..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Kamis, 06 Februari 2025

PENDEKAR PULAU NERAKA EPISODE NYI RORO SEKAR MAYANG

Nyi RORO SEKAR MAYANG

 

SATU


Pagi nan cerah di sebuah lembah yang tidak begitu subur, 
terdengar teriakan-teriakan membahana. Suara-suara itu seolah 
hendak meruntuhkan tebing-tebing yang berdiri kokoh di 
sekitarnya. Tidak jauh dari tempat itu terlihat sebuah gubuk 
kecil yang memiliki halaman cukup luas di depannya. 
Permukaan tanah di tempat itu lebih rata dibanding dengan 
keadaan di sekitarnya. 
Seorang lelaki berusia sekitar tiga puluh lima tahun dan 
wanita dua puluh delapan tahunan, tengah melompat ke sana 
kemari sambil memainkan jurus-jurus ilmu silat yang amat 
ganas. Di sekitarnya terlihat tulang-belulang manusia 
berserakan dalam jumlah yang cukup banyak. Ternyata dari 
sinilah sumber suara-suara teriakan tadi berasal. 
Kedua orang itu sebenarnya sepasang suami istri dan 
sekaligus sebagai tokoh yang amat ditakuti di dunia persilatan. 
Yang lelaki bernama Ki Sanca Ireng. Sedangkan istrinya yang 
berambut panjang terurai sebatas pinggang bernama Nyai Roro 
Sekar Mayang. Saat ini mereka tengah berlatih suatu jurus silat 
yang amat langka dan puluhan tahun lalu pernah 
menggemparkan dunia persilatan di tangan Ki Panuluh Puspa. Tokoh tua yang terkenal dan kehebatannya 
tiada tara itu adalah guru Sanca Ireng dan Nyai Roro Sekar 
Mayang. 
"Haaat...!" 
"Yeaaa...!" 
Keduanya kembali melompat sambil membentak nyaring. 
Beberapa buah tengkorak kepala manusia berpentalan ke atas 
tertendang kaki mereka. 
Crab! Crab! 
"Hiiih!" 
Kedua tangan mereka membentuk cakar dan melesak dalam 
batok kepala tengkorak, lalu bergantian menghantam batok 
kepala tengkorak lainnya yang tersisa. Ketika keduanya melesat 
kembali, satu persatu tengkorak kepala manusia itu berjatuhan. 
Terlihat bekas jari-jari tangan mereka membentuk lubang di 
masing-masing kepala tengkorak. 
"Hm, sial! Belum juga berhasil kutemukan cara agar pukulan 
Tengkorak Hitam-ku menjadi lebih sempurna!" dengus Ki Sanca 
Ireng geram. 
"Betul, Kakang! Aku pun semakin kesal saja. Pukulan 
Tengkorak Purih-ku belum seperti apa yang kuinginkan," sahut 
Nyai Roro Sekar Mayang. 
"Hhh... tapi kita harus sabar dan terus tekun berlatih...." 
"Hm, sampai kapan? Sayang, guru telah meninggal sebelum 
rahasia kedua ilmu pukulan itu kita kuasai...," ujar Nyai Roro 
Sekar Mayang. 
Ki Sanca Ireng terdiam dan menatap tajam ke arah 
tengkorak-tengkorak kepala manusia yang berserakan. Rata-
rata dalam keadaan berlubang tertembus jari-jari mereka.

"Kita harus mencari korban lagi, Nyai...," katanya pelan. 
"Benar. Hhh... tapi semakin jarang orang yang tersesat ke 
lembah ini. Mau tak mau kita harus mencarinya di luaran sana," 
sahut istrinya. 
"Hm, kalau demikian kita harus keluar dari lembah ini untuk 
mencari korban baru...." 
"Mari, Kakang! Untuk apa buang waktu lagi?" sahut istrinya 
cepat seraya melompat dari tempat itu. 
Ki Sanca Ireng mengikuti dengan gerakan gesit sambil 
mengerahkan ilmu lari cepatnya. Tampak kedua suami istri itu 
melesat bersamaan meninggalkan lembah itu. Namun belum 
jauh mereka berlari, mendadak Ki Sanca Ireng berbisik halus 
pada istrinya sambil menghentikan larinya. 
"Nyai, berhenti sebentar! Tampaknya ada beberapa orang 
tersesat di daerah ini." 
Nyai Roro Sekar Mayang segera berhenti dan menajamkan 
pendengaran. Kemudian terlihat dia mengangguk pelan sambil 
memandang ke satu arah. 
"Pucuk dicinta ulam tiba! Kalau benar, untuk apa kita 
bersusah payah mencari korban baru di luaran sana...?" 
Keduanya melompat cepat ke atas sebatang pohon yang 
terdekat Kemudian melompat dari satu pohon ke pohon lainnya 
mendekati suara-suara yang mereka dengar. 
Kelima orang itu berjalan beriringan sambil memperhatikan 
ke sekitar hutan itu dengan tatapan curiga. Dari cara 
berpakaian dan senjatarsenjata yang disandang, jelas mereka 
bukanlah orang-orang sembarangan. Paling tidak kelimanya 
mengerti ilmu silat. Salah seorang di antara mereka yang 
berusia sekitar empat puluh tahun dan bertubuh agak kecil

memberi isyarat pada kawan-kawannya agar menghentikan 
langkah. Matanya menyapu ke sekeliling dengan wajah 
menyiratkan perasaan curiga. 
"Ada apa Kakang Suganda? Apakah kau mendengar sesuatu 
yang mencurigakan?" tanya salah seorang kawannya yang 
memakai baju kuning. 
"Hm, sepertinya aku merasakan keanehan di hutan ini..," 
gumam lelaki yang dipanggil Suganda. 
"Keanehan bagaimana, Kakang...?" tanya satu-satunya 
wanita di antara mereka. 
"Entahlah, Ni Lastri. Tempat ini terasa sunyi sekali. Sedikit 
pun tak terdengar suara burung atau binatang lain. Sebaiknya 
kita bersikap waspada...!" 
"Hm, buat apa takut! Kalaupun ada harimau atau beruang, 
bisa berbuat apa pada kita!" dengus seorang lainnya yang 
berkepala botak dan bertubuh gempal. 
"Jangan gegabah kau, Oleng! Kalau hanya harimau atau 
binatang buas lainnya kita memang tidak perlu takut Tapi kalau 
lebih dari itu, kita harus waspada!" desis kawannya yang 
bertubuh kurus dengan rambut penuh uban. 
"Benar apa yang dikatakan, Ki Sirna. Kita harus berhati-hati 
terhadap apa pun," sahut Ki Suganda. 
"Apa yang kau maksudkan, Kakang Suganda...?" tanya 
kawannya yang berusia sekitar dua puluh lima tahun. Di antara 
kawanan ini tampaknya memang dia yang berusia paling muda. 
"Hutan ini agaknya tidak ramah. Aku khawatir ada sesuatu 
yang membahayakan keselamatan kita, Somali. Entah apa 
namanya, aku pun tak tahu. Namun yang jelas kita harus tetap

waspada dan jangan lengah terhadap apa saja yang 
mencurigakan!" sahut Ki Suganda. 
Baru saja dia berkata begitu, mendadak melesat dua sosok 
tubuh ke hadapan mereka sambil mengeluarkan suara tawa 
nyaring yang mendirikan bulu roma. 
"Hi hi hi...!" 
Kelima orang itu terkesiap kaget Di hadapan mereka telah 
berdiri tegak dua sosok lelaki dan wanita yang memiliki 
pancaran mata amat menakutkan. Keduanya seperti 
memandang enteng terhadap mereka. 
"Kisanak berdua, siapakah kalian? Dan apa maksudnya 
menghadang perjalanan kami?" tanya Ki Suganda dengan nada 
datar. 
"Hi hi hi...! Selamanya daerah di sekitar Lembah Ngampar 
Nyawa adalah kekuasaan kami...," sahut yang wanita. 
Mendengar nama tempat yang disebutkan, kelima orang itu 
tampak terkejut. 
"Jadi..., jadi kalian Iblis Tengkorak Hitam Putih...?!" tanya Ki 
Suganda dengan mata terbelalak. 
Siapa pun orangnya pasti kenal siapa penghuni Lembah 
Ngampar Nyawa. Iblis Tengkorak Hitam Putih yang kesohor di 
delapan penjuru mata angin sebagai tokoh kejam 
berkepandaian tinggi. Tidak heran kalau wajah kelimanya 
langsung pucat begitu mendengar dan mengetahui siapa kedua 
orang di hadapan mereka. 
Namun, sebagai orang yang telah banyak makan asam 
garam di dunia persilatan, tak mungkin mereka menunjukkan 
perasaan takut. Ki Suganda malah balik menatap keduanya dan 
mendengus pelan.

"Hm, Iblis Tengkorak Hitam Putih selamanya bukanlah orang 
baik-baik. Kami tak pernah berurusan dengan kalian. Karena itu 
tak ada alasan untuk bermusuhan dengan kalian berdua...." 
"Hua ha ha...! Ternyata kalian sungguh-sungguh tak 
mengenal kami. Baik ada persoalan maupun tidak, kalian telah 
bertemu dengan kami. Dan selamanya tidak akan pernah ada 
yang selamat di tangan Iblis Tengkorak Hitam Putih. Nah, 
bersiaplah menjemput ajal!" sahut Ki Sanca Ireng. 
Kelimanya segera membuka jurus dan bersiap menghadapi 
saat Ki Sanca Ireng mendekati perlahan-lahan. 
"Yeaaa...!" 
"Hei?!" 
Mendadak saja Nyai Roro Sekar Mayang lebih dulu 
menerkam mereka sambil mengeluarkan bentakan nyaring. Ki 
Sanca Ireng menyusul beberapa saat kemudian. 
"Uts!" 
"Hiiih!" 
Sring! 
Sambil mengelak dari serangan Iblis Tengkorak Hitam Putih, 
mereka langsung mencabut senjata masing-masing dan balas 
menyerang. Namun sambil terkekeh mengejek, kedua suami 
istri itu berkelit ke sana kemari dengan gerakan gesit yang sulit 
dikejar lawan. 
"Hi hi hi...! Kalian kira bisa berbuat apa pada kami, heh?!" 
"Iblis betina, tutup mulutmu! Meski kalian berkepandaian 
tinggi, kami tak akan takut dan menyerah begitu saja!" desis si 
Kepala Botak yang bernama Oleng dengan nada geram.

"He he he...! Siapa yang butuh ocehan kalian? Kami hanya 
butuh batok kepala kalian yang masih segar!" sahut Ki Sanca 
Ireng sambil terkekeh. 
"Dan batok kelima kepala kalian sudah cukup bagi kami. 
Kalian boleh pergi dari sini setelah kami mendapatkannya!" 
timpal Nyai Roro Sekar Mayang. 
"Phuih! Langkahi dulu mayat kami baru kau boleh berbuat 
sesuka hatimu!" dengus Ki Sirna geram. 
"Nyai, aku bosan bermain-main dengan mereka. Sebaiknya 
kau tentukan saja pilihanmu dan sisanya untukku!" ujar Ki 
Sanca Ireng dengan nada tinggi. 
"Baiklah, Kakang. Bagianku si Botak ini dan yang bersenjata 
pedang itu. Kau boleh mengambil tiga orang yang tersisa!" 
"Hm, begitu lebih baik. Nah, ambillah batok kepala mereka 
secepatnya!" 
"Keparat!" Ki Suganda memaki geram. 
Keduanya tampak tak memandang sebelah mata pada 
mereka. Seolah-olah kelimanya sebagai buruan yang mudah 
didapatkan begitu saja. Maka 
Ki Suganda dan kawan-kawannya bertekad akan bertarung 
habis-habisan untuk mempertahankan nyawa mereka masing-
masing. 
Namun Iblis Tengkorak Hitam Putih memang bukan tokoh 
sembarangan. Selama ini nama Lembah Ngampar Nyawa 
terkenal keangkerannya semata-mata karena kehadiran mereka 
di sana. Tak seorang pun bisa keluar dengan selamat setelah 
masuk ke Lembah Ngampar Nyawa. Bahkan banyak di 
antaranya tokoh-tokoh dunia persilatan yang cukup dikenal 
memiliki kepandaian tinggi.

Ki Sanca Ireng dan sang Istri agaknya akan membuktikan 
keperkasaan mereka kepada kelima orang mangsanya itu. 
Meski menghadapi tiga orang lawan, yaitu Ki Sirna, Ni Lastri, 
dan Somali, dia sama sekali tidak merasa kesulitan. Serangan-
serangan mereka selalu luput dari sasaran. Gerakan Ki Sanca 
Ireng memang cepat bukan main dan sulit diikuti. Dengan 
cepat dia menghantam dada Somali. Orang itu terkejut dan 
memiringkan tubuh untuk menghindar. Namun tubuh Ki Sanca 
Ireng telah berputar dengan tangan menyambar tengkuk Ki 
Sirna yang mencoba membokongnya dari belakang. 
Prak! 
"Aaakh!" 
Ki Sirna menjerit kesakitan. Tubuhnya tersungkur ke 
samping dengan tulang leher patah. 
"Iblis keparat, mampuslah kau...!" teriak Ni Lastri geram 
seraya mengayunkan pedang dengan gerakan-gerakan indah 
dan sulit diduga ke mana arah serangannya. 
"He he he...! Ilmu pedangmu cukup hebat, tapi kau terlalu 
gegabah jika berharap mampu mengalahkanku!" ejek Ki Sanca 
Ireng seraya menundukkan kepala menghindar dari tebasan 
senjata Ni Lastri. 
Namun pada saat yang bersamaan, tongkat Ki Somali 
melesat menyodok perutnya. Hanya dengan mendoyongkan 
tubuhnya ke samping Ki Sanca Ireng mampu mengelakkan 
serangan itu. Tangan kirinya dengan cepat berkelebat mencekal 
tongkat lawan dan langsung membetotnya. Ki Somali terkejut 
merasakan sentakan kuat. Dia bermaksud melepaskan 
genggaman pada tongkatnya ketika merasakan bahwa 
tenaganya tidak mampu menahan tarikan lawan. Namun kaki 
kanan Ki Sanca Ireng telah lebih dulu menghantam dadanya.

Bekh! 
"Aaa...!" 
Kembali terdengar jerit kesakitan ketika tubuh Ki Somali 
terjungkal beberapa langkah ke belakang sambil 
menyemburkan darah segar dari mulutnya. 
*** 
"Iblis keparat! Kau harus mampus untuk menebus nyawa 
mereka! Hiyaaa...!" Ni Lastri membentak nyaring karena marah 
melihat kedua kawannya tersungkur tidak berdaya dalam 
beberapa gebrakan saja. Pedangnya berkelebat cepat 
menyambar-nyambar. 
Namun dengan mudah Ki Sanca Ireng mengelakkan setiap 
serangannya. Lelaki berpakaian hitam itu terkekeh-kekeh 
sambil melompat ke sana kemari. Tubuhnya ringan sekali 
menghindari setiap serangan-serangan yang dilancarkan lawan. 
"He he he...! Kuberi kau kesempatan untuk menyerang dan 
ternyata kau sia-siakan. Nah, sekarang giliranmu...!" ujar Ki 
Sanca Ireng seraya melompat menerkam lawan. 
Ni Lastri mengibaskan pedang memapaki tubuh lawan. 
Namun tiba-tiba Ki Sanca Ireng berjumpalitan menghindar. 
Dan.... 
Duk! 
"Aaakh...!" 
Ni Lastri memekik kesakitan ketika tanpa diduga kaki Ki 
Sanca Ireng mendarat di tengkuknya. Tubuh wanita itu 
terjungkal dan tidak mampu bangkit lagi. Ki Sanca Ireng 
terkekeh-kekeh sambil bertolak pinggang. 
Sementara itu Nyai Roro Sekar Mayang agak kesulitan dalam 
menjatuhkan lawan-lawannya. Hal itu tidak mengherankan

sebab Ki Suganda memiliki kemampuan lebih tinggi dari kawan-
kawannya. Namun agaknya hal itu tidak berlangsung lama. 
"Nyai, apakah kau hendak bermain-main lebih lama dengan 
mereka?" teriak Ki Sanca Ireng mulai kesal melihat istrinya 
belum juga menjatuhkan lawan-lawannya. 
"Kakang, kau tenang sajalah! Aku masih memberikan 
kesempatan pada mereka untuk mengerahkan seluruh 
kemampuannya!" sahut Nyai Roro Sekar Mayang. 
"Huh, sebaiknya tidak usah lama-lama!" 
"Baiklah kalau memang kau tidak sabaran...." 
"Phuih! Wanita Iblis, jangan kira bisa berbuat seenaknya 
terhadapku!" dengus Ki Suganda semakin berang. 
"Hi hi hi...! Bisa berbuat apa kau terhadapku? Ketiga 
kawanmu tengah sekarat, dan kini giliran kalian!" 
"Phuih! Cobalah kalau kau mau mampus!" sambut Ki 
Suganda menantang. 
"Hi hi hi...! Sombong. Heaaa...!" 
Tiba-tiba saja tubuh Nyai Roro Sekar Mayang berkelebat 
cepat dan menyambar kedua lawannya. Ki Suganda sempat 
tersentak kaget Namun dengan cepat pedangnya dikibaskan 
untuk menyambut serangan itu. Sementara tongkat di tangan 
Oleng menyambar ke kepala. Dengan gesit sekali tubuh wanita 
itu berkelit dan tahu-tahu ujung kaki kanannya menghantam 
dada Ki Suganda. 
Wuuut! 
Dengan cepat pula Ki Suganda berkelit sambil merundukkan 
tubuh. Namun hal itu ternyata disengaja oleh Nyai Roro Sekar 
Mayang untuk mengalihkan perhatian Oleng agar lengah. 
Ternyata pancingannya mengena. Laki-laki berkepala botak itu

dengan bernafsu mengayunkan tongkat. Untuk 
menghantamnya. Nyai Roro Sekar Mayang yang memang telah 
menyadari serangan itu, melompat ke samping seraya 
melepaskan satu tendangan keras. 
Degkh! "Aaakh...!" 
Oleng memekik keras. Tubuhnya terjungkal ke belakang 
dengan tulang leher patah. Dia berke-lojotan beberapa saat 
Sementara Ki Suganda sengaja tidak menghiraukannya dan 
langsung menyerang wanita itu dengan membabatkan pedang. 
Wuuuti 
"Uhhh...!" 
Namun Nyai Roro Sekar Mayang menghindar dengan gesit. 
Tubuhnya melayang tepat di atas kepala Ki Suganda. Lalu 
menghantam dengan keras. 
Tuk! 
Ki Suganda terperanjat kaget dan buru-buru bergulingan. 
Agaknya Nyai Roro Sekar Mayang telah memperhitungkan hal 
itu. Meski tendangannya hanya mengenai batok kepala lawan, 
namun sempat memanfaatkannya untuk berjumpalitan ke 
belakang. 
Begkh! 
"Aaakh...!" 
Ki Suganda memekik keras. Dia sama sekali tidak menduga 
akan terkecoh oleh serangan lawan. Meski batok kepalanya 
selamat dari tendangan lawan, namun kaki si Wanita yang 
sebelah lagi menyambar dadanya dengan satu tendangan 
keras. Tubuhnya terpental beberapa langkah sambil 
menyemburkan darah segar

"Hi hi hi...! Apa kubilang? Kau tak akan mampu 
menghadapiku. Sengaja kalian tidak kami binasakan sebab itu 
lebih baik. Mati dengan cara perlahan-lahan lebih pantas bagi 
kalian...," kata Nyai Roro Sekar Mayang sambil 
memperdengarkan suara tawanya yang nyaring. 
"Wanita Iblis, bunuhlah kami! Ayo, bunuhlah! Kami tak takut 
mati...!" teriak Ki Suganda garang. Namun dengan begitu otot-
ototnya mengejang, hingga membuat luka dalam yang 
dideritanya semakin parah. Belum lagi selesai kata-katanya, 
darah segar menyembur kembali dari mulutnya. Lelaki setelah 
baya itu bergulingan sambil mendekap dadanya yang terasa 
remuk. 
"Hi hi hi...! Dasar tolol! Apa kau kira dengan begitu aku akan 
mengampuni, heh?!" ejek Nyai Roro Sekar Mayang. 
"Nyai, kenapa kau berlama-lama dengan mereka? Ayo, cepat 
bawa bagianmu dan kita kembali ke pondok!" teriak Ki Sanca 
Ireng, nampak tak sabar terhadap istrinya. 
Nyai Roro Sekar Mayang menoleh sekilas dan melihat sang 
Suami telah menyeret ketiga korbannya. Tanpa banyak bicara 
wanita itu menyambar kedua korbannya. Dengan ringan sekali 
dia mengangkat mereka, lalu melesat cepat meninggalkan 
tempat itu menyusul Ki Sanca Ireng yang telah lebih dulu 
melesat meninggalkannya. 
*** 
DUA


Pemuda berwajah tampan berpakaian terbuat dari kulit 
harimau itu tertegun sesaat. Pandangannya terpaku pada 
tengkorak-tengkorak kepala manusia yang berserakan. Monyet

kecil berbulu hitam yang bertengger di punggungnya menjerit-
jerit kecil sambil menutup wajah dengan jari tangannya. 
"Tenanglah, Tiren dan jangan ribut begitu! Kau hanya akan 
mengundang perhatian orang banyak saja...!" ujar pemuda 
berambut panjang itu kepada monyet kesayangannya. 
"Nguk! Nguk...!" 
Monyet kecil itu mengangguk-angguk dan terus melompat ke 
pundak si Pemuda. Pemuda itu membiarkannya saja dan mulai 
melangkah perlahan-lahan mengikuti jejak-jejak yang tertinggal 
di tanah. Namun pada satu tempat yang dipenuhi ilalang, jejak-
jejak kaki itu hilang. Pemuda tampan berpakaian kulit harimau 
yang tak lain Bayu Hanggara menghentikan langkahnya. 
Matanya mengawasi ke sekitar tempat itu. Namun tetap tak 
ditemukan adanya benda-benda yang memberi petunjuk. 
"Hm, agaknya jejak ini menghilang begitu saja. Pastilah 
mereka melompat ke salah satu cabang pohon. Siapa mereka 
dan apa yang dilakukannya terhadap kepala-kepala tengkorak 
manusia itu?" gumam Bayu dengan wajah berkerut bingung. 
Baru saja Bayu hendak berbalik, mendadak terdengar 
bentakan nyaring. 
"Iblis Tengkorak Hitam Putih, bagus kau berada di sini 
sehingga tak kesulitan kami mencarimu!" 
Bayu cepat berpaling dan melihat dua orang berdiri tegak di 
depannya pada jarak lebih kurang dua puluh langkah. Seorang 
di antara mereka yang bertubuh tegap, menggenggam senjata 
sebilah parang besar. Sementara yang satunya menyelipkan 
pedang di pinggang. Wajah mereka jelas menunjukkan tidak 
bersahabat. Namun mendengar mereka memanggil dengan 
nama yang asing di telinganya, tentu saja Pendekar Pulau 
Neraka dapat menduga bahwa kedua orang itu salah sangka.

"Em.... Sebenarnya siapa kalian berdua...? Lalu siapa yang 
kalian maksudkan dengan Iblis Tengkorak Hitam Putih...?" 
tanya Bayu berusaha untuk bersikap ramah. 
"Phuih! Dasar iblis keparat! Kau kira bisa mungkir dari kami, 
heh?! Siapa pun tahu bahwa kemunculanmu selalu ditandai 
dengan banyak tengkorak-tengkorak kepala manusia yang 
menjadi korbanmu. Hm, hari ini ternyata kau tengah sendirian. 
Lebih baik suruh keluar istrimu agar kalian dapat kami bereskan 
dengan cepat!" desis yang bersenjata parang dengan wajah 
merah menahan geram. 
"Kisanak, tenanglah dulu! Ini mungkin salah paham. Kalau 
kalian menyangka aku adalah Iblis Tengkorak Hitam Putih, itu 
salah besar. Aku sama sekali tidak kenal dengan nama yang 
kalian sebutkan itu. Dan selama ini aku pun belum pernah 
beristri. Aku tengah mengamati-amati, apa yang telah terjadi 
dengan tengkorak-tengkorak kepala manusia ini...," sahut Bayu 
masih tetap bersikap tenang. 
"Subali, kenapa kau malah bersitegang leher dengannya? 
Apakah kedatangan kita ke sini hanya untuk mendengarkannya 
bersilat lidah? Huh, lebih baik kuparahkan batang lehernya 
sekarang juga!" sahut yang mempunyai senjata pedang seraya 
mencabut senjatanya dan melangkah mendekati Pendekar 
Pulau Neraka. 
"Hei, siapa bilang begitu, Somad? Sejak tadi sebenarnya 
tanganku sudah gatal ingin memotes lehernya. Biar dia tahu!" 
timpal kawannya itu. 
"Iblis Tengkorak Hitam Putih, bersiaplah menerima 
kematianmu!" 
Sring! 
"Yeaaa...!"

Begitu mencabut senjata dengan cepat, keduanya langsung 
melompat menyerang Pendekar Pulau Neraka. Bayu tersenyum 
sinis. Dia sudah kehilangan akal untuk meyakinkan bahwa 
dirinya bukarilah orang yang mereka cari. Dan ketika melihat 
keduanya menyerang dengan ganas, pendekar muda itu tidak 
bisa berdiam diri begitu saja. Dia melompat menghindar. 
Tubuhnya melesat ke atas lalu bersalto ke belakang tubuh 
lawan. 
"Kaaakh...!" Tiren yang melompat dari bahunya menjerit 
keras karena nyaris terkena babatan senjata lawan yang luput 
dai sasaran. 
"Kurang ajar! Hei, Iblis Tengkorak apakah ke-bisaanmu cuma 
menghindar?! Ayo, keluarkan segala kesaktianmu dan hadapi 
kami secara jantan!" dengus Subali garang. 
"Hhh..., manusia keras kepala! Tidak usah banyak bicara. 
Cepat, ke sinilah kalian agar aku bisa membelah kepala kalian 
yang keras kepala itu!" sahut Bayu geram. 
"Keparat! Terimalah ini! Yeaaa...!" 
Kedua orang itu mendengus geram dan kembali melompat 
melancarkan serangan. Kali ini Bayu sengaja tidak mau 
melompat ke belakang, melainkan menghindar dari setiap 
tebasan senjata kedua lawan. Tubuhnya bergerak lincah, 
meliuk, bergeser, dan melompat. 
"Hiyaaa...!" 
"Uhhh...!" 
Pedang di tangan Somad menyambar dengan gerakan 
menyilang yang cepat. Dengan cepat pula Pendekar Pulau 
Neraka mundur selangkah, lalu sebelah kakinya terangkat tinggi 
menyambar dagu Subali.

Mendapat serangan mendadak begitu, Subali terkejut dan 
melompat ke belakang untuk menghindar. Namun Pendekar 
Pulau Neraka telah bergerak menyusul. Dengan untung-
untungan Subali mengibaskan senjata memapaki serangan 
lawan. 
Wuuut! 
Bekh! 
"Aaa...!" 
Subali menjerit keras ketika tahu-tahu dadanya terhantam 
serangan lawan, setelah babatan parangnya tak mengenai 
sasaran. Seketika tubuhnya terjungkal beberapa langkah ke 
belakang. Dadanya dirasakan nyeri bukan main. 
Kalau saja saat itu Pendekar Pulau Neraka mengerahkan 
seluruh tenaga dalam yang dimiliki, bukan tak mungkin Subali 
akan muntah darah seketika serta menderita luka dalam yang 
parah. 
"Setan! Mampus kau...!" bentak Somad seraya mengibaskan 
pedang ke kepala dari belakang. 
Pendekar Pulau Neraka berkelit ke samping, namun lawan 
dengan cepat melancarkan serangan balasan dengan 
tendangan keras saat senjatanya luput dari sasaran. Tubuh 
pemuda itu melompat agak tinggi, lalu berjumpalitan seraya 
menghantamkan kepalan tangan kanannya ke wajah lawan. 
Bet! 
Duk! 
"Aaakh...!" 
Dengan sigap Somad mengayunkan pedang memapas 
pergelangan tangan lawan. Namun saat itu pula Pendekar 
Pulau Neraka menarik pulang pukulannya. Tubuhnya sedikit

merunduk ketika dia berbalik dan menghantam perut lawan 
dengan satu tendangan yang cukup keras. Somad memekik 
kesakitan. Tubuhnya terjerembab ke samping SubaB. 
"Pendekar Pulau Neraka, kurasa cukuplah pelajaran yang kau 
berikan pada mereka!" teriak seseorang yang tiba-tiba muncul 
di tempat itu. 
Bayu berbalik dan melihat seorang laki-laki berusia lanjut 
telah berdiri di depannya berjarak sekitar sepuluh langkah. 
"Hhh... siapa sebenarnya dirimu, Ki? Apakah kau kawan 
kedua orang ini?" tanya Bayu dengan nada ramah. 
"Hm, namaku Pending Layung. Mereka berdua adalah 
muridku. Maafkanlah atas kelancangan yang mereka lakukan. 
Keduanya memang masih buta dan belum berpengalaman, 
sehingga maklum kalau mereka tidak mengenalmu...," sahut 
orang tua itu sambil tersenyum ramah. 
"Tidak mengapa, Ki Pending. Hanya saja mereka terlalu 
bernafsu hendak membunuhku. Maka maafkan juga jika aku 
terlalu kasar terhadap mereka." 
"Somad, dan kau Subali! Lekas, minta maaf pada Pendekar 
Pulau Neraka. Kalian memang tolol dan tidak berotak. Apakah 
kalian kira masih bisa bernapas jika dia bertindak kejam? Masih 
untung dia berbaik hati saat ini!" teriak Pending Layung kepada 
dua orang muridnya. 
Somad dan Subali sesaat saling pandang dengan wajah 
kecut. Mereka sama sekali tidak menyangka kalau pemuda di 
hadapannya ternyata pendekar besar yang sering diceritakan 
gurunya. Dengan wajah tertunduk malu, mereka melangkah 
mendekati Pendekar Pulau Neraka menjura hormat 
'Tuan Pendekar, maafkan kami yang bodoh dan buta ini...! 
Sungguh kami tidak tahu kalau Tuan...."

"Tidak mengapa. Hanya lain kali kalian mesti berhari-hari 
dan tidak langsung menyerang sebelum memeriksa lebih 
teliti...," sahut Bayu bernada menggurui. 
"Murid-muridku belakangan ini memang begitu gemas 
terhadap si Iblis Tengkorak Hitam Putih, terutama karena 
tindakannya terhadap muridku yang lain...," kata Ki Pending 
Layung menimpali. 
"Ki Pending, sejak tadi aku mendengar nama IbBs Tengkorak 
Hitam Putih selalu disebut-sebut. Siapa sebenarnya orang itu 
dan apa yang dilakukannya sehingga kalian kelihatan begitu 
mendendam...?" tanya Bayu heran. 
"Mereka adalah sepasang suami istri yang memiliki ilmu keji. 
Guna melatih dan memperdalam ilmu, mereka menculik orang-
orang dijadikan korban bagi perkembangan ilmu mereka. 
Batok-batok kepala yang berserakan itu adalah hasil kerja 
mereka...," tutur Ki Pending Layung. 
Bayu mengangguk sambil memandangi tengkorak-tengkorak 
kepala manusia yang berserakan di sekitar tempat itu. Dia 
melangkah menghampiri kemudian memungut satu kepala 
tengkorak dan mengamatinya. 
"Hm, ilmu yang mereka pelajari memang dahsyat. Dan untuk 
itu kurasa mereka akan terus mencari korban lain guna 
menyempurnakan ilmunya...," gumam Bayu pelan. 
"Itulah yang kukhawatirkan. Telah banyak korban akibat ulah 
mereka, dan ini tidak boleh dibiarkan terus. Harus ada yang 
berani menghentikan kebuasan mereka. Sebab, akan lebih 
banyak korban lain yang berjatuhan kalau kita mendiamkannya 
saja," ujar Ki Pending Layung menyiratkan kecemasan hatinya. 
"Ya, aku sependapat denganmu, Ki Pending. Lalu di 
manakah kita bisa menemui kedua orang itu?"

"Itulah yang saat ini amat membingungkan. Tidak ada yang 
mengetahui di mana mereka berada. 
Banyak yang pernah bertemu dengan Iblis Tengkorak Hitam 
Putih, tapi rata-rata tak seorang pun yang selamat Semua 
binasa di tangan keduanya," sahut Ki Pending Layung. 
"Hm, sulit juga. Tapi persoalan ini harus dibereskan dan 
mereka mesti dihentikan!" 
"Biasanya kedua orang itu meninggalkan jejak dengan 
tengkorak-tengkorak kepala manusia seper^ ti ini. Tapi kalau 
keduanya berada di sekitar tempat ini, sudah barang tentu 
mereka telah muncul sejak tadi. Kini mereka sama sekali tidak 
terlihat batang hidungnya, jadi jelas mereka telah 
meninggalkan tempat ini beberapa saat lamanya sebelum kita 
tiba...," kata Ki Pending Layung seraya mengangguk 
mendengar kata-kata Pendekar Pulau Neraka. Kemudian lelaki 
tua itu kembali menjelaskan kebiasaan v.edua tokoh yang 
tengah mereka bicarakan. 
Mereka kembali terdiam beberapa saat lamanya sampai 
kemudian Bayu menghampiri orang tua itu. 
"Ki Pending, kurasa aku tak bisa berlama-lama di sini. Kami 
akan melanjutkan perjalanan," katanya seraya menggendong 
Tiren yang melompat ke pundaknya. 
"Ah, sebenarnya aku ingin sekali mengundangmu ke 
tempatku, Nak Bayu...." 
"Ah, terima kasih. Aku senang sekali, tapi rasanya masih 
banyak yang harus kukerjakan. Mungkin lain kali aku akan 
mampir ke tempatmu," sahut Bayu menolak secara halus. 
"Pintu rumahku selalu terbuka untukmu, Nak Bayu. Kapan 
saja kalau kau bersedia datang."

"Terima kasih....." 
"Eh, maaf. Mengenai urusan si Iblis Tengkorak Hitam Putih 
apakah kau telah mendapat undangan dari Ki Sapu Jagad?" 
"Undangan apakah gerangan, Ki Pending...?" 
"Beliau mengundang tokoh-tokoh persilatan agar hadir pada 
purnama besok di tempatnya. Kalau kau belum mendapat 
undangan itu, maka pemberitahuan ini anggaplah sebagai 
undangan terhadapmu!" 
"Purnama besok?" Bayu mengernyitkan dahi sesaat, 
kemudian melanjutkan kata-katanya, "Itu berarti dua hari dari 
mulai sekarang?" 
"Benar. Beliau bermaksud menggalang kekuatan untuk 
menghadapi si Iblis Tengkorak Hitam Putih. Datanglah, Nak 
Bayu! Sebab aku pun akan berada di sana pula." 
"Terima kasih, Ki Pending. Mudah-mudahan kalau tak ada 
halangan aku akan ke sana. Nah, aku permisi dulu, Ki Pending!" 
sahut Bayu seraya merangkapkan kedua telapak tangan untuk 
memberi hormat pada orang tua itu. 
Ki Pending Layung mengangguk pelan dan menatap 
beberapa saat lamanya sampai pemuda itu menghilang dari 
pandangan mata. 
"Hm, sungguh kami tiada mengira kalau Pendekar Pulau 
Neraka masih sedemikian muda, Guru...," gumam Subali seraya 
berdecak kagum. 
"Ya, dia memang muda dalam usia, namun kepandaiannya 
sulit diukur. Aku sendiri belum apa-apa jika dibandingkan 
dengannya. Sudah banyak tokoh aliran hitam yang 
berkepandaian tinggi, tewas di tangannya," sahut Ki Pending 
Layung pelan.

"Apakah jika Iblis Tengkorak Hitam Putih sempat bertarung 
dengannya, dia mampu mengatasinya?" tanya Somad. 
Ki Pending Layung menarik napas panjang, "Mudah-
mudahan saja dia mampu mengatasi kedua iblis itu," katanya 
seraya mengajak kedua muridnya meninggalkan lembah itu. 
*** 
Di sebuah lembah yang gersang dan berbatu-batu tampak 
dua orang lelaki terikat pada tonggak kayu. Wajah mereka yang 
telah memucat, dibasahi keringat dingin karena ketakutan. Di 
depan mereka sepasang lelaki dan wanita berwajah bengis 
tengah menatap dengan mata menyiratkan hawa dingin 
membunuh. 
"Kau sudah siap, Nyai...?" tanya lelaki itu. "Hm...," wanita itu 
hanya bergumam sambil mengangguk pelan. 
"Pusatkan pikiranmu dan yakinkan dirimu bahwa kali ini akan 
mampu mencapai hasil yang kita inginkan...," kata lelaki itu lagi 
yang ternyata Ki Sanca Ireng. 
Wanita itu yang tidak lain Nyai Roro Sekar Mayang kembali 
mengangguk dan mendengus seraya menatap calon 
mangsanya tanpa berkedip. 
"Iblis Tengkorak Keparat! Lebih baik bunuh saja kami 
daripada kau siksa begini!" jerit salah seorang dari laki-laki 
yang tengah terikat di tonggak. Wajahnya tampak geram dan 
ketegangan membayang jelas dari wajahnya. 
"Iblis laknat! Ayo, cepat bunuh kami...! Chuih! Apa kau kira 
aku takut mati?!" sambung kawannya menimpali dengan mata 
melotot garang. 
"Tikus-tikus dungu! Jangan kira kami akan mendiamkan 
kalian begitu saja! Dasar tolol! Kalian akan menerima apa yang

kalian inginkan itu!" bentak Nyai Roro Sekar Mayang galak. 
"Huh! Yeaaah...!" 
Ki Sanca Ireng agaknya tidak mau banyak mulut lagi. Dia 
langsung membentak nyaring seraya menghantamkan satu 
pukulan jarak jauh pada calon korbannya. 
Deb! 
Prasss! 
"Aaakh...!" 
Selarik cahaya kehitaman menderu dahsyat ke arah salah 
seorang lelaki yang terikat di tonggak kayu. Terdengar jeritan 
tertahan. Tubuh orang itu hancur berantakan, dan sebagian 
kulit dan dagingnya meleleh seperti terkena larutan penghancur 
daging. 
"Sial!" desis Ki Sanca Ireng kesal. Melihat air mukanya yang 
tidak menggembirakan jelas dia belum mendapatkan hasil yang 
memuaskan dari pukulannya tadi. 
Sementara itu calon korban yang satu lagi, tampak gemetar 
ketakutan Wajahnya yang pucat telah dibasahi keringat dingin. 
Lidahnya semakin kelu untuk berbicara. Sepasang matanya 
membelalak ngeri seakan tak tahan menyaksikan penderitaan 
kawannya. Tubuh lelaki malang itu tidak hanya hancur 
berserakan dengan kulit daging meleleh berwarna kehitaman. 
Namun perlahan potongan-potongan daging itu meleleh terus 
sampai habis tinggal tulang-belulang yang kehitaman. 
"Sekarang giliranmu, Tikus Dungu!" desis Nyai Roro Sekar 
Mayang bersiap menghantam calon korbannya. 
"Eh, oh...!" 
"Yeaaa...!" 
Deb!

Orang itu mengeluh tertahan. Namun pukulan Nyai Roro 
Sekar Mayang telah melesat ke sasaran. Selarik cahaya putih 
mengandung hawa panas menghantam tubuhnya yang terikat 
di tonggak. 
Prasss! 
"Aaakh...!" 
Seperti apa yang terjadi pada kawannya, tubuh orang itu 
hancur berantakan menjadi potongan-potongan daging kecil. 
Kemudian perlahan-lahan meleleh hingga tinggal tulang-
belulangnya yang berwarna pucat. 
"Hm, pukulanku pun agaknya masih belum sempurna, 
Kakang...!" keluh Nyai Roro Sekar Mayang. 
"Setan! Kita harus banyak berlatih lagi kalau begini!" geram 
Ki Sanca Ireng. 
"Kakang, lebih baik kita keluar lagi mencari mangsa lain," 
kata Ki Sanca Ireng. 
"Hm, ya. Mari, kita pergi sekarang juga!" ajak Ki Sanca Ireng 
seraya melompat dan .berlari cepat meninggalkan tempat itu 
diikuti Nyai Roro Sekar Mayang. 
Keduanya melesat berdampingan. Melihat cara mereka 
berlari, nyata sekali bahwa keduanya memiliki ilmu lari cepat 
yang bukan main hebatnya. Laksana sapuan angin kencang, 
membuat ranting serta dedaunan yang mereka lalui bergoyang-
goyang keras. Bahkan hewan-hewan hutan berlarian ketakutan 
karena tersentak kaget 
Dalam waktu singkat mereka tiba di mulut sebuah 
perkampungan yang cukup ramai. Keduanya berjalan dengan 
tenang seraya memandang ke sekeliling tempat yang dilalui.

"Hm, cukup ramai juga desa ini. Kita bisa mendapat korban 
yang cukup banyak...," gumam Ki Sanca Ireng dengan wajah 
berseri. 
"Hei?! Nyai Roro Sekar Mayang membentak nyaring ketika 
berpapasan dengan dua orang pemuda. 
Kedua pemuda itu kaget dan segera menoleh. Namun saat 
itu juga tubuh Nyai Roro Sekar Mayang telah mencelat dan 
menotok keduanya. Cepat sekali dia menjinjing kedua pemuda 
yang lemas tidak berdaya karena aliran darahnya terbelenggu. 
"Hi hi hi...! Aku telah mendapat bagianku. Cepatlah kau 
mencari bagianmu, Kakang!" kata wanita itu seraya tertawa 
kegirangan. 
"Hm... ini dia!" seru Ki Sanca Ireng ketika kebingungan 
mencari orang. Saat itu tampak dua ekor kuda berlari kencang 
membawa sepasang muda-mudi. Dengan cepat tubuh Ki Sanca 
Ireng melompat tinggi ketika kedua kuda melewatinya. Dan 
bagai seekor rajawali menerkam mangsa, dia menukik tajam 
menyambar kedua penunggang kuda. 
"Kakang Braja, awaaas...!" 
"Hup! Yeaaa...!" 
Kedua muda-mudi itu dengan tangkas melompat dari 
punggung kuda dan jatuh bergulingan. Namun dengan cepat 
mereka langsung bangkit berdiri. Secepat itu pula keduanya 
mencabut senjata masing-masing berupa pedang dengan 
gagang terbuat dari perak dan berukir naga mengamuk. 
Demikian pula dengan ukiran yang ada pada wararrgkanya. 
Sorot mata keduanya memandang tajam ke arah Ki Sanca 
Ireng yang tersenyum sinis.

"Kisanak, siapa kau?! Tidak ada angin tidak ada hujan, kau 
menyerang kami dengan ganas?!" bentak pemuda yang 
dipanggil Kakang Braja. 
"Hm, melihat dari pedang itu pastilah kalian dari Perguruan 
Pedang Naga Perak. Kabarnya murid-murid di perguruan itu 
memiliki kepandaian tinggi. Tidak mengherankan, sebab ketua 
kalian Ki Anggora amat terkenal dan dikagumi banyak orang. 
Hm, tapi aku ingin membuktikan sampai di mana kebenaran 
kabar itu...," sahut Ki Sanca Ireng tersenyum dingin dan sangat 
memandang enteng sekali terhadap kedua muda-mudi itu. 
"Hei, orang tua jelek bermuka hitam! Kalau telah mengetahui 
siapa kami, kenapa kau tidak cepat lari dari sini?! Enyahlah, 
sebelum kami bertindak keras terhadapmu!" kali ini gadis jelita 
berbaju hijau dan merah itu yang membentak. 
Semula Nyai Roro Sekar Mayang agak kesal melihat sikap 
suaminya. Namun mendengar tingkah gadis itu, hatinya marah 
bukan main. 
"Hei, Gadis Tolol! Kau kira gurumu itu tokoh hebat tiada 
tara? Chuih! Dasar bocah ingusan. Lebih baik buka matamu 
lebar-lebar dan korek kupingmu agar kau tidak salah 
mendengar. Saat ini kalian tengah berhadapan dengan Iblis 
Tengkorak Hitam Putih!" dengus Nyai Roro Sekar Mayang 
sambil berkacak pinggang, setelah melemparkan kedua 
pemuda yang dijinjingnya. 
Mendengar wanita itu menyebutkan jati dirinya, wajah kedua 
muda-mudi tampak pucat. Mereka memandang Iblis Tengkorak 
Hitam Putih dengan perasaan takut Tanpa sadar keduanya 
saling merapat untuk menjaga dan sekaligus berwaspada. Siapa 
yang tidak mengenal nama itu? Di seantero rimba persilatan 
nama itu kini menjadi momok yang amat menakutkan.

Namun begitu si Pemuda berusaha menahan rasa takutnya 
dengan menarik napas dalam-dalam. Matanya menatap wanita 
berkulit pucat dan berwajah dingin itu. 
"Hm, jadi kalian yang berjuluk Iblis Tengkorak Hitam Putih! 
Sungguh beruntung hari ini kalian bisa bertemu dengan 
kami...!" 
"Bocah ingusan, apa maksudmu?!" kali ini Ki Sanca Ireng 
yang membentak. 
Pemuda tampan bernama Braja itu tersentak kaget. Nyaris 
jantungnya berhenti berdetak dan gendang telinganya pecah 
mendengar bentakan keras menggelegar itu. Dia kembali 
menarik napas panjang, dan menenangkan hati. 
"Huh, kalian memang hebat dan memiliki kepandaian amat 
tinggi. Tapi jangan kira bisa berbuat seenaknya. Para tokoh 
persilatan golongan putih kini tengah berkumpul dan siap 
menghancurkan kalian berdua. Datanglah ke pinggiran Hutan 
Alas Layang, mereka tengah menunggu kalian berdua di sana. 
Sebagai seorang yang amat disegani dan ditakuti, tentu kalian 
tidak akan lari dari tantangan itu. Kecuali kalau kalian berdua 
memang pengecut!" 
"Keparat! Kau kira kami takut, heh?! Kapan mereka 
menantang kami?!" desis Ki Sanca Ireng garang. 
"Hari ini juga, tepatnya sebelum matahari tenggelam!" sahut 
Braja, mantap. 
***

TIGA

Kedua muda-mudi itu menarik napas lega ketika melihat Iblis 
Tengkorak Hitam Putih meninggalkan mereka begitu saja. 
Bahkan Nyai Roro Sekar Mayang sama sekali tidak 
mempedulikan kedua pemuda yang akan mereka jadikan 
korban. 
"Kakang, akal apa lagi yang kau gunakan? Kita tak akan bisa 
selamat kalau ternyata mereka tak menemukan siapa pun di 
tempat itu," kata gadis itu dengan nada khawatir. 
"Tidak usah takut Bukankah tokoh-tokoh persilatan aliran 
lurus saat ini tengah berkumpul untuk menantangnya?" 
"Tapi Kakang mendahului mereka?!" "Hm, itu bukan 
masalah. Yang penting kita harus buru-buru menuju tempat 
kediaman Ki Sapu Jagad untuk melaporkan hal ini." 
"Sebentar lagi sore, kedua Iblis Tengkorak Hitam Putih akan 
tiba di sana. Kita harus bergegas, Kakang!" ujar gadis itu 
seraya mencari-cari kuda tunggangannya yang tadi sempat 
kabur. 
Masih untung kedua hewan itu tidak berada jauh dari 
mereka, sehingga dengan mudah dapat ditemui dan langsung 
memacu kencang meninggalkan tempat itu. 
Tempat kediaman Ki Sapu Jagad memang tidak begitu jauh 
dari desa yang tadi mereka lalui. Dan kebetulan pula saat ini 
mereka sesungguhnya tengah melakukan perjalanan menuju ke 
tempatnya. Tidak lebih dari sepeminum teh kudanya sampai ke 
tempat tujuan. 
Sebuah rumah yang besar berpagar kayu jati yang berjajar 
rapi. Di halaman depan banyak kuda tertambat. Pintu

gerbangnya tertutup dan di dalam dijaga dua orang laki-laki 
bersenjata lengkap. 
Kedua muda-mudi itu langsung turun dari punggung 
kudanya. 
"Selamat sore! Kami murid Ki Anggora, ingin menemui 
beliau!" kata pemuda itu. 
Pintu gerbang segera terbuka. Kedua penjaga gerbang 
mempersilakan keduanya masuk. 
Apa yang diduga mereka memang-fidak salah. Di ruang 
tengah bangunan utama tampak tokoh-tokoh persilatan tengah 
berkumpul. Tidak kurang dari dua puluh orang hadir dalam 
pertemuan itu. 
Seorang laki-laki tua berusia sekitar lima puluh tahun 
menyambut mereka. Orang tua bertubuh gagah dan berambut 
yang sebagian telah memutih itu berbicara sejenak kepada 
muda-mudi yang baru datang. Setelah itu tampak dia 
memandang kepada para tokoh persilatan yang berada di 
ruangan itu. "Saudara-saudara semua, aku baru saja menerima 
berita menggembirakan dari dua orang muridku. Mereka baru 
saja bertemu dengan Iblis Tengkorak Hitam Putih...!" 
"Hm, lalu bagaimana...?" tanya seorang lelaki tua berambut 
putih panjang dan digelung ke atas sebagian. 
"Kedua muridku telah menjebaknya dengan mengatakan 
bahwa kita menunggu Iblis Tengkorak Hitam Putih di pinggiran 
Hutan Alas Layang, Ki Sapu Jagad." 
"Hm, Hutan Alas Layang tidak begitu jauh dari sini...," 
gumam Ki Sapu Jagad.


"Kita harus berangkat sekarang, Ki. Sebab kedua muridku 
mengatakan bahwa perjanjian itu sebentar lagi saat matahari 
akan tenggelam," sahut orang tua yang tidak lain Ki Anggora. 
"Baiklah. Kalau demikian sekarang juga kita berangkat ke 
sana!" seru Ki Saput Jagad yang langsung disusul pembubaran 
pertemuan itu. Diajaknya para pendekar untuk bergegas 
menuju Hutan Alas Layang. 
Apa yang dikatakan kedua murid Ki Anggora ternyata benar. 
Ketika rombongan Ki Sapu Jagad sampai tujuan, terlihat Iblis 
Tengkorak Hitam Putih tengah berdiri menanti mereka. Banyak 
di antara para tokoh persilatan yang baru kali ini melihat kedua 
tokoh itu. Paling tidak sebagian dari mereka tampak kecut 
melihat keangkeran keduanya. Hal itu tidak mengherankan 
sebab sorot mata Iblis Tengkorak Hitam Putih sangat tajam, 
seolah-olah mengandung daya sihir yang mampu merontokkan 
tulang-belulang mereka. 
Di samping itu keadaan keduanya memiliki perbedaan 
menyolok. Ki Sanca Ireng berkulit hitam pekat dan bertubuh 
tinggi besar. Sementara istrinya bertubuh kurus dan berkulit 
pucat bagai mayat. Matanya yang cekung seolah menyimpan 
kekuatan aneh. Rambutnya yang panjang dibiarkan terurai 
begitu saja. 
"Hm, hanya inikah orang-orang yang bermaksud menantang 
Iblis Tengkorak Hitam Putih...?" dengus Ki Sanca Ireng dengan 
nada sinis. 
Ki Sapu Jagad maju beberapa langkah mendekati Iblis 
Tengkorak Hitam Putih diikuti beberapa tokoh persilatan 
lainnya. Mereka berhenti saat jarak telah terpaut lima belas 
langkah. 
"Iblis Tengkorak Hitam Putih, hari ini akan berakhir segala 
macam sepak terjangmu. Namun belum terlambat kalau kalian

ingin menyerah dan menerima hukuman tanpa mengadakan 
perlawanan!" teriak Ki Sapu Jagad dengan suara lantang. 
"Ha ha ha...! Orang Tua Busuk, seenaknya saja kau berkata 
begitu pada kami?! Huh, sungguh menganggap rendah!" 
dengus Ki Sanca Ireng. 
"Kakang, aku muak sekali melihat tingkah mereka. Tanganku 
pun sudah gatal ingin menghajar mulut-mulut sok jago itu!" 
desis Nyai Roro Sekar Mayang. 
"Hm, kalau kalian memang tidak bisa diajak bicara baik-baik, 
jangan salahkan kalau kami bertindak kasar!" seru Ki Sapu 
Jagad seraya memberi isyarat pada rombongan pendekar agar 
mengepung Iblis Tengkorak Hitam Putih. 
"Bagus! Lebih cepat dan dekat kalian ke sini, maka akan 
lebih mudah bagi kami untuk mengirim kalian ke akherat!" kata 
Ki Sanca Ireng sambil tertawa kecil.- 
Baik Ki Sanca Ireng maupun istrinya, sama sekali tak 
memperlihatkan bahwa mereka takut, padahal jumlah lawan 
lebih dari lima belas orang. Bahkan sebaliknya terlihat jelas 
kalau Iblis Tengkorak Hitam Putih menganggap remeh. 
"Yeaaa...!" 
Keduanya membentak keras dan melompat menerkam 
lawan-lawannya yang mulai mendekat. 
Ki Sapu Jagad dan para pendekar yang bersamanya 
tersentak kaget Gerakan yang dilakukan suami istri itu cepat 
bukan main. Ki Sanca Ireng menerjang Ki Sapu Jagad, 
sementara Nyai Roro Sekar Mayang menghadapi Ki Anggora. 
Namun melihat perlawanan Iblis Tengkorak Hitam Putih, para 
pendekar yang lain segera ikut melancarkan

serangan terhadap suami istri itu. "Yeaaa...!" "Hiyaaa...!" 
Sring! Sring! 
Suara teriakan yang diiringi berkelebatnya berbagai macam 
senjata menyambar Iblis Tengkorak Hitam Putih. Namun 
dengan gesit keduanya berkelebat ke sana kemari sambil 
tertawa mengejek. 
"Ha ha ha...! Apakah hanya segini jumlah kalian? Sepuluh 
kali lipat lagi belum tentu mampu menjatuhkan Iblis Tengkorak 
Hitam Putih!" ejek Ki Sanca Ireng. 
"Iblis terkutuk! Ajalmu telah dekat, kau masih sempat 
menganggap rendah kami. Huh, lebih cepat kau mampus, akan 
lebih baik!" geram salah seorang sambil melepaskan pisau-
pisau kecil ke arah Ki Sanca Ireng. 
Srats! Srats! 
Wuuut! 
Dengan gesit lelaki tegap berkulit hitam itu mengelak dan 
terus menerjang ke arah lawan. Namun salah seorang dari para 
pendekar menghadang dengan sebatang toya yang terbuat dari 
baja hitam dan menghantam perutnya dengan sekuat tenaga. 
Bet! 
Plak! 
"Aaa...!" 
Ki Sanca Ireng berkelit ke samping. Tubuhnya berputar 
dengan cepat sambil tangan kanannya menghantam ke dada 
lawan. Orang itu memekik kesakitan. Tubuhnya terjungkal 
beberapa langkah sambil muntah darah kental kehitaman. 
"Hei?!" 
Ki Saput Jagad serta para pendekar lainnya tersentak kaget 
Mereka melihat kawannya menggelepar-gelepar sambil

melolong panjang ketika tubuhnya perlahan-lahan meleleh. 
Kemudian ketika teriakannya habis, kulit tubuhnya terus 
terkelupas dan seperti menguap ke udara meninggalkan tulang-
belulangnya yang kehitaman.' 
"Aaa...!" 
Dalam keadaan demikian mereka" lengah, sehingga kembali 
terdengar pekikan panjang. Tiga orang terjungkal bermandikan 
darah dan menggelepar-gelepar seperti orang pertama tadi. 
Yang seorang tulang-belulangnya menghitam, dan dua lainnya 
putih seperti kapur tak bernoda. 
"Keparat! Kalian orang-orang biadab...!" desis Ki Sapu Jagad 
semakin geram. 
"Hm, kenapa musti marah-marah? Bukankah kalian yang 
mengundang kami ke sini? Terimalah akibatnya dan tidak perlu 
mencak-mencak!" sahut Ki Sanca Ireng mengejek. 
"Hiyaaa...!" 
Ki Anggora lebih dulu mencelat menyambar Ki Sanca Ireng 
dengan pedang peraknya. Ilmu pedang yang digunakannya 
sungguh dahsyat dan mengandung tenaga dalam yang hebat 
bukan main. Angin serangannya mampu membuat baju lawan 
berkibar-kibar. Selain itu jurus-jurus yang digunakannya sangat 
berbahaya. 
Namun sejauh itu Ki Sanca Ireng masih dengan mudah 
mengelak dari setiap sambaran pedang lawan. Bahkan ketika Ki 
Sapu Jagad serta empat orang lainnya ikut mengeroyok. 
Wuuut! 
"Hiiih!" 
"Uts...

Ujung pedang Ki Anggora menyambar ke arah leher, dan 
pada saat yang bersamaan Ki Sapu Jagad melepaskan pukulan 
jarak jauh yang berisi tenaga dalam kuat. 
Tubuh Ki Sanca Ireng melejit ke atas, kemudian menukik 
tajam menghindari selarik sinar kuning yang melesat memburu 
dirinya. Dan tiba-tiba saja ujung kakinya menghantam Ki 
Anggora. Orang tua itu terkejut dan melompat ke belakang. 
Kaki Ki Sanca Ireng berputar dan bersamaan dengan tubuhnya 
terangkat tinggi, kembali menyambar batok kepala Ki Sapu 
Jagad. Kepalanya ditundukkan menghindari dua tebasan 
senjata golok dua orang lawan lain. Ki Sapu Jagad berkelit ke 
samping. 
"Hiyaaa...!" 
Bres! 
"Aaa...!" 
Pada saat itu juga telapak tangan kirinya melesat 
menghantam dua orang lawan yang hendak menerkamnya 
dengan senjata terhunus. Seketika terdengar jeritan dua orang 
kawan Ki Sapu Jagad. Tubuh mereka terjungkal beberapa 
langkah ke belakang sambil menyemburkan darah kental. 
Seperti yang terjadi pada kawan-kawannya, kulit daging 
mereka meleleh hingga hanya tinggal tulang-belulangnya yang 
berwarna kehitaman seperti habis terbakar. 
"flmu iblis! Kau telah banyak membunuh kawan-kawanku, 
Keparat! Untuk itu kau patut mati!" desis Ki Sapu Jagad dengan 
wajah merah padam menahan geram. 
Belum lagi orang tua itu menyerang Ki Sanca Ireng, kembali 
terdengar jeritan tertahan. Serentak mereka menoleh ke arah 
dua orang lagi di pihak mereka, tewas disambar pukulan maut 
yang dilepaskan Nyai Roro Sekar Mayang.

"Hi hi hi...! Dasar tikus-tikus busuk tidak berguna! Kalian kira 
bisa berbuat apa terhadap kami...?!" ejek Nyai Roro Sekar 
Mayang mengeluarkan suara tawa nyaring. 
"Hei, Tua Bangka Busuk... lebih baik kau perintahkan mereka 
menyerah dan ikut menjadi tawanan kami. Siapa tahu dengan 
begitu kami bisa mengampuni jiwa kalian!" teriak Ki Sanca 
Ireng sambil terkekeh kecil. 
"Bedebah! Aku akan mengadu jiwa dengan kalian berdua!" 
desis Ki Sapu Jagad. 
Ki Anggora dan sisa para pendekar yang masih hidup 
kembali mengurung keduanya. Kali ini tampaknya mereka tidak 
mau gegabah, dan menunggu kesempatan yang baik untuk 
melancarkan serangan. 
"Guru, aku akan ikut membereskan iblis terkutuk ini!" teriak 
Braja dari kejauhan dan sudah langsung melompat ikut dalam 
barisan yang sedang mengepung kedua Iblis Tengkorak Hitam 
Putih. 
"Aku juga tidak bisa berpangku tangan! Aku akan ikut 
dengan kalian!" teriak seorang gadis yang tadi bersama-sama 
dengan pemuda itu. 
"Braja, dan kau Ayu Sulastri! Apa-apaan kalian?! Ayo, 
kembali! Bukankah sudah kukatakan jangan ikut ke sini?! Amat 
berbahaya bagi kalian berada di sini!" teriak Ki Anggora. 
"Tidak! Aku tidak bisa berpangku tangan melihat kalian 
berjuang mati-matian menumpas kedua iblis ini!" sentak Braja 
berkeras. 
"Begitu juga aku! Tidak akan kubiarkan Guru menghadapi 
Iblis Tengkorak Hitam Putih tanpa aku ikut membantu! Meski 
kepandaianku tidak seberapa, tapi aku tidak takut 
melawannya!" tambah gadis bernama Ayu Sulastri tidak kalah

garangnya. /'Dasar anak-anak tolol! Kalian hanya akan 
mengantar nyawa secara percuma!" dengus Ki Anggora kesal. 
*** 
"Hi hi hi...! Bocah-bocah manis, rupanya kalian tertarik 
dengan kami. Barangkali sudah ditakdirkan kalau kita berjodoh. 
Kalian akan menjadi korban kami yang amat berharga...!" kata 
Nyai Roro Sekar Mayang sambil tertawa mengikik. 
"Iblis Betina, tertawalah sepuas hati sebelum menemui 
ajalmu!" dengus Ayu Sulastri garang. 
"Hi hi hi...! Gadis manis, sayang sekali! Padahal aku suka 
padamu. Tapi mulutmu terlalu gegabah dan memandang 
rendah padaku. Oleh sebab itu kau akan mendapat giliran 
pertama untuk menjadi korbanku!" sahut Nyai Roro Sekar 
Mayang. 
Tubuhnya melesat ke arah Ayu Sulastri. Gadis itu terkejut 
dan cepat menjatuhkan diri. Pada saat yang bersamaan pula 
tubuh Ki Anggora mencelat untuk melindungi muridnya. 
Bet! Bet! 
Ujung pedangnya menyambar-nyambar tubuh Nyai Roro 
Sekar Mayang. Namun dengan gesit tubuh wanita berambut 
panjang itu meliuk-liuk berputar, dan terus mencelat ke atas. 
Sengaja dia tidak balas menyerang orang tua itu. Karena 
perhatiannya ditujukan pada Ayu Sulastri. 
Melihat itu beberapa orang pendekar segera mengepung 
Nyai Roro Sekar Mayang. Ki Sanca Ireng bergerak hendak 
menolong sang Istri, namun Ki Sapu Jagad dan sisa para 
pendekar telah pe-ngepungnya. Laki-laki berkulit hitam itu 
mendengus garang. Sepasang matanya menatap tajam 
mereka. Tubuhnya berkelebat cepat, lalu telapak tangan

kanannya menghantam ke depan. Selarik cahaya kehitaman 
melesat cepat menghantam dua orang yang terdekat padanya. 
"Hiyaaa...!" 
Pras! 
"Aaakh...!" 
Salah seorang dari mereka memekik kesakitan. Tubuhnya 
terjungkal dengan kulit daging meleleh. Seperti yang terjadi 
sebelumnya, tulang-belulang orang itu menghitam bagai arang. 
Sementara yang seorang lagi beruntung karena masih sempat 
mengelak hingga luput dari serangan lawan. 
Sesaat kemudian, salah seorang kembali tewas, di tangan 
Nyai Roro Sekar Mayang. Tentu saja hal itu membuat mereka 
semakin geram, namun tidak mampu berbuat apa-apa. Apalagi 
kini kedua Iblis Tengkorak Hitam Putih terus mempergencar 
serangan. Kelihatannya mereka tidak ingin lagi bermain-main 
dan terus mendesak lawan-lawannya. 
"Yeaaa...!" 
"Uts!" 
"Uhhh...!" 
Nyaris Ayu Lestari terkena pukulan Nyai Roro Sekar Mayang 
yang kalau saja Ki Anggora tidak menghalangi sambil 
menghantam dengan satu pukulan jarak jauh. Wanita itu 
berkelit cepat Tubuhnya berjumpalitan di udara, kemudian 
kembali menerkam tubuh Ayu Sulastri dengan satu bentakan 
nyaring. Gadis itu terkejut dan cepat bergulingan untuk 
menghindarkan diri. 
"Heaaa...!" 
"Yeaaat...!"

Dua orang pendekar bergerak menerjang Nyai Roro Sekar 
Mayang. Namun.... "Hih..'.!" Prasss...! 
Nyai Roro Sekar Mayang mendengus geram dan 
mengibaskan tangan. Selarik cahaya keputih-putihan menerpa 
kedua lawannya. Kedua orang itu memekik kesakitan ketika 
tubuh mereka terjungkal beberapa langkah. Kulit dagingnya 
meleleh dengan cepat. 
Ki Anggora dan yang lainnya semakin geram menyaksikan 
kejadian itu. Kemudian lelaki itu segera mengerahkan pukulan 
mautnya. 
"Iblis betina, mampuslah kau! Yeaaa...!" 
Wuuuk! 
"Aits...!" 
Cepat sekali Nyai Roro Sekar Mayang menjatuhkan diri dan 
bergulingan di tanah, lalu melejit ke atas. Telapak tangan 
kirinya menghantam ke arah Ki Anggora. Meski terkejut, orang 
tua itu sempat melompat ke samping. Namun tidak urung angin 
serangan lawan sempat menyerempet bahunya, memaksa Ki 
Anggora melompat ke belakang. Melihat keadaan lawan, Nyai 
Roro Sekar Mayang mencelat ke arahnya dengan tendangan 
keras dan cepat. Buk! 
"Aaakh...!" 
Ki Anggora memekik keras ketika tendangan lawan mendarat 
telak di atas perutnya. Tubuhnya terjengkang dengan mulut 
menyemburkan darah segar. Nyai Roro Sekar Mayang yang 
tidak langsung melanjutkan serangan, melainkan mengalihkan 
perhatian ke arah Ayu Sulastri dan terus menyerangnya.

Gadis itu terkesiap. Kali ini tak ada harapan lagi baginya 
untuk menyelamatkan diri'. Dia harus berjuang mati-matian 
untuk menghindari serangan lawan. 
"Yeaaa...!" 
"Uhhh...!" 
Gadis itu bergulingan ketika kepalan tangan Nyai Roro Sekar 
Mayang menghantam ke arah batok kepalanya. Ayu Sulastri 
bergulingan menghindari seraya mengayunkan pedangnya. 
Plak! 
Trap! 
"Aouw...!" 
Dengan cepat Nyai Roro Sekar Mayang berkelit dan tahu-
tahu pergelangan tangan gadis yarig menggenggam senjata 
kena dicekalnya. Cepat sekali pedang itu berpindah tangan, dan 
tahu-tahu tubuh Ayu Sulastri terangkat ke atas dalam keadaan 
tertotok Rambutnya yang panjang dijambak Gadis itu menjerit 
kesakitan bercampur rasa takut. 
"Hi hi hi...! Apa kataku? Kau tak akan bisa lari dariku, Bocah 
Cerewet!" 
Ki Anggora terkejut. Demikian pula dengan Braja dan yang 
lainnya. Ternyata wanita itu membuat Ayu Sulastri sebagai 
sanderanya untuk menggertak mereka. 
"Iblis betina, lepaskan muridku! Dia bukan tandinganmu. 
Hadapilah aku kalau benar-benar kau bukan pengecut!" teriak 
Ki Anggora geram. 
"Hi hi hi...! Orang tua busuk, kenapa kau mencak-mencak 
sendiri? Apa dikira kau adalah tanding-anku? Chuih! Kalian 
semua sebangsa cacing busuk yang hanya punya kepandaian 
seujung kuku!"

"Iblis Tengkorak Hitam Putih, lepaskan gadis itu dan 
hadapilah aku!" 
"Hei?!" 
*** 
EMPAT


Nyai Roro Sekar Mayang serta yang lainnya tersentak kaget 
ketika mendengar bentakan keras di seputar tempat itu. 
Mereka segera berpaling dan melihat seorang pemuda tampan 
mengenakan baju yang terbuat dari kulit harimau. Pemuda 
berambut panjang itu berdiri tegak sekitar lima belas langkah 
dari tempat pertarungan. Sorot matanya tajam bagai elang, 
dan di pundaknya bertengger seekor monyet kecil berbulu 
hitam. Perlahan-lahan pemuda itu mendekati mereka. 
"Bocah ingusan, siapa kau?! Lancang sekali kau berani 
mencampuri urusan Iblis Tengkorak Hitam Putih?!" bentak Ki 
Sanca Ireng garang. 
Belum lagi pemuda itu menjawab, salah seorang dari para 
pendekar yang masih tersisa berseru girang. 
"Bayu..., ah, akhirnya kau datang juga ke sini!" "Ki Pending, 
apakah kau mengenal pemuda itu?" tanya Ki Sapu Jagad heran. 
"Apakah Ki Sapu Jagad tak mengenalnya...?" 
Ki Sapu Jagad menggeleng lemah. 
"Dialah yang berjuluk Pendekar Pulau Neraka itu...." 
"Oh, jadi diakah orangnya?!" sahut Ki Sapu Jagad dengan 
mata terbelalak seakan tak percaya.

Nama Pendekar Pulau Neraka belakangan ini memang 
menggemparkan dunia persilatan karena sepak terjangnya. 
Namun sama sekali tidak disangkanya bahwa Pendekar Pulau 
Neraka masih berusia demikian muda. Dalam sangkaannya, 
tokoh yang banyak melenyapkan tokoh-tokoh persilatan 
golongan hitam berilmu tinggi, pastilah sudah berusia lanjut 
Dan percakapan kedua orang tua itu agaknya sempat pula 
didengar Iblis Tengkorak Hitam Putih. Nyai Roro Sekar Mayang 
menurunkan Ayu Sulastri perlahan-lahan seraya melangkah 
mendekati. 
Pendekar muda itu tersenyum ramah sesaat pada Ki Pending 
Layung, juga pada yang lainnya. Lalu berhadapan dengan 
kedua Iblis Tengkorak Hitam Putih. 
"Hm, jadi inikah orangnya yang punya nama Pendekar Pulau 
Neraka? Hm, sudah lama sekali aku ingin berkenalan dan 
mencicipi sejurus dua jurus kepandaiannya yang kesohor 
setinggi langit!" kata Ki Sanca Ireng dengan nada sinis. 
"Kisanak, kelakuan kalian sudah kelewat batas. Meskipun 
kepandaianku tak seberapa, aku tidak akan mendiamkan saja," 
sahut Bayu tenang dengan sikap merendah tanpa 
mempedulikan kata-kata Ki Sanca Ireng. 
"Hua ha ha...! Pendekar Pulau Neraka, apakah dengan 
mengandalkan nama besarmu kau hendak menakut-nakuti 
kami? Seumur hidup Iblis Tengkorak Hitam Putih tak akan 
pernah gentar berhadapan dengan bocah ingusan sepertimu!" 
"Bagus! Kalau demikian kau boleh mati dengan 
kesombonganmu itu!" dengus Bayu dingin. 
"Bocah sombong, kuremukan batok kepalamu!" Ki Sanca 
Ireng menggeram sambil melompat menerkam lawan.

Bersamaan dengan itu Nyai Roro Sekar Mayang ikut pula 
menyerang Pendekar Pulau Neraka sambil membentak nyaring. 
"Bocah ingusan, kau akan merasakan kematian yang amat 
menyakitkan!" 
"Wanita iblis, jangan 
banyak bicara! Lebih 
baik kau jaga kepalamu 
dari seranganku!" ujar 
Bayu seraya melompat 
menghindar dari 
terkaman kedua lawan. 
"Haits!" 
"Yeaaa...!" 
Tubuhnya meliuk-liuk 
dengan lincah. 
Sementara kedua lawan 
dengan kompak membuat serangan cepat, susul-menyusul 
laksana ombak samudera. 
Ki Sapu Jagad dan tokoh-tokoh yang lain menyingkir jauh 
dari arena pertarungaa Akibat yang ditimbulkan pertarungan itu 
sangat dahsyat. Debu beterbangan ke udara bersama angin 
pukulan yang mereka lancarkan. Sesekali terlihat cahaya hitam 
putih berselang-seling menyambar tubuh Pendekar Pulau 
Neraka. 
"Hi hi hi...! Bocah dungu, ayo perlihatkan kehebatanmu yang 
sering dibicarakan orang. Sebentar lagi kematianmu tiba dan 
tengkorak kepalamu akan menjadi mainan kami! Hi hi hi...!" 
teriak Nyai Roro Sekar Mayang mengejek

"Iblis wanita, kau kira bisa seenaknya berbuat begitu.... 
Sebaiknya kepalamu akan menjadi mainan anjing-anjing 
kampung yang kudisan!" sahut Bayu balas mengejek. 
"Bangsat! Yeaaa...!" 
"Uts! Heaaa...!" 
Dengan geram Nyai Roro Sekar Mayang menghantamkan 
pukulan jarak jauhnya yang dahsyat. Seketika itu juga cahaya 
putih menerpa Pendekar Pulau Neraka. Bayu berkelit ke 
samping dan terus melompat ke atas sambil mengibaskan 
tangan kanan ketika Ki Sanca Ireng melepaskan pukulan 
mautnya pula. 
"Yeaaa...!" 
Siiing! 
"Hei?!" 
Kedua Iblis Tengkorak Hitam Putih kaget ketika melihat 
selarik cahaya putih keperakan melesat bagaikan kilat ke arah 
mereka. Keduanya melompat menghindar. Bersamaan dengan 
itu Bayu mele-
sat menerjang ke arah Nyai Roro Sekar Mayang. Plak! 
"Uhhh...!" "Yeaaa...!" 
Nyai Roro Sekar Mayang terkesiap dan cepat menangkis. 
Meski telah mengerahkan ilmu 'Tengkorak Putih' yang 
dimilikinya, tapi tampak wajah wanita itu berkerut menahan 
rasa sakit ketika menangkis sambaran tangan lawan. Pendekar 
Pulau Neraka dengan cepat langsung menghantamkan ujung 
kaki ke perutnya. Wanita itu menjerit kesakitan, tubuhnya 
terjungkal beberapa langkah seraya memuntahkan darah segar. 
Namun pada saat yang bersamaan tubuh Ki Sanca Ireng 
melesat cepat seraya menghantamkan pukulan mautnya.

Pendekar Pulau Neraka terkejut Keadaannya betul-betul tidak 
menguntungkan ketika hendak menangkap Cakra Maut 
Bresss! 
"Uhhh...!" 
Siiing! 
"Akh...!" 
*** 
Pendekar Pulau Neraka memekik tertahan. Pangkal lengan 
kirinya terkena pukulan lawan. Tubuhnya berjumpalitan sambil 
mengerahkan tenaga dalam untuk melawan hawa panas yang 
seperti menusuk-nusuk kulit dagingnya. Namun, bersamaan 
dengan itu pula Cakra Maut-nya berhasil menyambar pangkal 
leher Ki Sanca Ireng. Lelaki berkulit hitam itu menjerit 
kesakitan. Kepalanya menggelinding ke tanah dan tubuhnya 
berdiri sesaat dengan langkah limbung. Kemudian ambruk tidak 
berdaya. 
"Nak Bayu, apakah kau baik-baik saja...?!" tanya Ki Pending 
Layung seraya melompat menghampiri pemuda itu dengan 
wajah cemas. 
Bayu mengerutkan wajah menahan rasa sakit sambil duduk 
bersila dan tidak mempedulikan orang-orang yang 
mengelilinginya. Ki Pending Layung menyadari apa yang 
dilakukan pemuda itu. Dia langsung membantu menyalurkan 
hawa murninya dengan menempelkan telapak tangan ke 
punggung Pendekar Pulau Neraka. 
Sementara orang tua itu membantunya, para pendekar lain 
dipimpin Ki Sapu Jagad mengejar Nyai Roro Sekar Mayang yang 
melarikan diri begitu melihat suaminya tewas.

Keadaan Pendekar Pulau Neraka ternyata cukup parah. 
Namun begitu, masih dapat diatasi. Pangkal lengan kirinya yang 
menghitam dihantam pukulan Ki Sanca Ireng, perlahan-lahan 
mulai menampakkan kemerahan dan terus semakin mengecil 
Butir-butir keringat sebesar jagung membasahi sekujur tubuh 
pemuda itu. Demikian pula halnya dengan Ki Pending Layung 
Setelah sepenanak nasi lamanya keadaan pemuda itu mulai 
sedikit pulih. Darah kental kehitaman termuntah dari mulutnya. 
Wajahnya tampak pucat dan napasnya turun naik tak 
beraturan. Namun demikian terlihat jalan darahnya mulai 
teratur kembali. 
Ki Pending Layung menghentikan penyaluran tenaga 
dalamnya dan menarik napas panjang. Nyata s kali terlihat 
wajah orang tua itu amat letih. Dia duduk bersila dan bersandar 
di bawah sebatang pohon yang cukup besar sambil mengatur 
berna-pasannya. Sementara Bayu sendiri masih tetap duduk 
bersila di tempatnya semula. 
Tidak berapa lama terlihat rombongan yang dipimpin Ki Sapu 
Jagad telah kembali. Dari wajah mert.Ka yang kesal bercampur 
geram, jelas menyiratkan bahwa mereka gagal mengejar 
wanita itu. 
Ki Sapu Jagad melangkah menghampiri Pendekar Pulau 
Neraka, diikuti beberapa pengikutnya. 
"Bagaimana keadaanmu...?" tanya Ki Sapu Jagad tetap 
memandangi Bayu. 
"Jangan khawatir! Aku sudah merasa lebih baik berkat 
pertolongan Ki Pending Layung...." 
"Maafkan, kami tak segera membantumu. Aku sendiri tak 
mampu menahan amarah dan dendam setelah mereka 
menewaskan beberapa orang dari para pendekar. Melihatnya

kabur, aku langsung memburu. Maksudku tidak ingin memberi 
kesempatan padanya untuk hidup lagi...." 
"Hm, apakah kalian berhasil menangkapnya...?" tanya Bayu 
berbasa-basi. 
"Sayang, kami kehilangan jejak. Ilmu lari cepatnya memang 
sangat mengagumkan...." 
"Kurasa dia telah terluka parah dan rak bisa pergi jauh. 
Wanita itu pasti telah mengecoh kalian dan bersembunyi di 
suatu tempat," kata Bayu. 
"He, bisa jadi begitu! Kenapa tidak terpikirkan oleh kita!" 
teriak salah seorang dari mereka dengan wajah bersemangat. 
Orang itu langsung mengajak Ki Sapu Jagad dan yang 
lainnya untuk kembali mengadakan pencarian. Bayu tersenyum 
menggeleng ketika dia diminta untuk ikut serta. 
"Terima kasih, aku di sini saja menunggu kalian...." 
"Apakah kau tak ingin membalas apa yang dilakukan 
suaminya padamu?!" tanya orang itu sedikit heran. 
"Bukan begitu, Ki. Wanita itu kini telah pergi jauh setelah 
kalian kembali ke sini. Mana mungkin dia melakukan kesalahan 
untuk kedua kalinya. Dia tentu akan melarikan diri sejauh-
jauhnya begitu lepas dari jangkauan kalian. Dan bila kita 
mengejarnya sekarang ke tempat itu, akan sia-sia saja. Namun 
bila kalian ingin tetap mengejarnya juga, silakan saja...!" sahut 
Bayu tenang. 
Orang itu tampaknya kurang menerima apa yang dikatakan 
Bayu. Namun Ki Sapu Jagad mengangguk dan membenarkan 
setelah berpikir sesaat lamanya.

"Benar. Apa yang dikatakan Pendekar Pulau Neraka memang 
benar. Wanita itu kini pasti telah kabur, dan akan sia-sia saja 
pencarian kita...." 
"Lalu apa yang akan kita lakukan sekarang, Ki Sapu 
Jagad...?" tanya orang yang mengajak tadi dengan sikap tidak 
sabaran. 
Ki Sapu Jagad memandangnya sejurus, kemudian menepuk 
pundaknya sambil memperlihatkan senyum kecil. 
"Ki Lodaya, aku menyadari dendam di hatimu atas kematian 
saudaramu Ki Santung di tangan wanita itu. Namun harap kau 
sadari, bahwa kita telah berbuat sekuat kemampuan kita. Dan 
mengenai langkah selanjutnya, yang harus kita lakukan adalah 
mencari wanita itu sampai ketemu, lalu membuat perhitungan 
dengannya. Tapi bukan sekarang. Hari telah gelap. Akan kita 
bicarakan dan cari jalan keluar yang sebaik-baiknya guna 
mengejar wanita itu...," katanya ramah. 
Laki-laki yang dipanggil Lodaya itu mengangguk. Meski 
kelihatannya dia bisa menerima apa yang dikatakan Ki Sapu 
Jagad, namun jelas wajahnya masih menyiratkan perasaan tak 
puas. Dendam yang berkecamuk dalam dada membuatnya 
serasa ingin mencincang wanita itu saat ini juga. 
"Bayu, kami mengucapkan terima kasih yang sedalam-
dalamnya atas pertolongan yang kau berikan. Entah bagaimana 
keadaan kami jika kau tidak muncul tadi...," kata Ki Sapu Jagad 
seraya memandang Pendekar Pulau Neraka. 
"Ki Sapu Jagad, kenapa berkata demikian? Hal ini sudah 
menjadi kewajiban kita bersama. Kisanak tak perlu berterima 
kasih, sebab orang-orang seperti mereka sudah sepatutnya 
memperoleh ganjaran setimpal atas perbuatan yang mereka 
lakukan...."


"Aku pun mengucapkan terima kasih yang tiada terhingga 
padamu. Kalau saja sedikit lambat kau bertindak, niscaya jiwa 
muridku mungkin tidak akan tertolong," sela Ki Anggora seraya 
mengapit kedua muridnya. "Ayo, Ayu! Ucapkan terima kasih 
dan berilah salam hormat pada dewa penoiongmu!" 
Gadis berwajah manis itu tertundukjrialu ketika memberi 
salam hormat kepada si Pendekar Pulau Neraka. 
"Aku mengucapkan terima kasih atas pertolonganmu...," 
katanya lirih. 
"Ni Ayu, tidak perlu berkata begitu. Aku hanya kebetulan 
saja tiba pada saat yang tepat. Jika sekiranya tidak, mungkin 
yang lain akan menolongmu...," sahut Bayu dengan perasaan 
jengah. 
*** 
Pendekar Pulau Neraka memang kurang menyukai segala 
peradatan seperti itu karena hanya akan membuat dirinya rikuh 
dan serba salah. Untuk mengalihkan perhatian dia segera 
melangkah mendekati Ki Pending Layung. 
"Ki Pending Layung, terima kasih atas pertolonganmu. Kalau 
tidak kau tolong aku pasti terluka parah...!" 
Ki Pending Layung tertawa seraya menepuk pundak Bayu. 
"Bayu, kau terlalu merendahkan diri. Mana mungkin orang 
sepertiku bisa berbuat begitu padamu? Tanpa kubantu pun kau 
akan mampu mengatasi dirimu!" 
"Hm, memang sangat pantas. Pendekar besar sepertimu 
biasanya selalu merendahkan diri...," lanjut Ki Anggora. 
"Kalau memang kau tidak ada urusan penting, sudikah kau 
mampir di gubukku? Aku bermaksud menjamu barang 
secangkir teh dan singkong rebus...?"

"Sebenarnya masih ada yang harus kukerjakan...," Bayu 
bermaksud menolak secara halus undangan orang tua itu. 
Namun Ki Anggora serta yang lainnya sudah lebih dulu 
memotong pembicaraannya. 
"Sudah barang tentu dia akan ikut dengan kita ke 
pondokmu, Ki Sapu Jagad! Bukankah begitu, Nak Bayu...?" 
Pendekar muda itu merasa rikuh sendiri. Apalagi ketika yang 
lainnya terus mendesak. Sehingga mau tidak mau dia 
mengangguk menyetujuinya. Selain itu hari telah sore dan 
perutnya sudah minta diisi. Tubuhnya pun terasa letih sekali. Di 
tempat Ki Sapu Jagad dirinya bisa sekalian beristirahat! 
Ki Sapu Jagad gembira sekali begitu mengetahui pemuda itu 
bersedia memenuhi undangannya. Pemuda itu disambut 
bagaikan raja di padepokannya beserta dengan yang lainnya. 
Pendekar Pulau Neraka merasakan hal itu sebagai suatu yang 
berlebihan. Namun dia tidak kuasa untuk menghindar atau 
mencegahnya. 
Lagi pula ada hal yang semakin membuatnya merasa jengah. 
Ki Sapu Jagad mempunyai seorang putri berwajah rupawan, 
berusia sekitar tujuh belas tahun. Selama perjamuan 
berlangsung gadis itu terus berada tak jauh darinya. Hatinya 
menduga bahwa hal itu seperti disengaja ketika dia melihat Ki 
Sapu Jagad memberi isyarat pada putrinya agar melayani Bayu 
dengan sebaik-baiknya. Bahkan ketika orang tua itu 
menawarkannya untuk menginap, gadis itu terlebih dahulu 
membereskan ruangan tempat tidur, shingga bersih dan rapi. 
"Silakan, Kakang Bayu! Maaf, hanya kamar seperti ini yang 
bisa kami sediakan bagimu...!" 
"Hm, ini sudah lebih dari cukup, Ni Dewi Anggi...," sambut 
Bayu.

Gadis itu menundukkan wajah seakan-akan merasa malu. 
Pendekar Pulau Neraka sendiri tidak tahu harus berbuat apa. 
Untuk sesaat mereka terdiam sampai Dewi Anggi kembali 
meneruskan kata-katanya. 
"Eh, maaf, Kakang Bayu. Aku lupa menyampaikan pesan 
Ayah...." 
"Pesan apakah gerangan...?" 
"Kau tentu membutuhkan istirahat yang agak lama untuk 
mengembalikan tenaga yang banyak terkuras sehabis 
pertarungan dengan kedua Iblis Tengkorak Hitam Putih itu. 
Kalau kau suka, ayahku mengatakan boleh tinggal beberapa 
hari di pondok kami ini...," kata gadis itu tanpa berani menatap 
wajah si Pemuda. J 
"Terima kasih, Ni Dewi. Ayahmu baik sekali. Tapi aku tidak 
bisa berlama-lama. Keadaanku sudah pulih, dan kalau tidak ada 
aral melintang, pagi-pagi sekali aku harus meninggalkan tempat 
ini...." 
"Eh, secepat itukah...?" 
Tanpa sadar Dewi Anggi berkata demikian. Jelas tersirat dari 
kata-katanya bahwa dia bermaksud menahan pemuda itu. 
Ucapan itu tentu bukan berasal dari ayahnya, melainkan dari 
dalam hati. Terbukti gadis itu menunduk malu seakan merasa 
malu dan jengah. Kalau saja saat itu siang hari, tentu Bayu bisa 
melihat wajahnya yang merona merah. 
Pemuda itu tersenyum tipis seraya memangku Tiren yang 
melompat ke dadanya. Monyet kecil itu menyeringai lebar ke 
arah si Gadis. 
"Masih banyak yang harus kukerjakan, Ni Dewi Anggi. Aku 
senang sekali bisa mendapatkan keramah-tamahan di sini. 
Terutama terhadap dirimu.... Kau baik sekali, seperti ayahmu.

Sulit membalas budi kalian...," sengaja Bayu berkata demikian 
untuk menghibur hati Dewi Anggi. 
"Hm... jadi... jadi besok pagi-pagi sekali Kakang Bayu akan 
berangkat meninggalkan tempat ini? Kalau tidak keberatan, 
bolehkah aku tahu tu-juanmu...?" tanya Dewi Anggi berusaha 
meyakinkan pendengarannya. Atau juga sekadar mengalihkan 
hatinya yang agak kecewa. 
"Betul, Ni Dewi...," sahut Bayu dengan perasaan berat. 
Gadis itu terdiam. Pendekar Pulau Neraka tak menjawab 
pertanyaannya yang terakhir. Gadis itu pun agaknya enggan 
untuk terus mendesak. 
Putri Ki Sapu Jagad itu terdiam beberapa saat. Ketika Tiren 
menjerit-jerit kecil, dia seperti tersentak kaget dan buru-buru 
mengucapkan selamat malam, terus beranjak pergi dari kamar 
Bayu. 
Bayu menghela napas pendek dan menatap si Gadis sampai 
hilang di balik kamarnya sendiri. Ruangan yang diperuntukkan 
bagi para tamu, memang tidak begitu jauh dari kamar-kamar 
penghuni pondok ini. Kamar Pendekar Pulau Neraka berada di 
tengah. Sedang kamar Dewi Anggi berada di pojok, 
bersebelahan dengan kamar Ki Sapu Jagad yang dikelilingi 
pagar kayu jari setinggi satu tombak. 
Bayu tersenyum kecil seraya menggeleng lemah. Sebelum 
menutup pintu kamar, dia terkesiap. Sepasang mata 
memperhatikannya dengan seksama sambil berdiri dan 
bersandar pada pintu. Namun ketika dia melihatnya, sosok itu 
buru-buru masuk ke kamar dan menutup pintu. Bayu tidak 
sempat melihat wajah orang itu dalam keremangan malam 
karena obor yang menyala pun agak jauh dari situ. Namun jelas 
dia mengetahui siapa sebenarnya orang itu.
"Ni Ayu Sulastri, kenapa dia...?" gumam Bayu, bertanya-
tanya dalam hati. 
Sesaat pemuda berpakaian dari kulit harimau itu berpikir. 
Namun buru-buru menutup pintu dan merebahkan diri di 
tempat tidur. Rasa letih dan penat membuatnya cepat terlelap, 
melupakan segala yang dipikirkannya! 
*** 
LIMA


Waktu berjalan dengan cepat dan tidak terasa setahun telah 
berlalu sejak kejadian itu. Semenjak kematian Ki Sanca Ireng di 
Hutan Alas Layang, tak terdengar lagi berita Iblis Tengkorak 
Hitam Putih. Banyak orang merasakan dapat hidup tenteram. 
Tidak terdengar lagi penculikan-penculikan yang terjadi seperti 
ketika kedua iblis itu masih merajalela. Juga tentang kepala-
kepala tengkorak manusia yang berserakan dalam keadaan 
berlubang. 
Namun agaknya hal itu tidak bertahan lama, sebab 
belakangan ini peristiwa yang lebih hebat kembali muncul. 
Beberapa tokoh persilatan dinyatakan hilang dan tidak seorang 
pun yang mengetahui ke mana mereka pergi. Semua raib bagai 
ditelan bumi! 
Hal itu pun sampai di telinga Ki Sapu Jagad beserta rekan-
rekannya. Mereka mengadakan pertemuan kembali. Seperti 
dulu, mereka membahas tentang hilangnya banyak tokoh 
persilatan secara gelap. Termasuk di dalamnya Ki Anggora dan 
Ki Pending Layung! 
"Siapa kira-kira yang melakukan perbuatan ini...?" tanya Ki 
Anggora dengan wajah penasaran.

"Melakukan? Apakah tidak mungkin mereka mempunyai 
tujuan lain? Maksudku mereka bukan diculik atau dibunuh 
secara gelap, melainkan pergi dengan maksud dan tujuan 
tertentu...," sahut salah seorang dari mereka mengemukakan 
pendapatnya. 
Ki Sapu Jagad tersenyum kecil seraya memandang orang 
itu," Ki Kompyang, hal ini bukan suatu kebetulan. Dalam waktu 
singkat lebih dari sepuluh tokoh persilatan hilang. Bahkan 
kejadiannya hampir bersamaan? Apa yang mereka lakukan? 
Bahkan beberapa orang di antara mereka ada yang tidak saling 
mengenal. Memang benar, di antara mereka banyak yang 
berasal dari golongan hitam. Namun rasanya tak mungkin 
mereka berkumpul untuk membicarakan tujuan yang 
mencelakakan kita...," sahutnya. 
"Apa tak mungkin kalau hal ini dilakukan oleh Nyai Roro 
Sekar Mayang...?" ungkap Ki Pending Layung, meyakinkan 
pendapatnya. 
Mendengar pendapat Ki Pending Layung, semua yang ada di 
ruang itu terdiam. Beberapa orang wajahnya tampak tegang. 
Bagaimanapun nama itu sempat membuat mereka kecut. 
Beberapa waktu lalu sepak terjang Nyai Roro Sekar Mayang 
bersama suaminya sempat membuat beberapa pendekar binasa 
dalam keadaan yang amat mengenaskan. 
"Bisa jadi...," sahut Ki Sapu Jagad setengah bergumam. 
"Kalau saja dia memperdalam ilmunya, maka bisa 
diperkirakan bahwa kepandaiannya saat ini tentu amat 
tinggi...," timpal Ki Anggora. 
Suasana di ruangan itu berubah hening. Mereka tenggelam 
dalam pikiran masing-masing, seakan membayangkan 
bagaimana kehebatan wanita itu saat ini. Kalau benar Nyai 
Roro Sekar Mayang yang melakukan penculikan terhadap para

tokoh persilatan belakangan ini, tentu kepandaiannya telah 
berlipat ganda. Dahulu saja tak ada yang mampu 
membekuknya, apalagi untuk mengalahkannya. Lalu apa yang 
mereka lakukan saat ini. 
"Kira-kira apa rencananya jika benar bahwa hal itu ulah Nyai 
Roro Sekar Mayang...?" tanya Ki Pending Layung yang 
membuka pembicaraan kembali. 
"Yang kukhawatirkan dia menggunakan segala cara, 
membujuk rayu para tokoh yang diculiknya untuk membantu 
membalaskan dendamnya...," sahut salah seorang di antara 
mereka. 
"Ya, yang jelas dia memang bermaksud membalas dendam. 
Sekarang kita mesti waspada dan lebih berhati-hati!" Ki Sapu 
Jagad menimpali. 
"Lalu apa yang akan kita lakukan, Ki...?" kali ini yang 
bertanya Ki Lodaya, salah seorang tokoh tua yang hadir dalam 
pertemuan itu. 
"Hm.... Aku juga tengah berpikir. Ke mana kita akan 
mencarinya? Dan yang lebah membuat pusing, apakah semua 
ini benar tindakannya? Kalaupun benar, kurasa kita tak mampu 
berbuat apa-apa selain menunggu kedatangannya...," lanjut Ki 
Sapu Jagad. 
"Kita harus bertindak, Ki! Bagaimanapun harus kita cari 
wanita itu sampai ketemu!" sahut Ki Lodaya, merasa kurang 
puas dengan jawaban orang tua itu. 
"Apakah Ki Lodaya punya petunjuk di mana kita harus 
mencari wanita itu?" tanya Ki Sapu Jagad dengan nada sedikit 
sinis. 
"Pokoknya kita harus mencarinya ke mana saja! Kita tidak 
bisa hanya berdiam diri dan menunggu dia datang untuk

membinasakan kita satu persatu...!" dengus Ki Lodaya dengan 
wajah berang. 
"Ki Lodaya, sabarlah! Kedatangan kita ke sini untuk mencari 
jalan bagaimana cara mengatasi si Pengacau itu...," sela Ki 
Pending Layung menengahi. 
"Apa?! Apa yang bisa kita lakukan di sini? Cuma bicara dan 
bicara! Lalu apa penyelesaiannya?! Cuma menunggu...!" 
Ki Lodaya benar-benar tidak puas dengan jawaban yang 
didengarnya. Nada suaranya semakin keras. Bahkan kemudian 
lelaki berjubah kuning itu langsung keluar dari ruangan dengan 
membawa kemarahan hatinya. Ki Sapu Jagad serta mereka 
yang hadir berusaha menahan, tapi Ki Lodaya sama sekali tak 
menghiraukannya. Laki-laki berperawakan besar itu terus 
berlalu. Mereka hanya bisa menahan napas pendek! 
"Sejak kematian saudaranya, dia memang sangat 
mendendam terhadap wanita itu...," desah Ki Sapu Jagad 
pelan. 
"Hm..., tapi itu bisa membahayakan dirinya sendiri...," sahut 
Ki Pending Layung, "Apalagi kalau dia mencari wanita itu 
seorang diri...." 
"Apa yang akan kita lakukan sekarang, Ki...?" tanya Ki 
Anggora pada Ki Sapu Jagad. 
"Sebaiknya beberapa orang di antara kita mengikuti dan 
menjaganya. Jangan sampai terjadi hal-hal yang tidak 
diinginkan!" sahut Ki Sapu Jagad. 
"Biar kami yang menjaga dan mengikutinya!" ujar dua orang 
di antara mereka yang hadir. 
'Terima kasih atas kesediaan kalian, Ki Jaka Umbara dan Ki 
Kebo Ungu...."

"Ki Sapu Jagad, kalau tidak ada yang dibicarakan lagi, kami 
mohon diri...!" kata Ki Anggora seraya mengajak serta kedua 
muridnya untuk meninggalkan tempat pertemuan. 
Melihat itu, yang lainnya segera menyusul satu persatu. Ki 
Sapu Jagad tidak berusaha menahan mereka, sebab tidak ada 
yang bisa dibicarakan dan lakukan lagi dalam persoalan ini, 
selain menunggu perkembangan selanjutnya. 
*** 
Dengan membawa amarah dan kekesalannya, Ki Lodaya 
buru-buru meninggalkan padepokan itu dan memacu kudanya 
kencang-kencang. Dia memang telah bertekad dalam hati 
untuk mencari dan membinasakan Nyai Roro Sekar Mayang 
dengan tangannya sendiri. Ingin membuktikan pada yang lain 
bahwa dia mampu melakukan hal itu tanpa bantuan mereka. 
Ki Lodaya sendiri memang pemarah dan tidak bisa 
membiarkan persoalan berlarut-larut tanpa penyelesaian yang 
memuaskan harinya. Setahun lamanya dia menunggu 
keputusan mereka, namun selama itu tidak ada niat untuk 
mengejar Nyai Roro Sekar Mayang guna menuntut balas atas 
kematian saudaranya. Itu sudah cukup untuk membuat 
kemarahan dan dendam kesumatnya kian memuncak 
"Hieee...!" 
Pada sebuah pinggiran hutan yang dilalui, mendadak kuda 
tunggangannya meringkik keras seraya mengangkat kedua kaki 
depannya tinggi-tinggi. Ki Lodaya terkesiap dan melompat 
cepat dari punggung kuda seraya memaki geram. 
"Setan! Kenapa pula kuda ini?! Tidak ada angin tidak ada 
hujan, tiba-tiba saja bertingkah aneh!" 
Ki Lodaya mencari-cari, kalau mungkin ada seekor ular yang 
menghadang di depan, atau seekor harimau sehingga membuat

kudanya bertingkah aneh. Namun belum lagi dia menemukan 
sesuatu, mendadak muncul beberapa sosok tubuh melayang 
ringan dari cabang-cabang pohon di sekitarnya. Ki Lodaya 
mundur beberapa langkah dengan wajah kaget memperhatikan 
mereka satu persatu. 
"Keparat! Setan-setan mana yang berani menghadang 
perjalananku?! Apa kalian sudah bosan hidup, heh?!" 
bentaknya garang sebelum orang-orang itu mendahului. 
Srang! 
Ki Lodaya mencabut golok besar yang tersandang di 
punggungnya dan bersiap menghadapi segala kemungkinan. 
"Ayo, majulah kalian semua! Biar kucincang-cincang tubuh 
kalian dan menjadi santapan anjing hutan!" bentaknya semakin 
geram. 
Namun demikian, tidak ada seorang pun dari mereka yang 
mengepungnya itu melakukan apa-apa. Mereka diam saja 
sambil memperhatikan Ki Lodaya dengan pandangan mata 
tidak berkedip. Bahkan tidak seorang pun yang membuat 
gerakan untuk menyerangnya. 
"Keparat! Apa mau kalian sebenarnya? Mau membegalku? 
Ayo, cepat maju, biar kukirim kalian semua ke neraka...!" 
bentak Ki Lodaya kembali dengan nada garang. 
Dan seperti tadi, tidak ada seorang pun dari mereka yang 
membuat gerakan. Hal itu semakin membuat Ki Lodaya naik 
darah. Dia mendahului sebelum mereka menyerangnya 
bersama-sama. 
"Bagus! Kalian pasrah dan menyerahkan jiwa begitu saja 
untuk menerima hukuman. Mungkin kalian sebangsa perampok 
atau kawanan penjahat, sehingga aku tidak perlu merasa 
berdosa membunuh kalian...."

Dengan satu lompatan ringan dia membabat salah seorang 
yang berada paling dekat darinya. 
Sring! 
Trang! 
"Uhhh...!" 
Namun ketika senjata di tangan Ki Lodaya hampir 
menyambar perutnya, orang itu cepat sekali mencabut pedang 
dan menangkis. Ki Lodaya tersentak kaget ketika senjata 
mereka beradu. Terasa ada tenaga kuat yang membuatnya 
bergetar hebat dengan jantung berdegup kencang. 
Ki Lodaya cepat melompat ke belakang untuk mengatur 
jarak agar terhindar dari serangan lawan berikutnya. Namun dia 
dibuat bingung sendiri sebab lawan sama sekali tidak 
melanjutkan serangan. 
Mereka kembali terdiam seperti tadi dengan tangan tetap 
menggenggam senjata. 
"Iblis jahanam! Apa sebenarnya yang kalian inginkan 
dariku?! Bicaralah jangan sampai aku kesalahan tangan 
membunuh kalian tanpa sebab!" bentak Ki Lodaya dengan 
suara menggelegar menumpahkan amarah dan kekesalannya. 
Kali ini sikap mereka masih seperti semula, sama sekali tidak 
berbuat apa-apa. Ki Lodaya semakin naik pitam dibuatnya. 
Dengan cepat tubuhnya melompat melakukan serangan. Tidak 
seperti tadi, dia melompat dan sekaligus menghantam ke arah 
tiga orang lawan yang paling dekat dengannya. 
"Huh, kutu-kutu busuk mau bertingkah di hadapanku! Apa 
kalian kira aku takut dengan semua ini?! Mampuslah kalian, 
yeaaa...!" 
Tring!

"Hiiih!" 
Bet! Wuk! 
Apa yang terpikir dalam benak lelaki berbadan besar itu 
memang terbukti. Orang-orang itu agaknya menunggu diserang 
baru membalas menyerang. Ketika golok di tangannya 
melayang menyambar leher salah seorang lawan, orang itu 
cepat menangkis dengan pedangnya. Begitu pula saat telapak 
tangan kirinya menghantam dengan pukulan jarak jauh, lawan 
menundukkan kepala dan berkelit ke samping. Tendangan 
maut Ki Lodaya yang berisi tenaga dalam kuat pun mampu 
dihindari oleh lawannya yang lain. Namun agaknya Ki Lodaya 
tidak melihat keadaan karena terus mengamuk lawan-lawannya 
yang lain. Tidak kurang dari tujuh orang yang mengepungnya 
tampak mulai melakukan serangan balasan. Dan ternyata 
mereka bukanlah sebangsa perampok rendah yang memiliki 
ilmu silat tanggung. 
Trang! 
Bret! 
"Uhhh...!" 
Ki Lodaya terkejut. Dua pedang dan sebilah golok serta 
sebuah senjata pengait yang tajam bagai arit yang bergagang 
panjang, menyambar ke arahnya secara bersamaan. Dia 
berusaha berkelit dengan mengerahkan ilmu meringankan 
tubuh. Namun saat goloknya kena ditangkis salah seorang 
lawan, bahu kirinya disambar senjata lawan lainnya. Ki Lodaya 
mengeluh tertahan dan melompat ke belakang. Sementara tiga 
orang lainnya telah menunggu kesempatan itu dan segera 
bersamaan bergerak menyerangnya. Ki Lodaya tersentak kaget. 
Tidak ada jalan lain baginya selain memapaki serangan lawan 
dengan mengibaskan senjata.

Trang! 
"Aaakh...!" 
Golok besar di tangan Ki Lodaya terpental. 
Tubuhnya terhuyung-huyung beberapa langkah, karena 
perutnya pun tersodok pukulan lawan. Dua orang lawan yang 
lain siap menerkam dan menghabisi dengan senjata masing-
masing. Namun tiba-tiba terdengar bentakan nyaring. 
"Cukup! Hentikan serangan kalian...!" 
Sungguh aneh! Pada saat itu juga para pengeroyoknya 
menghentikan serangan secara bersamaan. Tidak seorang pun 
berani bertindak. Mereka berdiri tegak dan mengelilingi Ki 
Lodaya masih dengan senjata-senjata terhunus. 
Dengan perasaan heran Ki Lodaya mengawasi ke sekeliling. 
Tiba-tiba matanya terpicing sebelah saat melihat sesosok tubuh 
ramping memakai jubah putih berukuran besar. Sehingga saat 
angin bertiup jubah dan rambutnya yang telah sebagian besar 
memutih, berkibar-kibar seperti bendera. Ternyata sesosok 
wanita berusia sekitar lima puluh tahun dengan tubuh kurus 
dan wajah pucat bagai mayat. Kelopak matanya cekung dengan 
sepasang alis saling bertaut. Sinar matanya tajam 
menyeramkan seakan mengandung daya sihir yang mampu 
meluluhkan siapa pun yang beradu pandang dengannya. 
Meskipun demikian, Ki Lodaya agaknya tidak mungkin 
melupakan wajah wanita itu. 
"Nyai Roro Sekar Mayang...?!" serunya kaget. Untuk sesaat 
terasa jantungnya berdegup kencang dan semangatnya hendak 
terbang. Ki Lodaya berusaha menguatkan hari dan 
menyadarkan diri bahwa kepergiannya sengaja untuk mencari 
wanita ini, serta membalaskan dendam saudaranya yang 
terbunuh.
Namun sungguh aneh! Penampilan wanita itu sekarang 
sungguh berbeda dengan setahun lalu. Bahkan usianya 
kelihatan lebih tua dari umur yang sebenarnya. Dan terlebih 
lagi, tatapan matanya itu...! 
"Bagus! Akhirnya kau muncul juga di sini, Keparat! Jadi tak 
perlu lama-lama lagi aku mencarimu!" bentak Ki Lodaya geram. 
"Siapa kau, dan ada perlu apa mencariku? Apakah kau salah 
seorang dari mereka yang dulu mengeroyokku...?" tanya wanita 
berjubah putih itu dengan nada dingin. 
"Bajingan keparat! Aku Lodaya. Aku bersumpah akan 
membunuhmu setelah kau bunuh saudaraku setahun lalu!" 
Nyai Roro Sekar Mayang terdiam sesaat, kemudian terlihat 
dia menyunggingkan senyum kecil. Jelas sekali terlihat bahwa 
dia sama sekali tidak menghiraukan kata-kata Ki Lodaya. 
Bahkan tampaknya wanita itu menganggap sepi dendam serta 
amarah Ki Lodaya. 
"Hm, jadi namamu Lodaya...? Kulihat kepan-daianmu tidak 
rendah. Kau bisa menjadi pembantu andalanku seperti mereka 
ini...," kata Nyai Roro Sekar Mayang tenang. 
Ki Lodaya terkesiap dan menoleh sesaat pada para lawannya 
tadi, lalu kembali menatap wanita itu dengan tajam. 
"Wanita iblis! Jangan bicara seenaknya...! Kedatanganku ke 
sini untuk membunuhmu!" bentaknya garang. 
"Membunuhku...? Hi hi hi...! Tidak sadarkah kau dengan 
keadaanmu saat ini? Kau tengah terkepung. Hanya dengan satu 
isyarat, mereka akan merencahmu seperti kawanan serigala 
kelaparan. Hhh.... tanpa kehadiran mereka pun kau bisa 
berbuat apa terhadapku...?"


Sombong sekali kedengarannya ucapan wanita itu, seperti 
juga sikapnya saat ini. Namun, mana mungkin Ki Lodaya bisa 
menerima keadaan itu. Apalagi dengan dendam kesumat yang 
berkecamuk dalam dadanya. Maka sambil menggeretakkan 
rahang, laki-laki itu melompat menyerangnya. 
"Iblis keparat, kau boleh mampus sekarang...! Yeaaa...!" 
Nyai Roro Sekar Mayang tersenyum dingin dan sama sekali 
tidak bersiap hendak menangkis serangan lawan. Namun ketika 
serangan Ki Lodaya nyaris mengenai tubuhnya, seketika dia 
mengebutkan tangan sambil membentak keras. "Jatuh...!" Buk 
"Aaakh...!" 
Ki Lodaya menjerit keras. Tubuhnya seperti menabrak 
dinding baja yang kuat luar biasa. Dadanya terasa sesak untuk 
bernapas, dan kedua tangannya terasa linu. Kepalanya 
dirasakan berputar-putar ketika dia mencoba bangkit dan 
bermaksud menyerang wanita itu kembali. 
Nyai Roro Sekar Mayang tertawa nyaring sambil mengangkat 
tangan kanannya. Kemudian terdengar suaranya yang 
mengandung daya sihir kuat. Tiba-tiba kepala Ki Lodaya 
terangkat dan mau tidak mau matanya bertatapan dengan 
wanita itu. 
"Lodaya.... Lodaya...! Hari ini kau menjadi budakku, dan 
tidak ada satu pun dari dirimu yang mampu melawanku. Kau 
adalah budakku dan akan selalu patuh pada perintahku...!" 
Ki Lodaya tersentak kaget dan merasakan sekujur tubuhnya 
lemas tidak berdaya. Dia berusaha melawan pengaruh itu, tapi 
makin lama matanya menatap pandangan si Wanita, maka 
perasaan lemas terus menyusup ke setiap jalan darahnya. 
Pikirannya mengawang dan samar-samar bersama rasa pusing 
yang berangsur-angsur hilang, maka wajahnya yang tadi

garang mulai berubah. Pandangan matanya kosong, seperti 
mayat yang bangkit dari kubur. 
"Hi hi hi...! Lodaya, mulai sekarang kau menjadi budakku! 
Budak Nyai Roro Sekar Mayang. Ucapkan sumpah setiamu 
sampai mati!" 
"Aku budakmu...! Aku bersumpah akan membelamu dengan 
taruhan nyawaku...!" sahut Ki Lodaya masih menatap wajah 
Nyai Roro Sekar Mayang. 
"Hi hi hi...! Bagus, Lodaya! Bagus...! Hi hi hi...! Kini orang-
orang itu boleh merasakan pembalasanku sebentar lagi. Dan 
terutama si Pendekar Pulau Neraka! Dia akan menebus 
nyawanya! Kematiannya merupakan peristiwa yang amat 
menyakitkan dan akan dibawanya terus ke akherat dengan 
dendamnya yang tidak terbalaskan! Hi hi hi...!" 
Nyai Roro Sekar Mayang tertawa nyaring penuh 
kegembiraan. Namun saat menyebut nama Pendekar Pulau 
Neraka yang amat dibencinya, terlihat perubahan pada raut 
wajahnya. Rasa kebencian dan dendam kesumatnya bercampur 
menjadi satu. Lalu ketika merasa yakin bahwa dengan apa yang 
dimilikinya sekarang dia mampu membinas-kan dan menuntut 
balas kematian suaminya, wanita itu kembali tertawa keras. 
"Ayo, kita pergi dari sini, dan mulai bekerja...!" teriaknya 
kembali pada orang-orang yang berada di tempat itu. 
Tanpa banyak bicara mereka mengikuti langkah Nyai Roro 
Sekar Mayang meninggalkan tempat itu. Melihat cara mereka 
berlari yang demikian cepat, jelas bahwa rata-rata orang itu 
memiliki kepandaian yang tidak rendah. Paling tidak setingkat 
dengan Ki Lodaya, ataupun di atasnya. 
***

ENAM

Ketiga orang itu memacu kuda yang ditunggangi perlahan-
lahan. Mereka agaknya tidak ingin buru-buru tiba di tujuan. 
Seorang di antaranya laki-laki berusia lanjut sekitar lima puluh 
tahun, menyandang pedang di punggungnya. Dua lainnya 
muda-mudi berparas tampan dan cantik. Keduanya pun 
bersenjata pedang di punggungnya. 
"Guru, apakah benar apa yang mereka katakan tadi, bahwa 
semua ini perbuatan Nyai Roro Sekar Mayang...?" tanya si 
Gadis sambil menoleh ke lelaki tua di sampingnya. 
Terbayang olehnya setahun yang lalu dia hampir saja 
menjadi korban Nyai Roro Sekar Mayang. Padahal saat itu 
gurunya tengah teriuka, dan banyak di antara para pendekar 
lainnya yang tewas. Sedangkan sisanya berada dalam jarak 
jangkau yang jauh dari wanita itu. Kalau saja saat itu tidak 
muncul seorang pemuda tampan berbaju kulit harimau, niscaya 
dirinya telah tewas. Atau paling tidak akan teriuka parah. 
Pemuda itu? Ke mana dia sekarang dan apa yang sedang 
dilakukannya? Tiba-tiba saja wajah gadis itu nelangsa dan 
hatinya merasa terenyuh. Ada perasaan haru yang dia sendiri 
tidak tahu apa penyebabnya. Benarkah dirinya menyukai 
pemuda itu? Tapi apakah itu bisa dibenarkan? Pemuda itu sama 
sekali tidak menaruh perhatian padanya. Bahkan boleh 
dikatakan, selama pertemuan sedikit sekali mereka dapat 
bicara. "Ayu Sulastri...!" 
Gadis itu tergagap dan memandang lelaki tua dan pemuda di 
sebelahnya. Wajahnya tampak kemerahan menahan perasaan 
malu karena ketahuan bahwa dia merenung seorang diri. 
"Apa yang kau pikirkan...?" lanjut si Pemuda. 
"Eh, tidak! Tidak ada, Kakang Braja...!" sahut Ayu Sulastri

"Lalu kenapa kau melamun...?" tanya pemuda yang ternyata 
Braja. 
"Tidak apa-apa. Aku hanya teringat ayah dan ibu. Sudah 
lama sekali aku tidak mengunjungi mereka...," jawab Ayu 
Sulastri tanpa menoleh ke wajah Braja. 
"Kau ingin pulang mengunjungi orangtua-mu...?" tanya si 
Orang Tua yang tak lain Ki Anggora. 
"Kurasa begitu, Guru...." 
"Ya. Kalau begitu, kuizinkan kau pulang menemui mereka." 
"Apakah kau bersungguh-sungguh ingin pulang...?" tanya 
Braja meyakinkan. 
Ayu Sulastri mengangguk. 
"Kalau kau tak keberatan, aku ingin mengantarmu...," Braja 
menawarkan diri. 
"Maaf, Kakang Braja. Aku ingin berjalan sendirian saja...," 
Ayu Sulastri menolak secara halus. 
"Apakah kau tidak suka kutemani...?" pertanyaan Braja yang 
terakhir ini menunjukkan perasaan kecewa bercampur curiga. 
"Bukan begitu, Kakang. Aku suka sekali kau kawani, tapi 
untuk saat ini aku ingin melakukan perjalanan seorang diri. 
Mudah-mudahan kau bisa mengerti...," ujar Ayu Sulastri 
sehalus mungkin agar si Pemuda tidak merasa kecewa. 
Gadis cantik itu menoleh ke arah Ki Anggora, lalu 
menghampiri serta memberi salam hormat. 
"Guru, terima kasih atas izinmu. Aku akan berangkat 
sekarang juga. Restuilah dengan doamu, hingga perjalananku 
selamat sampai tujuan...!"

Ki Anggora tersenyum kecil seraya mengangguk. "Pergilah, 
Ayu! Restuku selalu menyertai-mu.... 
Ayu Sulastri menarik tali kekang kudanya. Setelah 
mengangguk kecil kepada Braja, dia menghela kudanya 
perlahan-lahan memisahkan diri di persimpangan jalan. Braja 
terpaku beberapa saat memandang gadis itu dengan perasaan 
tidak percaya. Apa yang telah terjadi terhadapnya? Kenapa 
belakangan ini dia begitu dingin padaku? Berbagai macam 
pertanyaan berkecamuk dalam hatinya, dan tidak mendapat 
jawaban yang memuaskan. 
Selama mereka berguru, hubungan keduanya amat akrab. 
Meskipun Ayu Sulastri tidak pernah menyatakan cintanya, Braja 
menganggap bahwa dirinya tidak bertepuk sebelah tangaa 
Namun selama setahun belakangan ini kelakuan gadis itu 
dirasakan semakin aneh. Tawa riangnya yang selalu terlihat 
berganti dengan kemurungan. Selain itu dia menjadi pendiam. 
"Maaf, Guru. Aku ingin bicara sebentar dengannya...," kata 
Braja seraya menyusul gadis itu. 
Ki Anggora hanya bisa menggeleng kecil sambil tersenyum 
memperhatikan tingkah kedua muridnya itu. Dia menghentikan 
kuda dan duduk dengan tenang memperhatikan keduanya dari 
kejauhan. 
Melihat dari wajah Braja yang tegang ketika berbicara 
dengan Ayu Sulastri, Ki Anggora bisa menduga bahwa si 
Pemuda pasti kesal. Dan sedikit banyak dia bisa mengerti, apa 
yang menyebabkan hal itu. Orang tua ini kembali menghela 
napas pendek. 
"Kenapa, Ayu? Kenapa mendadak begini? Apa yang 
terjadi...?!


"Bukankah sudah kukatakan berkali-kali, Kakang? Tidak ada 
apa-apa. Aku hanya rindu pada mereka. Tidak bolehkah aku 
mengunjungi seorang diri...?" tukas Ayu Sulastri masih dengan 
suara rendah. 
"Tapi belakangan ini kau aneh. Tidak biasanya kau menolak 
tawaranku. Bahkan biasanya jika hendak mengunjungi 
orangtuamu, kau selalu bicara padaku. Sekarang kau menjadi 
pemurung, pendiam, tidak pernah tertawa.... Apa sebenarnya 
yang terjadi padamu...?!" tanya Braja dengan rasa penasaran. 
"Kakang Braja, tidak ada apa-apa. Percayalah, aku hanya 
ingin pulang sendiri! Apakah itu salah...?" ' 
"Atau ada seseorang dalam hatimu...?" tanya Braja 
menyelidik dengan tatapan curiga. 
"Apa maksudmu...?!" tanya si Gadis dengan perasaan jengah 
dan suara yang mulai tinggi. 
"Sejak kedatangan pemuda itu tingkahmu mulai berubah. 
Apakah benar firasatku bahwa kau menyukainya? Kau 
menyukainya secara diam-diam dan tidak ingin kuketahui?!" 
"Kakang, hentikan kata-katamu! Pemuda? Huh, pemuda 
siapa yang kau maksudkan?!" 
"Siapa lagi kalau bukan Bayu? Kau menyukainya, bukan...?!" 
nada bicara Braja menyiratkan kecemburuan harinya. 
"Kakang Braja, jangan sembarangan kau bicara...!" bentak 
Ayu Sulastri merasa tidak senang dengan tuduhan itu. 
Ketika keduanya tengah berbicara, mendadak lima sosok 
tubuh melesat dan mengurung mereka. 
Braja dan Ayu Sulastri tentu saja tersentak kaget. Sring! 
Sring! 
***
"Siapa kalian dan apa yang kalian inginkan...?!" bentak Braja 
dengan mata membelalak garang. 
Lima orang lelaki berpakaian hitam yang baru muncul, tak 
mempedulikan bentakan Braja. Mendadak secara serentak 
mereka mencabut senjata masing-masing dan menyerang 
kedua muda-mudi itu. 
"Hiyaaa...!" 
"Hei?!" kedua orang itu tersentak kaget Demikian pula 
dengan Ki Anggora. Lelaki tua itu langsung melompat 
menghampiri saat kedua muridnya mencelat dari punggung 
kuda masing-masing untuk menghindari serangan kelima lelaki 
berpakaian hitam. 
Trang! 
"Hiiih!" 
"Uhhh...!" 
Braja dan Ayu Sulastri bukan main terkejutnya mendapat 
serangan yang mendadak begitu. Dengan sebisa-bisanya 
mereka menghindarkan diri dari tebasan senjata lawan. Kalau 
saja kelima orang yang mereka hadapi saat ini memiliki ilmu 
silat rendah, mungkin tidak jadi masalah, sebab dengan mudah 
mereka akan mampu mengatasi. 
Namun yang terjadi justru sebaliknya. Gerakan kelima orang 
itu cepat bukan main, dan tenaga dalamnya kuat sekali. Angin 
serangannya saja terasa menyambar kulit tubuh mereka. Ketika 
senjata mereka saling berbenturan, Ayu Sulastri dan Braja 
mengeluh tertahan menahan rasa sakit. Rasanya kulit tangan 
mereka terkelupas. Kalau sedikit saja kurang sigap, bukan tidak 
mungkin senjata akan terlepas dari genggamaa

"Keparat busuk! Setan dari mana yang menyuruh kalian tiba-
tiba saja menyerang kami?!" bentak Ki Anggora seraya 
menyerang dua lawan yang tengah mendesak kedua muridnya. 
Namun belum sempat serangan orang tua itu sampai, tiga 
orang lainnya telah menghadang dan memapaki serangannya 
dengan kompak. 
Trang! 
Wuuut! 
"Uhhh...!" 
Ki Anggora memekik tertahan ketika pedangnya membentur 
pedang lawan. Sementara pada saat yang bersamaan, dua 
buah golok menyambar ke arah pinggang dan lehernya. Orang 
tua itu mencelat ke belakang untuk menghindar dari serangan 
lawan selanjutnya. Namun lawan yang bersenjata pedang 
seperti tidak ingin membiarkannya lolos begitu saja. Pedangnya 
berputar sedemikian cepat membentuk pusaran yang 
menimbulkan desir angin kencang. 
Ki Anggora terkejut melihat cara lawan memainkan pedang. 
Rasanya dia kenal betul jurus-jurus yang dipergunakan lawan. „ 
Sehingga tak terasa orang tua itu memperhatikan wajah 
lawannya dengan seksama. Ketika mengetahui siapa 
sesungguhnya yang dihadapi Ki Anggora tersentak kaget. 
"Kakang Sadewa, apa yang kau lakukan?! Sudah gilakah kau, 
hendak membunuh adik seperguruanmu sendiri?! Kakang 
Sadewa, sadarlah! Aku Anggora, adikmu sendiri...!" teriak Ki 
Anggora dengan mata terbelalak keheranan. Dia tidak habis 
pikir kenapa Ki Sadewa, kakak seperguruannya menyerang. 
Namun sia-sia saja sebab orang yang dipanggilnya dengan 
nama Ki Sadewa itu seperti tidak mengenalinya. Bahkan terus 
menyerangnya seperti berhadapan dengan musuh besar.

Cras! 
"Akh...!" 
Ki Anggora terpekik kesakitan. Dia yakin sekali bahwa Ki 
Sadewa akan mengenali setelah diingatkannya. Namun hal itu 
membuatnya lengah. Karena lawan sama sekali tidak terusik 
dengan teriakannya itu. Ujung pedang lawan menyambar 
lengan kirinya hingga putus. Tubuh Ki Anggora melompat ke 
belakang untuk menghindar dari serangan selanjutnya. Namun 
dua lawan lainnya telah siap menerkam dengan tebasan golok. 
Sehingga keadaan Ki Anggora memang terjepit sekali. Apalagi 
ketika dia mendengar jeritan Braja. 
"Braja! Ayu Sulastri...! Lekas tinggalkan tempat ini! 
Selamatkan diri kalian masing-masing! Ayo, pergilah kalian dari 
sini!" teriak Ki Anggora memperingatkan kedua muridnya itu. 
"Tidak, Guru! Kami tak akan pergi dari sini dan membiarkan 
kau seorang diri menghadapi mereka...!" sahut Ayu Sulastri 
dengan suara lantang. 
"Hidup atau mari, kami akan tetap bertarung dengan iblis-
iblis keparat ini.... Aaakh...!" teriak Braja terpotong ketika satu 
tendangan lawan membuat tubuhnya sempoyongan beberapa 
langkah. 
Namun begitu dia masih berusaha mempertahankan kuda-
kuda semantap mungkin. Sementara pedangnya tetap 
dikibaskan untuk melindungi bagian dadanya saat lawan 
menerjang dengan ayunan goloknya yang kencang bukan main. 
Trang! Brettt! "Aaakh...!" 
Untuk kedua kalinya Braja menjadi kesakitan. Pedangnya 
terpental dihantam golok lawan. Dan golok itu terus 
menyambar ke arah pinggangnya. Pemuda itu ingin melompat 
mundur untuk menyetamatkan diri. Namun sungguh buruk

akibatnya, sebab senjata lawan menyambar pangkal pahanya. ' 
Nyaris kakinya putus ketika terasa bahwa golok lawan 
membentur tulang pahanya. Darah mengucur deras dari 
lukanya. Langkahnya limbung serta ter-pincang-pincang ketika 
berusaha menjatuhkan diri untuk menghindari serangan lawan 
berikutnya. 
Hal yang sama agaknya dialami Ayu Sulastri. Gadis itu 
menjerit kesakitan ketika satu tendangan keras menghantam 
punggungnya. Tubuhnya bergulingan ke depan sambil 
menyemburkan darah segar. Napasnya terasa sesak, dan 
punggungnya sakit sekali. Dia berusaha bangkit untuk 
mengayunkan pedang guna memapaki serangan lawan yang 
telah mendekat Namun tenaganya seperti terkuras habis, dan 
lengannya kaku untuk digerakkan. 
Gadis itu mengeluh pendek. Habislah riwayatnya kali ini. 
Tidak ada seorang pun yang dapat menolongnya. Kalaupun dia 
mampu bertahan, mungkin hanya dalam sekali tangkisan. 
Selanjutnya dia tidak akan mampu berbuat banyak. Kecepatan 
lawan bergerak sungguh luar biasa. Begitu pula dengan tenaga 
dalam yang dimiliki lawannya, bukanlah tandingan gadis itu. 
Trang! 
Siiing! 
Cras! Trang! 
"Aaakh...!" 
Ayu Sulastri tersentak kaget dengan mata terpejam. 
Pedangnya terlepas dari genggaman setelah berbenturan 
dengan senjata lawan. Angin tajam menyambar ke lehernya, 
sementara dia sama sekali tak berdaya untuk mengelak. Saat 
itulah samar-samar terdengar suara mendesing nyaring. 
Sebuah benda melesat menahan senjata lawan yang telah

begitu dekat dengannya. Sesaat kemudian terdengar pekikan 
tertahan. Percikan darah muncrat membasahi wajahnya. Gadis 
itu terbelalak. Lawan telah ambruk di depannya dengan leher 
nyaris putus. 
"Heh...?!" 
*** 
Pada saat yang bersamaan terlihat cahaya putih keperakan 
menyambar senjata-senjata lawan yang tengah berhadapan 
dengan Braja dan Ki Anggora. Golok di tangan lawan Braja 
patah menjadi dua. Demikian pula dengan senjata lawan yang 
lain. Lalu terlihat sekelebat bayangan melesat cepat 
menyambar keempat orang yang tengah mengeroyok guru dan 
murid itu. 
Plak! 
Duk! 
"Aaa...!" 
Ki Anggora dan Braja tertegun kaget. Gerakan yang 
dilakukan orang yang baru muncul itu cepat sekali, dibarengi 
tenaga dalam dahsyat. Angin berdesir kencang saat 
bayangannya berkelebat menyambar. Sesaat terdengar jeritan 
tertahan. Dua orang lawan terjungkal beberapa langkah dengan 
mulut memuntahkan darah segar. Keduanya menggelepar 
beberapa saat seperti ayam disembelih, lalu diam tidak 
bergerak. Sementara dua lainnya masih memberikan 
perlawanan sengit 
Ki Anggora mencoba berusaha memperhatikan, siapa dewa 
penolong mereka. Akhirnya menarik napas lega ketika 
mengetahui siapa orang itu.

"Pendekar Pulau Neraka...? Ah, dia selalu muncul pada saat 
yang tepat...," gumamnya. 
Orang tua itu mendekati kedua muridnya dan memeriksa 
luka mereka. 
"Guruj siapakah orang yang tiba-tiba muncul menolong 
kita...?" tanya Ayu Sulastri. 
"Kau mungkin tak akan percaya. Dialah orangnya, penolong 
kita.setahun yang lalu...." "Maksud Guru, Bayu Hanggara...?" 
Wajah Ayu Sulastri tampak berseri-seri meski menahan rasa 
nyeri di punggungnya. 
Ki Anggora mengangguk-angguk sambil tersenyum kecil. Dia 
melihat jelas dari pancaran wajahnya, sang Murid tidak mampu 
membohongi perasaan hatinya. Setidak-tidaknya orang tua itu 
mengerti, apa yang menyebabkan kelakuan Ayu Sulastri begitu 
murung setahun belakangan ini. 
Namun sungguh berbeda dengan Braja. Pemuda itu 
mendengus pelan sambil membuang wajah ketika mendengar 
nama Bayu. Hatinya kesal melihat perubahan wajah Ayu 
Sulastri. Gadis itu seperti melupakan luka yang dideritanya, 
bahkan seakan tak sadar pada apa yang menimpa mereka. Hal 
itu bukan kebiasaannya. Dulu bila Ki Anggora dan Braja sedikit 
saja teriuka, dia sudah sibuk dan cemas. Tapi kali ini benar-
benar mengherankan. Matanya tiada berkedip menyaksikan 
pertarungan yang tengah berlangsung di hadapan mereka. 
"Hm, lukamu cukup parah, Braja...," gumam Ki Anggora lalu 
menotok jalan darah di pangkal paha murid laki-lakinya itu. 
"Tidak apa-apa, Guru. Hanya luka kecil saja. Sebaliknya yang 
menimpa Guru lebih parah. Guru kehilangan sebelah lengah...," 
desis Braja dengan wajah duka

"Hm, tidak mengapa. Lenganku yang sebelah lagi masih 
mampu kupergunakan...," kata-kata Ki Anggora terpotong 
ketika terdengar kembali jeritan kematian. Salah seorang lawan 
terjungkal sambil menyemburkan darah segar. Orang tua itu 
terkesiap. Demikian juga dengan kedua muridnya. 
Ki Anggora tahu bahwa lawan terakhir Pendekar Pulau 
Neraka tak lain orang yang amat dikenalnya. Ki Sadewa, kakak 
seperguruannya. Kepandaiannya memang hebat dan ilmu 
pedangnyapun amat tinggi. Namun sayang, pedangnya telah 
patah dipapas senjata Cakra Maut milik Pendekar Pulau Neraka. 
Melihat hal itu Ki Anggora khawatir kalau kakak 
seperguruannya akan tewas di tangan Pendekar Pulau Neraka. 
Siapa pun tahu pendekar muda berpakaian kulit harimau ini 
tidak pernah memberi ampun pada lawan-lawannya. Sementara 
dia tidak tahu, apa yang menyebabkan Ki Sadewa menjadi 
ganas begitu. Selama ini tidak pernah terjadi perselisihan di 
antara mereka. Bahkan Ki Sadewa sangat sayang padanya. 
Siiing! 
"Heh?!" 
Ki Anggora terperanjat melihat Pendekar Pulau Neraka 
kembali melepaskan Cakra Maut Dia tahu betul akan kehebatan 
senjata itu karena pernah membuktikan dengan mata kepala 
sendiri ketika menewaskan Ki Sanca Ireng. 
"Nak Bayu, harap kau memberi ampun padanya. Dia saudara 
seperguruanku. Pasti ada yang tidak beres padanya...!" teriak 
Ki Anggora. 
"Heaaah...!" 
Ki Sadewa tersentak kaget melihat senjata maut lawan yang 
melesat bagai lidah petir, menyambar ke arahnya. Angin tajam 
terasa hampir mengiris kulit tubuhnya ketika dia berusaha

melompat menghindar sambil jungkir balik. Pendekar Pulau 
Neraka tak memberi kesempatan sedikit pun pada lawan. 
Tubuhnya berkelebat cepat menyambar lawan sambil 
menghantamkan tendangan keras. 
Plak! 
Tuk! 
"Hukh...!" 
Ki Sadewa melenguh tertahan ketika perge-langan tangan 
terasa remuk menangkis kaki lawan. Namun lebih kaget lagi 
ketika tubuhnya kaku tidak dapat bergerak. Seluruh persendian 
seakan lepas dan tenaganya lemas tidak berdaya. Ternyata 
sambil melancarkan tendangan, Pendekar Pulau Neraka 
menotok tubuh Ki Sadewa. Sehingga tubuh lelaki tua itu 
ambruk dalam keadaan lunglai. 
"Kakang Sadewa...!" Ki Anggora menghampiri dengan wajah 
cemas lalu memeriksa keadaan saudara seperguruannya itu. 
Ketika mengetahui bahwa Ki Sadewa telah tertotok, dia menarik 
napas lega dan memandang Pendekar Pulau Neraka sambil 
menjura hormat. 
"Kuucapkan terima kasih atas kemurahan hatimu. Aku tidak 
tahu kenapa dia tiba-tiba menjadi ganas dan menyerangku 
tanpa ampun. Pasti ada yang tidak beres. Sesuatu telah 
mempengaruhi pikirannya. Bahkan anehnya dia tak 
mengenalku lagi” 
*** 
TUJUH


Bayu memandang sekilas pada orang tua itu, juga pada 
kedua muridnya. Lalu menghela napas pendek.

"Ki Anggora, saudara seperguruanmu tidak sadar pikirannya. 
Dia tengah terpengaruh oleh semacam kekuatan sihir. 
Sebaiknya kita segera mengamankannya...," katanya pendek. 
"Eh, iya... iya. Tahukah kau yang menyebabkannya demikian 
parah begini...?" 
"Hm, kurasa ini perbuatan Nyai Roro Sekar Mayang...." 
"Nyai Roro Sekar Mayang? Ah, kalau begitu tidak salah 
dugaanku. Wanita iblis itu kini muncul kembali. Tapi apakah 
Nak Bayu yakin bahwa semua ini perbuatannya...?" 
Pendekar Pulau Neraka menggeleng kecil sambil mengelus 
kepala Tiren yang melompat ke pangkuannya, lalu menarik 
napas pendek. 
"Hm..., aku belum yakin. Namun pernah kuketahui bahwa 
Ilmu Tengkorak yang mereka pelajari, pada tingkat tertinggi 
mampu mempengaruhi jalan pikiran seseorang. Orang itu akan 
menjadi abdi setianya. Bahkan harus mengorbankan nyawa 
untuk membela orang yang mempengaruhinya. Aku khawatir 
kita tidak bisa menolong saudara seperguruanmu ini sebelum 
orang yang mempengaruhinya mati...," jawab Pendekar Pulau 
Neraka. 
"Sungguh biadab! Wanita iblis itu agaknya tak akan pernah 
menyerah. Dengan kepandaiannya sekarang, dia akan 
merajalela mengumbar angkara murka!" desis Ki Anggora 
geram. 
Bayu terdiam sesaat. Demikian pula dengan kedua murid Ki 
Anggora yang berada di dekatnya. Dia sempat beradu pandang 
dengan Ayu Sulastri. Gadis itu buru-buru menundukkan kepala 
dengan wajah merah padam sebab ketahuan sejak tadi dia 
terus memandangi Pendekar Pulau Neraka.

"Ni Ayu, parahkah luka yang kau derita...?" "Eh, aku... oh. 
Tidak! Tidak apa-apa...," sahut Ayu Sulastri tergagap. 
"Mari, kuperiksa! Mungkin aku bisa- sedikit membantu...," 
ujar Bayu karena melihat wajah gadis itu pucat dan menahan 
sakit yang hebat pada 
punggungnya. 
Bayu memeriksa nadi di 
pergelangan tangan Ayu 
Sulastri. Gadis itu tampak 
terdiam dengan mata 
terpejam. Namun tiba-tiba 
sekujur tubuhnya 
merasakan panas dingin 
tak karuan. Sementara ada 
perasaan jengah dan malu 
berkecamuk di hatinya. 
"Hm, jalan darahmu tak 
beraturan, Ni Ayu. 
Duduklah di sini dan membelakangiku...!" kata Bayu sambil 
duduk bersila di tanah. 
Gadis itu melakukan apa yang diperintahkan Pendekar Pulau 
Neraka. 
"Tarik napas dalam-dalam...!" 
Ayu Sulastri menarik napas dalam-dalam, lalu 
menghembuskan perlahan-lahan. Bayu menempelkan kedua 
telapak tangan ke punggung gadis itu. Seketika dirasakan nada 
hawa hangat menjalar ke punggungnya. Sesaat dia meringis 
menahan rasa nyeri yang hebat seperti menusuk-nusuk 
punggungnya. Namun dengan sekuat daya kemampuannya 
gadis itu berusaha menahan. Apalagi membayangkan bahwa

dewa penolongnya tak lain orang yang selama ini ada dalam 
pikirannya. 
"Hoeeekh...!" 
Ayu Sulastri menyemburkan darah kental dari mulutnya. 
Rasa nyeri yang ada di punggung seperti menjalar ke dadanya. 
Wajah gadis itu semakin pucat, namun kini dirasakan seluruh 
persendiannya agak ringan dibandingkan dengan tadi. Hawa 
hangat yang disalurkan Pendekar Pulau Neraka seperti 
membungkus rasa sakit dan perlahan-lahan mengembalikan 
tenaganya yang banyak terkuras. 
"Ni Ayu, cobalah latihan pernapasan beberapa saat lamanya! 
Mudah-mudahan luka dalammu cepat sembuh...," kata Bayu 
seraya menghentikan penyaluran tenaga dalam ke tubuh gadis 
itu. 
Ayu Sulastri mengangguk pelan, lalu melakukan apa yang 
diperintahkan pemuda itu. Bayu menarik napas lega dan 
menoleh ke arah Braja. 
"Em..., coba kulihat lukamu!" katanya bermaksud menolong. 
"Terima kasih, Bayu. Aku baik-baik saja...," sahut Braja cepat 
menolak niat baik Pendekar Pulau Neraka. 
"Syukurlah kalau memang demikian...!" Bayu tidak hendak 
memaksakan keinginan. Dia memalingkan perhatian pada Ki 
Anggora. 
"Ki Anggora, kurasa tak ada lagi yang bisa kulakukan di sini, 
maka aku mohon pamit Uruslah saudara seperguruanmu ini 
sebaik-baiknya. Mudah-mudahan setelah Nyai Roro Sekar 
Mayang tewas, dia bisa disembuhkan...!" lanjutnya. 
"Terima kasih atas segala pertolongan Nak Bayu. Tapi akan 
ke manakah tujuanmu sekarang...?"

"Aku bermaksud mencari wanita itu!" 
"Nyai Roro Sekar Mayang...?" 
Bayu mengangguk cepat. "Aku harus menghentikan sepak 
terjangnya sebelum jatuh korban lagi Doakan, mudah-mudahan 
aku mampu menaklukkan wanita iblis itu...!" 
"Maaf, Bayu. Aku tidak bermaksud menghalangi 
kepergianmu. Namun sebelumnya, sudikah kau mendengarkan 
ceritaku barang sesaat. Setelah itu boleh memutuskan langkah 
terbaik. Sebab tujuan kita sama, yaitu ingin melenyapkan biang 
bencana yang dilakuan wanita iblis itu...." 
"Hm, apakah yang akan Ki Anggora ceritakan padaku...?" 
"Terima kasih, Nak Bayu...," sahut Ki Anggora lega. Dia pun 
menceritakan pertemuan terakhir di padepokan Ki Sapu Jagad, 
serta mengenai sikap Ki Lodaya. Wajah orang tua itu tampak 
khawatir. 
"Saudara seperguruanku tentu berada di bawah 
pengaruhnya. Kini khawatir hal yang sama terjadi pula dengan 
Ki Lodaya serta tokoh-tokoh persilatan lainnya. Aku tak 
merendahkan kepandaian Ki Lodaya atau lainnya, tapi rata-rata 
mereka memiliki kemampuan yang setingkat denganku. Dan 
saudara seperguruanku jelas memiliki kepandaian yang satu 
tingkat di atasku. Jika beliau saja mampu ditaklukkan, apalagi 
seperti kami ini. Lalu jika mereka dipengaruhi Nyai Roro Sekar 
Mayang dengan ilmu iblisnya, kita akan repot sendiri 
menghadapi lawan yang merupakan kawan-kawan kita 
sendiri...," jelas orang tua itu mengemukakan kekhawatirannya. 
Bayu berpikir sesaat, lalu mengangguk pelan. 
***

"Lalu apa yang akan kau lakukan, Ki Anggora...?" tanya 
Bayu. 
"Hm, aku khawatir akan keselamatan para pendekar yang 
lain. Apa kau bersedia jika aku mengajakmu menemui Ki Sapu 
Jagad...? Paling tidak memastikan bahwa Ki Lodaya tidak 
menemui nasib yang sama seperti saudara seperguruanku 
ini...." 
"Baiklah. Kita berangkat sekarang ke tempat kediaman Ki 
Sapu Jagad...." 
Bayu menyetujui usul Ki Anggora. Dia memandang sekilas 
pada Ayu Sulastri. Gadis itu terlihat sudah selesai melakukan 
latihan pernapasan dan hanya menundukkan kepala tanpa 
berkata apa-apa. 
"Ayu, apakah kau melupakan peradatan? Kau kembali lupa 
mengucapkan terima kasih atas pertolongan Pendekar Pulau 
Neraka...," tegur Ki Anggora mengingatkan. 
Mendengar teguran gurunya, wajah Ayu Sulastri bersemu 
merah. Dengan perasaan rikuh dia terdiam beberapa saat 
lamanya seraya melirik ke arah Pendekar Pulau Neraka. 
"Sudahlah. Sebenarnya aku tidak suka dengan segala macam 
peradatan seperti itu. Lebih baik kita lekas ke tempat Ki Sapu 
Jagad, sebelum terjadi sesuatu yang buruk terhadap mereka," 
tukas Bayu cepat. 
Baru saja selesai ucapan Pendekar Pulau Neraka, mendadak 
berkelebat empat sosok tubuh mengepung mereka. Bayu cepat 
bersiaga, melihat mereka mencabut pedang masing-masing. Ki 
Anggora sempat terkejut ketika mengenali keempatnya. 
"Astaga! Mereka adalah Empat Raja Pedang Utara...!" 
desisnya dengan mata terbelalak kaget

"Ki Anggora, aku tak tahu harus berbuat apa, tapi mereka 
agaknya tidak main-main terhadap kita!" bisik Bayu dengan 
mata tetap mengawasi keempat sosok bersenjata pedang di 
hadapannya. 
"Entahlah, kenapa mereka bisa jadi begini. Hati-hati Nak 
Bayu! Mereka memiliki kepandaian tinggi, bahkan lebih hebat 
dari saudara seperguruanku sendiri. Terutama ilmu pedang 
mereka...!" Ki Anggora memperingatkan sambil menggeleng 
lesu. 
"Serang...!" 
"Hiyaaa...!" 
Diiringi dengan bentakan keras, Empat Raja Pedang Utara 
bersama-sama melompat menyerang mereka. 
"Yeaaa...!" 
Pendekar Pulau Neraka melpmpat menghindari serangan 
salah seorang di antara Empat Raja Pedang Utara. Pedang 
lawan berkelebat-kelebat menyambar bagaikan membungkus 
tubuhnya. 
Apa yang dikatakan Ki Anggora ternyata benar, ilmu pedang 
mereka hebat luar biasa. Sempat terlihat oleh Bayu, Braja dan 
Ayu Sulastri jatuh bangun menghindari tebasan senjata lawan. 
Keduanya tampak tak mampu memberikan serangan balasan. 
Bayu menggeram. Dia tidak bisa membiarkan keadaan ini terus 
berlarut-larut. Maka sambil membentak nyaring dia 
mengibaskan tangan kanannya. 
"Hiiih!" 
Siiing!" 
Selarik cahaya putih keperakan melesat bagai kilatan petir 
menyambar keempat lawannya sekaligus.

Wuuut! 
Trasss! 
"Heh...?!" 
Dua orang lawan melompat menghindari terjangan Cakra 
Maut yang dilepaskan Pendekar Pulau Neraka. Namun dua 
lainnya terpaksa harus menangkis karena tidak sempat berkelit 
dari serangan mendadak yang bukan main cepatnya. Akibatnya 
pedang mereka putus sampai sebatas gagangnya. 
"Yeaaa...!" 
Pendekar Pulau Neraka melompat menerkam lawannya yang 
tadi mampu menghindari sambaran Cakra Maut. Orang itu 
terkejut melihat gerakannya yang begitu cepat. Namun mereka 
sempat menguasai diri, bahkan bermaksud menghantam Bayu 
dengan pedang. 
"Hiiih!" 
Melihat serangan balasan, Pendekar Pulau Neraka 
menghentakkan kuat-kuat tangannya dengan gerakan 
mendorong. Dari kedua telapak tangannya mendesir angin 
kencang laksana badai topan, menghantam ke arah lawan. 
Dengan perasaan kaget, lawan berusaha menghindar sambil 
membalas dengan pukulan jarak jauh. Bayu agaknya telah 
memperhitungkan hal itu, hingga pukulan lawan mengenai 
tempat kosong. Sebab, tubuh pemuda berpakaian kulit harimau 
itu telah melesat ke arah lawan dengan berputar bagai kitiran. 
Bresss! 
"Aaakh...!" 
Satu hantaman keras membuat lawan terjungkal dan 
memekik kesakitan. Dari mulutnya menyembur darah segar. 
Bayu agaknya merasa yakin betul dengan hantamannya tadi,

sebab belum lagi tubuh lawan terjerembab, dia kembali 
melompat menyerang lawan Braja. Sengaja dilakukan untuk 
membantu pemuda itu. Karena dalam keadaan payah Braja tak 
mampu berbuat banyak, hingga menjadi bulan-bulanan 
lawannya. 
"Hiyaaa...!" 
Plak! 
Wuuut! 
Dalam keadaan tanpa senjata, lawan tampak kewalahan 
mendapat serangan mendadak begitu rupa. Dia berusaha 
menahan dan bermaksud balas menyerang. Namun Bayu 
sedikit pun tidak memberi kesempatan padanya untuk balas 
menyerang. Pukulan-pukulan serta tendangannya yang 
dikerahkan dengan tenaga dalam kuat membuat lawan harus 
jatuh bangun mempertahankan selembar nyawanya. 
'Yeaaa...!" Siiing! Begkh! "Aaa...!" 
Pendekar Pulau Neraka membentak nyaring. Tubuhnya 
melesat menyambar lawan sambil melepaskan Cakra Maut. 
Melihat senjata lawan yang telah diketahui kehebatannya, 
orang itu tampak terkejut sekali. Dengan geragapan dia 
menghindarkan diri. Pada saat itulah satu tendangan yang 
dilancarkan Bayu menghantam dadanya. Seketika terdengar 
pekikan kesakitan. Tubuh Pendekar Pulau Neraka melompat 
tinggi dan menyambar Cakra Maut dan langsung menyerang 
lawan yang tengah dihadapi Ayu Sulastri. 
"Hiyaaa...!" 
Suiiing! 
"Hei?!"


Dua orang menggelepar tidak berdaya dan tewas sesaat 
kemudian di tangan Pendekar Pulau Neraka. Namun mendadak 
terdengar siulan nyaring, dan dua lawan yang tersisa serentak 
kabur dari tempat itu dengan sekuat tenaga. 
Bayu menggeram sinis. Dia bermaksud melemparkan Cakra 
Maut untuk mengejar keduanya. Hal itu mudah saja baginya. 
Namun segera diurungkan niatnya dan hanya memandang 
keduanya dengan perasaan kesal. 
"Ki Anggora, sebaiknya kita buru-buru saja ke tempat Ki 
Sapu Jagad. Perasaanku tak enak. Dua kali mereka mencegat 
kalian dan berusaha menewaskan kita semua. Entah berapa 
orang lagi yang akan datang menghadang...," ajak Bayu seraya 
menoleh ke arah Ki Anggara. 
'Ya, aku pun bermaksud begitu. Tapi Nak Bayu, kami tak 
mempunyai persediaan kuda lagi bagimu...." 
"Biar Kang Bayu bersamaku saja kalau tidak keberatan...," 
sahut Ayu Sulastri menawarkan diri. 
Wajah Braja tampak kurang senang mendengar kata-kata 
gadis itu. Namun dia tidak bisa berbuat apa-apa. 
"Terima kasih, Ni Ayu...," sahut Bayu lalu melompat ke 
belakang punggung Ayu Sulastri. 
Ki Anggora memacu kudanya mengikuti Braja yang telah 
lebih dulu meninggalkan tempat itu. Baru kemudian Ayu 
Sulastri menyusul belakangan! 
*** 
Kedua orang itu dengan cepat memacu kudanya menuju 
padepokan Ki Sapu Jagad. Begitu pintu gerbang dibuka, 
mereka langsung melesat cepat dan melompat dengan sigap 
dari punggung kuda masing-masing. Ki Sapu Jagad yang telah

diberi tahu oleh beberapa orang muridnya yang berjaga di 
menara atas, tergopoh-gopoh menyambut keduanya. 
"Ki Jaka Umbara! Ki Kebo Ungu..., apa yang terjadi? Kenapa 
kalian seperti dikejar setan...?" tanya orang tua itu dengan 
wajah bingung. 
"Celaka, Ki! Ketiwasan...! Ternyata benar dugaan kita. Nyai 
Roro Sekar Mayang berada di belakang semua peristiwa ini...!" 
kata Ki Jaka Umbara dengan napas memburu. 
"Hm..., coba tenangkan dulu hari kalian! Ceritakan, apa yang 
kalian temukan...!" ujar Ki Sapu Jagad seraya menyilakan 
keduanya duduk di beranda depan. 
Ki Jaka Umbara dan Ki Kebo Ungu menarik napas dalam-
dalam dan menenangkan diri beberapa saat lamanya. 
"Nah, coba ceritakan padaku apa yang telah kalian lihat?!" 
pinta Ki Sapu Jagad setelah melihat warga agak tenang. 
"Kami bertemu dengan Nyai Roro Sekar Mayang...," ujar Ki 
Jaka Umbara. 
"Lalu...?" 
"Ki Lodaya kena dipenganihinya, Ki!" sahut Ki Kebo Ungu. 
"Apakah karian diam saja dan meninggalkannya...?" 
"Bukan begitu. Wanita iblis itu memiliki ilmu sihir hebat. 
Mula-mula Ki Lodaya melawan anak buahnya, namun akhirnya 
dia dibuat tak berkutik. Ketika wanita itu muncul, Ki Lodaya 
mencoba menyerangnya. Namun dengan sekali bentak, tubuh 
Ki Lodaya terpental. Lalu wanita itu menggunakan ilmu sihir 
untuk mempengaruhinya. Sehingga Ki Lodaya tidak berdaya 
melawannya. Bagai kehilangan akal Ki Lodaya menuruti 
perintah Nyai Roro Sekar Mayang...," lanjut Ki Kebo Ungu 
menjelaskan.

"Kurang ajar!" Ki Sapu Jagad menggeram sambil 
mengepalkan kedua tangan. 
"Apa yang harus kita lakukan sekarang, Ki? Jumlah pengikut 
Nyai Roro Sekar Mayang sudah banyak. Dan kalau dia mampu 
mempengaruhi Ki Lodaya, tentu mampu pula mempengaruhi 
mereka yang memiliki kemampuan setingkat dengan Ki Lodaya. 
Lalu yang paling membuat kita serba salah dan repot, jika 
harus melawan kawan sendiri...," lanjut Ki Jaka Umbara dengan 
wajah cemas. 
Ki Sapu Jagad terdiam beberapa saat lamanya seperti 
merenungi kejadian yang menimpa sahabatnya itu. 
"Sungguh malang nasib, Ki Lodaya. Ternyata nasib yang 
menimpanya lebih buruk dari dugaanku semula. Dia kini 
menjadi boneka wanita iblis itu...," keluh Ki Sapu Jagad dengan 
perasaan tertekan. 
"Ki, kita harus melakukan sesuatu untuk menolongnya!" kata 
Ki Kebo Ungu bersemangat 
"Benar. Aku akan menyiapkan murid-muridku untuk 
melakukan penyerangan terhadap wanita iblis itu!" sahut Ki 
Sapu Jagad geram. 
"Apa kita tidak perlu memberitahu sahabat-sahabat yang 
lain?" tanya Ki Jaka Umbara. 
'Ya. Aku akan mengirim tiga orang muridku untuk 
memberitahu mereka yang lain!" Ki Sapu Jagad cepat berdiri 
dan melangkah ke depan untuk mengumpulkan murid-murid 
terbaiknya. 
Tiga orang muridnya langsung menghadap. Mereka bicara 
sebentar kemudian terlihat ketiganya melompat cepat ke 
punggung kuda masing-masing dan melesat keluar ketika pintu 
gerbang terbuka lebar. Namun....

"Heaaa...!" 
Prak! Cras! 
"Aaa...!" 
"Hah...?!" 
Ki Sapu Jagad terkejut. Juga dengan yang lainnya. Ketiga 
muridnya memekik nyaring dan terjungkal dari pungung kuda. 
Mereka tewas seketika dalam keadaan yang menyedihkan. Dua 
orang kepalanya remuk dan seorang lagi lehernya nyaris putus 
disambar senjata tajam Bersamaan dengan itu berlompatan 
beberapa sosok tubuh ke atas pagar. 
"Hi hi hi...! Pesta akan dimulai sebentar lagi! Tempat ini akan 
menjadi banjir darah! Hi hi hi...! Orang-orang sok jago akan 
menemui pembalasan setimpal atas apa yang pernah kalian 
lakukan selama ini...!" terdengar suara tawa nyaring 
memekakkan telinga. 
Beberapa murid Ki Sapu Jagad tergeletak dan menggelepar 
kesakitan. Dari lubang telinga mereka mengucur cairan merah 
kental. Sementara yang lain tampak duduk bersila berusaha 
menahan suara tawa yang mengandung tenaga dalam kuat itu. 
Ki Sapu Jagad terbelalak kaget. Seorang wanita kurus 
berjubah besar berwarna putih, telah berdiri di atas tembok 
kayu jati yang melindungi, rumahnya. Rambutnya yang panjang 
dan sebagian telah memutih, berkibar-kibar ditiup angin. Bola 
matanya cekung dan menyorot tajam. Wajahnya pucat bagai 
mayat yang bangkit dari kubur. Namun begitu, Ki Sapu Jagad 
masih mampu mengenalinya. 
"Nyai Roro Sekar Mayang...!" 
***

DELAPAN

"Hi hi hi...! Tua Bangka Busuk, agaknya kau tidak bisa 
melupakanku, heh?! Bagus! Bagus! Dan sampai ke liang kubur 
pun akan kubuat kau tidak bisa melupakanku...!" teriak wanita 
itu dengan tawanya yang tetap memekakkan telinga. 
"Nyai Roro Sekar Mayang, bagus kau datang mengantarkan 
nyawamu sendiri! Aku tak perlu repot-repot lagi mencarimu!" 
bentak Ki Sapu Jagad tidak kalah lantang. 
"Hi hi hi...! Nyawamu sudah di kerongkongan masih juga 
bisa berkoar. Lebih baik kau bergabung denganku secara baik-
baik. Siapa tahu aku bisa mengampuni jiwa busukmu itu!" ejek 
Nyai Roro Sekar Mayang sinis. 
"Chuih! Iblis! Jangan harap aku sudi menjadi pengikutmu! 
Sebaiknya kaulah yang musti sadar dan kembali ke jalan yang 
benar. Masih ada waktu sebelum ajal menjemputmu!" 
"Tua bangka keparat! Omonganmu semakin . ngaco saja. 
Sebaiknya kau memang harus cepat-cepat masuk ke liang 
kubur...!" bentak Nyai Roro Sekar Mayang semakin geram. 
Dia memberi isyarat pada anak buahnya. Bersamaan dengan 
itu melesat cepat dua puluh orang yang datang bersamanya, 
menyerang Ki Sapu Jagad beserta seluruh muridnya. 
"Yeaaa...!" 
"Hi hi hi...! Ayo, cincang mereka dan jangan sisakan seorang 
pun! Hi hi hi...! Berpesta poralah kalian sesuka hati...!" 
"Heh...?" 
Ki Sapu Jagad tersentak kaget. Banyak di antara anak buah 
Nyai Roro Sekar Mayang yang dikenalnya. Bahkan di antara 
mereka ada Ki Lodaya. Ki Sapu Jagad tampak berusaha 
menyadarkan mereka, namun sia-sia saja. Orang-orang itu

sama sekali tidak menghiraukan dan tetap menganggapnya 
sebagai musuh yang harus dilenyapkan. 
"Ki Lodaya, sadarlah! Aku sahabatmu sendiri! Kenapa kau 
sekarang?! Apa yang telah diperbuat wanita iblis itu 
terhadapmu?!"» 
'Yeaaa...!" 
"Haits! Heaaa...!" 
Ujung pedang Ki Lodaya yang menyambar ke leher Ki Sapu 
Jagad sebagai jawaban dari kata-kata orang tua itu. Ki Sapu 
Jagad terkejut bukan main dan terpaksa menghindar dengan 
melompat ke belakang. Dua orang lawan terus memburunya 
dari belakang. Orang tua itu menggeram dan terpaksa 
mencabut pedang untuk memberikan perlawanan. Namun 
tampak tidak mudah. Lawan-lawannya tidak bisa dianggap 
remeh karena rata-rata mereka memiliki kepandaian tinggi. 
Bahkan dia tampak mulai bingung ketika jerit kematian murid-
muridnya terdengar susul-menyusul. 
"Iblis-iblis keparat! Akan kubunuh kalian! Yeaaa...!" Ki Sapu 
Jagad menggeram dan melakukan serangan diiringi kemarahan 
yang meluap-luap. 
Namun hal itu ternyata tidak mudah baginya. Tiga orang 
lawan yang menyerangnya bukanlah orang sembarangan. 
Agaknya Nyai Roro Sekar Mayang tahu betul keadaan dan 
menempatkan orang-orangnya dengan lawan yang tepat. Ki 
Sapu Jagad tak mampu berkutik dibuatnya. Bahkan kalau tidak 
hati-hati, nyawanya sendiri akan melayang disambar senjata 
lawan. 
'Yeaaa...!" 
Trang!

Bret! 
"Aaakh!" 
Dua buah golok menyambar ke arahnya. Ki Sapu Jagad 
mengibaskan senjata untuk menangkis. Kaki kanannya berputar 
menendang lawan yang berada paling dekat. Setelah itu 
tubuhnya dengan cepat melompat ke samping untuk 
menghindar. Namun tiba-tiba angin tajam menyambar pangkal 
lehernya. Ki Sapu Jagad menunduk dan bermaksud membalas 
sambil memutar tubuh. Pada saat itu sebilah pedang lawan 
menyambar perutnya. Seketika mulutnya menjerit tertahan 
sambil mendekap perutnya yang robek dan bercucuran darah. 
'Yeaaa...!" 
Dua orang pengikut Nyai Roro Sekar Mayang dengan penuh 
nafsu terus menerjang Ki Sapu Jagad yang tengah terhuyung-
huyung ke belakang. 
Trang! 
"Uhhh...!" 
"Hiiih!" 
Ki Sapu Jagad mengibaskan pedang berusaha menangkis 
sambil melompat ke samping. Tubuhnya bergulingan 
menghindarkan diri dari hantaman pukulan jarak jauh yang 
dilancarkan lawan. 
Duk! 
"Aaakh...!" 
Pada saat itu juga seorang lawan yang lain menghantam 
punggungnya dengan keras. 
Ki Sapu Jagad menjerit kesakitan. Tubuhnya terjungkal ke 
depan dengan mulut menyemburkan darah segar.

"Hiyaaa...!" 
Dua orang lawan yang lain melompat cepat, bermaksud 
menghabisi orang tua itu secepatnya. Ki Sapu Jagad mengeluh 
pendek. Dia tidak mampu bergerak cepat. Sudah jelas senjata 
lawan akan menghabisi hidupnya. Orang tua itu hanya bisa 
menutup mata sambil berdoa dengan hati pasrah. 
Siiing! 
Tras! Bret! 
"Aaa...!" 
*** 
Mendadak pada saat itu mendesing sebuah benda yang 
mengeluarkan cahaya putih keperakan menyambar senjata-
senjata lawan hingga berpen-talan patah. Senjata maut itu 
terus melesat menyambar tenggorokan mereka. Dua orang 
langsung menjerit tertahan dan ambruk dengan leher nyaris 
putus. 
"Ki Anggora, bantu yang lainnya! Biar kuhadapi wanita iblis 
itu...!" teriak seorang pemuda berbaju kulit harimau dan terus 
melesat menangkap benda yang mendesing bagaikan kilat itu. 
"Hi hi hi...! Bagus! Bagus! Akhirnya semua berkumpul di 
tempat ini. Hari ini Pendekar Pulau Neraka akan menemukan 
tempat kuburan yang sesuai bagi kalian. Yeaaa...!" 
Bersamaan dengan melesatnya tubuh Bayu alias Pendekar 
Pulau Neraka, sesosok tubuh kurus berbaju putih memburu. 
Wanita itu menghantamkan pukulan maut yang mengeluarkan 
sinar putih ke arah Bayu. 
Bruakkkh! 
"Aits! Heaaa...!"

Bayu berkelit dengan gesit sambil jungkir balik. 
Namun ketika kedua kakinya bani saja menjejak ke tanah, 
pukulan maut lawan menghantamnya. Pemuda itu bergerak 
tidak kalah sigap dan melompat tinggi. Namun Nyai Roro Sekar 
Mayang agaknya tidak mau memberi kesempatan sedikit pun 
pada lawan. Tubuhnya melesat cepat bagai angin kencang dan 
terus menghantamkan kepalan tangan ke dada Pendekar Pulau 
Neraka. 
Plak! 
Wuuut! 
"Hiiih!" 
Bayu sedikit terkejut ketika tangannya berbenturan. Terasa 
ada hawa panas yang menyengat mengaliri tenaga dalam 
lawan. Dia melompat ke samping seraya mengegoskan kepala 
ketika ujung kaki kanan lawan menghantam ke arah dagu. 
Melihat dua serangannya gagal, Nyai Roro Sekar Mayang 
menggeram dan langsung menghantam dengan pukulan 
mautnya yang mengeluarkan cahaya putih. 
"Jatuh...!" 
Dia membentak nyaring ketika lawan masih mampu 
menghindar sambil bergulingan. 
Bayu tersentak kaget. Sesaat dia kebingungan bagai 
kehilangan kesabaran. Pukulan lawan tadi sempat membuat 
jantungnya berdegup kencang. Meski dia mampu 
menghindarinya, namun masih terasa perih dan sakit seperti 
ditusuk-tusuk akibat angin pukulan Nyai Roro Sekar Mayang. 
"Yeaaa...!" 
Pemuda itu membentak keras dan berusaha melawan 
dengan sekuat tenaga pengaruh sihir Nyai Roro Sekar Mayang.

"Hi hi hi...! Pendekar Pulau Neraka, kau harus patuh padaku! 
Kau harus patuh padaku! Tidak ada seorang pun yang mampu 
melawan pengaruh ilmu sihirku. Kau harus patuh...!" kata Nyai 
Roro Sekar Mayang dengan suara melengking tinggi yang 
mampu memecahkan gendang telinga. 
Tubuh pemuda itu bergetar hebat. Teriakannya tadi hanya 
mampu mengusir pengaruh sihir lawan dalam sekejap. Namun 
begitu teriakannya hilang, pengaruh sihir Nyai Roro Sekar 
Mayang seperti mesibetot sukmanya. 
"Tidak! Aku harus berusaha melawannya. Iblis betina ini 
tidak boleh menguasaiku...!" desisnya geram. 
"Yeaaa...!" 
Siiing! 
Dengan sisa kesadarannya Pendekar Pulau Neraka 
mengerahkan tenaga dengan kekuatan penuh sambil 
mengibaskan tangan kanan. Bersamaan. dengan itu Cakra 
Maut-nya berdesing mengeluarkan cahaya putih keperakan. 
Suaranya memekakkan telinga. 
"Heh...?!" 
Nyai Roro Sekar Mayang terkejut dan buru-buru melompat 
menghindar dari sambaran senjata lawan. 
"Bedebah...!" makinya geram. 
Bayu tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Tubuhnya 
langsung melompat melancarkan serangan cepat. 
"Hiyaaa...!" 
Plak! 
"Hiiih!"

Nyai Roro Sekar Mayang terkesiap dan cepat menangkis. 
Ujung kaki pemuda itu menyambar ke arah dada. 
Kali ini Bayu tidak mau memberi kesempatan lagi pada lawan 
untuk mengerahkan ilmu sihirnya. Dia terus menyerang dengan 
ganas dan mengerahkan segenap kekuatan yang dimilikinya. 
Bet! Bet! 
Tap! 
Kepalan tangan dan kedua kakinya silih berganti 
menghantam lawan. Wanita itu melompat mundur untuk 
mengatur napasnya yang mulai memburu. Bayu dengan cepat 
melejit ke atas menyambar Cakra Mau yang melesat kembali. 
Senjata andalannya itu lalu melesat lagi menyambar lawan. 
Nyai Roro Sekar Mayang terkesiap dan berusaha mengelak. 
Namun tak urung pinggang kirinya tersambar Cakra Maut milik 
Pendekar Pulau Neraka. 
Cras! 
"Aaa...!" 
"Hiyaaa...!" 
Bayu tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan. Dia langsung 
menyerang terus dengan menghantamkan pukulan jarak jauh 
yang bertenaga kuat 
Nyai Roro Sekar Mayang bergulingan menghindarinya. 
Namun Pendekar Pulau Neraka terus memburu sambil 
menangkap senjata andalannya. Dan ketika tubuhnya 
melompat menghindar dari hantaman pukulan jarak jauh yang 
dilancarkan Pendekar Pulau Neraka. Cakra Maut melesat 
menyambar wanita itu. 
Cras! 
"Aaakh!"

Nyai Roro Sekar Mayang mengeluh tertahan. Kepalanya 
terkulai dan nyaris lepas dari leher. Tubuhnya terhuyung-
huyung beberapa saat sebelum ambruk dan tewas berlumuran 
darah. 
"Wanita iblis itu mati...!" teriak salah seorang murid Ki Sapu 
Jagad. 
"Nyai Roro Sekar Mayang tewas...!" sahut lainnya. 
"Hei...!" 
Tiba-tiba semua terkejut mendengar suara teriakan. Sebab 
bersamaan dengan tewasnya wanita itu, mereka yang tadi 
menyerang Ki Sapu Jagad beserta murid-muridnya dengan 
ganas, kini terdiam dengan pandangan mata bingung. 
"Hei, apa yang telah kita lakukan di sini...?" tanya seseorang 
dari mereka bingung. 
"Astaga! Apa yang kulakukan...?!" 
"Ki Sapu Jagad? Oh, apa yang telah terjadi...?" 
Ki Lodaya yang telah sadar dari pengaruh sihir Nyai Roro 
Sekar Mayang terperanjat kaget ketika melihat sahabatnya 
terluka parah. Buru-buru dia menghampiri Ki Sapu Jagad dan 
menolongnya. Demikian pula dengan yang lainnya. Mereka 
segera menolong murid-murid Ki Sapu Jagad yang terluka 
parah. 
"Aku tidak menyalahkanmu, Ki Lodaya. Sudahlah! Semuanya 
sudah berakhir. Nyai Roro Sekar Mayang yang mempengaruhi 
kalian telah tewas di tangan Pendekar Pulau Neraka...," ujar Ki 
Sapu Jagad ketika mendengar berkali-kali Ki Lodaya meminta 
maaf atas apa yang telah dilakukannya terhadap sahabatnya 
itu.

"Pendekar Pulau Neraka? Mana dia? Kenapa aku tak 
melihatnya sejak tadi...?" tanya Ki Lodaya seraya mencari-cari. 
"Mungkin masih ada di halaman depan...," sahut Ki Sapu 
Jagad seraya memutar pandang. Namun sia-sia saja. Orang 
yang mereka cari tidak terlihat di tempat itu. Wajahnya tampak 
kecewa melihat pemuda itu tidak ditemuinya. 
"Hm, mungkin dia telah meninggalkan tempat ini setelah 
tugasnya selesai...," ujar Ki Sapu Jagad dengan suara lirih 
seraya menggeleng-gelengkan kepala. 
Lain halnya yang dirasakan Ayu Sulastri, meski pada 
dasarnya apa yang mereka rasakan hampir bersamaan. Gadis 
itu melangkah seraya mengedarkan pandang ke sekelilingnya. 
Namun jejak pemuda itu sama sekali tidak ditemukannya. 
"Kenapa? Kenapa kau pergi begitu saja tanpa pamit? 
Tidakkah kau mengetahui apa yang kurasa di hati ini... ? " 
keluh batin Ayu Sulastri dengan wajah murung. 
Dia tersentak kaget ketika merasa pundaknya ditepuk pelan 
dan melihat gurunya tersenyum kecil. 
"Apa yang sedang kau cari...?" tanya orang tua itu lembut. 
"Eh, tidak! Tidak apa-apa, Guru...," sahut si Gadis sedikit 
tergagap. 
Ki Anggora tersenyum lebar seraya menarik napas panjang. 
"Pemuda itu memang tampan dan gagah. Untuk saat ini 
siapa gadis yang tidak menyukainya? Tapi..., he aku tidak 
menyalahkanmu dan siapa pula yang bisa menduga hatinya. 
Mungkin kau bagai pungguk merindukan bulan. Kalau ada kata 
yang bisa menghiburmu adalah, lupakan dia! Kalau benar kau 
tidak bertepuk sebelah tangan, dia akan kembali padamu. Tapi

sebaiknya kita harus hidup di alam nyata, bukan mengharap 
mimpi yang jauh dari kenyataan...." 
"Guru, apakah suatu mimpi jika kita menyukai seseorang...?" 
tanya si Gadis pelan. 
"Tergantung...." 
"Maksud, Guru...?" 
"Apakah kita yakin bahwa orang itu menyukai kita pula? Jika 
benar, mungkin bukan mimpi. Tapi kalau hanya kita yang 
menyukainya sedang dia sama sekali tidak mengetahui, itu 
lebih dekat ke mimpi...," sahut Ki Anggora bijak. 
Ayu Sulastri mengeluh pelan seraya menghela napas berat, 
lalu membalikkan tubuh. Ki Anggora kembali tersenyum seraya 
menepuk-nepuk pundak gadis itu dan mengajaknya melangkah 
perlahan-lahan. 
"Mudah-mudahan kau akan menemukan orang yang 
menyukaimu dengan sepenuh hati. Wanita lebih baik menerima 
laki-laki yang mencintainya sepenuh hati." 
"Terima kasih, Guru. Aku akan selalu mengingat hal itu...," 
sahut Ayu Sulastri lirih. 
Keduanya melangkah pelan. Ayu Sulastri mengerti apa yang 
dikatakan gurunya. Namun untuk menerimanya mungkin masih 
sulit Paling tidak perlu waktu yang cukup lama, untuk 
memadamkan bara di hatinya yang saat ini menyala-nyala. 


                                  SELESAI



Share:

0 comments:

Posting Komentar