PEDANG KAWA HIJAU
Oleh Teguh Suprianto
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Gambar sampul oleh Soeryadi
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau sekiruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Pulau Neraka
dalam episode:
Pedang Kawa Hijau
128 hal. ; 12 x 18 cm
SATU
Matahari baru saja menampakkan
cahayanya di ufuk Timur. Dan di sepagi
itu, terlihat seorang laki-laki berusia
sekitar lima puluh tahun, sibuk
memukul-mukul palu besi ke atas logam
yang memerah membara. Keringat
mengucur deras membasahi sekujur
tubuhnya yang berkulit kehitaman.
Dentang logam beradu terdengar
keras memecah kesunyian di pagj ini.
Laki-laki bertubuh kekar berotot itu terus
saja bekerja menempa besi yang merah
membara, sehingga tidak mempedulikan
sang mentari yang semakin naik tinggi.
Dan keringat pun semakin menga-nak
sungai, mengucur di sehiruh tubuhnya.
Saat itu terdengar suara derap
langkah kaki kuda mendekati. Si Pandai
Besi itu menghentikan pekerjaannya.
Kepalanya menoleh ke arah langkah kaki
kuda yang semakin jelas terdengar.
Matanya yang bulat, jadi menyipit begitu
melihat lima orang berkuda menuju ke
arahnya.
"Hm.., mau apa lagi mereka datang
ke sini...?" gumamnya pada diri sendiri.
Kelima orang berkuda itu langsung
berlompatan turun dari atas punggung
kuda masing-masing. Tampak berdiri
paling depan, seorang laki-laki tua
berwajah bening dan berambut putih
tergulung ke atas. Pakaiannya putih
bersih, tampak meriap dihembuskan
angin. Sementara keempat orang lainnya
mengenakan pakaian yang bentuk dan
warnanya serupa.
Laki-laki pandai besi itu keluar dari
dalam gubuk bengkelnya. Sinar matanya
begitu tajam, menatap orang tua berjubah
putih bersih di depannya. Sebuah palu
besi yang besar dan berat, tergenggam
erat di tangan.
"Apa maksudmu datang lagi, Kala
Putih...?" tanya si Pandai Besi dengan
suara berat, tak bersahabat.
"Mengambil pesananku," sahut laki-
laki tua berjubah putih yang dipanggil
Kala Putih.
"Sudah berapa kali kukatakan, aku
tidak sanggup membuatnya. Aku hanya
pandai besi biasa, bukan Empu Pembuat
Senjata Pusaka!" tegas si Pandai Besi.
"Dengar, Ki Bangka Putung.
Semuanya kusediakan. Dan kau sudah
terima. Bahkan kusediakan waktu cukup
lama. Dua purnama.... Waktu yang cukup
lama untuk membuat sebuah pusaka.
Sekarang, sudah lebih dari waktu yang
kuberikan padamu. Serahkan pusaka itu
padaku, Ki Bangka Putung!" keras sekali
suara Kala Putih.
"Aku tidak menerima semua
pemberianmu. Dan kau sendirilah yang
meninggalkannya. Sedikit pun tidak
kusentuh. Lihat itu...! Masih utuh, ada di
sana," Ki Bangka Putung menunjuk
sebuah benda yang tergeletak di meja.
Kala Putih mendengus keras
melihat benda bercahaya kehijauan masih
tergeletak di atas meja, tanpa sedikit pun
berubah ketika diletakkannya di sana
lebih dari dua purnama yang lalu.
Sekantung uang emas sebagai
pembayarannya juga masih berada di
tempatnya. Tidak berubah sama sekali,
seperti tidak pernah disentuh barang
sedikit pun.
"Kurang ajar...! Kau
mempermainkan aku, Bangka Putung...!"
geram Kala Putih memerah wajahnya.
"Sebaiknya, kau pergi saja dari sini,
Kala Putih. Bawa semua barang-barang
itu. Aku tidak membutuhkannya sama
sekali!" dengus Ki Bangka Putung dingin.
"Manusia sombong...! Kau akan
menerima ganjarannya nanti. Baiklah.
Kau kuberi waktu satu purnama lagi, dan
benda itu harus sudah selesai pada
waktunya!" rungut Kala Putih.
Selesai berkata demikian, Kala
Putih diikuti empat orang yang
mendampinginya langsung melompat naik
ke atas punggung kuda masing-masing.
"Sampai kapanpun, tidak akan
kukerjakan. Aku bukan Empu...!" seru Ki
Bangka Putung.
Kala Putih tidak mempedulikannya,
dan segera menggebah kudanya
meninggalkan pandai besi itu. Sementara
Ki Bangka Putung menggerutu kesal
sambil memukul-mukul palu besinya
yang besar ke atas meja. Matanya
menatap nanar pada benda kotak yang
memancarkan sinar kehijauan, dan
sepundi uang emas. Lalu matanya beralih
pada pintu rumah yang berada di
samping bengkel kerjanya. Di depan pintu
sudah berdiri seorang berparas cantik,
mengenakan baju warna biru agak ketat.
Di sampingnya seorang anak laki-laki
berumur sepuluh tahunan.
***
"Mereka datang lagi, Ayah...?" tanya
gadis itu lembut.
"lya," sahut Ki Bangka Putung.
"Kala Putih tetap memaksaku
membuatkan senjata pusaka
pesanannya."
"Kenapa tidak dibuatkan saja,
Ayah? Bukankah dulu Ayah juga seorang
Empu Pembuat Pusaka...?" masih tetap
lembut suara gadis itu.
'Tidak Sekar. Aku tidak ingin lagi
berkecimpung dalam dunia yang kasar
dan kotor. Aku ingin kau dan Wirya hidup
damai, tanpa harus bergelimpang lumpur
dan darah," tegas Ki Bangka Putung
Gadis cantik berusia delapan betas
tahun itu mendekati ayahnya. Sementara
bocah laki-laki yang berada di
sampingnya ikut melangkah juga. Sekar
tahu, mengapa ayahnya meninggalkan
pekerjaannya sebagai pembuat senjata
pusaka. Dan dia tidak bisa memaksa
ayahnya untuk menururi permintaan Kala
Putih. Ayahnya berwatak keras, dan teguh
pada pendiriannya.
"Biar aku yang membuatnya, Ayah,"
pinta Sekar, seraya menatap benda kotak
bercahaya kehijauan di atas meja.
'Tidak...! Itu pekerjaan laki-laki,"
sentak Ki Bangka Putung. "Kau belum
tahu betul, bagaimana membuat sebuah
senjata pusaka. Benda itu sangat
berbahaya, dan tidak sembarang orang
bisa mengolahnya. Aku merasakan
adanya hawa jahat yang tersebar dari
benda itu," sambung Ki Bangka Putung
tegas.
'Tapi.... Kala Putih, Ayah...."
"Itu urusanku, Sekar!" potong Ki
Bangka Putung cepat
"Dia sangat kejam, Ayah. Aku
khawatir dia akan membuat kesulitan...,"
agak terbata suara Sekar.
Ki Bangka Putung hanya
tersenyum. Tangannya terentang,
memeluk pundak anak gadisnya ini. Ada
terselip rasa haru mendengar kata-kata
bernada penuh kecemasan dari anak
gadisnya. Wirya yang baru berumur
sepuluh tahun, seolah-olah bisa
merasakan sesuatu yang tengah terjadi
pada ayah dan kakaknya ini. Maka,
dipeluknya kaki Ki Bangka Putung erat-
erat.
"Kau sudah masak, Sekar...?" tanya
Ki Bangka Putung setelah melepaskan
rangkulannya.
Sekar menggeleng.
"Masaklah. Aku ingin dibuatkan
ikan bakar."
"Kalau begitu, aku harus
menangkap ikan dulu, Ayah. Mungkin
siang nanti baru masak."
'Tidak mengapa, walau agak siang
sedikit," sahut Ki Bangka Putung.
"Ayo, Wirya. Kita tangkap ikan
dulu," ajak Sekar pada adiknya.
"Ayo, Kak. Kita tangkap yang
banyak, ya...?" sambut Wirya gembira.
Memang sudah lama juga Wirya
tidak lagi bermain-main di danau. Kini
mereka segera berlarian ke samping
gubuk bengkel ini. Kemudian, kakak
beradik itu sudah terlihat berlari-lari
menuju danau yang berada tidak jauh di
depan rumah mereka.
Ki Bangka Putung tersenyum
melihat keceriaan kedua anaknya. Tapi
mendadak saja senyuman di bibimya
menghilang saat matanya menangkap
benda kotak bercahaya kehijauan di atas
meja. Sejak benda ini ada di atas meja
kerjanya, Ki Bangka Putung sudah
merasakan bakal terjadi sesuatu yang
buruk pada keluarganya.
Ki Bangka Putung lalu menghampiri
benda kotak bercahaya kehijauan itu,
kemudian sesaat diamatinya. Dia memang
ahli dalam benda-benda berkekuatan
dahsyat. Dan sebentar saja, sudah
terasakan adanya kekuatan yang
terpancar dari benda kehijauan itu. Ki
Bangka Putung cepat-cepat menarik
kepalanya ke belakang, lalu melangkah
mundur tiga tindak menjauhi meja
kerjanya.
"Luar biasa..,. Pasti amat berbahaya
jika dijadikan pedang," gumam Ki Bangka
Putung.
Dengan sebuah penjepit baja, benda
kehijauan itu diangkatnya. Matanya
melebar begitu menatap lurus ke tengah-
tengah bagian dalam benda kehijauan.
Perlahan-lahan diletakkannya kembali
benda itu ke atas meja. Ki Bangka Putung
menarik napas panjang begitu penjepit
bajanya dilepaskan.
"Dunia persilatan bisa gempar jika
benda ini kujadikan senjata. Hhh...!
Terlalu berbahaya," desah Ki Bangka
Putung agak menggumam.
Ki Bangka Putung lalu
meninggalkan benda itu, dan kembali
sibuk menekuni pekerjaannya. Namun
matanya sebentar-sebentar melirik ke
arah benda kehijauan itu. Dan setiap kali
matanya melirik, terasa ada sesuatu yang
ganjil menyelinap dalam hatinya. Ki
Bangka Putung jadi tidak bisa
memusatkan perhatian pada
pekerjaannya. Seketika dilemparkannya
palu besi berukuran besar itu sambil
mendengus kesal.
"Huuuh...!"
***
Sepanjang malam, Ki Bangka
Putung tidak bisa memejamkan matanya.
Pikirannya terus tertuju pada benda kotak
berwarna kehijauan. Sebuah benda
memancarkan kekuatan dahsyat dan
mengandung hawa jahat Ki Bangka
Putung bangkit dari pembaringannya, lalu
berjalan mondar-mandir di dalam biliknya
yang sempit. Sebentar-sebentar matanya
memandang ke arah gubuk bengkel
kerjanya yang terletak di bagian samping
rumah ini.
"Kenapa Ayah tidak mau membuat
senjata itu? Bukankah Ayah mampu
membuatnya...? Lagi pula, belum tentu
Kala Putih mampu menggunakannya,"
teringat kembali kata-kata Sekar yang
diucapkan setelah mereka selesai makan
malam tadi.
"Satu purnama...! lngat, satu
purnama lagi senjata itu harus selesai,"
kata-kata Kala Putih juga kembali
terngiang di telinganya.
"Satu purnama...," gumam Ki
Bangka Putung perlahan.
Laki-laki setengah baya bertubuh
tegap berotot itu jadi bimbang. Dunianya
yang dulu sebagai pembuat pusaka
benar-benar ingin ditinggalkannya. Tapi
permintaan Kala Putih tidak bisa dibuat
main-main. Dia tahu, siapa Kala Putih itu.
Seorang tokoh tua yang sangat sakti dan
digdaya. Tokoh kosen yang sulit dicari
tandingannya. Dengan golok bermata dua
saja, Kala Putih sudah begitu tangguh
tanpa tandingan. Apalagi jika berhasil
memiliki sebuah senjata pusaka yang
amat dahsyat..? Sulit dibayangkan,
bagaimana jadinya dunia persilatan ini
kelak.
"Demi keselamatan kita semua,
Ayah. Apa salahnya, untuk kali ini saja
Ayah membuat senjata pesanan itu,"
kata-kata Sekar kembali terngiang di
telinga Ki Bangka Putung.
"Ya...! Demi keselamatan semua,"
desah Ki Bangka Putung perlahan.
Ki Bangka Putung mengayunkan
kakinya, melangkah keluar dari bilik
kamar tidurnya. Ayunan langkahnya
terhenti ketika berada di depan kamar
yang ditempati Sekar. Sesaat, ditatapnya
pintu yang tertutup rapat itu. Kemudian
ditariknya napas panjang, lalu kembali
mengayunkan langkahnya.
Di depan kamar Wirya, langkahnya
kembali terhenti. Tampak bocah laki-laki
itu tertidur lelap di pembaringan. Ki
Bangka Putung lalu melangkah lagi keluar
rumah, terus menuju gubuk bengkel
kerjanya. Sebentar dihelanya napas
panjang-panjang sebelum masuk ke
dalam gubuk bengkel itu.
Di dalam kegelapan malam seperti
ini, benda berwarna kehijauan itu
semakin jelas saja memancarkan cahaya.
Ki Bangka Putung mendekati benda kotak
yang besarnya tidak lebih dari sepotong
baru bata merah.
Sebentar peralatannya disiapkan
untuk membuat senjata. Lalu perlahan-
lahan diambilnya benda kehijauan itu
dengan penjepit baja, kemudian
diletakkan di atas lempengan baja putih.
Setelah menutup bagian atas dengan
lempengan baja putih lainnya, Ki Bangka
Putung kembali menjepit benda itu
dengan penjepit baja. Dan memasukkan
benda bercahaya kehijauan itu ke dalam
tungku yang sudah memerah membara.
"Ugh...!" Ki Bangka Putung
mengeluh pendek ketika tiba-tiba
tangannya terasakan jadi kesemutan.
Laki-laki setengah baya itu menarik
keluar benda itu dari dalam tungku, dan
sebentar diamatinya. Lalu diletakkannya
benda itu di atas meja besi. Sedikit
tubuhnya beringsut mundur dua langkah.
Sementara tangannya seperti melepuh
terbakar.
"Hhh...! Baru kali ini aku
menemukan bahan benda pusaka yang
begini dahsyat," gumam Ki Bangka
Putung agak mendesah.
"Ayah...."
Tiba-tiba saja terdengar suara
lembut dari arah pintu.
"Sekar... mau apa kau ke sini...?" Ki
Bangka Putung terkejut melihat anak
gadisnya tahu-tahu sudah berdiri di
ambang pintu bengkel ini.
"Ayah kenapa juga di sini malam-
malam?" Sekar malah balik bertanya
seraya menghampiri.
Ki Bangka Putung tidak menjawab.
Matanya kembali beralih menatap benda
kehijauan yang sudah berlapis besi baja
putih di atas meja penempa. Sekar juga
memandang ke arah yang sama.
"Ayah akan membuat pedang...?"
tanya Sekar tidak mengalihkan
pandangannya.
"Demi kau dan Wirya," pelan suara
Ki Bangka Putung menjawab.
"Tapi... tangan Ayah kenapa...?"
Sekar memperhatikan tangan ayahnya
yang merah bagai terbakar.
'Tidak apa-apa," sahut Ki Bangka
Putung.
Bibir Ki Bangka Putung menyungging
senyum, tapi dalam hatinya bertanya-
tanya juga tentang benda dahsyat itu. Dia
tidak mengerti, kenapa begitu hebat dan
cepat pengaruhnya benda itu. Tangan
kanannya seperti melepuh, dan panas
sekali rasanya.
"Biarkan Ayah sendiri di sini, Sekar.
Ayah harus sudah membuat senjata ini
sebelum bulan purnama datang," pinta Ki
Bangka Putung.
"Ayah tidak apa-apa?" Sekar masih
mengkhawa tirkan keadaan
tangan.ayahnya.
"Tidak. Pergilah tidur. Masih terlalu
malam,"sahut Ki Bangka Putung lagi.
Sekar mengecup pipi ayahnya,
kemudian berbalik dan melangkah ke luar
gubuk bengkel ini. Ki Bangka Putung
tidak segera melanjutkan kerjanya, tapi
malah duduk bersila dan bersemadi. Dia
tidak ingin pekerjaannya gagal. Terlebih
lagi, bisa mendatangkan celaka. Benda itu
sangat dahsyat pengaruhnya, dan tidak
mungkin diolah dengan cara biasa. Ki
Bangka Putung kini memusatkan seluruh
inderanya, dan berserah diri pada sang
Pencipta.
Malam terus merayap semakin
larut. Keadaan di sekitar pondok itu
tampak sepi. Sementara di dalam rumah,
Sekar tidak bisa lagi memejamkan
matanya. Pikirannya terus-menerus
tercurah pada ayahnya. Dia tahu,
ayahnya mendapatkan kesulitan dengan
benda bercahaya kehijauan itu. Buktinya
tangan ayahnya memerah bagai terbakar.
Maka, gadis itu semakin
mencemaskannya.
"Dewata Yang Agung... beri
keselamatan dan perlindungan pada
ayahku," gumam Sekar lirih.
Gads itu mencoba memejamkan matanya
di pembaringan, tapi tidak juga mau
terpejam. Pikirannya terus tertuju pada
ayahnya di bengkel kerja. Sekar bangkit
turun dari pembaringan lalu melangkah
ke jendela. Dibukanya pintu jendela lebar-
lebar. Dari jendela kamarnya ini, bisa
terlihat langsung bengkel kerja ayahnya.
Namun, tak terdengar suara apapun dari
sana.
"Oh...?! Apa yang terjadi di dalam
sana...? Apakah aku harus melihatnya?
Tidak...! Ayah pasti marah kalau aku ke
sana," Sekar jadi bicara pada diri sendiri.
Hati gadis itu semakin resah dan
bimbang, dan terus menatap ke arah
gubuk bengkel kerja ayahnya. Hingga
larut malam, tidak juga terdengar suara
apapun juga. Dan hatinya semakin
diliputi kecemasan, namun tidak berani
keluar dari kamarnya. Dia tahu persis
akan watak ayahnya yang keras. Dan
Sekar tidak berani membantah semua
yang dikatakan ayahnya, meskipun harus
menderita kecemasan yang amat sangat di
hatinya.
***
Tiga hari tiga malam Ki Bangka
Putung tidak beranjak dari balai-balai
bambu, tempatnya bersemadi. Dan
selama itu, Sekar selalu menjaganya.
Sering kali adiknya menemani dalam
menunggui ayahnya dari depan gubuk
bengkel ini.
Dulu, Sekar tidak pernah mengerti
pekerjaan ayahnya, karena masih ada
ibunya. Tapi setelah ibunya meninggal,
dia harus memahami pekerjaan ayahnya.
Bahkan, ayahnya pernah tidak keluar
kamar selama satu bulan lebih. Dan
biasanya, Sekar tidak pernah merasa
cemas sedikit pun. Tapi entah kenapa, ka-
li ini hatinya begitu cemas. Dia sendiri
tidak tahu, apa sebenarnya yang
dikhawatirkan. Padahal, hal seperti ini
sudah sering terjadi, ketika Ki Bangka
Putung masih menjadi seorang Empu
Pembuat Senjata Pusaka.
Tepat pada hari ke tujuh, di saat
alam terselimut kegelapan malam, tiba-
tiba saja terlihat secercah cahaya bagai
pelangi meluncur deras, meluruk turun
ke arah gubuk kecil bengkel kerja Ki
Bangka Putung. Sinar terang berwarna-
warni dan menyilaukan itu menghantam
atap gubuk bengkel ini. Tapi, tak
terdengar suara sedikit pun yang
ditimbulkannya. Hanya terasa hembusan
hawa dingin yang begitu menyejukkan,
membuat Ki Bangka Putung membuka
matanya.
"Oh...?!"
Ki Bangka Putung agak terperanjat
Entah dari mana datangnya, tahu-tahu di
depan Ki Bangka Putung sudah berdiri
seorang laki-laki berjubah putih panjang.
Ikat kepalanya putih. Janggut serta
rambutnya, juga sudah memutih semua.
Sinar wajahnya begitu bening dan
bercahaya. Bahkan begitu lembut,
memandang lurus pada Ki Bangka Putung
yang masih duduk bersila di atas balai-
balai bambu ini.
Ki Bangka Putung bergegas turun
dari balai-balai bambu ini, begitu melihat
laki-laki tua berjubah putih di depannya
melayang tidak menginjak tanah. Asap
tipis mengepul hampir menyelimuti
kakinya yang tak terlihat tertutup
jubahnya yang panjang. Ki Bangka
Putung bersujud, menyentuhkan
keningnya ke tanah di depan orang tua
berjubah putih ini.
"Bangunlah, Bangka Putung," ujar
orang tua berjubah putih itu. Suaranya
terdengar lembut, dan berwibawa.
Ki Bangka Putung bangkit periahan,
lalu duduk bersila di tanah dengan kepala
terus tertunduk. Seakan-akan dia tidak
sanggup memandang laki-laki tua di
depannya.
"Aku tahu, apa yang tengah
melanda dirimu, Ki Bangka Putung.
Tetapkanlah hatimu. Buatlah sebuah
pedang dari benda itu. Gunakanlah kayu
dari pangkal pohon asam yang sudah
berumur seratus tahun untuk tangkainya
dan warangkanya," jelas orang tua berju-
bah putih itu.
Ki Bangka Putung hanya diam saja
mendengarkan penuh perhatian.
"Hanya satu pesanku, Bangka
Putung. Kau harus mempertahankan
pedang itu, apapun yang terjadi pada diri
dan keluargamu. Jangan sampai pedang
itu jatuh ke tangan orang yang berwatak
jahat. Camkan itu baik-baik, Bangka
Putung...!"
Baru saja Ki Bangka Putung hendak
membuka mulutnya, tiba-tiba saja cahaya
terang yang menyelimuti sekitar pondok
itu lenyap. Dan laki-laki serba putih itu
juga lenyap tanpa bekas sama sekali. Ki
Bangka Putung masih duduk bersila
beberapa saat, kemudian perlahan
bangkit berdiri dan melangkah keluar.
Seketika dia terkejut melihat Sekar
tertidur di kursi dekat pintu gubuk
bengkel ini.
"Sekar..., Sekar...," Ki Bangka
Putung membangunkan anak gadisnya.
"Ohhh...," Sekar menggeliat.
Kelopak matanya mengerjap
sebentar, lalu terbuka lebar.
"Ayah...."
"Kenapa tidur di sini?" tegur Ki
Bangka Putung.
"Maaf, aku ketiduran," ucap Sekar
seraya menggosok-gosokkan matanya.
"Pindah ke dalam sana, Sekar."
Sekar bangkit dari kursi kayu itu.
Sebentar kepalanya melongok ke dalam
pondok. Ternyata, tidak ada yang berubah
sama sekali. Sepasang bola matanya yang
bulat bening, merayapi wajah dan seluruh
tubuh ayahnya. Dia heran melihat
ayahnya nampak segar, meskipun selama
tujuh hari tujuh malam tidak makan dan
minum. Dan Sekar masih juga belum
mengerti, meskipun hal ini sering terjadi
pada diri Ki Bangka Putung.
"Akan kusiapkan makan dulu,
Ayah," kata Sekar.
'Tidak usah. Ayah tidak lapar," elak
Ki Bangka Putung.
'Tapi, Yah...."
"Sudahlah.... Sebaiknya, kau tidur
saja sana. Ayah akan kerja lagi. Kasihan
adikmu kalau kau bangun kesiangan
nanti. Besok pagi-pagi sekali, Ayah minta
kau sediakan seperti biasanya," pinta Ki
Bangka Putung lembut.
Sekar tersenyum manis, lalu
melangkah meninggalkan pondok itu. Ki
Bangka Putung memandangi disertai
senyum di bibir. Tidak sedikit pun Sekar
berbeda dengan sifat-sifat ibunya. Ki
Bangka Putung seperti melihat diri
istrinya pada Sekar. Sebentar dia
menghela napas panjang begitu tubuh
gadis itu lenyap di batik pintu rumah.
Ki Bangka Putung berbalik, dan
kembali masuk ke dalam gubuk
bengkelnya. Dipandanginya benda
bercahaya kehijauan yang masih
tergeletak di atas meja besi. Seketika,
kembali dia teringat kata-kata orang tua
yang muncul membangunkan semadinya.
"Apa maksudnya orang berwatak
jahat tidak boleh memiliki benda ini...?" Ki
Bangka Putung jadi bertanya pada diri
sendiri "Apa yang dimaksudkan adalah
Kala Putih...?"
Mendadak saja Ki Bangka Putung
menepuk keningnya sendiri. Kini baru
teringat sekarang. Ternyata, dia tidak
pernah bertanya, dari mana Kala Putih
mendapatkan benda kehijauan ini. Dia
tahu betul, siapa Kala Putih. Apakah Kala
Putih mendapatkannya dengan cara
merampas? Atau....
Ki Bangka Putung menggeleng-gelengkan
kepala. Kembali diambilnya benda itu
dengan penjepit baja. Ki Bangka Putung
ingat, dia ternyata masih mempunyai
persediaan kayu asam yang sudah
berumur lebih dari seratus tahun.
Kemudian benda itu digosok-gosokkan
dengan sepotong kayu asam yang telah
diambil dari kolong meja kerjanya.
Sebentar kemudian bibirnya bergerak
komat-kamit, lalu mulai memasukkan
benda bercahaya kehijauan itu ke dalam
tungku pembakaran. Api langsung
memercik, berkobar besar begitu benda
kehijauan itu menyentuh bara.
Tak lama kemudian, terdengar
denting palu menghantam benda dari
logam. Ki Bangka Putung mulai
menyatukan benda kehijauan itu dengan
baja putih pilihan. Sepanjang malam dia
terus bekerja keras membuat senjata
pusaka. Kini pekerjaan semula yang su-
dah bertahun-tahun ditinggalkan
dimulainya lagi. Rupanya, berkat kayu
asam yang telah digosok-gosokkan pada
benda kehijauan itu, tangannya tidak
melepuh lagi. Kini Ki Bangka Putung
dapat bekerja dengan leIuasa.
***
DUA
Ki Bangka Putung memandangi
hasil kerjanya berupa sebuah pedang
tipis, berukuran sepanjang lengan.
Gagangnya terbuat dari kayu asam
berumur seratus tahun. Hatinya benar-
benar kagum melihat perbawa pedang
yang dihasilkannya dengan kerja keras
selama satu bulan penuh. Maka satu
purnama pun berlalu sudah, tapi Kala
Purih belum juga datang mengambil
pesanannya.
Pedang yang panjangnya hanya
selengan orang dewasa itu memancarkan
sinar kehijauan. Mata pedangnya kecil
dan tipis, seperti tidak memiliki kekuatan
sama sekali. Tapi Ki Bangka Putung dapat
merasakan ada sesuatu kekuatan gaib
yang semakin lama semakin kuat
membelenggu dirinya. Satu kekuatan gaib
yang amat dahsyat dan berbahaya. Ki
Bangka Putung benar-benar dapat
merasakannya.
Merasakan kekuatan gaib itu
semakin kuat membelenggu dirinya, Ki
Bangka Putung segera memasukkan
pedang itu ke dalam warangka yang juga
terbuat dari kayu pohon asam berumur
seratus tahun. Sementara cincin
warangka dibuat dari emas murni.
"Hebat sekali pedang itu, Ayah...."
Ki Bangka Putung berpaling begitu
mendengar suara lembut dari belakang.
Tubuhnya berbalik dan tersenyum
melihat Sekar dan Wirya sudah berada di
ambang pintu gubuk bengkel ini. Gadis
itu melangkah menghampiri dengan bibir
selalu basah memerah menyunggingkan
senyuman manis.
"Kau melihatnya...?" tanya Ki
Bangka Putung.
"Ya," sahut Sekar. "Sayang sekali
kalau senjata sehebat itu harus
diserahkan pada Kala Putih.
"Itulah yang mengganggu pikiranku,
Sekar," desah Ki Bangka Putung.
"Maksud, Ayah...?" tanya Sekar.
"Di dalam semadi, aku
diperintahkan untuk tidak menyerahkan
pedang ini pada siapa pun juga. Terlebih
lagi, pada orang yang memiliki watak
jahat seperti si Kala Putih," jelas Ki
Bangka Putung.
"Aku setuju, Yah...!" seru Sekar
cepat
'Tidak mungkin, Sekar. Kala Putih
pasti tidak akan menyerahkan begitu saja.
Dia pasti berusaha menguasai pedang ini
dengan cara apapun juga."
"Lawan saja, Yah," selak Wirya
polos.
"Tidak mudah, Wirya. Kala Putih
bukan tandingan Ayah. Dia sangat sakti,
dan berkepandaian tinggi. Sedang
Ayahmu ini... Hanya seorang pandai besi
yang tidak begitu pandai ilmu olah
kanuragan."
'Terus, bagaimana kalau Kala Putih
datang?" tanya Sekar mengerti kesulitan
yang dihadapi ayahnya.
"Kita lari saja, Ayah!" timpal Wirya
lagi sementara Sekar manggut-manggut
seperti menyetujui.
"Lari ke mana? Di sinilah tumpah
darahku. Dan lagi, perbuatan itu tidak
menunjukkan sifat ksatria. Melarikan
barang orang lain, sama saja mencuri Apa
pun alasannya!" tegas Ki Bangka Putung.
Belum juga kedua anak Ki Bangka
Putung menga-jukan saran lagi, terdengar
derap langkah kaki kuda dari kejauhan.
Ki Bangka Putung langsung berpaling,
menoleh diikuti Sekar dan Wirya yang
langsung berlindung di balik kaki
kakaknya. Hanya kepalanya saja yang
menyembul mengintip. Tampak di
kejauhan, debu jalanan mengepul.
Kemudian, terlihat lima ekor kuda
berpacu kencang menuju pondok ini.
"Kala Putih...," desis Ki Bangka
Putung langsung mengenali.
Mendadak saja kegelisahan
merambat dalam hati laki-laki setengah
baya ini. Ditariknya tangan Sekar, dan
diajaknya keluar dari pondok. Dan kini
tiga orang itu berlarian masuk ke dalam
hutan yang ada di bagian belakang
pondok. Tapi, rupanya Kala Putih sudah
melihat lebih dahulu. Maka, tiba-tiba saja
tangan kanannya dihentakkan. Dan
seketika itu Juga, secercah sinar merah
meluncur deras ke arah Ki Bangka
Putung dan kedua anaknya.
Slap!
Glarrr...!
Ki Bangka Putung tersentak kaget
begitu tiba-tiba batu yang ada di
depannya meledak, dan hancur
berkeping-keping tersambar sinar merah
yang dilepaskan Kala Putih. Ki Bangka
Putung menarik tangan Sekar yang tidak
lepas memegangi tangan kiri adiknya.
Saat itu, Kala Putih sudah melompat
turun dari punggung kudanya, diikuti
empat orang lainnya. Dalam sekejap saja,
mereka sudah berdiri sekitar dua batang
tombak lagi di depan Ki Bangka Putung
dan kedua anaknya
"Mau lari ke mana kau, Ki Bangka
Putung...?" desis Kala Putih, dingin dan
menggeletar.
"Phuih!" Ki Bangka Putung
menyemburkan ludahnya dengan sengit
"Serahkan pedang itu padaku, Ki
Bangka Putung!" dengus Kala Putih
seraya menjulurkan tangan kanannya.
"Tidak...!" sentak Ki Bangka Putung
tegas.
"Kau sudah kubayar mahal, Ki
Bangka Putung. Serahkan pedang itu,
cepat..!"
"Nih! Kukembalikan uangmu!"
Ki Bangka Putung melemparkan
sekantung uang emas ke depan kaki Kala
Putih. Seketika laki-laki tua berbaju serba
putih itu jadi berang setengah mati.
Wajahnya merah padam, dan kedua bola
matanya berputar merah menyala.
Rahang Kala Putih bergemeletuk
menahan amarah. Ki Bangka Putung yang
menyadari tidak akan unggul menghadapi
Kala Putih, segera menyerahkan pedang
itu pada Sekar.
"Selamatkan pedang ini, Sekar.
Pertahankan, jangan sampai jatuh ke
tangan orang jahat," pesan Ki Bangka
Putung.
'Tapi, Ayah...," Sekar ragu-ragu
menerima sen jata itu.
"Cepat lari...!" sentak Ki Bangka
Putung.
Sekar menerima pedang dari tangan
ayahnya. Sebentar ayahnya dipandangi,
kemudian ditariknya tangan Wirya untuk
diajak lari dari tempat ini Sementara itu
Kala Putih sudah membuka jurus, hendak
menyerang si Pandai Besi. Sementara
orang yang berada di belakangnya, sudah
meloloskan senjata masing-masing.
"Cepat pergi, jangan hiraukan
aku...!" seru Ki Bangka Putung melihat
Sekar kembali berhenti berlari.
Melihat Sekar berlari semakin jauh
membawa pedang pesanannya, Kala Putih
jadi semakin gusar. Terlebih lagi, gadis itu
menuju hutan yang cukup lebat Dan ini
bisa menyulitkannya untuk mengejar
nanti.
"Kalian hadapi manusia keparat
ini," perintah Kala Putih.
"Baik, Ki," sahut keempat orang itu
hampir bersamaan.
"Hiyaaat...!"
Bagaikan kilat, Kala Putih
melompat cepat mengejar Sekar dan
Wirya yang sudah hampir mencapai hu-
tan. Tubuhnya melewati di atas kepala Ki
Bangka Putung. Menyadari tujuan Kala
Putih bukan pada dirinya, Ki Bangka
Putung jadi nekat.
"Hiyaaat..!"
Cepat sekali Ki Bangka Putung
melompat ke udara, mencoba
menghalangi Kala Putih sambil melepas-
kan dua pukulan sekaligus secara
beruntun. Tapi tanpa diduga sama sekali,
Kala Putih berhasil mengelakkan dengan
meliukkan tubuhnya. Dan kembali
melenting cepat, mempergunakan ilmu
meringankan tubuh begitu kakinya
menjejak tanah.
"Hiyaaat...!"
Ki Bangka Putung hendak
mengejar. Tapi belum juga sempat
menggenjot tubuhnya, empat orang yang
mendampingi Kala Putih sudah
berlompatan mengepung. Mereka
langsung menyerang laki-laki setengah
baya itu dengan jurus-jurus cepat. Ki
Bangka Putung terpaksa berjumpalitan,
menghindari serangan-serangan yang
begitu cepat dan datang dari empat
penjuru.
***
Ki Bangka Putung memang bukan
seorang tokoh silat yang digdaya. Dia dulu
hanya seorang Empu Pembuat Senjata
Pusaka. Dan hanya sedikit memiliki ilmu
olah kanuragan. Sehingga dalam
beberapa jurus saja, laki-laki itu sudah
tidak mampu lagi menerima gempuran
empat orang yang memang hidup
bergelimang dari cara kekerasan seperti
ini.
Satu pukulan keras yang
mengandung pengerahan tenaga dalam
tinggi, menggedor dada. Akibatnya, Ki
Bangka Putung terjungkal keras mencium
tanah. Dan belum lagi sempat bangkit
berdiri, satu tendangan keras kembali
bersarang di tubuhnya. Ki Bangka Putung
meraung keras. Lagi, satu tendangan
membuat laki-laki setengah baya itu
terguling sejauh dua batang tombak.
Ki Bangka Putung mencoba bangkit
berdirl Tapi belum juga berdiri sempuma,
seuntai rantai besi menghentak dan
melilit tubuhnya. Kemudian, disusul
sabetan sebilah golok besar yang
menghantam punggungnya. Ki Bangka
Putung memekik keras begitu
punggungnya sobek terbabat golok.
Belum lagi bisa berbuat sesuatu, kembali
tendangan menggeledek mendarat di
dadanya.
"Aaakh...!"
"Ayah...!" jerit Sekar begitu
mendengar teriakan ayahnya.
Sekar menghentikan larinya.
Hatinya begitu cemas melihat ayahnya
tampak tak berdaya menghadapi empat
orang bersenjata itu.
"Lari, Sekar! Cepaaat...!" teriak Ki
Bangka Putung sekeras-kerasnya.
Pada saat itu, sebuah golok
berukuran besar kembali melayang
membabat ke arah dada Ki Bangka Pu-
tung yang sudah tidak memiliki daya
sama sekali. Dan tentu saja tebasan golok
itu tak dapat dihindari lagi.
Bet!
Crab!
"Aaa...!" Ki Bangka Putung menjerit
keras melengking tinggi.
Darah langsung mengucur deras
dari dada yang terbelah cukup besar itu.
Dan selagi tubuh Ki Bangka Putung
terhuyung-huyung, satu sabetan pedang
kembali membabat lehernya. Kali ini tak
ada suara sedikit pun yang terdengar. Ki
Bangka Putung berdiri kaku dengan mata
terbeliak lebar. Sesaat kemudian tubuh-
nya menggelepar jatuh. Dan kepala laki-
laki setengah baya itu langsung
menggelinding terpisah dari leher.
"Ayah...!" jerit Sekar jadi kalap.
Tapi belum juga gadis itu berbuat
sesuatu, tiba-tiba saja sebuah bayangan
putih berkelebat cepat menyambar
tubuhnya. Sekar terpekik keras agak
tertahan, dan kontan terpental jauh ke
belakang. Seketika punggungnya
menghantam pohon keras sekali. Maka,
pegangannya pada tangan Wirya pun jadi
teriepas.
"Kak...!" jerit Wirya.
Sekar cepat cepat
menggelimpangkan tubuhnya, begitu
melihat bayangan putih kembali meluruk
deras ke arahnya. Gadis itu cepat
melompat bangkit berdiri. Pada saat yang
bersamaan, empat orang yang tadi
bertarung melawan Ki Bangka Putung
sudah sampai di tempat ini. Salah
seorang yang membawa golok besar
segera mencengkeram tengkuk Wirya, dan
mengangkatnya tinggi-tinggi.
"Kak...!" jerit Wirya diiringi
tangisnya yang menggiris.
Sekar tidak sempat lagi
memperhatikan rengekan adiknya, karena
sudah sibuk menghadapi serangan
serangan gencar yang dilancarkan Kala
Putih. Untung saja dia memiliki sedikit
ilmu olah kanuragan. Sehingga dalam
beberapa jurus, orang tua berbaju putih
itu masih mampu diimbangi.
"Setan alas...!" geram Kala Putih
berang.
Beberapa kali Kala Putih
melontarkan pukulan cepat, dan
mengandung pengerahan tenaga dalam
tinggi. Tapi, Sekar masih mampu
menghindarinya. Meskipun harus
pontang-panting dan jatuh bangun
menghadapi serangan-serangan itu.
Entah kenapa, gerakan-gerakan
yang dilakukan Sekar jadi begitu cepat
dan lincah sekali. Hal ini membuat Kala
Purih semakin berang setengah mati. Tak
satu pun dari serangan-serangannya yang
mengenai sasaran. Sementara, Sekar
sendiri tidak mengerti, kenapa bisa
menandingi Kala Putih sampai lima jurus.
"Hiyaaat..!"
Tiba-tiba saja Sekar melentingkan
tubuhnya ke udara. Dan tubuhnya
langsung melesat pergi cepat sekali,
seperti tidak ingat lagi pada Wirya yang
berada di dalam cengkeraman salah
seorang anak buah Kala Putih. Begitu
cepat lesatannya, sehingga dalam sekejap
saja gadis itu sudah lenyap tertelan
lebatnya hutan.
"Setan! Kejar gadis itu...!" perintah
Kala Putih geram.
***
Kala Putih jadi celingukan di dalam
hutan. Gadis yang dikejarnya benar-benar
lenyap di dalam hutan yang cukup lebat
ini. Tiga orang yang mengejarnya lebih
dulu, juga jadi kebingungan. Sekar bagai
lenyap tertelan bumi di dalam kelebatan
hutan ini. Kala Putih menggereng berang,
menghentak-hentakkan kakinya dengan
kesal. Matanya kini menatap tajam pada
Wirya yang berada di dalam cengkeraman
salah seorang yang menyandang golok
besar di punggung.
"Setan belang...!" rungut Kala Putih
kesal. "Cari gadis itu sampai dapat!"
Kala Putih segera mengerahkan
ilmu pembeda gerak dan suara.
Kepalanya menoleh ke kiri dan ke kanan,
mencoba mencari tempat persembunyian
Sekar. Tapi Kala Putih jadi kecewa,
karena tidak mendengar suara apa pun
yang mencurigakan. Sekar benar-benar
lenyap tak berbekas sama sekali.
"Ke mana gadis itu...?" Kala Putih
jadi bergumam, bertanya pada diri
sendiri.
Seorang yang memegang rantai besi
yang ujungnya berbandul bola besi
berduri, .tergopoh-gopoh datang
menghampiri. Kemudian, disusul dua
orang berwajah angker yang masing-
masing menggenggam sepasang senjata
tombak pendek bermata tiga dan sebuah
pedang hitam berukuran panjang. Mereka
kini telah berdiri di depan Kala Putih.
"Kenapa tidak langsung kalian kejar
tadi...?" dengus Kala Putih kesal.
"Maaf, Ki. Gadis itu tiba-tiba lenyap
di sini," jelas seorang yang memegang
rantai baja berbandul bola besi berduri.
"Kau, Caraka! Cari gadis itu sampai
dapat!" perintah Kala Putih sambil
menunjuk orang yang memegang golok
'Tapi anak ini, Ki...," kata Caraka
yang masih memanggul Wirya di
pundaknya.
Kala Putih memandangi Wirya yang
sudah terkulai lemas, akibat tertotok pada
pusat jalan darahnya. Dihampirinya anak
kecil berusia sepuluh tahun itu. Ta-
ngannya menjambak rambut yang hitam
bergelombang, dan mengangkatnya.
Hingga, kepala Wirya terdongak ke atas.
Kelopak mata anak itu terpejam rapat,
seperti tidur.
"Ki.... Bukankah anak ini bisa
digunakan...?" kata Caraka agak ragu-
ragu.
"Hm...," Kala Putih hanya
menggumam periahan.
Pandangannya beredar ke sekeliling
dengan mengerahkan ilmu pembeda gerak
dan suara. Kala Putih jadi penasaran,
karena gadis yang membawa pusaka
pesanannya itu lenyap begitu saja. Dia
tadi juga hampir tidak percaya kalau
gadis yang kelihatannya begitu lemah
ternyata mampu menandinginya sampai
lima jurus, sebelum kabur dan
menghilang di dalam hutan ini.
"Kalian terus cari gadis itu!"
perintah Kala Putih.
Setelah memberi perintah, Kala
Putih menyambar Wirya yang berada di
pundak Caraka. Kemudian kakinya terus
melangkah cepat meninggalkan hutan ini
Sementara empat orang itu hanya sating
pandang saja. Tak ada yang
mengeluarkan suara sedikit pun, sampai
Kala Putih tak terlihat lagi ditelan
lebatnya pepohonan di dalam hutan ini.
"Ayo, cari lagi," ajak Caraka.
***
"Keparat...! Kurang ajar kau,
Bangka Putung!" Kala Putih menggerutu
habis-habisaa
Sudah dua hari ini Kala Putih dan
empat orang anak buahnya menjelajahi
hutan ini. Tapi putri Ki Bangka Putung
yang kabur membawa pedang pesanannya
tidak juga ditemukan. Hatinya tidak bisa
tenang sebelum pedang itu berada di
tangannya. Entah, apa yang akan
dilakukan jika Sekar sampai
diketemukan. Tak ada yang bisa
membayangkan, melihat kemarahan laki-
laki tua berbaju putih ini.
"Sudah sore. Sebaiknya kita
lanjutkan saja besok, Ki," ujar Caraka
mengingatkaa
Saat ini, hari memang sudah
menjelang senja. Matahari sudah sejak
tadi bergulir ke sebelah Barat. Bahkan
sebagian hutan ini sudah mulai gelap,
tidak lagi mendapat cahaya matahari.
'Tidak! Biar kiamat sekalipun, gadis
itu harus tetap dicari!" bentak Kala Putih
berang.
"Tapi, KI..," Caraka mau
menyanggah. Tubuhnya sudah lelah
mencari Sekar yang tidak juga kunjung
ditemukan.
"Kalau anak setan itu tidak juga
ditemukan, lehermu yang jadi
penggantinya!" ancam Kala Putih tidak
main-main.
Caraka menelan ludahnya yang
mendadak terasa pahit Dia tidak berani
lagi membantah. Sedangkan tiga orang
lainnya hanya bisa menundukkan kepala.
Mereka tahu benar, kalau sudah marah
begini. Kala Putih tidak bisa lagi diajak
damai. Apa yang diperintahkan, harus
segera dilaksanakan.
"Kalian tahu, pedang itu sangat
berarti bagiku. Dengan pedang itu,
seluruh rimba persilatan bisa kukuasai.
Dan kalian juga akan menikmati hasilnya.
Mengerti...?!" agak keras suara Kala Putih.
Serentak mereka menganggukkan
kepala.
"Susah payah aku mendapatkan
Batu Kawa Hijau. Kini setelah jadi
pedang, hilang begitu saja. Huh! Sampai
kapanpun, aku harus mencari dan
mendapatkannya. Pedang itu tidak boleh
jatuh ke tangan orang lain, selain aku...!"
agak bergetar suara Kala Putih
terdengarnya.
Empat orang itu hanya diam saja.
"Kalian tahu, bagaimana aku
mendapatkannya, bukan...?"
Mereka kembali menganggukkan
kepala bersamaan. Mereka memang tahu
persis, bagaimana Kala Putih bertarung
menyabung nyawa melawan pertapa tua
pemilik Batu Kawa Hijau di Gunung
Anjar. Dengan kelicikan, akhirnya Kala
Putih dapat membunuh pertapa itu dan
memperoleh Batu Kawa Hijau yang
mengandung daya kekuatan gaib luar
biasa.
Kini setelah batu itu dilebur jadi
sebuah pedang, dilarikan seorang gadis
anak pembuat pedang. Dan yang pasti
Kala Putih tidak bisa menerimanya begitu
saja. Dengan cara apa pun, pedang yang
kelak akan menggegerkan dunia
persilatan harus didapatkannya kembali.
"Caraka, ambil kuda. Kita lacak
setiap jengkal daerah ini!" perintah Kala
Putih.
"Segera, Ki," sahut Caraka.
Bergegas Caraka melangkah
meninggalkan tempat itu. Sementara Kala
Putih memerintahkan yang lain untuk
kembali memeriksa tempat di sekitarnya.
**
TIGA
Benarkah Sekar menghilang begitu
saja dari hutan ini...?
Sekar yang mengetahui betul seluk
beluk daerah hutan ini, bisa saja
menghilang begitu saja tanpa diketahui.
Dan sebenarnya, gadis itu masuk ke
dalam sebuah gua yang mulutnya
tersembunyi di balik semak belukar, tidak
jauh dari tempat Kala Putih dan empat
orang anak buahnya mencarl
Sekar merambat di lorong batu yang
sempit, dan terus merayap tanpa
mengenal lelah. Hingga dia tiba di suatu
rongga yang cukup lebar dan besar, yang
merupakan gua panjang berlorong penuh
kelokan. Sampai di situ, Sekar baru bisa
beristirahat melepas lelah.
"Hhh.... Ke mana lagi aku harus
pergi...?" desah Sekar perlahan.
Sekar memeluk pedang buatan
terakhir ayahnya. Sebentar kemudian
dipandanginya pedang itu. Kembali
terbayang peristiwa yang begitu
mengerikan. Dia tidak tahu lagi,
bagaimana nasib adiknya sekarang.
Sedangkan ayahnya sudah tewas di
tangan empat orang anak buah Kala
Putih.
Sekar jadi teringat ketika siang itu,
sehari setelah ayahnya selesai bersemadi,
mereka berjalan-jalan di sepanjang tepian
danau. Seperti sudah mendapat firasat,
Wirya berbicara yang tidak pernah
dipikirkan sebelumnya. Dan Sekar tidak
menanggapinya sungguh-sungguh.
Omongan adiknya hanya dianggap
sebagai angin lalu saja. Ternyata, semua
yang dikatakan Wirya, sekarang menjadi
kenyataan.
"Kak... apa Kala Putih nanti akan
merebut pedang yang dibuat ayah...?"
tanya Wirya waktu itu.
"Bisa jadi," sahut Sekar.
"Kalau begitu, nanti kita ke mana,
Kak?" tanya Wirya lagi
"Ya, di sini.... Memangnya, mau ke
mana?"
"Wirya merasa seperti akan terjadi
sesuatu, Kak," jelas Wirya pelan.
"Jangan bicara macam-macam, ah!"
sentak Sekar menganggap adiknya hanya
bercanda.
"Semalam Wirya mimpi, Kak.
Rumah kita terbakar, dan kita semua
berada di dalam lorong yang panjang dan
bercabang. Masing-masing mencari jalan
keluar. Tapi, ayah terperosok jauh ke
dalam lubang. Kak Sekar sendiri tidak
menolong, dan aku seperti terkurung.
Hanya bisa melihat saja," jelas Wirya lagi,
menceritakan mimpinya semalam.
"Mimpi itu hanya bunga tidur,
Wirya. Tidak pernah menjadi kenyataan,"
hibur Sekar.
“Tapi, Kak..."
"Sudahlah.... Kau lelah?" Sekar
tidak mau mendengar lagi.
'Tidak. Hanya lapar," sahut Wirya.
"Nanti. Kalau jebakan kita penuh
ikan, kau akan kumasakkan yang lezat.
Mau...?"
Wirya tersenyum lebar dan
mengangguk Bocah itu memang paling
suka makan ikan yang dimasak
kakaknya. Karena, selalu saja terasa
nikmat dan mengundang selera. Bukan
hanya Wirya, tapi juga ayah mereka
begitu menyukai masakan Sekar, seper-
tinya, apa saja yang diolah gadis ini selalu
sedap dinikmati.
Sekar menghembuskan napas
panjang. Hatinya menyesal, tidak
memperhatikan sungguh-sungguh kata-
kata Wirya. Kalau saja mimpi adiknya
diceritakan pada ayahnya, mungkin hal
ini tidak akan terjadi. Dan sekarang
sudah terlambat Mereka sudah terpisah
satu sama lain. Penyesalan memang tidak
datang lebih dahulu. Dan Sekar
menyadari, tidak mungkin menyesali
semua yang telah terjadi.
"Aku harus keluar dari gua ini.
Sewaktu-waktu mereka bisa saja
menemukan aku di sini. Hhh.... Mudah-
mudahan saja tidak terjadi sesuatu pada
Wirya," desah Sekar agak menggumam.
Gadis itu bangkit berdiri dan
kembali melangkah menyusuri lorong gua
yang panjang dan berliku ini. Dia memang
sudah tahu gua ini, tapi tidak pernah
masuk sampai sejauh itu. Sekar terus
berjalan mengikuti ahir lorong gua yang
cukup gelap, sehingga sulit melihat jauh.
"Ada sinar...," desis Sekar.
Jauh di depannya, Sekar melihat
seberkas sinar yang kelap-kelip seperti
dari sebuah pelita. Gadis itu mempercepat
ayunan kakinya. Tidak dipedulikan lagi
tubuhnya yang beberapa kali hampir
terguling, terantuk batu yang banyak
bertebaran di sepanjang lorong gua ini.
Dan tampaknya, cahaya itu berada di
ujung mulut gua di depannya.
Mendadak Sekar menghentikan
ayunan kakinya, begitu tahu kalau
cahaya itu berasal dari nyala api. Dan
dekat api itu, duduk seorang laki-laki
muda berumur sekitar dua puluh lima
tahun. Bajunya kulit harimau. Dia duduk
membelakangi Sekar yang muncul dari
dalam mulut gua yang cukup besar ini.
Trekkk!
"Oh...?!"
Sekar terkejut, dan menutup
mulutnya ketika menginjak sebatang
ranting kering. Suara ranting patah,
membuat pemuda berbaju kulit harimau
itu berpaling. Tampaknya, dia juga
terkejut melihat ada seorang gadis berdiri
di depan mulut gua di belakangnya.
Perlahan tubuhnya diputar. Sedangkan
Sekar masih tetap berdiri saja sambil
menggenggam gagang pedangnya erat-erat
Srettt!
"Eh! Sabar.... Masukkan
senjatamu," bujuk pemuda itu begitu
melihat Sekar mencabut pedangnya.
"Kau pasti orang suruhan Kala
Putih. Kalau kau akan merebut pedang
ini, langkahi dulu nyawaku!" sentak Sekar
garang.
"Aku...? Ha ha ha...!"
Entah kenapa, pemuda berbaju
kulit harimau itu tertawa terbahak-bahak.
Sedangkan Sekar hanya memandangi saja
dengan sinar mata tajam.
Diperhatikannya wajah tampan di
depannya. Gadis itu juga jadi ragu-ragu,
karena sinar mata pemuda itu
menampakkan kejujuran, dan tidak
seperti orang-orangnya Kala Putih.
Perlahan Sekar memasukkan
kembali pedang yang memancarkan
cahaya kehijauan itu ke dalam warangka.
Sekejap saja, sinar kehijauan itu
menghilang dari pandangan.
"Siapa kau?" tanya Sekar tetap
dingin dan tajam suaranya.
Sikap gadis itu masih belum bisa
mempercayai pemuda ini. Sedangkan
pemuda tampan berbaju kulit harimau itu
tersenyum saja, dan kembali duduk di
tempatnya semula.
"Aku Bayu. Dan kau sendiri
siapa...?" pemuda itu memperkenalkan
diri, sambil balik bertanya.
"Sekar."
"Kenapa malam-malam begini ada
di tengah hutan?" tanya pemuda yang
ternyata memang Bayu, yang lebih
dikenal berjuluk Pendekar Pulau Neraka.
"Seharusnya, aku yang bertanya
begitu padamu!" dengus Sekar agak
ketus.
"Oh...?!" Bayu mengangkat alisnya.
Pendekar Pulau Neraka mengambil
sekerat daging bakar yang berada di atas
api, kemudian menyodorkan pada gadis
ini. Sejenak Sekar hanya memandanginya
saja. Perutnya memang terasa lapar, tapi
tidak mau sembarangan menerima uluran
tangan orang yang tidak dikenalnya sama
sekali.
"Kau tentu lapar. Ayo, kita makan
sama-sama," Bayu menawarkan dengan
sopan.
Sekar masih saja diam memandangi
Bayu mengangkat bahunya sedikit, lalu
menggigit keratan daging itu. Dia
mengunyah perlahan-lahan, membuat
Sekar terpaksa harus menelan ludahnya.
"Kalau mau, ambil saja sendiri. Aku
rasa, cukup untuk dimakan berdua," kata
Bayu lagi.
Perlahan Sekar melangkah
menghampiri. Gadis itu berjalan
memutar, dan berdiri di seberang
Pendekar Pulau Neraka. Kemudian, dia
duduk di dekat api yang membuat dirinya
terasa sedikit hangat Periahan dan ragu-
ragu sedikit tangannya dijulurkan,
mengambil sekerat daging bakar. Lalu,
digigitnya sedikit. Cukup lezat juga.
Apalagi, dalam keadaan perut kosong
begini. Sejak siang tadi, perutnya memang
belum terisi apa-apa. Mereka kini makan
tanpa bicara apa pun juga.
***
"Kau tidak tidur...?" tegur Bayu
seraya melirik gadis itu.
Sekar hanya menggelengkan kepala
saja, dan tetap duduk bersandar pada
sebatang pohon yang cukup besar
melindungi dirinya dari dinginnya terpaan
angin malam. Bayu kemudian duduk, dan
menggeser mendekati gadis itu. Sekar
langsung menggenggam tangkai
pedangnya. Namun, Bayu hanya
tersenyum saja melihat sikap Sekar yang
masih juga ketakutan.
"Sepertinya, kau sedang mengalami
kesulitan," tebak Bayu diiringi senyum di
bibimya.
Sekar hanya diam saja. Kepalanya
diangkat sedikit langsung menatap tajam
wajah pemuda berbaju kulit harimau ini.
Meskipun sikap Bayu baik dan lembut,
tapi gadis itu masih belum bisa percaya
penuh. Terngiang kembali kata-kata
terakhir ayahnya. Pedang itu harus dijaga
dan dipertahankan, jangan sampai jatuh
ke tangan orang berwatak jahat Dan
Sekar sudah bertekad
mempertahankannya sampai tetes darah
yang terakhir.
"Dari sorot matamu, aku tahu kau
menyimpan persoalan yang berat. Dan
kau memerlukan seseorang yang bisa
diajak bicara. Mungkin bisa kubantu...?"
kata Bayu lagi, lebih lembut suaranya.
"Hhh...!" Sekar hanya
menghembuskan napas panjang saja.
"Baiklah. Mungkin kau masih
belum percaya padaku. Asal tahu saja
aku tidak mengerti ketika kau tiba-tiba
mencabut pedang ingin menyerangku.
Bahkan menganggap aku ini orangnya
Kala Putih. Aku tidak tahu, siapa orang
yang kau sebutkan itu. Juga, tentang
pedang yang kau bawa," jelas Bayu,
berterus terang.
"Kau benar-benar bukan orang
suruhan Kala Putih...?" tanya Sekar,
seakan-akan ingin meyakinkan diri.
Bayu menggeleng dan tersenyum.
"Bagaimana aku bisa percaya
padamu?" tanya Sekar lagi seperti untuk
diri sendiri.
"Apakah aku seperti orang jahat..?"
Sekar hanya diam saja. Memang
diakui, pemuda ini sedikit pun tidak
memiliki tanda-tanda sebagai orang jahat.
Wajahnya terlalu tampan untuk menjadi
penjahat. Dengan tubuh tegap, wajah
tampan, dan kulit putih, pemuda ini lebih
pantes bila disebut putra bangsawan.
Bahkan kalau bisa anak saudagar kaya.
Tapi pakaian yang dikenakannya
menunjukkan kalau Bayu seorang
pengembara. Atau bisa dikatakan juga,
orang dari kalangan persilatan.
"Kalau tidak salah, kau tadi
menyebut tentang pusaka. Apa kau kenal
seorang Empu Pembuat Pusaka yang
bernama Ki Bangka Putung...?" tanya
Bayu.
Sekar terperanjat bukan main
begitu mendengar nama ayahnya disebut.
Tatapan matanya semakin tajam,
merayapi wajah Pendekar Pulau Neraka.
Jari-jari tangannya semakin erat
menggenggam tangkai pedang yang
tergenggam di tangan kirinya.
"Kau terkejut...? Apa kau kenal Ki
Bangka Putung...?" tanya Bayu.
"Dari mana kau tahu nama itu?"
Sekar malah balik bertanya. Suaranya
terdengar dingin dan begitu tajam.
"Aku pernah lewat di Gunung Anjar.
Di sana, aku menemukan seorang tua
terluka parah. Dia hanya menyebutkan
satu nama padaku sebelum meninggal,
dan hanya sedikit pesan saja," jelas Bayu.
"Hanya nama Ki Bangka Putung yang
disebutkannya."
"Pertapa Gunung Anjar...," desis
Sekar tanpa sa-dar.
"Kau juga kenal orang tua itu...?"
"Ohhh...," Sekar mendesah panjang
"Kapan dia meninggal?"
"Lama juga. Kira-kira, tiga
purnama. Atau mungkin lebih," sahut
Bayu.
"Apa yang dikatakannya padamu?"
kejar Sekar, malah balik menanyai
pemuda.ini.
"Tidak banyak. Aku diminta olehnya
agar menemui seseorang yang bernama Ki
Bangka Putung, dan supaya aku
menyampaikan suatu pesannya," sahut
Bayu .
"Apa pesannya?" Sekar terus
mengejar, semakim ingin tahu.
"Sayang sekali. Aku tidak bisa
mengatakannya padamu. Pesan itu harus
kusampaikan pada Ki Bangka Putung
sendiri," elak Bayu.
Sekar jadi terdiam termenung.
Sudah bisa diduga, benda bercahaya
kehijauan yang kini telah menjadi pedang
adalah Batu Kawa Hijau milik Pertapa
Gunung Anjar. Dia kenal pertapa tua itu.
Karena, sudah beberapa kali pergi ke sana
bersama ayahnya. Bahkan setiap kali
pertapa tua itu turun gunung, selalu
datang ke pondok mereka. Dan biasanya,
selalu menginap sampai dua atau tiga
hari.
Tapi kenapa ayahnya tidak tahu
kalau benda itu adalah Batu Kawa Hijau
milik Pertapa Gunung Anjar? Pertanyaan
inilah yang sekarang berada di kepala
Sekar. Dan gadis itu juga belum yakin
dengan dugaannya, kalau Batu Kawa
Hijau yang menjadi pangkal dari
malapetaka adalah penyebabnya. Kalau
sampai ayahnya sendiri tidak tahu
tentang batu itu, bagaimana mungkin
bisa berada di tangan Kala Putih?
"Sudah larut malam. Sebaiknya,
kau tidur saja. Aku juga harus
meneruskan perjalanan besok, mencari
tempat tinggal Ki Bangka Putung," jelas
Bayu.
"Kau tahu tempat tinggalnya?"
tanya Sekar bernada memancing.
"Belum. Tapi aku yakin bisa
menemukannya. Yaaah.... Meskipun
sudah tiga purnama lebih aku mencari,
tapi aku yakin bisa bertemu dengannya.
Seorang Empu pasti banyak dikenal
orang," tegas Bayu, yakin.
"Kau tidak akan bisa bertemu
dengannya," kata Sekar agak lirih
suaranya.
"Heh...?! Apa maksudmu...?" Bayu
jadi tersentak kaget, tidak mengerti.
"Beliau sudah tewas," jelas Sekar
dengan suara pelan, hampir tidak
terdengar.
"Kau jangan main-main, Sekar,"
Bayu tidak percaya.
"Empu Bangka Putung adalah
ayahku."
"Apa...?! Kau...?" suara Bayu jadi
tercekat di tenggorokan.
Tanpa diminta lagi. Sekar
menceritakan semua musibah yang
menimpa keluarganya, sampai ayahnya
tewas berada di tangan Kala Putih.
Sementara Bayu mendengarkan penuh
perhatian. Sungguh tidak disangka kalau
akan bertemu putri Ki Bangka Putung
dalam keadaan seperti ini. Bahkan tidak
bisa lagi bertemu Empu Pembuat Pusaka
itu untuk menyampaikan pesannya.
"Sebelum peristiwa itu terjadi, ayah
membuat pedang ini," jelas Sekar sambil
menunjuk pedangnya.
Bayu hanya terdiam saja
memandangi pedang yang berada di
dalam genggaman gadis ini. Entah, apa
yang ada di dalam kepalanya saat itu.
Tampaknya, Pendekar Pulau Neraka
begitu kecewa, karena tidak bisa
melaksanakan amanat orang tua yang
menjelang ajal. Untuk beberapa saat,
mereka jadi terdiam membisu.
"Sebaiknya kau tidur saja, Sekar.
Biar aku yang jaga malam ini," ujar Bayu.
"Kau tidak ingin memiliki pedang
ini...?" tanya Sekar, masih bernada
memancing.
'Pedang itu milikmu, Sekar," sahut
Bayu diiringi senyuman.
'Terima kasih," ucap Sekar, yang
bisa merasa lega sekarang
"Tidurlah."
Sekar sudah merasa tenang
sekarang Dia yakin, pemuda ini memang
tidak tahu apa-apa. Bahkan bukan orang
suruhan Kala Putih yang begitu
menginginkan pedang pusaka terakhir
ayahnya, seperti dugaannya semula.
Sekar merebahkan tubuhnya, dan mulai
memejamkan mata. Badannya memang
terasa lelah dan mengantuk sekali.
Sebentar saja gadis itu sudah mendekati
api, dan duduk bersila di sana. Malam
pun terasa begitu dingin. Bayu mencoba
bersemadi, dan menghangatkan tubuhnya
dengan menyalurkan hawa mumi ke
seluruh tubuh.
***
"Ke mana tujuanmu sekarang?"
tanya Bayu melihat Sekar tampaknya
sudah siap melakukan perjalanan.
"Ke tempat tinggal Kala Putih,"
sahut Sekar.
"Untuk apa ke sana?" tanya Bayu.
"Membebaskan adikku."
"Memangnya, ada apa dengan
adikmu...?" tanya Bayu agak terkejut.
Sekar memang belum menceritakan
tentang Wirya yang sekarang ini berada di
tangan Kala Putih. Dan mendapat
pertanyaan itu, segera diceritakannya ten-
tang Wirya. Bayu mendengarkan penuh
perhatian. Sedikit pun tidak menyelak
sampai gadis itu menyelesaikan ceritanya.
"Di mana tempat tinggalnya?" tanya
Bayu setelah Sekar selesai dengan
ceritanya.
'Tidak jauh dari Gunung Anjar.
Tepatnya, di Lembah Kuning," sahut
Sekar menjelaskan.
Bayu mengerutkan keningnya.
Pendekar Pulau Neraka tahu tempat yang
dimaksudkan Sekar. Sebuah tempat yang
sangat sulit dijangkau. Bahkan tidak ada
seorang pun yang sudi ke sana.
Memasuki lembah itu, sama saja
mengantarkan nyawa sia-sia. Kecuali, me-
mang ingin mati.
'Tunggu dulu, Sekar...!" cegah Bayu
begitu melihat Sekar sudah melangkah.
Sekar berhenti mengayunkan
kakinya. Kepalanya berpaling, menatap
pemuda berbaju kulit harimau yang
sudah berada di sampingnya.
"Aku akan mengantarmu ke sana.
Tempat yang kau tuju sangat sulit dan
berbahaya. Bukannya tidak mustahil,
Kala Putih dan orang-orangnya sudah
menyebar untuk mencarimu," ujar Bayu.
“ Terima kasih. Aku tidak meminta,"
ucap Sekar.
"Aku menyediakan diri untuk
membantumu," tegas Bayu.
Sekar hanya tersenyum saja, dan
terus mengayunkan kakinya. Bayu
mengikuti, mensejajarkan langkah di
samping gadis ini. Tapi baru saja mereka
berjalan beberapa langkah, tiba-tiba saja
semak yang berada di depan bergerak-
gerak. Bayu langsung menarik tangan
Sekar, hingga berada di belakang
tubuhnya.
Srakkk!
Tiba-tiba saja dari dalam semak itu
melesat sebuah bayangan hitam kecil.
Bayu sempat tersentak kaget, tapi
langsung diam begitu bayangan kecil itu
menerkamnya. Dan tahu-tahu, di pundak
kanan Pendekar Pulau Neraka sudah
duduk seekor monyet kecil berbulu hitam.
Binatang itu memeluk leher pemuda ini
erat-erat
"Dari mana saja kau...?" dengus
Bayu seraya melepaskan pelukan monyet
ini.
"Nguk!"
"Sekar, kenalkan, ini sahabatku.
Tiren namanya," Bayu memperkenalkan
monyet kecil itu pada Sekar.
Monyet kecil berbulu hitam itu
memonyongkan mulutnya, kemudian
mencerecet ribut dan berjingkrak di
pundak Bayu. Sekar jadi tersenyum-
senyum melihat tingkah binatang yang
lucu ini.
"Ayo...?"
Mereka kembali berjalan tanpa
bicara. Sampai matahari berada di atas
kepala, mereka terus saja berjalan tanpa
beristirahat sedikit pun. Keringat
bercampur debu melekat di seluruh
tubuh. Beberapa kali Bayu melirik wajah
Sekar yang sudah memerah dan
berkeringat
"Kau tidak letih, Sekar?" tanya
Bayu.
"Sedikit," sahut Sekar.
'Tampaknya, kau tahu betul seluk
beluk hutan ini," tebak Bayu lagi
'Tidak begitu. Hanya saja, aku
sering bermain-main di sini. Dan ayah
juga sering mengajakku berburu di hutan
ini."
Mereka berhenti melangkah ketika
di depan mereka menghadang sebuah
sungai yang berair sangat jernih. Begitu
beningnya, sehingga ikan-ikan yang
berenang ria di sungai ini terlihat jelas.
Sekar membasuh wajah dan tangannya di
air sungai itu. Bayu juga berbuat yang
sama. Mereka menyegarkan tubuh
dengan air sungai yang bening bagai kaca
itu.
"Hebat...pintar sekali dia," gumam
Sekar kagum.
"Apanya yang hebat?" tanya Bayu.
"Itu...."
Bayu mengarahkan pandangan ke
arah yang ditunjuk Sekar. Bibirnya jadi
tersenyum melihat Tiren berlompatan di
air sungai yang cukup dangkal ini. Dan
kini di tangan monyet kecil itu sudah
tergenggam seekor ikan yang cukup
besar. Tiren, monyet kecil berbulu hitam
itu melemparkan ikan hasil tangkapannya
ke arah Bayu. Tangkas sekali Pendekar
Pulau Neraka menangkapnya, lalu
melemparkan lagi ke belakang.
"Cukup, Tiren...!" seru Bayu setelah
Tiren mendapatkan lima ekor ikan.
"Nguk!"
Tiren berlompatan ke tepi melalui
batu yang banyak terdapat di sungai ini.
Tubuhnya digerak-gerakkan, membuat air
yang melekat di seluruh tubuhnya
menyiprat ke sana kemari. Sementara itu.
Sekar sudah menyiapkan ranting-ranring
kering, dan membuat api. Ikan-ikan
tangkapan Tiren dibakamya di atas api.
Bau harum cepat sekali menyebar
menyengat hidung, membuat perut jadi
berontak minta diisi.
Mereka kini tengah menikmati ikan-
ikan itu. Sementara Tiren cukup senang
mendapat buah-buahan yang diperoleh
Bayu. Mereka makan sambil bercakap-
cakap. Keakraban mulai terjalin di antara
mereka. Ter-lebih lagi, Tiren cepat sekali
lengket pada orang yang disukainya.
"Sebenamya ayah tidak sudi
menuruti permintaan Kala Putih untuk
membuat senjata dari benda yang
dibawanya sendiri...," kata Sekar setelah
ikan-ikan bakar itu habis disantap.
"Apa ayahmu tidak tahu asal benda
yang dibawa Kala Putih?" tanya Bayu.
"Aku tidak tahu. Tapi, ayah
sepertinya tidak pernah menanyakan itu
pada Kala Putih. Ayah memang tidak
pernah bertanya tentang benda-benda
pembuat senjata pusaka yang dibawa
pemesannya," jelas Sekar.
"Tentunya, ayahmu punya alasan,
kenapa tidak ingin membuat senjata dari
benda itu," desak Bayu lagi.
"Katanya, benda itu memiliki
kekuatan gaib yang dahsyat dan sangat
jahat Tapi..."
'Tapi kenapa, Sekar...?" desak Bayu.
"Aku menduga kalau benda itu
adalah Batu Kawa Hijau milik Pertapa
Gunung Anjar," agak ragu-ragu suara
Sekar.
"Kau bisa menduga begitu, tapi
kenapa ayahmu tidak bisa mengenalinya?
Bukankah antara ayahmu dan Pertapa
Gunung Anjar bersahabat baik?" tanya
Bayu lagi.
"Antara ayah dan Pertapa Gunung
Anjar dekat. Tapi di antara mereka tidak
pernah saling mencampuri urusan
masing-masing. Terlebih lagi, mengenai
keahlian masing-masing. Bahkan tidak
ada yang tahu tentang benda-benda yang
dimiliki. Jadi, mana mungkin ayah bisa
mengetahui kalau benda itu adalah Batu
Kawa Hijau," jelas Sekar tentang
hubungan ayahnya dengan Pertapa
Gunung Anjar.
"Dan kau sendiri bisa menduga
begitu. Pasti kau tahu tentang batu itu,
bukan...?" kejar Bayu.
"Pertapa Gunung Anjar pernah
cerita padaku tentang batu itu. Tapi, aku
tidak pernah melihat bentuknya."
"Memang sulit jika saling
menyimpan rahasia," desah Bayu seraya
bangkit berdiri.
Pendekar Pulau Neraka kemudian
mengulurkan tangannya pada Tiren yang
berada di pangkuan Sekar.
"Biar dia bersamaku," pinta Sekar
seraya berdiri.
Monyet kecil itu duduk di pundak
gadis ini. Mereka kemudian melanjutkan
perjalanan tanpa berbicara lagi. Hanya
ada satu tujuan mereka. Ke tempat
tinggal Kala Putih untuk membebaskan
Wirya, adik kandung gadis ini.
"Apa ada desa terdekat di sekitar
sini, Sekar?" tanya Bayu.
"Ada," sahut Sekar. "Apa kita akan
bermalam di desa?"
"Rasanya, tidak aman kalau
bermalam di desa manapun juga."
"Kenapa...?"
Belum juga Bayu menjawab
pertanyaan itu, tiba-tiba saja sebuah
pohon yang cukup besar bergerak
turnbang ke arah mereka,
memperdengarkan suara berderak
mengejutkan.
"Awas...!"
Bayu cepat melompat sambil
menyambar pinggang Sekar. Hampir saja
pohon itu menimpa mereka. Untung saja
Bayu segera melompat menghindar. Pen-
dekar Pulau Neraka cepat mengedarkan
pandangan berkeliling, dengan telinga
dipasang tajam-tajam.
"Hm...," gumam Bayu perlahan.
Srakkk!
Slap!
***
EMPAT
Dari balik semak dan pepohonan,
bermunculan sekitar sepuluh orang
bersenjata golok. Seorang di antara
mereka, bertubuh tinggi besar dan berotot
kekar. Dia menyandang sebilah golok
yang berukuran cukup besar. Sekar yang
mengenali orang itu langsung hendak
mencabut pedangnya. Tapi, Bayu keburu
menahan tangan gadis ini.
"Kau kenal mereka?" tanya Bayu
sedikit melirik pada gadis di sampingnya.
"Orang itu yang membunuh
ayahku," sahut Sekar agak mendesis.
"Hm...," gumam Bayu perlahan.
Pendekar Pulau Neraka menatap
tajam laki-laki besar berotot kekar yang
menyandang golok berukuran besar itu.
Wajahnya begitu kasar, dipenuhi brewok
yang tak terurus. Dia berdiri paling depan
dari kesepuluh orang yang rata-rata
masih berusia muda. Sementara itu, Bayu
sudah menggeser kakinya ke depan dua
langkah, membelakangi Sekar seperti
hendak melin-dungi gadis ini.
"Siapa kalian...?" tanya Bayu,
meskipun sudah diberi tahu Sekar tadi.
"Jangan banyak tanya! Serahkan
gadis itu pada kami!" bentak orang
bersenjata gotok besar yang tak lain
adalah Caraka.
"Kenapa kau meminta gadis ini?"
tanya Bayu lagi, berpura-pura tidak
mengerti.
"Rupanya kau ingin jadi pahlawan,
Bocah...," desis Caraka sinis.
"Mungkin," sahut Bayu seenaknya.
"Setan...! Besar kepala juga kau
rupanya," geram Caraka jadi gusar.
Wukkk!
Tiba-tiba saja Caraka mengebutkan
golok besarnya ke depan. Kebutan itu
demikian dahsyat, membuat Bayu agak
terkejut juga. Jelas sekali kalau golok itu
sangat berat Tapi di tangan Caraka,
bagaikan terbuat dari karet yang begitu
ringan. Pendekar Pulau Neraka . segera
menggeser kakinya sedikit ke kanan.
Diperhatikannya Caraka yang ringan
sekali memutar-mutar goloknya.
"Golok mainan anak-anak saja
dipamerkan di depanku," dengus Bayu
memanasi dengan sinis.
"Serang...! Bunuh bocah keparat
itu...!" perintah Caraka dengan suara
lantang menggelegar.
Seketika itu juga, sepuluh orang
yang berada di belakangnya segera
berlarian. Mereka langsung berlompatan
mendekati Bayu. Sejenak Pendekar Pulau
Neraka memperhatikan, kemudian melirik
sedikit pada Sekar yang juga rupanya
sudah bersiap menerima serangan.
"Hiyaaa...!"
Mendadak saja Bayu melentingkan
tubuh ke udara, ketika sepuluh orang itu
sudah dekat. Cepat sekali tubuhnya
meluruk deras, melontarkan beberapa
pukulan keras, tanpa pengerahan tenaga
dalam.
Hanya sekali gerak saja, terlihat tiga
orang ambruk ke tanah sambil menjerit
keras terkena pukulan yang dilepaskan
Pendekar Pulau Neraka. Gerakan yang
dilakukan Bayu begitu cepat luar biasa,
sehingga sukar diikuti dengan pandangan
mata mereka. Baru beberapa gerakan
saja, sepuluh orang itu sudah jatuh
berpelantingan sambil memekik keras.
Meskipun pukulan-pukulan yang
dilepaskan Bayu tidak disertai
pengerahan tenaga dalam, tapi demikian
keras. Bahkan cukup membuat sepuluh
orang itu mengerang, merintih kesakitaa
Pendekar Pulau Neraka melenting ke
belakang, lalu ringan sekali kakinya
menjejak tanah. Bibirnya tersenyum
melihat sepuluh orang itu merintih,
bergelimpangan di tanah.
"Keparat..!" geram Caraka melihat
sepuluh orang anak buahnya
bergelimpangan, hanya dalam beberapa
gebrakan saja.
"Aku tidak akan menyakiti kalian.
Apalagi membunuh. Cepatlah pergi dari
sini, sebelum aku berubah pikiran!" desis
Bayu agak dingin suaranya.
"Sombong...!" dengus Caraka geram.
"Rasakan ini! Hiyaaat..!"
Bagaikan kilat Caraka melompat
cepat menerjang Bayu. Goloknya
berkelebat dahsyat menimbulkan angin
menderu yang menyakitkan telinga.
"Hup!"
Pendekar Pulau Neraka cepat cepat
melompat mundur dua tindak dan
langsung memiringkan tubuhnya ke kiri.
Tebasan golok berukuran besar itu
berhasil dihindarinya. Bayu agak terkejut
juga merasakan hempasan angin yang
begitu keras melanda tubuhnya. Bergegas
dia melompat ke samping, beberapa
langkah jauhnya.
Tapi Caraka sudah berhasil melakukan
serangan cepat Jurus-jurus yang
dikeluarkan laki-laki bertubuh tinggi
besar ini begitu dahsyat. Setiap kebutan
goloknya, membuat Pendekar Pulau
Neraka jadi agak limbung. Maka segera
dikerahkan ilmu meringankan tubuhnya
yang sudah mencapai taraf
kesempurnaan. Bayu berlompatan sambil
meliuk-liukkan tubuhnya, menghindari
setiap serangan yang datang.
Sambil menghindar, Bayu
memperhabkan gerakan-gerakan yang
dilakukan lawannya ini. Setelah beberapa
jurus berlalu, baru Pendekar Pulau
Neraka melancarkan beberapa serangan
balasan. Dan begitu memasuki jurus
kedelapan, setiap gerakan yang dilakukan
Caraka setelah bisa dibacanya.
"Hait,.!"
Pendekar Pulau Neraka cepat
membungkukan tubuhnya, begitu golok
besar itu mengebut ke arah kepala.
Sebenarnya serangan bisa dielakkan
dengan hanya merundukkan kepala
sedikit Tapi Bayu malah membungkuk,
dan tiba-tiba saja tangan kirinya
mengibas cepat sekali ke depan.
"Heh...?!"
Caraka terperanjat setengah mati.
Sungguh tidak disangka kalau pemuda
berbaju kulit harimau itu akan
melakukan sodokan, di saat menghindari
serangannya. Cepat-cepat dia melompat
mundur. Dan sebenarnya inilah yang
ditunggu Bayu. Begitu Caraka menarik
jarak, cepat-cepat Pendekar Pulau Neraka
menarik tubuhnya tegak kembali. Dan
tiba-tiba, dilayangkannya satu tendangan
keras yang sama sekali tidak diduga
Caraka.
Begitu cepatnya tendangan yang
dilepaskan Pendekar Pulau Neraka,
sehingga Caraka yang memang belum
siap tak dapat lagi menghindarinya. Telak
sekali telapak kaki Bayu menghantam
dada yang berbulu lebat itu.
Des!
"Akh.„!" Caraka memekik keras
agak tertahan.
Di saat tubuh Caraka tengah
limbung terdorong ke belakang, Bayu
cepat melompat sambil melepaskan satu
pukulan keras, disertai pengerahan
tenaga dalam yang tidak penuh.
Pukulannya demikian cepat dan keras
sekali. Akibatnya, Caraka benar-benar
tidak bisa lagi melakukan gerakan
menghindar.
Diegkh!
"Akh...!" untuk kedua kalinya
Caraka memekik keras.
Pukulan Bayu yang begitu keras,
membuat Caraka terpental ke belakang
sejauh dua batang tombak. Keras sekali
tubuhnya yang kekar berotot itu
terbanting ke tanah, dan bergelimpangan
beberapa kali. Tapi, Caraka cepat
melompat bangkit berdiri. Kedua kakinya
agak bergetar, seakan-akan tidak kuat
lagi menahan beban tubuhnya. Caraka
berusaha untuk bisa berdiri tegak,
meskipun masih agak limbung.
"Setan...! Phuih!" geram Caraka.
Sementara Bayu berdiri tegak dengan
kedua tangan terlipat di depan dada.
Matanya menatap tajam pada Caraka,
dan bibirnya menyunggingkan senyum
sinis. Sementara Caraka melakukan
beberapa gerakan, untuk mengusir rasa
sesak yang menghimpit dadanya. Tentu
saja akibat tendangan dan pukulan
pemuda berbaju kulit harimau itu.
"Kalau masih penasaran, silakan
maju lagi," tantang Bayu.
"Phuih!"
Caraka hanya menyemburkan
ludahnya saja. Sementara, matanya
melirik pada sepuluh orang anak buahnya
yang tampaknya sudah tidak mampu
bertarung lagi. Meskipun mereka sudah
bisa berdiri, tapi golok-golok mereka
sudah berpatahan, sehingga tak mungkin
dapat digunakan lagi. Menyadari
kedudukannya tidak menguntungkan,
Caraka jadi berpikir dua kali untuk
menyerang pemuda berbaju kulit harimau
itu.
"Kita akan bertemu lagi, Bocah!"
desis Caraka dingin.
Setelah berkata demikian, laki-laki
berbadan kekar berotot itu bergegas
melesat pergi. Sepuluh orang
pengLkutnya segera berlarian
mengikutinya. Sedangkan Bayu hanya
memandanginya saja. Tubuhnya baru
berputar, dan melangkah menghampiri
Sekar setelah mereka sudah tak terlihat
lagi.
"Kenapa kau biarkan mereka kabur,
Kakang? Seharusnya kau bunuh mereka
semua," Sekar agaknya tidak senang atas
sikap Bayu yang membiarkan orang-orang
itu pergi.
"Bukan mereka tujuanmu, Sekar,"
kilah Bayu kalem.
"Tapi.. orang itulah yang
membunuh ayahku," bantah Sekar.
"Kau dendam...?"
"Aku akan membalas kematian
ayah!" tegas Sekar.
Bayu jadi ingat akan dirinya sendiri.
Dulu ketika baru keluar dari Pendekar
Pulau Neraka, dia juga mencari para
pembunuh orang tuanya. Saat itu, yang
ada di kepalanya hanya balas dendam!
Bahkan sampai sekarang pun, Pendekar
Pulau Neraka masih belum bisa
melepaskan dendamnya. Jika berjumpa
orang yang membunuh ayahnya, api
dendamnya langsung berkobar menyala.
Dan orang itu tidak pernah diberi ampun
lagi. Mereka yang terlibat langsung, akan
terkapar bermandikan darah.
Dan Bayu tidak bisa menyalahkan
Sekar jika di hatinya tersimpan api
dendam. Dia juga tidak bisa melarang,
atau menasihati gadis ini. Padahal sudah
mulai disadarinya, kalau dendam tidak
akan bisa menyelesaikan segala
persoalan. Dan terus akan berbuntut
panjang, sampai tak ada yang tersisa
hidup hingga anak turunannya.
***
Memang tidak mudah perjalanan
ini. Setiap saat mereka harus menghadapi
bahaya. Terutama, ancaman orang-orang
Kala Putih. Terlebih lagi, saat mereka
sudah berada di sekitar Gunung Anjar.
Bahkan bukan hanya Bayu saja yang
memeras keringat menghadapi mereka.
Sekar pun terpaksa berlaga,
mempertahankan diri dari serangan-
serangan yang selalu muncul tiba-tiba
dari para pengjkut Kala Putih.
"Uhhh! Gila..!" lenguh Bayu seraya
menghempas-kan tubuh ke atas
rerumputan di bawah pohon yang cukup
rindang.
Mereka memang baru saja teriepas
dari sergapan para pengikut Kala Putih.
Sekar duduk di samping Pendekar Pulau
Neraka sambil menghembuskan napas
panjang. Disekanya keringat dengan
punggung tangan, di sekitar wajah dan
lehemya. Beberapa saat mereka terdiam,
sambil mengatur jalan pemapasan.
Rasanya, dada ini seperti akan pecah.
Pagi ini, sudah dua kab mereka mendapat
serangan gencar dari orang-orang Kala
Putih.
"Setan...!" tiba-tiba Bayu
mengumpat geram.
"Ada apa, Kakang...?" tanya Sekar.
Belum juga Bayu menjawab, tiba-tiba saja
meluncur sebatang tombak berukuran
cukup panjang dari depan. Pendekar
Pulau Neraka langsung melompat
Tangannya segera dikebutkan untuk
menangkap tombak itu tepat di bagian
tengahnya. Sekar juga bergegas bangkit
berdiri. Dihampirinya Pendekar Pulau
Neraka, dan berdiri di samping kanannya.
"Siapa pun kalian, keluar...!"
lantang suara Bayu.
Begitu teriakan Pendekar Pulau
Neraka hilang, dari balik pepohonan dan
semak belukar bermunculan empat orang
laki-laki bertubuh kekar. Wajah mereka
kasar dan kotor tak terawat Pakaian yang
dikenakan pun kotor. Bahkan sudah
mulai terlihat koyak di beberapa bagian
tubuhnya.
"Hm...," Bayu menggumam kecil
memperhatikan empat orang yang kini
sudah berdiri sekitar satu tombak di
depannya.
Tubuh dan keadaan mereka sudah
mirip jembel jalanan. Dan Bayu bisa
menduga, mereka bukan orang-orang
Kala Putih. Tapi dalam keadaan seperti
ini, tidak mudah menduga begitu saja.
Dan setiap orang-yang dijumpai, terlebih
lagi kemunculannya didahului satu
serangan gelap, membuat Pendekar Pulau
Neraka bersiap mempertahankan diri jika
diserang.
"Siapa kalian?" tanya Bayu agak
Iunak suaranya terdengar.
"Jangan banyak tanya! Serahkan
semua hartamu!" bentak salah seorang,
kasar.
"Harta...? Aku tidak punya harta,"
sahut Bayu agak berkerut keningnya.
"Bedebah! Kalau begitu, nyawamu
yang kuminta!"
"Heh...?!"
Pendekar Pulau Neraka tersentak
kaget. Tapi belum juga lenyap dari
keterkejutannya, empat orang bertampang
kasar dan kotor itu sudah berlompatan
menyerang. Terpaksa Pendekar Pulau
Neraka berjumpalitan menghindari
serangan-serangan yang dilakukan cepat
dan tiba-tiba. Golok-golok di tangan
mereka berkelebatan, berdesingan di
sekitar tubuh Pendekar Pulau Neraka.
Sementara, Sekar sudah lebih
dahulu menghindar. Gadis itu hanya
memperhatikan saja. Sementara tangan
kanannya menggenggam erat tangkai
pedang-nya. Meskipun tidak
mendapatkan lawan kali ini, tapi tetap
saja dia bersikap waspada.
"Hiyaaat..!"
Tiba-tiba saja Bayu melenfingkan
tubuh ke udara, lalu meluruk deras
sambil mengebutkan cepat tangannya
beberapa kali. Begitu cepat gerakannya,
sehjngga tubuh Pendekar Pulau Neraka
bagaikan lenyap. Dan yang terlihat kini
hanya bayangan kuning berkelebatan,
menyambar empat orang bertampang
kasar dan kotor itu.
Saat itu juga, terdengar jeritan-
jeritan panjang melengking yang saling
sambut Kemudian, disusul
berpentalannya keempat orang itu.
Tampak Bayu berdiri tegak di antara
mereka yang bergelimpangan di tanah.
Entah kapan terjadinya, tahu-tahu
Pendekar Pulau Neraka sudah merampas
golok-golok keempat orang itu.
"Aku muak melihat tampang-
tampang seperti kalian, huh...!" dengus
Bayu.
Tangan Pendekar Pulau Neraka
sudah terangkat, hendak menyambitkan
golok-golok rampasannya kepada empat
orang yang masih tergeletak mengerang di
tanah. Tapi sebelum Bayu melaksanakan
niatnya, tiba-tiba saja Sekar berseru
nyaring.
"Jangan, Kakang...!"
"Heh...?!"
Bayu berpaling menatap Sekar yang
melangkah cepat menghampirinya. Gadis
itu berhenti di samping Pendekar Pulau
Neraka. Dirampasnya golok yang berada
di tangan Bayu, dan dilemparkannya pada
empat orang yang sudah mulai bisa
bergerak bangkit. Keempat orang laki-laki
bertampang kasar dan kotor itu jadi
terlongong melihat golok-goloknya
berjatuhan di depan mereka.
"Ambil, dan pergi dari sini!" usir
Sekar tegas.
Tapi keempat orang laki-laki itu tidak
beranjak pergi, dan malah menjatuhkan
diri berlutut Sehingga, kening mereka
menyentuh tanah. Melihat sikap keempat
orang ini, Bayu dan Sekar jadi terperanjat
"Heh...?! Apa-apaan ini...?" sentak
Bayu tidak mengerti.
"Terimalah salam dan hormat kami
yang hina dan rendah ini," ucap keempat
orang itu sambil menyatukan kedua
telapak tangannya di depan dada
bersamaan.
"Kenapa mereka begitu...?" tanya
Bayu seperti pada diri sendiri.
Sekar melangkah dua tiridak ke
depan. Sedangkan empat orang laki-laki
bertubuh kekar dan kotor itu masih
bersujud menempelkan kening di atas
tanah.
"Bangunlah kalian," ujar Sekar,
lembut suaranya.
Perlahan mereka mengangkat
kepala, lalu duduk bersila di depan gadis
ini. Sebentar Sekar merayapi wajah-wajah
yang agak tertunduk di depannya. Keada-
an mereka begitu kotor, seperti tidak
pernah mandi berbulan-bulan lamanya.
Pakaian yang dikenakan pun sudah
sobek-sobek di beberapa bagian.
"Siapa kalian sebenarnya?" tanya
Sekar tetap lembut suaranya.
"Kami hanya perampok. Dan kami
janji, tidak akan mengulangi lagi," sahut
salah seorang dengan sikap hormat sekali.
"Aku tidak percaya kalian
perampok. Kalian semua mengenakan
gelang Candra Wikara. Hm.. Kenapa
kalian bisa jadi begini...?" sanggah Sek
sambil merayapi keempat orang ini.
Keempat orang itu tampak terkejut
mendengar kata-kata Sekar barusan.
Kembali mereka menjatuhkan diri
bersujud dan menempelkan kening di
tanah, tepat di depan ujung kaki gadis ini.
Sementara Bayu yang melihat kejadian itu
hanya memperhatikan saja. Didekatinya
Sekar begitu empat orang ini kembali
duduk bersila dengan kepala terus
tertunduk menekuri tanah di depannya.
"Siapa sebenarnya mereka, Sekar?"
bisik Bayu pelan.
"Aku tidak tahu, siapa mereka. Tapi
gelang Candra Wikara yang dikenakan
menunjukkan kalau mereka para
pengawal pengantar barang kerajaan,"
sahut Sekar pelan juga suaranya.
Bayu mengangguk-anggukkan
kepala. Pendekar Pulau Neraka tidak lagi
heran dengan pengetahuan Sekar yang
begitu luas. Wajar saja bila putri seorang
Empu Pembuat Pusaka, bisa mengetahui
tentang kerajaan segala. Dan yang pasti,
tidak sedikit para pembesar yang pernah
memesan senjata pusaka pada ayah gadis
ini.
"Kau... berdiri," perintah Sekar
seraya menunjuk salah seorang yang
berada tepat di depannya.
Perlahan orang itu bangkit berdiri,
tapi kepalanya tetap tertunduk.
Sementara, kedua tangannya me-nyatu di
bawah perut. Tubuhnya agak sedikit
terbung-kuk, seperti seorang pesuruh
yang sedang menghadap majikannya.
"Siapa namamu, dan kalian
semua?" tanya Sekar lagi.
"Kampar. Dan mereka, Gandil,
Gadok dan Buling," sahut orang yang
bernama Kampar, sambil
memperkenalkan ketiga temannya.
"Ceritakani Siapa kalian
sebenarnya, dan kenapa bisa jadi seperti
ini...," pinta Sekar
"Ceritanya panjang, Nini...."
"Ceritakan saja."
***
LIMA
"Mulanya kami berjumlah dua
puluh orang...," Kampar memulai.
"Teruskan," pinta Sekar.
"Kami memang para petugas
pengawal pengantar barang kerajaan.
Sudah menjadi bagian dari tugas kami,
menghadapi rintangan dan bahaya yang
menghadang. Dan selama lebih sepuluh
tahun, semuanya bisa diatasi. Bahkan
pihak kerajaan sudah mempercayai kami
untuk mengawal barang-barang berharga,
Tapi, yaaah.... Semua itu hancur seketika
"Kejadian apa?" tanya Bayu.
"Saat itu, kami sedang bertugas
mengawal dua orang panglima yang
membawa satu peti penuh barang berupa
emas. Saat melewati kaki Gunung Anjar,
kami diserang sekelompok orang yang
berjumlah empat kali lipat dari kami
semua. Banyak teman kami yang tewas.
Bahkan kedua panglima itu juga tewas.
Hanya aku dan ketiga temanku ini yang
berhasil lolos."
"Hm...," gumam Bayu periahan.
"Sejak peristiwa itu, kami tidak
berani lagi menampakkan diri. Kami tahu,
sekarang ini menjadi buronan pihak
kerajaan. Mereka pasti menyangka kami
yang merampok barang-barang itu,"
sambung Kampar.
"Seharusnya kau laporkan kejadian
itu," saran Bayu.
"Kami tidak sudi digantung.
Walaupun itu musibah, tapi Gusti Prabu
pasti tidak mau tahu. Beliau pasti
meminta barang-barangnya kembali.
Sedangkan...."
"Kenapa?"
"Mustahil kami berempat bisa
mengembalikan barang-barang itu,
karena yang merampok adalah orang-
orang Kala Putih."
"Siapa...?!" Sekar terbeliak
mendengar nama Kala Putih.
"Lagi-lagi Kala Putih...," desis Bayu
agak menggeram suaranya.
"Apakah Kisanak dan Nisanak
berurusan juga dengan Kala Putih?" tanya
Kampar.
"Ayahku tewas di tangannya. Dan
sekarang, adikku menjadi tawanannya,"
sahut Sekar agak mendesis.
Beberapa saat mereka jadi terdiam.
"Boleh kami ikut bersama kalian...?"
pinta Kampar agak ragu-ragu.
Bayu dan Sekar tidak segera
menjawab. Saat itu, Kampar dan ketiga
temannya sudah kembali duduk bersila.
Mereka memunggut golok masing-masing,
dan golok yang berada di dalam
genggaman tangan kanan, ditempelkan ke
ujung jari telunjuk kirinya.
"Kami bersumpah untuk selalu
setia," janji Kampar, diikuti ketiga
temannya.
"Heh...?! Apa yang kalian
lakukan...?" sentak Bayu.
Tapi belum juga hilang suara
Pendekar Pulau Neraka, mereka sudah
mengiris ujung jarinya dengan golok.
Darah seketika mengucur keluar dari
ujung jari yang teriris. Dan mereka
langsung menyatukan jari yang berdarah
itu.
"Edan...!" desis Bayu
"Itu tanda kesetiaan yang mereka
tunjukkan, Kakang," jelas Sekar.
'Tapi, kenapa dengan cara seperti
itu?"
"Mereka akan terhina jika kau
menolak tanda kesetiaannya. Mereka
lebih baik mati daripada ditolak."
Bayu jadi garuk-garuk kepalanya
yang tidak gatal. Sementara, keempat
orang itu sudah bangkit berdiri. Mereka
kemudian mengulurkan tangan yang
berlumuran darah kepada Pendekar Pulau
Neraka. Sejenak pemuda berbaju kulit
harimau itu memandangi, tapi Sekar
cepat mengambil tangan kanan Bayu, dan
diulurkan ke depan. Saat itu juga,
keempat orang laki-laki ini menempelkan
tangan yang berlumuran darah,
menggenggam tangan kanan Pendekar
Pulau Neraka.
Mereka melepaskan tangan Bayu,
kemudian berlutut di depannya. Lalu,
mereka bersujud menempelkan kening di
tanah. Bayu hanya diam memperhatikan
saja. Setelah itu, keempat orang ini
kembali bangkit berdiri.
"Demi Dewata yang bersemayam di
Kahyangan, kami rela menyabung nyawa
demi junjungan," ucap Kampar diikuti
ketiga temannya.
"Kalian terlalu berlebihan," desis
Bayu.
"Mereka akan mengikuti semua
perintahmu, Kakang," jelas Sekar.
Bayu hanya menghembuskan napas
saja, dan tidak bisa lagi menolak Dan dia
harus menghormati sumpah setia yang
telah dilakukan empat orang ini.
***
Mendapatkan tambahan orang,
memang tidak ada ruginya. Sejak adanya
empat orang itu, Bayu jadi jarang
mengeluarkan tenaga jika kebetulan
dicegat orang-orang Kala Putih. Dan
memang, semakin dekat dengan lembah
tempat tinggal Kala Putih, semakin sering
saja terjadi bentrokan. Bahkan
pertumpahan darah pun tak dapat
dihindari lagi. Tapi hal ini sebenarnya
tidak diinginkan Pendekar Pulau Neraka.
Hingga akhirnya mereka sampai di
tepi lembah yang cukup luas.
Pemandangan di lembah ini begitu indah.
Tapi di balik semua keindahan itu,
tersimpan sejuta bahaya mengancam.
Bayu berdiri tegak memandang ke arah
lembah itu. Sementara, di samping
kanannya berdiri Sekar. Sedangkan di
belakang mereka, berjajar empat orang
laki-laki bertampang kasar yang telah
mengangkat sumpah setia untuk
Pendekar Pulau Neraka.
"Kau lihat, Sekar. Setiap jengkal
lembah ini dijaga ketat," kata Bayu sambil
menunjuk ke arah lembah di depan
mereka.
"Apa pun bahayanya, kita harus
masuk ke sana, Kakang," tegas Sekar
bertekad.
'Tapi tidak dengan cara
serampangan," kata Bayu lagi.
Sekar terdiam. Bisa dimengerti
maksud Pendekar Pulau Neraka.
Kekuatan yang mereka miliki memang
tidak sebanding, bila dilihat dari kekuatan
yang dimiliki Kala Putih. Entah, berapa
banyak pengikut Kala Putih. Di dalam
hati kecilnya, sebenarnya Sekar juga tidak
yakin bisa menembus penjagaan yang
begitu ketat
Gadis itu menatap lurus tak
berkedip ke arah bangunan besar yang
dikelilingi tembok batu bagai benteng. Di
dalam bangunan itulah Kala Putih
bertempat tinggal, seperti berada di dalam
sebuah istana kecil di tengah-tengah
lembah yang indah dan luas ini. Se-
mentara Gunung Anjar yang
melatarbelakangi lembah ini, terlihat
begitu angkuh, menjulang tinggi bagai
hendak menembus langit.
Sementara itu, hari sudah
menjelang senja. Matahari sudah begitu
condong ke arah Barat Sinarnya tidak lagi
terik membakar seperti tadi. Rona merah
yang membias, menambah indahnya
pemandangan alam di sekitar lembah ini.
Tampak kabut mulai merayap turun dari
Puncak Gunung Anjar. Udara pun mulai
terasa dingin, menyusup sampai ke
tulang.
"Sebaiknya, kita istirahat di sini
sambil memildrkan cara untuk masuk ke
sana," ujar Bayu, periahan suaranya.
"Apa tidak terlalu berbahaya berada
di sini, Kakang?" tanya Sekar.
Belum juga Bayu sempat menjawab
pertanyaan gadis itu, tiba-tiba saja
mereka dikejutkan suara tawa yang
datang dari belakang. Mereka langsung
berbalik, dan terkejut begitu tiba-tiba di
depan mereka kini telah berdiri seorang
laki-laki berbaju kuning gading. Tubuh
nya kurus, dan kepalanya botak. Tanpa
selembar rambut pun menghiasi.
Tak ada satu senjata pun terlihat,
kecuali seuntai kalung dari batu hitam
yang tergenggam di tangan kanannya.
Jari-jari tangan yang kurus seperti tulang
berbalut kulit, lincah mempermainkan
untaian baru hitam itu. Dia berdiri sekitar
empat batang tombak jauhnya.
"Kalian menyingkirlah," ujar Bayu.
Pendekar Pulau Neraka pernah
melihat orang tua berjubah kuning ini di
kedai, saat mereka beristirahat mengisi
perut. Memang, saat itu mereka tidak
bertegur sapa. Tapi Bayu selalu
memperhatikannya dari sudut ekor
matanya, kalau orang tua berjubah
kuning ini tidak lepas mengamati Sekar.
Dan sekarang, dia muncul lagi secara
mengejutkan. Dari kemunculannya saja,
Bayu sudah bisa mengira kalau orang tua
ini memiliki tingkat kepandaian tinggi.
Itulah sebabnya, Pendekar Pulau Neraka
menyuruh Sekar dan empat orang yang
mengikutinya menyingkir.
"He he he.... Kita bertemu lagi,
Pendekar Pulau Neraka," kata orang
berjubah kuning itu diiringi tawanya yang
terkekeh.
"Ya! Meskipun tidak sempat
bertegur sapa," sambut Bayu kalem.
"He he he...," kembali orang tua
berjubah kuning itu terkekeh.
Dia melangkah ringan mendekati
Pendekar Pulau Neraka. Sementara, Sekar
dan empat orang laki-laki yang ikut
bersamanya, sudah menyingkir ke tempat
yang cukup aman. Sedangkan laki-laki
tua berjubah kuning gading itu sudah
berhenti setelah jaraknya tinggal beberapa
langkah lagi di depan Bayu. Gerakan
kakinya saat melangkah tadi, begitu
ringan. Sehingga, tak terdengar suara
sedikit pun. Dan Bayu semakin yakin
kalau orang tua ini memiliki kepandaian
yang tidak bisa dianggap enteng.
"Boleh aku tahu, siapa sebenarnya
Kisanak ini...?" masih terdengar kalem
suara Bayu.
"Orang-orang menyebutku Pendeta
Laba-laba. Padahal, aku bukan seorang
pendeta. Bahkan tidak memiliki puri satu
pun juga," orang tua itu memperkenalkan
diri.
"Pendeta Laba-laba...," desis Bayu
agak menggumam.
Pendekar Pulau Neraka kembali
mengamati orang tua berjubah kuning di
depannya dari ujung kepala hingga ke
ujung kakinya. Keningnya sedikit
berkerut saat memperhatikan. Orang tua
ini memang lebih tepat dikatakan pendeta
dengan penampilan demikian. Tapi, dia
tidak mengakui kalau dirinya seorang
pendeta.
"Dari mana kau bisa tahu namaku,
Pendeta Laba-laba?" tanya Bayu lagi.
"Hanya orang tolol yang tidak
mengenalimu, Pendekar Pulau Neraka,"
sahut Pendeta Laba-laba.
"Lalu, kenapa kau mengikutiku?"
tanya Bayu lagi.
"Aku tidak mengikutimu. Tapi,
mengikuti gadis itu. Kebetulan saja kau
bersamanya," Pendeta Laba-laba
menunjuk Sekar yang didampingi empat
orang laki-laki bersenjata golok.
"Hm...," gumam Bayu periahan
sambil melirik sedikit pada Sekar yang
berada di tempat cukup aman.
Kembali Bayu melemparkan
pandangan pada orang tua berjubah
kuning di depannya. Dia belum tahu, apa
maksud orang tua ini membuntuti Sekar.
Apakah karena pedang yang dibawa
Sekar, seperti yang diinginkan Kala
Putih...?
"Untuk apa kau membuntutinya?"
tanya Bayu ingin tahu.
"He he he.... Semua orang sudah
tahu, gadis itu membawa Pedang Kawa
Hijau. Rasanya terlalu bodoh kalau tidak
ikut dalam periombaan ini," sahut
Pendeta Laba-laba diiringi tawanya yang
terkekeh.
"O...? Jadi kau juga berminat pada
pedang itu...?" agak sinis nada suara
Bayu, setelah tahu maksud Pendeta Laba-
laba ini.
"Aku rasa, kau juga berminat,
Pendekar Pulau Neraka."
"Sayang sekali. Aku sama sekah
tidak tertarik," dengus Bayu kurang
senang.
"Oh, ya...? Juga dengan
kemolekannya...?"
"Apa maksudmu, Kisanak...?"
"Gadis itu cantik sekali. Dan kau
masih cukup muda, Pendekar Pulau
Neraka. Aku rasa kau laki-laki waras
yang...."
"Cukup...!" bentak Bayu cepat
memutuskan kalimat Pendeta Laba-laba.
"He he he.... Kau memang pandai
dengan cara pendekatan seperti itu.
Sayang sekali, kita bertemu dalam
suasana yang tidak menyenangkan ini.
Maaf, aku terpaksa harus
menyingkirkanmu lebih dahulu," kata
Pendeta Laba-laba, mengandung
ancaman,
Setelah berkata demikian, laki-laki
tua berjubah kuning ini segera menggeser
kakinya ke kanan beberapa langkah.
Tatapan matanya begitu tajam, menyorot
langsung ke bola mata pemuda berbaju
kulit harimau di depannya. Seakan-akan,
dia sedang mengukur tingkat kepandaian
yang dimiliki pendekar muda ini.
"Hup!"
Cepat sekali Pendeta Laba-laba
menggerakkan kedua tangannya di depan
dada. Kemudian sambil berteriak keras
menggelegar, dia melompat menerjang
Pendekar Pulau Neraka. Satu pukulan
keras dilepaskan ke arah dada pemuda
berbaju kulit harimau itu, disertai
pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Hiyaaa...!"
"Ufs! Yeaaah...!"
***
Tapi manis sekali Bayu
memiringkan tubuh ke kiri. Sehingga,
serangan Pendeta Laba-laba tidak sampai
menghantam dadanya. Dan begitu
pukulan laki-laki tua berjubah kuning itu
lewat, cepat sekali Pendekar Pulau Neraka
mengibaskan tangan kirinya, menyodok
ke arah perut
"Hih!"
"Hup!"
Pendeta Laba-laba bergegas
menarik kakinya ke belakang, dan
langsung melentingkan tubuh ke bela-
kang sejauh beberapa langkah. Dan
begitu kakinya menjejak tanah, cepat
sekali kedua tangannya dihentakkan ke
depan dengan jari-jari tangan terbuka
lebar. Pada saat itu, dari telapak
tangannya yang terbuka keluar serat-
serat putih yang meluncur deras ke arah
Pendekar Pulau Neraka. Rupanya, si
Pendeta Laba-laba langsung
mengeluarkan jurus andalannya yang
bernama jurus 'Jaring Maut'.
Rrrt...!
"Hiyaaa...!"
Cepat sekali Bayu melentingkan
tubuhnya ke udara, menghindari
terjangan serat-serat putih seperti jaring
laba-laba itu. Beberapa kali dia
melakukan putaran di udara, lalu manis
sekali kakinya hinggap di atas dahan
pohon. Maka, serat-serat putih itu hanya
menghantam sebongkah batu yang cukup
besar.
Glarrr...!
"Gila...!" desis Bayu terkejut.
Batu itu seketika hancur berkeping
keping tersambar ujung serat putih yang
keluar dari telapak tangan si Pendeta
Laba-laba. Dahsyat sekali jurus ' Jaring
Maut itu! Bisa dibayangkan jika
menghantam tubuh manusia. Pasti bakal
hancur seperti batu yang besar dan keras
itu!
"Hiyaaa...!"
Pendeta Laba-laba kembali
menghentakkan kedua tangannya ke arah
Bayu yang berada di atas pohon. Seketika
serat-serat putih itu meluruk deras. Dan
pada saat itu, Bayu sudah melentingkan
tubuhnya untuk menghindar. Kembali dia
melakukan putaran beberapa kali di
udara, sebuah kakinya menjejak tanah.
Satu ledakan keras kembali menggelegar.
Tampak pohon tempat Bayu berada tadi
hancur berkeping-keping terhantam serat
putih itu.
"Ha ha ha...! Keluarkan semua
kepandaianmu, Pendekar Pulau Neraka!"
Beberapa kali Bayu terpaksa
berjumpalitan menghindari serangan
serangan serat putih itu. Suara-suara
ledakan keras menggelegar pun terdengar
saling susul. Sebentar saja, tempat di
sekitar pertarungan itu sudah porak-
poranda. Batu-batu dan pepohonan
hancur berkeping-keping terhantam serat-
serat putih yang keluar dari telapak
tangan si Pendeta Laba-laba.
"Akan kucoba menangkap serat itu,"
desis Bayu di dalam hati.
Dan ketika si Pendeta Laba-laba
kembali melancarkan serangannya,
Pendekar Pulau Neraka tidak berusaha
menghindari sedikit pun. Bahkan
menunggu ujung serat itu sampai. Dan
hal ini membuat si Pendeta Laba-laba jadi
agak terkejut juga.
Dan sebelum lawan sempat
menyadari apa yang akan dilakukannya,
mendadak saja Pendekar Pulau Neraka
sudah mengibaskan tangan kiri.
"Hap!"
Pendekar Pulau Neraka langsung
mencekal ujung serat putih itu kuat-kuat.
Dan sambil mengerahkan kekuatan
tenaga dalam yang telah sempurna, Bayu
menghentakkan tangan kirinya ke atas
kepala. Begitu cepat tindakannya,
sehingga membuat di Pendeta Laba-laba
jadi tersentak kaget. Dia tidak sempat lagi
menahan sentakannya yang begitu kuat
"Whuaaa...!"
Bagaikan selembar daun kering,
tubuh si Pendeta Laba-laba melayang ke
udara. Dan belum juga bisa menguasai
keseimbangan tubuhnya di udara, Pende-
kar Pulau Neraka sudah melesat ke atas
sambil melepaskan satu pukulan keras
disertai pengerahan tenaga dalam yang
sudah mencapai tingkat kesempurnaan.
"Hiyaaat..!"
Begkh!
"Akh.„!" Pendeta Laba-laba terpekik
keras agak tertahan.
Pukulan Pendekar Pulau Neraka
tepat menghantam lawannya. Akibatnya,
laki-laki tua berjubah kuning gading itu
terpental jauh ke belakang. Keras sekali
punggungnya menghantam pohon yang
cukup besar hingga tumbang. Pendeta
Laba-laba bergulingan beberapa kali di
tanah, lalu bergegas melompat bangkit
berdiri sambil memegangi dadanya yang
mendadak jadi terasa sesak. Darah kental
agak kehitaman tampak merembes keluar
dari sudut bibimya. Namun, tubuhnya
agak terhuyung-huyung, seakan-akan
kakinya tidak sanggup lagi menopang
berat tubuhnya.
Tangan kiri Pendeta Laba-laba
bergetar menjulur ke depan. Mulutnya
agak terbuka dengan bibir menggeletar.
Lalu, tiba-tiba saja dia jatuh terjungkal.
Sebentar si Pendeta Laba-laba masih bisa
bergerak, sesaat kemudian meregang
kaku dan diam tak berkutik lagi. Mati!
"Phuih...!" Bayu menghembuskan
napasnya yang berat.
Saat itu Sekar berlari-lari
menghampiri Pendekar Pulau Neraka,
diikuti Kampar dan ketiga temannya.
Kampar mendekati tubuh Pendeta Laba-
laba. Diperiksanya tubuh kaku itu
sebentar, kemudian menghampiri Bayu
yang sudah didampingi Sekar.
"Dia sudah mati," kata Kampar
memberi tahu
Bayu hanya diam saja.
Pandangannya segera beredar ke
sekeliling. Tempat ini begitu hancur,
seperti baru saja terjadi gempa di sini.
Kemudian, ditatapnya tubuh Pendeta
Laba-laba yang terbujur tidak bernyawa
lagi. Pukulan yang dilepaskan Bayu tadi,
memang keras sekali. Terlebih, lagi
disertai pengerahan tenaga dalam penuh
dan sempurna. Akibatnya rongga dada
orang tua berjubah kuning itu hancur
seketika. Dan itulah yang membuatnya
tak bernyawa lagi.
"Ayo kita tinggalkan tempat ini,"
ajak Bayu.
"Kenapa pergi, Kakang?" tanya
Sekar.
"Mereka pasti mendengar suara-
suara ledakan tadi. Belum saatnya
menghadapi mereka sekarang," jelas
Bayu.
Tak ada yang membantah. Mereka
bergegas meninggalkan tempat itu,
dengan berlari cepat mempergunakan
ilmu meringankan tubuh. Hingga,
sebentar saja mereka sudah jauh dan
menghilang di dalam hutan yang cukup
lebat.
Dugaan Bayu memang tepat. Begitu
mereka hilang di dalam hutan, muncul
beberapa orang di tempat itu. Mereka
tampak terkejut melihat Pendeta Laba-
laba tergeletak tak bernyawa lagi. Tak ada
luka terlihat di tubuhnya. Tapi, di
mulutnya penuh darah yang
menggumpal. Sementara dadanya seperti
melesak ke dalam. Di antara mereka,
tampak Balika yang membawa tombak
pendek bermata tiga.
"Keparat..! Siapa yang melakukan
ini...?!" geram Balika.
Laki-laki berperawakan tinggi
dengan raut wajah memancarkan
kebengisan itu mengedarkan pandangan
ke sekeliling. Dia mendengus melihat
tempat sekitamya tampak porak poranda
seperti baru saja terjadi pertempuran
dahsyat. Kemudian orang-orangnya
diperintahkan untuk membawa Pendeta
Laba-laba.
***
ENAM
Brakkk!
Kala Purih mengkelap marah bukan
kepalang begitu mendapat laporan dari
Balika tentang kematian Pendeta Laba
laba. Dalam beberapa hari ini, sudah
puluhan anak buahnya yang tewas. Dan
semuanya karena berurusan merebut
Pedang Kawa Hijau dari tangan Sekar.
Tapi yang membuat Kala Putih geram,
sementara ini Sekar didampingi seorang
pendekar muda yang namanya sudah
sering terdengar. Pendekar digdaya yang
bergelar Pendekar Pulau Neraka.
"Caraka, Balika, Kandara, dan kau,
Sentanu.... Kumpulkan semua orang-
orang kita yang ada. Hancurkan mereka
sekarang juga!" perintah Kala Purih gusar.
"Rasanya tidak perlu kita lakukan
itu, Ki," sanggah Caraka.
"Kenapa? Kau takut...?" dengus
Kala Putih sinis.
"Kita masih memiliki senjata yang
lebih ampuh, Ki," kata Caraka lagi.
"Apa maksudmu, Caraka?"
"Anak itu."
Kala Putih terdiam. Seakan-akan
baru disadari kalau memiliki satu senjata
yang tak ada bandingnya di dunia ini.
Sudah pasti, Sekar akan datang ke sini
untuk membebaskan adiknya. Memang,
tak ada satu senjata pun di dunia ini yang
bisa mengalahkan kasih sayang dan cinta.
Sekar pasti akan melakukan apa saja
untuk membebaskan adiknya dari
tawanan Kala Putih.
"Ha ha ha...!" tiba-tiba saja Kala
Putih tertawa terbahak-bahak.
"Rasanya kita tidak perlu susah-
susah mencarinya, Ki. Mereka pasti akan
datang sendiri ke sini," saran Caraka lagi.
"Kau benar, Caraka. Gadis setan itu
pasti datang ke sini untuk membebaskan
adiknya," sambut Kala Putih.
"Mereka hanya enam orang, Ki.
Tidak sulit menghancurkannya," sambung
Balika.
"Hm...," Kala Putih menggumam
periahan. "Bagaimana anak itu?"
"Dia menangis terus. Makannya
hanya sedikit," sahut Kandara.
"Aku tidak peduli dia mau makan
atau tidak. Yang penting, dia belum mati
sampai kakaknya datang ke sini!" dengus
Kala Putih.
"Aku menjaganya baik-baik, Ki,"
tegas Kandara.
"Bagus! Tapi, sebaiknya kalian juga
tetap mencari mereka. Kalau bisa, rebut
pedang itu. Rasanya, aku akan lebih
tenang kalau Pedang Kawa Hijau sudah
berada di tanganku," ujar Kala Putih lagi.
"Baik, Ki," sahut empat orang itu
serempak.
"Sebaiknya, kalian pergi sekarang,"
kata Kala
Putih lagi. "Dan, ingat! Selepas senja
nanti, kalian kutunggu di tempat biasa.
"Baik, Ki," sahut mereka serempak.
Tanpa ada yang membantah sedikit
pun, mereka segera beranjak pergi.
Sementara, Kala Putih masih tetap duduk
di kursinya sampai empat orang
kepercayaannya tenggelam di balik pintu.
Dan Kini perlahan-lahan dia bangkit
berdiri, dan melangkah meninggalkan
ruangan ini.
***
Sementara itu di dalam hutan yang
cukup lebat, Bayu duduk bersila di depan
api unggun bersama empat orang bekas
petugas pengawal barang kerajaan. Saat
itu, malam sudah jatuh. Udara di sekitar
hutan lereng Gunung Anjar ini begitu
dingin. Bahkan api unggun yang menyala
cukup besar ini tidak sanggup mengusir
dinginnya udara malam ini.
"Kalian lihat Sekar?" tanya Bayu.
"Tadi ke sana," sahut Kala Putih
sambil menunjuk.
"Kalian di sini saja."
Setelah berpesan, Pendekar Pulau
Neraka bangkit berdiri dan melangkah ke
arah yang ditunjuk Kala Putih. Ayunan
kakinya begitu ringan, dan tak bersuara
sedikit pun. Hutan ini begitu lebat,
sehingga suasananya begitu gelap dan
menyeramkan. Bayu terus mengayunkan
kakinya semakin jauh meninggalkan
empat orang itu.
Sampai di tempat yang penuh batu,
Bayu baru melihat Sekar tengah duduk di
atas batu memandang ke arah lembah.
Dari tempat yang cukup tinggi ini, lembah
itu memang bisa terlihat jelas. Perlahan
Bayu menghampiri dan berdiri di
belakang gadis itu. Lembut sekali
tangannya disentuhkan ke bahu.
"Oh...!" Sekar tersentak kaget.
"Maaf, aku mengejutkanmu," ucap
Bayu.
'Tidak...," sahut Sekar begitu tahu
yang menyentuh bahunya adalah
Pendekar Pulau Neraka.
Bayu duduk di samping gadis itu.
Sementara Sekar menggeser sedikit
duduknya, memberi tempat pada
Pendekar Pulau Neraka. Mereka terdiam
sambil memandang ke arah lembah yang
bermandikan cahaya api obor. Suasana di
lembah itu terlihat cukup semarak,
seperti sedang pesta. Tapi, tak ada pesta
di sana. Hanya terlihat orang-orang
bersenjata saja yang hilir mudik di sekitar
bangunan besar dikelilingi tembok batu
bagai benteng.
"Kau teringat adikmu, Sekar...?"
lembut sekali suara Bayu.
"Ya...," sahut Sekar agak mendesah.
"Kuharap tidak terjadi sesuatu pada
Wirya."
"Percayalah, Sekar. Kita pasti akan
membebaskan adikmu," Bayu mencoba
menguatkan hati gadis ini.
"Aku percaya padamu, Kakang."
Kembali mereka terdiam.
Pandangan mereka tak terlepas ke arah
lembah yang tampak terang benderang
oleh cahaya api obor. Terlebih lagi, di
dalam bangunan yang dikelilingi tembok
benteng. Semua dalam keadaan terang,
seakan-akan sengaja hendak menyambut
kedatangan mereka.
"Sekar...."
Lembut sekali Bayu mengambil
tangan gadis itu, dan menggenggamnya
penuh kehangatan.
"Oh...," Sekar mendesah.
Sebentar gadis itu berpaling
menatap wajah pemuda tampan di
sampingnya, tapi cepat mengalihkan
pandangannya ke arah lain. Rasanya tak
sanggup membalas tatapan mata Bayu
yang mengandung sejuta arti, dan sukar
dilukiskan dengan kata-kata biasa.
'Tanganmu dingin. Kau sakit..?"
masih terdengar lembut suara Bayu.
"Tid... tidak," sahut Sekar jadi
tergagap.
Buru-buru gadis itu menarik
tangannya dari genggaman Pendekar
Pulau Nereka. Bayu membiarkan saja
ketika Sekar bangkit berdiri, dan berjalan
tiga langkah ke depan. Pemuda itu masih
tetap duduk di batu yang datar dan pipih
ini. Dipandanginya tubuh Sekar yang
ramping dan padat dari belakang.
Perlahan Bayu berdiri dan melangkah
menghampiri. Pendekar Pulau Neraka
berdiri dekat di sebelah kanan gadis ini.
Sementara Sekar tak berpaling sedikit
pun. Matanya tetap terarah ke lembah,
tapi pikirannya jadi tidak tertuju ke sana.
Entah, apa yang ada di dalam kepalanya
saat ini.
Baru saja Bayu hendak membuka
mulutnya, tiba-tiba saja terdengar suara
mendesing dari arah kanan. Bayu
berpaling sedikit. Seketika, tangannya
cepat dikibaskan, begitu terlihat sebuah
benda hitam meluncur deras ke arahnya.
Tap!
"Panah hitam...," desis bayu begitu
benda yang meluncur deras ke arahnya
berhasil ditangkap.
Bayu cepat-cepat menarik tangan
Sekar, dan membawanya menjauh dari
tempat ini. Tapi belum jauh mereka pergi,
tiba-tiba saja di depan mereka ber-
lompatan tiga orang berbaju serba hitam.
Kemudian, disusul seorang laki-laki
bertubuh sedang dan berwajah cukup
tampan. Tapi, luka codet yang memanjang
membelah pipinya, mengurangi
ketampanan wajahnya. Sebuah tombak
pendek berujung runcing terselip di
pinggangnya. Dialah Sentanu, salah
seorang kepercayaan Kala Putih.
"Hebat...! Tidak percuma kau
mendapat julukan Pendekar Pulau
Neraka," terasa sinis nada suara Sentanu.
'Terima kasih," ucap Bayu diiringi
senyum tipis.
"Rasanya, aku tidak periu banyak
bicara. Kalian tentu tahu maksudku,"
kata Sentanu lagi.
"Dan aku juga tidak akan sungkan-
sungkan lagi," sambut Bayu yang sudah
bisa mengerti kemunculan empat orang
ini.
"Serang dia...!" perintah Sentanu.
"Hiyaaat...!"
"Yeaaah...!"
Tiga orang berbaju serba hitam itu
cepat berlompatan menyerang Pendekar
Pulau Nereka. Mereka langsung mencabut
senjata berupa pedang berukuran
panjang. Kilatan-kilatan cahaya
keperakan seketika berkelebatan di
sekitar tubuh pemuda berbaju kulit ha-
rimau itu. Dan Bayu segera berjumpalitan
menghindari serangan-serangan ini
Pendekar Pulau Neraka belum memberi
serangan balasan, dan masih mempelajari
jurus-jurus lawan sambil mengukur
tingkat kepandaian mereka.
Sementara itu, Sentanu sudah
melompat menyerang Sekar. Maka, gadis
itu terpaksa menjauh dari Pendekar Pulau
Neraka. Sentanu tidak tanggung-tanggung
lagi. Langsung dikerahkannya jurus-jurus
andalan yang maut dan dahsyat luar
biasa. Akibatnya Sekar harus jungkir
balik menghadapinya. Sementara Bayu
menghadapi keroyokan tiga orang, namun
masih sempat memperhatikan Sentanu
yang terus berusaha mendesak Sekar.
"Hm..., Sekar tidak akan tahan
kalau digempur begitu terus," desah Bayu
dalam hati.
Menyadari keadaan Sekar yang
tampaknya semakin gawat, Pendekar
Pulau Nereka segera melompat cepat.
Langsung kedua tangannya dikibaskan
dengan kecepatan bagai kilat, diimbangi
gerakan kakinya yang cepat dan lincah.
"Yeaaah...!"
Begitu cepatnya gerakan yang
dilakukan Pendekar Pulau Neraka,
sehingga bentuk tubuhnya jadi
menghilang. Dan yang terlihat kini hanya
bayangan kuning tengah berkelebat
menyambar ketiga orang berbaju serba
hitam ini. Entah bagaimana kejadiannya,
tiba-tiba saja ketiga orang itu berpentalan
ke belakang sambil memekik keras
melengking. Mereka seketika
berpelantingan di atas tanah berbatu.
Pendekar Pulau Neraka tak lagi
menghiraukan ketiga orang yang merintih
dan menggeliat kesakitan. Dia cepat
melompat menerjang ke arah Sentanu
yang hampir saja menghunjam senjatanya
yang berupa tombak pendek berujung
runcing ke dada Sekar yang sudah
terpojok, dengan punggung menempel
rapat pada pohon.
"Hiyaaa...!"
Plakkk!
"Akh...!"
***
Sentanu memekik agak tertahan
begitu tangannya terkena tepakan
Pendekar Pulau Neraka. Hampir saja
tombak pendeknya terpental. Untung saja
Sentanu segera memindahkannya ke
tangan kiri. Cepat dia melompat mundur,
melakukan putaran sekali.
"Setan...!" geram Sentanu berang.
Sementara itu, Bayu sudah berdiri
tegak di depan Sekar. Sedangkan Sentanu
semakin geram begitu melihat ketiga
orangnya sudah terkapar tak berkutik
lagi. Cepat-cepat tombak pendeknya
dipindahkan kembali ke tangan kanan,
lalu melakukan beberapa gerakan cepat.
Beberapa langkah Bayu menggeser
kakinya ke kanan, memberi kesempatan
pada Sekar untuk pindah tempat.
"Hiyaaat...!"
Sambil berteriak keras menggelegar,
Sentanu melompat cepat menyerang
Pendekar Pulau Neraka. Tombak
pendeknya berkelebat cepat beberapa kali,
membuat Bayu terpaksa harus
berjumpalitan menghindarinya. Beberapa
kali ujung tombak pendek Sentanu
hampir menghunjam kulit tubuh
Pendekar Pulau Neraka. Tapi, sampai
sejauh ini belum ada satu serangan pun
yang berhasil menyentuh tubuh pemuda
berbaju kulit harimau itu.
Pada saat itu terdengar semak
bergemerisik. Sekar langsung berpaling ke
arah suara itu. Hampir saja pedangnya
tercabut, ketika empat orang laki-laki
muncul dari dalam semak belukar, Sekar
menarik napas panjang. Sedangkan
pedangnya yang sudah tercabut sedikit,
kembali dimasukkan ke dalam warangka.
Ternyata mereka adalah Kampar dan
ketiga temannya. Mereka bergegas
menghampiri Sekar yang sudah kembali
mengarahkan perhatian pada pertarungan
itu.
"Sentanu...," desis Kampar
mengenali orang yang bertarung dengan
Bayu.
"Kau kenal, Kampar?"
"Dia salah seorang yang merampok
barang kawalanku," sahut Kampar agak
mendesis suaranya.
Saat itu, pertarungan sudah
berlangsung lebih dari sepuluh jurus. Dan
beberapa kali sudah Pendekar Pulau
Neraka melancarkan serangan balasan.
Dan entah sudah berapa kali pula
pukulannya masuk ke tubuh lawan. Tapi,
Sentanu rupanya masih mampu bertahan
dan melakukan serangan-serangan
dahsyat dan berbahaya.
"Yeaaah...!"
Tiba-tiba saja Bayu merundukkan
tubuhnya sedikit, dan cepat sekali
melepaskan satu pukulan keras disertai
pengerahan tenaga dalam tinggi ke arah
dada Sentanu.
"Uts!"
Sentanu cepat memiringkan
tubuhnya ke kanan, menghindari pukulan
itu. Tapi tanpa diduga sama sekali, tubuh
Bayu cepat berputar sambil melepaskan
satu tendangan menggeledek yang tidak
terduga sama sekali. Akibatnya Sentanu
jadi terperangah. Tak ada waktu lagi
bagjnya untuk menghindar. Sehingga....
Diegkh!
"Aaakh...!"
Sentanu terpental jauh ke belakang.
Keras sekali tubuhnya jatuh terlentang,
tepat di depan kaki Sekar. Saat itu juga
Sekar mencabut pedangnya. Dan....
"Sekar, jangan...!" sentak Bayu.
Tapi, terlambat!
"Aaa...!"
Sekar sudah lebih dahulu
menghunjamkan pedang yang bercahaya
kehijauan itu ke dada Sentanu.
Darah seketika menyembur keluar
begitu Sekar mencabut pedangnya.
Sebentar Sentanu menggelepar meregang
nyawa, kemudian mengejang kaku dan di-
am tak bemyawa lagi. Sekar kembali
memasukkan pedang itu ke dalam
warangkanya.
"Seharusnya kau tidak perlu
membunuhnya, Sekar," Bayu menyesali
tindakan gadis ini.
"Dia salah satu pembunuh ayahku,"
dengus Sekar.
Bayu menepuk pundak gadis ini,
lalu mengajaknya berlalu dari tempat itu.
Sementara empat orang yang tadi berada
di belakang Sekar hanya diam saja
memandangi. Mereka juga tidak menduga
kalau Sekar akan melakukan hal itu.
Memanfaatkan waktu yang hanya sedikit,
untuk membalas kematian ayahnya pada
Sentanu.
"Orang-orang seperti dia tidak
pantas hidup, Kakang," kata Sekar masih
dengan suara berat mendengus.
"Sudahlah.... Aku bisa mengerti
perasaanmu," desah Bayu.
Bayu mengajak duduk gadis ini
pada sebatang pohon yang tumbang
melintang. Sekar hanya menurut saja. Dia
juga diam saja saat Bayu mengambil
tangannya, lalu menggenggamnya erat-
erat dan hangat. Sekar hanya tertunduk
saja, tapi bukannya tengah menyesali
perbuatannya tadi.
"Rasanya tidak ada lagi tempat yang
aman, Kakang," kata Sekar agak lirih
suaranya. "Aku khawatir Kala Putih akan
menyakiti Wirya."
"Kita memang akan menyelamatkan
adikmu, Sekar. Tapi tunggulah saat yang
tepat," hibur Bayu mencoba
menenangkan hati gadis ini.
Bayu bisa merasakan apa yang
tengah melanda hati gadis ini. Ayahnya
tewas di tangan orang-orangnya Kala
Putih. Dan sekarang adiknya ditawan
mereka di lembah itu. Memang cukup
sulit bagi Sekar menerima kenyataan ini.
Kenyataan pahit yang harus
ditanggungnya sendiri dalam usia yang
masih muda.
Dan Bayu jadi terdiam, tidak tahu
harus berkata apalagi menenangkan hati
gadis ini. Pendekar Pulau Neraka seperti
kehilangan kata-kata. Hanya tangannya
saja yang tetap menggenggam kedua
tangan Sekar, seakan-akan ingin memberi
satu kekuatan dari genggamannya itu.
"Aku tidak tahu, seandainya tidak
ada kau, Kakang," kata Sekar lagi, lebih
pelan suaranya.
"Ah, sudahlah.... Mungkin memang
Dewata tidak menginginkan Kala Putih
memiliki pedang ini," sahut Bayu
merendah.
"Aku tidak tahu, dengan apa harus
membalas budimu, Kakang."
"Jangan dipikirkan itu, Sekar. Yang
paling penting sekarang, kita harus
pikirkan bagaimana caranya
menyelamatkan adikmu. Lalu, kau
pikirkan masa depanmu sendiri.
Tanggung jawabmu akan lebih besar
nanti, Sekar," lembut sekali suara Bayu.
Sekar hanya menganggukkan
kepala saja. Dia juga jadi tidak tahu lagi,
apa yang harus dikatakannya.
Pengorbanan yang diberikan Pendekar
Pulau Neraka begitu besar. Dan tidak
mungkin bisa membalasnya. Tapi, Bayu
sendiri tidak pernah memikirkan hal itu.
Benaknya tengah sibuk memikirkan cara
untuk masuk ke tempat tinggal Kala Putih
dan menyelamatkan Wirya yang berada di
dalam tawanan.
***
Sementara malam terus merayap
semakin larut Di tepi bibir lembah, Bayu
berdiri tegak mengamati sekitar lembah
yang masih bertaburkan cahaya api obor.
Di pundaknya, tampak monyet kecil yang
bernama Tiren bertengger di situ. Puluhan
orang bersen-jata golok masih terlihat
berjaga-jaga di sekitarnya. Dan
kebanyakan, mereka berada di sekitar
bangunan yang seperti sebuah istana
kecil dikelilingi tembok batu menyerupai
benteng.
"Hup!"
Tiba-tiba saja Bayu melompat cepat
bagai kilat menuruni tebing lembah ini
bersama Tiren di pundaknya. Gerakannya
begitu ringan dan cepat, sehingga sukar
diikuti pandangan mata biasa. Hanya
bayangan kuning saja yang terlihat
berkelebat cepat memasuki lembah itu.
Bayu terus bergerak cepat
mempergunakan ilmu meringankan tubuh
yang sudah mencapai tingkat sempurna.
Diputarinya lembah itu, dan baru
berhenti setelah berada di bagian
belakang bangunan istana kecil yang
dikelilingi tembok benteng itu.
"Hm...," gumam Bayu perlahan.
Sebentar Pendekar Pulau Neraka
mengamati keadaan sekitarnya, kemudian
kembali melesat cepat dan ringan sekali.
Ternyata, di bagian belakang ini tidak
terlihat seorang penjaga pun. Pendekar
Pulau Neraka kembali berhenti,
merapatkan tubuhnya ke dinding tembok
batu yang berlumut cukup tebal ini.
"Tiren! Lihatlah ke dalam. Kalau
bisa, cari tempat Wirya ditawan," bisik
Bayu pada monyet kecil di pundaknya.
"Nguk!"
Monyet kecil berbulu hitam itu
rupanya mengerti semua yang dikatakan
Bayu. Cepat binatang itu melompat naik
ke atas tembok benteng ini. Sebentar dia
berhenti di bibir tembok, lalu berpaling
pada Bayu sebentar. Kemudian dia
melompat turun ke dalam.
Beberapa saat Bayu menunggu, lalu
cepat melentingkan tubuhnya ke atas.
Tanpa menimbulkan suara sedikit pun,
kakinya hinggap di atas tembok benteng
ini. Sebentar diamatinya keadaan
sekeliling bagian belakang bangunan
besar bagai istana ini. Ringan sekali Bayu
berlari-lari di bibir tembok yang cukup te-
bal ini.
"Ufs!"
Tiba-tiba saja Pendekar Pulau
Neraka menjatuhkan diri, dan
merapatkan tubuh begitu terlihat dua
orang berjalan menuju ke arahnya dengan
golok di pinggang. Bayu sempat menahan
napasnya ketika dua orang penjaga itu
lewat di bawahnya. Belum juga bisa
menghembuskan napas lega, mendadak
saja dua orang penjaga itu berhenti tidak
jauh darinya. Namun, salah seorang
mendongak ke atas.
"Heh...!"
"Hup!"
Tak ada pilihan lagi bagj Bayu.
Cepat Pendekar Pulau Neraka melompat
turun, dan langsung melepaskan dua
pukulan beruntun yang cepat disertai
pengerahan tenaga dalam tinggi. Kedua
orang penjaga itu tidak sempat lagi
bersuara, dan langsung menggeletak
jatuh begitu terkena pukulan Pendekar
Pulau Neraka.
Tak ada suarapun yang terdengar.
Bayu bergegas menyeret tubuh kedua
penjaga ini, dan menyembunyikan ke
dalam semak yang cukup rimbun.
"Hup...!"
Bergegas Pendekar Pulau Neraka
melompat menuju ke arah rumah
berukuran besar dan cukup megah itu.
Tapi belum juga sampai, mendadak saja
terdengar bentakan keras menggelegar.
"Hei...!"
"Oh...?!"
***
TUJUH
Sungguh Bayu tidak menyangka
kalau kehadirannya bisa diketahui begitu
saja. Dan belum lagi hilang
keterkejutannya, mendadak saja
berkelebat sebuah bayangan di depannya.
Dan tahu-tahu, di situ sudah berdiri
seorang laki-laki bertubuh tinggi besar
dan tegap. Di tangannya tampak
tergenggam sebuah rantai baja berbandul
bola besi berduri pada bagian ujung-nya.
"Rupanya tikus ini punya nyali
besar juga," desis Kandara sinis.
Pendekar Pulau Neraka hanya diam
memandangi saja. Pada saat itu, terlihat
sekitar sepuluh orang berlarian ke tempat
ini. Mereka semua bersenjata golok
terhunus. Bayu sempat mellrlk ke arah
sepuluh orang yang sudah berada di
hadapannya. Mereka berdiri berjajar di
belakang Kandara yang mengayun-
ayunkan rantai yang berbandul bola besi
berduri.
"Bunuh dia...!" perintah Kandara
lantang.
"Hiyaaa!"
"Yeaaah...!"
Seketika itu juga sepuluh orang
yang berada di belakangnya, berlompatan
cepat seraya mengebutkan golok
menyerang Pendekar Pulauv Neraka.
Tubuh Bayu segera melenting ke udara,
melewati kepala orang-orang yang
berhamburan menyerangnya. Beberapa
kali Pendekar Pulau Neraka melakukan
putaran di udara, lalu manis sekali
mendarat di belakang Kandara.
'Yeaaah...!"
Cepat sekali Kandara memutar
tubuhnya sambil mengebutkan rantai
baja yang berbandul besi berduri sebesar
kepala itu. Bayu tersentak kaget tidak me-
nyangka. Cepat-cepat tubuhnya melesat
ke udara, menghindari terjangan bola besi
berduri tajam itu. Dan begitu kakinya
menjejak tanah, dua orang bersenjata
golok sudah menyerang, membabatkan
golok ke arah dada.
"Hap!"
Tap!
Tangkas sekali Bayu menangkap
tangan kedua orang itu yang memegang
golok. Lalu dengan mengerahkan
kekuatan tenaga dalamnya, kedua tangan
itu dihentakkan ke lututnya. Kedua orang
itu menjerit keras. Terdengar suara
berderak dari tulang tangan yang patah.
Tidak hanya sampai disitu saja. Bayu
dengan segera melepaskan cekalannya,
dan memberikan satu gedoran keras
disertai pengerahan tenaga dalam
sempurna.
Kembali kedua orang itu menjerit
keras. Tubuh mereka terlontar jauh ke
belakang, dan ambruk ke tanah tak
bergerak-gerak lagi. Belum sempat Bayu
menarik napas, satu serangan kembali
datang menghampirinya dari arah kanan.
Sebuah golok keperakan berkelebat cepat
mengarah ke leher. Bergegas Pendekar
Pulau Neraka menarik kepalanya. Dan
begitu ujung golok lewat di samping
lehemya, cepat dilepaskannya satu
pukulan keras bertenaga dalam
sempurna.
"Yeaaah...!"
Diegkh!
"Aaakh...!"
Satu jeritan panjang melengking
tinggi terdengar lagi Kemudian, disusul
ambruknya satu orang dengan kepala
remuk terkena pukulan dahsyat Pendekar
Pulau Neraka. Meskipun sudah tiga orang
tergeletak tak bemyawa lagi, tapi tujuh
orang lainnya yang masih bernapas tidak
merasa gentar sedikit pun. Mereka
langsung merangsek menyerang Pendekar
Pulau Neraka dari berbagai penjuru.
"Hiya! Yeaaah...!"
Kali ini Pendekar Pulau Neraka
benar-benar tidak tanggung-tanggung
lagi. Tubuhnya bergerak cepat laksana
kilat, sambil melontarkan pukulan-
pukulan keras bertenaga dalam
sempurna. Jeritan-jeritan panjang
melengking tinggi terdengar saling susul
dan menyayat Satu persatu, mereka yang
menyerangnya berpentalan dan tergeletak
tak bernyawa lagi.
Dalam waktu tidak berapa lama
saja, tak ada seorang pun dari kesepuluh
orang itu yang bisa bangkit lagi.
Sementara, Kandara mendesis geram
melihat sepuluh orang bisa dirobohkan
begitu mudah. Maka, cepat-cepat
senjatanya dikebutkan sebelum Bayu
sempat melonggarkan rongga dadanya.
Bet! Wusss!
"Hup! Yeaaah...!" Bayu terpaksa
berjumpalitan menghindari bola besi
berduri yang melayang-Iayang seperti
memiliki mata mengincar dirinya. Ke
mana saja tubuhnya berkelit, bola besi
berduri itu selalu bergerak cepat
mengikuti. Bahkan beberapa kali
Pendekar Pulau Neraka terpaksa harus
menjatuhkan diri ke tanah, dan
bergulingan menghindari serangan-
serangan yang dilancarkan Kandara.
"Setan...!" desis Bayu menggeram.
Tak ada kesempatan sendikit pun bagi
Pendekar Pulau Neraka untuk balas
menyerang. Kandara seakan-akan sengaja
menjaga jarak, dan hanya
mempermainkan senjatanya dengan
lincah sekali. Kedua tangannya bergerak
cepat mempermainkan rantai baja yang
dihubungkan dengan bola besi berduri
tajam itu. Dan jarak antara mereka
memang semakin jauh. Namun, inilah
yang diharapkan Kandara, sehingga Bayu
benar-benar tidak punya kesempatan
melakukan serangan balasan.
"Ha ha ha...!"
Kandara tertawa terbahak-bahak
melihat pemuda berbaju kulit harimau itu
pontang-panting menghindari serangan-
serangan bola berdurinya. Rantai bajanya
terus dimainkan dengan tangkas sekali,
diimbangi gerakan kaki yang begitu cepat
dan ringan, mengikuti gerakan
menghindar yang dilakukan Pendekar
Pulau Neraka.
"Mampus kau sekarang, Keparat!
Hiyaaa...!"
Kandara menghentakkan tangannya
cepat sekali. SeketJka rantai baja yang
berujung bola besi berduri itu meluruk
deras mengarah ke dada Pendekar Pulau
Neraka. Saat itu, Bayu baru saja bisa
menjejakkan kakinya di tanah, setelah
menghindari terjangan bola berduri itu.
Maka, matanya terbeliak melihat senjata
maut yang dahsyat itu meluruk deras ke
arahnya cepat bagai kilat Tapi begitu bola
besi berduri itu hampir menggedor dada
Bayu, mendadak saja berkelebat secercah
sinar hijau di depan dada Pendekar Pulau
Neraka. Padahal, saat. itu pemuda
berbaju kulit harimau ini hendak
menangkap bola besi berduri milik
Kandara.
Wusss!
"Heh...?!"
"Uts!"
Kandara terkejut setengah mati lalu
cepat menarik pulang senjata nya. Tapi
gerakannya terlambat Sinar kehijauan itu
sudah menghantam bola besi berduri itu
keras sekali.
Glarrr...!
Satu ledakan keras menggelegar
terdengar dahsyat memekakkan telinga.
Bayu yang juga terkejut tidak menyangka,
cepat-cepat melentingkan tubuh ke
belakang dan berputaran beberapa kali.
Bunga api memijar, menyebar ke segala
arah, disertai kepulan asap hitam akibat
benturan bola besi berduri dengan sinar
kehgauan yang tiba-tiba saja datang
berkelebat
"Akh...!" Kandara terpekik agak
tertahan.
Dia terpental ke belakang sejauh
dua batang tombak. Tapi, Kandara cepat
menguasai keseimbangan tubuhnya
begitu menjejakkan kaki di tanah. Kan-
dara terbeliak melihat bola besi berduri
andalannya hancur berkeping-keping.
Dan lebih terbeliak lagi, begitu melihat
seorang gadis berdiri tegak di depan
Pendekar Pulau Neraka dengan sebilah
pedang bercahaya kehijauan melintang di
depan.
"Kau...?!"
***
"Sekar...?! Kenapa kau berada di
sini...?" Bayu juga terkejut melihat
kemunculan gadis itu.
"Aku tidak akan membiarkanmu
menyelesaikannya sendiri, Kakang," tegas
gadis yang baru muncul itu. Dia memang
Sekar.
"Bagus! Rupanya dua tikus bernyali
besar sudah muncul di sini...!" tiba-tiba
saja terdengar suara berat dan
menggema.
Bayu dan Sekar langsung berpaling
ke arah datangnya suara tadi. Entah
kapan datangnya, tahu-tahu di atas atap
bangunan besar bagai istana itu sudah
berdiri seorang laki-laki tua berbaju serba
putih bersih. Belum lagi hilang rasa
keterkejutan Bayu dan Sekar, dari balik
dinding bangunan itu bermunculan
orang-orang bersenjata terhunus. Bahkan
di atas atap juga bersembulan orang-
orang yang sudah siap dengan pa-nah
terbentang, siap dilepaskan.
Sebentar saja tempat itu sudah
dikepung rapat Tak ada lagi celah untuk
bisa keluar dari tempat ini. Saat itu,
Kandara melompat naik ke atas atap,
bergabung dengan yang lain. Dia berdiri
hinggap di samping kanan laki-laki
berbaju putih itu.
"Dialah Kala Purih," dengus Sekar
memberi tahu sambil menunjuk laki-laki
berbaju putih di atas atap.
Di samping kanan-kiri Kala Putih
berdiri Balika dan Caraka selain Kandara
yang baru saja naik ke atas atap ini. Ada
sekitar dua puluh orang yang siap me-
lepaskan anak panah di sekitar mereka.
Sedangkan di depan Bayu dan Sekar,
tidak kurang dari lima puluh orang
bersenjatakan golok terhunus.
"Kalau ada kesempatan, kau harus
segera pergi dari sini," ujar Bayu berbisik
"Tidak! Aku harus menyelamatkan
Wirya...!" sentak Sekar menolak tegas.
"Jangan gila, Sekar! Jumlah mereka
terlatu banyak!" dengus Bayu sedikit
kesal.
Sekar diam saja. Pandangannya
langsung beredar ke sekeliling. Jumlah
mereka memang banyak. Sedangkan dia
hanya berdua saja dengan Pendekar Pu-
lau Neraka. Belum lagi Kala Putih yang
berkepandaian tinggi, dan tidak bisa
dipandang enteng. Bahkan ditambah tiga
orang pembantu kepercayaannya. Meski-
pun tidak setinggi Kala Putih, tapi mereka
juga tidak bisa dianggap enteng. Sebentar
kemudian, Sekar menatap wajah
Pendekar Pulau Neraka yang sekarang
sudah berada di sampingnya.
"Kau sendiri...?" tanya Sekar.
"Aku juga tidak sudi mati konyol di
sini," sahut Bayu agak mendengus
suaranya.
"Kau pegang ini, Kakang."
Bayu memandangi Sekar yang
menyerahkan Pedang Kawa Hijau.
"Kau lebih membutuhkannya,
Sekar," Bayu mencoba menolak
"Kau bisa melindungiku keluar dari
sini dengan pedang ini, Kakang," Sekar
memaksa.
"Baiklah...," Bayu menyerah.
Pendekar Pulau Neraka menerima pedang
itu dari tangan Sekar. Memang tidak ada
pilihan lain lagi Baginya saat ini, yang
penting Sekar mau menuruti kata-
katanya. Kalau pedang ini tidak
diterimanya, sudah pasti Sekar tidak mau
meninggalkan tempat ini.
"Kalau aku melompat, kau cepat
melompat keluar," ujar Bayu berbisik.
"Baik" sahut Sekar. Pendekar Pulau
Neraka memperhatikan orang-orang yang
sudah mulai bergerak mendekati.
Ditariknya tangan Sekar hingga gadis itu
berada di belakangnya. Perlahan
Pendekar Pulau Neraka juga bergerak
mundur.
Sekar mengikuti menggeser kaki ke
belakang perlahan-lahan, mengikuti
irama kaki Pendekar Pulau Neraka.
Sampai dekat dengan tembok benteng
yang mengelilingi bangunan bagai istana
itu, Sekar berhenti melangkah mundur.
"Bersiaplah," ujar Bayu.
"Baik," sahut Sekar agak mendesah.
Sementara orang-orang yang
mengepung terus bergerak semakin
mendekati.
"Kau harus segera menemui
Kampar. Paksa dia untuk meminta
bantuan prajurit kerajaan," Bayu
berpesan.
"Untuk apa...?" tanya Sekar tidak
mengerti.
"Kau tidak akan sanggup
menghadapi mereka sendirian, Sekar."
'Tapi, apa mungkin Kampar mau?"
"Katakan, kalau aku yang
menyuruhnya."
Sekar hanya mengangguk saja. Saat
itu, Kala Putih sudah berteriak lantang
menggelegar memberi perintah.
"Seraaang...!"
Teriakan-teriakan keras
menggelegar seketika itu juga terdengar
memecah keheningan malam. Lebih dari
lima puluh orang bersenjata golok
berhamburan ke arah Pendekar Pulau
Neraka. Golok mereka terangkat ke atas
kepala. Lalu sambil berlarian mereka
berteriak-teriak membangkitkan semangat
bertempur.
"Sekarang! Hiyaaa...!" seu Bayu
tiba-tiba.
Saat itu juga, Bayu melentingkan
tubuh ke atas.
"Hiyaaat..!"
Sekar cepat mengikuti Pendekar
Pulau Neraka. Dia cepat melesat ke atas,
berlindung di baBk pung-gung Pendekar
Pulau Neraka. Rupanya, tanpa disadari
pengaruh Pedang Kawa Hijau telah
menjalar di tubuh Sekar. Meskipun, dia
sudah tidak memegangnya lagi. Jadi,
wajar saja bila Sekar mampu melompat ke
atas demikian tingginya.
"Panah...!" teriak Kala Putih begitu
melihat Bayu dan Sekar melesat ke udara.
Swinggg...!
Belum juga teriakan Kala Putih
menghilang dari pendengaran, puluhan
anak panah sudah berhamburan ke arah
Bayu. Saat itu, Sekar sudah mencapai
bibir tembok benteng. Sedangkan Bayu
masih melayang di udara. Pendekar Pulau
Neraka cepat mengebutkan tangannya,
menyampok panah-panah yang berham-
buran berdesingan di sekitamya.
"Lari cepat, Sekar...!" seru Bayu.
Tanpa menunggu perintah dua kali,
Sekar segera melompat turun keluar dari
lingkungan tembok benteng ini.
Sementara, Bayu kembali meluncur turun
sambil cepat mengebutkan tangannya,
menangkis setiap panah yang mengarah
ke tubuhnya.
Dan begitu kakinya menjejak tanah,
Pendekar Pulau Neraka langsung
disambut puluhan golok yang
berkelebatan cepat di sekitar tubuhnya.
Bayu berjumpalitan, menghindari setiap
tebasan golok yang cepat datang dari
segala penjuru. Maka, ruang geraknya
begitu cepat menyempit
"Setan...!" geram Bayu mendengus.
Tak ada kesempatan bagi Bayu
untuk menggu-nakan senjata Cakra
Mautnya. Namun, seketika Pendekar
Pulau Neraka jadi teringat pedang yang
diberikan Sekar. Tanpa peduli kalau tidak
pernah menggunakan pedang dalam
pertarungan, pedang itu cepat dicabut
dari warangkanya. Seketika, cahaya
kehijauan menyemburat terang dari
pedang ini.
"Hiyaaat..!"
Bayu langsung mengebutkan
pedangnya disertai pengerahan tenaga
dalam tinggi. Seketika itu juga terdengar
jeritan panjang melengking saling sambut
disusul bertumbangannya tubuh-tubuh
bersimbah darah. Bayu sendiri sampai
terkejut karena beberapa golok yang
terbabat pedang ini langsung terpenggal
buntung. Dan setiap kali pedangnya
bergerak cepat, satu atau dua orang
menjerit keras, lalu ambruk menggelepar
berlumuran darah.
Dalam beberapa gebrak saja, sudah
lebih dari lima belas orang tergeletak
berlumuran darah tak bemyawa lagi.
Bukan hanya mereka yang terkejut.
Bahkan Bayu juga tidak mengerti dengan
semua ini. Tangannya tidak merasa
menggerakkan pedang ini. Dan
sepertinya, pedang bercahaya kehijauan
ini bisa bergerak sendiri, berkelebat
membabat orang-orang yang berada di
dekatnya.
***
"Mundur...!" teriak Kala Putih tiba-
tiba.
Mereka yang mengeroyok Bayu,
langsung berlompatan mundur begitu
mendengar teriakan keras Kala Putih.
Tidak kurang dari dua puluh orang kini
sudah bergelimpangan bersimbah darah
tak bemyawa Jagi. Bau anyir darah begitu
cepat menyebar, merasuk ke lubang
hidung. Bayu berdiri tegak, dan Pedang
Kawa Hijau tampak tergenggam di tanah
kanannya.
Pendekar Pulau Neraka bagaikan
malaikat maut pencabut nyawa dengan
pedang bercahaya kehijauan berada
dalam genggaman tangan kanannya.
Sinar matanya begitu tajam merayapi
orang-orang yang berada agak jauh di
sekitamya. Kemudian ditatapnya Kala
Putih yang masih berada di atas,
cfidampingi tiga orang pembantu
kepercayaannya.
Kala Putih yang memang
menginginkan Pedang Kawa Hijau itu, jadi
berbinar matanya. Tapi hatinya juga
geram, karena pedang itu sudah meminta
nyawa anak buahnya begitu banyak.
Terlebih lagi, sekarang ini pedang
idamannya berada di tangan seorang pen-
dekar muda berkepandaian tinggi yang
sudah tidak asing lagi di kalangan rimba
persilatan.
"Kala Putih, gadis itu sudah kabur,"
jelas Balika.
"Aku tidak peduli!" dengus Kala
Putih.
Dan memang, sebenarnya yang
diincar bukanlah Sekar, tapi Pedang Kawa
Hijau yang kini berada di dalam
genggaman tangan Pendekar Pulau
Neraka.
"Kalian bertiga, bunuh bocah setan
itu!" perintah Kala Putih.
Tanpa menunggu perintah dua kali,
tiga orang pembantu kepercayaan Kala
Putih langsung berlompatan turun.
Gerakan mereka begitu ringan, tak sedikit
pun menimbulkan suara begitu menjejak
tanah. Mereka kembali berlompatan
mendekati Bayu.
"Hiyaaat..!"
Balika langsung melakukan
serangan. Senjatanya yang berupa trisula,
langsung ditusukkan ke arah dada
Pendekar Pulau Neraka. Tapi hanya
sedikit saja Bayu memiringkan tubuhnya,
maka tusukan senjata Balika tidak
mengenai sasaran.
Bahkan tanpa diduga sama sekali,
Bayu mengebutkan pedangnya ke arah
perut Balika dengan kecepatan luar biasa.
Akibatnya, Balika tersentak kaget tidak
menyangka. Buru-buru senjatanya
ditarik, dan cepat dikibaskan menangkis
pedang bercahaya kehijauan itu
Tranggg!
"Heh...?!"
Balika tersentak kaget setengah
mati begitu senjatanya beradu dengan
pedang di tangan Pendekar Pulau Neraka.
Seluruh tubuhnya jadi menggeletar bagai
tersengat lebah. Bahkan senjata
kebanggaannya jadi terpenggal dua.
Belum lagi Balika dapat meng-hilangkan
keterkejutannya, Bayu sudah
melancarkan satu serangan kilat yang
mendadak.
"Hiyaaa...!"
Cepat sekali kaki kanan Pendekar
Pulau Neraka melayang ke arah dada, di
saat Balika tengah terpana melihat
senjatanya terpenggal buntung oleh
Pedang Kawa Hijau. Maka, serangan Bayu
yang begitu cepat, tak dapat lagi
dihindari.
Des!
"Akh...!" Balika memekik keras.
Tubuh Balika terpental jauh ke
belakang, dan keras sekali menghantam
tanah. Tendangan yang dile-paskan Bayu,
begitu keras karena disertai pengerahan
tenaga dalam sempurna. Sebentar Balika
menggeliat, kemudian diam tak berkutik-
kutik lagi. Hanya tiga kali gebrakan saja,
Balika sudah terkapar tak bernyawa lagi
Dadanya tampak melesak hancur terkena
tendangan Bayu tadi.
"Setan! Hiyaaat..!"
Caraka begitu geram melihat Balika
sudah tergeletak tak bernyawa lagi.
Bagaikan kilat, golok yang berukuran
besar dikibaskan ke arah kepala Pendekar
Pulau Neraka. Tapi, Bayu berhasil
mengelakkan serangan itu dengan
merundukkan kepala. Dan begitu golok
Caraka yang berukuran besar itu lewat di
atas kepala, bergegas Bayu menegakkan
kepalanya lagi. Seketika kakinya ditarik
ke belakang dua langkah.
Bet!
Cepat sekali Pendekar Pulau Neraka
mengebutkan pedangnya, ketika Caraka
kembali melakukan serangan golok ke
dada. Melihat Pendekar Pulau Neraka itu
hendak menangkis, Caraka cepat menarik
pu lang goloknya. Tapi tanpa diduga sama
sekali, pedang bercahaya kehijauan itu
meliuk indah. Dan tahu-tahu, sudah
berada di depan dada Caraka.
"Heh...?!"
Caraka jadi terkejut setengah marl.
Buru-buru tubuhnya indenting, berputar
ke belakang. Sehingga, tusukan Pedang
Kawa Hijau itu tidak sampai mengenai
sasaran.
"Hiyaaat..!"
Sebelum Pendekar Pulau Neraka
bisa menarik pulang pedangnya, tiba-tiba
saja Kandara sudah melompat
menyerang. Pedang hitam yang selalu
tersembunyi di balik bajunya, kini telah
berada di tangan kanannya bergerak
cepat mengibas ke arah leher Pendekar
Pulau Neraka. Tapi tanpa diduga sama
sekali, Bayu tidak berusaha menghindar.
Dan begitu mata pedang berwarna hitam
pekat itu hampir menebas lehernya, cepat
dan tiba-tiba sekali Bayu mengebutkan
pedangnya ke depan.
"Kandara, awas...!" seru Caraka
memperingatkan.
Tapi peringatan Caraka rupanya
terlambat Karena, tubuh Kandara sudah
condong ke depan, maka sukar untuk
bisa ditarik kembali. Dan tak pelak lagi,
pedang di tangan Bayu menembus dada
hingga ke punggung. Kandara langsung
menjerit keras melengking tinggi.
"Hih!"
Begitu Bayu mencabut pedangnya
kembali, Kandara langsung limbung.
Tubuhnya ambruk menggele-par di tanah.
Darah bercucuran deras dari dadanya
yang berlubang hingga tembus ke
punggung. Beberapa saat Kandara masih
menggeliat meregang nyawa, kemudian
mengejang kaku tak bergerak-gerak lagi.
Tewas!
"Keparat..!" geram Kala Putih yang
sejak tadi menyaksikan pertarungan itu.
***
DELAPAN
"Kalian semua, serang bocah setan
itu...!" teriak Kala Putih memberi
perintah.
Teriakan Kala Putih begitu keras
menggelegar, bagai guntur meledak di
angkasa. Dan seketika itu juga, semua
orang yang ada di halaman belakang ba-
ngunan besar bagai istana kecil itu
berhamburan sambil berteriak-teriak
meluruk mendekati Pendekar Pulau
Neraka.
Tapi sebelum mereka dekat, tiba-
tiba saja dari batik tembok benteng yang
mengelilingi bangunan bagai istana ini
bermunculan empat orang yang
mengikub" Bayu. Empat orang yang telah
mengangkat sumpah setia pada Pendekar
Pulau Neraka.
Bayu tidak sempat
memperhatikannya, karena sudah
mendapat serangan-serangan yang
beruntun dari beberapa arah. Pendekar
Pulau Neraka kembali sibuk menerima
serangan-serangan yang begitu gencar
dan membahayakan. Bayu berlompatan,
berjumpalitan, menghindari setiap
serangan yang datang, disertai tebasan
pedangnya yang memancarkan cahaya
kehijauan.
Teriakan-teriakan pertempuran kini
diwarnai jerit dan pekik kematian yang
saling susul. Tubuh-tubuh berlumuran
darah pun kembali terlihat
bergelimpangan satu persatu. Kali ini,
mereka tidak hanya menghadapi
Pendekar Pulau Neraka, tapi juga harus
menghadapi Kampar dan ketiga temannya
yang baru datang.
Saat itu, Bayu baru bisa
memperhatikan keempat orang bekas
petugas pengawal barang kerajaan yang
bertempur penuh semangat bagai banteng
liar terluka. Golok mereka berkelebatan
cepat, membabat siapa saja yang
mencoba mendekat Entah sudah berapa
orang yang bergelimpangan tak bemyawa
lagi. Tapi pertarungan itu tampaknya
masih akan terus berlangsung cukup
lama.
"Hup! Yeaaah...!"
Tiba-tiba saja Pendekar Pulau
Neraka melesat cepat bagaikan kilat, dan
mendarat di dekat Kampar. Langsung
pedangnya berkelebat cepat membabat
satu orang yang mencoba membokongnya
dari belakang. Orang itu menjerit keras
melengking tinggi, begitu pedang di
tangan Bayu membelah dadanya.
"Kenapa kau ke sini...?" tanya Bayu.
"Kami mengkhawatirkan
keselamatanmu," sahut Kampar tanpa
menghentikan pertarungannya.
"Kau tidak bertemu Sekar...?" tanya
Bayu lagi.
"Tidak," sahut Kampar.
"Edan...!" desis Bayu jengkel.
Bayu sempat melirik ke atas atap.
Dan di sana sudah tidak terlihat Kala
Putih lagi. Sedangkan Caraka sibuk
bertarung bersama Gandil menghadapi
lawan.
"Mundur kau, Gandil! Hiyaaat..!"
teriak Bayu keras menggelegar.
Seketika itu juga Pendekar Pulau
Neraka melesat cepat ke arah Gandil.
Langsung Pedang Kawa Hijau
dibabatkannya. Sekali berkelebat saja,
tiga orang langsung menjerit dan
menggelepar di tanah. Begitu Bayu
muncul, Gandil cepat-cepat melompat
mundur. Tanpa berkata apa-apa lagi,
Bayu langsung merangsek Caraka yang
menggunakan golok berukuran besar
sebagai senjatanya.
Mendapat serangan yang begitu
cepat dan tiba-tiba, Caraka jadi kelabakan
setengah mati. Tubuhnya berjumpalitan,
berusaha menghindari tebasan-tebasan
pedang bercahaya kehijauan yang
dilancarkan Pendekar Pulau Neraka.
Hingga akhirnya....
"Hiyaaa...!"
Satu tebasan kilat yang dilancarkan Bayu,
tak dapat lagi dihindari Caraka. Pedang
itu tepat menyabet lehemya, dan tak ada
suara sedikit pun yang terdengar. Caraka
hanya mampu berdiri sebentar, kemudian
jatuh menggeletak dengan kepala
menggelinding terpisah.
"Kalian hadapi mereka...!" seru
Bayu keras.
Saat itu juga, Pendekar Pulau
Neraka melompat cepat melewati
beberapa kepala. Pedangnya masih
sempat dibabatkan, menjatuhkan
beberapa orang, sebelum berada di luar
arena pertarungan. Ringan sekali gerakan
Pendekar Pulau Neraka saat melompat ke
atas atap. Seperti seekor kucing, kakinya
mendarat di atap bangunan besar dan
megah ini. Matanya langsung beredar
tajam berkeliling.
"Hup! Yeaaah...!"
***
Begitu Bayu melihat Kala Putih
sedang mendesak seorang gadis di bagian
halaman depan bangunan megah ini,
secepat kilat melesat ke arah pertarungan
itu. Tepat di saat itu, Kala Putih
menghentakkan tangannya ke depan.
Sehingga dari telapak tangan yang ter-
buka, meluncur deras secercah cahaya
merah ke arah gadis itu.
"Yeaaah...!"
Cras!
"Heh...?!"
Kala Putih tersentak kaget begitu
tiba-tiba serang-annya terpantul ke arah
Iain. Satu kilatan cahaya kehijauan
membuat sinar merah itu terpental. Dan
Kala Putih semakin terkejut melihat Bayu
yang tiba-tiba saja sudah berdiri di
depannya, melindungi gadis cantik yang
ternyata adalah Sekar.
"Setan alas...!" geram Kala Putih
berang.
"Kau lawanku, Kala Putih!" desis
Pendekar Pulau Neraka dingin.
"Phuih!" Kala Putih menyemburkan
ludahnya.
Sementara itu, Sekar yang tadi
terjajar tergeletak di tanah sudah bisa
bangkit berdiri. Kakinya melangkah
mundur beberapa tindak. Hatinya
gembira melihat Bayu muncul pada saat
yang tepat Sementara, Pendekar Pulau
Neraka tidak sempat memperhatikan Se-
kar, karena Kala Putih sudah cepat
melompat menyerangnya. Trekkk!
Pendekar Pulau Neraka
memasukkan Pedang Kawa Hijau ke
dalam warangka. Tubuhnya langsung
melenting ke udara, menghindari pukulan
keras yang diIancarkan laki-laki tua
berjubah putih itu. Dua kali Bayu
berputaran di udara, sebelum kakinya
menjejak tanah di belakang tubuh Kala
Putih. Sambil memutar tubuhnya, Bayu
melayangkan satu tendangan berputar
disertai pengerahan tenaga dalam
sempurna.
"Hiyaaat..!"
"Uts!"
Tendangan Bayu berhasil dielakkan
laki-laki tua inL Dan tubuhnya cepat
memutar berbalik tepat di saat Bayu juga
berbalik. Mereka kembali bertarung
menggunakan jurus-jurus andalan yang
dahsyat dan sangat berbahaya. Kini
pertarungan itu langsung ber-jalan pada
tingkat yang tinggi.
Beberapa jurus berlalu cepat Dan
tampaknya, pertarungan masih akan
terus berlangsung lama. Mereka sahng
melancarkan serangan-serangan dahsyat.
Sedikit kelengahan, bisa berakibat parah.
Sementara itu, diam-diam Sekar
meninggalkan halaman ini. Gadis itu
menghilang entah ke mana karena
memang tak ada yang memperhatikan
kepergiannya.
Sret!
Memasuki jurus yang kedua puluh,
Kala Putih mengeluarkan senjatanya
berupa tongkat pendek berwarna putih
bagai baja. Dengan senjata yang selalu
tersembunyi di balik bajunya, laki-laki tua
itu semakin ganas saja. Serangan-
serangan yang dilancarkannya semakin
dahsyat dan berbahaya. Tapi, sampai saat
ini Bayu masih menandinginya dengan
tangan kosong. Sama sekali Pedang Kawa
Hijau yang berada di dalam warangka di
tangan kirinya tidak dipergunakan.
"Awas kaki...!" seru Bayu tiba-tiba.
Seketika itu juga kaki Pendekar
Pulau Neraka melayang cepat menyampok
ke arah kaki Kala Putih. Tentu saja laki-
laki tua itu jadi terkejut dan cepat me-
lompat menghindari sepakan kaki lawan
seraya mengibaskan tongkat putihnya.
Tapi tanpa diduga sama sekali, Bayu
memutar tubuhnya. Lalu cepat sekali tu-
buhnya melenting sambil menghentakkan
tangan kanannya ke depan.
Plak!
"Akh...!"
Kala Putih melintir begitu tangan
yang memegang tongkat tersambar keras.
Untung tongkatnya masih bisa
digenggam, sehingga tidak terlepas. Kala
Putih mendengus keras, menyemburkan
ludahnya dengan kesal. Tangan kanannya
memerah bagai terbakar dan terasa panas
menyengat.
Dret!
Kala Putih cepat menarik kedua
ujung tongkatnya. Maka seketika itu juga,
tongkat putih itu terpotong menjadi dua
bagian. Pada kedua ujung yang terpotong
itu terlihat mata pisau menyembul
berkilatan tertimpa cahaya bulan.
"Hiyaaat..!"
Kala Putih kembali cepat menyerang
Pendekar Pulau Neraka. Menghadapi
lawan yang menggunakan senjata tajam
pada kedua tangannya, Bayu tidak lagi
tanggung-tanggung. Pedang Kawa Hijau
yang sejak tadi tersimpan di dalam
warangka cepat dicabutnya.
Sret!
Bet!
Bayu langsung mengebutkan
pedang itu ke depan. Maka, Kala Putih
cepat melompat ke belakang menghindari
tebasan pedang yang memancarkan
cahaya kahijauan itu. Laki-laki tua ini
tahu betul kehebatan pedang itu. Maka,
agak terkesiap juga hatinya. Dan
pertarungan pun kembali berlangsung,
antara hidup dan mati.
***
Jurus demi jurus berlangsung cepat
Entah, sudah berapa jurus berlalu, tapi
belum juga ada tanda-tanda akan
berakhir. Mereka sama-sama tangguh,
dan memiliki kepandaian tinggi. Sehingga,
sukar diketahui kelemahan masing-
masing. Pertarungan pun berlangsung
cepat sehingga tubuh mereka seakan-
akan lenyap. Dan hanya bayangan-
bayangan saja yang bergerak berkelebat
cepat saling sambar.
"Lepas...!" seru Bayu tiba-tiba.
Cepat sekali tangan kiri Pendekar
Pulau Neraka bergerak mengibas. Begitu
cepatnya, sehingga Kala Putih tidak
sempat menyadari. Dan tanpa diduga
sama sekali, kibasan tangan kiri Bayu
keras sekali menghan tarn tangan kanan
Kala Putih.
Plak!
"Akh...!" pekik Kala Putih kaget
Tongkat yang berada di tangan
kanannya seketika terpental tinggi ke
angkasa. Belum lagi Kala Putih bisa
menghilangkan keterkejutan, tiba-tiba
saja Bayu sudah membabatkan Pedang
Kawa Hijau ke arah perut
"Yeaaah...!"
Bet!
"Ikh!"
Kala Putih tak dapat lagi
menghindar. Cepat tongkat di tangan
kirinya dikebutkan, menangkis serangan
pedang Pendekar Pulau Neraka.
Tranggg!
"Heh...?!"
Lagi-lagi Kala Putih terperanjat,
karena tongkatnya terbabat buntung jadi
dua bagian. Pada saat itu, Bayu sudah
melepaskan satu tendangan keras disertai
pe-ngerahan tenaga dalam tinggi.
Diegkh!
Tendangan Bayu mendarat telak di
dada Kala Putih. Akibatnya, orang tua
berbaju putih itu jadi terpekik keras.
Tubuhnya terhuyung-huyung ke
belakang. Namun Bayu tidak memberi
kesempatan lagi pada orang tua itu untuk
menguasai keseimbangan tubuhnya.
Langsung Pendekar Pulau Neraka
melompat cepat bagaikan kilat sambil
membabatkan pedang ke arah leher.
"Hiyaaat...!"
Bet! Cras!
"Aaa...!"
Satu jeritan panjang melengking
tinggi terdengar keras menyayat. Ujung
pedang bercahaya kehijauan itu tepat
membabat tenggorokan Kab Putih. Darah
seketika muncrat keluar deras sekali.
Tidak hanya sampai di situ saja. Bayu
kembali menusukkan pedangnya ke dada
Kala Putih yang sudah tidak terlindung
lagi. Maka, pedang bercahaya kehijauan
itu langsung amblas ke dada Kala Putih,
hingga ke punggung.
"Hup!"
Bayu cepat melompat mundur
melepaskan pedang yang memanggang
dada Kala Putih. Sebentar orang tua itu
masih bisa berdiri limbung, kemudian
ambruk di tanah berumput yang basah
oleh embun. Kala Putih mengerang dan
menggelepar di tanah. Sementara darah
semakin banyak keluar dari leher dan
dadanya. Cukup lama juga Kala Putih
meregahg, lalu seluruh tubuhnya
mengejang dan terkulai tak bernyawa lagi.
Bayu menghembuskan napas panjang.
Keringat tampak membasahi seluruh
tubuhnya.
"Kakang...!"
Bayu berpaling begitu mendengar
panggilan seorang gadis. Tampak Sekar
berlari-lari kecil sambil menggandeng
seorang anak laki-laki berusia sepuluh
tahun. Bayu memutar tubuhnya berbalik.
Bibirnya bngsung tersenyum melihat anak
kecil itu menggendong monyet kecil yang
begitu dikenalinya. Rupanya, Tiren
berhasil menemukan anak itu.
Tiren langsung melompat ke
pundak, dan meme luk leher Pendekar
Pulau Neraka. Pada saat itu, Kampar
datang menghampiri diikuti tiga orang
temannya yeng menggotong sebuah peti
berukuran cukup besar, terbuat dari besi.
"Aku senang kalian semua selamat,"
ungkap Bayu diiringi senyuman.
"Semua ini karena jasamu,
Kakang," kata Sekar.
"Benar. Kami semua tidak tahu,
dengan apa harus membalas jasamu,"
sambut Kampar.
Pendekar Pulau Neraka hanya
tersenyum saja.
"Apa itu?" tanya Bayu menunjuk
peti besi di belakang Kampar.
"Barang-barang kerajaan yang
mereka rampok dulu," sahut Kampar.
"Masih utuh?"
'Tidak berkurang sedikit pun."
"Syukurlah."
Mereka terdiam beberapa saat.
"Kalian tentu akan
mengantarkannya ke istana," tebak Bayu
lagi.
"Benar. Kami harus membersihkan
nama kami semua dengan membawa
barang ini pada Gusti Prabu," sahut
Kampar.
"Bagaimana denganmu, Sekar?"
tanya Bayu.
"Aku akan ke Bukit Langkas. Ada
bibiku di sana," jawab Sekar.
"Sebaiknya, kalian semua ikut dulu
ke istana. Aku memerlukan saksi untuk
menjelaskan semuanya pada Gusti
Prabu," pinta Kampar berharap.
"Kau saja, Sekar," ujar Baya
"Kakang...?" tanya Sekar.
"Masih ada yang harus kukerjakan.
Maaf, aku tidak bisa mengantarkan kalian
semua."
"Sayang sekali...," desah Kampar.
Bayu hanya tersenyum saja, sambil
menepuk-nepuk pundak Kampar.
"Baiklah. Aku akan mengantarkan
kalian sampai ke perbatasan kota saja,"
kata Bayu menyerah.
Pendekar Pulau Neraka kemudian
mencabut pedang yang menancap di dada
Kala Purih, dan memasukkan ke dalam
warangka kembali. Lalu, diserahkannya
pedang itu pada Sekar.
"Jaga dan rawat pedang ini baik-
baik," pesan Bayu.
"Kau tidak ingin memilikinya?"
Bayu menggeleng dan tersenyum.
"Pusaka ini milikmu, Sekar. Tak ada
seorang pun yang berhak memilikinya.
Hanya kau dan adikmu yang berhak,"
ujar Bayu lembut.
"Terima kasih," hanya itu yang bisa
diucapkan Sekar.
"Ayo, kita berangkat," ajak Bayu.
SELESAI
Serial Pendekar Pulau Neraka
dalam episode-episodenya yang menarik:
1. GEGER RIMBA PERSILATAN
2. PEMBALASAN RATI) SIHIR
3. LAMBANG KEMATIAN
4. CINTA BERLUMUR DARAH
5. PENGANTIN DEW A RIMBA
6. PENDEKAR KEMBAR
7. JAGO DARI SEBERANG
8. PESANGGRAHAN GOA LARANGAN
9. MENEMBUS LORONG MAUT
10. MUSTIKA DEWI PELANGI
11. BUNGA DALAM LUMPUR
12. GADIS BURONAN
13. ISTANA IBLIS
14. DI BALIK GAPING BAMBU
15. UNGKARAN RANTAI SETAN
16. RAHASIA BUNGA CUBUNG BIRU
17. RAHASIA DARA AYU
18. DARAH MENGGENANG DI CANDI
LAKSA
19. TITISAN DEWI IBLIS
20. PERTENTANGAN DUA DATUK
21. CAKAR HARIMAU
22. PERGOLAKAN DI ISTANA LANGKAT
23. SELIR RAJA
24. PRAHARA DI PANTAI SELATAN
25. PERAWAN PEMBAWA MAUT
26. RATU LEMBAH MAYAT
27. KERIS KALA MUYENG
28. PEDANG KAWA HUAU
0 comments:
Posting Komentar