SETAN SERIBU
NYAWA
Oleh Teguh Suprianto
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Pulau Neraka
dalam episode:
Setan Seribu Nyawa
128 hal. ; 12 x 18 cm
SATU
Siang hari di Desa Ngampar Cai terlihat cerah. Ma-
tahari bersinar tidak terlalu garang, sementara awan
putih bergerumbul menaungi membuat suasana se-
makin teduh. Desa yang memiliki penduduk cukup
ramai itu, hari ini semakin semarak saja dengan
adanya suatu keramaian di salah satu rumah yang be-
rukuran paling besar dan mewah di desa ini. Juragan
Sasmita Dimeja yang merupakan orang paling kaya di
desa itu tengah melangsungkan pesta perkawinan pu-
tra pertamanya yang bernama Danu Umbara dengan
seorang gadis dari desa seberang bernama Diah Ke-
muning.
Laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun dan
bertubuh besar itu tampak mengumbar senyumnya
ketika menyambut tamu-tamunya yang semakin ramai
berdatangan.
"Selamat, Juragan! Mudah-mudahan lekas menda-
pat cucu yang manis dan tampan...," kata Ki Darwono,
kepala desa itu sambil tersenyum lebar.
'Terima kasih, Ki Darwono. Silakan...!" kata Jura-
gan Sasmita Dimeja sambil mempersilakan tamunya
itu menyalami kedua mempelai yang duduk di ruangan
depan berhiaskan tempat duduk yang besar serta te-
rukir indah.
"Wealah, Danu! Bisa-bisanya kau mendapat-kan
bidadari secantik ini. Hati-hati menjaganya. Salah-
salah disambar orang lain nantinya dan kau tidak
mungkin akan mendapatkan seperti ini lagi!" seloroh
Ki Darwono sambil menyalami pemuda itu.
"Ah, Ki Darwono bisa saja...," sahut pemuda itu
tersenyum.
Diah Kemuning menundukkan kepala sambil ter
senyum mendengar gurauan laki-laki kurus berusia
sekitar lima puluh tahun itu,
"Hm, tidak mengherankan kalau anaknya secantik
ini jika ternyata ibunya pun seperti bidadari di sorga-
loka!" lanjut kepala desa itu kembali bergurau ketika
menyalami kedua orangtua pihak pengantin wanita.
Wanita berusia sekitar tiga puluh tahun itu terse-
nyum kecil. Apa yang dikatakan Ki Darwono tidak sa-
lah. Wanita itu memiliki bentuk tubuh yang indah
dengan kulit kuning langsat. Bahkan sepintas dengan
Diah Kemuning seperti antara kakak beradik saja
layaknya.
Kepala Desa Ngampar Cai itu memang supel dan
dekat dengan warganya. Selain itu beliau juga senang
berkelakar sehingga tidak mengherankan bila seluruh
penduduk desa ini menyukainya. Bahkan ketika rom-
bongan kesenian yang diundang Juragan Sasmita Di-
meja mulai menggelar pertunjukan dengan mengada-
kan tari-tarian, Ki Darwono tidak segan-segan untuk
menari pula bersama beberapa orang undangan lain-
nya.
"Ki Darwono, awas...! Jangan sampai matanya me-
lotot dengan gadis berbaju merah itu!" teriak seorang
warga dengan nada menggoda.
Ki Darwono cuma mesem-mesem saja mendengar
godaan itu sambil terus berjoget bersama seorang ga-
dis berwajah manis yang memakai kebaya merah.
Semua orang dalam pesta perkawinan itu memang
bergembira, seolah larut dalam suasana kemeriahan
itu. Berbagai tepuk sorak-sorai berkali-kali berkuman-
dang dan wajah-wajah keceriaan menghiasi setiap wa-
jah mereka. Namun ternyata tidak semuanya larut da-
lam kegembiraan pesta itu, karena istri Juragan Sas-
mita Dimeja sejak tadi lebih banyak membisu dengan
wajah murung.
"Kenapa, Bu...? Apa Ibu tidak merasa bergembira
pada pesta perkawinan anak kita ini...?" tanya Juragan
Sasmita Dimeja dengan wajah heran.
Wanita berwajah cantik dan berusia sekitar tiga
puluh tujuh tahun itu tersenyum tipis sambil melirik
sekilas suaminya itu.
"Aku gembira, bahkan sangat gembira melihat per-
kawinan anak kita...," jawabnya pelan.
"Lalu mengapa wajahmu murung...?"
Wanita itu tidak langsung menjawab melainkan
menarik napas agak panjang. Kemudian berkata den-
gan lirihnya.
"Aku punya firasat buruk dari mimpiku yang su-
dah tiga malam ini datang berturut-turut..."
"Hm, mimpi itu lagi…," desah Juragan Sasmita Di-
meja seperti tidak percaya dengan firasat istrinya itu.
"Apakah Kakang tidak mempercayainya...?"
"Mimpi hanya bunga tidur, kenapa kita harus
mempercayainya? Sudahlah, jauhkan bayang-
bayangan mimpi itu. Kalau Ibu terlalu percaya maka
kita akan dihantuinya terus," kata Juragan Sasmita
Dimeja.
"Aku melihat desa kita ini terbakar oleh lautan api
dan orang-orang sibuk menyelamatkan diri sambil
menjerit-jerit ketakutan. Lalu sekelompok awan hitam
kemudian menelan seluruh penghuni desa ini...!" desis
wanita itu dengan wajah semakin cemas.
"Sudahlah, Bu. Jangan terlalu dipikirkan hal itu.
Kita berdoa saja mudah-mudahan perkawinan anak ki-
ta selamat dan mereka menempuh hidup yang bahagia
berdua," hibur Juragan Sasmita Dimeja.
Wanita itu tidak mengangguk. Wajahnya tidak be-
rubah dari kecemasan hatinya. Tatapannya kosong
melihat keramaian orang-orang yang bergembira dalam
suasana pesta itu.
Danu Umbara yang duduk di sebelah ibunya itu
bukan tidak memperhatikan wajah ibunya yang resah
itu.
"Kenapa, Bu? Adakah sesuatu hal yang meri-
saukan hati Ibu?" tanyanya sambil berbisik.
Wanita itu tersenyum tipis ketika menoleh ke arah
putra tertuanya itu. Dia tidak menjawab se-patah kata
pun.
"Ceritakanlah kalau memang Ibu mempunyai pera-
saan hati yang tidak menyenangkan...," lanjut pemuda
itu.
'Tidak. Tidak ada...."
"Lalu mengapa wajah Ibu tidak bergembira...?"
"Ibu gembira melihat perkawinanmu, bahkan san-
gat gembira. Mudah-mudahan perkawinanmu akan
bahagia!" sahut wanita itu berusaha tersenyum untuk
melegakkan hati putranya itu.
Danu Umbara ikut-ikutan tersenyum tipis. Tapi
hatinya sama sekali tidak mempercayai akan kata-kata
ibunya. Dia merasa yakin bahwa ibunya itu menyim-
pan sesuatu di hatinya, dan terbayang jelas dari wa-
jahnya yang cemas. Hanya saja dia tidak tahu apa
yang merisaukan hati wanita itu. Sehingga kegembi-
raan pemuda itu jadi ikut terpengaruh. Pikirannya
menerawang jauh dan menduga-duga, apa yang tengah
direnungkan ibunya saat ini.
"Kakang, kenapa berwajah murung...?" tanya Diah
Kemuning halus sambil memperhatikan wajah sua-
minya itu dengan seksama.
Danu Umbara sedikit terkejut, namun dia cepat
tersenyum.
"Tidak. Kenapa aku musti murung? Aku tidak tahu
bagaimana gembiranya hatiku saat ini!" sahutnya ce-
pat.
Diah Kemuning ikut tersenyum. Hatinya lega ketika melihat senyum suaminya yang lebar.
Irama gamelan masih terus berkumandang, dan
beberapa orang yang berjoget menyemarakkan seiring
dengan sorak-sorai yang semakin ramai menyemarak-
kan pesta perkawinan itu. Pada saat itulah terdengar
teriakan sayup-sayup dari kejauhan.
"Tolooong...! Tolooong...!"
***
"Hai, apa itu?!" sentak beberapa orang centeng Ju-
ragan Sasmita Dimeja berpaling ke arah datangnya su-
ara itu.
Dari kejauhan di ujung desa itu terlihat debu men-
gepul membubung tinggi menghalangi pandangan.
Namun samar-samar jelas terdengar derap langkah
kaki kuda yang bergemuruh. Seiring dengan itu jeri-
tan-jeritan ketakutan berkumandang dan menyentak
orang-orang yang memenuhi tempat kediaman Jura-
gan Sasmita Dimeja.
"Gendon, ada apa?" tanya Juragan Sasmita Dimeja
pada salah seorang centengnya.
"Entahlah, Juragan. Saya akan periksa bersama
yang lainnya!" sahut Gendon cepat sambil mengajak
beberapa orang kawannya untuk melihat kejadian itu.
Namun baru saja mereka melompat keluar dari ha-
laman rumah kediaman Juragan Sasmita Dimeja, tiba-
tiba suara-suara derap langkah kuda telah semakin je-
las terdengar. Dan orang-orang desa berteriak-teriak
ketakutan sambil menyelamatkan diri masing-masing.
Lebih dari sepuluh orang penunggang kuda yang ber-
tampang seram berhenti tepat di depan halaman ru-
mah Juragan Sasmita Dimeja.
"Ha ha ha...! Pucuk dicinta ulam pun tiba. Tidak
usah bersusah payah mengumpulkan tikus-tikus busuk ini mereka telah berkumpul dengan sendirinya!"
teriak salah seorang yang bertubuh tinggi besar den-
gan suara menggelegar.
Orang itu berusia lanjut sekitar enam puluh tahun.
Rambutnya hitam dan berdiri tegak memperlihatkan
gigi-giginya yang besar menonjol keluar. Tangan ka-
nannya mengacung-acungkan sebuah senjata mirip
clurit yang panjang. Dan di pinggangnya berderet pi-
sau-pisau kecil.
"Guru, buat apa berlama-lama di sini? Sebaiknya
kita bereskan saja mereka secepatnya," tim-pal seorang
pemuda di sebelahnya.
Pemuda Itu berusia sekitar dua puluh tahun ber-
pakaian rapi dan berwajah tampan. Rambutnya yang
panjang digelung ke atas. Bahasanya halus dan me-
lengking mirip seorang wanita. Dan caranya berdandan
menunjukkan pula bahwa dia seorang pesolek. Senja-
tanya mirip dengan orang tua itu. Hanya saja di ping-
gangnya tidak terdapat pisau-pisau kecil.
Orang-orang yang berada di tempat kediaman Ju-
ragan Sasmita Dimeja tersentak kaget. Seketika mere-
ka memandang pada rombongan itu dengan wajah ti-
dak senang. Salah seorang centeng Juragan Sasmita
Dimeja, beserta beberapa orang kawannya, langsung
melangkah mendekati mereka.
"Kisanak, siapa kalian dan ada urusan apa meng-
ganggu pesta perkawinan Juragan Sasmita Dimeja?"
tanya salah seorang centeng itu dengan sikap garang.
"Pesta perkawinan? Mana yang sedang kawin? Ma-
na dia...?!" tanya pemuda pesolek itu sambil cengar-
cengir kegirangan.
"Hei, kutu busuk! Menyingkirlah kau kalau tidak
ingin mampus!" bentak orang tua di samping si pemu-
da pesolek itu dengan garang sambil melototkan mata
kepada si centeng.
Mendengar bentakan si orang tua, wajah centeng
itu tampak merah menahan marah.
"Kunyuk kurap, pergilah kau dari tempat ini sebe-
lum kami bertindak kasar padamu!" bentaknya garang.
"Kurang ajar! Berani kau bicara begitu di depan Ki
Rantek?!" dengus orang tua itu sambil memberi isyarat
pada salah seorang anak buahnya.
Salah seorang penunggang kuda di sampingnya
langsung melompat sambil mengayunkan senjata clurit
besar di tangannya.
"Kutu busuk tidak tahu diri, mampuslah kau...!
Yeaaah...!"
Srak!
Trang!
Melihat orang itu langsung menyerangnya, si cen-
teng mencabut golok dan menangkis senjata lawan.
Tapi akhirnya dia mengeluh kesakitan ketika senjata
mereka beradu. Tangannya terasa perih dan jantung-
nya berdetak kencang. Belum lagi hilang rasa terkejut-
nya, senjata lawan dengan cepat menyambar lehernya
tanpa ampun.
Crasss...!
"Hokh...!"
"Hei...?!"
"Iblis biadab...!" desis orang-orang yang melihat ke-
jadian itu.
Centeng itu tidak mampu menghindari tebasan
senjata lawan yang mengarah ke lehernya. Orang itu
memekik tertahan. Kepalanya putus dan menggelind-
ing ke tanah. Darah mengucur deras dari pangkal le-
hernya dan membuat orang-orang yang hadir dalam
pesta perkawinan itu tersentak kaget dan mulai ma-
rah.
"Keparat jahanam! Kalian sungguh biadab! Bunuh
mereka...!" bentak salah seorang centeng memberi perintah pada kawan-kawannya.
Beberapa orang centeng Juragan Sasmita Dimeja
langsung mencabut golok dan menyerang kawanan itu.
Bukan hanya mereka yang turun menyerbu namun
hampir semua orang-orang yang berada dalam pesta
perkawinan itu ikut menyerang kawanan tersebut.
"Hiyaaa...!"
"Seraaang...!"
"Hancurkan mereka...!"
Teriakan gegap-gempita itu terus berkumandang
dan bagai tanggul jebol mereka menghunus apa saja
untuk mengeroyok kawanan itu. Namun kawanan itu
bukannya takut serta gentar melihat begitu banyak
menyerang mereka. Orang tua bernama Ki Rantek
yang memimpin kawanan itu langsung membentak
nyaring.
"Habisi mereka...!"
"Yeaaah...!"
Tanpa diperintah dua kali, anak buahnya langsung
melompat turun dari punggung kuda mereka sambil
menghunus senjata mereka yang berupa clurit panjang
laksana pedang.
Trang!
Cras!
Bret..!
"Aaa...!"
Suara beradunya senjata serta pekik kematian
mewarnai tempat yang semula meriah oleh gelak tawa
itu. Beberapa sosok tubuh langsung ambruk dengan
bersimbah darah ditebas oleh senjata-senjata kawanan
yang dipimpin oleh Ki Rantek itu.
Penduduk desa yang berjumlah banyak itu menye-
rang kawanan, itu karena diliputi amarah yang me-
luap-luap melihat sikap Ki Rantek dan anak buahnya
itu. Tapi hal itu tidak ditunjang dengan kemahiran mereka dalam hal ilmu bela diri. Sedikit sekali yang men-
gerti ilmu silat. Sedangkan anak buah Ki Rantek rata-
rata memiliki kemampuan yang hebat dan bertenaga
kuat. Mereka adalah orang-orang buas yang tidak
mengenal belas kasihan. Meski hanya berjumlah seki-
tar lima belas orang, namun dengan ganasnya mereka
membantai orang-orang desa itu, tanpa kenal ampun.
Sehingga dalam waktu singkat saja halaman rumah
Juragan Sasmita Dimeja banjir oleh darah.
"Lariii...!" teriak seseorang dengan wajah ketaku-
tan.
Melihat pembantaian itu banyak di antara undan-
gan lainnya yang sibuk menyelamatkan diri. Mereka
merasa percuma saja melawan kawanan itu karena
hanya mengantar nyawa secara percuma.
***
"Jangan biarkan mereka lolos seorang pun...!" te-
riak Ki Rantek.
Mendengar itu maka beberapa orang anak buahnya
langsung melompat menghadang orang-orang yang be-
rusaha menyelamatkan diri dan dengan kejam meng-
hunuskan senjata ke arah orang-orang itu.
Crasss,..!
Brettt. !
"Aaa...!"
"Jangan bunuh mereka! Kita akan memberikan ke-
nang-kenangan agar mereka tahu siapa kita...!" teriak
Ki Rantek kembali.
"Guru, aku menemukan gadis cantik ini! Amboi,
alangkah cantiknya dia...!" teriak pemuda pesolek yang
memanggil Ki Rantek sebagai gurunya.
"Hei, Aria Denta! Jangan serakah kau...! Beri-kan
dia untukku!" teriak Ki Rantek sambil mendekati si
pemuda.
Orang tua langsung terkekeh ketika melihat gadis
cantik yang berada di hadapannya. Gadis yang tidak
lain dari Diah Kemuning itu langsung merapat sambil
memeluk tubuh suaminya dengan wajah pucat mena-
han rasa takut.
"He hei he...! Ke sini manis, ke sini. Kau tidak akan
kusakiti kalau menurut kata-kataku...!" kata Ki Rantek
sambil terkekeh dan melangkah pelan mendekati gadis
itu.
"Anjing busuk, jangan coba-coba ganggu is-
triku...!" bentak Danu Umbara.
"He he he...! Guru, kau memang tidak pantas un-
tuknya. Kenapa tidak kau cari saja yang lain? Nah, co-
ba lihat. Wanita itu sangat cocok untukmu dan sepan-
dan pula. Biarlah gadis ini untukku...!" sahut Aria
Denta sambil menunjuk ke arah ibunya Diah Kemun-
ing yang sama-sama ketakutan dengan putrinya sam-
bil memeluk suaminya.
"Hi hi hi...! Cerdik kau, Aria Denta. Tapi tidak men-
gapa. Wanita ini pun cukup cantik. Kau boleh ambil si
pengantin wanita itu biarlah yang ini bagianku...," sa-
hut Ki Rantek tanpa mempedulikan bentakan Danu
Umbara.
"Ki, bolehkah aku memiliki wanita ini?" tanya salah
seorang anak buah Ki Rantek langsung menunjuk ke
arah ibunya Danu Umbara sambil terkekeh-kekeh ke-
cil.
"He he he...! Pintar juga kau Somali. Nah, kau bo-
leh mengambilnya untukmu...!" sahut Ki Rantek.
"Hi hi hi...! Terima kasih, terima kasih Ki...!" sahut
Somali langsung menerkam wanita yang di-
inginkannya.
"Jahanam busuk! Jangan sentuh istriku...!" bentak
Juragan Sasmita Dimeja garang sambil berusaha me
nangkis tangan lawan.
'Tua bangka busuk, minggir kau...!" sentak Somali
sambil menepiskan tangan Juragan Sasmita Dimeja.
Plak!
Desss...!
Juragan Sasmita. Dimeja menjerit kesakitan den-
gan sekali sentak, tubuhnya terjerembab menghajar
tembok rumahnya. Danu Umbara membentek garang
dengan wajah terkejut. Dia bermaksud hendak meno-
long bapaknya, namun saat itu juga istrinya menjerit-
jerit karena Aria Denta menangkap pergelangan tan-
gannya. Lalu dengan sekali sentak, gadis itu telah be-
rada dalam dekapannya.
"Kakang Danu, tolooong...! Tolooong...!"
"Keparat...!" Danu Umbara membentek garang.
Darahnya mendidih dan rongga dadanya seperti
hendak rengkah menahan amarah yang meluap-luap
melihat pemuda pesolek itu seenaknya menciumi is-
trinya yang berusaha berontak dari dekapan pemuda
itu. Tanpa berpikir panjang dia langsung mengayun-
kan kepalan tangan menghantam pemuda itu.
Plak!
Desss!
"Aaakh...!"
Tanpa berpaling lagi Aria Denta menangkis seran-
gan lawan, dan sebelah kakinya dengan telak mengha-
jar dada Danu Umbara sehingga pemuda yang sama
sekali tidak mengerti ilmu silat itu, terpekik dengan
tubuh terjengkang keras.
Danu Umbara merasa dadanya mau pecah akibat
tendangan itu. Namun jeritan-jeritan Diah Kemuning
dan ibunya serta mertuanya membuat semangatnya
kembali menyala-nyala. Tanpa mempedulikan rasa sa-
kit yang dideritanya dia kembali bangkit dan mengha-
jar Somali yang berada dekat dengannya.
"Jahanam keparat! Lepaskan ibuku...! Le-
paskaaan...!"
"Hiiih...!"
Plak!
Begkh!
"Aaakh...!"
Somali cepat berbalik dan menangkis serangan
pemuda itu. Lalu kaki kanannya dengan cepat terayun
menghantam perut Danu Umbara. Tubuhnya kembali
terjungkal.
Hal yang sama dialami oleh Juragan Sasmita Dime-
ja dan besannya yang laki-laki. Mereka berusaha me-
nolong istrinya, namun tanpa mengenal belas kasihan,
Ki Rantek dan anak buahnya yang bernama Somali itu
menghajar mereka sampai muntah darah. Demikian
pula ketika Danu Umbara hendak menyelamatkan is-
trinya. Namun meskipun demikian mereka seolah ti-
dak merasakan rasa sakit yang diderita mendengar je-
ritan istri masing-masing. Dan hal itu menimbulkan
kejengkelan Ki Rantek dan muridnya yang bernama
Aria Denta, serta anak buahnya yang bernama Somali.
"Keparat! Mereka harus didiamkan lebih dulu...!"
geram Ki Rantek sambil menotok wanita da-lam deka-
pannya.
Tindakannya itu diikuti oleh Aria Denta dan Soma-
li. Lalu dengan geram mereka menghajar ke-tiga laki-
laki yang sejak tadi mengganggu nafsu setan mereka
yang telah menggelegak itu.
"Kalian harus dibuat diam dulu dan kemudian me-
nyaksikan kami bersenang-senang. Itulah hukuman
yang setimpal buat kalian!" dengus Ki Rantek sambil
menangkap pergelangan tangan lawannya, ayahnya
Diah Kemuning.
Plak!
Krakkk!
"Aaakh…”
***
DUA
Laki-laki itu menjerit keras ketika tulang lengannya
patah dihantam Ki Rantek. Jeritannya kian panjang
ketika bagian dada dan perutnya dihantam Ki Rantek
dengan keras bertubi-tubi sambil memegangi lengan-
nya yang patah itu. Dan yang terakhir kali Ki Rantek
langsung mengayunkan satu tendangan yang keras
sehingga lawannya terjungkal sambil memuntahkan
darah segar.
"Hoakhhh...!"
"Ayah...!" Diah Kemuning menjerit keras melihat
keadaan ayahnya yang megap-megap tidak berdaya
untuk berusaha bangkit.
Hal yang sama dialami oleh Danu Umbara. Tanpa
mengenal belas kasihan, Aria Denta menghajarnya ha-
bis-habisan. Begitu juga yang dialami oleh Juragan
Sasmita Dimeja. Ketiga wanita itu menjerit-jerit meli-
hat suaminya dihajar sampai muntah.
"Nah, sekarang mampuslah...!" bentak Ki Rantek
sambil mencabut senjatanya yang unik dan siap me-
nebas leher lawan.
"Guru, tahan...!" teriak Aria Denta mencegah.
"Hm, mau apa kau?"
"Kenapa harus terburu-buru? Tanpa dibunuh pun
mereka akan mampus karena luka-luka dalam yang
dideritanya. Bukankah kita akan membuat mereka
menggeliat menahan rasa sakit yang hebat?" tanya
Aria Denta sambil tersenyum tipis.
"Apa maksudmu, Aria Denta?" tanya Somali.
Pemuda itu tersenyum-senyum membisikkan sesu-
atu di telinga Somali. Orang itu tersenyum sambil
mengangguk-anggukkan kepala.
"Kupret! Apa yang kalian rencanakan, heh...?!"
bentak Ki Rantek berang.
Somali pun membisikkan ke telinga orang tua itu.
Ki Rantek mendengus kemudian terkekeh kecil.
"He he he...! Dasar si Aria Denta, otaknya se-lalu
encer. Nah, tunggu apa lagi?!"
"Hi hi hi...! Aku akan bersenang-senang dulu den-
gan bidadari yang cantik itu!" seru Aria Denta sambil
menerkam Diah Kemuning.
Gadis itu menjerit-jerit ketakutan, namun dengan
buasnya Aria Denta mendekapnya erat-erat dan tan-
gannya dengan nakal menyusup ke seluruh bagian tu-
buh gadis itu dengan nafsu iblis yang menggelegak-
gelegak. Lalu dengan kasarnya dia mencabik-cabik pa-
kaian yang melekat di tubuh gadis itu. Diah Kemuning
yang dalam keadaan tertotok, tidak mampu berontak
selain berteriak-teriak dengan air mata bercucuran.
Hal yang sama juga dilakukan Ki Rantek dan So-
mali terhadap orang tua perempuannya dan Ibunya
Danu Umbara. Kebejatan itu mereka laku-kan di de-
pan mata Danu Umbara dan Juragan Sasmita Dimeja
serta besan laki-lakinya. Karuan saja ketiga laki-laki
itu mendidih darahnya dan berusaha bangkit untuk
menolong istrinya. Namun luka dalam yang mereka de-
rita membuat mereka kembali terjatuh lunglai dan tu-
lang-belulangnya terasa rapuh untuk digerakkan aki-
bat hantaman bertubi-tubi yang dilakukan lawannya
tadi. Mereka hanya mampu berteriak-teriak sambil
memaki-maki tidak karuan.
"Keparat busuk! Hentikan perbuatanmu yang bi-
adab! Jahanam, hentikan...!" Danu Umbara memekik
menahan geram dan dendam yang meledak-ledak di
dalam dadanya.
Tapi akibat amarah dan teriakan yang menggelegar
itu, dia memuntahkan darah segar berkali-kali. Kepa-
lanya terasa pusing dan penglihatannya berkunang-
kunang. Meski begitu si pemuda berusaha merayap
mendekati ketiga laki-laki bejat yang tengah mengum-
bar nafsu iblisnya terhadap wanita-wanita yang dekat
dengannya. Masih sempat dilihat ayahandanya tergele-
tak tak berdaya akibat amarah yang tidak tertahan-
kan. Demikian juga dengan mertua laki-lakinya. Na-
mun telinga pemuda itu masih terus menangkap jeri-
tan-jeritan ketakutan istrinya yang penuh ketakutan.
Kerongkongannya terasa kering dan berlumur darah
akibat teriakan-teriakannya semakin serak memaki-
maki ketiga orang yang tengah melakukan perbuatan
bejad itu.
Apa yang dilakukan oleh Ki Rantek beserta murid-
nya dan salah seorang anak buahnya itu, diikuti oleh
anak buah yang lain. Mereka menangkap wanita-
wanita yang ditemuinya dan memperkosanya dengan
rakus seperti sekawanan hewan kelaparan yang me-
nemukan makanan kesukaannya. Siapa pun yang
mencoba menghalangi perbuatan mereka maka bisa
dipastikan orang itu akan menemui ajalnya ditebas
senjata-senjata para perampok yang tidak mengenal
rasa belas kasihan itu. Setelah melakukan perbuatan
bejad itu, mereka langsung menguras benda para pen-
duduk dan merampok apa saja yang berharga di dalam
setiap rumah yang mereka masuki. Penduduk yang
melawan tanpa ampun lagi mereka hajar.
Sementara itu Ki Rantek dan muridnya tertawa
terkekeh-kekeh setelah melampiaskan nafsu bejadnya
terhadap wanita-wanita itu.
"Sekarang akan kita apakan mereka, Ketua?" tanya
Somali yang paling terakhir menyelesaikan nafsu iblis
nya.
"He he he...! Kau punya usul, Aria Denta?" tanya Ki
Rantek pada muridnya itu.
Aria Denta mesem-mesem sambil menghampiri ke-
tiga laki-laki yang tadi mereka hajar. Ujung kakinya
menghajar Danu Umbara.
Begkh!
"Aaakh...!"
"Hm, yang ini masih hidup. Dia akan merasakan
siksaan yang lain...!" dengus Aria Denta ke-tika men-
dengar pemuda itu menjerit keras akibat tendangan-
nya itu.
Danu Umbara memang tidak tahan dan di samping
luka dalam yang dideritanya, dia merasa pandangan-
nya semakin gelap mendengar jeritan-jeritan Istrinya.
Kemudian alam seperti gelap dan sepi. Dia tidak sa-
darkan diri. Namun merasakan tendangan Aria Denta,
kesadarannya kembali pulih.
"Jahanam keparat! Kubunuh kau...! Kubunuh
kau...!" teriak Danu Umbara.
***
Pemuda itu berusaha bangkit untuk menghajar
pemuda pesolek di hadapannya. Aria Denta cuma
mencibir sinis, dia yakin sekali bahwa pemuda itu ti-
dak mampu berbuat apa-apa terhadapnya. Dan du-
gaannya itu memang benar. Danu Umbara merasa tu-
buhnya lemah tidak berdaya. Bahkan untuk berdiri
pun dia tidak mampu. Ketika dipaksakannya juga, tu-
buhnya langsung ambruk sambil kembali memuntah-
kan darah kental.
'Yang ini sudah mampus...!" desis Ki Rantek sambil
menendang tubuh laki-laki yang tadi dihajarnya.
"Ini juga...!" timpal Somali sambil menendang tu
buh Juragan Sasmita Dimeja.
"Apa yang mau kau lakukan, Aria Denta?" tanya Ki
Rantek ketika melihat muridnya itu membawa dua
bongkah batu besar.
"Aku akan memberi pelajaran yang tidak akan per-
nah dilupakan di akherat sana...!" sahut pemuda peso-
lek itu sambil tersenyum-senyum.
Tanpa berkata apa-apa lagi Aria Denta menghan-
tamkan batu-batu runcing itu ke kaki Danu Ambar.
Crak!
"Aaa...!"
Danu Ambar memekik kesakitan. Namun Aria Den-
ta malah terkekeh-kekeh dan terus menghantamkan
batu-batu di tangannya sehingga kaki Danu Umbara
hancur dengan seluruh dagingnya yang terkelupas.
"He he he...! Ini belum seberapa. Tapi kau akan
merasakan yang lain...!" lanjut Aria Denta sambil men-
cabut senjatanya.
Sret!
"Aaa...!"
Kembali Danu Umbara tersentak dan memekik ke-
sakitan ketika senjata lawan menyayat-nyayat wajah
dan seluruh tubuhnya, sehingga tidak berbentuk lagi.
Darah mengucur deras dari luka-luka sayatan itu.
Namun Aria Denta memang sengaja tidak mau mem-
bunuhnya dan hanya menyiksanya habis-habisan.
"Bunuh saja aku...! Bunuh...!" jerit Danu Umbara
menahan sakit yang tidak kuat dirasakannya.
"He he he...! Membunuh kau soal mudah, tapi aku
ingin melihat dulu kau merangkak-rangkak memohon
ampun padaku sambil menangis tersedu-sedu," ejek
Aria Denta.
"Huh, jangan harapkan itu, Keparat! Aku lebih su-
ka begini daripada memohon-mohon belas kasihan-
mu...!" dengus Danu Umbara geram dengan suara se
rak.
"Nah, kalau demikian kau akan merasakannya la-
gi!" sahut Aria Denta sambil tersenyum sinis.
Selesai berkata demikian, dia berteriak lantang pa-
da yang lainnya sehingga mereka semua berkumpul
sambil memanggul barang-barang berharga dalam
kantong besar yang mereka pikul.
"Apa yang telah kalian dapatkan?" tanya Aria Den-
ta.
"Banyak. Kami menguras semua harta benda ber-
harga dari semua rumah yang berada di desa ini!" sa-
hut beberapa orang di antara mereka serentak.
"Hm, bagus! Nah, coba lihat. Rumah itu paling me-
gah dan mewah dari seluruh rumah yang berada di de-
sa ini. Tentu di dalamnya banyak tersimpan harta
benda yang berharga. Kita akan kuras semuanya saat
ini juga. Tapi sebelum itu aku akan berikan kepuasan
pada kalian!" lanjut Aria Denta.
"Hei, Aria Denta! Cepatlah bicara jangan berbelit-
belit!" teriak salah seorang di antara anak buah Ki
Rantek.
"He he he...! Sabarlah sebentar. Nah, kalian lihat
tiga wanita cantik ini? Kalian boleh berpesta pora den-
gan mereka!" sahut Aria Denta cepat.
"Hei, boleh juga!" seru seseorang dengan mata me-
lotot dan cengar-cengir gembira melihat tiga wanita
cantik yang tengah tergolek tidak berdaya.
"Ha ha ha...! Pintar juga kau Aria Denta...!" timpal
yang lainnya.
Namun meski mereka semua mulai menggelegak
nafsu setan di dalam diri mereka melihat wanita-
wanita yang dalam keadaan tidak berdaya itu, tidak
seorang pun yang berani mendekat sebelum Ki Rantek
memberi izin dan perintah. Agaknya mereka semua pa-
tuh bercampur takut sekali pada orang tua itu. Maka
terlihat mereka semua melirik pada orang tua itu seo-
lah mengharapkan izin darinya.
"He he he...! Kalian boleh melakukannya. Ayo, am-
billah wanita-wanita itu...," kata Ki Rantek sambil ter-
kekeh-kekeh kecil.
Mendengar kata-kata itu, langsung saja anak buah
Ki Rantek menyerbu ke arah tiga wanita yang tergolek
tidak berdaya itu. Mereka tidak kuasa menahan kebe-
jatan nafsu iblis kawanan perampok yang tidak berpe-
rikemanusiaan.
"Keparat! Hentikan perbuatan kalian...! Hentikan
perbuatan bejat kalian...!" teriak Danu Um-bara den-
gan dada mau pecah melihat pemandangan menjijik-
kan sekaligus memilukan hatinya.
Orang-orang itu seperti anjing-anjing kelaparan
yang memperebutkan tulang-tulang yang berjumlah
sedikit, sehingga sepotong tulang mereka lahap bersa-
maan. Danu Umbara tidak kuasa menahan gejolak ha-
tinya. Dia hanya bisa berteriak-teriak memaki-maki
dengan suara yang semakin lemah dan parau. Bebera-
pa kali dia muntahkan darah kental dan kering. Hanya
gejolak semangat hidup serta dendam membara saja
yang membuatnya tidak mau mengakhiri hidupnya.
"Ha ha ha...! Sering-sering begini nikmat juga ra-
sanya...!" kata salah seorang anak buah Ki Rantek
sambil membetulkan letak celananya yang kedodoran.
"He he he...! Dasar buaya-buaya rakus, cepat kita
pergi dan tinggalkan tempat ini!" sentak Ki Rantek
sambil mengumpulkan harta benda yang dikurasnya
dari rumah Juragan Sasmita Dimeja.
"Wah, aku tidak kebagian! Mereka kojor semua...!"
teriak salah seorang anak buah Ki Rantek dengan pe-
rasaan kecewa.
"Diam kau, Kebo Badung! Lekas angkut barang-
barang itu!" bentak Ki Rantek garang.
"Lalu mayat-mayat dan orang-orang yang se-karat
ini mau dikemanakan?" tanya salah seorang anak
buah Ki Rantek bingung.
"Setan kau! Buat apa mengurusi mereka?! Sudah
tinggalkan saja cepat...!" bentak Ki Rantek lagi.
"Tunggu dulu...!" potong Aria Denta.
"Mau apa lagi kau, Aria Denta?" tanya Ki Rantek.
"Ada banyak gerobak kosong di rumah ini. Bawa
mereka yang sekarat ke hutan. Dan tumpakan ketiga
wanita ini dalam satu gerobak dengan pemuda keparat
itu!" tunjuk Aria Denta ke arah Danu Umbara.
Dua orang anak buah Ki Rantek langsung melaku-
kan apa yang diperintahkan Aria Denta.
"Kalau masih ada gerobak yang kosong, bawa seka-
lian mayat-mayat ini. Kita akan bawa mere-ka ke ping-
gir Hutan Mapag Nyawa, biar menjadi santapan anjing-
anjing hutan di sana!" teriak Aria Denta kembali.
"Hei, setelah urusanmu selesai, cepat kau pulang
ke markas, Aria Denta!" teriak Ki Rantek sambil men-
gajak anak buahnya yang lain untuk berlalu dari tem-
pat itu dengan membawa beberapa buah gerobak.
"Beres, Ki!" sahut Aria Denga cepat.
***
Aria Denta bersama dua orang kawannya langsung
melarikan dua gerobak yang ditarik dua ekor kuda ke
pinggiran Hutan Mapag Nyawa yang terkenal angker
dan buas. Tidak ada seorang pun yang pernah kembali
setelah memasuki hutan itu. Selain dihuni oleh bina-
tang-binatang buas, tempat itu diyakini oleh penduduk
di seluruh wilayah yang berada di dekatnya, termasuk
Desa Ngampar Cai, sebagai penghuni dan sarang dari
segala dedemit yang menakutkan dan kejam.
"Ha ha ha...! Sekarang kau rasakan di tempat ini.
Sebentar lagi anjing-anjing hutan dan harimau-
harimau lapar akan merencah tubuh kalian...," teriak
Aria Denta sambil tertawa kegirangan melihat dua
orang kawannya melempar mayat-mayat serta bebera-
pa orang penduduk Desa Ngampar Cai yang masih se-
karat.
"Selesai sudah...!" kata salah seorang kawan Aria
Denta setelah melempar tubuh terakhir yang berada di
dalam gerobaknya ke pinggir hutan ini.
"Ayo, lekas kita tinggalkan tempat ini! Biar mereka
di situ karena sebentar lagi penghuni Hutan Mapag
Nyawa akan berdatangan ke tempat ini!" sahut Aria
Denta sambil terkekeh-kekeh kegirangan.
Danu Umbara hanya mampu melihat kepergian
mereka dengan bola mata yang sayu dan buram. Tu-
buhnya seperti tidak bertenaga sama sekali, dan kepa-
lanya terasa berat untuk diangkat sementara rasa sa-
kit yang dideritanya tidak tertahankan lagi.
"Anjing-anjing laknat! Aku bersumpah tidak akan
mau mati dulu sebelum membalas perlakukan kalian
yang kelewat batas!" desisnya geram di dalam hati.
Danu Umbara mencoba memalingkan wajah dan
mencari-cari istrinya di antara tumpukan tubuh pen-
duduk Desa Ngampar Cai serta bau darah dan bangkai
di tempat itu.
"Diah..., oh, maafkan aku yang tidak mampu ber-
buat apa-apa untuk menolongmu...!" keluh Danu Um-
bara ketika melihat tubuh istrinya samar-samar dari
bola matanya yang mulai mengabur.
Tubuh gadis itu terhampar tanpa mengenakan pa-
kaian di tubuhnya. Dari mulutnya yang terluka lebar
terlihat cairan busa yang kental, dan bola matanya
membelalak lebar. Dari bagian bawah tubuhnya darah
mengalir seolah tidak mau henti.
"Akan kubalas perlakuan mereka! Akan kubuat
mereka menderita seperti apa yang mereka lakukan
terhadapmu, terhadapku, dan terhadap semua pendu-
duk Desa Ngampar Cai...!" desis Danu Umbara dengan
tubuh menggigil menahan geram dan dendam yang
meledak-ledak.
Pemuda itu hendak beringsut lagi mencari tubuh
orangtua serta mertuanya. Namun sebelum hal itu di-
lakukannya, terdengar raungan panjang di kejauhan.
Pemuda itu tersentak.
"Celaka! Anjing-anjing hutan kelaparan itu telah
mencium bau anyir darah di tempat ini. Aku harus bi-
sa menyelamatkan diri!" katanya sambil menguatkan
semangatnya.
Dengan sisa-sisa tenaganya Danu Umbara bering-
sut menjauhi tempat itu. Beberapa kali dia sempat
berpaling pada tubuh istrinya, dan tidak terasa bebe-
rapa rintik air mata jatuh membasahi pipinya yang tadi
disayat-sayat oleh senjata pemuda pesolek itu. Danu
Umbara merasakan sakit yang tiada taranya ketika be-
rusaha beringsut menjauhi tempat itu. Namun dia sa-
dar bahwa itulah satu-satunya jalan agar dia bisa hi-
dup dan terhibur dari terkaman binatang-binatang
buas yang sedang menuju ke tempat itu. Semangatnya
untuk tetap hidup serta dendamnya yang menyala-
nyala seperti memberikan tambahan tenaga baginya.
"Aku harus tetap hidup...! Aku harus hidup untuk
mencoba membalas perlakuan mereka...!" desisnya
berkali-kali untuk memberi semangat pada dirinya.
Sementara itu suara derap kawanan serigala seolah
semakin dekat menuju tempat tumpukan tubuh pen-
duduk Desa Ngampar Cai yang telah menjadi mayat,
dan sebagiannya sekarat.
"Auuung...!"
"Ohhh...!"
Danu Umbara merasa tenggorokannya tercekat dan
darahnya tersirap habis mendengar raungan serigala
yang jelas terdengar di telinganya. Jantungnya berde-
tak lebih kencang ketika tubuhnya terus bergulingan
menjauhi tempat itu.
"Oh, Sang Hyang Widhi Jagat Bhatara, sela-
matkanlah aku dari serigala-serigala kelaparan itu! Bi-
arkan aku tetap hidup agar aku bisa membalaskan
dendam di hatiku ini...!" desisnya sambil berdoa di da-
lam hati.
Berkali-kali dia mengeluh kesakitan ketika tubuh-
nya tersandung batu serta ranting-ranting yang tajam.
Danu Umbara hanya bisa menggigit bibirnya yang ker-
ing agar suaranya tidak keluar dan didengar oleh seri-
gala-serigala yang telah mendekat. Jelas sekali terden-
gar di telinganya suara raungan dan pesta pora bina-
tang-binatang itu merencah mayat-mayat yang berada
di pinggir Hutan Mapag Nyawa itu. Danu Umbara ter-
sentak sesaat, namun dia terus beringsut-ingsut dan
bergulingan agar tubuhnya menjauh dari tempatnya
tadi. Tanpa sadar dia telah menyeret dirinya sendiri
masuk ke dalam Hutan Mapag Nyawa yang terkenal
angker itu!
Hari telah mulai gelap ketika pemuda itu me-rasa
tenaganya telah terkuras habis. Kepalanya berdenyut
kencang dan menimbulkan rasa sakit yang hebat.
Tenggorokannya kering, tubuhnya menggigil kedingi-
nan, rasa sakit akibat luka-luka yang dideritanya se-
makin membuat pandangannya berkunang-kunang
serta denyut jantungnya melemah seiring dengan de-
nyut nadinya dan tarikan napas yang satu-satu.
Danu Umbara tidak kuat lagi menggerakkan tu-
buhnya walaupun hanya bergulingan. Dia tergeletak
tidak berdaya di bawah sebatang pohon beringin yang
lebat. Saat itulah mendadak terdengar bisikan halus di
telinganya.
"Anak muda, kau dengarkan suaraku...?"
"Ohhh..., si..., siapa...?" sahut pemuda itu dengan
suara lemah hampir tidak terdengar.
***
TIGA
"Kau tidak perlu mengetahuinya...," kembali ter-
dengar suara halus seperti berbisik di telinganya.
Danu Umbara termangu beberapa saat lama-nya.
Suara siapakah itu? Benarkah ada yang berbisik di te-
linganya? Ataukah itu cuma khayalan belaka?
"Anak muda...," panggil suara bisikan itu.
Danu Umbara terdiam seolah ingin meyakini kebe-
naran suara itu.
"Pergilah ke balik pohon beringin itu. Di sana akan
kau dapati sebongkah batu berbentuk segi empat. Gali
batu itu dan di dalamnya kau akan menemukan dua
buah benda yang berharga...," lanjut suara itu kemba-
li.
"Aku..., tidak kuat..," sahut Danu Umbara lemah.
Dia tidak yakin apakah suaranya keluar dari teng-
gorokannya atau tidak. Tapi tenaga pemuda itu benar-
benar terkuras habis. Untuk sesaat dia tidak merasa-
kan apa-apa. Suasana begitu hening dan sepi sekali.
Bahkan bisikan-bisikan itu seperti lapat-lapat diden-
garnya di antara desau angin halus.
Danu Umbara tergeletak tidak sadarkan diri.
Pemuda itu tidak tahu berapa lama dia terbaring di
tempat itu. Namun ketika tubuhnya terasa dingin aki-
bat siraman tetesan air hujan yang jatuh dari dedau-
nan pohon beringin yang berusia tua itu. Danu Umba-
ra tersentak kaget. Luka di tubuhnya terasa perih.
Saat itulah kembali terdengar bisikan yang mengaung
di telinganya.
"Anak muda, pergilah ke balik pohon ini. Kau akan
menemukan batu persegi empat Gali dan temukan dua
buah benda di dalamnya. Kau akan mengetahui apa
khasiatnya nanti..."
"Ohhh...," Danu Umbara menggeliat letih. Perla-
han-lahan dia beringsut dari tempatnya semula dan
menggulingkan tubuhnya menuju ke balik pohon be-
ringin yang memiliki batang besar itu.
"Kuatkan semangatmu, Anak Muda....'" kata bisi-
kan itu lagi.
"Ohhh..., aku..., aku tidak kuat...," keluh Danu
Umbara.
"Tidak. Kau harus kuat. Kau harus membalas-kan
sakit hati dan dendam yang ada di hatimu. Ingat! Kau
harus membalaskan dendammu itu...!" sahut suara bi-
sikan itu.
"Dendam? Oh, ya! Aku harus kuat! Aku harus
kuat...!" Danu Umbara tersentak begitu mendengar ka-
ta-kata bisikan itu.
Tiba-tiba saja kembali terlintas dalam benaknya
pembantaian dan kekejian yang dilakukan Ki Rantek,
pemuda pesolek itu beserta anak buahnya. Mendadak
darahnya kembali mendidih dan amarahnya bangkit
meluap-luap menimbulkan kekuatan hebat dalam di-
rinya. Dia menggulingkan tubuhnya dengan seluruh
tenaga yang tersisa. Dan apa yang dikatakan bisikan
itu memang benar. Di balik pohon beringin itu terdapat
batu berbentuk segi empat yang telah berlumut dan
hampir menyatu dengan tanah.
"Korek batu itu, cepat!" lanjut bisikan itu lagi.
Danu Umbara langsung mengorek batu itu. Di da-
lamnya terdapat lobang berbentuk segi empat kira-kira
dua jengkal.
"Ambil benda itu...!" perintah bisikan itu yang di-
dengarnya.
Sebelah tangan pemuda itu langsung merogoh ke
dalam, dan dia menemukan dua buah benda yang un-
ik. Sebuah berbentuk cincin dengan ukiran tengkorak
manusia yang memiliki dua buah gigi taring yang
runcing dan tajam serta mencuat keluar laksana tan-
duk banteng. Sebuah lagi adalah sebilah keris sepan-
jang satu jengkal berwarna kuning emas, Di badannya
terdapat tulisan, Kyai Medi!
"Kenakan cincin itu dan simpan keris Kyai Medi...!"
kembali bisikan halus terdengar.
Danu Umbara tidak mengerti untuk apa cincin itu
dikenakannya. Begitu juga halnya dengan keris yang
bernama Kyai Medi. Keris itu sama sekali tidak indah,
bahkan menyeramkan. Senjata itu sama sekali tidak
layak disebut senjata meskipun ujungnya runcing, se-
bab selain ukurannya yang amat kecil dibandingkan
dengan senjata-senjata keris pada umumnya, keris
Danu Umbara pun sama sekali tidak tajam. Namun
meskipun demikian, Danu Umbara menurut saja. Dis-
elipkannya keris itu di pinggang, lalu dikenakannya
cincin itu. Dan....
Danu Umbara tersentak kaget. Mendadak saja an-
gin kencang mengelilingi tubuhnya dan mampu mem-
buat dedaunan pohon beringin di atasnya seperti di-
landa badai topan. Perlahan-lahan tubuh pemuda itu
terangkat sehingga dia mampu berdiri tegak. Darahnya
mengalir dengan kencang, dan demikian pula halnya
dengan detakan jantungnya. Tangannya perlahan-
lahan merayap di sekujur tubuhnya dengan diiringi
hawa panas yang berputar-putar dari bawah perut dan
terus menjalar di seluruh bagian tubuhnya.
"Anak muda, kini aku telah menyusup di tu-
buhmu. Keris Kyai Medi dan cincin itu adalah dua
buah senjata pusaka yang menjadi kekuatan sekaligus
kelemahanmu. Kau harus mendapatkan korban agar
tenagamu berlipat ganda dengan menusukkan kedua
taring cincin itu. Dia tidak akan terlepas sebelum da-
rah korban terhisap habis. Bila dalam tiga hari kau ti-
dak mendapatkan korban, maka kau yang akan cela-
ka. Sedangkan keris itu adalah naasmu. Kau akan ma-
ti oleh keris Kyai Medi. Oleh sebab itu keris Kyai Medi
tidak boleh berada jauh-jauh darimu dan kau harus
menyimpannya dengan hati-hati...," kata bisikan itu
kembali.
"Huh, aku tidak peduli apa pun syarat-syarat-nya!
Yang penting dendamku harus terbalaskan!" dengus
Danu Umbar sambil melangkah pelan meninggalkan
tempat itu.
Pemuda itu merasakan betul bahwa tenaganya te-
lah pulih sama sekali. Bahkan kini dia merasa sangat
kuat. Tubuhnya ringan ketika melangkah. Bahkan ke-
tika dia mencoba bangkit, terasa sapuan angin ken-
cang yang mendorong tubuhnya bagai melayang-
layang!
***
Angin bertiup semilir menerpa kedua penunggang
kuda yang memacu kudanya lambat-lambat. Mereka
adalah sepasang muda-mudi yang berparas tampan
dan cantik. Yang seorang berambut panjang terurai
mengenakan baju yang terbuat dari kulit harimau dan
di tangan kanannya melekat sebuah cakra segi enam.
Pemuda tampan itu tak lain dari Bayu Hanggara yang
lebih dikenal dengan nama julukan Pendekar Pulau
Neraka. Dan gadis cantik berbaju merah muda di sebe-
lahnya adalah Wulandari yang banyak dikenal dunia
persilatan sebagai Dewi Maut.
Senang sekali bisa bepergian lagi denganmu, Ka-
kang...," kata gadis itu pelan sambil tersenyum dan
memandang wajah pemuda di sebelahnya itu.
Bayu ikut-ikutan tersenyum sambil menyahut pe-
lan.
"Aku pun senang kau sudah sehat kembali...."
"Kakang, ceritakanlah bagaimana pengalamanmu
bepergian tanpa aku...!"
"Tidak ada yang istimewa. Aku merasa sepi...!"
"Bohong!" potong gadis itu cepat.
"Kenapa aku musti berbohong!"
"Bukankah lebih senang bisa bepergian sendiri
tanpa ku temani? Kau bisa berkenalan dengan gadis
cantik, dan...," gadis itu tidak meneruskan kata-
katanya melainkan melirik pemuda itu sambil terse-
nyum menggoda.
"Lalu...?"
"Yaaah, yang jelas pasti senang!" sahut Wulan-dari
enteng sambil memalingkan wajah.
"Bisa jadi...."
"Nah, betulkan?!" sentak Wulandari sambil me-
mandang pemuda itu dengan sorot mata menuduh.
"Betul kenapa?" tanya Bayu santai.
"Iya, kau senang bepergian tanpa aku karena bebas
bisa menggoda gadis-gadis cantik!" sahut Wulandari
sedikit kesal.
"Hm, untuk apa menggoda mereka? Kau pasti lebih
cantik dibandingkan gadis mana pun di dunia ini...,"
sahut Bayu memuji.
"Bohong...!"
"Jadi kau ingin aku mengatakan bahwa kau gadis
paling terjelek dari semua gadis di dunia ini?"
Wulandari diam tidak menjawab. Wajahnya di-
tekuk sedemikian rupa menandakan hatinya yang
cemburu bercampur kesal.
"Sudah, jangan begitu. Nanti kau sakit lagi...," bu-
juk Bayu.
"Biar!"
"Hm, kalau sakit memang tidak apa, tapi kalau wa-
jahmu cemberut begitu mana bisa dikatakan cantik...,"
lanjut Bayu.
"Biar...!" sentak Wulandari ketus tanpa menoleh.
'Ya sudah, kalau memang begitu...," sahut Bayu
seenaknya.
Keduanya kembali berdiam diri untuk beberapa
saat lamanya. Dan ketika mereka sampai di mulut se-
buah desa, keduanya berhenti sejenak.
"Hm, desa ini lengang seperti dipekuburan...!" desis
Bayu pada diri sendiri.
"Kakang, coba lihat! Banyak darah bercecer-an!"
Wulandari menunjuk pada tanah yang berada di de-
pannya.
Bayu melompat turun dan memeriksa ceceran da-
rah yang telah kering dan membeku.
"Darah apa ini, Kakang?" tanya Wulandari yang te-
lah berada di sebelahnya seolah telah melupakan ke-
jengkelan hatinya tadi.
"Entahlah...," sahut Bayu lemah sambil mengge-
lengkan kepala.
Pemuda itu berjalan pelan memasuki desa yang
sepi seperti tidak berpenghuni itu. Sepanjang jalan ba-
nyak mereka temui darah-darah kering dan beku ber-
ceceran. Dan semakin mereka melangkah ke depan,
terlihat banyak sekali rumah-rumah yang hancur dan
porak-poranda.
"Sepertinya ada sesuatu yang hebat merusak desa
ini...," gumam Bayu.
"Hm.... Agaknya darah-darah itu berasal dari pen-
duduk desa ini, Kakang...," kata Wulandari pelan.
"Ya, sepertinya ada kawanan perampok atau sema
cam itu yang memporak-porandakan dan membunuh
penduduk desa ini," timpal Bayu menduga-duga apa
yang telah terjadi di desa ini.
"Kakang...!" sentak Wulandari sambil memandang
ke satu arah.
"Ada apa?"
"Aku melihat seseorang berkelebat cepat di balik
rumah-rumah itu!" tunjuk Wulandari.
Baru saja gadis itu selesai berkata, Bayu telah me-
lompat mengejar diikuti oleh Wulandari dari belakang.
Seorang pemuda tanggung berusia sekitar lima be-
las tahun dengan tubuh kurus, berlari-lari kecil masuk
ke dalam sebuah rumah, dan menyembunyikan diri di
bawah sebuah balai-balai reot. Wajahnya pucat keta-
kutan dengan napas turun naik tidak karuan. Jan-
tungnya seperti berhenti berdetak ketika dilihatnya se-
pasang kaki manusia berdiri persis di depannya.
"Keluarlah kau atau aku musti memaksamu ke-
luar...!" terdengar seseorang berkata dengan suara
mengancam.
Pemuda tanggung itu menggigil tubuhnya dan di-
am tidak bergerak. Tubuhnya tersentak ke belakang
membentur dinding ketika balai-balai diangkat ke atas
dan tersingkaplah persembunyiannya. Pemuda tang-
gung itu mendekap kepalanya ke bawah dengan kedua
kaki ditekuk.
"Ampuuun...! Jangan bunuh aku..., jangan bunuh
aku...!" katanya dengan suara lirih.
'Tidak ada yang membunuhmu. Kami berdua
hanya kebetulan lewat saja," jawab Bayu pelan.
"Siapakah kau...?" tanya orang itu dengan suara
halus.
Mendengar suara itu, si pemuda mendongak-kan
kepala dan melihat sepasang muda-mudi yang tadi di-
lihatnya berada di tengah desa ini.
***
"Jangan takut Kami tidak akan menyakitimu. Na-
maku Bayu, dan ini kawanku, Wulandari...," kata pe-
muda berbaju kulit harimau itu ramah.
Pemuda tanggung itu masih diam tidak bicara. Bo-
la matanya masih memandang keduanya dengan takut
Kemudian dengan cepat dia menunduk kembali.
"Siapa namamu dan apa yang telah terjadi di desa
ini?" tanya Bayu dengan suara halus.
"Kakang, kelihatannya dia ketakutan...," kata Wu-
landari.
"Adik, jangan takut. Kami tidak akan menyakiti-
mu..," lanjut Bayu sambil berjongkok dan menepuk
pundak pemuda tanggung itu.
Pemuda tanggung itu agak tenang. Kembali dia
memandang kedua muda-mudi itu agak lama.
"Siapa namamu...?" tanya Wulandari lembut sambil
ikut berjongkok di sebelah Bayu.
"Apa..., apakah kalian bukan kawan-kawannya Pe-
rampok Tangan Darah itu...?" tanya si pemuda tang-
gung dengan suara gemetar.
"Perampok Tangan Darah? Siapa mereka? Baru se-
kali ini kami mendengarnya," sahut Wulandari heran.
"Mereka… Mereka merampok dan membunuh serta
memperkosa wanita-wanita di desa ini...," sahut anak
itu lirih dengan wajah sedih.
"Jahanam keparat! Di mana mereka seka-rang?!"
sentak Wulandari geram.
Melihat wajah gadis itu kelihatan geram dan marah
terhadap Perampok Tangan Darah yang di ceritakan-
nya, pemuda tanggung itu semakin berani saja berceri-
ta karena dianggapnya kedua orang itu sama sekali ti-
dak ada sangkut-pautnya dengan Perampok Tangan
Darah yang amat ditakutinya.
"Aku tidak tahu di mana berada. Tapi kudengar-
dengar ketuanya bernama Ki Rantek dan se-orang mu-
ridnya bernama Aria Denta...," sahut pemuda tanggung
itu.
"Hm, sungguh keji perbuatan mereka. Orang seper-
ti itu memang harus dihajar!" desis Wulandari kembali
dengan wajah geram dan kedua tangannya terkepal
erat-erat.
"Adik, siapakah namamu dan di mana orang-
tuamu...?" tanya Bayu.
"Namaku Prasetya, dan kedua orangtua ku telah
dibunuh mereka. Kini aku hidup sebatang kara...," sa-
hut pemuda tanggung dengan nada lirih.
Prasetya menatap kedua orang itu dengan seksa-
ma, kemudian melanjutkan kata-katanya dengan sua-
ra penuh harap.
"Maukah kalian menolongku...?"
"Apa yang bisa kami tolong...?" tanya Bayu.
"Menghancurkan Perampok Tangan Darah itu...."
"Prasetya, kau tidak usah khawatir. Tanpa kau
minta pun kami bermaksud menghancurkan peram-
pok keparat itu setelah apa yang mereka lakukan ter-
hadap desa ini!" sahut Wulandari cepat sebelum Bayu
buka suara.
"Oh, sungguhkah...?!" sahut Prasetya dengan bola
mata berbinar-binar.
Wulandari mengangguk cepat
"Nah, jagalah dirimu baik-baik. Kami akan mencari
Perampok Tangan Darah yang biadab itu dan meng-
hancurkan mereka!" lanjut Wulandari sambil bangkit
berdiri dan mengajak Bayu berlalu dari tempat itu.
"Oh, terima kasih. Terima kasih atas kesediaan ka-
lian. Aku akan berdoa mudah-mudahan kalian selamat
dan mampu menghancurkan perampok itu!" sahut
Prasetya gembira.
Wulandari dan Bayu tersenyum. Mereka segera ke-
luar dari rumah itu. Langkah keduanya terhenti ketika
mereka baru saja beberapa langkah. Tujuh orang laki-
laki yang masing-masing memegang senjata berupa go-
lok, pentungan, dan berbagai macam senjata lainnya
telah menghadang. Wajah mereka jelas menunjukkan
rasa permusuhan.
"Berhenti! Hari ini kami telah bersumpah akan
membunuh kalian berdua...!" bentak salah seorang di
antara mereka garang.
"Kisanak, siapa kalian dan apa yang kalian bicara-
kan? Seingatku di antara kita tidak ada saling permu-
suhan. Kenapa kalian bicara seolah-olah menyimpan
dendam kesumat terhadap kami?" tanya Bayu dengan
sikap tenang.
"Jangan-banyak bicara! Kalian pasti salah satu dari
mereka yang ingin kembali untuk meratakan desa ka-
mi ini!" desis orang itu tidak peduli dengan apa yang
diucapkan Bayu.
Salah seorang kawannya yang lain malah tidak
mampu menahan sabar dan sudah langsung menghu-
nuskan goloknya menyerang kedua orang di hadapan-
nya.
"Huh, banyak mulut! Lebih baik kalian mampus...!"
"Uts...!"
Plak!
Gusrak!
Orang itu sama sekali tidak memiliki dasar ilmu si-
lat yang baik sehingga serangannya terkesan seram-
pangan. Dengan mudah Bayu mengelak sambil memi-
ringkan sedikit kepalanya. Sementara bersamaan den-
gan itu sebelah kakinya mengait kaki lawan hingga ja-
tuh terjerembab. Beberapa orang kawannya terkejut
dan bertambah marah. Dengan serentak mereka maju
menyerang kedua orang itu. Namun sebelum mereka
bertindak lebih jauh, terdengar seseorang berteriak
nyaring.
"Tahaaan...!"
"Hei, Prasetya! Apa yang kau lakukan di sini?"
tanya salah seorang di antara mereka yang hendak
mengeroyok Bayu dan Wulandari.
"Ki Sugeng, jangan memusuhi mereka. Mereka bu-
kanlah kawanan perampok-perampok itu!" teriak orang
yang baru muncul yang tidak lain dari Prasetya.
"Hm, bagaimana kami bisa percaya?" dengus orang
yang pertama berbicara pada Pendekar Pulau Neraka
tadi.
"Mereka kawanku dan akan menghancurkan para
perampok itu. Percayalah, Ki. Mereka orang baik!" jelas
Prasetya meyakini mereka.
"Hm...," laki-laki bertubuh sedang dengan kumis
tebal yang dipanggil Sugeng itu mendengus pelan.
"Kisanak, kalian boleh percaya. Kami sama sekali
tidak ada sangkut-pautnya dengan kawanan perampok
itu. Bahkan kalau kalian percaya, kami bermaksud
menyatroni sarang mereka," sahut Bayu pelan sambil
menaiki punggung kudanya diikuti Wulandari.
"Hm, kau pikir kami akan percaya dengan omon-
ganmu begitu saja?!" dengus Sugeng sinis dan tetap
curiga.
Sementara kawan-kawannya yang lain bersiap
dengan menjaga-jaga segala kemungkinan agar kedua
orang itu tidak bisa kabur seenaknya.
"Kau boleh percaya karena yang bicara denganmu
adakah Pendekar Pulau Neraka dan...!" sahut Bayu
mulai kesal dan langsung menghela kudanya kencang-
kencang dari tempat itu.
"Hei...?!" Sugeng tersentak kaget dengan wajah ti-
dak percaya mendengar kata-kata terakhir pemuda itu.
"Kenapa, Ki?" tanya seorang kawannya dengan na-
da heran.
"Pantas! Lima kali lipat dari jumlah ini pun tidak
akan mampu menghalangi keduanya. Mereka pende-
kar hebat, dan aku yakin di tangan keduanya kawanan
Perampok Tangan Darah akan mampu dihancurkan.
Sayang, kita tidak sempat meminta maaf...," desah Su-
geng sambil memandang ke arah di mana kedua orang
muda-mudi itu telah menghilang dari pandangan!
***
EMPAT
Bayu dan Wulandari memperlambat lari kuda me-
reka setelah jauh dari desa yang mereka lalui tadi. Wa-
jah Wulandari tampak kesal. Terasa betul kejengkelan
hatinya akibat sikap orang-orang tadi.
"Orang-orang seperti itu membuatku muak. Kalau
saja tidak ingat penderitaan yang mereka alami, ingin
rasanya kuhajar orang-orang itu!" dengusnya geram.
"Sudahlah, bukankah mereka tidak mengeta-
huinya...," sahut Bayu menghibur.
"Iya, tapi seharusnya mereka kan bisa tanya atau
bagaimana. Tidak langsung main tuduh!"
"Mereka baru saja mengalami kejadian yang amat
mengerikan. Sudah pasti kecurigaan mereka membabi-
buta begitu melihat orang asing yang membawa senja-
ta di desa mereka," jelas Bayu.
"Huh, aku tidak peduli!"
Bayu tertawa pelan. Wulandari sudah hendak ma-
rah pada pemuda itu ketika mendadak muncul tiga so-
sok tubuh menghadang mereka dengan menunggang
kuda. Langsung keduanya menghentikan langkah me
reka dan menatap ketiga penghadang berwajah seram
itu dengan sikap tenang.
"Kisanak, siapakah kalian dan ada urusan apa
menghadang perjalanan kami?" tanya Bayu berusaha
menahan perasaan hatinya ketika dia men-coba men-
gambil jalan lain, namun ketiga orang itu seperti sen-
gaja mengikuti dengan sikap menghadang.
"Kakang, tidak usah banyak bicara lagi. Sudah je-
las mereka ingin mencari gara-gara. Biar kuhajar saja!"
gerutu Wulandari geram.
Tapi sebelum gadis itu berbuat apa-apa, ketiga
orang penghadang itu tertawa keras.
"Ha ha ha...! Sungguh galak gadis cantik ini. Tapi
dengan sikapnya itu semakin membuatku gemas dan
ingin cepat-cepat mendekapnya!" kata salah seorang di
antara mereka yang bertubuh besar dan bercambang
bauk tebal di wajahnya.
"Bangsat kotor, tutup mulutmu...!" bentak Wulan-
dari sambil melompat turun dari kudanya dan lang-
sung menyerang orang itu dengan geram.
"Jaka Sunggring, diamlah kau biar kutangkap ga-
dis liar ini untukmu!" sahut kawannya yang bertubuh
kurus sambil melompat memapaki serangan Wulanda-
ri.
"Hati-hati, Delangu! Jangan sampai dia lecet di
tanganmu!" kata orang bercambang bauk yang dipang-
gil Jaka Sunggring itu.
Melihat Wulandari bertindak demikian, Bayu men-
diamkan saja sambil memperhatikan dengan seksama
dan menarik napas pendek.
'Yeaaah...!"
"Uhhh...!"
Kepalan tangan kiri Wulandari menderu meng-
hantam batok kepala Delangu. Namun laki-laki kurus
berusia sekitar dua puluh tujuh tahun itu dengan gesit
mengelak. Dia bermaksud memper-mainkan gadis itu
dengan menundukkan kepala dan hendak mencengke-
ram dada Wulandari. Namun alangkah kagetnya dia
ketika dengan tiba-tiba kaki kanan gadis itu menghajar
bagian bawah perutnya. Dengan cepat Delangu menge-
lak ke samping. Tapi Wulandari cepat memutar tubuh
dan mengayunkan kaki kirinya menghajar dada lawan.
"Begkh!"
"Aaakh...!"
Delangu menjerit keras ketika merasakan dadanya
seperti mau pecah menerima tendangan yang kerasnya
bukan main. Tubuhnya sampai terjungkal dengan da-
rah menetes di sudut bibirnya.
"Hiyaaa...!"
Belum lagi dia sempat memperbaiki kedu-
dukannya, Wulandari telah melompat menyerang-nya
kembali dengan satu tendangan bertenaga kuat.
"Delangu, awas kau!" bentak Jaka Sunggring sam-
bil melompat memapaki serangan Wulandari untuk
menyelamatkan kawannya itu.
Srak!
Trang!
Jaka Sunggring langsung mencabut senjatanya be-
rupa clurit yang berukuran panjang dan menyambar
kaki gadis itu. Wulandari buru-buru mencabut pedang
tipis dari pinggangnya untuk menangkis senjata lawan
seraya menekuk kakinya yang tadi terentang.
Wut!
Des!
"Aaakh...!" Jaka Sunggring menjerit keras ketika
ujung kaki kiri lawan menghantam dadanya.
Ketika senjata mereka tadi beradu, Jaka Sunggring
mengeluh kesakitan merasakan telapak tangannya pe-
rih. Namun begitu dia masih sempat menundukkan
kepala ketika ujung pedang lawan menyambar ke arah
leher. Tubuhnya melompat ke belakang untuk meng-
hindari serangan lawan berikutnya. Namun tubuh Wu-
landari telah melompat tinggi sambil mengayunkan
kaki kirinya ke dada lawan. Jaka Sunggring terjungkal
beberapa langkah dari tempatnya berdiri tadi. Dan Wu-
landari seolah tidak mau memberi kesempatan pada
lawannya, tubuhnya langsung berjumpalitan untuk
menghabisi lawan.
Melihat keadaan kawannya yang kritis, Delangu
dan seorang kawannya yang satu lagi langsung me-
lompat menyerang Wulandari.
"Betina liar, mampuslah kau...!" bentak mereka
sambil menghunuskan senjatanya.
"Wulan, biar kubereskan mereka! Kau hajar saja
bagianmu yang bermulut kotor itu!" teriak Bayu sambil
melompat dari punggung kudanya dengan gerakan in-
dah untuk menahan serangan kedua lawan yang akan
menghajar Wulandari.
"Mampus...!"
"Uts...!"
"Hiiih...!"
***
Bayu memancing serangan keduanya dengan men-
gayunkan kaki ke arah keduanya. Serta-merta mereka
mengayunkan senjata memapak kaki pemuda itu. Saat
itu Bayu menarik pulang tendangannya, dan kaki ki-
rinya yang satu lagi menotol bumi sehingga tubuhnya
terangkat ke atas dengan ringan sambil berjumpalitan.
Bersamaan dengan itu sebelah kakinya menghajar wa-
jah kedua lawannya secara bersamaan.
Des!
"Aaakh...!"
Kedua orang itu terjungkal sambil menjerit kesakitan. Yang seorang hidungnya patah dan mengucurkan
darah, sedang yang seorang lagi dua buah giginya
tanggal. Mereka berusaha bangkit dengan amarah
yang meluap-luap.
Dengan senjata terhunus mereka menyabet tubuh
lawan secara bersamaan. Namun dengan gesit tubuh
Bayu meliuk-liuk menghindari tebasan senjata lawan.
Tubuhnya berputar cepat sambil mengayunkan satu
tendangan keras menghantam dada kedua lawannya.
Mereka menjerit kesakitan dengan tubuh terjungkal
beberapa tombak. lsi dada mereka seperti mau mele-
dak menerima tendangan yang kerasnya luar biasa.
Beberapa kali mereka memuntahkan darah segar.
"Bangkitlah...," kata Bayu sambil memandang me-
reka dengan seksama.
Kedua orang itu tersentak kaget. Entah bagai-mana
caranya pemuda itu telah tegak berdiri di depan mere-
ka.
"Ayo, bangun! Bukankah kalian hendak menghabi-
siku?" tanya Bayu dingin.
Belum sempat mereka berkata sepatah kata pun
mendadak terdengar jeritan keras.
"Aaakh...!"
Tubuh Jaka Sunggring bergulingan sambil mena-
han rasa sakit, dan berhenti persis di samping kedua
kawannya itu. Di dadanya terlihat luka go-resan me-
manjang yang cukup dalam akibat sabetan senjata
Wulandari. Sedangkan senjatanya sendiri telah lepas
dari genggaman. Orang itu berusaha bangkit namun
ujung kaki Wulandari dengan cepat menghantam pe-
rutnya.
Duk!
"Hokh...!"
Jaka Sunggring tergeletak dalam keadaan tengku-
rap dan mendekap perutnya yang mau meledak akibat
tendangan gadis itu.
"Siapa kalian dan ada urusan apa mencegat perja-
lanan kami?!" bentak Wulandari galak sambil menjam-
bak rambut Jaka Sunggring.
"Aaa..., ampun, ampuni kami, Nisanak....'" lirih su-
ara Jaka Sunggring dengan wajah pucat ketakutan.
Plak!
"Aaakh...!"
Jaka Sunggring menjerit keras ketika sebelah tan-
gan gadis itu menampar pipinya dengan keras, sehing-
ga terlihat sudut bibirnya pecah dan berdarah.
"Itu hadiah atas mulut kotormu tadi. Sekarang ka-
takan siapa kalian sebelum aku hilang kesabaran dan
mencabut nyawa kalian!" bentak Wulandari geram.
"Eh, kami..., kami..."
"Cepaaat!" teriak Wulandari menggeledek.
Ketiga orang itu tersentak kaget. Dan wajah mereka
pucat ketakutan melihat kegalakan gadis itu. Jaka
Sunggring menelan ludah sebelum menyahut.
"Kami..., kami kawanan Perampok Tangan Da-
rah...," sahutnya terbata-bata.
"Hm, Perampok Tangan Darah? Bagus!" Wulandari
mendengus geram ketika mendengar jawaban itu.
Des!
"Wuaaa...!"
Dengan menyebutkan nama itu mereka berharap
kedua orang itu akan takut dan segera pergi ketaku-
tan. Tapi, bagi mereka sama sekali tidak menyangka
ketika gadis galak itu mengayunkan tendangan berun-
tun sehingga ketiga orang itu terjungkal sambil meme-
kik kesakitan.
"Perampok Tangan Darah keparat! Dicari-cari ka-
lian tidak bertemu tapi siapa sangka kalian malah da-
tang tanpa diminta! Hajaran itu belum seberapa di-
banding perbuatan kalian yang bejad terhadap orang
orang desa!" desis Wulandari dengan kemarahan yang
meluap-luap.
Sebelum ketiganya bangkit, gadis itu telah kembali
melompat dan menghajar ketiganya habis-habisan se-
hingga mereka kembali menjerit-jerit kesakitan tanpa
bisa melakukan perlawanan yang berarti.
Sring!
"Sekarang lebih baik kalian mampus saja...!" desis
Wulandari sambil mencabut pedangnya dan bermak-
sud menghabisi ketiga lawannya yang telah tidak ber-
daya itu.
"Wulan, tahan...!" sentak Bayu sambil menangkap
pergelangan tangan gadis itu.
"Lepaskan, Kakang! Biar kubereskan mereka seka-
rang juga!" sentak gadis itu berusaha melepaskan diri
dari pegangan tangan Bayu.
"Dengar dulu! Bila kau bunuh mereka kita cu-ma
mendapat tiga orang. Tapi kalau kita paksa mereka
menunjukkan sarangnya, maka kita akan menda-
patkan seluruh kawanan itu. Bila kau bunuh mereka
sekarang, maka sulitlah bagi kita untuk menumpas
mereka seluruhnya. Nah, kau mengerti maksudku?"
Wulandari terdiam mendengar kata-kata itu.
Meskipun hatinya geram, tapi dia mengakui bahwa apa
yang dikatakan Bayu memang benar. Dia menghampiri
ketiga laki-laki itu sambil menghunus ujung pedang-
nya ke arah Jaka Sunggring.
"Katakan di mana kawan-kawanmu yang lain kalau
kau ingin selamat?! Kalau tidak kau akan mampus se-
karang juga!" dengus Wulandari sambil menempelkan
ujung pedangnya ke leher lawan.
"Ka..., kalian pasti akan celaka bila bertemu den-
gan mereka...," sahut Jaka Sunggring.
"Aku tidak butuh peringatanmu! Katakan di mana
kawan-kawanmu berada?" desis Wulandari sambil menekan ujung pedangnya agak kuat
"Ba..., baiklah. Me..., mereka berada di Lem-bah
Kematian di sebelah selatan Gunung Dieng...," sahut
Jaka Sunggring dengan wajah pucat ketakutan.
"Bagus! Sekarang jalan! Ayo, jalan...!" bentak Wu-
landari menggiring mereka.
Wulandari menyuruh mereka berjalan lebih dulu
sementara dia dan Bayu mengikuti dari belakang den-
gan berkuda.
"Bila kalian coba-coba kabur, maka pedangku tidak
akan kenal ampun terhadap kalian!" ancam gadis itu
lagi mengingatkan.
Ketiga orang itu bergidik ngeri. Melihat sepak ter-
jang kedua orang itu, mereka bisa merasakan bahwa
tak seorang pun dari mereka yang mampu melarikan
diri. Bukan saja tenaga kedua muda-mudi itu sangat
hebat, tapi mereka bertiga tak mau menanggung aki-
batnya untuk coba melarikan diri.
***
Lembah Kematian yang berada di sebelah sela-tan
Gunung Dieng adalah suatu tempat yang agak tersem-
bunyi dan dikelilingi bukit-bukit yang berdinding le-
kuk-lekuk. Di dinding bukit-bukit kecil itu banyak ter-
dapat goa-goa yang merupakan tempat tinggal kawa-
nan Perampok Tangan Darah yang dipimpin Ki Rantek.
Sementara di depan dinding-dinding itu sendiri diha-
dang oleh hutan-hutan lebat dengan pepohonannya
yang besar serta berumur ratusan tahun. Selama ini
tidak ada seorang pun yang berani memasuki wilayah
itu, sebab mereka yang ke sana tidak ada seorang pun
yang pernah kembali dengan selamat.
Lembah Kematian yang selama ini lengang, hari ini
terlihat ada keramaian. Ki Rantek dan anak buahnya
terlihat sedang mengadakan pesta-pora atas keberha-
silan mereka merampok iring-iringan pedati yang
membawa barang-barang berharga. Namun bukan
hanya karena itu saja yang membuat mereka menga-
dakan pesta besar-besaran melainkan karena hari ini
sedang berlangsung perkawinan antara Aria Denta,
murid Ki Rantek satu-satunya dengan Kusumawarda-
ni, murid tunggal Nyai Dasih Malela. Seperti diketahui,
Nyai Dasih Malela adalah seorang perampok wanita
yang memiliki kepandaian tinggi dan sepak terjangnya
amat kejam.
Ki Rantek berharap dengan adanya ikatan perka-
winan di antara murid mereka, maka kedudukannya
akan semakin kuat dan kawanan Perampok Tangan
Darah akan lebih disegani. Tidak heran jika dia merasa
sangat bergembira melihat perjodohan itu. Kusuma-
wardani yang berwajah cantik dengan pakaian seronok
itu tentu saja memiliki kepandaian hebat dan bisa di-
andalkan, jika mereka telah bergabung dalam kelom-
poknya.
"Selamat atas perkawinan Aria Denta dan Kusu-
mawardani...!" teriak salah seorang anak buah Ki Ran-
tek sambil mengangkat secawan anggur ke atas.
"Hidup Ki Rantek...!" lanjut yang lainnya.
"Hidup Nyai Dasih Malela...!" timpal seorang lagi.
"Hidup Perampok Tangan Darah...!" sambut yang
lainnya.
"Hi hi hi...! Anak-anak buahmu sungguh berse-
mangat sekali, Ki Rantek...!" puji Nyai Dasih Malela.
"Ya, mereka memang sudah lama menantikan saat-
saat seperti ini. Silakan diminum anggurnya, Nyai...!"
"Silakan!" kata Nyai Dasih Malela sambil mengang-
kat cawan berisi anggur.
"Mari, Nyai...!" sahut Ki Rantek ikut mengangkat
cawan anggur.
Melihat hal itu semua anak buah Ki Rantek pun
melakukan hal yang sama untuk menghormati wanita
tua itu.
"Dan sekali lagi untuk kedua mempelai...!" lanjut Ki
Rantek mengangkat cawannya ditujukan kepada Aria
Denta dan Kusumawardani.
"Mudah-mudahan mereka hidup bahagia sampai
kakek dan nenek...!" timpal Nyai Dasih Malela.
"Hidup Aria Denta...!" teriak seseorang.
"Hidup Kusumawardani...!" timpal seorang lagi.
"Hidup keduanya...!" sambung seorang lagi.
Kemudian bersama-sama mereka minum anggur
yang ada di dalam cawan masing-masing. Be-berapa
orang anak buah Ki Rantek menari-nari diiringi tepuk
tangan kawan-kawannya. Ki Rantek dan Nyai Dasih
Malela tersenyum-senyum melihat hal itu.
"Anak-anak buahmu tampaknya amat setia pada-
mu, Ki Rantek...," puji Nyai Dasih Malela.
"Ya, begitulah. Mereka bahkan tidak segan-segan
mengorbankan nyawa demi menuruti perintahku," sa-
hut Ki Rantek bangga.
"Hm, hebat sekali!"
Ki Rantek tersenyum-senyum kecil.
"Apa rencanamu setelah ini selesai...?" tanya Nyai
Dasih Malela.
"Belum kupikirkan..., eh, apa maksudmu dengan
rencana itu?" tanya Ki Rantek seperti sadar ada mak-
sud tersembunyi dari wanita tua itu.
Nyai Dasih Malela tersenyum tipis. Kemudian kem-
bali dia melanjutkan kata-katanya.
"Bukankah dengan perkawinan muridmu dan mu-
ridku, maka kedudukan kita akan semakin kuat?"
"Hm, apakah dengan begitu berarti kau ingin ber-
gabung dalam kelompokku?" tanya Ki Rantek penuh
selidik.
'Tepatnya membantumu, tapi..., apakah kau mera-
sa keberatan?"
'Tentu saja tidak!"
"Aku punya rencana hebat...," sahut Nyai Dasih
Malela sambil tersenyum.
"Rencana apa, Nyai...?"
"Kita akan merampok rumah-rumah bangsa-wan
kerajaan!"
'Tapi, Nyai..., itu sangat berbahaya!" sahut Ki Ran-
tek kaget.
"Apakah kau takut?"
"Aku tidak ingin mengorbankan jiwa anak buahku.
Umumnya rumah-rumah para bangsawan dijaga ketat
oleh lebih dari dua puluh orang prajurit!"
"Serahkan soal itu padaku! Dan kalian beres-kan
barang-barang berharganya. Kita akan mendapat ba-
rang berharga yang banyak sekali. Asal harus ingat!
Bagianmu dan bagianku harus adil!"
Ki Rantek berpikir sejurus lamanya sebelum men-
gangguk setuju. Wajah Nyai Dasih Malela tampak
gembira melihat sikap Ki Rantek. Bersama-sama me-
reka kembali minum anggur.
Saat mereka tengah menikmati minuman yang
memabukkan itu, mendadak saja mereka dikejutkan
dengan terdengarnya suara jerit kesakitan salah seo-
rang anak buah Ki Rantek yang begitu panjang dan
melengking tinggi.
"Aaa...!"
"Heh...?! Ada apa itu...?!"
Ki Rantek cepat melesat, dan....
***
LIMA
Pesta itu seketika terhenti oleh jeritan tersebut. Ki
Rantek tersentak kaget ketika melihat sesosok tubuh
anak buahnya melayang persis di kakinya. Tubuhnya
pucat dengan kulit yang membusuk dan terus meleleh
perlahan-lahan. Orang tua itu lekas bangkit dari du-
duknya sambil membentak garang.
"Kurang ajar...! Siapa yang berani melakukan hal
ini?!" bentak Ki Rantek garang sambil mengedar pan-
dangan ke sekeliling tempat itu.
"Aku...!" sahut satu suara pelan yang diikuti mele-
satnya dua sosok tubuh di hadapan Ki Rantek dan
Nyai Dasih Malela.
Ki Rantek sedikit kaget melihat begitu cepat kedua
sosok tubuh itu telah berada di hadapannya. Mereka
adalah seorang pemuda berwajah tampan dengan sinar
mata berkilau menyeramkan. Pakaian kuning yang di-
kenakannya agak keemasan dan terbuat dari sutera
halus. Pada salah satu jari tangan kanannya terdapat
sebentuk cincin yang amat menyolok bergambar kepa-
la tengkorak manusia dengan dua buah gigi taring me-
lengkung keluar bagai tanduk banteng! Di sebelah pe-
muda itu tampak seorang gadis manis berusia sekitar
dua puluh tahun memakai baju warna putih. Wajah-
nya tampak pucat ketakutan. Hal itu menimbulkan
keanehan bagi Ki Rantek dan yang lainnya.
Orang tua itu memberi isyarat pada anak buahnya
agar tidak bertindak lebih dulu. Di pandanginya pe-
muda itu dengan seksama.
Demikian juga halnya dengan Aria Denta. Dia
bangkit dari kursinya dan menghampiri pemuda itu
dengan wajah penasaran sebab dia seperti merasa
pernah melihat pemuda itu sebelumnya.
"Siapa kau? Rasanya wajahmu tidak asing bagiku?"
tanya Aria Denta dengan sikap curiga.
"Hm, bagus kau masih mengenaliku. Akan lebih
memudahkan pekerjaanku nantinya," sahut pemuda
berbaju kuning keemasan itu dingin.
Kemudian terlihat pemuda itu memandang tajam
ke arah Ki Rantek.
"Kaukah yang bernama Ki Rantek?" tanyanya din-
gin.
"Hm, ya. Ada urusan apa kau mengacau pestaku
ini?" tanya orang tua itu kurang senang.
"Oh, jadi kau sedang mengadakan pesta perkawi-
nan muridmu? Sungguh kebetulan!" dengus pemuda
itu dengan nada geram.
"Apa maksudmu, Anak Muda? Bicaralah yang be-
nar kalau tidak kau akan menyesal sendiri nantinya!"
sentak Ki Rantek mengancam.
Mendengar ancaman itu bukannya pemuda itu
menjadi takut dan ciut nyalinya. Pemuda itu malah
tertawa dengan suara menggelegar, sehingga membuat
kaget mereka yang hadir di tempat itu.
"Hua ha ha...! Hari ini adalah pembalasan yang
akan kau terima dariku! Hari ini adalah kematian yang
mengerikan bagi kalian! Hari ini akan kulebur menjadi
rata dengan tanah kawanan Perampok Tangan Da-
rah...!"
"Kurang ajar! Bunuh orang sinting ini!" bentak Ki
Rantek sembari memberi perintah pada anak buahnya.
Saat itu juga seluruh anak buahnya mengepung
dua orang itu dengan sikap waspada. Pemuda berbaju
kuning keemasan itu sama sekali tidak mempeduli-
kannya.
"Ki Rantek, kenalkah kau dengan Nyai Ningsih He-
rang?" tanya pemuda itu dingin.
"Apa maksudmu?"
"Wanita yang kau cintai puluhan tahun lalu dan
akhirnya pergi meninggalkanmu karena perbuatanmu
yang keji dan tidak juga mau insaf-insaf. Aku tahu kau
masih mencintainya sampai saat ini...."
"Tutup mulutmu! Tahu apa kau tentang masa si-
lamku!" dengus Ki Rantek mulai naik darah.
"Aku tahu banyak tentangmu. Ketahuilah bahwa
wanita itu kini telah tewas di tanganku!" dingin suara
pemuda itu ketika mengatakan demikian.
"Apa?!" kedua bola mata Ki Rantek tampak sema-
kin besar mendengar kata-kata pemuda itu.
"Sebelum dia pergi meninggalkanmu, wanita itu
mengandung anakmu dan gadis yang bersamaku in-
ilah darah dagingmu. Maaf, dia nakal sekali sehingga
terpaksa aku menotoknya begini rupa agar dia tidak
melarikan diri dan tidak berteriak-teriak...," kata pe-
muda itu sambil tersenyum mengejek.
"Keparat! Lepaskan putriku...!" bentak Ki Rantek
semakin garang.
"Ha ha ha...! Tentu saja kulepaskan bila saatnya te-
lah tiba...!" sahut pemuda berbaju kuning keemasan
itu sambil tertawa dengan suara menyeramkan.
"Siapa kau sebenarnya?" tanya Ki Rantek mulai cu-
riga.
"Ingatkah kau pada peristiwa seminggu yang lalu?
Pembantaian yang kalian lakukan di Desa Ngampar
Cai? Saat itu sebuah keluarga yang tengah melang-
sungkan pesta perkawinan kalian aniaya dan kalian
perkosa istri, ibu, serta mertuaku dengan keji dan lak-
nat. Kalian adalah binatang keparat! Dan hari ini pem-
balasan itu akan tiba. Aku bersumpah demi langit dan
bumi, akan mencincang tubuh kalian untuk kujadikan
santapan serigala-serigala kelaparan. Aku Danu Um-
bara, akan merencah kalian menjadi serpihan kecil
yang nista...!" sahut pemuda itu dengan suara mengge-
legar penuh raungan kemarahan dan dendam yang
berkobar-kobar.
"Apa? Kau..., kau...? Tidak mungkin! Kau sudah
mati...!" sentak Aria Denta terkejut mendengar kata-
kata pemuda bernama Danu Umbara itu.
"Hua ha ha...! Pemuda keparat! Kau akan menda-
pat giliranmu sebentar lagi...!" dengus Danu Umbara
sambil tertawa panjang.
"Bunuh dia! Bunuh dia...!" teriak Aria Denta panik
sambil berteriak keras.
"Yeaaah...!"
Serentak dengan itu seluruh anak buah Ki Rantek
yang sejak tadi telah bersiaga, melompat menyerang
pemuda itu dengan cepat.
***
"Hiyaaa...!" Danu Umbara membentak nyaring
sambil membalikkan tubuhnya menyambut serangan
lawan.
Dari telapak tangan kirinya menderu angin ken-
cang dan sinar kuning yang menghantam para penge-
royoknya itu.
Des!
"Aaakh...!"
Para pengeroyoknya memekik kesakitan dengan
tubuh ambruk terjungkal seperti di hantam pukulan
keras. Tubuh mereka berguling-gulingan sambil meng-
garuk-garuk seluruh bagian tubuhnya dan terus men-
jerit keras.
"Celaka! Dia menggunakan pukulan beracun!" de-
sis Ki Rantek kaget.
Sisa-sisa anak buah Ki Rantek langsung menerjang
ke arah pemuda itu dengan kalap. Namun seperti tadi,
mereka pun akhirnya mengalami nasib yang sama se-
perti kawan-kawannya.
"Keparat! Bunuh saja kami...! Bunuuuh...!" teriak
mereka geram sambil terus menggaruk-garuk seluruh
bagian tubuhnya tiada berhenti.
"Membunuh kalian terlalu mudah bagiku. Nyawa
busuk kalian tak ada harganya. Tapi aku akan mela-
kukannya setelah kalian kubuat sengsara lebih du-
lu...!" dingin terdengar suara Danu Umbara.
"Ki Rantek, biar kuberi pelajaran pemuda sombong
ini...!" dengus Nyai Dasih Malela sambil melompat me-
nyerang Danu Umbara dengan permainan ilmu pe-
dangnya yang hebat.
Sring!
Wut!
Pedang di tangan Nyai Dasih Malela melesat-lesat
menyambar tubuh pemuda itu. Desir angin kencang
dan suara bercuitan menandakan kalau Nyai Dasih
Malela memiliki tenaga dalam yang kuat dan hebat.
Tapi gerakan pemuda itu lebih gesit lagi menghindari
setiap sabetan pedangnya. Bahkan dengan tidak dis-
angka-sangka ketika Nyai Dasih Malela menyambar
leher lawan, pemuda itu tegak berdiri sambil menden-
gus sinis.
"Huh, kau pikir bisa berbuat apa dengan segala
kepandaianmu yang rendah?"
"Mampus!" Nyai Dasih Malela menggeram sambil
mengerahkan tenaga dalam kuat.
Dia pikir dengan sekali tebas maka kepala lawan
akan menggelinding. Apalagi saat itu si pemuda sama
sekali tidak berusaha mengelak.
Tap!
"Hiiih!"
Des!
"Aaa...!"
Tanpa diduga oleh wanita tua itu, tangan kiri pe-
muda itu menangkap batang pedangnya dan langsung
memelintir senjata itu hingga patah. Nyai Dasih Malela
terbelalak matanya. Demikian juga Ki Rantek dan Aria
Denta. Apa yang dilakukan pemuda itu sungguh ber-
bahaya, namun lebih mengagetkan lagi ketika telapak
tangannya sama sekali tidak tergores senjata lawan
sedikit pun. Bahkan dengan bengis pemuda itu men-
gayunkan satu tendangan keras ke dada lawan. Nyai
Dasih Malela memekik setinggi langit. Tubuhnya ter-
jungkal ke belakang dua tombak sambil menyembur-
kan darah segar.
"Guru...!" Kusumawardani menjerit keras sambil
memburu ke arah gurunya dengan wajah cemas.
Wanita tua itu menggelepar-gelepar beberapa saat
seperti ayam disembelih. Darah kental tiada hentinya
keluar dari mulut, hidung, dan bola matanya. Dia hen-
dak berkata sesuatu terhadap Kusumawardani yang
memangku tubuhnya, namun sebelum keluar kata-
katanya, kepala wanita tua itu terkulai lesu dan tu-
buhnya diam tak bergerak.
"Kini giliranmu, Keparat!" dengus Danu Umbara ge-
ram sambil melompat ke arah Ki Rantek dengan satu
gerakan cepat menyerang lawan.
Srakkk!
"Huh, kau pikir aku takut denganmu? Mampuslah
kau...!" sahut Ki Rantek geram sambil mencabut senja-
tanya yang berbentuk clurit panjang dan membabat
lawan.
Danu Umbara menundukkan kepala menghindari
tebasan senjata lawan. Tangan kirinya bergerak cepat
menangkap pergelangan tangan lawan, sementara kaki
kanannya terayun menghantam dada Ki Rantek. Orang
tua itu tercekat kaget. Tapi buru-buru dia memutar
tubuhnya untuk menghindari. Namun cengkeraman
lawan di pergelangan tangannya seperti tidak mau le-
pas. Bahkan dengan sekali sentak, tubuhnya terangkat
ke atas mendekati si pemuda.
"Hiyaaa...!"
Krak!
"Aaakh...!"
Danu Umbara menekuk tangannya hingga terden-
gar tulang berderak patah. Ki Rantek menjerit kesaki-
tan. Namun orang tua itu masih sempat mengayunkan
tendangan keras ke muka lawan. Tangan kanan Danu
Umbara cepat menangkap pergelangan kakinya. Sam-
bil melepaskan cengkeraman di tangan lawan, dia me-
mutar tubuh Ki Rantek dengan mencengkeram kuat
pergelangan kakinya.
"Yeaaa...!"
Krakkk!
Desss!
"Aaa...!"
Sebelum membanting tubuh orang tua itu, Danu
Umbara menghantam keras tulang kering lawan den-
gan tangan kirinya. Kemudian dengan gemas ujung
kaki kanannya menendang punggungnya, sehingga Ki
Rantek memekik keras sambil memuntahkan darah
segar ketika terjungkal ke belakang.
"Guru...!" Aria Denta tersentak kaget melihat kea-
daan gurunya itu.
Dengan cepat dia memburu dan memeriksa kea-
daan orang tua yang tengah megap-megap menahan
rasa sakit.
"Aria, selamatkan dirimu, dan..., bawa Kusuma-
wardani pergi dari sini cepat. Dia..., dia bukan tandin-
ganmu. Tenaganya seperti iblis. Ce… cepat..!" kata Ki
Rantek dengan suara terbata-bata.
'Tidak! Aku harus membalas perlakuannya terha-
dapmu. Akan kubunuh dia...!" geram Aria Denta kalap.
Ki Rentak hendak mencegah perbuatan Aria Denta,
namun suaranya tercekat di tenggorokan, dan tangan-
nya hanya mampu menggapai. Aria Denta sama sekali
tidak mempedulikan kata-katanya.
Srang!
Cring!
Bersamaan dengan Aria Denta mencabut pedang-
nya, Kusumawardani pun telah mencabut pedangnya,
dan dengan amarah serta kebencian yang meluap-luap
keduanya menyerang lawan dengan bersamaan.
"Yeaaah...!"
***
"Ha ha ha...! Bagus, lebih cepat kalian maju maka
akan lebih cepat lagi urusan ini selesai!" kata Danu
Umbara sambil tertawa dengan suara nyaring.
Bet! Bet!
Tap!
"Hiiih...!"
Dua tebasan senjata lawan menyambar leher dan
dadanya. Danu Umbara bergerak lincah dengan me-
liuk-liuk. Tiba-tiba dia telah berada di atas kepala Aria
Denta. Dengan gemas pemuda itu menyabetkan senja-
tanya membelah pinggang lawan. Begitu juga yang di-
lakukan Kusumawardani. Tapi secepat mereka men-
gayunkan senjata, maka tubuh Danu Umbara telah
berada di belakang si gadis dan memeluk tubuhnya
erat-erat sambil menghantam pedang di tangannya,
sehingga terlepas dari genggaman. Gadis itu terkejut
dan menjerit keras. Aria Denta bermaksud menolong
sambil melompat ke samping dan membabatkan senja-
tanya.
Wut!
"Hiiih!"
Begitu senjatanya berkelebat saat itu juga Danu
Umbara mencelat ke atas sambil tetap me-rangkul Ku-
sumawardani. Kaki kanannya menghantam dagu lawan.
Tak!
"Aaakh...!"
Aria Denta menjerit kesakitan. Dan sebuah giginya
tanggal dengan mulut penuh darah akibat tendangan
itu. Tubuhnya terjajar ke belakang dengan pandangan
berkunang-kunang.
"Ha ha ha...! Gadis ini sangat cantik dan cocok un-
tukku!" kata Danu Umbara tanpa mempedulikan la-
wan dia menotok tubuh Kusumawardani, sehingga ga-
dis itu tidak mampu bergerak.
Bret!
"Aouw...!" Kusumawardani menjerit keras ketika
bajunya di bagian dada dirobek kasar oleh Danu Um-
bara.
"Aouw, Keparat! Lepaskan! Hentikan perbuatan ko-
tormu...!"
"Ha ha ha...! Apa yang diperbuat pemuda bejat itu
lebih dari ini terhadap istriku. Dan kau pun akan me-
rasakan hal yang sama di depan hidungnya!" sahut
Danu Umbara sambil menciumi gadis itu dengan ber-
nafsu.
"Setan! Lepaskan dia...!" geram Aria Denta dengan
kemarahan yang meluap-luap melihat kelakuan lawan.
Tanpa mempedulikan keadaan dirinya, dia lang-
sung menerjang kembali sambil menghunuskan senja-
ta. Namun tanpa menoleh, Danu Umbara melompat ke
belakang. Ujung senjata lawan terus mengejar dan
dengan sekali memiringkan tubuh, senjata lawan luput
menyambar. Tangan kanan Danu Umbara dengan ce-
pat menotok dada kiri lawan.
Tuk!
"Aaakh...!"
Aria Denta menjerit kesakitan. Otot jantungnya
mengejang dan tubuhnya ambruk tidak berdaya. Dia
hanya bisa menjerit-jerit menahan rasa sakit.
"Sekarang kau akan merasakan bagaimana pera-
saanku saat itu...! Akan kau rasakan bagaimana mele-
daknya dadaku saat itu...!" dengus Danu Umbara
sambil menyeret Kusumawardani di depan Aria Denta.
Dengan geram Danu Umbara menindih tubuh ga-
dis itu yang menjerit-jerit ketakutan sambil memaki-
maki tidak karun. Aria Denta mendidih darahnya me-
lihat apa yang dilakukan pemuda itu terhadap istrinya.
"Keparat! Hentikan perbuatanmu! Hentikan perbu-
atanmu...!"
Tapi meskipun dia berteriak-teriak sambil memaki-
maki, Danu Umbara malah terkekeh-kekeh. Lebih-
lebih ketika Kusumawardani memaki-maki sambil
menjerit ketakutan. Tidak ada satu pun yang bisa me-
reka lakukan untuk mencegah perbuatan Danu Umba-
ra terhadap gadis itu.
Aria Denta memejamkan matanya dengan mena-
han dendam kesumat yang hebat di dadanya. Hatinya
tidak kuasa menahan marah dan kebencian yang me-
luap-luap. Matanya tidak sanggup melihat pemandan-
gan yang mengiris-iris hatinya, dan telinganya seperti
mau pecah mendengar jeritan-jeritan Kusumawardani
yang ketakutan dan kesakitan.
"Ha ha ha...! Sungguh hebat sekali istrimu ini.
Sungguh hebat. Dan kau tidak akan sempat merasa-
kannya, karena sebentar lagi kau bakal mampus!" kata
Danu Umbara tertawa lebar sambil menyudahi perbua-
tannya.
"Keparat! Lebih baik kau bunuh aku cepat! Bunuh
saja aku...!" teriak Aria Denta kalap.
"Ha ha ha...! Urusan membunuhmu soal mudah,
tapi aku harus merasakan lebih dahulu kemarahan
orang tua busuk ini!" desis Danu Umbara sambil me-
nuding ke arah Ki Rantek yang masih megap-megap
menahan rasa sakit yang tiada tertahankan di tubuh
nya.
"Bedebah keparat! Kau pikir aku takut dengan ke-
matian?!" dengus Ki Rantek geram.
"Tentu saja aku tahu bahwa kau tidak takut, tapi
aku akan membuat kau merasakan apa yang kurasa-
kan saat itu...!" balas Danu Umbara sinis sambil me-
nangkap gadis yang tadi bersamanya dan direbahkan-
nya di depan mata orang tua itu.
Dan apa yang dilakukannya terhadap Diah Kemun-
ing, maka dilakukannya juga terhadap gadis itu. Ki
Rantek memejamkan mata, meski hatinya perih. Tapi
dia berusaha untuk tidak menunjukkan kemarahan
dan menguatkan hatinya. Orang tua itu memang cu-
kup berpengalaman, sehingga dia tidak mau membiar-
kan pemuda itu merasa menang dengan perbuatannya
itu. Di samping itu dia sendiri masih belum merasa
yakin bahwa gadis itu putrinya. Walau di dalam hati
dia mengakui bahwa wajah gadis itu mirip sekali den-
gan kekasihnya yang telah menghilang puluhan tahun
lalu.
***
ENAM
Hari telah menjelang senja ketika mereka tiba di
mulut lembah itu. Wulandari membentak nyaring keti-
ka mereka mengatakan bahwa sarang Perampok Tan-
gan Darah berada di depan mata.
"Berhenti! Awas, kalau kalian macam-macam
membuat isyarat sehingga kawan-kawanmu menge-
pung tempat ini, maka kalian bertiga yang akan mam-
pus lebih dulu. Mengerti!"
Ketiga orang anak buah Perampok Tangan Darah
yang mereka tawan itu mengangguk cepat.
"Ayo, jalan lagi pelan-pelan!" lanjut gadis itu.
"Suasana ini terasa sepi dan mencurigakan...," gu-
mam Bayu pelan.
"Apakah menurutmu mereka telah mengetahui ke-
datangan kita, Kakang?"
"Hm, aku belum merasakan tanda-tanda kehadiran
seseorang di tempat ini...," sahut Bayu pelan.
Mendadak Wulandari tersentak kaget. Dia meman-
dang ke arah Bayu dengan wajah aneh.
"Kakang, kau mencium sesuatu?"
"Ya, seperti...."
"Bau busuk dan anyir darah...!" desis Wulandari.
"Astaga...!" salah seorang anak buah Perampok
Tangan Darah yang berjalan paling depan ter-sentak
kaget.
Yang lainnya, termasuk Wulandari dan Bayu cepat-
cepat mengalihkan pandangan ke depan. Mereka meli-
hat beberapa sosok tubuh bergantungan dengan kepa-
la ke bawah.
"Siapa mereka?" tanya Bayu.
"Ini kawan-kawan kami!" desis Delangu, salah seo-
rang dari ketiga tawanan mereka.
Wulandari nyaris menjerit dengan perut mual me-
nyaksikan pemandangan yang ada di depan matanya.
Beberapa sosok tubuh tampak membusuk dengan dag-
ing yang terkelupas menimbulkan bau busuk yang
menyengat hidung. Tidak kurang dari dua puluh orang
tergantung di cabang-cabang pohon di dekat tempat
itu.
'Yang mana ketuamu itu?" tanya Bayu lagi.
Ketiga orang itu mencari-cari, dan ketika mereka
melangkah kembali, Bayu terpaksa memalingkan mu-
ka. Dua sosok tubuh wanita tanpa mengenakan pa-
kaian secuil pun tergantung di atas cabang yang sama.
Yang seorang terlihat bekas pukulan keras yang me-
remukkan isi dadanya, sementara yang seorang lagi
bola matanya melotot dengan lidah terjulur keluar.
Terlihat bekas telapak tangan di lehernya. Jelas bahwa
wanita ini mati dicekik. Sementara pada cabang yang
lain terlihat dua mayat membusuk dan rusak sekali
dengan daging-dagingnya yang mengelupas.
"Ini Ki Rantek...!" desis salah seorang dari tiga ta-
wanan itu.
"Dan ini Aria Denta, murid kesayangannya!" sam-
bung yang lain dengan nada yakin.
"Hm, siapa yang melakukan perbuatan ini pada
mereka?" tanya Bayu seperti bergumam pada diri sen-
diri.
"Entalah, kami pun tidak mengetahuinya...."
"Kakang, kawanan Perampok Tangan Darah sudah
mati semuanya. Tidak ada gunanya lagi kita di tempat
ini," kata Wulandari.
"Kalau begitu mari kita tinggalkan tempat ini...,"
ajak Bayu.
"Tunggu dulu!" sentak Wulandari sambil meng-
hampiri ketiga anak buah Ki Rantek yang masih tersi-
sa.
"Eh, ka..., kalian tetap akan membiarkan kami hi-
dup, bukan?" tanya Jaka Sunggring dengan wajah pu-
cat.
"Ya...," sahut Wulandari tenang sambil meng-
gerakkan tangannya cepat.
Tuk! Tuk! Tuk!
"Hei, apa-apaan ini?!" teriak Jaka Sunggring dan
kedua kawannya kesal ketika tiba-tiba saja gadis itu
telah menotok mereka, sehingga tidak mampu berge-
rak.
"Aku berjanji tidak akan membunuh kalian, tapi ti-
dak berjanji untuk tidak meninggalkan kalian di sini
dalam keadaan demikian. Mudah-mudahan tubuh ka-
lian menjadi santapan lezat serigala-serigala yang ada
di hutan ini. Atau barangkali dicekik penghuni lembah
ini yang telah membinasakan seluruh kawan-
kawanmu!" desis Wulandari geram sambil melompat ke
punggung kudanya dan melesat cepat dari tempat ini
menyusul Bayu yang telah lebih dulu memacu ku-
danya.
Ketiga orang itu berteriak-teriak dengan wajah pu-
cat ketakutan.
"Hei, lepaskan kami! Lepaskaaan...!"
Suara mereka terhenti ketika kedua orang muda-
mudi itu telah lenyap dari pandangan. Tapi bukan cu-
ma itu yang membuat mereka bungkam, melainkan
karena kehadiran sesosok tubuh yang tiba-tiba saja
muncul di depan mereka.
Sesosok tubuh itu tidak lain dari seorang pemuda
berwajah tampan memakai pakaian warna kuning
keemasan dengan sinar mata tajam menakutkan.
"Sis..., siapa kau...?" tanya salah seorang dari me-
reka ketakutan.
Kehadiran pemuda itu sama sekali tidak diketahui.
Tiba-tiba saja dia telah berdiri tegak seperti dijatuhkan
dari langit dan persis di depan hidung ketiganya.
"Aku adalah iblis kematian yang akan mencabut
nyawa kalian yang tertunda!" dingin terdengar suara
pemuda itu sambil menjulurkan tangan kanannya
yang terkepal, sehingga terlihat sebentuk cincin ber-
gambar tengkorak dengan dua buah taring yang tajam
dan runcing.
Crab!
Srap!
"Aaa...!"
Tiba-tiba saja dua buah taring di cincin itu menan-
cap erat di leher dua orang dari mereka. Orang itu
menjerit setinggi langit sambil merasakan kesakitan
yang hebat. Tubuhnya berangsur-angsur pucat ketika
tubuhnya mulai timbul gelembung-gelembung yang
kemudian meletus dan mengeluarkan cairan putih ke-
kuning-kuningan yang berbau busuk.
Kedua orang kawannya tersentak kaget. Bola mata
mereka melotot lebar melihat pemandangan itu. Tidak
terasa keringat dingin mereka mengucur sebesar buti-
ran jagung.
Malam mulai merayap ketika di lembah kematian
itu kembali terdengar jeritan panjang yang melengking
tinggi bagai raungan serigala yang terluka dan akan
menemui ajalnya!
***
Orang-orang bertepuk tangan sambil berteriak-
teriak memberi semangat pada seorang laki-laki tinggi
besar yang berhasil menjatuhkan lawannya, seorang
laki-laki berbadan besar dengan perut sedikit buncit.
Kepalanya botak dan wajahnya seram. Lebih-lebih ke-
tika dia menyeringai. Telah dua orang yang tadi diban-
tainya sampai muntah darah. Tapi menghadapi lawan-
nya kali ini, dia betul-betul sulit sekali menaklukkan.
Bahkan dengan sekali hajar, tubuhnya tadi sempat ter-
jerembab meskipun dia cepat bangkit kembali.
Pertarungan yang diadakan di suatu tempat yang
agak luas di tengah Desa Kedung Balang ini memang
bukan hal yang aneh. Setiap seminggu sekali sering
diadakan adu kekuatan di antara para pesilat yang
berdatangan ke desa ini. Ada seorang hartawan kaya
raya yang akan memberikan hadiah bagi setiap peme-
nang dengan jumlah banyak. Bukan hanya itu, tapi se-
tiap pemenang akan mendapat pekerjaan sebagai cen-
tengnya dengan upah yang tinggi. Hal itu tentu saja
amat menggiurkan bagi setiap pesilat yang pernah
mendengar berita itu untuk menguji kemampuan serta
peruntungannya. Bukan hanya itu yang membuat me-
reka tertarik, melainkan juga karena si hartawan kaya
raya itu adakah seorang adipati yang amat berpenga-
ruh. Dia tidak segan-segan mengirimkan centengnya
yang hebat dan berbakat untuk diangkat menjadi pra-
jurit kerajaan. Dan menjadi prajurit kerajaan adalah
dambaan setiap pemuda di masa itu!
"Horeee...!"
"Hidup Ki Bajra Kelana...!" teriak laki-laki bertubuh
besar itu menjatuhkan lawannya untuk yang ketiga
kalinya.
Dan menurut peraturan yang telah ditetapkan
apabila seseorang telah jatuh tiga kali, dia dinyatakan
kalah. Maka mau tidak mau lawannya yang bertubuh
besar dengan perut gendut itu harus keluar dari arena
dengan wajah menahan malu menerima ejekan dari
orang-orang yang menonton di pinggir arena itu. Tidak
heran bila dia mendapat ejekan karena apa yang dila-
kukannya terhadap dua lawannya tadi sungguh kejam
dan tidak mengenal belas kasihan. Lain halnya dengan
laki-laki yang mengalahkannya dan bernama Ki Bajra
Kelana. Laki-laki itu bertanding dengan jujur dan ge-
rakannya ketika menjatuhkan lawan sangat indah dan
sama sekali tidak kasar.
"Siapa lagi yang akan bertanding melawanku?"
tanya Ki Bajra Kelana.
Seorang laki-laki berbaju hitam segera melompat
ke arena. Kulitnya hitam legam dan wajahnya buruk
penuh dengan lubang-lubang seperti bekas penyakit
cacar. Sorot matanya sama sekali tidak bersahabat ke-
tika menatap ke arah Ki Bajra Kelana. Bahkan terlihat
bermusuhan.
"Siapakah kau, Kisanak? Baru kali ini aku meli
hatmu?" tanya Ki Bajra Kelana.
"Namaku Sawung Kampret dan aku datang dari wi-
layah selatan. Nah, kurasa cukup basa-basi ini. Mari
kita mulai!" sahut laki-laki berbaju hitam itu.
Setelah menyelesaikan dengan kata-katanya, Sa-
wung Kampret langsung melompat menyerang lawan
dengan satu tendangan maut ke arah perut Ki Bajra
Kelana.
'Yeaaah...!"
"Uts...!"
Ki Bajra Kelana melompat ke samping untuk
menghindari tendangan lawan sambil menunduk-kan
kepala ketika kaki lawan kembali berkelebat balik. Tu-
buhnya mencelat ke atas sambil mengayunkan satu
tendangan ke dagu lawan.
"Hiiih!"
"Hup!"
Sawung Kampret melompat ke belakang sambil
menyilangkan kakinya menjepit pinggang lawan. Na-
mun Ki Bajra Kelana telah mengayunkan sebelah ka-
kinya menangkis.
Tak!
"Uhhh...!"
'Yeaaah...!"
Ketika kedua kaki mereka beradu, Sawung Kamp-
ret mengeluh kesakitan. Ki Bajra Kelana menggunakan
kesempatan itu untuk mengayunkan kepalan tangan
kanannya menghantam ke dada lawan. Meski sebelah
kakinya masih terasa sakit, namun dengan gesit Sa-
wung Kampret bergulingan ke kiri. Namun tubuh Ki
Bajra Kelana telah melompat mengikuti dan men-
gayunkan kaki kirinya menghantam tubuh lawan ke
arah pinggang.
"Uts...!"
Blap!
"Aaakh...!"
Tubuh Sawung Kampret bergulingan menghindari
tendangan. Namun sebelum dia menjauh, mendadak
telapak kaki kanan Ki Bajra Kelana telah menahan da-
danya dan bermaksud menghimpitnya dengan keras,
sehingga Sawung Kampret tersedak dan sulit berna-
pas.
"Kalau kau mengaku kalah maka aku akan mele-
paskan kakiku...," kata Ki Bajra Kelana tenang.
"Eh, ekh..., baiklah aku kalah...," sahut Sawung
Kampret.
Mendengar orang itu mengaku kalah, Ki Bajra Ke-
lana langsung melepaskan himpitan kakinya.
Sawung Kampret meninggalkan arena dengan wa-
jah lesu bercampur malu diteriaki oleh para penonton.
Mau tidak mau dia harus mengakui kehebatan Ki Ba-
jra Kelana. Baik dari jurus-jurus ilmu silatnya, tenaga
dalam maupun ilmu meringankan tubuhnya berada
satu tingkat di atasnya.
Sementara itu Ki Bajra Kelana kembali mendapat
tepukan tangan dan sorak-sorai gembira dari orang-
orang yang mengaguminya.
"Hidup Ki Bajra Kelana...!" teriak salah seorang
yang diikuti yang lainnya.
'Terima kasih...," sahut Ki Bajra Kelana tersenyum.
"Ayo, siapa lagi yang berani melawan Ki Bajra Ke-
lana?" teriak salah seorang yang diikuti teriakan-
teriakan lainnya.
Namun untuk beberapa saat tidak ada seorang pun
yang berani menantang Ki Bajra Kelana.
"Huuu..., takut! Pengecut..!" teriak seseorang.
"Ayo, siapa lagi? Kalau tidak maka Ki Bajra Kelana
akan menjadi pemenangnya!" teriak salah seorang
pengawas pertandingan itu.
"Dia akan mampus!" dengus seorang pemuda ber
baju kuning keemasan sambil melangkah mendekati
arena pertarungan.
Melihat ada orang yang berani menantang Ki Bajra
Kelana, para penonton bersorak-sorai sambil bertepuk
tangan memberi semangat.
***
"Kisanak, siapa namamu?" tanya Ki Bajra Kelana
berusaha bersikap tenang.
Tidak seperti menghadapi kedua lawannya yang
bertampang seram, pemuda di hadapannya ini lebih
rapi dan berwajah tampan. Pakaiannya rapi dan men-
gesankan bahwa dia berasal dari keluarga yang ter-
pandang. Bahkan sepintas lalu pemuda itu mengesan-
kan seorang terpelajar yang sama sekali tidak mengerti
apa-apa soal ilmu silat. Kalaupun ada yang aneh pada
dirinya, hanya cincin yang melekat di jari tengah pada
tangan kanannya. Cincin itu berbentuk kepala tengko-
rak manusia dengan taring yang mencuat keluar, ta-
jam serta mengerikan. Namun meskipun begitu Ki Ba-
jra Kelana sempat tersentak kaget, dan diam-diam da-
rahnya berdesir kencang ketika bola matanya beradu
pandang dengan pemuda itu. Seperti ada terpancar
hawa kesadisan yang amat menakutkan dan sempat
membuatnya bergidik.
"Aku tidak punya nama, tapi orang-orang memang-
gilku sebagai Setan Seribu Nyawa...," sahut pemuda
yang tidak lain dari Danu Umbara dengan suara lirih.
Mendengar pemuda itu menyebutkan nama itu,
orang-orang yang berada di tempat itu tersentak kaget.
Mereka memang baru sekali ini mengenal nama itu,
tapi siapa yang tidak tahu akan keangkeran dan kese-
raman Hutan Mapag Nyawa. Hal itu membuat mereka
bertanya-tanya, apakah pemuda itu berasal dari hutan
itu?
"Hm, jadi kau berasal dan Hutan Mapag Nyawa...?"
tanya Ki Bajra Kelana mencoba menenangkan jan-
tungnya yang berdetak kencang.
Pemuda itu bukannya menjawab pertanyaan Ki Ba-
jra Kelana, melainkan membentak nyaring sambil me-
lompat menyerang lawan.
"Lihat serangan...!"
"Hup!"
Satu kepalan tangan lawan melesat cepat meng-
hantam dada Ki Bajra Kelana. Orang itu tersentak ka-
get ketika merasakan desir angin bertiup kencang seir-
ing dengan gerakan pemuda itu. Buru-buru dia me-
nangkis.
Plak!
"Uhhh...!"
Bet!
Ki Bajra Kelana mengeluh kesakitan ketika tan-
gannya beradu menahan kepalan tangan lawan. Na-
mun begitu dia masih sempat mengayunkan satu ten-
dangan ke perut lawan. Pemuda itu memiringkan tu-
buh, dan kaki kirinya melakukan tendangan mendatar
ke pinggang lawan.
Plakkk!
Des!
"Aaakh...!"
Ki Bajra Kelana kembali terkejut melihat kecepatan
lawan bergerak. Dia menangkis sambil mengibaskan
tangan kanannya. Tapi kemudian menjerit kesakitan
ketika lengannya berderak patah, dan tendangan la-
wan terus menghantam tubuhnya hingga terjungkal
beberapa langkah.
Jder!
"Uhhh...!"
Setan Seribu Nyawa langsung melompat dan
menghantam telapak kakinya menghajar lawan. Ter-
dengar tanah tempatnya melesak dalam dan tempat di
sekitar itu seakan bergoncang keras akibat tendan-
gannya itu. Masih untung Ki Bajra Kelana sempat me-
nyelamatkan diri dengan berguling-gulingan. Tapi saat
itu juga kepalan tangan kiri lawan menderu keras
menghantam dadanya.
Jder!
Krak!
"Aaa...!"
Tanpa bisa dielakkan, kepalan tangan pemuda
berbaju kuning keemasan menghantam, sehingga tu-
lang rusuk Ki Bajra Kelana berderak patah. Orang itu
memekik kesakitan ketika tubuhnya mulai bersimbah
darah. Namun pemuda berbaju kuning keemasan itu
seperti tidak mempedulikan keadaan lawan, dia kemu-
dian menendangnya dengan keras sehingga tubuh Ki
Bajra Kelana melayang jauh. Ketika ambruk ke tanah,
nyawanya telah lepas dari raga!
"Sadis...!" desis seseorang.
"Biadab! Dia telah membunuh Ki Bajra Kelana...!"
timpal yang lainnya dengan suara marah.
"Bunuh dia! Bunuuuh...!" teriak seseorang membe-
ri perintah pada yang lainnya.
Maka dengan kemarahan yang meluap-luap, para
penonton yang terdiri dari orang-orang persilatan itu
beramai-ramai menyerbu Setan Seribu Nyawa dengan
mengeluarkan berbagai macam senjata tajam.
"Yeaaah...!"
Pemuda berbaju keemasan itu mendengus sinis.
Dia menggeram dan sambil membentak nyaring, tela-
pak tangan kirinya terkembang ke depan.
"Tikus-tikus busuk, mampuslah kalian...!" teriak
pemuda itu dengan marahnya.
Yeaaa...!"
Jlegarrr...!
"Aaa...!"
Ketika itu juga melesat selarik sinar kuning keema-
san menerpa para pengeroyok itu. Seperti ledakan petir
yang keras, beberapa orang langsung terpekik kesaki-
tan dengan tubuh ambruk. Daging tubuh mereka me-
leleh seperti disiram air panas. Beberapa orang lagi
yang maju secara bersamaan mengalami nasib yang
sama. Dan Setan Seribu Nyawa itu tertawa keras sam-
bil membantai orang-orang yang berada di tempat itu
tanpa mengenal belas kasihan.
"Hua ha ha...! Mampuslah kalian, mampuslah ka-
lian...!"
***
TUJUH
Ketika pemuda itu tengah membantai orang-orang
yang berada di tempat itu seketika terdengar bentakan
nyaring.
"Hentikan perbuatanmu...!"
Setan Seribu Nyawa menghentikan sepak terjang-
nya dan cepat berpaling ke belakang. Tidak jauh dari
tempatnya berdiri, terlihat seorang laki-laki berusia
sekitar lima puluh tahun bertubuh kurus dengan ram-
but lebar diikat pita hijau. Di pinggang-nya terselip se-
pasang trisula berwarna keperakan.
"Siapa kau, orang tua busuk? Apakah kau pun in-
gin mampus seperti mereka...?" dengus pemuda itu ge-
ram.
"Perbuatanmu sungguh keterlaluan! Setelah kau
membunuh muridku, kini kau membantai orang-orang
yang tidak bersalah apa-apa terhadapmu. Aku, Ki Rantung Jagat tidak bisa membiarkanmu seenaknya saja
menyebar keangkaramurkaan di tempat ini!" sahut
orang tua itu dingin.
"Huh, tidak usah banyak bicara lagi! Cabutlah sen-
jatamu, dan ingin kulihat apakah mulut besarmu sa-
ma dengan kepandaianmu!" sahut Setan Seribu Nyawa
sambil terus melompat menerjang lawannya.
Ki Rantung Jagat memang bukan orang ter-kenal
dalam dunia persilatan, tapi semua orang di kadipaten
ini menghormatinya. Dia dianggap memiliki kepan-
daian yang cukup hebat meski tidak sering menonjol-
kan diri. Bahkan jarang sekali terdengar bahwa dia
bertarung dengan seseorang pun. Namun banyak mu-
rid-muridnya yang telah membuktikan kehebatan ilmu
silat orang tua itu. Salah satunya adalah Ki Bajra Ke-
lana. Rasanya Ki Rantung Jagat tidak akan turun tan-
gan bila muridnya terluka dalam pertarungan jujur.
Dan dalam pertarungan tadi ada larangan untuk
membunuh lawan, sedangkan larangan itu dilanggar
pemuda berbaju kuning keemasan itu seenaknya.
Bahkan dengan kepandaiannya dia telah membantai
orang-orang yang berada di tempat itu. Hal itulah yang
mendorong Ki Rantung Jagat untuk tidak bisa mem-
biarkan pemuda itu berbuat seenak hatinya saja.
"Hiyaaa...!"
Plak!
Ki Rantung Jagat menangkis kepalan tangan lawan
yang menderu keras menghantam muka, dada, dan
perutnya dengan cepat. Orang tua itu mengeluh kesa-
kitan ketika kedua tangan mereka beradu. Tidak dis-
angka bahwa lawan memiliki tenaga yang dahsyat luar
biasa. Pantas saja tidak ada seorang pun yang mampu
menghentikannya. Bukan hanya itu, tapi gerakan pe-
muda itu sangat gesit dan sulit diduga, sehingga diam-
diam orang tua itu mengeluh di hati seolah tidak yakin
bahwa dia mampu mengalahkan lawannya.
"Yeaaah...!"
Wut!
Des!
"Aaakh...!"
Tubuh Setan Nyawa Seribu melompat sambil mela-
kukan tendangan ke muka lawan. Meski Ki Rantung
Jagat yakin bahwa dia tidak akan mampu menahan
tendangan lawan, tapi orang tua itu tidak punya pili-
han sebab sebelah tangan pemuda itu telah berjaga-
jaga untuk menghantamnya bila dia mengelak ke
samping. Sehingga terpaksa Ki Rantung Jagat me-
nangkisnya dengan kedua belah tangannya sambil
mengerahkan tenaga dalam yang dimilikinya. Orang
tua itu mengeluh kesakitan ketika kedua tangannya
diinjak lawan, dan dengan bertumpu pada tangannya
itu, tubuh pemuda itu melenting ke belakang sambil
menghantamkan punggungnya dengan keras. Ki Ran-
tung Jagat berteriak kesakitan. Tubuhnya terjungkal
ke depan sambil menyemburkan darah segar.
Tendangan yang dilakukan lawan keras bukan
main. Orang tua itu merasakan punggungnya seperti
dihantam batang kayu yang besar. Belum lagi dia
sempat bangkit, lawan telah menerjangnya dengan sa-
tu tendangan menggeledek.
"Hiyaaa...!"
Ki Rantung Jagat tersentak. Buru-buru dia bergu-
lingan menyelamatkan diri.
"Uhhh...!"
Srak!
Telapak kaki si pemuda itu yang menghantam
tempat kosong membuat tanah melesak sedalam be-
tisnya. Kakinya yang satu lagi menyapu tubuh Ki Ran-
tung Jagat. Orang tua itu langsung mencabut sepa-
sang trisulanya dan menghantamkan ke kaki lawan.
Tapi alangkah terkejutnya dia ketika merasakan bah-
wa senjatanya seperti menghantam dinding baja yang
amat tebal.
Desss!
"Aaa...!" Ki Rantung Jagat memekik kesakitan keti-
ka ujung kaki lawan menyodok dadanya dengan cepat
dan sama sekali tidak disangkanya.
Tubuh Ki Rantung Jagat berguling-gulingan sambil
menyemburkan darah kental berkali-kali. Tapi belum
lagi dia memperbaiki kedudukan, lawan telah kembali
menyerang sambil menghantamkan kaki kanannya.
"Hiiih!"
Prak!
"Aaakh...!"
Ki Rantung Jagat yang tengah sekarat itu tidak
mampu lagi mengelak. Dia menjerit panjang ketika
ujung kaki lawan menghantam batok kepalanya hingga
remuk.
Orang-orang yang berada di tempat itu tersentak
kaget. Sebagian tampak memalingkan muka dengan
wajah ketakutan. Yang lainnya malah berlari-larian
menyelamatkan diri.
"Siapa lagi yang mau menantangku...?" bentak pe-
muda itu garang.
Dia memandang berkeliling dan menatap orang-
orang yang berada di tempat itu satu persatu. Mereka
hanya bisa menundukkan kepala dengan wajah takut.
Tidak ada seorang pun yang berani buka suara atau
bertindak terhadap kekejaman yang dilakukan pemuda
itu.
"Hua ha ha...! Siapa yang berani menantangku la-
gi? Ayo maju! Biar kukirim kalian ke akherat..!" teriak
pemuda itu dengan suara menggelegar penuh kesom-
bongan.
"Anak muda, perbuatanmu sungguh keterlaluan!
Menyerahlah, karena kau sudah terkepung dan tidak
ada jalan keluar bagimu!" bentak seseorang.
"Heh...?!"
***
Orang-orang yang berada di tempat itu menyingkir
ketika melihat serombongan orang bersenjata lengkap
telah mengurung pemuda berbaju kuning keemasan
itu. Pemuda itu menghitung jumlah mereka yang tidak
kurang dari lima belas orang. Yang berdiri paling dekat
dengannya berjarak tujuh langkah dan bertubuh se-
dang dengan wajah bersih. Usianya sekitar dua puluh
lima tahun. Agaknya dia merupakan pimpinan orang-
orang ini. Senjatanya sebilah pedang yang masih ter-
genggam berikut warangkanya pada tangan kiri.
"Namaku Setya Jingga, dan aku adalah kepala pa-
sukan pengawal di kadipaten ini. Atas nama kerajaan
kau kutangkap karena mengacau dan membunuh
orang-orang yang tidak bersalah!" kata pemuda itu.
"Kau mau menangkapku? Nah, tangkaplah aku!"
sahut Setan Seribu Nyawa tenang sambil tersenyum
kecil.
Setya Jingga memandang sekilas, kemudian me-
nyuruh dua orang anak buahnya membawa tambang
besar untuk meringkus pemuda itu.
"Jangan berbuat macam-macam atau kau akan
kami bunuh di sini juga!" kata Setya Jingga mengan-
cam.
"Hua ha ha...! Kau hendak membunuhku? Laku-
kanlah kalau memang kau mampu!" sahut pemuda
berbaju kuning keemasan yang bernama Danu Umba-
ra itu dengan suara mengejek.
Setya Jingga mendengus pelan.
"Hati-hati...!" katanya memperingatkan dua orang
anak buahnya yang mendekati Danu Umbara dengan
perlahan-lahan.
"Hup!"
Plas!"
Salah seorang melemparkan tali laso dan men-jerat
tubuh Danu Umbara. Yang seorang lagi melakukan hal
yang sama. Tapi Danu Umbara diam saja tidak beru-
saha mengelak. Namun ketika keduanya mulai me-
nyentak menjatuhkan tubuhnya, saat itu juga kedua
tangannya meregang dan menangkap kedua utas tali
itu, lalu menyentakkannya dengan kuat sekali.
"Hihhh...!"
"Wuaaa...!"
Saat itu juga kedua pengawal kadipaten itu me-
layang ke atas dan jatuh ke bawah dengan membentur
batang pohon besar yang berada tidak jauh dari tem-
pat itu.
Melihat sikap pemuda itu, Setya Jingga langsung
memberi perintah pada anak buahnya yang lain.
"Ringkus dia hidup atau mati...!"
'Yeaaah...!"
Bersamaan itu juga anak buahnya langsung me-
lompat menyerang Danu Umbara dengan senjata ter-
hunus. Sementara beberapa orang lagi menyiapkan tali
laso untuk meringkus pemuda itu.
"Ha ha ha...! Bagus! Bagus! Majulah kalian semua
agar gampang bagiku untuk meringkus dan mengirim
kalian ke akherat!" kata Danu Umbara sambil tertawa
keras.
Kemudian terlihat tubuhnya mencelat ke atas un-
tuk menghindari serangan-serangan lawan. Namun
bersamaan dengan itu, tubuh Setya Jingga mencelat
pula memapaki serangan lawan. Agaknya dia telah
menduga bahwa hal itu akan dilakukan oleh lawan.
Sring!
Crak!
"Heh?!"
Bukan main terkejutnya Setya Jingga ketika dia
mencabut pedang dan menghajar pinggang lawan.
Setya Jingga merasa bahwa senjatanya membentur
dinding baja yang tebal. Bola matanya ter-belalak sak-
ing kagetnya dan seperti tidak percaya pada pengliha-
tan matanya sendiri.
Prak!
"Aaakh...!"
Tapi kesempatan itu justru digunakan lawan untuk
mengayunkan kepalan tangan kanannya dan meng-
hantam batok kepalanya hingga remuk. Pemuda itu
menjerit sesaat. Tubuhnya ambruk ke bawah dengan
bermandikan darah, dan nyawanya putus tidak lama
kemudian.
"Setan! Jangan beri dia kesempatan lolos!" bentak
salah seorang pengeroyoknya sambil menebas lawan
dengan senjatanya.
"Uts...!"
"Hiiih!"
Des!
"Aaakh...!"
Tiga orang kembali terpekik dengan tubuh roboh
bermandikan darah ketika tubuh Danu Umbara mele-
sat cepat sambil berputar untuk menghindari serangan
lawan. Tahu-tahu saja sebelah kakinya menendang
pada dua orang lawan yang berada di belakangnya. Ke-
tiga orang itu tewas sesaat kemudian!
"Yeaaah...!"
Blarrr...!
"Aaa...!"
Danu Umbara tidak berhenti sampai di situ. Tela-
pak kirinya menyambar ke arah lawan sambil menge-
rahkan pukulan mautnya. Sesaat kemudian terlihat
selarik sinar kuning yang berbau busuk menyambar
para pengeroyoknya. Beberapa orang langsung meme-
kik kesakitan dengan tubuh terjungkal bermandikan
darah. Pukulan yang dilancarkan pemuda berbaju
kuning keemasan itu tampaknya tidak main-main dan
mampu membuat tubuh lawan remuk dengan kulit
dagingnya yang terkelupas membusuk.
"Hm, sungguh keji ilmu pukulannya!" desis seseo-
rang yang menyaksikan pertarungan.
Namun seperti yang lainnya, mereka tidak punya
keberanian untuk ikut menyerang pemuda itu. Bahkan
terlihat satu persatu mereka yang berada di tempat itu
berlalu dan tidak mau mencampuri urusan. Dan keti-
ka seluruh pengeroyoknya telah binasa, pemuda itu ti-
dak melihat siapa pun.
"Hi hi hi...! Pada ke mana mereka semua? Tikus-
tikus busuk pengecut! Hua ha ha...! Siapa saja yang
berani melawan Setan Seribu Nyawa akan mampus! Ha
ha ha...!"
Setelah puas berteriak-teriak dan tertawa keras,
Danu Umbara melesat pergi dari tempat itu dengan ke-
cepatan yang sulit diikuti oleh mata.
***
Kedua penunggang kuda itu memacu kudanya
lambat-lambat ketika mereka memasuki mulut sebuah
desa.
"Kakang, perutku lapar. Sebaiknya kita men-cari
makanan lebih dulu...!" kata seorang gadis berbaju
merah muda yang tidak lain dari Wulandari.
"Ya, aku pun merasa lapar juga. Kita akan mencari
sebuah kedai besar yang makanannya lezat. Sudah
lama sekali aku tidak makan makanan yang enak," sa-
hut pemuda berbaju kulit harimau yang tak lain dari
Bayu Hanggara alias Pendekar Pulau Neraka.
Setelah berjalan beberapa saat mereka segera me-
nemukan sebuah kedai besar yang merupakan satu-
satunya di desa ini. Tanpa mempedulikan pengunjung
yang lain, keduanya segera bersantap ketika pesanan
mereka telah datang. Dan Bayu betul-betul membukti-
kan keinginannya untuk makan enak dengan meme-
san makanan yang harganya cukup mahal. Sehingga
sepintas lalu terkesan bahwa mereka berdua adalah
dua orang pelancong kaya. Dan hal itu ternyata mena-
rik perhatian pengunjung lainnya. Terutama dua orang
yang duduk paling pojok.
"Kakang Ganda, kau lihat mereka?" tanya seorang
yang bertubuh sedang dengan kumis tebal sambil me-
lirik pada Bayu dan Wulandari.
"Hm...," kawannya yang dipanggil Ganda itu men-
dengus pelan sambil ikut memperhatikan ke-dua orang
itu.
"Kurasa mereka adalah anak-anak kemarin sore
yang baru turun gunung. Bagaimana menurutmu, Ka-
kang...?" tanya si kumis tebal kembali.
"Kita akan cegat mereka di luar desa. Mereka tentu
membawa uang cukup banyak di kantung-nya...," sa-
hut Ganda dengan wajah menggeram.
"Aku..., eh, maksudku gadis itu cukup cantik, Ka-
kang. Apakah kau tidak berniat?" tanya si kumis tebal
yang bernama Sanjaya sambil mesem-mesem.
"Ha ha ha...! Kau tahu saja kalau melihat wanita
cantik, Sanjaya. He, mana mungkin akan kubiarkan
begitu saja si cantik itu. Dia betul-betul hebat, dan aku
harus memilikinya!" sahut Ganda sambil tertawa-tawa.
"Kakang, kedua orang di pojok itu mencurigakan
sekali...," bisik Wulandari sambil melirik sekilas terha-
dap kedua orang laki-laki yang tengah membicarakan
mereka.
"Ya, aku dengar pembicaraan mereka...," sahut
Bayu tenang.
"Apa yang mereka percakapkan?"
"Mereka hendak berbuat kotor padamu...."
"Kurang ajar!" Wulandari menggeram dan bermak-
sud bangkit untuk memberi pelajaran pada kedua
orang itu. Namun Pendekar Pulau Neraka cepat mena-
hannya.
"Jangan di sini. Tidak baik dilihat orang. Lagi pula
kedai ini akan rusak berantakan. Nanti saja kita panc-
ing keluar. Mereka pasti mengikuti kita...," saran Bayu.
"Kakang, selera makanku hilang. Mari kita pergi
dari tempat ini...!" sahut Wulandari cepat sambil me-
narik lengan pemuda itu.
Mau tidak mau terpaksa Bayu harus menuruti
keinginan gadis itu meskipun dia belum selesai ma-
kan. Setelah membayar harga makanan itu, mereka
segera keluar dari kedai dan memacu kudanya lambat-
lambat menuju ke pinggiran desa.
Apa yang diperkirakan Bayu memang benar. Kedua
orang di dalam kedai itu mengikuti mereka dari bela-
kang sambil berkuda dengan tergesa-gesa. Dan ketika
jarak mereka telah dekat, salah seorang membentak
nyaring.
"Berhenti...!"
"Hup!"
Begitu mereka selesai membentak maka saat itu
juga tubuh Wulandari melesat ke belakang menyerang
keduanya.
Sring!
Bet!
Sret!
"Ukh,..!"
Kedua orang itu tersentak kaget karena tidak men-
gira bahwa gadis itu mampu berbuat demikian. Salah
seorang berhasil melompat ke belakang untuk meng-
hindari sabetan pedang Wulandari, namun yang seo-
rang lagi buru-buru mencabut pedangnya.
Ujung pedang Wulandari lebih cepat lagi menyam-
bar gagang goloknya hingga putus. Kemudian gadis itu
berdiri tegak sambil menjulurkan pedang tipisnya.
"Kalian pikir aku tidak tahu maksud busuk kalian?
Huh, cuma ada satu pilihan bagi kalian yaitu mam-
pus!" dengus gadis itu geram sambil melompat menye-
rang keduanya dengan gerakan cepat.
Bet!
Keduanya pontang-panting menyelamatkan diri da-
ri kejaran senjata lawan. Salah seorang lalu mencabut
goloknya dan mencoba memapaki serangan lawan.
Trang!
Cras!
"Aaakh...!"
Orang yang bernama Ganda mengeluh kesakitan
ketika kedua senjata mereka beradu. Pada saat yang
hampir bersamaan, ujung pedang Wulandari meng-
gores dadanya hingga dia menjerit kesakitan.
Duk!
"Akh...!"
Wulandari melanjutkan serangan dengan menen-
dang tubuh lawan, sehingga terjungkal ke belakang.
Ganda berusaha bangkit, namun ujung pedang ga-
dis itu telah melekat di tenggorokannya.
"Jangan coba-coba bangkit kalau tidak ingin le-
hermu putus!" desisnya geram dengan sikap mengan-
cam.
"Ekh..., ampun. Ampuni aku, Nisanak!" sahut laki-
laki itu dengan wajah pucat ketakutan dan suara ter-
sendat di tenggorokan.
"Huh, penjahat picisan! Apa kalian kira bisa ber-
buat seenaknya pada orang lain!" dengus Wulandari
geram.
Sementara kawannya yang seorang lagi diam tidak
berkutik menyaksikan Ganda diperlakukan demikian
oleh si gadis. Laki-laki bernama Sanjaya itu berpikir
bahwa, ilmu silatnya berada di bawah kawannya itu,
dan kalau saja Ganda dapat dijatuhkan dengan mu-
dah, apa lagi yang bisa dilakukannya? Lagi pula kalau
kepandaian si gadis sudah sedemikian hebat, bagai-
mana pula dengan kepandaian pemuda berbaju kulit
harimau itu? Tentu dia lebih hebat dari gadis itu, pikir
Sanjaya. Sehingga dia diam saja dengan wajah ketaku-
tan.
"Am..., ampun, Nisanak...," Ganda kembali memo-
hon dengan wajah yang semakin pucat.
"Huh, orang seperti kalian sebaiknya dilenyapkan
saja dari muka bumi ini agar tidak mengganggu orang
lain...!" geram Wulandari menekan ujung pedangnya
agak kuat sehingga laki-laki itu menjerit-jerit ketaku-
tan.
Mendadak pada saat itu terdengar kegaduhan dari
arah desa. Orang-orang berlarian menyelamatkan diri
sambil berteriak-teriak ketakutan.
'Tolooong...! Tolooong...!"
***
DELAPAN
Bayu dan Wulandari tersentak kaget. Keduanya
cepat melompat ke punggung kuda masing-masing dan
meninggalkan kedua orang itu untuk kemudian me-
macu kudanya dengan kencang memasuki desa.
"Kira-kira apa yang terjadi, Kakang?" tanya Wulandari.
"Entahlah, yang jelas kerusuhan besar. Bisa jadi
seperti yang dialami Desa Ngampar Cai beberapa hari
lalu...!" sahut Bayu.
Dalam beberapa saat saja mereka telah berada di
desa dan melihat kerumunan orang-orang yang tengah
mengeroyok seseorang. Namun meskipun dikeroyok
justru para pengeroyoklah yang terpelanting, kemu-
dian bermandikan darah dan tidak berkutik lagi. Pe-
muda itu bermaksud untuk turun tangan ketika saat
itu terdengar bentakan nyaring.
"Mundur semua...!"
Mendengar bentakan itu orang-orang yang tadi
mengeroyok satu persatu mundur dan membuat ling-
karan besar dan luas, sehingga terlihat orang yang me-
reka keroyok dengan jelas. Orang itu adalah seorang
pemuda berwajah bersih dengan pakaian rapi berwar-
na kuning keemasan. Senyumnya sinis, dan meski di-
keroyok demikian banyak orang, sama sekali tidak ter-
lihat sedikit pun luka di tubuhnya.
Sementara di depan pemuda itu berdiri tegak seo-
rang laki-laki berbadan besar dengan rambut panjang
digelung ke atas. Orang itu memiliki kumis tebal dan
wajah keras. Otot-ototnya bertonjolan memperlihatkan
kekuatan tenaga yang dimilikinya. Tangan kanannya
menggenggam sebuah golok besar yang berukuran
panjang. Bola matanya yang lebar menatap pemuda di
hadapannya itu dengan tajam.
"Siapa kau sebenarnya dan mengapa mengacau di
wilayah ini?!" bentak laki-laki berusia sekitar tiga pu-
luh tahun itu dengan garang.
"Siapa pula kau? Dan apa hakmu bertanya pa-
daku?" pemuda berbaju kuning keemasan itu ma-lah
balik bertanya tidak kalah garangnya.
"Aku panglima ketiga dari kerajaan yang kebetulan
lewat di desa ini. Namaku Wayan Sudira. Aku punya
hak untuk meringkus pengacau atau membunuh di
tempat ini!" dengus laki-laki bertubuh besar itu geram.
"Orang-orang menyebutku dengan Setan Seribu
Nyawa. Aku berbuat sesuka hatiku dan tidak ada seo-
rang pun yang punya hak melarangku. Siapa yang
mencoba-cobanya bakal mampus di tanganku!" dengus
pemuda yang tidak lain dari Danu Umbara itu dengan
sikap sombong.
"Keparat sombong! Kau pikir siapa dirimu bisa ber-
buat seenaknya di wilayah ini? Huh, kau harus ku
ringkus hidup-hidup. Dan bila berani melawan, maka
tidak ada jalan lain. Aku harus membunuhmu!" sahut
Panglima Wayan Sudira sambil melompat menyerang
lawan.
Tubuhnya melayang sambil mengayunkan satu
tendangan ke dada Danu Umbara. Pemuda itu terke-
keh kecil, sambil memiringkan tubuh dia menangkis
tendangan itu dengan hajaran tangan kanannya.
Plak!
"Uhhh...!"
Panglima Wayan Sudira tersentak kaget ketika me-
rasakan tulang kakinya terasa mau remuk menerima
tangkisan lawan. Masih untung dia cepat membuang
diri ketika lawan menyodokkan kepalan tangan kirinya
ke arah dada.
"Keparat! Kalau begitu aku terpaksa membunuhmu
di sini!" desis Panglima Wayan Sudira.
Bersamaan dengan itu, dia cepat bangkit dan
menghajar lawan dengan senjatanya.
"Hiyaaa...!"
Bet!
Golok besar itu menyambar-nyambar tubuh lawan
dengan menimbulkan desir angin kencang.
Namun dengan gesit Danu Umbara menghindarinya sambil tertawa mengejek.
"Ha ha ha...! Kerahkan seluruh tenagamu untuk
mencari bagian-bagian yang empuk di tubuh-ku!"
Suatu ketika Danu Umbara merasa bahwa dia te-
lah cukup mempermainkan lawan. Ketika Panglima
Wayan Sudira membabat punggungnya, pemuda itu
pura-pura bergerak lambat untuk menghindarinya,
sehingga....
Tak!
"Heh?!"
Des!
Senjata Panglima Wayan Sudira menghajar telak
dengan sekuat tenaganya ke punggung lawan. Dalam
hati dia berpikir tentulah tubuh lawan setidak-
tidaknya akan terbelah dua. Tapi yang terjadi sungguh
membuatnya kaget bukan main. Golok besarnya seper-
ti menghantam dinding baja. Tangannya bergetar he-
bat. Dalam keadaan demikian Danu Umbara menghan-
tamkan kepalan tangan kanannya ke dada lawan den-
gan telak.
"Aaa...!"
'Yeaaah....'"
Panglima Wayan Sudira tersungkur ke belakang
sambil memuntahkan darah segar dari mulutnya. Tapi
saat itu juga tubuh lawan telah melompat menyerang-
nya. Kali ini bisa dipastikan Panglima Wayan Sudira
tidak akan mampu menghindari serangan lawan. Kea-
daannya sangat kritis sekali.
Plak!
"Uhhh...!"
"Heh!"
***
Pada saat itulah Pendekar Pulau Neraka me-lompat
untuk memapaki serangan pemuda berbaju kuning
keemasan itu untuk menyelamatkan nyawa Panglima
Wayan Sudira. Danu Umbara bukannya tidak menge-
tahui ada seseorang yang berusaha menahan seran-
gannya. Pemuda itu melipatgandakan tenaganya dan
berbalik menghantam lawan barunya itu. Pendekar Pu-
lau Neraka tersentak kaget ke-tika kedua tangan me-
reka beradu. Baru kali ini dia merasakan tenaga yang
begitu hebat dan kuat serta mampu membuat tangan-
nya bergetar.
"Hup! Yeaaah...!"
Bayu melompat ke belakang sambil membuat bebe-
rapa putaran untuk menghindari lawan yang menye-
rang secara gelap. Kedua kakinya menjejak tanah den-
gan ringan.
"Hm, sudah kuduga pasti kau...!" dengus Danu
Umbara dengan wajah sinis.
"Siapa kau sebenarnya? Apakah di antara kita per-
nah bertemu sebelumnya?"
"Aku berterima kasih karena kau mengantar-kan
ketiga anak buah Perampok Tangan Darah untuk ku-
bunuh. Lengkaplah sudah mereka menanggung akibat
perbuatan mereka terhadapku!"
"Hm, jadi kaukah yang membantai kawanan pe-
rampok itu?" tanya Bayu meyakinkan.
"Mereka pantas mendapatkan itu...!"
'Tapi perbuatanmu tidak lebih dari mereka. Kau
bahkan sama kejinya. Tidakkah kau sadari bahwa
perbuatanmu selama ini merugikan banyak orang?"
"Huh, apa peduliku terhadap orang-orang?" dengus
Danu Umbara geram.
Kemudian dia memandang sinis ke arah Bayu
sambil melanjutkan kata-katanya.
"Sekarang kau menepilah dan jangan campuri uru-
sanku!" katanya dengan sikap mengancam.
"Maaf, aku tidak bisa membiarkan kau se-enaknya
membunuh orang tanpa sebab!"
"Hm, kalau begitu kau termasuk orang yang patut
dilenyapkan!" desis Danu Umbara sambil melesat me-
nyerang lawan.
Pendekar Pulau Neraka yang sejak tadi telah ber-
siaga, tidak urung merasa terkejut juga melihat gera-
kan lawan yang cepat bukan main..
Plak!
"Uhhh...!"
Bug!
Beberapa kali dia mencoba menangkis tendangan
serta sodokan kepalan tangan lawan, namun saat itu
juga Bayu mengeluh kesakitan. Tenaga dalam lawan
luar biasa, bahkan dia tidak yakin apakah tenaga da-
lamnya mampu mengungguli lawan. Lagi pula lawan-
nya itu seperti tidak takut pertahanannya terbuka.
Dan hal itu yang dimanfaatkan Bayu ketika dia men-
dapat satu peluang baik, kaki kanannya dengan cepat
menyambar ke arah perut dan menghantamnya den-
gan tenaga keras.
Duk!
Desss!
Bayu terkejut bukan main ketika kakinya seperti
menendang dinding baja yang tebal. Namun meski de-
mikian lawan hanya terlihat mundur dua langkah dan
tubuhnya terangkat ke atas, lalu dengan cepat dan
tiada terduga menghantamkan satu tendangan ke da-
da. Pendekar Pulau Neraka mengeluh kesakitan. Tu-
buhnya terjajar ke belakang dengan darah kental mele-
leh di sudut bibirnya.
Tendangan yang dilakukan Danu Umbara bukan
main dan seolah meremukkan seluruh isi dadanya.
Bayu menggeram kesal ketika tubuh Danu Umbara
kembali melenting sambil membentak keras dan bermaksud menghabisinya.
“Yeaaah...!"
Sring!
Merasa bahwa dengan menggunakan jurus-jurus
tangan kosong pemuda itu tidak menang, dia lalu me-
lontarkan Cakra Mautnya yang meluncur deras mem-
babat tubuh lawan dengan cepat. Tapi bukan main ka-
getnya Bayu ketika melihat tubuh lawan sama sekali
tidak mampu dilukai oleh Cakra Mautnya.
"Hiyaaa...!"
"Uts...!"
Pendekar Pulau Neraka cepat bergulingan ketika
telapak kaki lawan menggedor tubuhnya. Tubuhnya
melenting cepat ketika merasakan sambaran kaki la-
wan yang satu lagi menyapu tubuhnya.
'Yeaaah...!"
Danu Umbara membentak nyaring sambil mener-
jang tubuh lawan yang tengah melompat. Agaknya dia
sama sekali tidak mau memberi kesempatan sedikit
pun agar lawan lolos.
"Uh, manusia macam apa dia? Cakra Mautku
mampu menembus baja sekalipun, tapi tidak mampu
melukai tubuhnya. Kelihatannya dia sama sekali tidak
terpengaruh oleh kehebatan Cakra Mautku...!" desis
Bayu mengeluh pelan.
Apa yang dikhawatirkan Pendekar Pulau Neraka
memang kenyataannya demikian. Beberapa kali tubuh
Danu Umbara disambar Cakra Mautnya, tapi pemuda
berbaju kuning keemasan itu sama sekali tidak mera-
sakan perubahan apa-apa pada tubuhnya. Dia tetap
menyerang dengan ganas.
"Hm, kulit tubuhnya memang tidak mempan oleh
senjataku ini, tapi pakaiannya robek. Akan kulihat
apakah dia manusia yang mempunyai malu atau ti-
dak...," gumam Bayu seperti mempunyai akal untuk
mengalahkan lawan.
”Yeaaah...!"
Sring!
Pendekar Pulau Neraka membentak nyaring sambil
melemparkan Cakra Mautnya dengan kuat ke arah tu-
buh lawannya. Danu Umbara sama sekali tidak ber-
maksud menghindar karena merasa yakin bahwa sen-
jata lawan sama sekali tidak mampu melukainya.
Bret! Bret! Bret!
Dengan kecepatan yang luar biasa Cakra Maut itu
mencabik-cabik seluruh pakaian yang melekat di tu-
buh lawan.
"Ahhh...!"
Danu Umbara tersentak kaget, bukan karena di-
rinya yang kini hampir tidak berpakaian melainkan ka-
rena sebuah benda yang terpental dari balik pinggang-
nya. Sebuah keris kecil yang melesat cepat ke atas
akibat terbentur dengan Cakra Maut Pendekar Pulau
Neraka. Dengan cepat Danu Umbara melompat ber-
maksud mengejarnya tanpa mempedulikan lawannya.
Pendekar Pulau Neraka yang telah cukup berpengala-
man tidak membiarkannya begitu saja, maka dengan
mengerahkan kecepatan bergeraknya, dia menyambar
keris kecil yang terpental itu lebih dulu dari lawan.
Danu Umbara tersentak kaget. Dia memandang
marah pada Pendekar Pulau Neraka.
"Berikan padaku! Itu milikku! Berikaaan...!" ben-
taknya dengan sikap panik.
"Hm, agaknya benda ini amat berharga sekali ba-
gimu."
"Berikan padaku kataku! Keparat! Kubunuh kau!
Kubunuh kau...!" geram Danu Umbara sambil melom-
pat menyerang lawan.
Pendekar Pulau Neraka kini merasa berada di atas
angin melihat kepanikan lawan. Sambil melompat kesamping, tubuhnya melesat menyambar tenggorokan
lawan dengan menyodorkan ujung keris kecil di tan-
gannya itu. Dan....
"Aaakh...!"
Danu Umbara menjerit seperti orang tercekik dan
buru-buru dia melompat ke belakang. Wajah-nya pu-
cat ketakutan, dan matanya melotot garang meman-
dang ke arah lawan.
"Jahanam keparat! Berikan keris itu padaku! Beri-
kan cepaaat... atau kubunuh kau!" teriaknya berkali-
kali dengan nada mengancam.
***
Tubuh Danu Umbara kembali melompat menerjang
lawan sambil menghantam pukulan mautnya dengan
tenaga dalam yang dahsyat. Bumi seperti berguncang,
dan rumah-rumah yang berada di dekat tempat itu
ambruk. Orang-orang yang menonton pertarungan itu
menyingkir jauh-jauh ketika selarik sinar kuning kee-
masan yang berbau busuk meliuk-liuk menyambar tu-
buh Pendekar Pulau Neraka.
"Yeaaah...!" bentak Danu Umbara dengan se-gala
kemarahan yang meluap-luap.
"Maaf. Aku tidak bisa membiarkan kau hidup un-
tuk mengumbar nafsu setanmu dan mengacau see-
nakmu saja...," gumam Pendekar Pulau Neraka.
Beberapa saat kemudian tubuh Pendekar Pulau
Neraka berkelebat cepat menghindari serangan lawan.
Dengan mengerahkan kemampuan bergeraknya, dia
mengeluarkan tenaga dalam sepenuhnya untuk meng-
hantam wajah lawan dengan tenaga tendangan keras.
Danu Umbara tersentak kaget dan buru-buru men-
gangkat kedua tangan untuk menangkis. Tapi Bayu
menggunakan tangan lawan untuk membuat tubuh
nya jungkir balik dan melakukan serangan yang se-
sungguhnya. Dan....
Crab!
"Aaa...!"
Danu Umbara menjerit setinggi langit ketika keris
kecil di tangan Pendekar Pulau Neraka menancap ke
jantungnya. Tubuhnya ambruk menggelepar-gelepar di
tanah.
Bayu menunduk sedih. Dia segera mengetahui ke-
lemahan lawan ketika Danu Umbara kelihatan takut
sekali terhadap kerisnya itu. Maka dengan keris itu dia
merasa yakin mampu menghabisi lawan.
"Wualah, pertarungan sudah selesai!" teriak seseo-
rang.
"Siapa yang kalah?" tanya kawannya.
"Hoiii, setan itu telah mati...!" teriak yang lainnya
sambil menghampiri sesosok tubuh.
Orang-orang langsung mengerubungnya, namun
saat itu juga mereka berpaling cepat sambil menutup
hidungnya.
"Uh, bau! Dagingnya membusuk dan mengeluarkan
bau yang menusuk hidung!" teriak seseorang.
"Siapa pemuda tadi yang membunuhnya?" tanya
salah seorang pada kawannya.
'Tidak tahu. Tapi dengar-dengar dia Pendekar Pu-
lau Neraka."
'Pendekar Pulau Neraka? Wah, mana dia orang-
nya...?'
"Tidak ada! Tadi kulihat dia masih berdiri di tempat
ini, tapi..., kok sekarang sudah hilang, ya...?"
Orang-orang desa itu sibuk mencari-cari pemuda
berbaju kulit harimau yang telah mengalahkan Setan
Seribu Nyawa. Pendekar Pulau Neraka dan Wulandari
telah berada jauh dari desa itu. Begitu urusannya sele-
sai, Bayu segera menyelinap dan pergi dari tempat itu.
Namun demikian hatinya masih sempat bergetar me-
nyaksikan peristiwa terakhir yang menimpa lawannya
tadi. Ingatannya masih terbayang ketika tubuh pemu-
da itu diselubungi cahaya kuning, dari ketika sinar itu
hilang maka cincin di jari serta keris kecil yang me-
nembus jantungnya lenyap seketika tanpa bekas sebe-
lum tubuhnya berangsur-angsur membusuk!
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar