..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Selasa, 04 Februari 2025

PENDEKAR PULAU NERAKA EPISODE WARISAN IBLIS

Warisan Iblis

 

WARISAN IBLIS
Oleh: Teguh S.
Cetakan pertama, 1992
Penerbit Sanjaya Agency, Jakarta
Setting Oleh: Trias Typesetting
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini. 
tanpa izin tertulis dari penerbit

SATU

Laut Utara terlihat tenang. Angin bertiup semi-lir 
menyapu sebuah kapal dagang yang sedang berlayar. 
Beberapa buah layar berkibar-kibar menambah suasa-
na damai dan tentram. Di angkasa terlihat langit biru 
bersih dengan beberapa gerumbulan awan putih. Siang 
ini terasa betul-betul cerah. 
Di buritan kapal terlihat Juragan Sasmita Pura du-
duk pada sebuah kursi menikmati keindahan alam. Di 
sebelahnya terdapat istrinya yang cantik jelita beserta 
seorang pembantu wanita yang masih muda dan ber-
tampang rupawan. Sementara di depannya terlihat 
seorang bocah laki-laki berusia kurang lebih sepuluh 
tahun. Beliau adalah putra Juragan Sasmita Pura yang 
bernama Nara Sudana.
"Ayah, apakah bulan depan aku boleh ikut lagi?" 
tanya Nara Sudana memohon.
Juragan Sasmita Pura tersenyum pasti.
"Boleh saja kau ikut dengan ayah agar kelak kau 
bisa meneruskan usaha perniagaan ayah ini."
"Tapi aku kurang suka berniaga, yah. Aku hanya
senang melihat-lihat negeri lain." 
"Untuk apa? Apakah kau ingin menjadi pengemba-
ra gembel?" goda Juragan Sasmita.
"Tentu tidak. Aku akan mengamalkan ilmu yang te-
lah kupelajari selama ini," sahut Nara Sudana cepat.
Kembali Juragan Sasmita tersenyum. Putranya 
yang satu ini memang aneh sekali. Tidak seperti anak-
anak lain sebayanya yang senang berkelahi, adu ke-
tangkasan, serta bercita-cita menjadi orang kaya yang 
sangat dihormati. Dia malah begitu suka mempelajari 
kesusasteraan dan ingin mengembara ke negri lain un-
tuk menambah ilmu pengetahuannya.

"Apakah kau yakin bahwa niatmu itu bisa diterima 
orang lain?" tanya Juragan Sasmita kembali. 
"Tentu saja! Kalau mereka bisa baca tulis, orang-
orang tentu tidak akan bodoh, dan dengan begitu ne-
gara akan kuat."
"Tapi saat sekarang mereka tak memerlukan hal
itu, Nak...."
"Kenapa tidak?!"
Juragan Sasmita menghela nafas. Kemudian ka-
tanya dengan suara pelan. 
"Mereka perlu sesuatu untuk melindungi diri-nya 
sendiri. Entah itu dengan membekali diri dengan ke-
pandaian berkelahi, atau menjadi penguasa yang 
mampu menyewa jago-jago bayaran, lalu dengan sedi-
kit harta untuk melengkapi kehidupan mereka...."
"Jadi menurut ayah orang hidup hanya untuk di-
rinya sendiri? Kemanakah rasa kemanusiaan mereka 
melihat orang-orang lain yang bodoh, menderita, dan 
tersiksa?"
"Nak, kau masih terlalu muda untuk mengetahui
semuanya. Bila tiba waktunya kau tentu akan menger-
ti..." sahut ibunya.
Nara Sudana memalingkan wajah ke arah ibunya 
dengan rona bingung tak mengerti.
"Kenapa, bu? Apa bedanya saat ini dengan kelak? 
Apakah kini aku tak mampu mencerna segala sesuatu 
yang ada di depanku?"
"Tidak. Kau hanya belum cukup bekal untuk men-
cernanya dengan baik. Hatimu penuh dengan seman-
gat menyala, tapi matamu masih samar-samar melihat 
ke arah lain...." 
Mendengar kata-kata itu Nara Sudana semakin 
bingung saja. Dia mohon diri pada ayah ibunya, untuk 
meninggalkan tempat itu.
Langkahnya pelan menapak tiap sudut kapal da

gang milik ayahnya ini sambil terus memikirkan apa 
yang diucapkan orang tuanya tadi. Betulkah dia tak 
mengerti? Kenapa musti menunggu sampai dia lebih 
besar? Apakah pada usianya kini tak mampu mencer-
na segalanya yang terbentang di depan mata? 
"Aku prihatin, Kang...." 
Juragan Sasmita Pura melirik istrinya yang mende-
sah lirih sambil memperhatikan putra mereka satu-
satunya. 
Tak perlu khawatir, Cendani. Dia akan mengerti 
sendiri kelak bila waktunya tiba...."
"Tapi kapan, Kang...?" 
Juragan Sasmita tak langsung menjawab. Dia 
menghela nafas beberapa saat.
"Kenapa kau memikirkan hal itu?"
"Mengapa tidak? Dia putra kita satu-satunya. Ka-
kang sudah berusia lanjut, dan kelak pastilah pernia-
gaan ini turun padanya. Kalau mulai dari sekarang dia 
tak menyukai pekerjaan ini, bagaimana mungkin dia 
dapat melanjutkan usahamu?"
"Ya... aku pun sering memikirkan hal itu. Mungkin 
ada baiknya kita mengirim dia pada salah seorang 
guru...."
"Guru? Maksud kakang dia akan belajar ten-tang 
kesusasteraan lagi?"
"Tidak. Tapi aku bermaksud mengirimnya ke pade-
pokan Laksa Dahana. Bukankah padepokan yang di-
pimpin Ki Tembayat Danang itu sangat terkenal? Mu-
rid-murid yang belajar di sana tidak melulu tentang 
ilmu silat, tapi juga soal adat dan agama."
"Itu usul yang bagus, Kang!" sahut Cendani, is-
trinya.
"Tapi kalau Den Nara tak berada di rumah, saya 
merasa sepi..." sahut Wulandari, pembantu wanita 
yang telah dianggap keluarga sendiri oleh keluarga Ju

ragan Sasmita.
"Tapi kita bisa menjenguknya sebulan sekali, Wu-
lan," jawab Cendani sambil tersenyum.
Wulandari baru saja akan melanjutkan kata-
katanya ketika terdengar seorang awak kapal berteriak 
nyaring.
"Semua bersiap! Ada bahaya mengancam...!"
***
Juragan Sasmita terkejut. Dari situ dia bisa meli-
hat ke laut lepas. Sebuah kapal berukuran besar me-
nuju ke arah mereka. Pada benderanya yang berwarna 
merah terlihat gambar tengkorak.
"Perompak laut!" desisnya. 
"Juragan, silahkan masuk ke dalam. Kami akan 
menahan mereka!" kata Kebo Lanang, kepala pasukan 
pengawal kapal ini.
"Apakah tak ada jalan lain berdamai dengan mere-
ka?"
"Maaf juragan, mereka adalah Perompak Tengkorak 
Darah yang terkenal kejam. Mereka tak pernah kenal 
damai sebelum menghabisi korbannya."
"Ohh..." Juragan Sasmita mengeluh pelan.
"Anakku! Anakku...!" teriak Cendani cemas.
"Tenanglah, Nyi. Nara Sudana sedang dikawal ke 
sini!" sahut Kebo Lanang menjelaskan.
Juragan Sasmita beserta keluarganya segera ber-
sembunyi di dalam suatu ruangan kapal itu.
Sementara Perompak Tengkorak Darah terus men-
dekat ke arah mereka.
"Gulung layar cepat! Dan kayuh sekuat tenaga ka-
lian untuk menghindari mereka!" teriak Kebo Lanang 
memerintahkan awak kapalnya.
"Ki Kebo Lanang, sebagian awak kapal telah ber

siap menghadapi mereka," lapor Aradea, tangan kanan 
Kebo Lanang.
"Bagus! Bersiaplah kalian, dan lawan mereka sam-
pai titik darah penghabisan bila tak ada kesempatan 
lagi bagi kita untuk menghindar dari mereka."
"Baik, Ki!"
Sementara itu kapal Perompak Tengkorak Darah 
telah semakin dekat dengan mereka. Puluhan perom-
pak-perompak di dalamnya bersorak-sorai penuh an-
caman membuat sebagian awak kapal dagang itu ber-
getar hati mereka. Apalagi ketika belasan orang pe-
rompak-perompak itu siap bergelayutan pada seutas 
tambang yang diikatkan di tiang kapal untuk menye-
rang mereka dengan senjata terhunus.
"Seraaang...!" teriak salah seorang perompak.
"Yeaaa…!"
Begitu mendengar teriakan itu, belasan perompak 
yang telah siap bergelayutan langsung melesat ke kap-
al dagang itu. Dan yang lainnya menyusul satu persa-
tu.
"Seraaang...!" teriak Kebo Lanang memerintahkan 
anak buahnya.
Maka tak pelak lagi. Siang yang damai itu di-
pecahkan oleh teriakan-teriakan menggelegar yang 
kemudian disusul oleh jerit kesakitan dan kematian. 
Korban mulai berjatuhan.
"Hantam mereka...!" teriak Aradea sambil menghu-
nuskan pedangnya ke sana ke mari.
Puluhan orang awak kapal dagang itu berjuang 
mati-matian melawan belasan Perompak Tengkorak 
Darah yang tangkas dan trampil bertarung di atas 
kapal. Perlahan-lahan terlihat mereka mulai terdesak 
hebat. Apalagi ketika kapal perompak itu telah ber-
himpitan, maka bagai tanggul jebol, sisa-sisa perom-
pak yang tadi masih berada di kapalnya langsung melompat ke kapal dagang itu dan menghabisi seluruh 
awak kapal.
"Bedebah!" maki Kebo Lanang geram melihat anak 
buahnya banyak yang tewas.
Laki-laki bertubuh besar itu mengamuk sejadi-
jadinya. Pedang di tangannya telah banyak memakan 
korban. Tak percuma dia dipercaya sebagai kepala 
keamanan kapal ini. Ilmu silatnya lumayan hebat, dan 
mulai terlihat beberapa orang perompak agak jerih 
menghadapinya.
Namun saat itu juga muncul sosok bayangan me-
nyerangnya.
"Hiyaaa...!"
Kebo Lanang cepat berbalik dan menangkis seran-
gan lawan. 
"Trak!" 
"Ukh!"
"Hmm... cuma segitukah kemampuan orang anda-
lan di kapal ini?" dengus sosok bayangan yang baru 
muncul.
Kebo Lanang yang merasakan tangannya linu me-
nangkis senjata lawan berupa golok besar itu, mengge-
ram garang. Sepasang matanya menyipit. Orang ini 
masih terhitung berusia muda, namun wajahnya me-
mancarkan kebengisan. Apalagi dengan adanya codet 
yang melintang di pipi kanan-nya.
"Siapa kau?!"
"Aku tangan kanan Dasa Griwa, pemimpin Perom-
pak Tengkorak Darah. Namaku Rintang Kala."
"Hmm... kalian terlalu merendahkan ku dengan 
mengirim kau. Kenapa tidak sekalian si Dasa Griwa 
sendiri yang menghadapiku!?"
"Ha ha ha...! Besar mulutmu, keparat!" sahut satu 
suara.
Kebo Lanang langsung berbalik. Seorang dengan

sosok tinggi besar berdiri gagah di tepi kapal. Wajah-
nya penuh brewok dan kaki kirinya yang buntung di-
ganti sebuah besi yang ujungnya runcing. Tangan ka-
nannya menggenggam sebuah golok besar.
"Kaukah yang bernama Dasa Griwa?"
"Ha ha ha...!" Aku berbaik hati menyambut tantan-
ganmu meskipun kau harus mampus!" dengus Dasa 
Griwa.
Selesai berkata begitu tubuhnya dengan cepat me-
lesat ke arah Kebo Lanang sambil mengirim suatu 
serangan kilat. 
"Hiyaaa...!" 
"Yeaaaa...!"
Kebo Lanang langsung bersiaga. Sambil menun-
dukkan kepala, pedangnya menyambar perut lawan. 
Namun Dasa Griwa agaknya telah memperhitungkan 
hal itu. Golok besarnya langsung memapaki.
"Trak! Duk!"
"Ukh!"
Kebo Lanang menjerit kecil. Gerakan lawan sung-
guh cepat dan sama sekali tak diduganya. Kaki kanan 
Dasa Griwa menghantam perutnya. Kebo Lanang ter-
huyung-huyung beberapa tindak.
"Mampus!" bentak Dasa Griwa sambil mengirim se-
rangan susulan. 
"Trak! Cras!"
"Aaa...!"
Kebo Lanang menjerit kesakitan. Dia cuma sempat 
menangkis sekali karena selanjutnya kaki kiri Dasa 
Griwa langsung menyambar dadanya. Pemimpin pasu-
kan pengawal di kapal dagang itu tewas beberapa saat 
kemudian setelah menggelepar-gelepar kesakitan.
"Keparat! Kalian harus membayar kematian-nya!" 
bentak Aradea begitu melihat kematian Kebo Lanang.
Tanpa berpikir panjang pemuda itu langsung me
nyerang Dasa Griwa dengan pedang terhunus.
"Hiyaaa....!"
Namun detik itu juga Rintang Kala, yang me-
rupakan tangan kanan pemimpin Perompak Tengkorak
Darah itu bergerak cepat menghadang.
"Hus, segala ikan teri hendak berlagak di hadapan 
sekumpulan hiu! Kaulah yang mampus lebih dulu!"
"Trak!"
"Bet!"
Aradea tersentak. Ketika senjata mereka beradu, 
terasa tangannya linu dan kesemutan. Belum lagi dia 
sempat menyadari bahwa tenaga dalam lawan lebih 
tinggi setingkat, tahu-tahu Rintang Kala dengan kece-
patan yang sulit diikuti mata biasa menghunuskan 
ujung golok besarnya ke tenggorokan lawan. Masih ba-
gus Aradea mampu membuang dirinya ke belakang.
"Yeaaaa...!"
"Trak! Duk!"
"Akh!"
Serangan Rintang Kala selanjutnya sulit dielakkan. 
Walaupun Aradea berhasil menangkis sabetan senjata 
lawan, namun tak urung kaki Rintang Kala berhasil 
menghantam pinggangnya dengan telak. Tubuh Aradea 
terpental melewati tepi kapal dan tercebur ke luar 
sambil menjerit keras.
"Bagus Rintang Kala!" puji Dasa Griwa sambil ter-
kekeh-kekeh.
"Terima kasih ketua...."
"Tumpas mereka semua, dan sikat barang-barang 
berharga yang ada?!" perintah Dasa Griwa selanjutnya 
dengan garang.
"Baik, ketua!" sahut Rintang Kala tangkas.
***

Setelah kehilangan pemimpinnya, sekejap saja se-
luruh awak kapal dapat mereka tumpas. Beberapa 
orang yang ciut nyalinya menyabung nyawa dengan 
melompat dari kapal dan berenang di sepanjang lautan 
luas. 
"Ha ha ha...! Biarkan mereka, tak usah dikejar. 
Orang-orang itu akan mampus dengan sendirinya. Ce-
pat angkut barang-barang ini!" teriak Dasa Griwa 
memberi perintah. Setelah itu dia sendiri memeriksa 
seluruh kapal itu.
Dasa Griwa menemukan sebuah ruangan di dalam 
kapal itu. Dengan serta merta ditendangnya pintu. 
Terdengar pekikan kaget wanita dari dalam. Wajah 
pemimpin Perompak Tengkorak Darah itu menyeringai 
dengan hidung kembang kempis. Buru-buru dia me-
langkah masuk. Namun saat itu juga terdengar teria-
kan nyaring yang disusul dua sosok bayangan lang-
sung menyerangnya.
"Hiyaaaa...!"
"Uts!"
"Plak! Duk!"
"Aaua...!"
Tak percuma Dasa Griwa sebagai pemimpin pe-
rompak yang paling ditakuti di seantero lautan utara
ini kalau dia berkepandaian rendah. Walau sedikit ka-
get, namun dengan tangkas dia menangkis serangan 
itu. Tangan kirinya menangkap pergelangan lawan, 
sementara kaki kanannya menendang ke arah perut 
lawan yang satu lagi setelah menundukkan kepala
menghindari sabetan pedang.
Kedua sosok bayangan itu menjerit ketika tubuh 
mereka melayang bagai sepotong ranting dilempar.
"Ha ha ha...! Tikus-tikus geladak mau coba-coba 
terhadap Dasa Griwa, mampuslah bagian kalian!" den-
gus pemimpin Perompak Tengkorak Darah itu sambil

terbahak dan terus melangkah ke dalam.
Dasa Griwa terkejut barang sejenak. Namun dia 
cepat menyeringai lebar manakala melihat Juragan 
Sasmita Pura sedang mendekap istri dan putranya. 
Sementara pembantu wanita mereka meringkuk di de-
kat kakinya. Wajah-wajah mereka pucat ketakutan.
"Hua ha ha...! Mimpi apa aku semalam! Sekali te-
puk dua kenikmatan tertangkap. Ke sini, datanglah 
pada Dasa Griwa, kalian berdua pasti akan mendapat 
kenikmatan luar biasa."
Dasa Griwa melangkah ke dekat mereka. Tangan-
nya bermaksud menjamah tubuh Cendani. Dalam 
keadaan begitu tiba-tiba saja keberanian Juragan 
Sasmita timbul. 
"Plak!"
"Enyah kau dari tempatku ini!" bentaknya sambil 
menepis tangan kasar Dasa Griwa.
Tapi wajahnya sedikit meringis saat tangannya te-
rasa pedih akibat benturan dengan tangan Dasa Gri-
wa. Sebaliknya pemimpin Perompak Tengkorak Darah 
itu malah tertawa semakin lebar.
"Ha ha ha...! Kaukah pemilik seluruh barang ber-
harga di kapal ini? Nah, relakanlah sebab sekarang 
semuanya menjadi milikku. Termasuk dua wanita can-
tik ini!"
"Keparat! Langkahi mayatku dulu baru kau boleh 
menerima bangkai mereka!" maki Juragan Sasmita ge-
ram.
"Ha ha ha...! Apa susahnya melangkahi mayat-
mu?"
Setelah berkata begitu Dasa Griwa menyorong-kan 
kepalan tangan kanannya ke dada Juragan Sasmita.
"Hup!"
"Duk!"
"Ukh!"

"Kakang...!" jerit Cendani ketika melihat suaminya 
terlempar membentur dinding akibat tonjokan tinju ki-
ri pimpinan Perompak Tengkorak Darah.
Pada saat tinju kanan Dasa Griwa melayang, Jura-
gan Sasmita mencoba menangkis. Namun dengan tiba-
tiba tinju kiri lawan menghantam perutnya dengan te-
naga kuat. Akibatnya Juragan Sasmita menjerit keras. 
Dari mulutnya muncrat darah segar.
"Hmm... itulah upahnya kalau membandel. Ke sini 
kau!" bentak Dasa Griwa garang sambil me-narik len-
gan Cendani.
"Lepaskan! Lepaskan aku keparat!"
"Huh, kau kira ada yang bisa menghalangi keingi-
nan Dasa Griwa?!"
Sambil menyeringai lebar Dara Griwa meng-
hempaskan tubuh Cendani ke atas ranjang yang ter-
dapat dalam ruangan itu. Kemudian dengan gemas di-
tindihnya tubuh itu sambil mencabik-cabik pakaian-
nya dengan kasar.
Cendani berteriak-teriak sambil berusaha me-
lepaskan diri. Namun tubuh Dasa Griwa yang besar 
dan kuat itu tak mampu beringsut dari atas tubuh-
nya.
"Keparat! Bajingan laknat, lepaskan! Le-
paskaaan...!"
"Lepaskan ibuku! Lepaskan ibuku...!" bentak Nara 
Sudana yang sejak tadi cuma terpaku ketakutan.
Bocah laki-laki berusia sepuluh tahun itu seperti 
tersentak melihat keadaan itu. Rasa takutnya tiba-tiba 
saja sirna, dan dengan beraninya dia mengambil sepo-
tong kayu lalu menghajar punggung pimpinan Perom-
pak Tengkorak Darah.
"Prak!"
Nara Sudana terhenyak. Kayu di tangannya patah 
jadi dua. Tiba-tiba saja dilihatnya Dasa Griwa berbalik

dan meradang ke arahnya dengan wajah geram.
"Bocah keparat! Rupanya kau ingin mampus me-
nyusul bapak moyangmu!" 
"Plak!" 
"Aaaa...!"
Tanpa rasa perikemanusiaan sedikit pun Dasa 
Griwa melayangkan kaki ke tubuh Nara Sudana. Bo-
cah itu memekik nyaring. Tubuhnya terpental mengha-
jar dinding kayu ruangan yang langsung jebol.
"Anakku! Anakku...!" teriak Cendani berusaha 
bangkit.
"He he he...! Biarkan anakmu mampus. Se-baiknya 
kau bersenang-senang dulu denganku!"
Dasa Griwa langsung menangkap pergelangan len-
gan Cendani dan kembali menghempaskan tubuhnya 
ke atas ranjang. Wanita itu berteriak-teriak histeris 
sambil berusaha berontak sekuat tenaga. Mulanya Da-
sa Griwa masih belum panik, namun ketika Wulandari
yang juga tiba-tiba bangkit keberaniannya dan memu-
kul-mukul tubuh pimpinan Perampok Tengkorak Da-
rah itu, Dasa Griwa mulai naik pitam. Hampir saja dia 
bermaksud menghantam pembantu wanita keluarga 
Juragan Sasmita itu. Namun begitu melihat wajahnya 
yang rupawan, Dasa Griwa menyeringai lebar.
"Ha ha ha...! Agaknya kau tak sabaran. Baiklah, 
kau tunggu giliran sementara kami bersenang-senang 
lebih dulu."
"Baji...!" 
"Tuk!"
Wulandari tak sempat meneruskan makiannya ke-
tika dengan tiba-tiba urat gerak dan suaranya ditotok
Dasa Griwa. Tubuhnya langsung ambruk bagai tak 
bertulang. Bersamaan dengan itu Dasa Griwa kembali 
meneruskan nafsu setannya ter-hadap istri Juragan 
Sasmita yang berusaha melepaskan diri darinya. Na


mun lama-kelamaan perlawanan wanita itu melemah 
seiring dengus nafas Dasa Griwa yang membara. Air 
mata wanita itu terus meleleh pilu. Batinnya menjerit 
keras.
Dasa Griwa memang kepala perompak yang tak 
pernah mengenal rasa kasihan. Setelah selesai mem-
boyong seluruh barang berharga di kapal itu, dia pun 
kemudian membakar dan menghabisi segala yang ada 
di kapal itu, termasuk penghuninya.
Gema tawanya melingkupi lautan yang kembali 
bergelombang tenang. Kapal berbendera tengkorak itu 
menjauh meninggalkan kepulan asap hitam dari kapal 
dagang yang perlahan-lahan tenggelam.
*
* *
DUA


Awan di langit tampak mendung, dan angin bertiup 
mulai kencang. Siang yang terik itu dengan perlahan-
lahan berubah kelabu, dan gelombang laut mulai 
menggila.
Sementara itu di tengah lautan terlihat sepotong 
kayu yang dipermainkan ombak sejak tadi. Dipeluk 
oleh seorang bocah berusia sepuluh tahun yang tak 
lain dari Nara Sudana. Agaknya bocah itu mampu ber-
tahan hidup di tengah lautan yang luasnya tak terkira 
itu. Ketika tubuhnya dihantam Dasa Griwa, dia lang-
sung terhempas ke dalam laut. Tapi bocah yang tabah 
itu tak kehilangan semangat. Melihat sepotong kayu 
yang terapung di dekatnya. dia berusaha meraih dan 
mencoba kembali ke kapal. Dasar bocah tak mampu 
berenang, malah dia terbawa arus angin yang menjau

hi kapal itu. Bocah itu cuma bisa berteriak-teriak den-
gan suara parau memanggil ayah dan ibunya.
"Ayah... ibu... bagaimana nasib kalian? Ohh.... Tu-
han, berilah kekuatan padaku untuk terus bertahan 
hidup," sebutnya berulang-ulang.
Sekujur kulit Nara Sudana mulai membiru kedin-
ginan, dan pecah-pecah diterpa panas matahari siang 
yang panas. Begitu juga dengan wajahnya yang pucat. 
Bibirnya berdarah dan kulitnya mengelupas. Tapi te-
kad bocah itu kuat sekali. Dengan sekuat tenaga dipe-
luknya potongan kayu itu erat-erat seolah menyatu 
dengan tubuhnya.
"Ya Tuhan, lindungilah aku dari keganasan ulam 
ini!" do'anya ketika melihat ombak yang mulai meng-
gunung menghempaskannya berkali-kali.
Bocah itu tak henti-hentinya berdo'a ketika kesa-
darannya mulai hilang saat kepalanya terasa sakit luar 
biasa. Hempasan-hempasan itu betul-betul tak tertan-
dingi oleh semangat hidupnya yang menyala-nyala.
"Ohh... aku tak ingin mati! Aku musti hidup! Aku 
musti hidup! Akan kucari mereka dan kuhabisi satu 
persatu. Akan... ohh...."
Nara Sudana tak mampu lagi meneruskan kata-
katanya. Kesadarannya hilang, dan daya tahan tubuh-
nya telah betul-betul lemah. Tubuh kecil itu diper-
mainkan ombak yang menggila satu harian itu tanpa 
ketahuan hidup atau mati.
Menjelang subuh dini hari barulah laut kembali te-
nang. Sang Surya seperti tersenyum di ufuk timur 
yang memerah.
Rasanya hanya kebesaran Yang Maha Pencipta saja 
yang menyebabkan tubuh bocah laki-laki itu terdam-
par di sebuah pulau terpencil di tengah lautan yang 
maha luas. Alamnya indah dan banyak terdapat bukit-
bukit kecil serta pepohonan walaupun luasnya tak se

berapa.
Ketika perlahan-lahan matahari beranjak siang, 
Nara Sudana menggeliat sambil merintih pelan.
"Ohh...."
Bocah itu merasakan tubuhnya sakit bukan kepa-
lang. Kepalanya berdenyut-denyut tak karuan. Perla-
han dia merayap menjauhi pantai yang masih mengge-
nangi sebagian tubuhnya.
"Di manakah aku ini? Tempat macam apa ini? 
Apakah aku telah berada di sorga...?" tanyanya dengan 
suara pelan.
Bocah itu berusaha bangkit. Namun baru saja dia 
tegak, tubuhnya kembali ambruk.
"Ohh... aku harus kuat! Aku harus kuat, dan tak 
boleh lemah. Aku harus terus hidup untuk membalas 
sakit hati dan dendam keluargaku! Aku harus hi-
dup...!" katanya membulatkan tekad.
Setelah menghirup udara sepenuhnya, bocah itu 
kembali berusaha bangkit dengan mengerahkan sege-
nap sisa tenaga yang dimilikinya. Namun baru saja 
melangkah dua tindak, dia kembali ambruk. Agaknya 
semangat hidup bocah itu betul-betul luar biasa. Wa-
laupun terus jatuh bangun, dia tetap memaksakan diri 
berjalan memasuki pulau itu.
"Ohh... tempat apakah itu? Agaknya sebuah goa. 
Barangkali aku bisa berlindung di situ."
Begitu melihat sebuah celah di antara bebukitan 
kecil, bocah itu bertambah semangat. Perlahan-lahan 
disibakkannya semak-semak yang menghalangi.
Di dalam goa itu suasananya agak gelap dan pen-
gap. Namun ketika dia terus melangkah ke dalam, 
ruangannya bertambah luas dan cahaya yang datang 
dari celah-celah langit goa menyebabkan sinar mata-
hari menerangi. Di sudut ruangan itu terdapat sebuah 
kolam kecil yang penuh berisi air yang jernih berasal

dari celah dinding goa. Air itu tak mengumpul di kolam 
itu semua, sebab pada celah yang lain terlihat air men-
galir ke luar entah ke mana. 
Melihat air yang jernih itu Nara Sudana jadi mulai 
merasakan tenggorokannya yang kering dan terbakar 
sejak tadi. Buru-buru dia menciduk air itu dan mera-
sakan tubuhnya sedikit lebih segar.
"Ahh... segar sekali air ini. Tapi perutku lapar. Di 
mana aku bisa memperoleh makanan di sini?" tanya 
bocah itu sambil memutar pandangan ke seluruh 
ruangan goa itu.
Nara Sudana tersentak kaget ketika matanya meli-
hat tumpukan tulang belulang manusia tak jauh dari 
kolam itu. Setelah diamati, ternyata tulang itu milik 
satu orang yang telah berusia lama.
"Ohh... siapakah orang yang malang ini? Apakah 
dia orang pertama yang datang ke pulau ini dan tak 
dapat keluar? Kalau demikian, apakah aku musti ter-
kurung selamanya di sini sampai tubuhku tinggal tu-
lang belulang?" keluh batin Nara Sudana.
Diamatinya sekali lagi tulang belulang yang telah 
rapuh itu. Tengkorak di atas sebuah batu datar yang 
agak mencuat sekitar satu jengkal dari permukaan ta-
nah. Melihat pada posisi tulang paha dan kakinya bo-
cah yang berotak cerdas itu cepat memperkirakan 
bahwa sebelum tulang belulang itu run-tuh tentu so-
sok tubuh ini sedang dalam keadaan duduk bersila. 
Kalau demikian....
"Pfuh! Pfuh!"
Bocah itu tiba-tiba berpikir sesuatu dan member-
sihkan debu tebal yang menyelimuti batu datar tempat 
tulang-belulang itu terkumpul. Ternyata dugaanya be-
nar. Pada batu itu tertulis sebuah nama yang dipahat 
sebesar jari telunjuk, dan beberapa baris kata.

Di sini aku tinggal bersama dendam yang tak terba-
las karena racun keparat yang menggerogoti tubuhku. 
Walau dia sudah mampus, tapi dendam ku kepada se-
mua orang sedalam lautan. Barang siapa yang mene-
mukan tempatku ini, kuwariskan segala kepandaianku 
untuk memusnahkan kesombongan orang-orang yang 
berkepandaian tinggi.
tertanda 
Iblis Maut
Nara Sudana terhenyak. Dadanya berdebar keras. 
Mana kepandaian yang akan diturunkan orang ini? 
Tanyanya di hati. Membaca kata-katanya yang men-
gandung keyakinan, pastilah dia tokoh persilatan be-
rilmu tinggi.
Bocah itu memutar pandang ke sekeliling.
"Hei!"
Dia tersentak girang ketika melihat dan menyadari 
bahwa seluruh dinding goa dalam ruangan ini penuh 
dengan gambar-gambar yang kelihatannya dipahat 
oleh jari. Diamat-amatinya barang beberapa saat, dan 
kembali wajah bocah itu semburat cerah.
"Hmm... melihat gambar-gambar ini, kelihatannya 
seperti orang yang sedang menari? Tapi mana mungkin 
Eyang Iblis Maut menciptakan tarian untuk memba-
laskan dendamnya. Aku yakin mungkin gerakan-
gerakan ini adalah bagian dari ilmu silat yang dimili-
kinya," duga Nara Sudana setengah yakin.
Tanpa sadar dia mengikuti gerakan-gerakan itu sa-
tu persatu secara acak tanpa mempedulikan keadaan 
tubuhnya yang lemah. Wajahnya tampak segar penuh 
rona kehidupan sekaligus dendam dan kebencian.
"Tunggulah pembalasan dariku keparat-keparat ja-
hanam!" dengus Nara Sudana sambil menyipitkan ma-
ta dan mengerutkan wajah sedemikian rupa.
Agaknya dendam di hati bocah itu yang membara 
membuatnya mampu mengalahkan keadaan tubuhnya 
yang tadi lemah tak berdaya. Keyakinan untuk hidup 
berkobar-kobar dalam hatinya. Dan tanpa mengenal 
lelah dia terus mengikuti gerakan-gerakan yang tergu-
rat di dinding goa dari hari berganti minggu, berganti 
bulan, dan tahun.
"Yeaaaaa...!"
** *
Sementara itu tak terasa waktu telah berlalu tujuh 
tahun sejak peristiwa yang menimpa keluarga Juragan 
Sasmita. Selama itu pula Perompak Tengkorak Darah 
terus malang-melintang tanpa ada yang mampu meng-
halanginya. Banyak sudah tentara-tentara kerajaan 
yang dikirim untuk menghabisi mereka, namun semu-
anya tak ada yang pernah kembali lagi. Raja bukan 
main prihatin melihat keadaan itu. Soalnya pelayaran 
di laut itu sangat penting bagi perdagangan dengan 
negeri lain. Dengan adanya Perompak Tengkorak Da-
rah yang tak kenal kompromi dan merampas serta 
membunuh setiap kapal-kapal yang lewat di laut itu, 
mau tak mau perdagangan antar pulau dan negeri
yang melewati laut itu tak bisa berjalan lancar. Bahkan 
lambat laut terasa sepi.
Dasa Griwa yang menjadi ketua Perompak Tengko-
rak Darah semakin besar kepala saja. Bahkan karena 
gilanya akan kekuasaan dia bermaksud menyerang ke-
rajaan dan menjadi raja baik di lautan maupun di da-
rat.
"Ha ha ha...! Bagaimana pendapat kalian? Bukan-
kah lebih pantas kalau aku yang menduduki jabatan 
raja itu?" tanyanya pada seluruh anggota Perompak 
Tengkorak Darah yang saat itu sedang merayakan ke
menangan mereka setelah menumpas kapal perang ke-
rajaan.
"Bagus ketua! Anda sangat cocok sekali menjadi ra-
ja!" sahut salah seorang anak buahnya.
"Betul! Dasa Griwa lebih pantas menjadi raja!"
"Raja yang sekarang lemah dan prajurit-prajuritnya 
seperti penari-penari kerajaan yang gemulai!"
"Dasa Griwa penguasa laut dan daratan!"
"Hidup Dasa Griwa!"
"Hiduuup!"
Sorak-sorai gegap gempita langsung menyambut 
niat Dasa Griwa itu.
Rintang Kala yang menjadi tangan kanan Dasa 
Griwa langsung naik di atas salah sebuah tiang. Sam-
bil berdiri tegak, dia berucap lantang.
"Dengarkan semua! Seminggu dari sekarang kita 
akan langsung menyerang wilayah kerajaan. Kekuatan 
kita cukup dibandingkan dengan pengawal-pengawal 
kerajaan. Kita harus menang, dan nama Perompak 
Tengkorak Darah akan berkibar ke seantero negeri. 
Siapkan diri kalian mulai sekarang!!"
"Akuuuur!"
"Kita musnahkan orang-orang di kota raja!"
"Kita rampas semua barang berharga milik mere-
ka!"
"Hidup Tengkorak Darah!" 
"Hidup ketua Dasa Griwa!" 
"Hiduuup!"
Kembali terdengar sahutan bersemangat dari selu-
ruh anggota Perompak Tengkorak Darah. Rintang Kala 
tersenyum sinis. Terbayang dalam benaknya nama 
Tengkorak Darah akan ditakuti oleh Seantero golongan 
di negeri ini, dan akan menjadi gerombolan yang paling 
berkuasa pada jaman ini.
Namun ketika semua kembali tenggelam dalam

pesta pora itu sekonyong-konyong terdengar bentakan 
nyaring.
"Dasa Griwa tak akan pernah jadi raja, karena dia 
akan mampus seperti bangkai di sampah!"
Tentu saja semua yang berada di tempat itu men-
jadi kaget. Lebih-lebih Dasa Griwa. Wajahnya berkerut 
dan sepasang matanya melotot garang. Dia langsung 
bangkit dari singgasananya.
Terlihat di antara kumpulan anak buahnya yang 
tadi sedang duduk bersila, berdiri seorang pemuda 
berkulit coklat dan bertubuh kekar. Rambutnya gon-
drong dan kusut masai seperti tak pernah diurus. Wa-
jahnya tampak keras, dan sorot matanya berkilat ta-
jam penuh kebencian.
"Siapa kau, dan dari mana bisa masuk ke tempat 
ini?! Aku tak mengenalmu sebelumnya?!" bentak Dasa 
Griwa garang.
Salah seorang anggota perompak Tengkorak Darah 
yang duduk tak jauh dari pemuda itu tiba-tiba saja 
berlutut dan memohon ampun.
"Ampunkan hamba, Paduka Dasa Griwa. Hamba 
tak tahu siapa pemuda ini. Tapi melihat kejujuran dan 
kepandaiannya, hamba memberanikan diri mengam-
bilnya sebagai anggota dalam pasukan hamba. Tapi 
kali ini hamba tak mengerti, kenapa dia bersikap begi-
ni. Mohon ampun untuk hamba dan dirinya, Padu-
ka...."
Pemuda itu melirik ke arah orang itu.
"Paman, kalau nanti ada orang yang akan kuam-
puni jiwanya itu adalah kau. Pergilah dari tempat ini 
sebelum banjir darah menelan dirimu!"
"Nara Sudana, tutup mulutmu! Aku tahu kau me-
miliki ilmu silat tinggi, tapi kau bukan tandingan 
orang-orang ini. Maka sebelum mereka marah, berlu-
tutlah memohon ampun!" bentak orang itu.

Pemuda yang dipanggil Nara Sudana itu bukannya 
takut mendengar kata-kata itu. Wajahnya semakin ga-
rang dan tangan kanannya bersiap meraih pedang 
yang tersandang di punggung. Kemudian katanya den-
gan suara dingin.
"Paman, agaknya kau tak bisa melepaskan diri dari 
jiwa anjing orang-orang itu. Kalau demikian ku cabut
kata-kataku, dan kaulah yang lebih dulu mampus!"
"Sret!"
"Duk!"
"Aaaa...!"
Semua orang yang berada di situ tersentak ka-get. 
Dasa Griwa sendiri hampir tak percaya bahwa tubuh 
malang yang ditendang pemuda itu melesat cepat ke 
arahnya. Masih untung Rintang Kala cepat bergerak 
memapaki. 
"Plak."
Tubuh orang yang di sebelah pemuda itu ambruk 
ke lantai. Tubuhnya nyaris terbelah dua dengan darah 
yang mengucur deras. Yang melihat itu kembali terke-
jut dan timbul kemarahan mereka. Sambil bersiap me-
nunggu perintah, mereka mencabut senjata masing-
masing. Tapi Dasa Griwa mengacungkan tangan. Dita-
tapnya pemuda itu lekat-lekat. Pedang di tangannya 
berkilat tajam, dan tak terlihat sedikit pun noda darah. 
Pimpinan Perompak Tengkorak Darah itu mulai me-
nyadari bahwa pemuda itu berilmu tinggi, dan dia tak 
main-main dengan kata-katanya tadi.
"Siapa kau, dan apa maksudmu dengan semua 
ini?" tanya Dasa Griwa dengan suara lunak.
"Jangan banyak mulut. Serahkan kepalamu saat 
ini juga, atau tempat ini akan banjir darah dan me-
nenggelamkan mu!"
"Ha ha ha...! Sungguh hebat kau, bocah. Aku suka 
dengan sikapmu yang gagah. Suatu kehormatan besar

kalau kau mau menjadi pengawal pribadiku."
"Dasa Griwa keparat, tentu saja aku akan senang 
menjadi pengawal pribadimu itu. Nah, serahkan dulu 
uang muka untukku dengan mempersembahkan kepa-
lamu!" sahut Nara Sudana mengejek.
Mendengar itu tentu saja seluruh anggota perom-
pak Tengkorak Darah yang berada di situ mendidih da-
rahnya. Mereka nyaris akan menghajar pemuda itu ka-
lau saja Dasa Griwa tak buru-buru memberi isyarat 
dengan tangannya.
"Tapi ketua, pemuda ini sangat kurang ajar sekali. 
Kalau tak diberi pelajaran dia akan semakin berting-
kah!" tukas Rintang Kala.
"Sebentar. Aku masih mempunyai kepentingan 
dengannya," sahut Dasa Griwa sambil kembali menga-
lihkan perhatian pada pemuda itu.
"Pemuda, kudengar tadi namamu Nara Sudana bu-
kan? Nah, ceritakan padaku kenapa kau begitu men-
ginginkan kepalaku?"
"Dasa Griwa tak usah berbasa-basi segala. Keda-
tanganku ke sini menagih hutang nyawa ayah dan 
ibuku yang kalian bunuh secara biadab!"
"Hmm... ayah ibumu? Kuakui, telah banyak manu-
sia yang tewas di tanganku, tapi mana mungkin kuin-
gat mereka satu persatu. Coba kau jelaskan siapa me-
reka? Siapa tahu kau salah tuduh...."
"He he he...! Mana mungkin aku bisa salah. Dasa 
Griwa pemimpin Perompak Tengkorak Darah cuma sa-
tu-satunya di dunia ini. Kaulah orangnya yang tujuh 
tahun lalu menyerang kapal kami. Kau bunuh ayahku 
dan kau perkosa ibuku, kemudian kau bakar dan 
tenggelamkan seluruh orang yang berada di kapal itu. 
Hari ini aku menagih hutang nyawa mereka pada ka-
lian semua."
Agaknya pemuda itu betul-betul sudah muak dengan segala basa-basi Dasa Griwa. Dengan gerakan ce-
pat, dia membabatkan pedangnya pada beberapa 
orang anak buah Perompak Tengkorak Darah yang pal-
ing dekat dengannya.
"Cras! Cras!"
"Hiyaaa...!"
"Aaaa...!"
Kecepatan bergerak pemuda itu luar biasa. Dalam 
sekejapan mata saja enam orang langsung tewas di 
tangannya. Dan pada serangan berikut-nya kembali 
pedangnya memakan korban lima Orang nyawa me-
layang dengan tubuh penuh Iuka sayatan.
"Keparat! Kau hadapilah aku!" teriak Rintang Kala 
langsung menerjang dengan senjata di tangan.
Sebenarnya Dasa Griwa sangat menyayangkan hal 
ini. Setelah mengetahui bahwa pemuda itu memiliki 
kepandaian hebat, dia bermaksud membujuknya un-
tuk mau menjadi tangan kanannya. Memiliki tangan 
kanan sepertinya tentulah amat membanggakan seka-
ligus dapat diandalkan. Tapi kini keadaan berubah ce-
pat. Dendam pemuda itu tak bisa ditawar-tawar lagi. 
Sorot matanya yang tajam seperti hendak menelan se-
mua orang yang berada di tempat ini.
Sementara itu Rintang Kala terkejut bukan main. 
Belum pernah selama malang melintang berhadapan 
dengan lawan-lawan dia menemukan yang sepadan 
kepandaiannya. Pemuda itu bukan lagi sepadan, tapi 
dengan mudah menghalau serangannya.
Kalau saja saat itu dia tak dalam keadaan dike-
royok niscaya dalam satu jurus saja Rintang Kala nya-
ris binasa. Justru dalam menghadapi serangan balik 
pemuda itu, beberapa anak buahnya harus merelakan 
diri mereka sebagai perisai.
"Gila! Kepandaian dan kekuatannya seperti setan!" 
desis Rintang Kala.

Tangan kanan Dasa Griwa itu melihat bahwa pe-
muda itu dengan mudahnya menghajar lawan-
lawannya seperti membabat rumput saja layaknya. Je-
rit kematian dan pekik kesakitan mewarnai di tempat 
itu.
Ruangan ini berada dalam barak utama yang me-
rupakan tempat kediaman Dasa Griwa. Tak jauh dari 
tempat itu berjejer puluhan rumah yang merupakan 
perkampungan bajak laut itu. Tentu saja mendengar 
suara gaduh dari rumah utama, mereka langsung ke-
luar dengan senjata terhunus menyerbu ke tempat ke-
diaman Dasa Griwa. Pemandangan yang menakjubkan 
terlihat bagai semut mengerubungi gula. Lebih dari se-
ratus orang anggota bajak laut telah mengurung tem-
pat itu dan begitu melihat seorang pengacau yang se-
dang membasmi sebagian anak buah Perompak Teng-
korak Darah, tanpa dikomando mereka langsung me-
nerjunkan diri dan berebutan menyerang pemuda itu.
***
Pada mulanya Nara Sudana sempat terkejut meli-
hat jumlah lawan yang banyak luar biasa itu. Tapi pe-
muda itu tak cepat gugup dan kehilangan akal, Tu-
buhnya seperti mengapung di udara saat dia bergerak 
cepat menyambar beberapa buah obor yang terpan-
cang di dinding ruangan.
"Hiyaaaa...!"
"Brak!"
Obor-obor di tangannya itu melayang ke tiang-tiang 
kayu dan dinding-dinding rumah yang mudah terba-
kar. Hingga dalam tempo tak lama api berkobar kian 
cepat melahap rumah utama ini.
"Apiii...! Apiii....'"
"Cepat padamkan! Ambil air...!"


Beberapa orang yang berada di belakang kerumu-
nan kawan-kawannya yang sedang mengeroyok pemu-
da itu mundur teratur sambil berlari ke tepi pantai 
yang tak begitu jauh dan menciduk air melalui timba-
timba kayu guna memadamkan api.
"Mampuslah kalian semua! Mampuslah kalian...!" 
teriak Nara Sudana sambil mengeluarkan suara tawa 
yang menyeramkan.
Pedang pemuda itu seperti tiada henti mencari 
korban. Nara Sudana betul-betul mengamuk seperti 
kesetanan. Tak ada seorang pun yang selamat bila be-
rada di dekatnya. Pedangnya seperti malaikat penca-
but nyawa yang telah menewaskan lebih dari empat 
puluh anggota Perompak Tengkorak Darah.
Melihat hal itu tentu saja Dasa Griwa tak bisa ting-
gal diam. Simpatiknya pada pemuda itu kini berubah 
menjadi amarah yang bukan kepalang garangnya. 
Sambil membentak nyaring kepala Perompak Tengko-
rak Darah itu berkelebat ke arahnya dengan senjata 
terhunus.
"Bocah keparat, kau terimalah kematianmu!"
"Hiyaaa...!"
"Anjing Dasa Griwa, kenapa tidak sejak tadi kau 
maju lebih dulu? Kalau tidak tentu kau yang lebih du-
lu mampus!" sahut Nara Sudana tak kalah garang.
Walaupun dalam keadaan sedang dikeroyok begitu, 
tapi hebatnya Nara Sudana masih mampu memapaki 
serangan Dasa Griwa bahkan membabatkan pedang-
nya ke perut lawan.
"Yeaaa...!"
Kepala Perampok Tengkorak Darah itu kaget bukan 
main. Tangannya terasa kesemutan ketika senjata me-
reka tadi beradu. Dilihatnya pemuda itu malah tenang-
tenang saja seperti tak merasakan sakit sedikit pun. 
Bahkan dia masih mampu mengirim serangan susu

lan. Kalau saja Dasa Griwa tak cepat berkelit niscaya 
perutnya akan robek di sabet pedang lawan.
"Mampuslah kau keparat!" bentak Nara Sudana te-
rus bersalto mengejar lawan.
Ujung pedang pemuda itu menyambar-nyambar ke 
sana ke mari melindungi dirinya dari keroyokan lawan, 
dan sekaligus mengirim serangan susulan yang dituju-
kan kedua arah yaitu pada pengeroyoknya yang terdiri 
dari bajak laut-bajak laut Tengkorak Darah dan Dasa 
Griwa sendiri.
"Hiyaaa...!"
"Trek! Trak!"
"Bret!"
Bukan main kagetnya Dasa Griwa. Dengan kecepa-
tan yang sulit diikuti mata biasa, ujung pedang Nara 
Sudana merobek bajunya dan mengiris sedikit kulit 
dadanya. Kalau saja saat itu gerakan si pemuda tak 
dihambat oleh dua orang anak buahnya, niscaya nya-
wa kepala Perompak Tengkorak Darah berada di ujung 
tanduk.
"Keparat-keparat laknat, mampuslah kalian lebih 
dulu!" bentak Nara Sudana memalingkan perhatian se-
saat pada anak buah Dasa Griwa.
"Bret! Bret!" 
"Aaa...!"
Pekik kematian kembali terdengar seiring ro-
bohnya lima sosok tubuh dengan nyawa melayang. Na-
ra Sudana terus mengamuk meng-ayunkan pedangnya 
ke sana ke mari. Kembali belasan tubuh lawan tum-
bang disabet kelebatan pedangnya.
Melihat amukan Nara Sudana seperti tak ter-tahan, 
beberapa orang perompak segera melarikan diri tanpa 
mempedulikan keadaan kawan-kawannya. Melihat hal 
itu yang lain pun menyusul tanpa mempedulikan te-
riakan Dasa Griwa yang menahan mereka. Hingga da

lam sekejap saja tempat itu tinggal belasan orang ter-
masuk Dasa Griwa sendiri.
"Rintang Kala pengecut, kenapa kau malah melari-
kan diri?!" bentak Dasa Griwa garang ingin mengejar 
tangan kanannya itu.
"Jangan harap kau bisa lari dariku keparat!" desis 
Nara Sudana geram langsung melesat mengejar sambil 
mengirim serangan maut.
Mau tak mau Dasa Griwa terpaksa meladeni amu-
kan pemuda itu dibantu belasan anak buahnya yang 
masih setia.
"Maaf Dasa Griwa, dia datang hanya untuk-mu! 
Buat apa aku musti mengorbankan nyawa segala?!" 
Kau hadapilah dia sendiri!" teriak Rintang Kala me-
mimpin kawan-kawannya mening-galkan tempat itu 
dengan sebuah kapal yang cukup besar.
"Keparat!" gumam Dasa Griwa.
"Kini tibalah ajalmu, jahanam!" maki Nara Sudana.
Pedang pemuda itu menyambar-nyambar tubuhnya 
bagai tiada henti membuat Dasa Griwa sedikit cemas. 
Seluruh tubuhnya telah dibungkus kelebatan pedang 
lawan. Ketika dia coba menangkis, pedangnya malah 
terpental dihantam senjata lawan.
"Tak!"
"Mampus!" bentak Nara Sudana. 
"Breet! Breet!"
"Aaaa...!" 
Pada saat-saat yang kritis itu, nyawa Dasa Griwa 
masih bisa selamat karena anak buahnya menjadi 
tumbal untuk menghalangi serangan lawan. Namun 
tak urung dia terpekik kesakitan ketika perutnya kena 
diserempet ujung pedang lawan.
Dasa Griwa mengambil kesempatan untuk me-
larikan diri ketika pemuda itu sedang sibuk menghajar 
sisa-sisa anak buahnya. Tapi Nara Sudana tak mungkin membiarkannya begitu saja. Pedangnya langsung 
terbang menghajar punggung kiri Dasa Griwa.
"Siiiut! Grab!"
"Aaaa...!"
Terdengar jerit kematian kepala Perompak Tengko-
rak Darah ketika pedang yang dilempar Nara Sudana 
tepat menembus hingga ke jantung. Bersamaan den-
gan robohnya tubuh Dasa Griwa, sisa anak buahnya 
pun ambruk dihajar pukulan bertenaga dalam kuat 
yang dilancarkan Nara Sudana.
Setelah mencabut pedangnya, pemuda itu lang-
sung mengejar sisa anak buah Dasa Griwa yang mela-
rikan diri.
*
* *
TIGA


Desa Luragung terletak di pesisir pantai yang ba-
nyak dikunjungi oleh kapal-kapal dagang antar pulau 
maupun negeri lain. Tak heran bila di tempat itu men-
jadi ramai, baik penghuni baru yang terus berdatangan 
untuk mengadu nasib maupun penduduk asli yang te-
tap bertahan di kampung halamannya itu.
Siang itu seperti biasa terlihat banyak orang berla-
lu-lalang di sepanjang jalan utama dengan urusannya 
masing-masing. Di antara mereka terlihat seorang pe-
muda berambut gondrong dengan wajah tampan dan 
keras, serta mengenakan baju yang terbuat dari kulit 
harimau. Di pundaknya terdapat seekor monyet kecil 
berbulu hitam yang tampaknya begitu jinak dan ber-
sahabat. Siapa lagi pemuda ini kalau bukan Bayu 
Hanggara alias si Pendekar Pulau Neraka!


"Kau lapar Tiren?" tanyanya pada monyet kecil itu. 
"Nguk! Nguk!"
"Baiklah. Aku pun merasa perutku melilit-lilit tak 
karuan. Sebaiknya kita cari kedai dulu baru melan-
jutkan perjalanan." 
"Kaaaakh...!" 
Monyet kecil yang dipanggil Tiren itu menjerit ke-
ras. Bayu tersentak sambil mengikuti arah telunjuk Ti-
ren.
"Dasar! Kalau mau tunjuk kedai tidak usah pakai 
menjerit segala!" bentak Bayu kesal. 
"Nguk!"
Monyet kecil itu menyeringai lebar menunjuk-kan 
wajahnya dengan malu-malu.
Hari ini kedai itu tampak ramai. Banyak pengun-
jung yang datang ke situ. Tak heran, sebab bila diper-
hatikan kedai ini adalah satu-satunya yang terbesar 
dan terlengkap di desa ini. Ruangan dalamnya luas 
dan banyak terdapat meja dan bangku-bangku. Kedai 
inipun memiliki penginapan yang cukup untuk bebe-
rapa orang.
"Pak, tolong sediakan nasi rames dengan se-
bumbung tuak!" pesan Bayu setelah mengambil tempat 
agak di sudut ruangan.
"Baik, Den!" sahut pelayan kedai yang tadi meng-
hampirinya.
Sepeninggal pelayan itu Bayu mengedar pandangan 
ke sekeliling. Tak seorang pun yang merasa heran atas 
kehadirannya, sebab banyak di antara mereka pun be-
rasal dari kaum persilatan dari berbagai macam aliran 
dan urusan.
Melirik sekilas pada sekelompok orang yang ber-
kumpul pada sebuah meja yang tak jauh darinya,
Bayu tadinya tak tertarik mendengar perbincangan 
mereka. Lebih-lebih karena perutnya memang sudah

keroncongan. Dia ingin cepat makan kemudian berlalu 
dari desa ini. Tapi ketika salah seorang di antara yang 
bermulut dower bercerita dengan penuh semangat, 
mau tak mau terusik juga hatinya untuk mencuri den-
gar pembicaraan mereka.
"Aku tak melihat, tapi kalian tahu tidak? Salah 
seorang kawanku adalah anak buah bajak laut Teng-
korak Darah. Dia melihat sendiri kedahsyatan pemuda 
itu. Luar biasa!" kata si mulut dower dengan wajah 
yang meyakinkan.
Empat orang kawannya yang sedang menenggak 
tuak terpaku barang sesaat dengan wajah tak percaya. 
Cerita itu sesungguhnya tak masuk di akal. Bagaima-
na mungkin seorang pemuda mampu mengkocar-
kacirkan anak buah Perompak Tengkorak Darah yang 
amat ditakuti? Jangankan seorang pemuda tak dikenal 
seperti cerita kawannya itu, sedangkan jago-jago dari 
kerajaan yang dikirim membasmi mereka lengkap den-
gan prajurit pilihan hanya pulang tinggal nama. Juga 
beberapa orang tokoh persilatan golongan putih yang 
merasa prihatin dengan perbuatan bajak laut-bajak 
laut itu, turun tangan dan bermaksud membasmi me-
reka. Tapi tak seorang pun di antara mereka yang ter-
dengar kembali pulang.
"Aku tak percaya!" bantah kawannya yang berku-
mis tipis dan bertubuh tegap sambil menenggak tuak-
nya.
"Huh, kau memang tak pernah percaya. Tapi kalau 
mendengar sendiri dari mulut mereka yang berhasil 
menyelamatkan diri dari amukan pemuda itu, baru 
kau percaya," sahut si mulut dower.
"Mustahil! Coba bayangkan, dengan seorang diri 
dia berhasil membuat anak buah Dasa Griwa kocar-
kacir? Padahal jumlah mereka tak kurang dari tiga ra-
tus orang!"

"Bisa saja Boneng!" sahut seorang kawannya yang 
bermata juling.
"Mana mungkin!"
"Di dunia ini apa yang tak mungkin? Siapa tahu 
pemuda itu merupakan jelmaan dewa yang diturunkan 
ke bumi untuk membantu kita."
"Pfuih! Kau ini ngomong apa?!" bentak si Boneng.
"Kenapa tidak?!" balas si mata juling tak mau ka-
lah.
"Sudahlah... kenapa hal ini saja menjadikan kita 
berselisih. Kalian boleh percaya atau tidak, itu urusan 
kalian sendiri," kata si mulut dower tak acuh.
Agaknya orang ini sudah putus asa melihat kawan-
kawannya tak juga percaya akan ocehannya.
"Kau sering berdusta, mana mungkin aku percaya 
dengan ceritamu," kata kawannya satu lagi seperti 
menjawab kata hatinya.
"Kali ini aku tidak berdusta, sobat. Kalau aku salah 
berarti kawanku itulah yang bercerita dusta padaku," 
tangkis si mulut dower dengan mimik serius.
Obrolan mereka terhenti ketika lima orang bertam-
pang seram memasuki kedai itu. Sikap mereka kasar 
dan ingin menunjukkan kegarangannya dengan mem-
perhatikan seluruh pengunjung kedai satu persatu 
dengan tatapan garang. Seorang yang berada paling 
depan berusia sekitar tiga puluhan dan bersenjata go-
lok besar di punggungnya menyentak-kan kursi sambil 
berteriak lantang pada salah seorang pelayan.
"Sediakan lima guci arak tulen untuk kami cepat!"
"Ba... baik, Den...!"
Kelimanya langsung menarik kursi dan duduk me-
lingkari sebuah meja. Sementara sorot mata mereka 
Seperti tiada henti mengawasi semua pengunjung ke-
dai. Kemudian salah seorang di antara mereka berucap 
dengan suara pelan.

"Hmm... masih untung kita bisa lolos dari ke-
jarannya. Kalau tidak entah apa yang terjadi. Mungkin 
kita sudah binasa..."
Laki-laki berusia tiga puluh tahun lebih yang 
agaknya merupakan pemimpin mereka mendengus ge-
ram.
"Huh, kalau saja ada kesempatan ingin kupatah-
kan batang lehernya!"
"Tapi Rintang Kala... pemuda itu betul-betul luar 
biasa. Amukannya seperti tak tertahan. Entah bagai-
mana nasib Dasa Griwa. Kalau dia bisa mengejar dan 
membunuh kawan-kawan yang lain tentu dia telah 
membinasakan Dasa Griwa," sahut salah seorang ka-
wannya.
"Bisa jadi..." sahut laki-laki yang dipanggil Rintang 
Kala.
"Lalu apa yang akan kita lakukan saat ini?" tanya
seorang lagi.
"Tak ada yang bisa kita lakukan selain bersem-
bunyi dari kejarannya!" sahut yang wajahnya penuh 
brewok. 
"Huh, sebenarnya aku tak takut, tapi melawan juga 
hanya mengantar nyawa secara percuma!" dengus 
yang bertubuh kurus dan berambut panjang.
"Tapi ke mana kita akan bersembunyi? Pemuda itu 
sepertinya akan terus mencari kita sampai ke ujung 
langit sekalipun!" tanya seorang lagi yang wajahnya 
pucat.
"Kadang aku menyesal...."
"Jangan jadi pengecut kau, Badungan! Tak perlu 
menyesali apa .yang sudah dilakukan. Yang penting 
saat ini bagaimana caranya menyelamatkan selembar 
nyawamu!" potong Rintang Kala kesal.
Yang lainnya mengangguk-anggukkan kepala men-
dengar kata-kata itu.

Namun pada saat itu terdengar satu suara yang 
bernada sinis menyahuti pembicaraan mereka.
***
"He he he...! Baru sekarang ku tahu bahwa perom-
pak-perompak Tengkorak Darah berjiwa pengecut dan 
lari dari kejaran lawan!"
Kelima orang yang tak lain dari anggota Perompak 
Tengkorak Darah langsung memalingkan wajah pada 
seorang laki-laki bertubuh kurus dengan muka lon-
jong. Melihat dari wajahnya yang cakap dan bersih 
agaknya laki-laki itu paling tidak berasal dari kalangan 
bangsawan atau hartawan. Lebih-lebih melihat pa-
kaiannya yang rapi dan bagus. Usianya paling sekitar 
dua puluh lima tahun. Tangan kanannya memegang 
sebuah kipas yang terbuat dari gading gajah.
Di samping pemuda itu duduk seorang gadis ber-
baju hijau. Wajahnya cantik rupawan dengan kulit pu-
tih halus. Rambutnya yang panjang cuma diikat sehe-
lai pita merah muda. Di pinggangnya terlihat sebatang 
pedang pendek.
Sementara di sekeliling mereka terlihat beberapa 
orang laki-laki berwajah garang dengan masing-masing 
bersenjatakan golok. Agaknya mereka adalah para 
pengawal pasangan muda-mudi itu.
"Siapa kau?!" bentak Rintang Kala sambil bangkit 
dan mendekati mereka.
Keempat kawannya melihat keadaan itu langsung 
bersiaga dengan wajah kurang senang di belakang Rin-
tang Kala.
Pemuda berpakaian bagus itu cuma tersenyum se-
perti menganggap remeh kalian orang sisa anak buah 
Perompak Tengkorak Darah.
"Aku tuan besarmu yang akan menjewer kuping

kalian..." sahut pemuda itu santai.
"Kurang ajar!"
Salah seorang kawan Rintang Kala yang bera-
ngasih langsung mencabut golok besarnya dan menya-
betkan ke arah pemuda itu.
"Bet!"
"Trak!" 
"Huh, jangan coba-coba berbuat sembarangan pa-
da majikanku!" bentak salah seorang pengawal pemu-
da itu yang langsung mencabut golok dan memapaki 
serangan tadi.
"Piwarang, menyingkirlah kau. Biar kuberi pelaja-
ran orang tak tahu diri ini!" sela pemuda itu sambil 
berdiri dan mengembangkan kipasnya.
"Tapi Den Wangsa Bangkalan...."
"Tenanglah Piwarang... apakah kau pikir aku tak 
mampu memberi pelajaran pada kunyuk ini?" potong 
pemuda yang dipanggil Wangsa Bangkalan itu sambil 
tersenyum sinis.
"Bangsat! Orang sepertimu harus dibuka matanya 
lebar-lebar agar bisa berbuat sopan pada orang lain!" 
maki salah seorang bekas perompak Tengkorak Darah 
kembali mengayunkan golok besarnya.
Wangsa Bangkalan terkekeh pelan. Tubuh pemuda 
itu cuma berkelit sedikit ke kiri dan tangan kanannya 
menghantam pergelangan lengan lawan. Sementara ki-
pas di tangan kiri menyabet ke pinggang lawan.
"Plak! Breet!"
"Ukh!"
Perompak Tengkorak Darah itu terkejut sambil 
mendekap pinggang kanannya yang robek. Wajahnya 
meringis kesakitan bercampur dendam dan luapan 
amarah luar biasa.
"Kurang ajar...!" makinya kembali menyerang pe-
muda itu.

"Hmm... agaknya kali ini kau betul-betul tak bisa 
dikasih hati. Baiklah kalau itu maumu." 
"Hiyaaa...!" 
"Plak! Duk!" 
"Aaaa...!"
Kali ini tubuh perompak Tengkorak Darah itu ter-
pental ke belakang pada jarak kurang lebih tiga tom-
bak. Tubuhnya menabrak dinding kedai hingga han-
cur. Masih terlihat sekilas dia menggelepar-gelepar 
dengan mulut penuh darah.
Pemuda itu terkekeh sambil mengibas-ngibaskan 
pakaiannya dari debu. Gerakannya tadi sama sekali 
tak disangka lawan. Tubuhnya ringan mencelat ke atas 
dengan kaki kiri menangkis pergelangan lawan yang 
memegang senjata, sedangkan kaki kanan menendang 
ke ulu hati dengan keras.
"Juragan... aduh, juragan. Sebaiknya jangan berke-
lahi di sini. Kedai saya nanti rusak, dan... dan bi-
asanya..." sela si pemilik kedai sambil memohon-
mohon pada pemuda berbaju keren itu.
Tapi salah seorang pengawal pemuda itu tiba-tiba 
membentak dengan mata melotot.
"Orangtua, apakah kau tidak melihat siapa jura-
ganmu ini?! Mereka adalah putra-putri Adipati Bang-
kalan yang termahsyur itu. Apa kau pikir beliau tak 
mampu mengganti segala kerusakan ini?! Pfuih, mere-
ka bahkan mampu membeli sepuluh kali kedai seperti 
ini bahkan dirimu pun mampu dibelinya!"
"Jangan keterlaluan Paman Ketitir..." sela si gadis 
yang sejak tadi hanya diam memperhatikan kejadian 
itu.
"Tapi Den Ayu... mereka harus tahu siapa aden 
berdua agar tak sembarangan bicara...."
"Sudahlah... nah pak, maafkan kekasaran pa-
manku tadi. Kami akan mengganti kerusakan yang di

perbuat kakangku," kata si gadis pada pemilik kedai 
itu.
Tapi si orang tua pemilik kedai begitu mengetahui 
bahwa kedua orang muda-mudi ini adalah putra-putri 
Adipati Bangkalan yang terkenal itu, mana berani dia 
menerima ganti rugi dari mereka. Bisa-bisa nanti sang 
Adipati murka dan dia tak bisa berdagang lagi di sini.
"Ti... tidak. Te... terima kasih, Den...."
"Ambillah, pak..." ujar gadis itu kembali sambil 
mengangsurkan kira-kira lima kepeng uang emas di 
tangannya.
Pemilik kedai itu masih ragu menerima. Saat itulah 
Rintang Kala yang tadi mendiamkan saja anak buah-
nya di hajar pemuda itu tiba-tiba angkat bicara.
"Hmm... pantas! Rupanya kalian anak-anak menak 
yang baru kenal dunia luar, tapi sudah demikian som-
bong. Kau, kutunggu di luar!" katanya menuding ke 
arah Wangsa Bangkalan sambil terus meninggalkan 
ruangan kedai itu dan beranjak ke halaman depan di-
ikuti anak buahnya yang lain.
"Baik!" sahut Wangsa Bangkalan bersemangat.
"Kakang... jangan terlalu menyombongkan diri. 
Apakah kau tidak ingat pesan eyang?" Ingat adiknya 
dengan wajah kesal.
"Tenanglah Cempaka Wangi. Orang-orang itu me-
mang sudah seharusnya diberi pelajaran. Per-tama, 
mereka adalah orang-orang sesat yang selama ini men-
jadi musuh kerajaan dan juga musuh semua orang 
yang pernah menjadi korban mereka. Dan yang kedua, 
sikap mereka tadi sombong sekali. Seolah mereka pikir 
tempat ini akan menjadi miliknya dalam sekejap seper-
ti saat mereka berada di lautan. Nah, itu sudah cukup 
bagiku untuk memberi hajaran bagi mereka!" 
Gadis bernama Cempaka Wangi itu tak bisa berka-
ta apa-apa lagi mendengar alasan abangnya. Tapi se

benarnya pun dia mengerti bahwa abangnya tak akan 
bisa dilarang kalau dia sudah punya keinginan. Begitu 
juga ketika beberapa orang pengawal mereka mencoba 
melarang dia bertarung, tetap saja Wangsa Bangkalan 
berkeras akan memberi pelajaran pada mereka dengan 
tangannya sendiri.
Sementara itu semua pengunjung kedai tertarik 
sekali melihat pertarungan ini. Hampir semua mengu-
tuk perompak-perompak Tengkorak Darah dan menge-
lu-elukan pemuda itu. Bukan karena mereka putra-
putri sang Adipati, tapi siapa yang tak kenal Perompak 
Tengkorak Darah yang kekejaman mereka nyaris diku-
tuk oleh semua penduduk di wilayah ini.
"Bunuh mereka jangan dikasih kesempatan untuk 
lari!"
"Cincaaang...!" 
"Gantung kelima-limanya!"
Walau semua yang berada di situ mengutuk mere-
ka, Rintang Kala dan kawan-kawannya begitu teguh. 
Semangat mereka tetap tak tergoyah. Begitu juga keti-
ka Wangsa Bangkalan lebih dulu menyerang, Rintang 
Kala menyambutinya dengan mantap. Pertarungan itu 
memang disengaja terjadi antara mereka berdua. Kalau 
pemuda itu melarang para pengawalnya ikut campur, 
begitu juga halnya dengan Rintang Kala. Dia memerin-
tahkan agar anak buahnya tak perlu turun tangan se-
lagi mereka bertarung.
***
Pertarungan antara keduanya telah berlangsung 
lebih dari tiga jurus. Terlihat keduanya sama kuat. 
Namun pada jurus-jurus selanjutnya Rintang Kala te-
lah berada di atas angin. Padahal bagi mereka yang be-
rasal dari kalangan persilatan pasti akan melihat bah

wa keduanya memiliki ilmu silat yang tangguh. Bah-
kan kalau diperhatikan dengan seksama, gerakan 
Wangsa Bangkalan yang indah mengandung tipuan 
yang mematikan. Hanya sayang bahwa pemuda itu 
melakukan dengan kaku seperti orang yang baru saja 
belajar ilmu silat.
Tidak demikian halnya dengan Rintang Kala. Bela-
san tahun malang melintang bersama Perompak Teng-
korak Darah, membuatnya tak cepat gugup dengan se-
rangan lawan. Pengalamannya lebih teruji, dan terbuk-
ti banyak membantu dalam setiap pertarungan. Seperti 
yang terjadi hari ini.
"Hiyaaaa...!"
"Trak! Bret!"
"Ukh...!"
Wangsa Bangkalan menjerit pelan. Dalam suatu 
kesempatan tubuh lawan berkelebat cepat menyambar 
kepala sambil mengayunkan senjata. Pemuda itu me-
nunduk sambil menghindar ke belakang, tapi dengan 
tak disangka-sangka ujung golok besar Rintang Kala 
berubah haluan dan menyambar bahu kanan Wangsa 
Bangkalan. Masih untung cuma sedikit tergores kare-
na dia masih sempat berkelit.
"Pelajaran pertama untuk anak-anak yang kurang 
ajar!" ejek Rintang Kala sinis.
"Huh, siapa bilang aku kalah olehmu! Kau akan ra-
sakan ini!" bentak Wangsa Bangkalan kembali menye-
rang dengan kalap.
Kali ini pemuda itu mengerahkan segenap kepan-
daian yang dimiliki. Terbukti gerakan kipas yang dija-
dikannya senjata itu menimbulkan desir angin ken-
cang dan menyambar-nyambar tubuh lawan dengan 
pengerahan tenaga dalam kuat.
Tapi serangan Rintang Kala pun bukan main he-
batnya. Baru kali ini terbuka mata semua orang akan

kehebatan salah seorang anggota Perompak Tengkorak 
Darah. Tubuh Rintang Kala bergerak bagai sapuan an-
gin dengan golok besar di tangan berdengung me-
nyambar-nyambar ke arah Wangsa Bangkalan.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaa...!"
"Trak!"
"Bret!"
"Duk!"
"Akh...!"
Ketika dalam satu kesempatan. keduanya berteriak 
nyaring dan bersiap menyerang lawan, Wangsa Bang-
kalan mencoba menangkis senjata Rintang Kala. Tapi 
dia terkejut ketika kipasnya di buat hancur beranta-
kan. Belum lagi habis rasa terkejutnya, ujung senjata 
lawan meluncur deras menghantam leher. Masih un-
tung pada saat kritis itu Wangsa Bangkalan mampu 
menyelamatkan lehernya dengan berkelit ke belakang. 
Namun tak urung ujung senjata lawan menghajar da-
danya. Dan bersamaan dengan itu kaki kanan Rintang 
Kala menghajar perut Wangsa Bangkalan. Pemuda itu 
terlempar sejauh beberapa tombak sambil menjerit ke-
ras.
Agaknya Rintang Kala betul-betul bernafsu untuk 
menghabisi pemuda yang dianggapnya sombong itu. 
Begitu kakinya menyentuh tanah, saat itu pula tubuh-
nya kembali melesat dengan kecepatan bagai kilat 
mengayunkan senjata ke arah Wangsa Bangkalan. 
Semua orang yang melihat itu tercekat. Wangsa
Bangkalan pasti tewas. Bahkan para pengawalnya tak 
mungkin mampu menandingi kecepatan bergerak Rin-
tang Kala. Gadis bernama Cempaka Wangi sendiri su-
dah berteriak cemas.
"Hiyaaa...!"
"Sing!"
"Trak!"
*
* *
EMPAT


Namun pada saat-saat yang kritis itu tiba-tiba me-
lesat seberkas sinar keperakan yang memapaki senjata 
Rintang Kala dan membuatnya terpental jauh.
Laki-laki berusia tiga puluh tahun dengan codet di 
pipi kanannya itu menggeram melihat kehadiran seo-
rang pemuda berambut gondrong berwajah tampan be-
rada di tempat itu sambil tersenyum. Di pundaknya 
terlihat seekor monyet kecil berbulu hitam. Pemuda itu 
sendiri mengenakan baju yang terbuat dari kulit hari-
mau.
Ketika pemuda yang berbaju kulit harimau itu 
mengibaskan tangan, maka sinar keperakan yang tak 
lain dari sebuah senjata berbentuk cakra bersegi enam 
menempel di pergelangan tangan kanannya. Melihat 
itu sebagian mereka yang berada di situ tersentak ka-
get.
"Pendekar Pulau Neraka...!"
Rintang Kala selama hidupnya lebih banyak berada 
di laut hingga jarang mendengar ,nama tokoh-tokoh 
persilatan yang berada di darat, hingga dia tak terlalu 
terkejut mendengar nama itu. Bahkan dengan sikap 
menganggap remeh, dia pura-pura tak tahu. 
"Huh, siapa lagi kau budak gembel?! Apakah kau 
ingin membela majikanmu itu?!"
"Dia bukan majikanku, dan kau tak perlu tahu 
siapa aku. Yang jelas aku paling tak suka pada kalian 
berdua. Tapi pengecualian untukmu karena kau ada


lah Perompak Tengkorak Darah yang kudengar sering 
menimbulkan kekacauan!"
"He he he...!" Satu lagi kulihat malaikat kesasar se-
pertimu. Tapi orang-orang sepertimu biasanya mene-
mui ajal secara mengenaskan. Nah, pergilah dari sini 
sebelum timbul rasa muakku padamu!" bentak Rin-
tang Kala.
Orang itu sengaja menggertak lawan. Padahal dia 
sendiri merasakan dalam sekelebatan saja senjatanya 
di buat terpental oleh senjata lawan. Tapi sebagai be-
kas Perompak Tengkorak Darah mana mau Rintang. 
Kala menunjukkan kegentarannya di depan orang ba-
nyak. Maka dia sengaja berbuat begitu pada si pemuda 
berbaju harimau yang tak lain dari Bayu Hanggara 
atau Pendekar Pulau Neraka.
"Siapa yang mengatakan aku malaikat kesasar? 
Agaknya matamu telah lamur kisanak. Aku memang 
malaikat sesungguhnya yang akan mengantarmu ke 
neraka!" ejek Bayu sambil tersenyum sinis.
"Huh, kau boleh pentang bacot sesukamu setelah 
kukirim ke akherat!"
Setelah berkata begitu agaknya kemarahan Rintang 
Kala tak dapat ditahan lagi. Dia langsung menyerang 
lawan setelah anak buahnya melempar sebatang golok 
besar ke tangannya.
"Hiyaaa...!"
"Hmm... betul-betulkah kau ingin merasakan nik-
matnya siksaan neraka?" ejek Bayu lagi. 
"Jangan banyak bacot! Putus lehermu!" 
"Uts, ha...!"
Sambil menundukkan kepala Bayu menghindari 
sabetan senjata lawan yang ditujukan ke lehernya. Ta-
pi dengan tak terduga kaki kanan Rintang Kala me-
nendang ke ulu hati. Tubuh Bayu mencelat ke bela-
kang sambil bersalto dengan gerakan indah. Pada saat

itulah kaki kanannya sempat menghajar betis kaki la-
wan. 
"Plak!"
"Akh...!"
"Begkh!"
Rintang Kala menjerit tertahan. Tubuhnya ter-
jerembab setelah berputar satu kali di udara. Namun 
dalam keadaan demikian, Bayu masih sempat mengha-
jar pinggang kanannya lewat tendangan kaki kiri sebe-
lum kedua kakinya menyentuh tanah. Kembali Rintang 
Kala menjerit keras ketika tubuhnya terlempar ke kiri.
"Keparat!" maki Rintang Kala cepat bangkit.
Disekanya darah yang menetes di sudut bibir. Ten-
dangan lawan memang tak cukup kuat, kalau tidak 
niscaya dia tak akan pernah bangkit lagi. Tapi walau 
begitu cukup membuat isi perutnya seperti diaduk-
aduk.
"Hmm... agaknya kau masih belum puas juga? Ke 
sinilah cepat mendekat pada tuan besarmu!" ejek 
Bayu.
"Yeaaa...!" "Hiyaaa...!"
"Hei! Main keroyokan sekarang? Hmm... boleh juga 
kalau kawan-kawanmu ingin berbagi kesenangan den-
ganmu." 
"Bet!"
"Plak! Plak!" 
"Begkh!" 
"Akh!"
Tubuh Bayu berkelebat dengan kecepatan yang su-
lit diikuti oleh mata biasa. Tahu-tahu senjata di tangan 
mereka terpental jauh, dan disusul dengan jerit kesaki-
tan. Kelimanya terpental dengan darah muncrat dari 
mulutnya. Salah seorang di antara mereka langsung 
menemui ajal. Orang itu adalah korban Wangsa Bang-
kalan yang tadi dihajarnya di dalam kedai. Agaknya dia

memaksakan diri untuk menyerang si Pendekar Pulau 
Neraka, dan terpaksa menemui kematiannya.
"Huh, kali ini aku akan mengadu jiwa denganmu!" 
dengus Rintang Kala kembali bangkit dengan wajah 
garang.
"Siapa yang sudi mengadu jiwa denganmu? Kalau 
kau mau mengadunya, adulah dengan jiwa kawan-
kawanmu itu. Siapa tahu mereka mau, dan kalian te-
taplah berjiwa binatang seperti sekarang!"
"Keparat! Bersiap-siaplah kau untuk mampus!" 
bentak Rintang Kala.
"Yeaaaa...!"
Bersama dengan ketiga anak buahnya, kembali 
mereka menyerang Bayu dengan tangan kosong.
Bayu sendiri masih tenang-tenang saja di tempat-
nya. Dia yakin bahwa walau mereka berempat tak 
mungkin mampu melukai dirinya, sebab tadi ketika 
bersenjata pun mereka tak mampu, apalagi kini ber-
tangan kosong.
Namun dengan tidak disangka saat itu juga mele-
sat satu bayangan yang memapaki serangan mereka. 
Orang-orang yang berada di situ terkejut. Angin gera-
kan bayangan itu mampu membuat mereka yang me-
miliki ilmu silat rendah bergoyang limbung. Sedangkan 
debu-debu di sekitarnya membumbung tinggi dan 
daun-daun kering berterbangan ke mana-mana.
"Breeet!"
"Aaaa...!"
***
Bersamaan dengan itu terdengar pekik ke-matian 
yang menyayat. Ketika desir angin itu ter-henti, ketiga 
Perompak Tengkorak Darah ambruk dengan pinggang 
nyaris putus. Dan di tempat itu telah tegak berdiri seo

rang pemuda berusia tujuh belas tahun berkulit coklat 
dengan rambut gondrong kusut masai seperti tak teru-
rus. Sorot matanya tajam menusuk dan amat mengeri-
kan seperti membawa dendam dari alam kubur. Di 
tangannya tergenggam sebatang pedang besar, namun 
tak terlihat sedikit pun noda darah.
Rintang Kala yang melihat kehadiran pemuda itu, 
wajahnya langsung pucat dan tubuhnya gemetaran.
"Ka... kau..."
"Huh, kau pikir bisa bersembunyi dari Nara Suda-
na, keparat! Tak satu pun dari kalian boleh hidup di 
dunia ini. Ke mana pun kalian bersembunyi akan ku-
kejar!"
"A... aku tak bersalah...."
"Berdoalah sebelum mampus!" potong pemuda itu 
dingin.
"Ta...."
"Yeaaaa...!" Pemuda yang menyebut dirinya Nara 
Sudana itu bergerak cepat.
Walau Rintang Kala berusaha berkelit dengan se-
genap kecepatan yang dimiliki, namun tetap saja ter-
dengar jerit tertahan.
"Akh!
"Pluk!" 
"Ohh...!"
Beberapa orang yang menyaksikan pertarungan itu 
berseru kaget ketika melihat kepala perompak Tengko-
rak Darah itu menggelinding jatuh. Tubuhnya yang 
tanpa kepala itupun menyusul kemudian.
"Ayaaah... ibuu, dendam kalian sudah terbalas hari 
ini! Tenanglah di akhirat karena anakmu tak akan 
membiarkan mereka lolos seorang pun. Orang-orang 
itu harus membayar mahal apa yang telah mereka 
perbuat terhadap kita!" teriak pemuda bernama Nara 
Sudana dengan suara lantang sambil menengadahkan

wajah ke langit.
Beberapa orang yang mendengar teriakannya ber-
getar tubuh mereka. Bahkan dua tiga orang tampak 
pingsan sambil mendekap telinganya yang mengucur-
kan darah.
Setelah puas berkaok-kaok, pemuda itu mengge-
rang buas sambil menatap setiap orang yang berada di 
dekatnya. Mereka yang pengecut nyalinya langsung 
ciut dan perlahan-lahan menjauhi tempat itu.
Bayu Hanggara masih tetap tegak di tempatnya se-
perti tak bergeming. Dua jarinya masih menutupi te-
linga monyet kecil berbulu hitam untuk melindunginya 
dari pengaruh getaran suara pemuda itu tadi. Ketika 
pemuda itu mengalihkan pandangan ke arahnya, Bayu 
bersiaga atas segala kemungkinan.
"Siapa kau?! Apakah kau juga anak buah si Dasa 
Griwa?!" bentak pemuda itu galak.
"Aku bukan siapa-siapa. Cuma pengembara biasa 
yang tak berharga..." sahut Bayu asal-asalan.
"Hmm..." Pemuda itu menggumam.
Setelah itu dia mengedarkan pandangan pada yang 
lain. Entah apa yang dipikirkan dan dilakukannya, ti-
ba-tiba saja dia meninggalkan tempat itu seperti da-
tangnya tadi. Berkelebat bagai sapuan angin serta me-
nimbulkan angin kencang. Tahu-tahu ketika semua-
nya reda, pemuda itu raib entah ke mana.
"Gila! Bukan manusia barangkali itu orang!" ujar 
salah seorang di antara yang melihat pertarungan tadi.
"Iya, iya..." timpal kawannya.
"Jin barangkali?"
"Hus! Masak jin seperti itu."
"Eh, kan ada jin yang mirip seperti manusia. Bah-
kan kadang menyerupai gadis cantik."
"Alaaah! Sudah jangan bermimpi. Coba kalau me-
reka tadi mengamuk, kamu tidak bakal ketemu binimu

di rumah!"
Kawannya itu cuma terkekeh sambil meng-garuk-
garuk kepalanya yang tak gatal.
Sementara itu diam-diam Bayu meninggalkan tem-
pat itu sambil menggendong Tiren di pangkuannya. 
Kasihan monyet itu, dia merasa terkejut dan sempat 
pucat ketika mendengar gelegar suara pemuda berna-
ma Nara Sudana tadi yang menumpahkan segenap pe-
rasaan hatinya yang pilu.
"Kisanak...."
"Nguk!"
Tiren yang lebih dulu tersentak ketika Bayu meno-
leh ke belakang. Terlihat gadis yang tadi bersama si 
pemuda Wangsa Bangkalan menghampiri dengan 
langkah perlahan.
"Ada apa nisanak?"
"Aku... ng... kami ingin mengucapkan terima kasih 
atas kebaikan hatimu menolong kakangku...."
"Ah, hal itu sudah biasa. Bukankah setiap manusia 
harus saling tolong menolong?"
"Ng... dia bermaksud mengundangmu kalau kau 
tak keberatan kisanak."
"Mengundangku ke mana?"
"Ke tempat kediaman kami. Tak jauh lagi dari desa 
ini..."
Bayu berpikir sejenak. Sebenarnya dia tak suka 
pada pemuda itu. Kesan yang diperolehnya tadi adalah 
bahwa pemuda itu bersifat angkuh dan merasa dirinya 
hebat. Orang seperti itu biasanya sering mencemooh 
orang lain yang dianggapnya hina dan rendah derajat-
nya.
"Maaf nisanak, kami harus melanjutkan per-
jalanan..." sahut Bayu menolak dengan halus.
"Sayang sekali... padahal aku, eh kami akan mera-
sa mendapat kehormatan bertemu dengan seorang

pendekar terkenal seperti anda kisanak."
"Siapakah yang merasa dihormati nisanak? Kalau 
kalian merasa dihormati oleh seorang gembel seperti-
ku, sungguh tak pantas sekali. Aku cuma seorang
pengembara biasa yang tak punya kebiasaan apa-apa."
"Anda terlalu merendah kisanak. Sebenarnya kami 
bermaksud kembali ke rumah karena ayahanda kami 
saat ini sedang mengadakan perayaan perkawinan ka-
kangku yang paling tua. Itulah sebabnya kami dipang-
gil pulang, dan aku bermaksud mengundangmu untuk 
turut menghadirinya. Jangan tolak permintaanku ini 
kisanak...." 
Bayu masih menimbang-nimbang ketika Wangsa 
Bangkalan beserta para pengawalnya mendekati.
"Betul kisanak, kami atas nama keluarga bermak-
sud mengundang anda," sahut Wangsa Bangkalan 
sambil tersenyum kecil.
"Hmm... bagaimana Tiren? Apakah kau suka?"
"Kaaakh!"
Monyet kecil berbulu hitam itu menjerit keras ke-
mudian menepuk-nepuk kedua tangannya sambil 
menganggukkan kepala.
Mereka yang melihat kelakuannya terkekeh geli. 
Monyet kecil itu memang lucu sekali. Apalagi ketika 
dia membuat ulah sambil menari-nari di pundak Bayu.
"Ah, agaknya dia pun suka pada kalian. Baik-lah..." 
sahut Bayu. 
"Nguk! Nguk...!" 
"Ha ha ha...!"
***
Adipati Bangkalan adalah seorang pembesar kera-
jaan yang amat terkenal saat itu. Selain ahli dalam ke-
tatanegaraan beliau pun gemar akan ilmu silat. Tak

heran bila di lingkungan kerajaan beliau sangat dis-
egani oleh pembesar-pembesar lainnya. Tak kurang 
dari dua puluh orang para pengawal di kadipaten ada-
lah tokoh-tokoh persilatan yang bekerja pada beliau. 
Selain itu juga pengawal-pengawal kadipaten sendiri 
terdiri dari orang-orang yang trampil dalam hal ilmu 
bela diri yang digembleng oleh seorang tokoh persilatan 
terkenal bernama Gagak Lumayung, atau lebih dikenal 
sebagai Pendekar Jari Sakti.
Tak heran saat perayaan perkawinan putra tertua-
nya beliau mengadakan pertandingan silat dengan 
mengundang tokoh-tokoh persilatan berbagai kalangan 
untuk memeriahkannya. Sebagai tokoh yang selama 
ini dikenal tegas dan jujur serta bijaksana, jelas tujuan
beliau semata-semata untuk persahabatan dan mem-
pererat tali persaudaraan di samping segi hiburannya 
di antara tokoh-tokoh persilatan.
Waktu Wangsa Bangkalan dan Cempaka Wangi 
memperkenalkan Bayu Hanggara, bukan main se-
nangnya beliau. Sampai-sampai si Pendekar Pulau Ne-
raka itu di beri tempat di samping beliau. Itu adalah 
kehormatan yang bukan kepalang baginya.
"Tak sangka pendekar terkenal sepertimu sudi da-
tang ke tempat kami yang buruk ini," kata Adipati 
Bangkalan merendah. 
"Justru aku yang tiada menyangka bahwa orang 
hina sepertiku mendapat kehormatan luar biasa dari 
anda kisanak. Ini sungguh tak terduga. Jangan-jangan 
nanti malah menimbulkan kecemburuan pada yang 
lainnya," sahut Bayu.
"Ah, siapa yang tak kenal Pendekar Pulau Neraka? 
Namamu sudah termahsyur di delapan penjuru angin. 
Sudah sepantasnya kami mendapat kehormatan keda-
tanganmu."
Bayu sebenarnya jengah juga diperlakukan demikian. Matanya tiada henti melirik tamu-tamu yang 
lain. Kelihatannya dia betul-betul menjadi pusat per-
hatian saat ini. Bahkan Gagak Lumayung sendiri yang 
di kalangan kadipaten merupakan orang yang disegani 
hanya mendapat tempat di sebelah Wangsa Bangkalan. 
Kedudukan tempat yang utama saat itu adalah kedua 
mempelai. Di sebelah pengantin laki-laki adalah sang 
Adipati, Bayu, Cempaka Wangi serta tamu-tamu ter-
hormat lainnya. Sementara di sebelah pengantin wani-
ta adalah istri sang Adipati, Wangsa Bangkalan, Gagak 
Lumayung serta undangan lain yang merupakan tamu-
tamu terhormat.
Sementara itu di hadapan mereka pada jarak tujuh 
tombak terdapat sebuah panggung yang agak luas 
tempat diselenggarakannya pertandingan, ilmu silat. 
Siapa pun yang diundang ataupun tidak, boleh ikut 
ambil bagian untuk memperebutkan hadiah se-ratus 
kepeng uang emas yang dijanjikan sang adipati. Asal-
kan mereka mengikuti peraturan yang telah di kelua-
rkan.
Pertandingan telah berlangsung tiga kali. Tiga 
orang telah keluar sebagai pemenang. Satu merupakan 
salah seorang pengawal kadipaten sedang dua lainnya 
merupakan tokoh-tokoh persilatan.
"Kau suka melihat pertandingan ini?"
"Eh... ng... apa?" Bayu tersentak ketika Cempaka 
Wangi bertanya pelan padanya di sela-sela ramainya 
pertandingan.
"Kau tentu suka melihat pertandingan seperti ini 
bukan?"
"Entahlah... sepertinya menarik juga...."
"Kenapa tidak ikut ambil bagian? Kau tentu bisa 
menang dan mengantungi hadiah yang dijanjikan aya-
handa ku?"
Bayu tersenyum kecil. Sementara Tiren di pangkuannya menepuk-nepuk kedua tangan sambil menye-
ringai lebar ke arahnya.
"Aku lebih suka menonton saja...."
"Sayang sekali... padahal kesempatan terbuka luas 
untuk siapa saja. Atau mungkin orang sepertimu me-
rasa malu berhadapan dengan mereka?"
"Itu pikiran buruk. Apakah kau pikir aku merasa 
paling jago di atas bumi ini? Tidak. Sama sekali aku 
tak beranggapan begitu. Bahkan kalau mau berkata 
jujur, kepandaianku tak ada secuil pun dibanding me-
reka yang memiliki ilmu silat hebat dan disegani."
"Lalu kenapa kau tak tertarik untuk ikut? Padahal 
banyak orang yang memperebutkan hadiah itu. Dis-
amping mendapat hadiah, mereka yang menang pun 
akan mendapat nama tenar dan diakui sebagai salah 
seorang tokoh persilatan yang disegani."
Bayu cuma tersenyum mendengar celoteh gadis itu, 
dan tak menyahut apa-apa. Sulit untuk dijelaskan apa 
yang dilakukannya saat ini dan ke mana tujuannya. 
Barangkali dalam hal ini adalah pengabdian pada si 
lemah yang teraniaya. Walaupun dalam hal ini tak ja-
rang dia melakukan kesalahan. Tapi kesalahan toh 
adalah kodrat manusia yang tak bisa dielakkan.
Pertandingan di atas gelanggang semakin seru. To-
koh-tokoh yang berilmu tinggi mulai ikut ambil bagian. 
Dan yang membuatnya sedikit heran adalah keikutser-
taan Gagak Lumayung. Memang tidak ada larangan 
untuk itu, tapi apakah dia tak berpikir bila nanti men-
galami kekalahan toh yang malu bukan cuma dirinya 
sendiri, melainkan juga sang adipati beserta seluruh 
jajaran pengawal kadipaten yang selama ini menjadi 
murid-muridnya.
"Paman Gagak Lumayung berilmu tinggi dan tak 
seorang pun yang berani berhadapan dengan beliau," 
jelas Cempaka Wangi tanpa diminta.

"Hmm... lalu kenapa ayahanda mu tak meng-
ijinkan beliau yang mengajarkan kalian ilmu silat?" 
tanya Bayu.
"Justru kami kenal ilmu silat pertama kali dari be-
liau. Tapi ayahanda berpikir lain mengingat ke-
dudukan beliau, maka kami pun dititipkan di Padepo-
kan Laksa Dahana. Selain belajar ilmu silat, Ki Tem-
bayat Danang mengajarkan agama serta kesusilaan, 
serta sedikit ilmu ketatanegaraan. Beliau dulu adalah 
abdi kerajaan yang sangat diandalkan sebelum men-
gundurkan diri."
Si Pendekar Pulau Neraka menganggukkan kepala.
"Coba lihat! Cuma tiga jurus, Paman Gagak Lu-
mayung telah mengalahkan lawannya!" seru Cempaka 
Wangi sambil bertepuk girang.
Di atas panggung terlihat Gagak Lumayung men-
gangkat kedua tangannya tinggi-tinggi sambil mengita-
ri tempat itu. Tak jauh dari situ lawannya berusaha 
bangkit sambil tertatih-tatih keluar dari gelanggang 
dan menyeka darah yang meleleh di bibirnya.
Sampai saat seseorang mengumumkan nama-
nama pemenang, terlihat tak ada lagi penantang yang 
berani tampil di arena. Mungkin juga takut melihat 
yang menjadi pemenang adalah tokoh-tokoh persilatan 
berilmu tinggi, atau juga punya alasan lain. Namun 
karena pertandingan itu sendiri diusahakan berjalan 
dengan seadil-adilnya, timbul masalah karena jumlah 
pemenang yang akan diadu ternyata ganjil. Artinya sa-
lah seorang tak mempunyai lawan, atau salah seorang 
musti menghadapi dua lawan. Cara terakhir pasti tidak 
adil. Itulah sebabnya sang adipati turun tangan untuk 
mengundang siapa saja yang berani melawan salah 
seorang di antara para pemenang yang telah ada agar 
pertandingan tetap berjalan dengan adil dan jujur. 
Namun tak seorang pun di antara yang hadir menyambutnya.
"Maaf Kanjeng Adipati, saya ada usul jika diperke-
nankan..." kata Gagak Lumayung tiba-tiba. 
"Usul apakah itu...?"
"Biarlah hamba yang mengalah tak memiliki la-
wan..."
"Maksudmu kau akan mengundurkan diri?"
"Tidak demikian Kanjeng Adipati. Maksud hamba 
jika hamba yang mendapat bagian tak memiliki lawan 
maka jika Kanjeng Adipati meng-ijinkan, hamba ber-
maksud memilih lawan yang kira-kira bisa disetujui 
oleh semuanya...."
"Hmm... boleh juga. Asal kau tak memilih lawan 
yang lemah dan rendah ilmu silatnya. Kalau begi-
tu kau pasti menang dengan mudah," kata sang adipa-
ti berkelakar.
Semua yang berada di situ senyum-senyum kecil 
mendengarnya.
"Tentu saja tidak, Kanjeng Adipati. Hamba bermak-
sud memilih lawan yang setimpal tentunya."
"Nah, siapa lawan yang akan kau pilih?"
"Tamu kita hari ini, yaitu Ki Bayu Hanggara yang 
saat ini duduk di sebelah Kanjeng Adipati."
"Apa?" Adipati Bangkalan agak terkejut mendengar 
itu.
Mereka yang berada di situpun tak menduga hal 
itu. Antara sikap gegabah melawan pendekar itu, serta 
keingintahuan sampai di mana kehebatan ilmu silat si 
Pendekar Pulau Neraka yang selama ini sering digem-
bar-gemborkan, membuat semua mata menuju ke arah 
Bayu seperti menanti jawaban pemuda itu.
*
* *

LIMA

Bayu Hanggara sendiri tak menduga hal itu. Sejak 
tadi dia memang tak sempat memperhatikan sorot ma-
ta Gagak Lumayung yang cemburu melihat perhatian 
seluruh keluarga sang adipati pada tamu mereka satu 
ini. Tapi jika seorang tokoh persilatan berkata begitu, 
sama artinya dengan suatu tantangan. Dan apakah 
mungkin dia bisa menolak tantangan itu di hadapan 
puluhan pasang mata yang saat ini menunggu jawa-
ban dari mulutnya?
"Eeeh, kenapa jadi begini? Bukankah aku tak ikut 
dalam pertandingan ini?"
"Kisanak, siapa saja boleh mengikuti pertandingan 
ini diundang ataupun tidak asal mengikuti peraturan, 
yang telah ditetapkan. Yang menjadi masalah, apakah 
anda sudi atau tidak memeriahkannya untuk meng-
hormati Kanjeng Adipati?" sahut Gagak Lumayung te-
gas.
Bayu tak enak hati mendengar kata-kata kepala 
pasukan pengawal kadipaten itu. Sepertinya dia ber-
nafsu betul ingin menantangnya.
"Bagaimana kisanak? Apakah kau sudi menemani-
ku bermain-main satu atau dua jurus?" tanya Gagak 
Lumayung mencoba menegaskan.
"Ayolah, Bayu. Kami akan mendapat kehormatan 
sekali bila kau pun turut memeriahkan perkawinan 
putraku ini," sahut Adipati Bangkalan.
"Betul, Kakang Bayu. Kau harus ikut memeriah-
kannya. Anggaplah hal ini sebagai tanda per-
sahabatan antara kau dan kami!" timpal Cempaka 
Wangi.
Pemuda itu jadi tak enak hati mendengar suara-
suara itu. Akhirnya dia mengangguk pelan, dan disambut oleh semua orang dengan perasaan suka cita.
"Baiklah. Tapi terus-terang saya tak bermaksud 
untuk memenangkan hadiah yang dijanjikan Kanjeng 
Adipati. Semata-mata untuk menghormati dan turut 
memeriahkan perkawinan putra beliau. Jadi kalah 
atau menang tak saya persoalkan betul," sahut Bayu.
Gagak Lumayung sendiri menyetujui usul pemuda 
itu, dan menawarkan pertandingan mereka pada ba-
bak terakhir setelah pertandingan-pertandingan pada 
babak sebelumnya.
Bayu sendiri sekali lagi menyetujui saja.
Dan ketika saat-saat yang ditunggu oleh semua 
yang hadir di situ tiba, mereka menunggunya dengan 
hati berdebar-debar. Pendekar Pulau Neraka yang na-
manya belakangan ini menggegerkan rimba persilatan 
akan berhadapan dengan Gagak Lumayung yang su-
dah terkenal memiliki ilmu silat tingkat tinggi.
"Silakan kisanak. Sebagai tamu kau berhak menye-
rang lebih dulu," kata Gagak Lumayung ketika kedua-
nya telah berada di atas arena pertarungan.
"Sebagai orang yang lebih muda, tentu aku harus 
mengalah pada anda kisanak. Silakan lebih dulu...."
"Baiklah kalau itu keinginanmu." 
"Hiyaaa...!"
Dengan kaki kanan terangkat, Gagak Lumayung 
membentang dua jari tangan siap melancarkan seran-
gan ke arah lawan. Nama Pendekar Pulau Neraka tentu 
saja dikenal semua orang sebagai tokoh muda yang 
memiliki ilmu silat tinggi, maka Gagak Lumayung tak 
mau gegabah. Dia langsung menyerang dengan menge-
rahkan segenap kepandaian yang dimilikinya.
"Bet!"
"Uts!"
"Yeaaa...!"
Tubuh Bayu berputar bagai gasing sambil bergerak

cepat ke arah Gagak Lumayung. Ketika lawan mencelat 
ke atas menghindari serangannya, tubuh pemuda itu 
melentik mengikuti dengan satu bentakan keras.
"Plak! Plak!"
"Ukh!"
"Hiyaaa...!"
Gagak Lumayung tersentak kaget. Tak ada waktu 
dan kesempatan baginya untuk menghindar dari pu-
kulan lawan selain memapakinya. Tangannya terasa 
linu dan kesemutan ketika menangkis tamparan pe-
muda itu. Tubuhnya mencelat mundur ke belakang 
beberapa tindak. Tapi begitu kedua kakinya menyen-
tuh lantai, saat itu pula tubuh Bayu kembali mencelat 
sambil mengirim serangan susulan.
Gerakan yang diperagakan kedua tokoh itu cepat 
dan bertenaga kuat membuat decak kekaguman mere-
ka yang menonton pertarungan itu. Bahkan untuk me-
reka yang tak memiliki tenaga batin yang kuat, kepa-
lanya terasa pusing menyaksikan pertandingan yang 
cepat bukan main antara keduanya.
"Bleduk!
"Yeaaa...!"
Tubuh Gagak Lumayung bergulingan di lantai 
menghindari serangan Pendekar Pulau Neraka. Tapi 
tubuh pemuda itu melentik dalam posisi miring den-
gan kedua kaki menendang tubuh lawan bergantian.
"Hiyaaa...!"
"Plak!"
"Ukh!"
Kembali Gagak Lumayung meringis kesakitan. Da-
lam keadaan terdesak begitu, dia mencoba mengelua-
rkan pukulan jari sakti menghantam kaki lawan. Tapi 
Bayu merasakan desir angin panas Serangan lawan, 
maka tanpa berpikir panjang dia mengerahkan seba-
gian tenaga dalamnya ke arah kaki. Akibatnya sung

guh fatal. Terdengar suara berderak ketika Gagak Lu-
mayung menjerit kesakitan sambil memegang dua jari 
tangan kirinya yang patah.
Wajah kepala pasukan pengawal kadipaten itu be-
rubah garang. Dengan mendengus sinis dia mencabut 
keris yang terselip di pinggang ketika Bayu tak mene-
ruskan serangan dan memberi peluang padanya untuk 
menarik nafas.
"Aku biasa bersenjata. Keluarkanlah senjatamu 
agar pertarungan ini terasa lebih seru!"
"Biarlah untuk sementara aku bertangan kosong. 
Nanti kalau kurasa tak mampu melayanimu tentu 
akan kupergunakan senjataku," sahut Bayu tenang.
"Terserahmulah...."
"Hiyaaa...!"
Dengan bersemangat Gagak Lumayung kembali 
menyerang si Pendekar Pulau Neraka. Untuk beberapa 
jurus Bayu hanya meladeninya dengan jurus-jurus bi-
asa saja. Tapi gerakan-gerakan yang dibuat Gagak 
Lumayung selanjutnya sungguh membuat pemuda itu 
kaget.
"Heh?"
Ujung keris Gagak Lumayung menyambar-
nyambar pada bagian tubuh yang mematikan. Gera-
kannya pun ganas dan kejam, serta betul-betul dituju-
kan untuk membunuh lawan.
"Kisanak, apakah kau ingin membunuhku?" tanya 
Bayu sedikit kesal.
"Kenapa? Apakah kau mulai takut?" sahut Gagak 
Lumayung terkekeh pelan. 
Bukan main dongkolnya Bayu mendengar jawaban
itu. Untuk dua jurus berselang dia masih bisa meng-
hormati tuan rumah. Namun pada jurus berikutnya 
pemuda itu mulai naik pitam ketika serangan-
serangan yang dilancarkan Gagak Lumayung semakin

ganas seperti betul-betul hendak mencabut nyawanya.
"Gagak Lumayung, jangan salahkan kalau aku ber-
sikap kasar padamu karena kaulah yang me-mulainya 
lebih dulu!" bentak Bayu sambil melentik ke belakang 
menghindari serangan lawan yang bertubi-tubi.
"Siapa yang akan menyalahkanmu? Ayo, hadapilah 
seranganku kalau kau betul-betul pendekar tangguh 
yang digemborkan banyak orang!"
"Baiklah kalau hal itu yang kau inginkan..."
"Hiyaaa...!"
***
Gerakan Pendekar Pulau Neraka cepat bukan 
main. Gagak Lumayung sendiri sampai terkejut di-
buatnya. Tiba-tiba saja keris di tangannya terpental 
ketika pergelangannya terasa kaku. Belum lagi habis 
rasa terkejutnya, satu tendangan keras menghantam 
perutnya.
Tubuh Gagak Lumayung terangkat setengah tom-
bak. Masih untung dia mampu jatuh dengan kedua 
kaki di lantai meski tubuhnya agak limbung. Namun 
ketika dia kembali bersiaga dengan berjaga-jaga terha-
dap serangan lawan berikutnya, Pendekar Pulau Nera-
ka telah raib dari tempat itu berikut monyet kecil yang 
tadi bersamanya. Dari jauh terdengar suara lapat-
lapat.
"Maaf Kanjeng Adipati, kami tak bisa berlama-lama 
di tempatmu ini karena masih banyak yang harus di-
kerjakan. Terima kasih atas penghormatan yang ka-
lian berikan padaku!"
Semua yang berada di situ terkagum melihat kece-
patan bergerak pemuda itu.
"Wah, hebat! Rasanya kalau dia mau pasti Ki Ga-
gak Lumayung dapat dikalahkan dengan mudah," kata

salah seorang yang menonton pertandingan itu.
"Iya, iya... kayaknya Ki Gagak Lumayung naik pi-
tam dan bermaksud menyerang pemuda itu secara 
membabi buta. Ternyata malah membuat malu dirinya 
sendiri!" sahut kawannya.
Hal seperti itupun tak luput dari perhatian Sang 
Adipati sendiri. Beliau sangat menyayangkan sikap ke-
pala pasukan pengawalnya itu yang sembrono. Ternya-
ta terlihat bahwa dari pihaknya sendirilah yang me-
langgar aturan yang telah ditetapkan. Semua orang 
yang dapat menyaksikan pertarungan itu bisa menilai 
bahwa serangan Gagak Lumayung belakangan bukan-
lah pertandingan yang jujur, melainkan pertarungan 
hidup mati. Dia begitu bernafsu untuk membuat Pen-
dekar Pulau Neraka tewas, atau paling tidak cidera.
"Saudara-saudara semua, hari ini ada yang mela-
kukan pelanggaran terhadap aturan yang telah dite-
tapkan. Walaupun itu adalah orangku sendiri, maka 
tetap dia dikenakan hukuman yaitu tidak diperkenan-
kan mengikuti pertandingan selanjutnya karena diang-
gap gugur!" kata sang Adipati tegas.
"Maafkan kesalahan hamba Kanjeng Adipati..." sa-
hut Gagak Lumayung menyadari kesalahannya.
Kepala pasukan pengawal kadipaten itu mening-
galkan arena dengan langkah pelan. Namun baru saja 
pertandingan akan dilanjutkan, sekonyong-konyong 
melesat sesosok bayangan di atas panggung diiringi 
desir angin kencang yang membuat semua orang yang 
berada di tempat itu terkejut.
"Walah, ada setan!" teriak seseorang.
"Setan goblok!"
"Iya, setan...."
Semua orang melihat seorang pemuda berambut 
gondrong kusut masai berdiri tegak di atas panggung. 
Sorot matanya tajam berkilat memancarkan kegaran

gan. Tangan kanannya menggenggam sebatang pedang 
besar yang terlihat tajam.
"Ayahanda, beliaulah orang yang kuceritakan ta-
di?!" seru Cempaka Wangi dan Wangsa Bangkalan 
hampir berbareng.
"Pemuda yang menewaskan sisa-sisa Perompak
Tengkorak Darah?"
Cempaka Wangi dan Wangsa Bangkalan mengang-
guk serempak.
Belum lagi Sang Adipati buka mulut, pemuda yang 
berada di atas panggung itu berteriak lantang.
"Siapa yang merasa paling jago di antara kalian bo-
leh maju menghadapiku!"
"Huh, sombong sekali dia!" sahut Senakrama, salah 
seorang peserta yang memenangkan pertarungan tadi.
"Betul! Sepertinya dia merasa paling jago di kolong 
jagat ini!" timpal Wlijeng Kono, atau lebih dikenal se-
bagai Dewa Tangan Delapan.
"Ayo, bukankah kalian datang ke sini untuk ber-
tanding?! Kenapa? Apakah kini kalian menjadi penge-
cut semuanya?!" bentak pemuda itu lagi dengan suara 
lantang.
Senakrama yang masih muda dan berjiwa panas 
langsung menyambut tantangan itu setelah meminta 
ijin sang adipati.
"Kanjeng Adipati, mohon ijin untuk meng-hadapi 
pemuda ini."
"Hmm... silakan. Juga untuk kau kisanak, boleh
saja mengikuti pertandingan ini asalkan memegang pe-
raturan dengan teguh. Sebelumnya kau harus mem-
perkenalkan nama lebih dulu," kata Adipati Bangkalan 
pada pemuda itu.
"Huh, Nara Sudana tak peduli dengan segala atu-
ran! Kau cacing kurus, panggillah semua kawan-
kawanmu untuk maju. Kalau tidak kau akan mampus

penasaran!" sahut pemuda itu dengan sikap angkuh.
"Untuk menghadapi orang sepertimu cukup aku 
seorang. Nah, majulah kau kisanak!" sahut Senakrama 
sambil mencabut goloknya begitu melihat lawan mulai 
mengacungkan pedang.
"Yeaaa...!"
Pemuda yang mengaku bernama Nara Sudana itu 
tanpa basa-basi lagi langsung berteriak nyaring sambil 
memutar pedang. Senakrama agak terkejut melihat ke-
cepatan lawan bergerak. Namun dengan gesit pemuda 
itupun mencoba berkelit sambil mengayunkan golok 
menangkis.
"Trak!"
"Breet!"
"Aaaa...!"
Terdengar jerit kematian yang disusul men-
celatnya tubuh Senakrama dari atas panggung. Ketika 
tiba di tanah semua orang tersentak kaget. Pemuda itu 
tewas dengan perut robek dan isinya terburai keluar.
"Hei!" Adipati Bangkalan serta semua yang hadir di 
situ tersentak kaget.
"Kejam!"
"Biadab!"
"Bunuh dia!"
Semua orang yang berada di situ berteriak-teriak 
menuding ke arah Nara Sudana. Tapi pemuda itu ma-
lah tersenyum tipis dengan wajah sinis.
Adipati Bangkalan masih menahan sabar sambil 
menarik nafas dalam-dalam.
"Kisanak, kau bukan saja melanggar peraturan tapi 
perbuatanmu kejam dan telengas dan itu melanggar 
hukum. Kau sudah sepatutnya mendapat hukuman!" 
kata sang Adipati tegas.
"Ha ha ha...! Kau akan menghukumku tua bangka? 
Majulah dan sini biar kuajarkan bagaimana caranya

menghukum orang."
Selesai berkata begitu Nara Sudana langsung men-
celat dari gelanggang ke arah sang Adipati.
''Kanjeng Adipati, awas!" teriak Gagak Lumayung 
sambil mencelat dan memapaki serangan lawan untuk 
melindungi junjungannya.
"Huh, mampuslah kau lebih dulu!" bentak Nara 
Sudana.
"Trak!"
"Duk!"
"Breeet!"
"Aaa...!"
Tubuh Gagak Lumayung terjungkal dengan darah 
muncrat dari mulutnya. Pada saat menangkis pedang 
lawan kerisnya terpental jauh dan Nara Sudana den-
gan cepat menyabetkan pedang ke lehernya. Tapi Ga-
gak Lumayung masih sempat menundukkan kepala.
Sekonyong-konyong satu tendangan telak menghan-
tam perutnya membuat kepala pasukan pengawal ka-
dipaten itu menjerit keras. Masih untung ujung pedang 
lawan tertahan ketika beberapa orang pengawal lang-
sung menghadang. Tapi mereka tewas dan ambruk di-
babat pedang pemuda itu.
"Keparat! Perbuatannya sungguh biadab! Kepung 
dan jangan biarkan dia lolos. Bunuh di tempat!" teriak 
salah seorang anak buah Gagak Lumayung memberi 
perintah pada seluruh pengawal kadipaten.
Maka sebentar saja seluruh pengawal kadipaten te-
lah mengurung Nara Sudana. Tapi pemuda itu agak-
nya tak ingin berlama-lama. Sebelum mereka menye-
rang dia telah lebih dulu berkelebat dengan pedang di 
tangan menyambar-nyambar ke arah mereka.
"Trak! Trak!"
"Breet!"
"Begkh!"
"Aaa...!"
Sebentar saja terdengar pekik kematian. yang dis-
usul dengan tumbangnya beberapa orang pengawal 
kadipaten secara mengenaskan disabet ujung pedang 
pemuda itu.
"Hajar dia!"
"Bunuuuh...!"
Mereka yang tadi mengikuti pertandingan menjadi 
kesal dan naik pitam. Seperti ada yang mengkomando, 
semuanya mengurung pemuda itu dan bersiap melan-
carkan serangan bersama para pengawal kadipaten.
"Hiyaaa...!
Dengan satu teriakan nyaring semuanya bernafsu 
ingin menghajar pemuda itu. Tapi yang terjadi justru 
sebaliknya. Dengan tertawa terbahak-bahak pemuda 
itu mengamuk sejadi-jadinya. Gerakannya cepat bukan 
main dan mengandung tenaga dalam kuat. Ketika tu-
buhnya berkelebat maka mendesir angin kencang yang 
membuat pakaian lawan berkibar-kibar seperti ditiup 
angin.
"Breet! Breeet!"
"Aaa...!"
Pekik kematian kembali berkumandang di tempat 
itu. Darah membanjir dan tubuh-tubuh bergelimpan-
gan dalam keadaan yang mengerikan. Amukan pemu-
da itu sungguh tiada tertahan. Ujung pedangnya 
membabat lawan seperti membabat ilalang saja layak-
nya. Tentu saja hal ini membuat sang adipati menjadi 
prihatin.
"Wangsa Bangkalan dan kau Cempaka Wangi, ce-
pat selamatkan abang dan kakakmu! Pergi jauh-jauh 
dari tempat ini. Atau kalau perlu bawa mereka ke pa-
depokan!" teriak Adipati Bangkalan di tengah-tengah 
amukan pemuda bernama Nara Sudana itu.
"Tidak ayahanda, aku akan tetap berada di sini dan

membereskan perusuh keparat itu!" bantah Wangsa 
Bangkalan.
"Betul ayahanda, kami harus tetap berada di sini 
dan menangkap si pengacau itu," timpal Dharma 
Bangkalan, putra tertua sang adipati yang saat ini
menjadi pengantin laki-laki. 
"Tidak! Kalian harus mengungsi dari sini se-
cepatnya! Biar aku yang akan menghadapi pemuda
itu!"
Tapi kedua putra sang adipati itu bukannya mema-
tuhi perintah ayahandanya. Keduanya langsung me-
nerjunkan diri dalam kancah pertarungan.
"Anak-anak bandel!" Dengusnya kesal sambil me-
malingkan perhatian ke arah Cempaka Wangi.
"Aku pun harus menempur pengacau itu ayahan-
da," kata gadis itu siap mencabut pedangnya.
"Tidak Cempaka Wangi! Kali, ini kau. harus mema-
tuhi perintah ayahmu. Bawa pergi kakakmu dari sini 
cepat!"
"Tapi ayahanda...."
"Tidak ada tapi-tapian! Cepat pergi! Aku tak mau 
melihat kalian semua tewas di hadapanku!"
Walau hatinya mangkal namun gadis itu mematuhi 
juga perintah ayahandanya. Sekilas matanya melirik 
ke arah pertarungan. Puluhan mayat telah bergelim-
pangan bersimbah darah. Gadis itu menggeram hebat. 
Ingin rasanya saat itu juga dia melompat dan mengga-
bungkan diri dengan yang lainnya menghabisi penga-
cau itu.
"Kisanak, kali ini hadapilah aku!" bentak sang adi-
pati sambil mencabut keris dan menerjang ke arah la-
wan.
"He he he...! Rupanya kau pun kepingin mampus 
seperti mereka? Baiklah. Terima seranganku!" 
"Hiyaaa...!"

Bersama kedua putra dan beberapa orang yang 
tersisa, sang adipati mencoba menaklukkan pemuda 
bernama Nara Sudana itu.
"Yeaaa...!"
"Trak!"
"Breeet!"
"Aa...!"
Kembali terdengar pekik kematian ketika tubuh 
pemuda itu berkelebat. Lima orang tokoh persilatan 
tewas bersimbah darah. Wangsa Bangkalan dan 
Dharma Bangkalan terkejut ketika bahu mereka kena 
disambar ujung pedang lawan. Masih untung kedua-
nya cepat berkelit dan cuma tergores. Kalau saja lam-
bat sedikit bergerak niscaya mereka akan kehilangan 
sebelah lengan.
Sementara itu dalam gebrakan tadi Adipati Bang-
kalan baru merasakan hebatnya tenaga dalam lawan. 
Tangannya terasa perih dan kesemutan ketika senjata 
mereka beradu.
Padahal siapa pun mengetahui bahwa Adipati 
Bangkalan bukanlah orang biasa. Beliau memiliki ilmu 
silat tak rendah. Kalau saja bukan karena ke-
rendahan hatinya, tak mungkin beliau menolak jaba-
tan sebagai panglima kerajaan tempo hari. Tapi berha-
dapan dengan pemuda itu betul-betul membuatnya 
penasaran. Betapa tidak? Pemuda yang melihat dari 
wajahnya paling tidak berusia tujuh belas tahun itu te-
lah memiliki tenaga dalam setingkat datuk-datuk per-
silatan.
"Ha ha ha...! Satu dua tiga empat lima... ayo, maju-
lah semua biar kalian lebih cepat mampus!" ejek pe-
muda itu memandang sinis sambil memutar-mutar pe-
dangnya bagai kitiran.
Adipati Bangkalan mulai menyadari. Jumlah mere-
ka saat itu tinggal lima orang lagi. Selain kedua putranya, ada Wlijeng Kono serta Gagak Lumayung yang 
telah kepayahan.
"Kisanak, tak ada angin tak ada hujan kau mem-
bantai dan membuat kerusuhan di tempatku ini. Ada 
persoalan apa sebenarnya?" tanya Adipati Bangkalan.
"He he he...! Tak ada angin tak ada hujan semua 
keluargaku dibantai. Masihkah ada pertanyaan lagi di 
antara kita?" sahut pemuda itu balik bertanya.
Sang Adipati akan melanjutkan kata-katanya na-
mun terpotong ketika pemuda itu telah berkelebat ke 
arah mereka sambil membentak nyaring.
"Yeaaa...!"
"Trak! Trak!" 
"Breet!"
"Aaaa...!"
"Wangsa...!" teriak Adipati Bangkalan begitu meli-
hat putra keduanya menjerit nyaring disabet ujung pe-
dang lawan.
Perut pemuda itu robek dan nyawanya lepas seke-
tika. Bersamaan dengan itu Gagak Lumayung dan Wli-
jeng Kono mendapat giliran yang sama. Sementara 
Dharma Bangkalan cuma kehilangan lengan kanannya 
saja.
"Keparat! Aku akan mengadu jiwa denganmu!" ben-
tak Adipati Bangkalan' geram.
"Ha ha ha...! Siapa sudi mengadu jiwa denganmu? 
Kaulah yang akan lebih dulu mampus menyusul me-
reka!" sahut Nara Sudana sambil ketawa mengejek.
"Hiyaaa...!"
Bersamaan dengan itu Adipati Bangkalan kembali 
menyerang lawan dengan gerakan cepat mengandung
tenaga dalam hebat. Kali ini ujung kerisnya menyam-
bar-nyambar tubuh lawan seperti tiada henti. Dalam 
keadaan kalap begitu Adipati Bangkalan hanya memu-
satkan perhatian dengan menyerang lawan habis

habisan.
Untuk dua jurus yang berlangsung Nara Sudana 
sedikit terkejut. Serangan lawan yang ditujukan pada 
setiap daerah kematian di tubuh begitu gencar. Lebih-
lebih Dharma Bangkalan sendiri seperti mencuri, tiap 
kelengahan dirinya. Tapi pada jurus selanjutnya pe-
muda itu menggertak rahang. Tubuhnya berputar ba-
gai gasing. Dan sambil membentak nyaring ujung pe-
dangnya berkiblat dengan cepat ke hadapan kedua la-
wan.
"Hiyaaa...!"
"Trak!"
"Breet!"
"Aaaa...!"
Dengan pengerahan tenaga dalam kuat Nara Suda-
na menyampok senjata lawan hingga terpental. Ujung 
pedangnya cepat berbalik dan menyabet leher kedua 
lawan dengan kecepatan yang sulit diikuti oleh mata.
Terdengar jeritan tertahan ketika leher Dharma 
Bangkalan putus dan tulang rusuk Adipati Bangkalan 
berderak dihantam pedang lawan. Keduanya ambruk 
seketika menambah jumlah korban yang tewas hari 
ini.
Keramaian itu telah lenyap. Orang-orang yang me-
nonton pertandingan itu telah bubar sejak ter-jadinya 
pembantaian yang dilakukan pemuda itu tadi. Bau an-
yir darah bercampur dengan puluhan bangkai manu-
sia di tempat itu.
"Ha ha ha...! Siapa lagi yang akan mendapat giliran 
untuk mampus! Ha ha ha...! Siapa pun di antara ka-
lian yang memiliki kejagoan akan mampus di tangan-
ku! Akan mampus di tanganku...! Tunggulah giliran 
kalian nanti!" teriak pemuda itu berulang-ulang sambil 
meninggalkan tempat itu.

***

ENAM

Langkah kaki keduanya seperti enggan untuk ber-
lalu dari situ. Cempaka Wangi berat untuk meninggal-
kan ayahanda serta ibunya yang tak ketahuan bagai-
mana nasibnya. Sedangkan kakak iparnya yang ber-
nama Pinang Sari cemas memikirkan bagaimana nasib 
suaminya saat ini. Berkali-kali keduanya melirik ke be-
lakang sambil terus berjalan ke depan.
"Ke mana tujuan kita sekarang adik Cempaka?" 
tanya Pinang Sari dengan suara bergetar.
"Entahlah. Yang ku tahu saat ini hanya ke Padepo-
kan Laksa Dahana. Mudah-mudahan Eyang Tembayat 
Danang mampu mencarikan jalan keluar dari kesuli-
tan ini."
"Ah... tak seharusnya kita meninggalkan mereka 
dalam keadaan kacau begitu. Bagaimana nasibnya Ka-
kang Dharma di sana...."
"Tenanglah Kak Pinang. Kakang Dharma memiliki 
ilmu silat tinggi. Begitu juga dengan ayahanda. Mereka 
tak mudah dikalahkan musuh. Apalagi di sana banyak 
tokoh-tokoh persilatan yang sedang berkumpul. Tentu 
saat ini mereka telah berhasil menangkap pemuda gila 
itu," kata Cempaka Wangi menghibur kakak iparnya.
"Tapi hatiku cemas, Dik...."
Cempaka Wangi diam tak menjawab. Kalau ingin 
berkata jujur, sebenarnya pun dia merasakan hal yang 
sama dengan kakak iparnya itu. Hanya gadis satu ini 
bisa menahan diri. Sejak berguru di padepokan itu si-
fat kekanak-kanakan berangsur-angsur hilang dari di-
rinya. Pandangannya luas ke depan. Jika dia menim-
pali kecemasan hati kakaknya tentu suasana akan 
semakin runyam. Dan kesedihan serta kecemasan me

reka akan semakin bertambah.
"Berdo'a saja mudah-mudahan mereka dilindungi
oleh Yang Maha Kuasa..." sahut Cempaka Wangi ak-
hirnya.
"Pemuda itu berilmu tinggi. Dalam beberapa gebra-
kan saja dia mampu menewaskan banyak lawan. Ba-
gaimana mungkin ayahanda serta Kakang Dharma 
mampu menandinginya?"
"Ayahanda bukan orang sembarangan. Beliau me-
miliki ilmu silat tinggi. Banyak tokoh-tokoh persilatan 
yang segan pada beliau. Mudah-mudahan beliau 
mampu mengatasinya."
"Aku pun berharap begitu..." sahut Pinang Sari ra-
gu.
Keduanya kembali berdiam diri sambil memperce-
pat langkah.
"Jauh lagi padepokan itu dari sini?"
"Kira-kira setengah hari perjalanan lagi. Apakah 
kakak masih kuat melanjutkan perjalanan?"
Pinang Sari mengangguk ragu.
Cempaka Wangi tersenyum kecil. Saat ini hari telah 
menjelang senja. Cukup jauh juga mereka telah berja-
lan. Telah melewati pinggiran hutan dan mulai mema-
suki wilayah bebukitan. Paling tidak sebelum tengah 
malam mereka telah sampai di padepokan. Cempaka 
Wangi memang sengaja mengambil jalan memintas me-
lewati daerah yang jarang dilalui orang. Dengan demi-
kian mereka lebih cepat tiba di padepokan Laksa Da-
hana.
"Sebaiknya kita istirahat saja di sini..." kata Cem-
paka Wangi.
Pinang Sari memperhatikan di sekeliling tempat 
itu. Terasa gelap dan menyeramkan. Sebagai seorang 
gadis yang biasa dibesarkan di suasana kehidupan 
mewah dan dimanja, hal ini merupakan penderitaan

batin baginya. Diliriknya sekilas Cempaka Wangi enak-
enakan duduk di atas batang pohon yang roboh.
"Apakah kakak mau berdiri di situ saja? Duduklah 
barang sejenak, dan setelah penatnya hilang baru kita 
melanjutkan perjalanan lagi."
Pinang Sari melangkah pelan dan duduk di sebelah 
adik iparnya itu.
"Lapar? Sayang kita tak sempat membawa bekal 
makanan tadi. Aku tak bisa menangkap kelinci hutan. 
Kalaupun bisa, tak bisa memakannya dengan dibakar 
saja," kata Cempaka Wangi mengeluh.
"Tak apa-apa. Perutku masih terasa kenyang...."
"Kalau begitu aku coba cari buah-buahan saja di 
sini. Siapa tahu ada sekedar untuk pengganjal perut," 
kata Cempaka Wangi seperti tak mempedulikan jawa-
ban kakak iparnya itu.
"Cempaka!" panggil Pinang Sari bangkit ketika me-
lihat gadis itu akan beranjak dari duduknya.
"Kenapa?"
"Tidak usah. Aku seram berada di tempat ini. Se-
baiknya kau di sini saja." 
"Tidak lapar?"
Pinang Sari menggelengkan kepala. 
"Ya... terserah," sahut Cempaka Wangi kembali du-
duk.
Namun baru saja mereka hendak melepaskan pe-
nat, tiba-tiba melesat tiga sosok bayangan persis satu 
tombak di hadapan mereka. Dengan gerak reflek Cem-
paka Wangi cepat bangkit sambil mencabut pedang-
nya.
Pinang Sari bergetar ketakutan dan wajahnya seke-
tika pucat melihat tampang ketiga orang yang baru da-
tang itu. Ketiganya hanya mengenakan cawat tanpa 
baju. Tubuh mereka kurus kerempeng dengan kepala 
botak. Yang satu sebelah matanya besar, di sebelahnya

berkaki pincang, dan yang terakhir tangan kirinya 
pendek.
"Siapa kalian?!" bentak Cempaka Wangi garang.
"Amboi, galak betul kalian. Tapi menambah gelora 
hatiku yang semakin menggebu-gebu," sahut yang se-
belah matanya besar sambil ketawa kecil.
"Bagianku yang di belakangnya saja, Karpala!" te-
riak yang berkaki pincang.
"Kalau aku pilih gadis yang galak ini!" sahut yang 
sebelah tangannya pendek.
"Sudah! Jangan serakah. Karena gadis ini cuma 
berdua maka nanti akan kita bagi rata. Aku duluan 
sebagai saudara tertua baru bagian kau Karpalu, dan 
terakhir untukmu Karpali," kata si botak yang sebelah 
matanya besar itu bergantian pada si kaki pincang dan 
si tangan kiri pendek yang masing-masing bernama 
Karpalu dan Karpali.
"Ya, itu baru adil!" sahut Karpalu.
"Huu, aku selalu saja harus mengalah," gerutu 
Karpali.
"Kurang ajar! Mulut kalian sangat kotor. Kalian ki-
ra sedang berhadapan dengan siapa saat ini?!" bentak 
Cempaka Wangi sambil menudingkan pedang pendek-
nya.
"Amboi, bukan main galaknya membuat jantungku 
seperti berhenti berdetak. Sebaiknya cepat ditangkap 
saja!" sahut Karpalu seenaknya.
"Ya, ya... lebih cepat lebih baik!" timpal Karpali 
sambil maju dua langkah.
"Jangan melangkah! Atau kalian akan mampus di 
ujung pedangku ini!" gertak Cempaka Wangi.
"Hi hi hi...! Jangan bermain-main dengan senjata 
tajam itu Cah Ayu. Nanti akan celaka sendiri!" sahut 
Karpala.
Selesai berkata begitu ketiganya langsung melompat menjangkau kedua gadis itu. Pinang Sari yang 
sejak tadi sudah ketakutan, bersembunyi di belakang 
Cempaka Wangi sambil memeluk punggungnya erat-
erat.
"Hiyaaa...!" 
Cempaka Wangi menyabetkan pedang ke arah keti-
ganya. Tapi bukan main terkejutnya gadis itu ketika 
dia cuma membabat angin. Sebaliknya terdengar jerit 
ketakutan Pinang Sari yang telah berada dalam rang-
kulan Karpala.
"Cempaka! Auw, tolong...!"
"Keparat! Lepaskan kakakku atau kepala kalian 
yang botak itu akan menggelinding saat ini juga!" ben-
tak Cempaka Wangi garang.
"He he he...! Kau lihat Karpali? Dia begitu galak 
membuat gairahku ingin meledak-ledak. Sebaiknya ce-
pat-cepat kita tangkap dia," sahut Karpalu.
"Ya, ya... tunggu apa lagi?"
Keduanya kembali melompat dengan gerakan rin-
gan. Tapi kali ini Cempaka Wangi bersiaga penuh. Be-
gitu keduanya sedikit lagi mendekat buru-buru dis-
abetkannya pedang pendek di tangan menghajar tubuh 
lawan.
"Yeaaa...!"
"Bet!"
"Plak! Tuk!" 
"Ohh...!"
***
Bukan main hebatnya gerakan kedua orang ber-
saudara itu. Bagai sehelai kapas ditiup angin tubuh 
mereka melayang menghindari sabetan senjata gadis 
itu. Tangan kanan Karpalu cuma menepuk ringan tan-
gan Cempaka Wangi yang memegang senjata. Akibat

nya sungguh hebat. Terasa ada sentakan keras, pe-
dang di tangan gadis itu terlepas. Belum lagi habis ra-
sa terkejutnya tiba-tiba satu tutukan di pinggang 
membuat gadis itu jatuh lemas. Namun buru-buru 
Karpali meraihnya.
"Hi hi hi...! Gadis cantik molek, kau akan menjadi 
pengantin kami malam ini!" teriak Karpali kegirangan 
sambil memondong Cempaka Wangi mengikuti jejak 
saudara tertuanya yang baru saja beranjak meninggal-
kan tempat itu diikuti oleh Karpalu.
"Keparat! Lepaskan aku! Lepaskaaan...!" teriak 
Cempaka Wangi sambil memaki-maki.
Tapi mana mau mereka melepaskan mereka begitu 
saja. Walau sepanjang perjalanan kedua gadis itu ber-
teriak-teriak, ketiganya cuma terbahak-bahak kegiran-
gan. 
Mereka baru berlari kira-kira seratus tombak keti-
ka di suatu tempat melesat sesosok bayangan meng-
hadang. Ketiganya merandek sambil menyipitkan mata 
melihat seorang pemuda tampan berwajah keras berdi-
ri tegak. Di pundaknya terdapat seekor monyet kecil 
berbulu hitam. 
"Siapa yang akan membereskan kedua monyet ini?" 
tanya Karpala berpaling ke arah Karpalu yang tak 
membawa beban.
"Kalian pergilah lebih dulu. Biar kuselesaikan ke-
dua monyet ini. Tapi jangan habisi sisa ku!" sahut 
Karpalu.
"He he he..., beres adikku!" sahut Karpala sambil 
melanjutkan langkah.
Namun baru berjalan beberapa langkah, pemuda 
berambut gondrong dan berbaju kulit harimau itu ber-
kata dengan nada dingin serta mengancam.
"Boleh saja meninggalkan tempat ini tapi tinggal-
kan kedua gadis itu atau kalian boleh gorok leher sendiri!"
"He he he...! Bocah kurang ajar. Tak tahukah se-
dang berhadapan dengan siapa kau saat ini?!" ejek 
Karpalu.
"Mungkin setelah mendengar nama kita yang ter-
mahsyur dia akan lari terkencing-kencing!" sahut Kar-
pali. 
"Bocah ketahuilah, kami yang bergelar Tiga Iblis 
Hutan Gundul. Nah, setelah mendengar nama itu ma-
sih ingin coba-cobakah kau berlalu di hadapanku? 
Pergilah dan kami akan menganggap bahwa antara ki-
ta tak terjadi apa-apa," kata Karpala.
"Tiga Iblis Hutan Gundul, kali ini bukan cuma ke-
pala kalian saja yang akan gundul bila kata-kataku tak 
dituruti. Tapi juga nyawa kalian akan kubuat gundul!" 
desis pemuda yang tak lain dari Bayu Hanggara atau si 
Pendekar Pulau Neraka itu.
"Kurang ajar!" maki Karpalu sambil terus me-lesat 
menyerang pemuda itu. 
"Hiyaaa...!
"Uts, ha...!"
"Plak!"
Dengan gerakan manis, tubuh Pendekar Pulau Ne-
raka bergerak ke samping. Tangan kirinya menangkis 
pukulan lawan, sedang tangan kanannya menghajar 
ke arah dada. Bersamaan dengan itu kaki kanannya 
menyabet kedua kaki lawan yang pincang dan terlihat 
lemah. 
Tapi Karpalu bukanlah tokoh sembarangan. Tu-
buhnya menotol dengan ringan dan terus mencelat ke 
atas mengirim jotosan ke batok kepala lawan. Tak ada 
pilihan bagi Bayu selain menangkis. Terdengar Karpalu 
mengeluh kesakitan sambil memegangi tangannya 
yang kesemutan akibat benturan kedua tangan tadi.
"Sungguh hebat kau bocah. Tapi jangan kira aku

tak mampu mematahkan batok kepalamu!" dengus 
Karpalu.
"Karpalu, apakah kau tak mampu mengurus bocah 
itu?!" teriak Karpala kesal. 
"Bukankah sudah kukatakan pergilah kalian lebih 
dulu. Serahkan bocah ini padaku!" sahut Karpalu.
"Baiklah kalau begitu," jawab Karpala.
Bersama dengan saudara termudanya dia langsung 
meninggalkan tempat itu bersamaan dengan serangan 
kilat yang dilancarkan Karpalu ke arah Pendekar Pu-
lau Neraka.
"Keparat! Kalian pikir bisa pergi begitu saja dari 
hadapanku? Huh, jangan harap itu bisa kalian laku-
kan!" dengus Bayu.
Begitu selesai berkata demikian tangan kanannya 
terkibas ke atas maka detik itu juga mendesing sinar 
keperakan dari Cakra Maut yang melesat ke arah ke-
duanya.
"Sing!"
"Hei, Cakra Maut!?" 
Ketiga orang itu seperti terkejut dan menghentikan 
gerakannya. Karpala dan Karpali dengan susah payah 
menghindari gerakan senjata maut itu.
"Bocah, ada hubungan apa kau dengan si Cakra 
Maut Eyang Gardika?!" bentak Karpala dengan wajah 
penuh selidik ketika baru saja terhindar dari maut.
"Beliau adalah guruku. Kenapa rupanya?"
Ketiganya saling pandang sejenak. Kemudian se-
perti dikomando Karpala dan Karpali meletakkan gadis 
itu dari bopongan.
"Hmm... dulu aku pernah dikalahkan gurumu dan 
berjanji tak akan mencampuri dan berhadapan den-
gannya ataupun murid beliau. Biarlah hari ini kami 
mengalah. Nah, kau bawalah kedua gadis ini!" lanjut 
Karpala.

Setelah berkata begitu ketiganya langsung mening-
galkan tempat itu dengan gerakan cepat.
"Hei, tunggu...!" Bayu mencoba mencegah untuk 
meminta penjelasan, namun ketiganya telah lenyap da-
ri pandangan.
Pemuda itu menggelengkan kepala sambil melang-
kah ke arah dua gadis itu dan membebaskan totokan 
mereka.
*
* *
TUJUH


"Bayu! Oh, untung ada kau. Kalau tidak entah apa 
yang terjadi pada kami!" teriak Cempaka Wangi penuh 
kegembiraan.
"Kenapa kalian berdua di tempat ini?" tanya Bayu 
heran.
Kemudian Cempaka Wangi pun menceritakan apa 
yang telah terjadi di kadipaten sejak kepergian pemuda 
itu hingga kepergian mereka mengungsi karena hura-
hara yang dilakukan pemuda bernama Nara Sudana.
Bayu terkejut mendengar cerita itu.
"Hmm... tak kusangka dia melakukan kekejaman 
begitu. Apakah pihak kadipaten tak pernah bermusu-
han sebelumnya?"
"Kami tak pernah mengenal pemuda itu, dan aya-
handa sendiri tampaknya tak mengerti kenapa tiba-
tiba dia datang dan kemudian mengamuk tanpa ala-
san. Pemuda itu tak pernah mengatakan atasan apa 
yang menyebabkan dia mengamuk di tempat kami," je-
las Cempaka Wangi.
"Kalau demikian sebaiknya kau melanjutkan perjalanan ke padepokan biar aku ke kadipaten!" kata Bayu 
mengusulkan.
"Tapi...."
"Betul kisanak! Apakah tidak sebaiknya anda ikut, 
eh mengantarkan kami jika sudi ke padepokan?" po-
tong Pinang Sari masih menunjukkan wajah ketaku-
tan.
Bayu tak langsung menjawab. Sebaliknya menga-
lihkan pandang pada Cempaka Wangi.
"Kami takut hal-hal seperti tadi akan terulang 
kembali..." lanjut Pinang Sari.
"Hmm... aku khawatir terjadi apa-apa di kadipa-
ten..." sahut Bayu ragu.
"Di sana berkumpul banyak tokoh-tokoh persila-
tan. Sedang ayahanda sendiri bukanlah orang semba-
rangan. Rasanya beliau dengan dibantu yang lainnya 
mampu menangkap pemuda itu," kata Cempaka Wangi 
seperti menimpali kata-kata kakak iparnya tadi.
Bayu bukannya tak mengerti maksud mereka. Se-
telah berpikir sejenak kemudian dia mengajukan suatu 
usul.
"Baiklah. Sebaiknya memang kuantar kalian ke 
tempat tujuan untuk memastikan keselamatan kalian. 
Tapi aku tak bisa berlama-lama karena secepat itu pu-
la akan ke kadipaten. Dan...."
"Kenapa Bayu? Kau kelihatannya ragu?"
"Bisakah kau menggunakan ilmu lari cepat untuk 
menyingkat waktu?"
"Tentu saja. Hal itulah yang menjadi masalah se-
bab kakakku ini tak bisa berjalan cepat," jelas Cempa-
ka Wangi.
"Tak jadi masalah. Mari kita berangkat!"
"Auw!"
Pinang Sari tersentak kaget ketika dengan tiba-tiba 
tubuhnya disambar Pendekar Pulau Neraka dan di bawa berlari dengan cepat. Sementara di sampingnya 
Cempaka Wangi mengikuti dengan wajah yang sesekali 
dipalingkan ke arah pemuda itu.
"Maaf, aku tak bermaksud kurang ajar. Tapi cuma 
dengan jalan ini perjalanan kita akan lebih cepat sam-
pai," jelas Bayu.
Pinang Sari sendiri setelah mengetahui niat pemu-
da itu tak lagi memprotes dengan wajah kesalnya. Se-
baliknya dia malah tersenyum sambil memejamkan 
mata membayangkan kengerian dibawa berlari yang 
bukan main cepatnya menurut perkiraannya.
Padahal saat menggunakan ilmu lari itu Bayu tak 
seluruhnya mengeluarkan segenap kemampuannya 
karena dia mensejajarkannya dengan kemampuan 
Cempaka Wangi. Waktu bergerak pertama tadi terlihat 
gadis itu tertinggal jauh dan tak mampu menyusul. 
Untuk itulah dia terpaksa memperpendek jarak dengan 
memperlambat larinya hingga mereka tetap bisa seir-
ing. 
Sepanjang perjalanan pemuda itu sama sekali tak 
memperhatikan wajah Cempaka Wangi yang kesal dan 
cemburu. Entah kenapa, gadis itu tiba-tiba dijalari 
oleh suatu perasaan kurang senang melihat pemuda 
itu membopong kakak iparnya. Padahal dia mengerti 
dan tahu bahwa hal itu dilakukan Bayu untuk memas-
tikan keselamatan mereka serta ketepatan waktunya 
tiba di kadipaten.
Tiba di padepokan Bayu cuma sempat berkenalan 
sesaat dengan pimpinannya yaitu Ki Tembayat Da-
nang. Namun ketika dia bermaksud untuk meninggal-
kan tempat itu ternyata Cempaka Wangi beserta orang 
tua itu dan tiga orang murid utamanya pun ingin turut 
serta pula, Bayu tak bisa berkata apa-apa untuk men-
cegahnya. Saat itu pula mereka kembali meninggalkan 
padepokan setelah menitipkan Pinang Sari di sana.

"Tidak capek?" tanya Bayu pada gadis itu ketika di-
lihatnya keringat bercucuran di pipi yang putih keme-
rahan itu.
Cempaka Wangi melirik sekilas kemudian menga-
lihkan perhatian lurus-lurus ke depan.
"Kalau capek kau bisa bilang istirahat pada guru-
mu. Kalau aku tidak...."
"Tentu saja!" sahut Cempaka Wangi ketus.
"Heh! Kenapa rupanya?"
"Tanya saja pada dirimu sendiri! Kau kan laki-laki, 
dan biasanya laki-laki tak akan pernah capek apalagi 
setelah membopong seorang gadis cantik."
"Hmm... agaknya kau kurang senang karena aku 
membopong kakak iparmu itu?"
"Tidak! Aku tahu maksudmu baik."
"Lalu?"
Cempaka Wangi melirik kembali. Cuma sekilas, 
dan segera mengalihkan perhatian ke arah lain.
"Apakah itu menjadi ganjalan di hatimu? Kalau 
demikian aku minta maaf..." 
"Tak perlu." 
"Lho?!"
"Untuk apa kau minta maaf padaku? Minta maaf-
lah pada kekasihmu yang kau lupakan se-jenak!"
"Kekasihku?" Bayu bergumam sambil tersenyum 
kecil.
"Kenapa? Apakah kau ingin berdusta dengan men-
gatakan bahwa kau tak punya kekasih?"
"Tidak. Bukankah aku tak mengatakan apa-apa?!"
"Berarti apa yang kukatakan benar kan?!"
"Mungkin benar mungkin juga tidak. Tergantung
apa yang kurasa di dalam hati. Kalau aku merasa 
bahwa perbuatanku tadi menyeleweng, tentu saja aku 
merasa bersalah. Tapi sungguh, aku sama sekali tak 
merasa bersalah dengan kekasihku karena aku tak

merasa bahwa perbuatanku tadi menyeleweng."
"Huh, mana mungkin kau bisa merasakan hati wa-
nita! Kalau saja kekasihmu melihat perbuatanmu tadi 
jelas dia akan sakit hati!"
"Kenapa mempersoalkan hal itu? Pembicaraan kita 
jadi ngelantur tak karuan. Apakah kau tidak cemas 
memikirkan keadaan ayahanda serta saudara-saudara 
di kadipaten?"
Mendengar kata-kata Bayu, Cempaka Wangi tak 
berkata apa-apa lagi. Dan kebetulan saat itu kakak se-
perguruannya berteriak memberitahu.
"Lihat! Terjadi pertarungan di depan sana!"
***
Semuanya langsung melihat ke arah yang ditunjuk. 
Dan Bayu serta Cempaka Wangi tersentak ketika men-
getahui bahwa yang sedang bertarung adalah orang-
orang yang pernah mereka kenal.
"Eyang, pemuda itulah yang mengacau di kadipa-
ten!" tunjuk Cempaka Wangi pada seorang pemuda be-
rusia tujuh belas tahun yang sedang bertarung dengan 
seorang laki-laki berwajah buruk berkepala botak yang 
dikenalnya sebagai salah seorang dari Tiga Iblis Hutan 
Gundul.
"Tiga Iblis Hutan Gundul!" desis Bayu.
Si Pendekar Pulau Neraka menggelengkan kepala 
seolah tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Dua 
orang dari Tiga Iblis Hutan Gundul telah terkapar jadi 
mayat dengan tubuh penuh sayatan pedang.
"Cempaka, apakah kau yakin pemuda ini yang 
membuat kekacauan di tempatmu?" tanya Eyang Tem-
bayat Danang meyakinkan.
"Betul Eyang. Mana mungkin aku salah mengenali 
orang."

"Hmm... agaknya bencana itu kini sedang terulang 
kembali..." gumam orang tua itu sambil mengelus-elus 
jenggotnya.
"Bencana? Bencana apa yang eyang maksud-kan?!" 
tanya Cempaka Wangi heran.
"Melihat dari gerakan ilmu silatnya aku ter-ingat 
pada salah seorang tokoh misterius yang sulit dicari 
tandingannya saat itu. Tokoh itu seperti orang tak wa-
ras. Dia membunuh siapa saja yang tak disukainya se-
perti orang kerasukan setan. Tak seorang pun mampu 
menandinginya saat itu. Aku sendiri tak pernah meli-
hat tokoh itu selama ini karena hanya mendengar ceri-
tanya saja dari kakek guruku yang hidup sejaman 
dengannya," jelas Eyang Tembayat Danang.
"Siapa nama tokoh itu, Eyang?"
"Iblis Maut."
Cempaka Wangi bergidik jantungnya mendengar 
nama itu. Diliriknya sekilas orang tua itu. Tampak 
berkali-kali dia menghela nafas. Dengan hati-hati gadis 
itu kembali bertanya.
"Apakah Eyang mampu mengatasi pemuda itu?" 
"Entahlah... aku tak yakin. Kakek guruku sendiri 
ilmunya tak nempil sedikit pun dengan si Iblis Maut. 
Dan melihat apa yang dilakukan pemuda itu sama 
persis dengan apa yang pernah diceritakan padaku du-
lu," sahut Eyang Tembayat Danang.
Diam-diam tanpa sadar Cempaka Wangi melirik ke 
arah Bayu. Entah apa yang dipikirkannya saat ini. Pi-
kiran itu masuk begitu saja dalam benaknya. Jika gu-
runya saja kelihatan ragu berhadapan dengan pemuda 
itu bisa dibayangkan ketinggian ilmu silatnya. Dan ba-
gaimana bila pemuda itu berhadapan dengan Bayu?
Lamunan gadis itu terusik ketika terdengar jeritan 
yang menyayat.
"Aaaa...!"

Terlihat lawan pemuda itu terlempar sejauh lima 
tombak dengan pinggang nyaris terbelah dua.
"Ha ha ha...! Gundul-gundul picisan. Kalian kira 
bisa menjagoi semua orang selagi aku masih hidup? 
Puih! Jangan harap itu bisa terbukti. Ayo, siapa lagi 
yang mau mencoba-coba Nara Sudana! Ke sini kalau 
ingin mampus?!" bentak pemuda itu ke arah rombon-
gan Ki Tembayat Danang.
Orang tua itu maju mendekati. Ketika jarak mereka 
telah mencapai tiga tombak dia berhenti dan memper-
hatikan pemuda itu sekilas.
"Apakah kau juga ingin mampus orang tua busuk? 
Ayo, seranglah aku! Ingin kulihat kepandaianmu. Ka-
lau ternyata kau hanya orang tua ke-jemur, kau boleh 
mampus saat ini juga!"
Sungguh gila pemuda itu! Tiba-tiba saja dia lang-
sung menyabetkan ujung pedangnya ke leher Ki Tem-
bayat Danang.
"Hiyaaa...!"
"Eyaaaaang...!" Cempaka Wangi menjerit seperti 
memperingatkan.
Tapi sebenarnya peringatan itu tak perlu bagi Ki 
Tembayat Danang. Sebagai orang tua yang kenyang 
pengalaman di rimba persilatan tentu saja dia cepat 
beraksi. Dengan cepat dia menundukkan kepala. Lalu 
tubuhnya bersalto ke depan ketika pedang pemuda itu 
dengan cepat berbalik dan menyabet pinggangnya.
"Bet!"
"Yeaaa...!"
Tapi kalau orang tua itu mengira bahwa serangan 
lawan hanya mengandalkan kehebatan ilmu pedang-
nya, dia sungguh keliru. Sebab dengan tiada disangka 
tubuh pemuda itu dengan cepat mengikuti ke mana 
saja tubuhnya bergerak sambil mengayunkan kaki 
menendang serta menjotoskan tinju pada jarak jang

kauannya.
"Hei!"
Ki Tembayat Danang terkejut. Hampir saja selang-
kangannya kena ditendang pemuda itu kalau tubuh-
nya tak cepat berputar menjauh. Tapi saat itu juga tu-
buh si pemuda bernama Nara Sudana ikut berputar 
sambil mengayunkan pedang mengincar kelemahan 
gerak lawan.
"Yeaaa...!" 
"Bet!"
"Cres!" 
"Eyaaang!"
Cempaka Wangi serta ketiga kakak seper-
guruannya tersentak kaget melihat ujung pedang Nara 
Sudana merobek pinggang pimpinan padepokan Laksa 
Dahana itu. Serentak mereka memburu dengan mak-
sud menolong. Tapi pada saat itu justru Nara Sudana 
sedang melancarkan serangan susulan.
"Yeaaa...!"
"Hiyaaa...!"
"Sing!"
"Trak!"
"Bet!"
Nara Sudana tersentak kaget ketika selarik sinar 
keperakan menahan laju pedangnya. Tapi pemuda itu 
tak kehilangan gerak refleknya saat satu bayangan 
berkelebat cepat menyerang dirinya. Pedang di tangan 
seketika disabetkan dengan kecepatan gila hingga ter-
dengar suaranya yang berciutan. Namun demikian 
bayangan itu lebih cepat lagi bergerak di belakang si-
nar keperakan yang kembali menyerang Nara Sudana 
setelah tadi berkelit menghindari sabetan pedang la-
wan.
"Trak!"
"Bet!"

Kembali Nara Sudana merasa tangannya sedikit 
bergetar ketika pedangnya menghajar sinar keperakan 
yang melesat amat cepat. Tapi kembali pula dia masih 
mampu menguasai diri dan memapas sosok bayangan 
yang mencoba menghajarnya. Dan seperti tadi, bayan-
gan itupun mampu berkelit lebih cepat dari kelebatan 
pedangnya. Kemudian bersalto beberapa kali ke bela-
kang.
"Kau! Kau... aku ingat! Kau adalah orang yang be-
rada di dekat kedai itu bukan?!" tunjuk Nara Sudana
ketika melihat siapa sosok bayangan itu.
"Hmm... ingatanmu rupanya tajam juga. Betul, 
akulah orangnya."
"Siapa kau? Apakah kaupun ingin mampus seperti 
yang lainnya?"
*
* *
DELAPAN


"Bukankah kau sudah tahu siapa aku karena per-
nah kukatakan sebelumnya? Nah, soal mampus siapa 
yang sudi? Tapi kalau kau mau, dengan senang hati 
aku akan mengantarkannya," sahut sosok bayangan 
itu yang tak lain dari si Pendekar Pulau Neraka.
"Hmm... melihat gerakanmu agaknya kau boleh ju-
ga menjadi lawanku. Tapi kau harus mampus karena 
aku akan menjagoi seluruh rimba persilatan! Tak boleh 
ada seorang pun yang menghalangi niatku, dan tak bo-
leh ada yang jago selain diriku!" kata pemuda itu kem-
bali dengan sikap pongah.
"Kisanak, tujuanmu adalah sama seperti apa yang 
dipikirkan oleh kebanyakan tokoh-tokoh persilatan.


Hanya sayang, caramu kurang benar...."
"Peduli dengan ocehanmu!" potong Nara Su-dana 
sambil menuding Bayu dengan ujung pedangnya.
"Kau telah membantai banyak orang seperti he-
wan...." 
"Membantai? Ha ha ha...! Orang-orangnya si Dasa 
Griwa kubuat mampus semua! Beberapa perguruan si-
lat kocar-kacir di tanganku, dan baru saja orang-orang 
sok jago di gedung mewah itu semua kuhabisi dengan 
pedangku ini! He he he...! Dan sekarang giliran kalian 
yang akan mampus dibantai pedangku!" teriak Nara 
Sudana seperti orang kesurupan.
"Apa?! Kau telah membunuh seluruh orang di ka-
dipaten?!" teriak Cempaka Wangi seperti tak percaya.
"Kadipaten? Hi hi hi...! Semuanya mampus di tan-
ganku. Bahkan Sang Adipati sendiri mampus! Semua-
nya mampus! Mampus...!"
"Biadab! Aku akan mengadu jiwa denganmu!" te-
riak Cempaka Wangi geram.
Gadis itu langsung mencabut pedang pendek-nya 
dan menyerang Nara Sudana dengan kalap.
"Adik Cempaka, jangan!" teriak salah seorang ka-
kak seperguruannya bermaksud mencegah.
"He he he...! Wanita celaka, apakah kaupun, ingin 
mampus?!"
"Yeaaa...!"
"Hiyaaa...!"
"Trak!"
"Sing!"
"Trak!"
Dengan sekali hantam pedang pendek di tangan 
Cempaka Wangi terpental. Pedang besar di tangan Na-
ra Sudana dengan cepat berbalik dan menyambar le-
hernya. Gadis itu tergagap dan tak mampu berkelit. 
Eyang Tembayat Danang beserta tiga muridnya yang

lain menarik nafas dan mencoba bergerak menolong 
walaupun itu tak membantu menyelamatkan nyawa 
Cempaka Wangi yang berada di ujung tanduk.
Pada saat itulah Cakra Maut di tangan Bayu men-
desing cepat bagai kilat menyambar pedang lawan se-
hingga Cempaka Wangi terhindar dari maut.
"Yeaaa...!"
Nara Sudana kali ini tak mau didahului lawan. Be-
gitu benturan kedua senjata itu terjadi, tubuhnya ber-
kelebat cepat menyambar si Pendekar Pulau Neraka.
"Hiyaaa...!"
"Bet!"
"Uts!"
Tubuh Pendekar Pulau Neraka jungkir balik meng-
hindari hujan sambaran pedang yang bergerak cepat 
bukan main serta mengandung tenaga dalam kuat. 
Sedikit saja dia salah menghindar niscaya nyawanya 
bisa ditebak kapan akan melayang.
"Eyang, biarkan pemuda ini bagianku. Jangan bi-
arkan seorang pun membantu karena akan memba-
hayakan keselamatan mereka sendiri!" teriak Bayu di 
sela-sela pertarungan ketika sekilas matanya melirik 
gadis itu bermaksud kembali menyerang lawannya.
"Cempaka, kau dengar kata-katanya? Nah, cobalah 
menahan sabar dan relakan semua yang terjadi..." ujar 
Eyang Tembayat Danang dengan suara lirih. 
"Tapi Eyang, si keparat itu harus mampus di tan-
ganku!"
"Percuma. Kau tak akan mampu melawannya, dan 
hanya mengantar nyawa secara percuma. Pemuda itu 
bukan manusia lagi, Cah Ayu. Menurut kakek guruku 
siapa pun yang mempelajari ilmu silat si Iblis Maut 
sama saja dia mendapat warisan Iblis. Hatinya tak 
berperasaan dan tak mengenal kasihan. Yang ada di 
benaknya hanya niat membunuh dan kesombongan,"

lanjut Eyang Tembayat Danang menyabarkan hati ga-
dis itu yang gundah.
"Tapi... apakah kita akan membiarkan Pendekar 
Pulau Neraka seorang diri menghadapinya? Dia bisa 
celaka Eyang?"
"Bagi seorang pendekar seperti dirinya tenaga kita 
ini bukan membantu malah akan merepotkan dirinya 
sendiri. Percayalah, dia pasti mampu mengatasi amu-
kan pemuda itu."
"Bagaimana Eyang begitu yakin dia mampu menga-
tasi pemuda itu?"
'Karena dia murid si Cakra Maut yang sama gilanya 
dengan si Iblis Maut. Tapi syukurlah ternyata beliau 
memiliki murid yang mampu mengharumkan na-
manya." 
"Tapi kalau terjadi apa-apa dengan Ka... kang Bayu 
Eyang ?" tanya Cempaka Wangi sempat terbata-bata 
mengkhawatirkan keselamatan pemuda itu.
"Kau tampak mengkhawatirkan keselamatan murid 
si Gardika itu? Apakah kalian punya hubungan de-
kat?" goda Eyang Tembayat Danang sambil tersenyum 
penuh arti. 
"Ah, Eyang bisa saja. Apakah Eyang serta yang lain 
tak mencemaskan Pendekar Pulau Neraka?" elak Cem-
paka Wangi.
"Tapi kecemasan kami mungkin kalah banyak di-
bandingkan dengan kecemasanmu terhadap pemuda 
itu."
"Eyang bisa sa...."
Ucapan Cempaka Wangi terpotong ketika menden-
gar si Pendekar Pulau Neraka mengeluh tertahan den-
gan tubuh limbung terhuyung-huyung.
"Eyang!?"
"Kaaaakh...!"

***
Mereka tersentak kaget. Darah mengucur deras da-
ri bahu Bayu yang robek memanjang hingga ke siku 
kiri. Di dada kirinya terlihat telapak tangan lawan yang 
berwarna hitam. Dari mulutnya menetes darah kental.
"Kakang Bayu...!"
"Kaaakh...!"
Cempaka Wangi bermaksud mendekati si Pendekar 
Pulau Neraka, tapi lengan Eyang Tembayat Danang le-
bih cepat lagi menarik tangannya. Sedangkan monyet 
kecil berbulu hitam yang berteriak nyaring melihat 
keadaan Bayu langsung melompat ke pundak pemuda 
itu yang masih tegak berdiri dengan sorot mata garang.
Keadaan Nara Sudana sendiri tak jauh berbeda. 
Perutnya robek melintang disabet Cakra Maut yang ta-
di mendesing ke arahnya. Ketika telapak tangannya 
berhasil menghantam dada Pendekar Pulau Neraka, 
kaki kanan Bayu menendang dadanya hingga terlihat 
beberapa tulang rusuknya patah melesak ke dalam.
Daya tahan kedua orang itu memang sangat men-
gagumkan. Dalam keadaan terluka berat begitu kedu-
dukan mereka masih tetap tegak berdiri. Bahkan Nara 
Sudana kembali berteriak mengguntur.
"Yeaaa...!"
Tubuhnya mencelat mengirim serangan pa-
mungkas terhadap Pendekar Pulau Neraka.
"Menjauh Tiren..." perintah Bayu pada monyet kecil 
berbulu hitam yang hinggap di pundaknya dengan wa-
jah sedih.
"Nguk!"
"Hiyaaa...!"
Begitu monyet itu melompat, saat itu pula tubuh 
Bayu Hanggara melesat memapaki serangan lawan.
"Bet!"

"Begkh!"
"Crab!"
"Akh!"
Kejadian itu begitu cepat sekali berlangsung. Ter-
dengar keluhan pelan yang keluar dari mulut Nara Su-
dana. Keduanya menjejakkan kaki di tanah dalam po-
sisi saling membelakangi pada jarak dua tombak. Sua-
sana terasa hening.
"Eyang, Kakang Bayu..." sera Cempaka Wangi den-
gan wajah cemas.
"Tenanglah Nduk. Mudah-mudahan Gusti Allah 
berkenan melindunginya," sahut Eyang Tembayat Da-
nang dengan hati cemas.
Sebagai tokoh persilatan tentu saja dia mestinya 
mampu melihat apa yang barusan terjadi. Tapi peristi-
wa itu cepat sekali berlangsung. Bahkan dia tak sem-
pat mengamati lewat pandangan mata. Hanya pengli-
hatan mata batin serta pendengarannya yang terlatih 
mengetahui hal itu. Suara desir angin pertanda satu 
serangan dapat dielakkan, dan suara pukulan serta 
benda tajam menembus kulit yang disusul jerit terta-
han menandakan bahwa salah seorang diantara mere-
ka menjadi korban. Dalam keadaan terluka dalam be-
gitu satu kali lagi pukulan yang mengandung tenaga 
dalam dilancarkan sudah cukup membuat mereka te-
was.
Kelima orang itu menunggu beberapa saat. Ketika 
keduanya kemudian ambruk, Cempaka Wangi berte-
riak sendu sambil memburu ke arah Pendekar Pulau 
Neraka.
"Kakang Bayu...!"
Pada saat yang bersamaan monyet kecil berbulu hi-
tam yang tadi menyaksikan pertarungan dengan serius 
berteriak nyaring sambil melompat mendekati Bayu.
"Eyang, Kakang Bayu... apakah... apakah dia tewas...?" tanya Cempaka Wangi.
Tak terasa air mata gadis itu meleleh. Terasa keha-
ruan yang menyesak dalam hatinya saat menunggu 
gurunya itu memeriksa keadaan Bayu. Ketika melihat 
orang tua itu tersenyum sambil menghela nafas lega, 
gadis itu seperti tak sabaran menanti jawabannya.
"Bagaimana keadaannya, Eyang?"
"Syukurlah Gusti Allah masih melindungi nya-
wanya. Namun detak jantung serta gerak urat nadinya 
lemah sekali. Dia terluka dalam yang cukup parah. 
Agaknya pemuda itu merupakan lawan tangguhnya 
kali ini, sehingga dia cukup menguras segenap ke-
mampuan yang dimilikinya," jelas Eyang Tembayat 
Danang.
Begitu mendengar penjelasan gurunya itu tak tera-
sa gadis itu tersenyum dengan wajah berseri sambil 
menghapus air matanya.
"Sebaiknya lekas kita bawa ke padepokan untuk 
diberikan pertolongan!" kata orang tua itu lagi.
"Baik, Eyang!" sahut Cempaka Wangi bersemangat.
Sebelum meninggalkan tempat itu Ki Tembayat
Danang memerintahkan ketiga muridnya itu untuk
mengubur semua mayat yang berada di tempat itu.
Termasuk juga pemuda bernama Nara Sudana. Agak 
lama dia memandangi tubuh pemuda itu. Dari ubun-
ubun sampai ke selangkangannya nyaris terbelah dua 
dihantam senjata Cakra Maut yang dilontarkan Pende-
kar Pulau Neraka itu. Kemudian di dada kirinya terda-
pat gambar lima buah jari yang membuat tulang ru-
suknya semakin melesak ke dalam. Orang tua itu 
mengerti bahwa pada saat-saat tertentu tadi Bayu ber-
kelit ke kanan menghindari satu pukulan serta satu 
kelebatan pedang lawan dengan menghantamkan tan-
gan kirinya ke dada Nara Sudana. Akibatnya sungguh 
fatal seperti yang terlihat kini!

Seminggu lamanya Bayu dirawat dengan telaten 
oleh Cempaka 'Wangi di Padepokan Laksa Dahana. Be-
rangsur-angsur pula luka dalamnya mulai pulih walau 
tak secara keseluruhan. Dan di saat-saat itu pula kea-
kraban diantara mereka mulai terlihat. Diantara derai 
gelak canda keduanya, Tiren hadir menyelingi dengan 
seringai lucu dan teriakan nyaringnya yang menga-
getkan.
Pada hari ke delapan pemuda itu bermaksud mo-
hon diri. Walau Eyang Tembayat Danang berusaha 
mencegah namun niat pemuda itu seperti tak bisa di-
patahkan. Yang paling berat melepaskannya justru 
Cempaka Wangi. Hampir setengah harian dia mengu-
rung diri terus di kamarnya ketika Bayu akan berpami-
tan.
"Kenapa? Kenapa harus pergi Kakang? Tak bisakah 
langkahmu sesaat terhenti? Untukku kakang, tak bi-
sakah?" tanya Cempaka Wangi dengan suara lirih dari 
balik pintu.
"Sulit untuk dijawab, Paka. Tapi kakiku seperti tak 
hendak berhenti berpijak...."
"Katakanlah Kakang, adalah sesuatu yang bisa 
menahan langkah kakimu? Maka walau itu seberat 
apa pun niscaya akan kutempuh juga!"
Bayu menggeleng lemah. Isak tangis gadis itu yang 
pelan terasa menusuk jantungnya. Tapi apakah dia 
akan berhenti berjalan sementara masih banyak orang 
yang membutuhkan tenaganya? Hidup ini kadang 
aneh karena Dharma Bakti justru suka atau tidak ber-
benturan dengan keinginan pribadi. Seperti keinginan, 
cinta, dan panggilan batin yang sulit dijelaskan dengan 
cara apa pun.
Pemuda berambut gondrong itu melangkah pelan. 
Entah apa yang dirasanya saat ini. Cintakah dia pada 
Cempaka? Gadis itu cantik dan bila dia tersenyum

maka sepertinya cahaya bulan kalah gemerlap dalam 
lubuk hati setiap laki-laki normal sepertinya. Tapi ke-
dua kaki dan niatnya tak kenal kompromi. Walau dari 
jauh Bayu menyadari bahwa gadis itu memanggil-
manggil namanya pelan sambil menitikkan air mata pi-
lu, pemuda itu tak pernah menoleh lagi ke belakang. 
Hanya kata hatinya yang berkali-kali mengucapkan 
kata sesal.
"Maafkan aku Cempaka... maaf...." 
"Nguk!
Tiren mencowet pelan. Bayu tak tahu maksud nya 
kali ini!


                            SELESAI

Share:

0 comments:

Posting Komentar