MISTERI PENUNGGANG
KUDA BERTOPENG
Oleh Teguh Suprianto
Cetakan Pertama
Penerbit Cinta Media, Jakarta
Penyunting : Puji S
Hak Cipta Pada Penerbit
Dilarang Mengcopy atau Memperbanyak
Sebagian atau Seluruh Isi Buku Ini
Tanpa Izin Tertulis dari Penerbit
Teguh S
Serial Pendekar Pulau Neraka
Dalam Episode 029 :
Misteri Penunggang Kuda Bertopeng
128 Hal ; 12 x 28 cm
SATU
Sebuah kereta kuda bergerak
perlahan, melintasi tanah berbatu di
Lereng Bukit Rantak. Kereta indah yang
tampak megah itu ditarik delapan ekor
kuda putih yang gagah. Di kiri kanan
kereta terlihat empat penunggang kuda,
berpakaian sangat indah. Di bagian
belakang dan depan, berbaris para
penunggang kuda lainnya. Mereka
mengenakan pakaian seragam prajurit
Sebuah kepala seorang laki-laki
berusia setengah baya menyembut keluar
dari balik jendela kereta kuda yang
tertutup tirai kain berwama kuning
keemasan. Dipanggilnya salah seorang
penunggang kuda yang berada di sisi
kereta ini. Penunggang kuda itu
mendekat, dan membungkukkan tubuhnya
mendekati kepala yang menyembul di
jendela kereta kuda itu.
"Sudah hampir senja, kenapa tidak
berhenti dan mencari tempat bermalam,
Panglima Gajah Pati?" tanya laki-laki
setengah baya itu.
"Sebentar lagi, Kanjeng
Tumenggung. Setetah melewati sungai di
depan sana, kita baru bisa
beristirahat. Tempatnya tenang dan
indah," sahut penunggang kuda yang
dipanggil Panglima Gajah Pari.
Panglima Gajah Pati memang
seorang pemuda tampan. Dan kalau
dilihat dari usianya, sepertinya belum
pantas menduduki jabatan seorang
panglima. Tapi kepandaian yang
dimiliki sudah mencapai tingkat
tinggi. Sehingga, rasanya memang
pantas untuk diangkat menjadi panglima
sebuah kerajaan besar yang bernama
Kerajaan Godaka. Letaknya di wilayah
kulon ini. Sedangkan letak pusat
pemerintahannya tidak seberapa jauh
lagi dari Bukit Rantak, tapi masih
memerlukan waktu sedikitnya satu
setengah hari lagi untuk bisa sampai
ke kota kerajaan itu.
"Panglima! Kau tahu, kenapa aku
dipanggil Gusti Prabu Bojananta dengan
pengawalan seperti ini?" tanya
Tumenggung Pratala ingin tahu.
"Aku hanya menjalankan perintah,
Kanjeng Tumenggung. Aku sendiri tidak
tahu, kenapa diminta menjemput Kanjeng
Tumenggung dengan membawa sepasukan
prajurit. Hanya itu perintah yang
kudapat dari Gusti Prabu Bojananta
sendiri," jelas Panglima Gajah Pati
tentang tugasnya.
"Aneh.... Tidak biasanya Gusti
Prabu memanggilku begitu mendadak, dan
dengan pengawalan begin! ketat," gumam
Tumenggung Pratala, seperti bicara
pada diri sendiri.
Sebentar pandangannya beredar ke
sekitarnya, kemudian kepalanya ditarik
ke dalam. Sementara, Panglima Gajah
Pati kembali ke tempat semula, berkuda
di samping kanan kereta kuda ini
Sedangkan di dalam kereta, Tumenggung
Pratala masih terdiam dengan kening
agak berkerut. Seorang gadis cantik
yang duduk di sebelahnya,
memperhatikan wajah laki-laki separuh
baya yang tampak begitu murung.
"Ada yang dipikirkan, Ayah...?"
tegur gadis itu. Suaranya terdengar
begitu lembut
"Yaaah...," sahut Tumenggung
Pratala mendesah panjang.
"Ayah masih memikirkan panggilan
Gusti Prabu yang mendadak ini?" tebak
gadis itu langsung.
Tumenggung Pratala tidak
menjawab. Ditatapnya gadis cantik yang
mengenakan baju warna merah muda di
sampingnya ini. Perlahan tangan gadis
itu diambil dan digenggamnya kuat-
kuat. Gadis itu hanya membiarkan
tangannya digenggam. Terasa sekali
kalau tangan ayahnya begitu dingin dan
berkeringat.
"Entah kenapa, sejak menerima
panggilan yang mendadak ini ada
perasaan aneh menyelinap di hatiku,
Kara Gawing. Aku merasakan, seolah-
olah akan terjadi sesuatu pada
diriku," jelas Tumenggung Pratala,
begitu perlahan suaranya.
"Bukankah sudah seringkali Gusti
Prabu memanggil secara mendadak,
Ayah...?"
"Memang benar, Rara Gawing. Tapi
panggilan ini terasa begitu aneh.
Lihatlah sendiri, tidak biasanya
Panglima Gajah Pati yang menyampaikan
surat panggilan. Bahkan sambil membawa
sepasukan prajurit bcrsenjata lengkap.
Seperti akan ke medan perang saja. Ini
yang membuatku terus berpikir, Rara
Gawing. Kurasakan ada sesuatu dari
panggilan mendadak ini," ujar
Tumenggung Pratala lagi.
Sementara Rara Gawing jadi
terdiam. Sudah seringkali dia
mendampingi ayahnya dalam segala
urusan kerajaan. Dan memang baru kali
ini Prabu Bojananta memanggil ayahnya
begitu mendadak. Bahkan juga
mendatangkan seorang panglima ternama,
disertai sepasukan prajurit bersenjata
lengkap. Dan ini memang tidak seperti
biasanya. Tidak heran jika Tumenggung
Pratala lantas mempunyai perasaan
seperti itu.
Sementara kereta kuda yang
membawa tumenggung dan putrinya terus
bergerak perlahan-lahan, menyusuri
jalan tanah berbatu. Sehingga, kereta
itu berguncang-guncang agak keras. Dan
rombongan yang berjumlah cukup besar
itu sudah mulai melintasi sungai yang
cukup lebar, namun sangat dangkal
airnya. Begitu dangkalnya, sehingga
mudah dilalui kereta kuda.
Hingga akhirnya, rombongan itu
tiba di sebuah tempat yang cukup
lapang setelah melewati sungai besar
dan dangkal tadi Panglima Gajah Pati
memerintahkan para prajuritnya untuk
berhenti, lalu mendlrikan beberapa
tenda. Saat ini, senja memang sudah
cukup jauh turun. Dan tak berapa lama
lagi, kegelapan malam pasti akan
menyelimuti seluruh permukaan belahan
bumi ini.
***
Malam begitu hening. Tumenggung
Pratala tampak keluar dari dalam
tendanya. Dua orang prajurit yang
menjaga di depan pintu tenda itu
segera membungkukkan tubuhnya untuk
memberi hormat. Tumenggung Pratala
terus saja melangkah mendekati api
unggun yang menyala cukup besar di
antara tenda-tenda yang berdiri
mengelilinginya. Panglima Gajah Pati
segera beranjak bangkit dari duduknya,
dan membungkuk memberi hormat pada
laki-laki separuh baya ini.
Kemudian, mereka duduk lagi
menghadapi api unggun. Seorang gadis
pelayan datang menghampiri, sambil
membawa baki berisi dua guci arak dan
dua buah gelas perak. Gadis pelayan
itu menuangkan arak dari dalam guci ke
dalam gelas-gelas perak itu.
"Silakan, Panglima," ujar
Tumenggung Pratala.
“Terima kasih," ucap Panglima
Gajah Pari seraya mengambil satu gelas
perak itu.
Tumenggung Pratala juga mengambil
gelas perak satunya. Kemudian, mereka
mulai menenggak arak di dalam gelas
itu hingga habis tak tersisa. Gadis
pelayan berwajah cukup cantik itu
hendak menambahkan arak lagi ke dalam
gelas, tapi Tumenggung Pratala menolak
dengan menggerakkan tangan sedikit.
"Kau tidur saja," ujar Tumenggung
Pratala.
"Hamba, Kanjeng Tumenggung,"
sahut gadis pelayan itu seraya memberi
sembah dengan merapatkan kedua telapak
tangan di depan hidung.
Tumenggung Pratala baru
menuangkan arak ke dalam gelasnya yang
sudah kosong, setelah gadis itu masuk
ke dalam tenda yang diperuntukkan bagi
pelayan-pelayan wanita yang menyertai
rombongan ini. Setelah menghabiskan
tiga gelas arak, Tumenggung Pratala
baru mengedarkan pandangan ke
sekeliling. Keningnya agak berkerut
juga melihat penjagaan di sekitar
perkemahan ini yang begitu ketat
Bahkan separuh dari jumlah prajurit
yang ada ditugaskan untuk berjaga
malam. Dan senjata yang disandang
begitu lengkap, seakan-akan mereka
takut ada musuh yang menyerang tempat
ini. Pemandangan yang seharusnya
disaksikan jika terjadi perang. Tapi,
ini bukan sedang perang. Bahkan
Kerajaan Godaka, menurutnya sangat
damai dan tenteram.
"Aku merasa kau terlalu
berlebihan dalam menempatkan para
prajurit, Panglima Gajah Pati. Apa
memang periu mereka berjaga dengan
jumlah sebanyak ini...?" tanya
Tumenggung Pratala.
"Aku harus menjaga keselamatan
Kanjeng Tumenggung sampai ke istana.
Maafkan jika tindakanku dianggap
berlebihan. Tapi, hanya ini yang bisa
kulakukan untuk menjalankan perintah
Gusti Prabu Bojananta," sahut Panglima
Gajah Pari, bersikap begitu hormat
"Dengan cara begini, bukan
ketenteraman yang kuterima, Panglima
Gajah Pati. Tapi aku merasa seperH
tawananmu saja," dengus Tumenggung
Pratala.
"Maafkan, Kanjeng Tumenggung.
Jika Kanjeng bisa bertanggung jawab
kalau terjadi sesuatu, aku akan
mengurangi penjagaan malam ini," ucap
Panglima Gajah Pati.
“Tidak perlu."
“Tapi Kanjeng Tumenggung tidak
menyukai hal seperti ini."
"Aku memang tidak suka, tapi
tidak akan sekali-kali merebut
tugasmu, Panglima. Kau hanya menja-
lankan tugas dari Gusti Prabu. Dan aku
harus menerima, meskipun tidak suka
dengan cara seperti ini."
"Aku bisa mengerti, Kanjeng
Tumenggung."
Tumenggung Pratala bangkit
berdiri setelah meneguk habis araknya.
Panglima Gajah Pati bergegas berdiri,
tapi mendadak saja....
Wusss!
"Kanjeng, awas...!"
Cepat sekali Panglima Gajah Pati
melompat menubruk Tumenggung Pratala,
begitu tiba-tiba saja sebuah benda
seperti anak panah meluncur cepat
bagaikan kilat ke arah tumenggung
setengah baya itu. Mereka jatuh
bergulingan di tanah. Panglima Gajah
Pati cepat melompat bangkit, dan
langsung menghampiri sebatang anak
panah yang menancap di pohon.
"Siaga semua...!" seru Panglima
Gajah Pati dengan suara keras
menggelegar.
Tapi belum juga teriakan Panglima
Gajah Pati hilang dari pendengaran,
tiba-tiba saja terdengar teriakan-
teriakan yang kemudian disusul
bermunculannya orang-orang berbaju
serba hitam, bersenjatakan golok
terhunus. Orang-orang berbaju serba
hitam itu langsung menyerang para
prajurit yang kontan sangat terkejut
Sebentar saja, jeritan-jeritan
panjang melengking tinggi terdengar
saling sambut dari para prajurit yang
lengah, dan tidak cepat menyadari
keadaan. Lalu, pertempuran pun cepat
berlangsung begitu sengit. Teriakan-
teriakan pertarungan, jerit, serta
pekikan melengking tinggi seketika
terdengar memecah keheningan malam
ini. Maka tubuh-tubuh bersimbah darah
pun mulai teriihat bergelimpangan. Dua
tenda yang berdiri sudah terbakar,
membuat malam yang pekat ini jadi
terang benderang. Api memang cepat
sekali merambat besar, membakar tenda-
tenda yang berdiri mengelilingi api
unggun.
Malam yang semula begitu hening,
benar-benar pecah oleh hiruk pikuk
pertarungan yang tiba-tiba saja
terjadi. Korban terus berjatuhan dari
kedua belah pihak. Panglima Gajah Pati
dan tiga orang wakilnya, bertarung
seperti banteng kedaton untuk
menghalau orang-orang berbaju serba
hitam yang cepat menyerang dan
mendadak sekali. Bahkan Tumenggung
Pratala pun tidak tinggal diam begitu
saja. Dengan pedang pendek yang sudah
terkenal keampuhannya, dia berlompatan
sambil membabatkan pedangnya ke arah
orang-orang berbaju serba hitam ini.
Jerit dan pekikan melengking
tinggi terus terdengar menyayat Pada
saat kekacauan sedang berlangsung,
tiba-tiba saja dari kelebatan
pepohonan muncul seseorang berjubah
hitam. Dia menunggang kuda yang juga
hitam pekat berkilat. Wajahnya, sukar
dikenali karena tertutup sebuah topeng
kayu berwarna hitam juga.
"Mundur...!" tiba-tiba saja
penunggang kuda bertopeng hitam itu
berteriak lantang menggelegar.
Seketika itu juga orang-orang
berbaju hitam yang seluruhnya
menggunakan senjata golok berlompatan
mundur, menghentikan penyerangannya.
Dan para prajurit yang masih selamat
pun, segera berlompatan mundur ke
belakang Tumenggung Pratala dan Pang-
lima Gajah Pari. Kini, dua kelompok
yang sama-sama udah berkurang
jumlahnya saling berdiri berhadapan,
dmgan api unggun sebagai pembatas.
***
"Tidak ada gunanya melindunginya,
Gajah Pati. Serahkan pengkhianat itu
padaku untuk diadili...!" Terasa
begitu dingin nada suara orang
bertopeng hitam ini.
"Siapa kau...?!" tanya Panglima
Gajah Pati lantang.
"Aku Penunggang Kuda Bertopeng.
Kedatanganku ke sini untuk mengadili
pengkhianat yang ada di sampingmu
itu!" sahut penunggang kuda bertopeng
hitam itu tidak kalah lantangnya.
"Jangan menuduh sembarangan,
Kisanak! Apa buktimu menuduhku
pengkhianat...?" keras sekali suara
Tumenggung Pratala.
"Tidak periu banyak bicara,
Pengkhianat. Sudah terlalu banyak
bukti kebusukan hatimu, Pratala! Dan
kau tidak bisa beriindung dari siapa
pun. Juga pada junjunganmu Prabu
Bojananta!"
"Edan...!" dengus Tumenggung
Pratala mendesis.
Pada saat itu, Rara Gawing keluar
dari dalam tendanya. Langsung ayahnya
dihampiri, dan berdiri di sampingnya.
Gadis itu menatap tajam penunggang
kuda bertopeng hitam, yang di
belakangnya berbaris orang-orang
berbaju serba hitam bersenjatakan
golok terhunus di tangan kanan.
"Siapa mereka, Ayah?" tanya Rara
Gawing.
"Orang gila yang ingin mencari
urusan denganku," sahut Tumenggung
Pratala.
Sementara itu, si Penunggang Kuda
Bertopeng menatap Rara Gawing dengan
sinar mata yang begitu sukar
diartikan. Kedua bola matanya memang
hampir tersembunyi di balik topeng
hitamnya, sehingga sukar dilihat. Dan
dia hanya diam saja menatap gadis
cantik yang berdiri di samping
Tumenggung Pratala.
"Kau memang licik, Pratala. Rara
Gawing kau manfaatkan untuk
melindungimu. Tapi ini hanya se-
mentara, Pratala. Aku akan kembali
lagi untuk mengambil dan mengadilimu!"
ancam Penunggang Kuda Bertopeng itu
dingin.
Setelah berkata demikian, orang
bertopeng itu menghentakkan tali
kekang, sehingga kuda hitam pekat yang
tinggi dan gagah meringkik keras
sambil mengangkat kedua kaki depannya
tinggi-tinggi. Lalu kuda itu cepat
sekali melesat berlari masuk ke dalam
lebatnya pepohonan. Pada saat itu
juga, semua orang berbaju hitam
berlompatan cepat mengikuti.
Gerakan mereka memang cepat
sekali, sehingga tebentar saja sudah
lenyap tak teriihat bayangannya.
Sementara Tumenggung Pratala dan
Panglima Gajah Pati masih berdiri
tegak memandang ke arah hutan, empat
orang aneh yang mengenalkan diri
berjuluk Penunggang Kuda Bertopeng itu
lenyap ditelan kegelapan malam.
Sedangkan tiga orang wakil Panglima
Gajah Pati sudah memimpin para
prajurit membereskan mayat-mayat yang
bergelimpangan.
Dari mayat-mayat itu, kebanyakan
adalah para prajurit Dan setelah
dikumpulkan, korban memang lebih
banyak jatuh dari pihak prajurit.
Bahkan jumlahnya dua kali lipat dari
orang-orang berbaju serba hitam. Hal
itu sudah menandakan kalau mereka
lebih tangguh daripada para prajurit
Kerajaan Godaka yang saat ini tengah
bertugas mengawal Tumenggung Pratala.
"Inikah maksud Gusti Prabu
Bojananta mengirim sepasukan prajurit
untuk mengawalku, Panglima Gajah
Pati..?" agak bergumam nada suara
Tumenggung Pratala.
"Aku tidak tahu pasti, Kanjeng
Tumenggung. Tapi mungkin juga memang
demikian," sahut Panglima Gajah Pati.
"Hm.... Siapa Penunggang Kuda
Bertopeng itu? Dan kenapa menuduhku
pengkhianat..., Panglima Gajah Pati?"
Tumenggung Pratala seperti bertanya
pada diri sendiri.
Sedangkan Panglima Gajah Pati
hanya diam saja, tidak bisa menjawab
pertanyaan itu. Pandangannya beredar
berkeliling. Keadaan tempat ini begitu
berantakan. Dan para prajurit sudah
sibuk membenahi. Bahkan mayat-mayat
sudah dijajarkan rapi, tidak jauh dari
anak sungai kecil yang mengalir tidak
jauh dari perkemahan ini.
"Rara Gawing, kembalilah ke
tendamu. Malam masih terlalu panjang,"
ujar Tumenggung Pratala.
"Ayah tidak apa-apa?" tanya Rara
Gawing ber-nada cemas.
"Tidak..., aku tidak apa-apa,"
sahut Tumenggung Pratala seraya
tersenyum.
Rara Gawing memandangi wajah
ayahnya beberapa saat, kemudian
melangkah kembali masuk ke dalam
tendanya. Sedangkan Tumenggung Pratala
menghempaskan diri, duduk di dekat api
unggun. Seorang gadis pelayan datang
menghampiri sambil membawa sebuah guci
arak. Tumenggung Pratala langsung
merebut guci itu, lalu meneguk isinya
dari mulut guci arak yang cukup besar.
Kemudian, diserahkannya kembali guci
itu pada gadis pelayan tadi.
"Pergilah...," ujar Tumenggung
Pratala.
Setelah memberi hormat, gadis
pelayan itu bergegas pergi. Sedangkan
Panglima Gajah Pati masih tetap
berdiri, tidak jauh dari laki-laki
separuh baya yang masih kelihatan
gagah itu. Meskipun tubuhnya sudah
mulai mengembang tambun, tapi masih
sangat tangkas dalam pertarungan tadi.
Bahkan tidak sedikit lawan yang
berhasil dibinasakannya.
"Maaf, Kanjeng. Apakah Kanjeng
Tumenggung bisa mengenali suara
Penunggang Kuda Bertopeng itu?" tanya
Panglima Gajah Pati seraya menempatkan
diri duduk di samping kanan Tumenggung
Pratala.
"Sukar.... Sepertinya dia
menggunakan suara perut untuk menutupi
suara aslinya," sahut Tumenggung
Pratala.
"Apa kau tidak bisa membedakan
suara asli dan suara perut...?"
"Aku memang sudah menduga,
Kanjeng. Tapi, ladi belum yakin kalau
dia menggunakan suara perut," lelas
Panglima Gajah Pati.
"Siapa pun dia orangnya, yang
jelas ingin merusak namaku. Hhh....
Apa maksudnya menuduhku peng-
khianat...?" agak mengeluh suara
Tumenggung Pratala.
"Mungkin Gusti Prabu Bojananta
mengetahuinya, Kanjeng Tumenggung,"
duga Panglima Gajah Pati.
"Hm...," Tumenggung Pratala hanya
menggumam perlahan saja.
"Sebaiknya, Kanjeng Tumenggung
beristirahat saja. Biar kami yang
menjaga keamanan di slni malam Ini,"
kata Panglima Gajah Pati.
"Kau percaya apa yang
dikatakannya tadi, Panglima?" tanya
Tumenggung Pratala.
"Entahlah, Kanjeng. Di istana
nanti semuanya akan jelas. Aku sendiri
sebenarnya tidak tahu apa-apa, dan
hanya menjalankan perintah saja,"
sahut Panglima Gajah Pati.
Tumenggung Pratala tersenyum,
lalu bangkit berdiri sambil menepuk
pundak panglima muda itu. Kemudian
kakinya melangkah menuju tendanya
tanpa berkata-kata lagi. Dan malam pun
terus merayap semain larut. Udara di
sekitar Lereng Gunung Rantak itu
terasa begitu dingin. Beberapa
prajurit tampak tengah menggali lubang
yang cukup besar untuk menguburkan
mayat-mayat yang sudah berjajar di
tepi sungai Sementara, Panglima Gajah
Pati memanggil ketiga orang wakilnya.
Mereka kemudian sudah terlibat dalam
pembicaraan yang begitu penting di
dekat api unggun.
* * *
DUA
Prabu Bojananta sendiri yang
menyambut kedatangan Tumenggung
Pratala di depan tangga istana.
Tumenggung bersama putrinya segera
membungkukkan tubuh dengan telapak
tangan merapat di depan hidung, begitu
keluar dari dalam kereta kuda yang
rnembawanya ke Istana Godaka ini.
Sementara, Panglima Gajah Pati terus
mendampingi tumenggung ini sampai
berada di depan Prabu Bojananta.
"Mari, silakan ke dalam," ajak
Prabu Bojananta ramah.
“Terima kasih, Gusti Prabu," ucap
Tumenggung Pratala seraya memberi
hormat.
Mereka kemudian masuk ke dalam
Balai Sema Agung. Di dalam ruangan
yang berukuran sangat besar dan indah,
sudah menunggu para patih, panglima,
adipati, tumenggung dan para pembesar
lain kerajaan ini. Mereka segera
memberi hormat begitu Prabu Bojananta
masuk bersama Tumenggung Pratala dan
putrinya. Sementara Panglima Gajah
Pati segera mengambil tempat di antara
para panglima lainnya. Demikian pula
tumenggung Pratala, mengambil tempat
di antara para tumenggung kerajaan
ini. Sedangkan Rara Gawing, langsung
dibawa masuk ke dalam ruangan lain
oleh dua orang dayang istana. Dan
Prabu Bojananta duduk di singgasana
yang megah, dikawal dua orang punggawa
serta didampingi sepuluh orang
pengawal khusus.
"Ini untuk pertama kali aku
mengumpulkan Paman semua di Balai Sema
Agung. Dan tentunya kalian bertanya-
tanya, untuk apa kalian kuminta datang
ke sini. Bahkan sampai mengirim para
panglima dan prajurit pilihan untuk
mengawal. Terutama, untuk para adipati
dan tumenggung...," jelas Prabu
Bojananta memulai membuka suara.
Tak ada seorang pun yang membuka
suara. Sehingga suasana di Balai Sema
Agung itu jadi terasa begitu sunyi, di
saat Prabu Bojananta tidak berbicara
lagi Untuk beberapa saat, suasana
tetap seperti itu. Tidak terdengar
suara sedikit pun
"Beberapa hari yang lalu,
sepulang dari berburu, aku dicegat
seseorang yang tidak dikenal. Dia
mengatakan, ada di antara para adipati
dan tumenggung yang sedang
merencanakan pemberontakan. Tidak
banyak yang dikatakannya, karena
kemunculannya begitu tiba-tiba, dan
menghilang pun dengan tiba-tiba pula.
Makanya, aku merasa perlu mengumpulkan
kalian semua untuk membahas kemunculan
orang berselimut misteri itu. Dan ini
kurasakan amat penting, karena aku
percaya kalau kalian semua tidak punya
maksud buruk padaku. Terutama untuk
membuat kekacauan di kerajaan ini,"
jelas Prabu Bojananta lagi.
Semua orang yang ada di Balai
Sema Agung itu jadi terkejut, terutama
yang merasa menjadi adipati Ataupun
tumenggung. Saat itu juga, Tumenggung
Pratala mengangkat kepalanya, langsung
diberikannya sembah pada Prabu
Bojananta, dengan merapatkan kedua
telapak tangan di depan hidung.
"Ada apa, Paman Tumenggung
Pratala?" tanya Prabu Bojananta.
Saat itu, semua orang menatap
Tumenggung Pratala. Juga, Prabu
Bojananta. Raja yang masih berusia
muda itu memandang penuh arti pada
laki-laki separuh haya yang masih
kelihatan gagah ini.
"Maaf, Gusti Prabu. iznkan hamba
bicara," pinta tumenggung Pratala.
"Silakan, Paman."
"Dalam perjalanan ke istana ini,
rombongan hamba diserang orang-orang
berbaju serba hitam yang dipimpin
seorang penunggang kuda bertopeng
hitam. Hamba tidak tahu, apa
maksudnya, Gusti. Apa mungkin
Penunggang Kuda Bertopeng itu yang
menemui Gusti Prabu...?" kata
Tumenggung Pratala, sikapnya begitu
hormat pada junjungannya.
“Tepat Memang orang itu yang
menemuiku," Agak keras suara Prabu
Bojananta.
Seketika itu juga, ruangan Balai
Sema Agung yang luas ini seakan-akan
hendak runtuh oleh suara menggumam
dari semua orang yang memenuhinya.
Mereka semua benar-benar terkejut atas
kata-kata pengakuan dari Tumenggung
Pratala barusan. Dan suara mendengung
bagai ribuan lebah itu seketika
menghilang saat Prabu Bojananta
mengangkat tangan kanannya. Kembali
pandangan mereka tertuju pada
Tumenggung Pratala.
"Panglima Gajah Pati...," panggil
Prabu Bojananta sambil menatap
Panglima Gajah Pati yang duduk di
antara deretan para panglima.
"Hamba, Gusti Prabu," sahut
Panglima Gajah Pati seraya memberi
sembah.
"Benar apa yang dikatakan Paman
Tumenggung Pratala?" tanya Prabu
Bojananta ingin kepastian.
"Benar, Gusti Prabu. Mereka
datang begitu tiba-tiba dan langsung
menyerang. Tiga puluh prajurit tewas.
Tapi, hamba tidak tahu maksud
penyerangan itu, Gusti Prabu,"
Panglima Gajah Pati mencoba
menjelaskan.
Prabu Bojananta terdiam dengan
kepala terangguk beberapa kali.
Kemudian pandangannya beredar,
merayapi semua orang yang ada di
ruangan Balai Sema Agung ini. Tak ada
seorang pun yang membuka suara.
Ruangan itu kembali hening, seperti di
kuburan saja.
***
Cukup lama juga kesunyian
menyelimuti Balai Sema Agung. Begitu
sunyinya, sehingga detak jantung
begitu keras terdengar di telinga
masing-masing. Prabu Bojananta bangkit
berdiri dari kursi singgasananya, lalu
melangkah perlahan-lahan ke tengah-
tengah ruangan. Semua mata memandang
raja muda berusia sekitar dua puluh
lima tahun itu.
Meskipun masih berusia cukup
muda, tapi Prabu Bojananta sudah
terkenal kebijaksanaannya dalam
memutuskan sesuatu. Bahkan segala
tindakan dan pikirannya selalu
mementingkan kesejahteraan rakyat
Kerajaan Godaka ini. Hal itu membuat
seluruh rakyat begitu mencintainya.
Bahkan semua pembesar yang rata-rata
sudah berusia lanjut begitu
menghormatinya, sebagaimana
menghormati raja yang terdahulu, ayah
Prabu Bojananta.
"Dalam keadaan seperti ini, aku
ingin meminta kejujuran kalian. Aku
rasa persoalan ini bukan hanya untuk
adipati dan tumenggung, tapi juga
menyangkut semuanya," kata Prabu
Bojananta memecah kesunyian yang
terjadi cukup lama.
Tak ada seorang pun yang membuka
suara. Prabu Bojananta kembali
melangkah mendekati singgasananya,
kemudian duduk lagi di kursi yang
indah itu. Puluhan pasang mata
memandanginya, seakan-akan tengah
menunggu suatu keputusan penting.
"Aku ingin tahu, apakah ada di
antara kalian yang juga ditemui selain
Paman Tumenggung Pratala...?" agak
lantang suara Prabu Bojananta.
Tak ada seorang pun yang langsung
menjawab. Mereka semua saling
berpandangan, terutama yang duduk di
barisan para tumenggung dan adipati.
Tapi ink berapa lama kemudian, seorang
adipati yang sudah berusia lanjut
mengakui telah ditemui orang yang juga
mengaku Penunggang Kuda Bertopeng
dengan kata-kata sama.
Kemudian disusul oleh seorang
adipati, lalu dua orang tumenggung dan
tiga orang adipati lagi. Hingga
akhimya, semua adipati dan tumenggung
yang ada di ruangan itu mengaku telah
ditemui orang yang sama dalam beberapa
hari ini. Hal itu membuat keadaan di
Balai Sema Agung itu kembali riuh.
Mereka semua benar-benar tidak
menyangka, kalau sepuluh tumenggung
dan lima belas adipati Kerajaan Godaka
ditemui orang yang sama, dan dengan
kata-kata yang sama dalam beberapa
hari ini. Dan terakhir, Penunggang
Kuda Bertopeng itu menemui Tumenggung
Pratala.
Sedangkan Prabu Bojananta jadi
terduduk lemas. Sungguh tidak disangka
kalau semua adipati dan tumenggungnya
ditemui orang yang sama, dan dengan
kata-kata yang sama pula. Benar-benar
sulit dimengerti maksud Penunggang
Kuda Bertopeng itu sebenarnya. Menemui
dan mengancam semua adipati dan Tu-
menggung Kerajaan Godaka ini.
"Aku percaya pada kalian, semua
adipati dan tumenggung. Aku tidak
yakin, kalau yang dikatakan Penunggang
Kuda Bertopeng itu benar. Tapi
peringatannya juga tidak bisa
kuabaikan begitu saja. Secara terbuka,
aku akan mengadakan penyelidikan. Dan
kuharap tidak ada seorang pun dari
kalian yang merasa tersinggung atau
sakit hati. Karena, apa yang akan
kulakukan ini demi kelangsungan hidup
dari Kerajaan Godaka," tegas Prabu
Bojananta, setelah cukup lama berdlam
diri.
Dan semua orang yang ada di
ruangan Balai Sema Agung ini terdiam
membisu. Terutama, mereka yang
menjabat sebagai adipati dan
tumenggung. Mereka semua terdiam
dengan kepala tertunduk dalam. Tak ada
seorang pun yang mengeluarkan suara.
"Apa yang akan kulakukan, bukan
semata-mata untuk para adipati dan
tumenggung. Tapi juga untuk semuanya,
tanpa terkecuali," sambung Prabu Boja-
nanta tetap tegas.
Masih belum ada yang membuka
suara.
"Aku rasa, pertemuan siang ini
sudah cukup. Jika ada yang ingin
segera kembali ke kadipaten atau ke
tumenggungan, aku tidak melarang. Tapi
penyelidikan letap berlaku pada semua
pembesar di seluruh kerajaan ini."
Setelah berkata demikian, Prabu
Bojananta bangkit berdiri. Maka semua
yang ada di Balai Sema Agung segera
memberi hormat dengan merapatkan kedua
telapak tangan di depan hidung
Kemudian raja berusia muda itu
melangkah meninggalkan Balai Sema
Agung diiringi pengawal pribadinya,
serta para dayang cantik yang semuanya
masih berusia muda.
Setelah Prabu Bojananta tidak
teriihat lagi, mereka semua kemudian
beranjak pergi meninggalkan ruangan
yang berukuran sangat luas ini. Tak
ada seorang pun yang berbicara. Tapi,
pandangan mata mereka mengandung
kecurigaan satu sama lain. Terutama,
yang menjabat sebagai adipati atau
tumenggung. Mereka tahu, kalau Prabu
Bojananta sudah berkata ingin
menyelidiki sendiri, itu berarti
sekarang ini tidak seorang pun dari
mereka semua yang bisa dipercaya lagi.
Itu akan terus dilakukannya sampai
diketahui siapa di antara mereka semua
yang punya rencana untuk memberontak,
menggulingkan takhta Kerajaan Godaka.
"Panglima Gajah Pati...."
Panglima Gajah Pari menghentikan
ayunan kakinya begitu mendengar
namanya ada yang memanggil. Begitu
tubuhnya diputar berbalik, tampak
Tumenggung Pratala melangkah agak
cepat menghampiri. Sementara Balai
Sema Agung ini sudah kosong. Mereka
kemudian melangkah bersisian, keluar
dari ruangan yang sangat luas dan
indah ini.
"Mukaku benar-benar merasa
tertampar, Panglima," kata Tumenggung
Pratala bemada mengeluh.
"Bukan hanya Kanjeng Tumenggung,
tapi aku juga merasa begitu. Sungguh
tidak kukira bakal seperti ini
jadinya," sahut Panglima Gajah Pati.
"Kau percaya, aku seperti yang
dituduhkan Penunggang Kuda Bertopeng
itu, Panglima?" tanya Tumenggung
Pratala, seperti ingin mengetahui isi
hati panglima berusia muda ini.
Panglima Gajah Pari tidak
langsung menjawab.
"Seharusnya, aku memang tidak
perlu bertanya seperti itu padamu,
Panglima. Maaf... meskipun jauh lebih
muda dariku, kau adalah seorang
panglima. Dan ientu saja kau memiliki
tugas tersendiri," kata Tumenggung
Pratala lagi.
“Tidak ada tugas khusus untukku,
Kanjeng Tumenggung. Dalam hal ini,
Gusti Prabu tampaknya tidak akan
mempercayai seorang pun. Dan
kedudukanku saat ini tidak jauh
berbeda denganmu, Kanjeng Tumenggung.
Aku juga termasuk salah seorang yang
dicurigai," jelas Panglima Gajah Pati
bisa merasakan isi hati Tumenggung
Pratala saat ini.
Sementara mereka sudah berada di
luar ruangan Balai Sema Agung, dan
terus melangkah menuju bagian samping
bangunan istana yang besar dan megah
ini. Beberapa prajurit yang berpapasan
segera membungkuk memberi hormat
"Kenapa kau beranggapan seperti
itu, Panglima?" tanya Tumenggung
Pratala jadi ingin tahu.
"Merencanakan suatu pemberontakan
itu tidak mudah, Kanjeng Tumenggung.
Mereka membutuhkan banyak orang. Bukan
hanya para tumenggung ataupun adipati,
tapi juga memerlukan para prajurit dan
panglima, serta patih yang terlatih
dan berkepandaian tinggi. Dan hal itu
sudah bisa kurasakan dari kata-kata
Prabu Bojananta. Itu berarti, bukan
hanya para tumenggung dan adipati saja
yang harus dicurigai. Tapi juga semua
patih, panglima, dan seluruh pembesar
kerajaan ini."
"Hm. Ya..., ya...," Tumenggung
Pratala mengangguk-anggukkan kepala.
"Pandanganmu luas sekali, Panglima."
"Itu hanya dugaanku saja,
Kanjeng. Dan aku belum tahu
kebenarannya. Masih terlalu dini untuk
mengambil suatu keputusan," sahut
Panglima Gajah Pati
“Tapi bagaimanapun juga, aku
tidak akan tinggal diam, Panglima."
"Maksud, Kanjeng...?"
"Aku juga akan mencari, siapa
biang keladinya. Dan semua itu bisa
terungkap kalau aku bisa bertemu
Penunggang Kuda Bertopeng itu lagi."
"Kalau Penunggang Kuda Bertopeng
itu tidak muncul lagi?"
"Itu berarti hanya ingin
mengacaukan suasana saja, Panglima.
Ada kemungkinan juga itu hanya
siasatnya saja, untuk mengacaukan
istana, dan memecah belah di antara
para pembesar kerajaan."
"Hm...," Panglima Gajah Pati
hanya menggumam perlahan saja, dengan
kepala terangguk beberapa kali.
Mereka terus berjalan tanpa
berkata-kata lagi, dan baru berhenti
setelah sampai di depan sebuah pintu
samping bangunan Istana Godaka yang
besar dan megah ini. Dan mereka
berpisah, karena Panglima Gajah Pati
masih ada tugas yang harus
diselesaikan.
***
Kegelisahan begitu terasa di hati
semua orang yang ada di Istana Godaka
ini. Teriebih lagi, kegelisahan itu
sangat dirasakan para adipati dan
tumenggung yang masih berada di
istana. Memang tidak mungkin mereka
langsung kembali ke kadipatenan atau
ketumenggungan. Paling tidak,
sedikitnya harus tinggal dua hari di
Istana Godaka. Karena saat itu senja
memang sudah cukup jauh merayap turun.
Dan tidak seperti hari-hari
biasanya, di dalam lingkungan benteng
istana itu teriihat para prajurit
bersenjata berjaga-jaga. Seakan-akan,
istana ini hendak diserang musuh dari
luar. Senjata dari berbagai bentuk,
teriihat tersandang pada setiap
prajurit Bahkan sepasukan prajurit
berkuda, tampak siap tempur. Keadaan
seperti ini tentu saja membuat tanda
tanya bagi mereka yang tidak tahu
persoalannya. Seperti halnya Rara
Gawing, anak gadis Tumenggung Pratala
yang ikut bersama ayahnya ke Istana
Godaka ini. Dia jadi bertanya-tanya
sendiri di dalam hati, setelah melihat
keadaan istana yang seperti hendak
berperang saja.
"Kita akan berperang melawan
siapa, Ayah?" lanya Rara Gawing begitu
melihat ayahnya, Tumenggung Pratala
memasuki kamarnya.
“Tidak dengan siapa-siapa," sahut
Tumenggung Pratala seraya
menghempaskan tubuhnya di kursi, dekat
jendela kamar ini. Kamar yang
disediakan untuk beristirahat Rara
Gawing.
Tumenggung Pratala memandang
keluar melalui jendela yang terbuka
lebar. Tampak di luar sana beberapa
prajurit bersenjata lengkap tengah
berjaga jaga. Bahkan teriihat pula
sekitar dua puluh prajurit berkuda,
meronda mengelilingi bangunan istana
yang besar dan megah ini. Tumenggung
Pratala menarik napas dalam-dalam dan
menghembuskannya kuat-kuat Sementara
Rara Gawing terus memperhatikan dengan
kening agak berkerut. Tidak mudah
baginya untuk menebak pikiran yang
mengganggu benak ayahnya saat ini.
"Ayah.... Boleh aku tahu...,"
terdengar ragu-ragu nada suara Rara
Gawing.
Bahkan gadis itu tidak meneruskan
ucapannya. Tumenggung Pratala
berpaling, menatap anak gadis-nya.
Teriihat jelas raut wajah Tumenggung
Pratala begitu gelisah. Bahkan seperti
ada beban yang begitu berat tersandang
di dalam benaknya. Rara Gawing
beranjak bangkit dari pembaringan.
Kakinya melangkah perlahan mendekati
laki-laki separuh baya itu, kemudian
duduk di kursi satunya yang hanya
dibatasi sebuah meja kecil yang berada
tepat di bawah jendela kamar ini.
"Apakah keadaan ini ada
hubungannya dengan Penunggang Kuda
Bertopeng yang menyerang kita semalam.
Yah...?" tanya Rara Gawing, langsung
menebak.
"Hhh..!" Tumenggung Pratala tidak
langsung menjawab. Dihembuskannya
napas panjang yang terasa begitu
berat.
Rara Gawing terus memandangi
ayahnya. Dia lahu, ada sesuatu yang
menjadi beban pikiran laki-laki
separuh baya ini, sehingga terasa
begitu gelisah. Terlebih, Tumenggung
Pratala seperti berat untuk
mengatakannya. Dan ini tidak seperti
biasanya. Laki laki separuh baya itu
biasanya selalu mengatakan tetiap
persoalan yang sedang dihadapi pada
anak gadisnya. Tapi sekarang
Tumenggung Pratala seakan-akan begitu
berat mengatakannya.
Dan Rara Gawing sudah bisa
menebak persoalan yang kini sedang
dihadapi ayahnya, pasti memang berat.
Sehingga, sulit bagi orang tua itu
untuk menceritakannya.
Sementara itu senja semakin jauh
merayap turun menyelimuti mayapada.
Rona merah jingga begitu nyata
terlihat membias di ufuk Barat. Dan
keremangan pun mulai merata,
menyelimuti seluruh bumi Kerajaan
Godaka yang sedang terselimut suatu
persoalan berat atas munculnya
seseorang yang mengaku berjuluk
Penunggang Kuda Bertopeng. Suatu
kemunculan yang membawa satu persoalan
berat. Bukan hanya bagi para adipati
dan tumenggung, tapi juga bagi seluruh
kerajaan ini.
"Ayah...."
Belum lagi Rara Gawing bisa
meneruskan kata-katanya, tiba-tiba
saja melesat sebatang anak panah yang
langsung menerobos masuk melalui
jendela kamar ini. Tumenggung Pratala
langsung melompat bangkit dari kursi
yang diduduki. Begitu pula Rara Gawing
yang duduk di seberangnya. Dan anak
panah yang berwarna hitam itu menancap
tepat di dinding, dekat sebuah lemari
besar berukir di samping pembaringan.
Tumenggung Pratala cepat melompat
mendekati anak panah itu, dan
mencabutnya dengan hanya sekali tarik
saja.
"Ada suratnya, Ayah...," kata
Rara Gawing seraya menghampiri
ayahnya.
Tumenggung Pratala
merrrperhatikan anak panah berwarna
hitam itu sesaat, kemudian memandang
ke luar jendela. Tak teriihat seorang
pun di sana, kecuali para prajurit
yang tetap menjaga di sekitar istana
ini. Kemudian dibukanya ikatan
selembar daun lontar yang mengikat
bagian tengah batang anak panah ini.
"Apa isinya, Ayah...?" tanya Rara
Gawing ingin tahu.
"Kau baca saja sendiri," sahut
Tumenggung Pratala seraya menyerahkan
surat dari lembaran daun lontar itu.
Rara Gawing mengambilnya, dan
membaca sebaris kalimat yang tertera
di lembaran surat daun lontar itu.
Suaranya perlahan, setengah menggumam.
Sementara, Tumenggung Pratala sudah
kembali berdiri di depan jendela,
memandang keluar dengan bibir masih
terkatup rapat
"Temui aku di perbatasan Utara,
malam ini!"
Rara Gawing langsung menatap
laki-laki separuh baya yang kini
membelakanginya setelah menggu-mamkan
sebaris kalimat yang tertera pada
lembaran surat daun lontar. Tidak ada
apa-apa lagi selain sebaris kalimat
yang bernada aneh itu. Perlahan-lahan
kakinya melangkah menghampiri ayahnya,
kemudian berdiri di sampingnya.
"Siapa pengirim surat ini, Ayah?"
tanya Rara Gawing.
"Entahlah. Aku sendiri tidak
tahu," sahut Tumenggung Pratala dengan
nada suara mendesah perlahan.
"Ayah ingin menuruti
permintaannya?" tanya Rara Gawing
lagi.
"Hhh...!" Tumenggung Pratala
hanya menarik napas panjang saja.
Terasa begitu berat tarikan
napasnya. Sedangkan Kara Gawing
kembali terdiam tidak bertanya-tanya
lagi. Dia tahu, laki-laki separuh baya
ini tengah mempertimbangkan permintaan
pengirim surat ini. Dan permintaan ini
tentu bukan hal yang bisa dianggap
main-main, meskipun tidak ada nada
ancaman sama sekali. Dan kalimat di
dalam surat itu hanya bernada
permintaan saja.
"Rara Gawing.... Kau bersedia
menuruti permintaanku kali ini...?"
tanya Tumenggung Pratala. Begitu
perlahan suaranya, sambil berpaling
menatap anak gadisnya.
“Tentu saja, Ayah," sahut Rara
Gawing jadi heran.
"Besok pagi-pagi sekali, kau
kembali ke ketumenggungan. Kau tidak
perlu bicara lagi denganku, atau
dengan siapa saja. Kalau ada yang
bertanya, bilang saja ingin segera
pulang. Kau bersedia bukan...."
Rara Gawing hanya menganggukkan
kepala saja mendengar permintaan yang
bernada aneh dari ayahnya ini Tapi,
gadis itu tidak mau lagi bertanya. Dia
tahu, sekarang ini ada satu persoalan
yang sedang dihadapi ayahnya.
Persoalan yang begitu berat, sehingga
tidak memberitahukan padanya seperti
biasa. Maka Rara Gawing tidak bisa
lagi menolak permintaan ayahnya kali
ini.
Tumenggung Pratala melangkah
keluar dari kamar ini tanpa berbicara
lagi. Sedangkan Rara Gawing hanya
memandangi saja dengan kening sedikit
berkerut. Sebenarnya, dia ingin lebih
banyak lagi bertanya. Tapi melihat
sikap ayahnya yang seperti tidak ingin
membicarakan lagi, terpaksa semua
pertanyaan harus disimpan di dalam
kepala.
* * *
TIGA
Tumenggung Pratala memacu cepat
kudanya menuju arah Utara. Tak ada
seorang pun bersamanya. Dia terus
memacu kudanya, membelah kegelapan
malam yang begitu pekat. Langit malam
ini tampak begitu kelam. Sedikit pun
tak teriihat cahaya bintang maupun
bulan. Tapi, itu tidak menghalangi
laki-laki separuh baya yang kali ini
mengenakan baju warna pubh agak ketat,
untuk memacu kudanya dengan kecepatan
tinggi.
Tumenggung Pratala menghentikan
laju kudanya Betelah sampai di
perbatasan Utara Kerajaan Godaka.
Sebentar laki-laki setengah baya itu
mengedarkan pandangannya ke
sekelilihg. Namun tak ada seorang pun
teriihat Hanya kegelapan, dan
pepohonan yang menghitam pekat di
sekitarnya. Periahan-lahan kudanya
digebah melewati perbatasan sebelah
Utara ini, yang ditandai sebuah
bangunan dari batu berbentuk candi
kecil.
"Kau datang sendiri, Tumenggung
Pratala...?"
Tumenggung Pratala langsung
menghentikan langkah kaki kudanya,
begitu tiba-tiba terdengar suara
bernada sangat berat Sama sekali
hatinya tidak terkejut karena memang
sudah menduga akan ditemui seseorang
yang pasti akan merahasiakan dirinya.
Dan memang, pemilik suara itu belum
juga menampakkan diri. Sukar bagi
Tumenggung Pratala untuk bisa
mengetahui, dari mana sumber suara
itu. Karena suara menggema yang
didengarnya tadi, seperti datang dari
segala arah.
"Siapa kau?! Tampakkan
dirimu...!" bentak Tumenggung Pratala.
Laki-laki setengah baya itu
mengedarkan pandangannya berkeliling,
namun tak ada sahutan sama. sekali.
Tapi, mendadak saja keningnya jadi
berkerut begitu mendengar derap
langkah kaki kuda dari arah depan. Tak
berapa lama kemudian, teriihat
seseorang berbaju hitam pekat berada
di atas punggung seekor kuda hitam
yang tinggi dan gagah. Wajahnya sukar
dikenali karena tertutup sebuah topeng
yang berwarna hitam. Terlebih lagi,
saat ini malam memang begitu gelap.
Sedikitpun tak ada cahaya bulan maupun
bin-tang yang menyinari.
"Penunggang Kuda Bertopeng...,"
desis Tumenggung Pratala perlahan,
langsung mengenali penunggang kuda
yang sudah berada sekitar satu batang
tombak lagr jaraknya di depan.
"Aku kagum padamu sehingga berani
datang seorang diri, Tumenggung
Pratala," kata Penunggang Kuda
Bertopeng. Suaranya dingin tanpa nada
sedikit pun.
Tumenggung Pratala tahu, orang
yang bersembunyi di balik topeng hitam
itu menggunakan suara perut.
Dan tentu, dimaksudkan untuk
menyembunyikan suaranya agar tidak
dikenali. Tumenggung Pratala melompat
turun dari punggung kuda. Gerakannya
indah dan manis sekali. Sedikit pun
tak ada suara yang ditim bulkan saat
kakinya mendarat manis di tanah.
Sementara kudanya dibiarkan berlalu
menjauh darinya. Sedangkan Penunggang
Kuda Bertopeng masih tetap duduk di
punggung kudanya. Untuk beberapa saat,
mereka terdiam tanpa berbicara sedikit
pun. Mereka saling menatap tajam,
seakan-akan tengah mengukur tingkat
kepandaian yang dimiliki masing-
masing.
"Untuk apa kau memintaku datang
ke sini, Kisanak?"" tanya Tumenggung
Pratala, membuka suara terlebih
dahulu.
"Kau tentu sudah tahu, apa yang
ingin kuketahui darimu, Tumenggung
Pratala. Aku tahu, Prabu Bojananta
sudah memberitahumu. Bahkan semua
adipati dan tumenggung serta seluruh
pembesar dan panglima," sahut
Penunggang Kuda Bertopeng, masih
dengan suara yang sama.
"Hm.... Aku tidak mengerti
maksudmu yang sebenarnya, Kisanak.
Kenapa kau bermain-main dan
mengacaukan suasana...?" agak
menggumam nada suara Tumenggung
Pratala.
"Aku tidak membuat kacau suasana.
Tapi, kau sendirilah yang seharusnya
berpikir. Apa kekurangan yang kau
dapatkan dari kerajaan ini? Kedudukan
Hnggi, harta berlimpah, dan kekuasaan
yang tidak bisa didapatkan orang lain.
Tapi, kenapa kau ingin memberontak...?
Apa yang kau inginkan dari
pemberontakan itu, Pratala?" agak
tinggi nada suara Penunggang Kuda
Bertopeng kali ini.
"Kau sudah menuduhku yang tidak-
tidak tanpa bukti, Kisanak," desis
Tumenggung Pratala agak tersinggung.
"Sudah kuduga, kau pasti akan
membantah, Pratala. Tapi jangan harap
bisa mungkir lagi di depanku. Aku
tahu, apa yang kau lakukan selama ini
di ketumenggungan!"
"Edan...! Apa sebenarnya yang kau
inginkan, Kisanak? Kenapa menuduhku
ingin memberontak pada Gusti Prabu
Bojananta? Apa kau tidak berpikir, aku
ini sudah mengabdi sejak raja yang
terdahulu! Tidak ada di dalam
pikiranku untuk berbuat sesuatu yang
merugikan. Kau benar-benar gila,
menuduhku sembarangan begitu...!"
dengus Tumenggung Pratala menggeram
berang.
"Seribu kali kau mengatakan
kesetiaan, tidak akan membuat
keyakinanku luntur, Pratala. Ingat-
ingatlah. Kau tidak punya kesempatan
sedikit pun untuk menggulingkan takhta
Kerajaan Godaka!"
"Edan...!"
"Kesempatan itu memang tidak akan
pernah kau dapatkan, Pratala. Karena,
malam ini aku akan mengadilimu. Sudah
kupikirkan, kau memang tidak pantas
lagi menduduki jabatan tumenggung.
Bahkan tidak pantas lagi hidup di
dunia ini, Pratala. Bersiaplah
menerima pengadilan ini."
Setelah berkata demikian,
penunggang kuda yang mengenakan topeng
dan berbaju serba hitam itu langsung
saja melompat turun dari punggung
kudanya. Dan begitu kakinya menjejak
tanah, seketika itu juga dilepaskannya
satu pukulan yang begitu cepat dan
menggeledek. Akibatnya, Tumenggung
Pratala jadi terperangah sesaat
"Uts...!"
Tapi dengan satu gerakan manis
sekali, Tumenggung Pratala berhasil
menghindari pukulan itu. Tubuhnya
dimiringkan sedikit ke kanan, maka
pukulan yang dilepaskan Penunggang
Kuda Bertopeng hanya lewat sedikit
saja di sampingnya.
Tapi belum juga Tumenggung
Pratala bisa menegakkan tubuhnya
kembali, Penunggang Kuda Bertopeng
sudah memberi satu tendangan berputar.
Begitu repat serangan susulannya,
sehingga tak ada lagi kesempatan bagi
Tumenggung Pratala untuk menghindar.
Sehingga....
Desss!
"Akh...!" Tumenggung Pratala
terpekik keras agak tertahan.
Seketika itu juga Tumenggung
Pratala terpental ke samping, dan
jatuh bergulingan beberapa kali,
begitu tendangan Penunggang Kuda
Bertopeng menghantam tubuhnya. Tapi
cepat sekali dia melompat bangkit
berdiri, walaupun agak terhuyung
sedikit.
Segera dilakukannya beberapa
gerakan untuk mengembalikan keadaan
tubuhnya.
Sementara Penungggang Kuda
Bertopeng sudah bersiap hendak
melakukan serangan kembali. Memang
sungguh dahsyat serangan-serangan yang
dilakukannya. Dan setiap kali
menyerang, sedikit pun tak ada suara
yang ditimbulkannya. Dan ini membuat
Tumenggung Pratala cepat berwaspada.
Dia tahu, kalau lawan yang dihadapinya
ini memiliki kepandaian begitu tinggi
Hal itu bisa dirasakan ketika saat
tendangan tadi bersarang di tubuhnya.
Untung saja tendangan itu tidak
mengandung pengerahan tenaga dalam,
sehingga tidak menimbulkan luka dalam
sedikit pun. Namun demikian, tendangan
tadi sangat keras sekali dan hampir
membuat tulang iganya patah.
"Bersiaplah, Tumenggung
Pratala...!"
"Hm.... Ups!"
***
Dua orang itu sudah bersiap
saling berhadapan untuk bertarung
kembali. Tumenggung Pratala menggeser
kakinya periahan ke kanan, ketika si
Penunggang Kuda Bertopeng bergerak
menggeser kakinya perlahan-lahan. Tak
ada yang dibicarakan. Dan masing-
masing menatap tajam, seperti tengah
mengukur dan memperkirakan setiap
serangan yang bakal dilakukan.
"Hep! Yeaaah...!"
Tiba-tiba saja Penunggang Kuda
Bertopeng berteriak lantang
menggelegar. Dan bagaikan kilat, dia
melompat cepat sambil melepaskan
beberapa pukulan keras menggeledek
mengandung pengerahan tenaga dalam
tinggi. Tumenggung Pratala cepat
bertindak. Dia berlompatan dan meliuk-
liukkan tubuhnya, menghindari setiap
serangan yang datang dengan cepat itu.
Pertarungan memang tidak dapat
dicegah lagi. Dan sebentar saja,
mereka sudah saling sambar dengan
serangan-serangan berkekuatan tenaga
dalam tinggi. Entah sudah berapa kali
satu sama lain saling melepaskan
pukulan dahsyat. Tapi, pertarungan itu
tampaknya masih akan terus berjalan.
Dan dalam waktu yang sebentar saja,
tempat di sekitar pertarungan sudah
porak-poranda terlanda pukulan-pukulan
bertenaga dalam tinggi yang tidak
menemui sasaran.
Jurus demi jurus beriaiu cepat
Dan pertarungan pun terus berjalan
semakin dahsyat saja. Bahkan kali Ini
pukulan yang dilepaskan bukan hanya
mengandung pengerahan tenaga dalam
tinggi, tapi juga mengandung aji
kesaktian. Sehingga, malam yang pekat
ini dihiasi kilatan-kilatan cahaya
dari ajian yang dikeluarkan.
“Tahan! Yeaaah...!"
Tiba-tiba saja si Penunggang Kuda
Bertopeng melentingkan tubuhnya ke
udara. Kecepatannya begitu cepat luar
biasa, tepat di saat Tumenggung
Pratala melepaskan satu pukulan jarak
jauh berkekuatan tenaga dalam tinggi
yang dibarengi pengerahan aji
kesaktian. Dan sebelum Tumenggung
Pratala bisa menarik kembali
serangannya, tahu-tahu si Penunggang
Kuda Bertopeng sudah melepaskan satu
pukulan bertenaga dalam tinggi sekali,
disertai pengerahan aji kesaktian
dalam pukulannya.
"Hiyaaa...!"
Slap!
Secercah sinar berwarna merah
kekuningan, seketika itu juga meluncur
deras ke arah Tumenggung Pratala yang
belum sempat berbuat sesuatu lagi.
Sementara serangan yang dilancarkan
lawan begitu cepat, dan tidak mungkin
lagi bisa dihindari. Teriebih, pada
saat itu Tumenggung Pratala belum
sempat menarik serangannya yang gagal.
Sehingga....
Glarrr...!
"Akh...
Laki-laki separuh baya itu
terpental jauh ke belakang, begitu
sinar merah kekuningan menghantam
dadanya. Tapi belum juga tubuh
Tumenggung Pratala menghantam tanah,
tiba-tiba saja sebuah bayangan kuning
kehitaman berkelebat begitu cepat
menyambarnya. Langsung tubuh
Tumenggung Pratala dibawa menjauh dari
si Penunggang Kuda Bertopeng.
Seorang pemuda tampan berbaju
kulit harimau, tahu-tahu sudah berdiri
tegak memondong tubuh Tumenggung
Pratala. Dengan hati-hati sekali,
diletakkannya tubuh laki-laki separuh
baya itu di tanah. Tumenggung Pratala
kelihatan tak bergerak, kecuali pada
dadanya saja yang bergerak lemah.
Glarrr...!
"Akh..!" teriak Tumenggung
Pratala keras.
Tapi belum juga tubuh lelaki
setengah baya itu menghantam tanah,
tiba-tiba saja sekelebat bayangan
kuning kehitaman cepat menyambarnya.
Langsung tubuh Tumenggung Pratala
dibawa ke tempat yang aman.
Ini menandakan kalau dia masih
hidup. Pemuda tampan berbalut kulit
harimau itu kemudian berdiri tegak,
menatap tajam si Penunggang Kuda
Bertopeng.
"Jangan mencampuri urusanku ini,
Anak Muda Menyingkirlah...!" bentak
Penunggang Kuda Bertopeng itu dingin.
"Hm...," pemuda berbaju kulit
harimau itu hanya menggumam perlahan
saja. Tangannya menepuk-nepuk monyet
kecil berbulu hitam yang nangkring di
pundaknya.
Sementara itu, Tumenggung Pratala
sudah menggeliat sambil merintih
lirih. Bibirnya meringis menahan sakh
dan rasa sesak di bagian dadanya yang
terkena pukulan si Penunggang Kuda
Bertopeng tadi.
"Apa yang kau rasakan, Paman?"
tanya pemuda tampan berbaju kulit
harimau itu sambil berjongkok, tanpa
menghiraukan si Penunggang Kuda
Bertopeng.
"Dadaku..., terasa sesak sekali,"
sahut Tumenggung Pratala lirih.
"Hm...," kembali pemuda itu
menggumam setelah meraba dada
Tumenggung Pratala.
Dia kembali bangkit berdiri, lalu
melangkah menghampiri si Penunggang
Kuda Bertopeng. Langkahnya berhenti
setelah jaraknya tinggal sekitar enam
langkah lagi. Tatapan mata pemuda itu
begitu tajam, seolah-olah tidak
menyukai tindakan orang bertopeng
hitam itu terhadap laki-laki separuh
baya yang kini tergolek tak berdaya.
"Aku sudah mendengar percakapanmu
dengan Paman Tumenggung itu, Kisanak.
Kenapa kau menuduhnya tanpa bukti?
Pengkhianatannya belum bisa kau
buktikan. Jadi tidak seharusnya
menjatuhkan tangan padanya, Kisanak,"
tegas pemuda tampan berbaju kulit
harimau itu. Nada suaranya terdengar
begitu dalam.
"Itu bukan urusanmu!" bentak si
Penunggang Kuda Bertopeng, tidak
menyukai urusannya dicampuri iwmuda di
depannya.
“Tidak akan menjadi urusanku,
jika kau bertindak lebih bijaksana
lagi, Kisanak," tenang sekali suara
pemuda itu.
"Edan...! Siapa kau, Anak
Muda...?!" geram Penunggang Kuda
Bertopeng itu jadi berang atas sikap
pemuda tampan berbaju kulit harimau
ini.
"Maaf. Aku tidak suka
memperkenalkan diri pada orang gegabah
sepertimu," sahut pemuda itu, masih
tetap tenang nada suaranya.
"Phuah...! Sombong benar kau
ini."
"Lebih sombong lagi dirimu,
Kisanak."
Si Penunggang Kuda Bertopeng itu
menggeram berang. Hatinya benar-benar
geram melihat tingkah pemuda berbaju
kulit harimau yang telah mencampuri
urusannya dengan Tumenggung Pratala.
Beberapa saat dia terdiam, menatap
tajam dari balik topeng hitam yang
menutupi seluruh wajahnya. Sedangkan
pemuda berbaju kulit harimau itu
membalas tidak kalah tajam.
Perlahan laki-laki berbaju serba
hitam yang wajahnya tertutup topeng
berwarna hitam itu melangkah ke
belakang mendekati kudanya. Kemudian,
diambilnya tali kekang kuda hitam yang
tinggi dan tegap itu. Sebentar matanya
masih menatap pemuda berbaju kulit
harimau. Kemudian dengan satu gerakan
manis sekali, dia melompat naik ke
atas punggung kuda hitamnya.
"Dengar, Anak Muda.... Aku tidak
akan segan-segan menjatuhkan tangan
jika kau berani mencampuri urusanku
lagi. Untuk kali ini, kelancanganmu
kumaafkan. Tapi lain kali, kau akan
menyesal. Camkan itu, Anak Muda...!"
Setelah berkata demikian, si
Penunggang Kuda Bertopeng langsung
cepat menggebah kudanya. Kuda hitam
itu meringkik keras sambil mengangkat
kedua kaki depannya tinggi-tinggi ke
udara. Lalu bagaikan sebatang anak
panah yang melesat dari busurnya, kuda
hitam bertubuh tinggi tegap itu
langsung berlari cepat bagai kilat.
Begitu cepatnya, sehingga dalam
sekejap saja sudah menghilang ditelan
kegelapan malam yang begitu pekat.
Sebentar pemuda berbaju kulit
harimau itu masih berdiri tegak
memandang ke arah si Penunggang Kuda
Bertopeng tadi menghilang di dalam
kegelapan malam. Kemudian, tubuhnya
berbalik menghampiri Tumenggung
Pratala yang sudah bisa duduk bersila,
meskipun napasnya masih agak
tersengal. Pemuda berbaju kulit
harimau itu kemudian duduk bersila di
depannya. Dipindahkannya monyet kecil
berbulu hitam yang ada di pundak ke
pahanya.
"Bagaimana keadaanmu, Paman?"
tanya pemuda itu setelah Tumenggung
Pratala membuka kelopak matanya.
"Agak membaik," sahut Tumenggung
Pratala masih agak tersengal.
"Terima kasih atas pertolonganmu
yang telah menyelamatkan nyawaku, dan
berhasil mengusir orang gila itu."
"Aku tidak mengusimya, Paman. Dia
sendiri yang pergi," jelas pemuda itu.
"Siapa namamu, Anak Muda?" tanya
Tumenggung Pratala.
"Bayu Hanggara. Tapi, panggil
saja aku Bayu," sahut pemuda itu
memperkenalkan diri. "Dan ini
sahabatku. Namanya Tiren."
Pemuda yang memang bernama Bayu
dan dikenal berjuluk Pendekar Pulau
Neraka itu menepuk-nepuk kepala monyet
kecil berbulu hitam yang duduk tenang
di pangkuannya. Seperti mengerti kalau
dirinya diperkenalkan, monyet kecil
yang selalu dipanggil Tiren itu
menganggukkan kepala. Tentu saja hal
itu membuat Tumenggung Pratala
tersenyum. Tapi, mulutnya langsung
meringis, menahan nyeri pada rongga
dadanya.
"Masih sakit...?" tanya Baya
"Sedikit Pukulannya dahsyat
sekali. Mungkin kalau tidak sedang
mengerahkan tenaga dalam, sudah hancur
dadaku ini," sahut Tumenggung Pratala.
“Sebaiknya Paman bersemadi dulu,
untuk menghilangkan rasa nyeri di
dada...," ujar Bayu menyarankan.
“Tidak periu lagi, Anak Muda. Aku
yakin, dengan sedikit ramuan saja,
rasa sakit di dadaku akan segera
hilang."
Bayu hanya mengangkat bahunya
saja. Memang, keadaan laki-laki
separuh baya ini sudah diperiksanya.
Dan rasanya tidak perlu dikhawatirkan.
Luka dalam yang dideritanya juga tidak
seberapa parah. Hanya dengan melakukan
sedikit semadi dan meminum ramuan
obat, pasti akan sembuh. Memang Bayu
tadi masih sempat merasakan adanya
aliran tenaga dalam di dada Tumenggung
Pratala. Tapi hatinya tidak yakin
kalau tenaga dalam itu yang
menyelamatkannya. Pendekar Pulau
Neraka malah lebih yakin lagi kalau
orang berbaju serba hitam itu tidak
dengan kekuatan penuh melancarkan
pukulannya. Sehingga lawannya ini
tidak cidera. Dan hal itu yang membuat
Bayu tiba-tiba saja jadi bertanya
sendiri dalam hati.
Kenapa orang berbaju hitam dan
bertopeng itu tidak menciderai Apalagi
membunuhnya...? Padahal dari apa yang
dilakukannya, tidak terialu sulit
menewaskan tumenggung ini. Tapi
pukulan yang seharusnya bisa
mematikan, malah ditahan kekuatannya.
Sehingga, tidak mengakibatkan luka
yang berarti, apalagi sampai
menewaskan. Namun pertanyaan itu hanya
tersimpan saja dalam benak Pendekar
Pulau Neraka.
***
Saat matahari muncul di ufuk
Timur, Bayu dan Tumenggung Pratala
baru beranjak meninggalkan perbatasan
Utara Kerajaan Godaka. Mereka
melangkah Hdak tergesa-gesa memasuki
wilayah kerajaan yang cukup besar ini.
Tumenggung Pratala hanya menuntun
kudanya. Rasanya memang tidak mungkin
menung-yang kuda ini, sementara pemuda
yang telah me-nyelamatkan nyawanya
berjalan kaki bersama seekor monyet
kecil yang selalu nangkring di pundak
sebelah kanan.
"Kau berasal dari mana, Bayu?"
tanya Tumenggung Pratala.
"Sebuah pulau kecil, tidak jauh
dari Pesisir Pantai Utara," sahut
Bayu.
"Sebuah perjalanan yang jauh,"
gumam Tumenggung Pratala perlahan.
"Lalu, ke mana tujuanmu?"
"Ke mana saja kaki ini melangkah,
Paman," sahut Kayu.
"Kau tentu seorang pendekar,
Bayu. Memang banyak pendekar muda yang
mencari pengalaman hidup dengan cara
mengembara dari satu tempat ke tempat
yang lain tanpa tujuan pasti. Hm...,
kau tentu mempunyai julukan. Kalau
boleh kutahu, apa julukanmu, Bayu...?"
"Orang-orang memanggilku Pendekar
Pulau Neraka. Aku sendiri tidak tahu.
Mungkin karena aku berasal dari sana,
sehingga julukan itu diberikan
padaku," sahut Bayu lagi.
"Pulau Neraka. Hm.... Pulau itu
pernah kudengar, dan memang tidak jauh
dari Pesisir Pantai Utara. Sebuah
pulau mati yang tidak berpenghuni.
Dan, tak ada seorang pun yang sudi
singgah di sana...," Tumenggung
Pratala menatap Pendekar Pulau Neraka
dalam-dalam, seakan-akan tidak percaya
kalau pemuda tampan yang berjalan di
sampingnya benar-benar berasal dari
pulau yang sangat ditakuti para
nelayan di Pesisir Pantai Utara.
Sedangkan Bayu tetap saja
mengayunkan kakinya, seperti tidak
peduli dengan pandangan laki-laki
separuh baya ini. Dan untuk beberapa
saat mereka terdiam, tak ada yang
bicara lagi. Mereka terus melangkah
menuju ke Kotaraja Kerajaan Godaka.
Beberapa orang sudah teriihat melintas
di jalan tanah yang cukup lebar dan
berdebu, baik yang menunggangj kuda,
membawa kereta, maupun yang hanya
berjalan kaki saja. Kehidupan memang
sudah mewamai pagi ini. Dan mereka
semua sudah mulai sibuk dengan segala
pekerjaan sehari-hari.
"Semalam kau mengatakan kalau
mendengar semua percakapanku dengan si
Penunggang Kuda Bertopeng itu.
Seberapa banyak yang kau ketahui
Bayu...?" Tumenggung Pratala kembali
membuka suara, setelah cukup lama
berdiam diri saja.
"Tidak banyak," sahut Bayu
singkat
"Lalu, kenapa menolongku?" tanya
Tumenggung Pratala ingin tahu alasan
Pendekar Pulau Neraka menolongnya.
"Entahlah.... Mungkin aku percaya
kalau Paman bukan seorang pengkhianat
yang sedang merencanakan
pemberontakan," sahut Bayu dengan
suara perlahan agak mendesah.
"Seandainya aku benar-benar
pengkhianat seperti yang dituduhkan si
Penunggang Kuda Bertopeng itu, apa kau
juga akan tetap menolongku?"
"Mungkin iya, mungkin juga tidak.
Aku menolong Paman karena tidak
menyukai tindakan semena-mena.
Terlebih lagi, menjatuhkan tuduhan
tanpa bukti yang cukup jelas."
"Aku kagum pada tindakanmu, Bayu.
Kau bertindak berdasarkan kenyataan
yang teriihat."
“Tapi aku bisa cepat berbalik
bila kenyataan berbicara lain, Paman."
"Aku bisa mengerti."
Kembali mereka terdiam untuk
beberapa saat lamanya. Sementara
mereka terus melangkah perlahan-lahan,
jalan yang dilalui kini semakin banyak
dipenuhi orang yang sudah keluar dari
rumah masing-masing. Dan memang,
gerbang perbatasan kota sudah teriihat
Maka sebentar lagi, mereka
memasuki Kotaraja Godaka. Sebuah kota
yang cukup besar dan padat
penduduknya. Suasananya selalu ramai,
sejak matahari terbit sampai malam.
Kota itu baru bisa tidur setelah lewat
tengah malam.
"Bayu, kau sudah membantuku. Dan
tanpa disadari, kau sudah masuk ke
dalam persoalanku yang juga persoalan
kerajaan. Jika tidak berkeberatan, aku
ingin kau membantu menyelesaikan
persoalan ini. Rasanya, sulit bagiku
dan yang lain untuk memecahkan
persoalan ini dengan cepat. Meskipun,
Gusti Prabu Bojananta sendiri sudah
melakukan penyelidikan dengan caranya
sendiri," Tumenggung Pratala meminta
langsung kesediaan Pendekar Pulau
Neraka tanpa basa-basi lagi.
"Apakah itu tidak berlebihan,
Paman? Aku tidak tahu persoalannya.
Dan Paman sendiri belum mengenalku
seluruhnya. Malah, baru semalam saja
kita bertemu," kata Bayu, agak
terkejut juga mendengar permintaan
Tumenggung Pratala yang begitu lang-
sung, tanpa basa-basi lagi.
"Aku baru ingat setelah kau
menyebutkan julukanmu, Bayu. Memang
aku pernah mendengar julukan Pendekar
Pulau Neraka, dan segala sepak
terjangnya. Tapi tidak kusangka kalau
Pendekar Pulau Neraka masih begini
muda, gagah, dan tampan. Aku yakin,
kau pasti bersedia membantuku untuk
menegakkan keadilan di negeri ini,
Bayu. Itu pun jika kau bersedia
membantuku," desak Tumenggung Pratala.
"Mungkin bisa kupertimbangkan,
jika Paman bersedia menceritakan
keadaan yang sebenamya. Karena kulihat
tidak ada tanda-tanda bakal terjadi
pemberontakan di sini," sahut Bayu
tidak ingin mengecewakan harapan laki-
laki separuh baya ini.
"Terima kasih, Bayu. Pasti
seluruhnya akan kuceritakan," sambut
Tumenggung Pratala gembira, meskipun
Bayu belum menyatakan kesediaannya
secara langsung.
Bayu hanya tersenyum saja.
Sedangkan Tumenggung Pratala sudah
langsung menceritakan semua perlstiwa
yang dialaminya. Sejak dijemput dari
ketumenggunggan oleh Panglima Gajah
Pati ke Istana Godaka, sampai diserang
orang-orang tak dikenal yang dipimpin
seorang misterius berjuluk si
Penunggang Kuda Bertopeng.
Bayu hanya diam saja
mendengarkan. Pendekar Pulau Neraka
tidak berbicara sedikit pun, sehingga
Tumenggung Pratala bisa lancar
menceritakan semua kejadian di Balai
Sema Agung Istana Godaka. Tak ada
sedikit pun yang dilewatkan. Semua
jelas diceritakan. Sehingga, Bayu bisa
benar-benar mengerti keadaan yang
sedang terjadi di lingkungan Istana
Kerajaan Godaka. Terutama, keadaan
yang kini dialami para adipati dan
tumenggung kerajaan ini.
* * *
EMPAT
Dengan halus sekali, Bayu menolak
tawaran Tumenggung Pratala untuk
singgah di istana. Maka mereka
terpaksa berpisah di depan bangunan
istana yang megah, dikelilingi tembok
benteng yang tinggi, tebal, dan sangat
kokoh. Sementara Pendekar Pulau Neraka
terus melanjutkan langkahnya,
Tumenggung Pratala masuk ke dalam
benteng yang mengelilingi bangunan
istana ini. Dua orang prajurit penjaga
pintu gerbang, membungkuk memberi
hormat saat Tumenggung Pratala
melewatinya.
"Kanjeng Tumenggung...!"
Tumenggung Pratala berhenti saat
kakinya hendak melangkah menaiki anak
tangga istana. Kepalanya berpaling,
dan tubuhnya berputar begitu melihat
Panglima Gajah Pati berlari-lari kecil
menghampiri.
"Ada apa, Panglima Gajah Pati?"
tanya Tumenggung Pratala begitu
Panglima Gajah Pati yang masih berusia
muda itu dekat di depannya.
"Putrimu.... Rara Gawing sudah
pergi pagi-pagi sekali, tadi...,"
sahut Panglima Gajah Pari memberi
tahu, dengan napas agak tersendat
Tumenggung Pratala hanya
mengangguk-anggukkan kepala saja,
mendengar laporan panglima berusia
muda ini.
“Tapi, Kanjeng...."
"Ada apa lagi, Panglima?"
"Rara Gawing tidak mau diantar.
Bahkan pergi seorang diri dengan
pakaian biasa," jelas Panglima Gajah
Pari lagi.
"Katanya, Kanjeng Tumenggung sen-
diri yang menyuruhnya begitu. Benar,
Kanjeng...?"
"Ya, memang benar. Aku memang
menyuruhnya menyamar agar tidak ada
yang mengenalinya. Aku rasa, hal itu
lebih aman daripada dikawal prajurit,"
sahut Tumenggung Pratala seraya
tersenyum.
Tumenggung itu senang, karena
anak gadisnya lemyata mengikuti semua
kata-katanya. Bahkan Panglima Gajah
Pati sendiri sampai keheranan. Memang
panglima muda itu tidak terbiasa
terhadap cara berpikir Tumenggung
Pratala, yang tentu saja pengalamannya
jauh lebih banyak. Bagaimanapun juga,
Panglima Gajah Pati masih terlalu
muda. Dia masih perlu menimba
pengalaman dari yang tua-tua seperti
Tumenggung Pratala ini.
"Sepi sekali di sini. Apakah
semua adipati dan tumenggung sudah
kembali pulang, Panglima?" tanya
Tumenggung Pratala membelokkan arah
pembicaraan.
"Sudah, Kanjeng. Kebanyakan
mereka berangkat sebelum matahari
terbit. Tapi masih ada juga yang belum
kembali kekadipatenan atau
ketumenggungan," sahut Panglima Gajah
Pati.
Tumenggung Pratala mengangguk-
anggukkan kepalanya.
"Maaf, Kanjeng. Pagi-pagj begini
Kanjeng Tumenggung baru kembali dari
luar istana. Kemana saja sepagi ini,
Kanjeng?" tanya Panglima Gajah Pati.
"Aku tidak bisa tidur semalaman.
Jadi, aku jalan-jalan saja sambil
mengamati keadaan," sahut Tumenggung
Pratala.
Tentu saja hal yang sebenamya
tidak dikatakan, pada panglima muda
ini. Dan Tumenggung Pratala juga tidak
akan mengatakannya sampai orang yang
dicurigai benar-benar ketahuan. Atau
paling tidak, mengetahui tanda-tanda
siapa di antara para adipati dan
tumenggung yang dikabarkan sedang
merencanakan pemberontakan.
"Terlalu berbahaya berjalan
seorang diri dalam keadaan seperti
ini, Kanjeng Tumenggung. Kenapa tidak
meminta beberapa pengawalan prajurit?
Aku pun bersedia mengawal jika Kanjeng
Tumenggung meminta," kata Panglima
Gajah Pati.
"Terima kasih, Panglima," ucap
Tumenggung Pratala seraya tersenyum.
Sudah bisa diduga kalau kata-kata
Panglima Gaja Pati yang barusan
didengarnya, menyiratkan rasa percaya
panglima muda ini. Bahkan kata-katanya
tak mengandung kekhawatiran. Tapi
bagaimanapun juga Tumenggung Pratala
belum mau mengatakan hal yang
sebenamya. Hatinya sudah bertekad,
harus mencari biang keladi dari semua
kekacauan ini. Terlebih lagi, harus
bisa diketahui, siapa Penunggang Kuda
Bertopeng yang penuh misteri itu. Dan,
apa tujuannya membuat keresahan di
istana ini, dengan mengatakan kalau
ada di antara adipati dan tumenggung
merencanakan pemberontakan.
Laki-laki separuh baya itu mulai
mengayunkan kakinya, meniti undakan
baru depan istana yang megah ini.
Panglima Gajah Pati mengikuti, dan
mensejajarkan ayunan kaki di
sampingnya. Mereka terus melangkah
tanpa berbicara lagi. Hingga sampai di
depan pintu istana, empat orang
prajurit yang menjaga pintu segera
membungkuk memberi hormat Mereka terus
saja melangkah, dan langsung masuk ke
dalam ruangan berukuran besar yang
disebut ruangan Balai Sema Agung.
Ruangan itu memang tempat pertemuan
antara Prabu Bojananta dan para
pembesar Kerajaan Godaka ini. Tak ada
seorang pun teriihat di dalam ruangan
yang sangat besar ukurannya ini.
Bahkan seorang prajurit pun tidak
teriihat.
"Seharusnya pagi ini ada
pertemuan. Kenapa tak seorang pun
teriihat di sini, Panglima?" tanya Tu-
menggung Pratala seraya merayapi
sekitarnya yang sunyi senyap, bagai
berada di tengah-tengah kuburan.
"Tidak akan ada pertemuan lagi di
sini, Kanjeng Tumenggung," sahut
Panglima Gajah Pati.
"Tidak ada pertemuan lagi...? Apa
maksudnya, Panglima?" Tumenggung
Pratala benar-benar tidak mengerti
atas jawaban Panglima Gajah Pati
barusan.
"Karena pemberontaknya sudah
ketahuan."
"Siapa?"
"Kau!"
"Apa...?!"
Kedua bola mata Tumenggung
Pratala kontan terbeliak lebar
mendengar kata-kata yang diucapkan
Panglima Gajah Pati barusan. Dan
sebelum keterkejutannya hilang, tiba-
tiba saja dari balik semua pintu yang
ada di setiap sisi ruangan berukuran
besar ini bermunculan para prajurit
berseragam. Dengan senjata begitu
lengkap, mereka langsung bergerak
membuat kepungan.
"Apa-apaan ini, Panglima...?"
tanya Tumenggung Pratala meminta
penjelasan.
"Maaf, Kanjeng Tumenggung. Aku
terpaksa menangkapmu," sahut Panglima
Gajah Pati.
“Panglima.... Jelaskan padaku,
kenapa aku dituduh sebagai
pemberontak?" Tumenggung Pratala me-
minta penjelasan
"Tindakan Kanjeng yang keluar
sendiri malam malam, dan menyuruh Rara
Gawing meninggalkan istana secara
diam-diam, sudah membuat suatu
kecurigaan. Dan dengan berat hati,
terpaksa aku harus menangkapmu,
Kanjeng Tumenggung," jelas Panglima
Gajah Pati.
"Ohhh...," Tumenggung Pratala
mendesah panjang.
Sungguh tidak disangka! Temyata
apa yang dilakukannya, bisa diketahui
begitu cepat Bahkan panglima muda ini
yang mencurigainya. Dia benar-benar
tidak tahu kalau semua ini sudah
diatur. Bakan tidak disangka kalau
panglima yang masih berusia muda ini
memiliki pandangan yang begitu jauh.
Bahkan bisa bersikap wajar, hingga
membawanya ke Balai Sema Agung ini
"Maaf, Kanjeng Tumenggung.
Sebaiknya Kanjeng tidak memberikan
perlawanan yang bisa membuat kesulitan
bagi diri Kanjeng Tumenggung sendiri,"
kata Panglima Gajah Pati seraya
membungkuk memberi hormat
"Baiklah.... Tangkap aku,
Panglima. Kalau itu memang bisa
membuat suasana ini jadi berakhir,"
kata Tumenggung Pratala pasrah.
"Maaf, Kanjeng Tumenggung."
"Tidak mengapa, Panglima. Kau
hanya menjalankan tugas yang memang
sudah seharusnya kau lakukan."
Panglima Gajah Pati memerintahkan
dua orang prajurit untuk meringkus
tumenggung separuh baya ini. Tanpa ada
perlawanan sedikit pun, dua orang
prajurit itu meringkus Tumenggung
Pratala setelah memberi hormat
Kemudian, mereka menggiringnya keluar
dari Balai Sema Agung ini. Panglima
Gajah Pati memandangi sambil
menghembuskan napas panjang yang
terasa begitu berat.
Inilah kenyataan yang paling
sulit dihadapi. Bagaimana tidak...?
Dia harus mengamankan orang-orang yang
telah dikenalnya dengan baik selama
ini, hanya karena tingkah sosok orang
penuh misteri yang menjuluki dirinya
Penunggang Kuda Bertopeng. Sedangkan
sampai saat ini, belum ada tanda-tanda
akan terjadi pemberontakan, seperti
yang dikatakan si Penunggang Kuda
Bertopeng itu. Panglima Gajah Pati
baru meninggalkan Balai Sema Agung ini
setelah tidak ada lagi prajurit di
ruangan ini.
***
Sementara itu, tidak jauh dari
gerbang perbatasan Kotaraja Godaka,
tampak seorang gadis mengendarai kuda
perlahan-lahan. Gadis cantik berbaju
merah muda itu adalah Rara Gawing,
putri Tumenggung Pratala. Gadis ini
memang sengaja mengenakan pakaian dari
kalangan biasa, agar tidak ada seorang
pun yang mengenalinya.
Dan sejak meninggalkan istana
pagi-pagi tadi, Rara Gawing memang
tidak begitu terburu-buru. Kudanya
dikendalikan dengan langkah perlahan-
lahan, sambil menikmati keindahan
Kotaraja Godaka. Dia memang tidak
terlalu sering datang ke sini Dan
kalaupun datang, tidak banyak
kesempatan untuk menikmati kota yang
begitu indah dan semarak ini. Dan
sekaranglah kesempatan itu datang.
Rara Gawing tidak menyia-nyiakan
kesempatan ini. Tidak heran bila sudah
tengah hari ini, dia baru sampai di
perbatasan kota.
Tapi baru saja Rara Gawing
melewati gerbang perbatasan kota
sebelah Selatan, tiba-tiba saja....
"Heh...?”
Rara Gawing begitu terperanjat,
begitu tiba-tiba di sekitarnya
berlompatan tubuh-tubuh berbaju serba
hitam yang langsung mengepung rapat
sekali. Gadis Itu langsung mengenali,
kalau orang-orang inilah yang telah
menyerang rombongannya ketika hendak
ke Kotaraja Godaka. Dan jumlah mereka
memang begitu banyak, bersenjatakan
senjata golok terhunus di depan dada.
Di antara orang-orang berbaju
serba hitam itu, tampak seorang
penunggang kuda yang juga mengenakan
baju serba hitam. Namun, wajahnya
tertutup topeng kayu berwarna hitam
pula, sehingga sangat sukar
mengenalinya. Rara Gawing langsung
bisa merasakan kalau keadaannya
sekarang ini benar-benar tidak
menguntungkan. Pandangannya langsung
beredar ke sekeliling, merayapi orang-
orang berbaju serba hitam yang telah
mengepung begitu ketat. Sehingga, tak
ada celah sedikit pun untuk bisa
keluar dari kepungan ini. Tapi, Rara
Gawing tidak mau menyerah begitu saja.
Perlahan-lahan pedangnya yang
tergantung di pinggang diloloskan.
Sret!
Gadis itu melintangkan pedangnya
sambil menatap tajam si Penunggang
Kuda Bertopeng yang duduk tenang di
atas punggung kudanya yang berwarna
hitam pekat berkiiat. Kuda hitam itu
bergerak melangkah mendekati Rara
Gawing yang juga masih berada di atas
punggung kudanya, dan baru berhenti
setelah jaraknya tinggal sekitar
setengah batang tom-bak lagi
"Kuharap, kau tidak membuat
kesulitan bagi dirimu sendiri, Rara
Gawing," kata Penunggang Kuda
Bertopeng itu. Suaranya terdengar
berat dan bernada aneh.
"Hm.... Apa maumu, Kisanak?"
tanya Rara Gawing dengan suara yang
agak bergetar.
"Aku ingin kau ikut denganku
tanpa banyak tanya, dan tanpa membuat
kesulitan yang bisa merugikan dirimu
sendiri," sahut Penunggang Kuda
Bertopeng, masih dengan suara yang
sama.
"Untuk apa aku ikut denganmu? Kau
sudah membuat kesulitan bagi kami
semua? Bahkan telah keji menuduh
ayahku tanpa bukti Manusia kotor
sepertimu, tidak patut diikuti!" agak
kasar nada suara Rara Gawing.
"Seharusnya, kau bisa menelaah
keadaan yang sedang terjadi, Rara
Gawing. Mestinya kau bisa berpikir
jernih, dan bukan berteriak-teriak
begitu. Apa yang kulakukan ini, demi
keutuhan Kerajaan Godaka yang sama
sama kita cintai, Rara Gawing."
“Tapi semua yang kau lakukan,
justru membuat keresahan. Kau terlalu
membabi buta, dan tidak memikirkan
akibatnya!" sentak Rara Gawing masih
berang.
"Maaf. Aku terpaksa melakukannya.
Dan hanya itu jalan satu-satunya untuk
menghambat gerakan mereka. Dengan
keadaan seperti ini, tentu mereka
menyangka kalau gerakannya sudah
diketahui. Dan mereka pasti menahan
gerakannya, sampai keadaan menjadi
reda. Nah! Di saat itulah bisa
kutemukan, siapa manusia-manusia
berotak kotor itu. Manusia yang tidak
pemah puas dengan apa yang telah
dicapainya."
"Jangan bersilat lidah di
depanku, Kisanak!"
"Aku tidak bersilat lidah. Jika
kau ingin tahu yang sebenamya,
sebaiknya ikut denganku. Akan
kutunjukkan kalau perbuatanku ini
semata-mata demi kejayaan Kerajaan
Godaka."
"Kenapa tidak di sini saja...?"
tantang Rara Gawing.
"Tidak. Ini bukan tempat yang
tepat untuk membicarakan sesuatu yang
sangat suci dan mulia."
"Hm...," Rara Gawing mengerutkan
keningnya dengan bibir menggumam
perlahan.
Beberapa saat Rara Gawing terdiam
dengan kening sedikit berkerut
Sebentar kemudian, bibimya yang tipis
dan selalu memerah itu menyunggingkan
senyuman tipis.
"Baik, aku akan mengikutimu. Tapi
dengan satu syarat," tegas Rara
Gawing.
"Syarat apa yang kau ajukan, Rara
Gawing?"
"Kau harus dapat mengalahkanku
dulu, tanpa bantuan orang-orangmu,"
kata Rara Gawing sambil tersenyum.
"Kau terlalu mengada-ada, Rara
Gawing. Aku tidak ingin melukaimu."
"Terserah...! Jika kau tolak
tawaranku, jangan harap bisa membawaku
begitu saja. Dan aku tidak menjamin
keselamatan orang-orangmu!" ketus
sekali nada suara Rara Gawing.
"Baiklah, jika itu keinginanmu,
Rara Gawing. Tapi jangan menyesal jika
kau sampai terluka."
"Hup!"
Rara Gawing tidak banyak bicara
lagi, langsung saja melompat turun
dari punggung kudanya. Manis sekali
gerakannya. Dan tanpa menimbulkan
suara sedikit pun, gadis itu mendarat
ringan di tanah yang berumput cukup
tebal. Sementara si Penunggang Kuda
Bertopeng masih tetap duduk di atas
punggung kudanya. Dipandanginya gadis
itu beberapat saat. Kemudian dengan
satu gerakan ringan, manusia berbaju
serba hitam dan bertopeng itu melompat
turun dari punggung kudanya. Begitu
manis sekali gerakannya, pertanda ilmu
meringankan tubuhnya sudah mencapai
tingkat tinggi.
"Silakan. Kau boleh mulai lebih
dulu, Rara Gawing," tantang si
Penunggang Kuda Bertopeng, meminta
Rara Gawing menyerang lebih dulu.
"Hm.... Kau terlalu menganggap
enteng diriku, Kisanak," dengus Rara
Gawing agak menggumam.
Gadis itu segera membuat beberapa
gerakan manis, dengan kebutan
pedangnya. Sementara si Penunggang
Kuda Bertopeng hanya memperhatikan
saja. Bola matanya tampak tidak
berkedip, tersembunyi di balik topeng
kayu hitamnya.
"Tahan seranganku, Kisanak!
Hiyaaat..!"
Sambil berteriak keras
menggelegar, Rara Gawing melompat
cepat bagai kilat menyerang laki-laki
berbaju serba hitam yang menutupi
wajahnya dengan topeng kayu itu. Cepat
sekali serangannya, sehingga kelebatan
pedangnya sampai sulit diikuti
pandangan mata biasa.
"Uts! Hap...!"
Tapi si Penunggang Kuda Bertopeng
itu bisa menghindari serangan-serangan
Rara Gawing yang begitu cepat dan
dahsyat Gerakan-gerakannya begitu
cepat dan lincah. Liukan tubuhnya pun
manis sekali. Sehingga, beberapa
tebasan pedang Rara Gawing tidak
sampai menyentuh tubuhnya.
Namun Rara Gawing tidak mau
menyerah begitu saja. Gadis itu terus
melancarkan serangan gencar. Beberapa
jurus sudah cepat dikeluarkan secara
ber-ganri-gantL Tapi sampai sudah
habis lima jurus, belum juga dapat
mendesak orang penuh misteri yang ber
juluk si Penunggang Kuda Bertopeng
ini.
"Sudah lima jurus, Rara Gawing,"
desis si Penunggang Kuda Bertopeng
mengingatkan.
"Jangan mengejekku! Hiyaaat..!"
Rara Gawing jadi tidak bisa lagi
mengendalikan diri, dan malah
menyerang semakin hebat saja. Dan ini
sangat dirasakan si Penunggang Kuda
Bertopeng, sehingga terpaksa harus
berjumpalitan menghindarinya.
"Edan...! Pertarungan ini
dianggapnya sungguh-sungguh. Hhh! Aku
harus segera menghentikannya sebelum
telanjur," dengus Penunggang Kuda Ber-
topeng dalam hati.
Sedangkan Rara Gawing terus saja
melancarkan serangan menggunakan
jurus-jurus dahsyat dan cepat luar
biasa. Sama sekali tidak disadari
kalau apa yang dilakukannya ini justru
membuat si Penunggang Kuda Bertopeng
semakin banyak menarik keluar jurus-
jurus-nya. Dan ini memang disengaja.
Si Penunggang Kuda Bertopeng itu ingin
mengetahui, sampai di mana tingkat
kepandaian putri Tumenggung Pratala
ini. Tapi hatinya juga jadi khawatir,
karena tampaknya Rara Gawing sudah
tidak bisa lagi mengendalikan diri.
Bahkan serangan-serangan gadis itu
semakin dahsyat saja dan sangat
membahayakan. Bukan saja bagi lawan,
tapi juga bagi dirinya sendiri.
"Cukup, Rara Gawing! Hiyaaat...!"
Tiba-tiba saja si Penunggang Kuda
Bertopeng melentingkan tubuhnya ke
udara cepat bagai kilat. Dua kali
tubuhnya berputaran di udara, lalu
meluruk ke belakang Rara Gawing,
sebelum gadis itu menyadari. Si
Penunggang Kuda Bertopeng sudah
melepaskan satu pukulan lunak ke
punggung gadis itu.
Desss!
"Akh...!" Rara Gawing terpekik
agak tertahan.
Gadis itu terhuyung-huyung ke
belakang, begitu punggungnya terkena
pukulan lunak dari si Penunggang Kuda
Bertopeng. Dan begitu tubuhnya
berputar berbalik, si Penunggang Kuda
Bertopeng sudah melompat cepat sambil
melepaskan satu totokan yang ringan ke
bagian bahu kiri gadis ini. Begitu
cepat se rangannya sehingga Rara
Gawing tidak sempat lagi berkelit
Terlebih lagi, keseimbangan tubuhnya
memang belum begitu sempurna. Dan....
Jleb!
"Akh...!" lagi-lagi Rara Gawing
terpekik tertahan.
Hanya sebentar saja Rara Gawing
masih mampu berdiri, kemudian tubuhnya
ambruk menggelimpang di tanah tidak
bergerak-berak lagi. Hanya kepalanya
saja yang masih bisa digerakkan.
Sedangkan seluruh tubuhnya terasa
begitu lemas, tak dapat digerakkan
lagi Rara Gawing sadar kalau dia sudah
terkena totokan yang melumpuhkan
seluruh anggota tubuhnya.
"Bawa dia. Jangan sampai
terluka...!" perintah si Penunggang
Kuda Bertopeng.
Setelah memberi perintah, si
Penunggang Kuda Bertopeng langsung
melompat naik ke punggung kudanya.
Sementara dua orang laki-laki berbaju
hitam sudah bergerak menggotong Rara
Gawing yang tertotok lemas tak berdaya
lagi, lalu meletakkannya di punggung
kuda gadis itu sendiri. Sebentar
kemudian, gadis itu sudah digiring
berpuluh-puluh orang berbaju serba
hitam. Rara Gawing tidak tahu, ke mana
dibawa pergi. Dan dia tidak berdaya
lagi untuk memberontak, karena seluruh
tubuhnya kini sudah lumpuh tertotok.
Teriebih lagi, kesadarannya semakin
berkurang, hingga akhimya tidak bisa
mengingat apa-apa lagi.
* * *
LIMA
Sementara itu di dalam penjara
Kerajaan Godaka, Tumenggung Pratala
jadi terkejut bukan main. Ternyata di
dalam penjara ini bukan hanya dirinya
sendiri yang dijebloskan. Tapi, hampir
semua tumenggung dan adipati ada di
sini. Mereka semua juga tidak
mengerti, kenapa dimasukkan ke dalam
penjara dengan tuduhan yang sama
sekali sulit dimengerti. Mereka semua
jadi bertanya-tanya, apa sebenamya
yang sedang terjadi di kerajaan ini?
Tumenggung Pratala memperhatikan
kalau masih ada dua tumenggung dan
seorang adipati yang tidak ada di
dalam penjara ini. Mereka adalah
Tumenggung Abiguna, Tumenggung Baliga,
dan Adipati Mahesa. Tapi, itu bukan
suatu bukti kalau merekalah sebenarnya
yang punya rencana memberontak. Dan
Tumenggung Pratala lebih percaya kalau
semua ini tentu sudah direncanakan.
Bahkan bukannya tidak mungkin kalau
salah satu dari mereka yang ada dalam
penjara ini termasuk ke dalam kelompok
pemberontak itu. Hanya saja, terlalu
sulit untuk membuktikannya. Bahkan
juga bukannya tidak mungkin kalau
tidak ada pemberontakan, tapi hanya
sebuah permainan yang memang sudah
diatur. Tapi, entah apa maksudnya
semua ini. Dan itu masih menjadi suatu
pertanyaan besar benak Tumenggung
Pratala.
Seorang Adipati yang usianya
beberapa tahun lebih muda dari
Tumenggung Pratala menghampirinya. Dan
memang sejak dijebloskan ke dalam
penjara ini, Tumenggung Pratala selalu
menyendiri, tidak bergabung dengan
yang lainnya. Dia hanya memperhatikan
saja wajah-wajah murung dengan
segudang pertanyaan dan
ketidakmengertian atas semua kejadian
ini. Tumenggung Pratala memandang
Adipati Balengka yang masih berusia
sekitar tiga puluh lima tahun Adipati
itu menghenyakkan tubuh di sampingnya.
"Aku benar-benar tidak mengerti
semua ini, Kakang Pratala," desah
Adipati Balengka setengah mengeluh.
Nada suaranya terdengar begitu
periahan.
“Tidak ada seorang pun yang bisa
mengerti, Rayi Balengka," ujar
Tumenggung Pratala juga perlahan
suaranya.
"Apa kita semua akan terus
mendekam di sini tanpa ada kepastian,
Kakang?" tanya Adipati Balengka,
seperti untuk diri sendiri.
"Entahlah...," sahut Tumenggung
Pratala.
"Rasanya tidak sulit untuk keluar
dari sini, Kakang. Penjagaan tidak
ketat. Hanya ada empat prajurit saja
di depan," jelas Adipati Balengka
lagi.
"Jangan berpikir begitu, Rayi.
Bisa-bisa malah memperburuk keadaan
yang sudah tidak menentu ini. Itu sama
saja memberontak, Rayi."
"Sudah terlanjur, Kakang. Selama
ini, tidak ada sedikit pun pikiran
untuk memberontak. Malah kita semua
dituduh begitu. Dan sekarang..., harus
meringkuk di dalam penjara tanpa
tuduhan dan kesalahan pasti," dengus
Adipati Balengka seperti putus asa.
"Aku yakin, cepat atau lambat
kita akan dihukum gantung sebagai
pemberontak. Padahal, kita tidak
pernah melakukan pemberontakan.
Apalagi merencanakannya, Kakang.
Sekarang sudah telanjur. Rasanya aku
tidak bisa tinggal diam begitu saja.
Dalang dari semua ini tidak mungkin
bisa diketahui, jika kita hanya
mendekam saja di dalam penjara.
Kakang..., mereka semua sudah setuju
untuk keluar dari dalam penjara ini
Mereka tinggal menunggu keputusanmu,
karena kau yang tertua di antara kami,
Kakang."
Tumenggung Pratala terdiam.
Pandangannya beredar berkeliling,
merayapi semua orang yang ada dalam
ruangan tahanan ini. Memang di antara
mereka, hanya Tumenggung Pratala yang
paling tua. Dan mereka semua juga
memandanginya, seperti berharap
mendengar keputusannya untuk keluar
dari dalam tahanan ini secara paksa.
Perlahan Tumenggung Pratala
menggelengkan kepalanya sambil
mendesah, dan menghembuskan napas
panjang.
"Tidak.... Kalian jangan berbuat
bodoh. Lari dari sini tidak akan
menyelesaikan masalah, dan malah akan
memperburuk keadaan. Seharusnya,
kalian me nyadari hal itu. Kita semua
sudah terjebak ke dabm keadaan yang
sulit dimengerti. Kita tidak tahu,
rencana apa yang ada di balik semua
ini...," kata Tumenggung Pratala
perlahan, dengan suara mendesah.
"Tapi kita tidak punya pilihan
lain lagi, Kakang," desak Adipati
Balengka.
"Apa kau pikir dengan lari dari
sini kita akan bebas, dan semua
persoalan akan selesai...? Tidak,
Rayi.... Hal itu malah akan bertambah
buruk. Aku tahu, memang itu yang
diinginkan mereka untuk menyingkirkan
kita semua. Dan justru kita akan mati
sebagai pemberontak bila kalian tetap
lakukan itu. Tidakkah kalian berpikir
kalau kita semua sudah terjebak...?"
agak tinggi nada suara Tumenggung
Pratala.
Tidak ada seorang pun yang
membuka suara. Mereka saling melempar
pandang, mempertimbangkan kata-kata
yang diucapkan Tumenggung Pratala
barusan. Sedangkan Adipati Balengka
seperti tidak puas terhadap jalan
pikiran Tumenggung Pratala. Dia
kemudian bangkit dari duduknya di
samping Tumenggung Pratala, dan
berdiri di tengah-tengah ruangan
tahanan ini. Pandangannya beredar
berkeliling, merayapi sekitamya.
"Aku akan melakukannya sendiri.
Dan tidak ada seorang pun yang bisa
menghalangi Adipati Balengka. Tidak
ada seorang pun yang bisa memenjarakan
Adipati Balengka...!" lantang sekali
suara Adipati Balengka. "Siapa di
antara kalian yang ingin tetap tinggal
di sini, dan menunggu nasib seperti
Kakang Tumenggung Pratala...?"
Seorang berusia tiga puluh tahun,
melangkah maju mendekati Adipati
Balengka. Namanya, Tumenggung
Wirapati. Dia berdiri tegak di depan
Adipati Balengka. Tatapan matanya
begitu tajam, menusuk langsung ke bola
mata Adipati Balengka.
"Apa maksudmu mengajak kami
memberontak keluar dari sini, Kakang
Balengka...?" terasa dingin sekali
nada suara Tumenggung Wirapati.
"Aku hanya ingin membebaskan kau
dan kalian semua dari tempat kotor
ini," sahut Adipati Balengka.
"Dengan cara memberontak...?"
sinis sekali nada suara Tumenggung
Wirapati.
"Hanya itu jalan satu-satunya.
Kita tidak bisa mencari, siapa dalang
dari semua ini dengan hanya berdiam
diri saja menunggu di sini."
"Sudah kutemukan salah seorang
dari perusuh itu, Adipati
Balengka...," semakin sinis nada suara
Tumenggung Wirapati.
Adipati Balengka tampak terkejut
mendengar kata-kata bemada begitu
sinis. Dan seketika itu juga, wajahnya
langsung memucat begitu melihat semua
adipati dan tumenggung yang terkurung
di kamar tahanan ini bergerak
mendekatinya. Sinar mata mereka
menyorot tajam menusuk ke arahnya.
Adipati Balengka melangkah mundur
mendekati pintu jeruji yang terbuat
dari besi baja berwarna hitam. Empat
orang penjaga yang berada di depan
pintu, hanya memperhatikan saja tanpa
berbuat sesuatu. Sementara Adipati
Balengka sudah merapat di pintu jeruji
besi kamar tahanan ini.
Wajah adipati itu semakin pucat
pasi. Sementara semua adipati dan
tumenggung yang ada di ruang tahanan
ini terus bergerak semakin mendekat
saja dengan mata menyorot tajam. Tapi
pada saat jarak mereka sudah tinggal
beberapa langkah lagi, tiba-tiba saja
Tumenggung Pratala yang sejak tadi
hanya diam memperhatikan, melompat
cepat bagai kilat. Dan tahu-tahu saja
dia sudah berdiri di tengah-tengah.
"Tahan...!" sentak Tumenggung
Pratala lantang menggelegar.
***
Mereka semua langsung berhenti
melangkah. Tumenggung Pratala merayapi
wajah mereka semua secara bergantian.
Lalu, tatapannya beralih pada Adipati
Balengka yang tampak pucat pasi,
dengan seluruh wajah dan leher
bersimbah keringat. Sementara empat
orang prajurit penjaga di depan pintu
kamar tahanan ini masih tetap diam,
tak melakukan tindakan apa pun juga.
Mereka hanya memperhatikan saja dari
jarak sekitar satu batang tombak di
depan pintu.
"Ada apa ini...?" tanya
Tumenggung Pratala meminta penjelasan.
“Tidak ada seorang pun yang ingin
memberontak, Kakang Tumenggung
Pratala. Bahkan kami semua rela mati
di sini, demi Gusti Prabu Bojananta.
Tapi si pengkhianat ini..., berani-
beraninya menghasut untuk memberontak.
Jelas, dia salah seorang pengkhianat-
pengkhianat itu, Kakang Tumenggung,"
sahut Tumenggung Wirapati.
"Benar...!" sambut yang lain
serempak Tumenggung Pratala menatap
tajam Adipati Balengka yang masih
kelihatan pucat wajahnya. Keringat
sebesar butir-butir jagung, menitik
deras di seluruh wajah dan lehemya.
Tubuh adipati yang masih cukup muda
usianya itu kelihatan gemetar seperti
terserang demam.
"Kenapa kau lakukan itu,
Rayi...?" tanya Tumenggung Pratala
tidak mengerti sikap Adipati Balengka.
"Aku..., aku tidak mengerti.
Kenapa kalian menuduhku berkhianat?
Aku hanya ingin mengajak kalian bebas
dari tempat ini...," jelas Adipati
Balengka. Suaranya bergetar dan
tergagap.
"Mereka semua rela, meskipun
harus mati di kamar tahanan ini.
Seharusnya, kau tidak perlu bersikap
aneh seperti itu. Kau tahu, apa
jadinya dalam keadaan seperti sekarang
ini...? Tidak seorang pun yang bisa
dipercaya lagi. Sedangkan sikapmu,
bagi mereka adalah sikap seorang
pengkhianat yang me-coba menjerumuskan
mereka ke lembah neraka yang lebih
dalam lagi. Seharusnya kau bisa
menyadari itu, Rayi Balengka," ujar
Tumenggung Pratala, yang menyesalkan
sikap Adipati Balengka.
"Tidak ada gunanya lagi banyak
bicara, Kakang. Dia pasti salah
seorang dari mereka...!" sentak
Tumenggung Wirapati lantang suaranya.
"Sebaiknya, kita gantung saja sekarang
juga...!"
"Ya, benar...!"
"Gantung pengkhianat itu...!"
"Gantung sampai mati...!"
Ruangan yang berukuran tidak
begitu besar ini seakan-akan hendak
runtuh oleh riuhnya sorak-sorai mereka
yang meminta agar Adipati Balengka
digantung sekarang juga. Dan ini
membuat Adipati Balengka semakin pucat
wajahnya. Seluruh tubuhnya bergetar
dahsyat, tidak sanggup membayangkan
kalau sampai digantung di dalam rungan
tahanan yang kotor begini.
Mereka sudah bergerak hendak
meringkus Adipati Balengka. Untungnya,
Tumenggung Pratala yang lebih tua dan
dihormati oleh para adipati dan
tumenggung itu segera bertindak. Dia
mencegah tindakan brutal dari mereka
yang sudah dihinggapi perasaan marah,
akibat tindakan gegabah yang dilakukan
Adipati Balengka.
"Tahan...!" bentak Tumenggung
Pratala.
Seketika itu juga, keributan yang
terjadi di dalam kamar tahanan ini
langsung berhenti begitu terdengar
bentakan keras menggelegar. Sementara
Tumenggung Pratala sudah berdiri tegak
membelakangi Adipati Balengka yang
berdiri dengan punggung merapat di
pintu jeruji besi ruangan tahanan ini.
"Sadarlah.... Kalian adalah para
Adipati dan Tumenggung yang terhormat
di negeri ini. Kalian bukan gerombolan
penjahat. Apakah kalian ingin berbuat
seperti gerombolan penjahat liar...?
Tidakkah kalian menyadari akan diri
dan kedudukan kalian..?" lantang
sekali suara Tumenggung Pratala.
Tak ada seorang pun yang
berbicara lagj. Namun dari sinar mata
mereka, masih menyimpan kemarahan pada
Adipati Balengka yang kini berada
dalam lindungan Tumenggung Pratala.
Satu persatu laki-laki separuh baya
itu merayapi para Tumenggung dan
Adipati yang berada di depannya.
Mereka semua langsung tertunduk,
seakan-akan tidak sanggup membalas
sinar yang menyorot begitu tajam.
Sementara Adipati Balengka sedikit
merasa lega, karena saat ini masih
bisa bemapas dalam lindungan
Tumenggung Pratala, yang dtketahuinya
begitu ditakuti dan dihormati semua
Adipati dan Tumenggung Kerajaan Godaka
ini.
Perlahah Tumenggung Pratala
memutar tubuhnya, berbalik menghadap
Adipati Balengka lagi. Ditatapnya
Adipati muda itu dengan sinar mata
penuh selidik. Sedangkan Adipati
Balengka hanya tertunduk saja. Dengan
punggung tangan, disekanya keringat
yang membanjiri wajah dan lehernya.
"Siapa yang menyuruhmu melakukan
ini, Balengka?" tanya Tumenggung
Pratala, tidak lagi memanggil dengan
sebutan rayi.
"Aku..., aku...," Adipati
Balengka jadi tergagap.
"Jawab pertanyaanku dengan jujur,
Balengka," desis Tumenggung Pratala
dingin dan menggetarkan.
"Aku tidak tahu maksudmu,
Kakang...," sahut Adipati Balengka,
semakin tergagap suaranya.
"Sudah, Kakang. Tidak periu
banyak tanya lagi..," selak Tumenggung
Wirapati tidak sabar.
"Diam kau, Wirapati...!" sentak
Tumenggung Pratala seraya mendelik.
Tumenggung Wirapati terdiam
mendapat bentakan dari Tumenggung
Pratala. Kakinya bergeser dua tiridak
ke belakang. Sementara yang lain tidak
ada lagi yang berani membuka suara.
Mereka semua tahu, jika Tumenggung
Pratala sudah ikut turun tangan, tidak
mungkin dicampuri lagi Dan mereka juga
tahu, tidak mungkin Tumenggung Pratala
bertindak berat sebelah. Siapa pun di
antara mereka yang menyelusup sebagai
pengkhianat, pasti akan ketahuan juga.
Dan mereka percaya dengan kecerdikan
serta cara-cara yang dilakukan
Tumenggung Pratala dalam menghadapi
persoalan seperti ini.
"Aku bisa menolongmu agar tidak
digantung mereka. Itu kalau kau mau
berkata jujur padaku, Balengka," desak
Tumenggung Pratala lagi Sorot matanya
tampak masih tetap tajam, menusuk
langsung ke bola mata Adipati
Balengka.
"Apa lagi yang harus kukatakan,
Kakang? Aku bukan pengkhianat.... Maaf
kalau aku tadi khilaf," sahut Adipati
Balengka masih dengan suara bergetar.
"Kau berkata jujur, Balengka...?"
desak Tumenggung Pratala.
"Aku..., aku...," Adipati
Balengka jadi tergagap.
"Siapa yang menyuruhmu,
Balengka?" Tumenggung Pratala terus
mendesak.
"Tid..., tidak ada," sahut
Adipati Balengka semakin tergagap.
"Kau begitu gugup, Balengka,"
kata Tumenggung Pratala terus menatap
tajam ke bola mata Adipati muda ini.
Adipati Balengka kelihatan
semakin gelisah saja. Kepalanya
menoleh ke kanan dan ke kiri, menatap
empat orang prajurit penjaga yang sama
sekali tidak bergeming. Sama sekali
adipati itu tidak mampu membalas
tatapan mata Tumenggung Pratala yang
begitu tajam menusuk.
***
Dan baru saja Tumenggung Pratala
ingin bertanya lagi, tiba-tiba saja
empat orang prajurit penjaga
membungkukkan tubuhnya. Kemudian,
muncul empat orang berbaju serba merah
dengan wajah ditutupi kain berwarna
merah pula. Hanya dua lubang kecil
saja yang ada untuk sepasang mata.
Salah seorang berbaju merah itu
berbicara pada empat orang prajurit
penjaga. Kemudian, salah seorang
prajurit melangkah mendekati pintu
kamar tahanan itu. Lalu, dibukanya
kunci pintu, dan ditariknya Adipati
Balengka keluar. Bergegas ditutupnya
pintu tahanan itu kembali, dan
dikuncinya.
"Kau ikut aku, Balengka," ujar
salah seorang berbaju serba merah yang
tadi berbicara dengan prajurit
penjaga.
Adipati Balengka menatap sebentar
pada Tumenggung Pratala, kemudian
melangkah mengikuti dua orang berbaju
serba merah. Kemudian, disusul dua
orang lagi yang juga mengenakan baju
wama serba merah. Sedangkan empat
orang prajurit kembali ke tempatnya
berjaga. Kepergian Balengka bersama
empat orang berbaju serba merah itu
diiringi pandangan mata para Adipati
dan Tumenggung yang berada dalam kamar
tahanan.
Sementara Adipati Balengka yang
diapit dua orang berbaju merah di
depan dan dua orang lagi di belakang,
terus berjalan menyusuri lorong
tahanan yang hanya diterangi beberapa
obor terpancang di setiap kiri dan
kanan dindingnya. Mereka terus
berjalan tanpa berbicara sedikit pun,
sampai tiba di depan pintu keluar. Dua
orang prajurit penjaga membungkuk
memberi hormat Salah seorang segera
membuka pintu yang terbuat dari besi
baja berukuran tebal itu.
Mereka terus melangkah keluar
dari bangunan bawah tanah penjara ini.
Adipati Balengka segera menghirup
udara segar dalam-dalam, begitu berada
di luar penjara. Matahari yang
bersinar terang, membuat matanya jadi
menyipit silau. Dia terus digiring
menuju ke bangunan istana yang berdiri
megah. Beberapa prajurit yang ada di
sekitar bangunan penjara dan istana
hanya memandangi saja.
Belum ada yang mengeluarkan
suara, sampai mereka tiba di sebuah
ruangan berukuran tidak begitu besar.
Hanya ada dua pintu di ruangan ini.
Satu pintu dilewati tadi, dan satu
pintu lagi yang tertutup rapat
"Kau duduk di sini, Balengka,"
ujar salah seorang berbaju serba merah
sambil menekan pundak Adipati
Balengka. Mau tak mau, adipati berusia
muda itu terduduk di kursi yang
terbuat dari rotan.
Sedangkan empat orang berbaju
serba merah itu berdiri berjajar di
belakangnya. Pada saat itu, pintu yang
langsung menghadap mereka terbuka
perlahan-lahan. Maka empat orang
berbaju serba merah itu segera
membungkukkan tubuh, tepat di saat
seorang laki-laki tua berjubah serba
putih yang cukup longgar melangkah
masuk. Dia diiringi dua orang pemuda
yang juga mengenakan baju wama putih
bersih dan cukup ketat, sehingga
membentuk tubuh yang tegap, padat, dan
berisi.
"Gusti...."
Adipati Balengka jadi teriongong,
seakan-akan tidak percaya dengan apa
yang dilihatnya saat ini. Cepat-cepat
dijatuhkan dirinya ke lantai, dan
berkitut Keningnya dirapatkan di
lantai. Seluruh tubuhnya jadi bergetar
hebat Sementara keringat dingin
sebesar butir jagung menitik deras
membasahi seluruh tubuhnya. Sedangkan
laki-laki tua yang masih kelihatan
tegap dan berjubah putih longgar itu
mendekati Adipati Balengka. Ditepuk-
tepuknya pundak adipati itu dengan
lembut
"Bangunlah, Anakku Adipati
Balengka...," ujar laki-laki tua itu.
Lembut sekali nada suaranya.
"Ampunkan hamba, Gusti...," lirih
sekali suara Adipati Balengka.
"Bangunlah, dan duduk di
kursimu," ujar laki-laki tua itu lagi,
masih tetap lembut suaranya.
Perlahan Adipati Balengka
bangkit, kemudian duduk di kursi rotan
yang tadi didudukinya. Sedangkan laki-
laki tua berbaju putih longgar itu
duduk tidak jauh di kursi kayu jati
berukir, berwarna kuning keemasan.
Alas kursi itu dari kain beludru
berwarna merah. Sementara empat orang
berbaju serba merah yang berdiri di
belakang Adipati Balengka, segera
berpindah ke belakang laki-laki tua
itu. Mereka melepaskan kain yang
menyelubungi seluruh kepalanya.
"Oh...?"
Adipati Balengka jadi semakin
terperangah, begitu empat orang
berbaju serba merah itu membuka kain
selubungnya. Saat itu juga, kakinya
terasa seperti sudah tidak berpijak
lagi pada bumi. Napasnya seakan-akan
berhenti bekerja, dan jantungnya
begitu cepat berdetak. Keringat
semakin banyak mengucur di seluruh
tubuhnya. Sungguh.... Saat ini dia
merasakan seolah-olah sudah tidak lagi
hidup.
* * *
ENAM
Apa yang dirasakan Adipati
Balengka saat ini memang tidak
berlebihan. Karena mereka yang ada di
depannya saat ini adalah orang-orang
yang patut dihormati. Memang, mereka
adalah orang-orang utama di Kerajaan
Godaka ini Laki-laki tua berjubah
serba putih itu adalah ayah kandung
Prabu Bojananta, yang sebelumnya
menjadi raja di Kerajaan Godaka ini.
Sedangkan salah satu orang yang
mengenakan baju serba merah adalah
Prabu Bojananta sendiri.
Sementara tiga orang yang
mendampingi adalah Tumenggung Abiguna,
Tumenggung Baliga, dan Adipati Mahesa.
Yang paling lama menduduki jabatan
adipati, selama Prabu Bojananta belum
menjadi raja di Kerajaan Godaka Ini,
adalah Adipati Mahesa. Lalu, dua orang
lagi yang mengenakan baju berwarna
putih juga adalah dua orang panglima
kepercayaan Prabu Podaralaga, ayah
kandung dari Prabu Bojananta. Hal
itulah yang membuat Adipati Balengka
benar-benar seperti terlepas nyawanya
saat ini.
"Aku sudah tahu, apa yang terjadi
di dalam kamar tahanan. Kenapa kau
ingin memberontak pada kerajaan ini,
Balengka?" terdengar lembut suara
Prabu Podaralaga. Tapi, ada sedikit
tekanan pada nada suaranya yang begitu
dalam.
"Hamba.... Hamba tidak
memberontak, Gusti,” sahut Adipati
Balengka tergagap.
"Pikirkanlah dengan benar,
Balengka. Katakan, siapa-siapa saja
temanmu yang ingin menggulingkan
takhta?" desak Prabu Bojananta tampak
tidak sabar.
"Ampunkan hamba, Gusti. Hamba
benar-benar tidak ada maksud
memberontak. Memikirkan saja, hamba
tidak berani, Hamba benar-benar tidak
tahu rencana itu, Gusti," rintih
Adipati Balengka memelas.
"Hm...," gumam Prabu Podaralaga
perlahan.
Ditatapnya dalam-dalam wajah
Adipati Balengka yang tertunduk
menekuri ujung jari kakinya. Sebentar
kemudian wajahnya berpaling pada dua
orang berbaju putih yang berdiri tepat
di belakangnya. Dua orang pemuda
berbaju serba putih itu langsung
membungkukkan tubuh, kemudian
melangkah menghampiri Adipati
Balengka. Salah seorang dari pemuda
itu memang dikenali Adipati Balengka
sebagai adik kandung Panglima Gajah
Pati yang juga seorang panglima perang
kerajaan ini. Namanya Panglima Gajah
Sodra. Sedangkan yang satunya lagi
adalah Panglima Gotama.
Dengan sikap hormat, mereka
membangunkan Adipati Balengka hingga
berdiri, lalu membawanya keluar dari
ruangan ini. Tiga orang berbaju merah
yang tadi bersama-sama Prabu
Bojananta, segera keluar mengiringi
Adipati Balengka yang dikawal dua
orang panglima berbaju serba putih
itu. Kini di dalam ruangan yang
berukuran tidak begitu besar itu,
tinggal Prabu Bojananta dan ayahnya
saja.
"Mungkin berita itu tidak benar,
Ayahanda Prabu. Aku khawatir terjadi
sesuatu terhadap mereka," duga Prabu
Bojananta setelah tinggal mereka
berdua saja di ruangan ini. "Aku
merasa tidak akan ada hasilnya dengan
cara seperti ini."
Sedangkan laki-laki tua berjubah
putih yang walaupun tidak menjabat
sebagai raja lagi, tapi tetap
dipanggil dengan sebutan prabu, hanya
diam saja. Dia bangkit berdiri dan
melangkah mendekati jendela yang
tertutup rapat. Perlahan-lahan
dibukanya jendela itu lebar-lebar.
Lalu, tubuhnya berbalik, menatap
putranya yang kini menggantikan
kedudukannya sebagai raja di Kerajaan
Godaka ini.
"Barangkali bukan salah seorang
dari mereka, Ayahanda Prabu. Mungkin
salah seorang patih, atau pembesar
pembesar lainnya yang luput dari
perhatian kita," kata Prabu Bojananta
lagi.
"Naluriku tidak pernah salah,
Bojananta," ujar Prabu Podaralaga,
agak dalam nada suaranya.
“Tapi siapa...? Desas-desus ini
sudah menyebar, dan membuat seluruh
rakyat jadi resah. Aku tidak ingin
berlarut-larut, Ayah. Yang jelas,
secepatnya harus dicari penyelesaian
agar tidak ada penyesalan di belakang
hari."
Prabu Podaralaga kembali terdiam.
"Selama ini aku tidak pernah
mendengar adanya rencana itu, Ayah?"
tanya Prabu Bojananta.
"Percayalah, ada salah seorang
Adipati atau Tumenggung yang akan
melakukan pemberontakan di Kerajaan
Godaka!" tegas Prabu Podaralaga, agak
dalam nada suaranya.
"Menahan mereka sama sekali tidak
berguna, Ayah. Bahkan akan membuat
kesulitan baru lagi Aku benar-benar
tidak mengerti semua ini. Tiba-tiba
saja Ayah keluar dari pertapaan, dan
mengira kalau salah seorang dari
Adipati dan Tumenggung merencanakan
suatu pemberontakan. Sedangkan selama
ini, aku tidak pernah mendengar adanya
rencana seperti itu. Terlebih lagi
dari mereka, Ayah. Sebenamya, dari
mana Ayah mendapat berita seperti
itu...?"
"Kau sudah mulai meragukan
diriku, Bojananta," agak mendesis
suara Prabu Podaralaga.
"Maaf, Ayahanda Prabu. Bukan
maksudku untuk meragukan. Tapi keadaan
ini rasanya tidak bisa dibiarkan
terialu lama berlarut-larut. Harus ada
satu penyelesaiannya. Akan semakin
besar pengaruhnya bila mereka tidak
segera dibebaskan, Ayah."
"Berpikirlah secara jernih,
Bojananta."
Prabu Bojananta ingin bicara
lagi. Tapi sebelum sempat membuka
mulutnya, laki-laki tua berbaju serba
putih itu sudah melangkah meninggalkan
ruangan ini. Dia melalui pintu yang
tadi dilalui, saat masuk ke dalam
ruangan ini. Kini tinggal Prabu
Bojananta sendbi di tempat itu. Dia
duduk merenung memikirkan keadaan yang
semakin bertambah tidak menentu ini.
Sedangkan sampai sekarang, belum jelas
kebenaran berita yang dibawa ayahnya,
hingga sampai keluar dari pertapaan.
"Aku yakin, ada sesuatu yang
tidak beres. Hm..., aku harus
menyelidiki sendiri tanpa seorang pun
boleh tahu. Tapi dari mana aku harus
memulai...?" gumam Prabu Bojananta
berbicara sendiri dalam hati.
***
Malam sudah merayap cukup larut
menyelimuti seluruh wilayah Kerajaan
Godaka. Prabu Bojananta menuntun
kudanya perlahan-lahan, keluar dari
benteng istana melalui jalan rahasia
yang terietak di bagian Timur bangunan
megah itu. Tak ada seorang pun yang
mengetahui, karena pintu rahasia itu
berada di dalam taman kaputren yang
hanya keluarga istana saja yang boleh
memasukinya.
"Heh...?!"
Prabu Bojananta jadi terkejut
begitu berada di luar. Kedua bola
matanya terbeliak lebar, hampir tidak
percaya dengan apa yang sedang
dilihatnya.
Belum lagi hilang rasa
keterkejutannya, tiba-tiba saja tiga
orang berpakaian serba hitam
berlompatan menyerang. Golok-golok
mereka yang berkilatan, ber-kelebat
mengincar tubuhnya. Cepat-cepat Prabu
Bojananta melentingkan tubuhnya ke
udara, meninggalkan kudanya yang harus
menerima nasib terbabat sebilah golok
yang tadi diarahkan untuknya. Kuda
berbulu putih bersih itu meringkik
keras, lalu jatuh menggelepar dengan
leher hampir terbabat buntung. Darah
mengucur deras dari leher yang hampir
buntung terbabat golok.
"Keparat..! Kalian harus ganti
nyawa kudaku...!" geram Prabu
Bojananta, seketika memuncak
amarahnya.
Sret!
Kemarahan Prabu Bojananta memang
tidak dapat dikendalikan, tatkala
melihat kuda kesayangannya sudah
tergeletak tak bemyawa lagi. Langsung
pedangnya yang tersimpan di punggung
dicabut
"Mampus kalian! Hiyaaat..!"
Bet!!!
Cepat sekali Prabu Bojananta
meluruk, sambil membabatkan pedang ke
arah kepala salah seorang berbaju
hitam yang menyerangnya tadi. Begitu
cepat gerakan tangannya saat
mengebutkan pedang, sehingga orang
berbaju hitam itu tidak sempat lagi
berkelit. Dan....
Cras!
"Aaa...!"
Jeritan panjang melengking tinggi
terdengar begitu menyayat orang
berbaju serba hitam itu terhuyung-
huyung sambil memegangi kepalanya yang
terbelah terbabat pedang Prabu
Bojananta. Raja yang masih berusia
muda itu tidak puas begitu saja.
Dengan kecepatan bagai kilat, dia
kembali melompat menyerang dua orang
berbaju serba hitam lainnya.
"Hiyaaat..!"
Bet!
Trang!
"Akh...!"
Satu orang yang mencoba menangkis
tebasan pedang Prabu Bojananta jadi
terpekik. Goloknya yang terbang
melayang ke udara tidak bisa lagi
diselamatkan. Sebelum orang itu sempat
menyadari apa yang terjadi, Prabu
Bojananta sudah melepaskan satu ten
dangan menggeledek sambil memutar
tubuhnya. Kembali orang berbaju serba
hitam yang sudah kehilangan goloknya
itu terpekik keras, begitu tendangan
Prabu Bojananta mendarat telak di
dadanya. Seketika itu juga tubuhnya
terpental deras ke belakang, sampai
menghantam sebatang pohon yang cukup
besar hingga hancur berkeping-keping.
Pada saat yang bersamaan, Prabu
Bojananta juga mengebutkan pedangnya
pada satu orang lagi yang berada dekat
dengannya. Tapi belum juga pedangnya
sampai di dada orang itu, tiba-tiba
saja berkelebat sebuah bayangan hitam
pekat Kelebatan bayangan itu masih
dibarengi kilatan cahaya keperakan,
langsung menghantam pedang yang sudah
hempir membelah dada orang berbaju
hitam itu.
Trang!
"Ikh...?!"
Prabu Bojananta terkejut setengah
mati, begitu pedangnya seperti
membentur sebongkah batu cadas yang
teramat keras. Seluruh tangan kanannya
sampai bergetar. Raja muda itu cepat-
cepat melompat mundur sebelum
pedangnya teriepas dari genggaman.
Bergegas pergelangan tangannya yang
bergetar diurut Seakan-akan, seluruh
aliran darah di tangan kanannya jadi
terbalik, saat pedangnya terbentur
cahaya keperakan yang muncul bersamaan
dengan kelebatan bayangan hitam pekat
Dan kini tahu-tahu di depannya
sudah berdiri seseorang yang
mengenakan baju wama hitam pekat
Seluruh wajahnya tertutup topeng kayu
berwama hitam juga. Sebuah gagang
pedang berwama keperakan yang berkilat
tersilang di depan dada. Dan belum
lagi keterkejutan Prabu Bojananta
hilang, tahu-tahu dari balik kegelapan
malam bermunculan orang-orang berbaju
serba hitam yang menghunus golok
telanjang. Mereka langsung mengepung
tempat itu tanpa diperintah lagi.
Prabu Bojananta mengebutkan pedangnya
beberapa kali, kemudian disiiangkan di
depan dada.
"Penunggang Kuda Bertopeng..."
desis Prabu Bojananta langsung
mengenali orang yang tiba-tiba muncul
itu.
"Seharusnya kau tidak perlu
keluar dari istana, Prabu Bojananta,"
agak dalam nada suara laki-laki yang
wajahnya terselubung topeng berwarna
hitam. Memang, dia adalah si
Penunggang Kuda Bertopeng.
"Aku keluar memang ingin
mencarimu, Kisanak. Kau telah
mengacaukan keadaan istana. Apa
maksudmu menyebarkan fitnah yang
begitu keji...?" tegas Prabu Bojananta
langsung bertanya pada pokok
persoalannya.
"Seharusnya kau tidak perlu marah
padaku, Prabu Bojananta. Aku hanya
menjalankan, apa yang menjadi
kewajibanku untuk melindungi Kerajaan
Godaka ini dari rongrongan musuh
terselubung. Bahkan bisa menikammu
dari belakang," tenang sekali jawaban
si Penunggang Kuda Bertopeng.
"Terima kasih..., hhh!" dengus
Prabu Bojananta sinis.
"Seharusnya kau sudah bisa
meringkus mereka, Prabu Bojananta.
Tapi sekarang, sudah terlambat Karena
mereka sudah mulai bergerak, dan sudah
ada di perbatasan Utara. Besok pagi,
mereka pasti sudah sampai, dan
langsung menyerang istana ini," jelas
si Penunggang Kuda Bertopeng.
"Jangan coba-coba mempermainkan
aku untuk yang kedua kali, Kisanak.
Siapa kau sebenarnya...?" masih
terdengar dingin nada suara Prabu
Bojananta.
"Belum saatnya kau tahu tentang
diriku, Prabu Bojananta. Tapi jika
kata-kataku tidak dituruti, kau akan
menyesal seumur hidup. Kedudukanmu
sebagai raja sedang terancam.
Sedangkan kau terlalu dibakar nafsu
amarah."
"Huh! Jangan mengguruiku,
Kisanak...!"
"Hm.... Kau terlalu keras kepala,
Prabu Bojananta. Kau memang masih
terlalu muda untuk menjadi raja.
Baiklah.... Mungkin aku memang harus
turun tangan untuk menyelamatkan
Kerajaan Godaka. Aku tidak lagi bisa
mengandalkanmu. Kau harus turun takhta
malam ini juga, karena kau benar-benar
buta dan tidak bisa melihat keadaan
sekelilingmu. Kau masih terlalu
terbawa nafsu dan darah mudamu," kali
ini nada suara si Penunggang Kuda
Bertopeng terdengar begitu dingin.
"Edan...! Rupanya kau sendiri
yang ingin menjatuhkan takhtaku,
Keparat..!" geram Prabu Bojananta,
langsung memuncak amarahnya.
"Wadyabala...! Kalian semua masuk
ke istana. Kuasai seluruh istana.
Jaga, jangan sampai ada seorang pun
yang keluar!" perintah si Penunggang
Kuda Bertopeng, lantang.
Tanpa menunggu perintah dua kali,
semua orang yang mengenakan baju serba
hitam itu segera bergerak hendak masuk
ke dalam benteng istana dari pintu ra-
hasia. Tapi Prabu Bojananta sudah
lebih dulu melompat cepat, dan berdiri
tegak di depan pintu rahasia itu.
"Langkahi dulu mayatku jika
kalian ingin masuk!" tantang Prabu
Bojananta dengan pedang terhunus di
depan dada.
Semua orang yang mengenakan baju
hitam itu jadi berhenti bergerak, dan
kelihatan ragu-ragu. Sedangkan si
Penunggang Kuda Bertopeng menggereng
geram melihat sikap Prabu Bojananta
yang tidak mengindahkan peringatannya
sama sekali.
"Tindakanmu sudah kelewat batas,
Bojananta! Minggir kau...!" bentak si
Penunggang Kuda Bertopeng itu lantang.
"Heh...!?"
Prabu Bojananta jadi tersentak
kaget setengah mati mendengar bentakan
yang begitu lantang menggelegar.
Tetiebih lagi, manusia penuh teka-teki
yang selalu mengaku berjuluk si
Penunggang Kuda Bertopeng itu langsung
menyebut namanya saja, tanpa ada
panggilan prabu di depan namanya.
"Hup...!"
Tapi belum juga hilang rasa
keterkejutannya, tiba-tiba saja si
Penunggang Kuda Bertopeng sudah
melompat cepat bagaikan kilat ke depan
Prabu Bojananta. Secepat kilat pula,
dilepaskannya satu sodokan ke arah
dada bagian kiri raja muda itu.
"Uts...!"
Tapi dengan gerakan manis sekali,
Prabu Bojananta berhasil berkelit
menghindari sodokan tangan kanan si
Prabu Bojananta. Cepat-cepat tubuhnya
meliuk. Lalu dengan bertumpu pada satu
kaki, Prabu Bojananta segera memutar
tubuhnya sambil melepaskan satu
tendangan berputar yang begitu cepat
luar biasa.
"Yeaaah...!"
"Hup!"
Namun si Penunggang Kuda
Bertopeng sudah melentingkan tubuhnya
ke udara. Sehingga, sepakan kaki kanan
Prabu Bojananta tidak sampai mengenai
tubuhnya. Bahkan begitu berhasil
menjejakkan kakinya kembali ke tanah,
cepat sekali diberikannya satu pukulan
keras menggeledek yang disertai
pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Hiyaaa...!"
"Haiti"
Prabu Bojananta tidak bisa lagi
berkelit Dengan cepat sekali pedangnya
dibabatkan, hendak mematahkan pukulan
si Penunggang Kuda Bertopeng.
Wuk!
"Uts...!"
Cepat-cepat si Penunggang Kuda
Bertopeng menarik tangannya pulang,
sehingga terbebas dari tebasan pedang
Prabu Bojananta. Namun sebelum sempat
berbuat lebih jauh lagi, Prabu
Bojananta sudah melakukan serangan
kembali. Pedangnya berkelebat cepat
bagai kilat mengarah ke pinggang.
Begitu cepat serangannya, sehingga si
Penunggang Kuda Bertopeng tidak sempat
lagi menghindar. Maka, pedangnya cepat
diayunkan untuk menangkis tebasan
pedang raja muda itu.
Bet! Trang!
***
Percikan bunga api memijar, saat
dua pedang beradu keras di samping
pinggang si Penunggang Kuda Bertopeng.
Cepat-cepat si Penunggang Kuda
Bertopeng melompat ke belakang, lalu
membuat beberapa gerakan dengan
kebutan pedang di depan dada, begitu
kakinya menjejak tanah kembali. Pada
saat itu, Prabu Bojananta jadi terpaku
begitu melihat pedang si Penunggang
Kuda Bertopeng sudah melintang di atas
kepala. Padahal di saat itu dia juga
seiesai melakukan gerakan gerakan yang
sama. Pedangnya juga sudah melintang
di atas kepala. Saat itu juga Prabu
Bojananta langsung menyadari kalau
jurus yang mereka miliki sama persis.
"Heh...?! Siapa kau sebenamya?!
Dari mana kau peroleh jurus 'Pedang
Dewa'...?" tanya Prabu Bojananta
terkejut setengah mati.
"Kau benar-benar buta, Bojananta.
Seharusnya kau sudah tahu sejak awal
tadi. Hhh...! Kau benar-benar belum
pantas menduduki takhta Kerajaan Goda-
ka...!" dengus si Penunggang Kuda
Bertopeng, agak dingin nada suaranya.
"Suaramu...?" tersedak suara
Prabu Bojananta.
Dan memang, suara si Penunggang
Kuda Bertopeng kali ini terdengar lain
di telinga Prabu Bojananta. Dan suara
itu seperti mengingatkannya pada se-
seorang yang sudah begitu lama tidak
pernah dijumpai setelah dia menduduki
takhta, sebagai Raja di Kerajaan
Godaka ini Tapi....
"Mustahil.... Tidak mungkin...,"
desis Prabu Bojananta seraya
menggeleng-gelengkan kepala.
Saat itu, si Penunggang Kuda
Bertopeng sudah berdiri tegak kembali.
Dan pedangnya kini dimasukkan ke dalam
sarungnya yang tergantung di pinggang.
Kemudian, sarung pedangnya dilepaskan
dari pinggangnya, dan diberikannya
pada salah seorang yang berada dekat
dengannya. Sementara Prabu Bojananta
hanya memperhatikan saja. Dia benar-
benar tidak mengerti dengan semua
kejadian yang bru saja di alaminya.
Dan raja muda itu juga masih
belum yakin akan dugaannya sekarang
ini. Sungguh dia tidak tahu, apa yang
terjadi. Sementara si Penunggang Kuda
Bertopeng mengangkat tangan kanannya
keatas kepala, lalu perlahan-lahan
melepaskan topeng kayu berwarna hitam
pekat yang salama ini menutupi wajah
dan seluruh kepabnya. Sedangkan Prabu
Bojananta jadi menahan napas, menunggu
untuk melihat wajah asli si Penunggang
Kuda Bertopeng itu. Dan begitu seluruh
topeng terlepas dari kepala orang yang
penuh misteri itu....
"Kau...?!"
Kedua bola mata Prabu Bojananta
jadi terbeliak lebar. Sepertinya dia
sedang bermimpi, dan hampir tidak
percaya dengan apa yang sedang
disaksikannya. Sungguh tidak disangka
kalau orang yang berdiri di depannya
ini adalah paman, yang juga sekaligus
gurunya. Guru yang segala hal, sejak
masih kecil hingga menduduki takhta
Kerajaan Godaka ini.
“Paman Waragati...," desis Prabu
Bojananta masih belum percaya dengan
apa yang dilihatnya.
Sama sekali tidak disangka kalau
si Penunggang Kuda Bertopeng itu
sebenamya adalah Paman Waragati.
Memang sulit dipercaya! Tapi yang
sekarang berdiri di depannya ini
memang benar Paman Waragati, orang
yang sangat dihormari selain ayahnya.
Berkat bimbingan Paman Waragatilah,
maka dia bisa menjadi pemuda yang
tangguh dan patut diperhitungkan.
Bahkan selama ini, dia selalu bersikap
adil dan bijaksana selama menduduki
takhta menggantikan ayahnya.
Tapi memang benar apa yang
dikatakan Paman Waragati, kalau
terkadang darah mudanya masih terasa
sukar dikendalikan. Hal itu memang
disadari. Sebagai seorang putra
tunggal seorang raja, kekerasan
kepalaannya memang sukar dihilangkan
begitu saja. Padahal, dia sudah
berusaha keras untuk menghilangkannya.
Tapi semua itu akan selalu timbul bila
menghadapi suatu persoalan yang begitu
menekan Seperti persoalan yang baru-
baru ini dihadapinya.
"Maafkan aku, Paman...," ucap
Prabu Bojananta seraya membungkuk
memberi hormat
"Sudahlah, Ananda Prabu," ujar
Paman Waragati yang selama ini
menggunakan julukan si Penunggang Kuda
Bertopeng, seraya melangkah
menghampiri raja muda itu.
“Tapi, kenapa Paman muncul dengan
cara seperti ini? Kenapa tidak terang-
terangan saja...?" tanya Prabu
Bojananta langsung
"Itu tidak mungkin, Ananda Prabu.
Jika kemunculanku terang-terangan,
pemberontak itu bisa cepat mengetahui.
Tapi dengan cara seperti ini, aku
justru membuat mereka bingung."
“Tapi hal itu malah semakin
memperburuk keadaan, Paman."
"Tidak juga, karena sebagian
pemberontak sudah kutumpas."
"Maksud, Paman...?"
Paman Waragati hanya tersenyum
saja. Dipanggilnya salah seorang yang
mengenakan baju wama hitam pekat, yang
ternyata murid-murid laki-laki separuh
baya ini.
"Panggil Pendekar Pulau Neraka ke
sini," perintah Paman Waragati.
"Baik, Ki," sahut laki-laki yang
masih berusia muda itu sambil
membungkukkan tubuh memberi hormat
"Pendekar Pulau Neraka...?" desis
Prabu Bojananta seraya mengerutkan
keningnya.
Sementara pemuda berbaju hitam
itu sudah berlalu, Prabu Bojananta
menatap agak dalam pada Paman
Waragati. Dia teringat cerita
Tumenggung Pratala yang sempat
bertarung melawan si Penunggang Kuda
Bertopeng ini, lalu diselamatkan
seorang pemuda asing yang mengaku
berjuluk Pendekar Pulau Neraka. Dan
sebelum Prabu Bojananta selesai dengan
semua pikiran yang berkecamuk di
kepalanya, pemuda berbaju serba hitam
murid laki-laki separuh baya ini sudah
datang kembali bersama seorang pemuda
tampan berbaju kulit harimau. Tampak
seekor monyet kecil berbulu hitam
nangkring di pundak kanannya.
* * *
TUJUH
"Kau harus berterima kasih pada
Pendekar Pulau Neraka, Ananda Prabu.
Karena dialah, maka negeri ini bisa
terselamatkan," kata Paman Waragati.
"Aku.... Aku tidak mengerti
maksudmu, Paman?" Prabu Bojananta
meminta penjelasan.
"Sebenamya aku sudah lama
mencurigai beberapa orang Tumenggung
dan Adipati. Tapi aku tidak bisa
menyelidiki kebenarannya. Dan Pendekar
Pulau Neraka kuminta bantuan untuk
menyelidiknya. Hanya saja, salah satu
Tumenggung yang kucurigai temyata
tidak terbukti. Dialah Tumenggung
Pratala yang benar-benar setia pada
negeri ini. Sedangkan yang benar-benar
pengkhianat adalah Tumenggung Baliga,
Tumenggung Abiguna, dan Adipati
Mahesa. Semua ini terbukti, karena aku
dan Pendekar Pulau Neraka telah
meringkus beberapa orang pengikutnya.
Dan sekarang mereka telah diamankan
tidak jauh dari perbatasan kota
sebelah Utara," jelas Paman Waragati
singkat
"Benar, Gusti. Sehabis aku
menyelamatkan Tumenggung Pratala,
esoknya Paman Waragati menyuruhku
untuk menemuinya. Itu pun secara
sembunyi-sembunyi, yakni lewat
muridnya yang berseragam hitam. Hal
itu dilakukan agar tidak tercium kaum
pemberontak. Dan ketika aku menemui di
rumahnya, Paman Waragati langsung
menceritakan duduk persoalannya,"
jelas Bayu.
"Lalu?" pinta Prabu Bojananta.
"Aku langsung menyelidikinya.
Dalam penyelidikanku, aku berpatokan
pada Tumenggung Pratala yang kau
tangkap. Karena aku yakin, dia adalah
orang setia. Dan begitu aku tahu kalau
para Tumenggung dan Adipati lain juga
kau tangkap, maka dugaanku kian jelas
kalau mereka tak bersalah. Dengan
demikian, kecurigaanku jatuh pada
Tumenggung Baliga, Tumenggung Abiguna,
dan Adipati Mahesa yang justru tidak
kau tangkap. Orang-orang seperti ini
biasanya memang lepas dari perhatian,"
tambah Bayu.
"Para pemberontak tahu kalau aku
merupakan penghalang tujuan mereka.
Dan ketika suatu malam gerombolan
orang berbaju seragam prajurit
menyerang padepokanku, aku berhasil
menaklukkannya. Yang masih hidup
langsung kupaksa untuk membuka suara.
Maka dari sinilah aku tahu, siapa
dalang dari semua ini," jelas Paman
Waragati, menambahkan keterangan Bayu.
Prabu Bojananta benar-benar
terkejut Karena dia tidak menyangka
kalau orang-orang yang selama ini
dipercayainya, justru berkhianat
Sedangkan mereka yang justru setia,
kini harus meringkuk dalam penjara.
Dan semua itu karena menuruti kata-
kata ayahnya, untuk menjebloskan semua
tumenggung dan adipati ke dalam
penjara. Kecuali, yang bertiga itu.
Sebenarnya, justru mereka bertigalah
yang masuk ke dalam penjara.
"Memang tadi aku mengatakan kalau
mereka akan menyerbu ke sini. Itu
semua hanya permainan kata-kataku
saja, Ananda Prabu. Hal ini kulakukan
karena permintaan ayahmu."
"Ayahanda Prabu...?"
"Benar, Ananda Prabu. Tanpa
ayahmu, semua ini tidak akan berakhir.
Bahkan bukannya tidak mungkin mereka
benar-benar menggulingkan takhta."
"Oh...! Bagaimana ini bisa
terjadi, Paman...?"
"Sebaiknya kau tanyakan saja pada
ayahmu, Ananda Prabu. Karena,
kecurigaanku sendiri bisa berkat
laporan ayahmu, yang memang sudah lama
mencurigai mereka. Bahkan
kecurigaannya semakin mendalam saat
kau mengangkat dan menempatkan mereka
pada kedudukan tinggi."
Prabu Bojananta terdiam merenung.
Sungguh belum bisa dipahami dengan
semua ini. Dan dia juga tidak tahu,
kenapa hal ini harus terjadi. Mereka
yang temyata pengkhianat, justru
orang-orang yang sangat dipercaya.
Bahkan ketika mereka meminta izin
untuk mendirikan pasukan prajurit
sendiri, Prabu Bojananta tidak punya
pertimbangan lagi. Usul itu langsung
disetujuinya, karena mereka
menjanjikan akan selalu siap mengirim
prajurit yang dibentuk bila diperlukan
untuk memperkuat barisan prajurit
kerajaan.
Tapi kenyataannya, justru
prajurit itu dibentuk untuk maksud
memberontak. Hanya saja, pemberontakan
yang belum terlaksana ini membuatnya
jadi tidak mengerti. Apa sebenarnya
yang mendorong mereka hendak melakukan
pemberontakan...? Pertanyaan itu yang
kini mengganjal di hati Prabu
Bojananta. Tapi pertanyaan itu memang
sukar dijawab. Dan belum juga Prabu
Bojananta menanyakannya pada Paman
Waragati, tiba-tiba saja terdengar
suara ribut-ribut dari dalam istana.
"Ada apa di dalam sana...?" desah
Paman Waragati bertanya pada diri
sendiri.
"Kita lupa, Paman. Mereka telah
menyusupkan orang-orangnya ke dalam
istana," ujar Bayu yang sejak tadi
diam saja.
"Oh...?!" Paman Waragati menepuk
keningnya sendiri.
"Hup...!"
Pada saat itu juga, Bayu melompat
tinggi ke udara. Begitu sempurnanya
ilmu meringankan tubuh yang dimiliki
Pendekar Pulau Neraka, sehingga
lesatannya begitu cepat dan ringan.
Hanya sedikit saja ujung jari kakinya
disentuhkan ke bibir tembok benteng
yang mengelilingi bangunan istana ini,
lalu meluruk deras ke balik tembok
benteng itu.
"Hup!"
"Yeaaah...!"
Paman Waragati dan Prabu
Bojananta bergegas berlompatan
melewati tembok benteng yang tingginya
lebih dari dua batang tombak.
Sementara orang-orang berbaju serba
hitam yang temyata murid-murid Paman
Waragati, bergegas berlarian masuk ke
dalam bangunan benteng istana itu
melalui pintu rahasia yang masih
terbuka. Dan beberapa orang dari
mereka yang sudah memiliki ilmu
meringankan tubuh yang cukup tinggi,
berlompatan melewati tembok benteng
ini. Sehingga sebentar saja, keadaan
di luar benteng itu sudah sunyi. Kini,
tak terlihat seorang pun di sana. Se-
mua orang tenggelam di dalam tembok
benteng yang tinggi dan kokoh.
***
Bukan hanya Prabu Bojananta dan
Paman Waragati yang terkejut melihat
beberapa mayat prajurit bergelimpangan
di sekitar bangunan istana yang megah
ini. Sementara suara-suara ribut yang
terdengar tadi, kini sudah tidak lagi
terdengar. Keterkejutan mereka semakin
bertambah, karena tidak menemukan
seorang prajurit pun di sekitar istana
ini
“Penjara...," desis Prabu
Bojananta.
Bergegas raja muda itu berlari
cepat mempergunakan ilmu meringankan
tubuh ke bangunan penjara yang
terletak di belakang bangunan istana
ini Paman Waragati dan Pendekar Pulau
Neraka mengikuti dari belakang.
Kembali mereka terkejut melihat pintu
penjara sudah jebol. Sementara, enam
orang prajurit penjaga sudah
tergeletak tak bemyawa lagi.
"Di mana ayahmu, Bojananta...?"
tanya Paman Waragati yang jadi lupa
terhadap segala rata aturan. Dia telah
memanggil Prabu Bojananta dengan
namanya saja.
"Oh...?! Ayah...," desah Prabu
Bojananta langsung teringat ayahnya.
"Ada di dalam istana, Paman...."
Tanpa membuang-buang waktu lagi,
mereka bergegas berlarian kembali
menuju bangunan istana. Langsung
diterobosnya pintu belakang, dan terus
menyusuri lorong yang di kanan dan
ldrinya terdapat pintu-pintu kamar
yang tertutup rapat. Tampak beberapa
tubuh prajurit tergeletak di lorong
ini, dan sudah tidak bemyawa lagi
Mereka sampai di sebuah ruangan
yang berukuran sangat luas. Namun, tak
ada seorang pun di dalam ruangan ini.
Mereka terus melangkah cepat setengah
berlari, melintasi ruangan itu. Prabu
Bojananta cepat membuka pintu yang
terbuat dari kayu jati tebal berukir
cukup indah.
"Ayah...!" pekik Prabu Bojananta
begitu pintu terbuka lebar.
Tampak di satu ruangan yang tidak
begitu besar ukurannya, tergeletak
sesosok tubuh berjubah putih
berlumuran darah. Sebllah pedang
tertanam dalam di dadanya yang sudah
tak bergerak lagi. Tidak jauh dari
situ, teriihat dua orang pemuda
berbaju ketat serba putih. Mereka
tampaknya juga sudah tidak bemyawa
lagi. Darah berceceran di seluruh
bagian lantai ruangan ini Prabu
Bojananta cepat berlari, dan
menghambur memeluk ayahnya yang sudah
tidak bernyawa lagi.
"Siapa yang melakukan ini,
Ayah...? Oh...! Akan kubunuh mereka
semua...," desis Prabu Bojananta
seraya memeluk jasad laki-laki tua
itu.
"Akan kuperiksa ke tempat lain,
Paman," kata Bayu perlahan, dekat
telinga Paman Waragati.
"Kita sama-sama, Bayu. Biarkan
murid-muridku mengamankan tempat ini,"
sahut Paman Waragati.
Paman Waragati memerintahkan
murid-muridnya yang berkumpul di depan
pintu ruangan itu untuk menjaga Prabu
Bojananta. Kemudian, dia bersama
Pendekar Pulau Neraka bergegas
meninggalkan ruangan itu. Mereka
melangkah cepat melintasi ruangan
besar yang biasa disebut Balai Sema
Agung, tempat pertemuan seluruh
pembesar Kerajaan Godaka dengan
rajanya.
Mereka terus melangkah ke luar
melalui pintu depan yang terbuka
lebar. Tampak empat orang prajurit
tergeletak di depan pintu tak bernyawa
lagi. Tak ada seorang prajurit pun
yang teriihat masih hidup. Dan mereka
terpaksa harus menahan napas begitu
sampai di luar.
Di halaman depan istana yang luas
ini, teriihat tubuh-tubuh tak bernyawa
bergelimpangan sating tumpang tindih.
Sungguh suatu pemandangan yang tidak
sedap dinikmati. Rupanya, telah
terjadi pertempuran dahsyat di dalam
istana ini Sehingga, tak ada
seorangpun yang teriihat hidup.
“Tidak kusangka kalau ini akan
terjadi...," desah Paman Waragati
mengeluh.
"Semua bisa terjadi kalau aku
yang menginginkan, Waragati...!"
"Heh...?!"
Paman Waragati tersentak kaget
begitu tiba-tiba terdengar suara keras
menggema. Dan belum lagi hilang
keterkejutannya, tiba-tiba saja
berkelebat sebuah bayangan merah dari
atas tembok benteng depan. Begitu
cepat dan ringan sekali gerakannya,
dan tahu-tahu di depan Paman Waragati
dan Pendekar Pulau Neraka sudah
berdiri seorang laki-laki yang usianya
sebaya dengan Paman Waragati. Dia
mengenakan baju merah menyala.
"Adipati Mahesa...," desis Paman
Waragati langsung mengenali.
"Kau tentu terkejut kalau
kerajaan ini bisa kuruntuhkan dalam
sekejap, Waragati... Aku bisa melaku-
kan apa saja di sini. Dan tak seorang
pun bisa mencegah. Termasuk kau,
Waragati," terasa dingin sekali nada
suara laki-laki separuh baya yang
temyata memang Adipati Mahesa.
Salah seorang adipati yang
dipercaya, tapi justru yang hendak
meruntuhkan Kerajaan Godaka ini. Dan
tentu saja tidak ada yang bakal
menyangka kalau Adipati Mahesa yang
menjadi biang keladi dari semua
kerusuhan ini.
Dan sebelum Paman Waragati bisa
membuka suara, kembali teriihat dua
sosok tubuh berbaju merah berkelebat
Dan tahu-tahu, di samping kin dan
kanan Adipati Mahesa sudah berdiri
lagi dua orang laki-laki separuh baya.
Mereka adalah Tumenggung Abiguna dan
Tumenggung Baliga. Kemudian, disusul
bermunculannya orang-orang berseragam
prajurit yang berlainan corak dan
bentuknya. Mereka semua menyandang
senjata lengkap, dan siap bertempur.
Dalam waktu sebentar saja, halaman
depan istana yang luas dan sudah
dipenuhi mayat, kini dipenuhi orang-
orang berseragam prajurit Mereka
tentunya bukan para prajurit Kerajaan
Godaka.
"Seharusnya mereka tertahan di
perbatasan Utara. Kenapa bisa sampai
ke sini...?" desah Paman Waragati,
seperti bicara pada diri sendiri.
"Pasti murid-muridmu sudah mereka
hancurkan, Paman," sahut Bayu.
"Hm.... Jumlah mereka memang
terlalu banyak," gumam Paman Waragati.
Laki-laki setengah baya itu
menyadari, kalau murid-muridnya yang
ditugaskan untuk menghentikan mereka
di perbatasan Utara, tentu tidak akan
bisa menahan jumlah sebanyak ini.
"Paman! Apakah tidak ada lagi
prajurit Godaka...?" tanya Bayu.
Pendekar Pulau Neraka memang
sejak tadi hanya melihat sejumiah
kecil saja prajurit yang tewas, selama
berada di dalam lingkungan istana ini
"Entahlah... Mereka seperti
menghilang begitu saja," sahut Paman
Waragati mendesah.
"Hm...," Bayu menggumam kecil.
Sementara itu, Paman Waragati
tengah memandang tiga orang berpakaian
serba merah. Kecurigaannya memang
tepat, tapi sungguh tidak disangka
kalau justru mereka yang punya rencana
pemberontakan ini. Paman Waragati tahu
betul, siapa Adipati Mahesa. Dia
adalah adik tiri Prabu Podaralaga,
sama seperti dirinya juga. Tapi selama
ini, seluruh kehidupannya diabdikan
untuk kejayaan Kerajaan Godaka.
Sedangkan pengabdian yang diberikan
Adipati Mahesa, ternyata hanya
pengabdian semu dan di balik semua
itu, ternyata tersimpan maksud untuk
menguasai kerajaan ini. Dan saat yang
tepat baginya adalah sekarang ini.
Kerajaan Godaka yang dipimpin seorang
raja yang masih berusia muda ini
memang masih terlalu mudah
dipengaruhi.
Hal ini yang sama sekali tidak
diduga siapa pun juga. Karena selama
ini, sedikit pun tidak ada sikap
maupun tingkah laku Adipati Mahesa
yang mencurigakan. Dan diam-diam,
Paman Waragati mengagumi dalam hati.
Dia kagum, karena Adipati Mahesa
benar-benar bisa memerankan lakonnya
sendiri, tanpa ada seorang pun yang
mencurigainya.
***
"Sejak semula, aku memang sudah
tahu kalau Penunggang Kuda Bertopeng
itu adalah kau, Waragati Aku sudah
tahu saat kau muncul mengancamku, dan
sempat bertarung beberapa jurus.
Samaranmu tidak ada artinya di
depanku, Waragati. Aku sudah
mengetahui betul jurus-jurusmu," kata
Adipati Mahesa dengan suara begitu
sinis.
"Kalau sudah tahu, kenapa aku
tidak kau bunuh saja waktu itu?" tanya
Paman Waragati, agak terkejut juga.
"Untuk apa...? Permainan sudah
kau buka bersama Kakang Podaralaga.
Dan aku ingin mengikuti alur
permainanmu. Tapi sayang, semua jalan
per mainanmu bisa mudah kupatahkan.
Dan akhirnya, kau lihat sendiri
kenyataannya, Waragati."
"Aku akui, kau memang cukup
cerdik, Mahesa," puji Paman Waragati
tulus.
"Ha ha ha...! Tapi sayang,
semuanya sudah terlambat untukmu. Aku
harus menyingkirkan siapa saja yang
mencoba menghalangiku. Termasuk juga
Kakang Podaralaga, yang coba-coba
menentang keinginanku."
"Hm.... Jadi kau yang membunuh
Kakang Podaralaga...?" desis Paman
Waragati.
"Sudah kukatakan, aku harus
menyingkirkan siapa pun yang mencoba
menghalangiku, Waragati. Ha ha ha...!"
"Biadab...!" desis Paman
Waragati, langsung bergetar seluruh
tubuhnya menahan amarah yang tiba-tiba
saja meluap mendidih.
"Kubunuh kau, Pengkhianat!
Hiyaaat..!"
"Bojananta...?!" desis Paman
Waragati terkejut, begitu tiba-tiba
saja Prabu Bojananta melompat melompat
cepat bagai kilat dari dalam istana.
Bukan hanya Paman Waragati yang
terkejut, tapi juga Bayu, Adipati
Mahesa, dan dua orang tumenggung yang
mendampingi adipati pengkhianat itu.
Mereka tidak menyangka kalau Prabu
Bojananta akan menyerang begitu cepat
dan tiba-tiba, begitu muncul dari
dalam bangunan istana megah itu.
Sret!
Bet!
Cepat sekali Prabu Bojananta
mengebutkan pedangnya, secepat
mencabut dari warangka di pinggang.
Kebutan pedangnya langsung diarahkan
ke leher Adipati Mahesa yang saat itu
masih terperangah. Tapi sebelum
sabetan pedang Prabu Bojananta
membabat lehemya, Adipati Mahesa sudah
bertindak cepat.
"Uts!"
Hanya menarik sedikit tubuhnya ke
belakang, ujung pedang Prabu Bojananta
lewat sedikit saja di depan leher
Adipati Mahesa. Dan sebelum Prabu
Bojananta bisa menarik pedangnya
kembali, tiba-tiba saja Tumenggung
Abiguna sudah melompat cepat sambil
melepaskan satu pukulan keras
menggeledek, disertai pengerahan
tenaga dalam tinggi.
"Hiyaaa...!"
Begitu cepat serangan yang
dilakukan Tumenggung Abiguna, sehingga
Prabu Bojananta tidak bisa lagi
berkelit menghindar. Dan....
Desss!
"Akh...!"
Prabu Bojananta terpental sekitar
dua batang tombak, begitu pukulan
Tumenggung Abiguna bersarang di
tubuhnya. Keras sekali tubuhnya jatuh
berguling di tanah. Dan pada saat itu,
Tumenggung Baliga sudah melompat
sambil mencabut pedangnya yang
tergantung di pinggang.
"Hiyaaat..!"
Cepat sekali ujung pada pedangnya
dihunjamkan ke arah dada Prabu
Bojananta yang tergeletak telentang di
tanah. Tak ada lagi kesempatan bagi
Prabu Bojananta untuk bisa
menyelamatkan nyawa dari an caman
pedang yang meluncur deras mengancam
dadanya. Tapi begitu ujung pedang
hampir menembus dadanya, tiba-tiba
saja....
Wusss!
Tring!
"Ikh...?!"
Tumenggung Baliga terperanjat
bukan main, begitu tiba-tiba saja
sebuah benda berwama keperakan
meluncur cepat bagai kilat menghantam
mata pedangnya. Buru-buru dia melompat
kebelakang, dan melakukan beberapa
kali putaran. Kedua bola matanya jadi
terbeliak, begitu melihat pedangnya
buntung. Dan lebih terkejut lagi,
begitu melihat pemuda tampan berbaju
kulit harimau yang sejak tadi diam
saja di samping Paman Waragati, tengah
mengangkat tangan kanannya ke atas
kepala. Maka sebuah benda keperakan
berbentuk bintang bersegi enam melesat
cepat, lalu melekat erat di
pergelangan tangan pemuda itu.
Dengan tenang sekali, pemuda
berbaju kulit harimau yang dikenal
beijuluk Pendekar Pulau Neraka
melangkah menghampiri Prabu Bojananta
yang tengah berusaha bangkit berdiri.
Pemuda yang sebenamya bernama Bayu,
segera membantu Prabu Bojananta begitu
berdiri terhuyung-huyung. Sedangkan
monyet kecil berbulu hitam masih tetap
nangkring di pundak Pendekar Pulau
Neraka.
"Bersemadilah. Kau terluka dalam
cukup parah," ujar Bayu. "Biar aku
yang akan menghadapi mereka."
"Terima kasih," ucap Prabu
Bojananta. "Hati-hatilah. Mereka
orang-orang yang berkepandaian
tinggi."
Bayu hanya tersenyum saja
mendapat peringatan itu. Pendekar
Pulau Neraka memang tahu kalau mereka
berkepandaian tinggi. Tapi mereka juga
curang dan licik, karena menyerang
pada saat lawan dalam keadaan tidak
berdaya lagi. Pendekar Pulau Neraka
melangkah tenang menghampiri tiga
orang yang mengenakan baju wama merah
menyala. Tatapan matanya begitu tajam
menusuk. Diambilnya monyet kecil yang
masih nangkring di pundaknya, dan
ditaruhnya di tanah.
"Kau menyingkirlah, Tiren. Ini
bukan pertarunganmu," ujar Bayu sambil
mengelus kepala monyet kecil itu.
"Nguk!"
Monyet kecil yang dipanggil Tiren
itu bergegas berlarian menyingkir,
mendekati Prabu Bojananta yang sudah
duduk bersila di tangga istana. Raja
muda itu sudah duduk bersila,
mengambil sikap bersemadi.
Pada saat itu, dari dalam istana
bermunculan murid-murid Paman Waragati
yang semuanya mengenakan baju serba
hitam. Mereka langsung berdiri
berjajar di belakang gurunya.
Sementara, Bayu sudah berada sekitar
tujuh langkah lagi di depan Adipati
Mahesa yang didampingi Tumenggung
Abiguna dan Tumenggung Baliga.
***
DELAPAN
"Siapa kau, Anak Muda...?!" tanya
Adipati Mahesa, lantang menggelegar.
"Rasanya itu tidak penting. Namun
yang paling penting, aku paling tidak
suka melihat manusia-manusia bejat
seperti kalian mengotori dunia ini!"
dingin sekali jawaban Bayu.
"Keparat..! Kau akan menyesal
karena telah menghina kami, Bocah!"
geram Tumenggung Baliga, yang masih
penasaran karena pedangnya buntung
oleh senjata maut pemuda berbaju kulit
harimau itu.
Bayu hanya tersenyum sinis pada
Tumenggung Baliga.
"Mampus kau, Bocah Keparat!
Hiyaaat..!"
Tumenggung Baliga tidak bisa lagi
menahan diri. Cepat sekali ia melompat
sambil melepaskan beberapa pukulan
beruntun yang mengandung pengerahan
tenaga dalam tinggi. Tapi dengan
gerakan manis sekali, Bayu meliuk-
liukkan tubuhnya. Dihindarinya
pukulan-pukulan yang dilepaskan
Tumenggung Baliga, sehingga tak satu
pun yang berhasil mengenai sasaran.
"Paman Waragati, ini
bagianmu...!" teriak Bayu tiba-tiba.
"Yeaaah...!"
Bagaikan kilat, Pendekar Pulau
Neraka tiba-tiba saja melakukan
gerakan yang sukar diikuti pandangan
mata biasa. Dan tahu-tahu, tangannya
sudah bergerak cepat menggedor dada
Tumenggung Baliga. Begitu cepat
serangannya sehingga Tumenggung Baliga
tidak sempat lagi menghindar.
Degkh!
"Akh...!"
Seketika itu juga, tubuh
Tumenggung Baliga terpental deras ke
arah Paman Waragati. Dan begitu dekat,
Paman Waragati langsung menghentakkan
ke dua tangannya untuk menyambut tubuh
yang melayang deras ke arahnya.
"Yeaaah...!"
Desss!
Tumenggung Baliga kembali
terpental ke udara, lalu keras sekali
jatuh menghantam tanah. Darah pun
kontan muncrat dari mulutnya. Hanya
sedikit saja tumenggung itu masih
mampu menggeliat, kemudian mengejang
kaku dan diam tak bernyawa lagi.
"Keparat..!" geram Adipati Mahesa
melihat Tumenggung Baliga tewas
seketika begitu cepat
Sementara Bayu sudah berdiri
tegak sambil tersenyum tipis.
Sedangkan di samping Prabu Bojananta,
Tiren berjingkrakan sambil mencerecet
ribut menyambut kemenangan Pendekar
Pulau Neraka.
"Kubunuh kau, Bocah Keparat,
Hiyaaat..!"
Adipati Mahesa benar-benar meluap
kemarahannya, begitu melihat
Tumenggung Baliga tewas ditangan
Pendekar Pulau Neraka. Bagaikan kilat,
dia langsung melompat menyerang. Pada
saat yang bersamaan, Paman Waragati
sudah melompat menghadang Tumenggung
Abiguna.
Sret!
Tumenggung Abiguna langsung
mencabut pedangnya. Dia tahu, siapa
yang harus dihadapinya. Seorang tokoh
utama Kerajaan Godaka yang memiliki
kepandaian tinggi sekali. Bahkan
tingkat kepandaian Adipati Mahesa
sendiri hanya satu tingkat saja di
atas tingkat kepandaian Paman Waragati
yang dulu menjabat panglima perang
kerajaan ini. Dan begitu Prabu
Podaralaga turun takhta dan digantikan
putra tunggalnya, Paman Waragati
langsung mengundurkan diri dari
jabatannya sebagai panglima. Kini dia
mengkhususkan diri untuk mengurus
padepokannya.
"Kau lawanku, Tumenggung
Abiguna," desis Paman Waragati.
"Phuih!" Tumenggung Abiguna
menyemburkan ludahnya.
Mata Tumenggung Abiguna melirik
ke kanan dan ke kiri. Sementara itu,
Adipati Mahesa sudah bertarung ketat
melawan Pendekar Pulau Neraka. Bahkan
Adipati Mahesa sudah mengeluarkan
senjata andalannya, berupa pedang
perak yang cahayanya berkilatan
menyilaukan mata.
"Kalian semua! Seraaang...!"
teriak Tumenggung Abiguna tiba-tiba,
begitu keras dan menggelegar.
"Hancurkan semuanya...!"
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Seketika itu juga, orang-orang
berpakaian seperti prajurit yang
memang sejak tadi sudah menunggu pe-
rintah, langsung berhamburan sambil
berteriak-teriak mengangkat senjata.
Melihat itu semua, Paman Waragati
segera memerintahkan seluruh muridnya
untuk menghadang. Tapi belum juga
semua orang berpakaian serba hitam itu
bergerak, tiba-tiba saja dari atas
atap bangunan istana berhamburan
ratusan anak panah ke arah para
prajurit pembangkang.
"Setan keparat..!" desis
Tumenggung Abiguna menggeram.
Tumenggung itu terkejut setengah
mati. Karena tiba-tiba saja, dari atap
bangunan istana bermunculan para
prajurit yang,sejak tadi tidak
kelihatan. Bahkan langsung menghujani
para prajurit pembangkang de ngan
anak-anak panah. Pada saat itu,
dinding kanan istana tiba-tiba saja
bergerak menggeser ke samping. Maka
dari dalam dinding itu tiba-tiba
berhamburan para prajurit kerajaan
yang selama ini seperti menghilang.
Rupanya, dinding itu merupakan
pintu rahasia dari sebuah lorong yang
besar dan panjang. Dan rupanya pula,
para prajurit bersembunyi di sana.
Kini mereka keluar, dan langsung
berhamburan menyerbu prajurit-prajurit
pembangkang yang kini malah jadi ciut
nyalinya. Melihat ini semua,
Tumenggung Abiguna jadi kelabakan.
Terlebih lagi, para prajuritnya jadi
kacau tak terkendali. Jerit pekik
melengking tinggi dan menyayat
terdengar saling sambut membelah
angkasa yang terselimut kabut tebal.
Pada saat itu juga, semua murid Paman
Waragati langsung berlarian, masuk ke
dalam kancah pertempuran tanpa
diperintah lagi. Dan ini membuat para
prajurit pembangkang semakin kelabakan
tak terkendali lagi.
***
Pertempuran di alun-alun Istana
Godaka itu memang tidak dapat
dihindari lagi. Para prajurit kerajaan
yang langsung dipimpin Panglima Gajah
Pati, bertarung penuh semangat Tubuh-
tubuh berlumuran darah, bergelimpangan
diiringi jerit dan pekikan melengking
tinggi yang saling susul tiada henti.
Dan Paman Waragati pun sudah menyerang
Tumenggung Abiguna yang jadi kelabakan
melihat keadaan yang tidak diduga-duga
ini.
Memang tidak ada yang menduga
kalau para prajurit kerajaan sejak
tadi menunggu saat yang tepat untuk
menghadapi para pemberontak. Dan
mereka baru muncul setelah tokoh-tokoh
kerajaan yang dibantu Pendekar Pulau
Neraka melakukan tindakan.
Sementara itu teriihat Panglima
Gajah Pati berlari-lari menghampiri
Prabu Bojananta yang kini sudah
berdiri di anak rangga pertama istana,
sambil memandangi pertempuran yang
tidak diduga sama sekali akan terjadi
seperti ini. Dan juga tidak disangka
kalau para prajuritnya yang setia
masih ada. Bahkan menunggu saat yang
tepat untuk menghancurkan para
pemberontak.
"Gusti Prabu tidak apa-apa...?"
tanya Panglima Gajah Pati setelah
dekat di depan Prabu Bojananta.
“Tidak. Tapi, aku tidak mungkin
bisa ikut berperang," sahut Prabu
Bojananta.
"Para prajurit sudah mampu
mengatasinya, Gusti."
Prabu Bojananta menatap Panglima
Gajah Pati, Hanya Panglima Gajah Pati
yang tetap setia. Bahkan mampu
memimpin para prajurit yahg masih
berjumlah ratusan itu untuk menggempur
para pembangkang.
"Bagaimana kau bisa tahu ada
ruangan rahasia, Paman?" tanya Prabu
Bojananta.
"Sebelum dibunuh, Gusti Ayahanda
Prabu telah memberitahukan hamba,
Gusti Prabu. Dan ternyata, memang
berguna dalam keadaan genting seperti
ini. Hamba sengaja memasukkan para
prajurit ke sana sedikit demi sedikit,
sehingga kelihatannya jumlah prajurit
semakin berkurang. Dan itu atas
perintah Gusti Ayahanda Prabu. Hamba
hanya menjalankan perintah saja, Gusti
Prabu," jelas PangBma Gajah Pati.
Prabu Bojananta menghembuskan
napas panjang.
"Lalu, bagaimana keadaan para
Adipati dan Tumenggung yang berada di
dalam tahanan?" tanya Panglima Gajah
Pati lagi.
"Mereka dalam keadaan selamat,
Gusti Prabu. Mereka juga berada di
ruangan rahasia yang lain. Semua hamba
lakukan pada saat yang tepat, ketika
mereka datang menyerang. Dan hanya ada
satu regu prajurit saja yang belum
hamba selamatkan, hingga akhirnya
harus bertempur."
"Hm...," Prabu Bojananta
menggumam perlahan.
Entah apa yang ada dalam
pikirannya saat ini. Tapi yang jelas,
rasa kagum pada ayahnya semakin
bertambah atas kejadian ini. Memang,
Prabu Bojananta tidak tahu kalau
ayahnya sudah bisa mencium adanya
pemberontakan ini, sehingga melakukan
tindakan sangat tepat untuk
menyelamatkan tahta dari kehancuran.
Sementara itu pertarungan terus
berlangsung. Dan sudah jelas kalau
para prajurit kerajaan benar-benar
menguasai jalannya pertempuran. Sudah
lebih dari separuh jumlah pemberontak
yang tewas. Dan mereka semakin tak
mampu lagi menahan gempuran para pra-
jurit kerajaan yang begitu penuh
semangat dalam pertempuran ini
Sedangkan di lain tempat, tampak
Paman Waragati juga sudah berada di
atas angin. Beberapa kali pukulan-
pukulan kerasnya yang bertenaga dalam
tinggi berhasil disarangkan ketubuh
Tumenggung Abiguna. Tampak sekali
kalau Tumenggung itu tidak mampu lagi
menahan serangan-serangannya. Hingga
akhirnya....
“Tamat riwayatmu, Abiguna!
Hiyaaa...!"
Sambil berteriak keras
menggelegar, Paman Waragati melompat
cepat sambil mengebutkan pedangnya ke
arah dada Tumenggung Abiguna. Begitu
cepat serangannya sehingga tidak ada
lagi kesempatan bagi Tumenggung
Abiguna untuk berkelit menghindar.
Dan...
Bresss!
"Aaakh...!" Tumenggung Abiguna
menjerit keras melengking tinggi.
Tubuhnya terhuyung-huyung sambil
mendekap dadanya yang terbelah. Darah
mengucur deras dari sela-sela jari
tangan yang mendekap dada. Sementara
itu, Paman Waragati sudah mengangkat
pedangnya di atas kepala. Ujungnya
tertuju lurus ke depan. Sedangkan
sorot matanya tajam menusuk.
"Hiyaaat..!"
Bagaikan kilat, Paman Waragati
melompat ke arah Tumenggung Abiguna.
Dan secepat kilat pula, pedangnya
dibabatkan ke leher tumenggung
pembangkang itu.
Crasss!
"Aaa...!" lagi-lagi Tumenggung
Abiguna menjerit melengking tinggi.
Hanya sebentar saja dia masih
mampu bertahan berdiri, kemudian
tubuhnya limbung. Tumenggung Abiguna
ambruk menggelepar di tanah dengan
leher terpenggal hampir buntung. Darah
menyembur deras keluar dari dada dan
lehemya. Tak berapa lama kemudian,
Tumenggung Abiguna sudah tak bergerak-
gerak lagi. Saat itu juga nyawanya
melayang dari raga.
"Hhh...!" Paman Waragati
menghembuskan napas berat
Laki-laki setengah baya itu
berdiri tegak menatap mayat Tumenggung
Abiguna, kemudian berpaling menatap ke
arah pertarungan. Tampak Adipati
Mahesa dan Pendekar Pulau Neraka masih
bertarung sengtt, menggunakan jurus-
jurus dahsyat tingkat tinggi Se-
mentara, pertarungan antara prajurit
sudah berhenti.
Para prajurit pembangkang yang
merasa tidak ada gunanya lagi melawan
segera melemparkan senjata, langsung
berlutut menyerah. Panglima Gajah Pati
segera mengambil alih.
Diperintahkannya para prajurit untuk
melucuti senjata para pembangkang itu.
Kemudian, mereka dikumpulkan di tempat
yang tidak dipenuhi mayat yang
bergelimpangan saling tumpang tindih.
***
Sementara itu Bayu masih terus
bertarung sengit melawan Adipati
Mahesa. Dan tampaknya, Pendekar Pulau
Neraka memang sengaja memperlambat
jalan nya pertarungan hingga seluruh
pertempuran benar-benar terhenti
"Hup...!"
Bayu segera melompat mundur,
keluar dari pertarungan begitu melihat
seluruh pertarungan sudah berhentL
Beberapa kali Pendekar Pulau Neraka
melakukan putaran di udara. Lalu,
manis sekali menjejakkan kakinya di
tanah, sekitar dua batang tombak
jaraknya dari Adipati Mahesa.
"Tidak ada gunanya lagi melawan,
Adipati Mahesa. Kau lihat sendiri,
tidak ada lagi yang mendukungmu," kata
Bayu kalem.
Adipati Mahesa tampak terkejut
setengah mati begitu mengedarkan
pandangan ke sekeliling. Sungguh tidak
disangka kalau para prajuritnya sudah
takluk. Dan sekarang, tinggal dia
sendiri yang masih bertarung dengan
Pendekar Pulau Neraka. Yang lebih
mengejutkan lagi adalah kemunculan
para prajurit kerajaan yang tidak
diduga sama sekali. Bahkan dikira
seluruh prajurit sudah kabur begitu
istana ini diserangnya. Tapi
kenyataannya, mereka muncul dan
berhasil menaklukkan prajuritnya yang
sudah teriatih.
"Persetan dengan kalian semua!
Kalian harus mampus...!" geram Adipati
Mahesa.
Seketika itu juga, Adipati Mahesa
mengangkat pedangnya ke atas kepala.
Senjata itu diputar cepat, hingga
bentuknya tak teriihat lagi. Hanya
lingkaran keperakan saja yang teriihat
memayungi kepalanya.
"Gila...! Dia mengeluarkan aji
'Guntur Pembelah Bumi'...," desis
Paman Waragati yang begitu mengenali
jurus-jurus dan aji kesaktian yang
dimiliki Adipati Mahesa.
Dan Paman Waragati tahu kalau
ajian yang akan dikeluarkan Adipati
Mahesa bisa membunuh siapa saja yang
ada di dekatnya. Bahkan dalam jarak
dua puluh tombak darinya. Itu berarti,
semua yang ada di alun-alun depan
istana ini akan mati. Bahkan juga ba-
ngunan istana ini bisa hancur jadi
puing. Dan selama ini, belum ada yang
bisa mengalahkan aji 'Guntur Pembelah
Bumi' yang begitu dahsyat.
Bayu yang mulai merasakan akan
adanya ajian dahsyat yang sangat
berbahaya, segera merentangkan kakinya
lebar-lebar ke samping. Lalu tubuhnya
direndahkan hingga agak terbungkuk ke
depan. Sementara tangan kanannya
disilangkan ke depan dada. Lalu....
"Hiyaaa...!"
Sambil berteriak keras
menggelegar, Pendekar Pulau Neraka
menghentakkan tangan kanannya ke
depan. Seketika itu juga, Cakra Maut
yang selalu menempel di pergelangan
tangannya melesat cepat bagai kilat ke
arah pergelangan tangan Adipati Mahesa
yang berada di atas kepala. Pedangnya
tampak cepat sekali di atas dada.
Wusss...!
Cras!
"Akh...!" Adipati Mahesa terpekik
keras agak tertahan.
Sungguh tidak disangka kalau
pemuda berbaju kulit harimau itu akan
menyerang begitu cepat luar biasa.
Sehingga, Cakra Maut yang melesat
begitu cepat tidak bisa lagi teriihat
Dan senjata maut Pendekar Pulau Neraka
itu langsung menghantam pergelangan
tangannya.
Begitu dahsyat senjata Cakra Maut
itu, sehingga kedua pergelangan tangan
Adipati Mahesa terpenggal buntung.
Sementara, pedangnya langsung jatuh ke
tanah. Darah kontan mengucur dari
kedua pergelangan tangan yang
terpenggal buntung oleh Cakra Maut
yang dilemparkan Pendekar Pulau
Neraka.
"Keparat..! Setan kau...!" desis
Adipati Mahesa menggeram berang.
Darah semakin banyak keluar dari
kedua pergelangan tangan Adipati
Mahesa yang buntung. Tanpa tangan
lagi, Adipati Mahesa memang tidak bisa
ber-buat apa-apa. Bahkan untuk
menghentikan darahnya saja, tidak
mampu lagi. Dan dia hanya dapat meng-
geram, memaki-maki Pendekar Pulau
Neraka yang telah membuntungi kedua
pergelangan tangannya.
Begitu banyak darah yang keluar,
membuat pandangannya jadi berkunang-
kunang, dan tubuhnya terhuyung-huyung
limbung. Sementara itu, Bayu sudah
mengangkat tangan kanannya ke atas
kepala. Maka Cakra Maut kembali
menempel di pergelangan tangan
kanannya.
"Setan...! Kubunuh kau, Bocah
Keparat..!" geram Adipati Mahesa masih
mencoba bertahan.
"Hiyaaat..!"
Tiba-tiba saja adipati itu
berbuat nekat, melompat cepat dengan
sisa-sisa kekuatannya yang ada.
Meskipun kedua pergelangan tangannya
buntung bercucuran darah, dia masih
berusaha melepaskan beberapa pukulan
beruntun. Tapi Bayu lebih cepat lagi
bertindak Sambil membungkukkan
tubuhnya, kembali tangan kanannya
dihentakkan ke depan dengan cepat
"Hiyaaa...!"
Wusss!
Kembali Cakra Maut melesat cepat
dari pergelangan tangan kanannya, dan
langsung menerjang dada Adipati Mahesa
yang kosong tak terlindung sama
sekali.
Crab!
"Aaakh...!"
Adipati Mahesa terpental ke
belakang diterjang Cakra Maut yang
dilepaskan Bayu, disertai pengerahan
tenaga dalam yang sempurna sekali.
Keras sekali tubuh adipati itu
terbanting ke tanah. Dan begitu
Pendekar Pulau Neraka menghentakkan
tangan kanannya ke atas kepala, Cakra
Maut yang tenggelam di dada Adipati
Mahesa kembali melesat cepat Dan kini,
senjata itu kembali menempel di
pergelangan tangan kanan Pendekar
Pulau Neraka.
Sementara Adipati Mahesa terus
menggelepar sambil menggerung-gerung
meregang nyawa. Beberapa saat
kemudian, tubuhnya mengejang kaku,
lalu diam tak bergerak-gerak lagi
Kini, nyawanya melayang dari raganya.
Bayu berdiri tegak memandangi seakan-
akan ingin memastikan kalau lawannya
benar-benar sudah tewas. Pendekar
Pulau Neraka baru berpaling begitu
mendengar cerecet si Tiren yang
berjingkrakan di tangga istana, tidak
jauh di samping Prabu Bojananta.
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar