SELIR RAJA
Oleh Teguh Suprianto
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: Puji S.
Gambar sampul oleh Syam CK.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Pulau Neraka
dalam episode:
Selir Raja
128 hal. ; 12 x 18 cm
SATU
Siang itu keadaan di Kotaraja Balungan tampak
lain dari biasanya. Hampir semua orang berbondong-
bondong datang ke sebuah lapangan di depan Istana
Balungan. Lapangan luas yang disebut alun-alun itu
seakan-akan tidak mampu menampung orang yang te-
rus berdatangan memadatinya. Kedatangan mereka
adalah untuk menyaksikan pelaksanaan hukuman ba-
kar yang akan dilakukan siang ini di sana.
Dan memang, di tengah-tengah lapangan luas itu
terlihat sebatang tonggak kayu yang berdiri tegak di
tengah-tengah tumpukan kayu bakar. Pada tonggak
kayu, tampak terikat seorang wanita cantik mengena-
kan baju hitam ketat, dari bahan sutra halus. Begitu
ketatnya, sehingga tubuhnya yang indah dan ramping
membentuk lekuk-lekuk yang menggairahkan. Dia te-
rikat di tonggak dengan tangan ke belakang.
Sekitar tiga puluh prajurit bersenjata lengkap men-
gelilingi tonggak kayu itu. Tampak seorang laki-laki
bertubuh tegap berada di atas punggung kuda hitam.
Sedangkan enam orang berpakaian prajurit tengah
memegang obor menyala di kanan kirinya. Mata laki-
laki itu menatap tajam wanita berbaju hitam yang teri-
kat di tonggak. Sedangkan yang ditatap malah menga-
rahkan pandangannya ke bangunan istana yang dikeli-
lingi tembok benteng tinggi dan kokoh.
"Sebelum hukuman ini dilaksanakan, apa permin-
taanmu yang terakhir, Nini Anjar?" terdengar lantang
suara laki-laki di atas punggung kuda hitam yang
mengenakan pakaian panglima itu.
Perempuan berbaju hitam yang dipanggil Nini Anjar
hanya menyunggingkan senyuman saja, seakan-akan
tidak peduli kalau sebentar lagi akan mati dibakar. Di-
balasnya tatapan panglima itu dengan tajam pula.
"Gusti Prabu Wijaya akan mengabulkan permin-
taan terakhirmu, Nini Anjar," tegas panglima itu lagi.
'Terima kasih. Sebaiknya sampaikan saja pada
Gusti Prabu untuk memperhatikan kata-kataku, Pan-
glima Pangkar," lembut sekali suara Nini Anjar, namun
terasa hambar dan datar.
Laki-laki di atas punggung kuda hitam yang ber-
nama Panglima Pangkar itu hanya tersenyum saja. Ke-
tika tangannya memberikan isyarat, maka enam orang
yang membawa obor bergerak maju. Mereka mengeli-
lingi wanita berbaju hitam yang terikat di tonggak
kayu.
"Dengar, Nini Anjar. Kau akan diampuni jika men-
cabut kembali kata-katamu itu. Tidak ada seorang pun
yang sudi mempercayainya. Bahkan kau telah mem-
buat Gusti Prabu Wijaya murka. Jika kata-katamu ti-
dak mau dicabut, maka kau harus rela menerima hu-
kuman ini," tegas Panglima Pangkar, bernada membu-
juk.
"Kalian akan menyesal. Percayalah...," kata Nini
Anjar datar.
"Bakar...!" perintah Panglima Pangkar lantang.
Tanpa diperintah dua kali, enam orang yang me-
megang obor langsung melemparkan obornya ke tum-
pukan kayu itu. Seketika api berkobar membesar, me-
lahap kayu bakar. Lidah-lidah api mulai menjilati tu-
buh wanita itu. Namun Nini Anjar tetap tersenyum
dingin, disertai sorot mata tajam. Api terus berkobar
semakin besar. Dan tubuh Nini Anjar benar-benar ter-
tutup api. Namun, tak sedikit pun terdengar keluhan.
Apalagi jeritan kesakitan. Hal ini membuat Panglima
Pangkar dan semua orang yang menyaksikan jadi ke
heranan.
Pada saat seluruh kayu-kayu terbakar, mendadak
saja....
Glarrr!
Satu ledakan keras tiba-tiba terdengar bagai letu-
san gunung berapi. Dan itu jelas berasal dari api yang
berkobar semakin besar. Bunga-bunga api memercik,
membumbung tinggi ke angkasa. Semua orang yang
memadati alun-alun terbengong kaget. Dan sebelum
hilang keterkejutan mereka....
"Ha ha ha...!" tiba-tiba saja terdengar tawa terba-
hak-bahak
Bagaikan ada yang memberi perintah, semua orang
yang memadati alun-alun berserabutan pergi. Jerit ke-
takutan terdengar membahana. Akibatnya suasana
yang semula sunyi, mendadak jadi gaduh. Bahkan pa-
ra prajurit mulai kelihatan gelisah. Mereka mulai ber-
gerak mundur perlahan-lahan. Saat itu semua orang
sudah meninggalkan lapangan luas ini. Tinggal Pan-
glima Pakar dan para prajuritnya yang masih bertahan
pada tempatnya.
Glarrr….!
Satu ledakan keras kembali terdengar menggelegar,
membuat Panglima Pangkar dan para prajuritnya ter-
peranjat kaget. Mereka semakin terkejut, begitu tiba-
tiba kobaran api mendadak padam. Tonggak kayu yang
menghitam hangus masih tetap terpancang tegak. Na-
mun, disana tidak ada lagi Nini Anjar.
“Heh…! Ke mana dia…?” desis Panglima Pangkar
keheranan.
Dan sebelum panglima itu memperoleh jawaban,
mendadak saja berkelebat cepat sebuah bayangan hi-
tam. Panglima Pangkar cepat melompat dari punggung
kuda, maka terjangan bayangan hitam tidak sampai
menghantamnya. Namun pada saat yang sama, ter-
dengar jeritan melengking tinggi saling sambut. Itu
pun masih di susul bergelimpangannnya para prajurit
yang belum bisa menyadari, apa yang terjadi.
Bayangan hitam it uterus berkelebat cepat, meng-
hajar para prajurit, tanpa memberi kesempatan sedikit
pun untuk bisa melakukan sesuatu.
"Celaka...," desis Panglima Pangkar.
Bagaikan kilat, Panglima Pangkar melompat ke
atas punggung kudanya. Dan secepat itu pula kudanya
digebah menuju pintu gerbang istana.
"Aku harus melaporkan kejadian ini pada Gusti
Prabu. Hiya! Hiyaaa...!"
Sementara bayangan hitam itu masih saja berkele-
bat menghajar para prajurit. Jeritan dan pekikan me-
nyayat terus terdengar saling sambut. Dalam waktu
sebentar saja, lebih dari separuh prajurit sudah berge-
limpangan tak bernyawa lagi. Darah mengucur deras
di tubuh-tubuh yang koyak, seperti terkena cakaran
binatang buas.
"Hiya! Buka pintu..,! Yeaaah...!" teriak Panglima
Pangkar keras menggelegar.
Pintu gerbang yang sejak tadi tertutup, perlahan-
lahan terbuka. Tanpa memperlambat lari kudanya,
panglima itu terus menerobos masuk. Pintu gerbang
yang terbuat dari kayu jati tebal kembali bergerak me-
nutup begitu Panglima Pangkar melewatinya.
Tepat pada saat itu, semua prajurit yang berada di
alun-alun sudah tewas bersimbah darah. Tak ada seo-
rang pun yang tersisa. Sedangkan bayangan hitam itu
juga lenyap, entah ke mana. Tak ada seorang pun yang
mengetahui kepergiannya. Suasana di alun-alun depan
istana kini mendadak jadi sunyi senyap. Hanya desir
angin saja yang terdengar mempermainkan dedaunan.
Tak ada seorang pun terlihat di sana.
Sementara Panglima Pangkar sudah mendekati ba-
gian depan istana. Dia langsung melompat turun dari
punggung kuda, begitu sampai di depan tangga istana.
Gerakannya sangat ringan, pertanda kepandaiannya
cukup tinggi. Begitu kakinya menjejak undakan per-
tama, panglima itu langsung berlari cepat menaiki
anak-anak tangga yang berjumlah dua puluh.
Dua orang prajurit yang menjaga pintu depan sege-
ra membungkuk memberi hormat. Namun Panglima
Pangkar tidak mempedulikan sama sekali, dan malah
terus melangkah cepat setengah berlari menerobos
masuk. Dia langsung menuju Balai Sema Agung, tem-
pat Prabu Wijaya tengah berbincang-bincang bersama
pembesar-pembesarnya.
Mereka semua terkejut melihat kedatangan Pan-
glima Pangkar yang begitu tergesa-gesa. Terlebih lagi,
seluruh wajahnya terlihat pucat bersimbah keringat.
Panglima Pangkar cepat berlutut di depan Prabu Wi-
jaya yang sudah berusia sekitar lima puluh tahun.
"Ada apa, Panglima Pangkar? Kenapa kelihatan be-
gitu tergesa-gesa?" tanya Prabu Wijaya langsung.
"Ampun, Gusti Prabu. Hamba... hamba...," jawab
Panglima Pangkar terbata-bata.
"Ada apa?! Bukankah kau bertugas melaksanakan
hukuman mati bagi Nini Anjar?" agak keras suara Pra-
bu Wijaya.
Sebentar Panglima Pangkar terdiam, lalu menarik
napas dalam-dalam beberapa kali untuk menenangkan
dirinya. Sedangkan Prabu Wijaya kelihatan tidak sabar
menunggu. Dari raut wajah dan sorot matanya, sudah
bisa diduga-duga, apa yang akan dikatakan pangli-
manya ini.
"Hamba memang bertugas untuk melakukan hu
kuman bagi Nini Anjar, Gusti Prabu. Semua sudah di
laksanakan sesuai perintah. Tapi...," laporan Panglima
Pangkar terputus.
'Tapi kenapa, Panglima? Teruskan...," desak Prabu
Wijaya semakin terlihat gelisah.
"Nini Anjar, Gusti Prabu. Dia..., dia bisa lolos se-
waktu api membakar tubuhnya," dengan suara perla-
han dan terputus-putus, Panglima Pangkar melapor-
kan kejadian sebenarnya di alun-alun istana tadi.
"Apa...?!" sentak Prabu Wijaya terkejut. "Musta-
hil.... Tidak Mungkin...!"
Begitu terkejutnya, sampai-sampai Prabu Wijaya
terlonjak berdiri dari singgasana. Wajahnya seketika
memerah. Meskipun sejak semula sudah menduga
akan menerima laporan kegagalan pelaksanaan hu-
kuman mati, tapi saat mendengar laporan itu tetap sa-
ja Raja Kerajaan Balungan ini terkejut.
Bukan hanya Prabu Wijaya yang terperanjat. Bah-
kan semua orang yang berada di dalam Balai Sema
Agung ini juga tersentak kaget begitu menerima lapo-
ran Panglima Pangkar. Mereka memandangi panglima
itu, seakan-akan ingin mendengar lagi laporan yang
sangat mengejutkan tadi.
"Panglima! Jelaskan semua kejadiannya," pinta
Prabu Wijaya setelah duduk kembali di singgasananya.
Tanpa diminta dua kali, Panglima Pangkar menje-
laskan semua peristiwa yang terjadi di alun-alun tadi
dengan hati-hati dan suara pelan. Sedapat mungkin
Panglima Pangkar mencoba untuk tetap tenang saat
memberikan penjelasan. Semua yang ada di dalam Ba-
lai Sema Agung ini mendengarkan penuh perhatian.
Tak seorang pun membuka suara, sampai Panglima
Pangkar menyelesaikan laporannya. Untuk beberapa
saat, keadaan jadi sunyi senyap. Tak seorang pun yang
membuka mulut. Semua kepala tertunduk dengan
kening berkerut.
"Ampunkan hamba, Gusti Prabu. Hukumlah ham-
ba, karena telah gagal melaksanakan titah," ucap Pan-
glima Pangkar seraya memberi sembah.
Prabu Wijaya hanya diam merenung saja. Kening-
nya terlihat berkerut semakin dalam. Kepalanya ter-
tunduk, menekuri ujung jari kakinya. Entah, apa yang
ada dalam pikiran dan hatinya saat ini. Yang jelas,
Prabu Wijaya kelihatan begitu gelisah.
"Hm.... Perempuan itu harus ditangkap hidup atau
mati. Dia bisa menjadi ancaman terbesar bagi seluruh
rakyat negeri ini," tegas Prabu Wijaya. Suaranya ter-
dengar bergumam, seakan-akan berbicara pada dirinya
sendiri.
"Apa yang harus hamba lakukan, Gusti Prabu?"
tanya Panglima Pangkar.
'Tidak ada," sahut Prabu Wijaya pelan.
Panglima Pangkar memandangi Prabu Wijaya, sea-
kan-akan tidak mempercayai jawaban yang didengar-
nya barusan. Persoalan ini memang tidak seperti bi-
asanya. Walaupun hanya seorang wanita yang harus
mereka hadapi, tapi dia bisa menghancurkan seluruh
negeri ini. Kata-kata yang diucapkannya begitu berbi-
sa, dan berbahaya sekali.
"Ampun, Gusti Prabu...," tiba-tiba seorang laki-laki
tua berjubah kuning, dan berkepala gundul menyelak.
Laki-laki tua berjubah kuning yang selalu meng-
genggam tasbih batu hitam itu membungkuk memberi
hormat Prabu Wijaya dan semua orang yang berada di
ruangan Balai Sema Agung memandang ke arah laki-
laki tua berjubah kuning ini. Sedangkan yang dipan-
dangi tampak tidak peduli. Bahkan malah bangkit dari
duduknya, lalu melangkah ke depan. Setelah jaraknya
tinggal sekitar tiga langkah di depan Prabu Wijaya, dia
berhenti. Kembali tubuhnya membungkuk memberi
hormat.
"Ada apa, Paman Suratmaja?" tanya Prabu Wijaya.
"Ampun, Gusti Prabu. Menurut hamba, pencega-
han lebih baik daripada harus menghadapi kenyataan
yang bakal terjadi nanti. Hamba merasa yakin, peristi-
wa ini akan berbuntut panjang. Dan sudah pasti akan
merugikan sekali. Kita tidak boleh menganggap remeh
Nini Anjar, Gusti Prabu. Dia bukan wanita sembaran-
gan. Di samping kutukannya yang terkenal, kepan-
daiannya pun sangat tinggi. Sukar untuk dicari tan-
dingannya."
"Hm...," Prabu Wijaya menggumam sambil menge-
lus-elus janggutnya yang hanya sedikit ditumbuhi
rambut halus.
Agak lama juga Prabu Wijaya terdiam, memikirkan
saran yang diajukan Pendeta Suratmaja. Memang da-
lam keadaan seperti ini, Nini Anjar tidak bisa dipan-
dang remeh. Tapi bukan watak Prabu Wijaya yang be-
gitu saja mudah menyerah. Terlebih lagi, mereka
hanya menghadapi seorang wanita berkepandaian
tinggi. Sedangkan ratusan prajurit asing saja sanggup
mereka hadapi.
"Akan ku pikirkan saran mu, Paman Pendeta," ujar
Prabu Wijaya, tidak ingin mengecewakan Pendeta Su-
ratmaja.
"Hamba, Gusti Prabu," ucap Pendeta Suratmaja se-
raya memberi hormat.
Laki-laki tua berjubah kuning dan berkepala gun-
dul itu kembali ke tempat semula. Sementara suasana
kembali menjadi sunyi. Tanpa berbicara lagi, Prabu
Wijaya bangkit berdiri dari singgasana, kemudian me-
langkah perlahan meninggalkan ruangan Balai Sema
Agung ini. Semua orang yang berada di ruangan itu
bergegas berdiri, dan membungkuk memberi hormat.
Sepeninggal Prabu Wijaya, ruangan besar dan in-
dah itu bagaikan dipenuhi lebah. Suara-suara meng-
gumam terdengar memenuhi ruangan Balai Sema
Agung. Pendeta Suratmaja mendekati Panglima Pang-
kar. Sementara satu persatu orang-orang yang berada
di ruangan itu beranjak pergi.
"Kau bisa menceritakan kejadian yang sebenarnya
secara jelas padaku, Panglima Pangkar?" pinta Pendeta
Suratmaja.
Panglima Pangkar tidak langsung menjawab. Di
pandanginya laki-laki tua berkepala gundul itu, sea-
kan-kan sedang mempertimbangkan permintaan Pen-
deta Suratmaja barusan.
"Aku rasa, persoalan ini bukan urusan para pan-
glima saja, Panglima Pangkar. Biar bagaimanapun, aku
juga merasa bertanggung jawab atas keselamatan ke-
rajaan ini," tegas Pendeta Suratmaja lagi.
"Aku sudah jelas menceritakannya, Paman Pende-
ta," ujar Panglima Pangkar.
"Aku yakin ada yang kau sembunyikan, Panglima
Pangkar," Pendeta Suratmaja tidak mau percaya.
Memang tadi Panglima Pangkar sudah mengatakan
semua peristiwa di alun-alun. Dan semua orang sudah
mendengarnya. Demikian pula Pendeta Suratmaja.
Panglima Pangkar semakin dalam memandangi pende-
ta gundul berjubah kuning ini. Ada terselip sedikit ke-
curigaan atas desakan Pendeta Suratmaja. Tapi dia ti-
dak tahu, apa yang membuatnya mempunyai perasaan
curiga.
"Baiklah, bila kau tidak ingin mengatakannya pa-
daku, Panglima Pangkar. Tapi aku yakin, kau me-
nyembunyikan sesuatu. Dan yang pasti, aku bisa
mengetahuinya," kata Pendeta Suratmaja, bernada
seolah-olah menyerah.
'Tidak ada yang bisa ku sembunyikan, Paman Pen-
deta," tegas Panglima Pangkar.
"Mungkin kau bisa memberikan kepercayaan pada
orang lain. Bahkan mungkin Prabu Wijaya sendiri
mempercayaimu. Tapi, kulihat ada sesuatu yang kau
sembunyikan, Panglima Pangkar. Dan itu menjadi ra-
hasiamu sendiri," Pendeta Suratmaja tetap tidak per-
caya.
"Apa maksudmu berkata demikian, Paman Pende-
ta?" Panglima Pangkar mulai tidak senang.
Pendeta Suratmaja hanya tersenyum saja, kemu-
dian melangkah meninggalkan ruangan Balai Sema
Agung ini. Sementara Panglima Pangkar masih berdiri
tegak memandangi kepergian laki-laki tua gundul ber-
jubah kuning itu.
Ruangan ini kembali sepi, tidak ada seorang pun
yang terlihat. Perlahan-lahan Panglima Pangkar men-
gayunkan kakinya, meninggalkan ruangan besar yang
indah ini. Hatinya masih tidak mengerti akan sikap
Pendeta Suratmaja barusan.
"Apa sebenarnya keinginan Pendeta Suratmaja?
Aku tidak menyembunyikan apa-apa, tapi kenapa dia
terus mendesak ku...?" Panglima Pangkar berbicara
sendiri dalam hati.
Memang dalam keadaan seperti ini, kecurigaan se-
seorang cepat sekali timbul. Dan itu kini disadari oleh
Panglima Pangkar. Namun dalam hati, Panglima Pang-
kar bertekad untuk membuktikan kalau dirinya tidak
terlibat dalam kemelut ini.
***
DUA
Malam sudah demikian larut. Sejak siang tadi sete-
lah pertemuan di Balai Sema Agung, Prabu Wijaya
mengurung diri dalam kamar pribadinya. Tidak ada
seorang pun di dalam kamar ini, kecuali dirinya sendi-
ri. Laki-laki setengah baya itu berdiri mematung di de-
pan jendela. Matanya lurus tidak berkedip memandan-
gi sang rembulan yang bersinar penuh. Begitu cantik
dan indah. Namun semua kecantikan dan keindahan
malam ini tidak dapat dirasakan Prabu Wijaya.
Hati dan pikirannya begitu kacau, setelah menden-
gar laporan kegagalan pelaksanaan hukuman mati Ni-
ni Anjar. Terlebih lagi, seluruh prajurit yang mengawal
pelaksanaan hukuman itu tewas. Tak seorang pun
yang diberi kesempatan hidup. Hanya Panglima Pang-
kar saja yang berhasil lolos dari maut. Prabu Wijaya
sendiri hampir tidak percaya, kalau seseorang yang
sudah terbakar masih bisa lolos. Bahkan sempat
membunuh puluhan prajurit sebelum menghilang.
"Heh...! Uts!"
Prabu Wijaya tersentak kaget, ketika tiba-tiba me-
lihat sebuah benda berwarna kuning keemasan tiba-
tiba meluruk deras ke arahnya. Cepat tubuhnya ditarik
ke kanan, maka benda berwarna kuning keemasan itu
lewat sedikit saja di samping tubuhnya dan langsung
menancap di dinding. Prabu Wijaya cepat melompat,
menjauhi jendela.
"Keris emas...," desis Prabu Wijaya begitu melirik
ke arah benda kuning keemasan yang menancap di
dinding.
Benda itu memang berbentuk keris kecil berwarna
kuning keemasan. Hanya ujungnya saja yang menan
cap di dinding, tapi kelihatannya begitu kuat. Prabu
Wijaya menjulurkan tangan, untuk meraih keris kecil
itu. Dicobanya mencabut benda berwarna kuning kee-
masan itu, tapi sia-sia. Bahkan bergerak saja tidak
sama sekali.
"Hih...!"
Prabu Wijaya terpaksa mengerahkan tenaga dalam
untuk mencabut keris kecil keemasan itu. Baru setelah
tenaga dalamnya dikerahkan, benda berkeluk tujuh itu
bisa tercabut Prabu Wijaya mengamati sebentar, ke-
mudian memandang ke arah jendela yang masih ter-
buka lebar.
"Nyai Legok..? Tidak mungkin...!" desis Prabu Wi-
jaya.
"Apa yang tidak mungkin bisa saja terjadi, Prabu
Wijaya...!"
"Heh...?!"
Prabu Wijaya tersentak kaget. Dan belum lagi ke-
terkejutannya hilang, mendadak dari jendela meluncur
masuk sebuah bayangan hitam. Begitu cepatnya, se-
hingga tahu-tahu di depan laki-laki setengah baya itu
telah berdiri seseorang mengenakan baju hitam long-
gar dan panjang. Rambutnya yang panjang, meriap ti-
dak teratur. Sebagian wajahnya tertutup rambut. Pra-
bu Wijaya sedikit bergidik begitu melihat wajah orang
itu. Begitu mengerikan! Karena, sebelah pipinya terke-
lupas, sehingga menampakkan tulang pipinya yang di-
hiasi tulang gigi. Dan pipi sebelahnya lagi berwarna hi-
tam bagai terbakar hangus. Tidak ada sebuah benda
pun yang tergenggam di tangannya. Juga tidak ada sa-
tu senjata melekat di tubuhnya.
"Siapa kau?" tanya Prabu Wijaya setelah dapat
menguasai diri.
"Wajahku memang sudah berubah, Prabu Wijaya.
Tapi aku yakin kau masih dapat mengenali suaraku,
sahut orang itu.
Dari nada suaranya, jelas kalau dia adalah wanita.
Suaranya begitu lembut dan halus, tidak sesuai den-
gan raut wajahnya yang mengerikan bagai sosok mayat
hidup. Prabu Wijaya tertegun beberapa saat. Suara
wanita berwajah bagai mayat hidup itu memang di ke-
nalinya. Tapi...
'Tidak...! Tidak Mungkin...!" desis Prabu Wijaya da-
lam hati.
Kepala Prabu Wijaya bergerak menggeleng perlahan
beberapa kali. Tatapan matanya begitu tajam menyeli-
dik sosok tubuh di depannya. Meskipun wajah wanita
itu rusak bagai mayat hidup, tapi kulit tangan dan ka-
kinya nampak putih mulus bagai kulit putrid bangsa-
wan.
"Kau pasti bukan Nyai Legok! Siapa kau sebenar-
nya...?!" agak bergetar suara Prabu Wijaya.
"Dua puluh tahun lebih kita tidak berjumpa lagi,
Prabu Wijaya. Tidak heran jika kau tidak lagi menge-
naliku. Apalagi sekarang wajahku sudah demikian ru-
sak. Apa kau masih ingat, siapa yang membuat wajah-
ku seperti ini, Prabu Wijaya...?" tetap terdengar lembut
suara wanita itu.
Kembali Prabu Wijaya tertegun. Ingatannya kemba-
li ke masa silam, saat dia masih muda dan gagah. Tapi
ingatan itu cepat dihilangkannya. Dia masih belum ya-
kin kalau wanita berwajah bagai mayat hidup ini ada-
lah Nyai Legok, yang juga pernah mengisi kehidupan-
nya. Wanita yang wajahnya pernah dirusak, dan per-
nah dihanyutkan ke sungai setelah diyakini sudah ti-
dak bernyawa lagi.
"Aku tidak percaya kalau Nyai Legok masih bisa
hidup," desis Prabu Wijaya perlahan, seakan-akan
berbicara sendiri.
"Tapi kenyataannya demikian, Prabu Wijaya,” wani-
ta berwajah bagai mayat hidup itu menyahuti. "Dan
keris itulah yang kau gunakan untuk menyayat wajah-
ku, dan menikam dadaku. Kau bakar wajahku hingga
hangus, lalu kau buang aku ke dalam sungai. Tapi,
rupanya Dewata belum berkenan memanggilku, Prabu
Wijaya. Maka hingga sampai sekarang aku masih tetap
hidup."
'Tidak..! Kau bukan Nyai Legok..!" bentak Prabu
Wijaya.
"Aku Nyai Legok, Prabu Wijaya. Dan sekarang da-
tang hendak menuntut balas atas perbuatanmu pada-
ku!" kali ini nada suara wanita itu terdengar dingin.
Prabu Wijaya melangkah mundur sejauh empat
tindak. Sedangkan kedua tangan wanita yang menga-
ku bernama Nyai Legok sudah terkepal erat. Mereka
tidak berbicara lagi, dan saling menatap tajam.
"Bersiaplah menerima pembalasanku, Prabu Wi-
jaya...!"
***
Prabu Wijaya terperangah sesaat ketika tiba-tiba
saja Nyai Legok melompat menerjang dengan ganas se-
kali. Kedua tangannya terentang lurus ke depan, dan
jari-jari tangannya terkembang kaku bagai sepasang
cakar burung elang.
"Uts...!"
Namun sebelum jari-jari tangan yang menegang
kaku itu sempat menyentuh wajah, Prabu Wijaya cepat
mengegoskan kepala ke kanan. Maka terkaman Nyai
Legok lewat sedikit saja di samping kepala Prabu Wi-
jaya. Bergegas laki-laki setengah baya itu melompat ke
samping beberapa tindak. Dan sebelum sempat men-
guasai keseimbangan tubuhnya, Nyai Legok sudah ce-
pat berbalik. Langsung dilakukannya serangan beri-
kut.
"Hiyaaat..!"
"Hup! Yeaaah...!"
Tak ada lagi kesempatan bagi Prabu Wijaya untuk
berkelit menghindar. Cepat kedua tangannya dihen-
takkan ke depan, untuk menyambut uluran tangan
Nyai Legok yang meregang kaku. Tak pelak lagi, satu
benturan dua pasang telapak tangan pun terjadi.
"Akh...!" Prabu Wijaya terpekik.
Laki-laki setengah baya itu keras sekali terlempar
kebelakang. Punggungnya menghantam dinding sangat
keras, sehingga bergetar bagai diguncang gempa. Be-
lum lagi dia sempat berbuat banyak, Nyai Legok sudah
kembali melompat menerjang.
"Hiyaaat…!"
Prabu Wijaya cepat membanting tubuh ke lantai,
lalu bergulingan beberapa kali. Hasilnya, jari-jari tan-
gan Nyai Legok menghantam dinding hingga melesak
masuk. Wanita berwajah buruk bagai mayat hidup itu
menggeram sambil mencabut jari tangannya yang me-
nembus dinding. Tubuhnya berputar, menatap tajam
Prabu Wijaya yang kini sudah bersiap. Sebilah pedang
sudah tergenggam di tangan laki-laki setengah baya
itu.
"Dulu kau boleh mencampakkan aku seperti bina-
tang, Prabu Wijaya. Tapi sekarang..., kau akan mera-
sakan bagaimana terhinanya mati seperti binatang!"
dingin sekali suara Nyai Legok.
"Majulah, jika ingin mati dua kali!" dengus Prabu
Wijaya.
Wanita berwajah buruk itu menyeringai sinis. Ta
tapan matanya begitu tajam menusuk. Kakinya ber-
geser perlahan ke kanan. Jari-jari tangannya tetap me-
regang kaku, dengan kuku-kukunya yang panjang
berwarna hitam. Perlahan sekali kedua tangannya di-
gerakkan, membuat lingkaran di depan dada. Tampak
dari kuku-kuku yang panjang hitam itu mengepulkan
asap tipis berwarna hitam.
"Aku ingin tahu, sampai di mana kau mampu ber-
tahan menghadapi jurus 'Cakar Beracun," sindir Nyi
Legok dingin.
"Hm...," Prabu Wijaya hanya menggumam kecil.
Pedangnya dilintangkan di depan dada. Pandan-
gannya semakin tajam, mengamati gerakan-gerakan
perlahan tangan Nyai Legok. Untuk beberapa saat me-
reka saling menatap tajam, seakan-akan tengah men-
gukur tingkat kepandaian masing-masing.
"Hiyaaat…!"
"Yeaaah...!"
Hampir bersamaan, mereka sama-sama melompat
menyerang. Prabu Wijaya cepat mengibaskan pedang-
nya secara beruntun. Sedangkan tangan Nyai Legok
bergerak-gerak cepat, diimbangi liukan tubuh yang in-
dah mengagumkan. Serangan yang mereka lakukan
secara bersamaan demikian cepat, sehingga sukar di-
ikuti pandangan mata biasa.
"Ah...!"
Tiba-tiba saja terdengar pekikan tertahan. Tampak
tubuh Prabu Wijaya deras sekali terpental ke belakang.
Punggungnya menghantam dinding, hingga seluruh
kamar ini bergetar bagai terguncang gempa. Dan sebe-
lum Prabu Wijaya sempat melakukan sesuatu, Nyai
Legok sudah melompat disertai rentangan tangan ka-
nan yang lurus ke depan.
"Hiyaaat..!"
Bres!
"Aaa...!"
Satu jeritan panjang melengking tinggi terdengar
menyayat memecah kesunyian malam ini. Prabu Wi-
jaya terbeliak, seakan-akan tidak percaya melihat tan-
gan Nyai Legok menembus dadanya. Tubuh laki-laki
setengah baya itu langsung jatuh tersungkur begitu
Nyi Legok menarik tangannya.
Dalam genggaman tangan wanita berwajah buruk
bagai mayat hidup itu terdapat jantung yang berlumu-
ran darah. Nyai Legok melompat mundur. Matanya
berbinar memandangi jantung yang berhasil dikelua-
rkan dari dalam dada Prabu Wijaya. Sedangkan laki-
laki setengah baya itu sudah tidak berkutik lagi. Darah
langsung mengucur deras dari dada yang berlubang
cukup besar.
Brakkk..!
Baru saja Nyai Legok hendak melompat dari kamar
ini, mendadak pintu kamar yang tertutup rapat terdo-
brak dari luar. Beberapa orang berpakaian prajurit
berhamburan masuk, mengikuti Pendeta Suratmaji,
Panglima Pangkar, serta beberapa orang patih dan
panglima lainnya.
Mereka memang datang terlambat, setelah men-
dengar suara ribut-ribut seperti orang bertempur. Se-
benarnya hal ini memang kesalahan Prabu Wijaya
sendiri yang tidak menempatkan beberapa prajurit de-
pan pintu kamarnya. Tapi, dia memang punya alasan
tersendiri. Dia berpikir kalau kamar pribadinya tak
perlu dijaga, karena selama ini aman-aman saja.
Mereka terkejut setengah mati melihat Prabu Wi-
jaya tergeletak berlumuran darah, dan seorang wanita
berwajah buruk bagai mayat hidup yang sudah bersiap
hendak pergi.
"Hup...?"
Dan sebelum ada yang menyadari lebih lanjut Nyai
Legok sudah melesat pergi cepat sekali. Panglima
Pangkar yang lebih dahulu tersadar, langsung berte-
riak memerintahkan para prajurit untuk mengejar. Dia
sendiri cepat melompat menerobos jendela, mengejar
wanita berbaju hitam dan berwajah buruk bagai mayat
hidup. Sedangkan Pendeta Suratmaja dan beberapa
orang pembesar kerajaan ini mendekati Prabu Wijaya
"Cakar Beracun...," desis Pendeta Suratmaja sete-
lah memeriksa luka di dada Prabu Wijaya.
Laki-laki tua berjubah kuning dan berkepala gun-
dul itu mendesah panjang. Kepalanya terangkat, me-
natap ke luar melalui jendela yang terbuka lebar.
Perlahan kakinya melangkah mendekati jendela
itu. Sementara beberapa orang mulai memberesi mayat
Prabu Wijaya.
"Apakah mungkin dia masih hidup...?" Pendeta Su-
ratmaja bergumam perlahan, bertanya pada dirinya
sendiri.
***
Seluruh rakyat Kerajaan Balungan berselimut duka
atas kematian Prabu Wijaya. Mereka semua marah, ta-
pi tidak bisa berbuat apa-apa. Karena, pembunuh raja
mereka tidak ketahuan di mana rimbanya. Suasana
duka lebih tersirat di dalam Istana Kerajaan Balungan.
Sejak kematian Prabu Wijaya, Permaisuri Ratna Na-
wangsih selalu saja mengurung diri dalam kamar.
Bahkan sama sekali tidak ingin ditemui kedua pu-
tranya, Raden Prayoga dan Putri Dian Lestari. Hal ini
membuat kedua putra Prabu Wijaya itu semakin di-
rundung duka.
Dan setelah tiga hari lewat setelah kematian Prabu
Wijaya, Raden Prayoga berhasil membujuk ibunya un-
tuk bicara. Mereka bicara di dalam kamar semalaman
penuh. Baru pada pagi harinya, terlihat Raden Prayoga
keluar dari kamar ibunya. Pemuda berusia sekitar dua
puluh tahun itu tidak langsung menuju kamarnya
sendiri, tapi menuju ke kaputren, begitu melihat seki-
las adiknya berada di sana.
"Rayi Dian...."
"Oh...!" Dian Lestari tampak terkejut.
Cepat gadis itu memberi senyuman tipis begitu me-
lihat kakaknya tahu-tahu sudah berada dalam taman
keputren ini. Sedapat mungkin dukanya berusaha dis-
embunyikan, namun sama sekali tidak bisa lenyap dari
wajah dan sinar matanya. Raden Prayoga kemudian
duduk di samping gadis ini.
"Sudah lama kau berada di sini, Rayi?" tanya Ra-
den Prayoga lembut.
"Sejak semalam," sahut Dian Lestari pelan. Hampir
tidak terdengar suaranya.
'Tidak tidur?"
Dian Lestari menggeleng perlahan. Matanya me-
mandang lurus ke depan, seakan-akan ingin menyem-
bunyikan sesuatu dari pengamatan kakaknya ini.
"Semalaman aku juga tidak tidur," kata Raden
Prayoga.
"Aku tahu."
"Kau tahu...?"
Dian Lestari menatap pemuda yang duduk di sam-
pingnya. Beberapa saat mereka saling berpandangan.
Perlahan kemudian, gadis itu mengarahkan pandan-
gan ke arah lain.
"Apa saja yang kau bicarakan dengan ibu, Ka-
kang?" tanya Dian Lestari.
"Banyak," sahut Raden Prayoga.
"Ibu pasti masih membenci ku," lirih sekali suara
Dian Lestari.
"Tidak. Bahkan ibu ingin berbicara denganmu."
Gadis itu menggelengkan kepala. Sinar matanya
terlihat semakin redup.
"Seharusnya aku yang mati, Kakang. Bukan
ayah...," terasa sendu nada suara Dian Lestari.
"Jangan menyalahkan dirimu sendiri, Rayi. Kalau
pembunuh itu sudah tertangkap, pasti semuanya akan
jelas," hibur Raden Prayoga.
"Kau tidak tahu, Kakang. Semua ini salahku. Maka
sudah sepantasnya kalau aku mendapatkan huku-
man. Bahkan seharusnya akulah yang dibunuh. Aku
tidak menyalahkan, jika ibu membenci ku seumur hi-
dup."
'Tapi ibu tidak membenci mu, Rayi. Ibu ingin bicara
denganmu."
"Kau hanya menghibur ku saja, Kakang."
"Tidak Aku bicara yang sebenarnya. Ibu banyak
bertanya tentang keadaanmu. Ibu sangat rindu pada-
mu, Rayi. Temuilah, dan bicara padanya."
Dian Lestari menggelengkan kepala. Bibirnya ter-
senyum, namun begitu tipis dan hambar. Sama sekali
tidak dipercaya kalau ibunya merindukan, dan ingin
bicara dengannya. Dia tahu kalau ibunya begitu mem-
benci dan menyalahkan dirinya yang telah menyebab-
kan ayah mereka dibunuh seseorang yang tidak di
kenal.
"Aku akan mengantarkanmu menemui ibu, Rayi!"
bujuk Raden Prayoga lagi.
"Untuk apa bersusah payah, Kakang? Tidak ada
gunanya," tolak Dian Lestari.
"Percayalah padaku, Rayi."
Dian Lestari terdiam. Kata-kata kakaknya diper-
timbangkannya. Meskipun hatinya tetap berpendirian
kalau Raden Prayoga hanya menghibur saja tapi meli-
hat kesungguhan itu, dia jadi berpikir juga. Mungkin-
kah ibunya rindu dan ingin bicara dengannya...? Atau
ini hanya rencana Raden Prayoga saja untuk memper-
temukannya dengan ibu?
Dian Lestari tidak dapat melupakan. Malam ini
saat mereka diberi tahu tentang kematian Prabu Wi-
jaya, Permaisuri Retna Nawangsih langsung memarahi
putrinya ini. Dian Lestari langsung dituduh sebagai
penyebab kematian Prabu Wijaya. Bahkan Permaisuri
Retna Nawangsih bersumpah, tidak akan mengakui
Dian Lestari sebagai putrinya lagi. Pedih hati gadis ini.
Tapi, semua itu memang sudah diduga. Dan dia hanya
dapat menerima dengan lapang dada.
"Ayo, Rayi. Aku rasa ibu sedang menunggu, desak
Raden Prayoga.
"Nanti saja, Kakang," tolak Dian Lestari.
"Tidak perlu kalian repot menemuiku...."
Kakak beradik itu terkejut ketika tiba-tiba saja ter-
dengar suara lembut dari arah belakang. Mereka sa-
ma-sama menoleh, dan langsung beranjak bangkit dari
duduk. Sebentar kemudian, mereka berlutut memberi
sembah. Di depan mereka kini berdiri seorang wanita
berusia sekitar empat puluh lima tahun. Garis ketuaan
memang sudah membayangi wajahnya. Namun dia
masih kelihatan cantik dan anggun. Meskipun, sorot
matanya nampak mendung terselimut duka.
"Ibu..., terimalah sembah kami," ucap Raden
Prayoga.
"Duduklah. Tidak perlu kalian bersikap begitu pa-
daku," kata Permaisuri Retna Nawangsih lembut.
Wanita hampir separuh baya yang masih kelihatan
cantik dan anggun itu duduk di kursi taman. Sedang-
kan Raden Prayoga dan adiknya duduk di kursi lain.
Tampak Dian Lestari terus menundukkan kepala, sea-
kan-akan tidak sanggup memandang wajah wanita di-
depannya ini.
"Aku sudah bicara pada Pendeta Suratmaja dan
pembesar lainnya, untuk mempersiapkan penobatan-
mu sebagai raja, Prayoga," jelas Permaisuri Retna Na-
wangsih.
"Ibu.... Apakah itu tidak terlalu cepat? Belum lagi
empat puluh hari Ayahanda Prabu mangkat," Raden
Prayoga terkejut mendengar pemberitahuan itu.
"Singgasana tidak baik dibiarkan kosong terlalu
lama, Prayoga. Semua sudah ibu atur."
'Tapi...," suara Raden Prayoga tercekat di tenggoro-
kan.
Pemuda itu ingin menolak, tapi tidak sanggup
mengatakannya. Dia tidak ingin mengecewakan hati
wanita ini. Sementara Permaisuri Retna Nawangsih
menatap Dian Lestari yang masih tetap tertunduk.
"Dan kau, Dian. Selesai hari penobatan nanti, akan
dikirim kepada Eyang Wanari," jelas Permaisuri Retna
Nawangsih.
"Nanda bersedia, Ibu," sahut Dian Lestari perlahan.
Dia memang sudah tidak bisa lagi berkata apa-apa.
Dan baginya, segala keputusan yang telah diambil
ibunya harus dituruti tanpa dapat dibantah lagi. hal-
nya Raden Prayoga. Dia seperti tidak senang adiknya
harus bersama Eyang Wanari. Dian Lestari harus ting-
gal di tempat yang sunyi, di puncak gunung. Tanpa
ada kawan yang menemani. Hanya seorang pertapa
tua yang akan menempa gadis ini dengan keras.
Tapi Raden Prayoga juga tidak bisa membantah.
Dia hanya diam saja, sambil memandangi adinya pe
nuh iba. Dia tidak tahu, kenapa semua musibah ini
harus dipikul Dian Lestari. Kenapa bukan dirinya saja
yang pasti lebih mampu dan kuat menanggungnya?
Raden Prayoga merasakan ada sesuatu yang tersem-
bunyi di balik semua peristiwa ini. Namun itu tidak bi-
sa dikatakannya sekarang. Masih terlalu gelap, dan
sukar diduga-duga.
Kakak beradik itu masih tetap duduk di tempatnya
meskipun Permaisuri Retna Nawangsih sudah mening-
galkan tempat itu. Agak lama juga mereka berdiam
sampai Permaisuri Retna Nawangsih sudah tidak terli-
hat lagi di taman keputren ini.
"Rayi Dian...," panggil Raden Prayoga perlahan.
Kepala Dian Lestari terangkat perlahan. Tampak ti-
tik air bening menggulir jatuh di pipinya yang halus,
putih agak kemerahan. Terasa sesak dada Raden
Kayoga melihat air mata menggulir di pipi gadis ini. In-
gin dihapus dan diberikannya kata-kata manis untuk
menghibur. Tapi semua itu terasa sulit dilakukannya.
Hingga mereka hanya bisa diam dan saling pandang.
Dian Lestari bangkit berdiri. Perlahan kakinya di-
ayunkan meninggalkan taman itu. Sedangkan Raden
Prayoga hanya dapat memandangi, tanpa mampu me-
lakukan sesuatu. Keputusan yang diambil ibu mereka
memang sangat berat, dan sangat tidak adil. Namun
itu sudah terjadi, dan mereka tidak dapat berbuat apa-
apa untuk membatalkannya. Mungkin sudah takdir
kalau mereka harus berpisah untuk jangka waktu
yang sulit ditentukan.
"Maafkan aku, Rayi. Tapi aku berjanji, akan sering
datang mengunjungimu," ucap Raden Prayoga pelan.
***
TIGA
Mendung yang menyelimuti Kerajaan Balungan,
sudah benar-benar terusir. Seluruh rakyat di kerajaan
itu kini terlihat cerah dan gembira. Wajah Kotaraja Ba-
lungan juga benar-benar cerah, dihiasi umbul-umbul
yang menyemaraki di setiap sudut kota.
Suasana meriah, sangat terasa di Istana Kerajaan
Balungan. Hari ini merupakan hari bersejarah bagi se-
luruh rakyat Balungan, karena Raden Prayoga akan
dinobatkan menjadi raja. Pemuda itu menggantikan
ayahnya yang sudah meninggal, karena dibunuh se-
seorang yang tidak dikenal.
Semua orang, baik pembesar, prajurit, punggawa,
patih, panglima dan kerabat keluarga mendiang Prabu
Wijaya sudah berkumpul di Balai Sema Agung. Mereka
semua ingin menyaksikan penobatan Raden Prayoga.
Namun pemuda itu sendiri masih berada dalam ka-
marnya, bersama Raden Ayu Dian Lestari.
"Semua sudah menunggu di Balai Sema Agung,
Kakang," jelas Dian Lestari.
"Iya, sebentar lagi," sahut Raden Prayoga tanpa
membalikkan tubuhnya.
Pemuda itu berdiri di depan jendela, menghadap ke
luar. Sejak pagi buta tadi, dia terus berdiri di sana
tanpa bergeming sedikit pun. Sedangkan Dian Lestari
sudah kelima kalinya memberi tahu kalau semua
orang sudah menunggu di Balai Sema Agung. Dan ja-
waban Raden Prayoga selalu sama. "Sebentar lagi."
"Ada apa, Kakang? Kenapa Kakang tidak mau ke
luar...?" tanya Dian Lestari.
Gadis ini merasakan ada sesuatu yang sedang di-
pikirkan kakaknya, sehingga tidak juga mau keluar
dari dalam kamarnya. Sedangkan yang ditanya hanya
menghembuskan napas panjang saja. Perlahan tubuh-
nya diputar, lalu menatap adiknya dalam-dalam. Dian
Lestari tercenung sesaat mendapat tatapan yang begitu
dalam dan penuh arti. Kemudian kepalanya tertunduk
tidak sanggup membalas tatapan mata pemuda ini.
"Apa sebenarnya yang Kakang pikirkan...?" tanya
Dian Lestari lagi. Kali ini suaranya terdengar pelan se-
kali.
"Entahlah, Rayi. Aku merasa seperti akan terjadi
sesuatu yang sangat besar. Sesuatu yang tidak pernah
dipikirkan semua orang," sahut Raden Prayoga, berna-
da ragu-ragu.
"Memang akan terjadi sesuatu yang besar dan ber-
sejarah bagi seluruh rakyat Balungan, Kakang. Untuk
pertama kalinya mereka akan mendapat seorang raja
muda yang belum mempunyai pendamping," sambut
Dian Lestari mencoba berseloroh.
"Kau cepat sekali melupakan duka yang belum ter-
hapus, Rayi," pancing Raden Prayoga yang merasa he-
ran atas perubahan sikap adiknya yang begitu cepat.
Dian Lestari tidak lagi kelihatan bersedih. Bahkan
tampak riang. Sering dia melontarkan kata-kata yang
dapat memancing orang tersenyum geli. Bahkan dalam
dua hari ini, Raden Prayoga selalu mengamati kalau
adiknya ini sering berpenampilan lain dari biasanya.
Suatu perubahan yang sangat menyolok pada diri Dian
Lestari. Perubahan itu terlihat sehari setelah Permai-
suri Retna Nawangsih menemui mereka di taman ke-
putren.
"Aku tidak ingin memikirkan semua itu, Kakang.
Aku sudah mencoba untuk menerima semua kenya-
taan ini dengan lapang dada dan senyuman di bibir,"
sahut Dan Lestari kalem.
"Benar begitu?" Raden Prayoga tidak percaya.
"Sumpah...."
Raden Prayoga mengangkat bahunya. Pemuda itu
masih belum percaya, tapi tidak ingin memperpanjang
pembicaraan ini. Kembali matanya memandang ke luar
melalui jendela.
"Keluar sekarang, Kakang. Mereka sudah menung-
gu," ajak Dian Lestari setengah merengek manja.
Kemanjaan inilah yang dalam beberapa hari sem-
pat hilang, namun sekarang muncul lagi. Kerinduan
Raden Prayoga pada kemanjaan adiknya ini berangsur
lenyap. Tapi jika teringat kalau mereka akan berpisah
untuk jangka waktu yang lama dan tidak ditentukan,
kepedihan terukir di hatinya.
"Kau tampak bingung sekali, Kakang. Apa yang
kau pikirkan?" tanya Dian Lestari agak mendesak.
Raden Prayoga tidak segera menjawab. Dia benar-
benar tidak tahu, apa yang sedang dirasakan hatinya
saat ini. Begitu dekat dan terasa jelas sekali, namun
sukar diungkapkan. Dia sendiri tidak mengerti, kenapa
merasa enggan hadir di Balai Sema Agung. Perasaan-
nya mengatakan, kalau sebentar lagi akan terjadi se-
suatu yang besar. Sesuatu yang tidak akan pernah bi-
sa dilupakan. Hanya saja dia tidak tahu, peristiwa apa
yang akan terjadi nanti.
Raden Prayoga melangkah menghampiri adiknya.
Kedua tangannya dijulurkan, dan diletakkan di bahu
gadis itu. Untuk beberapa saat mereka saling bertata-
pan, dengan sinar mata yang mengandung arti sangat
dalam. Dan hanya mereka sendiri yang bisa mengeta-
hui artinya.
"Rayi! Seandainya terjadi sesuatu, kau harus tetap
bersamaku. Jangan sekali-sekali terpisah dariku, wa-
lau hanya satu langkah," ujar Raden Prayoga.
"Ada apa sebenarnya, Kakang?" tanya Dian Lestari
semakin tidak mengerti.
'Terus terang, aku sendiri belum tahu. Tapi pera-
saanku mengatakan akan terjadi sesuatu, yang mung-
kin bisa memisahkan kita berdua. Kau dan aku, atau
ibu," jelas Raden Prayoga agak mendesah.
"Maksud, Kakang..?" Dian Lestari meminta penjela-
san lagi.
"Kau masih ingat kutukan Nini Anjar, Rayi...?" Ra-
den Prayoga seperti mengingatkan.
Dian Lestari terdiam, namun wajahnya mendadak
saja memucat. Tidak mungkin kutukan yang dijatuh-
kan Nini Anjar padanya bisa terlupakan. Dan kabar
kutukan itu akhirnya meluas sampai ke seluruh wi-
layah Kerajaan Balungan ini. Memang dalam hari-hari
belakangan ini, tepatnya setelah kematian Prabu Wi-
jaya tidak pernah terjadi sesuatu yang bisa mengin-
gatkan orang akan kutukan Nini Anjar. Bahkan tam-
paknya semua orang sudah melupakan kejadian itu.
Dian Lestari sendiri, sebenarnya sudah tidak ingin
mengingat-ingat lagi. Bahkan kutukan itu dianggapnya
tidak pernah ada, dan tidak akan terjadi pada dirinya.
Namun begitu kembali diingatkan kakaknya, wajahnya
langsung pucat pasi. Dian Lestari benar-benar tidak
bisa lagi mengeluarkan kata-kata. Lidahnya terasa ke-
luh.
"Kau mau dengar cerita ku, Rayi...?" pelan sekali
suara Raden Prayoga, seakan-akan takut ada orang
lain yang mendengar.
"Cerita apa?" tanya Dian Lestari.
"Semalam aku seperti didatangi seseorang. Seperti
mimpi, tapi yakin kalau aku sadar...," Raden Prayoga
memulai ceritanya.
Dian Lestari mendengar penuh perhatian.
"Dia mengenakan pakaian serba hitam. Bahkan
wajahnya pun hitam, seperti hangus terbakar...."
"Ah...!" Dian Lestari terpekik kaget.
"Ada apa, Rayi?"
"Tidak..., Tidak apa-apa. Teruskan, Kakang."
"Orang itu mengatakan, kalau bukan aku yang se-
harusnya jadi raja. Tapi, ada orang lain yang lebih
pantas dan berhak menduduki tahta, menggantikan
Ayahanda Prabu. Kalau aku menerima dan sampai di-
nobatkan, maka satu persatu orang-orang yang berhu-
bungan dengan penobatan ini akan mati. Terutama pi-
hak keluarga dan para kerabat," lanjut Raden Prayoga.
Dian Lestari terdiam membisu. Pikirannya jadi ka-
lut. Terlebih lagi setelah mendengar Raden Prayoga
mengatakan orang yang datang menemuinya memakai
baju hitam, dan berwajah hangus seperti terbakar.
Bayangan gadis itu langsung tertuju pada Nini Anjar.
"Kakang.... Apa tidak mungkin kalau orang itu...,"
Dian Lestari tidak melanjutkan kata-katanya.
"Itulah sebabnya, kenapa aku tadi mengingatkan
mu, Rayi," Raden Prayoga sudah bisa mengerti.
“Lalu, bagaimana sekarang?"
"Entahlah...," sahut Raden Prayoga mendesah. Aku
belum bisa memutuskan. Aku tidak ingin mempercayai
mimpi itu. Tapi setiap kali hendak ke Balai Sema
Agung, kembali terlintas bayangan orang itu, Rayi. Dan
setiap kali itu pula, perasaanku selalu menyatakan ka-
lau akan terjadi sesuatu."
"Apa tidak sebaiknya hal ini dibicarakan pada ibu,
Kakang?" saran Dian Lestari.
"Aku tidak ingin membuat hati ibu kecewa."
"Tapi kau harus memutuskan sekarang juga, Ka-
kang. Atau sebaiknya kau tetap dinobatkan menjadi
raja. Biarlah semua itu kita hadapi bersama," kembali
Dian Lestari memberi saran.
Raden Prayoga terdiam merenung. Agak lama juga
saran yang diajukan adiknya ini dipikirkan. Perlahan
wajahnya berpaling memandang ke arah pintu. Pada
saat itu terdengar ketukan dari luar. Belum juga Ra-
den Prayoga dan Dian Lestari membuka suara, pintu
kamar ini sudah terbuka. Dan mendadak saja...
"Heh...?!"
Slap!
Raden Prayoga belum juga bisa melakukan sesua-
tu, ketika tiba-tiba dari pintu yang terbuka melesat se-
buah bayangan hitam. Langsung disambarnya Dian
Lestari. Begitu cepatnya bayangan hitam itu bergerak,
tahu-tahu sudah kembali berkelebat ke luar melalui
jendela sambil membawa gadis itu.
"Kakang, tolooong...!" jerit Dian Lestari.
"Rayi...!" Raden Prayoga tersentak dari keterkeju-
tannya.
Namun begitu tubuhnya diputar ke arah jendela,
bayangan hitam itu sudah tidak terlihat lagi. Bergegas
Raden Prayoga berlari ke jendela. Bayangan hitam itu
benar-benar sudah lenyap tak berbekas sama sekali.
Pemuda itu cepat berlari ke pintu, lalu tersentak kaget.
Ternyata empat orang prajurit yang bertugas menjaga
di depan pintu sudah tergeletak tak bernyawa lagi. Da-
ri dada dan leher mengucurkan darah segar.
"Pengawal..!" teriak Raden Prayoga sekeras-
kerasnya.
***
Upacara penobatan Raden Prayoga terpaksa diba-
talkan akibat menghilangnya Raden Ayu Dian Lestari.
Separuh prajurit, semua jawara, serta panglima
panglima andalan, langsung menyebar ke seluruh pe-
losok negeri, untuk mencari Raden Ayu Dian Lestari.
Namun hingga siang berganti malam, belum juga ada
yang menemukan gadis itu. Sementara Raden Prayoga
semakin kelihatan gelisah saja dalam kamarnya.
"Aku tidak bisa diam menunggu saja. Apa pun
yang akan terjadi, Dian harus kucari," gumam Raden
Prayoga.
Pemuda itu menghampiri lemari yang terbuat dari
kayu jati berukir. Perlahan dibukanya pintu lemari
yang cukup besar itu. Dari dalam lemari ini, dikelua-
rkan sebuah pedang bergagang penuh batu-batu mu-
tiara. Pedang peninggalan ayahnya. Sebentar pedang
itu diamati kemudian dipasangnya di pinggang.
Namun belum juga melangkah keluar dari kamar,
pintu sudah terbuka. Kini muncul Permaisuri Retna
Nawangsih, yang langsung tertegun melihat putranya
seperti sudah siap hendak pergi. Lebih tertegun lagi,
saat melihat di pinggang pemuda itu sudah tersampir
pedang pusaka peninggalan Prabu Wijaya.
"Akan ke mana dengan pedang itu?" Tanya Permai-
suri Retna Nawangsih.
"Aku harus mencari Rayi Dian, Bu," sahut Raden
Prayoga.
"Hampir seluruh prajurit sudah mencarinya,
Prayoga. Tunggu saja laporan mereka."
"Tidak, Ibu. Aku tidak bisa diam dan menunggu di
sini. Aku harus mencari Rayi Dian," tegas Prayoga me-
nolak.
"Ke mana akan mencarinya?" tanya Permaisuri
Retna Nawangsih.
Raden Prayoga tidak menjawab. Dia memang tidak
tahu, ke mana harus mencari adiknya. Yang ada da-
lam pikirannya, dia tidak mungkin bisa tinggal di ista
na ini sambil menunggu laporan saja. Hatinya sudah
mantap. Ke manapun, dia harus mencari Dian Lestari.
Entah kenapa, hatinya begitu cemas mengkhawatirkan
keselamatan gadis itu.
"Aku harus pergi, Bu," pamit Raden Prayoga.
'Tunggu!" sentak Permaisuri Retna Nawangsih.
Raden Prayoga mengurungkan ayunan kakinya.
"Kau tidak boleh meninggalkan istana ini. Dian
Lestari sedang menjalani kutukannya. Kau harus me-
relakannya pergi," tegas dan mantap sekali suara wani-
ta separuh baya ini.
Raden Prayoga jadi tersentak mendengar kata-kata
ibunya. Belum pernah terdengar ibunya berkata ma-
cam demikian. Dan sepertinya, Permaisuri Retna Na-
wangsih tidak peduli atas hilangnya Dian Lestari. Ra-
den Prayoga kini percaya kalau wanita separuh baya
ini sama sekali tidak menghiraukan apa yang telah ter-
jadi pada anak gadisnya.
"Kenapa Ibu berkata seperti itu?" tanya Raden
Prayoga ingin tahu.
"Adikmu sudah mendapat kutukan. Dan kutukan
itu tidak akan bisa dilawan oleh apa pun juga. Tidak
ada gunanya kau mencarinya, Prayoga," tetap tegas
nada suara Permaisuri Retna Nawangsih.
Tapi, Bu...."
"Cukup!" sentak Permaisuri Retna Nawangsih ce-
pat, memotong ucapan anaknya.
Raden Prayoga langsung terdiam. Hatinya semakin
heran atas sikap ibunya. Sebelum ini, wanita separuh
baya itu kelihatan begitu sayang dan mencintai Dian
Lestari. Tapi, mengapa tiba-tiba saja jadi berubah tidak
peduli? Keheranan Raden Prayoga semakin bertambah,
karena memang belakangan ini sikap ibunya selalu be-
rubah-ubah. Bahkan gampang sekali marah. Namun
pemuda itu tidak ingin berpikir yang bukan-bukan.
"Aku hanya mengatakan sekali saja, Prayoga. Jika
kau tetap tidak mau menuruti kata-kataku, terserah.
Segala akibatnya tanggunglah sendiri," tegas Permai-
suri Retna Nawangsih. Suaranya tetap tegas. Bahkan
terdengar datar, tanpa tekanan sama sekali.
Setelah berkata demikian, Permaisuri Retna Na-
wangsih berbalik, lalu berjalan keluar dari kamar ini.
Tinggal Raden Prayoga yang kelihatan bingung.
Benaknya jadi kacau, dan terus bertanya-tanya ten-
tang sikap Ibunya yang dirasakan sangat aneh.
"Kenapa ibu jadi seperti itu...?" Raden Prayoga ber-
tanya-tanya sendiri.
Pemuda ini jadi ragu-ragu. Kini tubuhnya dihe-
nyakkan di kursi dekat jendela. Keningnya berkerut
dalam, pertanda sedang berpikir keras. Sungguh sulit
dipahami sikap ibunya yang begitu tidak peduli akan
nasib Dian Lestari saat ini.
"Belakangan ini ibu selalu memanjakan Rayi Dian.
Segala apa keinginannya selalu dituruti. Tapi, kenapa
sekarang jadi berbalik begini...? Aku benar-benar tidak
mengerti sikap ibu. Cepat sekali berubah, dan selalu
mengambil keputusan tiba-tiba," Raden Prayoga berbi-
cara sendiri.
Pemuda itu terus merenung setelah cukup lama
duduk diam sambil berpikir, perlahan dia bangkit ber-
diri seraya menghembuskan napas panjang. Tangan-
nya menepuk-nepuk gagang pedang yang tersampir di
pinggang. Sebentar kemudian kakinya melangkah ke-
luar dari kamar ini dengan hati mantap.
'Tampaknya ada suatu rahasia yang tersembunyi,
dan aku harus memecahkannya. Dan yang terpenting,
menemukan kembali Rayi Dian. Aku tidak peduli apa-
pun yang akan terjadi," tekad hati Raden Prayoga.
Pemuda itu terus mengayunkan kakinya dengan
mantap, semakin jauh meninggalkan kamarnya. Dia
terus berjalan menuju bagian belakang bangunan is-
tana ini. Beberapa prajurit yang berpapasan, memberi
hormat. Tapi dari sorot mata, mereka jelas bertanya-
tanya. Karena, tidak biasanya Raden Prayoga menuju
istal sambil membawa pedang.
Sementara itu tanpa sepengetahuannya, tampak
dari balik sebuah jendela seorang perempuan separuh
baya memperhatikan Raden Prayoga. Dia terus mem-
perhatikan tanpa tidak berkedip.
"Anak ini benar-benar tidak bisa dipisahkan dari
Dian. Aku jadi khawatir...," wanita itu berbicara sendi-
ri. Begitu pelan suaranya, dan hanya dirinya sendiri
yang dapat mendengar.
Sementara Raden Prayoga sudah keluar dari ban-
gunan bagian belakang istana, dan terus menuju se-
buah bangunan yang cukup besar. Bangunan tempat
merawat kuda. Ayunan kakinya begitu mantap, se-
mantap hatinya.
***
Raden Prayoga memacu cepat kudanya, bagaikan
dikejar setan saja. Semakin jauh meninggalkan kota,
semakin cepat kudanya digebah. Arah yang dituju je-
las, ke Gunung Watujajar. Memang hanya ada satu tu-
juan di kepalanya, yaitu Pertapaan Lebak Garing yang
berada di Puncak Gunung Watujajar.
Tidak ada lagi tempat untuknya mengadu, selain
Eyang Wanari. Laki-laki tua itu berusia sekitar seratus
tahun. Dia dulu menjadi guru Prabu Wijaya, juga yang
mengajarkan ilmu-ilmu olah kanuragan dan kedig-
dayaan pada Raden Prayoga.
"Hiya! Hiyaaa...!"
Raden Prayoga terus menggebah kudanya agar ber-
lari lebih kencang lagi. Kuda putih tinggi tegap dan be-
rotot itu, mendengus-dengus kelelahan. Namun bina-
tang itu terus berlari kencang.
"Berhenti..!"
Tiba-tiba saja terdengar bentakan keras menggele-
gar. Raden Prayoga terkejut mendengarnya. Bentakan
itu seakan-akan berada tepat di depan telinganya.
Bahkan juga sempat mengejutkan kuda putih yang di-
tungganginya, sehingga meringkik keras sambil men-
gangkat kedua kaki depannya. Kalau saja Raden
Prayoga tidak cepat melompat, pasti sudah terlempar
dari punggung kuda putih itu. Dan begitu kaki Raden
Prayoga menjejak tanah, kuda putih itu langsung ber-
lari kabur.
"Hei...! Tunggu...!" teriak Raden Prayoga.
Namun kuda putih itu terus berlari kencang, tidak
mempedulikan teriakan majikannya. Raden Prayoga
hanya berdiri memandangi saja. Kuda putih itu sudah
demikian jauh, tak mungkin terkejar lagi. Pemuda itu
mengedarkan pandangan ke sekeliling.
"Hm..., siapa tadi yang berteriak mengejutkan...?
gumam Raden Prayoga, bertanya pada dirinya sendiri.
Belum sempat Raden Prayoga berpikir lebih jauh
lagi, mendadak dari arah samping kanannya berkele-
bat sebuah bayangan hitam. Pemuda itu tersentak ka-
get, namun cepat melompat ke belakang. Dia berputa-
ran di udara dua kali, sebelum menjejakkan kakinya
dengan manis di tanah.
"Siapa kau...?!" bentak Raden Prayoga.
"Ha ha ha...!"
Raden Prayoga terhenyak, begitu tahu-tahu di de-
pannya sudah berdiri seseorang mengenakan baju
warna hitam dari kain sutra halus. Matanya lebih ter-
beliak lebar, saat melihat wajah orang itu bagaikan
hangus terbakar. Dari bentuk tubuh dan suara ta-
wanya, jelas kalau orang itu adalah wanita.
"Untuk apa kau meninggalkan istana, Prayoga?"
terdengar dingin suara orang serba hitam itu.
"Itu bukan urusanmu!" dengus Raden Prayoga.
Pemuda itu langsung meraba gagang pedangnya
yang tergantung di pinggang. Dia tahu, kalau kini se-
dang berhadapan dengan pembunuh ayahnya. Seorang
wanita yang diduga sebagai Nini Anjar. Raden Prayoga
tidak lagi bersikap hormat. Apalagi bermanis-manis.
Dan dia sudah yakin kalau orang ini yang menculik
Dian Lestari dari depan hidungnya.
"Di mana kau sembunyikan adikku?" bentak Raden
Prayoga.
"Adikmu yang mana, Prayoga?" orang serba hitam
itu malah balik bertanya.
"Aku tidak punya waktu bermain-main denganmu,
Nini Anjar!" sentak Raden Prayoga, langsung menyebut
nama orang itu.
"Ha ha ha...! Kenapa kau berpikir kalau aku ini Ni-
ni Anjar Prayoga? Apakah aku mirip gadis itu?"
Raden Prayoga menggeser kakinya sedikit ke ka-
nan. Pandangan matanya begitu tajam menusuk men-
gamati wajah yang hitam hangus. Kemudian seluruh
tubuh wanita itu diamati dari ujung kepala hingga ke
ujung kaki.
"Kau tidak bisa menipuku, Nini Anjar. Katakan di
mana kau sembunyikan adikku?!" dengus Raden
Prayoga.
Sama sekali pemuda itu tidak melihat adanya per-
bedaan, dan tidak percaya kalau wanita ini bukan Nini
Anjar. Bentuk tubuh dan pakaiannya sama persis den
gan Nini Anjar. Hanya saja, wajah dan seluruh tangan
serta kakinya berwarna hitam pekat seperti arang. Ter-
lebih lagi jika memandang wajahnya. Sungguh tidak
sedap sekali. Wajah yang hitam, dengan bintik-bintik
seperti bisul, membuat bentuk wajahnya tidak lagi be-
raturan.
"Kenapa kau menuduhku menculik adikmu, yoga?"
wanita itu malah balik bertanya. Namun suaranya ma-
sih saja terdengar datar.
"Kau membunuh ayahku! Lalu kau menculik adik-
ku, di depan hidungku sendiri. Sungguh memalukan.
Masih juga mau mungkir," dengus Raden Prayoga.
"Ketahuilah, Prayoga. Aku bukan Nini Anjar. Dan
aku tidak membunuh ayahmu. Apalagi menculik
adikmu. Aku bernama Rara Ireng. Dan biasanya orang
selalu memanggilku Gadis Hitam," wanita serba hitam
ini memperkenalkan dirinya.
"Kau mau membela diri rupanya, Nisanak," tegas
Raden Prayoga sinis.
"Aku mengatakan yang sebenarnya. Dan lebih baik
kau kembali lagi ke istana. Kau akan menyesal jika
meninggalkan istana, Prayoga," kali ini suara wanita
itu terdengar tenang
Raden Prayoga kembali memandangi wanita itu.
Namun bibirnya tersenyum sinis. Sama sekali tidak di-
percayainya kata-kata wanita serba hitam ini. Sudah
jelas kalau yang membunuh Prabu Wijaya adalah wa-
nita berbaju hitam yang mukanya menghitam hangus.
Dan dia sendiri melihat, kalau yang menculik Dian
Lestari adalah orang berbaju hitam. Walaupun, hanya
bayangannya saja yang terlihat berkelebat cepat.
"Kau pikir aku akan percaya begitu saja, Nisanak,"
dengus Raden Prayoga dingin.
Sret!
Raden Prayoga mencabut pedangnya. Wanita serba
hitam yang mengaku bernama Rara Ireng langsung
melangkah mundur dua tindak. Kedua matanya me-
nyorot tajam melihat pedang yang berada di tangan
Raden Prayoga.
"Kau terlalu gegabah menggunakan pedang itu,
Prayoga," desis Rara Ireng tajam.
"Ha ha ha.... Rupanya kau sudah gentar hanya me-
lihat pedangku ini, Nisanak."
"Jangan main-main dengan pedang itu, Prayoga.
Masukkan kembali ke warangkanya."
"Pedang ini akan masuk kembali ke warangka sete-
lah meminum darahmu."
"Masukkan, kataku!" bentak Rara Ireng keras.
Raden Prayoga malah tersenyum tipis. Pedangnya
dimain-mainkan di depan dada. Mata pedang itu berki-
lat keperakan menyilaukan mata. Rara Ireng kembali
menggeser kakinya dua tindak ke belakang. Mulutnya
mendesis bagai ular, melihat Raden Prayoga malah me-
langkah maju dengan pedang direntangkan lurus ke
depan.
"Katakan, di mana kau sembunyikan adikku. Atau
pedang ini yang akan berbicara," geram Raden Prayoga
dingin menggetarkan.
"Sudah kukatakan, aku tidak menculik Dian Lesta-
ri!" bentak Rara Ireng.
"Kau menginginkan pedang ini yang bicara, heh!
Baik, terimalah seranganku ini. Hiyaaat..!"
Raden Prayoga tidak dapat lagi mengendalikan di-
rinya. Dia melompat cepat bagai kilat menerjang wani-
ta berbaju hitam yang seluruh wajah dan tubuhnya
berwarna hitam legam itu.
"Hup! Yeaaah...!"
Rara Ireng bergegas melentingkan tubuh ke udara
lalu melesat cepat melewati kepala Raden Prayoga.
Namun tanpa diduga sama sekali, Raden Prayoga ce-
pat mengibaskan pedangnya, menebas ke arah perut
wanita serba hitam itu.
Bet!
"Uts!"
Cepat Rara Ireng memutar tubuhnya, lalu berjum-
palitan di udara untuk menghindari tebasan pedang
bergagang penuh batu mutiara itu. Dan setelah berpu-
taran beberapa kali di udara, kakinya mendarat turun
ditanah dengan manis sekali.
"Hiyaaa...!"
Tapi sebelum wanita serba hitam itu melakukan
sesuatu, Raden Prayoga sudah kembali memberi se-
rangan dengan pedangnya. Terpaksa Rara Ireng harus
berjumpalitan menghindari setiap serangan yang da-
tang dengan cepat dan dahsyat. Pedang di tangan Ra-
den Prayoga seperti memiliki mata saja. Kemana pun
Rara Ireng berusaha menghindar, selalu diburu den-
gan cepat.
Rara Ireng seperti tidak menyangka kalau jurus-
jurus yang dimainkan Raden Prayoga begitu dahsyat
dan berbahaya. Beberapa kali matanya terbeliak, kare-
na hampir terbabat oleh pedang itu. Namun karena ke-
lincahan gerak dan ketajaman matanya, dia masih
mampu menghindar. Meskipun dengan susah payah.
***
EMPAT
Jurus demi jurus berlalu cepat, dan silih berganti.
Tanpa terasa, Raden Prayoga sudah menghabiskan lebih dari dua puluh jurus, namun belum juga mende-
sak lawan yang mengaku bernama Rara Ireng atau
berjuluk Gadis Hitam. Sedangkan sampai sejauh ini,
Rara Ireng belum juga memberi serangan berarti. Dia
seperti sengaja, tidak menyerang Raden Prayoga.
"Cukup, Prayoga. Tidak ada gunanya menyerang-
ku...!" bentak Rara Ireng.
Tapi peringatan itu tidak dipedulikan Raden Prayo-
ga. Pemuda itu terus menyerang lewat jurus-jurusnya
yang cepat dan berbahaya. Sedangkan Rara Ireng ma-
sih saja berkelit, menghindari setiap serangan.
"Kau benar-benar keras kepala, Prayoga!" desis Ra-
ra Ireng mulai tidak sabar.
Pada saat itu, Raden Prayoga mengibaskan pedang
ke arah kepala. Tapi manis sekali, Rara Ireng menarik
kepalanya ke belakang. Maka tebasan pedang pemuda
itu tidak sampai mengenai kepalanya.
"Maaf, aku harus menghentikan mu!" ujar Rara
Ireng agak tersengal.
Setelah berkata demikian, Rara Ireng langsung
memberi serangan-serangan tangan kosong yang ce-
pat. Begitu mendapat serangan, Raden Prayoga jadi
kewalahan. Tubuhnya berjumpalitan, berusaha meng-
hindari serangan-serangan yang dilancarkan perem-
puan serba hitam itu. Akibatnya, dia tidak mempunyai
kesempatan sedikit pun untuk memberikan serangan
kembali.
"Lepas...!" tiba-tiba saja Rara Ireng berseru lantang.
Dan seketika itu juga tangan kirinya dihentakkan
menyampok pergelangan tangan kanan Raden Prayoga.
Begitu cepat sampokan itu, sehingga Raden Prayoga ti-
dak punya kesempatan mengelak lagi.
Plak!
"Akh...!" Raden Prayoga terpekik tertahan.
Cepat pemuda itu menarik tangannya, tapi tidak
bisa lagi mempertahankan pedangnya yang langsung
mencelat lepas. Pedang itu melayang tinggi ke angkasa.
Rara Ireng cepat melompat mengejar pedang itu, sebe-
lum Raden Prayoga bertindak. Namun begitu tangan
Rara Ireng hampir saja mencapai pedang yang me-
layang itu, mendadak saja....
Slap!
"Heh...?!"
Rara Ireng tersentak kaget begitu tiba-tiba sebuah
bayangan kuning kehitaman berkelebat cepat me-
nyambar pedang itu. Cepat tubuhnya meluruk turun
lalu manis sekali mendarat di tanah. Kedua matanya
terbeliak lebar begitu tahu-tahu di depannya berdiri
seorang pemuda berwajah tampan. Bajunya dari kulit
harimau, dan di tangannya kini terdapat pedang Raden
Prayoga yang terpental ke udara tadi.
"Huh!" dengus Rara Ireng.
Cepat dia memutar tubuhnya, dan secepat itu pula
melesat pergi. Begitu cepat gerakannya, sehingga da-
lam sekejap mata saja bayangan tubuh wanita serba
hitam itu sudah lenyap dari pandangan. Pemuda ber-
baju kulit harimau itu menghampiri Raden Prayoga.
'Terima kasih," ucap Raden Prayoga seraya mene-
rima pedangnya yang disodorkan pemuda berbaju kulit
harimau itu.
"Kau terluka?" tanya pemuda itu.
"Hanya nyeri sedikit di pergelangan," sahut Raden
Prayoga.
"Hm...," pemuda berbaju kulit harimau itu meng-
gumam kecil, lalu berpaling menatap ke arah Rara
Ireng pergi.
"Kalau boleh aku tahu, siapa Kisanak ini?" tanya
Raden Prayoga meminta.
"Aku Bayu," sahut pemuda berbaju kulit harimau
ini memperkenalkan diri.
Pemuda itu memang bernama Bayu, yang lebih di-
kenal berjuluk Pendekar Pulau Neraka. Bayu kembali
berpaling, menatap Raden Prayoga. Langsung ditanya-
kannya nama pemuda putra mahkota ini. Tentu saja
Raden Prayoga tidak memperkenalkan siapa dirinya
sebenarnya. Dia memang memperkenalkan dirinya
dengan nama Prayoga, tapi tidak ditambah raden di
depan namanya.
"Bagaimana kau bisa berada di sini, dan memban-
tuku?" tanya Raden Prayoga.
"Kebetulan lewat saja, dan melihatmu tampaknya
membutuhkan pertolongan," sahut Bayu. "Oh, ya, Sia-
pa orang yang bertarung denganmu tadi?"
"Pembunuh ayahku. Dan sekarang dia telah men-
culik adik perempuanku satu-satunya," sahut Raden
Prayoga.
"Hm, jadi kau sedang mencari adikmu?"
"Benar."
"Tampaknya kau tidak akan mampu menandin-
ginya," terdengar pelan suara Bayu, seakan-akan bica-
ra pada dirinya sendiri.
"Kuakui itu. Tapi aku harus menyelamatkan adik-
ku," sahut Raden Prayoga berterus terang.
"Bagaimana caranya?"
"Entahlah. Sedangkan...," Raden Prayoga tidak me-
lanjutkan ucapannya.
"Kau tahu, di mana adikmu disembunyikan?" tanya
Bayu seakan bisa mengerti arti pandangan Raden
Prayoga.
"Itulah sulitnya. Aku tidak tahu, di mana adikku
disembunyikan. Sedangkan dia tidak mau mengakui
perbuatannya," terdengar lirih suara Raden Prayoga.
"Tidak ada maling teriak maling, Prayoga," Bayu
tersenyum.
"Kau benar."
"Hm.... Bagaimana orang itu bisa membunuh
ayahmu, dan sekarang menculik adikmu?" Bayu jadi
ingin tahu.
Raden Prayoga tidak segera menjawab. Dipandan-
ginya Pendekar Pulau Neraka itu dalam-dalam, seperti
menyelidik. Sedangkan yang dipandangi hanya terse-
nyum saja. Dia tahu kalau Raden Prayoga memandang
curiga. Mereka memang baru kali ini berjumpa, jadi
memang tidak salah jika satu sama lain saling curiga.
Tapi di hati Bayu, tidak terselip sedikit pun perasaan
curiga. Bahkan merasa simpati atas perbuatan Raden
Prayoga yang begitu gigih mencari adiknya. Padahal
disadari kalau kemampuan yang dimilikinya tidak
akan mampu.
"Ceritakan saja padaku kejadiannya. Mungkin aku
bisa menolongmu menemukan adikmu," kata Bayu di-
iringi senyum manis.
"Kau sungguh-sungguh ingin membantuku, Bayu?"
Raden Prayoga masih ragu-ragu.
Saat ini Raden Prayoga memang membutuhkan
bantuan seseorang. Itu sebabnya dia berada di sini.
Sedangkan tujuannya tadi hendak ke Pertapaan Lebak
Garing, untuk minta bantuan Pertapa Eyang Wanari.
Dan sekarang, muncul seorang pemuda yang usianya
mungkin sebaya dengannya. Dan ternyata dia bersedia
membantu. Namun Raden Prayoga tidak ingin terburu-
buru. Dia harus tahu dulu, siapa sebenarnya pemuda
yang baru saja menolongnya ini.
"Bayu! Apakah kau seorang pendekar kelana tanya
Raden Prayoga, bernada menyelidik.
"Aku hanya seorang pengembara yang tidak tentu
arah tujuannya," sahut Bayu merendah.
Raden Prayoga mengangguk-anggukkan kepalanya.
Dia tahu, Bayu adalah seorang tokoh rimba persilatan.
Dan sudah menjadi watak orang rimba persilatan un-
tuk tidak menyebutkan dirinya pada orang lain yang
belum dikenal.
Raden Prayoga tidak ingin sembarangan memilih
teman perjalanan dari kalangan persilatan. Eyang Wa-
nari seringkali menasihatkan untuk berhati-hati bila
bertemu orang kaum persilatan. Karena batas antara
golongan hitam dengan golongan putih tipis sekali.
"Apa arti sebuah gelar bagimu, Prayoga?" Bayu ma-
lah balik bertanya.
"Penting sekali. Karena sebuah gelar akan menun-
jukkan, apakah orang itu jahat atau tidak," Raden
Prayoga, jujur.
Bayu terdiam. Kali ini dia benar-benar bingung dan
merasa terpojok. Karena disadari, gelar yang didapat-
nya bisa menimbulkan prasangka buruk terhadap di-
rinya sendiri. Meskipun begitu, Bayu sangat menyukai
julukan yang dimilikinya.
"Katakan, Bayu. Apa julukanmu?" desak Raden
Prayoga lagi.
"Aku yakin, kau akan menyangka buruk padaku
setelah mendengar julukanku, Prayoga," kata Bayu
mencoba menjelaskan.
Tidak sedikit kaum pendekar memiliki julukan
yang dapat membuat orang merinding mendengarnya.
Julukan memang bisa sebagai cermin watak pemilik-
nya. Tapi kadangkala bertentengan."
Bayu tersenyum kagum mendengar penuturan Ra-
den Prayoga. Sungguh tidak disangka kalau pemuda
ini mempunyai pandangan luas tentang dunia persila-
tan. Bahkan bisa mengambil hikmah dan tidak me
mandang dari sebelah mata saja.
"Baiklah," akhirnya Bayu menyerah juga. "Orang-
orang sering memanggilku Pendekar Pulau Neraka. Ka-
rena, aku memang berasal dari Pulau Neraka, yang be-
rada di dekat Pantai Selatan."
"Pendekar Pulau Neraka...," Raden Prayoga meng-
gumamkan julukan Bayu dengan suara perlahan.
Raden Prayoga kembali memandangi Pendekar Pu-
lau Neraka dalam-dalam, dengan kening berkerut. Dia
seperti tengah menyelidiki pemuda berbaju kulit hari-
mau ini. Atau mungkin juga tengah mengingat-ingat
sesuatu yang berhubungan dengan Pendekar Pulau
Neraka. Dan perlahan kemudian, bibirnya tersenyum.
Semakin lama, senyumnya semakin lebar. Melihat pe-
rubahan ini, Bayu jadi heran juga.
"Ada apa, Prayoga?" tanya Bayu jadi ingin tahu.
"Aku ingat sekarang. Cerita tentang seorang pen-
dekar yang berjuluk Pendekar Pulau Neraka memang
pernah kudengar. Tidak kusangka, ternyata aku akan
bertemu seorang pendekar besar yang menjadi buah
bibir," ucap Raden Prayoga.
"Ah! Kau jangan terlalu mendengar omongan
orang," Bayu merendah agak tersipu.
"Mari. Sebaiknya kita cari tempat yang nyaman,
agar enak berbincang-bincang," ajak Raden Prayoga,
Bayu tidak bisa lagi menolak. Apalagi Raden Prayoga
sudah menggamit lengannya dan mengajak mening-
galkan tempat berdebu yang berantakan ini. Mereka
terus berjalan, namun tidak menyadari ada sepasang
mata mengawasi dari tempat yang cukup tersembunyi.
***
Sementara itu di Istana Balungan. Permaisuri Ret
na Nawangsih tengah duduk sendiri di dalam kepu-
tren. Entah sudah berapa lama berada di taman istana
itu, sampai-sampai dia tidak tahu kalau seorang pen-
jaga pintu keputren menghampirinya. Dia baru tahu
setelah mendengar suara penjaga itu.
"Ada apa?" tanya Permaisuri Retna Nawangsih.
"Ampun, Gusti Permaisuri. Eyang Wanari hendak
bertemu," sahut prajurit penjaga itu memberi tahu. Si-
kapnya penuh hormat.
"Eyang Wanari...?" Permaisuri Retna Nawangsih
tampak terkejut mendengar guru mendiang suaminya
hendak bertemu.
"Benar, Gusti Permaisuri"
"Di mana sekarang?"
"Menunggu di depan pintu keputren ini, Gusti."
"Kenapa tidak kau suruh ke sini saja...?"
"Ampun, Gusti Eyang Wanari meminta hamba un-
tuk menanyakan kesediaan Gusti."
"Suruh dia ke sini."
"Hamba laksanakan, Gusti Permaisuri."
Setelah memberikan sembah, prajurit penjaga itu
segera berlalu. Namun sepeninggal prajurit itu, Per-
maisuri Retna Nawangsih jadi tercenung. Sepengeta-
huannya, Eyang Wanari tengah melakukan semadi.
Itulah sebabnya dia tidak datang pada hari penobatan
Raden Prayoga. Hari penobatan yang gagal, karena Di-
an Lestari menghilang diculik di depan hidung kakak-
nya.
Permaisuri Retna Nawangsih bangkit berdiri ketika
seorang laki-laki berusia lanjut mengenakan jubah pu-
tih panjang, datang menghampiri. Wanita separuh
baya itu berlutut dan memberikan hormat. Laki-laki
tua berjubah putih itu membangunkannya, dan me-
minta Permaisuri Retna Nawangsih kembali duduk di
kursi taman. Sedangkan dia sendiri duduk di depan-
nya.
"Apakah Eyang sudah selesai bersemadi, sehingga
datang ke istana ini?" tanya Permaisuri Retna Nawang-
sih.
'Terpaksa semadi ku kuhentikan," sahut Eyang
Wanari.
"Kenapa?" tanya Permaisuri Retna Nawangsih.
"Anakku, Nawangsih. Kenapa tidak kau ceritakan
saja apa yang telah terjadi di sini. Dan kini kau justru
menanyakan tentang diriku?" Eyang Wanari malah
bertanya.
"Maaf, Eyang," ucap Permaisuri Retna Nawangsih.
"Apa sebenarnya yang sedang terjadi, Anakku?" de-
sak Eyang Wanari.
"Aku tidak tahu, Eyang Semua yang terjadi begitu
cepat. Aku sendiri bingung...," sahut Permaisuri Retna
Nawangsih pelan.
"Hm..., kau tahu siapa yang menculik Dian?" tanya
Eyang Wanari, setengah bergumam suaranya.
"Nini Anjar," sahut Permaisuri Retna Nawangsih.
"Gadis yang mengutuk Dian?"
Permaisuri Retna Nawangsih mengangguk.
"Aneh.... Untuk apa dia menculik?" Eyang Wanari
seperti bertanya pada dirinya sendiri.
Sedangkan Permaisuri Retna Nawangsih hanya di-
am saja.
"Suamimu tidak pernah menceritakan, kenapa Di-
an sampai kena kutukan begitu? Dan aku sendiri
sampai sekarang tidak tahu, kutukan apa yang dija-
tuhkan pada Dian. Kau bisa menceritakannya pada-
ku?" pinta Eyang Wanari.
"Aku juga tidak tahu, Eyang," sahut Permaisuri
Retna Nawangsih.
'Tidak tahu..? Kau kan, ibunya. Masa tidak tahu?"
Eyang Wanari tidak percaya.
"Sungguh! Aku benar-benar tidak tahu, Eyang."
"Lalu, apa saja yang kau ketahui?"
"Yang ku tahu, gadis itu tiba-tiba saja datang me-
nemui Kanda Prabu. Aku sendiri tidak tahu, apa yang
dikatakannya. Kanda Prabu kemudian menahannya,
dan menuduh gadis itu mengutuk Dian. Entah apa ku-
tukannya. Aku tidak tahu, Eyang. Hanya itu saja yang
kuketahui."
"Benar gadis itu dijatuhi hukuman bakar?"
"Benar. Tapi gadis itu menghilang setelah dibakar.
Kemudian, muncul seseorang yang tidak dikenal.
Orang itu membunuh Kanda Prabu. Semua orang
mengira kalau dia adalah Nini Anjar. Dialah yang juga
menculik Dian di depan Prayoga."
"Hm, lalu di mana Prayoga sekarang?"
"Pergi."
"Pergi...?"
"Prayoga ingin mencari adiknya sendiri. Aku sudah
mencoba melarang, tapi tetap saja dia pergi."
Eyang Wanari menggeleng-gelengkan kepalanya.
Sedangkan Permaisuri Retna Nawangsih hanya diam
saja.
"Prayoga tidak mengatakan, ke mana dia pergi?"
tanya Eyang Wanari lagi.
"Tidak"
Kembali Eyang Wanari terdiam. Kepalanya mengge-
leng-geleng. Beberapa kali mulutnya mendesah berde-
cak. Sedangkan Permaisuri Retna Nawangsih juga ter-
diam membisu. Dia tidak tahu, apa yang sedang dipi-
kirkan laki-laki tua pertapa ini. Tapi dia yakin kalau
Eyang Wanari sedang berpikir keras. Atau mungkin ju-
ga sedang merangkai semua kejadian dalam istana ini.
"Aneh...," desah Eyang Wanari perlahan.
"Ada apa, Eyang?" tanya Permaisuri Retna Na-
wangsih, seraya menatap laki-laki tua pertapa itu da-
lam-dalam.
"Aku tidak percaya bila seseorang melontarkan ku-
tukan, kemudian melakukan pembunuhan dan pencu-
likan. Lagi pula, tidak ada seorang pun yang bisa se-
lamat jika sudah dibakar. Hm.... Aku merasakan ada
yang ganjil...," pelan sekali suara Eyang Wanari.
Sementara Permaisuri Retna Nawangsih masih saja
diam.
"Retna, apa ada orang lain yang mendengar gadis
itu melontarkan kutukan?" tanya Eyang Wanari.
"Hampir semua pembesar. Bahkan Paman Pendeta
Suratmaja juga mendengar," sahut Permaisuri Retna
Nawangsih.
"Kau tahu, apa bunyi kutukannya?"
"Dian akan meruntuhkan Kerajaan Balungan, jika
tidak segera dilenyapkan," sahut Permaisuri Retna Na-
wangsih.
"Dilenyapkan...? Apa maksudnya?"
"Dibunuh."
"Apa...?!"
***
Kalau saja ada guntur di siang bolong begini,
mungkin tidak akan mengejutkan bila dibanding jawa-
ban Permaisuri Retna Nawangsih. Eyang Wanari
menggeleng-gelengkan kepala, seakan-akan tidak per-
caya bunyi kutukan yang didengarnya barusan. Laki-
laki tua pertapa itu semakin yakin, kalau ada sesuatu
yang tidak beres di sini. Jelas sekali, kalau itu bukan
kutukan. Tapi, lebih tepat dikatakan sebuah tuntutan.
Hanya saja dia belum bisa menemukan hubungan
antara satu dengan lainnya. Eyang Wanari tidak kenal
gadis yang bernama Nini Anjar. Juga tidak tahu, apa
hubungannya antara Nini Anjar dengan Dian Lestari,
sehingga menjatuhkan satu kutukan. Sedangkan Per-
maisuri Retna Nawangsih sendiri kelihatannya tidak
tahu banyak semua kejadian ini.
Eyang Wanari tidak bisa lagi mendesak Permaisuri
Retna Nawangsih untuk membeberkan semuanya.
Meskipun didesak dengan cara apa saja, perempuan
separuh baya itu kelihatannya memang hanya tahu
sedikit peristiwanya. Eyang Wanari menyayangkan si-
kap Prabu Wijaya yang tidak menceritakan awal peris-
tiwa ini sejak semula, hingga sampai mati terbunuh.
Padahal, Eyang Wanari sudah menganggap seperti
anak sendiri, walaupun Prabu Wijaya hanya seorang
murid yang belajar ilmu olah kanuragan padanya.
Setelah pembicaraannya dengan Permaisuri Retna
Nawangsih di keputren, Eyang Wanari menanyai satu-
persatu orang-orang yang mengetahui persis semua
peristiwa ini. Tapi, kelihatannya semua orang ingin
ikut campur. Alasan mereka, takut kutukan Nini An-
jar. Nyatanya hal ini telah terbukti. Setelah tiga hari
Eyang Wanari berada di istana, jatuh korban dari dua
orang patih dan tiga panglima yang telah menceritakan
secara gamblang pada Eyang Wanari. Bahkan mereka
yang tidak percaya adanya kutukan itu, langsung mati
dengan cara mengenaskan sekali.
'Tampaknya ada orang tertentu yang menginginkan
kerajaan ini runtuh...," pilar Eyang Wanari saat dalam
perjalanan kembali setelah menengok salah seorang
panglima yang tewas dengan cara mengerikan.
Dan panglima itu baru kemarin bicara pada laki-
laki tua pertapa ini. Dia mati dengan seluruh tubuh
penuh lubang tusukan, dan dadanya hancur. Hanya
bagian kepala saja yang kelihatan masih utuh. Sama
seperti korban-korban lainnya, yang mencoba mencari
tahu tentang semua peristiwa ini. Mendung benar-
benar menyelimuti Kerajaan Balungan.
"Aku harus mencari keterangan, siapa dalang se-
mua ini...," gumam Eyang Wanari bicara sendiri.
"Jangan punya pikiran buruk, Eyang Wanari...!"
"Heh...?!"
Eyang Wanari tersentak kaget ketika tiba-tiba saja
terdengar suara menggema mengejutkan. Laki-laki tua
pertapa itu menghentikan ayunan kakinya. Suara itu
jelas sekali terdengar, dan seakan-akan datang dari
segala penjuru mata angin. Eyang Wanari mengedar-
kan pandangan ke sekeliling, namun memang keliha-
tan sepi. Tak ada seorang pun yang terlihat di sekitar-
nya.
"Hm..., siapa kau?" terdengar dalam nada suara
Eyang Wanari.
"Sudah lima orang yang jadi korban. Dan aku tidak
ingin kau ikut jadi korban, Eyang Wanari," kembali
terdengar suara tanpa ujud.
Eyang Wanari menajamkan telinga. Matanya juga
tajam, memandang sekitarnya. Jelas, itu suara seorang
wanita. Dan nampaknya, suara itu dikeluarkan lewat
pengerahan tenaga dalam tinggi, sehingga bisa meng-
gema. Seakan-akan suara itu datang dari segala penju-
ru mata angin. Eyang Wanari segera meningkatkan
kewaspadaannya. Dia sadar kalau orang yang menge-
luarkan. suara itu memiliki kepandaian tinggi sekali.
Dia telah mampu mengeluarkan suara, tanpa diketa-
hui dari mana asalnya.
"Sebaiknya kembali saja ke pertapaan, Eyang Wa-
nari. Dan Jangan sekali-kali ikut campur masalah ini,"
terdengar lagi suara keras menggema.
'Tunjukkan dirimu, Nisanak!" teriak Eyang Wanari.
"Ha ha ha...! Apa kau tidak bisa mengetahui, di
mana aku berada, Eyang Wanari? Atau memang kau
sudah pikun, sehingga sama sekali tidak bisa meli-
hatku...?"
Eyang Wanari memutar tubuhnya. Maka laki-laki
tua itu terkejut bukan main. Karena, tahu-tahu tidak
jauh darinya sudah berdiri seseorang mengenakan ba-
ju serba hitam. Yang membuat mata laki-laki tua per-
tapa ini terbeliak, karena wajah orang itu menghitam
hangus seperti baru saja terbakar.
Di dalam hati, Eyang Wanari mengagumi kepan-
daian orang itu. Dia bisa hadir tanpa diketahui. Dan
ini sudah memberi satu peringatan padanya untuk te-
tap berwaspada penuh.
"Nisanak, siapa kau? Dan apa tujuanmu mengacau
Kerajaan Balungan?" tanya Eyang Wanari, agak perla-
han suaranya.
"Untuk apa bertanya begitu, Eyang Wanari…? Kau
sudah tahu, siapa aku, dan apa tujuanku berbuat be-
gini," sahut wanita serba hitam itu agak sinis nada su-
aranya.
"Kau yang bernama Nini Anjar...?" Eyang Wanari
ingin meyakinkan.
"Semua orang memanggilku begitu. Tapi kau lebih
tahu, siapa aku sebenarnya, Eyang Wanari," sahut
wanita itu tetap sinis.
"Wajahmu hitam sekali. Dan aku tidak mungkin
bisa mengenalimu. Hm.... Siapa kau sebenarnya, Nisa-
nak?"
"Kau lihat ini, Eyang Wanari."
"Heh...?!"
Eyang Wanari terkejut setengah mati ketika wanita
berwajah hitam itu mengeluarkan sebuah benda dari
balik lipatan bajunya. Begitu terkejutnya, sampai-
sampai laki-laki tua itu terlompat ke belakang sejauh
tiga langkah. Seketika kedua bola matanya terbeliak,
seakan tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
"Kau...?"
"Ha ha ha...!"
Wanita berwajah hitam hangus bagai terbakar itu
tertawa terbahak-bahak Sedangkan Eyang Wanari se-
perti tidak percaya dengan penglihatannya. Dia hanya
dapat terpaku. Matanya terbeliak, dan mulutnya ter-
buka lebar. Tawa wanita berwajah hitam itu semakin
keras dan panjang.
***
LIMA
"Ha ha ha....'"
Sukar dipercaya bagi Eyang Wanari. Laki-laki itu
tidak akan pernah melupakan benda berbentuk keris
kecil berwarna keemasan yang berada dalam gengga-
man tangan wanita berwajah hitam ini. Dan sampai
ajal datang pun, tidak akan mungkin bisa terlupakan
"Jadi..., kau..," terputus suara Eyang Wanari.
"Sekarang kau sudah tahu siapa aku, Eyang Wana-
ri. Maka sebaiknya kembali saja ke pertapaan dan jan-
gan campuri urusanku!" dingin sekali nada suara wa-
nita berwajah hitam itu.
"Bagaimana mungkin kau bisa hidup lagi. Nyai Le-
gok?" masih terbata suara Eyang Wanari.
Dia masih belum yakin kalau wanita berwajah hi-
tam yang berdiri sekitar tiga tombak di depannya ada
lah Nyai Legok, seorang wanita yang sangat dikenal-
nya. Dan Eyang Wanari tahu, siapa Nyai Legok itu. Dia
dulunya adalah seorang penari berwajah cantik, dan
bertubuh sintal menggiurkan. Setiap lelaki yang me-
mandangnya, pasti tidak akan melewatkan begitu saja
untuk menatapnya. Dan semua lelaki pasti berangan-
angan bisa mendapatkannya. Namun Nyai Legok juga
membuat setiap wanita merasa iri dan sakit hati. Ter-
lebih lagi wanita yang sudah mempunyai suami.
Karena suami-suami mereka selalu lupa daratan
apabila melihat Nyai Legok menari. Menyadari kalau
dirinya menjadi pusat perhatian banyak laki-laki, ma-
ka Nyai Legok memanfaatkannya. Akibatnya tidak se-
dikit rumah tangga berantakan karena ulahnya. Bah-
kan kecantikan perempuan itu sampai mengusik hati
Prabu Wijaya.
Nyai Legok tak mampu berkutik, ketika Prabu Wi-
jaya memintanya agar menari di istana. Bahkan sela-
ma tiga tahun, Nyai Legok tinggal di istana menjadi se-
lir Prabu Wijaya. Namun entah kenapa, diam-diam pe-
rempuan itu selalu membawa laki-laki lain ke dalam
kamarnya. Tidak sedikit pembesar kerajaan, para pan-
geran, dan pejabat-pejabat kerajaan lainnya, tergila-
gila pada wanita ini. Akibatnya anak dan istri mereka
telantar. Bahkan mereka sampai tidak peduli kalau Nyi
Legok adalah selir Prabu Wijaya.
Kebiasaan Nyi Legok membawa laki-laki lain ke da-
lam kamarnya, ternyata tercium juga oleh Prabu Wi-
jaya. Dan pada suatu malam, dia tertangkap basah ke-
tika tengah bermesraan di dalam kamarnya dengan sa-
lah seorang putra pembesar yang masih belia usianya.
Kemarahan Prabu Wijaya tidak tertahankan lagi. Den-
gan keris kecil berwarna emas, Prabu Wijaya menikam
dada wanita itu, lalu merusak wajahnya. Tidak sampai
di situ saja. Prabu Wijaya juga membakar Nyi Legok la-
lu membuangnya ke sungai deras.
"Mustahil...," desis Eyang Wanari seraya mengge-
leng-gelengkan kepala.
Dia masih belum percaya kalau wanita yang berada
di depannya adalah Nyai Legok. Dulu Legok begitu
cantik. Tapi wanita di depannya wajahnya begitu men-
gerikan. Hitam pekat bagaikan arang. Apakah mung-
kin dia Nyai Legok, dan sekarang membalas dendam
atas perbuatan Prabu Wijaya? Pertanyaan ini masih
menjadi teka-teki yang sukar diungkapkan.
***
"Seharusnya kau tidak perlu berbuat seperti ini
Nyai Legok," ujar Eyang Wanari.
"Sudah kukatakan, jangan ikut campur urusanku,
Eyang Wanari!" dengus wanita berwajah hitam itu.
"Semula aku sudah ingin melupakan. Tapi laki-laki itu
malah hendak membunuh anaknya sendiri."
"Membunuh anak sendiri... ? Apa maksudmu, Nyai
Legok?"
"Kau hanya seorang pertapa. Sebaiknya, tidak per-
lu mencampuri urusan dunia. Kembali saja ke perta-
paanmu." terdengar kasar nada suara Nyai Legok.
"Kata-katamu sudah mulai kasar, Nyai Legok, "
Eyang Wanari tersinggung.
"Kau yang menginginkan, dan aku sebenarnya ti-
dak ingin berlaku kasar padamu."
"Hm...," Eyang Wanari menggumam kecil.
Laki-laki tua pertapa itu memandangi Nyai Legok
dalam-dalam. Meskipun sudah menyebut perempuan
berwajah hitam itu dengan nama Nyai Legok, namun di
hatinya masih belum yakin kalau dia benar-benar Nyai
Legok. Karena dilihatnya sendiri, bagaimana Prabu Wi-
jaya menikamkan keris kecil berwarna emas ke dada
wanita itu. Juga disaksikannya, bagaimana mayat Nyi
Legok dihanyutkan ke sungai yang berair deras.
Rasanya memang tidak mungkin kalau seseorang
yang sudah tertikam senjata, lalu dihanyutkan ke da-
lam sungai, masih bisa hidup.
"Kukatakan sekali lagi, Eyang Wanari. Kembalilah
ke pertapaan, dan jangan mencampuri urusan ini,"
kembali Nyai Legok memberi peringatan.
"Maaf. Aku harus menangkap orang yang telah
membunuh muridku, dan mengadilinya di depan si-
dang kerajaan," sahut Eyang Wanari tegas.
"Itu berarti kau harus berhadapan denganku,
Eyang Wanari."
Setelah berkata demikian, Nyai Legok menggeser
kakinya ke kanan tiga langkah. Kedua tangannya dis-
ilangkan di depan dada. Keris kecil berwarna kuning
keemasan, masih tergenggam di tangan kanannya.
"Kau yang memaksa, Eyang Wanari," desis Nyai Le-
gok dingin.
"Hm...," Eyang Wanari hanya menggumam kecil sa-
ja.
"Bersiaplah. Kita tentukan, siapa yang lebih dahulu
meninggalkan dunia ini. Hiyaaat..!"
Nyai Legok langsung melompat memberi serangan
cepat bagai kilat. Eyang Wanari yang sudah bersiap se-
jak tadi, segera mengegoskan tubuhnya sedikit untuk
menghindari pukulan dahsyat bertenaga dalam tinggi
yang dilepaskan perempuan berwajah hitam itu.
Pertarungan pun tidak dapat dielakkan lagi. Dan
mereka langsung melakukan pertarungan tingkat ting-
gi. Jurus-jurus yang digunakan begitu dahsyat dan
mengandung pengerahan tenaga dalam tingkat tinggi.
Dan setiap kali tangan mereka berbenturan, selalu
menimbulkan ledakan dahsyat menggelegar.
Pertarungan berjalan semakin sengit. Jurus demi
jurus berlalu cepat namun belum nampak tanda-tanda
ada bakal yang terdesak. Dan Eyang Wanari sendiri ti-
dak sempat untuk bermain-main. Disadari betul kalau
lawan yang dihadapinya memiliki tingkat kepandaian
tinggi. Diakui, sukar baginya untuk mengetahui, sam-
pai di mana tingkat kepandaian perempuan berwajah
hitam ini. Karena memang baru sekali ini mereka me-
lakukan pertempuran.
"Uts!"
Hampir saja keris di tangan Nyai Legok menembus
dada laki-laki tua pertapa itu. Untung saja Eyang Wa-
nari segera berkelit dengan menarik tubuhnya ke
samping. Namun sebelum bisa menegakkan tubuhnya,
satu tendangan menggeledek menyamping telah cepat
dilepaskan Nyai Legok.
"Yeaaah...!"
"Heh!"
Eyang Wanari terkejut. Cepat-cepat kakinya ditarik
ke belakang. Namun tanpa diduga sama sekali, Nyai
Legok mampu melenting sedikit tanpa menarik kembali
tendangannya. Akibatnya, Eyang Wanari jadi semakin
terkejut. Tak ada lagi kesempatan baginya untuk
menghindari tendangan itu. Sehingga....
Bek!
"Akh...!" Eyang Wanari menjerit keras tertahan.
Tendangan yang dilepaskan Nyai Legok telak
menghantam dada laki-laki tua pertapa itu. Tak pelak
lagi, tubuh tua berjubah putih itu terpental deras ke
belakang. Tendangan yang dilancarkan Nyai Legok
memang dahsyat bukan main. Terlebih lagi, tendangan
itu disertai pengerahan tenaga dalam tingkat tinggi.
Bruk!
Keras sekali tubuh Eyang Wanari menghantam ta-
nah. Dua kali laki-laki tua pertapa itu bergulingan di
tanah, kemudian cepat melompat bangkit berdiri. Na-
mun tubuhnya terhuyung, dan dari mulutnya menge-
luarkan gumpalan darah kehitaman.
"Hiyaaa...!"
Saat itu Nyai Legok sudah kembali melompat
memberi serangan. Sementara Eyang Wanari belum
mampu menguasai tubuhnya. Dadanya masih terasa
sesak, dan jalan nafasnya seakan tersumbat, akibat
tendangan yang mendarat telak di dadanya.
"Modar...!"
Des!
"Akh...!" kembali Eyang Wanari menjerit keras.
Satu pukulan yang dilepaskan Nyai Legok dapat la-
gi dihindari, meskipun Eyang Wanari berusaha berke-
lit. Namun gerakannya memang sudah lamban, akibat
pernafasannya belum sempurna. Seketika, tubuh laki-
laki tua pertapa itu kembali terlontar jauh ke belakang,
sekitar lima barang tombak.
Di saat Eyang Wanari tengah bergulingan di tanah,
Nyai Legok sudah kembali melompat sambil menghu-
nus keris kecil berwarna kuning keemasan di tangan
kanan. Memang tidak ada lagi kesempatan menghin-
dar bagi Eyang Wanari. Pukulan yang dilepaskan Nyali
Legok, membuatnya benar-benar tidak berdaya lagi.
"Mampus kau, Eyang Wanari! Hiyaaat..!"
Namun begitu ujung keris hampir saja menghun-
jam dada Eyang Wanari, mendadak saja....
Slap!
Plak!
"Ah...!"
***
Entah dari mana datangnya, tiba-tiba saja sebuah
bayangan kuning kehitaman berkelebat cepat menjegal
maksud Nyai Legok. Perempuan berwajah hitam itu
terpental balik sambil memekik keras. Namun keseim-
bangan tubuhnya cepat dikuasai, dengan berputaran
beberapa kali di udara. Dengan manis sekali kakinya
mendarat di tanah. Kini di depan Eyang Wanari, berdi-
ri seorang pemuda tampan mengenakan baju kulit ha-
rimau.
Pada saat itu, dari balik sebuah pohon yang cukup
besar, muncul seorang pemuda lain yang mengenakan
baju putih. Dia bergegas berlari, menghampiri Eyang
Wanari.
"Eyang..., Eyang tidak apa-apa...?" tanya pemuda
itu seraya membantu Eyang Wanari duduk.
"Oh! Terimakasih, Prayoga," ucap Eyang Wanari
gembira melihat Raden Prayoga membantunya duduk.
Laki-laki pertapa tua itu memandang pemuda lain
yang mengenakan baju kulit harimau. Pemuda itu ber-
paling sedikit, lalu memberi senyuman. Kemudian per-
hatiannya kembali dipusatkan pada perempuan berwa-
jah hitam di depannya.
"Siapa dia, Prayoga?" tanya Eyang Wanari pelan.
"Bayu, Eyang. Temanku," sahut Raden Prayoga.
Eyang Wanari mengangguk-anggukkan kepala. Dia
memandangi pemuda berbaju kulit harimau itu. Bibir-
nya kemudian mengembang, membentuk senyuman.
Namun sebentar kemudian terbatuk, lalu memuntah-
kan darah kental agak kehitaman. Raden Prayoga ter-
kejut. Dia ingin melakukan sesuatu, tapi keburu dice-
gah laki-laki tua pertapa ini.
"Aku tidak apa-apa. Hanya sesak sedikit di dada."
"Tapi Eyang terluka. Sebaiknya Eyang ke tempat
yang lebih teduh lagi."
"Baiklah. Bantu aku berdiri."
Sementara Raden Prayoga membantu Eyang Wana-
ri pindah dari tempat itu, Bayu melangkah hendak ke
depan. Sedangkan Nyai Legok sudah menguasai penuh
keadaan dirinya. Ludahnya disemburkan, sambil me-
natap tajam Pendekar Pulau Neraka.
"Heh! Siapa kau?! Berani benar mencampuri uru-
sanku!" bentak Nyai Legok geram.
"Aku bukan siapa-siapa. Aku hanya tidak suka ada
orang menganiaya orang yang sudah tua," sahut Bayu
kalem.
"Apa pedulimu, heh?!" bentak Nyai Legok makin ge-
ram.
"Memang tidak ada. Tapi kurasa, tidak ada baiknya
kau menganiaya orang tua, Nisanak," tetap kalem sua-
ra Bayu.
"Kau terlalu banyak mulut!" desis Nyai Legok
menggeram.
Kemudian perempuan itu menatap Raden Prayoga
yang kini berada di tempat yang cukup aman bersama
Eyang Wanari. Dan kini, tatapannya kembali pada
Bayu. Bibirnya yang hitam, menyunggingkan senyu-
man menyeringai.
"Apakah kau salah seorang jawara dari istana? ter-
dengar sinis nada suara Nyai Legok.
"Bukan," sahut Bayu.
"Kau datang bersama bocah ingusan itu. Pasti kau
adalah seorang jawara yang mengawalnya. Bagus....
Jika memang demikian, aku bisa memusnahkan seka-
lian keturunan tidak syah Prabu Wijaya. Dan kau....
berani menghalangi, aku tidak segan-segan membuat-
mu jadi dendeng!" Nyai Legok menuding Bayu.
"Nisanak! Kenapa kau menyangka aku jawara ista-
na? Aku tidak ada hubungan dengan orang-orang ista-
na manapun juga."
"Tidak ada waktu bersilat lidah, Kisanak! Jika kau
masih melindungi orang tua itu dan Raden Prayoga,
maka kau harus berhadapan denganku!"
"Raden Prayoga...?" Bayu benar-benar tidak men-
gerti.
Pendekar Pulau Neraka melirik Raden Prayoga.
Sungguh dia tidak tahu kalau pemuda berbaju putih
itu ternyata seorang putra mahkota. Baru beberapa
saat Pendekar Pulau Neraka mengenalnya. Dan lagi,
Raden Prayoga memang tidak pernah mengatakan ten-
tang dirinya yang sebenarnya.
"Sebaiknya kau menyingkir, Kisanak!" bentak Nyai
Legok.
Sehabis berkata demikian, Nyai Legok langsung
melompat ke arah Eyang Wanari dan Raden Prayoga
yang tengah duduk di bawah pohon. Bayu tersentak
kaget. Cepat-cepat Pendekar Pulau Neraka melompat,
mencoba menghadang arus wanita serba hitam itu.
"Hiyaaa...!"
"Uts! Keparat..!"
Kalau saja Nyai Legok tidak cepat melentingkan tu-
buh ke belakang dan berputaran dua kali, terjangan
Bayu yang memotong itu akan melanda tubuhnya
kembali. Sambil mendengus geram, perempuan berwa-
jah hitam itu menatap tajam Pendekar Pulau Neraka.
Dia begitu marah, karena maksudnya sudah dua kali
terhalang oleh tindakan pemuda berbaju kulit harimau
ini.
"Keparat! Rupanya kau ingin lebih dahulu ke nera-
ka, heh!" bentak Nyai Legok.
"Hm...," Bayu hanya menggumam perlahan saja.
"Hih!"
Nyai Legok melintangkan keris kecil keemasan
yang berada di dalam genggaman, di depan dadanya.
Sorot matanya begitu tajam, langsung menusuk mata
Pendekar Pulau Neraka. Perlahan-lahan kakinya ber-
geser ke kanan. Sementara Bayu hanya memperhati-
kan tanpa berkedip, setiap gerakan kaki perempuan
berwajah hitam itu.
"Hiyaaat...!"
Sambil berteriak nyaring, Nyai Legok melompat ce-
pat bagai kilat dengan keris terhunus ke depan. Bayu
segera menarik kakinya ke belakang. Lalu, cepat sekali
tubuhnya melenting ke udara, menyambut serangan
wanita berwajah hitam itu.
Bayu mengegoskan tubuhnya sedikit ke kanan, la-
lu secepat itu pula tangannya dihentakkan, langsung
menyodok ke arah dada. Namun Nyai Legok. cepat ber-
gerak gesit. Sodokan tangan Pendekar Pulau Neraka
itu ditangkis dengan tangan kiri, sementara hunjaman
kerisnya tidak bisa mengenai sasaran.
Plak!
Dua tangan yang dialiri tenaga dalam tingkat ting-
gi, beradu keras di udara. Saat itu terdengar pekikan
keras agak tertahan. Kemudian, mereka sama-sama
memutar tubuh ke belakang, lalu meluruk turun ma-
nis sekali. Hampir bersamaan kaki mereka menjejak
tanah.
Begitu mendarat, Bayu langsung memberi satu pu-
kulan lurus ke arah dada. Melihat hal itu Nyai Legok
cepat berkelit, memiringkan tubuhnya. Begitu pukulan
Bayu lewat, segera diberikannya serangan balasan. Ke-
risnya langsung dihunjamkan ke arah perut,
"Uts! Yeaaah...!"
Bayu cepat melompat ke belakang, menghindari
tusukan keris kecil keemasan itu. Namun Nyai Legok
terus mencecar dengan hunjaman keris beberapa kali
ke arah Pendekar Pulau Neraka itu. Mau tak mau
Bayu harus berjumpalitan, berputaran ke belakang
menghindari hunjaman keris yang datang secara be-
runtun.
"Hup! Yeaaah...!"
Begitu mempunyai kesempatan, Bayu cepat mele-
sat ke udara. Dan secepat itu pula dilontarkan satu
tendangan keras menggeledek, disertai pengerahan te-
naga dalam yang sudah mencapai tahap kesempur-
naan. Namun tendangan Pendekar Pulau Neraka dapat
dielakkan Nyai Legok dengan memiringkan tubuh ke
kanan.
Dua kali Bayu berputaran di udara, kemudian
mendarat manis dan ringan sekali, sekitar satu tom-
bak jauhnya di depan perempuan bermuka hitam itu.
Dan belum lagi Bayu menarik napas, Nyai Legok sudah
kembali melompat menyerang.
"Hiyaaa...!"
"Hait! Yeaaah...!”
***
ENAM
Hanya sedikit saja keris kecil keemasan di tangan
Nyai Legok lewat di samping tubuh Pendekar Pulau Ne-
raka. Cepat pemuda berbaju kulit harimau itu menarik
tubuh ke samping, lalu tangannya bergerak cepat me-
nyodok ke dada wanita berwajah hitam itu. Sodokan
yang begitu cepat dan tidak terduga, membuat Nyai
Legok jadi terperangah. Dia cepat berusaha menghindari. Namun sebelum melakukan tindakan, sodokan
tangan Bayu sudah mendarat telak sekali di dadanya.
Des!
"Akh...!"
Nyai Legok terhuyung-huyung ke belakang sambil
mendekap dadanya yang terkena sodokan. Untung saja
Bayu tidak penuh mengerahkan tenaga dalam, sehing-
ga hanya sesak saja yang dirasakan wanita bermuka
hitam itu.
"Setan...!" geram Nyai Legok mendesis sengit.
Tatapan matanya begitu tajam menusuk langsung
bola mata Pendekar Pulau Neraka. Beberapa kali dia
mendengus sambil menyemburkan ludah. Sebentar
kemudian ditatapnya Eyang Wanari dan Raden Prayo-
ga yang berada di tempat aman.
"Phuih! Satu saat kau akan menyesal, bocah kepa-
rat…!"
Setelah melontarkan ancaman, Nyai Legok segera
berbalik, lalu cepat melesat pergi. Begitu cepatnya se-
hingga dalam sekejapan saja bayangan tubuhnya su-
dah lenyap tak berbekas lagi. Bayu menarik napas
panjang, kemudian memutar tubuhnya dan melangkah
menghampiri Raden Prayoga dan Eyang Wanari.
"Bagaimana keadaanmu, Ki Tua?" tanya Bayu sete-
lah dekat.
'Terima kasih. Aku tidak apa-apa," sahut Eyang
Wanari seraya berdiri dibantu Raden Prayoga.
Bayu melirik sedikit pemuda yang membantu
Eyang Wanari bangkit berdiri. Sedangkan yang dilirik
seperti tidak mengetahui. Perhatian Bayu kembali ter-
tuju pada laki-laki tua yang terlihat tengah kepayahan.
Tampak ada bulatan hitam di dada Eyang Wanari.
"Kau mendapat luka, Ki," kata Bayu.
"Tidak apa-apa. Hanya luka biasa saja," sahut
Eyang Wanari seraya melihat noda hitam di dadanya.
"Maaf...."
Bayu meraba dada laki-laki tua itu sebentar. Kem-
bali ditatapnya Eyang Wanari, lalu menarik napas pan-
jang. Dia tahu kalau noda hitam di dada laki-laki tua
itu akibat pukulan bertenaga dalam penuh dan men-
gandung racun. Tapi rupanya Eyang Wanari sudah
mencegahnya dengan menotok beberapa titik jalan da-
rah. Sehingga racun di dadanya tidak menyebar. Dan
racun itu memang tidak membahayakan. Hanya den-
gan semadi sebentar, lalu menyayat kulit dadanya se-
dikit, racun itu bisa keluar.
"Sebaiknya jangan terlalu lama racun itu di dalam,
Ki," kata Bayu memperingatkan.
Eyang Wanari tersenyum. Ada rasa kagum terselip
dihatinya mendengar peringatan anak muda yang be-
lum dikenalnya ini. Dia bisa tahu kalau luka itu bera-
cun, hanya dengan meraba saja. Rasa kagum Eyang
Wanari terlihat jelas dari sinar matanya tatkala me-
mandang wajah tampan Pendekar Pulau Neraka.
"Aku akan lakukan sekarang, Anak Muda. Eh, sia-
pa namamu tadi...?" ujar Eyang Wanari diiringi se-
nyuman.
"Bayu," sahut Bayu memperkenalkan diri.
Eyang Wanari menepuk pundak Pendekar Pulau
Neraka, kemudian berbalik dan melangkah menuju ke
sebatang pohon yang cukup besar dan rindang. Raden
Prayoga tidak jadi membantu, karena Eyang Wanari
sudah menolaknya. Terpaksa pemuda itu hanya me-
mandanginya saja.
"Kenapa kau tidak berterus terang padaku, Raden?
Kenapa harus menutupi kenyataan...?" Bayu langsung
menegur Raden Prayoga.
"Maaf, Bayu. Dalam keadaan seperti sekarang ini,
aku tidak bisa begitu saja mengatakan sesuatu yang
benar," sahut Raden Prayoga.
Bayu menarik napas panjang. Jawaban Raden
Prayoga begitu tepat. Memang tidak mungkin Raden
Prayoga menceritakan suatu keadaan yang sebenarnya
pada seseorang yang baru saja dikenalnya. Keadaan
memang perlu, dan Bayu menyadari betul itu.
"Baiklah, Raden. Aku memang tidak punya urusan
denganmu. Apalagi untuk tahu tentang apa yang terja-
di sesungguhnya. Tapi jika Raden percaya padaku ceri-
takan saja. Apa sebenarnya yang sedang terjadi, mu-
dah-mudahan, aku dapat membantu menyelesaikan-
nya," tegas Bayu, setelah menarik napas panjang,
"Aku memang memerlukan bantuan seseorang
berkepandaian tinggi, Bayu. Kau sudah mengalami
sendiri. Orang yang sedang kami hadapi memiliki ke-
pandaian tinggi sekali. Bahkan Eyang Wanari sendiri
tidak dapat mengatasinya," jelas Raden Prayoga.
Bayu melirik Eyang Wanari yang sudah melakukan
semadi di bawah pohon yang cukup rindang. Tampak
di dada laki-laki tua itu mengalir darah kental kehita-
man. Rupanya Eyang Wanari sudah menyayat kulit
yang bernoda hitam untuk mengeluarkan darah yang
mengeram di dadanya. Cara yang dilakukan Eyang
Wanari, sama persis dengan apa yang dipikir Bayu se-
belumnya.
"Mari, Bayu. Kita cari tempat yang lebih enak. Nan-
ti kuceritakan semuanya padamu. Aku percaya kau
memiliki kemampuan tinggi dan dapat menandingi pe-
rempuan berwajah hitam itu," ajak Raden Prayoga.
Bayu tidak menjawab. Diikutinya saja Raden
Prayoga yang berjalan perlahan mencari tempat tenang
dan nyaman untuk menceritakan semua peristiwa di
kerajaannya.
***
Tepat setelah Raden Prayoga selesai menceritakan
semua yang terjadi di kerajaannya, Eyang Wanari juga
selesai bersemadi. Laki-laki tua itu menghampiri ke-
dua anak muda ini. Raden Prayoga memperkenalkan
Bayu pada Eyang Wanari lebih jauh lagi. Begitu Raden
Prayoga menyebutkan julukan Bayu, Eyang Wanari ja-
di berkerut keningnya.
"Ada apa, Eyang?" tanya Raden Prayoga melihat
Eyang Wanari mengamati Bayu begitu dalam.
"Aku sering mendengar nama Pendekar Pulau Ne-
raka. Tidak kusangka, ternyata orangnya masih muda
dan gagah," ungkap Eyang Wanari.
"Ah! Mungkin yang Eyang dengar sangat berlebi-
han," ucap Bayu merendah.
Eyang Wanari memandangi pergelangan tangan
Pendekar Pulau Neraka. Di situ, menempel sebuah
benda berbentuk cakra bersegi enam yang berkilat ke-
perakan. Bayu agak risih juga dipandangi demikian,
tapi mendiamkan saja.
"Apakah itu Cakra Maut..?" tanya Eyang Wanari.
"Benar," sahut Bayu jadi heran.
"Apa hubunganmu dengan Gardika si Maut?" tanya
Eyang Wanari lagi.
Bayu tersentak kaget mendengar pertanyaan dan
tidak langsung menjawab. Tatapan matanya berubah
lain, dan memancarkan sinar kecurigaan. Pendekar
Pulau Neraka memang selalu curiga setiap kali ada
orang yang mengenal gurunya. Karena, dia sendiri juga
mengembara untuk mencari orang-orang yang telah
membuat gurunya cacat dan sengsara di Pulau Neraka
yang gersang dan angker. Di samping itu, dia juga te-
tap berusaha mencari kabar tentang ibunya yang katanya masih hidup dan entah ada mana.
"Dulu aku kenal seorang tokoh persilatan yang
tangguh. Dia juga menggunakan senjata seperti milik-
mu, Bayu. Julukannya si Cakra Maut," kata Eyang
Wanari mengenang.
"Apakah kau bermusuhan dengannya?" tanya
Bayu.
"Jalan hidupku memang berbeda jauh dengan Ca-
kra Maut. Tapi aku tidak pernah mencampuri urusan-
nya, selama dia tidak mencampuri urusanku. Jalan
hidup kami memang berbeda, tapi tetap bersahabat
dan saling menghormati. Yaaah.... Aku sendiri menye-
salkan kejadian yang menimpa dirinya. Dan hingga
sampai saat ini, aku tidak pernah lagi mendengar ka-
barnya," kembali Eyang Wanari mengenang.
Bayu terdiam. Tatapan matanya masih tetap men-
gandung kecurigaan. Hatinya belum yakin kalau
Eyang Wanari bersahabat dengan gurunya. Namun,
sama sekali Pendekar Pulau Neraka tidak menampak-
kan kecurigaannya terhadap laki-laki tua ini. Bahkan
berharap kalau Eyang Wanari bukan salah seorang da-
ri mereka yang membuat Eyang Gardika jadi cacat
seumur hidup, dan harus menderita di Pulau Neraka.
"Eyang, bagaimana kalau kita kembali dulu ke is-
tana...?" selak Raden Prayoga, mencoba mengusir ke-
kakuan yang terjadi.
"Itu lebih baik lagi, Raden. Hm.... Bagaimana,
Bayu? Kau bersedia ikut ke istana? Nanti kita bisa bi-
cara banyak di sana," sambut Eyang Wanari.
"Bagaimana, Bayu?" desak Raden Prayoga.
Bayu tidak bisa lagi menolak, dan hanya bisa men-
gangkat bahu untuk menyetujui permintaan ini. Tanpa
banyak membuang-buang waktu lagi, mereka kemu-
dian berangkat meninggalkan tempat itu menuju Istana Balungan.
***
Selama dua hari Bayu tinggal di Istana Balungan,
tidak ada satu pun peristiwa yang terjadi. Namun Pen-
dekar Pulau Neraka sempat mendapat suatu kesan
janggal dari Permaisuri Retna Nawangsih. Kesan yang
sukar dikatakan, karena perempuan setengah baya itu
seperti tidak menyukai kehadirannya di lingkungan is-
tana ini.
Bukan hanya Bayu saja yang merasakan ketidak-
senangan Permaisuri Retna Nawangsih, tapi Eyang
Wanari yang merasakan demikian. Bahkan sikap Per-
maisuri Retna Nawangsih terhadap Eyang Wanari juga
berubah. Sempat juga Permaisuri Retna Nawangsih
menegur keras Eyang Wanari, agar tidak terlalu dekat
dengan Bayu. Malah laki-laki tua diminta untuk mela-
rang Raden Prayoga banyak bicara dengan Pendekar
Pulau Neraka. Hal ini membuat Eyang Wanari jadi ti-
dak mengerti. Dan dia berpendapat, hal ini harus dibi-
carakan terlebih dahulu pada Bayu, sebelum bicara
pada Raden Prayoga.
Karena Bayu sendiri sudah berterus terang, dirinya
adalah murid Eyang Gardika, sahabat Eyang Wanari.
Bayu membuka rahasia setelah merasa yakin kalau
Eyang Wanari bukan orang yang telah membuat gu-
runya menderita cacat seumur hidup.
Saat senja telah menyelimuti seluruh bumi Kera-
jaan Balungan, Eyang Wanari sudah berada di depan
pintu kamar yang disediakan untuk Bayu menginap di
Istana Balungan ini. Pintu yang tertutup rapat itu di-
ketuk perlahan, seakan-akan takut ada orang lain
yang mengetahuinya.
"Siapa...?" terdengar suara dari balik pintu.
"Aku," sahut Eyang Wanari.
Pintu itu terbuka sedikit. Muncul seraut wajah
tampan dari baliknya. Begitu mengetahui siapa yang
berada di depan pintu, pemuda tampan berbaju kulit
harimau itu membuka pintu lebar-lebar. Eyang Wanari
bergegas masuk, lalu menutup kembali pintu kamar
itu. Segera didekatinya jendela yang terbuka lebar, dan
melongok keluar. Sedangkan Bayu hanya memperhati-
kan saja dengan kening berkerut.
"Ada apa, Eyang?" tanya Bayu heran melihat ting-
kah laki-laki tua pertapa yang demikian aneh.
"Tidak ada apa-apa. Aku hanya tidak ingin ada
orang lain yang tahu aku berada di sini," sahut Eyang
Wanari seraya menghempaskan dirinya di kursi.
"Kenapa harus takut?" tanya Bayu. Dia duduk di
tepi pembaringan.
"Dalam keadaan seperti ini, aku tidak bisa mem-
percayai seorang pun di dalam istana ini."
Bayu mengangkat bahunya. Bisa dimengerti, men-
gapa Eyang Wanari begitu khawatir. Laki-laki tua per-
tapa itu sudah mengatakan kecurigaannya pada Pen-
dekar Pulau Neraka. Dia curiga kalau semua peristiwa
yang terjadi di Kerajaan Balungan didalangi Permaisuri
Retna Nawangsih.
Bagi Bayu sendiri, kecurigaan itu memang berala-
san. Ini setelah Eyang Wanari menceritakan riwayat
Permaisuri Retna Nawangsih, hingga sampai menjadi
seorang permaisuri, mendampingi Prabu Wijaya meme-
rintah kerajaan ini.
"Ada sesuatu yang hendak kau bicarakan dengan-
ku, Eyang?" tanya Bayu setelah melihat raut wajah
Eyang Wanari mulai agak tenang.
"Ya, dan penting sekali," sahut Eyang Wanari.
"Masalahnya...?"
'Terus terang, Bayu. Ini menyangkut keselamatan-
mu sendiri. Bahkan bukannya tidak mungkin, kebera-
daanmu di sini menimbulkan ketidaksenangan seseo-
rang," pelan sekali suara Eyang Wanari, seperti khawa-
tir kalau ada orang lain yang mendengar.
"Maksud Eyang, Gusti Permaisuri tidak menyukai
kehadiranku?" tebak Bayu langsung.
"Aku tidak mengatakan demikian, Bayu. Tapi pe-
rasaanku mengatakan begitu," kata Eyang Wanari.
"Mungkin dari situlah aku bisa memulai, Eyang.
Atau mungkin itu merupakan suatu petunjuk yang
nyata untuk mencari pembunuh Prabu Wijaya," jelas
Bayu kalem.
"Bagaimana kau bisa berpendapat demikian,
Bayu?" tanya Eyang Wanari tidak mengerti.
Bayu tidak segera menjawab, dan hanya senyum
saja. Segera Pendekar Pulau Neraka bangkit dari pem-
baringan, lalu melangkah mendekati jendela. Dia ber-
diri memandang ke luar, menikmati udara senja ini
dan menikmati harumnya bunga-bunga yang bermeka-
ran di bawah jendela. Sementara Eyang Wanari terus
menunggu jawaban pemuda berbaju harimau ini.
"Hal yang sangat mudah, Eyang. Kegelisahan se-
seorang, merupakan satu petunjuk berarti yang tidak
bisa diabaikan begitu saja. Rasanya sangat tidak bera-
lasan bila Gusti Permaisuri tidak menyukai kehadiran-
ku. Kalau dia merasa kehilangan atas kematian sua-
minya, tentu sangat berharap dapat menemukan pem-
bunuhnya. Tapi apa yang dilakukan malah sebaliknya.
Bahkan seperti melupakan begitu saja, dan terus men-
desak Raden Prayoga naik tahta," Bayu mencoba men-
jelaskan pengamatannya.
"Hebat..! Sungguh aku tidak pernah berpikir sampai ke sana, Bayu," puji Eyang Wanari, tulus.
"Kecurigaan Eyang Wanari yang membuatku berpi-
kir ke sana," Bayu merendah.
"Sebaiknya teruskan saja hasil pengamatan mu,
Bayu," pinta Eyang Wanari. Dia tahu kalau Pendekar
Pulau Neraka tidak ingin dipuji.
"Dari pengamatanku selama dua hari ini, tidak ada
seorang pun pembesar istana yang terlibat. Dan peris-
tiwa ini bukan bertujuan untuk meruntuhkan Kera-
jaan Balungan, tapi lebih tepat bila dikatakan sebuah
balas dendam," lanjut Bayu.
"Maksudmu...?" Eyang Wanari meminta penjelasan.
Secara rinci, Bayu menjelaskan hasil pengamatan-
nya selama dua hari berada di Istana Balungan ini.
Sementara Eyang Wanari mendengarkan penuh perha-
tian. Dan mereka terus mengobrol sampai jauh malam.
Pembicaraan itu berkisar dari peristiwa yang terjadi di
istana ini.
Bahkan Eyang Wanari secara gamblang membuka
semua rahasia keluarga istana. Baik tentang sebuah
kutukan yang datang dari para Dewata terhadap Prabu
Wijaya, maupun asal-usul Permaisuri Retna Nawang-
sih, dan kedua putranya. Mereka saling bertukar kete-
rangan selama di Kerajaan Balungan. Dan ini mem-
buat mereka menemukan suatu kesimpulan yang san-
gat mengejutkan.
***
TUJUH
Hingga jauh malam, Eyang Wanari berada dalam
kamar Pendekar Pulau Neraka. Walaupun laki-laki tua
pertapa itu telah membeberkan riwayat Prabu Wijaya
serta Permaisuri Retna Nawangsih dan kedua anaknya,
tapi Bayu belum begitu yakin akan hal ini. Masih sulit
dipercaya kalau Prabu Wijaya melakukan persekutuan
dengan iblis, hanya untuk menutupi rasa malu karena
tidak mendapatkan keturunan.
Setelah kokok ayam jantan terdengar, Eyang Wa-
nari baru keluar dari kamar itu. Bayu mengantarkan-
nya sampai di depan pintu. Laki-laki tua pertapa itu
sempat memberi pesan agar Pendekar Pulau Neraka
berhati-hati. Dan Bayu menanggapinya dengan se-
nyuman saja. Eyang Wanari melangkah menuju ka-
marnya sendiri. Namun begitu sampai di depan pintu
kamarnya, dia tidak jadi membuka pintu.
"Aku ingin berjalan-jalan sebentar," desah Eyang
Wanari.
Kembali kakinya melangkah, tidak jadi masuk ke
dalam kamar yang disediakan untuk istirahatnya. La-
ki-laki tua pertapa itu melangkah ke bagian belakang
bangunan istana. Dia terus berjalan sambil menikmati
udara segar di pagi buta ini. Suara kokok ayam jantan
semakin ramai terdengar, ditambah kicauan burung
yang merdu, menyambut datangnya pagi.
"Hhh...! Kejadian ini membuatku selalu merasa te-
gang. Udara bersih, kicauan burung, membuat jernih
pikiranku," kembali Eyang Wanari bergumam, bicara
sendiri.
"Akan lebih jernih lagi bila ditemani, Eyang Wana-
ri...."
"Heh...?!" Eyang Wanari terperanjat ketika tiba-tiba
saja terdengar suara dari belakang.
Begitu tubuhnya diputar berbalik, mendadak se-
buah bayangan hitam berkelebat menerjangnya. Eyang
Wanari semakin terkejut, dan tidak sempat lagi bertin
dak menghindar. Hingga....
Begkh!
"Akh...!" Eyang Wanari terpekik.
Tubuh laki-laki tua berjubah putih itu terpental de-
ras kebelakang. Seketika punggungnya menghantam
sebongkah batu sebesar perut kerbau. Namun dia ce-
pat melompat bangkit berdiri. Kepalanya digeleng-
gelengkan untuk mengusir rasa pening yang tiba-tiba
saja menyerang kepala. Ditambah lagi, dadanya jadi
terasa sesak, sukar untuk bernapas.
Pada saat itu, kembali terlihat satu bayangan hi-
tam berkelebat cepat menyambarnya. Eyang Wanari
bergegas menjatuhkan tubuh ke tanah, lalu bergulin-
gan beberapa kali untuk menghindari terjangan
bayangan hitam itu. Kemudian dia cepat melompat
bangkit berdiri, sebelum bayangan hitam itu menye-
rang kembali.
"Hap!"
Eyang Wanari segera bersikap menyambut seran-
gan lawan. Namun orang berbaju hitam itu malah ber-
diri saja di atas sebatang dahan pohon yang cukup
tinggi. Dia berdiri membelakangi laki-laki tua pertapa
itu, seakan-akan tidak ingin wajahnya dikenali.
"Kau sudah diperingatkan, Eyang Wanari. Tapi kau
terlalu keras kepala. Terpaksa aku harus membunuh-
mu!" terdengar dingin suara orang itu.
Dari nada suaranya, Eyang Wanari sudah menge-
tahui kalau orang itu adalah wanita. Dan sebelum bisa
memastikan siapa yang berdiri di atas dahan pohon,
mendadak saja orang berbaju hitam itu sudah melen-
tingkan tubuhnya. Dia berputaran di udara, lalu melu-
ruk deras ke arah laki-laki tua pertapa itu.
"Yeaaah...!"
"Hup! Hiyaaa...!"
Tubuh Eyang Wanari cepat melenting ke udara.
Dan secara bersamaan, mereka menghentakkan kedua
tangannya ke depan dengan jari-jari tangan terbuka
lebar. Tak pelak lagi, dua pasang telapak tangan bera-
du keras di udara, hingga menimbulkan ledakan keras
menggelegar.
Glarrr...!
Mereka sama-sama terpental balik ke belakang, la-
lu berputaran di udara sebelum mendarat kembali di
tanah. Eyang Wanari agak terhuyung ke belakang.
Sedangkan wanita berbaju hitam itu mendarat ma-
nis di tanah. Dan dengan kecepatan tinggi, tubuhnya
kembali melompat menerjang laki-laki tua pertapa itu.
"Hiyaaat..!"
Bet!
Mendadak saja wanita berbaju hitam itu mencabut
sebilah pedang dari balik lipatan baju, dan secepat itu
pula dikibaskan ke arah leher Eyang Wanari. Namun
laki-laki tua pertapa itu cepat bertindak, dengan me-
narik kepala ke belakang. Maka tebasan pedang kepe-
rakan yang tipis dan pendek itu hanya lewat sedikit di
depan tenggorokannya.
"Hup!"
Cepat Eyang Wanari melentingkan tubuh ke bela-
kang, lalu berputaran dua kali sebelum mendarat
kembali di tanah. Tapi begitu kakinya menjejak tanah,
orang berbaju serba hitam itu sudah kembali menye-
rang. Bahkan kini di kedua tangannya tergenggam se-
pasang pedang yang tipis, sepanjang tiga jengkal.
Serangan-serangan yang dilakukan orang itu cepat
luar biasa, membuat Eyang Wanari agak kewalahan
menghadapinya. Namun berkat pengalamannya berta-
rung dalam rimba persilatan, ditambah lagi tingkat ke-
pandaiannya yang tinggi, laki-laki tua itu masih mam
pu meredam setiap serangan yang datang mengancam
nyawanya.
Hingga suatu ketika, Eyang Wanari melentingkan
tubuh ke udara, tepat saat sebuah pedang berkelebat
mengarah ke kaki. Bagaikan kilat, tangan laki-laki tua
itu bergerak cepat menjambret kain yang menutupi
kepala orang itu.
Bret!
"Auw...!" orang berbaju hitam itu terpekik kaget.
Cepat tubuhnya berjumpalitan ke belakang tiga kali.
Penutup kepalanya telah terenggut, dan kini berada di
tangan Eyang Wanari. Kini wajah orang itu dapat jelas
terlihat. Eyang Wanari terperanjat begitu dapat melihat
muka orang itu.
"Heh...! Kau...?"
Belum lagi hilang keterkejutannya, mendadak saja
wanita berbaju hitam itu sudah melontarkan satu pe-
dangnya cepat bagai kilat. Eyang Wanari yang tengah
terpana, tidak dapat lagi berkelit. Dan....
Bles!
"Aaakh...!"
Pedang itu menancap tepat di dada yang kurus ke-
rempeng tertutup jubah putih panjang. Eyang Wanari
menjerit melengking tinggi. Begitu dalamnya pedang
itu menembus dada Eyang Wanari, hingga ujungnya
mencuat sampai ke punggung.
Dan sebelum Eyang Wanari menyadari apa yang
terjadi, wanita berbaju hitam itu sudah melompat ce-
pat bagaikan kilat disertai teriakan keras menggetar-
kan jantung.
"Hiyaaat...!"
Bet!
Cras!
Darah langsung muncrat keluar begitu satu pedang
lagi dibabatkan ke leher laki-laki tua pertapa itu.
Eyang Wanari tidak dapat bersuara lagi. Hanya seben-
tar dia mampu berdiri tegak. Dan begitu wanita berba-
ju hitam itu mencabut pedang yang tertanam dalam di
dadanya, tubuh Eyang Wanari ambruk ke tanah. Ke-
palanya terpisah dari leher. Darah seketika menyem-
bur deras sekali dari leher yang terpenggal buntung.
"Kau tidak akan mati kalau menuruti kata-kataku,
Eyang Wanari," desis wanita itu dingin.
Dibersihkannya darah yang melekat pada pedang,
kemudian disimpannya kembali di balik lipatan baju.
Kepalanya langsung terdongak begitu mendengar lang-
kah-langkah kaki yang berlarian cepat menuju ke
arahnya. Tampak sekitar dua puluh prajurit berlarian
mengikuti Raden Prayoga menuju ke tempat ini.
"Hup!"
Wanita berbaju hitam itu cepat melentingkan tu-
buh, meninggalkan mayat Eyang Wanari yang terbujur
tak bernyawa dengan kepala terpisah dari leher. Ber-
samaan dengan lenyapnya bayangan tubuh hitam itu,
Raden Prayoga dan prajurit-prajurit yang mengikuti ti-
ba. Mereka terkejut begitu melihat tubuh Eyang Wana-
ri terbujur kaku tak berkepala lagi.
"Eyang...!" pekik Raden Prayoga terkesiap.
***
Sementara itu, jauh di sebelah Timur Istana Ba-
lungan, seseorang berpakaian serba hitam berlari
mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang tinggi
tingkatannya. Begitu cepatnya berlari, seaakan kedua
kakinya tidak menjejak tanah sama sekali.
Dia terus berlari cepat, menerobos hutan yang ada
di sebelah Timur perbatasan kota kerajaan ini. Sedikit
pun kecepatan larinya tidak dikurangi, meskipun su-
dah berada di dalam hutan yang cukup lebat dan ge-
lap. Pagi ini matahari memang belum menampakkan
diri, meskipun kokok ayam jantan dan kicauan burung
sudah sejak tadi memanggilnya.
Setelah cukup jauh masuk ke dalam hutan, ayu-
nan kakinya berhenti. Sebentar kepalanya menoleh ke
belakang, seakan-akan takut kalau ada yang membun-
tuti. Kemudian pandangannya beredar ke sekeliling.
Kakinya kembali terayun beberapa tindak, mendekati
semak belukar. Tangannya menyibakkan semak itu.
Tampak sebuah mulut gua yang cukup besar berada di
balik semak belukar kering. Bergegas dimasukinya gua
itu.
"Siapa itu...?" terdengar suara dari dalam gua.
"Aku," sahut orang berbaju serba hitam itu.
Gua ini tidak terlalu panjang, tapi cukup besar.
Seonggok api unggun terlihat menyala di bagian ten-
gah, membuat gua ini terasa hangat dan terang. Tam-
pak di salah satu sudut, duduk seorang wanita yang
juga mengenakan pakaian hitam. Seluruh kulit tan-
gan, kaki, dan wajahnya mengelupas, seperti bekas
terkena api. Juga terdapat benjolan-benjolan seperti
bisul di wajahnya. Dan di sudut lain, tampak seorang
gadis tengah berbaring dengan tangan terikat meren-
tang. Di samping gadis itu berdiri seorang pemuda
berwajah cukup tampan. Bajunya indah dari bahan
sutra halus berwarna biru muda.
"Ibu...," ucap pemuda itu seraya bergegas meng-
hampiri orang berbaju hitam yang baru saja datang.
"Bagaimana dia?" tanya wanita berbaju serba hitam
itu seraya. melirik gadis yang terbaring dengan tangan
terikat.
"Tadi menjerit-jerit. Terpaksa dia kuberi totokan,"
sahut pemuda itu.
"Dan kau, Anjar?" wanita berbaju hitam itu me-
mandang gadis berwajah buruk.
"Tidak ada masalah. Hanya saja mungkin wajahku
tetap begini," sahut wanita itu yang ternyata adalah
Nini Anjar.
"Maaf, kau harus menanggung semuanya."
"Ah! Jangan berkata seperti itu, Gusti Permaisuri.
Semua ini aku lakukan demi membalas budi Gusti
Permaisuri yang begitu besar. Gusti telah menyela-
matkan ayahku dari hukuman gantung, menjadi hu-
kuman buang"
"Tapi aku belum bisa mendapat kabar tentang
ayahmu yang menjalankan hukuman buang."
"Tidak mengapa, Gusti. Aku sudah tidak memikir-
kannya lagi."
Wanita berbaju serba hitam yang ternyata memang
Permaisuri Retna Nawangsih, kembali mengalihkan
pandangan pada pemuda tampan di depannya. Pemu-
da ini tadi memanggil dirinya dengan sebutan ibu.
Sebenarnya, Nini Anjar memang orang suruhan
Permaisuri Retna Nawangsih. Untuk melaksanakan
niat permaisuri itu, wanita berwajah buruk itu diha-
ruskan menyebarkan kutukan kepada seluruh rakyat.
Itulah sebabnya, dia dihukum bakar oleh Prabu Wi-
jaya. Namun, di luar dugaan Nini Anjar bisa bebas, wa-
laupun juga menderita luka bakar.
"Sebentar lagi kau akan jadi raja, Widura. Wajah-
mu mirip sekali dengan Prayoga. Dan dengan sedikit
perubahan saja, tidak ada seorang pun yang bisa
membedakan antara kau dan Prayoga," ujar Permaisu-
ri Retna Nawangsih.
Pemuda yang dipanggil Widura itu hanya terse-
nyum saja. Dia memang mirip sekali dengan Raden
Prayoga. Hanya sedikit saja perbedaannya. Kalau Ra-
den Prayoga memiliki kumis tipis di atas bibirnya, Wi-
dura sama sekali tidak mempunyai. Dan kalau dia
memiliki kumis, tidak ada seorang pun yang bisa
membedakan antara pemuda ini dengan Prayoga.
"Kapan aku akan menduduki tahta, Bu?" tanya
Widura.
"Sehari setelah penobatan Prayoga, kau akan
menggantikannya. Dan untuk selamanya kau akan
menjadi raja di Balungan."
"Tapi, bukankah Prayoga juga anak Ibu...?''
"Kenapa kau selalu menanyakan hal itu, Widura?
Prayoga bukanlah anakku. Waktu aku mengandung
dirimu, ada seorang selir yang juga mengandung. Dan
kami melahirkan dalam waktu berselisih satu hari sa-
ja. Mungkin karena kehendak Yang Maha Kuasa, wa-
jahmu begitu mirip Prayoga, Anakku."
'Tapi, kenapa Ibu harus melakukan semua ini? Ju-
ga kenapa aku diasingkan. Bahkan Ibu mengangkat
Prayoga sebagai anak?" kembali Widura meminta pen-
jelasan.
"Karena kau juga bukan putra Prabu Wijaya,
Anakku. Seperti juga Prayoga yang lahir dari selir. Dia
juga bukan putra Prabu Wijaya. Kau tahu, Anakku.
Prabu Wijaya tidak akan mendapatkan keturunan. Dia
mendapat kutukan dari Dewata, karena telah membu-
nuh anak seekor ular jelmaan Dewa. Seumur hidup,
dia tidak akan memiliki keturunan. Itulah sebabnya,
kenapa aku mau melakukan penyelewengan hingga
kau lahir."
'Tapi, bukankah Ayahanda Prabu Wijaya tahu?"
"Memang benar. Dan aku terbebas dari hukuman
setelah berjanji tidak akan berbuat lagi. Maka aku ter-
paksa membunuh ayah kandungmu yang sebenarnya.
Dia adalah salah seorang pembesar istana. Hal ini ku-
lakukan demi kau. Agar kau bisa menjadi Raja Balun-
gan. Sebab untuk menghindari hal-hal yang tak diin-
ginkan, Prabu Wijaya menunjuk Prayoga menjadi putra
mahkota. Di lain hal, Prabu Wijaya memang sudah ti-
dak kuat lagi menanggung malu karena tidak memiliki
keturunan. Bahkan dia juga tidak melakukan tugas-
nya sebagai seorang suami. Itu pula sebabnya, kenapa
selir-selirnya selalu melakukan penyelewengan. Tapi
mereka yang merasa hamil, langsung bunuh diri sebe-
lum dihukum mati Prabu Wijaya. Hanya satu yang bisa
hidup. Dan itu karena aku memintanya agar membiar-
kan selir itu melahirkan Prayoga. Meskipun nantinya
aku harus mengasingkan mu. Karena anak selir itu,
harus menggantikan mu sebagai anakku."
"Lalu, gadis itu...?"
"Empat tahun setelah kau dan Prayoga lahir, ada
lagi seorang selir yang hamil. Aku meminta pada Prabu
Wijaya untuk mengasingkan saja selir itu. Kemudian
aku berpura-pura mengandung hingga selir itu mela-
hirkan"
"Untuk apa Ibu melakukan hal itu?"
"Karena banyak orang yang tidak percaya kalau
Prabu Wijaya bisa memiliki keturunan. Apalagi semua
pembesar kerajaan tahu, kalau Prabu Wijaya tidak
mungkin memiliki keturunan karena dikutuk Dewata.
Dengan cara begini, keraguan semua orang jadi terha-
pus. Sebagai ungkapan rasa terima kasih Prabu Wijaya
padaku, dia memperbolehkan aku merawat dan men-
gangkat Prayoga serta Dian Lestari sebagai anak. Tan-
pa seorang pun yang mengetahuinya, kecuali Eyang
Wanari. Tapi dia sudah bersumpah untuk tidak mem-
bocorkan rahasia ini pada siapa pun juga. Dan jika ra-
hasia ini diceritakan pada orang lain, maka dia dan
orang itu harus mati."
"Tapi dia telah menceritakan semuanya pada Pen-
dekar Pulau Neraka, Gusti Permaisuri," selak Nini An-
jar.
"Hm, dari mana kau tahu?" tanya Permaisuri Retna
Nawangsih.
"Maaf, Gusti Permaisuri. Dalam beberapa hari ini
aku sudah bisa ke luar. Dan aku juga pernah bertemu
pemuda itu. Bahkan sempat bertarung melawan Eyang
Wanari."
"Kenapa kau lakukan itu, Anjar?"
"Aku merasa harus membantumu, Gusti. Karena
kudengar mereka mulai mencurigaimu. Terutama se-
kali Eyang Wanari. Maafkan aku, Gusti. Semua ini ku-
lakukan demi membalas kebaikanmu. Aku banyak
berhutang budi padamu. Bukan saja kau menyela-
matkan ayahku dari hukuman mati. Tapi juga mera-
wat dan membesarkan ku, setelah Prabu Wijaya mem-
bunuh ibuku dan menghanyutkannya ke sungai. Aku
pun rela menanggung derita setelah menyebarkan ku-
tukan itu pada rakyat"
"Ah! Sudahlah. Kau tidak perlu mengingat-ingat itu
lagi. Biarkan Nyai Legok, ibumu itu tenang. Dan sete-
lah ini, jika kau mau, kau bisa mencari ayahmu."
'Terima kasih, Gusti. Rasanya aku tidak ingin lagi
bertemu ayahku."
"Kenapa? Karena sekarang wajahmu rusak?"
Nini Anjar tidak menjawab, dan hanya diam saja.
Memang setelah Prabu Wijaya menjatuhi hukuman
bakar padanya, dia merasa tidak ada gunanya lagi ber-
temu ayahnya kembali, yang kini berada di mana. Apa-
lagi tubuhnya sempat terjilat api. Untung saja Permai-
suri Retna Nawangsih cepat menyelamatkannya, tanpa
sepengetahuan siapa pun.
"Jika kau ingin memulihkan wajahmu kembali, aku
kenal seorang tabib yang bisa mengembalikan kecanti-
kanmu, Anjar," jelas Permaisuri Retna Nawangsih, bisa
merasakan apa yang kini tengah dirasakan gadis itu.
"Seperti aku. Wajahku bisa berubah menjadi apa saja.
Bahkan aku sempat mengecoh orang-orang istana
dengan menyamar sebagai Nyai Legok. Dengan begitu,
mereka akan mengira kalau ibumu masih hidup. Jadi,
tidak ada yang memusatkan perhatian padamu, atau
padaku."
"Terima kasih, Gusti Permaisuri," ucap Nini Anjar.
"Nah! Apa kau masih juga merasa tidak pantas
mencari ayahmu?"
Nini Anjar hanya diam saja. Baginya, tidak mung-
kin bisa memulihkan keadaan wajah dan kulit tubuh-
nya yang telah rusak begini, akibat terbakar.
"Pergilah ke Gunung Parungu. Temui Nyai Kempa-
la, seorang ahli obat-obatan. Aku pernah belajar bebe-
rapa ilmu pengobatan padanya. Aku yakin, kau akan
diterima baik dan bisa kembali seperti semula. Kata-
kan saja kalau kau adalah muridku. Dan dia pasti ta-
hu," kata Permaisuri Retna Nawangsih memberi tahu.
"Aku akan ke sana setelah Adi Widura naik tahta,
Gusti," sahut Nini Anjar.
"Terima kasih, Nini Anjar. Kau baik sekali," ucap
Widura.
Nini Anjar hanya tersenyum saja.
"Sudah pagi. Kalian pasti belum tidur semalaman,'
tidurlah. Aku akan kembali ke istana. Aku tidak ingin
ada yang tahu, kalau aku keluar dari kamar."
"Hati-hati, Ibu."
"Jaga Dian baik-baik. Jangan sampai dia terluka.
Aku tidak ingin dia jadi korban. Cukup sampai di situ
saja pengorbanannya. Hm.... Maafkan aku, Dian. Ter
paksa aku harus mencari seseorang yang bisa kujadi-
kan boneka hidup," kata Permaisuri Retna Nawangsih.
"Akan kuperhatikan pesan Ibu," sahut Widura.
Permaisuri Retna Nawangsih tersenyum, kemudian
memutar tubuhnya. Dia langsung cepat melesat pergi.
Widura juga bergegas mengikuti, dan merapikan se-
mak yang menutupi mulut gua ini. Dia segera kembali,
lalu melirik Nini Anjar yang sudah membaringkan tu-
buhnya, di atas selembar permadani cukup tebal.
"Bangunkan aku tengah hari nanti, Widura," Nini
Anjar berpesan.
"Kau akan keluar lagi?" tanya Widura.
"Aku penasaran pada pemuda itu."
'Pendekar Pulau Neraka...?"
"Benar. Aku ingin tahu, sejauh mana hubungannya
dengan Raden Prayoga."
"Mungkin juga hanya teman biasa saja."
'Aku merasa kalau dia bukan hanya sekadar te-
man. Tampaknya dia telah tahu banyak, dan memba-
hayakan kita semua."
"Jangan menduga terlalu jauh, Kak Anjar."
"Aku hampir saja mati olehnya di hutan ini. Un-
tung saja kau cepat menolongku, Widura. Aku yakin
dia sudah tahu banyak. Aku akan menghentikan sega-
la pekerjaannya."
"Apa tidak sebaiknya dibicarakan dulu pada ibu?
Widura memberikan saran.
"Ibumu tidak akan mengizinkan. Biar semua in ku
tangani sendiri," Nini Anjar menolak.
'Terserah kau sajalah, asal hati-hati. Tampaknya
dia memiliki kepandaian yang jauh lebih tinggi darimu.
Aku sendiri mungkin tidak akan mampu menghada-
pinya, meskipun ilmu meringankan tubuhku hampir
setara dengan ibu."
'Terima kasih. Kau tidak perlu khawatir tentang
aku, Widura," ucap Nini Anjar.
"Selama ini hanya kau yang kukenal. Tidak ada sa-
lahnya jika aku mencemaskan mu, Kak."
Nini Anjar hanya tersenyum saja. Ada sedikit keha-
ruan di hatinya mendengar kata-kata pemuda ini. Dia
menilai kalau sebenarnya Widura tidaklah seburuk
yang disangka orang. Dan pemuda ini pernah menge-
mukakan isi hatinya, kalau sebenarnya tidak menyetu-
jui tindakan ibunya. Tapi demi bakti terhadap orang
tua, dia tidak bisa menolak dan tetap akan membela
ibunya. Apa pun yang akan terjadi nanti.
"Tidur saja, Kak. Semalam aku sempat tidur." Tapi
Nini Anjar memang sudah tidur. Dengkurnya begitu
halus dan lembut sekali. Dia pasti lelah, karena sema-
laman tidak memejamkan mata sedikit pun. Sedang-
kan Widura hanya duduk saja di dekat api unggun.
Beberapa kali matanya melirik Dian Lestari yang tam-
pak tertidur lelap.
"Kau cantik sekali, Dian. Sayang, Ibu tidak mengi-
zinkan aku terlalu dekat denganmu," desah Widura.
***
DELAPAN
Permaisuri Retna Nawangsih terkejut ketika mem-
buka pintu kamarnya. Ternyata di dalam kamar sudah
berkumpul Raden Prayoga, Pendeta Suratmaja, Patih
Laksana, Panglima Pangkar dan Pendekar Pulau Nera-
ka, serta sepuluh orang prajurit. Juga ada beberapa
pembesar lainnya.
Sementara buat Panglima Pangkar sendiri, sudah
bisa menghapus kecurigaan Pendeta Suratmaja yang
menyangka dirinya menyimpan rahasia dalam kemelut
ini. Ini dibuktikan di hadapan Raden Prayoga dan Pen-
dekar Pulau Neraka.
Pembuktian itu berupa sumpah setia dengan an-
caman hukuman bakar. Dan pada kenyataannya, Pan-
glima Pangkar selalu bersama-sama dengan Raden
Prayoga. Jadi, tak ada alasan bagi Pendeta Suratmaja
mencurigai Panglima Pangkar.
Sementara itu Permaisuri Retna Nawangsih lebih
terkejut lagi, karena di belakangnya kini sudah berdiri
berjajar sekitar lima puluh orang prajurit bersenjata
tombak dan pedang terhunus.
"Prayoga! Ada apa ini? Kenapa mereka berkumpul
semua di sini?" tanya Permaisuri Retna Nawangsih.
"Maaf, Bu. Aku terpaksa menangkapmu," jelas Ra-
den Prayoga perlahan. Nada suaranya agak tertahan,
dan matanya sedikit merembang berkaca-kaca.
"Menangkapku...? Kau jangan gila, Anakku. Aku ini
ibumu. Kenapa kau ingin menangkapku...?" agak ke-
ras suara Permaisuri Retna Nawangsih.
"Kenapa Ibu masih menyebutku anak?" Raden
Prayoga balik bertanya.
"Prayoga...!" sentak Permaisuri Retna Nawangsih,
langsung memerah wajahnya.
"Dari mana Ibu sepagi ini?" tanya Raden Prayoga
lagi.
"Untuk apa kau bertanya seperti itu?" sentak Per-
maisuri Retna Nawangsih, balik bertanya.
Dipandanginya orang-orang yang berada di dalam
kamarnya. Dia mulai merasa kalau segala apa yang te-
lah dilakukannya, pasti sudah terbongkar. Tatapan
matanya langsung tertuju pada Pendekar Pulau Nera-
ka yang berdiri di samping Raden Prayoga. Sorot mata
penuh kebencian tersirat jelas saat menatap pemuda
berbaju kulit harimau itu. Permaisuri Retna Nawang-
sih yakin kalau Pendekar Pulau Nerakalah yang telah
membongkar semua kepalsuan dan keinginannya un-
tuk menguasai Kerajaan Balungan secara penuh.
"Keluar kalian semua!" bentak Permaisuri Retna
Nawangsih.
Namun tidak ada seorang pun yang beranjak. Per-
maisuri Retna Nawangsih mulai mengepalkan tangan-
nya. Disadari kalau tidak mungkin lagi bisa berdalih.
Dan pasti mereka semua telah menunggunya kembali
dari hutan.
"Mereka pasti sudah tahu kalau aku yang membu-
nuh Eyang Wanari," gumam Permaisuri Retna Na-
wangsih dalam hati. "Ini pasti perbuatan anak muda
keparat itu...!"
Kembali Permaisuri Retna Nawangsih menatap ta-
jam Pendekar Pulau Neraka. Sedangkan yang ditatap,
membalas tidak kalah tajam.
"Kenapa ini harus terjadi, Bu? Apakah Ibu tidak
sadar, kalau niat buruk pasti akan ketahuan juga...?"
terdengar jelas kalau suara Raden Prayoga semakin
tersendat.
"Membalas kematian adikku!" sahut Permaisuri
Retna Nawangsih tegas.
Dia merasa tidak ada gunanya lagi menutup-
nutupi. Dan ini memang sudah diperkirakan sejak se-
mula. Tapi sama sekali tidak disangka kalau akan ter-
bongkar begitu cepat, sebelum maksud utamanya
menguasai seluruh wilayah Kerajaan Balungan terlak-
sana. Di samping itu, dia ingin menempatkan putranya
sebagai raja di kerajaan ini.
"Prabu Wijaya telah membunuh adikku yang ber-
nama Nyai Legok. Dan aku sudah bersumpah untuk,
membalas dendam. Nah! Kau sudah puas, Prayoga...?"
tetap lantang suara Permaisuri Retna Nawangsih.
Semua orang yang berada di ruangan itu terkejut
mendengar pengakuan Permaisuri Retna Nawangsih.
Mereka tidak menyangka sama sekali kalau wanita ini
adalah kakak Nyai Legok, seorang penari yang diang-
kat selir oleh Prabu Wijaya. Tapi Nyai Legok melaku-
kan penyelewengan, sehingga Prabu Wijaya sendiri
yang memberikan hukuman mati. Lalu, panglimanya
diperintahkan membuangnya ke sungai. Selama itu
memang tidak ada yang tahu tentang asal-usul Nyai
Legok. Bahkan tidak ada yang tahu kalau penari yang
diangkat selir itu sudah mempunyai anak, yaitu Nini
Anjar.
"Maaf, Bu. Aku harus menangkapmu. Dan sebaik-
nya ibu jangan melakukan perlawanan, agar huku-
mannya lebih ringan," kata Raden Prayoga, dengan pe-
rasaan berat.
"Ha ha ha…! Tidak semudah itu menangkapku,
Prayoga!"
Selesai berkata demikian, Permaisuri Retna Na-
wangsih seketika bergerak cepat. Tubuhnya diputar
sambil mencabut pedang kembarnya yang tersembunyi
di balik lipatan baju. Wanita separuh baya ini sudah
berganti baju, tidak lagi mengenakan pakaian hitam-
nya.
"Hiya! Hiyaaa...!"
Begitu cepat gerakan yang dilakukan Permaisuri
Retna Nawangsih, sehingga tidak ada seorang pun
yang sempat menyadari. Dan tahu-tahu terdengar jeri-
tan-jeritan panjang melengking tinggi, disusul am-
bruknya beberapa prajurit di belakang perempuan se-
paruh baya itu. Dan sebelum ada yang sempat berbuat
sesuatu, perempuan separuh baya itu sudah melompat
cepat keluar dari kamar ini.
Hihaaa....'"
Brak!
Jendela kamar seketika hancur berantakan diter-
jang Permaisuri Retna Nawangsih. Di saat tubuh pe-
rempuan separuh baya itu melesat dengan menerobos
jendela, saat itu juga Bayu melesat cepat mengejar,
Gerakan Pendekar Pulau Neraka demikian cepat se-
hingga tidak ada seorang pun yang mengetahuinya.
"Kenapa kalian diam saja...? Kejar...!" teriak Pan-
glima Pangkar, yang lebih dahulu tersadar yang lain-
nya.
Mereka semua tersentak kaget mendengar benta-
kan itu. Tanpa membuang-buang waktu lagi, mereka
langsung berlompatan menerobos jendela yang sudah
hancur untuk mengejar Permaisuri Retna Nawangsih.
"Bayu.... Heh! Di mana Bayu...? Kalian melihat-
nya...?" Raden Prayoga tersentak bangun dari keterpa-
naannya, sehingga langsung menanyakan Pendekar
Pulau Neraka.
Lima orang prajurit dan seorang panglima yang
masih tinggal menemani, tidak ada yang menjawab.
Mereka juga baru tersadar, kalau Pendekar Pulau Ne-
raka tidak ada lagi di ruangan besar dan megah ini.
"Ke mana yang lainnya...?" tanya Raden Prayoga
lagi. Dia seperti orang kebingungan saja.
"Mengejar Gusti Permaisuri, Raden. Dan kami ha-
rus menjaga keselamatan Raden di sini," sahut pan-
glima yang sudah berusia sekitar empat puluh tahun
lebih.
"Ke mana perginya?"
"Ke arah Timur."
Raden Prayoga tidak bertanya lagi. Sejenak dita-
tapnya jendela yang jebol berantakan. Tanpa berkata
apa pun lagi, pemuda yang senang mengenakan baju
warna putih itu melesat cepat menerobos jendela ka-
mar ini. Lima orang prajurit dan seorang panglima
yang berada di dalam kamar ini bergegas berlompatan
mengikuti Raden Prayoga. Sebentar saja, kamar itu
sudah sepi. Tak terlihat seorang pun, selain dua orang
prajurit penjaga pintu kamar ini.
***
Sementara itu Permaisuri Retna Nawangsih sudah
jauh meninggalkan Istana Balungan. Dia terus menuju
ke arah Timur wilayah Kerajaan Balungan ini. Bebera-
pa kali kepalanya menoleh ke belakang. Tampak bebe-
rapa orang berlari cepat mengejarnya. Jarak mereka
memang terlalu jauh.
"Hiyaaa.,.!"
Permaisuri itu melompat indah begitu sampai di
hutan tempat persembunyiannya selama ini. Tubuh-
nya langsung lenyap ditelan lebatnya pepohonan. Wa-
nita separuh baya itu berlompatan dari satu pohon ke
pohon lain. Dia sengaja tidak berlari untuk menghi-
langkan jejak dari para pengejarnya.
"Hup....'"
Permaisuri Retna Nawangsih meluruk turun sam-
pai di sebuah tempat yang penuh semak kering. Tem-
pat ini agak sedikit lapang, dan pepohonan juga tidak
begitu rapat. Sebentar kepalanya menoleh ke kenan
dan ke kiri, lalu kakinya terayun menuju sebuah ge-
rumbul semak kering tepat di depannya. Ayunan ka-
kinya begitu cepat, dan tampak kalau amat tergesa-
gesa sekali.
Srek!
"Cukup nyaman juga tempat ini...."
"Heh...?!"
Permaisuri Retna Nawangsih terkejut bukan main
begitu menyibakkan semak, terdengar suara dari arah
belakangnya. Cepat tubuhnya berputar. Kedua bola
matanya semakin terbeliak begitu melihat Pendekar
Pulau Neraka tahu-tahu sudah berada di tempat ini.
Bisa saja tadi pagi aku menangkapmu. Tapi aku ingin
pihak kerajaan sendiri yang menangkapmu, Permaisuri
Retna Nawangsih," kata Bayu, terdengar sinis nada
suaranya.
"Phuih! Kau pikir begitu mudah menangkapku
Pendekar Pulau Neraka...?" desis Permaisuri Retna
Nawangsih geram.
"Semudah membalikkan telapak tangan."
"Setan..! Hiyaaa...!"
Permaisuri Retna Nawangsih tidak bisa lagi men-
gendalikan kemarahannya. Kini benar-benar jelas.
Ternyata Pendekar Pulau Neraka menguntitnya tadi
pagi hingga sampai ke tempat ini. Dan sekarang pe-
muda berbaju kulit harimau itu sudah menunggu di
sini. Hal itu membuat kemarahannya semakin bertam-
bah. Langsung diserangnya Pendekar Pulau Neraka itu
dengan jurus-jurus pedang yang ampuh, dan dahsyat
luar biasa.
"Hup! Yeaaah...!"
Kali ini Permaisuri Retna Nawangsih benar-benar
tidak lagi memberi kesempatan bagi Bayu. Pendekar
Pulau Neraka itu terus dicecarnya, tanpa memberi se-
dikit pun kesempatan untuk mengambil napas. Sepa-
sang pedang tipis kecil di tangan perempuan separuh
baya itu berkelebatan cepat. Begitu cepatnya, sehingga
hanya kilatan sinar keperakan saja yang terlihat men-
gurung tubuh Pendekar Pulau Neraka.
Pertarungan itu berjalan semakin sengit, karena
Permaisuri Retna Nawangsih langsung mengerahkan
jurus-jurus mautnya. Akibatnya Pendekar Pulau Nera-
ka agak kewalahan menghadapinya. Beberapa kali pe-
dang lawan hampir bersarang di tubuhnya, namun
pemuda berbaju kulit harimau itu masih mampu men-
gelakkannya. Bahkan mampu pula memberi serangan
balasan yang tidak kalah dahsyat.
Dan beberapa kali pula Bayu terpaksa menangkis
tebasan pedang itu dengan Cakra Maut yang berada di
pergelangan tangan kanannya. Setiap kali senjata be-
radu keras, selalu menimbulkan percikan bunga api
disertai ledakan keras menggelegar, dentingan dua lo-
gam beradu.
Suara ribut pertarungan itu membuat Widura dan
Nini Anjar yang berada di dalam gua yang tertutup se-
mak belukar keluar dari persembunyiannya. Mereka
terkejut bukan main melihat Permaisuri Retna Na-
wangsih tengah bertarung. Dan pada saat itu, Permai-
suri Retna Nawangsih mulai kewalahan menerima se-
rangan-serangan yang dilancarkan Pendekar Pulau
Neraka.
"Yeaaah...!"
Tiba-tiba saja Bayu berteriak nyaring melengking
tinggi. Dan seketika itu juga, tubuhnya meliuk ke ka-
nan. Lalu dengan tubuh agak berputar sedikit, Pende-
kar Pulau Neraka memberi satu pukulan disertai pen-
gerahan tenaga dalam penuh. Serangan yang dilaku-
kan Bayu begitu cepat bagaikan kilat. Sehingga, Per-
maisuri Retna Nawangsih tidak dapat lagi menghindar,
karena baru saja menghindari satu tendangan pancin-
gan yang dilakukan Pendekar Pulau Neraka.
Des!
"Akh...!" Permaisuri Retna Nawangsih terpekik ke-
ras agak tertahan.
Pukulan yang dilepaskan Bayu tepat menghantam
dada perempuan separuh baya itu, hingga terlempar
sejauh tiga batang tombak ke belakang.
"Ibu...!" seru Widura terperanjat.
Sebentar pemuda itu memandang Permaisuri Retna
Nawangsih, lalu mendesis menatap Pendekar Pulau
Neraka.
"Keparat! Kau sakiti ibuku...! Hiyaaat..!"
"Widura, jangan...!" teriak Permaisuri Retna Na-
wangsih.
Namun Widura sudah keburu melompat menerjang
Pendekar Pulau Neraka. Pedangnya langsung dicabut,
dan ditebaskan ke arah leher Bayu. Namun manis se-
kali Pendekar Pulau Neraka menarik kepala ke bela-
kang, sehingga tebasan pedang Widura hanya lewat
sedikit di depan tenggorokannya.
Sebelum Widura bisa menarik pulang pedangnya,
Bayu sudah memberi satu sodokan keras ke arah pe-
rut. Widura terperanjat. Sungguh tidak disangka kalau
Bayu bisa melakukan serangan cepat di saat tengah
menghindari satu serangan.
Begkh!
"Hegk...!" Widura mengeluh pendek.
Sodokan tangan kiri Bayu tepat mendarat di perut
Widura, sehingga membuat pemuda itu terbungkuk.
Dan pada saat itu, Bayu cepat melontarkan satu puku-
lan keras ke wajah pemuda itu. Tak pelak lagi, Widura
meraung keras begitu pukulan yang dilepaskan Bayu
menghantam wajahnya.
"Hiyaaa...!"
Bayu tidak tanggung-tanggung lagi. Langsung
memberikannya satu tendangan keras menggeledek ke
tubuh Widura. Akibatnya pemuda berusia sekitar dua
puluh lima tahunan itu deras sekali terpental jauh belakang, diiringi jeritan panjang melengking tinggi.
"Hiyaaat..!"
Belum lagi bisa menarik napas lega, Nini Anjar su-
dah melompat menyerang cepat bagai kilat. Pada saat
yang sama, Permaisuri Retna Nawangsih yang sudah
bisa bangkit juga kembali menerjang Pendekar Pulau
Neraka. Kali ini Bayu harus menghadapi dua serangan
sekaligus. Namun dua orang wanita itu memiliki ke-
pandaian yang tidak bisa dianggap enteng. Hal ini ter-
bukti dari serangan-serangan yang datang, sehingga
membuat Bayu benar-benar kewalahan dibuatnya.
Pada saat Bayu benar-benar kewalahan, datang
para panglima, patih, dan prajurit Balungan yang tadi
mengejar Permaisuri Retna Nawangsih. Kedatangan
mereka membuat kedua wanita yang tengah menye-
rang itu menjadi terkejut. Bahkan kini serangan-
serangan mereka tidak terkendali lagi. Kesempatan itu
dimanfaatkan Bayu untuk balas memberi serangan.
"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"
Cepat tubuh Bayu melenting ke udara. Dan secepat
itu pula, Pendekar Pulau Neraka meluruk deras sambil
melontarkan beberapa pukulan beruntun yang disertai
pengerahan tenaga dalam tingkat tinggi.
Nini Anjar berhasil menghindari serangan yang di-
lancarkan Pendekar Pulau Neraka dengan memiring-
kan tubuh ke kanan. Tapi Permaisuri Retna Nawang-
sih terlambat bertindak. Sehingga satu pukulan keras
yang dilancarkan Pendekar Pulau Neraka bersarang di
dadanya.
Begkh!
"Akh...!" Permaisuri Retna Nawangsih menjerit ken-
cang.
Perempuan setengah baya itu kembali terlontar de-
ras ke belakang. Pada saat itu, Panglima Pangkar me
lompat cepat meluruk ke arah Permaisuri Retna Na-
wangsih yang tengah bergulingan di tanah. Tapi sebe-
lum pedangnya sempat dihunjamkan ke tubuh perem-
puan separuh baya itu, Widura sudah lebih dahulu
melompat. Pedangnya langsung dibabatkan ke pedang
Panglima Pangkar.
Trang!
"Hup!"
Panglima Pangkar cepat melompat ke belakang dua
tindak. Belum lagi panglima itu melakukan sesuatu,
dua puluh prajurit ditambah tiga panglima lain serta
dua orang patih, sudah meluruk menyerang Widura.
Sedangkan yang lainnya langsung meluruk ke arah
Permaisuri Retna Nawangsih yang sudah mampu ber-
diri kembali.
"Kalian selamatkan Dian di dalam gua...!" teriak
Bayu lantang.
Pendeta Suratmaja dan Patih Laksana yang dengar
teriakan Bayu, bergegas masuk ke dalam gua, Semen-
tara Bayu terus menghadapi Nini Anjar. Namun gadis
itu kelihatan mulai goyah setelah melihat sekelilingnya
sudah terkepung puluhan prajurit bersenjata lengkap.
"Aaa...!" terdengar jeritan panjang melengking"
tinggi dan menyayat
"Ibu...!" teriak Widura begitu melihat ibunya terka-
par bersimbah darah.
Sebatang pedang seorang panglima, telah meng-
hunjam dalam di dada Permaisuri Retna Nawangsih.
Jeritan Widura ternyata membuat Nini Anjar lengah.
Gadis itu tidak bisa menghindar lagi ketika Pendekar
Pulau Neraka memberi satu pukulan keras bertenaga
dalam penuh ke dadanya.
Dieghk!
"Aaakh...!" Nini Anjar menjerit.
"Hiyaaa...!"
Di saat tubuh Nini Anjar terpental ke belakang,
Bayu cepat menghentakkan tangan kanannya. Seketi-
ka itu juga Cakra Maut yang menempel di pergelangan
tangan kanan Pendekar Pulau Neraka itu meluncur de-
ras. Dan....
Crab!
"Aaa...!"
Satu jeritan panjang mengiringi kematian Nini An-
jar begitu dadanya tertembus Cakra Maut. Bayu
menghentakkan tangan kanannya ke atas kepala. Ma-
ka Cakra Maut kembali melesat balik dan menempel di
pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka. Begitu
Cakra Maut terlepas, darah langsung muncrat dari da-
da Nini Anjar.
"Hiyaaa...!"
Bayu langsung melompat ke arah Widura. Sempat
disambarnya pedang salah seorang prajurit. Satu ten-
dangan dilepaskan Pendekar Pulau Neraka itu. Widura
yang tengah terguncang perasaannya akibat kematian
ibunya di tangan salah seorang panglima, tak dapat la-
gi menghindari tendangan Bayu.
Degkh!
"Akh...!"
Tendangan Pendekar Pulau Neraka tepat menghan-
tam dada Widura, hingga terpental ke belakang. Bayu
cepat memburu. Ditempelkannya ujung pedang ke leh-
er Widura, sehingga tidak mampu berkutik lagi. Dua
orang prajurit bergegas mendekat langsung meringkus
pemuda itu. Widura benar-benar tak berdaya lagi. Dia
hanya bisa memandang lesu mayat ibunya yang terge-
letak dengan pedang menembus dada.
Tepat di saat Pendeta Suratmaja dan Patih Laksana
membawa keluar Dian Lestari, Raden Prayoga, seorang
panglima dan prajurit pengawalnya sampai di tempat
ini. Raden Prayoga bergegas menghampiri gadis yang
kelihatan lemah dan pucat itu.
"Oh! Syukurlah kau selamat, Rayi...," ujar Raden
Prayoga.
Dian Lestari hanya tersenyum tipis dan lemah se-
kali. Pendeta Suratmaja tetap memapahnya agar bisa
berdiri. Raden Prayoga memandangi mayat Permaisuri
Retna Nawangsih dan mayat Nini Anjar. Kemudian,
pandangannya beralih pada Widura. Dia agak terkejut
melihat wajah Widura mirip dengannya.
"Siapa dia?" tanya Raden Prayoga.
"Namanya Widura. Anak kandung Gusti Permaisuri
Retna Nawangsih," sahut Patih Laksana.
"Ooo.... Jadi dia ini yang akan dijadikan raja?" ter-
dengar sinis nada suara Raden Prayoga. "Bawa dia
pergi, dan masukkan ke penjara!"
Widura digiring dengan tangan terikat tambang.
Raden Prayoga kemudian menghampiri Pendekar Pu-
lau Neraka. Ditepuk-tepuknya pundak Bayu dengan
hangat, kemudian dipeluknya bagai seorang saudara.
Sementara Bayu membiarkan saja.
"Terima kasih. Tanpa mu, mungkin saat ini aku
sudah mati," ucap Raden Prayoga.
"Ah! Ini semua berkat kesigapan mereka juga, Ra-
den," Bayu merendah.
"Mari. Kau jadi tamu kehormatanku di istana. Kau
tidak ingin menolaknya, kan...?"
Bayu tidak mungkin lagi menolak, karena tawaran
Raden Prayoga bernada memaksa. Raden Prayoga ter-
senyum senang melihat Bayu mengangguk. Setelah
memerintahkan beberapa prajurit untuk menguburkan
mayat Permaisuri Retna Nawangsih dan Nini Anjar,
kemudian Bayu dan Dian diajak untuk kembali ke is
tana.
"Bayu, apakah aku pantas menduduki tahta?"
tanya Raden Prayoga berbisik.
'Tentu saja, Raden. Bagaimanapun juga, kau putra
Prabu Wijaya," sahut Bayu.
'Tapi aku anak selir yang menyeleweng."
"Tidak ada yang tahu, Raden. Dan rahasia ini akan
terbawa bersama kepergianku."
"Kau akan meninggalkan Balungan?"
Bayu mengangguk pasti.
Raden Prayoga hanya mengangkat bahunya saja.
Pendekar Pulau Neraka tidak mungkin ditahan untuk
tetap tinggal di Istana Balungan. Dia tahu, seorang
pendekar kelana tidak akan bisa menetap pada satu
tempat.
"Kuharap kau sudi berkunjung suatu saat, Bayu,"
pinta Raden Prayoga penuh harap.
"Akan ku usahakan, Raden."
"Aku akan mengangkat saudara padamu. Dan itu
akan ku umumkan pada hari penobatan ku nanti. Un-
tuk itu, Kau harus tetap berada di istana sampai pada
hari penobatan. Setelah itu, aku tidak bisa lagi mena-
han jika memang pengembaraanmu hendak kau lan-
jutkan. Hanya itu yang kuminta, Bayu. Sebagai rasa
terima kasihku padamu."
Bayu diam saja. Pendekar Pulau Neraka tidak bisa
cepat memutuskan permintaan Raden Prayoga. Dan
sebenarnya dia ingin terus melanjutkan pengemba-
raannya. Namun hati kecilnya tidak ingin membuat
Raden Prayoga kecewa.
"Akan ku pikirkan dulu, Raden," ujar Bayu.
"Ya. Aku juga tidak memaksamu"
Bayu hanya tersenyum saja. Sementara mereka te-
rus berjalan menuju Kotaraja Balungan. Sepanjang
perjalanan mereka, matahari ikut mengiringi. Mendung
telah terhapus dari langit Balungan. Seluruh rakyat bi-
sa bernapas lega. Dan mereka tinggal menunggu saat
penobatan raja baru mereka yang sempat gagal.
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar