..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Senin, 03 Februari 2025

PENDEKAR PULAU NERAKA EPISODE PERGOLAKAN DI ISTANA LANGKAT

Pergolakan Di Istana Langkat


 

PERGOLAKAN DI ISTANA LANGKAT 
oleh Teguh Suprianto 
Cetakan pertama 
Penerbit Cintamedia, Jakarta 
Penyunting : Puji S. 
Gambar Sampul : Soeryadi 
Hak cipta pada Penerbit 
Dilarang mengcopy atau memperbanyak 
sebagian atau seluruh isi buku ini 
tanpa izin tertulis dari penerbit 
Teguh Suprianto 
Serial Pendekar Pulau Neraka 
dalam episode 022 : 
Pergolakan di Istana Langkat 
128 hal ; 12 x 18 cm

SATU

Brak! 
“Goblok! Dungu...!” 
Bentakan keras terdengar menggelegar, me-
mecahkan kesunyian malam. Suara itu datang dari 
salah satu ruangan di sebuah rumah besar dan 
megah yang dikelilingi tembok batu tinggi dan kokoh. 
Tampak seorang laki-laki berusia setengah baya 
tengah berkacak pinggang di depan empat orang laki-
laki bertubuh tinggi tegap berotot. Empat laki-laki itu 
duduk bersimpuh di lantai, dengan kepala tertunduk 
dalam. 
Sebuah meja berukir dari kayu jati, terlihat hancur 
di samping kaki laki-laki setengah baya yang tubuh 
dan perutnya buncit seperti genderang. Wajahnya 
memerah, dan sinar matanya berkilatan tajam. Jelas, 
dia sedang dikuasai nafsu amarah yang membara. 
Untuk beberapa saat lamanya, suasana di ruangan 
besar dan megah itu jadi sunyi senyap. Dan kini yang 
terdengar hanya detak jantung dan dengus napas. 
“Dasar gentong nasi! Kerja seperti itu saja tidak 
becus. Goblok...!” kembali laki-laki gemuk itu memaki 
dengan suara tinggi menggelegar. 
“Maafkan kami, Gusti. Kami sudah melaksanakan-
nya dengan baik sekali. Tapi...,” salah seorang yang 
duduk bersimpuh di lantai dan mengenakan baju 
warna merah muda mencoba menjelaskan. Suaranya 
terdengar pelan dan agak bergetar. 
“Tapi apa...?!” bentak laki-laki gemuk berusia 
setengah baya itu.

“Ada orang lain yang ikut campur, Gusti Narata,” 
sahut orang berbaju merah muda itu lagi, seraya 
memberikan sembah dengan merapatkan telapak 
tangannya di depan hidung. 
“Phuih! Alasan....” 
“Kami tidak berdusta, Gusti. Orang itu ber-
kepandaian tinggi sekali.” 
“Benar, Gusti. Bahkan tujuh orang teman kami 
tewas di tangannya,” timpal seorang lagi yang 
mengenakan baju hijau daun. 
“Mengapa kalian tidak sekalian ikut mati saja, 
hah...?!” 
Empat orang itu terdiam dan kepalanya tertunduk 
semakin dalam. Kata-kata yang meluncur dari mulut 
laki-laki yang dipanggil Narata itu memang sangat 
pedas dan menyakitkan. Namun mereka tidak berani 
mengangkat kepalanya. Terlebih lagi untuk membalas 
tatapan mata yang memerah berapi-api itu. 
“Kalian tunggu sebentar di sini,” ujar Narata. 
Saat keempat orang itu memberi sembah dengan 
merapatkan kedua tangan di depan hidung, Narata 
sudah berbalik, lalu melangkah meninggalkan 
ruangan itu. Sedangkan empat orang laki-laki ber-
tubuh tegap dan berotot itu tetap saja duduk ber-
simpuh di lantai tanpa sedikit pun mengangkat 
kepalanya. 
Agak lama juga Narata meninggalkan ruangan itu. 
Dan kini telah kembali lagi sambil membawa 
segulungan surat yang tersimpan dalam selongsong 
bambu yang terikat pita warna biru muda. 
“Ke sini...!” masih terdengar kasar nada suara 
Narata. 
“Hamba, Gusti” 
Salah seorang yang mengenakan baju kuning ber

gegas maju mendekati. Diberikannya sembah dengan 
merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung. 
“Dengar! Kali ini kalian tidak boleh gagal,” tegas 
Narata, dalam sekali nada suaranya. “Berikan surat 
ini langsung kepada Kanjeng Ratu Nyai Langas. Aku 
tidak ingin surat ini jatuh ke tangan orang lain. Jadi 
harus kalian sendiri yang menyampaikannya. 
Mengerti..?!” 
“Mengerti, Gusti,” sahut keempat orang itu 
serempak. 
Orang yang berbaju kuning menerima gulungan 
surat itu dengan penuh hormat sekali, kemudian 
menyelipkan ke balik sabuk pinggangnya. Dia kembali 
mundur ke tempatnya semula tanpa berdiri tegak. 
“Pergilah sekarang juga,” perintah Narata. 
Keempat orang itu memberikan sembah, 
kemudian bergerak mundur. Hampir bersama-sama 
mereka bangkit berdiri, dan bergegas meninggalkan 
ruangan yang besar dan megah ini. Sementara laki-
laki bertubuh gemuk berperut buncit itu meng-
hempaskan tubuhnya di kursi berukir indah yang ber-
warna coklat muda agak kemerahan. 
“Hhh...!” terasa berat sekali hembusan napasnya. 
Pada saat itu datang seorang anak muda bertubuh 
kurus kering. Begitu kurusnya, sehingga seperti sosok 
tengkorak hidup yang terbungkus selembar kulit tipis 
kuning langsat 
''Kemari, Jarong. Duduklah di sini,” ujar Narata 
seraya memberi senyuman pada pemuda kurus 
kering yang wajahnya terlihat begitu pucat. Bahkan 
sorot matanya seperti redup tak bercahaya, bagai tak 
memiliki gairah hidup lagi. 
“Ada yang bisa kulakukan, Paman?” tanya pemuda 
kurus kering yang tadi dipanggil Jarong.

Pemuda kurus itu tetap saja berdiri di depan 
Narata, meskipun laki-laki setengah baya bertubuh 
gembur itu tadi meminta untuk duduk di sampingnya. 
“Sedikit. Dan yang pasti, tidak berat bagimu,” 
sahut Narata. 
“Katakan saja, Paman. Aku pasti akan melakukan 
apa saja demi Paman.” 
Narata semakin tersenyum lebar. Memang, 
sungguh beruntung sekali mempunyai kemenakan 
yang begitu setia dan selalu berada di belakangnya 
dalam keadaan apa pun juga. 
*** 
Malam terus merayap semakin larut. Hampir 
seluruh pelosok Kotaraja Langkat telah diselimuti 
kegelapan dan kesunyian. Hanya di beberapa tempat 
saja masih nampak beberapa orang yang belum 
terbuai di alam mimpi. Malam itu udara terasa begitu 
dingin. Tampak beberapa prajurit masih berjaga-jaga 
di sekitar bangunan istana yang megah dan dikelilingi 
tembok benteng tinggi kokoh. Mereka terkantuk-
kantuk sambil sesekali bergidik mengusir udara 
dingin yang begitu menusuk sampai ke tulang. 
Dalam kegelapan malam ini, tampak empat orang 
laki-laki tengah bergerak cepat dan ringan sekali 
mendekati bangunan benteng istana yang memang 
dijaga ketat. Mereka berhenti tidak jauh dari 
bangunan megah dan indah sebelah Timur. Jelas 
sekali kalau mereka tengah mengamati keadaan 
sekitarnya, dengan pandangan tajam tak berkedip. 
“Tampaknya malam ini penjagaan ketat sekali,” 
bisik salah seorang. 
“Ya, hati-hatilah. Jangan sampai ada seorang pun

yang ketahuan,” sahut seorang lagi. Juga dengan 
suaranya yang pelan dan hampir tidak terdengar. 
“Bagaimana? Kita bergerak sekarang?” 
“Memang sebaiknya begitu.” 
“Benar! Lebih cepat selesai, lebih baik.” 
Empat orang laki-laki yang bertubuh tinggi tegap 
berotot itu segera bergerak cepat dan ringan sekali. 
Sedikit pun tak ada suara yang terdengar. Menanda-
kan kalau mereka rata-rata memiliki tingkat 
kepandaian yang cukup tinggi 
Ringan sekali gerakan mereka saat melompat ke 
atas benteng yang tingginya sekitar dua batang 
tombak itu. Dan begitu kaki mereka menjejak tembok 
benteng, langsung melenting turun ke dalam. Mereka 
terus bergerak cepat begitu sampai di dalam benteng 
Istana. Namun belum juga sempat mendekati 
bangunan istana yang besar dan megah itu, men-
dadak saja.... 
“Berhenti...!” 
Tiba-tiba terdengar bentakan keras menggelegar 
dan mengejutkan. Empat laki-laki bertubuh tinggi dan 
tegap itu seketika tersentak kaget, dan menghentikan 
larinya. Dan selagi rasa keterkejutan mereka belum 
hilang, mendadak saja sebuah bayangan biru ber-
kelebat cepat. Dan tahu-tahu di depan mereka sudah 
berdiri seorang laki-laki bertubuh kurus kering 
mengenakan baju warna biru tua. 
“Mau apa kalian, heh?! Menyelinap seperti 
maling...!” bentak laki-laki kurus kering itu. 
Empat orang laki-laki itu tidak menjawab, dan 
hanya saling berpandangan sejenak. Kemudian 
dengan cepat sekali, mereka berlompatan mencabut 
golok masing-masing. 
Bet!

Wut! 
“Hat..! Uts!” 
Orang bertubuh kurus kering itu terkejut begitu 
mendapat serangan mendadak dan tiba-tiba ini. Dan 
sebelum sempat melakukan sesuatu, sebilah golok 
berkelebat cepat mengarah ke dadanya. Cepat-cepat 
tubuhnya ditarik ke belakang, sehingga tebasan golok 
itu hanya lewat sedikit di depan dadanya yang kurus, 
sehingga tulang-tulang bersembulan terlapis kulit 
Dan belum juga tubuhnya sempat ditarik kembali, 
sebuah golok mengibas dari arah samping ke kepala-
nya. Bergegas laki-laki bertubuh kurus kering itu 
merundukkan kepalanya sedikit. Maka golok itu pun 
kembali lewat di atas kepalanya. Sebelum ada 
serangan lagi yang datang, laki-laki kurus kering itu 
cepat-cepat melentingan tubuhnya ke udara dan 
berputaran beberapa kali. Kemudian, tangannya 
bergerak cepat luar biasa. 
“Hiya! Hiya! Hiyaaa...!” 
Slap! 
Wus…! 
Seketika itu juga dari balik lipatan lengan bajunya 
yang longgar, melesat benda-benda kecil sepanjang 
jengkal dan bersinar keperakan. Benda-benda itu 
meluncur deras, cepat bagai kilat. Dan sebelum 
empat orang itu bisa menyadari apa yang akan 
terjadi, tiba-tiba.... 
Creb! 
“Aaakh...!” 
“Wuaaa...!” 
Dua jeritan melengking tinggi dan menyayat 
terdengar keras memecah kesunyian malam ini. 
Sedangkan dua orang lagi masih bisa melompat 
sambil mengibaskan goloknya beberapa kali, meng

hindari benda-benda berwarna keperakan itu. 
Tampak dua orang sudah tergeletak tak bernyawa 
lagi, tertembus beberapa bilah pisau tipis, sepanjang 
jengkal tangan orang dewasa. Sementara dua orang 
sisanya yang masih bisa selamat, saling ber-
pandangan sejenak. Kemudian salah seorang segera 
melesat menyerang orang bertubuh kurus kering yang 
baru saja mendaratkan kakinya di tanah. 
Sedangkan yang seorang lagi, bergegas melompat 
balik. Dengan satu gerakan ringan, dia melesat 
melompati benteng istana itu. Sementara temannya 
terus memecahkan perhatian orang bertubuh kurus 
kering itu dengan serangan-serangan yang cepat dan 
dahsyat. 
“Hiya...!” 
“Yeaaah...!” 
Tiba-tiba saja satu sama lain melompat ke atas. 
Dan secara bersamaan, saling menghentakkan 
tangan ke depan. Tak pelak lagi, dua tangan saling 
beradu keras di udara. Seketika ledakan menggelegar 
terdengar dahsyat memecah kesunyian malam di 
sekitar bangunan istana itu. 
“Aaakh...!” 
Terlihat satu orang terpental ke belakang sambil 
menjerit panjang melengking tinggi. Sementara 
seorang lagi yang bertubuh kurus kering seperti 
tengkorak hidup, cepat meluruk ke bawah. Dan begitu 
kakinya menjejak tanah, tangannya cepat dikibaskan 
ke arah orang yang jatuh bergulingan di atas tanah 
berumput basah oleh embun. 
Wus! 
Sebuah benda bercahaya keperakan melesat 
cepat bagai kilat dari balik lipatan lengan baju laki-
laki kurus kering itu. Dan tanpa dapat dicegah lagi,

benda itu menghunjam dalam di dada orang yang 
berbaju biru tua dan bersenjata golok 
Crab! 
“Aaa...!” kembali terdengar jeritan panjang 
melengking tinggi. 
Hanya sebentar dia masih mampu bergerak 
menggelepar, kemudian diam tak bergerak-gerak lagi. 
Laki-laki kurus kering itu segera melompat mendekati 
mayat-mayat yang bergelimpangan bersimbah darah. 
Dia seperti mencari sesuatu pada setiap mayat itu. 
“Setan...!” dengusnya keras. 
Pada saat itu, terlihat beberapa orang berseragam 
prajurit berlarian berdatangan. Mereka tampak ter-
kejut saat melihat tiga sosok mayat tergeletak ber-
lumuran darah. Laki-laki kurus kering itu seperti tidak 
menghiraukan kedatangan para prajurit itu. Dicabuti-
nya pisau-pisau yang tertancap di tubuh tiga orang 
yang datang secara menyelinap tadi. Kemudian pisau-
pisau itu dimasukkan ke dalam lipatan lengan baju-
nya. 
“Kalian urus mayat-mayat ini!” perintah laki-laki 
kurus kering itu. 
“Segera, Raden...,” serempak para prajurit itu 
menyahut sambil membungkukkan badan, penuh 
rasa hormat 
Laki-laki kurus kering yang kelihatan masih muda 
itu bergegas melangkah. Namun sebentar kemudian 
ayunan langkahnya terhenti. Kepalanya berpaling, 
memandang tembok benteng, ke arah perginya 
seorang yang berhasil lolos tadi. 
“Hm....” 
Setelah memperdengarkan suara gumaman kecil, 
kakinya kembali terayun meninggalkan bagian Timur 
Istana Langkat ini. Ayunan kakinya begitu ringan,

sehingga tak memperdengarkan suara sedikit pun 
juga. Sementara prajurit yang berjumlah sekitar dua 
puluh orang itu mengangkut tiga mayat yang ter-
geletak dengan darah masih mengucur. 
*** 
Pagi-pagi sekali, Narata sudah memacu cepat 
kudanya melintasi jalan berdebu yang membelah 
Kotaraja Langkat. Belum ada seorang pun yang 
terlihat keluar dari dalam rumahnya, karena matahari 
memang belum menampakkan dirinya. Tanda-tanda 
datangnya pagi sudah nampak dari suara kokok ayam 
jantan dan kicauan burung-burung, yang seakan-akan 
mengajak sang mentari untuk segera bangkit dari 
peraduannya sepanjang malam. 
Laki-laki setengah baya bertubuh gemuk itu ter-
guncang-guncang di atas punggung kuda yang 
berpacu cepat bagai dikejar setan.Tak sedikit pun lari 
kudanya dikendurkan, meski sudah hampir men-
dekati gerbang Istana Langkat yang dijaga enam 
orang prajurit bersenjata pedang dan tombak. 
“Hm.... Tidak seperti biasanya, di sini ditempatkan 
enam penjaga,” gumam Narata dalam hati. “Ada apa 
ya...?” 
Dua orang prajurit penjaga pintu gerbang itu ber-
gegas membuka pintu begitu melihat Narata di atas 
kudanya yang dipacu cepat menuju ke arah istana ini. 
Laki-laki berperut buncit itu terus menerobos masuk 
tanpa mengendurkan kecepatan lari kudanya. Enam 
orang prajurit penjaga segera membungkukkan 
badannya saat Narata melewati pintu gerbang. 
“Hooop...!” 
Narata menarik tali kekang kudanya, sehingga

kuda hitam belang putih itu berhenti tepat di depan 
tangga istana. Dengan gerakan indah dan ringan 
sekali, laki-laki gemuk berperut buncit itu melompat 
turun dari punggung kudanya. Kakinya langsung 
melangkah cepat begitu menjejak undakan pertama 
tangga istana. Dengan langkah lebar, dia meniti anak-
anak tangga yang panjang ini. Seorang laki-laki tua 
berlari-lari kecil menghampiri kuda Narata, kemudian 
membawanya ke samping kanan bangunan istana 
yang megah dan indah ini 
Sementara Narata terus berjalan dengan langkah 
lebar-lebar. Dua orang prajurit di samping pintu, 
segera membungkuk begitu laki-laki berperut buncit 
itu melintasi pintu depan istana yang selalu terbuka 
lebar. Hanya malam hari saja pintu itu tertutup. 
Narata terus berjalan menelusuri ruangan depan yang 
luas dan tertata indah. Langsung dimasukinya bagian 
tengah istana ini. Di sana, beberapa orang seperti 
sudah menunggunya. Tampak seorang wanita ber-
paras cantik mengenakan baju sutra halus yang indah 
berwarna biru muda, tengah duduk di sebuah kursi 
berukir berwarna keemasan. Di sampingnya, berdiri 
enam orang gadis cantik. Sementara, delapan orang 
laki-laki bertubuh kekar berjajar di belakangnya. 
Narata merapatkan kedua tangannya di depan 
hidung begitu berada sekitar satu tombak di depan 
wanita cantik itu. Dia tetap berdiri tegak di situ. 
Padahal, orang-orang yang berada sejak tadi di 
ruangan ini telah duduk bersila di lantai yang 
beralaskan permadani bulu tebal berwarna merah 
menyala. Hanya beberapa orang saja yang duduk di 
kursi kecil terbuat dari ukiran kayu jati hitam. 
“Mendekatlah, Kakang Narata,” lembut sekali 
suara wanita itu.

Narata melangkah maju, kemudian duduk di kursi 
yang berada di kanan agak ke depan dari wanita 
cantik itu. Sikapnya terlihat angkuh, dan dadanya 
sedikit dibusungkan. Sebentar dipandanginya orang-
orang yang berada di dalam ruangan ini. Dan 
pandangannya terpaku sejenak pada seorang 
pemuda bertubuh kurus kering yang mengenakan 
baju biru tua. Pemuda itu duduk di kursi kecil 
bersama para pembesar kerajaan lainnya. 
“Ada apakah gerangan, sehingga Dinda Nyai Ratu 
mengumpulkan seluruh pembesar?” tanya Narata 
ingin tahu. “Terus terang, aku terkejut mendapat 
panggilan mendadak ini.” 
“Ada sesuatu yang penting, dan harus dibicarakan 
segera, Kakang Narata,” sahut wanita cantik yang 
ternyata memang Ratu Nyai Langas, penguasa 
tunggal Kerajaan Langkat ini. 
''Persoalan penting...?” Narata mengerutkan 
keningnya. 
“Benar, Kakang. Semalam empat orang tidak 
dikenal mencoba memasuki istana. Memang belum 
pasti tujuannya. Tapi Jarong, kemenakanmu telah 
mengetahuinya. Tiga orang berhasil dibunuh. Dan 
seorang lagi melarikan diri,” jelas Ratu Nyai Langas, 
singkat 
“Hm...,” Narata hanya bergumam saja. 
“Mereka masuk melewati benteng bagian Timur. 
Tentu kau tahu kalau itu merupakan taman keputren 
pribadiku. Dan tak seorang pun boleh memasukinya, 
kecuali keluarga istana,” lanjut Ratu Nyai Langas. 
“Siapa mereka? Dan apa maksudnya, Dinda 
Ratu?” tanya Narata. 
“Itulah yang aku tidak tahu, Kakang Mas Narata. 
Untuk itulah aku memanggilmu ke sini, agar kau

mengetahui persoalannya. Dan kuharap, kau bisa 
mengetahui siapa dan apa maksud mereka 
menyelinap ke dalam keputren.” 
Narata terdiam sambil mengangguk-anggukkan 
kepala. Dari sudut ekor matanya, dia sempat melirik 
pada pemuda kurus kering yang mengenakan baju 
warna biru tua. Dan pemuda itu hanya memandang, 
namun sinar matanya kosong. Bahkan raut wajahnya 
tanpa ekspresi sama sekali. 
“Apakah Dinda Ratu menginginkan agar aku 
menyelidiki mereka?” tanya Narata. 
“Aku rasa itu memang sudah tugasmu, Kakang 
Mas Narata,” sahut Ratu Nyai Langas. 
“Secepatnya aku akan mengetahui siapa mereka. 
Dinda Ratu,” janji Narata. 
Ratu Nyai Langas tersenyum. 
“Untuk langkah pertama, sebaiknya cari orang 
yang melarikan diri itu, Kakang Mas Narata,” ujar 
Ratu Nyai Langas memberikan saran. 
“Aku yakin Jarong bisa melakukan itu, Dinda Ratu.” 
Ratu Nyai Langas menatap pemuda bertubuh 
kurus kering. Dan pemuda itu hanya memberi 
sembah dengan merapatkan kedua tangannya di 
depan hidung. Kembali Ratu Nyai Langas menatap 
Narata, kemudian pandangannya beredar ke 
sekeliling, merayapi orang-orang yang berada di 
depannya. Mereka semua memberi sembah dengan 
merapatkan tangan di depan hidung. 
“Kuserahkan padamu untuk mengatur segala 
sesuatunya, Kakang Mas. Aku merasakan ada 
seseorang, ataupun sekelompok orang yang meng-
inginkan agar aku terguling dari tahta,” duga Ratu 
Nyai Langas. 
“Kalaupun ada, aku pasti akan cepat mem

berantasnya, Dinda Ratu,” ujar Narata mantap. 
Ratu Nyai Langas kembali tersenyum, dan bangkit 
berdiri. Pada saat itu, semua orang menundukkan 
kepala seraya merapatkan kedua telapak tangan di 
depan hidungnya. Sebentar wanita cantik itu 
mengedarkan pandangannya ke sekeliling, kemudian 
melangkah pelan dan gemulai meninggalkan ruangan 
ini. Enam orang gadis dan delapan orang laki-laki 
pengawal pribadinya, mengikuti dari belakang. 
Tak ada seorang pun yang mengangkat kepalanya, 
sebelum Ratu Nyai Langas menghilang dari ruangan 
besar dan indah ini. Hanya Narata saja yang tidak 
bersikap demikian. Laki-laki buncit itu tetap duduk 
tegak sambil membusungkan dadanya, memandangi 
wanita itu sampai lenyap di balik pintu. 
“Jarong! Kau ikut aku,” kata Narata seraya bangkit 
berdiri. 
Pemuda bertubuh kurus kering yang dipanggil 
Jarong segera bangkit berdiri. Dia langsung berjalan 
begitu Narata mengayunkan kakinya meninggalkan 
ruangan ini. Tak lama kemudian, mereka yang sejak 
tadi duduk bersimpuh di lantai ikut bangkit berdiri, 
lalu meninggalkan ruangan besar itu. 
Hanya ada dua orang saja yang masih tinggal dan 
duduk di kursi kecil. Mereka adalah dua orang laki-
laki berusia sekitar lima puluh dan tujuh puluh tahun. 
Beberapa saat dua orang itu saling melemparkan 
pandangan. Sementara ruangan ini sudah sunyi, tak 
ada seorang pun lagi selain mereka berdua. 
“Hhh.... Seharusnya Kanjeng Ratu tidak mem-
berikan tugas itu pada Gusti Narata,” keluh salah 
seorang yang lebih tua dan mengenakan jubah putih 
panjang. 
“Yaaah..., akan sia-sia saja nantinya,” sambut

seorang lagi yang mengenakan baju ketat warna 
kuning. 
“Apa yang harus kita lakukan sekarang?” 
“Sebaiknya lihat saja dulu perkembangannya.” 
“Hhh...!” 
“Kita awasi terus Gusti Narata secara diam-diam, 
Kakang Jawala.” 
“Ya. Kejadian semalam membuatku semakin 
curiga pada maksudnya yang tersembunyi. Mudah-
mudahan Hyang Widi selalu melindungi Kanjeng Ratu 
Nyai Langas.” 
Kedua laki-laki itu kemudian bangkit berdiri, dan 
meninggalkan ruangan ini tanpa berkata-kata lagi. 
Mereka berjalan perlahan-lahan dengan bibir terkatup 
rapat, namun benaknya terus bekerja keras. Entah 
apa yang dipikirkan, hanya mereka berdua saja yang 
mengetahuinya. 
***

DUA

Siang ini matahari bersinar begitu terik. Langit 
tampak bening. Sedikit pun tak ada awan yang 
menggantung di sana. Sehingga sinar matahari begitu 
leluasa membakar permukaan bumi, membuat daun-
daun seperti merintih dan rerumputan meranggas 
kekurangan air. Di antara siraman teriknya sang 
mentari, tampak seorang laki-laki bertubuh tinggi 
tegap dan mengenakan baju kuning gading berjalan 
tertatih-tatih. 
“Uh! Panas sekali...,” dia mengeluh sambil 
menyeka keringat di wajahnya yang bercampur debu. 
Sebentar langkahnya terhenti, dan kepalanya 
terdongak memandang matahari di atas sana. 
Kemudian kakinya kembali melangkah perlahan-
lahan dan agak terseret. Keringat semakin banyak 
bercucuran. Walaupun kakinya terasakan seperti 
menginjak bara, namun dia terus melangkah menuju 
sebuah hutan yang tidak seberapa jauh lagi. 
Kembali langkahnya terhenti setelah sampai di 
tepi hutan itu. Sambil menghembuskan napas 
panjang, laki-laki yang berusia sekitar tiga puluh 
tahun itu menghempaskan tubuhnya di bawah 
sebatang pohon yang cukup rindang. Angin yang 
berhembus lembut sedikit mengusir kelelahannya. 
Dengan punggung tangan, disekanya keringat yang 
membanjiri wajah dan lehernya. 
Slap! 
“Heh...?!” 
Mendadak saja hatinya terperanjat ketika tiba-tiba

sebatang anak panah melesat cepat ke arahnya. 
Cepat-cepat tubuhnya dibanting ke tanah dan 
bergulingan beberapa kati. Anak panah itu menancap 
dalam di batang pohon. Bergegas laki-laki berbaju 
kuning gading itu melompat bangkit berdiri. 
Namun begitu kakinya menjejak tanah, dari balik 
pepohonan dan gerumbul semak bermunculan orang-
orang bersenjatakan golok terhunus. Mereka 
langsung mengepung rapat, tanpa ada celah sedikit 
pun. Laki-laki berbaju kuning gading itu langsung 
mengedarkan pandangannya berkeliling 
“Hm...,” dia bergumam pelan. 
Ada sepuluh orang bersenjata golok telanjang yang 
telah mengepung rapat. Mereka bergerak perlahan 
memutari laki-laki berbaju kuning gading itu. Golok-
golok yang bergerak-gerak melintang di depan dada, 
berkilatan tertimpa cahaya matahari 
“He he he...!” tiba-tiba terdengar tawa terkekeh. 
Laki-laki berbaju kuning gading itu memutar 
tubuhnya. Entah kapan dan dari mana datangnya, 
tahu-tahu di situ sudah berdiri seorang laki-laki kurus 
kering mengenakan baju agak longgar warna biru tua. 
Dia berdiri di atas sebatang pohon mati yang meng-
geletak roboh di tanah. 
“Jarong...,” laki-laki berbaju kuning gading itu 
mendesis pelan, mengenali pemuda bertubuh kurus 
kering itu. 
Tentu saja dia mengenali, karena sering melihat 
pemuda kurus kering itu. Dia memang Jarong, 
kemenakan laki-laki bertubuh gembur dan berperut 
buncit, kakak sepupu dari Ratu Nyai Langas yang 
bernama Narata. 
“Tidak sukar untuk menemukanmu kembali, 
Bokor,” terdengar kering dan datar sekali suara

Jarang. 
“Mengapa kau menggagalkan tugasku, dan mem-
bunuh teman-temanku?!” agak lantang suara laki-laki 
berbaju kuning gading yang dipanggil Bokor. 
“Kau tidak punya hak untuk bicara, Bokor. Ber-
siaplah menyusul ketiga temanmu,” tetap dingin dan 
datar sekali suara Jarong. 
“Huh!” dengus Bokor. 
Jarong menjentikkah ujung jarinya. Maka seketika 
itu juga, sepuluh orang bersenjata golok yang 
mengepung Bokor segera berlompatan menyerang. 
Melihat hal ini Bokor segera mencabut goloknya yang 
terselip di pinggang. Dan secepat itu pula, tubuhnya 
diputar sambil cepat mengibaskan goloknya. 
Namun sebelum tubuhnya berhenti berputar, 
sebuah golok berkelebat cepat mengarah ke kepala-
nya. Sesaat Bokor terkesiap, namun cepat sekali 
goloknya dikibaskan ke atas kepala. 
Tring! 
Dua senjata golok beradu keras di atas kepala. 
Tampak orang yang menyerang Bokor tersentak 
kaget. Seluruh jari-jari tangannya jadi terasa kaku, 
begitu goloknya beradu dengan golok laki-laki berbaju 
kuning gading itu. Dan sebelum sempat disadari apa 
yang terjadi pada dirinya, Bokor sudah melompat 
cepat sambil mengibaskan goloknya. 
“Hiyaaa...!” 
Bet! 
Cras! 
“Aaa...!” orang itu menjerit keras melengking tinggi. 
Tebasan golok Bokor tepat membelah dadanya. 
Seketika darah muncrat, bersamaan dengan ter-
gulingnya tubuh laki-laki bertubuh sedang itu. Dan 
sebelum yang lain menyadari apa yang telah terjadi

terhadap salah seorang temannya, Bokor sudah ber-
gerak cepat memutar tubuhnya. 
Bet! 
Kembali laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun 
itu mengibaskan goloknya ke arah seorang penyerang 
yang berada dekat dengannya. Serangan Bokor yang 
cepat dan tidak terduga sama sekali tak mungkin 
dapat dihindari lagi. 
Crab! 
“Aaa...!” 
Kembali terdengar jeritan panjang dan menyayat, 
disusul ambruknya seorang lagi dengan leher ter-
penggal hampir buntung. Darah mengucur deras dari 
leher yang menganga lebar itu. Hanya sebentar tubuh 
orang itu mampu menggeliat dan mengerang 
meregang nyawa, kemudian diam tak berkutik lagi. 
Mati. 
“Keparat..!” geram Jarong melihat dua anak 
buahnya tewas begitu cepat 
Sementara Bokor sudah kembali bergerak begitu 
cepat Tapi kali ini orang-orang yang mengepungnya 
tidak lagi terpaku pada kejadian yang begitu cepat 
dan menimbulkan dua nyawa melayang. Mereka 
segera mengambil tindakan untuk mendesak Bokor 
yang mengamuk seperti kesetanan. 
*** 
Bokor yang menyadari kalau sebenarnya orang-
orang yang menyerangnya ini memiliki tingkat 
kepandaian lumayan, tidak tanggung-tanggung meng-
hadapinya lagi. Terlebih lagi di tempat ini juga ada 
Jarong. Meskipun sampai sekarang dia belum juga 
ikut terjun dalam pertarungan ini, tapi Bokor yakin

kalau cepat atau lambat Jarong pasti akan terjun 
juga. Dan ini sebenarnya yang dicemaskannya. 
Bokor sadar betul kalau kemampuan yang 
dimilikinya tidak akan sanggup menandingi pemuda 
bertubuh kurus kering itu. Namun dia tidak ingin mati 
sia-sia. Sedapatnya separuh dari jumlah mereka yang 
mengeroyoknya dengan ganas harus bisa dikurangi 
“Yeaaah...!” 
Sambil berteriak keras menggelegar, Bokor 
mengebutkan goloknya sambil berputar, bertumpu 
pada satu kaki Gerakan yang cepat dan tak terduga 
ini, tak bisa lagi dihindari dua orang yang sudah 
keburu melompat sambil menghunus golok ke depan. 
Bret! 
Cras! 
“Aaakh!” 
“Aaa...!” 
Dua jeritan panjang melengking tinggi terdengar 
saling sambut, disusul ambruknya dua orang yang 
sudah keburu melompat. Darah seketika menyembur 
deras dari tubuh yang terbelah tertebas golok Bokor. 
Belum lagi ada yang sempat menyadari apa yang baru 
saja terjadi, mendadak saja tubuh Bokor melenting ke 
udara. Dia memang bermaksud kabur dari tempat ini. 
“Yeaaah...!” 
Namun sebelum niatnya terlaksana, mendadak 
saja tangan kanan Jarong sudah mengebut ke arah 
laki-laki berbaju kuning gading itu. Dan seketika itu 
pula, dari balik lipatan lengan bajunya melesat dua 
buah pisau yang tipis sepanjang jengkal. Dua pisau 
itu meluruk deras ke arah Bokor yang sedang berada 
di udara. 
“Hap!” 
Cepat sekali Bokor memutar tubuhnya sambil

mengipaskan golok untuk menyampok kedua pisau 
itu sekalligus. 
Tring! 
Kedua pisau itu langsung terpental. Dan seorang 
yang sedikit lengah tak bisa lagi menghindari pisau 
yang berbalik arah itu. Seketika terdengar jeritan 
panjang melengking tinggi ketika satu pisau 
menancap di dada orang itu. Sedangkan pisau 
satunya lagi menancap dalam di tanah. 
''Yeaaah...!” 
Melihat serangan pisaunya gagal, seketika Jarong 
melesat cepat mengejar Bokor yang mulai mendarat 
turun. Sebelum Bokor sempat berlari, Jarong sudah 
cepat melontarkan dua pukulan beruntun ke arahnya. 
“Hup! Uts...!” 
Cepat-cepat Bokor menjatuhkan diri ke tanah dan 
bergulingan beberapa kali. Maka dua pukulan yang 
dilepaskan Jarong tidak mengenai sasaran. Namun 
baru saja Bokor bisa melompat bangkit berdiri, Jarong 
sudah kembali menyerang dengan kecepatan luar 
biasa. 
“Hiyaaa...!” 
Kali ini Bokor hanya bisa bertahan dan meng-
hindar. Tapi sesekali masih juga mampu memberi 
serangan balasan. Namun semua serangan balasan-
nya tidak berarti sama sekali. Karena sebelum 
mencapai sasaran, Jarong sudah membuat serangan 
itu mentah. Dan tanpa dapat dicegah lagi, Bokor 
sudah mendapat serangan kembali. 
Hanya beberapa gebrakan saja, Bokor sudah 
kelihatan terdesak sekali. Dan kini setelah melewati 
tiga jurus, laki-laki berbaju kuning gading itu benar-
benar tidak mampu lagi balas menyerang. Dia hanya 
bisa menghindar dan berkelit semampunya.

Serangan-serangan yang dilancarkan Jarong, begitu 
cepat dan dahsyat sekali. Hingga suatu saat... 
“Jebol dadamu! Yeaaah...!” 
Belum lagi teriakan itu hilang, mendadak saja 
Jarong melontarkan satu tendangan keras meng-
geledek seraya melompat sedikit Bokor terperangah, 
karena baru saja bisa menghindari satu pukulan ke 
arah kepala. Dan tendangan itu memang tak mungkin 
dapat dihindari lagi. 
Namun mendadak saja.... 
Plak! 
“Akh...!” Jarong mendadak terpekik. 
Pemuda kurus kering itu terpental balik ke 
belakang, lalu berputaran beberapa kali sebelum 
sepasang kakinya mendarat di tanah berumput. 
Sungguh tidak diduga kalau tendangannya tadi 
seperti membentur sebuah tembok baja yang begitu 
kuat Akibatnya, tulang pergelangan kakinya serasa 
remuk. 
“Heh...?!” 
Jarong tersentak kaget ketika tahu-tahu di depan 
Bokor sudah berdiri seorang pemuda berbaju kulit 
harimau. Bahkan Bokor pun terlongong keheranan 
menyaksikan pemuda berwajah cukup tampan 
dengan garis-garis kekerasan dan ketegasan 
membayang jelas di wajahnya itu. Tak terlihat senjata 
melekat di tubuhnya, kecuali sebuah cakra di tangan 
kanan. 
Memang, Jarong yakin betul kalau tendangannya 
tadi terhalang oleh pemuda berbaju kulit harimau itu. 
Tapi yang membuatnya heran, sama sekali 
kedatangannya tidak terlihat. Bahkan kelebatan 
bayangannya pun tidak terlihat. Dan ini yang mem-
buat pemuda kurus itu jadi keheranan. Dia yakin

kalau pemuda berbaju kulit harimau itu memiliki 
tingkat kepandaian tinggi. 
“Setan alas...! Siapa kau?! Berani-beraninya men-
campuri urusanku!” bentak Jarong. Suaranya kasar 
dan dingin sekali. 
“Tidak perlu tahu siapa diriku. Yang jelas, aku 
paling tidak suka melihat kecurangan!” jawab 
pemuda berbaju kulit harimau itu, dingin. 
“Sombong...! Kau belum tahu siapa aku, heh...?!” 
desis Jarong geram. 
“Tengkorak hidup yang bisanya main keroyok.” 
“Keparat..! Serang...!” 
Jarong begitu marah, sehingga seketika itu juga 
sisa orang-orangnya diperintahkan untuk menyerang. 
Pada saat itu, dia juga bersiul nyaring. Siulan yang 
disertai pengerahan tenaga dalam tinggi itu menyebar 
ke angkasa, terbawa angin yang bertiup lembut siang 
ini. 
Dan tak berapa lama kemudian, dari dalam hutan 
itu muncul orang-orang berbaju hitam bersenjatakan 
tongkat pendek kembar berwarna merah. Mereka ber-
lompatan cepat ke arah Bokor dan pemuda berbaju 
kulit harimau itu. 
“Celaka...,” desis pemuda itu saat melihat puluhan 
orang meluruk cepat ke arahnya. 
Tak ada lagi yang bisa dilakukan, kecuali cepat-
cepat menyambar tubuh Bokor. Dan sebelum anak 
buah Jarong yang berseragam hitam bisa men-
capainya, secepat kilat pemuda berbaju kulit harimau 
itu melesat sambil membawa Bokor. 
“Setan...!” geram Jarong. 
Begitu cepatnya lesatan pemuda berbaju kulit 
harimau itu, sehingga dalam sekejap mata saja sudah 
lenyap seperti tertelan bumi saja. Hal ini membuat

mereka yang baru berdatangan jadi bengong. 
Sementara Jarong tidak henti-hentinya memaki dan 
mengumpat geram. 
*** 
Bruk! 
“Ah...!” Bokor terpekik kecil, ketika tiba-tiba 
tubuhnya terbanting agak keras ke tanah. 
Sambil meringis, laki-laki berbaju kuning gading itu 
bangkit berdiri. Dia berdiri tepat sekitar dua langkah 
di depan pemuda berbaju kulit harimau yang telah 
menyelamatkan nyawanya dari kematian. 
“Terima kasih atas pertolonganmu yang telah 
menyelamatkan nyawaku. Tapi aku yakin, setelah ini 
aku tidak akan lama menghirup udara segar,” ucap 
Bokor. 
“Sebaiknya kau pergi saja sejauh mungkin. Kalau 
perlu, pergi ke balik dunia ini,” pemuda berbaju kulit 
harimau itu menyarankan. 
“Percuma saja,” sahut Bokor seraya tersenyum. 
Bokor tahu kalau saran tadi hanya sebuah gurauan 
saja, tapi memang dibenarkan juga. Dia memang 
harus pergi jauh agar tak mungkin bisa dicapai 
musuhnya seorang pun juga. Tapi itu tidak akan 
mungkin. Ke mana pun dirinya pergi, pasti Jarong dan 
orang-orangnya bisa menemukan 
Bokor sendiri tidak mengerti, mengapa Jarong 
justru menjegalnya. Padahal dia sedang melaksana-
kan tugas yang diberikan paman pemuda kurus 
kering itu. Dan baru kali ini Bokor tahu kalau Jarong 
yang kelihatannya lemah, ternyata memiliki ke-
pandaian yang sangat tinggi. Bahkan lebih tinggi dari 
yang didengarnya selama ini. Dan sampai di mana

tingkat kepandaian yang dimiliki pemuda bertubuh 
kurus kering itu, Bokor tidak tahu. 
Bokor meraba pinggangnya. Dan seketika itu juga 
keningnya berkerut. Jari-jari tangannya menyelusup 
ke balik sabuk yang membelit pinggangnya. Tapi 
mendadak saja dia jadi seperti kebingungan, dan 
wajahnya jadi memucat. Perubahan ini menjadi 
perhatian pemuda berbaju kulit harimau di depannya. 
“Ada apa? Kau mencari sesuatu?” tanya pemuda 
berbaju kulit harimau itu. 
“Ya! Ada yang hilang,” sahut Bokor seraya 
memandang pemuda di depannya ini. 
“Senjatamu?” 
“Bukan, tapi surat.” 
Pemuda berbaju kulit harimau itu mengerutkan 
keningnya, dan matanya agak menyipit menatap laki-
laki kekar di depannya ini. Sedangkan dengan lesu 
sekali, Bokor menghempaskan tubuhnya, duduk di 
atas rerumputan. Di dalam hutan yang cukup lebat 
ini, udara terasa sejuk. Namun, tidak sesejuk hati dan 
perasaan Bokor yang jadi gelisah seketika. Terutama 
setelah menyadari kalau surat yang harus disampai-
kan pada Ratu Nyai Langas tidak ada lagi di 
tempatnya. 
“Hhh.... Gusti Narata pasti akan memenggal 
kepalaku...,” keluh Bokor lirih. 
“Siapa itu Gusti Narata?” tanya pemuda berbaju 
kulit harimau lagi. 
“Majikanku,” sahut Bokor, suaranya masih ter-
dengar pelan. “Aku harus menyampaikan surat itu 
langsung pada Kanjeng Ratu Nyai Langas. Tapi 
sekarang surat itu hilang. Hhh.... Aku tidak tahu lagi, 
apa yang harus kulakukan sekarang.” 
Bokor benar-benar kebingungan. Dia tidak bisa lagi

berpikir jernih. Tidak ada lagi keberanian dalam 
dirinya untuk kembali bertemu Narata. Sudah pasti 
junjungannya itu akan memenggal lehernya, karena 
tugas yang diembannya gagal lagi. 
“Itu merupakan surat rahasia Gusti Narata, khusus 
untuk Kanjeng Ratu Nyai Langas. Tidak boleh seorang 
pun yang boleh menerima, selain Kanjeng Ratu Nyai 
Langas...,” kembali Bokor mengeluh. 
“Ingat-ingat dulu, barangkali kau lupa menyimpan-
nya,” pemuda berbaju kulit harimau itu mencoba 
mengingatkan. 
“Aku tidak mungkin lupa, Kisanak.... Aku....” 
“Bayu,” ujar pemuda berbaju kulit harimau itu 
memperkenalkan namanya, saat suara Bokor 
terhenti. 
Pemuda itu memang bernama Bayu, yang lebih 
dikenal berjuluk Pendekar Pulau Neraka. Tidak ada 
lagi di dunia ini pendekar tangguh dan digdaya yang 
mengenakan baju dari kulit harimau, selain Pendekar 
Pulau Neraka. Memang tampaknya dia tidak mem-
bawa senjata apa pun juga. Tapi di pergelangan 
tangannya, melekat sebuah lempengan logam keras. 
Bentuknya jelas sebuah cakra yang sisinya bergerigi, 
berjumlah enam buah. Cakra itulah merupakan 
senjata andalannya, yang bernama Cakra Maut. 
“Aku Bokor,” Bokor juga memperkenalkan 
namanya. 
“Atau barangkali terjatuh,” duga Bayu. 
“Ya..., hal itu lebih masuk akal lagi. Pasti terjatuh. 
Tapi di mana...?” Bokor seperti bertanya pada diri 
sendiri. 
“Ingat-ingat dulu, ke mana saja kau selama 
membawa surat itu,” saran Bayu kembali. 
Bokor terdiam dengan mata menerawang jauh ke

depan. Dicobanya untuk mengingat-ingat di mana 
kira-kira surat yang berada di dalam selongsong 
bambu itu terjatuh. Sejak keluar dari rumah 
kediaman Narata, dia bersama ketiga temannya 
langsung menuju Istana Langkat. 
Di dalam keputren istana mereka sempat 
bertarung, sehingga hanya tinggal dirinya sendiri yang 
selamat. Sedangkan ketiga temannya tewas di tangan 
Jarong. Dari istana itu, dirinya langsung pergi hingga 
sampai ke tepi hutan, tempat dia mendapat serangan 
dari Jarong dan orang-orangnya lagi. 
Rasanya terlalu sukar bagi Bokor untuk 
mengetahui persis, di mana surat itu terjatuh. 
Padahal diyakini betul kalau surat itu tersimpan di 
balik sabuk pinggangnya. Dan sekarang, benda yang 
menjadi tanggung jawabnya itu sudah lenyap. Entah 
berada di mana, yang jelas Bokor berharap agar surat 
itu tidak jatuh ke tangan orang yang salah. Terlebih 
lagi Jarong, yang tidak jelas maksudnya menyerang 
dan menjegalnya. Padahal, dia sedang melaksanakan 
tugas dari paman pemuda kurus kering itu. 
“Hhh.... Apa yang harus kulakukan sekarang...?” 
keluh Bokor seperti bertanya pada dirinya sendiri. 
“Kalau merasa bertanggung jawab, kau harus 
mencari surat itu,” Bayu menyahuti. 
“Aku memang harus menemukannya. Tapi di 
mana...?” lagi-lagi Bokor bertanya tanpa ada yang 
bisa menjawabnya. 
Dan Pendekar Pulau Neraka sendiri sudah pasti 
tidak bisa menjawab, karena memang tidak tahu 
menahu tentang surat itu. Dia tadi hanya kebetulan 
lewat saja. Kebetulan, jiwa kependekarannya tidak 
bisa melihat seseorang dikeroyok tanpa dapat 
memberi perlawanan sedikit pun. Walaupun diakui,

Bokor berhasil merobohkan lima orang pengeroyok-
nya. 
“Aku akan membantumu mencari surat itu,” kata 
Bayu menawarkan jasa. 
“Terima kasih. Bukannya aku menolak, tapi ini 
merupakan tanggung jawabku,” sahut Bokor seraya 
bangkit berdiri lagi. 
“Aku merasa, saat ini kau sendirian dan pasti 
membutuhkan seseorang yang bisa mengerti dan 
membantumu tanpa mengharapkan imbalan apa pun 
juga,” kata Bayu lagi. 
Bokor tidak bisa menjawab lagi. Dia tahu kalau 
pemuda berbaju kulit harimau ini akan membantunya 
secara sukarela dan tanpa mengharapkan sesuatu 
imbalan apa pun. Tak ada yang bisa dilakukannya, 
selain mengulurkan tangan dan menjabat tangan 
Pendekar Pulau Neraka. 
“Kuharap kita bisa bekerja sama,” ujar Bokor. 
Bayu hanya tersenyum saja. 
***

TIGA

Bokor berdiri agak berlindung di balik sebatang pohon 
yang cukup rindang. Pandangannya tidak berkedip ke 
arah bangunan istana yang berdiri megah di tengah-
tengah Kotaraja Langkat. Di situ, tampak sesosok 
tubuh tengah merapat di atap bangunan besar dan 
megah itu. Sosok tubuh yang memakai baju dari kulit 
harimau. 
“Oh...?!” 
Mendadak Bokor tersentak kaget ketika pundak-
nya terasa ada yang menepuk dari belakang. Dan 
belum sempat berpaling, mendadak saja laki-laki 
bertubuh tinggi tegap itu merasakan punggungnya 
terhantam sesuatu dengan keras. 
Diegkh! 
“Akh...!” 
Seketika itu juga, Bokor terpental keras ke 
belakang. Dia jatuh bergulingan ke tanah beberapa 
kali, namun cepat bangkit berdiri. Dan belum juga 
bisa berdiri tegak, tiba-tiba sebuah bayangan biru 
berkelebat cepat menerjang ke arahnya. 
“Uts!” 
Bergegas Bokor memiringkan tubuhnya, maka 
bayangan biru itu lewat sedikit di samping tubuhnya. 
Namun angin sambaran bayangan itu membuat 
Bokor sedikit terhuyung. Bergegas keseimbangan 
tubuhnya cepat dikuasai, dan secepat itu pula 
tubuhnya diputar. 
“Jarong..,” desis Bokor ketika melihat seorang 
pemuda bertubuh kurus kering tahu-tahu berdiri

sekitar dua tombak di depannya. 
“Kau terlalu berani untuk masuk ke kota, Bokor,” 
dingin sekali suara Jarong. 
Bokor sempat melirik ke arah atap bangunan 
istana, dan langsung terkejut. Ternyata di atas atap 
itu sedang terjadi pertarungan sengit. Tampak se-
seorang berpakaian dari kulit harimau sedang 
bertarung sengit melawan empat orang bersenjata 
pedang. Pada saat itu, beberapa orang sudah 
berlompatan ke atas atap itu dan langsung 
mengeroyok laki-laki berbaju kulit harimau. 
“Sebaiknya kau menyerah saja, Bokor. Tidak ada 
gunanya melakukan perlawanan lagi,” kata Jarong 
lagi, tetap dingin dan datar nada suaranya. 
“Walaupun harus mati, jangan harap aku 
menyerah,” sahut Bokor ketus. 
“Pilihlah nasibmu sendiri, Bokor. Baiklah, aku tidak 
akan sungkan-sungkan lagi memenggal kepalamu...!” 
Setelah berkata demikian, Jarong cepat sekali 
melesat menerjang laki-laki berbaju kuning gading itu. 
Hanya sedikit saja Bokor memiringkan tubuhnya 
maka satu pukulan keras bertenaga dalam tinggi 
yang dilepaskan Jarong berhasil dihindarinya. Namun 
tanpa menarik pulang pukulannya, Jarong sudah 
menghentakkan kakinya. Diberikannya satu 
tendangan keras menggeledek. 
“Yeaaah...!” 
Begkh! 
“Ughk...!” Bokor mengeluh pendek. 
Tendangan pemuda bertubuh kurus kering itu tak 
dapat dihindari Bokor. Tak urung lagi telapak kaki 
yang bagaikan hanya terbalut kulit tipis, telak sekali 
mendarat di perut Bokor. Akibatnya laki-laki berbaju 
kuning gading itu terhuyung-huyung ke belakang.

Sret! 
Bokor cepat menarik goloknya yang terselip di 
pinggang. Pada saat itu, Jarong sudah cepat 
mengibaskan tangannya sambil melompat mener-
jang. 
“Hiyaaa...!” 
Wus! 
Bet! 
Begitu pisau-pisau bertebaran deras ke arah 
tubuhnya, Bokor cepat sekali mengibaskan goloknya 
beberapa kali untuk menyampok pisau-pisau itu. 
Namun pada saat yang sama, Jarong sudah 
menerjang cepat. Langsung diberikannya dua 
pukulan keras bertenaga dalam tinggi yang tak dapat 
terbendung lagi. 
Plak! 
“Akh...!” Bokor memekik keras ketika pukulan yang 
dilepaskan Jarong tepat menghantam dada. Seketika 
itu juga Bokor terpental deras sekali ke belakang. Dan 
sebelum keseimbangan tubuhnya bisa terkuasai, 
mendadak saja Jarong sudah cepat mengibaskan 
tangannya. 
Slap! 
Tampak dua bilah pisau tipis sepanjang jengkal 
melesat cepat dari balik lipatan lengan baju pemuda 
bertubuh kurus kering itu. Sementara Bokor yang 
sedang terhuyung, tak mampu lagi menghindar. Dua 
bilah pisau menancap tepat dan dalam sekali di dada 
pemuda berbaju kuning gading itu. Maka.... 
Crab! 
“Aaa...!” 
Bokor terpental ke belakang, dan dengan keras 
sekali terbanting di tanah. Hanya sebentar tubuhnya 
mampu menggeliat sambil mengerang, kemudian

diam tak bergerak-gerak lagi. Tampak darah 
merembes keluar dari dada yang tertancap dua bilah 
pisau. 
“Ha ha ha...!” Jarong tertawa terbahak-bahak 
melihat buruannya kini sudah tergeletak tak ber-
nyawa lagi. 
Pemuda bertubuh kurus kering itu menghampiri 
Bokor yang sudah tergeletak tak bernyawa lagi. 
Diperiksa seluruh tubuh laki-laki itu. Tapi sebentar 
kemudian, wajahnya seketika berubah semakin 
memucat bagai tak teraliri darah lagi. 
“Keparat..!” geram Jarong mendesis. “Hih!” 
Keras sekali kakinya dihentakkan menendang 
tubuh yang sudah tak bernyawa lagi itu. Mayat Bokor 
terpental cukup jauh, hingga menghantam dinding 
sebuah rumah sampai jebol berantakan. Penghuni 
rumah itu keluar, dan langsung berlari terbirit-birit 
begitu mengetahui yang menjebol dinding rumahnya 
adalah sesosok mayat. 
“Setan keparat..!” 
Tubuh Jarong berbalik sambil memaki geram. 
Matanya langsung memandang ke arah atap 
bangunan istana. Namun seketika itu juga jadi 
mendelik. Ternyata di atas atap itu hanya terlihat 
beberapa sosok tubuh yang tergeletak. Apalagi di 
sana tak ada pertarungan lagi. 
“Hup!” 
Cepat sekali pemuda bertubuh kurus kering itu 
melesat ke arah bangunan istana itu. Dan Jarong 
tidak melewati pintu gerbang yang tertutup rapat dan 
dijaga sekitar enam orang prajurit Lesatannya 
bagaikan kilat melompati tembok benteng istana itu. 
Siang ini, keadaan sekitar istana itu memang agak 
lain. Suasananya sunyi senyap. Bahkan tak seorang

pun terlihat kecuali para prajurit yang berjaga di 
tempat-tempat tertentu. 
*** 
Bayu berdiri tegak memandangi gundukan tanah 
yang masih terlihat baru. Di ujung gundukan tanah 
merah itu, terdapat sebuah batu sebagai pertanda 
kalau di dalamnya terbaring jasad seseorang yang 
sudah menyelesaikan tugasnya di dunia ini. Perlahan 
Pendekar Pulau Neraka mengangkat kepalanya. 
“Seharusnya aku tidak meninggalkanmu sendirian, 
Bokor,” pelan sekali suara Bayu kedengarannya. 
Gundukan tanah itu memang kuburan Bokor. Bayu 
menguburkannya di tepi hutan tidak jauh dari 
perbatasan Kotaraja Langkat. Tubuh Bokor ditemu-
kan tergeletak tidak jauh dari tembok benteng Istana 
Langkat, setelah Pendekar Pulau Neraka lolos dari 
kepungan di atas atap bangunan istana itu. 
“Maaf. Aku tidak bisa memilihkanmu tempat yang 
lebih baik lagi,” ujar Bayu lagi, tetap pelan suaranya. 
“Itu sudah lebih baik, daripada dihanyutkan ke 
sungai....” 
Bayu langsung memutar tubuhnya ketika tiba-tiba 
saja terdengar suara dari arah belakang. Entah kapan 
datangnya, tahu-tahu agak jauh di depan Pendekar 
Pulau Neraka sudah berdiri seorang pemuda ber-
tubuh kurus kering mengenakan baju agak longgar 
warna biru tua. Di belakang pemuda yang perawakan 
tubuhnya seperti tengkorak hidup itu berdiri empat 
orang bertubuh tinggi tegap. Wajah mereka kasar, 
dengan mata menyorot bengis. 
“Pasti kau yang membunuh Bokor,” tuduh Bayu 
langsung.

“Ha ha ha...,” pemuda kurus kering yang tak lain 
Jarong tertawa terbahak-bahak keras sekali. 
Namun suara tawa Jarong begitu kering, dan 
terdengar serak menyakitkan telinga. Tanpa dijawab 
sekalipun, Bayu sudah tahu kalau pemuda kurus 
kering bagai tengkorak hidup inilah yang telah 
membunuh Bokor. Dan Pendekar Pulau Neraka 
pernah bertemu sekak, ketika menyelamatkan Bokor 
dari keroyokannya. 
“Kisanak! Aku tidak akan memperpanjang 
persoalan ini, jika kau suka menyerahkan surat itu 
padaku,” tegas Jarong dengan suaranya yang selalu 
datar dan dingin. 
“Aku tidak pernah punya surat,” sahut Bayu tak 
kalah tegas. 
“Jangan membuat kesabaranku habis, Kisanak,” 
desis Jarong bernada mengancam. 
“Mau habis, mau tidak, itu urusanmu,” balas Bayu 
tidak kalah dinginnya. 
“Sudah besar kepala rupanya kau...!” 
Bayu hanya tersenyum sinis saja. Kemudian 
tubuhnya berputar ke kanan. Tanpa mempedulikan 
geraman pemuda kurus kering itu, Bayu meng-
ayunkan kakinya hendak meninggalkan tempat ini. 
''Keparat..! Kau meremehkan aku, heh...?!” geram 
Jarong jadi gusar bukan main melihat sikap Pendekar 
Pulau Neraka yang sepertinya tidak memandang 
sebelah mata padanya. 
Namun Bayu tetap saja berjalan, tidak peduli. Dan 
ini semakin membuat Jarong geram. Seketika tangan 
kanannya dihentakkan ke depan. Maka, dari balik 
lipatan lengan bajunya melesat dua buah pisau kecil 
tipis sepanjang jengkal tangan berwarna keperakan. 
Wus...!

Mendengar desiran angin yang halus dari arah 
belakang, Bayu cepat sekali memutar tubuh. Dan 
saat itu juga tangan kanannya digerakkan dengan 
cepat ke depan dada. 
Tap! 
“Heh...!” Jarong terkejut melihat kedua senjatanya 
mudah sekali ditangkap Pendekar Pulau Neraka. 
Dan kini, kedua pisau tipis keperakan itu terselip di 
antara kedua jari tangan Bayu. Belum lagi Jarong bisa 
menghilangkan keterkejutannya, mendadak saja 
Bayu sudah mengibaskan tangan kanannya untuk 
melemparkan kedua pisau tadi kepada pemiliknya 
kembali. 
“Yeaaah...!” 
Wus! 
Kedua pisau itu meluncur lebih cepat daripada 
yang dilemparkan Jarong tadi. Dan ini membuat 
pemuda bertubuh kurus kering itu jadi terbeliak 
semakin terkejut. Namun cepat sekali, tubuhnya 
melenting ke udara. Maka kedua pisau itu melesat 
lewat di bawah telapak kakinya. 
Empat orang yang berdiri di belakang pemuda itu 
juga bergegas berlompatan menghindari terjangan 
pisau. Mereka menjatuhkan diri di tanah dan ber-
gulingan beberapa kali. Tepat di saat Jarong men-
jejakkan kakinya kembali ke tanah, empat orang laki-
laki berwajah kasar itu sudah berlompatan bangkit 
berdiri. 
“Kurang ajar...,” desis Jarong geram. “Serang! 
Bunuh keparat itu...!” 
Tanpa diperintah dua kali, empat orang yang 
semuanya bersenjatakan golok segera berlompatan 
menerjang Pendekar Pulau Neraka. Golok mereka 
yang langsung tercabut seketika itu dikibaskan ke

tubuh Bayu. Namun lewat gerakan indah dan ringan 
sekali, tubuh pemuda berbaju kulit harimau itu 
meliuk-liuk, menghindari setiap serangan yang 
dilancarkan empat orang bersenjata golok itu. 
Sedangkan Jarong hanya memperhatikan saja 
jalannya pertarungan itu. Saat memperhatikan, mata-
nya tidak berkedip sama sekali. Sementara, empat 
orang bersenjata golok itu terus mencecar hebat 
Pendekar Pulau Neraka. Mereka menyerang secara 
bergantian dari empat arah. Dan Bayu sendiri 
tampaknya masih mampu menandinginya, meskipun 
pada saat ini hanya berkelit dan menghindar saja. 
Dan ini memang disengaja, karena ingin mengetahui 
dulu, sampai di mana tingkat kepandaian empat 
orang pengeroyoknya ini. 
“Uts! Yeaaah...!” 
Cepat sekali Pendekar Pulau Neraka merunduk 
sambil memiringkan tubuh ke kiri, ketika sebatang 
golok menyambar ke arah kepalanya. Dan pada saat 
itu, tangan kanannya bergerak cepat mengibas ke 
depan. 
“Yeaaah...!” 
Secercah cahaya keperakan berkelebat cepat dari 
pergelangan tangan pemuda berbaju kulit harimau 
itu. 
Sementara orang yang berada di depannya tidak 
sempat menyadari lagi. Tahu-tahu.... 
Crab! 
“Aaa...!” 
Satu jeritan melengking dan menyayat terdengar, 
tepat saat orang yang berada di depan Pendekar 
Pulau Neraka terpental. Tampak di lehernya tertancap 
sebuah benda pipih bulat, yang sisinya bergerigi 
enam.

“Hap!” 
Saat itu Bayu menghentakkan tangan kanannya ke 
atas, tepat begitu tubuhnya tegak kembali. Seketika 
benda berbentuk cakra perak melesat keluar dari 
leher yang langsung memuncratkan darah segar. 
Senjata maut Pendekar Pulau Neraka langsung 
menempel di pergelangan tangan kanannya. 
“Hup...!” 
Bayu melompat keluar dari kepungan itu, di saat 
tiga orang yang menyerangnya tadi tengah terpaku 
melihat kejadian yang begitu cepat dan tidak terduga 
sama sekali. Mereka seperti tidak percaya kalau 
seorang temannya kini telah tergeletak tak bernyawa. 
Lehernya robek mengeluarkan darah segar. 
Mendadak saja Pendekar Pulau Neraka meluruk 
deras ke arah Jarong. Pemuda kurus kering bagai 
tengkorak hidup itu menjadi terkejut bukan main. 
Bergegas dia melompat ke samping ketika Bayu 
melontarkan dua pukulan keras beruntun, 
mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi. 
Glarrr! 
Suara ledakan keras terdengar begitu pukulan 
Bayu menghantam pohon di belakang Jarong tadi. 
Pohon yang cukup besar itu langsung hancur 
berkeping-keping. 
“Gila...!” desis Jarong terkejut begitu melihat akibat 
pukulan pemuda berbaju kulit harimau yang 
mengandung tenaga dalam tinggi. 
Dan sebelum pemuda kurus kering itu bisa 
menghilangkan keterkejutannya, Bayu sudah kembali 
melesat menerjang. Gerakan Pendekar Pulau Neraka 
sungguh cepat luar biasa. Dan ini berarti tak ada lagi 
kesempatan buat Jarong untuk menghindar dari 
serangan yang cepat dan dahsyat itu.

“Yeaaah...!” 
Jarong cepat menghentakkan tangannya ke depan, 
menyambut pukulan yang dilontarkan Pendekar Pulau 
Neraka. Tak dapat dihindari lagi, dua kekuatan 
tenaga dalam yang saling bertentangan beradu keras 
hingga menimbulkan ledakan keras menggelegar. 
Blarrr! 
Tampak kedua pemuda yang mengadu tenaga 
dalam itu sama-sama terpental ke belakang. Tiga kali 
Bayu berputaran di udara, dan manis sekali kakinya 
mendarat di tanah. Sementara itu, Jarong agak 
terhuyung begitu mendarat 
“Phuih!” 
Jarong menyemburkan ludahnya. Dan semburan 
ludah itu ternyata berwarna merah agak kental. 
Jarong menyadari kalau tenaga dalam yang 
dimilikinya masih kalah dibandingkan lawan. Juga 
disadari kalau tubuhnya sedikit terluka dalam. Ludah 
yang bercampur darah itu sudah menandakan kalau 
tubuhnya terluka dalam, akibat benturan tenaga 
dalam tadi. 
“Keparat..!” geram Jarong. 
Pemuda bertubuh kurus kering itu menjentikkan 
jari tangannya. Maka mendadak saja, dari atas pohon 
yang banyak tumbuh di tepi hutan ini meluncur anak-
anak panah ke arah Pendekar Pulau Neraka. 
“Kadal...!” maki Bayu gusar. 
Namun tak ada pilihan lain lagi bagi Pendekar 
Pulau Neraka itu. Dengan cepat sekali, tubuhnya 
melenting, lalu membuat putaran beberapa kali di 
udara. Sementara, tangannya bergerak cepat untuk 
menyampok anak panah yang menghujani tubuhnya. 
Bayu harus berpelantingan di udara sambil 
memutar cepat tubuhnya. Begitu kakinya menjejak

tanah, kembali cepat melesat ke udara. Hanya itu 
jalan satu-satunya untuk menghadapi hujan anak 
panah yang datang dari segala arah ini. Namun juga 
disadari kalau tidak akan mungkin bisa bertahan 
lama. Cara seperti ini menguras tenaga terlalu 
banyak. 
“Hiyaaa...!” 
Cepat Bayu menjatuhkan tubuhnya ke tanah, lalu 
bergulingan mendekati tubuh yang tergeletak tak 
bernyawa lagi. Sedangkan panah-panah itu terus 
berdesingan di sekitar tubuhnya. 
“Hap!” 
Cepat Bayu melenting bangkit setelah bisa 
menyambar golok yang tergeletak tidak jauh dari 
mayat laki-laki itu. Dan dengan golok ini, setiap anak 
panah yang datang mengancam tubuh dibabatnya. 
Kini Bayu tidak perlu lagi menguras tenaga terlalu 
banyak. Dengan sedikit kelincahan kaki, dan gerakan 
tangan yang cepat, serangan panah-panah itu 
berhasil dipatahkan. 
“Seraaang...!” tiba-tiba saja Jarong berteriak keras 
memberi perintah. 
Dan seketika itu juga, dari atas pepohonan dan 
dari balik semak belukar berlompatan manusia-
manusia berbaju hitam bersenjata tombak pendek 
kembar berwarna merah. Mereka seperti berlomba, 
langsung meluruk ke arah Pendekar Pulau Neraka. 
“Monyet celaka...!” geram Bayu mendesis. 
Tak ada lagi kesempatan bagi Pendekar Pulau 
Neraka untuk bisa menghindar. Karena sebelum 
sempat berpikir, dari samping kanan dan kirinya 
sudah datang serangan orang-orang berbaju hitam. 
Mereka langsung menusuk dan mengibaskan tongkat 
pendeknya cepat sekali.

Wut! 
“Hap...!” 
Bayu tak mempunyai pilihan lain lagi. Segera dia 
bergerak menyambut serangan yang datang dari 
segala arah itu secara beruntun dan cepat sekali. 
Dengan mengandalkan kelincahan gerak kaki dan 
ketinggian pengerahan tenaga dalam, Pendekar 
Pulau Neraka langsung mengamuk dan menghajar 
siapa saja yang dekat dari jangkauannya. 
Sebentar saja sudah terdengar jerit dan pekikan 
keras melengking tinggi, disusul bergelimpangannya 
tubuh-tubuh tak bernyawa lagi. Pukulan yang 
dilepaskan Bayu, memang dahsyat sekali, karena 
disertai pengerahan tenaga dalam yang sudah 
mencapai taraf kesempurnaan. 
Namun, jumlah mereka semakin bertambah 
banyak saja. Dan tentu saja ruang gerak Pendekar 
Pulau Neraka semakin terbatas. Rasanya sukar sekali 
untuk bisa keluar dari keroyokan ini. Meskipun dirinya 
seorang pendekar digdaya yang berkepandaian tinggi, 
tapi tetap saja kodratnya hanyalah manusia biasa 
yang memiliki keterbatasan. Dan ini sangat disadari-
nya. Tidak mungkin mereka semua yang jumlahnya 
seperti satu pasukan prajurit bisa dikalahkan. 
“Huh! Bisa habis napasku kalau begini terus,” 
dengus Bayu dalam hati. 
Di saat Pendekar Pulau Neraka sedang berpikir 
keras sambil terus menghalau serangan, mendadak 
keroyokan orang-orang berpakaian serba hitam itu 
jadi terpecah belah. Ini karena tiba-tiba saja 
sepasukan prajurit Kerajaan Langkat telah datang 
dan langsung menyerang para pengeroyok Bayu. 
Seketika terdengar jeritan-jeritan diselingi denting 
senjata beradu.

Saat itu Bayu memiliki sedikit kesempatan untuk 
bisa keluar dari kepungan ini. Kesempatan itu tidak 
disia-siakannya. Dengan cepat sekali, Pendekar Pulau 
Neraka melentingkan tubuhnya ke udara dan ber-
putaran beberapa kali. 
“Hap!” 
Begitu kakinya mendarat di batang pohon, dia 
segera bersiap melepaskan senjata Cakra Maut yang 
selalu menempel di pergelangan tangan kanan. 
Namun mendadak saja niatnya diurungkan. 
“Lari...!” tiba-tiba terdengar teriakan memberi 
perintah. 
Seketika itu juga, orang-orang berpakaian serba 
hitam berlompatan cepat, masuk ke dalam hutan. 
Gerakan mereka memang cepat sekali. Maka dalam 
waktu sebentar saja, tempat ini sudah ditinggalkan. 
Bayu yang berada di atas pohon jadi tercenung 
melihat orang-orang berpakaian prajurit berada di 
tempat itu, di antara mayat-mayat yang ber-
gelimpangan. 
“Hup...!” Bayu melompat turun dari atas pohon. 
Prajurit-prajurit itu terkejut, dan langsung bergerak 
mengepung. Namun seorang laki-laki berjubah putih 
yang membawa tombak pendek bermatakan 
keemasan, merentangkan tangannya lebar-lebar. Di 
sampingnya berdiri seorang laki-laki lain yang 
mengenakan baju warna kuning ketat, membawa 
cambuk hitam berduri halus. 
“Siapa kau. Anak Muda?” tanya laki-laki tua 
berjubah putih itu. 
“Bayu,” sahut Bayu memperkenalkan namanya. 
“Apa yang kau lakukan di sini?” tanya orang tua 
berjubah putih itu lagi. 
“Hm.... Mungkin Kisanak tidak melihat kalau aku

yang tadi dikeroyok mereka,” sahut Bayu. 
“Oh, maaf. Tapi mengapa kau sampai bentrok 
dengan mereka?” 
“Aku tidak tahu. Tiba-tiba saja mereka muncul dan 
menyerangku.” 
Laki-laki tua berjubah putih panjang itu meng-
anggukkan kepalanya beberapa kali. Dia kemudian 
berpaling, memandang laki-laki berbaju kuning ketat 
di samping kanannya agak ke belakang sedikit Yang 
dipandang juga menganggukkan kepalanya sedikit. 
“Kau tahu siapa mereka itu tadi?” tanya laki-laki 
tua itu lagi. 
Bayu hanya menggelengkan kepalanya saja. 
Pendekar Pulau Neraka memang tidak tahu tentang 
sekelompok orang berseragam hitam yang 
menyerangnya tadi, setelah mendapatkan isyarat dari 
pemuda bertubuh kurus kering. Untuk beberapa saat 
lamanya, tak ada yang membuka suara. Sementara 
itu orang-orang yang mengenakan seragam prajurit, 
sudah sibuk mengumpulkan mayat yang ber-
gelimpangan berlumur darah. 
***

EMPAT

“Siapa mereka itu, Paman?” tanya Bayu. 
“Mereka kaum pemberontak yang menguasai 
hutan ini,” jelas Jawala. 
“Pemberontak...?” Bayu mengerutkan keningnya. 
“Benar! Sudah lama kami ingin menumpas, tapi 
mereka begitu menguasai hutan ini. Dan sukar sekali 
untuk mengejarnya jika mereka sudah memasuki 
hutan ini, Anak Muda,” timpal Rahseta menjelaskan. 
Bayu terdiam dengan kepala berkerut dalam. 
Sebentar dipandanginya kedua laki-laki tua itu, 
kemudian beralih pada mayat-mayat yang ber-
gelimpangan. Benaknya seketika dipenuhi berbagai 
macam pikiran dan dugaan. Pandangan Bayu beralih 
pada kuburan Bokor. 
“Makam siapa itu?” tanya Jawala. 
“Bokor,” sahut Bayu. 
“Temanmu?” tanya Jawala lagi. 
“Bisa dikatakan begitu, kami baru kenal beberapa 
hari saja,” jelas Bayu singkat. “Dia tewas dibunuh 
oleh pemimpinnya di Kotaraja Langkat. Apakah 
paman berdua mengenalinya?” 
Jawala dan Rahseta tidak langsung menjawab, 
namun hanya saling berpandangan sejenak, 
kemudian sama-sama menggeleng. Bayu yang 
semula berharap kalau kedua laki-laki tua itu 
mengetahui tentang Bokor, ternyata jadi sedikit 
kecewa. Tapi Pendekar Pulau Neraka sepertinya tidak 
percaya. 
Jawala dan Rahseta adalah orang penting di

Kerajaan Langkat. Sedangkan Bokor pernah bercerita 
kalau beberapa orang penting sedang merencanakan 
satu pemberontakan untuk menggulingkan ke-
kuasaan Ratu Nyai Langas. Dan Bokor sendiri 
mengakui kalau dirinya bekerja untuk salah satu 
orang penting yang bebas keluar masuk di dalam 
istana itu. Tapi, kedua laki-laki tua ini tidak mengenal 
Bokor. Dan ini membuat Bayu semakin bertanya-
tanya dalam benaknya. 
“Anak muda. Tampaknya, kau punya urusan 
dengan mereka itu. Jika tidak berkeberatan, 
sebaiknya kau bergabung bersama kami untuk 
menumpas mereka,” ajak Jawala. 
“Terima kasih. Sebenarnya....” 
“Kau tidak perlu khawatir, Anak Muda,” potong 
Jawala cepat. “Jika kau bersedia, kami akan 
mengusahakan kedudukan penting di istana nanti. 
Tapi kau jika tidak menghendaki, dan tidak ingin 
keterikatan, kami juga tidak memaksa.” 
Bayu terdiam membisu, dan matanya kembali 
memandang pusara Bokor. Pendekar Pulau Neraka 
masih terdiam membisu, dengan kening sedikit ber-
kerut. Memang tidak ada salahnya jika ikut bersama 
kedua laki-laki tua ini. Barangkali saja bisa men-
dapatkan suatu petunjuk penting. Persoalan ini 
memang bukan urusannya, tapi Bayu sudah telanjur 
masuk. 
Kalau toh Pendekar Pulau Neraka itu tidak ingin 
melanjutkan lagi, pasti pemuda bertubuh kurus kering 
dan orang-orang berbaju serba hitam itu akan men-
carinya. Bayu seketika teringat akan pengakuan 
Bokor. Katanya dia sedang melaksanakan tugas dari 
junjungannya untuk menyampaikan sebuah surat 
penting. Dan Bokor juga mengatakan kalau beberapa

pembesar kerajaan, bermaksud memberontak. 
“Baiklah. Aku memang ingin membalas kematian 
temanku ini,” ujar Bayu beralasan menerima tawaran 
itu setelah memikirkannya cukup lama juga. 
“Kalau begitu, sebaiknya kita kembali saja dulu ke 
kota,” sambut Jawala senang atas kesediaan 
Pendekar Pulau Neraka yang menerima tawarannya. 
Tak berapa lama kemudian, mereka berangkat 
menuju Kotaraja Kerajaan Langkat Jawala memberi 
pinjaman kuda dari prajurit yang tewas kepada 
Pendekar Pulau Neraka itu. Bayu yang memang tidak 
menyukai kuda sebenarnya ingin menolak, tapi tidak 
ingin mengecewakan orang-orang yang baru dikenal-
nya. Dengan perasaan terpaksa, Pendekar Pulau 
Neraka menunggang kuda bersama yang lainnya. 
*** 
Bayu mengatakan apa yang diketahuinya dari 
Bokor semasa hidupnya, setelah diyakini kalau 
Jawala dan Rahseta berada di jalan yang benar. 
Sedangkan dua orang tua itu juga mengatakan 
segalanya yang diketahui. Namun setelah saling 
menukar cerita, belum juga ditemukan satu titik 
terang yang diinginkan. 
Jawala dan Rahseta jadi tercenung setelah 
mendengar cerita Pendekar Pulau Neraka. Katanya, 
Bokor sebenarnya hendak menyerahkan sesuatu 
berupa selembar surat yang tersimpan dalam 
selongsong bambu. Yang membuat mereka 
tercenung, ternyata surat itu khusus untuk Ratu Nyai 
Langas. 
“Apakah dia mengatakan tentang isi surat itu, 
Bayu?” tanya Jawala.

“Sayang sekali, dia tidak tahu,” sahut Bayu. 
“Lalu, siapa yang memerintahkannya?” kini 
Rahseta yang bertanya. 
“Itu juga tidak dikatakannya. Bokor hanya 
mengatakan kalau dirinya bekerja untuk salah 
seorang pembesar di istana ini Maaf, aku tidak 
bertanya lebih banyak lagi. Saat itu aku sendiri 
semula tidak ingin ikut campur. Aku hanya 
menolongnya saja ketika dia dikeroyok,” Bayu 
mencoba menutupi cerita yang pernah didengarnya 
dari Bokor. Pendekar Pulau Neraka ini masih merasa 
belum perlu menceritakan perihal yang sesungguh-
nya. Sebab Bayu masih belum menemukan bukti-
bukti yang kuat untuk mendukung kebenaran cerita 
Bokor. 
“Hm..., persoalan ini memang masih gelap. Tapi 
dari ciri-ciri yang kau sebutkan tentang pemimpin 
pengeroyok itu, aku yakin kalau pemuda itu adalah 
Jarong,” tebak Jawala, agak bergumam nada suara-
nya. 
“Jarong...? Siapa itu?” tanya Bayu. 
''Pemuda kurus yang kau ceritakan tadi, Bayu,'' 
sahut Jawala. 
“Apakah dia orang dalam istana ini juga?” tanya 
Bayu lagi. 
“Dia kemenakan Narata, kakak sepupu Kanjeng 
Ratu Nyai Langas,” jelas Jawala. “Terus terang, aku 
dan Rayi Rahseta memang mencurigai Narata. 
Terlebih lagi, asal-usul Jarong yang sebenarnya tidak 
jelas. Baru tiga bulan dia berada di sini. Dan itu 
bertepatan dengan munculnya kelompok pem-
berontak yang bersarang di Hutan Landaka.” 
“Benar, Bayu,” sambung Rahseta. “Kami memang 
tidak tahu, dari mana asalnya kemenakan Gusti

Narata itu. Sedangkan yang kami ketahui, Gusti 
Narata tidak mempunyai istri, apalagi anak. Saudara 
satu-satunya hanyalah Kanjeng Ratu Nyai Langas.” 
“Apa selama ini tidak ada yang menyelidiki tentang 
asal-usulnya?” tanya Bayu lagi. 
“Tidak ada yang diperbolehkan menyelidiki asal-
usul seseorang yang diakui sebagai anggota keluarga 
istana. Itu merupakan larangan yang tidak bisa 
ditawar lagi, Bayu. Sangat besar hukumannya jika 
dilanggar,” sahut Rahseta menjelaskan. 
Bayu terdiam beberapa saat. Sementara, kedua 
laki-laki tua itu juga tidak berbicara lagi. Dari raut 
wajah, jelas sekali kalau mereka sedang memikirkan 
sesuatu. Entah apa yang dipikirkan saat ini, hanya 
mereka sendiri yang tahu. Dan Pendekar Pulau 
Neraka merasakan kalau dirinya tidak akan mungkin 
lagi bisa keluar dari masalah ini. Secara tidak 
sengaja, Bokor telah menyeretnya. Dan itu juga 
karena Bayu tidak bisa melihat kecurangan ber-
langsung di depan matanya. 
Kalau saja Pendekar Pulau Neraka itu tidak 
menolong Bokor saat itu, sudah pasti tidak akan 
terlibat dalam kemelut yang melibatkan orang-orang 
berdarah biru ini. Ya..., suatu gerhana telah terjadi di 
lingkungan Istana Langkat. Gerhana darah biru yang 
melibatkan orang-orang bangsawan dan pembesar 
serta anggota keluarga istana. Apakah Pendekar 
Pulau Neraka akan terperosok semakin dalam di 
dalam kemelut ini..? 
*** 
Bayu tertegun di ambang pintu kediaman Jawala. 
Kakinya tidak jadi melangkah keluar ketika melihat

seorang pemuda bertubuh kurus sedang berbicara 
dengan Jawala dan Rahseta di halaman depan rumah 
besar ini. Pada saat yang sama pemuda kurus kering 
itu melihat ke arah Bayu. Tampak sekali kalau dia 
terkejut melihat Bayu baru keluar dari dalam rumah 
Jawala. 
“Bayu...,” Jawala memanggil Pendekar Pulau 
Neraka dengan lambaian tangannya. 
Bayu melangkah menghampiri, kemudian berhenti 
setelah tiba di samping Jawala yang dipanggilnya 
dengan sebutan paman. Pandangan Pendekar Pulau 
Neraka itu tidak berkedip ke arah pemuda kurus 
kering dan berwajah pucat di depannya. Saat itu juga, 
pemuda kurus kering itu menatap tajam Pendekar 
Pulau Neraka. 
“Bayu. Kenalkan, ini Jarong. Kemenakan Gusti 
Narata,” Jawala memperkenalkan. 
“Aku sudah pernah bertemu dengannya,” ujar 
Jarong. Suaranya dingin dan datar. 
“Oh..., benarkah?” tampak Jawala terkejut 
Bayu sempat melirik laki-laki tua berjubah putih 
itu. Tampak kalau sinar mata Jawala tidak terkejut 
seperti nada suaranya tadi. Dan Pendekar Pulau 
Neraka tahu kalau Jawala hanya berpura-pura saja. 
“Di mana kalian bertemu?” tanya Jawala. 
Sementara Rahseta yang berada di samping kiri 
Jawala, hanya diam saja tanpa membuka suara 
sedikit pun. Namun tatapan matanya selalu berganti-
ganti dari Bayu kemudian kepada Jarong. Dia seperti 
hendak mengetahui sikap kedua pemuda itu. 
“Ada hubungan apa antara dia dan Paman?” tanya 
Jarong, jelas penuh selidik dan penuh kecurigaan. 
“O.... Bayu ini kemenakanku. Dia baru datang dari 
Kadipaten Pantur,” jelas Jawala.

“Hm...,” Jarong hanya bergumam saja, dan 
tampaknya tidak percaya penjelasan Jawala yang 
singkat itu. 
Untuk beberapa saat mereka hanya berdiam diri, 
namun suasana begitu kaku. Yang jelas, penuh 
dengan kecurigaan dan segala macam perasaan dan 
ketegangan. Hal ini bisa dirasakan dari sorot mata 
yang selalu tajam mengandung pancaran kecurigaan 
mendalam. 
“Aku permisi dulu, Paman,” pamit Jarong. Sebelum 
Jawala menyahuti, Jarong sudah memutar tubuhnya. 
Dan dengan gerakan ringan sekali, pemuda kurus 
kering berwajah pucat itu melompat naik ke 
punggung kudanya. Secepat itu pula kuda hitam 
dengan kaki belang putih itu digebahnya. Sementara 
Jawala, Rahseta, dan Bayu masih berdiri memandangi 
sampai pemuda kurus kering itu tidak terlihat lagi. 
“Kelihatannya dia tidak percaya, Kakang,” ujar 
Rahseta dengan suara sedikit bergumam. 
“Biarlah. Toh, kalau dia berbuat macam-macam, 
kita juga bisa membalikkan asal-usulnya,” sahut 
Jawala kalem. 
Tanpa bicara lagi, mereka kemudian masuk ke 
rumah yang cukup besar dan indah ini. Rumah 
kediaman Paman Jawala yang dikelilingi pagar 
tembok cukup tinggi dan tebal, seperti rumah-rumah 
pembesar lainnya. Beberapa orang berseragam 
prajurit terlihat berjaga-jaga di tempat-tempat yang 
telah ditentukan. 
Ketiga orang itu kemudian duduk menghadapi 
sebuah meja bundar beralaskan batu pualam putih 
yang licin dan berkilat di ruangan depan. Sampai saat 
ini masih belum ada yang membuka suara. 
Pertemuan Bayu dengan Jarong tadi memang mem

buat suasana jadi terasa kaku. Baik Jawala maupun 
Rahseta sudah bisa merasakan akan terjadi sesuatu 
setelah hari ini. Hanya saja sulit untuk dipastikan, 
kejadian apa yang akan menimpa mereka berdua. 
*** 
“Oaaah...!” 
Bayu membuka mulutnya lebar-lebar seraya 
menggeliatkan tubuhnya. Suara bergemeretak ter-
dengar dari seluruh tubuh Pendekar Pulau Neraka itu. 
Saat ini, malam sudah demikian larut Suasana di 
dalam rumah kediaman Jawala ini sudah terasa sunyi 
sekali. Sebagian penghuninya sudah sejak tadi 
terlelap dalam buaian mimpi. Namun di dalam salah 
satu kamar, mata Pendekar Pulau Neraka belum juga 
bisa terpejam. 
Pikiran pemuda itu masih terus dipenuhi kejadian 
siang tadi. Sungguh tidak disangka kalau pemimpin 
orang-orang berbaju serba hitam ternyata kemenakan 
kakak sepupu Ratu Nyai Langas sendiri. Bahkan 
mereka sudah dikenal sebagai satu kelompok orang 
yang merasa tidak puas pada Ratu Nyai Langas. Dan 
mereka sudah beberapa kati mencoba meng-
gulingkan tahta, namun selama ini selalu gagal. Dan 
sekarang gerakan mereka dilakukan secara 
sembunyi-sembunyi. 
“Huuuh...! Rasanya malam ini lain sekali,” desah 
Bayu agak mengeluh. 
Kembali Pendekar Pulau Neraka menguap lebar. 
Kantuk yang menyerang kelopak matanya terasa 
amat berat Namun, Bayu belum juga mau jatuh tidur. 
Seluruh tubuhnya terasa penat sekali. Dia ingin sekali 
beristirahat tenang dalam kamar yang cukup besar

dan tertata apik ini. 
Bet! 
Bet! 
Bayu menggerak-gerakkan tangannya, membuat 
beberapa persiapan. Kemudian dia duduk bersila di 
atas pembaringan. Kedua telapak tangannya 
menempel di lutut yang tertekuk. Sebentar napasnya 
ditarik dalam-dalam. Pemuda berbaju kulit harimau 
itu sejenak ingin melemaskan otot-otot dan urat 
syarafnya yang terasa menegang. 
Namun, saat matanya hendak dipejamkan untuk 
bersemadi, mendadak saja telinganya yang terlatih 
mendengar desiran yang begitu halus. 
“Hup!” 
Cepat sekali Pendekar Pulau Neraka melesat turun 
dari pembaringan. Pada saat itu, terlihat seberkas 
cahaya keperakan melesat masuk dari celah-celah 
jendela, dan langsung menghantam pembaringan. 
Padahal, tadi Bayu duduk bersila di sana. Sekilas 
Pendekar Pulau Neraka melirik. 
“Hm...” Bayu hanya menggumam kecil saja. 
Di atas pembaringan beralaskan kain merah muda 
itu, jelas tertancap sebilah pisau kecil tipis sepanjang 
jengkal. Bagaikan kilat, Pendekar Pulau Neraka 
melompat mendekati jendela. Dan begitu jendela 
kamar ini dibuka, mendadak saja secercah cahaya 
keperakan kembali meluruk deras ke arahnya. 
“Hup! Yeaaah...!” 
Cepat sekali Pendekar Pulau Neraka melompat. 
Tubuhnya kemudian melenting dan berputar ke 
belakang. Cahaya keperakan yang memang berupa 
sebilah pisau kecil tipis itu, lewat sedikit di bawah 
tubuhnya. Dan tepat saat pisau itu menancap di 
dinding, kaki Bayu menjejak lantai.

Hanya sekali saja tubuhnya digenjot, dan secepat 
kilat, Pendekar Pulau Neraka melesat ke luar. Begitu 
kakinya menjejak tanah berumput halus, seketika itu 
juga empat buah bayangan hitam berkelebatan cepat 
meluruk deras ke arahnya. Dan sebelum Bayu bisa 
menyadari, mendadak saja empat buah cahaya 
keperakan berkelebat cepat mengarah ke tubuhnya. 
“Yeaaah...!” 
Bergegas tubuh Pendekar Pulau Neraka berputar 
sambil melesat ke udara. Sinar keperakan yang 
berasal dari empat senjata golok, lewat di bawah 
telapak kaki pemuda berbaju kulit harimau ini. Dan 
pada saat itu, cepat sekali Bayu memutar tubuhnya, 
hingga kepala berada di bawah dan kaki lurus ke 
atas. 
“Hiya! Hiyaaa...!” 
Sambil berteriak keras menggelegar, Pendekar 
Pulau Neraka mengibaskan kedua tangannya 
beberapa kali dengan kecepatan bagaikan kilat. 
Kemudian tubuhnya kembari melenting ke udara, dan 
mendarat manis sekali di tanah berumput 
Entah bagaimana caranya, tahu-tahu di tangan 
Pendekar Pulau Neraka itu sudah tergenggam empat 
bilah golok yang cukup besar bercahaya keperakan 
tersiram cahaya rembulan. Tampak tidak jauh di 
depan Bayu, berdiri empat orang berbaju serba hitam. 
Nampaknya, semuanya anak-anak muda yang 
mungkin baru berusia sekitar dua puluh tahun. 
Mereka tampak terkejut setelah melihat orang yang 
diserangnya tahu-tahu sudah merampas senjata 
mereka semua. 
“Siapa kalian?!” tanya Bayu dengan suara tegas 
dan datar. 
Tapi empat orang pemuda berbaju hitam itu, tidak

menjawab sama sekali. Bahkan mencabut sepasang 
senjata yang terselip di pinggang, berupa sepasang 
tongkat pendek sepanjang tiga jengkal berwarna 
merah menyala. Dan sebelum Bayu sempat bertanya 
lagi, tiga orang serentak berlompatan mengepung 
Pendekar Pulau Neraka dari empat jurusan. 
“Hm...,” Bayu hanya menggumam saja. 
Perlahan tubuhnya memutar, dan pandangannya 
berkeliling merayapi empat pemuda berbaju hitam 
bersenjata sepasang tongkat merah yang digerak-
gerakkan di depan dada. Dari desiran angin akibat 
gerakan tongkat itu, Bayu sudah bisa menduga kalau 
keempat orang berbaju serba hitam ini memiliki 
tingkat kepandaian lumayan. 
“Hm..., apa yang kalian kerjakan di tempat ini?” 
kembali Bayu membuka mulutnya bertanya. 
Namun tetap saja tidak ada sahutan sama sekali. 
Bahkan, mendadak saja empat orang anak muda 
berbaju serba hitam itu melesat cepat secara ber-
samaan untuk menerjang Bayu. 
“Yeaaah...!” 
Tidak ada lagi yang bisa dilakukan Pendekar Pulau 
Neraka, kecuali menyambut serangan lawan-lawan 
yang tidak mau berbkara sama sekali. Bagaikan kilat 
tubuh Bayu memutar, lalu melompat ke samping 
kanan. Seketika itu juga tangannya menghentak ke 
samping, mengarah ke perut orang yang berada 
dekat di kanannya. 
Bet! 
Namun pemuda berbaju hitam itu tidak berkelit 
sama sekali. Bahkan cepat sekali tongkatnya yang 
tergenggam di tangan kiri dikibaskan. Bayu jadi 
tersentak kaget bukan main. Cepat tangannya ditarik 
pulang. Terlalu sungkan rasanya untuk mengadu

tangan dengan tongkat merah menyala itu. 
Dan sebelum Pendekar Pulau Neraka bisa me-
lakukan sesuatu, mendadak saja dari arah belakang 
berkelebat sebatang tongkat merah mengarah ke 
kepalanya. 
“Setan! Ups...!” 
Cepat-cepat Bayu merundukkan kepalanya sambil 
mengumpat. Maka kibasan tongkat pendek berwarna 
merah menyala itu lewat sedikit di atas kepalanya. 
Secepat itu pula, Pendekar Pulau Neraka meng-
hentakkan kaki kirinya ke belakang, dan tubuhnya 
ditarik hingga doyong ke depan. 
“Ugkh...!” 
Terdengar keluhan pendek ketika Bayu merasakan 
kakinya menghantam sesuatu. 
Pendekar Pulau Neraka cepat memutar tubuhnya, 
tepat saat orang yang menyerang dari belakangnya 
terhuyung-huyung ke belakang sambil mendekap 
perutnya. Jelas, orang itu terkena hantaman 
Pendekar Pulau Neraka itu. Dan sebelum dia sempat 
melakukan sesuatu, Bayu sudah kembali menyerang 
cepat dan dahsyat luar biasa. 
“Hiyaaa...!”

LIMA

Des! 
“Akh...!” 
Satu jeritan melengking terdengar ketika pukulan 
Pendekar Pulau Neraka yang menggeledek dan 
bertenaga dalam sempurna mengenai sasaran. 
Seketika itu juga terlihat seorang pemuda berbaju 
hitam terpental deras ke belakang dan keras sekali 
terjatuh di tanah. Dan hanya sebentar saja orang itu 
mampu menggeliat, sesaat kemudian sudah tak 
berkutik lagi. Tampak darah mengalir keluar dari 
mulut dan hidungnya. 
Bayu langsung memutar tubuhnya, menghadapi 
tiga orang lainnya yang tampak terkejut melihat 
seorang temannya tewas hanya sekali pukul saja. 
Dan sebelum mereka bisa menghilangkan keter-
kejutannya, mendadak saja Pendekar Pulau Neraka 
sudah melompat cepat menerjang bagai kilat 
“Hiyaaat..!” 
Seketika itu Juga Bayu melepaskan tiga pukulan 
beruntun yang cepat dan mengandung pengerahan 
tenaga dalam tinggi. Serangan Pendekar Pulau 
Neraka yang cepat luar biasa, membuat ketiga orang 
berbaju serba hitam jadi terperangah. 
Mereka cepat berlompatan menghindari serangan 
yang dilancarkan secara mendadak itu. Namun, salah 
seorang terlambat menyelamatkan diri. Maka tak 
pelak lagi satu pukulan Bayu bersarang di tubuhnya. 
Padahal dia telah berusaha melompat meng-
hindarinya.

Bugkh! 
“Akh...!” orang berbaju serba hitam itu memekik 
keras sekali. 
Pukulan Bayu yang begitu keras dan bertenaga 
dalam tinggi, mengakibatkan orang itu terpental 
deras ke belakang Keras sekali tubuhnya meng-
hantam tanah. Dan sebelum mampu menggeliat, 
Bayu sudah melompat bagaikan kilat. Langsung 
didaratkan kakinya di tubuh pemuda berbaju serba 
hitam itu. 
“Hih!” 
Bres! 
''Aaa...!” 
Kembali terdengar jeritan panjang melengking 
tinggi ketika kaki kanan Pendekar Pulau Neraka 
menjejak dada pemuda berbaju serba hitam itu. 
Seketika darah muncrat keluar dari mulutnya. Hanya 
sedikit saja pemuda itu mampu bergerak, sebentar 
kemudian tak berkutik lagi. Mati dengan dada remuk 
dan menghitam. 
Pada saat Bayu melompat menjauhi tubuh yang 
sudah tidak bernyawa, terlihat beberapa prajurit 
berlari-lari berdatangan ke arahnya. Sementara dua 
orang yang mengenakan baju serba hitam, mendadak 
saja mereka melesat cepat bermaksud meninggalkan 
tempat ini. 
“Hey...! Jangan lari kau...!” sentak Bayu agak 
terkejut juga begitu melihat dua orang berpakaian 
serba hitam mendadak saja melesat pergi. 
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Pendekar 
Pulau Neraka melesat cepat mengejar dua orang 
berpakaian serba hitam itu. Begitu sempurna ilmu 
meringankan tubuh yang dimiliki, sehingga mudah 
saja Pendekar Pulau Neraka mengejar mereka.

“Yeaaah...!” 
Keras dan cepat sekali Bayu melepaskan dua 
pukulan ke arah dua orang berbaju hitam itu. Pukulan 
keras dan cepat disertai pengerahan tenaga dalam 
sempurna itu tak dapat dihindari lagi, tepat meng-
hantam tubuh kedua orang berpakaian serba hitam. 
Padahal mereka sedikit lagi akan melewati pagar 
tembok yang tinggi dan kokoh ini. 
Des! 
Dieghk! 
Dua jeritan keras terdengar bersama terpentalnya 
dua orang berbaju hitam. Keras sekali mereka 
meluncur, dan tak pelak lagi menghantam tembok 
tebal yang mengelilingi bangunan kediaman Jawala 
ini. 
Dan sebelum tubuh mereka bisa digerakkan, Bayu 
sudah melesat mengejar. Tangannya sudah terangkat 
tinggi hendak melontarkan satu pukulan yang dapat 
membuat kedua orang itu tewas seketika. Namun 
sebelum niat itu terlaksana, mendadak saja.... 
“Tahan...!” 
Bayu menghentikan arus pukulannya, lalu ber-
paling ke belakang. Tampak Jawala berlari-lari meng-
hampiri diikuti beberapa orang berpakaian seragam 
prajurit pengawal. Sementara dua orang berbaju 
hitam itu hanya bisa merintih, sambil menggeliatkan 
tubuhnya. 
Pukulan Bayu yang keras dan bertenaga dalam 
tinggi, membuat seluruhan tulang mereka seperti 
remuk. Untung saja Pendekar Pulau Neraka tidak 
mengerahkan tenaga dalam secara penuh, sehingga 
mereka tidak tewas seketika. Dan belum juga mereka 
bisa bangkit berdiri, Jawala sudah tiba di tempat itu. 
“Bagaimana mereka bisa berada di sini, Bayu?”

tanya Jawala begitu tiba di samping Pendekar Pulau 
Neraka. 
“Mereka ingin membunuhku,” sahut Bayu dingin. 
Jawala memerintahkan beberapa prajurit yang 
mengikuti untuk menangkap kedua orang itu. Tanpa 
menunggu perintah dua kali, beberapa prajurit 
mendekati kedua orang berbaju hitam dan 
meringkusnya. 
“Masukkan mereka ke tahanan,” perintah Jawala. 
Prajurit-prajurit itu segera melaksanakan perintah 
laki-laki tua berjubah putih itu. Mereka membawa 
kedua orang berbaju hitam ke dalam tahanan yang 
tidak berapa jauh dari tempat ini. Jawala kemudian 
mengajak Bayu kembali ke dalam rumahnya. 
Pendekar Pulau Neraka itu tidak membantah, 
meskipun masih diliputi kegeraman atas kemunculan 
empat orang yang mencoba membunuhnya. 
*** 
Pagi-pagi sekali Bayu sudah berada di depan 
rumah kediaman Narata. Diyakini betul kalau empat 
orang yang mencoba membunuhnya semalam adalah 
suruhan dari pemuda kurus kering yang bernama 
Jarong. Selama ini, semua orang tahu kalau Jarong itu 
kemenakan Narata. Dan Bayu juga sudah diper-
kenalkan pada laki-laki bertubuh gembur dan 
berperut buncit yang bernama Narata. Pendekar 
Pulau Neraka seperti tidak percaya kalau Narata 
bersekongkol dengan kemenakannya itu untuk 
menggulingkan tahta Ratu Nyai Langas. 
Pendekar Pulau Neraka itu semakin menajamkan 
matanya ketika melihat pintu gerbang tempat 
kediaman Narata terbuka. Tampak dari dalam muncul

seekor kuda hitam dan belang putih pada kakinya 
tengah ditunggangi pemuda bertubuh kurus kering. 
Bayu mengawasi terus dari tempat yang cukup 
tersembunyi. 
“Hm...,” Bayu menggumam perlahan saat dari 
dalam juga keluar seekor kuda lain yang ditunggangi 
seorang laki-laki setengah baya bertubuh gemuk. 
Kemudian, muncul lagi sekitar tiga puluh orang 
berkuda dan berseragam prajurit. Mereka semua juga 
membawa senjata lengkap. Bayu yang sudah 
mengenal laki-laki bertubuh gemuk itu, terus 
memperhatikan tanpa berkedip. Kini dua ekor kuda 
bersisian berada paling depan, diikuti tiga puluh 
orang berseragam prajurit 
“Hup!” 
Pendekar Pulau Neraka itu melesat cepat 
menyelinap dari balik pohon ke pohon lain, mengikuti 
rombongan kecil itu. Sementara, terlihat kalau dua 
orang berkuda yang ada di depan sedang bercakap-
cakap. Percakapan itu seperti begitu penting. Malah 
pembicaraan itu menggunakan suara pelan, dan tidak 
terdengar orang lain. Bayu yang mengenali kalau 
mereka itu adalah Narata dan Jarong, mencoba 
mendengarkan pembicaraan itu. 
“Kurasa langkahmu sudah terlalu jauh, Jarong. Aku 
khawatir gerakanmu akan mengundang perhatian 
dan kecurigaan,” kata Narata dengan suara pelan. 
“Semua yang kulakukan demi paman juga,” sahut 
Jarong datar, tanpa tekanan nada suara sedikit pun. 
“Aku hanya menginginkan agar kau berhati-hati 
dulu, Jarong. Nampaknya, pembesar-pembesar di 
istana mulai kasak-kusuk. Meskipun tidak secara 
langsung menuduhku, tapi mereka bisa mencurigaiku 
secara diam-diam.”

“Biarkan saja, Paman. Siapa pun yang mencoba 
macam-macam, umurnya tidak akan panjang,” kalem 
sekali suara Jarong. Namun tetap bernada dingin dan 
datar. 
“Bagaimana kalau untuk sementara waktu dihenti-
kan dulu semuanya?” Narata memberi saran. 
Jarong tampak kaget mendengar ucapan laki-laki 
setengah baya bertubuh gembur itu. Seketika langkah 
kaki kudanya dihentikan dan ditatapnya Narata 
dalam-dalam. Mendapat tatapan begitu tajam, agak 
bergidik juga sekujur tubuh laki-laki gemuk itu. 
“Aku hanya menyarankan saja, Jarong. Itu pun 
kalau dituruti. Kalau tidak.., aku juga tidak 
memaksa,” ralat Narata buru-buru. 
“Kenapa Paman jadi ketakutan begitu?” tanya 
Jarong dingin. Tatapan matanya tetap tajam 
menusuk. 
Narata tidak menjawab, dan hanya menarik napas 
panjang, lalu menghembuskannya kuat-kuat. Laki-laki 
bertubuh gembur dan berperut buncit itu kembali 
menjalankan kudanya. Sementara Jarong pun 
kembali menghentakkan tali kekang kudanya. Ayunan 
langkah kaki kudanya disejajarkan kembali di 
samping kuda pamannya ini. 
Tak ada lagi yang dibicarakan. Mereka terus 
menjalankan kudanya perlahan-lahan membelah 
jalan yang masih terlihat agak sunyi. Hanya beberapa 
orang saja terlihat berada di tepi jalan ini. Memang 
masih terlalu pagi, dan segala kesibukan belum 
sepenuhnya berjalan. Rombongan kecil itu terus 
bergerak menuju Istana Langkat yang berdiri megah 
di tengah-tengah Kotaraja Langkat 
***

Senja sudah merayap turun mendekati malam. 
Rona merah jingga yang mengambang di ufuk Barat, 
menambah indahnya suasana senja itu. Keindahan 
senja yang begitu sedap dinikmati, seperti dilewatkan 
begitu saja oleh seorang wanita berparas cantik, dan 
berpakaian indah gemerlapan. Wanita itu duduk di 
sebuah bangku taman keputren Istana Langkat yang 
indah dan tertata apik sekali. 
Beberapa gadis cantik mengelilingi, dan siap 
melakukan segala yang diperintahkan. Meski 
suasana senja begitu indah, namun tampaknya tidak 
dinikmati wanita cantik itu. Terlihat jelas kalau raut 
wajahnya murung, dan matanya memandang kosong 
ke arah matahari yang hampir tenggelam di 
peraduannya. Di depan wanita yang tak lain adalah 
Ratu Nyai Langas, bersimpuh seorang laki-laki muda 
berwajah tampan mengenakan baju kulit harimau. 
“Jadi, kau ini sebenarnya siapa, kalau bukan 
kemenakan Paman Jawala?” tanya Ratu Nyai Langas. 
Pandangannya lurus, tak berkedip pada wajah 
pemuda tampan berbaju kulit harimau itu. 
Pemuda itu memberi sembah dengan merapatkan 
telapak tangannya di depan hidung. Sikapnya begitu 
hormat sekali, meskipun sebenarnya dia paling tidak 
suka pada aturan seperti ini. Ya...! Karena, pemuda 
berbaju kulit harimau itu adalah Bayu, atau berjuluk 
Pendekar Pulau Neraka. 
“Hamba hanyalah seorang pengembara yang 
kebetulan lewat, Gusti Ratu,” sahut Bayu, penuh rasa 
hormat. 
Ratu Nyai Langas tertegun mendengar pengakuan 
Bayu yang jujur. Dia jadi teringat dengan Jarong, yang 
diakui Narata sebagai kemenakannya. Wanita ayu itu 
menatap Pendekar Pulau Neraka lekat-lekat

“Bagaimana kau bisa bertemu Paman Jawala, dan 
kemudian diakui sebagai kemenakannya?” tanya 
Ratu Nyai Langas lagi. 
Bayu menceritakan semua yang terjadi pada 
dirinya. Dimulai dari pertemuannya dengan Bokor. 
Juga diceritakan tentang surat penting yang khusus 
disampaikan untuk penguasa tunggal Kerajaan 
Langkat ini. Demikian pula pertemuannya dengan 
Paman Jawala dan Paman Rahseta, serta orang-orang 
berbaju serba hitam yang kata Paman Jawala adalah 
kelompok pemberontak. 
“Memang, aku sudah mendengar kalau adanya 
sekelompok orang yang hendak berbuat makar. Tapi, 
aku tidak mengetahui kalau beberapa pembesar ada 
yang terlibat dalam rencana itu. Terlebih lagi, apabila 
pemberontakan itu dikendalikan Kakang Narata. Apa 
kau punya bukti kuat, Bayu?” lembut dan tenang 
sekail nada suara Ratu Nyai Langas. 
“Untuk saat ini, memang belum ada bukti yang 
cukup, Gusti Ratu,” sahut Bayu. 
“Lalu, mengapa kau begitu berani masuk ke 
keputren secara diam-diam, dan mengatakan semua 
ini padaku?” tanya Ratu Nyai Langas lagi. 
“Entahlah, Gusti Ratu. Hamba sendiri tidak tahu, 
mengapa tiba-tiba saja mempunyai pikiran seperti 
itu,” sahut Bayu. 
Pendekar Pulau Neraka memang tidak tahu, 
mengapa sampai berani menemui Ratu Nyai Langas 
secara demikian. Padahal, belum ada bukti kuat 
untuk menyeret Narata ke pengadilan kerajaan atas 
tuduhan hendak melakukan makar. Namun Bayu 
yakin betul kalau Jarong yang diakui Narata sebagai 
kemenakan adalah pemimpin pemberontak yang 
bermarkas di Gunung Landaka. Beberapa kejadian

yang dialaminya memang sudah membuat Pendekar 
Pulau Neraka yakin. Terlebih lagi, dua orang yang 
mencoba membunuhnya semalam sudah mengakui 
kalau mereka mendapat perintah dari Jarong. 
Dan memang, Bayu belum menceritakan kejadian 
semalam pada wanita cantik penguasa tunggal 
Kerajaan Langkat ini. Pendekar Pulau Neraka belum 
ingin mengatakan hal itu, kecuali Paman Jawala 
sendiri yang mengatakannya. 
“Bayu...,” ujar Ratu Nyai Langas setelah terdiam 
beberapa saat 
“Hamba, Gusti Ratu,” sahut Bayu seraya memberi 
sembah dengan merapatkan kedua telapak tangan di 
depan hidung. 
“Bukannya aku tidak mau mempercayai semua 
yang kau katakan. Tapi, aku inginkan bukti yang 
cukup, kalau memang benar Kakang Narata mem-
punyai maksud buruk padaku,” tegas Ratu Nyai 
Langas. 
“Hamba, Gusti Ratu.” 
Meskipun kata-kata Ratu Nyai Langas tidak begitu 
jelas, namun maksudnya sudah bisa dipahami. 
Secara tidak langsung, wanita cantik ini meminta 
Pendekar Pulau Neraka untuk menyelidiki kebenaran 
ceritanya. Dan Bayu memang tidak punya jawaban 
lain lagi, kecuali menyanggupinya. Bagi Pendekar 
Pulau Neraka, sekali sudah terjun, tidak akan 
ditinggalkan begitu saja sebelum tuntas. Terutama 
sekali, sebenarnya Nyai Ratu Langas meminta Bayu 
menyelidiki Jarong. Dan itu dikatakan dengan terus 
terang. 
Dan sekarang, mau tak mau dia sudah terlibat 
dalam kemelut yang melibatkan orang-orang 
berdarah biru di Kerajaan Langkat ini.

*** 
Kaki Bayu terayun perlahan-lahan, melintasi jalan 
berdebu. Sementara senja semakin jauh merayap 
turun. Matahari tidak lagi terasa terik seperti tengah 
hari tadi, membuat suasana terasa begitu indah 
dinikmati Namun keindahan alam ini tidak bisa 
dinikmati Pendekar Pulau Neraka. Otaknya terus 
berputar memikirkan kata-kata Ratu Nyai Langas 
yang baru ditemuinya tadi. 
“Aku merasakan kalau Ratu Nyai Langas seperti 
tidak mempedulikan keadaan ini,” gumam Bayu 
perlahan, berbicara pada dirinya sendiri. 
Memang, Bayu merasakan kalau sikap Ratu Nyai 
Langas begitu tenang. Bahkan terasa sekali ketidak-
peduliannya terhadap masalah yang sedang terjadi di 
sekelilingnya. Bayu sama sekali tidak melihat ada 
kekhawatiran pada diri wanita penguasa Kerajaan 
Langkat yang tengah terancam ini. 
“Berhenti kau, Bayu...!” 
“Eh...?!” Bayu terkejut ketika tiba-tiba terdengar 
bentakan keras dari belakang. 
Pendekar Pulau Neraka memutar tubuhnya, 
berbalik. Keningnya langsung berkerut, dan matanya 
agak menyipit begitu melihat seorang pemuda 
berbaju putih longgar yang didampingi sekitar dua 
puluh orang laki-laki berbaju hitam dan bersenjata 
golok. 
Pandangan Bayu beredar ke sekeliling. Sungguh 
tidak disadari kalau dirinya sudah begitu jauh 
meninggalkan perbatasan kota kerajaan. Dan kini 
tidak terlihat lagi bangunan rumah. Di sekelilingnya, 
yang terlihat hanya pepohonan dan semak belukar 
saja. Agak jauh di belakang orang-orang berbaju

hitam itu, terlihat bangunan batu sebagai tanda dari 
perbatasan kota. Di sana tampak sekitar sepuluh 
orang berpakaian prajurit. Keberadaan prajurit yang 
pasti bisa melihat ke tempat ini, membuat kening 
Bayu jadi berkerenyut. Karena, para prajurit itu 
seperti hanya memandangi saja tanpa berbuat apa-
apa. 
Trek! 
Jarong menjentikkan ujung jarinya. Seketika itu 
juga, orang-orang berpakaian serba hitam ber-
lompatan. Mereka langsung mengepung Pendekar 
Pulau Neraka. Sedangkan Bayu hanya melirik 
merayapi orang-orang yang sudah mengepungnya 
dari segala penjuru. Mereka semua sudah mencabut 
senjata masing-masing, sehingga sinar keperakan 
berkelebatan tertimpa rona jingga sinar matahari. 
Golok mereka kini telah melintang di depan dada. 
“Kau sudah terlalu banyak ikut campur, Bayu,” 
desis Jarong Suaranya dingin agak menggetarkan. 
“Hm...,” Bayu hanya menanggapi dengan 
gumaman saja. 
“Kali ini aku tidak akan sungkan-sungkan lagi, 
kecuali bila kau serahkan selongsong bambu itu 
padaku,” ancam Jarong. Nada suaranya tetap dingin 
menggetarkan. 
“Aku tidak mengerti, apa yang kau inginkan, 
Jarong,” ujar Bayu kalem. “Lagi pula siapa kau 
sebenarnya?” 
“Ha ha ha...! Bokor sudah tewas. Tidak ada lagi 
orang yang dekat dengannya, selain kau, Bayu. 
Sebaiknya serahkan saja benda itu padaku, jika 
masih ingin menikmati indahnya matahari besok,” 
ujar Jarong tanpa mempedulikan pertanyaan Bayu. 
“Seandainya aku memiliki yang kau inginkan, tidak

bakalan kuserahkan padamu, Jarong,” tegas Bayu 
agak mendesis. 
“Keparat..!” geram Jarong, langsung memuncak 
amarahnya mendengar kata-kata Pendekar Pulau 
Neraka. 
Meskipun diucapkan tenang, namun bagi Jarong 
merupakan suatu tantangan yang tidak bisa dianggap 
remeh. Sementara Bayu terus berputar otaknya, dan 
mencari pemikiran tersendiri. 
Untuk beberapa saat suasana di tempat itu 
demikian sunyi. Hanya desiran angin saja yang 
terdengar. Perlahan Pendekar Pulau Neraka meng-
geser kakinya ke kanan beberapa tindak, dan sedikit 
menyunggingkan senyum. Tepat ketika Jarong mem-
beri satu isyarat dengan ujung jarinya, seketika itu 
juga Bayu melesat cepat. Dan.... 
***

ENAM

“Hiyaaa...!” 
Bayu yang merasa tidak ada pilihan lagi, seketika 
itu juga menerjang, mendahului menyerang orang-
orang yang sudah rapat mengepungnya. Gerakan 
Pendekar Pulau Neraka yang begitu cepat dan tidak 
terduga, membuat mereka terperanjat setengah mati. 
Dan sebelum ada yang bisa menyadari, mendadak 
saja terdengar jeritan-jeritan panjang melengking 
tinggi. 
Tampak tiga orang terpental ke belakang disertai 
jeritan panjang melengking tinggi. Darah menyembur 
deras dari tubuh ketiga orang berbaju serba hitam itu. 
Bukan hanya orang-orang berbaju serba hitam saja 
yang terkejut. Bahkan Jarong yang memiliki tingkat 
kepandaian tinggi, juga terperanjat melihat kecepatan 
gerak Pendekar Pulau Neraka. 
“Setan keparat..!” desis Jarong geram. 
Dan sebelum laki-laki kurus itu sempat melakukan 
sesuatu, Bayu sudah kembali bergerak cepat. 
Dihajarnya orang-orang berbaju serba hitam yang 
masih diliputi keterkejutan yang amat sangat. Sesaat 
kemudian, kembali terdengar jeritan panjang 
melengking tinggi yang saling susul. 
“Jangan diam saja! Serang...! Bunuh keparat itu...!” 
teriak Jarong berang setengah mati. 
Seruan pemuda bertubuh kurus kering itu 
membangkitkan kesadaran orang-orang berpakaian 
serba hitam. Seketika itu juga mereka berlompatan 
menyerang Pendekar Pulau Neraka yang baru saja

hendak melancarkan serangan kembali setelah 
merobohkan tujuh orang hanya dua kali gebrakan. 
Seketika itu juga beberapa golok berkelebat cepat 
mengincar tubuh Pendekar Pulau Neraka. Hal ini 
memang sudah diperhitungkan Bayu. Maka dengan 
cepat sekali tubuhnya melenting ke udara. Namun 
pada saat itu, Jarong berseru keras, mengalahkan 
teriakan-teriakan orang-orang berpakaian serba 
hitam. 
“Panah...! Serang...!” 
Sebelum seruan keras menggelegar itu lenyap dari 
pendengaran, mendadak saja dari balik gerumbul 
semak dan pepohonan meluncur anak-anak panah 
dari segala penjuru. Pada saat yang sama, orang-
orang berpakaian serba hitam yang mengeroyok 
Pendekar Pulau Neraka berlompatan cepat ke 
belakang. 
“Setan...!” umpat Bayu geram. 
Cepat-cepat Pendekar Pulau Neraka memutar 
tubuhnya beberapa kali. Sementara, kedua 
tangannya berkelebat cepat, menyampok anak-anak 
panah yang berdesiran di sekitar tubuhnya. 
“Yeaaah...!” 
Beberapa batang anak panah rontok berguguran, 
tertebas tangan Pendekar Pulau Neraka. Dan 
sebagian lagi berhasil dielakkan dengan meliukkan 
tubuhnya. Namun, Bayu jadi gusar juga. Memang, 
panah-panah itu seperti tidak pernah habis, berdesir 
seperti hujan di sekitar tubuhnya. 
“Ha ha ha...! Mampus kau sekarang, Bayu...!” 
Jarong tertawa terbahak-bahak melihat Pendekar 
Pulau Neraka kewalahan menghindari serbuan anak-
anak panah. 
Sementara itu, Bayu memang benar-benar

kerepotan menghadapi serbuan anak panah yang 
datang bagaikan hujan itu. Sama sekali kesempatan 
untuk menarik napas barang sejenak saja tidak 
dimilikinya. Bahkan untuk menjejakkan kakinya di 
tanah saja, kesempatan yang dimiliki tidak begitu 
banyak. Baru saja kakinya dijejakkan, Pendekar Pulau 
Neraka harus kembali melesat ke udara menghindari 
serbuan anak-anak panah. 
“Phuih! Bisa habis napasku kalau begini terus,” 
dengus Bayu kesal. 
Pendekar Pulau Neraka berpikir keras, mencari 
jalan keluar dari serbuan anak panah ini. Dan bibirnya 
jadi tersenyum setelah mengetahui, arah datangnya 
anak panah yang bagaikan hujan ini. 
“Yeaaah...!” 
Mendadak saja Pendekar Pulau Neraka mengecut-
kan tangannya cepat bagai kilat. Dan memang, 
beberapa anak panah berhasil ditangkap, dengan 
sekali kebutan tangannya saja. Lalu secepat itu pula 
tangannya dikibaskan, untuk melepaskan panah-
panah yang berhasil ditangkap tadi. 
Wus...! 
Ada sekitar sepuluh batang anak panah melesat 
balik dengan cepat, melebihi kecepatan datangnya 
tadi. Tak berapa lama kemudian, terdengar jeritan-
jeritan panjang melengking tinggi disusul ber-
jatuhannya tubuh-tubuh yang bersembunyi di balik 
semak dan di atas kerimbunan pepohonan. 
“Hiya! Hiyaaa...!” 
Bagaikan kilat, Pendekar Pulau Neraka kembali 
menyambar panah-panah yang meluruk deras ke 
arahnya. Dan secepat itu pula panah-panah itu 
kembali dilepaskan. Kembali terdengar jeritan-jeritan 
panjang melengking tinggi. Tubuh-tubuh berbaju

hitam pun kembali berjatuhan oleh panah-panah yang 
kini tertancap di tubuh. 
“Keparat..!” geram Jarong yang menyaksikan anak 
buahnya bergelimpangan tak bernyawa lagi. 
Saat hujan anak panah berhenti, Bayu men-
jejakkan kakinya kembali ke tanah. Pendekar Pulau 
Neraka berdiri tegak, menatap tajam pemuda 
bertubuh kurus kering yang berada di belakang orang-
orangnya. 
“Kau hanya sia-sia saja mengganggu kehidupanku, 
Jarong,” ujar Bayu dengan suara dingin meng-
getarkan. 
“Jangan besar kepala dulu, Bayu. Anak kecil pun 
bisa melakukan itu,” ejek Jarong, menutupi 
kegentaran yang mulai merambat hatinya setelah 
melihat kedigdayaan Pendekar Pulau Neraka. 
“Berapa banyak lagi anak buahmu, Jarong? 
Keluarkan semua, biar lebih kunikmati pesta 
pembantaian mereka,” kembali Bayu memanasi 
pemuda kurus kering itu. 
“Kubunuh kau, Setan Keparat..!” geram Jarong 
memuncak amarahnya. 
Meskipun geram bukan main, namun Jarong tidak 
juga bertindak. Rupanya pemuda bertubuh kurus 
kering itu harus berpikir seribu kali untuk menghadapi 
Pendekar Pulau Neraka. Sudah beberapa kali mereka 
bertemu, dan hanya kepahitan saja yang didapat-
kannya. Dia sudah kehilangan begitu banyak anak 
buah, sedangkan Bayu masih tetap tegar, tak kurang 
satu apa pun juga. 
“Tunggulah, Bayu. Kematianmu pasti akan cepat 
datangnya,” desis Jarong mengancam. 
Setelah berkata demikian, pemuda kurus kering itu 
segera memerintahkan orang-orangnya untuk me


ninggalkan tempat ini. Sementara, Jarong pun segera 
melesat pergi cepat sekali. Bayu sama sekali tidak 
mengejar, tapi malah memandang ke arah para 
prajurit yang tetap berada di dekat gerbang 
perbatasan kota. Bahkan tampaknya jumlah mereka 
bertambah. Bayu kemudian mengayunkan kakinya 
mendekati para prajurit itu. 
*** 
Langkah Bayu terhenti sekitar dua tombak di 
depan para prajurit yang seperti menghadangnya. Di 
antara para prajurit itu, terlihat seorang laki-laki 
bertubuh tinggi tegap. Dia duduk di atas punggung 
seekor kuda yang tegap dan berotot Bayu 
mengenalinya sebagai Panglima Narasoma. 
“Kau dilarang menginjakkan kaki kembali di tanah 
Kerajaan Langkat, Anak Muda,” tegas Panglima Nara-
soma langsung, dengan suara lantang. 
“Kenapa?” tanya Bayu agak terkejut juga 
mendengar larangan yang tanpa basa-basi lagi. 
“Kau tidak perlu bertanya alasannya, Anak Muda. 
Yang jelas, kedatanganmu ke sini sudah menimbul-
kan kekacauan dan keresahan,” sahut Panglima 
Narasoma. 
“Hm...,” gumam Bayu pelan, sementara matanya 
agak menyipit. 
Pendekar Pulau Neraka benar-benar tidak 
mengerti, kenapa tiba-tiba saja dilarang memasuki 
Kotaraja Langkat kembali. Bahkan yang langsung 
melarangnya adalah seorang panglima utama yang 
sangat berpengaruh di kalangan prajurit dan 
pembesar-pembesar kerajaan. Bayu semakin yakin 
kalau ada sesuatu yang tidak beres di lingkungan

istana ini. 
“Paman Panglima! Boleh aku tahu, siapa yang 
memerintahkannya?” tanya Bayu ingin tahu. 
“Gusti Narata,” sahut Panglima Narasoma tegas. 
Kembali Bayu menggumam pelan, tapi kini 
bibirnya tersenyum. Sudah bisa ditebak, kenapa 
kakak sepupu Ratu Nyai Langas melarangnya kembali 
memasuki kota. Dan itu berarti, kehadirannya di 
Kerajaan Langkat ini merupakan ancaman tersendiri 
bagi kelancaran niat jahat Narata. 
“Baiklah. Aku akan meninggalkan kerajaan ini 
setelah berpamitan pada Paman Jawala,” ujar Bayu 
menyanggupi setelah agak lama berdiam diri. 
“Tidak perlu,” sahut Panglima Narasoma. 
“Tidak perlu...? Apa maksudmu?” 
“Tidak ada yang bisa kau tanyakan, Anak Muda. 
Aku hanya diperintahkan untuk satu kali saja mem-
peringatkanmu. Dan jika membandel, maka aku 
diperbolehkan bertindak dengan caraku sendiri. Aku 
yakin kau mengerti maksudku.” 
Bayu tidak membuka suara lagi. Dia tahu kalau 
perintah larangan ini hanya sepihak saja. Tapi, 
mendadak saja hatinya mencemaskan Paman 
Jawala. Semua orang di lingkungan istana sudah tahu 
kalau Bayu diakui Paman Jawala sebagai ke-
menakannya. Dan inilah yang membuatnya jadi 
mencemaskan keselamatan laki-laki tua itu. 
“Baiklah. Untuk sementara, aku harus mengalah,” 
bisik Bayu di dalam hati. 
Tanpa berkata apa pun, Pendekar Pulau Neraka 
memutar tubuhnya dan berjalan perlahan menuju 
hutan yang menghadang di depannya kini. Sementara 
itu Panglima Narasoma sudah memberi aba-aba 
kepada para prajuritnya untuk meninggalkan

perbatasan ini. Sedangkan Bayu sudah semakin jauh 
saja mendekati hutan. 
*** 
Malam sudah demikian larut menyelimuti alam 
Kerajaan Langkat Angin yang berhembus kencang 
menyebarkan udara dingin, membuat semua orang 
lebih senang berlindung di bawah selimut. Sehingga, 
seluruh Kotaraja Kerajaan Langkat ini seperti sebuah 
kota mati saja layaknya. Tak ada seorang pun terlihat 
berkeliaran di jalan. Bahkan suara binatang malam 
pun tak terdengar bergerit seakan-akan enggan mem-
perdengarkan suaranya. 
Namun dalam kesunyian malam ini, ternyata ada 
juga sebuah bayangan yang berkelebat cepat 
menyelinap dari satu atap rumah ke rumah lainnya. 
Bayangan itu bergerak cepat sekali, sehingga sukar 
dikenali secara jelas. Terlebih lagi, malam ini langit 
tertutup awan tebal menghitam. Sehingga, cahaya 
bulan tak kuasa untuk menembusnya agar memberi 
sedikit cahayanya ke permukaan bumi. 
Tap! 
Bayangan itu berhenti tepat di atas sebuah atap 
rumah yang cukup besar, dikelilingi tembok batu yang 
tinggi dan kokoh. Beberapa orang berseragam prajurit 
terlihat di beberapa tempat, melindungi diri dari 
terpaan angin malam yang dingin menggigilkan. 
Untuk sesaat, awan hitam yang menggumpal di 
langit sedikit tersibak sorot cahaya bulan. Namun 
sesaat kemudian, awan kembali menggumpal 
membuat seluruh alam menjadi pekat. Namun 
cahaya bulan yang sempat menyinari sesaat tadi, 
sudah cukup untuk bisa mengenali orang yang


berada di atas atap itu. Dia seorang pemuda 
bertubuh tegap berisi, dan berparas tampan. Yang 
sangat dikenali adalah pakaiannya, karena terbuat 
dari kulit harimau. Pemuda itu memang Pendekar 
Pulau Neraka yang memiliki nama asli Bayu. 
Pendekar Pulau Neraka sedikit menyipitkan 
matanya saat mendengar isak lirih dan tertahan, 
tepat di bawah atap ini. Sebentar pandangannya 
beredar ke sekeliling. Lalu.... 
“Hup!” 
Ringan sekali, pemuda berbaju kulit harimau itu 
melompat turun dari atap. Dan tanpa menimbulkan 
suara sedikit pun, kakinya mendarat tepat di depan 
pintu yang langsung menuju ke dalam. Perlahan Bayu 
membuka pintu itu, kemudian melangkah masuk hati-
hati sekali. Ayunan langkahnya begitu ringan, dan tak 
bersuara sedikit pun juga. Pendekar Pulau Neraka 
memang menggunakan ilmu meringankan tubuh yang 
sudah mencapai taraf kesempurnaan. 
Langkahnya terhenti setelah tiba di depan pintu 
yang tidak tertutup rapat. Sedikit cahaya pelita 
menerobos keluar, dengan sinarnya yang redup. 
Suara isak lirih yang tertahan itu jelas datang dari 
balik pintu ini. Dan Pendekar Pulau Neraka tahu kalau 
di balik pintu ini merupakan sebuah kamar seseorang 
yang dikenalnya. Perlahan-lahan pintu itu didorong-
nya. 
Bayu tertegun begitu melihat seorang gadis 
berusia sekitar delapan belas tahun, tengah duduk di 
atas ranjang. Rambutnya terurai acak-acakan. 
Bahkan bajunya tidak karuan letaknya, sehingga 
menampakkan beberapa bagian tubuh yang berkulit 
putih dan halus sekali. 
“Nilakandi...,” pelan sekali suara Bayu seraya

melangkah mendekati 
Pendekar Pulau Neraka memang sudah mengenal-
nya. Dan panggilannya tadi cukup membuat gadis itu 
terkejut. Namun begitu mengenali orang yang 
memanggilnya, gadis yang bernama Nilakandi itu 
beranjak bangkit dari pembaringan. Dia menghambur, 
memeluk Bayu. Saat itu juga, tangisnya meledak 
dalam dada Pendekar Pulau Neraka. Untuk beberapa 
saat lamanya, Bayu tidak bisa berbuat apa-apa. 
Bahkan untuk bersuara saja, tenggorokannya seakan-
akan tersumbat. 
“Ada apa, Nilakandi?” tanya Bayu lembut, setelah 
tangis gadis itu sedikit reda. 
“Ayah.... Ayah, Kakang...,” suara Nilakandi ter-
sendat. 
“Ada apa dengan Paman Jawala?” tanya Bayu. 
Seketika itu juga, perasaan Bayu jadi tidak 
menentu. Pendekar Pulau Neraka merasa seakan-
akan jantungnya berhenti berdetak. Bahkan seluruh 
aliran darah dalam tubuhnya, bagai terbalik mengalir. 
Berbagai macam dugaan dan perasaan, berkecamuk 
di hatinya. 
“Katakan, Nilakandi. Apa yang terjadi terhadap 
Paman Jawala?” desak Bayu dengan nada suara agak 
tertahan. 
Namun Nilakandi malah sukar menjawab. Kembali 
tangisnya pecah dalam pelukan Pendekar Pulau 
Neraka. Maka Bayu pun tak dapat lagi mendesak. Dia 
jadi kebingungan sendiri, menghadapi keadaan gadis 
ini. Perlahan-lahan pelukan gadis itu dilepaskan. Bayu 
membawanya duduk di tepi pembaringan yang acak-
acakan. 
Untuk beberapa saat, Bayu mendiamkan saja 
gadis itu untuk menguras air matanya. Dia sendiri

tidak tahu, apa yang harus diperbuat untuk me-
nenangkan gadis ini. Pendekar Pulau Neraka 
memang paling tidak mengerti untuk menghadapi 
seorang gadis yang tengah kacau perasaannya. 
Terlebih lagi kalau tengah menangis begini. Dia hanya 
bisa diam dan menunggu sampai tangis itu reda. 
Memang hanya itu yang bisa dilakukannya. 
“Katakan, Nilakandi. Apa yang terjadi pada Paman 
Jawala?” tanya Bayu, setelah gadis itu mulai sedikit 
tenang. Dan isak tangisnya juga mulai mereda. 
“Ayah..., Ayah tewas terbunuh,” sukar sekali 
Nilakandi menjawabnya. 
“Apa...?!” 
*** 
Bayu seperti tidak percaya kalau Paman Jawala 
tewas terbunuh. Namun ketidakpercayaannya luntur 
karena yang mengatakannya justru anak gadis 
Paman Jawala sendiri. Maka berita itu harus diper-
cayainya, meskipun ada perasaan tidak percaya. 
“Kapan kejadiannya?” tanya Bayu setelah bisa 
menguasai dirinya kembali. 
“Siang tadi,” sahut Nilakandi, masih dengan suara 
tersendat 
Bayu termenung diam. Siang tadi dia berada 
dalam keputren, untuk berbicara pada Ratu Nyai 
Langas. Dan sekeluarnya dari sana, langsung menuju 
ke perbatasan dekat Hutan Landaka. Di sana 
Pendekar Pulau Neraka bertarung melawan orang-
orang berbaju hitam yang langsung dipimpin oleh 
Jarong. 
“Siapa yang melakukannya, Nilakandi?” tanya 
Bayu lagi.

Nilakandi hanya menggelengkan kepalanya 
dengan lemah sekali. Ditatapnya dalam-dalam 
pemuda tampan di sampingnya ini. Bibirnya seakan-
akan hendak mengatakan sesuatu, namun terasa 
sukar untuk bersuara sekecil apa pun juga. Saat itu, 
Bayu sama sekali tidak memperhatikan. Perasaan 
Pendekar Pulau Neraka saat ini tidak menentu sekali. 
Bahkan terasa sukar sekali membuka jalan 
pikirannya. 
Untuk beberapa saat lamanya, tak ada yang 
berbicara lagi. Semua terdiam, sibuk bersama pikiran 
masing-masing. Sedangkan Bayu masih mereka-reka, 
siapa orang yang begitu tega membunuh Paman 
Jawala. Sedangkan, tidak mungkin Pendekar Pulau 
Neraka bertanya pada gadis ini, karena tampaknya 
Nilakandi tidak tahu pembunuh ayahnya. 
“Nilakandi, apakah Paman Rahseta sudah tahu?” 
tanya Bayu yang kemudian teringat Rahseta. 
“Sudah. Tapi..,” jawaban Nilakandi terputus. 
“Tapi, kenapa?” desak Bayu. 
“Paman Rahseta dipenjara.” 
“Dipenjara...?! Kenapa...?” lagi-lagi Bayu tersentak 
kaget 
“Aku tidak tahu pasti. Tapi katanya, Paman 
Rahseta merencanakan pemberontakan pada Ratu 
Nyai Langas,” Nilakandi mencoba menjelaskan. 
“Siapa yang menangkapnya?” tanya Bayu lagi. 
“Gusti Narata.” 
Bayu mendesis kuat setelah mendengar kalau 
yang menangkap dan menjebloskan Paman Rahseta 
ke penjara adalah Narata, kakak misan dari Ratu Nyai 
Langas. Kembali Pendekar Pulau Neraka terdiam 
membisu. Maka suasana dalam kamar itu pun terasa 
sunyi sekali. Tak terdengar suara sedikit pun juga.

Hanya tarikan napas yang masih terdengar jelas, 
disertai isak tertahan yang sekali-sekali saja. 
“Kau sudah melaporkan pada Ratu Nyai Langas?” 
tanya Bayu setelah terdiam agak lama juga. 
“Sudah,” sahut Nilakandi. 
“Lalu, apa tanggapannya?” 
“Kanjeng Ratu Nyai Langas akan mencari 
pembunuhnya.” 
Bayu hanya menarik napas dalam-dalam saja, 
kemudian menghembuskannya kuat-kuat. Bayu 
memang sudah menduga kalau Ratu Nyai Langas 
akan menjawab seperti itu. Hal inilah yang mem-
buatnya jadi bertanya-tanya dalam hati. Dan yang 
pasti, Ratu Nyai Langas pasti mempunyai maksud 
tertentu. Hanya saja, Bayu belum bisa menebaknya. 
***

TUJUH

Malam itu juga, Pendekar Pulau Neraka menyelinap 
ke dalam kediaman Narata. Tidak seperti tempat 
tinggal pembesar lainnya, tempat tinggal Narata 
mendapat pengawalan sangat ketat. Sebenarnya laki-
laki tambun itu memang bukan pembesar biasa, tapi 
kakak sepupu Ratu Nyai Langas. Namun, jabatan 
yang dipegang Narata di Kerajaan Langkat ini 
memang penting sekali. Bahkan bisa dikatakan dialah 
yang mengendalikan jalannya roda pemerintahan. 
“Hm...,” Bayu menggumam perlahan ketika melihat 
Narata melintas di dalam sebuah ruangan. 
Dengan gerakan ringan sekali, Pendekar Pulau 
Neraka melompat, dan mendarat di samping jendela 
ruangan yang tampak terang. Bayu merapatkan 
punggungnya ke dinding bangunan besar dan megah 
ini. Sedikit kepalanya dijulurkan melihat keadaan 
dalam ruangan ini Tak ada seorang pun yang terlihat. 
Padahal, dia tadi melihat Narata berada di dalam 
ruangan ini. 
“Apa yang kau cari, Bayu...?” 
“Heh...?!” Bayu tersentak kaget ketika tiba-tiba 
saja terdengar suara orang menegurnya. 
Dan sebelum wajahnya sempat dipalingkan ke 
arah suara itu, mendadak saja satu desiran halus 
terdengar. Bayu belum bisa melakukan sesuatu, tahu-
tahu dadanya terasa dihantam keras sekali. 
Dieghk! 
“Akh...!” 
Bruk!

Begitu kuatnya hantaman tadi, sehingga tembok 
batu yang berada di belakang Pendekar Pulau Neraka 
hancur berantakan. Tubuh pemuda berbaju kulit 
harimau itu terpental masuk ke dalam ruangan, 
bersama reruntuhan dinding batu ruangan ini. 
Beberapa kali Bayu bergelimpangan di atas lantai 
batu pualam yang licin, dingin, dan berkilat 
Dan sebelum sempat bangkit berdiri, mendadak 
satu tendangan keras mendarat di tubuhnya. Kembali 
Pendekar Pulau Neraka memekik tertahan, dan 
tubuhnya terpental bergulingan di lantai. Namun 
sebelum berhenti kembali sebuah bayangan putih 
berkelebat cepat hendak menerjangnya. Namun kali 
ini, Bayu tidak akan memberikan tubuhnya menjadi 
sasaran kembali. 
“Hup! Yeaaah...!” 
Bagaikan kilat, Pendekar Pulau Neraka me-
lentingkan tubuhnya ke udara, dan berputaran 
beberapa kali. Bayangan putih itu lewat di bawah 
tubuhnya. Dan dengan gerakan ringan, kakinya 
mendarat di lantai, tepat ketika bayangan putih itu 
berbalik. 
“Jarong...,” desis Bayu mengenali orang yang 
menyerangnya. 
“Kau terlalu berani datang ke sini, Pendekar Pulau 
Neraka,” desis Jarong dingin. 
“Heh...! Dari mana kau tahu julukanku?” tanya 
Bayu terkejut 
“Tidak sukar membongkar kedok busukmu, 
Pendekar Pulau Neraka,” tetap dingin nada suara 
Jarong. “Orang lain boleh gentar mendengar julukan-
mu. Tapi di sini, kau tidak akan mampu berbuat 
macam-macam.” 
Pada saat itu, beberapa orang berpakaian serba

hitam dan beberapa prajurit sudah memasuki 
ruangan ini Dan mereka langsung mengepung 
ruangan yang cukup besar dan bertata indah ini. Tak 
berapa lama kemudian, dari sebuah pintu muncul 
seorang laki-laki setengah baya bertubuh gembur dan 
berperut buncit seperti gentong. Bayu mengenalinya. 
Siapa lagi kalau bukan Narata. 
Laki-laki bertubuh gemuk itu langsung mendekati 
Jarong, yang berada sekitar satu tombak di depan 
Bayu. Ditatapnya tajam-tajam Pendekar Pulau 
Neraka. Sedangkan yang dipandangi malah meng-
edarkan pandangannya ke sekeliling. Bayu menyadari 
kemungkinan untuk bisa keluar dari ruangan ini kecil 
sekali. Jumlah pengepungnya begitu banyak dan 
rapat sekali. Bahkan terlihat, sekitar dua puluh 
prajurit sudah siap dengan busur terentang dan siap 
dilepaskan anak panahnya. 
“Bagaimana dia bisa masuk ke sini, Jarong?” tanya 
Narata. Pandangan matanya tidak terlepas dari 
Pendekar Pulau Neraka. 
“Aku memang sengaja menjebaknya,” sahut 
Jarong kalem. Tapi nada suaranya terdengar datar 
dan dingin sekali. 
“Bukankah kau telah menempatkan penjagaan 
ketat?” 
“Memang benar. Tapi, satu sisi kubiarkan lowong. 
Ternyata dia tidak sepandai yang kukira. Terlalu tolol 
untuk masuk dengan mudah,” sinis sekali suara 
Jarong. 
Pendekar Pulau Neraka yang mendengarkan 
percakapan itu jadi menggeram. Dia memang melihat 
kalau penjagaan di tempat kediaman Narata ini ketat 
sekali. Dan hanya ada satu sisi yang kelihatannya 
tidak ketat dijaga. Namun sama sekali tidak disangka,

kalau kedatangannya sudah ditunggu. Dan ini 
merupakan jebakan halus yang tidak terduga sama 
sekali. 
Sementara itu, Narata melangkah tiga tindak 
mendekati Pendekar Pulau Neraka. Dipandanginya 
pemuda berbaju kulit harimau itu dari ujung kepala 
hingga ke ujung kaki. Seakan-akan sedang 
menyelidiki, atau mungkin menilai pemuda di 
depannya ini. 
“Untuk apa kau menyelinap ke rumahku?” tanya 
Narata, dingin nada suaranya. 
“Untuk meminta kembali Paman Rahseta,” tegas 
Bayu. 
“Meminta? Kau pikir Rahseta ada di sini, heh...?!” 
“Kau sudah membunuh Paman Jawala, dan 
menculik Paman Rahseta. Sekarang kedatanganku 
ke sini untuk membebaskannya, juga untuk mem-
balas kematian Paman Jawala,” tetap tegas nada 
suara Bayu. 
“Ha ha ha...!” Narata tertawa terbahak-bahak 
mendengar jawaban tegas Pendekar Pulau Neraka. 
Sedangkan Jarong hanya tersenyum tipis saja. 
Sementara Bayu sama sekali tidak bertindak. 
Kedatangannya ke tempat ini memang hendak 
membebaskan Rahseta, yang menurut Nilakandi 
diculik anak buah Narata. Dan setelah mendengar 
pengakuan Jarong yang katanya sengaja menjebak, 
Pendekar Pulau Neraka semakin yakin kalau memang 
merekalah yang membunuh Jawala dan menculik 
Rahseta. 
“Kau terlalu gegabah menuduhku seperti itu, Anak 
Muda. Memang kuakui kalau di antara kami tidak 
pernah ada kecocokan. Tapi untuk melakukan 
perbuatan pengecut begitu, tidak pernah terlintas di

dalam pikiranku,” tegas Narata setelah tawanya reda. 
“Mungkin kau memang tidak melakukannya. Tapi 
kemenakan palsumu itu yang mungkin melakukan 
atas perintahmu,” sambut Bayu, tetap dingin nada 
suaranya. 
“Bedebah...! Kau telah menghinaku, Anak Muda!” 
geram Narata. 
“Biar aku yang tangani setan kurang ajar ini, 
Paman,” selak Jarong. 
Dan sebelum Narata menjawab, Jarong sudah 
menjentikkan ujung jari tangannya. Seketika itu juga, 
empat orang berpakaian serba hitam sudah 
melompat maju. Mereka semua membawa rantai baja 
hitam yang cukup panjang, yang pada ujungnya 
terdapat bola-bola berduri. Mereka langsung 
memutar-mutar rantai baja hitam itu kuat-kuat, 
sehingga memperdengarkan suara deru angin yang 
keras. 
“Hm...,” Bayu hanya menggumam kecil saja. 
“Serang..!” teriak Jarong tiba-tiba. 
“Hiyaaa...!” 
“Yeaaah...!” 
“Hup!” 
*** 
Bagaikan kilat, Bayu melompat begitu empat orang 
berpakaian serba hitam melontarkan rantainya. Suara 
berdesir terdengar saat rantai-rantai berujung bola-
bola berduri itu meluruk deras ke arah Pendekar 
Pulau Neraka. Tepat ketika ujung bola-bola berduri itu 
dekat, dengan cepat sekali Pendekar Pulau Neraka 
memutar tubuhnya. Dan tahu-tahu, empat ujung 
rantai itu sudah tergenggam dalam tangan Bayu.

Rrrt..! 
Sekali sentak saja, empat orang berbaju hitam itu 
terpental ke udara. Pekikan-pekikan keras terdengar 
saling susul. Dan sebelum ada yang menyadari, Bayu 
sudah melesat sambil melontarkan beberapa pukulan 
keras bertenaga dalam tinggi. 
“Yeaaah...!” 
Kembali terdengar jeritan-jeritan panjang 
menyayat yang saling susul. Kemudian empat tubuh 
berbaju hitam terpental keras menghantam lantai. 
Tepat ketika Pendekar Pulau Neraka menjejakkan 
kakinya di lantai, mereka sudah tidak bergerak-gerak 
lagi. Mati. Dada mereka remuk, terhantam pukulan 
keras yang dilontarkan Bayu. 
“Keparat..!” desis Jarong geram, melihat empat 
orang anak buahnya tewas hanya sekali gebrakan 
saja. 
Sementara itu, Bayu sudah berdiri tegak dengan 
pandangan menusuk ke arah pemuda bertubuh kurus 
kering itu. Sedangkan Narata tampak sudah 
menyingkir. Untuk beberapa saat, suasana di dalam 
ruangan ini jadi sunyi senyap. Semua orang yang 
sebelumnya telah siap di sekeliling ruangan besar 
dan megah ini menjadi terpaku melihat kehebatan 
Pendekar Pulau Neraka. Hanya dalam sekali gebrak 
saja, pendekar digdaya itu sudah berhasil 
menewaskan empat orang sekaligus! 
“Kenapa kalian diam saja...? Serang dan bunuh 
manusia keparat itu...!” teriak Jarong keras meng-
gelegar. 
Bagaikan lebah yang sarangnya dihantam kayu, 
orang-orang berpakaian serba hitam yang 
mengelilingi ruangan ini, serentak berlompatan 
sambil berteriak-teriak mengeroyok Pendekar Pulau

Neraka. Dan hal ini memang sudah diperhitungkan. 
Maka tanpa membuang waktu lagi, pemuda berbaju 
kulit harimau itu segera melesat ke udara. Tubuhnya 
langsung meruruk deras ke arah orang-orang yang 
berada di depannya. 
“Yeaaah...!” 
Cepat sekali gerakan Bayu saat melontarkan 
beberapa pukulan keras beruntun bertenaga dalam 
tinggi ke arah orang-orang yang berada di depannya. 
Pendekar Pulau Neraka memang semakin geram 
saja. Tapi saat ini sangat kecil kemungkinan untuk 
mendekati pemuda kurus kering itu. Sedangkan 
untuk keluar dari keroyokan ini saja, Bayu masih 
terus mencari celah. Dan celah itu harus didapat 
sebelum tenaganya terkuras habis. 
*** 
“Hiyaaa...!” 
Mendadak saja Bayu berteriak keras menggelegar. 
Dan seketika itu juga, tubuhnya melesat cepat bagai 
kilat ke udara. Sementara tangan kanannya mengibas 
cepat ke atas, melepaskan Cakra Maut yang merupa-
kan senjata andalannya. Sesaat kemudian, terdengar 
ledakan keras menggelegar ketika secercah cahaya 
keperakan melesat bagai kilat menghantam atap 
ruangan ini. 
Dan secepat itu pula, Bayu melesat menerobos 
atap yang jebol berantakan. Begitu cepatnya, 
sehingga tak ada seorang pun yang bisa menyadari. 
Dan tahu-tahu, Pendekar Pulau Neraka sudah berdiri 
di atas atap bangunan besar dan megah ini. Pemuda 
berbaju kulit harimau itu mengangkat tangannya ke 
atas, maka senjata bersegi enam keperakan itu

melesat ke arahnya dan langsung melekat di 
pergelangan tangan kanannya. 
“Kejar...!” mendadak saja terdengar teriakan keras 
dari dalam ruangan itu. 
Belum lagi suara teriakan itu menghilang, men-
dadak dari atap yang jebol berlompatan orang-orang 
berbaju serba hitam. Saat itu Bayu sempat me-
ninggalkan tempat ini. Dan kini sudah kembali 
diserang orang-orang berbaju serba hitam. 
“Yeaaah...!” 
Sambil memiringkan tubuh ke kiri, Bayu mengibas-
kan tangan kanannya ke depan. Seketika, cakra 
bersegi enam berwarna keperakan di pergelangan 
tangan kanannya melesat cepat menghajar orang 
yang berada paling dekat 
Cras! 
“Aaa...!” satu jeritan panjang melengking tinggi 
terdengar menyayat 
Sebelum jeritan itu menghilang dari pendengaran, 
seorang berbaju hitam terguling dengan leher sobek 
hampir buntung. Bayu cepat menarik tangan kanan-
nya ke atas, maka secepat itu pula dihentakkan 
kembali. Cakra Maut yang baru saja tercabut dari 
leher yang menganga lebar kembali melesat dan 
menghajar seorang lagi. Untuk kedua kalinya, ter-
dengar jeritan panjang melengking tinggi. 
“Hiya! Hiya! Hiyaaa...!” 
Bayu menggerak-gerakkan cepat tangan kanan-
nya, diimbangi gerakan kaki yang lincah dan ringan. 
Senjata Cakra Maut yang menjadi andalan Pendekar 
Pulau Neraka bagai memiliki mata saja. Cakra Maut 
berkelebat cepat menyambar orang-orang berbaju 
serba hitam. 
Jeritan-jeritan panjang melengking tinggi terdengar

saling sambut, disusul bergelimpangannya tubuh-
tubuh berbaju serba hitam berlumur darah dari atas 
atap. Hingga dalam waktu tidak berapa lama saja, 
Bayu sudah mendapat kesempatan untuk melarikan 
diri dari kepungan itu. 
“Yeaaah...!” 
Begitu mempunyai kesempatan, secepat itu pula 
tubuh Bayu melenting, meluruk deras ke bawah. Dan 
saat kakinya menjejak tanah berumput, secepat itu 
pula tubuhnya kembali melesat cepat melompati 
pagar tembok yang tinggi dan kokoh. 
Slap! 
Begitu sempurnanya ilmu meringankan tubuh yang 
dimiliki Pendekar Pulau Neraka. Dalam waktu sekejap 
mata saja, bayangan tubuhnya telah lenyap tertelan 
kegelapan malam. Bersamaan dengan meng-
hilangnya Pendekar Pulau Neraka, dari dalam 
bangunan besar dan megah tempat kediaman Narata 
bermunculan orang-orang berbaju serba hitam. 
Sementara, Jarong dan Narata sudah mendahului 
mereka. Sedangkan para prajurit berseragam dan 
bersenjata lengkap berada paling akhir. 
“Keparat..!” desis Jarong geram. 
*** 
Malam terus merayap semakin larut. Udara pun 
terasa semakin bertambah dingin oleh hembusan 
angin kencang. Namun keadaan alam yang nampak 
tidak ramah ini tidak membuat lari Bayu terhenti. 
Pendekar Pulau Neraka terus berlari cepat mem-
pergunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah 
mencapai taraf kesempurnaan. Begitu cepatnya, 
seolah-olah berlari di atas angin saja. Yang terlihat

hanya kelebatan bayangannya saja yang mirip hantu. 
Bayu baru menghentikan larinya setelah tiba di 
depan pintu sebuah rumah besar dan megah, 
dikelilingi pagar tembok batu yang cukup tinggi 
Sebentar napasnya ditarik dalam-dalam. Bibirnya 
sedikit meringis saat menarik napas tadi. Kemudian 
tangannya mengetuk pintu kayu jati tebal yang 
tertutup itu. 
Tok, tok tok...! 
Tak ada sahutan sama sekali. Bayu kembali 
mengetuk pintu lebih keras lagi, lalu sebentar 
menunggu. Dari balik pintu terdengar suara langkah 
terseret. Tak berapa lama kemudian, pintu kayu jati 
berukir ini terbuka sedikit. Dari dalam menyembul 
sebuah kepala seorang gadis yang wajahnya kusut 
dan rambutnya acak-acakan. Langsung pintu itu 
dibuka lebar-lebar begitu melihat siapa yang berdiri di 
depannya. 
Bayu bergegas masuk dan menutup pintu kembali. 
Sebentar diintipnya keadaan di luar dari celah 
jendela. Kemudian napasnya ditarik dalam-dalam. 
Sambil menghembuskan napas panjang, Pendekar 
Pulau Neraka menghempaskan tubuhnya di kursi 
rotan yang ada di samping pintu ini. Sementara gadis 
itu hanya memandangi saja dengan kening berkerut 
dalam. 
“Ada apa, Kakang? Heh...! Kenapa punggung-
mu...?” 
Gadis itu tampak terkejut. Bayu meraba punggung-
nya yang terasa perih. Ujung jari tangannya me-
rasakan adanya cairan hangat merembes dari 
punggungnya. Bayu kembali membawa tangannya ke 
depan. 
“Darah...,” desis Bayu.


Sama sekali Pendekar Pulau Neraka tidak 
menyadari kalau punggungnya terluka. Bahkan sama 
sekali tidak tahu, kapan dan bagaimana punggungnya 
bisa terluka seperti ini. Bayu melirik gadis berparas 
cantik itu, yang bergegas ke belakang. Dan tak 
berapa lama kemudian sudah kembali lagi sambil 
membawa semangkuk besar air dan kain. 
Tanpa berkata apa-apa, gadis itu memutar tubuh 
Pendekar Pulau Neraka. Dibersihkannya darah yang 
mengalir di punggung pemuda berbaju kulit harimau 
itu. Sedikit Bayu meringis saat merasakan kain yang 
basah menyentuh luka di punggungnya. 
“Sakit..?” tanya gadis itu. 
“'Tidak,” sahut Bayu seraya meringis. “Besar 
lukanya, Nilakandi?” 
“Cukup panjang, tapi tidak dalam,” sahut gadis itu 
yang ternyata Nilakandi, putri Paman Jawala. 
Bayu terpaksa membuka baju saat gadis itu 
hendak membalut luka di punggungnya. Kembali 
Bayu meringis sedikit. Dia mencoba mengingat-ingat 
pertarungan di tempat kediaman Narata tadi 
“Hm.... Mungkin aku tertuka sewaktu berada di 
atap...,” gumam Bayu menduga-duga dalam hati. 
“Sudah,” ujar Nilakandi setelah membalut luka di 
punggung Pendekar Pulau Neraka. 
Bayu kembali mengenakan pakaiannya yang 
terbuat dari kulit harimau. Sementara Nilakandi mem-
bereskan peralatan yang digunakan untuk membalut 
luka di punggung Pendekar Pulau Neraka. 
“Tadi Panglima Narasoma ke sini. Dia me-
nanyakanmu,” Nilakandi memberi tahu. 
“Apa jawabmu” tanya Bayu. 
“Kubilang kau sudah pergi,” sahut Nilakandi. 
“Hm..., ada apa dia mencariku...?” gumam Bayu

seperti bertanya untuk dirinya sendiri. 
“Panglima Narasoma tidak mengatakan apa-apa. 
Dia langsung pergi begitu kukatakan kau sudah 
pergi,” kata Nilakandi lagi. 
Bayu hanya diam saja. 
“Kakang, ada sesuatu yang ingin kuberikan 
padamu,” kata Nilakandi lagi. 
Bayu mengangkat kepalanya, memandang gadis 
itu. 
“Apa?” 
Nilakandi mengeluarkan selongsong bambu yang 
terikat pita biru dari balik lipatan bajunya. Sebentar 
Bayu memandangi, kemudian menerima selongsong 
bambu itu. Sesaat, diperhatikannya selongsong 
bambu itu, kemudian dibuka tutupnya. Dari dalamnya 
dikeluarkannya beberapa lembar daun lontar yang 
penuh coretan tulisan. 
Kening Pendekar Pulau Neraka itu berkerut saat 
membaca tulisan yang tertera di atas selembar daun 
lontar. Sebentar dipandangnya Nilakandi, kemudian 
kembali menekuri tulisan-tulisan yang tertera di atas 
lembaran daun lontar itu. 
“Dari mana kau dapatkan ini?” tanya Bayu. 
“Aku menemukannya di Keputren Ratu Nyai 
Lengas, ketika sedang bermain di sana,” sahut 
Nilakandi. 
“Kau tahu apa isinya?” tanya Bayu lagi seraya 
memasukkan daun lontar itu ke dalam selongsong 
bambu, kemudian menutup kembali ujungnya. 
Nilakandi hanya mengangguk saja, menjawab 
pertanyaan Pendekar Pulau Neraka itu. Gadis itu 
memang sudah melihat isi surat itu, makanya kini 
diberikan pada Bayu. Dia sendiri terkejut setelah 
mengetahui kalau tulisan yang tertera pada lembaran

daun lontar berisi nama-nama pembesar yang 
berkomplot untuk menggulingkan tahta Ratu Nyai 
Langas. Bahkan semua pemberontakan tertulis di 
sana. Yang lebih mengejutkan lagi, tulisan itu dibuat 
oleh Narata! 
Yang membuat Bayu bertanya-tanya, untuk apa 
Narata menulis semua ini? Dan kenapa sampai 
berada di tangan Bokor? Memang, surat ini bisa 
menjadi bukti kuat untuk menggulung komplotan 
pemberontak itu. Dan di dalam surat ini, juga tertulis 
kalau penggulingan kekuasaan dilaksanakan tepat 
saat Ratu Nyai Langas melakukan pemujaan di 
sebuah puri yang terletak di tengah Hutan Landaka. 
Dan itu berarti tinggal tiga hari lagi. Sementara, 
seluruh Hutan Landaka kini sudah dikuasai oleh 
kaum pemberontak. 
“Aku harus segera memberi tahu Ratu Nyai 
Langas,” gumam Bayu agak mendesis. 
“Memang lebih cepat lebih baik, Kakang,” sambut 
Nilakandi. 
“Kau diam saja di sini, Nilakandi. Jangan ke mana-
mana,” tegas Bayu seraya bangkit berdiri. 
“Tapi, punggungmu...” 
“Hanya luka kecil, tidak apa-apa.” 
Nilakandi tidak bisa mencegah lagi, karena cepat 
sekali Pendekar Pulau Neraka melompat ke pintu. 
Dan secepat itu pula pintu dibuka, lalu tubuhnya 
sudah lenyap tak terlihat lagi. Nilakandi bergegas 
menutup pintu lagi. Dia sempat melongok ke luar, tapi 
Pendekar Pulau Neraka tidak ada lagi di sana. 
“Mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa pada 
Kakang Bayu...,” desah Nilakandi. 
***

DELAPAN

“Heh...!” 
Ratu Nyai Langas terperanjat ketika tiba-tiba saja 
Pendekar Pulau Neraka muncul di dalam kamarnya. 
Bahkan hampir saja berteriak. Untung Bayu segera 
memintanya untuk tenang. Wanita cantik itu menarik 
selimut dan menutupi tubuhnya yang hanya menge-
nakan baju tipis, hingga menampakkan keindahan 
bentuk tubuhnya. 
“Bagaimana kau bisa berada di kamarku?” tanya 
Ratu Nyai Langas bernada kurang senang. 
“Maaf, Gusti Ratu. Hamba terpaksa melumpuhkan 
dua orang penjaga,” sahut Bayu. 
“Apa maksudmu datang malam-malam begini?” 
“Hamba akan menyerahkan bukti yang Gusti Ratu 
minta,” sahut Bayu. 
Pendekar Pulau Neraka menyodorkan selongsong 
bambu dengan sikap penuh hormat Ratu Nyai Langas 
memandanginya sejenak, kemudian menerima 
selongsong bambu itu. Sebentar dipandanginya Bayu, 
kemudian tutup selongsong bambu itu dibuka. Dari 
dalamnya dikeluarkan beberapa daun lontar yang 
bertuliskan sesuatu yang mengejutkan. 
Kening wanita itu berkerut saat membaca tulisan 
yang tertera pada daun lontar itu. Kembali di-
pandangnya Bayu yang berdiri saja tidak jauh di 
depannya. Hanya sedikit raut wajahnya berubah. 
Sedangkan Bayu hanya memperhatikan saja. 
Pendekar Pulau Neraka kagum juga dengan 
ketabahan yang dimiliki wanita cantik ini. Sama sekali

dia tidak kelihatan terkejut, meskipun raut wajahnya 
tadi sempat berubah sedikit 
“Dari mana kau dapatkan ini?” tanya Ratu Nyai 
Langas, sambil menggulung kembali daun lontar dan 
memasukkan ke dalam selongsong bambu. 
Tanpa diminta dua kali, Bayu kemudian me-
nuturkan beberapa kejadian yang dialami hingga 
mendapatkan selongsong bambu ini dari Nilakandi, 
putri tunggal Paman Jawala. Juga, diceritakan tentang 
Bokor yang membawa surat itu, dan Jarong yang 
menginginkan surat-surat itu kembali. 
“Ini memang merupakan bukti kuat, Bayu. Tapi aku 
tidak akan mengambil tindakan apa-apa, sampai tiba 
saatnya nanti,” tegas Ratu Nyai Langas, setelah Bayu 
menceritakan semuanya. 
“Maksud, Gusti Ratu...?” tanya Bayu tidak 
mengerti. 
“Biarkan mereka bertindak sesuai rencana,” sahut 
Ratu Nyai Langas diiringi sunggingan senyuman 
manis. 
“Gusti Ratu akan membiarkan mereka merebut 
tahta...?” tanya Bayu semakin tidak mengerti. 
Ratu Nyai Langas tidak menjawab, tapi malah 
tersenyum saja. Perlahan wanita cantik penguasa 
tunggal Kerajaan Langkat ini beranjak bangkit dari 
pembaringan. Sepertinya dia sudah lupa dengan 
keadaan tubuhnya yang hanya tertutup baju tipis. 
Melihat hal ini Bayu hanya bisa menelan ludah saja. 
Biar bagaimanapun Pendekar Pulau Neraka tidak 
akan bertindak kurang ajar. Karena sekali berbuat 
kotor, maka wibawanya akan turun di mata sang 
Ratu. 
Dengan ayunan langkah gemulai, Ratu Nyai 
Langas menghampiri meja kecil, lalu mengambil dua

gelas perak. Dan dari sebuah guci perak, dituang-
kannya arak ke dalam gelas itu, lalu dibawanya pada 
Bayu. Satu gelas diserahkan pada pemuda itu, dan 
satu gelas lagi untuknya sendiri. 
“Kau bukan rakyat Kerajaan Langkat ini, Bayu. 
Tapi mengapa begitu gigih mempertahankan 
keutuhan negeri ini?” tanya Ratu Nyai Langas ingin 
tahu. 
“Hamba akan membela siapa saja yang berada di 
jalur kebenaran, Gusti Ratu. Sama sekali hamba tidak 
memandang pangkat dan derajat seseorang,” sahut 
Bayu kalem. 
“Aku punya sesuatu untukmu, Bayu,” kata Ratu 
Nyai Langas seraya mengambil gulungan surat yang 
sama persis dengan yang dibawa Bayu. 
Pendekar Pulau Neraka itu menerima, dan mem-
bacanya dengan cepat. Keningnya langsung berkerut. 
Surat ini datang dari Narata, dan meminta wanita ini 
untuk menyerahkan tahtanya. Bayu menatap Ratu 
Nyai Langas, sedangkan yang ditatap kelihatan 
tenang. 
“Gusti Ratu... hamba juga akan menyampaikan 
sesuatu,” kata Bayu. 
“'Tentang apa?” 
“Jarong.” 
“Hm....” 
“Sebenarnya Jarong seorang tokoh persilatan yang 
disewa Narata untuk membantunya dalam 
pemberontakan ini.” 
“Sudah kuduga...,” gumam Ratu Nyai Langas. 
Bayu benar-benar kagum pada wanita ini. Meski-
pun dalam keadaan gawat, tetap saja tenang. 
Ratu Nyai Langas hanya tersenyum saja men-
dengar jawaban Bayu yang lugas itu. Tidak perlu


dijelaskan lagi kalau Pendekar Pulau Neraka sama 
sekali tidak memandang wanita ini sebagai ratu yang 
menguasai seluruh wilayah Kerajaan Langkat. Bagi 
Bayu sendiri, semua manusia sama. Hanya pangkat 
dan derajat saja yang membedakannya di dunia ini. 
Dan Bayu sama sekali tidak pernah memandang hal 
semacam itu. 
“Bayu. Jika kau memang ingin menolong kejayaan 
Kerajaan Langkat, aku minta padamu untuk menjadi 
pengawal pribadiku,” pinta Ratu Nyai Langas. 
“'Terima kasih, Gusti Ratu. Tapi...,” ucapan Bayu 
terputus. 
“Aku mengerti, Bayu. Bukan untuk selamanya kau 
menjadi pengawal pribadiku. Tapi hanya untuk tiga 
hari ini saja,” ujar Ratu Nyai Langas, bisa memahami 
keberatan Pendekar Pulau Neraka. 
“Maksud, Gusti Ratu...?” Bayu masih belum 
mengerti. 
“Mereka akan kubiarkan melaksanakan rencana-
nya. Aku yakin kalau tujuan mereka yang utama 
adalah melenyapkanku, sebelum mengambil alih 
singgasana. Dan pasti mereka sudah menunggu di 
Hutan Landaka. Jadi, tidak perlu kita menggulung 
mereka di kotaraja ini, tapi cukup di dalam hutan 
sana,” Ratu Nyai Langas menjelaskan rencana yang 
terlintas di kepalanya. 
“Jumlah mereka sangat banyak, Gusti. Dan kalau 
Gusti Ratu membawa pengawal berjumlah banyak, 
akan membuat curiga. Bisa-bisa mereka langsung 
menguasai istana ini,” Bayu mengemukakan 
pendapatnya. 
“Aku mempunyai angkatan perang ketiga, yang 
langsung berada di bawah komandoku. Aku juga 
sudah tahu, kalau sebagian prajurit sudah berpihak

pada mereka. Tapi itu memang prajurit mereka 
sendiri. Jadi, tidak perlu khawatir.” 
“Gusti Ratu akan mengerahkan seluruh kekuatan 
ke Hutan Landaka?” 
“Tidak, tapi hanya sebagian saja. Dan itu juga tidak 
secara terang-terangan, Bayu. Mereka akan 
berangkat terlebih dahulu, namun tidak mengenakan 
seragam prajurit.” 
Bayu mengangguk-anggukkan kepalanya, tanda 
bisa memahami maksud Ratu Nyai Langas. Dalam 
hati, Pendekar Pulau Neraka memuji kecerdikan 
wanita berparas cantik ini. Juga, ketenangannya 
dalam menghadapi kemelut. Bayu benar-benar 
memuji secara turus, meskipun hanya diucapkan 
dalam hati. Memang dalam menghadapi sesuatu, 
sangat dibutuhkan ketenangan. Dan ketenangan itu 
dimiliki Ratu Nyai Langas. 
*** 
Bayu berdiri tegak di atas bangunan tua yang 
tersusun dari batu, membentuk sebuah candi. Dan 
memang, bangunan ini digunakan untuk memuja 
dewa. Hanya keluarga istana saja yang boleh 
menggunakan candi di tengah Hutan Landaka ini. 
Pendekar Pulau Neraka berpaling saat merasakan 
ada seseorang berdiri agak ke belakang di samping 
kanannya. 
Bayu memberi senyum setelah mengetahui kalau 
Ratu Nyai Langas sudah berada di dekatnya. Di 
belakang wanita cantik ini berdiri seorang laki-laki tua 
mengenakan jubah warna kuning gading. Laki-laki 
yang sudah berusia lanjut itu, bernama Eyang 
Lanjaran. Seorang pertapa yang menghuni candi tua

ini. 
“Mereka sudah terlihat, Bayu?” tanya Ratu Nyai 
Langas. 
“Tidak ada tanda-tandanya, Gusti Ratu,” sahut 
Bayu dengan sikap hormat 
Pandangan Ratu Nyai Langas beredar ke 
sekeliling. Hanya ada beberapa prajurit saja yang 
menjaga di sekitar bangunan tua dari batu ini, serta 
sepuluh orang pelayan yang tampak sibuk di bagian 
belakangnya. Bayu sendiri masih diliputi keheranan, 
karena sejak tadi tidak melihat prajurit khusus yang 
dikatakan Ratu Nyai Langas. Hanya lima puluh 
prajurit saja yang terlihat di sekitar bangunan ini. Dan 
kedatangan mereka pun bersama-sama. 
“Hamba khawatir rencana ini sudah diketahui 
mereka, Gusti Ratu,” kata Bayu mengemukakan 
perasaan khawatirnya. 
“Kalaupun mengetahui, yang pasti ada dua tempat 
yang diserang. Di sini, atau mereka ke istana,” sahut 
Ratu Nyai Langas. Tetap terdengar tenang suaranya. 
“Ada kemungkinan mereka menyerang istana, 
Gusti Ratu,” selak Eyang Lanjaran yang sejak tadi 
diam saja. 
“Mereka akan berpikir dua kali untuk menyerang 
istana, Eyang. Aku yakin, jumlah mereka jauh lebih 
sedikit bila dibandingkan prajurit yang berada di 
istana,” bantah Ratu Nyai Langas. 
“Lalu, bagaimana dengan yang ada di sini?” tanya 
Eyang Lanjaran. 
“Di samping prajurit biasa yang datang bersamaku, 
ada sekitar lima ratus pasukan khusus yang hanya 
aku sendiri mengetahuinya. Tak ada seorang pun 
yang tahu, juga Kakang Narata,” sahut Ratu Nyai 
Langas menjelaskan lagi. “Maaf, Eyang. Aku terpaksa

membentuk kekuatan khusus, dan mungkin ada 
gunanya sekarang ini.” 
“Kau tidak perlu meminta maaf, Anakku. 
Tindakanmu tepat sekali. Mempersiapkan diri lebih 
penting daripada tidak sama sekali,” kata Epang 
Lamaran bijaksana. 
“Terima kasih, Eyang.” 
“Mereka datang...,” desis Bayu menyelak tiba-tiba. 
Ratu Nyai Langas langsung memandang ke arah 
yang sama dengan pandangan Pendekar Pulau 
Neraka. Tampak di sebelah Utara, bergerak sekitar 
lima puluh orang menuju candi ini. Bukan hanya itu. 
Dari arah-arah lain juga terlihat orang-orang yang 
mengenakan baju serba hitam bergerak cepat ke 
arah tempat ini. 
Baik Ratu Nyai Langas, maupun Bayu sudah 
menyadari kalau sudah terkepung dari empat 
jurusan. Dan jumlah mereka ada sekitar dua ratus 
orang. Namun perhatian Pendekar Pulau Neraka 
bukanlah pada orang-orang berbaju hitam itu, 
melainkan pada dua orang yang berjalan cepat dari 
arah Timur. 
“Bagus.... Ternyata mereka tidak mengetahui kalau 
rencananya sudah terbaca,” ujar Ratu Nyai Langas 
dengan suara setengah bergumam. 
“Bagaimana sekarang, Anakku?” tanya Eyang 
Lanjaran. 
Ratu Nyai Langas tidak menjawab, dan hanya 
tersenyum seraya memandang Pendekar Pulau 
Neraka yang saat itu juga tengah menatap ke arah 
wanita cantik ini. 
“Kau hadapi pemimpin mereka, Bayu. Jangan 
sampai mereka menjarah tempat suci ini,” tegas Ratu 
Nyai Langas.

Tanpa menjawab sedikit pun, Bayu segera melesat 
turun. Begitu ringan dan indah gerakannya. Dan 
tanpa memperdengarkan suara sedikit pun, Pendekar 
Pulau Neraka sudah berada di tanah. Secepat 
kakinya menjejak tanah, secepat itu pula melesat ke 
arah Timur, yang di sana terlihat Narata dan Jarong 
serta sekitar lima puluh orang berpakaian serba 
hitam bergerak menuju candi ini. 
Begitu bayangan tubuh Pendekar Pulau Neraka 
lenyap ditelan kelebatan hutan, Ratu Nyai Langas 
mengambil sebuah benda bulat sebesar mata kucing 
dari balik sabuk yang membelit pinggangnya. Benda 
bulat berwarna merah itu, dilontarkan ke udara 
dengan hanya menjentikkan ujung jarinya sedikit 
saja. Dan begitu berada di angkasa, benda itu pecah 
memperdengarkan ledakan keras menggelegar bagai-
kan guntur di angkasa. Sebentar kemudian memercik 
bunga-bunga api yang beraneka ragam warnanya. 
“Hm...,” Ratu Nyai Langas tersenyum. 
“Apa yang kau lakukan tadi, Anakku?” tanya Eyang 
Lanjaran. 
“Hanya memberi tanda saja, Eyang,” sahut Ratu 
Nyai Langas. 
Setelah menjawab pertanyaan pertapa tua itu, 
Ratu Nyai Langas melangkah ringan meninggalkan 
atap depan bangunan candi ini. Eyang Lanjaran 
mengikuti saja tanpa mengucapkan sesuatu lagi. 
Sungguh tak pernah terpikirkan kalau tempat suci ini 
akan ternoda darah, dari orang-orang yang tengah 
diliputi nafsu keangkaramurkaan. 
***

''Berhenti...!” 
Narata dan Jarong terkejut ketika tiba-tiba 
terdengar bentakan keras menggelegar. Mereka 
segera menghentikan langkahnya diikuti lima puluh 
orang berpakaian serba hitam yang berjalan di 
belakang. Bentakan keras itu demikian jelas, dan 
mengejutkan sekali. Dan sebelum mereka semua 
lenyap dari rasa terkejutnya, kembali mereka dikejut-
kan munculnya seorang pemuda berbaju kulit 
harimau. 
“Bayu...,” desis Jarong mengenali pemuda berbaju 
kulit harimau itu. 
“Aku minta, sebaiknya kalian menyerah saja. 
Tempat ini sudah terkepung,” tegas Bayu namun 
bernada mengancam. 
“Phuih! Bagaimana kau bisa tahu kami akan ke 
sini, Bayu?!” tanya Narata agak mendesis, 
menghilangkan rasa keterkejutannya. 
“Ini...,” sahut bayu seraya menunjukkan 
selongsong bambu yang berisi beberapa lembar daun 
lontar. 
“Sudah kuduga, Paman pasti salah mengambil 
surat,” ujar Jarong pelan, seperti berbicara pada diri 
sendiri. 
Narata hanya diam saja. Sebentar matanya 
menatap tajam Pendekar Pulau Neraka, kemudian 
beralih pada pemuda kurus kering yang berdiri di 
sampingnya. Selongsong bambu yang berisi nama-
nama pembesar yang berada di pihaknya itu memang 
miliknya. 
Narata memang mengakui di dalam hati kalau 
telah salah memberi selongsong bambu itu pada 
anak buahnya. Meskipun tidak dikatakannya pada 
Jarong, tapi pemuda kurus kering itu sudah

mengetahuinya. Itulah sebabnya mengapa Jarong 
harus melenyapkan Bokor sekaligus berniat 
merampas selongsong bambu itu kembali. Dan 
sekarang selongsong bambu itu sudah berada di 
tangan Pendekar Pulau Neraka. Dan yang pasti, 
semua rencana makar ini sudah diketahui. 
“Tempat surat itu memang sama, dan kuletakkan 
di tempat yang sama pula. Aku tidak melihat lagi 
isinya ketika mengambil,” kata Narata perlahan, 
seakan-akan ingin mengakui kesalahannya. 
Kesalahan yang kecil, namun fatal akibatnya. 
“Tidak ada jalan lain lagi, Paman. Kita harus 
melenyapkan manusia keparat bersama yang lainnya 
di hutan ini,” tegas Jarong. Suaranya terdengar 
dalam, agak tertahan. 
Dan sebelum Narata menjawab, Jarong sudah 
berteriak kencang memerintahkan anak buahnya 
menyerang Pendekar Pulau Neraka. Tepat ketika 
orang-orang berbaju serba hitam itu meluruk deras 
hendak menyerang Bayu, mendadak saja dari atas 
pohon dan gerumbul semak berlompatan orang-orang 
berpakaian seragam prajurit. Mereka langsung 
menyerang orang-orang berpakaian serba hitam 
tanpa menunggu perintah lagi. 
“Keparat..!” desis Jarong geram. 
“Bagus...!” Bayu menyambut gembira kemunculan 
para prajurit itu. “Hiyaaat..!” 
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Pendekar 
Pulau Neraka langsung melompat menerjang Jarong 
yang tengah dihinggapi berbagai macam perasaan. 
Hatinya terkejut, marah, dan juga kebingungan 
melihat para prajurit bermunculan secara tiba-tiba 
dan langsung menyerang anak buahnya. Sebelum 
keterkejutannya lenyap, kembali pemuda kurus

kering itu terperanjat begitu tiba-tiba saja Bayu sudah 
melompat menerjangnya. 
“Uts...!” 
Bergegas Jarong melompat ke samping seraya 
menjatuhkan tubuhnya ke tanah, menghindari 
serangan yang dilancarkan Pendekar Pulau Neraka. 
Beberapa kali dia bergulingan di tanah, sebelum 
cepat melompat bangkit berdiri. 
“Yeaaah...!” 
Sebelum pemuda bertubuh kurus kering itu bisa 
berdiri dengan tegak, Bayu sudah melompat 
menyerang kembali disertai lontaran dua pukulan 
beruntun bertenaga dalam tinggi. Sejenak Jarong 
terperangah kaget, namun cepat sekali mengegoskan 
tubuhnya ke kiri dan ke kanan untuk menghindari 
serangan. 
Di lain pihak, pertempuran antara prajurit khusus 
Ratu Nyai Langas dengan orang-orang berpakaian 
serba hitam terus berlangsung sengit. Dan agak jauh 
dari tempat pertarungan itu, terlihat Narata hanya 
berdiri mengawasi saja. Dia tampak kebingungan, 
melihat anak buahnya terdesak menghadapi prajurit 
yang sama sekali tidak diketahuinya ini. Pakaian 
prajurit itu sangat lain sekali dengan pakaian prajurit 
yang berada di istana. Dan laki-laki gemuk itu tidak 
tahu, mereka ini prajurit-prajurit dari mana. Perhatian 
Narata beralih pada pertarungan antara Bayu dan 
Jarong. 
“Hm... Kelihatannya Jarong bukan tandingan 
pemuda itu,” gumam Narata dalam hati. 
Dan pengamatan Narata memang tepat. Saat itu 
Jarong sudah demikian terdesak sekali. Beberapa kali 
dia tersungkur jatuh terhantam pukulan keras 
Pendekar Pulau Neraka. Namun rupanya pemuda

bertubuh kurus kering itu masih tetap bertahan. Dia 
selalu dapat bangkit dan langsung menyerang, 
meskipun selalu mudah dipatahkan Pendekar Pulau 
Neraka. 
“Yeaaah...!” 
Tiba-tiba saja Bayu cepat sekali melentingkan 
tubuhnya ke udara. Dan secepat itu pula tubuhnya 
meluruk deras sambil melontarkan satu pukulan 
keras bertenaga dalam tinggi. Begitu cepatnya 
serangan yang dilancarkan Pendekar Pulau Neraka 
itu, sehingga Jarong tak dapat lagi menghindarinya. 
Dieghk...! 
“Aaakh...!” satu jeritan melengking tinggi ter-
dengar. 
Bersamaan dengan itu, terlihat Jarong terpental 
beberapa tombak ke belakang. Dan sebelum tubuh 
pemuda kurus kering itu menyentuh tanah, Bayu 
sudah mengebutkan tangan kanannya ke depan. 
Slap! 
Seketika itu juga Cakra Maut yang selalu 
menempel di pergelangan tangan kanan Pendekar 
Pulau Neraka melesat cepat bagaikan kilat. Begitu 
cepatnya, sehingga baik Jarong maupun Narata yang 
memperhatikan pertarungan tidak sempat lagi 
menyadari. Sehingga.... 
Crab...! 
“Aaakh...!” Jarong menjerit melengking tinggi. 
Cakra Maut keperakan bersegi enam, menancap 
dalam di dada pemuda kurus kering itu. Hanya 
sebentar saja Jarong bisa menggeliat, kemudian diam 
tak bernyawa lagi. Darah seketika muncrat keluar, 
begitu Cakra Maut terlepas dari dada pemuda 
bertubuh kurus kering itu. Senjata maut Pendekar 
Pulau Neraka itu kembali menempel di pergelangan

tangan kanannya. 
Bayu memutar tubuhnya menghadap Narata yang 
tampak terkejut melihat kematian Jarong. Laki-laki 
setengah baya bertubuh gemuk itu melangkah 
mundur beberapa tindak. Pada saat yang sama, lebih 
dari separuh orang-orang berpakaian serba hitam 
sudah bergelimpangan tak bernyawa lagi. Darah 
bersimbah menggenangi tanah berumput, menyebar-
kan aroma anyir terbawa angin. 
“Sekarang giliranmu, Narata...,” desis Bayu dingin. 
“Jangan... Jangan bunuh aku, Bayu. Biarkan aku 
hidup...,” terdengar bergetar suara Narata. 
Wajah laki-laki setengah baya itu nampak pucat 
pasi, seperti tak teraliri darah. Seluruh tubuhnya 
menggeletar, basah oleh keringat yang mengucur 
deras. Bayu sendiri jadi tidak mengerti, mengapa 
sikap Narata seperti ini. Apakah Narata tidak 
mengerti ilmu olah kanuragan? Atau sudah gentar 
melihat kedigdayaan Pendekar Pulau Neraka? 
Perlahan-lahan Bayu melangkah mendekati. 
“Biarkan dia hidup, Bayu...!” 
Bayu berpaling saat mendengar seruan halus dari 
arah samping kanannya. Tampak Ratu Nyai Langas 
yang didampingi Eyang Lanjaran dan beberapa orang 
prajurit serta panglima perang menghampiri. Melihat 
penguasa tunggal Kerajaan Langkat itu, Narata 
langsung memburu dan berlutut di depannya. Mau 
tak mau Ratu Nyai Langas menghentikan langkahnya. 
''Dinda Ratu.... Hamba mohon, biarkan hamba 
hidup...,” rengek Narata. 
“Hm.... Mengapa kau begitu lemah, Kakang 
Narata? Bukankah kau selalu mencari kesempatan 
untuk menyingkirkan aku? Kau ingin menduduki 
tahta, bukan...?” agak sinis suara Ratu Nyai Langas.

Namun nada suaranya terdengar lembut sekali. 
Narata hanya diam saja. Kepalanya sama sekali 
tidak berani diangkat. Rasanya dia tidak sanggup 
membalas tatapan mata wanita cantik itu. 
“Panglima Narasoma, tangkap dia,” perintah Ratu 
Nyai Langas. 
“Hamba, Kanjeng Ratu.” 
Panglima Narasoma segera menjalankan perintah 
itu. Bersama empat orang prajurit diringkusnya 
Narata yang sudah tidak memiliki daya lagi untuk 
memberi perlawanan. Panglima Narasoma membawa 
laki-laki setengah baya bertubuh gemuk itu, kembali 
ke Kotaraja Langkat Ratu Nyai Langas mengalihkan 
pandangannya ke arah Bayu berada. Namun.... 
“Heh...! Ke mana Bayu...?” 
Bukan main terkejutnya Ratu Nyai Langas begitu 
melihat Bayu tidak berada lagi di tempatnya. Bahkan 
di sekitar tempat ini, tidak terlihat lagi Pendekar 
Pulau Neraka. Tak ada yang tahu, kapan dan ke mana 
pendekar digdaya itu pergi. 
“Sudahlah, Anakku. Mungkin Bayu tidak meng-
inginkan imbalan apa-apa darimu,” hibur Eyang 
Lanjaran, seakan-akan bisa membaca isi hati wanita 
itu. 
Ratu Nyai Langas hanya menghembuskan napas 
saja. Bayu bukan hanya tampan, tapi sikap dan 
tindak tanduknya sudah membuat wanita itu tertarik. 
Ratu Nyai Langas merasakan ada sekeping hatinya 
yang hilang, saat Pendekar Pulau Neraka pergi. 
“Hhh.... Semoga saja aku bisa bertemu lagi 
dengannya,” desah Ratu Nyai Langas dalam hati 
“Mari kita kembali ke pertapaan. Ananda Ratu,” 
ajak Eyang Lanjaran. 
Ratu Nyai Langas tidak mengeluarkan suara

sedikit pun juga. Kemudian tubuhnya berputar, lalu 
melangkah mengikuti laki-laki tua pertapa itu. 
“Apa yang akan kau lakukan pada Narata?” tanya 
Eyang Lanjaran. 
“Tergantung dari putusan pengadilan nanti, Eyang. 
Mungkin dia dibuang dan tidak boleh kembali lagi,” 
sahut Ratu Nyai Langas perlahan. 
“Satu keputusan yang bijaksana jika kau tidak 
menjatuhkan hukuman mati.” 
Ratu Nyai Langas hanya tersenyum saja. Sama 
sekali Narata tidak ada dalam pikirannya. Seluruh 
pikiran dan sekeping hatinya kini tercurah pada 
seorang pemuda yang telah mencuri sekeping 
hatinya. Bahkan Ratu Nyai Langas sendiri tidak 
mengerti, apa yang sedang dirasakannya kini. 
Mungkinkah ini yang dinamakan cinta...? Entahlah. 
Yang jelas, dia belum pernah merasakan hal seperti 
ini sebelumnya. Hatinya hanya bisa berharap, agar 
dapat bertemu lagi dengan Pendekar Pulau Neraka. 


                                 SELESAI 
 



Share:

0 comments:

Posting Komentar