PERGOLAKAN DI ISTANA LANGKAT
oleh Teguh Suprianto
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Gambar Sampul : Soeryadi
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Pulau Neraka
dalam episode 022 :
Pergolakan di Istana Langkat
128 hal ; 12 x 18 cm
SATU
Brak!
“Goblok! Dungu...!”
Bentakan keras terdengar menggelegar, me-
mecahkan kesunyian malam. Suara itu datang dari
salah satu ruangan di sebuah rumah besar dan
megah yang dikelilingi tembok batu tinggi dan kokoh.
Tampak seorang laki-laki berusia setengah baya
tengah berkacak pinggang di depan empat orang laki-
laki bertubuh tinggi tegap berotot. Empat laki-laki itu
duduk bersimpuh di lantai, dengan kepala tertunduk
dalam.
Sebuah meja berukir dari kayu jati, terlihat hancur
di samping kaki laki-laki setengah baya yang tubuh
dan perutnya buncit seperti genderang. Wajahnya
memerah, dan sinar matanya berkilatan tajam. Jelas,
dia sedang dikuasai nafsu amarah yang membara.
Untuk beberapa saat lamanya, suasana di ruangan
besar dan megah itu jadi sunyi senyap. Dan kini yang
terdengar hanya detak jantung dan dengus napas.
“Dasar gentong nasi! Kerja seperti itu saja tidak
becus. Goblok...!” kembali laki-laki gemuk itu memaki
dengan suara tinggi menggelegar.
“Maafkan kami, Gusti. Kami sudah melaksanakan-
nya dengan baik sekali. Tapi...,” salah seorang yang
duduk bersimpuh di lantai dan mengenakan baju
warna merah muda mencoba menjelaskan. Suaranya
terdengar pelan dan agak bergetar.
“Tapi apa...?!” bentak laki-laki gemuk berusia
setengah baya itu.
“Ada orang lain yang ikut campur, Gusti Narata,”
sahut orang berbaju merah muda itu lagi, seraya
memberikan sembah dengan merapatkan telapak
tangannya di depan hidung.
“Phuih! Alasan....”
“Kami tidak berdusta, Gusti. Orang itu ber-
kepandaian tinggi sekali.”
“Benar, Gusti. Bahkan tujuh orang teman kami
tewas di tangannya,” timpal seorang lagi yang
mengenakan baju hijau daun.
“Mengapa kalian tidak sekalian ikut mati saja,
hah...?!”
Empat orang itu terdiam dan kepalanya tertunduk
semakin dalam. Kata-kata yang meluncur dari mulut
laki-laki yang dipanggil Narata itu memang sangat
pedas dan menyakitkan. Namun mereka tidak berani
mengangkat kepalanya. Terlebih lagi untuk membalas
tatapan mata yang memerah berapi-api itu.
“Kalian tunggu sebentar di sini,” ujar Narata.
Saat keempat orang itu memberi sembah dengan
merapatkan kedua tangan di depan hidung, Narata
sudah berbalik, lalu melangkah meninggalkan
ruangan itu. Sedangkan empat orang laki-laki ber-
tubuh tegap dan berotot itu tetap saja duduk ber-
simpuh di lantai tanpa sedikit pun mengangkat
kepalanya.
Agak lama juga Narata meninggalkan ruangan itu.
Dan kini telah kembali lagi sambil membawa
segulungan surat yang tersimpan dalam selongsong
bambu yang terikat pita warna biru muda.
“Ke sini...!” masih terdengar kasar nada suara
Narata.
“Hamba, Gusti”
Salah seorang yang mengenakan baju kuning ber
gegas maju mendekati. Diberikannya sembah dengan
merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung.
“Dengar! Kali ini kalian tidak boleh gagal,” tegas
Narata, dalam sekali nada suaranya. “Berikan surat
ini langsung kepada Kanjeng Ratu Nyai Langas. Aku
tidak ingin surat ini jatuh ke tangan orang lain. Jadi
harus kalian sendiri yang menyampaikannya.
Mengerti..?!”
“Mengerti, Gusti,” sahut keempat orang itu
serempak.
Orang yang berbaju kuning menerima gulungan
surat itu dengan penuh hormat sekali, kemudian
menyelipkan ke balik sabuk pinggangnya. Dia kembali
mundur ke tempatnya semula tanpa berdiri tegak.
“Pergilah sekarang juga,” perintah Narata.
Keempat orang itu memberikan sembah,
kemudian bergerak mundur. Hampir bersama-sama
mereka bangkit berdiri, dan bergegas meninggalkan
ruangan yang besar dan megah ini. Sementara laki-
laki bertubuh gemuk berperut buncit itu meng-
hempaskan tubuhnya di kursi berukir indah yang ber-
warna coklat muda agak kemerahan.
“Hhh...!” terasa berat sekali hembusan napasnya.
Pada saat itu datang seorang anak muda bertubuh
kurus kering. Begitu kurusnya, sehingga seperti sosok
tengkorak hidup yang terbungkus selembar kulit tipis
kuning langsat
''Kemari, Jarong. Duduklah di sini,” ujar Narata
seraya memberi senyuman pada pemuda kurus
kering yang wajahnya terlihat begitu pucat. Bahkan
sorot matanya seperti redup tak bercahaya, bagai tak
memiliki gairah hidup lagi.
“Ada yang bisa kulakukan, Paman?” tanya pemuda
kurus kering yang tadi dipanggil Jarong.
Pemuda kurus itu tetap saja berdiri di depan
Narata, meskipun laki-laki setengah baya bertubuh
gembur itu tadi meminta untuk duduk di sampingnya.
“Sedikit. Dan yang pasti, tidak berat bagimu,”
sahut Narata.
“Katakan saja, Paman. Aku pasti akan melakukan
apa saja demi Paman.”
Narata semakin tersenyum lebar. Memang,
sungguh beruntung sekali mempunyai kemenakan
yang begitu setia dan selalu berada di belakangnya
dalam keadaan apa pun juga.
***
Malam terus merayap semakin larut. Hampir
seluruh pelosok Kotaraja Langkat telah diselimuti
kegelapan dan kesunyian. Hanya di beberapa tempat
saja masih nampak beberapa orang yang belum
terbuai di alam mimpi. Malam itu udara terasa begitu
dingin. Tampak beberapa prajurit masih berjaga-jaga
di sekitar bangunan istana yang megah dan dikelilingi
tembok benteng tinggi kokoh. Mereka terkantuk-
kantuk sambil sesekali bergidik mengusir udara
dingin yang begitu menusuk sampai ke tulang.
Dalam kegelapan malam ini, tampak empat orang
laki-laki tengah bergerak cepat dan ringan sekali
mendekati bangunan benteng istana yang memang
dijaga ketat. Mereka berhenti tidak jauh dari
bangunan megah dan indah sebelah Timur. Jelas
sekali kalau mereka tengah mengamati keadaan
sekitarnya, dengan pandangan tajam tak berkedip.
“Tampaknya malam ini penjagaan ketat sekali,”
bisik salah seorang.
“Ya, hati-hatilah. Jangan sampai ada seorang pun
yang ketahuan,” sahut seorang lagi. Juga dengan
suaranya yang pelan dan hampir tidak terdengar.
“Bagaimana? Kita bergerak sekarang?”
“Memang sebaiknya begitu.”
“Benar! Lebih cepat selesai, lebih baik.”
Empat orang laki-laki yang bertubuh tinggi tegap
berotot itu segera bergerak cepat dan ringan sekali.
Sedikit pun tak ada suara yang terdengar. Menanda-
kan kalau mereka rata-rata memiliki tingkat
kepandaian yang cukup tinggi
Ringan sekali gerakan mereka saat melompat ke
atas benteng yang tingginya sekitar dua batang
tombak itu. Dan begitu kaki mereka menjejak tembok
benteng, langsung melenting turun ke dalam. Mereka
terus bergerak cepat begitu sampai di dalam benteng
Istana. Namun belum juga sempat mendekati
bangunan istana yang besar dan megah itu, men-
dadak saja....
“Berhenti...!”
Tiba-tiba terdengar bentakan keras menggelegar
dan mengejutkan. Empat laki-laki bertubuh tinggi dan
tegap itu seketika tersentak kaget, dan menghentikan
larinya. Dan selagi rasa keterkejutan mereka belum
hilang, mendadak saja sebuah bayangan biru ber-
kelebat cepat. Dan tahu-tahu di depan mereka sudah
berdiri seorang laki-laki bertubuh kurus kering
mengenakan baju warna biru tua.
“Mau apa kalian, heh?! Menyelinap seperti
maling...!” bentak laki-laki kurus kering itu.
Empat orang laki-laki itu tidak menjawab, dan
hanya saling berpandangan sejenak. Kemudian
dengan cepat sekali, mereka berlompatan mencabut
golok masing-masing.
Bet!
Wut!
“Hat..! Uts!”
Orang bertubuh kurus kering itu terkejut begitu
mendapat serangan mendadak dan tiba-tiba ini. Dan
sebelum sempat melakukan sesuatu, sebilah golok
berkelebat cepat mengarah ke dadanya. Cepat-cepat
tubuhnya ditarik ke belakang, sehingga tebasan golok
itu hanya lewat sedikit di depan dadanya yang kurus,
sehingga tulang-tulang bersembulan terlapis kulit
Dan belum juga tubuhnya sempat ditarik kembali,
sebuah golok mengibas dari arah samping ke kepala-
nya. Bergegas laki-laki bertubuh kurus kering itu
merundukkan kepalanya sedikit. Maka golok itu pun
kembali lewat di atas kepalanya. Sebelum ada
serangan lagi yang datang, laki-laki kurus kering itu
cepat-cepat melentingan tubuhnya ke udara dan
berputaran beberapa kali. Kemudian, tangannya
bergerak cepat luar biasa.
“Hiya! Hiya! Hiyaaa...!”
Slap!
Wus…!
Seketika itu juga dari balik lipatan lengan bajunya
yang longgar, melesat benda-benda kecil sepanjang
jengkal dan bersinar keperakan. Benda-benda itu
meluncur deras, cepat bagai kilat. Dan sebelum
empat orang itu bisa menyadari apa yang akan
terjadi, tiba-tiba....
Creb!
“Aaakh...!”
“Wuaaa...!”
Dua jeritan melengking tinggi dan menyayat
terdengar keras memecah kesunyian malam ini.
Sedangkan dua orang lagi masih bisa melompat
sambil mengibaskan goloknya beberapa kali, meng
hindari benda-benda berwarna keperakan itu.
Tampak dua orang sudah tergeletak tak bernyawa
lagi, tertembus beberapa bilah pisau tipis, sepanjang
jengkal tangan orang dewasa. Sementara dua orang
sisanya yang masih bisa selamat, saling ber-
pandangan sejenak. Kemudian salah seorang segera
melesat menyerang orang bertubuh kurus kering yang
baru saja mendaratkan kakinya di tanah.
Sedangkan yang seorang lagi, bergegas melompat
balik. Dengan satu gerakan ringan, dia melesat
melompati benteng istana itu. Sementara temannya
terus memecahkan perhatian orang bertubuh kurus
kering itu dengan serangan-serangan yang cepat dan
dahsyat.
“Hiya...!”
“Yeaaah...!”
Tiba-tiba saja satu sama lain melompat ke atas.
Dan secara bersamaan, saling menghentakkan
tangan ke depan. Tak pelak lagi, dua tangan saling
beradu keras di udara. Seketika ledakan menggelegar
terdengar dahsyat memecah kesunyian malam di
sekitar bangunan istana itu.
“Aaakh...!”
Terlihat satu orang terpental ke belakang sambil
menjerit panjang melengking tinggi. Sementara
seorang lagi yang bertubuh kurus kering seperti
tengkorak hidup, cepat meluruk ke bawah. Dan begitu
kakinya menjejak tanah, tangannya cepat dikibaskan
ke arah orang yang jatuh bergulingan di atas tanah
berumput basah oleh embun.
Wus!
Sebuah benda bercahaya keperakan melesat
cepat bagai kilat dari balik lipatan lengan baju laki-
laki kurus kering itu. Dan tanpa dapat dicegah lagi,
benda itu menghunjam dalam di dada orang yang
berbaju biru tua dan bersenjata golok
Crab!
“Aaa...!” kembali terdengar jeritan panjang
melengking tinggi.
Hanya sebentar dia masih mampu bergerak
menggelepar, kemudian diam tak bergerak-gerak lagi.
Laki-laki kurus kering itu segera melompat mendekati
mayat-mayat yang bergelimpangan bersimbah darah.
Dia seperti mencari sesuatu pada setiap mayat itu.
“Setan...!” dengusnya keras.
Pada saat itu, terlihat beberapa orang berseragam
prajurit berlarian berdatangan. Mereka tampak ter-
kejut saat melihat tiga sosok mayat tergeletak ber-
lumuran darah. Laki-laki kurus kering itu seperti tidak
menghiraukan kedatangan para prajurit itu. Dicabuti-
nya pisau-pisau yang tertancap di tubuh tiga orang
yang datang secara menyelinap tadi. Kemudian pisau-
pisau itu dimasukkan ke dalam lipatan lengan baju-
nya.
“Kalian urus mayat-mayat ini!” perintah laki-laki
kurus kering itu.
“Segera, Raden...,” serempak para prajurit itu
menyahut sambil membungkukkan badan, penuh
rasa hormat
Laki-laki kurus kering yang kelihatan masih muda
itu bergegas melangkah. Namun sebentar kemudian
ayunan langkahnya terhenti. Kepalanya berpaling,
memandang tembok benteng, ke arah perginya
seorang yang berhasil lolos tadi.
“Hm....”
Setelah memperdengarkan suara gumaman kecil,
kakinya kembali terayun meninggalkan bagian Timur
Istana Langkat ini. Ayunan kakinya begitu ringan,
sehingga tak memperdengarkan suara sedikit pun
juga. Sementara prajurit yang berjumlah sekitar dua
puluh orang itu mengangkut tiga mayat yang ter-
geletak dengan darah masih mengucur.
***
Pagi-pagi sekali, Narata sudah memacu cepat
kudanya melintasi jalan berdebu yang membelah
Kotaraja Langkat. Belum ada seorang pun yang
terlihat keluar dari dalam rumahnya, karena matahari
memang belum menampakkan dirinya. Tanda-tanda
datangnya pagi sudah nampak dari suara kokok ayam
jantan dan kicauan burung-burung, yang seakan-akan
mengajak sang mentari untuk segera bangkit dari
peraduannya sepanjang malam.
Laki-laki setengah baya bertubuh gemuk itu ter-
guncang-guncang di atas punggung kuda yang
berpacu cepat bagai dikejar setan.Tak sedikit pun lari
kudanya dikendurkan, meski sudah hampir men-
dekati gerbang Istana Langkat yang dijaga enam
orang prajurit bersenjata pedang dan tombak.
“Hm.... Tidak seperti biasanya, di sini ditempatkan
enam penjaga,” gumam Narata dalam hati. “Ada apa
ya...?”
Dua orang prajurit penjaga pintu gerbang itu ber-
gegas membuka pintu begitu melihat Narata di atas
kudanya yang dipacu cepat menuju ke arah istana ini.
Laki-laki berperut buncit itu terus menerobos masuk
tanpa mengendurkan kecepatan lari kudanya. Enam
orang prajurit penjaga segera membungkukkan
badannya saat Narata melewati pintu gerbang.
“Hooop...!”
Narata menarik tali kekang kudanya, sehingga
kuda hitam belang putih itu berhenti tepat di depan
tangga istana. Dengan gerakan indah dan ringan
sekali, laki-laki gemuk berperut buncit itu melompat
turun dari punggung kudanya. Kakinya langsung
melangkah cepat begitu menjejak undakan pertama
tangga istana. Dengan langkah lebar, dia meniti anak-
anak tangga yang panjang ini. Seorang laki-laki tua
berlari-lari kecil menghampiri kuda Narata, kemudian
membawanya ke samping kanan bangunan istana
yang megah dan indah ini
Sementara Narata terus berjalan dengan langkah
lebar-lebar. Dua orang prajurit di samping pintu,
segera membungkuk begitu laki-laki berperut buncit
itu melintasi pintu depan istana yang selalu terbuka
lebar. Hanya malam hari saja pintu itu tertutup.
Narata terus berjalan menelusuri ruangan depan yang
luas dan tertata indah. Langsung dimasukinya bagian
tengah istana ini. Di sana, beberapa orang seperti
sudah menunggunya. Tampak seorang wanita ber-
paras cantik mengenakan baju sutra halus yang indah
berwarna biru muda, tengah duduk di sebuah kursi
berukir berwarna keemasan. Di sampingnya, berdiri
enam orang gadis cantik. Sementara, delapan orang
laki-laki bertubuh kekar berjajar di belakangnya.
Narata merapatkan kedua tangannya di depan
hidung begitu berada sekitar satu tombak di depan
wanita cantik itu. Dia tetap berdiri tegak di situ.
Padahal, orang-orang yang berada sejak tadi di
ruangan ini telah duduk bersila di lantai yang
beralaskan permadani bulu tebal berwarna merah
menyala. Hanya beberapa orang saja yang duduk di
kursi kecil terbuat dari ukiran kayu jati hitam.
“Mendekatlah, Kakang Narata,” lembut sekali
suara wanita itu.
Narata melangkah maju, kemudian duduk di kursi
yang berada di kanan agak ke depan dari wanita
cantik itu. Sikapnya terlihat angkuh, dan dadanya
sedikit dibusungkan. Sebentar dipandanginya orang-
orang yang berada di dalam ruangan ini. Dan
pandangannya terpaku sejenak pada seorang
pemuda bertubuh kurus kering yang mengenakan
baju biru tua. Pemuda itu duduk di kursi kecil
bersama para pembesar kerajaan lainnya.
“Ada apakah gerangan, sehingga Dinda Nyai Ratu
mengumpulkan seluruh pembesar?” tanya Narata
ingin tahu. “Terus terang, aku terkejut mendapat
panggilan mendadak ini.”
“Ada sesuatu yang penting, dan harus dibicarakan
segera, Kakang Narata,” sahut wanita cantik yang
ternyata memang Ratu Nyai Langas, penguasa
tunggal Kerajaan Langkat ini.
''Persoalan penting...?” Narata mengerutkan
keningnya.
“Benar, Kakang. Semalam empat orang tidak
dikenal mencoba memasuki istana. Memang belum
pasti tujuannya. Tapi Jarong, kemenakanmu telah
mengetahuinya. Tiga orang berhasil dibunuh. Dan
seorang lagi melarikan diri,” jelas Ratu Nyai Langas,
singkat
“Hm...,” Narata hanya bergumam saja.
“Mereka masuk melewati benteng bagian Timur.
Tentu kau tahu kalau itu merupakan taman keputren
pribadiku. Dan tak seorang pun boleh memasukinya,
kecuali keluarga istana,” lanjut Ratu Nyai Langas.
“Siapa mereka? Dan apa maksudnya, Dinda
Ratu?” tanya Narata.
“Itulah yang aku tidak tahu, Kakang Mas Narata.
Untuk itulah aku memanggilmu ke sini, agar kau
mengetahui persoalannya. Dan kuharap, kau bisa
mengetahui siapa dan apa maksud mereka
menyelinap ke dalam keputren.”
Narata terdiam sambil mengangguk-anggukkan
kepala. Dari sudut ekor matanya, dia sempat melirik
pada pemuda kurus kering yang mengenakan baju
warna biru tua. Dan pemuda itu hanya memandang,
namun sinar matanya kosong. Bahkan raut wajahnya
tanpa ekspresi sama sekali.
“Apakah Dinda Ratu menginginkan agar aku
menyelidiki mereka?” tanya Narata.
“Aku rasa itu memang sudah tugasmu, Kakang
Mas Narata,” sahut Ratu Nyai Langas.
“Secepatnya aku akan mengetahui siapa mereka.
Dinda Ratu,” janji Narata.
Ratu Nyai Langas tersenyum.
“Untuk langkah pertama, sebaiknya cari orang
yang melarikan diri itu, Kakang Mas Narata,” ujar
Ratu Nyai Langas memberikan saran.
“Aku yakin Jarong bisa melakukan itu, Dinda Ratu.”
Ratu Nyai Langas menatap pemuda bertubuh
kurus kering. Dan pemuda itu hanya memberi
sembah dengan merapatkan kedua tangannya di
depan hidung. Kembali Ratu Nyai Langas menatap
Narata, kemudian pandangannya beredar ke
sekeliling, merayapi orang-orang yang berada di
depannya. Mereka semua memberi sembah dengan
merapatkan tangan di depan hidung.
“Kuserahkan padamu untuk mengatur segala
sesuatunya, Kakang Mas. Aku merasakan ada
seseorang, ataupun sekelompok orang yang meng-
inginkan agar aku terguling dari tahta,” duga Ratu
Nyai Langas.
“Kalaupun ada, aku pasti akan cepat mem
berantasnya, Dinda Ratu,” ujar Narata mantap.
Ratu Nyai Langas kembali tersenyum, dan bangkit
berdiri. Pada saat itu, semua orang menundukkan
kepala seraya merapatkan kedua telapak tangan di
depan hidungnya. Sebentar wanita cantik itu
mengedarkan pandangannya ke sekeliling, kemudian
melangkah pelan dan gemulai meninggalkan ruangan
ini. Enam orang gadis dan delapan orang laki-laki
pengawal pribadinya, mengikuti dari belakang.
Tak ada seorang pun yang mengangkat kepalanya,
sebelum Ratu Nyai Langas menghilang dari ruangan
besar dan indah ini. Hanya Narata saja yang tidak
bersikap demikian. Laki-laki buncit itu tetap duduk
tegak sambil membusungkan dadanya, memandangi
wanita itu sampai lenyap di balik pintu.
“Jarong! Kau ikut aku,” kata Narata seraya bangkit
berdiri.
Pemuda bertubuh kurus kering yang dipanggil
Jarong segera bangkit berdiri. Dia langsung berjalan
begitu Narata mengayunkan kakinya meninggalkan
ruangan ini. Tak lama kemudian, mereka yang sejak
tadi duduk bersimpuh di lantai ikut bangkit berdiri,
lalu meninggalkan ruangan besar itu.
Hanya ada dua orang saja yang masih tinggal dan
duduk di kursi kecil. Mereka adalah dua orang laki-
laki berusia sekitar lima puluh dan tujuh puluh tahun.
Beberapa saat dua orang itu saling melemparkan
pandangan. Sementara ruangan ini sudah sunyi, tak
ada seorang pun lagi selain mereka berdua.
“Hhh.... Seharusnya Kanjeng Ratu tidak mem-
berikan tugas itu pada Gusti Narata,” keluh salah
seorang yang lebih tua dan mengenakan jubah putih
panjang.
“Yaaah..., akan sia-sia saja nantinya,” sambut
seorang lagi yang mengenakan baju ketat warna
kuning.
“Apa yang harus kita lakukan sekarang?”
“Sebaiknya lihat saja dulu perkembangannya.”
“Hhh...!”
“Kita awasi terus Gusti Narata secara diam-diam,
Kakang Jawala.”
“Ya. Kejadian semalam membuatku semakin
curiga pada maksudnya yang tersembunyi. Mudah-
mudahan Hyang Widi selalu melindungi Kanjeng Ratu
Nyai Langas.”
Kedua laki-laki itu kemudian bangkit berdiri, dan
meninggalkan ruangan ini tanpa berkata-kata lagi.
Mereka berjalan perlahan-lahan dengan bibir terkatup
rapat, namun benaknya terus bekerja keras. Entah
apa yang dipikirkan, hanya mereka berdua saja yang
mengetahuinya.
***
DUA
Siang ini matahari bersinar begitu terik. Langit
tampak bening. Sedikit pun tak ada awan yang
menggantung di sana. Sehingga sinar matahari begitu
leluasa membakar permukaan bumi, membuat daun-
daun seperti merintih dan rerumputan meranggas
kekurangan air. Di antara siraman teriknya sang
mentari, tampak seorang laki-laki bertubuh tinggi
tegap dan mengenakan baju kuning gading berjalan
tertatih-tatih.
“Uh! Panas sekali...,” dia mengeluh sambil
menyeka keringat di wajahnya yang bercampur debu.
Sebentar langkahnya terhenti, dan kepalanya
terdongak memandang matahari di atas sana.
Kemudian kakinya kembali melangkah perlahan-
lahan dan agak terseret. Keringat semakin banyak
bercucuran. Walaupun kakinya terasakan seperti
menginjak bara, namun dia terus melangkah menuju
sebuah hutan yang tidak seberapa jauh lagi.
Kembali langkahnya terhenti setelah sampai di
tepi hutan itu. Sambil menghembuskan napas
panjang, laki-laki yang berusia sekitar tiga puluh
tahun itu menghempaskan tubuhnya di bawah
sebatang pohon yang cukup rindang. Angin yang
berhembus lembut sedikit mengusir kelelahannya.
Dengan punggung tangan, disekanya keringat yang
membanjiri wajah dan lehernya.
Slap!
“Heh...?!”
Mendadak saja hatinya terperanjat ketika tiba-tiba
sebatang anak panah melesat cepat ke arahnya.
Cepat-cepat tubuhnya dibanting ke tanah dan
bergulingan beberapa kati. Anak panah itu menancap
dalam di batang pohon. Bergegas laki-laki berbaju
kuning gading itu melompat bangkit berdiri.
Namun begitu kakinya menjejak tanah, dari balik
pepohonan dan gerumbul semak bermunculan orang-
orang bersenjatakan golok terhunus. Mereka
langsung mengepung rapat, tanpa ada celah sedikit
pun. Laki-laki berbaju kuning gading itu langsung
mengedarkan pandangannya berkeliling
“Hm...,” dia bergumam pelan.
Ada sepuluh orang bersenjata golok telanjang yang
telah mengepung rapat. Mereka bergerak perlahan
memutari laki-laki berbaju kuning gading itu. Golok-
golok yang bergerak-gerak melintang di depan dada,
berkilatan tertimpa cahaya matahari
“He he he...!” tiba-tiba terdengar tawa terkekeh.
Laki-laki berbaju kuning gading itu memutar
tubuhnya. Entah kapan dan dari mana datangnya,
tahu-tahu di situ sudah berdiri seorang laki-laki kurus
kering mengenakan baju agak longgar warna biru tua.
Dia berdiri di atas sebatang pohon mati yang meng-
geletak roboh di tanah.
“Jarong...,” laki-laki berbaju kuning gading itu
mendesis pelan, mengenali pemuda bertubuh kurus
kering itu.
Tentu saja dia mengenali, karena sering melihat
pemuda kurus kering itu. Dia memang Jarong,
kemenakan laki-laki bertubuh gembur dan berperut
buncit, kakak sepupu dari Ratu Nyai Langas yang
bernama Narata.
“Tidak sukar untuk menemukanmu kembali,
Bokor,” terdengar kering dan datar sekali suara
Jarang.
“Mengapa kau menggagalkan tugasku, dan mem-
bunuh teman-temanku?!” agak lantang suara laki-laki
berbaju kuning gading yang dipanggil Bokor.
“Kau tidak punya hak untuk bicara, Bokor. Ber-
siaplah menyusul ketiga temanmu,” tetap dingin dan
datar sekali suara Jarong.
“Huh!” dengus Bokor.
Jarong menjentikkah ujung jarinya. Maka seketika
itu juga, sepuluh orang bersenjata golok yang
mengepung Bokor segera berlompatan menyerang.
Melihat hal ini Bokor segera mencabut goloknya yang
terselip di pinggang. Dan secepat itu pula, tubuhnya
diputar sambil cepat mengibaskan goloknya.
Namun sebelum tubuhnya berhenti berputar,
sebuah golok berkelebat cepat mengarah ke kepala-
nya. Sesaat Bokor terkesiap, namun cepat sekali
goloknya dikibaskan ke atas kepala.
Tring!
Dua senjata golok beradu keras di atas kepala.
Tampak orang yang menyerang Bokor tersentak
kaget. Seluruh jari-jari tangannya jadi terasa kaku,
begitu goloknya beradu dengan golok laki-laki berbaju
kuning gading itu. Dan sebelum sempat disadari apa
yang terjadi pada dirinya, Bokor sudah melompat
cepat sambil mengibaskan goloknya.
“Hiyaaa...!”
Bet!
Cras!
“Aaa...!” orang itu menjerit keras melengking tinggi.
Tebasan golok Bokor tepat membelah dadanya.
Seketika darah muncrat, bersamaan dengan ter-
gulingnya tubuh laki-laki bertubuh sedang itu. Dan
sebelum yang lain menyadari apa yang telah terjadi
terhadap salah seorang temannya, Bokor sudah ber-
gerak cepat memutar tubuhnya.
Bet!
Kembali laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun
itu mengibaskan goloknya ke arah seorang penyerang
yang berada dekat dengannya. Serangan Bokor yang
cepat dan tidak terduga sama sekali tak mungkin
dapat dihindari lagi.
Crab!
“Aaa...!”
Kembali terdengar jeritan panjang dan menyayat,
disusul ambruknya seorang lagi dengan leher ter-
penggal hampir buntung. Darah mengucur deras dari
leher yang menganga lebar itu. Hanya sebentar tubuh
orang itu mampu menggeliat dan mengerang
meregang nyawa, kemudian diam tak berkutik lagi.
Mati.
“Keparat..!” geram Jarong melihat dua anak
buahnya tewas begitu cepat
Sementara Bokor sudah kembali bergerak begitu
cepat Tapi kali ini orang-orang yang mengepungnya
tidak lagi terpaku pada kejadian yang begitu cepat
dan menimbulkan dua nyawa melayang. Mereka
segera mengambil tindakan untuk mendesak Bokor
yang mengamuk seperti kesetanan.
***
Bokor yang menyadari kalau sebenarnya orang-
orang yang menyerangnya ini memiliki tingkat
kepandaian lumayan, tidak tanggung-tanggung meng-
hadapinya lagi. Terlebih lagi di tempat ini juga ada
Jarong. Meskipun sampai sekarang dia belum juga
ikut terjun dalam pertarungan ini, tapi Bokor yakin
kalau cepat atau lambat Jarong pasti akan terjun
juga. Dan ini sebenarnya yang dicemaskannya.
Bokor sadar betul kalau kemampuan yang
dimilikinya tidak akan sanggup menandingi pemuda
bertubuh kurus kering itu. Namun dia tidak ingin mati
sia-sia. Sedapatnya separuh dari jumlah mereka yang
mengeroyoknya dengan ganas harus bisa dikurangi
“Yeaaah...!”
Sambil berteriak keras menggelegar, Bokor
mengebutkan goloknya sambil berputar, bertumpu
pada satu kaki Gerakan yang cepat dan tak terduga
ini, tak bisa lagi dihindari dua orang yang sudah
keburu melompat sambil menghunus golok ke depan.
Bret!
Cras!
“Aaakh!”
“Aaa...!”
Dua jeritan panjang melengking tinggi terdengar
saling sambut, disusul ambruknya dua orang yang
sudah keburu melompat. Darah seketika menyembur
deras dari tubuh yang terbelah tertebas golok Bokor.
Belum lagi ada yang sempat menyadari apa yang baru
saja terjadi, mendadak saja tubuh Bokor melenting ke
udara. Dia memang bermaksud kabur dari tempat ini.
“Yeaaah...!”
Namun sebelum niatnya terlaksana, mendadak
saja tangan kanan Jarong sudah mengebut ke arah
laki-laki berbaju kuning gading itu. Dan seketika itu
pula, dari balik lipatan lengan bajunya melesat dua
buah pisau yang tipis sepanjang jengkal. Dua pisau
itu meluruk deras ke arah Bokor yang sedang berada
di udara.
“Hap!”
Cepat sekali Bokor memutar tubuhnya sambil
mengipaskan golok untuk menyampok kedua pisau
itu sekalligus.
Tring!
Kedua pisau itu langsung terpental. Dan seorang
yang sedikit lengah tak bisa lagi menghindari pisau
yang berbalik arah itu. Seketika terdengar jeritan
panjang melengking tinggi ketika satu pisau
menancap di dada orang itu. Sedangkan pisau
satunya lagi menancap dalam di tanah.
''Yeaaah...!”
Melihat serangan pisaunya gagal, seketika Jarong
melesat cepat mengejar Bokor yang mulai mendarat
turun. Sebelum Bokor sempat berlari, Jarong sudah
cepat melontarkan dua pukulan beruntun ke arahnya.
“Hup! Uts...!”
Cepat-cepat Bokor menjatuhkan diri ke tanah dan
bergulingan beberapa kali. Maka dua pukulan yang
dilepaskan Jarong tidak mengenai sasaran. Namun
baru saja Bokor bisa melompat bangkit berdiri, Jarong
sudah kembali menyerang dengan kecepatan luar
biasa.
“Hiyaaa...!”
Kali ini Bokor hanya bisa bertahan dan meng-
hindar. Tapi sesekali masih juga mampu memberi
serangan balasan. Namun semua serangan balasan-
nya tidak berarti sama sekali. Karena sebelum
mencapai sasaran, Jarong sudah membuat serangan
itu mentah. Dan tanpa dapat dicegah lagi, Bokor
sudah mendapat serangan kembali.
Hanya beberapa gebrakan saja, Bokor sudah
kelihatan terdesak sekali. Dan kini setelah melewati
tiga jurus, laki-laki berbaju kuning gading itu benar-
benar tidak mampu lagi balas menyerang. Dia hanya
bisa menghindar dan berkelit semampunya.
Serangan-serangan yang dilancarkan Jarong, begitu
cepat dan dahsyat sekali. Hingga suatu saat...
“Jebol dadamu! Yeaaah...!”
Belum lagi teriakan itu hilang, mendadak saja
Jarong melontarkan satu tendangan keras meng-
geledek seraya melompat sedikit Bokor terperangah,
karena baru saja bisa menghindari satu pukulan ke
arah kepala. Dan tendangan itu memang tak mungkin
dapat dihindari lagi.
Namun mendadak saja....
Plak!
“Akh...!” Jarong mendadak terpekik.
Pemuda kurus kering itu terpental balik ke
belakang, lalu berputaran beberapa kali sebelum
sepasang kakinya mendarat di tanah berumput.
Sungguh tidak diduga kalau tendangannya tadi
seperti membentur sebuah tembok baja yang begitu
kuat Akibatnya, tulang pergelangan kakinya serasa
remuk.
“Heh...?!”
Jarong tersentak kaget ketika tahu-tahu di depan
Bokor sudah berdiri seorang pemuda berbaju kulit
harimau. Bahkan Bokor pun terlongong keheranan
menyaksikan pemuda berwajah cukup tampan
dengan garis-garis kekerasan dan ketegasan
membayang jelas di wajahnya itu. Tak terlihat senjata
melekat di tubuhnya, kecuali sebuah cakra di tangan
kanan.
Memang, Jarong yakin betul kalau tendangannya
tadi terhalang oleh pemuda berbaju kulit harimau itu.
Tapi yang membuatnya heran, sama sekali
kedatangannya tidak terlihat. Bahkan kelebatan
bayangannya pun tidak terlihat. Dan ini yang mem-
buat pemuda kurus itu jadi keheranan. Dia yakin
kalau pemuda berbaju kulit harimau itu memiliki
tingkat kepandaian tinggi.
“Setan alas...! Siapa kau?! Berani-beraninya men-
campuri urusanku!” bentak Jarong. Suaranya kasar
dan dingin sekali.
“Tidak perlu tahu siapa diriku. Yang jelas, aku
paling tidak suka melihat kecurangan!” jawab
pemuda berbaju kulit harimau itu, dingin.
“Sombong...! Kau belum tahu siapa aku, heh...?!”
desis Jarong geram.
“Tengkorak hidup yang bisanya main keroyok.”
“Keparat..! Serang...!”
Jarong begitu marah, sehingga seketika itu juga
sisa orang-orangnya diperintahkan untuk menyerang.
Pada saat itu, dia juga bersiul nyaring. Siulan yang
disertai pengerahan tenaga dalam tinggi itu menyebar
ke angkasa, terbawa angin yang bertiup lembut siang
ini.
Dan tak berapa lama kemudian, dari dalam hutan
itu muncul orang-orang berbaju hitam bersenjatakan
tongkat pendek kembar berwarna merah. Mereka ber-
lompatan cepat ke arah Bokor dan pemuda berbaju
kulit harimau itu.
“Celaka...,” desis pemuda itu saat melihat puluhan
orang meluruk cepat ke arahnya.
Tak ada lagi yang bisa dilakukan, kecuali cepat-
cepat menyambar tubuh Bokor. Dan sebelum anak
buah Jarong yang berseragam hitam bisa men-
capainya, secepat kilat pemuda berbaju kulit harimau
itu melesat sambil membawa Bokor.
“Setan...!” geram Jarong.
Begitu cepatnya lesatan pemuda berbaju kulit
harimau itu, sehingga dalam sekejap mata saja sudah
lenyap seperti tertelan bumi saja. Hal ini membuat
mereka yang baru berdatangan jadi bengong.
Sementara Jarong tidak henti-hentinya memaki dan
mengumpat geram.
***
Bruk!
“Ah...!” Bokor terpekik kecil, ketika tiba-tiba
tubuhnya terbanting agak keras ke tanah.
Sambil meringis, laki-laki berbaju kuning gading itu
bangkit berdiri. Dia berdiri tepat sekitar dua langkah
di depan pemuda berbaju kulit harimau yang telah
menyelamatkan nyawanya dari kematian.
“Terima kasih atas pertolonganmu yang telah
menyelamatkan nyawaku. Tapi aku yakin, setelah ini
aku tidak akan lama menghirup udara segar,” ucap
Bokor.
“Sebaiknya kau pergi saja sejauh mungkin. Kalau
perlu, pergi ke balik dunia ini,” pemuda berbaju kulit
harimau itu menyarankan.
“Percuma saja,” sahut Bokor seraya tersenyum.
Bokor tahu kalau saran tadi hanya sebuah gurauan
saja, tapi memang dibenarkan juga. Dia memang
harus pergi jauh agar tak mungkin bisa dicapai
musuhnya seorang pun juga. Tapi itu tidak akan
mungkin. Ke mana pun dirinya pergi, pasti Jarong dan
orang-orangnya bisa menemukan
Bokor sendiri tidak mengerti, mengapa Jarong
justru menjegalnya. Padahal dia sedang melaksana-
kan tugas yang diberikan paman pemuda kurus
kering itu. Dan baru kali ini Bokor tahu kalau Jarong
yang kelihatannya lemah, ternyata memiliki ke-
pandaian yang sangat tinggi. Bahkan lebih tinggi dari
yang didengarnya selama ini. Dan sampai di mana
tingkat kepandaian yang dimiliki pemuda bertubuh
kurus kering itu, Bokor tidak tahu.
Bokor meraba pinggangnya. Dan seketika itu juga
keningnya berkerut. Jari-jari tangannya menyelusup
ke balik sabuk yang membelit pinggangnya. Tapi
mendadak saja dia jadi seperti kebingungan, dan
wajahnya jadi memucat. Perubahan ini menjadi
perhatian pemuda berbaju kulit harimau di depannya.
“Ada apa? Kau mencari sesuatu?” tanya pemuda
berbaju kulit harimau itu.
“Ya! Ada yang hilang,” sahut Bokor seraya
memandang pemuda di depannya ini.
“Senjatamu?”
“Bukan, tapi surat.”
Pemuda berbaju kulit harimau itu mengerutkan
keningnya, dan matanya agak menyipit menatap laki-
laki kekar di depannya ini. Sedangkan dengan lesu
sekali, Bokor menghempaskan tubuhnya, duduk di
atas rerumputan. Di dalam hutan yang cukup lebat
ini, udara terasa sejuk. Namun, tidak sesejuk hati dan
perasaan Bokor yang jadi gelisah seketika. Terutama
setelah menyadari kalau surat yang harus disampai-
kan pada Ratu Nyai Langas tidak ada lagi di
tempatnya.
“Hhh.... Gusti Narata pasti akan memenggal
kepalaku...,” keluh Bokor lirih.
“Siapa itu Gusti Narata?” tanya pemuda berbaju
kulit harimau lagi.
“Majikanku,” sahut Bokor, suaranya masih ter-
dengar pelan. “Aku harus menyampaikan surat itu
langsung pada Kanjeng Ratu Nyai Langas. Tapi
sekarang surat itu hilang. Hhh.... Aku tidak tahu lagi,
apa yang harus kulakukan sekarang.”
Bokor benar-benar kebingungan. Dia tidak bisa lagi
berpikir jernih. Tidak ada lagi keberanian dalam
dirinya untuk kembali bertemu Narata. Sudah pasti
junjungannya itu akan memenggal lehernya, karena
tugas yang diembannya gagal lagi.
“Itu merupakan surat rahasia Gusti Narata, khusus
untuk Kanjeng Ratu Nyai Langas. Tidak boleh seorang
pun yang boleh menerima, selain Kanjeng Ratu Nyai
Langas...,” kembali Bokor mengeluh.
“Ingat-ingat dulu, barangkali kau lupa menyimpan-
nya,” pemuda berbaju kulit harimau itu mencoba
mengingatkan.
“Aku tidak mungkin lupa, Kisanak.... Aku....”
“Bayu,” ujar pemuda berbaju kulit harimau itu
memperkenalkan namanya, saat suara Bokor
terhenti.
Pemuda itu memang bernama Bayu, yang lebih
dikenal berjuluk Pendekar Pulau Neraka. Tidak ada
lagi di dunia ini pendekar tangguh dan digdaya yang
mengenakan baju dari kulit harimau, selain Pendekar
Pulau Neraka. Memang tampaknya dia tidak mem-
bawa senjata apa pun juga. Tapi di pergelangan
tangannya, melekat sebuah lempengan logam keras.
Bentuknya jelas sebuah cakra yang sisinya bergerigi,
berjumlah enam buah. Cakra itulah merupakan
senjata andalannya, yang bernama Cakra Maut.
“Aku Bokor,” Bokor juga memperkenalkan
namanya.
“Atau barangkali terjatuh,” duga Bayu.
“Ya..., hal itu lebih masuk akal lagi. Pasti terjatuh.
Tapi di mana...?” Bokor seperti bertanya pada diri
sendiri.
“Ingat-ingat dulu, ke mana saja kau selama
membawa surat itu,” saran Bayu kembali.
Bokor terdiam dengan mata menerawang jauh ke
depan. Dicobanya untuk mengingat-ingat di mana
kira-kira surat yang berada di dalam selongsong
bambu itu terjatuh. Sejak keluar dari rumah
kediaman Narata, dia bersama ketiga temannya
langsung menuju Istana Langkat.
Di dalam keputren istana mereka sempat
bertarung, sehingga hanya tinggal dirinya sendiri yang
selamat. Sedangkan ketiga temannya tewas di tangan
Jarong. Dari istana itu, dirinya langsung pergi hingga
sampai ke tepi hutan, tempat dia mendapat serangan
dari Jarong dan orang-orangnya lagi.
Rasanya terlalu sukar bagi Bokor untuk
mengetahui persis, di mana surat itu terjatuh.
Padahal diyakini betul kalau surat itu tersimpan di
balik sabuk pinggangnya. Dan sekarang, benda yang
menjadi tanggung jawabnya itu sudah lenyap. Entah
berada di mana, yang jelas Bokor berharap agar surat
itu tidak jatuh ke tangan orang yang salah. Terlebih
lagi Jarong, yang tidak jelas maksudnya menyerang
dan menjegalnya. Padahal, dia sedang melaksanakan
tugas dari paman pemuda kurus kering itu.
“Hhh.... Apa yang harus kulakukan sekarang...?”
keluh Bokor seperti bertanya pada dirinya sendiri.
“Kalau merasa bertanggung jawab, kau harus
mencari surat itu,” Bayu menyahuti.
“Aku memang harus menemukannya. Tapi di
mana...?” lagi-lagi Bokor bertanya tanpa ada yang
bisa menjawabnya.
Dan Pendekar Pulau Neraka sendiri sudah pasti
tidak bisa menjawab, karena memang tidak tahu
menahu tentang surat itu. Dia tadi hanya kebetulan
lewat saja. Kebetulan, jiwa kependekarannya tidak
bisa melihat seseorang dikeroyok tanpa dapat
memberi perlawanan sedikit pun. Walaupun diakui,
Bokor berhasil merobohkan lima orang pengeroyok-
nya.
“Aku akan membantumu mencari surat itu,” kata
Bayu menawarkan jasa.
“Terima kasih. Bukannya aku menolak, tapi ini
merupakan tanggung jawabku,” sahut Bokor seraya
bangkit berdiri lagi.
“Aku merasa, saat ini kau sendirian dan pasti
membutuhkan seseorang yang bisa mengerti dan
membantumu tanpa mengharapkan imbalan apa pun
juga,” kata Bayu lagi.
Bokor tidak bisa menjawab lagi. Dia tahu kalau
pemuda berbaju kulit harimau ini akan membantunya
secara sukarela dan tanpa mengharapkan sesuatu
imbalan apa pun. Tak ada yang bisa dilakukannya,
selain mengulurkan tangan dan menjabat tangan
Pendekar Pulau Neraka.
“Kuharap kita bisa bekerja sama,” ujar Bokor.
Bayu hanya tersenyum saja.
***
TIGA
Bokor berdiri agak berlindung di balik sebatang pohon
yang cukup rindang. Pandangannya tidak berkedip ke
arah bangunan istana yang berdiri megah di tengah-
tengah Kotaraja Langkat. Di situ, tampak sesosok
tubuh tengah merapat di atap bangunan besar dan
megah itu. Sosok tubuh yang memakai baju dari kulit
harimau.
“Oh...?!”
Mendadak Bokor tersentak kaget ketika pundak-
nya terasa ada yang menepuk dari belakang. Dan
belum sempat berpaling, mendadak saja laki-laki
bertubuh tinggi tegap itu merasakan punggungnya
terhantam sesuatu dengan keras.
Diegkh!
“Akh...!”
Seketika itu juga, Bokor terpental keras ke
belakang. Dia jatuh bergulingan ke tanah beberapa
kali, namun cepat bangkit berdiri. Dan belum juga
bisa berdiri tegak, tiba-tiba sebuah bayangan biru
berkelebat cepat menerjang ke arahnya.
“Uts!”
Bergegas Bokor memiringkan tubuhnya, maka
bayangan biru itu lewat sedikit di samping tubuhnya.
Namun angin sambaran bayangan itu membuat
Bokor sedikit terhuyung. Bergegas keseimbangan
tubuhnya cepat dikuasai, dan secepat itu pula
tubuhnya diputar.
“Jarong..,” desis Bokor ketika melihat seorang
pemuda bertubuh kurus kering tahu-tahu berdiri
sekitar dua tombak di depannya.
“Kau terlalu berani untuk masuk ke kota, Bokor,”
dingin sekali suara Jarong.
Bokor sempat melirik ke arah atap bangunan
istana, dan langsung terkejut. Ternyata di atas atap
itu sedang terjadi pertarungan sengit. Tampak se-
seorang berpakaian dari kulit harimau sedang
bertarung sengit melawan empat orang bersenjata
pedang. Pada saat itu, beberapa orang sudah
berlompatan ke atas atap itu dan langsung
mengeroyok laki-laki berbaju kulit harimau.
“Sebaiknya kau menyerah saja, Bokor. Tidak ada
gunanya melakukan perlawanan lagi,” kata Jarong
lagi, tetap dingin dan datar nada suaranya.
“Walaupun harus mati, jangan harap aku
menyerah,” sahut Bokor ketus.
“Pilihlah nasibmu sendiri, Bokor. Baiklah, aku tidak
akan sungkan-sungkan lagi memenggal kepalamu...!”
Setelah berkata demikian, Jarong cepat sekali
melesat menerjang laki-laki berbaju kuning gading itu.
Hanya sedikit saja Bokor memiringkan tubuhnya
maka satu pukulan keras bertenaga dalam tinggi
yang dilepaskan Jarong berhasil dihindarinya. Namun
tanpa menarik pulang pukulannya, Jarong sudah
menghentakkan kakinya. Diberikannya satu
tendangan keras menggeledek.
“Yeaaah...!”
Begkh!
“Ughk...!” Bokor mengeluh pendek.
Tendangan pemuda bertubuh kurus kering itu tak
dapat dihindari Bokor. Tak urung lagi telapak kaki
yang bagaikan hanya terbalut kulit tipis, telak sekali
mendarat di perut Bokor. Akibatnya laki-laki berbaju
kuning gading itu terhuyung-huyung ke belakang.
Sret!
Bokor cepat menarik goloknya yang terselip di
pinggang. Pada saat itu, Jarong sudah cepat
mengibaskan tangannya sambil melompat mener-
jang.
“Hiyaaa...!”
Wus!
Bet!
Begitu pisau-pisau bertebaran deras ke arah
tubuhnya, Bokor cepat sekali mengibaskan goloknya
beberapa kali untuk menyampok pisau-pisau itu.
Namun pada saat yang sama, Jarong sudah
menerjang cepat. Langsung diberikannya dua
pukulan keras bertenaga dalam tinggi yang tak dapat
terbendung lagi.
Plak!
“Akh...!” Bokor memekik keras ketika pukulan yang
dilepaskan Jarong tepat menghantam dada. Seketika
itu juga Bokor terpental deras sekali ke belakang. Dan
sebelum keseimbangan tubuhnya bisa terkuasai,
mendadak saja Jarong sudah cepat mengibaskan
tangannya.
Slap!
Tampak dua bilah pisau tipis sepanjang jengkal
melesat cepat dari balik lipatan lengan baju pemuda
bertubuh kurus kering itu. Sementara Bokor yang
sedang terhuyung, tak mampu lagi menghindar. Dua
bilah pisau menancap tepat dan dalam sekali di dada
pemuda berbaju kuning gading itu. Maka....
Crab!
“Aaa...!”
Bokor terpental ke belakang, dan dengan keras
sekali terbanting di tanah. Hanya sebentar tubuhnya
mampu menggeliat sambil mengerang, kemudian
diam tak bergerak-gerak lagi. Tampak darah
merembes keluar dari dada yang tertancap dua bilah
pisau.
“Ha ha ha...!” Jarong tertawa terbahak-bahak
melihat buruannya kini sudah tergeletak tak ber-
nyawa lagi.
Pemuda bertubuh kurus kering itu menghampiri
Bokor yang sudah tergeletak tak bernyawa lagi.
Diperiksa seluruh tubuh laki-laki itu. Tapi sebentar
kemudian, wajahnya seketika berubah semakin
memucat bagai tak teraliri darah lagi.
“Keparat..!” geram Jarong mendesis. “Hih!”
Keras sekali kakinya dihentakkan menendang
tubuh yang sudah tak bernyawa lagi itu. Mayat Bokor
terpental cukup jauh, hingga menghantam dinding
sebuah rumah sampai jebol berantakan. Penghuni
rumah itu keluar, dan langsung berlari terbirit-birit
begitu mengetahui yang menjebol dinding rumahnya
adalah sesosok mayat.
“Setan keparat..!”
Tubuh Jarong berbalik sambil memaki geram.
Matanya langsung memandang ke arah atap
bangunan istana. Namun seketika itu juga jadi
mendelik. Ternyata di atas atap itu hanya terlihat
beberapa sosok tubuh yang tergeletak. Apalagi di
sana tak ada pertarungan lagi.
“Hup!”
Cepat sekali pemuda bertubuh kurus kering itu
melesat ke arah bangunan istana itu. Dan Jarong
tidak melewati pintu gerbang yang tertutup rapat dan
dijaga sekitar enam orang prajurit Lesatannya
bagaikan kilat melompati tembok benteng istana itu.
Siang ini, keadaan sekitar istana itu memang agak
lain. Suasananya sunyi senyap. Bahkan tak seorang
pun terlihat kecuali para prajurit yang berjaga di
tempat-tempat tertentu.
***
Bayu berdiri tegak memandangi gundukan tanah
yang masih terlihat baru. Di ujung gundukan tanah
merah itu, terdapat sebuah batu sebagai pertanda
kalau di dalamnya terbaring jasad seseorang yang
sudah menyelesaikan tugasnya di dunia ini. Perlahan
Pendekar Pulau Neraka mengangkat kepalanya.
“Seharusnya aku tidak meninggalkanmu sendirian,
Bokor,” pelan sekali suara Bayu kedengarannya.
Gundukan tanah itu memang kuburan Bokor. Bayu
menguburkannya di tepi hutan tidak jauh dari
perbatasan Kotaraja Langkat. Tubuh Bokor ditemu-
kan tergeletak tidak jauh dari tembok benteng Istana
Langkat, setelah Pendekar Pulau Neraka lolos dari
kepungan di atas atap bangunan istana itu.
“Maaf. Aku tidak bisa memilihkanmu tempat yang
lebih baik lagi,” ujar Bayu lagi, tetap pelan suaranya.
“Itu sudah lebih baik, daripada dihanyutkan ke
sungai....”
Bayu langsung memutar tubuhnya ketika tiba-tiba
saja terdengar suara dari arah belakang. Entah kapan
datangnya, tahu-tahu agak jauh di depan Pendekar
Pulau Neraka sudah berdiri seorang pemuda ber-
tubuh kurus kering mengenakan baju agak longgar
warna biru tua. Di belakang pemuda yang perawakan
tubuhnya seperti tengkorak hidup itu berdiri empat
orang bertubuh tinggi tegap. Wajah mereka kasar,
dengan mata menyorot bengis.
“Pasti kau yang membunuh Bokor,” tuduh Bayu
langsung.
“Ha ha ha...,” pemuda kurus kering yang tak lain
Jarong tertawa terbahak-bahak keras sekali.
Namun suara tawa Jarong begitu kering, dan
terdengar serak menyakitkan telinga. Tanpa dijawab
sekalipun, Bayu sudah tahu kalau pemuda kurus
kering bagai tengkorak hidup inilah yang telah
membunuh Bokor. Dan Pendekar Pulau Neraka
pernah bertemu sekak, ketika menyelamatkan Bokor
dari keroyokannya.
“Kisanak! Aku tidak akan memperpanjang
persoalan ini, jika kau suka menyerahkan surat itu
padaku,” tegas Jarong dengan suaranya yang selalu
datar dan dingin.
“Aku tidak pernah punya surat,” sahut Bayu tak
kalah tegas.
“Jangan membuat kesabaranku habis, Kisanak,”
desis Jarong bernada mengancam.
“Mau habis, mau tidak, itu urusanmu,” balas Bayu
tidak kalah dinginnya.
“Sudah besar kepala rupanya kau...!”
Bayu hanya tersenyum sinis saja. Kemudian
tubuhnya berputar ke kanan. Tanpa mempedulikan
geraman pemuda kurus kering itu, Bayu meng-
ayunkan kakinya hendak meninggalkan tempat ini.
''Keparat..! Kau meremehkan aku, heh...?!” geram
Jarong jadi gusar bukan main melihat sikap Pendekar
Pulau Neraka yang sepertinya tidak memandang
sebelah mata padanya.
Namun Bayu tetap saja berjalan, tidak peduli. Dan
ini semakin membuat Jarong geram. Seketika tangan
kanannya dihentakkan ke depan. Maka, dari balik
lipatan lengan bajunya melesat dua buah pisau kecil
tipis sepanjang jengkal tangan berwarna keperakan.
Wus...!
Mendengar desiran angin yang halus dari arah
belakang, Bayu cepat sekali memutar tubuh. Dan
saat itu juga tangan kanannya digerakkan dengan
cepat ke depan dada.
Tap!
“Heh...!” Jarong terkejut melihat kedua senjatanya
mudah sekali ditangkap Pendekar Pulau Neraka.
Dan kini, kedua pisau tipis keperakan itu terselip di
antara kedua jari tangan Bayu. Belum lagi Jarong bisa
menghilangkan keterkejutannya, mendadak saja
Bayu sudah mengibaskan tangan kanannya untuk
melemparkan kedua pisau tadi kepada pemiliknya
kembali.
“Yeaaah...!”
Wus!
Kedua pisau itu meluncur lebih cepat daripada
yang dilemparkan Jarong tadi. Dan ini membuat
pemuda bertubuh kurus kering itu jadi terbeliak
semakin terkejut. Namun cepat sekali, tubuhnya
melenting ke udara. Maka kedua pisau itu melesat
lewat di bawah telapak kakinya.
Empat orang yang berdiri di belakang pemuda itu
juga bergegas berlompatan menghindari terjangan
pisau. Mereka menjatuhkan diri di tanah dan ber-
gulingan beberapa kali. Tepat di saat Jarong men-
jejakkan kakinya kembali ke tanah, empat orang laki-
laki berwajah kasar itu sudah berlompatan bangkit
berdiri.
“Kurang ajar...,” desis Jarong geram. “Serang!
Bunuh keparat itu...!”
Tanpa diperintah dua kali, empat orang yang
semuanya bersenjatakan golok segera berlompatan
menerjang Pendekar Pulau Neraka. Golok mereka
yang langsung tercabut seketika itu dikibaskan ke
tubuh Bayu. Namun lewat gerakan indah dan ringan
sekali, tubuh pemuda berbaju kulit harimau itu
meliuk-liuk, menghindari setiap serangan yang
dilancarkan empat orang bersenjata golok itu.
Sedangkan Jarong hanya memperhatikan saja
jalannya pertarungan itu. Saat memperhatikan, mata-
nya tidak berkedip sama sekali. Sementara, empat
orang bersenjata golok itu terus mencecar hebat
Pendekar Pulau Neraka. Mereka menyerang secara
bergantian dari empat arah. Dan Bayu sendiri
tampaknya masih mampu menandinginya, meskipun
pada saat ini hanya berkelit dan menghindar saja.
Dan ini memang disengaja, karena ingin mengetahui
dulu, sampai di mana tingkat kepandaian empat
orang pengeroyoknya ini.
“Uts! Yeaaah...!”
Cepat sekali Pendekar Pulau Neraka merunduk
sambil memiringkan tubuh ke kiri, ketika sebatang
golok menyambar ke arah kepalanya. Dan pada saat
itu, tangan kanannya bergerak cepat mengibas ke
depan.
“Yeaaah...!”
Secercah cahaya keperakan berkelebat cepat dari
pergelangan tangan pemuda berbaju kulit harimau
itu.
Sementara orang yang berada di depannya tidak
sempat menyadari lagi. Tahu-tahu....
Crab!
“Aaa...!”
Satu jeritan melengking dan menyayat terdengar,
tepat saat orang yang berada di depan Pendekar
Pulau Neraka terpental. Tampak di lehernya tertancap
sebuah benda pipih bulat, yang sisinya bergerigi
enam.
“Hap!”
Saat itu Bayu menghentakkan tangan kanannya ke
atas, tepat begitu tubuhnya tegak kembali. Seketika
benda berbentuk cakra perak melesat keluar dari
leher yang langsung memuncratkan darah segar.
Senjata maut Pendekar Pulau Neraka langsung
menempel di pergelangan tangan kanannya.
“Hup...!”
Bayu melompat keluar dari kepungan itu, di saat
tiga orang yang menyerangnya tadi tengah terpaku
melihat kejadian yang begitu cepat dan tidak terduga
sama sekali. Mereka seperti tidak percaya kalau
seorang temannya kini telah tergeletak tak bernyawa.
Lehernya robek mengeluarkan darah segar.
Mendadak saja Pendekar Pulau Neraka meluruk
deras ke arah Jarong. Pemuda kurus kering bagai
tengkorak hidup itu menjadi terkejut bukan main.
Bergegas dia melompat ke samping ketika Bayu
melontarkan dua pukulan keras beruntun,
mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi.
Glarrr!
Suara ledakan keras terdengar begitu pukulan
Bayu menghantam pohon di belakang Jarong tadi.
Pohon yang cukup besar itu langsung hancur
berkeping-keping.
“Gila...!” desis Jarong terkejut begitu melihat akibat
pukulan pemuda berbaju kulit harimau yang
mengandung tenaga dalam tinggi.
Dan sebelum pemuda kurus kering itu bisa
menghilangkan keterkejutannya, Bayu sudah kembali
melesat menerjang. Gerakan Pendekar Pulau Neraka
sungguh cepat luar biasa. Dan ini berarti tak ada lagi
kesempatan buat Jarong untuk menghindar dari
serangan yang cepat dan dahsyat itu.
“Yeaaah...!”
Jarong cepat menghentakkan tangannya ke depan,
menyambut pukulan yang dilontarkan Pendekar Pulau
Neraka. Tak dapat dihindari lagi, dua kekuatan
tenaga dalam yang saling bertentangan beradu keras
hingga menimbulkan ledakan keras menggelegar.
Blarrr!
Tampak kedua pemuda yang mengadu tenaga
dalam itu sama-sama terpental ke belakang. Tiga kali
Bayu berputaran di udara, dan manis sekali kakinya
mendarat di tanah. Sementara itu, Jarong agak
terhuyung begitu mendarat
“Phuih!”
Jarong menyemburkan ludahnya. Dan semburan
ludah itu ternyata berwarna merah agak kental.
Jarong menyadari kalau tenaga dalam yang
dimilikinya masih kalah dibandingkan lawan. Juga
disadari kalau tubuhnya sedikit terluka dalam. Ludah
yang bercampur darah itu sudah menandakan kalau
tubuhnya terluka dalam, akibat benturan tenaga
dalam tadi.
“Keparat..!” geram Jarong.
Pemuda bertubuh kurus kering itu menjentikkan
jari tangannya. Maka mendadak saja, dari atas pohon
yang banyak tumbuh di tepi hutan ini meluncur anak-
anak panah ke arah Pendekar Pulau Neraka.
“Kadal...!” maki Bayu gusar.
Namun tak ada pilihan lain lagi bagi Pendekar
Pulau Neraka itu. Dengan cepat sekali, tubuhnya
melenting, lalu membuat putaran beberapa kali di
udara. Sementara, tangannya bergerak cepat untuk
menyampok anak panah yang menghujani tubuhnya.
Bayu harus berpelantingan di udara sambil
memutar cepat tubuhnya. Begitu kakinya menjejak
tanah, kembali cepat melesat ke udara. Hanya itu
jalan satu-satunya untuk menghadapi hujan anak
panah yang datang dari segala arah ini. Namun juga
disadari kalau tidak akan mungkin bisa bertahan
lama. Cara seperti ini menguras tenaga terlalu
banyak.
“Hiyaaa...!”
Cepat Bayu menjatuhkan tubuhnya ke tanah, lalu
bergulingan mendekati tubuh yang tergeletak tak
bernyawa lagi. Sedangkan panah-panah itu terus
berdesingan di sekitar tubuhnya.
“Hap!”
Cepat Bayu melenting bangkit setelah bisa
menyambar golok yang tergeletak tidak jauh dari
mayat laki-laki itu. Dan dengan golok ini, setiap anak
panah yang datang mengancam tubuh dibabatnya.
Kini Bayu tidak perlu lagi menguras tenaga terlalu
banyak. Dengan sedikit kelincahan kaki, dan gerakan
tangan yang cepat, serangan panah-panah itu
berhasil dipatahkan.
“Seraaang...!” tiba-tiba saja Jarong berteriak keras
memberi perintah.
Dan seketika itu juga, dari atas pepohonan dan
dari balik semak belukar berlompatan manusia-
manusia berbaju hitam bersenjata tombak pendek
kembar berwarna merah. Mereka seperti berlomba,
langsung meluruk ke arah Pendekar Pulau Neraka.
“Monyet celaka...!” geram Bayu mendesis.
Tak ada lagi kesempatan bagi Pendekar Pulau
Neraka untuk bisa menghindar. Karena sebelum
sempat berpikir, dari samping kanan dan kirinya
sudah datang serangan orang-orang berbaju hitam.
Mereka langsung menusuk dan mengibaskan tongkat
pendeknya cepat sekali.
Wut!
“Hap...!”
Bayu tak mempunyai pilihan lain lagi. Segera dia
bergerak menyambut serangan yang datang dari
segala arah itu secara beruntun dan cepat sekali.
Dengan mengandalkan kelincahan gerak kaki dan
ketinggian pengerahan tenaga dalam, Pendekar
Pulau Neraka langsung mengamuk dan menghajar
siapa saja yang dekat dari jangkauannya.
Sebentar saja sudah terdengar jerit dan pekikan
keras melengking tinggi, disusul bergelimpangannya
tubuh-tubuh tak bernyawa lagi. Pukulan yang
dilepaskan Bayu, memang dahsyat sekali, karena
disertai pengerahan tenaga dalam yang sudah
mencapai taraf kesempurnaan.
Namun, jumlah mereka semakin bertambah
banyak saja. Dan tentu saja ruang gerak Pendekar
Pulau Neraka semakin terbatas. Rasanya sukar sekali
untuk bisa keluar dari keroyokan ini. Meskipun dirinya
seorang pendekar digdaya yang berkepandaian tinggi,
tapi tetap saja kodratnya hanyalah manusia biasa
yang memiliki keterbatasan. Dan ini sangat disadari-
nya. Tidak mungkin mereka semua yang jumlahnya
seperti satu pasukan prajurit bisa dikalahkan.
“Huh! Bisa habis napasku kalau begini terus,”
dengus Bayu dalam hati.
Di saat Pendekar Pulau Neraka sedang berpikir
keras sambil terus menghalau serangan, mendadak
keroyokan orang-orang berpakaian serba hitam itu
jadi terpecah belah. Ini karena tiba-tiba saja
sepasukan prajurit Kerajaan Langkat telah datang
dan langsung menyerang para pengeroyok Bayu.
Seketika terdengar jeritan-jeritan diselingi denting
senjata beradu.
Saat itu Bayu memiliki sedikit kesempatan untuk
bisa keluar dari kepungan ini. Kesempatan itu tidak
disia-siakannya. Dengan cepat sekali, Pendekar Pulau
Neraka melentingkan tubuhnya ke udara dan ber-
putaran beberapa kali.
“Hap!”
Begitu kakinya mendarat di batang pohon, dia
segera bersiap melepaskan senjata Cakra Maut yang
selalu menempel di pergelangan tangan kanan.
Namun mendadak saja niatnya diurungkan.
“Lari...!” tiba-tiba terdengar teriakan memberi
perintah.
Seketika itu juga, orang-orang berpakaian serba
hitam berlompatan cepat, masuk ke dalam hutan.
Gerakan mereka memang cepat sekali. Maka dalam
waktu sebentar saja, tempat ini sudah ditinggalkan.
Bayu yang berada di atas pohon jadi tercenung
melihat orang-orang berpakaian prajurit berada di
tempat itu, di antara mayat-mayat yang ber-
gelimpangan.
“Hup...!” Bayu melompat turun dari atas pohon.
Prajurit-prajurit itu terkejut, dan langsung bergerak
mengepung. Namun seorang laki-laki berjubah putih
yang membawa tombak pendek bermatakan
keemasan, merentangkan tangannya lebar-lebar. Di
sampingnya berdiri seorang laki-laki lain yang
mengenakan baju warna kuning ketat, membawa
cambuk hitam berduri halus.
“Siapa kau. Anak Muda?” tanya laki-laki tua
berjubah putih itu.
“Bayu,” sahut Bayu memperkenalkan namanya.
“Apa yang kau lakukan di sini?” tanya orang tua
berjubah putih itu lagi.
“Hm.... Mungkin Kisanak tidak melihat kalau aku
yang tadi dikeroyok mereka,” sahut Bayu.
“Oh, maaf. Tapi mengapa kau sampai bentrok
dengan mereka?”
“Aku tidak tahu. Tiba-tiba saja mereka muncul dan
menyerangku.”
Laki-laki tua berjubah putih panjang itu meng-
anggukkan kepalanya beberapa kali. Dia kemudian
berpaling, memandang laki-laki berbaju kuning ketat
di samping kanannya agak ke belakang sedikit Yang
dipandang juga menganggukkan kepalanya sedikit.
“Kau tahu siapa mereka itu tadi?” tanya laki-laki
tua itu lagi.
Bayu hanya menggelengkan kepalanya saja.
Pendekar Pulau Neraka memang tidak tahu tentang
sekelompok orang berseragam hitam yang
menyerangnya tadi, setelah mendapatkan isyarat dari
pemuda bertubuh kurus kering. Untuk beberapa saat
lamanya, tak ada yang membuka suara. Sementara
itu orang-orang yang mengenakan seragam prajurit,
sudah sibuk mengumpulkan mayat yang ber-
gelimpangan berlumur darah.
***
EMPAT
“Siapa mereka itu, Paman?” tanya Bayu.
“Mereka kaum pemberontak yang menguasai
hutan ini,” jelas Jawala.
“Pemberontak...?” Bayu mengerutkan keningnya.
“Benar! Sudah lama kami ingin menumpas, tapi
mereka begitu menguasai hutan ini. Dan sukar sekali
untuk mengejarnya jika mereka sudah memasuki
hutan ini, Anak Muda,” timpal Rahseta menjelaskan.
Bayu terdiam dengan kepala berkerut dalam.
Sebentar dipandanginya kedua laki-laki tua itu,
kemudian beralih pada mayat-mayat yang ber-
gelimpangan. Benaknya seketika dipenuhi berbagai
macam pikiran dan dugaan. Pandangan Bayu beralih
pada kuburan Bokor.
“Makam siapa itu?” tanya Jawala.
“Bokor,” sahut Bayu.
“Temanmu?” tanya Jawala lagi.
“Bisa dikatakan begitu, kami baru kenal beberapa
hari saja,” jelas Bayu singkat. “Dia tewas dibunuh
oleh pemimpinnya di Kotaraja Langkat. Apakah
paman berdua mengenalinya?”
Jawala dan Rahseta tidak langsung menjawab,
namun hanya saling berpandangan sejenak,
kemudian sama-sama menggeleng. Bayu yang
semula berharap kalau kedua laki-laki tua itu
mengetahui tentang Bokor, ternyata jadi sedikit
kecewa. Tapi Pendekar Pulau Neraka sepertinya tidak
percaya.
Jawala dan Rahseta adalah orang penting di
Kerajaan Langkat. Sedangkan Bokor pernah bercerita
kalau beberapa orang penting sedang merencanakan
satu pemberontakan untuk menggulingkan ke-
kuasaan Ratu Nyai Langas. Dan Bokor sendiri
mengakui kalau dirinya bekerja untuk salah satu
orang penting yang bebas keluar masuk di dalam
istana itu. Tapi, kedua laki-laki tua ini tidak mengenal
Bokor. Dan ini membuat Bayu semakin bertanya-
tanya dalam benaknya.
“Anak muda. Tampaknya, kau punya urusan
dengan mereka itu. Jika tidak berkeberatan,
sebaiknya kau bergabung bersama kami untuk
menumpas mereka,” ajak Jawala.
“Terima kasih. Sebenarnya....”
“Kau tidak perlu khawatir, Anak Muda,” potong
Jawala cepat. “Jika kau bersedia, kami akan
mengusahakan kedudukan penting di istana nanti.
Tapi kau jika tidak menghendaki, dan tidak ingin
keterikatan, kami juga tidak memaksa.”
Bayu terdiam membisu, dan matanya kembali
memandang pusara Bokor. Pendekar Pulau Neraka
masih terdiam membisu, dengan kening sedikit ber-
kerut. Memang tidak ada salahnya jika ikut bersama
kedua laki-laki tua ini. Barangkali saja bisa men-
dapatkan suatu petunjuk penting. Persoalan ini
memang bukan urusannya, tapi Bayu sudah telanjur
masuk.
Kalau toh Pendekar Pulau Neraka itu tidak ingin
melanjutkan lagi, pasti pemuda bertubuh kurus kering
dan orang-orang berbaju serba hitam itu akan men-
carinya. Bayu seketika teringat akan pengakuan
Bokor. Katanya dia sedang melaksanakan tugas dari
junjungannya untuk menyampaikan sebuah surat
penting. Dan Bokor juga mengatakan kalau beberapa
pembesar kerajaan, bermaksud memberontak.
“Baiklah. Aku memang ingin membalas kematian
temanku ini,” ujar Bayu beralasan menerima tawaran
itu setelah memikirkannya cukup lama juga.
“Kalau begitu, sebaiknya kita kembali saja dulu ke
kota,” sambut Jawala senang atas kesediaan
Pendekar Pulau Neraka yang menerima tawarannya.
Tak berapa lama kemudian, mereka berangkat
menuju Kotaraja Kerajaan Langkat Jawala memberi
pinjaman kuda dari prajurit yang tewas kepada
Pendekar Pulau Neraka itu. Bayu yang memang tidak
menyukai kuda sebenarnya ingin menolak, tapi tidak
ingin mengecewakan orang-orang yang baru dikenal-
nya. Dengan perasaan terpaksa, Pendekar Pulau
Neraka menunggang kuda bersama yang lainnya.
***
Bayu mengatakan apa yang diketahuinya dari
Bokor semasa hidupnya, setelah diyakini kalau
Jawala dan Rahseta berada di jalan yang benar.
Sedangkan dua orang tua itu juga mengatakan
segalanya yang diketahui. Namun setelah saling
menukar cerita, belum juga ditemukan satu titik
terang yang diinginkan.
Jawala dan Rahseta jadi tercenung setelah
mendengar cerita Pendekar Pulau Neraka. Katanya,
Bokor sebenarnya hendak menyerahkan sesuatu
berupa selembar surat yang tersimpan dalam
selongsong bambu. Yang membuat mereka
tercenung, ternyata surat itu khusus untuk Ratu Nyai
Langas.
“Apakah dia mengatakan tentang isi surat itu,
Bayu?” tanya Jawala.
“Sayang sekali, dia tidak tahu,” sahut Bayu.
“Lalu, siapa yang memerintahkannya?” kini
Rahseta yang bertanya.
“Itu juga tidak dikatakannya. Bokor hanya
mengatakan kalau dirinya bekerja untuk salah
seorang pembesar di istana ini Maaf, aku tidak
bertanya lebih banyak lagi. Saat itu aku sendiri
semula tidak ingin ikut campur. Aku hanya
menolongnya saja ketika dia dikeroyok,” Bayu
mencoba menutupi cerita yang pernah didengarnya
dari Bokor. Pendekar Pulau Neraka ini masih merasa
belum perlu menceritakan perihal yang sesungguh-
nya. Sebab Bayu masih belum menemukan bukti-
bukti yang kuat untuk mendukung kebenaran cerita
Bokor.
“Hm..., persoalan ini memang masih gelap. Tapi
dari ciri-ciri yang kau sebutkan tentang pemimpin
pengeroyok itu, aku yakin kalau pemuda itu adalah
Jarong,” tebak Jawala, agak bergumam nada suara-
nya.
“Jarong...? Siapa itu?” tanya Bayu.
''Pemuda kurus yang kau ceritakan tadi, Bayu,''
sahut Jawala.
“Apakah dia orang dalam istana ini juga?” tanya
Bayu lagi.
“Dia kemenakan Narata, kakak sepupu Kanjeng
Ratu Nyai Langas,” jelas Jawala. “Terus terang, aku
dan Rayi Rahseta memang mencurigai Narata.
Terlebih lagi, asal-usul Jarong yang sebenarnya tidak
jelas. Baru tiga bulan dia berada di sini. Dan itu
bertepatan dengan munculnya kelompok pem-
berontak yang bersarang di Hutan Landaka.”
“Benar, Bayu,” sambung Rahseta. “Kami memang
tidak tahu, dari mana asalnya kemenakan Gusti
Narata itu. Sedangkan yang kami ketahui, Gusti
Narata tidak mempunyai istri, apalagi anak. Saudara
satu-satunya hanyalah Kanjeng Ratu Nyai Langas.”
“Apa selama ini tidak ada yang menyelidiki tentang
asal-usulnya?” tanya Bayu lagi.
“Tidak ada yang diperbolehkan menyelidiki asal-
usul seseorang yang diakui sebagai anggota keluarga
istana. Itu merupakan larangan yang tidak bisa
ditawar lagi, Bayu. Sangat besar hukumannya jika
dilanggar,” sahut Rahseta menjelaskan.
Bayu terdiam beberapa saat. Sementara, kedua
laki-laki tua itu juga tidak berbicara lagi. Dari raut
wajah, jelas sekali kalau mereka sedang memikirkan
sesuatu. Entah apa yang dipikirkan saat ini, hanya
mereka sendiri yang tahu. Dan Pendekar Pulau
Neraka merasakan kalau dirinya tidak akan mungkin
lagi bisa keluar dari masalah ini. Secara tidak
sengaja, Bokor telah menyeretnya. Dan itu juga
karena Bayu tidak bisa melihat kecurangan ber-
langsung di depan matanya.
Kalau saja Pendekar Pulau Neraka itu tidak
menolong Bokor saat itu, sudah pasti tidak akan
terlibat dalam kemelut yang melibatkan orang-orang
berdarah biru ini. Ya..., suatu gerhana telah terjadi di
lingkungan Istana Langkat. Gerhana darah biru yang
melibatkan orang-orang bangsawan dan pembesar
serta anggota keluarga istana. Apakah Pendekar
Pulau Neraka akan terperosok semakin dalam di
dalam kemelut ini..?
***
Bayu tertegun di ambang pintu kediaman Jawala.
Kakinya tidak jadi melangkah keluar ketika melihat
seorang pemuda bertubuh kurus sedang berbicara
dengan Jawala dan Rahseta di halaman depan rumah
besar ini. Pada saat yang sama pemuda kurus kering
itu melihat ke arah Bayu. Tampak sekali kalau dia
terkejut melihat Bayu baru keluar dari dalam rumah
Jawala.
“Bayu...,” Jawala memanggil Pendekar Pulau
Neraka dengan lambaian tangannya.
Bayu melangkah menghampiri, kemudian berhenti
setelah tiba di samping Jawala yang dipanggilnya
dengan sebutan paman. Pandangan Pendekar Pulau
Neraka itu tidak berkedip ke arah pemuda kurus
kering dan berwajah pucat di depannya. Saat itu juga,
pemuda kurus kering itu menatap tajam Pendekar
Pulau Neraka.
“Bayu. Kenalkan, ini Jarong. Kemenakan Gusti
Narata,” Jawala memperkenalkan.
“Aku sudah pernah bertemu dengannya,” ujar
Jarong. Suaranya dingin dan datar.
“Oh..., benarkah?” tampak Jawala terkejut
Bayu sempat melirik laki-laki tua berjubah putih
itu. Tampak kalau sinar mata Jawala tidak terkejut
seperti nada suaranya tadi. Dan Pendekar Pulau
Neraka tahu kalau Jawala hanya berpura-pura saja.
“Di mana kalian bertemu?” tanya Jawala.
Sementara Rahseta yang berada di samping kiri
Jawala, hanya diam saja tanpa membuka suara
sedikit pun. Namun tatapan matanya selalu berganti-
ganti dari Bayu kemudian kepada Jarong. Dia seperti
hendak mengetahui sikap kedua pemuda itu.
“Ada hubungan apa antara dia dan Paman?” tanya
Jarong, jelas penuh selidik dan penuh kecurigaan.
“O.... Bayu ini kemenakanku. Dia baru datang dari
Kadipaten Pantur,” jelas Jawala.
“Hm...,” Jarong hanya bergumam saja, dan
tampaknya tidak percaya penjelasan Jawala yang
singkat itu.
Untuk beberapa saat mereka hanya berdiam diri,
namun suasana begitu kaku. Yang jelas, penuh
dengan kecurigaan dan segala macam perasaan dan
ketegangan. Hal ini bisa dirasakan dari sorot mata
yang selalu tajam mengandung pancaran kecurigaan
mendalam.
“Aku permisi dulu, Paman,” pamit Jarong. Sebelum
Jawala menyahuti, Jarong sudah memutar tubuhnya.
Dan dengan gerakan ringan sekali, pemuda kurus
kering berwajah pucat itu melompat naik ke
punggung kudanya. Secepat itu pula kuda hitam
dengan kaki belang putih itu digebahnya. Sementara
Jawala, Rahseta, dan Bayu masih berdiri memandangi
sampai pemuda kurus kering itu tidak terlihat lagi.
“Kelihatannya dia tidak percaya, Kakang,” ujar
Rahseta dengan suara sedikit bergumam.
“Biarlah. Toh, kalau dia berbuat macam-macam,
kita juga bisa membalikkan asal-usulnya,” sahut
Jawala kalem.
Tanpa bicara lagi, mereka kemudian masuk ke
rumah yang cukup besar dan indah ini. Rumah
kediaman Paman Jawala yang dikelilingi pagar
tembok cukup tinggi dan tebal, seperti rumah-rumah
pembesar lainnya. Beberapa orang berseragam
prajurit terlihat berjaga-jaga di tempat-tempat yang
telah ditentukan.
Ketiga orang itu kemudian duduk menghadapi
sebuah meja bundar beralaskan batu pualam putih
yang licin dan berkilat di ruangan depan. Sampai saat
ini masih belum ada yang membuka suara.
Pertemuan Bayu dengan Jarong tadi memang mem
buat suasana jadi terasa kaku. Baik Jawala maupun
Rahseta sudah bisa merasakan akan terjadi sesuatu
setelah hari ini. Hanya saja sulit untuk dipastikan,
kejadian apa yang akan menimpa mereka berdua.
***
“Oaaah...!”
Bayu membuka mulutnya lebar-lebar seraya
menggeliatkan tubuhnya. Suara bergemeretak ter-
dengar dari seluruh tubuh Pendekar Pulau Neraka itu.
Saat ini, malam sudah demikian larut Suasana di
dalam rumah kediaman Jawala ini sudah terasa sunyi
sekali. Sebagian penghuninya sudah sejak tadi
terlelap dalam buaian mimpi. Namun di dalam salah
satu kamar, mata Pendekar Pulau Neraka belum juga
bisa terpejam.
Pikiran pemuda itu masih terus dipenuhi kejadian
siang tadi. Sungguh tidak disangka kalau pemimpin
orang-orang berbaju serba hitam ternyata kemenakan
kakak sepupu Ratu Nyai Langas sendiri. Bahkan
mereka sudah dikenal sebagai satu kelompok orang
yang merasa tidak puas pada Ratu Nyai Langas. Dan
mereka sudah beberapa kati mencoba meng-
gulingkan tahta, namun selama ini selalu gagal. Dan
sekarang gerakan mereka dilakukan secara
sembunyi-sembunyi.
“Huuuh...! Rasanya malam ini lain sekali,” desah
Bayu agak mengeluh.
Kembali Pendekar Pulau Neraka menguap lebar.
Kantuk yang menyerang kelopak matanya terasa
amat berat Namun, Bayu belum juga mau jatuh tidur.
Seluruh tubuhnya terasa penat sekali. Dia ingin sekali
beristirahat tenang dalam kamar yang cukup besar
dan tertata apik ini.
Bet!
Bet!
Bayu menggerak-gerakkan tangannya, membuat
beberapa persiapan. Kemudian dia duduk bersila di
atas pembaringan. Kedua telapak tangannya
menempel di lutut yang tertekuk. Sebentar napasnya
ditarik dalam-dalam. Pemuda berbaju kulit harimau
itu sejenak ingin melemaskan otot-otot dan urat
syarafnya yang terasa menegang.
Namun, saat matanya hendak dipejamkan untuk
bersemadi, mendadak saja telinganya yang terlatih
mendengar desiran yang begitu halus.
“Hup!”
Cepat sekali Pendekar Pulau Neraka melesat turun
dari pembaringan. Pada saat itu, terlihat seberkas
cahaya keperakan melesat masuk dari celah-celah
jendela, dan langsung menghantam pembaringan.
Padahal, tadi Bayu duduk bersila di sana. Sekilas
Pendekar Pulau Neraka melirik.
“Hm...” Bayu hanya menggumam kecil saja.
Di atas pembaringan beralaskan kain merah muda
itu, jelas tertancap sebilah pisau kecil tipis sepanjang
jengkal. Bagaikan kilat, Pendekar Pulau Neraka
melompat mendekati jendela. Dan begitu jendela
kamar ini dibuka, mendadak saja secercah cahaya
keperakan kembali meluruk deras ke arahnya.
“Hup! Yeaaah...!”
Cepat sekali Pendekar Pulau Neraka melompat.
Tubuhnya kemudian melenting dan berputar ke
belakang. Cahaya keperakan yang memang berupa
sebilah pisau kecil tipis itu, lewat sedikit di bawah
tubuhnya. Dan tepat saat pisau itu menancap di
dinding, kaki Bayu menjejak lantai.
Hanya sekali saja tubuhnya digenjot, dan secepat
kilat, Pendekar Pulau Neraka melesat ke luar. Begitu
kakinya menjejak tanah berumput halus, seketika itu
juga empat buah bayangan hitam berkelebatan cepat
meluruk deras ke arahnya. Dan sebelum Bayu bisa
menyadari, mendadak saja empat buah cahaya
keperakan berkelebat cepat mengarah ke tubuhnya.
“Yeaaah...!”
Bergegas tubuh Pendekar Pulau Neraka berputar
sambil melesat ke udara. Sinar keperakan yang
berasal dari empat senjata golok, lewat di bawah
telapak kaki pemuda berbaju kulit harimau ini. Dan
pada saat itu, cepat sekali Bayu memutar tubuhnya,
hingga kepala berada di bawah dan kaki lurus ke
atas.
“Hiya! Hiyaaa...!”
Sambil berteriak keras menggelegar, Pendekar
Pulau Neraka mengibaskan kedua tangannya
beberapa kali dengan kecepatan bagaikan kilat.
Kemudian tubuhnya kembari melenting ke udara, dan
mendarat manis sekali di tanah berumput
Entah bagaimana caranya, tahu-tahu di tangan
Pendekar Pulau Neraka itu sudah tergenggam empat
bilah golok yang cukup besar bercahaya keperakan
tersiram cahaya rembulan. Tampak tidak jauh di
depan Bayu, berdiri empat orang berbaju serba hitam.
Nampaknya, semuanya anak-anak muda yang
mungkin baru berusia sekitar dua puluh tahun.
Mereka tampak terkejut setelah melihat orang yang
diserangnya tahu-tahu sudah merampas senjata
mereka semua.
“Siapa kalian?!” tanya Bayu dengan suara tegas
dan datar.
Tapi empat orang pemuda berbaju hitam itu, tidak
menjawab sama sekali. Bahkan mencabut sepasang
senjata yang terselip di pinggang, berupa sepasang
tongkat pendek sepanjang tiga jengkal berwarna
merah menyala. Dan sebelum Bayu sempat bertanya
lagi, tiga orang serentak berlompatan mengepung
Pendekar Pulau Neraka dari empat jurusan.
“Hm...,” Bayu hanya menggumam saja.
Perlahan tubuhnya memutar, dan pandangannya
berkeliling merayapi empat pemuda berbaju hitam
bersenjata sepasang tongkat merah yang digerak-
gerakkan di depan dada. Dari desiran angin akibat
gerakan tongkat itu, Bayu sudah bisa menduga kalau
keempat orang berbaju serba hitam ini memiliki
tingkat kepandaian lumayan.
“Hm..., apa yang kalian kerjakan di tempat ini?”
kembali Bayu membuka mulutnya bertanya.
Namun tetap saja tidak ada sahutan sama sekali.
Bahkan, mendadak saja empat orang anak muda
berbaju serba hitam itu melesat cepat secara ber-
samaan untuk menerjang Bayu.
“Yeaaah...!”
Tidak ada lagi yang bisa dilakukan Pendekar Pulau
Neraka, kecuali menyambut serangan lawan-lawan
yang tidak mau berbkara sama sekali. Bagaikan kilat
tubuh Bayu memutar, lalu melompat ke samping
kanan. Seketika itu juga tangannya menghentak ke
samping, mengarah ke perut orang yang berada
dekat di kanannya.
Bet!
Namun pemuda berbaju hitam itu tidak berkelit
sama sekali. Bahkan cepat sekali tongkatnya yang
tergenggam di tangan kiri dikibaskan. Bayu jadi
tersentak kaget bukan main. Cepat tangannya ditarik
pulang. Terlalu sungkan rasanya untuk mengadu
tangan dengan tongkat merah menyala itu.
Dan sebelum Pendekar Pulau Neraka bisa me-
lakukan sesuatu, mendadak saja dari arah belakang
berkelebat sebatang tongkat merah mengarah ke
kepalanya.
“Setan! Ups...!”
Cepat-cepat Bayu merundukkan kepalanya sambil
mengumpat. Maka kibasan tongkat pendek berwarna
merah menyala itu lewat sedikit di atas kepalanya.
Secepat itu pula, Pendekar Pulau Neraka meng-
hentakkan kaki kirinya ke belakang, dan tubuhnya
ditarik hingga doyong ke depan.
“Ugkh...!”
Terdengar keluhan pendek ketika Bayu merasakan
kakinya menghantam sesuatu.
Pendekar Pulau Neraka cepat memutar tubuhnya,
tepat saat orang yang menyerang dari belakangnya
terhuyung-huyung ke belakang sambil mendekap
perutnya. Jelas, orang itu terkena hantaman
Pendekar Pulau Neraka itu. Dan sebelum dia sempat
melakukan sesuatu, Bayu sudah kembali menyerang
cepat dan dahsyat luar biasa.
“Hiyaaa...!”
LIMA
Des!
“Akh...!”
Satu jeritan melengking terdengar ketika pukulan
Pendekar Pulau Neraka yang menggeledek dan
bertenaga dalam sempurna mengenai sasaran.
Seketika itu juga terlihat seorang pemuda berbaju
hitam terpental deras ke belakang dan keras sekali
terjatuh di tanah. Dan hanya sebentar saja orang itu
mampu menggeliat, sesaat kemudian sudah tak
berkutik lagi. Tampak darah mengalir keluar dari
mulut dan hidungnya.
Bayu langsung memutar tubuhnya, menghadapi
tiga orang lainnya yang tampak terkejut melihat
seorang temannya tewas hanya sekali pukul saja.
Dan sebelum mereka bisa menghilangkan keter-
kejutannya, mendadak saja Pendekar Pulau Neraka
sudah melompat cepat menerjang bagai kilat
“Hiyaaat..!”
Seketika itu Juga Bayu melepaskan tiga pukulan
beruntun yang cepat dan mengandung pengerahan
tenaga dalam tinggi. Serangan Pendekar Pulau
Neraka yang cepat luar biasa, membuat ketiga orang
berbaju serba hitam jadi terperangah.
Mereka cepat berlompatan menghindari serangan
yang dilancarkan secara mendadak itu. Namun, salah
seorang terlambat menyelamatkan diri. Maka tak
pelak lagi satu pukulan Bayu bersarang di tubuhnya.
Padahal dia telah berusaha melompat meng-
hindarinya.
Bugkh!
“Akh...!” orang berbaju serba hitam itu memekik
keras sekali.
Pukulan Bayu yang begitu keras dan bertenaga
dalam tinggi, mengakibatkan orang itu terpental
deras ke belakang Keras sekali tubuhnya meng-
hantam tanah. Dan sebelum mampu menggeliat,
Bayu sudah melompat bagaikan kilat. Langsung
didaratkan kakinya di tubuh pemuda berbaju serba
hitam itu.
“Hih!”
Bres!
''Aaa...!”
Kembali terdengar jeritan panjang melengking
tinggi ketika kaki kanan Pendekar Pulau Neraka
menjejak dada pemuda berbaju serba hitam itu.
Seketika darah muncrat keluar dari mulutnya. Hanya
sedikit saja pemuda itu mampu bergerak, sebentar
kemudian tak berkutik lagi. Mati dengan dada remuk
dan menghitam.
Pada saat Bayu melompat menjauhi tubuh yang
sudah tidak bernyawa, terlihat beberapa prajurit
berlari-lari berdatangan ke arahnya. Sementara dua
orang yang mengenakan baju serba hitam, mendadak
saja mereka melesat cepat bermaksud meninggalkan
tempat ini.
“Hey...! Jangan lari kau...!” sentak Bayu agak
terkejut juga begitu melihat dua orang berpakaian
serba hitam mendadak saja melesat pergi.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Pendekar
Pulau Neraka melesat cepat mengejar dua orang
berpakaian serba hitam itu. Begitu sempurna ilmu
meringankan tubuh yang dimiliki, sehingga mudah
saja Pendekar Pulau Neraka mengejar mereka.
“Yeaaah...!”
Keras dan cepat sekali Bayu melepaskan dua
pukulan ke arah dua orang berbaju hitam itu. Pukulan
keras dan cepat disertai pengerahan tenaga dalam
sempurna itu tak dapat dihindari lagi, tepat meng-
hantam tubuh kedua orang berpakaian serba hitam.
Padahal mereka sedikit lagi akan melewati pagar
tembok yang tinggi dan kokoh ini.
Des!
Dieghk!
Dua jeritan keras terdengar bersama terpentalnya
dua orang berbaju hitam. Keras sekali mereka
meluncur, dan tak pelak lagi menghantam tembok
tebal yang mengelilingi bangunan kediaman Jawala
ini.
Dan sebelum tubuh mereka bisa digerakkan, Bayu
sudah melesat mengejar. Tangannya sudah terangkat
tinggi hendak melontarkan satu pukulan yang dapat
membuat kedua orang itu tewas seketika. Namun
sebelum niat itu terlaksana, mendadak saja....
“Tahan...!”
Bayu menghentikan arus pukulannya, lalu ber-
paling ke belakang. Tampak Jawala berlari-lari meng-
hampiri diikuti beberapa orang berpakaian seragam
prajurit pengawal. Sementara dua orang berbaju
hitam itu hanya bisa merintih, sambil menggeliatkan
tubuhnya.
Pukulan Bayu yang keras dan bertenaga dalam
tinggi, membuat seluruhan tulang mereka seperti
remuk. Untung saja Pendekar Pulau Neraka tidak
mengerahkan tenaga dalam secara penuh, sehingga
mereka tidak tewas seketika. Dan belum juga mereka
bisa bangkit berdiri, Jawala sudah tiba di tempat itu.
“Bagaimana mereka bisa berada di sini, Bayu?”
tanya Jawala begitu tiba di samping Pendekar Pulau
Neraka.
“Mereka ingin membunuhku,” sahut Bayu dingin.
Jawala memerintahkan beberapa prajurit yang
mengikuti untuk menangkap kedua orang itu. Tanpa
menunggu perintah dua kali, beberapa prajurit
mendekati kedua orang berbaju hitam dan
meringkusnya.
“Masukkan mereka ke tahanan,” perintah Jawala.
Prajurit-prajurit itu segera melaksanakan perintah
laki-laki tua berjubah putih itu. Mereka membawa
kedua orang berbaju hitam ke dalam tahanan yang
tidak berapa jauh dari tempat ini. Jawala kemudian
mengajak Bayu kembali ke dalam rumahnya.
Pendekar Pulau Neraka itu tidak membantah,
meskipun masih diliputi kegeraman atas kemunculan
empat orang yang mencoba membunuhnya.
***
Pagi-pagi sekali Bayu sudah berada di depan
rumah kediaman Narata. Diyakini betul kalau empat
orang yang mencoba membunuhnya semalam adalah
suruhan dari pemuda kurus kering yang bernama
Jarong. Selama ini, semua orang tahu kalau Jarong itu
kemenakan Narata. Dan Bayu juga sudah diper-
kenalkan pada laki-laki bertubuh gembur dan
berperut buncit yang bernama Narata. Pendekar
Pulau Neraka seperti tidak percaya kalau Narata
bersekongkol dengan kemenakannya itu untuk
menggulingkan tahta Ratu Nyai Langas.
Pendekar Pulau Neraka itu semakin menajamkan
matanya ketika melihat pintu gerbang tempat
kediaman Narata terbuka. Tampak dari dalam muncul
seekor kuda hitam dan belang putih pada kakinya
tengah ditunggangi pemuda bertubuh kurus kering.
Bayu mengawasi terus dari tempat yang cukup
tersembunyi.
“Hm...,” Bayu menggumam perlahan saat dari
dalam juga keluar seekor kuda lain yang ditunggangi
seorang laki-laki setengah baya bertubuh gemuk.
Kemudian, muncul lagi sekitar tiga puluh orang
berkuda dan berseragam prajurit. Mereka semua juga
membawa senjata lengkap. Bayu yang sudah
mengenal laki-laki bertubuh gemuk itu, terus
memperhatikan tanpa berkedip. Kini dua ekor kuda
bersisian berada paling depan, diikuti tiga puluh
orang berseragam prajurit
“Hup!”
Pendekar Pulau Neraka itu melesat cepat
menyelinap dari balik pohon ke pohon lain, mengikuti
rombongan kecil itu. Sementara, terlihat kalau dua
orang berkuda yang ada di depan sedang bercakap-
cakap. Percakapan itu seperti begitu penting. Malah
pembicaraan itu menggunakan suara pelan, dan tidak
terdengar orang lain. Bayu yang mengenali kalau
mereka itu adalah Narata dan Jarong, mencoba
mendengarkan pembicaraan itu.
“Kurasa langkahmu sudah terlalu jauh, Jarong. Aku
khawatir gerakanmu akan mengundang perhatian
dan kecurigaan,” kata Narata dengan suara pelan.
“Semua yang kulakukan demi paman juga,” sahut
Jarong datar, tanpa tekanan nada suara sedikit pun.
“Aku hanya menginginkan agar kau berhati-hati
dulu, Jarong. Nampaknya, pembesar-pembesar di
istana mulai kasak-kusuk. Meskipun tidak secara
langsung menuduhku, tapi mereka bisa mencurigaiku
secara diam-diam.”
“Biarkan saja, Paman. Siapa pun yang mencoba
macam-macam, umurnya tidak akan panjang,” kalem
sekali suara Jarong. Namun tetap bernada dingin dan
datar.
“Bagaimana kalau untuk sementara waktu dihenti-
kan dulu semuanya?” Narata memberi saran.
Jarong tampak kaget mendengar ucapan laki-laki
setengah baya bertubuh gembur itu. Seketika langkah
kaki kudanya dihentikan dan ditatapnya Narata
dalam-dalam. Mendapat tatapan begitu tajam, agak
bergidik juga sekujur tubuh laki-laki gemuk itu.
“Aku hanya menyarankan saja, Jarong. Itu pun
kalau dituruti. Kalau tidak.., aku juga tidak
memaksa,” ralat Narata buru-buru.
“Kenapa Paman jadi ketakutan begitu?” tanya
Jarong dingin. Tatapan matanya tetap tajam
menusuk.
Narata tidak menjawab, dan hanya menarik napas
panjang, lalu menghembuskannya kuat-kuat. Laki-laki
bertubuh gembur dan berperut buncit itu kembali
menjalankan kudanya. Sementara Jarong pun
kembali menghentakkan tali kekang kudanya. Ayunan
langkah kaki kudanya disejajarkan kembali di
samping kuda pamannya ini.
Tak ada lagi yang dibicarakan. Mereka terus
menjalankan kudanya perlahan-lahan membelah
jalan yang masih terlihat agak sunyi. Hanya beberapa
orang saja terlihat berada di tepi jalan ini. Memang
masih terlalu pagi, dan segala kesibukan belum
sepenuhnya berjalan. Rombongan kecil itu terus
bergerak menuju Istana Langkat yang berdiri megah
di tengah-tengah Kotaraja Langkat
***
Senja sudah merayap turun mendekati malam.
Rona merah jingga yang mengambang di ufuk Barat,
menambah indahnya suasana senja itu. Keindahan
senja yang begitu sedap dinikmati, seperti dilewatkan
begitu saja oleh seorang wanita berparas cantik, dan
berpakaian indah gemerlapan. Wanita itu duduk di
sebuah bangku taman keputren Istana Langkat yang
indah dan tertata apik sekali.
Beberapa gadis cantik mengelilingi, dan siap
melakukan segala yang diperintahkan. Meski
suasana senja begitu indah, namun tampaknya tidak
dinikmati wanita cantik itu. Terlihat jelas kalau raut
wajahnya murung, dan matanya memandang kosong
ke arah matahari yang hampir tenggelam di
peraduannya. Di depan wanita yang tak lain adalah
Ratu Nyai Langas, bersimpuh seorang laki-laki muda
berwajah tampan mengenakan baju kulit harimau.
“Jadi, kau ini sebenarnya siapa, kalau bukan
kemenakan Paman Jawala?” tanya Ratu Nyai Langas.
Pandangannya lurus, tak berkedip pada wajah
pemuda tampan berbaju kulit harimau itu.
Pemuda itu memberi sembah dengan merapatkan
telapak tangannya di depan hidung. Sikapnya begitu
hormat sekali, meskipun sebenarnya dia paling tidak
suka pada aturan seperti ini. Ya...! Karena, pemuda
berbaju kulit harimau itu adalah Bayu, atau berjuluk
Pendekar Pulau Neraka.
“Hamba hanyalah seorang pengembara yang
kebetulan lewat, Gusti Ratu,” sahut Bayu, penuh rasa
hormat.
Ratu Nyai Langas tertegun mendengar pengakuan
Bayu yang jujur. Dia jadi teringat dengan Jarong, yang
diakui Narata sebagai kemenakannya. Wanita ayu itu
menatap Pendekar Pulau Neraka lekat-lekat
“Bagaimana kau bisa bertemu Paman Jawala, dan
kemudian diakui sebagai kemenakannya?” tanya
Ratu Nyai Langas lagi.
Bayu menceritakan semua yang terjadi pada
dirinya. Dimulai dari pertemuannya dengan Bokor.
Juga diceritakan tentang surat penting yang khusus
disampaikan untuk penguasa tunggal Kerajaan
Langkat ini. Demikian pula pertemuannya dengan
Paman Jawala dan Paman Rahseta, serta orang-orang
berbaju serba hitam yang kata Paman Jawala adalah
kelompok pemberontak.
“Memang, aku sudah mendengar kalau adanya
sekelompok orang yang hendak berbuat makar. Tapi,
aku tidak mengetahui kalau beberapa pembesar ada
yang terlibat dalam rencana itu. Terlebih lagi, apabila
pemberontakan itu dikendalikan Kakang Narata. Apa
kau punya bukti kuat, Bayu?” lembut dan tenang
sekail nada suara Ratu Nyai Langas.
“Untuk saat ini, memang belum ada bukti yang
cukup, Gusti Ratu,” sahut Bayu.
“Lalu, mengapa kau begitu berani masuk ke
keputren secara diam-diam, dan mengatakan semua
ini padaku?” tanya Ratu Nyai Langas lagi.
“Entahlah, Gusti Ratu. Hamba sendiri tidak tahu,
mengapa tiba-tiba saja mempunyai pikiran seperti
itu,” sahut Bayu.
Pendekar Pulau Neraka memang tidak tahu,
mengapa sampai berani menemui Ratu Nyai Langas
secara demikian. Padahal, belum ada bukti kuat
untuk menyeret Narata ke pengadilan kerajaan atas
tuduhan hendak melakukan makar. Namun Bayu
yakin betul kalau Jarong yang diakui Narata sebagai
kemenakan adalah pemimpin pemberontak yang
bermarkas di Gunung Landaka. Beberapa kejadian
yang dialaminya memang sudah membuat Pendekar
Pulau Neraka yakin. Terlebih lagi, dua orang yang
mencoba membunuhnya semalam sudah mengakui
kalau mereka mendapat perintah dari Jarong.
Dan memang, Bayu belum menceritakan kejadian
semalam pada wanita cantik penguasa tunggal
Kerajaan Langkat ini. Pendekar Pulau Neraka belum
ingin mengatakan hal itu, kecuali Paman Jawala
sendiri yang mengatakannya.
“Bayu...,” ujar Ratu Nyai Langas setelah terdiam
beberapa saat
“Hamba, Gusti Ratu,” sahut Bayu seraya memberi
sembah dengan merapatkan kedua telapak tangan di
depan hidung.
“Bukannya aku tidak mau mempercayai semua
yang kau katakan. Tapi, aku inginkan bukti yang
cukup, kalau memang benar Kakang Narata mem-
punyai maksud buruk padaku,” tegas Ratu Nyai
Langas.
“Hamba, Gusti Ratu.”
Meskipun kata-kata Ratu Nyai Langas tidak begitu
jelas, namun maksudnya sudah bisa dipahami.
Secara tidak langsung, wanita cantik ini meminta
Pendekar Pulau Neraka untuk menyelidiki kebenaran
ceritanya. Dan Bayu memang tidak punya jawaban
lain lagi, kecuali menyanggupinya. Bagi Pendekar
Pulau Neraka, sekali sudah terjun, tidak akan
ditinggalkan begitu saja sebelum tuntas. Terutama
sekali, sebenarnya Nyai Ratu Langas meminta Bayu
menyelidiki Jarong. Dan itu dikatakan dengan terus
terang.
Dan sekarang, mau tak mau dia sudah terlibat
dalam kemelut yang melibatkan orang-orang
berdarah biru di Kerajaan Langkat ini.
***
Kaki Bayu terayun perlahan-lahan, melintasi jalan
berdebu. Sementara senja semakin jauh merayap
turun. Matahari tidak lagi terasa terik seperti tengah
hari tadi, membuat suasana terasa begitu indah
dinikmati Namun keindahan alam ini tidak bisa
dinikmati Pendekar Pulau Neraka. Otaknya terus
berputar memikirkan kata-kata Ratu Nyai Langas
yang baru ditemuinya tadi.
“Aku merasakan kalau Ratu Nyai Langas seperti
tidak mempedulikan keadaan ini,” gumam Bayu
perlahan, berbicara pada dirinya sendiri.
Memang, Bayu merasakan kalau sikap Ratu Nyai
Langas begitu tenang. Bahkan terasa sekali ketidak-
peduliannya terhadap masalah yang sedang terjadi di
sekelilingnya. Bayu sama sekali tidak melihat ada
kekhawatiran pada diri wanita penguasa Kerajaan
Langkat yang tengah terancam ini.
“Berhenti kau, Bayu...!”
“Eh...?!” Bayu terkejut ketika tiba-tiba terdengar
bentakan keras dari belakang.
Pendekar Pulau Neraka memutar tubuhnya,
berbalik. Keningnya langsung berkerut, dan matanya
agak menyipit begitu melihat seorang pemuda
berbaju putih longgar yang didampingi sekitar dua
puluh orang laki-laki berbaju hitam dan bersenjata
golok.
Pandangan Bayu beredar ke sekeliling. Sungguh
tidak disadari kalau dirinya sudah begitu jauh
meninggalkan perbatasan kota kerajaan. Dan kini
tidak terlihat lagi bangunan rumah. Di sekelilingnya,
yang terlihat hanya pepohonan dan semak belukar
saja. Agak jauh di belakang orang-orang berbaju
hitam itu, terlihat bangunan batu sebagai tanda dari
perbatasan kota. Di sana tampak sekitar sepuluh
orang berpakaian prajurit. Keberadaan prajurit yang
pasti bisa melihat ke tempat ini, membuat kening
Bayu jadi berkerenyut. Karena, para prajurit itu
seperti hanya memandangi saja tanpa berbuat apa-
apa.
Trek!
Jarong menjentikkan ujung jarinya. Seketika itu
juga, orang-orang berpakaian serba hitam ber-
lompatan. Mereka langsung mengepung Pendekar
Pulau Neraka. Sedangkan Bayu hanya melirik
merayapi orang-orang yang sudah mengepungnya
dari segala penjuru. Mereka semua sudah mencabut
senjata masing-masing, sehingga sinar keperakan
berkelebatan tertimpa rona jingga sinar matahari.
Golok mereka kini telah melintang di depan dada.
“Kau sudah terlalu banyak ikut campur, Bayu,”
desis Jarong Suaranya dingin agak menggetarkan.
“Hm...,” Bayu hanya menanggapi dengan
gumaman saja.
“Kali ini aku tidak akan sungkan-sungkan lagi,
kecuali bila kau serahkan selongsong bambu itu
padaku,” ancam Jarong. Nada suaranya tetap dingin
menggetarkan.
“Aku tidak mengerti, apa yang kau inginkan,
Jarong,” ujar Bayu kalem. “Lagi pula siapa kau
sebenarnya?”
“Ha ha ha...! Bokor sudah tewas. Tidak ada lagi
orang yang dekat dengannya, selain kau, Bayu.
Sebaiknya serahkan saja benda itu padaku, jika
masih ingin menikmati indahnya matahari besok,”
ujar Jarong tanpa mempedulikan pertanyaan Bayu.
“Seandainya aku memiliki yang kau inginkan, tidak
bakalan kuserahkan padamu, Jarong,” tegas Bayu
agak mendesis.
“Keparat..!” geram Jarong, langsung memuncak
amarahnya mendengar kata-kata Pendekar Pulau
Neraka.
Meskipun diucapkan tenang, namun bagi Jarong
merupakan suatu tantangan yang tidak bisa dianggap
remeh. Sementara Bayu terus berputar otaknya, dan
mencari pemikiran tersendiri.
Untuk beberapa saat suasana di tempat itu
demikian sunyi. Hanya desiran angin saja yang
terdengar. Perlahan Pendekar Pulau Neraka meng-
geser kakinya ke kanan beberapa tindak, dan sedikit
menyunggingkan senyum. Tepat ketika Jarong mem-
beri satu isyarat dengan ujung jarinya, seketika itu
juga Bayu melesat cepat. Dan....
***
ENAM
“Hiyaaa...!”
Bayu yang merasa tidak ada pilihan lagi, seketika
itu juga menerjang, mendahului menyerang orang-
orang yang sudah rapat mengepungnya. Gerakan
Pendekar Pulau Neraka yang begitu cepat dan tidak
terduga, membuat mereka terperanjat setengah mati.
Dan sebelum ada yang bisa menyadari, mendadak
saja terdengar jeritan-jeritan panjang melengking
tinggi.
Tampak tiga orang terpental ke belakang disertai
jeritan panjang melengking tinggi. Darah menyembur
deras dari tubuh ketiga orang berbaju serba hitam itu.
Bukan hanya orang-orang berbaju serba hitam saja
yang terkejut. Bahkan Jarong yang memiliki tingkat
kepandaian tinggi, juga terperanjat melihat kecepatan
gerak Pendekar Pulau Neraka.
“Setan keparat..!” desis Jarong geram.
Dan sebelum laki-laki kurus itu sempat melakukan
sesuatu, Bayu sudah kembali bergerak cepat.
Dihajarnya orang-orang berbaju serba hitam yang
masih diliputi keterkejutan yang amat sangat. Sesaat
kemudian, kembali terdengar jeritan panjang
melengking tinggi yang saling susul.
“Jangan diam saja! Serang...! Bunuh keparat itu...!”
teriak Jarong berang setengah mati.
Seruan pemuda bertubuh kurus kering itu
membangkitkan kesadaran orang-orang berpakaian
serba hitam. Seketika itu juga mereka berlompatan
menyerang Pendekar Pulau Neraka yang baru saja
hendak melancarkan serangan kembali setelah
merobohkan tujuh orang hanya dua kali gebrakan.
Seketika itu juga beberapa golok berkelebat cepat
mengincar tubuh Pendekar Pulau Neraka. Hal ini
memang sudah diperhitungkan Bayu. Maka dengan
cepat sekali tubuhnya melenting ke udara. Namun
pada saat itu, Jarong berseru keras, mengalahkan
teriakan-teriakan orang-orang berpakaian serba
hitam.
“Panah...! Serang...!”
Sebelum seruan keras menggelegar itu lenyap dari
pendengaran, mendadak saja dari balik gerumbul
semak dan pepohonan meluncur anak-anak panah
dari segala penjuru. Pada saat yang sama, orang-
orang berpakaian serba hitam yang mengeroyok
Pendekar Pulau Neraka berlompatan cepat ke
belakang.
“Setan...!” umpat Bayu geram.
Cepat-cepat Pendekar Pulau Neraka memutar
tubuhnya beberapa kali. Sementara, kedua
tangannya berkelebat cepat, menyampok anak-anak
panah yang berdesiran di sekitar tubuhnya.
“Yeaaah...!”
Beberapa batang anak panah rontok berguguran,
tertebas tangan Pendekar Pulau Neraka. Dan
sebagian lagi berhasil dielakkan dengan meliukkan
tubuhnya. Namun, Bayu jadi gusar juga. Memang,
panah-panah itu seperti tidak pernah habis, berdesir
seperti hujan di sekitar tubuhnya.
“Ha ha ha...! Mampus kau sekarang, Bayu...!”
Jarong tertawa terbahak-bahak melihat Pendekar
Pulau Neraka kewalahan menghindari serbuan anak-
anak panah.
Sementara itu, Bayu memang benar-benar
kerepotan menghadapi serbuan anak panah yang
datang bagaikan hujan itu. Sama sekali kesempatan
untuk menarik napas barang sejenak saja tidak
dimilikinya. Bahkan untuk menjejakkan kakinya di
tanah saja, kesempatan yang dimiliki tidak begitu
banyak. Baru saja kakinya dijejakkan, Pendekar Pulau
Neraka harus kembali melesat ke udara menghindari
serbuan anak-anak panah.
“Phuih! Bisa habis napasku kalau begini terus,”
dengus Bayu kesal.
Pendekar Pulau Neraka berpikir keras, mencari
jalan keluar dari serbuan anak panah ini. Dan bibirnya
jadi tersenyum setelah mengetahui, arah datangnya
anak panah yang bagaikan hujan ini.
“Yeaaah...!”
Mendadak saja Pendekar Pulau Neraka mengecut-
kan tangannya cepat bagai kilat. Dan memang,
beberapa anak panah berhasil ditangkap, dengan
sekali kebutan tangannya saja. Lalu secepat itu pula
tangannya dikibaskan, untuk melepaskan panah-
panah yang berhasil ditangkap tadi.
Wus...!
Ada sekitar sepuluh batang anak panah melesat
balik dengan cepat, melebihi kecepatan datangnya
tadi. Tak berapa lama kemudian, terdengar jeritan-
jeritan panjang melengking tinggi disusul ber-
jatuhannya tubuh-tubuh yang bersembunyi di balik
semak dan di atas kerimbunan pepohonan.
“Hiya! Hiyaaa...!”
Bagaikan kilat, Pendekar Pulau Neraka kembali
menyambar panah-panah yang meluruk deras ke
arahnya. Dan secepat itu pula panah-panah itu
kembali dilepaskan. Kembali terdengar jeritan-jeritan
panjang melengking tinggi. Tubuh-tubuh berbaju
hitam pun kembali berjatuhan oleh panah-panah yang
kini tertancap di tubuh.
“Keparat..!” geram Jarong yang menyaksikan anak
buahnya bergelimpangan tak bernyawa lagi.
Saat hujan anak panah berhenti, Bayu men-
jejakkan kakinya kembali ke tanah. Pendekar Pulau
Neraka berdiri tegak, menatap tajam pemuda
bertubuh kurus kering yang berada di belakang orang-
orangnya.
“Kau hanya sia-sia saja mengganggu kehidupanku,
Jarong,” ujar Bayu dengan suara dingin meng-
getarkan.
“Jangan besar kepala dulu, Bayu. Anak kecil pun
bisa melakukan itu,” ejek Jarong, menutupi
kegentaran yang mulai merambat hatinya setelah
melihat kedigdayaan Pendekar Pulau Neraka.
“Berapa banyak lagi anak buahmu, Jarong?
Keluarkan semua, biar lebih kunikmati pesta
pembantaian mereka,” kembali Bayu memanasi
pemuda kurus kering itu.
“Kubunuh kau, Setan Keparat..!” geram Jarong
memuncak amarahnya.
Meskipun geram bukan main, namun Jarong tidak
juga bertindak. Rupanya pemuda bertubuh kurus
kering itu harus berpikir seribu kali untuk menghadapi
Pendekar Pulau Neraka. Sudah beberapa kali mereka
bertemu, dan hanya kepahitan saja yang didapat-
kannya. Dia sudah kehilangan begitu banyak anak
buah, sedangkan Bayu masih tetap tegar, tak kurang
satu apa pun juga.
“Tunggulah, Bayu. Kematianmu pasti akan cepat
datangnya,” desis Jarong mengancam.
Setelah berkata demikian, pemuda kurus kering itu
segera memerintahkan orang-orangnya untuk me
ninggalkan tempat ini. Sementara, Jarong pun segera
melesat pergi cepat sekali. Bayu sama sekali tidak
mengejar, tapi malah memandang ke arah para
prajurit yang tetap berada di dekat gerbang
perbatasan kota. Bahkan tampaknya jumlah mereka
bertambah. Bayu kemudian mengayunkan kakinya
mendekati para prajurit itu.
***
Langkah Bayu terhenti sekitar dua tombak di
depan para prajurit yang seperti menghadangnya. Di
antara para prajurit itu, terlihat seorang laki-laki
bertubuh tinggi tegap. Dia duduk di atas punggung
seekor kuda yang tegap dan berotot Bayu
mengenalinya sebagai Panglima Narasoma.
“Kau dilarang menginjakkan kaki kembali di tanah
Kerajaan Langkat, Anak Muda,” tegas Panglima Nara-
soma langsung, dengan suara lantang.
“Kenapa?” tanya Bayu agak terkejut juga
mendengar larangan yang tanpa basa-basi lagi.
“Kau tidak perlu bertanya alasannya, Anak Muda.
Yang jelas, kedatanganmu ke sini sudah menimbul-
kan kekacauan dan keresahan,” sahut Panglima
Narasoma.
“Hm...,” gumam Bayu pelan, sementara matanya
agak menyipit.
Pendekar Pulau Neraka benar-benar tidak
mengerti, kenapa tiba-tiba saja dilarang memasuki
Kotaraja Langkat kembali. Bahkan yang langsung
melarangnya adalah seorang panglima utama yang
sangat berpengaruh di kalangan prajurit dan
pembesar-pembesar kerajaan. Bayu semakin yakin
kalau ada sesuatu yang tidak beres di lingkungan
istana ini.
“Paman Panglima! Boleh aku tahu, siapa yang
memerintahkannya?” tanya Bayu ingin tahu.
“Gusti Narata,” sahut Panglima Narasoma tegas.
Kembali Bayu menggumam pelan, tapi kini
bibirnya tersenyum. Sudah bisa ditebak, kenapa
kakak sepupu Ratu Nyai Langas melarangnya kembali
memasuki kota. Dan itu berarti, kehadirannya di
Kerajaan Langkat ini merupakan ancaman tersendiri
bagi kelancaran niat jahat Narata.
“Baiklah. Aku akan meninggalkan kerajaan ini
setelah berpamitan pada Paman Jawala,” ujar Bayu
menyanggupi setelah agak lama berdiam diri.
“Tidak perlu,” sahut Panglima Narasoma.
“Tidak perlu...? Apa maksudmu?”
“Tidak ada yang bisa kau tanyakan, Anak Muda.
Aku hanya diperintahkan untuk satu kali saja mem-
peringatkanmu. Dan jika membandel, maka aku
diperbolehkan bertindak dengan caraku sendiri. Aku
yakin kau mengerti maksudku.”
Bayu tidak membuka suara lagi. Dia tahu kalau
perintah larangan ini hanya sepihak saja. Tapi,
mendadak saja hatinya mencemaskan Paman
Jawala. Semua orang di lingkungan istana sudah tahu
kalau Bayu diakui Paman Jawala sebagai ke-
menakannya. Dan inilah yang membuatnya jadi
mencemaskan keselamatan laki-laki tua itu.
“Baiklah. Untuk sementara, aku harus mengalah,”
bisik Bayu di dalam hati.
Tanpa berkata apa pun, Pendekar Pulau Neraka
memutar tubuhnya dan berjalan perlahan menuju
hutan yang menghadang di depannya kini. Sementara
itu Panglima Narasoma sudah memberi aba-aba
kepada para prajuritnya untuk meninggalkan
perbatasan ini. Sedangkan Bayu sudah semakin jauh
saja mendekati hutan.
***
Malam sudah demikian larut menyelimuti alam
Kerajaan Langkat Angin yang berhembus kencang
menyebarkan udara dingin, membuat semua orang
lebih senang berlindung di bawah selimut. Sehingga,
seluruh Kotaraja Kerajaan Langkat ini seperti sebuah
kota mati saja layaknya. Tak ada seorang pun terlihat
berkeliaran di jalan. Bahkan suara binatang malam
pun tak terdengar bergerit seakan-akan enggan mem-
perdengarkan suaranya.
Namun dalam kesunyian malam ini, ternyata ada
juga sebuah bayangan yang berkelebat cepat
menyelinap dari satu atap rumah ke rumah lainnya.
Bayangan itu bergerak cepat sekali, sehingga sukar
dikenali secara jelas. Terlebih lagi, malam ini langit
tertutup awan tebal menghitam. Sehingga, cahaya
bulan tak kuasa untuk menembusnya agar memberi
sedikit cahayanya ke permukaan bumi.
Tap!
Bayangan itu berhenti tepat di atas sebuah atap
rumah yang cukup besar, dikelilingi tembok batu yang
tinggi dan kokoh. Beberapa orang berseragam prajurit
terlihat di beberapa tempat, melindungi diri dari
terpaan angin malam yang dingin menggigilkan.
Untuk sesaat, awan hitam yang menggumpal di
langit sedikit tersibak sorot cahaya bulan. Namun
sesaat kemudian, awan kembali menggumpal
membuat seluruh alam menjadi pekat. Namun
cahaya bulan yang sempat menyinari sesaat tadi,
sudah cukup untuk bisa mengenali orang yang
berada di atas atap itu. Dia seorang pemuda
bertubuh tegap berisi, dan berparas tampan. Yang
sangat dikenali adalah pakaiannya, karena terbuat
dari kulit harimau. Pemuda itu memang Pendekar
Pulau Neraka yang memiliki nama asli Bayu.
Pendekar Pulau Neraka sedikit menyipitkan
matanya saat mendengar isak lirih dan tertahan,
tepat di bawah atap ini. Sebentar pandangannya
beredar ke sekeliling. Lalu....
“Hup!”
Ringan sekali, pemuda berbaju kulit harimau itu
melompat turun dari atap. Dan tanpa menimbulkan
suara sedikit pun, kakinya mendarat tepat di depan
pintu yang langsung menuju ke dalam. Perlahan Bayu
membuka pintu itu, kemudian melangkah masuk hati-
hati sekali. Ayunan langkahnya begitu ringan, dan tak
bersuara sedikit pun juga. Pendekar Pulau Neraka
memang menggunakan ilmu meringankan tubuh yang
sudah mencapai taraf kesempurnaan.
Langkahnya terhenti setelah tiba di depan pintu
yang tidak tertutup rapat. Sedikit cahaya pelita
menerobos keluar, dengan sinarnya yang redup.
Suara isak lirih yang tertahan itu jelas datang dari
balik pintu ini. Dan Pendekar Pulau Neraka tahu kalau
di balik pintu ini merupakan sebuah kamar seseorang
yang dikenalnya. Perlahan-lahan pintu itu didorong-
nya.
Bayu tertegun begitu melihat seorang gadis
berusia sekitar delapan belas tahun, tengah duduk di
atas ranjang. Rambutnya terurai acak-acakan.
Bahkan bajunya tidak karuan letaknya, sehingga
menampakkan beberapa bagian tubuh yang berkulit
putih dan halus sekali.
“Nilakandi...,” pelan sekali suara Bayu seraya
melangkah mendekati
Pendekar Pulau Neraka memang sudah mengenal-
nya. Dan panggilannya tadi cukup membuat gadis itu
terkejut. Namun begitu mengenali orang yang
memanggilnya, gadis yang bernama Nilakandi itu
beranjak bangkit dari pembaringan. Dia menghambur,
memeluk Bayu. Saat itu juga, tangisnya meledak
dalam dada Pendekar Pulau Neraka. Untuk beberapa
saat lamanya, Bayu tidak bisa berbuat apa-apa.
Bahkan untuk bersuara saja, tenggorokannya seakan-
akan tersumbat.
“Ada apa, Nilakandi?” tanya Bayu lembut, setelah
tangis gadis itu sedikit reda.
“Ayah.... Ayah, Kakang...,” suara Nilakandi ter-
sendat.
“Ada apa dengan Paman Jawala?” tanya Bayu.
Seketika itu juga, perasaan Bayu jadi tidak
menentu. Pendekar Pulau Neraka merasa seakan-
akan jantungnya berhenti berdetak. Bahkan seluruh
aliran darah dalam tubuhnya, bagai terbalik mengalir.
Berbagai macam dugaan dan perasaan, berkecamuk
di hatinya.
“Katakan, Nilakandi. Apa yang terjadi terhadap
Paman Jawala?” desak Bayu dengan nada suara agak
tertahan.
Namun Nilakandi malah sukar menjawab. Kembali
tangisnya pecah dalam pelukan Pendekar Pulau
Neraka. Maka Bayu pun tak dapat lagi mendesak. Dia
jadi kebingungan sendiri, menghadapi keadaan gadis
ini. Perlahan-lahan pelukan gadis itu dilepaskan. Bayu
membawanya duduk di tepi pembaringan yang acak-
acakan.
Untuk beberapa saat, Bayu mendiamkan saja
gadis itu untuk menguras air matanya. Dia sendiri
tidak tahu, apa yang harus diperbuat untuk me-
nenangkan gadis ini. Pendekar Pulau Neraka
memang paling tidak mengerti untuk menghadapi
seorang gadis yang tengah kacau perasaannya.
Terlebih lagi kalau tengah menangis begini. Dia hanya
bisa diam dan menunggu sampai tangis itu reda.
Memang hanya itu yang bisa dilakukannya.
“Katakan, Nilakandi. Apa yang terjadi pada Paman
Jawala?” tanya Bayu, setelah gadis itu mulai sedikit
tenang. Dan isak tangisnya juga mulai mereda.
“Ayah..., Ayah tewas terbunuh,” sukar sekali
Nilakandi menjawabnya.
“Apa...?!”
***
Bayu seperti tidak percaya kalau Paman Jawala
tewas terbunuh. Namun ketidakpercayaannya luntur
karena yang mengatakannya justru anak gadis
Paman Jawala sendiri. Maka berita itu harus diper-
cayainya, meskipun ada perasaan tidak percaya.
“Kapan kejadiannya?” tanya Bayu setelah bisa
menguasai dirinya kembali.
“Siang tadi,” sahut Nilakandi, masih dengan suara
tersendat
Bayu termenung diam. Siang tadi dia berada
dalam keputren, untuk berbicara pada Ratu Nyai
Langas. Dan sekeluarnya dari sana, langsung menuju
ke perbatasan dekat Hutan Landaka. Di sana
Pendekar Pulau Neraka bertarung melawan orang-
orang berbaju hitam yang langsung dipimpin oleh
Jarong.
“Siapa yang melakukannya, Nilakandi?” tanya
Bayu lagi.
Nilakandi hanya menggelengkan kepalanya
dengan lemah sekali. Ditatapnya dalam-dalam
pemuda tampan di sampingnya ini. Bibirnya seakan-
akan hendak mengatakan sesuatu, namun terasa
sukar untuk bersuara sekecil apa pun juga. Saat itu,
Bayu sama sekali tidak memperhatikan. Perasaan
Pendekar Pulau Neraka saat ini tidak menentu sekali.
Bahkan terasa sukar sekali membuka jalan
pikirannya.
Untuk beberapa saat lamanya, tak ada yang
berbicara lagi. Semua terdiam, sibuk bersama pikiran
masing-masing. Sedangkan Bayu masih mereka-reka,
siapa orang yang begitu tega membunuh Paman
Jawala. Sedangkan, tidak mungkin Pendekar Pulau
Neraka bertanya pada gadis ini, karena tampaknya
Nilakandi tidak tahu pembunuh ayahnya.
“Nilakandi, apakah Paman Rahseta sudah tahu?”
tanya Bayu yang kemudian teringat Rahseta.
“Sudah. Tapi..,” jawaban Nilakandi terputus.
“Tapi, kenapa?” desak Bayu.
“Paman Rahseta dipenjara.”
“Dipenjara...?! Kenapa...?” lagi-lagi Bayu tersentak
kaget
“Aku tidak tahu pasti. Tapi katanya, Paman
Rahseta merencanakan pemberontakan pada Ratu
Nyai Langas,” Nilakandi mencoba menjelaskan.
“Siapa yang menangkapnya?” tanya Bayu lagi.
“Gusti Narata.”
Bayu mendesis kuat setelah mendengar kalau
yang menangkap dan menjebloskan Paman Rahseta
ke penjara adalah Narata, kakak misan dari Ratu Nyai
Langas. Kembali Pendekar Pulau Neraka terdiam
membisu. Maka suasana dalam kamar itu pun terasa
sunyi sekali. Tak terdengar suara sedikit pun juga.
Hanya tarikan napas yang masih terdengar jelas,
disertai isak tertahan yang sekali-sekali saja.
“Kau sudah melaporkan pada Ratu Nyai Langas?”
tanya Bayu setelah terdiam agak lama juga.
“Sudah,” sahut Nilakandi.
“Lalu, apa tanggapannya?”
“Kanjeng Ratu Nyai Langas akan mencari
pembunuhnya.”
Bayu hanya menarik napas dalam-dalam saja,
kemudian menghembuskannya kuat-kuat. Bayu
memang sudah menduga kalau Ratu Nyai Langas
akan menjawab seperti itu. Hal inilah yang mem-
buatnya jadi bertanya-tanya dalam hati. Dan yang
pasti, Ratu Nyai Langas pasti mempunyai maksud
tertentu. Hanya saja, Bayu belum bisa menebaknya.
***
TUJUH
Malam itu juga, Pendekar Pulau Neraka menyelinap
ke dalam kediaman Narata. Tidak seperti tempat
tinggal pembesar lainnya, tempat tinggal Narata
mendapat pengawalan sangat ketat. Sebenarnya laki-
laki tambun itu memang bukan pembesar biasa, tapi
kakak sepupu Ratu Nyai Langas. Namun, jabatan
yang dipegang Narata di Kerajaan Langkat ini
memang penting sekali. Bahkan bisa dikatakan dialah
yang mengendalikan jalannya roda pemerintahan.
“Hm...,” Bayu menggumam perlahan ketika melihat
Narata melintas di dalam sebuah ruangan.
Dengan gerakan ringan sekali, Pendekar Pulau
Neraka melompat, dan mendarat di samping jendela
ruangan yang tampak terang. Bayu merapatkan
punggungnya ke dinding bangunan besar dan megah
ini. Sedikit kepalanya dijulurkan melihat keadaan
dalam ruangan ini Tak ada seorang pun yang terlihat.
Padahal, dia tadi melihat Narata berada di dalam
ruangan ini.
“Apa yang kau cari, Bayu...?”
“Heh...?!” Bayu tersentak kaget ketika tiba-tiba
saja terdengar suara orang menegurnya.
Dan sebelum wajahnya sempat dipalingkan ke
arah suara itu, mendadak saja satu desiran halus
terdengar. Bayu belum bisa melakukan sesuatu, tahu-
tahu dadanya terasa dihantam keras sekali.
Dieghk!
“Akh...!”
Bruk!
Begitu kuatnya hantaman tadi, sehingga tembok
batu yang berada di belakang Pendekar Pulau Neraka
hancur berantakan. Tubuh pemuda berbaju kulit
harimau itu terpental masuk ke dalam ruangan,
bersama reruntuhan dinding batu ruangan ini.
Beberapa kali Bayu bergelimpangan di atas lantai
batu pualam yang licin, dingin, dan berkilat
Dan sebelum sempat bangkit berdiri, mendadak
satu tendangan keras mendarat di tubuhnya. Kembali
Pendekar Pulau Neraka memekik tertahan, dan
tubuhnya terpental bergulingan di lantai. Namun
sebelum berhenti kembali sebuah bayangan putih
berkelebat cepat hendak menerjangnya. Namun kali
ini, Bayu tidak akan memberikan tubuhnya menjadi
sasaran kembali.
“Hup! Yeaaah...!”
Bagaikan kilat, Pendekar Pulau Neraka me-
lentingkan tubuhnya ke udara, dan berputaran
beberapa kali. Bayangan putih itu lewat di bawah
tubuhnya. Dan dengan gerakan ringan, kakinya
mendarat di lantai, tepat ketika bayangan putih itu
berbalik.
“Jarong...,” desis Bayu mengenali orang yang
menyerangnya.
“Kau terlalu berani datang ke sini, Pendekar Pulau
Neraka,” desis Jarong dingin.
“Heh...! Dari mana kau tahu julukanku?” tanya
Bayu terkejut
“Tidak sukar membongkar kedok busukmu,
Pendekar Pulau Neraka,” tetap dingin nada suara
Jarong. “Orang lain boleh gentar mendengar julukan-
mu. Tapi di sini, kau tidak akan mampu berbuat
macam-macam.”
Pada saat itu, beberapa orang berpakaian serba
hitam dan beberapa prajurit sudah memasuki
ruangan ini Dan mereka langsung mengepung
ruangan yang cukup besar dan bertata indah ini. Tak
berapa lama kemudian, dari sebuah pintu muncul
seorang laki-laki setengah baya bertubuh gembur dan
berperut buncit seperti gentong. Bayu mengenalinya.
Siapa lagi kalau bukan Narata.
Laki-laki bertubuh gemuk itu langsung mendekati
Jarong, yang berada sekitar satu tombak di depan
Bayu. Ditatapnya tajam-tajam Pendekar Pulau
Neraka. Sedangkan yang dipandangi malah meng-
edarkan pandangannya ke sekeliling. Bayu menyadari
kemungkinan untuk bisa keluar dari ruangan ini kecil
sekali. Jumlah pengepungnya begitu banyak dan
rapat sekali. Bahkan terlihat, sekitar dua puluh
prajurit sudah siap dengan busur terentang dan siap
dilepaskan anak panahnya.
“Bagaimana dia bisa masuk ke sini, Jarong?” tanya
Narata. Pandangan matanya tidak terlepas dari
Pendekar Pulau Neraka.
“Aku memang sengaja menjebaknya,” sahut
Jarong kalem. Tapi nada suaranya terdengar datar
dan dingin sekali.
“Bukankah kau telah menempatkan penjagaan
ketat?”
“Memang benar. Tapi, satu sisi kubiarkan lowong.
Ternyata dia tidak sepandai yang kukira. Terlalu tolol
untuk masuk dengan mudah,” sinis sekali suara
Jarong.
Pendekar Pulau Neraka yang mendengarkan
percakapan itu jadi menggeram. Dia memang melihat
kalau penjagaan di tempat kediaman Narata ini ketat
sekali. Dan hanya ada satu sisi yang kelihatannya
tidak ketat dijaga. Namun sama sekali tidak disangka,
kalau kedatangannya sudah ditunggu. Dan ini
merupakan jebakan halus yang tidak terduga sama
sekali.
Sementara itu, Narata melangkah tiga tindak
mendekati Pendekar Pulau Neraka. Dipandanginya
pemuda berbaju kulit harimau itu dari ujung kepala
hingga ke ujung kaki. Seakan-akan sedang
menyelidiki, atau mungkin menilai pemuda di
depannya ini.
“Untuk apa kau menyelinap ke rumahku?” tanya
Narata, dingin nada suaranya.
“Untuk meminta kembali Paman Rahseta,” tegas
Bayu.
“Meminta? Kau pikir Rahseta ada di sini, heh...?!”
“Kau sudah membunuh Paman Jawala, dan
menculik Paman Rahseta. Sekarang kedatanganku
ke sini untuk membebaskannya, juga untuk mem-
balas kematian Paman Jawala,” tetap tegas nada
suara Bayu.
“Ha ha ha...!” Narata tertawa terbahak-bahak
mendengar jawaban tegas Pendekar Pulau Neraka.
Sedangkan Jarong hanya tersenyum tipis saja.
Sementara Bayu sama sekali tidak bertindak.
Kedatangannya ke tempat ini memang hendak
membebaskan Rahseta, yang menurut Nilakandi
diculik anak buah Narata. Dan setelah mendengar
pengakuan Jarong yang katanya sengaja menjebak,
Pendekar Pulau Neraka semakin yakin kalau memang
merekalah yang membunuh Jawala dan menculik
Rahseta.
“Kau terlalu gegabah menuduhku seperti itu, Anak
Muda. Memang kuakui kalau di antara kami tidak
pernah ada kecocokan. Tapi untuk melakukan
perbuatan pengecut begitu, tidak pernah terlintas di
dalam pikiranku,” tegas Narata setelah tawanya reda.
“Mungkin kau memang tidak melakukannya. Tapi
kemenakan palsumu itu yang mungkin melakukan
atas perintahmu,” sambut Bayu, tetap dingin nada
suaranya.
“Bedebah...! Kau telah menghinaku, Anak Muda!”
geram Narata.
“Biar aku yang tangani setan kurang ajar ini,
Paman,” selak Jarong.
Dan sebelum Narata menjawab, Jarong sudah
menjentikkan ujung jari tangannya. Seketika itu juga,
empat orang berpakaian serba hitam sudah
melompat maju. Mereka semua membawa rantai baja
hitam yang cukup panjang, yang pada ujungnya
terdapat bola-bola berduri. Mereka langsung
memutar-mutar rantai baja hitam itu kuat-kuat,
sehingga memperdengarkan suara deru angin yang
keras.
“Hm...,” Bayu hanya menggumam kecil saja.
“Serang..!” teriak Jarong tiba-tiba.
“Hiyaaa...!”
“Yeaaah...!”
“Hup!”
***
Bagaikan kilat, Bayu melompat begitu empat orang
berpakaian serba hitam melontarkan rantainya. Suara
berdesir terdengar saat rantai-rantai berujung bola-
bola berduri itu meluruk deras ke arah Pendekar
Pulau Neraka. Tepat ketika ujung bola-bola berduri itu
dekat, dengan cepat sekali Pendekar Pulau Neraka
memutar tubuhnya. Dan tahu-tahu, empat ujung
rantai itu sudah tergenggam dalam tangan Bayu.
Rrrt..!
Sekali sentak saja, empat orang berbaju hitam itu
terpental ke udara. Pekikan-pekikan keras terdengar
saling susul. Dan sebelum ada yang menyadari, Bayu
sudah melesat sambil melontarkan beberapa pukulan
keras bertenaga dalam tinggi.
“Yeaaah...!”
Kembali terdengar jeritan-jeritan panjang
menyayat yang saling susul. Kemudian empat tubuh
berbaju hitam terpental keras menghantam lantai.
Tepat ketika Pendekar Pulau Neraka menjejakkan
kakinya di lantai, mereka sudah tidak bergerak-gerak
lagi. Mati. Dada mereka remuk, terhantam pukulan
keras yang dilontarkan Bayu.
“Keparat..!” desis Jarong geram, melihat empat
orang anak buahnya tewas hanya sekali gebrakan
saja.
Sementara itu, Bayu sudah berdiri tegak dengan
pandangan menusuk ke arah pemuda bertubuh kurus
kering itu. Sedangkan Narata tampak sudah
menyingkir. Untuk beberapa saat, suasana di dalam
ruangan ini jadi sunyi senyap. Semua orang yang
sebelumnya telah siap di sekeliling ruangan besar
dan megah ini menjadi terpaku melihat kehebatan
Pendekar Pulau Neraka. Hanya dalam sekali gebrak
saja, pendekar digdaya itu sudah berhasil
menewaskan empat orang sekaligus!
“Kenapa kalian diam saja...? Serang dan bunuh
manusia keparat itu...!” teriak Jarong keras meng-
gelegar.
Bagaikan lebah yang sarangnya dihantam kayu,
orang-orang berpakaian serba hitam yang
mengelilingi ruangan ini, serentak berlompatan
sambil berteriak-teriak mengeroyok Pendekar Pulau
Neraka. Dan hal ini memang sudah diperhitungkan.
Maka tanpa membuang waktu lagi, pemuda berbaju
kulit harimau itu segera melesat ke udara. Tubuhnya
langsung meruruk deras ke arah orang-orang yang
berada di depannya.
“Yeaaah...!”
Cepat sekali gerakan Bayu saat melontarkan
beberapa pukulan keras beruntun bertenaga dalam
tinggi ke arah orang-orang yang berada di depannya.
Pendekar Pulau Neraka memang semakin geram
saja. Tapi saat ini sangat kecil kemungkinan untuk
mendekati pemuda kurus kering itu. Sedangkan
untuk keluar dari keroyokan ini saja, Bayu masih
terus mencari celah. Dan celah itu harus didapat
sebelum tenaganya terkuras habis.
***
“Hiyaaa...!”
Mendadak saja Bayu berteriak keras menggelegar.
Dan seketika itu juga, tubuhnya melesat cepat bagai
kilat ke udara. Sementara tangan kanannya mengibas
cepat ke atas, melepaskan Cakra Maut yang merupa-
kan senjata andalannya. Sesaat kemudian, terdengar
ledakan keras menggelegar ketika secercah cahaya
keperakan melesat bagai kilat menghantam atap
ruangan ini.
Dan secepat itu pula, Bayu melesat menerobos
atap yang jebol berantakan. Begitu cepatnya,
sehingga tak ada seorang pun yang bisa menyadari.
Dan tahu-tahu, Pendekar Pulau Neraka sudah berdiri
di atas atap bangunan besar dan megah ini. Pemuda
berbaju kulit harimau itu mengangkat tangannya ke
atas, maka senjata bersegi enam keperakan itu
melesat ke arahnya dan langsung melekat di
pergelangan tangan kanannya.
“Kejar...!” mendadak saja terdengar teriakan keras
dari dalam ruangan itu.
Belum lagi suara teriakan itu menghilang, men-
dadak dari atap yang jebol berlompatan orang-orang
berbaju serba hitam. Saat itu Bayu sempat me-
ninggalkan tempat ini. Dan kini sudah kembali
diserang orang-orang berbaju serba hitam.
“Yeaaah...!”
Sambil memiringkan tubuh ke kiri, Bayu mengibas-
kan tangan kanannya ke depan. Seketika, cakra
bersegi enam berwarna keperakan di pergelangan
tangan kanannya melesat cepat menghajar orang
yang berada paling dekat
Cras!
“Aaa...!” satu jeritan panjang melengking tinggi
terdengar menyayat
Sebelum jeritan itu menghilang dari pendengaran,
seorang berbaju hitam terguling dengan leher sobek
hampir buntung. Bayu cepat menarik tangan kanan-
nya ke atas, maka secepat itu pula dihentakkan
kembali. Cakra Maut yang baru saja tercabut dari
leher yang menganga lebar kembali melesat dan
menghajar seorang lagi. Untuk kedua kalinya, ter-
dengar jeritan panjang melengking tinggi.
“Hiya! Hiya! Hiyaaa...!”
Bayu menggerak-gerakkan cepat tangan kanan-
nya, diimbangi gerakan kaki yang lincah dan ringan.
Senjata Cakra Maut yang menjadi andalan Pendekar
Pulau Neraka bagai memiliki mata saja. Cakra Maut
berkelebat cepat menyambar orang-orang berbaju
serba hitam.
Jeritan-jeritan panjang melengking tinggi terdengar
saling sambut, disusul bergelimpangannya tubuh-
tubuh berbaju serba hitam berlumur darah dari atas
atap. Hingga dalam waktu tidak berapa lama saja,
Bayu sudah mendapat kesempatan untuk melarikan
diri dari kepungan itu.
“Yeaaah...!”
Begitu mempunyai kesempatan, secepat itu pula
tubuh Bayu melenting, meluruk deras ke bawah. Dan
saat kakinya menjejak tanah berumput, secepat itu
pula tubuhnya kembali melesat cepat melompati
pagar tembok yang tinggi dan kokoh.
Slap!
Begitu sempurnanya ilmu meringankan tubuh yang
dimiliki Pendekar Pulau Neraka. Dalam waktu sekejap
mata saja, bayangan tubuhnya telah lenyap tertelan
kegelapan malam. Bersamaan dengan meng-
hilangnya Pendekar Pulau Neraka, dari dalam
bangunan besar dan megah tempat kediaman Narata
bermunculan orang-orang berbaju serba hitam.
Sementara, Jarong dan Narata sudah mendahului
mereka. Sedangkan para prajurit berseragam dan
bersenjata lengkap berada paling akhir.
“Keparat..!” desis Jarong geram.
***
Malam terus merayap semakin larut. Udara pun
terasa semakin bertambah dingin oleh hembusan
angin kencang. Namun keadaan alam yang nampak
tidak ramah ini tidak membuat lari Bayu terhenti.
Pendekar Pulau Neraka terus berlari cepat mem-
pergunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah
mencapai taraf kesempurnaan. Begitu cepatnya,
seolah-olah berlari di atas angin saja. Yang terlihat
hanya kelebatan bayangannya saja yang mirip hantu.
Bayu baru menghentikan larinya setelah tiba di
depan pintu sebuah rumah besar dan megah,
dikelilingi pagar tembok batu yang cukup tinggi
Sebentar napasnya ditarik dalam-dalam. Bibirnya
sedikit meringis saat menarik napas tadi. Kemudian
tangannya mengetuk pintu kayu jati tebal yang
tertutup itu.
Tok, tok tok...!
Tak ada sahutan sama sekali. Bayu kembali
mengetuk pintu lebih keras lagi, lalu sebentar
menunggu. Dari balik pintu terdengar suara langkah
terseret. Tak berapa lama kemudian, pintu kayu jati
berukir ini terbuka sedikit. Dari dalam menyembul
sebuah kepala seorang gadis yang wajahnya kusut
dan rambutnya acak-acakan. Langsung pintu itu
dibuka lebar-lebar begitu melihat siapa yang berdiri di
depannya.
Bayu bergegas masuk dan menutup pintu kembali.
Sebentar diintipnya keadaan di luar dari celah
jendela. Kemudian napasnya ditarik dalam-dalam.
Sambil menghembuskan napas panjang, Pendekar
Pulau Neraka menghempaskan tubuhnya di kursi
rotan yang ada di samping pintu ini. Sementara gadis
itu hanya memandangi saja dengan kening berkerut
dalam.
“Ada apa, Kakang? Heh...! Kenapa punggung-
mu...?”
Gadis itu tampak terkejut. Bayu meraba punggung-
nya yang terasa perih. Ujung jari tangannya me-
rasakan adanya cairan hangat merembes dari
punggungnya. Bayu kembali membawa tangannya ke
depan.
“Darah...,” desis Bayu.
Sama sekali Pendekar Pulau Neraka tidak
menyadari kalau punggungnya terluka. Bahkan sama
sekali tidak tahu, kapan dan bagaimana punggungnya
bisa terluka seperti ini. Bayu melirik gadis berparas
cantik itu, yang bergegas ke belakang. Dan tak
berapa lama kemudian sudah kembali lagi sambil
membawa semangkuk besar air dan kain.
Tanpa berkata apa-apa, gadis itu memutar tubuh
Pendekar Pulau Neraka. Dibersihkannya darah yang
mengalir di punggung pemuda berbaju kulit harimau
itu. Sedikit Bayu meringis saat merasakan kain yang
basah menyentuh luka di punggungnya.
“Sakit..?” tanya gadis itu.
“'Tidak,” sahut Bayu seraya meringis. “Besar
lukanya, Nilakandi?”
“Cukup panjang, tapi tidak dalam,” sahut gadis itu
yang ternyata Nilakandi, putri Paman Jawala.
Bayu terpaksa membuka baju saat gadis itu
hendak membalut luka di punggungnya. Kembali
Bayu meringis sedikit. Dia mencoba mengingat-ingat
pertarungan di tempat kediaman Narata tadi
“Hm.... Mungkin aku tertuka sewaktu berada di
atap...,” gumam Bayu menduga-duga dalam hati.
“Sudah,” ujar Nilakandi setelah membalut luka di
punggung Pendekar Pulau Neraka.
Bayu kembali mengenakan pakaiannya yang
terbuat dari kulit harimau. Sementara Nilakandi mem-
bereskan peralatan yang digunakan untuk membalut
luka di punggung Pendekar Pulau Neraka.
“Tadi Panglima Narasoma ke sini. Dia me-
nanyakanmu,” Nilakandi memberi tahu.
“Apa jawabmu” tanya Bayu.
“Kubilang kau sudah pergi,” sahut Nilakandi.
“Hm..., ada apa dia mencariku...?” gumam Bayu
seperti bertanya untuk dirinya sendiri.
“Panglima Narasoma tidak mengatakan apa-apa.
Dia langsung pergi begitu kukatakan kau sudah
pergi,” kata Nilakandi lagi.
Bayu hanya diam saja.
“Kakang, ada sesuatu yang ingin kuberikan
padamu,” kata Nilakandi lagi.
Bayu mengangkat kepalanya, memandang gadis
itu.
“Apa?”
Nilakandi mengeluarkan selongsong bambu yang
terikat pita biru dari balik lipatan bajunya. Sebentar
Bayu memandangi, kemudian menerima selongsong
bambu itu. Sesaat, diperhatikannya selongsong
bambu itu, kemudian dibuka tutupnya. Dari dalamnya
dikeluarkannya beberapa lembar daun lontar yang
penuh coretan tulisan.
Kening Pendekar Pulau Neraka itu berkerut saat
membaca tulisan yang tertera di atas selembar daun
lontar. Sebentar dipandangnya Nilakandi, kemudian
kembali menekuri tulisan-tulisan yang tertera di atas
lembaran daun lontar itu.
“Dari mana kau dapatkan ini?” tanya Bayu.
“Aku menemukannya di Keputren Ratu Nyai
Lengas, ketika sedang bermain di sana,” sahut
Nilakandi.
“Kau tahu apa isinya?” tanya Bayu lagi seraya
memasukkan daun lontar itu ke dalam selongsong
bambu, kemudian menutup kembali ujungnya.
Nilakandi hanya mengangguk saja, menjawab
pertanyaan Pendekar Pulau Neraka itu. Gadis itu
memang sudah melihat isi surat itu, makanya kini
diberikan pada Bayu. Dia sendiri terkejut setelah
mengetahui kalau tulisan yang tertera pada lembaran
daun lontar berisi nama-nama pembesar yang
berkomplot untuk menggulingkan tahta Ratu Nyai
Langas. Bahkan semua pemberontakan tertulis di
sana. Yang lebih mengejutkan lagi, tulisan itu dibuat
oleh Narata!
Yang membuat Bayu bertanya-tanya, untuk apa
Narata menulis semua ini? Dan kenapa sampai
berada di tangan Bokor? Memang, surat ini bisa
menjadi bukti kuat untuk menggulung komplotan
pemberontak itu. Dan di dalam surat ini, juga tertulis
kalau penggulingan kekuasaan dilaksanakan tepat
saat Ratu Nyai Langas melakukan pemujaan di
sebuah puri yang terletak di tengah Hutan Landaka.
Dan itu berarti tinggal tiga hari lagi. Sementara,
seluruh Hutan Landaka kini sudah dikuasai oleh
kaum pemberontak.
“Aku harus segera memberi tahu Ratu Nyai
Langas,” gumam Bayu agak mendesis.
“Memang lebih cepat lebih baik, Kakang,” sambut
Nilakandi.
“Kau diam saja di sini, Nilakandi. Jangan ke mana-
mana,” tegas Bayu seraya bangkit berdiri.
“Tapi, punggungmu...”
“Hanya luka kecil, tidak apa-apa.”
Nilakandi tidak bisa mencegah lagi, karena cepat
sekali Pendekar Pulau Neraka melompat ke pintu.
Dan secepat itu pula pintu dibuka, lalu tubuhnya
sudah lenyap tak terlihat lagi. Nilakandi bergegas
menutup pintu lagi. Dia sempat melongok ke luar, tapi
Pendekar Pulau Neraka tidak ada lagi di sana.
“Mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa pada
Kakang Bayu...,” desah Nilakandi.
***
DELAPAN
“Heh...!”
Ratu Nyai Langas terperanjat ketika tiba-tiba saja
Pendekar Pulau Neraka muncul di dalam kamarnya.
Bahkan hampir saja berteriak. Untung Bayu segera
memintanya untuk tenang. Wanita cantik itu menarik
selimut dan menutupi tubuhnya yang hanya menge-
nakan baju tipis, hingga menampakkan keindahan
bentuk tubuhnya.
“Bagaimana kau bisa berada di kamarku?” tanya
Ratu Nyai Langas bernada kurang senang.
“Maaf, Gusti Ratu. Hamba terpaksa melumpuhkan
dua orang penjaga,” sahut Bayu.
“Apa maksudmu datang malam-malam begini?”
“Hamba akan menyerahkan bukti yang Gusti Ratu
minta,” sahut Bayu.
Pendekar Pulau Neraka menyodorkan selongsong
bambu dengan sikap penuh hormat Ratu Nyai Langas
memandanginya sejenak, kemudian menerima
selongsong bambu itu. Sebentar dipandanginya Bayu,
kemudian tutup selongsong bambu itu dibuka. Dari
dalamnya dikeluarkan beberapa daun lontar yang
bertuliskan sesuatu yang mengejutkan.
Kening wanita itu berkerut saat membaca tulisan
yang tertera pada daun lontar itu. Kembali di-
pandangnya Bayu yang berdiri saja tidak jauh di
depannya. Hanya sedikit raut wajahnya berubah.
Sedangkan Bayu hanya memperhatikan saja.
Pendekar Pulau Neraka kagum juga dengan
ketabahan yang dimiliki wanita cantik ini. Sama sekali
dia tidak kelihatan terkejut, meskipun raut wajahnya
tadi sempat berubah sedikit
“Dari mana kau dapatkan ini?” tanya Ratu Nyai
Langas, sambil menggulung kembali daun lontar dan
memasukkan ke dalam selongsong bambu.
Tanpa diminta dua kali, Bayu kemudian me-
nuturkan beberapa kejadian yang dialami hingga
mendapatkan selongsong bambu ini dari Nilakandi,
putri tunggal Paman Jawala. Juga, diceritakan tentang
Bokor yang membawa surat itu, dan Jarong yang
menginginkan surat-surat itu kembali.
“Ini memang merupakan bukti kuat, Bayu. Tapi aku
tidak akan mengambil tindakan apa-apa, sampai tiba
saatnya nanti,” tegas Ratu Nyai Langas, setelah Bayu
menceritakan semuanya.
“Maksud, Gusti Ratu...?” tanya Bayu tidak
mengerti.
“Biarkan mereka bertindak sesuai rencana,” sahut
Ratu Nyai Langas diiringi sunggingan senyuman
manis.
“Gusti Ratu akan membiarkan mereka merebut
tahta...?” tanya Bayu semakin tidak mengerti.
Ratu Nyai Langas tidak menjawab, tapi malah
tersenyum saja. Perlahan wanita cantik penguasa
tunggal Kerajaan Langkat ini beranjak bangkit dari
pembaringan. Sepertinya dia sudah lupa dengan
keadaan tubuhnya yang hanya tertutup baju tipis.
Melihat hal ini Bayu hanya bisa menelan ludah saja.
Biar bagaimanapun Pendekar Pulau Neraka tidak
akan bertindak kurang ajar. Karena sekali berbuat
kotor, maka wibawanya akan turun di mata sang
Ratu.
Dengan ayunan langkah gemulai, Ratu Nyai
Langas menghampiri meja kecil, lalu mengambil dua
gelas perak. Dan dari sebuah guci perak, dituang-
kannya arak ke dalam gelas itu, lalu dibawanya pada
Bayu. Satu gelas diserahkan pada pemuda itu, dan
satu gelas lagi untuknya sendiri.
“Kau bukan rakyat Kerajaan Langkat ini, Bayu.
Tapi mengapa begitu gigih mempertahankan
keutuhan negeri ini?” tanya Ratu Nyai Langas ingin
tahu.
“Hamba akan membela siapa saja yang berada di
jalur kebenaran, Gusti Ratu. Sama sekali hamba tidak
memandang pangkat dan derajat seseorang,” sahut
Bayu kalem.
“Aku punya sesuatu untukmu, Bayu,” kata Ratu
Nyai Langas seraya mengambil gulungan surat yang
sama persis dengan yang dibawa Bayu.
Pendekar Pulau Neraka itu menerima, dan mem-
bacanya dengan cepat. Keningnya langsung berkerut.
Surat ini datang dari Narata, dan meminta wanita ini
untuk menyerahkan tahtanya. Bayu menatap Ratu
Nyai Langas, sedangkan yang ditatap kelihatan
tenang.
“Gusti Ratu... hamba juga akan menyampaikan
sesuatu,” kata Bayu.
“'Tentang apa?”
“Jarong.”
“Hm....”
“Sebenarnya Jarong seorang tokoh persilatan yang
disewa Narata untuk membantunya dalam
pemberontakan ini.”
“Sudah kuduga...,” gumam Ratu Nyai Langas.
Bayu benar-benar kagum pada wanita ini. Meski-
pun dalam keadaan gawat, tetap saja tenang.
Ratu Nyai Langas hanya tersenyum saja men-
dengar jawaban Bayu yang lugas itu. Tidak perlu
dijelaskan lagi kalau Pendekar Pulau Neraka sama
sekali tidak memandang wanita ini sebagai ratu yang
menguasai seluruh wilayah Kerajaan Langkat. Bagi
Bayu sendiri, semua manusia sama. Hanya pangkat
dan derajat saja yang membedakannya di dunia ini.
Dan Bayu sama sekali tidak pernah memandang hal
semacam itu.
“Bayu. Jika kau memang ingin menolong kejayaan
Kerajaan Langkat, aku minta padamu untuk menjadi
pengawal pribadiku,” pinta Ratu Nyai Langas.
“'Terima kasih, Gusti Ratu. Tapi...,” ucapan Bayu
terputus.
“Aku mengerti, Bayu. Bukan untuk selamanya kau
menjadi pengawal pribadiku. Tapi hanya untuk tiga
hari ini saja,” ujar Ratu Nyai Langas, bisa memahami
keberatan Pendekar Pulau Neraka.
“Maksud, Gusti Ratu...?” Bayu masih belum
mengerti.
“Mereka akan kubiarkan melaksanakan rencana-
nya. Aku yakin kalau tujuan mereka yang utama
adalah melenyapkanku, sebelum mengambil alih
singgasana. Dan pasti mereka sudah menunggu di
Hutan Landaka. Jadi, tidak perlu kita menggulung
mereka di kotaraja ini, tapi cukup di dalam hutan
sana,” Ratu Nyai Langas menjelaskan rencana yang
terlintas di kepalanya.
“Jumlah mereka sangat banyak, Gusti. Dan kalau
Gusti Ratu membawa pengawal berjumlah banyak,
akan membuat curiga. Bisa-bisa mereka langsung
menguasai istana ini,” Bayu mengemukakan
pendapatnya.
“Aku mempunyai angkatan perang ketiga, yang
langsung berada di bawah komandoku. Aku juga
sudah tahu, kalau sebagian prajurit sudah berpihak
pada mereka. Tapi itu memang prajurit mereka
sendiri. Jadi, tidak perlu khawatir.”
“Gusti Ratu akan mengerahkan seluruh kekuatan
ke Hutan Landaka?”
“Tidak, tapi hanya sebagian saja. Dan itu juga tidak
secara terang-terangan, Bayu. Mereka akan
berangkat terlebih dahulu, namun tidak mengenakan
seragam prajurit.”
Bayu mengangguk-anggukkan kepalanya, tanda
bisa memahami maksud Ratu Nyai Langas. Dalam
hati, Pendekar Pulau Neraka memuji kecerdikan
wanita berparas cantik ini. Juga, ketenangannya
dalam menghadapi kemelut. Bayu benar-benar
memuji secara turus, meskipun hanya diucapkan
dalam hati. Memang dalam menghadapi sesuatu,
sangat dibutuhkan ketenangan. Dan ketenangan itu
dimiliki Ratu Nyai Langas.
***
Bayu berdiri tegak di atas bangunan tua yang
tersusun dari batu, membentuk sebuah candi. Dan
memang, bangunan ini digunakan untuk memuja
dewa. Hanya keluarga istana saja yang boleh
menggunakan candi di tengah Hutan Landaka ini.
Pendekar Pulau Neraka berpaling saat merasakan
ada seseorang berdiri agak ke belakang di samping
kanannya.
Bayu memberi senyum setelah mengetahui kalau
Ratu Nyai Langas sudah berada di dekatnya. Di
belakang wanita cantik ini berdiri seorang laki-laki tua
mengenakan jubah warna kuning gading. Laki-laki
yang sudah berusia lanjut itu, bernama Eyang
Lanjaran. Seorang pertapa yang menghuni candi tua
ini.
“Mereka sudah terlihat, Bayu?” tanya Ratu Nyai
Langas.
“Tidak ada tanda-tandanya, Gusti Ratu,” sahut
Bayu dengan sikap hormat
Pandangan Ratu Nyai Langas beredar ke
sekeliling. Hanya ada beberapa prajurit saja yang
menjaga di sekitar bangunan tua dari batu ini, serta
sepuluh orang pelayan yang tampak sibuk di bagian
belakangnya. Bayu sendiri masih diliputi keheranan,
karena sejak tadi tidak melihat prajurit khusus yang
dikatakan Ratu Nyai Langas. Hanya lima puluh
prajurit saja yang terlihat di sekitar bangunan ini. Dan
kedatangan mereka pun bersama-sama.
“Hamba khawatir rencana ini sudah diketahui
mereka, Gusti Ratu,” kata Bayu mengemukakan
perasaan khawatirnya.
“Kalaupun mengetahui, yang pasti ada dua tempat
yang diserang. Di sini, atau mereka ke istana,” sahut
Ratu Nyai Langas. Tetap terdengar tenang suaranya.
“Ada kemungkinan mereka menyerang istana,
Gusti Ratu,” selak Eyang Lanjaran yang sejak tadi
diam saja.
“Mereka akan berpikir dua kali untuk menyerang
istana, Eyang. Aku yakin, jumlah mereka jauh lebih
sedikit bila dibandingkan prajurit yang berada di
istana,” bantah Ratu Nyai Langas.
“Lalu, bagaimana dengan yang ada di sini?” tanya
Eyang Lanjaran.
“Di samping prajurit biasa yang datang bersamaku,
ada sekitar lima ratus pasukan khusus yang hanya
aku sendiri mengetahuinya. Tak ada seorang pun
yang tahu, juga Kakang Narata,” sahut Ratu Nyai
Langas menjelaskan lagi. “Maaf, Eyang. Aku terpaksa
membentuk kekuatan khusus, dan mungkin ada
gunanya sekarang ini.”
“Kau tidak perlu meminta maaf, Anakku.
Tindakanmu tepat sekali. Mempersiapkan diri lebih
penting daripada tidak sama sekali,” kata Epang
Lamaran bijaksana.
“Terima kasih, Eyang.”
“Mereka datang...,” desis Bayu menyelak tiba-tiba.
Ratu Nyai Langas langsung memandang ke arah
yang sama dengan pandangan Pendekar Pulau
Neraka. Tampak di sebelah Utara, bergerak sekitar
lima puluh orang menuju candi ini. Bukan hanya itu.
Dari arah-arah lain juga terlihat orang-orang yang
mengenakan baju serba hitam bergerak cepat ke
arah tempat ini.
Baik Ratu Nyai Langas, maupun Bayu sudah
menyadari kalau sudah terkepung dari empat
jurusan. Dan jumlah mereka ada sekitar dua ratus
orang. Namun perhatian Pendekar Pulau Neraka
bukanlah pada orang-orang berbaju hitam itu,
melainkan pada dua orang yang berjalan cepat dari
arah Timur.
“Bagus.... Ternyata mereka tidak mengetahui kalau
rencananya sudah terbaca,” ujar Ratu Nyai Langas
dengan suara setengah bergumam.
“Bagaimana sekarang, Anakku?” tanya Eyang
Lanjaran.
Ratu Nyai Langas tidak menjawab, dan hanya
tersenyum seraya memandang Pendekar Pulau
Neraka yang saat itu juga tengah menatap ke arah
wanita cantik ini.
“Kau hadapi pemimpin mereka, Bayu. Jangan
sampai mereka menjarah tempat suci ini,” tegas Ratu
Nyai Langas.
Tanpa menjawab sedikit pun, Bayu segera melesat
turun. Begitu ringan dan indah gerakannya. Dan
tanpa memperdengarkan suara sedikit pun, Pendekar
Pulau Neraka sudah berada di tanah. Secepat
kakinya menjejak tanah, secepat itu pula melesat ke
arah Timur, yang di sana terlihat Narata dan Jarong
serta sekitar lima puluh orang berpakaian serba
hitam bergerak menuju candi ini.
Begitu bayangan tubuh Pendekar Pulau Neraka
lenyap ditelan kelebatan hutan, Ratu Nyai Langas
mengambil sebuah benda bulat sebesar mata kucing
dari balik sabuk yang membelit pinggangnya. Benda
bulat berwarna merah itu, dilontarkan ke udara
dengan hanya menjentikkan ujung jarinya sedikit
saja. Dan begitu berada di angkasa, benda itu pecah
memperdengarkan ledakan keras menggelegar bagai-
kan guntur di angkasa. Sebentar kemudian memercik
bunga-bunga api yang beraneka ragam warnanya.
“Hm...,” Ratu Nyai Langas tersenyum.
“Apa yang kau lakukan tadi, Anakku?” tanya Eyang
Lanjaran.
“Hanya memberi tanda saja, Eyang,” sahut Ratu
Nyai Langas.
Setelah menjawab pertanyaan pertapa tua itu,
Ratu Nyai Langas melangkah ringan meninggalkan
atap depan bangunan candi ini. Eyang Lanjaran
mengikuti saja tanpa mengucapkan sesuatu lagi.
Sungguh tak pernah terpikirkan kalau tempat suci ini
akan ternoda darah, dari orang-orang yang tengah
diliputi nafsu keangkaramurkaan.
***
''Berhenti...!”
Narata dan Jarong terkejut ketika tiba-tiba
terdengar bentakan keras menggelegar. Mereka
segera menghentikan langkahnya diikuti lima puluh
orang berpakaian serba hitam yang berjalan di
belakang. Bentakan keras itu demikian jelas, dan
mengejutkan sekali. Dan sebelum mereka semua
lenyap dari rasa terkejutnya, kembali mereka dikejut-
kan munculnya seorang pemuda berbaju kulit
harimau.
“Bayu...,” desis Jarong mengenali pemuda berbaju
kulit harimau itu.
“Aku minta, sebaiknya kalian menyerah saja.
Tempat ini sudah terkepung,” tegas Bayu namun
bernada mengancam.
“Phuih! Bagaimana kau bisa tahu kami akan ke
sini, Bayu?!” tanya Narata agak mendesis,
menghilangkan rasa keterkejutannya.
“Ini...,” sahut bayu seraya menunjukkan
selongsong bambu yang berisi beberapa lembar daun
lontar.
“Sudah kuduga, Paman pasti salah mengambil
surat,” ujar Jarong pelan, seperti berbicara pada diri
sendiri.
Narata hanya diam saja. Sebentar matanya
menatap tajam Pendekar Pulau Neraka, kemudian
beralih pada pemuda kurus kering yang berdiri di
sampingnya. Selongsong bambu yang berisi nama-
nama pembesar yang berada di pihaknya itu memang
miliknya.
Narata memang mengakui di dalam hati kalau
telah salah memberi selongsong bambu itu pada
anak buahnya. Meskipun tidak dikatakannya pada
Jarong, tapi pemuda kurus kering itu sudah
mengetahuinya. Itulah sebabnya mengapa Jarong
harus melenyapkan Bokor sekaligus berniat
merampas selongsong bambu itu kembali. Dan
sekarang selongsong bambu itu sudah berada di
tangan Pendekar Pulau Neraka. Dan yang pasti,
semua rencana makar ini sudah diketahui.
“Tempat surat itu memang sama, dan kuletakkan
di tempat yang sama pula. Aku tidak melihat lagi
isinya ketika mengambil,” kata Narata perlahan,
seakan-akan ingin mengakui kesalahannya.
Kesalahan yang kecil, namun fatal akibatnya.
“Tidak ada jalan lain lagi, Paman. Kita harus
melenyapkan manusia keparat bersama yang lainnya
di hutan ini,” tegas Jarong. Suaranya terdengar
dalam, agak tertahan.
Dan sebelum Narata menjawab, Jarong sudah
berteriak kencang memerintahkan anak buahnya
menyerang Pendekar Pulau Neraka. Tepat ketika
orang-orang berbaju serba hitam itu meluruk deras
hendak menyerang Bayu, mendadak saja dari atas
pohon dan gerumbul semak berlompatan orang-orang
berpakaian seragam prajurit. Mereka langsung
menyerang orang-orang berpakaian serba hitam
tanpa menunggu perintah lagi.
“Keparat..!” desis Jarong geram.
“Bagus...!” Bayu menyambut gembira kemunculan
para prajurit itu. “Hiyaaat..!”
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Pendekar
Pulau Neraka langsung melompat menerjang Jarong
yang tengah dihinggapi berbagai macam perasaan.
Hatinya terkejut, marah, dan juga kebingungan
melihat para prajurit bermunculan secara tiba-tiba
dan langsung menyerang anak buahnya. Sebelum
keterkejutannya lenyap, kembali pemuda kurus
kering itu terperanjat begitu tiba-tiba saja Bayu sudah
melompat menerjangnya.
“Uts...!”
Bergegas Jarong melompat ke samping seraya
menjatuhkan tubuhnya ke tanah, menghindari
serangan yang dilancarkan Pendekar Pulau Neraka.
Beberapa kali dia bergulingan di tanah, sebelum
cepat melompat bangkit berdiri.
“Yeaaah...!”
Sebelum pemuda bertubuh kurus kering itu bisa
berdiri dengan tegak, Bayu sudah melompat
menyerang kembali disertai lontaran dua pukulan
beruntun bertenaga dalam tinggi. Sejenak Jarong
terperangah kaget, namun cepat sekali mengegoskan
tubuhnya ke kiri dan ke kanan untuk menghindari
serangan.
Di lain pihak, pertempuran antara prajurit khusus
Ratu Nyai Langas dengan orang-orang berpakaian
serba hitam terus berlangsung sengit. Dan agak jauh
dari tempat pertarungan itu, terlihat Narata hanya
berdiri mengawasi saja. Dia tampak kebingungan,
melihat anak buahnya terdesak menghadapi prajurit
yang sama sekali tidak diketahuinya ini. Pakaian
prajurit itu sangat lain sekali dengan pakaian prajurit
yang berada di istana. Dan laki-laki gemuk itu tidak
tahu, mereka ini prajurit-prajurit dari mana. Perhatian
Narata beralih pada pertarungan antara Bayu dan
Jarong.
“Hm... Kelihatannya Jarong bukan tandingan
pemuda itu,” gumam Narata dalam hati.
Dan pengamatan Narata memang tepat. Saat itu
Jarong sudah demikian terdesak sekali. Beberapa kali
dia tersungkur jatuh terhantam pukulan keras
Pendekar Pulau Neraka. Namun rupanya pemuda
bertubuh kurus kering itu masih tetap bertahan. Dia
selalu dapat bangkit dan langsung menyerang,
meskipun selalu mudah dipatahkan Pendekar Pulau
Neraka.
“Yeaaah...!”
Tiba-tiba saja Bayu cepat sekali melentingkan
tubuhnya ke udara. Dan secepat itu pula tubuhnya
meluruk deras sambil melontarkan satu pukulan
keras bertenaga dalam tinggi. Begitu cepatnya
serangan yang dilancarkan Pendekar Pulau Neraka
itu, sehingga Jarong tak dapat lagi menghindarinya.
Dieghk...!
“Aaakh...!” satu jeritan melengking tinggi ter-
dengar.
Bersamaan dengan itu, terlihat Jarong terpental
beberapa tombak ke belakang. Dan sebelum tubuh
pemuda kurus kering itu menyentuh tanah, Bayu
sudah mengebutkan tangan kanannya ke depan.
Slap!
Seketika itu juga Cakra Maut yang selalu
menempel di pergelangan tangan kanan Pendekar
Pulau Neraka melesat cepat bagaikan kilat. Begitu
cepatnya, sehingga baik Jarong maupun Narata yang
memperhatikan pertarungan tidak sempat lagi
menyadari. Sehingga....
Crab...!
“Aaakh...!” Jarong menjerit melengking tinggi.
Cakra Maut keperakan bersegi enam, menancap
dalam di dada pemuda kurus kering itu. Hanya
sebentar saja Jarong bisa menggeliat, kemudian diam
tak bernyawa lagi. Darah seketika muncrat keluar,
begitu Cakra Maut terlepas dari dada pemuda
bertubuh kurus kering itu. Senjata maut Pendekar
Pulau Neraka itu kembali menempel di pergelangan
tangan kanannya.
Bayu memutar tubuhnya menghadap Narata yang
tampak terkejut melihat kematian Jarong. Laki-laki
setengah baya bertubuh gemuk itu melangkah
mundur beberapa tindak. Pada saat yang sama, lebih
dari separuh orang-orang berpakaian serba hitam
sudah bergelimpangan tak bernyawa lagi. Darah
bersimbah menggenangi tanah berumput, menyebar-
kan aroma anyir terbawa angin.
“Sekarang giliranmu, Narata...,” desis Bayu dingin.
“Jangan... Jangan bunuh aku, Bayu. Biarkan aku
hidup...,” terdengar bergetar suara Narata.
Wajah laki-laki setengah baya itu nampak pucat
pasi, seperti tak teraliri darah. Seluruh tubuhnya
menggeletar, basah oleh keringat yang mengucur
deras. Bayu sendiri jadi tidak mengerti, mengapa
sikap Narata seperti ini. Apakah Narata tidak
mengerti ilmu olah kanuragan? Atau sudah gentar
melihat kedigdayaan Pendekar Pulau Neraka?
Perlahan-lahan Bayu melangkah mendekati.
“Biarkan dia hidup, Bayu...!”
Bayu berpaling saat mendengar seruan halus dari
arah samping kanannya. Tampak Ratu Nyai Langas
yang didampingi Eyang Lanjaran dan beberapa orang
prajurit serta panglima perang menghampiri. Melihat
penguasa tunggal Kerajaan Langkat itu, Narata
langsung memburu dan berlutut di depannya. Mau
tak mau Ratu Nyai Langas menghentikan langkahnya.
''Dinda Ratu.... Hamba mohon, biarkan hamba
hidup...,” rengek Narata.
“Hm.... Mengapa kau begitu lemah, Kakang
Narata? Bukankah kau selalu mencari kesempatan
untuk menyingkirkan aku? Kau ingin menduduki
tahta, bukan...?” agak sinis suara Ratu Nyai Langas.
Namun nada suaranya terdengar lembut sekali.
Narata hanya diam saja. Kepalanya sama sekali
tidak berani diangkat. Rasanya dia tidak sanggup
membalas tatapan mata wanita cantik itu.
“Panglima Narasoma, tangkap dia,” perintah Ratu
Nyai Langas.
“Hamba, Kanjeng Ratu.”
Panglima Narasoma segera menjalankan perintah
itu. Bersama empat orang prajurit diringkusnya
Narata yang sudah tidak memiliki daya lagi untuk
memberi perlawanan. Panglima Narasoma membawa
laki-laki setengah baya bertubuh gemuk itu, kembali
ke Kotaraja Langkat Ratu Nyai Langas mengalihkan
pandangannya ke arah Bayu berada. Namun....
“Heh...! Ke mana Bayu...?”
Bukan main terkejutnya Ratu Nyai Langas begitu
melihat Bayu tidak berada lagi di tempatnya. Bahkan
di sekitar tempat ini, tidak terlihat lagi Pendekar
Pulau Neraka. Tak ada yang tahu, kapan dan ke mana
pendekar digdaya itu pergi.
“Sudahlah, Anakku. Mungkin Bayu tidak meng-
inginkan imbalan apa-apa darimu,” hibur Eyang
Lanjaran, seakan-akan bisa membaca isi hati wanita
itu.
Ratu Nyai Langas hanya menghembuskan napas
saja. Bayu bukan hanya tampan, tapi sikap dan
tindak tanduknya sudah membuat wanita itu tertarik.
Ratu Nyai Langas merasakan ada sekeping hatinya
yang hilang, saat Pendekar Pulau Neraka pergi.
“Hhh.... Semoga saja aku bisa bertemu lagi
dengannya,” desah Ratu Nyai Langas dalam hati
“Mari kita kembali ke pertapaan. Ananda Ratu,”
ajak Eyang Lanjaran.
Ratu Nyai Langas tidak mengeluarkan suara
sedikit pun juga. Kemudian tubuhnya berputar, lalu
melangkah mengikuti laki-laki tua pertapa itu.
“Apa yang akan kau lakukan pada Narata?” tanya
Eyang Lanjaran.
“Tergantung dari putusan pengadilan nanti, Eyang.
Mungkin dia dibuang dan tidak boleh kembali lagi,”
sahut Ratu Nyai Langas perlahan.
“Satu keputusan yang bijaksana jika kau tidak
menjatuhkan hukuman mati.”
Ratu Nyai Langas hanya tersenyum saja. Sama
sekali Narata tidak ada dalam pikirannya. Seluruh
pikiran dan sekeping hatinya kini tercurah pada
seorang pemuda yang telah mencuri sekeping
hatinya. Bahkan Ratu Nyai Langas sendiri tidak
mengerti, apa yang sedang dirasakannya kini.
Mungkinkah ini yang dinamakan cinta...? Entahlah.
Yang jelas, dia belum pernah merasakan hal seperti
ini sebelumnya. Hatinya hanya bisa berharap, agar
dapat bertemu lagi dengan Pendekar Pulau Neraka.
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar