kau mencari penyakit sendiri, Pari!" Setelah berkata
    demikian, Hantu Bungkuk Tanpa Nyawa segera menyerang
    Nyi Pari dengan sebuah tendangan kaki kanan lurus ke arah
    dada.
    Wuttt..!

    Didahului desiran angin kuat, kaki Ki Pancar me-
    luncur deras.
    Nyi Pari tidak berani bersikap sembarangan. Buru-
    buru dia melompat ke belakang, sehingga kaki Hantu
    Bungkuk Tanpa Nyawa tidak mengenai dadanya, masih
    berjarak sekitar dua jengkal dari sasaran semula.
    Tapi serangan Ki Pancar tidak hanya sampai di situ
    saja. Begitu serangan pertamanya berhasil dielakkan, segera
    dilancarkan serangan susulan berupa tendangan miring ke
    arah leher dengan kaki yang sama. Dan untuk itu, kaki kiri
    kakek berwajah buruk itu terpaksa harus bergeser di tanah.
    Suara bergesekan keras terdengar ketika alas kaki Hantu
    Bungkuk Tanpa Nyawa bergesekan dengan tanah.
    Nyi Pari terperanjat melihat serangan yang seperti itu
    dapat dilancarkan lawan dalam waktu demikian cepat.
    Khawatir kalau mengelak akan ada serangan susulan lain,
    ditangkisnya serangan kaki itu dengan kedua tangannya.
    Plak...!
    "Aih...!"
    Nyi Pari memekik tertahan begitu sambungan
    pergelangan tangannya terasa seperti terlepas akibat
    berbenturan dengan kaki Hantu Bungkuk Tanpa Nyawa.
    Sekujur tangannya terasa sakit dan ngilu bukan kepalang.
    Tanpa dapat dicegah lagi, tubuhnya terhuyung dua langkah
    ke belakang.
    Hantu Bungkuk Tanpa Nyawa benar-benar hendak
    melenyapkan Nyi Pari. Tanpa memberi kesempatan sedikit
    pun, kembali dilancarkannya serangan susulan pada nenek
    berpakaian abu-abu itu.
    Kini Nyi Pari harus berjuang keras untuk menye-
    lamatkan selembar nyawanya dari serangan ganas lawan.
    Seluruh ilmu yang diwariskan Ki Jasuri padanya dikerahkan.
    Sesaat kemudian, pertarungan sengit terjadi antara kedua
    orang itu.

    SEMBILAN

    Di arena lain, pertarungan yang berlangsung pun tak
    kalah serunya. Palguna harus mengerahkan seluruh
    kemampuan yang dimiliki untuk menghadapi setiap serbuan
    Melati.
    Gadis berpakaian putih yang tengah dilanda kema-
    rahan hebat itu menguras seluruh kemampuannya untuk
    bisa merobohkan Palguna secepat mungkin. Apalagi
    mengingat semua yang dilakukan pemuda berpakaian mewah
    itu. Maka, ilmu 'Cakar Naga Merah' dikerahkan sampai ke
    puncaknya. Serangannya susul-menyusul tak henti-hentinya
    seperti gelombang laut
    Tapi betapapun pemuda berpakaian mewah itu telah
    mengerahkan seluruh kemampuan, tetap saja tidak mampu
    membendung gelombang serangan Melati. Putri angkat Raja
    Bojong Gading itu memang lebih unggul dalam segala hal.
    Baik dalam hal ilmu meringankan tubuh, maupun tenaga
    dalam. Tak aneh kalau Palguna terdesak hebat.
    Pertarungan baru berlangsung lima puluh jurus, tapi
    Palguna sudah terpontang-panting ke sana kemari untuk
    menyelamatkan selembar nyawanya. Akhir pertarungan ini
    sudah bisa ditebak. Pemuda berpakaian mewah ini akan
    roboh di tangan lawan.
    Palguna kini sudah tidak berdaya lagi mengadakan
    perlawanan. Serangannya hampir tidak pernah dikirimkan,
    karena keadaannya memang sudah terjepit sama sekali. Yang
    lebih banyak dilakukan adalah mengelak. Menangkis pun
    jarang sekali dilakukan, kecuali kalau dalam keadaan yang
    sangat memaksanya berbuat demikian.
    "Hih...!"
    Di jurus keenam puluh satu, Melati mengirimkan
    sebuah tendangan lurus ke arah perut Palguna. Buru-buru
    pemuda berpakaian mewah itu menjejakkan kaki, lalu
    melompat ke atas. Hasilnya, tendangan Melati lewat di bawah
    kakinya.
    Tapi saat inilah yang memang ditunggu-tunggu Melati.
    Begitu tubuh lawan berada di atas, tangan kirinya
    diluncurkan ke arah dada Palguna.

    Palguna mengernyitkan dahinya kebingungan. Sebuah
    pertanyaan besar menggayuti kepalanya. Mengapa gadis
    berpakaian putih itu melancarkan serangan. Padahal, jelas-
    jelas bagian yang menjadi sasarannya, tidak akan terjangkau
    serangan itu.
    Akhirnya Palguna mengambil keputusan untuk tidak
    menangkis serangan. Hatinya yakin kalau serangan Melati
    tidak akan mencapai sasaran. Tambahan lagi, keadaan tubuh
    Palguna tengah berada di udara. Dan ini menyulitkan untuk
    mengelakkan serangan itu. Dua alasan itulah yang
    menyebabkan pemuda berpakaian mewah itu tidak
    mengelakkan serangan lawannya.
    Dan, inilah kesalahan Palguna! Dia tidak tahu kalau
    Melati dengan keistimewaan ilmu 'Cakar Naga Merah'nya
    mampu membuat tangannya menjadi satu setengah kali lebih
    panjang. Maka....
    Bukkk...!
    "Akh...!"
    Palguna menjerit memilukan ketika tangan Melati
    menghantam sasaran secara telak dan keras. Seketika itu
    juga, tubuh pemuda berpakaian mewah itu terjungkal ke
    atas. Darah segar sekehka menyembur deras dari mulut.
    Brukkk...!
    Setelah terlempar setinggi empat tombak dari
    permukaan tanah, tubuh pemuda berpakaian mewah itu
    jatuh di tanah menimbulkan suara keras. Hanya sesaat saja,
    tubuhnya berkelojotan, kemudian diam tak bergerak lagi
    ketika nyawanya telah pergi meninggalkan raga.
    Melati menatap mayat Palguna dengan sinar mata
    puas. Sementara, Jasuri menatapnya dengan berbagai
    macam perasaan yang bercampur aduk. Ada rasa lega, sedih,
    dan terpukul. Karena betapapun jahatnya, Palguna adalah
    muridnya dan sudah belasan tahun bersamanya. Pemuda
    berpakaian mewah itu sudah dianggap sebagai anaknya
    sendiri. Wajar jika kematian Palguna menimbulkan kesedihan
    mendalam di hari kakek berpakaian putih itu.
    "Kang Arya...!" seru Melati keras sambil berlari
    menghampiri Arya Buana.

    "Hih...!" Melati mengirimkan sebuah tendangan lurus
    ke arah perut Palguna.
    Pemuda berpakaian mewah itu segera menjejakkan
    kakinya sambil melompat ke atas, sehingga tendangan Melati
    lewat di bawah kakinya. Tetapi, saat inilah yang memang
    ditunggu-tunggu Melati!
    Dewa Arak tersenyum lebar, walaupun ada rasa sakit
    yang mendera hatinya. Benarkah gadis yang dicintainya itu

    telah dinodai Palguna? Di samping rasa sakit itu, ada pula
    rasa kasihan yang amat sangat. Rasa kasihan pada Melati!
    Itulah sebabnya, Arya Buana berusaha untuk tetap
    tersenyum.
    "Syukur kau selamat dari tangan pemuda terkutuk
    itu, Melati," kata Arya Buana.
    Leher Dewa Arak terasa dicekik ketika Melati telah
    duduk pula di hadapannya. Sepasang mata pemuda
    berambut putih keperakan itu menatap wajah putri angkat
    Raja Bojong Gading dengan berbagai macam perasaan yang
    berkecamuk dalam hati.
    "Nyi Pari yang menyelamatkanku. Kang. Kalau tidak
    ada wanita yang baik hati itu, mungkin aku sudah jadi
    korban nafsu setan si keparat Palguna!"
    "Jadi... jadi... dia belum memperkosamu...?" Dengan
    susah payah, kata-kata itu berhasil keluar dari mulut Dewa
    Arak. Melati tersenyum.
    "Untung saja, Nyi Pari selalu datang tepat pada
    waktunya. Di saat, pemuda keparat itu mulai menampakkan
    tanda-tanda akan bersikap kurang ajar, Nyi Pari datang dan
    menyerangnya."
    Rupanya, Nyi Pari orangnya yang selalu menye-
    lamatkan Melati secara diam-diam. Bahkan dia pula yang
    mengirimkan surat peringatan, saat gadis itu tengah
    berbaring di dalam sebuah kamar dalam bangunan tua milik
    Palguna.
    Kemudian, Melati pun menceritakan pertemuannya
    dengan Palguna.
    "Lalu, aku dibawanya pergi dengan kereta, Kang,"
    lanjut Melati setelah sedikit bercerita. "Di tengah perjalanan,
    dia yang rupanya masih merasa penasaran, sehingga
    mencoba mengulangi perbuatan terkutuknya. Untung Nyi
    Pari datang dan menyerang sehingga usahanya gagal."
    Melati menghentikan ceritanya sejenak untuk
    mengambil napas dalam-dalam Sementara Dewa Arak
    mendengarkan cerita kekasihnya penuh perhatian.
    "Jadi, Nyi Pari berhasil mengalahkan Palguna?" tanya
    pemuda berpakaian ungu itu. Melati menggeleng.
    "Atau, Nyi Pari yang dikalahkan?" Dahi Arya Buana
    berkernyit

    "Tidak juga, Kang. Mereka bertarung hanya beberapa
    gebrakan saja. Nyi Pari tidak berani melawan Palguna, karena
    termasuk majikannya. Dia hanya menyerang di saat Palguna
    hendak berbuat tak senonoh padaku. Beberapa gebrak
    menyerang, kemudian kabur," jelas Melati.
    Arya Buana mengangguk-anggukkan kepala. Entah
    karena mengerti, atau karena alasan lain. Hanya dia sendiri
    yang tahu.
    "Hm.... Jadi, Nyi Pari mengikuti perjalanan Palguna
    yang membawamu?" tanya Arya Buana mulai mengerti.
    "Ya. Baru ketika Palguna pergi, Nyi Pari membe-
    baskanku. Lalu kami datang kemari," tutur Melati menutup
    ceritanya.
    "Hm... tidak bisa kubayangkan kalau seandainya Nyi
    Pari tidak ada, Melati," kata Dewa Arak lirih. Ditatapnya
    wajah gadis berpakaian putih itu penuh kasih sayang.
    "Jangan berkata begitu, Kang," selak Melati. "Aku
    ngeri mendengarnya. "
    "Hhh...!"
    Arya Buana menarik napas dalam-dalam dan
    menghembuskannya kuat-kuat. Sepasang matanya
    dilayangkan ke depan.
    Sementara itu di arena pertarungan, Hantu Bungkuk
    Tanpa Nyawa terlalu sakti untuk bisa ditandingi Nyi Pari.
    Setelah pertarungan berlangsung empat puluh lima jurus,
    nenek berpakaian abu-abu itu sudah terdesak hebat.
    Yang dapat dilakukan Nyi Pari hanya mengelak saja.
    Berbeda dengan di awal-awal pertarungan. Dia selalu
    menyerang Ki Pancar. Semakin lama mereka bertarung,
    semakin jarang serangan yang dilancarkan nenek berpakaian
    abu-abu itu. Sampai akhirnya, Nyi Pari tidak bisa
    melancarkan serangan lagi, karena sibuk menyelamatkan
    diri. Dia hanya mengelak dan menangkis serangan yang
    datang bertubi-tubi bagaikan hujan.
    Padahal, Nyi Pari telah mengeluarkan senjata
    andalannya berupa sebuah kipas baja yang berujung
    runcing. Senjata itu bisa digunakan untuk mengebut, di
    samping itu juga sebagai pedang karena ujungnya runcing.
    "Hih...!"
    Tukkk...!
    "Akh...!"

    Nyi Pari terpekik pelan ketika ujung kaki Hantu
    Bungkuk Tanpa Nyawa menghantam sikunya. Seketika itu
    pula sekujur tangannya lumpuh, dan kipas baja itu pun
    terjatuh pula dari cekalan.
    Nenek berpakaian abu-abu itu terperanjat. Pada saat
    itu, tangan Hantu Bungkuk Tanpa Nyawa kembali meluncur
    ke arah dada kanannya.
    Nyi Pari terkejut bukan kepalang. Disadari kalau
    sampai terkena serangan itu, nyawanya akan melayang ke
    alam baka. Maka buru-buru tubuhnya bergerak mengelak,
    dengan melangkah dan menggeser tubuh.
    Plakkk...!
    Nyi Pari memekik kesakitan ketika tangan Ki Pancar
    menghantam bahunya. Nenek berpakaian abu-abu ini kalah
    cepat. Maka meskipun telah mengelak, tetap saja serangan
    lawan mengenai tubuhnya. Untung saja, tidak mengenai
    sasaran yang diharapkan. Tapi meskipun begitu, tak urung
    tubuh Nyi Pari terhuyung-huyung. Darah segar memercik
    keluar dari mulut nenek berpakaian abu-abu itu.
    Dewa Arak yang saat itu memperhatikan pertarungan,
    langsung tersentak. Di saat itulah, Arya Buana
    memberitahukan pada Melati agar membantu Nyi Pari. Maka
    gadis berpakaian putih itu langsung menghentakkan kedua
    tangannya ke depan jari-jari tangannya terkembang
    membentuk cakar. Inilah jurus 'Naga Merah Membuang
    Mustika'.
    Wusss...!
    Serentetan angin pukulan menyambar ke arah Hantu
    Bungkuk Tanpa Nyawa yang siap melancarkan serangan
    susulan ke arah Nyi Pari.
    Kakek berwajah buruk itu terperanjat begitu me-
    rasakan angin keras meluncur. Disadari kalau serangannya
    diteruskan, maka pukulan jarak jauh itu akan menghantam
    tubuhnya, sebelum serangannya sendiri bersarang di tubuh
    Nyi Pari.
    Terpaksa Ki Pancar membatalkan serangan, dan
    langsung melempar tubuhnya ke samping dan bergulingan di
    tanah menyelamatkan diri.
    Ketika Hantu Bungkuk Tanpa Nyawa ini bergerak
    bangkit dari bergulingan, Melati telah berada di depan Nyi
    Pari.

    "Menyingkirlah, Nyi," ujar gadis berpakaian putih itu
    bernada perintah.
    Nyi Pari tidak berani membantah. Dia tahu, dirinya
    bukan tandingan Hantu Bungkuk Tanpa Nyawa yang lihai
    itu. Maka kakinya melangkah, menjauhi pertarungan. Tak
    lupa, tubuh majikannya diangkat, dan dibawa ke tempat
    aman.
    Nenek berwajah segar itu akan mengobati luka dalam
    majikannya. Tapi, tentu saja lukanya harus diobati terlebih
    dahulu.
    Sementara Hantu Bungkuk Tanpa Nyawa tahu, gadis
    yang berdiri di hadapannya ini tidak bisa disamakan dengan
    Nyi Pari. Terbukti, Melati telah berhasil membinasakan
    Palguna. Padahal, pemuda berpakaian mewah itu memiliki
    tingkat kepandaian tidak di bawah Nyi Pari.
    Maka tanpa ragu-ragu lagi, Ki Pancar segera
    menyerang Melati. Gadis berpakaian putih yang memang
    telah bersiap itu segera menyambutnya. Tak pelak lagi,
    pertarungan antara kedua orang tokoh sakti ini pun tidak
    bisa dihindari lagi.
    Meskipun yakin akan kepandaian Melati, tapi
    mengingat kelihaian kakek berwajah buruk itu, Dewa Arak
    merasa khawatir juga. Maka begitu melihat Melati mulai
    berhadapan dengan Hantu Bungkuk Tanpa Nyawa, dia pun
    bergegas kembali bersemadi. Arya Buana buru-buru ingin
    menyembuhkan luka dalam yang diderita, agar bisa segera
    membantu apabila diperlukan.
    Pertarungan antara Melati menghadapi Hantu
    Bungkuk Tanpa Nyawa memang berlangsung seru bukan
    kepalang. Kepandaian kedua orang itu ternyata berimbang.
    Baik Melati maupun Ki Pancar memiliki tenaga dalam dan
    ilmu meringankan tubuh yang setingkat.
    Tak heran meskipun pertarungan telah berlangsung
    lebih dari tujuh puluh jurus lamanya, tidak nampak ada
    tanda-tanda yang akan keluar sebagai pemenang.
    Pertarungan masih terlihat seru dan seimbang.
    "Keparat...!"
    Hantu Bungkuk Tanpa Nyawa menggertakkan gigi.
    Hatinya merasa geram bukan kepalang melihat ketangguhan
    gadis berpakaian putih itu. Perasaan geram yang timbul

    akibat dari rasa malu dan terhina, karena gadis berpakaian
    putih itu sanggup mengimbanginya.
    Mendadak tangan kakek berwajah buruk itu bergerak,
    dan....
    Srattt...!
    Sinar terang berkeredep ketika di tangan Hantu
    Bungkuk Tanpa Nyawa telah tergenggam sebilah golok besar
    yang matanya bergerigi mirip gergaji. Dan begitu golok itu
    terhunus, langsung saja diluncurkan cepat ke arah dada
    Melati.
    "Hih...!"
    Melati menggigit bibirnya kuat-kuat. Dan sekali
    menjejakkan kaki, tubuhnya telah terlempar ke belakang.
    Sehingga, serangan golok Ki Pancar tidak mengenai sasaran.
    Selagi tubuhnya berada di udara, tangan Melati
    bergerak ke arah punggung. Dan begitu kedua kakinya
    mendarat, di tangan gadis berpakaian putih itu telah
    tergenggam pedang.
    Wunggg...!
    Suara menggerung dahsyat seperti seekor naga murka
    terdengar ketika Melati menggerakkan pedangnya.
    Kembali kedua belah pihak melanjutkan pertarungan.
    Tapi, kali ini masing-masing telah menggenggam senjata.
    Dengan sendirinya pertarungan jadi berlangsung lebih seru.
    Suara menggerung, mencicit, dan mengaung menyemaraki
    pertarungan.
    Di jurus-jurus awal sewaktu menggunakan senjata,
    pertarungan antara kedua tokoh ini berlangsung seru. Baik
    Melati maupun Hantu Bungkuk Tanpa Nyawa, saling serang
    dengan hebatnya. Berkali-kali bunga api memercik ke udara
    setiap kali pedang dan golok itu berbenturan.
    Tapi menginjak jurus ketujuh puluh tiga dalam
    permainan senjata. Melati mulai terdesak. Dan hanya karena
    kehebatan ilmu 'Pedang Seribu Naga'nya, yang membuat
    Hantu Bungkuk Tanpa Nyawa tidak mampu merobohkan
    Melati. Memang ilmu 'Pedang Seribu Naga' mempunyai
    pertahanan kuat.
    Hampir Hantu Bungkuk Tanpa Nyawa putus asa
    menyadari kenyataan ini. Dia, datuk yang amat terkenal
    tidak mampu mengalahkan seorang gadis belia yang sudah
    berhasil didesaknya!

    Rasa malu dan penasaran membuat Hantu Bungkuk
    Tanpa Nyawa menyerang semakin kalang kabut. Dia
    menyerang tanpa mempedulikan pertahanan lagi. Yang ada di
    benaknya hanya satu Melati harus bisa di tewaskan!
    "Haaat...!"
    Sambil berteriak melengking nyaring, kakek berwajah
    buruk itu menusukkan goloknya ke arah perut Melati.
    "Hih...!"
    Dengan sebuah gerakan aneh, Melati menjejakkan
    kakinya ke tanah. Mendadak bagian tubuhnya yang mulai
    dari pinggang ke bawah, terangkat naik. Kini, dia seperti
    tertelungkup di udara, dengan bagian tubuh bawah lebih
    tinggi daripada atas. Inilah jurus 'Naga Merah Mengangkat
    Ekor'.
    Singgg...!
    Golok Hantu Bungkuk Tanpa Nyawa menyambar
    lewat di bawah dada Melati, hanya berjarak beberapa jari
    saja.
    Tidak hanya sampai di situ saja yang dilakukan
    Melati. Pada saat tubuhnya terangkat, pedang di tangannya
    dibabatkan ke arah leher lawan.
    Ki Pancar kaget bukan kepalang melihat serangan ini.
    Dicobanya untuk mengelak, tapi karena serangan itu
    demikian cepat. Tambahan lagi, perasaan kalap yang
    melanda membuat kewaspadaannya agak berkurang.
    Maka....
    Cappp...!
    Kepala Hantu Bungkuk Tanpa Nyawa kontan terlepas
    dari tubuhnya ketika pedang Melati dengan telak menyambar
    sasaran. Darah langsung menyembur deras dari bagian yang
    terluka.
    Tanpa sempat bersambat lagi, tubuh kakek berwajah
    buruk itu roboh ke tanah, dan diam tidak bergerak lagi untuk
    selamanya. Mati!
    "Hup...!"
    Melati mendaratkan kedua kakinya di tanah. Pada
    saat yang sama. Dewa Arak pun telah selesai mengobati
    lukanya. Begitu pula Nyi Pari dan Ki Jasuri.
    Seperti diberi aba-aba ketiga orang itu berjalan
    menghampiri Melati.

    "Kau hebat, Melati," puji Nyi Pari kagum. Sepasang
    matanya menatap takjub wajah gadis berpakaian putih itu.
    "Terima kasih atas pujian dan juga atas
    pertolonganmu, Nyi," balas Melati.
    "Benar, Nyi," sambung Dewa Arak. "Tanpa per-
    tolonganmu, entah apa yang akan terjadi pada kekasihku. "
    "Lupakanlah," Ki Jasuri yang menyambuti. "Di antara
    sesama manusia, memang musti tolong-menolong."
    "Kalau begitu, kami pamit dulu, Ki, Nyi," pamit Dewa
    Arak buru-buru. "Masih ada urusan yang akan kami
    selesaikan."
    "Oh! Silakan, Dewa Arak," sambut Ki Jasuri. "Tapi
    jangan lupa, singgahlah kemari nanti."
    "Akan kuusahakan, Ki," sahut Arya Buana tak berani
    memastikan.
    Setelah berkata demikian, Arya Buana dan Melati
    meninggalkan Lembah Malaikat, diiringi tatapan mata penuh
    kagum dari Ki Jasuri dan Nyi Pari. Kini bayangan tubuh
    sepasang pendekar itu lenyap di kejauhan.

                                 SELESAI


    Leave a Reply

    Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

  • - Copyright © matjenuhkhairil.blogspot.com - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -