PENGHUNI LEMBAH MALAIKAT
Oleh Aji Saka
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Gambar sampul oleh Herros
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit
Aji Saka
Serial Dewa Arak dalam episode:
Penghuni Lembah Malaikat
128 hal. ; 12 x 18 cm
SATU
Siang ini suasana di mayapada panas sekali. Matahari
telah berada tepat di atas kepala. Sinarnya yang garang,
seolah-olah hendak memanggang semua yang ada di
permukaan mayapada ini.
"Hhh...!" terdengar helaan napas panjang.
Tampak seorang gadis yang berambut panjang, tengah
mengusap peluh yang membasahi wajah dan leher dengan
saputangan. Sebentar kepalanya menengadah ke atas. Sorot
matanya memancarkan kejengkelan terhadap bola raksasa
yang menyilaukan di atas sana.
Gadis itu memiliki wajah cantik bukan main. Kulit
wajah, leher, dan punggung tangannya yang tidak ter-
bungkus pakaian putihnya tampak putih, halus, dan mulus.
Sehingga kian menambah kecantikannya. Apalagi dandanan
rambutnya yang terurai sampai ke bawah bahu.
Dengan langkah tenang dan penuh percaya diri, gadis
berpakaian putih itu memasuki sebuah kedai. Sejenak
langkahnya tertahan di ambang pintu, memperhatikan
suasana dalam kedai.
Ternyata kedai itu cukup ramai oleh pengunjungnya.
Dari sekian meja yang terdapat di sana, hanya dua yang
masih kosong.
Gadis berwajah cantik itu melangkah menghampiri
meja yang masih kosong. Tidak dipedulikannya pandang
mata liar dari semua pengunjung kedai. Bahkan ada
beberapa di antara mereka yang bersuit-suit. Tapi, gadis itu
sama sekali tidak peduli. Dia tahu kalau sebagian besar
orang yang berada di dalam kedai ini adalah tokoh persilatan.
Hal itu bisa diketahui dari gerak-gerik, dan senjata yang
tersandang. Maka, dimakluminya saja semua itu. Selama
dirinya tidak diganggu, dia akan bersikap wajar saja. Begitu
keputusan yang diambilnya.
Tenang dan penuh percaya diri gadis itu duduk di
kursinya. Dengan hati-hati, pedangnya yang sejak tadi
tersampir di punggung diletakkan di atas meja. Jelas, gadis
ini adalah seorang tokoh persilatan pula. Sepasang matanya
yang tajam, dan sesekali tampak mencorong, kian
memperjelas dugaan itu.
Seorang bertubuh pendek, gemuk, dan berperut
gendut melangkah tergopoh-gopoh menghampiri gadis
berpakaian putih itu. Usianya sukar ditaksir. Wajahnya yang
tembem, memang menyulitkan orang untuk memperkirakan
usianya. Tapi yang jelas, tak kurang dari tiga puluh lima
tahun.
"Mau pesan apa, Nisanak?" tanya laki-laki berperut
gendut ramah. Rupanya, dia adalah pemilik kedai ini.
"Ayam panggang dan teh manis, Ki...," sahut gadis
berpakaian putih itu.
"Randu...," potong laki-laki bertubuh pendek itu cepat,
begitu gadis berpakaian putih itu menghentikan ucapannya.
Gadis berambut panjang itu tersenyum manis. "Aku
Melati...."
"Akan segera kuambil pesananmu, Nini Melati," kata
Ki Randu yang merasa senang mendapat sambutan yang
begitu baik dari seorang gadis berwajah begitu cantik jelita
laksana bidadari.
Setelah berkata demikian, pemilik kedai itu segera
beranjak untuk menyediakan pesanan gadis berpakaian
putih itu. Dia ternyata Melati, putri angkat Raja Bojong
Gading.
"Tunggu sebentar, Ki...."
Cegahan Melati membuat pemilik kedai itu meng-
hentikan langkah, dan memalingkan wajahnya.
"Ada yang bisa kubantu, Ni?" tanya Ki Randu seraya
menghampiri gadis berpakaian putih itu.
"Apakah kau pernah melihat seorang pemuda be-
rambut putih keperakan lewat sini, Ki? Pakaiannya ungu,
dan di punggungnya tersampir sebuah guci arak," kali ini
ucapan Melati terdengar pelan.
Mungkin dia tidak ingin ada orang lain yang
mendengar pertanyaannya kecuali laki-laki berperut gendut
itu.
Ki Randu mengernyitkan keningnya sejenak, seakan
akan tengah mengingat-ingat. Beberapa saat lamanya dia
bersikap demikian, sebelum akhirnya menggelengkan kepala.
"Sayang sekali, Ni. Aku tak melihatnya," suara pemilik
kedai ini terdengar penuh penyesalan.
Dan memang, laki-laki bertubuh pendek itu merasa
menyesal karena tidak bisa menjawab pertanyaan gadis yang
telah bersikap begitu ramah padanya.
Melati segera mengembangkan senyum.
"Tidak apa-apa, Ki," ujar Melati, seolah-olah me-
mahami dengan ketidaktahuan Ki Randu atas perta-
nyaannya. "O, ya. Apa nama desa ini?"
"Desa Garu, Ni."
Melati mengangguk-anggukkan kepala.
Ki Randu tidak langsung berlalu, dan masih berdiri di
situ beberapa saat lamanya. Barangkali saja gadis yang
berpakaian putih Itu masih hendak mengajukan pertanyaan.
Baru setelah yakin kalau Melati tidak bertanya lagi, lalu
kakinya melangkah untuk mengambil pesanan gadis itu.
Tak lama kemudian, Ki Randu sudah kembali sambil
membawa makanan yang dipesan putri angkat Raja Bojong
Gading itu.
Tanpa mempedulikan suasana sekelilingnya, Melati
lalu menyantap pesanannya. Perlahan-lahan sekali, karena
dia sudah terbiasa hidup di istana yang penuh tata krama.
Rupanya, gadis berpakaian putih itu makan sambil
melamun. Hal ini diketahui dari pandangan matanya yang
terpaku pada satu titik. Menilik dari raut wajahnya yang
muram, bisa diperkirakan kalau yang mengganggu
pikirannya adalah sesuatu yang menyedihkan hatinya.
Memang tidak salah! Melati kini teringat gurunya yang
bernama Ki Julaga. Dia telah tewas di tangan Ruksamurka.
Dan di saat dia tengah memikirkan cara membalas dendam
pada kakek yang sakti luar biasa itu, didengar kabar kalau
Ruksamurka tewas di tangan Dewa Arak (Untuk jelasnya,
silakan ikuti Serial Dewa Arak dalam episode "Dendam Tokoh
Buangan").
Tapi sampai sekarang melacak jejak pemuda itu, tetap
saja belum diketemukannya. Memang beberapa kali, Melati
berhasil menemukan petunjuk tentang kekasihnya. Tapi
setelah sampai di sana, orang yang dicarinya telah lenyap!
Dan kini dia telah kehilangan jejak sama sekali!
Melati sama sekali tidak tahu kalau beberapa pasang
mata tengah mengawasi semua gerak-geriknya. Dan
andaikata tahu, tidak akan dipedulikannya. Memang dia saat
ini tidak berminat terlibat keributan.
Kematian gurunya yang mengerikan, dan kegagalan-
nya mencari jejak kekasihnya membuat semangat gadis itu
merosot jauh. Saat ini, Melati tengah membutuhkan
seseorang untuk menumpahkan seluruh ganjalan hatinya.
Tak lama kemudian. Melati pun menyelesaikan
makannya. Setelah beristirahat sejenak, buru-buru
makanannya dibayar. Kemudian kakinya melangkah
meninggalkan kedai, diiringi tatapan berpasang-pasang mata
liar yang berada di situ.
***
Tanpa peduli pada sinar terik matahari yang me-
manggang kulitnya yang putih mulus, Melati terus me-
langkah. Kepalanya tertunduk ke bawah. Tampak jelas,
betapa loyo dan tidak bersemangat sikapnya.
Gadis itu sama sekali tidak peduli pada pandangan
orang-orang yang berpapasan dengannya di jalan. Kakinya
terus saja melangkah. Pendengarannya yang tajam
menangkap adanya langkah kaki tak jauh di belakangnya.
Tapi, gadis berpakaian putih itu tetap saja tidak peduli.
Selangkah demi selangkah rumah-rumah penduduk
yang semula padat mulai jarang. Kini, Melati telah mulai
melewati tanah lapang luas yang hanya ditumbuhi sedikit
rumput dan semak-semak yang tidak begitu tinggi.
Mendadak langkah-langkah kaki yang sejak tadi
terdengar pelan, kini mulai agak keras dan bertubi-tubi.
Tanpa melihat pun. Melati tahu kalau pemilik langkah-
langkah yang sejak tadi mengikuti kini berusaha me-
nyusulnya.
Tak lama kemudian, di hadapan Melati telah berdiri
berjajar empat orang berwajah kasar, mereka semua
memandang kepadanya dengan sinar mata kurang ajar dan
senyum memuakkan.
"He he he...!"
Seorang di antara mereka yang bercambang lebat
terkekeh-kekeh. Pandangan mata mereka menjilati sekujur
tubuh gadis berpakaian putih itu. Sorot mata mereka bagai
seekor serigala kelaparan yang melihat anak kambing gemuk.
Melati mengangkat kepalanya yang sejak tadi
ditundukkan. Sepasang matanya tampak berkilat tajam
penuh kemarahan ketika menatap keempat sosok tubuh yang
berdiri di hadapannya. Meskipun sewaktu di ambang pintu
kedai hanya mengamati sekilas, tapi bisa dikenali kalau
merekalah yang tadi berada di kedai.
Amarah Melati memang telah bangkit. Dan seperti
biasa, kemarahannya tidak akan reda bila sebelum
menemukan pelampiasan. Maka, sudah bisa dipastikan
kalau pertarungan tidak akan bisa dielakkan lagi.
"Ha ha ha...! Bila melotot seperti itu, kau malah
terlihat lebih cantik, Manis." Seorang yang berkumis jarang-
jarang menggoda kurang ajar. Tangan kanannya sibuk
memilin-milin kumis yang hanya beberapa lembar.
Terdengar suara gemeretak dari mulut Melati ketika
kemarahannya tidak bisa ditahan lagi. Ejekan laki laki
berkumis jarang-jarang itu seperti api disiram minyak tanah.
"Hih...!"
Gigi Melati bergemerutuk menahan marah. Jari-jari
tangan kanannya yang terkembang membentuk cakar,
diulurkan ke depan. Arahnya jelas pada laki-laki berkumis
jarang-jarang.
Melihat hal ini, laki-laki berkumis jarang-jarang dan
ketiga orang rekannya malah tertawa bergelak. Mereka semua
merasa geli melihat tindakan Melati. Jarak antara mereka
hanya dapat dijangkau tangan manusia, yang panjangnya
paling sedikit satu setengah kali ukuran biasa.
Tapi ternyata tawa mereka kontan terhenti, dan
berganti keterkejutan! Ternyata tangan gadis berpakaian
putih itu benar-benar berhasil menangkap leher baju laki-laki
berkumis jarang-jarang.
Mereka tak habis pikir. Salahkah perhitungan me-
reka? Sehingga, jarak yang sebenarnya hanya sejangkauan
tangan, terlihat jadi satu setengah jangkauan? Ataukah gadis
itu diam-diam melangkah maju? Tapi, jelas-jelas terlihat
kalau Melati sama sekali tidak bergeming dari tempatnya
semula! Mereka sama sekali tidak tahu kalau murid Ki Julaga
itu mengeluarkan jurus 'Naga Merah Mengulur Kuku', dalam
juluran tangannya tadi.
Tapi ketiga orang itu tidak bisa berpikir lebih lama
lagi. Karena, begitu Melati telah berhasil mencengkeram leher
baju laki-laki berkumis jarang-jarang itu, secepat itu
ditariknya.
Sebelum keempat orang itu berbuat sesuatu, tangan
kiri Melati telah bergerak menampar ke arah pipi.
Plak, plak, plak...!
Suara nyaring terdengar ketika telapak tangan yang
bentuknya kecil dan halus mendarat di pipi laki-laki
berkumis jarang-jarang beberapa kali.
Melihat dari kepala laki-laki berkumis jarang-jarang
yang berpaling ke sana kemari mengikuti arah tamparan,
bisa diperkirakan kalau tamparan itu keras sekali.
Untung saja Melati mengerahkan sebagian kecil
tenaganya. Kalau sedikit saja ditambah pengerahan tenaga
dalamnya, laki-laki berkumis jarang-jarang itu pasti tewas
dengan sekujur tulang-tulang pipi remuk!
Meskipun begitu, tak urung darah muncrat keluar
dari mulut laki-laki itu. Kedua pipinya langsung bengkak dan
membiru, sehingga membuat sepasang matanya hampir tak
terlihat lagi.
"Hmh...!"
Sambil mengeluarkan dengusan di hidung, Melati
mengayunkan tangan yang mencekal leher baju. Kelihatan
pelan saja gerakan itu. Tapi akibatnya, tubuh laki-laki itu
terlempar jauh seperti diseruduk banteng!
Brukkk...!
Dibarengi berdebuk keras, tubuh laki-laki kasar yang
sial itu mendarat di tanah berjarak sekitar enam tombak dari
tempatnya semula.
"Keparat...!"
Laki-laki berkumis jarang-jarang itu berseru memaki
setelah beberapa saat lamanya mengaduh-aduh kesakitan.
Suaranya terdengar aneh, karena pipinya bengkak
menggembung. Dan begitu gema ucapannya habis, dia lalu
bangkit berdiri. Kini goloknya langsung dicabut.
Ketiga orang rekannya yang sejak tadi terdiam seperti
terpaku, langsung sadar begitu mendengar makian rekannya.
"Perempuan liar! Perempuan tak tahu diuntung...!"
maki laki-laki berkumis jarang-jarang itu. "Kau rupanya tidak
suka diperlakukan baik-baik! Kalau begitu maumu, kuturuti!
Jangan menyesal bila kau kami telanjangi dan kami perkosa
sampai mati!"
Sepasang mata Melati langsung mencorong tajam.
Kemarahan amat sangat seketika melanda hatinya.
Dan semua ini terjadi akibat ucapan lelaki berkumis
jarang-jarang itu.
Tapi baik laki-laki berkumis jarang-jarang maupun
ketiga rekannya sama sekali tidak merasa gentar. Mereka
tahu kalau gadis berpakaian putih telah begitu marah. Dan
mereka pun tahu kalau Melati memiliki ilmu kepandaian.
Tapi, seberapa sih tingginya kepandaian seorang gadis yang
masih muda? Mustahil kalau gadis ini tidak bisa
ditundukkan.
Diiringi pekikan nyaring, keempat orang itu menyerbu
Melati. Karena masih ingin menikmati kemolekan tubuh putri
angkat Raja Bojong Gading itu, mereka tidak menggunakan
senjata dalam serangan ini.
Melati yang telah dilanda kemarahan, tidak ingin
bertindak tanggung-tanggung lagi. Disadarinya kalau orang-
orang macam ini amat berbahaya. Tampak jelas kalau
mereka sulit disadarkan. Kalau dibiarkan hidup pun pasti
hanya akan menimbulkan korban bagi orang lain. Maka gadis
berpakaian putih ini bertekad melenyapkan empat orang itu
selama-lamanya.
Tapi sebelum gadis berpakaian putih bertindak....
"Manusia-manusia tidak tahu malu! Bisanya hanya
mengeroyok seorang wanita!"
Berbarengan terdengarnya bentakan itu, melesat
sesosok bayangan keemasan. Langung dipapaknya serangan
empat orang kasar itu.
Maka sesaat kemudian, terdengar pekikan-pekikan
disusul berpentalannya tubuh-tubuh empat orang
pengeroyok Melati.
Diiringi suara berdebuk keras, tubuh-tubuh mereka
jatuh di tanah. Mereka kontan tidak bergerak lagi untuk
selamanya. Karena saat tubuh mereka terpental, nyawa
mereka pun ikut melayang
"Orang-orang seperti mereka sudah seharusnya
dikirim ke neraka selama-lamanya...," kata sosok bayangan
keemasan itu sambil membalikkan tubuhnya menghadap
Melati, setelah teriebih dahulu mengebut-ngebutkan
pakaiannya.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Kisanak," ucap
Melati pelan tidak bersemangat.
Tidak nampak adanya kegembiraan pada wajah
Melati, karena mendapatkan pertolongan. Memang, gadis
berpakaian putih itu sama sekali tidak membutuhkannya.
Tanpa dibantu pun, dia mampu melenyapkan keempat orang
itu.
"Lupakanlah. Tolong-menolong antara sesama
manusia adalah merupakan hal biasa," elak sosok tubuh
keemasan itu merendah sambil tersenyum lebar.
Dia ternyata seorang pemuda berwajah tampan.
Sebaris bulu-bulu halus dan tipis di atas bibirnya kian
menambah ketampanannya. Pakaiannya indah dan mewah
menandakan kalau dia adalah orang berada. Atau paling
tidak, putra seorang pejabat kerajaan. Melati tersenyum
hambar sebagai tanggapannya.
Gadis itu mengenalinya sebagai orang yang tadi
berada di kedai juga.
"O, ya. Siapakah namamu, Nisanak? Dan mengapa
berada di sini? Lalu, hendak ke manakah tujuannya?"
Bertubi-tubi pemuda tampan berpakaian terbuat dari
benang-benang emas itu mengajukan pertanyaan. "Aku
Palguna."
"Aku Melati dan tengah mencari kawanku," sahut
Melati mulai agak bersemangat. Sekilas, timbul harapan di
hatinya. Barangkali saja, pemuda tampan berpakaian warna
emas ini mengetahui Dewa Arak berada.
"Kalau boleh tahu..., siapakah kawanmu itu, Nini
Melati?" tanya Palguna sigap. "Dan, bagaimana ciri-cirinya?"
"Namanya Arya Buana. Dia seorang pemuda berusia
sekitar dua puluh dua tahun. Pakaiannya berwarna ungu,
menyandang guci di punggung...."
"Dan memiliki rambut yang berwarna putih kepe-
rakan...?!" potong Palguna.
"Benar! Apakah kau melihatnya, Palguna?" tanya
Melati cepat. Semangatnya kontan bangkit begitu mendengar
sambutan Palguna.
Palguna menganggukkan kepala.
"Di mana, Palguna?" tanya Melati cepat. Keinginannya
untuk bertemu kekasihnya memang sudah menggebu-gebu.
"Mengenai tempatnya, aku tidak bisa menunjukkan
secara pasti. Dan andaikata kuberitahukan, kau juga tidak
akan mengetahuinya."
"Hm...! Lalu...?" Suara Melati mulai pelan kembali.
Seri di wajahnya pun kontan lenyap.
"Bagaimana kalau kita pergi bersama-sama ke sana?"
usul Palguna.
Melati tercenung sejenak. Dahinya tampak berkernyit
dalam pertanda, kalau tengah berpikir keras.
"Baiklah kalau begitu," kata gadis berpakaian putih
itu setelah beberapa saat lamanya terdiam. "Tapi, ingat.
Kalau kau menipuku... jangan harap akan membiarkanmu
hidup!"
"Ha ha ha...!" Palguna tertawa bergelak. "Siapa sih
yang tega menipu seorang gadis secantikmu, Melati?!"
Sepasang mata Melati berkilat mendengar ucapan
Palguna. Kontan wajah pemuda berpakaian mewah itu
berubah.
"Maaf. Aku bukan bermaksud kurang ajar. Melati,"
ucap Palguna buru-buru memperbaiki ucapan sebelumnya.
"Aku hanya mengatakan apa adanya."
Melati sama sekali tidak menanggapinya.
"Kurasa, kita harus secepatnya menuju tempat ka-
wanku itu sebelum dia pergi...," kata Melati, mengalihkan
pembicaraan.
"Kau benar, Melati," sambut Palguna cepat.
Lega hatinya melihat Melati tidak melanjutkan
persoalan tadi. Watak gadis berpakaian putih ini memang
sukar diduga.
Setelah berkata demikian, Palguna segera melesat ke
depan. Tahu kalau gadis berpakaian putih itu adalah seorang
persilatan juga, pemuda berpakaian mewah itu tanpa ragu-
ragu segera mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya.
Sehingga dalam beberapa kali langkah saja, dia sudah
berjarak belasan tombak dari tempat semula.
Melati hanya menggerakkan bagian bibir atasnya saja
melihat hal itu. Entah apa maksudnya, hanya dia sendiri
yang tahu. Berbarengan kembalinya bibir atasnya ke tempat
semula, tubuhnya pun melesat ke depan.
Luar biasa! Hanya dalam beberapa kali langkah saja,
gadis itu telah hampir berhasil menyusul Palguna yang telah
berkelebat lebih dahulu. Sekejap kemudian. Melati telah
berlari mensejajari Palguna.
Begitu mereka telah berlari berdampingan. Melati pun
mengurangi kecepatan larinya. Gadis itu yakin kalau seluruh
ilmu meringankan tubuh yang dimiliki dikerahkan, Palguna
akan tertinggal jauh.
"Kau.... Kau ternyata hebat juga, Melati." kata Palguna
kaget. Napasnya terdengar memburu. Jelas kalau seluruh
kemampuan yang dimiliki telah dikerahkan.
"Hm...!' gumam Melati perlahan.
Kedua orang itu berlari cepat meninggalkan tempat
mereka tadi bertemu. Sama sekali tidak dipedulikan lagi
mayat empat orang kasar yang hendak mengganggu Melati.
DUA
Melati dan Palguna masih saja berlari walau suasana
gelap menyelimuti bumi. Malam memang telah tiba.
Rembulan yang tampak di langit laksana berbentuk alis
seorang gadis manis, tampak begitu tidak berdaya menerangi
persada.
"Apakah sebaiknya kita beristirahat dulu, Melati?"
usul Palguna seraya menolehkan kepala menatap wajah
cantik yang berada di sebelahnya.
Kedua alis Melati hampir bertautan mendengar usul
yang diajukan pemuda berpakaian mewah itu. Meskipun
begitu, langkahnya sama sekali tidak dihentikan. Sehingga,
mau tidak mau Palguna terus juga berlari kalau tidak ingin
tertinggal.
"Baiklah," ucap Melati memutuskan. "Tapi, di mana
tempat berisirahat?"
Sambil berkata demikian, dan tanpa menghentikan
larinya, gadis berpakaian putih itu mengedarkan pandangan
ke sekeliling.
"Tak jauh di depan kita ada sebuah rumah kosong.
Aku tahu persis, karena pernah tinggal di sana," sambut
Palguna penuh gairah.
Tampak jelas kalau pemuda itu ingin sekali
beristirahat. Maka begitu mendengar persetujuan Melati,
langkahnya yang semula sudah mengendur jadi cepat
kembali.
Ucapan Palguna ternyata bukan bualan belaka. Tak
lama kemudian, pandangan Melati telah tertumbuk pada
sebuah bangunan besar dan megah di kejauhan.
Dalam suasana malam remang-remang dan lebih
cenderung gelap karena di langit hanya diterangi bulan sabit,
bangunan megah itu jadi terlihat menyeramkan. Lebih mirip
rumah hantu daripada rumah manusia!
Karena Melati dan Palguna berlari mempergunakan
ilmu lari cepat, dalam waktu sebentar saja bangunan yang
semula terlihat jauh di depan kini telah dekat.
Melati menghentikan larinya ketika jarak antara
mereka dengan bangunan megah yang dikelilingi pagar
tembok tinggi dan kumuh itu tinggal satu tombak lagi.
Melihat Melati berhenti, Palguna pun menahan langkahnya
pula.
"Ada apa, Melati?" tanya pemuda berpakaian mewah
itu ketika melihat Melati memperhatikan sekeliling bangunan
megah di depannya.
"Apakah kau tidak salah, Palguna? Kita akan
beristirahat di tempat seperti ini?" tanya Melati bernada
teguran.
Palguna mengangguk.
"Memangnya kenapa, Melati?" Pemuda berpakaian
mewah itu malah balas bertanya.
"Tidak bisa kubayangkan, bagaimana di dalam rumah
itu, Palguna. Keadaan di luarnya saja sudah demikian tidak
terurus."
"Ha ha ha...! Yang tampak di luar, belum tentu sama
dengan dalamnya, Melati," jawab Palguna setengah
menggurui. "Kujamin, begitu melihat bagian dalamnya kau
akan betah tinggal di sana!"
"Maksudmu...?" meskipun sudah cukup jelas, tapi
Melati masih juga mengajukan pertanyaan.
"Bagian dalam bangunan itu bersih, Melati. Obor-
obornya pun bertengger di sana-sini. Jadi kalau kau tidak
betah gelap, tinggal nyalakan obor-obor itu saja. Beres, kan?"
Melati terdiam.
"Ayolah," ajak Palguna sambil mengulurkan tangan,
memegang tangan Melati untuk mengajak masuk ke dalam.
"Tidak usah menuntunku, Palguna," ketus suara
gadis berpakaian putih itu seraya menepiskan tangan
pemuda berpakaian mewah yang akan menggandengnya.
"Aku bukan kambing!"
"Maaf. Maaf," Palguna buru-buru meminta pengertian,
sebelum amarah putri angkat Raja Bojong Gading itu kian
menjadi-jadi. "Aku lupa diri karena ingin buru-buru
menunjukkan bagian dalam bangunan ini "
"Lupakanlah, Palguna," Melati mengulapkan ta-
ngannya. Jelas kalau tidak ingin memperpanjang masalah
itu.
Palguna tidak berani bersikap sembrono lagi. Dia pun
mendahului melangkah masuk gerbang yang sudah memiliki
pintu.
Melati melangkah mengikuti di belakang Palguna.
Pemuda berpakaian mewah itu kelihatan melangkah tanpa
memperhatikan sekelilingnya. Namun, Melati malah bersikap
waspada. Pendengarannya dipasang setajam mungkin.
Sekujur urat syaraf dan ototnya pun menegang, bersikap
menghadapi segala kemungkinan.
Tapi ternyata semua kecurigaan Melati sama sekali
tidak beralasan. Sampai mereka melewati halaman depan
yang cukup luas, dan tiba di teras bangunan itu, sama sekali
tidak terjadi apa-apa.
Krittt...!
Suara bergerit tajam terdengar ketika Palguna
mendorongkan daun pintu yang terbuat dari kayu jati tebal
dan berukir. Menilik dari bunyinya, sudah bisa diketahui
kalau daun pintu itu sudah lama tidak dipergunakan.
Begitu daun pintu terkuak, Palguna segera melangkah
masuk ke dalam diikuti Melati. Suasana gelap menyergap
begitu daun pintu itu tertutup kembali.
Tentu saja hal ini membuat Melati tegang. Di tempat
gelap seperti ini, pandangan matanya sama sekali tidak
berguna. Yang diandalkan hanya pendengarannya untuk
berjaga-jaga terhadap serangan gelap yang datang.
Ketegangan yang melanda Melati tidak berlangsung
lama. Karena sesaat kemudian, terdengar suara berdetak dari
beradunya dua buah batu disusul memerciknya bunga-bunga
api, sehingga, keadaan sekelilingnya agak terlihat, meskipun
hanya sekejap.
Tanpa melihat pun, Melati tahu, siapa yang mengadu
batu-batu itu. Siapa lagi kalau bukan Palguna? Pemuda
berpakaian mewah itu ternyata tengah sibuk membuat api
untuk menyalakan obor.
Tak sampai tiga kali membenturkan batu, suasana di
sekitar tempat itu sudah terang benderang oleh obor yang
teipampang di dinding dekat pintu.
Palguna mengulurkan tangan dan mengambil obor
itu.
"Mari, Melati. Kita cari kamar-kamar yang paling baik
untuk tempat beristirahat...."
Langkah gadis berpakaian putih itu terhenti ketika
mendengar ucapan Palguna. Dalam jilatan sinar obor yang
cukup terang, terlihat kalau wajah Melati menegang.
Sementara sepasang matanya pun berkilat-kilat.
"Maksudmu.... Kita tinggal dalam satu kamar,
Palguna? Kau kira aku wanita apa?!" kata Melati. Suaranya
bergetar, karena tegang.
Ada nada kemarahan dalam ucapan gadis itu. Sudah
dapat dipastikan, kalau saja Palguna mengangguk, gadis
berambut panjang itu akan menyerang kalang kabut.
Palguna bukan orang bodoh. Jelas dia menangkap
adanya kemarahan dalam ucapan itu.
"Jangan salah mengerti, Melati," ucap Palguna buru-
buru. "Tentu saja, tidak demikian. Kau salah mengartikan
ucapanku tadi."
"Hhh...!" Melati menghela napas berat. "Maafkan aku,
Palguna. Aku terlalu cepat terbawa amarah."
"Tidak mengapa. Lupakanlah," sambut pemuda
berpakaian mewah itu bijaksana.
Sebuah senyum lebar tampak mengembang di bibir
Palguna. Ini menjadi pertanda kalau dia tidak tersinggung
atas sikap kasar Melati.
"Mari kutunjukkan kamar untuk beristirahat."
Setelah memperhatikan satu demi satu kamar yang
ada di bangunan itu, Melati memilih sebuah kamar yang
berada di tingkat dua. Sementara Palguna memilih sebuah
kamar di sebelahnya.
***
"Ah…!"
Sebuah desah kelegaan keluar dari mulut Melati
ketika tubuhnya direbahkan di pembaringan. Kemudian
sepasang matanya dipejamkan. Tak lama kemudian, desah
napas Melati pun mulai pelan dan teratur.
Tapi baru juga mulai terlelap, sebuah suara men-
desing yang tidak begitu keras, telah membuat Melati terjaga.
Cepat laksana kilat, gadis itu melompat dari pembaringan
dan bergulingan di lantai.
Cappp...!
Benda yang ternyata sebatang ranting sepanjang
sejengkal, menghunjam di dinding bagian atas sampai
setengahnya lebih.
Melati sempat tersentak melihat kehebatan tenaga
dalam orang yang melemparkan ranting itu. Buktinya,
ranting sebesar kelingking itu mampu menembus tembok
yang keras! Kalau saja tidak bertindak sigap, mungkin gadis
itu sudah celaka tadi!
Alis Melati hampir bertautan ketika melihat ada
kelainan pada ranting itu. Pada bagian tengahnya nampak
tergantung segulungan kain yang terikat.
Perasaan heran dan ingin tahu membuat Melati
bangkit dari berbaringnya. Diperhatikannya suasana
sekelilingnya sejenak. Baru setelah diyakini tidak ada bahaya
yang akan mengancam, gadis berpakaian putih itu berjalan
menghampiri tempat ranting itu tertancap.
Meskipun yakin kalau keadaan telah aman, Melati
tetap tidak menghilangkan kewaspadaan. Sambil melangkah
mendekati tempat ranting, matanya diedarkan ke sekeliling.
Ada sebuah kesimpulan yang didapat. Ranting itu
diluncurkan lewat jendela yang daunnya terbuka!
Hanya dengan mengerahkan sebagian tenaga da-
lamnya, Melati segera mencabut ranting itu. Mudah saja dia
melakukannya.
Sambil tetap mengedarkan pandangan ke daun
Jendela, Melati mengambil gulungan kain itu, lalu
membukanya. Dan seperti yang sudah diduga, tampak tertera
huruf-huruf di atas gulungan kain itu. Melati pun
membacanya dalam hati.
Cepat tinggalkan tempat ini kalau kau masih sayang
dirimu. Ada bahaya besar yang tengah mengancammu. Maaf,
hanya ini yang bisa kulakukan. Aku tidak bisa membantu
lebih jauh.
Dahi melati berkernyit membaca pesan yang
terkandung dalam gulungan kain itu. Benarkah apa yang
dikatakan pengirim surat ini? Benarkah ada bahaya besar
yang tengah mengancamnya? Tapi kalau ingin
memberitahukan ada bahaya, kenapa musti mengirim
serangan maut. Untung dia bisa mengelak. Kalau tidak?
Berpikir hal itu, membuat Melati melayangkan
pandangan kembali ke pembaringan. Seketika itu juga
hatinya tersentak tatkala pandangannya dialihkan ke arah
tempat ranting itu terhunjam.
Letak tertancapnya ranting terlalu tinggi. Jaraknya
tak kurang dari satu setengah tombak. Sementara, tinggi
pembaringan itu tidak sampai setengah tombak. Begitu
bodohkah orang yang telah mengirim serangan gelap itu?
Padahal menilik hunjaman pada dinding, bisa diperkirakan
kalau orang yang telah mengirim serangan itu adalah tokoh
lihai!
Tentu saja Melati tidak begitu mudah percaya.
Meskipun begitu, peringatan tadi sama sekali tidak di-
kesampingkan. Gadis berpakaian putih itu mengambil jalan
tengah, yang diyakininya benar. Dia akan tetap berada di
dalam bangunan ini, tapi tetap waspada penuh.
Dengan bertindak seperti itu, Melati mendapat dua
buah keuntungan. Kalau peringatan itu memang benar, dia
telah bersiap-siap menghadapi bahaya yang datang
mengancam. Sedangkan andaikata tidak benar dan
merupakan perangkap, dia tidak masuk perangkap yang
dipasang pengirim pemberitahuan itu.
Melati menghela napas lega setelah mengambil
keputusan. Setelah menyimpan gulungan kain yang berisikan
pesan untuknya, kakinya melangkah menghampiri jendela
dengan kewaspadaan penuh.
Tapi sampai Melati menutupkan jendela yang da-
unnya terbuka, tidak terjadi apa-apa.
Gadis berpakaian putih itu kembali ke pembaring-
annya dengan benak dipenuhi berbagai pertanyaan. Siapakah
orang yang telah mengirimkan peringatan itu? Benarkah ada
bahaya mengancam?
Dengan adanya kejadian tadi, Melati tidak ingin
lertidur kembali. Memang, dia kembali menghampiri
pembaringan. Tapi tidak untuk tidur, melainkan bersemadi.
Gadis berpakaian putih itu lalu duduk bersila.
Punggungnya diluruskan. Kedua tangan dengan jari-jari
terbuka dipertemukan di depan dada. Sementara arah ujung-
ujung jarinya menuding ke langit.
Tak lama kemudian, putri angkat Raja Bojong Gadis
itu telah tenggelam dalam keheningan semadinya. Kini yang
terdengar hanyalah desah napas yang keluar masuk dari
hidung dan mulut Melati.
Belum juga Melati sampai di pintu, mendadak...
Brakkk...!
Daun pintu itu dihajar dari luar. Dan pada saat itulah
dari balik pintu yang tertutup rapat terlihat sesosok
bayangan hitam melangkah masuk. Melati terkejut bukan
main melihat hal ini!
Belum berapa lama tenggelam dalam keheningan
semadinya, pendengaran Melati yang tajam mendengar
adanya suara pelan dari luar pintu. Kalau saat itu Melati
tidak tengah bersemadi, mungkin tidak akan mendengarnya.
Dari sini saja, bisa diketahui kelihaian pemilik langkah itu.
Tanpa menunggu waktu lebih lama lagi, gadis ber-
pakaian putih itu langsung menghentikan semadinya.
Benaknya sibuk menduga-duga. Siapakah orang itu? Yang
pasti, bukan Palguna. Pemuda berpakaian mewah itu tidak
memiliki kepandaian sampai setinggi pemilik langkah itu!
Ringan tanpa suara, Melati melompat turun dari
pembaringan dan berjalan mendekati pintu. Tapi belum juga
tiba di sana, mendadak....
Brakkk...!
Daun pintu itu hancur berkeping-keping. Karuan saja
hal ini membuat Melati terkejut bukan kepalang. Gadis itu
segera melompat ke belakang. Dan pada saat itulah dari balik
pintu yang tertutup rapat, melesat sesosok bayangan hitam.
Dalam suasana kamar Melati yang remang-remang,
karena hanya ada obor kecil yang dipancarkan di dinding
ruangan, tampak samar-samar sosok tubuh yang tengah
menghancurkan pintu itu.
Sosok bayangan itu bertubuh tegap. Kulit wajahnya
coklat, dipenuhi kumis dan cambang bauk lebat.
Melati tidak bisa memperhatikan lebih lama lagi
karena laki-laki berpakaian hitam itu langsung melancarkan
serangan pukulan bertubi-tubi ke arahnya.
Melati tidak berani bertindak ceroboh. Dari angin
berkesiutan yang mengiringi tibanya serangan, bisa
diperkirakan kekuatan tenaga dalam laki-laki bercambang
bauk lebat itu.
Itulah sebabnya, gadis berpakaian putih itu cepat
melempar tubuh ke pembaringan.
Laki-laki berpakaian hitam itu menggeram keras
begitu melihat serangannya dielakkan lawan. Tapi secepat itu
pula dilancarkan serangan susulan lain. Kali ini, berupa
hentakan kedua tangan yang terkepal ke arah tubuh Melati di
pembaringan.
Wuttt...! Brakkk...!
Pembaringan itu hancur berkeping-keping terkena
pukulan jarak jauh yang dilancarkan laki-laki bercambang
bauk lebat. Untung Melati telah lebih dulu melenting
menjauhi pembaringan.
"Hup...!"
Secepat kedua kakinya hinggap di tanah, secepat itu
pula Melati mempersiapkan ilmu andalan. Ilmu 'Cakar Naga
Merah'! Kedua tangannya memerah sampai sebatas
pergelangan ketika jari-jarinya dikembangkan membentuk
cakar naga. Sekarang, gadis berpakaian putih itu telah siap
menghadapi serangan lanjutan.
"Haaat...!"
Sambil mengeluarkan pekikan mengguntur yang
membuat keadaan di sekitar tempat itu bergetar hebat, laki-
laki berpakaian hitam itu kembali menyerang Melati.
Sementara gadis itu kini telah bersiap langsung
menyambutnya. Tak pelak lagi, pertarungan sengit pun
terjadi.
Pertarungan antara kedua orang itu ternyata hebat
bukan kepalang. Suara angin berciut dan mencicit ikut
menyemaraki pertarungan. Udara seperti terobek oleh setiap
serangan yang dilancarkan.
Karena kedua tokoh yang bertarung sama-sama
memiliki ilmu meringankan tubuh tinggi, maka pertarungan
itu berlangsung cepat. Dalam waktu sebentar saja,
pertarungan telah berlangsung lima puluh jurus. Dan selama
itu, tidak terlihat adanya tanda-tanda yang akan keluar
sebagai pemenang.
Melati menggertakkan gigi. Rasa penasaran yang amat
sangat menggayuti dada. Dia yakin, lawannya sanggup
dikalahkan. Karena, dia memang lebih unggul dalam segala
hal. Baik dalam hal ilmu silat, ilmu meringankan tubuh,
maupun tenaga dalam. Tapi tempat pertarungan yang sempit
membuatnya sedikit mengalami kesulitan. Memang ilmu
'Cakar Naga Merah', membutuhkan tempat luas untuk dapat
berkembang.
Ada satu tambahan lagi yang membuat Melati ke-
sulitan mengalahkan lawan. Rasa khawatirnya kalau
bangunan ini roboh bila seluruh kemampuannya dikerahkan,
membuat serangan gadis ini jadi setengah-setengah.
Memang, keadaan ruangan itu sudah semrawut.
Semua perabotan yang berada di situ tetah porak-poranda.
Dinding-dinding bangunan pun telah retak di sana-sini.
Kalau pertarungan itu berlangsung terus, tidak mustahil
bangunan itu akan runtuh.
"Hih...!"
Mendadak laki-laki berpakaian hitam itu mengger-
takkan gigi seraya melempar tubuh ke belakang.
Melati yang ingin membekuk lawan, tidak ingin
memberi kesempatan. Dia ingin tahu, alasan laki-laki
bercambang bauk itu menyerangnya. Maka, gadis berpakaian
putih itu pun segera melesat memburu.
Tapi, rupanya laki-laki berpakaian hitam itu sudah
memperkirakannya. Terbukti ketika tubuhnya berada di
udara, kedua tangannya dimasukkan ke balik baju. Dan
ketika dikeluarkan kembali, tangan itu bergerak mengibas.
Singgg...!
Suara berdesing nyaring, diikuti berkeredepnya
beberapa buah benda berkilau yang tidak lain pisau terbang,
meluncur cepat ke arah tubuh Melati.
Putri angkat Raja Bojong Gading ini terperanjat.
Serangan seperti ini memang sama sekali di luar dugaannya.
Dan hal ini terjadi karena nafsunya terlalu terburu untuk
merobohkan lawan. Tapi meskipun begitu, Melati tidak
menjadi gugup karenanya.
Untuk mengelakkan serangan memang merupakan
suatu hal yang tidak mungkin. Tubuhnya tengah berada di
udara saat ini. Tidak ada tempat yang dapat dijadikan
landasan untuk mengelak. Menggeliatkan tubuh pun tidak
mungkin, karena pisau-pisau terbang itu meluncur berjajar.
Jalan satu-satunya hanyalah menangkis serangan itu.
Maka dengan kecepatan gerakan seorang ahli pedang, dalam
sekejapan mata Melati telah menghunus pedangnya.
Langsung disabetnya pisau-pisau terbang itu.
Trang, bang, trang...!
Dentang nyaring suara benda logam beradu seketika
terdengar. Maka pisau-pisau terbang itu pun berpentalan tak
tentu arah.
Kesempatan yang hanya sekejap itu dimanfaatkan
sebaik-baiknya oleh laki-laki berpakaian hitam itu. Tubuhnya
melesat ke arah pintu. Rupanya, dia tahu gelagat kalau gadis
berpakaian putih itu tak akan bisa dikalahkannya. Maka, ia
memilih kabur sebelum mari konyol!
TIGA
"Hup...!"
Begitu kedua kakinya mendarat di tanah, Melati
segera bergerak mengejar. Tapi begitu tiba di ambang pintu,
langkah kakinya dihentikan. Suasana di luar ternyata gelap.
Jadi, tidak ada gunanya melakukan pengejaran dalam
kadaan gelap.
Untuk sesaat, benak gadis berpakaian putih itu
berputar sebelum akhirnya teringat pada Palguna.
Melati terjingkat bagai disengat kalajengking ketika
teringat pemuda berpakaian mewah itu. Ya! Siapa tahu
Palguna pun mendapat serangan serupa. Menilik dari
kepandaian laki-laki bercambang bauk lebat itu, bisa
diperkirakan kalau Palguna bukan tandingannya.
Teringat akan Palguna membuat Melati kembali ke
kamarnya. Dijumputnya obor kecil yang terpancang di
dinding Dan dengan obor di tangan, gadis itu keluar dari
kamarnya. Tujuannya sudah jelas. Kamar Palguna!
Melati melangkah, bersikap waspada penuh. Pen-
dengarannya dipasang setajam mungkin agar dapat
menangkap suara sekecil apa pun.
Selangkah demi selangkah gadis berpakaian putih itu
melangkah maju. Dan dengan demikian, selangkah demi
selangkah pula, jaraknya dengan kamar Palguna semakin
dekat
Hampir Melati terpekik ketika melihat pintu kamar
Palguna! Ambang pintu itu kini sudah tidak memiliki daun
lagi. Sehingga, sinar obor yang terpancang di dinding kamar
membias sampai ke depan kamar.
Dengan perasaan khawatir, putri angkat Raja Bojong
Gading ini melangkah menghampiri. Meskipun keinginan
untuk segera mengetahui nasib Palguna demikian menggebu-
gebu namun masih bisa ditahannya. Disadari kalau sikap
sembrono dan buru-buru malah akan mencelakakan dirinya.
Tapi lagi-lagi kekhawatiran Melati sama sekali tidak
terbukti. Sampai di ambang pintu kamar Palguna, tidak ada
kejadian apa pun yang menimpa.
"Palguna...!" jerit Melati keras oleh perasaan kaget
ketika melihat tubuh pemuda berpakaian mewah itu
tergeletak di lantai.
Setelah berkata demikian, Melati bergerak meng-
hampiri tubuh Palguna. Meskipun begitu, kewaspadaan gadis
itu sama sekali tidak berkurang. Sepasang matanya beredar
ke sekeliling ruangan itu.
Walau hanya sekilas, tapi cukup bagi Melati untuk
mengetahui keadaan kamar ini. Yang jelas tak berbeda
dengan kamarnya. Porak-poranda! Jelas, kalau di tempat ini
telah terjadi sebuah pertarungan sengit.
Dengan sepasang mata yang tetap memperhatikan
suasana sekelilingnya, Melati berjongkok begitu telah berada
di dekat tubuh Palguna yang tergolek. Gadis berpakaian
putih itu ingin memeriksa keadaan Palguna.
Di saat itulah, tanpa diduga-duga, tangan Palguna
bergerak. Cepat bukan main gerakannya. Tambahan lagi,
jaraknya terlampau dekat dengan Melati. Lagi pula, hal ini
sama sekali tidak disangka-sangka. Maka, kejadian yang
terjadi pun seperti yang sudah diduga.
Tukkk...!
Telak dan tepat sekali jari telunjuk Palguna menotok
jalan darah di bahu kanan Melati. Kontan tubuh gadis
berpakaian putih itu pun terkulai lemas, seperti sehelai
karung basah.
Kini Melati tidak berdaya lagi. Sekujur tubuhnya
lemas seketika.
"Ha ha ha...!"
Palguna tertawa bergelak seraya bangkit berdiri,
begitu tubuh Melati merosot dan jatuh di lantai. Dalam
keremangan sinar obor, wajah pemuda berpakaian mewah itu
ternyata terlihat menyeramkan.
"Palguna! Apa yang kau lakukan?!" tanya Melati keras.
Ada nada kemarahan dalam pertanyaan yang lebih mirip
teguran itu.
"Ha ha ha...!"
Palguna kembali tertawa bergelak. Karuan saja hal itu
membuat kemarahan Melati semakin berkobar. Tapi, apa
dayanya sekarang? Jangankan menyerang, menggerakkan
ujung jari pun tidak mampu!
"Kau belum mengerti juga, Manis?" Palguna malah
balas bertanya.
Kali ini tampak jelas kekurangajaran baik pada suara
maupun sikap pemuda itu. Sungguh berbeda dengan sikap
yang ditunjukkan sebelumnya.
"Hanya satu hal yang telah kumengerti sekarang...,"
pelan, tapi tajam ucapan Melati.
"Apa itu. Manis?" tanya Palguna ingin tahu.
"Kau adalah seekor serigala berbulu domba! Seorang
pengecut yang tidak berani berhadapan langsung denganku!"
tandas Melati tegas. "Masih lebih baik empat orang yang
menghadangku kemarin!"
"Ha ha ha...!"
Palguna kembali tertawa. Menilik gerak-geriknya,
tampak kalau dia tengah dilanda perasaan gembira. Tapi,
mendadak saja tawa itu dihentikan.
"Rupanya hanya wajahmu saja yang cantik. Manis.
Tapi, otakmu bebal! Tidakkah kau duga kalau semua ini
sudah kurencanakan?!"
Wajah Melati kontan berubah hebat.
"Maksudmu...?"
"Empat orang yang menghadangmu adalah suruh-
anku! Dengan cara itu, bagiku mudah untuk dapat
berkenalan denganmu dan memancingmu kemari!"
Palguna menghentikan ucapan sejenak untuk me-
narik napas.
"Terus terang, aku tidak berani menantangmu secara
langsung. Aku tahu, kau memiliki kepandaian tinggi. Kalau
aku memang, tidak menjadi masalah karena langsung bisa
menangkapmu. Tapi kalau aku kalah? Itulah sebabnya, aku
menyerangmu secara menyamar menjadi orang bercambang
bauk lebat."
"Jadi.... Orang berpakaian hitam itu kau?!" tanya
Melati, kaget.
"Kau tidak menyangka bukan?!" ejek pemuda
berpakaian mewah itu, merasa menang.
Melati terdiam. Kini jelas sudah kalau semua itu
sudah direncanakan Palguna secara rapi. Seketika itu pula,
ingatan gadis berpakaian putih itu melayang pada pesan
yang diberikan orang yang tidak diketahui tadi. Satu hal yang
diketahuinya adalah, orang yang mengirim pesan itu telah
mengetahui akan adanya bahaya yang mengancam. Ini
berarti orang yang mengirim pesan itu tahu tentang Palguna.
"Satu hal yang perlu kau ketahui, Manis," sambung
Palguna lagi "Aku telah tahu, siapa adanya orang yang kau
cari itu. Bukankah Dewa Arak?!"
Pemuda berpakaian mewah itu menghentikan
ucapannya untuk menunggu jawaban Melati. Tapi, ternyata
gadis berpakaian putih itu sama sekali, tidak
menanggapinya. Palguna yang tengah mabuk kemenangan,
sama sekali tidak mempedulikannya. Dia memang tidak
membutuhkan jawaban gadis itu.
"Aku telah dapat menduga, siapa orang yang kau cari,
sewaktu kau menanyakannya pada laki-laki gendut pemilik
kedai. Pertanyaanmu itulah yang mendorongku untuk
merencanakan semua ini. Dari pertanyaan itu, bisa kutebak.
Kalau kau adalah wanita yang kudengar selalu bersama
Dewa Arak! Itulah sebabnya, aku bersikap hati-hati. Sungguh
sama sekati tidak kusangka-sangka kalau sekali bertindak,
aku langsung mendapat dua umpan. Kau, dan Dewa Arak!"
"Apakah kau mempunyai urusan dengan Dewa
Arak?!" tanya Melati dengan suara kering.
Disadari kalau seorang seperti kekasihnya lebih
banyak mempunyai musuh daripada teman. Tak terhitung
sudah, lawan-lawan pemuda berambut putih keperakan itu
terbunuh. Padahal setiap lawan yang dibunuh, sudah pasti
mempunyai guru, murid, atau kerabat yang akan
mendendam karena kematiannya.
Palguna menganggukkan kepala.
"Lalu... mengapa kau menawanku?" pancing Melati.
"Ha ha ha...! Ada dua hal yang membuatku mena-
hanmu, Manis," jawab pemuda berpakaian mewah itu.
"Apa itu?" tanya Melati sekenanya.
Gadis berpakaian putih ini berusaha mengulur-ulur
waktu selama mungkin. Dan selama mengajak pemuda
berpakaian mewah itu berbicara, tenaga dalamnya
dikerahkan untuk membebaskan jalan darah yang tertotok.
"Pertama, karena kau dapat kugunakan untuk me-
mancing Dewa Arak. Dan kedua, ini yang penting. Wajahmu
yang cantik molek dan tubuhmu yang menggiurkan, dapat
kumanfaatkan selama menunggu kedatangan Dewa Arak."
Terdengar suara menggertakkah dari mulut Melati
ketika mendengar ucapan terakhir Palguna.
"Kalau kau berani menyentuh tubuhku... akan
kuhancurkan semua tulang tubuhmu!" pelan dan bergetar
ucapan yang keluar dari mulut Melati. Jelas kalau perkataan
itu dikeluarkan penuh perasaan.
Orang seperti Palguna mana bisa ditakut-takuti?
Apalagi pada saat itu tengah dirasuki nafsu! Pemuda
berpakaian mewah itu tertawa bergelak ketika mendengar
ancaman gadis berpakaian putih itu.
"Kau kira, orang sepertiku bisa kau takut-takuti,
Manis? Keliru besar kalau menyangka begitu."
Wajah Melati pucat pasi. Seketika, rasa takut yang
amat sangat terhadap sesuatu yang mengerikan melanda
pada dirinya. Putri angkat Raja Bojong Gading yang belum
pernah mengenal rasa takut, untuk pertama kalinya dilanda
perasaan takut yang hebat.
"Jangan harap akan bisa mati enak, apabila berani
menyentuh tubuhku, Palguna," dalam cekaman rasa takut
yang memuncak, hanya ancaman yang bisa dilakukan Melati.
Seperti juga sebelumnya, ancaman Melati yang kali ini
pun hanya ditanggapi tawa bergelak Palguna. Dan seiring
selesai tawa itu, tangan pemuda berpakaian mewah itu mulai
terulur.
Palguna rupanya memang hendak membuat hati
Melati tersiksa oleh rasa takut menggelegak. Walaupun nafsu
yang bergelora dalam dadanya mendesak-desak untuk
melampiaskan hasrat tapi hal itu tidak langsung
dilakukannya.
Tangan Palguna hinggap di dahi Melati yang mulus,
kemudian perlahan-lahan merayap turun ke pelipis, pipi,
mulut, dan beranjak ke leher. Selama tangan pemuda
berpakaian mewah itu berkeliaran, Melati tak henti-hentinya
berteriak memaki. Deru napasnya bersaing dengan deru
napas Palguna. Hanya saja, napas Palguna memburu karena
dilanda nafsu. Sedangkan napas Melati karena cekaman rasa
takut yang bergelora.
Kini tangan Palguna telah tiba di leher. Dan sekali
tangan itu bergerak turun dan merenggut pakaian, nasib
Melati selanjutnya sudah bisa diduga.
Melati pun menyadari hal itu. Suaranya sudah serak
karena terlalu banyak melontarkan ancaman yang sama
sekali tidak ditanggapi Palguna. Karena cekaman rasa takut
yang memuncak akan terjadinya sesuatu yang mengerikan,
tanpa sadar tetes-tetes air bening menggulir turun di pipinya
yang putih.
Meskipun suasana remang-remang, tapi Palguna
tentu saja melihat. Hatinya pun semakin gembira. Memang
aneh watak orang-orang jahat. Dia akan senang melihat
orang lain menderita. Semakin besar penderitaan yang
dialami orang lain, semakin gembira hatinya.
Mendadak gerakan tangan Palguna terhenti. Ke-
palanya pun menoleh ke belakang. Sikapnya tampak
waspada sekaii, karena mendengar adanya suara
mencurigakan di belakangnya.
Melati yang sama sekali tidak mendengar apa pun
karena tenggelam oleh rasa takut yang menggelegak,
mencoba memasang pendengarannya. Padahal, air matanya
masih menganak sungai di pipinya.
Palguna benar! Ada seseorang yang berada di luar
kamar. Mudah-mudahan saja, orang itu bukan kawan
Palguna. Itu harapan Melati. Mendadak saja terlintas dugaan
di benaknya. Apakah orang yang berada di luar kamar itu
adalah orang yang telah mengirim pesan untuknya?
"Keparat...! Berarti kau mempermainkan aku, Pe-
ngecut...!"
Palguna yang merasa geram karena kesenangannya
terganggu, membentak keras seraya bangkit berdiri. Dia lalu
melangkah keluar ruangan dengan sikap hati-hati.
Tapi sebelum berhasil ke ambang pintu, dari balik
dinding sebelah kanan melesat sesosok bayangan. Cepat
bukan main gerakannya. Sehingga ketika melewati pintu,
hanya berupa sekelebat bayangan hitam saja.
"Hei...!"
Palguna segera melesat mengejar. Tapi, ternyata sosok
bayangan itu memiliki gerakan gesit. Sehingga, dalam
beberapa kali lesatan saja, sudah lenyap di keremangan
rumah itu.
"Keparat...!" maki Palguna dengan kegeraman yang
tampak jelas dalam suaranya. Dengan obor di tangan,
kepalanya menoleh ke sana kemari untuk mencari-cari sosok
bayangan hitam tadi.
Mendadak langkah pemuda itu terhenti ketika teringat
sesuatu. Melati! Jangan-jangan sosok bayangan itu telah
menipunya, kemudian membawa lari tahanannya.
Mendapat dugaan seperti itu, membuat Palguna
khawatir bukan kepalang. Buru-buru tubuhnya berbalik dan
melesat kembali ke kamarnya.
***
Palguna tiba di ambang pintu kamarnya bertepatan
dengan melompat masuknya sosok bayangan hitam dari
jendela. Dugaan pemuda berpakaian mewah itu ternyata
benar!
Rupanya, sosok bayangan hitam tidak menyangka
kalau Palguna akan kembali secepat itu. Terbukti, dia
kelihatan kaget bukan kepalang. Meskipun tidak tampak
jelas karena wajahnya dipenuhi coreng-moreng arang hitam,
tapi dari langkahnya yang secara mendadak berhenti, tampak
jelas perasaan kaget bagai melanda hatinya.
Begitu melihat sosok bayangan hitam itu, tanpa
membuang-buang waktu lagi. Palguna segera meng-
hentakkan kedua kepalannya ke depan. Langsung di-
lepaskannya serangan pukulan jarak jauh.
Wuttt...!
Deru angin keras mengiringi tibanya serangan
pukulan itu. Bisa diperkirakan kuatnya tenaga yang
terkandung dalam serangan Palguna ini.
Sosok tubuh berwajah coreng-moreng yang menilik
dari bentuk tubuhnya adalah seorang laki-laki, rupanya juga
bisa memperkirakan kedahsyatan serangan itu. Hal ini bisa
dilihat dari ketidakberaniannya memapak pukulan jarak jauh
itu dengan pukulan jarak jauh pula. Bahkan tubuhnya malah
dilempar ke samping dan bergulingan.
Dengan mengelaknya laki-laki berwajah coreng
moreng itu, maka serangan pukulan jarak jauh Palguna terus
meluncur ke belakang, jendela yang memang tepat di
belakang laki-laki berpakaian hitam itu kontan terhantam.
Brakkk...!
Jendela itu kontan hancur berantakan mengeluarkan
suara hiruk pikuk memekakkan telinga.
Baik Palguna maupun laki-laki berwajah penuh
coreng-moreng itu sama sekali tidak sempat memper-
hatikannya.
Palguna begitu melihat serangannya berhasil die-
lakkan, segera saja menyusulnya dengan serangan berupa
pukulan bertubi-tubi ke arah dada dan ulu hati lawan. Jelas,
kalau dia berkeinginan untuk secepatnya merobohkan lawan.
Laki-laki berpakaian hitam itu tidak punya pilihan
lain lagi, kecuali menangkis. Memang pada saat itu, dia baru
saja bangkit dari bergulingnya. Tidak ada lagi kesempatan
mengelak baginya.
Plak, plak, plak...!
Keras bukan main ledakan yang terjadi akibat ber-
adunya dua pasang tangan yang sama-sama memiliki tenaga
dalam tinggi. Tubuh kedua orang itu sama-sama terhuyung-
huyung dua langkah ke belakang. Ternyata, tenaga dalam
kedua orang itu berimbang.
Palguna menggeram menyadari kalau lawan mampu
menandingi tenaga dalamnya. Padahal, tadi seluruh tenaga
yang dimilikinya telah dikerahkan. Apalagi, saat itu hatinya
tengah dilanda perasaan amarah yang menggelora.
Tapi secepat kedudukannya diperbaiki, secepat itu
pula Palguna melompat menerjang lawan.
Sadar akan ketangguhan lawan, tanpa ragu-garu lagi
Palguna mengeluarkan senjata andalan dari pinggang,
sebuah ruyung berbatang tiga. Dan dengan senjata itu di
tangan dia meluruk ke arah laki-laki berpakaian hitam itu.
Kali ini pemuda berpakaian mewah itu kalah cepat.
Laki-laki berwajah coreng-moreng itu telah lebih dulu lari
meninggalkannya. Dia melesat kabur, melalui jendela yang
telah hancur berantakan. Rupanya begitu tubuhnya
terhuyung karena benturan tadi, laki-laki berpakaian hitam
itu memanfaatkannya untuk melesat kabur dari situ.
Palguna segera berkelebat menyusul ke arah jendela.
Dan dengan sikap waspada, kepalanya dilongokkan keluar.
Ditelusurinya suasana di bawah sana dengan pandangan
matanya. Tapi sampai lelah pandangannya beredar, hanya
kesunyian yang dilihatnya. Tak terlihat sepotong makhluk
pun di bawah sana.
Dengan wajah masih menampakkan kemarahan
hebat, Palguna melangkah meninggalkan jendela. Dahinya
berkemyit dalam memikirkan laki-laki berwajah coreng-
moreng tadi. Siapakah sebenarnya laki-laki yang ternyata
lihai itu? Mengapa berada di sini? Dan mengapa hendak
menyelamatkan tahanannya? Mengapa dia melatikan diri,
padahal hanya baru bertarung segebrakan saja? Bukankah
jika bertarung sungguhan belum tentu kalah? Berbagai
macam pertanyaan bergayut di benak Palguna.
Dan dengan kepala masih dipenuhi berbagai macam
pertanyaan, Palguna menghempaskan pantatnya di
pembaringan, setelah menyimpan kembali ruyungnya di
pinggang. Dibiarkan saja Melati terbaring di lantai.
Keinginannya untuk memperkosa gadis berpakaian
putih itu telah berkurang banyak, karena adanya gangguan
yang sama sekali tidak disangka-sangka. Palguna khawatir,
laki-laki berpakaian hitam itu datang lagi di saat dirinya
lengah. Dan bila itu terjadi, mungkin dirinya akan celaka.
Laki-laki berwajah coreng-moreng itu terbukti memiliki
kepandaian seimbang dengannya.
Dalam keadaan biasa pun, Palguna tidak yakin akan
bisa mengalahkan laki-laki berwajah coreng-moreng. Apalagi,
kalau dirinya berada dalam keadaan lengah.
Itulah sebabnya, kini Palguna tidak mengganggu
Melati. Pemuda berpakaian mewah itu sibuk berjaga-jaga
terhadap kedatangan laki-laki berpakaian hitam yang luar
biasa.
Kini Palguna tidak tidur. Dia duduk di atas pem-
baringan, bersikap waspada. Sementara benaknya masih
dipenuhi berbagai pertanyaan mengenai laki-laki berwajah
coreng-moreng tadi.
EMPAT
Palguna merasa waktu begitu lama sekali berlalu.
Seolah-olah, malam begitu lambat seperti seekor keong
merayap. Pemuda itu berusaha keras untuk tidak tertidur,
atau berbuat tidak senonoh terhadap Melati
Hal itu mau tidak mau harus dilakukan Palguna,
karena kekawatirannya atas kedatangan laki-laki berpakaian
hitam yang tangguh.
Bukan hanya Palguna saja yang tidak ingin tertidur.
Melati pun demikian pula. Gadis berpakaian putih itu tengah
menunggu jalan darahnya lancar sendiri. Tapi untuk tidak
membuat curiga, matanya dipejamkan agar disangka tidur.
Sedikit demi sedikit Melati merasakan jalan darah
yang tertotok mulai bebas. Hanya memakan waktu yang tidak
begitu lama lagi, gadis itu akan kembali bebas seperti
sediakala.
Namun harapan Melati kandas. Palguna rupanya
bukan orang bodoh. Dia tahu pengaruh totokan itu lama-
kelamaan akan punah sendiri. Apalagi kalau yang ditotok
adalah orang seperti Melati yang memiliki tenaga dalam
tinggi.
Pemuda berpakaian mewah itu bangkit dari pem-
baringannya dan kembali menotok Melati, baru kemudian
kembali ke pembaringan lagi dan bersikap waspada.
Palguna sama sekali tidak menggunakan kesempatan
itu untuk berbuat tidak senonoh terhadap Melati. Dan
khawatir akan terlupa, sehingga laki-laki berwajah coreng-
moreng muncul, dan langsung menyerangnya.
Tidak bisa dibayangkan, betapa dongkolnya hati
Melati ketika Palguna kembali menotoknya. Usahanya pun
dihentikan untuk membebaskan pengaruh totokan itu
dengan tenaga dalamnya. Dalam kungkungan rasa kesal itu,
Melati memejamkan matanya. Dia bermaksud tidur saja.
Tak lama kemudian, terdengar desahan halus napas
Melati ketika tertidur.
Palguna hanya dapat mengawasi dengan perasaan
dongkol melihat tahanannya dapat tertidur nikmat.
Sedangkan dirinya sibuk berjaga-jaga terhadap kemunculan
laki-laki berwajah coreng-moreng itu. Berkali-kali dalam
penantiannya, pemuda berpakaian mewah itu memaki sejadi-
jadinya.
Tapi sampai matahari muncul di ufuk Timur dan
sorotnya yang lembut menyinari mayapada ini, laki-laki
berwajah coreng-moreng itu sama sekali tidak muncul batang
hidungnya.
Karuan saja hal ini membuat Palguna kian bertambah
geram. Sejak malam hingga pagi, matanya turus dipasang
dengan kewaspadaan tidak pernah kendur. Tapi orang yang
ditunggu-tunggunya sama sekali tidak datang. Maka,
jengkelnya tidak bisa diperkirakan lagi.
Bukan hanya itu saja. Sejak malam tadi, beberapa
kali ludahnya harus ditelan melihat tubuh molek meng-
giurkan tertidur pulas di lantai. Melati seperti sengaja
menantangnya! Dada gadis berpakaian putih itu terlihat
turun naik dalam helaan napas yang teratur sewaktu tidur.
Perlahan-lahan Melati membuka sepasang kelopak
matanya setelah terlebih dahulu mengerjap-ngerjapkannya.
Melihat gadis berpakaian putih itu telah bangun.
Palguna lalu melompat turun dari pembaringan. Dijumputnya
sebuah rantai baja yang tebal dan kelihatan kuat, yang
terletak di bawah pembaringan.
Rantai baja itu berjumlah dua julur. Panjang masing-
masing hampir mencapai setengah tombak. Dan pada ujung-
ujung rantai, terpasang gelang-gelang yang juga terbuat dari
baja tebal dan terlihat kuat.
Dengan sikap kasar, Palguna memasangkan gelang-
gelang baja itu pada pergelangan tangan dan kaki Melati.
Baru setelah itu totokan pada gadis itu dilepaskan.
Melati hanya bisa memaki-maki dalam hati. Dia sudah
bosan melakukannya. Suaranya telah serak dan
tenggorokannya terasa sakit-sakit karena terlalu banyak
memaki. Dan gadis berpakaian putih itu tidak mau
menambah penderitaannya dengan memaki-maki Palguna
kembali.
"Bangun, Wanita Sial!" seru Palguna keras seraya
menarik tangan Melati kasar.
"Laki-laki pengecut...!" Melati akhirnya tidak kuat lagi
menahan kemarahan yang melonjak-lonjak dalam dada.
"Kalau kau benar laki-laki, bebaskan aku! Dan kita bisa
bertarung sampai ada yang mati!"
"Kau kira bisa membodohiku dengan kata-kata usang
itu, Wanita Liar?!" sindir Palguna sinis.
Perasaan tegang sewaktu berjaga-jaga terhadap
kedatangan laki-laki berwajah coreng-moreng, dan rasa
jengkel, membuatnya tidak bisa menyambut ucapan Melati
dengan kata-kata bernada ejekan dan penuh tawa.
Melati terdiam mendengar sambutan itu.
"Kau tahu, Wanita Sial. Aku akan menggunakanmu
untuk memancing kedatangan Dewa Arak! Tokoh sombong
itu telah berhutang nyawa padaku! Dan, nyawanyalah
sebagai tebusannya! Dengan adanya kau di tanganku, tidak
sulit menaklukkan Dewa Arak!" jelas Palguna.
"Kau memang manusia pengecut, Palguna! Orang
sepertimu tidak pantas menjadi manusia. Tapi lebih pantas
sebagai anjing kurap!" maki Melati keras.
"Tutup mulutmu, Wanita Liar!" bentak Palguna, keras.
"Kalau tidak mau menutup mulutmu juga, kau akan
kutelanjangi!"
Merah padam wajah Melati seketika mendengar
ancaman yang tidak senonoh itu. Tapi, rupanya ancaman itu
cukup ampuh. Terbukti gadis berpakaian putih itu tidak
berkata-kata lagi ketika Palguna menyeretnya keluar.
Rupanya bangunan megah yang terlihat tua itu
banyak menyimpan peralatan Palguna. Dari dalam gudang,
dikeluarkan sebuah kereta yang ditarik dua ekor kuda.
Dengan kasar, Palguna menarik Melati masuk ke
dalam kereta kuda. Sementara, dia sendiri duduk di depan, di
bangku kusir. Khawatir kalau gadis berpakaian putih itu
bertindak macam-macam, pemuda berpakaian mewah itu
telah kembali menotok lumpuh Melati.
"Hiya...! Hiyaaa...!"
Palguna melecutkan cambuknya ke pantat dua ekor
kuda ttu. Seketika itu juga binatang itu mulai bergerak
menarik kereta.
Tanpa diketahui Palguna, di atas atas gerobak itu
nampak tertelungkup sesosok tubuh berpakaian hitam.
Menilik dari kedua telapak tangannya yang dirapatkan pada
atap kereta, bisa diperkirakan kalau tenaganya dikerahkan
agar tidak terbanting jatuh. Apalagi, bila jalan yang dilalui
buruk.
LIMA
Seorang pemuda tampan berambut putih keperakan
dan berpakaian ungu melangkah perlahan melalui jalan
utama Desa Gede. Sebuah guci arak terbuat dari perak
tersampir di punggungnya. Menilik dari ciri-cirinya, sudah
bisa ditebak sosok pemuda berambut putih keperakan itu.
Siapa lagi kalau bukan Arya Buana alias Dewa Arak.
Desa Gede ternyata terhitung sebuah desa ramai,
meskipun saat itu hari sudah agak siang. Jalan utama desa
ini banyak dilalui orang-orang lalu lalang. Setiap orang yang
melihat Arya Buana selalu akan menoleh dengan kening
berkemyit dalam. Rupanya, mereka merasa heran melihat
seorang pemuda sudah memiliki warna rambut demikian.
Tapi Arya Buana sendiri berpura-pura tidak tahu.
Dengan sikap tidak peduli dia terus saja melangkah. Sempat
juga terdengar bisik-bisik dari orang-orang yang menilik
gerak-geriknya adalah orang-orang yang cukup memiliki ilmu
silat. Pelan saja. Tapi karena pendengaran pemuda
berpakaian ungu ini memang luar biasa tajam, bukan hal
yang aneh bila ucapan itu bisa didengarnya.
"Mungkinkah dia itu Dewa Arak...?!" sebuah suara
parau dari mulut seorang laki-laki bergigi tonggos terdengar.
"Kalau melihat ciri-ciri, tidak salah. Tapi mungkinkah
orangnya semuda itu?" jawab kawannya. Dia pemuda
berwajah hitam.
"Tapi menurut berita yang kudengar, Dewa Arak
memang seorang pemuda...," bantah laki-laki bergigi tonggos
lagi
Hanya itu ucapan terakhir yang terdengar Arya
Buana. Itu pun hanya samar-samar saja. Ucapan selanjutnya
tidak tertangkap telinganya lagi Memang, seiring semakin
menjauhnya Dewa Arak dari orang yang
mempercakapkannya, suara itu dengan sendirinya semakin
tidak terdengar.
Pemuda berpakaian ungu itu terus saja melangkah.
Sehingga, semakin lama semakin menjauhi tempat orang
yang mempercakapkannya.
"Tuan Dewa Arak...!"
Panggilan keras dari arah samping membuat Arya
Buana menolehkan kepala tanpa sadar. Suara itu terdengar
kecil dan melengking. Jelas, orang yang mengeluarkan suara
itu adalah seorang lelaki yang belum dewasa.
Dari depan sebuah kedai, tampak berlari-lari seorang
anak lelaki. Paling banyak, usianya baru dua belas tahun.
Pakaiannya kumal dan lusuh. Jelas, kalau dia bukan berasal
dari keluarga berada.
Arya Buana tidak melanjutkan langkahnya, dan
hanya berdiri diam menunggu kedatangan anak itu. Ingin
diketahui, mengapa anak itu memanggilnya. Adalah
merupakan sebuah hal yang mengherankan kalau seorang
anak bisa mengenal julukannya. Dari manakah anak itu
mengetahuinya? Apakah orang tua anak itu adalah seorang
tokoh persilatan yang telah mendengar julukannya? Macam-
macam pertanyaan bergayut di benak Dewa Arak.
Tak lama kemudian, anak berpakaian kumal itu telah
berada di dekat Arya Buana. Napasnya terdengar agak
terengah.
"Ada apa?" tanya pemuda berpakaian ungu dengan
suara dibuat sepelan mungkin, agar anak itu tidak menjadi
takut.
"Apakah, Tuan Dewa Arak?" tanya anak lelaki
berpakaian kumal itu. Sepasang matanya tertuju pada
rambut Arya Buana.
"Benar," jawab Arya Buana sambil menganggukkan
kepala. "Kau siapa, Anak Baik? Dan dari mana tahu
julukanku?"
"Namaku Jumadi."
"Jumadi? Nama yang bagus," puji Dewa Arak. "Nah,
Jumadi. Sekarang katakan, dari mana kau tahu julukanku?"
"Dari orang yang menyuruhku menitipkan ini," jawab
Jumadi polos sambil menyerahkan segulungan kain pada
Arya Buana.
Pemuda berpakaian ungu itu segera menerima
angsuran gulungan kain dengan dada berdebar tegang.
Tanpa melihat pun sudah bisa diketahui kalau di dalam
gulungan kain itu terdapat pesan. Entah permohonan
pertolongan, tantangan, atau ancaman.
"Terima kasih, Jumadi," ucap Dewa Arak ketika
gulungan kain itu telah diterimanya.
Kemudian Dewa Arak menjumput uang yang ada di
buntalan kainnya. Lalu, diberikannya pada bocah lelaki itu.
"Ini untukmu."
"Maaf, Tuan Dewa Arak. Aku tidak bisa meneri-
manya," tolak Jumadi sopan.
"Heh...?! Kenapa?" Sepasang alis Arya Buana hampir
bertautan.
"Orang yang menitipkan itu telah memberi upah
padaku."
"Kalau kau tidak mau menerima uang ini, aku pun
tidak mau menerima gulungan kain ini," gertak pemuda
berpakaian ungu itu seraya mengangsurkan gulungan kain
kembali.
Jumadi kebingungan sejenak, sebelum akhirnya
mengulurkan tangan menerimanya.
"Terima kasih, Tuan," ucap bocah lelaki berbaju lusuh
itu.
Arya Buana hanya tersenyum. Dan dengan dada
berdebar tegang, dibukanya gulungan kain itu, dan langsung
dibaca isinya. Sedangkan Jumadi yang rupanya tahu diri,
segera beranjak meninggalkan pemuda berambut putih
keperakan itu.
Dewa Arak....
Melati, kekasihmu ada di tanganku. Silakan datang
untuk mengambilnya, bila kau menginginkan dia selamat. Aku
menunggumu di Lembah Malaikat.
"Melati...," desah Dewa Arak.
Seketika perasaan Arya Buana resah karena khawatir
akan keselamatan kekasihnya. Berbagai macam dugaan
berkecamuk dalam benaknya. Benarkah Melati ditawan orang
yang bertempat tinggal di Lembah Malaikat? Dan di manakah
gerangan letak Lembah Malaikat?
Arya Buana menggerakkan jari-jari tangannya me-
remas gulungan kain itu. Kontan kain itu hancur berkeping
keping, mengeluarkan suara gemerisik pelan. Karena, Arya
Buana mengerahkan tenaga pada remasannya.
"Jumadi! Tunggu sebentar...!"
Jumadi yang telah berjalan sekitar lima tombak,
menghentikan langkah dan menoleh.
Hanya sekali langkah, Dewa Arak telah berada di
hadapan Jumadi.
"Kau tahu, siapa orang yang mengirimkan pesan ini
untukku?" tanya Arya Buana tanpa mempedulikan
keheranan bocah berpakaian lusuh itu. Rupanya, Jumadi
merasa heran melihat hanya dengan sekali langkah pemuda
berpakaian ungu itu telah berada di hadapannya.
Jumadi menggelengkan kepala.
"Bisa kau beritahukan ciri-cirinya?" desak pemuda
berambut putih keperakan itu. Dewa Arak memang ingin
mengetahui, siapa sebenarnya orang yang telah mampu
menyandera Melati.
Jumadi mengernyitkan dahinya dalam usaha
mengingat-ingat orang yang telah mengirimkan pesan itu
untuk Dewa Arak.
"Orangnya masih muda, Tuan.... Tampan, berkulit
putih, dan berpakaian mewah...."
Sepasang alis Dewa Arak hampir bertautan men-
dengar ciri-ciri yang disebutkan bocah berpakaian lusuh itu.
Arya Buana mencoba mengingat-ingat, barangkali saja
pernah bertemu orang yang dimaksud. Tapi sampai lelah
mengingat, diyakininya kalau tidak pernah bertemu orang itu
sebelumnya.
"O, ya, Tuan.... Masih ada lagi titipan untuk Tuan."
Sambil berkata demikian, Jumadi yang rupanya baru
teringat mengambil sesuatu dari balik bajunya. Kemudian,
diangsurkannya pada Dewa Arak.
Wajah Arya Buana langsung berubah ketika melihat
benda yang dipegang Jumadi. Dewa Arak kenal betul pemilik
benda yang ternyata adalah sebuah pita yang berujung bunga
melati. Itu adalah hiasan yang tergantung di pedang Melati!
Tidak salah lagi! Kekasihnya telah ditawan!
Dengan tangan agak gemetar, Dewa Arak mengambil
pita berwarna merah yang di ujungnya tergantung bunga
melati. Ditatapnya bunga itu beberapa saat lamanya.
Berbagai macam perasaan bercampur aduk dalam hati
pemuda berambut putih keperakan itu. Rasa rindu, cemas,
dan marah bercampur aduk menjadi satu.
"Apakah orang itu memberitahukan padamu, di mana
letaknya Lembah Malaikat itu, Jumadi?" tanya Arya Buana
Jumadi menganggukkan kepala pertanda membe-
narkan.
"Orang itu memang memberitahukannya. Lembah
Malaikat terletak di Bukit Jambul. Tuan tahu letaknya?"
Arya Buana menggelengkan kepala. Dan memang,
sebenarnya dia tidak tahu letak Bukit Jambul itu.
"Orang yang menitipkan pesan mengatakan. Tuan
harus melakukan perjalanan ke arah Timur. Lama perjalanan
ke sana, selama satu hari menunggang kuda. Bukit itu akan
tampak dari kejauhan, Tuan. Warnanya putih. Begitulah
keterangan yang diberikan orang itu."
Arya Buana mengernyitkan kening. Sungguh tidak
diduga kalau perjalanan menuju Lembah Malaikat cukup
jauh juga.
"Terima kasih, Jumadi."
Setelah berkata demikian, Arya Buana membalikkan
tubuhnya dan melangkah meninggalkan tempat ini. Dalam
keinginannya untuk segera tiba dan menyelamatkan
kekasihnya, pemuda berpakaian ungu itu langsung
mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuh. Hanya sekali
langkah saja, Dewa Arak telah berada dalam jarak sebelas
tombak dari tempatnya semula.
"Wahhh...!"
Jumadi berseru takjub. Sepasang matanya terbelalak
lebar ketika melihat dalam sekejapan saja, tubuh Dewa Arak
telah mengecil menjadi sebesar kepalan tangan. Kemudian,
akhirnya lenyap ditelan kejauhan.
Bukan hanya Jumadi saja yang terperanjat. Orang-
orang yang kebetulan melihat pun berdecak penuh kagum.
***
Arya Buana melakukan perjalanan cepat. Dia hanya
menghentikan larinya apabila kedua kakinya telah tidak kuat
lagi melangkah.
Karena melakukan perjalanan seperti itu, maka
keesokan harinya Dewa Arak telah memasuki mulut sebuah
desa yang terletak dekat Lembah Malaikat.
Dengan rambut kusut masai, dan kedua kaki yang
terasa lelah bukan kepalang, pemuda berpakaian ungu itu
melangkah perlahan memasuki sebuah kedai.
Arya Buana tertegun di ambang pintu kedai ketika
melihat suasana kedai yang sepi. Beberapa buah meja dan
kursi yang terdapat di situ, tampak kosong dari pengunjung.
Hanya ada seorang pengunjung kedai yang tengah sibuk
menyantap makanan.
Dia adalah seorang kakek yang memiliki kumis dan
jenggot sedikit, tapi berwarna putih. Rambutnya panjang dan
berwarna putih pula. Pakaiannya longgar, dan berwarna
coklat.
Rupanya kakek berpakaian coklat itu mengetahui
pula, kedatangan Dewa Arak. Buktinya, perhatian pada
santapannya dialihkan. Kemudian kepalanya terdongak.
Terkesiap hati Arya Buana ketika melihat sepasang
mata kakek berpakaian longgar itu. Yang mencorong tajam,
berwarna kehijauan. Mirip mata seekor kucing dalam gelap.
Dari sepasang mata itu saja, sudah bisa diperkirakan kalau
kakek itu bukan orang sembarangan. Dia adalah tokoh yang
memiliki kepandaian tinggi. Sorot mata yang tajam
mencorong itu telah membuktikannya.
Tapi hanya sesaat saja dua pasang mata yang sama-
sama tajam mencorong itu bertemu. Karena, Arya Buana
telah beranjak menuju sebuah meja kosong. Sedangkan
kakek berpakaian coklat itu telah disibukkan kembali oleh
makanannya.
"Akan pesan apa, Den?" tanya seorang kakek kecil
kurus berjenggot panjang sopan. Rupanya dia pemilik kedai
itu.
"Arak seguci besar dan ayam panggang," sebut Arya
Buana.
Kakek kecil kurus itu melangkah ke dalam untuk
mempersiapkan pesanan Dewa Arak.
Sambil duduk menanti pesanannya, Arya Buana
mengedarkan pandangan berkeliling. Tapi, kembali
pandangannya tertumbuk pada sepasang mata yang
mencorong tajam dari kakek berpakaian coklat.
Anehnya, begitu pandangan mereka bertemu, kakek
berpakaian coklat longgar itu menundukkan kepala.
Rupanya, dia tidak ingin diketahui kalau tengah
memperhatikan Arya Buana.
Tentu saja sikap kakek itu membuat Arya Buana
merasa curiga, dan seketika itu pula sikapnya berubah
waspada. Pemuda berambut putih keperakan itu yakin,
kakek berpakaian coklat itu memperhatikannya.
Perasaan curiga yang timbul membuat Arya Buana
diam-diam memperhatikan kakek itu pula.
Arya Buana terpaksa mengalihkan perhatian ketika
pemilik kedai itu telah kembali sambil membawa pesanannya.
Pemuda berpakaian ungu itu menunggu sampai kakek
berjenggot panjang itu meletakkan pesanan di mejanya.
"Apakah nama desa ini, Ki?" tanya Arya Buana sambil
meraih salah satu guci arak, dan menuangkan isinya ke
dalam sebuah gelas bambu.
"Desa Jambul," jawab kakek kecil kurus itu.
"Hm...," sebuah gumaman tak jelas dari mulut Dewa
Arak menyambut! jawaban pemilik kedai.
"Memangnya Aden hendak ke mana?" tanya kakek
berjenggot panjang itu.
"Lembah Malaikat...," jawab Dewa Arak kalem. Tapi,
tanggapan kakek berjenggot panjang itu tidak sesederhana
sahutan Arya Buana.
"Lembah Malaikat...?!" pemilik kedai itu bertanya
dengan suara bergetar. Nada suara, maupun raut wajahnya
menunjukkan kegelisahan hebat
"Benar, Ki. Kenapa?" Pemuda berpakaian ungu itu
balas bertanya ketika melihat keterkejutan kakek kecil kurus.
"Mau apa kau ke sana, Anak Muda?" Mendadak nada
suara kakek berjenggot panjang itu berubah. Tidak lagi sopan
dan ramah seperti semula, tapi keras dan kasar.
Arya Buana bukan orang bodoh. Pemuda itu tentu
saja bisa merasakan perubahan sikap pemilik kedai itu. Dan
ini terjadi, setelah mengatakan hendak menuju Lembah
Malaikat. Pasti ada apa-apanya di sana.
"Meskipun sudah tua, dan hanya memiliki sedikit
ilmu bela diri, tapi tak akan kubiarkan kau mengusik tempat
suci itu!" sambung kakek kecil kurus mantap, begitu melihat
Dewa Arak tercenung.
"Tenanglah, Ki," Arya Buana yang sama sekali tidak
mau terpancing dalam amarah, buru-buru menenangkan
pemilik kedai itu. "Duduklah dulu, dan kita bicarakan
masalah ini secara baik-baik."
Kakek berjenggot panjang itu tercenung sejenak dan
tidak langsung menanggapi ajakan Dewa Arak. Ditatapnya
sejenak wajah pemuda berambut putih keperakan itu. Baru
ketika dijumpai adanya kesungguhan pada wajah itu, kakek
itu duduk di kursi di hadapan Dewa Arak. Hanya meja
persegi yang membatasi tubuh-tubuh mereka.
"Bisa kau ceritakan padaku mengenai Lembah
Malaikat itu, Ki?" tanya Dewa Arak memulai pembicaraan.
"Maaf, Anak Muda. Bukannya aku tidak ingin
memberitahukannya. Tapi sebelum kau mengatakan
tujuanmu ke sana, aku tidak bisa menceritakannya," tolak
kakek kecil kurus itu.
"Hhh...!"
Dewa Arak menghela napas berat. Disadari kalau
tidak ada gunanya meminta keterangan dari kakek berjenggot
panjang itu. Arya Buana melihat adanya sorot pantang
mundur pada sepasang mata pemilik kedai ini.
"Baiklah, K'!," ujar pemuda berpakaian ungu itu,
mengalah. "Perlu kau ketahui. Aku pun baru sekali ini
mengetahui bahwa ada tempat yang bernama Lembah
Malaikat. Dan itu pun dari orang yang bersangkutan."
"Apa maksud ucapanmu itu, Anak Muda?!" tanya
kakek berjenggot panjang, tak mengerti.
"Ceritanya cukup panjang, Ki. Kau bersedia men-
dengarkannya?" tanya Arya Buana. Dia memang berniat
menerangkan semua, agar kakek kecil kurus ini mengerti.
"Ceritakanlah," sambut pemilik kedai ini.
Arya Buana mengerling ke arah meja kakek bungkuk
berpakaian coklat longgar. Lirikan matanya mengandung arti,
karena khawatir pembicaraannya terdengar. Kakek
berjenggot panjang itu pun rupanya mengerti.
"Tidak perlu khawatir. Dia bisu dan tuli," jelas kakek
kecil kurus itu.
"Hm...," pemuda berpakaian ungu itu hanya
menggumam pelan.
"Aku adalah seorang pengelana, Ki," Arya Buana
memulai. "Masuk hutan dan desa adalah kegemaranku. Tapi,
kemarin aku mendapat surat dari seseorang yang
menitipkannya pada bocah lelaki"
Arya Buana menghentikan ceritanya sejenak untuk
melihat tanggapan pemilik kedai ini. Tapi, kakek kecil kurus
itu ternyata diam saja, tidak menanggapi sedikit pun.
"Isi surat itu, memintaku untuk datang ke Lembah
Malaikat. Apabila aku tidak ke sana, kawanku yang
diculiknya akan dibunuh!"
"Bohong! Kau mengada-ada, Anak Muda!" Kakek
berjenggot panjang itu bangkit dari duduknya. Seketika
wajahnya merah padam. Kemarahan yang hebat tampak
memancar pada wajahnya.
"Aku tidak bohong, Ki," masih tetap tenang ucapan
Dewa Arak. Bahkan masih tetap duduk di kursi sambil
menenggak minumannya.
"Cabut ucapanmu, atau ingin kuusir keluar seperti
anjing geladak?!"
Berkilat sepasang mata pemuda berambut putih
keperakan itu mendengarnya. Memang, Arya Buana merasa
tersinggung juga atas sikap yang ditunjukkan kakek itu.
Maka, perlahan-lahan dia bangkit dari duduknya.
"Aku tidak akan mencabut ucapanku! Malah, aku
akan mengobrak-abrik Lembah Malaikat. Akan kuhancurkan
tempat itu kalau sampai terjadi apa-apa dengan kekasihku!"
Keras sekali ucapan Dewa Arak karena disertai
amarah yang meluap-luap. Kekhawatiran akan nasib Melati-
lah yang menyebabkannya bersikap demikian. Saat hatinya
benar-benar cemas memikirkan nasib kekasihnya, eh malah
dimaki-maki! Siapa yang tidak kesal? Padahal, dia telah
berusaha keras berbicara baik-baik.
Setelah mengeluarkan ancaman demikian, Arya
Buana duduk kembali di kursinya. Kemudian guci arak perak
di punggung dijumputnya, dan diletakkan di atas meja. Baru
setelah itu, arak pesanan dituangkan ke guci peraknya yang
hanya tinggal sedikit isinya. Dan kini guci arak itu
disampirkan kembali di punggungnya.
"Ini bayarannya, Ki," kata Arya Buana sambi! me-
letakkan uang pembayaran makanan dan minuman itu di
atas meja, kemudian bangkit berdiri dan berjalan keluar.
"Anak Muda! Tunggu...!"
Terpaksa Dewa Arak menghentikan langkahnya begitu
mendengar panggilan kakek kecil kurus. Belum juga
kepalanya menoleh, kakek itu telah bergerak cepat
menghampiri.
"Benarkah semua yang kau katakan tadi? Sebe-
narnya, teman atau kekasihmu orang yang diculik itu?" tanya
kakek pemilik kedai ini.
Kali ini suara kakek kecil kurus itu tidak keras seperti
sebelumnya, tapi sudah mulai melunak. Ucapan keras Dewa
Arak tadi memang telah membuatnya bersikap demikian.
Tambahan lagi, dia melihat adanya nada kesungguhan dalam
ucapan pemuda berambut putih keperakan itu.
Amarah pemuda berpakaian ungu sedikit mereda
tatkala mendengar ucapan pemilik kedai yang mulai
melunak.
"Aku mengatakan apa adanya, Ki. Dan orang yang
diculik itu sebenarnya adalah kekasihku!" jelas Dewa Arak.
"Ada hal yang mencurigakan kalau begitu," kata
kakek kecil kurus itu seraya mengangguk-anggukkan kepala.
"Aku sama sekali tidak mengerti maksudmu, Ki?"
Sepasang alis pemuda berambut putih keperakan itu hampir
bertautan. Raut ketidakmengertian tampak jelas di wajahnya.
"Apa yang kau ketahui tentang Lembah Malaikat?"
kakek berjenggot panjang itu malah balas bertanya.
Arya Buana menggelengkan kepala. Pemuda ber-
pakaian ungu itu sama sekali tidak tahu tentang Lembah
Malaikat.
"Sudah kuduga," keluh kakek kecil kurus, mendesah.
"Kau mau kuceritakan?"
Pemuda berpakaian ungu itu mengangguk.
"Kalau begitu, dengarkan baik-baik," kakek pemilik
kedai itu memulai ceritanya.
ENAM
"Sekitar sepuluh tahun yang lalu, desa ini diserbu
segerombolan perampok yang ingin menjarah. Para penduduk
tentu saja tidak membiarkan, sehingga harus angkat senjata
mengadakan perlawanan."
Kakek kecil kurus itu menghentikan ceritanya se-
jenak. Dahinya nampak berkernyit. Jelas kalau dia tengah
berusaha mengingat-ingat rentetan kejadian yang pernah
diketahuinya.
"Tapi usaha kami seperti membenturkan telur ke
batu. Para perampok itu terlalu kuat. Satu demi satu,
penduduk berguguran. Padahal jumlah kami lebih banyak.
Akhir dari pertarungan sudah bisa diterka. Penduduk akan
tewas semua dan para perampok akan berhasil menjarah isi
desa ini."
Kembali kakek berjenggot panjang itu menghentikan
ceritanya sejenak. Tapi, kali ini untuk mengambil napas.
"Saat itulah muncul seorang kakek berpakaian putih
yang membantu kami melawan rombongan perampok itu. Dia
ternyata sakti bukan kepalang. Hanya dengan kibasan-
kibasan tangan saja, para perampok itu dibuat pontang-
panting. Hanya sebagian kecil saja yang dibiarkan hidup.
Begitu pula dengan pimpinannya."
Kakek pemilik kedai itu menghentikan ceritanya
kembali. Tenggorokannya terasa kering sehingga harus
dibasahi. Dia memang terlalu semangat bercerita.
"Kakek sakti itu kemudian tinggal di sebuah lembah di
Bukit Jambul. Penduduk desa ini menamakannya Lembah
Malaikat, karena kakek itu memang seperti malaikat saja.
Beliau selalu datang menolong kami tepat pada saat yang
diperlukan. Berkali-kali dia datang dan mengusir setiap orang
jahat yang hendak datang kemari. Di samping itu, dia pun
sering pula mengobati penduduk desa ini yang sakit," tutur
kakek berjenggot panjang itu menutup ceritanya.
Arya Buana mengangguk-anggukkan kepala.
"Oleh karena itu, aku tidak senang ketika kau me-
nyatakan ingin pergi ke Lembah Malaikat, Anak Muda."
"Mengapa, Ki?" tanya Arya Buana. "Bukankah
sekarang kau tahu maksud kedatanganku ke sana?"
"Hhh...!" Kakek kecil kurus itu menghela napas berat.
"Lembah Malaikat adalah sebuah tempat suci, Anak Muda.
Aku tidak ingin kau pergi ke sana. Karena, kau adalah
seorang pemuda pemabukan! Kami tidak ingin arakmu
mengotori tempat suci itu."
Merah wajah Arya Buana mendengar ucapan itu.
Meskipun begitu, Dewa Arak tidak marah. Dia tahu
kalau kakek berjenggot panjang itu tidak bermaksud
mengejek, tapi hanya mengatakan yang sebenarnya.
"Apalagi ketika mendengar ucapanmu selanjutnya.
Aku menjadi lebih marah lagi!" sambung kakek pemilik kedai
itu berapi-api.
Arya Buana menarik napas dalam-dalam dan
menghembuskannya kuat-kuat.
"Aku tidak menuduh kalau pelaku penculik kekasihku
adalah penghuni Lembah Malaikat, Ki" pelan ucapan pemuda
berpakaian ungu itu.
"Hm...," hanya gumam tak jelas kakek itu yang
menyambuti ucapan Dewa Arak.
"Aku datang hanya untuk memenuhi pesan penculik
itu. Dan kebetulan, tempat yang diinginkannya adalah
Lembah Malaikat"
"Hhh...!"
Kakek berjenggot panjang itu hanya mampu menghela
napas berat. Disadari kalau sikapnya tidak patut bila terus
melarang pemuda berambut putih keperakan itu
menyelamatkan kekasihnya.
"Aku berjanji akan menjaga kesucian Lembah Ma-
laikat semampuku, Ki," janji Arya Buana tulus.
Kakek kecil kurus itu hanya bisa tersenyum getir
mendengar ucapan Arya Buana. Kemudian, kedua bahunya
diangkat. Pasrah.
"Terima kasih, Ki," ucap Arya Buana gembira. "O. ya.
Aku ingin beristirahat sebentar untuk melepaskan lelah.
Apakah ada kamar kosong?"
"Ada, Anak Muda. Mari...!"
Sambil berkata demikian, kakek berjenggot panjang
itu berjalan mendahului Arya Buana. Diantarkannya pemuda
berambut putih keperakan itu ke tempat yang akan
dipesannya.
"Inilah kamar itu, Anak Muda," ujar kakek kecil kurus
itu sambil membuka pintu sebuah kamar.
Arya Buana memperhatikan ruangan dalam kamar itu
sejenak. Memang sebuah kamar yang cukup rapi. Kemudian,
kakinya melangkah masuk ke dalam.
Kakek pemilik kedai segera melangkah meninggalkan
tempat ini. Sementara, pemuda berambut putih keperakan
itu lalu, membaringkan tubuh di balai-balai bambu. Tak lama
kemudian. Dewa Arak sudah tertidur pulas.
***
Matahari telah tergelincir dari titik tengahnya ketika
Arya Buana telah berada di atas puncak Bukit Jambul.
Pandangannya tertuju ke bawah, tempat yang ditunjukkan
orang yang telah menculik Melati. Lembah Malaikat.
""Hih...!"
Pemuda berambut putih keperakan itu mengger-
takkan gjgi. Tubuhnya pun melayang ke bawah. Indah dan
manis gerakannya.
Tukkk!
Kedua kaki pemuda berambut putih keperakan itu
mendarat ringan di batu yang menonjol. Kemudian, tubuhnya
melenting. Kembali ditotoknya tonjolan batu lain. Dengan
cara itu Arya Buana menuruni puncak dan menuju ke
Lembah Malaikat.
"Hup...!"
Ringan tanpa suara kedua kaki pemuda berpakaian
ungu itu mendarat di tanah, dan langsung mengedarkan
pandangan berkeliling.
Sikap waspada Dewa Arak tidak percuma. Mendadak
terdengar suara mendesing nyaring, disusul berkelebatnya
benda-benda berwarna putih berkilat ke arahnya.
Dewa Arak tidak berani bertindak ceroboh. Dari suara
mendesing yang mengiringi tibanya serangan, sudah bisa
diperkirakan kekuatan yang terkandung di dalamnya.
Buru-buru Dewa Arak membanting tubuh, kemudian
bergulingan di tanah. Sehingga, benda-benda berkilat yang
ternyata adalah pisau-pisau terbang itu menyambar tempat
kosong.
"Ha ha ha...!"
Sebuah suara tawa keras bergelak terdengar ketika
Dewa Arak bangkit dari bergulingnya.
Arya Buana menatap sosok tubuh yang berdiri dalam
jarak lima tombak di hadapannya. Semua cocok dengan apa
yang dikatakan Jumadi. Seorang pemuda tampan, berkulit
putih, dan berpakaian yang terbuat dari benang-benang
emas.
"Kaukah orang yang telah mengirimkan pesan
untukku?" tanya Arya Buana. Sengaja hal itu ditanyakannya,
untuk memastikan kebenaran.
"Tidak salah!" sahut pemuda berpakaian mewah yang
tidak lain dari Palguna, pongah.
"Mengapa kau menawan Melati, Kisanak?!"
"Karena aku punya urusan denganmu, Dewa Arak!"
tandas Palguna tegas.
Sepasang alis Arya Buana hampir bertautan men-
dengar jawaban itu.
"Kalau kau mempunyai urusan denganku, mengapa
harus menawan orang yang tidak bersalah?!" desak pemuda
berpakaian ungu itu. Ada nada kegeraman dalam suaranya.
Sambil berkata demikian. Dewa Arak melangkah
maju. Dengan sendirinya, jarak mereka pun bertambah
dekat.
"Hmh...!"
Palguna tidak langsung menjawab pertanyaan itu,
melainkan mendengus. Sikapnya terlihat begitu meremehkan
Arya Buana.
"Semula aku tidak berniat membawanya dalam
persoalan kita, Dewa Arak! Tapi kupikir, dengan menahan
dia, tidak terlalu sulit memancing kedatanganmu untuk
menyelesaikan urusan kita. Dan ternyata, cara itu manjur.
Kau datang begitu cepat. Bahkan melebihi perkiraanku
semula."
Arya Buana menarik napas panjang-panjang dan
menghembuskannya kuat-kuat.
"Sebenarnya..., apa urusan itu, Kisanak?!" tanya Dewa
Arak mencoba tenang. Dan memang, setelah hal seperu itu
dilakukan harinya jadi lebih tenang.
"Kau ingat dengan Gerda, Dewa Arak?!" tanya
Palguna.
Kini tidak ada lagi tawa dan canda di wajahnya. Yang
tampak hanyalah sorot dendam yang membara. Bahkan nada
suaranya pun mengandung kemarahan hebat.
Tanpa perlu mengingat-ingat lebih lama lagi, Dewa
Arak langsung mengerti orang yang dimaksud Palguna. Gerda
alias Bomantara, si Siluman Tengkorak Putih adalah lawan
tangguh yang pertama sekali dihadapinya. Saat itu, dia baru
mendapat julukan Dewa Arak (Untuk jelasnya, silakan baca
serial Dewa Arak dalam episode perdananya "Pedang
Bintang").
Dewa Arak mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Nah! Aku adalah adik kandung Gerda! Namaku
Palguna! Kini sudah jelas, mengapa aku mencari-carimu,
bukan?"
Arya Buana tidak terlampau kaget mendengar ja-
waban pemuda berpakaian mewah itu. Begitu Palguna
menyebutkan nama Gerda, sudah bisa diperkirakan kalau
pemuda berpakaian mewah itu memiliki hubungan dengan
tokoh sesat itu.
"Sungguh sama sekali tidak kusangka. Aku akan
mendapat dua keuntungan sekaligus dengan tertawannya
Melati, kekasihmu itu," sambung Palguna lagi. Kali ini
dengan sinar mata memancarkan kekejian.
Arya Buana diam saja. Sama sekali tidak diselak
semua ucapan pemuda berpakaian mewah itu.
"Aku tidak akan percaya kalau tidak mengalaminya
sendiri, Dewa Arak. Kekasihmu itu ternyata masih gadis! Ha
ha ha...! Sampai sekarang tubuhnya masih terasa nikmat.
Luar biasa! Kau bodoh, Dewa Arak! Bunga sesegar itu tidak
buru-buru dipetik. Dan, akulah orang yang mendapat
keberuntungan mencicipi kemolekan tubuh kekasihmu itu.
Orang yang pertama, Dewa Arak!"
Terdengar suara bergemerutuk dari mulut Dewa Arak
ketika gigi-giginya beradu keras. Bukan hanya itu saja. Suara
berkerotokan nyaring pun terdengar ketika dalam kemarahan
yang meluap, tenaga dalam Arya Buana bergolak sendiri. Dari
atas kepalanya seketika mengepul asap putih tipis. Ini
menandakan kalau 'Tenaga Sakti Inti Matahari', yang jarang
digunakan telah keluar sendiri tanpa disadari Dewa Arak.
"Iblis! Manusia jahanam...!
Setelah beberapa saat lamanya, Arya Buana terdiam
dalam keterkejutan dan kemarahannya, akhirnya keluar juga
ucapan itu.
Dalam kemarahannya, Arya Buana tampak berubah
begitu mengerikan! Sepasang matanya mencorong tajam
memancarkan hawa maut. Wajahnya pun membesi.
Rambutnya yang berwarna putih keperakan membuat
wajahnya terlihat kian menyeramkan.
"Kau... akan kuhancurkan seluruh tulang-tulang
tubuhmu...!"
Terdengar bergetar dan tersendat-sendat ucapan yang
keluar dari mulut Dewa Arak. Hal ini karena perasaan
amarah yang bergelora. Sekujur tubuhnya tampak menggigil
hebat.
Palguna terperanjat melihat keadaan Dewa Arak.
Tanpa dapat ditahan lagi, sekujur bulu-bulu di tubuhnya
berdiri semua karena perasaan ngeri yang mencekam. Dia
memang sengaja membakar hati pemuda berambut putih
keperakan itu, namun tidak disangka kalau akibatnya akan
seperti ini.
Tapi Palguna bukan seorang bocah yang mudah
untuk ditakut-takuti. Pemuda berpakaian mewah ini segera
menekan perasaan ngerinya, dan bersiap-siap menghadapi
Dewa Arak.
"Haaat...!"
Sambil berteriak menggelegar sehingga membuat
seluruh lembah bergetar hebat, Arya Buana melompat
menenang Palguna. Dalam kemarahan amat sangat, Dewa
Arak sampai tidak sempat menyambar gucinya. Langsung
dilancarkan serangan lewat ilmu' Sepasang Tangan Penakluk
Naga'.
Dengan kecepatan yang sukar diikuti mata, tangan
kanan Dewa Arak yang jari-jarinya membentuk cakar,
menyambar ke arah pelipis.
Hati Palguna tercekat menyaksikan kecepatan
gerakan Dewa Arak. Apalagi ada sambaran angin berhawa
panas luar biasa, sebelum serangan itu sendiri tiba. Dalam
jarak setengah tombak saja, angin serangan itu sudah terasa
menyengat kulit. Panas bukan kepalang!
Palguna tidak berani mencari penyakit. Buru-buru
senjata andalannya dikeluarkan. Sebuah ruyung berbatang
tiga. Dan secepat senjata itu dikeluarkan, secepat itu pula
disabetkan ke arah tangan Dewa Arak.
Takkk...!
Bagaikan dua batang logam keras berbenturan,
terdengar bunyi beradunya tangan Arya Buana dengan
ruyung Palguna.
"Ahhh...!"
Palguna menjerit keras ketika sekujur tangannya
terasa tergetar hebat hampir lumpuh! Sehingga, ruyungnya
hampir-hampir terlepas dari pegangan. Hawa panas merayap
dari ujung ruyung ke telapak tangannya.
Meskipun demikian pemuda berpakaian mewah tidak
menjadi gentar karenanya. Sambil menggertakkan gigi,
ruyung di tangannya di ayunkan ke arah kepala Dewa Arak.
Arya Buana tidak berani bertindak main-main. Dia
tahu, sambaran ruyung itu mampu menghancurkan batu
yang paling keras sekalipun. Maka buru-buru direndahkan
tubuhnya, sehingga serangan Palguna menyambar di atas
kepalanya.
Tidak hanya itu saja yang dilakukan Arya Buana. Kaki
kanannya meluncur ke arah lutut kanan Palguna. Tapi
dengan manis pemuda berpakaian mewah itu
mengelakkannya. Lalu melancarkan serangan balasan.
Sesaat kemudian, kedua belah pihak sudah terlibat
dalam pertarungan sengit.
***
Arya Buana yang tengah dilanda kemarahan hebat,
tidak memberi kesempatan sedikit pun pada Palguna.
Pemuda berambut putih keperakan itu telah benar-benar
lupa segala-galanya. Yang ada di benaknya hanya satu.
Membunuh Palguna!
Dewa Arak sama sekali tidak menyadari kalau terjadi
sebuah keanehan. Ilmu 'Sepasang Tangan Penakluk Naga',
dan ilmu 'Delapan Cara Menaklukkan Harimau' ternyata
mampu digabungkan dengan pemakaian 'Tenaga Sakti Inti
Matahari'! Padahal selama ini, hanya ilmu 'Belalang Sakti'
saja yang bisa digabungkan dengan 'Tenaga Sakti Inti
Matahari'! Itu pun hanya terkadang saja. Karena, 'Tenaga
Sakti Inti Matahari' mempunyai ilmu sendiri yang terdapat
dalam jurus 'Membakar Matahari'! Rupanya, kemarahan
hebatlah yang membuat kedua ilmu itu bisa disatukan!
Yang menjadi tersiksa adalah Palguna. Dia terpon-
tang-panting ke sana kemari untuk menyelamatkan selembar
nyawanya. Dalam beberapa jurus saja, dia telah terdesak
hebat. Dewa Arak dalam kemarahannya, benar-benar mampu
menggilas habis semua pertahanan Palguna.
Kalau dibandingkan, tingkat kepandaian Palguna
memang masih di bawah Dewa Arak. Pemuda berpakaian
mewah itu kalah dalam segala-galanya. Apalagi, Arya Buana
dalam kemarahannya tidak bersikap setengah-setengah lagi.
Tak aneh kalau dalam beberapa gebrakan saja, Palguna
terdesak hebat
Sekujur tubuh pemuda berpakaian mewah itu telah
basah oleh peluh yang keluar akibat hawa panas yang keluar
dari setiap serangan Dewa Arak. Wajah Palguna telah merah
padam, karena hawa panas yang menyengat
Sudah dapat diperkirakan kalau tidak sampai lima
belas jurus, Palguna akan tewas di tangan Dewa Arak.
"Sungguh tidak bijaksana sekali. Mengandalkan
kepandaian hanya untuk bertindak sewenang-wenang...."
Seiring lenyapnya gema ucapan itu, melesat sesosok
bayangan putih ke arah kancah pertarungan. Langsung
dipapaknya serangan Dewa Arak yang mengancam ke arah
Palguna. Angin dingin meresap ke tulang sumsum ketika
tangan sosok bayangan itu bergerak memapak tangan Arya
Buana.
Cesss...! Cesss...!
Terdengar suara seperti besi panas dicelupkan dalam
air dingin ketika kedua tangan Dewa Arak berbenturan
dengan tangan sosok bayangan putih.
Baik Dewa Arak maupun sosok bayangan putih itu
sama-sama terhuyung dua langkah ke belakang. Dari sini
saja sudah bisa diketahui kalau tenaga dalam kedua orang
itu berimbang.
Arya Buana menghentikan gerakannya. Dia tidak
ingin bertindak sembrono dengan langsung menyerang lagi.
Dari benturan tadi, sudah bisa diketahui kalau sosok
bayangan putih itu memiliki tenaga dalam tinggi yang
mengandung hawa dingin. Jadi, berlawanan dengan tenaga
dalam yang dimilikinya.
Di hadapan Dewa Arak, tampak seorang kakek
berkepala botak mengenakan pakaian putih longgar.
Kumis, jenggot, dan cambangnya telah memutih se-
mua.
"Guru...!" sebut Palguna seraya memberi hormat
"Ada apa ini, Palguna?" tanya kakek berpakaian putih
yang ternyata adalah guru pemuda berpakaian mewah itu.
"Dia adalah orang yang telah membunuh kakak
kandungku, Guru," jelas Palguna
"Hm...! Jadi, dia Dewa Arak...?" tanya kakek berkumis
putih itu.
"Benar, Guru."
Kakek berpakaian putih itu mengalihkan tatapan
pada Arya Buana yang sejak tadi juga tengah memper-
hatikannya.
"Tidak kusangka kau akan sekejam itu, Anak Muda,"
kata kakek berjenggot putih itu sambil menggelengkan
kepala. "Dulu, sewaktu kau membunuh kakak kandungnya,
aku tidak ingin ikut campur. Karena, aku tahu kalau Gerda
memang bukan orang baik-baik. Tapi sekarang di depan
mataku, kau hendak membunuh adiknya pula. Aku, Jasuri
guru dari pemuda ini, ingin menjajal kelihaianmu. Mari,
Dewa Arak. Kita bermain-main sebentar. Ingin kulihat,
sampai di mana kelihaianmu sehingga sampai bertindak
sesombong itu!"
"Muridnya setan. Gurunya pun pasti iblis!" desis Arya
Buana dengan suara bergetar.
Kemarahan yang masih bergelora di dalam dada
karena kegagalannya membunuh Palguna, kini dilampiaskan
pada Jasuri.
Setelah berkata demikian, Dewa Arak lalu menjumput
guci arak, dan menuangkan ke dalam mulutnya.
TUJUH
Gluk... Gluk... Gluk...!
Suara tegukan terdengar ketika arak yang dituangkan
melewati kerongkongan Arya Buana. Sesaat kemudian, ada
hawa hangat yang menyebar dalam perut pemuda berambut
putih keperakan itu. Lalu hawa hangat itu perlahan merayap
naik ke atas kepala. Sekejap kemudian, tubuh Dewa Arak
mulai limbung.
"Inikah ilmu 'Belalang Sakti' yang membuat kau jadi
manusia sombong, Dewa Arak...?! Ingin kuketahui,
mampukah ilmu 'Belut Salju' milikku menghadapi ilmumu!"
Setelah berkata demikian, Jasuri meletakkan kedua
tangan di sisi-sisi pinggangnya. Jari-jarinya terbuka lurus,
dan telapak tangan menghadap ke langit. Kemudian,
perlahan-lahan tapi penuh tenaga, tangannya dijulurkan ke
depan, seraya membalikkan telapak tangan jadi menghadap
ke bumi.
Seketika itu pula ada hawa dingin berhembus dari
kedua tangan yang dijulurkan.
"Hihhh...!"
Kakek berpakaian putih itu menarik kembali kedua
tangannya yang terjulur. Berbeda dengan sewaktu
menjulurkan, sewaktu menarik, Jasuri melakukannya secara
cepat dan seketika. Maka secepat kedua tangan itu ditarik,
secepat itu pula dilancarkan serangan ke arah Dewa Arak.
Kedua tangan itu melakukan totokan bertubi-tubi ke arah
dada dan ulu hati.
Cit, cit, cit...!
Suara bercicitan nyaring, diiringi hawa dingin yang
membekukan tubuh mengiringi ribanya serangan totokan-
totokan Jasuri.
Dewa Arak tidak berani main-main. Disadari kalau
lawan yang dihadapi amat tangguh. Dan itu bisa diketahui
dari benturan yang terjadi sebelumnya. Maka buru-buru
kakinya melangkah ke kanan sambil mendoyongkan tubuh.
Sehingga, serangan lawan lewat sejengkal di samping kiri
pinggangnya.
Hawa dingin yang amat sangat berhembus. Untung
saja, Dewa Arak telah mengerahkan ilmu 'Tenaga Sakti Inti
Matahari'. Kalau tidak, mungkin sudah menggigil seluruh
tubuh saking dinginnya udara yang berhembus.
Tidak hanya mengelak saja yang dilakukan Dewa
Arak. Nyatanya, dia langsung melancarkan serangan balasan.
Tangan kirinya meluncur cepat ke arah pelipis.
Tapi Jasuri bukan orang sembarangan. Meskipun
tidak dikenal dalam rimba persilatan, karena tidak pernah
melakukan tindakan yang menggemparkan, kepandaian yang
dimilikinya benar-benar luar biasa.
Menghadapi serangan balasan Dewa Arak, tubuhnya
hanya direndahkan dengan cara menekuk kaki kanan dalam-
dalam. Sedangkan kaki kirinya dijulurkan merapat tanah.
Wuttt...!
Serangan Arya Buana mengenai tempat kosong, lewat
beberapa jengkal di atas kepalanya. Melihat rambut Jasuri
yang berkibar keras, bisa di perkirakan kekuatan yang
terkandung dalam serangan itu.
Pada saat yang bersamaan tangan kiri Jasuri menotok
ke arah ulu hati Dewa Arak. Maka tidak ada jalan lain bagi
Arya Buana kecuali menangkisnya. Dia tidak memilih
mengelak, karena hal itu akan membuatnya terus terdesak.
Dan Dewa Arak tidak ingin hal itu terjadi.
Plakkk...!
Untuk kedua kalinya, terjadi benturan keras antara
kedua tangan tokoh sakti itu. Kembali tubuh kedua tokoh
yang berbeda usia itu terhuyung mundur satu langkah ke
belakang.
Tapi, baik Dewa Arak maupun Jasuri sama sekali
tidak mempedulikan hal itu. Berkat kemampuan yang
dimiliki, bukan merupakan hal yang sulit untuk mematahkan
kekuatan yang mendorong tubuh mereka. Dan, kembali
mereka saling melancarkan serangan berikutnya.
Pertarungan yang berlangsung memang dahsyat
bukan kepalang. Arya Buana dengan ilmu 'Belalang
Sakti'nya, terlihat trengginas sekali. Gerakan dan kembangan
ilmunya sulit diterka lawan, karena memiliki perubahan yang
begitu mendadak dan tiba-tiba. Dari lemas dan meliuk-liuk
seperti orang akan jatuh, menjadi keras dan kasar.
Kemudian, kembali lemas dan meliuk-liuk. Begitu
seterusnya.
Tapi bukan hanya ilmu Dewa Arak saja yang bersifat
demikian. Jasuri pun memiliki ilmu yang memiliki sifat
serupa. Dengan ilmu 'Belut Salju'nya, gerakannya pun
meliuk-liuk. Lalu secara tak terduga-duga, meluncur cepat ke
arah sasaran. Gerakannya mengingatkan orang pada ular!
Semua itu masih ditambah lagi dengan keistimewaan
ilmu masing-masing. Arya Buana dengan ilmu 'Belalang
Sakti'nya mengeluarkan hawa panas menyengat saat tangan
atau kakinya bergerak. Sedangkan ilmu 'Belut Salju' milik
Jasuri mengeluarkan hawa dingin yang membekukan tubuh.
Akibatnya bisa diduga. Dalam jarak tak kurang
sepuluh tombak dari arena pertarungan, berhembus angin
panas menyengat dan hawa dingin yang membekukan kulit
silih berganti.
Berkali-kali terdengar suara seperti ada besi panas
yang direndam dalam air dingin, setiap kali terjadi benturan
antara tangan-tangan Dewa Arak dengan Jasuri.
Palguna yang telah bisa memperkirakan kedahsyatan
pertarungan yang terjadi, sudah sejak tadi menjauh dari
arena pertarungan. Diperhatikannya pertarungan itu dalam
jarak dua belas tombak dari arena.
Pertarungan antara Dewa Arak dan Jasuri memang
menggiriskan hati. Daun-daun pohon yang terlanda angin
pukulan Arya Buana kontan layu. Sementara daun-daun
pohon yang terkena hawa serangan Jasuri, kontan
berembun.
Bukan hanya itu saja. Keadaan kancah pertarungan
sudah tidak karuan lagi. Seolah-olah, tempat itu telah
dibajak oleh belasan ekor kerbau. Tanah terbongkar, dan
pohon-pohon bertumbangan. Itu pun masih ditambah debu
yang mengepul tinggi. Belum lagi suara mencicit dan
menderu yang mengiringi setiap serangan Arya Buana atau
Jasuri.
Seratus jurus telah berlalu. Tapi sampai selama itu,
tak nampak tanda-tanda yang akan keluar sebagai
pemenang. Pertarungan masih berlangsung imbang. Karena
baik dalam hal tenaga dalam ataupun ilmu meringankan
tubuh, keduanya berada dalam satu tingkat.
Meskipun tidak terdesak oleh lawannya, tapi Jasuri
tahu kalau lama-kelamaan akan dirobohkan Dewa Arak.
Usianya sudah tua, sedangkan Arya Buana masih sangat
mudah. Lambat laun, jelas dia akan kalah oleh kodrat alam.
Maka akan lebih dulu lelah ketimbang Dewa Arak.
Jika hal itu terjadi, Dewa Arak tidak akan terlalu sulit
menggilasnya. Dan Jasuri tidak ingin hal itu terjadi.
Keselamatannya memang tidak terlalu dipikirkan. Tapi,
keselamatan Palguna-lah yang menjadi beban.
Maka kakek berpakaian putih itu bertekad untuk
mengadu nyawa. Disadarinya kalau Dewa Arak tidak akan
mungkin bisa dikalahkan. Pemuda berambut putih
keperakan itu memang memiliki kepandaian luar biasa!
Setelah mendapat keputusan itu, serangan-serangan
Jasuri pun semakin dahsyat. Sekarang serangan-
serangannya selalu memojokkan Dewa Arak. Memang, kakek
berpakaian putih itu berniat mengadu nyawa!
Dewa Arak terkejut bukan kepalang begitu merasakan
perubahan mendadak dalam serangan-serangan lawan.
Sebagai seorang tokoh tingkat tinggi, Arya Buana tentu saja
menyadari maksud tersembunyi lawan dengan perubahan
serangannya. Dan dia tidak ingin meladeninya.
Oleh karena itu, Dewa Arak selalu menghindar setiap
kali lawan melakukan serangan yang bersifat memojokkan
dengan maksud mengadu nyawa.
Tapi berapa lawan Dewa Arak dapat bersikap seperti
itu, dengan bermain kucing-kucingan? Padahal orang yang
menyerangnya adalah tokoh yang berkepandaian setaraf
dengannya dalam segala hal!
"Haaat..!"
Diiringi suara melengking nyaring, Jasuri melompat
menerjang Dewa Arak. Kedua tangannya yang membentuk
jari-jari terbuka lurus menghentak cepat ke arah dada Dewa
Arak.
Wajah Arya Buana berubah seketika. Hal yang di-
khawatirkannya ternyata terjadi juga. Apalagi, dia tidak
memiliki kesempatan mengelak. Memang, Jasuri telah
memojokkannya dalam keadaan sedemikian rupa. Dewa Arak
tidak punya pilihan lain lagi, kecuali menyambut serangan
lawan dengan gerakan serupa.
"Hiyaaat..!"
Dengan teriakan tak kalah keras, Dewa Arak me-
lompat menyambuti. Kedua tangannya lurus ke depan
membentuk jari-jari terkembang. Ada hawa panas
menyambar di sekitar tempat itu, seiring terhentaknya kedua
tangan itu.
Blaggg...!
Baik Dewa Arak maupun Jasuri sama-sama ter-
jengkang ke belakang dan terguling di tanah. Lalu....
"Huakh...!"
Dari mulut Dewa Arak dan Jasuri keluar darah
kental. Kedua tokoh mi sama-sama teriuka dalam, karena
terkena serangan satu sama lain. Arya Buana menggigil
kedinginan, sementara Jasuri menggeliat-geliat kepanasan.
Jasuri yang sudah bertekad mengajak Dewa Arak mati
bersama, segera berusaha bangkit. Tapi ternyata tidak
mampu, dan terguling di tanah. Jelas, kalau luka yang
dideritanya parah bukan main.
Berbeda dengan Jasuri, Dewa Arak langsung ber-
usaha untuk bersila, kemudian bersemadi. Disadari kalau
luka dalam yang dideritanya amat parah. Maka, dia akan
mengobatinya dengan penyaluran hawa murni.
Jasuri pun akhirnya menyadari hal itu pula. Beta-
papun kuat keinginannya untuk membalas dendam, tapi
kalau keadaan tidak memungkinkan bagaimana bisa
melakukannya? Maka, kakek berpakaian putih lalu
bersemadi!
Memang akibat benturan tenaga dalam secara
langsung itu hebat sekali! Baik Dewa Arak maupun Jasuri
sama-sama menderita luka dalam karena kuatnya tenaga
dalam satu sama lain.
Palguna terkekeh. Meskipun tidak memiliki tingkat
kepandaian seperti Dewa Arak atau Jasuri, tapi dia pun
mengerti kejadian yang diderita Dewa Arak dan gurunya.
Maka dengan senyum keji menghias mulut, dihampirinya
Dewa Arak yang tengah bersemadi untuk memulihkan luka
dalamnya.
"Ha ha ha...! Kini saat kematianmu telah tiba, Dewa
Arak...!" kata pemuda berpakaian mewah itu sambil tertawa
bergelak.
Dewa Arak sama sekali tidak merasa terkejut, karena
sudah menduga kalau Palguna akan bertindak licik. Kalau
menuruti perasaan hati, ingin rasanya tubuh pemuda yang
licik itu diterjangnya. Tapi apa dayanya? Dia tengah
menderita luka dalam! Jangankan menyerang, untuk bangkit
berdiri pun sulit! Maka yang dapat dilakukannya hanyalah
memandang semua yang akan dilakukan Palguna dengan
sepasang mata terbelalak.
Berlainan dengan Dewa Arak yang tidak merasa kaget
dengan apa yang akan dilakukan Palguna, Jasuri justru
kaget bukan kepalang.
"Palguna! Apa yang akan kau lakukan?!" tanya kakek
berpakaian putih itu setengah membentak. Terpaksa
semadinya ditunda.
"Membalas dendam pada orang yang telah membunuh
kakak kandungku. Guru," kalem saja jawaban Palguna.
"Mumpung dia tidak berdaya."
"Tidak malukah kau, Palguna? Membunuh lawan yang
tidak berdaya? Kelakuanmu seperti seorang, pengecut?!"
tegas Jasuri dengan suara semakin tinggi, dan sepasang
mata semakin membelalak.
Palguna hanya tersenyum saja. Sama sekali tidak
disambuti ucapan keheranan gurunya itu.
Dewa Arak yang juga jadi menunda semadinya,
mengernyitkan dahi begitu mendengar ucapan Jasuri. Sekali
lihat saja, dia tahu kalau kakek berpakaian putih itu benar-
benar tidak menyukai tindakan yang akan dilakukan
Palguna! Serentetan perasaan tidak enak melanda hati
pemuda berambut putih keperakan ini. Jangan-jangan
Palguna telah mengadu domba antara dirinya dengan Jasuri
untuk mengeruk keuntungan? Perasaan penasaran ini
membuat Arya Buana berminat mengungkapnya.
"Mengapa musti malu, Ki," kata Dewa Arak pelan tapi
terdengar jelas. "Jangankan terhadapku. Pada seorang wanita
saja, dia berlaku licik. Dengan cara curang, dia telah
menawan kekasihku dan menyuruhku datang ke tempat ini.
Kalau aku tidak mau datang, kekasihku akan dibunuh! Tapi
apa yang kudengar dari mulutnya, membuatku jadi marah
besar, Ki. Kekasihku yang ditahan telah diperkosanya...."
"Ahhh...!" Seruan keterkejutan terdengar dari mulut
Jasuri. Wajahnya tampak berubah-ubah. Sebentar pucat,
dan sebentar merah. "Benarkah semua ucapan Dewa Arak
itu, Palguna?"
Palguna hanya tersenyum mengejek tersungging di
bibirnya untuk mengiyakan pertanyaan itu.
"Manusia terkutuk...!" maki Jasuri keras seraya
berusaha bangkit dari duduk bersilanya. Sudah bisa diduga
maksudnya. Dia hendak menyerang Palguna.
Tapi baru juga kedua kakinya berdiri, tubuhnya
langsung terjungkal roboh. Darah segar memancur deras dari
mulutnya. Rupanya, kakek berpakaian putih ini terhitung
orang yang keras hati. Dengan bertelekan pada kedua
tangan, dia berusaha bangkit dari telungkupnya. Beberapa
saat lamanya, kedua tangan itu mengejang dan bergetar.
Kemudian, akhirnya tubuh itu roboh di tanah. Jasuri tidak
mampu untuk bangkit lagi.
"Ki...!" seru Dewa Arak terkejut. Ada nada ke-
khawatiran dalam suaranya.
"Ha ha ha...!"
Palguna tertawa bergelak.
"Palguna! Manusia iblis! Kau boleh membunuhku,
karena aku adalah pembunuh kakakmu. Tapi gurumu itu
harus kau tolong kalau tidak akan tewas!" teriak Dewa Arak.
"Apa peduliku dengan nasib tua bangka itu?!" sergah
Palguna keras. "Dia pun sama sekali tidak pernah peduli
pada sakit hatiku karena kematian kakakku di tanganmu,
Dewa Arak! Di waktu aku menyatakan hasrat untuk
membalas dendam padamu, dia malah melarangku. Katanya,
kakakku memang bersalah! Huhhh! Guru macam apa itu?!
Jangankan untuk membantu, merestui kepergianku saja
tidak! Dia boleh mampus bersama-sama denganmu!"
"Benarkah semua yang kau katakan itu, Den
Palguna?" terdengar sebuah suara serak menyelak
pembicaraan, ketika Palguna menghentikan ucapannya.
Palguna, Dewa Arak, dan Jasuri mengalihkan pan-
dangan ke arah asal suara. Tampak seorang kakek bertubuh
bungkuk, berpakaian lusuh, dan berwajah buruk berdiri tak
jauh dari mereka.
Arya Buana mengernyitkan dahi karena memang tidak
mengenal kakek berwajah buruk itu. Tapi alisnya mengernyit
dalam memperhatikan kakek bungkuk berwajah buruk.
Dirasakan dia pernah melihatnya di sebuah kedai yang akan
menuju Lembah Malaikat ini. Sebaliknya Palguna dan Jasuri
rupanya mengenalnya. Terbukti, kakek bertubuh bungkuk
itu mengenal Palguna.
"Hm..., Ki Pancar...! Apa maksud ucapanmu, Ki?"
tanya Palguna dengan sikap waspada. Karena, Ki Pancar
adalah salah seorang dari dua pelayan tempat tinggal Jasuri.
"He he he...! Tenang, Den. Aku berada di pihakmu.
Percayalah. Kau boleh puaskan hatimu pada Dewa Arak. Dan
aku akan mengurus Jasuri. Hampir sepuluh tahun aku
menanti kesempatan untuk membalas sakit hati ini. Seperti
juga kau, muridku pun mati terbunuh. Tapi bukan oleh Dewa
Arak, melainkan oleh Jasuri"
"Siapa muridmu itu, Ki?" tanya Palguna denga
perasaan curiga yang masih bergelora.
Pemuda berpakaian mewah itu tidak begitu bodoh
dengan langsung percaya begitu saja pada semua keterangan
yang diberikan kakek bertubuh bungkuk itu.
"Kepala rampok yang akan menghancurkan Desa
Jambul."
DELAPAN
"Apa?!" sepasang mata Palguna terbelalak lebar
karena rasa tidak percaya yang begitu besar.
"Sudah lama aku menantikan saat-saat seperti ini,
Den," kata Ki Pancar. "Dan apabila mencoba menghalangiku,
kau pun akan menerima akibat yang sama. Menyingkirlah,
Den. Kau urus saja Dewa Arak. Biar aku yang mengurus
Jasuri."
Palguna melihat adanya kesungguhan dalam ucapan
dan sikap Ki Pancar. Maka, dia pun bergerak menyingkir
memberi jalan pada kakek bertubuh bungkuk itu untuk
mendekati Jasuri. Walaupun begitu, pemuda berpakaian
mewah itu bukan orahg bodoh.
Dia tidak langsung percaya, walau telah melihat
semua kesungguhan itu. Sepasang matanya memperhatikan
semua gerak-gerik kakek berwajah buruk itu.
"Jasuri! Sekarang tiba saatnya bagiku untuk mem-
balas dendam atas kematian muridku...!"
Tapi sebelum kakek bertubuh bungkuk itu sempat
berbuat sesuatu, melesat sesosok bayangan abu-abu ke
arahnya. Langsung dilancarkannya serangan bertubi-tubi ke
arah leher kakek itu.
Ki Pancar terperanjat melihat hal ini. Terpaksa
urusannya dengan Jasuri ditunda. Buru-buru tubuhnya
dilempar ke belakang dan bergulingan menjauh.
Ternyata bukan hanya kakek bertubuh bungkuk itu
saja yang melempar tubuh ke belakang dan bergulingan di
tanah. Palguna pun demikian pula. Rupanya, seperti juga Ki
Pancar, pemuda berpakaian mewah itu juga mendapat
serangan mendadak. Hanya saja bukan sosok bayangan abu-
abu, melainkan sosok bayangan putih!
Begitu Ki Pancar dan Palguna bangkit berdiri, di
hadapan kedua calon korban mereka telah berdiri sosok
penyerang itu. Baik Palguna maupun Ki Pancar rupanya
mengenal penyerang masing-masing.
Berdiri membelakangi Dewa Arak, tampak seorang
gadis cantik jelita berpakaian putih dan berambut panjang.
Siapa lagi kalau bukan Melati?
Sedangkan yang berdiri membelakangi Jasuri adalah
seorang perempuan tua bertubuh sedang. Dia mengenakan
pakaian abu-abu. Kulit wajahnya belum berkeriput,
meskipun semua rambutnya yang panjang telah memutih.
Palguna menatap wajah Melati dan nenek berpakaian
abu-abu silih berganti. Raut keterkejutan tampak di
wajahnya yang tampan, karena melihat kedatangan Melati
yang bisa berbarengan dengan nenek berwajah segar itu.
"Kau..?! Bagaimana bisa lolos?" tanya Palguna. Sorot
rata pemuda itu memancarkan kebingungan melihat Melati
bisa berdiri di situ. Bukankah gadis berpakaian putih itu
telah ditotoknya, setelah disembunyikan di salah satu gua di
Lembah Malaikat?
"Aku yang menyelamatkannya, Den," nenek ber-
pakaian abu-abu yang menyahuti.
"Jadi,kau rupanya Nyi Pari?! Berani benar menentang
tindakanku?! Kau tidak ingat siapa dirimu? Kau hanya
pelayan! Dan aku adalah tuanmu!" tandas pemuda
berpakaian mewah penuh rasa geram.
"Tapi sekarang kau bukan lagi tuanku, Palguna!"
tandas nenek berwajah segar yang ternyata bernama Nyi Pari.
"Kau menjadi tuanku, karena kau sebagai murid Ki Jasuri.
Dialah tuanku yang sebenarnya. Sekarang karena kau
hendak membunuh tuanku, aku terpaksa menentangmu?!"
Palguna menarik napas dalam-dalam dan
menghembuskannya kuat-kuat. Perasaan gelisahlah yang
menyebabkannya bersikap demikian. Dia tahu keadaan kini
telah berbalik. Semula menguntungkan pihaknya, tapi kini
tak lagi. Melati adalah seorang lawan yang tangguh. Belum
lagi Nyi Pari! Mampukah Ki Pancar menandingi nenek yang
telah mewarisi hampir seluruh kepandaian Jasuri?
Sementara, Ki Pancar baru datang belum sepuluh tahun.
Belajar ilmu silat dari Jasuri pun belum sampai lima tahun.
Itu pun tak penuh.
"Bagaimana kau bisa menemukan tempat persem-
bunyian gadis itu, Nyi Pari?" tanya Palguna setelah
kebingungan beberapa saat lamanya.
"Hi hi hi…!
Nyi Pari tertawa terkikih. Sama sekali tidak buru-buru
disahutinya pertanyaan pemuda berpakaian mewah itu. Dia
terus saja tertawa geli sambil menutup mulut.
"Ternyata aku lebih cerdik darimu, Palguna. Kau tahu,
akulah orang yang telah membuatmu tidak bisa tidur
semalaman di dalam bangunan tempat kau menyimpan
kereta kuda," jelas nenek berpakaian abu-abu itu setelah
rasa gelinya hilang.
"Jadi... jadi... kau...?!" terdengar ucapan gagap yang
keluar dari mulut Palguna.
"Aku mengikuti perjalananmu sejak kau keluar dari
Lembah Malaikat, Palguna. Karena khawatir kau akan
membalas dendam pada Dewa Arak. Jadi, tidak perlu heran
kalau aku tahu semua sepak terjangmu di luar sana."
Kini Palguna pun mengerti semuanya, tapi tidak bisa
berpikir lebih lama lagi. Karena, Melati yang rupanya sangat
mendendam padanya, tidak akan tahan lagi menahan
kesabaran.
"Hihhh...!"
Gadis berpakaian putih itu melompat menerjang
Palguna. Dan dalam sekali serang saja, tanpa ragu-ragu
sudah dikeluarkan ilmu andalannya. 'Cakar Naga Merah'!
Begitu tubuhnya telah berada di udara, dan dekat
dengan Palguna, mendadak gadis berpakaian putih itu
memutar tubuhnya sambil mengibaskan kaki. Inilah jurus
'Naga Merah Menyabetkan Ekor'.
Wuttt…!
Angin keras menderu tatkala kaki Melati menyambar
cepat ke arah pelipis Palguna. Andaikata mengenai sasaran,
kepala pemuda berpakaian mewah itu pasti akan pecah.
Palguna tentu saja tahu kedahsyatan serangan itu.
Maka tanpa membuang-buang waktu lagi, tubuhnya segera
direndahkan. Sehingga, serangan itu lewat beberapa jengkal
di atas kepalanya. Pada saat yang sama, tangan kirinya
menyodok cepat ke arah perut diiringi suara mencicit
nyaring.
Tapi Melati memang sudah memperhitungkan hal itu.
Maka tangan kanannya yang berbentuk cakar disampokkan
ke bawah.
Prattt...!
Palguna meringis begitu jari-jari tangan Melati yang
berbentuk cakar menghantam punggung tangannya. Kulit
tangannya langsung terkelupas. Bahkan darah segar pun
merembes keluar.
"Hup...!"
Tepat saat Palguna melompat mundur, Melati
mendaratkan kedua kakinya di tanah. Secepat kedua kakinya
hinggap, secepat itu pula dilancarkan serangan susulan ke
arah Palguna. Sesaat kemudian kedua anak muda itu sudah
terlibat dalam pertarungan seru dan menarik.
***
"Menyingkirlah dari situ, Nyi Pari. Sebelum perasaan
sabarku hilang dan turun tangan membunuhmu."
Sambil berkata demikian, Ki Pancar melangkah
menghampiri Nyi Pari. Ada sorot ancaman dalam raut wajah
dan suaranya.
"Kaulah yang akan kulenyapkan, Pancar. Sudah sejak
dulu aku merasa curiga padamu. Hanya karena Ki Jasuri
terlalu baik hati, aku tidak mengutarakan kecurigaanku.
Tapi, diam-diam aku selalu memperhatikan semua gerak-
gerikmu. Dan ternyata, kecurigaanku benar."
''Ha ha ha...! Hebat permainan sandiwaraku, bukan?"
sambut Ki Pancar sambil tertawa lebar.
"Hmh...!" Nyi Pari mendengus. "Jangan terlalu yakin,
Pancar. Aku tahu, sosok bayangan hitam yang muncul dan
menyerang Ki Jasuri adalah kau. Itu terjadi setelah beberapa
bulan kedatanganmu. Tidak salah bukan, dugaanku?"
Tawa kakek berwajah buruk lenyap mendengar
ucapan Nyi Pari.
"Tapi, kau pasti tidak tahu, mengapa aku menyerang
dengan cara menyamar dan menyembunyikan wajah!"
"Hi hi hi...! Kau kira aku sebodoh Palguna, Pancar?!"
Nyi Pari tertawa mengejek.
"Aku tahu alasanmu. Apa lagi kalau bukan karena
takut kedokmu terbongkar? Bukankah begitu, Pancar?!"
Kakek berwajah buruk tidak bisa berkata apa-apa
lagi. Semua yang dikatakan nenek berpakaian abu-abu itu
memang benar!
"Aku pun tahu, siapa adanya dirimu. Pancar. Itu
setelah kau mengatakan kalau Turangga, kepala rampok
yang tewas di Desa Jambul adalah muridmu," sambung Nyi
Pari lagi.
Ki Pancar terdiam tak menyambuti. Tapi dari sikapnya
terlihat jelas kalau dia tengah menunggu kelanjutan ucapan
nenek berpakaian abu-abu itu.
"Kau adalah Hantu Bungkuk Tanpa Nyawa!" tandas
nenek berpakaian abu-abu tegas.
Ki Pancar tertawa bergelak.
"Ha ha ha...! Akhirnya kau tahu juga. Pari. Tapi
sayang, sudah terlambat. Tidak ada lagi orang yang akan bisa
menghalangi tindakanku."
Setelah berkata demikian, kakek berwajah buruk itu
kembali melangkah maju. Seketika, hal ini membuat Nyi Pari
terkesiap. Sekujur urat-urat syarafnya menegang penuh
kewaspadaan, bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Memang, setelah yakin kalau Ki Pancar adalah tokoh
yang berjuluk Hantu Bungkuk Tanpa Nyawa, Nyi Pari jadi
bersikap hati-hati. Dia telah mendengar sepak terjang tokoh
ini. Dia adalah tokoh yang amat ditakuti di daerah Utara.
Telah puluhan, bahkan ratusan kali bertarung tanpa
terkalahkan. Tak terhitung sudah banyaknya tokoh
persilatan golongan putih yang tewas di tangannya. Karena
wajahnya yang buruk dan tubuhnya yang bungkuk, dia
dijuluki Hantu Bungkuk. Dan karena tidak pernah ada orang
yang mampu mengalahkannya, dia mendapat julukan Tanpa
Nyawa.
Telah belasan, bahkan mungkin lebih dari dua puluh
tahun, Hantu Bungkuk Tanpa Nyawa bercokol di daerah
Utara tanpa ada seorang pun yang mampu menandinginya.
Dari sini saja sudah bisa diperkirakan kelihaian kakek
berwajah buruk ini. Namun ketika mendengar banyak tokoh
hitam yang di atas tingkatannya mati oleh Ki Jasuri, maka
dia mengatur siasat untuk melenyapkannya. Salah satunya,
menyamar jadi pembantu Ki Jasuri.
"Kuberikan kesempatan bagimu untuk pergi. Pari.
Cepat, sebelum keputusanku berubah!"
"Tidak! Sekali kubilang tidak, selamanya akan tetap
tidak!" tegas nenek berpakaian abu-abu itu.
"Kau mencari penyakit sendiri, Pari!" Setelah berkata
demikian, Hantu Bungkuk Tanpa Nyawa segera menyerang
Nyi Pari dengan sebuah tendangan kaki kanan lurus ke arah
dada.
Wuttt..!
Didahului desiran angin kuat, kaki Ki Pancar me-
luncur deras.
Nyi Pari tidak berani bersikap sembarangan. Buru-
buru dia melompat ke belakang, sehingga kaki Hantu
Bungkuk Tanpa Nyawa tidak mengenai dadanya, masih
berjarak sekitar dua jengkal dari sasaran semula.
Tapi serangan Ki Pancar tidak hanya sampai di situ
saja. Begitu serangan pertamanya berhasil dielakkan, segera
dilancarkan serangan susulan berupa tendangan miring ke
arah leher dengan kaki yang sama. Dan untuk itu, kaki kiri
kakek berwajah buruk itu terpaksa harus bergeser di tanah.
Suara bergesekan keras terdengar ketika alas kaki Hantu
Bungkuk Tanpa Nyawa bergesekan dengan tanah.
Nyi Pari terperanjat melihat serangan yang seperti itu
dapat dilancarkan lawan dalam waktu demikian cepat.
Khawatir kalau mengelak akan ada serangan susulan lain,
ditangkisnya serangan kaki itu dengan kedua tangannya.
Plak...!
"Aih...!"
Nyi Pari memekik tertahan begitu sambungan
pergelangan tangannya terasa seperti terlepas akibat
berbenturan dengan kaki Hantu Bungkuk Tanpa Nyawa.
Sekujur tangannya terasa sakit dan ngilu bukan kepalang.
Tanpa dapat dicegah lagi, tubuhnya terhuyung dua langkah
ke belakang.
Hantu Bungkuk Tanpa Nyawa benar-benar hendak
melenyapkan Nyi Pari. Tanpa memberi kesempatan sedikit
pun, kembali dilancarkannya serangan susulan pada nenek
berpakaian abu-abu itu.
Kini Nyi Pari harus berjuang keras untuk menye-
lamatkan selembar nyawanya dari serangan ganas lawan.
Seluruh ilmu yang diwariskan Ki Jasuri padanya dikerahkan.
Sesaat kemudian, pertarungan sengit terjadi antara kedua
orang itu.
SEMBILAN
Di arena lain, pertarungan yang berlangsung pun tak
kalah serunya. Palguna harus mengerahkan seluruh
kemampuan yang dimiliki untuk menghadapi setiap serbuan
Melati.
Gadis berpakaian putih yang tengah dilanda kema-
rahan hebat itu menguras seluruh kemampuannya untuk
bisa merobohkan Palguna secepat mungkin. Apalagi
mengingat semua yang dilakukan pemuda berpakaian mewah
itu. Maka, ilmu 'Cakar Naga Merah' dikerahkan sampai ke
puncaknya. Serangannya susul-menyusul tak henti-hentinya
seperti gelombang laut
Tapi betapapun pemuda berpakaian mewah itu telah
mengerahkan seluruh kemampuan, tetap saja tidak mampu
membendung gelombang serangan Melati. Putri angkat Raja
Bojong Gading itu memang lebih unggul dalam segala hal.
Baik dalam hal ilmu meringankan tubuh, maupun tenaga
dalam. Tak aneh kalau Palguna terdesak hebat.
Pertarungan baru berlangsung lima puluh jurus, tapi
Palguna sudah terpontang-panting ke sana kemari untuk
menyelamatkan selembar nyawanya. Akhir pertarungan ini
sudah bisa ditebak. Pemuda berpakaian mewah ini akan
roboh di tangan lawan.
Palguna kini sudah tidak berdaya lagi mengadakan
perlawanan. Serangannya hampir tidak pernah dikirimkan,
karena keadaannya memang sudah terjepit sama sekali. Yang
lebih banyak dilakukan adalah mengelak. Menangkis pun
jarang sekali dilakukan, kecuali kalau dalam keadaan yang
sangat memaksanya berbuat demikian.
"Hih...!"
Di jurus keenam puluh satu, Melati mengirimkan
sebuah tendangan lurus ke arah perut Palguna. Buru-buru
pemuda berpakaian mewah itu menjejakkan kaki, lalu
melompat ke atas. Hasilnya, tendangan Melati lewat di bawah
kakinya.
Tapi saat inilah yang memang ditunggu-tunggu Melati.
Begitu tubuh lawan berada di atas, tangan kirinya
diluncurkan ke arah dada Palguna.
Palguna mengernyitkan dahinya kebingungan. Sebuah
pertanyaan besar menggayuti kepalanya. Mengapa gadis
berpakaian putih itu melancarkan serangan. Padahal, jelas-
jelas bagian yang menjadi sasarannya, tidak akan terjangkau
serangan itu.
Akhirnya Palguna mengambil keputusan untuk tidak
menangkis serangan. Hatinya yakin kalau serangan Melati
tidak akan mencapai sasaran. Tambahan lagi, keadaan tubuh
Palguna tengah berada di udara. Dan ini menyulitkan untuk
mengelakkan serangan itu. Dua alasan itulah yang
menyebabkan pemuda berpakaian mewah itu tidak
mengelakkan serangan lawannya.
Dan, inilah kesalahan Palguna! Dia tidak tahu kalau
Melati dengan keistimewaan ilmu 'Cakar Naga Merah'nya
mampu membuat tangannya menjadi satu setengah kali lebih
panjang. Maka....
Bukkk...!
"Akh...!"
Palguna menjerit memilukan ketika tangan Melati
menghantam sasaran secara telak dan keras. Seketika itu
juga, tubuh pemuda berpakaian mewah itu terjungkal ke
atas. Darah segar sekehka menyembur deras dari mulut.
Brukkk...!
Setelah terlempar setinggi empat tombak dari
permukaan tanah, tubuh pemuda berpakaian mewah itu
jatuh di tanah menimbulkan suara keras. Hanya sesaat saja,
tubuhnya berkelojotan, kemudian diam tak bergerak lagi
ketika nyawanya telah pergi meninggalkan raga.
Melati menatap mayat Palguna dengan sinar mata
puas. Sementara, Jasuri menatapnya dengan berbagai
macam perasaan yang bercampur aduk. Ada rasa lega, sedih,
dan terpukul. Karena betapapun jahatnya, Palguna adalah
muridnya dan sudah belasan tahun bersamanya. Pemuda
berpakaian mewah itu sudah dianggap sebagai anaknya
sendiri. Wajar jika kematian Palguna menimbulkan kesedihan
mendalam di hari kakek berpakaian putih itu.
"Kang Arya...!" seru Melati keras sambil berlari
menghampiri Arya Buana.
"Hih...!" Melati mengirimkan sebuah tendangan lurus
ke arah perut Palguna.
Pemuda berpakaian mewah itu segera menjejakkan
kakinya sambil melompat ke atas, sehingga tendangan Melati
lewat di bawah kakinya. Tetapi, saat inilah yang memang
ditunggu-tunggu Melati!
Dewa Arak tersenyum lebar, walaupun ada rasa sakit
yang mendera hatinya. Benarkah gadis yang dicintainya itu
telah dinodai Palguna? Di samping rasa sakit itu, ada pula
rasa kasihan yang amat sangat. Rasa kasihan pada Melati!
Itulah sebabnya, Arya Buana berusaha untuk tetap
tersenyum.
"Syukur kau selamat dari tangan pemuda terkutuk
itu, Melati," kata Arya Buana.
Leher Dewa Arak terasa dicekik ketika Melati telah
duduk pula di hadapannya. Sepasang mata pemuda
berambut putih keperakan itu menatap wajah putri angkat
Raja Bojong Gading dengan berbagai macam perasaan yang
berkecamuk dalam hati.
"Nyi Pari yang menyelamatkanku. Kang. Kalau tidak
ada wanita yang baik hati itu, mungkin aku sudah jadi
korban nafsu setan si keparat Palguna!"
"Jadi... jadi... dia belum memperkosamu...?" Dengan
susah payah, kata-kata itu berhasil keluar dari mulut Dewa
Arak. Melati tersenyum.
"Untung saja, Nyi Pari selalu datang tepat pada
waktunya. Di saat, pemuda keparat itu mulai menampakkan
tanda-tanda akan bersikap kurang ajar, Nyi Pari datang dan
menyerangnya."
Rupanya, Nyi Pari orangnya yang selalu menye-
lamatkan Melati secara diam-diam. Bahkan dia pula yang
mengirimkan surat peringatan, saat gadis itu tengah
berbaring di dalam sebuah kamar dalam bangunan tua milik
Palguna.
Kemudian, Melati pun menceritakan pertemuannya
dengan Palguna.
"Lalu, aku dibawanya pergi dengan kereta, Kang,"
lanjut Melati setelah sedikit bercerita. "Di tengah perjalanan,
dia yang rupanya masih merasa penasaran, sehingga
mencoba mengulangi perbuatan terkutuknya. Untung Nyi
Pari datang dan menyerang sehingga usahanya gagal."
Melati menghentikan ceritanya sejenak untuk
mengambil napas dalam-dalam Sementara Dewa Arak
mendengarkan cerita kekasihnya penuh perhatian.
"Jadi, Nyi Pari berhasil mengalahkan Palguna?" tanya
pemuda berpakaian ungu itu. Melati menggeleng.
"Atau, Nyi Pari yang dikalahkan?" Dahi Arya Buana
berkernyit
"Tidak juga, Kang. Mereka bertarung hanya beberapa
gebrakan saja. Nyi Pari tidak berani melawan Palguna, karena
termasuk majikannya. Dia hanya menyerang di saat Palguna
hendak berbuat tak senonoh padaku. Beberapa gebrak
menyerang, kemudian kabur," jelas Melati.
Arya Buana mengangguk-anggukkan kepala. Entah
karena mengerti, atau karena alasan lain. Hanya dia sendiri
yang tahu.
"Hm.... Jadi, Nyi Pari mengikuti perjalanan Palguna
yang membawamu?" tanya Arya Buana mulai mengerti.
"Ya. Baru ketika Palguna pergi, Nyi Pari membe-
baskanku. Lalu kami datang kemari," tutur Melati menutup
ceritanya.
"Hm... tidak bisa kubayangkan kalau seandainya Nyi
Pari tidak ada, Melati," kata Dewa Arak lirih. Ditatapnya
wajah gadis berpakaian putih itu penuh kasih sayang.
"Jangan berkata begitu, Kang," selak Melati. "Aku
ngeri mendengarnya. "
"Hhh...!"
Arya Buana menarik napas dalam-dalam dan
menghembuskannya kuat-kuat. Sepasang matanya
dilayangkan ke depan.
Sementara itu di arena pertarungan, Hantu Bungkuk
Tanpa Nyawa terlalu sakti untuk bisa ditandingi Nyi Pari.
Setelah pertarungan berlangsung empat puluh lima jurus,
nenek berpakaian abu-abu itu sudah terdesak hebat.
Yang dapat dilakukan Nyi Pari hanya mengelak saja.
Berbeda dengan di awal-awal pertarungan. Dia selalu
menyerang Ki Pancar. Semakin lama mereka bertarung,
semakin jarang serangan yang dilancarkan nenek berpakaian
abu-abu itu. Sampai akhirnya, Nyi Pari tidak bisa
melancarkan serangan lagi, karena sibuk menyelamatkan
diri. Dia hanya mengelak dan menangkis serangan yang
datang bertubi-tubi bagaikan hujan.
Padahal, Nyi Pari telah mengeluarkan senjata
andalannya berupa sebuah kipas baja yang berujung
runcing. Senjata itu bisa digunakan untuk mengebut, di
samping itu juga sebagai pedang karena ujungnya runcing.
"Hih...!"
Tukkk...!
"Akh...!"
Nyi Pari terpekik pelan ketika ujung kaki Hantu
Bungkuk Tanpa Nyawa menghantam sikunya. Seketika itu
pula sekujur tangannya lumpuh, dan kipas baja itu pun
terjatuh pula dari cekalan.
Nenek berpakaian abu-abu itu terperanjat. Pada saat
itu, tangan Hantu Bungkuk Tanpa Nyawa kembali meluncur
ke arah dada kanannya.
Nyi Pari terkejut bukan kepalang. Disadari kalau
sampai terkena serangan itu, nyawanya akan melayang ke
alam baka. Maka buru-buru tubuhnya bergerak mengelak,
dengan melangkah dan menggeser tubuh.
Plakkk...!
Nyi Pari memekik kesakitan ketika tangan Ki Pancar
menghantam bahunya. Nenek berpakaian abu-abu ini kalah
cepat. Maka meskipun telah mengelak, tetap saja serangan
lawan mengenai tubuhnya. Untung saja, tidak mengenai
sasaran yang diharapkan. Tapi meskipun begitu, tak urung
tubuh Nyi Pari terhuyung-huyung. Darah segar memercik
keluar dari mulut nenek berpakaian abu-abu itu.
Dewa Arak yang saat itu memperhatikan pertarungan,
langsung tersentak. Di saat itulah, Arya Buana
memberitahukan pada Melati agar membantu Nyi Pari. Maka
gadis berpakaian putih itu langsung menghentakkan kedua
tangannya ke depan jari-jari tangannya terkembang
membentuk cakar. Inilah jurus 'Naga Merah Membuang
Mustika'.
Wusss...!
Serentetan angin pukulan menyambar ke arah Hantu
Bungkuk Tanpa Nyawa yang siap melancarkan serangan
susulan ke arah Nyi Pari.
Kakek berwajah buruk itu terperanjat begitu me-
rasakan angin keras meluncur. Disadari kalau serangannya
diteruskan, maka pukulan jarak jauh itu akan menghantam
tubuhnya, sebelum serangannya sendiri bersarang di tubuh
Nyi Pari.
Terpaksa Ki Pancar membatalkan serangan, dan
langsung melempar tubuhnya ke samping dan bergulingan di
tanah menyelamatkan diri.
Ketika Hantu Bungkuk Tanpa Nyawa ini bergerak
bangkit dari bergulingan, Melati telah berada di depan Nyi
Pari.
"Menyingkirlah, Nyi," ujar gadis berpakaian putih itu
bernada perintah.
Nyi Pari tidak berani membantah. Dia tahu, dirinya
bukan tandingan Hantu Bungkuk Tanpa Nyawa yang lihai
itu. Maka kakinya melangkah, menjauhi pertarungan. Tak
lupa, tubuh majikannya diangkat, dan dibawa ke tempat
aman.
Nenek berwajah segar itu akan mengobati luka dalam
majikannya. Tapi, tentu saja lukanya harus diobati terlebih
dahulu.
Sementara Hantu Bungkuk Tanpa Nyawa tahu, gadis
yang berdiri di hadapannya ini tidak bisa disamakan dengan
Nyi Pari. Terbukti, Melati telah berhasil membinasakan
Palguna. Padahal, pemuda berpakaian mewah itu memiliki
tingkat kepandaian tidak di bawah Nyi Pari.
Maka tanpa ragu-ragu lagi, Ki Pancar segera
menyerang Melati. Gadis berpakaian putih yang memang
telah bersiap itu segera menyambutnya. Tak pelak lagi,
pertarungan antara kedua orang tokoh sakti ini pun tidak
bisa dihindari lagi.
Meskipun yakin akan kepandaian Melati, tapi
mengingat kelihaian kakek berwajah buruk itu, Dewa Arak
merasa khawatir juga. Maka begitu melihat Melati mulai
berhadapan dengan Hantu Bungkuk Tanpa Nyawa, dia pun
bergegas kembali bersemadi. Arya Buana buru-buru ingin
menyembuhkan luka dalam yang diderita, agar bisa segera
membantu apabila diperlukan.
Pertarungan antara Melati menghadapi Hantu
Bungkuk Tanpa Nyawa memang berlangsung seru bukan
kepalang. Kepandaian kedua orang itu ternyata berimbang.
Baik Melati maupun Ki Pancar memiliki tenaga dalam dan
ilmu meringankan tubuh yang setingkat.
Tak heran meskipun pertarungan telah berlangsung
lebih dari tujuh puluh jurus lamanya, tidak nampak ada
tanda-tanda yang akan keluar sebagai pemenang.
Pertarungan masih terlihat seru dan seimbang.
"Keparat...!"
Hantu Bungkuk Tanpa Nyawa menggertakkan gigi.
Hatinya merasa geram bukan kepalang melihat ketangguhan
gadis berpakaian putih itu. Perasaan geram yang timbul
akibat dari rasa malu dan terhina, karena gadis berpakaian
putih itu sanggup mengimbanginya.
Mendadak tangan kakek berwajah buruk itu bergerak,
dan....
Srattt...!
Sinar terang berkeredep ketika di tangan Hantu
Bungkuk Tanpa Nyawa telah tergenggam sebilah golok besar
yang matanya bergerigi mirip gergaji. Dan begitu golok itu
terhunus, langsung saja diluncurkan cepat ke arah dada
Melati.
"Hih...!"
Melati menggigit bibirnya kuat-kuat. Dan sekali
menjejakkan kaki, tubuhnya telah terlempar ke belakang.
Sehingga, serangan golok Ki Pancar tidak mengenai sasaran.
Selagi tubuhnya berada di udara, tangan Melati
bergerak ke arah punggung. Dan begitu kedua kakinya
mendarat, di tangan gadis berpakaian putih itu telah
tergenggam pedang.
Wunggg...!
Suara menggerung dahsyat seperti seekor naga murka
terdengar ketika Melati menggerakkan pedangnya.
Kembali kedua belah pihak melanjutkan pertarungan.
Tapi, kali ini masing-masing telah menggenggam senjata.
Dengan sendirinya pertarungan jadi berlangsung lebih seru.
Suara menggerung, mencicit, dan mengaung menyemaraki
pertarungan.
Di jurus-jurus awal sewaktu menggunakan senjata,
pertarungan antara kedua tokoh ini berlangsung seru. Baik
Melati maupun Hantu Bungkuk Tanpa Nyawa, saling serang
dengan hebatnya. Berkali-kali bunga api memercik ke udara
setiap kali pedang dan golok itu berbenturan.
Tapi menginjak jurus ketujuh puluh tiga dalam
permainan senjata. Melati mulai terdesak. Dan hanya karena
kehebatan ilmu 'Pedang Seribu Naga'nya, yang membuat
Hantu Bungkuk Tanpa Nyawa tidak mampu merobohkan
Melati. Memang ilmu 'Pedang Seribu Naga' mempunyai
pertahanan kuat.
Hampir Hantu Bungkuk Tanpa Nyawa putus asa
menyadari kenyataan ini. Dia, datuk yang amat terkenal
tidak mampu mengalahkan seorang gadis belia yang sudah
berhasil didesaknya!
Rasa malu dan penasaran membuat Hantu Bungkuk
Tanpa Nyawa menyerang semakin kalang kabut. Dia
menyerang tanpa mempedulikan pertahanan lagi. Yang ada di
benaknya hanya satu Melati harus bisa di tewaskan!
"Haaat...!"
Sambil berteriak melengking nyaring, kakek berwajah
buruk itu menusukkan goloknya ke arah perut Melati.
"Hih...!"
Dengan sebuah gerakan aneh, Melati menjejakkan
kakinya ke tanah. Mendadak bagian tubuhnya yang mulai
dari pinggang ke bawah, terangkat naik. Kini, dia seperti
tertelungkup di udara, dengan bagian tubuh bawah lebih
tinggi daripada atas. Inilah jurus 'Naga Merah Mengangkat
Ekor'.
Singgg...!
Golok Hantu Bungkuk Tanpa Nyawa menyambar
lewat di bawah dada Melati, hanya berjarak beberapa jari
saja.
Tidak hanya sampai di situ saja yang dilakukan
Melati. Pada saat tubuhnya terangkat, pedang di tangannya
dibabatkan ke arah leher lawan.
Ki Pancar kaget bukan kepalang melihat serangan ini.
Dicobanya untuk mengelak, tapi karena serangan itu
demikian cepat. Tambahan lagi, perasaan kalap yang
melanda membuat kewaspadaannya agak berkurang.
Maka....
Cappp...!
Kepala Hantu Bungkuk Tanpa Nyawa kontan terlepas
dari tubuhnya ketika pedang Melati dengan telak menyambar
sasaran. Darah langsung menyembur deras dari bagian yang
terluka.
Tanpa sempat bersambat lagi, tubuh kakek berwajah
buruk itu roboh ke tanah, dan diam tidak bergerak lagi untuk
selamanya. Mati!
"Hup...!"
Melati mendaratkan kedua kakinya di tanah. Pada
saat yang sama. Dewa Arak pun telah selesai mengobati
lukanya. Begitu pula Nyi Pari dan Ki Jasuri.
Seperti diberi aba-aba ketiga orang itu berjalan
menghampiri Melati.
"Kau hebat, Melati," puji Nyi Pari kagum. Sepasang
matanya menatap takjub wajah gadis berpakaian putih itu.
"Terima kasih atas pujian dan juga atas
pertolonganmu, Nyi," balas Melati.
"Benar, Nyi," sambung Dewa Arak. "Tanpa per-
tolonganmu, entah apa yang akan terjadi pada kekasihku. "
"Lupakanlah," Ki Jasuri yang menyambuti. "Di antara
sesama manusia, memang musti tolong-menolong."
"Kalau begitu, kami pamit dulu, Ki, Nyi," pamit Dewa
Arak buru-buru. "Masih ada urusan yang akan kami
selesaikan."
"Oh! Silakan, Dewa Arak," sambut Ki Jasuri. "Tapi
jangan lupa, singgahlah kemari nanti."
"Akan kuusahakan, Ki," sahut Arya Buana tak berani
memastikan.
Setelah berkata demikian, Arya Buana dan Melati
meninggalkan Lembah Malaikat, diiringi tatapan mata penuh
kagum dari Ki Jasuri dan Nyi Pari. Kini bayangan tubuh
sepasang pendekar itu lenyap di kejauhan.
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar