SATU
Pagi nan cerah di sebuah lembah yang tidak begitu subur,
terdengar teriakan-teriakan membahana. Suara-suara itu seolah
hendak meruntuhkan tebing-tebing yang berdiri kokoh di
sekitarnya. Tidak jauh dari tempat itu terlihat sebuah gubuk
kecil yang memiliki halaman cukup luas di depannya.
Permukaan tanah di tempat itu lebih rata dibanding dengan
keadaan di sekitarnya.
Seorang lelaki berusia sekitar tiga puluh lima tahun dan
wanita dua puluh delapan tahunan, tengah melompat ke sana
kemari sambil memainkan jurus-jurus ilmu silat yang amat
ganas. Di sekitarnya terlihat tulang-belulang manusia
berserakan dalam jumlah yang cukup banyak. Ternyata dari
sinilah sumber suara-suara teriakan tadi berasal.
Kedua orang itu sebenarnya sepasang suami istri dan
sekaligus sebagai tokoh yang amat ditakuti di dunia persilatan.
Yang lelaki bernama Ki Sanca Ireng. Sedangkan istrinya yang
berambut panjang terurai sebatas pinggang bernama Nyai Roro
Sekar Mayang. Saat ini mereka tengah berlatih suatu jurus silat
yang amat langka dan puluhan tahun lalu pernah
menggemparkan dunia persilatan di tangan Ki Panuluh Puspa. Tokoh tua yang terkenal dan kehebatannya
tiada tara itu adalah guru Sanca Ireng dan Nyai Roro Sekar
Mayang.
"Haaat...!"
"Yeaaa...!"
Keduanya kembali melompat sambil membentak nyaring.
Beberapa buah tengkorak kepala manusia berpentalan ke atas
tertendang kaki mereka.
Crab! Crab!
"Hiiih!"
Kedua tangan mereka membentuk cakar dan melesak dalam
batok kepala tengkorak, lalu bergantian menghantam batok
kepala tengkorak lainnya yang tersisa. Ketika keduanya melesat
kembali, satu persatu tengkorak kepala manusia itu berjatuhan.
Terlihat bekas jari-jari tangan mereka membentuk lubang di
masing-masing kepala tengkorak.
"Hm, sial! Belum juga berhasil kutemukan cara agar pukulan
Tengkorak Hitam-ku menjadi lebih sempurna!" dengus Ki Sanca
Ireng geram.
"Betul, Kakang! Aku pun semakin kesal saja. Pukulan
Tengkorak Purih-ku belum seperti apa yang kuinginkan," sahut
Nyai Roro Sekar Mayang.
"Hhh... tapi kita harus sabar dan terus tekun berlatih...."
"Hm, sampai kapan? Sayang, guru telah meninggal sebelum
rahasia kedua ilmu pukulan itu kita kuasai...," ujar Nyai Roro
Sekar Mayang.
Ki Sanca Ireng terdiam dan menatap tajam ke arah
tengkorak-tengkorak kepala manusia yang berserakan. Rata-
rata dalam keadaan berlubang tertembus jari-jari mereka.
"Kita harus mencari korban lagi, Nyai...," katanya pelan.
"Benar. Hhh... tapi semakin jarang orang yang tersesat ke
lembah ini. Mau tak mau kita harus mencarinya di luaran sana,"
sahut istrinya.
"Hm, kalau demikian kita harus keluar dari lembah ini untuk
mencari korban baru...."
"Mari, Kakang! Untuk apa buang waktu lagi?" sahut istrinya
cepat seraya melompat dari tempat itu.
Ki Sanca Ireng mengikuti dengan gerakan gesit sambil
mengerahkan ilmu lari cepatnya. Tampak kedua suami istri itu
melesat bersamaan meninggalkan lembah itu. Namun belum
jauh mereka berlari, mendadak Ki Sanca Ireng berbisik halus
pada istrinya sambil menghentikan larinya.
"Nyai, berhenti sebentar! Tampaknya ada beberapa orang
tersesat di daerah ini."
Nyai Roro Sekar Mayang segera berhenti dan menajamkan
pendengaran. Kemudian terlihat dia mengangguk pelan sambil
memandang ke satu arah.
"Pucuk dicinta ulam tiba! Kalau benar, untuk apa kita
bersusah payah mencari korban baru di luaran sana...?"
Keduanya melompat cepat ke atas sebatang pohon yang
terdekat Kemudian melompat dari satu pohon ke pohon lainnya
mendekati suara-suara yang mereka dengar.
Kelima orang itu berjalan beriringan sambil memperhatikan
ke sekitar hutan itu dengan tatapan curiga. Dari cara
berpakaian dan senjatarsenjata yang disandang, jelas mereka
bukanlah orang-orang sembarangan. Paling tidak kelimanya
mengerti ilmu silat. Salah seorang di antara mereka yang
berusia sekitar empat puluh tahun dan bertubuh agak kecil
memberi isyarat pada kawan-kawannya agar menghentikan
langkah. Matanya menyapu ke sekeliling dengan wajah
menyiratkan perasaan curiga.
"Ada apa Kakang Suganda? Apakah kau mendengar sesuatu
yang mencurigakan?" tanya salah seorang kawannya yang
memakai baju kuning.
"Hm, sepertinya aku merasakan keanehan di hutan ini..,"
gumam lelaki yang dipanggil Suganda.
"Keanehan bagaimana, Kakang...?" tanya satu-satunya
wanita di antara mereka.
"Entahlah, Ni Lastri. Tempat ini terasa sunyi sekali. Sedikit
pun tak terdengar suara burung atau binatang lain. Sebaiknya
kita bersikap waspada...!"
"Hm, buat apa takut! Kalaupun ada harimau atau beruang,
bisa berbuat apa pada kita!" dengus seorang lainnya yang
berkepala botak dan bertubuh gempal.
"Jangan gegabah kau, Oleng! Kalau hanya harimau atau
binatang buas lainnya kita memang tidak perlu takut Tapi kalau
lebih dari itu, kita harus waspada!" desis kawannya yang
bertubuh kurus dengan rambut penuh uban.
"Benar apa yang dikatakan, Ki Sirna. Kita harus berhati-hati
terhadap apa pun," sahut Ki Suganda.
"Apa yang kau maksudkan, Kakang Suganda...?" tanya
kawannya yang berusia sekitar dua puluh lima tahun. Di antara
kawanan ini tampaknya memang dia yang berusia paling muda.
"Hutan ini agaknya tidak ramah. Aku khawatir ada sesuatu
yang membahayakan keselamatan kita, Somali. Entah apa
namanya, aku pun tak tahu. Namun yang jelas kita harus tetap
waspada dan jangan lengah terhadap apa saja yang
mencurigakan!" sahut Ki Suganda.
Baru saja dia berkata begitu, mendadak melesat dua sosok
tubuh ke hadapan mereka sambil mengeluarkan suara tawa
nyaring yang mendirikan bulu roma.
"Hi hi hi...!"
Kelima orang itu terkesiap kaget Di hadapan mereka telah
berdiri tegak dua sosok lelaki dan wanita yang memiliki
pancaran mata amat menakutkan. Keduanya seperti
memandang enteng terhadap mereka.
"Kisanak berdua, siapakah kalian? Dan apa maksudnya
menghadang perjalanan kami?" tanya Ki Suganda dengan nada
datar.
"Hi hi hi...! Selamanya daerah di sekitar Lembah Ngampar
Nyawa adalah kekuasaan kami...," sahut yang wanita.
Mendengar nama tempat yang disebutkan, kelima orang itu
tampak terkejut.
"Jadi..., jadi kalian Iblis Tengkorak Hitam Putih...?!" tanya Ki
Suganda dengan mata terbelalak.
Siapa pun orangnya pasti kenal siapa penghuni Lembah
Ngampar Nyawa. Iblis Tengkorak Hitam Putih yang kesohor di
delapan penjuru mata angin sebagai tokoh kejam
berkepandaian tinggi. Tidak heran kalau wajah kelimanya
langsung pucat begitu mendengar dan mengetahui siapa kedua
orang di hadapan mereka.
Namun, sebagai orang yang telah banyak makan asam
garam di dunia persilatan, tak mungkin mereka menunjukkan
perasaan takut. Ki Suganda malah balik menatap keduanya dan
mendengus pelan.
"Hm, Iblis Tengkorak Hitam Putih selamanya bukanlah orang
baik-baik. Kami tak pernah berurusan dengan kalian. Karena itu
tak ada alasan untuk bermusuhan dengan kalian berdua...."
"Hua ha ha...! Ternyata kalian sungguh-sungguh tak
mengenal kami. Baik ada persoalan maupun tidak, kalian telah
bertemu dengan kami. Dan selamanya tidak akan pernah ada
yang selamat di tangan Iblis Tengkorak Hitam Putih. Nah,
bersiaplah menjemput ajal!" sahut Ki Sanca Ireng.
Kelimanya segera membuka jurus dan bersiap menghadapi
saat Ki Sanca Ireng mendekati perlahan-lahan.
"Yeaaa...!"
"Hei?!"
Mendadak saja Nyai Roro Sekar Mayang lebih dulu
menerkam mereka sambil mengeluarkan bentakan nyaring. Ki
Sanca Ireng menyusul beberapa saat kemudian.
"Uts!"
"Hiiih!"
Sring!
Sambil mengelak dari serangan Iblis Tengkorak Hitam Putih,
mereka langsung mencabut senjata masing-masing dan balas
menyerang. Namun sambil terkekeh mengejek, kedua suami
istri itu berkelit ke sana kemari dengan gerakan gesit yang sulit
dikejar lawan.
"Hi hi hi...! Kalian kira bisa berbuat apa pada kami, heh?!"
"Iblis betina, tutup mulutmu! Meski kalian berkepandaian
tinggi, kami tak akan takut dan menyerah begitu saja!" desis si
Kepala Botak yang bernama Oleng dengan nada geram.
"He he he...! Siapa yang butuh ocehan kalian? Kami hanya
butuh batok kepala kalian yang masih segar!" sahut Ki Sanca
Ireng sambil terkekeh.
"Dan batok kelima kepala kalian sudah cukup bagi kami.
Kalian boleh pergi dari sini setelah kami mendapatkannya!"
timpal Nyai Roro Sekar Mayang.
"Phuih! Langkahi dulu mayat kami baru kau boleh berbuat
sesuka hatimu!" dengus Ki Sirna geram.
"Nyai, aku bosan bermain-main dengan mereka. Sebaiknya
kau tentukan saja pilihanmu dan sisanya untukku!" ujar Ki
Sanca Ireng dengan nada tinggi.
"Baiklah, Kakang. Bagianku si Botak ini dan yang bersenjata
pedang itu. Kau boleh mengambil tiga orang yang tersisa!"
"Hm, begitu lebih baik. Nah, ambillah batok kepala mereka
secepatnya!"
"Keparat!" Ki Suganda memaki geram.
Keduanya tampak tak memandang sebelah mata pada
mereka. Seolah-olah kelimanya sebagai buruan yang mudah
didapatkan begitu saja. Maka
Ki Suganda dan kawan-kawannya bertekad akan bertarung
habis-habisan untuk mempertahankan nyawa mereka masing-
masing.
Namun Iblis Tengkorak Hitam Putih memang bukan tokoh
sembarangan. Selama ini nama Lembah Ngampar Nyawa
terkenal keangkerannya semata-mata karena kehadiran mereka
di sana. Tak seorang pun bisa keluar dengan selamat setelah
masuk ke Lembah Ngampar Nyawa. Bahkan banyak di
antaranya tokoh-tokoh dunia persilatan yang cukup dikenal
memiliki kepandaian tinggi.
Ki Sanca Ireng dan sang Istri agaknya akan membuktikan
keperkasaan mereka kepada kelima orang mangsanya itu.
Meski menghadapi tiga orang lawan, yaitu Ki Sirna, Ni Lastri,
dan Somali, dia sama sekali tidak merasa kesulitan. Serangan-
serangan mereka selalu luput dari sasaran. Gerakan Ki Sanca
Ireng memang cepat bukan main dan sulit diikuti. Dengan
cepat dia menghantam dada Somali. Orang itu terkejut dan
memiringkan tubuh untuk menghindar. Namun tubuh Ki Sanca
Ireng telah berputar dengan tangan menyambar tengkuk Ki
Sirna yang mencoba membokongnya dari belakang.
Prak!
"Aaakh!"
Ki Sirna menjerit kesakitan. Tubuhnya tersungkur ke
samping dengan tulang leher patah.
"Iblis keparat, mampuslah kau...!" teriak Ni Lastri geram
seraya mengayunkan pedang dengan gerakan-gerakan indah
dan sulit diduga ke mana arah serangannya.
"He he he...! Ilmu pedangmu cukup hebat, tapi kau terlalu
gegabah jika berharap mampu mengalahkanku!" ejek Ki Sanca
Ireng seraya menundukkan kepala menghindar dari tebasan
senjata Ni Lastri.
Namun pada saat yang bersamaan, tongkat Ki Somali
melesat menyodok perutnya. Hanya dengan mendoyongkan
tubuhnya ke samping Ki Sanca Ireng mampu mengelakkan
serangan itu. Tangan kirinya dengan cepat berkelebat mencekal
tongkat lawan dan langsung membetotnya. Ki Somali terkejut
merasakan sentakan kuat. Dia bermaksud melepaskan
genggaman pada tongkatnya ketika merasakan bahwa
tenaganya tidak mampu menahan tarikan lawan. Namun kaki
kanan Ki Sanca Ireng telah lebih dulu menghantam dadanya.
Bekh!
"Aaa...!"
Kembali terdengar jerit kesakitan ketika tubuh Ki Somali
terjungkal beberapa langkah ke belakang sambil
menyemburkan darah segar dari mulutnya.
***
"Iblis keparat! Kau harus mampus untuk menebus nyawa
mereka! Hiyaaa...!" Ni Lastri membentak nyaring karena marah
melihat kedua kawannya tersungkur tidak berdaya dalam
beberapa gebrakan saja. Pedangnya berkelebat cepat
menyambar-nyambar.
Namun dengan mudah Ki Sanca Ireng mengelakkan setiap
serangannya. Lelaki berpakaian hitam itu terkekeh-kekeh
sambil melompat ke sana kemari. Tubuhnya ringan sekali
menghindari setiap serangan-serangan yang dilancarkan lawan.
"He he he...! Kuberi kau kesempatan untuk menyerang dan
ternyata kau sia-siakan. Nah, sekarang giliranmu...!" ujar Ki
Sanca Ireng seraya melompat menerkam lawan.
Ni Lastri mengibaskan pedang memapaki tubuh lawan.
Namun tiba-tiba Ki Sanca Ireng berjumpalitan menghindar.
Dan....
Duk!
"Aaakh...!"
Ni Lastri memekik kesakitan ketika tanpa diduga kaki Ki
Sanca Ireng mendarat di tengkuknya. Tubuh wanita itu
terjungkal dan tidak mampu bangkit lagi. Ki Sanca Ireng
terkekeh-kekeh sambil bertolak pinggang.
Sementara itu Nyai Roro Sekar Mayang agak kesulitan dalam
menjatuhkan lawan-lawannya. Hal itu tidak mengherankan
sebab Ki Suganda memiliki kemampuan lebih tinggi dari kawan-
kawannya. Namun agaknya hal itu tidak berlangsung lama.
"Nyai, apakah kau hendak bermain-main lebih lama dengan
mereka?" teriak Ki Sanca Ireng mulai kesal melihat istrinya
belum juga menjatuhkan lawan-lawannya.
"Kakang, kau tenang sajalah! Aku masih memberikan
kesempatan pada mereka untuk mengerahkan seluruh
kemampuannya!" sahut Nyai Roro Sekar Mayang.
"Huh, sebaiknya tidak usah lama-lama!"
"Baiklah kalau memang kau tidak sabaran...."
"Phuih! Wanita Iblis, jangan kira bisa berbuat seenaknya
terhadapku!" dengus Ki Suganda semakin berang.
"Hi hi hi...! Bisa berbuat apa kau terhadapku? Ketiga
kawanmu tengah sekarat, dan kini giliran kalian!"
"Phuih! Cobalah kalau kau mau mampus!" sambut Ki
Suganda menantang.
"Hi hi hi...! Sombong. Heaaa...!"
Tiba-tiba saja tubuh Nyai Roro Sekar Mayang berkelebat
cepat dan menyambar kedua lawannya. Ki Suganda sempat
tersentak kaget Namun dengan cepat pedangnya dikibaskan
untuk menyambut serangan itu. Sementara tongkat di tangan
Oleng menyambar ke kepala. Dengan gesit sekali tubuh wanita
itu berkelit dan tahu-tahu ujung kaki kanannya menghantam
dada Ki Suganda.
Wuuut!
Dengan cepat pula Ki Suganda berkelit sambil merundukkan
tubuh. Namun hal itu ternyata disengaja oleh Nyai Roro Sekar
Mayang untuk mengalihkan perhatian Oleng agar lengah.
Ternyata pancingannya mengena. Laki-laki berkepala botak itu
dengan bernafsu mengayunkan tongkat. Untuk
menghantamnya. Nyai Roro Sekar Mayang yang memang telah
menyadari serangan itu, melompat ke samping seraya
melepaskan satu tendangan keras.
Degkh! "Aaakh...!"
Oleng memekik keras. Tubuhnya terjungkal ke belakang
dengan tulang leher patah. Dia berke-lojotan beberapa saat
Sementara Ki Suganda sengaja tidak menghiraukannya dan
langsung menyerang wanita itu dengan membabatkan pedang.
Wuuuti
"Uhhh...!"
Namun Nyai Roro Sekar Mayang menghindar dengan gesit.
Tubuhnya melayang tepat di atas kepala Ki Suganda. Lalu
menghantam dengan keras.
Tuk!
Ki Suganda terperanjat kaget dan buru-buru bergulingan.
Agaknya Nyai Roro Sekar Mayang telah memperhitungkan hal
itu. Meski tendangannya hanya mengenai batok kepala lawan,
namun sempat memanfaatkannya untuk berjumpalitan ke
belakang.
Begkh!
"Aaakh...!"
Ki Suganda memekik keras. Dia sama sekali tidak menduga
akan terkecoh oleh serangan lawan. Meski batok kepalanya
selamat dari tendangan lawan, namun kaki si Wanita yang
sebelah lagi menyambar dadanya dengan satu tendangan
keras. Tubuhnya terpental beberapa langkah sambil
menyemburkan darah segar
"Hi hi hi...! Apa kubilang? Kau tak akan mampu
menghadapiku. Sengaja kalian tidak kami binasakan sebab itu
lebih baik. Mati dengan cara perlahan-lahan lebih pantas bagi
kalian...," kata Nyai Roro Sekar Mayang sambil
memperdengarkan suara tawanya yang nyaring.
"Wanita Iblis, bunuhlah kami! Ayo, bunuhlah! Kami tak takut
mati...!" teriak Ki Suganda garang. Namun dengan begitu otot-
ototnya mengejang, hingga membuat luka dalam yang
dideritanya semakin parah. Belum lagi selesai kata-katanya,
darah segar menyembur kembali dari mulutnya. Lelaki setelah
baya itu bergulingan sambil mendekap dadanya yang terasa
remuk.
"Hi hi hi...! Dasar tolol! Apa kau kira dengan begitu aku akan
mengampuni, heh?!" ejek Nyai Roro Sekar Mayang.
"Nyai, kenapa kau berlama-lama dengan mereka? Ayo, cepat
bawa bagianmu dan kita kembali ke pondok!" teriak Ki Sanca
Ireng, nampak tak sabar terhadap istrinya.
Nyai Roro Sekar Mayang menoleh sekilas dan melihat sang
Suami telah menyeret ketiga korbannya. Tanpa banyak bicara
wanita itu menyambar kedua korbannya. Dengan ringan sekali
dia mengangkat mereka, lalu melesat cepat meninggalkan
tempat itu menyusul Ki Sanca Ireng yang telah lebih dulu
melesat meninggalkannya.
***
DUA
Pemuda berwajah tampan berpakaian terbuat dari kulit
harimau itu tertegun sesaat. Pandangannya terpaku pada
tengkorak-tengkorak kepala manusia yang berserakan. Monyet
kecil berbulu hitam yang bertengger di punggungnya menjerit-
jerit kecil sambil menutup wajah dengan jari tangannya.
"Tenanglah, Tiren dan jangan ribut begitu! Kau hanya akan
mengundang perhatian orang banyak saja...!" ujar pemuda
berambut panjang itu kepada monyet kesayangannya.
"Nguk! Nguk...!"
Monyet kecil itu mengangguk-angguk dan terus melompat ke
pundak si Pemuda. Pemuda itu membiarkannya saja dan mulai
melangkah perlahan-lahan mengikuti jejak-jejak yang tertinggal
di tanah. Namun pada satu tempat yang dipenuhi ilalang, jejak-
jejak kaki itu hilang. Pemuda tampan berpakaian kulit harimau
yang tak lain Bayu Hanggara menghentikan langkahnya.
Matanya mengawasi ke sekitar tempat itu. Namun tetap tak
ditemukan adanya benda-benda yang memberi petunjuk.
"Hm, agaknya jejak ini menghilang begitu saja. Pastilah
mereka melompat ke salah satu cabang pohon. Siapa mereka
dan apa yang dilakukannya terhadap kepala-kepala tengkorak
manusia itu?" gumam Bayu dengan wajah berkerut bingung.
Baru saja Bayu hendak berbalik, mendadak terdengar
bentakan nyaring.
"Iblis Tengkorak Hitam Putih, bagus kau berada di sini
sehingga tak kesulitan kami mencarimu!"
Bayu cepat berpaling dan melihat dua orang berdiri tegak di
depannya pada jarak lebih kurang dua puluh langkah. Seorang
di antara mereka yang bertubuh tegap, menggenggam senjata
sebilah parang besar. Sementara yang satunya menyelipkan
pedang di pinggang. Wajah mereka jelas menunjukkan tidak
bersahabat. Namun mendengar mereka memanggil dengan
nama yang asing di telinganya, tentu saja Pendekar Pulau
Neraka dapat menduga bahwa kedua orang itu salah sangka.
"Em.... Sebenarnya siapa kalian berdua...? Lalu siapa yang
kalian maksudkan dengan Iblis Tengkorak Hitam Putih...?"
tanya Bayu berusaha untuk bersikap ramah.
"Phuih! Dasar iblis keparat! Kau kira bisa mungkir dari kami,
heh?! Siapa pun tahu bahwa kemunculanmu selalu ditandai
dengan banyak tengkorak-tengkorak kepala manusia yang
menjadi korbanmu. Hm, hari ini ternyata kau tengah sendirian.
Lebih baik suruh keluar istrimu agar kalian dapat kami bereskan
dengan cepat!" desis yang bersenjata parang dengan wajah
merah menahan geram.
"Kisanak, tenanglah dulu! Ini mungkin salah paham. Kalau
kalian menyangka aku adalah Iblis Tengkorak Hitam Putih, itu
salah besar. Aku sama sekali tidak kenal dengan nama yang
kalian sebutkan itu. Dan selama ini aku pun belum pernah
beristri. Aku tengah mengamati-amati, apa yang telah terjadi
dengan tengkorak-tengkorak kepala manusia ini...," sahut Bayu
masih tetap bersikap tenang.
"Subali, kenapa kau malah bersitegang leher dengannya?
Apakah kedatangan kita ke sini hanya untuk mendengarkannya
bersilat lidah? Huh, lebih baik kuparahkan batang lehernya
sekarang juga!" sahut yang mempunyai senjata pedang seraya
mencabut senjatanya dan melangkah mendekati Pendekar
Pulau Neraka.
"Hei, siapa bilang begitu, Somad? Sejak tadi sebenarnya
tanganku sudah gatal ingin memotes lehernya. Biar dia tahu!"
timpal kawannya itu.
"Iblis Tengkorak Hitam Putih, bersiaplah menerima
kematianmu!"
Sring!
"Yeaaa...!"
Begitu mencabut senjata dengan cepat, keduanya langsung
melompat menyerang Pendekar Pulau Neraka. Bayu tersenyum
sinis. Dia sudah kehilangan akal untuk meyakinkan bahwa
dirinya bukarilah orang yang mereka cari. Dan ketika melihat
keduanya menyerang dengan ganas, pendekar muda itu tidak
bisa berdiam diri begitu saja. Dia melompat menghindar.
Tubuhnya melesat ke atas lalu bersalto ke belakang tubuh
lawan.
"Kaaakh...!" Tiren yang melompat dari bahunya menjerit
keras karena nyaris terkena babatan senjata lawan yang luput
dai sasaran.
"Kurang ajar! Hei, Iblis Tengkorak apakah ke-bisaanmu cuma
menghindar?! Ayo, keluarkan segala kesaktianmu dan hadapi
kami secara jantan!" dengus Subali garang.
"Hhh..., manusia keras kepala! Tidak usah banyak bicara.
Cepat, ke sinilah kalian agar aku bisa membelah kepala kalian
yang keras kepala itu!" sahut Bayu geram.
"Keparat! Terimalah ini! Yeaaa...!"
Kedua orang itu mendengus geram dan kembali melompat
melancarkan serangan. Kali ini Bayu sengaja tidak mau
melompat ke belakang, melainkan menghindar dari setiap
tebasan senjata kedua lawan. Tubuhnya bergerak lincah,
meliuk, bergeser, dan melompat.
"Hiyaaa...!"
"Uhhh...!"
Pedang di tangan Somad menyambar dengan gerakan
menyilang yang cepat. Dengan cepat pula Pendekar Pulau
Neraka mundur selangkah, lalu sebelah kakinya terangkat tinggi
menyambar dagu Subali.
Mendapat serangan mendadak begitu, Subali terkejut dan
melompat ke belakang untuk menghindar. Namun Pendekar
Pulau Neraka telah bergerak menyusul. Dengan untung-
untungan Subali mengibaskan senjata memapaki serangan
lawan.
Wuuut!
Bekh!
"Aaa...!"
Subali menjerit keras ketika tahu-tahu dadanya terhantam
serangan lawan, setelah babatan parangnya tak mengenai
sasaran. Seketika tubuhnya terjungkal beberapa langkah ke
belakang. Dadanya dirasakan nyeri bukan main.
Kalau saja saat itu Pendekar Pulau Neraka mengerahkan
seluruh tenaga dalam yang dimiliki, bukan tak mungkin Subali
akan muntah darah seketika serta menderita luka dalam yang
parah.
"Setan! Mampus kau...!" bentak Somad seraya mengibaskan
pedang ke kepala dari belakang.
Pendekar Pulau Neraka berkelit ke samping, namun lawan
dengan cepat melancarkan serangan balasan dengan
tendangan keras saat senjatanya luput dari sasaran. Tubuh
pemuda itu melompat agak tinggi, lalu berjumpalitan seraya
menghantamkan kepalan tangan kanannya ke wajah lawan.
Bet!
Duk!
"Aaakh...!"
Dengan sigap Somad mengayunkan pedang memapas
pergelangan tangan lawan. Namun saat itu pula Pendekar
Pulau Neraka menarik pulang pukulannya. Tubuhnya sedikit
merunduk ketika dia berbalik dan menghantam perut lawan
dengan satu tendangan yang cukup keras. Somad memekik
kesakitan. Tubuhnya terjerembab ke samping SubaB.
"Pendekar Pulau Neraka, kurasa cukuplah pelajaran yang kau
berikan pada mereka!" teriak seseorang yang tiba-tiba muncul
di tempat itu.
Bayu berbalik dan melihat seorang laki-laki berusia lanjut
telah berdiri di depannya berjarak sekitar sepuluh langkah.
"Hhh... siapa sebenarnya dirimu, Ki? Apakah kau kawan
kedua orang ini?" tanya Bayu dengan nada ramah.
"Hm, namaku Pending Layung. Mereka berdua adalah
muridku. Maafkanlah atas kelancangan yang mereka lakukan.
Keduanya memang masih buta dan belum berpengalaman,
sehingga maklum kalau mereka tidak mengenalmu...," sahut
orang tua itu sambil tersenyum ramah.
"Tidak mengapa, Ki Pending. Hanya saja mereka terlalu
bernafsu hendak membunuhku. Maka maafkan juga jika aku
terlalu kasar terhadap mereka."
"Somad, dan kau Subali! Lekas, minta maaf pada Pendekar
Pulau Neraka. Kalian memang tolol dan tidak berotak. Apakah
kalian kira masih bisa bernapas jika dia bertindak kejam? Masih
untung dia berbaik hati saat ini!" teriak Pending Layung kepada
dua orang muridnya.
Somad dan Subali sesaat saling pandang dengan wajah
kecut. Mereka sama sekali tidak menyangka kalau pemuda di
hadapannya ternyata pendekar besar yang sering diceritakan
gurunya. Dengan wajah tertunduk malu, mereka melangkah
mendekati Pendekar Pulau Neraka menjura hormat
'Tuan Pendekar, maafkan kami yang bodoh dan buta ini...!
Sungguh kami tidak tahu kalau Tuan...."
"Tidak mengapa. Hanya lain kali kalian mesti berhari-hari
dan tidak langsung menyerang sebelum memeriksa lebih
teliti...," sahut Bayu bernada menggurui.
"Murid-muridku belakangan ini memang begitu gemas
terhadap si Iblis Tengkorak Hitam Putih, terutama karena
tindakannya terhadap muridku yang lain...," kata Ki Pending
Layung menimpali.
"Ki Pending, sejak tadi aku mendengar nama IbBs Tengkorak
Hitam Putih selalu disebut-sebut. Siapa sebenarnya orang itu
dan apa yang dilakukannya sehingga kalian kelihatan begitu
mendendam...?" tanya Bayu heran.
"Mereka adalah sepasang suami istri yang memiliki ilmu keji.
Guna melatih dan memperdalam ilmu, mereka menculik orang-
orang dijadikan korban bagi perkembangan ilmu mereka.
Batok-batok kepala yang berserakan itu adalah hasil kerja
mereka...," tutur Ki Pending Layung.
Bayu mengangguk sambil memandangi tengkorak-tengkorak
kepala manusia yang berserakan di sekitar tempat itu. Dia
melangkah menghampiri kemudian memungut satu kepala
tengkorak dan mengamatinya.
"Hm, ilmu yang mereka pelajari memang dahsyat. Dan untuk
itu kurasa mereka akan terus mencari korban lain guna
menyempurnakan ilmunya...," gumam Bayu pelan.
"Itulah yang kukhawatirkan. Telah banyak korban akibat ulah
mereka, dan ini tidak boleh dibiarkan terus. Harus ada yang
berani menghentikan kebuasan mereka. Sebab, akan lebih
banyak korban lain yang berjatuhan kalau kita mendiamkannya
saja," ujar Ki Pending Layung menyiratkan kecemasan hatinya.
"Ya, aku sependapat denganmu, Ki Pending. Lalu di
manakah kita bisa menemui kedua orang itu?"
"Itulah yang saat ini amat membingungkan. Tidak ada yang
mengetahui di mana mereka berada.
Banyak yang pernah bertemu dengan Iblis Tengkorak Hitam
Putih, tapi rata-rata tak seorang pun yang selamat Semua
binasa di tangan keduanya," sahut Ki Pending Layung.
"Hm, sulit juga. Tapi persoalan ini harus dibereskan dan
mereka mesti dihentikan!"
"Biasanya kedua orang itu meninggalkan jejak dengan
tengkorak-tengkorak kepala manusia seper^ ti ini. Tapi kalau
keduanya berada di sekitar tempat ini, sudah barang tentu
mereka telah muncul sejak tadi. Kini mereka sama sekali tidak
terlihat batang hidungnya, jadi jelas mereka telah
meninggalkan tempat ini beberapa saat lamanya sebelum kita
tiba...," kata Ki Pending Layung seraya mengangguk
mendengar kata-kata Pendekar Pulau Neraka. Kemudian lelaki
tua itu kembali menjelaskan kebiasaan v.edua tokoh yang
tengah mereka bicarakan.
Mereka kembali terdiam beberapa saat lamanya sampai
kemudian Bayu menghampiri orang tua itu.
"Ki Pending, kurasa aku tak bisa berlama-lama di sini. Kami
akan melanjutkan perjalanan," katanya seraya menggendong
Tiren yang melompat ke pundaknya.
"Ah, sebenarnya aku ingin sekali mengundangmu ke
tempatku, Nak Bayu...."
"Ah, terima kasih. Aku senang sekali, tapi rasanya masih
banyak yang harus kukerjakan. Mungkin lain kali aku akan
mampir ke tempatmu," sahut Bayu menolak secara halus.
"Pintu rumahku selalu terbuka untukmu, Nak Bayu. Kapan
saja kalau kau bersedia datang."
"Terima kasih....."
"Eh, maaf. Mengenai urusan si Iblis Tengkorak Hitam Putih
apakah kau telah mendapat undangan dari Ki Sapu Jagad?"
"Undangan apakah gerangan, Ki Pending...?"
"Beliau mengundang tokoh-tokoh persilatan agar hadir pada
purnama besok di tempatnya. Kalau kau belum mendapat
undangan itu, maka pemberitahuan ini anggaplah sebagai
undangan terhadapmu!"
"Purnama besok?" Bayu mengernyitkan dahi sesaat,
kemudian melanjutkan kata-katanya, "Itu berarti dua hari dari
mulai sekarang?"
"Benar. Beliau bermaksud menggalang kekuatan untuk
menghadapi si Iblis Tengkorak Hitam Putih. Datanglah, Nak
Bayu! Sebab aku pun akan berada di sana pula."
"Terima kasih, Ki Pending. Mudah-mudahan kalau tak ada
halangan aku akan ke sana. Nah, aku permisi dulu, Ki Pending!"
sahut Bayu seraya merangkapkan kedua telapak tangan untuk
memberi hormat pada orang tua itu.
Ki Pending Layung mengangguk pelan dan menatap
beberapa saat lamanya sampai pemuda itu menghilang dari
pandangan mata.
"Hm, sungguh kami tiada mengira kalau Pendekar Pulau
Neraka masih sedemikian muda, Guru...," gumam Subali seraya
berdecak kagum.
"Ya, dia memang muda dalam usia, namun kepandaiannya
sulit diukur. Aku sendiri belum apa-apa jika dibandingkan
dengannya. Sudah banyak tokoh aliran hitam yang
berkepandaian tinggi, tewas di tangannya," sahut Ki Pending
Layung pelan.
"Apakah jika Iblis Tengkorak Hitam Putih sempat bertarung
dengannya, dia mampu mengatasinya?" tanya Somad.
Ki Pending Layung menarik napas panjang, "Mudah-
mudahan saja dia mampu mengatasi kedua iblis itu," katanya
seraya mengajak kedua muridnya meninggalkan lembah itu.
***
Di sebuah lembah yang gersang dan berbatu-batu tampak
dua orang lelaki terikat pada tonggak kayu. Wajah mereka yang
telah memucat, dibasahi keringat dingin karena ketakutan. Di
depan mereka sepasang lelaki dan wanita berwajah bengis
tengah menatap dengan mata menyiratkan hawa dingin
membunuh.
"Kau sudah siap, Nyai...?" tanya lelaki itu. "Hm...," wanita itu
hanya bergumam sambil mengangguk pelan.
"Pusatkan pikiranmu dan yakinkan dirimu bahwa kali ini akan
mampu mencapai hasil yang kita inginkan...," kata lelaki itu lagi
yang ternyata Ki Sanca Ireng.
Wanita itu yang tidak lain Nyai Roro Sekar Mayang kembali
mengangguk dan mendengus seraya menatap calon
mangsanya tanpa berkedip.
"Iblis Tengkorak Keparat! Lebih baik bunuh saja kami
daripada kau siksa begini!" jerit salah seorang dari laki-laki
yang tengah terikat di tonggak. Wajahnya tampak geram dan
ketegangan membayang jelas dari wajahnya.
"Iblis laknat! Ayo, cepat bunuh kami...! Chuih! Apa kau kira
aku takut mati?!" sambung kawannya menimpali dengan mata
melotot garang.
"Tikus-tikus dungu! Jangan kira kami akan mendiamkan
kalian begitu saja! Dasar tolol! Kalian akan menerima apa yang
kalian inginkan itu!" bentak Nyai Roro Sekar Mayang galak.
"Huh! Yeaaah...!"
Ki Sanca Ireng agaknya tidak mau banyak mulut lagi. Dia
langsung membentak nyaring seraya menghantamkan satu
pukulan jarak jauh pada calon korbannya.
Deb!
Prasss!
"Aaakh...!"
Selarik cahaya kehitaman menderu dahsyat ke arah salah
seorang lelaki yang terikat di tonggak kayu. Terdengar jeritan
tertahan. Tubuh orang itu hancur berantakan, dan sebagian
kulit dan dagingnya meleleh seperti terkena larutan penghancur
daging.
"Sial!" desis Ki Sanca Ireng kesal. Melihat air mukanya yang
tidak menggembirakan jelas dia belum mendapatkan hasil yang
memuaskan dari pukulannya tadi.
Sementara itu calon korban yang satu lagi, tampak gemetar
ketakutan Wajahnya yang pucat telah dibasahi keringat dingin.
Lidahnya semakin kelu untuk berbicara. Sepasang matanya
membelalak ngeri seakan tak tahan menyaksikan penderitaan
kawannya. Tubuh lelaki malang itu tidak hanya hancur
berserakan dengan kulit daging meleleh berwarna kehitaman.
Namun perlahan potongan-potongan daging itu meleleh terus
sampai habis tinggal tulang-belulang yang kehitaman.
"Sekarang giliranmu, Tikus Dungu!" desis Nyai Roro Sekar
Mayang bersiap menghantam calon korbannya.
"Eh, oh...!"
"Yeaaa...!"
Deb!
Orang itu mengeluh tertahan. Namun pukulan Nyai Roro
Sekar Mayang telah melesat ke sasaran. Selarik cahaya putih
mengandung hawa panas menghantam tubuhnya yang terikat
di tonggak.
Prasss!
"Aaakh...!"
Seperti apa yang terjadi pada kawannya, tubuh orang itu
hancur berantakan menjadi potongan-potongan daging kecil.
Kemudian perlahan-lahan meleleh hingga tinggal tulang-
belulangnya yang berwarna pucat.
"Hm, pukulanku pun agaknya masih belum sempurna,
Kakang...!" keluh Nyai Roro Sekar Mayang.
"Setan! Kita harus banyak berlatih lagi kalau begini!" geram
Ki Sanca Ireng.
"Kakang, lebih baik kita keluar lagi mencari mangsa lain,"
kata Ki Sanca Ireng.
"Hm, ya. Mari, kita pergi sekarang juga!" ajak Ki Sanca Ireng
seraya melompat dan .berlari cepat meninggalkan tempat itu
diikuti Nyai Roro Sekar Mayang.
Keduanya melesat berdampingan. Melihat cara mereka
berlari, nyata sekali bahwa keduanya memiliki ilmu lari cepat
yang bukan main hebatnya. Laksana sapuan angin kencang,
membuat ranting serta dedaunan yang mereka lalui bergoyang-
goyang keras. Bahkan hewan-hewan hutan berlarian ketakutan
karena tersentak kaget
Dalam waktu singkat mereka tiba di mulut sebuah
perkampungan yang cukup ramai. Keduanya berjalan dengan
tenang seraya memandang ke sekeliling tempat yang dilalui.
"Hm, cukup ramai juga desa ini. Kita bisa mendapat korban
yang cukup banyak...," gumam Ki Sanca Ireng dengan wajah
berseri.
"Hei?! Nyai Roro Sekar Mayang membentak nyaring ketika
berpapasan dengan dua orang pemuda.
Kedua pemuda itu kaget dan segera menoleh. Namun saat
itu juga tubuh Nyai Roro Sekar Mayang telah mencelat dan
menotok keduanya. Cepat sekali dia menjinjing kedua pemuda
yang lemas tidak berdaya karena aliran darahnya terbelenggu.
"Hi hi hi...! Aku telah mendapat bagianku. Cepatlah kau
mencari bagianmu, Kakang!" kata wanita itu seraya tertawa
kegirangan.
"Hm... ini dia!" seru Ki Sanca Ireng ketika kebingungan
mencari orang. Saat itu tampak dua ekor kuda berlari kencang
membawa sepasang muda-mudi. Dengan cepat tubuh Ki Sanca
Ireng melompat tinggi ketika kedua kuda melewatinya. Dan
bagai seekor rajawali menerkam mangsa, dia menukik tajam
menyambar kedua penunggang kuda.
"Kakang Braja, awaaas...!"
"Hup! Yeaaa...!"
Kedua muda-mudi itu dengan tangkas melompat dari
punggung kuda dan jatuh bergulingan. Namun dengan cepat
mereka langsung bangkit berdiri. Secepat itu pula keduanya
mencabut senjata masing-masing berupa pedang dengan
gagang terbuat dari perak dan berukir naga mengamuk.
Demikian pula dengan ukiran yang ada pada wararrgkanya.
Sorot mata keduanya memandang tajam ke arah Ki Sanca
Ireng yang tersenyum sinis.
"Kisanak, siapa kau?! Tidak ada angin tidak ada hujan, kau
menyerang kami dengan ganas?!" bentak pemuda yang
dipanggil Kakang Braja.
"Hm, melihat dari pedang itu pastilah kalian dari Perguruan
Pedang Naga Perak. Kabarnya murid-murid di perguruan itu
memiliki kepandaian tinggi. Tidak mengherankan, sebab ketua
kalian Ki Anggora amat terkenal dan dikagumi banyak orang.
Hm, tapi aku ingin membuktikan sampai di mana kebenaran
kabar itu...," sahut Ki Sanca Ireng tersenyum dingin dan sangat
memandang enteng sekali terhadap kedua muda-mudi itu.
"Hei, orang tua jelek bermuka hitam! Kalau telah mengetahui
siapa kami, kenapa kau tidak cepat lari dari sini?! Enyahlah,
sebelum kami bertindak keras terhadapmu!" kali ini gadis jelita
berbaju hijau dan merah itu yang membentak.
Semula Nyai Roro Sekar Mayang agak kesal melihat sikap
suaminya. Namun mendengar tingkah gadis itu, hatinya marah
bukan main.
"Hei, Gadis Tolol! Kau kira gurumu itu tokoh hebat tiada
tara? Chuih! Dasar bocah ingusan. Lebih baik buka matamu
lebar-lebar dan korek kupingmu agar kau tidak salah
mendengar. Saat ini kalian tengah berhadapan dengan Iblis
Tengkorak Hitam Putih!" dengus Nyai Roro Sekar Mayang
sambil berkacak pinggang, setelah melemparkan kedua
pemuda yang dijinjingnya.
Mendengar wanita itu menyebutkan jati dirinya, wajah kedua
muda-mudi tampak pucat. Mereka memandang Iblis Tengkorak
Hitam Putih dengan perasaan takut Tanpa sadar keduanya
saling merapat untuk menjaga dan sekaligus berwaspada. Siapa
yang tidak mengenal nama itu? Di seantero rimba persilatan
nama itu kini menjadi momok yang amat menakutkan.
Namun begitu si Pemuda berusaha menahan rasa takutnya
dengan menarik napas dalam-dalam. Matanya menatap wanita
berkulit pucat dan berwajah dingin itu.
"Hm, jadi kalian yang berjuluk Iblis Tengkorak Hitam Putih!
Sungguh beruntung hari ini kalian bisa bertemu dengan
kami...!"
"Bocah ingusan, apa maksudmu?!" kali ini Ki Sanca Ireng
yang membentak.
Pemuda tampan bernama Braja itu tersentak kaget. Nyaris
jantungnya berhenti berdetak dan gendang telinganya pecah
mendengar bentakan keras menggelegar itu. Dia kembali
menarik napas panjang, dan menenangkan hati.
"Huh, kalian memang hebat dan memiliki kepandaian amat
tinggi. Tapi jangan kira bisa berbuat seenaknya. Para tokoh
persilatan golongan putih kini tengah berkumpul dan siap
menghancurkan kalian berdua. Datanglah ke pinggiran Hutan
Alas Layang, mereka tengah menunggu kalian berdua di sana.
Sebagai seorang yang amat disegani dan ditakuti, tentu kalian
tidak akan lari dari tantangan itu. Kecuali kalau kalian berdua
memang pengecut!"
"Keparat! Kau kira kami takut, heh?! Kapan mereka
menantang kami?!" desis Ki Sanca Ireng garang.
"Hari ini juga, tepatnya sebelum matahari tenggelam!" sahut
Braja, mantap.
***
TIGA
Kedua muda-mudi itu menarik napas lega ketika melihat Iblis
Tengkorak Hitam Putih meninggalkan mereka begitu saja.
Bahkan Nyai Roro Sekar Mayang sama sekali tidak
mempedulikan kedua pemuda yang akan mereka jadikan
korban.
"Kakang, akal apa lagi yang kau gunakan? Kita tak akan bisa
selamat kalau ternyata mereka tak menemukan siapa pun di
tempat itu," kata gadis itu dengan nada khawatir.
"Tidak usah takut Bukankah tokoh-tokoh persilatan aliran
lurus saat ini tengah berkumpul untuk menantangnya?"
"Tapi Kakang mendahului mereka?!" "Hm, itu bukan
masalah. Yang penting kita harus buru-buru menuju tempat
kediaman Ki Sapu Jagad untuk melaporkan hal ini."
"Sebentar lagi sore, kedua Iblis Tengkorak Hitam Putih akan
tiba di sana. Kita harus bergegas, Kakang!" ujar gadis itu
seraya mencari-cari kuda tunggangannya yang tadi sempat
kabur.
Masih untung kedua hewan itu tidak berada jauh dari
mereka, sehingga dengan mudah dapat ditemui dan langsung
memacu kencang meninggalkan tempat itu.
Tempat kediaman Ki Sapu Jagad memang tidak begitu jauh
dari desa yang tadi mereka lalui. Dan kebetulan pula saat ini
mereka sesungguhnya tengah melakukan perjalanan menuju ke
tempatnya. Tidak lebih dari sepeminum teh kudanya sampai ke
tempat tujuan.
Sebuah rumah yang besar berpagar kayu jati yang berjajar
rapi. Di halaman depan banyak kuda tertambat. Pintu
gerbangnya tertutup dan di dalam dijaga dua orang laki-laki
bersenjata lengkap.
Kedua muda-mudi itu langsung turun dari punggung
kudanya.
"Selamat sore! Kami murid Ki Anggora, ingin menemui
beliau!" kata pemuda itu.
Pintu gerbang segera terbuka. Kedua penjaga gerbang
mempersilakan keduanya masuk.
Apa yang diduga mereka memang-fidak salah. Di ruang
tengah bangunan utama tampak tokoh-tokoh persilatan tengah
berkumpul. Tidak kurang dari dua puluh orang hadir dalam
pertemuan itu.
Seorang laki-laki tua berusia sekitar lima puluh tahun
menyambut mereka. Orang tua bertubuh gagah dan berambut
yang sebagian telah memutih itu berbicara sejenak kepada
muda-mudi yang baru datang. Setelah itu tampak dia
memandang kepada para tokoh persilatan yang berada di
ruangan itu. "Saudara-saudara semua, aku baru saja menerima
berita menggembirakan dari dua orang muridku. Mereka baru
saja bertemu dengan Iblis Tengkorak Hitam Putih...!"
"Hm, lalu bagaimana...?" tanya seorang lelaki tua berambut
putih panjang dan digelung ke atas sebagian.
"Kedua muridku telah menjebaknya dengan mengatakan
bahwa kita menunggu Iblis Tengkorak Hitam Putih di pinggiran
Hutan Alas Layang, Ki Sapu Jagad."
"Hm, Hutan Alas Layang tidak begitu jauh dari sini...,"
gumam Ki Sapu Jagad.
"Kita harus berangkat sekarang, Ki. Sebab kedua muridku
mengatakan bahwa perjanjian itu sebentar lagi saat matahari
akan tenggelam," sahut orang tua yang tidak lain Ki Anggora.
"Baiklah. Kalau demikian sekarang juga kita berangkat ke
sana!" seru Ki Saput Jagad yang langsung disusul pembubaran
pertemuan itu. Diajaknya para pendekar untuk bergegas
menuju Hutan Alas Layang.
Apa yang dikatakan kedua murid Ki Anggora ternyata benar.
Ketika rombongan Ki Sapu Jagad sampai tujuan, terlihat Iblis
Tengkorak Hitam Putih tengah berdiri menanti mereka. Banyak
di antara para tokoh persilatan yang baru kali ini melihat kedua
tokoh itu. Paling tidak sebagian dari mereka tampak kecut
melihat keangkeran keduanya. Hal itu tidak mengherankan
sebab sorot mata Iblis Tengkorak Hitam Putih sangat tajam,
seolah-olah mengandung daya sihir yang mampu merontokkan
tulang-belulang mereka.
Di samping itu keadaan keduanya memiliki perbedaan
menyolok. Ki Sanca Ireng berkulit hitam pekat dan bertubuh
tinggi besar. Sementara istrinya bertubuh kurus dan berkulit
pucat bagai mayat. Matanya yang cekung seolah menyimpan
kekuatan aneh. Rambutnya yang panjang dibiarkan terurai
begitu saja.
"Hm, hanya inikah orang-orang yang bermaksud menantang
Iblis Tengkorak Hitam Putih...?" dengus Ki Sanca Ireng dengan
nada sinis.
Ki Sapu Jagad maju beberapa langkah mendekati Iblis
Tengkorak Hitam Putih diikuti beberapa tokoh persilatan
lainnya. Mereka berhenti saat jarak telah terpaut lima belas
langkah.
"Iblis Tengkorak Hitam Putih, hari ini akan berakhir segala
macam sepak terjangmu. Namun belum terlambat kalau kalian
ingin menyerah dan menerima hukuman tanpa mengadakan
perlawanan!" teriak Ki Sapu Jagad dengan suara lantang.
"Ha ha ha...! Orang Tua Busuk, seenaknya saja kau berkata
begitu pada kami?! Huh, sungguh menganggap rendah!"
dengus Ki Sanca Ireng.
"Kakang, aku muak sekali melihat tingkah mereka. Tanganku
pun sudah gatal ingin menghajar mulut-mulut sok jago itu!"
desis Nyai Roro Sekar Mayang.
"Hm, kalau kalian memang tidak bisa diajak bicara baik-baik,
jangan salahkan kalau kami bertindak kasar!" seru Ki Sapu
Jagad seraya memberi isyarat pada rombongan pendekar agar
mengepung Iblis Tengkorak Hitam Putih.
"Bagus! Lebih cepat dan dekat kalian ke sini, maka akan
lebih mudah bagi kami untuk mengirim kalian ke akherat!" kata
Ki Sanca Ireng sambil tertawa kecil.-
Baik Ki Sanca Ireng maupun istrinya, sama sekali tak
memperlihatkan bahwa mereka takut, padahal jumlah lawan
lebih dari lima belas orang. Bahkan sebaliknya terlihat jelas
kalau Iblis Tengkorak Hitam Putih menganggap remeh.
"Yeaaa...!"
Keduanya membentak keras dan melompat menerkam
lawan-lawannya yang mulai mendekat.
Ki Sapu Jagad dan para pendekar yang bersamanya
tersentak kaget Gerakan yang dilakukan suami istri itu cepat
bukan main. Ki Sanca Ireng menerjang Ki Sapu Jagad,
sementara Nyai Roro Sekar Mayang menghadapi Ki Anggora.
Namun melihat perlawanan Iblis Tengkorak Hitam Putih, para
pendekar yang lain segera ikut melancarkan
serangan terhadap suami istri itu. "Yeaaa...!" "Hiyaaa...!"
Sring! Sring!
Suara teriakan yang diiringi berkelebatnya berbagai macam
senjata menyambar Iblis Tengkorak Hitam Putih. Namun
dengan gesit keduanya berkelebat ke sana kemari sambil
tertawa mengejek.
"Ha ha ha...! Apakah hanya segini jumlah kalian? Sepuluh
kali lipat lagi belum tentu mampu menjatuhkan Iblis Tengkorak
Hitam Putih!" ejek Ki Sanca Ireng.
"Iblis terkutuk! Ajalmu telah dekat, kau masih sempat
menganggap rendah kami. Huh, lebih cepat kau mampus, akan
lebih baik!" geram salah seorang sambil melepaskan pisau-
pisau kecil ke arah Ki Sanca Ireng.
Srats! Srats!
Wuuut!
Dengan gesit lelaki tegap berkulit hitam itu mengelak dan
terus menerjang ke arah lawan. Namun salah seorang dari para
pendekar menghadang dengan sebatang toya yang terbuat dari
baja hitam dan menghantam perutnya dengan sekuat tenaga.
Bet!
Plak!
"Aaa...!"
Ki Sanca Ireng berkelit ke samping. Tubuhnya berputar
dengan cepat sambil tangan kanannya menghantam ke dada
lawan. Orang itu memekik kesakitan. Tubuhnya terjungkal
beberapa langkah sambil muntah darah kental kehitaman.
"Hei?!"
Ki Saput Jagad serta para pendekar lainnya tersentak kaget
Mereka melihat kawannya menggelepar-gelepar sambil
melolong panjang ketika tubuhnya perlahan-lahan meleleh.
Kemudian ketika teriakannya habis, kulit tubuhnya terus
terkelupas dan seperti menguap ke udara meninggalkan tulang-
belulangnya yang kehitaman.'
"Aaa...!"
Dalam keadaan demikian mereka" lengah, sehingga kembali
terdengar pekikan panjang. Tiga orang terjungkal bermandikan
darah dan menggelepar-gelepar seperti orang pertama tadi.
Yang seorang tulang-belulangnya menghitam, dan dua lainnya
putih seperti kapur tak bernoda.
"Keparat! Kalian orang-orang biadab...!" desis Ki Sapu Jagad
semakin geram.
"Hm, kenapa musti marah-marah? Bukankah kalian yang
mengundang kami ke sini? Terimalah akibatnya dan tidak perlu
mencak-mencak!" sahut Ki Sanca Ireng mengejek.
"Hiyaaa...!"
Ki Anggora lebih dulu mencelat menyambar Ki Sanca Ireng
dengan pedang peraknya. Ilmu pedang yang digunakannya
sungguh dahsyat dan mengandung tenaga dalam yang hebat
bukan main. Angin serangannya mampu membuat baju lawan
berkibar-kibar. Selain itu jurus-jurus yang digunakannya sangat
berbahaya.
Namun sejauh itu Ki Sanca Ireng masih dengan mudah
mengelak dari setiap sambaran pedang lawan. Bahkan ketika Ki
Sapu Jagad serta empat orang lainnya ikut mengeroyok.
Wuuut!
"Hiiih!"
"Uts...
Ujung pedang Ki Anggora menyambar ke arah leher, dan
pada saat yang bersamaan Ki Sapu Jagad melepaskan pukulan
jarak jauh yang berisi tenaga dalam kuat.
Tubuh Ki Sanca Ireng melejit ke atas, kemudian menukik
tajam menghindari selarik sinar kuning yang melesat memburu
dirinya. Dan tiba-tiba saja ujung kakinya menghantam Ki
Anggora. Orang tua itu terkejut dan melompat ke belakang.
Kaki Ki Sanca Ireng berputar dan bersamaan dengan tubuhnya
terangkat tinggi, kembali menyambar batok kepala Ki Sapu
Jagad. Kepalanya ditundukkan menghindari dua tebasan
senjata golok dua orang lawan lain. Ki Sapu Jagad berkelit ke
samping.
"Hiyaaa...!"
Bres!
"Aaa...!"
Pada saat itu juga telapak tangan kirinya melesat
menghantam dua orang lawan yang hendak menerkamnya
dengan senjata terhunus. Seketika terdengar jeritan dua orang
kawan Ki Sapu Jagad. Tubuh mereka terjungkal beberapa
langkah ke belakang sambil menyemburkan darah kental.
Seperti yang terjadi pada kawan-kawannya, kulit daging
mereka meleleh hingga hanya tinggal tulang-belulangnya yang
berwarna kehitaman seperti habis terbakar.
"flmu iblis! Kau telah banyak membunuh kawan-kawanku,
Keparat! Untuk itu kau patut mati!" desis Ki Sapu Jagad dengan
wajah merah padam menahan geram.
Belum lagi orang tua itu menyerang Ki Sanca Ireng, kembali
terdengar jeritan tertahan. Serentak mereka menoleh ke arah
dua orang lagi di pihak mereka, tewas disambar pukulan maut
yang dilepaskan Nyai Roro Sekar Mayang.
"Hi hi hi...! Dasar tikus-tikus busuk tidak berguna! Kalian kira
bisa berbuat apa terhadap kami...?!" ejek Nyai Roro Sekar
Mayang mengeluarkan suara tawa nyaring.
"Hei, Tua Bangka Busuk... lebih baik kau perintahkan mereka
menyerah dan ikut menjadi tawanan kami. Siapa tahu dengan
begitu kami bisa mengampuni jiwa kalian!" teriak Ki Sanca
Ireng sambil terkekeh kecil.
"Bedebah! Aku akan mengadu jiwa dengan kalian berdua!"
desis Ki Sapu Jagad.
Ki Anggora dan sisa para pendekar yang masih hidup
kembali mengurung keduanya. Kali ini tampaknya mereka tidak
mau gegabah, dan menunggu kesempatan yang baik untuk
melancarkan serangan.
"Guru, aku akan ikut membereskan iblis terkutuk ini!" teriak
Braja dari kejauhan dan sudah langsung melompat ikut dalam
barisan yang sedang mengepung kedua Iblis Tengkorak Hitam
Putih.
"Aku juga tidak bisa berpangku tangan! Aku akan ikut
dengan kalian!" teriak seorang gadis yang tadi bersama-sama
dengan pemuda itu.
"Braja, dan kau Ayu Sulastri! Apa-apaan kalian?! Ayo,
kembali! Bukankah sudah kukatakan jangan ikut ke sini?! Amat
berbahaya bagi kalian berada di sini!" teriak Ki Anggora.
"Tidak! Aku tidak bisa berpangku tangan melihat kalian
berjuang mati-matian menumpas kedua iblis ini!" sentak Braja
berkeras.
"Begitu juga aku! Tidak akan kubiarkan Guru menghadapi
Iblis Tengkorak Hitam Putih tanpa aku ikut membantu! Meski
kepandaianku tidak seberapa, tapi aku tidak takut
melawannya!" tambah gadis bernama Ayu Sulastri tidak kalah
garangnya. /'Dasar anak-anak tolol! Kalian hanya akan
mengantar nyawa secara percuma!" dengus Ki Anggora kesal.
***
"Hi hi hi...! Bocah-bocah manis, rupanya kalian tertarik
dengan kami. Barangkali sudah ditakdirkan kalau kita berjodoh.
Kalian akan menjadi korban kami yang amat berharga...!" kata
Nyai Roro Sekar Mayang sambil tertawa mengikik.
"Iblis Betina, tertawalah sepuas hati sebelum menemui
ajalmu!" dengus Ayu Sulastri garang.
"Hi hi hi...! Gadis manis, sayang sekali! Padahal aku suka
padamu. Tapi mulutmu terlalu gegabah dan memandang
rendah padaku. Oleh sebab itu kau akan mendapat giliran
pertama untuk menjadi korbanku!" sahut Nyai Roro Sekar
Mayang.
Tubuhnya melesat ke arah Ayu Sulastri. Gadis itu terkejut
dan cepat menjatuhkan diri. Pada saat yang bersamaan pula
tubuh Ki Anggora mencelat untuk melindungi muridnya.
Bet! Bet!
Ujung pedangnya menyambar-nyambar tubuh Nyai Roro
Sekar Mayang. Namun dengan gesit tubuh wanita berambut
panjang itu meliuk-liuk berputar, dan terus mencelat ke atas.
Sengaja dia tidak balas menyerang orang tua itu. Karena
perhatiannya ditujukan pada Ayu Sulastri.
Melihat itu beberapa orang pendekar segera mengepung
Nyai Roro Sekar Mayang. Ki Sanca Ireng bergerak hendak
menolong sang Istri, namun Ki Sapu Jagad dan sisa para
pendekar telah pe-ngepungnya. Laki-laki berkulit hitam itu
mendengus garang. Sepasang matanya menatap tajam
mereka. Tubuhnya berkelebat cepat, lalu telapak tangan
kanannya menghantam ke depan. Selarik cahaya kehitaman
melesat cepat menghantam dua orang yang terdekat padanya.
"Hiyaaa...!"
Pras!
"Aaakh...!"
Salah seorang dari mereka memekik kesakitan. Tubuhnya
terjungkal dengan kulit daging meleleh. Seperti yang terjadi
sebelumnya, tulang-belulang orang itu menghitam bagai arang.
Sementara yang seorang lagi beruntung karena masih sempat
mengelak hingga luput dari serangan lawan.
Sesaat kemudian, salah seorang kembali tewas, di tangan
Nyai Roro Sekar Mayang. Tentu saja hal itu membuat mereka
semakin geram, namun tidak mampu berbuat apa-apa. Apalagi
kini kedua Iblis Tengkorak Hitam Putih terus mempergencar
serangan. Kelihatannya mereka tidak ingin lagi bermain-main
dan terus mendesak lawan-lawannya.
"Yeaaa...!"
"Uts!"
"Uhhh...!"
Nyaris Ayu Lestari terkena pukulan Nyai Roro Sekar Mayang
yang kalau saja Ki Anggora tidak menghalangi sambil
menghantam dengan satu pukulan jarak jauh. Wanita itu
berkelit cepat Tubuhnya berjumpalitan di udara, kemudian
kembali menerkam tubuh Ayu Sulastri dengan satu bentakan
nyaring. Gadis itu terkejut dan cepat bergulingan untuk
menghindarkan diri.
"Heaaa...!"
"Yeaaat...!"
Dua orang pendekar bergerak menerjang Nyai Roro Sekar
Mayang. Namun.... "Hih..'.!" Prasss...!
Nyai Roro Sekar Mayang mendengus geram dan
mengibaskan tangan. Selarik cahaya keputih-putihan menerpa
kedua lawannya. Kedua orang itu memekik kesakitan ketika
tubuh mereka terjungkal beberapa langkah. Kulit dagingnya
meleleh dengan cepat.
Ki Anggora dan yang lainnya semakin geram menyaksikan
kejadian itu. Kemudian lelaki itu segera mengerahkan pukulan
mautnya.
"Iblis betina, mampuslah kau! Yeaaa...!"
Wuuuk!
"Aits...!"
Cepat sekali Nyai Roro Sekar Mayang menjatuhkan diri dan
bergulingan di tanah, lalu melejit ke atas. Telapak tangan
kirinya menghantam ke arah Ki Anggora. Meski terkejut, orang
tua itu sempat melompat ke samping. Namun tidak urung angin
serangan lawan sempat menyerempet bahunya, memaksa Ki
Anggora melompat ke belakang. Melihat keadaan lawan, Nyai
Roro Sekar Mayang mencelat ke arahnya dengan tendangan
keras dan cepat. Buk!
"Aaakh...!"
Ki Anggora memekik keras ketika tendangan lawan mendarat
telak di atas perutnya. Tubuhnya terjengkang dengan mulut
menyemburkan darah segar. Nyai Roro Sekar Mayang yang
tidak langsung melanjutkan serangan, melainkan mengalihkan
perhatian ke arah Ayu Sulastri dan terus menyerangnya.
Gadis itu terkesiap. Kali ini tak ada harapan lagi baginya
untuk menyelamatkan diri'. Dia harus berjuang mati-matian
untuk menghindari serangan lawan.
"Yeaaa...!"
"Uhhh...!"
Gadis itu bergulingan ketika kepalan tangan Nyai Roro Sekar
Mayang menghantam ke arah batok kepalanya. Ayu Sulastri
bergulingan menghindari seraya mengayunkan pedangnya.
Plak!
Trap!
"Aouw...!"
Dengan cepat Nyai Roro Sekar Mayang berkelit dan tahu-
tahu pergelangan tangan gadis yarig menggenggam senjata
kena dicekalnya. Cepat sekali pedang itu berpindah tangan, dan
tahu-tahu tubuh Ayu Sulastri terangkat ke atas dalam keadaan
tertotok Rambutnya yang panjang dijambak Gadis itu menjerit
kesakitan bercampur rasa takut.
"Hi hi hi...! Apa kataku? Kau tak akan bisa lari dariku, Bocah
Cerewet!"
Ki Anggora terkejut. Demikian pula dengan Braja dan yang
lainnya. Ternyata wanita itu membuat Ayu Sulastri sebagai
sanderanya untuk menggertak mereka.
"Iblis betina, lepaskan muridku! Dia bukan tandinganmu.
Hadapilah aku kalau benar-benar kau bukan pengecut!" teriak
Ki Anggora geram.
"Hi hi hi...! Orang tua busuk, kenapa kau mencak-mencak
sendiri? Apa dikira kau adalah tanding-anku? Chuih! Kalian
semua sebangsa cacing busuk yang hanya punya kepandaian
seujung kuku!"
"Iblis Tengkorak Hitam Putih, lepaskan gadis itu dan
hadapilah aku!"
"Hei?!"
***
EMPAT
Nyai Roro Sekar Mayang serta yang lainnya tersentak kaget
ketika mendengar bentakan keras di seputar tempat itu.
Mereka segera berpaling dan melihat seorang pemuda tampan
mengenakan baju yang terbuat dari kulit harimau. Pemuda
berambut panjang itu berdiri tegak sekitar lima belas langkah
dari tempat pertarungan. Sorot matanya tajam bagai elang,
dan di pundaknya bertengger seekor monyet kecil berbulu
hitam. Perlahan-lahan pemuda itu mendekati mereka.
"Bocah ingusan, siapa kau?! Lancang sekali kau berani
mencampuri urusan Iblis Tengkorak Hitam Putih?!" bentak Ki
Sanca Ireng garang.
Belum lagi pemuda itu menjawab, salah seorang dari para
pendekar yang masih tersisa berseru girang.
"Bayu..., ah, akhirnya kau datang juga ke sini!" "Ki Pending,
apakah kau mengenal pemuda itu?" tanya Ki Sapu Jagad heran.
"Apakah Ki Sapu Jagad tak mengenalnya...?"
Ki Sapu Jagad menggeleng lemah.
"Dialah yang berjuluk Pendekar Pulau Neraka itu...."
"Oh, jadi diakah orangnya?!" sahut Ki Sapu Jagad dengan
mata terbelalak seakan tak percaya.
Nama Pendekar Pulau Neraka belakangan ini memang
menggemparkan dunia persilatan karena sepak terjangnya.
Namun sama sekali tidak disangkanya bahwa Pendekar Pulau
Neraka masih berusia demikian muda. Dalam sangkaannya,
tokoh yang banyak melenyapkan tokoh-tokoh persilatan
golongan hitam berilmu tinggi, pastilah sudah berusia lanjut
Dan percakapan kedua orang tua itu agaknya sempat pula
didengar Iblis Tengkorak Hitam Putih. Nyai Roro Sekar Mayang
menurunkan Ayu Sulastri perlahan-lahan seraya melangkah
mendekati.
Pendekar muda itu tersenyum ramah sesaat pada Ki Pending
Layung, juga pada yang lainnya. Lalu berhadapan dengan
kedua Iblis Tengkorak Hitam Putih.
"Hm, jadi inikah orangnya yang punya nama Pendekar Pulau
Neraka? Hm, sudah lama sekali aku ingin berkenalan dan
mencicipi sejurus dua jurus kepandaiannya yang kesohor
setinggi langit!" kata Ki Sanca Ireng dengan nada sinis.
"Kisanak, kelakuan kalian sudah kelewat batas. Meskipun
kepandaianku tak seberapa, aku tidak akan mendiamkan saja,"
sahut Bayu tenang dengan sikap merendah tanpa
mempedulikan kata-kata Ki Sanca Ireng.
"Hua ha ha...! Pendekar Pulau Neraka, apakah dengan
mengandalkan nama besarmu kau hendak menakut-nakuti
kami? Seumur hidup Iblis Tengkorak Hitam Putih tak akan
pernah gentar berhadapan dengan bocah ingusan sepertimu!"
"Bagus! Kalau demikian kau boleh mati dengan
kesombonganmu itu!" dengus Bayu dingin.
"Bocah sombong, kuremukan batok kepalamu!" Ki Sanca
Ireng menggeram sambil melompat menerkam lawan.
Bersamaan dengan itu Nyai Roro Sekar Mayang ikut pula
menyerang Pendekar Pulau Neraka sambil membentak nyaring.
"Bocah ingusan, kau akan merasakan kematian yang amat
menyakitkan!"
"Wanita iblis, jangan
banyak bicara! Lebih
baik kau jaga kepalamu
dari seranganku!" ujar
Bayu seraya melompat
menghindar dari
terkaman kedua lawan.
"Haits!"
"Yeaaa...!"
Tubuhnya meliuk-liuk
dengan lincah.
Sementara kedua lawan
dengan kompak membuat serangan cepat, susul-menyusul
laksana ombak samudera.
Ki Sapu Jagad dan tokoh-tokoh yang lain menyingkir jauh
dari arena pertarungaa Akibat yang ditimbulkan pertarungan itu
sangat dahsyat. Debu beterbangan ke udara bersama angin
pukulan yang mereka lancarkan. Sesekali terlihat cahaya hitam
putih berselang-seling menyambar tubuh Pendekar Pulau
Neraka.
"Hi hi hi...! Bocah dungu, ayo perlihatkan kehebatanmu yang
sering dibicarakan orang. Sebentar lagi kematianmu tiba dan
tengkorak kepalamu akan menjadi mainan kami! Hi hi hi...!"
teriak Nyai Roro Sekar Mayang mengejek
"Iblis wanita, kau kira bisa seenaknya berbuat begitu....
Sebaiknya kepalamu akan menjadi mainan anjing-anjing
kampung yang kudisan!" sahut Bayu balas mengejek.
"Bangsat! Yeaaa...!"
"Uts! Heaaa...!"
Dengan geram Nyai Roro Sekar Mayang menghantamkan
pukulan jarak jauhnya yang dahsyat. Seketika itu juga cahaya
putih menerpa Pendekar Pulau Neraka. Bayu berkelit ke
samping dan terus melompat ke atas sambil mengibaskan
tangan kanan ketika Ki Sanca Ireng melepaskan pukulan
mautnya pula.
"Yeaaa...!"
Siiing!
"Hei?!"
Kedua Iblis Tengkorak Hitam Putih kaget ketika melihat
selarik cahaya putih keperakan melesat bagaikan kilat ke arah
mereka. Keduanya melompat menghindar. Bersamaan dengan
itu Bayu mele-
sat menerjang ke arah Nyai Roro Sekar Mayang. Plak!
"Uhhh...!" "Yeaaa...!"
Nyai Roro Sekar Mayang terkesiap dan cepat menangkis.
Meski telah mengerahkan ilmu 'Tengkorak Putih' yang
dimilikinya, tapi tampak wajah wanita itu berkerut menahan
rasa sakit ketika menangkis sambaran tangan lawan. Pendekar
Pulau Neraka dengan cepat langsung menghantamkan ujung
kaki ke perutnya. Wanita itu menjerit kesakitan, tubuhnya
terjungkal beberapa langkah seraya memuntahkan darah segar.
Namun pada saat yang bersamaan tubuh Ki Sanca Ireng
melesat cepat seraya menghantamkan pukulan mautnya.
Pendekar Pulau Neraka terkejut Keadaannya betul-betul tidak
menguntungkan ketika hendak menangkap Cakra Maut
Bresss!
"Uhhh...!"
Siiing!
"Akh...!"
***
Pendekar Pulau Neraka memekik tertahan. Pangkal lengan
kirinya terkena pukulan lawan. Tubuhnya berjumpalitan sambil
mengerahkan tenaga dalam untuk melawan hawa panas yang
seperti menusuk-nusuk kulit dagingnya. Namun, bersamaan
dengan itu pula Cakra Maut-nya berhasil menyambar pangkal
leher Ki Sanca Ireng. Lelaki berkulit hitam itu menjerit
kesakitan. Kepalanya menggelinding ke tanah dan tubuhnya
berdiri sesaat dengan langkah limbung. Kemudian ambruk tidak
berdaya.
"Nak Bayu, apakah kau baik-baik saja...?!" tanya Ki Pending
Layung seraya melompat menghampiri pemuda itu dengan
wajah cemas.
Bayu mengerutkan wajah menahan rasa sakit sambil duduk
bersila dan tidak mempedulikan orang-orang yang
mengelilinginya. Ki Pending Layung menyadari apa yang
dilakukan pemuda itu. Dia langsung membantu menyalurkan
hawa murninya dengan menempelkan telapak tangan ke
punggung Pendekar Pulau Neraka.
Sementara orang tua itu membantunya, para pendekar lain
dipimpin Ki Sapu Jagad mengejar Nyai Roro Sekar Mayang yang
melarikan diri begitu melihat suaminya tewas.
Keadaan Pendekar Pulau Neraka ternyata cukup parah.
Namun begitu, masih dapat diatasi. Pangkal lengan kirinya yang
menghitam dihantam pukulan Ki Sanca Ireng, perlahan-lahan
mulai menampakkan kemerahan dan terus semakin mengecil
Butir-butir keringat sebesar jagung membasahi sekujur tubuh
pemuda itu. Demikian pula halnya dengan Ki Pending Layung
Setelah sepenanak nasi lamanya keadaan pemuda itu mulai
sedikit pulih. Darah kental kehitaman termuntah dari mulutnya.
Wajahnya tampak pucat dan napasnya turun naik tak
beraturan. Namun demikian terlihat jalan darahnya mulai
teratur kembali.
Ki Pending Layung menghentikan penyaluran tenaga
dalamnya dan menarik napas panjang. Nyata s kali terlihat
wajah orang tua itu amat letih. Dia duduk bersila dan bersandar
di bawah sebatang pohon yang cukup besar sambil mengatur
berna-pasannya. Sementara Bayu sendiri masih tetap duduk
bersila di tempatnya semula.
Tidak berapa lama terlihat rombongan yang dipimpin Ki Sapu
Jagad telah kembali. Dari wajah mert.Ka yang kesal bercampur
geram, jelas menyiratkan bahwa mereka gagal mengejar
wanita itu.
Ki Sapu Jagad melangkah menghampiri Pendekar Pulau
Neraka, diikuti beberapa pengikutnya.
"Bagaimana keadaanmu...?" tanya Ki Sapu Jagad tetap
memandangi Bayu.
"Jangan khawatir! Aku sudah merasa lebih baik berkat
pertolongan Ki Pending Layung...."
"Maafkan, kami tak segera membantumu. Aku sendiri tak
mampu menahan amarah dan dendam setelah mereka
menewaskan beberapa orang dari para pendekar. Melihatnya
kabur, aku langsung memburu. Maksudku tidak ingin memberi
kesempatan padanya untuk hidup lagi...."
"Hm, apakah kalian berhasil menangkapnya...?" tanya Bayu
berbasa-basi.
"Sayang, kami kehilangan jejak. Ilmu lari cepatnya memang
sangat mengagumkan...."
"Kurasa dia telah terluka parah dan rak bisa pergi jauh.
Wanita itu pasti telah mengecoh kalian dan bersembunyi di
suatu tempat," kata Bayu.
"He, bisa jadi begitu! Kenapa tidak terpikirkan oleh kita!"
teriak salah seorang dari mereka dengan wajah bersemangat.
Orang itu langsung mengajak Ki Sapu Jagad dan yang
lainnya untuk kembali mengadakan pencarian. Bayu tersenyum
menggeleng ketika dia diminta untuk ikut serta.
"Terima kasih, aku di sini saja menunggu kalian...."
"Apakah kau tak ingin membalas apa yang dilakukan
suaminya padamu?!" tanya orang itu sedikit heran.
"Bukan begitu, Ki. Wanita itu kini telah pergi jauh setelah
kalian kembali ke sini. Mana mungkin dia melakukan kesalahan
untuk kedua kalinya. Dia tentu akan melarikan diri sejauh-
jauhnya begitu lepas dari jangkauan kalian. Dan bila kita
mengejarnya sekarang ke tempat itu, akan sia-sia saja. Namun
bila kalian ingin tetap mengejarnya juga, silakan saja...!" sahut
Bayu tenang.
Orang itu tampaknya kurang menerima apa yang dikatakan
Bayu. Namun Ki Sapu Jagad mengangguk dan membenarkan
setelah berpikir sesaat lamanya.
"Benar. Apa yang dikatakan Pendekar Pulau Neraka memang
benar. Wanita itu kini pasti telah kabur, dan akan sia-sia saja
pencarian kita...."
"Lalu apa yang akan kita lakukan sekarang, Ki Sapu
Jagad...?" tanya orang yang mengajak tadi dengan sikap tidak
sabaran.
Ki Sapu Jagad memandangnya sejurus, kemudian menepuk
pundaknya sambil memperlihatkan senyum kecil.
"Ki Lodaya, aku menyadari dendam di hatimu atas kematian
saudaramu Ki Santung di tangan wanita itu. Namun harap kau
sadari, bahwa kita telah berbuat sekuat kemampuan kita. Dan
mengenai langkah selanjutnya, yang harus kita lakukan adalah
mencari wanita itu sampai ketemu, lalu membuat perhitungan
dengannya. Tapi bukan sekarang. Hari telah gelap. Akan kita
bicarakan dan cari jalan keluar yang sebaik-baiknya guna
mengejar wanita itu...," katanya ramah.
Laki-laki yang dipanggil Lodaya itu mengangguk. Meski
kelihatannya dia bisa menerima apa yang dikatakan Ki Sapu
Jagad, namun jelas wajahnya masih menyiratkan perasaan tak
puas. Dendam yang berkecamuk dalam dada membuatnya
serasa ingin mencincang wanita itu saat ini juga.
"Bayu, kami mengucapkan terima kasih yang sedalam-
dalamnya atas pertolongan yang kau berikan. Entah bagaimana
keadaan kami jika kau tidak muncul tadi...," kata Ki Sapu Jagad
seraya memandang Pendekar Pulau Neraka.
"Ki Sapu Jagad, kenapa berkata demikian? Hal ini sudah
menjadi kewajiban kita bersama. Kisanak tak perlu berterima
kasih, sebab orang-orang seperti mereka sudah sepatutnya
memperoleh ganjaran setimpal atas perbuatan yang mereka
lakukan...."
"Aku pun mengucapkan terima kasih yang tiada terhingga
padamu. Kalau saja sedikit lambat kau bertindak, niscaya jiwa
muridku mungkin tidak akan tertolong," sela Ki Anggora seraya
mengapit kedua muridnya. "Ayo, Ayu! Ucapkan terima kasih
dan berilah salam hormat pada dewa penoiongmu!"
Gadis berwajah manis itu tertundukjrialu ketika memberi
salam hormat kepada si Pendekar Pulau Neraka.
"Aku mengucapkan terima kasih atas pertolonganmu...,"
katanya lirih.
"Ni Ayu, tidak perlu berkata begitu. Aku hanya kebetulan
saja tiba pada saat yang tepat. Jika sekiranya tidak, mungkin
yang lain akan menolongmu...," sahut Bayu dengan perasaan
jengah.
***
Pendekar Pulau Neraka memang kurang menyukai segala
peradatan seperti itu karena hanya akan membuat dirinya rikuh
dan serba salah. Untuk mengalihkan perhatian dia segera
melangkah mendekati Ki Pending Layung.
"Ki Pending Layung, terima kasih atas pertolonganmu. Kalau
tidak kau tolong aku pasti terluka parah...!"
Ki Pending Layung tertawa seraya menepuk pundak Bayu.
"Bayu, kau terlalu merendahkan diri. Mana mungkin orang
sepertiku bisa berbuat begitu padamu? Tanpa kubantu pun kau
akan mampu mengatasi dirimu!"
"Hm, memang sangat pantas. Pendekar besar sepertimu
biasanya selalu merendahkan diri...," lanjut Ki Anggora.
"Kalau memang kau tidak ada urusan penting, sudikah kau
mampir di gubukku? Aku bermaksud menjamu barang
secangkir teh dan singkong rebus...?"
"Sebenarnya masih ada yang harus kukerjakan...," Bayu
bermaksud menolak secara halus undangan orang tua itu.
Namun Ki Anggora serta yang lainnya sudah lebih dulu
memotong pembicaraannya.
"Sudah barang tentu dia akan ikut dengan kita ke
pondokmu, Ki Sapu Jagad! Bukankah begitu, Nak Bayu...?"
Pendekar muda itu merasa rikuh sendiri. Apalagi ketika yang
lainnya terus mendesak. Sehingga mau tidak mau dia
mengangguk menyetujuinya. Selain itu hari telah sore dan
perutnya sudah minta diisi. Tubuhnya pun terasa letih sekali. Di
tempat Ki Sapu Jagad dirinya bisa sekalian beristirahat!
Ki Sapu Jagad gembira sekali begitu mengetahui pemuda itu
bersedia memenuhi undangannya. Pemuda itu disambut
bagaikan raja di padepokannya beserta dengan yang lainnya.
Pendekar Pulau Neraka merasakan hal itu sebagai suatu yang
berlebihan. Namun dia tidak kuasa untuk menghindar atau
mencegahnya.
Lagi pula ada hal yang semakin membuatnya merasa jengah.
Ki Sapu Jagad mempunyai seorang putri berwajah rupawan,
berusia sekitar tujuh belas tahun. Selama perjamuan
berlangsung gadis itu terus berada tak jauh darinya. Hatinya
menduga bahwa hal itu seperti disengaja ketika dia melihat Ki
Sapu Jagad memberi isyarat pada putrinya agar melayani Bayu
dengan sebaik-baiknya. Bahkan ketika orang tua itu
menawarkannya untuk menginap, gadis itu terlebih dahulu
membereskan ruangan tempat tidur, shingga bersih dan rapi.
"Silakan, Kakang Bayu! Maaf, hanya kamar seperti ini yang
bisa kami sediakan bagimu...!"
"Hm, ini sudah lebih dari cukup, Ni Dewi Anggi...," sambut
Bayu.
Gadis itu menundukkan wajah seakan-akan merasa malu.
Pendekar Pulau Neraka sendiri tidak tahu harus berbuat apa.
Untuk sesaat mereka terdiam sampai Dewi Anggi kembali
meneruskan kata-katanya.
"Eh, maaf, Kakang Bayu. Aku lupa menyampaikan pesan
Ayah...."
"Pesan apakah gerangan...?"
"Kau tentu membutuhkan istirahat yang agak lama untuk
mengembalikan tenaga yang banyak terkuras sehabis
pertarungan dengan kedua Iblis Tengkorak Hitam Putih itu.
Kalau kau suka, ayahku mengatakan boleh tinggal beberapa
hari di pondok kami ini...," kata gadis itu tanpa berani menatap
wajah si Pemuda. J
"Terima kasih, Ni Dewi. Ayahmu baik sekali. Tapi aku tidak
bisa berlama-lama. Keadaanku sudah pulih, dan kalau tidak ada
aral melintang, pagi-pagi sekali aku harus meninggalkan tempat
ini...."
"Eh, secepat itukah...?"
Tanpa sadar Dewi Anggi berkata demikian. Jelas tersirat dari
kata-katanya bahwa dia bermaksud menahan pemuda itu.
Ucapan itu tentu bukan berasal dari ayahnya, melainkan dari
dalam hati. Terbukti gadis itu menunduk malu seakan merasa
malu dan jengah. Kalau saja saat itu siang hari, tentu Bayu bisa
melihat wajahnya yang merona merah.
Pemuda itu tersenyum tipis seraya memangku Tiren yang
melompat ke dadanya. Monyet kecil itu menyeringai lebar ke
arah si Gadis.
"Masih banyak yang harus kukerjakan, Ni Dewi Anggi. Aku
senang sekali bisa mendapatkan keramah-tamahan di sini.
Terutama terhadap dirimu.... Kau baik sekali, seperti ayahmu.
Sulit membalas budi kalian...," sengaja Bayu berkata demikian
untuk menghibur hati Dewi Anggi.
"Hm... jadi... jadi besok pagi-pagi sekali Kakang Bayu akan
berangkat meninggalkan tempat ini? Kalau tidak keberatan,
bolehkah aku tahu tu-juanmu...?" tanya Dewi Anggi berusaha
meyakinkan pendengarannya. Atau juga sekadar mengalihkan
hatinya yang agak kecewa.
"Betul, Ni Dewi...," sahut Bayu dengan perasaan berat.
Gadis itu terdiam. Pendekar Pulau Neraka tak menjawab
pertanyaannya yang terakhir. Gadis itu pun agaknya enggan
untuk terus mendesak.
Putri Ki Sapu Jagad itu terdiam beberapa saat. Ketika Tiren
menjerit-jerit kecil, dia seperti tersentak kaget dan buru-buru
mengucapkan selamat malam, terus beranjak pergi dari kamar
Bayu.
Bayu menghela napas pendek dan menatap si Gadis sampai
hilang di balik kamarnya sendiri. Ruangan yang diperuntukkan
bagi para tamu, memang tidak begitu jauh dari kamar-kamar
penghuni pondok ini. Kamar Pendekar Pulau Neraka berada di
tengah. Sedang kamar Dewi Anggi berada di pojok,
bersebelahan dengan kamar Ki Sapu Jagad yang dikelilingi
pagar kayu jari setinggi satu tombak.
Bayu tersenyum kecil seraya menggeleng lemah. Sebelum
menutup pintu kamar, dia terkesiap. Sepasang mata
memperhatikannya dengan seksama sambil berdiri dan
bersandar pada pintu. Namun ketika dia melihatnya, sosok itu
buru-buru masuk ke kamar dan menutup pintu. Bayu tidak
sempat melihat wajah orang itu dalam keremangan malam
karena obor yang menyala pun agak jauh dari situ. Namun jelas
dia mengetahui siapa sebenarnya orang itu.
"Ni Ayu Sulastri, kenapa dia...?" gumam Bayu, bertanya-
tanya dalam hati.
Sesaat pemuda berpakaian dari kulit harimau itu berpikir.
Namun buru-buru menutup pintu dan merebahkan diri di
tempat tidur. Rasa letih dan penat membuatnya cepat terlelap,
melupakan segala yang dipikirkannya!
***
LIMA
Waktu berjalan dengan cepat dan tidak terasa setahun telah
berlalu sejak kejadian itu. Semenjak kematian Ki Sanca Ireng di
Hutan Alas Layang, tak terdengar lagi berita Iblis Tengkorak
Hitam Putih. Banyak orang merasakan dapat hidup tenteram.
Tidak terdengar lagi penculikan-penculikan yang terjadi seperti
ketika kedua iblis itu masih merajalela. Juga tentang kepala-
kepala tengkorak manusia yang berserakan dalam keadaan
berlubang.
Namun agaknya hal itu tidak bertahan lama, sebab
belakangan ini peristiwa yang lebih hebat kembali muncul.
Beberapa tokoh persilatan dinyatakan hilang dan tidak seorang
pun yang mengetahui ke mana mereka pergi. Semua raib bagai
ditelan bumi!
Hal itu pun sampai di telinga Ki Sapu Jagad beserta rekan-
rekannya. Mereka mengadakan pertemuan kembali. Seperti
dulu, mereka membahas tentang hilangnya banyak tokoh
persilatan secara gelap. Termasuk di dalamnya Ki Anggora dan
Ki Pending Layung!
"Siapa kira-kira yang melakukan perbuatan ini...?" tanya Ki
Anggora dengan wajah penasaran.
"Melakukan? Apakah tidak mungkin mereka mempunyai
tujuan lain? Maksudku mereka bukan diculik atau dibunuh
secara gelap, melainkan pergi dengan maksud dan tujuan
tertentu...," sahut salah seorang dari mereka mengemukakan
pendapatnya.
Ki Sapu Jagad tersenyum kecil seraya memandang orang
itu," Ki Kompyang, hal ini bukan suatu kebetulan. Dalam waktu
singkat lebih dari sepuluh tokoh persilatan hilang. Bahkan
kejadiannya hampir bersamaan? Apa yang mereka lakukan?
Bahkan beberapa orang di antara mereka ada yang tidak saling
mengenal. Memang benar, di antara mereka banyak yang
berasal dari golongan hitam. Namun rasanya tak mungkin
mereka berkumpul untuk membicarakan tujuan yang
mencelakakan kita...," sahutnya.
"Apa tak mungkin kalau hal ini dilakukan oleh Nyai Roro
Sekar Mayang...?" ungkap Ki Pending Layung, meyakinkan
pendapatnya.
Mendengar pendapat Ki Pending Layung, semua yang ada di
ruang itu terdiam. Beberapa orang wajahnya tampak tegang.
Bagaimanapun nama itu sempat membuat mereka kecut.
Beberapa waktu lalu sepak terjang Nyai Roro Sekar Mayang
bersama suaminya sempat membuat beberapa pendekar binasa
dalam keadaan yang amat mengenaskan.
"Bisa jadi...," sahut Ki Sapu Jagad setengah bergumam.
"Kalau saja dia memperdalam ilmunya, maka bisa
diperkirakan bahwa kepandaiannya saat ini tentu amat
tinggi...," timpal Ki Anggora.
Suasana di ruangan itu berubah hening. Mereka tenggelam
dalam pikiran masing-masing, seakan membayangkan
bagaimana kehebatan wanita itu saat ini. Kalau benar Nyai
Roro Sekar Mayang yang melakukan penculikan terhadap para
tokoh persilatan belakangan ini, tentu kepandaiannya telah
berlipat ganda. Dahulu saja tak ada yang mampu
membekuknya, apalagi untuk mengalahkannya. Lalu apa yang
mereka lakukan saat ini.
"Kira-kira apa rencananya jika benar bahwa hal itu ulah Nyai
Roro Sekar Mayang...?" tanya Ki Pending Layung yang
membuka pembicaraan kembali.
"Yang kukhawatirkan dia menggunakan segala cara,
membujuk rayu para tokoh yang diculiknya untuk membantu
membalaskan dendamnya...," sahut salah seorang di antara
mereka.
"Ya, yang jelas dia memang bermaksud membalas dendam.
Sekarang kita mesti waspada dan lebih berhati-hati!" Ki Sapu
Jagad menimpali.
"Lalu apa yang akan kita lakukan, Ki...?" kali ini yang
bertanya Ki Lodaya, salah seorang tokoh tua yang hadir dalam
pertemuan itu.
"Hm.... Aku juga tengah berpikir. Ke mana kita akan
mencarinya? Dan yang lebah membuat pusing, apakah semua
ini benar tindakannya? Kalaupun benar, kurasa kita tak mampu
berbuat apa-apa selain menunggu kedatangannya...," lanjut Ki
Sapu Jagad.
"Kita harus bertindak, Ki! Bagaimanapun harus kita cari
wanita itu sampai ketemu!" sahut Ki Lodaya, merasa kurang
puas dengan jawaban orang tua itu.
"Apakah Ki Lodaya punya petunjuk di mana kita harus
mencari wanita itu?" tanya Ki Sapu Jagad dengan nada sedikit
sinis.
"Pokoknya kita harus mencarinya ke mana saja! Kita tidak
bisa hanya berdiam diri dan menunggu dia datang untuk
membinasakan kita satu persatu...!" dengus Ki Lodaya dengan
wajah berang.
"Ki Lodaya, sabarlah! Kedatangan kita ke sini untuk mencari
jalan bagaimana cara mengatasi si Pengacau itu...," sela Ki
Pending Layung menengahi.
"Apa?! Apa yang bisa kita lakukan di sini? Cuma bicara dan
bicara! Lalu apa penyelesaiannya?! Cuma menunggu...!"
Ki Lodaya benar-benar tidak puas dengan jawaban yang
didengarnya. Nada suaranya semakin keras. Bahkan kemudian
lelaki berjubah kuning itu langsung keluar dari ruangan dengan
membawa kemarahan hatinya. Ki Sapu Jagad serta mereka
yang hadir berusaha menahan, tapi Ki Lodaya sama sekali tak
menghiraukannya. Laki-laki berperawakan besar itu terus
berlalu. Mereka hanya bisa menahan napas pendek!
"Sejak kematian saudaranya, dia memang sangat
mendendam terhadap wanita itu...," desah Ki Sapu Jagad
pelan.
"Hm..., tapi itu bisa membahayakan dirinya sendiri...," sahut
Ki Pending Layung, "Apalagi kalau dia mencari wanita itu
seorang diri...."
"Apa yang akan kita lakukan sekarang, Ki...?" tanya Ki
Anggora pada Ki Sapu Jagad.
"Sebaiknya beberapa orang di antara kita mengikuti dan
menjaganya. Jangan sampai terjadi hal-hal yang tidak
diinginkan!" sahut Ki Sapu Jagad.
"Biar kami yang menjaga dan mengikutinya!" ujar dua orang
di antara mereka yang hadir.
'Terima kasih atas kesediaan kalian, Ki Jaka Umbara dan Ki
Kebo Ungu...."
"Ki Sapu Jagad, kalau tidak ada yang dibicarakan lagi, kami
mohon diri...!" kata Ki Anggora seraya mengajak serta kedua
muridnya untuk meninggalkan tempat pertemuan.
Melihat itu, yang lainnya segera menyusul satu persatu. Ki
Sapu Jagad tidak berusaha menahan mereka, sebab tidak ada
yang bisa dibicarakan dan lakukan lagi dalam persoalan ini,
selain menunggu perkembangan selanjutnya.
***
Dengan membawa amarah dan kekesalannya, Ki Lodaya
buru-buru meninggalkan padepokan itu dan memacu kudanya
kencang-kencang. Dia memang telah bertekad dalam hati
untuk mencari dan membinasakan Nyai Roro Sekar Mayang
dengan tangannya sendiri. Ingin membuktikan pada yang lain
bahwa dia mampu melakukan hal itu tanpa bantuan mereka.
Ki Lodaya sendiri memang pemarah dan tidak bisa
membiarkan persoalan berlarut-larut tanpa penyelesaian yang
memuaskan harinya. Setahun lamanya dia menunggu
keputusan mereka, namun selama itu tidak ada niat untuk
mengejar Nyai Roro Sekar Mayang guna menuntut balas atas
kematian saudaranya. Itu sudah cukup untuk membuat
kemarahan dan dendam kesumatnya kian memuncak
"Hieee...!"
Pada sebuah pinggiran hutan yang dilalui, mendadak kuda
tunggangannya meringkik keras seraya mengangkat kedua kaki
depannya tinggi-tinggi. Ki Lodaya terkesiap dan melompat
cepat dari punggung kuda seraya memaki geram.
"Setan! Kenapa pula kuda ini?! Tidak ada angin tidak ada
hujan, tiba-tiba saja bertingkah aneh!"
Ki Lodaya mencari-cari, kalau mungkin ada seekor ular yang
menghadang di depan, atau seekor harimau sehingga membuat
kudanya bertingkah aneh. Namun belum lagi dia menemukan
sesuatu, mendadak muncul beberapa sosok tubuh melayang
ringan dari cabang-cabang pohon di sekitarnya. Ki Lodaya
mundur beberapa langkah dengan wajah kaget memperhatikan
mereka satu persatu.
"Keparat! Setan-setan mana yang berani menghadang
perjalananku?! Apa kalian sudah bosan hidup, heh?!"
bentaknya garang sebelum orang-orang itu mendahului.
Srang!
Ki Lodaya mencabut golok besar yang tersandang di
punggungnya dan bersiap menghadapi segala kemungkinan.
"Ayo, majulah kalian semua! Biar kucincang-cincang tubuh
kalian dan menjadi santapan anjing hutan!" bentaknya semakin
geram.
Namun demikian, tidak ada seorang pun dari mereka yang
mengepungnya itu melakukan apa-apa. Mereka diam saja
sambil memperhatikan Ki Lodaya dengan pandangan mata
tidak berkedip. Bahkan tidak seorang pun yang membuat
gerakan untuk menyerangnya.
"Keparat! Apa mau kalian sebenarnya? Mau membegalku?
Ayo, cepat maju, biar kukirim kalian semua ke neraka...!"
bentak Ki Lodaya kembali dengan nada garang.
Dan seperti tadi, tidak ada seorang pun dari mereka yang
membuat gerakan. Hal itu semakin membuat Ki Lodaya naik
darah. Dia mendahului sebelum mereka menyerangnya
bersama-sama.
"Bagus! Kalian pasrah dan menyerahkan jiwa begitu saja
untuk menerima hukuman. Mungkin kalian sebangsa perampok
atau kawanan penjahat, sehingga aku tidak perlu merasa
berdosa membunuh kalian...."
Dengan satu lompatan ringan dia membabat salah seorang
yang berada paling dekat darinya.
Sring!
Trang!
"Uhhh...!"
Namun ketika senjata di tangan Ki Lodaya hampir
menyambar perutnya, orang itu cepat sekali mencabut pedang
dan menangkis. Ki Lodaya tersentak kaget ketika senjata
mereka beradu. Terasa ada tenaga kuat yang membuatnya
bergetar hebat dengan jantung berdegup kencang.
Ki Lodaya cepat melompat ke belakang untuk mengatur
jarak agar terhindar dari serangan lawan berikutnya. Namun dia
dibuat bingung sendiri sebab lawan sama sekali tidak
melanjutkan serangan.
Mereka kembali terdiam seperti tadi dengan tangan tetap
menggenggam senjata.
"Iblis jahanam! Apa sebenarnya yang kalian inginkan
dariku?! Bicaralah jangan sampai aku kesalahan tangan
membunuh kalian tanpa sebab!" bentak Ki Lodaya dengan
suara menggelegar menumpahkan amarah dan kekesalannya.
Kali ini sikap mereka masih seperti semula, sama sekali tidak
berbuat apa-apa. Ki Lodaya semakin naik pitam dibuatnya.
Dengan cepat tubuhnya melompat melakukan serangan. Tidak
seperti tadi, dia melompat dan sekaligus menghantam ke arah
tiga orang lawan yang paling dekat dengannya.
"Huh, kutu-kutu busuk mau bertingkah di hadapanku! Apa
kalian kira aku takut dengan semua ini?! Mampuslah kalian,
yeaaa...!"
Tring!
"Hiiih!"
Bet! Wuk!
Apa yang terpikir dalam benak lelaki berbadan besar itu
memang terbukti. Orang-orang itu agaknya menunggu diserang
baru membalas menyerang. Ketika golok di tangannya
melayang menyambar leher salah seorang lawan, orang itu
cepat menangkis dengan pedangnya. Begitu pula saat telapak
tangan kirinya menghantam dengan pukulan jarak jauh, lawan
menundukkan kepala dan berkelit ke samping. Tendangan
maut Ki Lodaya yang berisi tenaga dalam kuat pun mampu
dihindari oleh lawannya yang lain. Namun agaknya Ki Lodaya
tidak melihat keadaan karena terus mengamuk lawan-lawannya
yang lain. Tidak kurang dari tujuh orang yang mengepungnya
tampak mulai melakukan serangan balasan. Dan ternyata
mereka bukanlah sebangsa perampok rendah yang memiliki
ilmu silat tanggung.
Trang!
Bret!
"Uhhh...!"
Ki Lodaya terkejut. Dua pedang dan sebilah golok serta
sebuah senjata pengait yang tajam bagai arit yang bergagang
panjang, menyambar ke arahnya secara bersamaan. Dia
berusaha berkelit dengan mengerahkan ilmu meringankan
tubuh. Namun saat goloknya kena ditangkis salah seorang
lawan, bahu kirinya disambar senjata lawan lainnya. Ki Lodaya
mengeluh tertahan dan melompat ke belakang. Sementara tiga
orang lainnya telah menunggu kesempatan itu dan segera
bersamaan bergerak menyerangnya. Ki Lodaya tersentak kaget.
Tidak ada jalan lain baginya selain memapaki serangan lawan
dengan mengibaskan senjata.
Trang!
"Aaakh...!"
Golok besar di tangan Ki Lodaya terpental.
Tubuhnya terhuyung-huyung beberapa langkah, karena
perutnya pun tersodok pukulan lawan. Dua orang lawan yang
lain siap menerkam dan menghabisi dengan senjata masing-
masing. Namun tiba-tiba terdengar bentakan nyaring.
"Cukup! Hentikan serangan kalian...!"
Sungguh aneh! Pada saat itu juga para pengeroyoknya
menghentikan serangan secara bersamaan. Tidak seorang pun
berani bertindak. Mereka berdiri tegak dan mengelilingi Ki
Lodaya masih dengan senjata-senjata terhunus.
Dengan perasaan heran Ki Lodaya mengawasi ke sekeliling.
Tiba-tiba matanya terpicing sebelah saat melihat sesosok tubuh
ramping memakai jubah putih berukuran besar. Sehingga saat
angin bertiup jubah dan rambutnya yang telah sebagian besar
memutih, berkibar-kibar seperti bendera. Ternyata sesosok
wanita berusia sekitar lima puluh tahun dengan tubuh kurus
dan wajah pucat bagai mayat. Kelopak matanya cekung dengan
sepasang alis saling bertaut. Sinar matanya tajam
menyeramkan seakan mengandung daya sihir yang mampu
meluluhkan siapa pun yang beradu pandang dengannya.
Meskipun demikian, Ki Lodaya agaknya tidak mungkin
melupakan wajah wanita itu.
"Nyai Roro Sekar Mayang...?!" serunya kaget. Untuk sesaat
terasa jantungnya berdegup kencang dan semangatnya hendak
terbang. Ki Lodaya berusaha menguatkan hari dan
menyadarkan diri bahwa kepergiannya sengaja untuk mencari
wanita ini, serta membalaskan dendam saudaranya yang
terbunuh.
Namun sungguh aneh! Penampilan wanita itu sekarang
sungguh berbeda dengan setahun lalu. Bahkan usianya
kelihatan lebih tua dari umur yang sebenarnya. Dan terlebih
lagi, tatapan matanya itu...!
"Bagus! Akhirnya kau muncul juga di sini, Keparat! Jadi tak
perlu lama-lama lagi aku mencarimu!" bentak Ki Lodaya geram.
"Siapa kau, dan ada perlu apa mencariku? Apakah kau salah
seorang dari mereka yang dulu mengeroyokku...?" tanya wanita
berjubah putih itu dengan nada dingin.
"Bajingan keparat! Aku Lodaya. Aku bersumpah akan
membunuhmu setelah kau bunuh saudaraku setahun lalu!"
Nyai Roro Sekar Mayang terdiam sesaat, kemudian terlihat
dia menyunggingkan senyum kecil. Jelas sekali terlihat bahwa
dia sama sekali tidak menghiraukan kata-kata Ki Lodaya.
Bahkan tampaknya wanita itu menganggap sepi dendam serta
amarah Ki Lodaya.
"Hm, jadi namamu Lodaya...? Kulihat kepan-daianmu tidak
rendah. Kau bisa menjadi pembantu andalanku seperti mereka
ini...," kata Nyai Roro Sekar Mayang tenang.
Ki Lodaya terkesiap dan menoleh sesaat pada para lawannya
tadi, lalu kembali menatap wanita itu dengan tajam.
"Wanita iblis! Jangan bicara seenaknya...! Kedatanganku ke
sini untuk membunuhmu!" bentaknya garang.
"Membunuhku...? Hi hi hi...! Tidak sadarkah kau dengan
keadaanmu saat ini? Kau tengah terkepung. Hanya dengan satu
isyarat, mereka akan merencahmu seperti kawanan serigala
kelaparan. Hhh.... tanpa kehadiran mereka pun kau bisa
berbuat apa terhadapku...?"
Sombong sekali kedengarannya ucapan wanita itu, seperti
juga sikapnya saat ini. Namun, mana mungkin Ki Lodaya bisa
menerima keadaan itu. Apalagi dengan dendam kesumat yang
berkecamuk dalam dadanya. Maka sambil menggeretakkan
rahang, laki-laki itu melompat menyerangnya.
"Iblis keparat, kau boleh mampus sekarang...! Yeaaa...!"
Nyai Roro Sekar Mayang tersenyum dingin dan sama sekali
tidak bersiap hendak menangkis serangan lawan. Namun ketika
serangan Ki Lodaya nyaris mengenai tubuhnya, seketika dia
mengebutkan tangan sambil membentak keras. "Jatuh...!" Buk
"Aaakh...!"
Ki Lodaya menjerit keras. Tubuhnya seperti menabrak
dinding baja yang kuat luar biasa. Dadanya terasa sesak untuk
bernapas, dan kedua tangannya terasa linu. Kepalanya
dirasakan berputar-putar ketika dia mencoba bangkit dan
bermaksud menyerang wanita itu kembali.
Nyai Roro Sekar Mayang tertawa nyaring sambil mengangkat
tangan kanannya. Kemudian terdengar suaranya yang
mengandung daya sihir kuat. Tiba-tiba kepala Ki Lodaya
terangkat dan mau tidak mau matanya bertatapan dengan
wanita itu.
"Lodaya.... Lodaya...! Hari ini kau menjadi budakku, dan
tidak ada satu pun dari dirimu yang mampu melawanku. Kau
adalah budakku dan akan selalu patuh pada perintahku...!"
Ki Lodaya tersentak kaget dan merasakan sekujur tubuhnya
lemas tidak berdaya. Dia berusaha melawan pengaruh itu, tapi
makin lama matanya menatap pandangan si Wanita, maka
perasaan lemas terus menyusup ke setiap jalan darahnya.
Pikirannya mengawang dan samar-samar bersama rasa pusing
yang berangsur-angsur hilang, maka wajahnya yang tadi
garang mulai berubah. Pandangan matanya kosong, seperti
mayat yang bangkit dari kubur.
"Hi hi hi...! Lodaya, mulai sekarang kau menjadi budakku!
Budak Nyai Roro Sekar Mayang. Ucapkan sumpah setiamu
sampai mati!"
"Aku budakmu...! Aku bersumpah akan membelamu dengan
taruhan nyawaku...!" sahut Ki Lodaya masih menatap wajah
Nyai Roro Sekar Mayang.
"Hi hi hi...! Bagus, Lodaya! Bagus...! Hi hi hi...! Kini orang-
orang itu boleh merasakan pembalasanku sebentar lagi. Dan
terutama si Pendekar Pulau Neraka! Dia akan menebus
nyawanya! Kematiannya merupakan peristiwa yang amat
menyakitkan dan akan dibawanya terus ke akherat dengan
dendamnya yang tidak terbalaskan! Hi hi hi...!"
Nyai Roro Sekar Mayang tertawa nyaring penuh
kegembiraan. Namun saat menyebut nama Pendekar Pulau
Neraka yang amat dibencinya, terlihat perubahan pada raut
wajahnya. Rasa kebencian dan dendam kesumatnya bercampur
menjadi satu. Lalu ketika merasa yakin bahwa dengan apa yang
dimilikinya sekarang dia mampu membinas-kan dan menuntut
balas kematian suaminya, wanita itu kembali tertawa keras.
"Ayo, kita pergi dari sini, dan mulai bekerja...!" teriaknya
kembali pada orang-orang yang berada di tempat itu.
Tanpa banyak bicara mereka mengikuti langkah Nyai Roro
Sekar Mayang meninggalkan tempat itu. Melihat cara mereka
berlari yang demikian cepat, jelas bahwa rata-rata orang itu
memiliki kepandaian yang tidak rendah. Paling tidak setingkat
dengan Ki Lodaya, ataupun di atasnya.
***
ENAM
Ketiga orang itu memacu kuda yang ditunggangi perlahan-
lahan. Mereka agaknya tidak ingin buru-buru tiba di tujuan.
Seorang di antaranya laki-laki berusia lanjut sekitar lima puluh
tahun, menyandang pedang di punggungnya. Dua lainnya
muda-mudi berparas tampan dan cantik. Keduanya pun
bersenjata pedang di punggungnya.
"Guru, apakah benar apa yang mereka katakan tadi, bahwa
semua ini perbuatan Nyai Roro Sekar Mayang...?" tanya si
Gadis sambil menoleh ke lelaki tua di sampingnya.
Terbayang olehnya setahun yang lalu dia hampir saja
menjadi korban Nyai Roro Sekar Mayang. Padahal saat itu
gurunya tengah teriuka, dan banyak di antara para pendekar
lainnya yang tewas. Sedangkan sisanya berada dalam jarak
jangkau yang jauh dari wanita itu. Kalau saja saat itu tidak
muncul seorang pemuda tampan berbaju kulit harimau, niscaya
dirinya telah tewas. Atau paling tidak akan teriuka parah.
Pemuda itu? Ke mana dia sekarang dan apa yang sedang
dilakukannya? Tiba-tiba saja wajah gadis itu nelangsa dan
hatinya merasa terenyuh. Ada perasaan haru yang dia sendiri
tidak tahu apa penyebabnya. Benarkah dirinya menyukai
pemuda itu? Tapi apakah itu bisa dibenarkan? Pemuda itu sama
sekali tidak menaruh perhatian padanya. Bahkan boleh
dikatakan, selama pertemuan sedikit sekali mereka dapat
bicara. "Ayu Sulastri...!"
Gadis itu tergagap dan memandang lelaki tua dan pemuda di
sebelahnya. Wajahnya tampak kemerahan menahan perasaan
malu karena ketahuan bahwa dia merenung seorang diri.
"Apa yang kau pikirkan...?" lanjut si Pemuda.
"Eh, tidak! Tidak ada, Kakang Braja...!" sahut Ayu Sulastri
"Lalu kenapa kau melamun...?" tanya pemuda yang ternyata
Braja.
"Tidak apa-apa. Aku hanya teringat ayah dan ibu. Sudah
lama sekali aku tidak mengunjungi mereka...," jawab Ayu
Sulastri tanpa menoleh ke wajah Braja.
"Kau ingin pulang mengunjungi orangtua-mu...?" tanya si
Orang Tua yang tak lain Ki Anggora.
"Kurasa begitu, Guru...."
"Ya. Kalau begitu, kuizinkan kau pulang menemui mereka."
"Apakah kau bersungguh-sungguh ingin pulang...?" tanya
Braja meyakinkan.
Ayu Sulastri mengangguk.
"Kalau kau tak keberatan, aku ingin mengantarmu...," Braja
menawarkan diri.
"Maaf, Kakang Braja. Aku ingin berjalan sendirian saja...,"
Ayu Sulastri menolak secara halus.
"Apakah kau tidak suka kutemani...?" pertanyaan Braja yang
terakhir ini menunjukkan perasaan kecewa bercampur curiga.
"Bukan begitu, Kakang. Aku suka sekali kau kawani, tapi
untuk saat ini aku ingin melakukan perjalanan seorang diri.
Mudah-mudahan kau bisa mengerti...," ujar Ayu Sulastri
sehalus mungkin agar si Pemuda tidak merasa kecewa.
Gadis cantik itu menoleh ke arah Ki Anggora, lalu
menghampiri serta memberi salam hormat.
"Guru, terima kasih atas izinmu. Aku akan berangkat
sekarang juga. Restuilah dengan doamu, hingga perjalananku
selamat sampai tujuan...!"
Ki Anggora tersenyum kecil seraya mengangguk. "Pergilah,
Ayu! Restuku selalu menyertai-mu....
Ayu Sulastri menarik tali kekang kudanya. Setelah
mengangguk kecil kepada Braja, dia menghela kudanya
perlahan-lahan memisahkan diri di persimpangan jalan. Braja
terpaku beberapa saat memandang gadis itu dengan perasaan
tidak percaya. Apa yang telah terjadi terhadapnya? Kenapa
belakangan ini dia begitu dingin padaku? Berbagai macam
pertanyaan berkecamuk dalam hatinya, dan tidak mendapat
jawaban yang memuaskan.
Selama mereka berguru, hubungan keduanya amat akrab.
Meskipun Ayu Sulastri tidak pernah menyatakan cintanya, Braja
menganggap bahwa dirinya tidak bertepuk sebelah tangaa
Namun selama setahun belakangan ini kelakuan gadis itu
dirasakan semakin aneh. Tawa riangnya yang selalu terlihat
berganti dengan kemurungan. Selain itu dia menjadi pendiam.
"Maaf, Guru. Aku ingin bicara sebentar dengannya...," kata
Braja seraya menyusul gadis itu.
Ki Anggora hanya bisa menggeleng kecil sambil tersenyum
memperhatikan tingkah kedua muridnya itu. Dia menghentikan
kuda dan duduk dengan tenang memperhatikan keduanya dari
kejauhan.
Melihat dari wajah Braja yang tegang ketika berbicara
dengan Ayu Sulastri, Ki Anggora bisa menduga bahwa si
Pemuda pasti kesal. Dan sedikit banyak dia bisa mengerti, apa
yang menyebabkan hal itu. Orang tua ini kembali menghela
napas pendek.
"Kenapa, Ayu? Kenapa mendadak begini? Apa yang
terjadi...?!
"Bukankah sudah kukatakan berkali-kali, Kakang? Tidak ada
apa-apa. Aku hanya rindu pada mereka. Tidak bolehkah aku
mengunjungi seorang diri...?" tukas Ayu Sulastri masih dengan
suara rendah.
"Tapi belakangan ini kau aneh. Tidak biasanya kau menolak
tawaranku. Bahkan biasanya jika hendak mengunjungi
orangtuamu, kau selalu bicara padaku. Sekarang kau menjadi
pemurung, pendiam, tidak pernah tertawa.... Apa sebenarnya
yang terjadi padamu...?!" tanya Braja dengan rasa penasaran.
"Kakang Braja, tidak ada apa-apa. Percayalah, aku hanya
ingin pulang sendiri! Apakah itu salah...?" '
"Atau ada seseorang dalam hatimu...?" tanya Braja
menyelidik dengan tatapan curiga.
"Apa maksudmu...?!" tanya si Gadis dengan perasaan jengah
dan suara yang mulai tinggi.
"Sejak kedatangan pemuda itu tingkahmu mulai berubah.
Apakah benar firasatku bahwa kau menyukainya? Kau
menyukainya secara diam-diam dan tidak ingin kuketahui?!"
"Kakang, hentikan kata-katamu! Pemuda? Huh, pemuda
siapa yang kau maksudkan?!"
"Siapa lagi kalau bukan Bayu? Kau menyukainya, bukan...?!"
nada bicara Braja menyiratkan kecemburuan harinya.
"Kakang Braja, jangan sembarangan kau bicara...!" bentak
Ayu Sulastri merasa tidak senang dengan tuduhan itu.
Ketika keduanya tengah berbicara, mendadak lima sosok
tubuh melesat dan mengurung mereka.
Braja dan Ayu Sulastri tentu saja tersentak kaget. Sring!
Sring!
***
"Siapa kalian dan apa yang kalian inginkan...?!" bentak Braja
dengan mata membelalak garang.
Lima orang lelaki berpakaian hitam yang baru muncul, tak
mempedulikan bentakan Braja. Mendadak secara serentak
mereka mencabut senjata masing-masing dan menyerang
kedua muda-mudi itu.
"Hiyaaa...!"
"Hei?!" kedua orang itu tersentak kaget Demikian pula
dengan Ki Anggora. Lelaki tua itu langsung melompat
menghampiri saat kedua muridnya mencelat dari punggung
kuda masing-masing untuk menghindari serangan kelima lelaki
berpakaian hitam.
Trang!
"Hiiih!"
"Uhhh...!"
Braja dan Ayu Sulastri bukan main terkejutnya mendapat
serangan yang mendadak begitu. Dengan sebisa-bisanya
mereka menghindarkan diri dari tebasan senjata lawan. Kalau
saja kelima orang yang mereka hadapi saat ini memiliki ilmu
silat rendah, mungkin tidak jadi masalah, sebab dengan mudah
mereka akan mampu mengatasi.
Namun yang terjadi justru sebaliknya. Gerakan kelima orang
itu cepat bukan main, dan tenaga dalamnya kuat sekali. Angin
serangannya saja terasa menyambar kulit tubuh mereka. Ketika
senjata mereka saling berbenturan, Ayu Sulastri dan Braja
mengeluh tertahan menahan rasa sakit. Rasanya kulit tangan
mereka terkelupas. Kalau sedikit saja kurang sigap, bukan tidak
mungkin senjata akan terlepas dari genggamaa
"Keparat busuk! Setan dari mana yang menyuruh kalian tiba-
tiba saja menyerang kami?!" bentak Ki Anggora seraya
menyerang dua lawan yang tengah mendesak kedua muridnya.
Namun belum sempat serangan orang tua itu sampai, tiga
orang lainnya telah menghadang dan memapaki serangannya
dengan kompak.
Trang!
Wuuut!
"Uhhh...!"
Ki Anggora memekik tertahan ketika pedangnya membentur
pedang lawan. Sementara pada saat yang bersamaan, dua
buah golok menyambar ke arah pinggang dan lehernya. Orang
tua itu mencelat ke belakang untuk menghindar dari serangan
lawan selanjutnya. Namun lawan yang bersenjata pedang
seperti tidak ingin membiarkannya lolos begitu saja. Pedangnya
berputar sedemikian cepat membentuk pusaran yang
menimbulkan desir angin kencang.
Ki Anggora terkejut melihat cara lawan memainkan pedang.
Rasanya dia kenal betul jurus-jurus yang dipergunakan lawan. „
Sehingga tak terasa orang tua itu memperhatikan wajah
lawannya dengan seksama. Ketika mengetahui siapa
sesungguhnya yang dihadapi Ki Anggora tersentak kaget.
"Kakang Sadewa, apa yang kau lakukan?! Sudah gilakah kau,
hendak membunuh adik seperguruanmu sendiri?! Kakang
Sadewa, sadarlah! Aku Anggora, adikmu sendiri...!" teriak Ki
Anggora dengan mata terbelalak keheranan. Dia tidak habis
pikir kenapa Ki Sadewa, kakak seperguruannya menyerang.
Namun sia-sia saja sebab orang yang dipanggilnya dengan
nama Ki Sadewa itu seperti tidak mengenalinya. Bahkan terus
menyerangnya seperti berhadapan dengan musuh besar.
Cras!
"Akh...!"
Ki Anggora terpekik kesakitan. Dia yakin sekali bahwa Ki
Sadewa akan mengenali setelah diingatkannya. Namun hal itu
membuatnya lengah. Karena lawan sama sekali tidak terusik
dengan teriakannya itu. Ujung pedang lawan menyambar
lengan kirinya hingga putus. Tubuh Ki Anggora melompat ke
belakang untuk menghindar dari serangan selanjutnya. Namun
dua lawan lainnya telah siap menerkam dengan tebasan golok.
Sehingga keadaan Ki Anggora memang terjepit sekali. Apalagi
ketika dia mendengar jeritan Braja.
"Braja! Ayu Sulastri...! Lekas tinggalkan tempat ini!
Selamatkan diri kalian masing-masing! Ayo, pergilah kalian dari
sini!" teriak Ki Anggora memperingatkan kedua muridnya itu.
"Tidak, Guru! Kami tak akan pergi dari sini dan membiarkan
kau seorang diri menghadapi mereka...!" sahut Ayu Sulastri
dengan suara lantang.
"Hidup atau mari, kami akan tetap bertarung dengan iblis-
iblis keparat ini.... Aaakh...!" teriak Braja terpotong ketika satu
tendangan lawan membuat tubuhnya sempoyongan beberapa
langkah.
Namun begitu dia masih berusaha mempertahankan kuda-
kuda semantap mungkin. Sementara pedangnya tetap
dikibaskan untuk melindungi bagian dadanya saat lawan
menerjang dengan ayunan goloknya yang kencang bukan main.
Trang! Brettt! "Aaakh...!"
Untuk kedua kalinya Braja menjadi kesakitan. Pedangnya
terpental dihantam golok lawan. Dan golok itu terus
menyambar ke arah pinggangnya. Pemuda itu ingin melompat
mundur untuk menyetamatkan diri. Namun sungguh buruk
akibatnya, sebab senjata lawan menyambar pangkal pahanya. '
Nyaris kakinya putus ketika terasa bahwa golok lawan
membentur tulang pahanya. Darah mengucur deras dari
lukanya. Langkahnya limbung serta ter-pincang-pincang ketika
berusaha menjatuhkan diri untuk menghindari serangan lawan
berikutnya.
Hal yang sama agaknya dialami Ayu Sulastri. Gadis itu
menjerit kesakitan ketika satu tendangan keras menghantam
punggungnya. Tubuhnya bergulingan ke depan sambil
menyemburkan darah segar. Napasnya terasa sesak, dan
punggungnya sakit sekali. Dia berusaha bangkit untuk
mengayunkan pedang guna memapaki serangan lawan yang
telah mendekat Namun tenaganya seperti terkuras habis, dan
lengannya kaku untuk digerakkan.
Gadis itu mengeluh pendek. Habislah riwayatnya kali ini.
Tidak ada seorang pun yang dapat menolongnya. Kalaupun dia
mampu bertahan, mungkin hanya dalam sekali tangkisan.
Selanjutnya dia tidak akan mampu berbuat banyak. Kecepatan
lawan bergerak sungguh luar biasa. Begitu pula dengan tenaga
dalam yang dimiliki lawannya, bukanlah tandingan gadis itu.
Trang!
Siiing!
Cras! Trang!
"Aaakh...!"
Ayu Sulastri tersentak kaget dengan mata terpejam.
Pedangnya terlepas dari genggaman setelah berbenturan
dengan senjata lawan. Angin tajam menyambar ke lehernya,
sementara dia sama sekali tak berdaya untuk mengelak. Saat
itulah samar-samar terdengar suara mendesing nyaring.
Sebuah benda melesat menahan senjata lawan yang telah
begitu dekat dengannya. Sesaat kemudian terdengar pekikan
tertahan. Percikan darah muncrat membasahi wajahnya. Gadis
itu terbelalak. Lawan telah ambruk di depannya dengan leher
nyaris putus.
"Heh...?!"
***
Pada saat yang bersamaan terlihat cahaya putih keperakan
menyambar senjata-senjata lawan yang tengah berhadapan
dengan Braja dan Ki Anggora. Golok di tangan lawan Braja
patah menjadi dua. Demikian pula dengan senjata lawan yang
lain. Lalu terlihat sekelebat bayangan melesat cepat
menyambar keempat orang yang tengah mengeroyok guru dan
murid itu.
Plak!
Duk!
"Aaa...!"
Ki Anggora dan Braja tertegun kaget. Gerakan yang
dilakukan orang yang baru muncul itu cepat sekali, dibarengi
tenaga dalam dahsyat. Angin berdesir kencang saat
bayangannya berkelebat menyambar. Sesaat terdengar jeritan
tertahan. Dua orang lawan terjungkal beberapa langkah dengan
mulut memuntahkan darah segar. Keduanya menggelepar
beberapa saat seperti ayam disembelih, lalu diam tidak
bergerak. Sementara dua lainnya masih memberikan
perlawanan sengit
Ki Anggora mencoba berusaha memperhatikan, siapa dewa
penolong mereka. Akhirnya menarik napas lega ketika
mengetahui siapa orang itu.
"Pendekar Pulau Neraka...? Ah, dia selalu muncul pada saat
yang tepat...," gumamnya.
Orang tua itu mendekati kedua muridnya dan memeriksa
luka mereka.
"Guruj siapakah orang yang tiba-tiba muncul menolong
kita...?" tanya Ayu Sulastri.
"Kau mungkin tak akan percaya. Dialah orangnya, penolong
kita.setahun yang lalu...." "Maksud Guru, Bayu Hanggara...?"
Wajah Ayu Sulastri tampak berseri-seri meski menahan rasa
nyeri di punggungnya.
Ki Anggora mengangguk-angguk sambil tersenyum kecil. Dia
melihat jelas dari pancaran wajahnya, sang Murid tidak mampu
membohongi perasaan hatinya. Setidak-tidaknya orang tua itu
mengerti, apa yang menyebabkan kelakuan Ayu Sulastri begitu
murung setahun belakangan ini.
Namun sungguh berbeda dengan Braja. Pemuda itu
mendengus pelan sambil membuang wajah ketika mendengar
nama Bayu. Hatinya kesal melihat perubahan wajah Ayu
Sulastri. Gadis itu seperti melupakan luka yang dideritanya,
bahkan seakan tak sadar pada apa yang menimpa mereka. Hal
itu bukan kebiasaannya. Dulu bila Ki Anggora dan Braja sedikit
saja teriuka, dia sudah sibuk dan cemas. Tapi kali ini benar-
benar mengherankan. Matanya tiada berkedip menyaksikan
pertarungan yang tengah berlangsung di hadapan mereka.
"Hm, lukamu cukup parah, Braja...," gumam Ki Anggora lalu
menotok jalan darah di pangkal paha murid laki-lakinya itu.
"Tidak apa-apa, Guru. Hanya luka kecil saja. Sebaliknya yang
menimpa Guru lebih parah. Guru kehilangan sebelah lengah...,"
desis Braja dengan wajah duka
"Hm, tidak mengapa. Lenganku yang sebelah lagi masih
mampu kupergunakan...," kata-kata Ki Anggora terpotong
ketika terdengar kembali jeritan kematian. Salah seorang lawan
terjungkal sambil menyemburkan darah segar. Orang tua itu
terkesiap. Demikian juga dengan kedua muridnya.
Ki Anggora tahu bahwa lawan terakhir Pendekar Pulau
Neraka tak lain orang yang amat dikenalnya. Ki Sadewa, kakak
seperguruannya. Kepandaiannya memang hebat dan ilmu
pedangnyapun amat tinggi. Namun sayang, pedangnya telah
patah dipapas senjata Cakra Maut milik Pendekar Pulau Neraka.
Melihat hal itu Ki Anggora khawatir kalau kakak
seperguruannya akan tewas di tangan Pendekar Pulau Neraka.
Siapa pun tahu pendekar muda berpakaian kulit harimau ini
tidak pernah memberi ampun pada lawan-lawannya. Sementara
dia tidak tahu, apa yang menyebabkan Ki Sadewa menjadi
ganas begitu. Selama ini tidak pernah terjadi perselisihan di
antara mereka. Bahkan Ki Sadewa sangat sayang padanya.
Siiing!
"Heh?!"
Ki Anggora terperanjat melihat Pendekar Pulau Neraka
kembali melepaskan Cakra Maut Dia tahu betul akan kehebatan
senjata itu karena pernah membuktikan dengan mata kepala
sendiri ketika menewaskan Ki Sanca Ireng.
"Nak Bayu, harap kau memberi ampun padanya. Dia saudara
seperguruanku. Pasti ada yang tidak beres padanya...!" teriak
Ki Anggora.
"Heaaah...!"
Ki Sadewa tersentak kaget melihat senjata maut lawan yang
melesat bagai lidah petir, menyambar ke arahnya. Angin tajam
terasa hampir mengiris kulit tubuhnya ketika dia berusaha
melompat menghindar sambil jungkir balik. Pendekar Pulau
Neraka tak memberi kesempatan sedikit pun pada lawan.
Tubuhnya berkelebat cepat menyambar lawan sambil
menghantamkan tendangan keras.
Plak!
Tuk!
"Hukh...!"
Ki Sadewa melenguh tertahan ketika perge-langan tangan
terasa remuk menangkis kaki lawan. Namun lebih kaget lagi
ketika tubuhnya kaku tidak dapat bergerak. Seluruh persendian
seakan lepas dan tenaganya lemas tidak berdaya. Ternyata
sambil melancarkan tendangan, Pendekar Pulau Neraka
menotok tubuh Ki Sadewa. Sehingga tubuh lelaki tua itu
ambruk dalam keadaan lunglai.
"Kakang Sadewa...!" Ki Anggora menghampiri dengan wajah
cemas lalu memeriksa keadaan saudara seperguruannya itu.
Ketika mengetahui bahwa Ki Sadewa telah tertotok, dia menarik
napas lega dan memandang Pendekar Pulau Neraka sambil
menjura hormat.
"Kuucapkan terima kasih atas kemurahan hatimu. Aku tidak
tahu kenapa dia tiba-tiba menjadi ganas dan menyerangku
tanpa ampun. Pasti ada yang tidak beres. Sesuatu telah
mempengaruhi pikirannya. Bahkan anehnya dia tak
mengenalku lagi”
***
TUJUH
Bayu memandang sekilas pada orang tua itu, juga pada
kedua muridnya. Lalu menghela napas pendek.
"Ki Anggora, saudara seperguruanmu tidak sadar pikirannya.
Dia tengah terpengaruh oleh semacam kekuatan sihir.
Sebaiknya kita segera mengamankannya...," katanya pendek.
"Eh, iya... iya. Tahukah kau yang menyebabkannya demikian
parah begini...?"
"Hm, kurasa ini perbuatan Nyai Roro Sekar Mayang...."
"Nyai Roro Sekar Mayang? Ah, kalau begitu tidak salah
dugaanku. Wanita iblis itu kini muncul kembali. Tapi apakah
Nak Bayu yakin bahwa semua ini perbuatannya...?"
Pendekar Pulau Neraka menggeleng kecil sambil mengelus
kepala Tiren yang melompat ke pangkuannya, lalu menarik
napas pendek.
"Hm..., aku belum yakin. Namun pernah kuketahui bahwa
Ilmu Tengkorak yang mereka pelajari, pada tingkat tertinggi
mampu mempengaruhi jalan pikiran seseorang. Orang itu akan
menjadi abdi setianya. Bahkan harus mengorbankan nyawa
untuk membela orang yang mempengaruhinya. Aku khawatir
kita tidak bisa menolong saudara seperguruanmu ini sebelum
orang yang mempengaruhinya mati...," jawab Pendekar Pulau
Neraka.
"Sungguh biadab! Wanita iblis itu agaknya tak akan pernah
menyerah. Dengan kepandaiannya sekarang, dia akan
merajalela mengumbar angkara murka!" desis Ki Anggora
geram.
Bayu terdiam sesaat. Demikian pula dengan kedua murid Ki
Anggora yang berada di dekatnya. Dia sempat beradu pandang
dengan Ayu Sulastri. Gadis itu buru-buru menundukkan kepala
dengan wajah merah padam sebab ketahuan sejak tadi dia
terus memandangi Pendekar Pulau Neraka.
"Ni Ayu, parahkah luka yang kau derita...?" "Eh, aku... oh.
Tidak! Tidak apa-apa...," sahut Ayu Sulastri tergagap.
"Mari, kuperiksa! Mungkin aku bisa- sedikit membantu...,"
ujar Bayu karena melihat wajah gadis itu pucat dan menahan
sakit yang hebat pada
punggungnya.
Bayu memeriksa nadi di
pergelangan tangan Ayu
Sulastri. Gadis itu tampak
terdiam dengan mata
terpejam. Namun tiba-tiba
sekujur tubuhnya
merasakan panas dingin
tak karuan. Sementara ada
perasaan jengah dan malu
berkecamuk di hatinya.
"Hm, jalan darahmu tak
beraturan, Ni Ayu.
Duduklah di sini dan membelakangiku...!" kata Bayu sambil
duduk bersila di tanah.
Gadis itu melakukan apa yang diperintahkan Pendekar Pulau
Neraka.
"Tarik napas dalam-dalam...!"
Ayu Sulastri menarik napas dalam-dalam, lalu
menghembuskan perlahan-lahan. Bayu menempelkan kedua
telapak tangan ke punggung gadis itu. Seketika dirasakan nada
hawa hangat menjalar ke punggungnya. Sesaat dia meringis
menahan rasa nyeri yang hebat seperti menusuk-nusuk
punggungnya. Namun dengan sekuat daya kemampuannya
gadis itu berusaha menahan. Apalagi membayangkan bahwa
dewa penolongnya tak lain orang yang selama ini ada dalam
pikirannya.
"Hoeeekh...!"
Ayu Sulastri menyemburkan darah kental dari mulutnya.
Rasa nyeri yang ada di punggung seperti menjalar ke dadanya.
Wajah gadis itu semakin pucat, namun kini dirasakan seluruh
persendiannya agak ringan dibandingkan dengan tadi. Hawa
hangat yang disalurkan Pendekar Pulau Neraka seperti
membungkus rasa sakit dan perlahan-lahan mengembalikan
tenaganya yang banyak terkuras.
"Ni Ayu, cobalah latihan pernapasan beberapa saat lamanya!
Mudah-mudahan luka dalammu cepat sembuh...," kata Bayu
seraya menghentikan penyaluran tenaga dalam ke tubuh gadis
itu.
Ayu Sulastri mengangguk pelan, lalu melakukan apa yang
diperintahkan pemuda itu. Bayu menarik napas lega dan
menoleh ke arah Braja.
"Em..., coba kulihat lukamu!" katanya bermaksud menolong.
"Terima kasih, Bayu. Aku baik-baik saja...," sahut Braja cepat
menolak niat baik Pendekar Pulau Neraka.
"Syukurlah kalau memang demikian...!" Bayu tidak hendak
memaksakan keinginan. Dia memalingkan perhatian pada Ki
Anggora.
"Ki Anggora, kurasa tak ada lagi yang bisa kulakukan di sini,
maka aku mohon pamit Uruslah saudara seperguruanmu ini
sebaik-baiknya. Mudah-mudahan setelah Nyai Roro Sekar
Mayang tewas, dia bisa disembuhkan...!" lanjutnya.
"Terima kasih atas segala pertolongan Nak Bayu. Tapi akan
ke manakah tujuanmu sekarang...?"
"Aku bermaksud mencari wanita itu!"
"Nyai Roro Sekar Mayang...?"
Bayu mengangguk cepat. "Aku harus menghentikan sepak
terjangnya sebelum jatuh korban lagi Doakan, mudah-mudahan
aku mampu menaklukkan wanita iblis itu...!"
"Maaf, Bayu. Aku tidak bermaksud menghalangi
kepergianmu. Namun sebelumnya, sudikah kau mendengarkan
ceritaku barang sesaat. Setelah itu boleh memutuskan langkah
terbaik. Sebab tujuan kita sama, yaitu ingin melenyapkan biang
bencana yang dilakuan wanita iblis itu...."
"Hm, apakah yang akan Ki Anggora ceritakan padaku...?"
"Terima kasih, Nak Bayu...," sahut Ki Anggora lega. Dia pun
menceritakan pertemuan terakhir di padepokan Ki Sapu Jagad,
serta mengenai sikap Ki Lodaya. Wajah orang tua itu tampak
khawatir.
"Saudara seperguruanku tentu berada di bawah
pengaruhnya. Kini khawatir hal yang sama terjadi pula dengan
Ki Lodaya serta tokoh-tokoh persilatan lainnya. Aku tak
merendahkan kepandaian Ki Lodaya atau lainnya, tapi rata-rata
mereka memiliki kemampuan yang setingkat denganku. Dan
saudara seperguruanku jelas memiliki kepandaian yang satu
tingkat di atasku. Jika beliau saja mampu ditaklukkan, apalagi
seperti kami ini. Lalu jika mereka dipengaruhi Nyai Roro Sekar
Mayang dengan ilmu iblisnya, kita akan repot sendiri
menghadapi lawan yang merupakan kawan-kawan kita
sendiri...," jelas orang tua itu mengemukakan kekhawatirannya.
Bayu berpikir sesaat, lalu mengangguk pelan.
***
"Lalu apa yang akan kau lakukan, Ki Anggora...?" tanya
Bayu.
"Hm, aku khawatir akan keselamatan para pendekar yang
lain. Apa kau bersedia jika aku mengajakmu menemui Ki Sapu
Jagad...? Paling tidak memastikan bahwa Ki Lodaya tidak
menemui nasib yang sama seperti saudara seperguruanku
ini...."
"Baiklah. Kita berangkat sekarang ke tempat kediaman Ki
Sapu Jagad...."
Bayu menyetujui usul Ki Anggora. Dia memandang sekilas
pada Ayu Sulastri. Gadis itu terlihat sudah selesai melakukan
latihan pernapasan dan hanya menundukkan kepala tanpa
berkata apa-apa.
"Ayu, apakah kau melupakan peradatan? Kau kembali lupa
mengucapkan terima kasih atas pertolongan Pendekar Pulau
Neraka...," tegur Ki Anggora mengingatkan.
Mendengar teguran gurunya, wajah Ayu Sulastri bersemu
merah. Dengan perasaan rikuh dia terdiam beberapa saat
lamanya seraya melirik ke arah Pendekar Pulau Neraka.
"Sudahlah. Sebenarnya aku tidak suka dengan segala macam
peradatan seperti itu. Lebih baik kita lekas ke tempat Ki Sapu
Jagad, sebelum terjadi sesuatu yang buruk terhadap mereka,"
tukas Bayu cepat.
Baru saja selesai ucapan Pendekar Pulau Neraka, mendadak
berkelebat empat sosok tubuh mengepung mereka. Bayu cepat
bersiaga, melihat mereka mencabut pedang masing-masing. Ki
Anggora sempat terkejut ketika mengenali keempatnya.
"Astaga! Mereka adalah Empat Raja Pedang Utara...!"
desisnya dengan mata terbelalak kaget
"Ki Anggora, aku tak tahu harus berbuat apa, tapi mereka
agaknya tidak main-main terhadap kita!" bisik Bayu dengan
mata tetap mengawasi keempat sosok bersenjata pedang di
hadapannya.
"Entahlah, kenapa mereka bisa jadi begini. Hati-hati Nak
Bayu! Mereka memiliki kepandaian tinggi, bahkan lebih hebat
dari saudara seperguruanku sendiri. Terutama ilmu pedang
mereka...!" Ki Anggora memperingatkan sambil menggeleng
lesu.
"Serang...!"
"Hiyaaa...!"
Diiringi dengan bentakan keras, Empat Raja Pedang Utara
bersama-sama melompat menyerang mereka.
"Yeaaa...!"
Pendekar Pulau Neraka melpmpat menghindari serangan
salah seorang di antara Empat Raja Pedang Utara. Pedang
lawan berkelebat-kelebat menyambar bagaikan membungkus
tubuhnya.
Apa yang dikatakan Ki Anggora ternyata benar, ilmu pedang
mereka hebat luar biasa. Sempat terlihat oleh Bayu, Braja dan
Ayu Sulastri jatuh bangun menghindari tebasan senjata lawan.
Keduanya tampak tak mampu memberikan serangan balasan.
Bayu menggeram. Dia tidak bisa membiarkan keadaan ini terus
berlarut-larut. Maka sambil membentak nyaring dia
mengibaskan tangan kanannya.
"Hiiih!"
Siiing!"
Selarik cahaya putih keperakan melesat bagai kilatan petir
menyambar keempat lawannya sekaligus.
Wuuut!
Trasss!
"Heh...?!"
Dua orang lawan melompat menghindari terjangan Cakra
Maut yang dilepaskan Pendekar Pulau Neraka. Namun dua
lainnya terpaksa harus menangkis karena tidak sempat berkelit
dari serangan mendadak yang bukan main cepatnya. Akibatnya
pedang mereka putus sampai sebatas gagangnya.
"Yeaaa...!"
Pendekar Pulau Neraka melompat menerkam lawannya yang
tadi mampu menghindari sambaran Cakra Maut. Orang itu
terkejut melihat gerakannya yang begitu cepat. Namun mereka
sempat menguasai diri, bahkan bermaksud menghantam Bayu
dengan pedang.
"Hiiih!"
Melihat serangan balasan, Pendekar Pulau Neraka
menghentakkan kuat-kuat tangannya dengan gerakan
mendorong. Dari kedua telapak tangannya mendesir angin
kencang laksana badai topan, menghantam ke arah lawan.
Dengan perasaan kaget, lawan berusaha menghindar sambil
membalas dengan pukulan jarak jauh. Bayu agaknya telah
memperhitungkan hal itu, hingga pukulan lawan mengenai
tempat kosong. Sebab, tubuh pemuda berpakaian kulit harimau
itu telah melesat ke arah lawan dengan berputar bagai kitiran.
Bresss!
"Aaakh...!"
Satu hantaman keras membuat lawan terjungkal dan
memekik kesakitan. Dari mulutnya menyembur darah segar.
Bayu agaknya merasa yakin betul dengan hantamannya tadi,
sebab belum lagi tubuh lawan terjerembab, dia kembali
melompat menyerang lawan Braja. Sengaja dilakukan untuk
membantu pemuda itu. Karena dalam keadaan payah Braja tak
mampu berbuat banyak, hingga menjadi bulan-bulanan
lawannya.
"Hiyaaa...!"
Plak!
Wuuut!
Dalam keadaan tanpa senjata, lawan tampak kewalahan
mendapat serangan mendadak begitu rupa. Dia berusaha
menahan dan bermaksud balas menyerang. Namun Bayu
sedikit pun tidak memberi kesempatan padanya untuk balas
menyerang. Pukulan-pukulan serta tendangannya yang
dikerahkan dengan tenaga dalam kuat membuat lawan harus
jatuh bangun mempertahankan selembar nyawanya.
'Yeaaa...!" Siiing! Begkh! "Aaa...!"
Pendekar Pulau Neraka membentak nyaring. Tubuhnya
melesat menyambar lawan sambil melepaskan Cakra Maut.
Melihat senjata lawan yang telah diketahui kehebatannya,
orang itu tampak terkejut sekali. Dengan geragapan dia
menghindarkan diri. Pada saat itulah satu tendangan yang
dilancarkan Bayu menghantam dadanya. Seketika terdengar
pekikan kesakitan. Tubuh Pendekar Pulau Neraka melompat
tinggi dan menyambar Cakra Maut dan langsung menyerang
lawan yang tengah dihadapi Ayu Sulastri.
"Hiyaaa...!"
Suiiing!
"Hei?!"
Dua orang menggelepar tidak berdaya dan tewas sesaat
kemudian di tangan Pendekar Pulau Neraka. Namun mendadak
terdengar siulan nyaring, dan dua lawan yang tersisa serentak
kabur dari tempat itu dengan sekuat tenaga.
Bayu menggeram sinis. Dia bermaksud melemparkan Cakra
Maut untuk mengejar keduanya. Hal itu mudah saja baginya.
Namun segera diurungkan niatnya dan hanya memandang
keduanya dengan perasaan kesal.
"Ki Anggora, sebaiknya kita buru-buru saja ke tempat Ki
Sapu Jagad. Perasaanku tak enak. Dua kali mereka mencegat
kalian dan berusaha menewaskan kita semua. Entah berapa
orang lagi yang akan datang menghadang...," ajak Bayu seraya
menoleh ke arah Ki Anggara.
'Ya, aku pun bermaksud begitu. Tapi Nak Bayu, kami tak
mempunyai persediaan kuda lagi bagimu...."
"Biar Kang Bayu bersamaku saja kalau tidak keberatan...,"
sahut Ayu Sulastri menawarkan diri.
Wajah Braja tampak kurang senang mendengar kata-kata
gadis itu. Namun dia tidak bisa berbuat apa-apa.
"Terima kasih, Ni Ayu...," sahut Bayu lalu melompat ke
belakang punggung Ayu Sulastri.
Ki Anggora memacu kudanya mengikuti Braja yang telah
lebih dulu meninggalkan tempat itu. Baru kemudian Ayu
Sulastri menyusul belakangan!
***
Kedua orang itu dengan cepat memacu kudanya menuju
padepokan Ki Sapu Jagad. Begitu pintu gerbang dibuka,
mereka langsung melesat cepat dan melompat dengan sigap
dari punggung kuda masing-masing. Ki Sapu Jagad yang telah
diberi tahu oleh beberapa orang muridnya yang berjaga di
menara atas, tergopoh-gopoh menyambut keduanya.
"Ki Jaka Umbara! Ki Kebo Ungu..., apa yang terjadi? Kenapa
kalian seperti dikejar setan...?" tanya orang tua itu dengan
wajah bingung.
"Celaka, Ki! Ketiwasan...! Ternyata benar dugaan kita. Nyai
Roro Sekar Mayang berada di belakang semua peristiwa ini...!"
kata Ki Jaka Umbara dengan napas memburu.
"Hm..., coba tenangkan dulu hari kalian! Ceritakan, apa yang
kalian temukan...!" ujar Ki Sapu Jagad seraya menyilakan
keduanya duduk di beranda depan.
Ki Jaka Umbara dan Ki Kebo Ungu menarik napas dalam-
dalam dan menenangkan diri beberapa saat lamanya.
"Nah, coba ceritakan padaku apa yang telah kalian lihat?!"
pinta Ki Sapu Jagad setelah melihat warga agak tenang.
"Kami bertemu dengan Nyai Roro Sekar Mayang...," ujar Ki
Jaka Umbara.
"Lalu...?"
"Ki Lodaya kena dipenganihinya, Ki!" sahut Ki Kebo Ungu.
"Apakah karian diam saja dan meninggalkannya...?"
"Bukan begitu. Wanita iblis itu memiliki ilmu sihir hebat.
Mula-mula Ki Lodaya melawan anak buahnya, namun akhirnya
dia dibuat tak berkutik. Ketika wanita itu muncul, Ki Lodaya
mencoba menyerangnya. Namun dengan sekali bentak, tubuh
Ki Lodaya terpental. Lalu wanita itu menggunakan ilmu sihir
untuk mempengaruhinya. Sehingga Ki Lodaya tidak berdaya
melawannya. Bagai kehilangan akal Ki Lodaya menuruti
perintah Nyai Roro Sekar Mayang...," lanjut Ki Kebo Ungu
menjelaskan.
"Kurang ajar!" Ki Sapu Jagad menggeram sambil
mengepalkan kedua tangan.
"Apa yang harus kita lakukan sekarang, Ki? Jumlah pengikut
Nyai Roro Sekar Mayang sudah banyak. Dan kalau dia mampu
mempengaruhi Ki Lodaya, tentu mampu pula mempengaruhi
mereka yang memiliki kemampuan setingkat dengan Ki Lodaya.
Lalu yang paling membuat kita serba salah dan repot, jika
harus melawan kawan sendiri...," lanjut Ki Jaka Umbara dengan
wajah cemas.
Ki Sapu Jagad terdiam beberapa saat lamanya seperti
merenungi kejadian yang menimpa sahabatnya itu.
"Sungguh malang nasib, Ki Lodaya. Ternyata nasib yang
menimpanya lebih buruk dari dugaanku semula. Dia kini
menjadi boneka wanita iblis itu...," keluh Ki Sapu Jagad dengan
perasaan tertekan.
"Ki, kita harus melakukan sesuatu untuk menolongnya!" kata
Ki Kebo Ungu bersemangat
"Benar. Aku akan menyiapkan murid-muridku untuk
melakukan penyerangan terhadap wanita iblis itu!" sahut Ki
Sapu Jagad geram.
"Apa kita tidak perlu memberitahu sahabat-sahabat yang
lain?" tanya Ki Jaka Umbara.
'Ya. Aku akan mengirim tiga orang muridku untuk
memberitahu mereka yang lain!" Ki Sapu Jagad cepat berdiri
dan melangkah ke depan untuk mengumpulkan murid-murid
terbaiknya.
Tiga orang muridnya langsung menghadap. Mereka bicara
sebentar kemudian terlihat ketiganya melompat cepat ke
punggung kuda masing-masing dan melesat keluar ketika pintu
gerbang terbuka lebar. Namun....
"Heaaa...!"
Prak! Cras!
"Aaa...!"
"Hah...?!"
Ki Sapu Jagad terkejut. Juga dengan yang lainnya. Ketiga
muridnya memekik nyaring dan terjungkal dari pungung kuda.
Mereka tewas seketika dalam keadaan yang menyedihkan. Dua
orang kepalanya remuk dan seorang lagi lehernya nyaris putus
disambar senjata tajam Bersamaan dengan itu berlompatan
beberapa sosok tubuh ke atas pagar.
"Hi hi hi...! Pesta akan dimulai sebentar lagi! Tempat ini akan
menjadi banjir darah! Hi hi hi...! Orang-orang sok jago akan
menemui pembalasan setimpal atas apa yang pernah kalian
lakukan selama ini...!" terdengar suara tawa nyaring
memekakkan telinga.
Beberapa murid Ki Sapu Jagad tergeletak dan menggelepar
kesakitan. Dari lubang telinga mereka mengucur cairan merah
kental. Sementara yang lain tampak duduk bersila berusaha
menahan suara tawa yang mengandung tenaga dalam kuat itu.
Ki Sapu Jagad terbelalak kaget. Seorang wanita kurus
berjubah besar berwarna putih, telah berdiri di atas tembok
kayu jati yang melindungi, rumahnya. Rambutnya yang panjang
dan sebagian telah memutih, berkibar-kibar ditiup angin. Bola
matanya cekung dan menyorot tajam. Wajahnya pucat bagai
mayat yang bangkit dari kubur. Namun begitu, Ki Sapu Jagad
masih mampu mengenalinya.
"Nyai Roro Sekar Mayang...!"
***
DELAPAN
"Hi hi hi...! Tua Bangka Busuk, agaknya kau tidak bisa
melupakanku, heh?! Bagus! Bagus! Dan sampai ke liang kubur
pun akan kubuat kau tidak bisa melupakanku...!" teriak wanita
itu dengan tawanya yang tetap memekakkan telinga.
"Nyai Roro Sekar Mayang, bagus kau datang mengantarkan
nyawamu sendiri! Aku tak perlu repot-repot lagi mencarimu!"
bentak Ki Sapu Jagad tidak kalah lantang.
"Hi hi hi...! Nyawamu sudah di kerongkongan masih juga
bisa berkoar. Lebih baik kau bergabung denganku secara baik-
baik. Siapa tahu aku bisa mengampuni jiwa busukmu itu!" ejek
Nyai Roro Sekar Mayang sinis.
"Chuih! Iblis! Jangan harap aku sudi menjadi pengikutmu!
Sebaiknya kaulah yang musti sadar dan kembali ke jalan yang
benar. Masih ada waktu sebelum ajal menjemputmu!"
"Tua bangka keparat! Omonganmu semakin . ngaco saja.
Sebaiknya kau memang harus cepat-cepat masuk ke liang
kubur...!" bentak Nyai Roro Sekar Mayang semakin geram.
Dia memberi isyarat pada anak buahnya. Bersamaan dengan
itu melesat cepat dua puluh orang yang datang bersamanya,
menyerang Ki Sapu Jagad beserta seluruh muridnya.
"Yeaaa...!"
"Hi hi hi...! Ayo, cincang mereka dan jangan sisakan seorang
pun! Hi hi hi...! Berpesta poralah kalian sesuka hati...!"
"Heh...?"
Ki Sapu Jagad tersentak kaget. Banyak di antara anak buah
Nyai Roro Sekar Mayang yang dikenalnya. Bahkan di antara
mereka ada Ki Lodaya. Ki Sapu Jagad tampak berusaha
menyadarkan mereka, namun sia-sia saja. Orang-orang itu
sama sekali tidak menghiraukan dan tetap menganggapnya
sebagai musuh yang harus dilenyapkan.
"Ki Lodaya, sadarlah! Aku sahabatmu sendiri! Kenapa kau
sekarang?! Apa yang telah diperbuat wanita iblis itu
terhadapmu?!"»
'Yeaaa...!"
"Haits! Heaaa...!"
Ujung pedang Ki Lodaya yang menyambar ke leher Ki Sapu
Jagad sebagai jawaban dari kata-kata orang tua itu. Ki Sapu
Jagad terkejut bukan main dan terpaksa menghindar dengan
melompat ke belakang. Dua orang lawan terus memburunya
dari belakang. Orang tua itu menggeram dan terpaksa
mencabut pedang untuk memberikan perlawanan. Namun
tampak tidak mudah. Lawan-lawannya tidak bisa dianggap
remeh karena rata-rata mereka memiliki kepandaian tinggi.
Bahkan dia tampak mulai bingung ketika jerit kematian murid-
muridnya terdengar susul-menyusul.
"Iblis-iblis keparat! Akan kubunuh kalian! Yeaaa...!" Ki Sapu
Jagad menggeram dan melakukan serangan diiringi kemarahan
yang meluap-luap.
Namun hal itu ternyata tidak mudah baginya. Tiga orang
lawan yang menyerangnya bukanlah orang sembarangan.
Agaknya Nyai Roro Sekar Mayang tahu betul keadaan dan
menempatkan orang-orangnya dengan lawan yang tepat. Ki
Sapu Jagad tak mampu berkutik dibuatnya. Bahkan kalau tidak
hati-hati, nyawanya sendiri akan melayang disambar senjata
lawan.
'Yeaaa...!"
Trang!
Bret!
"Aaakh!"
Dua buah golok menyambar ke arahnya. Ki Sapu Jagad
mengibaskan senjata untuk menangkis. Kaki kanannya berputar
menendang lawan yang berada paling dekat. Setelah itu
tubuhnya dengan cepat melompat ke samping untuk
menghindar. Namun tiba-tiba angin tajam menyambar pangkal
lehernya. Ki Sapu Jagad menunduk dan bermaksud membalas
sambil memutar tubuh. Pada saat itu sebilah pedang lawan
menyambar perutnya. Seketika mulutnya menjerit tertahan
sambil mendekap perutnya yang robek dan bercucuran darah.
'Yeaaa...!"
Dua orang pengikut Nyai Roro Sekar Mayang dengan penuh
nafsu terus menerjang Ki Sapu Jagad yang tengah terhuyung-
huyung ke belakang.
Trang!
"Uhhh...!"
"Hiiih!"
Ki Sapu Jagad mengibaskan pedang berusaha menangkis
sambil melompat ke samping. Tubuhnya bergulingan
menghindarkan diri dari hantaman pukulan jarak jauh yang
dilancarkan lawan.
Duk!
"Aaakh...!"
Pada saat itu juga seorang lawan yang lain menghantam
punggungnya dengan keras.
Ki Sapu Jagad menjerit kesakitan. Tubuhnya terjungkal ke
depan dengan mulut menyemburkan darah segar.
"Hiyaaa...!"
Dua orang lawan yang lain melompat cepat, bermaksud
menghabisi orang tua itu secepatnya. Ki Sapu Jagad mengeluh
pendek. Dia tidak mampu bergerak cepat. Sudah jelas senjata
lawan akan menghabisi hidupnya. Orang tua itu hanya bisa
menutup mata sambil berdoa dengan hati pasrah.
Siiing!
Tras! Bret!
"Aaa...!"
***
Mendadak pada saat itu mendesing sebuah benda yang
mengeluarkan cahaya putih keperakan menyambar senjata-
senjata lawan hingga berpen-talan patah. Senjata maut itu
terus melesat menyambar tenggorokan mereka. Dua orang
langsung menjerit tertahan dan ambruk dengan leher nyaris
putus.
"Ki Anggora, bantu yang lainnya! Biar kuhadapi wanita iblis
itu...!" teriak seorang pemuda berbaju kulit harimau dan terus
melesat menangkap benda yang mendesing bagaikan kilat itu.
"Hi hi hi...! Bagus! Bagus! Akhirnya semua berkumpul di
tempat ini. Hari ini Pendekar Pulau Neraka akan menemukan
tempat kuburan yang sesuai bagi kalian. Yeaaa...!"
Bersamaan dengan melesatnya tubuh Bayu alias Pendekar
Pulau Neraka, sesosok tubuh kurus berbaju putih memburu.
Wanita itu menghantamkan pukulan maut yang mengeluarkan
sinar putih ke arah Bayu.
Bruakkkh!
"Aits! Heaaa...!"
Bayu berkelit dengan gesit sambil jungkir balik.
Namun ketika kedua kakinya bani saja menjejak ke tanah,
pukulan maut lawan menghantamnya. Pemuda itu bergerak
tidak kalah sigap dan melompat tinggi. Namun Nyai Roro Sekar
Mayang agaknya tidak mau memberi kesempatan sedikit pun
pada lawan. Tubuhnya melesat cepat bagai angin kencang dan
terus menghantamkan kepalan tangan ke dada Pendekar Pulau
Neraka.
Plak!
Wuuut!
"Hiiih!"
Bayu sedikit terkejut ketika tangannya berbenturan. Terasa
ada hawa panas yang menyengat mengaliri tenaga dalam
lawan. Dia melompat ke samping seraya mengegoskan kepala
ketika ujung kaki kanan lawan menghantam ke arah dagu.
Melihat dua serangannya gagal, Nyai Roro Sekar Mayang
menggeram dan langsung menghantam dengan pukulan
mautnya yang mengeluarkan cahaya putih.
"Jatuh...!"
Dia membentak nyaring ketika lawan masih mampu
menghindar sambil bergulingan.
Bayu tersentak kaget. Sesaat dia kebingungan bagai
kehilangan kesabaran. Pukulan lawan tadi sempat membuat
jantungnya berdegup kencang. Meski dia mampu
menghindarinya, namun masih terasa perih dan sakit seperti
ditusuk-tusuk akibat angin pukulan Nyai Roro Sekar Mayang.
"Yeaaa...!"
Pemuda itu membentak keras dan berusaha melawan
dengan sekuat tenaga pengaruh sihir Nyai Roro Sekar Mayang.
"Hi hi hi...! Pendekar Pulau Neraka, kau harus patuh padaku!
Kau harus patuh padaku! Tidak ada seorang pun yang mampu
melawan pengaruh ilmu sihirku. Kau harus patuh...!" kata Nyai
Roro Sekar Mayang dengan suara melengking tinggi yang
mampu memecahkan gendang telinga.
Tubuh pemuda itu bergetar hebat. Teriakannya tadi hanya
mampu mengusir pengaruh sihir lawan dalam sekejap. Namun
begitu teriakannya hilang, pengaruh sihir Nyai Roro Sekar
Mayang seperti mesibetot sukmanya.
"Tidak! Aku harus berusaha melawannya. Iblis betina ini
tidak boleh menguasaiku...!" desisnya geram.
"Yeaaa...!"
Siiing!
Dengan sisa kesadarannya Pendekar Pulau Neraka
mengerahkan tenaga dengan kekuatan penuh sambil
mengibaskan tangan kanan. Bersamaan. dengan itu Cakra
Maut-nya berdesing mengeluarkan cahaya putih keperakan.
Suaranya memekakkan telinga.
"Heh...?!"
Nyai Roro Sekar Mayang terkejut dan buru-buru melompat
menghindar dari sambaran senjata lawan.
"Bedebah...!" makinya geram.
Bayu tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Tubuhnya
langsung melompat melancarkan serangan cepat.
"Hiyaaa...!"
Plak!
"Hiiih!"
Nyai Roro Sekar Mayang terkesiap dan cepat menangkis.
Ujung kaki pemuda itu menyambar ke arah dada.
Kali ini Bayu tidak mau memberi kesempatan lagi pada lawan
untuk mengerahkan ilmu sihirnya. Dia terus menyerang dengan
ganas dan mengerahkan segenap kekuatan yang dimilikinya.
Bet! Bet!
Tap!
Kepalan tangan dan kedua kakinya silih berganti
menghantam lawan. Wanita itu melompat mundur untuk
mengatur napasnya yang mulai memburu. Bayu dengan cepat
melejit ke atas menyambar Cakra Mau yang melesat kembali.
Senjata andalannya itu lalu melesat lagi menyambar lawan.
Nyai Roro Sekar Mayang terkesiap dan berusaha mengelak.
Namun tak urung pinggang kirinya tersambar Cakra Maut milik
Pendekar Pulau Neraka.
Cras!
"Aaa...!"
"Hiyaaa...!"
Bayu tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan. Dia langsung
menyerang terus dengan menghantamkan pukulan jarak jauh
yang bertenaga kuat
Nyai Roro Sekar Mayang bergulingan menghindarinya.
Namun Pendekar Pulau Neraka terus memburu sambil
menangkap senjata andalannya. Dan ketika tubuhnya
melompat menghindar dari hantaman pukulan jarak jauh yang
dilancarkan Pendekar Pulau Neraka. Cakra Maut melesat
menyambar wanita itu.
Cras!
"Aaakh!"
Nyai Roro Sekar Mayang mengeluh tertahan. Kepalanya
terkulai dan nyaris lepas dari leher. Tubuhnya terhuyung-
huyung beberapa saat sebelum ambruk dan tewas berlumuran
darah.
"Wanita iblis itu mati...!" teriak salah seorang murid Ki Sapu
Jagad.
"Nyai Roro Sekar Mayang tewas...!" sahut lainnya.
"Hei...!"
Tiba-tiba semua terkejut mendengar suara teriakan. Sebab
bersamaan dengan tewasnya wanita itu, mereka yang tadi
menyerang Ki Sapu Jagad beserta murid-muridnya dengan
ganas, kini terdiam dengan pandangan mata bingung.
"Hei, apa yang telah kita lakukan di sini...?" tanya seseorang
dari mereka bingung.
"Astaga! Apa yang kulakukan...?!"
"Ki Sapu Jagad? Oh, apa yang telah terjadi...?"
Ki Lodaya yang telah sadar dari pengaruh sihir Nyai Roro
Sekar Mayang terperanjat kaget ketika melihat sahabatnya
terluka parah. Buru-buru dia menghampiri Ki Sapu Jagad dan
menolongnya. Demikian pula dengan yang lainnya. Mereka
segera menolong murid-murid Ki Sapu Jagad yang terluka
parah.
"Aku tidak menyalahkanmu, Ki Lodaya. Sudahlah! Semuanya
sudah berakhir. Nyai Roro Sekar Mayang yang mempengaruhi
kalian telah tewas di tangan Pendekar Pulau Neraka...," ujar Ki
Sapu Jagad ketika mendengar berkali-kali Ki Lodaya meminta
maaf atas apa yang telah dilakukannya terhadap sahabatnya
itu.
"Pendekar Pulau Neraka? Mana dia? Kenapa aku tak
melihatnya sejak tadi...?" tanya Ki Lodaya seraya mencari-cari.
"Mungkin masih ada di halaman depan...," sahut Ki Sapu
Jagad seraya memutar pandang. Namun sia-sia saja. Orang
yang mereka cari tidak terlihat di tempat itu. Wajahnya tampak
kecewa melihat pemuda itu tidak ditemuinya.
"Hm, mungkin dia telah meninggalkan tempat ini setelah
tugasnya selesai...," ujar Ki Sapu Jagad dengan suara lirih
seraya menggeleng-gelengkan kepala.
Lain halnya yang dirasakan Ayu Sulastri, meski pada
dasarnya apa yang mereka rasakan hampir bersamaan. Gadis
itu melangkah seraya mengedarkan pandang ke sekelilingnya.
Namun jejak pemuda itu sama sekali tidak ditemukannya.
"Kenapa? Kenapa kau pergi begitu saja tanpa pamit?
Tidakkah kau mengetahui apa yang kurasa di hati ini... ? "
keluh batin Ayu Sulastri dengan wajah murung.
Dia tersentak kaget ketika merasa pundaknya ditepuk pelan
dan melihat gurunya tersenyum kecil.
"Apa yang sedang kau cari...?" tanya orang tua itu lembut.
"Eh, tidak! Tidak apa-apa, Guru...," sahut si Gadis sedikit
tergagap.
Ki Anggora tersenyum lebar seraya menarik napas panjang.
"Pemuda itu memang tampan dan gagah. Untuk saat ini
siapa gadis yang tidak menyukainya? Tapi..., he aku tidak
menyalahkanmu dan siapa pula yang bisa menduga hatinya.
Mungkin kau bagai pungguk merindukan bulan. Kalau ada kata
yang bisa menghiburmu adalah, lupakan dia! Kalau benar kau
tidak bertepuk sebelah tangan, dia akan kembali padamu. Tapi
sebaiknya kita harus hidup di alam nyata, bukan mengharap
mimpi yang jauh dari kenyataan...."
"Guru, apakah suatu mimpi jika kita menyukai seseorang...?"
tanya si Gadis pelan.
"Tergantung...."
"Maksud, Guru...?"
"Apakah kita yakin bahwa orang itu menyukai kita pula? Jika
benar, mungkin bukan mimpi. Tapi kalau hanya kita yang
menyukainya sedang dia sama sekali tidak mengetahui, itu
lebih dekat ke mimpi...," sahut Ki Anggora bijak.
Ayu Sulastri mengeluh pelan seraya menghela napas berat,
lalu membalikkan tubuh. Ki Anggora kembali tersenyum seraya
menepuk-nepuk pundak gadis itu dan mengajaknya melangkah
perlahan-lahan.
"Mudah-mudahan kau akan menemukan orang yang
menyukaimu dengan sepenuh hati. Wanita lebih baik menerima
laki-laki yang mencintainya sepenuh hati."
"Terima kasih, Guru. Aku akan selalu mengingat hal itu...,"
sahut Ayu Sulastri lirih.
Keduanya melangkah pelan. Ayu Sulastri mengerti apa yang
dikatakan gurunya. Namun untuk menerimanya mungkin masih
sulit Paling tidak perlu waktu yang cukup lama, untuk
memadamkan bara di hatinya yang saat ini menyala-nyala.
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar