..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Senin, 03 Februari 2025

PENDEKAR PULAU NERAKA EPISODE PRAHARA DI PANTAI SELATAN

PRAHARA DI PANTAI SELATAN

 

PRAHARA DI PANTAI SELATAN
Oleh Teguh Suprianto
Cetakan Pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Widarto
Gambar Sampul : Syam CK
Hak Cipta Pada Penerbit
Dilarang Mengcopy atau Memperbanyak
Sebagian atau Seluruh Isi Buku Ini
Tanpa Izin Tertulis dari Penerbit
Teguh Suprianto
Pendekar Pulau Neraka
Dalam Episode 024 :
Prahara Di Pantai Selatan

SATU

Gunung Jati Anom tampak indah, menjulang tinggi
bagai hendak menembus langit Puncaknya selalu berselimut
kabut tebal, sehingga menghalangi pandangan untuk sampai
memandang ke batas puncak gunung itu. Udara di sekitarnya
pun terasa sejuk, bersih dengan desiran angjn lembut
Suasana seperti itu membuat seorang pemuda berbaju kulit
harimau yang duduk bersandar di bawah pohon cukup
rindang, terkantuk dibelai hembusan angin lembut
menyejukkan.
Pluk!
"Hei..!"
Tiba-tiba saja pemuda itu terlonjak ketika merasakan
sesuatu menimpa kepalanya. Sebuah biji kenari yang cukup
besar dan keras. Padahal dia tidak duduk di bawah pohon
kenari. Dengan terheran-heran, pemuda itu mendongak ke
atas. Tampak seekor monyet kecil duduk di dahan yang tepat
berada di atas kepalanya.
"Huh...!" gerutu pemuda berpakaian kulit harimau itu.
Monyet itu menjerit nyaring, dan kembali
melemparkan sebuah biji kenari pada pemuda itu sambil
berjingkrakan diatas dahan. Pemuda berbaju kulit harimau
itu tersentak. Kalau saja tadi tidak mengegoskan kepalanya,
pasti dia sudah terkena lemparan biji kenari lagi.

"Monyet kau!" bentak pemuda itu memaki.
Monyet kecil itu hanya menyeringai lebar, kemudian
menjerit-jerit sambil berjingkrakan. Seakan-akan dia
memang sengaja ingin menggoda. Binatang itu
menggembungkan pipinya yang sudah melembung seperti
balon. Lalu....
"Hei...!"
Bukan main terkejutnya pemuda itu. Tahu-tahu dari
mulut monyet kecil itu menyembur biji-biji buah kenari yang
kecil-kecil ke arahnya. Beberapa biji buah kenari itu sempat
mengenai wajahnya. Tentu saja hal ini membuat wajah
pemuda itu memerah karena geram.
"Kurang ajar...! Awas kau!" geram pemuda itu.
Cepat bagaikan kilat, pemuda berbaju kulit harimau
itu melesat ke atas, mengejar monyet kecil tadi. Tapi monyet
kecil itu memang sangat lincah sekali. Dia melompat gesit
dari dahan yang satu ke dahan lainnya. Sambil berteriak
ribut, seakan-akan menggoda pemuda itu agar terus
mengejarnya. Sesekali kepalanya berpaling, sambil
menjulurkan lidahnya.
"Sial! Kenapa aku melayani binatang jelek ini...?"
dengus pemuda berbaju kulit harimau itu
Menyadari tidak ada gunanya marah-marah pada
seekor binatang, pemuda itu menghentikan pengejaran.
Sesaat kemudian dia sudah kembali meluruk turun. Manis
sekali kedua kakinya mendarat di tanah. Sebentar
dipandanginya monyet kecil tadi. Kemudian kembali duduk

bersandar di pohon lain. Sementara monyet itu masih duduk
di dahan pohon yang tadi.
"Aku tidak ada waktu main-main denganmu, Monyet
Kecil!" bentak pemuda itu.
Monyet kecil itu hanya mencericit sambil menjulur-
julurkan lidahnya.
"Huh!"
Pemuda itu memejamkan matanya, sambil tetap
bersandar pada batang pohon yang cukup besar. Tapi belum
juga dia dapat beristirahat tenang, sesuatu kembali
menimpa kepalanya. Cepat dia membuka mata, dan...
"Setan...!" umpat pemuda itu geram Dilihatnya
monyet kecil itu kini sudah berada di atas dahan, tepat di
atas kepalanya.
Pemuda tampan itu bergegas bangkit Dipandanginya
monyet kecil itu tajam-tajam. Kemudian melangkah pergi
sambil mendengus kesal. Sedangkan monyet itu mencericit,
seperti mengejek. Tapi pemuda berbaju kulit harimau itu
tidak peduli. Dia terus saja berjalan pergi.
Suara monyet kecil yang mencericit ribut, terus
terdengar di belakangnya. Rupanya binatang itu terus
mengikutinya. Tapi pemuda berbaju kulit harimau itu sama
sekali tidak peduli lagi. Dia terus berjalan dengan ayunan
langkah lebar-lebar.
"Dasar monyet...!" maki pemuda berbaju kulit
harimau yang tak lain adalah Bayu alias Pendekar Pulau
Neraka.

Bayu menghentikan langkah, dan berbalik. Bukan
main terkejut hatinya, karena monyet kecil itu memang benar
masih mengikuti. Padahal dia sudah cukup jauh
meninggalkan tempat tadi. Kini monyet kecil itu
menggelantung pada dahan pohon yang cukup tJnggi. Hal ini
tentu saja membuat pemuda berbaju kulit harimau itu
tercenung.
"Apa sih maunya monyet ini...?"
Dipandanginya binatang berbulu coklat itu, yang kini
sudah duduk di atas dahan yang tidak begitu tinggi. Monyet
kecil berbulu coklat juga memandang ke arahnya. Seakan-
akan hendak mengatakan sesuatu dengan pandangan
matanya. Kini dia tidak lagj mencericit ribut, melainkan
duduk tenang sambil menggaruk-garuk kepala.
***
"Kenapa kau mengikutiku terus?" tanya Bayu, seperti
tidak sadar kalau dia bertanya pada seekor monyet.
Dan monyet kecil itu hanya mencericit kecil sambil
terus menggaruk-garuk kepala. Bayu memperhatikan tingkah
binatang kecil yang lucu ini. Entah kenapa, harinya
merasakan kalau monyet kecil ini ingin mengatakan sesuatu.
Sayangnya, bahasa yang mereka gunakan berbeda, jadi tidak
mungkin bisa dimengerti.
Monyet kecil itu kembali mencericit, kemudian
melompat ke dahan lain. Sambil bergelantungan, dia

berlornpatan dari satu dahan ke dahan lain. Sesaat
kemudian berhenti sebentar, dan berpaling ke arah pemuda
berbaju kulit harimau.
"Hm..., tampaknya dia mengingjnkan aku mengikuti,"
gumam Bayu.
Setelah berpikir beberapa saat, Pendekar Pulau
Neraka melompat ke atas dahan, dan berpijak pada dahan
itu dengan ujung jari kakinya, lalu melenting ke dahan lain.
Mengikuti monyet kecil yang juga beriornpatan dari dahan
yang satu ke dahan lainnya. Lucu sekali pemandangan di
hutan itu, dua makhluk yang berbeda jenis itu terlihat saling
kejar-kejaran dari dahan yang satu ke dahan lainnya.
Mereka terus berlornpatan, hingga akhirnya sampai
pada suatu tempat Bayu meluruk turun dari atas dahan
dengan satu gerakan yang indah dan ringan. Sedangkan
monyet kecil itu tetap berada di dahan pohon.
"Pantai Selatan...," gumam Bayu seraya memandang
jauh ke depan.
Dari tempat dia berdiri, memang sudah terdengar
suara deburan ombak menghantam pantai berbatu karang.
Juga tercium kuat udara laut yang khas. Dari tempatnya
berdiri, Bayu bisa melihat sebuah dermaga yang kelihatan
ramai. Sementara nun jauh dari dermaga itu, terlihat sebuah
pulau kecil yang memerah bagai terbakar. Itulah Pulau
Neraka, dimana Bayu alias Pendekar Pulau Neraka tumbuh
besar bersama gurunya.

Bayu berpaling menatap monyet kecil yang duduk
tenang di atas dahan. Sungguh dia tidak mengerti, apa
maksud monyet kecil ini membawanya kembali ke daerah
Pantai Selatan. Tapi monyet kecil itu malah membalas
dengan pandangan yang sangat tajam.
"Nguk...!"
Monyet kecil itu kembali melompat, dan tentu
bergelantungan sambil berlornpatan dari pohon yang satu ke
pohon lain. Bayu bergegas mengikuti binatang kecil berbulu
coklat yang dirasakan sangat aneh itu. Dia jadi penasaran,
dan merasa yakin kalau binatang Ini menyimpan satu
maksud yang tidak diketahuinya.
Pendekar Pulau Neraka terus berlompatan dari satu
dahan ke dahan lainnya, mengikuti gerakan monyet kecil.
Menembus hutan lebat, dengan pepohonan yang merapat,
dan saling berkaitan. Tak berapa lama kemudian, kedua
makhluk berlainan jenis itu berhenti di suatu tempat yang
tidak begitu lebat pepohonannya.
Bayu tertegun melihat sebuah cungkup makam
berada di tengah-tengah hutan ini. Dan tampaknya cungkup
makam ini tidak pernah terawat. Bagian atapnya sudah
banyak yang berlubang. Dan rerumputan liar menyemaki
sekitarnya. Pendekar Pulau Neraka memandangi monyet
kecil yang berjalan tertatih mendekati cungkup makam itu.
"Pusara siapa ini?" tanya Bayu agak berbisik, seolah-
olah bertanya pada dirinya sendiri.

Pendekar Pulau Neraka melangkah mendekati.
Sejenak dipandanginya monyet kecil yang tengah duduk
bersila di samping makam. Cara duduknya, mirip sekali
dengan orang yang tengah melakukan semadi. Dan raut
wajahnya.... Bayu agak tersentak juga melihat bola mata
binatang kecil berbulu coklat itu merembang. Setitik air
bening menggulir jatuh dari sudut matanya yang bulat merah.
"Hei...! Kau menangis...!"
Monyet kecil itu mengangkat kepala, menatap lurus
ke bola mata Bayu yang sudah berada di seberang makam.
Perlahan Bayu berlutut dan ikut duduk bersila. Tangannya
menjulur, meraba sebuah batu berlumut di atas makam tak
terawat itu.
"Aku tidak tahu pusara siapa ini. Tapi tampaknya kau
ingin aku memperbaikinya,. Baiklah, akan kurapikan tempat
ini agar kelihatan bersih dan bagus kembali," ujar Bayu
perlahan.
"Nguk!"
Monyet kecil itu kelihatan senang. Seolah-olah bisa
mengerti semua yang dikatakan Pendekar Pulau Neraka.
Bayu tersenyum. Kemudian bergegas bangkit. Sebentar
dipandanginya cungkup makam. Kemudian mengedarkan
pandangannya ke sekeliling.
"Kau tunggu di sini sebentar. Aku segera kembali,"
kata Bayu lagi.
"Nguk!"

Monyet kecil itu mengangguk, seolah-olah
mengiyakan permintaan Bayu. Kembali Pendekar Pulau
Neraka tersenyum. Entah kenapa, kini dia jadi menyukai
binatang yang tampaknya bisa mengerti setiap kata yang
diucapkannya.
"Hup!"
Cepat bagai kilat, Pendekar Pulau Neraka melesat ke
dalam hutan. Begitu cepat dan sempurnanya ilmu
meringankan tubuh yang dimiliki Bayu, sehingga dalam
sekejap saja bayangan tubuhnya sudah tak terlihat lagi.
Monyet kecil itu memandangi batu nisan yang
berlumut. Kepalanya bergerak-gerak, dengan bibir bergetar
memperdengarkan suara kecil. Seakan-akan sedang
mengatakan sesuatu pada pusara bercungkup itu.
***
Selama tiga hari ini Bayu terpaksa tinggal di dalam
hutan yang tidak jauh dari Pesisir Pantai Selatan. Dan
selama tiga hari itu dia bekerja keras membersihkan dan
membenahi cungkup makam yang tidak dia ketahui makam
siapa. Semua rumput dan ilalang liar yang menyemaki
makam sudah diratakan habis. Sekaligus juga mehgganti
cungkup, dan membenahi pagar makam dengan bambu.
Saat itu senja sudah merayap turun. Dan Bayu baru
saja selesai memasang cungkup bagian atas. Kini Pendekar
Pulau Neraka tengah memandangi hasil pekerjaannya. Puas

hatinya melihat tempat ini kelihatan bersih, dan makam itu
juga tidak terlihat kumuh lagi.
"Nguk...!"
Bayu berpaling dan tersenyum melihat monyet kecil
yang membawanya ke tempat ini, sudah berada di dekat
kakinya. Pemuda berpakaian kulit harimau itu lalu
menjulurkan tangan, dan mengangkat binatang kecil itu, lalu
menaruh di pundaknya. Monyet kecil berbulu coklat itu
tampak sangat gembira berada di pundak Pendekar Pulau
Neraka.
Selagi Bayu menikmati hasil kerja yang belum pernah
dilakukannya selama ini, mendadak saja terlihat sesosok
bayangan berkelebat di balik pepohonan. Sesaat Pendekar
Pulau Neraka tersentak. Kemudian cepat mengejar
bayangan yang hanya terlihat sekelebatan saja itu.
"Kaaakh...!"
Monyet kecil yang berada di pundak Pendekar Pulau
Neraka terjatuh. Namun dia sempat berputaran dua kali, dan
langsung melompat begitu kakinya menjejak tanah berpasir.
Gerakannya bejptu cepat dan ringan sekali, seperti seorang
tokoh persilatan berilmu tinggL
"Hei! Siapa kau...?!" bentak Bayu keras.
Namun tak ada jawaban. Pendekar Pulau Neraka
berhenti berlari. Pandangannya diedarkan berkeliling. Namun
tidak lagi melihat bayangan yang tadi berkelebat Sedangkan
monyet kecil berbulu coklat kembali mendarat lunak di
pundak Pendekar Pulau Neraka.

"Hm..., kau tahu di mana dia, Sobat Kecil?" tanya
Bayu setengah bergumam.
"Nguk!" monyet kecil itu menggelengkan kepalanya.
Baru saja Bayu hendak bertanya lagi, mendadak
saja....
Glanr...!
"Heh...?!"
"Kaaakh...!"
Begitu terdengar ledakan menggelegar, terlihat api
membumbung tinggi ke angkasa dari arah cungkup makam.
Bayu terkesiap sesaat, lalu cepat melesat ke arah cungkup
makam. Saat pemuda itu berlari, monyet kecil memegangi
ikat kepala Pendekar Pulau Neraka. Rupanya binatang
cerdas ini tidak ingin terjatuh lagi dari pundak Pendekar
Pulau Neraka.
Hanya dengan beberapa kali lompatan saja, tahu-
tahu Pendekar Pulau Neraka sudah sampai di cungkup
makam. Mendadak sepasang matanya terbelalak, melihat
cungkup makam itu terbakar, dan sekitamya porak-poranda
seperti baru saja diamuk puluhan gajah.
"Kaaakh...!" monyet kecii itu menjerit keras sambil
melompat ke arah cungkup makam yang masih terbakar.
"Hei, jangan...!" sentak Bayu.
Cepat Pendekar Pulau Neraka melesat, dan
menangkap tubuh kecil berbulu coklat itu. Tapi monyet kecil
ini memberontak, mencoba melepaskan diri. Bayu terpaksa
mendekapnya kuat-kuat di depan dada. Tapi lama-kelamaan

akhirnya perlawanan monyet kecil itu melemah. Dan kini
malah memeluk leher Pendekar Pulau Neraka dengan erat,
seraya menyembunyikan wajahnya di dada Bayu yang kekar
dan bidang.
"Sudahlah, aku bisa mengerti perasaanmu. Nanti
akan kubuatkan lagi yang lebih bagus," Bayu mencoba
menghibur.
"Nguk!"
"lya, besok pagi aku akan membuat cungkup baru."
"Nguk!"
"Kenapa...?"
Bayu memandang bola mata bulat kecil merah itu.
Sepertinya binatang cerdas ini hendak mengatakan sesuatu,
tapi sukar bagi Pendekar Pulau Neraka untuk bisa mengerti.
"Apa yang kau inginkan, Sobat Kecil?" tanya Bayu
tidak mengerti.
Monyet kecil itu menjulurkan lidah ke luar. Tangannya
digerakkan, menggorok leher sendiri. Karuan saja Bayu
tersentak kaget Sungguh dia tidak mengira kalau binatang ini
bisa membuat isyarat yang mengerikan.
"Kau mau mati...?" .
Monyet kecil itu menggeleng
"Lalu...?" suara Bayu terputus.
Pendekar Pulau Neraka mendesah seraya
mendongakkan kepalanya. Mulai bisa dimengertinya kalau
monyet kecil ini menyimpan dendam, dan menginginkan
dirinya untuk membalaskan dendamnya. Tapi pada siapa...?

Dan kenapa binatang ini menyimpan dendam? Dari sorot
mata binatang kecil ini, Bayu bisa merasakan adanya
dendam yang begitu besar.
Pendekar Pulau Neraka meletakkan monyet kecil itu
di pundak. Kemudian menatap cungkup makam yang masih
menyala terbakar. Perlahan dia berpaling, menatap monyet
kecil di pundaknya. Bayu baru menyadari kalau di leher
binatang cerdas ini melingkar seuntai katung yang melilit
ketat Sebuah kalung berwarna kuning keemasan. Dan baru
kini pula dia menyadari kalau binatang ini adalah peliharaan
seseorang. Dan orang itu pasti yang terbaring di dalam
makam bercungkup itu.
Hanya saja Bayu tidak tahu makam siapa. Untuk
bertanya pada monyet ini, memang tidak mungkin. Tidak ada
seekor binang pun yang bisa diajak berbicara oleh manusia.
"Sudah hampir malam. Sebaiknya kita cari tempat
istirahat. Besok baru akan kubuatkan cungkup baru," kata
Bayu pelan.
"Nguk...!"
"Hm..., siapa yang membakar cungkup ini...?" gumam
Bayu bertanya pada dirinya sendiri. "Siapa pun dia, pasti
tidak lagi memiliki hati manusia. Membakar cungkup makam
adalah perbuatan keji."
"Nguk! Kaaakh...!"
"Iya, Sobat Kecil. Akan kucari orang yang membakar
cungkup makam majikanmu," janji Bayu.

Monyet kecil itu berjingkrakan. Sepertinya merasa
gembira mendengar janji Pendekar Pulau Neraka. Dan Bayu
hanya tersenyum saja. Terkadang, tingkah binatang cerdas
ini memang lucu, dan membuat hati siapa saja yang
melihatnya akan tergelitik. Tapi tak jarang malah membuat
keninjg berkerut Monyet ini seperti manusia saja. Memiliki
hati dan perasaan. Juga cerdik dan dapat mengerti setiap
kata yang diucapkan Pendekar Pulau Neraka. Siapa pun
orang yang pernah memeliharanya, pasti sudah melatihnya
dengan baik sekali.
***

DUA

Bayu menghenyakkan tubuh di atas rerumputan yang
cukup tebal. Dalam beberapa hari ini, dia benar-benar
merasakan seolah-olah ada sesuatu yang lain dalam dirinya.
Sesuatu yang belum pernah dirasakan sebelumnya.
Membangun kembali sebuah cungkup makam, memang
baru pertama kali ini dilakukan, tapi pekerjaan yang
kelihatannya tidak memiliki arti ini sangat besar artinya bagi
Bayu. Dari sekian banyak kebajikan yang pernah dilakukan,
mungkin inilah kebajikan pertama yang benar-benar
dinikmatinya.
"Seluruh tubuhku terasa penat, tapi aku puas dan
bahagia sekali...," desah Bayu seraya memandangi cungkup
makam yang sudah berdiri kembali setelah ludes terbakar.
Bayu menguap beberapa kali Tangannya memeluk
monyet kecil berbulu coklat yang semakin dekat dan manja
padanya. Perlahan Pendekar Pulau Neraka memejamkan
mata. Dia merasakan seluruh tubuhnya benar-benar penat,
dan kelopak matanya begitu berat Seakan-akan tidak
sanggup lagi untuk terus terbuka.
Sebentar saja sudah terdengar suara dengkur halus.
Kelelahan dan kebanggaan di dalam dirinya telah membuat
Pendekar Pulau Neraka cepat tertidur. Dan monyet kecil di
dalam pelukannya juga sudah mendengkur. Malam ini

memang terasa begitu dingjn sekali, dan angin yang
berhembus agak kencang menambah kenyamanan bagi
kedua makhluk berlainan jenis itu tertidur lelap.
"Bayu..., bangunlah."
Tiba-tiba saja terdengar suara halus di telinga
Pendekar Pulau Neraka. Sebentar Bayu menggeliat,
menggosok-gosok telinganya. Tapi belum juga membuka
mata, kemudian kembali mendengkur.
"Bangunlah di dalam tidurmu, Bayu," kembali
terdengar suara halus.
Dengan mata masih terpejam, Pendekar Pulau
Neraka bangkit Dan langsung duduk bersila. Sementara
monyet kecil berbulu coklat yang masih terlelap, berpindah
ke pangkuannya.
Perlahan Bayu membuka mata. Namun
pandangannya begitu kosong, tak terbetik sedikit pun cahaya
di matanya. Sesaat kemudian seberkas cahaya berpendar
menyilaukan di depan wajahnya. Dan begitu cahaya itu
lenyap, tahu-tahu di depan Pendekar Pulau Neraka telah
berdiri seorang laki-laki tua dengan baju ktsuh dan penuh
tambalan. Dia berdiri di atas kedua kakinya yang buntung
sebatas paha.
"Eyang..," desis Bayu begitu mengenali laki-laki tua
itu.
Laki-laki tua berkaki buntung dan kedua matanya
buta itu memang Eyang Gardika. Seorang laki-laki tua yang
merawat dan mendidik Bayu sejak masih merah di Pulau

Neraka (Jika pembaca ingin tahu lebih jelas tentang Eyang
Gardika, bacalah serial perdana Pendekar Pulau Neraka
dalam episode "Geger Rimba Persilatan"). Bayu cepat
merapatkan kedua tangan di depan hidung, memberi
penghormatan pada orang tua yang telah menjadikan dirinya
seperti sekarang ini.
"Aku bangga memiliki murid sepertimu Bayu.
Meskipun ilmu-ilmu yang kau miliki bersumber dari aliran
sesat, tapi kau gunakan untuk kebajikan, membantu yang
lemah dan memberantas keangkaramurkaan. Satu
perbuatan kebajikan yang baru saja kau lakukan, merupakan
satu kebanggaan tersendiri di dalam hatiku," ujar Eyang
Gardika dengan suara berat dan agak serak.
Bayu menatap kosong ke arah cungkup makam yang
baru saja dibuatnya setelah ludes dibakar oleh orang
misterius kemaria Kemudian pandangannya dialihkan
kembali menatap laki-laki tua cacat di depannya. Meskipun
kedua matanya buta, namun mata hati Eyang Gardika sangat
tajam. Bahkan melebihi mata biasa.
"Kau tahu, kepada siapa kau baru berbuat kebajikan,
Bayu?" tanya Eyang Gardika.
Bayu hanya menggelengkan kepalanya saja.
"Orang yang terbaring di bawah cungkup itu adalah
putraku. Hanggara namanya."
"Ohhh...," Bayu mendesah panjang

Dia memang pernah mendengar cerita dari mulut
Eyang Gardika sendiri, kalau laki-laki tua ini juga memiliki
seorang anak laki-laki bernama Hanggara.
Usianya sebaya dengan dirinya. Itulah sebabnya
mengapa Eyang Gardika menambahkan kata-kata Hanggara
pada nama di belakang Bayu. Dan pemuda itu pun tidak
keberatan kalau namanya menjadi Bayu Hanggara. Tapi lebih
dikenal dengan sebutan Pendekar Pulau Neraka.
"Sayang, aku bukan lagi manusia sepertimu. Jadi
tidak bisa menolongnya. Sedangkan pada waktu itu aku tidak
tahu, di mana kau berada," kata Eyang Gardika lagi.
"Maafkan aku, Eyang," ucap Bayu.
"Tidak ada yang perlu dimaafkan, Bayu. Aku rasa
belum terlambat jika kau bersedia mencari mereka dan
membalas kematian Hanggara."
Bayu menganggukkan kepala. Lalu menatap monyet
kecil yang tertidur di atas pangkuannya.
"Dia dapat menunjukkan di mana mereka."
Bayu mengangkat kepalanya, menatap laki-laki tua
cacat di depannya. Apa yang sedang dipikirkan Pendekar
Pulau Neraka saat itu rupanya dapat dibaca Eyang Gardika.
"Dia bernama Tiren. Hanggara sangat menyayanginya.
Dia sudah terlatih baik dan dapat kau perintah melakukan
apa saja. Kuharap kau bisa cocok dengannya, Bayu," kata
Eyang Gardika lagi.
"Aku memang menyukainya, Eyang," sahut Bayu.

"Bagus. Itu berarti di antara kalian sudah ada
kecocokan. Hm..., aku rasa sudah cukup. Aku pergi dulu,
Bayu."
Setelah berkata demikian, Eyang Gardika lenyap
dengan meninggalkan cahaya menyilaukan. Bayu kembali
rebah begitu cahaya berkilauan itu lenyap dari pandangan.
Namun mendadak saja....
"Heh...!"
Pendekar Pulau Neraka tersentak bangun. Monyet
kecil di pangkuannya juga terbangun sambil mencericit ribut
Bayu bergegas berdiri. Dan monyet kecil berbulu coklat itu
pun cepat naik ke pundak Pendekar Pulau Neraka.
"Eyang...," desis Bayu seraya mengedarkan
pandangan berkeliling.
Tapi hanya kegelapan saja yang terlihat di sekitarnya.
Pandangannya kemudian tertuju ke arah cungkup makam.
Beberapa saat lamanya Pendekar Pulau Neraka
memandangi cungkup makam di depannya.
"Apakah aku tadi bermimpi...? Tapi..., ah, tidak. Aku
tidak bermimpi. Eyang Gardika benar-benar datang padaku
tadi," Bayu berbicara sendiri.
Pendekar Pulau Neraka menatap monyet kecil yang
duduk di pundaknya.
"Tiren..., kau bernama Tiren, Sahabat Kecil?"
"Nguk.,.!" binatang cerdas itu mengangguk.
Bayu tersenyum. Kini dia yaldn kalau tadi tidak
bermimpi. Dan dia pun yakin kalau tadi gurunya benar-benar

datang. Kini Pendekar Pulau Neraka kembali mengalihkan
pandangan ke arah cungkup makam di depannya.
"Aku akan membalas kematian majikanmu, Tiren,"
ujar Bayu perlahan.
"Kaaakh...!" monyet kecil berbulu coklat yang temyata
bernama Tiren itu berteriak gembira.
Binatang lucu itu berjingkrakan di atas pundak
Pendekar Pulau Neraka. Pemuda berbaju kulit harimau itu
tersenyum. Lalu mengelus-elus kepala Tiren, menyuruhnya
diam. Monyet kecil itu akhirnya diam, duduk tenang kembali
di pundak Bayu. Pada saat itu terdengar kokok ayam jantan
bersahut-sahutan di kejauhan. Dan tak lama kemudian,
kicauan burung mulai terdengar ramai.
"Sudah pagi. Sebaiknya kita berangkat sekarang,
Tiren. Kau tahu tempat mereka, bukan...?" ujar Bayu.
"Nguk!" sahut Tiren mengangguk.
"Ayolah. Kita buat perhitungan dengan mereka."
"Nguk! Kaaakh... "
"Ha ha ha...!"
***
Siang itu udara di sekitar Pantai Selatan memang
cerah sekali. Matahari bersinar terang. Langit begitu bersih,
tanpa sedikit pun awan yang menghalangi cahaya matahari.
Seperti hari-hari yang lalu, hari ini pun wilayah Pesisir Pantai


Selatan kembali ramai. Begitu banyak para pendatang yang
singgah, dengan tujuan dan kesibukan masing-masing.
Di antara orang-orang yang hilir mudik, terlihat
Pendekar Pulau Neraka berjalan perlahan bersama sahabat
barunya. Seekor monyet kecil berbulu coklat yang nangkring
di pundak. Tempat inilah tempat Bayu pertama kali
menginjakkan kakinya setelah keluar dari Pulau Neraka. Dan
di sini pula dia pertama kali membunuh orang untuk
membalas kematian orang tuanya.
"Ibu..., di manakah kini kau berada...?" desah Bayu
dalam hati.
Tiba-tiba saja Bayu teringat kepada ibunya yang
sampai saat ini belum ketahuan apakah masih hidup atau
sudah mati. Sampai saat ini, dia hanya menemukan pusara
ayahnya di antara pusara-pusara lain di bekas reruntuhan
Padepokan Teratai Putih. Dan menurut salah seorang bekas
murid Padepokan Teratai Putih yang sempat menyelamatkan
diri dari kehancuran, tidak diperoleh keterangan kalau ibunya
telah tewas.
"Jangir.... Mudah-mudahan dia masih ingat padaku."
Bayu teringat bekas murid ayahnya yang masih hidup.
Dari Jangir inilah pemuda berbaju kulit harimau itu tahu
kalau ibunya tidak tewas, tapi entah berada di mana
sekarang. Pendekar Pulau Neraka mengayunkan kakinya
menuju ke Timur. Rupanya ingin menemui bekas murid
ayahnya. Dulu Bayu pernah menemuinya, begitu mendengar
ada murid-murid Padepokan Teratai Putih yang masih hidup.

"Kita temui dulu sahabat lamaku, Tiren," kata Bayu
pada monyet kecil di pundaknya.
"Nguk...!" sahut Tiren.
Bayu menepuk-nepuk kaki Tiren. Langkahnya pun
semakin dipercepat, menyusuri tepian Pantai Selatan yang
selalu ramai. Dia terus berjalan dengan langkah-langkah
lebar, tidak mempedulikan beberapa pasang mata yang
memperhatikannya. Tiga orang laki-laki bertubuh tegap
dengan wajah kasar, memperhatikan Pendekar Pulau Neraka
dari sebuah kedai. Dan dua orang laki-laki tua yang duduk di
atas bangkai perahu juga memperhatikan Bayu. Namun
Pendekar Pulau Neraka terus berjalan.
Bayu menghentikan ayunan kakinya ketika sampai di
depan sebuah rumah kecil yang atapnya terbuat dari
anyaman daun rumbia. Seluruh dindingnya terbuat dari bilik
bambu. Sementara di beranda depan rumah, tampak
seorang laki-laki berusia sekitar enam puluh tahunan, duduk
mencangkung di atas balai-balai bambu. Laki-laki itu
kelihatan sibuk menganyam benang jala.
"Paman Jangir...," panggil Bayu setelah dekat
Seketika laki-laki tua tanpa mengenakan baju itu
menghentikan pekerjaannya. Kepalanya diangkat,
memandang Bayu yang berdiri tidak jauh di depannya.
Sejenak diamatinya pemuda berbaju kulit harimau itu tajam-
tajam.
"Kau lupa padaku, Paman...?"
'Bayu.... Ah, apakah aku tidak salah lihat..?"

'’Tidak, Paman. Aku memang Bayu."
Laki-laki tua yang dipanggil Paman Jangir itu bergegas
turun dari balai-balai bambu. Pekerjaannya ditinggalkan, dan
segera menyongsong Pendekar Pulau Neraka. Sebentar dia
memandang Bayu dari atas kepala hingga ke ujung kaki, lalu
memeluk dengan hangat Pendekar Pulau Neraka balas
memeluk sambil menepuk-nepuk punggung yang kurus dan
coklat terbakar sinar matahari.
"Ayo, masuk...," ajak Paman Jangir.
Bayu tersenyum senang karena Paman Jangir
ternyata tidak melupakan dirinya meskipun sudah begitu
lama mereka tidak bertemu. Pertama kali keduanya bertemu
adalah saat Bayu membalas kematian ayahnya pada
Rengganis. Wanita yang mendalangi penghancuran
Padepokan Teratai Putih. Dari Paman Jangir inilah Bayu
mengetahui siapa itu Rengganis. Bahkan dari Paman Jangir
pula dia bisa mendapatkan nama-nama pembunuh ayahnya,
dan orang-orang yang membantu menghancurkan
Padepokan Teratai PutJh yang dipimpin Dewa Pedang, orang
tua Bayu.
"Duduk, Bayu...," Paman Jangir mempersilakan
setelah berada di dalam
'’Terima kasih," ucap Bayu seraya duduk di lantai
yang beralaskan tikar lusuh.
Rumah-rumah di sekitar Pesisir Pantai Selatan
memang berbentuk panggung. Hal ini dimaksudkah untuk
menangkal kalau-kalau terjadi laut pasang. Sehingga tidak

perlu lagi mengungsi, dan tidak khawatir rumah mereka
terendam.
"Lama sekali kau tidak mengunjungiku lagi, Bayu,"
ujar Paman Jangir.
"Maaf, Paman. Perjalananku jauh sekali. Jadi tidak
sempat mengunjungimu," sahut Bayu.
"Apakah kau sudah menemui mereka semua?" tanya
Paman Jangir langsung.
"Belum," sahut Bayu seraya menggelengkan
kepalanya.
'’Tidak mengapa, Bayu. Kebanyakan dari mereka
adalah para pengembara. Tentu tidak mudah menemui
mereka. Ah, sudahlah.... Aku senang bisa melihat kau
kembali dalam keadaan selamat," kata Paman Jangir.
Bayu hanya tersenyum saja. Selama
pengembaraannya, memang dia jarang bertemu dengan
orang-orang yang telah membunuh ayahnya sekaligus yang
menghancurkan Padepokan Teratai Putih. Dan bukannya
tidak mungkin ada di antara mereka yang sudah meninggal,
karena dimakan usia. Masa dua puluh lima tahun memang
bukan kurun waktu yang pendek. Dan tidak ada seorang
manusia pun yang sanggup mempertahankan kehidupan
untuk selamanya. Kematian pasti akan menjemput juga.
"Bayu, kau datang ke sini tidak hanya sekadar
singgah, bukan...?" tanya Paman Jangir.
Bayu tidak segera menjawab. Dia hanya tersenyum
mendengar pertanyaan laki-laki tua yang dulunya pernah


menjadi penghuni Padepokan Teratai Putih, sekaligus
merupakan murid setia Dewa Pedang.
"Istirahatlah dulu, Bayu. Anggap saja di sini rumahmu
sendiri. Jadi jangan sungkan-sungkan," kata Paman Jangir
lagi, seraya bangkit berdiri.
'’Terima kasih, Paman," ucap Bayu.
"Aku selesaikan dulu pekerjaanku, Bayu."
"Silakan, Paman. Jangan karena kedatanganku,
pekerjaan Paman jadi telantar."
"Ah, sama sekali tidak."
Paman Jangir kembali melangkah ke luar untuk
meneruskan pekerjaannya yang tertunda. Sementara Bayu
menyandarkan punggungnya ke dinding. Sebenarnya, ingin
dibantunya laki-laki tua ini. Tapi sungguh tidak dimengertinya
tata cara dan pekerjaan sebagai nelayan. Di samping itu,
memang tubuhnya terasa penat sekali.
"Kau tidur di atas sana, Tiren," kata Bayu, seraya
menunjuk palang rumah.
"Nguk...!"
Tiren segera melompat, dan nangkring di atas palang
kayu yang melintang di tengah atap rumah. Bayu tersenyum
ketika melihat binatang cerdas itu langsung merebahkan
tubuhnya di palang kayu. Kemudian dia sendiri merebahkan
tubuhnya, menopang kepala dengan kedua tangan.
"Hhh...."
***

Apa saja yang bisa dikerjakan, Bayu tidak segan-
segan membantu Paman Jangir. Selama dua hari Bayu
tinggal, pekerjaan Paman Jangir memang lebih ringan.
Bahkan pagi ini Pendekar Pulau Neraka ikut melaut.
Paman Jangir merasakan seakan-akan dia melihat
kembali Dewa Pedang. Meskipun sejak masih bayi Pendekar
Pulau Neraka tidak pernah melihat rupa ayahnya, namun
watak yang ada dalam dirinya tidak jauh berbeda dengan
ayahnya. Dan itu dapat dilihat jelas oleh Paman Jangir yang
dulunya murid si Dewa Pedang.
Tapi tentu saja ada perbedaannya. Ketegasan dan
kekerasan yang dimiliki Bayu bukanlah ketegasan sikap
seorang pendekar persilatan golongan putih. Dan ini bisa
terjadi karena selama dua puluh tahun lebih, dia tinggal dan
dididik oleh bekas tokoh hitam yang menyepi di Pulau
Neraka. Setelah tokoh itu dibuat cacat oleh musah-
musuhnya. Yang pasti, sedikit banyaknya, watak-watak keras
Eyang Gardika yang dulu dikenal berjuluk si Cakra Maut
tertanam di dalam pribadi pemuda ini.
"Menyenangkan juga hidup jadi nelayan, Paman,"
kata Bayu seraya memandang ikan hasil tangkapan mereka.
"Kau baru dua hari di sini, Bayu. Lama-lama kau juga
akan bosan," sahut Paman Jangir.
Bayu hanya meringis saja. Memang tidak dipungkiri,
segala sesuatu yang baru pertama kali dilakukan akan
terasa sangat menyenangkan. Tapi jika terus-menerus
dilakukan selama bertahun-tahun, bisa jadi membosankan.

Namun hidup memang selalu menuntut manusia melakukan
pekerjaan untuk mempertahankan hidup.
"Mau dikemanakan ikan-ikan ini, Paman?" tanya
Bayu.
"Nanti juga ada yang datang membeli," sahut Paman
Jangir.
"Tengkulak...?"
"Bisa dikatakan begitu, Bayu. Memang harganya
rendah, tapi buat nelayan tua seperti paman ini, lebih baik
begitu daripada membawa ke pasar sendiri. Sudah tidak
kuat..."
Lagi-lagi Bayu tersenyum.
"Yang penting masih bisa hidup, tidak menyusahkan
orang lain, Bayu," sambung bekas murk) Dewa Pedang itu
lagi.
"Asal mereka tidak menyusahkan Paman saja."
"Terkadang memang menjengkelkan. Mereka
seenaknya saja menawar dengan harga rendah. Tapi kalau
tidak dijual, mau diapakan ikan-ikan ini...? Dimakan sendiri
juga tidak habis."
"Kau suka ikan, Tiren...?" Bayu menatap monyet kecil
di pundaknya.
Monyet kecil itu berjingkrak sambil mencericit. Tentu
saja Bayu tertawa melihat tingkah Tiren. Sedangkan Paman
Jangir hanya tersenyum saja. Mana ada monyet yang makan
ikan...? Kalau buah, tidak perlu ditawarkan lagi.

"Dari mana kau dapatkan monyet itu, Bayu?" tanya
Paman Jangir.
'Dari seseorang," sahut Bayu asal saja.
"Cerdik sekali dia," puji Paman Jangir.
Tiren kembali berjingkrakan sambil mencericit ribut
Merasa senang mendapat pujian dari laki-laki tua ini Dan
Bayu hanya tertawa saja melihat tingkah monyet kecil di
pundaknya ini.
Memang, sejak kehadiran Tiren, Pendekar Pulau
Neraka jadi sering tertawa. Tingkah binatang cerdas ini
memang lucu, dan segala yang dilakukannya selalu
menggelitik, membuat orang yang melihat jadi ingin tertawa.
"Itu mereka datang, Bayu," Paman Jangir memberi
tahu.
Bayu menatap empat orang laki-laki yang berjalan ke
arahnya. Di pinggang mereka menyembul gagang golok. Dan
tampang-tampangnya juga bengis. Bayu langsung dapat
menebak kalau mereka paling juga cuma tukang pukul.
"Mereka orang-orangnya Juragan Basra. Yang paling
depan Itu Calong. Yang pakai baju merah, Winaya. Dan dua
lagi Cagak serta Landar," Paman Jangir memberi tahu
keempat laki-laki berwajah bengis yang melangkah semakin
dekat
"Hm.„!" Bayu hanya menggumam saja sambil
memperhatikan keempat orang itu.
"Hati-hati, Bayu. Biasanya mereka main pukul saja
kalau sedikit tersinggung," Paman Jangir memperingatkan.


"Hebat...," gumam Bayu langsung merasa muak.
Begitu sudah dekat, empat laki-laki itu langsung
melongok ke dalam keranjang di depan Paman Jangir. Salah
seorang di antaranya membolak-balikkan ikan-ikan di dalam
keranjang. Sedangkan Bayu yang duduk di pinggiran perahu
milik Paman Jangir, hanya memperhatikan saja.
"Banyak hasilmu, Jangir," kata Calong diiringi
senyuman sinis.
"Lumayan, mungkin memang lagi mujur," sahut
Paman Jangir.
Calong melirik Bayu yang kelihatan tidak peduli.
Pendekar Pulau Neraka memang tengah asyik bercanda
dengan Tiren. Calong kembali menatap Paman Jangir.
"Berapa kau akan jual?" tanya Calong lagi.
"Dua puluh kepeng," sahut Paman Jangir.
"Semuanya."
"Dua puluh kepeng..? Ikan kecil-kecil begini" sentak
Calong sambil menendang keranjang yang berisi ikan.
Kalau saja Paman Jangir tidak cepat menahan
keranjangnya, pasti ikan-ikan di dalam keranjang sudah
tumpah. Sedangkan tiga orang lainnya tertawa terbahak-
bahak melihat perbuatan Calong.
"Dengar, Jangir. Aku cuma mau tiga kepeng. Dan itu
tidak bisa ditawar lagi. Kalau kau mau, aku berikan uangnya.
Tapi kalau tidak, kau boleh buang ikanmu itu ke laut!" keras
sekali suara Calong

"Baiklah, lima belas kepeng saja," Paman Jangir
menurunkan harga ikannya.
"Sudah kubilang, tiga kepeng!"
"Ikan ini besar-besar, Den Calong. Lagi pula
banyaknya dua kali lipat dari biasa. Dan lagi, biasanya kan
sepuluh kepeng."
"Menjualnya lagi susah, tahu!" bentak Calong. "Sudah,
kalau tidak mau uang segitu, akan kubawa ikan ini. Dan kau
boleh menangis tanpa menerima uang!"
Calong memberi isyarat pada teman-temannya. Dua
orang di antara mereka langsung menggotong keranjang
ikan. Dan Calong melemparkan tiga keping uang logam yang
bernilai satu kepeng sekepingnya. Tiga keping uang logam itu
jatuh di depan kaki Paman Jangir.
'’Terimalah uang itu, dan tangkap lagi ikan yang lebih
banyak! Ha ha ha...!" Calong tertawa terbahak-bahak.
"Kurang, Den...!" teriak Paman Jangir.
"Apa...? Kurang? Nih, kurangnya...!" sentak Calong.
Cepat sekali Calong mengibaskan tangan hendak
menampar muka Paman Jangir. Tapi hanya sedikit saja laki-
laki tua ini menarik kepalanya ke belakang, sehingga
ramparan Calong lewat tanpa membawa hasil.
"Heh! Kau mau melawan, ya...?" bentak Calong
bertambah gusar.
"Maaf, Den. Kalau tidak mau lima belas kepeng, aku
mau jual sendiri ke pasar," kata Paman Jangir.

"Tua bangka keparat...! Kau rupanya sudah bosan
hidup, heh...!" bentak Calong geram.
Selesai berkata demikian, Calong langsung mencabut
goloknya. Dan secepat itu pula, goloknya dibabatkan ke leher
Paman Jangir. Tapi tanpa diduga sama sekali, bekas murid
Dewa Pedang ini menarik kakinya selangkah ke belakang,
seraya menarik kepalanya ke belakang, menghindari tebasan
golok.
"Setan...!" geram Calong, memuncak amarahnya.
Laki-laki berwajah bengis itu kembali menyerang
dengan membabatkan golok beberapa kali. Dan memang,
Paman Jangir bukanlah orang tua sembarangan yang mau
menyerah begitu saja. Dengan lincah sekali, tubuhnya meliuk
menghindari serangan Calong.
"Phuih! Rupanya kau punya kepandaian juga, Jangir!
Bagus...! Terima seranganku! Hiyaaat..!"
Menyadari kalau orang tua ini tidak kosong, Calong
langsung memberikan serangan yang lebih cepat dan
dahsyat Sedangkan tiga orang temannya, hanya menonton
saja. Mereka juga terkejut melihat Paman Jangir yang selama
ini dikenal tidak pernah membantah dan mau dibayar berapa
saja, ternyata memiliki kepandaian juga.
Entah sudah berapa jurus Calong menyerang Paman
Jangir. Tapi belum juga dapat menjatuhkan orang tua yang
kelihatan lemah itu. Bahkan untuk mendesak saja,
kelihatannya Calong mendapat kesulitan. Serangan

serangannya selalu dapat dimentahkan Paman Jangir
dengan mudah.
"Keparat...!" geram Calong, semakin memuncak
amarahnya.
Belum juga Calong mendapat cara untuk men-
jatuhkan orang tua ini, mendadak saja Paman Jangir
memutar tubuhnya dengan cepat Dan sebelum Calong
menyadari, tahu-tahu tangan bekas murid Dewa Pedang ini
sudah menyodok ke arah dada. Begitu cepatnya sodokan
tangan kanan laki-laki tua ini, sehingga Calong tidak dapat
lagi menghindar.
Begkh!
"Akh...!" Calong memekik kaget.
Tubuh yang tegap berotot itu terpental ke belakang,
dan jatuh dengan keras di atas pasir. Calong menggeram
marah seraya berusaha bangkit Dadanya terasa sesak, dan
sukar bernapas. Rupanya sodokan tangan Paman Jangir tadi
cukup keras juga.
"Bunuh orang tua keparat itu...!" teriak Calong
memerintah.
Seketika tiga orang temannya beriornpatan me-
nyerang seraya mencabut golok masing-masing. Namun
sebelum mereka sampai, Bayu sudah bertindak cepat
Pendekar Pulau Neraka sudah melesat, dan langsung
melontarkan beberapa pukulan keras tanpa disertai
pengerahan tenaga dalam.
Begkh!
Duk!
Des!
Tiga lelaki kasar yang berlornpatan menyerang
Paman Jangir, mendadak berpentalan balik. Mereka
memekik keras dan jatuh bergulingan di atas pasir yang
panas terpanggang matahari. Mereka cepat berdiri dengan
mata terbelalak ketika melihat di samping Paman Jangir
telah berdiri seorang pemuda berbaju kulit harimau. Mereka
lebih terkejut lagi, karena tangan pemuda itu menggenggam
tiga batang golok.
Tiga orang itu beringsut mundur. Entah bagaimana
caranya, tahu-tahu golok mereka sudah pindah ke tangan
Bayu. Dan hal ini tentu saja membuat hati mereka ciut.
"Bayar ikan itu dua puluh kepeng!" bentak Bayu
tegas.
Calong dan ketiga temannya saling berpandangan.
Meskipun Bayu hanya sekali saja melakukan tindakan,
namun sudah cukup membuat hati keempat orang berwajah
bengis ini bergetar. Bagaimana tidak...? Bukan sembarang
orang bisa merampas golok sambil melakukan penyerangan
begitu cepat.
"Cepat bayar...!" bentak Bayu menggelegar.
Buru-buru Calong melempar sepundi uang ke arah
Paman Jangir. Kemudian bergegas kabur dari situ.
"Hei, tunggu...!" teriak Bayu.
Calong dan ketiga temannya berhenti berlari.
“Bawa ikan ini, kalian sudah membelinya!" ujar Bayu.

Kembali keempat orang kasar itu saling
berpandangan. Akhirnya Calong menyuruh Winaya dan Cagak
membawa keranjang ikan. Dengan perasaan kecut, Winaya
dan Cagak terpaksa menuruti perintah Calong. Bayu
melempar golok yang dirampasnya ke dalam keranjang.
Bergegas Winaya dan Cagak membawa ikan dengan kaki
gemetar.
"Ha ha ha...!" Paman Jangir tertawa terbahak-bahak
melihat empat tukang pukul Juragan Basra lari terbirit-birit
sambil membawa sekeranjang ikan.
"Ayo kita pulang, Paman," ajak Bayu.
"Ayo, Bayu. Kita mampir dulu di kedai Nyai Sinah.
Uang ini pasti lebih dari dua puluh kepeng," sahut Paman
Jangir balik mengajak.
"Siapa Itu Nyai Sinah?" tanya Bayu sambil
mengayunkan kakinya.
"Janda yang buka kedai di sudut desa," sahut Paman
Jangir memberi tahu.
"Makanannya enak."
"Makanannya atau orangnya...?" seloroh Bayu.
"Ha ha ha...!"
***
EMPAT

Memang benar apa yang dikatakan Paman Jangir.
Kedai Nyai Sinah terlihat dipadati pengunjung. Nyai Sinah
bukan saja seorang janda cantik, tapi makanan yang
dihidangkan juga enak. Maka tidak mengherankan jika
hampir semua meja di kedai kecil ini penuh sesak, dan
hampir tanpa sisa.
Bayu dan Paman Jangir mendapat meja yang berada
agak di belakang, karena meja-meja di bagian depan sudah
penuh. Kebanyakan dari pengunjung yang datang adalah
para pelancong. Tapi tidak sedildt di antaranya penduduk
asli. Dan mereka yang datang, biasanya bukan hanya
sekadar menikmati hidangan saja. Tapi untuk menikmati
kecantikan Nyai Sinah. Tidak heran jika di antara para
pengunjung ada yang suka berbuat usil. Nyai Sinah sendiri
hanya menanggapi dengan senyuman saja. Mungkin dia
memang sudah memaklumi risiko membuka kedai. Dan juga
menyadari kalau kecantikan wajahnya itulah yang membuat
kedainya selalu dipenuhi pengunjung
Braki
Semua orang di kedai tersentak kaget ketika tiba-tiba
pintu kedai didobrak hingga hancur berantakan. Bersamaan
dengan itu, muncul seorang laki-laki bertubuh gemuk,
dengan kepala setengah botak. Dibelakangnya menyusul

enam orang laki-laki berwajah beringas. Beberapa
pengunjung kedai yang rupanya mengenal orang-orang itu
bergegas ke luar dengan tergesa-gesa.
"Siapa dia, Paman?" tanya Bayu berbisik.
"Juragan Basra," sahut Paman Jangir.
Laki-laki gemuk berkepala setengah botak itu
menghampiri Bayu dan Paman Jangir. Kembali satu persatu
orang-orang di dalam kedai beranjak pergi. Sementara Bayu
memandangi laki-laki gemuk itu. Bibirnya menyunggingkan
senyuman tipis saat melihat empat orang di belakang laki-
laki gemuk yang dikenalkan Paman Jangir bernama Juragan
Basra.
"Ini dia orangnya, Juragan," kata Calong seraya
menunjuk Bayu.
"O..., jadi ini anak kemarin sore yang mau jadi jago di
sini...," sinis sekali nada suara Juragan Basra.
Saat itu Nyai Sinah datang menghampiri dengan
tergopoh-gopoh. Wanita cantik itu membungkuk di depan
Juragan Basra seraya memberikan senyuman manis.
"Juragan, silakan duduk...," ucap Nyai Sinah
menyambut dengan ramah.
"Aku ke sini bukan mau makan. Minggir...!" bentak
Juragan Basra kasar.
Dengan sikap yang kasar pula Juragan Basra
mendorong dada Nyai Sinah, hingga wanita itu terlempar ke
belakang. Nyai Sinah terpekik keras. Tapi, untunglah Bayu

bertindak cepat Ditangkapnya janda cantik itu, sehingga
tidak sampai jatuh.
"Oh, terima kasih," ucap Nyai Sinah.
"Hm...," Bayu hanya tersenyum saja.
Pendekar Pulau Neraka menatap tajam laki-laki
bertubuh gemuk di depannya. Ketida ksukaannya langsung
timbul melihat kekasaran Juragan Basra. Meskipun hidupnya
penuh kekerasan, namun Bayu tidak pernah memperlakukan
wanita dengan kasar begitu. Lain halnya kalau wanita itu
memang lawannya.
"Jangir! Ke sini kau...!" bentak Juragan Basra kasar
sambil menuding Paman Jangir.,
"Untuk apa?" tanya Paman Jangir, tetap tidak
bergeming dari kursinya.
"Ke sini...!" bentak Juragan Basra berang.
Paman Jangir hanya diam saja, malah meneguk
araknya hingga tandas tak bersisa. Sedikit dia melirik Bayu
yang kini berdiri di samping Nyai Sinah. Laki-laki tua itu
memberikan senyuman tipis. Bayu juga mem-balas dengan
senyuman yang sama. Sementara monyet kecil di pundak
Pendekar Pulau Neraka mulai mencericit ribut, berjingkrakan
seperti hendak mengatakan sesuatu.
“Tenang, Tiren," Bayu menenangkan monyet berbulu
coklat itu.
Tapi Tiren malah semakin ribut. Bayu terpaksa
mengambil monyet kecil itu dan memberikan pada Nyai
Sinah. Mulanya wanita ini agak takut. Tapi begitu melihat

binatang ini tampak jinak, wanita itu pun membiarkan Tiren
yang langsung memeluk lehernya.
"Rupanya kau sudah bosan hidup, Tua Bangka!" desis
Juragan Basra sambil menggebrak meja di hadapannya
hingga terbelah dua.
"Maaf, selera makanku jadi hilang," kata Paman
Jangir seakan-akan tidak peduli dengan kegusaran laki-laki
gemuk yang menggebrak mejanya itu.
Kini, Tiren tidak melonjak-lonjak lagi setelah berada
dalam dekapan Nyai Sinah.
Sementara itu Juragan Basra sudah berada dekat di
depan meja yang ditempati Paman Jangir. Tiba-tiba saja laki-
laki gemuk itu menggebrak meja, hingga patah terbelah dua.
"Rupanya kau sudah bosan hidup, Tua Bangka!" desis
Juragan Basra menggeram.
"Maaf, selera makanku jadi hilang," kata Paman
Jangir tidak peduli.
Laki-laki tua itu bangkit berdiri.
"Ayo, Bayu. Kita pulang," ajak Paman Jangir, sama
sekali tidak dipedulikannya Juragan Basra.
Bayu segera mengambil Tiren dari dekapan Nyai
Sinah. Setelah membayar apa yang dimakan, Pendekar
Pulau Neraka mengikuti Paman Jangir.
"Berhenti, Keparat...!" bentak Juragan Basra semakin
berang.

Tapi Paman Jangir dan Bayu tetap saja melangkah ke
luar. Melihat kedua orang itu seolah-olah tidak peduli sama
sekali, tentu saja Juragan Basra kian memuncak amarahnya.
"Bunuh mereka...!" perintah Juragan Basra yang
sudah meluap amarahnya.
Empat orang yang siang tadi dipecundangi Bayu,
segera beriornpatan sambil mencabut golok masing-masing.
Telinga Pendekar Pulau Neraka yang peka, segera dapat
mendengar angin serangan yang dilakukan empat orang di
belakangnya, dan....
"Hiyaaa...!"
Bayu langsung memutar tubuh dengan cepat Sekali
saja tangannya dikibaskan, empat orang yang menyerang
dari belakang itu berpentalan sambil menjerit keras.
Sementara golok mereka berpentalan dari genggaman.
"Aku paling tidak suka kecurangan...!" desis Bayu.
"Kau...! Maju ke sini!"
Bayu langsung menunjuk Juragan Basra. Sementara
empat tukang pukul juragan gemuk itu, menggeliat bangkit
sambil merintih kesakitan. Juragan Basra tampak terkesiap,
dan seketika wajahnya memucat Tapi dua orang laki-laki
bertubuh kekar di belakangnya tetap kelihatan tenang.
Seperti meremehkan Pendekar Pulau Neraka.
"Sudah, Bayu. Ayo kita pulang," ajak Paman Janglr.
Bayu masih tetap menatap tajam Juragan Basra.
"Sekali lagi kudengar kau mengusik pamanku,
lehermu jaminannya," ancam Bayu.

Setelah berkata demikian, Bayu memutar tubuh dan
melangkah ke luar. Sedangkan Paman Jangir sudah lebih
dahuhi berada di luar kedai. Sepeninggal kedua orang itu,
Juragan Basra mengumpat dan memaki habis-habisan.
Gerakan yang cepat dari pemuda berbaju kulit harimau tadi
rupanya membuat hati laki-laki gemuk ini jadi ciut.
Sambil mendengus dan menggerutu habis-habisan,
Juragan Basra melangkah ke luar kedai. Enam orang yang
mendampinginya, mengikuti di belakang. Tinggallah Nyai
Sinah yang hanya bisa memandangi kedainya yang
berantakan. Janda cantik itu jatuh terduduk lemas.
***
Prang!
Jambangan bunga dari porselen hancur berantakan
terkena tamparan Juragan Basra yang cukup besar dan
gempal. Peristiwa di kedai Nyai Sinah tadi benar-benar
membuatnya berang. Belum pernah dia dipermalukan seperti
itu di depan orang banyak. Terlebih lagi setelah melihat
empat tukang pukulnya yang selama ini selalu ditakuti, tidak
berkutik sama sekali Bahkan sudah terpental dalam
segebrakan saja.
Juragan Basra menghempaskan tubuhnya di kursi
sambil menghembuskan napas panjang. Sedangkan empat
tukang pukulnya bersila di lantai. Dua orang lagi yang
bertubuh tegap berotot, berdiri di samping kiri dan kanan

laki-laki gemuk itu. Yang seorang mengenakan baju warna
biru dengan dada terbuka lebar, menampakkan bulu-bulu
dada yang halus menghitam. Dia bersenjata sepasang trisula
yang terselip di kiri-kanan pinggangnya.
Sedangkan yang seorang lagi mengenakan baju
warna kuning. Seutas cambuk tergenggam di tangan kanan.
Dan di pinggangnya menggantung sebilah pedang bergagang
hitam, dengan gagang berbentuk kepala tengkorak. Wajah
mereka tampak bengis, dengan sorot mata tajam,
mencerminkan nafsu membunuh.
"Pangkeng...!" panggil Juragan Basra.
“Ya, Juragan," sahut laki-laki bersenjata sepasang
trisula.
"Dan kau, Bancak."
"Ya, Juragan," sahut orang bersenjata cambuk dan
pedang
"Urus mereka, dan penggal kepalanya. Buang mayat
mereka ke laut untuk tumbal penguasa lautan," perintah
Juragan Basra tegas.
"Jangan khawatir, Juragan. Besok pagi, mereka tidak
akan bisa melihat matahari lagi," sahut Pangkeng enteng.
"Bagus! Laksanakan segera."
"Baik, Juragan," sahut Pangkeng dan Bancak hampir
berbarengan.
"Huh! Tidak boleh ada seorang pun yang
mempermainkan aku!" dengus Juragan Basra geram.


Pangkeng dan Bancak meninggalkan ruangan depan
rumah Juragan Basra yang cukup megah. Juragan Basra
memang bisa dibilang orang paling kaya di sekitar Pesisir
Pantai Selatan. Hampir semua perahu nelayan di
perkampungan ini adalah miliknya. Dan dialah yang
menguasai pasar penjualan ikan. Wala-pun ada nelayan yang
memiliki perahu sendiri, seperti Paman Jangir, mereka tidak
akan bisa menjual hasil tangkapannya ke tempat lain.
Meskipun dibawa kepasar, tetap saja akan jatuh ke tangan
Juragan Basra. Meski harga di pasar lebih mahal sedikit.
Namun tetap terasa sangat rendah. Hal inilah yang membuat
nelayan sulit memperbaiki kehidupannya. Bahkan untuk
merawat perahunya saja sudah terasa sulit Akibatnya, tidak
sedikit yang menjual perahu pada Juragan Basra, karena
tidak mampu lagi merawatnya.
"Sepertinya aku tidak membutuhkan kalian lagi," kata
Juragan Basra seraya menatap empat orang yang bersimpuh
di depannya.
"Ampunkan kami, Juragan. Anak muda itu benar-
benar tangguh. Dan kepandaiannya pun sangat tinggi," kata
Calong mewakili yang lain.
"Dan itu berarti kalian tidak becus!"
Empat orang yang biasanya congkak itu hanya diam
saja dengan kepala tertunduk. Mereka memang tidak
mungkin lagi bisa membantah. Karena tingkat kepandaian
mereka memang masih sangat jauh dibandingkan Pendekar

Pulau Neraka. Terbukti, dalam satu gebrakan saja dua kali
mereka dibuat tidak berkutik.
"Kalian masih mau kerja?" tanya Juragan Basra.
"Mau, Juragan," sahut keempat orang itu serempak.
"Aku ada tugas yang lebih ringan. Tapi jika gagal...,
kepala kalian terpisah dari badan!" nada suara Juragan
Basra terdengar dingin.
Empat orang berwajah kasar itu seketika meneguk
ludahnya sendiri. Mereka menatap dalam-dalam Juragan
Basra. Tugas ringan, tapi leher mereka jadi jaminannya... itu
namanya bukan tugas ringan lagi.
"Apa yang harus kami lakukan, Juragan?" tanya
Calong.
"Apa pun cara kalian, bawa Nyai Sinah ke sini."
"Hanya itu, Juragan...?"
"Ya. Dan aku minta, siang ini juga Nyai Sinah sudah
ada di kamarku."
"Pasti, Juragan...," sahut Calong.
Calong dan ketiga temannya menghembuskan napas
lega. Semula mereka mengira kalau Juragan Basra akan
memberi tugas yang tidak akan sanggup mereka jalankan.
Ternyata hanya tugas kecil, dan sangat ringan sekali. Mereka
memang sering melakukan pekerjaan seperti ini. Membawa
gadis-gadis kampung dengan cara paksa untuk pemuas
nafsu binatang Juragan Basra.
"Berangkat sekarang."
"Baik, Juragan."


Empat laki-laki berwajah kasar itu bergegas keluar.
Kini tinggallah Juragan Basra sendiri, duduk terayun-ayun di
kursi goyang. Bibimya tersenyum membayangkan kecantikan
wajah Nyai Sinah, dengan bentuk tubuh yang ramping, indah,
dan menggiurkan.
Memang, laki-laki gemuk ini sudah lama mengincar
janda muda pemilik kedai itu. Tapi Nyai Sinah se-lalu
menolak dengan halus, meskipun setiap kali Juragan Basra
datang, wanita itu selalu melayaninya dengan ramah. Sama
seperti pengunjung kedai lainnya.
"He he he..., Nyai Sinah.... Kau akan kubuat umpan
untuk memaksa mereka menyerah dan bunuh diri. Ha ha
ha...!"
***
"Masuk...!"
"Ah...!"
Nyai Sinah jatuh tersungkur didorong dengan kasar
ke dalam sebuah ruangan yang kotor dan pengap. Kedua
tangannya yang terikat ke belakang membuat dia sukar
berdiri. Wanita pemilik kedai di Pesisir Pantai Selatan ini
hanya bisa merintih, sambil menarik tubuhnya ke tepi. Dan
duduk bersandar pada dinding papan yang kotor berdebu.
Brak!
Pintu ruangan sempit itu ditutup dengan keras,
hingga menggetarkan seluruh dinding ruangan. Seketika
keadaan di dalam ruangan sempit dan kotor ini jadi gelap.

Tak ada setitik cahaya pun yang menerangi. Nyai Sinah
mencoba membiasakan penglihatannya di dalam kegelapan.
Dia merenung, mencoba mengingat apa yang terjadi, hingga
dirinya sampai di ruangan ini.
Sungguh dia tidak tahu apa yang telah terjadi pada
dirinya. Yang jelas, pada saat dia tengah tidur lelap. Tahu-
tahu selembar kain menyelubungi kepalanya. Dan seseorang
menggotongnya, lalu membawa pergi dengan cepat. Begitu
selubung kain yang menutupi kepalanya dibuka, tahu-tahu
sudah berada di dalam ruangan sempit dan pengap berdebu
ini.
Krieeet..!
Nyai Sinah semakin merapat ke dinding kerika
mendengar suara pintu dibuka. Bunyi berderit terdengar
mengjlukan hati Cahaya lampu pelita yang menerobos
masuk membuat mata janda cantik pemilik kedai itu
mengerjap silau. Dari pintu yang terbuka, tiba-tiba muncul
seorang laki-laki bertubuh gemuk dengan kepala agak botak.
Sedangkan di belakangnya mengikuti seorang laki-laki
berwajah kasar dan bengis.
"He he he...," Iaki-laki gemuk itu terkekeh.
"Juragan Basra..., apa yang akan kau lakukan
padaku?" tanya Nyai Sinah mencoba tenang.
"Ada yang periu aku bicarakan denganmu, Nyai
Sinah," kata Juragan Basra.
Laki-laki bertubuh gemuk itu memberikan isyarat
pada orang berbaju hitam yang membawa pelita kecil di

belakangnya. Laki-laki yang temyata adalah Calong itu
menempelkan pelita di dinding. Kemudian melangkah keluar.
Pintu ruangan pun kembali tertutup rapat setelah Calong
berada di luar.
"Sudah lama aku ingin bicara berdua saja denganmu,
Nyai Sinah," kata Juragan Basra menyeringai,
memperlihatkan gigi-giginya yang kecil bagai biji ketimun.
"Kenapa harus dengan cara seperti ini...?" Nyai Sinah
menggeliat
Janda pemilik kedai itu meringis kerika merasakan
perih pada kedua tangan yang terikat. Juragan Basra
terkekeh seraya mendekati. Lalu membuka ikatan yang
membelenggu tangan Nyai Sinah.
"Aku sudah pernah melamarmu. Tapi kau tolak. Dan
aku tidak mau mengulangi untuk kedua kalinya," kata
Juragan Basra lagi.
Nyai Sinah hanya diam saja. Memang diakui kalau
Juragan Basra pernah melamarnya, tapi dengan halus
ditolaknya. Dia sendiri heran, karena laki-laki gemuk yang
berangasan ini tidak marah menerima penolakannya.
Bahkan seperti memberi angin saja. Membiarkan kedai
miliknya tetap buka. Tapi memang Nyai Sinah tidak tahu
kalau semua yang dilakukan Juragan Basra selama ini punya
maksud tertentu.
Janda cantik bertubuh sintal ini memang tidak pernah
menyadari kalau dirinya sudah masuk ke dalam jerat setan
yang ditebarkan Juragan Basra. Dan dia tidak mungkin bisa
keluar lagi dengan mudah dari jerat setan yang ditebarkan
dengan cara-cara yang begitu halus.
***
EMPAT

"Dengar, Nyai Sinah. Aku bisa membuatmu senang,
dan juga bisa membuatmu sengsara. Untuk membunuhmu,
sama mudahnya dengan membalik telapak tangan bagiku,"
kata Juragan Basra dingin.
Bergetar seluruh tubuh Nyai Sinah mendengar kata-
kata bernada ancaman begitu. Dia sadar kalau Juragan
Basra sudah mengeluarkan ancaman, itu berarti bukan
ancaman kosong. Kini tak ada lagi yang bisa dilakukan Nyai
Sinah selain menunggu dengan dada berdebar keras.
"Kau pasti mengenal Jangir...," kata Juragan Basra
lagi.
Nyai Sinah hanya mengangguk saja. Dugaannya
sudah pasti, tentu ada hubungan dengan peristiwa tadi
siang. Tapi, ada hubungan apa dengan dirinya...? Nyai Sinah
bukan cuma kenal Paman Jangir. Bahkan sudah
menganggap laki-laki tua itu sebagai pengganti orang tuanya.
"Aku tahu, kau begitu dekat dengan Jangir. ltulah
sebabnya aku memintamu datang ke sini," lanjut Juragan
Basra.
"Aku diculik!" protes Nyai Sinah.
"He he he..., maaf kalau mereka membuatmu takut.
Aku tidak menyuruh mereka menyakitimu."

Nyai Sinah hanya diam saja. Di dalam benaknya,
sudah merasa pasti kalau ada sesuatu yang harus dilakukan
untuk kepentingan Juragan Basra. Dan dia sudah yakin kalau
sesuatu itu pasti menyangkut antara hidup dan mati Paman
Jangir. Bahkan bukan tidak mungkin dirinya juga terancam.
"Apa yang kau inginkan dariku?" tanya Nyai Sinah.
"Kau memang cerdas, Nyai," puji Juragan Basra
seraya tersenyum.
Tapi bagi Nyai Sinah, senyum laki-laki gemuk ini
merupakan seringai seekor serigala yang kelaparan melihat
anak domba. Bukan senyuman manusia lagi. Kembali wanita
cantik bertubuh sintal ini bergidik. Diam-diam dia mulai
merasakan adanya kengerian yang menyelusup ke dalam
hatinya.
"Katakan saja terus terang, apa yang kau inginkan
dariku?" desak Nyai Sinah.
Juragan Basra terkekeh panjang. Nyai Sinah hanya
diam dengan mata terbuka lebar. Laki-laki bertubuh gemuk
itu mendekati. Kemudian membisikkan sesuatu di telinga
janda cantik ini. Sejenak Nyai Sinah terbelalak. Seolah-olah
tidak percaya mendengar bisik-an Juragan Basra.
Dipandanginya laki-laki bertubuh gemuk itu dalam-dalam,
seakan-akan ingin mencari kebenaran dari apa yang tadi
telah didengarnya.
"Ada satu lagi sebelum kau lakukan itu, Nyai Sinah,"
kata Juragan Basra lagi.
"Apa...?" kali ini suara Nyai Sinah terdengar bergetar.

"He he he...," Juragan Basra hanya tertawa saja.
Belum juga Nyai Sinah bisa berpikir lebih jauh,
mendadak saja laki-laki gemuk itu sudah menerkamnya. Nyai
Sinah memekik kaget Tubuhnya jatuh telentang di lantai
berdebu sambil mencoba melepaskan diri dari pelukan
Juragan Basra. Namun pelukan laki- laki gemuk itu demikian
kuat.
"Auw! Lepaskan...!" bentak Nyai Sinah.
"Hanya sebentar, Nyai..., tidak apa-apa...," suara
Juragan Basra mulai terdengar mendengus.
Nyai Sinah terus menggeliat, mencoba melepaskan
diri dari himpitan tubuh gemuk itu. Napasnya mulai tersengal
sesak. Kepalanya menggeleng ke kanan dan ke kiri,
menghindari hujan ciuman yang didaratkan Juragan Basra
dengan penuh nafsu.
Bret!
"Auh...!" lagi-lagi Nyai Sinah terpekik Dia tidak dapat
lagi mempertahankan diri. Baju yang dikenakannya dikoyak
dengan kasar. Kulit tubuhnya yang putih halus, terbuka lebar
di bawah himpitan tubuh gemuk. Nyai Sinah berteriak-teriak,
sambil terus berusaha melepaskan diri. Namun semua
usaha yang dilakukannya malah menambah gairah Juragan
Basra melonjak.
Satu persatu pakaian yang dikenakan wanita itu
direnggut paksa. Kini tak ada lagi sehelai benang pun yang
melekat di tubuhnya. Air bening mulai menitik dari sudut

matanya. Dan akhimya periawanan Nyai Sinah berhenti.
Wanita itu hanya bisa menangis dan rnerintih pedih.
Nyai Sinah tidak sanggup lagi membuka matanya. Dia
hanya dapat mendengar dengus napas memburu yang begitu
dekat di wajahnya. Bukan hanya tubuhnya saja yang terasa
nyeri, tapi harinya ikut hancur. Apa yang selama ini
dipertahankannya, meskipun sudah janda, luntur sudah
malam ini. Tak ada lagi yang bisa dilakukannya, selain
menangis menyesali semua yang terjadi. Memohon belas
kasihan pun sudah tidak mungkin lagi.
Nyai Sinah baru membuka matanya kerika
merasakan beban yang menghimpit tubuhnya tidak terasa
lagi. Mukanya langsung dipalingkan begitu melihat Juragan
Basra membenahi pakaiannya dengan bibir menyunggingkan
senyuman lebar. Tubuhnya yang gemuk, basah oleh keringat.
"Binatang kau, Basra...!" desis Nyai Sinah me-maki.
"He he he...," Juragan Basra hanya terkekeh saja.
Laki-laki gemuk itu menjawil dagu Nyai Sinah. Tapi
janda cantik itu cepat menepis, Juragan Basra terus terkekeh
sambil melangkah keluar dari ruangan sempit yang berdebu
dan pengap ini. Kini tinggallah Nyai Sinah dalam
kesendiriannya, menangis sambil mengenakan pakaiannya
kembali. Meskipun bentuknya sudah tidak lagi beraturan.
***

Sementara itu, jauh dari tempat di mana Nyai Sinah
tengah meratapi nasib buruknya, Bayu tengah menikmati
secangkir kopi yang dipadu dengan sepiring pisang goreng.
Pemuda berbaju kulit harimau ini duduk di beranda depan
rumah Paman Jangir sambil memandang ke laut lepas. Dari
rumah Paman Jangir ini, Pulau Neraka bisa dilihatnya dengan
jelas. Ingin rasanya dia kembali ke sana. Tempat yang begitu
tenang, tanpa harus bergelimang dengan segala macam
urusan duniawi.
Namun Bayu tidak mungkin bisa kembali ke sana
lagi. Eyang Gardika, gurunya, sudah berpesan agar dirinya
tidak kembali lag walau apa pun yang terjadi. Bayu memang
bisa meredam keinginannya untuk kembali ke pulau tak
berpenghuni itu. Tapi tidak bisa melupakan masa-masa
indahnya di sana. Dan sampai kapan pun akan tetap teringat
"Hei...!" tiba-tiba Bayu tersentak.
Sekelebat dilihatnya sebuah bayangan berkelebat di
antara pepohonan yang menyemak di samping rumah
Paman Jangir. Belum lagi keterkejutannya lenyap, tahu-tahu
berkelebat sebuah bayangan lagi dari arah yang sama. Bayu
baru saja hendak bangkit, ketika Paman Jangir keluar dari
dalam.
"Kau lihat dua bayangan tadi, Bayu?" tanya Paman
Jangir.
“Paman juga melihat?" Bayu balik bertanya.
"Aku tadi melihatnya dari jendela," sahut Paman
Jangir.

"Kira-kira siapa mereka, Paman...?"
Belum juga Paman Jangir sempat menjawab
pertanyaan Pendekar Pulau Neraka, mendadak terlihat
sebuah bola api meluncur cepat ke arah rumah kecil ini.
Bayu dan Paman Jangir tersentak sejenak. Namun dengan
cepat, Pendekar Pulau Neraka menyambar piring yang berisi
pisang goreng di sampingnya.
"Yeaaah...!"
Sambil mengerahkan tenaga dalam, Pendekar Pulau
Neraka melemparkan piring ke arah bola api tadL Piring itu
meluncur deras, menghantam bola api selagi masih berada
di udara. Satu ledakan keras terdengar begitu piring itu
menghantam bola api.
'Tampaknya kita kedatangan tamu malam ini,
Paman," kata Bayu, seraya melompat keluar dari beranda.
"Kau mau ke mana, Bayu?" tanya Paman Jangir.
"Paman tunggu saja di situ”
Bayu melompat cepat ke arah datangnya bola api
tadi. Namun begitu tubuhnya berada di udara, mendadak
saja sebuah bayangan biru berkelebat cepat menyambar
kearahnya. Bayu cepat-cepat memutar tubuh, menghindari
terjangan bayangan biru itu.
Dua kali Pendekar Pulau Neraka berjumpalitan di
udara. Kemudian dengan manis sekali mendarat di tanah
berpasir halus. Dan begitu kakinya menjejak tanah, tahu-
tahu bayangan biru itu sudah kembali meluruk deras ke
arahnya.

"Hiyaaa...!"
Bayu cepat menghentakkan kedua tangannya ke
depan, menyongsong kedatangan bayangan biru. Satu
benturan keras tidak dapat dihindari lag. Saat itu juga
terdengar ledakan keras menggelegar, tepat di saat kedua
telapak tangan Bayu membentur bayangan biru.
Bayu cepat melentingkan tubuhnya ke belakang,
berputaran beberapa kali sebelum mendarat dengan manis
sekali. Sedangkan bayangan biru tampak bergulingan di atas
tanah berpasir. Namun cepat bangkit kembali berdiri. Kini,
sekitar tiga tombak di depan Pendekar Pulau Neraka, sudah
berdiri seorang laki-laki bertubuh tegap mengenakan baju
ketat berwarna biru. Sehingga bentuk tubuhnya yang tegap
dan berotot terlihat jelas. Bayu mengenali laki-laki itu sebagai
salah seorang yang menemani Juragan Basra ketika
melabrak Paman Jangir di kedai Nyai Sinah.
Laki-laki bertubuh tegap dengan raut wajah
memancarkan kebengisan itu, mencabut sepasang trisula
kembar dari balik sabuk pinggangnya. Dengan tangkas sekali
senjata itu dimainkannya. Bayu memperhatikan dengan
mata hampir tidak berkedip. Dalam hati, dipujinya
ketangkasan orang yang tak lain adalah Pangkeng itu.
Bet!
Bet!
"Hiyaaat..!"
Sambil berteriak nyaring, Pangkeng menerjang
Pendekar Pulau Neraka. Lesatannya begitu cepat dan ringan

sekali. Sambaran kedua senjatanya menimbulkan suara
angin menderu bagaikan topan. Bayu cepat melakukan
tindakan penyelamatan dengan melompat beberapa tindak
ke kanan.
Tapi Pangkeng terus mendesak dengan jurus-
jurusnya yang cepat dan dahsyat. Sepasang senjatanya yang
berujung tiga dan berwarna keemasan, berkelebatan cepat
mengancam tubuh Pendekar Pulau Neraka. Beberapa kali
Bayu terpaksa harus menjatuhkan diri dan bergulingan di
tanah. Bahkan beberapa kali pula Pendekar Pulau Neraka
terpaksa melentingkan tubuhnya ke udara. Rupanya
Pangkeng benar-benar tidak ingin memberi kesempatan
pada pemuda berbaju kulit harimau itu untuk menyerang.
Sementara Bayu tengah menghadapi Pangkeng,
Paman Jangir hanya memperhatikan saja dari depan rumah.
Harinya agak cemas juga melihat Bayu sama sekali tidak
diberikan kesempatan balas menyerang. Beberapa kali Iaki-
laki tua ini terkesiap, melihat ujung senjata Pangkeng hampir
merobek tubuh Pendekar Pulau Neraka.
"Hiyaaat..!"
"Heh...?!"
Paman Jangir tersentak kaget kerika tiba-tiba saja
ada sebuah bayangan kuning berkelebat ke arahnya. Cepat
laki-laki tua itu melompat ke depan, dan menjatuhkan diri di
tanah. Setelah bergulingan beberapa kali, kemudian dia
melompat bangkit dengan cepat Tapi belum lagi dia benar

benar siap, tahu-tahu bayangan kuning tadi sudah kembali
menyerang.
"Hup! Yeaaah...!"
Paman Jangir bergegas merunduk, menghindari
terjangan bayangan kuning. Dan sambil memutar tubuh
bagai gasing, tangannya dihentakkan, memberi satu pukulan
keras disertai pengerahan seluruh tenaga dalam.
Plak!
"Akh...!" Paman Jangir memekik kaget kerika
tangannya menghantam bayangan kuning.
Cepat tubuhnya ditarik ke belakang. Paman Jangir
merasakan seperti menghantam sebongkah batu karang
saja. Jari-jari tangannya terasa nyeri, seperti hendak remuk
rasanya. Kening lak-laki tua itu berkernyit ketika melihat
seorang laki-laki bertubuh tegap, mengenakan baju kuning,
berdiri tidak jauh di depannya.
Ctar!
Terdengar suara menggeletar kerika orang berbaju
kuning itu melecutkan cambuk hitamnya. Paman Jangir
menarik kakinya ke belakang dua tindak. Dia tahu kalau
orang yang memegang cambuk adalah tangan kanan
Juragan Basra. Dialah yang dikenal bernama Bancak. Ilmu
olah kanuragannya juga tlnggi. Dan sampai saat ini belum
ada seorang pun yang dapat menandinginya. Di antara
tukang-tukang pukul Juragan Basra, Bancak memang paling
ditakuti. Laki-laki tegap itu tidak segan-segan membunuh,
meskipun karena persoalan sepele saja.

"Kenapa kalian menyerang kami...?" tanya Paman
Jangir.
"Jangan banyak tanya, Tua Bangka!" bentak Bancak
lantang.
"Kalian pasti disuruh Juragan Basra," tebak Paman
Jangir.
"Benar. Juragan ingin kau matil"
"Tidak semudah itu menentukan kematian orang,
Bancak."
"Banyak omong...! Hiyaaat...!"
Bancak yang memang paling tidak suka banyak
bicara, langsung menyerang Paman Jangir. Mau tidak mau,
bekas murid Dewa Pedang ini harus melayani tukang pukul
andalan Juragan Basra, meskipun sadar kalau Bancak tidak
mudah ditundukkan.
Hal ini segera dirasakan Paman Jangir. Dalam
beberapa jurus saja, dia sudah mulai kewalahan. Usia tua
memang menyulitkan baginya untuk mengatur pernapasan.
Terlebih lag Bancak mengajak bertarung cepat. Seakan-akan
memang tidak ingin memberi kesempatan Paman Jangir
mengambil napas.
Beberapa kali lecutan cambuk laki-laki berbaju
kuning itu hampir mengenai tubuh Paman Jangir. Namun
sampai sejauh ini, belum ada satu serangan pun yang
berhasil mengenai sasaran. Sedangkan Paman Jangir sendiri
hanya memiliki beberapa kesempatan kecil untuk balas
menyerang. Dan itu pun dapat dimentahkan dengan mudah.

Serangan balasan yang dilakukan orang tua itu tidak berarti
sama sekali bagi
Bancak.
Ctarr
Satu lecutan cambuk yang menggelegar dahsyat, kali
ini begitu cepat Sehingga Paman Jangir tidak punya
kesempatan lagi untuk menghindar. Ujung cambuk Bancak
tepat menghantam dada kerempeng nelayan tua itu.
"Akh...!" Paman Jangir memekik keras.
Laki-laki tua itu terhuyung-huyung ke belakang. Darah
mengucur dari kulit dada yang terkena sambaran ujung
cambuk berduri halus. Dan belum lagi Paman Jangir bisa
menguasai keseimbangan tubuhnya, Bancak sudah kembali
melancarkan serangan dahsyat.
Ctar!
Kembali melecutkan satu cambukan yang
menggelegar dahsyat Begitu dahsyatnya cambukan Bancak,
sehingga dari ujung cambuk yang berduri halus itu memercik
bunga api.
"Aaakh...!" kembali Paman Jangir menjerit
Cambukan Bancak merobek kulit wajah orang tua itu.
Dan darah pun kembali mengucur deras dari kulit wajahnya
yang sobek cukup panjang dan dalam.
"Mampus kau! Hiyaaat...!"
Bancak melompat bagaikan kilat sambil melepaskan
satu pukulan menggeledek, disertai pengerahan seluruh
tenaga dalam. Serangan Bancak kali ini sukar dihindari lagi.

Des!
"Aaa....."
Paman Jangir terpental deras ke belakang disertai
jeritan panjang melengking. Keras sekali tubuh tua itu
menghantam tanah berpasir. Sebentar tubuhnya mampu
menggeliat, sesaat kemudian diam tak berkutik lagi. Darah
segar mengucur deras dari mulutnya.
"Ha ha ha...!" Bancak tertawa terbahak-bahak melihat
Paman Jangir menggeletak tak bernyawa lagi
Laki-laki bertubuh tegap berbaju kuning itu memutar
tubuhnya, mengamati pertarungan antara Bayu dan
Pangkeng. Pertarungan itu tampaknya tidak akan
berlangsung lama lag. Dan sudah kelihatan kalau kali ini
Pangkeng terdesak.
"Yeaaah...!"
Pada satu kesempatan, satu pukulan menggeledek
yang dilancarkan Bayu berhasil mendarat telak di dada
Pangkeng. Sehingga membuat tukang pukul Juragan Basra
ini terpental jauh ke belakang.
Tepat pada saat itu, Bancak sudah melompat cepat
bagaikan kilat menyambar Pangkeng sebelum tubuhnya
menghantam tanah. Begitu berhasil menyambar tubuh
temannya, dia langsung melesat pergi dengan kecepatan
yang sukar diikuti mata biasa. Semula Bayu hendak
mengejar, tapi terpaksa niatnya itu diurungkan ketika
teringat Paman Jangir. Pendekar Pulau Neraka terkesiap
begitu melihat Paman Jangir menggeletak berlumuran darah.

“Paman...!" jerit Bayu.
Bergegas Pendekar Pulau Neraka memburu. Sejenak
dia tertegun melihat Paman Jangir sudah tidak bergerak lagi
Darah segar masih mengucur deras dari luka di dada dan
muka. Mulutnya yang terbuka, penuh tersumpal gumpalan
darah kental kehitaman.
"Paman...."
Bayu beriutut di samping tubuh tua yang menggeletak
mandi darah itu. Pendekar Pulau Neraka cepat memeriksa
urat nadi di leher. Dia mengeluh dan tertunduk lemas kefika
tahu kalau Paman Jangir sudah tewas.
"Keparat..," desis Bayu menggeram.
Pendekar Pulau Neraka mendongak. Sinar matanya
yang tajam tampak memerah. Dan mendadak wajahnya
menegang kaku. Seluruh tubuhnya bergetar, menahan
gejolak marah yang menggelegak bagaikan lahar di perut
gunung.
"Keparat kau, Basra.... Kubunuh kau...!" jerit Bayu
melengking.
Disertai teriakan menggelegar, Pendekar Pulau
Neraka melampiaskan kemarahannya. Sebatang pohon
besar yang berada di dekatnya, hancur berkeping-keping
terkena pukulan bertenaga dalam penuh. Sebongkah batu
karang juga hancur terkena pukulan.
Bayu terus mengamuk, menumpahkan seluruh
kemarahannya. Sesaat kemudian, pemuda itu jatuh kembali
beriutut di samping tubuh Paman Jangir. Kepalanya


tertunduk dalam dengan bahu berguncang. Meskipun
batinnya menangis, tapi raut wajahnya memerah, menahan
kemarahan.
Perlahan Pendekar Pulau Neraka mengangkat tubuh
bekas murid ayahnya, dan membawanya masuk ke dalam
rumah. Ayunan kakinya begitu perlahan dan gontai.
Sementara malam terus merambat semakin larut Tak lagi
terdengar suara selain deburan ombak menghantam karang.
Bayu meletakkan jasad Paman Jangir di atas dipan
kayu di kamar laki-laki tua itu. Lalu menutupinya dengan
selembar kain yang sudah lusuh dan pudar wamanya.
Dipandanginya tubuh tua yang terbaring tak bemyawa lagi.
Kini sudah tak ada lagi orang yang dapat dijadikan tempat
mengadu. Satu-satunya orang yang tahu perihal keluarganya
sudah tewas.
"Akan kubalas kematianmu, Paman. Aku janji...," ujar
Bayu, agak tersendat suaranya.
***

LIMA

Sejak semalam, hingga matahari naik tinggi, Bayu
berdiri mematung di depan pusara yang tanahnya masih
merah. Di dalam gundukan tanah itu terbaring jasad Paman
Jangir. Satu-satunya bekas murid Padepokan Teratai Putih
yang diketahui Pendekar Pulau Neraka. Semula, Bayu
mengunjungi Paman Jangir untuk me-minta kepastian,
apakah ibunya masih hidup atau sudah mati.
Tapi beberapa peristiwa yang dialaminya membuat
Bayu menunda maksudnya. Bahkan sampai Paman Jangir
tewas di tangan tukang pukul Juragan Basra dia tidak
sempat bertanya. Pendekar Pulau Neraka berpaling kerika
seekor monyet kecil mencericit di atas dahan pohon. Monyet
kecil yang ternyata adalah Tiren, meluncur turun dan
langsung hinggap di pundaknya. Bayu memberikan
senyuman tipis. Kemudian menepuk-nepuk kaki binatang
berbulu coklat itu.
"Kini tinggal kau satu-satunya sahabatku, Tiren," kata
Bayu pelan.
"Nguk!" Tiren seperti mengerti.
Monyet cerdas itu memeluk leher Bayu erat-erat dan
menggosok-gosokkan wajahnya ke pipi Bayu. Begitu manja
sikapnya, seolah-olah hendak menghibur hati Pendekar
Pulau Neraka.

"Aku harus membalas kematian Paman Jangir, Tiren,"
kata Bayu lagi. Suaranya masih terdengar pelan.
"Nguk!" lagi-lagi Tiren menyahuti dengan suara yang
khas.
Sebentar Bayu menatap batu nisan pusara Paman
Jangir. Kemudian kepalanya mendongak sejenak. Dengan
perasaan berat, Pendekar Pulau Neraka memutar tubuh,
mulai berjalan perlahan-lahan meninggalkan pusara Paman
Jangir.
Ayunan kaki Pendekar Pulau Neraka demikian
perlahan, seakan-akan tidak ada semangat hidup lagi. Baru
kali inilah dia begitu kehilangan. Setelah Eyang Gardika, dia
sudah menganggap Paman Jangir sebagai pengganti orang
tuanya. Tapi belum sempat mengucapkan kata-kata itu,
semua sudah terjadi. Paman Jangir kini terbaring di tempat
peristirahatannya yang terakhir.
Ayunan kaki Pendekar Pulau Neraka terhenti ketika
melihat seorang wanita mengenakan baju biru, berdiri
menghadang. Sebentar Bayu mengamati wanita berparas
cantik yang sudah dikenalnya. Kemudian kembali berjalan
menghampiri. Pendekar Pulau Neraka menghentikan
langkah setelah jaraknya tinggal sekitar tiga langkah lagi di
depan wanita pemilik kedai di Pesisir Pantai Selatan ini
"Aku turut menyesal atas kejadian ini," ucap wanita
cantik yang dikenali Bayu bernama Nyai Sinah.
“Terima kasih," ucap Bayu seraya tersenyum getir.

"Sebenarnya ada persoalan apa antara Paman Jangir
dengan Juragan Basra?" tanya Nyai Sinah ingin tahu.
"Hanya persoalan biasa saja," sahut Bayu.
"Juragan Basra memang orang paling berkuasa di
sini. Tidak ada seorang pun yang berani menentangnya. Dia
menguasai apa saja yang ada di sini. Paman Jangir bukanlah
korban pertama, tapi sudah banyak korban kekejamannya,"
pelan sekali suara Nyai Sinah.
Bayu mengamati wajah janda cantik ini. Raut
wajahnya begitu mendung. Dan dari tekanan nada suaranya,
Pendekar Pulau Neraka bisa memastikan kalau Nyai Sinah
menyimpan suatu duka. Atau lebih tepat dikatakan sebagai
sebuah dendam yang tersimpan dalam di lubuk harinya.
"Sudah berapa lama dia berbuat seperti ini?" tanya
Bayu lag.
"Entahlah. Yang jelas sudah lama sekali," sahut Nyai
Sinah.
Bayu tercenung. Dia memang sudah lama tidak
menginjakkan kakinya lagi di Pesisir Pantai Selatan ini.
Pertama kaB keluar dari Pulau Neraka, memang tempat
inilah yang dipijaknya. Dan itu pula yang terakhir kali hingga
sampai sekarang ini dia berada di Pantai Selatan. Waktu itu
dia sama sekali tidak sempat memperhatikan sekelilingnya.
Saat itu dia hanya punya satu tujuan, membalas kematian
ayahnya. Dan setelah semuanya terlaksana, dia langsung
pergi mengembara.

Yang pasti, saat itu Juragan Basra memang sudah
berkuasa di daerah ini.
"Belum lama ini ada yang mencoba menghentikan
perbuatan Juragan Basra. Tapi...," Nyai Sinah tidak
meneruskan.
Bayu memandang janda cantik itu dalam-dalam,
Meskipun tidak diucapkan, dari sinar matanya dapat
diketahui kalau Pendekar Pulau Neraka ingin meminta Nyai
Sinah meneruskan ucapannya. Dan rupanya Nyai Sinah bisa
mengerti arti pandangan pemuda berbaju kulit harimau ini.
"Dia seorang pemuda, mungkin sebaya denganmu,
Bayu...."
Nyai Sinah memang sudah diperkenalkan pada Bayu
oleh Paman Jangir kerika mereka mengunjungi kedai wanita
ini. Dan kunjungan Pendekar Pulau Neraka yang pertama
mendapat suasana yang tidak me-ngenakkan dari Juragan
Basra.
"Sebaiknya kita bicara di rumah saja, Nyai," ajak Bayu
merasa tidak enak berdua dengan seorang wanita di tempat
sepi seperti ini.
“Terialu banyak kesulitan kalau di rumah, Bayu," Nyai
Sinah menolak.
Bayu mengedarkan pandangannya berkeliling.
Kemudian mengajak wanita ini ke tempat yang lebih nyaman.
Hutan ini memang tidak begitu lebat, karena penduduk di
sekitar Pesisir Pantai Selatan memperoleh kayu bakar dari

sini. Dan memang beberapa kali terlihat orang mencari kayu
bakar, atau keluar sehabis berburu.
Mereka kemudian berjalan bersisian. Sambil berjalan,
Nyai Sinah menceritakan tentang pemuda yang tadi
dikatakan pernah mencoba menentang kelaliman Juragan
Basra. Dan Bayu sendiri jadi tertarik, setelah teringat dengan
cungkup makam yang berada di tengah-tengah hutan tepi
pantai ini. Bisa jadi pemuda yang dikatakan Nyai Sinah itu
adalah Hanggara.
***
"Siapa nama pemuda itu, Nyai?" tanya Bayu.
"Hanggara," sahut Nyai Sinah.
"Hanggara...?!"
Sebenarnya Bayu memang sudah menduga. Tapi toh
akhirnya dia terkejut juga saat Nyai Sinah menyebut nama
pemuda yang tewas di tangan anak buah Juragan Basra,
akibat hendak menghentikan aksi juragan kaya itu. Namun
Bayu cepat menyembunyikan rasa terkejutnya, sebelum Nyai
Sinah bisa mengetahui.
"Sebenarnya Kakang Hanggara tidak kalah. Tapi
Juragan Basra berlaku curang," lanjut Nyai Sinah.
"Curang? Curang bagaimana, Nyai?" Bayu minta
penjelasan lagi.
"Dia menyanderaku, dan mengancam akan
membunuhku kalau Kakang Hanggara tidak mau menyerah.

Sebenarnya aku sudah meminta Kakang Hanggara jangan
menghiraukan aku, tapi dia menyerah juga. Juragan Basra
memenggal kepalanya hingga...," Nyai Sinah tidak
melanjutkan kata-katanya.
Janda cantik ini mendongakkan kepalanya, karena
tidak sanggup membayangkan peristiwa mengerikan yang
terjadi di depan matanya. Tanpa disadari, setetes air bening
bergulir di pipinya, Namun dia cepat menyadari, dan
memalingkan muka sambil menghapus air matanya.
Meskipun begitu, Bayu sempat melihat setitik air bening yang
bergulir di pipi halus itu.
"Kau menangis, Nyai..?" lembut suara Bayu.
“Tidak...," sahut Nyai Sinah tetap membelakangi
Pendekar Pulau Neraka.
Namun suaranya jelas terdengar tersendat Dengan
lembut sekali, Bayu membalikkan tubuh wanita itu. Dan Nyai
Sinah tidak dapat membendung air matanya lagi. Dia jatuh
terduduk, sambil menangis sesenggukan.
Satu kelemahan yang dimiliki Bayu. Dia paling
kebingungan kalau menghadapi wanita yang sedang
menangis. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukannya.
Pendekar Pulau Neraka hanya bisa menunggu sampai tangis
Nyai Sinah reda.
Agak lama juga Bayu terdiam menunggu tangis Nyai
Sinah reda. Dan selama menunggu, dia hanya diam saja.
Karena memang tidak mampu melakukan apa-apa untuk
menghibur. Apalagi menghentikan tangis. Memang, selama

tinggal di Pulau Neraka bersama Eyang Gardika, dia tidak
pernah melihat air mata menitik. Apalagi mendengar suara
tangis. Yang ada hanya kekerasan alam. Dan lagi, Eyang
Gardika tidak pernah mengatakan kalau makhluk yang
bernama wanita itu mudah sekali menangis. Sehingga tidak
mengherankan kalau Bayu tidak mengetahui cara
menghentikan tangis seorang wanita.
"Maafkan aku, Bayu. Aku...," suara Nyai Sinah
terputus-putus.
"Sudahlah...," hanya itu yang bisa diucapkan Bayu.
"Aku sudah mencoba untuk melupakan, dan
berusaha tabah. Tapi sulit.. sulit sekali melupakan Kakang
Hanggara. Dia satu-satunya laki-laki yang memperhatikanku,
dan rela berkorban demi keselamatanku," lanjut Nyai Sinah
masih dengan suara tersendat
Bayu hanya bisa diam mendengarkan. Dugaannya
kalau di antara Nyai Sinah dan Hanggara terjadi suatu
hubungan istimewa mulai terlihat jelas. Rasanya tidak
mungkin kalau Juragan Basra memanfaatkan wanita ini
untuk menghentikan perlawanan Hanggara tanpa alasan
kuat
"Aku dan Kakang Hanggara sudah merencanakan
untuk berumah tangga. Tapi Kakang Hanggara tidak bisa
melihat perlakuan Juragan Basra dan tukang-tukang
pukulnya yang selalu memerasku. Makan seenaknya di
kedaiku, dan mengambil apa saja tanpa membayar. Bahkan
uang daganganku juga mereka rampas. Dua orang tukang

pukul Juragan Basra tewas oleh Kakang Hanggara. Dan
inilah yang membuat Juragan Basra marah. Tidak sedikit
tukang pukulnya tewas, setiap kali mencoba menangkap
Kakang Hanggara. Hingga akhimya aku diculik. Kakang
Hanggara terpaksa menyerah demi keselamatanku,"
sambung Nyai Sinah panjang-lebar.
"Lalu, suamimu yang dulu?" tanya Bayu.
"Juga tewas oleh Juragan Basra. Suamiku tidak ingin
menjual perahunya. Waktu suamiku ke laut perahunya ada
yang bakar. Suamiku tewas bersama tiga orang temannya di
dalam perahu."
Bayu kembali terdiam. Sudah cukup berat
penderitaan yang dialami Nyai Sinah. Dan pasti penderitaan
serupa juga dialami sekian banyak penduduk Pesisir Pantai
Selatan ini. Nyai Sinah sendiri tidak tahu, kenapa Juragan
Basra selalu saja mencari perkara setiap ada laki-laki yang
mencoba mendekatinya. Hingga akhirnya baru tadi malam
dia tahu kalau Juragan Basra sebenarnya ingin
mempersunting dirinya.
Sudah barang tentu, Nyai Sinah menolak lamaran
laki-laki gemuk yang sudah tidak terhitung lagi istrinya.
Tersebar hampir di seluruh pelosok Pesisir Pantai Selatan ini.
Bahkan sampai ke desa-desa Iain. Tapi tak satu pun dari
istri-istrinya yang diperhatikan. Kehidupan mereka sama
sengsaranya dengan yang lain. Dan tidak ada seorang laki-
laki yang berani mendekati, karena sekali mencoba, pasti
tewas di tangan tukang-tukang pukulnya yang kejam.

“Bayu...," pelan sekali suara Nyai Sinah.
Bayu hanya menggumam saja.
"Aku datang menemuimu, sebenarnya bukan untuk
mengatakan semua ini, tapi...."
'Tapi apa, Nyai?"
"Aku disuruh merayumu, lalu meracunimu," sahut
Nyai Sinah pelan. Begitu pelannya suara wanita itu, sehingga
hampir tidak terdengar.
Mendengar pengakuan Nyai Sinah, Bayu sempat
terionjak karena terkejut Dipandanginya wajah yang
tertunduk lesu itu dalam-dalam. Seakan-akan mencari
kejujuran dari kata-kata yang baru saja didengamya.
"Siapa yang menyuruhmu?" tanya Bayu.
"Juragan Basra."
"Keparat..!" desis Bayu menggeram.
Wajah Pendekar Pulau Neraka langsung memerah
menahan kemarahan yang tiba-tiba saja menggelegak di
dalam dada. Belum pernah dia menghadapi manusia Hcik
dan pengecut seperti Juragan Basra. Memanfaatkan orang
Iain untuk melaksanakan maksud busuknya.
"Maafkan aku, Bayu. Seharusnya aku tidak perlu
mengatakannya padamu," ucap Nyai Sinah, tetap pelan
suaranya.
"Kau tidak salah, Nyai. Tidak perlu meminta maaf,"
kata Bayu.
Nyai Sinah tetap saja tertunduk. Dengan tangan
gemetar, dikeluarkannya sebuah bungkusan kain hitam dari

batik lipatan kainnya. Bayu menerima bungkusan kain hitam
itu. Kemudian membukanya. Wajah Pendekar Pulau Neraka
semakin memerah. Mulutnya men-desis geram begitu
melihat bubuk putih kekuningan di dalam bungkusan kain.
Lalu Bayu melipat kain hitam itu, dan membuangnya ke laut
Sesaat kemudian bungkusan kain hitam tadi langsung
digulung ombak, dan lenyap ditelan ombak yang
menggunung.
"Sudah sore. Sebaiknya kau pulang saja, Nyai," kata
Bayu.
Sebentar Nyai Sinah menatap pemuda berbaju kulit
harimau itu, kemudian bangkit berdiri. Bayu bergegas
membantunya berdiri. Nyai Sinah masih memandangi wajah
Bayu lekat-lekat seakan-akan masih ada lagi yang hendak
disampaikan.
Semula wanita cantik ini ingin sekali mengatakan
perbuatan Juragan Basra padanya semalam. Tapi hati
kecilnya tidak mengiankan untuk mengatakan pada pemuda
berbaju kulit harimau ini.
"Bayu...," agak ragu-ragu suara Nyai Sinah.
"Ada apa lagi?" tanya Bayu, lembut
"Juragan Basra mengira kau adalah saudara Kakang
Hanggara yang ingin menuntut balas," Nyai Sinah memberi
tahu.
"Hm..., dari mana dia bisa menduga begitu?" tanya
Bayu seperti untuk dirinya sendiri.
"Monyet itu," sahut Nyai Sinah.

Bayu menatap Tiren yang duduk tenang di
pundaknya. Kemudian pandangannya kembali dialihkan
kepada wanita di depannya.
"Apakah kau memang saudaranya, Bayu?" tanya Nyai
Sinah ingin tahu.
"Benar, aku adalah kakaknya," sahut Bayu.
"Oh, benarkah...?"
Bayu mengangguk.
"Kalau begitu, kau datang untuk membalas kematian
Kakang Hanggara?"
Lagi-lagi Bayu mengangguk. Memang tidak ada lag!
yang dapat dikatakan Pendekar Pulau Neraka. Dia memang
sengaja mengaku saudara Hanggara. Dan ini dimaksudkan
untuk memancing perhatian Juragan Basra terpusat
padanya. Dia yakin, kalau Juragan Basra akhimya akan
menanyai wanita ini. Dan itulah yang diharapkannya.
"Nyai, kalau Juragan Basra bertanya padamu tentang
diriku, katakan saja begitu," pinta Bayu.
“Tapi..., itu sangat berbahaya. Kau bisa dibunuhnya,
Bayu," ada kecemasan di dalam suara Nyai Sinah.
"Jangan cemas. Tidak mudah mereka membunuhku
begitu saja. Percayalah, aku pasti bisa menghentikan juragan
keparat itu untuk selama-lamanya."
Nyai Sinah tersenyum. Saat itu juga wajahnya kembali
cerah. Ada terbersit satu harapan pada sinar matanya. Satu
harapan yang pasti juga diharapkan oleh seluruh penduduk
Pesisir Pantai Selatan.

Bayu mengantar Nyai Sinah sampai ke rumahnya
yang juga merangkap sebagai kedai. Hari ini kedai Nyai Sinah
memang tidak buka. Dan keadaannya juga masih serba
berantakan. Pintu depan, meja dan beberapa perabotan
hancur berantakan, berserakan di lantai tanah. Mereka
kemudian kembali terlibat dalam suatu percakapan panjang.
Dan kali ini Bayu lebih sering bertanya. Terutama perihal
Hanggara.
Pendekar Pulau Neraka ingin tahu lebih banyak
perihal anak muda sebayanya yang bernama Hanggara. Tapi
ada satu yang sangat disayangkaa Nyai Sinah tidak
mengetahui asal-usul Hanggara. Nyai Sinah sendiri pernah
menanyakan, tapi hanya dijawab dari tempat yang jauh.
Hanya itu saja jawaban Hanggara setiap kali Nyai Sinah
menanyakan asalnya. Juga tujuannya ke Pesisir Pantai
Selatan ini tidak diketahui oleh siapa pun.
Hampir larut malam, Bayu baru keluar dari rumah
janda pemilik kedai itu. Semula Bayu ingin kembali ke rumah
Paman Jangir, tapi segera membatalkannya. Rupanya dia
tidak ingin kembali teringat dengan laki-laki tua itu. Akan
menambah kepedihan di harinya saja, bila teringat peristiwa
kemarin malam. Pendekar Pulau Neraka terus berjalan, ke
mana saja kakinya melangkah.
"Ha ha ha...!"
"Heh...?!" Bayu tersentak kaget ketika tiba-tiba saja
mendengar tawa keras menggelegar di belakangnya.

Pendekar Pulau Neraka segera memutar tubuhnya.
Sungguh dia tidak tahu kalau kini di depannya sudah berdiri
orang-orang bertampang beringas dengan golok terhunus di
tangan. Mereka berjumlah delapan orang Dan seorang di
antara mereka sudah dikenal Bayu. Laki-laki berbaju hitam
yang dikenalkan Paman Jangir sebagai Calong
"Hm..., mana tiga orang lainnya...?" gumam Bayu
bertanya-tanya di dalam hati.
Pendekar Pulau Neraka mengedarkan pandangan
berkeliling. Dia kembali bergumam, berbicara di dalam hati
sendiri. Begitu ke luar dari rumah Nyai Sinah tadi, Bayu
memang terus melamun, memikirkan semua peristiwa yang
terjadi di daerah Pantai Selatan ini. Sehingga tidak sempat
memperhatikan sekelilingnya. Dan tahu-tahu di sekitarnya
sudah mengepung puluhan orang yang tadi bersembunyi dari
balik rerimbunan semak-semak.
“Tampaknya keadaanku tidak menguntungkan,"
kembali Bayu bergumam dalam hati.
Pendekar Pulau Neraka memang sudah
diperingatkan Nyai Sinah kalau orang-orang Juragan Basra
tidak terhitung jumlahnya. Dan mereka semua adalah orang-
orang kasar haus darah. Tapi Bayu tidak menjadi gentar. Dari
pengalamannya, dia tahu kalau orang-orang semacam ini
hanya rampangnya saja yang seram. Padahal
kemampuannya kosong. Mereka hanya bisa main gertak
pada orang-orang lemah. Sebenarnya nyalinya kecil.

"Kami tahu, siapa sebenarnya kau, Bayu. Sebaiknya
cepatlah pergi dan dan jangan kembali lag ke sini. Kalau
tidak, nasibmu sama seperti adikmu," kata Calong, lantang
suaranya.
"Hm...," Bayu hanya bergumam perlahan.
Sungguh Pendekar Pulau Neraka tidak menyangka
kalau mereka akan tahu secepat ini. Apakah pertemuannya
dengan Nyai Sinah memang sudah dikuntit? Dan mereka
langsung menanyai wanita itu setelah kepergiannya. Hal itu
memang bisa saja terjadi. Dan mereka punya cukup waktu
untuk menanyai Nyai Sinah. Apalagi kemunculan Calong dan
anak buahnya dari arah belakang.
"Hanya ada satu pilihan bagimu, Bayu. Tinggalkan
tempat ini, atau kau mati di sini," kata Calong lagi, masih
dengan suara yang lantang.
"Aku akan pergi setelah membunuh kalian semua.
Terutama Juragan Basra!" sahut Bayu, tegas dan lantang
juga.
"Phuih! Kau akan menyesal, Bayu...!" dengus Calong
seraya menyemburkan ludah.
Saat itu juga, Calong menghentakkan tangannya. Dan
seketika tujuh orang di belakangnya langsung berlompatan
menyerang Pendekar Pulau Neraka sambil berteriak-teriak
dan mengacung-acungkan golok di atas kepala. Bayu
tersenyum melihat cara mereka menyerang yang seperti
gerombolan begal saja. Sesungguhnya mereka memang
begal, pemeras rakyat.

"Hiyaaa...!"
Cepat bagai kilat, Bayu melenting ke udara begitu
tujuh orang pengeroyok itu mendekat. Lalu dengan
kecepatan tJnggi dan sukar diikuti mata biasa, Pendekar
Pulau Neraka meluruk deras. Kedua tangannya bergerak
cepat menyambar tujuh orang yang tengah kebingungan,
karena tiba-tiba Bayu menyerang mereka dari atas.
Plak! Plak...!
Gerakan Bayu memang cepat luar biasa, sehingga
tujuh orang yang hanya bermodal tampang seram itu tidak
sempat lagi berbuat sesuatu. Tahu-tahu mereka merasakan
kepalanya bagai dihantam sebuah palu baja yang besar.
Jeritan-jeritan melengking terdengar saling sambut disusul
dengan bergelimpangannya tujuh orang itu. Mereka
mengerang, dan merintih sambil memegangi kepala masing-
masing. Bahkan tiga orang di antaranya langsung tidak
berkutik lagi.
Bayu langsung mendarat sekitar lima langkah lagi di
depan Calong. Tentu saja Calong terperanjat setengah mati.
Dia sampai melompat mundur sejauh tiga tindak. Kedua
matanya terbelalak, seperti melihat hantu.
"Sebenarnya aku malas berurusan dengan cacing-
cacing macam kalian," kata Bayu, dingin mengg-tarkan.
"Huh! Kau tidak akan bisa keluar dari sini hidup-
hidup, Bayu!" dengus Calong berusaha menghilangkan rasa
gentamya.


Pada saat itu, dari balik semak dan pepohonan,
bermunculan orang-orang bersenjata golok. Jumlah mereka
sekitar tiga puluh orang Rata-rata tampangnya mirip para
begal jalanan. Bayu hanya tersenyum tipis begitu menyadari
dirinya sudah terkepung. Tiga orang mendekati Calong.
Mereka sudah dikenal Bayu kerika tempo hari memaksa
Paman Jangir menjual ikannya dengan harga sangat rendah
sekali.
"Sudah kukatakan, kau akan menyesal, Bayu," kata
Calong sinis.
Saat itu, tujuh orang yang tadi menyerang Bayu sudah
bisa bangkit berdiri. Tapi, Bayu memang hanya ingin
memberi mereka sedikit pelajaran. Sama sekali dia tidak
berniat membunuh mereka.
"Seraaang...!" teriak Calong memberi perintah.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Mereka yang sudah mengepung, seketika itu juga
menyerang Bayu. Sebentar pemuda berbaju kulit harimau itu
mendengus, kemudian melentingkan tubuh ke udara. Lalu
meluruk deras sambil melontarkan beberapa pukulan cepat
Pendekar Pulau Neraka memang sengaja tidak mengerahkan
seluruh kekuatan tenaga dalam. Meskipun begitu, tidak
sedikit yang terkena pukulan Pendekar Pulau Neraka,
langsung menggeletak pingsan.
Jerit dan pekik kesakitan terdengar saling susul. Bayu
berkelebat cepat menyambar siapa saja yang berada dalam

jangkauan pukulannya. Dan memang dugaan Pendekar
Pulau Neraka tidak meleset sama sekali. Mereka hanya
orang-orang yang mengandalkan tampang seram, tapi tidak
punya kemampuan apa apa. Sehingga Bayu tidak mengalami
kesulitan melumpuhkan mereka.
Dalam waktu sebentar saja, sudah lebih dari separuh
pengeroyok bergelimpangan tak sadarkan diri. Bayu memang
sengaja membuat pengeroyoknya tak berdaya saja. Karena
mereka sebenarnya tidak tahu apa-apa dan hanya
menjalankan perintah majikannya.
"Yeaaah...!"
Des!
"Akh...!"
Terdengar jeritan terakhir yang cukup panjang. Bayu
berdiri tegak memandangi tiga puluh enam tukang pukul
Juragan Basra yang bergelimpangan di sekitamya. Memang
tidak semuanya pingsan. Ada beberapa di antaranya masih
bisa bergerak, merintih lirih menahan sakit Tapi tidak
mampu lagi bangkit Pendekar Pulau Neraka menatap tajam
Calong dan ketiga temannya. Mereka tampak pucat melihat
tiga puluh enam orang-orangnya dapat dilumpuhkan dalam
waktu singkat
"Kali ini aku beri kesempatan kalian untuk hidup, dan
jangan coba-coba lai mencari perkara," ancam Bayu, dingin
menggetarkan.
"Ampun, Den.... Jangan bunuh kami...," rintih Calong
seraya beriutut

"Hm.... Aku akan memaafkan jika kalian berjanji
untuk meninggalkan semua ini," ujar Bayu.
"Kami janji, Den," ucap keempat orang itu
berbarengan.
"Nah! Pergilah sekarang!"
“Terima kasih, Den."
"Ingat! Sekali lagi kulihat kalian memeras rakyat, aku
tidak segan-segan memenggal kepala kalian. Mengerti...?!"
ancam Bayu tegas.
Calong dan ketiga temannya saling berpandangan.
Kemudian tanpa berkata apa-apa lagi, mereka langsung
melesat pergi. Bayu tersenyum dan menggeleng-gelengkan
kepalanya. Kemudian terus melanjutkan langkahnya, tidak
peduli pada tiga puluh enam pengeroyok yang masih
bergelimpangan.
"Tiren..., di mana kau?" Bayu teringat dengan sahabat
kecilnya.
"Nguk, nguk...!"
Bayu tersenyum melihat monyet kecil itu
bergantungan di pohon. Monyet kecil berbulu coklat yang
bernama Tiren itu melompat, dan langsung hinggap di
pundak Pendekar Pulau Neraka. Dia mencericit ribut sambil
berjingkrakan dan bertepuk tangan. Seakan ingin
menyatakan kegembiraan atas kemenangan Pendekar Pulau
Neraka.
"Jangan gembira dulu, Tiren. Biangnya belum kita
dapatkan," kata Bayu.

"Nguk! Kraaakh...! Nguk!"
"Ha ha ha...!" Bayu tertawa terbahak-bahak melihat
tingkah monyet kecil yang tahu-tahu melompat dari
pundaknya dan berjumpalitan di tanah berpasir halus.
***

ENAM

"Goblok...!" Brak!
Juragan Basra marah bukan main mendengar laporan
Calong yang gagal mengusir Bayu. Bahkan sempat
melumpuhkan tiga puluh enam orang-orang suruhannya
meskipun tidak ada yang tewas. Wajah Juragan Basra merah
padam, bagai kepiting rebus. Kedua bola matanya
membelalak lebar, seakan-akan hendak melompat keluar.
Sedangkan di depannya duduk bersimpuh empat tukang
pukulnya dengan kepala tertunduk.
"Kalian benar-benar goblok! Mengurus satu orang
saja tidak becus...!" geram Juragan Basra.
"Ilmunya sangat tinggi, Juragan," Calong mencoba
membela diri.
"Lalu, kalau ilmunya tinggi, kenapa...?"
Calong tidak bisa menjawab. Di dalam harinya,
sebenarnya dia sudah tidak berani lagi berhadapan dengan
Bayu. Dan dia pun sadar kalau selama ini telah membantu
pihak yang salah. Juragan Basra tidak patut dibantu. Apalagi
Calong pun merasa tidak mungkin bisa mengalahkan
pemuda berbaju kulit harimau itu. Orang yang bisa
melumpuhkan tiga puluh enam orang dalam waktu sebentar
saja, tentu memiliki tingkat kepandaian sangat tinggi dan
sukar diukur.

"Calong, tadi kau kuperintahkan mengamati Nyai
Sinah. Nah, apa yang kau dapat dari perempuan itu, hah...?!"
tanya Juragan Basra.
"Kata Nyai Sinah, Bayu adalah kakaknya Hanggara,
Juragan. Dia memang datang untuk membalas kematian
Hanggara," sahut Calong jujur.
"Aku menemui Nyai Sinah begitu dia pergi."
"Sudah kuduga.... Dia pasti punya hubungan dengan
Hanggara," gumam Juragan Basra.
"Phuih...!"
Calong hanya diam saja dengan kepala tertunduk.
"Lalu, apa Nyai Sinah sudah meracuninya?" tanya
Juragan Basra lagi.
"Belum," sahut Calong.
"Belum...?" Juragan Basra mendelik.
"Kata Nyai Sinah, dia keburu ketahuan."
"Mustahil.... Ini tidak mungkin...!" bentak Juragan
Basra. "Pasti Nyai Sinah tidak mau meracuni si keparat itu.
Huh...! Perempuan itu memang tidak bisa dipercaya!"
"Apa tindakan kita selanjutnya, Juragan?" tanya
Calong memberanikan diri mengangkat kepala.
"Seharusnya kau sudah bisa menjawab, Calong!"
sahut Juragan Basra membentak.
Kembali Calong terdiam. Kalau saja diperintahkan
menghadap Bayu lag, pasti dia akan berpikir seribu kali. Dia
benar-benar sudah tidak mempunyai nyali lagi untuk
bertemu muka dengan pemuda berbaju kulit harimau itu.

Firasatnya mengatakan kalau dia akan babak belur lagi,
seperti ketika Hanggara mengamuk sewaktu dia menculik
Nyai Sinah untuk memancing pemuda itu menyerah.
Menghadapi Hanggara saja dia tidak mampu, apa-lagi
sekarang kakaknya...? Begitu yang ada dalam pUtiran
Calong. Dia sudah beberapa kali melihat dan merasakan
kedigdayaan Bayu. Dan itu membuat nyalinya semakin kecil
saja. Calong teringat kata-kata Bayu yang terakhir. Dia sudah
memastikan, sekali lag berhadapan, pasti Bayu tidak akan
memberi ampun lagi.
“Pangkeng, Bancak...," panggl Juragan Basra seraya
memandang dua orang yang duduk di dekat jendela.
Pangkeng dan Bancak segera bangkit. Mereka
menghampiri laki-laki bertubuh gemuk dengan kepala agak
botak itu. Sikap mereka terlihat angkuh, karena tingkat
kepandaiannya memang lebih tingg dari yang lain. Dan tidak
memandang sebelah mata pun kepada keempat orang yang
duduk bersimpuh di lantai.
"Apa pun caranya, kalian harus bisa mengusir si
keparat itu. Kalau perlu, penggal kepalanya," perintah
Juragan Basra.
"Akan kubawa kepalanya ke sini, Juragan," sahut
Bancak.
"Bagus," Juragan Basra tersenyum senang
"Kapan kami berangkat?" tanya Pangkeng
"Lebih cepat, lebih baik," sahut Juragan Basra.


"Kalau begitu, kami berangkat sekarang, Juragan,"
pamit Bancak.
"Pergilah, dan bawa kepala si keparat itu padaku."
Tanpa melirik sedikit pun pada Calong dan ketiga
temannya, mereka langsung melangkah keluar dari ruangan
depan yang cukup luas ini.
"Kalian boleh pergi, dan perketat penjagaan," kata
Juragan Basra memberi perintah.
Empat orang itu mengangguk. Lalu bangkit dan
meninggalkan ruangan depan. Kini tinggaflah Juragan Basra
yang masih berada di ruangan yang cukup besar dan indah
ini. Rumahnya memang besar, dan mewah seperti istana.
"Nyai Sinah.... Kau akan menyesal telah
mengkhianatiku, Perempuan Laknat! Huh...!" dengus Juragan
Basra geram.
***
Juragan Basra memandang pedang yang tergantung
di dinding kamamya. Pedang bergagang gading berbentuk
kepala naga, dengan warangka berwama keemasan. Juragan
Basra menjulurkan tangannya, mengambil pedang itu.
Diamatinya sesaat, lalu ditem-pelkannya gagang pedang itu
di kening.
"Kali ini aku harus menggunakanmu," ujar Juragan
Basra pelan.

Laki-laki bertubuh gemuk ini segera menyelipkan
pedangnya di pinggang. Baru juga selesai dia menyelipkan
pedang, mendadak saja secercah cahaya keperakan
menerobos masuk melalui jendela kamar yang terbuka lebar.
"Heh...! Uts!"
Juragan Basra tersentak kaget Cepat kepalanya
diegoskan sedikit ke kanan. Sehingga cahaya keperakan tadi
lewat di samping kepalanya. Dan menancap di dinding.
Juragan Basra cepat melompat ke jendela. Tapi yang dilihat
hanyalah kegelapan malam saja. Sebentar pandangannya
diedarkan ke luar, menembus kegelapan malam. Namun
sama sekali tidak melihat adanya sesuatu yang
mencurigakan.
Laki-laki gemuk berkepala setengah botak itu
berpaling Keningnya seketika berkerut melihat sebuah
benda berbentuk bintang bersegi enam keperakan me-
nancap di dinding. Bergegas dia menghampiri, kemudian
mencabut benda itu.
"Pendekar Pulau Neraka...," desis Juragan Basra.
Saat itu juga dia teringat peristiwa yang menimbulkan
beberapa korban. Suatu peristiwa yang membuat gempar
seluruh Pesisir Pantai Selatan ini. Peristiwa yang terjadi
beberapa waktu lalu, dan sampai sekarang masih lekat
dalam ingatan seluruh penduduk di sekitar tempat itu.
Dunia persilatan sempat geger dengan kemunculan
seorang pendekar muda yang berjuluk Pendekar Pulau
Neraka yang datang dari sebuah pulau tak berpenghuni dan

sangat ditakuti oleh seluruh nelayan di Pesisir Pantai
Selatan. Siapa saja yang berani masuk ke pulau itu, tidak
ada yang pernah kembali lagi. Kalaupun kembali, sudah
hanyut terbawa ombak dalam keadaan mati.
"Jagat Dewa Batara..., apakah Bayu adalah Pendekar
Pulau Neraka...?" desah Juragan Basra seraya
mendongakkan kepalanya.
Laki-laki bertubuh gemuk itu bergegas menutup
jendela rapat-rapat. Kemudian menghempaskan tubuh di
kursi. Keringat sebesar biji-biji jagung, seketika membasahi
keningnya. Masih teringat jelas di kepalanya, saat Pendekar
Pulau Neraka membantai kelompok Rengganis dengan
tangan dingin. Dan dia tahu, apa sebabnya pendekar muda
itu membunuhi semua orang-orangnya Rengganis, bahkan
wanita itu sendiri tewas dengan mengerikan (Untuk lebih
jelasnya, sila-kan baca serial perdana Pendekar Pulau
Neraka dalam episode, "Geger Rimba Persilatan").
"Bodoh...! Kenapa aku tidak mengenalinya sejak
semula...?" umpat Juragan Basra pada dirinya sendiri.
Bintang perak segi enam merupakan lambang maut
Pendekar Pulau Neraka. Dan itu merupakan suatu
peringatan yang tidak bisa dianggap remeh. Hal seperti ini
pernah terjadi beberapa waktu yang lalu di Pesisir Pantai
Selatan ini. Saat itu juga, terbetik penyesalan di hati Juragan
Basra.
Laki-laki tua ini menyesal karena tidak bisa
mengenali dari semula, kalau pemuda berbaju kulit harimau

itu adalah Pendekar Pulau Neraka. Kini penyesalan sudah
tiada guna lag. Bintang perak segi enam sudah memberi
pertanda maut padanya. Tidak ada seorang pun bisa lolos
dari tangan Pendekar Pulau Neraka kalau sudah menerima
bintang perak segi enam ini.
"Apa yang harus kulakukan sekarang...?" desah
Juragan Basra bertanya pada dirinya sendiri.
Kali ini otaknya benar-benar buntu. Dipandanginya
bintang perak segi enam di telapak tangan kanannya. Entah
untuk yang ke berapa kali, dia menghembuskan napas
panjang dan terasa berat
"Kalau saja aku tahu...."
“Terlambat, Juragan Basra...!"
"Heh...?!"
Juragan Basra terlonjak kaget Bahkan sampai
melompat dari tempat duduknya. Suara itu terdengar jelas
sekali, seakan-akan berada dekat telinganya. Laki-laki
bertubuh gemuk itu terbeliak begitu memandang ke arah
pintu. Di sana tahu-tahu sudah berdiri seorang pemuda
berbaju kulit harimau. Entah dari mana masuknya, dan
kapan, tahu-tahu di kamar ini sudah ada Pendekar Pulau
Neraka.
"Pendekar Pulau Neraka...," desis Juragan Basra,
agak bergetar suaranya.
"Kau terkejut Juragan Basra...?" tanya Bayu sinis.
Juragan Basra semakin kelabakan. Keringat dingin
semakin deras membasahi sekujur tubuhnya. Perlahan dia


melangkah mundur sampai punggungnya menyeh-tuh
dinding. Saat itu juga tenggorokannya terasa begitu kering
dan menyakitkan sekali. Kemunculan Pendekar Pulau
Neraka yang tiba-tiba dan ditandai dengan bintang perak
segi enam, membuat laki-laki gemuk ini seperti kelinci
kepergok serigala lapar.
"Kau kelihatan pucat sekali, Juragan Basra," terasa
sinis suara Bayu.
"Apa yang kau inginkan dariku? Aku tidak pernah
berurusan denganmu," jelas sekali kalau suara Juragan
Basra bergetar.
"Kau kenali sahabatku ini, Juragan Basra?" Bayu
menunjuk seekor monyet kecil berbulu coklat yang nangkring
di atas palang kayu yang melintang di atas kamar.
Juragan Basra terkesiap melihat Tiren. Tentu saja dia
mengenai binatang kecil berbulu coklat itu. Sedangkan Tiren
duduk tenang dengan mata bulat merah yang menyorot
tajam pada Juragan Basra. Sorot matanya memancarkan
dendam yang amat sangat.
"Jika kau mengenai sahabat kecilku itu, maka kau
pasti ingat pada pemiliknya," kata Bayu kalem, namun terasa
menusuk telinga Juragan Basra.
"Ada hubungan apa kau dengan Hanggara?" tanya
Juragan Basra.
Tentu saja laki-laki gemuk ini tahu kalau pemilik
monyet kecil itu adalah Hanggara. Pemuda yang berani
menentangnya, dan tewas di tangannya sendiri. Hanya

karena dia tidak senang melihat ada laki-laki mendekati
wanita yang diinginkannya. Juragan Basra memang tidak
segan-segan membunuh siapa saja yang dianggap sebagai
penghalang. Dengan cara apa pun, dia akan menyingkirkan
untuk selama-lamanya.
"Dia adikku," sahut Bayu dingin. "Dan dia tewas di
tanganmu. Tidak perlu kujelaskan lagi, untuk apa sekarang
aku ada di sini, Juragan Basra. Bukan hanya itu saja, kau
juga telah membunuh pamanku, dengan perantaraan anak
buahmu...! Dan kau juga yang membakar pusara Hanggara,
meskipun bukan oleh tanganmu sendiri."
Juragan Basra menelan ludahnya untuk membasahi
tenggorokannya yang kering. Memang tidak dapat dipungkiri,
semua yang dituduhkan Bayu padanya memang benar.
Juragan Basra tidak dapat membantah lagi Kini laki-laki
gemuk itu segera menggeser kakinya ke kanan. Dan meraba
gagang pedang yang menggantung di pinggang.
Tok, tok, tok...!
Tiba-tiba saja terdengar suara pintu diketuk dari luar.
"Juragan...! Juragan...!"
"Kau beruntung malam ini, Juragan Basra. Rupanya
Dewata belum menginginkan aku mencabut nyawamu," desis
Bayu merasa terganggu.
Selesai berkata begitu, Bayu langsung melenting ke
atas. Kemudian menyambar monyet kecil yang nangkring
pada palang kayu. Juragan Basra mendongak, ternyata atap

kamar sudah berlubang. Dan sudah pasti kalau Pendekar
Pulau Neraka tadi masuk dari atap.
Kembali terdengar suara ketukan pintu, disusul
panggilan keras. Juragan Basra menarik. napas lega.
Bergegas dihampirinya pintu dan cepat membukanya.
"Ada apa, Calong...?"
"Nyai Sinah, Juragan...."
"Nyai Sinah...? Ada apa dengan dia?" tanya
Juragan Basra lagi.
"Nyai Sinah bunuh diri," sahut Calong.
"Apa...?!"
Juragan Basra terbeliak kaget mendengar laporan
Calong. Untuk beberapa saat dia terpaku tidak percaya. Dan
setelah berhasil menguasai perasaannya, kemudian
bergegas keluar kamarnya. Tapi baru beberapa langkah, laki-
laki gemuk itu berhenti. Sedangkan Calong masih tetap
berdiri di ambang pintu yang kini sudah tertutup kembali.
"Bagaimana mungkin dia bisa bunuh diri?" tanya
Juragan Basra.
"Maaf, Juragan. Aku datang terlambat Begitu aku
datang, dia menikam dadanya sendiri dengan pisau," sahut
Calong.
"Huh! Kau benar-benar goblok, Calong! Kenapa tidak
kau cegah, heh...?!" bentak Juragan Basra.
Calong hanya diam saja dengan kepala tertunduk.
"Mana yang lain?"
"Di depan, Juragan," sahut Calong.


"Aku kan sudah bilang, cepat ke sana. Dan bawa
perempuan itu ke sini.... Huh! Dasar bakul nasi! Kerjamu
tidak ada yang becus...!" gerutu Juragan Basra.
Calong tetap diam saja membisu. Bukan sekali ini dia
mendapat dampratan Juragan Basra, tapi sudah seringkali.
Tapi Calong memang tidak bisa berbuat apa-apa setiap kali
kena marah. Tidak mungkin dia berani menentang
majikannya, sekalipun harinya dongkol setengah mati.
"Sudah, sana pergi! Goblok...!" bentak Juragan Basra.
Calong bergegas pergi sebelum kena damprat lagi.
Sedangkan Juragan Basra kembali masuk ke dalam kamar.
Sementara Calong terus berjalan cepat keluar dari rumah
megah yang bagaikan sebuah istana kecil di tengah-tengah
perkampungan. Dan sesampainya di luar, dia langsung
disambut ketiga temannya. Mereka langsung mengerubungi,
seperti lebah mendapatkan sari bunga.
"Bagaimana...?" tanya Landar.
"Seperti biasa," sahut Calong.
"Kau cari penyakit saja, Calong," celetuk Winaya.
"Bukan penyakit tapi keluar dari kesulitan," bantah
Calong.
“Tapi, bagaimana kalau Juragan Basra sampai tahu?"
tanya Cagak.
"Dia tidak akan tahu."
"Semua yang terjadi di Pesisir Pantai Selatan ini bisa
diketahuinya dengan cepat Calong," kata Winaya lagi,
bernada memperingatkan.

"Kalau kalian tutup mulut, dia tidak akan tahu," sahut
Calong.
Ketiga temannya hanya saling pandang.
"Ke mana kau akan membawa pergi Nyai Sinah,
Calong?" tanya Cagak.
"Ke mana saja, yang penting jauh dari sini," sahut
Calong.
"Aku heran, kenapa dia mau menurutimu, Calong?"
tanya Landar ingin tahu.
"Dasar bodoh...! Nyai Sinah itu kan adiknya Calong,"
selak Winaya.
"Hah...?" Landar terkejut.
"Hanya adik sepupu," Calong menjelaskan.
"Pantas tidak sama. Kau jelek, dan Nyai Sinah
cantik," gurau Landar.
"Setan...!" sergah Calong.
"Sudah sana. Nanti keburu ketahuan," Cagak
memperingatkan agar Calong cepat pergi sebelum Juragan
Basra mengetahui rencana mereka.
"Kalian benar-benar tidak mau ikut?" tanya Calong.
"Jangan pikirkan kami, Calong. Saat ayam berkokok
nanti, kami sudah tidak ada di sini lag," sahut Cagak.
"Kalian akan pergi ke mana?" tanya Calong
"Ke mana saja," sahut Winaya.
"Baiklah, aku berharap kita bisa bertemu lagi" ujar
Calong.

"Sudah pergi sana, cepat..," Winaya mendorong
punggung Calong.
Sebentar Calong memandang ketiga temannya.
Mereka memang sudah lama bersahabat, jadi perpisahan ini
memang terasa berat Dan itu harus mereka lakukan untuk
keselamatan mereka sendiri. Calong melompat naik
kepunggung kuda. Kemudian menggebah kudanya dengan
cepat. Sementara ketiga temannya hanya memandang
kepergannya sampai lenyap ditelan kegelapan malam.
"Hhh..., kalau saja Pendekar Pulau Neraka tidak
menyuruh kita pergi, pasti kita semua sudah jadi mayat"
desah Winaya.
"Jangan menyesal, Winaya," celetuk Cagak
"Aku tidak menyesal, malah berterima kasih pada
Pendekar Pulau Neraka, karena masih memberi kesempatan
pada kita untuk bertobat" kata Winaya.
"Sebaiknya aku perg sekarang saja."
"He...! Tidak mau melihat kematian Juragan Basra
dulu?" Cagak ingn mencegah.
“Tidak, aku tidak mau mati lebih dahulu."
Winaya cepat melompat ke punggung kudanya. Dan
langsung menggebah cepat. Tinggallah kini Cagak dan
Landar. Mereka saling berpandangan. Semua orang di rumah
ini sudah pergi, begitu Pendekar Pulau Neraka
memperingatkan mereka. Dan memberi kesempatan untuk
tetap hidup. Tapi jika mereka membandel, pemuda berbaju

kulit harimau itu tidak segan-segan lagi menjatuhkan tangan
maut.
"Bagaimana?" tanya Landar.
"Bagaimana lagi...? Ayo, kita perg sekarang," sahut
Cagak mengajak.
Landar kelihatan ragu-ragu.
"Semua orang sudah pergi, Landar."
"Dan kalian juga akan segera pergi, Pengecut...!"
"Heh...?!"
***

TUJUH

Cagak dan Landar terkejut bukan main ketika tiba-
tiba saja terdengar suara dari arah belakang. Seketika wajah
mereka pucat begitu melihat Pangkeng dan Bancak tahu-
tahu sudah berada di belakang. Bergegas mereka berbalik
dan melangkah mundur beberapa tindak.
Ctar!
Bancak melecut cambuknya ke atas. Mendengar
suara cambuk, Cagak dan Landar tersentak kaget Wajah
mereka semakin pucat pasi, dan seluruh tubuhnya gemetar.
Mereka langsung menyadari kalau kedua orang kepercayaan
Juragan Basra itu sudah mengetahui rencana ini. Dan
keduanya pasti sudah tahu kalau semua orang sudah pergi.
Tinggal mereka saja yang ada selain Juragan Basra sendiri
"Apa yang kalian rencanakan, heh? Mau kabur?"
suara Bancak terdengar sinis.
Cagak dan Landar tidak menjawab. Sejenak mereka
saling berpandangan. Mereka tahu kalau dua orang
kepercayaan Juragan Basra ini memiliki kepandaian yang
jauh lebih tinggi. Di dalam hati, keduanya sangat menyesal
mengapa tidak segera pergi sejak tadi.
"Kalau kalian mau pergi silakan," kata Bancaklagi.
”Tapi kalian akan menghuni lubang terakhir,"
sambung Pangkeng.

Kembali Cagak dan Landar saling berpandangan.
Kemudian mereka berbalik dan berlari cepat selagi masih
ada kesempatan. Sedangkan Pangkeng dan Bancak tertawa
terbahak-bahak melihat dua orang itu berlari kencang seperti
dikejar setan.
"Hup!" "Yeaaah...!"
Mendadak Pangkeng dan Bancak melesat cepat
bagaikan kilat mengejar dua orang yang berlari sekencang-
kencangnya itu. Ringan sekali lompatan mereka. Tapi tiba-
tiba saja mereka lenyap di balik sebatang pohon yang sangat
besar dan tinggi. Sementara Cagak dan Landar terus berlari
kencang, tanpa menoleh ke belakang lagi.
"Cagak, berhenti...!" sentak Landar tiba-tiba.
Cagak menghentikan larinya. Sedangkan Landar
sudah sejak tadi berhenti. Laki-laki berbaju biru itu
menghampiri Cagak.
"Lihat..!" Landar menunjuk ke depan.
"Heh...?!"
Bukan main terkejutnya Cagak begitu memandang
kearah yang ditunjuk Landar. Tampak di kiri kanan
sepanjang jalan setapak ini, terdapat lubang-lubang yang
berjajar. Sebentar mereka saling berpandangan. Kemudian
melangkah perlahan mendekati lubang pada baris pertama.
Mereka terkesiap begitu melihat di dalam lubang
terbaring mayat seseorang.

"Cagak... sini!" seru Landar tiba-tiba.
Cagak bergegas menghampiri.
"Winaya.:.," desis Cagak terperanjat begitu melihat ke dalam
lubang yang ditunjuk Landar. Di dalam lubang itu memang terbujur
kaku tubuh Winaya. Dari dada dan lehernya masih mengucur darah
segar!
Mereka kemudian meneliti lubang-lubang lain. Kedua
mata mereka semakin terbelalak lebar, karena semua
lubang yang berjajar di kiri kanan jalan, berisi mayat-mayat
yang mereka kenal.
"Cagak..., sini!" seru Landar tiba-tiba.

Cagak bergegas menghampiri.
"Winaya...," desis Cagak terperanjat begitu melihat ke
dalam lubang yang ditunjuk Landar.
Di dalam lubang itu memang terbujur tubuh Winaya.
Dari dada dan lehernya masih mengucur darah segar. Kedua
laki-laki itu bergegas melihat ke lubang di sebelahnya.
Kembali mereka terperanjat begitu melihat di dalam lubang
berisi mayat Calong. Darah segar juga masih mengucur
keluar dari dada dan leher yang terbelah lebar.
"Ha ha ha...!"
Kedua orang itu terperanjat begitu tiba-tiba
mendengar tawa keras menggelegar. Begitu terperanjatnya,
sehingga mereka sampai terlompat ke belakang sejauh tiga
langkah.
Dan belum lagi rasa terkejut Cagak dan Landar
hilang, tiba-tiba berkelebat dua buah bayangan. Dan tahu-
tahu di depan mereka sudah berdiri dua orang laki-laki
berwajah bengis. Mereka adalah Pangkeng dan Bancak.
Ctar!
Bancak mengebutkan cambuknya. Lecutan cambuk
yang menggelegar membuat Cagak dan Landar terlonjak
kaget Bahkan sampai melompat dua langkah ke belakang.
Wajah keduanya yang sudah memucat, menjadi semakin
terlihat pucat bagai tak dialiri darah. Mereka sama-sama
melirik dua buah lubang yang berada tidak jauh di samping
kanan. Mereka sama-sama menelan ludah, untuk
membasahi tenggorakan yang tiba-tiba saja terasa kering.


"Kalian boleh pilih, masuk ke lubang itu, atau kembali
pada Juragan Basra?" Bancak memberikan pilihan.
Landar dan Cagak kembali saling melemparkan
pandangan.
"Bagaimana, Cagak?" tanya Landar.
"Apa pun yang terjadi, aku tidak akan kembali lagi ke
sana. Aku tidak mau lagi hidup dibenci orang," sahut Cagak
tegas.
“Tapi mereka akan membunuh kita, Cagak."
"Sekarang atau nanti, pasti kita akan mati."
Landar menggeser kakinya sedikit ke samping,
menjauhi Cagak. Ditatapnya Bancak dan Pangkeng yang
tersenyum-senyum menyeringai. Sedangkan Cagak nampak
sudah tidak peduli, seandainya harus mati menyusul yang
lain di tempat ini. Kata-kata Pendekar Pulau Neraka kembali
terngiang. Dan dia sudah merenungkannya dalam-dalam.
Selama ini Cagak memang hidup dalam ketidak-
pastian. Hidup yang tidak nyaman, meskipun ditakuti semua
orang. Tapi memang benar apa yang dikatakan Pendekar
Pulau Neraka. Lebih baik dihormati daripada ditakuti. Cagak
sudah menyadari kalau selama ini dia telah salah jalan, dan
tidak ingin mengulanginya lagi.
"Kalau kau ingin kembali, menyingkirlah," kata Cagak
tegas pada Landar.
"Kau akan mati, Cagak," kata Landar mencoba
membujuk.

Cagak malah tersenyum sinis. Sejak semula, Landar
memang ragu-ragu mengambil keputusan. Hal ini bisa
dimaklumi, karena selama hidupnya, Landar selalu
tergantung pada orang lain. Dia tidak bisa hidup sendiri di
alam bebas. Apalagi mengembara dengan bekal kepandaian
yang tanggung. Landar tidak berani mengambil risiko. Dan
lebih senang ikut orang lain yang lebih kuat sebagai tempat
bergantung.
"Sebaiknya kau kembali saja, Cagak. Kau tidak perlu
takut pada Pendekar Pulau Neraka. Kau berlindung saja di
balik ketiak Juragan Basra. Ha ha ha...!"
"Aku bukan pengecut!" geram Cagak seraya menatap
Bancak tajam-tajam.
Kata-kata Bancak tadi memang sangat menyinggung
dan menyakitkan. Darah Cagak seketika mendidih karena
merasa terhina dengan kata-kata Bancak tadi.
"Kau pikir aku takut padamu, heh...?!" dengus Cagak.
"Ha ha ha...!" Bancak semakin keras tawanya.
"Hiyaaat..!"
Sret!
Cagak sudah tidak peduli lag. Meskipun sadar kalau
dirinya tidak bakal menang menghadapi Bancak, namun
hatinya benar-benar sudah tersinggung. Dia langsung
mencabut goloknya, dan menyerang Bancak yang bersenjata
cambuk dan pedang.
***

"Uts!"
Cepat Bancak memiringkan tubuh ke kanan,
sehingga tebasan golok Cagak hanya lewat sediktt saja di
samping tubuhnya. Dia langsung menarik kakinya dua tindak
ke belakang, begitu lolos dan serangan Cagak Dan dengan
cepat sekali, tangan kirinya dihentakkan ke depan,
menyodok ke arah perut
Bet!
Tapi Cagak sudah lebih cepat lagi mengibaskan
goloknya ke depan perut. Bancak agak terkejut juga. Buru-
buru dia menarik pulang tangannya, sehingga selamat dari
tebasan golok yang berkilat mengerikan.
Cagak terus menyerang dengan goloknya yang
berkelebatan cepat bagaikan kilat, mengurung bagian-bagian
tubuh Bancak yang mematikan. Namun dengan manis dan
indah sekali, Bancak masih mampu menghindari setiap
serangan yang dilancarkan Cagak. Bahkan beberapa kali dia
sempat memberikan serangan balasan. Walaupun selalu
dapat dipatahkan Cagak dengan cepat. Hal ini tentu saja
membuat Bancak agak terperanjat juga. Sungguh tidak
disangka kalau Cagak memiliki kepandaian yang lumayan.
Padahal sebenamya Cagak melakukan itu karena
didorong kenekatan dan rasa marah akibat hatinya
tersinggung tadi. Dia sudah tidak peduli lagi meskipun harus
mati malam ini. Tapi paling tidak, dia masih mampu memberi
perlawanan, daripada mati sia-sia tanpa perlawanan sama
sekali.

"Hiyaaa...!"
Tiba-tiba saja Bancak melenting ke atas, begitu golok
Cagak membabat ke arah kakinya. Dua kali tubuhnya
berputaran di udara, lalu meluruk deras ke arah kepala
Cagak Begitu cepatnya serangan yang dilakukan Bancak,
sehingga Cagak jadi kelabakan.
"Uts...!"
Bergegas Cagak membanting tubuhnya dan
bergulingan beberapa kali di tanah. Dan bersamaan dengan
mendaratnya Bancak, dia pun cepat melompat bangkit. Dan
sebelum Cagak bisa melakukan sesuatu, Bancak sudah
melecutkan cambuknya, disertai pengerahan seluruh tenaga
dalam.
Ctar!
Ujung cambuk hitam berduri halus menggeletar
dahsyat, menimbulkan percikan bunga api yang membelah
udara. Cagak tersentak kaget. Dia mencoba menghindar
dengan melompat ke belakang, tapi.. .
Ctar!
Ctar!
"Akh...!"
Gerakan Cagak memang terlambat. Ujung cambuk
hitam berduri halus berhasil menyayat kulit dadanya. Cagak
jatuh bergulingan di tanah. Dia tidak menyadari kalau dirinya
semakin mendekati salah satu lubang yang belum terisi. Dan
begitu dia mencoba bangkit berdiri, mendadak saja....
"Hiyaaa...!"

Begkh!
"Aaakh...!"
Tanpa dapat dihindari lagi, satu tendangan yang
dilepaskan Bancak mendarat telak di dada Cagak. Tubuh
laki-laki bertubuh tegap itu langsung terpental ke belakang,
menuju salah satu lubang yang belum terisi. Dan selagi
tubuh Cagak berada di udara, Bancak sudah kembali
melompat sambil mencabut pedang, setelah memindahkan
cambuknya ke tangan kiri terlebih dahulu.
"Hiyaaa...!"
Bet' Bet!
Crab! Cras...!
"Aaa...!"
Dua kali Bancak menyabetkan pedangnya. Cagak tak
mampu lag menghindari tebasan yang begitu cepat. Dia
hanya bisa menjerit kemudian jatuh ke dalam lubang yang
sudah tersedia di pinggir jalan. Rupanya tebasan pedang
Bancak tepat merobek dada dan leher. Hanya sebentar saja
Cagak mampu menggeliat. Kemudian diam tak bergerak-
gerak lagi.
"Ha ha ha...!" Bancak tertawa terbahak-bahak sambil
menyarungkan pedangnya kembali di pinggang.
Sementara itu, Landar yang melihat kematian Cagak
yang begitu tragis, semakin gemetar seluruh tubuhnya. Kini
semua teman-temannya sudah tewas, dan berada di dalam
lubang kubur masing-masing di tepi kiri dan kanan jalan.
Tinggal dia saja sendiri yang masih hidup. Sementara itu

Bancak dan Pangkeng sudah menghampiri. Landar semakin
gemetar saja. Dia benar-benar tidak sanggup lagi menentang
tatapan mata mereka yang bengis.
"Kita apakan kunyuk jelek ini, Pangkeng?" tanya
Bancak bemada sinis.
"Rasanya dia sama sekali tidak berguna," sahut
Pangkeng malas.
"Lalu...?" tanya Bancak lagi.
"Masih tersisa satu lubang lagi"
"Eh, apa...?!" Landar terkejut setengah mati.
"Ha ha ha...! Rupanya kunyuk satu ini takut mati juga,
Pangkeng. Aku serahkan dia padamu."
"Eh, ja...."
"Yeaaah...!"
"Akh...!"
Mendadak Pangkeng menghentakkan tangannya ke
dada Landar. Dan laki-laki berbaju biru itu tidak dapat lag
menghindar. Dia hanya bisa menjerit keras, sementara
tubuhnya terlempar jauh ke belakang.
Selagi tubuh Landar melayang di udara, Pangkeng
sudah melompat cepat mengejar. Dan secepat itu pula
senjatanya yang berupa sepasang trisula keemasan dicabut
Cepat sekali senjatanya digerakkan ke tubuh Landar.
Bet' Bet'
"Aaa...!
Satu lengkingan panjang mengiringi kematian Landar.
Tubuhnya langsung masuk ke dalam lubang yang memang

masih tersisa satu lagi. Begitu tubuhnya menyentuh tanah,
langsung tidak bergerak lagi. Dari dada dan lehernya
mengucur darah segar.
"Ha ha ha...!"
Bancak tertawa terbahak-bahak. Sedangkan
Pangkeng membersihkan darah yang melekat pada ujung
senjatanya. Kemudian menyelipkan kembali di badik sabuk
pinggangnya. Perlahan tubuhnya diputar, menghadap ke
arah Bancak yang masih tertawa terbahak-bahak.
"Aku merasa ada yang kurang, Bancak," kata
Pangkeng.
"Apa lagi?" tanya Bancak langsung berhenti tawanya.
"Lubang."
"Maksudmu?"
"Lubangnya kurang satu."
"Untuk siapa lagi?"
"Pendekar Pulau Neraka,"
"Ha ha ha...!" Bancak kembali tertawa terbahak-
bahak.
"Aku tidak akan membuatkan lubang untuknya. Dia
lebih pantas dibuang ke laut. Biar ikan-ikan berpesta pora
menikmati tubuhnya."
"Ah, sebaiknya kau buat saja satu lubang lagi,
Bancak."
"Baiklah. Akan kubuatkan satu lubang lag."
"Bukan satu, tapi dua...!"
"Eh!"

"Hei...?!"
Pangkeng dan Bancak terkejut setengah mati, begitu
tiba-tiba saja terdengar suara keras menggema. Sejenak
mereka saling pandang, lalu cepat mengedarkan pandangan
berkeliling. Tapi tidak ada seorang pun yang terlihat di
sekitarnya. Sedangkan tadi, suara itu demikian terdengar
jelas, seakan-akan begtu dekat di tebnga.
"Siapa kau...?" bentak Pangkeng keras menggelegar.
"Aku...!" terdengar jawaban dari belakang kedua
orang itu.
Cepat mereka memutar tubuhnya berbalik. Dan
terkejut setengah mati begtu tahu-tahu sudah berdiri
seorang pemuda berbaju kulit harimau, tidak jauh di depan
mereka. Betapa tidak terkejut..? Pemuda berbaju kulit
harimau itu tidak ketahuan datangnya. Dan tahu-tahu saja
sudah ada di tempat ini.
"Pendekar Pulau Neraka...," desis Bancak.
Pemuda berbaju kulit harimau itu memang Bayu. Atau
lebih dikenal berjuluk Pendekar Pulau Neraka. Dan sebelum
kedua orang itu hiiang rasa terkejutnya, mendadak saja
Pendekar Pulau Neraka melesat cepat Begtu cepatnya,
sehingga dalam sekejap sudah lenyap dari pandangan.
"Heh...!? Di mana dia...?" sentak Bancak.
"Di sini," terdengar sahutan dari belakang. Tentu saja
mereka benar-benar terkejut, karena tahu-tahu Pendekar
Pulau Neraka sudah berada di belakang. Dan begitu mereka
berbalik, pemuda berbaju kulit harimau itu kembali melesat

cepat. Bayu seakan-akan sedang memamerkan ilmu
meringankan tubuhnya yang sudah mencapai tahap
kesempurnaan. Pendekar Pulau Neraka yang terus
berpindah-pindah tempat dengan cepat, tentu saja membuat
Bancak dan Pangkeng kebingungan.
Mereka terpaksa berputar berbalik setiap kali
mendengar suara Bayu yang selalu berpindah-pindah tempat
dengan cepat. Hal ini tentu saja membuat kepala mereka
pening, karena harus selalu berputar mengikuti setiap
perpindahan yang dilakukan Bayu. Seakan-akan Pendekar
Pulau Neraka ada di mana-mana.
"Keparat..!" geram Bancak yang merasa
dipermainkan. "Yeaaah...!"
Ctar!
Bancak langsung melecutkan cambuk dengan cepat
begitu Bayu berada di depannya. Namun sebelum ujung
cambuk sampai, Bayu sudah kembali melesat. Dan tahu-tahu
Pendekar Pulau Neraka sudah berada di belakang mereka
kembali. Hal ini tentu saja semakin membuat Bancak dan
Pangkeng geram setengah mati.
"Kau ke kanan, Bancak," kata Pangkeng berbisik.
"Baik," sahut Bancak.
"Hiyaaa...!" "Yeaaah...!"
Kedua orang kepercayaan Juragan Basra itu ber-
lompatan menyebar. Bancak ke kanan, sedangkan Pangkeng
melompat ke kiri. Sementara Bayu berada di tengah-tengah

mereka. Sehingga Pendekar Pulau Neraka tidak mungkin lagi
berpindah-pindah tempat
"Sekarang kau tidak bisa lagi mempermainkan kami,
Keparat!" dengus Bancak menggeram sengit.
"Hm...," Bayu hanya tersenyum tipis.
Pendekar Pulau Neraka mengakui kecerdikan
Pangkeng yang mengambil posisi menyebar seperti ini. Bayu
menepuk-nepuk kaki monyet kecil yang dengan setia
nangkring di pundaknya. Monyet kecil berbulu coklat yang
bernama Tiren itu mencericit ribut sambil berjingkrakan.
"Menyingkir dulu, Tiren," kata bayu.
Sambil mencericit ribut, Tiren melompat ke pohon
terdekat yang berada di sebelah kanan Bayu. Monyet kecil
berbulu coklat itu langsung hinggap di sebatang dahan yang
cukup kuat, dan duduk diam rnemperhatikan. Tidak lagi
mencericit ribut seperti tadi. Sementara Bayu mengayunkan
kakinya ke depan beberapa langkah, menjauhi pohon tempat
Tiren nangkring.
"Mengapa kalian membantai mereka yang memilih
jalan benar?" tanya Bayu dengan suara dingin.
"Itu bukan urusanmu, Bayu!" jawab Bancak sinis.
"Sekarang jadi urusanku, karena mereka menyadari
kesalahannya atas saranku!" sentak Bayu keras.
Dari sinar matanya yang tajam dan memerah, sudah
dapat dipastikan kalau Pendekar Pulau Neraka begitu
marah. Bayu sudah memberikan kesempatan pada orang-
orang yang kini terbaring tak bernyawa di dalam lubang

untuk kembali ke jalan yang benar. Tapi maksud baiknya kini
pupus, karena ulah dua orang ini. Dan itu sudah pasti
membuatnya marah bukan kepalang. Namun tampaknya
Bayu masih mencoba meredam kemarahan. Dia hams
bersikap tenang, agar tidak terjerat oleh nafsu amarahnya
sendiri.
"Hiya! Yeaaah...!"
Tiba-tiba Bayu menghentakkan kedua tangannya dua
kali ke depan. Seketika dari telapak tangannya yang terbuka
lebar, berhembus angin kuat bagaikan badai topan.
Hembusan angin itu menghantam tanah, hingga
menimbulkan ledakan yang menggelegar. Seketika debu
mengepul tinggi ke angkasa. Dan begitu mulai sirna, tampak
dua buah lubang menganga lebar dan cukup dalam, sekitar
satu tombak di depan Pendekar Pulau Neraka.
Baik Pangkeng maupun Bancak, terkejut setengah
mati melihat Bayu membuat lubang hanya dengan
mengerahkan ilmu pukulan jarak jauh. Dari situ saja, sudah
dapat dipastikan kalau tingkat kepandaian Pendekar Pulau
Neraka jauh lebih tinggi dari kedua orang ini.
"Itu untuk kalian," kata Bayu dingin.
"Phuih! Yeaaah...!"
Ctar!
Glarrrr
Bancak melecutkan cambuknya dengan keras
disertai pengerahan seluruh tenaga dalam. Ujung cambuk itu
menghantam tanah di depannya. Dan seketika itu juga

terdengar ledakan dahsyat. Kembali debu berkepul tinggi ke
angkasa. Kerika debu mulai menipis, terlihat sebuah lubang
yang cukup besar menganga di depan Bancak.
"Itu untukmu, Pendekar Pulau Neraka," sambut
Bancak tidak kalah dingin.
Bayu tersenyum tipis melihat Bancak juga melakukan
hal yang sama dengannya. Hanya saja Bancak
mempergunakan cambuk untuk membuat lubang. Hal ini
tentu saja memberi isyarat pada Bayu, kalau tingkat
kepandaian yang dimiliki Bancak tidak bisa dipandang
enteng.
"Kau serang kepalanya, Bancak...! Hiyaaa...!" seru
Pangkeng tiba-tiba dan keras sekali.
Sambil berteriak, Pangkeng langsung melompat cepat
sambil mencabut senjatanya. Dan secepat itu pula
senjatanya dikibaskan ke arah perut Pendekar Pulau Neraka.
Pada saat yang sama, Bancak juga melompat seraya
melecutkan cambuknya ke arah kepala Pendekar Pulau
Neraka. Serangan mereka begitu cepat luar biasa. Namun
Bayu yang sudah siap sejak tadi, bertindak cepat dengan
melompat mundur sambil memutar tubuh dan berjumpalitan
beberapa kali di udara.
Namun Bancak dan Pangkeng terus mencecar
Pendekar Pulau Neraka. Secara bergantian, mereka
menyerang dari atas dan bawah, membuat Bayu harus
berlompatan, dan berjumpalitan menghindar. Tak sedikit pun
mereka memberi kesempatan Pendekar Pulau Neraka untuk
memberikan serangan balasan. Bahkan untuk menarik
napas, hampir-hampir sama sekali tidak ada kesempatan.
***

DELAPAN

Meskipun menghadapi dua orang yang
berkepandaian cukup tinggi, namun Bayu masih mampu
melayaninya. Serangan-serangan yang dilakukan Bancak dan
Pangkeng, tidak satu pun yang mengenai sasaran. Bayu
selalu dapat mematahkan serangan mereka dengan manis
sekali. Bahkan beberapa kali Pendekar Pulau Neraka
memberikan serangan yang membuat mereka jadi
kelabakan.
Sudah beberapa kali pula Pangkeng dan Bancak
terkena pukulan bertenaga dalam tinggi yang dilepaskan
Bayu. Tapi mereka masih tetap bertahan dan terus
menyerang. Darah sudah merembes ke luar dari sudut bibir
mereka. Sementara pertarungan mereka sudah
menghabiskan puluhan jurus. Dan sampai sejauh itu belum
satu pun serangan yang dapat disarangkan ke tubuh Bayu.
"Lepas...! Yeaaah...!" tiba-tiba saja Bayu berteriak
keras.
Dan bagaikan kilat, Pendekar Pulau Neraka
menghentakkan tangan kirinya, menyambar pergelangan
tangan kanan Pangkeng. Begitu cepat hentakan tangan itu,
sehingga Pangkeng tidak sempat menghindar lagi.
Plak!
"Akh...!" Pangkeng memekik tertahan.

Trisula keemasan yang tergenggam di tangan
kanannya terpental jauh ke angkasa. Dan sebelum Pangkeng
sempat menyadari apa yang tetjadi, tahu-tahu Bayu sudah
menghentakkan tangan kanan, sambil memiringkan
tubuhnya sedikit ke samping.
Bet!
Sing...!
Cakra Maut yang selalu menempel di pergelangan
tangan kanan Pendekar Pulau Neraka melesat cepat ke arah
Pangkeng. Begitu cepatnya Cakra Maut melesat, sehingga
Pangkeng tidak mampu menghindar lagi.
Crab!
"Aaa...!" kembali Pangkeng menjerit keras.
Cakra Maut menghunjam dalam di leher Pangkeng
yang memegang satu trisula di tangan kiri. Bayu cepat
melompat ke atas sambil menghentakkan tangan kanannya
ke atas kepala. Cakra Maut kembali melesat keluar dari
leher Pangkeng. Seketika itu juga darah menyembur deras.
Hanya sebentar, Pangkeng masih mampu berdiri.
Saat berikutnya, dia sudah menggelepar-gelepar di tanah. Itu
pun hanya sebentar saja. Sesaat kemudian, Pangkeng
mengejang kaku. Tak bergerak-gerak lagi untuk selamanya.
"Keparat kau...!" geram Bancak melihat temannya
tewas, dengan leher hampir putus.
Saat itu Bayu sudah kembali berdiri tegak. Dan Cakra
Maut juga sudah menempel kembali di pergelangan tangan
kanannya. Pendekar Pulau Neraka hanya tersenyum tipis.

Tatapan matanya begitu tajam, menusuk langsung ke bola
mata Bancak
"Giliranmu segera menyusul, Bancak," terasa dingin
menggetarkan suara Bayu.
"Setaaaan..! Hiyaaat..!"
Bancak yang sebenamya sudah gentar, menjadi
merah mukanya mendengar ancaman Bayu. Dia tidak peduli
lagi, meskipun sadar kalau dirinya tidak bakal menang
menghadapi Pendekar Pulau Neraka. Kirn dia kembali
menerjang sambil melecutkan cambuk ke arah dada pemuda
berbaju kulit harimau itu.
Namun Bayu tidak bergeming sedikit pun. Tampaknya
memang sengaja menunggu ujung cambuk yang meluruk
deras ke arah dadanya. Dan begitu dekat, cepat tangan
kirinya digerakkan, menangkap ujung cambuk
Rrrt..!"
"Hih...!"
Bancak berusaha menarik cambuknya. Namun
cambuk hitamnya sama sekali tidak bergerak. Meskipun
sudah mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya,
namun tetap saja cambuk itu tidak bergerak
"Eh...!"
Bughk...!
Setelah sekian lama terjadi tarik-menarik, tahu-tahu
Bayu melepas genggamannya pada cambuk Bancak. Karuan
saja tubuh Bancak terlempar kc belakang. Daya luncur

tubuhnya baru terhenti setelah menabrak sebatang pohon
sepuluh tombak di belakangnya.
"Setan...! Hih!"
Sret!
Bancak bergegas bangkit dan langsung mencabut
pedangnya. Secepat pedangnya dicabut secepat itu pula
ditebaskan ke arah kepala Pendekar Pulau Neraka. Namun
pemuda berbaju kulit harimau itu hanya menarik kepalanya
ke belakang. Sehingga ujung pedang Bancak hanya lewat
sedikit di depan wajah Pendekar Pulau Neraka.
Dan sebelum Bancak sempat menarik pedangnya
kembali, Bayu sudah menghentakkan tangan kanannya
kedepan. Cakra Maut yang menempel di pergelangan tangan
kanannya, seketika melesat cepat. Mata Bancak terbelalak
lebar, tapi tidak ada kesempatan lagi untuk menghindar,
karena jarak mereka terlalu dekat.
Crab!
"Aaa...!" Bancak menjerit nyaring begitu Cakra Maut
menghunjam dalam di dadanya.
Pada saat yang hampir bersamaan, Bayu melepaskan
satu tendangan menggeledek ke arah kepala. Tendangan
Pendekar Pulau Neraka yang demikian keras, membuat
tubuh Bancak melintir, dan ambruk ke tanah. Sebentar
tubuhnya menggeliat sambil meng-erang. Kemudian diam
tak berkurik lagi.
"Hhh.„!" Bayu menarik napas panjang.

Pendekar Pulau Neraka membalikkan mayat Bancak,
dan mencabut Cakra Maut yang tertanam dalam di dada.
Lalu memasang senjata andalannya itu ke pergelangan
tangan kanan.
"Kaaakh...!"
"Kemari, Tiren," kata Bayu seraya menoleh pada
monyet kecil yang berjingkrakan di atas dahan.
Monyet kecil berbulu coklat itu meluncur turua
Kemudian beriarian menghampiri Bayu. Dan langsung
melompat naik ke pundak Pendekar Pulau Neraka. Bayu
menepuk-nepuk kepala binatang itu dengan penuh kasih
sayang.
“Tinggal satu lag, Tiren. Setelah itu terserah kau, mau
ikut aku terus, atau kembali ke alam bebas," kata Bayu.
"Nguk...!"
"Ayo, kita pergi."
***
Sementara itu, di rumah Juragan Basra, laki-laki
bertubuh gemuk itu tampak kebingungan. Karena tidak
melihat seorang pun anak buahnya di rumah yang besar ini.
Berkali-kali dia sudah mengelilingi rumah, dan memeriksa
setiap kamar, tapi tidak ada seorang pun anak buahnya yang
ditemui. Laki-laki gemuk berkepala setengah botak itu berdiri
bertolak pinggang di depan beranda.

"Setan! Ke mana mereka...?" umpat Juragan Basra
gusar bercampur heran.
Pandangannya diedarkan berkeliling. Tapi, hanya
kegelapan yang didapatkan. Kesunyian begitu mence-kam.
Tak terdengar suara apa pun, selain desir angn yang
mengusik geridang telinga. Begitu sunyinya, sehingga suara
binatang malam pun tak terdengar.
Juragan Basra mulai gelisah. Disadari kalau dirinya
sudah ditinggalkan oleh orang-orangnya. Dan dia juga sudah
bisa menebak, siapa yang membuat orang-orangnya
meninggalkan dirinya.
"Pendekar Pulau Neraka...," desis Juragan Basra
menggeram.
Laki-laki gemuk itu tidak pernah membayangkan
akan berurusan dengan seorang pendekar digdaya yang
sudah menggemparkan dunia persilatan. Seorang pendekar
muda yang selalu bertindak tegas pada lawan-lawannya.
Pendekar yang sangat disegani, baik oleh kawan maupun
lawan. Juragan Basra jadi teringat dengan peristiwa
beberapa waktu yang lalu, ketika Pendekar Pulau Neraka
membalas kematian ayahnya pada Rengganis dan
komplotannya.
Dia jadi bergdik ngeri membayangkan peristiwa itu.
Satu peristiwa menggemparkan, dimana Pendekar Pulau
Neraka baru saja menginjakkan kakinya di dunia luar. Dan
segala tindakannya masih belum terkendali. Dia membantai
habis orang-orang yang tersangkut dalam pembunuhan

orang tuanya. Tidak peduli apakah mereka hanya orang
surahan yang tidak tahu permasalahannya. Dan tentu saja
Juragan Basra tidak tahu, kalau selama dalam
pengembaraannya, Bayu mendapat banyak pengalaman
yang sedikit banyak telah merubah wataknya yang ganas dan
tidak mengenal ampun.
Slap...!
"Heh.„?!"
Juragan Basra tersentak kaget ketika tiba-tiba saja
sebuah benda berwama keperakan berkelebat cepat ke
arahnya. Cepat-cepat ditarik tubuhnya ke kanan, sehingga
benda berwama keperakan itu lewat sedikit di samping
tubuhnya, dan langsung menancap pada tiang beranda
rumah. Sebuah benda berbentuk bintang segi enam
berwama keperakan.
"Pendekar Pulau Neraka...," desis Juragan Basra
begtu mengenali benda berbentuk bintang perak segi enam
yang tertancap di tiang beranda.
"Kau sudah siap, Juragan Basra...?"
"Heh...?!"
Lag-lag Juragan Basra terkejut begtu mendengar
suara yang begtu dalam dan menggema. Seakan-akan suara
itu datang dari segala penjuru. Begtu terkejutnya, sampai
terlompat ke belakang dua langkah. Dan belum lagi rasa
terkejutnya lenyap, mendadak saja berkelebat sebuah
bayangan kuning kehHaman dari atas atap. Bayangan itu
melewati kepala Juragan Basra, dan tahu-tahu di depan laki

laki gemuk berke-pala setengah botak itu telah berdiri tegak
seorang pemuda tampan berbaju kulit harimau.
"Pendekar Pulau Neraka...," desis Juragan Basra,
agak bergetar suaranya.
Memang sudah sejak tadi Juragan Basra merasa
gelisah ketika mendapatkan bintang keperakan segi enam di
dalam kamamya. Dan kegelisahannya semakin bertambah
tatkala teringat sepak terjang pemuda berbaju kulit harimau
itu sewaktu membalas kematian ayahnya pada komplotan
Rengganis.
"Pangkeng...! Bancak...!" teriak Juragan Basra
memanggil tukang pukulnya.
"Mereka sudah tidak ada lagi, Juragan Basra."
"Heh...?! Apa yang kau lakukan pada mereka?" tanya
Juragan Basra tersentak kaget
"Mereka memilih jalannya sendiri," sahut Bayu kalem.
"Kau..., kau...," suara Juragan Basra terputus.
Wajahnya yang bulat, semakin kelihatan pucat.
Sret!
Juragan Basra mencabut pedangnya. Tapi dia
memegang pedangnya dengan tangan gemetar. Sementara
Bayu hanya tersenyum saja. Pemuda ini tahu kalau laki-laki
gemuk ini hanya memiliki sedikit kepandaian ilmu olah
kanuragan. Hanya karena kekayaan dan kekuasannya saja,
maka dia mampu membayar jago-jago berkemampuan cukup
tinggi, yang membuat dirinya jadi orang kuat di Pesisir Pantai

Selatan ini. Hanya itu yang diketahui Bayu dari Paman Jangir
sebelum tewas.
"Hiyaaat...!"
Juragan Basra langsung berlari cepat sambil
membabatkan pedang ke arah leher Bayu. Namun pemuda
berbaju kulit harimau itu kelihatan tenang. Dan dengan bibir
mengulas senyuman, dia menunggu dengan tenang tanpa
bergeming sedikit pun.
"Hap!"
Begitu ujung pedang berada di dekat leher, dengan
cepat sekali Bayu menggerakkan tangan kanannya.
Tap!
Hanya dengan dua jari tangan, Pendekar Pulau
Neraka menjepit ujung pedang Juragan Basra. Kelihaian
Bayu ini tentu saja membuat laki-laki gemuk itu terbelalak
Dia mencoba menarik pedangnya kembali. Namun pedang
itu seperti terjepit oleh jepitan baja. Sedikit pun tidak
bergerak, meskipun sudah mengerahkan seluruh tenaganya.
"Hih!"
Bayu menghentakkan tangan kanannya.
Trak!
"Heh...?!"
Juragan Basra terkejut bukan main begitu melihat
pedangnya patah hanya dengan sekali hentakan tangan saja.
Tubuhnya terdorong dua langkah ke belakang. Melihat
pedangnya buntung setengah, tentu saja laki-laki bertubuh
gemuk itu semaki ciut nyalinya.

"Kaaakh...!"
Tiba-tiba saja monyet kecil di pundak Bayu menerjang
Juragan Basra sambil memekik keras. Mata Juragan Basra
membelalak lebar, tidak dapat lagi melakukan apa-apa. Bayu
sendiri juga tersentak kaget, melihat binatang kecil berbulu
coklat itu menerjang Juragan Basra.
"Tiren, jangan...!" seru Bayu.
Tapi Tiren sudah lebih dahulu menerjang Juragan
Basra.
"Aaakh...!" Juragan Basra menjerit, meraung keras
begitu Tiren mencakar wajahnya.
Laki-laki bertubuh gemuk itu jatuh berdebum di tanah
berpasir putih. Sedangkan Tiren mencericit ribut sambil
mencakar seluruh wajah Juragan Basra. Gigi-nya yang
bertaring tajam, mengoyak leher dan dada laki-laki gemuk
itu. Sebentar saja, seluruh wajah, leher, dan dada Juragan
Basra sudah berlumuran darah. Sementara Bayu tidak dapat
berbuat apa-apa.
Juragan Basra meraung-raung, menggeliat ke sana
kemari mencoba melepaskan diri dari serangan Tiren. Tapi
monyet kecil berbulu coklat itu malah semakin ganas saja.
Suaranya bukan lagi mencericit ribut, tapi menggerung bagai
gorila buas.
"Tiren, kemari...!" benta Bayu keras.
Tiren menghentikan aksinya. Lalu melompat cepat,
dan hinggap di atas rumah Juragan Basra. Sedangkan laki

laki gemuk itu menggerung-gerung dan bergulingan di tanah
sambil menutupi wajahnya yang berlumuran darah.
Bayu hanya bisa memandangi saja. Hatinya benar-
benar terkejut dengan perbuatan Tiren. Sungguh tidak
diduga kalau Tiren akan berbuat seperti ini. Melampiaskan
dendam, karena majikannya tewas oleh Juragan Basra.
"Ampun..., jangan bunuh aku. Tolong, jangan bunuh
aku. Apa saja yang kau inginkan, akan kuturuti, Bayu," rintih
Juragan Basra seraya beriutut di depan kaki Pendekar Pulau
Neraka.
"Sebenarnya aku benci melihat tingkahmu selama ini,
Juragan Basra," ujar Bayu agak dingin. Tapi akhirnya dia
merasa iba juga melihat laki-laki gemuk ini beriutut dan
merintih memohon belas kasihan.
"Aku tidak akan melakukan lag. Aku janji...," ujar
Juragan Basra.
"Aku tidak yakin janjimu bisa dipegang."
"Aku bersumpah, Bayu Asal kau biarkan aku tetap
hidup," rengek Juragan Basra tetap beriutut
"Hm, bagaimana kalau kau ingkar?"
"Kau boleh memenggal leherku, Bayu."
"Jangan percaya omongannya, Kakang...!"
Bayu perpaling ketika terdengar suara dari arah
kanan. Tampak Nyai Sinah sudah berada tidak jauh darinya.
Tangan kiri wanita itu menggenggam sebilah pedang. Bayu
agak terkejut juga melihat wanita yang tampak lemah itu
memegang pedang.

Nyai Sinah menghampiri Juragan Basra yang masih
tetap beriutut di depan Bayu. Ditatapnya tajam-tajam laki-laki
bertubuh gemuk dan berkepala setengah botak yang kini
berlumuran darah itu. Kemudian mencabut pedang yang
tergenggam di tangan kiri.
"Orang semacam dia harus mampus," desis Nyai
Sinah dingin "Hiyaaat..!"
"Nyai, tunggu...!" sentak Bayu terkejut Tapi terlambat
Nyai Sinah sudah keburu mengayunkan pedangnya, dan....
Cras!
"Aaa...l" Juragan Basra menjerit menyayat hati begitu
mata pedang Nyai Sinah menebas lehernya.
Meskipun pedang itu berkilat tajam, tapi karena
digunakan oleh tenaga wanita yang tidak terlatih, maka tidak
sampai memenggal putus leher Juragan Basra. Namun hal
ini sudah cukup membuat laki-laki gemuk itu menggelepar.
Nyai Sinah melepaskan pedang yang masih tertanam
di leher Juragan Basra dengan tangan gemetar. Kemudian
melangkah mundur dengan wajah berubah pucat Sepertinya
dia tidak percaya kalau sudah memenggal leher orang.
Sementara itu, Juragan Basra sudah tidak bergerak-
gerak lagi. Sudah terlalu banyak darah yang keluar dari
lehernya. Bayu cepat mencabut pedang yang tertanam di
leher laki-laki gemuk itu. Perlahan dlambilnya sarung pedang
yang masih tergenggam di tangan Nyai Sinah, dan
memasukkan pedang itu ke dalam sarungnya. Sedangkan
Nyai Sinah hanya berdiri terpaku saja.

"Oh, apa yang telah aku lakukan...?" agak bergetar
suara Nyai Sinah.
"Dendammu sudah terbalas, Nyai," sahut Bayu
lembut
"Aku..., aku telah membunuhnya...?" Nyai Sinah
seperti tidak percaya kalau dia mampu melenyapkan nyawa
seseorang.
Janda cantik itu memandangi Bayu dan mayat
Juragan Basra bergantian. Pancaran matanya masih belum
percaya kalau laki-laki gemuk itu tewas di tangannya.
"Aku telah membunuhnya.... Aku jadi pembunuh....
Oh, tidak...," Nyai Sinah menggeleng-gelengkan kepalanya.
Pada saat itu, dari rumah-rumah di sekitar kediaman
Juragan Basra, bermunculan orang-orang. Mereka memang
sejak tadi sudah mendengar dan melihat keributan yang
terjadi, tapi tidak berani keluar dari dalam rumah. Dan
sekarang mereka baru berani keluar setelah Juragan Basra
tewas di tangan Nyai Sinah.
"Bukan kau yang membunuhnya, Nyai," kata Bayu,
pelan dan lembut sekali suaranya.
"Benarkah...?" Nyai Sinah masih tidak percaya.
"Kau hanya perantara dari keridakpuasan Hanggara.
Bicaralah di depan pusaranya. Aku yakin, Hanggara pasti
akan tenang di alam sana," kata Bayu lagi.
Sebentar Nyai Sinah memandang pemuda berbaju
kulit harimau itu Kemudian berbalik dan melangkah
perlahan. Sedangkan Bayu memperhatikan saja. Dia bisa

memaklumi kalau wanita itu seperti orang linglung setelah
menghunjamkan pedang ke leher Juragan Basra. Nyai Sinah
bukanlah pendekar wanita. Dia hanya wanita biasa yang baru
kali ini memegang pedang.
Bayu memandangi pedang di tangannya. Pada
gagang pedang itu terukir sebuah nama.
"Hanggara:... Apakah tadi arwah Hanggara menyusup
ke dalam tubuh Nyai Sinah...?" gumam Bayu.
Pendekar Pulau Neraka kembali memandangi Nyai
Sinah yang sudah jauh berjalan. Sementara di sekitar tempat
ini sudah semakin banyak berkumpul orang-orang yang ingin
menyaksikan kematian Juragan Basra. Dari raut wajah dan
sinar mata mereka, terpancar rasa senang melihat laki-laki
gemuk itu terkapar mandi darah.
"Aku harus mengembalikan pedang ini pada
pemiliknya," kata Bayu bicara sendiri. "Ayo Tiren...!"
"Nguk...!"
Tiren langsung meluncur turun dan hinggap di
pundak Pendekar Pulau Neraka. Sebentar Bayu memandangi
orang-orang yang berkerumun semakin dekat Mereka semua
seakan-akan ingin mengucapkan terima kasih, tapi tidak ada
yang mengucapkannya. Karena bag} mereka, Bayu sangat
asing dan tidak dikenal di daerah Pesisir Pantai Selatan ini.
Bayu bergegas mengayunkan kakinya meninggalkan
halaman depan rumah Juragan Basra. Kakinya melangkah
cepat, menyusul Nyai Sinah yang sudah jauh. Dan begitu
keluar dari kerumunan orang banyak, segera dikerahkan

ilmu meringankan tubuhnya. Begitu cepat dan sempurnanya
ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Pendekar Pulau
Neraka, sehingga dalam sekejap saja sudah tidak terlihat
bayangan tubuhnya lagi.
Sementara itu di ufuk Timur, menyemburat cahaya
merah jingga. Sebentar lagi matahari akan menampakkan
diri. Sinar matahari yang akan membawa lembaran
kehidupan baru bagi seluruh penduduk di Pesisir Pantai
Selatan ini. Seluruh wajah mereka begitu cerah, secerah
cahaya matahari yang semakin menampakkan diri.


                            SELESAI

Share:

0 comments:

Posting Komentar