WARISAN KITAB
PUSAKA
Oleh Teguh Suprianto
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Pulau Neraka
dalam episode:
Warisan Kitab Pusaka
128 hal. ; 12 x 18 cm
SATU
Udara pagi yang bening masih terasa sejuknya di
antara desau angin yang bertiup semilir. Ran-ting-
ranting kayu bergoyang-goyang seperti menari bersama
kicau burung yang terdengar satu persatu. Terasa in-
dah dan memberikan suasana tenteram. Sinar mata-
hari yang kemerahan memberi segarnya udara saat ini
di pinggiran sebuah hutan yang penuh dengan pepo-
honan berukuran besar dan kecil.
Tak jauh dari tempat itu, di dekat sebuah bukit ke-
cil, terlihat sebuah pondok yang amat sederhana. Di
depannya tengah duduk seorang laki-laki tua berusia
sekitar enam puluh tahun dan memiliki jenggot pan-
jang. Tubuhnya sedang dibungkus baju hitam yang
agak pudar. Rambutnya pendek dan memakai ikat ke-
pala warna merah. Sambil duduk bersila, bola matanya
tajam memperhatikan seorang pemuda tanggung beru-
sia sekitar lima belas tahun yang tengah menggerak-
gerakkan tubuhnya seperti sedang berlatih ilmu silat di
pekarangan depan.
Sebentar-sebentar tampak dia menghela napas
pendek sambil menggeleng pelan. Bibirnya tersungging
kecil.
"Anak itu benar-benar keras kepala, dan diam-
diam tanpa sepengetahuanku dia terus berlatih ilmu
silat. Meski gerakannya ngawur, tapi semangatnya
sangat dipuji," gumam orang tua itu.
Orang tua itu kembali memperhatikan dengan sek-
sama. Dari sorot matanya yang tajam bisa diduga
bahwa dia memiliki tingkat tenaga dalam yang tidak
bisa dianggap rendah. Dan sesungguhnya orang tua
yang bernama Ki Ageng Sura ini memang bukan orang
sembarangan. Beliau merupakan salah seorang tokoh
persilatan yang amat disegani karena memiliki kepan-
daian yang tinggi. Ki Ageng Sura termasuk sebagai sa-
lah seorang tokoh persilatan kelas atas yang memiliki
gelar Pendekar Langlang Buana.
Pemuda tanggung yang bertubuh tegap itu se-mula
tak menyadari kalau dirinya sedang diperhatikan
orang tua itu. Barulah ketika tubuhnya berputar dia
dapat melihat kehadiran Ki Ageng Sura. Dengan serta
merta dia menghentikan gerakannya dan tersenyum
malu sambil menundukkan kepala dan menjura hor-
mat.
"Eyang, maafkan aku...," suaranya halus dan ber-
nada penyesalan.
Ki Ageng Sura tersenyum kecil, kemudian me-
manggil pemuda itu.
"Jaka Permana, kemarilah kau...."
Dengan perlahan-lahan pemuda itu menghampiri,
dan tetap menundukkan kepala. Dia kembali menjura
hormat setelah tiba di hadapannya.
"Maafkan kelancanganku, Eyang...," katanya lirih.
Ki Ageng Sura tersenyum kembali, kemudian me-
nepuk pundak pemuda tanggung bernama Jaka Per-
mana itu.
"Duduklah di dekatku...," katanya seraya mengajak
pemuda itu duduk di dekatnya.
"Eh, ng...," Jaka Permana terlihat ragu.
"Duduklah," lanjut Ki Ageng Sura menegaskan.
'Terima kasih, Eyang...," sahut pemuda itu seraya
duduk di atas balai-balai, dan tetap menundukkan ke-
pala.
"Kau sudah membelah kayu bakar?"
"Sudah, Eyang...."
"Bagus. Kau ingin belajar ilmu silat...?"
"Eh, aku tak berani meminta, Eyang...."
Ki Ageng Sura tersenyum kembali. Tangan kanan
nya menepuk-nepuk bahu pemuda tanggung itu.
"Sudah berapa lama kau ikut denganku...?"
"Lebih kurang lima tahun lamanya, Eyang..."
"Ya, lima tahun lamanya. Tak terasa waktu bergulir
demikian cepat. Kau tumbuh menjadi seorang pemuda
yang cakap dan cerdas. Aku menyadari akan dendam-
mu terhadap pembunuh kedua orangtua mu. Tapi be-
lajar ilmu silat untuk membalas dendam bisa mem-
pengaruhi pikiranmu ke dalam jurang kejahatan. Dan
bila hal itu terjadi, bukan saja aku yang akan terpu-
kul, tapi tanpa kau sadari dirimu akan terus terpenga-
ruh oleh hawa nafsumu sendiri," kata orang tua itu pe-
lan.
Jaka Permana diam mendengarkan nasihat orang
tua itu.
"Kau mengerti maksudku, kenapa hingga saat ini
aku tak mengajarkan ilmu silat padamu?"
"Mengerti, Eyang...," sahut Jaka Permana lirih.
'Tapi kau tak perlu berkecil hati. Selama di sini aku
tahu betul bagaimana watakmu. Dan lama kuperhati-
kan, aku yakin kelak kau akan menjadi seorang yang
mampu membedakan mana yang harus kau kerjakan
dan mana yang harus kau jauhi." Jaka Permana diam
tak menyahut. "Aku percaya padamu, Jaka...," lanjut
Ki Ageng Sura.
"Terima kasih, Eyang."
"Nah, mulai pagi ini kau akan mendapat pelajaran
langsung dariku," kata Ki Ageng Sura mantap sambil
menepuk pundak pemuda itu.
Jaka Permana mendongakkan kepala dan meman-
dang orang tua itu dengan wajah tak percaya.
"Eyang! Oh, benarkah apa yang kudengar baru-
san...?!" serunya kaget.
Ki Ageng Sura tersenyum sambil mengangguk pe-
lan.
'Terima kasih, Eyang! Terima kasih...!" sahut Jaka
Permana seraya membungkukkan tubuh dan berkali-
kali berseru girang mengucapkan terima kasih.
"Sudahlah. Nah, dengarlah kata-kataku. Hari ini
kuangkat kau menjadi muridku yang ketiga setelah
Begara Seta dan Widi Saksana. Dan kau harus mema-
tuhi serta berjanji bahwa kau akan bertindak yang be-
nar dalam mengamalkan kepandaian yang kau miliki.
Jika kau bertindak salah dan menuruti hawa nafsu
sendiri, maka aku akan datang menghukummu!"
"Hamba berjanji, Eyang!" sahut Jaka Permana ce-
pat
"Bagus. Nah, man kita mulai dengan latihan dasar
yang pertama...," sahut Ki Ageng Sura seraya turun
dari balai-balai dan melangkah ke pekarangan depan
diikuti Jaka Permana di belakangnya.
***
Jaka Permana berada di samping orang tua itu
saat Ki Ageng Sura memperagakan jurus-jurus dasar
yang dimilikinya, dan memperhatikan dengan seksa-
ma.
Sebagian besar dia pernah melihat jurus-jurus itu
ketika orang tua itu mengajarkannya pada kedua mu-
ridnya yang terdahulu, meskipun dari jarak yang agak
jauh.
Sehingga ketika Ki Ageng Sura memintanya untuk
mengulangi jurus-jurus yang tadi diperagakannya,
maka dengan mudah Jaka Permana mengulanginya.
"Bagus! Kau memang sangat cerdas dan berbakat,
Jaka!" puji Ki Ageng Sura. "Hanya gerakanmu memang
masih belum mantap dan berisi. Tak mengapa karena
ini hanya gerakan-gerakan dasar. Untuk selanjutnya
gerakanmu harus mantap seiring dengan pernapasan
yang teratur untuk mengembangkan tenaga dalam dari
dalam tubuhmu...."
Jaka Permana cepat mengangguk, kemudian kem-
bali memperhatikan dengan seksama ketika Ki Ageng
Sura melakukan gerakan latihan pernapasan yang di-
maksudnya.
Hal-hal itu memang bukan pelajaran yang baru ba-
ginya. Dulu ketika Begara Seta dan Widi Saksana ma-
sih berada di tempat ini, dia suka mencuri-curi ketika
mereka sedang berlatih setiap hari. Dan sedikit banyak
dia bisa meniru gerakan-gerakan yang mereka laku-
kan. Hanya saja dia tak bisa mendengar apa-apa yang
dikatakan Ki Ageng Sura pada mereka karena jaraknya
cukup jauh dan tak terjangkau pendengarannya. Se-
hingga tak mengherankan bila dalam waktu yang san-
gat singkat dia mampu meniru semua gerakan-gerakan
dasar yang diajarkan oleh orang tua itu.
"Bagus, Jaka! Bagus! Aku senang sekali melihat
perkembanganmu. Kau memang sangat serius sekali
dalam mempelajari ilmu silat. Dan tak segan-segan
kukatakan bahwa kau sangat berbakat!" puji Ki Ageng
Sura kembali.
'Terima kasih, Eyang...," sahut pemuda tanggung
itu tersenyum malu.
"Dengan kecerdasanmu itu kau bisa mengungguli
saudara seperguruanmu yang lain! Bahkan bukan tak
mungkin kau akan belajar dalam waktu singkat!"
"Eyang, aku tak berani berpikir begitu."
"Kenapa?"
Jaka Permana terdiam beberapa saat sambil me-
nundukkan kepala. Namun tak lama dia memandang
orang tua itu. Wajahnya kelihatan muram seperti me-
rasa bersalah.
"Kemampuanku sebenarnya biasa-biasa saja,
Eyang...," ucapnya lirih.
"Hm, kenapa kau berkata demikian? Bukankah ti-
dak kau sadari bahwa kau mampu menirukan gera-
kan-gerakan yang kuajarkan dalam waktu singkat?"
tanya Ki Ageng Sura heran.
"Sebenarnya hamba tidak semata-mata bisa meni-
rukan jurus-jurus dasar yang tadi Eyang tunjukkan
dengan cepat. Tapi itu bisa hamba lakukan karena
hamba sering mencuri-curi lihat saat dulu Eyang ser-
ing mengajar Kakang Begara Seta dan Kakang Widi
Saksana."
Suara Jaka Permana semakin lama semakin pelan
terdengar. Dan wajahnya semakin tertunduk dengan
perasaan bersalah.
"Maafkan kelancangan hamba, Eyang. Hamba telah
berbuat kesalahan. Tapi hamba rela mendapat huku-
man...," lanjut pemuda tanggung itu.
Ki Ageng Sura memandang murid barunya itu be-
berapa saat lamanya, kemudian tersenyum sambil me-
langkah mendekati. Ditepuknya pundak Jaka Perma-
na, kemudian berkata pelan. Jelas sekali terdengar
oleh pemuda itu.
"Jaka Permana, kuhargai kejujuranmu. Itu salah
satu sifat baikmu yang kusadari. Aku hanya ingin se-
kadar menguji apakah kau berkata terus terang atau
tidak, sebab aku telah lama mengetahui apa yang kau
katakan tadi."
"Oh, Eyang.... Eyang telah mengetahuinya?!" tanya
pemuda itu tak percaya.
Ki Ageng Sura mengangguk, lalu tersenyum kecil.
"Apa yang terjadi di sekitar pondokku ini akan ku-
ketahui, meski kau bersembunyi di balik semak-
semak. Nah, aku juga tahu bahwa jurus-jurus dasar
yang kau mainkan tadi telah lama kau ketahui. Bah-
kan aku mengetahui bahwa kemampuanmu melebihi
itu. Tapi yang tak kumengerti, kenapa tadi kau berlatih
dengan gerakan-gerakan ngawur?" tanya orang tua itu
dengan dahi berkerut.
Jaka Permana tersenyum malu.
"Sekali lagi maafkan hamba, Eyang. Hamba tahu
persis saat Eyang terjaga dari tidur. Lalu agar Eyang
tak mengetahuinya karena hamba takut Eyang akan
mengintip, maka hamba berpura-pura berlatih dengan
jurus-jurus yang ngawur."
"Dan kau melatih diri dengan jurus-jurus yang se-
sungguhnya di dalam hutan sana saat mencari kayu
bakar dan buah-buahan?" tanya Ki Ageng Sura sambil
tersenyum dengan wajah yakin.
Jaka Permana mengangguk pelan, lalu berkata
dengan lirihnya.
"Ampuni hamba, Eyang."
Ki Ageng Sura kembali tersenyum kecil.
"Aku mengerti akan kekerasan hatimu untuk bela-
jar ilmu silat dariku. Kalau dulu aku masih ragu kepa-
damu, tapi sekarang aku yakin kau mampu untuk
mengamalkan ilmu silat yang kau miliki di jalan yang
benar."
"Hamba tak akan mengecewakan harapan Eyang.
Hamba berjanji, Eyang!" sahut Jaka Permana cepat.
"Syukurlah kalau memang demikian. Nah, seka-
rang coba tunjukkan padaku, sampai di mana ke-
mampuanmu saat ini!"
"Baiklah, Eyang. Tolong perbaiki kekurangan ham-
ba...," sahut Jaka Permana girang.
Pemuda tanggung itu melompat lima langkah ke
belakang dengan gerakan ringan, kemudian mulai
membuka jurus. Lalu tubuhnya bergerak cepat dan
lincah.
Selama Jaka Permana memperlihatkan jurus-jurus
yang telah dikuasainya, Ki Ageng Sura memperhatikan
dengan seksama. Sesekali tampak dia berdecak ka
gum. Gerakan Jaka Permana gesit dan lincah, seba-
gaimana layaknya gerakan yang dilakukan oleh tokoh
persilatan yang memiliki ilmu silat tangguh. Hanya be-
berapa kali dan bisa dihitung dengan jari dia membuat
gerakan yang salah, selebihnya betul-betul sama den-
gan jurus yang dimilikinya!
Tengah guru dan murid itu berlatih, mendadak
terdengar suara ribut-ribut tak jauh dari tempat mere-
ka berada.
***
"Gadis molek dan cantik, kau kira bisa pergi see-
nak perutmu sendiri? Phuah! Kau tak akan bisa lepas
begitu saja!" dengus beberapa orang yang membawa
senjata tajam di tangan.
Ki Ageng Sura dan Jaka Permana mengerutkan
alis. Seorang gadis cantik memakai baju merah dan
memegang sebatang pedang, tampak tengah dikejar-
kejar oleh segerombolan laki-laki berwajah seram yang
berkelakuan kasar. Raut wajah mereka menyiratkan
hawa nafsu yang menggelegak-gelegak dan siap me-
nerkam gadis itu laksana hewan buas yang telah me-
nemukan mangsanya.
Gadis itu sendiri tampak bingung. Dia sempat meli-
rik ke arah Ki Ageng Sura dan Jaka Permana, kemu-
dian buru-buru berlari kencang menghampiri kedua-
nya, lalu menjura hormat dengan napas memburu.
"Kisanak, tolonglah aku. Mereka hendak me-
rampok dan memperkosaku! Tolonglah, Kisanak...,"
tubuh gadis itu menggigil ketakutan, dan wajahnya
pucat dengan keringat dingin membasahi sekujur tu-
buhnya. Berkali-kali dia melihat ke arah pengejarnya
yang terus memburu dari belakang.
"Itu dia!"
'Tangkap! Jangan biarkan dia lolos...!"
Mendengar suara teriakan-teriakan yang semakin
mendekat, ketakutan gadis itu semakin menjadi-jadi.
Dia menangkap sebelah kaki Ki Ageng Sura, dan me-
meluknya seperti tak ingin melepaskan.
"Kisanak, tolonglah aku...! Oh, mereka... mereka
sangat kejam dan buas...!"
"Hei, Nisanak! Lepaskan cengkeramanmu pa-da
kakiku...!" teriak Ki Ageng Sura kaget melihat apa yang
dilakukan gadis itu.
'Tidak! Aku tidak akan melepaskannya sebelum
kau bersedia menolongku menghajar mereka!" sentak
gadis itu berkeras dan malah mempererat cekalannya.
Sementara itu para pengejar si gadis telah tiba pula
di dekat Ki Ageng Sura. Mereka memperhatikan lang-
kah dan berbaris rapi dengan sikap mengancam orang
tua itu. Salah seorang yang berbadan besar dan ber-
kumis melintang dan mengenakan rompi hitam se-
hingga terlihat dadanya yang tegap, maju ke depan
dengan sebilah golok besar yang tajam berkilat, ter-
genggam erat di tangan kanannya.
"Orang tua, kalau saja tak memandang bahwa kau
penghuni tempat ini, tentu saja kami tak sudi berbasa-
basi denganmu. Kau telah mencoba me-rampas bu-
ruan kami. Nah, karena memandang bahwa kau me-
mang sudah sepatutnya dihormati, berikan gadis itu
dan kami akan segera berlalu dari tempatmu ini!" sua-
ra orang itu terdengar keras dan serak.
Selamanya Ki Ageng Sura memang tak suka meli-
hat kelakuan orang seperti gerombolan itu. Merampok,
membunuh, dan memperkosa wanita-wanita yang me-
reka temui. Dan meskipun gadis itu tak memohonkan
pertolongan padanya, dia pun akan senang hati mem-
bantu. Namun ada sedikit yang agak mengherankan
baginya sejak tadi. Bagaimana mungkin mereka bisa
nyasar ke tempat ini? Lembah ini cukup jauh dari per-
kampungan yang terdekat, dan jauh pula dari jalan
umum yang biasa dilewati orang. Dan selama ini, ja-
rang sekali ada yang sampai tersasar ke tempatnya.
Bahkan boleh disebut, tidak pernah. Karena selain
agak tersembunyi, tempat ini pun agak sukar dilalui
karena banyaknya semak belukar yang berduri meng-
halangi perjalanan. Untuk seseorang yang tengah me-
larikan diri dari kejaran orang lain, seharusnya dia
berlari ke perkampungan yang terdekat, atau berlari
menuju jalan utama yang dilalui orang-orang.
Ki Ageng Sura termenung sesaat lamanya sambil
memperhatikan gerombolan yang berjumlah lebih ku-
rang lima belas orang itu dengan seksama. Sebenarnya
pikiran tadi bukan berasal dari dirinya, melainkan Ja-
ka Permana yang berbisik pelan mengutarakan kecuri-
gaannya. Itulah yang membuat orang tua itu sedikit
bimbang ketika si gadis menubruk dan mencengkeram
sebelah kakinya. Tapi mendengar kata-kata salah seo-
rang dari mereka yang sinis dan seperti memandang
rendah terhadapnya, Ki Ageng Sura sudah merasa tak
senang. Dia memandang ke arah gadis itu, kemudian
berkata pelan.
'Tenanglah, Anak Manis. Kau berdiri di belakang-
ku. Biar kuhajar bajingan-bajingan ini...," tunjuknya
ke belakang Jaka Permana.
Mendengar kata-kata si orang tua, gadis itu berlari
kecil dan bersembunyi di punggung Jaka Permana.
Pemuda tanggung itu menjadi risih sendiri jadinya. Dia
melirik sejenak ke arah gurunya, kemudian berusaha
tenang memperhatikan ketika Ki Ageng Sura melang-
kah mendekati gerombolan itu perlahan-lahan.
"Kalian pergilah, dan urusan ini selesai sampai di
sini. Gadis ini ada dalam perlindunganku, dan tak seo-
rang pun boleh mengganggunya!" sahut Ki Ageng Sura
tegas dengan suara keras.
"Keparat! Tua bangka tak tahu diri. Jangan se-
enaknya mulutmu bicara seperti itu. Tahukah kau se-
dang berhadapan dengan siapa saat ini?!" bentak laki-
taki bertubuh besar itu dengan mata melotot garang.
"Perlu apa aku mengetahui siapa kalian? Yang je-
las, orang-orang seperti kalian memang sudah sepa-
tutnya mendapat hajaran," sahut Ki Ageng Sura den-
gan nada dingin.
"Kurang ajar! Berani kau bicara begitu pada Ge-
rombolan Iblis Maut, maka kau harus berani pula me-
nanggung akibatnya!" dengus laki-laki kasar itu sambil
membabatkan goloknya ke leher orang tua di depannya
dengan gemas.
"Uts...!"
Ki Ageng Sura mengelak ke samping sambil meren-
dahkan tubuh. Kepalanya tertunduk ketika sebelah
kakinya terayun menghantam pergelangan tangan la-
wan dengan cepat.
'Duk!
"Uhhh...!"
Laki-laki itu mengeluh kesakitan. Pergelangan tan-
gan kanannya sakit sekali, dan kemungkinan tulang-
nya retak akibat tendangan ujung kaki orang tua itu.
Masih untung golok besar dalam genggamannya tak
terpental lagi. Kalau saja Ki Ageng Sura mengerahkan
sedikit lagi tenaga dalam yang disalurkan ke ujung ka-
kinya, niscaya pergelangan tangannya hancur tak ber-
bentuk.
Menyadari keadaan itu, dia tak berani gegabah.
Maka dengan wajah gusar, dia berteriak pada kawan-
kawannya.
"Hajar si keparat ini, dan jangan biarkan hidup...!"
***
DUA
Dengan serta merta mereka mengurung Ki Ageng
Sura. Melihat keadaan itu Jaka Permana merasa ber-
kewajiban membantu gurunya. Namun sebelum pe-
muda tanggung itu bergerak membantu, Ki Ageng Sura
telah berkata dengan suara tegas kepadanya.
"Jaka, kau lindungi gadis itu. Dia adalah tanggung
jawabmu untuk saat ini!"
"Tapi, Eyang...."
"Jangan membantah! Turuti apa kataku!" sentak Ki
Ageng Sura.
"Eh, kalau demikian, baiklah...," sahut pemuda
tanggung itu tak punya pilihan lain.
Jaka Permana bersiap ketika dua orang lawan
mendekatinya dengan senjata terhunus. Dia sedikit
gentar karena selama hidupnya belum pernah berkela-
hi. Juga timbul keraguan dalam hatinya, apakah
mampu menghadapi kedua orang lawannya itu?
"Yeaaa...!"
"Hiyaaat...!"
Dengan teriakan keras, mereka menyerbu guru dan
murid itu berbarengan. Ki Ageng Sura tersenyum kecil
ketika tubuhnya melompat ke samping dengan sebelah
kaki ditekuk, lalu diayunkan dengan keras ke perut
salah seorang lawan.
Begkh!
"Akh!"
"Yeaaa...!"
Orang itu menjerit kesakitan. Tubuhnya ter-
jungkal dan terus bergulingan. Dua orang kawannya
dengan garang mengayunkan senjata di tangan mereka
masing-masing ke arah leher dan perut orang tua itu.
Namun dengan gesit tubuh Ki Ageng Sura meliuk-liuk
menghindari sambil melompat ke atas. Pada saat yang
bersamaan, laki-laki bertubuh besar yang pertama
berhadapan dengannya telah siap menghadang dengan
sabetan goloknya yang berisi tenaga dalam kuat. Cui-
tan angin serangannya terdengar tajam dengan kema-
rahan yang luar biasa.
Wukkk!
Plak!
Namun Ki Ageng Sura bukanlah tokoh sembaran-
gan yang tak mengerti gelagat. Dari awal serangan ber-
sama itu dia sudah memperhitungkan bahwa lawan
akan mengincarnya begitu ada kesempatan. Untuk itu
dia telah mempersiapkan diri sebelumnya. Sehingga
begitu golok lawan hendak menebas lehernya, buru-
buru dia menundukkan kepala. Tangan kirinya kem-
bali menghantam pergelangan tangan lawan dengan
mengikuti ayunan golok yang luput dari sasaran. Na-
mun lawan pun agaknya telah memperhitungkan hal
itu, sehingga mendahului dengan tendangan kaki ka-
nannya untuk memapaki pukulan si orang tua. Tapi
yang terjadi justru laki-laki bertubuh besar itu yang
mengeluh kesakitan dengan wajah berkerut ketika tu-
lang kering kakinya dihantam tangan Ki Ageng Sura.
Dengan gerakan cepat yang tiada terduga, tubuh orang
tua itu berputar seraya mengibaskan kaki kanannya
ke perut lawan.
Begkh!
"Aaakh...!"
Lawannya terjungkal sambil menjerit keras. Dari
mulutnya meleleh darah kental. Dia berusaha bangkit,
namun isi perutnya terasa sakit seperti diaduk-aduk.
Dilihatnya orang tua itu dengan leluasa menghajar
kawan-kawannya yang lain.
Sementara itu beberapa kali Jaka Permana nyaris
kena dilukai oleh kedua lawannya. Keringat dingin
mengucur deras di tubuhnya, dan wajahnya pucat pasi
dengan napas yang memburu. Namun demikian den-
gan sekuat tenaga dia berusaha terus mengelak dari
serangan-serangan lawan yang gencar.
"Mampus...!"
Crak!
"Uhhh...!"
Salah seorang lawannya dengan gemas membabat
tubuhnya yang terjungkal akibat menghindari seran-
gan bertubi-tubi lawannya yang seorang lagi. Jaka
Permana bergulingan sehingga senjata lawan mengha-
jar tanah. Tapi pada saat itu juga lawan yang seorang
lagi telah siap menghadangnya.
"Yeaaa...!"
Jaka Permana terkesiap. Tak ada lagi jalan ke-luar
baginya. Kalaupun dia berusaha mengelak, senjata la-
wan akan lebih cepat lagi menebas tubuhnya. Kalau-
pun pasrah dan diam, cuma sedikit memperpanjang
nyawanya.
"Hup!"
Duk!
"Aaakh...!"
Pada saat kritis itu Ki Ageng Sura bergerak cepat
membantu muridnya sambil menendang cepat kedua
tubuh lawan dengan ujung kaki kanannya.
Kedua orang itu memekik kesakitan. Tubuh mere-
ka terjungkal sejauh dua tombak dengan darah segar
meleleh dari mulutnya. Tapi agaknya kawan-kawannya
yang lain bukan menjadi takut lalu gentar dan melari-
kan diri setelah melihat sepak terjang orang tua itu.
Mereka malah menyerangnya semakin kalap.
"Orang tua bau tanah, mampus kau...!"
'Yeaaa...!"
"Hiyaaa...!"
Ki Ageng Sura sebenarnya tak terlalu kerepotan
untuk meladeni mereka. Meski sekaligus melindungi
Jaka Permana. Tapi dia juga semula tak sampai hati
untuk membunuh mereka. Tapi ketika melihat bahwa
mereka sama sekali tak mau mengerti akan niat baik-
nya itu dan bukannya sadar, malah melakukan seran-
gan-serangan gencar dengan penuh nafsu. Seolah-olah
mereka menganggapnya sebagai musuh nomor satu
yang harus dilenyapkan, kesabaran orang tua itu pun
mulai habis dibuatnya.
"Hm, agaknya kalian tak bisa dihadapi dengan cara
baik. Baiklah. Kalian akan menerima apa yang kalian
inginkan!" dengus Ki Ageng Sura geram.
***
Baru saja orang tua itu akan melompat menyerang
lawan ketika beberapa buah senjata rahasia melayang
ke arahnya. Ki Ageng Sura terkejut bukan main. Tu-
buhnya meliuk-liuk menghindari serangan yang da-
tangnya bertubi-tubi itu. Namun bersamaan dengan
itu, kawanan tadi serentak menyerangnya seperti
mendapat peluang emas.
Ki Ageng Sura bukanlah tokoh yang dapat diang-
gap enteng. Namun mendapat serangan gelap bertubi-
tubi, lalu disusul dengan keroyokan yang begitu ba-
nyak, mau tidak mau dia sedikit kerepotan meski be-
lum terlalu terdesak.
"Yeaaa...!"
"Uts...!"
Dalam pada itulah Ki Ageng Sura terkejut bu-kan
main ketika merasakan satu sambaran kuat dari arah
belakang. Dia membungkukkan tubuh dan terus me-
lompat ke samping.
Namun sambaran angin kencang itu seperti mengikuti ke mana saja tubuhnya bergerak Ki Ageng Sura
tak punya pilihan selain memapaki senjata lawan yang
belum lagi diketahui bentuknya itu. Namun dari angin
serangannya, dia bisa menduga bahwa paling tidak si
pemilik senjata adalah tokoh yang memiliki kepan-
daian tinggi.
"Hiyaaa...!"
Sambil berteriak keras, Ki Ageng Sura mencabut
pedang pendek dan tipis dari balik bajunya dan lang-
sung berbalik menyambar senjata gelap yang tengah
terarah kepadanya.
Wut! Wut!
Ctarrr!
"Akh...!"
Bukan main terkejutnya orang tua itu ketika pan-
dangannya menyambar tempat kosong. Pada-hal dia
yakin betul bahwa dengan kecepatan yang tadi dilaku-
kannya, maka serangan gelap itu akan mampu dippa-
kinya. Tapi siapa nyana ternyata senjata gelap itu
mampu menghindari serangannya. Bahkan Ki Ageng
Sura tersentak kaget ketika sebuah ujung cambuk
mendera menghantam kulit dadanya. Masih untung
dia cepat menjatuhkan diri ke belakang, namun tak
urung kulit dadanya terluka. Ki Ageng Sura mengeluh
kesakitan, dan terus melompat ke belakang sambil
berputar beberapa kali.
'Yeaaa...!"
"Uts!"
Baru saja ujung kakinya menyentuh tanah, saat
itu juga kembali melayang senjata rahasia berupa bin-
tang berwarna keperakan bertubi-tubi. Ki Ageng Sura
kembali melompat sambil mengayunkan pedangnya.
Trang! Trang!
Rrrrt!
"Naik..!"
Orang tua itu kembali terkejut. Seutas tambang
sebesar telunjuk melibat tubuhnya dengan kuat sekali.
Kemudian dengan sentakan keras, tubuhnya seperti
ditarik ke atas dengan kuat Ki Ageng Sura berusaha
menahan sambil mengerahkan tenaganya. Tubuhnya
berbalik dan kini jelas terlihat siapa penyerang gelap-
nya itu.
"Kau...?!"
"Ya, aku. Kau kira siapa yang mampu melaku-
kannya...?" sahut gadis yang tadi berusaha dilin-
dunginya sambil tersenyum kecil mengejek.
Bukan main jengkel dan marahnya Ki Ageng Sura
melihat bahwa dirinya telah tertipu mentah-mentah.
Dengan geram dia berusaha melepaskan diri dari beli-
tan tambang itu dan menyentak lawan agar terjungkal.
Namun alangkah kagetnya ketika dirasakannya bahwa
semakin kuat dia mengerahkan tenaga untuk mele-
paskan diri, maka semakin kuat pula tambang itu
membelit tubuhnya seperti seekor ular yang hendak
meremukkan tulang-belulangnya.
"Wanita iblis! Ternyata kau yang memiliki Tambang
Setan ini!" desis Ki Ageng Sura geram.
"Hik hik hik...! Tua bangka tolol, syukur akhirnya
kau tabu siapa diriku...!" sahut gadis itu dengan terta-
wa nyaring.
Sementara itu melihat gurunya telah diringkus oleh
gadis licik yang justru tengah mereka tolong, Jaka
Permana marah bukan main. Dia menerjang mereka
dengan kalap.
"Pengecut-pengecut hina, kuhabisi kalian!
Yeaaa...!"
"Phuih! Bocah tak tahu diri. Biar kuringkus dia,
dan kalau perlu dicincang!" geram salah seorang dari
kawanan itu seraya maju memapaki serangan Jaka
Permana dengan tangan kosong.
Plak!
Bet!
Melihat yang menghadapinya hanya seorang, Jaka
Permana merasa mampu melumpuhkan orang itu.
Ujung kaki kanannya menyodok ke arah leher, namun
dengan gerakan manis lawan melompat ke belakang
sambil berjumpalitan. Jaka Permana mengirim seran-
gan susulan dengan mengayunkan kepalan tangan ki-
rinya ke arah dada lawan.
"He he he...! Kau kira bisa memperdayaiku dengan
kemampuanmu yang secuil itu, heh?!" ejek lawan
sambil menahan kepalan tangan Jaka Permana den-
gan telapak tangan kanannya.
Pemuda tanggung itu terkejut Kepalan tangan-nya
seperti menghantam benda keras. Belum lagi habis ra-
sa kagetnya, mendadak satu hantaman keras mengha-
jar perutnya. Jaka Permana menjerit keras, ketika tu-
buhnya terjungkal dengan darah kental meleleh dari
bibirnya. Isi perutnya terasa bagai diaduk-aduk dan
sakit sekali. Isi kepalanya berat dan sulit digerakkan,
serta pandangannya mulai mengabur. Namun dengan
susah payah dia berusaha bangkit.
Duk!
"Aaakh...!"
Jaka Permana menjerit keras. Tubuhnya kembali
terjungkal beberapa langkah ketika satu tendangan ke-
ras menghantam dadanya. Pandangannya semakin
mengabur dan berkunang-kunang dengan rasa sakit
yang menyesakkan dada.
"Jahanam!" Ki Ageng Sura menggeram. Pedangnya
terayun hendak memapas tambang yang membelenggu
dirinya. Tapi saat itu juga si gadis menghantamnya
dengan satu pukulan jarak jauh yang berhawa panas
ke arahnya.
"Jangan coba-coba, Orang Tua Dungu! Kau akan
mampus dengan sendirinya!" dengus gadis itu dingin.
Ki Ageng Sura terpaksa membatalkan serangan
dan berusaha menghindari serangan lawan. Tapi ber-
samaan dengan itu pun si gadis menyentak tambang-
nya hingga tubuh Ki Ageng Sura nyaris terjerembab ke
depan.
"Keparat! Apa sebenarnya yang kau kehendaki, Pe-
rempuan Iblis?!" geram Ki Ageng Sura dengan wajah
merah padam menahan perasaan marah dan malu.
Gadis itu tersenyum halus, kemudian memberi
isyarat agar orang yang menghajar Jaka Permana
menghentikan perbuatannya, kemudian dia kembali
menatap ke arah Ki Ageng Sura.
***
"Kau mengerti apa yang kuinginkan, Ki Ageng Su-
ra...!" dingin terdengar nada suara gadis itu.
"Huh, Wanita Iblis! Sampai kapan pun kau tak
akan mendapatkan apa yang kau inginkan!" dengus Ki
Ageng Sura tegas.
"Begitu?" sahut gadis itu dengan nada mengejek.
"Aku ingin melihat sampai di mana daya tahan tu-
buhmu menghadapi Tambang Setan ini...."
"Huh, lakukanlah sesukamu. Tapi jangan harap
aku menyerahkan apa yang kau inginkan!"
Gadis itu tertawa nyaring. Bola matanya yang ben-
ing menatap orang tua itu dengan bibir tersungging
mengejek.
"Kau pikir aku begitu bodoh, heh? Tak ada gu-
nanya menyiksamu, kalau memang kau telah bung-
kam. Tapi bagaimana kalau muridmu yang akan kupa-
tahkan satu-persatu anggota tubuhnya di hadapan-
mu? Kau akan melihat pertunjukan yang menyenang-
kan," kata gadis itu sambil menyeringai kecil dan
memberi isyarat pada salah seorang gerombolan yang
berada di tempat itu untuk menyeret Jaka Permana ke
hadapannya.
Pemuda tanggung yang sekujur tubuhnya terasa
sakit dan linu itu tak mampu melawan sedikit pun. Dia
hanya bisa pasrah ketika tubuhnya diseret ke depan
gadis itu.
"Kau lihat, Orang Tua! Aku akan membuat murid-
mu ini mati perlahan-lahan dengan cara yang menge-
naskan...!" dengus gadis itu sambil menekan telapak
kaki kirinya ke perut Jaka Permana.
"Aaakh...!"
Jaka Permana menjerit kesakitan ketika telapak
kaki wanita itu mulai menekan kuat. Tubuhnya men-
gejang dan wajahnya berkerut menahan rasa sakit
yang hebat.
Ki Ageng Sura sendiri menahan napas panjang
sambil memejamkan mata. Hatinya marah bukan
main, namun dia berusaha menekan perasaan itu.
Percuma saja kalau dia berontak sebab tenaga dalam
wanita itu berada di bawahnya. Lagi pula, siapa yang
tak kenal dengan wanita itu? Tambang Setan itu seba-
gai bukti bahwa wanita itu tak lain dari Peri Tambang
Setan Ular!
Namun ada hal yang membuatnya tak habis pikir,
Bagaimana mungkin wanita itu masih begitu belia?
Padahal setahunya, tokoh legendaris yang kepan-
daiannya amat tinggi itu telah berusia lanjut ketika dia
masih berusia muda. Kalau sekarang tentu usianya te-
lah semakin lanjut usia. Ataukah dia memiliki ilmu
yang membuatnya awet muda? Atau barangkali ini
muridnya?
"Jangan coba-coba berbuat licik padaku! Lekas be-
rikan jawabanmu. Berikan kitab itu atau muridmu
akan mampus dalam keadaan tersiksa di hadapanmu
sendiri!" dengus wanita itu memperingatkan.
Ki Ageng Sura menghela napas pendek Wanita ini
memang tak bisa dianggap enteng. Terlebih lagi tam-
bang mautnya itu. Sedikit saja dia mengerahkan tena-
ga untuk melepaskan diri, maka bagaikan bernyawa,
tambang itu melilitnya semakin kuat dan membuatnya
sulit bernapas. Sia-sia saja dia berusaha melepaskan
diri, sementara nyawa Jaka Permana sendiri terancam.
"Lepaskan dia, sebab dia tak ada sangkut-pautnya
denganku...," sahut Ki Ageng Sura dengan sorot mata
tajam.
"Hi hi hi...! Kau pikir aku begitu bodoh untuk me-
lepaskannya? Dia merupakan jaminan bagiku jika kau
berbuat macam-macam!" sinis nada suara gadis itu
dengan senyum mengejek.
"Bukankah kau menginginkan kedua kitab pusaka
itu...?"
"Syukur kau mengetahuinya. Nah, berikan kedua
kitab itu, maka kalian berdua akan kulepaskan."
Ki Ageng Sura tersenyum kecil, kemudian berkata
pelan dengan suara mengejek.
"Kau telah membelenggu aku, dan siapa yang tak
mengetahui kehebatan tambang ini. Tapi dengan me-
nyandera muridku yang tak becus apa-apa, kau hanya
mempermalukan dirimu sendiri. Lepaskan dia, maka
kau akan mendapatkan apa yang kau inginkan..."
"Eyang, aku tak tahu apa yang mereka ingin-kan!
Tapi apa pun itu, jangan berikan! Eyang tak boleh me-
nyerah begitu saja kepada para pengecut licik ini!" te-
riak Jaka Permana gusar.
"Bocah goblok! Bicara apa kau...?! Hih!"
Wanita itu menggeram kecil, kemudian menekan
sedikit telapak kakinya yang masih belum bergeser da-
ri perut pemuda itu.
Jaka Permana terpekik keras menahan sakit!
"Nisanak, lepaskan dia. Maka akan kuberikan apa
yang kau inginkan!" teriak Ki Ageng Sura dengan suara
keras.
"Hik hik hik...! Ternyata kau lebih sayang pada mu-
rid goblokmu ini ketimbang kedua kitab ilmu silat yang
hebat itu. Baiklah, aku akan melepaskannya. Nah, se-
karang berikan kedua kitab itu padaku!" kata wanita
itu sambil menarik telapak kakinya yang tadi meng-
himpit tubuh Jaka Permana, kemudian memandang ke
arah Ki Ageng Sura dengan tersenyum sinis.
"Aku tahu kekejamanmu, Wanita Iblis. Kau tentu
tak akan membiarkanku hidup setelah mendapatkan
kedua kitab itu. Aku menyadari hal itu. Tapi biarkan
muridku pergi dari tempat ini. Nyawa muridku ditukar
dengan kedua kitab itu rasanya sudah lebih dari cu-
kup!" ujar Ki Ageng Sura.
"Tidak, Eyang! Aku tidak akan membiarkanmu di
sini seorang diri! Aku akan selalu menyertai-mu...!" te-
riak Jaka Permana sambil berusaha berdiri dan berja-
lan terhuyung-huyung mendekati orang tua itu.
"Jaka, seorang murid harus patuh pada perintah
gurunya. Dan kata-kataku tadi merupakan suatu pe-
rintah bagimu! Pergilah kau, dan pulanglah ke kam-
pung halamanmu. Orangtua mu pasti telah menung-
gu-nunggu. Hanya ingat pesanku! Katakan pada ab-
ang-abangmu untuk beternak kuda dengan baik. Dan
juga sampaikan pesanku pada mereka bahwa kedua
kuda pemberianku itu hendaknya diserahkan padamu
agar kau bisa mengurus dan membuatnya berkembang
biak. Dengan demikian hidupmu akan lebih terjamin.
Tapi sebaiknya kuda betina berbulu hitam yang liar itu
bunuh saja, sedangkan kuda jantan putih yang gagah
perkasa, kau rawat baik-baik Carikan betina lain yang
lebih sepadan...," kata Ki Ageng Sura.
"Tapi, Eyang...," dahi Jaka Permana berkerut den
gan wajah heran.
"Jangan membantah, Tolol! Kerjakan saja apa yang
kukatakan! Nah, pergilah cepat dari sini!"
"Eyang...," suara Jaka Permana tercekat di kerong-
kongan. Dia masih belum beranjak. Namun ketika Ki
Ageng Sura kembali membentak garang, barulah dia
bangkit perlahan-lahan meninggalkan tempat itu sam-
bil sesekali menoleh ke arah guru-nya.
Tapi baru saja beranjak kira-kira lima langkah,
kawanan itu telah mengepungnya. Si gadis yang agak-
nya bertindak sebagai pimpinan itu terkekeh-kekeh.
"Hi hi hi...! Kau kira begitu mudah aku tertipu, ya?
Tak seorang pun di antara kalian yang boleh pergi!"
***
TIGA
"Hm, jadi kau tak menginginkan kedua kitab itu?"
tanya Ki Ageng Sura sinis.
"Siapa bilang? Aku menginginkan kedua kitab itu,
dan juga kedua nyawa kalian!" sahut gadis itu tandas.
"Kau boleh membunuh kami, tapi jangan harap
kedua kitab itu bisa kau temukan!" sahut Ki Ageng Su-
ra mengancam.
"Hi hi hi...! Ingin kulihat, sampai di mana kekera-
san kepalamu setelah melihat bocah ini sekarat me-
nemui ajalnya di hadapanmu!" dengus gadis itu sambil
tersenyum mengejek.
Setelah berkata demikian dia memberi isyarat pada
bocah itu untuk mendekat sambil menggerak-gerakkan
telunjuknya.
"Yeaaa...!"
"Hih!"
Melihat kesempatan itu, Ki Ageng Sura mengerah-
kan segenap kemampuannya untuk melepaskan diri
dari belitan tambang lawan dan menyentaknya dengan
kuat. Gadis itu terkejut untuk beberapa saat. namun
saat itu juga dia menggeram dan menarik tambangnya
kuat-kuat.
"Hup!"
Ki Ageng Sura menyadari adanya tenaga kuat yang
menarik dirinya. Dia tak berusaha melawan, malah
mengikuti sentakan itu sambil mengerahkan ilmu me-
ringankan tubuh.
"Hiyaaa...!"
Plak!
Wut! Wut!
Ki Ageng Sura berteriak nyaring sambil mengayun-
kan pedangnya menyambar leher lawan. Namun den-
gan gerakan manis, gadis itu mengelak ke belakang
sambil merendahkan tubuh. Kaki kanannya dengan
cepat menyambar pergelangan tangan orang tua itu.
Bukan main kagetnya Ki Ageng Sura melihat kecepa-
tan gadis itu bergerak. Dia mengeluh kesakitan ketika
pergelangan tangannya berderak. Tulangnya mungkin
patah, dan genggamannya pada pedangnya melemah
sehingga dengan sekali kibas saja, senjatanya terpental
jatuh. Namun begitu dia masih sempat mengayunkan
tendangan keras ke dada lawan.
Tapi gadis itu ternyata lebih gesit lagi melompat ke
atas untuk menghindari tendangan lawan. Tubuhnya
berjumpalitan sambil membuat putaran beberapa kali.
Kemudian terdengar dia berteriak lantang.
'Yeaaa...!"
"Uhhh...!"
Desss!
Tubuh Ki Ageng Sura tersentak bagai mengikuti
pusaran angin kencang yang membuatnya terseret
tanpa mampu menahan atau mengendalikan diri. Be-
lum lagi dia sempat menguasai diri, mendadak satu
hantaman keras mendarat di tubuhnya. Ki Ageng Sura
menjerit keras. Isi tubuhnya terasa remuk bagai dihan-
tam godam yang beratnya puluhan kati.
"Eyaaang...!" Jaka Permana terkejut dan berlari ce-
pat sambil menahan sakit untuk mendapati orang tua
itu.
"Jaka, cepat kau tinggalkan tempat ini! Cepaaat..!"
teriak Ki Ageng Sura.
'Tidak, Eyang! Aku tidak akan meninggalkan-mu
seorang diri di sini!"
"Anak goblok! Ayo, selamatkan dirimu karena ma-
sih ada yang harus kau kerjakan untuk menyampai-
kan pesanku tadi!"
'Tapi, Eyang...."
"Cepat tinggalkan aku... aaakh!" Ki Ageng Sura tak
mampu melanjutkan kata-katanya ketika tubuhnya
melayang ke atas dan disusul dengan se-sosok tubuh
melesat memapaki.
Plak!
Desss!
"Aaa...!"
Tubuh orang tua itu terjerembab tak berdaya.
Dari mulutnya keluar darah kental. Gadis itu ter-
senyum sambil menarik tambang yang masih melilit di
tubuh Ki Ageng Sura.
"Jangan biarkan bocah itu pergi! Bunuh dia...!" se-
ru gadis itu dingin.
"Tidak! Jaka, cepat tinggalkan tempat ini. Ce-
paaat..!" teriak Ki Ageng Sura gusar.
Orang tua itu berusaha bangkit untuk menolong
muridnya, namun dengan sekali sentak, tubuhnya
kembali terjerembab. Gadis itu mendengus dingin. Tapi
Ki Ageng Sura tak mau menyerah begitu saja. Tangan
nya bergetar meraup debu dan melemparkannya ke
muka gadis itu dengan sekuat tenaga.
"Gadis iblis, rasakan olehmu...!"
"Keparat! Hih...!"
Rrrt!
Dengan cepat gadis itu mengayunkan tangan kiri
untuk melindungi wajahnya. Perbuatan orang tua itu
telah membuat hatinya gusar bukan main. Dengan ge-
ram ditariknya tambang itu sehingga membuat tubuh
Ki Ageng Sura terangkat ke atas. Kemudian dengan
gemas tubuh ramping gadis itu telah mengapung di
udara sambil mengeluarkan lengkingan keras.
"Yeaaa...!"
Plak!
Begkh!
"Aaa...!"
Ki Ageng Sura bukannya tak menyadari kemarahan
gadis itu. Dia berusaha menahan agar tubuhnya tak
terangkat, namun tenaga yang dikerahkan gadis itu
untuk menyentak dirinya sungguh luar biasa. Bahkan
dia sendiri masih berusaha melindungi diri ketika ga-
dis itu bermaksud menghajarnya. Tapi akhirnya Ki
Ageng Sura terpaksa mengeluh pelan ketika tulang
tangannya remuk akibat benturan dengan tangan ha-
lus si gadis. Lalu dengan kecepatan yang sulit diduga,
tiba-tiba saja tubuhnya terpental jauh sambil merasa-
kan sakit yang bukan kepalang.
Jaka Permana yang saat itu tengah berusaha mele-
paskan diri dari kejaran anggota kawanan itu sempat
terkesiap dan menoleh ke belakang. Wajahnya tampak
muram dan dadanya terasa sakit menahan perasaan
ngeri. Tapi bukan hanya karena itu, melainkan pera-
saannya yang lebih terasa sakit untuk saat ini. Dia tak
mampu berbuat apa-apa melihat gurunya tersiksa oleh
lawan-lawannya. Apa yang dapat dilakukannya sebagai
balas budi terhadap orang yang telah menyelamatkan
hidupnya? Menyelamatkan diri sendiri?
***
Hampir saja pemuda itu berbalik dan hendak
membantu gurunya kalau dia tak terkejut mendengar
teriakan lawan-lawannya yang akan meringkusnya.
Jaka Permana terkejut, dengan tiba-tiba dia kembali
berlari menyelamatkan diri sambil menerobos hutan
lebat di depan matanya. Kakinya terus berlari tanpa
tujuan. Yang ada di benaknya saat ini adalah menye-
lamatkan diri dan berlari sejauh-jauhnya sampai me-
reka tak bisa menemukannya.
"Keparat! Kencang juga larinya bocah itu!" dengus
salah seorang di antara kawanan itu geram.
"Padahal dia dalam keadaan terluka dalam!" timpal
kawannya.
"Jangan banyak ribut! lebih baik kita kejar terus.
Dia tengah terluka, tentu tak bisa berlari jauh!" teriak
yang seorang lagi memberi perintah pada yang lainnya.
"Sebaiknya kita berpencar. Kalian dari sebelah kiri,
kelompok ini terus dari arah ini, sementara kami men-
gejarnya ke kanan!" cetus seseorang memberi saran.
"Bagus! Itu saran yang baik! Kami berangkat seka-
rang!" sahut salah seorang yang mewakili ke-lompok
tengah.
Tak lama kemudian kelompok bagian kiri telah ter-
bentuk dan langsung melanjutkan pengejaran. Kelom-
pok sebelah kanan kembali menyusul tak berapa lama
kemudian.
Sementara itu dengan napas yang semakin tersen-
gal-sengal, Jaka Permana terus berlari sambil sesekali
melirik ke belakang dengan wajah pucat dan berkerin-
gat seperti hendak memastikan bahwa para pengejar
nya tak berhasil menemukan dirinya. Namun meski
tak terlihat tanda-tanda bahwa mereka telah menemu-
kannya, hatinya tetap yakin seolah derap langkah me-
reka begitu dekat terdengar oleh telinganya.
Duk!
"Aduuuh...!" Jaka Permana menjerit kesakitan ke-
tika kaki kanannya tersandung sebuah akar. Tubuh-
nya terjerembab ke depan dan terus bergulingan ke
bawah lembah yang tak begitu curam.
Tubuhnya baru berhenti bergulir ketika tersandung
sebuah batu besar yang menonjol ke permukaan. Pe-
muda tanggung itu bersungut-sungut dengan wajah
berkerut menahan kesal dan rasa sakit. Tubuhnya le-
mas sekali, dan rasanya tak kuat untuk diajak berdiri.
Apalagi untuk berlari. Tapi ketika memandang ke seke-
liling, debaran jantungnya semakin kencang. Dia telah
salah mengambil jalan. Seharusnya terus berlari ke da-
lam hutan yang jarang dimasuki orang, namun lang-
kah kakinya malah membawanya ke tempat terbuka.
Dengan begitu kehadirannya akan mudah diketahui
mereka.
Mengingat hal itu dia berusaha bangkit dan me-
langkah dengan terhuyung-huyung. Baru saja kakinya
menapak lima langkah, tubuhnya kembali terjungkal
lunglai. Dari mulutnya keluar keluh kesakitan. Pan-
dangannya mulai berkunang-kunang, dan rasa sakit
yang dideritanya semakin tak kuat untuk ditahannya.
Samar-samar terdengar teriakan-teriakan beberapa
orang. Dari nada suaranya dia bisa menduga bahwa
mereka kelihatan begitu girang menemukannya, dan
dia langsung menebak bahwa mereka tak lain dari ka-
wanan itu.
"Habislah riwayatku kali ini," keluh Jaka Permana
pelan di dalam hari dalam keadaan putus asa.
Apa yang dipikirkan pemuda tanggung itu memang
tak salah. Salah satu dari kelompok yang berpencar itu
menemukannya. Mereka yang berjumlah empat orang
itu langsung melompati menghampiri. Salah seorang
dengan gemas bermaksud membacok pemuda itu den-
gan goloknya.
"Hentikan! Jangan sembarangan kau bertindak!"
cegah salah seorang kawannya yang bertubuh kurus
dengan nada gusar.
''Kalau sampai Nyi Imas Wari mengetahui kau
mendahului keputusannya, bisa hilang kepalamu!"
Orang itu bersungut-sungut sambil menya-
rungkan kembali goloknya.
"Lalu mau kita apakan dia sekarang? Bukankah
Nyi Imas Wari pun menyuruh kita untuk membunuh
mereka berdua?"
"Pokoknya jangan mendahului dia, titik! Soal dia
dibunuh atau tidak, terserah setelah kita berhadapan
dengan Nyi Imas Wari. Siapa tahu setelah kita bawa,
dia berubah pikiran. Kita akan celaka kalau membu-
nuhnya sekarang. Lebih baik bawa dia ke hadapan Nyi
Imas Wari."
Salah seorang dari mereka segera mengangkat tu-
buh Jaka Permana yang tak sadarkan diri ke pundak-
nya. Keempat orang itu siap berlalu dari tempat itu.
Namun baru dua langkah berjalan, sekonyong-
konyong langkah mereka terhenti ketika seorang pe-
muda tampan berwajah keras telah berdiri di hadapan
mereka. Pemuda berbaju kulit harimau dengan monyet
berbulu hitam bertengger di pundak kirinya itu me-
mandang mereka dengan sorot mata tajam, dan sama
sekali tak terlihat senyumnya.
"Kunyuk sial! Mau apa kau menghalangi perjala-
nan kami?!" bentak laki-laki bertubuh kerempeng
sambil bertolak pinggang dan mata melotot garang.
"Biar kubereskan saja dia!" selak kawannya yang
memakai ikat kepala hijau dan sudah langsung men-
cabut golok hendak menebas leher pemuda berbaju
kulit harimau itu.
Laki-laki itu adalah yang tadi gagal melukai Jaka
Permana karena dihalangi laki-laki bertubuh kerem-
peng, yang agaknya bertindak sebagai pimpinan dalam
kelompok kecil ini. Hatinya masih dendam dan belum
puas karena amarahnya belum mendapatkan sasaran.
Maka begitu melihat pemuda itu bersikap dengan wa-
jah angkuh dan sama sekali tak menunjukkan ketaku-
tannya saat berhadapan dengan mereka, kemarahan-
nya yang tadi belum surut, kini seperti menemukan
pelampiasannya.
"Yeaaa...!"
Plak!
Pemuda berbaju kulit harimau itu sama sekali tak
bergeming menghadapi serangan lawan. Dia masih te-
tap berdiri tegak ketika laki-laki itu mengayunkan go-
loknya yang tajam berkilat ke bagian leher. Namun se-
saat lagi golok itu akan menyambar lehernya, pemuda
itu cepat menundukkan kepala. Lalu bersamaan den-
gan itu sebelah tangannya menangkap pergelangan
tangan lawan dan ditekuknya ke belakang dengan
kuat.
Krek!
Duk!
"Aaa...!"
"Hei?!"
***
Bukan main terkejutnya ketiga kawanan itu ketika
melihat apa yang terjadi pada laki-laki itu. Pemuda
berbaju kulit harimau itu mematahkan tulang lengan
kawan mereka, lalu menghajar tulang belakangnya sehingga lawan terjungkal ke depan sambil memekik ke-
sakitan. Dia berusaha bangkit, namun tubuhnya kem-
bali terjerembab sambil merasakan sakit yang hebat di
tangan dan tulang belakangnya yang patah.
'Keparat! Siapa kau berani mempermainkan salah
seorang gerombolan Peri Iblis Maut?!" bentak si ke-
rempeng dengan wajah merah padam menahan geram.
"Huh! Siapa yang peduli dengan segala rombongan
busuk seperti kalian? Lepaskan bocah itu dan me-
nyingkirlah dari sini!" dingin terdengar suara pemuda
berbaju kulit .harimau itu.
Seperti mengerti apa yang dikatakan tuannya, mo-
nyet berbulu hitam yang sejak awal pertarungan telah
melompat turun dari pundak pemuda itu, kini berjalan
dengan kedua kakinya ke arah si kerempeng. Kedua
tangannya digerakkan ke dekat telinga dengan lidah
terjulur keluar dan wajah yang sesekali berkerut seper-
ti mengejek mereka.
"Ngukh, ngukh...! Kaaakh...!"
"Monyet sial! Kau dan tuanmu tak ada bedanya
baik dalam kelakuan maupun wajah kalian. Dan
orang-orang celaka seperti kalian harus mampus saat
ini juga!" dengus si kerempeng geram sambil memberi
isyarat pada dua orang kawannya untuk menyerang
bersamaan.
Pemuda berbaju kulit harimau yang tak lain dari
Bayu Hanggara, alias Pendekar Pulau Neraka itu ter-
senyum sinis sambil memandang mereka satu persatu
yang kini mulai mengepungnya.
"Yeaaa...!"
Dengan satu teriakan panjang, si kerempeng maju
terlebih dulu dengan mencabut golok dan menebas la-
wan dari kepala hingga ke kaki. Gerakannya cepat dan
meliuk-liuk sangat dahsyat. Dan sesaat kemudian, dua
orang kawannya telah menyusul menyambar ke atas
dan ke bawah dengan gerakan yang tak kalah cepat-
nya. Dengan demikian mereka mengunci lawan agar
terperangkap dan tak mampu lari ke mana pun pemu-
da itu hendak bergerak menyelamatkan diri.
Bayu mendengus geram. Tubuhnya merunduk
sambil mendongakkan kepala ke belakang dan bersa-
maan dengan itu tubuhnya seperti mengapung untuk
menghindari babatan dari atas dan tengah. Lalu ke-
mudian terlihat dia menjatuhkan diri dan merapat rata
dengan tanah untuk menghindari sabetan senjata la-
wan yang rendah. Kemudian dengan tiba-tiba saja tu-
buhnya melenting dengan ringan sambil mengayunkan
sebelah kakinya menghantam dada lawan.
Duk!
"Aaakh...!"
Salah seorang lawan menjerit kesakitan. Tubuhnya
terjungkal ke belakang sambil berkelojotan. Dia sama
sekali tak menyangka lawan mampu berbuat demikian
sehingga membuatnya. tak waspada.
Masih beruntung kedua lawannya yang lebih cepat
melompat ketika sapuan kaki pemuda itu menyam-
bung menyambar mereka.
Tapi mereka pun dibuat terkejut ketika pemuda
berbaju kulit harimau itu mendadak saja telah berke-
lebat cepat menyambar mereka dengan hajaran sebe-
lah tangannya yang mengibas keras. Terasa betul
bahwa kepandaian pemuda itu tak bisa dianggap ren-
dah. Dari desir angin kencang yang menyertai seran-
gannya, bisa diduga bahwa dia memiliki kepandaian
yang tinggi. Namun mereka hanya menyambar angin
belaka ketika tubuh pemuda itu bergulung bagai
trenggiling, dan ketika terbuka, kedua kakinya meng-
hajar tepat di dada kedua lawannya.
Duk!
Desss!
"Aaakh...!"
Keduanya menjerit kesakitan dengan tubuh ter-
jungkal beberapa langkah. Darah kental menggelegak
dari mulut keduanya. Dengan terengah-engah mereka
berusaha bangkit. Namun tubuhnya menggigil, bukan
saja oleh rasa sakit melainkan ngeri menyaksikan ke-
hebatan pemuda itu yang berjalan pelan mendekati
mereka.
"Kalian boleh teruskan permainan ini atau kupe-
cahkan kepala kalian satu persatu?!"
"Eh, ng... ampuni nyawa kami, Kisanak...," sahut
salah seorang di antara mereka sambil menjura dan
bersujud di dekat kaki pemuda itu.
'Pengecut! Apa yang kau lakukan?!" bentak si ke-
rempeng geram melihat ulah kawannya itu.
"Aku tak peduli! Apa kalian bisa menyelamatkan
diri dalam keadaan begini?" dengus orang itu membela
diri.
'Pergilah kalian dari hadapanku! Cepaaat..!" bentak
Bayu keras.
"Eh, iya! Iya...," sahut mereka serentak meninggal-
kan tempat itu sambil berlari terbirit-birit
Bayu memandang sekilas pada mereka, kemudian
melangkah mendapati Jaka Permana.
"Hm, anak ini mendapat luka yang cukup serius.
Sungguh hebat daya tahan tubuhnya. Kalau saja anak
lain seusianya yang mengalami penderitaan seperti ini,
pasti telah tewas...," gumam Bayu setelah memeriksa
keadaan pemuda tanggung itu.
Pemuda itu mengurut-urut beberapa tempat di ba-
gian tubuh Jaka Permana. Tak berapa lama terlihat
pemuda tanggung itu batuk-batuk kecil sambil mengu-
rut-urut keningnya. Pandangannya masih kabur, dan
terlihat dia berusaha menegaskan pandangan pada
orang yang berada di hadapannya.
"Kau sudah agak baik...?" tanya Bayu pelan sambil
ikut mengurut kening pemuda tanggung itu.
"Eh, siapakah Kisanak...?" tanya Jaka Permana.
"Aku kawanmu...," sahut Bayu singkat.
Jaka Permana memandangnya dengan seksama.
Pemuda yang memakai baju kulit harimau itu berwa-
jah tampan dengan rambut panjang. Sorot matanya ta-
jam berkilat laksana mata seekor harimau. Hal yang
lebih jelas terasa olehnya bahwa pemuda di hadapan-
nya sama sekali tak ramah, dalam arti kata tak men-
gobral senyum atau berkata. Yang cukup dipercayanya
bahwa pemuda itu sama sekali tak bermaksud jahat
padanya, adalah seekor monyet yang sangat ramah
dan berusaha menarik perhatiannya sambil cengar-
cengir, yang bertengger di pundak pemuda itu.
***
EMPAT
"Kaukah yang mengusir mereka...?" tanya Jaka
Permana seraya bangkit dan menyandarkan tubuhnya
pada sebatang pohon.
Bayu tak menyahut, melainkan balik bertanya.
"Siapa orang itu, dan kenapa kau sampai beruru-
san dengan mereka?"
"Entahlah. Mereka tiba-tiba saja datang ke pondok
kami dengan siasat licik. Guruku kena diringkus, lalu
menyuruhku kabur. Dan... selanjutnya mungkin kau
mengetahuinya...," jelas Jaka Permana singkat.
"Hm, apa alasan mereka memusuhi guru-mu...?"
Jaka Permana tidak langsung menjawab. Di pan-
danginya pemuda di hadapannya beberapa saat la-
manya, seperti ingin meyakinkan dirinya bahwa pemuda itu bukan merupakan salah seorang dari kawanan
yang telah mencelakakan gurunya dan dirinya sendiri.
Tapi meskipun dia percaya bahwa pemuda ini bermak-
sud baik dan telah menolongnya, tetap saja dia orang
asing baginya. Dan bayangan yang selalu melekat da-
lam benaknya adalah, tidak boleh mempercayai orang
asing. Siapa pun orang itu.
"Eh, aku... aku sendiri tak mengetahuinya...," sa-
hut Jaka Permana sambil menggeleng lesu.
"Hm, mungkin antara gurumu dan mereka pernah
terjadi saling permusuhan di masa lalu...," gumam
Bayu.
"Bisa jadi!" sahut Jaka Permana cepat.
"Berapa jauh tempatmu dari sini?"
"Entahlah...," sahut Jaka Permana sambil meman-
dang ke sekeliling tempat itu. "Aku berlari terus tanpa
menoleh-noleh lagi, dan saat ini tak tahu berada di
mana...."
"Di mana, eh maksudku apa namanya tempat
asalmu itu?"
"Lembah Dasawarna...."
"Hm...," Bayu mengangguk-angguk. "Mari kita ke
sana!"
"Ke sana...?" wajah Jaka Permana tampak bingung.
"Ya, kenapa? Tidakkah kau ingin menolong guru-
mu?" tanya Bayu seraya memandang tajam ke arah
pemuda tanggung itu.
"Eh, tentu saja! Tapi...."
"Tapi kenapa?"
"Jumlah mereka banyak, dan... gadis itu memiliki
kepandaian yang hebat. Guruku saja yang kuanggap
sakti mampu diringkus dengan tambang mautnya.
Aku... aku...," Jaka Permana tak melanjutkan kata-
katanya. Tanpa sadar dia bermaksud bercerita panjang
lebar dengan pemuda asing yang belum dikenalnya ini.
Begitu ingat bahwa dia tak boleh bicara banyak, dia
segera menghentikan kata-katanya.
Tapi kemudian dia menjadi salah tingkah sendiri
ketika melihat pemuda berbaju kulit harimau itu me-
mandang tajam ke arahnya dengan sorot mata penuh
selidik.
"Kau mau menyembunyikan sesuatu dari-ku...?"
tanya Bayu dingin.
"Eh, tidak! Tidak...!"
"Hm.... Siapa namamu?"
"Jaka... Jaka Permana."
"Jaka, kau boleh memanggilku Bayu, dan ini saha-
batku. Namanya Tiren," sahut Bayu seraya memperke-
nalkan monyet berbulu hitam itu.
Jaka Permana tersenyum lebar. Dilihatnya tingkah
laku monyet itu seperti mengerti saja apa yang dikata-
kan oleh Bayu. Bahkan monyet itu mengulurkan tan-
gan kanannya seperti hendak bersalaman. Jaka Per-
mana terpaksa menyambutnya sambil tersenyum geli.
Kemudian dilihatnya monyet itu bertepuk-tepuk seraya
berjumpalitan beberapa kali sambil berteriak-teriak ke-
ras.
"Hush, sudah! Jangan ribut!" bentak Bayu.
Wajah monyet itu merunduk, kemudian me-
langkah pelan mendekati Jaka Permana, kemudian
menyembunyikan wajahnya ke dada pemuda tanggung
itu.
Bayu tersenyum kecil. Jaka Permana baru melihat
senyum pemuda itu sejak tadi.
"Jaka, kau berhak merahasiakan apa yang tidak
boleh diketahui orang lain. Tapi sebagai murid yang
berbakti pada gurunya, kau wajib menolongnya pada
saat beliau berada dalam kesulitan...," kata Bayu me-
lanjutkan kata-katanya.
Jaka Permana memandang pemuda itu sekilas,
kemudian dengan cepat dia bangkit sambil mengang-
gukkan kepala.
"Aku memang bermaksud demikian. Tapi seorang
diri melawan mereka percuma saja. Seperti yang kuka-
takan tadi, jumlah mereka banyak. Dan pemimpinnya
memiliki kemampuan yang hebat. Tadi aku... aku ber-
maksud untuk menemui dua orang saudara sepergu-
ruanku untuk memberitahukan kejadian ini...," jelas
Jaka Permana mulai jujur.
"Nanti saja kau beritahukan mereka. Sekarang ma-
ri kita ke sana!" desak Bayu.
"Maksudmu kita berdua...?!" tanya Jaka Permana
menegaskan.
Bayu memandang Jaka Permana beberapa saat
lamanya, kemudian berkata pelan.
"Entahlah, aku jarang keluar lembah itu sampai se-
jauh sekarang. Tapi kalau melihat gunung yang men-
julang tinggi itu, maka tempatku di sebelah uta-
ranya...," tunjuk Jaka Permana.
"Nah, mari ikut denganku!" sahut Bayu pendek se-
raya menyambar Jaka Permana dan membawanya ber-
lari kencang dari tempat ini.
Pemuda tanggung itu sedikit heran bercampur tak-
jub. Pemuda berbaju kulit harimau itu mampu berlari
cepat meski menggendong dirinya dan monyet hitam
itu. Siapa dia sebenarnya? Yang jelas kecurigaannya
mulai sedikit berkurang, dan merasa yakin bahwa pe-
muda ini pastilah salah seorang pendekar persilatan
yang sering membantu kaum lemah, seperti yang per-
nah didengarnya dari penuturan Eyang Ageng Sura.
***
Jaka Permana merasakan mereka hanya berlari da-
lam sekejapan waktu saja karena beberapa saat kemudian mereka telah tiba. Bayu menurunkan Jaka Per-
mana yang langsung memandang ke sekeliling tempat
itu.
"Sunyi..., ke mana mereka?" bisik Jaka Permana
ragu.
Bayu menajamkan pendengarannya. Namun tak
terdengar suara apa pun yang mencurigakan. Dia me-
langkah mendekati pondok dengan hati-hati sekali.
Terlihat darah berceceran di sana-sini dan tanah yang
sempal akibat pertarungan. Namun kalau tewas, tentu
mayatnya akan terlihat. Namun yang mereka temukan
cuma bercak-bercak darah dan bekas pertarungan itu
saja.
"Kosong...!" seru Bayu pelan ketika dia membuka
pondok.
"Aneh, ke mana mereka? Ke mana Eyang Ageng?
Mungkinkah mereka menculiknya...?" desis Jaka Per-
mana bingung.
"Nguk… nguk...!" Tiren mendekati Bayu sambil
menunjuk-nunjuk sesuatu.
Buru-buru Bayu mengikuti apa yang ingin di-
tunjukkan oleh sahabatnya itu.
Tak jauh dari halaman depan, Tiren menunjukkan
sesuatu yang tergurat di tanah, bercampur noda da-
rah.
"Cul...," Bayu bergumam membaca kata yang ter-
putus itu. Dahinya sedikit berkerut, tapi tak berapa
lama kemudian kelanjutan kata-kata itu dimenger-
tinya.
Jaka Permana yang kemudian menyusul ke tempat
itu memandang Bayu dengan wajah kecut.
"Mereka menculik guruku...," gumamnya pelan.
"Siapa sebenarnya mereka, Jaka?" tanya Bayu.
"Entahlah, aku tidak mengetahui siapa mereka.
Tapi yang menjadi pemimpinnya seorang gadis berparas cantik Dia bahkan terlalu muda untuk bisa menga-
lahkan guruku. Tapi buktinya..., ah! Kepandaiannya
hebat. Senjatanya seutas tambang yang mampu mem-
belenggu guruku hingga tak berdaya," jelas Jaka Per-
mana.
“Tambang...?"
"Ya, tambang. Seperti ular yang hidup!" sahut Jaka
Permana seraya menganggukkan kepala.
"Kau kenal dengan mereka?"
"Entahlah, aku tak yakin...," Bayu menggeleng le-
mah.
"Kaaakh...!" tiba-tiba Tiren menjerit keras.
Bayu dan Jaka serentak berpaling. Pemuda berba-
ju kulit harimau itu segera mendekat ke arah Jaka
Permana dan memegang bahunya seraya menatap ke
satu arah. Pemuda tanggung itu menjadi bingung sen-
diri melihat kelakuan Pendekar Pulau Neraka.
"Ada apa?" tanyanya heran.
"Ada tamu yang tak diundang ke sini...," sahut
Bayu.
"Tamu..? Siapa?"
"Kau akan mengetahuinya sebentar lagi...."
"Ha ha ha...! Bukan saja monyetmu yang memiliki
pendengaran tajam, tapi juga tuannya memiliki kuping
yang hebat pula!" terdengar suara keras yang kemu-
dian disusul dengan melesatnya sebuah bayangan hi-
tam tak jauh dari mereka.
Jaka Permana tersentak kaget. Mendadak saja te-
lah berdiri tegak sesosok tubuh di hadapannya menge-
nakan baju hitam yang agak kebesaran. Wajah orang
itu sangat mengerikan. Sepasang matanya melotot ga-
rang dan merah bagai saga. Rambutnya berdiri kaku
dan lehernya mengenakan kalung yang terbuat dari
tengkorak kepala manusia. Tangan kanannya meme-
gang sebatang tombak yang ujungnya berlekuk seperti
keris.
"Hm, tak disangka Pendekar Pulau Neraka yang
termahsyur itu pun ternyata kemaruk dengan segala
pepesan kosong!" lanjut laki-laki yang berusia sekitar
empat puluh tahun dan bertubuh besar itu
"Siapa kau dan apa yang kau maksud dengan
pepesan kosong?" tanya Bayu tenang dengan nada su-
ara dingin.
"Ha ha ha...! Nama Setan Ular Hitam memang bu-
kan nama yang hebat, tapi tak sembarangan orang bi-
sa memandang rendah padanya. Kau mengerti apa
yang ku maksud? Jangan menganggapku bodoh, So-
bat!"
"Hm, jadi kau berjuluk Setan Ular Hitam? Apa yang
kau kehendaki sehingga datang ke sini?"
"Phuih! Ternyata kau betul-betul menganggap-ku
rendah dan tolol! Tapi tidak semudah itu kau bisa me-
nyerakahi kedua pusaka itu. Serahkan padaku seka-
rang juga!"
Pendekar Pulau Neraka memandang geram pada
laki-laki itu. Dia sama sekali tidak mengerti apa yang
dibicarakan oleh Setan Ular Hitam. Datang dengan ti-
ba-tiba, lalu sekarang marah-marah dengan sikap
hendak mengancamnya. Tentu saja dia tidak bisa me-
nerima sikap seperti itu.
"Setan Ular Hitam, aku tak mengerti apa yang kau
bicarakan. Tapi dengan caramu itu, meskipun benda
yang kau inginkan itu ada di tanganku, tidak akan ku-
berikan. Apalagi saat ini aku tak tahu-menahu tentang
kedua pusaka yang kau katakan tadi!" desis Bayu.
"Setan! Orang lain boleh takut padamu, tapi jangan
harap aku gentar! Kau akan mendapat pelajaran pahit
atas kesombonganmu itu!" kata Setan Ular Hitam ge-
ram.
Selesai dengan kata-katanya itu, Setan Ular Hitam
melompat lima langkah ke hadapan Pendekar Pulau
Neraka, sehingga jarak mereka kini kurang lebih hanya
enam langkah saja. Dia melangkah perlahan ke samp-
ing dengan sorot mata setajam elang mengawasi pe-
muda berbaju kulit harimau itu dengan senjata terhu-
nus.
"Nguk! Nguk...!" Tiren melompat lompat sambil me-
nutup kedua matanya melihat gelagat itu.
"Jaka, mundurlah kau. Jangan jauh-jauh dari Ti-
ren. Dia bisa menjadi sahabat yang baik. Biar kube-
reskan babi gemuk ini!" kata Bayu pelan seraya men-
gambil ancang-ancang untuk bersiap menghadapi la-
wan.
Bukan main geramnya Setan Ular Hitam menden-
gar dirinya disebut sebagai babi gemuk. Sambil berte-
riak nyaring dia melompat dan memutar tombaknya
bagai baling-baling menyerang lawan.
"Hiyaaa...!"
Wuk! Wuk..!
Pendekar Pulau Neraka melompat dengan satu kaki
terangkat ke atas untuk menghindari serangan lawan,
sekaligus berjumpalitan dan mengayunkan kepalan
tangannya menghantam ke wajah Setan Ular Hitam.
"Phuih! Mampus kau!" geram Setan Ular Hitam se-
raya berbalik dan menghantam lawan dengan ujung
tombaknya.
Pendekar Pulau Neraka tak kehilangan akal. Dia
menarik kepalan tangannya, kemudian menundukkan
kepala untuk menghindari sabetan pangkal tombak
lawan. Senjata itu lewat beberapa rambut dari kepa-
lanya. Dia tidak mau menyia-nyiakan kesempatan. Be-
gitu sebelah kakinya menyentuh, maka saat itu juga
tubuhnya melenting cepat ke arah batok kepala lawan.
"Hih!"
"Uts!"
Begkh!
Setan Ular Hitam terkejut sekali melihat kecepatan
lawan bergerak. Dia bahkan tidak sempat mengayun-
kan tombaknya untuk memapas serangan lawan. Sa-
tu-satunya jalan untuk menghindari serangan itu ha-
nyalah jangkauan kepalan tangan lawan. Dan hal itu-
lah yang dilakukannya. Tapi bukan main kagetnya dia
manakala satu tendangan keras justru menghantam
perutnya ketika lawan menarik pulang pukulannya,
dan malah mengayunkan kaki kanan yang jangkaua-
nnya lebih panjang.
***
Setan Ular Hitam menjerit kesakitan. Tubuhnya
terjungkal beberapa langkah. Namun dia masih mam-
pu menguasai diri sehingga tidak sampai jatuh terje-
rembab.
Pendekar Pulau Neraka tidak bisa membiarkan la-
wan begitu saja lepas dari hajarannya. Sekali kesempa-
tan terbuka, maka dia akan terus mengincarnya se-
hingga lawan tidak mampu berkutik. Dan hal itulah
yang dilakukannya saat ini.
Belum lagi Setan Ular Hitam memantapkan kuda-
kudanya, tubuh lawan telah mencelat menyambar ke
arahnya dengan satu serangan deras.
"Yeaaa...!"
Setan Ular Hitam mengeluh pelan. Tubuhnya ber-
putar ke belakang dua kali sambil mengayunkan ujung
tombaknya ke arah lawan. Namun mata Pendekar Pu-
lau Neraka yang jeli, bukannya tidak memperhitung-
kan hal itu. Tubuhnya melompat ke tanah, dan ujung
tombak lawan dengan gencar menyambarnya. Tapi be-
gitu tubuhnya terjatuh, maka secepat itu pula kembali
melenting sambil mengayunkan satu tendangan ke
arah wajah lawan.
"Hih!"
Setan Ular Hitam terkesiap dan terpaksa menang-
kis dengan tangan kirinya. Tapi dia mengeluh kesaki-
tan ketika benturan itu terjadi. Kaki lawan seperti ter-
buat dari besi ketika beradu dengan tangannya. Belum
lagi habis rasa kagetnya, mendadak tendangan kaki
Pendekar Pulau Neraka yang sebelah lagi menghajar
dadanya dengan telak.
Desss!
"Aaakh...!"
Setan Ular Hitam menjerit kesakitan. Tubuhnya
terjungkal lima langkah sambil menyemburkan darah
segar. Ketika jatuh ke tanah, dia menggelepar-gelepar
sesaat sebelum akhirnya diam tak berkutik!
Jaka Permana terpaku. Dia tidak percaya dengan
penglihatannya. Orang bertubuh besar dan berwajah
seram itu tewas dengan dada remuk. Sepasang ma-
tanya yang melotot lebar, kini bertambah lebar seperti
tercekik. Darah kental meleleh dari mulut dan hidung
serta matanya seperti tiada henti. Dia sedikit mengeta-
hui kalau orang tewas dengan cara demikian, pastilah
isi tubuhnya hancur berantakan. Dan selama hidup-
nya, belum pernah dilihatnya orang tewas dengan cara
demikian. Juga sepengetahuannya, hanya orang-orang
berhati kejam yang sering berbuat demikian. Dan
orang-orang berhati kejam itu biasanya bersifat jahat
dan keji.
Jaka Permana memandang dengan wajah takut ke
arah pemuda berbaju kulit harimau itu. Hatinya berpe-
rang untuk kembali menilai sikap Pendekar Pulau Ne-
raka. Jahatkah dia? Akankah dia berpura-pura baik
lalu akan membunuhku dengan cara yang kejam keti-
ka aku lengah?
"Mari kita pergi, Jaka...!" ajak Bayu setelah menggendong Tiren.
Jaka Permana kembali memperhatikan. Dilihatnya
wajah pemuda itu sama sekali tidak mengesankan
apa-apa. Dingin dan... menyeramkan! Diam-diam dia
bergidik ngeri, dan membayangkan, nasib apa yang
akan menimpanya bila berjalan bersama-sama dengan
pemuda itu.
"Kenapa? Tidakkah kau ingin mencari gurumu?"
tanya Bayu dengan dahi berkerut ketika melihat Jaka
Permana menggeleng pelan.
"Eh, aku... aku telah banyak merepotkanmu. Biar-
lah kucari sendiri. Lagi pula, aku... aku harus mene-
mui kedua saudara seperguruanku untuk mencari
guru kami. Te... terima kasih banyak atas pertolon-
ganmu padaku...."
"Hm, jadi kau ingin mencari gurumu seorang diri?"
tanya Bayu meyakinkan.
"Hm, ya...."
"Kudengar laki-laki itu membicarakan tentang dua
buah kitab pusaka yang dicari-carinya. Apakah itu ada
kaitannya dengan kejadian yang menimpa kalian se-
hingga gurumu diculik?"
"Eh, aku tidak tahu apa-apa soal itu...!" sahut Jaka
Permana dengan suara gagap.
Pendekar Pulau Neraka mengangguk sambil ber-
gumam pelan.
"Mungkin mereka salah alamat dan tersasar hingga
ke sini, lalu mencari gara-gara...," lanjut Jaka Permana
mengalihkan dugaan di benak Pendekar Pulau Neraka.
"Gurumu Ki Ageng Sura, bukan?"
Jaka Permana mengangguk.
"Ya, aku pernah mendengar nama beliau. Dia seo-
rang yang hebat dan tidak heran bila mempunyai ba-
nyak musuh. Tapi ada orang yang mampu menculik-
nya, itu hal yang hebat lagi...."
Jaka Permana jadi merasa tidak enak ketika meli-
hat Bayu tersenyum tipis seperti menyembunyikan se-
suatu. Seolah hatinya mengatakan bahwa pemuda
berbaju kulit harimau itu mengetahui kebohongannya.
"Apa maksudmu dengan lebih cepat lagi...?" tanya
Jaka Permana dengan heran.
Dilihatnya Pendekar Pulau Neraka memandangnya
tajam untuk beberapa saat, kemudian mengelus mo-
nyet kecil di pundaknya. Lalu terdengar dia bersuara
pelan.
"Kalau kau memang hendak mencari gurumu seo-
rang diri, berhati-hatilah. Kau sedang menghadapi ba-
haya besar, Jaka. Bahaya bisa merenggut nyawamu.
Nah, aku pergi dulu!"
Setelah berkata demikian, Pendekar Pulau Neraka
melesat dari tempat itu, dan hilang dalam sekejapan
mata.
Jaka Permana memandang takjub. Dalam hatinya
sebenarnya menyesal telah mencurigai pemuda itu ber-
lebihan. Seharusnya dia tidak bersikap bodoh seperti
itu. Bukankah pemuda itu telah menyelamatkannya?
Dan dia sama sekali tidak menyebut-nyebutkan mak-
sudnya untuk menolong dirinya dalam bahaya. Kalau
demikian, bukankah dia menolong tanpa pamrih?
Jaka Permana menghela napas pendek dan meng-
hibur diri dari tuduhan-tuduhan hati kecilnya sendiri
yang menyalahkan dirinya. Siapa tahu pemuda itu
hanya bersandiwara dengan berpura-pura menolong-
nya. Bukankah gadis itu pun berpura-pura lemah dan
mengharapkan pertolongan mereka? Dan siapa duga
ternyata dia adalah pemimpin pengacau yang telah
menculik gurunya!
***
LIMA
Pemuda berusia sekitar dua puluh tahun dan ber-
tubuh agak kurus itu memacu kudanya kencang-
kencang. Sesekali terlihat kepalanya menoleh ke bela-
kang seperti memastikan, bahwa apa dan siapa pun
yang mengejarnya sejak tadi, kini tidak mengikutinya
lagi. Namun meski tak terlihat siapa pun di belakang-
nya, pemuda yang di pinggangnya terselip sebatang go-
lok itu terus memacu kudanya seperti tiada henti.
"Heaaa! Hiyaaa...!"
Tak lama kemudian dia telah berada dekat sebuah
perkampungan. Pemuda itu memperlambat lari ku-
danya. Wajahnya yang agak tampan telah bercucuran
keringat. Demikian juga bajunya yang coklat pudar,
basah oleh cucuran keringatnya. Dia melompat turun
dan berjalan pelan sambil menggandeng kudanya me-
masuki perkampungan itu.
Lalu lalang orang yang sesekali memperhati-
kannya, tidak menarik perhatiannya. Tatapan mata
pemuda itu lurus ke depan. Hanya sesekali dia meno-
leh jika batinnya merasa curiga.
Ketika melihat sebuah kedai kecil, pemuda itu me-
nambatkan kudanya di depan, kemudian me-langkah
masuk. Tak banyak orang di dalam kedai itu, tapi be-
berapa orang memandangnya dengan sikap tidak ber-
sahabat. Pemuda itu seperti tak mempedulikan sikap
mereka melihat kehadirannya. Dia memanggil seorang
pelayan.
"Apakah kau menjual rumput untuk kudaku, Ki-
sanak?" tanyanya.
Pelayan itu hanya mengangguk pelan.
"Kalau demikian, tolong berikan kudaku rum-put
dan air. Kami telah melakukan perjalanan yang cukup
jauh. Dia juga haus dan lapar sepertiku...."
Mendengar kata-kata pemuda itu, si pelayan segera
menyuruh salah seorang pekerjanya untuk mengena-
kan apa yang diinginkan pemuda itu. Tapi tidak demi-
kian halnya dengan beberapa orang pengunjung kedai.
Mereka tertawa, bahkan salah seorang berkata dengan
nada menyindir.
"Hei, Pelayan! Orang itu pasti perlu rumput seperti
kudanya. Kenapa tidak sekalian kau buatkan dua por-
si untuknya? Dia pasti akan menyantapnya dengan la-
hap!"
Mendengar ejekan itu, mereka yang berada di da-
lam kedai kembali tertawa keras.
Pemuda yang diejek itu cuma menoleh sekilas ke-
pada mereka, kemudian berkata pelan kepada si pe-
layan.
"Pelayan, apakah nama desa ini?"
"Sukamulya, Kisanak..."
"Hm, nama yang bagus. Alangkah sayangnya jika
desa yang bagus ini dihuni oleh seekor monyet buduk!"
"Kurang ajar!" orang yang tadi mengejek pemuda
itu, menggeram sambil menggebrak meja.
Brakkk!
"Dia pikir bisa bertingkah seenaknya di sini. Huh,
belum kenal dengan si Koneng rupanya!" dengus laki-
laki berbaju hitam dan memakai gelang bahar besar di
pergelangan tangan kanannya.
Koneng memegang gagang golok yang terselip di
pinggang kiri. Dan sesekali memelintir kumisnya, dia
melangkah gusar mendekati pemuda itu.
Melihat si Koneng mulai berbuat demikian, yang
lainnya terdiam seribu bahasa. Mereka seperti menger-
ti apa yang akan terjadi kemudian. Selama ini, tidak
seorang pun di desa ini yang berani menyinggung, dan
tidak segan-segan menghabisi nyawa orang itu. Ko-
neng memang jawara di Desa Sukamulya ini, dan pe-
muda kurus yang terlihat lemah itu bukan sekadar
membuat si Koneng tersinggung dengan kata-katanya
tadi, tapi telah membuatnya marah.
"Siapa yang kau katakan monyet buduk tadi?!" ge-
ram Koneng dengan mata melotot lebar sehingga biji
matanya seperti hendak mencelat keluar.
Dengan sikap acuh tak acuh, dan sama sekali ti-
dak menoleh ke arah si Koneng, pemuda itu me-
nyahut pelan.
"Monyet buduk itu telah berdiri di depanku...."
"Bangsaaat..!"
Brakkk!
"Ohhh...!"
Kemarahan Koneng agaknya tidak bisa ditahan la-
gi. Kepalan tangan kirinya dengan geram menghantam
pemuda itu. Namun dengan gerakan yang gesit, pemu-
da itu bergerak ke samping sambil berjumpalitan un-
tuk menghindari hantaman lawan. Akibatnya sungguh
luar biasa. Meja yang tadi berada di hadapan pemuda
kurus itu hancur berantakan. Si pemilik kedai menge-
luh pelan melihat kejadian itu. Dia hanya bisa mengu-
rut dada tanpa bisa berbuat apa-apa karena tahu, da-
lam keadaan marah begitu bisa jadi si Koneng akan
melampiaskan kemarahan padanya kalau saja dia ber-
teriak-teriak cemas.
Tapi pemuda bertubuh kurus itu agaknya mengerti
apa yang dikhawatirkan pemilik kedai itu. Atau mung-
kin juga karena dia merasa tidak leluasa meladeni la-
wan dalam ruangan kedai yang sempit. Maka dengan
satu gerakan manis, tubuhnya melesat keluar.
"Keparat! Jangan lari kau! Aku tidak membiarkan
orang menghinaku lepas begitu saja. Kau harus mam-
pus, Jahanam!" geram Koneng seraya melesat keluar
mengejar pemuda berbaju coklat itu.
"Huh, siapa yang bilang aku kabur? Menghadapi
monyet buduk sepertimu aku akan kehilangan muka
kalau sampai kabur!" desis si pemuda dengan nada
mengejek.
"Kau tidak akan perlu kehilangan mukamu karena
hari ini juga aku akan memenggal kepala-mu!"
"Huh, lakukanlah kalau kau mampu!"
"Yeaaa...!"
"Uts...!"
***
Koneng agaknya memang geram sekali melihat si-
kap pemuda itu. Selama ini tidak ada seorang pun
yang berani menentangnya di desa ini, tapi pemuda itu
bukan saja menentangnya, bahkan sama sekali tidak
memandang sebelah mata kepadanya. Isi dadanya se-
perti mau meledak menahan hawa amarah. Maka tan-
pa pikir panjang lagi, dia langsung mencabut golok dan
menyerang lawan dengan mengerahkan segenap ke-
mampuan yang dimilikinya. Tapi alangkah kagetnya
dia ketika menyaksikan tidak satu pun dari serangan-
nya yang mampu melukai lawan. Bahkan dengan ge-
rakan yang manis, pemuda kurus itu berhasil meng-
hindari serangan-serangan gencarnya. Tentu saja hal
itu membuatnya semakin geram.
"Keparat! Aku bersumpah akan membunuhmu...!"
"Huh, buktikanlah omong kosongmu itu!" desis si
pemuda dingin. "Salah-salah malah kau akan kehilan-
gan kepalamu!"
Ujung golok Koneng menyebar ke arah perut lawan,
namun pemuda itu cukup memiringkan tubuh sehing-
ga senjata lawan lewat beberapa jari dari perutnya.
Sambil memutar tubuh dengan cepat, dia melayang
kan kepalan tangan menghajar wajah Koneng.
"Hup!"
"Uts!"
Duk!
Koneng menjerit dengan tubuh terjungkal! Laki-laki
itu agaknya tidak bisa membaca gerakan tipuan yang
dilancarkan lawan. Ketika kepalan pemuda itu meng-
hajar wajahnya, dia bergerak ke samping untuk meng-
hindarinya. Namun. pada saat itu kaki kiri si pemuda
terayun menghantam perutnya. Hal itu sama sekali ti-
dak diduga oleh Koneng, sehingga dia harus menang-
gung akibatnya.
"Setan...!" Koneng menggeram dan bangkit kembali
dengan cepat seraya mengusap darah yang menetes
dari sudut bibirnya.
Bola matanya menatap tajam ke arah lawan. Dan
wajahnya berkerut menahan geram.
"Hari ini kau akan mampus ditanganku!" dengus-
nya geram.
"Huh, monyet buduk bermulut besar! Majulah kau
kalau ingin kurobek mulutmu!"
'Yeaaa...!"
Koneng membentak nyaring sambil mengayunkan
goloknya menyambar leher dan bagian bawah tubuh
lawan dengan cepat. Pemuda itu tersenyum sinis, ke-
mudian melompat ke atas melewati kepala Koneng.
Wuk! Wuk!
Koneng menyambar ke atas dan bermaksud mem-
belah perut lawan. Namun gerakan yang di-lakukan
pemuda itu lebih cepat lagi. Ujung kakinya menghan-
tam punggung Koneng. Dan untuk yang kedua kalinya
Koneng tersungkur ke depan. Namun kali ini masih
untung karena dia tidak sampai terjerembab. Tapi pe-
muda itu tidak ingin membuang-buang waktu lagi. Be-
gitu kakinya menyentuh tanah, saat itu juga dia kem
bali melompat menyerang lawan dengan gerakan gesit.
"Hiyaaat...!"
Koneng terkesiap. Tubuhnya berguling sambil
mengayunkan golok untuk memapas serangan lawan
dengan untung-untungan.
"Hup!"
Des!
Entah bagaimana caranya, tubuh pemuda itu ber-
kelebat cepat menghindari serangan tebasan golok Ko-
neng. Kemudian dengan cepat ujung kakinya kembali
menghajar perut lawan. Kali ini Koneng memekik ke-
sakitan. Hajaran ini betul-betul membuat isi perutnya
seperti diaduk-aduk Langkahnya terhuyung-huyung
ketika dia berusaha bangkit.
'Yeaaa...!"
Pemuda itu agaknya tidak ingin memberikan ke-
sempatan lagi pada Koneng. Meskipun lawan sudah
kelihatan tidak mampu memberikan perlawanan lagi,
namun tubuhnya telah melesat ke arah Koneng dan
siap menghajarnya kembali. Namun pada saat itu se-
konyong-konyong melesat sebuah bayangan yang
menghadang serangan itu.
Plak!
"Hih!"
"Uts...!"
Pemuda bertubuh agak kurus itu terkejut bukan
main. Dia tidak sempat lagi untuk mengalihkan perha-
tian. Tapi mujur baginya karena bayangan itu keliha-
tannya hanya menangkis serangannya belaka agar ti-
dak sampai mencelakai Koneng lebih parah lagi, se-
hingga ada waktu baginya untuk mengelak serangan
berikutnya dari lawan barunya itu. Meski demikian
pemuda itu sempat meringis ketika pergelangan tan-
gannya seperti beradu dengan benda keras. Tubuhnya
melenting ke belakang seraya membuat salto yang in
dah.
Begitu telapak kakinya menyentuh tanah, pemuda
itu langsung bersiaga. Namun serangan ter-henti, dan
di depannya terlihat banyak orang berkeliling sambil
tersenyum mengejek. Pemuda itu mendengus tajam ke-
tika melihat seorang laki-laki berusia sekitar tiga pu-
luh tahun memakai baju yang seperti sisik ular ber-
warna merah menyala. Laki-laki bertubuh ceking den-
gan bentuk wajah lonjong dan sepasang mata sipit
memandangnya dengan sikap merendahkan.
Tidak jauh dari tempatnya berdiri, terlihat seorang
laki-laki bertubuh tegap dan memakai baju putih den-
gan warna ikat kepala yang sama. Usianya sekitar dua
puluh delapan tahun. Di pinggang kirinya terlihat se-
pasang gelang-gelang yang sisinya tajam seperti mata
pisau.
"Apakah kau kira bisa berlari jauh dariku, Widi...?"
tanya pemuda berbaju putih itu kepada pemuda ber-
tubuh agak kurus, seraya tersenyum kecil.
***
"Phuih! Pengkhianat keparat! Sampai kapanpun
aku tidak menyerah begitu saja kepada kalian!" dengus
pemuda yang dipanggil Widi, atau lengkapnya Widi
Saksana.
"Kau hanya seorang diri, sedangkan dirimu telah
terkepung oleh kami. Kau sendiri mengetahui bahwa
mereka memiliki kepandaian yang tidak bisa dianggap
enteng, bukan? Nah, menyerahlah dan bergabung ber-
sama kami. Niscaya kau akan memperoleh apa saja
yang kau inginkan. Mau harta? Wanita? Kau tinggal
sebut, maka ketua akan mengabulkannya dengan ce-
pat..."
'Tutup mulutmu, Begara Seta! Kau murid durhaka!
Kau mencelakakan gurumu sendiri. Aku tidak akan
mengatakan apa pun padamu!"
"Hm, agaknya kau tetap berkeras pada pendirian-
mu. Kalau demikian, tidak ada jalan lain. Tanpa kete-
ranganmu pun kami akan berusaha mencari kedua
pusaka itu. Tapi kau akan mengalami nasib yang pa-
hit..," gumam pemuda berbaju putih yang dipanggil
Begara Seta itu dengan senyum sinis.
"Huh, jangan kira aku takut dengan segala gertak-
mu itu, Begara! Majulah kau dan kawanan anjingmu
itu. Aku tidak akan mundur setapak pun!" dengus Wi-
di Saksana dengan sikap tegar.
Begara Seta memandang dingin, kemudian meno-
leh ke arah laki-laki berbaju kulit ular dan memberi
isyarat. Laki-laki itu mengangguk seperti mengerti apa
yang dimaksud oleh Begara Seta.
"Kau boleh bersenang-senang dengannya, Dewo.
Dengan cara bagaimanapun yang kau suka...."
"Beres! Akan kupatahkan kedua kaki dan tangan-
nya, lalu akan ku congkel kedua biji matanya, lalu
akan kuhirup darah di jantungnya sampai kering!" de-
sis laki-laki yang dipanggil Dewo itu seraya menyerin-
gai lebar.
Sementara itu melihat adanya orang-orang itu, Ko-
neng merasa mendapat angin segar. Dia merasa tidak
takut untuk menghadapi pemuda kurus berbaju coklat
itu, tapi kali ini dia akan menyingkir tanpa harus kehi-
langan gengsi karena hadirnya orang-orang itu.
Sementara itu Widi Saksana memandang tajam la-
wannya yang mulai melangkah pelan mendekatinya
sambil terus menyeringai mengejek dan menganggap-
nya rendah. Seolah-olah dia merasa dirinya seekor
elang yang gagah perkasa dengan seekor anak ayam
yang menciap-ciap kehilangan induknya dengan tubuh
gemetar.
"Dengan sekali sambar, akan kubeset tubuh-mu!"
serak terdengar suaranya bernada mengancam.
"Huh, majulah kau! Jangan kira aku takut den-
ganmu!" dengus Widi Saksana tidak kalah gertak.
"Yeaaa...!"
Werrrr!
"Uhhh...!"
Meski belum bertarung secara langsung, namun
Widi Saksana bisa merasakan bahwa kemampuan ilmu
silat maupun tenaga dalam serta kegesitan lawan me-
lebihi dirinya. Namun dia tidak berkecil hari dan beru-
saha tabah untuk melawan dengan sekuat daya ke-
mampuannya. Dan ternyata apa yang diduganya me-
mang benar. Dengan sekali berkelebat terasa angin
kencang bersiur menerpa dirinya bersama dengan
himpitan tenaga dalam yang kuat menekan.
Widi Saksana menjatuhkan diri dan bergulingan
untuk menghindari sambaran serangan lawan selan-
jutnya.
"Hiyaaat..!" Dewo kembali berkelebat cepat sambil
mengirim serangan bertenaga kuat ke arah lawan.
Tangan kanannya terpentang ke muka, sementara ke-
palan tangan kirinya berada di pinggang. Tubuhnya
berjumpalitan mengejar lawan.
"Hup!"
Widi memiringkan tubuh ketika kepalan kiri lawan
menghantam mukanya. Kepalanya tertunduk ketika
serangan balik kembali menyapu. Tubuhnya melompat
ke belakang agak menyerong ke kiri ketika tendangan
lawan menghantam dirinya. Tapi Dewo agaknya tidak
mau membuang waktu lama-lama menghadapi lawan.
Dia tahu betul bahwa Widi Saksana sengaja menghin-
dari benturan anggota tubuh karena menyadari tenaga
dalamnya yang berada di bawah dirinya. Sehingga se-
perti mendapat peluang besar, Dewo terus-menerus
menekannya.
"Yeaaa...!"
Wuk! Wuk!
"Uts...!"
Widi Saksana merasa kewalahan menghadapi se-
rangan gencar lawannya. Sehingga dalam satu kesem-
patan ketika lawan telah mengurung dengan ketat, dia
terpaksa mencabut golok dan menyambar tubuh lawan
untuk memberikan jalan keluar dari serangan lawan
yang amat gencar. Sebaliknya Dewo hanya sedikit ter-
kejut. Tubuhnya meliuk indah menghindari tebasan
senjata lawan. Tidak sedikit pun terlihat perubahan air
mukanya melihat permainan golok lawan. Seolah-olah
lawan bersenjata atau tidak, sama saja baginya. Dan
hal itu memang terlihat kemudian.
Meskipun Widi Saksana telah mengarahkan sege-
nap kemampuan kepandaiannya bermain golok, na-
mun senjata itu belum mampu mengejar kecepatan
bergerak lawan. Bahkan sambil terkekeh-kekeh, Dewo
mengejeknya.
"He he he...! Ayo, kerahkan semua ilmu golok yang
kau miliki! Keluarkan kepandaian si tua bangka Ageng
Sura yang tidak berharga itu!"
"Keparat! Kusobek mulutmu berani merendah-kan
guruku!" dengus Widi Saksana geram.
"Ha ha ha...! Apa hebatnya kepandaian yang kalian
miliki? Huh, dengan sekali tiup aku membuat tua
bangka keropos itu melayang ke akherat!"
"Jahanam! Mampuslah kau! Mampuslah kau...!" te-
riak Widi Saksana dengan amarah yang menggelegak
di dada. Dia sama sekali tidak bisa menerima jika gu-
runya dihina begitu rupa. Eyang Ageng Sura bukan sa-
ja sekadar guru baginya, melainkan sebagai pengganti
kedua orangtuanya yang telah tiada. Sehingga siapa
pun yang berani menghinanya, sama saja dengan
menghina dirinya.
Namun agaknya hal itu memang disengaja oleh la-
wan untuk membakar amarah Widi Saksana. Dengan
demikian dia berharap bahwa pemusatan pikirannya
akan terganggu dan kacau, yang akan berpengaruh
pada serangan-serangannya.
Dan perhitungannya memang berhasil. Widi Sak-
sana membuat kesalahan besar. Dia tidak menyadari,
bahwa dalam keadaan berhati-hati saja belum tentu
dia mampu mengalahkan lawan. Dan kini dalam kea-
daan amarah begitu, dia kehilangan kendali dan tidak
mampu mempertahankan diri dengan baik. Tujuan
utamanya saat ini adalah menyerang lawan dengan
sekuat tenaga. Sehingga tidak heran bila dalam bebe-
rapa saat saja dia kena dijatuhkan.
Sebuah tebasan menyilang menyambar Dewo.
Orang itu bergerak ke samping. Widi Saksana menge-
jar, namun tubuh lawan telah melesat cepat ke atas
dan terus bergerak mengayunkan sebelah ujung ka-
kinya menghantam dada.
Duk!
"Aaakh...!"
Widi Saksana memekik kesakitan. Tubuhnya ter-
jungkal beberapa langkah. Dengan keadaan ter-
huyung-huyung dia berusaha bangkit. Namun lawan
agaknya tidak memberi kesempatan sedikit pun. Tu-
buhnya telah berkelebat sambil mengirim-kan seran-
gan kedua.
Wut!
Begkh!
Des!
"Aaa...!"
Dalam keadaan mata kabur dan rasa sakit yang
mengganggunya, Widi Saksana mencoba bertahan dan
mengayunkan golok untuk menghalau serangan la
wan. Tapi Dewo dengan mudah menghindari. Kepalan
tangan kanannya kembali menggedor dada lawan, lalu
disusul dengan hajaran kaki kirinya ke perut Widi
Saksana. Pemuda itu memekik kesakitan. Tubuhnya
kembali terjungkal sambil memuntahkan darah kental
berkali-kali.
"Nah, sekarang terimalah kematianmu yang men-
genaskan! Yeaaa...!"
Widi Saksana berusaha menggeser tubuh, namun
tenaganya seperti terkuras habis dan tak mampu
menggerakkan tubuh. Dia hanya bisa pasrah dan ber-
doa ketika lawan bersiap melesat untuk menghabi-
sinya.
***
ENAM
"Kisanak hentikan perbuatanmu!"
Pada saat yang kritis bagi Widi Saksana, ter-dengar
bentakan keras yang berisi tenaga dalam kuat. Dewo
tersentak kaget. Demikian juga bagi mereka yang be-
rada di tempat itu. Mendadak saja melesat sebuah
bayangan yang memapaki serangan laki-laki kurus itu.
Plak!
"Uhhh...!"
Wuk!
Dewo terpaksa mengalihkan perhatian dan men-
gayunkan kepalan tangan kanannya ke samping me-
nyambut serangan lawan. Terasa tangannya seperti
membentur benda keras. Dewo mengeluh kesakitan.
Namun kaki kanannya masih mampu menyambar tu-
buh lawan yang baru datang. Alangkah kagetnya dia
ketika merasakan tendangannya hanya menyapu angin
saja. Lawan mampu menghindar dengan gesit. Padahal
dia telah mengerahkan kecepatan luar biasa ketika
menyapukan kakinya tadi. Selama ini belum ada seo-
rang pun yang berhadapan dengannya mampu men-
gimbangi kecepatannya bergerak. Dan, kalaupun ada,
tentulah dia seorang tokoh yang memiliki kepandaian
hebat. Siapa tokoh ini?
Dewo baru menjejakkan kakinya ke tanah ketika
bayangan tadi kembali melesat mengejarnya. Dia ter-
cekat, dan dengan cepat membuang diri ke samping
untuk kemudian melenting ke atas dengan gerakan
ringan. Namun seperti menempel di belakangnya pada
jarak tertentu, bayangan lawan terus mengejarnya.
"Hiyaaa...!" Dewo membentak nyaring ketika men-
gibaskan tangan sambil mengerahkan tenaga dalam
hebat.
Terasa angin berkesiur kencang, bahkan sampai
membuat ujung baju mereka yang menyaksikan perta-
rungan itu berkibar-kibar. Debu mengepul ke udara
dan dedaunan kering seperti dihempas badai.
Plak!
Duk!
"Aaakh...!"
Dewo menjerit keras ketika tubuhnya terhuyung-
huyung ke belakang.
Ketika kepalan tangannya mengibas, lawanpun
bukannya menghindar tapi malah memapaki. Untuk
sesaat dia merasa girang karena yakin bahwa lawan
akan cidera akibat benturan tenaga dalamnya yang
hebat. Tapi bukan main terkejutnya dia ketika mera-
sakan bahwa tulang lengannya seperti menghantam,
sebatang baja yang kerasnya luar biasa.
Dia mengeluh kesakitan. Dan pada saat itu juga
satu tendangan menggeledek menghajar dadanya. De-
wo memekik ketika merasakan isi dadanya seperti remuk.
Dia berusaha berdiri tegak sambil menahan rasa
sakit yang hebat. Terasa darah menetes dari sudut bi-
birnya. Wajahnya menggeram dan sepasang matanya
menyipit ketika melihat kehadiran seorang pemuda
tampan berwajah keras pada jarak lima langkah da-
rinya. Pemuda yang mengenakan baju dari kulit hari-
mau itu memandangnya dengan sorot mata tajam se-
perti tidak berkedip.
"Keparat! Apa urusanmu mengacau di sini?!" ben-
taknya geram.
"Siapa yang menjadi pengacau sebenarnya? Kau
atau aku?" sahut pemuda yang tidak lain dari Bayu
Hanggara alias Pendekar Pulau Neraka sambil terse-
nyum sinis.
"Kurang ajar! Kau pikir dirimu sudah hebat karena
bisa mengalahkanku? Huh, aku belum kalah, Keparat!
Akan kucincang tubuhmu dan kujadikan santapan
anjing-anjing kampung yang kelaparan!" dengus Dewo
geram seraya mengambil ancang-ancang untuk bersiap
menyerang kembali.
"Yeaaa...!"
"Hup!"
Tubuh Dewo kembali melesat menderu menyambar
lawan sambil mengerahkan tenaga dalam kuat. Kepa-
lan tangan kanannya menyambar ke arah dahi. Pende-
kar Pulau Neraka mengelak ke samping. Namun ten-
dangan kaki kiri lawan siap menyambut. Dengan tang-
kas dia menangkis dengan tangan kiri, sementara kaki
kanannya menyodok ke lambung lawan.
Plak!
"Hiyaaa...!"
Tubuh Dewo melompat ke atas untuk menghindari
sodokan kaki lawan, kemudian terus bersalto ke bela-
kang ketika lawan mengejar.
Wuk!
Kedua kakinya seperti menggunting menghajar ba-
tok kepala Pendekar Pulau Neraka. Tubuh Bayu dite-
kuk dengan kepala merunduk dalam-dalam, untuk
menghindari serangan lawan itu.
Setelah serangan itu luput, dia buru-buru menje-
jakkan kaki ke tanah dan menunggu lawan yang masih
mengapung di udara. Tubuhnya berguling dan men-
gayunkan kedua kakinya ke atas, siap menghajar la-
wan. Tapi Pendekar Pulau Neraka bukannya menghin-
dar melihat serangan lawan. Kedua kakinya malah
bersiap memapaki tendangan lawan.
Duk!
Desss...!
"Aaa...!"
Kedua telapak kaki mereka beradu. Dewo menge-
luh kesakitan ketika terdengar tulang berderak patah.
Tubuh lawan terus berjumpalitan dan sebelum dia
menyadari apa yang akan terjadi, kedua telapak ka-
kinya kembali mendarat di dadanya. Dewo memekik
keras ketika tulang dadanya berderak patah. Tubuh-
nya berkelojotan beberapa kali setelah darah muncrat
dengan deras dari mulut, hidung serta pelupuk ma-
tanya. Tubuh Pendekar Pulau Neraka telah melejit lima
langkah dari lawan yang tidak lama kemudian tak ber-
gerak.
"Hm, kehebatan Pendekar Pulau Neraka ter-nyata
bukan nama kosong belaka!" terdengar satu suara lan-
tang menggema di tempat itu.
Bayu menoleh sekilas ke arah datangnya suara itu
dengan sorot mata setajam mata elang!
***
Ketika Bayu melihat beberapa orang yang berada di
tempat itu sama-sama memandangnya dengan wajah
geram dan dendam yang tersirat jelas dari sikap mere-
ka yang tidak sabaran untuk menghajar dirinya, salah
seorang dari mereka, yang tadi tidak dilihatnya, terse-
nyum kecil. Laki-laki muda itu berusia sekitar dua pu-
luh lima tahun, dan memiliki wajah tampan dengan
rambut panjang dan pengikat kepala dari sutera halus
warna merah muda. Bajunya yang warna kuning kee-
masan terlihat mewah. Dan sepintas lalu terlihat dia
sama sekali tidak mengesankan sebagai seorang tokoh
persilatan. Tapi lebih mirip sebagai orang yang terpela-
jar. Tubuhnya pun sedang, dan tidak terlihat otot-otot
maupun urat-urat yang menonjol. Satu-satunya yang
terlihat jelas bahwa pemuda itu tak bisa dipandang en-
teng adalah sorot matanya yang tajam menusuk, me-
nandakan bahwa dia memiliki tenaga dalam hebat. La-
lu ada lagi ciri khas yang jelas bahwa dia adalah tokoh
persilatan, yaitu rantai besi panjang yang melilit di
pinggangnya.
"Dia memang patut mati di tanganmu...!" lanjut-
nya.
Bayu berusaha bersikap setenang mungkin seraya
berjalan dua langkah mendekati pemuda itu. Kemu-
dian berkata pendek.
"Aku hanya tidak ingin dia, dan juga kalian ber-
buat sewenang-wenang...," ucap Bayu tenang. Kemu-
dian kakinya melangkah mendekati Widi Saksana.
"Apakah kau tahu apa yang telah kau lakukan?"
"Aku tidak akan bertindak kalau aku tidak menge-
tahuinya."
"Hm, kalau begitu jelas kau mengetahui bahwa po-
sisimu berada di tempat yang salah," lanjut pemuda
terpelajar itu sambil tersenyum kecil.
Bayu memandangnya sekilas, kemudian tersenyum
sinis.
"Menyerakahi benda yang bukan miliknya, itulah
yang jelas bersalah!"
"Syukurlah kalau memang kau mengerti. Aku je-
laskan kembali agar kau mengetahui duduk persoalan
yang sebenarnya. Kami mencari dua kitab pusaka ke-
punyaan guruku, Nyai Imas Wari yang bergelar Peri
Tambang Setan Ular. Kedua kitab itu lenyap saat gu-
ruku sedang bertapa, dan belakangan kami mendengar
bahwa kedua kitab itu berada di tangan Ki Ageng Sura,
guru pemuda itu. Ketika kami memintanya baik-baik,
dia tidak mau memberikannya. Maka terpaksa kami
menggunakan cara kekerasan untuk mendapatkan mi-
lik kami kembali. Dan saat ini kau membela salah seo-
rang murid orang tua itu ketika kami berusaha menca-
ri tahu ke mana kedua kitab pusaka milik kami itu
mereka sembunyikan. Nah, menurutmu, siapa yang
bersalah di antara kita berdua...?" tanya pemuda itu
setelah menjelaskan secara ringkas duduk persoalan-
nya.
"Dusta! Dia mengarang cerita bohong. Guruku bu-
kan pencuri! Kedua kitab itu merupakan warisan al-
marhum guru Eyang Ageng Sura!" sergah Widi Saksa-
na membantah cerita pemuda terpelajar itu.
"Hm, pernahkah kau mendengar ujar-ujaran orang
tua yang berkata, maling teriak maling? Dia sedang
melakukan hal itu untuk menutupi kebusukan gu-
runya...," sahut pemuda berbaju kuning emas itu te-
nang.
"Dusta! Dia berkata dusta! Aku tahu betul karena
guruku tidak pernah berkata bohong. Kedua kitab pu-
saka itu milik perguruan kami!" sanggah Widi Saksana
kembali.
'Pendekar Pulau Neraka, kudengar kau seorang
yang bijaksana dan mampu menilai mana yang benar
dan mana yang salah. Kau tidak mungkin mempercayai ucapannya tanpa fakta yang jelas, bukan?" lanjut
pemuda berbaju kuning emas itu masih tetap dengan
sikap yang tenang.
Bayu tersenyum kecil setelah berpikir sejenak.
"Kalau kau berharap aku bertindak yang adil, kau
keliru. Aku bukan hakim yang baik. Kenapa aku harus
percaya pada kalian?"
"Syukurlah, tanpa kau sadari telah memilih kepu-
tusan yang bijaksana. Kau tidak mengenal kami ber-
dua, tentu tidak akan berpihak pada siapa pun. Maka
kalau kau hendak berlalu dari tempat ini, tentu kami
tidak akan mempersoalkannya.
"Tentu saja, aku akan segera berlalu dari tempat
ini setelah membawa kawanku ini...," sahut Bayu te-
nang sambil menunjuk Widi Saksana.
"Hm, apa maksudmu, Sobat?" tanya pemuda ber-
baju kuning keemasan itu masih dengan sikap tenang.
"Mudah saja! Telah kukatakan bahwa aku bukan-
lah hakim yang baik untuk memutuskan persoalan
baik dan buruk. Dan aku akan bebas memilih mana
yang kuanggap baik, dan mana yang kuanggap buruk.
Nah, jika kau memang menyerahkan persoalan ini pa-
daku untuk memutuskannya, kau dan kawan-
kawanmu itu harus bisa menerima keputusanku den-
gan lapang dada. Aku akan membawa pemuda itu per-
gi, dan tidak seorang pun boleh menghalangi," sahut
Pendekar Pulau Neraka enteng.
"Hm, sayang sekali. Sebenarnya kau bisa menjadi
sahabat yang baik bagiku. Tapi aku telah mempunyai
sikap, yaitu tidak seorang pun boleh menghalangi
keinginanku. Meski itu malaikat sekalipun!" sahut pe-
muda itu tandas.
"Ya, memang sayang sekali. Karena aku telah
mempunyai sahabat yang lebih gagah dan tampan di-
bandingkan denganmu!" sahut Bayu seraya tersenyum
mengejek dan memberi isyarat pada Tiren yang sejak
tadi berada agak jauh ketika pertarungan berlangsung.
Monyet berbulu hitam itu melompat di atas pang-
kuan sahabatnya itu seraya berteriak-teriak sambil
menjulurkan lidah mengejek kepada pemuda berbaju
kuning keemasan itu.
"Hm, memang benar. Monyetmu itu memang lebih
tampan dariku. Tapi yang lebih jelas sekali, kau mirip
sekali tampannya dengan dia!" sahut pemuda itu ter-
senyum mengejek.
"Kau dengar Tiren? Baru sekali ini ada orang yang
memujiku!" sahut Bayu seraya tersenyum girang.
"Ada baiknya kau menjaga peliharaanmu itu, So-
bat. Salah-salah dia akan mencelakakanmu!"
Selesai berkata demikian, pemuda itu mendorong
telapak tangan kanannya ke arah Pendekar Pulau Ne-
raka. Saat itu juga menderu serangkum angin panas
ke arah Bayu.
***
"Hup!"
Bayu sama sekali tidak berusaha mengelak. Dia
tersenyum sinis lalu mengibaskan tangan kirinya. Dari
situ mendesir angin kencang yang juga berhawa panas
memapaki pukulan jarak jauh yang dilancarkan lawan.
Desss!
"Yeaaa...!"
Pemuda itu agaknya tidak mau menunggu begitu
saja. Tubuhnya langsung bergerak cepat menyerang ke
arah Pendekar Pulau Neraka dengan satu bentakan
nyaring. Bayu pun tidak mau tinggal diam. Dia bisa
menduga bahwa lawan tidak mau bertindak kepalang
tanggung terhadapnya. Terbukti dengan angin seran-
gannya yang kuat bukan main.
Plak!
Duk!
Telapak tangan lawan yang terkembang dipapa-
kinya. Tangannya terasa linu dan kesemutan akibat
benturan itu. Demikian juga yang dilihatnya di wajah
lawan. Berkerut menahan rasa sakit. Dia belum bisa
menduga sampai sejauh mana kehebatan tenaga da-
lam lawan. Namun dari benturan itu dia merasa yakin
bahwa kemampuan lawan tidak berada jauh di ba-
wahnya.
"Ki Dandaka Wario, kenapa musti repot-repot men-
gurusinya? Biarkan kami yang akan membereskan-
nya!" teriak Begara Seta menawarkan diri.
"Apakah kau ingin buru-buru mampus? Nah, kalau
benar, bantulah aku meringkusnya!" sahut pemuda
yang dipanggil Dandaka Wario itu dengan tersenyum
dingin sambil melakukan tendangan keras.
Begara Seta bingung sendiri mendengar jawaban
itu. Dia tidak mengerti apa maksud perkataannya. Se-
perti mengejek, ataukah memang mengharapkan ban-
tuannya untuk meringkus Pendekar Pulau Neraka?
Dia seperti tidak peduli dengan semua itu. Selama ini
setelah mengenal pemuda itu, dia masih sulit menebak
sikapnya. Terkadang sifat Dandaka Wario seperti tidak
peduli sama sekali. Dia tetap teguh pada pendiriannya
dan tak mau terusik sedikit pun. Pernah pula dia ber-
tarung dan mereka membantunya, tapi dia sama sekali
tidak merasa rendah mengerubuti seorang lawan. Pa-
dahal mereka semua mengetahui bahwa kepandaian
pemuda itu hebat luar biasa. Berpikir demikian, dia
merasa perlu untuk membereskan Pendekar Pulau Ne-
raka secepatnya. Terlebih-lebih beberapa orang ka-
wannya sejak tadi memang sudah gatal tangannya me-
lihat kematian Dewo di tangan Pendekar Pulau Neraka.
Maka tanpa membuang waktu, dia memberi perintah
pada kawan-kawannya untuk menyerang Bayu.
"Hajar dia! Jangan biarkan lolos...!"
"Hiyaaat...!"
"Yeaaa...!"
Pendekar Pulau Neraka terkejut melihat lebih dari
sepuluh orang dari kawanan itu mengerubutinya den-
gan penuh nafsu membunuh. Agaknya mereka begitu
geram dan siap menghabisinya saat itu juga. Pemuda
itu menggeram. Dia sedikit kerepotan, apalagi ketika
Dandaka Wario mulai menekannya lebih hebat. Ba-
gaimanapun dia mengerahkan kecepatan bergeraknya,
mustahil mampu menghindar dari serangan-serangan
gencar yang dilakukan para pengeroyoknya. Senjata-
senjata tajam mereka bersiuran nyaris melukai kulit-
nya.
Widi Saksana mengeluh pelan melihat tuan peno-
longnya menghadapi keroyokan begitu banyak orang.
Dia pernah mendengar bahwa Pendekar Pulau Neraka
memiliki kepandaian hebat dan sangat tangguh. Tapi
menghadapi keroyokan sekian banyak orang yang me-
miliki kepandaian hebat rasanya kecil kemungkinan
dia akan lolos. Dua di antara mereka nyata diketa-
huinya memiliki kepandaian hebat. Yaitu, saudara se-
perguruannya sendiri, Begara Seta, serta pemuda ter-
pelajar yang bernama Dandaka Wario itu. Belum lagi
ketika mereka mulai mengeluarkan senjatanya masing-
masing dan agaknya berniat menghabisi pemuda itu
secepat mungkin.
"Nguk! Nguk..! Kaaakh...!"
Tiren berteriak-teriak seraya berjungkir balik sam-
bil sesekali menutup kedua matanya. Tampak dia me-
rasa khawatir sekali akan nasib sahabatnya itu, dan
tidak tahu harus berbuat apa.
Demikian juga halnya dengan penduduk desa yang
mulai keluar dan menyaksikan pertarungan itu dengan
wajah heran. Sebagian tampak kecut dan merasa ya-
kin bahwa pemuda berbaju kulit harimau itu tidak la-
ma lagi tentu tewas dengan cara yang amat menge-
naskan.
Sedangkan yang dialami Pendekar Pulau Neraka
mungkin sama dengan apa yang dikhawatirkan mere-
ka. Apalagi ketika dia merasakan bahwa dirinya betul-
betul terjepit. Dandaka Wario mulai menggunakan sen-
jata rantainya yang amat berbahaya. Senjata yang ter-
buat dari untaian baja putih yang di ujungnya terlihat
runcing seperti anak panah. Seperti seekor ular, rantai
itu meliuk-liuk dan terus mengejar ke mana saja tu-
buh Pendekar Pulau Neraka menghindar. Belum lagi
dia harus menghindari sepasang gelang tajam yang
mendesing-desing dilemparkan Begara Seta. Juga te-
basan-tebasan golok tajam dari para pengeroyoknya
yang lain.
"Hup!"
Cras!
"Akh!"
Bayu mengeluh kesakitan ketika ujung rantai Dan-
daka Wario menyerempet pinggangnya ketika dia me-
lompat ke atas untuk menghindari sepasang gelang
milik Begara Seta yang mengarah ke leher dan perut-
nya.
"Dia sudah terluka! Hajar terus...!" teriak Begara
Seta memberi semangat.
"Cincaaang...!"
Pendekar Pulau Neraka menggeram. Tubuhnya me-
lenting tinggi, namun beberapa orang sempat melem-
parkan goloknya menyambar tubuh Bayu. Begitu juga
dengan ujung rantai Dandaka Wario terus mengejar
seperti tidak ingin memberi kesempatan sedikit pun
padanya. Bayu mengibaskan tangan kanannya ke atas.
'Yeaaa...!"
Siiing!
Secercah sinar keperakan yang menyilaukan mata
terpancar dari pergelangan tangannya. Senjata anda-
lannya berupa Cakra Maut mendesing kencang me-
nyambar senjata-senjata lawan yang meluruk ke arah-
nya.
Trak! Trak!
Breeet!
"Aaa...!"
***
TUJUH
Beberapa orang tersentak kaget melihat kelebatan
sinar keperakan itu. Demikian juga halnya dengan
Dandaka Wario dan Begara Seta. Mereka sama sekali
tak menyangka akan hal itu. Tiba-tiba saja terdengar
teriakan kesakitan. Enam orang langsung ambruk
dengan tenggorokan koyak dan perut robek. Golok-
golok mereka patah menjadi dua bagian. Sepasang ge-
lang Begara Seta pun putus menjadi dua potong ketika
jatuh ke tanah. Demikian pula halnya dengan Danda-
ka Wario. Dia tidak habis pikir. Bagaimana mungkin
rantai bajanya bisa putus sepanjang lima jengkal dari
ujungnya. Padahal selama ini senjatanya itu amat di-
banggakannya.
Belum lagi hilang keterkejutan mereka, kembali
terdengar desingan tajam yang menyambar kerumu-
nan itu. Begara Seta dan Dandaka Wario melompat
jungkir balik menghindarinya. Namun tiga orang anak
buah mereka kembali menjadi korban disambar Cakra
Maut.
Breeet!
"Aaa...!"
Cakra Maut terus melesat dan kembali ke perge-
langan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka.
Namun secepat itu pula Bayu mengibaskan tan-
gannya kembali, dan Cakra Maut mendesing mengejar
Dandaka Wario. Bersamaan dengan itu pula tubuhnya
melompat mengejar Begara Seta sambil mengirimkan
serangan maut.
'Yeaaa...!"
Plak!
"Uhhh...!"
Bukan main kagetnya Begara Seta menghadapi se-
rangan cepat yang dilancarkan Pendekar Pulau Nera-
ka. Dengan bertangan kosong begini dia sedikit kikuk
dan merasa kedudukannya betul-betul berada di ba-
wah angin. Tidak seorang pun kini yang memban-
tunya. Beberapa orang kawannya tampak melarikan
diri setelah merasakan gebrakan balik yang dilakukan
Pendekar Pulau Neraka. Dia berusaha menangkis ke-
palan tangan Bayu. Tapi kemudian terlihat wajahnya
meringis menahan rasa sakit. Tubuhnya melompat ke
belakang untuk menghindari serangan selanjutnya
yang dilancarkan ujung kaki kanan Bayu.
Bayu tidak langsung mengejar, melainkan berjum-
palitan ke atas untuk menyambar Cakra Maut yang
berbalik ke arahnya. Bersamaan dengan itu tubuh
Dandaka Wario pun melesat ke arahnya sambil men-
gayunkan rantai mautnya.
'Yeaaa...!"
"Hiyaaa...!"
Tubuh Pendekar Pulau Neraka melompat ke atas,
namun ujung senjata lawan mengejarnya. Dia terus
berjumpalitan menghindarkan diri dari serangan la-
wan.
Crok!
'Yeaaa...!"
Ketika tubuhnya melesat ke bawah, ujung rantai
lawan menderu mengejarnya, namun secepat itu pula
kembali dia melenting ke atas sehingga senjata lawan
menghantam tanah.
Begara Seta mempergunakan kesempatan itu un-
tuk menghajar lawan dengan satu tendangan mengge-
ledek. Tapi Bayu telah memperhitungkan hal itu. Tan-
gan kanannya terkibas ke atas, dan Cakra Maut men-
desing menyambar Begara Seta tanpa bisa dielakkan-
nya.
Suing!
Cras!
"Aaa...!"
Begara Seta hanya mampu menjerit tertahan. Ca-
kra Maut menyambar tenggorokannya tanpa bisa di-
hindari. Lehernya terkulai dan nyaris putus dengan
darah segar menyembur dari pangkalnya. Tubuhnya
ambruk ke tanah dengan bersimbah darah. Terlihat
dia menggelepar-gelepar sesaat kemudian diam tidak
berkutik lagi.
Menyadari bahwa senjata lawan dapat berbalik lagi
kepada pemiliknya, Dandaka Wario menggunakan ke-
sempatan itu untuk merontokkan Cakra Maut. Tidak
seperti waktu melesat dari sarungnya di pergelangan
tangan kanan Pendekar Pulau Neraka, kembalinya
senjata itu tentu tidak memiliki kekuatan seperti per-
tama. Demikian pemikirannya.
Tapi Bayu bukannya tidak mengerti apa yang ten-
gah dipikirkan lawan. Begitu Dandaka Wario mengejar
senjatanya, tubuhnya pun berkelebat menyerang la-
wan dengan pengerahan tenaga dalam penuh.
'Yeaaa....'"
Dandaka Wario terkesiap kaget. Buru-buru rantai
mautnya dikibaskan untuk menghancurkan batok ke
pala lawan. Bayu merundukkan kepala sehingga ter-
hindar dari maut. Tangan kanannya terangkat ke atas,
dan Cakra Maut kembali menempel di pergelangan
tangannya. Lalu dengan secepat kilat dilemparkannya
kembali ketika sebelah kakinya bam saja menjejak ta-
nah. Bersamaan dengan itu tubuhnya pun kembali
melesat menyerang lawan.
"Hiyaaa...!"
Bukan main kagetnya Dandaka Wario melihat dua
serangan sekaligus. Bila dia memapaki senjata lawan,
maka pertahanannya akan terbuka dan lawan dengan
mudah menghajarnya. Tapi bila dia bermaksud mena-
han serangan lawan, bisa jadi senjata Cakra Maut
yang mendesing kencang itu mencelakakan dirinya.
Dandaka Wario menahan napas. Dia memutuskan
untuk menghindari kedua serangan itu sekaligus. Tu-
buhnya berkelit ke samping sambil menundukkan ke-
pala ketika Cakra Maut berdesing keras di dekat telin-
ganya. Namun satu sapuan tendangan yang dilancar-
kan Bayu nyaris membuat perutnya jebol kalau dia ti-
dak buru-buru melompat ke belakang.
Cras!
Begkh!
"Aaa...!"
Dandaka Wario lupa memperhitungkan bahwa Ca-
kra Maut itu mampu berbalik kembali meski serangan
awalnya gagal. Senjata yang melesat bagai bumerang
itu menyambar punggung kirinya. Dia mengeluh kesa-
kitan. Keseimbangannya menjadi limbung ketika tu-
buhnya sedikit terhuyung. Pada saat itulah kepalan
tangan kanan Bayu menghantam dengan pukulan
menggeledek ke arah dada lawan tanpa bisa dielakkan.
Dandaka Wario memekik kesakitan. Tubuhnya ter-
jungkal dengan darah kental muncrat dari mulutnya.
Tubuhnya menggelepar-gelepar beberapa saat, untuk
kemudian mengejang. Diam tak bergerak! Isi dadanya
remuk dan jantungnya pecah akibat pukulan yang di-
lancarkan Pendekar Pulau Neraka.
"Nguk! Nguk...!"
Tiren bertepuk-tepuk girang seraya berlari kencang
mendapati sahabatnya itu. Bayu tersenyum kecil. Sete-
lah menangkap kembali senjatanya dia menggendong
sahabatnya itu. Lalu melangkah pelan mendekati Widi
Saksaka yang masih duduk bersila untuk mengatur
pernapasan dan jalan darahnya yang kacau akibat per-
tarungannya tadi.
Pemuda itu tersenyum kecil. Apa yang didengarnya
tentang kehebatan Pendekar Pulau Neraka memang
bukan omong kosong belaka. Juga berita tentang ke-
sadisan tokoh itu. Wajahnya sama sekali tidak menge-
sankan apa-apa setelah mengalami pertandingan yang
amat menguras tenaganya tadi.
"Bagaimana keadaanmu...?" tanya Bayu pelan se-
raya tersenyum kecil.
"Agak mendingan. Terima kasih atas pertolongan-
mu. Namaku Widi Saksaka...," sahutnya seraya men-
gulurkan tangan.
"Bayu Hanggara, dan ini sahabatku, Tiren...," sahut
Bayu sambil menjabat tangan pemuda itu.
"Kudengar pembicaraan kalian tadi. Dan sepertinya
kau tahu banyak tentang persoalan yang terjadi di an-
tara kami."
'Tidak banyak Aku sedikit mengetahuinya setelah
bertemu dengan adik seperguruanmu."
"Adik seperguruanku?" tanya Widi Saksaka heran.
Dahinya berkerut menandakan kebingungannya.
"Namanya Jaka Permana...," ucap Bayu men-coba
menjelaskan.
"Oh, jadi..., jadi Eyang telah mengambilnya sebagai
murid!" seru Widi Saksaka girang.
"Hm, apa maksudmu? Bukankah dia adik sepergu-
ruanmu? Kenapa kau katakan gurumu telah mengam-
bilnya sebagai murid?"
Widi Saksaka tersenyum kecil.
"Anak itu tadinya dipungut oleh guru kami ketika
masih kecil. Guru kami menganggapnya sebagai anak
sendiri. Tapi beliau tidak pernah mengambilnya murid
dan tak pernah mengajarkannya ilmu silat. Mungkin
sekarang Eyang telah berubah. Ke mana dia seka-
rang?"
"Dia pergi. Kelihatannya curiga padaku. Tapi kura-
sa dia membawa amanat dari guru kalian."
"Amanat?"
"Entahlah. Mungkin tentang kedua kitab pusaka
yang disebut oleh mereka tadi."
"Astaga! Kalau benar demikian, tentu dia sedang
dalam bahaya besar! Aku harus menolong-nya!" seru
Widi Saksaka dengan wajah kaget.
Bayu terdiam beberapa saat ketika pemuda itu
memandangnya dengan seksama. Kemudian berujar
pendek.
"Maaf, aku telah membunuh saudara sepergu-
ruanmu. "
"Huh, dia memang pantas menerima kematian aki-
bat pengkhianatan yang dilakukannya!" dengus Widi
Saksaka geram.
Bayu memandangnya dengan wajah bingung.
"Gara-gara dia, guru sampai ditawan oleh gadis ce-
laka itu!"
"Kau pun mengetahui kalau gurumu telah di-
culik?"
Widi Saksaka mengangguk, kemudian menghela
napas panjang.
"Begara Seta kepincut dengan gadis itu dan akhir-
nya membeberkan tentang kedua buah pusaka perguruan yang sering diceritakan guru kepada kami. Kedua
pusaka itu kelak akan diturunkan kepada salah seo-
rang di antara kami yang akan dipilihnya. Setan telah
merasuki hati saudara seperguruanku itu. Dia betul-
betul kepincut dengan godaan gadis celaka itu!" desis
Widi Saksaka menahan geram.
Bayu mengangguk-angguk mendengar penuturan
pemuda itu.
"Kalau memang Begara Seta telah membeberkan
kedua pusaka itu, kenapa mereka masih mengejar-
ngejar gurumu dan kau sendiri?"
"Itulah yang sengaja diciptakan oleh guru kami.
Eyang Ageng Sura bercerita tentang kedua pusaka itu
pada kami tidak bersamaan. Semula kami tidak men-
getahui bahwa guru menceritakan pada kami berdua,
sebab ketika itu Eyang hanya berpesan bahwa hanya
aku saja yang mengetahui rahasia itu dan tidak boleh
membocorkannya pada Begara Seta. Kurasa beliau
pun bercerita hal yang sama pada Begara Seta. Juga
tentang pesan untuk merahasiakannya. Kami sendiri
tidak mengetahui di mana kedua kitab pusaka itu dis-
embunyikan, sebab guru kami telah berjanji jika tiba
saatnya kelak, beliau akan memanggil kami pulang un-
tuk mempelajari kitab pusaka itu. Begara Seta merasa
yakin bahwa aku mengetahui di mana kedua kitab pu-
saka itu disembunyikan. Semula dia membujukku
dengan cara halus, tapi karena aku tidak mengatakan
juga, dia akhirnya marah dan menyerangku. Aku me-
larikan diri, tapi agaknya mereka tidak ingin membiar-
kanku lepas begitu saja. Dan akhirnya kau tahu sendi-
ri apa yang kualami di tempat ini...," jelas Widi Saksa-
ka panjang lebar.
Bayu kembali mengangguk-anggukkan kepala
mendengar penjelasan Widi Saksaka.
"Lalu dari mana kau mengetahui bahwa gurumu
diculik mereka?"
"Begara Seta mengatakannya ketika dia mengan-
camku."
Keduanya saling pandang sejenak kemudian Widi
Saksaka bangkit dan melangkah pelan. Wajahnya keli-
hatan bingung sekali ketika dia kembali memandang
Pendekar Pulau Neraka. Ada yang ingin dikatakannya,
namun seperti tidak keluar dari tenggorokannya.
"Ada sesuatu yang bisa kulakukan...?" tanya Bayu.
"Eh, aku..., aku tidak enak hati. Pertolonganmu te-
lah cukup banyak."
"Bagaimana kalau kita berusaha membebaskan gu-
rumu?"
"Apakah..., apakah kau bersedia menolong-ku?"
"Kenapa tidak?"
"Tapi..., gadis itu memiliki kepandaian yang hebat.
Kalau kau sampai celaka, aku tentu merasa sangat
bersalah sekali karena telah menyeretmu pada persoa-
lan kami."
"Jangan pikirkan hal itu. Mari kita pergi mencari
gurumu dan membebaskannya!"
"Eh, terima kasih atas kesediaanmu. Tapi..., apa-
kah tidak lebih baik kalau kita mencari Jaka Permana
lebih dulu?"
Bayu berpikir sejenak, kemudian berkata pelan.
"Apakah kau tahu di mana sarang mereka?"
Widi Saksaka mengangguk cepat.
"Kita berangkat sekarang!" sahut Bayu cepat.
'Tapi..., bagaimana dengan Jaka Permana? Aku
khawatir terjadi apa-apa dengannya...."
"Kita akan urus nanti. Saat ini menyelamatkan
guru lebih utama dibanding dengan menyelamatkan
saudara seperguruan yang belum ketahuan nasibnya!"
sahut Bayu tandas.
Widi Saksaka diam saja. Dalam hati dia membenarkan apa yang dikatakan Pendekar Pulau Neraka.
Tak berapa lama kemudian mereka telah berlari dari
desa itu.
***
Nyi Imas Wari bangkit dari kursinya. Wajah gadis
berparas cantik itu tampak gusar. Dengan sepasang
bola mata mendelik tajam dia menghardik tiga orang
laki-laki yang duduk bersila sambil menundukkan ke-
pala di hadapannya.
"Kalian betul-betul tidak becus, dan tidak bisa ku
andalkan! Meringkus satu orang saja kalian tidak
mampu!"
'Tapi, Nyi... pemuda itu betul-betul hebat kepan-
daiannya. Bahkan Ki Dandaka Wario mampu dibina-
sakannya setelah Ki Begara Seta tewas...," sahut salah
seorang di antara mereka.
"Apa katamu?"
"Benar, Nyi. Ki Dandaka Wario dan Ki Begara Seta
tewas di tangannya."
"Keparat! Akan kuremukkan batok kepala pemuda
itu!" geram Nyi Imas Wari sambil mengepal-kan kedua
tangannya. Wajahnya tampak kelam dengan tarikan
keras menandakan kemarahan hatinya yang memun-
cak.
"Siapa pemuda itu?""
"Eh, Ki Dandaka Wario agaknya mengenalnya.
Dia..., dia yang berjuluk Pendekar Pulau Neraka...."
"Pendekar Pulau Neraka? Hm, pantas nama itu be-
lakangan ini amat menggetarkan rimba persilatan. Ka-
kang Dandaka Wario boleh kalah di tangannya, tapi
jangan harap dia mampu menaklukkanku!" desis Nyi
Imas Wari dengan sorot mata tajam.
"Apakah..., apakah Nyi Imas Wari akan menggempurnya?"
"Goblok! Apa kau pikir aku akan berbaik-baik pa-
danya?!"
"Eh, maafkan kami, Nyi. Tapi kalau memang niat
Nyi Imas Wari demikian, itu memang sudah seharus-
nya. Pemuda sombong itu harus diberi pelajaran. Ka-
lau tidak, dia akan merasakan dirinya hebat tak terka-
lahkan."
"Tutup mulut kalian!"
Orang itu kembali menundukkan kepala dengan
wajah kecut.
"Kalian tidak perlu mengajariku! Kalian sendiri ker-
ja tidak becus, dan untuk itu ada hukuman tersendiri
buat kalian!"
Ketiga orang itu terkejut mendengar keputusan Nyi
Imas Wari.
"Eh, ampuni kami, Nyi. Jangan hukum kami...,"
sahut mereka dengan tubuh gemetar ketakutan.
"Siapa yang mengatakan bahwa aku akan meng-
hukum kalian? Aku justru akan membebaskan kalian
dari siksaan!"
"Oh, terima kasih, Nyi! Terima kasih!" sahut mere-
ka serentak menarik napas lega.
"Memiliki jiwa pengecut adalah siksaan batin dan
sulit diobati. Aku akan mengobati kalian dan mele-
paskan siksaan itu...," sahut Nyi Imas Wari seraya ter-
senyum kecil.
Setelah selesai berkata begitu, Nyi Imas Wari me-
masukkan tangannya ke balik baju, kemudian men-
gembangkannya ke depan. Dari situ melesat jarum-
jarum beracun yang langsung menerpa ketiga orang
laki-laki yang berada di hadapannya. Mereka memekik
kesakitan, dan ambruk seketika dengan tubuh kejang
membiru.
"Huh, orang-orang seperti kalian tak pantas hidup
lebih lama lagi. Kematian lebih pantas bagi kalian!"
dengusnya sinis.
Nyi Imas Wari menepuk tangannya tiga kali, dan
tak berapa lama masuk dua orang laki-laki bertubuh
kekar ke dalam ruangan itu.
"Seret mereka dan berikan pada anjing-anjing hu-
tan kelaparan!"
"Baik, Nyi...!"
"Panggilkan Gotoloko ke sini!"
"Baik, Nyi...!" sahut kedua laki-laki bertubuh kekar
itu bersamaan.
Setelah menunggu beberapa saat, masuklah seo-
rang laki-laki bertubuh besar dan kekar ke dalam
ruangan itu. Wajahnya seram dan berkumis tebal den-
gan kepala botak. Di punggungnya terlihat sebilah pe-
dang yang cukup besar dan berat. Dia memberi hormat
pada Nyi Imas Wari, kemudian duduk bersila di hada-
pannya.
"Bagaimana dengan tua bangka itu? Apakah dia
masih tak mau bicara?"
"Ampun, Gusti Ayu. Aku telah berbuat sekuat ke-
mampuanku, tapi dia tak juga mau bicara. Keadaan-
nya betul-betul amat lemah. Kalau aku terus menyik-
sanya, dia mungkin akan tewas."
"Kurang ajar!" gadis itu menggeram sambil menge-
palkan sebelah tangannya.
"Saat ini dia tengah tak sadarkan diri, Gusti Ayu.
Tapi begitu sadar, aku akan memaksanya lagi untuk
memberitahukan di mana kedua kitab pusaka itu be-
rada...," kata Gotoloko melanjutkan keterangannya.
Nyi Imas Wari berkali-kali mendengus geram.
"Apa yang bisa kulakukan untukmu, Nyi?"
Nyi Imas Wari memandangnya sekilas, kemudian
kembali menghela napas kesal sambil menggeleng lemah.
'Tidak. Untuk saat ini sudah cukup. Kembalilah
kau ke tempatmu."
"Baik, Gusti Ayu."
Laki-laki bertubuh tinggi besar itu menjura hor-
mat, kemudian berlalu dari tempat itu. Namun baru
saja dia menghilang dari balik ruangan itu, terdengar
teriakan-teriakan panjang dari arah luar. Nyi Imas Wa-
ri tersentak kaget dan buru-buru keluar untuk melihat
apa yang sedang terjadi.
Bukan main geramnya dia ketika melihat seorang
pemuda berbaju kulit harimau tengah membantai
anak buahnya satu persatu. Gerakannya amat gesit
dan tenaganya kuat. Terlihat lebih dari tujuh orang
anak buahnya terkapar di tanah dalam keadaan yang
mengerikan.
"Pendekar Pulau Neraka, hentikan perbuatan-mu!
Akulah tandinganmu, bukan mereka!" teriak Nyi Imas
Wari geram.
***
DELAPAN
Pemuda berbaju kulit harimau yang tengah men-
gamuk itu tak lain memang Pendekar Pulau Neraka.
Begitu mendengar bentakan itu, serentak para penge-
royoknya menghentikan serangan. Bayu memandang
ke arah gadis yang tadi mengeluarkan bentakan nyar-
ing itu. Widi Saksaka yang berada di dekatnya dan se-
dang menggendong Tiren, berbisik ke telinga pemuda
itu.
"Gadis itulah yang kukatakan tadi. Hati-hati, ke-
pandaiannya hebat sekali. Terutama tambang yang
melingkar di pinggangnya itu."
Bayu melihat dengan seksama ke arah gadis berpa-
ras cantik itu, juga memperhatikan tambang yang me-
lilit rapi di pinggangnya yang ramping. Sekilas melihat
penampilannya, orang tidak akan menyangka bahwa
gadis itu kejam dan memiliki kepandaian yang hebat.
"Hm, jadi diakah orang yang kau andalkan untuk
menghadapiku, Widi?" dengus gadis itu sinis.
"Kaukah majikan tempat ini?" Bayu menimpali
dengan pertanyaan pula seraya memberi isyarat pada
Widi Saksaka agar tidak mempedulikan ejekan gadis
itu.
"Ya, akulah orangnya...," sahut gadis itu dengan
wajah angkuh.
"Hm, kalau begitu bebaskanlah orang tua itu!"
"Huh, seenaknya saja kau bicara! Siapa pun yang
berani masuk daerah kekuasaanku, maka mutlak dia
adalah tawananku. Dan kalian telah melakukannya,
bahkan berani membunuh anak buahku, maka kalian
berdua adalah tawananku!"
Bayu tersenyum sinis dan berkata dengan lantang-
nya.
"Aku adalah penguasa diriku, dan tak seorang pun
kubiarkan menguasai diriku. Apalagi menjadikanku
tawanan!"
"Akan kulihat, sampai di mana kebenaran kata-
katamu itu!" sahut gadis itu seraya memberi isyarat
pada Gotoloko untuk meringkus pemuda itu.
Gotoloko menggeram ketika tubuhnya yang besar
bagai raksasa itu melompat dan menggetarkan tanah
yang berada di sekitar tempat itu.
Bayu memandang dengan wajah sinis. Dia menoleh
sekilas, dan melihat sekitar lima belas orang anak
buah gadis itu yang masih tersisa. Dan di antara me-
reka agaknya hanya si raksasa ini yang menjadi anda-
lannya. Bayu menyipitkan mata seperti hendak menaksir sampai di mana kekuatan lawannya ini.
"Ghrrr...! Akan kurencah tubuhmu, Bocah!" geram
Gotoloko sambil menyeringai lebar.
Bersamaan dengan itu juga tubuhnya yang besar
meluruk mencengkeram Bayu. Pemuda itu berkelit ke
samping, namun dengan sigap tangan Gotoloko me-
nyapu pinggangnya. Terpaksa Bayu melompat ke atas
sambil terus melewati kepala lawan. Dia ingin menguji,
sampai di mana kecepatan bergerak raksasa ini.
"Hup!"
Wuk!
Gotoloko berusaha menyambarnya, namun tan-
gannya hanya mengenai angin belaka. Tubuh pemuda
itu telah berada di belakangnya. Ketika dia berbalik
hendak menyapu dengan satu tendangan bertenaga
kuat, tubuh Pendekar Pulau Neraka telah mencelat ke
sampingnya sambil melakukan tendangan keras.
Jder!
"Aaakh!"
Gotoloko mengeluh kesakitan ketika tendangan
Bayu menghajar dadanya. Tubuhnya ambruk dan ter-
jungkal sejauh empat langkah. Belum lagi dia berusa-
ha bangkit, Bayu telah mengirim tendangan kembali.
Des!
Krak!
"Aaakh...!"
Gotoloko memekik kesakitan. Rahangnya patah ke-
tika tulang lehernya patah. Dadanya seperti dihantam
bandul besi yang beratnya puluhan kati, sehingga ter-
lihat tulang rusuknya melesak ke dalam.
Bayu mendengus pelan.
"Huh, kau hanya memiliki gentong kosong yang tak
berisi!"
"Pendekar Pulau Neraka, kau memang hebat! Tak
percuma banyak tokoh persilatan yang takut terhadapmu. Aku menawarkan kerja sama dengan imbalan
yang memuaskan asal kau mau berada di pihakku,"
sahut Nyi Imas Wari seraya melangkah genit mendeka-
ti pemuda itu sambil tersenyum sinis.
Bayu tersekat sesaat lamanya. Dia tidak begitu
mudah dirayu oleh wanita walau bagaimanapun can-
tiknya. Tapi kali ini ada yang aneh. Sorot mata gadis
itu seperti memancarkan daya pesona sihir yang hen-
dak membetot sukmanya. Kejantanannya perlahan-
lahan bangkit tanpa bisa dikendalikan seiring langkah
gadis itu yang perlahan-lahan mendekatinya.
"Bayu, jangan tatap matanya! Dia sedang menggu-
nakan ilmu sihir untuk mempengaruhimu!" teriak Widi
Saksaka memperingatkan.
"Jangan dengarkan ocehannya, Sayang. Ketahuilah
olehmu, aku telah lama merindukanmu. Setiap saat
namamu ku sebut, dan ku impikan dalam tidurku. Oh,
dekaplah aku. Dekaplah aku dalam pelukanmu...!"
rayu Nyi Imas Wari seraya terus melangkah mendekati
Bayu.
Tiren berteriak-teriak dengan suara meleng-king,
kemudian melompat dari pangkuan Widi Saksaka dan
terus berjumpalitan di tanah, dan melenting dengan
ringan di pundak Bayu. Dia menjerit keras.
"Kaaakh...!"
"Uhhh...!"
Bayu yang tadi terpaku dengan wajah takjub terpe-
sona oleh kecantikan dan kelembutan suara Nyi Imas
Wari, kini seperti tersadar dari mimpi oleh teriakan
melengking di telinganya.
***
"Monyet jahanam, kubunuh kau! Hih...!"
Melihat usahanya digagalkan oleh Tiren, Nyi Imas
Wari marah bukan main. Telapak tangannya disorong-
kan ke depan. Dari situ menyambar jarum-jarum bera-
cun yang sangat halus menerpa monyet itu dan Pen-
dekar Pulau Neraka.
"Uts...!"
Bayu buru-buru melompat ke atas, namun Nyi Im-
as Wari agaknya telah memperhitungkan hal itu. Dia
meloloskan tambang di pinggangnya dan memutarnya
perlahan-lahan. Salah satu ujung tambang melesat ke
arah Pendekar Pulau Neraka bagai anak panah, se-
mentara ujung yang satunya lagi berada dalam geng-
gaman gadis itu.
"Mampus kau...!"
"Hup!"
Bayu mencelat turun, namun ujung tambang itu
terus mengikutinya. Juga ketika tubuhnya bergulingan
dan kembali melenting ke atas dan ke mana pun dia
bergerak. Pemuda itu geram sendiri jadinya. Dia tidak
mampu menjangkau tambang itu sebab ingat apa yang
dipaparkan oleh Jaka Permana dan Widi Saksana ten-
tang kehebatan senjata lawan. Begitu mendekat, dia
akan langsung melibat dan melilit sendiri bagai seekor
ular menyantap mangsa.
"Hi hi hi...! Ayo, bertahanlah terus sampai kau ke-
habisan napas. Ayo, lawanlah senjataku ini dengan
senjatamu yang hebat itu! Ayo, keluarkan senjatamu
itu...!"
Bayu mendengus geram. Keadaannya kini memang
serba salah. Walaupun dia bergerak cepat untuk me-
nyerang gadis itu, maka ujung tambang lawan akan
lebih cepat lagi menyambarnya. Sekali saja dia terbelit,
maka akan sukar melepaskan diri, karena semakin
kuat dia mengerahkan tenaga dalamnya untuk mele-
paskan lilitan, maka tambang itu akan semakin kuat
membelit.
"Hiyaaa...!"
Siiing...!
Bayu membentak nyaring ketika mengibaskan tan-
gan kanannya! Dalam keadaan terjepit begini tak ada
kesempatan lagi baginya membela diri selain memapa-
ki serangan lawan dengan Cakra Maut.
"Hm, kenapa tidak sejak tadi saja kau keluarkan
senjatamu?" ujar Nyi Imas Wari sinis.
Tapi sesaat kemudian gadis itu terkejut bukan
main ketika mencoba membelit Cakra Maut dengan
senjatanya.
Tes!
"Hei?!"
Tambangnya yang sangat dibanggakan dan dian-
dalkan itu terbabat putus oleh senjata Pendekar Pulau
Neraka. Belum lagi habis rasa kagetnya, mendadak sa-
ja Cakra Maut itu mendesing menyambar lehernya. Nyi
Imas Wari terkejut dan cepat membuang diri ke samp-
ing.
"Yeaaa...!"
Tubuh Pendekar Pulau Neraka melompat sambil
berjumpalitan untuk menangkap senjatanya kembali
dan terus menghajar lawan dengan satu tendangan
menggeledek.
Plak!
Wuk!
Nyi Imas Wari mencoba menangkis dengan tangan
kirinya. Namun tangannya terasa linu ketika benturan
terjadi. Dia mengeluh kesakitan. Namun masih sempat
menundukkan kepala untuk menghindari sapuan ten-
dangan lawan berikutnya. Tubuhnya melompat ke be-
lakang sambil menyerang lawan dengan tambang
mautnya.
Wut!
Siiing!
Bersamaan dengan senjatanya membelit ping-gang
Pendekar Pulau Neraka, Cakra Maut melesat menyam-
bar dadanya tanpa bisa dielakkan lagi.
Cras!
"Aaa...!"
Nyi Imas Wari memekik kesakitan. Dadanya robek
lebar ketika tulang rusuknya patah. Tubuhnya ter-
jungkal bersimbah darah, dan tewas beberapa saat
kemudian.
"Kurang ajar! Serang dia! Bunuh...!"
Melihat majikannya tewas, anak buah Nyi Imas
Wari yang masih tersisa, tidak mau tinggal diam. Me-
reka menyerbu Pendekar Pulau Neraka dengan kema-
rahan yang meluap-luap. Dengan senjata terhunus,
mereka menyerang dengan membabi buta.
'Yeaaa...!"
Melihat keadaan itu Bayu serentak menyambar
Cakra Mautnya dan dengan geram menghajar mereka
dengan senjatanya itu.
Siiing!
Bret!
Cras!
"Aaa...!"
Tiga orang langsung ambruk bermandikan darah
disambar senjata maut itu. Bayu melesat cepat men-
gayunkan tendangan ke arah dua orang yang mende-
kat ke arahnya.
Duk!
Desss!
"Aaa...!"
Dua orang lagi terjungkal dengan dada remuk. Tu-
buh Pendekar Pulau Neraka terus berkelebat seraya
menyebar Cakra Mautnya dan kembali melepaskannya
dengan geram. Tenggorokan mereka robek dan tulang
lehernya patah. Nyawa mereka terbang saat itu juga.
Melihat sepak terjang pemuda itu yang ganas dan
tak kenal ampun, sisanya melarikan diri. Namun Bayu
betul-betul tak memberi ampun pada mereka. Cakra
Mautnya kembali berputar mengejar dan menyambar
punggung tiga orang yang terlambat melarikan diri. Ke-
tiganya memekik ketika tubuh mereka ambruk ber-
mandikan darah.
Bayu mendengus pelan dan membiarkan sisanya
melarikan diri. Kemudian dia memandang ke sekeliling
tempat itu. Widi Saksaka tak ada. Tiren menunjuk-
nunjuk ke satu arah. Bayu mengangguk sambil terse-
nyum kecil.
"Hm, syukurlah dia telah menemukan gurunya.
Kalau begitu tugas kita telah selesai, Tiren. Mari kita
tinggalkan tempat ini," kata pemuda itu seraya me-
nyambar tubuh monyet kecil itu dan melesat cepat
meninggalkan tempat itu.
***
Apa yang ditunjukkan Tiren memang benar. Begitu
melihat mereka mengerubuti Pendekar Pulau Neraka,
Widi Saksaka menyelinap masuk ke, dalam gedung di
depannya dan menemukan gurunya terkulai lemah da-
lam sebuah ruang penyiksaan. Buru-buru dilepaskan-
nya belenggu yang mengikat kedua tangan dan kaki
orang tua itu. buahnya.
"Pendekar Pulau Neraka membantuku, Eyang. Dia
telah membinasakan gadis itu, dan seluruh anak
buahnya. Juga termasuk Kakang Begara Seta...," jelas
Widi Saksaka.
"Pendekar Pulau Neraka? Oh, syukurlah...."
"Tapi aku belum menemukan adik Jaka Per-mana."
"Ah, sampai aku lupa memberitahukannya pada-
mu. Lekaslah kau tolong dia. Mereka pun telah menyekapnya di ruangan lain. Aku akan menolong Pen-
dekar Pulau Neraka!"
"Tak perlu, Eyang. Terakhir kulihat dia tengah
membantai anak buah gadis itu. Mereka pasti tidak
akan selamat di tangannya!"
"Ah, tokoh itu memang hebat, dan sekaligus kejam.
Dia tentu tidak akan membiarkan mereka selamat seo-
rang pun!" gumam Ki Ageng Sura sambil menggeleng
lemah dan menghela napas pendek.
Orang tua itu melangkah pelan keluar dari ruan-
gan ketika Widi Saksaka mencari Jaka Permana di
ruangan lain. Namun ketika tiba di halaman depan,
tak dijumpainya seorang pun di sana. Yang ada hanya
mayat-mayat bergelimpangan dalam keadaan yang
mengenaskan. Termasuk mayat gadis yang menculik-
nya tempo hari.
Ki Ageng Sura kembali menggeleng kecil.
"Hm, kabar tentangnya memang bukan omong ko-
song belaka. Kepandaian mereka hebat, tapi dia tidak
mampu mengalahkannya...."
'Eyaaang...!" teriak seseorang.
Ki Ageng Sura cepat berbalik dan melihat seorang
pemuda tanggung berusia sekitar lima belas tahun,
berlari-lari kecil menghampirinya, dan berlutut di ka-
kinya.
"Syukurlah kau selamat, Jaka...."
"Eyang tak apa-apa...?" tanya Jaka Permana den-
gan wajah cemas.
Ki Ageng Sura tersenyum kecil sambil menggeleng
lemah. Dilihatnya wajah Jaka Permana agak memar.
Begitu juga dengan bagian tubuhnya yang lain. Tentu
saja telah mendapat siksaan yang cukup parah.
"Lho, ke mana perginya dia, Eyang?" tanya Widi
Saksaka yang tadi menyertai Jaka Permana.
"Apakah yang kau maksud Pendekar Pulau Neraka?"
Widi Saksaka mengangguk cepat.
"Dia telah pergi."
"Eyang sempat menjumpainya?"
"Tidak..."
"Ah, kita belum sempat mengucapkan terima kasih
padanya...," keluh Widi Saksaka pelan.
"Pendekar sepertinya tak memerlukan basa-basi
dari ucapan terima kasih seseorang yang telah dito-
longnya, Widi."
"Aku masih merasa bersalah karena mencuri-
gainya, Eyang...," ucap Jaka Permana lirih.
"Sudahlah. Di lain waktu kau akan sempat men-
jumpainya dan menyatakan penyesalan sekaligus rasa
terima kasihmu...," hibur Ki Ageng Sura.
"Eyang, ada yang ingin kutanyakan. Apakah sebe-
narnya Eyang menyimpan kedua kitab pusaka yang
mereka inginkan itu?" tanya Widi Saksaka dengan wa-
jah sungguh-sungguh.
Ki Ageng Sura mengangguk.
"Dan Eyang bermaksud mewariskannya pada salah
seorang di antara kami?"
Ki Ageng Sura kembali mengangguk.
"Widi, dengarkanlah. Kedua kitab itu merupakan
pelajaran ilmu silat yang hebat. Kelak jika kalian telah
memiliki tenaga batin yang hebat barulah aku mem-
percayai pada kalian berdua karena telah terbukti kini,
siapa sebenarnya muridku yang berbakti...."
"Dan untuk sekarang ini kami tidak boleh menge-
tahui di mana Eyang menyimpan kedua kitab pusaka
itu, bukan?" tanya Widi Saksaka meyakinkan sambil
tersenyum kecil.
Ki Ageng Sura mengangguk.
"Eyang, aku pun punya pertanyaan...," sergah Jaka
Permana.
"Aku masih ingat pesan yang Eyang berikan sebe-
lum Eyang tertangkap. Apa maksudnya?"
Ki Ageng Sura tersenyum kecil.
"Ketika aku mengetahui bahwa ada orang yang
menginginkan kedua kitab pusaka itu, maka aku me-
mastikan bahwa salah satu atau kedua muridku telah
mengkhianatiku, sebab selama ini tidak seorang pun
yang mengetahui rahasia kedua kitab pusaka itu se-
lain kedua muridku. Untuk itulah aku memutuskan
bahwa kau sebagai pewarisnya karena yakin bahwa
mereka akan membunuhku. Tapi Tuhan agaknya ber-
kehendak lain, dan aku tidak malu mencabut kata-
kataku sendiri agar sesuatunya berjalan dengan adil
dan bijaksana. Kujanjikan kedua kitab itu akan kuwa-
riskan pada kalian...," jelasnya.
Jaka Permana dan Widi Saksaka tersenyum kecil.
"Tapi, Eyang. Masih ada lagi yang mengganjal di
benakku soal pesan Eyang tersebut. Sepertinya sebuah
teka-teki bagiku," lanjut Jaka Permana.
'Teka-teki itu akan kau pecahkan sendiri jika wak-
tunya tiba dan akalmu bisa mencernakannya. Nah,
apa yang jelas kau tangkap dari teka-teki dalam pe-
sanku itu?' tanya Ki Ageng Sura tersenyum.
"Ada yang harus kupakai dan ada yang musti ku
buang. Benarkah itu, Eyang?"
"Kau benar. Demikian pula dengan kedua kitab itu.
Hanya satu yang bisa kalian pelajari sedangkan sa-
tunya lagi adalah kitab yang menyesatkan. Bagaima-
napun kuatnya batin kalian, tapi karena kedua kitab
itu ilmu silat yang sangat dahsyat dan memiliki hawa
panas yang mampu menguasai serta menyeret kalian
ke dalam pikiran jahat, maka faktor pertama yang per-
lu dikuasai adalah kekuatan batin untuk bisa mengu-
asai diri...," jelas Ki Ageng Sura.
"Kami mengerti, Eyang...," sahut kedua murid-nya
serentak.
"Syukurlah kalau kalian telah memahami hal itu.
Sesungguhnya kedua kitab itu ilmu silat yang berasal
dari seorang tokoh sesat yang memiliki kepandaian
hebat. Dan tokoh sesat itu adalah kakek buyut guru-
ku. Generasi di bawahnya tidak sembarangan yang
mampu mempelajarinya, karena kalau batin mereka
tidak kuat hanya ada dua kemungkinan, kalau tidak
gila, maka dia akan tersesat dalam sifat jahat yang
menyesatkan," jelas Ki Ageng Sura kembali.
"Eyang, kabarnya guru Pendekar Pulau Neraka
adalah bekas tokoh sesat?" tanya Widi Saksaka.
"Ya. Dan kau bisa melihat sendiri apa yang di-
lakukan muridnya, bukan? Bisa kau bayangkan kehe-
batan tenaga batin pemuda itu sehingga tidak mem-
pengaruhi pikirannya untuk berbuat jahat. Namun
demikian, masih terlihat sisi jahat dari ilmu yang dimi-
likinya, yaitu hawa kejam dalam membunuh lawan-
lawannya. Kalian bisa memetik pelajaran dari dirinya."
Kedua pemuda itu kembali mengangguk-
anggukkan kepala.
Tak berapa lama mereka telah melangkah pelan meninggalkan tempat itu.
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar