..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Senin, 03 Februari 2025

PENDEKAR PULAU NERAKA EPISODE PEDANG KAWA HIJAU

Pedang Kawa Hijau

 

PEDANG KAWA HIJAU
Oleh Teguh Suprianto 
Cetakan pertama 
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S. 
Gambar sampul oleh Soeryadi 
Hak cipta pada Penerbit 
Dilarang mengcopy atau memperbanyak 
sebagian atau sekiruh isi buku ini 
tanpa izin tertulis dari penerbit
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Pulau Neraka
dalam episode:
Pedang Kawa Hijau
128 hal. ; 12 x 18 cm

SATU

Matahari baru saja menampakkan 
cahayanya di ufuk Timur. Dan di sepagi 
itu, terlihat seorang laki-laki berusia 
sekitar lima puluh tahun, sibuk 
memukul-mukul palu besi ke atas logam 
yang memerah membara. Keringat 
mengucur deras membasahi sekujur 
tubuhnya yang berkulit kehitaman.
Dentang logam beradu terdengar 
keras memecah kesunyian di pagj ini. 
Laki-laki bertubuh kekar berotot itu terus 
saja bekerja menempa besi yang merah 
membara, sehingga tidak mempedulikan 
sang mentari yang semakin naik tinggi. 
Dan keringat pun semakin menga-nak 
sungai, mengucur di sehiruh tubuhnya.
Saat itu terdengar suara derap 
langkah kaki kuda mendekati. Si Pandai 
Besi itu menghentikan pekerjaannya. 
Kepalanya menoleh ke arah langkah kaki 
kuda yang semakin jelas terdengar. 
Matanya yang bulat, jadi menyipit begitu

melihat lima orang berkuda menuju ke 
arahnya.
"Hm.., mau apa lagi mereka datang 
ke sini...?" gumamnya pada diri sendiri.
Kelima orang berkuda itu langsung 
berlompatan turun dari atas punggung 
kuda masing-masing. Tampak berdiri 
paling depan, seorang laki-laki tua 
berwajah bening dan berambut putih 
tergulung ke atas. Pakaiannya putih 
bersih, tampak meriap dihembuskan 
angin. Sementara keempat orang lainnya 
mengenakan pakaian yang bentuk dan 
warnanya serupa.
Laki-laki pandai besi itu keluar dari 
dalam gubuk bengkelnya. Sinar matanya 
begitu tajam, menatap orang tua berjubah 
putih bersih di depannya. Sebuah palu 
besi yang besar dan berat, tergenggam 
erat di tangan.
"Apa maksudmu datang lagi, Kala 
Putih...?" tanya si Pandai Besi dengan 
suara berat, tak bersahabat.
"Mengambil pesananku," sahut laki-
laki tua berjubah putih yang dipanggil 
Kala Putih.

"Sudah berapa kali kukatakan, aku 
tidak sanggup membuatnya. Aku hanya 
pandai besi biasa, bukan Empu Pembuat 
Senjata Pusaka!" tegas si Pandai Besi.
"Dengar, Ki Bangka Putung. 
Semuanya kusediakan. Dan kau sudah 
terima. Bahkan kusediakan waktu cukup 
lama. Dua purnama.... Waktu yang cukup 
lama untuk membuat sebuah pusaka. 
Sekarang, sudah lebih dari waktu yang 
kuberikan padamu. Serahkan pusaka itu 
padaku, Ki Bangka Putung!" keras sekali 
suara Kala Putih.
"Aku tidak menerima semua 
pemberianmu. Dan kau sendirilah yang 
meninggalkannya. Sedikit pun tidak 
kusentuh. Lihat itu...! Masih utuh, ada di 
sana," Ki Bangka Putung menunjuk 
sebuah benda yang tergeletak di meja.
Kala Putih mendengus keras 
melihat benda bercahaya kehijauan masih 
tergeletak di atas meja, tanpa sedikit pun 
berubah ketika diletakkannya di sana 
lebih dari dua purnama yang lalu. 
Sekantung uang emas sebagai 
pembayarannya juga masih berada di

tempatnya. Tidak berubah sama sekali, 
seperti tidak pernah disentuh barang 
sedikit pun.
"Kurang ajar...! Kau 
mempermainkan aku, Bangka Putung...!" 
geram Kala Putih memerah wajahnya.
"Sebaiknya, kau pergi saja dari sini, 
Kala Putih. Bawa semua barang-barang 
itu. Aku tidak membutuhkannya sama 
sekali!" dengus Ki Bangka Putung dingin.
"Manusia sombong...! Kau akan 
menerima ganjarannya nanti. Baiklah. 
Kau kuberi waktu satu purnama lagi, dan 
benda itu harus sudah selesai pada 
waktunya!" rungut Kala Putih.
Selesai berkata demikian, Kala 
Putih diikuti empat orang yang 
mendampinginya langsung melompat naik 
ke atas punggung kuda masing-masing.
"Sampai kapanpun, tidak akan 
kukerjakan. Aku bukan Empu...!" seru Ki 
Bangka Putung.
Kala Putih tidak mempedulikannya, 
dan segera menggebah kudanya 
meninggalkan pandai besi itu. Sementara 
Ki Bangka Putung menggerutu kesal

sambil memukul-mukul palu besinya 
yang besar ke atas meja. Matanya 
menatap nanar pada benda kotak yang 
memancarkan sinar kehijauan, dan 
sepundi uang emas. Lalu matanya beralih 
pada pintu rumah yang berada di 
samping bengkel kerjanya. Di depan pintu 
sudah berdiri seorang berparas cantik, 
mengenakan baju warna biru agak ketat. 
Di sampingnya seorang anak laki-laki 
berumur sepuluh tahunan.
***
"Mereka datang lagi, Ayah...?" tanya 
gadis itu lembut.
"lya," sahut Ki Bangka Putung. 
"Kala Putih tetap memaksaku 
membuatkan senjata pusaka 
pesanannya."
"Kenapa tidak dibuatkan saja, 
Ayah? Bukankah dulu Ayah juga seorang 
Empu Pembuat Pusaka...?" masih tetap 
lembut suara gadis itu.
'Tidak Sekar. Aku tidak ingin lagi 
berkecimpung dalam dunia yang kasar

dan kotor. Aku ingin kau dan Wirya hidup 
damai, tanpa harus bergelimpang lumpur 
dan darah," tegas Ki Bangka Putung
Gadis cantik berusia delapan betas 
tahun itu mendekati ayahnya. Sementara 
bocah laki-laki yang berada di 
sampingnya ikut melangkah juga. Sekar 
tahu, mengapa ayahnya meninggalkan 
pekerjaannya sebagai pembuat senjata 
pusaka. Dan dia tidak bisa memaksa 
ayahnya untuk menururi permintaan Kala 
Putih. Ayahnya berwatak keras, dan teguh 
pada pendiriannya.
"Biar aku yang membuatnya, Ayah," 
pinta Sekar, seraya menatap benda kotak 
bercahaya kehijauan di atas meja.
'Tidak...! Itu pekerjaan laki-laki," 
sentak Ki Bangka Putung. "Kau belum 
tahu betul, bagaimana membuat sebuah 
senjata pusaka. Benda itu sangat 
berbahaya, dan tidak sembarang orang 
bisa mengolahnya. Aku merasakan 
adanya hawa jahat yang tersebar dari 
benda itu," sambung Ki Bangka Putung 
tegas.
'Tapi.... Kala Putih, Ayah...."

"Itu urusanku, Sekar!" potong Ki 
Bangka Putung cepat
"Dia sangat kejam, Ayah. Aku 
khawatir dia akan membuat kesulitan...," 
agak terbata suara Sekar.
Ki Bangka Putung hanya 
tersenyum. Tangannya terentang, 
memeluk pundak anak gadisnya ini. Ada 
terselip rasa haru mendengar kata-kata 
bernada penuh kecemasan dari anak 
gadisnya. Wirya yang baru berumur 
sepuluh tahun, seolah-olah bisa 
merasakan sesuatu yang tengah terjadi 
pada ayah dan kakaknya ini. Maka, 
dipeluknya kaki Ki Bangka Putung erat-
erat.
"Kau sudah masak, Sekar...?" tanya 
Ki Bangka Putung setelah melepaskan 
rangkulannya.
Sekar menggeleng.
"Masaklah. Aku ingin dibuatkan 
ikan bakar."
"Kalau begitu, aku harus 
menangkap ikan dulu, Ayah. Mungkin 
siang nanti baru masak."

'Tidak mengapa, walau agak siang 
sedikit," sahut Ki Bangka Putung.
"Ayo, Wirya. Kita tangkap ikan 
dulu," ajak Sekar pada adiknya.
"Ayo, Kak. Kita tangkap yang 
banyak, ya...?" sambut Wirya gembira.
Memang sudah lama juga Wirya 
tidak lagi bermain-main di danau. Kini
mereka segera berlarian ke samping 
gubuk bengkel ini. Kemudian, kakak 
beradik itu sudah terlihat berlari-lari 
menuju danau yang berada tidak jauh di 
depan rumah mereka.
Ki Bangka Putung tersenyum 
melihat keceriaan kedua anaknya. Tapi 
mendadak saja senyuman di bibimya 
menghilang saat matanya menangkap 
benda kotak bercahaya kehijauan di atas 
meja. Sejak benda ini ada di atas meja 
kerjanya, Ki Bangka Putung sudah 
merasakan bakal terjadi sesuatu yang 
buruk pada keluarganya.
Ki Bangka Putung lalu menghampiri 
benda kotak bercahaya kehijauan itu, 
kemudian sesaat diamatinya. Dia memang 
ahli dalam benda-benda berkekuatan

dahsyat. Dan sebentar saja, sudah 
terasakan adanya kekuatan yang 
terpancar dari benda kehijauan itu. Ki 
Bangka Putung cepat-cepat menarik 
kepalanya ke belakang, lalu melangkah 
mundur tiga tindak menjauhi meja 
kerjanya.
"Luar biasa..,. Pasti amat berbahaya 
jika dijadikan pedang," gumam Ki Bangka 
Putung.
Dengan sebuah penjepit baja, benda 
kehijauan itu diangkatnya. Matanya 
melebar begitu menatap lurus ke tengah-
tengah bagian dalam benda kehijauan. 
Perlahan-lahan diletakkannya kembali 
benda itu ke atas meja. Ki Bangka Putung 
menarik napas panjang begitu penjepit 
bajanya dilepaskan.
"Dunia persilatan bisa gempar jika 
benda ini kujadikan senjata. Hhh...! 
Terlalu berbahaya," desah Ki Bangka 
Putung agak menggumam.
Ki Bangka Putung lalu 
meninggalkan benda itu, dan kembali 
sibuk menekuni pekerjaannya. Namun 
matanya sebentar-sebentar melirik ke

arah benda kehijauan itu. Dan setiap kali 
matanya melirik, terasa ada sesuatu yang 
ganjil menyelinap dalam hatinya. Ki 
Bangka Putung jadi tidak bisa 
memusatkan perhatian pada 
pekerjaannya. Seketika dilemparkannya 
palu besi berukuran besar itu sambil 
mendengus kesal.
"Huuuh...!"
***
Sepanjang malam, Ki Bangka 
Putung tidak bisa memejamkan matanya. 
Pikirannya terus tertuju pada benda kotak 
berwarna kehijauan. Sebuah benda 
memancarkan kekuatan dahsyat dan 
mengandung hawa jahat Ki Bangka 
Putung bangkit dari pembaringannya, lalu 
berjalan mondar-mandir di dalam biliknya 
yang sempit. Sebentar-sebentar matanya 
memandang ke arah gubuk bengkel 
kerjanya yang terletak di bagian samping 
rumah ini.
"Kenapa Ayah tidak mau membuat 
senjata itu? Bukankah Ayah mampu

membuatnya...? Lagi pula, belum tentu 
Kala Putih mampu menggunakannya," 
teringat kembali kata-kata Sekar yang 
diucapkan setelah mereka selesai makan 
malam tadi.
"Satu purnama...! lngat, satu 
purnama lagi senjata itu harus selesai," 
kata-kata Kala Putih juga kembali 
terngiang di telinganya.
"Satu purnama...," gumam Ki 
Bangka Putung perlahan.
Laki-laki setengah baya bertubuh 
tegap berotot itu jadi bimbang. Dunianya 
yang dulu sebagai pembuat pusaka 
benar-benar ingin ditinggalkannya. Tapi 
permintaan Kala Putih tidak bisa dibuat 
main-main. Dia tahu, siapa Kala Putih itu. 
Seorang tokoh tua yang sangat sakti dan 
digdaya. Tokoh kosen yang sulit dicari 
tandingannya. Dengan golok bermata dua 
saja, Kala Putih sudah begitu tangguh 
tanpa tandingan. Apalagi jika berhasil 
memiliki sebuah senjata pusaka yang 
amat dahsyat..? Sulit dibayangkan, 
bagaimana jadinya dunia persilatan ini 
kelak.

"Demi keselamatan kita semua, 
Ayah. Apa salahnya, untuk kali ini saja 
Ayah membuat senjata pesanan itu," 
kata-kata Sekar kembali terngiang di 
telinga Ki Bangka Putung.
"Ya...! Demi keselamatan semua," 
desah Ki Bangka Putung perlahan.
Ki Bangka Putung mengayunkan 
kakinya, melangkah keluar dari bilik 
kamar tidurnya. Ayunan langkahnya 
terhenti ketika berada di depan kamar 
yang ditempati Sekar. Sesaat, ditatapnya 
pintu yang tertutup rapat itu. Kemudian 
ditariknya napas panjang, lalu kembali 
mengayunkan langkahnya.
Di depan kamar Wirya, langkahnya 
kembali terhenti. Tampak bocah laki-laki 
itu tertidur lelap di pembaringan. Ki 
Bangka Putung lalu melangkah lagi keluar 
rumah, terus menuju gubuk bengkel 
kerjanya. Sebentar dihelanya napas 
panjang-panjang sebelum masuk ke 
dalam gubuk bengkel itu.
Di dalam kegelapan malam seperti 
ini, benda berwarna kehijauan itu 
semakin jelas saja memancarkan cahaya.

Ki Bangka Putung mendekati benda kotak 
yang besarnya tidak lebih dari sepotong 
baru bata merah.
Sebentar peralatannya disiapkan 
untuk membuat senjata. Lalu perlahan-
lahan diambilnya benda kehijauan itu 
dengan penjepit baja, kemudian 
diletakkan di atas lempengan baja putih. 
Setelah menutup bagian atas dengan 
lempengan baja putih lainnya, Ki Bangka 
Putung kembali menjepit benda itu 
dengan penjepit baja. Dan memasukkan 
benda bercahaya kehijauan itu ke dalam 
tungku yang sudah memerah membara.
"Ugh...!" Ki Bangka Putung 
mengeluh pendek ketika tiba-tiba 
tangannya terasakan jadi kesemutan.
Laki-laki setengah baya itu menarik 
keluar benda itu dari dalam tungku, dan 
sebentar diamatinya. Lalu diletakkannya 
benda itu di atas meja besi. Sedikit 
tubuhnya beringsut mundur dua langkah. 
Sementara tangannya seperti melepuh 
terbakar.
"Hhh...! Baru kali ini aku 
menemukan bahan benda pusaka yang


begini dahsyat," gumam Ki Bangka 
Putung agak mendesah.
"Ayah...."
Tiba-tiba saja terdengar suara 
lembut dari arah pintu.
"Sekar... mau apa kau ke sini...?" Ki 
Bangka Putung terkejut melihat anak 
gadisnya tahu-tahu sudah berdiri di 
ambang pintu bengkel ini.
"Ayah kenapa juga di sini malam-
malam?" Sekar malah balik bertanya 
seraya menghampiri.
Ki Bangka Putung tidak menjawab.
Matanya kembali beralih menatap benda 
kehijauan yang sudah berlapis besi baja 
putih di atas meja penempa. Sekar juga 
memandang ke arah yang sama.
"Ayah akan membuat pedang...?" 
tanya Sekar tidak mengalihkan 
pandangannya.
"Demi kau dan Wirya," pelan suara 
Ki Bangka Putung menjawab.
"Tapi... tangan Ayah kenapa...?" 
Sekar memperhatikan tangan ayahnya 
yang merah bagai terbakar.

'Tidak apa-apa," sahut Ki Bangka 
Putung.
Bibir Ki Bangka Putung menyungging 
senyum, tapi dalam hatinya bertanya-
tanya juga tentang benda dahsyat itu. Dia 
tidak mengerti, kenapa begitu hebat dan 
cepat pengaruhnya benda itu. Tangan 
kanannya seperti melepuh, dan panas 
sekali rasanya.
"Biarkan Ayah sendiri di sini, Sekar. 
Ayah harus sudah membuat senjata ini 
sebelum bulan purnama datang," pinta Ki 
Bangka Putung.
"Ayah tidak apa-apa?" Sekar masih 
mengkhawa tirkan keadaan 
tangan.ayahnya.
"Tidak. Pergilah tidur. Masih terlalu 
malam,"sahut Ki Bangka Putung lagi.
Sekar mengecup pipi ayahnya, 
kemudian berbalik dan melangkah ke luar 
gubuk bengkel ini. Ki Bangka Putung 
tidak segera melanjutkan kerjanya, tapi 
malah duduk bersila dan bersemadi. Dia 
tidak ingin pekerjaannya gagal. Terlebih 
lagi, bisa mendatangkan celaka. Benda itu 
sangat dahsyat pengaruhnya, dan tidak

mungkin diolah dengan cara biasa. Ki 
Bangka Putung kini memusatkan seluruh 
inderanya, dan berserah diri pada sang 
Pencipta.
Malam terus merayap semakin 
larut. Keadaan di sekitar pondok itu 
tampak sepi. Sementara di dalam rumah, 
Sekar tidak bisa lagi memejamkan 
matanya. Pikirannya terus-menerus 
tercurah pada ayahnya. Dia tahu, 
ayahnya mendapatkan kesulitan dengan 
benda bercahaya kehijauan itu. Buktinya 
tangan ayahnya memerah bagai terbakar. 
Maka, gadis itu semakin 
mencemaskannya.
"Dewata Yang Agung... beri 
keselamatan dan perlindungan pada 
ayahku," gumam Sekar lirih.
Gads itu mencoba memejamkan matanya 
di pembaringan, tapi tidak juga mau 
terpejam. Pikirannya terus tertuju pada 
ayahnya di bengkel kerja. Sekar bangkit 
turun dari pembaringan lalu melangkah 
ke jendela. Dibukanya pintu jendela lebar-
lebar. Dari jendela kamarnya ini, bisa 
terlihat langsung bengkel kerja ayahnya.

Namun, tak terdengar suara apapun dari
sana.
"Oh...?! Apa yang terjadi di dalam 
sana...? Apakah aku harus melihatnya? 
Tidak...! Ayah pasti marah kalau aku ke 
sana," Sekar jadi bicara pada diri sendiri.
Hati gadis itu semakin resah dan 
bimbang, dan terus menatap ke arah 
gubuk bengkel kerja ayahnya. Hingga 
larut malam, tidak juga terdengar suara 
apapun juga. Dan hatinya semakin 
diliputi kecemasan, namun tidak berani 
keluar dari kamarnya. Dia tahu persis 
akan watak ayahnya yang keras. Dan 
Sekar tidak berani membantah semua 
yang dikatakan ayahnya, meskipun harus 
menderita kecemasan yang amat sangat di 
hatinya.
***
Tiga hari tiga malam Ki Bangka 
Putung tidak beranjak dari balai-balai 
bambu, tempatnya bersemadi. Dan 
selama itu, Sekar selalu menjaganya. 
Sering kali adiknya menemani dalam

menunggui ayahnya dari depan gubuk 
bengkel ini.
Dulu, Sekar tidak pernah mengerti 
pekerjaan ayahnya, karena masih ada 
ibunya. Tapi setelah ibunya meninggal, 
dia harus memahami pekerjaan ayahnya. 
Bahkan, ayahnya pernah tidak keluar 
kamar selama satu bulan lebih. Dan 
biasanya, Sekar tidak pernah merasa 
cemas sedikit pun. Tapi entah kenapa, ka-
li ini hatinya begitu cemas. Dia sendiri 
tidak tahu, apa sebenarnya yang 
dikhawatirkan. Padahal, hal seperti ini 
sudah sering terjadi, ketika Ki Bangka 
Putung masih menjadi seorang Empu 
Pembuat Senjata Pusaka.
Tepat pada hari ke tujuh, di saat 
alam terselimut kegelapan malam, tiba-
tiba saja terlihat secercah cahaya bagai 
pelangi meluncur deras, meluruk turun 
ke arah gubuk kecil bengkel kerja Ki 
Bangka Putung. Sinar terang berwarna-
warni dan menyilaukan itu menghantam 
atap gubuk bengkel ini. Tapi, tak 
terdengar suara sedikit pun yang 
ditimbulkannya. Hanya terasa hembusan

hawa dingin yang begitu menyejukkan, 
membuat Ki Bangka Putung membuka 
matanya. 
"Oh...?!" 
Ki Bangka Putung agak terperanjat 
Entah dari mana datangnya, tahu-tahu di 
depan Ki Bangka Putung sudah berdiri 
seorang laki-laki berjubah putih panjang. 
Ikat kepalanya putih. Janggut serta 
rambutnya, juga sudah memutih semua. 
Sinar wajahnya begitu bening dan 
bercahaya. Bahkan begitu lembut, 
memandang lurus pada Ki Bangka Putung 
yang masih duduk bersila di atas balai-
balai bambu ini.
Ki Bangka Putung bergegas turun 
dari balai-balai bambu ini, begitu melihat 
laki-laki tua berjubah putih di depannya 
melayang tidak menginjak tanah. Asap 
tipis mengepul hampir menyelimuti 
kakinya yang tak terlihat tertutup 
jubahnya yang panjang. Ki Bangka 
Putung bersujud, menyentuhkan 
keningnya ke tanah di depan orang tua 
berjubah putih ini.

"Bangunlah, Bangka Putung," ujar 
orang tua berjubah putih itu. Suaranya 
terdengar lembut, dan berwibawa.
Ki Bangka Putung bangkit periahan, 
lalu duduk bersila di tanah dengan kepala 
terus tertunduk. Seakan-akan dia tidak 
sanggup memandang laki-laki tua di 
depannya.
"Aku tahu, apa yang tengah 
melanda dirimu, Ki Bangka Putung. 
Tetapkanlah hatimu. Buatlah sebuah 
pedang dari benda itu. Gunakanlah kayu 
dari pangkal pohon asam yang sudah 
berumur seratus tahun untuk tangkainya 
dan warangkanya," jelas orang tua berju-
bah putih itu.
Ki Bangka Putung hanya diam saja 
mendengarkan penuh perhatian.
"Hanya satu pesanku, Bangka 
Putung. Kau harus mempertahankan 
pedang itu, apapun yang terjadi pada diri 
dan keluargamu. Jangan sampai pedang 
itu jatuh ke tangan orang yang berwatak 
jahat. Camkan itu baik-baik, Bangka 
Putung...!"

Baru saja Ki Bangka Putung hendak 
membuka mulutnya, tiba-tiba saja cahaya 
terang yang menyelimuti sekitar pondok 
itu lenyap. Dan laki-laki serba putih itu 
juga lenyap tanpa bekas sama sekali. Ki 
Bangka Putung masih duduk bersila 
beberapa saat, kemudian perlahan 
bangkit berdiri dan melangkah keluar. 
Seketika dia terkejut melihat Sekar 
tertidur di kursi dekat pintu gubuk 
bengkel ini.
"Sekar..., Sekar...," Ki Bangka 
Putung membangunkan anak gadisnya.
"Ohhh...," Sekar menggeliat. 
Kelopak matanya mengerjap 
sebentar, lalu terbuka lebar. 
"Ayah...."
"Kenapa tidur di sini?" tegur Ki 
Bangka Putung.
"Maaf, aku ketiduran," ucap Sekar 
seraya menggosok-gosokkan matanya.
"Pindah ke dalam sana, Sekar."
Sekar bangkit dari kursi kayu itu. 
Sebentar kepalanya melongok ke dalam 
pondok. Ternyata, tidak ada yang berubah 
sama sekali. Sepasang bola matanya yang

bulat bening, merayapi wajah dan seluruh 
tubuh ayahnya. Dia heran melihat 
ayahnya nampak segar, meskipun selama 
tujuh hari tujuh malam tidak makan dan 
minum. Dan Sekar masih juga belum 
mengerti, meskipun hal ini sering terjadi 
pada diri Ki Bangka Putung.
"Akan kusiapkan makan dulu, 
Ayah," kata Sekar. 
'Tidak usah. Ayah tidak lapar," elak 
Ki Bangka Putung.
'Tapi, Yah...."
"Sudahlah.... Sebaiknya, kau tidur 
saja sana. Ayah akan kerja lagi. Kasihan 
adikmu kalau kau bangun kesiangan 
nanti. Besok pagi-pagi sekali, Ayah minta 
kau sediakan seperti biasanya," pinta Ki 
Bangka Putung lembut.
Sekar tersenyum manis, lalu 
melangkah meninggalkan pondok itu. Ki 
Bangka Putung memandangi disertai 
senyum di bibir. Tidak sedikit pun Sekar 
berbeda dengan sifat-sifat ibunya. Ki 
Bangka Putung seperti melihat diri 
istrinya pada Sekar. Sebentar dia

menghela napas panjang begitu tubuh 
gadis itu lenyap di batik pintu rumah.
Ki Bangka Putung berbalik, dan 
kembali masuk ke dalam gubuk 
bengkelnya. Dipandanginya benda 
bercahaya kehijauan yang masih 
tergeletak di atas meja besi. Seketika, 
kembali dia teringat kata-kata orang tua 
yang muncul membangunkan semadinya.
"Apa maksudnya orang berwatak 
jahat tidak boleh memiliki benda ini...?" Ki 
Bangka Putung jadi bertanya pada diri 
sendiri "Apa yang dimaksudkan adalah 
Kala Putih...?"
Mendadak saja Ki Bangka Putung 
menepuk keningnya sendiri. Kini baru
teringat sekarang. Ternyata, dia tidak 
pernah bertanya, dari mana Kala Putih 
mendapatkan benda kehijauan ini. Dia 
tahu betul, siapa Kala Putih. Apakah Kala 
Putih mendapatkannya dengan cara 
merampas? Atau....
Ki Bangka Putung menggeleng-gelengkan 
kepala. Kembali diambilnya benda itu 
dengan penjepit baja. Ki Bangka Putung 
ingat, dia ternyata masih mempunyai

persediaan kayu asam yang sudah 
berumur lebih dari seratus tahun. 
Kemudian benda itu digosok-gosokkan 
dengan sepotong kayu asam yang telah 
diambil dari kolong meja kerjanya. 
Sebentar kemudian bibirnya bergerak 
komat-kamit, lalu mulai memasukkan 
benda bercahaya kehijauan itu ke dalam 
tungku pembakaran. Api langsung 
memercik, berkobar besar begitu benda 
kehijauan itu menyentuh bara.
Tak lama kemudian, terdengar 
denting palu menghantam benda dari 
logam. Ki Bangka Putung mulai 
menyatukan benda kehijauan itu dengan 
baja putih pilihan. Sepanjang malam dia 
terus bekerja keras membuat senjata 
pusaka. Kini pekerjaan semula yang su-
dah bertahun-tahun ditinggalkan 
dimulainya lagi. Rupanya, berkat kayu 
asam yang telah digosok-gosokkan pada 
benda kehijauan itu, tangannya tidak 
melepuh lagi. Kini Ki Bangka Putung 
dapat bekerja dengan leIuasa.
***

DUA

Ki Bangka Putung memandangi 
hasil kerjanya berupa sebuah pedang 
tipis, berukuran sepanjang lengan. 
Gagangnya terbuat dari kayu asam 
berumur seratus tahun. Hatinya benar-
benar kagum melihat perbawa pedang 
yang dihasilkannya dengan kerja keras 
selama satu bulan penuh. Maka satu

purnama pun berlalu sudah, tapi Kala 
Purih belum juga datang mengambil 
pesanannya.
Pedang yang panjangnya hanya 
selengan orang dewasa itu memancarkan 
sinar kehijauan. Mata pedangnya kecil 
dan tipis, seperti tidak memiliki kekuatan 
sama sekali. Tapi Ki Bangka Putung dapat 
merasakan ada sesuatu kekuatan gaib 
yang semakin lama semakin kuat 
membelenggu dirinya. Satu kekuatan gaib 
yang amat dahsyat dan berbahaya. Ki 
Bangka Putung benar-benar dapat 
merasakannya.
Merasakan kekuatan gaib itu 
semakin kuat membelenggu dirinya, Ki 
Bangka Putung segera memasukkan 
pedang itu ke dalam warangka yang juga 
terbuat dari kayu pohon asam berumur 
seratus tahun. Sementara cincin 
warangka dibuat dari emas murni.
"Hebat sekali pedang itu, Ayah...."
Ki Bangka Putung berpaling begitu 
mendengar suara lembut dari belakang. 
Tubuhnya berbalik dan tersenyum 
melihat Sekar dan Wirya sudah berada di

ambang pintu gubuk bengkel ini. Gadis 
itu melangkah menghampiri dengan bibir 
selalu basah memerah menyunggingkan 
senyuman manis.
"Kau melihatnya...?" tanya Ki 
Bangka Putung.
"Ya," sahut Sekar. "Sayang sekali 
kalau senjata sehebat itu harus 
diserahkan pada Kala Putih.
"Itulah yang mengganggu pikiranku, 
Sekar," desah Ki Bangka Putung.
"Maksud, Ayah...?" tanya Sekar.
"Di dalam semadi, aku 
diperintahkan untuk tidak menyerahkan 
pedang ini pada siapa pun juga. Terlebih 
lagi, pada orang yang memiliki watak 
jahat seperti si Kala Putih," jelas Ki 
Bangka Putung.
"Aku setuju, Yah...!" seru Sekar 
cepat
'Tidak mungkin, Sekar. Kala Putih 
pasti tidak akan menyerahkan begitu saja. 
Dia pasti berusaha menguasai pedang ini 
dengan cara apapun juga."
"Lawan saja, Yah," selak Wirya 
polos.

"Tidak mudah, Wirya. Kala Putih 
bukan tandingan Ayah. Dia sangat sakti, 
dan berkepandaian tinggi. Sedang 
Ayahmu ini... Hanya seorang pandai besi 
yang tidak begitu pandai ilmu olah 
kanuragan."
'Terus, bagaimana kalau Kala Putih 
datang?" tanya Sekar mengerti kesulitan 
yang dihadapi ayahnya.
"Kita lari saja, Ayah!" timpal Wirya 
lagi sementara Sekar manggut-manggut 
seperti menyetujui.
"Lari ke mana? Di sinilah tumpah 
darahku. Dan lagi, perbuatan itu tidak 
menunjukkan sifat ksatria. Melarikan 
barang orang lain, sama saja mencuri Apa 
pun alasannya!" tegas Ki Bangka Putung.
Belum juga kedua anak Ki Bangka 
Putung menga-jukan saran lagi, terdengar 
derap langkah kaki kuda dari kejauhan. 
Ki Bangka Putung langsung berpaling, 
menoleh diikuti Sekar dan Wirya yang 
langsung berlindung di balik kaki 
kakaknya. Hanya kepalanya saja yang 
menyembul mengintip. Tampak di 
kejauhan, debu jalanan mengepul.

Kemudian, terlihat lima ekor kuda 
berpacu kencang menuju pondok ini.
"Kala Putih...," desis Ki Bangka 
Putung langsung mengenali.
Mendadak saja kegelisahan 
merambat dalam hati laki-laki setengah 
baya ini. Ditariknya tangan Sekar, dan 
diajaknya keluar dari pondok. Dan kini 
tiga orang itu berlarian masuk ke dalam 
hutan yang ada di bagian belakang 
pondok. Tapi, rupanya Kala Putih sudah 
melihat lebih dahulu. Maka, tiba-tiba saja 
tangan kanannya dihentakkan. Dan 
seketika itu Juga, secercah sinar merah 
meluncur deras ke arah Ki Bangka 
Putung dan kedua anaknya.
Slap!
Glarrr...!
Ki Bangka Putung tersentak kaget 
begitu tiba-tiba batu yang ada di 
depannya meledak, dan hancur 
berkeping-keping tersambar sinar merah 
yang dilepaskan Kala Putih. Ki Bangka 
Putung menarik tangan Sekar yang tidak 
lepas memegangi tangan kiri adiknya. 
Saat itu, Kala Putih sudah melompat

turun dari punggung kudanya, diikuti 
empat orang lainnya. Dalam sekejap saja, 
mereka sudah berdiri sekitar dua batang 
tombak lagi di depan Ki Bangka Putung 
dan kedua anaknya
"Mau lari ke mana kau, Ki Bangka 
Putung...?" desis Kala Putih, dingin dan 
menggeletar.
"Phuih!" Ki Bangka Putung 
menyemburkan ludahnya dengan sengit
"Serahkan pedang itu padaku, Ki 
Bangka Putung!" dengus Kala Putih 
seraya menjulurkan tangan kanannya.
"Tidak...!" sentak Ki Bangka Putung 
tegas.
"Kau sudah kubayar mahal, Ki 
Bangka Putung. Serahkan pedang itu, 
cepat..!"
"Nih! Kukembalikan uangmu!"
Ki Bangka Putung melemparkan 
sekantung uang emas ke depan kaki Kala 
Putih. Seketika laki-laki tua berbaju serba 
putih itu jadi berang setengah mati. 
Wajahnya merah padam, dan kedua bola 
matanya berputar merah menyala. 
Rahang Kala Putih bergemeletuk

menahan amarah. Ki Bangka Putung yang 
menyadari tidak akan unggul menghadapi 
Kala Putih, segera menyerahkan pedang 
itu pada Sekar.
"Selamatkan pedang ini, Sekar. 
Pertahankan, jangan sampai jatuh ke 
tangan orang jahat," pesan Ki Bangka 
Putung.
'Tapi, Ayah...," Sekar ragu-ragu 
menerima sen jata itu.
"Cepat lari...!" sentak Ki Bangka 
Putung.
Sekar menerima pedang dari tangan 
ayahnya. Sebentar ayahnya dipandangi, 
kemudian ditariknya tangan Wirya untuk 
diajak lari dari tempat ini Sementara itu 
Kala Putih sudah membuka jurus, hendak 
menyerang si Pandai Besi. Sementara 
orang yang berada di belakangnya, sudah 
meloloskan senjata masing-masing.
"Cepat pergi, jangan hiraukan 
aku...!" seru Ki Bangka Putung melihat 
Sekar kembali berhenti berlari.
Melihat Sekar berlari semakin jauh 
membawa pedang pesanannya, Kala Putih 
jadi semakin gusar. Terlebih lagi, gadis itu

menuju hutan yang cukup lebat Dan ini 
bisa menyulitkannya untuk mengejar 
nanti.
"Kalian hadapi manusia keparat 
ini," perintah Kala Putih.
"Baik, Ki," sahut keempat orang itu 
hampir bersamaan.
"Hiyaaat...!"
Bagaikan kilat, Kala Putih 
melompat cepat mengejar Sekar dan 
Wirya yang sudah hampir mencapai hu-
tan. Tubuhnya melewati di atas kepala Ki 
Bangka Putung. Menyadari tujuan Kala 
Putih bukan pada dirinya, Ki Bangka 
Putung jadi nekat.
"Hiyaaat..!"
Cepat sekali Ki Bangka Putung 
melompat ke udara, mencoba 
menghalangi Kala Putih sambil melepas-
kan dua pukulan sekaligus secara 
beruntun. Tapi tanpa diduga sama sekali, 
Kala Putih berhasil mengelakkan dengan 
meliukkan tubuhnya. Dan kembali 
melenting cepat, mempergunakan ilmu 
meringankan tubuh begitu kakinya 
menjejak tanah.

"Hiyaaat...!"
Ki Bangka Putung hendak 
mengejar. Tapi belum juga sempat 
menggenjot tubuhnya, empat orang yang 
mendampingi Kala Putih sudah 
berlompatan mengepung. Mereka 
langsung menyerang laki-laki setengah 
baya itu dengan jurus-jurus cepat. Ki 
Bangka Putung terpaksa berjumpalitan, 
menghindari serangan-serangan yang 
begitu cepat dan datang dari empat 
penjuru.
***
Ki Bangka Putung memang bukan 
seorang tokoh silat yang digdaya. Dia dulu 
hanya seorang Empu Pembuat Senjata 
Pusaka. Dan hanya sedikit memiliki ilmu 
olah kanuragan. Sehingga dalam 
beberapa jurus saja, laki-laki itu sudah 
tidak mampu lagi menerima gempuran 
empat orang yang memang hidup 
bergelimang dari cara kekerasan seperti 
ini.

Satu pukulan keras yang 
mengandung pengerahan tenaga dalam 
tinggi, menggedor dada. Akibatnya, Ki 
Bangka Putung terjungkal keras mencium 
tanah. Dan belum lagi sempat bangkit 
berdiri, satu tendangan keras kembali 
bersarang di tubuhnya. Ki Bangka Putung 
meraung keras. Lagi, satu tendangan 
membuat laki-laki setengah baya itu 
terguling sejauh dua batang tombak.
Ki Bangka Putung mencoba bangkit 
berdirl Tapi belum juga berdiri sempuma, 
seuntai rantai besi menghentak dan 
melilit tubuhnya. Kemudian, disusul 
sabetan sebilah golok besar yang 
menghantam punggungnya. Ki Bangka 
Putung memekik keras begitu 
punggungnya sobek terbabat golok. 
Belum lagi bisa berbuat sesuatu, kembali 
tendangan menggeledek mendarat di 
dadanya.
"Aaakh...!"
"Ayah...!" jerit Sekar begitu 
mendengar teriakan ayahnya.
Sekar menghentikan larinya. 
Hatinya begitu cemas melihat ayahnya

tampak tak berdaya menghadapi empat 
orang bersenjata itu.
"Lari, Sekar! Cepaaat...!" teriak Ki 
Bangka Putung sekeras-kerasnya.
Pada saat itu, sebuah golok 
berukuran besar kembali melayang 
membabat ke arah dada Ki Bangka Pu-
tung yang sudah tidak memiliki daya 
sama sekali. Dan tentu saja tebasan golok 
itu tak dapat dihindari lagi.
Bet!
Crab!
"Aaa...!" Ki Bangka Putung menjerit 
keras melengking tinggi.
Darah langsung mengucur deras 
dari dada yang terbelah cukup besar itu. 
Dan selagi tubuh Ki Bangka Putung 
terhuyung-huyung, satu sabetan pedang 
kembali membabat lehernya. Kali ini tak 
ada suara sedikit pun yang terdengar. Ki 
Bangka Putung berdiri kaku dengan mata 
terbeliak lebar. Sesaat kemudian tubuh-
nya menggelepar jatuh. Dan kepala laki-
laki setengah baya itu langsung 
menggelinding terpisah dari leher.
"Ayah...!" jerit Sekar jadi kalap.

Tapi belum juga gadis itu berbuat 
sesuatu, tiba-tiba saja sebuah bayangan 
putih berkelebat cepat menyambar 
tubuhnya. Sekar terpekik keras agak 
tertahan, dan kontan terpental jauh ke 
belakang. Seketika punggungnya 
menghantam pohon keras sekali. Maka, 
pegangannya pada tangan Wirya pun jadi 
teriepas.
"Kak...!" jerit Wirya.
Sekar cepat cepat 
menggelimpangkan tubuhnya, begitu 
melihat bayangan putih kembali meluruk 
deras ke arahnya. Gadis itu cepat 
melompat bangkit berdiri. Pada saat yang 
bersamaan, empat orang yang tadi 
bertarung melawan Ki Bangka Putung 
sudah sampai di tempat ini. Salah 
seorang yang membawa golok besar 
segera mencengkeram tengkuk Wirya, dan 
mengangkatnya tinggi-tinggi.
"Kak...!" jerit Wirya diiringi 
tangisnya yang menggiris.
Sekar tidak sempat lagi 
memperhatikan rengekan adiknya, karena 
sudah sibuk menghadapi serangan

serangan gencar yang dilancarkan Kala 
Putih. Untung saja dia memiliki sedikit 
ilmu olah kanuragan. Sehingga dalam 
beberapa jurus, orang tua berbaju putih 
itu masih mampu diimbangi.
"Setan alas...!" geram Kala Putih 
berang.
Beberapa kali Kala Putih 
melontarkan pukulan cepat, dan 
mengandung pengerahan tenaga dalam 
tinggi. Tapi, Sekar masih mampu 
menghindarinya. Meskipun harus 
pontang-panting dan jatuh bangun 
menghadapi serangan-serangan itu.
Entah kenapa, gerakan-gerakan 
yang dilakukan Sekar jadi begitu cepat 
dan lincah sekali. Hal ini membuat Kala 
Purih semakin berang setengah mati. Tak 
satu pun dari serangan-serangannya yang 
mengenai sasaran. Sementara, Sekar 
sendiri tidak mengerti, kenapa bisa 
menandingi Kala Putih sampai lima jurus.
"Hiyaaat..!"
Tiba-tiba saja Sekar melentingkan 
tubuhnya ke udara. Dan tubuhnya 
langsung melesat pergi cepat sekali,

seperti tidak ingat lagi pada Wirya yang 
berada di dalam cengkeraman salah 
seorang anak buah Kala Putih. Begitu 
cepat lesatannya, sehingga dalam sekejap 
saja gadis itu sudah lenyap tertelan 
lebatnya hutan.
"Setan! Kejar gadis itu...!" perintah 
Kala Putih geram.
***
Kala Putih jadi celingukan di dalam 
hutan. Gadis yang dikejarnya benar-benar 
lenyap di dalam hutan yang cukup lebat 
ini. Tiga orang yang mengejarnya lebih 
dulu, juga jadi kebingungan. Sekar bagai 
lenyap tertelan bumi di dalam kelebatan 
hutan ini. Kala Putih menggereng berang, 
menghentak-hentakkan kakinya dengan 
kesal. Matanya kini menatap tajam pada 
Wirya yang berada di dalam cengkeraman 
salah seorang yang menyandang golok 
besar di punggung.
"Setan belang...!" rungut Kala Putih 
kesal. "Cari gadis itu sampai dapat!"

Kala Putih segera mengerahkan 
ilmu pembeda gerak dan suara. 
Kepalanya menoleh ke kiri dan ke kanan, 
mencoba mencari tempat persembunyian 
Sekar. Tapi Kala Putih jadi kecewa, 
karena tidak mendengar suara apa pun 
yang mencurigakan. Sekar benar-benar 
lenyap tak berbekas sama sekali.
"Ke mana gadis itu...?" Kala Putih 
jadi bergumam, bertanya pada diri 
sendiri.
Seorang yang memegang rantai besi 
yang ujungnya berbandul bola besi 
berduri, .tergopoh-gopoh datang 
menghampiri. Kemudian, disusul dua 
orang berwajah angker yang masing-
masing menggenggam sepasang senjata 
tombak pendek bermata tiga dan sebuah 
pedang hitam berukuran panjang. Mereka 
kini telah berdiri di depan Kala Putih.
"Kenapa tidak langsung kalian kejar 
tadi...?" dengus Kala Putih kesal.
"Maaf, Ki. Gadis itu tiba-tiba lenyap 
di sini," jelas seorang yang memegang 
rantai baja berbandul bola besi berduri.

"Kau, Caraka! Cari gadis itu sampai 
dapat!" perintah Kala Putih sambil 
menunjuk orang yang memegang golok
'Tapi anak ini, Ki...," kata Caraka 
yang masih memanggul Wirya di 
pundaknya.
Kala Putih memandangi Wirya yang 
sudah terkulai lemas, akibat tertotok pada 
pusat jalan darahnya. Dihampirinya anak 
kecil berusia sepuluh tahun itu. Ta-
ngannya menjambak rambut yang hitam 
bergelombang, dan mengangkatnya. 
Hingga, kepala Wirya terdongak ke atas. 
Kelopak mata anak itu terpejam rapat, 
seperti tidur.
"Ki.... Bukankah anak ini bisa 
digunakan...?" kata Caraka agak ragu-
ragu.
"Hm...," Kala Putih hanya 
menggumam periahan.
Pandangannya beredar ke sekeliling 
dengan mengerahkan ilmu pembeda gerak 
dan suara. Kala Putih jadi penasaran, 
karena gadis yang membawa pusaka 
pesanannya itu lenyap begitu saja. Dia 
tadi juga hampir tidak percaya kalau

gadis yang kelihatannya begitu lemah 
ternyata mampu menandinginya sampai 
lima jurus, sebelum kabur dan 
menghilang di dalam hutan ini.
"Kalian terus cari gadis itu!" 
perintah Kala Putih.
Setelah memberi perintah, Kala 
Putih menyambar Wirya yang berada di 
pundak Caraka. Kemudian kakinya terus 
melangkah cepat meninggalkan hutan ini 
Sementara empat orang itu hanya sating 
pandang saja. Tak ada yang 
mengeluarkan suara sedikit pun, sampai 
Kala Putih tak terlihat lagi ditelan 
lebatnya pepohonan di dalam hutan ini.
"Ayo, cari lagi," ajak Caraka.
***
"Keparat...! Kurang ajar kau, 
Bangka Putung!" Kala Putih menggerutu 
habis-habisaa
Sudah dua hari ini Kala Putih dan 
empat orang anak buahnya menjelajahi 
hutan ini. Tapi putri Ki Bangka Putung 
yang kabur membawa pedang pesanannya

tidak juga ditemukan. Hatinya tidak bisa 
tenang sebelum pedang itu berada di 
tangannya. Entah, apa yang akan 
dilakukan jika Sekar sampai 
diketemukan. Tak ada yang bisa 
membayangkan, melihat kemarahan laki-
laki tua berbaju putih ini.
"Sudah sore. Sebaiknya kita 
lanjutkan saja besok, Ki," ujar Caraka 
mengingatkaa
Saat ini, hari memang sudah 
menjelang senja. Matahari sudah sejak 
tadi bergulir ke sebelah Barat. Bahkan 
sebagian hutan ini sudah mulai gelap, 
tidak lagi mendapat cahaya matahari.
'Tidak! Biar kiamat sekalipun, gadis 
itu harus tetap dicari!" bentak Kala Putih 
berang.
"Tapi, KI..," Caraka mau 
menyanggah. Tubuhnya sudah lelah 
mencari Sekar yang tidak juga kunjung 
ditemukan.
"Kalau anak setan itu tidak juga 
ditemukan, lehermu yang jadi 
penggantinya!" ancam Kala Putih tidak 
main-main.

Caraka menelan ludahnya yang 
mendadak terasa pahit Dia tidak berani 
lagi membantah. Sedangkan tiga orang 
lainnya hanya bisa menundukkan kepala. 
Mereka tahu benar, kalau sudah marah 
begini. Kala Putih tidak bisa lagi diajak 
damai. Apa yang diperintahkan, harus 
segera dilaksanakan.
"Kalian tahu, pedang itu sangat 
berarti bagiku. Dengan pedang itu, 
seluruh rimba persilatan bisa kukuasai. 
Dan kalian juga akan menikmati hasilnya. 
Mengerti...?!" agak keras suara Kala Putih.
Serentak mereka menganggukkan 
kepala.
"Susah payah aku mendapatkan 
Batu Kawa Hijau. Kini setelah jadi 
pedang, hilang begitu saja. Huh! Sampai 
kapanpun, aku harus mencari dan 
mendapatkannya. Pedang itu tidak boleh 
jatuh ke tangan orang lain, selain aku...!" 
agak bergetar suara Kala Putih 
terdengarnya.
Empat orang itu hanya diam saja.
"Kalian tahu, bagaimana aku 
mendapatkannya, bukan...?"

Mereka kembali menganggukkan 
kepala bersamaan. Mereka memang tahu 
persis, bagaimana Kala Putih bertarung 
menyabung nyawa melawan pertapa tua 
pemilik Batu Kawa Hijau di Gunung 
Anjar. Dengan kelicikan, akhirnya Kala 
Putih dapat membunuh pertapa itu dan 
memperoleh Batu Kawa Hijau yang 
mengandung daya kekuatan gaib luar 
biasa.
Kini setelah batu itu dilebur jadi 
sebuah pedang, dilarikan seorang gadis 
anak pembuat pedang. Dan yang pasti 
Kala Putih tidak bisa menerimanya begitu 
saja. Dengan cara apa pun, pedang yang 
kelak akan menggegerkan dunia 
persilatan harus didapatkannya kembali.
"Caraka, ambil kuda. Kita lacak 
setiap jengkal daerah ini!" perintah Kala 
Putih.
"Segera, Ki," sahut Caraka.
Bergegas Caraka melangkah 
meninggalkan tempat itu. Sementara Kala 
Putih memerintahkan yang lain untuk 
kembali memeriksa tempat di sekitarnya.

**

TIGA

Benarkah Sekar menghilang begitu 
saja dari hutan ini...?
Sekar yang mengetahui betul seluk 
beluk daerah hutan ini, bisa saja 
menghilang begitu saja tanpa diketahui. 
Dan sebenarnya, gadis itu masuk ke 
dalam sebuah gua yang mulutnya 
tersembunyi di balik semak belukar, tidak 
jauh dari tempat Kala Putih dan empat 
orang anak buahnya mencarl
Sekar merambat di lorong batu yang 
sempit, dan terus merayap tanpa 
mengenal lelah. Hingga dia tiba di suatu 
rongga yang cukup lebar dan besar, yang 
merupakan gua panjang berlorong penuh

kelokan. Sampai di situ, Sekar baru bisa 
beristirahat melepas lelah.
"Hhh.... Ke mana lagi aku harus 
pergi...?" desah Sekar perlahan.
Sekar memeluk pedang buatan 
terakhir ayahnya. Sebentar kemudian 
dipandanginya pedang itu. Kembali 
terbayang peristiwa yang begitu 
mengerikan. Dia tidak tahu lagi, 
bagaimana nasib adiknya sekarang. 
Sedangkan ayahnya sudah tewas di 
tangan empat orang anak buah Kala 
Putih.
Sekar jadi teringat ketika siang itu, 
sehari setelah ayahnya selesai bersemadi, 
mereka berjalan-jalan di sepanjang tepian 
danau. Seperti sudah mendapat firasat, 
Wirya berbicara yang tidak pernah 
dipikirkan sebelumnya. Dan Sekar tidak 
menanggapinya sungguh-sungguh. 
Omongan adiknya hanya dianggap 
sebagai angin lalu saja. Ternyata, semua 
yang dikatakan Wirya, sekarang menjadi 
kenyataan.

"Kak... apa Kala Putih nanti akan 
merebut pedang yang dibuat ayah...?" 
tanya Wirya waktu itu.
"Bisa jadi," sahut Sekar.
"Kalau begitu, nanti kita ke mana, 
Kak?" tanya Wirya lagi
"Ya, di sini.... Memangnya, mau ke 
mana?"
"Wirya merasa seperti akan terjadi 
sesuatu, Kak," jelas Wirya pelan.
"Jangan bicara macam-macam, ah!" 
sentak Sekar menganggap adiknya hanya 
bercanda.
"Semalam Wirya mimpi, Kak. 
Rumah kita terbakar, dan kita semua 
berada di dalam lorong yang panjang dan 
bercabang. Masing-masing mencari jalan 
keluar. Tapi, ayah terperosok jauh ke 
dalam lubang. Kak Sekar sendiri tidak 
menolong, dan aku seperti terkurung. 
Hanya bisa melihat saja," jelas Wirya lagi, 
menceritakan mimpinya semalam.
"Mimpi itu hanya bunga tidur, 
Wirya. Tidak pernah menjadi kenyataan," 
hibur Sekar.
“Tapi, Kak..."

"Sudahlah.... Kau lelah?" Sekar 
tidak mau mendengar lagi.
'Tidak. Hanya lapar," sahut Wirya.
"Nanti. Kalau jebakan kita penuh 
ikan, kau akan kumasakkan yang lezat. 
Mau...?"
Wirya tersenyum lebar dan 
mengangguk Bocah itu memang paling 
suka makan ikan yang dimasak 
kakaknya. Karena, selalu saja terasa 
nikmat dan mengundang selera. Bukan 
hanya Wirya, tapi juga ayah mereka 
begitu menyukai masakan Sekar, seper-
tinya, apa saja yang diolah gadis ini selalu 
sedap dinikmati.
Sekar menghembuskan napas 
panjang. Hatinya menyesal, tidak 
memperhatikan sungguh-sungguh kata-
kata Wirya. Kalau saja mimpi adiknya 
diceritakan pada ayahnya, mungkin hal 
ini tidak akan terjadi. Dan sekarang 
sudah terlambat Mereka sudah terpisah 
satu sama lain. Penyesalan memang tidak 
datang lebih dahulu. Dan Sekar 
menyadari, tidak mungkin menyesali 
semua yang telah terjadi.

"Aku harus keluar dari gua ini. 
Sewaktu-waktu mereka bisa saja 
menemukan aku di sini. Hhh.... Mudah-
mudahan saja tidak terjadi sesuatu pada 
Wirya," desah Sekar agak menggumam.
Gadis itu bangkit berdiri dan 
kembali melangkah menyusuri lorong gua 
yang panjang dan berliku ini. Dia memang 
sudah tahu gua ini, tapi tidak pernah 
masuk sampai sejauh itu. Sekar terus 
berjalan mengikuti ahir lorong gua yang 
cukup gelap, sehingga sulit melihat jauh.
"Ada sinar...," desis Sekar.
Jauh di depannya, Sekar melihat 
seberkas sinar yang kelap-kelip seperti 
dari sebuah pelita. Gadis itu mempercepat 
ayunan kakinya. Tidak dipedulikan lagi 
tubuhnya yang beberapa kali hampir 
terguling, terantuk batu yang banyak 
bertebaran di sepanjang lorong gua ini. 
Dan tampaknya, cahaya itu berada di 
ujung mulut gua di depannya.
Mendadak Sekar menghentikan 
ayunan kakinya, begitu tahu kalau 
cahaya itu berasal dari nyala api. Dan 
dekat api itu, duduk seorang laki-laki

muda berumur sekitar dua puluh lima 
tahun. Bajunya kulit harimau. Dia duduk 
membelakangi Sekar yang muncul dari 
dalam mulut gua yang cukup besar ini.
Trekkk!
"Oh...?!"
Sekar terkejut, dan menutup 
mulutnya ketika menginjak sebatang 
ranting kering. Suara ranting patah, 
membuat pemuda berbaju kulit harimau 
itu berpaling. Tampaknya, dia juga 
terkejut melihat ada seorang gadis berdiri 
di depan mulut gua di belakangnya. 
Perlahan tubuhnya diputar. Sedangkan 
Sekar masih tetap berdiri saja sambil 
menggenggam gagang pedangnya erat-erat
Srettt!
"Eh! Sabar.... Masukkan 
senjatamu," bujuk pemuda itu begitu 
melihat Sekar mencabut pedangnya.
"Kau pasti orang suruhan Kala 
Putih. Kalau kau akan merebut pedang 
ini, langkahi dulu nyawaku!" sentak Sekar 
garang.
"Aku...? Ha ha ha...!"

Entah kenapa, pemuda berbaju 
kulit harimau itu tertawa terbahak-bahak. 
Sedangkan Sekar hanya memandangi saja 
dengan sinar mata tajam.
Diperhatikannya wajah tampan di 
depannya. Gadis itu juga jadi ragu-ragu, 
karena sinar mata pemuda itu 
menampakkan kejujuran, dan tidak 
seperti orang-orangnya Kala Putih.
Perlahan Sekar memasukkan 
kembali pedang yang memancarkan 
cahaya kehijauan itu ke dalam warangka. 
Sekejap saja, sinar kehijauan itu 
menghilang dari pandangan.
"Siapa kau?" tanya Sekar tetap 
dingin dan tajam suaranya.
Sikap gadis itu masih belum bisa 
mempercayai pemuda ini. Sedangkan 
pemuda tampan berbaju kulit harimau itu 
tersenyum saja, dan kembali duduk di 
tempatnya semula.
"Aku Bayu. Dan kau sendiri 
siapa...?" pemuda itu memperkenalkan 
diri, sambil balik bertanya.
"Sekar."

"Kenapa malam-malam begini ada 
di tengah hutan?" tanya pemuda yang 
ternyata memang Bayu, yang lebih 
dikenal berjuluk Pendekar Pulau Neraka.
"Seharusnya, aku yang bertanya 
begitu padamu!" dengus Sekar agak 
ketus.
"Oh...?!" Bayu mengangkat alisnya.
Pendekar Pulau Neraka mengambil 
sekerat daging bakar yang berada di atas 
api, kemudian menyodorkan pada gadis 
ini. Sejenak Sekar hanya memandanginya 
saja. Perutnya memang terasa lapar, tapi 
tidak mau sembarangan menerima uluran 
tangan orang yang tidak dikenalnya sama 
sekali.
"Kau tentu lapar. Ayo, kita makan 
sama-sama," Bayu menawarkan dengan 
sopan.
Sekar masih saja diam memandangi 
Bayu mengangkat bahunya sedikit, lalu 
menggigit keratan daging itu. Dia 
mengunyah perlahan-lahan, membuat 
Sekar terpaksa harus menelan ludahnya.

"Kalau mau, ambil saja sendiri. Aku 
rasa, cukup untuk dimakan berdua," kata 
Bayu lagi.
Perlahan Sekar melangkah 
menghampiri. Gadis itu berjalan 
memutar, dan berdiri di seberang 
Pendekar Pulau Neraka. Kemudian, dia 
duduk di dekat api yang membuat dirinya 
terasa sedikit hangat Periahan dan ragu-
ragu sedikit tangannya dijulurkan, 
mengambil sekerat daging bakar. Lalu, 
digigitnya sedikit. Cukup lezat juga. 
Apalagi, dalam keadaan perut kosong 
begini. Sejak siang tadi, perutnya memang 
belum terisi apa-apa. Mereka kini makan 
tanpa bicara apa pun juga.
***
"Kau tidak tidur...?" tegur Bayu 
seraya melirik gadis itu.
Sekar hanya menggelengkan kepala 
saja, dan tetap duduk bersandar pada 
sebatang pohon yang cukup besar 
melindungi dirinya dari dinginnya terpaan 
angin malam. Bayu kemudian duduk, dan 
menggeser mendekati gadis itu. Sekar

langsung menggenggam tangkai 
pedangnya. Namun, Bayu hanya 
tersenyum saja melihat sikap Sekar yang 
masih juga ketakutan.
"Sepertinya, kau sedang mengalami 
kesulitan," tebak Bayu diiringi senyum di 
bibimya.
Sekar hanya diam saja. Kepalanya 
diangkat sedikit langsung menatap tajam 
wajah pemuda berbaju kulit harimau ini. 
Meskipun sikap Bayu baik dan lembut, 
tapi gadis itu masih belum bisa percaya 
penuh. Terngiang kembali kata-kata 
terakhir ayahnya. Pedang itu harus dijaga 
dan dipertahankan, jangan sampai jatuh 
ke tangan orang berwatak jahat Dan 
Sekar sudah bertekad 
mempertahankannya sampai tetes darah 
yang terakhir.
"Dari sorot matamu, aku tahu kau 
menyimpan persoalan yang berat. Dan 
kau memerlukan seseorang yang bisa 
diajak bicara. Mungkin bisa kubantu...?" 
kata Bayu lagi, lebih lembut suaranya.
"Hhh...!" Sekar hanya 
menghembuskan napas panjang saja.

"Baiklah. Mungkin kau masih 
belum percaya padaku. Asal tahu saja 
aku tidak mengerti ketika kau tiba-tiba 
mencabut pedang ingin menyerangku. 
Bahkan menganggap aku ini orangnya 
Kala Putih. Aku tidak tahu, siapa orang 
yang kau sebutkan itu. Juga, tentang 
pedang yang kau bawa," jelas Bayu, 
berterus terang.
"Kau benar-benar bukan orang 
suruhan Kala Putih...?" tanya Sekar, 
seakan-akan ingin meyakinkan diri.
Bayu menggeleng dan tersenyum.
"Bagaimana aku bisa percaya 
padamu?" tanya Sekar lagi seperti untuk 
diri sendiri.
"Apakah aku seperti orang jahat..?"
Sekar hanya diam saja. Memang 
diakui, pemuda ini sedikit pun tidak 
memiliki tanda-tanda sebagai orang jahat.
Wajahnya terlalu tampan untuk menjadi 
penjahat. Dengan tubuh tegap, wajah 
tampan, dan kulit putih, pemuda ini lebih 
pantes bila disebut putra bangsawan. 
Bahkan kalau bisa anak saudagar kaya. 
Tapi pakaian yang dikenakannya

menunjukkan kalau Bayu seorang 
pengembara. Atau bisa dikatakan juga, 
orang dari kalangan persilatan.
"Kalau tidak salah, kau tadi 
menyebut tentang pusaka. Apa kau kenal 
seorang Empu Pembuat Pusaka yang 
bernama Ki Bangka Putung...?" tanya 
Bayu.
Sekar terperanjat bukan main 
begitu mendengar nama ayahnya disebut.
Tatapan matanya semakin tajam, 
merayapi wajah Pendekar Pulau Neraka. 
Jari-jari tangannya semakin erat 
menggenggam tangkai pedang yang 
tergenggam di tangan kirinya.
"Kau terkejut...? Apa kau kenal Ki 
Bangka Putung...?" tanya Bayu.
"Dari mana kau tahu nama itu?" 
Sekar malah balik bertanya. Suaranya 
terdengar dingin dan begitu tajam.
"Aku pernah lewat di Gunung Anjar. 
Di sana, aku menemukan seorang tua 
terluka parah. Dia hanya menyebutkan 
satu nama padaku sebelum meninggal, 
dan hanya sedikit pesan saja," jelas Bayu.

"Hanya nama Ki Bangka Putung yang 
disebutkannya."
"Pertapa Gunung Anjar...," desis 
Sekar tanpa sa-dar.
"Kau juga kenal orang tua itu...?" 
"Ohhh...," Sekar mendesah panjang 
"Kapan dia meninggal?"
"Lama juga. Kira-kira, tiga 
purnama. Atau mungkin lebih," sahut 
Bayu.
"Apa yang dikatakannya padamu?" 
kejar Sekar, malah balik menanyai 
pemuda.ini.
"Tidak banyak. Aku diminta olehnya 
agar menemui seseorang yang bernama Ki 
Bangka Putung, dan supaya aku 
menyampaikan suatu pesannya," sahut 
Bayu .
"Apa pesannya?" Sekar terus 
mengejar, semakim ingin tahu.
"Sayang sekali. Aku tidak bisa 
mengatakannya padamu. Pesan itu harus 
kusampaikan pada Ki Bangka Putung 
sendiri," elak Bayu.
Sekar jadi terdiam termenung. 
Sudah bisa diduga, benda bercahaya

kehijauan yang kini telah menjadi pedang 
adalah Batu Kawa Hijau milik Pertapa 
Gunung Anjar. Dia kenal pertapa tua itu. 
Karena, sudah beberapa kali pergi ke sana 
bersama ayahnya. Bahkan setiap kali 
pertapa tua itu turun gunung, selalu 
datang ke pondok mereka. Dan biasanya, 
selalu menginap sampai dua atau tiga 
hari.
Tapi kenapa ayahnya tidak tahu 
kalau benda itu adalah Batu Kawa Hijau 
milik Pertapa Gunung Anjar? Pertanyaan 
inilah yang sekarang berada di kepala 
Sekar. Dan gadis itu juga belum yakin 
dengan dugaannya, kalau Batu Kawa 
Hijau yang menjadi pangkal dari 
malapetaka adalah penyebabnya. Kalau 
sampai ayahnya sendiri tidak tahu 
tentang batu itu, bagaimana mungkin 
bisa berada di tangan Kala Putih?
"Sudah larut malam. Sebaiknya, 
kau tidur saja. Aku juga harus 
meneruskan perjalanan besok, mencari 
tempat tinggal Ki Bangka Putung," jelas 
Bayu.

"Kau tahu tempat tinggalnya?" 
tanya Sekar bernada memancing.
"Belum. Tapi aku yakin bisa 
menemukannya. Yaaah.... Meskipun 
sudah tiga purnama lebih aku mencari, 
tapi aku yakin bisa bertemu dengannya. 
Seorang Empu pasti banyak dikenal 
orang," tegas Bayu, yakin.
"Kau tidak akan bisa bertemu 
dengannya," kata Sekar agak lirih 
suaranya.
"Heh...?! Apa maksudmu...?" Bayu 
jadi tersentak kaget, tidak mengerti.
"Beliau sudah tewas," jelas Sekar 
dengan suara pelan, hampir tidak 
terdengar.
"Kau jangan main-main, Sekar," 
Bayu tidak percaya.
"Empu Bangka Putung adalah 
ayahku."
"Apa...?! Kau...?" suara Bayu jadi 
tercekat di tenggorokan.
Tanpa diminta lagi. Sekar 
menceritakan semua musibah yang 
menimpa keluarganya, sampai ayahnya 
tewas berada di tangan Kala Putih.

Sementara Bayu mendengarkan penuh 
perhatian. Sungguh tidak disangka kalau 
akan bertemu putri Ki Bangka Putung 
dalam keadaan seperti ini. Bahkan tidak 
bisa lagi bertemu Empu Pembuat Pusaka 
itu untuk menyampaikan pesannya.
"Sebelum peristiwa itu terjadi, ayah 
membuat pedang ini," jelas Sekar sambil 
menunjuk pedangnya.
Bayu hanya terdiam saja 
memandangi pedang yang berada di 
dalam genggaman gadis ini. Entah, apa 
yang ada di dalam kepalanya saat itu. 
Tampaknya, Pendekar Pulau Neraka 
begitu kecewa, karena tidak bisa 
melaksanakan amanat orang tua yang 
menjelang ajal. Untuk beberapa saat, 
mereka jadi terdiam membisu.
"Sebaiknya kau tidur saja, Sekar. 
Biar aku yang jaga malam ini," ujar Bayu.
"Kau tidak ingin memiliki pedang
ini...?" tanya Sekar, masih bernada 
memancing.
'Pedang itu milikmu, Sekar," sahut 
Bayu diiringi senyuman.

'Terima kasih," ucap Sekar, yang 
bisa merasa lega sekarang
"Tidurlah."
Sekar sudah merasa tenang 
sekarang Dia yakin, pemuda ini memang 
tidak tahu apa-apa. Bahkan bukan orang 
suruhan Kala Putih yang begitu 
menginginkan pedang pusaka terakhir 
ayahnya, seperti dugaannya semula. 
Sekar merebahkan tubuhnya, dan mulai 
memejamkan mata. Badannya memang 
terasa lelah dan mengantuk sekali. 
Sebentar saja gadis itu sudah mendekati 
api, dan duduk bersila di sana. Malam 
pun terasa begitu dingin. Bayu mencoba 
bersemadi, dan menghangatkan tubuhnya 
dengan menyalurkan hawa mumi ke 
seluruh tubuh.
***
"Ke mana tujuanmu sekarang?" 
tanya Bayu melihat Sekar tampaknya 
sudah siap melakukan perjalanan.
"Ke tempat tinggal Kala Putih," 
sahut Sekar.

"Untuk apa ke sana?" tanya Bayu.
"Membebaskan adikku."
"Memangnya, ada apa dengan 
adikmu...?" tanya Bayu agak terkejut.
Sekar memang belum menceritakan 
tentang Wirya yang sekarang ini berada di 
tangan Kala Putih. Dan mendapat 
pertanyaan itu, segera diceritakannya ten-
tang Wirya. Bayu mendengarkan penuh 
perhatian. Sedikit pun tidak menyelak 
sampai gadis itu menyelesaikan ceritanya.
"Di mana tempat tinggalnya?" tanya 
Bayu setelah Sekar selesai dengan 
ceritanya.
'Tidak jauh dari Gunung Anjar. 
Tepatnya, di Lembah Kuning," sahut 
Sekar menjelaskan.
Bayu mengerutkan keningnya. 
Pendekar Pulau Neraka tahu tempat yang 
dimaksudkan Sekar. Sebuah tempat yang 
sangat sulit dijangkau. Bahkan tidak ada 
seorang pun yang sudi ke sana. 
Memasuki lembah itu, sama saja 
mengantarkan nyawa sia-sia. Kecuali, me-
mang ingin mati.

'Tunggu dulu, Sekar...!" cegah Bayu 
begitu melihat Sekar sudah melangkah.
Sekar berhenti mengayunkan 
kakinya. Kepalanya berpaling, menatap 
pemuda berbaju kulit harimau yang 
sudah berada di sampingnya.
"Aku akan mengantarmu ke sana. 
Tempat yang kau tuju sangat sulit dan 
berbahaya. Bukannya tidak mustahil, 
Kala Putih dan orang-orangnya sudah 
menyebar untuk mencarimu," ujar Bayu.
“ Terima kasih. Aku tidak meminta," 
ucap Sekar.
"Aku menyediakan diri untuk 
membantumu," tegas Bayu.
Sekar hanya tersenyum saja, dan 
terus mengayunkan kakinya. Bayu 
mengikuti, mensejajarkan langkah di 
samping gadis ini. Tapi baru saja mereka 
berjalan beberapa langkah, tiba-tiba saja 
semak yang berada di depan bergerak-
gerak. Bayu langsung menarik tangan 
Sekar, hingga berada di belakang 
tubuhnya. 
Srakkk!

Tiba-tiba saja dari dalam semak itu 
melesat sebuah bayangan hitam kecil. 
Bayu sempat tersentak kaget, tapi 
langsung diam begitu bayangan kecil itu 
menerkamnya. Dan tahu-tahu, di pundak 
kanan Pendekar Pulau Neraka sudah 
duduk seekor monyet kecil berbulu hitam. 
Binatang itu memeluk leher pemuda ini 
erat-erat
"Dari mana saja kau...?" dengus 
Bayu seraya melepaskan pelukan monyet 
ini. 
"Nguk!"
"Sekar, kenalkan, ini sahabatku. 
Tiren namanya," Bayu memperkenalkan 
monyet kecil itu pada Sekar.
Monyet kecil berbulu hitam itu 
memonyongkan mulutnya, kemudian 
mencerecet ribut dan berjingkrak di 
pundak Bayu. Sekar jadi tersenyum-
senyum melihat tingkah binatang yang 
lucu ini. 
"Ayo...?"
Mereka kembali berjalan tanpa 
bicara. Sampai matahari berada di atas 
kepala, mereka terus saja berjalan tanpa

beristirahat sedikit pun. Keringat 
bercampur debu melekat di seluruh 
tubuh. Beberapa kali Bayu melirik wajah 
Sekar yang sudah memerah dan 
berkeringat
"Kau tidak letih, Sekar?" tanya 
Bayu.
"Sedikit," sahut Sekar. 
'Tampaknya, kau tahu betul seluk 
beluk hutan ini," tebak Bayu lagi
'Tidak begitu. Hanya saja, aku 
sering bermain-main di sini. Dan ayah 
juga sering mengajakku berburu di hutan 
ini."
Mereka berhenti melangkah ketika 
di depan mereka menghadang sebuah 
sungai yang berair sangat jernih. Begitu 
beningnya, sehingga ikan-ikan yang 
berenang ria di sungai ini terlihat jelas. 
Sekar membasuh wajah dan tangannya di 
air sungai itu. Bayu juga berbuat yang 
sama. Mereka menyegarkan tubuh 
dengan air sungai yang bening bagai kaca 
itu.
"Hebat...pintar sekali dia," gumam 
Sekar kagum.

"Apanya yang hebat?" tanya Bayu. 
"Itu...."
Bayu mengarahkan pandangan ke 
arah yang ditunjuk Sekar. Bibirnya jadi 
tersenyum melihat Tiren berlompatan di 
air sungai yang cukup dangkal ini. Dan 
kini di tangan monyet kecil itu sudah 
tergenggam seekor ikan yang cukup 
besar. Tiren, monyet kecil berbulu hitam 
itu melemparkan ikan hasil tangkapannya 
ke arah Bayu. Tangkas sekali Pendekar 
Pulau Neraka menangkapnya, lalu 
melemparkan lagi ke belakang.
"Cukup, Tiren...!" seru Bayu setelah 
Tiren mendapatkan lima ekor ikan.
"Nguk!"
Tiren berlompatan ke tepi melalui 
batu yang banyak terdapat di sungai ini. 
Tubuhnya digerak-gerakkan, membuat air 
yang melekat di seluruh tubuhnya 
menyiprat ke sana kemari. Sementara itu.
Sekar sudah menyiapkan ranting-ranring 
kering, dan membuat api. Ikan-ikan 
tangkapan Tiren dibakamya di atas api. 
Bau harum cepat sekali menyebar

menyengat hidung, membuat perut jadi 
berontak minta diisi.
Mereka kini tengah menikmati ikan-
ikan itu. Sementara Tiren cukup senang 
mendapat buah-buahan yang diperoleh 
Bayu. Mereka makan sambil bercakap-
cakap. Keakraban mulai terjalin di antara 
mereka. Ter-lebih lagi, Tiren cepat sekali 
lengket pada orang yang disukainya.
"Sebenamya ayah tidak sudi 
menuruti permintaan Kala Putih untuk 
membuat senjata dari benda yang 
dibawanya sendiri...," kata Sekar setelah 
ikan-ikan bakar itu habis disantap.
"Apa ayahmu tidak tahu asal benda 
yang dibawa Kala Putih?" tanya Bayu.
"Aku tidak tahu. Tapi, ayah 
sepertinya tidak pernah menanyakan itu 
pada Kala Putih. Ayah memang tidak 
pernah bertanya tentang benda-benda 
pembuat senjata pusaka yang dibawa 
pemesannya," jelas Sekar.
"Tentunya, ayahmu punya alasan, 
kenapa tidak ingin membuat senjata dari 
benda itu," desak Bayu lagi.

"Katanya, benda itu memiliki 
kekuatan gaib yang dahsyat dan sangat 
jahat Tapi..."
'Tapi kenapa, Sekar...?" desak Bayu.
"Aku menduga kalau benda itu 
adalah Batu Kawa Hijau milik Pertapa 
Gunung Anjar," agak ragu-ragu suara 
Sekar.
"Kau bisa menduga begitu, tapi 
kenapa ayahmu tidak bisa mengenalinya? 
Bukankah antara ayahmu dan Pertapa 
Gunung Anjar bersahabat baik?" tanya 
Bayu lagi.
"Antara ayah dan Pertapa Gunung 
Anjar dekat. Tapi di antara mereka tidak 
pernah saling mencampuri urusan 
masing-masing. Terlebih lagi, mengenai 
keahlian masing-masing. Bahkan tidak 
ada yang tahu tentang benda-benda yang 
dimiliki. Jadi, mana mungkin ayah bisa 
mengetahui kalau benda itu adalah Batu 
Kawa Hijau," jelas Sekar tentang 
hubungan ayahnya dengan Pertapa 
Gunung Anjar.

"Dan kau sendiri bisa menduga 
begitu. Pasti kau tahu tentang batu itu, 
bukan...?" kejar Bayu.
"Pertapa Gunung Anjar pernah 
cerita padaku tentang batu itu. Tapi, aku 
tidak pernah melihat bentuknya."
"Memang sulit jika saling 
menyimpan rahasia," desah Bayu seraya 
bangkit berdiri.
Pendekar Pulau Neraka kemudian 
mengulurkan tangannya pada Tiren yang 
berada di pangkuan Sekar.
"Biar dia bersamaku," pinta Sekar 
seraya berdiri.
Monyet kecil itu duduk di pundak 
gadis ini. Mereka kemudian melanjutkan 
perjalanan tanpa berbicara lagi. Hanya 
ada satu tujuan mereka. Ke tempat 
tinggal Kala Putih untuk membebaskan 
Wirya, adik kandung gadis ini.
"Apa ada desa terdekat di sekitar 
sini, Sekar?" tanya Bayu.
"Ada," sahut Sekar. "Apa kita akan 
bermalam di desa?"
"Rasanya, tidak aman kalau 
bermalam di desa manapun juga."

"Kenapa...?"
Belum juga Bayu menjawab 
pertanyaan itu, tiba-tiba saja sebuah 
pohon yang cukup besar bergerak 
turnbang ke arah mereka, 
memperdengarkan suara berderak 
mengejutkan.
"Awas...!"
Bayu cepat melompat sambil 
menyambar pinggang Sekar. Hampir saja 
pohon itu menimpa mereka. Untung saja 
Bayu segera melompat menghindar. Pen-
dekar Pulau Neraka cepat mengedarkan 
pandangan berkeliling, dengan telinga 
dipasang tajam-tajam.
"Hm...," gumam Bayu perlahan.
Srakkk!
Slap!
***

EMPAT

Dari balik semak dan pepohonan, 
bermunculan sekitar sepuluh orang 
bersenjata golok. Seorang di antara 
mereka, bertubuh tinggi besar dan berotot 
kekar. Dia menyandang sebilah golok 
yang berukuran cukup besar. Sekar yang 
mengenali orang itu langsung hendak 
mencabut pedangnya. Tapi, Bayu keburu 
menahan tangan gadis ini.
"Kau kenal mereka?" tanya Bayu 
sedikit melirik pada gadis di sampingnya.
"Orang itu yang membunuh 
ayahku," sahut Sekar agak mendesis.
"Hm...," gumam Bayu perlahan.
Pendekar Pulau Neraka menatap 
tajam laki-laki besar berotot kekar yang 
menyandang golok berukuran besar itu. 
Wajahnya begitu kasar, dipenuhi brewok 
yang tak terurus. Dia berdiri paling depan 
dari kesepuluh orang yang rata-rata 
masih berusia muda. Sementara itu, Bayu

sudah menggeser kakinya ke depan dua 
langkah, membelakangi Sekar seperti 
hendak melin-dungi gadis ini.
"Siapa kalian...?" tanya Bayu, 
meskipun sudah diberi tahu Sekar tadi.
"Jangan banyak tanya! Serahkan 
gadis itu pada kami!" bentak orang 
bersenjata gotok besar yang tak lain 
adalah Caraka.
"Kenapa kau meminta gadis ini?" 
tanya Bayu lagi, berpura-pura tidak 
mengerti.
"Rupanya kau ingin jadi pahlawan, 
Bocah...," desis Caraka sinis.
"Mungkin," sahut Bayu seenaknya.
"Setan...! Besar kepala juga kau 
rupanya," geram Caraka jadi gusar.
Wukkk!
Tiba-tiba saja Caraka mengebutkan 
golok besarnya ke depan. Kebutan itu 
demikian dahsyat, membuat Bayu agak 
terkejut juga. Jelas sekali kalau golok itu 
sangat berat Tapi di tangan Caraka, 
bagaikan terbuat dari karet yang begitu 
ringan. Pendekar Pulau Neraka . segera 
menggeser kakinya sedikit ke kanan.

Diperhatikannya Caraka yang ringan 
sekali memutar-mutar goloknya.
"Golok mainan anak-anak saja 
dipamerkan di depanku," dengus Bayu 
memanasi dengan sinis.
"Serang...! Bunuh bocah keparat 
itu...!" perintah Caraka dengan suara 
lantang menggelegar.
Seketika itu juga, sepuluh orang 
yang berada di belakangnya segera 
berlarian. Mereka langsung berlompatan 
mendekati Bayu. Sejenak Pendekar Pulau 
Neraka memperhatikan, kemudian melirik 
sedikit pada Sekar yang juga rupanya 
sudah bersiap menerima serangan.
"Hiyaaa...!"
Mendadak saja Bayu melentingkan 
tubuh ke udara, ketika sepuluh orang itu 
sudah dekat. Cepat sekali tubuhnya 
meluruk deras, melontarkan beberapa 
pukulan keras, tanpa pengerahan tenaga 
dalam.
Hanya sekali gerak saja, terlihat tiga 
orang ambruk ke tanah sambil menjerit 
keras terkena pukulan yang dilepaskan 
Pendekar Pulau Neraka. Gerakan yang

dilakukan Bayu begitu cepat luar biasa, 
sehingga sukar diikuti dengan pandangan 
mata mereka. Baru beberapa gerakan 
saja, sepuluh orang itu sudah jatuh 
berpelantingan sambil memekik keras.
Meskipun pukulan-pukulan yang 
dilepaskan Bayu tidak disertai 
pengerahan tenaga dalam, tapi demikian 
keras. Bahkan cukup membuat sepuluh 
orang itu mengerang, merintih kesakitaa 
Pendekar Pulau Neraka melenting ke 
belakang, lalu ringan sekali kakinya 
menjejak tanah. Bibirnya tersenyum 
melihat sepuluh orang itu merintih, 
bergelimpangan di tanah.
"Keparat..!" geram Caraka melihat 
sepuluh orang anak buahnya 
bergelimpangan, hanya dalam beberapa 
gebrakan saja.
"Aku tidak akan menyakiti kalian. 
Apalagi membunuh. Cepatlah pergi dari 
sini, sebelum aku berubah pikiran!" desis 
Bayu agak dingin suaranya.
"Sombong...!" dengus Caraka geram. 
"Rasakan ini! Hiyaaat..!"

Bagaikan kilat Caraka melompat 
cepat menerjang Bayu. Goloknya 
berkelebat dahsyat menimbulkan angin 
menderu yang menyakitkan telinga. 
"Hup!"
Pendekar Pulau Neraka cepat cepat 
melompat mundur dua tindak dan 
langsung memiringkan tubuhnya ke kiri. 
Tebasan golok berukuran besar itu 
berhasil dihindarinya. Bayu agak terkejut 
juga merasakan hempasan angin yang 
begitu keras melanda tubuhnya. Bergegas 
dia melompat ke samping, beberapa 
langkah jauhnya.
Tapi Caraka sudah berhasil melakukan 
serangan cepat Jurus-jurus yang 
dikeluarkan laki-laki bertubuh tinggi 
besar ini begitu dahsyat. Setiap kebutan 
goloknya, membuat Pendekar Pulau 
Neraka jadi agak limbung. Maka segera 
dikerahkan ilmu meringankan tubuhnya 
yang sudah mencapai taraf 
kesempurnaan. Bayu berlompatan sambil 
meliuk-liukkan tubuhnya, menghindari 
setiap serangan yang datang.

Sambil menghindar, Bayu 
memperhabkan gerakan-gerakan yang 
dilakukan lawannya ini. Setelah beberapa 
jurus berlalu, baru Pendekar Pulau 
Neraka melancarkan beberapa serangan 
balasan. Dan begitu memasuki jurus 
kedelapan, setiap gerakan yang dilakukan 
Caraka setelah bisa dibacanya. 
"Hait,.!"
Pendekar Pulau Neraka cepat 
membungkukan tubuhnya, begitu golok 
besar itu mengebut ke arah kepala. 
Sebenarnya serangan bisa dielakkan 
dengan hanya merundukkan kepala 
sedikit Tapi Bayu malah membungkuk, 
dan tiba-tiba saja tangan kirinya 
mengibas cepat sekali ke depan. 
"Heh...?!"
Caraka terperanjat setengah mati. 
Sungguh tidak disangka kalau pemuda 
berbaju kulit harimau itu akan 
melakukan sodokan, di saat menghindari 
serangannya. Cepat-cepat dia melompat 
mundur. Dan sebenarnya inilah yang 
ditunggu Bayu. Begitu Caraka menarik 
jarak, cepat-cepat Pendekar Pulau Neraka

menarik tubuhnya tegak kembali. Dan 
tiba-tiba, dilayangkannya satu tendangan 
keras yang sama sekali tidak diduga 
Caraka.
Begitu cepatnya tendangan yang 
dilepaskan Pendekar Pulau Neraka, 
sehingga Caraka yang memang belum 
siap tak dapat lagi menghindarinya. Telak 
sekali telapak kaki Bayu menghantam 
dada yang berbulu lebat itu.
Des!
"Akh.„!" Caraka memekik keras 
agak tertahan.
Di saat tubuh Caraka tengah 
limbung terdorong ke belakang, Bayu 
cepat melompat sambil melepaskan satu 
pukulan keras, disertai pengerahan 
tenaga dalam yang tidak penuh. 
Pukulannya demikian cepat dan keras 
sekali. Akibatnya, Caraka benar-benar 
tidak bisa lagi melakukan gerakan 
menghindar.
Diegkh!
"Akh...!" untuk kedua kalinya 
Caraka memekik keras.

Pukulan Bayu yang begitu keras, 
membuat Caraka terpental ke belakang 
sejauh dua batang tombak. Keras sekali 
tubuhnya yang kekar berotot itu 
terbanting ke tanah, dan bergelimpangan 
beberapa kali. Tapi, Caraka cepat 
melompat bangkit berdiri. Kedua kakinya 
agak bergetar, seakan-akan tidak kuat 
lagi menahan beban tubuhnya. Caraka 
berusaha untuk bisa berdiri tegak, 
meskipun masih agak limbung. 
"Setan...! Phuih!" geram Caraka. 
Sementara Bayu berdiri tegak dengan 
kedua tangan terlipat di depan dada. 
Matanya menatap tajam pada Caraka, 
dan bibirnya menyunggingkan senyum 
sinis. Sementara Caraka melakukan 
beberapa gerakan, untuk mengusir rasa 
sesak yang menghimpit dadanya. Tentu 
saja akibat tendangan dan pukulan 
pemuda berbaju kulit harimau itu.
"Kalau masih penasaran, silakan 
maju lagi," tantang Bayu.
"Phuih!"
Caraka hanya menyemburkan 
ludahnya saja. Sementara, matanya

melirik pada sepuluh orang anak buahnya 
yang tampaknya sudah tidak mampu 
bertarung lagi. Meskipun mereka sudah 
bisa berdiri, tapi golok-golok mereka
sudah berpatahan, sehingga tak mungkin 
dapat digunakan lagi. Menyadari 
kedudukannya tidak menguntungkan, 
Caraka jadi berpikir dua kali untuk 
menyerang pemuda berbaju kulit harimau 
itu.
"Kita akan bertemu lagi, Bocah!" 
desis Caraka dingin.
Setelah berkata demikian, laki-laki 
berbadan kekar berotot itu bergegas 
melesat pergi. Sepuluh orang 
pengLkutnya segera berlarian 
mengikutinya. Sedangkan Bayu hanya 
memandanginya saja. Tubuhnya baru 
berputar, dan melangkah menghampiri 
Sekar setelah mereka sudah tak terlihat 
lagi.
"Kenapa kau biarkan mereka kabur, 
Kakang? Seharusnya kau bunuh mereka 
semua," Sekar agaknya tidak senang atas 
sikap Bayu yang membiarkan orang-orang 
itu pergi.

"Bukan mereka tujuanmu, Sekar," 
kilah Bayu kalem.
"Tapi.. orang itulah yang 
membunuh ayahku," bantah Sekar.
"Kau dendam...?"
"Aku akan membalas kematian 
ayah!" tegas Sekar.
Bayu jadi ingat akan dirinya sendiri. 
Dulu ketika baru keluar dari Pendekar 
Pulau Neraka, dia juga mencari para 
pembunuh orang tuanya. Saat itu, yang 
ada di kepalanya hanya balas dendam! 
Bahkan sampai sekarang pun, Pendekar 
Pulau Neraka masih belum bisa 
melepaskan dendamnya. Jika berjumpa 
orang yang membunuh ayahnya, api 
dendamnya langsung berkobar menyala. 
Dan orang itu tidak pernah diberi ampun 
lagi. Mereka yang terlibat langsung, akan 
terkapar bermandikan darah.
Dan Bayu tidak bisa menyalahkan 
Sekar jika di hatinya tersimpan api 
dendam. Dia juga tidak bisa melarang, 
atau menasihati gadis ini. Padahal sudah 
mulai disadarinya, kalau dendam tidak 
akan bisa menyelesaikan segala

persoalan. Dan terus akan berbuntut 
panjang, sampai tak ada yang tersisa 
hidup hingga anak turunannya.
***
Memang tidak mudah perjalanan 
ini. Setiap saat mereka harus menghadapi 
bahaya. Terutama, ancaman orang-orang 
Kala Putih. Terlebih lagi, saat mereka 
sudah berada di sekitar Gunung Anjar. 
Bahkan bukan hanya Bayu saja yang 
memeras keringat menghadapi mereka. 
Sekar pun terpaksa berlaga, 
mempertahankan diri dari serangan-
serangan yang selalu muncul tiba-tiba 
dari para pengjkut Kala Putih.
"Uhhh! Gila..!" lenguh Bayu seraya 
menghempas-kan tubuh ke atas 
rerumputan di bawah pohon yang cukup 
rindang.
Mereka memang baru saja teriepas 
dari sergapan para pengikut Kala Putih. 
Sekar duduk di samping Pendekar Pulau 
Neraka sambil menghembuskan napas 
panjang. Disekanya keringat dengan

punggung tangan, di sekitar wajah dan 
lehemya. Beberapa saat mereka terdiam, 
sambil mengatur jalan pemapasan. 
Rasanya, dada ini seperti akan pecah. 
Pagi ini, sudah dua kab mereka mendapat 
serangan gencar dari orang-orang Kala 
Putih.
"Setan...!" tiba-tiba Bayu 
mengumpat geram.
"Ada apa, Kakang...?" tanya Sekar. 
Belum juga Bayu menjawab, tiba-tiba saja 
meluncur sebatang tombak berukuran 
cukup panjang dari depan. Pendekar 
Pulau Neraka langsung melompat 
Tangannya segera dikebutkan untuk 
menangkap tombak itu tepat di bagian 
tengahnya. Sekar juga bergegas bangkit 
berdiri. Dihampirinya Pendekar Pulau 
Neraka, dan berdiri di samping kanannya.
"Siapa pun kalian, keluar...!" 
lantang suara Bayu.
Begitu teriakan Pendekar Pulau 
Neraka hilang, dari balik pepohonan dan 
semak belukar bermunculan empat orang 
laki-laki bertubuh kekar. Wajah mereka 
kasar dan kotor tak terawat Pakaian yang

dikenakan pun kotor. Bahkan sudah 
mulai terlihat koyak di beberapa bagian 
tubuhnya.
"Hm...," Bayu menggumam kecil 
memperhatikan empat orang yang kini 
sudah berdiri sekitar satu tombak di 
depannya.
Tubuh dan keadaan mereka sudah 
mirip jembel jalanan. Dan Bayu bisa 
menduga, mereka bukan orang-orang 
Kala Putih. Tapi dalam keadaan seperti 
ini, tidak mudah menduga begitu saja. 
Dan setiap orang-yang dijumpai, terlebih 
lagi kemunculannya didahului satu 
serangan gelap, membuat Pendekar Pulau 
Neraka bersiap mempertahankan diri jika 
diserang.
"Siapa kalian?" tanya Bayu agak 
Iunak suaranya terdengar.
"Jangan banyak tanya! Serahkan 
semua hartamu!" bentak salah seorang, 
kasar.
"Harta...? Aku tidak punya harta," 
sahut Bayu agak berkerut keningnya.
"Bedebah! Kalau begitu, nyawamu 
yang kuminta!"

"Heh...?!"
Pendekar Pulau Neraka tersentak 
kaget. Tapi belum juga lenyap dari 
keterkejutannya, empat orang bertampang 
kasar dan kotor itu sudah berlompatan 
menyerang. Terpaksa Pendekar Pulau 
Neraka berjumpalitan menghindari 
serangan-serangan yang dilakukan cepat 
dan tiba-tiba. Golok-golok di tangan 
mereka berkelebatan, berdesingan di 
sekitar tubuh Pendekar Pulau Neraka.
Sementara, Sekar sudah lebih 
dahulu menghindar. Gadis itu hanya 
memperhatikan saja. Sementara tangan 
kanannya menggenggam erat tangkai 
pedang-nya. Meskipun tidak 
mendapatkan lawan kali ini, tapi tetap 
saja dia bersikap waspada.
"Hiyaaat..!"
Tiba-tiba saja Bayu melenfingkan 
tubuh ke udara, lalu meluruk deras 
sambil mengebutkan cepat tangannya 
beberapa kali. Begitu cepat gerakannya, 
sehjngga tubuh Pendekar Pulau Neraka 
bagaikan lenyap. Dan yang terlihat kini 
hanya bayangan kuning berkelebatan,

menyambar empat orang bertampang 
kasar dan kotor itu.
Saat itu juga, terdengar jeritan-
jeritan panjang melengking yang saling 
sambut Kemudian, disusul
berpentalannya keempat orang itu. 
Tampak Bayu berdiri tegak di antara 
mereka yang bergelimpangan di tanah. 
Entah kapan terjadinya, tahu-tahu 
Pendekar Pulau Neraka sudah merampas 
golok-golok keempat orang itu.
"Aku muak melihat tampang-
tampang seperti kalian, huh...!" dengus 
Bayu.
Tangan Pendekar Pulau Neraka 
sudah terangkat, hendak menyambitkan 
golok-golok rampasannya kepada empat 
orang yang masih tergeletak mengerang di 
tanah. Tapi sebelum Bayu melaksanakan 
niatnya, tiba-tiba saja Sekar berseru 
nyaring.
"Jangan, Kakang...!"
"Heh...?!"
Bayu berpaling menatap Sekar yang 
melangkah cepat menghampirinya. Gadis 
itu berhenti di samping Pendekar Pulau

Neraka. Dirampasnya golok yang berada 
di tangan Bayu, dan dilemparkannya pada 
empat orang yang sudah mulai bisa 
bergerak bangkit. Keempat orang laki-laki 
bertampang kasar dan kotor itu jadi 
terlongong melihat golok-goloknya 
berjatuhan di depan mereka.
"Ambil, dan pergi dari sini!" usir 
Sekar tegas.
Tapi keempat orang laki-laki itu tidak 
beranjak pergi, dan malah menjatuhkan 
diri berlutut Sehingga, kening mereka 
menyentuh tanah. Melihat sikap keempat 
orang ini, Bayu dan Sekar jadi terperanjat
"Heh...?! Apa-apaan ini...?" sentak 
Bayu tidak mengerti.
"Terimalah salam dan hormat kami 
yang hina dan rendah ini," ucap keempat 
orang itu sambil menyatukan kedua 
telapak tangannya di depan dada 
bersamaan.
"Kenapa mereka begitu...?" tanya 
Bayu seperti pada diri sendiri.
Sekar melangkah dua tiridak ke 
depan. Sedangkan empat orang laki-laki 
bertubuh kekar dan kotor itu masih


bersujud menempelkan kening di atas 
tanah.
"Bangunlah kalian," ujar Sekar, 
lembut suaranya.
Perlahan mereka mengangkat 
kepala, lalu duduk bersila di depan gadis 
ini. Sebentar Sekar merayapi wajah-wajah 
yang agak tertunduk di depannya. Keada-
an mereka begitu kotor, seperti tidak 
pernah mandi berbulan-bulan lamanya. 
Pakaian yang dikenakan pun sudah
sobek-sobek di beberapa bagian.
"Siapa kalian sebenarnya?" tanya 
Sekar tetap lembut suaranya.
"Kami hanya perampok. Dan kami 
janji, tidak akan mengulangi lagi," sahut 
salah seorang dengan sikap hormat sekali.
"Aku tidak percaya kalian 
perampok. Kalian semua mengenakan 
gelang Candra Wikara. Hm.. Kenapa 
kalian bisa jadi begini...?" sanggah Sek 
sambil merayapi keempat orang ini.
Keempat orang itu tampak terkejut 
mendengar kata-kata Sekar barusan. 
Kembali mereka menjatuhkan diri 
bersujud dan menempelkan kening di

tanah, tepat di depan ujung kaki gadis ini. 
Sementara Bayu yang melihat kejadian itu
hanya memperhatikan saja. Didekatinya 
Sekar begitu empat orang ini kembali 
duduk bersila dengan kepala terus 
tertunduk menekuri tanah di depannya.
"Siapa sebenarnya mereka, Sekar?" 
bisik Bayu pelan.
"Aku tidak tahu, siapa mereka. Tapi 
gelang Candra Wikara yang dikenakan 
menunjukkan kalau mereka para 
pengawal pengantar barang kerajaan," 
sahut Sekar pelan juga suaranya.
Bayu mengangguk-anggukkan 
kepala. Pendekar Pulau Neraka tidak lagi 
heran dengan pengetahuan Sekar yang 
begitu luas. Wajar saja bila putri seorang 
Empu Pembuat Pusaka, bisa mengetahui 
tentang kerajaan segala. Dan yang pasti, 
tidak sedikit para pembesar yang pernah 
memesan senjata pusaka pada ayah gadis 
ini.
"Kau... berdiri," perintah Sekar 
seraya menunjuk salah seorang yang 
berada tepat di depannya.

Perlahan orang itu bangkit berdiri, 
tapi kepalanya tetap tertunduk.
Sementara, kedua tangannya me-nyatu di 
bawah perut. Tubuhnya agak sedikit 
terbung-kuk, seperti seorang pesuruh 
yang sedang menghadap majikannya.
"Siapa namamu, dan kalian 
semua?" tanya Sekar lagi.
"Kampar. Dan mereka, Gandil, 
Gadok dan Buling," sahut orang yang 
bernama Kampar, sambil 
memperkenalkan ketiga temannya.
"Ceritakani Siapa kalian 
sebenarnya, dan kenapa bisa jadi seperti 
ini...," pinta Sekar 
"Ceritanya panjang, Nini...." 
"Ceritakan saja."
***
LIMA

"Mulanya kami berjumlah dua 
puluh orang...," Kampar memulai.
"Teruskan," pinta Sekar.
"Kami memang para petugas 
pengawal pengantar barang kerajaan. 
Sudah menjadi bagian dari tugas kami, 
menghadapi rintangan dan bahaya yang 
menghadang. Dan selama lebih sepuluh 
tahun, semuanya bisa diatasi. Bahkan 
pihak kerajaan sudah mempercayai kami 
untuk mengawal barang-barang berharga, 
Tapi, yaaah.... Semua itu hancur seketika

"Kejadian apa?" tanya Bayu.
"Saat itu, kami sedang bertugas 
mengawal dua orang panglima yang 
membawa satu peti penuh barang berupa 
emas. Saat melewati kaki Gunung Anjar, 
kami diserang sekelompok orang yang 
berjumlah empat kali lipat dari kami 
semua. Banyak teman kami yang tewas. 
Bahkan kedua panglima itu juga tewas. 
Hanya aku dan ketiga temanku ini yang 
berhasil lolos."
"Hm...," gumam Bayu periahan.
"Sejak peristiwa itu, kami tidak 
berani lagi menampakkan diri. Kami tahu, 
sekarang ini menjadi buronan pihak 
kerajaan. Mereka pasti menyangka kami 
yang merampok barang-barang itu," 
sambung Kampar.
"Seharusnya kau laporkan kejadian 
itu," saran Bayu.
"Kami tidak sudi digantung. 
Walaupun itu musibah, tapi Gusti Prabu 
pasti tidak mau tahu. Beliau pasti 
meminta barang-barangnya kembali. 
Sedangkan...."
"Kenapa?"

"Mustahil kami berempat bisa 
mengembalikan barang-barang itu, 
karena yang merampok adalah orang-
orang Kala Putih."
"Siapa...?!" Sekar terbeliak 
mendengar nama Kala Putih.
"Lagi-lagi Kala Putih...," desis Bayu 
agak menggeram suaranya.
"Apakah Kisanak dan Nisanak 
berurusan juga dengan Kala Putih?" tanya 
Kampar.
"Ayahku tewas di tangannya. Dan 
sekarang, adikku menjadi tawanannya," 
sahut Sekar agak mendesis.
Beberapa saat mereka jadi terdiam.
"Boleh kami ikut bersama kalian...?" 
pinta Kampar agak ragu-ragu.
Bayu dan Sekar tidak segera 
menjawab. Saat itu, Kampar dan ketiga 
temannya sudah kembali duduk bersila. 
Mereka memunggut golok masing-masing, 
dan golok yang berada di dalam 
genggaman tangan kanan, ditempelkan ke 
ujung jari telunjuk kirinya.

"Kami bersumpah untuk selalu 
setia," janji Kampar, diikuti ketiga 
temannya.
"Heh...?! Apa yang kalian 
lakukan...?" sentak Bayu.
Tapi belum juga hilang suara 
Pendekar Pulau Neraka, mereka sudah 
mengiris ujung jarinya dengan golok. 
Darah seketika mengucur keluar dari 
ujung jari yang teriris. Dan mereka 
langsung menyatukan jari yang berdarah 
itu.
"Edan...!" desis Bayu
"Itu tanda kesetiaan yang mereka 
tunjukkan, Kakang," jelas Sekar.
'Tapi, kenapa dengan cara seperti 
itu?"
"Mereka akan terhina jika kau 
menolak tanda kesetiaannya. Mereka 
lebih baik mati daripada ditolak."
Bayu jadi garuk-garuk kepalanya 
yang tidak gatal. Sementara, keempat 
orang itu sudah bangkit berdiri. Mereka 
kemudian mengulurkan tangan yang 
berlumuran darah kepada Pendekar Pulau 
Neraka. Sejenak pemuda berbaju kulit

harimau itu memandangi, tapi Sekar 
cepat mengambil tangan kanan Bayu, dan 
diulurkan ke depan. Saat itu juga, 
keempat orang laki-laki ini menempelkan 
tangan yang berlumuran darah, 
menggenggam tangan kanan Pendekar 
Pulau Neraka.
Mereka melepaskan tangan Bayu, 
kemudian berlutut di depannya. Lalu, 
mereka bersujud menempelkan kening di 
tanah. Bayu hanya diam memperhatikan 
saja. Setelah itu, keempat orang ini 
kembali bangkit berdiri.
"Demi Dewata yang bersemayam di 
Kahyangan, kami rela menyabung nyawa 
demi junjungan," ucap Kampar diikuti 
ketiga temannya.
"Kalian terlalu berlebihan," desis 
Bayu.
"Mereka akan mengikuti semua
perintahmu, Kakang," jelas Sekar.
Bayu hanya menghembuskan napas 
saja, dan tidak bisa lagi menolak Dan dia 
harus menghormati sumpah setia yang 
telah dilakukan empat orang ini.

***
Mendapatkan tambahan orang, 
memang tidak ada ruginya. Sejak adanya 
empat orang itu, Bayu jadi jarang 
mengeluarkan tenaga jika kebetulan 
dicegat orang-orang Kala Putih. Dan 
memang, semakin dekat dengan lembah 
tempat tinggal Kala Putih, semakin sering 
saja terjadi bentrokan. Bahkan 
pertumpahan darah pun tak dapat 
dihindari lagi. Tapi hal ini sebenarnya 
tidak diinginkan Pendekar Pulau Neraka.
Hingga akhirnya mereka sampai di 
tepi lembah yang cukup luas. 
Pemandangan di lembah ini begitu indah. 
Tapi di balik semua keindahan itu, 
tersimpan sejuta bahaya mengancam. 
Bayu berdiri tegak memandang ke arah 
lembah itu. Sementara, di samping 
kanannya berdiri Sekar. Sedangkan di 
belakang mereka, berjajar empat orang 
laki-laki bertampang kasar yang telah 
mengangkat sumpah setia untuk 
Pendekar Pulau Neraka.

"Kau lihat, Sekar. Setiap jengkal 
lembah ini dijaga ketat," kata Bayu sambil 
menunjuk ke arah lembah di depan 
mereka.
"Apa pun bahayanya, kita harus 
masuk ke sana, Kakang," tegas Sekar 
bertekad.
'Tapi tidak dengan cara 
serampangan," kata Bayu lagi.
Sekar terdiam. Bisa dimengerti 
maksud Pendekar Pulau Neraka. 
Kekuatan yang mereka miliki memang 
tidak sebanding, bila dilihat dari kekuatan 
yang dimiliki Kala Putih. Entah, berapa 
banyak pengikut Kala Putih. Di dalam 
hati kecilnya, sebenarnya Sekar juga tidak 
yakin bisa menembus penjagaan yang 
begitu ketat
Gadis itu menatap lurus tak 
berkedip ke arah bangunan besar yang 
dikelilingi tembok batu bagai benteng. Di 
dalam bangunan itulah Kala Putih 
bertempat tinggal, seperti berada di dalam 
sebuah istana kecil di tengah-tengah 
lembah yang indah dan luas ini. Se-
mentara Gunung Anjar yang

melatarbelakangi lembah ini, terlihat 
begitu angkuh, menjulang tinggi bagai 
hendak menembus langit.
Sementara itu, hari sudah 
menjelang senja. Matahari sudah begitu 
condong ke arah Barat Sinarnya tidak lagi 
terik membakar seperti tadi. Rona merah 
yang membias, menambah indahnya 
pemandangan alam di sekitar lembah ini. 
Tampak kabut mulai merayap turun dari 
Puncak Gunung Anjar. Udara pun mulai 
terasa dingin, menyusup sampai ke 
tulang.
"Sebaiknya, kita istirahat di sini 
sambil memildrkan cara untuk masuk ke 
sana," ujar Bayu, periahan suaranya.
"Apa tidak terlalu berbahaya berada 
di sini, Kakang?" tanya Sekar.
Belum juga Bayu sempat menjawab 
pertanyaan gadis itu, tiba-tiba saja 
mereka dikejutkan suara tawa yang 
datang dari belakang. Mereka langsung 
berbalik, dan terkejut begitu tiba-tiba di 
depan mereka kini telah berdiri seorang 
laki-laki berbaju kuning gading. Tubuh

nya kurus, dan kepalanya botak. Tanpa 
selembar rambut pun menghiasi.
Tak ada satu senjata pun terlihat, 
kecuali seuntai kalung dari batu hitam 
yang tergenggam di tangan kanannya. 
Jari-jari tangan yang kurus seperti tulang 
berbalut kulit, lincah mempermainkan 
untaian baru hitam itu. Dia berdiri sekitar 
empat batang tombak jauhnya.
"Kalian menyingkirlah," ujar Bayu.
Pendekar Pulau Neraka pernah 
melihat orang tua berjubah kuning ini di 
kedai, saat mereka beristirahat mengisi 
perut. Memang, saat itu mereka tidak 
bertegur sapa. Tapi Bayu selalu 
memperhatikannya dari sudut ekor 
matanya, kalau orang tua berjubah 
kuning ini tidak lepas mengamati Sekar. 
Dan sekarang, dia muncul lagi secara 
mengejutkan. Dari kemunculannya saja, 
Bayu sudah bisa mengira kalau orang tua 
ini memiliki tingkat kepandaian tinggi. 
Itulah sebabnya, Pendekar Pulau Neraka 
menyuruh Sekar dan empat orang yang 
mengikutinya menyingkir.


"He he he.... Kita bertemu lagi, 
Pendekar Pulau Neraka," kata orang 
berjubah kuning itu diiringi tawanya yang 
terkekeh.
"Ya! Meskipun tidak sempat 
bertegur sapa," sambut Bayu kalem.
"He he he...," kembali orang tua 
berjubah kuning itu terkekeh.
Dia melangkah ringan mendekati 
Pendekar Pulau Neraka. Sementara, Sekar 
dan empat orang laki-laki yang ikut 
bersamanya, sudah menyingkir ke tempat 
yang cukup aman. Sedangkan laki-laki 
tua berjubah kuning gading itu sudah 
berhenti setelah jaraknya tinggal beberapa 
langkah lagi di depan Bayu. Gerakan 
kakinya saat melangkah tadi, begitu 
ringan. Sehingga, tak terdengar suara 
sedikit pun. Dan Bayu semakin yakin 
kalau orang tua ini memiliki kepandaian 
yang tidak bisa dianggap enteng.
"Boleh aku tahu, siapa sebenarnya 
Kisanak ini...?" masih terdengar kalem 
suara Bayu.
"Orang-orang menyebutku Pendeta 
Laba-laba. Padahal, aku bukan seorang

pendeta. Bahkan tidak memiliki puri satu 
pun juga," orang tua itu memperkenalkan 
diri.
"Pendeta Laba-laba...," desis Bayu 
agak menggumam.
Pendekar Pulau Neraka kembali 
mengamati orang tua berjubah kuning di 
depannya dari ujung kepala hingga ke 
ujung kakinya. Keningnya sedikit 
berkerut saat memperhatikan. Orang tua 
ini memang lebih tepat dikatakan pendeta 
dengan penampilan demikian. Tapi, dia 
tidak mengakui kalau dirinya seorang 
pendeta.
"Dari mana kau bisa tahu namaku, 
Pendeta Laba-laba?" tanya Bayu lagi.
"Hanya orang tolol yang tidak 
mengenalimu, Pendekar Pulau Neraka," 
sahut Pendeta Laba-laba.
"Lalu, kenapa kau mengikutiku?" 
tanya Bayu lagi.
"Aku tidak mengikutimu. Tapi, 
mengikuti gadis itu. Kebetulan saja kau 
bersamanya," Pendeta Laba-laba 
menunjuk Sekar yang didampingi empat 
orang laki-laki bersenjata golok.


"Hm...," gumam Bayu periahan 
sambil melirik sedikit pada Sekar yang 
berada di tempat cukup aman.
Kembali Bayu melemparkan 
pandangan pada orang tua berjubah 
kuning di depannya. Dia belum tahu, apa 
maksud orang tua ini membuntuti Sekar. 
Apakah karena pedang yang dibawa 
Sekar, seperti yang diinginkan Kala 
Putih...?
"Untuk apa kau membuntutinya?" 
tanya Bayu ingin tahu.
"He he he.... Semua orang sudah 
tahu, gadis itu membawa Pedang Kawa 
Hijau. Rasanya terlalu bodoh kalau tidak 
ikut dalam periombaan ini," sahut 
Pendeta Laba-laba diiringi tawanya yang 
terkekeh.
"O...? Jadi kau juga berminat pada 
pedang itu...?" agak sinis nada suara 
Bayu, setelah tahu maksud Pendeta Laba-
laba ini.
"Aku rasa, kau juga berminat, 
Pendekar Pulau Neraka."

"Sayang sekali. Aku sama sekah 
tidak tertarik," dengus Bayu kurang 
senang.
"Oh, ya...? Juga dengan 
kemolekannya...?"
"Apa maksudmu, Kisanak...?"
"Gadis itu cantik sekali. Dan kau 
masih cukup muda, Pendekar Pulau 
Neraka. Aku rasa kau laki-laki waras 
yang...."
"Cukup...!" bentak Bayu cepat 
memutuskan kalimat Pendeta Laba-laba.
"He he he.... Kau memang pandai 
dengan cara pendekatan seperti itu. 
Sayang sekali, kita bertemu dalam 
suasana yang tidak menyenangkan ini. 
Maaf, aku terpaksa harus 
menyingkirkanmu lebih dahulu," kata 
Pendeta Laba-laba, mengandung 
ancaman,
Setelah berkata demikian, laki-laki 
tua berjubah kuning ini segera menggeser 
kakinya ke kanan beberapa langkah. 
Tatapan matanya begitu tajam, menyorot 
langsung ke bola mata pemuda berbaju 
kulit harimau di depannya. Seakan-akan,

dia sedang mengukur tingkat kepandaian 
yang dimiliki pendekar muda ini.
"Hup!"
Cepat sekali Pendeta Laba-laba 
menggerakkan kedua tangannya di depan 
dada. Kemudian sambil berteriak keras 
menggelegar, dia melompat menerjang 
Pendekar Pulau Neraka. Satu pukulan 
keras dilepaskan ke arah dada pemuda 
berbaju kulit harimau itu, disertai 
pengerahan tenaga dalam tinggi. 
"Hiyaaa...!" 
"Ufs! Yeaaah...!"
***
Tapi manis sekali Bayu 
memiringkan tubuh ke kiri. Sehingga, 
serangan Pendeta Laba-laba tidak sampai 
menghantam dadanya. Dan begitu 
pukulan laki-laki tua berjubah kuning itu 
lewat, cepat sekali Pendekar Pulau Neraka 
mengibaskan tangan kirinya, menyodok 
ke arah perut
"Hih!"
"Hup!"

Pendeta Laba-laba bergegas 
menarik kakinya ke belakang, dan 
langsung melentingkan tubuh ke bela-
kang sejauh beberapa langkah. Dan 
begitu kakinya menjejak tanah, cepat 
sekali kedua tangannya dihentakkan ke 
depan dengan jari-jari tangan terbuka 
lebar. Pada saat itu, dari telapak 
tangannya yang terbuka keluar serat-
serat putih yang meluncur deras ke arah 
Pendekar Pulau Neraka. Rupanya, si 
Pendeta Laba-laba langsung 
mengeluarkan jurus andalannya yang 
bernama jurus 'Jaring Maut'.
Rrrt...!
"Hiyaaa...!"
Cepat sekali Bayu melentingkan 
tubuhnya ke udara, menghindari 
terjangan serat-serat putih seperti jaring 
laba-laba itu. Beberapa kali dia 
melakukan putaran di udara, lalu manis 
sekali kakinya hinggap di atas dahan 
pohon. Maka, serat-serat putih itu hanya 
menghantam sebongkah batu yang cukup 
besar. 
Glarrr...!


"Gila...!" desis Bayu terkejut.
Batu itu seketika hancur berkeping 
keping tersambar ujung serat putih yang 
keluar dari telapak tangan si Pendeta 
Laba-laba. Dahsyat sekali jurus ' Jaring 
Maut itu! Bisa dibayangkan jika 
menghantam tubuh manusia. Pasti bakal 
hancur seperti batu yang besar dan keras 
itu!
"Hiyaaa...!"
Pendeta Laba-laba kembali 
menghentakkan kedua tangannya ke arah 
Bayu yang berada di atas pohon. Seketika 
serat-serat putih itu meluruk deras. Dan 
pada saat itu, Bayu sudah melentingkan 
tubuhnya untuk menghindar. Kembali dia 
melakukan putaran beberapa kali di 
udara, sebuah kakinya menjejak tanah. 
Satu ledakan keras kembali menggelegar. 
Tampak pohon tempat Bayu berada tadi 
hancur berkeping-keping terhantam serat 
putih itu.
"Ha ha ha...! Keluarkan semua 
kepandaianmu, Pendekar Pulau Neraka!"
Beberapa kali Bayu terpaksa 
berjumpalitan menghindari serangan

serangan serat putih itu. Suara-suara 
ledakan keras menggelegar pun terdengar 
saling susul. Sebentar saja, tempat di 
sekitar pertarungan itu sudah porak-
poranda. Batu-batu dan pepohonan 
hancur berkeping-keping terhantam serat-
serat putih yang keluar dari telapak 
tangan si Pendeta Laba-laba.
"Akan kucoba menangkap serat itu," 
desis Bayu di dalam hati.
Dan ketika si Pendeta Laba-laba 
kembali melancarkan serangannya, 
Pendekar Pulau Neraka tidak berusaha 
menghindari sedikit pun. Bahkan 
menunggu ujung serat itu sampai. Dan 
hal ini membuat si Pendeta Laba-laba jadi 
agak terkejut juga.
Dan sebelum lawan sempat 
menyadari apa yang akan dilakukannya, 
mendadak saja Pendekar Pulau Neraka 
sudah mengibaskan tangan kiri.
"Hap!"
Pendekar Pulau Neraka langsung 
mencekal ujung serat putih itu kuat-kuat. 
Dan sambil mengerahkan kekuatan 
tenaga dalam yang telah sempurna, Bayu


menghentakkan tangan kirinya ke atas 
kepala. Begitu cepat tindakannya, 
sehingga membuat di Pendeta Laba-laba 
jadi tersentak kaget. Dia tidak sempat lagi 
menahan sentakannya yang begitu kuat
"Whuaaa...!"
Bagaikan selembar daun kering, 
tubuh si Pendeta Laba-laba melayang ke 
udara. Dan belum juga bisa menguasai 
keseimbangan tubuhnya di udara, Pende-
kar Pulau Neraka sudah melesat ke atas
sambil melepaskan satu pukulan keras 
disertai pengerahan tenaga dalam yang 
sudah mencapai tingkat kesempurnaan.
"Hiyaaat..!"
Begkh!
"Akh.„!" Pendeta Laba-laba terpekik 
keras agak tertahan.
Pukulan Pendekar Pulau Neraka 
tepat menghantam lawannya. Akibatnya, 
laki-laki tua berjubah kuning gading itu 
terpental jauh ke belakang. Keras sekali 
punggungnya menghantam pohon yang 
cukup besar hingga tumbang. Pendeta 
Laba-laba bergulingan beberapa kali di 
tanah, lalu bergegas melompat bangkit

berdiri sambil memegangi dadanya yang 
mendadak jadi terasa sesak. Darah kental 
agak kehitaman tampak merembes keluar 
dari sudut bibimya. Namun, tubuhnya 
agak terhuyung-huyung, seakan-akan 
kakinya tidak sanggup lagi menopang 
berat tubuhnya.
Tangan kiri Pendeta Laba-laba 
bergetar menjulur ke depan. Mulutnya
agak terbuka dengan bibir menggeletar. 
Lalu, tiba-tiba saja dia jatuh terjungkal. 
Sebentar si Pendeta Laba-laba masih bisa 
bergerak, sesaat kemudian meregang 
kaku dan diam tak berkutik lagi. Mati!
"Phuih...!" Bayu menghembuskan 
napasnya yang berat.
Saat itu Sekar berlari-lari 
menghampiri Pendekar Pulau Neraka, 
diikuti Kampar dan ketiga temannya. 
Kampar mendekati tubuh Pendeta Laba-
laba. Diperiksanya tubuh kaku itu 
sebentar, kemudian menghampiri Bayu 
yang sudah didampingi Sekar.
"Dia sudah mati," kata Kampar 
memberi tahu

Bayu hanya diam saja. 
Pandangannya segera beredar ke 
sekeliling. Tempat ini begitu hancur, 
seperti baru saja terjadi gempa di sini. 
Kemudian, ditatapnya tubuh Pendeta 
Laba-laba yang terbujur tidak bernyawa 
lagi. Pukulan yang dilepaskan Bayu tadi, 
memang keras sekali. Terlebih, lagi 
disertai pengerahan tenaga dalam penuh 
dan sempurna. Akibatnya rongga dada 
orang tua berjubah kuning itu hancur 
seketika. Dan itulah yang membuatnya 
tak bernyawa lagi.
"Ayo kita tinggalkan tempat ini," 
ajak Bayu.
"Kenapa pergi, Kakang?" tanya 
Sekar.
"Mereka pasti mendengar suara-
suara ledakan tadi. Belum saatnya 
menghadapi mereka sekarang," jelas 
Bayu.
Tak ada yang membantah. Mereka 
bergegas meninggalkan tempat itu, 
dengan berlari cepat mempergunakan 
ilmu meringankan tubuh. Hingga, 
sebentar saja mereka sudah jauh dan

menghilang di dalam hutan yang cukup 
lebat.
Dugaan Bayu memang tepat. Begitu 
mereka hilang di dalam hutan, muncul 
beberapa orang di tempat itu. Mereka 
tampak terkejut melihat Pendeta Laba-
laba tergeletak tak bernyawa lagi. Tak ada 
luka terlihat di tubuhnya. Tapi, di 
mulutnya penuh darah yang 
menggumpal. Sementara dadanya seperti 
melesak ke dalam. Di antara mereka, 
tampak Balika yang membawa tombak 
pendek bermata tiga.
"Keparat..! Siapa yang melakukan 
ini...?!" geram Balika.
Laki-laki berperawakan tinggi 
dengan raut wajah memancarkan 
kebengisan itu mengedarkan pandangan 
ke sekeliling. Dia mendengus melihat 
tempat sekitamya tampak porak poranda 
seperti baru saja terjadi pertempuran 
dahsyat. Kemudian orang-orangnya 
diperintahkan untuk membawa Pendeta 
Laba-laba.
***

ENAM

Brakkk!
Kala Purih mengkelap marah bukan 
kepalang begitu mendapat laporan dari 
Balika tentang kematian Pendeta Laba

laba. Dalam beberapa hari ini, sudah 
puluhan anak buahnya yang tewas. Dan 
semuanya karena berurusan merebut 
Pedang Kawa Hijau dari tangan Sekar. 
Tapi yang membuat Kala Putih geram, 
sementara ini Sekar didampingi seorang 
pendekar muda yang namanya sudah 
sering terdengar. Pendekar digdaya yang 
bergelar Pendekar Pulau Neraka.
"Caraka, Balika, Kandara, dan kau, 
Sentanu.... Kumpulkan semua orang-
orang kita yang ada. Hancurkan mereka 
sekarang juga!" perintah Kala Purih gusar.
"Rasanya tidak perlu kita lakukan 
itu, Ki," sanggah Caraka.
"Kenapa? Kau takut...?" dengus 
Kala Putih sinis. 
"Kita masih memiliki senjata yang 
lebih ampuh, Ki," kata Caraka lagi.
"Apa maksudmu, Caraka?" 
"Anak itu."
Kala Putih terdiam. Seakan-akan 
baru disadari kalau memiliki satu senjata 
yang tak ada bandingnya di dunia ini. 
Sudah pasti, Sekar akan datang ke sini 
untuk membebaskan adiknya. Memang,

tak ada satu senjata pun di dunia ini yang 
bisa mengalahkan kasih sayang dan cinta. 
Sekar pasti akan melakukan apa saja 
untuk membebaskan adiknya dari 
tawanan Kala Putih.
"Ha ha ha...!" tiba-tiba saja Kala 
Putih tertawa terbahak-bahak.
"Rasanya kita tidak perlu susah-
susah mencarinya, Ki. Mereka pasti akan 
datang sendiri ke sini," saran Caraka lagi.
"Kau benar, Caraka. Gadis setan itu 
pasti datang ke sini untuk membebaskan
adiknya," sambut Kala Putih.
"Mereka hanya enam orang, Ki. 
Tidak sulit menghancurkannya," sambung 
Balika.
"Hm...," Kala Putih menggumam 
periahan. "Bagaimana anak itu?"
"Dia menangis terus. Makannya 
hanya sedikit," sahut Kandara.
"Aku tidak peduli dia mau makan 
atau tidak. Yang penting, dia belum mati 
sampai kakaknya datang ke sini!" dengus 
Kala Putih.
"Aku menjaganya baik-baik, Ki," 
tegas Kandara.

"Bagus! Tapi, sebaiknya kalian juga 
tetap mencari mereka. Kalau bisa, rebut 
pedang itu. Rasanya, aku akan lebih 
tenang kalau Pedang Kawa Hijau sudah 
berada di tanganku," ujar Kala Putih lagi.
"Baik, Ki," sahut empat orang itu 
serempak.
"Sebaiknya, kalian pergi sekarang," 
kata Kala
Putih lagi. "Dan, ingat! Selepas senja 
nanti, kalian kutunggu di tempat biasa.
"Baik, Ki," sahut mereka serempak.
Tanpa ada yang membantah sedikit 
pun, mereka segera beranjak pergi. 
Sementara, Kala Putih masih tetap duduk 
di kursinya sampai empat orang 
kepercayaannya tenggelam di balik pintu. 
Dan Kini perlahan-lahan dia bangkit 
berdiri, dan melangkah meninggalkan 
ruangan ini.
***
Sementara itu di dalam hutan yang 
cukup lebat, Bayu duduk bersila di depan 
api unggun bersama empat orang bekas

petugas pengawal barang kerajaan. Saat 
itu, malam sudah jatuh. Udara di sekitar 
hutan lereng Gunung Anjar ini begitu 
dingin. Bahkan api unggun yang menyala 
cukup besar ini tidak sanggup mengusir 
dinginnya udara malam ini.
"Kalian lihat Sekar?" tanya Bayu.
"Tadi ke sana," sahut Kala Putih 
sambil menunjuk.
"Kalian di sini saja."
Setelah berpesan, Pendekar Pulau 
Neraka bangkit berdiri dan melangkah ke 
arah yang ditunjuk Kala Putih. Ayunan 
kakinya begitu ringan, dan tak bersuara 
sedikit pun. Hutan ini begitu lebat, 
sehingga suasananya begitu gelap dan 
menyeramkan. Bayu terus mengayunkan 
kakinya semakin jauh meninggalkan
empat orang itu.
Sampai di tempat yang penuh batu, 
Bayu baru melihat Sekar tengah duduk di 
atas batu memandang ke arah lembah. 
Dari tempat yang cukup tinggi ini, lembah 
itu memang bisa terlihat jelas. Perlahan 
Bayu menghampiri dan berdiri di


belakang gadis itu. Lembut sekali 
tangannya disentuhkan ke bahu.
"Oh...!" Sekar tersentak kaget.
"Maaf, aku mengejutkanmu," ucap 
Bayu.
'Tidak...," sahut Sekar begitu tahu 
yang menyentuh bahunya adalah 
Pendekar Pulau Neraka.
Bayu duduk di samping gadis itu.
Sementara Sekar menggeser sedikit
duduknya, memberi tempat pada 
Pendekar Pulau Neraka. Mereka terdiam 
sambil memandang ke arah lembah yang 
bermandikan cahaya api obor. Suasana di 
lembah itu terlihat cukup semarak, 
seperti sedang pesta. Tapi, tak ada pesta 
di sana. Hanya terlihat orang-orang 
bersenjata saja yang hilir mudik di sekitar 
bangunan besar dikelilingi tembok batu 
bagai benteng.
"Kau teringat adikmu, Sekar...?" 
lembut sekali suara Bayu.
"Ya...," sahut Sekar agak mendesah. 
"Kuharap tidak terjadi sesuatu pada 
Wirya."

"Percayalah, Sekar. Kita pasti akan 
membebaskan adikmu," Bayu mencoba 
menguatkan hati gadis ini.
"Aku percaya padamu, Kakang."
Kembali mereka terdiam. 
Pandangan mereka tak terlepas ke arah 
lembah yang tampak terang benderang 
oleh cahaya api obor. Terlebih lagi, di 
dalam bangunan yang dikelilingi tembok 
benteng. Semua dalam keadaan terang, 
seakan-akan sengaja hendak menyambut 
kedatangan mereka.
"Sekar...."
Lembut sekali Bayu mengambil 
tangan gadis itu, dan menggenggamnya 
penuh kehangatan.
"Oh...," Sekar mendesah.
Sebentar gadis itu berpaling 
menatap wajah pemuda tampan di 
sampingnya, tapi cepat mengalihkan 
pandangannya ke arah lain. Rasanya tak 
sanggup membalas tatapan mata Bayu 
yang mengandung sejuta arti, dan sukar 
dilukiskan dengan kata-kata biasa.
'Tanganmu dingin. Kau sakit..?" 
masih terdengar lembut suara Bayu.

"Tid... tidak," sahut Sekar jadi 
tergagap.
Buru-buru gadis itu menarik 
tangannya dari genggaman Pendekar 
Pulau Nereka. Bayu membiarkan saja 
ketika Sekar bangkit berdiri, dan berjalan 
tiga langkah ke depan. Pemuda itu masih 
tetap duduk di batu yang datar dan pipih 
ini. Dipandanginya tubuh Sekar yang 
ramping dan padat dari belakang. 
Perlahan Bayu berdiri dan melangkah 
menghampiri. Pendekar Pulau Neraka 
berdiri dekat di sebelah kanan gadis ini. 
Sementara Sekar tak berpaling sedikit 
pun. Matanya tetap terarah ke lembah, 
tapi pikirannya jadi tidak tertuju ke sana. 
Entah, apa yang ada di dalam kepalanya 
saat ini.
Baru saja Bayu hendak membuka 
mulutnya, tiba-tiba saja terdengar suara 
mendesing dari arah kanan. Bayu 
berpaling sedikit. Seketika, tangannya 
cepat dikibaskan, begitu terlihat sebuah 
benda hitam meluncur deras ke arahnya.
Tap!

"Panah hitam...," desis bayu begitu 
benda yang meluncur deras ke arahnya 
berhasil ditangkap.
Bayu cepat-cepat menarik tangan 
Sekar, dan membawanya menjauh dari 
tempat ini. Tapi belum jauh mereka pergi, 
tiba-tiba saja di depan mereka ber-
lompatan tiga orang berbaju serba hitam. 
Kemudian, disusul seorang laki-laki 
bertubuh sedang dan berwajah cukup 
tampan. Tapi, luka codet yang memanjang 
membelah pipinya, mengurangi 
ketampanan wajahnya. Sebuah tombak 
pendek berujung runcing terselip di 
pinggangnya. Dialah Sentanu, salah 
seorang kepercayaan Kala Putih.
"Hebat...! Tidak percuma kau 
mendapat julukan Pendekar Pulau 
Neraka," terasa sinis nada suara Sentanu.
'Terima kasih," ucap Bayu diiringi 
senyum tipis.
"Rasanya, aku tidak periu banyak 
bicara. Kalian tentu tahu maksudku," 
kata Sentanu lagi.
"Dan aku juga tidak akan sungkan-
sungkan lagi," sambut Bayu yang sudah

bisa mengerti kemunculan empat orang 
ini.
"Serang dia...!" perintah Sentanu.
"Hiyaaat...!" 
"Yeaaah...!"
Tiga orang berbaju serba hitam itu 
cepat berlompatan menyerang Pendekar 
Pulau Nereka. Mereka langsung mencabut 
senjata berupa pedang berukuran 
panjang. Kilatan-kilatan cahaya 
keperakan seketika berkelebatan di 
sekitar tubuh pemuda berbaju kulit ha-
rimau itu. Dan Bayu segera berjumpalitan 
menghindari serangan-serangan ini 
Pendekar Pulau Neraka belum memberi 
serangan balasan, dan masih mempelajari 
jurus-jurus lawan sambil mengukur 
tingkat kepandaian mereka.
Sementara itu, Sentanu sudah 
melompat menyerang Sekar. Maka, gadis 
itu terpaksa menjauh dari Pendekar Pulau 
Neraka. Sentanu tidak tanggung-tanggung 
lagi. Langsung dikerahkannya jurus-jurus 
andalan yang maut dan dahsyat luar 
biasa. Akibatnya Sekar harus jungkir 
balik menghadapinya. Sementara Bayu

menghadapi keroyokan tiga orang, namun 
masih sempat memperhatikan Sentanu 
yang terus berusaha mendesak Sekar.
"Hm..., Sekar tidak akan tahan 
kalau digempur begitu terus," desah Bayu 
dalam hati.
Menyadari keadaan Sekar yang 
tampaknya semakin gawat, Pendekar 
Pulau Nereka segera melompat cepat. 
Langsung kedua tangannya dikibaskan 
dengan kecepatan bagai kilat, diimbangi 
gerakan kakinya yang cepat dan lincah.
"Yeaaah...!"
Begitu cepatnya gerakan yang 
dilakukan Pendekar Pulau Neraka, 
sehingga bentuk tubuhnya jadi 
menghilang. Dan yang terlihat kini hanya 
bayangan kuning tengah berkelebat 
menyambar ketiga orang berbaju serba 
hitam ini. Entah bagaimana kejadiannya, 
tiba-tiba saja ketiga orang itu berpentalan 
ke belakang sambil memekik keras 
melengking. Mereka seketika 
berpelantingan di atas tanah berbatu.
Pendekar Pulau Neraka tak lagi 
menghiraukan ketiga orang yang merintih

dan menggeliat kesakitan. Dia cepat 
melompat menerjang ke arah Sentanu 
yang hampir saja menghunjam senjatanya 
yang berupa tombak pendek berujung 
runcing ke dada Sekar yang sudah 
terpojok, dengan punggung menempel 
rapat pada pohon.
"Hiyaaa...!"
Plakkk!
"Akh...!"
***
Sentanu memekik agak tertahan 
begitu tangannya terkena tepakan 
Pendekar Pulau Neraka. Hampir saja 
tombak pendeknya terpental. Untung saja 
Sentanu segera memindahkannya ke 
tangan kiri. Cepat dia melompat mundur, 
melakukan putaran sekali.
"Setan...!" geram Sentanu berang.
Sementara itu, Bayu sudah berdiri 
tegak di depan Sekar. Sedangkan Sentanu 
semakin geram begitu melihat ketiga 
orangnya sudah terkapar tak berkutik 
lagi. Cepat-cepat tombak pendeknya

dipindahkan kembali ke tangan kanan, 
lalu melakukan beberapa gerakan cepat. 
Beberapa langkah Bayu menggeser 
kakinya ke kanan, memberi kesempatan 
pada Sekar untuk pindah tempat.
"Hiyaaat...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, 
Sentanu melompat cepat menyerang 
Pendekar Pulau Neraka. Tombak 
pendeknya berkelebat cepat beberapa kali, 
membuat Bayu terpaksa harus 
berjumpalitan menghindarinya. Beberapa 
kali ujung tombak pendek Sentanu 
hampir menghunjam kulit tubuh 
Pendekar Pulau Neraka. Tapi, sampai 
sejauh ini belum ada satu serangan pun 
yang berhasil menyentuh tubuh pemuda 
berbaju kulit harimau itu.
Pada saat itu terdengar semak 
bergemerisik. Sekar langsung berpaling ke
arah suara itu. Hampir saja pedangnya 
tercabut, ketika empat orang laki-laki 
muncul dari dalam semak belukar, Sekar 
menarik napas panjang. Sedangkan 
pedangnya yang sudah tercabut sedikit, 
kembali dimasukkan ke dalam warangka.

Ternyata mereka adalah Kampar dan 
ketiga temannya. Mereka bergegas 
menghampiri Sekar yang sudah kembali 
mengarahkan perhatian pada pertarungan 
itu.
"Sentanu...," desis Kampar
mengenali orang yang bertarung dengan 
Bayu.
"Kau kenal, Kampar?"
"Dia salah seorang yang merampok 
barang kawalanku," sahut Kampar agak 
mendesis suaranya.
Saat itu, pertarungan sudah 
berlangsung lebih dari sepuluh jurus. Dan 
beberapa kali sudah Pendekar Pulau 
Neraka melancarkan serangan balasan. 
Dan entah sudah berapa kali pula 
pukulannya masuk ke tubuh lawan. Tapi, 
Sentanu rupanya masih mampu bertahan 
dan melakukan serangan-serangan 
dahsyat dan berbahaya.
"Yeaaah...!"
Tiba-tiba saja Bayu merundukkan 
tubuhnya sedikit, dan cepat sekali 
melepaskan satu pukulan keras disertai

pengerahan tenaga dalam tinggi ke arah 
dada Sentanu.
"Uts!"
Sentanu cepat memiringkan 
tubuhnya ke kanan, menghindari pukulan 
itu. Tapi tanpa diduga sama sekali, tubuh 
Bayu cepat berputar sambil melepaskan 
satu tendangan menggeledek yang tidak 
terduga sama sekali. Akibatnya Sentanu 
jadi terperangah. Tak ada waktu lagi 
bagjnya untuk menghindar. Sehingga....
Diegkh!
"Aaakh...!"
Sentanu terpental jauh ke belakang. 
Keras sekali tubuhnya jatuh terlentang, 
tepat di depan kaki Sekar. Saat itu juga 
Sekar mencabut pedangnya. Dan....
"Sekar, jangan...!" sentak Bayu.
Tapi, terlambat!
"Aaa...!"
Sekar sudah lebih dahulu 
menghunjamkan pedang yang bercahaya 
kehijauan itu ke dada Sentanu.
Darah seketika menyembur keluar 
begitu Sekar mencabut pedangnya. 
Sebentar Sentanu menggelepar meregang

nyawa, kemudian mengejang kaku dan di-
am tak bemyawa lagi. Sekar kembali 
memasukkan pedang itu ke dalam 
warangkanya.
"Seharusnya kau tidak perlu 
membunuhnya, Sekar," Bayu menyesali 
tindakan gadis ini.
"Dia salah satu pembunuh ayahku," 
dengus Sekar.
Bayu menepuk pundak gadis ini, 
lalu mengajaknya berlalu dari tempat itu. 
Sementara empat orang yang tadi berada 
di belakang Sekar hanya diam saja 
memandangi. Mereka juga tidak menduga 
kalau Sekar akan melakukan hal itu. 
Memanfaatkan waktu yang hanya sedikit, 
untuk membalas kematian ayahnya pada 
Sentanu.
"Orang-orang seperti dia tidak 
pantas hidup, Kakang," kata Sekar masih 
dengan suara berat mendengus.
"Sudahlah.... Aku bisa mengerti 
perasaanmu," desah Bayu.
Bayu mengajak duduk gadis ini 
pada sebatang pohon yang tumbang 
melintang. Sekar hanya menurut saja. Dia

juga diam saja saat Bayu mengambil 
tangannya, lalu menggenggamnya erat-
erat dan hangat. Sekar hanya tertunduk 
saja, tapi bukannya tengah menyesali 
perbuatannya tadi.
"Rasanya tidak ada lagi tempat yang 
aman, Kakang," kata Sekar agak lirih 
suaranya. "Aku khawatir Kala Putih akan 
menyakiti Wirya."
"Kita memang akan menyelamatkan 
adikmu, Sekar. Tapi tunggulah saat yang 
tepat," hibur Bayu mencoba 
menenangkan hati gadis ini.
Bayu bisa merasakan apa yang 
tengah melanda hati gadis ini. Ayahnya 
tewas di tangan orang-orangnya Kala 
Putih. Dan sekarang adiknya ditawan 
mereka di lembah itu. Memang cukup 
sulit bagi Sekar menerima kenyataan ini. 
Kenyataan pahit yang harus 
ditanggungnya sendiri dalam usia yang 
masih muda.
Dan Bayu jadi terdiam, tidak tahu 
harus berkata apalagi menenangkan hati 
gadis ini. Pendekar Pulau Neraka seperti 
kehilangan kata-kata. Hanya tangannya

saja yang tetap menggenggam kedua 
tangan Sekar, seakan-akan ingin memberi 
satu kekuatan dari genggamannya itu.
"Aku tidak tahu, seandainya tidak 
ada kau, Kakang," kata Sekar lagi, lebih 
pelan suaranya.
"Ah, sudahlah.... Mungkin memang 
Dewata tidak menginginkan Kala Putih 
memiliki pedang ini," sahut Bayu 
merendah.
"Aku tidak tahu, dengan apa harus 
membalas budimu, Kakang."
"Jangan dipikirkan itu, Sekar. Yang 
paling penting sekarang, kita harus 
pikirkan bagaimana caranya 
menyelamatkan adikmu. Lalu, kau 
pikirkan masa depanmu sendiri. 
Tanggung jawabmu akan lebih besar 
nanti, Sekar," lembut sekali suara Bayu.
Sekar hanya menganggukkan 
kepala saja. Dia juga jadi tidak tahu lagi, 
apa yang harus dikatakannya. 
Pengorbanan yang diberikan Pendekar 
Pulau Neraka begitu besar. Dan tidak 
mungkin bisa membalasnya. Tapi, Bayu 
sendiri tidak pernah memikirkan hal itu.

Benaknya tengah sibuk memikirkan cara 
untuk masuk ke tempat tinggal Kala Putih 
dan menyelamatkan Wirya yang berada di 
dalam tawanan.
***
Sementara malam terus merayap 
semakin larut Di tepi bibir lembah, Bayu 
berdiri tegak mengamati sekitar lembah 
yang masih bertaburkan cahaya api obor. 
Di pundaknya, tampak monyet kecil yang 
bernama Tiren bertengger di situ. Puluhan 
orang bersen-jata golok masih terlihat 
berjaga-jaga di sekitarnya. Dan 
kebanyakan, mereka berada di sekitar 
bangunan yang seperti sebuah istana 
kecil dikelilingi tembok batu menyerupai 
benteng. 
"Hup!"
Tiba-tiba saja Bayu melompat cepat 
bagai kilat menuruni tebing lembah ini 
bersama Tiren di pundaknya. Gerakannya 
begitu ringan dan cepat, sehingga sukar 
diikuti pandangan mata biasa. Hanya

bayangan kuning saja yang terlihat 
berkelebat cepat memasuki lembah itu.
Bayu terus bergerak cepat 
mempergunakan ilmu meringankan tubuh 
yang sudah mencapai tingkat sempurna. 
Diputarinya lembah itu, dan baru 
berhenti setelah berada di bagian 
belakang bangunan istana kecil yang 
dikelilingi tembok benteng itu. 
"Hm...," gumam Bayu perlahan.
Sebentar Pendekar Pulau Neraka 
mengamati keadaan sekitarnya, kemudian 
kembali melesat cepat dan ringan sekali. 
Ternyata, di bagian belakang ini tidak 
terlihat seorang penjaga pun. Pendekar 
Pulau Neraka kembali berhenti, 
merapatkan tubuhnya ke dinding tembok 
batu yang berlumut cukup tebal ini.
"Tiren! Lihatlah ke dalam. Kalau
bisa, cari tempat Wirya ditawan," bisik 
Bayu pada monyet kecil di pundaknya.
"Nguk!"
Monyet kecil berbulu hitam itu 
rupanya mengerti semua yang dikatakan 
Bayu. Cepat binatang itu melompat naik 
ke atas tembok benteng ini. Sebentar dia

berhenti di bibir tembok, lalu berpaling 
pada Bayu sebentar. Kemudian dia 
melompat turun ke dalam.
Beberapa saat Bayu menunggu, lalu 
cepat melentingkan tubuhnya ke atas. 
Tanpa menimbulkan suara sedikit pun, 
kakinya hinggap di atas tembok benteng 
ini. Sebentar diamatinya keadaan 
sekeliling bagian belakang bangunan 
besar bagai istana ini. Ringan sekali Bayu 
berlari-lari di bibir tembok yang cukup te-
bal ini.
"Ufs!"
Tiba-tiba saja Pendekar Pulau 
Neraka menjatuhkan diri, dan 
merapatkan tubuh begitu terlihat dua 
orang berjalan menuju ke arahnya dengan 
golok di pinggang. Bayu sempat menahan 
napasnya ketika dua orang penjaga itu 
lewat di bawahnya. Belum juga bisa 
menghembuskan napas lega, mendadak 
saja dua orang penjaga itu berhenti tidak 
jauh darinya. Namun, salah seorang 
mendongak ke atas.
"Heh...!"
"Hup!"

Tak ada pilihan lagi bagj Bayu. 
Cepat Pendekar Pulau Neraka melompat 
turun, dan langsung melepaskan dua 
pukulan beruntun yang cepat disertai 
pengerahan tenaga dalam tinggi. Kedua 
orang penjaga itu tidak sempat lagi 
bersuara, dan langsung menggeletak 
jatuh begitu terkena pukulan Pendekar 
Pulau Neraka.
Tak ada suarapun yang terdengar. 
Bayu bergegas menyeret tubuh kedua 
penjaga ini, dan menyembunyikan ke 
dalam semak yang cukup rimbun.
"Hup...!"
Bergegas Pendekar Pulau Neraka 
melompat menuju ke arah rumah 
berukuran besar dan cukup megah itu. 
Tapi belum juga sampai, mendadak saja 
terdengar bentakan keras menggelegar.
"Hei...!"
"Oh...?!"
***

TUJUH

Sungguh Bayu tidak menyangka 
kalau kehadirannya bisa diketahui begitu 
saja. Dan belum lagi hilang 
keterkejutannya, mendadak saja 
berkelebat sebuah bayangan di depannya. 
Dan tahu-tahu, di situ sudah berdiri 
seorang laki-laki bertubuh tinggi besar

dan tegap. Di tangannya tampak 
tergenggam sebuah rantai baja berbandul 
bola besi berduri pada bagian ujung-nya.
"Rupanya tikus ini punya nyali 
besar juga," desis Kandara sinis.
Pendekar Pulau Neraka hanya diam 
memandangi saja. Pada saat itu, terlihat 
sekitar sepuluh orang berlarian ke tempat 
ini. Mereka semua bersenjata golok 
terhunus. Bayu sempat mellrlk ke arah 
sepuluh orang yang sudah berada di 
hadapannya. Mereka berdiri berjajar di 
belakang Kandara yang mengayun-
ayunkan rantai yang berbandul bola besi 
berduri.
"Bunuh dia...!" perintah Kandara 
lantang.
"Hiyaaa!"
"Yeaaah...!"
Seketika itu juga sepuluh orang 
yang berada di belakangnya, berlompatan 
cepat seraya mengebutkan golok 
menyerang Pendekar Pulauv Neraka. 
Tubuh Bayu segera melenting ke udara, 
melewati kepala orang-orang yang 
berhamburan menyerangnya. Beberapa

kali Pendekar Pulau Neraka melakukan 
putaran di udara, lalu manis sekali 
mendarat di belakang Kandara.
'Yeaaah...!"
Cepat sekali Kandara memutar 
tubuhnya sambil mengebutkan rantai 
baja yang berbandul besi berduri sebesar 
kepala itu. Bayu tersentak kaget tidak me-
nyangka. Cepat-cepat tubuhnya melesat 
ke udara, menghindari terjangan bola besi 
berduri tajam itu. Dan begitu kakinya 
menjejak tanah, dua orang bersenjata 
golok sudah menyerang, membabatkan 
golok ke arah dada.
"Hap!" 
Tap!
Tangkas sekali Bayu menangkap 
tangan kedua orang itu yang memegang 
golok. Lalu dengan mengerahkan 
kekuatan tenaga dalamnya, kedua tangan 
itu dihentakkan ke lututnya. Kedua orang 
itu menjerit keras. Terdengar suara 
berderak dari tulang tangan yang patah. 
Tidak hanya sampai disitu saja. Bayu 
dengan segera melepaskan cekalannya, 
dan memberikan satu gedoran keras

disertai pengerahan tenaga dalam 
sempurna.
Kembali kedua orang itu menjerit 
keras. Tubuh mereka terlontar jauh ke 
belakang, dan ambruk ke tanah tak 
bergerak-gerak lagi. Belum sempat Bayu 
menarik napas, satu serangan kembali 
datang menghampirinya dari arah kanan. 
Sebuah golok keperakan berkelebat cepat 
mengarah ke leher. Bergegas Pendekar 
Pulau Neraka menarik kepalanya. Dan 
begitu ujung golok lewat di samping 
lehemya, cepat dilepaskannya satu 
pukulan keras bertenaga dalam 
sempurna.
"Yeaaah...!"
Diegkh!
"Aaakh...!"
Satu jeritan panjang melengking 
tinggi terdengar lagi Kemudian, disusul 
ambruknya satu orang dengan kepala 
remuk terkena pukulan dahsyat Pendekar 
Pulau Neraka. Meskipun sudah tiga orang 
tergeletak tak bemyawa lagi, tapi tujuh 
orang lainnya yang masih bernapas tidak 
merasa gentar sedikit pun. Mereka

langsung merangsek menyerang Pendekar 
Pulau Neraka dari berbagai penjuru.
"Hiya! Yeaaah...!"
Kali ini Pendekar Pulau Neraka 
benar-benar tidak tanggung-tanggung 
lagi. Tubuhnya bergerak cepat laksana 
kilat, sambil melontarkan pukulan-
pukulan keras bertenaga dalam 
sempurna. Jeritan-jeritan panjang 
melengking tinggi terdengar saling susul 
dan menyayat Satu persatu, mereka yang 
menyerangnya berpentalan dan tergeletak 
tak bernyawa lagi.
Dalam waktu tidak berapa lama 
saja, tak ada seorang pun dari kesepuluh 
orang itu yang bisa bangkit lagi.
Sementara, Kandara mendesis geram 
melihat sepuluh orang bisa dirobohkan 
begitu mudah. Maka, cepat-cepat 
senjatanya dikebutkan sebelum Bayu 
sempat melonggarkan rongga dadanya. 
Bet! Wusss!
"Hup! Yeaaah...!" Bayu terpaksa 
berjumpalitan menghindari bola besi 
berduri yang melayang-Iayang seperti 
memiliki mata mengincar dirinya. Ke

mana saja tubuhnya berkelit, bola besi 
berduri itu selalu bergerak cepat 
mengikuti. Bahkan beberapa kali 
Pendekar Pulau Neraka terpaksa harus 
menjatuhkan diri ke tanah, dan 
bergulingan menghindari serangan-
serangan yang dilancarkan Kandara.
"Setan...!" desis Bayu menggeram. 
Tak ada kesempatan sendikit pun bagi 
Pendekar Pulau Neraka untuk balas 
menyerang. Kandara seakan-akan sengaja 
menjaga jarak, dan hanya 
mempermainkan senjatanya dengan 
lincah sekali. Kedua tangannya bergerak 
cepat mempermainkan rantai baja yang 
dihubungkan dengan bola besi berduri 
tajam itu. Dan jarak antara mereka 
memang semakin jauh. Namun, inilah 
yang diharapkan Kandara, sehingga Bayu 
benar-benar tidak punya kesempatan 
melakukan serangan balasan. 
"Ha ha ha...!"
Kandara tertawa terbahak-bahak 
melihat pemuda berbaju kulit harimau itu 
pontang-panting menghindari serangan-
serangan bola berdurinya. Rantai bajanya

terus dimainkan dengan tangkas sekali, 
diimbangi gerakan kaki yang begitu cepat 
dan ringan, mengikuti gerakan 
menghindar yang dilakukan Pendekar 
Pulau Neraka.
"Mampus kau sekarang, Keparat! 
Hiyaaa...!"
Kandara menghentakkan tangannya 
cepat sekali. SeketJka rantai baja yang 
berujung bola besi berduri itu meluruk 
deras mengarah ke dada Pendekar Pulau 
Neraka. Saat itu, Bayu baru saja bisa 
menjejakkan kakinya di tanah, setelah 
menghindari terjangan bola berduri itu. 
Maka, matanya terbeliak melihat senjata 
maut yang dahsyat itu meluruk deras ke 
arahnya cepat bagai kilat Tapi begitu bola 
besi berduri itu hampir menggedor dada 
Bayu, mendadak saja berkelebat secercah 
sinar hijau di depan dada Pendekar Pulau 
Neraka. Padahal, saat. itu pemuda 
berbaju kulit harimau ini hendak 
menangkap bola besi berduri milik 
Kandara.
Wusss!
"Heh...?!"

"Uts!"
Kandara terkejut setengah mati lalu 
cepat menarik pulang senjata nya. Tapi 
gerakannya terlambat Sinar kehijauan itu 
sudah menghantam bola besi berduri itu 
keras sekali.
Glarrr...!
Satu ledakan keras menggelegar 
terdengar dahsyat memekakkan telinga. 
Bayu yang juga terkejut tidak menyangka, 
cepat-cepat melentingkan tubuh ke 
belakang dan berputaran beberapa kali. 
Bunga api memijar, menyebar ke segala 
arah, disertai kepulan asap hitam akibat 
benturan bola besi berduri dengan sinar 
kehgauan yang tiba-tiba saja datang 
berkelebat
"Akh...!" Kandara terpekik agak 
tertahan.
Dia terpental ke belakang sejauh 
dua batang tombak. Tapi, Kandara cepat 
menguasai keseimbangan tubuhnya 
begitu menjejakkan kaki di tanah. Kan-
dara terbeliak melihat bola besi berduri 
andalannya hancur berkeping-keping. 
Dan lebih terbeliak lagi, begitu melihat

seorang gadis berdiri tegak di depan 
Pendekar Pulau Neraka dengan sebilah 
pedang bercahaya kehijauan melintang di 
depan.
"Kau...?!"
***
"Sekar...?! Kenapa kau berada di 
sini...?" Bayu juga terkejut melihat 
kemunculan gadis itu.
"Aku tidak akan membiarkanmu 
menyelesaikannya sendiri, Kakang," tegas 
gadis yang baru muncul itu. Dia memang 
Sekar.
"Bagus! Rupanya dua tikus bernyali 
besar sudah muncul di sini...!" tiba-tiba 
saja terdengar suara berat dan 
menggema.
Bayu dan Sekar langsung berpaling 
ke arah datangnya suara tadi. Entah 
kapan datangnya, tahu-tahu di atas atap 
bangunan besar bagai istana itu sudah 
berdiri seorang laki-laki tua berbaju serba 
putih bersih. Belum lagi hilang rasa 
keterkejutan Bayu dan Sekar, dari balik

dinding bangunan itu bermunculan 
orang-orang bersenjata terhunus. Bahkan 
di atas atap juga bersembulan orang-
orang yang sudah siap dengan pa-nah 
terbentang, siap dilepaskan.
Sebentar saja tempat itu sudah 
dikepung rapat Tak ada lagi celah untuk 
bisa keluar dari tempat ini. Saat itu, 
Kandara melompat naik ke atas atap, 
bergabung dengan yang lain. Dia berdiri 
hinggap di samping kanan laki-laki 
berbaju putih itu.
"Dialah Kala Purih," dengus Sekar 
memberi tahu sambil menunjuk laki-laki 
berbaju putih di atas atap.
Di samping kanan-kiri Kala Putih 
berdiri Balika dan Caraka selain Kandara 
yang baru saja naik ke atas atap ini. Ada 
sekitar dua puluh orang yang siap me-
lepaskan anak panah di sekitar mereka. 
Sedangkan di depan Bayu dan Sekar, 
tidak kurang dari lima puluh orang 
bersenjatakan golok terhunus.
"Kalau ada kesempatan, kau harus 
segera pergi dari sini," ujar Bayu berbisik

"Tidak! Aku harus menyelamatkan 
Wirya...!" sentak Sekar menolak tegas.
"Jangan gila, Sekar! Jumlah mereka 
terlatu banyak!" dengus Bayu sedikit 
kesal.
Sekar diam saja. Pandangannya 
langsung beredar ke sekeliling. Jumlah 
mereka memang banyak. Sedangkan dia 
hanya berdua saja dengan Pendekar Pu-
lau Neraka. Belum lagi Kala Putih yang 
berkepandaian tinggi, dan tidak bisa
dipandang enteng. Bahkan ditambah tiga 
orang pembantu kepercayaannya. Meski-
pun tidak setinggi Kala Putih, tapi mereka 
juga tidak bisa dianggap enteng. Sebentar 
kemudian, Sekar menatap wajah 
Pendekar Pulau Neraka yang sekarang 
sudah berada di sampingnya.
"Kau sendiri...?" tanya Sekar.
"Aku juga tidak sudi mati konyol di 
sini," sahut Bayu agak mendengus 
suaranya.
"Kau pegang ini, Kakang."
Bayu memandangi Sekar yang 
menyerahkan Pedang Kawa Hijau.


"Kau lebih membutuhkannya, 
Sekar," Bayu mencoba menolak
"Kau bisa melindungiku keluar dari 
sini dengan pedang ini, Kakang," Sekar 
memaksa.
"Baiklah...," Bayu menyerah. 
Pendekar Pulau Neraka menerima pedang 
itu dari tangan Sekar. Memang tidak ada 
pilihan lain lagi Baginya saat ini, yang 
penting Sekar mau menuruti kata-
katanya. Kalau pedang ini tidak 
diterimanya, sudah pasti Sekar tidak mau 
meninggalkan tempat ini.
"Kalau aku melompat, kau cepat 
melompat keluar," ujar Bayu berbisik.
"Baik" sahut Sekar. Pendekar Pulau 
Neraka memperhatikan orang-orang yang 
sudah mulai bergerak mendekati. 
Ditariknya tangan Sekar hingga gadis itu 
berada di belakangnya. Perlahan 
Pendekar Pulau Neraka juga bergerak 
mundur.
Sekar mengikuti menggeser kaki ke 
belakang perlahan-lahan, mengikuti 
irama kaki Pendekar Pulau Neraka. 
Sampai dekat dengan tembok benteng

yang mengelilingi bangunan bagai istana 
itu, Sekar berhenti melangkah mundur.
"Bersiaplah," ujar Bayu.
"Baik," sahut Sekar agak mendesah.
Sementara orang-orang yang 
mengepung terus bergerak semakin 
mendekati.
"Kau harus segera menemui 
Kampar. Paksa dia untuk meminta 
bantuan prajurit kerajaan," Bayu 
berpesan.
"Untuk apa...?" tanya Sekar tidak 
mengerti.
"Kau tidak akan sanggup 
menghadapi mereka sendirian, Sekar."
'Tapi, apa mungkin Kampar mau?"
"Katakan, kalau aku yang 
menyuruhnya."
Sekar hanya mengangguk saja. Saat 
itu, Kala Putih sudah berteriak lantang 
menggelegar memberi perintah.
"Seraaang...!"
Teriakan-teriakan keras 
menggelegar seketika itu juga terdengar 
memecah keheningan malam. Lebih dari 
lima puluh orang bersenjata golok

berhamburan ke arah Pendekar Pulau 
Neraka. Golok mereka terangkat ke atas 
kepala. Lalu sambil berlarian mereka 
berteriak-teriak membangkitkan semangat 
bertempur.
"Sekarang! Hiyaaa...!" seu Bayu 
tiba-tiba.
Saat itu juga, Bayu melentingkan 
tubuh ke atas.
"Hiyaaat..!"
Sekar cepat mengikuti Pendekar 
Pulau Neraka. Dia cepat melesat ke atas, 
berlindung di baBk pung-gung Pendekar 
Pulau Neraka. Rupanya, tanpa disadari 
pengaruh Pedang Kawa Hijau telah 
menjalar di tubuh Sekar. Meskipun, dia 
sudah tidak memegangnya lagi. Jadi, 
wajar saja bila Sekar mampu melompat ke 
atas demikian tingginya.
"Panah...!" teriak Kala Putih begitu 
melihat Bayu dan Sekar melesat ke udara.
Swinggg...!
Belum juga teriakan Kala Putih 
menghilang dari pendengaran, puluhan 
anak panah sudah berhamburan ke arah 
Bayu. Saat itu, Sekar sudah mencapai

bibir tembok benteng. Sedangkan Bayu 
masih melayang di udara. Pendekar Pulau 
Neraka cepat mengebutkan tangannya, 
menyampok panah-panah yang berham-
buran berdesingan di sekitamya.
"Lari cepat, Sekar...!" seru Bayu.
Tanpa menunggu perintah dua kali, 
Sekar segera melompat turun keluar dari 
lingkungan tembok benteng ini. 
Sementara, Bayu kembali meluncur turun 
sambil cepat mengebutkan tangannya, 
menangkis setiap panah yang mengarah 
ke tubuhnya.
Dan begitu kakinya menjejak tanah, 
Pendekar Pulau Neraka langsung 
disambut puluhan golok yang 
berkelebatan cepat di sekitar tubuhnya. 
Bayu berjumpalitan, menghindari setiap 
tebasan golok yang cepat datang dari 
segala penjuru. Maka, ruang geraknya
begitu cepat menyempit
"Setan...!" geram Bayu mendengus.
Tak ada kesempatan bagi Bayu 
untuk menggu-nakan senjata Cakra 
Mautnya. Namun, seketika Pendekar 
Pulau Neraka jadi teringat pedang yang

diberikan Sekar. Tanpa peduli kalau tidak 
pernah menggunakan pedang dalam 
pertarungan, pedang itu cepat dicabut 
dari warangkanya. Seketika, cahaya 
kehijauan menyemburat terang dari 
pedang ini.
"Hiyaaat..!"
Bayu langsung mengebutkan 
pedangnya disertai pengerahan tenaga 
dalam tinggi. Seketika itu juga terdengar 
jeritan panjang melengking saling sambut 
disusul bertumbangannya tubuh-tubuh 
bersimbah darah. Bayu sendiri sampai 
terkejut karena beberapa golok yang 
terbabat pedang ini langsung terpenggal 
buntung. Dan setiap kali pedangnya 
bergerak cepat, satu atau dua orang 
menjerit keras, lalu ambruk menggelepar 
berlumuran darah.
Dalam beberapa gebrak saja, sudah 
lebih dari lima belas orang tergeletak 
berlumuran darah tak bemyawa lagi. 
Bukan hanya mereka yang terkejut.
Bahkan Bayu juga tidak mengerti dengan 
semua ini. Tangannya tidak merasa 
menggerakkan pedang ini. Dan

sepertinya, pedang bercahaya kehijauan 
ini bisa bergerak sendiri, berkelebat 
membabat orang-orang yang berada di 
dekatnya.
***
"Mundur...!" teriak Kala Putih tiba-
tiba.
Mereka yang mengeroyok Bayu, 
langsung berlompatan mundur begitu 
mendengar teriakan keras Kala Putih. 
Tidak kurang dari dua puluh orang kini 
sudah bergelimpangan bersimbah darah 
tak bemyawa Jagi. Bau anyir darah begitu 
cepat menyebar, merasuk ke lubang 
hidung. Bayu berdiri tegak, dan Pedang 
Kawa Hijau tampak tergenggam di tanah 
kanannya.
Pendekar Pulau Neraka bagaikan 
malaikat maut pencabut nyawa dengan 
pedang bercahaya kehijauan berada 
dalam genggaman tangan kanannya. 
Sinar matanya begitu tajam merayapi 
orang-orang yang berada agak jauh di 
sekitamya. Kemudian ditatapnya Kala

Putih yang masih berada di atas, 
cfidampingi tiga orang pembantu 
kepercayaannya.
Kala Putih yang memang 
menginginkan Pedang Kawa Hijau itu, jadi 
berbinar matanya. Tapi hatinya juga 
geram, karena pedang itu sudah meminta 
nyawa anak buahnya begitu banyak. 
Terlebih lagi, sekarang ini pedang 
idamannya berada di tangan seorang pen-
dekar muda berkepandaian tinggi yang 
sudah tidak asing lagi di kalangan rimba 
persilatan.
"Kala Putih, gadis itu sudah kabur," 
jelas Balika.
"Aku tidak peduli!" dengus Kala 
Putih.
Dan memang, sebenarnya yang 
diincar bukanlah Sekar, tapi Pedang Kawa 
Hijau yang kini berada di dalam 
genggaman tangan Pendekar Pulau 
Neraka.
"Kalian bertiga, bunuh bocah setan 
itu!" perintah Kala Putih.
Tanpa menunggu perintah dua kali, 
tiga orang pembantu kepercayaan Kala

Putih langsung berlompatan turun. 
Gerakan mereka begitu ringan, tak sedikit 
pun menimbulkan suara begitu menjejak 
tanah. Mereka kembali berlompatan 
mendekati Bayu.
"Hiyaaat..!"
Balika langsung melakukan 
serangan. Senjatanya yang berupa trisula, 
langsung ditusukkan ke arah dada 
Pendekar Pulau Neraka. Tapi hanya 
sedikit saja Bayu memiringkan tubuhnya, 
maka tusukan senjata Balika tidak 
mengenai sasaran.
Bahkan tanpa diduga sama sekali, 
Bayu mengebutkan pedangnya ke arah 
perut Balika dengan kecepatan luar biasa. 
Akibatnya, Balika tersentak kaget tidak 
menyangka. Buru-buru senjatanya 
ditarik, dan cepat dikibaskan menangkis 
pedang bercahaya kehijauan itu
Tranggg!
"Heh...?!"
Balika tersentak kaget setengah 
mati begitu senjatanya beradu dengan 
pedang di tangan Pendekar Pulau Neraka. 
Seluruh tubuhnya jadi menggeletar bagai

tersengat lebah. Bahkan senjata 
kebanggaannya jadi terpenggal dua. 
Belum lagi Balika dapat meng-hilangkan 
keterkejutannya, Bayu sudah 
melancarkan satu serangan kilat yang 
mendadak.
"Hiyaaa...!"
Cepat sekali kaki kanan Pendekar 
Pulau Neraka melayang ke arah dada, di 
saat Balika tengah terpana melihat 
senjatanya terpenggal buntung oleh 
Pedang Kawa Hijau. Maka, serangan Bayu 
yang begitu cepat, tak dapat lagi 
dihindari.
Des!
"Akh...!" Balika memekik keras.
Tubuh Balika terpental jauh ke 
belakang, dan keras sekali menghantam 
tanah. Tendangan yang dile-paskan Bayu, 
begitu keras karena disertai pengerahan 
tenaga dalam sempurna. Sebentar Balika 
menggeliat, kemudian diam tak berkutik-
kutik lagi. Hanya tiga kali gebrakan saja, 
Balika sudah terkapar tak bernyawa lagi 
Dadanya tampak melesak hancur terkena 
tendangan Bayu tadi.

"Setan! Hiyaaat..!"
Caraka begitu geram melihat Balika 
sudah tergeletak tak bernyawa lagi. 
Bagaikan kilat, golok yang berukuran 
besar dikibaskan ke arah kepala Pendekar 
Pulau Neraka. Tapi, Bayu berhasil 
mengelakkan serangan itu dengan 
merundukkan kepala. Dan begitu golok 
Caraka yang berukuran besar itu lewat di 
atas kepala, bergegas Bayu menegakkan 
kepalanya lagi. Seketika kakinya ditarik 
ke belakang dua langkah.
Bet!
Cepat sekali Pendekar Pulau Neraka 
mengebutkan pedangnya, ketika Caraka 
kembali melakukan serangan golok ke 
dada. Melihat Pendekar Pulau Neraka itu 
hendak menangkis, Caraka cepat menarik 
pu lang goloknya. Tapi tanpa diduga sama 
sekali, pedang bercahaya kehijauan itu 
meliuk indah. Dan tahu-tahu, sudah 
berada di depan dada Caraka. 
"Heh...?!"
Caraka jadi terkejut setengah marl. 
Buru-buru tubuhnya indenting, berputar 
ke belakang. Sehingga, tusukan Pedang

Kawa Hijau itu tidak sampai mengenai 
sasaran.
"Hiyaaat..!"
Sebelum Pendekar Pulau Neraka 
bisa menarik pulang pedangnya, tiba-tiba 
saja Kandara sudah melompat 
menyerang. Pedang hitam yang selalu 
tersembunyi di balik bajunya, kini telah 
berada di tangan kanannya bergerak 
cepat mengibas ke arah leher Pendekar 
Pulau Neraka. Tapi tanpa diduga sama 
sekali, Bayu tidak berusaha menghindar. 
Dan begitu mata pedang berwarna hitam
pekat itu hampir menebas lehernya, cepat 
dan tiba-tiba sekali Bayu mengebutkan 
pedangnya ke depan.
"Kandara, awas...!" seru Caraka 
memperingatkan.
Tapi peringatan Caraka rupanya 
terlambat Karena, tubuh Kandara sudah 
condong ke depan, maka sukar untuk 
bisa ditarik kembali. Dan tak pelak lagi, 
pedang di tangan Bayu menembus dada 
hingga ke punggung. Kandara langsung 
menjerit keras melengking tinggi.
"Hih!"

Begitu Bayu mencabut pedangnya 
kembali, Kandara langsung limbung. 
Tubuhnya ambruk menggele-par di tanah. 
Darah bercucuran deras dari dadanya 
yang berlubang hingga tembus ke 
punggung. Beberapa saat Kandara masih 
menggeliat meregang nyawa, kemudian 
mengejang kaku tak bergerak-gerak lagi. 
Tewas!
"Keparat..!" geram Kala Putih yang 
sejak tadi menyaksikan pertarungan itu.
***

DELAPAN

"Kalian semua, serang bocah setan 
itu...!" teriak Kala Putih memberi 
perintah.
Teriakan Kala Putih begitu keras 
menggelegar, bagai guntur meledak di 
angkasa. Dan seketika itu juga, semua 
orang yang ada di halaman belakang ba-
ngunan besar bagai istana kecil itu 
berhamburan sambil berteriak-teriak 
meluruk mendekati Pendekar Pulau 
Neraka.
Tapi sebelum mereka dekat, tiba-
tiba saja dari batik tembok benteng yang 
mengelilingi bangunan bagai istana ini

bermunculan empat orang yang 
mengikub" Bayu. Empat orang yang telah 
mengangkat sumpah setia pada Pendekar 
Pulau Neraka.
Bayu tidak sempat 
memperhatikannya, karena sudah 
mendapat serangan-serangan yang 
beruntun dari beberapa arah. Pendekar 
Pulau Neraka kembali sibuk menerima 
serangan-serangan yang begitu gencar 
dan membahayakan. Bayu berlompatan, 
berjumpalitan, menghindari setiap 
serangan yang datang, disertai tebasan 
pedangnya yang memancarkan cahaya 
kehijauan.
Teriakan-teriakan pertempuran kini 
diwarnai jerit dan pekik kematian yang 
saling susul. Tubuh-tubuh berlumuran 
darah pun kembali terlihat 
bergelimpangan satu persatu. Kali ini, 
mereka tidak hanya menghadapi 
Pendekar Pulau Neraka, tapi juga harus 
menghadapi Kampar dan ketiga temannya 
yang baru datang.
Saat itu, Bayu baru bisa 
memperhatikan keempat orang bekas

petugas pengawal barang kerajaan yang 
bertempur penuh semangat bagai banteng 
liar terluka. Golok mereka berkelebatan 
cepat, membabat siapa saja yang 
mencoba mendekat Entah sudah berapa 
orang yang bergelimpangan tak bemyawa 
lagi. Tapi pertarungan itu tampaknya 
masih akan terus berlangsung cukup 
lama.
"Hup! Yeaaah...!"
Tiba-tiba saja Pendekar Pulau 
Neraka melesat cepat bagaikan kilat, dan 
mendarat di dekat Kampar. Langsung 
pedangnya berkelebat cepat membabat 
satu orang yang mencoba membokongnya 
dari belakang. Orang itu menjerit keras 
melengking tinggi, begitu pedang di 
tangan Bayu membelah dadanya.
"Kenapa kau ke sini...?" tanya Bayu.
"Kami mengkhawatirkan 
keselamatanmu," sahut Kampar tanpa 
menghentikan pertarungannya.
"Kau tidak bertemu Sekar...?" tanya 
Bayu lagi.
"Tidak," sahut Kampar.
"Edan...!" desis Bayu jengkel.

Bayu sempat melirik ke atas atap. 
Dan di sana sudah tidak terlihat Kala 
Putih lagi. Sedangkan Caraka sibuk 
bertarung bersama Gandil menghadapi 
lawan.
"Mundur kau, Gandil! Hiyaaat..!" 
teriak Bayu keras menggelegar.
Seketika itu juga Pendekar Pulau 
Neraka melesat cepat ke arah Gandil. 
Langsung Pedang Kawa Hijau 
dibabatkannya. Sekali berkelebat saja, 
tiga orang langsung menjerit dan 
menggelepar di tanah. Begitu Bayu 
muncul, Gandil cepat-cepat melompat 
mundur. Tanpa berkata apa-apa lagi, 
Bayu langsung merangsek Caraka yang 
menggunakan golok berukuran besar 
sebagai senjatanya.
Mendapat serangan yang begitu 
cepat dan tiba-tiba, Caraka jadi kelabakan 
setengah mati. Tubuhnya berjumpalitan, 
berusaha menghindari tebasan-tebasan 
pedang bercahaya kehijauan yang 
dilancarkan Pendekar Pulau Neraka. 
Hingga akhirnya....
"Hiyaaa...!"

Satu tebasan kilat yang dilancarkan Bayu, 
tak dapat lagi dihindari Caraka. Pedang 
itu tepat menyabet lehemya, dan tak ada 
suara sedikit pun yang terdengar. Caraka 
hanya mampu berdiri sebentar, kemudian 
jatuh menggeletak dengan kepala 
menggelinding terpisah.
"Kalian hadapi mereka...!" seru 
Bayu keras.
Saat itu juga, Pendekar Pulau 
Neraka melompat cepat melewati 
beberapa kepala. Pedangnya masih 
sempat dibabatkan, menjatuhkan 
beberapa orang, sebelum berada di luar 
arena pertarungan. Ringan sekali gerakan 
Pendekar Pulau Neraka saat melompat ke 
atas atap. Seperti seekor kucing, kakinya 
mendarat di atap bangunan besar dan 
megah ini. Matanya langsung beredar 
tajam berkeliling. 
"Hup! Yeaaah...!"
***
Begitu Bayu melihat Kala Putih 
sedang mendesak seorang gadis di bagian

halaman depan bangunan megah ini, 
secepat kilat melesat ke arah pertarungan 
itu. Tepat di saat itu, Kala Putih 
menghentakkan tangannya ke depan. 
Sehingga dari telapak tangan yang ter-
buka, meluncur deras secercah cahaya 
merah ke arah gadis itu.
"Yeaaah...!"
Cras!
"Heh...?!"
Kala Putih tersentak kaget begitu 
tiba-tiba serang-annya terpantul ke arah 
Iain. Satu kilatan cahaya kehijauan 
membuat sinar merah itu terpental. Dan 
Kala Putih semakin terkejut melihat Bayu 
yang tiba-tiba saja sudah berdiri di 
depannya, melindungi gadis cantik yang 
ternyata adalah Sekar.
"Setan alas...!" geram Kala Putih 
berang.
"Kau lawanku, Kala Putih!" desis 
Pendekar Pulau Neraka dingin.
"Phuih!" Kala Putih menyemburkan 
ludahnya.
Sementara itu, Sekar yang tadi 
terjajar tergeletak di tanah sudah bisa

bangkit berdiri. Kakinya melangkah
mundur beberapa tindak. Hatinya 
gembira melihat Bayu muncul pada saat 
yang tepat Sementara, Pendekar Pulau 
Neraka tidak sempat memperhatikan Se-
kar, karena Kala Putih sudah cepat 
melompat menyerangnya. Trekkk!
Pendekar Pulau Neraka 
memasukkan Pedang Kawa Hijau ke 
dalam warangka. Tubuhnya langsung 
melenting ke udara, menghindari pukulan 
keras yang diIancarkan laki-laki tua 
berjubah putih itu. Dua kali Bayu 
berputaran di udara, sebelum kakinya 
menjejak tanah di belakang tubuh Kala 
Putih. Sambil memutar tubuhnya, Bayu 
melayangkan satu tendangan berputar 
disertai pengerahan tenaga dalam 
sempurna.
"Hiyaaat..!"
"Uts!"
Tendangan Bayu berhasil dielakkan 
laki-laki tua inL Dan tubuhnya cepat 
memutar berbalik tepat di saat Bayu juga 
berbalik. Mereka kembali bertarung 
menggunakan jurus-jurus andalan yang

dahsyat dan sangat berbahaya. Kini 
pertarungan itu langsung ber-jalan pada 
tingkat yang tinggi.
Beberapa jurus berlalu cepat Dan 
tampaknya, pertarungan masih akan 
terus berlangsung lama. Mereka sahng 
melancarkan serangan-serangan dahsyat.
Sedikit kelengahan, bisa berakibat parah. 
Sementara itu, diam-diam Sekar 
meninggalkan halaman ini. Gadis itu 
menghilang entah ke mana karena 
memang tak ada yang memperhatikan 
kepergiannya.
Sret!
Memasuki jurus yang kedua puluh, 
Kala Putih mengeluarkan senjatanya 
berupa tongkat pendek berwarna putih 
bagai baja. Dengan senjata yang selalu 
tersembunyi di balik bajunya, laki-laki tua 
itu semakin ganas saja. Serangan-
serangan yang dilancarkannya semakin 
dahsyat dan berbahaya. Tapi, sampai saat 
ini Bayu masih menandinginya dengan 
tangan kosong. Sama sekali Pedang Kawa 
Hijau yang berada di dalam warangka di 
tangan kirinya tidak dipergunakan.

"Awas kaki...!" seru Bayu tiba-tiba.
Seketika itu juga kaki Pendekar 
Pulau Neraka melayang cepat menyampok 
ke arah kaki Kala Putih. Tentu saja laki-
laki tua itu jadi terkejut dan cepat me-
lompat menghindari sepakan kaki lawan 
seraya mengibaskan tongkat putihnya. 
Tapi tanpa diduga sama sekali, Bayu 
memutar tubuhnya. Lalu cepat sekali tu-
buhnya melenting sambil menghentakkan 
tangan kanannya ke depan.
Plak!
"Akh...!"
Kala Putih melintir begitu tangan 
yang memegang tongkat tersambar keras. 
Untung tongkatnya masih bisa 
digenggam, sehingga tidak terlepas. Kala 
Putih mendengus keras, menyemburkan 
ludahnya dengan kesal. Tangan kanannya 
memerah bagai terbakar dan terasa panas 
menyengat.
Dret!
Kala Putih cepat menarik kedua 
ujung tongkatnya. Maka seketika itu juga, 
tongkat putih itu terpotong menjadi dua 
bagian. Pada kedua ujung yang terpotong

itu terlihat mata pisau menyembul 
berkilatan tertimpa cahaya bulan.
"Hiyaaat..!"
Kala Putih kembali cepat menyerang 
Pendekar Pulau Neraka. Menghadapi 
lawan yang menggunakan senjata tajam 
pada kedua tangannya, Bayu tidak lagi 
tanggung-tanggung. Pedang Kawa Hijau 
yang sejak tadi tersimpan di dalam 
warangka cepat dicabutnya.
Sret!
Bet!
Bayu langsung mengebutkan 
pedang itu ke depan. Maka, Kala Putih 
cepat melompat ke belakang menghindari 
tebasan pedang yang memancarkan 
cahaya kahijauan itu. Laki-laki tua ini 
tahu betul kehebatan pedang itu. Maka, 
agak terkesiap juga hatinya. Dan 
pertarungan pun kembali berlangsung, 
antara hidup dan mati.
***
Jurus demi jurus berlangsung cepat 
Entah, sudah berapa jurus berlalu, tapi

belum juga ada tanda-tanda akan 
berakhir. Mereka sama-sama tangguh, 
dan memiliki kepandaian tinggi. Sehingga, 
sukar diketahui kelemahan masing-
masing. Pertarungan pun berlangsung
cepat sehingga tubuh mereka seakan-
akan lenyap. Dan hanya bayangan-
bayangan saja yang bergerak berkelebat 
cepat saling sambar.
"Lepas...!" seru Bayu tiba-tiba.
Cepat sekali tangan kiri Pendekar 
Pulau Neraka bergerak mengibas. Begitu 
cepatnya, sehingga Kala Putih tidak 
sempat menyadari. Dan tanpa diduga 
sama sekali, kibasan tangan kiri Bayu 
keras sekali menghan tarn tangan kanan 
Kala Putih.
Plak!
"Akh...!" pekik Kala Putih kaget
Tongkat yang berada di tangan 
kanannya seketika terpental tinggi ke 
angkasa. Belum lagi Kala Putih bisa 
menghilangkan keterkejutan, tiba-tiba 
saja Bayu sudah membabatkan Pedang 
Kawa Hijau ke arah perut
"Yeaaah...!"

Bet!
"Ikh!"
Kala Putih tak dapat lagi 
menghindar. Cepat tongkat di tangan 
kirinya dikebutkan, menangkis serangan 
pedang Pendekar Pulau Neraka.
Tranggg!
"Heh...?!"
Lagi-lagi Kala Putih terperanjat, 
karena tongkatnya terbabat buntung jadi 
dua bagian. Pada saat itu, Bayu sudah 
melepaskan satu tendangan keras disertai 
pe-ngerahan tenaga dalam tinggi.
Diegkh!
Tendangan Bayu mendarat telak di 
dada Kala Putih. Akibatnya, orang tua 
berbaju putih itu jadi terpekik keras. 
Tubuhnya terhuyung-huyung ke 
belakang. Namun Bayu tidak memberi 
kesempatan lagi pada orang tua itu untuk 
menguasai keseimbangan tubuhnya. 
Langsung Pendekar Pulau Neraka 
melompat cepat bagaikan kilat sambil 
membabatkan pedang ke arah leher.
"Hiyaaat...!" 
Bet! Cras!

"Aaa...!"
Satu jeritan panjang melengking 
tinggi terdengar keras menyayat. Ujung 
pedang bercahaya kehijauan itu tepat 
membabat tenggorokan Kab Putih. Darah 
seketika muncrat keluar deras sekali. 
Tidak hanya sampai di situ saja. Bayu 
kembali menusukkan pedangnya ke dada 
Kala Putih yang sudah tidak terlindung 
lagi. Maka, pedang bercahaya kehijauan 
itu langsung amblas ke dada Kala Putih, 
hingga ke punggung.
"Hup!"
Bayu cepat melompat mundur 
melepaskan pedang yang memanggang 
dada Kala Putih. Sebentar orang tua itu 
masih bisa berdiri limbung, kemudian 
ambruk di tanah berumput yang basah 
oleh embun. Kala Putih mengerang dan 
menggelepar di tanah. Sementara darah 
semakin banyak keluar dari leher dan 
dadanya. Cukup lama juga Kala Putih 
meregahg, lalu seluruh tubuhnya 
mengejang dan terkulai tak bernyawa lagi. 
Bayu menghembuskan napas panjang.

Keringat tampak membasahi seluruh 
tubuhnya. 
"Kakang...!"
Bayu berpaling begitu mendengar 
panggilan seorang gadis. Tampak Sekar 
berlari-lari kecil sambil menggandeng 
seorang anak laki-laki berusia sepuluh 
tahun. Bayu memutar tubuhnya berbalik. 
Bibirnya bngsung tersenyum melihat anak 
kecil itu menggendong monyet kecil yang 
begitu dikenalinya. Rupanya, Tiren 
berhasil menemukan anak itu.
Tiren langsung melompat ke 
pundak, dan meme luk leher Pendekar 
Pulau Neraka. Pada saat itu, Kampar 
datang menghampiri diikuti tiga orang 
temannya yeng menggotong sebuah peti 
berukuran cukup besar, terbuat dari besi.
"Aku senang kalian semua selamat," 
ungkap Bayu diiringi senyuman.
"Semua ini karena jasamu, 
Kakang," kata Sekar.
"Benar. Kami semua tidak tahu, 
dengan apa harus membalas jasamu," 
sambut Kampar.

Pendekar Pulau Neraka hanya 
tersenyum saja.
"Apa itu?" tanya Bayu menunjuk 
peti besi di belakang Kampar.
"Barang-barang kerajaan yang 
mereka rampok dulu," sahut Kampar.
"Masih utuh?"
'Tidak berkurang sedikit pun." 
"Syukurlah."
Mereka terdiam beberapa saat.
"Kalian tentu akan 
mengantarkannya ke istana," tebak Bayu 
lagi.
"Benar. Kami harus membersihkan 
nama kami semua dengan membawa 
barang ini pada Gusti Prabu," sahut 
Kampar.
"Bagaimana denganmu, Sekar?" 
tanya Bayu.
"Aku akan ke Bukit Langkas. Ada 
bibiku di sana," jawab Sekar.
"Sebaiknya, kalian semua ikut dulu 
ke istana. Aku memerlukan saksi untuk 
menjelaskan semuanya pada Gusti 
Prabu," pinta Kampar berharap.
"Kau saja, Sekar," ujar Baya

"Kakang...?" tanya Sekar.
"Masih ada yang harus kukerjakan. 
Maaf, aku tidak bisa mengantarkan kalian 
semua."
"Sayang sekali...," desah Kampar.
Bayu hanya tersenyum saja, sambil 
menepuk-nepuk pundak Kampar.
"Baiklah. Aku akan mengantarkan 
kalian sampai ke perbatasan kota saja," 
kata Bayu menyerah.
Pendekar Pulau Neraka kemudian 
mencabut pedang yang menancap di dada 
Kala Purih, dan memasukkan ke dalam 
warangka kembali. Lalu, diserahkannya 
pedang itu pada Sekar.
"Jaga dan rawat pedang ini baik-
baik," pesan Bayu.
"Kau tidak ingin memilikinya?"
Bayu menggeleng dan tersenyum.
"Pusaka ini milikmu, Sekar. Tak ada 
seorang pun yang berhak memilikinya. 
Hanya kau dan adikmu yang berhak," 
ujar Bayu lembut.
"Terima kasih," hanya itu yang bisa 
diucapkan Sekar.
"Ayo, kita berangkat," ajak Bayu.

                               SELESAI


Serial Pendekar Pulau Neraka
dalam episode-episodenya yang menarik:
1. GEGER RIMBA PERSILATAN
2. PEMBALASAN RATI) SIHIR
3. LAMBANG KEMATIAN
4. CINTA BERLUMUR DARAH
5. PENGANTIN DEW A RIMBA
6. PENDEKAR KEMBAR
7. JAGO DARI SEBERANG
8. PESANGGRAHAN GOA LARANGAN
9. MENEMBUS LORONG MAUT
10. MUSTIKA DEWI PELANGI
11. BUNGA DALAM LUMPUR
12. GADIS BURONAN
13. ISTANA IBLIS
14. DI BALIK GAPING BAMBU
15. UNGKARAN RANTAI SETAN
16. RAHASIA BUNGA CUBUNG BIRU
17. RAHASIA DARA AYU
18. DARAH MENGGENANG DI CANDI 
LAKSA
19. TITISAN DEWI IBLIS
20. PERTENTANGAN DUA DATUK
21. CAKAR HARIMAU
22. PERGOLAKAN DI ISTANA LANGKAT
23. SELIR RAJA
24. PRAHARA DI PANTAI SELATAN
25. PERAWAN PEMBAWA MAUT
26. RATU LEMBAH MAYAT
27. KERIS KALA MUYENG
28. PEDANG KAWA HUAU



Share:

0 comments:

Posting Komentar