..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Rabu, 05 Februari 2025

PENDEKAR PULAU NERAKA EPISODE WARISAN KITAB PUSAKA

Warisan Kitab Pusaka

 

WARISAN KITAB 

PUSAKA

Oleh Teguh Suprianto

Cetakan pertama

Penerbit Cintamedia, Jakarta

Hak cipta pada Penerbit

Dilarang mengcopy atau memperbanyak

sebagian atau seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dari penerbit

Teguh Suprianto 

Serial Pendekar Pulau Neraka 

dalam episode: 

Warisan Kitab Pusaka 

128 hal. ; 12 x 18 cm


SATU


Udara pagi yang bening masih terasa sejuknya di 

antara desau angin yang bertiup semilir. Ran-ting-

ranting kayu bergoyang-goyang seperti menari bersama 

kicau burung yang terdengar satu persatu. Terasa in-

dah dan memberikan suasana tenteram. Sinar mata-

hari yang kemerahan memberi segarnya udara saat ini 

di pinggiran sebuah hutan yang penuh dengan pepo-

honan berukuran besar dan kecil. 

Tak jauh dari tempat itu, di dekat sebuah bukit ke-

cil, terlihat sebuah pondok yang amat sederhana. Di 

depannya tengah duduk seorang laki-laki tua berusia 

sekitar enam puluh tahun dan memiliki jenggot pan-

jang. Tubuhnya sedang dibungkus baju hitam yang 

agak pudar. Rambutnya pendek dan memakai ikat ke-

pala warna merah. Sambil duduk bersila, bola matanya 

tajam memperhatikan seorang pemuda tanggung beru-

sia sekitar lima belas tahun yang tengah menggerak-

gerakkan tubuhnya seperti sedang berlatih ilmu silat di 

pekarangan depan.

Sebentar-sebentar tampak dia menghela napas 

pendek sambil menggeleng pelan. Bibirnya tersungging 

kecil.

"Anak itu benar-benar keras kepala, dan diam-

diam tanpa sepengetahuanku dia terus berlatih ilmu 

silat. Meski gerakannya ngawur, tapi semangatnya 

sangat dipuji," gumam orang tua itu.

Orang tua itu kembali memperhatikan dengan sek-

sama. Dari sorot matanya yang tajam bisa diduga 

bahwa dia memiliki tingkat tenaga dalam yang tidak 

bisa dianggap rendah. Dan sesungguhnya orang tua 

yang bernama Ki Ageng Sura ini memang bukan orang 

sembarangan. Beliau merupakan salah seorang tokoh


persilatan yang amat disegani karena memiliki kepan-

daian yang tinggi. Ki Ageng Sura termasuk sebagai sa-

lah seorang tokoh persilatan kelas atas yang memiliki 

gelar Pendekar Langlang Buana.

Pemuda tanggung yang bertubuh tegap itu se-mula 

tak menyadari kalau dirinya sedang diperhatikan 

orang tua itu. Barulah ketika tubuhnya berputar dia 

dapat melihat kehadiran Ki Ageng Sura. Dengan serta 

merta dia menghentikan gerakannya dan tersenyum 

malu sambil menundukkan kepala dan menjura hor-

mat.

"Eyang, maafkan aku...," suaranya halus dan ber-

nada penyesalan.

Ki Ageng Sura tersenyum kecil, kemudian me-

manggil pemuda itu.

"Jaka Permana, kemarilah kau...."

Dengan perlahan-lahan pemuda itu menghampiri, 

dan tetap menundukkan kepala. Dia kembali menjura 

hormat setelah tiba di hadapannya.

"Maafkan kelancanganku, Eyang...," katanya lirih.

Ki Ageng Sura tersenyum kembali, kemudian me-

nepuk pundak pemuda tanggung bernama Jaka Per-

mana itu.

"Duduklah di dekatku...," katanya seraya mengajak 

pemuda itu duduk di dekatnya.

"Eh, ng...," Jaka Permana terlihat ragu.

"Duduklah," lanjut Ki Ageng Sura menegaskan.

'Terima kasih, Eyang...," sahut pemuda itu seraya 

duduk di atas balai-balai, dan tetap menundukkan ke-

pala.

"Kau sudah membelah kayu bakar?"

"Sudah, Eyang...."

"Bagus. Kau ingin belajar ilmu silat...?" 

"Eh, aku tak berani meminta, Eyang...."

Ki Ageng Sura tersenyum kembali. Tangan kanan



nya menepuk-nepuk bahu pemuda tanggung itu.

"Sudah berapa lama kau ikut denganku...?"

"Lebih kurang lima tahun lamanya, Eyang..."

"Ya, lima tahun lamanya. Tak terasa waktu bergulir 

demikian cepat. Kau tumbuh menjadi seorang pemuda 

yang cakap dan cerdas. Aku menyadari akan dendam-

mu terhadap pembunuh kedua orangtua mu. Tapi be-

lajar ilmu silat untuk membalas dendam bisa mem-

pengaruhi pikiranmu ke dalam jurang kejahatan. Dan 

bila hal itu terjadi, bukan saja aku yang akan terpu-

kul, tapi tanpa kau sadari dirimu akan terus terpenga-

ruh oleh hawa nafsumu sendiri," kata orang tua itu pe-

lan.

Jaka Permana diam mendengarkan nasihat orang 

tua itu.

"Kau mengerti maksudku, kenapa hingga saat ini 

aku tak mengajarkan ilmu silat padamu?"

"Mengerti, Eyang...," sahut Jaka Permana lirih.

'Tapi kau tak perlu berkecil hati. Selama di sini aku 

tahu betul bagaimana watakmu. Dan lama kuperhati-

kan, aku yakin kelak kau akan menjadi seorang yang 

mampu membedakan mana yang harus kau kerjakan 

dan mana yang harus kau jauhi." Jaka Permana diam 

tak menyahut. "Aku percaya padamu, Jaka...," lanjut 

Ki Ageng Sura.

"Terima kasih, Eyang." 

"Nah, mulai pagi ini kau akan mendapat pelajaran

langsung dariku," kata Ki Ageng Sura mantap sambil 

menepuk pundak pemuda itu.

Jaka Permana mendongakkan kepala dan meman-

dang orang tua itu dengan wajah tak percaya.

"Eyang! Oh, benarkah apa yang kudengar baru-

san...?!" serunya kaget.

Ki Ageng Sura tersenyum sambil mengangguk pe-

lan.


'Terima kasih, Eyang! Terima kasih...!" sahut Jaka 

Permana seraya membungkukkan tubuh dan berkali-

kali berseru girang mengucapkan terima kasih.

"Sudahlah. Nah, dengarlah kata-kataku. Hari ini 

kuangkat kau menjadi muridku yang ketiga setelah 

Begara Seta dan Widi Saksana. Dan kau harus mema-

tuhi serta berjanji bahwa kau akan bertindak yang be-

nar dalam mengamalkan kepandaian yang kau miliki. 

Jika kau bertindak salah dan menuruti hawa nafsu 

sendiri, maka aku akan datang menghukummu!"

"Hamba berjanji, Eyang!" sahut Jaka Permana ce-

pat

"Bagus. Nah, man kita mulai dengan latihan dasar 

yang pertama...," sahut Ki Ageng Sura seraya turun 

dari balai-balai dan melangkah ke pekarangan depan 

diikuti Jaka Permana di belakangnya.

***

Jaka Permana berada di samping orang tua itu 

saat Ki Ageng Sura memperagakan jurus-jurus dasar 

yang dimilikinya, dan memperhatikan dengan seksa-

ma.

Sebagian besar dia pernah melihat jurus-jurus itu 

ketika orang tua itu mengajarkannya pada kedua mu-

ridnya yang terdahulu, meskipun dari jarak yang agak 

jauh.

Sehingga ketika Ki Ageng Sura memintanya untuk 

mengulangi jurus-jurus yang tadi diperagakannya, 

maka dengan mudah Jaka Permana mengulanginya.

"Bagus! Kau memang sangat cerdas dan berbakat, 

Jaka!" puji Ki Ageng Sura. "Hanya gerakanmu memang 

masih belum mantap dan berisi. Tak mengapa karena 

ini hanya gerakan-gerakan dasar. Untuk selanjutnya 

gerakanmu harus mantap seiring dengan pernapasan


yang teratur untuk mengembangkan tenaga dalam dari 

dalam tubuhmu...."

Jaka Permana cepat mengangguk, kemudian kem-

bali memperhatikan dengan seksama ketika Ki Ageng 

Sura melakukan gerakan latihan pernapasan yang di-

maksudnya.

Hal-hal itu memang bukan pelajaran yang baru ba-

ginya. Dulu ketika Begara Seta dan Widi Saksana ma-

sih berada di tempat ini, dia suka mencuri-curi ketika 

mereka sedang berlatih setiap hari. Dan sedikit banyak 

dia bisa meniru gerakan-gerakan yang mereka laku-

kan. Hanya saja dia tak bisa mendengar apa-apa yang 

dikatakan Ki Ageng Sura pada mereka karena jaraknya 

cukup jauh dan tak terjangkau pendengarannya. Se-

hingga tak mengherankan bila dalam waktu yang san-

gat singkat dia mampu meniru semua gerakan-gerakan 

dasar yang diajarkan oleh orang tua itu.

"Bagus, Jaka! Bagus! Aku senang sekali melihat 

perkembanganmu. Kau memang sangat serius sekali 

dalam mempelajari ilmu silat. Dan tak segan-segan 

kukatakan bahwa kau sangat berbakat!" puji Ki Ageng 

Sura kembali.

'Terima kasih, Eyang...," sahut pemuda tanggung 

itu tersenyum malu.

"Dengan kecerdasanmu itu kau bisa mengungguli 

saudara seperguruanmu yang lain! Bahkan bukan tak 

mungkin kau akan belajar dalam waktu singkat!"

"Eyang, aku tak berani berpikir begitu." 

"Kenapa?"

Jaka Permana terdiam beberapa saat sambil me-

nundukkan kepala. Namun tak lama dia memandang 

orang tua itu. Wajahnya kelihatan muram seperti me-

rasa bersalah.

"Kemampuanku sebenarnya biasa-biasa saja, 

Eyang...," ucapnya lirih.



"Hm, kenapa kau berkata demikian? Bukankah ti-

dak kau sadari bahwa kau mampu menirukan gera-

kan-gerakan yang kuajarkan dalam waktu singkat?" 

tanya Ki Ageng Sura heran.

"Sebenarnya hamba tidak semata-mata bisa meni-

rukan jurus-jurus dasar yang tadi Eyang tunjukkan 

dengan cepat. Tapi itu bisa hamba lakukan karena 

hamba sering mencuri-curi lihat saat dulu Eyang ser-

ing mengajar Kakang Begara Seta dan Kakang Widi

Saksana."

Suara Jaka Permana semakin lama semakin pelan 

terdengar. Dan wajahnya semakin tertunduk dengan 

perasaan bersalah.

"Maafkan kelancangan hamba, Eyang. Hamba telah

berbuat kesalahan. Tapi hamba rela mendapat huku-

man...," lanjut pemuda tanggung itu.

Ki Ageng Sura memandang murid barunya itu be-

berapa saat lamanya, kemudian tersenyum sambil me-

langkah mendekati. Ditepuknya pundak Jaka Perma-

na, kemudian berkata pelan. Jelas sekali terdengar 

oleh pemuda itu.

"Jaka Permana, kuhargai kejujuranmu. Itu salah 

satu sifat baikmu yang kusadari. Aku hanya ingin se-

kadar menguji apakah kau berkata terus terang atau 

tidak, sebab aku telah lama mengetahui apa yang kau 

katakan tadi."

"Oh, Eyang.... Eyang telah mengetahuinya?!" tanya 

pemuda itu tak percaya.

Ki Ageng Sura mengangguk, lalu tersenyum kecil.

"Apa yang terjadi di sekitar pondokku ini akan ku-

ketahui, meski kau bersembunyi di balik semak-

semak. Nah, aku juga tahu bahwa jurus-jurus dasar 

yang kau mainkan tadi telah lama kau ketahui. Bah-

kan aku mengetahui bahwa kemampuanmu melebihi 

itu. Tapi yang tak kumengerti, kenapa tadi kau berlatih


dengan gerakan-gerakan ngawur?" tanya orang tua itu 

dengan dahi berkerut.

Jaka Permana tersenyum malu. 

"Sekali lagi maafkan hamba, Eyang. Hamba tahu 

persis saat Eyang terjaga dari tidur. Lalu agar Eyang 

tak mengetahuinya karena hamba takut Eyang akan 

mengintip, maka hamba berpura-pura berlatih dengan 

jurus-jurus yang ngawur."

"Dan kau melatih diri dengan jurus-jurus yang se-

sungguhnya di dalam hutan sana saat mencari kayu 

bakar dan buah-buahan?" tanya Ki Ageng Sura sambil 

tersenyum dengan wajah yakin.

Jaka Permana mengangguk pelan, lalu berkata 

dengan lirihnya.

"Ampuni hamba, Eyang." 

Ki Ageng Sura kembali tersenyum kecil.

"Aku mengerti akan kekerasan hatimu untuk bela-

jar ilmu silat dariku. Kalau dulu aku masih ragu kepa-

damu, tapi sekarang aku yakin kau mampu untuk 

mengamalkan ilmu silat yang kau miliki di jalan yang 

benar."

"Hamba tak akan mengecewakan harapan Eyang. 

Hamba berjanji, Eyang!" sahut Jaka Permana cepat.

"Syukurlah kalau memang demikian. Nah, seka-

rang coba tunjukkan padaku, sampai di mana ke-

mampuanmu saat ini!"

"Baiklah, Eyang. Tolong perbaiki kekurangan ham-

ba...," sahut Jaka Permana girang.

Pemuda tanggung itu melompat lima langkah ke 

belakang dengan gerakan ringan, kemudian mulai 

membuka jurus. Lalu tubuhnya bergerak cepat dan 

lincah.

Selama Jaka Permana memperlihatkan jurus-jurus 

yang telah dikuasainya, Ki Ageng Sura memperhatikan 

dengan seksama. Sesekali tampak dia berdecak ka


gum. Gerakan Jaka Permana gesit dan lincah, seba-

gaimana layaknya gerakan yang dilakukan oleh tokoh 

persilatan yang memiliki ilmu silat tangguh. Hanya be-

berapa kali dan bisa dihitung dengan jari dia membuat 

gerakan yang salah, selebihnya betul-betul sama den-

gan jurus yang dimilikinya!

Tengah guru dan murid itu berlatih, mendadak 

terdengar suara ribut-ribut tak jauh dari tempat mere-

ka berada.

***

"Gadis molek dan cantik, kau kira bisa pergi see-

nak perutmu sendiri? Phuah! Kau tak akan bisa lepas 

begitu saja!" dengus beberapa orang yang membawa 

senjata tajam di tangan.

Ki Ageng Sura dan Jaka Permana mengerutkan 

alis. Seorang gadis cantik memakai baju merah dan 

memegang sebatang pedang, tampak tengah dikejar-

kejar oleh segerombolan laki-laki berwajah seram yang 

berkelakuan kasar. Raut wajah mereka menyiratkan 

hawa nafsu yang menggelegak-gelegak dan siap me-

nerkam gadis itu laksana hewan buas yang telah me-

nemukan mangsanya.

Gadis itu sendiri tampak bingung. Dia sempat meli-

rik ke arah Ki Ageng Sura dan Jaka Permana, kemu-

dian buru-buru berlari kencang menghampiri kedua-

nya, lalu menjura hormat dengan napas memburu.

"Kisanak, tolonglah aku. Mereka hendak me-

rampok dan memperkosaku! Tolonglah, Kisanak...," 

tubuh gadis itu menggigil ketakutan, dan wajahnya 

pucat dengan keringat dingin membasahi sekujur tu-

buhnya. Berkali-kali dia melihat ke arah pengejarnya 

yang terus memburu dari belakang.

"Itu dia!"


'Tangkap! Jangan biarkan dia lolos...!"

Mendengar suara teriakan-teriakan yang semakin 

mendekat, ketakutan gadis itu semakin menjadi-jadi. 

Dia menangkap sebelah kaki Ki Ageng Sura, dan me-

meluknya seperti tak ingin melepaskan.

"Kisanak, tolonglah aku...! Oh, mereka... mereka 

sangat kejam dan buas...!"

"Hei, Nisanak! Lepaskan cengkeramanmu pa-da 

kakiku...!" teriak Ki Ageng Sura kaget melihat apa yang 

dilakukan gadis itu.

'Tidak! Aku tidak akan melepaskannya sebelum

kau bersedia menolongku menghajar mereka!" sentak 

gadis itu berkeras dan malah mempererat cekalannya.

Sementara itu para pengejar si gadis telah tiba pula 

di dekat Ki Ageng Sura. Mereka memperhatikan lang-

kah dan berbaris rapi dengan sikap mengancam orang 

tua itu. Salah seorang yang berbadan besar dan ber-

kumis melintang dan mengenakan rompi hitam se-

hingga terlihat dadanya yang tegap, maju ke depan 

dengan sebilah golok besar yang tajam berkilat, ter-

genggam erat di tangan kanannya.

"Orang tua, kalau saja tak memandang bahwa kau 

penghuni tempat ini, tentu saja kami tak sudi berbasa-

basi denganmu. Kau telah mencoba me-rampas bu-

ruan kami. Nah, karena memandang bahwa kau me-

mang sudah sepatutnya dihormati, berikan gadis itu 

dan kami akan segera berlalu dari tempatmu ini!" sua-

ra orang itu terdengar keras dan serak.

Selamanya Ki Ageng Sura memang tak suka meli-

hat kelakuan orang seperti gerombolan itu. Merampok, 

membunuh, dan memperkosa wanita-wanita yang me-

reka temui. Dan meskipun gadis itu tak memohonkan 

pertolongan padanya, dia pun akan senang hati mem-

bantu. Namun ada sedikit yang agak mengherankan 

baginya sejak tadi. Bagaimana mungkin mereka bisa


nyasar ke tempat ini? Lembah ini cukup jauh dari per-

kampungan yang terdekat, dan jauh pula dari jalan 

umum yang biasa dilewati orang. Dan selama ini, ja-

rang sekali ada yang sampai tersasar ke tempatnya.

Bahkan boleh disebut, tidak pernah. Karena selain 

agak tersembunyi, tempat ini pun agak sukar dilalui 

karena banyaknya semak belukar yang berduri meng-

halangi perjalanan. Untuk seseorang yang tengah me-

larikan diri dari kejaran orang lain, seharusnya dia 

berlari ke perkampungan yang terdekat, atau berlari 

menuju jalan utama yang dilalui orang-orang.

Ki Ageng Sura termenung sesaat lamanya sambil 

memperhatikan gerombolan yang berjumlah lebih ku-

rang lima belas orang itu dengan seksama. Sebenarnya 

pikiran tadi bukan berasal dari dirinya, melainkan Ja-

ka Permana yang berbisik pelan mengutarakan kecuri-

gaannya. Itulah yang membuat orang tua itu sedikit 

bimbang ketika si gadis menubruk dan mencengkeram 

sebelah kakinya. Tapi mendengar kata-kata salah seo-

rang dari mereka yang sinis dan seperti memandang 

rendah terhadapnya, Ki Ageng Sura sudah merasa tak 

senang. Dia memandang ke arah gadis itu, kemudian 

berkata pelan.

'Tenanglah, Anak Manis. Kau berdiri di belakang-

ku. Biar kuhajar bajingan-bajingan ini...," tunjuknya 

ke belakang Jaka Permana.

Mendengar kata-kata si orang tua, gadis itu berlari 

kecil dan bersembunyi di punggung Jaka Permana. 

Pemuda tanggung itu menjadi risih sendiri jadinya. Dia 

melirik sejenak ke arah gurunya, kemudian berusaha 

tenang memperhatikan ketika Ki Ageng Sura melang-

kah mendekati gerombolan itu perlahan-lahan.

"Kalian pergilah, dan urusan ini selesai sampai di 

sini. Gadis ini ada dalam perlindunganku, dan tak seo-

rang pun boleh mengganggunya!" sahut Ki Ageng Sura


tegas dengan suara keras.

"Keparat! Tua bangka tak tahu diri. Jangan se-

enaknya mulutmu bicara seperti itu. Tahukah kau se-

dang berhadapan dengan siapa saat ini?!" bentak laki-

taki bertubuh besar itu dengan mata melotot garang.

"Perlu apa aku mengetahui siapa kalian? Yang je-

las, orang-orang seperti kalian memang sudah sepa-

tutnya mendapat hajaran," sahut Ki Ageng Sura den-

gan nada dingin.

"Kurang ajar! Berani kau bicara begitu pada Ge-

rombolan Iblis Maut, maka kau harus berani pula me-

nanggung akibatnya!" dengus laki-laki kasar itu sambil 

membabatkan goloknya ke leher orang tua di depannya 

dengan gemas.

"Uts...!"

Ki Ageng Sura mengelak ke samping sambil meren-

dahkan tubuh. Kepalanya tertunduk ketika sebelah 

kakinya terayun menghantam pergelangan tangan la-

wan dengan cepat. 

'Duk!

"Uhhh...!"

Laki-laki itu mengeluh kesakitan. Pergelangan tan-

gan kanannya sakit sekali, dan kemungkinan tulang-

nya retak akibat tendangan ujung kaki orang tua itu. 

Masih untung golok besar dalam genggamannya tak 

terpental lagi. Kalau saja Ki Ageng Sura mengerahkan 

sedikit lagi tenaga dalam yang disalurkan ke ujung ka-

kinya, niscaya pergelangan tangannya hancur tak ber-

bentuk.

Menyadari keadaan itu, dia tak berani gegabah. 

Maka dengan wajah gusar, dia berteriak pada kawan-

kawannya.

"Hajar si keparat ini, dan jangan biarkan hidup...!"


***


DUA


Dengan serta merta mereka mengurung Ki Ageng 

Sura. Melihat keadaan itu Jaka Permana merasa ber-

kewajiban membantu gurunya. Namun sebelum pe-

muda tanggung itu bergerak membantu, Ki Ageng Sura 

telah berkata dengan suara tegas kepadanya.

"Jaka, kau lindungi gadis itu. Dia adalah tanggung 

jawabmu untuk saat ini!" 

"Tapi, Eyang...."

"Jangan membantah! Turuti apa kataku!" sentak Ki 

Ageng Sura.

"Eh, kalau demikian, baiklah...," sahut pemuda 

tanggung itu tak punya pilihan lain.

Jaka Permana bersiap ketika dua orang lawan 

mendekatinya dengan senjata terhunus. Dia sedikit 

gentar karena selama hidupnya belum pernah berkela-

hi. Juga timbul keraguan dalam hatinya, apakah 

mampu menghadapi kedua orang lawannya itu?

"Yeaaa...!"

"Hiyaaat...!"

Dengan teriakan keras, mereka menyerbu guru dan 

murid itu berbarengan. Ki Ageng Sura tersenyum kecil 

ketika tubuhnya melompat ke samping dengan sebelah 

kaki ditekuk, lalu diayunkan dengan keras ke perut 

salah seorang lawan.

Begkh!

"Akh!"

"Yeaaa...!"

Orang itu menjerit kesakitan. Tubuhnya ter-

jungkal dan terus bergulingan. Dua orang kawannya 

dengan garang mengayunkan senjata di tangan mereka 

masing-masing ke arah leher dan perut orang tua itu.



Namun dengan gesit tubuh Ki Ageng Sura meliuk-liuk 

menghindari sambil melompat ke atas. Pada saat yang 

bersamaan, laki-laki bertubuh besar yang pertama 

berhadapan dengannya telah siap menghadang dengan 

sabetan goloknya yang berisi tenaga dalam kuat. Cui-

tan angin serangannya terdengar tajam dengan kema-

rahan yang luar biasa.

Wukkk!

Plak!

Namun Ki Ageng Sura bukanlah tokoh sembaran-

gan yang tak mengerti gelagat. Dari awal serangan ber-

sama itu dia sudah memperhitungkan bahwa lawan 

akan mengincarnya begitu ada kesempatan. Untuk itu 

dia telah mempersiapkan diri sebelumnya. Sehingga 

begitu golok lawan hendak menebas lehernya, buru-

buru dia menundukkan kepala. Tangan kirinya kem-

bali menghantam pergelangan tangan lawan dengan 

mengikuti ayunan golok yang luput dari sasaran. Na-

mun lawan pun agaknya telah memperhitungkan hal 

itu, sehingga mendahului dengan tendangan kaki ka-

nannya untuk memapaki pukulan si orang tua. Tapi 

yang terjadi justru laki-laki bertubuh besar itu yang 

mengeluh kesakitan dengan wajah berkerut ketika tu-

lang kering kakinya dihantam tangan Ki Ageng Sura. 

Dengan gerakan cepat yang tiada terduga, tubuh orang 

tua itu berputar seraya mengibaskan kaki kanannya 

ke perut lawan.

Begkh!

"Aaakh...!"

Lawannya terjungkal sambil menjerit keras. Dari 

mulutnya meleleh darah kental. Dia berusaha bangkit, 

namun isi perutnya terasa sakit seperti diaduk-aduk. 

Dilihatnya orang tua itu dengan leluasa menghajar 

kawan-kawannya yang lain.

Sementara itu beberapa kali Jaka Permana nyaris


kena dilukai oleh kedua lawannya. Keringat dingin 

mengucur deras di tubuhnya, dan wajahnya pucat pasi 

dengan napas yang memburu. Namun demikian den-

gan sekuat tenaga dia berusaha terus mengelak dari 

serangan-serangan lawan yang gencar.

"Mampus...!"

Crak!

"Uhhh...!"

Salah seorang lawannya dengan gemas membabat 

tubuhnya yang terjungkal akibat menghindari seran-

gan bertubi-tubi lawannya yang seorang lagi. Jaka 

Permana bergulingan sehingga senjata lawan mengha-

jar tanah. Tapi pada saat itu juga lawan yang seorang 

lagi telah siap menghadangnya. 

"Yeaaa...!"

Jaka Permana terkesiap. Tak ada lagi jalan ke-luar 

baginya. Kalaupun dia berusaha mengelak, senjata la-

wan akan lebih cepat lagi menebas tubuhnya. Kalau-

pun pasrah dan diam, cuma sedikit memperpanjang 

nyawanya.

"Hup!"

Duk!

"Aaakh...!"

Pada saat kritis itu Ki Ageng Sura bergerak cepat 

membantu muridnya sambil menendang cepat kedua 

tubuh lawan dengan ujung kaki kanannya.

Kedua orang itu memekik kesakitan. Tubuh mere-

ka terjungkal sejauh dua tombak dengan darah segar 

meleleh dari mulutnya. Tapi agaknya kawan-kawannya 

yang lain bukan menjadi takut lalu gentar dan melari-

kan diri setelah melihat sepak terjang orang tua itu. 

Mereka malah menyerangnya semakin kalap.

"Orang tua bau tanah, mampus kau...!"

'Yeaaa...!"

"Hiyaaa...!"


Ki Ageng Sura sebenarnya tak terlalu kerepotan 

untuk meladeni mereka. Meski sekaligus melindungi

Jaka Permana. Tapi dia juga semula tak sampai hati 

untuk membunuh mereka. Tapi ketika melihat bahwa 

mereka sama sekali tak mau mengerti akan niat baik-

nya itu dan bukannya sadar, malah melakukan seran-

gan-serangan gencar dengan penuh nafsu. Seolah-olah 

mereka menganggapnya sebagai musuh nomor satu 

yang harus dilenyapkan, kesabaran orang tua itu pun 

mulai habis dibuatnya.

"Hm, agaknya kalian tak bisa dihadapi dengan cara 

baik. Baiklah. Kalian akan menerima apa yang kalian 

inginkan!" dengus Ki Ageng Sura geram.

***

Baru saja orang tua itu akan melompat menyerang 

lawan ketika beberapa buah senjata rahasia melayang 

ke arahnya. Ki Ageng Sura terkejut bukan main. Tu-

buhnya meliuk-liuk menghindari serangan yang da-

tangnya bertubi-tubi itu. Namun bersamaan dengan 

itu, kawanan tadi serentak menyerangnya seperti 

mendapat peluang emas.

Ki Ageng Sura bukanlah tokoh yang dapat diang-

gap enteng. Namun mendapat serangan gelap bertubi-

tubi, lalu disusul dengan keroyokan yang begitu ba-

nyak, mau tidak mau dia sedikit kerepotan meski be-

lum terlalu terdesak.

"Yeaaa...!"

"Uts...!"

Dalam pada itulah Ki Ageng Sura terkejut bu-kan 

main ketika merasakan satu sambaran kuat dari arah 

belakang. Dia membungkukkan tubuh dan terus me-

lompat ke samping.

Namun sambaran angin kencang itu seperti mengikuti ke mana saja tubuhnya bergerak Ki Ageng Sura 

tak punya pilihan selain memapaki senjata lawan yang 

belum lagi diketahui bentuknya itu. Namun dari angin 

serangannya, dia bisa menduga bahwa paling tidak si 

pemilik senjata adalah tokoh yang memiliki kepan-

daian tinggi.

"Hiyaaa...!"

Sambil berteriak keras, Ki Ageng Sura mencabut 

pedang pendek dan tipis dari balik bajunya dan lang-

sung berbalik menyambar senjata gelap yang tengah 

terarah kepadanya.

Wut! Wut!

Ctarrr!

"Akh...!"

Bukan main terkejutnya orang tua itu ketika pan-

dangannya menyambar tempat kosong. Pada-hal dia 

yakin betul bahwa dengan kecepatan yang tadi dilaku-

kannya, maka serangan gelap itu akan mampu dippa-

kinya. Tapi siapa nyana ternyata senjata gelap itu 

mampu menghindari serangannya. Bahkan Ki Ageng

Sura tersentak kaget ketika sebuah ujung cambuk 

mendera menghantam kulit dadanya. Masih untung 

dia cepat menjatuhkan diri ke belakang, namun tak 

urung kulit dadanya terluka. Ki Ageng Sura mengeluh 

kesakitan, dan terus melompat ke belakang sambil 

berputar beberapa kali.

'Yeaaa...!"

"Uts!"

Baru saja ujung kakinya menyentuh tanah, saat 

itu juga kembali melayang senjata rahasia berupa bin-

tang berwarna keperakan bertubi-tubi. Ki Ageng Sura 

kembali melompat sambil mengayunkan pedangnya.

Trang! Trang!

Rrrrt!

"Naik..!"


Orang tua itu kembali terkejut. Seutas tambang 

sebesar telunjuk melibat tubuhnya dengan kuat sekali. 

Kemudian dengan sentakan keras, tubuhnya seperti 

ditarik ke atas dengan kuat Ki Ageng Sura berusaha 

menahan sambil mengerahkan tenaganya. Tubuhnya 

berbalik dan kini jelas terlihat siapa penyerang gelap-

nya itu.

"Kau...?!"

"Ya, aku. Kau kira siapa yang mampu melaku-

kannya...?" sahut gadis yang tadi berusaha dilin-

dunginya sambil tersenyum kecil mengejek.

Bukan main jengkel dan marahnya Ki Ageng Sura 

melihat bahwa dirinya telah tertipu mentah-mentah. 

Dengan geram dia berusaha melepaskan diri dari beli-

tan tambang itu dan menyentak lawan agar terjungkal. 

Namun alangkah kagetnya ketika dirasakannya bahwa 

semakin kuat dia mengerahkan tenaga untuk mele-

paskan diri, maka semakin kuat pula tambang itu 

membelit tubuhnya seperti seekor ular yang hendak 

meremukkan tulang-belulangnya.

"Wanita iblis! Ternyata kau yang memiliki Tambang 

Setan ini!" desis Ki Ageng Sura geram.

"Hik hik hik...! Tua bangka tolol, syukur akhirnya 

kau tabu siapa diriku...!" sahut gadis itu dengan terta-

wa nyaring.

Sementara itu melihat gurunya telah diringkus oleh 

gadis licik yang justru tengah mereka tolong, Jaka 

Permana marah bukan main. Dia menerjang mereka 

dengan kalap.

"Pengecut-pengecut hina, kuhabisi kalian! 

Yeaaa...!"

"Phuih! Bocah tak tahu diri. Biar kuringkus dia, 

dan kalau perlu dicincang!" geram salah seorang dari 

kawanan itu seraya maju memapaki serangan Jaka 

Permana dengan tangan kosong.


Plak!

Bet!

Melihat yang menghadapinya hanya seorang, Jaka 

Permana merasa mampu melumpuhkan orang itu. 

Ujung kaki kanannya menyodok ke arah leher, namun 

dengan gerakan manis lawan melompat ke belakang 

sambil berjumpalitan. Jaka Permana mengirim seran-

gan susulan dengan mengayunkan kepalan tangan ki-

rinya ke arah dada lawan.

"He he he...! Kau kira bisa memperdayaiku dengan 

kemampuanmu yang secuil itu, heh?!" ejek lawan 

sambil menahan kepalan tangan Jaka Permana den-

gan telapak tangan kanannya.

Pemuda tanggung itu terkejut Kepalan tangan-nya 

seperti menghantam benda keras. Belum lagi habis ra-

sa kagetnya, mendadak satu hantaman keras mengha-

jar perutnya. Jaka Permana menjerit keras, ketika tu-

buhnya terjungkal dengan darah kental meleleh dari 

bibirnya. Isi perutnya terasa bagai diaduk-aduk dan 

sakit sekali. Isi kepalanya berat dan sulit digerakkan, 

serta pandangannya mulai mengabur. Namun dengan 

susah payah dia berusaha bangkit.

Duk!

"Aaakh...!"

Jaka Permana menjerit keras. Tubuhnya kembali 

terjungkal beberapa langkah ketika satu tendangan ke-

ras menghantam dadanya. Pandangannya semakin 

mengabur dan berkunang-kunang dengan rasa sakit 

yang menyesakkan dada.

"Jahanam!" Ki Ageng Sura menggeram. Pedangnya

terayun hendak memapas tambang yang membelenggu 

dirinya. Tapi saat itu juga si gadis menghantamnya 

dengan satu pukulan jarak jauh yang berhawa panas 

ke arahnya.

"Jangan coba-coba, Orang Tua Dungu! Kau akan


mampus dengan sendirinya!" dengus gadis itu dingin.

Ki Ageng Sura terpaksa membatalkan serangan 

dan berusaha menghindari serangan lawan. Tapi ber-

samaan dengan itu pun si gadis menyentak tambang-

nya hingga tubuh Ki Ageng Sura nyaris terjerembab ke 

depan.

"Keparat! Apa sebenarnya yang kau kehendaki, Pe-

rempuan Iblis?!" geram Ki Ageng Sura dengan wajah 

merah padam menahan perasaan marah dan malu.

Gadis itu tersenyum halus, kemudian memberi 

isyarat agar orang yang menghajar Jaka Permana 

menghentikan perbuatannya, kemudian dia kembali 

menatap ke arah Ki Ageng Sura.

***

"Kau mengerti apa yang kuinginkan, Ki Ageng Su-

ra...!" dingin terdengar nada suara gadis itu.

"Huh, Wanita Iblis! Sampai kapan pun kau tak 

akan mendapatkan apa yang kau inginkan!" dengus Ki 

Ageng Sura tegas.

"Begitu?" sahut gadis itu dengan nada mengejek. 

"Aku ingin melihat sampai di mana daya tahan tu-

buhmu menghadapi Tambang Setan ini...."

"Huh, lakukanlah sesukamu. Tapi jangan harap 

aku menyerahkan apa yang kau inginkan!"

Gadis itu tertawa nyaring. Bola matanya yang ben-

ing menatap orang tua itu dengan bibir tersungging 

mengejek.

"Kau pikir aku begitu bodoh, heh? Tak ada gu-

nanya menyiksamu, kalau memang kau telah bung-

kam. Tapi bagaimana kalau muridmu yang akan kupa-

tahkan satu-persatu anggota tubuhnya di hadapan-

mu? Kau akan melihat pertunjukan yang menyenang-

kan," kata gadis itu sambil menyeringai kecil dan


memberi isyarat pada salah seorang gerombolan yang 

berada di tempat itu untuk menyeret Jaka Permana ke 

hadapannya.

Pemuda tanggung yang sekujur tubuhnya terasa 

sakit dan linu itu tak mampu melawan sedikit pun. Dia 

hanya bisa pasrah ketika tubuhnya diseret ke depan 

gadis itu.

"Kau lihat, Orang Tua! Aku akan membuat murid-

mu ini mati perlahan-lahan dengan cara yang menge-

naskan...!" dengus gadis itu sambil menekan telapak 

kaki kirinya ke perut Jaka Permana.

"Aaakh...!"

Jaka Permana menjerit kesakitan ketika telapak 

kaki wanita itu mulai menekan kuat. Tubuhnya men-

gejang dan wajahnya berkerut menahan rasa sakit 

yang hebat.

Ki Ageng Sura sendiri menahan napas panjang 

sambil memejamkan mata. Hatinya marah bukan 

main, namun dia berusaha menekan perasaan itu. 

Percuma saja kalau dia berontak sebab tenaga dalam 

wanita itu berada di bawahnya. Lagi pula, siapa yang 

tak kenal dengan wanita itu? Tambang Setan itu seba-

gai bukti bahwa wanita itu tak lain dari Peri Tambang 

Setan Ular!

Namun ada hal yang membuatnya tak habis pikir, 

Bagaimana mungkin wanita itu masih begitu belia? 

Padahal setahunya, tokoh legendaris yang kepan-

daiannya amat tinggi itu telah berusia lanjut ketika dia 

masih berusia muda. Kalau sekarang tentu usianya te-

lah semakin lanjut usia. Ataukah dia memiliki ilmu 

yang membuatnya awet muda? Atau barangkali ini 

muridnya?

"Jangan coba-coba berbuat licik padaku! Lekas be-

rikan jawabanmu. Berikan kitab itu atau muridmu 

akan mampus dalam keadaan tersiksa di hadapanmu


sendiri!" dengus wanita itu memperingatkan.

Ki Ageng Sura menghela napas pendek Wanita ini 

memang tak bisa dianggap enteng. Terlebih lagi tam-

bang mautnya itu. Sedikit saja dia mengerahkan tena-

ga untuk melepaskan diri, maka bagaikan bernyawa, 

tambang itu melilitnya semakin kuat dan membuatnya 

sulit bernapas. Sia-sia saja dia berusaha melepaskan 

diri, sementara nyawa Jaka Permana sendiri terancam.

"Lepaskan dia, sebab dia tak ada sangkut-pautnya 

denganku...," sahut Ki Ageng Sura dengan sorot mata 

tajam.

"Hi hi hi...! Kau pikir aku begitu bodoh untuk me-

lepaskannya? Dia merupakan jaminan bagiku jika kau 

berbuat macam-macam!" sinis nada suara gadis itu 

dengan senyum mengejek.

"Bukankah kau menginginkan kedua kitab pusaka 

itu...?"

"Syukur kau mengetahuinya. Nah, berikan kedua 

kitab itu, maka kalian berdua akan kulepaskan."

Ki Ageng Sura tersenyum kecil, kemudian berkata 

pelan dengan suara mengejek.

"Kau telah membelenggu aku, dan siapa yang tak 

mengetahui kehebatan tambang ini. Tapi dengan me-

nyandera muridku yang tak becus apa-apa, kau hanya 

mempermalukan dirimu sendiri. Lepaskan dia, maka 

kau akan mendapatkan apa yang kau inginkan..."

"Eyang, aku tak tahu apa yang mereka ingin-kan! 

Tapi apa pun itu, jangan berikan! Eyang tak boleh me-

nyerah begitu saja kepada para pengecut licik ini!" te-

riak Jaka Permana gusar.

"Bocah goblok! Bicara apa kau...?! Hih!"

Wanita itu menggeram kecil, kemudian menekan 

sedikit telapak kakinya yang masih belum bergeser da-

ri perut pemuda itu.

Jaka Permana terpekik keras menahan sakit!


"Nisanak, lepaskan dia. Maka akan kuberikan apa 

yang kau inginkan!" teriak Ki Ageng Sura dengan suara 

keras.

"Hik hik hik...! Ternyata kau lebih sayang pada mu-

rid goblokmu ini ketimbang kedua kitab ilmu silat yang 

hebat itu. Baiklah, aku akan melepaskannya. Nah, se-

karang berikan kedua kitab itu padaku!" kata wanita 

itu sambil menarik telapak kakinya yang tadi meng-

himpit tubuh Jaka Permana, kemudian memandang ke 

arah Ki Ageng Sura dengan tersenyum sinis.

"Aku tahu kekejamanmu, Wanita Iblis. Kau tentu 

tak akan membiarkanku hidup setelah mendapatkan 

kedua kitab itu. Aku menyadari hal itu. Tapi biarkan 

muridku pergi dari tempat ini. Nyawa muridku ditukar 

dengan kedua kitab itu rasanya sudah lebih dari cu-

kup!" ujar Ki Ageng Sura.

"Tidak, Eyang! Aku tidak akan membiarkanmu di 

sini seorang diri! Aku akan selalu menyertai-mu...!" te-

riak Jaka Permana sambil berusaha berdiri dan berja-

lan terhuyung-huyung mendekati orang tua itu.

"Jaka, seorang murid harus patuh pada perintah

gurunya. Dan kata-kataku tadi merupakan suatu pe-

rintah bagimu! Pergilah kau, dan pulanglah ke kam-

pung halamanmu. Orangtua mu pasti telah menung-

gu-nunggu. Hanya ingat pesanku! Katakan pada ab-

ang-abangmu untuk beternak kuda dengan baik. Dan 

juga sampaikan pesanku pada mereka bahwa kedua

kuda pemberianku itu hendaknya diserahkan padamu 

agar kau bisa mengurus dan membuatnya berkembang 

biak. Dengan demikian hidupmu akan lebih terjamin. 

Tapi sebaiknya kuda betina berbulu hitam yang liar itu 

bunuh saja, sedangkan kuda jantan putih yang gagah 

perkasa, kau rawat baik-baik Carikan betina lain yang 

lebih sepadan...," kata Ki Ageng Sura.

"Tapi, Eyang...," dahi Jaka Permana berkerut den


gan wajah heran. 

"Jangan membantah, Tolol! Kerjakan saja apa yang 

kukatakan! Nah, pergilah cepat dari sini!"

"Eyang...," suara Jaka Permana tercekat di kerong-

kongan. Dia masih belum beranjak. Namun ketika Ki 

Ageng Sura kembali membentak garang, barulah dia 

bangkit perlahan-lahan meninggalkan tempat itu sam-

bil sesekali menoleh ke arah guru-nya.

Tapi baru saja beranjak kira-kira lima langkah, 

kawanan itu telah mengepungnya. Si gadis yang agak-

nya bertindak sebagai pimpinan itu terkekeh-kekeh.

"Hi hi hi...! Kau kira begitu mudah aku tertipu, ya? 

Tak seorang pun di antara kalian yang boleh pergi!"

***

TIGA



"Hm, jadi kau tak menginginkan kedua kitab itu?" 

tanya Ki Ageng Sura sinis.

"Siapa bilang? Aku menginginkan kedua kitab itu, 

dan juga kedua nyawa kalian!" sahut gadis itu tandas.

"Kau boleh membunuh kami, tapi jangan harap 

kedua kitab itu bisa kau temukan!" sahut Ki Ageng Su-

ra mengancam.

"Hi hi hi...! Ingin kulihat, sampai di mana kekera-

san kepalamu setelah melihat bocah ini sekarat me-

nemui ajalnya di hadapanmu!" dengus gadis itu sambil 

tersenyum mengejek.

Setelah berkata demikian dia memberi isyarat pada 

bocah itu untuk mendekat sambil menggerak-gerakkan 

telunjuknya.

"Yeaaa...!"

"Hih!"


Melihat kesempatan itu, Ki Ageng Sura mengerah-

kan segenap kemampuannya untuk melepaskan diri 

dari belitan tambang lawan dan menyentaknya dengan 

kuat. Gadis itu terkejut untuk beberapa saat. namun 

saat itu juga dia menggeram dan menarik tambangnya 

kuat-kuat.

"Hup!"

Ki Ageng Sura menyadari adanya tenaga kuat yang 

menarik dirinya. Dia tak berusaha melawan, malah 

mengikuti sentakan itu sambil mengerahkan ilmu me-

ringankan tubuh.

"Hiyaaa...!"

Plak!

Wut! Wut!

Ki Ageng Sura berteriak nyaring sambil mengayun-

kan pedangnya menyambar leher lawan. Namun den-

gan gerakan manis, gadis itu mengelak ke belakang 

sambil merendahkan tubuh. Kaki kanannya dengan 

cepat menyambar pergelangan tangan orang tua itu. 

Bukan main kagetnya Ki Ageng Sura melihat kecepa-

tan gadis itu bergerak. Dia mengeluh kesakitan ketika 

pergelangan tangannya berderak. Tulangnya mungkin 

patah, dan genggamannya pada pedangnya melemah 

sehingga dengan sekali kibas saja, senjatanya terpental 

jatuh. Namun begitu dia masih sempat mengayunkan 

tendangan keras ke dada lawan. 

Tapi gadis itu ternyata lebih gesit lagi melompat ke 

atas untuk menghindari tendangan lawan. Tubuhnya 

berjumpalitan sambil membuat putaran beberapa kali. 

Kemudian terdengar dia berteriak lantang.

'Yeaaa...!"

"Uhhh...!"

Desss!

Tubuh Ki Ageng Sura tersentak bagai mengikuti 

pusaran angin kencang yang membuatnya terseret


tanpa mampu menahan atau mengendalikan diri. Be-

lum lagi dia sempat menguasai diri, mendadak satu 

hantaman keras mendarat di tubuhnya. Ki Ageng Sura 

menjerit keras. Isi tubuhnya terasa remuk bagai dihan-

tam godam yang beratnya puluhan kati.

"Eyaaang...!" Jaka Permana terkejut dan berlari ce-

pat sambil menahan sakit untuk mendapati orang tua 

itu.

"Jaka, cepat kau tinggalkan tempat ini! Cepaaat..!" 

teriak Ki Ageng Sura.

'Tidak, Eyang! Aku tidak akan meninggalkan-mu 

seorang diri di sini!"

"Anak goblok! Ayo, selamatkan dirimu karena ma-

sih ada yang harus kau kerjakan untuk menyampai-

kan pesanku tadi!"

'Tapi, Eyang...."

"Cepat tinggalkan aku... aaakh!" Ki Ageng Sura tak 

mampu melanjutkan kata-katanya ketika tubuhnya

melayang ke atas dan disusul dengan se-sosok tubuh 

melesat memapaki.

Plak!

Desss!

"Aaa...!"

Tubuh orang tua itu terjerembab tak berdaya.

Dari mulutnya keluar darah kental. Gadis itu ter-

senyum sambil menarik tambang yang masih melilit di 

tubuh Ki Ageng Sura.

"Jangan biarkan bocah itu pergi! Bunuh dia...!" se-

ru gadis itu dingin.

"Tidak! Jaka, cepat tinggalkan tempat ini. Ce-

paaat..!" teriak Ki Ageng Sura gusar.

Orang tua itu berusaha bangkit untuk menolong 

muridnya, namun dengan sekali sentak, tubuhnya 

kembali terjerembab. Gadis itu mendengus dingin. Tapi 

Ki Ageng Sura tak mau menyerah begitu saja. Tangan


nya bergetar meraup debu dan melemparkannya ke 

muka gadis itu dengan sekuat tenaga.

"Gadis iblis, rasakan olehmu...!"

"Keparat! Hih...!"

Rrrt!

Dengan cepat gadis itu mengayunkan tangan kiri 

untuk melindungi wajahnya. Perbuatan orang tua itu 

telah membuat hatinya gusar bukan main. Dengan ge-

ram ditariknya tambang itu sehingga membuat tubuh 

Ki Ageng Sura terangkat ke atas. Kemudian dengan 

gemas tubuh ramping gadis itu telah mengapung di 

udara sambil mengeluarkan lengkingan keras.

"Yeaaa...!"

Plak!

Begkh!

"Aaa...!"

Ki Ageng Sura bukannya tak menyadari kemarahan

gadis itu. Dia berusaha menahan agar tubuhnya tak 

terangkat, namun tenaga yang dikerahkan gadis itu 

untuk menyentak dirinya sungguh luar biasa. Bahkan 

dia sendiri masih berusaha melindungi diri ketika ga-

dis itu bermaksud menghajarnya. Tapi akhirnya Ki 

Ageng Sura terpaksa mengeluh pelan ketika tulang 

tangannya remuk akibat benturan dengan tangan ha-

lus si gadis. Lalu dengan kecepatan yang sulit diduga, 

tiba-tiba saja tubuhnya terpental jauh sambil merasa-

kan sakit yang bukan kepalang.

Jaka Permana yang saat itu tengah berusaha mele-

paskan diri dari kejaran anggota kawanan itu sempat 

terkesiap dan menoleh ke belakang. Wajahnya tampak 

muram dan dadanya terasa sakit menahan perasaan 

ngeri. Tapi bukan hanya karena itu, melainkan pera-

saannya yang lebih terasa sakit untuk saat ini. Dia tak 

mampu berbuat apa-apa melihat gurunya tersiksa oleh 

lawan-lawannya. Apa yang dapat dilakukannya sebagai


balas budi terhadap orang yang telah menyelamatkan 

hidupnya? Menyelamatkan diri sendiri?

***

Hampir saja pemuda itu berbalik dan hendak 

membantu gurunya kalau dia tak terkejut mendengar 

teriakan lawan-lawannya yang akan meringkusnya. 

Jaka Permana terkejut, dengan tiba-tiba dia kembali 

berlari menyelamatkan diri sambil menerobos hutan 

lebat di depan matanya. Kakinya terus berlari tanpa 

tujuan. Yang ada di benaknya saat ini adalah menye-

lamatkan diri dan berlari sejauh-jauhnya sampai me-

reka tak bisa menemukannya.

"Keparat! Kencang juga larinya bocah itu!" dengus 

salah seorang di antara kawanan itu geram.

"Padahal dia dalam keadaan terluka dalam!" timpal 

kawannya.

"Jangan banyak ribut! lebih baik kita kejar terus. 

Dia tengah terluka, tentu tak bisa berlari jauh!" teriak 

yang seorang lagi memberi perintah pada yang lainnya.

"Sebaiknya kita berpencar. Kalian dari sebelah kiri, 

kelompok ini terus dari arah ini, sementara kami men-

gejarnya ke kanan!" cetus seseorang memberi saran.

"Bagus! Itu saran yang baik! Kami berangkat seka-

rang!" sahut salah seorang yang mewakili ke-lompok 

tengah.

Tak lama kemudian kelompok bagian kiri telah ter-

bentuk dan langsung melanjutkan pengejaran. Kelom-

pok sebelah kanan kembali menyusul tak berapa lama 

kemudian.

Sementara itu dengan napas yang semakin tersen-

gal-sengal, Jaka Permana terus berlari sambil sesekali 

melirik ke belakang dengan wajah pucat dan berkerin-

gat seperti hendak memastikan bahwa para pengejar


nya tak berhasil menemukan dirinya. Namun meski 

tak terlihat tanda-tanda bahwa mereka telah menemu-

kannya, hatinya tetap yakin seolah derap langkah me-

reka begitu dekat terdengar oleh telinganya. 

Duk!

"Aduuuh...!" Jaka Permana menjerit kesakitan ke-

tika kaki kanannya tersandung sebuah akar. Tubuh-

nya terjerembab ke depan dan terus bergulingan ke 

bawah lembah yang tak begitu curam.

Tubuhnya baru berhenti bergulir ketika tersandung 

sebuah batu besar yang menonjol ke permukaan. Pe-

muda tanggung itu bersungut-sungut dengan wajah 

berkerut menahan kesal dan rasa sakit. Tubuhnya le-

mas sekali, dan rasanya tak kuat untuk diajak berdiri. 

Apalagi untuk berlari. Tapi ketika memandang ke seke-

liling, debaran jantungnya semakin kencang. Dia telah 

salah mengambil jalan. Seharusnya terus berlari ke da-

lam hutan yang jarang dimasuki orang, namun lang-

kah kakinya malah membawanya ke tempat terbuka. 

Dengan begitu kehadirannya akan mudah diketahui 

mereka.

Mengingat hal itu dia berusaha bangkit dan me-

langkah dengan terhuyung-huyung. Baru saja kakinya 

menapak lima langkah, tubuhnya kembali terjungkal 

lunglai. Dari mulutnya keluar keluh kesakitan. Pan-

dangannya mulai berkunang-kunang, dan rasa sakit 

yang dideritanya semakin tak kuat untuk ditahannya. 

Samar-samar terdengar teriakan-teriakan beberapa 

orang. Dari nada suaranya dia bisa menduga bahwa 

mereka kelihatan begitu girang menemukannya, dan 

dia langsung menebak bahwa mereka tak lain dari ka-

wanan itu.

"Habislah riwayatku kali ini," keluh Jaka Permana 

pelan di dalam hari dalam keadaan putus asa.

Apa yang dipikirkan pemuda tanggung itu memang


tak salah. Salah satu dari kelompok yang berpencar itu 

menemukannya. Mereka yang berjumlah empat orang 

itu langsung melompati menghampiri. Salah seorang 

dengan gemas bermaksud membacok pemuda itu den-

gan goloknya.

"Hentikan! Jangan sembarangan kau bertindak!" 

cegah salah seorang kawannya yang bertubuh kurus 

dengan nada gusar.

''Kalau sampai Nyi Imas Wari mengetahui kau 

mendahului keputusannya, bisa hilang kepalamu!"

Orang itu bersungut-sungut sambil menya-

rungkan kembali goloknya.

"Lalu mau kita apakan dia sekarang? Bukankah 

Nyi Imas Wari pun menyuruh kita untuk membunuh 

mereka berdua?"

"Pokoknya jangan mendahului dia, titik! Soal dia 

dibunuh atau tidak, terserah setelah kita berhadapan 

dengan Nyi Imas Wari. Siapa tahu setelah kita bawa, 

dia berubah pikiran. Kita akan celaka kalau membu-

nuhnya sekarang. Lebih baik bawa dia ke hadapan Nyi 

Imas Wari."

Salah seorang dari mereka segera mengangkat tu-

buh Jaka Permana yang tak sadarkan diri ke pundak-

nya. Keempat orang itu siap berlalu dari tempat itu. 

Namun baru dua langkah berjalan, sekonyong-

konyong langkah mereka terhenti ketika seorang pe-

muda tampan berwajah keras telah berdiri di hadapan 

mereka. Pemuda berbaju kulit harimau dengan monyet 

berbulu hitam bertengger di pundak kirinya itu me-

mandang mereka dengan sorot mata tajam, dan sama 

sekali tak terlihat senyumnya.

"Kunyuk sial! Mau apa kau menghalangi perjala-

nan kami?!" bentak laki-laki bertubuh kerempeng 

sambil bertolak pinggang dan mata melotot garang.

"Biar kubereskan saja dia!" selak kawannya yang


memakai ikat kepala hijau dan sudah langsung men-

cabut golok hendak menebas leher pemuda berbaju 

kulit harimau itu.

Laki-laki itu adalah yang tadi gagal melukai Jaka 

Permana karena dihalangi laki-laki bertubuh kerem-

peng, yang agaknya bertindak sebagai pimpinan dalam 

kelompok kecil ini. Hatinya masih dendam dan belum 

puas karena amarahnya belum mendapatkan sasaran. 

Maka begitu melihat pemuda itu bersikap dengan wa-

jah angkuh dan sama sekali tak menunjukkan ketaku-

tannya saat berhadapan dengan mereka, kemarahan-

nya yang tadi belum surut, kini seperti menemukan 

pelampiasannya.

"Yeaaa...!" 

Plak!

Pemuda berbaju kulit harimau itu sama sekali tak 

bergeming menghadapi serangan lawan. Dia masih te-

tap berdiri tegak ketika laki-laki itu mengayunkan go-

loknya yang tajam berkilat ke bagian leher. Namun se-

saat lagi golok itu akan menyambar lehernya, pemuda 

itu cepat menundukkan kepala. Lalu bersamaan den-

gan itu sebelah tangannya menangkap pergelangan 

tangan lawan dan ditekuknya ke belakang dengan 

kuat.

Krek!

Duk!

"Aaa...!"

"Hei?!"

***

Bukan main terkejutnya ketiga kawanan itu ketika 

melihat apa yang terjadi pada laki-laki itu. Pemuda 

berbaju kulit harimau itu mematahkan tulang lengan 

kawan mereka, lalu menghajar tulang belakangnya sehingga lawan terjungkal ke depan sambil memekik ke-

sakitan. Dia berusaha bangkit, namun tubuhnya kem-

bali terjerembab sambil merasakan sakit yang hebat di 

tangan dan tulang belakangnya yang patah.

'Keparat! Siapa kau berani mempermainkan salah 

seorang gerombolan Peri Iblis Maut?!" bentak si ke-

rempeng dengan wajah merah padam menahan geram.

"Huh! Siapa yang peduli dengan segala rombongan 

busuk seperti kalian? Lepaskan bocah itu dan me-

nyingkirlah dari sini!" dingin terdengar suara pemuda 

berbaju kulit .harimau itu.

Seperti mengerti apa yang dikatakan tuannya, mo-

nyet berbulu hitam yang sejak awal pertarungan telah 

melompat turun dari pundak pemuda itu, kini berjalan 

dengan kedua kakinya ke arah si kerempeng. Kedua 

tangannya digerakkan ke dekat telinga dengan lidah 

terjulur keluar dan wajah yang sesekali berkerut seper-

ti mengejek mereka.

"Ngukh, ngukh...! Kaaakh...!"

"Monyet sial! Kau dan tuanmu tak ada bedanya 

baik dalam kelakuan maupun wajah kalian. Dan 

orang-orang celaka seperti kalian harus mampus saat 

ini juga!" dengus si kerempeng geram sambil memberi 

isyarat pada dua orang kawannya untuk menyerang 

bersamaan.

Pemuda berbaju kulit harimau yang tak lain dari 

Bayu Hanggara, alias Pendekar Pulau Neraka itu ter-

senyum sinis sambil memandang mereka satu persatu 

yang kini mulai mengepungnya. 

"Yeaaa...!"

Dengan satu teriakan panjang, si kerempeng maju 

terlebih dulu dengan mencabut golok dan menebas la-

wan dari kepala hingga ke kaki. Gerakannya cepat dan 

meliuk-liuk sangat dahsyat. Dan sesaat kemudian, dua 

orang kawannya telah menyusul menyambar ke atas


dan ke bawah dengan gerakan yang tak kalah cepat-

nya. Dengan demikian mereka mengunci lawan agar 

terperangkap dan tak mampu lari ke mana pun pemu-

da itu hendak bergerak menyelamatkan diri.

Bayu mendengus geram. Tubuhnya merunduk 

sambil mendongakkan kepala ke belakang dan bersa-

maan dengan itu tubuhnya seperti mengapung untuk 

menghindari babatan dari atas dan tengah. Lalu ke-

mudian terlihat dia menjatuhkan diri dan merapat rata 

dengan tanah untuk menghindari sabetan senjata la-

wan yang rendah. Kemudian dengan tiba-tiba saja tu-

buhnya melenting dengan ringan sambil mengayunkan 

sebelah kakinya menghantam dada lawan.

Duk!

"Aaakh...!"

Salah seorang lawan menjerit kesakitan. Tubuhnya 

terjungkal ke belakang sambil berkelojotan. Dia sama 

sekali tak menyangka lawan mampu berbuat demikian 

sehingga membuatnya. tak waspada.

Masih beruntung kedua lawannya yang lebih cepat 

melompat ketika sapuan kaki pemuda itu menyam-

bung menyambar mereka.

Tapi mereka pun dibuat terkejut ketika pemuda 

berbaju kulit harimau itu mendadak saja telah berke-

lebat cepat menyambar mereka dengan hajaran sebe-

lah tangannya yang mengibas keras. Terasa betul 

bahwa kepandaian pemuda itu tak bisa dianggap ren-

dah. Dari desir angin kencang yang menyertai seran-

gannya, bisa diduga bahwa dia memiliki kepandaian 

yang tinggi. Namun mereka hanya menyambar angin 

belaka ketika tubuh pemuda itu bergulung bagai 

trenggiling, dan ketika terbuka, kedua kakinya meng-

hajar tepat di dada kedua lawannya.

Duk!

Desss!


"Aaakh...!"

Keduanya menjerit kesakitan dengan tubuh ter-

jungkal beberapa langkah. Darah kental menggelegak 

dari mulut keduanya. Dengan terengah-engah mereka 

berusaha bangkit. Namun tubuhnya menggigil, bukan 

saja oleh rasa sakit melainkan ngeri menyaksikan ke-

hebatan pemuda itu yang berjalan pelan mendekati 

mereka.

"Kalian boleh teruskan permainan ini atau kupe-

cahkan kepala kalian satu persatu?!"

"Eh, ng... ampuni nyawa kami, Kisanak...," sahut 

salah seorang di antara mereka sambil menjura dan 

bersujud di dekat kaki pemuda itu.

'Pengecut! Apa yang kau lakukan?!" bentak si ke-

rempeng geram melihat ulah kawannya itu.

"Aku tak peduli! Apa kalian bisa menyelamatkan 

diri dalam keadaan begini?" dengus orang itu membela 

diri.

'Pergilah kalian dari hadapanku! Cepaaat..!" bentak 

Bayu keras.

"Eh, iya! Iya...," sahut mereka serentak meninggal-

kan tempat itu sambil berlari terbirit-birit

Bayu memandang sekilas pada mereka, kemudian 

melangkah mendapati Jaka Permana.

"Hm, anak ini mendapat luka yang cukup serius. 

Sungguh hebat daya tahan tubuhnya. Kalau saja anak 

lain seusianya yang mengalami penderitaan seperti ini, 

pasti telah tewas...," gumam Bayu setelah memeriksa 

keadaan pemuda tanggung itu.

Pemuda itu mengurut-urut beberapa tempat di ba-

gian tubuh Jaka Permana. Tak berapa lama terlihat 

pemuda tanggung itu batuk-batuk kecil sambil mengu-

rut-urut keningnya. Pandangannya masih kabur, dan 

terlihat dia berusaha menegaskan pandangan pada 

orang yang berada di hadapannya.



"Kau sudah agak baik...?" tanya Bayu pelan sambil 

ikut mengurut kening pemuda tanggung itu.

"Eh, siapakah Kisanak...?" tanya Jaka Permana.

"Aku kawanmu...," sahut Bayu singkat.

Jaka Permana memandangnya dengan seksama. 

Pemuda yang memakai baju kulit harimau itu berwa-

jah tampan dengan rambut panjang. Sorot matanya ta-

jam berkilat laksana mata seekor harimau. Hal yang 

lebih jelas terasa olehnya bahwa pemuda di hadapan-

nya sama sekali tak ramah, dalam arti kata tak men-

gobral senyum atau berkata. Yang cukup dipercayanya 

bahwa pemuda itu sama sekali tak bermaksud jahat 

padanya, adalah seekor monyet yang sangat ramah 

dan berusaha menarik perhatiannya sambil cengar-

cengir, yang bertengger di pundak pemuda itu.

***

EMPAT



"Kaukah yang mengusir mereka...?" tanya Jaka 

Permana seraya bangkit dan menyandarkan tubuhnya 

pada sebatang pohon.

Bayu tak menyahut, melainkan balik bertanya.

"Siapa orang itu, dan kenapa kau sampai beruru-

san dengan mereka?"

"Entahlah. Mereka tiba-tiba saja datang ke pondok 

kami dengan siasat licik. Guruku kena diringkus, lalu

menyuruhku kabur. Dan... selanjutnya mungkin kau 

mengetahuinya...," jelas Jaka Permana singkat.

"Hm, apa alasan mereka memusuhi guru-mu...?"

Jaka Permana tidak langsung menjawab. Di pan-

danginya pemuda di hadapannya beberapa saat la-

manya, seperti ingin meyakinkan dirinya bahwa pemuda itu bukan merupakan salah seorang dari kawanan 

yang telah mencelakakan gurunya dan dirinya sendiri. 

Tapi meskipun dia percaya bahwa pemuda ini bermak-

sud baik dan telah menolongnya, tetap saja dia orang 

asing baginya. Dan bayangan yang selalu melekat da-

lam benaknya adalah, tidak boleh mempercayai orang 

asing. Siapa pun orang itu.

"Eh, aku... aku sendiri tak mengetahuinya...," sa-

hut Jaka Permana sambil menggeleng lesu.

"Hm, mungkin antara gurumu dan mereka pernah 

terjadi saling permusuhan di masa lalu...," gumam 

Bayu.

"Bisa jadi!" sahut Jaka Permana cepat.

"Berapa jauh tempatmu dari sini?"

"Entahlah...," sahut Jaka Permana sambil meman-

dang ke sekeliling tempat itu. "Aku berlari terus tanpa 

menoleh-noleh lagi, dan saat ini tak tahu berada di 

mana...."

"Di mana, eh maksudku apa namanya tempat 

asalmu itu?"

"Lembah Dasawarna...."

"Hm...," Bayu mengangguk-angguk. "Mari kita ke 

sana!"

"Ke sana...?" wajah Jaka Permana tampak bingung.

"Ya, kenapa? Tidakkah kau ingin menolong guru-

mu?" tanya Bayu seraya memandang tajam ke arah 

pemuda tanggung itu.

"Eh, tentu saja! Tapi...."

"Tapi kenapa?"

"Jumlah mereka banyak, dan... gadis itu memiliki 

kepandaian yang hebat. Guruku saja yang kuanggap 

sakti mampu diringkus dengan tambang mautnya. 

Aku... aku...," Jaka Permana tak melanjutkan kata-

katanya. Tanpa sadar dia bermaksud bercerita panjang 

lebar dengan pemuda asing yang belum dikenalnya ini.


Begitu ingat bahwa dia tak boleh bicara banyak, dia 

segera menghentikan kata-katanya.

Tapi kemudian dia menjadi salah tingkah sendiri 

ketika melihat pemuda berbaju kulit harimau itu me-

mandang tajam ke arahnya dengan sorot mata penuh 

selidik.

"Kau mau menyembunyikan sesuatu dari-ku...?" 

tanya Bayu dingin.

"Eh, tidak! Tidak...!"

"Hm.... Siapa namamu?"

"Jaka... Jaka Permana."

"Jaka, kau boleh memanggilku Bayu, dan ini saha-

batku. Namanya Tiren," sahut Bayu seraya memperke-

nalkan monyet berbulu hitam itu.

Jaka Permana tersenyum lebar. Dilihatnya tingkah 

laku monyet itu seperti mengerti saja apa yang dikata-

kan oleh Bayu. Bahkan monyet itu mengulurkan tan-

gan kanannya seperti hendak bersalaman. Jaka Per-

mana terpaksa menyambutnya sambil tersenyum geli. 

Kemudian dilihatnya monyet itu bertepuk-tepuk seraya 

berjumpalitan beberapa kali sambil berteriak-teriak ke-

ras.

"Hush, sudah! Jangan ribut!" bentak Bayu.

Wajah monyet itu merunduk, kemudian me-

langkah pelan mendekati Jaka Permana, kemudian 

menyembunyikan wajahnya ke dada pemuda tanggung 

itu.

Bayu tersenyum kecil. Jaka Permana baru melihat 

senyum pemuda itu sejak tadi.

"Jaka, kau berhak merahasiakan apa yang tidak 

boleh diketahui orang lain. Tapi sebagai murid yang 

berbakti pada gurunya, kau wajib menolongnya pada 

saat beliau berada dalam kesulitan...," kata Bayu me-

lanjutkan kata-katanya.

Jaka Permana memandang pemuda itu sekilas,


kemudian dengan cepat dia bangkit sambil mengang-

gukkan kepala.

"Aku memang bermaksud demikian. Tapi seorang 

diri melawan mereka percuma saja. Seperti yang kuka-

takan tadi, jumlah mereka banyak. Dan pemimpinnya 

memiliki kemampuan yang hebat. Tadi aku... aku ber-

maksud untuk menemui dua orang saudara sepergu-

ruanku untuk memberitahukan kejadian ini...," jelas 

Jaka Permana mulai jujur.

"Nanti saja kau beritahukan mereka. Sekarang ma-

ri kita ke sana!" desak Bayu.

"Maksudmu kita berdua...?!" tanya Jaka Permana 

menegaskan.

Bayu memandang Jaka Permana beberapa saat 

lamanya, kemudian berkata pelan.

"Entahlah, aku jarang keluar lembah itu sampai se-

jauh sekarang. Tapi kalau melihat gunung yang men-

julang tinggi itu, maka tempatku di sebelah uta-

ranya...," tunjuk Jaka Permana.

"Nah, mari ikut denganku!" sahut Bayu pendek se-

raya menyambar Jaka Permana dan membawanya ber-

lari kencang dari tempat ini.

Pemuda tanggung itu sedikit heran bercampur tak-

jub. Pemuda berbaju kulit harimau itu mampu berlari 

cepat meski menggendong dirinya dan monyet hitam 

itu. Siapa dia sebenarnya? Yang jelas kecurigaannya 

mulai sedikit berkurang, dan merasa yakin bahwa pe-

muda ini pastilah salah seorang pendekar persilatan 

yang sering membantu kaum lemah, seperti yang per-

nah didengarnya dari penuturan Eyang Ageng Sura.

***

Jaka Permana merasakan mereka hanya berlari da-

lam sekejapan waktu saja karena beberapa saat kemudian mereka telah tiba. Bayu menurunkan Jaka Per-

mana yang langsung memandang ke sekeliling tempat 

itu.

"Sunyi..., ke mana mereka?" bisik Jaka Permana 

ragu.

Bayu menajamkan pendengarannya. Namun tak 

terdengar suara apa pun yang mencurigakan. Dia me-

langkah mendekati pondok dengan hati-hati sekali. 

Terlihat darah berceceran di sana-sini dan tanah yang 

sempal akibat pertarungan. Namun kalau tewas, tentu 

mayatnya akan terlihat. Namun yang mereka temukan 

cuma bercak-bercak darah dan bekas pertarungan itu 

saja.

"Kosong...!" seru Bayu pelan ketika dia membuka 

pondok.

"Aneh, ke mana mereka? Ke mana Eyang Ageng? 

Mungkinkah mereka menculiknya...?" desis Jaka Per-

mana bingung.

"Nguk… nguk...!" Tiren mendekati Bayu sambil 

menunjuk-nunjuk sesuatu.

Buru-buru Bayu mengikuti apa yang ingin di-

tunjukkan oleh sahabatnya itu.

Tak jauh dari halaman depan, Tiren menunjukkan 

sesuatu yang tergurat di tanah, bercampur noda da-

rah.

"Cul...," Bayu bergumam membaca kata yang ter-

putus itu. Dahinya sedikit berkerut, tapi tak berapa 

lama kemudian kelanjutan kata-kata itu dimenger-

tinya.

Jaka Permana yang kemudian menyusul ke tempat 

itu memandang Bayu dengan wajah kecut.

"Mereka menculik guruku...," gumamnya pelan.

"Siapa sebenarnya mereka, Jaka?" tanya Bayu.

"Entahlah, aku tidak mengetahui siapa mereka. 

Tapi yang menjadi pemimpinnya seorang gadis berparas cantik Dia bahkan terlalu muda untuk bisa menga-

lahkan guruku. Tapi buktinya..., ah! Kepandaiannya 

hebat. Senjatanya seutas tambang yang mampu mem-

belenggu guruku hingga tak berdaya," jelas Jaka Per-

mana. 

“Tambang...?"

"Ya, tambang. Seperti ular yang hidup!" sahut Jaka 

Permana seraya menganggukkan kepala.

"Kau kenal dengan mereka?"

"Entahlah, aku tak yakin...," Bayu menggeleng le-

mah.

"Kaaakh...!" tiba-tiba Tiren menjerit keras.

Bayu dan Jaka serentak berpaling. Pemuda berba-

ju kulit harimau itu segera mendekat ke arah Jaka 

Permana dan memegang bahunya seraya menatap ke 

satu arah. Pemuda tanggung itu menjadi bingung sen-

diri melihat kelakuan Pendekar Pulau Neraka.

"Ada apa?" tanyanya heran.

"Ada tamu yang tak diundang ke sini...," sahut 

Bayu.

"Tamu..? Siapa?"

"Kau akan mengetahuinya sebentar lagi...."

"Ha ha ha...! Bukan saja monyetmu yang memiliki 

pendengaran tajam, tapi juga tuannya memiliki kuping 

yang hebat pula!" terdengar suara keras yang kemu-

dian disusul dengan melesatnya sebuah bayangan hi-

tam tak jauh dari mereka.

Jaka Permana tersentak kaget. Mendadak saja te-

lah berdiri tegak sesosok tubuh di hadapannya menge-

nakan baju hitam yang agak kebesaran. Wajah orang 

itu sangat mengerikan. Sepasang matanya melotot ga-

rang dan merah bagai saga. Rambutnya berdiri kaku 

dan lehernya mengenakan kalung yang terbuat dari 

tengkorak kepala manusia. Tangan kanannya meme-

gang sebatang tombak yang ujungnya berlekuk seperti


keris.

"Hm, tak disangka Pendekar Pulau Neraka yang 

termahsyur itu pun ternyata kemaruk dengan segala 

pepesan kosong!" lanjut laki-laki yang berusia sekitar 

empat puluh tahun dan bertubuh besar itu

"Siapa kau dan apa yang kau maksud dengan 

pepesan kosong?" tanya Bayu tenang dengan nada su-

ara dingin.

"Ha ha ha...! Nama Setan Ular Hitam memang bu-

kan nama yang hebat, tapi tak sembarangan orang bi-

sa memandang rendah padanya. Kau mengerti apa 

yang ku maksud? Jangan menganggapku bodoh, So-

bat!"

"Hm, jadi kau berjuluk Setan Ular Hitam? Apa yang 

kau kehendaki sehingga datang ke sini?"

"Phuih! Ternyata kau betul-betul menganggap-ku 

rendah dan tolol! Tapi tidak semudah itu kau bisa me-

nyerakahi kedua pusaka itu. Serahkan padaku seka-

rang juga!"

Pendekar Pulau Neraka memandang geram pada 

laki-laki itu. Dia sama sekali tidak mengerti apa yang 

dibicarakan oleh Setan Ular Hitam. Datang dengan ti-

ba-tiba, lalu sekarang marah-marah dengan sikap 

hendak mengancamnya. Tentu saja dia tidak bisa me-

nerima sikap seperti itu.

"Setan Ular Hitam, aku tak mengerti apa yang kau 

bicarakan. Tapi dengan caramu itu, meskipun benda 

yang kau inginkan itu ada di tanganku, tidak akan ku-

berikan. Apalagi saat ini aku tak tahu-menahu tentang 

kedua pusaka yang kau katakan tadi!" desis Bayu.

"Setan! Orang lain boleh takut padamu, tapi jangan 

harap aku gentar! Kau akan mendapat pelajaran pahit 

atas kesombonganmu itu!" kata Setan Ular Hitam ge-

ram.

Selesai dengan kata-katanya itu, Setan Ular Hitam


melompat lima langkah ke hadapan Pendekar Pulau 

Neraka, sehingga jarak mereka kini kurang lebih hanya 

enam langkah saja. Dia melangkah perlahan ke samp-

ing dengan sorot mata setajam elang mengawasi pe-

muda berbaju kulit harimau itu dengan senjata terhu-

nus.

"Nguk! Nguk...!" Tiren melompat lompat sambil me-

nutup kedua matanya melihat gelagat itu.

"Jaka, mundurlah kau. Jangan jauh-jauh dari Ti-

ren. Dia bisa menjadi sahabat yang baik. Biar kube-

reskan babi gemuk ini!" kata Bayu pelan seraya men-

gambil ancang-ancang untuk bersiap menghadapi la-

wan.

Bukan main geramnya Setan Ular Hitam menden-

gar dirinya disebut sebagai babi gemuk. Sambil berte-

riak nyaring dia melompat dan memutar tombaknya 

bagai baling-baling menyerang lawan.

"Hiyaaa...!"

Wuk! Wuk..!

Pendekar Pulau Neraka melompat dengan satu kaki 

terangkat ke atas untuk menghindari serangan lawan, 

sekaligus berjumpalitan dan mengayunkan kepalan 

tangannya menghantam ke wajah Setan Ular Hitam.

"Phuih! Mampus kau!" geram Setan Ular Hitam se-

raya berbalik dan menghantam lawan dengan ujung 

tombaknya.

Pendekar Pulau Neraka tak kehilangan akal. Dia 

menarik kepalan tangannya, kemudian menundukkan 

kepala untuk menghindari sabetan pangkal tombak 

lawan. Senjata itu lewat beberapa rambut dari kepa-

lanya. Dia tidak mau menyia-nyiakan kesempatan. Be-

gitu sebelah kakinya menyentuh, maka saat itu juga 

tubuhnya melenting cepat ke arah batok kepala lawan.

"Hih!"

"Uts!"


Begkh!

Setan Ular Hitam terkejut sekali melihat kecepatan

lawan bergerak. Dia bahkan tidak sempat mengayun-

kan tombaknya untuk memapas serangan lawan. Sa-

tu-satunya jalan untuk menghindari serangan itu ha-

nyalah jangkauan kepalan tangan lawan. Dan hal itu-

lah yang dilakukannya. Tapi bukan main kagetnya dia 

manakala satu tendangan keras justru menghantam 

perutnya ketika lawan menarik pulang pukulannya, 

dan malah mengayunkan kaki kanan yang jangkaua-

nnya lebih panjang.

***

Setan Ular Hitam menjerit kesakitan. Tubuhnya 

terjungkal beberapa langkah. Namun dia masih mam-

pu menguasai diri sehingga tidak sampai jatuh terje-

rembab.

Pendekar Pulau Neraka tidak bisa membiarkan la-

wan begitu saja lepas dari hajarannya. Sekali kesempa-

tan terbuka, maka dia akan terus mengincarnya se-

hingga lawan tidak mampu berkutik. Dan hal itulah 

yang dilakukannya saat ini.

Belum lagi Setan Ular Hitam memantapkan kuda-

kudanya, tubuh lawan telah mencelat menyambar ke 

arahnya dengan satu serangan deras.

"Yeaaa...!"

Setan Ular Hitam mengeluh pelan. Tubuhnya ber-

putar ke belakang dua kali sambil mengayunkan ujung 

tombaknya ke arah lawan. Namun mata Pendekar Pu-

lau Neraka yang jeli, bukannya tidak memperhitung-

kan hal itu. Tubuhnya melompat ke tanah, dan ujung 

tombak lawan dengan gencar menyambarnya. Tapi be-

gitu tubuhnya terjatuh, maka secepat itu pula kembali 

melenting sambil mengayunkan satu tendangan ke


arah wajah lawan. 

"Hih!"

Setan Ular Hitam terkesiap dan terpaksa menang-

kis dengan tangan kirinya. Tapi dia mengeluh kesaki-

tan ketika benturan itu terjadi. Kaki lawan seperti ter-

buat dari besi ketika beradu dengan tangannya. Belum 

lagi habis rasa kagetnya, mendadak tendangan kaki 

Pendekar Pulau Neraka yang sebelah lagi menghajar 

dadanya dengan telak.

Desss!

"Aaakh...!"

Setan Ular Hitam menjerit kesakitan. Tubuhnya 

terjungkal lima langkah sambil menyemburkan darah 

segar. Ketika jatuh ke tanah, dia menggelepar-gelepar 

sesaat sebelum akhirnya diam tak berkutik!

Jaka Permana terpaku. Dia tidak percaya dengan 

penglihatannya. Orang bertubuh besar dan berwajah 

seram itu tewas dengan dada remuk. Sepasang ma-

tanya yang melotot lebar, kini bertambah lebar seperti 

tercekik. Darah kental meleleh dari mulut dan hidung 

serta matanya seperti tiada henti. Dia sedikit mengeta-

hui kalau orang tewas dengan cara demikian, pastilah 

isi tubuhnya hancur berantakan. Dan selama hidup-

nya, belum pernah dilihatnya orang tewas dengan cara 

demikian. Juga sepengetahuannya, hanya orang-orang 

berhati kejam yang sering berbuat demikian. Dan 

orang-orang berhati kejam itu biasanya bersifat jahat 

dan keji.

Jaka Permana memandang dengan wajah takut ke 

arah pemuda berbaju kulit harimau itu. Hatinya berpe-

rang untuk kembali menilai sikap Pendekar Pulau Ne-

raka. Jahatkah dia? Akankah dia berpura-pura baik 

lalu akan membunuhku dengan cara yang kejam keti-

ka aku lengah?

"Mari kita pergi, Jaka...!" ajak Bayu setelah menggendong Tiren.

Jaka Permana kembali memperhatikan. Dilihatnya 

wajah pemuda itu sama sekali tidak mengesankan 

apa-apa. Dingin dan... menyeramkan! Diam-diam dia 

bergidik ngeri, dan membayangkan, nasib apa yang 

akan menimpanya bila berjalan bersama-sama dengan 

pemuda itu.

"Kenapa? Tidakkah kau ingin mencari gurumu?" 

tanya Bayu dengan dahi berkerut ketika melihat Jaka 

Permana menggeleng pelan.

"Eh, aku... aku telah banyak merepotkanmu. Biar-

lah kucari sendiri. Lagi pula, aku... aku harus mene-

mui kedua saudara seperguruanku untuk mencari 

guru kami. Te... terima kasih banyak atas pertolon-

ganmu padaku...."

"Hm, jadi kau ingin mencari gurumu seorang diri?" 

tanya Bayu meyakinkan. 

"Hm, ya...."

"Kudengar laki-laki itu membicarakan tentang dua 

buah kitab pusaka yang dicari-carinya. Apakah itu ada 

kaitannya dengan kejadian yang menimpa kalian se-

hingga gurumu diculik?"

"Eh, aku tidak tahu apa-apa soal itu...!" sahut Jaka 

Permana dengan suara gagap.

Pendekar Pulau Neraka mengangguk sambil ber-

gumam pelan.

"Mungkin mereka salah alamat dan tersasar hingga 

ke sini, lalu mencari gara-gara...," lanjut Jaka Permana 

mengalihkan dugaan di benak Pendekar Pulau Neraka.

"Gurumu Ki Ageng Sura, bukan?" 

Jaka Permana mengangguk. 

"Ya, aku pernah mendengar nama beliau. Dia seo-

rang yang hebat dan tidak heran bila mempunyai ba-

nyak musuh. Tapi ada orang yang mampu menculik-

nya, itu hal yang hebat lagi...."


Jaka Permana jadi merasa tidak enak ketika meli-

hat Bayu tersenyum tipis seperti menyembunyikan se-

suatu. Seolah hatinya mengatakan bahwa pemuda 

berbaju kulit harimau itu mengetahui kebohongannya.

"Apa maksudmu dengan lebih cepat lagi...?" tanya 

Jaka Permana dengan heran.

Dilihatnya Pendekar Pulau Neraka memandangnya 

tajam untuk beberapa saat, kemudian mengelus mo-

nyet kecil di pundaknya. Lalu terdengar dia bersuara 

pelan.

"Kalau kau memang hendak mencari gurumu seo-

rang diri, berhati-hatilah. Kau sedang menghadapi ba-

haya besar, Jaka. Bahaya bisa merenggut nyawamu. 

Nah, aku pergi dulu!"

Setelah berkata demikian, Pendekar Pulau Neraka 

melesat dari tempat itu, dan hilang dalam sekejapan 

mata.

Jaka Permana memandang takjub. Dalam hatinya 

sebenarnya menyesal telah mencurigai pemuda itu ber-

lebihan. Seharusnya dia tidak bersikap bodoh seperti 

itu. Bukankah pemuda itu telah menyelamatkannya? 

Dan dia sama sekali tidak menyebut-nyebutkan mak-

sudnya untuk menolong dirinya dalam bahaya. Kalau 

demikian, bukankah dia menolong tanpa pamrih?

Jaka Permana menghela napas pendek dan meng-

hibur diri dari tuduhan-tuduhan hati kecilnya sendiri 

yang menyalahkan dirinya. Siapa tahu pemuda itu 

hanya bersandiwara dengan berpura-pura menolong-

nya. Bukankah gadis itu pun berpura-pura lemah dan 

mengharapkan pertolongan mereka? Dan siapa duga 

ternyata dia adalah pemimpin pengacau yang telah 

menculik gurunya!

***


LIMA


Pemuda berusia sekitar dua puluh tahun dan ber-

tubuh agak kurus itu memacu kudanya kencang-

kencang. Sesekali terlihat kepalanya menoleh ke bela-

kang seperti memastikan, bahwa apa dan siapa pun 

yang mengejarnya sejak tadi, kini tidak mengikutinya 

lagi. Namun meski tak terlihat siapa pun di belakang-

nya, pemuda yang di pinggangnya terselip sebatang go-

lok itu terus memacu kudanya seperti tiada henti.

"Heaaa! Hiyaaa...!"

Tak lama kemudian dia telah berada dekat sebuah 

perkampungan. Pemuda itu memperlambat lari ku-

danya. Wajahnya yang agak tampan telah bercucuran 

keringat. Demikian juga bajunya yang coklat pudar, 

basah oleh cucuran keringatnya. Dia melompat turun

dan berjalan pelan sambil menggandeng kudanya me-

masuki perkampungan itu.

Lalu lalang orang yang sesekali memperhati-

kannya, tidak menarik perhatiannya. Tatapan mata 

pemuda itu lurus ke depan. Hanya sesekali dia meno-

leh jika batinnya merasa curiga.

Ketika melihat sebuah kedai kecil, pemuda itu me-

nambatkan kudanya di depan, kemudian me-langkah 

masuk. Tak banyak orang di dalam kedai itu, tapi be-

berapa orang memandangnya dengan sikap tidak ber-

sahabat. Pemuda itu seperti tak mempedulikan sikap 

mereka melihat kehadirannya. Dia memanggil seorang 

pelayan.

"Apakah kau menjual rumput untuk kudaku, Ki-

sanak?" tanyanya.

Pelayan itu hanya mengangguk pelan.

"Kalau demikian, tolong berikan kudaku rum-put


dan air. Kami telah melakukan perjalanan yang cukup 

jauh. Dia juga haus dan lapar sepertiku...."

Mendengar kata-kata pemuda itu, si pelayan segera 

menyuruh salah seorang pekerjanya untuk mengena-

kan apa yang diinginkan pemuda itu. Tapi tidak demi-

kian halnya dengan beberapa orang pengunjung kedai. 

Mereka tertawa, bahkan salah seorang berkata dengan 

nada menyindir.

"Hei, Pelayan! Orang itu pasti perlu rumput seperti 

kudanya. Kenapa tidak sekalian kau buatkan dua por-

si untuknya? Dia pasti akan menyantapnya dengan la-

hap!"

Mendengar ejekan itu, mereka yang berada di da-

lam kedai kembali tertawa keras.

Pemuda yang diejek itu cuma menoleh sekilas ke-

pada mereka, kemudian berkata pelan kepada si pe-

layan.

"Pelayan, apakah nama desa ini?" 

"Sukamulya, Kisanak..."

"Hm, nama yang bagus. Alangkah sayangnya jika 

desa yang bagus ini dihuni oleh seekor monyet buduk!"

"Kurang ajar!" orang yang tadi mengejek pemuda 

itu, menggeram sambil menggebrak meja.

Brakkk!

"Dia pikir bisa bertingkah seenaknya di sini. Huh, 

belum kenal dengan si Koneng rupanya!" dengus laki-

laki berbaju hitam dan memakai gelang bahar besar di 

pergelangan tangan kanannya.

Koneng memegang gagang golok yang terselip di 

pinggang kiri. Dan sesekali memelintir kumisnya, dia 

melangkah gusar mendekati pemuda itu.

Melihat si Koneng mulai berbuat demikian, yang 

lainnya terdiam seribu bahasa. Mereka seperti menger-

ti apa yang akan terjadi kemudian. Selama ini, tidak 

seorang pun di desa ini yang berani menyinggung, dan


tidak segan-segan menghabisi nyawa orang itu. Ko-

neng memang jawara di Desa Sukamulya ini, dan pe-

muda kurus yang terlihat lemah itu bukan sekadar 

membuat si Koneng tersinggung dengan kata-katanya 

tadi, tapi telah membuatnya marah.

"Siapa yang kau katakan monyet buduk tadi?!" ge-

ram Koneng dengan mata melotot lebar sehingga biji 

matanya seperti hendak mencelat keluar.

Dengan sikap acuh tak acuh, dan sama sekali ti-

dak menoleh ke arah si Koneng, pemuda itu me-

nyahut pelan.

"Monyet buduk itu telah berdiri di depanku...."

"Bangsaaat..!"

Brakkk!

"Ohhh...!"

Kemarahan Koneng agaknya tidak bisa ditahan la-

gi. Kepalan tangan kirinya dengan geram menghantam 

pemuda itu. Namun dengan gerakan yang gesit, pemu-

da itu bergerak ke samping sambil berjumpalitan un-

tuk menghindari hantaman lawan. Akibatnya sungguh

luar biasa. Meja yang tadi berada di hadapan pemuda 

kurus itu hancur berantakan. Si pemilik kedai menge-

luh pelan melihat kejadian itu. Dia hanya bisa mengu-

rut dada tanpa bisa berbuat apa-apa karena tahu, da-

lam keadaan marah begitu bisa jadi si Koneng akan 

melampiaskan kemarahan padanya kalau saja dia ber-

teriak-teriak cemas.

Tapi pemuda bertubuh kurus itu agaknya mengerti 

apa yang dikhawatirkan pemilik kedai itu. Atau mung-

kin juga karena dia merasa tidak leluasa meladeni la-

wan dalam ruangan kedai yang sempit. Maka dengan 

satu gerakan manis, tubuhnya melesat keluar.

"Keparat! Jangan lari kau! Aku tidak membiarkan 

orang menghinaku lepas begitu saja. Kau harus mam-

pus, Jahanam!" geram Koneng seraya melesat keluar


mengejar pemuda berbaju coklat itu.

"Huh, siapa yang bilang aku kabur? Menghadapi

monyet buduk sepertimu aku akan kehilangan muka 

kalau sampai kabur!" desis si pemuda dengan nada 

mengejek.

"Kau tidak akan perlu kehilangan mukamu karena 

hari ini juga aku akan memenggal kepala-mu!"

"Huh, lakukanlah kalau kau mampu!"

"Yeaaa...!"

"Uts...!"

***

Koneng agaknya memang geram sekali melihat si-

kap pemuda itu. Selama ini tidak ada seorang pun 

yang berani menentangnya di desa ini, tapi pemuda itu 

bukan saja menentangnya, bahkan sama sekali tidak 

memandang sebelah mata kepadanya. Isi dadanya se-

perti mau meledak menahan hawa amarah. Maka tan-

pa pikir panjang lagi, dia langsung mencabut golok dan 

menyerang lawan dengan mengerahkan segenap ke-

mampuan yang dimilikinya. Tapi alangkah kagetnya 

dia ketika menyaksikan tidak satu pun dari serangan-

nya yang mampu melukai lawan. Bahkan dengan ge-

rakan yang manis, pemuda kurus itu berhasil meng-

hindari serangan-serangan gencarnya. Tentu saja hal 

itu membuatnya semakin geram.

"Keparat! Aku bersumpah akan membunuhmu...!"

"Huh, buktikanlah omong kosongmu itu!" desis si 

pemuda dingin. "Salah-salah malah kau akan kehilan-

gan kepalamu!"

Ujung golok Koneng menyebar ke arah perut lawan, 

namun pemuda itu cukup memiringkan tubuh sehing-

ga senjata lawan lewat beberapa jari dari perutnya. 

Sambil memutar tubuh dengan cepat, dia melayang


kan kepalan tangan menghajar wajah Koneng.

"Hup!"

"Uts!"

Duk!

Koneng menjerit dengan tubuh terjungkal! Laki-laki 

itu agaknya tidak bisa membaca gerakan tipuan yang 

dilancarkan lawan. Ketika kepalan pemuda itu meng-

hajar wajahnya, dia bergerak ke samping untuk meng-

hindarinya. Namun. pada saat itu kaki kiri si pemuda 

terayun menghantam perutnya. Hal itu sama sekali ti-

dak diduga oleh Koneng, sehingga dia harus menang-

gung akibatnya.

"Setan...!" Koneng menggeram dan bangkit kembali 

dengan cepat seraya mengusap darah yang menetes 

dari sudut bibirnya.

Bola matanya menatap tajam ke arah lawan. Dan 

wajahnya berkerut menahan geram.

"Hari ini kau akan mampus ditanganku!" dengus-

nya geram. 

"Huh, monyet buduk bermulut besar! Majulah kau 

kalau ingin kurobek mulutmu!" 

'Yeaaa...!"

Koneng membentak nyaring sambil mengayunkan 

goloknya menyambar leher dan bagian bawah tubuh 

lawan dengan cepat. Pemuda itu tersenyum sinis, ke-

mudian melompat ke atas melewati kepala Koneng.

Wuk! Wuk!

Koneng menyambar ke atas dan bermaksud mem-

belah perut lawan. Namun gerakan yang di-lakukan 

pemuda itu lebih cepat lagi. Ujung kakinya menghan-

tam punggung Koneng. Dan untuk yang kedua kalinya 

Koneng tersungkur ke depan. Namun kali ini masih 

untung karena dia tidak sampai terjerembab. Tapi pe-

muda itu tidak ingin membuang-buang waktu lagi. Be-

gitu kakinya menyentuh tanah, saat itu juga dia kem


bali melompat menyerang lawan dengan gerakan gesit.

"Hiyaaat...!"

Koneng terkesiap. Tubuhnya berguling sambil 

mengayunkan golok untuk memapas serangan lawan 

dengan untung-untungan.

"Hup!"

Des!

Entah bagaimana caranya, tubuh pemuda itu ber-

kelebat cepat menghindari serangan tebasan golok Ko-

neng. Kemudian dengan cepat ujung kakinya kembali 

menghajar perut lawan. Kali ini Koneng memekik ke-

sakitan. Hajaran ini betul-betul membuat isi perutnya 

seperti diaduk-aduk Langkahnya terhuyung-huyung 

ketika dia berusaha bangkit.

'Yeaaa...!"

Pemuda itu agaknya tidak ingin memberikan ke-

sempatan lagi pada Koneng. Meskipun lawan sudah 

kelihatan tidak mampu memberikan perlawanan lagi, 

namun tubuhnya telah melesat ke arah Koneng dan 

siap menghajarnya kembali. Namun pada saat itu se-

konyong-konyong melesat sebuah bayangan yang 

menghadang serangan itu.

Plak!

"Hih!"

"Uts...!"

Pemuda bertubuh agak kurus itu terkejut bukan 

main. Dia tidak sempat lagi untuk mengalihkan perha-

tian. Tapi mujur baginya karena bayangan itu keliha-

tannya hanya menangkis serangannya belaka agar ti-

dak sampai mencelakai Koneng lebih parah lagi, se-

hingga ada waktu baginya untuk mengelak serangan 

berikutnya dari lawan barunya itu. Meski demikian 

pemuda itu sempat meringis ketika pergelangan tan-

gannya seperti beradu dengan benda keras. Tubuhnya 

melenting ke belakang seraya membuat salto yang in


dah. 

Begitu telapak kakinya menyentuh tanah, pemuda 

itu langsung bersiaga. Namun serangan ter-henti, dan 

di depannya terlihat banyak orang berkeliling sambil 

tersenyum mengejek. Pemuda itu mendengus tajam ke-

tika melihat seorang laki-laki berusia sekitar tiga pu-

luh tahun memakai baju yang seperti sisik ular ber-

warna merah menyala. Laki-laki bertubuh ceking den-

gan bentuk wajah lonjong dan sepasang mata sipit 

memandangnya dengan sikap merendahkan.

Tidak jauh dari tempatnya berdiri, terlihat seorang 

laki-laki bertubuh tegap dan memakai baju putih den-

gan warna ikat kepala yang sama. Usianya sekitar dua 

puluh delapan tahun. Di pinggang kirinya terlihat se-

pasang gelang-gelang yang sisinya tajam seperti mata 

pisau.

"Apakah kau kira bisa berlari jauh dariku, Widi...?" 

tanya pemuda berbaju putih itu kepada pemuda ber-

tubuh agak kurus, seraya tersenyum kecil.

***

"Phuih! Pengkhianat keparat! Sampai kapanpun 

aku tidak menyerah begitu saja kepada kalian!" dengus 

pemuda yang dipanggil Widi, atau lengkapnya Widi 

Saksana.

"Kau hanya seorang diri, sedangkan dirimu telah 

terkepung oleh kami. Kau sendiri mengetahui bahwa 

mereka memiliki kepandaian yang tidak bisa dianggap 

enteng, bukan? Nah, menyerahlah dan bergabung ber-

sama kami. Niscaya kau akan memperoleh apa saja 

yang kau inginkan. Mau harta? Wanita? Kau tinggal 

sebut, maka ketua akan mengabulkannya dengan ce-

pat..."

'Tutup mulutmu, Begara Seta! Kau murid durhaka!


Kau mencelakakan gurumu sendiri. Aku tidak akan 

mengatakan apa pun padamu!"

"Hm, agaknya kau tetap berkeras pada pendirian-

mu. Kalau demikian, tidak ada jalan lain. Tanpa kete-

ranganmu pun kami akan berusaha mencari kedua 

pusaka itu. Tapi kau akan mengalami nasib yang pa-

hit..," gumam pemuda berbaju putih yang dipanggil 

Begara Seta itu dengan senyum sinis.

"Huh, jangan kira aku takut dengan segala gertak-

mu itu, Begara! Majulah kau dan kawanan anjingmu 

itu. Aku tidak akan mundur setapak pun!" dengus Wi-

di Saksana dengan sikap tegar.

Begara Seta memandang dingin, kemudian meno-

leh ke arah laki-laki berbaju kulit ular dan memberi 

isyarat. Laki-laki itu mengangguk seperti mengerti apa 

yang dimaksud oleh Begara Seta.

"Kau boleh bersenang-senang dengannya, Dewo. 

Dengan cara bagaimanapun yang kau suka...."

"Beres! Akan kupatahkan kedua kaki dan tangan-

nya, lalu akan ku congkel kedua biji matanya, lalu 

akan kuhirup darah di jantungnya sampai kering!" de-

sis laki-laki yang dipanggil Dewo itu seraya menyerin-

gai lebar.

Sementara itu melihat adanya orang-orang itu, Ko-

neng merasa mendapat angin segar. Dia merasa tidak 

takut untuk menghadapi pemuda kurus berbaju coklat 

itu, tapi kali ini dia akan menyingkir tanpa harus kehi-

langan gengsi karena hadirnya orang-orang itu.

Sementara itu Widi Saksana memandang tajam la-

wannya yang mulai melangkah pelan mendekatinya 

sambil terus menyeringai mengejek dan menganggap-

nya rendah. Seolah-olah dia merasa dirinya seekor 

elang yang gagah perkasa dengan seekor anak ayam 

yang menciap-ciap kehilangan induknya dengan tubuh 

gemetar.


"Dengan sekali sambar, akan kubeset tubuh-mu!" 

serak terdengar suaranya bernada mengancam.

"Huh, majulah kau! Jangan kira aku takut den-

ganmu!" dengus Widi Saksana tidak kalah gertak.

"Yeaaa...!"

Werrrr! 

"Uhhh...!"

Meski belum bertarung secara langsung, namun 

Widi Saksana bisa merasakan bahwa kemampuan ilmu 

silat maupun tenaga dalam serta kegesitan lawan me-

lebihi dirinya. Namun dia tidak berkecil hari dan beru-

saha tabah untuk melawan dengan sekuat daya ke-

mampuannya. Dan ternyata apa yang diduganya me-

mang benar. Dengan sekali berkelebat terasa angin 

kencang bersiur menerpa dirinya bersama dengan 

himpitan tenaga dalam yang kuat menekan.

Widi Saksana menjatuhkan diri dan bergulingan 

untuk menghindari sambaran serangan lawan selan-

jutnya.

"Hiyaaat..!" Dewo kembali berkelebat cepat sambil 

mengirim serangan bertenaga kuat ke arah lawan. 

Tangan kanannya terpentang ke muka, sementara ke-

palan tangan kirinya berada di pinggang. Tubuhnya 

berjumpalitan mengejar lawan.

"Hup!"

Widi memiringkan tubuh ketika kepalan kiri lawan 

menghantam mukanya. Kepalanya tertunduk ketika 

serangan balik kembali menyapu. Tubuhnya melompat 

ke belakang agak menyerong ke kiri ketika tendangan 

lawan menghantam dirinya. Tapi Dewo agaknya tidak 

mau membuang waktu lama-lama menghadapi lawan. 

Dia tahu betul bahwa Widi Saksana sengaja menghin-

dari benturan anggota tubuh karena menyadari tenaga 

dalamnya yang berada di bawah dirinya. Sehingga se-

perti mendapat peluang besar, Dewo terus-menerus


menekannya.

"Yeaaa...!" 

Wuk! Wuk! 

"Uts...!"

Widi Saksana merasa kewalahan menghadapi se-

rangan gencar lawannya. Sehingga dalam satu kesem-

patan ketika lawan telah mengurung dengan ketat, dia 

terpaksa mencabut golok dan menyambar tubuh lawan 

untuk memberikan jalan keluar dari serangan lawan 

yang amat gencar. Sebaliknya Dewo hanya sedikit ter-

kejut. Tubuhnya meliuk indah menghindari tebasan 

senjata lawan. Tidak sedikit pun terlihat perubahan air 

mukanya melihat permainan golok lawan. Seolah-olah 

lawan bersenjata atau tidak, sama saja baginya. Dan 

hal itu memang terlihat kemudian.

Meskipun Widi Saksana telah mengarahkan sege-

nap kemampuan kepandaiannya bermain golok, na-

mun senjata itu belum mampu mengejar kecepatan 

bergerak lawan. Bahkan sambil terkekeh-kekeh, Dewo 

mengejeknya.

"He he he...! Ayo, kerahkan semua ilmu golok yang 

kau miliki! Keluarkan kepandaian si tua bangka Ageng 

Sura yang tidak berharga itu!"

"Keparat! Kusobek mulutmu berani merendah-kan 

guruku!" dengus Widi Saksana geram.

"Ha ha ha...! Apa hebatnya kepandaian yang kalian 

miliki? Huh, dengan sekali tiup aku membuat tua 

bangka keropos itu melayang ke akherat!"

"Jahanam! Mampuslah kau! Mampuslah kau...!" te-

riak Widi Saksana dengan amarah yang menggelegak 

di dada. Dia sama sekali tidak bisa menerima jika gu-

runya dihina begitu rupa. Eyang Ageng Sura bukan sa-

ja sekadar guru baginya, melainkan sebagai pengganti 

kedua orangtuanya yang telah tiada. Sehingga siapa 

pun yang berani menghinanya, sama saja dengan


menghina dirinya. 

Namun agaknya hal itu memang disengaja oleh la-

wan untuk membakar amarah Widi Saksana. Dengan 

demikian dia berharap bahwa pemusatan pikirannya 

akan terganggu dan kacau, yang akan berpengaruh 

pada serangan-serangannya.

Dan perhitungannya memang berhasil. Widi Sak-

sana membuat kesalahan besar. Dia tidak menyadari, 

bahwa dalam keadaan berhati-hati saja belum tentu 

dia mampu mengalahkan lawan. Dan kini dalam kea-

daan amarah begitu, dia kehilangan kendali dan tidak 

mampu mempertahankan diri dengan baik. Tujuan 

utamanya saat ini adalah menyerang lawan dengan 

sekuat tenaga. Sehingga tidak heran bila dalam bebe-

rapa saat saja dia kena dijatuhkan.

Sebuah tebasan menyilang menyambar Dewo. 

Orang itu bergerak ke samping. Widi Saksana menge-

jar, namun tubuh lawan telah melesat cepat ke atas 

dan terus bergerak mengayunkan sebelah ujung ka-

kinya menghantam dada.

Duk!

"Aaakh...!"

Widi Saksana memekik kesakitan. Tubuhnya ter-

jungkal beberapa langkah. Dengan keadaan ter-

huyung-huyung dia berusaha bangkit. Namun lawan 

agaknya tidak memberi kesempatan sedikit pun. Tu-

buhnya telah berkelebat sambil mengirim-kan seran-

gan kedua. 

Wut! 

Begkh! 

Des! 

"Aaa...!"

Dalam keadaan mata kabur dan rasa sakit yang 

mengganggunya, Widi Saksana mencoba bertahan dan 

mengayunkan golok untuk menghalau serangan la


wan. Tapi Dewo dengan mudah menghindari. Kepalan 

tangan kanannya kembali menggedor dada lawan, lalu 

disusul dengan hajaran kaki kirinya ke perut Widi

Saksana. Pemuda itu memekik kesakitan. Tubuhnya 

kembali terjungkal sambil memuntahkan darah kental 

berkali-kali.

"Nah, sekarang terimalah kematianmu yang men-

genaskan! Yeaaa...!"

Widi Saksana berusaha menggeser tubuh, namun 

tenaganya seperti terkuras habis dan tak mampu 

menggerakkan tubuh. Dia hanya bisa pasrah dan ber-

doa ketika lawan bersiap melesat untuk menghabi-

sinya.

***

ENAM



"Kisanak hentikan perbuatanmu!"

Pada saat yang kritis bagi Widi Saksana, ter-dengar 

bentakan keras yang berisi tenaga dalam kuat. Dewo 

tersentak kaget. Demikian juga bagi mereka yang be-

rada di tempat itu. Mendadak saja melesat sebuah 

bayangan yang memapaki serangan laki-laki kurus itu.

Plak!

"Uhhh...!" 

Wuk!

Dewo terpaksa mengalihkan perhatian dan men-

gayunkan kepalan tangan kanannya ke samping me-

nyambut serangan lawan. Terasa tangannya seperti 

membentur benda keras. Dewo mengeluh kesakitan. 

Namun kaki kanannya masih mampu menyambar tu-

buh lawan yang baru datang. Alangkah kagetnya dia 

ketika merasakan tendangannya hanya menyapu angin


saja. Lawan mampu menghindar dengan gesit. Padahal

dia telah mengerahkan kecepatan luar biasa ketika 

menyapukan kakinya tadi. Selama ini belum ada seo-

rang pun yang berhadapan dengannya mampu men-

gimbangi kecepatannya bergerak. Dan, kalaupun ada, 

tentulah dia seorang tokoh yang memiliki kepandaian 

hebat. Siapa tokoh ini?

Dewo baru menjejakkan kakinya ke tanah ketika 

bayangan tadi kembali melesat mengejarnya. Dia ter-

cekat, dan dengan cepat membuang diri ke samping 

untuk kemudian melenting ke atas dengan gerakan 

ringan. Namun seperti menempel di belakangnya pada 

jarak tertentu, bayangan lawan terus mengejarnya.

"Hiyaaa...!" Dewo membentak nyaring ketika men-

gibaskan tangan sambil mengerahkan tenaga dalam 

hebat.

Terasa angin berkesiur kencang, bahkan sampai 

membuat ujung baju mereka yang menyaksikan perta-

rungan itu berkibar-kibar. Debu mengepul ke udara 

dan dedaunan kering seperti dihempas badai.

Plak!

Duk!

"Aaakh...!"

Dewo menjerit keras ketika tubuhnya terhuyung-

huyung ke belakang.

Ketika kepalan tangannya mengibas, lawanpun 

bukannya menghindar tapi malah memapaki. Untuk 

sesaat dia merasa girang karena yakin bahwa lawan 

akan cidera akibat benturan tenaga dalamnya yang 

hebat. Tapi bukan main terkejutnya dia ketika mera-

sakan bahwa tulang lengannya seperti menghantam, 

sebatang baja yang kerasnya luar biasa.

Dia mengeluh kesakitan. Dan pada saat itu juga 

satu tendangan menggeledek menghajar dadanya. De-

wo memekik ketika merasakan isi dadanya seperti remuk.

Dia berusaha berdiri tegak sambil menahan rasa 

sakit yang hebat. Terasa darah menetes dari sudut bi-

birnya. Wajahnya menggeram dan sepasang matanya 

menyipit ketika melihat kehadiran seorang pemuda 

tampan berwajah keras pada jarak lima langkah da-

rinya. Pemuda yang mengenakan baju dari kulit hari-

mau itu memandangnya dengan sorot mata tajam se-

perti tidak berkedip.

"Keparat! Apa urusanmu mengacau di sini?!" ben-

taknya geram.

"Siapa yang menjadi pengacau sebenarnya? Kau 

atau aku?" sahut pemuda yang tidak lain dari Bayu 

Hanggara alias Pendekar Pulau Neraka sambil terse-

nyum sinis.

"Kurang ajar! Kau pikir dirimu sudah hebat karena 

bisa mengalahkanku? Huh, aku belum kalah, Keparat! 

Akan kucincang tubuhmu dan kujadikan santapan 

anjing-anjing kampung yang kelaparan!" dengus Dewo 

geram seraya mengambil ancang-ancang untuk bersiap 

menyerang kembali.

"Yeaaa...!"

"Hup!"

Tubuh Dewo kembali melesat menderu menyambar 

lawan sambil mengerahkan tenaga dalam kuat. Kepa-

lan tangan kanannya menyambar ke arah dahi. Pende-

kar Pulau Neraka mengelak ke samping. Namun ten-

dangan kaki kiri lawan siap menyambut. Dengan tang-

kas dia menangkis dengan tangan kiri, sementara kaki 

kanannya menyodok ke lambung lawan. 

Plak!

"Hiyaaa...!"

Tubuh Dewo melompat ke atas untuk menghindari 

sodokan kaki lawan, kemudian terus bersalto ke bela-

kang ketika lawan mengejar.


Wuk!

Kedua kakinya seperti menggunting menghajar ba-

tok kepala Pendekar Pulau Neraka. Tubuh Bayu dite-

kuk dengan kepala merunduk dalam-dalam, untuk 

menghindari serangan lawan itu.

Setelah serangan itu luput, dia buru-buru menje-

jakkan kaki ke tanah dan menunggu lawan yang masih 

mengapung di udara. Tubuhnya berguling dan men-

gayunkan kedua kakinya ke atas, siap menghajar la-

wan. Tapi Pendekar Pulau Neraka bukannya menghin-

dar melihat serangan lawan. Kedua kakinya malah 

bersiap memapaki tendangan lawan.

Duk!

Desss...!

"Aaa...!"

Kedua telapak kaki mereka beradu. Dewo menge-

luh kesakitan ketika terdengar tulang berderak patah. 

Tubuh lawan terus berjumpalitan dan sebelum dia 

menyadari apa yang akan terjadi, kedua telapak ka-

kinya kembali mendarat di dadanya. Dewo memekik 

keras ketika tulang dadanya berderak patah. Tubuh-

nya berkelojotan beberapa kali setelah darah muncrat 

dengan deras dari mulut, hidung serta pelupuk ma-

tanya. Tubuh Pendekar Pulau Neraka telah melejit lima 

langkah dari lawan yang tidak lama kemudian tak ber-

gerak.

"Hm, kehebatan Pendekar Pulau Neraka ter-nyata 

bukan nama kosong belaka!" terdengar satu suara lan-

tang menggema di tempat itu.

Bayu menoleh sekilas ke arah datangnya suara itu 

dengan sorot mata setajam mata elang!

***

Ketika Bayu melihat beberapa orang yang berada di


tempat itu sama-sama memandangnya dengan wajah 

geram dan dendam yang tersirat jelas dari sikap mere-

ka yang tidak sabaran untuk menghajar dirinya, salah 

seorang dari mereka, yang tadi tidak dilihatnya, terse-

nyum kecil. Laki-laki muda itu berusia sekitar dua pu-

luh lima tahun, dan memiliki wajah tampan dengan 

rambut panjang dan pengikat kepala dari sutera halus 

warna merah muda. Bajunya yang warna kuning kee-

masan terlihat mewah. Dan sepintas lalu terlihat dia 

sama sekali tidak mengesankan sebagai seorang tokoh 

persilatan. Tapi lebih mirip sebagai orang yang terpela-

jar. Tubuhnya pun sedang, dan tidak terlihat otot-otot 

maupun urat-urat yang menonjol. Satu-satunya yang 

terlihat jelas bahwa pemuda itu tak bisa dipandang en-

teng adalah sorot matanya yang tajam menusuk, me-

nandakan bahwa dia memiliki tenaga dalam hebat. La-

lu ada lagi ciri khas yang jelas bahwa dia adalah tokoh 

persilatan, yaitu rantai besi panjang yang melilit di 

pinggangnya.

"Dia memang patut mati di tanganmu...!" lanjut-

nya.

Bayu berusaha bersikap setenang mungkin seraya 

berjalan dua langkah mendekati pemuda itu. Kemu-

dian berkata pendek.

"Aku hanya tidak ingin dia, dan juga kalian ber-

buat sewenang-wenang...," ucap Bayu tenang. Kemu-

dian kakinya melangkah mendekati Widi Saksana.

"Apakah kau tahu apa yang telah kau lakukan?"

"Aku tidak akan bertindak kalau aku tidak menge-

tahuinya."

"Hm, kalau begitu jelas kau mengetahui bahwa po-

sisimu berada di tempat yang salah," lanjut pemuda 

terpelajar itu sambil tersenyum kecil.

Bayu memandangnya sekilas, kemudian tersenyum 

sinis.


"Menyerakahi benda yang bukan miliknya, itulah 

yang jelas bersalah!"

"Syukurlah kalau memang kau mengerti. Aku je-

laskan kembali agar kau mengetahui duduk persoalan 

yang sebenarnya. Kami mencari dua kitab pusaka ke-

punyaan guruku, Nyai Imas Wari yang bergelar Peri 

Tambang Setan Ular. Kedua kitab itu lenyap saat gu-

ruku sedang bertapa, dan belakangan kami mendengar 

bahwa kedua kitab itu berada di tangan Ki Ageng Sura, 

guru pemuda itu. Ketika kami memintanya baik-baik, 

dia tidak mau memberikannya. Maka terpaksa kami 

menggunakan cara kekerasan untuk mendapatkan mi-

lik kami kembali. Dan saat ini kau membela salah seo-

rang murid orang tua itu ketika kami berusaha menca-

ri tahu ke mana kedua kitab pusaka milik kami itu 

mereka sembunyikan. Nah, menurutmu, siapa yang 

bersalah di antara kita berdua...?" tanya pemuda itu 

setelah menjelaskan secara ringkas duduk persoalan-

nya.

"Dusta! Dia mengarang cerita bohong. Guruku bu-

kan pencuri! Kedua kitab itu merupakan warisan al-

marhum guru Eyang Ageng Sura!" sergah Widi Saksa-

na membantah cerita pemuda terpelajar itu.

"Hm, pernahkah kau mendengar ujar-ujaran orang 

tua yang berkata, maling teriak maling? Dia sedang 

melakukan hal itu untuk menutupi kebusukan gu-

runya...," sahut pemuda berbaju kuning emas itu te-

nang.

"Dusta! Dia berkata dusta! Aku tahu betul karena 

guruku tidak pernah berkata bohong. Kedua kitab pu-

saka itu milik perguruan kami!" sanggah Widi Saksana 

kembali.

'Pendekar Pulau Neraka, kudengar kau seorang 

yang bijaksana dan mampu menilai mana yang benar 

dan mana yang salah. Kau tidak mungkin mempercayai ucapannya tanpa fakta yang jelas, bukan?" lanjut 

pemuda berbaju kuning emas itu masih tetap dengan 

sikap yang tenang.

Bayu tersenyum kecil setelah berpikir sejenak.

"Kalau kau berharap aku bertindak yang adil, kau 

keliru. Aku bukan hakim yang baik. Kenapa aku harus 

percaya pada kalian?"

"Syukurlah, tanpa kau sadari telah memilih kepu-

tusan yang bijaksana. Kau tidak mengenal kami ber-

dua, tentu tidak akan berpihak pada siapa pun. Maka 

kalau kau hendak berlalu dari tempat ini, tentu kami 

tidak akan mempersoalkannya.

"Tentu saja, aku akan segera berlalu dari tempat 

ini setelah membawa kawanku ini...," sahut Bayu te-

nang sambil menunjuk Widi Saksana.

"Hm, apa maksudmu, Sobat?" tanya pemuda ber-

baju kuning keemasan itu masih dengan sikap tenang.

"Mudah saja! Telah kukatakan bahwa aku bukan-

lah hakim yang baik untuk memutuskan persoalan 

baik dan buruk. Dan aku akan bebas memilih mana 

yang kuanggap baik, dan mana yang kuanggap buruk. 

Nah, jika kau memang menyerahkan persoalan ini pa-

daku untuk memutuskannya, kau dan kawan-

kawanmu itu harus bisa menerima keputusanku den-

gan lapang dada. Aku akan membawa pemuda itu per-

gi, dan tidak seorang pun boleh menghalangi," sahut 

Pendekar Pulau Neraka enteng.

"Hm, sayang sekali. Sebenarnya kau bisa menjadi 

sahabat yang baik bagiku. Tapi aku telah mempunyai 

sikap, yaitu tidak seorang pun boleh menghalangi 

keinginanku. Meski itu malaikat sekalipun!" sahut pe-

muda itu tandas.

"Ya, memang sayang sekali. Karena aku telah 

mempunyai sahabat yang lebih gagah dan tampan di-

bandingkan denganmu!" sahut Bayu seraya tersenyum


mengejek dan memberi isyarat pada Tiren yang sejak 

tadi berada agak jauh ketika pertarungan berlangsung.

Monyet berbulu hitam itu melompat di atas pang-

kuan sahabatnya itu seraya berteriak-teriak sambil 

menjulurkan lidah mengejek kepada pemuda berbaju 

kuning keemasan itu.

"Hm, memang benar. Monyetmu itu memang lebih 

tampan dariku. Tapi yang lebih jelas sekali, kau mirip 

sekali tampannya dengan dia!" sahut pemuda itu ter-

senyum mengejek.

"Kau dengar Tiren? Baru sekali ini ada orang yang 

memujiku!" sahut Bayu seraya tersenyum girang.

"Ada baiknya kau menjaga peliharaanmu itu, So-

bat. Salah-salah dia akan mencelakakanmu!"

Selesai berkata demikian, pemuda itu mendorong

telapak tangan kanannya ke arah Pendekar Pulau Ne-

raka. Saat itu juga menderu serangkum angin panas 

ke arah Bayu.

***

"Hup!"

Bayu sama sekali tidak berusaha mengelak. Dia 

tersenyum sinis lalu mengibaskan tangan kirinya. Dari 

situ mendesir angin kencang yang juga berhawa panas 

memapaki pukulan jarak jauh yang dilancarkan lawan.

Desss!

"Yeaaa...!"

Pemuda itu agaknya tidak mau menunggu begitu 

saja. Tubuhnya langsung bergerak cepat menyerang ke 

arah Pendekar Pulau Neraka dengan satu bentakan 

nyaring. Bayu pun tidak mau tinggal diam. Dia bisa 

menduga bahwa lawan tidak mau bertindak kepalang 

tanggung terhadapnya. Terbukti dengan angin seran-

gannya yang kuat bukan main.


Plak!

Duk!

Telapak tangan lawan yang terkembang dipapa-

kinya. Tangannya terasa linu dan kesemutan akibat 

benturan itu. Demikian juga yang dilihatnya di wajah 

lawan. Berkerut menahan rasa sakit. Dia belum bisa 

menduga sampai sejauh mana kehebatan tenaga da-

lam lawan. Namun dari benturan itu dia merasa yakin 

bahwa kemampuan lawan tidak berada jauh di ba-

wahnya.

"Ki Dandaka Wario, kenapa musti repot-repot men-

gurusinya? Biarkan kami yang akan membereskan-

nya!" teriak Begara Seta menawarkan diri.

"Apakah kau ingin buru-buru mampus? Nah, kalau 

benar, bantulah aku meringkusnya!" sahut pemuda 

yang dipanggil Dandaka Wario itu dengan tersenyum 

dingin sambil melakukan tendangan keras. 

Begara Seta bingung sendiri mendengar jawaban 

itu. Dia tidak mengerti apa maksud perkataannya. Se-

perti mengejek, ataukah memang mengharapkan ban-

tuannya untuk meringkus Pendekar Pulau Neraka? 

Dia seperti tidak peduli dengan semua itu. Selama ini 

setelah mengenal pemuda itu, dia masih sulit menebak 

sikapnya. Terkadang sifat Dandaka Wario seperti tidak 

peduli sama sekali. Dia tetap teguh pada pendiriannya 

dan tak mau terusik sedikit pun. Pernah pula dia ber-

tarung dan mereka membantunya, tapi dia sama sekali 

tidak merasa rendah mengerubuti seorang lawan. Pa-

dahal mereka semua mengetahui bahwa kepandaian 

pemuda itu hebat luar biasa. Berpikir demikian, dia 

merasa perlu untuk membereskan Pendekar Pulau Ne-

raka secepatnya. Terlebih-lebih beberapa orang ka-

wannya sejak tadi memang sudah gatal tangannya me-

lihat kematian Dewo di tangan Pendekar Pulau Neraka. 

Maka tanpa membuang waktu, dia memberi perintah


pada kawan-kawannya untuk menyerang Bayu.

"Hajar dia! Jangan biarkan lolos...!"

"Hiyaaat...!"

"Yeaaa...!"

Pendekar Pulau Neraka terkejut melihat lebih dari 

sepuluh orang dari kawanan itu mengerubutinya den-

gan penuh nafsu membunuh. Agaknya mereka begitu 

geram dan siap menghabisinya saat itu juga. Pemuda 

itu menggeram. Dia sedikit kerepotan, apalagi ketika 

Dandaka Wario mulai menekannya lebih hebat. Ba-

gaimanapun dia mengerahkan kecepatan bergeraknya, 

mustahil mampu menghindar dari serangan-serangan 

gencar yang dilakukan para pengeroyoknya. Senjata-

senjata tajam mereka bersiuran nyaris melukai kulit-

nya.

Widi Saksana mengeluh pelan melihat tuan peno-

longnya menghadapi keroyokan begitu banyak orang. 

Dia pernah mendengar bahwa Pendekar Pulau Neraka 

memiliki kepandaian hebat dan sangat tangguh. Tapi 

menghadapi keroyokan sekian banyak orang yang me-

miliki kepandaian hebat rasanya kecil kemungkinan 

dia akan lolos. Dua di antara mereka nyata diketa-

huinya memiliki kepandaian hebat. Yaitu, saudara se-

perguruannya sendiri, Begara Seta, serta pemuda ter-

pelajar yang bernama Dandaka Wario itu. Belum lagi 

ketika mereka mulai mengeluarkan senjatanya masing-

masing dan agaknya berniat menghabisi pemuda itu 

secepat mungkin.

"Nguk! Nguk..! Kaaakh...!"

Tiren berteriak-teriak seraya berjungkir balik sam-

bil sesekali menutup kedua matanya. Tampak dia me-

rasa khawatir sekali akan nasib sahabatnya itu, dan 

tidak tahu harus berbuat apa.

Demikian juga halnya dengan penduduk desa yang 

mulai keluar dan menyaksikan pertarungan itu dengan


wajah heran. Sebagian tampak kecut dan merasa ya-

kin bahwa pemuda berbaju kulit harimau itu tidak la-

ma lagi tentu tewas dengan cara yang amat menge-

naskan.

Sedangkan yang dialami Pendekar Pulau Neraka 

mungkin sama dengan apa yang dikhawatirkan mere-

ka. Apalagi ketika dia merasakan bahwa dirinya betul-

betul terjepit. Dandaka Wario mulai menggunakan sen-

jata rantainya yang amat berbahaya. Senjata yang ter-

buat dari untaian baja putih yang di ujungnya terlihat 

runcing seperti anak panah. Seperti seekor ular, rantai 

itu meliuk-liuk dan terus mengejar ke mana saja tu-

buh Pendekar Pulau Neraka menghindar. Belum lagi 

dia harus menghindari sepasang gelang tajam yang 

mendesing-desing dilemparkan Begara Seta. Juga te-

basan-tebasan golok tajam dari para pengeroyoknya 

yang lain.

"Hup!"

Cras!

"Akh!"

Bayu mengeluh kesakitan ketika ujung rantai Dan-

daka Wario menyerempet pinggangnya ketika dia me-

lompat ke atas untuk menghindari sepasang gelang 

milik Begara Seta yang mengarah ke leher dan perut-

nya.

"Dia sudah terluka! Hajar terus...!" teriak Begara 

Seta memberi semangat.

"Cincaaang...!"

Pendekar Pulau Neraka menggeram. Tubuhnya me-

lenting tinggi, namun beberapa orang sempat melem-

parkan goloknya menyambar tubuh Bayu. Begitu juga 

dengan ujung rantai Dandaka Wario terus mengejar 

seperti tidak ingin memberi kesempatan sedikit pun 

padanya. Bayu mengibaskan tangan kanannya ke atas.

'Yeaaa...!"


Siiing!

Secercah sinar keperakan yang menyilaukan mata 

terpancar dari pergelangan tangannya. Senjata anda-

lannya berupa Cakra Maut mendesing kencang me-

nyambar senjata-senjata lawan yang meluruk ke arah-

nya. 

Trak! Trak! 

Breeet! 

"Aaa...!"

***

TUJUH



Beberapa orang tersentak kaget melihat kelebatan

sinar keperakan itu. Demikian juga halnya dengan 

Dandaka Wario dan Begara Seta. Mereka sama sekali 

tak menyangka akan hal itu. Tiba-tiba saja terdengar 

teriakan kesakitan. Enam orang langsung ambruk 

dengan tenggorokan koyak dan perut robek. Golok-

golok mereka patah menjadi dua bagian. Sepasang ge-

lang Begara Seta pun putus menjadi dua potong ketika 

jatuh ke tanah. Demikian pula halnya dengan Danda-

ka Wario. Dia tidak habis pikir. Bagaimana mungkin 

rantai bajanya bisa putus sepanjang lima jengkal dari 

ujungnya. Padahal selama ini senjatanya itu amat di-

banggakannya.

Belum lagi hilang keterkejutan mereka, kembali 

terdengar desingan tajam yang menyambar kerumu-

nan itu. Begara Seta dan Dandaka Wario melompat 

jungkir balik menghindarinya. Namun tiga orang anak 

buah mereka kembali menjadi korban disambar Cakra 

Maut.

Breeet!


"Aaa...!"

Cakra Maut terus melesat dan kembali ke perge-

langan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka.

Namun secepat itu pula Bayu mengibaskan tan-

gannya kembali, dan Cakra Maut mendesing mengejar 

Dandaka Wario. Bersamaan dengan itu pula tubuhnya 

melompat mengejar Begara Seta sambil mengirimkan 

serangan maut.

'Yeaaa...!"

Plak!

"Uhhh...!"

Bukan main kagetnya Begara Seta menghadapi se-

rangan cepat yang dilancarkan Pendekar Pulau Nera-

ka. Dengan bertangan kosong begini dia sedikit kikuk 

dan merasa kedudukannya betul-betul berada di ba-

wah angin. Tidak seorang pun kini yang memban-

tunya. Beberapa orang kawannya tampak melarikan 

diri setelah merasakan gebrakan balik yang dilakukan 

Pendekar Pulau Neraka. Dia berusaha menangkis ke-

palan tangan Bayu. Tapi kemudian terlihat wajahnya 

meringis menahan rasa sakit. Tubuhnya melompat ke 

belakang untuk menghindari serangan selanjutnya 

yang dilancarkan ujung kaki kanan Bayu.

Bayu tidak langsung mengejar, melainkan berjum-

palitan ke atas untuk menyambar Cakra Maut yang 

berbalik ke arahnya. Bersamaan dengan itu tubuh 

Dandaka Wario pun melesat ke arahnya sambil men-

gayunkan rantai mautnya. 

'Yeaaa...!" 

"Hiyaaa...!"

Tubuh Pendekar Pulau Neraka melompat ke atas, 

namun ujung senjata lawan mengejarnya. Dia terus 

berjumpalitan menghindarkan diri dari serangan la-

wan.

Crok!


'Yeaaa...!"

Ketika tubuhnya melesat ke bawah, ujung rantai 

lawan menderu mengejarnya, namun secepat itu pula 

kembali dia melenting ke atas sehingga senjata lawan 

menghantam tanah.

Begara Seta mempergunakan kesempatan itu un-

tuk menghajar lawan dengan satu tendangan mengge-

ledek. Tapi Bayu telah memperhitungkan hal itu. Tan-

gan kanannya terkibas ke atas, dan Cakra Maut men-

desing menyambar Begara Seta tanpa bisa dielakkan-

nya.

Suing!

Cras!

"Aaa...!"

Begara Seta hanya mampu menjerit tertahan. Ca-

kra Maut menyambar tenggorokannya tanpa bisa di-

hindari. Lehernya terkulai dan nyaris putus dengan 

darah segar menyembur dari pangkalnya. Tubuhnya 

ambruk ke tanah dengan bersimbah darah. Terlihat 

dia menggelepar-gelepar sesaat kemudian diam tidak 

berkutik lagi.

Menyadari bahwa senjata lawan dapat berbalik lagi 

kepada pemiliknya, Dandaka Wario menggunakan ke-

sempatan itu untuk merontokkan Cakra Maut. Tidak 

seperti waktu melesat dari sarungnya di pergelangan 

tangan kanan Pendekar Pulau Neraka, kembalinya 

senjata itu tentu tidak memiliki kekuatan seperti per-

tama. Demikian pemikirannya.

Tapi Bayu bukannya tidak mengerti apa yang ten-

gah dipikirkan lawan. Begitu Dandaka Wario mengejar 

senjatanya, tubuhnya pun berkelebat menyerang la-

wan dengan pengerahan tenaga dalam penuh.

'Yeaaa....'"

Dandaka Wario terkesiap kaget. Buru-buru rantai 

mautnya dikibaskan untuk menghancurkan batok ke


pala lawan. Bayu merundukkan kepala sehingga ter-

hindar dari maut. Tangan kanannya terangkat ke atas, 

dan Cakra Maut kembali menempel di pergelangan 

tangannya. Lalu dengan secepat kilat dilemparkannya 

kembali ketika sebelah kakinya bam saja menjejak ta-

nah. Bersamaan dengan itu tubuhnya pun kembali 

melesat menyerang lawan.

"Hiyaaa...!"

Bukan main kagetnya Dandaka Wario melihat dua 

serangan sekaligus. Bila dia memapaki senjata lawan, 

maka pertahanannya akan terbuka dan lawan dengan 

mudah menghajarnya. Tapi bila dia bermaksud mena-

han serangan lawan, bisa jadi senjata Cakra Maut 

yang mendesing kencang itu mencelakakan dirinya.

Dandaka Wario menahan napas. Dia memutuskan 

untuk menghindari kedua serangan itu sekaligus. Tu-

buhnya berkelit ke samping sambil menundukkan ke-

pala ketika Cakra Maut berdesing keras di dekat telin-

ganya. Namun satu sapuan tendangan yang dilancar-

kan Bayu nyaris membuat perutnya jebol kalau dia ti-

dak buru-buru melompat ke belakang.

Cras!

Begkh!

"Aaa...!"

Dandaka Wario lupa memperhitungkan bahwa Ca-

kra Maut itu mampu berbalik kembali meski serangan 

awalnya gagal. Senjata yang melesat bagai bumerang 

itu menyambar punggung kirinya. Dia mengeluh kesa-

kitan. Keseimbangannya menjadi limbung ketika tu-

buhnya sedikit terhuyung. Pada saat itulah kepalan 

tangan kanan Bayu menghantam dengan pukulan 

menggeledek ke arah dada lawan tanpa bisa dielakkan. 

Dandaka Wario memekik kesakitan. Tubuhnya ter-

jungkal dengan darah kental muncrat dari mulutnya. 

Tubuhnya menggelepar-gelepar beberapa saat, untuk


kemudian mengejang. Diam tak bergerak! Isi dadanya 

remuk dan jantungnya pecah akibat pukulan yang di-

lancarkan Pendekar Pulau Neraka.

"Nguk! Nguk...!"

Tiren bertepuk-tepuk girang seraya berlari kencang 

mendapati sahabatnya itu. Bayu tersenyum kecil. Sete-

lah menangkap kembali senjatanya dia menggendong 

sahabatnya itu. Lalu melangkah pelan mendekati Widi 

Saksaka yang masih duduk bersila untuk mengatur 

pernapasan dan jalan darahnya yang kacau akibat per-

tarungannya tadi.

Pemuda itu tersenyum kecil. Apa yang didengarnya

tentang kehebatan Pendekar Pulau Neraka memang 

bukan omong kosong belaka. Juga berita tentang ke-

sadisan tokoh itu. Wajahnya sama sekali tidak menge-

sankan apa-apa setelah mengalami pertandingan yang 

amat menguras tenaganya tadi.

"Bagaimana keadaanmu...?" tanya Bayu pelan se-

raya tersenyum kecil.

"Agak mendingan. Terima kasih atas pertolongan-

mu. Namaku Widi Saksaka...," sahutnya seraya men-

gulurkan tangan.

"Bayu Hanggara, dan ini sahabatku, Tiren...," sahut 

Bayu sambil menjabat tangan pemuda itu.

"Kudengar pembicaraan kalian tadi. Dan sepertinya 

kau tahu banyak tentang persoalan yang terjadi di an-

tara kami."

'Tidak banyak Aku sedikit mengetahuinya setelah 

bertemu dengan adik seperguruanmu."

"Adik seperguruanku?" tanya Widi Saksaka heran. 

Dahinya berkerut menandakan kebingungannya.

"Namanya Jaka Permana...," ucap Bayu men-coba 

menjelaskan.

"Oh, jadi..., jadi Eyang telah mengambilnya sebagai 

murid!" seru Widi Saksaka girang.


"Hm, apa maksudmu? Bukankah dia adik sepergu-

ruanmu? Kenapa kau katakan gurumu telah mengam-

bilnya sebagai murid?"

Widi Saksaka tersenyum kecil.

"Anak itu tadinya dipungut oleh guru kami ketika 

masih kecil. Guru kami menganggapnya sebagai anak 

sendiri. Tapi beliau tidak pernah mengambilnya murid 

dan tak pernah mengajarkannya ilmu silat. Mungkin 

sekarang Eyang telah berubah. Ke mana dia seka-

rang?"

"Dia pergi. Kelihatannya curiga padaku. Tapi kura-

sa dia membawa amanat dari guru kalian."

"Amanat?"

"Entahlah. Mungkin tentang kedua kitab pusaka 

yang disebut oleh mereka tadi."

"Astaga! Kalau benar demikian, tentu dia sedang 

dalam bahaya besar! Aku harus menolong-nya!" seru 

Widi Saksaka dengan wajah kaget.

Bayu terdiam beberapa saat ketika pemuda itu 

memandangnya dengan seksama. Kemudian berujar 

pendek.

"Maaf, aku telah membunuh saudara sepergu-

ruanmu. "

"Huh, dia memang pantas menerima kematian aki-

bat pengkhianatan yang dilakukannya!" dengus Widi 

Saksaka geram.

Bayu memandangnya dengan wajah bingung.

"Gara-gara dia, guru sampai ditawan oleh gadis ce-

laka itu!"

"Kau pun mengetahui kalau gurumu telah di-

culik?"

Widi Saksaka mengangguk, kemudian menghela 

napas panjang.

"Begara Seta kepincut dengan gadis itu dan akhir-

nya membeberkan tentang kedua buah pusaka perguruan yang sering diceritakan guru kepada kami. Kedua 

pusaka itu kelak akan diturunkan kepada salah seo-

rang di antara kami yang akan dipilihnya. Setan telah 

merasuki hati saudara seperguruanku itu. Dia betul-

betul kepincut dengan godaan gadis celaka itu!" desis 

Widi Saksaka menahan geram.

Bayu mengangguk-angguk mendengar penuturan

pemuda itu.

"Kalau memang Begara Seta telah membeberkan 

kedua pusaka itu, kenapa mereka masih mengejar-

ngejar gurumu dan kau sendiri?"

"Itulah yang sengaja diciptakan oleh guru kami. 

Eyang Ageng Sura bercerita tentang kedua pusaka itu 

pada kami tidak bersamaan. Semula kami tidak men-

getahui bahwa guru menceritakan pada kami berdua, 

sebab ketika itu Eyang hanya berpesan bahwa hanya 

aku saja yang mengetahui rahasia itu dan tidak boleh 

membocorkannya pada Begara Seta. Kurasa beliau 

pun bercerita hal yang sama pada Begara Seta. Juga 

tentang pesan untuk merahasiakannya. Kami sendiri 

tidak mengetahui di mana kedua kitab pusaka itu dis-

embunyikan, sebab guru kami telah berjanji jika tiba 

saatnya kelak, beliau akan memanggil kami pulang un-

tuk mempelajari kitab pusaka itu. Begara Seta merasa 

yakin bahwa aku mengetahui di mana kedua kitab pu-

saka itu disembunyikan. Semula dia membujukku 

dengan cara halus, tapi karena aku tidak mengatakan 

juga, dia akhirnya marah dan menyerangku. Aku me-

larikan diri, tapi agaknya mereka tidak ingin membiar-

kanku lepas begitu saja. Dan akhirnya kau tahu sendi-

ri apa yang kualami di tempat ini...," jelas Widi Saksa-

ka panjang lebar.

Bayu kembali mengangguk-anggukkan kepala 

mendengar penjelasan Widi Saksaka.

"Lalu dari mana kau mengetahui bahwa gurumu


diculik mereka?"

"Begara Seta mengatakannya ketika dia mengan-

camku."

Keduanya saling pandang sejenak kemudian Widi 

Saksaka bangkit dan melangkah pelan. Wajahnya keli-

hatan bingung sekali ketika dia kembali memandang 

Pendekar Pulau Neraka. Ada yang ingin dikatakannya, 

namun seperti tidak keluar dari tenggorokannya.

"Ada sesuatu yang bisa kulakukan...?" tanya Bayu.

"Eh, aku..., aku tidak enak hati. Pertolonganmu te-

lah cukup banyak."

"Bagaimana kalau kita berusaha membebaskan gu-

rumu?"

"Apakah..., apakah kau bersedia menolong-ku?"

"Kenapa tidak?"

"Tapi..., gadis itu memiliki kepandaian yang hebat. 

Kalau kau sampai celaka, aku tentu merasa sangat 

bersalah sekali karena telah menyeretmu pada persoa-

lan kami."

"Jangan pikirkan hal itu. Mari kita pergi mencari 

gurumu dan membebaskannya!"

"Eh, terima kasih atas kesediaanmu. Tapi..., apa-

kah tidak lebih baik kalau kita mencari Jaka Permana 

lebih dulu?"

Bayu berpikir sejenak, kemudian berkata pelan.

"Apakah kau tahu di mana sarang mereka?"

Widi Saksaka mengangguk cepat.

"Kita berangkat sekarang!" sahut Bayu cepat.

'Tapi..., bagaimana dengan Jaka Permana? Aku 

khawatir terjadi apa-apa dengannya...."

"Kita akan urus nanti. Saat ini menyelamatkan 

guru lebih utama dibanding dengan menyelamatkan 

saudara seperguruan yang belum ketahuan nasibnya!" 

sahut Bayu tandas.

Widi Saksaka diam saja. Dalam hati dia membenarkan apa yang dikatakan Pendekar Pulau Neraka. 

Tak berapa lama kemudian mereka telah berlari dari 

desa itu.

***

Nyi Imas Wari bangkit dari kursinya. Wajah gadis 

berparas cantik itu tampak gusar. Dengan sepasang 

bola mata mendelik tajam dia menghardik tiga orang 

laki-laki yang duduk bersila sambil menundukkan ke-

pala di hadapannya.

"Kalian betul-betul tidak becus, dan tidak bisa ku 

andalkan! Meringkus satu orang saja kalian tidak 

mampu!"

'Tapi, Nyi... pemuda itu betul-betul hebat kepan-

daiannya. Bahkan Ki Dandaka Wario mampu dibina-

sakannya setelah Ki Begara Seta tewas...," sahut salah 

seorang di antara mereka.

"Apa katamu?"

"Benar, Nyi. Ki Dandaka Wario dan Ki Begara Seta 

tewas di tangannya."

"Keparat! Akan kuremukkan batok kepala pemuda 

itu!" geram Nyi Imas Wari sambil mengepal-kan kedua 

tangannya. Wajahnya tampak kelam dengan tarikan 

keras menandakan kemarahan hatinya yang memun-

cak.

"Siapa pemuda itu?""

"Eh, Ki Dandaka Wario agaknya mengenalnya. 

Dia..., dia yang berjuluk Pendekar Pulau Neraka...."

"Pendekar Pulau Neraka? Hm, pantas nama itu be-

lakangan ini amat menggetarkan rimba persilatan. Ka-

kang Dandaka Wario boleh kalah di tangannya, tapi 

jangan harap dia mampu menaklukkanku!" desis Nyi 

Imas Wari dengan sorot mata tajam.

"Apakah..., apakah Nyi Imas Wari akan menggempurnya?"

"Goblok! Apa kau pikir aku akan berbaik-baik pa-

danya?!"

"Eh, maafkan kami, Nyi. Tapi kalau memang niat 

Nyi Imas Wari demikian, itu memang sudah seharus-

nya. Pemuda sombong itu harus diberi pelajaran. Ka-

lau tidak, dia akan merasakan dirinya hebat tak terka-

lahkan."

"Tutup mulut kalian!"

Orang itu kembali menundukkan kepala dengan 

wajah kecut.

"Kalian tidak perlu mengajariku! Kalian sendiri ker-

ja tidak becus, dan untuk itu ada hukuman tersendiri 

buat kalian!"

Ketiga orang itu terkejut mendengar keputusan Nyi 

Imas Wari.

"Eh, ampuni kami, Nyi. Jangan hukum kami...," 

sahut mereka dengan tubuh gemetar ketakutan.

"Siapa yang mengatakan bahwa aku akan meng-

hukum kalian? Aku justru akan membebaskan kalian 

dari siksaan!"

"Oh, terima kasih, Nyi! Terima kasih!" sahut mere-

ka serentak menarik napas lega.

"Memiliki jiwa pengecut adalah siksaan batin dan 

sulit diobati. Aku akan mengobati kalian dan mele-

paskan siksaan itu...," sahut Nyi Imas Wari seraya ter-

senyum kecil.

Setelah selesai berkata begitu, Nyi Imas Wari me-

masukkan tangannya ke balik baju, kemudian men-

gembangkannya ke depan. Dari situ melesat jarum-

jarum beracun yang langsung menerpa ketiga orang 

laki-laki yang berada di hadapannya. Mereka memekik 

kesakitan, dan ambruk seketika dengan tubuh kejang 

membiru.

"Huh, orang-orang seperti kalian tak pantas hidup


lebih lama lagi. Kematian lebih pantas bagi kalian!" 

dengusnya sinis.

Nyi Imas Wari menepuk tangannya tiga kali, dan 

tak berapa lama masuk dua orang laki-laki bertubuh 

kekar ke dalam ruangan itu.

"Seret mereka dan berikan pada anjing-anjing hu-

tan kelaparan!"

"Baik, Nyi...!"

"Panggilkan Gotoloko ke sini!"

"Baik, Nyi...!" sahut kedua laki-laki bertubuh kekar 

itu bersamaan.

Setelah menunggu beberapa saat, masuklah seo-

rang laki-laki bertubuh besar dan kekar ke dalam 

ruangan itu. Wajahnya seram dan berkumis tebal den-

gan kepala botak. Di punggungnya terlihat sebilah pe-

dang yang cukup besar dan berat. Dia memberi hormat 

pada Nyi Imas Wari, kemudian duduk bersila di hada-

pannya.

"Bagaimana dengan tua bangka itu? Apakah dia 

masih tak mau bicara?"

"Ampun, Gusti Ayu. Aku telah berbuat sekuat ke-

mampuanku, tapi dia tak juga mau bicara. Keadaan-

nya betul-betul amat lemah. Kalau aku terus menyik-

sanya, dia mungkin akan tewas."

"Kurang ajar!" gadis itu menggeram sambil menge-

palkan sebelah tangannya.

"Saat ini dia tengah tak sadarkan diri, Gusti Ayu. 

Tapi begitu sadar, aku akan memaksanya lagi untuk 

memberitahukan di mana kedua kitab pusaka itu be-

rada...," kata Gotoloko melanjutkan keterangannya.

Nyi Imas Wari berkali-kali mendengus geram.

"Apa yang bisa kulakukan untukmu, Nyi?"

Nyi Imas Wari memandangnya sekilas, kemudian 

kembali menghela napas kesal sambil menggeleng lemah.



'Tidak. Untuk saat ini sudah cukup. Kembalilah

kau ke tempatmu." 

"Baik, Gusti Ayu."

Laki-laki bertubuh tinggi besar itu menjura hor-

mat, kemudian berlalu dari tempat itu. Namun baru 

saja dia menghilang dari balik ruangan itu, terdengar 

teriakan-teriakan panjang dari arah luar. Nyi Imas Wa-

ri tersentak kaget dan buru-buru keluar untuk melihat 

apa yang sedang terjadi.

Bukan main geramnya dia ketika melihat seorang 

pemuda berbaju kulit harimau tengah membantai 

anak buahnya satu persatu. Gerakannya amat gesit 

dan tenaganya kuat. Terlihat lebih dari tujuh orang 

anak buahnya terkapar di tanah dalam keadaan yang 

mengerikan.

"Pendekar Pulau Neraka, hentikan perbuatan-mu! 

Akulah tandinganmu, bukan mereka!" teriak Nyi Imas 

Wari geram.

***

DELAPAN



Pemuda berbaju kulit harimau yang tengah men-

gamuk itu tak lain memang Pendekar Pulau Neraka. 

Begitu mendengar bentakan itu, serentak para penge-

royoknya menghentikan serangan. Bayu memandang 

ke arah gadis yang tadi mengeluarkan bentakan nyar-

ing itu. Widi Saksaka yang berada di dekatnya dan se-

dang menggendong Tiren, berbisik ke telinga pemuda 

itu.

"Gadis itulah yang kukatakan tadi. Hati-hati, ke-

pandaiannya hebat sekali. Terutama tambang yang 

melingkar di pinggangnya itu."


Bayu melihat dengan seksama ke arah gadis berpa-

ras cantik itu, juga memperhatikan tambang yang me-

lilit rapi di pinggangnya yang ramping. Sekilas melihat 

penampilannya, orang tidak akan menyangka bahwa 

gadis itu kejam dan memiliki kepandaian yang hebat.

"Hm, jadi diakah orang yang kau andalkan untuk 

menghadapiku, Widi?" dengus gadis itu sinis.

"Kaukah majikan tempat ini?" Bayu menimpali 

dengan pertanyaan pula seraya memberi isyarat pada 

Widi Saksaka agar tidak mempedulikan ejekan gadis 

itu.

"Ya, akulah orangnya...," sahut gadis itu dengan 

wajah angkuh.

"Hm, kalau begitu bebaskanlah orang tua itu!"

"Huh, seenaknya saja kau bicara! Siapa pun yang 

berani masuk daerah kekuasaanku, maka mutlak dia 

adalah tawananku. Dan kalian telah melakukannya, 

bahkan berani membunuh anak buahku, maka kalian 

berdua adalah tawananku!"

Bayu tersenyum sinis dan berkata dengan lantang-

nya.

"Aku adalah penguasa diriku, dan tak seorang pun 

kubiarkan menguasai diriku. Apalagi menjadikanku

tawanan!"

"Akan kulihat, sampai di mana kebenaran kata-

katamu itu!" sahut gadis itu seraya memberi isyarat 

pada Gotoloko untuk meringkus pemuda itu.

Gotoloko menggeram ketika tubuhnya yang besar 

bagai raksasa itu melompat dan menggetarkan tanah 

yang berada di sekitar tempat itu.

Bayu memandang dengan wajah sinis. Dia menoleh 

sekilas, dan melihat sekitar lima belas orang anak 

buah gadis itu yang masih tersisa. Dan di antara me-

reka agaknya hanya si raksasa ini yang menjadi anda-

lannya. Bayu menyipitkan mata seperti hendak menaksir sampai di mana kekuatan lawannya ini.

"Ghrrr...! Akan kurencah tubuhmu, Bocah!" geram 

Gotoloko sambil menyeringai lebar.

Bersamaan dengan itu juga tubuhnya yang besar 

meluruk mencengkeram Bayu. Pemuda itu berkelit ke 

samping, namun dengan sigap tangan Gotoloko me-

nyapu pinggangnya. Terpaksa Bayu melompat ke atas 

sambil terus melewati kepala lawan. Dia ingin menguji, 

sampai di mana kecepatan bergerak raksasa ini.

"Hup!"

Wuk!

Gotoloko berusaha menyambarnya, namun tan-

gannya hanya mengenai angin belaka. Tubuh pemuda 

itu telah berada di belakangnya. Ketika dia berbalik 

hendak menyapu dengan satu tendangan bertenaga 

kuat, tubuh Pendekar Pulau Neraka telah mencelat ke 

sampingnya sambil melakukan tendangan keras.

Jder!

"Aaakh!"

Gotoloko mengeluh kesakitan ketika tendangan 

Bayu menghajar dadanya. Tubuhnya ambruk dan ter-

jungkal sejauh empat langkah. Belum lagi dia berusa-

ha bangkit, Bayu telah mengirim tendangan kembali.

Des!

Krak!

"Aaakh...!"

Gotoloko memekik kesakitan. Rahangnya patah ke-

tika tulang lehernya patah. Dadanya seperti dihantam 

bandul besi yang beratnya puluhan kati, sehingga ter-

lihat tulang rusuknya melesak ke dalam.

Bayu mendengus pelan.

"Huh, kau hanya memiliki gentong kosong yang tak 

berisi!"

"Pendekar Pulau Neraka, kau memang hebat! Tak 

percuma banyak tokoh persilatan yang takut terhadapmu. Aku menawarkan kerja sama dengan imbalan 

yang memuaskan asal kau mau berada di pihakku," 

sahut Nyi Imas Wari seraya melangkah genit mendeka-

ti pemuda itu sambil tersenyum sinis.

Bayu tersekat sesaat lamanya. Dia tidak begitu 

mudah dirayu oleh wanita walau bagaimanapun can-

tiknya. Tapi kali ini ada yang aneh. Sorot mata gadis 

itu seperti memancarkan daya pesona sihir yang hen-

dak membetot sukmanya. Kejantanannya perlahan-

lahan bangkit tanpa bisa dikendalikan seiring langkah 

gadis itu yang perlahan-lahan mendekatinya.

"Bayu, jangan tatap matanya! Dia sedang menggu-

nakan ilmu sihir untuk mempengaruhimu!" teriak Widi 

Saksaka memperingatkan.

"Jangan dengarkan ocehannya, Sayang. Ketahuilah

olehmu, aku telah lama merindukanmu. Setiap saat 

namamu ku sebut, dan ku impikan dalam tidurku. Oh, 

dekaplah aku. Dekaplah aku dalam pelukanmu...!" 

rayu Nyi Imas Wari seraya terus melangkah mendekati 

Bayu.

Tiren berteriak-teriak dengan suara meleng-king, 

kemudian melompat dari pangkuan Widi Saksaka dan 

terus berjumpalitan di tanah, dan melenting dengan 

ringan di pundak Bayu. Dia menjerit keras.

"Kaaakh...!"

"Uhhh...!"

Bayu yang tadi terpaku dengan wajah takjub terpe-

sona oleh kecantikan dan kelembutan suara Nyi Imas 

Wari, kini seperti tersadar dari mimpi oleh teriakan 

melengking di telinganya.

***

"Monyet jahanam, kubunuh kau! Hih...!"

Melihat usahanya digagalkan oleh Tiren, Nyi Imas


Wari marah bukan main. Telapak tangannya disorong-

kan ke depan. Dari situ menyambar jarum-jarum bera-

cun yang sangat halus menerpa monyet itu dan Pen-

dekar Pulau Neraka.

"Uts...!"

Bayu buru-buru melompat ke atas, namun Nyi Im-

as Wari agaknya telah memperhitungkan hal itu. Dia 

meloloskan tambang di pinggangnya dan memutarnya 

perlahan-lahan. Salah satu ujung tambang melesat ke 

arah Pendekar Pulau Neraka bagai anak panah, se-

mentara ujung yang satunya lagi berada dalam geng-

gaman gadis itu.

"Mampus kau...!" 

"Hup!"

Bayu mencelat turun, namun ujung tambang itu 

terus mengikutinya. Juga ketika tubuhnya bergulingan 

dan kembali melenting ke atas dan ke mana pun dia 

bergerak. Pemuda itu geram sendiri jadinya. Dia tidak 

mampu menjangkau tambang itu sebab ingat apa yang 

dipaparkan oleh Jaka Permana dan Widi Saksana ten-

tang kehebatan senjata lawan. Begitu mendekat, dia 

akan langsung melibat dan melilit sendiri bagai seekor 

ular menyantap mangsa.

"Hi hi hi...! Ayo, bertahanlah terus sampai kau ke-

habisan napas. Ayo, lawanlah senjataku ini dengan 

senjatamu yang hebat itu! Ayo, keluarkan senjatamu 

itu...!"

Bayu mendengus geram. Keadaannya kini memang 

serba salah. Walaupun dia bergerak cepat untuk me-

nyerang gadis itu, maka ujung tambang lawan akan 

lebih cepat lagi menyambarnya. Sekali saja dia terbelit, 

maka akan sukar melepaskan diri, karena semakin

kuat dia mengerahkan tenaga dalamnya untuk mele-

paskan lilitan, maka tambang itu akan semakin kuat 

membelit.


"Hiyaaa...!"

Siiing...!

Bayu membentak nyaring ketika mengibaskan tan-

gan kanannya! Dalam keadaan terjepit begini tak ada 

kesempatan lagi baginya membela diri selain memapa-

ki serangan lawan dengan Cakra Maut.

"Hm, kenapa tidak sejak tadi saja kau keluarkan 

senjatamu?" ujar Nyi Imas Wari sinis.

Tapi sesaat kemudian gadis itu terkejut bukan 

main ketika mencoba membelit Cakra Maut dengan 

senjatanya.

Tes!

"Hei?!"

Tambangnya yang sangat dibanggakan dan dian-

dalkan itu terbabat putus oleh senjata Pendekar Pulau 

Neraka. Belum lagi habis rasa kagetnya, mendadak sa-

ja Cakra Maut itu mendesing menyambar lehernya. Nyi 

Imas Wari terkejut dan cepat membuang diri ke samp-

ing.

"Yeaaa...!"

Tubuh Pendekar Pulau Neraka melompat sambil 

berjumpalitan untuk menangkap senjatanya kembali 

dan terus menghajar lawan dengan satu tendangan 

menggeledek.

Plak!

Wuk!

Nyi Imas Wari mencoba menangkis dengan tangan 

kirinya. Namun tangannya terasa linu ketika benturan 

terjadi. Dia mengeluh kesakitan. Namun masih sempat 

menundukkan kepala untuk menghindari sapuan ten-

dangan lawan berikutnya. Tubuhnya melompat ke be-

lakang sambil menyerang lawan dengan tambang 

mautnya.

Wut! 

Siiing!


Bersamaan dengan senjatanya membelit ping-gang 

Pendekar Pulau Neraka, Cakra Maut melesat menyam-

bar dadanya tanpa bisa dielakkan lagi.

Cras!

"Aaa...!"

Nyi Imas Wari memekik kesakitan. Dadanya robek 

lebar ketika tulang rusuknya patah. Tubuhnya ter-

jungkal bersimbah darah, dan tewas beberapa saat 

kemudian.

"Kurang ajar! Serang dia! Bunuh...!"

Melihat majikannya tewas, anak buah Nyi Imas 

Wari yang masih tersisa, tidak mau tinggal diam. Me-

reka menyerbu Pendekar Pulau Neraka dengan kema-

rahan yang meluap-luap. Dengan senjata terhunus, 

mereka menyerang dengan membabi buta.

'Yeaaa...!"

Melihat keadaan itu Bayu serentak menyambar 

Cakra Mautnya dan dengan geram menghajar mereka 

dengan senjatanya itu.

Siiing!

Bret!

Cras!

"Aaa...!"

Tiga orang langsung ambruk bermandikan darah 

disambar senjata maut itu. Bayu melesat cepat men-

gayunkan tendangan ke arah dua orang yang mende-

kat ke arahnya. 

Duk! 

Desss! 

"Aaa...!"

Dua orang lagi terjungkal dengan dada remuk. Tu-

buh Pendekar Pulau Neraka terus berkelebat seraya 

menyebar Cakra Mautnya dan kembali melepaskannya 

dengan geram. Tenggorokan mereka robek dan tulang 

lehernya patah. Nyawa mereka terbang saat itu juga.


Melihat sepak terjang pemuda itu yang ganas dan 

tak kenal ampun, sisanya melarikan diri. Namun Bayu 

betul-betul tak memberi ampun pada mereka. Cakra 

Mautnya kembali berputar mengejar dan menyambar 

punggung tiga orang yang terlambat melarikan diri. Ke-

tiganya memekik ketika tubuh mereka ambruk ber-

mandikan darah.

Bayu mendengus pelan dan membiarkan sisanya 

melarikan diri. Kemudian dia memandang ke sekeliling 

tempat itu. Widi Saksaka tak ada. Tiren menunjuk-

nunjuk ke satu arah. Bayu mengangguk sambil terse-

nyum kecil.

"Hm, syukurlah dia telah menemukan gurunya. 

Kalau begitu tugas kita telah selesai, Tiren. Mari kita 

tinggalkan tempat ini," kata pemuda itu seraya me-

nyambar tubuh monyet kecil itu dan melesat cepat 

meninggalkan tempat itu.

***

Apa yang ditunjukkan Tiren memang benar. Begitu 

melihat mereka mengerubuti Pendekar Pulau Neraka, 

Widi Saksaka menyelinap masuk ke, dalam gedung di 

depannya dan menemukan gurunya terkulai lemah da-

lam sebuah ruang penyiksaan. Buru-buru dilepaskan-

nya belenggu yang mengikat kedua tangan dan kaki 

orang tua itu. buahnya. 

"Pendekar Pulau Neraka membantuku, Eyang. Dia 

telah membinasakan gadis itu, dan seluruh anak 

buahnya. Juga termasuk Kakang Begara Seta...," jelas 

Widi Saksaka.

"Pendekar Pulau Neraka? Oh, syukurlah...."

"Tapi aku belum menemukan adik Jaka Per-mana."

"Ah, sampai aku lupa memberitahukannya pada-

mu. Lekaslah kau tolong dia. Mereka pun telah menyekapnya di ruangan lain. Aku akan menolong Pen-

dekar Pulau Neraka!"

"Tak perlu, Eyang. Terakhir kulihat dia tengah 

membantai anak buah gadis itu. Mereka pasti tidak 

akan selamat di tangannya!"

"Ah, tokoh itu memang hebat, dan sekaligus kejam. 

Dia tentu tidak akan membiarkan mereka selamat seo-

rang pun!" gumam Ki Ageng Sura sambil menggeleng 

lemah dan menghela napas pendek.

Orang tua itu melangkah pelan keluar dari ruan-

gan ketika Widi Saksaka mencari Jaka Permana di 

ruangan lain. Namun ketika tiba di halaman depan, 

tak dijumpainya seorang pun di sana. Yang ada hanya 

mayat-mayat bergelimpangan dalam keadaan yang 

mengenaskan. Termasuk mayat gadis yang menculik-

nya tempo hari.

Ki Ageng Sura kembali menggeleng kecil.

"Hm, kabar tentangnya memang bukan omong ko-

song belaka. Kepandaian mereka hebat, tapi dia tidak 

mampu mengalahkannya...."

'Eyaaang...!" teriak seseorang.

Ki Ageng Sura cepat berbalik dan melihat seorang 

pemuda tanggung berusia sekitar lima belas tahun, 

berlari-lari kecil menghampirinya, dan berlutut di ka-

kinya.

"Syukurlah kau selamat, Jaka...."

"Eyang tak apa-apa...?" tanya Jaka Permana den-

gan wajah cemas.

Ki Ageng Sura tersenyum kecil sambil menggeleng 

lemah. Dilihatnya wajah Jaka Permana agak memar. 

Begitu juga dengan bagian tubuhnya yang lain. Tentu 

saja telah mendapat siksaan yang cukup parah.

"Lho, ke mana perginya dia, Eyang?" tanya Widi 

Saksaka yang tadi menyertai Jaka Permana.

"Apakah yang kau maksud Pendekar Pulau Neraka?"

Widi Saksaka mengangguk cepat.

"Dia telah pergi."

"Eyang sempat menjumpainya?" 

"Tidak..."

"Ah, kita belum sempat mengucapkan terima kasih 

padanya...," keluh Widi Saksaka pelan.

"Pendekar sepertinya tak memerlukan basa-basi 

dari ucapan terima kasih seseorang yang telah dito-

longnya, Widi."

"Aku masih merasa bersalah karena mencuri-

gainya, Eyang...," ucap Jaka Permana lirih.

"Sudahlah. Di lain waktu kau akan sempat men-

jumpainya dan menyatakan penyesalan sekaligus rasa 

terima kasihmu...," hibur Ki Ageng Sura.

"Eyang, ada yang ingin kutanyakan. Apakah sebe-

narnya Eyang menyimpan kedua kitab pusaka yang 

mereka inginkan itu?" tanya Widi Saksaka dengan wa-

jah sungguh-sungguh.

Ki Ageng Sura mengangguk.

"Dan Eyang bermaksud mewariskannya pada salah 

seorang di antara kami?"

Ki Ageng Sura kembali mengangguk.

"Widi, dengarkanlah. Kedua kitab itu merupakan 

pelajaran ilmu silat yang hebat. Kelak jika kalian telah 

memiliki tenaga batin yang hebat barulah aku mem-

percayai pada kalian berdua karena telah terbukti kini, 

siapa sebenarnya muridku yang berbakti...."

"Dan untuk sekarang ini kami tidak boleh menge-

tahui di mana Eyang menyimpan kedua kitab pusaka 

itu, bukan?" tanya Widi Saksaka meyakinkan sambil 

tersenyum kecil.

Ki Ageng Sura mengangguk.

"Eyang, aku pun punya pertanyaan...," sergah Jaka 

Permana.


"Aku masih ingat pesan yang Eyang berikan sebe-

lum Eyang tertangkap. Apa maksudnya?"

Ki Ageng Sura tersenyum kecil.

"Ketika aku mengetahui bahwa ada orang yang 

menginginkan kedua kitab pusaka itu, maka aku me-

mastikan bahwa salah satu atau kedua muridku telah 

mengkhianatiku, sebab selama ini tidak seorang pun 

yang mengetahui rahasia kedua kitab pusaka itu se-

lain kedua muridku. Untuk itulah aku memutuskan 

bahwa kau sebagai pewarisnya karena yakin bahwa 

mereka akan membunuhku. Tapi Tuhan agaknya ber-

kehendak lain, dan aku tidak malu mencabut kata-

kataku sendiri agar sesuatunya berjalan dengan adil 

dan bijaksana. Kujanjikan kedua kitab itu akan kuwa-

riskan pada kalian...," jelasnya.

Jaka Permana dan Widi Saksaka tersenyum kecil.

"Tapi, Eyang. Masih ada lagi yang mengganjal di 

benakku soal pesan Eyang tersebut. Sepertinya sebuah 

teka-teki bagiku," lanjut Jaka Permana.

'Teka-teki itu akan kau pecahkan sendiri jika wak-

tunya tiba dan akalmu bisa mencernakannya. Nah, 

apa yang jelas kau tangkap dari teka-teki dalam pe-

sanku itu?' tanya Ki Ageng Sura tersenyum.

"Ada yang harus kupakai dan ada yang musti ku 

buang. Benarkah itu, Eyang?"

"Kau benar. Demikian pula dengan kedua kitab itu. 

Hanya satu yang bisa kalian pelajari sedangkan sa-

tunya lagi adalah kitab yang menyesatkan. Bagaima-

napun kuatnya batin kalian, tapi karena kedua kitab 

itu ilmu silat yang sangat dahsyat dan memiliki hawa 

panas yang mampu menguasai serta menyeret kalian 

ke dalam pikiran jahat, maka faktor pertama yang per-

lu dikuasai adalah kekuatan batin untuk bisa mengu-

asai diri...," jelas Ki Ageng Sura.

"Kami mengerti, Eyang...," sahut kedua murid-nya


serentak.

"Syukurlah kalau kalian telah memahami hal itu. 

Sesungguhnya kedua kitab itu ilmu silat yang berasal 

dari seorang tokoh sesat yang memiliki kepandaian 

hebat. Dan tokoh sesat itu adalah kakek buyut guru-

ku. Generasi di bawahnya tidak sembarangan yang 

mampu mempelajarinya, karena kalau batin mereka 

tidak kuat hanya ada dua kemungkinan, kalau tidak 

gila, maka dia akan tersesat dalam sifat jahat yang 

menyesatkan," jelas Ki Ageng Sura kembali.

"Eyang, kabarnya guru Pendekar Pulau Neraka 

adalah bekas tokoh sesat?" tanya Widi Saksaka.

"Ya. Dan kau bisa melihat sendiri apa yang di-

lakukan muridnya, bukan? Bisa kau bayangkan kehe-

batan tenaga batin pemuda itu sehingga tidak mem-

pengaruhi pikirannya untuk berbuat jahat. Namun 

demikian, masih terlihat sisi jahat dari ilmu yang dimi-

likinya, yaitu hawa kejam dalam membunuh lawan-

lawannya. Kalian bisa memetik pelajaran dari dirinya."

Kedua pemuda itu kembali mengangguk-

anggukkan kepala.

Tak berapa lama mereka telah melangkah pelan meninggalkan tempat itu.



                           SELESAI

























Share:

0 comments:

Posting Komentar