..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Senin, 03 Februari 2025

PENDEKAR PULAU NERAKA EPISODE PERAWAN PEMBAWA MAUT

Perawan Pembawa Maut

 

PERAWAN PEMBAWA MAUT
Oleh Teguh Suprianto
Cetakan Pertama
Penerbit Cinta Media, Jakarta
Penyunting : Puji S
Gambar Sampul : Alex
Hak Cipta Pada Penerbit
Dilarang Mengcopy atau Memperbanyak
Sebagian atau Seluruh Isi Buku Ini
Tanpa Izin Tertulis dari Penerbit
Teguh Suprianto
Pendekar Pulau Neraka
Dalam Episode 025 :
Perawan Pembawa Maut


SATU

Prak!
Sebuah guci keramik hancur
berkeping-keping dihantam kepalan
tangan berukuran cukup besar yang
dilingkari gelang akar hitam pada
pergelangannya. Meja tempat guci itu
pun bergetar hebat, lalu retak tepat di
tengah-tengahnya. Empat orang yang
berada di depan meja itu seketika
tersentak sampai terlompat mundur
sekitar tiga langkah. Kepala mereka
tertunduk dalam, tak sanggup
memandang laki-laki separuh baya
yang wajahnya memerah, dan
gerahamnya bergemeletuk bagai
tulang-tulang berpatahan.

"Goblok! Kerja begitu saja
tidak becus...!" keras dan besar sekali
suara laki-laki separuh baya ini.
Empat anak muda itu hanya
diam saja sambil tetap menundukkan
kepala menekuri lantai di bawah
kakinya. Tak ada seorang pun yang
berani memamerkan wajah. Apalagi
mengucapkan kata-kata. Mulut
mereka bagai terkunci, tak mampu
lagi bersuara. Sedangkan laki-laki
separuh baya bertubuh tinggi kekar
dan berotot itu merayapi empat anak
muda di depannya, dengan mata
memerah bagai biji saga.
"Apa saja yang bisa kalian
kerjakan, heh...?! Baru begitu saja
sudah tidak becus!" dengusnya lagi
dengan suara berat menggeram,

"Maaf, Ki...," ucap salah
seorang anak muda memberanikan
diri.
"Maaf..., maaf.... Hih!"
Plak!
"Aduh...!" anak muda itu
mengeluh kesakitan.
Plpinya terasa panas bagai
terbakar terkena tamparan tangan
yang berukuran besar dan berbulu.
Bahkan tubuhnya sampai melintir dua
kali. Sedangkan tiga anak muda
lainnya, semakin dalam tertunduk
dengan tubuh gemetar hebat.
"Seharusnya, kalian mati saja
daripada kembali lagi ke sini!" dengus
laki-laki separuh baya itu lagi.
"Ki...?!"
Empat orang anak muda yang
masih berusia sekitar dua puluh tahun

itu terkejut bukan main. Mereka
langsung menjatuhkan diri berlutut,
sehingga keningnya menyentuh
lantai. Tubuh mereka semakin geme-
tar hebat. Keringat pun semakin deras
mengucur membasahi sekujur tubuh.
Bahkan salah seorang mengeluarkan
air pesing dari balik celananya. Bau
tidak sedap pun seketika menyengat
"Setaan..!" geram laki-laki
separuh baya itu.
Sambil bersungut-sungut, laki-
laki kekar itu berbalik dan melangkah.
Dengan ayunan kaki lebar-lebar,
ditinggalkannya ruangan ini.
Sementara empat anak muda itu
masih tetap bersujud dengan kening
menyentuh lantai. Kepala mereka
baru terangkat, setelah laki-laki
separuh baya tadi sudah tidak ada

lagi di dalam ruangan ini. Sebentar
mereka saling berpandangan, lalu
seperti anjing yang digebah, bergegas
meninggalkan ruangan ini.
Mereka langsung menggeletak
begitu berada di luar. Saat itu,
seorang laki-laki berusia sekitar tiga
puluh lima tahun datang menghampiri.
Dia tertawa terkekeh melihat empat
anak muda itu seperti tikus habis
tercebur ke dalam selokan.
Sedangkan keempat anak muda itu
hanya diam saja, sambil duduk di
pinggiran papan beranda rumah
berukuran cukup besar ini.
"Baru segitu saja sudah
terkencing-kencing...," ejek laki-laki
yang baru datang itu. Gagang
goloknya yang berwarna kuning

gading, tampak menyembul di
pinggang.
Empat anak muda itu hanya
diam saja.
"Sebenarnya, apa yang
ditugaskan Ki Mangir...?" tanya laki-
laki itu sambil duduk di dekat anak-
anak muda ini.
"Melamar anak orang!" sahut
salah seorang anak muda itu,
bersungut-sungut.
"Ha ha ha...!" laki-laki bergolok
di pinggang itu tertawa terbahak-
bahak.
"Kau bisa saja tertawa! Tapi
kalau tahu anak gadis siapa yang
akan dilamar, baru tahu rasa! Huh!"
rungut anak muda itu lagi.
"Kalau perkara melamar anak
gadis..., nih! Serahkan padaku. Kabat

tidak pernah gagal memikat gadis-
gadis," orang itu menyombongkan diri
dengan menepuk dadanya sendiri.
Empat anak muda itu hanya
mencibir saja. Memang diakui, laki-
laki yang bernama Kabat ini berwajah
cukup tampan. Malah juga dikenal
sebagai jagoan dalam masalah
perempuan. Tapi, tidak sedikit juga
masalah yang dihadapinya hanya
gara-gara perempuan. Baru-baru ini
saja Kabat hampir babak belur, gara-
gara mengganggu istri orang. Kalau
saja Ki Mangir tidak segera turun
tangan, barangkali dia sudah mati
dikeroyok orang sekampung. Untung
saja penduduk Desa Jati Laksa masih
memandang segan pada Ki Mangir.
"Anak gadis siapa yang akan
dilamar Ki Mangir?" tanya Kabat lagi.

"Tanyakan saja sendiri," sahut
salah seorang anak muda itu agak
mendengus.
"He he he...," Kabat terkekeh
meremehkan.
Dia bangkit berdiri, lalu
melangkah masuk ke dalam.
Sedangkan empat anak muda itu
hanya memperhatikan dengan bibir
mencibir. Sementara Kabat sudah
lenyap di dalam rumah berukuran
cukup besar ini. Agak lama juga
Kabat berada di dalam. Dan begitu
keluar, raut wajahnya sudah berubah.
"Bagaimana...?" tanya salah
seorang anak muda itu.
"Jangan tanya!" dengus Kabat
terus berlalu. Keempat anak muda itu
jadi tertawa terpingkal-pingkal melihat
tampang Kabat mendadak jadi kusut.

Sedangkan Kabat hanya mendengus
bersungut-sungut, sambil terus
melangkah pergi.
***
Kabat tersentak kaget begitu
tiba-tiba ada tangan menepuk
pundaknya dari belakang. Laki-laki
bergolok di pinggang itu mendengus
berat begitu melihat seorang laki-laki
seusia dengannya tahu-tahu sudah di
belakangnya. Dibiarkannya saja laki-
laki berbaju warna merah menyala itu
duduk di seberang mejanya. Bahkan
dia masih diam meskipun araknya
ditenggak habis oleh laki-laki yang
baru datang itu.

"Kulihat dari tadi, kau melamun
terus. Ada apa?"
"Orang tua itu benar-benar
sudah sinting!" dengus Kabat.
"Heh...?! Ada apa...?"
"Bayangkan saja! Masa dia
ingin melamar Minarti," suara Kabat
masih terdengar mendengus seperti
kesal.
"Minarti yang mana...?" tanya
laki-laki yang sebenarnya bernama
Gandik itu.
"Minarti mana lagi...? Hanya
satu Minarti di desa ini."
"Maksudmu..., Minarti putri
Eyang Palagan...?" nada suara
Gandik seperti tidak percaya. »
"Memangnya ada berapa
orang yang bernama Minarti di desa
ini...? Mana lagi kalau bukan putrinya

Eyang Palagan...? Makanya kubilang
Ki Mangir sudah Edan!"
"Kau sungguh-sungguh,
Kabat...?" Gandik masih tidak
percaya.
"Kalau tidak percaya, tanya
saja pada anak-anak itu'" dengus
Kabat seraya menunjuk empat anak
muda yang duduk di sudut kedai ini.
"Merekalah yang disuruh melamar
Minarti. Huh! Bisa-bisa desa ini jadi
lautan api...!"
"Masa sih, Ki Mangir begitu...?
Apa dia tidak...."
"Aku sendiri tidak habis
mengerti, Gandik. Bisa-bisanya dia
berpikir seperti itu. Padahal istri
mudanya saja, belum genap tiga
bulan dinikahi. Eee..., sekarang sudah
ingin melamar anak gadis orang?!

Bahkan anaknya Eyang Palagan
lagi...," potong Kabat menggerutu.
"Kenapa dia punya pikiran gila
begitu, ya...?" Gandik seperti bertanya
pada diri sendiri.
"Aku sendiri tidak mengerti,"
sahut Kabat juga bingung.
Mereka jadi terdiam membisu.
Semua orang di Desa Jati Laksa ini
tahu, siapa Eyang Palagan itu. Dia
adalah seorang pertapa tua yang
amat disegani, dan pernah menjadi
kepala desa di sini. Bukan hanya itu
saja. Ilmu-ilmu olah kanuragan dan
kesaktian yang dimilikinya pun tidak
ada tandingannya di seluruh desa ini.
Bahkan di seluruh desa yang tersebar
di sekitar kaki Gunung Banjaran. Dia
juga begitu disegani oleh ketua-ketua
padepokan di sekitar Gunung

Banjaran ini Tak ada seorang pun
yang mau coba-coba cari perkara
terhadap Eyang Palagan.
Maka memang sukar
dipercaya kalau Ki Mangir akan cari
perkara dengan Eyang Palagan.
Terlebih lagi sampai berani ingin
melamar anak gadisnya. Padahal, istri
Ki Mangir sudah enam orang. Dan
yang termuda saja, belum genap tiga
bulan dinikahinya. Kalau anak gadis
orang lain, mungkin tidak akan jadi
masalah. Tapi yang ingin dilamar Ki
Mangir justru anak gadis orang paling
terpandang dan disegani! Bukan
hanya di Desa Jati Laksa ini, tapi juga
seluruh desa yang tersebar di sekitar
kaki Gunung Banjaran.

"Kau juga mendapat tugas
melamar Minarti?" tanya Gandik
setelah cukup lama berdiam diri.
"Aku lebih baik pergi dari desa
ini, daripada cari penyakit!" sahut
Kabat agak mendengus.
"Dalam soal begini, kurasa
hanya kau yang dapat diandalkan Ki
Mangir," Gandik mencoba
mengangkat perasaan Kabat.
"Aku lebih memilih mati,
daripada cari penyakit pada Eyang
Palagan," sahut Kabat.
"Kalau Ki Mangir menyuruhmu,
apa bisa kau tolak...?"
"Inilah yang membuatku
pusing, Gandik," kali ini nada suara
Kabat terdengar seperti mengeluh.
"Kenapa...?" .tanya Gandik.

"Ki Mangir malah menyuruhku
menculiknya," pelan sekali suara
Kabat, dan hampir tidak terdengar.
"Apa...?!" Gandik terlonjak
kaget setengah mati.
Gandik memandangi Kabat,
seperti tidak percaya dengan
pendengarannya barusan.
Sedangkan Kabat hanya diam saja
seraya menuang kembali arak dari
dalam guci ke dalam gelas bambu.
Lalu, arak itu diteguknya hingga tak
bersisa lagi. Tanpa berkata apa-apa
lagi, Kabat beranjak pergi
meninggalkan kedai minum ini.
"Mau ke mana kau...?" tanya
Gandik, agak keras suaranya.
"Cari angin!" sahut Kabat
seenaknya, dan terus saja berialu.

Sedangkan Gandik jadi
bengong sendiri. Matanya kemudian
melirik empat orang anak muda yang
masih duduk melingkari meja di dekat
jendela. Gandik bangkit berdiri ingin
menghampiri, tapi keempat anak
muda itu sudah lebih dulu beranjak
pergi.
"Hhh...! Kalau benar Ki Mangir
punya pikiran seperti itu, benar-benar
sudah gila!" keluh Gandik.
Baru saja Gandik hendak
melangkah pergi, pemilik kedai yang
sudah berusia lanjut mencegahnya.
Gandik terpaksa mengurungkan
niatnya. Sementara laki-laki tua
pemilik kedai ini segera
membungkukkan tubuhnya, sambil
cengar-cengir.

"Ada apa?!" tanya Gandik,
agak membentak suaranya.
"Maaf, Den. Mereka semua
tadi belum membayar," jelas pemilik
kedai ini, bernada menagih.
"Jadi...?"
"Ya.... Jadi, Aden yang
membayar semuanya."
"Setan!" dengus Gandik.
"Aden kan, temannya. Jadi,
Aden harus membayar semua
minuman mereka," ujar pemilik kedai
itu.
Sambil bersungut-sungut,
Gandik terpaksa membayar semua
minuman. Kemudian dia cepat berlalu
meninggalkan kedai ini. Sedangkan
laki-laki tua pemilik kedai itu hanya
tersenyum-senyum sambil
menggeleng-gelengkan kepala.

Memang anak buah Ki Mangir sudah
dikenal satu persatu di seluruh Desa
Jati Laksa ini. Dan mereka memang
tidak ada yang pernah membuat
keonaran, kecuali Kabat yang sering
mengganggu perempuan-perempuan
di desa ini. Tidak peduli apakah itu
istri orang atau bukan.
***
Siang ini udara di sekitar Desa
Jati Laksa terasa panas sekali.
Matahari bersinar terik, bagai hendak
membakar semua yang ada di
permukaan bumi ini. Langit begitu
cerah, tanpa awan sedikit pun
menggantung. Dalam suasana begitu
panas, memang nyaman bila berada
di sungai. Seperti siang ini. Hampir


semua penduduk Desa Jati Laksa
memadati sepanjang alur sungai yang
menjadi pembatas antara desa ini
dengan Desa Rawa Kuning.
Di antara orang yang
memadati sungai itu, terlihat pula
Kabat bersama empat orang anak
muda. Mereka berdiri di bawah pohon
untuk melindungi diri dari sengatan
matahari yang begitu terik membakar
kulit Pandangan mereka tidak lepas
ke arah seorang gadis yang agak
menyendiri. Gadis berwajah cantik
dan berkulit kuning langsat itu sama
sekali tidak merasa kalau tengah
diperhatikan. Dia terus sibuk mencuci
pakaian di atas batu yang pipih.
"Sayang sekali kalau gadis
secantik itu harus jadi istri Ki Mangir,"
desah Kabat agak menggumam.

'’Tapi bagaimanapun juga,
tugas ini harus dilaksanakan, Kang,"
tegas salah seorang anak muda yang
berdiri di samping Kabat.
"Huh!" Kabat hanya
mendengus saja.
Sebenamya, Kabat enggan
mendapat tugas seperti itu dari Ki
Mangir. Tapi, dia tidak bisa berbuat
apa-apa. Apalagi menolak. Bisa
runyam urusannya kalau perintah
orang yang paling berkuasa di Desa
Jati Laksa ini sampai tidak
dilaksanakannya. Semua orang tahu,
kekuasaan Ki Mangir melebihi dari
kekuasaan kepala desa. Tak ada
seorang pun yang berani menentang
kehendaknya. Selain mereka, masih
ada tukang-tukang pukulnya yang
memiliki kepandaian tinggi. Tiga

orang di antaranya malah tidak
pernah memandang sebelah mata jika
sudah mendapat perintah.
"Dia sudah selesai, Kang,"
lapor pemuda yang mengenakan baju
warna biru muda.
"Kalian pergi saja dulu. Ingat...!
Jangan sampai ada yang tahu," tegas
Kabat, agak berbisik suaranya.
"Baik, Kang."
Keempat anak muda itu
bergegas pergi dengan langkah lebar.
Sementara Kabat masih tetap berdiri
di bawah pohon itu. Matanya terus
memperhatikan gadis bertubuh sintal
yang hanya dililit kain sebatas dada.
Cantik sekali gadis itu, sehingga
membuat jantung Kabat berdetak
lebih cepat dari biasanya. Beberapa
kali ludahnya ditelan, untuk

membasahi tenggorokan yang
mendadak saja jadi terasa kering.
Sementara gadis itu terus
berjalan sambil mengepit rinjing
bambu di pinggangnya. Kabat mulai
melangkah perlahan-lahan begitu
gadis yang diperhatikannya sudah
cukup jauh meninggalkan sungai. Tak
ada seorang pun yang
memperhatikan, meskipun di sekitar
sungai itu banyak orang.
Kabat mempercepat
langkahnya begitu melihat gadis
cantik itu berbelok ke kanan. Sebentar
kepalanya menoleh ke kanan dan ke
kiri, lalu ke belakang. Merasa tidak
ada seorang pun yang teriihat, Kabat
cepat melesat mempergunakan ilmu
meringankan tubuh. Sebentar saja dia
sudah sampai di tikungan jalan, lalu

cepat berbelok ke kanan. Ayunan
kakinya begitu cepat dan ringan,
karena mempergunakan ilmu
meringankan tubuh yang sudah
lumayan tingkatannya. Sekilas ma-
tanya masih sempat melihat kalau
gadis itu berbelok memasuki jalan
setapak yang jarang dilalui orang.
"Hup!"
Kabat cepat melompat. Dua
kali tubuhnya berputaran di udara.
Dan begitu kakinya menjejak tanah di
tikungan jalan kecil, kembali dia
berlari. Tapi, mendadak saja larinya
dihentikan. Seketika kedua matanya
jadi terbeliak melihat empat anak
muda yang tadi bersamanya di tepi
sungai, tengah bergelimpangan di
tanah sambil merintih dan mengerang
kesakitan.

"Heh...?! Kenapa kalian...?!"
tanya Kabat terkejut setengah marl.
Keempat anak muda itu
bergerak bangkit berdiri sambil
meringis seperti menahan sakit di
sekujur tubuh. Kabat jadi celingukan
tidak mengerti. Keempat anak muda
itu tertatih-tatih menghampiri Kabat.
Mereka masih meringis memegangi
pinggangnya. Pakaian mereka pun
kotor berdebu, dengan wajah biru
lebam seperti baru saja dipukuli.
"Mana gadis itu..?" tanya
Kabat.
"Kita pulang saja, Kang," ajak
salah seorang anak muda itu sambil
meringis.
Kabat mendelik. Tapi sebelum
membuka mulutnya lagi, keempat
anak muda itu sudah bergegas me

langkah meninggalkan jalan setapak
yang sepi ini. Kabat jadi kebingungan
sendiri. Bergegas disusulnya keempat
anak muda yang sudah berbelok itu.
Kabat mendahului mereka, dan
berhenti menghadang di de-pan.
"Ada apa dengan kalian? Apa
yang terjadi...?" tanya Kabat meminta
penjelasan. "Gapar..., Sito..., apa
yang terjadi pada kalian...?"
"Kita pulang saja, Kang," ajak
salah seorang pemuda yang bernama
Gapar.
"Tunggu dulu...'!" sentak
Kabat. "Jelaskan! Kenapa kalian jadi
babak tfelur begini? Di mana gadis
itu?"
Kabat terus mendesak
meminta penjelasan. Dia benar-benar
tidak mengerti atas kejadian ini.

Terlebih lagi, melihat empat anak
muda ini yang menjadi babak belur.
Padahal, belum lama mereka pergi
dari tepi sungai tadi. Waktu yang
begitu cepat, tapi sudah babak belur
seperti diamuk banteng.
"Gadis itu yang membuat
kalian seperti ini?" tanya Kabat lagi
melihat empat anak muda itu hanya
diam saja.
Tapi mereka tetap saja diam,
tidak menjawab. Dan ini membuat
Kabat jadi bingung. Hatinya makin
penasaran, karena tidak ada
penjelasan yang diberikan. Kabat
merayapi wajah-wajah yang biru
lebam dengan pakaian kotor penuh
debu.
"Sebaiknya, kita pergi saja dari
sini, Kang. Aku takut dia muncul

lagi...," kata Gapar dengan suara
pelan dan agak bergetar.
"Siapa yang kau maksud,
Gapar...?" tanya Kabat masih
meminta penjelasan.
"Perempuan setan itu," sahut
Gapar lagi.
"Heh...?! Perempuan setan
siapa...?" Kabat terlonjak terkejut
tidak mengerti.
"Minarti," sahut Gapar pelan,
hampir tidak terdengar suaranya. Dia
seperti takut menyebutkan nama itu.
"Siapa...?!
***

DUA

Kejadian yang dialami Gapar
dan ketiga temannya siang tadi,
membuat Ki Mangir gelisah sendiri.
Teriebih lagi Kabat yang diberi tugas
menculik Minarti, putri pertapa Eyang
Palagan. Apa yang dialami Gapar dan
ketiga temannya, memang sukar
dipercaya. Mana mungkin gadis cantik
yang kelihatan lemah lembut, bisa
membuat empat orang babak belur
dalam waktu begitu singkat.
"Kau tidak berdusta, Gapar...?"
tegas Ki Mangir seperti ingin
meyakinkan dirinya.
"Aku tidak berdusta, Ki.
Minartilah yang membuat kami babak

belur begini," sahut Gapar, meya-
kinkan.
"Gerakannya begitu cepat, Ki.
Seperti setan," sambung Sito.
"Benar, Ki. Bahkan kami tidak
diberi kesempatan sama sekali untuk
balas menyerang," sambung Kalil lagi.
"Dia benar-benar perempuan
setan, Ki," sambut Gapar lagi.
Sedangkan Ki Mangir hanya
diam saja sambil mendengar
celotehan anak-anak muda ini.
Sementara Kabat sejak tadi tetap
tutup mulut, dengan kening berkerut
cukup dalam. Dia sendiri sebenarnya
masih belum bisa percaya kalau
Minarti yang kelihatannya lemah,
sanggup membuat Gapar, Sito, Kalil,
dan Majan jadi babak belur begini.
Padahal kepandaian yang dimiliki

mereka tidak bisa dipandang rendah.
Terlebih permainan kerja sama
pedang yang terkenal sangat ampuh.
Kabat sendiri mengakui belum tentu
mampu menandingi jurus-jurus
pedang mereka, bila bertarung
melawan sekaligus.
"Sebaiknya, urungkan saja
keinginan itu, Ki," usul Kabat.
"Setan! Kau tahu apa, heh...?!"
bentak Ki Mangir.
Kabat langsung terdiam
membisu. Kepalanya cepat
ditundukkan menekuri lantai. Ki
Mangir bangkit berdiri, lalu melangkah
menghampiri jendela yang berukuran
cukup besar. Kemudian dia berdiri di
situ sambil bertopang pada kayu
jendela yang terbuka lebar itu. Cukup
lama juga dia berdiri mematung

sambil memandangi bulan yang
bersinar penuh malam ini. Perlahan
tubuhnya diputar, memandangi Kabat
dan empat anak muda yang duduk
bersimpuh di lantai.
"Aku tidak mau tahu.
Pokoknya, Minarti harus berada di
sini! Apa pun cara kalian, aku tidak
peduli!" tegas Ki Mangir.
"Ki...?!"
Kabat dan keempat anak
muda itu seketika terlongong
mendengar perintah yang begitu
tegas. Mereka memandang laki-laki
separuh baya itu beberapa saat,
kemudian saling melempar pandang.
Benar-benar sulit dimengerti
keinginan Ki Mangir kali ini.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Ki
Mangir melangkah meninggalkan

ruangan ini. Kini tinggal Kabat, Gapar,
dan tiga pemuda lain yang hanya bisa
melompong seperti kerbau kehabisan
rumput. Beberapa kali mereka saling
melempar pandangan, dan tetap
duduk bersila di tengah ruangan yang
cukup besar ini. Padahal, Ki Mangir
sudah tidak terlihat lagi.
"Sudah miring barangkali
otaknya...!" dengus Gapar kesal.
"Hus! Jangan bicara
sembarangan. Kalau dia dengar, bisa
mampus kau!" sentak Kabat.
Gapar bangkit berdiri, diikuti
yang tainnya. Kabat pun demikian.
Tapi, mereka masih belum beranjak
meninggalkan ruangan ini. Perintah Ki
Mangir benar-benar membuat mereka
dongkol setengah mati. Teriebih lagi,
empat anak muda ini. Siang tadi,

mereka telah babak belur tanpa
punya kesempatan sedikit pun untuk
memberi perlawanan.
"Bagaimana, Kang...?" tanya
Gapar menyerah.
"Habis, mau bagaimana
lagi...?" desah Kabat seraya
mengangkat bahunya.
Mereka kemudian melangkah
meninggalkan ruangan berukuran
cukup besar ini dengan ayunan kaki
lesu. Tapi tidak demikian halnya
dengan Kabat. Meskipun juga tidak
suka terhadap perintah itu, tapi di
dalam hati kecilnya terselip rasa
penasaran. Rasa penasarannya
timbul atas kejadian siang tadi, yang
dialami Gapar dan ketiga temannya
ini.

Sementara itu, mereka sudah
sampai di luar rumah berukuran besar
ini. Mereka terus berjalan
menyeberangi halaman depan yang
cukup luas. Beberapa orang
bersenjata golok terfihat hilir mudik di
sekitar rumah Ki Mangir yang cukup
besar ini.
"Kalian mau ikut aku...?" tiba-
tiba Kabat menawarkan.
"Ke mana?" tanya Gapar tidak
bersemangat.
"Ke rumah Eyang Palagan,"
sahut Kabat.
"Edan...! Mau apa ke sana?"
dengus Gapar seraya menghentikan
ayunan kakinya.
Kabat tidak menjawab, dan
malah terus saja mengayunkan
kakinya keluar dari halaman rumah Ki

Mangir. Sementara Gapar dan yang
lainnya hanya saling pandang saja.
Entah kenapa, mereka tertarik untuk
ikut. Mereka berlima terus berjalan
menyusuri jalan tanah berdebu yang
sunyi. Sementara malam terus
merayap beranjak semakin larut. Di
kejauhan terdengar lolongan anjing
hutan yang bisa membuat orang
bergidik mendengamya. Tapi, kelima
orang itu terus saja melangkah
semakin jauh meninggalkan rumah Ki
Mangir.
***
Sementara itu, di salah satu
kamar di dalam rumah yang
berukuran besar dan megah, tampak
Ki Mangir tengah berdiri mematung di

depan jendela yang terbuka lebar.
Matanya tidak berkedip memandangi
bulan yang bersinar penuh, tanpa
dihalangi awan sedikit pun. Langit
malam ini kelihatan begitu cerah,
gemerlap oleh bintang bertaburan,
sehingga menambah indahnya
suasana malam ini. Tapi tidak
demikian halnya hati Ki Mangir yang
kelihatan begitu gelisah dan tidak
tenang.
Beberapa kali terdengar
tarikan napasnya yang panjang dan
terasa begitu berat. Perlahan
tubuhnya diputar membelakangi
jendela. Tapi belum juga kakinya
bergerak terayun, tiba-tiba saja terasa
ada suatu desiran halus dari arah
belakang. Cepat-cepat tubuhnya
dimiringkan ke kanan.

Wus!
Pada saat itu terlihat secercah
cahaya keperakan berkelebat cepat di
samping tubuhnya. Cahaya kepe-
rakan itu seketika menghantam tiang
penyangga yang berdiri di tengah-
tengah ruangan ini. Ki Mangir jadi
terbeliak begitu melihat sebuah benda
berbentuk bunga berwama keperakan
menancap di tiang berukuran cukup
besar itu.
"Hup...!"
Tanpa berpikir panjang lagi, Ki
Mangir langsung melesat keluar
melompat jendela. Ringan sekali
gerakannya. Tahu-tahu saja dia
sudah berada di luar dari kamar itu.
Tanpa menimbulkan suara sedikit
pun, laki-laki setengah baya itu
menjejakkan kakinya di tanah

berumput yang dibasahi embun.
Cahaya keperakan sinar rembulan
langsung menyelimuti dirinya,
sehingga membuat sinar matanya
yang setajam mata elang dapat
melihat sekelebatan sebuah
bayangan di atas atap rumahnya.
"Hap...!"
Ilmu meringankan tubuh yang
dimiliki Ki Mangir memang sudah
mencapai tingkat tinggi. Sehingga,
dalam sekali lompatan saja, dia sudah
berada di atas atap. Begitu ujung jari
kakinya menjejak atap, kembali
tubuhnya melesat cepat dan ringan
tanpa menimbulkan suara sedikit
juga. Sekelebat masih sampat terlihat
sebuah bayangan hitam bergerak
cepat melompati tembok pagar bagian
belakang.

"Hup...!"
Ki Mangir langsung
mengempos ilmu meringankan
tubuhnya hingga tingkat yang terakhir.
Tubuhnya langsung berputaran
beberapa kali di udara sebelum ujung
jari kakinya menyentuh ujung pagar
tembok bagian belakang. Kembali dia
melenting mengejar bayangan hitam
yang baru saja mendarat di tanah. Ki
Mangir melewati atas kepala
bayangan hitam itu, lalu manis sekali
mendarat menghadang.
"Siapa kau...?!" bentak Ki
Mangir. Suaranya dingin dan dalam.
Sinar matanya yang tajam
langsung menyorot sosok tubuh hitam
yang tampak terkejut melihat
kemunculannya. Sosok tubuh itu
langsung berhenti, lalu melompat ke

belakang beberapa tindak Seluruh tu-
buhnya ramping, dan terbungkus baju
hitam ketat. Bahkan seluruh
kepalanya hingga wajah juga tertutup
kain hitam. Hanya dua bulatan kecil
pada matanya yang terlihat Mata Ki
Mangir agak menyipit, mencoba
mengenali sosok tubuh hitam di
depannya. Tapi dalam keadaan
malam seperti ini, memang sukar
mengenali wajah yang tertutup kain
hitam itu.
Namun dari bentuk tubuhnya
yang ramping, sudah dapat dipastikan
kalau orang ini pasti wanita. Ki Mangir
melirik sedikit pinggang sosok tubuh
ramping. Di situ tampak tergantung
sebilah pedang panjang bergagang
hitam. Pada bagian ujung gagang
tampak sebuah batu wama merah.


Dicobanya untuk mengingat pedang
itu, tapi sukar untuk bisa
mengenalinya. Ki Mangir merasa baru
kali ini melihat pedang seperti itu.
"Kuperingatkan padamu,
Buaya Tua! Jangan coba-coba
ganggu Minarti!" terdengar dingin
sekali nada suara wanita berbaju
serba hitam itu.
"Heh...?! Siapa kau
sebenarnya...?!" Ki Mangir terlonjak
kaget setengah mati.
"Aku si Perawan Pembawa
Maut! Kalau berani mengganggu
Minarti sekali lagi, maka kau harus
berhadapan dengan maut!" sahut
wanita berselubung hitam itu, lebih
dingin dan datar suaranya.
"Hm...," Ki Mangir
menggumam perlahan, tidak jelas.

Kembali ditelitinya wanita yang
mengaku berjuluk si Perawan
Pembawa Maut. Meskipun berhasil
mengejar dengan mempergunakan
ilmu meringankan tubuh, tapi Ki
Mangir yakin kalau wanita itu memiliki
kepandaian tinggi. Maka perlahan
kakinya bergeser ke kanan beberapa
langkah. Tangan kanannya meraba
pinggang. Seketika, laki-laki separuh
baya itu terkejut. Ternyata baru
disadari kalau dia tidak membawa
sepotong senjata pun.
"Kau ingin bermain-main, Ki
Mangir...? Baik. Aku memang ingin
membuatmu berpikir dua kali untuk
mendekati Minarti," desis si Perawan
Pembawa Maut.

"Phuih! Apa hubunganmu
dengan Minarti, heh?" dengus Ki
Mangir.
"Kau tidak perlu tahu, Buaya
Tua!" sambung perempuan
berselubung hitam tidak kalah dingin.
Si Perawan Pembawa Maut
melangkah ke depan beberapa
tindak. Perlahan pedangnya ditarik
keluar dari warangka yang tergantung
di pinggang. Sekilas, sinar keperakan
berkelebat menyilaukan begitu
pedang itu keluar dari warangkanya.
Ki Mangir sedikit terkesiap melihat
pamor pedang yang begitu dahsyat.
Meskipun kelihatannya biasa saja,
namun ada kekuatan terselubung
yang langsung dirasakan begitu
pedang itu berada di luar warangka.

"Tahan seranganku, Buaya
Tua! Hiyaaat...!"
Cepat sekali wanita
berselubung hitam itu melompat
menyerang. Pedangnya seketika
berkelebat cepat membabat langsung
ke arah leher laki-laki setengah baya
itu.
"Uts!"
Ki Mangir cepat-cepat menarik
kepala ke belakang, sehingga ujung
pedang itu hanya lewat sedikit saja di
depan tenggorokannya. Tapi harinya
sempat terkejut, karena merasakan
adanya hawa dingin yang amat
sangat begitu ujung pedang lewat di
depan tenggorokannya. Cepat-cepat
tubuhnya melenting ke belakang,
melakukan putaran dua kali.

Namun begitu kakinya
menjejak tanah, si Perawan Pembawa
Maut sudah kembali menusukkan
pedangnya ke arah dada dengan
kecepatan luar biasa sekali. Ki Mangir
cepat-cepat menarik tubuhnya ke kiri,
sehingga tusukan pedang itu hanya
lewat di samping tubuhnya. Laki-taki
setengah baya itu mengambil
kesempatan sempit ini untuk
membalas serangan.
"Yeaaah...!"
Sambil mengerahkan seluruh
kekuatan tenaga dalam, Ki Mangir
mengibaskan tangan kirinya untuk
menyodok perut si Perawan
Pembawa Maut. Tapi tanpa diduga
sama sekali, wanita itu tidak berkelit,
dia malah seperti menerima sodokan

itu dengan mengibaskan tangan
kirinya.
Plak!
"Heh...?!"
Ki Mangir tersentak kaget
bukan kepalang begitu tangannya
membentur tangan wanita ini. Maka
dia cepat melompat mundur beberapa
tindak. Dari adu tangan itu sudah bisa
dirasakan kalau tenaga dalam si
Perawan Pembawa Maut setingkat
dengannya. Dan wanita itu juga
rupanya terkejut sehingga sampai
melentingkan tubuhnya ke belakang
sejauh lima langkah.
Mereka kembali berdiri
berhadapan, berjarak sekitar sepuluh
langkah. Mereka sama-sama terkejut,
dan tidak menyangka akan
kepandaian masing-masing yang

tampaknya berimbang. Perlahan kaki
mereka bergerak berputar ke
samping, seperti hendak menjajaki
kekuatan masing-masing.
***
Keributan yang terjadi di
belakang rumah Ki Mangir, rupanya
terdengar para penjaga rumah itu.
Maka seketika mereka berdatangan
ke tempat itu. Dan ini membuat si
Perawan Pembawa Maut mendengus
kesal. Sebentar ditatapnya tajam-
tajam laki-laki separuh baya di
depannya. Kemudian, cepat
pedangnya dimasukkan kembali ke
dalam warangka di pinggang.
"Aku tidak suka mengotori
tangan dengan darah anjing

anjingmu, Buaya Tua. Lain kali, aku
akan datang menantangmu!" desis si
Perawan Pembawa Maut
Setelah berkata demikian,
cepat wanita itu melesat pergi. Ki
Mangir tidak sempat lagi mencegah,
karena orang-orangnya sudah
berdatangan ke tempat ini. Hanya
dipandanginya saja kepergian wanita
berbaju serba hitam yang seluruh
kepalanya terselubung kain hitam
pula. Di dalam hati, dia sempat
mengagumi kepandaian orang aneh
yang tidak dikenalnya itu. Tapi
kehadiran orang itu juga jadi
menghasilkan segudang pertanyaan
yang menggayuti hatinya.
"Hm.... Siapa dia?
Kepandaiannya tidak bisa dipandang

sebelah mata," gumam Ki Mangir
periahan.
Sementara itu sekitar sepuluh
orang yang menyandang senjata
golok sudah berada di dekatnya.
Salah seorang dari mereka adalah
Gandik. Bergegas dihampirinya laki-
laki setengah baya ini, dan berdiri di
samping kanannya. Tiga orang laki-
laki berusia sekitar empat puluh tahun
yang mengenakan pakaian aneh, dan
menyandang senjata berbentuk aneh
pula, berdiri di belakang Ki Mangir.
Mereka itu adalah tukang pukul
kebanggaan Ki Mangir.
"Apa yang terjadi di sini, Ki?"
tanya Gandik , "Hanya tikus betina
yang mencoba mengusikku," sahut Ki
Mangir seraya mengayunkan kakinya
meninggalkan tempat itu.

Gandik jadi melongo
mendengar jawaban laki-laki separuh
baya itu. Sebentar dipandanginya Ki
Mangir yang terus saja berjalan pergi.
Kemudian, diperintahkannya para
penjaga rumah laki-laki separuh baya
itu untuk kembali ke tempat masing-
masing. Lalu, dihampirinya tiga orang
bertampang aneh yang masih tetap
berdiri.
Seorang yang menyandang
golok besar bertangkai panjang, dan
mengenakan baju berwarna putih
dikenal sebagai si Golok Setan. Satu
orang lagi yang bersenjata sebuah
pecut buntut kuda, dan memakai baju
berwarna hitam dikenal sebagai si
Cambuk Api. Sementara seorang lagi
bertubuh kurus kerempeng dan tinggi.
Bajunya dari baban yang kasar dan

longgar. Julukannya, Jerangkong
Hidup. Tak ada satu senjata pun
tersandang di tubuhnya.
"Seharusnya kalian menjaga
Ki Mangir," ujar Gandik seperti
menyesali kejadian yang dialami Ki
Mangir malam ini.
"Maaf. Kami tidak tahu kalau
ada peristiwa malam ini," sahut si
Golok Setan. Suaranya terdengar
besar dan berat sekali.
"Ada kejadian atau tidak,
seharusnya kalian selalu berada di
dekat Ki Mangir," selak Gandik.
Ketiga orang itu hanya diam
saja. Mereka tidak berani menjawab,
karena Gandik orang kepercayaan Ki
Mangir. Bahkan kekuasaannya bisa
disejajarkan dengan laki-laki separuh
baya itu. Dialah yang mengatur

segalanya di rumah besar ini, dan
hanya Ki Mangir saja yang bisa
menyuruhnya.
"Mulai sekarang, kalian tidak
boleh jauh dari Ki Mangir. Paham...?!"
tegas Gandik lagi.
"Kami mengerti," sahut ketiga
orang itu berbarengan.
Gandik bergegas
meninggalkan ketiga orang itu.
Jalannya cukup cepat, dan ayunan
kakinya lebar. Sebentar ketiga orang
bertampang aneh itu diam berdiri,
kemudian cepat-cepat kembali ke
rumah besar itu. Mereka melewati
pagar tembok belakang, dengan
lompatan ringan sekali. Sebentar saja
mereka sudah tidak terlihat lagi,
tertelan di balik tembok yang cukup
tinggj dan tebal bagai benteng. Dan

malam pun semakin beranjak larut
menyelimuti alam ini.
***
Peristiwa yang dialami Ki
Mangir malam itu, cepat sekali
tersebar. Bahkan sampai ke luar
tembok rumahnya. Hampir semua
penduduk Desa Jati Laksa ini sudah
mendengar kejadian yang menimpa
laki-laki separuh baya itu. Tentu saja
hal ini menjadi suatu pembicaraan
hangat semua orang. Yang pasti,
mereka tidak tahu ujung pangkal
persoalannya, dan hanya bisa
menebak-nebak saja.
"Aku yakin, kejadian semalam
ada hubungannya dengan keinginan

gila Ki Mangir," jelas Gapar saat
berada di kedai.
"Jangan keras-keras. Banyak
orang di sini...," bisik Kabat
memperingatkan.
"Biar mereka semua tahu!"
dengus Gapar yang memang sudah
kesal.
"Kau cari penyakit saja, Par,"
rungut Sito.
"Aku sependapat dengan
Gapar," selak Kalil.
"Sependapat bagaimana...?"
potong Kabat.
"Peristiwa malam itu, pasti ada
hubungannya dengan keinginan gila
Ki Mangir," sahut Kalil.
"Jangan-jangan, orang yang
membuat kita babak belur yang

mendatangi Ki Mangir," tebak Majan
yang sejak tadi diam saja.
"Jangan ngomong
sembarangan," dengus Kabat.
"Aku bicara yang sebenarnya,
Kang. Sebenamya, kami waktu itu
tidak tahu, siapa orang yang
menyerang," jelas Majan lagi.
"Heh...?!" Kabat jadi
terperanjat mendengamya.
"Kalian bilang, yang
menyerang adalah Minarti. Kenapa
sekarang lain lagi...?"
"Waktu itu, sebenarnya aku
tidak tahu apakah itu Minarti atau
bukan. Kami memang melihat Minarti
berbelok masuk ke jalan kecil. Tapi
begitu akan dihampiri, gadis itu tiba-
tiba menghilang. Sebentar kemudian
muncul seseorang mengenakan baju

serba hitam, dan langsung cepat
menyerang," Majan menceritakan
yang sebenarnya.
"Jadi, yang membuat kalian
jadi babak belur begitu bukan
Minarti...?" tanya Kabat seperti ingin
meyakinkan.
"Tidak tahu, Kang," sahut
Majan lagi.
"Aneh.... Aku membuntutinya
sejak dari sungai. Dia memang
berbelok masuk ke jalan kecil itu.
Rasanya, mustahil kalau bisa berganti
rupa begitu cepat," suara Kabat
terdengar menggumam, seperti bicara
pada diri sendiri.
Mereka jadi terdiam. Begitu
menariknya, sehingga tak ada
seorang pun yang menyadari kalau
pembicaraan itu didengar seorang

pemuda berwajah tampan yang
duduk tidak jauh dari tentpat mereka
duduk. Seorang pemuda yang
mengenakan baju kulit harimau,
dengan seekor monyet kecil
nangkring di pundak kanannya.
Tampaknya, pemuda itu tidak
mempedulikan pembicaraan lima
orang ini. Tapi sesekali matanya
melirik juga dengan kening berkerut
"Kang, apa sebaiknya semua
ini kita ceritakan saja pada Ki Mangir,"
usul Majan.
"Jangan...!" sentak Gapar
cepat
Semua memandang Gapar.
"Aku merasa ada sesuatu
yang aneh dari semua peristiwa ini,"
duga Gapar pelan.

"Maksudmu, Par...?" tanya
Kabat
"Dari keinginan gila Ki Mangir
saja, sudah bisa kurasakan ada
sesuatu yang tidak beres. Ditambah
lagi, munculnya orang aneh yang
mengaku berjuluk si Perawan
Pembawa Maut. Aku yakin, ada
sesuatu yang disembunyikan Ki
Mangir. Dan keinginan gilanya itu
hanya kedok belaka," Gapar
memaparkan pikirannya.
"Aku tidak mengerti
maksudmu, Par...?" lagi-lagi Kabat
meminta penjelasan.
"Semalam, kita semua kan ke
rumah Eyang Palagan. Dan hanya
Minarti saja yang menemui. Dia tidak
mengatakan apa-apa tentang
ayahnya. Lalu, apa kalian melihat

Eyang Palagan dalam satu bulan
ini...?" agak berbisik suara Gapar.
Kabat dan yang lain hanya
menggelengkan kepala saja. Mereka
memang tidak pernah lagi melihat
Eyang Palagan dalam sebulan
belakangan ini. Bahkan mendengar
kabamya saja tidak lagi. Tapi, itu
memang sudah tidak aneh. Eyang
Palagan sering menghilang berhari-
hari lamanya. Bahkan bisa satu, atau
dua bulan tidak kelihatan, maupun
terdengar kabar beritanya.
"Biasanya kalau Eyang
Palagan tidak ada, Minarti selalu
bercerita kalau ditanya. Tapi
semalam, dia malah tidak
mengatakan apa-apa. Aku yakin, ada
sesuatu yang terjadi. Dan tentu saja
Ki Mangir mengetahuinya.

Makanya, dia ingin melamar
Minarti menjadi istrinya. Dan
lamarannya pasti mengandung
sesuatu yang sulit diketahui," lanjut
Gapar.
"Ah! Kau terialu jauh berpikir,
Gapar," selak Sito.
"Aku baru menduga. Tapi,
siapa tahu bisa jadi kenyataan," kata
Gapar mempertahankan
pendapatnya.
"Ah, sudahlah.... Jangan
berpikir yang jauh-jauh dulu.
Sebaiknya kita lihat saja
perkembangannya," Kabat
menengahi.
Mereka kemudian diam, tak
ada yang bicara lagi. Setelah
menghabiskan semua minumannya,
mereka semua beranjak pergi

meninggalkan kedai ini. Laki-laki tua
pemilik kedai terbungkuk-bungkuk
menerima ba-yaran dari Kabat, lalu
mengantarkan tamunya sampai di
depan pintu. Sementara pemuda
berbaju kulit ha-rimau yang sejak tadi
diam-diam mendengar semua
pembicaraan itu, juga beranjak
bangkit berdiri, setelah Kabat dan
keempat anak muda itu meninggalkan
kedai ini.
***
TIGA

Senja baru saja merayap turun
menyelimuti bumi. Sinar matahari
kemerahan yang menyemburat
lembut, hampir tenggelam di belahan
bumi bagian Barat Burung-burung
pun mulai beterbangan kembali ke
sarangnya, setelah seharian penuh
berkelana mencari penghidupan di
alam bebas bagai tak bertepi.
Kicauan burung-burung menjadikan
senja yang temaram ini tampak begitu
semarak, sehingga membuat suasana
ceria bagi seorang gadis cantik yang
duduk menyendiri di beranda depan
rumahnya. Bibirnya bergerak
tersenyum-senyum sendiri

menyaksikan burung-burung kecil
begitu riang berlompatan ke sana
kemari dari dahan yang satu ke
dahan lain.
Tapi mendadak senyumnya
menghilang, begitu tiba-tiba di
depannya berdiri seorang pemuda
berusia sekitar dua puluh lima tahun.
Pemuda berbaju kulit harimau itu
muncul dari balik sebatang pohon
yang cukup besar. Di pundak
kanannya duduk mencangkung
seekor monyet kecil berbulu hitam.
Gadis itu bangkit berdiri, seraya
menutupi bagian dadanya yang tadi
agak terbuka.
"Apakah aku mengejutkanmu,
Nisanak..?" sapa pemuda itu ramah,
dengan senyum tersungging dibibir.

"Tidak," sahut gadis itu. "Ada
yang bisa kubantu?"
"Sahabatku ini kehausan.
Boleh minta minum sedikit..?"
"Silakan. Itu di tempayan."
Pemuda berbaju kulit harimau ini
melangkah mendekati sebuah
tempayan dari tanah liat di sudut
beranda rumah kecil ini. Dibukanya
tutup tempayan itu, dan disendoknya
air yang ada di dalamnya dengan
gayung dari tempurung kelapa. Air
dingin yang segar itu diminumkan
pada monyet kecil di pundaknya. Ke-
mudian mukanya sendiri dibasuh
dengan sisa air itu. Dan tempayan
sudah ditutupnya kembali.
"Terima kasih," ucap pemuda
itu, tetap lembut dan sopan suaranya.


Gadis itu hanya tersenyum
saja. "Indah sekali senja ini. Boleh
beristirahat barang sejenak di sini...?"
pinta pemuda itu lagi.
"Silakan," lagi-lagi gadis itu
mempersilahkan dengan ramah.
Sambil menghembuskan
napas panjang, pemuda berbaju kulit
harimau ini duduk di pinggir beranda
yang terbuat dari belahan papan
diserut halus. Tangannya mengambil
monyet kecil di pundaknya, lalu
ditaruh di pangkuannya. Gadis itu
kembali duduk agak jauh dari pemuda
itu. Beberapa saat mereka jadi
terdiam.
'’Tampaknya kau bukan
penduduk desa ini. Apakah kau
seorang pengembara?" tanya gadis
itu menebak.

"Benar," sahut pemuda itu.
"Sudah cukup jauh perjalanan yang
kutempuh. Entah berapa jauh lagi aku
harus berjalan mengelilingi rimba luas
ini."
"Banyak pengembara yang
singgah di sini. Dan biasanya, mereka
bermalam di Desa Jati Laksa," jelas
gadis itu.
"Desa yang indah, dan
penduduknya pun ramah." "Kau
sudah ke sana?"
"Singgah sebentar."
"Sayang sekali. Seharusnya
kau bermalam di sana. Biasanya
kalau malam hari, Desa Jati Laksa
selalu ramai. Banyak yang bisa
disaksikan di sana."
"Keindahan biasanya
menyembunyikan sesuatu yang sulit


diduga," kata pemuda itu agak
bergumam suaranya, seperti bicara
pada dirinya sendiri.
"Memang. Termasuk juga
keramahan yang bisa menyimpan
seribu maksud tertentu," sambut
gadis itu diiringi senyuman.
Pemuda itu juga tersenyum.
Entah apa maksud senyuman mereka
ini. Dan pembicaraan yang tadi
berlangsung juga seperti menyimpan
suatu arti yang sukar diterka. Pemuda
itu menepuk-nepuk kepala monyet
kecil di pangkuannya.
“Aku Bayu," pemuda itu
memperkenalkan diri tanpa diminta.
"Dan kau pasti Minarti," lanjutnya
menebak
Gadis itu hanya tersenyum
saja. Sedikit pun tidak terlihat adanya

keterkejutan di wajahnya setelah
mendengar tebakan pemuda ini yang
tidak meleset sama sekali. Dia seperti
sudah terbiasa menghadapi para
pendatang yang sudah mengetahui
namanya, sebelum dia sendiri
memperkenalkan diri.
Gadis yang memang bernama
Minarti ini menggeser duduknya lebih
mendekat. Tangannya terulur, lalu
mengelus-elus monyet kecil di
pangkuan pemuda berbaju kulit
harimau ini Monyet kecil berbulu
hitam itu jadi manja. Binatang itu
berpindah ke pangkuan gadis ini, dan
menyembunyikan wajahnya di dada
yang membusung indah. Senyum di
bibir Minarti semakin lebar
mengembang.

"Siapa namanya?" tanya
Minarti.
'Tiren," sahut Bayu.
"Lucu sekali. Sudah lama kau
memilikinya?"
"Cukup lama juga."
Kembali mereka terdiam
membisu. Tidak ada lagi kekakuan di
antara mereka, seakan-akan sudah
lama saling mengenal. Padahal, baru
beberapa saat saja mereka bertemu
dan berbicara.
'’Tadinya aku ragu padamu.
Tapi setelah melihat pergelangan
tangan kananmu, aku yakin kalau kau
orang yang kutunggu," kata Minarti
lagi. Senyuman masih terkembang di
bibirnya yang merah.
"Apakah kedatanganku
teriambat?"


'’Tidak. Malah lebih cepat satu
hari daripada yang dijanjikan."
Kembali mereka terdiam.
Sementara matahari semakin jauh
tenggelam di sebelah Barat Suasana
pun semakin meremang. Minarti
bangkit berdiri, membiarkan Tiren
menggelantung memeluk
pinggangnya. Dinyalakannya pelita
yang tergantung di tengah-tengah
atap beranda ini. Kemudian kakinya
melangkah masuk ke dalam, untuk
menyalakan pelita. Tak lama
kemudian dia keluar lagi, lalu duduk di
samping pemuda berbaju kulit
harimau ini.
"Bagaimana keadaan ayah?"
tanya Minarti sambil mempermainkan
bulu-bulu di atas kepala Tiren.

"Semakin membaik," sahut
Bayu.
"Banyak kejadian yang
membuatku sulit tidur beberapa hari
ini. Aku sendiri tidak tahu, apakah
mampu bertahan jika kau tidak segera
datang, Pendekar Pulau Neraka,"
kata Minarti lagi.
"Panggil saja aku Bayu," pinta
Baya
"Bagaimana kalau aku
panggil... Kakang...?"
"Boleh juga," sahut Bayu
seraya tersenyum.
"Kau pasti lebih tua dariku."
"Mungkin."
Lagi-lagi mereka terdiam,
seperti sedang mencari kata-kata
yang bisa dibicarakan.

"Ada pesan dari ayah untukku,
Kakang...?" lagi-lagi Minarti yang
membuka percakapan lebih dahulu.
"Hanya satu," sahut Bayu.
"Apa?"
"Kau dilarang menggunakan
Sangkal Ireng kalau tidak pertu.
Hanya itu saja pesannya."
Minarti hanya tersenyum saja
mendengar pesan yang disampaikan
Pendekar Pulau Neraka. Gadis itu
kemudian beranjak bangkit berdiri,
kemudian melangkah masuk ke
dalam rumah ini. Bayu juga ikut
berdiri, tapi tidak masuk mengikutinya.
Minarti kembali muncul di pintu.
"Kau tidak ingin masuk,
Kakang...?" lembut sekali suara
Minarti.

"Sebentar," jawab Bayu tanpa
berpaling.
"Sebentar lagi gelap. Aku
siapkan dulu kamar untukmu," kata
Minarti lagi.
Tidak periu repot, Minarti. Aku
bisa tidur di mana saja."
Tapi Minarti sudah tenggelam
di dalam rumah kecil ini, bersama
Tiren yang masih menggelantung di
pinggangnya. Sedangkan Bayu masih
berdiri saja di depan beranda.
Pandangannya beredar ke sekeliling.
Mendadak saja keningnya jadi
berkerut, dan matanya agak menyipit
Sekilas terdengar sesuatu yang ganjil,
di antara hembusan angin dan
gemerisik dedaunan. Dan begitu
wajahnya berpaling ke kanan, tiba-
tiba saja terlihat sebuah bayangan

berkelebat cepat di antara
pepohonan.
"Hup!"
Bagaikan Kilat, Pendekar
Pulau Neraka melesat cepat mengejar
bayangan yang dilihatnya sekilas tadi.
Begitu sempumanya ilmu
meringankan tubuh yang dimilikinya,
sehingga dalam sekejapan mata saja
bayangan tubuh Pendekar Pulau
Neraka sudah hilang dari pandangan
mata.
***
"Hei! Berhenti...!" seru Bayu
lantang.
"Hup! Yeaaah...!"
Indah sekali gerakan Pendekar
Pulau Neraka saat melenting di udara.

Begitu cepatnya, sehingga dapat
melewati bagian atas seseorang yang
dikejarnya. Lalu, kakinya mendarat
manis sekali di depan orang itu. Se-
dikit pun tidak terdengar suara saat
kakinya menjejak tanah yang hampir
tertutup dedaunan kering. Tapi belum
juga Bayu sempat membuka mulut,
tiba-tiba saja orang itu sudah
mencabut goloknya. Tubuhnya lang-
sung melesat menerjang Pendekar
Pulau Neraka.
"Hiyaaat...!"
"Heh...?! Hup!"
Bayu terkejut, dan cepat-cepat
memiringkan tubuhnya ke kiri untuk
menghindari tebasan golok orang ini.
Lalu dengan cepat kakinya ditarik ke
belakang, begitu golok berkilat
keperakan itu lewat di samping

tubuhnya. Tapi sebelum Pendekar
Pulau Neraka bisa melakukan
sesuatu, kembali datang serangan
cepat dari orang bersenjata golok ini.
Bet!
"Uts!"
Lagi-lagi Pendekar Pulau
Neraka menarik tubuhnya ke
belakang, begitu golok berkilat
keperakan berkelebat cepat di depan
dadanya. Dan sebelum golok
menjauh, cepat sekali Pendekar
Pulau Neraka menghentakkan tangan
kirinya. Langsung dihantamnya
pergelangan tangan orang yang
memegang golok itu.
Begitu cepatnya gerakan yang
dilakukan Pendekar Pulau Neraka,
sehingga tidak sempat lagi disadari
lawan. Dan orang itu tidak punya

kesempatan menarik tangannya untuk
menghindari tebasan tangan kiri
pemuda berbaju kulit harimau ini.
Tak!
"Akh...!" orang itu memekik
keras.
Seketika goloknya terlepas
dari genggaman tangannya. Dan
sebelum sempat menyadari apa yang
terjadi, Bayu sudah memberi satu
sodokan cepat dengan tangan kanan.
Untuk kedua kalinya, orang itu
terpekik. Sodokan tangan kanan
Pendekar Pulau Neraka tepat sekali
menghantam bagian bawah lehernya.
Tak ampun lagi, orang itu langsung
lemas. Tubuhnya kontan melorot
turun dan menggeletak tak berdaya
lagi di tanah yang penuh daun kering
ini.

Rupanya sodokan tangan
kanan Bayu tadi merupakan suatu
totokan yang tepat mengenai pusat
jalan darah. Akibatnya, orang itu
lemas seketika tanpa berdaya lagi.
Seluruh tubuhnya jadi lumpuh, tak
dapat digerakkan lagi. Hanya bagian
leher ke atas saja yang masih mampu
digerakkan. Bayu melangkah meng-
hampiri, dan berdiri tegak di samping
tubuh yang tergeletak tak berdaya ini.
"Siapa kau?! Untuk apa kau
mengintaiku...?!" tanya Bayu dengan
suara dingin menggetarkan.
Laki-laki bertubuh kurus kecil
dan berkulit agak hitam ini hanya
diam saja. Matanya berputaran
merayapi wajah Pendekar Pulau
Neraka yang berada di atasnya.
Tubuhnya dicoba digerakkan, tapi

totokan yang diberikan Bayu begitu
kuat. Maka, dia harus pasrah dalam
ketidak berdayaannya.
"Aku bisa membunuhmu,
semudah membalikkan telapak
tangan," desis Bayu mengancam.
Mendapat ancaman demikian,
wajah laki-laki kurus kecil ini seketika
pucat pasti. Bibirnya bergerak-gerak
menggeletar, tapi sedikit pun tak ada
suara yang keluar. Bayu jadi tersentak
kaget. Baru disadari, kalau totokannya
tadi juga membungkam pita suara
laki-laki ini. Cepat Bayu membungkuk,
dan memindahkan totokannya. Laki-
laki itu mengeluh panjang. Suaranya
kembali terdengar setelah Bayu
memindahkan totokannya.

"Jawab pertanyaanku! Untuk
apa kau mengintaiku...?" Bayu
mengulang pertanyaannya.
"Aku..., aku hanya disuruh,"
sahut laki-laki Itu tergagap.
"Disuruh siapa?" kejar Bayu.
Belum juga orang itu
menjawab pertanyaan Bayu, tiba-riba
saja berkelebat secercah sinar
keperakan yang langsung
menghantam tubuhnya.
"Aaakh...!" laki-laki bertubuh
kurus kecil ini menjerit keras.
Sebentar tubuhnya menggeletar,
kemudian diam tak bernyawa lagi.
Bayu terionjak kaget setengah mati.
Pandangannya cepat diarahkan ke
arah datangnya sinar keperakan tadi.
Tapi tak ada sesuatu pun yang dapat
dilihatnya, selain pepohonan yang

mulai menghitam karena kurang
mendapat sinar matahari.
Pendekar Pulau Neraka cepat
memeriksa tubuh laki-laki kurus kecil
itu. Keningnya jadi berkerut melihat di
dada orang ini tertancap sebuah
benda berbentuk bunga berwarna
perak. Di sekitar dada yang tertancap
bunga perak itu terlihat warna biru
yang semakin melebar. Bayu tahu,
benda ini mengandung racun yang
bekerja cepat dan sangat mematikan.
"Hm...," Bayu menggumam
perlahan.
Kembali pandangannya
beredar ke sekitamya. Tapi tetap saja
tidak terlihat ada orang lain. Perlahan
Pendekar Pulau Neraka
mengayunkan kakinya, sambil
memasang tajam-tajam telinganya.


Tak ada yang bisa didengar, kecuali
desir angin yang berhembus agak
kencang sore ini.
Masih sulit bagi Bayu untuk
bisa menduga, mengapa dan siapa
orang melempar senjata rahasia itu.
Dan dia memang tidak ingin menduga
duga dulu sebelum mengetahui lebih
banyak lagi. Pendekar Pulau Neraka
kembali menuju ke rumah Minarti,
setelah yakin tidak mungkin bisa
menemukan orang yang
melemparkan bunga perak itu.
***
Bayu baru saja menginjakkan
kakinya di lantai papan beranda
depan rumah Minarti, ketika tiba-tiba
terdengar jeritan dari dalam.

Bergegas Pendekar Pulau Neraka
melompat masuk menerobos pintu.
Seketika matanya terbeliak, melihat
seorang laki-laki bertubuh tinggi besar
tengah berusaha meringkus Minarti.
"Hey...?!" bentak Bayu keras
menggelegar.
Laki-laki bertubuh tinggi besar
hu terkejut mendengar bentakan
Pendekar Pulau Neraka. Wajahnya
berpaling dan langsung melompat
menerjang pemuda berbaju kulit
harimau itu. Satu pukulan keras
dilancarkan disertai pengerahan
tenaga dalam tinggi.
"Uts!"
Tubuh Bayu cepat miring ke
kanan, menghindari pukulan laki-laki
bertubuh tinggi besar ini. Kemudian
tubuhnya segera melenting ke


belakang, melakukan putaran dua
kali. Dan sebelum kakinya menjejak
tanah, Pendekar Pulau Neraka
memberi satu tendangan keras
dengan kedua kakinya. Begitu
cepatnya serangan balasan yang
diberikan Bayu, sehingga laki-laki
bertubuh tinggi besar itu tidak dapat
lagi menghindar.
Des!
"Akh...!" dia memekik keras.
Tubuh yang besar bagai
raksasa itu terpental jauh ke
belakang, langsung menghantam
dinding papan hingga jebol
berantakan. Pendekar Pulau Neraka
segera melesat mengejar sampai ke
luar. Sedangkan laki-laki bertubuh
tinggi besar dan berwajah kasar

penuh brewok itu sudah berdiri tegak
di bagian samping rumah kecil ini.
"Kakang, awas...!" seru Minarti
yang tiba-tiba saja muncul dari
dinding yang jebol berantakan.
Wusss!
"Uts!"
Bayu cepat merundukkan
kepala ketika tiba-tiba saja dari arah
samping kanan berhembus angin
keras yang datang dari sebuah
cambuk berbentuk buntut kuda.
Senjata itu lewat sedikit di atas
kepalanya. Pendekar Pulau Neraka
cepat menarik kakinya tiga langkah ke
belakang. Pada saat itu, di depannya
beriompatan tiga sosok tubuh
berperawakan aneh.
Yang seorang memegang
golok besar bertangkai panjang.

Dialah yang tadi hendak meringkus
Minarti dengan paksa. Seorang lagi
adalah yang baru saja mengebutkan
cambuknya yang berbentuk buntut
kuda. Sementara seorang lagi tidak
kelihatan membawa senjata apa pun
juga. Tubuhnya kurus tinggi seperti
tengkorak terbalut kulit. Bayu
memperhatikan ketiga orang ini satu
persatu.
"Hm.... Siapa mereka...?"
gumam Bayu perlahan, bertanya
pada diri sendiri.
Memang, baru kali inilah Bayu
melihat mereka. Dan tentu saja tidak
mengenalnya. Sementara ketiga
orang berperawakan aneh itu sudah
melangkah, menyebar ke tiga arah
untuk mengepung Pendekar Pulau
Neraka. Namun Bayu sudah siap

menghadapi segala kemungkinan
yang bisa saja terjadi tanpa diduga
sebelumnya. Pendekar Pulau Neraka
terus memperhatikan setiap gerak
ketiga orang yang sebenarnya adalah
tukang pukul andalan Ki Mangir.
Mereka memang ditugaskan untuk
menculik Minarti. Hanya saja, Bayu
memang tidak tahu maksud
kedatangan ketiga orang itu.
"Hiyaaat..!"
Tiba-tiba saja orang yang
menggenggam golok besar
bertangkai panjang melompat cepat
sambil mengebutkan senjatanya
dengan kekuatan penuh ke arah
kepala Pendekar Pulau Neraka. Angin
kebutan golok itu demikian dahsyat,
menderu kencang bagai angin badai.
"Uts!"

Bayu cepat merundukkan
kepala sedikit, sehingga tebasan
golok besar itu hanya lewat saja di
atas kepalanya. Dan belum juga
Pendekar Pulau Neraka bisa menarik
kepalanya agar tegak kembali, satu
serangan kembali datang dari orang
bertubuh tinggi kurus seperti
tengkorak hidup. Kedua tangannya
bergerak cepat menyambar beberapa
bagian tubuh Bayu yang mematikan.
"Hup! Yeaaah...!"
Bayu terpaksa berjumpalitan
menghindari serangan-serangan itu.
Tubuhnya meliuk-liuk, dan beberapa
kali harus berlompatan menerima
serangan-serangan cepat dan
bergantian dari ketiga orang ini.
Beberapa kali pula Pendekar Pulau
Neraka terpaksa membanting

tubuhnya ke tanah, dan bergulingan
menghindari serangan yang datang
bagaikan hujan.
Sementara Minarti yang
menyaksikan pertarungan itu
kelihatan cemas. Tapi dia tidak bisa
berbuat banyak untuk membantu,
selain hanya bisa melihat dan
berharap dalam hati agar Pendekar
Pulau Neraka bisa mengatasi lawan-
lawannya yang tampaknya memiliki
kepandaian tinggi. Dan pertarungan
itu pun terus berjalan semakin sengit.
Beberapa kali Bayu bisa
memberi serangan balasan yang tidak
kalah dahsyatnya, dan setiap kali itu
pula ketiga orang pengeroyok jadi
berjumpalitan kelabakan menghindari.
Meskipun dikeroyok tiga orang,


tampaknya Pendekar Pulau Neraka
tidak mudah dilumpuhkan.
"Hup! Yeaaah...!"
Tiba-tiba saja Bayu
melentingkan tubuhnya tinggj-tinggi
ke udara. Setelah melakukan
beberapa kali putaran, cepat dia
meluruk turun dengan deras sambil
cepat mengebutkan tangan
kanannya.
"Hiyaaa...!"
Bet!
Wuk!
Seketika itu juga Cakra Maut
yang selalu menempel di pergelangan
tangan Pendekar Pulau Neraka me-
lesat cepat ke arah orang yang
menyandang senjata golok besar
bertangkai panjang. Kilatan cahaya
keperakan dari Cakra Maut membuat

orang yang jadi sasarannya terkejut
setengah mati.
"Yeaaah...!"
Bet! Wut!
Beberapa kali orang itu
mengebutkan goloknya, mencoba
menghalau senjata maut Pendekar
Pulau Neraka. Tapi tanpa diduga
sama sekali, Cakra Maut temyata
mampu bergerak, menghindari
tebasan golok besar bertangkai
panjang itu. Bahkan kini sudah cepat
meluruk deras ke arah dada orang
bertubuh tinggi besar yang
mengenakan baju kulit binatang ini.
"Heh...?! Ufs!"
Cepat-cepat orang itu
membanting tubuhnya ke tanah, tapi
tetap saja ujung Cakra Maut
membabat bahu kanannya. Akibatnya

orang bertubuh tinggi besar itu
memekik agak tertahan. Seketika
darah mengucur deras dari bahu
kanannya yang sobek tersambar
senjata andalan Pendekar Pulau
Neraka.
Sementara itu, Pendekar
Pulau Neraka sudah menyerang
seorang lagi yang memegang senjata
cambuk buntut kuda. Beberapa kali
diberikannya pukulan beruntun yang
keras dan mengandung pengerahan
tenaga dalam tinggi, dengan tubuh
tetap melayang di udara. Serangan
Pendekar Pulau Neraka dari arah atas
ini, rupanya membuat orang
bersenjata cambuk buntut kuda itu
jadi kelabakan. Setengah mati dia
berusaha menghindar dengan meliuk

liukkan tubuhnya sambil mengebutkan
cambuknya beberapa kali.
Tapi ketika Bayu melentingkan
tubuhnya melewati kepala, orang itu
jadi gugup. Dan sebelum bisa
menyadari apa yang akan dilakukan
Pendekar Pulau Neraka, mendadak
saja.... "Yeaaah...!" Des!
Serangan Pendekar Pulau Neraka yang
bertubi-tubi, membuat orang bersenjata cambuk
buntut kuda itu kelabakan. Setengah mati dia

berusaha menghindar dengan meliuk-liukkan
tubuhnya sambil mengebutkan cambuknya
beberapa kali!
"Akh...!"
Laki-laki bersenjata cambuk
buntut kuda itu terpekik keras, dan
terjungkal mencium tanah begitu
punggungnya terkena tendangan
keras menggeledek dari Pendekar
Pulau Neraka. Dan sebelum bisa
menggelimpang, Bayu sudah
mendarat di tanah. Pendekar Pulau
Neraka langsung mengangkat tangan
kanannya ke atas kepala. Maka Cakra
Maut kembali menempel di
pergelangan tangan kanannya.
"Lari...!" teriak orang bertubuh
tinggi kurus tiba-tiba.


Tanpa banyak suara lagi,
ketiga orang itu langsung berlari
serabutan. Pendekar Pulau Neraka
hanya memandangi saja tanpa ada
maksud mengejar. Melihat ketiga
orang itu berlari lintang-pukang,
Minarti bergegas keluar menghampiri
Pendekar Pulau Neraka. Rasanya
ingin Minarti memeluk, tapi
keinginannya ditahan dan hanya
berdiri saja memandangi pemuda
tampan berbaju kulit harimau ini.
***

EMPAT

"GoWok...!" Brak!
Meja dari kayu jati tebal
seketika hancur berkeping-keping
terkena pukulan Ki Mangir yang
marah setengah mati atas kegagalan
ketiga tukang pukulnya menculik
Minarti. Wajahnya memerah, dan bola
matanya berkilatan menyimpan
amarah yang meluap bagai
bendungan yang hampir jebol
kelebihan air.
Bukan hanya ketiga tukang
pukul berperawakan aneh itu yang
ada di ruangan ini. Kabat, Gandik,
dan empat anak muda pengikutnya
juga ada di sana. Mereka semua

terdiam membisu, tanpa ada yang
berani mengeluarkan suara. Bahkan
memandang wajah Ki Mangir saja
tidak berani. Sementara Ki Mangir
merayapi kepala-kepala yang
tertunduk di depannya.
Sudah segala cara
dilakukannya untuk mendapatkan
Minarti, tapi sampai saat ini belum
juga menampakkan hasil. Bahkan
sampai menggunakan cara kasar pun,
tidak juga berhasil. Dan ini membuat
laki-laki setengah baya itu semakin
berang saja. Teriebih lagi tadi setelah
mendengar laporan kalau Minarti
sekarang punya pelindung seorang
anak muda berkepandaian tinggi. Dan
itu berarti ada dua orang yang
melindungi Minarti. Hanya saja, yang

seorang lagi tidak dikenali siapa
orangnya.
"Aku tidak mau tahu cara
kalian. Yang jelas, besok Minarti
sudah ada di sini!" tegas Ki Mangir.
"Ki...?!" Gandik hendak
membantah.
Tapi Ki Mangir sudah
melangkah meninggalkan ruangan ini.
Semua orang yang ada di dalam
ruangan berukuran cukup besar itu
jadi teriongong saling berpandangan.
Mereka tidak mengerti terhadap sikap
Ki Mangir yang begitu aneh. Tidak
biasanya laki-laki setengah baya itu
demikian gigih menginginkan seorang
gadis. Apalagi, gadis yang
diinginkannya bukan gadis
sembarangan. Putri seorang pertapa
yang amat disegani di Desa Jati

Laksa! Bahkan juga disegani desa-
desa lain yang berdekatan dengan
desa ini.
'’Terpaksa, kita harus
melakukan perintahnya," desah
Gandik
"Menculik Minarti...?" Kabat
tebengong seperti kerbau kehabisan
rumput
"Pekerjaan bunuh diri!" dengus
Gapar.
***
Sementara malam masih terus
merayap menyelimuti bumi. Angin
semakin keras berhembus,
menyebarkan udara dingin menusuk
sampai ke tulang. Agak jauh dari
rumah penduduk Desa Jati Laksa,

Bayu masih terlihat duduk di beranda
depan, ditemani Minarti. Gadis itu
juga duduk beralaskan tikar, tidak
jauh dari Pendekar Pulau Neraka.
Mereka sama-sama tidak bisa tidur,
setelah peristiwa usaha penculikan
yang menimpa Minarti.
Mereka memandang lurus ke
arah puncak Gunung Banjaran yang
tampak angkuh, menjulang tinggi
terselimut kabut tebal. Angin dingin
yang bertiup kencang, memaksa Bayu
harus melindungi dirinya di tiang
beranda rumah ini. Matanya menatap
Minarti yang masih saja memandang
ke arah puncak gunung yang
menghitam pekat berselimut kabut.
"Apa yang dilakukan ayah
malam-malam begini di puncak
gunung itu, ya...?" desah Minarti

perlahan, hampir tidak terdengar
suaranya. Dia seperti bicara pada
dirinya sendiri.
"Kau rindu ayahmu, Minarti?"
tanya Bayu.
"Kakang! Kenapa ayah
melarangku pergi ke sana?" Minarti
malah balik bertanya.
"Aku tidak tahu. Tapi yang
pasti, ayahmu punya maksud
tertentu," sahut Bayu.
"Kalau aku ada di sana, tidak
mungkin si tua bangka Ki Mangir
menggangguku," desah Minarti
seperti mengeluh.
Bayu menggeser duduknya
lebih mendekat pada gadis ini.
Diambilnya tangan Minarti dan
digenggamnya hangat-hangat. Minarti
membiarkan saja jari-jari tangannya

digenggam Pendekar Pulau Neraka.
Beberapa saat mereka saling
berpandangan, namun perlahan
Minarti mengalihkannya ke arah lain.
Entah kenapa, dadanya jadi berdebar
kencang mendapatkan sorot mata
pemuda tampan ini. Dengan halus,
tangannya dilepaskan dari
genggaman pemuda berbaju kulit
harimau itu.
"Minarti, boleh aku tahu.
Mengapa Ki Mangir begitu
menginginkanmu?" tanya Bayu
dengan suara lembut.
Minarti hanya diam saja, tidak
menjawab pertanyaan itu. Gadis itu
hanya menarik napas dalam-dalam
dan menghembuskannya kuat-kuat.
Dengan ekor mata, diliriknya Tiren
yang melingkar di sudut beranda ini.


Monyet kecil itu sudah tertidur lelap
sejak tadi. Cukup lama juga Minarti
terdiam, dan kini perlahan kepalanya
bergerak Kembali ditatapnya
Pendekar Pulau Neraka yang duduk
dekat di depannya. Maka, kembali
mereka saling berpandangan. Bayu
masih menunggu jawaban gadis
cantik yang masih berusia sekitar
sembilan belas tahun ini.
"Kau memang cantik, Minarti.
Tapi aku yakin, bukan karena
kecantikanmu yang membuat Ki
Mangir begitu gigih menginginkanmu,"
duga Bayu lagi.
"Aku sendiri tidak tahu,
Kakang Sejak kecelakaan yang
menimpa ayah, Ki Mangir jadi sering
datang ke sini. Tadinya aku tidak
berprasangka apa-apa. Tapi begitu

keinginannya diutarakan, aku
langsung menolak Dia langsung
marah, lalu...," Minarti tidak
melanjutkan kata-katanya.
"Dia sudah main kasar, Minarti.
Apa memang sikapnya begitu jika
menginginkan sesuatu?" tanya Bayu
lagi.
"Istri Ki Mangir memang
banyak, dan tersebar di mana-mana.
Malah belum ada tiga bulan habis
menikahi gadis desa sebelah.
Biasanya, dia tidak melakukan
kekerasan apa pun. Dan kalau
lamarannya ditolak, juga tidak marah
dan memaksa. Apalagi sampai
bermain kasar seperti ini."
Bayu mengerutkan keningnya.
Sebelum sampai di rumah gadis ini,
Pendekar Pulau Neraka sudah dua

hari di Desa Jati Laksa. Dan sudah
sering mendengar tentang Ki Mangir.
Laki-laki separuh baya, dan orang
terkaya di Desa Jati Laksa. Bahkan
kekuasaannya melebihi kepala desa
itu sendiri. Tak ada seorang pun yang
berani mengusiknya. Ditambah lagi,
Ki Mangir punya banyak tukang pukul
yang berkepandaian cukup tinggi.
Jadi, sedikitnya Bayu sudah tahu
tentang Ki Mangir selama dua hari
berada di Desa Jati Laksa.
"Minarti. Seberapa jauhkah
hubungan antara ayahmu dengan Ki
Mangir?" tanya Bayu lagi.
"Biasa saja. Tidak ada yang
istimewa," sahut Minarti. "Tapi...."
'’Tapi kenapa, Minarti?" desak
Bayu cepat
"Sebelum terjadi musibah itu,
beberapa kali ayah dan Ki Mangir
pergi bersama. Aku tidak tahu, ke
mana mereka pergi. Bahkan
terkadang sampai tiga hari baru
pulang. Dan kalau mereka sedang
berbicara, ayah selalu melarangku
mendengarkannya," jelas Minarti lagi.
"Mereka pergi hanya berdua
saja?" tanya Bayu lagi.
"Benar!"
Bayu terdiam. Dia jadi teringat
peristiwa kecelakaan yang menimpa
Eyang Palagan. Waktu itu, kebetulan
Bayu sedang berjalan di tepi jurang di
lereng Gunung Banjaran. Tiba-tiba
terdengar jeritan panjang melengking
tinggi dari arah seberang jurang yang
tidak begitu besar.

Pendekar Pulau Neraka
segera melompati jurang, dan
mendapat seorang laki-laki tua
berjubah putih terhimpit sebongkah
batu besar. Seluruh tubuhnya hampir
tenggelam, dan hanya kepala serta
satu kakinya saja yang terlihat.
Untungnya laki-laki tua itu bisa hidup,
meskipun hampir seluruh tulang
tubuhnya remuk
Bayu membawanya ke puncak
Gunung Banjaran, karena laki-laki tua
berjubah putih yang ternyata Eyang
Palagan memintanya untuk dibawa ke
sana. Hampir seluruh tulang tubuhnya
remuk akibat terhimpit batu. Sehingga
Eyang Palagan tidak mampu
menggerakkan tubuhnya sedikit pun.
Bayu merawatnya sampai lebih satu
purnama. Kemudian Eyang Palagan

kembali bisa berjalan, meskipun harus
dibantu tongkat.
Laki-laki tua itu pulang
sebentar ke rumahnya, dan kembali
lagi ke puncak Gunung Banjaran.
Sebelum ke gunung itu, dia sempat
berpesan sedikit pada Pendekar
Pulau Neraka untuk menemui putrinya
yang masih tinggal di pinggiran Desa
Jari Laksa. Bayu sendiri tidak
mengerti, tapi hanya menuruti saja
setelah Eyang Palagan mengatakan
kalau putrinya sedang dalam bahaya.
Dan Bayu sendiri pun tidak mengira
kalau Minarti sudah mengetahui
tentang dirinya, meskipun mereka
belum pernah berjumpa. Tapi sudah
bisa diduga kalau Eyang Palagan
sudah menceritakan tentang dirinya
pada gadis ini. Dan ternyata, Minarti

memang dalam bahaya seperti yang
dikatakan ayahnya pada Pendekar
Pulau Neraka. Hanya saja, memang
belum diketahui bahaya apa yang
sesungguhnya sedang menyelimuti
diri gadis ini.
"Minarti! Apakah ayahmu
meninggalkan sesuatu...?" tanya
Bayu, setelah cukup lama mereka
berdiam diri.
"Hanya Sangkal Ireng," sahut
Minarti.
"Apa itu?" tanya Bayu.
Pendekar Pulau Neraka
memang belum tahu, apa yang
dimaksudkan dengan Sangkal Ireng,
meskipun sudah pernah
mendengarnya dari Eyang Palagan.
"Hanya sebatang pedang,"
sahut Minarti lagi.

"Pedang ayahmu?" tanya Bayu
lagi
"Mungkin," jawab Minarti ragu-
ragu. "Pedang itu tidak ada yang tahu,
kecuali ayah dan aku sendiri. Pedang
itu selalu tersimpan dan tidak pernah
digunakan, kecuali jika aku sedang
berlatih jurus-jurus permainan
pedang"
"Kau juga bisa ilmu olah
kanuragan...?" Bayu terkejut tidak
menyangka.
"Sedikit," jawab Minarti.
'Tapi kenapa tidak melawan
sewaktu akan diculik?"
Minarti tidak menjawab, dan
hanya tersenyum saja seperti
menyembunyikan sesuatu.
"Aku tidak ingin ada orang lain
tahu kalau aku belajar ilmu olah

kanuragan. Ilmu-ilmu yang kupelajari
juga peninggalan mendiang ibuku.
Sama sekali ayah tidak mengajarkan
ilmu olah kanuragan padaku. Ayah
hanya memperbaiki saja
kekurangannya," jelas Minarti.
"Dalam keadaan seperti ini,
kau tidak periu lagi main sembunyi,
Minarti. Terlalu berbahaya bagi dirimu
sendiri," Bayu menasihati.
Lagi-lagi Minarti hanya
tersenyum saja.
"Hm...," tiba-tiba Bayu
menggumam perlahan.
"'Ada apa, Kakang?" tanya
Minarti dengan suara agak berbisik
"Aku mendengar sesuatu yang
mencurigakan," bisik Bayu.
"Pasti mereka datang lagi,"
desis Minarti.
"Sebaiknya kau masuk saja,
Minarti. Biar mereka kuhadapi," ujar
Bayu.
Minarti beranjak bangkit berdiri
dan melangkah masuk ke dalam
rumah. Sedangkan Bayu hanya
memutar tubuhnya menghadap ke
depan. Pendekar Pulau Neraka tetap
duduk bersila di tengah-tengah ruang-
an beranda depan rumah ini. Telinga
dan matanya ditajamkan, mengamati
setiap gerakan dan suara sekecil apa
pun yang bisa didengamya.
"Sembilan orang...," desis
Bayu, agak menggumam suaranya.
Wusss!
"Hup! Yeaaah...!"
***

Bagaikan kilat, Bayu cepat
melesat keluar dari beranda itu begitu
sebuah benda berwarna hitam
meluncur deras ke arahnya. Benda itu
seketika menghantam lantai beranda
dari papan yang tadi diduduki
Pendekar Pulau Neraka, hingga
hancur berkeping-keping
memperdengarkan ledakan dahsyat
meng-gelegar. Akibatnya, Tiren yang
sedang tidur melingkar di sudut
beranda langsung terbangun kaget.
Monyet kecil itu mencerecet
ribut, langsung ber-lari-lari ke
sebatang pohon rindang yang tidak
jauh di samping rumah kecil ini.
"Keluar kalian...!" teriak Bayu
lantang.
Belum lagi hiking suara
Pendekar Pulau Neraka, tiba-tiba dari

balik pepohonan bermunculan empat
orang anak muda yang mungkin
sebaya dengan Bayu sendiri. Mereka
langsung mengepung dari empat
jurusan sambil menghunus pedang
tipis yang panjang di tangan. Pedang
itu berkilatan tertimpa cahaya bulan
yang bersinar penuh. Bayu
memperhatikan empat orang anak
muda itu satu persatu. Mereka
memang pernah dilihatnya di kedai,
dan dikenal sebagai anak buah Ki
Mangir. Mereka memang Gapar, Sito,
Kalil, dan Majan. Gumam Bayu sambil
tersenyum sinis.
Sementara keempat pemuda
bersenjata pedang terhunus itu sudah
bergerak perlahan memutari Pen-
dekar Pulau Neraka yang berdiri di
tengah-tengah. Pedang mereka

berkelebatan di depan dada,
memantulkan cahaya keperakan dari
sinar bulan yang tak tertutup awan
sedikit pun juga.
"Untuk apa kalian datang ke
sini?" tanya Bayu, dingin.
"Menjemput Minarti," sahut
Gapar tidak kalah dingin.
"Kalian tidak setuju dengan
rencana majikan kalian sendiri.
Kenapa masih juga mau
melaksanakan perintahnya...?"
pancing Bayu.
"Kau tidak periu banyak tanya,
Kisanak!" bentak Kalil.
"O.... Jadi, kalian ingin
menyingkirkan aku dulu, baru
membawa Minarti...," nada suara
Bayu semakin terdengar sinis.
"Banyak mulut! Hiyaaat...!"

Kalil langsung melompat
menyerang Pendekar Pulau Neraka.
Pedangnya berkelebat cepat
mengarah ke dada. Tapi hanya
dengan mengegoskan tubuhnya
sedikit, Bayu bisa mengelakkan ujung
pedang itu dengan manis sekali.
Bahkan tanpa diduga sama sekali,
tangan Pendekar Pulau Neraka
bergerak cepat menyodok ke arah
perut.
Bet! "Uts!"
Tapi sebelum sampai ke perut,
Bayu cepat menarik tangannya
kembali begitu sebuah pedang lain
cepat membabat ke arah tangannya.
Pendekar Pulau Neraka cepat
melompat mundur beberapa langkah.
Pada saat itu, dari arah lain datang
lagi serangan yang cepat. Terpaksa

tubuhnya melenting ke udara dan
berputaran beberapa kali sebelum
kembali menjejak tanah.
Keempat anak muda itu
teriongong melihat Bayu sudah
berada di luar kepungan. Mereka
cepat berbalik dan berlompatan
mengepung kembali. Bahkan lang-
sung memberi serangan-serangan
cepat dari empat arah secara
bergantian. Bayu terpaksa
berjumpalitan menghindari sabetan
dan tusukan pedang yang
berkelebatan cepat di sekitar
tubuhnya.
Beberapa kali Bayu melesat ke
udara, dan keluar dari kepungan
mereka. Tapi dengan cepat keempat
anak muda itu kembali melakukan
serangan-serangan dahsyat dan

berbahaya. Dalam beberapa jurus
saja, Bayu sudah dapat menilai kalau
jurus-jurus permainan pedang
keempat lawannya cukup baik dan
rapi. Kalau bukan Pendekar Pulau
Neraka, sudah pasti akan dibuat
bungkam dengan cepat. Tapi kali ini,
mereka menghadapi tokoh pendekar
digdaya yang berkepandaian tinggi
dan sukar dicari tandingannya.
Sehingga, keempat orang itu harus
mengerahkan seluruh
kemampuannya dalam permainan
pedang yang cepat, saling susul, rapi,
serta beraturan.
Sebentar saja keempat anak
muda itu sudah mengeluarkan
sepuluh jurus, tapi belum juga bisa
mendesak Pendekar Pulau Neraka.
Bahkan serangan-serangan yang

dilancarkan dapat dipatahkan Bayu
dengan mudah. Tak satu pun yang
mengenai sasaran. Dan justru setiap
kali Bayu melakukan serangan
balasan, mereka jadi kelabakan
menghindari.
"Hiyaaa...!"
Tiba-tiba saja Pendekar Pulau
Neraka cepat memutar tubuhnya
sambil berteriak keras menggelegar.
Lalu dengan kecepatan luar biasa,
tubuhnya bergerak menyambar ke
arah empat orang pemuda yang
mengeroyoknya. Begitu cepat
gerakannya, sehingga keempat anak
muda ini jadi sukar untuk melihat ke
mana arahnya. Dan tiba-tiba saja....
Des!
Begkh!

Dua orang anak muda itu tiba-
tiba terpekik, dan tubuhnya terpental
ke belakang. Sebelum jeritan itu
menghilang dari pendengaran,
kembali terdengar dua pekikan
menyusul. Seketika langsung terlihat
dua orang lagi terjungkal mencium
tanah. Entah bagaimana caranya,
tahu-tahu Bayu sudah berdiri tegak
dengan kedua tangan menggenggam
empat batang pedang.
Gapar, Sito, Kalil, dan Majan
jadi terbeliak melihat pedang mereka
sudah berpindah tangan. Mereka
sama-sama memegangi dada dan
perut yang terasa nyeri terkena
pukulan Pendekar Pulau Neraka yang
begitu cepat dan tak dapat dihindari
lagi.
Trek! "Hah...!?"

Empat anak muda itu
teriongong melihat pedang mereka
dengan mudah dipatahkan begitu
saja. Bayu melempar empat batang
pedang yang sudah berpatahan itu ke
depan para pemiliknya. Bibir
Pendekar Pulau Neraka
menyunggingkan senyuman tipis yang
hampir tidak terlihat. Sedangkan
Gapar dan ketiga temannya masih
terbengong dengan mulut terbuka
lebar. Baru kali ini mereka
mendapatkan lawan begitu tangguh,
bisa merampas pedang tanpa
diketahui sama sekali gerakannya.
Dan sekarang, pedang-pedang itu
sudah berpatahan, tergeletak di
depan kaki masing-masing.

"Jika kalian masih ingin
melihat matahari esok pagi, cepatiah
pergi dari sini!" dengus Bayu dingin.
Tapi keempat anak muda itu
bukannya pergi, bahkan malah
berlompatan mengepung Pendekar
Pulau Neraka lagi. Tidak dipedulikan
lagi kalau tadi mereka sudah dapat
dijatuhkan dengan mudah. Mereka
mengeluarkan sepasang pisau yang
diambil dari balik lipatan baju masing-
masing. Kini di tangan mereka sudah
tergenggam masing-masing sepasang
pisau tipis sepanjang jengkal.
"Nekat..!" dengus Bayu, kesal.
***

LIMA

Bayu benar-benar geram
melihat kebandelan empat anak muda
yang kembali berlompatan
menyerangnya. Bahkan kali ini
serangan-serangan yang dilakukan
lebih dahsyat dari yang pertama.
Pisau-pisau mereka berkelebat cepat
di sekitar tubuh Pendekar Pulau
Neraka. Tapi, sedikit pun tidak juga
bisa menyentuh ujung rambut Bayu.
Jurus-jurus berlalu cepat, membuat
pertarungan berlangsung dahsyat.
Sedikit kelengahan saja, bisa
berakibat maut.
"Kalian sudah membuatku
marah!" geram Bayu sengit.

Mendadak saja Pendekar
Pulau Neraka berteriak nyaring
melengking tinggi. Dan seketika itu
juga tubuhnya bergerak cepat
menyambar salah seorang dari anak
muda itu. Dan rupanya yang jadi
sasaran adalah Majan. Satu pukulan
keras dilepaskan. Begitu cepatnya
serangan yang dilakukan Pendekar
Pulau Neraka, sehingga Majan tidak
sempat menghindar lagi.
Des!
"Akh...!" Majan memekik keras
tertahan.
Tubuh pemuda itu terpental
deras ke belakang, sampai
menghantam sebatang pohon yang
berada di belakangnya. Belum lagi
jeritannya hilang dari pendengaran,
Bayu sudah cepat berbalik. Pendekar

Pulau Neraka cepat melompat. Dan
kali ini sasarannya adalah Kalil.
Begitu cepat gerakannya, membuat
Kalil hanya dapat terpana tanpa bisa
melakukan sesuatu untuk
menyelamatkan diri. Seketika satu
tendangan keras menggeledek yang
dilepaskan Pendekar Pulau Neraka
tepat menghantam dadanya.
"Aaakh...!" Kalil menjerit keras
sekali.
Dia terpental ke belakang
sejauh beberapa batang tombak.
Keras sekali tubuhnya terbanting ke
tanah, dan darah langsung mengucur
dari mulutnya. Saat itu Bayu sudah
memutar tubuhnya lagi. Kali ini calon
korbannya adalah Sito. Mata
Pendekar Pulau Neraka menatap
tajam pemuda itu. Maka Sito

bergegas melangkah mundur dengan
wajah seketika memucat.
"Mundur kaliaan..!"
Tiba-tiba saja terdengar suara
keras menggelegar, disusul
munculnya seorang laki-laki separuh
baya bertubuh tegap yang masih
tampak jelas kegagahannya. Tak
lama kemudian, kembali muncul
seorang laki-laki setengah baya
lainnya. Kedua orang itu langsung
mendarat sekitar sepuluh langkah di
depan Pendekar Pulau Neraka.
Mereka adalah Kabat dan Gandik,
dua orang yang menjadi kepercayaan
Ki Mangir.
Gapar dan Sito menarik napas
lega atas kemunculan dua orang itu.
Sejak tadi, mereka sebenarnya sudah
gentar menghadapi Pendekar Pulau

Neraka. Bahkan sudah menyadari
sejak tadi kalau tidak bakal unggul
melawan pemuda berbaju kulit
harimau ini.
Sementara Bayu jadi
tersenyum sinis melihat kemunculan
dua orang laki-laki setengah baya ini.
"Hhh...!"
***
"Kisanak! Siapa kau
sebenarnya?" tanya Kabat dengan
suara tegas.
"Namaku Bayu. Dan kalian
pasti kaki tangannya Ki Mangir," sahut
Bayu memperkenalkan diri, langsung
menebak dua orang laki-laki setengah
baya di depannya.

Kabat dan Gandik saling
berpandangan. Sementara Gapar dan
Sito membantu kedua temannya
berdiri. Keadaan mereka tampak
parah, karena mengalami luka dalam
akibat hajaran Bayu yang cukup keras
tadi. Padahal tidak disertai
pengerahan tenaga dalam
sepenuhnya. Tapi hajaran itu cukup
membuat kedua pemuda anak buah
Ki Mangir harus beristirahat sedikitnya
tiga hari, untuk memulihkan
kesehatan tubuhnya. Mereka tertatih-
tatih menjauhi tempat itu, dan berhenti
setelah berada di tempat yang cukup
aman. Bayu sempat melirik ke arah
empat pemuda itu.
"Anak muda! Boleh kutahu,
ada hubungan apa antara kau dengan
Minarti?" tanya Gandik

"Minarti tunanganku! Dan
kalian tidak berhak mengganggunya.
Jelas...?!" sahut Bayu, tegas.
Jawaban tegas Pendekar
Pulau Neraka itu tentu saja membuat
Kabat dan Gandik jadi melongo
terkejut.
Sungguh tidak disangka kalau
anak muda yang mengenakan baju
kulit harimau ini tunangan Minarti.
"Kau jangan mendustai kami,
Anak Muda," sentak Gandik tidak
percaya.
"Dia tidak dusta...!" tiba-tiba
saja terdengar suara keras yang
lantang.
Bukan hanya Gandik dan
Kabat yang terkejut, tapi Bayu juga
tersentak kaget mendengar suara
yang begitu keras dan lantang dari

arah rumah kecil di pinggiran Desa
Jati Laksa ini Entah dari mana
datangnya, tahu-tahu di depan rumah
kecil itu sudah berdiri seseorang
bertubuh ramping mengenakan baju
serba hitam. Seluruh kepalanya pun
terselubung kain hitam pula. Hanya
dua lubang kecil saja di bagian
matanya, sehingga membuat
sepasang bola mata bening
bercahaya terlihat dari balik selubung
kain hitamnya.
"Perawan Pembawa Maut...,"
desis Gandik langsung mengenali.
Gandik teringat peristiwa yang
menimpa Ki Mangir malam itu.
Meskipun hanya melihat sekilas ketika
wanita itu menyatroni rumah Ki
Mangir, tapi dia cepat bisa mengenali.
Dan Ki Mangir sendiri pernah menga

takan kalau orang yang dihadapi
menyebutkan julukannya sebagai
Perawan Pembawa Maut
"Katakan pada majikanmu.
Hentikan nafsu gilanya. Dan jangan
coba-coba lagi mengganggu Minarti.
Gadis itu sudah punya tunangan yang
akan melindunginya!" tegas wanita
berbaju serba hitam itu lagi, dengan
suara lantang.
"Bagaimana...?" tanya Kabat
berbisik dekat di telinga Gandik.
"Sebaiknya kita pergi saja
dulu," sahut Gandik.
"Yah Keadaan memang tidak
menguntungkan," Kabat langsung
menyetujui.
"Hubungi yang lain. Kita
kumpul di tepi sungai," ujar Gandik
lagi.

Setelah berkata demikian,
Gandik cepat berbalik dan melesat
pergi. Kabat pun bergegas mengikuti
jejak temannya. Demikian pula
keempat anak muda yang sudah
babak belur. Mereka tentu saja tidak
bisa bergerak cepat, tapi tetap
berusaha meninggalkan tempat ini
dengan sisa-sisa kekuatan yang ada.
Sementara Bayu sudah memutar
tubuhnya dan melangkah mendekati
wanita berbaju serba hitam yang
masih tetap berdiri di depan rumah
Minarti.
"Terima kasih, kau
membantuku mengusir mereka," ucap
Bayu seraya menjura
membungkukkan tubuhnya.
"Jangan berterima kasih
kepadaku. Dan itu memang sudah

tugasku untuk melindungi Minarti.
Seperti juga kau," sergah wanita
berbaju serba hitam yang sudah
dikenal berjuluk si Perawan Pembawa
Maut.
"Kalau boleh kutahu, siapa
sebenarnya Nisanak ini...?" tanya
Bayu sopan.
"Belum saatnya kau tahu siapa
aku, Pendekar Pulau Neraka," sahut
wanita itu.
Belum juga gema suara
Perawan Pembawa Maut habis,
tubuhnya sudah melesat cepat. Bayu
sejenak terkesiap.
"Hei...?! Tunggu...!"
Tapi wanita berbaju serba
hitam itu sudah lebih cepat sampai ke
atas atap rumah. Kemudian, tubuhnya
langsung meluruk turun ke bagian

belakang. Sebenarnya, Bayu bisa
saja mengejar. Tapi, pikirannya lang-
sung tertuju pada keselamatan
Minarti. Padahal dalam benaknya
timbul segudang pertanyaan yang
tentu saja tidak mungkin bisa terjawab
saat ini.
Pendekar Pulau Neraka
kemudian mengayunkan kakinya
memasuki beranda depan rumah ini.
Sebentar matanya melirik lantai
beranda yang jebol. Kakinya terus
terayun melangkah masuk, lalu
berhenti begitu melewati pintu
Tampak Minarti tengah duduk saja di
kursi yang ada di tengah-tengah
ruangan depan rumah ini. Temyata
gadis ini tidak kurang suatu apa pun
juga. Malah bibirnya menyunggingkan
senyum, kemudian bangkit berdiri

begitu melihat Bayu. Bergegas
dituangnya air dingin dari dalam kendi
ke dalam gelas bambu, dan
dihampirinya Pendekar Pulau Neraka.
"Terima kasih," ucap Bayu
sambil menerima gelas bambu berisi
air dingin dari tangan gadis ini.
Bayu meneguknya hingga tak
bersisa lagi. Diletakkannya gelas
bambu itu di atas meja, lalu tubuhnya
dihempaskan di baiai-balai bambu
yang hanya beralas-kan selembar
tikar anyaman daun pandan. Minarti
kembali duduk di kursi yang tadi
ditempatinya. Gadis ini kelihatan
begitu tenang seperti tidak pernah
terjadi apa-apa.
"Cepat atau lambat, mereka
pasti akan datang lagi," kata Bayu,
agak mendesah suaranya.


"Maaf, aku telah
menyusahkanmu," ucap Minarti.
'Tidak ada yang perlu disesah,
Minarti. Aku sudah berjanji pada
ayahmu untuk melindungimu, selama
ayahmu masih memulihkan keadaan
dirinya," tegas Bayu.
"Seharusnya, kejadian ini tidak
perlu ada, kalau saja...," Minarti tidak
melanjutkan kata-katanya.
Bayu tidak memperhatikan
sama sekali. Tubuhnya terasa begitu
lelah setelah bertarung melawan
empat orang yang memiliki
kepandaian cukup tinggi tadi.
Pendekar Pulau Neraka mengakui
kalau keempat anak muda itu cukup
tangguh. Kalau mereka bertarung
tenang, pasti akan lebih berbahaya
lagi. Sayangnya, tadi terlihat kalau

mereka sudah gentar terlebih dahulu
sebelum masuk ke dalam
pertarungan. Dan ini yang membuat
mereka jadi kurang mengendalikan
diri. Sehingga, Bayu bisa mudah
mengalahkannya, meskipun harus
sedikit menguras tenaga.
"Minarti, kau tahu wanita
berbaju hitam yang tiba-tiba muncul
tadi...?" tanya Bayu teringat pada wa-
nita berbaju hitam yang dikenal
beriuluk si Perawan Pembawa Maut.
"Wanita yang mana?" Minarti
malah balik bertanya.
"Kau tadi memperhatikan ke
depan, bukan...?"
Minarti mengangguk.
'’Tentu kau melihat ada wanita
berbaju hitam yang muncul di depan
rumah tadi. Ku dengar salah seorang

dari mereka menyebutnya si Perawan
Pembawa Maut Siapa dia, Minarti...?"
desak Bayu lagi.
Entah kenapa, Pendekar Pulau
Neraka jadi tertarik terhadap wanita
aneh yang dijuluki si Perawan Pem-
bawa Maut itu. Bayu jadi melupakan
orang-orangnya Ki Mangir yang sudah
beberapa kali mencoba membawa
paksa gadis ini.
"Aku melihatnya, tapi.... Aku
tidak tahu siapa dia," sahut Minarti.
'’Tampaknya, tujuannya sama
denganku. Hm..., mengapa harus
pakai sembunyi-sembunyi segala...?"
Bayu agak bergumam, seperti bicara
pada diri sendiri.
Sedangkan Minarti hanya diam
saja. Gadis itu keudian bangkit dari
duduknya, dan melangkah perlahan

menuju kamar yang pintunya terbuka.
Hanya sedikit saja Bayu melirik
Minarti yang melangkah melewati
kamar itu. Dan sebelum pintu
kamarnya ditutup, Minarti menjulurkan
kepalanya keluar.
"Kau tidak tidur, Kakang...?"
lembut sekali suara Minarti.
"Tidurlah dulu. Aku ingin
bersemadi sebentar," sahut Bayu.
Minarti menarik kepalanya ke
dalam. Lalu ditutupnya pintu kamar
itu. Seketika terdengar suara pintu
terkunci. Sementara Bayu sudah
mengambil sikap bersemadi. Kedua
telapak tangannya diletakkan di lutut
yang tertekuk melipat. Perlahan jalan
napasnya diatur, kemudian kelopak
matanya mulai terpejam. Seluruh
jiwanya dikosongkan untuk

menyatukan diri dengan alam dan
sang Pencipta. Perlahan tubuhnya
terasa jadi ringan, seperti melayang di
angkasa. Aliran darahnya pun begitu
perlahan dan tenang, disertai tarikan
napas yang teratur.
Sementara Bayu tengah
bersemadi, Minarti masih duduk di
tepi pembaringan. Sebentar matanya
menatap pintu kamarnya yang
tertutup rapat, kemudian beralih pada
jendela yang sedikit terbuka. Gadis itu
bangkit dari pembaringan, lalu
melangkah ke jendela kamarnya.
Kemudian dibukanya pintu jendela
lebar-lebar.
"Hm...," terdengar Minarti
bergumam perlahan.
Sementara malam terus
merayap semakin larut. Sedangkan

bulan bersinar redup menggantung di
langjt cerah, tanpa awan sedikit pun
menghalangi. Suasana begitu sunyi,
sehingga desir angin yang halus pun
terdengar jelas.
***
Malam masih merayap
semakin larut. Suasana di sekitar
Gunung Banjaran begitu sunyi.
Terlebih lagi, keadaan Desa Jati
Laksa. Tak terlihat seorang pun
berada di luar rumah. Begitu
sunyinya, sehingga desiran angin
terdengar jelas mengusik dedaunan
yang menghitam dan bermandikan
titik embun yang memantulkan sinar
bulan.

Sementara itu di tepi sebuah
sungai yang mengalir bagai
membelah Desa Jati Laksa menjadi
dua bagian, terlihat sembilan orang
tengah berkumpul. Mereka adalah
anak buah Ki Mangir yang ditugaskan
menculik Minarti, tapi sampai saat ini
belum berhasil melaksanakan tugas
itu. Minarti ternyata dalam lindungan
dua orang yang berkepandaian tinggi,
melebihi kepan-aian yang mereka
miliki.
Mereka tampak gelisah,
karena sampai larut malam begini
belum juga bisa menemukan cara
untuk melaksanakan tugas yang
diberikan Ki Mangir. Sudah berbagai
cara dilakukan, tapi belum juga
memperoleh hasil yang diinginkan.

"Seharusnya kalian menculik
Minarti, selagi kami melawan anak
muda itu!" dengus Gandik. Matanya
tampak tajam menatap tiga orang laki-
laki berperawakan aneh.
"Minarti tidak ada di dalam
rumahnya," sahut si Golok Setan tidak
mau disalahkan
"Mustahil...!" dengus Gandik.
"Aku sendiri dan Kakang
Jerangkong Hidup masuk ke dalam.
Sedangkan Kakang Cambuk Api
menunggu di belakang," jelas si Golok
Setan lagi.
"Kalau tidak ada di dalam, lalu
ke mana...?" selak Kabat seperti
bertanya pada dirinya sendiri.
"Kalau kalian tidak percaya,
sebaiknya kita datangi lagi. Biar kami
yang mengurus anak muda itu!"

dengus si Jerangkong Hidup jadi
kesal karena disalahkan terus-
menerus.
"Bagaimana, Kakang...?" tanya
Kabat.
Gandik tidak langsung
menjawab. Matanya melirik empat
pemuda yang babak belur dihajar
Pendekar Pulau Neraka tadi. Tampak
Kalil dan Majan tergeletak di tanah
berumput kering dengan napas
tersengal satu-satu. Keadaan mereka
kelihatan cukup parah. Sedangkan
Gapar dan Sito tengah duduk
bersemadi, mencoba memulihkan
keadaan tubuhnya.
"Biarkan mereka di sini," ujar si
Cambuk Api seakan-akan mengerti
apa yang sedang difikirkan Gandik

yang mencemaskan keadaan
keempat anak muda itu.
"Bagaimana keadaan
mereka?" tanya Gandik seraya
menatap Kabat
"Gapar dan Sito tidak begitu
parah. Tapi Kalil dan Majan cukup
mengkhawatirkan. Mereka terluka
dalam cukup parah, dan harus dibawa
ke tabib," jelas Kabat.
"Hhh...! Untung saja tidak ada
yang tewas," desah Gandik.
"Bagaimana, Gandik...? Apa
harus di sini semalaman?" tegur si
Golok Setan tidak sabar.
"Kalian saja yang pergi. Aku
akan menjaga mereka," elak Gandik.
"Mereka bukan anak kecil lagi,
Gandik. Luka dalam pertarungan itu

biasa," dengus si jerangkong Hidup
sengit melihat sikap Gandik.
Gandik jadi terdiam. Kata-kata
yang diucapkan si Jerangkong Hidup
barusan memang tidak bisa dibantah
lagi. Jangankan hanya mendapat
luka, mati pun tidak akan menjadi
masalah di dalam pertarungan.
Teriebih lagi hidup mereka semua
memang dari mengandalkan kekuatan
dan kepandaian dalam ilmu olah
kanuragan.
Sebentar Gandik
memperhatikan keempat anak muda
itu, kemudian mengayunkan kakinya
perlahan meninggalkan tepian sungai
ini. Kabat bergegas mengikuti, disusul
tiga orang laki-laki berperawakan
aneh itu. Mereka terus berjalan tanpa
mengeluarkan kata-kata.

"Sebenarnya, apa sih yang
diinginkan Ki Mangir, Kakang...?"
tanya Kabat yang berjalan di samping
kanan Gandik.
"Entahlah, aku sendiri tidak
tahu," jawab Gandik, agak mendesah
suaranya.
"Rasanya, tidak mungkin kalau
Ki Mangir hanya ingin memperistri
Minarti," duga Kabat lagi. "Aku yakin,
pasti ada sesuatu yang tersembunyi
dari rencana ini"
"Apa perkiraanmu, Kabat?"
Gandik malah balik bertanya.
"Belum lama ini, Ki Mangir
selalu pergi berdua dengan Eyang
Palagan, sebelum pertapa itu
menghilang selama sebulan lebih ini.
Keinginan Ki Mangir begitu tiba-tiba,
tepat saat Eyang Palagan menghilang

entah ke mana. Apa kau tidak
merasakan adanya keanehan,
Kakang...?" Kabat mengutarakan
kecurigaannya.
Gandik hanya terdiam saja.
Memang sekitar dua bulan yang lalu,
Ki Mangir selalu terlihat pergi
bersama Eyang Palagan. Tidak ada
yang tahu, ke mana tujuan mereka.
Bahkan sampai beberapa hari tidak
pulang. Dan baru sebulan ini Eyang
Palagan menghilang, tanpa kabar
beritanya lagi. Bersamaan dengan itu,
Ki Mangir sering datang menemui
Minarti. Dan baru belakangan ini, laki-
laki setengah baya itu mengatakan
ingin memperistri Minarti. Bahkan
mereka semua sekarang ditugaskan
menculik gadis itu dengan cara apa
pun juga.

Sebenarnya, Gandik juga
sudah merasakan keanehan itu sejak
semula. Tapi hal itu tidak pernah
diutarakannya pada siapa pun juga.
Terlebih lagi belakangan ini muncul
orang aneh yang dijuluki si Perawan
Pembawa Maut. Bahkan ditambah
dengan seorang pemuda berbaju kulit
harimau yang mengaku tunangan
Minarti. Padahal mereka tidak pernah
melihat pemuda itu sebelumnya. Dan
kini, ada dua orang yang tidak dikenal
melindungi gadis itu.
"Aku yakin, ada suatu rahasia
yang disembunyikan Ki Mangir," duga
Kabat menduga-duga lagi.
"Apa pun tujuannya, yang
penting sekarang ini kita harus
berhasil membawa Minarti pada Ki
Mangir," tegas Gandik

menyembunyikan perasaannya
sendiri.
"Aku tidak yakin bisa berhasil,
Kakang. Minarti punya pelindung
yang tangguh. Dan kemampuan
mereka pasti berada di atas kita
semua," Kabat jadi ragu-ragu.
"Kenapa kau punya pikiran
begitu, Kabat...?"
"Kenyataannya, Kakang.
Sudah beberapa kali kita mencoba,
tapi tidak pernah berhasil. Bahkan kita
semua hanya dijadikan pecundang
saja," nada suara Kabat terdengar
agak kesal.
Gandik kembali diam saja.
"Huh! Kalau bukan Ki Mangir
yang menyuruh, tidak bakalan aku
mau!" dengus Kabat.


"Sudahlah.... Jangan
menggerutu terus."
Kabat langsung diam. Mereka
terus saja berjalan semakin cepat
menuju rumah Minarti yang tidak
seberapa jauh dari sungai. Tinggal
satu belokan lagi, mereka tiba di
rumah kecil gadis itu. Dan mereka
baru berhenti melangkah setelah
melihat rumah kecil itu yang terletak di
antara lebatnya pepohonan, namun
bagian halaman depannya cukup
luas. Tentu saja halaman itu bisa
dijadikan tempat berlatih, seperti
berada di sebuah padepokan.
"Kalian bertiga terus saja. Aku
dan Kabat berputar dari belakang,"
perintah Gandik.

"Beri tanda kalau sudah
berhasil mendapatkan gadis itu," kata
si Golok Setan.
"Kalau kalian mendengar
suara burung, itu berarti kami
berhasil," jelas Gandik lagi.
"Baik. Cepatlah kalian
memutar ke belakang rumah itu,"
sahut si Golok Setan lagi.
Gandik segera mengajak
Kabat berputar menuju belakang
rumah kecil itu. Sementara si Golok
Setan, Cambuk Api, dan Jerangkong
Hidup terus mengayunkan kaki
mendekati bagian depan rumah kecil
di tepian hutan ini. Mata mereka tidak
berkedip, menatap ke arah pintu
depan yang tertutup rapat. Sementara
Gandik dan Kabat sudah tidak terlihat
lagi.


ENAM

Sementara itu Bayu yang
tengah bersemadi di dalam ruangan
depan rumah Minarti, langsung
membuka mata begitu mendengar
suara-suara langkah kaki yang halus
dan ringan mendekati rumah ini.
Bergegas Pendekar Pulau Neraka
menggerinjang turun dari balai-balai
bambu yang hanya beralaskan tikar
daun pandan. Telinganya langsung
ditajamkan Dia merasa yakin ada tiga
orang yang bergerak perlahan dan ri-
ngan sekali mendekati rumah ini.
Pada saat itu, pintu kamar
Minarti terbuka. Dan dari balik pintu,
menyembul sebuah kepala seorang

gadis berwajah cantik. Sebentar
kemudian, seluruh tubuh gadis itu
benar-benar keluar dari pintu. Minarti
melangkah mendekati Bayu yang
berdiri tegak di tengah-tengah
ruangan.
"Ada apa, Kakang?" tanya
Minarti setelah berada di samping
Pendekar Pulau Neraka.
"Mereka datang lagi," sahut
Bayu pelan, hampir tidak terdengar
suaranya.
"Berapa orang?" tanya Minarti.
"Tiga...," sahut Bayu "Hm...,
tidak. Lima orang. Yang dua, dari arah
belakang."
"Mereka pasti begundal-
begundalnya Ki Mangir," dengus
Minarti mendesis.

"Sebaiknya kau di kamar saja,
Minarti. Aku akan keluar," ujar Bayu
lagi.
"Hati-hati, Kakang. Mereka
pasti sudah nekat," Minarti
memperingatkan.
Bayu hanya tersenyum saja.
Kemudian diserahkannya Tiren pada
gadis ini. Dan kini kakinya melangkah
tegap mendekati pintu depan.
Sedangkan Minarti bergegas masuk
ke dalam kamarnya lagi. Ditutupnya
kamar itu, lalu dikuncinya. Sedangkan
Bayu sudah membuka pintu depan
rumah ini. Dia berdiri tegak di ambang
pintu yang dibuka lebar-lebar.
Tampak di tengah-tengah
halaman berdiri tiga orang
berperawakan aneh. Sebentar Bayu
memperhatikan ketiga orang itu,


kemudian dengan tenang
mengayunkan kakinya ke luar.
Tangannya sempat menutup pintu
kembali. Pendekar Pulau Neraka baru
berhenti melangkah setelah jaraknya
tinggal sekitar enam langkah lagi di
depan ketiga orang ini.
"Hebat...! Kau bisa mengetahui
kedatangan kami, Anak Muda," puji si
Golok Setan, agak sinis nada
suaranya.
"Apa maksud kalian datang
lagi ke sini?" tanya Bayu tegas.
"Aku rasa, kau sudah tahu
jawabannya, Anak Muda," sahut si
Cambuk Api diiringi senyuman sinis
tidak bersahabat.
"Sayang sekali, aku tidak yakin
kalian bisa mendapatkannya," tandas

Bayu, sudah bisa mengerti keinginan
ketiga orang di depannya ini.
"Mungkin... Tapi aku juga tidak
yakin kau bisa terus melindunginya,"
sambut si Golok Setan, semakin sinis
nada suaranya.
"Aku juga tidak percaya kalau
kau tunangannya. Kau pasti bukan
dari Desa Jati Laksa, atau desa-desa
lain di sekitar Gunung Banjaran ini.
Berapa kau dibayar untuk
melindunginya...?" sambung si
Cambuk Api.
Bayu mendesis geram
mendengar kata-kata yang mulai
menyinggung perasaannya. Tapi
kemarahannya dicoba untuk tidak
terpancing. Disadari kalau orang-
orang ini tengah memancing
amarahnya, yang membuatnya

lemah. Bayu sadar kalau kemarahan
bisa mengurangi kewaspadaan. Dan
dia tidak ingin terpancing sedikit pun.
"Atau barangkali dia dibayar
dengan kemolekan tubuhnya,"
sambung si Cambuk Api diiringi suara
tawanya yang keras.
"Ki Mangir pasti murka kalau
tahu telah mendapatkan barang
bekas," celetuk si Jerangkong Hidup
yang sejak tadi diam saja.
Ketiga orang itu tertawa
terbahak-bahak. Sedangkan Bayu
hanya diam saja dengan muka meme-
rah. Gerahamnya mulai terdengar
bergelemeletuk menahan geram, tapi
tetap berusaha bertahan agar tidak
terpancing amarahnya. Padahal kata-
kata yang terlontar semakin
menyakitkan telinga.

"Aku hanya meminta satu kali.
Dan jika kalian tidak segera angkat
kaki dari sini, jangan katakan aku
tidak bisa bersikap hormat!" desis
Bayu menggeram.
"Ha ha ha...! Rupanya bisa
galak juga bocah ini. Aku ingin tahu,
apa pukulannya juga segalak kata-
katanya," ejek si Golok Setan.
"Kalau kalian ingin merasakan,
aku tidak akan sungkan memberikan,"
sambut Bayu dingin.
"Phuih! Bocah sombong!
Rasakan ini! Hiyaaat...!"
Temyata si Golok Setan
sendiri yang tidak bisa menahan diri.
Cepat sekali tubuhnya melompat
mener-jang Pendekar Pulau Neraka.
Goloknya yang besar dan bertangkai
panjang berkelebat cepat beberapa

kali ke arah tubuh pemuda berbaju
kulit harimau ini.
"Hup! Yeaaah...!"
Bayu cepat-cepat meliukkan
tubuhnya, menghin-dari serangan
golok berukuran besar itu. Lalu,
tubuhnya cepat indenting ke udara,
melewati atas kepala si Golok Setan.
Begitu kakinya mendarat di tanah,
cepat dilontarkannya satu tendangan
keras menggeledek disertai
pengerahan tenaga dalam yang
sudah mencapai tingkat
kesempumaan.
"Yeaaah...!"
"Uts!"
Si Golok Setan cepat menarik
tubuhnya ke kanan, sehingga
tendangan Bayu hanya meleset
sedikit dari tubuhnya. Laki-laki

bertubuh tinggi besar itu cepat
memutar tubuhnya, sambil
mengebutkan golok besar dan
bertangkai panjang itu ke arah kepala
Pendekar Pulau Neraka.
"Hih!"
Bayu cepat mengangkat
tangan kanannya, men-coba
menangkis golok berukuran sangat
besar itu dengan pergelangannya.
Sehingga....
Trang!
"Ikh...!?"
"Hup...!"
"Setan...!"
***
Si Golok Setan mengumpat
berang. Maka dia cepat melompat

mundur begitu tangannya terasa
bergetar hebat ketika goloknya
berbenturan dengan Cakra Maut yang
menempel di pergelangan tangan
kanan pemuda berbaju kulit harimau
itu. Sedangkan Bayu sendiri tetap
berdiri tegak sambil menyunggingkan
senyum melihat wajah si Golok Setan
jadi berubah memerah, kemudian
memucat.
"Kau serang dari atas, aku dari
bawah!" ujar si Cambuk Api berbisik
"Bagaimana dengan Golok
Setan?" tanya si Jerangkong Hidup.
"Biarkan dia mengisi bagian
yang kosong," sahut si Cambuk Api.
"Baik, kalau begitu. Ayo kita
serang!"
"Hiyaaat..!"
"Yeaaah...!"

Ctar!
Bet!
"Ufs!"
Bayu cepat melompat ke
belakang begitu dua orang itu
langsung melesat cepat
menerjangnya. Si Cambuk Api
mengebutkan pecut buntut kudanya
ke arah kepala pemuda berbaju kulit
harimau itu. Sedangkan Jerangkong
Hidup menyerang bagian bawah,
dengan jurus-jurus tangan kosong.
Kesepuluh jari tangan
Jerangkong Hidup yang kurus dan
panjang, tampak terkembang lebar
seperri cakar burung elang,
berkelebat cepat mengincar kaki
Pendekar Pulau Neraka. Mendapat
serangan secara bersamaan begini,

Bayu terpaksa berjumpalitan
menghindarinya.
Sukar bagi Pendekar Pulau
Neraka untuk melancarkan serangan
balasan, karena si Cambuk Api dan
Jerangkong Hidup menyerang cepat
secara bergantian dari bawah dan
atas. Beberapa kali pecut buntut kuda
si Cambuk Api hampir menghantam
kepalanya. Tapi sampai saat ini, Bayu
masih sempat menghindarinya.
Padahal cambuk itu selalu
mengeluarkan percikan bunga api bila
dikebutkan.
"Phuh...!"
Bayu mendengus begitu
mencium bau busuk yang tidak
sedap, akibat kebutan-kebutan pecut
buntut kuda si Cambuk Api. Jadi,
cambuk itu tidak saja mengeluarkan

api, tapi juga menyebarkan bau busuk
yang tidak sedap dan memualkan
sekali. Bayu terpaksa menutup jalan
pernafasannya di hidung, lalu cepat
memindahkannya ke perut. Dia
menjaga kalau-kalau bau busuk itu
mengandung racun mematikan.
Plak!
"Akh...!"
Tiba-tiba saja Bayu tersentak
dan memekik agak tertahan ketika
tiba-tiba saja punggungnya terhantam
satu tamparan keras. Pendekar Pulau
Neraka terjungkal ke depan, dan
cepat menggulirkan tubuhnya ketika si
Jerangkong Hidup sudah mencecar
dengan sambaran-sambaran jari
mautnya. Bayu sempat melirik si
Golok Setan yang tadi
membokongnya dari belakang.

"Licik...!" umpat Bayu jadi
geram.
"Hup!"
Bergegas Pendekar Pulau
Neraka melentingkan tubuhnya,
bangkit berdiri begitu mendapat
kesempatan. Tapi begitu kakinya
menjejak tanah, si Cambuk Api sudah
mengebutkan pecutnya dengan keras
ke arah dada.
Ctar!
"Uts!"
Pendekar Pulau Neraka cepat-
cepat menarik tubuhnya ke belakang,
sehingga ujung cambuk yang me-
ngeluarkan bunga api itu hanya
sedikit saja lewat di depan dadanya.
Dan kini tubuhnya cepat dimiringkan
agak membungkuk, dan tangan

kanannya bergerak cepat mengebut
ke depan.
"Yeaaah...!"
Bet!
Wut..!
Seketika Cakra Maut yang
selalu menempel di pergelangan
tangan kanan pemuda berbaju kulit
harimau itu melesat cepat bagai kilat
ke arah si Cambuk Api. Tapi belum
juga senjata maut itu bisa menyentuh
tubuh si Cambuk Api, mendadak saja
berkelebat secercah cahaya
keperakan dari golok berukuran besar
dengan tangkai panjang. Langsung
disampoknya senjata cakra bersegi
enam itu.
Trang!
"Hap!"

Bayu cepat mengangkat
tangan kanannya ke atas kepala,
ketika senjatanya terpental balik saat
membentur senjata si Golok Setan.
Cakra Maut kembali menempel di
pergelangan Pendekar Pulau Neraka.
Lalu, dua langkah pemuda berbaju
kulit harimau itu menarik kakinya ke
belakang.
"Hiyaaa...!"
Saat itu si Golok Setan sudah
melompat cepat menerjang Pendekar
Pulau Neraka. Satu kebutan goloknya
langsung diarahkan ke kepala
pemuda itu. Begitu cepat
serangannya, sehingga membuat
Bayu terkesiap untuk beberapa saat
"Hup!"
Bayu cepat-cepat
merundukkan kepala, menghindari

tebasan golok berukuran besar itu.
Seketika dirasakan adanya hembusan
hawa dingin yang menyusup
langsung ke tulang, begitu golok
berukuran besar itu lewat di atas
kepalanya. Dan sebelum Bayu
sempat menarik kepalanya tegak
kembali, si Jerangkong Hidup sudah
memberi serangan cepat
Bet!
Laki-laki tua bertubuh kurus
jangkung itu mengebutkan tangan
kanan ke punggung Bayu. Belum juga
Pendekar Pulau Neraka bisa
melakukan sesuatu, si Cambuk Api
sudah mengebutkan senjata ke arah
dada. Jadi, cukup sulit baginya untuk
menghindari dua serangan yang
datang secara bersamaan ini.
"Hiyaaa...!"

Tak ada pilihan lain lagi.
Pendekar Pulau Neraka cepat
melentingkan tubuh ke udara,
menghindari dua serangan yang
dilancarkan dari arah belakang dan
depan secara bersamaan. Tapi tanpa
diduga sama sekali si Jerangkong
Hidup cepat menarik tangannya, dan
langsung melesat mengikuti Pendekar
Pulau Neraka. Seketika satu pukulan
keras dilepaskan begitu berada di
belakang pemuda berbaju kulit
harimau ini
"Yeaaah...!"
Dug!
"Akh...!" untuk kedua kalinya
Bayu terpekik keras.
Pendekar Pulau Neraka
terpental deras ke depan, langsung
menghantam sebatang pohon yang
cukup besar. Tubuhnya langsung
melorot jatuh di bawah pohon itu.
Pukulan yang dilepaskan si
Jerangkong Hidup tadi tepat
menghantam punggungnya. Bayu
cepat melompat bangkit berdiri.
Mulutnya meringis, merasakan nyeri
pada tulang punggungnya.
"Mampus kau malam ini,
Bocah! Hiyaaat..!" teriak si Golok
Setan lantang menggelegar.
Cepat sekali laki-laki bertubuh
tinggi besar itu melompat menyerang
Bayu. Goloknya yang berukuran
besar dan bertangkai panjang itu
berputar cepat di atas kepalanya. Lalu
bagaikan kilat dikebutkan dari atas ke
bawah, seakan ingin membelah tubuh
Bayu jadi dua bagian.
"Hup!"

Sungguh sukar dipercaya.
Sama sekali Pendekar Pulau Neraka
tidak berusaha menghindar. Bahkan
ketika golok itu hampir membelah
kepalanya, dengan cepat sekali jemari
tangan kanannya langsung menjepit
senjata berukuran besar itu.
"Heh...?!"
Si Golok Setan terkejut
setengah mati. Dicobanya menarik
goloknya yang terjepit jemari tangan
kanan pemuda berbaju kulit harimau
ini. Tapi goloknya seakan-akan terasa
terjepit catut baja yang begitu kuat
Bahkan goloknya sama sekali tidak
bergerak di dalam jepitan jemari
tangan Pendekar Pulau Neraka.
"Hih!"
Lagi-lagj si Golok Setan
mencoba menarik senjata-nya.

Seluruh kemampuan tenaga
dalamnya dikerahkan. Tapi Bayu
hanya tersentak sedikit saja. Dan
sebelum si Golok Setan bisa
melepaskan senjatanya,
"Hiyaaa...!" Bet!
Tanpa melepaskan jepitannya
pada golok besar itu, Pendekar Pulau
Neraka melesat cepat ke udara
sambil menghantam kepala si Golok
Setan dengan kaki kanannya! tiba-
tiba saja Bayu berteriak keras
menggelegar. Seketika tubuhnya
melesat cepat ke udara, tanpa
melepaskan jepitannya dari golok
besar itu.
"Hiyaaa...!"
Bet!
Prak!
"Aaa...!"

Satu jeritan panjang
melengking tinggi terdengar, tepat
ketika kaki kanan Bayu menghantam
kepala si Golok Setan. Begitu
kerasnya tendangan yang dilakukan
Bayu, sehingga membuat kepala si
Golok Setan jadi retak. Darah
langsung muncrat dari kepala itu.
Sebentar si Golok Setan masih
mampu berdiri. Dan begitu Bayu
melepaskan satu pukulan keras
mengandung pengerahan tenaga
dalam sempurna ke dada, tubuh si
Golok Setan seketJka terpental deras
ke belakang tanpa mampu bersuara
lagi. Goloknya yang berukuran besar
terpental entah ke mana. Keras sekali
tubuh tinggi besar itu jatuh berdebuk
di tanah tanpa ada gerakan lagi.
"Heh...?!"

"Hah...?!"
Si Cambuk Api dan
Jerangkong Hidup terlongong melihat
si Golok Setan tewas begitu cepat.
Mereka seperti tidak percaya dengan
apa yang disaksikannya ini.
Sedangkan Bayu sudah melangkah
menghampiri dua orang
berperawakan aneh itu. Raut wajah
Bayu kelihatan begitu kaku. Sinar
matanya tajam, menyorot langsung
pada dua orang yang masih terpana
seperri tidak percaya dengan semua
yang disaksikan.
Bayu berhenti sekitar satu
batang tombak lagi di depan si
Cambuk Api dan Jerangkong Hidup.
Pada saat itu, tiba-tiba terdengar
teriakan keras melengking tinggi,
disusul terpentalnya satu sosok tubuh

menjebol atap rumah Minarti. Dan tak
berapa lama berselang, satu sosok
tubuh lagi terbanting menjebol dinding
rumah itu.
"Heh...?!"
"Gandik..., Kabat..?!"
***
Untuk kedua kaiinya si
Cambuk Api dan Jerangkong Hidup
terkejut melihat Gandik dan Kabat
tergeletak di tanah sambil meringis
mengerang. Dan sebelum lenyap
keterkejutan mereka, tiba-tiba saja
dari dalam rumah itu melesat sebuah
bayangan hitam. Tahu-tahu, di depan
tubuh Gandik dan Kabat sudah berdiri
seorang wanita berbaju serba hitam
dengan seluruh kepala terselubung


kain hitam pula. Di tangannya
tergenggam sebilah pedang terhunus
yang ujungnya menempel di
tenggorokan Gandik.
"Bangun kau, Bangsat..!"
bentak wanita itu geram.
Sambil meringis menahan
saktt, Gandik merayap bangkit berdiri.
Kabat yang belum disuruh, juga
bergegas berdiri. Kakinya cepat-cepat
bergeser kebelakang Gandik Ujung
pedang masih menempel di leher laki-
laki setengah baya itu. Sementara
Bayu sudah memutar tubuhnya,
menyaksikan peristiwa yang sama
sekali tidak diduga ini.
"Baiknya kita apakan bangsat-
bangsat ini, Pendekar Pulau
Neraka...?" tanya wanita berselubung

kain hitam itu seraya melirik Bayu
sedikit
Bayu tidak menjawab, tapi
malah menatap tajam wanita
berselubung kain hitam itu.
Sementara diam-diam, si Jerangkong
Hidup dan Cambuk Api meninggalkan
tempat itu. Mereka tidak mau
menanggung akibat yang terlalu
besar. Dan begitu punya kesempatan,
mereka cepat melesat pergi, tanpa
seorang pun yang sempat menyadari.
Tapi gerakan mereka rupanya
diketahui Bayu. Cepat Pendekar
Pulau Neraka memutar tubuhnya,
namun dia jadi geram. Temyata
kedua orang ini sudah lenyap tak
teriihat lagi.
"Pengecut..!" dengus Bayu.

Kembali Pendekar Pulau
Neraka memutar tubuhnya, dan
melangkah menghampiri wanita
berbaju serba hitam, dengan kepala
terselubung kain hitam. Dia berhenti
sekitar tiga langkah lagi di samping
wanita berbaju serba hitam itu.
Dipandanginya Gandik dan Kabat
dengan sorot mata tajam. Wajah
kedua laki-laki separuh baya itu jadi
semakin pucat
"Jauhkan pedangmu,
Nisanak," ujar Bayu tanpa berpaling
sedikit pun.
Wanita berbaju hitam ini
menuruti permintaan Bayu.
Pedangnya segera dijauhkan dari
leher Gandik, dan dimasukkan
kembali ke dalam warangka di
pinggang. Gandik menarik napas

panjang begitu ujung pedang tidak
lagi menempel di lehemya.
"Kenapa kalian begttu ingin
menculik Minarti?" tanya Bayu dingin.
"Kami hanya disuruh," sahut
Kabat sebelum Gandik membuka
mulutnya.
"Siapa yang menyuruh
kalian?" tanya Bayu, meskipun sudah
tahu siapa orang yang berada di bela-
kang semua ini.
"Ki Mangir," sahut Kabat lagi.
"Kalian tahu, kenapa Ki Mangir
menginginkan Minarti?" tanya Bayu
lagi.
Kabat dan Gandik saling
berpandangan, kemudian sama-sama
menggelengkan kepala. Mereka
memang tidak tahu tujuan yang
sebenarnya, karena hanya mendapat

perintah untuk menculik Minarti. Dan
mereka hanya tahu kalau Ki Mangir
ingin memperistri gadis itu. Hanya itu
saja yang diketahui. Dan ini dikatakan
Gandik tanpa ditanya lagi.
”Kalian boleh pergi!" dengus
Bayu.
"Oh...?!"
Gandik dan Kabat teriongong
seperti tidak percaya dengan
pendengarannya barusan. Mereka
jadi bengong dengan mulut terbuka
seperti kerbau kehausan.
"Tunggu apa lagi...?! Cepat
pergi, sebelum fikiranku berubah!"
bentak Bayu.
Seperti cacing terinjak, mereka
menggeliat dan cepat-cepat kabur
mengambil langkah seribu. Bayu
hanya memandangi saja sampai

kedua orang itu lenyap. Wajahnya
baru berpaling menatap wanita ber-
baju serba hitam yang seluruh
kepalanya terselubung kain hitam.
"Kenapa kau tidak bunuh
mereka saja?" tanya wanita itu seperti
kurang senang atas tindakan Bayu.
"Tidak ada gunanya
membunuh mereka," sahut Bayu.
"Mereka hanya cecunguk yang
menjalankan perintah."
"Kau percaya pada keterangan
mereka tadi?" tanya wanita yang
berjuluk si Perawan Pembawa Maut
ini lagi
Bayu hanya tersenyum saja.
Kakinya melangkah menuju beranda
depan rumah kecil itu, dan
menghempaskan dirinya duduk di
pinggiran lantai beranda yang terbuat


dari belahan papan. Sedangkan
wanita berbaju serba hitam itu masih
tetap berdiri tegak di tempatnya.
Kemudian dihampirinya Bayu, dan
duduk agak jauh di samping
Pendekar Pulau Neraka itu.
"Kenapa kau tadi kelihatannya
hanya bermain-main?" tanya wanita
itu lagi.
"Hanya ingin tahu saja
kekuatan mereka," sahut Bayu
seenaknya.
Sesaat mereka terdiam.
"Aku yakin ada sesuatu yang
diinginkan Ki Mangir, selain ingin
memperistri Minarti," kata wanita itu
lagi, setengah bergumam nada
suaranya, seperti berbicara pada diri
sendiri.

"Apa perkiraanmu?" tanya
Bayu seakan-akan menyelidik
'’Terlalu dini untuk menduga,
Pendekar Pulau Neraka," sahut si
Perawan Pembawa Maut
Bayu terdiam. Dipandanginya
wanita berbaju serba hitam yang
duduk agak jauh di sampingnya ini.
Tiba-tiba saja Pendekar Pulau Neraka
teringat Minarti yang tadi ditinggalkan
di dalam rumah ini. Bergegas
Pendekar Pulau Neraka melompat
masuk ke dalam, tapi tidak lama
kemudian sudah keluar lagi. Seketika
hatinya jadi terkejut karena si
Perawan Pembawa Maut sudah tidak
berada lagi di beranda ini. Wanita itu
sudah menghilang selagi Bayu
berada di dalam.

"Hm.... Ke mana dia...?" Bayu
bertanya-tanya sendiri dalam hati.
Pendekar Pulau Neraka jadi
tercenung. Di dalam rumah ini Minarti
tidak ditemukan. Sudah semua kamar
dimasuki Bahkan di dalam kamarnya
sendiri, juga tidak ditemukan. Selagi
Bayu terdiam sendiri, tiba-tiba dari
arah samping muncul Minarti
memeluk Tiren di dadanya.
"Minarti...," desis bayu seraya
bergegas menghampiri.
Minarti mengulas senyuman di
bibimya. Monyet kecil berbulu hitam
yang berada di dalam dekapan dada
gadis itu menggeliat, kemudian
melompat berpindah ke pundak
kanan Pendekar Pulau Neraka.
Tangannya yang berbulu hitam halus,

memeluk leher pemuda berbaju kulit.
harimau ini
"Dari mana kau?" tegur Bayu.
"Aku sembunyi," sahut Minarti.
Bayu memandangi gadis ini.
Sinar matanya tampak penuh selidik.
Pendekar Pulau Neraka seperti tidak
percaya atas jawaban Minarti
barusan. Sedangkan yang dipandangi
kelihatan tidak peduli, malah me-
langkah masuk ke dalam rumahnya.
Bayu bergegas mengikuti sampai di
dalam rumah kecil ini Mereka lalu
duduk di balai-balai bambu yang
hanya beralaskan tikar daun pandan
agak lusuh.
"Aku tadi keluar lewat pintu
samping. Terus sembunyi," Minarti
mencoba menjelaskan.

Bayu hanya diam saja
memandangi gadis ini
"Kau tidak percaya,
Kakang...?" tegur Minarti merasa
kalau Pendekar Pulau Neraka tidak
percaya dengan keterangannya.
Bayu menghembuskan napas
panjang.
"Minarti, katakan yang
sebenarnya. Mengapa Ki Mangir ingin
menculikmu? Aku yakin, bukan
karena dia ingin memperistrimu,"
desah Bayu
Minarti tidak langsung
menjawab, tapi malah menatap
dalam-dalam Pendekar Pulau Neraka.
"Apa ayah tidak
mengatakannya padamu?" Minarti
malah bertanya.
'Tidak," sahut Bayu.


"Hhh...! Dia ingin
memperistriku memang ada
alasannya," jelas Minarti perlahan.
"Boleh aku tahu?" pinta Bayu.
"Dia menginginkan Pedang
Sangkal Ireng."
"Aku tidak mengerti
maksudmu, Minarti," Bayu meminta
penjelasan.
"Aku sudah pernah cerita
padamu. Beberapa bulan yang lalu,
sebelum ayah mendapat musibah,
ayah dan Ki Mangir sering jalan
bersama. Mereka sebenarnya
mencari Pedang Sangkal Ireng.
Senjata itu memang jatuh ke tangan
ayah, namun Ki Mangir tidak
menerima kekalahannya," jelas
Minarti.
"Kekalahan...?"

"Mereka bertaruh. Siapa yang
berhasil mendapatkan Pedang
Sangkal Ireng, akan menguasai
seluruh daerah ini. Dan yang kalah
harus mengabdi seumur hidup."
"Sebenarnya pedang itu punya
siapa?"
"Seorang pertapa yang sudah
muksa puluhan tahun lalu."
Bayu mengangguk-anggukkan
kepala. Kini baru dimengerti semua
persoalannya. Ternyata Ki Mangir
gagal dengan cara halus. Dan
sekarang, dia sudah menggunakan
cara kasar. Ki Mangir memang tidak
tahu kalau ayah gadis ini masih hidup,
dan Minarti sudah mengetahui
semuanya. Sehingga, gadis ini tidak
bisa ditundukkan begitu saja.

'Tidurlah. Besok, kau bangun
kesiangan," ujar Bayu.
"Boleh aku tidur bersama
Tiren...?" pinta Minarti.
Bayu mengambil monyet kecil
di pundaknya, lalu memberikannya
pada gadis ini. Minarti menerirna
dengan senyuman manis tersungging
di bibir, kemudian melangkah masuk
ke dalam kamarnya. Sebentar Bayu
masih memperhatikan sampai pintu
kamar itu tertutup rapat Pendekar
Pulau Neraka kemudian duduk
bersila, dan meletakkan kedua
telapak tangannya di atas lutut yang
terlipat Sebentar kemudian, dia sudah
mulai bersemadi.
***

TUJUH

Selama dua hari ini tidak
terjadi sesuatu terhadap diri Minarti.
Tak ada seorang pun tukang-tukang
pukul Ki Mangir yang mencoba
menculik gadis itu lagi Keadaan
begitu tenang. Bahkan Minarti
bersikap seperti tidak pernah terjadi
sesuatu pada dirinya. Seperri hari-hari
sebelumnya, dia selalu mandi dan
mencuci di sungai. Juga mencari kayu
bakar di hutan. Minarti tetap
melakukan pekerjaan rutinnya, tanpa
sedikit pun ada rasa khawatir.
Sementara selama dua hari ini,
Bayu terus menyelidiki keadaan
rumah Ki Mangir yang berukuran

cukup besar. Bahkan lebih besar dari
rumah kepala desa sendiri. Temyata
Bayu pun juga tidak menemukan
sesuatu yang menarik di sekitar
rumah itu. Keadaannya tampak wajar,
seperti rumah-rumah saudagar kaya
lainnya, yang selalu dipenuhi tukang
pukul yang menjaga rumah ini.
Seperti malam ini, Bayu kini
sudah berada tidak jauh dari rumah Ki
Mangir, setelah keramaian yang
terjadi setiap malam di desa ini
berhenti. Desa Jari Laksa ini memang
bagaikan surga yang begitu banyak
menjanjikan kesenangan bagi semua
orang. Tidak heran, jika hampir setiap
hari selalu ada pendatang yang
memasuki desa ini.
"Hm.... Siapa itu yang
datang...?" gumam Bayu ketika

melihat sebuah bayangan berkelebat
cepat, dan menghilang di dekat pagar
tembok sebelah kanan dari rumah
yang sedang diawasinya.
Bayu terus mengamati dan
menunggu, tapi bayangan itu tidak
kunjung muncul juga. Hal ini
membuatnya jadi penasaran. Maka
cepat-cepat tubuhnya melesat ke
bagian kanan rumah Ki Mangir. Begitu
sempurna ilmu meringankan
tubuhnya, sehingga dalam waktu
singkat saja Pendekar Pulau Neraka
sudah sampai di tempat bayangan
yang tadi dilihatnya menghilang.
‘'Tidak ada siapa-siapa di
sini...," gumam Bayu lagi dalam hari.
Pemuda berbaju kulit harimau
itu mengedarkan pandangan ke
sekeliling. Memang sepi, tak terlihat

seorang pun di sekitarnya.
Pandangan Bayu tertumbuk pada
tanah berumput di depannya.
Periahan-lahan kakinya melangkah
menghampiri, sambil merundukkan
tubuhnya meneliti rumput yang rebah
seperti baru terinjak kaki.
Bayu memeriksa jejak-jejak
kaki yang begitu jelas tertera di tanah
berumput lembab ini. Jejak kaki itu
menghilang tepat di dekat tembok
pagar yang cukup tebal dan tinggi.
Dan kini, tak ada lagi jejak yang
didapatkannya. Bayu berdiri tegak
memandangi tembok pagar yang
terbuat dari baru merah ini. Dan
rasanya, tak terlalu sulit
melompatinya.
"Apakah orang itu melompati
tembok ini...?" lagi-lagi Bayu

menggumam bertanya pada diri
sendiri.
Selagi Pendekar Pulau Neraka
mengamati tembok ini, tiba-tiba saja
di atas tembok muncul beberapa
kepala. Bayu terkejut, dan cepat
melompat mundur. Tapi hatinya jadi
tersentak, karena di belakangnya juga
bermunculan orang-orang bersenjata
berbagai macam bentuk terhunus di
tangan.
"Heh...?!"
Kembali Pendekar Pulau
Neraka tersentak ketika orang-orang
yang berada di atas tembok
menebarkan sebuah jaring berwama
hitam pekat. Cepat-cepat Bayu
melompat ke samping, menjatuhkan
dirinya ke tanah. Tubuhnya
menggelimpang beberapa kali, dan

cepat melompat bangkit berdiri. Tapi
pada saat itu, beberapa batang
tombak meluncur ke arahnya.
"Hiyaaa...!"
Bayu cepat-cepat
melentingkan tubuh ke udara,
menghindari serbuan tombak-tombak
yang meluruk deras mengancam
nyawanya. Tapi begitu berada di
udara, tiba-tiba saja sebuah jaring
hitam kembali menebar ke arah
dirinya. Dan kali ini Bayu tidak punya
kesempatan menghindar lagi.
Rrrt!
"Oh...!"
Bruk!
Pendekar Pulau Neraka jatuh
terguling di tanah berumput lembab.
Seluruh tubuhnya sudah tergulung
jaring hitam. Ada enam orang di atas

tembok memegangi tambang yang
mengikat jaring itu. Mereka serempak
berlompatan turun, membuat Bayu
yang berada di dalam jaring terangkat
ke atas, dan langsung melewati
tembok baru yang cukup tinggi ini.
Srak!
"Akh...!" Bayu memeldk agak
tertahan. Keras sekali tubuhnya
terbanting ke dalam semak, dan terus
terseret tanpa mampu berbuat
sesuatu. Bayu menggeliat dan
menggelepar di dalam belitan jaring
yang kenyal dan kuat ini. Sementara,
enam orang itu terus berlari ke arah
belakang rumah sambil memegangi
tambang yang menyeret Pendekar
Pulau Neraka. Dan mereka baru
berhenti berlari setelah sampai di
halaman belakang.

Tanpa ada yang mengeluarkan
kata-kata sedikit pun, mereka
melemparkan tambang-tambang itu
ke atas tiang yang melintang cukup
tinggi, lalu berlompatan menyambar
ujung tambang itu. Dan begitu turun
menjejak tanah, Bayu terangkat naik
Kini tubuhnya menggantung seperri
hewan buruan yang tak memiliki daya
lagi untuk melepaskan diri. Mereka
mengikat ujung tambang itu menjadi
satu ke pohon. Sementara Bayu tetap
tergantung sekitar setengah batang
tombak jaraknya dari tanah.
"Keparat..!" desis Bayu
menggeram.
***
"He he he...!"
Bayu menatap tajam seorang
laki-laki separuh baya yang berjalan

menghampiri diikuti sekitar tiga puluh
orang laki-laki bersenjata. Di antara
mereka terlihat Gandik, Kabat,
Jerangkong Hidup, Cambuk Api, dan
empat anak muda yang beberapa kali
pernah bertarung dengannya. Mereka
berhenti tidak jauh di bawah Bayu
yang tergantung di dalam jaring hitam.
"Selamat datang di istanaku,
Pendekar Pulau Neraka," ucap laki-
laki separuh baya yang temyata Ki
Mangir.
"Kuharap kau menyukai
sambutan ini."
Bayu hanya diam saja. Sorot
matanya tetap tajam tertuju langsung
ke wajah laki-laki separuh baya itu.
Sudah diduganya kalau laki-laki inilah
yang dipanggil Ki Mangir. Pendekar
Pulau Neraka menaruh tangan


kanannya ke belakang, mencoba
memutuskan jaring-jaring yang
membelenggu tubuhnya dengan
ujung Cakra Maut Sungguh hatinya
masih bersyukur, karena senjata
andalannya ini masih melekat di
pergelangan tangannya.
"Kau terlalu banyak ikut
campur urusanku, Pendekar Pulau
Neraka. Jadi, terpaksa harus
menyingkirkanmu lebih dahulu," kata
Ki Mangir lagi.
Bayu masih tetap diam
membisu, namun terus berusaha
memutuskan tali-tali jaring hitam ini.
Cukup lama juga satu tali jaring yang
kenyal dan kuat ini bisa diputuskan.
Dia tidak tahu, jaring ini terbuat dari
apa. Begitu kuat sehingga kekuatan
tenaga dalamnya terpaksa harus

disalurkan ke Cakra Maut untuk
memutuskannya.
"Turunkan dia!" perintah Ki
Mangir.
Dua orang bergegas
melepaskan ikatan tambang di pohoa
Kemudian ikatan itu dilepaskan begitu
saja, sehingga Bayu terbanting cukup
keras ke tanah. Hanya terdengar
sedikit keluhan yang agak
mendengus dari hidung Pendekar
Pulau Neraka.
"Ikat..!" perintah Ki Mangfr lagi.
Dua orang yang melepaskan
tambang itu bergegas melaksanakan
perintah laki-laki separuh baya ini.
Mereka mengikat seluruh tubuh Bayu
dengan tambang yang cukup besar
dan kuat Pendekar Pulau Neraka kini
benar-benar tidak berdaya lagi, dan

tidak mungkin bisa melepaskan diri
dari belenggu ini. Dan dia hanya bisa
mengeluh dalam hati.
"Ikat dia ke pohon!" perintah Ki
Mangir lagi.
Enam orang pemuda bergegas
melaksanakan perintah itu. Mereka
menyeret Bayu ke pohon dan
mengikatnya di sana. Ki Mangir
menghampiri Gandik dan Kabat
"Kalian jemput Minarti
sekarang juga. Ingat..! Jangan sampai
sedikit pun kulitnya tergores!" perintah
Ki Mangir.
"Baik, Ki," sahut Gandik cepat
Tanpa menunggu perintah dua
kali, Gandik dan Kabat bergegas
meninggalkan halaman belakang ru-
mah ini. Ki Mangir memerintahkan
orang-orangnya untuk memperketat

penjagaan di sekitar rumahnya,
kemudian melangkah masuk ke
dalam rumah yang berukuran cukup
besar itu. Sedangkan si Cambuk Api
dan Jerangkong Hidup mengjkutinya
dari belakang. Masih ada enam orang
bersenjata golok terselip di pinggang
menjaga Bayu yang terikat di pohon,
dengan seluruh tubuh terbelenggu
jaring hitam.
"Setan benar-benar licik dia...!"
dengus Bayu mengumpat dalam hati.
***
Sementara itu Gandik dan
Kabat yang mendapat perintah
menculik Minarti, sudah sampai di
depan rumah gadis itu. Mereka
mengamati keadaan sekitarnya

beberapa saat kemudian hari-hati
sekali melangkah menghampiri rumah
yang kecil di tepian hutan ini.
Keadaannya begitu sunyi, seakan
tidak ada penghuninya. Tapi belum
juga mereka menginjakkan kaki di
beranda, tiba-tiba saja dari dalam
rumah itu melesat sebuah bayangan
hitam.
"Awas...!" seru Gandik
langsung melompat berputar ke
belakang.
"Hup!"
Kabat cepat-cepat
membanting tubuh ke kanan, dan
bergulingan beberapa kali. Dia
bergegas bangkit berdiri dan berbalik.
Sementara Gandik cepat melompat
mendekati temannya. Dan di depan
mereka kini sudah berdiri seseorang

bertubuh ramping mengenakan baju
serba hitam. Seluruh kepalanya juga
terselubung kain hitam.
'’Perawan Pembawa Maut..,"
desis Gandik, agak bergetar
suaranya.
"Kalian benar-benar mencari
mampus!" desis wanita berbaju serba
hitam yang dijuluki si Perawan
Pembawa Maut itu dingin
menggetarkan.
Sret!
Cring!
Gandik dan Kabat segera
mencabut pedang, langsung
menyilangkannya di depan dada.
Perlahan mereka menggerakkan
kakinya, menyebar ke samping. Mata
mereka tidak berkedip menatap
wanita berbaju serba hitam ini.

"Kenapa masih juga nekat
heh...?! Apa yang kalian peroleh dari
si Buaya Tua itu..?" desis si Perawan
Pembawa Maut dingin.
"Kau sendiri, kenapa
melindungi Minarti? Apa yang kau
peroleh dari Eyang Palagan?" Gandik
malah balik bertanya ketus.
"Itu urusanku!" bentak si
Perawan Pembawa Maut gusar.
"Sama...! Aku menculik Minarti
juga urusanku!" balas Gandik tidak
kalah ketusnya.
"Setan...! Kalian benar-benar
manusia hina yang pantas mampus!"
geram wanita berbaju serba hitam itu.
"Mungkin malah kau sendiri
yang akan mati di tanganku!" sambut
Gandik sinis.

"Barangkali nasibnya ingin
sama seperti Pendekar Pulau
Neraka," celetuk Kabat yang sejak
tadi diam saja.
"Keparat..! Apa yang kalian
lakukan pada Ka...?" ucapan si
Perawan Pembawa Maut jadi
terputus.
Si Perawan Pembawa Maut
jadi mendesis geram begitu
mendengar nama Pendekar Pulau
Neraka disebut Dugaan buruk tiba-
tiba saja muncul di kepalanya.
"Kalian harus mampus!
Hiyaaat..!"
Bagaikan kilat wanita berbaju
serba hitam itu tiba-tiba saja
melompat sambil mencabut pedang,
dan langsung dikebutkan ke arah
dada Gandik yang berdiri di depan.

Begitu cepatnya serangan yang
dilakukan si Perawan Pembawa Maut
ini, sehingga membuat Gandik jadi
terperangah. Tapi cepat-cepat dia
melompat ke belakang tanpa
menyadari kalau Kabat berada di
belakangnya.
"Heh...?!"
Tak pelak lagi kedua laki-laki
ini jatuh bergulingan. Dan itu
membuat nyawa Gandik bisa selamat
dari ujung pedang si Perawan
Pembawa Maut Mereka cepat-cepat
melompat bangkit berdiri.
"Setan! Kenapa kau di
belakangku...?!" rungut Gandik
geram.
"Awas, Kang...!" teriak Kabat
tidak menghiraukan makian Gandik.
Bet!

"Uts!"
Gandik cepat-cepat
merundukkan kepala, begitu tiba-tiba
secercah cahaya keperakan
berkelebat cepat di atas kepalanya.
Seketika darahnya jadi mendesir,
merasakan kebutan angin yang begitu
keras lewat di atas kepalanya. Dan
sebelum Gandik bisa menyadari apa
yang terjadi, mendadak saja dadanya
terasa terkena satu pukulan keras
mengandung pengerahan tenaga
dalam tinggi.
Diegkh!
"Akh...!" Gandik terpekik kaget.
Tubuhnya mencelat ke
belakang sejauh dua batang tombak.
Keras sekali Gandik menghantam
tanah dan bergulingan beberapa kali
di tanah yang berumput basah oleh

embun. Pada saat itu, wanita berbaju
serba hitam sudah melompat cepat.
Ujung pedangnya tertuju lurus
mengancam dada Gandik yang
tergeletak di tanah.
"Oh, mati aku..!" desis Gandik
pasrah.
Tapi belum juga ujung pedang
itu berhasil menyentuh kulit dadanya,
tiba-tiba saja berkelebat satu kilatan
cahaya keperakan membabat pedang
si Perawan Pembawa Maut
Trang!
Kilatan bunga api memercik
begitu dua pedang beradu keras.
Gandik cepat-cepat menggulirkan tu-
buhnya ke samping beberapa kali,
lalu bergegas melompat bangkit
berdiri. Dadanya terasa begitu sesak,

membuat napasnya jadi agak
tertahaa
"Setan...!" geram si Perawan
Pembawa Maut Wanita berbaju hitam
itu menatap tajam pada Kabat yang
telah menggagalkan serangannya
pada Gandik tadi. Sambil berteriak
nyaring melengking tinggi, si Perawan
Pembawa Maut melompat cepat
sambil membabatkan pedang ke arah
dada Kabat.
"Hait..!"
Tapi dengan manis sekali,
Kabat meliukkan tubuhnya. Maka,
serangan wanita itu tidak mengenai
sasaran. Sambil menarik tubuhnya
tegak kembali, Kabat langsung
mengibaskan pedang ke depan, tepat
ke arah perut wanita berbaju serba
hitam itu.

Bet!
Si Perawan Pembawa Maut
mengebutkan pedangnya untuk
menangkis pedang Kabat Kembali
memercik bunga api begitu dua
pedang beradu keras di depan perut
wanita berbaju serba hitam ini. Dua
langkah wanita itu menarik kakinya ke
belakang, lalu cepat sekali
melentingkan tubuhnya ke atas. Dan
satu kebutan cepat disertai
pengerahan tenaga dalam tinggi
dilancarkan mengarah ke kepala
Kabat.
"Hap!"
Kabat cepat-cepat
mengangkat pedangnya, melin-dungi
kepala dari tebasan pedang wanita
berbaju serba hitam itu
Trang!

Lagi-lagi senjata mereka
beradu keras. Tapi sebelum Kabat
bisa menguasai pedangnya akibat
benturan itu, tiba-tiba saja si Perawan
Pembawa Maut sudah mendarat di
belakang tubuhnya. Langsung kaki
wanita itu dihentakkan ke punggung
laki-laki setengah baya ini.
Des!
"Aaakh...!" Kabat memekik
keras.
Dia jatuh tersungkur mencium
tanah. Sementara si Perawan
Pembawa Maut sudah kembali
melompat, dan langsung
mengarahkan pedangnya ke dada
Kabat Tak ada lagi kesempatan bagi
laki-laki itu untuk bisa menghindar.
Tapi begitu ujung pedang wanita ini
hampir menikam jantungnya, entah

dari mana datangnya muncul seorang
laki-laki tua berjubah putih yang
langsung menjepit pedang itu dengan
kedua jari tangannya.
"Hentikan..!"
"Oh...?!"
Si Perawan Pembawa Maut
terkejut setengah mati melihat
kemunculan laki-laki tua berjubah
putih yang begitu tiba-tiba. Dia cepat
melompat mundur beberapa langkah,
begitu pedangnya tetiepas dari jepitan
jari tangan laki-laki itu. Sementara
Kabat bangkit berdiri, dibantu orang
tua berjubah putih panjang ini. Se-
dangkan Gandik yang masih
mencoba mengatur jalan napasnya,
bergegas menghampiri Kabat dan
orang tua yang sudah dikenal dengan
baik

***
"Eyang Palagan...."
Gandik dan Kabat cepat-cepat
beriutut di depan laki-laki tua berjubah
putih panjang ini Mereka terkejut dan
senang atas kedatangan orang tua
ini. Dan dia memang Eyang Palagan
yang selama ini menghilang tanpa
diketahui kabar beritanya.
"Bangunlah kalian," ujar Eyang
Palagan lembut
Perlahan Gandik dan Kabat
beranjak bangkit berdiri. Mereka
menyingkir ke samping setelah
menjura membungkukkan badan.
Sedangkan Eyang Palagan
melangkah maju beberapa tindak
mendekati wanita berbaju serba hitam
itu. Si Perawan Pembawa Maut ini

sudah menyarungkan pedangnya
kembali ke dalam warangka di
pinggang.
"Kalian pulanglah...," ujar
Eyang Palagan pada Gandik dan
Kabat tanpa berpaling sedikit pun
"Tapi, Eyang.... Perempuan ini
sangat berbahaya," bantah Gandik.
"Aku bisa mengatasinya.
Pulanglah kalian Sekalian sampaikan
salamku pada Ki Mangir," kata Eyang
Palagan lagi, tanpa sedikit pun
berpaling.
Gandik dan Kabat saling
berpandangan sejenak, kemudian
mereka membungkuk memberi
hormat pada orang tua berjubah putih
panjang ini. Bergegas mereka
meninggalkan tempat itu, dan terus
berlari cepat tanpa menoieh lagi.

Sebentar saja bayangan tubuh kedua
laki-laki separuh baya itu sudah tidak
terlihat lagi.
Si Perawan Pembawa Maut
segera menjatuhkan diri beriutut,
begitu dua anak buah Ki Mangir tidak
terlihat lagi. Kedua telapak tangannya
ditempelkan ke tanah berumput yang
basah oleh embun. Eyang Palagan
menghampiri dengan bibir
menyunggingkan senyum. Ditepuknya
pundak wanita berbaju serba hitam itu
dengan lembut sekali.
"Bangunlah, Anakku," ujar
Eyang Palagan dengan suara lembut
"Maafkan aku, Ayah...," ucap si
Perawan Pembawa Maut seraya
bangkit berdiri.
Kepalanya masih tetap
tertunduk meskipun sudah berdiri di

depan orang tua berjubah putih
panjang ini. Perlahan tangan Eyang
Palagan bergerak membuka kain
hitam yang menyelubungi seluruh
kepala wanita itu. Dan di balik
selubung kain hitam, temyata
tersembunyi seraut wajah cantik yang
memiliki sinar mata indah bagai langit
bertaburkan bintang.
"Kenapa kau lakukan ini,
Minarti...?" tanya Eyang Palagan,
tetap lembut nada suaranya.
Si Perawan Pembawa Maut
yang temyata Minarti, hanya diam
saja. Perlahan kakinya terayun
menuju rumah kecil yang tampak
berantakan. Beberapa dindingnya
masih terlihat jebol. Bahkan lantai
beranda depannya juga berlubang
cukup besar. Sementara Eyang

Palagan memperhatikan saja sambil
ikut melangkah. Mereka kemudian
duduk di pinggiran lantai beranda
yang terbuat dari papan.
"Sudah beberapa kali orang-
orang Ki Mangir mencoba menculikku.
Jadi, terpaksa aku harus melakukan
ini, Ayah," Minarti mencoba
menjelaskaa
"Aku tahu, Minarti. Tapi dia
sangat berbahaya. Dengan
kepandaianmu sekarang ini, kau tidak
mungkin bisa menandinginya.
Ingatiah, Minarti. Ki Mangir hampir
membunuhku dengan licik Kalau saja
orang-orangnya tidak membokongku,
dan meruntuhkan bebatuan padaku,
tidak bakalan aku bisa dikalahkan,"
jelas Eyang Palagan agak mendesis.

"Itu sebabnya, dia harus
kubunuh, Ayah," tegas Minarti.
"Jangan, Minarti. Dia itu ular.
Kau tidak bisa sembarangan
menghadapinya. Dia manusia licik
dan serakah. Kalau dia sampai tahu
tentang dirimu dalam keadaan seperti
ini, bukannya tidak mustahil kau akan
dibunuh, seperti yang dilakukannya
padaku. Untung saja, Bayu bisa
menyelamatkan dari himpitan batu.
Kalau tidak, pasti aku sudah menjadi
santapan cacing tanah. Tidak
seharusnya kau bertindak begini,
Minarti. Bukankah aku sudah meminta
tolong pada Bayu untuk..?"
"Kakang Bayu...? Oh...!" tiba-
tiba Minarti tersentak
"Ada apa, Minarti?" tanya
Eyang Palagan.

Minarti tidak menjawab, lalu
cepat mengenakan kembali selubung
kain hitam di kepalanya. Dan tanpa
berkata apa-apa lagi, gadis itu cepat
melesat pergi. Begitu cepatnya,
sehingga sebentar saja bayangan
tubuhnya sudah lenyap ditelan
kegelapan.
"Minarti, mau apa kau...?!"
seru Eyang Palagan terkejut
Tapi Minarti sudah tidak
terlihat lagi dari pandangan. Sejenak
Eyang Palagan tertegun, lalu cepat
mengempos tubuhnya. Dan seketika
dia lenyap bagai melesak masuk ke
dalam bumi. Ilmu meringankan tubuh
yang dimiliki orang tua pertapa itu
memang sudah mencapai tingkat
sempurna, sehingga bisa melesat
cepat bagai menghilang saja.

DELAPAN

Saat itu Bayu masih berusaha
melepaskan diri dari belenggu yang
mengikatnya di pohon. Sesekali mata-
nya melirik enam orang yang
menjaganya. Mereka tampak duduk
melingkari api yang sedikit
menghangatkan udara malam. Entah
apa yang dibicarakan, Bayu tidak
mempedulikan. Perhatiannya terpusat
pada usahanya untuk bisa
melepaskan belenggu yang
mengikatnya ini.
"Nguk...!"
"Oh...?!"
Bayu tersentak kaget ketika
tiba-tiba terdengar suara halus dari

atas kepalanya. Kepalanya
mendongak, dan bibirnya tersenyum
melihat Tiren tahu-tahu sudah berada
di dahan, tepat di atas kepalanya.
Monyet kecil itu hati-hati sekali
meluruk turun mendekati Pendekar
Pulau Neraka.
"Lepaskan ikatan ini, Tiren,"
pinta Bayu dengan suara berbisik
perlahan.
Pendekar Pulau Neraka melirik
sedikit pada enam orang yang
menjaganya. Tampaknya keenam
orang itu tidak menyadari kehadiran
monyet kecil ini. Sementara, Tiren
mengerti apa yang diinginkan Bayu.
Cepat badannya berputar ke
belakang pohon Monyet kecil
itu menggaruk-garuk
kepalanya, memandangi tambang

besar yang mengikat Pendekar Pulau
Neraka di pohon ini.
"Cepat, Tiren. Gunakan
gigimu...," bisik Bayu tidak sabar.
"Nguk!"
Tiren bergegas menggigit
tambang itu menggunakan gigj-
giginya yang runcing dan tajam.
Sementara Bayu terus mengawasi
enam orang itu. Sesekali matanya
melirik monyet kecil yang terus
berusaha memutuskan tambang-
tambang. Satu ikatan saja, namun
cukup sulit bagi Tiren. Dan monyet
kecil ini terus berusaha menggigiti
tambang itu.
Sedikit demi sedikit hasilnya
mulai tampak Tambang itu mulai
genting, dan akhimya putus juga.
Bayu cepat-cepat melepaskan diri dari

ikatan ini. Dibukanya jala hitam yang
menyelubunginya. Saat itu, salah
seorang penjaga memergokinya.
"Hei...?!" seru orang itu terkejut
Lima orang lainnya juga
tersentak kaget Tapi sebelum mereka
sempat melakukan sesuatu, Bayu su-
dah melemparkan jala hitam yang tadi
membelenggunya.
"Hiyaaa...!"
Rrrt
Enam orang itu tidak dapat
berbuat apa-apa lagi, dan langsung
terbungkus jala hitam yang
dilemparkan Bayu. Seketika Pendekar
Pulau Neraka langsung melemparkan
tambang yang mengikat jala itu ke
atas tiang. Sambil mengerahkan
kekuatan tenaga dalam, tambang itu
ditariknya. Akibatnya, enam orang

yang terkurung di dalam jala terangkat
dari tanah dan langsung berteriak-
teriak keras minta tolong. Bayu
mengikatkan ujung tambang ke
pohon.
"Nguk!
Chraaak..!"
Tiren melompat kegirangan
dan berjingkrakan di atas pundak
Bayu Saat itu terdengar tepukan
tangan dari arah belakang. Bayu
cepat memalingkan wajah ke
belakang. Entah kapan datangnya,
tahu-tahu di belakang Pendekar
Pulau Neraka sudah berdiri seorang
wanita mengenakan baju serba hitam,
dan kepalanya terselubung kain hitam
juga.
"Perawan Pembawa Maut..,"
desis Bayu pelan, langsung

mengenali sosok wanita berbaju
serba hitam itu.
Pendekar Pulau Neraka
memutar tubuhnya berbalik. Kim
mereka saling berhadapan dengan
jarak tidak lebih dari dua batang
tombak.
"Hebat..! Akan kau apakan
mereka, Pendekar Pulau Neraka?"
puji si Perawan Pembawa Maut
Bayu hanya tersenyum saja.
"Sayang aku datang terlambat
Tapi, tampaknya kau tidak
memeriukan bantuan," kata si
Perawan Pembawa Maut lagi.
"Mungkin... Jika mereka tidak
keburu datang," sahut Bayu kalem.
Wanita berbaju serba hitam itu
cepat memutar tubuhnya berbalik.
Dan tampaklah sekitar tiga puluh

orang berlarian ke arah ini. Mereka
semua sudah menghunus senjata
masing-masing yang rata-rata
berbentuk golok dan pedang. Tapi
ada juga yang membawa tombak. Di
antara mereka terlihat Gandik dan Ka-
bat yang berlari paling depan.
Sedangkan di belakang sekali, terlihat
Ki Mangir di damping si Cambuk Api
dan Jerangkong Hidup tengah
melangkah ringan dan tenang.
'’Tampaknya kita harus
memeras keringat malam ini," kata
Bayu.
"Mungkin mereka yang harus
memeras darah," sambut si Perawan
Pembawa Maut, agak sinis nada
suaranya.
"Awas...!" seru Bayu tiba-tiba.

Sebatang tombak berukuran
cukup panjang meluncur deras ke
arah wanita berbaju serba hitam itu.
Tapi hanya mengegoskan tubuhnya
sedikit, si Perawan Pembawa Maut
berhasil mengelakkannya. Dan de-
ngan cepat sekali tangannya bergerak
menangkap bagian tengah tombak
itu, begitu lewat di samping tubuhnya.
"Yeaaah...!"
Cepat sekali gerakannya
memutar tombak itu, dan langsung
dilemparkan ke depan Tombak itu
meluncur balik dengan kecepatan luar
biasa. Satu jeritan panjang
melengking tinggi terdengar begitu
tombak bertangkai panjang itu
menembus dada salah seorang yang
berada di depan.
"Hiyaaat..!"

Sret!
Cring!
***
Bayu sempat tertegun melihat
si Perawan Pembawa Maut sudah
melesat lebih dulu menyambut anak
buah Ki Mangir. Entah kapan dia
mencabutnya, tahu-tahu pedang
keperakan yang berkilat itu sudah
berada di dalam genggaman
tangannya. Secepat ldlat pedangnya
dikebutkan beberapa kali, membabat
tubuh orang-orang yang berada di
dekatnya.
Jeritan-jeritan panjang
melengking tinggi seketika terdengar
saling susul. Sementara Bayu juga
sudah sibuk menghadapi beberapa

orang yang mengeroyoknya.
Pertarungan memang tidak dapat
dihindari lagi. Sebentar saja tubuh-
tubuh berlumuran darah sudah terlihat
bergelimpangan. Bayu sempat melirik
wanita berbaju serba hitam yang
mengamuk dahsyat, seperti banteng
liar.
"Gila...! Dia seperti
kesetanan..!" dengus Bayu dalam
hari.
"Bisa habis orang-orang ini
dibantainya."
Meskipun menghadapi
keroyokan sekitar sepuluh orang, tapi
Bayu masih sempat memperhatikan
wanita berbaju serba hitam itu. Dan
sebenarnya Pendekar Pulau Neraka
tidak mengerti atas sikap wanita yang
dijuluki si Perawan Pembawa Maut

itu. Dia seperti kesetanan, menghajar
orang-orang yang berada di dekatnya.
Sama sekali lawan-lawannya tidak
diberi kesempatan mendekat Jeritan-
jeritan menyayat semakin sering
terdengar membelah malam yang
seharusnya sunyi tenang ini.
"Mundur semua...!" tiba-tiba
saja terdengar bentakan keras
menggelegar.
Seketika itu juga orang-orang
yang bertarung mengeroyok si
Perawan Pembawa Maut,
beriompatan mundur begitu
mendengar bentakan keras meng-
gelegar tadi. Pada saat yang sama,
sepuluh orang yang bertarung
melawan Pendekar Pulau Neraka
juga beriompatan mundur, tanpa
seorang pun yang teriuka. Tapi

mereka yang melawan wanita berbaju
serba hitam itu sudah lebih dari
separuhnya tergeletak tak bernyawa
lagi. Yang tersisa hanya delapan
orang lagi.
"Hup...!"
Ki Mangir yang sejak tadi
hanya menonton saja, melompat
cepat ke depan si Perawan Pembawa
Maut Sedangkan mereka yang tadi
bertarung, bergegas menyingkir
menjauh. Sementara Bayu masih
tetap berdiri di tempatnya.
Diperhatikannya si Cambuk Api dan
Jerangkong Hidup yang belum turun
ke arena pertarungan. Sama sekali
Gandik dan Kabat yang berkumpul
bersama yang lainnya tidak
dipedulikan.

"Siapa kau sebenarnya,
Nisanak?" tanya Ki Mangir dengan
suara dingin agak ditekan.
"Apa itu perlu untukmu, Buaya
Tua...?" si Perawan Pembawa Maut
malah balik bertanya dengan sinis.
"Kau tiba-tiba muncul, dan
langsung memusuhiku. Apa
sebenarnya yang kau inginkan
dariku?"
"Aku hanya ingin meminta
wadah dari benda ini," kata si
Perawan Pembawa Maut sambil
menunjukkan sebuah benda hitam
berbentuk pedang pendek dari balik
pinggangnya.
"Sangkal Ireng...," desis Ki
Mangir terbelalak melihat pedang
pendek berwarna hitam sudah di
tangan wanita itu.

"Kau tidak pantas menyimpan
warangkanya, Ki Mangir. Sebaiknya
berikan warangka Sangkal Ireng,
sebelum aku mematahkan batang
lehermu," ancam si Perawan
Pembawa Maut semakin dingin
suaranya.
"Siapa kau sebenarnya,
Nisanak? Kenapa Pedang Sangkal
Ireng berada di tanganmu...?" tanya
Ki Mangir, agak keras suaranya.
Wanita berbaju hitam itu tidak
menjawab. Kemudian tangan kirinya
diangkat setelah menyimpan kembali
Pedang Sangkal Ireng ke balik
pinggangnya. Periahan-lahan kain
hitam yang menyelimuti kepalanya
dilepaskan.
"Kau...?!"

Ki Mangir terbetiak melihat
seraut wajah cantik di balik selubung
kain hitam itu. Dan bukan hanya Ki
Mangir yang terkejut tapi Pendekar
Pulau Neraka dan semua orang yang
ada di situ jadi terbelalak tidak
menyangka kalau wanita berselubung
kain hitam itu ternyata adalah Minarti.
Dialah putri Eyang Palagan yang
selama ini dikenal lemah lembut dan
tidak memiliki sedikit kepandaian ilmu
olah kanuragan. Tapi, justru Minarti
sendirilah yang membuat Ki Mangir
jadi kelabakan selama ini.
"Keparat..! Kau telah
mempermainkan aku, Minarti...," desis
Ki Mangir jadi berang.
"Kau harus menerima
akibatnya!"

"Aku khawatir, malah
sebaliknya kau yang akan menyesal,
Ki Mangir," kata Minarti sinis.
"Setan...! Tahan seranganku!
Hiyaaat..!"
"Haitt"
***
Minarti cepat-cepat melompat
ke belakang begitu Ki Mangir
melepaskan satu pukulan keras
mengandung pengerahan tenaga
dalam tinggi. Menyadari kalau gadis
ini memiliki kepandaian cukup tinggi,
Ki Mangir tidak lagi tanggung-
tanggung melakukan serangan.
Pukulan-pukulan yang dilepaskannya
mengandung pengerahan tenaga
dalam dahsyat luar biasa.

Minarti terpaksa berjumpalitan
menghindari setiap serangan yang
datang cepat dan beruntun itu. Lima
jurus cepat berialu. Dan Minarti
semakin kewalahan saja menghadapi
serangan-serangan yang dilancarkan
laki-laki separuh baya ini. Beberapa
kali dia terpaksa harus membanting
dirinya ke tanah, dan beberapa kali
pula harus melenting ke udara. Tapi,
rupanya Ki Mangir tidak akan
membiarkan gadis ini. Ke manapun
Minarti mencoba menjauh, selalu
cepat dikejar dan dilontarkan
beberapa pukulan bertenaga dalam
tinggi.
"Lepas!" tiba-tiba Ki Mangir
berseru keras menggelegar.
Dan seketika itu juga tangan
kanannya bergerak cepat menampar

pergelangan tangan kanan Minarti
yang agak menjulur ke depan. Begitu
cepatnya, sehingga Minarti tidak
sempat lagi menarik tangannya
pulang. Maka....
Plak!
"Akh...!" Minarti terpekik agak
tertahan.
Pedang yang tergenggam di
tangan kanannya, seketika mencelat
tinggi ke angkasa. Minarti cepat
melompat hendak mengejar
senjatanya, tapi Ki Mangir sudah lebih
cepat lagi melesat ke udara. Dan laki-
laki separuh baya itu cepat
menghentakkan tangan kanannya,
langsung mengarah ke dada gadis ini.
"Yeaaah...!"
Des!

"Akh...!" lagi-lagi Minarti
memekik tertahan.
Gadis itu terpental ke
belakang, dan jatuh keras sekali ke
tanah. Beberapa kali tubuhnya
bergulingan, tapi cepat mencoba
bangkit berdiri. Minarti terhuyung-
huyung sambil mendekap dadanya
yang terkena pukulan Ki Mangir. Dua
kali mulutnya memuntahkan darah
agak kental dari mulutnya.
Sementara itu Ki Mangir sudah
berhasil menangkap pedang Minarti
yang melayang di udara, lalu cepat
sekali meluruk deras ke arah gadis itu
sambil mengarahkan pedang
terhunus lurus ke depan. Begitu cepat
gerakannya sehingga tidak ada lagi
kesempatan bagi Minarti untuk
mengelak. Mata gadis itu hanya bisa

membeliak lebar melihat ujung
pedangnya sendiri mengancam ke
arahnya. Tapi belum juga ujung pe-
dang itu menyentuh kulit tubuh gadis
ini, tiba-tiba saja secercah cahaya
keperakan berkelebat cepat
menyambar ujung pedang itu
Trang!
"Heh...?!"
Ki Mangir tersentak kaget
setengah mati. Hampir saja pedang
itu terlepas dari genggaman. Seketika
dia cepat-cepat melompat mundur
beberapa langkah. Pada saat itu,
sebuah bayangan kuning berkelebat
cepat, dan tahu-tahu di depan Minarti
sudah berdiri Pendekar Pulau Neraka.
Pemuda berbaju kulit harimau itu
mengangkat tangan kanannya ke atas
kepala. Maka, Cakra Maut yang

dilemparkannya untuk melindungi
Minarti tadi, kembali menempel di
pergelangan tangan kanan Pendekar
Pulau Neraka.
"Tidak sepatutnya kau
menganiaya seorang gadis, Ki
Mangir," desis Bayu tidak senang atas
tindakan laki-laki setengah baya ini.
"Setan keparat..! Mampuslah
kau, hiyaaat..!"
Ki Mangir jadi berang setengah
mati. Seketika, dia langsung
melompat cepat menyerang Pendekar
Pulau Neraka. Pedang Minarti yang
berada di tangannya, dikebutkan
cepat sekali ke arah leher pemuda
berbaju kulit harimau itu. Tapi dengan
menarik kepalanya ke belakang
sedikit saja, Bayu berhasil
mengelakkan serangan. Dan

tubuhnya cepat melenting ke udara
begitu serangan Ki Mangir lewat
Dua kali Bayu berputaran di
udara melewati atas kepala Ki Mangir.
Lalu, manis sekali kakinya menjejak
tanah, tepat di belakang laki-laki
separuh baya ini
"Hiyaaa...!"
Cepat sekali Bayu melepaskan
satu pukulan disertai pengerahan
tenaga dalam yang sempuma ke
punggung Ki Mangir. Tapi, rupanya
laki-laki setengah baya ini bukanlah
orang sembarangan. Tanpa memutar
tubuhnya, pukulan Bayu dari arah
belakang berhasil dihindari dengan
memiringkan tubuhnya ke kanan.
Ki Mangir cepat memutar
tubuhnya begitu pukulan Bayu lewat
di sampingnya. Langsung pedangnya

di- ke arah perut Pendekar Pulau
Neraka. Dan Bayu terpaksa harus
menarik kakinya ke belakang dua
tindak Maka ujung pedang itu hanya
sedikit saja lewat di depan perutnya.
Ki Mangir tidak berhenti
sampai di situ saja. Merasa mendapat
kesempatan, terus dilancarkannya
serangan-serangan susulan yang
cepat dan dahsyat luar bia-sa.
Bahkan pergantian jurus pun cepat
sekali dilakukan, tanpa dapat diduga
sebelumnya. Dia benar-benar tidak
memberi kesempatan sedikit pada
Pendekar Pulau Neraka untuk balas
menyerang.
Jurus demi jurus berlalu cepat
Tanpa terasa, pertarungan telah
berlangsung lebih dari dua puluh
jurus. Dan Bayu mulai bisa melakukan

serangan-serangan balasan,
meskipun hanya sesekali saja. Tapi
setiap kali Pendekar Pulau Neraka
melakukan serangan balasan, Ki
Mangir sudah kelabakan
menghindarinya. Semua orang yang
menyaksikan pertarungan jadi terpaku
bengong. Pertarungan memang
beriangsung menggunakan jurus-
jurus tingkat tinggi yang sedap
disaksikan, tapi juga mengandung
maut yang setiap saat mengincar.
"Hiyaaat..!"
Tiba-tiba saja Bayu
melentingkan tubuhnya ke belakang,
dan melakukan putaran beberapa
kali. Dan begitu kakinya menjejak
tanah, cepat tubuhnya dimi-ringkan
agak sedikit membungkuk ke kanan,
sebelum Ki Mangir mengejar. Begitu

laki-laki setengah baya itu melompat
hendak menerjang, Pendekar Pulau
Neraka cepat mengebutkan tangan
kanannya ke depan sambil berseru
keras menggelegar.
"Hiyaaa...!"
Wusss!
"Heh...?!"
Ki Mangir jadi tersentak kaget.
Sungguh tidak disangka kalau akan
mendapat serangan sepertii ini. Dan
kelihatannya, sukar baginya untuk
bisa menghindar dalam keadaan di
udara seperti ini. Ki Mangir cepat-
cepat membanting tubuhnya ke
bawah, tapi gerakannya sudah
terlambat sehingga....
Cras!
"Aaakh...!" Ki Mangir menjerit
keras melengking.

Cakra Maut yang dilepaskan
Pendekar Pulau Neraka menyobek
kulit bahunya. Seketika darah muncrat
keluar dari bahu kiri Ki Mangir yang
robek cukup besar dan dalam ini.
Laki-laki setengah baya itu terhuyung-
huyung ke belakang begitu kakinya
menjejak tanah, sambil mendekap
bahu kirinya yang sobek
mengucurkan darah.
"Hap! Yeaaah...!"
Begitu Cakra Maut kembali
menempel di pergelangan tangan
kanannya, Bayu kembali cepat
melontarkannya ke arah laki-laki
setengah baya itu. Serangan yang
dilancarkan Pendekar Pulau Neraka
demikian cepat sekali, sehingga Ki
Mangir yang masih belum bisa ?
menguasai keseimbangan tubuhnya,

tak mampu lagi berbuat sesuatu.
Dan....
Crab!
"Aaa...!"
Satu jeritan panjang
melengking dan menyayat mengiringi
tubuh Ki Mangir yang terjungkal ke
belakang akibat terhantam Cakra
Maut yang dilepaskan Pendekar
Pulau Neraka. Dari dadanya yang
berlubang cukup besar, seketika
menyembur darah segar. Beberapa
saat Ki Mangir menggelepar dan
mengerang, kemudian meregang
kaku. Mati!
Sementara Pendekar Pulau
Neraka segera mengangkat tangan
kanannya ke atas kepala, maka Cakra
Maut kembali menempel di
pergelangan tangan kanannya.

Tampak Minarti berlari-lari kecil
menghampiri pemuda berbaju kulit
harimau ini. Dia berhenti setelah
jaraknya tinggal sekitar dua langkah
lagi di depan Bayu.
"Bagaimana dengan mereka,
Kakang?" tanya Minarti seraya melirik
orang-orang yang berada di sekitar
tempat ini.
Bayu mengedarkan
pandangan merayapi wajah-wajah
yang memucat bagaikan mayat itu.
Keningnya jadi berkerut, karena tidak
melihat lagi si Cambuk Api dan
Jerangkong Hidup. Rupanya, dua
orang itu sudah melarikan diri begitu
melihat Ki Mangir tidak mampu lagi
menghadapi Pendekar Pulau Neraka.
"Kita tunggu saja ayahmu. Biar
dia yang memutuskan," ujar Bayu.

"Kau tahu kalau ayahku
datang.,.?" tanya Minarti agak
terperanjat
"Kalau janjinya tepat,
seharusnya sudah ada di sini malam
ini," sahut Bayu.
"Sebentar pasti ayah datang,"
jelas Minarti.
"Kau sudah mendapatkan
warangka Sangkal Ireng, Minarti?"
tanya Bayu.
"Aku tidak tahu bentuknya.
Hanya ayah yang tahu," jawab
Minarti.
"Hhlw! Hanya sebuah benda,
harus mengorbankan nyawa," desah
Bayu perlahan.


                                 SELESAI

Share:

0 comments:

Posting Komentar