WARISAN IBLIS
Oleh: Teguh S.
Cetakan pertama, 1992
Penerbit Sanjaya Agency, Jakarta
Setting Oleh: Trias Typesetting
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini.
tanpa izin tertulis dari penerbit
SATU
Laut Utara terlihat tenang. Angin bertiup semi-lir
menyapu sebuah kapal dagang yang sedang berlayar.
Beberapa buah layar berkibar-kibar menambah suasa-
na damai dan tentram. Di angkasa terlihat langit biru
bersih dengan beberapa gerumbulan awan putih. Siang
ini terasa betul-betul cerah.
Di buritan kapal terlihat Juragan Sasmita Pura du-
duk pada sebuah kursi menikmati keindahan alam. Di
sebelahnya terdapat istrinya yang cantik jelita beserta
seorang pembantu wanita yang masih muda dan ber-
tampang rupawan. Sementara di depannya terlihat
seorang bocah laki-laki berusia kurang lebih sepuluh
tahun. Beliau adalah putra Juragan Sasmita Pura yang
bernama Nara Sudana.
"Ayah, apakah bulan depan aku boleh ikut lagi?"
tanya Nara Sudana memohon.
Juragan Sasmita Pura tersenyum pasti.
"Boleh saja kau ikut dengan ayah agar kelak kau
bisa meneruskan usaha perniagaan ayah ini."
"Tapi aku kurang suka berniaga, yah. Aku hanya
senang melihat-lihat negeri lain."
"Untuk apa? Apakah kau ingin menjadi pengemba-
ra gembel?" goda Juragan Sasmita.
"Tentu tidak. Aku akan mengamalkan ilmu yang te-
lah kupelajari selama ini," sahut Nara Sudana cepat.
Kembali Juragan Sasmita tersenyum. Putranya
yang satu ini memang aneh sekali. Tidak seperti anak-
anak lain sebayanya yang senang berkelahi, adu ke-
tangkasan, serta bercita-cita menjadi orang kaya yang
sangat dihormati. Dia malah begitu suka mempelajari
kesusasteraan dan ingin mengembara ke negri lain un-
tuk menambah ilmu pengetahuannya.
"Apakah kau yakin bahwa niatmu itu bisa diterima
orang lain?" tanya Juragan Sasmita kembali.
"Tentu saja! Kalau mereka bisa baca tulis, orang-
orang tentu tidak akan bodoh, dan dengan begitu ne-
gara akan kuat."
"Tapi saat sekarang mereka tak memerlukan hal
itu, Nak...."
"Kenapa tidak?!"
Juragan Sasmita menghela nafas. Kemudian ka-
tanya dengan suara pelan.
"Mereka perlu sesuatu untuk melindungi diri-nya
sendiri. Entah itu dengan membekali diri dengan ke-
pandaian berkelahi, atau menjadi penguasa yang
mampu menyewa jago-jago bayaran, lalu dengan sedi-
kit harta untuk melengkapi kehidupan mereka...."
"Jadi menurut ayah orang hidup hanya untuk di-
rinya sendiri? Kemanakah rasa kemanusiaan mereka
melihat orang-orang lain yang bodoh, menderita, dan
tersiksa?"
"Nak, kau masih terlalu muda untuk mengetahui
semuanya. Bila tiba waktunya kau tentu akan menger-
ti..." sahut ibunya.
Nara Sudana memalingkan wajah ke arah ibunya
dengan rona bingung tak mengerti.
"Kenapa, bu? Apa bedanya saat ini dengan kelak?
Apakah kini aku tak mampu mencerna segala sesuatu
yang ada di depanku?"
"Tidak. Kau hanya belum cukup bekal untuk men-
cernanya dengan baik. Hatimu penuh dengan seman-
gat menyala, tapi matamu masih samar-samar melihat
ke arah lain...."
Mendengar kata-kata itu Nara Sudana semakin
bingung saja. Dia mohon diri pada ayah ibunya, untuk
meninggalkan tempat itu.
Langkahnya pelan menapak tiap sudut kapal da
gang milik ayahnya ini sambil terus memikirkan apa
yang diucapkan orang tuanya tadi. Betulkah dia tak
mengerti? Kenapa musti menunggu sampai dia lebih
besar? Apakah pada usianya kini tak mampu mencer-
na segalanya yang terbentang di depan mata?
"Aku prihatin, Kang...."
Juragan Sasmita Pura melirik istrinya yang mende-
sah lirih sambil memperhatikan putra mereka satu-
satunya.
Tak perlu khawatir, Cendani. Dia akan mengerti
sendiri kelak bila waktunya tiba...."
"Tapi kapan, Kang...?"
Juragan Sasmita tak langsung menjawab. Dia
menghela nafas beberapa saat.
"Kenapa kau memikirkan hal itu?"
"Mengapa tidak? Dia putra kita satu-satunya. Ka-
kang sudah berusia lanjut, dan kelak pastilah pernia-
gaan ini turun padanya. Kalau mulai dari sekarang dia
tak menyukai pekerjaan ini, bagaimana mungkin dia
dapat melanjutkan usahamu?"
"Ya... aku pun sering memikirkan hal itu. Mungkin
ada baiknya kita mengirim dia pada salah seorang
guru...."
"Guru? Maksud kakang dia akan belajar ten-tang
kesusasteraan lagi?"
"Tidak. Tapi aku bermaksud mengirimnya ke pade-
pokan Laksa Dahana. Bukankah padepokan yang di-
pimpin Ki Tembayat Danang itu sangat terkenal? Mu-
rid-murid yang belajar di sana tidak melulu tentang
ilmu silat, tapi juga soal adat dan agama."
"Itu usul yang bagus, Kang!" sahut Cendani, is-
trinya.
"Tapi kalau Den Nara tak berada di rumah, saya
merasa sepi..." sahut Wulandari, pembantu wanita
yang telah dianggap keluarga sendiri oleh keluarga Ju
ragan Sasmita.
"Tapi kita bisa menjenguknya sebulan sekali, Wu-
lan," jawab Cendani sambil tersenyum.
Wulandari baru saja akan melanjutkan kata-
katanya ketika terdengar seorang awak kapal berteriak
nyaring.
"Semua bersiap! Ada bahaya mengancam...!"
***
Juragan Sasmita terkejut. Dari situ dia bisa meli-
hat ke laut lepas. Sebuah kapal berukuran besar me-
nuju ke arah mereka. Pada benderanya yang berwarna
merah terlihat gambar tengkorak.
"Perompak laut!" desisnya.
"Juragan, silahkan masuk ke dalam. Kami akan
menahan mereka!" kata Kebo Lanang, kepala pasukan
pengawal kapal ini.
"Apakah tak ada jalan lain berdamai dengan mere-
ka?"
"Maaf juragan, mereka adalah Perompak Tengkorak
Darah yang terkenal kejam. Mereka tak pernah kenal
damai sebelum menghabisi korbannya."
"Ohh..." Juragan Sasmita mengeluh pelan.
"Anakku! Anakku...!" teriak Cendani cemas.
"Tenanglah, Nyi. Nara Sudana sedang dikawal ke
sini!" sahut Kebo Lanang menjelaskan.
Juragan Sasmita beserta keluarganya segera ber-
sembunyi di dalam suatu ruangan kapal itu.
Sementara Perompak Tengkorak Darah terus men-
dekat ke arah mereka.
"Gulung layar cepat! Dan kayuh sekuat tenaga ka-
lian untuk menghindari mereka!" teriak Kebo Lanang
memerintahkan awak kapalnya.
"Ki Kebo Lanang, sebagian awak kapal telah ber
siap menghadapi mereka," lapor Aradea, tangan kanan
Kebo Lanang.
"Bagus! Bersiaplah kalian, dan lawan mereka sam-
pai titik darah penghabisan bila tak ada kesempatan
lagi bagi kita untuk menghindar dari mereka."
"Baik, Ki!"
Sementara itu kapal Perompak Tengkorak Darah
telah semakin dekat dengan mereka. Puluhan perom-
pak-perompak di dalamnya bersorak-sorai penuh an-
caman membuat sebagian awak kapal dagang itu ber-
getar hati mereka. Apalagi ketika belasan orang pe-
rompak-perompak itu siap bergelayutan pada seutas
tambang yang diikatkan di tiang kapal untuk menye-
rang mereka dengan senjata terhunus.
"Seraaang...!" teriak salah seorang perompak.
"Yeaaa…!"
Begitu mendengar teriakan itu, belasan perompak
yang telah siap bergelayutan langsung melesat ke kap-
al dagang itu. Dan yang lainnya menyusul satu persa-
tu.
"Seraaang...!" teriak Kebo Lanang memerintahkan
anak buahnya.
Maka tak pelak lagi. Siang yang damai itu di-
pecahkan oleh teriakan-teriakan menggelegar yang
kemudian disusul oleh jerit kesakitan dan kematian.
Korban mulai berjatuhan.
"Hantam mereka...!" teriak Aradea sambil menghu-
nuskan pedangnya ke sana ke mari.
Puluhan orang awak kapal dagang itu berjuang
mati-matian melawan belasan Perompak Tengkorak
Darah yang tangkas dan trampil bertarung di atas
kapal. Perlahan-lahan terlihat mereka mulai terdesak
hebat. Apalagi ketika kapal perompak itu telah ber-
himpitan, maka bagai tanggul jebol, sisa-sisa perom-
pak yang tadi masih berada di kapalnya langsung melompat ke kapal dagang itu dan menghabisi seluruh
awak kapal.
"Bedebah!" maki Kebo Lanang geram melihat anak
buahnya banyak yang tewas.
Laki-laki bertubuh besar itu mengamuk sejadi-
jadinya. Pedang di tangannya telah banyak memakan
korban. Tak percuma dia dipercaya sebagai kepala
keamanan kapal ini. Ilmu silatnya lumayan hebat, dan
mulai terlihat beberapa orang perompak agak jerih
menghadapinya.
Namun saat itu juga muncul sosok bayangan me-
nyerangnya.
"Hiyaaa...!"
Kebo Lanang cepat berbalik dan menangkis seran-
gan lawan.
"Trak!"
"Ukh!"
"Hmm... cuma segitukah kemampuan orang anda-
lan di kapal ini?" dengus sosok bayangan yang baru
muncul.
Kebo Lanang yang merasakan tangannya linu me-
nangkis senjata lawan berupa golok besar itu, mengge-
ram garang. Sepasang matanya menyipit. Orang ini
masih terhitung berusia muda, namun wajahnya me-
mancarkan kebengisan. Apalagi dengan adanya codet
yang melintang di pipi kanan-nya.
"Siapa kau?!"
"Aku tangan kanan Dasa Griwa, pemimpin Perom-
pak Tengkorak Darah. Namaku Rintang Kala."
"Hmm... kalian terlalu merendahkan ku dengan
mengirim kau. Kenapa tidak sekalian si Dasa Griwa
sendiri yang menghadapiku!?"
"Ha ha ha...! Besar mulutmu, keparat!" sahut satu
suara.
Kebo Lanang langsung berbalik. Seorang dengan
sosok tinggi besar berdiri gagah di tepi kapal. Wajah-
nya penuh brewok dan kaki kirinya yang buntung di-
ganti sebuah besi yang ujungnya runcing. Tangan ka-
nannya menggenggam sebuah golok besar.
"Kaukah yang bernama Dasa Griwa?"
"Ha ha ha...!" Aku berbaik hati menyambut tantan-
ganmu meskipun kau harus mampus!" dengus Dasa
Griwa.
Selesai berkata begitu tubuhnya dengan cepat me-
lesat ke arah Kebo Lanang sambil mengirim suatu
serangan kilat.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaaa...!"
Kebo Lanang langsung bersiaga. Sambil menun-
dukkan kepala, pedangnya menyambar perut lawan.
Namun Dasa Griwa agaknya telah memperhitungkan
hal itu. Golok besarnya langsung memapaki.
"Trak! Duk!"
"Ukh!"
Kebo Lanang menjerit kecil. Gerakan lawan sung-
guh cepat dan sama sekali tak diduganya. Kaki kanan
Dasa Griwa menghantam perutnya. Kebo Lanang ter-
huyung-huyung beberapa tindak.
"Mampus!" bentak Dasa Griwa sambil mengirim se-
rangan susulan.
"Trak! Cras!"
"Aaa...!"
Kebo Lanang menjerit kesakitan. Dia cuma sempat
menangkis sekali karena selanjutnya kaki kiri Dasa
Griwa langsung menyambar dadanya. Pemimpin pasu-
kan pengawal di kapal dagang itu tewas beberapa saat
kemudian setelah menggelepar-gelepar kesakitan.
"Keparat! Kalian harus membayar kematian-nya!"
bentak Aradea begitu melihat kematian Kebo Lanang.
Tanpa berpikir panjang pemuda itu langsung me
nyerang Dasa Griwa dengan pedang terhunus.
"Hiyaaa....!"
Namun detik itu juga Rintang Kala, yang me-
rupakan tangan kanan pemimpin Perompak Tengkorak
Darah itu bergerak cepat menghadang.
"Hus, segala ikan teri hendak berlagak di hadapan
sekumpulan hiu! Kaulah yang mampus lebih dulu!"
"Trak!"
"Bet!"
Aradea tersentak. Ketika senjata mereka beradu,
terasa tangannya linu dan kesemutan. Belum lagi dia
sempat menyadari bahwa tenaga dalam lawan lebih
tinggi setingkat, tahu-tahu Rintang Kala dengan kece-
patan yang sulit diikuti mata biasa menghunuskan
ujung golok besarnya ke tenggorokan lawan. Masih ba-
gus Aradea mampu membuang dirinya ke belakang.
"Yeaaaa...!"
"Trak! Duk!"
"Akh!"
Serangan Rintang Kala selanjutnya sulit dielakkan.
Walaupun Aradea berhasil menangkis sabetan senjata
lawan, namun tak urung kaki Rintang Kala berhasil
menghantam pinggangnya dengan telak. Tubuh Aradea
terpental melewati tepi kapal dan tercebur ke luar
sambil menjerit keras.
"Bagus Rintang Kala!" puji Dasa Griwa sambil ter-
kekeh-kekeh.
"Terima kasih ketua...."
"Tumpas mereka semua, dan sikat barang-barang
berharga yang ada?!" perintah Dasa Griwa selanjutnya
dengan garang.
"Baik, ketua!" sahut Rintang Kala tangkas.
***
Setelah kehilangan pemimpinnya, sekejap saja se-
luruh awak kapal dapat mereka tumpas. Beberapa
orang yang ciut nyalinya menyabung nyawa dengan
melompat dari kapal dan berenang di sepanjang lautan
luas.
"Ha ha ha...! Biarkan mereka, tak usah dikejar.
Orang-orang itu akan mampus dengan sendirinya. Ce-
pat angkut barang-barang ini!" teriak Dasa Griwa
memberi perintah. Setelah itu dia sendiri memeriksa
seluruh kapal itu.
Dasa Griwa menemukan sebuah ruangan di dalam
kapal itu. Dengan serta merta ditendangnya pintu.
Terdengar pekikan kaget wanita dari dalam. Wajah
pemimpin Perompak Tengkorak Darah itu menyeringai
dengan hidung kembang kempis. Buru-buru dia me-
langkah masuk. Namun saat itu juga terdengar teria-
kan nyaring yang disusul dua sosok bayangan lang-
sung menyerangnya.
"Hiyaaaa...!"
"Uts!"
"Plak! Duk!"
"Aaua...!"
Tak percuma Dasa Griwa sebagai pemimpin pe-
rompak yang paling ditakuti di seantero lautan utara
ini kalau dia berkepandaian rendah. Walau sedikit ka-
get, namun dengan tangkas dia menangkis serangan
itu. Tangan kirinya menangkap pergelangan lawan,
sementara kaki kanannya menendang ke arah perut
lawan yang satu lagi setelah menundukkan kepala
menghindari sabetan pedang.
Kedua sosok bayangan itu menjerit ketika tubuh
mereka melayang bagai sepotong ranting dilempar.
"Ha ha ha...! Tikus-tikus geladak mau coba-coba
terhadap Dasa Griwa, mampuslah bagian kalian!" den-
gus pemimpin Perompak Tengkorak Darah itu sambil
terbahak dan terus melangkah ke dalam.
Dasa Griwa terkejut barang sejenak. Namun dia
cepat menyeringai lebar manakala melihat Juragan
Sasmita Pura sedang mendekap istri dan putranya.
Sementara pembantu wanita mereka meringkuk di de-
kat kakinya. Wajah-wajah mereka pucat ketakutan.
"Hua ha ha...! Mimpi apa aku semalam! Sekali te-
puk dua kenikmatan tertangkap. Ke sini, datanglah
pada Dasa Griwa, kalian berdua pasti akan mendapat
kenikmatan luar biasa."
Dasa Griwa melangkah ke dekat mereka. Tangan-
nya bermaksud menjamah tubuh Cendani. Dalam
keadaan begitu tiba-tiba saja keberanian Juragan
Sasmita timbul.
"Plak!"
"Enyah kau dari tempatku ini!" bentaknya sambil
menepis tangan kasar Dasa Griwa.
Tapi wajahnya sedikit meringis saat tangannya te-
rasa pedih akibat benturan dengan tangan Dasa Gri-
wa. Sebaliknya pemimpin Perompak Tengkorak Darah
itu malah tertawa semakin lebar.
"Ha ha ha...! Kaukah pemilik seluruh barang ber-
harga di kapal ini? Nah, relakanlah sebab sekarang
semuanya menjadi milikku. Termasuk dua wanita can-
tik ini!"
"Keparat! Langkahi mayatku dulu baru kau boleh
menerima bangkai mereka!" maki Juragan Sasmita ge-
ram.
"Ha ha ha...! Apa susahnya melangkahi mayat-
mu?"
Setelah berkata begitu Dasa Griwa menyorong-kan
kepalan tangan kanannya ke dada Juragan Sasmita.
"Hup!"
"Duk!"
"Ukh!"
"Kakang...!" jerit Cendani ketika melihat suaminya
terlempar membentur dinding akibat tonjokan tinju ki-
ri pimpinan Perompak Tengkorak Darah.
Pada saat tinju kanan Dasa Griwa melayang, Jura-
gan Sasmita mencoba menangkis. Namun dengan tiba-
tiba tinju kiri lawan menghantam perutnya dengan te-
naga kuat. Akibatnya Juragan Sasmita menjerit keras.
Dari mulutnya muncrat darah segar.
"Hmm... itulah upahnya kalau membandel. Ke sini
kau!" bentak Dasa Griwa garang sambil me-narik len-
gan Cendani.
"Lepaskan! Lepaskan aku keparat!"
"Huh, kau kira ada yang bisa menghalangi keingi-
nan Dasa Griwa?!"
Sambil menyeringai lebar Dara Griwa meng-
hempaskan tubuh Cendani ke atas ranjang yang ter-
dapat dalam ruangan itu. Kemudian dengan gemas di-
tindihnya tubuh itu sambil mencabik-cabik pakaian-
nya dengan kasar.
Cendani berteriak-teriak sambil berusaha me-
lepaskan diri. Namun tubuh Dasa Griwa yang besar
dan kuat itu tak mampu beringsut dari atas tubuh-
nya.
"Keparat! Bajingan laknat, lepaskan! Le-
paskaaan...!"
"Lepaskan ibuku! Lepaskan ibuku...!" bentak Nara
Sudana yang sejak tadi cuma terpaku ketakutan.
Bocah laki-laki berusia sepuluh tahun itu seperti
tersentak melihat keadaan itu. Rasa takutnya tiba-tiba
saja sirna, dan dengan beraninya dia mengambil sepo-
tong kayu lalu menghajar punggung pimpinan Perom-
pak Tengkorak Darah.
"Prak!"
Nara Sudana terhenyak. Kayu di tangannya patah
jadi dua. Tiba-tiba saja dilihatnya Dasa Griwa berbalik
dan meradang ke arahnya dengan wajah geram.
"Bocah keparat! Rupanya kau ingin mampus me-
nyusul bapak moyangmu!"
"Plak!"
"Aaaa...!"
Tanpa rasa perikemanusiaan sedikit pun Dasa
Griwa melayangkan kaki ke tubuh Nara Sudana. Bo-
cah itu memekik nyaring. Tubuhnya terpental mengha-
jar dinding kayu ruangan yang langsung jebol.
"Anakku! Anakku...!" teriak Cendani berusaha
bangkit.
"He he he...! Biarkan anakmu mampus. Se-baiknya
kau bersenang-senang dulu denganku!"
Dasa Griwa langsung menangkap pergelangan len-
gan Cendani dan kembali menghempaskan tubuhnya
ke atas ranjang. Wanita itu berteriak-teriak histeris
sambil berusaha berontak sekuat tenaga. Mulanya Da-
sa Griwa masih belum panik, namun ketika Wulandari
yang juga tiba-tiba bangkit keberaniannya dan memu-
kul-mukul tubuh pimpinan Perampok Tengkorak Da-
rah itu, Dasa Griwa mulai naik pitam. Hampir saja dia
bermaksud menghantam pembantu wanita keluarga
Juragan Sasmita itu. Namun begitu melihat wajahnya
yang rupawan, Dasa Griwa menyeringai lebar.
"Ha ha ha...! Agaknya kau tak sabaran. Baiklah,
kau tunggu giliran sementara kami bersenang-senang
lebih dulu."
"Baji...!"
"Tuk!"
Wulandari tak sempat meneruskan makiannya ke-
tika dengan tiba-tiba urat gerak dan suaranya ditotok
Dasa Griwa. Tubuhnya langsung ambruk bagai tak
bertulang. Bersamaan dengan itu Dasa Griwa kembali
meneruskan nafsu setannya ter-hadap istri Juragan
Sasmita yang berusaha melepaskan diri darinya. Na
mun lama-kelamaan perlawanan wanita itu melemah
seiring dengus nafas Dasa Griwa yang membara. Air
mata wanita itu terus meleleh pilu. Batinnya menjerit
keras.
Dasa Griwa memang kepala perompak yang tak
pernah mengenal rasa kasihan. Setelah selesai mem-
boyong seluruh barang berharga di kapal itu, dia pun
kemudian membakar dan menghabisi segala yang ada
di kapal itu, termasuk penghuninya.
Gema tawanya melingkupi lautan yang kembali
bergelombang tenang. Kapal berbendera tengkorak itu
menjauh meninggalkan kepulan asap hitam dari kapal
dagang yang perlahan-lahan tenggelam.
*
* *
DUA
Awan di langit tampak mendung, dan angin bertiup
mulai kencang. Siang yang terik itu dengan perlahan-
lahan berubah kelabu, dan gelombang laut mulai
menggila.
Sementara itu di tengah lautan terlihat sepotong
kayu yang dipermainkan ombak sejak tadi. Dipeluk
oleh seorang bocah berusia sepuluh tahun yang tak
lain dari Nara Sudana. Agaknya bocah itu mampu ber-
tahan hidup di tengah lautan yang luasnya tak terkira
itu. Ketika tubuhnya dihantam Dasa Griwa, dia lang-
sung terhempas ke dalam laut. Tapi bocah yang tabah
itu tak kehilangan semangat. Melihat sepotong kayu
yang terapung di dekatnya. dia berusaha meraih dan
mencoba kembali ke kapal. Dasar bocah tak mampu
berenang, malah dia terbawa arus angin yang menjau
hi kapal itu. Bocah itu cuma bisa berteriak-teriak den-
gan suara parau memanggil ayah dan ibunya.
"Ayah... ibu... bagaimana nasib kalian? Ohh.... Tu-
han, berilah kekuatan padaku untuk terus bertahan
hidup," sebutnya berulang-ulang.
Sekujur kulit Nara Sudana mulai membiru kedin-
ginan, dan pecah-pecah diterpa panas matahari siang
yang panas. Begitu juga dengan wajahnya yang pucat.
Bibirnya berdarah dan kulitnya mengelupas. Tapi te-
kad bocah itu kuat sekali. Dengan sekuat tenaga dipe-
luknya potongan kayu itu erat-erat seolah menyatu
dengan tubuhnya.
"Ya Tuhan, lindungilah aku dari keganasan ulam
ini!" do'anya ketika melihat ombak yang mulai meng-
gunung menghempaskannya berkali-kali.
Bocah itu tak henti-hentinya berdo'a ketika kesa-
darannya mulai hilang saat kepalanya terasa sakit luar
biasa. Hempasan-hempasan itu betul-betul tak tertan-
dingi oleh semangat hidupnya yang menyala-nyala.
"Ohh... aku tak ingin mati! Aku musti hidup! Aku
musti hidup! Akan kucari mereka dan kuhabisi satu
persatu. Akan... ohh...."
Nara Sudana tak mampu lagi meneruskan kata-
katanya. Kesadarannya hilang, dan daya tahan tubuh-
nya telah betul-betul lemah. Tubuh kecil itu diper-
mainkan ombak yang menggila satu harian itu tanpa
ketahuan hidup atau mati.
Menjelang subuh dini hari barulah laut kembali te-
nang. Sang Surya seperti tersenyum di ufuk timur
yang memerah.
Rasanya hanya kebesaran Yang Maha Pencipta saja
yang menyebabkan tubuh bocah laki-laki itu terdam-
par di sebuah pulau terpencil di tengah lautan yang
maha luas. Alamnya indah dan banyak terdapat bukit-
bukit kecil serta pepohonan walaupun luasnya tak se
berapa.
Ketika perlahan-lahan matahari beranjak siang,
Nara Sudana menggeliat sambil merintih pelan.
"Ohh...."
Bocah itu merasakan tubuhnya sakit bukan kepa-
lang. Kepalanya berdenyut-denyut tak karuan. Perla-
han dia merayap menjauhi pantai yang masih mengge-
nangi sebagian tubuhnya.
"Di manakah aku ini? Tempat macam apa ini?
Apakah aku telah berada di sorga...?" tanyanya dengan
suara pelan.
Bocah itu berusaha bangkit. Namun baru saja dia
tegak, tubuhnya kembali ambruk.
"Ohh... aku harus kuat! Aku harus kuat, dan tak
boleh lemah. Aku harus terus hidup untuk membalas
sakit hati dan dendam keluargaku! Aku harus hi-
dup...!" katanya membulatkan tekad.
Setelah menghirup udara sepenuhnya, bocah itu
kembali berusaha bangkit dengan mengerahkan sege-
nap sisa tenaga yang dimilikinya. Namun baru saja
melangkah dua tindak, dia kembali ambruk. Agaknya
semangat hidup bocah itu betul-betul luar biasa. Wa-
laupun terus jatuh bangun, dia tetap memaksakan diri
berjalan memasuki pulau itu.
"Ohh... tempat apakah itu? Agaknya sebuah goa.
Barangkali aku bisa berlindung di situ."
Begitu melihat sebuah celah di antara bebukitan
kecil, bocah itu bertambah semangat. Perlahan-lahan
disibakkannya semak-semak yang menghalangi.
Di dalam goa itu suasananya agak gelap dan pen-
gap. Namun ketika dia terus melangkah ke dalam,
ruangannya bertambah luas dan cahaya yang datang
dari celah-celah langit goa menyebabkan sinar mata-
hari menerangi. Di sudut ruangan itu terdapat sebuah
kolam kecil yang penuh berisi air yang jernih berasal
dari celah dinding goa. Air itu tak mengumpul di kolam
itu semua, sebab pada celah yang lain terlihat air men-
galir ke luar entah ke mana.
Melihat air yang jernih itu Nara Sudana jadi mulai
merasakan tenggorokannya yang kering dan terbakar
sejak tadi. Buru-buru dia menciduk air itu dan mera-
sakan tubuhnya sedikit lebih segar.
"Ahh... segar sekali air ini. Tapi perutku lapar. Di
mana aku bisa memperoleh makanan di sini?" tanya
bocah itu sambil memutar pandangan ke seluruh
ruangan goa itu.
Nara Sudana tersentak kaget ketika matanya meli-
hat tumpukan tulang belulang manusia tak jauh dari
kolam itu. Setelah diamati, ternyata tulang itu milik
satu orang yang telah berusia lama.
"Ohh... siapakah orang yang malang ini? Apakah
dia orang pertama yang datang ke pulau ini dan tak
dapat keluar? Kalau demikian, apakah aku musti ter-
kurung selamanya di sini sampai tubuhku tinggal tu-
lang belulang?" keluh batin Nara Sudana.
Diamatinya sekali lagi tulang belulang yang telah
rapuh itu. Tengkorak di atas sebuah batu datar yang
agak mencuat sekitar satu jengkal dari permukaan ta-
nah. Melihat pada posisi tulang paha dan kakinya bo-
cah yang berotak cerdas itu cepat memperkirakan
bahwa sebelum tulang belulang itu run-tuh tentu so-
sok tubuh ini sedang dalam keadaan duduk bersila.
Kalau demikian....
"Pfuh! Pfuh!"
Bocah itu tiba-tiba berpikir sesuatu dan member-
sihkan debu tebal yang menyelimuti batu datar tempat
tulang-belulang itu terkumpul. Ternyata dugaanya be-
nar. Pada batu itu tertulis sebuah nama yang dipahat
sebesar jari telunjuk, dan beberapa baris kata.
Di sini aku tinggal bersama dendam yang tak terba-
las karena racun keparat yang menggerogoti tubuhku.
Walau dia sudah mampus, tapi dendam ku kepada se-
mua orang sedalam lautan. Barang siapa yang mene-
mukan tempatku ini, kuwariskan segala kepandaianku
untuk memusnahkan kesombongan orang-orang yang
berkepandaian tinggi.
tertanda
Iblis Maut
Nara Sudana terhenyak. Dadanya berdebar keras.
Mana kepandaian yang akan diturunkan orang ini?
Tanyanya di hati. Membaca kata-katanya yang men-
gandung keyakinan, pastilah dia tokoh persilatan be-
rilmu tinggi.
Bocah itu memutar pandang ke sekeliling.
"Hei!"
Dia tersentak girang ketika melihat dan menyadari
bahwa seluruh dinding goa dalam ruangan ini penuh
dengan gambar-gambar yang kelihatannya dipahat
oleh jari. Diamat-amatinya barang beberapa saat, dan
kembali wajah bocah itu semburat cerah.
"Hmm... melihat gambar-gambar ini, kelihatannya
seperti orang yang sedang menari? Tapi mana mungkin
Eyang Iblis Maut menciptakan tarian untuk memba-
laskan dendamnya. Aku yakin mungkin gerakan-
gerakan ini adalah bagian dari ilmu silat yang dimili-
kinya," duga Nara Sudana setengah yakin.
Tanpa sadar dia mengikuti gerakan-gerakan itu sa-
tu persatu secara acak tanpa mempedulikan keadaan
tubuhnya yang lemah. Wajahnya tampak segar penuh
rona kehidupan sekaligus dendam dan kebencian.
"Tunggulah pembalasan dariku keparat-keparat ja-
hanam!" dengus Nara Sudana sambil menyipitkan ma-
ta dan mengerutkan wajah sedemikian rupa.
Agaknya dendam di hati bocah itu yang membara
membuatnya mampu mengalahkan keadaan tubuhnya
yang tadi lemah tak berdaya. Keyakinan untuk hidup
berkobar-kobar dalam hatinya. Dan tanpa mengenal
lelah dia terus mengikuti gerakan-gerakan yang tergu-
rat di dinding goa dari hari berganti minggu, berganti
bulan, dan tahun.
"Yeaaaaa...!"
** *
Sementara itu tak terasa waktu telah berlalu tujuh
tahun sejak peristiwa yang menimpa keluarga Juragan
Sasmita. Selama itu pula Perompak Tengkorak Darah
terus malang-melintang tanpa ada yang mampu meng-
halanginya. Banyak sudah tentara-tentara kerajaan
yang dikirim untuk menghabisi mereka, namun semu-
anya tak ada yang pernah kembali lagi. Raja bukan
main prihatin melihat keadaan itu. Soalnya pelayaran
di laut itu sangat penting bagi perdagangan dengan
negeri lain. Dengan adanya Perompak Tengkorak Da-
rah yang tak kenal kompromi dan merampas serta
membunuh setiap kapal-kapal yang lewat di laut itu,
mau tak mau perdagangan antar pulau dan negeri
yang melewati laut itu tak bisa berjalan lancar. Bahkan
lambat laut terasa sepi.
Dasa Griwa yang menjadi ketua Perompak Tengko-
rak Darah semakin besar kepala saja. Bahkan karena
gilanya akan kekuasaan dia bermaksud menyerang ke-
rajaan dan menjadi raja baik di lautan maupun di da-
rat.
"Ha ha ha...! Bagaimana pendapat kalian? Bukan-
kah lebih pantas kalau aku yang menduduki jabatan
raja itu?" tanyanya pada seluruh anggota Perompak
Tengkorak Darah yang saat itu sedang merayakan ke
menangan mereka setelah menumpas kapal perang ke-
rajaan.
"Bagus ketua! Anda sangat cocok sekali menjadi ra-
ja!" sahut salah seorang anak buahnya.
"Betul! Dasa Griwa lebih pantas menjadi raja!"
"Raja yang sekarang lemah dan prajurit-prajuritnya
seperti penari-penari kerajaan yang gemulai!"
"Dasa Griwa penguasa laut dan daratan!"
"Hidup Dasa Griwa!"
"Hiduuup!"
Sorak-sorai gegap gempita langsung menyambut
niat Dasa Griwa itu.
Rintang Kala yang menjadi tangan kanan Dasa
Griwa langsung naik di atas salah sebuah tiang. Sam-
bil berdiri tegak, dia berucap lantang.
"Dengarkan semua! Seminggu dari sekarang kita
akan langsung menyerang wilayah kerajaan. Kekuatan
kita cukup dibandingkan dengan pengawal-pengawal
kerajaan. Kita harus menang, dan nama Perompak
Tengkorak Darah akan berkibar ke seantero negeri.
Siapkan diri kalian mulai sekarang!!"
"Akuuuur!"
"Kita musnahkan orang-orang di kota raja!"
"Kita rampas semua barang berharga milik mere-
ka!"
"Hidup Tengkorak Darah!"
"Hidup ketua Dasa Griwa!"
"Hiduuup!"
Kembali terdengar sahutan bersemangat dari selu-
ruh anggota Perompak Tengkorak Darah. Rintang Kala
tersenyum sinis. Terbayang dalam benaknya nama
Tengkorak Darah akan ditakuti oleh Seantero golongan
di negeri ini, dan akan menjadi gerombolan yang paling
berkuasa pada jaman ini.
Namun ketika semua kembali tenggelam dalam
pesta pora itu sekonyong-konyong terdengar bentakan
nyaring.
"Dasa Griwa tak akan pernah jadi raja, karena dia
akan mampus seperti bangkai di sampah!"
Tentu saja semua yang berada di tempat itu men-
jadi kaget. Lebih-lebih Dasa Griwa. Wajahnya berkerut
dan sepasang matanya melotot garang. Dia langsung
bangkit dari singgasananya.
Terlihat di antara kumpulan anak buahnya yang
tadi sedang duduk bersila, berdiri seorang pemuda
berkulit coklat dan bertubuh kekar. Rambutnya gon-
drong dan kusut masai seperti tak pernah diurus. Wa-
jahnya tampak keras, dan sorot matanya berkilat ta-
jam penuh kebencian.
"Siapa kau, dan dari mana bisa masuk ke tempat
ini?! Aku tak mengenalmu sebelumnya?!" bentak Dasa
Griwa garang.
Salah seorang anggota perompak Tengkorak Darah
yang duduk tak jauh dari pemuda itu tiba-tiba saja
berlutut dan memohon ampun.
"Ampunkan hamba, Paduka Dasa Griwa. Hamba
tak tahu siapa pemuda ini. Tapi melihat kejujuran dan
kepandaiannya, hamba memberanikan diri mengam-
bilnya sebagai anggota dalam pasukan hamba. Tapi
kali ini hamba tak mengerti, kenapa dia bersikap begi-
ni. Mohon ampun untuk hamba dan dirinya, Padu-
ka...."
Pemuda itu melirik ke arah orang itu.
"Paman, kalau nanti ada orang yang akan kuam-
puni jiwanya itu adalah kau. Pergilah dari tempat ini
sebelum banjir darah menelan dirimu!"
"Nara Sudana, tutup mulutmu! Aku tahu kau me-
miliki ilmu silat tinggi, tapi kau bukan tandingan
orang-orang ini. Maka sebelum mereka marah, berlu-
tutlah memohon ampun!" bentak orang itu.
Pemuda yang dipanggil Nara Sudana itu bukannya
takut mendengar kata-kata itu. Wajahnya semakin ga-
rang dan tangan kanannya bersiap meraih pedang
yang tersandang di punggung. Kemudian katanya den-
gan suara dingin.
"Paman, agaknya kau tak bisa melepaskan diri dari
jiwa anjing orang-orang itu. Kalau demikian ku cabut
kata-kataku, dan kaulah yang lebih dulu mampus!"
"Sret!"
"Duk!"
"Aaaa...!"
Semua orang yang berada di situ tersentak ka-get.
Dasa Griwa sendiri hampir tak percaya bahwa tubuh
malang yang ditendang pemuda itu melesat cepat ke
arahnya. Masih untung Rintang Kala cepat bergerak
memapaki.
"Plak."
Tubuh orang yang di sebelah pemuda itu ambruk
ke lantai. Tubuhnya nyaris terbelah dua dengan darah
yang mengucur deras. Yang melihat itu kembali terke-
jut dan timbul kemarahan mereka. Sambil bersiap me-
nunggu perintah, mereka mencabut senjata masing-
masing. Tapi Dasa Griwa mengacungkan tangan. Dita-
tapnya pemuda itu lekat-lekat. Pedang di tangannya
berkilat tajam, dan tak terlihat sedikit pun noda darah.
Pimpinan Perompak Tengkorak Darah itu mulai me-
nyadari bahwa pemuda itu berilmu tinggi, dan dia tak
main-main dengan kata-katanya tadi.
"Siapa kau, dan apa maksudmu dengan semua
ini?" tanya Dasa Griwa dengan suara lunak.
"Jangan banyak mulut. Serahkan kepalamu saat
ini juga, atau tempat ini akan banjir darah dan me-
nenggelamkan mu!"
"Ha ha ha...! Sungguh hebat kau, bocah. Aku suka
dengan sikapmu yang gagah. Suatu kehormatan besar
kalau kau mau menjadi pengawal pribadiku."
"Dasa Griwa keparat, tentu saja aku akan senang
menjadi pengawal pribadimu itu. Nah, serahkan dulu
uang muka untukku dengan mempersembahkan kepa-
lamu!" sahut Nara Sudana mengejek.
Mendengar itu tentu saja seluruh anggota perom-
pak Tengkorak Darah yang berada di situ mendidih da-
rahnya. Mereka nyaris akan menghajar pemuda itu ka-
lau saja Dasa Griwa tak buru-buru memberi isyarat
dengan tangannya.
"Tapi ketua, pemuda ini sangat kurang ajar sekali.
Kalau tak diberi pelajaran dia akan semakin berting-
kah!" tukas Rintang Kala.
"Sebentar. Aku masih mempunyai kepentingan
dengannya," sahut Dasa Griwa sambil kembali menga-
lihkan perhatian pada pemuda itu.
"Pemuda, kudengar tadi namamu Nara Sudana bu-
kan? Nah, ceritakan padaku kenapa kau begitu men-
ginginkan kepalaku?"
"Dasa Griwa tak usah berbasa-basi segala. Keda-
tanganku ke sini menagih hutang nyawa ayah dan
ibuku yang kalian bunuh secara biadab!"
"Hmm... ayah ibumu? Kuakui, telah banyak manu-
sia yang tewas di tanganku, tapi mana mungkin kuin-
gat mereka satu persatu. Coba kau jelaskan siapa me-
reka? Siapa tahu kau salah tuduh...."
"He he he...! Mana mungkin aku bisa salah. Dasa
Griwa pemimpin Perompak Tengkorak Darah cuma sa-
tu-satunya di dunia ini. Kaulah orangnya yang tujuh
tahun lalu menyerang kapal kami. Kau bunuh ayahku
dan kau perkosa ibuku, kemudian kau bakar dan
tenggelamkan seluruh orang yang berada di kapal itu.
Hari ini aku menagih hutang nyawa mereka pada ka-
lian semua."
Agaknya pemuda itu betul-betul sudah muak dengan segala basa-basi Dasa Griwa. Dengan gerakan ce-
pat, dia membabatkan pedangnya pada beberapa
orang anak buah Perompak Tengkorak Darah yang pal-
ing dekat dengannya.
"Cras! Cras!"
"Hiyaaa...!"
"Aaaa...!"
Kecepatan bergerak pemuda itu luar biasa. Dalam
sekejapan mata saja enam orang langsung tewas di
tangannya. Dan pada serangan berikut-nya kembali
pedangnya memakan korban lima Orang nyawa me-
layang dengan tubuh penuh Iuka sayatan.
"Keparat! Kau hadapilah aku!" teriak Rintang Kala
langsung menerjang dengan senjata di tangan.
Sebenarnya Dasa Griwa sangat menyayangkan hal
ini. Setelah mengetahui bahwa pemuda itu memiliki
kepandaian hebat, dia bermaksud membujuknya un-
tuk mau menjadi tangan kanannya. Memiliki tangan
kanan sepertinya tentulah amat membanggakan seka-
ligus dapat diandalkan. Tapi kini keadaan berubah ce-
pat. Dendam pemuda itu tak bisa ditawar-tawar lagi.
Sorot matanya yang tajam seperti hendak menelan se-
mua orang yang berada di tempat ini.
Sementara itu Rintang Kala terkejut bukan main.
Belum pernah selama malang melintang berhadapan
dengan lawan-lawan dia menemukan yang sepadan
kepandaiannya. Pemuda itu bukan lagi sepadan, tapi
dengan mudah menghalau serangannya.
Kalau saja saat itu dia tak dalam keadaan dike-
royok niscaya dalam satu jurus saja Rintang Kala nya-
ris binasa. Justru dalam menghadapi serangan balik
pemuda itu, beberapa anak buahnya harus merelakan
diri mereka sebagai perisai.
"Gila! Kepandaian dan kekuatannya seperti setan!"
desis Rintang Kala.
Tangan kanan Dasa Griwa itu melihat bahwa pe-
muda itu dengan mudahnya menghajar lawan-
lawannya seperti membabat rumput saja layaknya. Je-
rit kematian dan pekik kesakitan mewarnai di tempat
itu.
Ruangan ini berada dalam barak utama yang me-
rupakan tempat kediaman Dasa Griwa. Tak jauh dari
tempat itu berjejer puluhan rumah yang merupakan
perkampungan bajak laut itu. Tentu saja mendengar
suara gaduh dari rumah utama, mereka langsung ke-
luar dengan senjata terhunus menyerbu ke tempat ke-
diaman Dasa Griwa. Pemandangan yang menakjubkan
terlihat bagai semut mengerubungi gula. Lebih dari se-
ratus orang anggota bajak laut telah mengurung tem-
pat itu dan begitu melihat seorang pengacau yang se-
dang membasmi sebagian anak buah Perompak Teng-
korak Darah, tanpa dikomando mereka langsung me-
nerjunkan diri dan berebutan menyerang pemuda itu.
***
Pada mulanya Nara Sudana sempat terkejut meli-
hat jumlah lawan yang banyak luar biasa itu. Tapi pe-
muda itu tak cepat gugup dan kehilangan akal, Tu-
buhnya seperti mengapung di udara saat dia bergerak
cepat menyambar beberapa buah obor yang terpan-
cang di dinding ruangan.
"Hiyaaaa...!"
"Brak!"
Obor-obor di tangannya itu melayang ke tiang-tiang
kayu dan dinding-dinding rumah yang mudah terba-
kar. Hingga dalam tempo tak lama api berkobar kian
cepat melahap rumah utama ini.
"Apiii...! Apiii....'"
"Cepat padamkan! Ambil air...!"
Beberapa orang yang berada di belakang kerumu-
nan kawan-kawannya yang sedang mengeroyok pemu-
da itu mundur teratur sambil berlari ke tepi pantai
yang tak begitu jauh dan menciduk air melalui timba-
timba kayu guna memadamkan api.
"Mampuslah kalian semua! Mampuslah kalian...!"
teriak Nara Sudana sambil mengeluarkan suara tawa
yang menyeramkan.
Pedang pemuda itu seperti tiada henti mencari
korban. Nara Sudana betul-betul mengamuk seperti
kesetanan. Tak ada seorang pun yang selamat bila be-
rada di dekatnya. Pedangnya seperti malaikat penca-
but nyawa yang telah menewaskan lebih dari empat
puluh anggota Perompak Tengkorak Darah.
Melihat hal itu tentu saja Dasa Griwa tak bisa ting-
gal diam. Simpatiknya pada pemuda itu kini berubah
menjadi amarah yang bukan kepalang garangnya.
Sambil membentak nyaring kepala Perompak Tengko-
rak Darah itu berkelebat ke arahnya dengan senjata
terhunus.
"Bocah keparat, kau terimalah kematianmu!"
"Hiyaaa...!"
"Anjing Dasa Griwa, kenapa tidak sejak tadi kau
maju lebih dulu? Kalau tidak tentu kau yang lebih du-
lu mampus!" sahut Nara Sudana tak kalah garang.
Walaupun dalam keadaan sedang dikeroyok begitu,
tapi hebatnya Nara Sudana masih mampu memapaki
serangan Dasa Griwa bahkan membabatkan pedang-
nya ke perut lawan.
"Yeaaa...!"
Kepala Perampok Tengkorak Darah itu kaget bukan
main. Tangannya terasa kesemutan ketika senjata me-
reka tadi beradu. Dilihatnya pemuda itu malah tenang-
tenang saja seperti tak merasakan sakit sedikit pun.
Bahkan dia masih mampu mengirim serangan susu
lan. Kalau saja Dasa Griwa tak cepat berkelit niscaya
perutnya akan robek di sabet pedang lawan.
"Mampuslah kau keparat!" bentak Nara Sudana te-
rus bersalto mengejar lawan.
Ujung pedang pemuda itu menyambar-nyambar ke
sana ke mari melindungi dirinya dari keroyokan lawan,
dan sekaligus mengirim serangan susulan yang dituju-
kan kedua arah yaitu pada pengeroyoknya yang terdiri
dari bajak laut-bajak laut Tengkorak Darah dan Dasa
Griwa sendiri.
"Hiyaaa...!"
"Trek! Trak!"
"Bret!"
Bukan main kagetnya Dasa Griwa. Dengan kecepa-
tan yang sulit diikuti mata biasa, ujung pedang Nara
Sudana merobek bajunya dan mengiris sedikit kulit
dadanya. Kalau saja saat itu gerakan si pemuda tak
dihambat oleh dua orang anak buahnya, niscaya nya-
wa kepala Perompak Tengkorak Darah berada di ujung
tanduk.
"Keparat-keparat laknat, mampuslah kalian lebih
dulu!" bentak Nara Sudana memalingkan perhatian se-
saat pada anak buah Dasa Griwa.
"Bret! Bret!"
"Aaa...!"
Pekik kematian kembali terdengar seiring ro-
bohnya lima sosok tubuh dengan nyawa melayang. Na-
ra Sudana terus mengamuk meng-ayunkan pedangnya
ke sana ke mari. Kembali belasan tubuh lawan tum-
bang disabet kelebatan pedangnya.
Melihat amukan Nara Sudana seperti tak ter-tahan,
beberapa orang perompak segera melarikan diri tanpa
mempedulikan keadaan kawan-kawannya. Melihat hal
itu yang lain pun menyusul tanpa mempedulikan te-
riakan Dasa Griwa yang menahan mereka. Hingga da
lam sekejap saja tempat itu tinggal belasan orang ter-
masuk Dasa Griwa sendiri.
"Rintang Kala pengecut, kenapa kau malah melari-
kan diri?!" bentak Dasa Griwa garang ingin mengejar
tangan kanannya itu.
"Jangan harap kau bisa lari dariku keparat!" desis
Nara Sudana geram langsung melesat mengejar sambil
mengirim serangan maut.
Mau tak mau Dasa Griwa terpaksa meladeni amu-
kan pemuda itu dibantu belasan anak buahnya yang
masih setia.
"Maaf Dasa Griwa, dia datang hanya untuk-mu!
Buat apa aku musti mengorbankan nyawa segala?!"
Kau hadapilah dia sendiri!" teriak Rintang Kala me-
mimpin kawan-kawannya mening-galkan tempat itu
dengan sebuah kapal yang cukup besar.
"Keparat!" gumam Dasa Griwa.
"Kini tibalah ajalmu, jahanam!" maki Nara Sudana.
Pedang pemuda itu menyambar-nyambar tubuhnya
bagai tiada henti membuat Dasa Griwa sedikit cemas.
Seluruh tubuhnya telah dibungkus kelebatan pedang
lawan. Ketika dia coba menangkis, pedangnya malah
terpental dihantam senjata lawan.
"Tak!"
"Mampus!" bentak Nara Sudana.
"Breet! Breet!"
"Aaaa...!"
Pada saat-saat yang kritis itu, nyawa Dasa Griwa
masih bisa selamat karena anak buahnya menjadi
tumbal untuk menghalangi serangan lawan. Namun
tak urung dia terpekik kesakitan ketika perutnya kena
diserempet ujung pedang lawan.
Dasa Griwa mengambil kesempatan untuk me-
larikan diri ketika pemuda itu sedang sibuk menghajar
sisa-sisa anak buahnya. Tapi Nara Sudana tak mungkin membiarkannya begitu saja. Pedangnya langsung
terbang menghajar punggung kiri Dasa Griwa.
"Siiiut! Grab!"
"Aaaa...!"
Terdengar jerit kematian kepala Perompak Tengko-
rak Darah ketika pedang yang dilempar Nara Sudana
tepat menembus hingga ke jantung. Bersamaan den-
gan robohnya tubuh Dasa Griwa, sisa anak buahnya
pun ambruk dihajar pukulan bertenaga dalam kuat
yang dilancarkan Nara Sudana.
Setelah mencabut pedangnya, pemuda itu lang-
sung mengejar sisa anak buah Dasa Griwa yang mela-
rikan diri.
*
* *
TIGA
Desa Luragung terletak di pesisir pantai yang ba-
nyak dikunjungi oleh kapal-kapal dagang antar pulau
maupun negeri lain. Tak heran bila di tempat itu men-
jadi ramai, baik penghuni baru yang terus berdatangan
untuk mengadu nasib maupun penduduk asli yang te-
tap bertahan di kampung halamannya itu.
Siang itu seperti biasa terlihat banyak orang berla-
lu-lalang di sepanjang jalan utama dengan urusannya
masing-masing. Di antara mereka terlihat seorang pe-
muda berambut gondrong dengan wajah tampan dan
keras, serta mengenakan baju yang terbuat dari kulit
harimau. Di pundaknya terdapat seekor monyet kecil
berbulu hitam yang tampaknya begitu jinak dan ber-
sahabat. Siapa lagi pemuda ini kalau bukan Bayu
Hanggara alias si Pendekar Pulau Neraka!
"Kau lapar Tiren?" tanyanya pada monyet kecil itu.
"Nguk! Nguk!"
"Baiklah. Aku pun merasa perutku melilit-lilit tak
karuan. Sebaiknya kita cari kedai dulu baru melan-
jutkan perjalanan."
"Kaaaakh...!"
Monyet kecil yang dipanggil Tiren itu menjerit ke-
ras. Bayu tersentak sambil mengikuti arah telunjuk Ti-
ren.
"Dasar! Kalau mau tunjuk kedai tidak usah pakai
menjerit segala!" bentak Bayu kesal.
"Nguk!"
Monyet kecil itu menyeringai lebar menunjuk-kan
wajahnya dengan malu-malu.
Hari ini kedai itu tampak ramai. Banyak pengun-
jung yang datang ke situ. Tak heran, sebab bila diper-
hatikan kedai ini adalah satu-satunya yang terbesar
dan terlengkap di desa ini. Ruangan dalamnya luas
dan banyak terdapat meja dan bangku-bangku. Kedai
inipun memiliki penginapan yang cukup untuk bebe-
rapa orang.
"Pak, tolong sediakan nasi rames dengan se-
bumbung tuak!" pesan Bayu setelah mengambil tempat
agak di sudut ruangan.
"Baik, Den!" sahut pelayan kedai yang tadi meng-
hampirinya.
Sepeninggal pelayan itu Bayu mengedar pandangan
ke sekeliling. Tak seorang pun yang merasa heran atas
kehadirannya, sebab banyak di antara mereka pun be-
rasal dari kaum persilatan dari berbagai macam aliran
dan urusan.
Melirik sekilas pada sekelompok orang yang ber-
kumpul pada sebuah meja yang tak jauh darinya,
Bayu tadinya tak tertarik mendengar perbincangan
mereka. Lebih-lebih karena perutnya memang sudah
keroncongan. Dia ingin cepat makan kemudian berlalu
dari desa ini. Tapi ketika salah seorang di antara yang
bermulut dower bercerita dengan penuh semangat,
mau tak mau terusik juga hatinya untuk mencuri den-
gar pembicaraan mereka.
"Aku tak melihat, tapi kalian tahu tidak? Salah
seorang kawanku adalah anak buah bajak laut Teng-
korak Darah. Dia melihat sendiri kedahsyatan pemuda
itu. Luar biasa!" kata si mulut dower dengan wajah
yang meyakinkan.
Empat orang kawannya yang sedang menenggak
tuak terpaku barang sesaat dengan wajah tak percaya.
Cerita itu sesungguhnya tak masuk di akal. Bagaima-
na mungkin seorang pemuda mampu mengkocar-
kacirkan anak buah Perompak Tengkorak Darah yang
amat ditakuti? Jangankan seorang pemuda tak dikenal
seperti cerita kawannya itu, sedangkan jago-jago dari
kerajaan yang dikirim membasmi mereka lengkap den-
gan prajurit pilihan hanya pulang tinggal nama. Juga
beberapa orang tokoh persilatan golongan putih yang
merasa prihatin dengan perbuatan bajak laut-bajak
laut itu, turun tangan dan bermaksud membasmi me-
reka. Tapi tak seorang pun di antara mereka yang ter-
dengar kembali pulang.
"Aku tak percaya!" bantah kawannya yang berku-
mis tipis dan bertubuh tegap sambil menenggak tuak-
nya.
"Huh, kau memang tak pernah percaya. Tapi kalau
mendengar sendiri dari mulut mereka yang berhasil
menyelamatkan diri dari amukan pemuda itu, baru
kau percaya," sahut si mulut dower.
"Mustahil! Coba bayangkan, dengan seorang diri
dia berhasil membuat anak buah Dasa Griwa kocar-
kacir? Padahal jumlah mereka tak kurang dari tiga ra-
tus orang!"
"Bisa saja Boneng!" sahut seorang kawannya yang
bermata juling.
"Mana mungkin!"
"Di dunia ini apa yang tak mungkin? Siapa tahu
pemuda itu merupakan jelmaan dewa yang diturunkan
ke bumi untuk membantu kita."
"Pfuih! Kau ini ngomong apa?!" bentak si Boneng.
"Kenapa tidak?!" balas si mata juling tak mau ka-
lah.
"Sudahlah... kenapa hal ini saja menjadikan kita
berselisih. Kalian boleh percaya atau tidak, itu urusan
kalian sendiri," kata si mulut dower tak acuh.
Agaknya orang ini sudah putus asa melihat kawan-
kawannya tak juga percaya akan ocehannya.
"Kau sering berdusta, mana mungkin aku percaya
dengan ceritamu," kata kawannya satu lagi seperti
menjawab kata hatinya.
"Kali ini aku tidak berdusta, sobat. Kalau aku salah
berarti kawanku itulah yang bercerita dusta padaku,"
tangkis si mulut dower dengan mimik serius.
Obrolan mereka terhenti ketika lima orang bertam-
pang seram memasuki kedai itu. Sikap mereka kasar
dan ingin menunjukkan kegarangannya dengan mem-
perhatikan seluruh pengunjung kedai satu persatu
dengan tatapan garang. Seorang yang berada paling
depan berusia sekitar tiga puluhan dan bersenjata go-
lok besar di punggungnya menyentak-kan kursi sambil
berteriak lantang pada salah seorang pelayan.
"Sediakan lima guci arak tulen untuk kami cepat!"
"Ba... baik, Den...!"
Kelimanya langsung menarik kursi dan duduk me-
lingkari sebuah meja. Sementara sorot mata mereka
Seperti tiada henti mengawasi semua pengunjung ke-
dai. Kemudian salah seorang di antara mereka berucap
dengan suara pelan.
"Hmm... masih untung kita bisa lolos dari ke-
jarannya. Kalau tidak entah apa yang terjadi. Mungkin
kita sudah binasa..."
Laki-laki berusia tiga puluh tahun lebih yang
agaknya merupakan pemimpin mereka mendengus ge-
ram.
"Huh, kalau saja ada kesempatan ingin kupatah-
kan batang lehernya!"
"Tapi Rintang Kala... pemuda itu betul-betul luar
biasa. Amukannya seperti tak tertahan. Entah bagai-
mana nasib Dasa Griwa. Kalau dia bisa mengejar dan
membunuh kawan-kawan yang lain tentu dia telah
membinasakan Dasa Griwa," sahut salah seorang ka-
wannya.
"Bisa jadi..." sahut laki-laki yang dipanggil Rintang
Kala.
"Lalu apa yang akan kita lakukan saat ini?" tanya
seorang lagi.
"Tak ada yang bisa kita lakukan selain bersem-
bunyi dari kejarannya!" sahut yang wajahnya penuh
brewok.
"Huh, sebenarnya aku tak takut, tapi melawan juga
hanya mengantar nyawa secara percuma!" dengus
yang bertubuh kurus dan berambut panjang.
"Tapi ke mana kita akan bersembunyi? Pemuda itu
sepertinya akan terus mencari kita sampai ke ujung
langit sekalipun!" tanya seorang lagi yang wajahnya
pucat.
"Kadang aku menyesal...."
"Jangan jadi pengecut kau, Badungan! Tak perlu
menyesali apa .yang sudah dilakukan. Yang penting
saat ini bagaimana caranya menyelamatkan selembar
nyawamu!" potong Rintang Kala kesal.
Yang lainnya mengangguk-anggukkan kepala men-
dengar kata-kata itu.
Namun pada saat itu terdengar satu suara yang
bernada sinis menyahuti pembicaraan mereka.
***
"He he he...! Baru sekarang ku tahu bahwa perom-
pak-perompak Tengkorak Darah berjiwa pengecut dan
lari dari kejaran lawan!"
Kelima orang yang tak lain dari anggota Perompak
Tengkorak Darah langsung memalingkan wajah pada
seorang laki-laki bertubuh kurus dengan muka lon-
jong. Melihat dari wajahnya yang cakap dan bersih
agaknya laki-laki itu paling tidak berasal dari kalangan
bangsawan atau hartawan. Lebih-lebih melihat pa-
kaiannya yang rapi dan bagus. Usianya paling sekitar
dua puluh lima tahun. Tangan kanannya memegang
sebuah kipas yang terbuat dari gading gajah.
Di samping pemuda itu duduk seorang gadis ber-
baju hijau. Wajahnya cantik rupawan dengan kulit pu-
tih halus. Rambutnya yang panjang cuma diikat sehe-
lai pita merah muda. Di pinggangnya terlihat sebatang
pedang pendek.
Sementara di sekeliling mereka terlihat beberapa
orang laki-laki berwajah garang dengan masing-masing
bersenjatakan golok. Agaknya mereka adalah para
pengawal pasangan muda-mudi itu.
"Siapa kau?!" bentak Rintang Kala sambil bangkit
dan mendekati mereka.
Keempat kawannya melihat keadaan itu langsung
bersiaga dengan wajah kurang senang di belakang Rin-
tang Kala.
Pemuda berpakaian bagus itu cuma tersenyum se-
perti menganggap remeh kalian orang sisa anak buah
Perompak Tengkorak Darah.
"Aku tuan besarmu yang akan menjewer kuping
kalian..." sahut pemuda itu santai.
"Kurang ajar!"
Salah seorang kawan Rintang Kala yang bera-
ngasih langsung mencabut golok besarnya dan menya-
betkan ke arah pemuda itu.
"Bet!"
"Trak!"
"Huh, jangan coba-coba berbuat sembarangan pa-
da majikanku!" bentak salah seorang pengawal pemu-
da itu yang langsung mencabut golok dan memapaki
serangan tadi.
"Piwarang, menyingkirlah kau. Biar kuberi pelaja-
ran orang tak tahu diri ini!" sela pemuda itu sambil
berdiri dan mengembangkan kipasnya.
"Tapi Den Wangsa Bangkalan...."
"Tenanglah Piwarang... apakah kau pikir aku tak
mampu memberi pelajaran pada kunyuk ini?" potong
pemuda yang dipanggil Wangsa Bangkalan itu sambil
tersenyum sinis.
"Bangsat! Orang sepertimu harus dibuka matanya
lebar-lebar agar bisa berbuat sopan pada orang lain!"
maki salah seorang bekas perompak Tengkorak Darah
kembali mengayunkan golok besarnya.
Wangsa Bangkalan terkekeh pelan. Tubuh pemuda
itu cuma berkelit sedikit ke kiri dan tangan kanannya
menghantam pergelangan lengan lawan. Sementara ki-
pas di tangan kiri menyabet ke pinggang lawan.
"Plak! Breet!"
"Ukh!"
Perompak Tengkorak Darah itu terkejut sambil
mendekap pinggang kanannya yang robek. Wajahnya
meringis kesakitan bercampur dendam dan luapan
amarah luar biasa.
"Kurang ajar...!" makinya kembali menyerang pe-
muda itu.
"Hmm... agaknya kali ini kau betul-betul tak bisa
dikasih hati. Baiklah kalau itu maumu."
"Hiyaaa...!"
"Plak! Duk!"
"Aaaa...!"
Kali ini tubuh perompak Tengkorak Darah itu ter-
pental ke belakang pada jarak kurang lebih tiga tom-
bak. Tubuhnya menabrak dinding kedai hingga han-
cur. Masih terlihat sekilas dia menggelepar-gelepar
dengan mulut penuh darah.
Pemuda itu terkekeh sambil mengibas-ngibaskan
pakaiannya dari debu. Gerakannya tadi sama sekali
tak disangka lawan. Tubuhnya ringan mencelat ke atas
dengan kaki kiri menangkis pergelangan lawan yang
memegang senjata, sedangkan kaki kanan menendang
ke ulu hati dengan keras.
"Juragan... aduh, juragan. Sebaiknya jangan berke-
lahi di sini. Kedai saya nanti rusak, dan... dan bi-
asanya..." sela si pemilik kedai sambil memohon-
mohon pada pemuda berbaju keren itu.
Tapi salah seorang pengawal pemuda itu tiba-tiba
membentak dengan mata melotot.
"Orangtua, apakah kau tidak melihat siapa jura-
ganmu ini?! Mereka adalah putra-putri Adipati Bang-
kalan yang termahsyur itu. Apa kau pikir beliau tak
mampu mengganti segala kerusakan ini?! Pfuih, mere-
ka bahkan mampu membeli sepuluh kali kedai seperti
ini bahkan dirimu pun mampu dibelinya!"
"Jangan keterlaluan Paman Ketitir..." sela si gadis
yang sejak tadi hanya diam memperhatikan kejadian
itu.
"Tapi Den Ayu... mereka harus tahu siapa aden
berdua agar tak sembarangan bicara...."
"Sudahlah... nah pak, maafkan kekasaran pa-
manku tadi. Kami akan mengganti kerusakan yang di
perbuat kakangku," kata si gadis pada pemilik kedai
itu.
Tapi si orang tua pemilik kedai begitu mengetahui
bahwa kedua orang muda-mudi ini adalah putra-putri
Adipati Bangkalan yang terkenal itu, mana berani dia
menerima ganti rugi dari mereka. Bisa-bisa nanti sang
Adipati murka dan dia tak bisa berdagang lagi di sini.
"Ti... tidak. Te... terima kasih, Den...."
"Ambillah, pak..." ujar gadis itu kembali sambil
mengangsurkan kira-kira lima kepeng uang emas di
tangannya.
Pemilik kedai itu masih ragu menerima. Saat itulah
Rintang Kala yang tadi mendiamkan saja anak buah-
nya di hajar pemuda itu tiba-tiba angkat bicara.
"Hmm... pantas! Rupanya kalian anak-anak menak
yang baru kenal dunia luar, tapi sudah demikian som-
bong. Kau, kutunggu di luar!" katanya menuding ke
arah Wangsa Bangkalan sambil terus meninggalkan
ruangan kedai itu dan beranjak ke halaman depan di-
ikuti anak buahnya yang lain.
"Baik!" sahut Wangsa Bangkalan bersemangat.
"Kakang... jangan terlalu menyombongkan diri.
Apakah kau tidak ingat pesan eyang?" Ingat adiknya
dengan wajah kesal.
"Tenanglah Cempaka Wangi. Orang-orang itu me-
mang sudah seharusnya diberi pelajaran. Per-tama,
mereka adalah orang-orang sesat yang selama ini men-
jadi musuh kerajaan dan juga musuh semua orang
yang pernah menjadi korban mereka. Dan yang kedua,
sikap mereka tadi sombong sekali. Seolah mereka pikir
tempat ini akan menjadi miliknya dalam sekejap seper-
ti saat mereka berada di lautan. Nah, itu sudah cukup
bagiku untuk memberi hajaran bagi mereka!"
Gadis bernama Cempaka Wangi itu tak bisa berka-
ta apa-apa lagi mendengar alasan abangnya. Tapi se
benarnya pun dia mengerti bahwa abangnya tak akan
bisa dilarang kalau dia sudah punya keinginan. Begitu
juga ketika beberapa orang pengawal mereka mencoba
melarang dia bertarung, tetap saja Wangsa Bangkalan
berkeras akan memberi pelajaran pada mereka dengan
tangannya sendiri.
Sementara itu semua pengunjung kedai tertarik
sekali melihat pertarungan ini. Hampir semua mengu-
tuk perompak-perompak Tengkorak Darah dan menge-
lu-elukan pemuda itu. Bukan karena mereka putra-
putri sang Adipati, tapi siapa yang tak kenal Perompak
Tengkorak Darah yang kekejaman mereka nyaris diku-
tuk oleh semua penduduk di wilayah ini.
"Bunuh mereka jangan dikasih kesempatan untuk
lari!"
"Cincaaang...!"
"Gantung kelima-limanya!"
Walau semua yang berada di situ mengutuk mere-
ka, Rintang Kala dan kawan-kawannya begitu teguh.
Semangat mereka tetap tak tergoyah. Begitu juga keti-
ka Wangsa Bangkalan lebih dulu menyerang, Rintang
Kala menyambutinya dengan mantap. Pertarungan itu
memang disengaja terjadi antara mereka berdua. Kalau
pemuda itu melarang para pengawalnya ikut campur,
begitu juga halnya dengan Rintang Kala. Dia memerin-
tahkan agar anak buahnya tak perlu turun tangan se-
lagi mereka bertarung.
***
Pertarungan antara keduanya telah berlangsung
lebih dari tiga jurus. Terlihat keduanya sama kuat.
Namun pada jurus-jurus selanjutnya Rintang Kala te-
lah berada di atas angin. Padahal bagi mereka yang be-
rasal dari kalangan persilatan pasti akan melihat bah
wa keduanya memiliki ilmu silat yang tangguh. Bah-
kan kalau diperhatikan dengan seksama, gerakan
Wangsa Bangkalan yang indah mengandung tipuan
yang mematikan. Hanya sayang bahwa pemuda itu
melakukan dengan kaku seperti orang yang baru saja
belajar ilmu silat.
Tidak demikian halnya dengan Rintang Kala. Bela-
san tahun malang melintang bersama Perompak Teng-
korak Darah, membuatnya tak cepat gugup dengan se-
rangan lawan. Pengalamannya lebih teruji, dan terbuk-
ti banyak membantu dalam setiap pertarungan. Seperti
yang terjadi hari ini.
"Hiyaaaa...!"
"Trak! Bret!"
"Ukh...!"
Wangsa Bangkalan menjerit pelan. Dalam suatu
kesempatan tubuh lawan berkelebat cepat menyambar
kepala sambil mengayunkan senjata. Pemuda itu me-
nunduk sambil menghindar ke belakang, tapi dengan
tak disangka-sangka ujung golok besar Rintang Kala
berubah haluan dan menyambar bahu kanan Wangsa
Bangkalan. Masih untung cuma sedikit tergores kare-
na dia masih sempat berkelit.
"Pelajaran pertama untuk anak-anak yang kurang
ajar!" ejek Rintang Kala sinis.
"Huh, siapa bilang aku kalah olehmu! Kau akan ra-
sakan ini!" bentak Wangsa Bangkalan kembali menye-
rang dengan kalap.
Kali ini pemuda itu mengerahkan segenap kepan-
daian yang dimiliki. Terbukti gerakan kipas yang dija-
dikannya senjata itu menimbulkan desir angin ken-
cang dan menyambar-nyambar tubuh lawan dengan
pengerahan tenaga dalam kuat.
Tapi serangan Rintang Kala pun bukan main he-
batnya. Baru kali ini terbuka mata semua orang akan
kehebatan salah seorang anggota Perompak Tengkorak
Darah. Tubuh Rintang Kala bergerak bagai sapuan an-
gin dengan golok besar di tangan berdengung me-
nyambar-nyambar ke arah Wangsa Bangkalan.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaa...!"
"Trak!"
"Bret!"
"Duk!"
"Akh...!"
Ketika dalam satu kesempatan. keduanya berteriak
nyaring dan bersiap menyerang lawan, Wangsa Bang-
kalan mencoba menangkis senjata Rintang Kala. Tapi
dia terkejut ketika kipasnya di buat hancur beranta-
kan. Belum lagi habis rasa terkejutnya, ujung senjata
lawan meluncur deras menghantam leher. Masih un-
tung pada saat kritis itu Wangsa Bangkalan mampu
menyelamatkan lehernya dengan berkelit ke belakang.
Namun tak urung ujung senjata lawan menghajar da-
danya. Dan bersamaan dengan itu kaki kanan Rintang
Kala menghajar perut Wangsa Bangkalan. Pemuda itu
terlempar sejauh beberapa tombak sambil menjerit ke-
ras.
Agaknya Rintang Kala betul-betul bernafsu untuk
menghabisi pemuda yang dianggapnya sombong itu.
Begitu kakinya menyentuh tanah, saat itu pula tubuh-
nya kembali melesat dengan kecepatan bagai kilat
mengayunkan senjata ke arah Wangsa Bangkalan.
Semua orang yang melihat itu tercekat. Wangsa
Bangkalan pasti tewas. Bahkan para pengawalnya tak
mungkin mampu menandingi kecepatan bergerak Rin-
tang Kala. Gadis bernama Cempaka Wangi sendiri su-
dah berteriak cemas.
"Hiyaaa...!"
"Sing!"
"Trak!"
*
* *
EMPAT
Namun pada saat-saat yang kritis itu tiba-tiba me-
lesat seberkas sinar keperakan yang memapaki senjata
Rintang Kala dan membuatnya terpental jauh.
Laki-laki berusia tiga puluh tahun dengan codet di
pipi kanannya itu menggeram melihat kehadiran seo-
rang pemuda berambut gondrong berwajah tampan be-
rada di tempat itu sambil tersenyum. Di pundaknya
terlihat seekor monyet kecil berbulu hitam. Pemuda itu
sendiri mengenakan baju yang terbuat dari kulit hari-
mau.
Ketika pemuda yang berbaju kulit harimau itu
mengibaskan tangan, maka sinar keperakan yang tak
lain dari sebuah senjata berbentuk cakra bersegi enam
menempel di pergelangan tangan kanannya. Melihat
itu sebagian mereka yang berada di situ tersentak ka-
get.
"Pendekar Pulau Neraka...!"
Rintang Kala selama hidupnya lebih banyak berada
di laut hingga jarang mendengar ,nama tokoh-tokoh
persilatan yang berada di darat, hingga dia tak terlalu
terkejut mendengar nama itu. Bahkan dengan sikap
menganggap remeh, dia pura-pura tak tahu.
"Huh, siapa lagi kau budak gembel?! Apakah kau
ingin membela majikanmu itu?!"
"Dia bukan majikanku, dan kau tak perlu tahu
siapa aku. Yang jelas aku paling tak suka pada kalian
berdua. Tapi pengecualian untukmu karena kau ada
lah Perompak Tengkorak Darah yang kudengar sering
menimbulkan kekacauan!"
"He he he...!" Satu lagi kulihat malaikat kesasar se-
pertimu. Tapi orang-orang sepertimu biasanya mene-
mui ajal secara mengenaskan. Nah, pergilah dari sini
sebelum timbul rasa muakku padamu!" bentak Rin-
tang Kala.
Orang itu sengaja menggertak lawan. Padahal dia
sendiri merasakan dalam sekelebatan saja senjatanya
di buat terpental oleh senjata lawan. Tapi sebagai be-
kas Perompak Tengkorak Darah mana mau Rintang.
Kala menunjukkan kegentarannya di depan orang ba-
nyak. Maka dia sengaja berbuat begitu pada si pemuda
berbaju harimau yang tak lain dari Bayu Hanggara
atau Pendekar Pulau Neraka.
"Siapa yang mengatakan aku malaikat kesasar?
Agaknya matamu telah lamur kisanak. Aku memang
malaikat sesungguhnya yang akan mengantarmu ke
neraka!" ejek Bayu sambil tersenyum sinis.
"Huh, kau boleh pentang bacot sesukamu setelah
kukirim ke akherat!"
Setelah berkata begitu agaknya kemarahan Rintang
Kala tak dapat ditahan lagi. Dia langsung menyerang
lawan setelah anak buahnya melempar sebatang golok
besar ke tangannya.
"Hiyaaa...!"
"Hmm... betul-betulkah kau ingin merasakan nik-
matnya siksaan neraka?" ejek Bayu lagi.
"Jangan banyak bacot! Putus lehermu!"
"Uts, ha...!"
Sambil menundukkan kepala Bayu menghindari
sabetan senjata lawan yang ditujukan ke lehernya. Ta-
pi dengan tak terduga kaki kanan Rintang Kala me-
nendang ke ulu hati. Tubuh Bayu mencelat ke bela-
kang sambil bersalto dengan gerakan indah. Pada saat
itulah kaki kanannya sempat menghajar betis kaki la-
wan.
"Plak!"
"Akh...!"
"Begkh!"
Rintang Kala menjerit tertahan. Tubuhnya ter-
jerembab setelah berputar satu kali di udara. Namun
dalam keadaan demikian, Bayu masih sempat mengha-
jar pinggang kanannya lewat tendangan kaki kiri sebe-
lum kedua kakinya menyentuh tanah. Kembali Rintang
Kala menjerit keras ketika tubuhnya terlempar ke kiri.
"Keparat!" maki Rintang Kala cepat bangkit.
Disekanya darah yang menetes di sudut bibir. Ten-
dangan lawan memang tak cukup kuat, kalau tidak
niscaya dia tak akan pernah bangkit lagi. Tapi walau
begitu cukup membuat isi perutnya seperti diaduk-
aduk.
"Hmm... agaknya kau masih belum puas juga? Ke
sinilah cepat mendekat pada tuan besarmu!" ejek
Bayu.
"Yeaaa...!" "Hiyaaa...!"
"Hei! Main keroyokan sekarang? Hmm... boleh juga
kalau kawan-kawanmu ingin berbagi kesenangan den-
ganmu."
"Bet!"
"Plak! Plak!"
"Begkh!"
"Akh!"
Tubuh Bayu berkelebat dengan kecepatan yang su-
lit diikuti oleh mata biasa. Tahu-tahu senjata di tangan
mereka terpental jauh, dan disusul dengan jerit kesaki-
tan. Kelimanya terpental dengan darah muncrat dari
mulutnya. Salah seorang di antara mereka langsung
menemui ajal. Orang itu adalah korban Wangsa Bang-
kalan yang tadi dihajarnya di dalam kedai. Agaknya dia
memaksakan diri untuk menyerang si Pendekar Pulau
Neraka, dan terpaksa menemui kematiannya.
"Huh, kali ini aku akan mengadu jiwa denganmu!"
dengus Rintang Kala kembali bangkit dengan wajah
garang.
"Siapa yang sudi mengadu jiwa denganmu? Kalau
kau mau mengadunya, adulah dengan jiwa kawan-
kawanmu itu. Siapa tahu mereka mau, dan kalian te-
taplah berjiwa binatang seperti sekarang!"
"Keparat! Bersiap-siaplah kau untuk mampus!"
bentak Rintang Kala.
"Yeaaaa...!"
Bersama dengan ketiga anak buahnya, kembali
mereka menyerang Bayu dengan tangan kosong.
Bayu sendiri masih tenang-tenang saja di tempat-
nya. Dia yakin bahwa walau mereka berempat tak
mungkin mampu melukai dirinya, sebab tadi ketika
bersenjata pun mereka tak mampu, apalagi kini ber-
tangan kosong.
Namun dengan tidak disangka saat itu juga mele-
sat satu bayangan yang memapaki serangan mereka.
Orang-orang yang berada di situ terkejut. Angin gera-
kan bayangan itu mampu membuat mereka yang me-
miliki ilmu silat rendah bergoyang limbung. Sedangkan
debu-debu di sekitarnya membumbung tinggi dan
daun-daun kering berterbangan ke mana-mana.
"Breeet!"
"Aaaa...!"
***
Bersamaan dengan itu terdengar pekik ke-matian
yang menyayat. Ketika desir angin itu ter-henti, ketiga
Perompak Tengkorak Darah ambruk dengan pinggang
nyaris putus. Dan di tempat itu telah tegak berdiri seo
rang pemuda berusia tujuh belas tahun berkulit coklat
dengan rambut gondrong kusut masai seperti tak teru-
rus. Sorot matanya tajam menusuk dan amat mengeri-
kan seperti membawa dendam dari alam kubur. Di
tangannya tergenggam sebatang pedang besar, namun
tak terlihat sedikit pun noda darah.
Rintang Kala yang melihat kehadiran pemuda itu,
wajahnya langsung pucat dan tubuhnya gemetaran.
"Ka... kau..."
"Huh, kau pikir bisa bersembunyi dari Nara Suda-
na, keparat! Tak satu pun dari kalian boleh hidup di
dunia ini. Ke mana pun kalian bersembunyi akan ku-
kejar!"
"A... aku tak bersalah...."
"Berdoalah sebelum mampus!" potong pemuda itu
dingin.
"Ta...."
"Yeaaaa...!" Pemuda yang menyebut dirinya Nara
Sudana itu bergerak cepat.
Walau Rintang Kala berusaha berkelit dengan se-
genap kecepatan yang dimiliki, namun tetap saja ter-
dengar jerit tertahan.
"Akh!
"Pluk!"
"Ohh...!"
Beberapa orang yang menyaksikan pertarungan itu
berseru kaget ketika melihat kepala perompak Tengko-
rak Darah itu menggelinding jatuh. Tubuhnya yang
tanpa kepala itupun menyusul kemudian.
"Ayaaah... ibuu, dendam kalian sudah terbalas hari
ini! Tenanglah di akhirat karena anakmu tak akan
membiarkan mereka lolos seorang pun. Orang-orang
itu harus membayar mahal apa yang telah mereka
perbuat terhadap kita!" teriak pemuda bernama Nara
Sudana dengan suara lantang sambil menengadahkan
wajah ke langit.
Beberapa orang yang mendengar teriakannya ber-
getar tubuh mereka. Bahkan dua tiga orang tampak
pingsan sambil mendekap telinganya yang mengucur-
kan darah.
Setelah puas berkaok-kaok, pemuda itu mengge-
rang buas sambil menatap setiap orang yang berada di
dekatnya. Mereka yang pengecut nyalinya langsung
ciut dan perlahan-lahan menjauhi tempat itu.
Bayu Hanggara masih tetap tegak di tempatnya se-
perti tak bergeming. Dua jarinya masih menutupi te-
linga monyet kecil berbulu hitam untuk melindunginya
dari pengaruh getaran suara pemuda itu tadi. Ketika
pemuda itu mengalihkan pandangan ke arahnya, Bayu
bersiaga atas segala kemungkinan.
"Siapa kau?! Apakah kau juga anak buah si Dasa
Griwa?!" bentak pemuda itu galak.
"Aku bukan siapa-siapa. Cuma pengembara biasa
yang tak berharga..." sahut Bayu asal-asalan.
"Hmm..." Pemuda itu menggumam.
Setelah itu dia mengedarkan pandangan pada yang
lain. Entah apa yang dipikirkan dan dilakukannya, ti-
ba-tiba saja dia meninggalkan tempat itu seperti da-
tangnya tadi. Berkelebat bagai sapuan angin serta me-
nimbulkan angin kencang. Tahu-tahu ketika semua-
nya reda, pemuda itu raib entah ke mana.
"Gila! Bukan manusia barangkali itu orang!" ujar
salah seorang di antara yang melihat pertarungan tadi.
"Iya, iya..." timpal kawannya.
"Jin barangkali?"
"Hus! Masak jin seperti itu."
"Eh, kan ada jin yang mirip seperti manusia. Bah-
kan kadang menyerupai gadis cantik."
"Alaaah! Sudah jangan bermimpi. Coba kalau me-
reka tadi mengamuk, kamu tidak bakal ketemu binimu
di rumah!"
Kawannya itu cuma terkekeh sambil meng-garuk-
garuk kepalanya yang tak gatal.
Sementara itu diam-diam Bayu meninggalkan tem-
pat itu sambil menggendong Tiren di pangkuannya.
Kasihan monyet itu, dia merasa terkejut dan sempat
pucat ketika mendengar gelegar suara pemuda berna-
ma Nara Sudana tadi yang menumpahkan segenap pe-
rasaan hatinya yang pilu.
"Kisanak...."
"Nguk!"
Tiren yang lebih dulu tersentak ketika Bayu meno-
leh ke belakang. Terlihat gadis yang tadi bersama si
pemuda Wangsa Bangkalan menghampiri dengan
langkah perlahan.
"Ada apa nisanak?"
"Aku... ng... kami ingin mengucapkan terima kasih
atas kebaikan hatimu menolong kakangku...."
"Ah, hal itu sudah biasa. Bukankah setiap manusia
harus saling tolong menolong?"
"Ng... dia bermaksud mengundangmu kalau kau
tak keberatan kisanak."
"Mengundangku ke mana?"
"Ke tempat kediaman kami. Tak jauh lagi dari desa
ini..."
Bayu berpikir sejenak. Sebenarnya dia tak suka
pada pemuda itu. Kesan yang diperolehnya tadi adalah
bahwa pemuda itu bersifat angkuh dan merasa dirinya
hebat. Orang seperti itu biasanya sering mencemooh
orang lain yang dianggapnya hina dan rendah derajat-
nya.
"Maaf nisanak, kami harus melanjutkan per-
jalanan..." sahut Bayu menolak dengan halus.
"Sayang sekali... padahal aku, eh kami akan mera-
sa mendapat kehormatan bertemu dengan seorang
pendekar terkenal seperti anda kisanak."
"Siapakah yang merasa dihormati nisanak? Kalau
kalian merasa dihormati oleh seorang gembel seperti-
ku, sungguh tak pantas sekali. Aku cuma seorang
pengembara biasa yang tak punya kebiasaan apa-apa."
"Anda terlalu merendah kisanak. Sebenarnya kami
bermaksud kembali ke rumah karena ayahanda kami
saat ini sedang mengadakan perayaan perkawinan ka-
kangku yang paling tua. Itulah sebabnya kami dipang-
gil pulang, dan aku bermaksud mengundangmu untuk
turut menghadirinya. Jangan tolak permintaanku ini
kisanak...."
Bayu masih menimbang-nimbang ketika Wangsa
Bangkalan beserta para pengawalnya mendekati.
"Betul kisanak, kami atas nama keluarga bermak-
sud mengundang anda," sahut Wangsa Bangkalan
sambil tersenyum kecil.
"Hmm... bagaimana Tiren? Apakah kau suka?"
"Kaaakh!"
Monyet kecil berbulu hitam itu menjerit keras ke-
mudian menepuk-nepuk kedua tangannya sambil
menganggukkan kepala.
Mereka yang melihat kelakuannya terkekeh geli.
Monyet kecil itu memang lucu sekali. Apalagi ketika
dia membuat ulah sambil menari-nari di pundak Bayu.
"Ah, agaknya dia pun suka pada kalian. Baik-lah..."
sahut Bayu.
"Nguk! Nguk...!"
"Ha ha ha...!"
***
Adipati Bangkalan adalah seorang pembesar kera-
jaan yang amat terkenal saat itu. Selain ahli dalam ke-
tatanegaraan beliau pun gemar akan ilmu silat. Tak
heran bila di lingkungan kerajaan beliau sangat dis-
egani oleh pembesar-pembesar lainnya. Tak kurang
dari dua puluh orang para pengawal di kadipaten ada-
lah tokoh-tokoh persilatan yang bekerja pada beliau.
Selain itu juga pengawal-pengawal kadipaten sendiri
terdiri dari orang-orang yang trampil dalam hal ilmu
bela diri yang digembleng oleh seorang tokoh persilatan
terkenal bernama Gagak Lumayung, atau lebih dikenal
sebagai Pendekar Jari Sakti.
Tak heran saat perayaan perkawinan putra tertua-
nya beliau mengadakan pertandingan silat dengan
mengundang tokoh-tokoh persilatan berbagai kalangan
untuk memeriahkannya. Sebagai tokoh yang selama
ini dikenal tegas dan jujur serta bijaksana, jelas tujuan
beliau semata-semata untuk persahabatan dan mem-
pererat tali persaudaraan di samping segi hiburannya
di antara tokoh-tokoh persilatan.
Waktu Wangsa Bangkalan dan Cempaka Wangi
memperkenalkan Bayu Hanggara, bukan main se-
nangnya beliau. Sampai-sampai si Pendekar Pulau Ne-
raka itu di beri tempat di samping beliau. Itu adalah
kehormatan yang bukan kepalang baginya.
"Tak sangka pendekar terkenal sepertimu sudi da-
tang ke tempat kami yang buruk ini," kata Adipati
Bangkalan merendah.
"Justru aku yang tiada menyangka bahwa orang
hina sepertiku mendapat kehormatan luar biasa dari
anda kisanak. Ini sungguh tak terduga. Jangan-jangan
nanti malah menimbulkan kecemburuan pada yang
lainnya," sahut Bayu.
"Ah, siapa yang tak kenal Pendekar Pulau Neraka?
Namamu sudah termahsyur di delapan penjuru angin.
Sudah sepantasnya kami mendapat kehormatan keda-
tanganmu."
Bayu sebenarnya jengah juga diperlakukan demikian. Matanya tiada henti melirik tamu-tamu yang
lain. Kelihatannya dia betul-betul menjadi pusat per-
hatian saat ini. Bahkan Gagak Lumayung sendiri yang
di kalangan kadipaten merupakan orang yang disegani
hanya mendapat tempat di sebelah Wangsa Bangkalan.
Kedudukan tempat yang utama saat itu adalah kedua
mempelai. Di sebelah pengantin laki-laki adalah sang
Adipati, Bayu, Cempaka Wangi serta tamu-tamu ter-
hormat lainnya. Sementara di sebelah pengantin wani-
ta adalah istri sang Adipati, Wangsa Bangkalan, Gagak
Lumayung serta undangan lain yang merupakan tamu-
tamu terhormat.
Sementara itu di hadapan mereka pada jarak tujuh
tombak terdapat sebuah panggung yang agak luas
tempat diselenggarakannya pertandingan, ilmu silat.
Siapa pun yang diundang ataupun tidak, boleh ikut
ambil bagian untuk memperebutkan hadiah se-ratus
kepeng uang emas yang dijanjikan sang adipati. Asal-
kan mereka mengikuti peraturan yang telah di kelua-
rkan.
Pertandingan telah berlangsung tiga kali. Tiga
orang telah keluar sebagai pemenang. Satu merupakan
salah seorang pengawal kadipaten sedang dua lainnya
merupakan tokoh-tokoh persilatan.
"Kau suka melihat pertandingan ini?"
"Eh... ng... apa?" Bayu tersentak ketika Cempaka
Wangi bertanya pelan padanya di sela-sela ramainya
pertandingan.
"Kau tentu suka melihat pertandingan seperti ini
bukan?"
"Entahlah... sepertinya menarik juga...."
"Kenapa tidak ikut ambil bagian? Kau tentu bisa
menang dan mengantungi hadiah yang dijanjikan aya-
handa ku?"
Bayu tersenyum kecil. Sementara Tiren di pangkuannya menepuk-nepuk kedua tangan sambil menye-
ringai lebar ke arahnya.
"Aku lebih suka menonton saja...."
"Sayang sekali... padahal kesempatan terbuka luas
untuk siapa saja. Atau mungkin orang sepertimu me-
rasa malu berhadapan dengan mereka?"
"Itu pikiran buruk. Apakah kau pikir aku merasa
paling jago di atas bumi ini? Tidak. Sama sekali aku
tak beranggapan begitu. Bahkan kalau mau berkata
jujur, kepandaianku tak ada secuil pun dibanding me-
reka yang memiliki ilmu silat hebat dan disegani."
"Lalu kenapa kau tak tertarik untuk ikut? Padahal
banyak orang yang memperebutkan hadiah itu. Dis-
amping mendapat hadiah, mereka yang menang pun
akan mendapat nama tenar dan diakui sebagai salah
seorang tokoh persilatan yang disegani."
Bayu cuma tersenyum mendengar celoteh gadis itu,
dan tak menyahut apa-apa. Sulit untuk dijelaskan apa
yang dilakukannya saat ini dan ke mana tujuannya.
Barangkali dalam hal ini adalah pengabdian pada si
lemah yang teraniaya. Walaupun dalam hal ini tak ja-
rang dia melakukan kesalahan. Tapi kesalahan toh
adalah kodrat manusia yang tak bisa dielakkan.
Pertandingan di atas gelanggang semakin seru. To-
koh-tokoh yang berilmu tinggi mulai ikut ambil bagian.
Dan yang membuatnya sedikit heran adalah keikutser-
taan Gagak Lumayung. Memang tidak ada larangan
untuk itu, tapi apakah dia tak berpikir bila nanti men-
galami kekalahan toh yang malu bukan cuma dirinya
sendiri, melainkan juga sang adipati beserta seluruh
jajaran pengawal kadipaten yang selama ini menjadi
murid-muridnya.
"Paman Gagak Lumayung berilmu tinggi dan tak
seorang pun yang berani berhadapan dengan beliau,"
jelas Cempaka Wangi tanpa diminta.
"Hmm... lalu kenapa ayahanda mu tak meng-
ijinkan beliau yang mengajarkan kalian ilmu silat?"
tanya Bayu.
"Justru kami kenal ilmu silat pertama kali dari be-
liau. Tapi ayahanda berpikir lain mengingat ke-
dudukan beliau, maka kami pun dititipkan di Padepo-
kan Laksa Dahana. Selain belajar ilmu silat, Ki Tem-
bayat Danang mengajarkan agama serta kesusilaan,
serta sedikit ilmu ketatanegaraan. Beliau dulu adalah
abdi kerajaan yang sangat diandalkan sebelum men-
gundurkan diri."
Si Pendekar Pulau Neraka menganggukkan kepala.
"Coba lihat! Cuma tiga jurus, Paman Gagak Lu-
mayung telah mengalahkan lawannya!" seru Cempaka
Wangi sambil bertepuk girang.
Di atas panggung terlihat Gagak Lumayung men-
gangkat kedua tangannya tinggi-tinggi sambil mengita-
ri tempat itu. Tak jauh dari situ lawannya berusaha
bangkit sambil tertatih-tatih keluar dari gelanggang
dan menyeka darah yang meleleh di bibirnya.
Sampai saat seseorang mengumumkan nama-
nama pemenang, terlihat tak ada lagi penantang yang
berani tampil di arena. Mungkin juga takut melihat
yang menjadi pemenang adalah tokoh-tokoh persilatan
berilmu tinggi, atau juga punya alasan lain. Namun
karena pertandingan itu sendiri diusahakan berjalan
dengan seadil-adilnya, timbul masalah karena jumlah
pemenang yang akan diadu ternyata ganjil. Artinya sa-
lah seorang tak mempunyai lawan, atau salah seorang
musti menghadapi dua lawan. Cara terakhir pasti tidak
adil. Itulah sebabnya sang adipati turun tangan untuk
mengundang siapa saja yang berani melawan salah
seorang di antara para pemenang yang telah ada agar
pertandingan tetap berjalan dengan adil dan jujur.
Namun tak seorang pun di antara yang hadir menyambutnya.
"Maaf Kanjeng Adipati, saya ada usul jika diperke-
nankan..." kata Gagak Lumayung tiba-tiba.
"Usul apakah itu...?"
"Biarlah hamba yang mengalah tak memiliki la-
wan..."
"Maksudmu kau akan mengundurkan diri?"
"Tidak demikian Kanjeng Adipati. Maksud hamba
jika hamba yang mendapat bagian tak memiliki lawan
maka jika Kanjeng Adipati meng-ijinkan, hamba ber-
maksud memilih lawan yang kira-kira bisa disetujui
oleh semuanya...."
"Hmm... boleh juga. Asal kau tak memilih lawan
yang lemah dan rendah ilmu silatnya. Kalau begi-
tu kau pasti menang dengan mudah," kata sang adipa-
ti berkelakar.
Semua yang berada di situ senyum-senyum kecil
mendengarnya.
"Tentu saja tidak, Kanjeng Adipati. Hamba bermak-
sud memilih lawan yang setimpal tentunya."
"Nah, siapa lawan yang akan kau pilih?"
"Tamu kita hari ini, yaitu Ki Bayu Hanggara yang
saat ini duduk di sebelah Kanjeng Adipati."
"Apa?" Adipati Bangkalan agak terkejut mendengar
itu.
Mereka yang berada di situpun tak menduga hal
itu. Antara sikap gegabah melawan pendekar itu, serta
keingintahuan sampai di mana kehebatan ilmu silat si
Pendekar Pulau Neraka yang selama ini sering digem-
bar-gemborkan, membuat semua mata menuju ke arah
Bayu seperti menanti jawaban pemuda itu.
*
* *
LIMA
Bayu Hanggara sendiri tak menduga hal itu. Sejak
tadi dia memang tak sempat memperhatikan sorot ma-
ta Gagak Lumayung yang cemburu melihat perhatian
seluruh keluarga sang adipati pada tamu mereka satu
ini. Tapi jika seorang tokoh persilatan berkata begitu,
sama artinya dengan suatu tantangan. Dan apakah
mungkin dia bisa menolak tantangan itu di hadapan
puluhan pasang mata yang saat ini menunggu jawa-
ban dari mulutnya?
"Eeeh, kenapa jadi begini? Bukankah aku tak ikut
dalam pertandingan ini?"
"Kisanak, siapa saja boleh mengikuti pertandingan
ini diundang ataupun tidak asal mengikuti peraturan,
yang telah ditetapkan. Yang menjadi masalah, apakah
anda sudi atau tidak memeriahkannya untuk meng-
hormati Kanjeng Adipati?" sahut Gagak Lumayung te-
gas.
Bayu tak enak hati mendengar kata-kata kepala
pasukan pengawal kadipaten itu. Sepertinya dia ber-
nafsu betul ingin menantangnya.
"Bagaimana kisanak? Apakah kau sudi menemani-
ku bermain-main satu atau dua jurus?" tanya Gagak
Lumayung mencoba menegaskan.
"Ayolah, Bayu. Kami akan mendapat kehormatan
sekali bila kau pun turut memeriahkan perkawinan
putraku ini," sahut Adipati Bangkalan.
"Betul, Kakang Bayu. Kau harus ikut memeriah-
kannya. Anggaplah hal ini sebagai tanda per-
sahabatan antara kau dan kami!" timpal Cempaka
Wangi.
Pemuda itu jadi tak enak hati mendengar suara-
suara itu. Akhirnya dia mengangguk pelan, dan disambut oleh semua orang dengan perasaan suka cita.
"Baiklah. Tapi terus-terang saya tak bermaksud
untuk memenangkan hadiah yang dijanjikan Kanjeng
Adipati. Semata-mata untuk menghormati dan turut
memeriahkan perkawinan putra beliau. Jadi kalah
atau menang tak saya persoalkan betul," sahut Bayu.
Gagak Lumayung sendiri menyetujui usul pemuda
itu, dan menawarkan pertandingan mereka pada ba-
bak terakhir setelah pertandingan-pertandingan pada
babak sebelumnya.
Bayu sendiri sekali lagi menyetujui saja.
Dan ketika saat-saat yang ditunggu oleh semua
yang hadir di situ tiba, mereka menunggunya dengan
hati berdebar-debar. Pendekar Pulau Neraka yang na-
manya belakangan ini menggegerkan rimba persilatan
akan berhadapan dengan Gagak Lumayung yang su-
dah terkenal memiliki ilmu silat tingkat tinggi.
"Silakan kisanak. Sebagai tamu kau berhak menye-
rang lebih dulu," kata Gagak Lumayung ketika kedua-
nya telah berada di atas arena pertarungan.
"Sebagai orang yang lebih muda, tentu aku harus
mengalah pada anda kisanak. Silakan lebih dulu...."
"Baiklah kalau itu keinginanmu."
"Hiyaaa...!"
Dengan kaki kanan terangkat, Gagak Lumayung
membentang dua jari tangan siap melancarkan seran-
gan ke arah lawan. Nama Pendekar Pulau Neraka tentu
saja dikenal semua orang sebagai tokoh muda yang
memiliki ilmu silat tinggi, maka Gagak Lumayung tak
mau gegabah. Dia langsung menyerang dengan menge-
rahkan segenap kepandaian yang dimilikinya.
"Bet!"
"Uts!"
"Yeaaa...!"
Tubuh Bayu berputar bagai gasing sambil bergerak
cepat ke arah Gagak Lumayung. Ketika lawan mencelat
ke atas menghindari serangannya, tubuh pemuda itu
melentik mengikuti dengan satu bentakan keras.
"Plak! Plak!"
"Ukh!"
"Hiyaaa...!"
Gagak Lumayung tersentak kaget. Tak ada waktu
dan kesempatan baginya untuk menghindar dari pu-
kulan lawan selain memapakinya. Tangannya terasa
linu dan kesemutan ketika menangkis tamparan pe-
muda itu. Tubuhnya mencelat mundur ke belakang
beberapa tindak. Tapi begitu kedua kakinya menyen-
tuh lantai, saat itu pula tubuh Bayu kembali mencelat
sambil mengirim serangan susulan.
Gerakan yang diperagakan kedua tokoh itu cepat
dan bertenaga kuat membuat decak kekaguman mere-
ka yang menonton pertarungan itu. Bahkan untuk me-
reka yang tak memiliki tenaga batin yang kuat, kepa-
lanya terasa pusing menyaksikan pertandingan yang
cepat bukan main antara keduanya.
"Bleduk!
"Yeaaa...!"
Tubuh Gagak Lumayung bergulingan di lantai
menghindari serangan Pendekar Pulau Neraka. Tapi
tubuh pemuda itu melentik dalam posisi miring den-
gan kedua kaki menendang tubuh lawan bergantian.
"Hiyaaa...!"
"Plak!"
"Ukh!"
Kembali Gagak Lumayung meringis kesakitan. Da-
lam keadaan terdesak begitu, dia mencoba mengelua-
rkan pukulan jari sakti menghantam kaki lawan. Tapi
Bayu merasakan desir angin panas Serangan lawan,
maka tanpa berpikir panjang dia mengerahkan seba-
gian tenaga dalamnya ke arah kaki. Akibatnya sung
guh fatal. Terdengar suara berderak ketika Gagak Lu-
mayung menjerit kesakitan sambil memegang dua jari
tangan kirinya yang patah.
Wajah kepala pasukan pengawal kadipaten itu be-
rubah garang. Dengan mendengus sinis dia mencabut
keris yang terselip di pinggang ketika Bayu tak mene-
ruskan serangan dan memberi peluang padanya untuk
menarik nafas.
"Aku biasa bersenjata. Keluarkanlah senjatamu
agar pertarungan ini terasa lebih seru!"
"Biarlah untuk sementara aku bertangan kosong.
Nanti kalau kurasa tak mampu melayanimu tentu
akan kupergunakan senjataku," sahut Bayu tenang.
"Terserahmulah...."
"Hiyaaa...!"
Dengan bersemangat Gagak Lumayung kembali
menyerang si Pendekar Pulau Neraka. Untuk beberapa
jurus Bayu hanya meladeninya dengan jurus-jurus bi-
asa saja. Tapi gerakan-gerakan yang dibuat Gagak
Lumayung selanjutnya sungguh membuat pemuda itu
kaget.
"Heh?"
Ujung keris Gagak Lumayung menyambar-
nyambar pada bagian tubuh yang mematikan. Gera-
kannya pun ganas dan kejam, serta betul-betul dituju-
kan untuk membunuh lawan.
"Kisanak, apakah kau ingin membunuhku?" tanya
Bayu sedikit kesal.
"Kenapa? Apakah kau mulai takut?" sahut Gagak
Lumayung terkekeh pelan.
Bukan main dongkolnya Bayu mendengar jawaban
itu. Untuk dua jurus berselang dia masih bisa meng-
hormati tuan rumah. Namun pada jurus berikutnya
pemuda itu mulai naik pitam ketika serangan-
serangan yang dilancarkan Gagak Lumayung semakin
ganas seperti betul-betul hendak mencabut nyawanya.
"Gagak Lumayung, jangan salahkan kalau aku ber-
sikap kasar padamu karena kaulah yang me-mulainya
lebih dulu!" bentak Bayu sambil melentik ke belakang
menghindari serangan lawan yang bertubi-tubi.
"Siapa yang akan menyalahkanmu? Ayo, hadapilah
seranganku kalau kau betul-betul pendekar tangguh
yang digemborkan banyak orang!"
"Baiklah kalau hal itu yang kau inginkan..."
"Hiyaaa...!"
***
Gerakan Pendekar Pulau Neraka cepat bukan
main. Gagak Lumayung sendiri sampai terkejut di-
buatnya. Tiba-tiba saja keris di tangannya terpental
ketika pergelangannya terasa kaku. Belum lagi habis
rasa terkejutnya, satu tendangan keras menghantam
perutnya.
Tubuh Gagak Lumayung terangkat setengah tom-
bak. Masih untung dia mampu jatuh dengan kedua
kaki di lantai meski tubuhnya agak limbung. Namun
ketika dia kembali bersiaga dengan berjaga-jaga terha-
dap serangan lawan berikutnya, Pendekar Pulau Nera-
ka telah raib dari tempat itu berikut monyet kecil yang
tadi bersamanya. Dari jauh terdengar suara lapat-
lapat.
"Maaf Kanjeng Adipati, kami tak bisa berlama-lama
di tempatmu ini karena masih banyak yang harus di-
kerjakan. Terima kasih atas penghormatan yang ka-
lian berikan padaku!"
Semua yang berada di situ terkagum melihat kece-
patan bergerak pemuda itu.
"Wah, hebat! Rasanya kalau dia mau pasti Ki Ga-
gak Lumayung dapat dikalahkan dengan mudah," kata
salah seorang yang menonton pertandingan itu.
"Iya, iya... kayaknya Ki Gagak Lumayung naik pi-
tam dan bermaksud menyerang pemuda itu secara
membabi buta. Ternyata malah membuat malu dirinya
sendiri!" sahut kawannya.
Hal seperti itupun tak luput dari perhatian Sang
Adipati sendiri. Beliau sangat menyayangkan sikap ke-
pala pasukan pengawalnya itu yang sembrono. Ternya-
ta terlihat bahwa dari pihaknya sendirilah yang me-
langgar aturan yang telah ditetapkan. Semua orang
yang dapat menyaksikan pertarungan itu bisa menilai
bahwa serangan Gagak Lumayung belakangan bukan-
lah pertandingan yang jujur, melainkan pertarungan
hidup mati. Dia begitu bernafsu untuk membuat Pen-
dekar Pulau Neraka tewas, atau paling tidak cidera.
"Saudara-saudara semua, hari ini ada yang mela-
kukan pelanggaran terhadap aturan yang telah dite-
tapkan. Walaupun itu adalah orangku sendiri, maka
tetap dia dikenakan hukuman yaitu tidak diperkenan-
kan mengikuti pertandingan selanjutnya karena diang-
gap gugur!" kata sang Adipati tegas.
"Maafkan kesalahan hamba Kanjeng Adipati..." sa-
hut Gagak Lumayung menyadari kesalahannya.
Kepala pasukan pengawal kadipaten itu mening-
galkan arena dengan langkah pelan. Namun baru saja
pertandingan akan dilanjutkan, sekonyong-konyong
melesat sesosok bayangan di atas panggung diiringi
desir angin kencang yang membuat semua orang yang
berada di tempat itu terkejut.
"Walah, ada setan!" teriak seseorang.
"Setan goblok!"
"Iya, setan...."
Semua orang melihat seorang pemuda berambut
gondrong kusut masai berdiri tegak di atas panggung.
Sorot matanya tajam berkilat memancarkan kegaran
gan. Tangan kanannya menggenggam sebatang pedang
besar yang terlihat tajam.
"Ayahanda, beliaulah orang yang kuceritakan ta-
di?!" seru Cempaka Wangi dan Wangsa Bangkalan
hampir berbareng.
"Pemuda yang menewaskan sisa-sisa Perompak
Tengkorak Darah?"
Cempaka Wangi dan Wangsa Bangkalan mengang-
guk serempak.
Belum lagi Sang Adipati buka mulut, pemuda yang
berada di atas panggung itu berteriak lantang.
"Siapa yang merasa paling jago di antara kalian bo-
leh maju menghadapiku!"
"Huh, sombong sekali dia!" sahut Senakrama, salah
seorang peserta yang memenangkan pertarungan tadi.
"Betul! Sepertinya dia merasa paling jago di kolong
jagat ini!" timpal Wlijeng Kono, atau lebih dikenal se-
bagai Dewa Tangan Delapan.
"Ayo, bukankah kalian datang ke sini untuk ber-
tanding?! Kenapa? Apakah kini kalian menjadi penge-
cut semuanya?!" bentak pemuda itu lagi dengan suara
lantang.
Senakrama yang masih muda dan berjiwa panas
langsung menyambut tantangan itu setelah meminta
ijin sang adipati.
"Kanjeng Adipati, mohon ijin untuk meng-hadapi
pemuda ini."
"Hmm... silakan. Juga untuk kau kisanak, boleh
saja mengikuti pertandingan ini asalkan memegang pe-
raturan dengan teguh. Sebelumnya kau harus mem-
perkenalkan nama lebih dulu," kata Adipati Bangkalan
pada pemuda itu.
"Huh, Nara Sudana tak peduli dengan segala atu-
ran! Kau cacing kurus, panggillah semua kawan-
kawanmu untuk maju. Kalau tidak kau akan mampus
penasaran!" sahut pemuda itu dengan sikap angkuh.
"Untuk menghadapi orang sepertimu cukup aku
seorang. Nah, majulah kau kisanak!" sahut Senakrama
sambil mencabut goloknya begitu melihat lawan mulai
mengacungkan pedang.
"Yeaaa...!"
Pemuda yang mengaku bernama Nara Sudana itu
tanpa basa-basi lagi langsung berteriak nyaring sambil
memutar pedang. Senakrama agak terkejut melihat ke-
cepatan lawan bergerak. Namun dengan gesit pemuda
itupun mencoba berkelit sambil mengayunkan golok
menangkis.
"Trak!"
"Breet!"
"Aaaa...!"
Terdengar jerit kematian yang disusul men-
celatnya tubuh Senakrama dari atas panggung. Ketika
tiba di tanah semua orang tersentak kaget. Pemuda itu
tewas dengan perut robek dan isinya terburai keluar.
"Hei!" Adipati Bangkalan serta semua yang hadir di
situ tersentak kaget.
"Kejam!"
"Biadab!"
"Bunuh dia!"
Semua orang yang berada di situ berteriak-teriak
menuding ke arah Nara Sudana. Tapi pemuda itu ma-
lah tersenyum tipis dengan wajah sinis.
Adipati Bangkalan masih menahan sabar sambil
menarik nafas dalam-dalam.
"Kisanak, kau bukan saja melanggar peraturan tapi
perbuatanmu kejam dan telengas dan itu melanggar
hukum. Kau sudah sepatutnya mendapat hukuman!"
kata sang Adipati tegas.
"Ha ha ha...! Kau akan menghukumku tua bangka?
Majulah dan sini biar kuajarkan bagaimana caranya
menghukum orang."
Selesai berkata begitu Nara Sudana langsung men-
celat dari gelanggang ke arah sang Adipati.
''Kanjeng Adipati, awas!" teriak Gagak Lumayung
sambil mencelat dan memapaki serangan lawan untuk
melindungi junjungannya.
"Huh, mampuslah kau lebih dulu!" bentak Nara
Sudana.
"Trak!"
"Duk!"
"Breeet!"
"Aaa...!"
Tubuh Gagak Lumayung terjungkal dengan darah
muncrat dari mulutnya. Pada saat menangkis pedang
lawan kerisnya terpental jauh dan Nara Sudana den-
gan cepat menyabetkan pedang ke lehernya. Tapi Ga-
gak Lumayung masih sempat menundukkan kepala.
Sekonyong-konyong satu tendangan telak menghan-
tam perutnya membuat kepala pasukan pengawal ka-
dipaten itu menjerit keras. Masih untung ujung pedang
lawan tertahan ketika beberapa orang pengawal lang-
sung menghadang. Tapi mereka tewas dan ambruk di-
babat pedang pemuda itu.
"Keparat! Perbuatannya sungguh biadab! Kepung
dan jangan biarkan dia lolos. Bunuh di tempat!" teriak
salah seorang anak buah Gagak Lumayung memberi
perintah pada seluruh pengawal kadipaten.
Maka sebentar saja seluruh pengawal kadipaten te-
lah mengurung Nara Sudana. Tapi pemuda itu agak-
nya tak ingin berlama-lama. Sebelum mereka menye-
rang dia telah lebih dulu berkelebat dengan pedang di
tangan menyambar-nyambar ke arah mereka.
"Trak! Trak!"
"Breet!"
"Begkh!"
"Aaa...!"
Sebentar saja terdengar pekik kematian. yang dis-
usul dengan tumbangnya beberapa orang pengawal
kadipaten secara mengenaskan disabet ujung pedang
pemuda itu.
"Hajar dia!"
"Bunuuuh...!"
Mereka yang tadi mengikuti pertandingan menjadi
kesal dan naik pitam. Seperti ada yang mengkomando,
semuanya mengurung pemuda itu dan bersiap melan-
carkan serangan bersama para pengawal kadipaten.
"Hiyaaa...!
Dengan satu teriakan nyaring semuanya bernafsu
ingin menghajar pemuda itu. Tapi yang terjadi justru
sebaliknya. Dengan tertawa terbahak-bahak pemuda
itu mengamuk sejadi-jadinya. Gerakannya cepat bukan
main dan mengandung tenaga dalam kuat. Ketika tu-
buhnya berkelebat maka mendesir angin kencang yang
membuat pakaian lawan berkibar-kibar seperti ditiup
angin.
"Breet! Breeet!"
"Aaa...!"
Pekik kematian kembali berkumandang di tempat
itu. Darah membanjir dan tubuh-tubuh bergelimpan-
gan dalam keadaan yang mengerikan. Amukan pemu-
da itu sungguh tiada tertahan. Ujung pedangnya
membabat lawan seperti membabat ilalang saja layak-
nya. Tentu saja hal ini membuat sang adipati menjadi
prihatin.
"Wangsa Bangkalan dan kau Cempaka Wangi, ce-
pat selamatkan abang dan kakakmu! Pergi jauh-jauh
dari tempat ini. Atau kalau perlu bawa mereka ke pa-
depokan!" teriak Adipati Bangkalan di tengah-tengah
amukan pemuda bernama Nara Sudana itu.
"Tidak ayahanda, aku akan tetap berada di sini dan
membereskan perusuh keparat itu!" bantah Wangsa
Bangkalan.
"Betul ayahanda, kami harus tetap berada di sini
dan menangkap si pengacau itu," timpal Dharma
Bangkalan, putra tertua sang adipati yang saat ini
menjadi pengantin laki-laki.
"Tidak! Kalian harus mengungsi dari sini se-
cepatnya! Biar aku yang akan menghadapi pemuda
itu!"
Tapi kedua putra sang adipati itu bukannya mema-
tuhi perintah ayahandanya. Keduanya langsung me-
nerjunkan diri dalam kancah pertarungan.
"Anak-anak bandel!" Dengusnya kesal sambil me-
malingkan perhatian ke arah Cempaka Wangi.
"Aku pun harus menempur pengacau itu ayahan-
da," kata gadis itu siap mencabut pedangnya.
"Tidak Cempaka Wangi! Kali, ini kau. harus mema-
tuhi perintah ayahmu. Bawa pergi kakakmu dari sini
cepat!"
"Tapi ayahanda...."
"Tidak ada tapi-tapian! Cepat pergi! Aku tak mau
melihat kalian semua tewas di hadapanku!"
Walau hatinya mangkal namun gadis itu mematuhi
juga perintah ayahandanya. Sekilas matanya melirik
ke arah pertarungan. Puluhan mayat telah bergelim-
pangan bersimbah darah. Gadis itu menggeram hebat.
Ingin rasanya saat itu juga dia melompat dan mengga-
bungkan diri dengan yang lainnya menghabisi penga-
cau itu.
"Kisanak, kali ini hadapilah aku!" bentak sang adi-
pati sambil mencabut keris dan menerjang ke arah la-
wan.
"He he he...! Rupanya kau pun kepingin mampus
seperti mereka? Baiklah. Terima seranganku!"
"Hiyaaa...!"
Bersama kedua putra dan beberapa orang yang
tersisa, sang adipati mencoba menaklukkan pemuda
bernama Nara Sudana itu.
"Yeaaa...!"
"Trak!"
"Breeet!"
"Aa...!"
Kembali terdengar pekik kematian ketika tubuh
pemuda itu berkelebat. Lima orang tokoh persilatan
tewas bersimbah darah. Wangsa Bangkalan dan
Dharma Bangkalan terkejut ketika bahu mereka kena
disambar ujung pedang lawan. Masih untung kedua-
nya cepat berkelit dan cuma tergores. Kalau saja lam-
bat sedikit bergerak niscaya mereka akan kehilangan
sebelah lengan.
Sementara itu dalam gebrakan tadi Adipati Bang-
kalan baru merasakan hebatnya tenaga dalam lawan.
Tangannya terasa perih dan kesemutan ketika senjata
mereka beradu.
Padahal siapa pun mengetahui bahwa Adipati
Bangkalan bukanlah orang biasa. Beliau memiliki ilmu
silat tak rendah. Kalau saja bukan karena ke-
rendahan hatinya, tak mungkin beliau menolak jaba-
tan sebagai panglima kerajaan tempo hari. Tapi berha-
dapan dengan pemuda itu betul-betul membuatnya
penasaran. Betapa tidak? Pemuda yang melihat dari
wajahnya paling tidak berusia tujuh belas tahun itu te-
lah memiliki tenaga dalam setingkat datuk-datuk per-
silatan.
"Ha ha ha...! Satu dua tiga empat lima... ayo, maju-
lah semua biar kalian lebih cepat mampus!" ejek pe-
muda itu memandang sinis sambil memutar-mutar pe-
dangnya bagai kitiran.
Adipati Bangkalan mulai menyadari. Jumlah mere-
ka saat itu tinggal lima orang lagi. Selain kedua putranya, ada Wlijeng Kono serta Gagak Lumayung yang
telah kepayahan.
"Kisanak, tak ada angin tak ada hujan kau mem-
bantai dan membuat kerusuhan di tempatku ini. Ada
persoalan apa sebenarnya?" tanya Adipati Bangkalan.
"He he he...! Tak ada angin tak ada hujan semua
keluargaku dibantai. Masihkah ada pertanyaan lagi di
antara kita?" sahut pemuda itu balik bertanya.
Sang Adipati akan melanjutkan kata-katanya na-
mun terpotong ketika pemuda itu telah berkelebat ke
arah mereka sambil membentak nyaring.
"Yeaaa...!"
"Trak! Trak!"
"Breet!"
"Aaaa...!"
"Wangsa...!" teriak Adipati Bangkalan begitu meli-
hat putra keduanya menjerit nyaring disabet ujung pe-
dang lawan.
Perut pemuda itu robek dan nyawanya lepas seke-
tika. Bersamaan dengan itu Gagak Lumayung dan Wli-
jeng Kono mendapat giliran yang sama. Sementara
Dharma Bangkalan cuma kehilangan lengan kanannya
saja.
"Keparat! Aku akan mengadu jiwa denganmu!" ben-
tak Adipati Bangkalan' geram.
"Ha ha ha...! Siapa sudi mengadu jiwa denganmu?
Kaulah yang akan lebih dulu mampus menyusul me-
reka!" sahut Nara Sudana sambil ketawa mengejek.
"Hiyaaa...!"
Bersamaan dengan itu Adipati Bangkalan kembali
menyerang lawan dengan gerakan cepat mengandung
tenaga dalam hebat. Kali ini ujung kerisnya menyam-
bar-nyambar tubuh lawan seperti tiada henti. Dalam
keadaan kalap begitu Adipati Bangkalan hanya memu-
satkan perhatian dengan menyerang lawan habis
habisan.
Untuk dua jurus yang berlangsung Nara Sudana
sedikit terkejut. Serangan lawan yang ditujukan pada
setiap daerah kematian di tubuh begitu gencar. Lebih-
lebih Dharma Bangkalan sendiri seperti mencuri, tiap
kelengahan dirinya. Tapi pada jurus selanjutnya pe-
muda itu menggertak rahang. Tubuhnya berputar ba-
gai gasing. Dan sambil membentak nyaring ujung pe-
dangnya berkiblat dengan cepat ke hadapan kedua la-
wan.
"Hiyaaa...!"
"Trak!"
"Breet!"
"Aaaa...!"
Dengan pengerahan tenaga dalam kuat Nara Suda-
na menyampok senjata lawan hingga terpental. Ujung
pedangnya cepat berbalik dan menyabet leher kedua
lawan dengan kecepatan yang sulit diikuti oleh mata.
Terdengar jeritan tertahan ketika leher Dharma
Bangkalan putus dan tulang rusuk Adipati Bangkalan
berderak dihantam pedang lawan. Keduanya ambruk
seketika menambah jumlah korban yang tewas hari
ini.
Keramaian itu telah lenyap. Orang-orang yang me-
nonton pertandingan itu telah bubar sejak ter-jadinya
pembantaian yang dilakukan pemuda itu tadi. Bau an-
yir darah bercampur dengan puluhan bangkai manu-
sia di tempat itu.
"Ha ha ha...! Siapa lagi yang akan mendapat giliran
untuk mampus! Ha ha ha...! Siapa pun di antara ka-
lian yang memiliki kejagoan akan mampus di tangan-
ku! Akan mampus di tanganku...! Tunggulah giliran
kalian nanti!" teriak pemuda itu berulang-ulang sambil
meninggalkan tempat itu.
***
ENAM
Langkah kaki keduanya seperti enggan untuk ber-
lalu dari situ. Cempaka Wangi berat untuk meninggal-
kan ayahanda serta ibunya yang tak ketahuan bagai-
mana nasibnya. Sedangkan kakak iparnya yang ber-
nama Pinang Sari cemas memikirkan bagaimana nasib
suaminya saat ini. Berkali-kali keduanya melirik ke be-
lakang sambil terus berjalan ke depan.
"Ke mana tujuan kita sekarang adik Cempaka?"
tanya Pinang Sari dengan suara bergetar.
"Entahlah. Yang ku tahu saat ini hanya ke Padepo-
kan Laksa Dahana. Mudah-mudahan Eyang Tembayat
Danang mampu mencarikan jalan keluar dari kesuli-
tan ini."
"Ah... tak seharusnya kita meninggalkan mereka
dalam keadaan kacau begitu. Bagaimana nasibnya Ka-
kang Dharma di sana...."
"Tenanglah Kak Pinang. Kakang Dharma memiliki
ilmu silat tinggi. Begitu juga dengan ayahanda. Mereka
tak mudah dikalahkan musuh. Apalagi di sana banyak
tokoh-tokoh persilatan yang sedang berkumpul. Tentu
saat ini mereka telah berhasil menangkap pemuda gila
itu," kata Cempaka Wangi menghibur kakak iparnya.
"Tapi hatiku cemas, Dik...."
Cempaka Wangi diam tak menjawab. Kalau ingin
berkata jujur, sebenarnya pun dia merasakan hal yang
sama dengan kakak iparnya itu. Hanya gadis satu ini
bisa menahan diri. Sejak berguru di padepokan itu si-
fat kekanak-kanakan berangsur-angsur hilang dari di-
rinya. Pandangannya luas ke depan. Jika dia menim-
pali kecemasan hati kakaknya tentu suasana akan
semakin runyam. Dan kesedihan serta kecemasan me
reka akan semakin bertambah.
"Berdo'a saja mudah-mudahan mereka dilindungi
oleh Yang Maha Kuasa..." sahut Cempaka Wangi ak-
hirnya.
"Pemuda itu berilmu tinggi. Dalam beberapa gebra-
kan saja dia mampu menewaskan banyak lawan. Ba-
gaimana mungkin ayahanda serta Kakang Dharma
mampu menandinginya?"
"Ayahanda bukan orang sembarangan. Beliau me-
miliki ilmu silat tinggi. Banyak tokoh-tokoh persilatan
yang segan pada beliau. Mudah-mudahan beliau
mampu mengatasinya."
"Aku pun berharap begitu..." sahut Pinang Sari ra-
gu.
Keduanya kembali berdiam diri sambil memperce-
pat langkah.
"Jauh lagi padepokan itu dari sini?"
"Kira-kira setengah hari perjalanan lagi. Apakah
kakak masih kuat melanjutkan perjalanan?"
Pinang Sari mengangguk ragu.
Cempaka Wangi tersenyum kecil. Saat ini hari telah
menjelang senja. Cukup jauh juga mereka telah berja-
lan. Telah melewati pinggiran hutan dan mulai mema-
suki wilayah bebukitan. Paling tidak sebelum tengah
malam mereka telah sampai di padepokan. Cempaka
Wangi memang sengaja mengambil jalan memintas me-
lewati daerah yang jarang dilalui orang. Dengan demi-
kian mereka lebih cepat tiba di padepokan Laksa Da-
hana.
"Sebaiknya kita istirahat saja di sini..." kata Cem-
paka Wangi.
Pinang Sari memperhatikan di sekeliling tempat
itu. Terasa gelap dan menyeramkan. Sebagai seorang
gadis yang biasa dibesarkan di suasana kehidupan
mewah dan dimanja, hal ini merupakan penderitaan
batin baginya. Diliriknya sekilas Cempaka Wangi enak-
enakan duduk di atas batang pohon yang roboh.
"Apakah kakak mau berdiri di situ saja? Duduklah
barang sejenak, dan setelah penatnya hilang baru kita
melanjutkan perjalanan lagi."
Pinang Sari melangkah pelan dan duduk di sebelah
adik iparnya itu.
"Lapar? Sayang kita tak sempat membawa bekal
makanan tadi. Aku tak bisa menangkap kelinci hutan.
Kalaupun bisa, tak bisa memakannya dengan dibakar
saja," kata Cempaka Wangi mengeluh.
"Tak apa-apa. Perutku masih terasa kenyang...."
"Kalau begitu aku coba cari buah-buahan saja di
sini. Siapa tahu ada sekedar untuk pengganjal perut,"
kata Cempaka Wangi seperti tak mempedulikan jawa-
ban kakak iparnya itu.
"Cempaka!" panggil Pinang Sari bangkit ketika me-
lihat gadis itu akan beranjak dari duduknya.
"Kenapa?"
"Tidak usah. Aku seram berada di tempat ini. Se-
baiknya kau di sini saja."
"Tidak lapar?"
Pinang Sari menggelengkan kepala.
"Ya... terserah," sahut Cempaka Wangi kembali du-
duk.
Namun baru saja mereka hendak melepaskan pe-
nat, tiba-tiba melesat tiga sosok bayangan persis satu
tombak di hadapan mereka. Dengan gerak reflek Cem-
paka Wangi cepat bangkit sambil mencabut pedang-
nya.
Pinang Sari bergetar ketakutan dan wajahnya seke-
tika pucat melihat tampang ketiga orang yang baru da-
tang itu. Ketiganya hanya mengenakan cawat tanpa
baju. Tubuh mereka kurus kerempeng dengan kepala
botak. Yang satu sebelah matanya besar, di sebelahnya
berkaki pincang, dan yang terakhir tangan kirinya
pendek.
"Siapa kalian?!" bentak Cempaka Wangi garang.
"Amboi, galak betul kalian. Tapi menambah gelora
hatiku yang semakin menggebu-gebu," sahut yang se-
belah matanya besar sambil ketawa kecil.
"Bagianku yang di belakangnya saja, Karpala!" te-
riak yang berkaki pincang.
"Kalau aku pilih gadis yang galak ini!" sahut yang
sebelah tangannya pendek.
"Sudah! Jangan serakah. Karena gadis ini cuma
berdua maka nanti akan kita bagi rata. Aku duluan
sebagai saudara tertua baru bagian kau Karpalu, dan
terakhir untukmu Karpali," kata si botak yang sebelah
matanya besar itu bergantian pada si kaki pincang dan
si tangan kiri pendek yang masing-masing bernama
Karpalu dan Karpali.
"Ya, itu baru adil!" sahut Karpalu.
"Huu, aku selalu saja harus mengalah," gerutu
Karpali.
"Kurang ajar! Mulut kalian sangat kotor. Kalian ki-
ra sedang berhadapan dengan siapa saat ini?!" bentak
Cempaka Wangi sambil menudingkan pedang pendek-
nya.
"Amboi, bukan main galaknya membuat jantungku
seperti berhenti berdetak. Sebaiknya cepat ditangkap
saja!" sahut Karpalu seenaknya.
"Ya, ya... lebih cepat lebih baik!" timpal Karpali
sambil maju dua langkah.
"Jangan melangkah! Atau kalian akan mampus di
ujung pedangku ini!" gertak Cempaka Wangi.
"Hi hi hi...! Jangan bermain-main dengan senjata
tajam itu Cah Ayu. Nanti akan celaka sendiri!" sahut
Karpala.
Selesai berkata begitu ketiganya langsung melompat menjangkau kedua gadis itu. Pinang Sari yang
sejak tadi sudah ketakutan, bersembunyi di belakang
Cempaka Wangi sambil memeluk punggungnya erat-
erat.
"Hiyaaa...!"
Cempaka Wangi menyabetkan pedang ke arah keti-
ganya. Tapi bukan main terkejutnya gadis itu ketika
dia cuma membabat angin. Sebaliknya terdengar jerit
ketakutan Pinang Sari yang telah berada dalam rang-
kulan Karpala.
"Cempaka! Auw, tolong...!"
"Keparat! Lepaskan kakakku atau kepala kalian
yang botak itu akan menggelinding saat ini juga!" ben-
tak Cempaka Wangi garang.
"He he he...! Kau lihat Karpali? Dia begitu galak
membuat gairahku ingin meledak-ledak. Sebaiknya ce-
pat-cepat kita tangkap dia," sahut Karpalu.
"Ya, ya... tunggu apa lagi?"
Keduanya kembali melompat dengan gerakan rin-
gan. Tapi kali ini Cempaka Wangi bersiaga penuh. Be-
gitu keduanya sedikit lagi mendekat buru-buru dis-
abetkannya pedang pendek di tangan menghajar tubuh
lawan.
"Yeaaa...!"
"Bet!"
"Plak! Tuk!"
"Ohh...!"
***
Bukan main hebatnya gerakan kedua orang ber-
saudara itu. Bagai sehelai kapas ditiup angin tubuh
mereka melayang menghindari sabetan senjata gadis
itu. Tangan kanan Karpalu cuma menepuk ringan tan-
gan Cempaka Wangi yang memegang senjata. Akibat
nya sungguh hebat. Terasa ada sentakan keras, pe-
dang di tangan gadis itu terlepas. Belum lagi habis ra-
sa terkejutnya tiba-tiba satu tutukan di pinggang
membuat gadis itu jatuh lemas. Namun buru-buru
Karpali meraihnya.
"Hi hi hi...! Gadis cantik molek, kau akan menjadi
pengantin kami malam ini!" teriak Karpali kegirangan
sambil memondong Cempaka Wangi mengikuti jejak
saudara tertuanya yang baru saja beranjak meninggal-
kan tempat itu diikuti oleh Karpalu.
"Keparat! Lepaskan aku! Lepaskaaan...!" teriak
Cempaka Wangi sambil memaki-maki.
Tapi mana mau mereka melepaskan mereka begitu
saja. Walau sepanjang perjalanan kedua gadis itu ber-
teriak-teriak, ketiganya cuma terbahak-bahak kegiran-
gan.
Mereka baru berlari kira-kira seratus tombak keti-
ka di suatu tempat melesat sesosok bayangan meng-
hadang. Ketiganya merandek sambil menyipitkan mata
melihat seorang pemuda tampan berwajah keras berdi-
ri tegak. Di pundaknya terdapat seekor monyet kecil
berbulu hitam.
"Siapa yang akan membereskan kedua monyet ini?"
tanya Karpala berpaling ke arah Karpalu yang tak
membawa beban.
"Kalian pergilah lebih dulu. Biar kuselesaikan ke-
dua monyet ini. Tapi jangan habisi sisa ku!" sahut
Karpalu.
"He he he..., beres adikku!" sahut Karpala sambil
melanjutkan langkah.
Namun baru berjalan beberapa langkah, pemuda
berambut gondrong dan berbaju kulit harimau itu ber-
kata dengan nada dingin serta mengancam.
"Boleh saja meninggalkan tempat ini tapi tinggal-
kan kedua gadis itu atau kalian boleh gorok leher sendiri!"
"He he he...! Bocah kurang ajar. Tak tahukah se-
dang berhadapan dengan siapa kau saat ini?!" ejek
Karpalu.
"Mungkin setelah mendengar nama kita yang ter-
mahsyur dia akan lari terkencing-kencing!" sahut Kar-
pali.
"Bocah ketahuilah, kami yang bergelar Tiga Iblis
Hutan Gundul. Nah, setelah mendengar nama itu ma-
sih ingin coba-cobakah kau berlalu di hadapanku?
Pergilah dan kami akan menganggap bahwa antara ki-
ta tak terjadi apa-apa," kata Karpala.
"Tiga Iblis Hutan Gundul, kali ini bukan cuma ke-
pala kalian saja yang akan gundul bila kata-kataku tak
dituruti. Tapi juga nyawa kalian akan kubuat gundul!"
desis pemuda yang tak lain dari Bayu Hanggara atau si
Pendekar Pulau Neraka itu.
"Kurang ajar!" maki Karpalu sambil terus me-lesat
menyerang pemuda itu.
"Hiyaaa...!
"Uts, ha...!"
"Plak!"
Dengan gerakan manis, tubuh Pendekar Pulau Ne-
raka bergerak ke samping. Tangan kirinya menangkis
pukulan lawan, sedang tangan kanannya menghajar
ke arah dada. Bersamaan dengan itu kaki kanannya
menyabet kedua kaki lawan yang pincang dan terlihat
lemah.
Tapi Karpalu bukanlah tokoh sembarangan. Tu-
buhnya menotol dengan ringan dan terus mencelat ke
atas mengirim jotosan ke batok kepala lawan. Tak ada
pilihan bagi Bayu selain menangkis. Terdengar Karpalu
mengeluh kesakitan sambil memegangi tangannya
yang kesemutan akibat benturan kedua tangan tadi.
"Sungguh hebat kau bocah. Tapi jangan kira aku
tak mampu mematahkan batok kepalamu!" dengus
Karpalu.
"Karpalu, apakah kau tak mampu mengurus bocah
itu?!" teriak Karpala kesal.
"Bukankah sudah kukatakan pergilah kalian lebih
dulu. Serahkan bocah ini padaku!" sahut Karpalu.
"Baiklah kalau begitu," jawab Karpala.
Bersama dengan saudara termudanya dia langsung
meninggalkan tempat itu bersamaan dengan serangan
kilat yang dilancarkan Karpalu ke arah Pendekar Pu-
lau Neraka.
"Keparat! Kalian pikir bisa pergi begitu saja dari
hadapanku? Huh, jangan harap itu bisa kalian laku-
kan!" dengus Bayu.
Begitu selesai berkata demikian tangan kanannya
terkibas ke atas maka detik itu juga mendesing sinar
keperakan dari Cakra Maut yang melesat ke arah ke-
duanya.
"Sing!"
"Hei, Cakra Maut!?"
Ketiga orang itu seperti terkejut dan menghentikan
gerakannya. Karpala dan Karpali dengan susah payah
menghindari gerakan senjata maut itu.
"Bocah, ada hubungan apa kau dengan si Cakra
Maut Eyang Gardika?!" bentak Karpala dengan wajah
penuh selidik ketika baru saja terhindar dari maut.
"Beliau adalah guruku. Kenapa rupanya?"
Ketiganya saling pandang sejenak. Kemudian se-
perti dikomando Karpala dan Karpali meletakkan gadis
itu dari bopongan.
"Hmm... dulu aku pernah dikalahkan gurumu dan
berjanji tak akan mencampuri dan berhadapan den-
gannya ataupun murid beliau. Biarlah hari ini kami
mengalah. Nah, kau bawalah kedua gadis ini!" lanjut
Karpala.
Setelah berkata begitu ketiganya langsung mening-
galkan tempat itu dengan gerakan cepat.
"Hei, tunggu...!" Bayu mencoba mencegah untuk
meminta penjelasan, namun ketiganya telah lenyap da-
ri pandangan.
Pemuda itu menggelengkan kepala sambil melang-
kah ke arah dua gadis itu dan membebaskan totokan
mereka.
*
* *
TUJUH
"Bayu! Oh, untung ada kau. Kalau tidak entah apa
yang terjadi pada kami!" teriak Cempaka Wangi penuh
kegembiraan.
"Kenapa kalian berdua di tempat ini?" tanya Bayu
heran.
Kemudian Cempaka Wangi pun menceritakan apa
yang telah terjadi di kadipaten sejak kepergian pemuda
itu hingga kepergian mereka mengungsi karena hura-
hara yang dilakukan pemuda bernama Nara Sudana.
Bayu terkejut mendengar cerita itu.
"Hmm... tak kusangka dia melakukan kekejaman
begitu. Apakah pihak kadipaten tak pernah bermusu-
han sebelumnya?"
"Kami tak pernah mengenal pemuda itu, dan aya-
handa sendiri tampaknya tak mengerti kenapa tiba-
tiba dia datang dan kemudian mengamuk tanpa ala-
san. Pemuda itu tak pernah mengatakan atasan apa
yang menyebabkan dia mengamuk di tempat kami," je-
las Cempaka Wangi.
"Kalau demikian sebaiknya kau melanjutkan perjalanan ke padepokan biar aku ke kadipaten!" kata Bayu
mengusulkan.
"Tapi...."
"Betul kisanak! Apakah tidak sebaiknya anda ikut,
eh mengantarkan kami jika sudi ke padepokan?" po-
tong Pinang Sari masih menunjukkan wajah ketaku-
tan.
Bayu tak langsung menjawab. Sebaliknya menga-
lihkan pandang pada Cempaka Wangi.
"Kami takut hal-hal seperti tadi akan terulang
kembali..." lanjut Pinang Sari.
"Hmm... aku khawatir terjadi apa-apa di kadipa-
ten..." sahut Bayu ragu.
"Di sana berkumpul banyak tokoh-tokoh persila-
tan. Sedang ayahanda sendiri bukanlah orang semba-
rangan. Rasanya beliau dengan dibantu yang lainnya
mampu menangkap pemuda itu," kata Cempaka Wangi
seperti menimpali kata-kata kakak iparnya tadi.
Bayu bukannya tak mengerti maksud mereka. Se-
telah berpikir sejenak kemudian dia mengajukan suatu
usul.
"Baiklah. Sebaiknya memang kuantar kalian ke
tempat tujuan untuk memastikan keselamatan kalian.
Tapi aku tak bisa berlama-lama karena secepat itu pu-
la akan ke kadipaten. Dan...."
"Kenapa Bayu? Kau kelihatannya ragu?"
"Bisakah kau menggunakan ilmu lari cepat untuk
menyingkat waktu?"
"Tentu saja. Hal itulah yang menjadi masalah se-
bab kakakku ini tak bisa berjalan cepat," jelas Cempa-
ka Wangi.
"Tak jadi masalah. Mari kita berangkat!"
"Auw!"
Pinang Sari tersentak kaget ketika dengan tiba-tiba
tubuhnya disambar Pendekar Pulau Neraka dan di bawa berlari dengan cepat. Sementara di sampingnya
Cempaka Wangi mengikuti dengan wajah yang sesekali
dipalingkan ke arah pemuda itu.
"Maaf, aku tak bermaksud kurang ajar. Tapi cuma
dengan jalan ini perjalanan kita akan lebih cepat sam-
pai," jelas Bayu.
Pinang Sari sendiri setelah mengetahui niat pemu-
da itu tak lagi memprotes dengan wajah kesalnya. Se-
baliknya dia malah tersenyum sambil memejamkan
mata membayangkan kengerian dibawa berlari yang
bukan main cepatnya menurut perkiraannya.
Padahal saat menggunakan ilmu lari itu Bayu tak
seluruhnya mengeluarkan segenap kemampuannya
karena dia mensejajarkannya dengan kemampuan
Cempaka Wangi. Waktu bergerak pertama tadi terlihat
gadis itu tertinggal jauh dan tak mampu menyusul.
Untuk itulah dia terpaksa memperpendek jarak dengan
memperlambat larinya hingga mereka tetap bisa seir-
ing.
Sepanjang perjalanan pemuda itu sama sekali tak
memperhatikan wajah Cempaka Wangi yang kesal dan
cemburu. Entah kenapa, gadis itu tiba-tiba dijalari
oleh suatu perasaan kurang senang melihat pemuda
itu membopong kakak iparnya. Padahal dia mengerti
dan tahu bahwa hal itu dilakukan Bayu untuk memas-
tikan keselamatan mereka serta ketepatan waktunya
tiba di kadipaten.
Tiba di padepokan Bayu cuma sempat berkenalan
sesaat dengan pimpinannya yaitu Ki Tembayat Da-
nang. Namun ketika dia bermaksud untuk meninggal-
kan tempat itu ternyata Cempaka Wangi beserta orang
tua itu dan tiga orang murid utamanya pun ingin turut
serta pula, Bayu tak bisa berkata apa-apa untuk men-
cegahnya. Saat itu pula mereka kembali meninggalkan
padepokan setelah menitipkan Pinang Sari di sana.
"Tidak capek?" tanya Bayu pada gadis itu ketika di-
lihatnya keringat bercucuran di pipi yang putih keme-
rahan itu.
Cempaka Wangi melirik sekilas kemudian menga-
lihkan perhatian lurus-lurus ke depan.
"Kalau capek kau bisa bilang istirahat pada guru-
mu. Kalau aku tidak...."
"Tentu saja!" sahut Cempaka Wangi ketus.
"Heh! Kenapa rupanya?"
"Tanya saja pada dirimu sendiri! Kau kan laki-laki,
dan biasanya laki-laki tak akan pernah capek apalagi
setelah membopong seorang gadis cantik."
"Hmm... agaknya kau kurang senang karena aku
membopong kakak iparmu itu?"
"Tidak! Aku tahu maksudmu baik."
"Lalu?"
Cempaka Wangi melirik kembali. Cuma sekilas,
dan segera mengalihkan perhatian ke arah lain.
"Apakah itu menjadi ganjalan di hatimu? Kalau
demikian aku minta maaf..."
"Tak perlu."
"Lho?!"
"Untuk apa kau minta maaf padaku? Minta maaf-
lah pada kekasihmu yang kau lupakan se-jenak!"
"Kekasihku?" Bayu bergumam sambil tersenyum
kecil.
"Kenapa? Apakah kau ingin berdusta dengan men-
gatakan bahwa kau tak punya kekasih?"
"Tidak. Bukankah aku tak mengatakan apa-apa?!"
"Berarti apa yang kukatakan benar kan?!"
"Mungkin benar mungkin juga tidak. Tergantung
apa yang kurasa di dalam hati. Kalau aku merasa
bahwa perbuatanku tadi menyeleweng, tentu saja aku
merasa bersalah. Tapi sungguh, aku sama sekali tak
merasa bersalah dengan kekasihku karena aku tak
merasa bahwa perbuatanku tadi menyeleweng."
"Huh, mana mungkin kau bisa merasakan hati wa-
nita! Kalau saja kekasihmu melihat perbuatanmu tadi
jelas dia akan sakit hati!"
"Kenapa mempersoalkan hal itu? Pembicaraan kita
jadi ngelantur tak karuan. Apakah kau tidak cemas
memikirkan keadaan ayahanda serta saudara-saudara
di kadipaten?"
Mendengar kata-kata Bayu, Cempaka Wangi tak
berkata apa-apa lagi. Dan kebetulan saat itu kakak se-
perguruannya berteriak memberitahu.
"Lihat! Terjadi pertarungan di depan sana!"
***
Semuanya langsung melihat ke arah yang ditunjuk.
Dan Bayu serta Cempaka Wangi tersentak ketika men-
getahui bahwa yang sedang bertarung adalah orang-
orang yang pernah mereka kenal.
"Eyang, pemuda itulah yang mengacau di kadipa-
ten!" tunjuk Cempaka Wangi pada seorang pemuda be-
rusia tujuh belas tahun yang sedang bertarung dengan
seorang laki-laki berwajah buruk berkepala botak yang
dikenalnya sebagai salah seorang dari Tiga Iblis Hutan
Gundul.
"Tiga Iblis Hutan Gundul!" desis Bayu.
Si Pendekar Pulau Neraka menggelengkan kepala
seolah tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Dua
orang dari Tiga Iblis Hutan Gundul telah terkapar jadi
mayat dengan tubuh penuh sayatan pedang.
"Cempaka, apakah kau yakin pemuda ini yang
membuat kekacauan di tempatmu?" tanya Eyang Tem-
bayat Danang meyakinkan.
"Betul Eyang. Mana mungkin aku salah mengenali
orang."
"Hmm... agaknya bencana itu kini sedang terulang
kembali..." gumam orang tua itu sambil mengelus-elus
jenggotnya.
"Bencana? Bencana apa yang eyang maksud-kan?!"
tanya Cempaka Wangi heran.
"Melihat dari gerakan ilmu silatnya aku ter-ingat
pada salah seorang tokoh misterius yang sulit dicari
tandingannya saat itu. Tokoh itu seperti orang tak wa-
ras. Dia membunuh siapa saja yang tak disukainya se-
perti orang kerasukan setan. Tak seorang pun mampu
menandinginya saat itu. Aku sendiri tak pernah meli-
hat tokoh itu selama ini karena hanya mendengar ceri-
tanya saja dari kakek guruku yang hidup sejaman
dengannya," jelas Eyang Tembayat Danang.
"Siapa nama tokoh itu, Eyang?"
"Iblis Maut."
Cempaka Wangi bergidik jantungnya mendengar
nama itu. Diliriknya sekilas orang tua itu. Tampak
berkali-kali dia menghela nafas. Dengan hati-hati gadis
itu kembali bertanya.
"Apakah Eyang mampu mengatasi pemuda itu?"
"Entahlah... aku tak yakin. Kakek guruku sendiri
ilmunya tak nempil sedikit pun dengan si Iblis Maut.
Dan melihat apa yang dilakukan pemuda itu sama
persis dengan apa yang pernah diceritakan padaku du-
lu," sahut Eyang Tembayat Danang.
Diam-diam tanpa sadar Cempaka Wangi melirik ke
arah Bayu. Entah apa yang dipikirkannya saat ini. Pi-
kiran itu masuk begitu saja dalam benaknya. Jika gu-
runya saja kelihatan ragu berhadapan dengan pemuda
itu bisa dibayangkan ketinggian ilmu silatnya. Dan ba-
gaimana bila pemuda itu berhadapan dengan Bayu?
Lamunan gadis itu terusik ketika terdengar jeritan
yang menyayat.
"Aaaa...!"
Terlihat lawan pemuda itu terlempar sejauh lima
tombak dengan pinggang nyaris terbelah dua.
"Ha ha ha...! Gundul-gundul picisan. Kalian kira
bisa menjagoi semua orang selagi aku masih hidup?
Puih! Jangan harap itu bisa terbukti. Ayo, siapa lagi
yang mau mencoba-coba Nara Sudana! Ke sini kalau
ingin mampus?!" bentak pemuda itu ke arah rombon-
gan Ki Tembayat Danang.
Orang tua itu maju mendekati. Ketika jarak mereka
telah mencapai tiga tombak dia berhenti dan memper-
hatikan pemuda itu sekilas.
"Apakah kau juga ingin mampus orang tua busuk?
Ayo, seranglah aku! Ingin kulihat kepandaianmu. Ka-
lau ternyata kau hanya orang tua ke-jemur, kau boleh
mampus saat ini juga!"
Sungguh gila pemuda itu! Tiba-tiba saja dia lang-
sung menyabetkan ujung pedangnya ke leher Ki Tem-
bayat Danang.
"Hiyaaa...!"
"Eyaaaaang...!" Cempaka Wangi menjerit seperti
memperingatkan.
Tapi sebenarnya peringatan itu tak perlu bagi Ki
Tembayat Danang. Sebagai orang tua yang kenyang
pengalaman di rimba persilatan tentu saja dia cepat
beraksi. Dengan cepat dia menundukkan kepala. Lalu
tubuhnya bersalto ke depan ketika pedang pemuda itu
dengan cepat berbalik dan menyabet pinggangnya.
"Bet!"
"Yeaaa...!"
Tapi kalau orang tua itu mengira bahwa serangan
lawan hanya mengandalkan kehebatan ilmu pedang-
nya, dia sungguh keliru. Sebab dengan tiada disangka
tubuh pemuda itu dengan cepat mengikuti ke mana
saja tubuhnya bergerak sambil mengayunkan kaki
menendang serta menjotoskan tinju pada jarak jang
kauannya.
"Hei!"
Ki Tembayat Danang terkejut. Hampir saja selang-
kangannya kena ditendang pemuda itu kalau tubuh-
nya tak cepat berputar menjauh. Tapi saat itu juga tu-
buh si pemuda bernama Nara Sudana ikut berputar
sambil mengayunkan pedang mengincar kelemahan
gerak lawan.
"Yeaaa...!"
"Bet!"
"Cres!"
"Eyaaang!"
Cempaka Wangi serta ketiga kakak seper-
guruannya tersentak kaget melihat ujung pedang Nara
Sudana merobek pinggang pimpinan padepokan Laksa
Dahana itu. Serentak mereka memburu dengan mak-
sud menolong. Tapi pada saat itu justru Nara Sudana
sedang melancarkan serangan susulan.
"Yeaaa...!"
"Hiyaaa...!"
"Sing!"
"Trak!"
"Bet!"
Nara Sudana tersentak kaget ketika selarik sinar
keperakan menahan laju pedangnya. Tapi pemuda itu
tak kehilangan gerak refleknya saat satu bayangan
berkelebat cepat menyerang dirinya. Pedang di tangan
seketika disabetkan dengan kecepatan gila hingga ter-
dengar suaranya yang berciutan. Namun demikian
bayangan itu lebih cepat lagi bergerak di belakang si-
nar keperakan yang kembali menyerang Nara Sudana
setelah tadi berkelit menghindari sabetan pedang la-
wan.
"Trak!"
"Bet!"
Kembali Nara Sudana merasa tangannya sedikit
bergetar ketika pedangnya menghajar sinar keperakan
yang melesat amat cepat. Tapi kembali pula dia masih
mampu menguasai diri dan memapas sosok bayangan
yang mencoba menghajarnya. Dan seperti tadi, bayan-
gan itupun mampu berkelit lebih cepat dari kelebatan
pedangnya. Kemudian bersalto beberapa kali ke bela-
kang.
"Kau! Kau... aku ingat! Kau adalah orang yang be-
rada di dekat kedai itu bukan?!" tunjuk Nara Sudana
ketika melihat siapa sosok bayangan itu.
"Hmm... ingatanmu rupanya tajam juga. Betul,
akulah orangnya."
"Siapa kau? Apakah kaupun ingin mampus seperti
yang lainnya?"
*
* *
DELAPAN
"Bukankah kau sudah tahu siapa aku karena per-
nah kukatakan sebelumnya? Nah, soal mampus siapa
yang sudi? Tapi kalau kau mau, dengan senang hati
aku akan mengantarkannya," sahut sosok bayangan
itu yang tak lain dari si Pendekar Pulau Neraka.
"Hmm... melihat gerakanmu agaknya kau boleh ju-
ga menjadi lawanku. Tapi kau harus mampus karena
aku akan menjagoi seluruh rimba persilatan! Tak boleh
ada seorang pun yang menghalangi niatku, dan tak bo-
leh ada yang jago selain diriku!" kata pemuda itu kem-
bali dengan sikap pongah.
"Kisanak, tujuanmu adalah sama seperti apa yang
dipikirkan oleh kebanyakan tokoh-tokoh persilatan.
Hanya sayang, caramu kurang benar...."
"Peduli dengan ocehanmu!" potong Nara Su-dana
sambil menuding Bayu dengan ujung pedangnya.
"Kau telah membantai banyak orang seperti he-
wan...."
"Membantai? Ha ha ha...! Orang-orangnya si Dasa
Griwa kubuat mampus semua! Beberapa perguruan si-
lat kocar-kacir di tanganku, dan baru saja orang-orang
sok jago di gedung mewah itu semua kuhabisi dengan
pedangku ini! He he he...! Dan sekarang giliran kalian
yang akan mampus dibantai pedangku!" teriak Nara
Sudana seperti orang kesurupan.
"Apa?! Kau telah membunuh seluruh orang di ka-
dipaten?!" teriak Cempaka Wangi seperti tak percaya.
"Kadipaten? Hi hi hi...! Semuanya mampus di tan-
ganku. Bahkan Sang Adipati sendiri mampus! Semua-
nya mampus! Mampus...!"
"Biadab! Aku akan mengadu jiwa denganmu!" te-
riak Cempaka Wangi geram.
Gadis itu langsung mencabut pedang pendek-nya
dan menyerang Nara Sudana dengan kalap.
"Adik Cempaka, jangan!" teriak salah seorang ka-
kak seperguruannya bermaksud mencegah.
"He he he...! Wanita celaka, apakah kaupun, ingin
mampus?!"
"Yeaaa...!"
"Hiyaaa...!"
"Trak!"
"Sing!"
"Trak!"
Dengan sekali hantam pedang pendek di tangan
Cempaka Wangi terpental. Pedang besar di tangan Na-
ra Sudana dengan cepat berbalik dan menyambar le-
hernya. Gadis itu tergagap dan tak mampu berkelit.
Eyang Tembayat Danang beserta tiga muridnya yang
lain menarik nafas dan mencoba bergerak menolong
walaupun itu tak membantu menyelamatkan nyawa
Cempaka Wangi yang berada di ujung tanduk.
Pada saat itulah Cakra Maut di tangan Bayu men-
desing cepat bagai kilat menyambar pedang lawan se-
hingga Cempaka Wangi terhindar dari maut.
"Yeaaa...!"
Nara Sudana kali ini tak mau didahului lawan. Be-
gitu benturan kedua senjata itu terjadi, tubuhnya ber-
kelebat cepat menyambar si Pendekar Pulau Neraka.
"Hiyaaa...!"
"Bet!"
"Uts!"
Tubuh Pendekar Pulau Neraka jungkir balik meng-
hindari hujan sambaran pedang yang bergerak cepat
bukan main serta mengandung tenaga dalam kuat.
Sedikit saja dia salah menghindar niscaya nyawanya
bisa ditebak kapan akan melayang.
"Eyang, biarkan pemuda ini bagianku. Jangan bi-
arkan seorang pun membantu karena akan memba-
hayakan keselamatan mereka sendiri!" teriak Bayu di
sela-sela pertarungan ketika sekilas matanya melirik
gadis itu bermaksud kembali menyerang lawannya.
"Cempaka, kau dengar kata-katanya? Nah, cobalah
menahan sabar dan relakan semua yang terjadi..." ujar
Eyang Tembayat Danang dengan suara lirih.
"Tapi Eyang, si keparat itu harus mampus di tan-
ganku!"
"Percuma. Kau tak akan mampu melawannya, dan
hanya mengantar nyawa secara percuma. Pemuda itu
bukan manusia lagi, Cah Ayu. Menurut kakek guruku
siapa pun yang mempelajari ilmu silat si Iblis Maut
sama saja dia mendapat warisan Iblis. Hatinya tak
berperasaan dan tak mengenal kasihan. Yang ada di
benaknya hanya niat membunuh dan kesombongan,"
lanjut Eyang Tembayat Danang menyabarkan hati ga-
dis itu yang gundah.
"Tapi... apakah kita akan membiarkan Pendekar
Pulau Neraka seorang diri menghadapinya? Dia bisa
celaka Eyang?"
"Bagi seorang pendekar seperti dirinya tenaga kita
ini bukan membantu malah akan merepotkan dirinya
sendiri. Percayalah, dia pasti mampu mengatasi amu-
kan pemuda itu."
"Bagaimana Eyang begitu yakin dia mampu menga-
tasi pemuda itu?"
'Karena dia murid si Cakra Maut yang sama gilanya
dengan si Iblis Maut. Tapi syukurlah ternyata beliau
memiliki murid yang mampu mengharumkan na-
manya."
"Tapi kalau terjadi apa-apa dengan Ka... kang Bayu
Eyang ?" tanya Cempaka Wangi sempat terbata-bata
mengkhawatirkan keselamatan pemuda itu.
"Kau tampak mengkhawatirkan keselamatan murid
si Gardika itu? Apakah kalian punya hubungan de-
kat?" goda Eyang Tembayat Danang sambil tersenyum
penuh arti.
"Ah, Eyang bisa saja. Apakah Eyang serta yang lain
tak mencemaskan Pendekar Pulau Neraka?" elak Cem-
paka Wangi.
"Tapi kecemasan kami mungkin kalah banyak di-
bandingkan dengan kecemasanmu terhadap pemuda
itu."
"Eyang bisa sa...."
Ucapan Cempaka Wangi terpotong ketika menden-
gar si Pendekar Pulau Neraka mengeluh tertahan den-
gan tubuh limbung terhuyung-huyung.
"Eyang!?"
"Kaaaakh...!"
***
Mereka tersentak kaget. Darah mengucur deras da-
ri bahu Bayu yang robek memanjang hingga ke siku
kiri. Di dada kirinya terlihat telapak tangan lawan yang
berwarna hitam. Dari mulutnya menetes darah kental.
"Kakang Bayu...!"
"Kaaakh...!"
Cempaka Wangi bermaksud mendekati si Pendekar
Pulau Neraka, tapi lengan Eyang Tembayat Danang le-
bih cepat lagi menarik tangannya. Sedangkan monyet
kecil berbulu hitam yang berteriak nyaring melihat
keadaan Bayu langsung melompat ke pundak pemuda
itu yang masih tegak berdiri dengan sorot mata garang.
Keadaan Nara Sudana sendiri tak jauh berbeda.
Perutnya robek melintang disabet Cakra Maut yang ta-
di mendesing ke arahnya. Ketika telapak tangannya
berhasil menghantam dada Pendekar Pulau Neraka,
kaki kanan Bayu menendang dadanya hingga terlihat
beberapa tulang rusuknya patah melesak ke dalam.
Daya tahan kedua orang itu memang sangat men-
gagumkan. Dalam keadaan terluka berat begitu kedu-
dukan mereka masih tetap tegak berdiri. Bahkan Nara
Sudana kembali berteriak mengguntur.
"Yeaaa...!"
Tubuhnya mencelat mengirim serangan pa-
mungkas terhadap Pendekar Pulau Neraka.
"Menjauh Tiren..." perintah Bayu pada monyet kecil
berbulu hitam yang hinggap di pundaknya dengan wa-
jah sedih.
"Nguk!"
"Hiyaaa...!"
Begitu monyet itu melompat, saat itu pula tubuh
Bayu Hanggara melesat memapaki serangan lawan.
"Bet!"
"Begkh!"
"Crab!"
"Akh!"
Kejadian itu begitu cepat sekali berlangsung. Ter-
dengar keluhan pelan yang keluar dari mulut Nara Su-
dana. Keduanya menjejakkan kaki di tanah dalam po-
sisi saling membelakangi pada jarak dua tombak. Sua-
sana terasa hening.
"Eyang, Kakang Bayu..." sera Cempaka Wangi den-
gan wajah cemas.
"Tenanglah Nduk. Mudah-mudahan Gusti Allah
berkenan melindunginya," sahut Eyang Tembayat Da-
nang dengan hati cemas.
Sebagai tokoh persilatan tentu saja dia mestinya
mampu melihat apa yang barusan terjadi. Tapi peristi-
wa itu cepat sekali berlangsung. Bahkan dia tak sem-
pat mengamati lewat pandangan mata. Hanya pengli-
hatan mata batin serta pendengarannya yang terlatih
mengetahui hal itu. Suara desir angin pertanda satu
serangan dapat dielakkan, dan suara pukulan serta
benda tajam menembus kulit yang disusul jerit terta-
han menandakan bahwa salah seorang diantara mere-
ka menjadi korban. Dalam keadaan terluka dalam be-
gitu satu kali lagi pukulan yang mengandung tenaga
dalam dilancarkan sudah cukup membuat mereka te-
was.
Kelima orang itu menunggu beberapa saat. Ketika
keduanya kemudian ambruk, Cempaka Wangi berte-
riak sendu sambil memburu ke arah Pendekar Pulau
Neraka.
"Kakang Bayu...!"
Pada saat yang bersamaan monyet kecil berbulu hi-
tam yang tadi menyaksikan pertarungan dengan serius
berteriak nyaring sambil melompat mendekati Bayu.
"Eyang, Kakang Bayu... apakah... apakah dia tewas...?" tanya Cempaka Wangi.
Tak terasa air mata gadis itu meleleh. Terasa keha-
ruan yang menyesak dalam hatinya saat menunggu
gurunya itu memeriksa keadaan Bayu. Ketika melihat
orang tua itu tersenyum sambil menghela nafas lega,
gadis itu seperti tak sabaran menanti jawabannya.
"Bagaimana keadaannya, Eyang?"
"Syukurlah Gusti Allah masih melindungi nya-
wanya. Namun detak jantung serta gerak urat nadinya
lemah sekali. Dia terluka dalam yang cukup parah.
Agaknya pemuda itu merupakan lawan tangguhnya
kali ini, sehingga dia cukup menguras segenap ke-
mampuan yang dimilikinya," jelas Eyang Tembayat
Danang.
Begitu mendengar penjelasan gurunya itu tak tera-
sa gadis itu tersenyum dengan wajah berseri sambil
menghapus air matanya.
"Sebaiknya lekas kita bawa ke padepokan untuk
diberikan pertolongan!" kata orang tua itu lagi.
"Baik, Eyang!" sahut Cempaka Wangi bersemangat.
Sebelum meninggalkan tempat itu Ki Tembayat
Danang memerintahkan ketiga muridnya itu untuk
mengubur semua mayat yang berada di tempat itu.
Termasuk juga pemuda bernama Nara Sudana. Agak
lama dia memandangi tubuh pemuda itu. Dari ubun-
ubun sampai ke selangkangannya nyaris terbelah dua
dihantam senjata Cakra Maut yang dilontarkan Pende-
kar Pulau Neraka itu. Kemudian di dada kirinya terda-
pat gambar lima buah jari yang membuat tulang ru-
suknya semakin melesak ke dalam. Orang tua itu
mengerti bahwa pada saat-saat tertentu tadi Bayu ber-
kelit ke kanan menghindari satu pukulan serta satu
kelebatan pedang lawan dengan menghantamkan tan-
gan kirinya ke dada Nara Sudana. Akibatnya sungguh
fatal seperti yang terlihat kini!
Seminggu lamanya Bayu dirawat dengan telaten
oleh Cempaka 'Wangi di Padepokan Laksa Dahana. Be-
rangsur-angsur pula luka dalamnya mulai pulih walau
tak secara keseluruhan. Dan di saat-saat itu pula kea-
kraban diantara mereka mulai terlihat. Diantara derai
gelak canda keduanya, Tiren hadir menyelingi dengan
seringai lucu dan teriakan nyaringnya yang menga-
getkan.
Pada hari ke delapan pemuda itu bermaksud mo-
hon diri. Walau Eyang Tembayat Danang berusaha
mencegah namun niat pemuda itu seperti tak bisa di-
patahkan. Yang paling berat melepaskannya justru
Cempaka Wangi. Hampir setengah harian dia mengu-
rung diri terus di kamarnya ketika Bayu akan berpami-
tan.
"Kenapa? Kenapa harus pergi Kakang? Tak bisakah
langkahmu sesaat terhenti? Untukku kakang, tak bi-
sakah?" tanya Cempaka Wangi dengan suara lirih dari
balik pintu.
"Sulit untuk dijawab, Paka. Tapi kakiku seperti tak
hendak berhenti berpijak...."
"Katakanlah Kakang, adalah sesuatu yang bisa
menahan langkah kakimu? Maka walau itu seberat
apa pun niscaya akan kutempuh juga!"
Bayu menggeleng lemah. Isak tangis gadis itu yang
pelan terasa menusuk jantungnya. Tapi apakah dia
akan berhenti berjalan sementara masih banyak orang
yang membutuhkan tenaganya? Hidup ini kadang
aneh karena Dharma Bakti justru suka atau tidak ber-
benturan dengan keinginan pribadi. Seperti keinginan,
cinta, dan panggilan batin yang sulit dijelaskan dengan
cara apa pun.
Pemuda berambut gondrong itu melangkah pelan.
Entah apa yang dirasanya saat ini. Cintakah dia pada
Cempaka? Gadis itu cantik dan bila dia tersenyum
maka sepertinya cahaya bulan kalah gemerlap dalam
lubuk hati setiap laki-laki normal sepertinya. Tapi ke-
dua kaki dan niatnya tak kenal kompromi. Walau dari
jauh Bayu menyadari bahwa gadis itu memanggil-
manggil namanya pelan sambil menitikkan air mata pi-
lu, pemuda itu tak pernah menoleh lagi ke belakang.
Hanya kata hatinya yang berkali-kali mengucapkan
kata sesal.
"Maafkan aku Cempaka... maaf...."
"Nguk!
Tiren mencowet pelan. Bayu tak tahu maksud nya
kali ini!
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar