..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Selasa, 04 Februari 2025

PENDEKAR PULAU NERAKA EPISODE MISTERI PENUNGGANG KUDA BERTOPENG

Misteri Penunggang Kuda Bertopeng

MISTERI PENUNGGANG 
KUDA BERTOPENG 
Oleh Teguh Suprianto 
Cetakan Pertama
Penerbit Cinta Media, Jakarta
Penyunting : Puji S
Hak Cipta Pada Penerbit
Dilarang Mengcopy atau Memperbanyak
Sebagian atau Seluruh Isi Buku Ini
Tanpa Izin Tertulis dari Penerbit
Teguh S
Serial Pendekar Pulau Neraka
Dalam Episode 029 :
Misteri Penunggang Kuda Bertopeng
128 Hal ; 12 x 28 cm

SATU

Sebuah kereta kuda bergerak 
perlahan, melintasi tanah berbatu di 
Lereng Bukit Rantak. Kereta indah yang 
tampak megah itu ditarik delapan ekor 
kuda putih yang gagah. Di kiri kanan 
kereta terlihat empat penunggang kuda, 
berpakaian sangat indah. Di bagian 
belakang dan depan, berbaris para 
penunggang kuda lainnya. Mereka 
mengenakan pakaian seragam prajurit
Sebuah kepala seorang laki-laki 
berusia setengah baya menyembut keluar 
dari balik jendela kereta kuda yang 
tertutup tirai kain berwama kuning 
keemasan. Dipanggilnya salah seorang 
penunggang kuda yang berada di sisi 
kereta ini. Penunggang kuda itu 
mendekat, dan membungkukkan tubuhnya 
mendekati kepala yang menyembul di 
jendela kereta kuda itu.
"Sudah hampir senja, kenapa tidak 
berhenti dan mencari tempat bermalam, 
Panglima Gajah Pati?" tanya laki-laki 
setengah baya itu.
"Sebentar lagi, Kanjeng 
Tumenggung. Setetah melewati sungai di 
depan sana, kita baru bisa

beristirahat. Tempatnya tenang dan 
indah," sahut penunggang kuda yang 
dipanggil Panglima Gajah Pari.
Panglima Gajah Pati memang 
seorang pemuda tampan. Dan kalau 
dilihat dari usianya, sepertinya belum 
pantas menduduki jabatan seorang 
panglima. Tapi kepandaian yang 
dimiliki sudah mencapai tingkat 
tinggi. Sehingga, rasanya memang 
pantas untuk diangkat menjadi panglima 
sebuah kerajaan besar yang bernama 
Kerajaan Godaka. Letaknya di wilayah 
kulon ini. Sedangkan letak pusat 
pemerintahannya tidak seberapa jauh 
lagi dari Bukit Rantak, tapi masih 
memerlukan waktu sedikitnya satu 
setengah hari lagi untuk bisa sampai 
ke kota kerajaan itu.
"Panglima! Kau tahu, kenapa aku 
dipanggil Gusti Prabu Bojananta dengan 
pengawalan seperti ini?" tanya 
Tumenggung Pratala ingin tahu.
"Aku hanya menjalankan perintah, 
Kanjeng Tumenggung. Aku sendiri tidak 
tahu, kenapa diminta menjemput Kanjeng 
Tumenggung dengan membawa sepasukan 
prajurit. Hanya itu perintah yang 
kudapat dari Gusti Prabu Bojananta

sendiri," jelas Panglima Gajah Pati 
tentang tugasnya.
"Aneh.... Tidak biasanya Gusti 
Prabu memanggilku begitu mendadak, dan 
dengan pengawalan begin! ketat," gumam 
Tumenggung Pratala, seperti bicara 
pada diri sendiri.
Sebentar pandangannya beredar ke 
sekitarnya, kemudian kepalanya ditarik 
ke dalam. Sementara, Panglima Gajah 
Pati kembali ke tempat semula, berkuda 
di samping kanan kereta kuda ini 
Sedangkan di dalam kereta, Tumenggung 
Pratala masih terdiam dengan kening 
agak berkerut. Seorang gadis cantik 
yang duduk di sebelahnya, 
memperhatikan wajah laki-laki separuh 
baya yang tampak begitu murung.
"Ada yang dipikirkan, Ayah...?" 
tegur gadis itu. Suaranya terdengar 
begitu lembut
"Yaaah...," sahut Tumenggung 
Pratala mendesah panjang.
"Ayah masih memikirkan panggilan 
Gusti Prabu yang mendadak ini?" tebak 
gadis itu langsung.
Tumenggung Pratala tidak 
menjawab. Ditatapnya gadis cantik yang 
mengenakan baju warna merah muda di 
sampingnya ini. Perlahan tangan gadis

itu diambil dan digenggamnya kuat-
kuat. Gadis itu hanya membiarkan 
tangannya digenggam. Terasa sekali 
kalau tangan ayahnya begitu dingin dan 
berkeringat.
"Entah kenapa, sejak menerima 
panggilan yang mendadak ini ada 
perasaan aneh menyelinap di hatiku, 
Kara Gawing. Aku merasakan, seolah-
olah akan terjadi sesuatu pada 
diriku," jelas Tumenggung Pratala, 
begitu perlahan suaranya.
"Bukankah sudah seringkali Gusti 
Prabu memanggil secara mendadak, 
Ayah...?"
"Memang benar, Rara Gawing. Tapi 
panggilan ini terasa begitu aneh. 
Lihatlah sendiri, tidak biasanya 
Panglima Gajah Pati yang menyampaikan 
surat panggilan. Bahkan sambil membawa 
sepasukan prajurit bcrsenjata lengkap. 
Seperti akan ke medan perang saja. Ini 
yang membuatku terus berpikir, Rara 
Gawing. Kurasakan ada sesuatu dari 
panggilan mendadak ini," ujar 
Tumenggung Pratala lagi.
Sementara Rara Gawing jadi 
terdiam. Sudah seringkali dia 
mendampingi ayahnya dalam segala 
urusan kerajaan. Dan memang baru kali

ini Prabu Bojananta memanggil ayahnya 
begitu mendadak. Bahkan juga 
mendatangkan seorang panglima ternama, 
disertai sepasukan prajurit bersenjata
lengkap. Dan ini memang tidak seperti
biasanya. Tidak heran jika Tumenggung 
Pratala lantas mempunyai perasaan 
seperti itu.
Sementara kereta kuda yang 
membawa tumenggung dan putrinya terus 
bergerak perlahan-lahan, menyusuri 
jalan tanah berbatu. Sehingga, kereta 
itu berguncang-guncang agak keras. Dan 
rombongan yang berjumlah cukup besar 
itu sudah mulai melintasi sungai yang 
cukup lebar, namun sangat dangkal 
airnya. Begitu dangkalnya, sehingga 
mudah dilalui kereta kuda.
Hingga akhirnya, rombongan itu 
tiba di sebuah tempat yang cukup 
lapang setelah melewati sungai besar 
dan dangkal tadi Panglima Gajah Pati 
memerintahkan para prajuritnya untuk 
berhenti, lalu mendlrikan beberapa 
tenda. Saat ini, senja memang sudah 
cukup jauh turun. Dan tak berapa lama 
lagi, kegelapan malam pasti akan 
menyelimuti seluruh permukaan belahan 
bumi ini.


***
Malam begitu hening. Tumenggung 
Pratala tampak keluar dari dalam 
tendanya. Dua orang prajurit yang 
menjaga di depan pintu tenda itu 
segera membungkukkan tubuhnya untuk 
memberi hormat. Tumenggung Pratala 
terus saja melangkah mendekati api 
unggun yang menyala cukup besar di 
antara tenda-tenda yang berdiri 
mengelilinginya. Panglima Gajah Pati 
segera beranjak bangkit dari duduknya, 
dan membungkuk memberi hormat pada 
laki-laki separuh baya ini.
Kemudian, mereka duduk lagi 
menghadapi api unggun. Seorang gadis 
pelayan datang menghampiri, sambil 
membawa baki berisi dua guci arak dan 
dua buah gelas perak. Gadis pelayan 
itu menuangkan arak dari dalam guci ke 
dalam gelas-gelas perak itu.
"Silakan, Panglima," ujar 
Tumenggung Pratala.
“Terima kasih," ucap Panglima 
Gajah Pari seraya mengambil satu gelas 
perak itu.
Tumenggung Pratala juga mengambil 
gelas perak satunya. Kemudian, mereka 
mulai menenggak arak di dalam gelas

itu hingga habis tak tersisa. Gadis 
pelayan berwajah cukup cantik itu 
hendak menambahkan arak lagi ke dalam 
gelas, tapi Tumenggung Pratala menolak 
dengan menggerakkan tangan sedikit.
"Kau tidur saja," ujar Tumenggung 
Pratala.
"Hamba, Kanjeng Tumenggung," 
sahut gadis pelayan itu seraya memberi 
sembah dengan merapatkan kedua telapak 
tangan di depan hidung.
Tumenggung Pratala baru 
menuangkan arak ke dalam gelasnya yang 
sudah kosong, setelah gadis itu masuk 
ke dalam tenda yang diperuntukkan bagi 
pelayan-pelayan wanita yang menyertai 
rombongan ini. Setelah menghabiskan 
tiga gelas arak, Tumenggung Pratala 
baru mengedarkan pandangan ke 
sekeliling. Keningnya agak berkerut 
juga melihat penjagaan di sekitar 
perkemahan ini yang begitu ketat 
Bahkan separuh dari jumlah prajurit 
yang ada ditugaskan untuk berjaga 
malam. Dan senjata yang disandang 
begitu lengkap, seakan-akan mereka 
takut ada musuh yang menyerang tempat 
ini. Pemandangan yang seharusnya 
disaksikan jika terjadi perang. Tapi, 
ini bukan sedang perang. Bahkan

Kerajaan Godaka, menurutnya sangat 
damai dan tenteram.
"Aku merasa kau terlalu 
berlebihan dalam menempatkan para 
prajurit, Panglima Gajah Pati. Apa 
memang periu mereka berjaga dengan 
jumlah sebanyak ini...?" tanya 
Tumenggung Pratala.
"Aku harus menjaga keselamatan 
Kanjeng Tumenggung sampai ke istana. 
Maafkan jika tindakanku dianggap 
berlebihan. Tapi, hanya ini yang bisa 
kulakukan untuk menjalankan perintah 
Gusti Prabu Bojananta," sahut Panglima 
Gajah Pari, bersikap begitu hormat
"Dengan cara begini, bukan 
ketenteraman yang kuterima, Panglima 
Gajah Pati. Tapi aku merasa seperH 
tawananmu saja," dengus Tumenggung 
Pratala.
"Maafkan, Kanjeng Tumenggung. 
Jika Kanjeng bisa bertanggung jawab 
kalau terjadi sesuatu, aku akan 
mengurangi penjagaan malam ini," ucap 
Panglima Gajah Pati.
“Tidak perlu."
“Tapi Kanjeng Tumenggung tidak 
menyukai hal seperti ini."
"Aku memang tidak suka, tapi 
tidak akan sekali-kali merebut

tugasmu, Panglima. Kau hanya menja-
lankan tugas dari Gusti Prabu. Dan aku 
harus menerima, meskipun tidak suka 
dengan cara seperti ini."
"Aku bisa mengerti, Kanjeng 
Tumenggung."
Tumenggung Pratala bangkit 
berdiri setelah meneguk habis araknya. 
Panglima Gajah Pati bergegas berdiri, 
tapi mendadak saja....
Wusss!
"Kanjeng, awas...!"
Cepat sekali Panglima Gajah Pati 
melompat menubruk Tumenggung Pratala, 
begitu tiba-tiba saja sebuah benda 
seperti anak panah meluncur cepat 
bagaikan kilat ke arah tumenggung 
setengah baya itu. Mereka jatuh 
bergulingan di tanah. Panglima Gajah 
Pati cepat melompat bangkit, dan 
langsung menghampiri sebatang anak 
panah yang menancap di pohon.
"Siaga semua...!" seru Panglima 
Gajah Pati dengan suara keras 
menggelegar.
Tapi belum juga teriakan Panglima 
Gajah Pati hilang dari pendengaran, 
tiba-tiba saja terdengar teriakan-
teriakan yang kemudian disusul 
bermunculannya orang-orang berbaju

serba hitam, bersenjatakan golok 
terhunus. Orang-orang berbaju serba 
hitam itu langsung menyerang para 
prajurit yang kontan sangat terkejut
Sebentar saja, jeritan-jeritan 
panjang melengking tinggi terdengar 
saling sambut dari para prajurit yang 
lengah, dan tidak cepat menyadari 
keadaan. Lalu, pertempuran pun cepat 
berlangsung begitu sengit. Teriakan-
teriakan pertarungan, jerit, serta 
pekikan melengking tinggi seketika 
terdengar memecah keheningan malam 
ini. Maka tubuh-tubuh bersimbah darah 
pun mulai teriihat bergelimpangan. Dua 
tenda yang berdiri sudah terbakar, 
membuat malam yang pekat ini jadi 
terang benderang. Api memang cepat 
sekali merambat besar, membakar tenda-
tenda yang berdiri mengelilingi api 
unggun.
Malam yang semula begitu hening, 
benar-benar pecah oleh hiruk pikuk 
pertarungan yang tiba-tiba saja 
terjadi. Korban terus berjatuhan dari 
kedua belah pihak. Panglima Gajah Pati 
dan tiga orang wakilnya, bertarung 
seperti banteng kedaton untuk 
menghalau orang-orang berbaju serba 
hitam yang cepat menyerang dan

mendadak sekali. Bahkan Tumenggung 
Pratala pun tidak tinggal diam begitu 
saja. Dengan pedang pendek yang sudah 
terkenal keampuhannya, dia berlompatan 
sambil membabatkan pedangnya ke arah 
orang-orang berbaju serba hitam ini.
Jerit dan pekikan melengking 
tinggi terus terdengar menyayat Pada 
saat kekacauan sedang berlangsung,
tiba-tiba saja dari kelebatan 
pepohonan muncul seseorang berjubah 
hitam. Dia menunggang kuda yang juga 
hitam pekat berkilat. Wajahnya, sukar 
dikenali karena tertutup sebuah topeng 
kayu berwarna hitam juga.
"Mundur...!" tiba-tiba saja 
penunggang kuda bertopeng hitam itu 
berteriak lantang menggelegar.
Seketika itu juga orang-orang 
berbaju hitam yang seluruhnya 
menggunakan senjata golok berlompatan 
mundur, menghentikan penyerangannya. 
Dan para prajurit yang masih selamat 
pun, segera berlompatan mundur ke 
belakang Tumenggung Pratala dan Pang-
lima Gajah Pari. Kini, dua kelompok 
yang sama-sama udah berkurang 
jumlahnya saling berdiri berhadapan, 
dmgan api unggun sebagai pembatas.

***
"Tidak ada gunanya melindunginya, 
Gajah Pati. Serahkan pengkhianat itu 
padaku untuk diadili...!" Terasa 
begitu dingin nada suara orang 
bertopeng hitam ini.
"Siapa kau...?!" tanya Panglima 
Gajah Pati lantang.
"Aku Penunggang Kuda Bertopeng. 
Kedatanganku ke sini untuk mengadili 
pengkhianat yang ada di sampingmu 
itu!" sahut penunggang kuda bertopeng 
hitam itu tidak kalah lantangnya.
"Jangan menuduh sembarangan, 
Kisanak! Apa buktimu menuduhku 
pengkhianat...?" keras sekali suara 
Tumenggung Pratala.
"Tidak periu banyak bicara, 
Pengkhianat. Sudah terlalu banyak 
bukti kebusukan hatimu, Pratala! Dan 
kau tidak bisa beriindung dari siapa 
pun. Juga pada junjunganmu Prabu 
Bojananta!"
"Edan...!" dengus Tumenggung 
Pratala mendesis.
Pada saat itu, Rara Gawing keluar 
dari dalam tendanya. Langsung ayahnya 
dihampiri, dan berdiri di sampingnya. 
Gadis itu menatap tajam penunggang

kuda bertopeng hitam, yang di 
belakangnya berbaris orang-orang 
berbaju serba hitam bersenjatakan 
golok terhunus di tangan kanan.
"Siapa mereka, Ayah?" tanya Rara 
Gawing.
"Orang gila yang ingin mencari 
urusan denganku," sahut Tumenggung 
Pratala.
Sementara itu, si Penunggang Kuda 
Bertopeng menatap Rara Gawing dengan 
sinar mata yang begitu sukar 
diartikan. Kedua bola matanya memang 
hampir tersembunyi di balik topeng 
hitamnya, sehingga sukar dilihat. Dan 
dia hanya diam saja menatap gadis 
cantik yang berdiri di samping 
Tumenggung Pratala.
"Kau memang licik, Pratala. Rara 
Gawing kau manfaatkan untuk 
melindungimu. Tapi ini hanya se-
mentara, Pratala. Aku akan kembali 
lagi untuk mengambil dan mengadilimu!" 
ancam Penunggang Kuda Bertopeng itu 
dingin.
Setelah berkata demikian, orang 
bertopeng itu menghentakkan tali 
kekang, sehingga kuda hitam pekat yang 
tinggi dan gagah meringkik keras 
sambil mengangkat kedua kaki depannya

tinggi-tinggi. Lalu kuda itu cepat 
sekali melesat berlari masuk ke dalam 
lebatnya pepohonan. Pada saat itu 
juga, semua orang berbaju hitam 
berlompatan cepat mengikuti.
Gerakan mereka memang cepat 
sekali, sehingga tebentar saja sudah 
lenyap tak teriihat bayangannya. 
Sementara Tumenggung Pratala dan 
Panglima Gajah Pati masih berdiri 
tegak memandang ke arah hutan, empat 
orang aneh yang mengenalkan diri
berjuluk Penunggang Kuda Bertopeng itu 
lenyap ditelan kegelapan malam. 
Sedangkan tiga orang wakil Panglima 
Gajah Pati sudah memimpin para 
prajurit membereskan mayat-mayat yang 
bergelimpangan.
Dari mayat-mayat itu, kebanyakan 
adalah para prajurit Dan setelah 
dikumpulkan, korban memang lebih 
banyak jatuh dari pihak prajurit. 
Bahkan jumlahnya dua kali lipat dari 
orang-orang berbaju serba hitam. Hal
itu sudah menandakan kalau mereka 
lebih tangguh daripada para prajurit 
Kerajaan Godaka yang saat ini tengah 
bertugas mengawal Tumenggung Pratala.
"Inikah maksud Gusti Prabu 
Bojananta mengirim sepasukan prajurit

untuk mengawalku, Panglima Gajah 
Pati..?" agak bergumam nada suara 
Tumenggung Pratala.
"Aku tidak tahu pasti, Kanjeng 
Tumenggung. Tapi mungkin juga memang 
demikian," sahut Panglima Gajah Pati.
"Hm.... Siapa Penunggang Kuda 
Bertopeng itu? Dan kenapa menuduhku 
pengkhianat..., Panglima Gajah Pati?" 
Tumenggung Pratala seperti bertanya 
pada diri sendiri.
Sedangkan Panglima Gajah Pati 
hanya diam saja, tidak bisa menjawab 
pertanyaan itu. Pandangannya beredar 
berkeliling. Keadaan tempat ini begitu 
berantakan. Dan para prajurit sudah 
sibuk membenahi. Bahkan mayat-mayat 
sudah dijajarkan rapi, tidak jauh dari 
anak sungai kecil yang mengalir tidak 
jauh dari perkemahan ini.
"Rara Gawing, kembalilah ke 
tendamu. Malam masih terlalu panjang," 
ujar Tumenggung Pratala.
"Ayah tidak apa-apa?" tanya Rara 
Gawing ber-nada cemas.
"Tidak..., aku tidak apa-apa," 
sahut Tumenggung Pratala seraya 
tersenyum.
Rara Gawing memandangi wajah 
ayahnya beberapa saat, kemudian

melangkah kembali masuk ke dalam 
tendanya. Sedangkan Tumenggung Pratala 
menghempaskan diri, duduk di dekat api 
unggun. Seorang gadis pelayan datang 
menghampiri sambil membawa sebuah guci 
arak. Tumenggung Pratala langsung 
merebut guci itu, lalu meneguk isinya 
dari mulut guci arak yang cukup besar. 
Kemudian, diserahkannya kembali guci 
itu pada gadis pelayan tadi.
"Pergilah...," ujar Tumenggung 
Pratala.
Setelah memberi hormat, gadis 
pelayan itu bergegas pergi. Sedangkan 
Panglima Gajah Pati masih tetap 
berdiri, tidak jauh dari laki-laki 
separuh baya yang masih kelihatan 
gagah itu. Meskipun tubuhnya sudah 
mulai mengembang tambun, tapi masih 
sangat tangkas dalam pertarungan tadi. 
Bahkan tidak sedikit lawan yang 
berhasil dibinasakannya.
"Maaf, Kanjeng. Apakah Kanjeng 
Tumenggung bisa mengenali suara 
Penunggang Kuda Bertopeng itu?" tanya 
Panglima Gajah Pati seraya menempatkan 
diri duduk di samping kanan Tumenggung 
Pratala.
"Sukar.... Sepertinya dia 
menggunakan suara perut untuk menutupi

suara aslinya," sahut Tumenggung 
Pratala. 
"Apa kau tidak bisa membedakan 
suara asli dan suara perut...?"
"Aku memang sudah menduga, 
Kanjeng. Tapi, ladi belum yakin kalau 
dia menggunakan suara perut," lelas 
Panglima Gajah Pati.
"Siapa pun dia orangnya, yang 
jelas ingin merusak namaku. Hhh.... 
Apa maksudnya menuduhku peng-
khianat...?" agak mengeluh suara 
Tumenggung Pratala.
"Mungkin Gusti Prabu Bojananta 
mengetahuinya, Kanjeng Tumenggung," 
duga Panglima Gajah Pati.
"Hm...," Tumenggung Pratala hanya 
menggumam perlahan saja.
"Sebaiknya, Kanjeng Tumenggung 
beristirahat saja. Biar kami yang 
menjaga keamanan di slni malam Ini," 
kata Panglima Gajah Pati.
"Kau percaya apa yang 
dikatakannya tadi, Panglima?" tanya 
Tumenggung Pratala.
"Entahlah, Kanjeng. Di istana 
nanti semuanya akan jelas. Aku sendiri 
sebenarnya tidak tahu apa-apa, dan 
hanya menjalankan perintah saja," 
sahut Panglima Gajah Pati.

Tumenggung Pratala tersenyum, 
lalu bangkit berdiri sambil menepuk 
pundak panglima muda itu. Kemudian 
kakinya melangkah menuju tendanya 
tanpa berkata-kata lagi. Dan malam pun 
terus merayap semain larut. Udara di 
sekitar Lereng Gunung Rantak itu 
terasa begitu dingin. Beberapa 
prajurit tampak tengah menggali lubang 
yang cukup besar untuk menguburkan 
mayat-mayat yang sudah berjajar di 
tepi sungai Sementara, Panglima Gajah 
Pati memanggil ketiga orang wakilnya. 
Mereka kemudian sudah terlibat dalam 
pembicaraan yang begitu penting di 
dekat api unggun.
* * *
DUA


Prabu Bojananta sendiri yang 
menyambut kedatangan Tumenggung 
Pratala di depan tangga istana. 
Tumenggung bersama putrinya segera 
membungkukkan tubuh dengan telapak 
tangan merapat di depan hidung, begitu 
keluar dari dalam kereta kuda yang

rnembawanya ke Istana Godaka ini. 
Sementara, Panglima Gajah Pati terus 
mendampingi tumenggung ini sampai 
berada di depan Prabu Bojananta.
"Mari, silakan ke dalam," ajak 
Prabu Bojananta ramah.
“Terima kasih, Gusti Prabu," ucap 
Tumenggung Pratala seraya memberi 
hormat.
Mereka kemudian masuk ke dalam 
Balai Sema Agung. Di dalam ruangan
yang berukuran sangat besar dan indah, 
sudah menunggu para patih, panglima, 
adipati, tumenggung dan para pembesar 
lain kerajaan ini. Mereka segera 
memberi hormat begitu Prabu Bojananta 
masuk bersama Tumenggung Pratala dan 
putrinya. Sementara Panglima Gajah 
Pati segera mengambil tempat di antara 
para panglima lainnya. Demikian pula 
tumenggung Pratala, mengambil tempat 
di antara para tumenggung kerajaan 
ini. Sedangkan Rara Gawing, langsung 
dibawa masuk ke dalam ruangan lain 
oleh dua orang dayang istana. Dan 
Prabu Bojananta duduk di singgasana 
yang megah, dikawal dua orang punggawa 
serta didampingi sepuluh orang 
pengawal khusus.

"Ini untuk pertama kali aku 
mengumpulkan Paman semua di Balai Sema 
Agung. Dan tentunya kalian bertanya-
tanya, untuk apa kalian kuminta datang 
ke sini. Bahkan sampai mengirim para 
panglima dan prajurit pilihan untuk 
mengawal. Terutama, untuk para adipati 
dan tumenggung...," jelas Prabu 
Bojananta memulai membuka suara.
Tak ada seorang pun yang membuka 
suara. Sehingga suasana di Balai Sema 
Agung itu jadi terasa begitu sunyi, di 
saat Prabu Bojananta tidak berbicara 
lagi Untuk beberapa saat, suasana 
tetap seperti itu. Tidak terdengar 
suara sedikit pun
"Beberapa hari yang lalu, 
sepulang dari berburu, aku dicegat 
seseorang yang tidak dikenal. Dia 
mengatakan, ada di antara para adipati 
dan tumenggung yang sedang 
merencanakan pemberontakan. Tidak 
banyak yang dikatakannya, karena 
kemunculannya begitu tiba-tiba, dan 
menghilang pun dengan tiba-tiba pula. 
Makanya, aku merasa perlu mengumpulkan 
kalian semua untuk membahas kemunculan 
orang berselimut misteri itu. Dan ini 
kurasakan amat penting, karena aku 
percaya kalau kalian semua tidak punya

maksud buruk padaku. Terutama untuk 
membuat kekacauan di kerajaan ini," 
jelas Prabu Bojananta lagi.
Semua orang yang ada di Balai 
Sema Agung itu jadi terkejut, terutama 
yang merasa menjadi adipati Ataupun 
tumenggung. Saat itu juga, Tumenggung 
Pratala mengangkat kepalanya, langsung 
diberikannya sembah pada Prabu 
Bojananta, dengan merapatkan kedua 
telapak tangan di depan hidung.
"Ada apa, Paman Tumenggung 
Pratala?" tanya Prabu Bojananta.
Saat itu, semua orang menatap 
Tumenggung Pratala. Juga, Prabu 
Bojananta. Raja yang masih berusia 
muda itu memandang penuh arti pada 
laki-laki separuh haya yang masih 
kelihatan gagah ini.
"Maaf, Gusti Prabu. iznkan hamba 
bicara," pinta tumenggung Pratala.
"Silakan, Paman."
"Dalam perjalanan ke istana ini, 
rombongan hamba diserang orang-orang 
berbaju serba hitam yang dipimpin 
seorang penunggang kuda bertopeng 
hitam. Hamba tidak tahu, apa 
maksudnya, Gusti. Apa mungkin 
Penunggang Kuda Bertopeng itu yang 
menemui Gusti Prabu...?" kata

Tumenggung Pratala, sikapnya begitu 
hormat pada junjungannya.
“Tepat Memang orang itu yang 
menemuiku," Agak keras suara Prabu 
Bojananta.
Seketika itu juga, ruangan Balai 
Sema Agung yang luas ini seakan-akan 
hendak runtuh oleh suara menggumam 
dari semua orang yang memenuhinya. 
Mereka semua benar-benar terkejut atas 
kata-kata pengakuan dari Tumenggung 
Pratala barusan. Dan suara mendengung 
bagai ribuan lebah itu seketika 
menghilang saat Prabu Bojananta 
mengangkat tangan kanannya. Kembali 
pandangan mereka tertuju pada 
Tumenggung Pratala.
"Panglima Gajah Pati...," panggil 
Prabu Bojananta sambil menatap 
Panglima Gajah Pati yang duduk di 
antara deretan para panglima.
"Hamba, Gusti Prabu," sahut 
Panglima Gajah Pati seraya memberi 
sembah.
"Benar apa yang dikatakan Paman 
Tumenggung Pratala?" tanya Prabu 
Bojananta ingin kepastian.
"Benar, Gusti Prabu. Mereka 
datang begitu tiba-tiba dan langsung 
menyerang. Tiga puluh prajurit tewas.

Tapi, hamba tidak tahu maksud 
penyerangan itu, Gusti Prabu," 
Panglima Gajah Pati mencoba 
menjelaskan.
Prabu Bojananta terdiam dengan 
kepala terangguk beberapa kali. 
Kemudian pandangannya beredar, 
merayapi semua orang yang ada di 
ruangan Balai Sema Agung ini. Tak ada 
seorang pun yang membuka suara. 
Ruangan itu kembali hening, seperti di 
kuburan saja.
***
Cukup lama juga kesunyian 
menyelimuti Balai Sema Agung. Begitu 
sunyinya, sehingga detak jantung 
begitu keras terdengar di telinga 
masing-masing. Prabu Bojananta bangkit 
berdiri dari kursi singgasananya, lalu
melangkah perlahan-lahan ke tengah-
tengah ruangan. Semua mata memandang 
raja muda berusia sekitar dua puluh 
lima tahun itu.
Meskipun masih berusia cukup 
muda, tapi Prabu Bojananta sudah 
terkenal kebijaksanaannya dalam 
memutuskan sesuatu. Bahkan segala 
tindakan dan pikirannya selalu

mementingkan kesejahteraan rakyat 
Kerajaan Godaka ini. Hal itu membuat 
seluruh rakyat begitu mencintainya. 
Bahkan semua pembesar yang rata-rata 
sudah berusia lanjut begitu 
menghormatinya, sebagaimana 
menghormati raja yang terdahulu, ayah 
Prabu Bojananta.
"Dalam keadaan seperti ini, aku 
ingin meminta kejujuran kalian. Aku 
rasa persoalan ini bukan hanya untuk 
adipati dan tumenggung, tapi juga 
menyangkut semuanya," kata Prabu 
Bojananta memecah kesunyian yang 
terjadi cukup lama.
Tak ada seorang pun yang membuka 
suara. Prabu Bojananta kembali 
melangkah mendekati singgasananya, 
kemudian duduk lagi di kursi yang 
indah itu. Puluhan pasang mata 
memandanginya, seakan-akan tengah 
menunggu suatu keputusan penting.
"Aku ingin tahu, apakah ada di 
antara kalian yang juga ditemui selain 
Paman Tumenggung Pratala...?" agak 
lantang suara Prabu Bojananta.
Tak ada seorang pun yang langsung 
menjawab. Mereka semua saling 
berpandangan, terutama yang duduk di 
barisan para tumenggung dan adipati.

Tapi ink berapa lama kemudian, seorang 
adipati yang sudah berusia lanjut 
mengakui telah ditemui orang yang juga 
mengaku Penunggang Kuda Bertopeng 
dengan kata-kata sama.
Kemudian disusul oleh seorang 
adipati, lalu dua orang tumenggung dan 
tiga orang adipati lagi. Hingga 
akhimya, semua adipati dan tumenggung 
yang ada di ruangan itu mengaku telah 
ditemui orang yang sama dalam beberapa 
hari ini. Hal itu membuat keadaan di 
Balai Sema Agung itu kembali riuh. 
Mereka semua benar-benar tidak 
menyangka, kalau sepuluh tumenggung 
dan lima belas adipati Kerajaan Godaka 
ditemui orang yang sama, dan dengan 
kata-kata yang sama dalam beberapa 
hari ini. Dan terakhir, Penunggang 
Kuda Bertopeng itu menemui Tumenggung 
Pratala.
Sedangkan Prabu Bojananta jadi 
terduduk lemas. Sungguh tidak disangka 
kalau semua adipati dan tumenggungnya 
ditemui orang yang sama, dan dengan 
kata-kata yang sama pula. Benar-benar 
sulit dimengerti maksud Penunggang 
Kuda Bertopeng itu sebenarnya. Menemui 
dan mengancam semua adipati dan Tu-
menggung Kerajaan Godaka ini.

"Aku percaya pada kalian, semua
adipati dan tumenggung. Aku tidak 
yakin, kalau yang dikatakan Penunggang 
Kuda Bertopeng itu benar. Tapi 
peringatannya juga tidak bisa 
kuabaikan begitu saja. Secara terbuka, 
aku akan mengadakan penyelidikan. Dan 
kuharap tidak ada seorang pun dari 
kalian yang merasa tersinggung atau 
sakit hati. Karena, apa yang akan 
kulakukan ini demi kelangsungan hidup 
dari Kerajaan Godaka," tegas Prabu 
Bojananta, setelah cukup lama berdlam 
diri.
Dan semua orang yang ada di 
ruangan Balai Sema Agung ini terdiam 
membisu. Terutama, mereka yang 
menjabat sebagai adipati dan 
tumenggung. Mereka semua terdiam 
dengan kepala tertunduk dalam. Tak ada 
seorang pun yang mengeluarkan suara.
"Apa yang akan kulakukan, bukan 
semata-mata untuk para adipati dan 
tumenggung. Tapi juga untuk semuanya, 
tanpa terkecuali," sambung Prabu Boja-
nanta tetap tegas.
Masih belum ada yang membuka 
suara.
"Aku rasa, pertemuan siang ini 
sudah cukup. Jika ada yang ingin

segera kembali ke kadipaten atau ke 
tumenggungan, aku tidak melarang. Tapi 
penyelidikan letap berlaku pada semua 
pembesar di seluruh kerajaan ini."
Setelah berkata demikian, Prabu 
Bojananta bangkit berdiri. Maka semua 
yang ada di Balai Sema Agung segera 
memberi hormat dengan merapatkan kedua 
telapak tangan di depan hidung 
Kemudian raja berusia muda itu 
melangkah meninggalkan Balai Sema 
Agung diiringi pengawal pribadinya, 
serta para dayang cantik yang semuanya 
masih berusia muda.
Setelah Prabu Bojananta tidak 
teriihat lagi, mereka semua kemudian 
beranjak pergi meninggalkan ruangan 
yang berukuran sangat luas ini. Tak 
ada seorang pun yang berbicara. Tapi, 
pandangan mata mereka mengandung 
kecurigaan satu sama lain. Terutama, 
yang menjabat sebagai adipati atau 
tumenggung. Mereka tahu, kalau Prabu 
Bojananta sudah berkata ingin 
menyelidiki sendiri, itu berarti 
sekarang ini tidak seorang pun dari 
mereka semua yang bisa dipercaya lagi. 
Itu akan terus dilakukannya sampai 
diketahui siapa di antara mereka semua

yang punya rencana untuk memberontak, 
menggulingkan takhta Kerajaan Godaka.
"Panglima Gajah Pati...."
Panglima Gajah Pari menghentikan 
ayunan kakinya begitu mendengar 
namanya ada yang memanggil. Begitu 
tubuhnya diputar berbalik, tampak 
Tumenggung Pratala melangkah agak 
cepat menghampiri. Sementara Balai 
Sema Agung ini sudah kosong. Mereka 
kemudian melangkah bersisian, keluar 
dari ruangan yang sangat luas dan 
indah ini.
"Mukaku benar-benar merasa 
tertampar, Panglima," kata Tumenggung 
Pratala bemada mengeluh.
"Bukan hanya Kanjeng Tumenggung, 
tapi aku juga merasa begitu. Sungguh 
tidak kukira bakal seperti ini 
jadinya," sahut Panglima Gajah Pati.
"Kau percaya, aku seperti yang 
dituduhkan Penunggang Kuda Bertopeng 
itu, Panglima?" tanya Tumenggung 
Pratala, seperti ingin mengetahui isi 
hati panglima berusia muda ini.
Panglima Gajah Pari tidak 
langsung menjawab.
"Seharusnya, aku memang tidak 
perlu bertanya seperti itu padamu, 
Panglima. Maaf... meskipun jauh lebih

muda dariku, kau adalah seorang 
panglima. Dan ientu saja kau memiliki 
tugas tersendiri," kata Tumenggung 
Pratala lagi.
“Tidak ada tugas khusus untukku, 
Kanjeng Tumenggung. Dalam hal ini, 
Gusti Prabu tampaknya tidak akan 
mempercayai seorang pun. Dan 
kedudukanku saat ini tidak jauh 
berbeda denganmu, Kanjeng Tumenggung. 
Aku juga termasuk salah seorang yang 
dicurigai," jelas Panglima Gajah Pati 
bisa merasakan isi hati Tumenggung 
Pratala saat ini.
Sementara mereka sudah berada di 
luar ruangan Balai Sema Agung, dan 
terus melangkah menuju bagian samping 
bangunan istana yang besar dan megah 
ini. Beberapa prajurit yang berpapasan 
segera membungkuk memberi hormat
"Kenapa kau beranggapan seperti 
itu, Panglima?" tanya Tumenggung 
Pratala jadi ingin tahu.
"Merencanakan suatu pemberontakan 
itu tidak mudah, Kanjeng Tumenggung. 
Mereka membutuhkan banyak orang. Bukan 
hanya para tumenggung ataupun adipati, 
tapi juga memerlukan para prajurit dan 
panglima, serta patih yang terlatih 
dan berkepandaian tinggi. Dan hal itu

sudah bisa kurasakan dari kata-kata 
Prabu Bojananta. Itu berarti, bukan 
hanya para tumenggung dan adipati saja 
yang harus dicurigai. Tapi juga semua 
patih, panglima, dan seluruh pembesar 
kerajaan ini."
"Hm. Ya..., ya...," Tumenggung 
Pratala mengangguk-anggukkan kepala. 
"Pandanganmu luas sekali, Panglima."
"Itu hanya dugaanku saja, 
Kanjeng. Dan aku belum tahu 
kebenarannya. Masih terlalu dini untuk 
mengambil suatu keputusan," sahut 
Panglima Gajah Pati
“Tapi bagaimanapun juga, aku 
tidak akan tinggal diam, Panglima."
"Maksud, Kanjeng...?"
"Aku juga akan mencari, siapa 
biang keladinya. Dan semua itu bisa 
terungkap kalau aku bisa bertemu 
Penunggang Kuda Bertopeng itu lagi."
"Kalau Penunggang Kuda Bertopeng 
itu tidak muncul lagi?"
"Itu berarti hanya ingin 
mengacaukan suasana saja, Panglima. 
Ada kemungkinan juga itu hanya 
siasatnya saja, untuk mengacaukan 
istana, dan memecah belah di antara 
para pembesar kerajaan."

"Hm...," Panglima Gajah Pati 
hanya menggumam perlahan saja, dengan 
kepala terangguk beberapa kali.
Mereka terus berjalan tanpa 
berkata-kata lagi, dan baru berhenti 
setelah sampai di depan sebuah pintu 
samping bangunan Istana Godaka yang 
besar dan megah ini. Dan mereka 
berpisah, karena Panglima Gajah Pati 
masih ada tugas yang harus 
diselesaikan.
***
Kegelisahan begitu terasa di hati 
semua orang yang ada di Istana Godaka 
ini. Teriebih lagi, kegelisahan itu 
sangat dirasakan para adipati dan 
tumenggung yang masih berada di 
istana. Memang tidak mungkin mereka 
langsung kembali ke kadipatenan atau 
ketumenggungan. Paling tidak, 
sedikitnya harus tinggal dua hari di 
Istana Godaka. Karena saat itu senja 
memang sudah cukup jauh merayap turun.
Dan tidak seperti hari-hari 
biasanya, di dalam lingkungan benteng 
istana itu teriihat para prajurit 
bersenjata berjaga-jaga. Seakan-akan, 
istana ini hendak diserang musuh dari

luar. Senjata dari berbagai bentuk, 
teriihat tersandang pada setiap 
prajurit Bahkan sepasukan prajurit 
berkuda, tampak siap tempur. Keadaan 
seperti ini tentu saja membuat tanda 
tanya bagi mereka yang tidak tahu 
persoalannya. Seperti halnya Rara 
Gawing, anak gadis Tumenggung Pratala 
yang ikut bersama ayahnya ke Istana 
Godaka ini. Dia jadi bertanya-tanya 
sendiri di dalam hati, setelah melihat 
keadaan istana yang seperti hendak 
berperang saja.
"Kita akan berperang melawan 
siapa, Ayah?" lanya Rara Gawing begitu 
melihat ayahnya, Tumenggung Pratala 
memasuki kamarnya.
“Tidak dengan siapa-siapa," sahut 
Tumenggung Pratala seraya 
menghempaskan tubuhnya di kursi, dekat 
jendela kamar ini. Kamar yang 
disediakan untuk beristirahat Rara 
Gawing.
Tumenggung Pratala memandang 
keluar melalui jendela yang terbuka 
lebar. Tampak di luar sana beberapa 
prajurit bersenjata lengkap tengah 
berjaga jaga. Bahkan teriihat pula 
sekitar dua puluh prajurit berkuda, 
meronda mengelilingi bangunan istana

yang besar dan megah ini. Tumenggung 
Pratala menarik napas dalam-dalam dan 
menghembuskannya kuat-kuat Sementara 
Rara Gawing terus memperhatikan dengan 
kening agak berkerut. Tidak mudah 
baginya untuk menebak pikiran yang 
mengganggu benak ayahnya saat ini.
"Ayah.... Boleh aku tahu...," 
terdengar ragu-ragu nada suara Rara 
Gawing.
Bahkan gadis itu tidak meneruskan 
ucapannya. Tumenggung Pratala 
berpaling, menatap anak gadis-nya. 
Teriihat jelas raut wajah Tumenggung 
Pratala begitu gelisah. Bahkan seperti 
ada beban yang begitu berat tersandang 
di dalam benaknya. Rara Gawing 
beranjak bangkit dari pembaringan. 
Kakinya melangkah perlahan mendekati 
laki-laki separuh baya itu, kemudian 
duduk di kursi satunya yang hanya 
dibatasi sebuah meja kecil yang berada 
tepat di bawah jendela kamar ini.
"Apakah keadaan ini ada 
hubungannya dengan Penunggang Kuda 
Bertopeng yang menyerang kita semalam. 
Yah...?" tanya Rara Gawing, langsung 
menebak.
"Hhh..!" Tumenggung Pratala tidak 
langsung menjawab. Dihembuskannya

napas panjang yang terasa begitu 
berat.
Rara Gawing terus memandangi 
ayahnya. Dia lahu, ada sesuatu yang 
menjadi beban pikiran laki-laki 
separuh baya ini, sehingga terasa 
begitu gelisah. Terlebih, Tumenggung 
Pratala seperti berat untuk 
mengatakannya. Dan ini tidak seperti 
biasanya. Laki laki separuh baya itu 
biasanya selalu mengatakan tetiap 
persoalan yang sedang dihadapi pada 
anak gadisnya. Tapi sekarang 
Tumenggung Pratala seakan-akan begitu 
berat mengatakannya.
Dan Rara Gawing sudah bisa 
menebak persoalan yang kini sedang 
dihadapi ayahnya, pasti memang berat. 
Sehingga, sulit bagi orang tua itu 
untuk menceritakannya.
Sementara itu senja semakin jauh 
merayap turun menyelimuti mayapada. 
Rona merah jingga begitu nyata 
terlihat membias di ufuk Barat. Dan 
keremangan pun mulai merata, 
menyelimuti seluruh bumi Kerajaan 
Godaka yang sedang terselimut suatu 
persoalan berat atas munculnya 
seseorang yang mengaku berjuluk 
Penunggang Kuda Bertopeng. Suatu

kemunculan yang membawa satu persoalan 
berat. Bukan hanya bagi para adipati 
dan tumenggung, tapi juga bagi seluruh 
kerajaan ini. 
"Ayah...."
Belum lagi Rara Gawing bisa 
meneruskan kata-katanya, tiba-tiba 
saja melesat sebatang anak panah yang 
langsung menerobos masuk melalui 
jendela kamar ini. Tumenggung Pratala 
langsung melompat bangkit dari kursi 
yang diduduki. Begitu pula Rara Gawing 
yang duduk di seberangnya. Dan anak 
panah yang berwarna hitam itu menancap 
tepat di dinding, dekat sebuah lemari 
besar berukir di samping pembaringan. 
Tumenggung Pratala cepat melompat 
mendekati anak panah itu, dan 
mencabutnya dengan hanya sekali tarik 
saja.
"Ada suratnya, Ayah...," kata 
Rara Gawing seraya menghampiri 
ayahnya.
Tumenggung Pratala 
merrrperhatikan anak panah berwarna 
hitam itu sesaat, kemudian memandang 
ke luar jendela. Tak teriihat seorang 
pun di sana, kecuali para prajurit 
yang tetap menjaga di sekitar istana 
ini. Kemudian dibukanya ikatan

selembar daun lontar yang mengikat 
bagian tengah batang anak panah ini.
"Apa isinya, Ayah...?" tanya Rara 
Gawing ingin tahu.
"Kau baca saja sendiri," sahut 
Tumenggung Pratala seraya menyerahkan 
surat dari lembaran daun lontar itu.
Rara Gawing mengambilnya, dan 
membaca sebaris kalimat yang tertera 
di lembaran surat daun lontar itu. 
Suaranya perlahan, setengah menggumam. 
Sementara, Tumenggung Pratala sudah 
kembali berdiri di depan jendela, 
memandang keluar dengan bibir masih 
terkatup rapat
"Temui aku di perbatasan Utara, 
malam ini!"
Rara Gawing langsung menatap 
laki-laki separuh baya yang kini 
membelakanginya setelah menggu-mamkan 
sebaris kalimat yang tertera pada 
lembaran surat daun lontar. Tidak ada 
apa-apa lagi selain sebaris kalimat 
yang bernada aneh itu. Perlahan-lahan 
kakinya melangkah menghampiri ayahnya, 
kemudian berdiri di sampingnya.
"Siapa pengirim surat ini, Ayah?" 
tanya Rara Gawing.

"Entahlah. Aku sendiri tidak 
tahu," sahut Tumenggung Pratala dengan 
nada suara mendesah perlahan.
"Ayah ingin menuruti 
permintaannya?" tanya Rara Gawing 
lagi.
"Hhh...!" Tumenggung Pratala 
hanya menarik napas panjang saja.
Terasa begitu berat tarikan 
napasnya. Sedangkan Kara Gawing 
kembali terdiam tidak bertanya-tanya 
lagi. Dia tahu, laki-laki separuh baya 
ini tengah mempertimbangkan permintaan 
pengirim surat ini. Dan permintaan ini 
tentu bukan hal yang bisa dianggap 
main-main, meskipun tidak ada nada 
ancaman sama sekali. Dan kalimat di 
dalam surat itu hanya bernada 
permintaan saja.
"Rara Gawing.... Kau bersedia 
menuruti permintaanku kali ini...?" 
tanya Tumenggung Pratala. Begitu 
perlahan suaranya, sambil berpaling 
menatap anak gadisnya.
“Tentu saja, Ayah," sahut Rara 
Gawing jadi heran. 
"Besok pagi-pagi sekali, kau 
kembali ke ketumenggungan. Kau tidak 
perlu bicara lagi denganku, atau 
dengan siapa saja. Kalau ada yang

bertanya, bilang saja ingin segera 
pulang. Kau bersedia bukan...."
Rara Gawing hanya menganggukkan 
kepala saja mendengar permintaan yang 
bernada aneh dari ayahnya ini Tapi, 
gadis itu tidak mau lagi bertanya. Dia 
tahu, sekarang ini ada satu persoalan 
yang sedang dihadapi ayahnya. 
Persoalan yang begitu berat, sehingga 
tidak memberitahukan padanya seperti 
biasa. Maka Rara Gawing tidak bisa 
lagi menolak permintaan ayahnya kali 
ini.
Tumenggung Pratala melangkah 
keluar dari kamar ini tanpa berbicara 
lagi. Sedangkan Rara Gawing hanya 
memandangi saja dengan kening sedikit 
berkerut. Sebenarnya, dia ingin lebih 
banyak lagi bertanya. Tapi melihat 
sikap ayahnya yang seperti tidak ingin 
membicarakan lagi, terpaksa semua 
pertanyaan harus disimpan di dalam 
kepala.
* * *

TIGA

Tumenggung Pratala memacu cepat 
kudanya menuju arah Utara. Tak ada 
seorang pun bersamanya. Dia terus 
memacu kudanya, membelah kegelapan 
malam yang begitu pekat. Langit malam 
ini tampak begitu kelam. Sedikit pun 
tak teriihat cahaya bintang maupun 
bulan. Tapi, itu tidak menghalangi 
laki-laki separuh baya yang kali ini 
mengenakan baju warna pubh agak ketat,
untuk memacu kudanya dengan kecepatan 
tinggi.
Tumenggung Pratala menghentikan 
laju kudanya Betelah sampai di 
perbatasan Utara Kerajaan Godaka. 
Sebentar laki-laki setengah baya itu 
mengedarkan pandangannya ke 
sekelilihg. Namun tak ada seorang pun 
teriihat Hanya kegelapan, dan 
pepohonan yang menghitam pekat di 
sekitarnya. Periahan-lahan kudanya 
digebah melewati perbatasan sebelah 
Utara ini, yang ditandai sebuah 
bangunan dari batu berbentuk candi 
kecil.
"Kau datang sendiri, Tumenggung 
Pratala...?"


Tumenggung Pratala langsung 
menghentikan langkah kaki kudanya, 
begitu tiba-tiba terdengar suara 
bernada sangat berat Sama sekali 
hatinya tidak terkejut karena memang 
sudah menduga akan ditemui seseorang 
yang pasti akan merahasiakan dirinya. 
Dan memang, pemilik suara itu belum 
juga menampakkan diri. Sukar bagi 
Tumenggung Pratala untuk bisa 
mengetahui, dari mana sumber suara 
itu. Karena suara menggema yang 
didengarnya tadi, seperti datang dari 
segala arah.
"Siapa kau?! Tampakkan 
dirimu...!" bentak Tumenggung Pratala.
Laki-laki setengah baya itu 
mengedarkan pandangannya berkeliling, 
namun tak ada sahutan sama. sekali. 
Tapi, mendadak saja keningnya jadi 
berkerut begitu mendengar derap 
langkah kaki kuda dari arah depan. Tak 
berapa lama kemudian, teriihat 
seseorang berbaju hitam pekat berada 
di atas punggung seekor kuda hitam 
yang tinggi dan gagah. Wajahnya sukar 
dikenali karena tertutup sebuah topeng 
yang berwarna hitam. Terlebih lagi, 
saat ini malam memang begitu gelap.

Sedikitpun tak ada cahaya bulan maupun 
bin-tang yang menyinari.
"Penunggang Kuda Bertopeng...," 
desis Tumenggung Pratala perlahan, 
langsung mengenali penunggang kuda 
yang sudah berada sekitar satu batang 
tombak lagr jaraknya di depan.
"Aku kagum padamu sehingga berani 
datang seorang diri, Tumenggung 
Pratala," kata Penunggang Kuda 
Bertopeng. Suaranya dingin tanpa nada 
sedikit pun.
Tumenggung Pratala tahu, orang 
yang bersembunyi di balik topeng hitam 
itu menggunakan suara perut.
Dan tentu, dimaksudkan untuk 
menyembunyikan suaranya agar tidak 
dikenali. Tumenggung Pratala melompat
turun dari punggung kuda. Gerakannya 
indah dan manis sekali. Sedikit pun 
tak ada suara yang ditim bulkan saat 
kakinya mendarat manis di tanah. 
Sementara kudanya dibiarkan berlalu 
menjauh darinya. Sedangkan Penunggang 
Kuda Bertopeng masih tetap duduk di 
punggung kudanya. Untuk beberapa saat, 
mereka terdiam tanpa berbicara sedikit 
pun. Mereka saling menatap tajam, 
seakan-akan tengah mengukur tingkat

kepandaian yang dimiliki masing-
masing.
"Untuk apa kau memintaku datang 
ke sini, Kisanak?"" tanya Tumenggung 
Pratala, membuka suara terlebih 
dahulu.
"Kau tentu sudah tahu, apa yang 
ingin kuketahui darimu, Tumenggung 
Pratala. Aku tahu, Prabu Bojananta
sudah memberitahumu. Bahkan semua 
adipati dan tumenggung serta seluruh 
pembesar dan panglima," sahut 
Penunggang Kuda Bertopeng, masih 
dengan suara yang sama.
"Hm.... Aku tidak mengerti 
maksudmu yang sebenarnya, Kisanak. 
Kenapa kau bermain-main dan 
mengacaukan suasana...?" agak 
menggumam nada suara Tumenggung 
Pratala.
"Aku tidak membuat kacau suasana. 
Tapi, kau sendirilah yang seharusnya 
berpikir. Apa kekurangan yang kau 
dapatkan dari kerajaan ini? Kedudukan 
Hnggi, harta berlimpah, dan kekuasaan 
yang tidak bisa didapatkan orang lain. 
Tapi, kenapa kau ingin memberontak...? 
Apa yang kau inginkan dari 
pemberontakan itu, Pratala?" agak

tinggi nada suara Penunggang Kuda 
Bertopeng kali ini.
"Kau sudah menuduhku yang tidak-
tidak tanpa bukti, Kisanak," desis 
Tumenggung Pratala agak tersinggung.
"Sudah kuduga, kau pasti akan 
membantah, Pratala. Tapi jangan harap 
bisa mungkir lagi di depanku. Aku 
tahu, apa yang kau lakukan selama ini 
di ketumenggungan!"
"Edan...! Apa sebenarnya yang kau 
inginkan, Kisanak? Kenapa menuduhku 
ingin memberontak pada Gusti Prabu 
Bojananta? Apa kau tidak berpikir, aku 
ini sudah mengabdi sejak raja yang 
terdahulu! Tidak ada di dalam 
pikiranku untuk berbuat sesuatu yang 
merugikan. Kau benar-benar gila, 
menuduhku sembarangan begitu...!" 
dengus Tumenggung Pratala menggeram 
berang.
"Seribu kali kau mengatakan 
kesetiaan, tidak akan membuat 
keyakinanku luntur, Pratala. Ingat-
ingatlah. Kau tidak punya kesempatan 
sedikit pun untuk menggulingkan takhta 
Kerajaan Godaka!"
"Edan...!"
"Kesempatan itu memang tidak akan 
pernah kau dapatkan, Pratala. Karena,

malam ini aku akan mengadilimu. Sudah 
kupikirkan, kau memang tidak pantas 
lagi menduduki jabatan tumenggung. 
Bahkan tidak pantas lagi hidup di
dunia ini, Pratala. Bersiaplah 
menerima pengadilan ini."
Setelah berkata demikian, 
penunggang kuda yang mengenakan topeng 
dan berbaju serba hitam itu langsung 
saja melompat turun dari punggung 
kudanya. Dan begitu kakinya menjejak 
tanah, seketika itu juga dilepaskannya 
satu pukulan yang begitu cepat dan 
menggeledek. Akibatnya, Tumenggung 
Pratala jadi terperangah sesaat
"Uts...!"
Tapi dengan satu gerakan manis 
sekali, Tumenggung Pratala berhasil 
menghindari pukulan itu. Tubuhnya 
dimiringkan sedikit ke kanan, maka 
pukulan yang dilepaskan Penunggang 
Kuda Bertopeng hanya lewat sedikit 
saja di sampingnya.
Tapi belum juga Tumenggung 
Pratala bisa menegakkan tubuhnya 
kembali, Penunggang Kuda Bertopeng 
sudah memberi satu tendangan berputar. 
Begitu repat serangan susulannya, 
sehingga tak ada lagi kesempatan bagi

Tumenggung Pratala untuk menghindar. 
Sehingga....
Desss!
"Akh...!" Tumenggung Pratala 
terpekik keras agak tertahan.
Seketika itu juga Tumenggung 
Pratala terpental ke samping, dan 
jatuh bergulingan beberapa kali, 
begitu tendangan Penunggang Kuda 
Bertopeng menghantam tubuhnya. Tapi 
cepat sekali dia melompat bangkit 
berdiri, walaupun agak terhuyung 
sedikit.
Segera dilakukannya beberapa 
gerakan untuk mengembalikan keadaan 
tubuhnya.
Sementara Penungggang Kuda 
Bertopeng sudah bersiap hendak 
melakukan serangan kembali. Memang 
sungguh dahsyat serangan-serangan yang 
dilakukannya. Dan setiap kali 
menyerang, sedikit pun tak ada suara 
yang ditimbulkannya. Dan ini membuat 
Tumenggung Pratala cepat berwaspada. 
Dia tahu, kalau lawan yang dihadapinya 
ini memiliki kepandaian begitu tinggi 
Hal itu bisa dirasakan ketika saat 
tendangan tadi bersarang di tubuhnya. 
Untung saja tendangan itu tidak 
mengandung pengerahan tenaga dalam,

sehingga tidak menimbulkan luka dalam 
sedikit pun. Namun demikian, tendangan 
tadi sangat keras sekali dan hampir 
membuat tulang iganya patah.
"Bersiaplah, Tumenggung 
Pratala...!"
"Hm.... Ups!"
***
Dua orang itu sudah bersiap 
saling berhadapan untuk bertarung 
kembali. Tumenggung Pratala menggeser 
kakinya periahan ke kanan, ketika si 
Penunggang Kuda Bertopeng bergerak 
menggeser kakinya perlahan-lahan. Tak 
ada yang dibicarakan. Dan masing-
masing menatap tajam, seperti tengah 
mengukur dan memperkirakan setiap 
serangan yang bakal dilakukan.
"Hep! Yeaaah...!"
Tiba-tiba saja Penunggang Kuda 
Bertopeng berteriak lantang 
menggelegar. Dan bagaikan kilat, dia 
melompat cepat sambil melepaskan 
beberapa pukulan keras menggeledek 
mengandung pengerahan tenaga dalam 
tinggi. Tumenggung Pratala cepat 
bertindak. Dia berlompatan dan meliuk-
liukkan tubuhnya, menghindari setiap 
serangan yang datang dengan cepat itu.

Pertarungan memang tidak dapat 
dicegah lagi. Dan sebentar saja, 
mereka sudah saling sambar dengan 
serangan-serangan berkekuatan tenaga 
dalam tinggi. Entah sudah berapa kali 
satu sama lain saling melepaskan 
pukulan dahsyat. Tapi, pertarungan itu 
tampaknya masih akan terus berjalan. 
Dan dalam waktu yang sebentar saja, 
tempat di sekitar pertarungan sudah 
porak-poranda terlanda pukulan-pukulan 
bertenaga dalam tinggi yang tidak 
menemui sasaran.
Jurus demi jurus beriaiu cepat 
Dan pertarungan pun terus berjalan 
semakin dahsyat saja. Bahkan kali Ini 
pukulan yang dilepaskan bukan hanya 
mengandung pengerahan tenaga dalam 
tinggi, tapi juga mengandung aji 
kesaktian. Sehingga, malam yang pekat 
ini dihiasi kilatan-kilatan cahaya 
dari ajian yang dikeluarkan.
“Tahan! Yeaaah...!"
Tiba-tiba saja si Penunggang Kuda 
Bertopeng melentingkan tubuhnya ke 
udara. Kecepatannya begitu cepat luar 
biasa, tepat di saat Tumenggung 
Pratala melepaskan satu pukulan jarak 
jauh berkekuatan tenaga dalam tinggi 
yang dibarengi pengerahan aji

kesaktian. Dan sebelum Tumenggung 
Pratala bisa menarik kembali 
serangannya, tahu-tahu si Penunggang 
Kuda Bertopeng sudah melepaskan satu 
pukulan bertenaga dalam tinggi sekali, 
disertai pengerahan aji kesaktian
dalam pukulannya.
"Hiyaaa...!"
Slap!
Secercah sinar berwarna merah 
kekuningan, seketika itu juga meluncur 
deras ke arah Tumenggung Pratala yang 
belum sempat berbuat sesuatu lagi. 
Sementara serangan yang dilancarkan 
lawan begitu cepat, dan tidak mungkin
lagi bisa dihindari. Teriebih, pada 
saat itu Tumenggung Pratala belum 
sempat menarik serangannya yang gagal. 
Sehingga....
Glarrr...!
"Akh...
Laki-laki separuh baya itu 
terpental jauh ke belakang, begitu 
sinar merah kekuningan menghantam 
dadanya. Tapi belum juga tubuh 
Tumenggung Pratala menghantam tanah, 
tiba-tiba saja sebuah bayangan kuning 
kehitaman berkelebat begitu cepat 
menyambarnya. Langsung tubuh

Tumenggung Pratala dibawa menjauh dari 
si Penunggang Kuda Bertopeng.
Seorang pemuda tampan berbaju 
kulit harimau, tahu-tahu sudah berdiri 
tegak memondong tubuh Tumenggung 
Pratala. Dengan hati-hati sekali, 
diletakkannya tubuh laki-laki separuh 
baya itu di tanah. Tumenggung Pratala 
kelihatan tak bergerak, kecuali pada 
dadanya saja yang bergerak lemah.

Glarrr...!
"Akh..!" teriak Tumenggung 
Pratala keras.
Tapi belum juga tubuh lelaki 
setengah baya itu menghantam tanah, 
tiba-tiba saja sekelebat bayangan 
kuning kehitaman cepat menyambarnya. 
Langsung tubuh Tumenggung Pratala 
dibawa ke tempat yang aman.
Ini menandakan kalau dia masih 
hidup. Pemuda tampan berbalut kulit 
harimau itu kemudian berdiri tegak, 
menatap tajam si Penunggang Kuda 
Bertopeng.
"Jangan mencampuri urusanku ini, 
Anak Muda Menyingkirlah...!" bentak 
Penunggang Kuda Bertopeng itu dingin.
"Hm...," pemuda berbaju kulit 
harimau itu hanya menggumam perlahan 
saja. Tangannya menepuk-nepuk monyet 
kecil berbulu hitam yang nangkring di 
pundaknya.
Sementara itu, Tumenggung Pratala 
sudah menggeliat sambil merintih 
lirih. Bibirnya meringis menahan sakh 
dan rasa sesak di bagian dadanya yang 
terkena pukulan si Penunggang Kuda 
Bertopeng tadi.

"Apa yang kau rasakan, Paman?" 
tanya pemuda tampan berbaju kulit 
harimau itu sambil berjongkok, tanpa 
menghiraukan si Penunggang Kuda 
Bertopeng.
"Dadaku..., terasa sesak sekali," 
sahut Tumenggung Pratala lirih.
"Hm...," kembali pemuda itu 
menggumam setelah meraba dada 
Tumenggung Pratala.
Dia kembali bangkit berdiri, lalu 
melangkah menghampiri si Penunggang 
Kuda Bertopeng. Langkahnya berhenti 
setelah jaraknya tinggal sekitar enam 
langkah lagi. Tatapan mata pemuda itu 
begitu tajam, seolah-olah tidak 
menyukai tindakan orang bertopeng 
hitam itu terhadap laki-laki separuh 
baya yang kini tergolek tak berdaya.
"Aku sudah mendengar percakapanmu 
dengan Paman Tumenggung itu, Kisanak. 
Kenapa kau menuduhnya tanpa bukti? 
Pengkhianatannya belum bisa kau 
buktikan. Jadi tidak seharusnya 
menjatuhkan tangan padanya, Kisanak," 
tegas pemuda tampan berbaju kulit 
harimau itu. Nada suaranya terdengar 
begitu dalam.
"Itu bukan urusanmu!" bentak si 
Penunggang Kuda Bertopeng, tidak

menyukai urusannya dicampuri iwmuda di 
depannya.
“Tidak akan menjadi urusanku, 
jika kau bertindak lebih bijaksana 
lagi, Kisanak," tenang sekali suara 
pemuda itu.
"Edan...! Siapa kau, Anak 
Muda...?!" geram Penunggang Kuda 
Bertopeng itu jadi berang atas sikap 
pemuda tampan berbaju kulit harimau 
ini.
"Maaf. Aku tidak suka 
memperkenalkan diri pada orang gegabah 
sepertimu," sahut pemuda itu, masih 
tetap tenang nada suaranya.
"Phuah...! Sombong benar kau 
ini."
"Lebih sombong lagi dirimu, 
Kisanak."
Si Penunggang Kuda Bertopeng itu 
menggeram berang. Hatinya benar-benar 
geram melihat tingkah pemuda berbaju 
kulit harimau yang telah mencampuri 
urusannya dengan Tumenggung Pratala. 
Beberapa saat dia terdiam, menatap 
tajam dari balik topeng hitam yang 
menutupi seluruh wajahnya. Sedangkan
pemuda berbaju kulit harimau itu 
membalas tidak kalah tajam.

Perlahan laki-laki berbaju serba 
hitam yang wajahnya tertutup topeng 
berwarna hitam itu melangkah ke 
belakang mendekati kudanya. Kemudian, 
diambilnya tali kekang kuda hitam yang 
tinggi dan tegap itu. Sebentar matanya 
masih menatap pemuda berbaju kulit 
harimau. Kemudian dengan satu gerakan 
manis sekali, dia melompat naik ke 
atas punggung kuda hitamnya.
"Dengar, Anak Muda.... Aku tidak 
akan segan-segan menjatuhkan tangan 
jika kau berani mencampuri urusanku 
lagi. Untuk kali ini, kelancanganmu 
kumaafkan. Tapi lain kali, kau akan 
menyesal. Camkan itu, Anak Muda...!"
Setelah berkata demikian, si 
Penunggang Kuda Bertopeng langsung 
cepat menggebah kudanya. Kuda hitam 
itu meringkik keras sambil mengangkat 
kedua kaki depannya tinggi-tinggi ke 
udara. Lalu bagaikan sebatang anak 
panah yang melesat dari busurnya, kuda 
hitam bertubuh tinggi tegap itu 
langsung berlari cepat bagai kilat. 
Begitu cepatnya, sehingga dalam 
sekejap saja sudah menghilang ditelan 
kegelapan malam yang begitu pekat.
Sebentar pemuda berbaju kulit 
harimau itu masih berdiri tegak

memandang ke arah si Penunggang Kuda 
Bertopeng tadi menghilang di dalam 
kegelapan malam. Kemudian, tubuhnya 
berbalik menghampiri Tumenggung 
Pratala yang sudah bisa duduk bersila, 
meskipun napasnya masih agak 
tersengal. Pemuda berbaju kulit 
harimau itu kemudian duduk bersila di 
depannya. Dipindahkannya monyet kecil 
berbulu hitam yang ada di pundak ke 
pahanya.
"Bagaimana keadaanmu, Paman?" 
tanya pemuda itu setelah Tumenggung 
Pratala membuka kelopak matanya.
"Agak membaik," sahut Tumenggung 
Pratala masih agak tersengal. 
"Terima kasih atas pertolonganmu 
yang telah menyelamatkan nyawaku, dan 
berhasil mengusir orang gila itu."
"Aku tidak mengusimya, Paman. Dia 
sendiri yang pergi," jelas pemuda itu.
"Siapa namamu, Anak Muda?" tanya 
Tumenggung Pratala.
"Bayu Hanggara. Tapi, panggil 
saja aku Bayu," sahut pemuda itu 
memperkenalkan diri. "Dan ini 
sahabatku. Namanya Tiren."
Pemuda yang memang bernama Bayu 
dan dikenal berjuluk Pendekar Pulau 
Neraka itu menepuk-nepuk kepala monyet

kecil berbulu hitam yang duduk tenang 
di pangkuannya. Seperti mengerti kalau 
dirinya diperkenalkan, monyet kecil 
yang selalu dipanggil Tiren itu 
menganggukkan kepala. Tentu saja hal 
itu membuat Tumenggung Pratala 
tersenyum. Tapi, mulutnya langsung 
meringis, menahan nyeri pada rongga 
dadanya.
"Masih sakit...?" tanya Baya
"Sedikit Pukulannya dahsyat 
sekali. Mungkin kalau tidak sedang 
mengerahkan tenaga dalam, sudah hancur 
dadaku ini," sahut Tumenggung Pratala.
“Sebaiknya Paman bersemadi dulu, 
untuk menghilangkan rasa nyeri di 
dada...," ujar Bayu menyarankan.
“Tidak periu lagi, Anak Muda. Aku 
yakin, dengan sedikit ramuan saja, 
rasa sakit di dadaku akan segera 
hilang."
Bayu hanya mengangkat bahunya 
saja. Memang, keadaan laki-laki 
separuh baya ini sudah diperiksanya. 
Dan rasanya tidak perlu dikhawatirkan. 
Luka dalam yang dideritanya juga tidak 
seberapa parah. Hanya dengan melakukan 
sedikit semadi dan meminum ramuan
obat, pasti akan sembuh. Memang Bayu 
tadi masih sempat merasakan adanya

aliran tenaga dalam di dada Tumenggung 
Pratala. Tapi hatinya tidak yakin 
kalau tenaga dalam itu yang 
menyelamatkannya. Pendekar Pulau 
Neraka malah lebih yakin lagi kalau 
orang berbaju serba hitam itu tidak 
dengan kekuatan penuh melancarkan 
pukulannya. Sehingga lawannya ini 
tidak cidera. Dan hal itu yang membuat 
Bayu tiba-tiba saja jadi bertanya 
sendiri dalam hati.
Kenapa orang berbaju hitam dan 
bertopeng itu tidak menciderai Apalagi 
membunuhnya...? Padahal dari apa yang 
dilakukannya, tidak terialu sulit 
menewaskan tumenggung ini. Tapi 
pukulan yang seharusnya bisa 
mematikan, malah ditahan kekuatannya. 
Sehingga, tidak mengakibatkan luka 
yang berarti, apalagi sampai 
menewaskan. Namun pertanyaan itu hanya 
tersimpan saja dalam benak Pendekar 
Pulau Neraka.
***
Saat matahari muncul di ufuk 
Timur, Bayu dan Tumenggung Pratala 
baru beranjak meninggalkan perbatasan 
Utara Kerajaan Godaka. Mereka

melangkah Hdak tergesa-gesa memasuki 
wilayah kerajaan yang cukup besar ini. 
Tumenggung Pratala hanya menuntun 
kudanya. Rasanya memang tidak mungkin 
menung-yang kuda ini, sementara pemuda 
yang telah me-nyelamatkan nyawanya 
berjalan kaki bersama seekor monyet 
kecil yang selalu nangkring di pundak 
sebelah kanan.
"Kau berasal dari mana, Bayu?" 
tanya Tumenggung Pratala.
"Sebuah pulau kecil, tidak jauh 
dari Pesisir Pantai Utara," sahut 
Bayu.
"Sebuah perjalanan yang jauh," 
gumam Tumenggung Pratala perlahan. 
"Lalu, ke mana tujuanmu?"
"Ke mana saja kaki ini melangkah, 
Paman," sahut Kayu.
"Kau tentu seorang pendekar, 
Bayu. Memang banyak pendekar muda yang 
mencari pengalaman hidup dengan cara 
mengembara dari satu tempat ke tempat
yang lain tanpa tujuan pasti. Hm..., 
kau tentu mempunyai julukan. Kalau 
boleh kutahu, apa julukanmu, Bayu...?"
"Orang-orang memanggilku Pendekar 
Pulau Neraka. Aku sendiri tidak tahu. 
Mungkin karena aku berasal dari sana,

sehingga julukan itu diberikan 
padaku," sahut Bayu lagi.
"Pulau Neraka. Hm.... Pulau itu 
pernah kudengar, dan memang tidak jauh 
dari Pesisir Pantai Utara. Sebuah 
pulau mati yang tidak berpenghuni. 
Dan, tak ada seorang pun yang sudi 
singgah di sana...," Tumenggung 
Pratala menatap Pendekar Pulau Neraka 
dalam-dalam, seakan-akan tidak percaya 
kalau pemuda tampan yang berjalan di 
sampingnya benar-benar berasal dari 
pulau yang sangat ditakuti para 
nelayan di Pesisir Pantai Utara.
Sedangkan Bayu tetap saja 
mengayunkan kakinya, seperti tidak 
peduli dengan pandangan laki-laki 
separuh baya ini. Dan untuk beberapa 
saat mereka terdiam, tak ada yang 
bicara lagi. Mereka terus melangkah 
menuju ke Kotaraja Kerajaan Godaka. 
Beberapa orang sudah teriihat melintas 
di jalan tanah yang cukup lebar dan 
berdebu, baik yang menunggangj kuda, 
membawa kereta, maupun yang hanya 
berjalan kaki saja. Kehidupan memang 
sudah mewamai pagi ini. Dan mereka 
semua sudah mulai sibuk dengan segala 
pekerjaan sehari-hari.

"Semalam kau mengatakan kalau 
mendengar semua percakapanku dengan si 
Penunggang Kuda Bertopeng itu. 
Seberapa banyak yang kau ketahui
Bayu...?" Tumenggung Pratala kembali 
membuka suara, setelah cukup lama 
berdiam diri saja.
"Tidak banyak," sahut Bayu 
singkat
"Lalu, kenapa menolongku?" tanya 
Tumenggung Pratala ingin tahu alasan 
Pendekar Pulau Neraka menolongnya.
"Entahlah.... Mungkin aku percaya 
kalau Paman bukan seorang pengkhianat 
yang sedang merencanakan 
pemberontakan," sahut Bayu dengan 
suara perlahan agak mendesah.
"Seandainya aku benar-benar 
pengkhianat seperti yang dituduhkan si 
Penunggang Kuda Bertopeng itu, apa kau 
juga akan tetap menolongku?"
"Mungkin iya, mungkin juga tidak. 
Aku menolong Paman karena tidak 
menyukai tindakan semena-mena. 
Terlebih lagi, menjatuhkan tuduhan 
tanpa bukti yang cukup jelas."
"Aku kagum pada tindakanmu, Bayu. 
Kau bertindak berdasarkan kenyataan 
yang teriihat."

“Tapi aku bisa cepat berbalik 
bila kenyataan berbicara lain, Paman."
"Aku bisa mengerti."
Kembali mereka terdiam untuk 
beberapa saat lamanya. Sementara 
mereka terus melangkah perlahan-lahan, 
jalan yang dilalui kini semakin banyak 
dipenuhi orang yang sudah keluar dari 
rumah masing-masing. Dan memang, 
gerbang perbatasan kota sudah teriihat
Maka sebentar lagi, mereka 
memasuki Kotaraja Godaka. Sebuah kota 
yang cukup besar dan padat 
penduduknya. Suasananya selalu ramai, 
sejak matahari terbit sampai malam. 
Kota itu baru bisa tidur setelah lewat 
tengah malam.
"Bayu, kau sudah membantuku. Dan 
tanpa disadari, kau sudah masuk ke 
dalam persoalanku yang juga persoalan 
kerajaan. Jika tidak berkeberatan, aku 
ingin kau membantu menyelesaikan 
persoalan ini. Rasanya, sulit bagiku 
dan yang lain untuk memecahkan 
persoalan ini dengan cepat. Meskipun, 
Gusti Prabu Bojananta sendiri sudah 
melakukan penyelidikan dengan caranya 
sendiri," Tumenggung Pratala meminta 
langsung kesediaan Pendekar Pulau 
Neraka tanpa basa-basi lagi.

"Apakah itu tidak berlebihan, 
Paman? Aku tidak tahu persoalannya. 
Dan Paman sendiri belum mengenalku 
seluruhnya. Malah, baru semalam saja 
kita bertemu," kata Bayu, agak 
terkejut juga mendengar permintaan 
Tumenggung Pratala yang begitu lang-
sung, tanpa basa-basi lagi.
"Aku baru ingat setelah kau 
menyebutkan julukanmu, Bayu. Memang 
aku pernah mendengar julukan Pendekar 
Pulau Neraka, dan segala sepak 
terjangnya. Tapi tidak kusangka kalau 
Pendekar Pulau Neraka masih begini 
muda, gagah, dan tampan. Aku yakin, 
kau pasti bersedia membantuku untuk 
menegakkan keadilan di negeri ini, 
Bayu. Itu pun jika kau bersedia 
membantuku," desak Tumenggung Pratala.
"Mungkin bisa kupertimbangkan, 
jika Paman bersedia menceritakan 
keadaan yang sebenamya. Karena kulihat 
tidak ada tanda-tanda bakal terjadi 
pemberontakan di sini," sahut Bayu 
tidak ingin mengecewakan harapan laki-
laki separuh baya ini.
"Terima kasih, Bayu. Pasti 
seluruhnya akan kuceritakan," sambut 
Tumenggung Pratala gembira, meskipun

Bayu belum menyatakan kesediaannya 
secara langsung.
Bayu hanya tersenyum saja. 
Sedangkan Tumenggung Pratala sudah 
langsung menceritakan semua perlstiwa 
yang dialaminya. Sejak dijemput dari 
ketumenggunggan oleh Panglima Gajah 
Pati ke Istana Godaka, sampai diserang 
orang-orang tak dikenal yang dipimpin 
seorang misterius berjuluk si 
Penunggang Kuda Bertopeng.
Bayu hanya diam saja 
mendengarkan. Pendekar Pulau Neraka 
tidak berbicara sedikit pun, sehingga 
Tumenggung Pratala bisa lancar 
menceritakan semua kejadian di Balai 
Sema Agung Istana Godaka. Tak ada 
sedikit pun yang dilewatkan. Semua 
jelas diceritakan. Sehingga, Bayu bisa 
benar-benar mengerti keadaan yang 
sedang terjadi di lingkungan Istana 
Kerajaan Godaka. Terutama, keadaan 
yang kini dialami para adipati dan 
tumenggung kerajaan ini.
* * *
EMPAT

Dengan halus sekali, Bayu menolak 
tawaran Tumenggung Pratala untuk 
singgah di istana. Maka mereka 
terpaksa berpisah di depan bangunan 
istana yang megah, dikelilingi tembok 
benteng yang tinggi, tebal, dan sangat 
kokoh. Sementara Pendekar Pulau Neraka 
terus melanjutkan langkahnya, 
Tumenggung Pratala masuk ke dalam 
benteng yang mengelilingi bangunan 
istana ini. Dua orang prajurit penjaga 
pintu gerbang, membungkuk memberi 
hormat saat Tumenggung Pratala 
melewatinya.
"Kanjeng Tumenggung...!"
Tumenggung Pratala berhenti saat 
kakinya hendak melangkah menaiki anak 
tangga istana. Kepalanya berpaling, 
dan tubuhnya berputar begitu melihat 
Panglima Gajah Pati berlari-lari kecil 
menghampiri.
"Ada apa, Panglima Gajah Pati?" 
tanya Tumenggung Pratala begitu 
Panglima Gajah Pati yang masih berusia 
muda itu dekat di depannya.
"Putrimu.... Rara Gawing sudah 
pergi pagi-pagi sekali, tadi...,"

sahut Panglima Gajah Pari memberi 
tahu, dengan napas agak tersendat
Tumenggung Pratala hanya 
mengangguk-anggukkan kepala saja, 
mendengar laporan panglima berusia 
muda ini.
“Tapi, Kanjeng...."
"Ada apa lagi, Panglima?"
"Rara Gawing tidak mau diantar. 
Bahkan pergi seorang diri dengan 
pakaian biasa," jelas Panglima Gajah 
Pari lagi. 
"Katanya, Kanjeng Tumenggung sen-
diri yang menyuruhnya begitu. Benar, 
Kanjeng...?"
"Ya, memang benar. Aku memang 
menyuruhnya menyamar agar tidak ada 
yang mengenalinya. Aku rasa, hal itu 
lebih aman daripada dikawal prajurit," 
sahut Tumenggung Pratala seraya 
tersenyum.
Tumenggung itu senang, karena 
anak gadisnya lemyata mengikuti semua 
kata-katanya. Bahkan Panglima Gajah 
Pati sendiri sampai keheranan. Memang 
panglima muda itu tidak terbiasa 
terhadap cara berpikir Tumenggung 
Pratala, yang tentu saja pengalamannya 
jauh lebih banyak. Bagaimanapun juga, 
Panglima Gajah Pati masih terlalu


muda. Dia masih perlu menimba 
pengalaman dari yang tua-tua seperti 
Tumenggung Pratala ini.
"Sepi sekali di sini. Apakah 
semua adipati dan tumenggung sudah 
kembali pulang, Panglima?" tanya 
Tumenggung Pratala membelokkan arah 
pembicaraan.
"Sudah, Kanjeng. Kebanyakan 
mereka berangkat sebelum matahari 
terbit. Tapi masih ada juga yang belum 
kembali kekadipatenan atau 
ketumenggungan," sahut Panglima Gajah 
Pati.
Tumenggung Pratala mengangguk-
anggukkan kepalanya.
"Maaf, Kanjeng. Pagi-pagj begini 
Kanjeng Tumenggung baru kembali dari 
luar istana. Kemana saja sepagi ini, 
Kanjeng?" tanya Panglima Gajah Pati.
"Aku tidak bisa tidur semalaman. 
Jadi, aku jalan-jalan saja sambil 
mengamati keadaan," sahut Tumenggung 
Pratala.
Tentu saja hal yang sebenamya 
tidak dikatakan, pada panglima muda 
ini. Dan Tumenggung Pratala juga tidak 
akan mengatakannya sampai orang yang
dicurigai benar-benar ketahuan. Atau 
paling tidak, mengetahui tanda-tanda

siapa di antara para adipati dan 
tumenggung yang dikabarkan sedang 
merencanakan pemberontakan.
"Terlalu berbahaya berjalan 
seorang diri dalam keadaan seperti 
ini, Kanjeng Tumenggung. Kenapa tidak 
meminta beberapa pengawalan prajurit? 
Aku pun bersedia mengawal jika Kanjeng 
Tumenggung meminta," kata Panglima 
Gajah Pati.
"Terima kasih, Panglima," ucap 
Tumenggung Pratala seraya tersenyum.
Sudah bisa diduga kalau kata-kata 
Panglima Gaja Pati yang barusan 
didengarnya, menyiratkan rasa percaya 
panglima muda ini. Bahkan kata-katanya 
tak mengandung kekhawatiran. Tapi 
bagaimanapun juga Tumenggung Pratala 
belum mau mengatakan hal yang
sebenamya. Hatinya sudah bertekad, 
harus mencari biang keladi dari semua 
kekacauan ini. Terlebih lagi, harus 
bisa diketahui, siapa Penunggang Kuda 
Bertopeng yang penuh misteri itu. Dan, 
apa tujuannya membuat keresahan di 
istana ini, dengan mengatakan kalau 
ada di antara adipati dan tumenggung 
merencanakan pemberontakan.
Laki-laki separuh baya itu mulai 
mengayunkan kakinya, meniti undakan

baru depan istana yang megah ini. 
Panglima Gajah Pati mengikuti, dan 
mensejajarkan ayunan kaki di 
sampingnya. Mereka terus melangkah 
tanpa berbicara lagi. Hingga sampai di 
depan pintu istana, empat orang 
prajurit yang menjaga pintu segera 
membungkuk memberi hormat Mereka terus 
saja melangkah, dan langsung masuk ke 
dalam ruangan berukuran besar yang 
disebut ruangan Balai Sema Agung. 
Ruangan itu memang tempat pertemuan 
antara Prabu Bojananta dan para 
pembesar Kerajaan Godaka ini. Tak ada 
seorang pun teriihat di dalam ruangan 
yang sangat besar ukurannya ini. 
Bahkan seorang prajurit pun tidak 
teriihat.
"Seharusnya pagi ini ada 
pertemuan. Kenapa tak seorang pun 
teriihat di sini, Panglima?" tanya Tu-
menggung Pratala seraya merayapi 
sekitarnya yang sunyi senyap, bagai 
berada di tengah-tengah kuburan.
"Tidak akan ada pertemuan lagi di 
sini, Kanjeng Tumenggung," sahut 
Panglima Gajah Pati.
"Tidak ada pertemuan lagi...? Apa 
maksudnya, Panglima?" Tumenggung 
Pratala benar-benar tidak mengerti


atas jawaban Panglima Gajah Pati 
barusan.
"Karena pemberontaknya sudah 
ketahuan."
"Siapa?"
"Kau!"
"Apa...?!"
Kedua bola mata Tumenggung 
Pratala kontan terbeliak lebar 
mendengar kata-kata yang diucapkan 
Panglima Gajah Pati barusan. Dan 
sebelum keterkejutannya hilang, tiba-
tiba saja dari balik semua pintu yang 
ada di setiap sisi ruangan berukuran 
besar ini bermunculan para prajurit 
berseragam. Dengan senjata begitu 
lengkap, mereka langsung bergerak 
membuat kepungan.
"Apa-apaan ini, Panglima...?" 
tanya Tumenggung Pratala meminta 
penjelasan.
"Maaf, Kanjeng Tumenggung. Aku 
terpaksa menangkapmu," sahut Panglima 
Gajah Pati.
“Panglima.... Jelaskan padaku, 
kenapa aku dituduh sebagai 
pemberontak?" Tumenggung Pratala me-
minta penjelasan
"Tindakan Kanjeng yang keluar 
sendiri malam malam, dan menyuruh Rara

Gawing meninggalkan istana secara 
diam-diam, sudah membuat suatu 
kecurigaan. Dan dengan berat hati, 
terpaksa aku harus menangkapmu, 
Kanjeng Tumenggung," jelas Panglima 
Gajah Pati.
"Ohhh...," Tumenggung Pratala 
mendesah panjang.
Sungguh tidak disangka! Temyata 
apa yang dilakukannya, bisa diketahui 
begitu cepat Bahkan panglima muda ini 
yang mencurigainya. Dia benar-benar 
tidak tahu kalau semua ini sudah 
diatur. Bakan tidak disangka kalau 
panglima yang masih berusia muda ini 
memiliki pandangan yang begitu jauh. 
Bahkan bisa bersikap wajar, hingga 
membawanya ke Balai Sema Agung ini
"Maaf, Kanjeng Tumenggung. 
Sebaiknya Kanjeng tidak memberikan 
perlawanan yang bisa membuat kesulitan 
bagi diri Kanjeng Tumenggung sendiri," 
kata Panglima Gajah Pati seraya 
membungkuk memberi hormat
"Baiklah.... Tangkap aku, 
Panglima. Kalau itu memang bisa 
membuat suasana ini jadi berakhir," 
kata Tumenggung Pratala pasrah.
"Maaf, Kanjeng Tumenggung."


"Tidak mengapa, Panglima. Kau 
hanya menjalankan tugas yang memang 
sudah seharusnya kau lakukan."
Panglima Gajah Pati memerintahkan 
dua orang prajurit untuk meringkus 
tumenggung separuh baya ini. Tanpa ada 
perlawanan sedikit pun, dua orang 
prajurit itu meringkus Tumenggung 
Pratala setelah memberi hormat 
Kemudian, mereka menggiringnya keluar 
dari Balai Sema Agung ini. Panglima 
Gajah Pati memandangi sambil 
menghembuskan napas panjang yang 
terasa begitu berat.
Inilah kenyataan yang paling 
sulit dihadapi. Bagaimana tidak...? 
Dia harus mengamankan orang-orang yang 
telah dikenalnya dengan baik selama 
ini, hanya karena tingkah sosok orang 
penuh misteri yang menjuluki dirinya 
Penunggang Kuda Bertopeng. Sedangkan 
sampai saat ini, belum ada tanda-tanda 
akan terjadi pemberontakan, seperti
yang dikatakan si Penunggang Kuda 
Bertopeng itu. Panglima Gajah Pati 
baru meninggalkan Balai Sema Agung ini 
setelah tidak ada lagi prajurit di 
ruangan ini.
***

Sementara itu, tidak jauh dari 
gerbang perbatasan Kotaraja Godaka, 
tampak seorang gadis mengendarai kuda 
perlahan-lahan. Gadis cantik berbaju 
merah muda itu adalah Rara Gawing, 
putri Tumenggung Pratala. Gadis ini 
memang sengaja mengenakan pakaian dari 
kalangan biasa, agar tidak ada seorang 
pun yang mengenalinya.
Dan sejak meninggalkan istana 
pagi-pagi tadi, Rara Gawing memang 
tidak begitu terburu-buru. Kudanya 
dikendalikan dengan langkah perlahan-
lahan, sambil menikmati keindahan 
Kotaraja Godaka. Dia memang tidak 
terlalu sering datang ke sini Dan 
kalaupun datang, tidak banyak 
kesempatan untuk menikmati kota yang 
begitu indah dan semarak ini. Dan 
sekaranglah kesempatan itu datang. 
Rara Gawing tidak menyia-nyiakan 
kesempatan ini. Tidak heran bila sudah 
tengah hari ini, dia baru sampai di 
perbatasan kota.
Tapi baru saja Rara Gawing 
melewati gerbang perbatasan kota 
sebelah Selatan, tiba-tiba saja.... 
"Heh...?”
Rara Gawing begitu terperanjat, 
begitu tiba-tiba di sekitarnya

berlompatan tubuh-tubuh berbaju serba 
hitam yang langsung mengepung rapat 
sekali. Gadis Itu langsung mengenali, 
kalau orang-orang inilah yang telah 
menyerang rombongannya ketika hendak 
ke Kotaraja Godaka. Dan jumlah mereka 
memang begitu banyak, bersenjatakan 
senjata golok terhunus di depan dada.
Di antara orang-orang berbaju 
serba hitam itu, tampak seorang 
penunggang kuda yang juga mengenakan 
baju serba hitam. Namun, wajahnya 
tertutup topeng kayu berwarna hitam 
pula, sehingga sangat sukar 
mengenalinya. Rara Gawing langsung 
bisa merasakan kalau keadaannya 
sekarang ini benar-benar tidak 
menguntungkan. Pandangannya langsung 
beredar ke sekeliling, merayapi orang-
orang berbaju serba hitam yang telah 
mengepung begitu ketat. Sehingga, tak 
ada celah sedikit pun untuk bisa 
keluar dari kepungan ini. Tapi, Rara 
Gawing tidak mau menyerah begitu saja. 
Perlahan-lahan pedangnya yang 
tergantung di pinggang diloloskan.
Sret!
Gadis itu melintangkan pedangnya 
sambil menatap tajam si Penunggang 
Kuda Bertopeng yang duduk tenang di

atas punggung kudanya yang berwarna 
hitam pekat berkiiat. Kuda hitam itu 
bergerak melangkah mendekati Rara 
Gawing yang juga masih berada di atas 
punggung kudanya, dan baru berhenti 
setelah jaraknya tinggal sekitar 
setengah batang tom-bak lagi
"Kuharap, kau tidak membuat 
kesulitan bagi dirimu sendiri, Rara 
Gawing," kata Penunggang Kuda 
Bertopeng itu. Suaranya terdengar 
berat dan bernada aneh.
"Hm.... Apa maumu, Kisanak?" 
tanya Rara Gawing dengan suara yang 
agak bergetar.
"Aku ingin kau ikut denganku 
tanpa banyak tanya, dan tanpa membuat 
kesulitan yang bisa merugikan dirimu 
sendiri," sahut Penunggang Kuda 
Bertopeng, masih dengan suara yang 
sama.
"Untuk apa aku ikut denganmu? Kau 
sudah membuat kesulitan bagi kami 
semua? Bahkan telah keji menuduh 
ayahku tanpa bukti Manusia kotor 
sepertimu, tidak patut diikuti!" agak 
kasar nada suara Rara Gawing.
"Seharusnya, kau bisa menelaah 
keadaan yang sedang terjadi, Rara 
Gawing. Mestinya kau bisa berpikir

jernih, dan bukan berteriak-teriak 
begitu. Apa yang kulakukan ini, demi 
keutuhan Kerajaan Godaka yang sama 
sama kita cintai, Rara Gawing."
“Tapi semua yang kau lakukan, 
justru membuat keresahan. Kau terlalu 
membabi buta, dan tidak memikirkan 
akibatnya!" sentak Rara Gawing masih 
berang.
"Maaf. Aku terpaksa melakukannya. 
Dan hanya itu jalan satu-satunya untuk 
menghambat gerakan mereka. Dengan 
keadaan seperti ini, tentu mereka 
menyangka kalau gerakannya sudah 
diketahui. Dan mereka pasti menahan 
gerakannya, sampai keadaan menjadi 
reda. Nah! Di saat itulah bisa 
kutemukan, siapa manusia-manusia 
berotak kotor itu. Manusia yang tidak 
pemah puas dengan apa yang telah 
dicapainya."
"Jangan bersilat lidah di 
depanku, Kisanak!"
"Aku tidak bersilat lidah. Jika 
kau ingin tahu yang sebenamya, 
sebaiknya ikut denganku. Akan 
kutunjukkan kalau perbuatanku ini 
semata-mata demi kejayaan Kerajaan 
Godaka."

"Kenapa tidak di sini saja...?" 
tantang Rara Gawing.
"Tidak. Ini bukan tempat yang 
tepat untuk membicarakan sesuatu yang 
sangat suci dan mulia."
"Hm...," Rara Gawing mengerutkan 
keningnya dengan bibir menggumam 
perlahan.
Beberapa saat Rara Gawing terdiam 
dengan kening sedikit berkerut 
Sebentar kemudian, bibimya yang tipis 
dan selalu memerah itu menyunggingkan 
senyuman tipis.
"Baik, aku akan mengikutimu. Tapi 
dengan satu syarat," tegas Rara 
Gawing.
"Syarat apa yang kau ajukan, Rara 
Gawing?"
"Kau harus dapat mengalahkanku 
dulu, tanpa bantuan orang-orangmu," 
kata Rara Gawing sambil tersenyum.
"Kau terlalu mengada-ada, Rara 
Gawing. Aku tidak ingin melukaimu."
"Terserah...! Jika kau tolak 
tawaranku, jangan harap bisa membawaku 
begitu saja. Dan aku tidak menjamin 
keselamatan orang-orangmu!" ketus 
sekali nada suara Rara Gawing.

"Baiklah, jika itu keinginanmu, 
Rara Gawing. Tapi jangan menyesal jika 
kau sampai terluka."
"Hup!"
Rara Gawing tidak banyak bicara 
lagi, langsung saja melompat turun 
dari punggung kudanya. Manis sekali 
gerakannya. Dan tanpa menimbulkan 
suara sedikit pun, gadis itu mendarat 
ringan di tanah yang berumput cukup 
tebal. Sementara si Penunggang Kuda 
Bertopeng masih tetap duduk di atas 
punggung kudanya. Dipandanginya gadis 
itu beberapat saat. Kemudian dengan 
satu gerakan ringan, manusia berbaju 
serba hitam dan bertopeng itu melompat 
turun dari punggung kudanya. Begitu 
manis sekali gerakannya, pertanda ilmu
meringankan tubuhnya sudah mencapai 
tingkat tinggi.
"Silakan. Kau boleh mulai lebih 
dulu, Rara Gawing," tantang si 
Penunggang Kuda Bertopeng, meminta 
Rara Gawing menyerang lebih dulu.
"Hm.... Kau terlalu menganggap 
enteng diriku, Kisanak," dengus Rara 
Gawing agak menggumam.
Gadis itu segera membuat beberapa 
gerakan manis, dengan kebutan 
pedangnya. Sementara si Penunggang


Kuda Bertopeng hanya memperhatikan 
saja. Bola matanya tampak tidak 
berkedip, tersembunyi di balik topeng 
kayu hitamnya.
"Tahan seranganku, Kisanak! 
Hiyaaat..!"
Sambil berteriak keras 
menggelegar, Rara Gawing melompat 
cepat bagai kilat menyerang laki-laki 
berbaju serba hitam yang menutupi 
wajahnya dengan topeng kayu itu. Cepat 
sekali serangannya, sehingga kelebatan 
pedangnya sampai sulit diikuti 
pandangan mata biasa.
"Uts! Hap...!"
Tapi si Penunggang Kuda Bertopeng 
itu bisa menghindari serangan-serangan 
Rara Gawing yang begitu cepat dan 
dahsyat Gerakan-gerakannya begitu 
cepat dan lincah. Liukan tubuhnya pun 
manis sekali. Sehingga, beberapa 
tebasan pedang Rara Gawing tidak 
sampai menyentuh tubuhnya.
Namun Rara Gawing tidak mau 
menyerah begitu saja. Gadis itu terus 
melancarkan serangan gencar. Beberapa 
jurus sudah cepat dikeluarkan secara 
ber-ganri-gantL Tapi sampai sudah 
habis lima jurus, belum juga dapat 
mendesak orang penuh misteri yang ber

juluk si Penunggang Kuda Bertopeng 
ini.
"Sudah lima jurus, Rara Gawing," 
desis si Penunggang Kuda Bertopeng 
mengingatkan.
"Jangan mengejekku! Hiyaaat..!"
Rara Gawing jadi tidak bisa lagi 
mengendalikan diri, dan malah 
menyerang semakin hebat saja. Dan ini 
sangat dirasakan si Penunggang Kuda 
Bertopeng, sehingga terpaksa harus 
berjumpalitan menghindarinya.
"Edan...! Pertarungan ini 
dianggapnya sungguh-sungguh. Hhh! Aku 
harus segera menghentikannya sebelum 
telanjur," dengus Penunggang Kuda Ber-
topeng dalam hati.
Sedangkan Rara Gawing terus saja 
melancarkan serangan menggunakan 
jurus-jurus dahsyat dan cepat luar 
biasa. Sama sekali tidak disadari 
kalau apa yang dilakukannya ini justru 
membuat si Penunggang Kuda Bertopeng 
semakin banyak menarik keluar jurus-
jurus-nya. Dan ini memang disengaja. 
Si Penunggang Kuda Bertopeng itu ingin 
mengetahui, sampai di mana tingkat 
kepandaian putri Tumenggung Pratala 
ini. Tapi hatinya juga jadi khawatir, 
karena tampaknya Rara Gawing sudah

tidak bisa lagi mengendalikan diri. 
Bahkan serangan-serangan gadis itu 
semakin dahsyat saja dan sangat 
membahayakan. Bukan saja bagi lawan, 
tapi juga bagi dirinya sendiri.
"Cukup, Rara Gawing! Hiyaaat...!"
Tiba-tiba saja si Penunggang Kuda 
Bertopeng melentingkan tubuhnya ke 
udara cepat bagai kilat. Dua kali 
tubuhnya berputaran di udara, lalu 
meluruk ke belakang Rara Gawing, 
sebelum gadis itu menyadari. Si 
Penunggang Kuda Bertopeng sudah 
melepaskan satu pukulan lunak ke 
punggung gadis itu.
Desss!
"Akh...!" Rara Gawing terpekik 
agak tertahan.
Gadis itu terhuyung-huyung ke 
belakang, begitu punggungnya terkena 
pukulan lunak dari si Penunggang Kuda 
Bertopeng. Dan begitu tubuhnya 
berputar berbalik, si Penunggang Kuda 
Bertopeng sudah melompat cepat sambil 
melepaskan satu totokan yang ringan ke 
bagian bahu kiri gadis ini. Begitu 
cepat se rangannya sehingga Rara 
Gawing tidak sempat lagi berkelit 
Terlebih lagi, keseimbangan tubuhnya 
memang belum begitu sempurna. Dan....

Jleb!
"Akh...!" lagi-lagi Rara Gawing 
terpekik tertahan.
Hanya sebentar saja Rara Gawing 
masih mampu berdiri, kemudian tubuhnya 
ambruk menggelimpang di tanah tidak 
bergerak-berak lagi. Hanya kepalanya 
saja yang masih bisa digerakkan. 
Sedangkan seluruh tubuhnya terasa 
begitu lemas, tak dapat digerakkan 
lagi Rara Gawing sadar kalau dia sudah 
terkena totokan yang melumpuhkan 
seluruh anggota tubuhnya.
"Bawa dia. Jangan sampai 
terluka...!" perintah si Penunggang 
Kuda Bertopeng.
Setelah memberi perintah, si 
Penunggang Kuda Bertopeng langsung 
melompat naik ke punggung kudanya. 
Sementara dua orang laki-laki berbaju 
hitam sudah bergerak menggotong Rara 
Gawing yang tertotok lemas tak berdaya 
lagi, lalu meletakkannya di punggung 
kuda gadis itu sendiri. Sebentar 
kemudian, gadis itu sudah digiring 
berpuluh-puluh orang berbaju serba 
hitam. Rara Gawing tidak tahu, ke mana 
dibawa pergi. Dan dia tidak berdaya 
lagi untuk memberontak, karena seluruh 
tubuhnya kini sudah lumpuh tertotok.

Teriebih lagi, kesadarannya semakin 
berkurang, hingga akhimya tidak bisa 
mengingat apa-apa lagi.
* * *
LIMA


Sementara itu di dalam penjara 
Kerajaan Godaka, Tumenggung Pratala 
jadi terkejut bukan main. Ternyata di 
dalam penjara ini bukan hanya dirinya 
sendiri yang dijebloskan. Tapi, hampir 
semua tumenggung dan adipati ada di 
sini. Mereka semua juga tidak 
mengerti, kenapa dimasukkan ke dalam 
penjara dengan tuduhan yang sama 
sekali sulit dimengerti. Mereka semua 
jadi bertanya-tanya, apa sebenamya 
yang sedang terjadi di kerajaan ini?
Tumenggung Pratala memperhatikan 
kalau masih ada dua tumenggung dan 
seorang adipati yang tidak ada di 
dalam penjara ini. Mereka adalah 
Tumenggung Abiguna, Tumenggung Baliga, 
dan Adipati Mahesa. Tapi, itu bukan 
suatu bukti kalau merekalah sebenarnya 
yang punya rencana memberontak. Dan

Tumenggung Pratala lebih percaya kalau 
semua ini tentu sudah direncanakan. 
Bahkan bukannya tidak mungkin kalau 
salah satu dari mereka yang ada dalam 
penjara ini termasuk ke dalam kelompok 
pemberontak itu. Hanya saja, terlalu 
sulit untuk membuktikannya. Bahkan 
juga bukannya tidak mungkin kalau 
tidak ada pemberontakan, tapi hanya 
sebuah permainan yang memang sudah 
diatur. Tapi, entah apa maksudnya 
semua ini. Dan itu masih menjadi suatu 
pertanyaan besar benak Tumenggung 
Pratala.
Seorang Adipati yang usianya 
beberapa tahun lebih muda dari 
Tumenggung Pratala menghampirinya. Dan 
memang sejak dijebloskan ke dalam 
penjara ini, Tumenggung Pratala selalu 
menyendiri, tidak bergabung dengan 
yang lainnya. Dia hanya memperhatikan 
saja wajah-wajah murung dengan
segudang pertanyaan dan 
ketidakmengertian atas semua kejadian 
ini. Tumenggung Pratala memandang 
Adipati Balengka yang masih berusia 
sekitar tiga puluh lima tahun Adipati 
itu menghenyakkan tubuh di sampingnya.
"Aku benar-benar tidak mengerti 
semua ini, Kakang Pratala," desah

Adipati Balengka setengah mengeluh. 
Nada suaranya terdengar begitu 
periahan.
“Tidak ada seorang pun yang bisa 
mengerti, Rayi Balengka," ujar 
Tumenggung Pratala juga perlahan 
suaranya.
"Apa kita semua akan terus 
mendekam di sini tanpa ada kepastian, 
Kakang?" tanya Adipati Balengka, 
seperti untuk diri sendiri.
"Entahlah...," sahut Tumenggung 
Pratala.
"Rasanya tidak sulit untuk keluar 
dari sini, Kakang. Penjagaan tidak 
ketat. Hanya ada empat prajurit saja 
di depan," jelas Adipati Balengka 
lagi.
"Jangan berpikir begitu, Rayi. 
Bisa-bisa malah memperburuk keadaan 
yang sudah tidak menentu ini. Itu sama 
saja memberontak, Rayi."
"Sudah terlanjur, Kakang. Selama 
ini, tidak ada sedikit pun pikiran 
untuk memberontak. Malah kita semua 
dituduh begitu. Dan sekarang..., harus 
meringkuk di dalam penjara tanpa 
tuduhan dan kesalahan pasti," dengus 
Adipati Balengka seperti putus asa.

"Aku yakin, cepat atau lambat 
kita akan dihukum gantung sebagai 
pemberontak. Padahal, kita tidak 
pernah melakukan pemberontakan. 
Apalagi merencanakannya, Kakang. 
Sekarang sudah telanjur. Rasanya aku 
tidak bisa tinggal diam begitu saja. 
Dalang dari semua ini tidak mungkin 
bisa diketahui, jika kita hanya 
mendekam saja di dalam penjara. 
Kakang..., mereka semua sudah setuju 
untuk keluar dari dalam penjara ini 
Mereka tinggal menunggu keputusanmu, 
karena kau yang tertua di antara kami, 
Kakang."
Tumenggung Pratala terdiam. 
Pandangannya beredar berkeliling, 
merayapi semua orang yang ada dalam 
ruangan tahanan ini. Memang di antara 
mereka, hanya Tumenggung Pratala yang 
paling tua. Dan mereka semua juga 
memandanginya, seperti berharap 
mendengar keputusannya untuk keluar 
dari dalam tahanan ini secara paksa. 
Perlahan Tumenggung Pratala
menggelengkan kepalanya sambil 
mendesah, dan menghembuskan napas 
panjang.
"Tidak.... Kalian jangan berbuat 
bodoh. Lari dari sini tidak akan

menyelesaikan masalah, dan malah akan 
memperburuk keadaan. Seharusnya, 
kalian me nyadari hal itu. Kita semua 
sudah terjebak ke dabm keadaan yang 
sulit dimengerti. Kita tidak tahu, 
rencana apa yang ada di balik semua 
ini...," kata Tumenggung Pratala 
perlahan, dengan suara mendesah.
"Tapi kita tidak punya pilihan 
lain lagi, Kakang," desak Adipati 
Balengka.
"Apa kau pikir dengan lari dari 
sini kita akan bebas, dan semua 
persoalan akan selesai...? Tidak, 
Rayi.... Hal itu malah akan bertambah 
buruk. Aku tahu, memang itu yang 
diinginkan mereka untuk menyingkirkan 
kita semua. Dan justru kita akan mati 
sebagai pemberontak bila kalian tetap 
lakukan itu. Tidakkah kalian berpikir 
kalau kita semua sudah terjebak...?" 
agak tinggi nada suara Tumenggung 
Pratala.
Tidak ada seorang pun yang 
membuka suara. Mereka saling melempar 
pandang, mempertimbangkan kata-kata 
yang diucapkan Tumenggung Pratala 
barusan. Sedangkan Adipati Balengka 
seperti tidak puas terhadap jalan 
pikiran Tumenggung Pratala. Dia

kemudian bangkit dari duduknya di 
samping Tumenggung Pratala, dan 
berdiri di tengah-tengah ruangan 
tahanan ini. Pandangannya beredar 
berkeliling, merayapi sekitamya.
"Aku akan melakukannya sendiri. 
Dan tidak ada seorang pun yang bisa 
menghalangi Adipati Balengka. Tidak 
ada seorang pun yang bisa memenjarakan 
Adipati Balengka...!" lantang sekali 
suara Adipati Balengka. "Siapa di 
antara kalian yang ingin tetap tinggal 
di sini, dan menunggu nasib seperti 
Kakang Tumenggung Pratala...?"
Seorang berusia tiga puluh tahun, 
melangkah maju mendekati Adipati 
Balengka. Namanya, Tumenggung 
Wirapati. Dia berdiri tegak di depan 
Adipati Balengka. Tatapan matanya 
begitu tajam, menusuk langsung ke bola
mata Adipati Balengka.
"Apa maksudmu mengajak kami 
memberontak keluar dari sini, Kakang 
Balengka...?" terasa dingin sekali 
nada suara Tumenggung Wirapati.
"Aku hanya ingin membebaskan kau 
dan kalian semua dari tempat kotor 
ini," sahut Adipati Balengka.

"Dengan cara memberontak...?" 
sinis sekali nada suara Tumenggung 
Wirapati.
"Hanya itu jalan satu-satunya. 
Kita tidak bisa mencari, siapa dalang 
dari semua ini dengan hanya berdiam 
diri saja menunggu di sini."
"Sudah kutemukan salah seorang 
dari perusuh itu, Adipati 
Balengka...," semakin sinis nada suara 
Tumenggung Wirapati.
Adipati Balengka tampak terkejut 
mendengar kata-kata bemada begitu 
sinis. Dan seketika itu juga, wajahnya 
langsung memucat begitu melihat semua 
adipati dan tumenggung yang terkurung 
di kamar tahanan ini bergerak 
mendekatinya. Sinar mata mereka 
menyorot tajam menusuk ke arahnya. 
Adipati Balengka melangkah mundur 
mendekati pintu jeruji yang terbuat 
dari besi baja berwarna hitam. Empat 
orang penjaga yang berada di depan 
pintu, hanya memperhatikan saja tanpa 
berbuat sesuatu. Sementara Adipati 
Balengka sudah merapat di pintu jeruji 
besi kamar tahanan ini.
Wajah adipati itu semakin pucat 
pasi. Sementara semua adipati dan 
tumenggung yang ada di ruang tahanan

ini terus bergerak semakin mendekat 
saja dengan mata menyorot tajam. Tapi 
pada saat jarak mereka sudah tinggal 
beberapa langkah lagi, tiba-tiba saja 
Tumenggung Pratala yang sejak tadi 
hanya diam memperhatikan, melompat 
cepat bagai kilat. Dan tahu-tahu saja 
dia sudah berdiri di tengah-tengah.
"Tahan...!" sentak Tumenggung 
Pratala lantang menggelegar.
***
Mereka semua langsung berhenti 
melangkah. Tumenggung Pratala merayapi 
wajah mereka semua secara bergantian. 
Lalu, tatapannya beralih pada Adipati 
Balengka yang tampak pucat pasi, 
dengan seluruh wajah dan leher 
bersimbah keringat. Sementara empat 
orang prajurit penjaga di depan pintu 
kamar tahanan ini masih tetap diam, 
tak melakukan tindakan apa pun juga. 
Mereka hanya memperhatikan saja dari 
jarak sekitar satu batang tombak di 
depan pintu.
"Ada apa ini...?" tanya 
Tumenggung Pratala meminta penjelasan.
“Tidak ada seorang pun yang ingin 
memberontak, Kakang Tumenggung

Pratala. Bahkan kami semua rela mati 
di sini, demi Gusti Prabu Bojananta. 
Tapi si pengkhianat ini..., berani-
beraninya menghasut untuk memberontak. 
Jelas, dia salah seorang pengkhianat-
pengkhianat itu, Kakang Tumenggung," 
sahut Tumenggung Wirapati.
"Benar...!" sambut yang lain 
serempak Tumenggung Pratala menatap 
tajam Adipati Balengka yang masih 
kelihatan pucat wajahnya. Keringat 
sebesar butir-butir jagung, menitik 
deras di seluruh wajah dan lehemya. 
Tubuh adipati yang masih cukup muda 
usianya itu kelihatan gemetar seperti 
terserang demam.
"Kenapa kau lakukan itu, 
Rayi...?" tanya Tumenggung Pratala 
tidak mengerti sikap Adipati Balengka.
"Aku..., aku tidak mengerti. 
Kenapa kalian menuduhku berkhianat? 
Aku hanya ingin mengajak kalian bebas 
dari tempat ini...," jelas Adipati 
Balengka. Suaranya bergetar dan 
tergagap.
"Mereka semua rela, meskipun 
harus mati di kamar tahanan ini. 
Seharusnya, kau tidak perlu bersikap 
aneh seperti itu. Kau tahu, apa 
jadinya dalam keadaan seperti sekarang

ini...? Tidak seorang pun yang bisa 
dipercaya lagi. Sedangkan sikapmu, 
bagi mereka adalah sikap seorang 
pengkhianat yang me-coba menjerumuskan 
mereka ke lembah neraka yang lebih 
dalam lagi. Seharusnya kau bisa 
menyadari itu, Rayi Balengka," ujar
Tumenggung Pratala, yang menyesalkan 
sikap Adipati Balengka.
"Tidak ada gunanya lagi banyak 
bicara, Kakang. Dia pasti salah 
seorang dari mereka...!" sentak 
Tumenggung Wirapati lantang suaranya. 
"Sebaiknya, kita gantung saja sekarang 
juga...!"
"Ya, benar...!"
"Gantung pengkhianat itu...!"
"Gantung sampai mati...!"
Ruangan yang berukuran tidak 
begitu besar ini seakan-akan hendak 
runtuh oleh riuhnya sorak-sorai mereka 
yang meminta agar Adipati Balengka 
digantung sekarang juga. Dan ini 
membuat Adipati Balengka semakin pucat 
wajahnya. Seluruh tubuhnya bergetar 
dahsyat, tidak sanggup membayangkan 
kalau sampai digantung di dalam rungan 
tahanan yang kotor begini.
Mereka sudah bergerak hendak 
meringkus Adipati Balengka. Untungnya,

Tumenggung Pratala yang lebih tua dan 
dihormati oleh para adipati dan 
tumenggung itu segera bertindak. Dia 
mencegah tindakan brutal dari mereka 
yang sudah dihinggapi perasaan marah, 
akibat tindakan gegabah yang dilakukan 
Adipati Balengka.
"Tahan...!" bentak Tumenggung 
Pratala.
Seketika itu juga, keributan yang 
terjadi di dalam kamar tahanan ini 
langsung berhenti begitu terdengar 
bentakan keras menggelegar. Sementara 
Tumenggung Pratala sudah berdiri tegak 
membelakangi Adipati Balengka yang 
berdiri dengan punggung merapat di 
pintu jeruji besi ruangan tahanan ini.
"Sadarlah.... Kalian adalah para 
Adipati dan Tumenggung yang terhormat 
di negeri ini. Kalian bukan gerombolan 
penjahat. Apakah kalian ingin berbuat 
seperti gerombolan penjahat liar...? 
Tidakkah kalian menyadari akan diri 
dan kedudukan kalian..?" lantang 
sekali suara Tumenggung Pratala.
Tak ada seorang pun yang 
berbicara lagj. Namun dari sinar mata 
mereka, masih menyimpan kemarahan pada 
Adipati Balengka yang kini berada 
dalam lindungan Tumenggung Pratala.

Satu persatu laki-laki separuh baya 
itu merayapi para Tumenggung dan 
Adipati yang berada di depannya. 
Mereka semua langsung tertunduk, 
seakan-akan tidak sanggup membalas 
sinar yang menyorot begitu tajam. 
Sementara Adipati Balengka sedikit 
merasa lega, karena saat ini masih 
bisa bemapas dalam lindungan 
Tumenggung Pratala, yang dtketahuinya 
begitu ditakuti dan dihormati semua 
Adipati dan Tumenggung Kerajaan Godaka 
ini.
Perlahah Tumenggung Pratala 
memutar tubuhnya, berbalik menghadap 
Adipati Balengka lagi. Ditatapnya 
Adipati muda itu dengan sinar mata 
penuh selidik. Sedangkan Adipati 
Balengka hanya tertunduk saja. Dengan 
punggung tangan, disekanya keringat 
yang membanjiri wajah dan lehernya.
"Siapa yang menyuruhmu melakukan 
ini, Balengka?" tanya Tumenggung 
Pratala, tidak lagi memanggil dengan 
sebutan rayi.
"Aku..., aku...," Adipati 
Balengka jadi tergagap.
"Jawab pertanyaanku dengan jujur, 
Balengka," desis Tumenggung Pratala 
dingin dan menggetarkan.

"Aku tidak tahu maksudmu, 
Kakang...," sahut Adipati Balengka, 
semakin tergagap suaranya.
"Sudah, Kakang. Tidak periu 
banyak tanya lagi..," selak Tumenggung 
Wirapati tidak sabar.
"Diam kau, Wirapati...!" sentak 
Tumenggung Pratala seraya mendelik.
Tumenggung Wirapati terdiam 
mendapat bentakan dari Tumenggung 
Pratala. Kakinya bergeser dua tiridak 
ke belakang. Sementara yang lain tidak 
ada lagi yang berani membuka suara. 
Mereka semua tahu, jika Tumenggung 
Pratala sudah ikut turun tangan, tidak 
mungkin dicampuri lagi Dan mereka juga 
tahu, tidak mungkin Tumenggung Pratala 
bertindak berat sebelah. Siapa pun di 
antara mereka yang menyelusup sebagai 
pengkhianat, pasti akan ketahuan juga. 
Dan mereka percaya dengan kecerdikan 
serta cara-cara yang dilakukan 
Tumenggung Pratala dalam menghadapi 
persoalan seperti ini.
"Aku bisa menolongmu agar tidak 
digantung mereka. Itu kalau kau mau 
berkata jujur padaku, Balengka," desak 
Tumenggung Pratala lagi Sorot matanya 
tampak masih tetap tajam, menusuk

langsung ke bola mata Adipati 
Balengka.
"Apa lagi yang harus kukatakan, 
Kakang? Aku bukan pengkhianat.... Maaf 
kalau aku tadi khilaf," sahut Adipati 
Balengka masih dengan suara bergetar.
"Kau berkata jujur, Balengka...?" 
desak Tumenggung Pratala.
"Aku..., aku...," Adipati 
Balengka jadi tergagap.
"Siapa yang menyuruhmu, 
Balengka?" Tumenggung Pratala terus 
mendesak.
"Tid..., tidak ada," sahut 
Adipati Balengka semakin tergagap.
"Kau begitu gugup, Balengka," 
kata Tumenggung Pratala terus menatap 
tajam ke bola mata Adipati muda ini.
Adipati Balengka kelihatan 
semakin gelisah saja. Kepalanya 
menoleh ke kanan dan ke kiri, menatap 
empat orang prajurit penjaga yang sama 
sekali tidak bergeming. Sama sekali 
adipati itu tidak mampu membalas 
tatapan mata Tumenggung Pratala yang 
begitu tajam menusuk.
***

Dan baru saja Tumenggung Pratala 
ingin bertanya lagi, tiba-tiba saja 
empat orang prajurit penjaga 
membungkukkan tubuhnya. Kemudian, 
muncul empat orang berbaju serba merah 
dengan wajah ditutupi kain berwarna 
merah pula. Hanya dua lubang kecil 
saja yang ada untuk sepasang mata.
Salah seorang berbaju merah itu 
berbicara pada empat orang prajurit 
penjaga. Kemudian, salah seorang 
prajurit melangkah mendekati pintu 
kamar tahanan itu. Lalu, dibukanya 
kunci pintu, dan ditariknya Adipati 
Balengka keluar. Bergegas ditutupnya 
pintu tahanan itu kembali, dan 
dikuncinya.
"Kau ikut aku, Balengka," ujar 
salah seorang berbaju serba merah yang 
tadi berbicara dengan prajurit 
penjaga.
Adipati Balengka menatap sebentar 
pada Tumenggung Pratala, kemudian 
melangkah mengikuti dua orang berbaju 
serba merah. Kemudian, disusul dua 
orang lagi yang juga mengenakan baju 
wama serba merah. Sedangkan empat 
orang prajurit kembali ke tempatnya 
berjaga. Kepergian Balengka bersama 
empat orang berbaju serba merah itu

diiringi pandangan mata para Adipati 
dan Tumenggung yang berada dalam kamar 
tahanan.
Sementara Adipati Balengka yang 
diapit dua orang berbaju merah di 
depan dan dua orang lagi di belakang, 
terus berjalan menyusuri lorong 
tahanan yang hanya diterangi beberapa 
obor terpancang di setiap kiri dan 
kanan dindingnya. Mereka terus 
berjalan tanpa berbicara sedikit pun, 
sampai tiba di depan pintu keluar. Dua 
orang prajurit penjaga membungkuk 
memberi hormat Salah seorang segera 
membuka pintu yang terbuat dari besi 
baja berukuran tebal itu.
Mereka terus melangkah keluar 
dari bangunan bawah tanah penjara ini. 
Adipati Balengka segera menghirup 
udara segar dalam-dalam, begitu berada 
di luar penjara. Matahari yang 
bersinar terang, membuat matanya jadi 
menyipit silau. Dia terus digiring 
menuju ke bangunan istana yang berdiri 
megah. Beberapa prajurit yang ada di 
sekitar bangunan penjara dan istana 
hanya memandangi saja.
Belum ada yang mengeluarkan 
suara, sampai mereka tiba di sebuah 
ruangan berukuran tidak begitu besar.

Hanya ada dua pintu di ruangan ini. 
Satu pintu dilewati tadi, dan satu 
pintu lagi yang tertutup rapat
"Kau duduk di sini, Balengka," 
ujar salah seorang berbaju serba merah 
sambil menekan pundak Adipati 
Balengka. Mau tak mau, adipati berusia 
muda itu terduduk di kursi yang 
terbuat dari rotan.
Sedangkan empat orang berbaju 
serba merah itu berdiri berjajar di 
belakangnya. Pada saat itu, pintu yang 
langsung menghadap mereka terbuka 
perlahan-lahan. Maka empat orang 
berbaju serba merah itu segera 
membungkukkan tubuh, tepat di saat 
seorang laki-laki tua berjubah serba 
putih yang cukup longgar melangkah 
masuk. Dia diiringi dua orang pemuda 
yang juga mengenakan baju wama putih 
bersih dan cukup ketat, sehingga 
membentuk tubuh yang tegap, padat, dan 
berisi.
"Gusti...."
Adipati Balengka jadi teriongong, 
seakan-akan tidak percaya dengan apa 
yang dilihatnya saat ini. Cepat-cepat 
dijatuhkan dirinya ke lantai, dan 
berkitut Keningnya dirapatkan di 
lantai. Seluruh tubuhnya jadi bergetar

hebat Sementara keringat dingin 
sebesar butir jagung menitik deras 
membasahi seluruh tubuhnya. Sedangkan 
laki-laki tua yang masih kelihatan 
tegap dan berjubah putih longgar itu 
mendekati Adipati Balengka. Ditepuk-
tepuknya pundak adipati itu dengan 
lembut
"Bangunlah, Anakku Adipati 
Balengka...," ujar laki-laki tua itu. 
Lembut sekali nada suaranya.
"Ampunkan hamba, Gusti...," lirih 
sekali suara Adipati Balengka.
"Bangunlah, dan duduk di 
kursimu," ujar laki-laki tua itu lagi, 
masih tetap lembut suaranya.
Perlahan Adipati Balengka 
bangkit, kemudian duduk di kursi rotan 
yang tadi didudukinya. Sedangkan laki-
laki tua berbaju putih longgar itu 
duduk tidak jauh di kursi kayu jati 
berukir, berwarna kuning keemasan. 
Alas kursi itu dari kain beludru 
berwarna merah. Sementara empat orang 
berbaju serba merah yang berdiri di 
belakang Adipati Balengka, segera 
berpindah ke belakang laki-laki tua 
itu. Mereka melepaskan kain yang 
menyelubungi seluruh kepalanya.
"Oh...?"

Adipati Balengka jadi semakin 
terperangah, begitu empat orang 
berbaju serba merah itu membuka kain 
selubungnya. Saat itu juga, kakinya 
terasa seperti sudah tidak berpijak 
lagi pada bumi. Napasnya seakan-akan 
berhenti bekerja, dan jantungnya 
begitu cepat berdetak. Keringat 
semakin banyak mengucur di seluruh 
tubuhnya. Sungguh.... Saat ini dia 
merasakan seolah-olah sudah tidak lagi 
hidup.
* * *
ENAM


Apa yang dirasakan Adipati 
Balengka saat ini memang tidak 
berlebihan. Karena mereka yang ada di 
depannya saat ini adalah orang-orang 
yang patut dihormati. Memang, mereka 
adalah orang-orang utama di Kerajaan 
Godaka ini Laki-laki tua berjubah 
serba putih itu adalah ayah kandung 
Prabu Bojananta, yang sebelumnya 
menjadi raja di Kerajaan Godaka ini. 
Sedangkan salah satu orang yang

mengenakan baju serba merah adalah 
Prabu Bojananta sendiri.
Sementara tiga orang yang 
mendampingi adalah Tumenggung Abiguna, 
Tumenggung Baliga, dan Adipati Mahesa. 
Yang paling lama menduduki jabatan 
adipati, selama Prabu Bojananta belum 
menjadi raja di Kerajaan Godaka Ini, 
adalah Adipati Mahesa. Lalu, dua orang 
lagi yang mengenakan baju berwarna 
putih juga adalah dua orang panglima 
kepercayaan Prabu Podaralaga, ayah 
kandung dari Prabu Bojananta. Hal 
itulah yang membuat Adipati Balengka 
benar-benar seperti terlepas nyawanya 
saat ini.
"Aku sudah tahu, apa yang terjadi 
di dalam kamar tahanan. Kenapa kau 
ingin memberontak pada kerajaan ini, 
Balengka?" terdengar lembut suara 
Prabu Podaralaga. Tapi, ada sedikit 
tekanan pada nada suaranya yang begitu 
dalam.
"Hamba.... Hamba tidak 
memberontak, Gusti,” sahut Adipati 
Balengka tergagap.
"Pikirkanlah dengan benar, 
Balengka. Katakan, siapa-siapa saja 
temanmu yang ingin menggulingkan

takhta?" desak Prabu Bojananta tampak 
tidak sabar.
"Ampunkan hamba, Gusti. Hamba 
benar-benar tidak ada maksud 
memberontak. Memikirkan saja, hamba 
tidak berani, Hamba benar-benar tidak 
tahu rencana itu, Gusti," rintih 
Adipati Balengka memelas.
"Hm...," gumam Prabu Podaralaga 
perlahan.
Ditatapnya dalam-dalam wajah 
Adipati Balengka yang tertunduk 
menekuri ujung jari kakinya. Sebentar 
kemudian wajahnya berpaling pada dua 
orang berbaju putih yang berdiri tepat 
di belakangnya. Dua orang pemuda 
berbaju serba putih itu langsung 
membungkukkan tubuh, kemudian 
melangkah menghampiri Adipati 
Balengka. Salah seorang dari pemuda 
itu memang dikenali Adipati Balengka 
sebagai adik kandung Panglima Gajah 
Pati yang juga seorang panglima perang 
kerajaan ini. Namanya Panglima Gajah 
Sodra. Sedangkan yang satunya lagi 
adalah Panglima Gotama.
Dengan sikap hormat, mereka 
membangunkan Adipati Balengka hingga 
berdiri, lalu membawanya keluar dari 
ruangan ini. Tiga orang berbaju merah

yang tadi bersama-sama Prabu 
Bojananta, segera keluar mengiringi 
Adipati Balengka yang dikawal dua 
orang panglima berbaju serba putih 
itu. Kini di dalam ruangan yang 
berukuran tidak begitu besar itu, 
tinggal Prabu Bojananta dan ayahnya 
saja.
"Mungkin berita itu tidak benar, 
Ayahanda Prabu. Aku khawatir terjadi 
sesuatu terhadap mereka," duga Prabu 
Bojananta setelah tinggal mereka 
berdua saja di ruangan ini. "Aku 
merasa tidak akan ada hasilnya dengan 
cara seperti ini."
Sedangkan laki-laki tua berjubah 
putih yang walaupun tidak menjabat 
sebagai raja lagi, tapi tetap 
dipanggil dengan sebutan prabu, hanya 
diam saja. Dia bangkit berdiri dan 
melangkah mendekati jendela yang 
tertutup rapat. Perlahan-lahan 
dibukanya jendela itu lebar-lebar. 
Lalu, tubuhnya berbalik, menatap 
putranya yang kini menggantikan 
kedudukannya sebagai raja di Kerajaan 
Godaka ini.
"Barangkali bukan salah seorang 
dari mereka, Ayahanda Prabu. Mungkin 
salah seorang patih, atau pembesar

pembesar lainnya yang luput dari 
perhatian kita," kata Prabu Bojananta 
lagi.
"Naluriku tidak pernah salah, 
Bojananta," ujar Prabu Podaralaga, 
agak dalam nada suaranya.
“Tapi siapa...? Desas-desus ini 
sudah menyebar, dan membuat seluruh 
rakyat jadi resah. Aku tidak ingin 
berlarut-larut, Ayah. Yang jelas, 
secepatnya harus dicari penyelesaian 
agar tidak ada penyesalan di belakang 
hari."
Prabu Podaralaga kembali terdiam.
"Selama ini aku tidak pernah 
mendengar adanya rencana itu, Ayah?" 
tanya Prabu Bojananta.
"Percayalah, ada salah seorang 
Adipati atau Tumenggung yang akan 
melakukan pemberontakan di Kerajaan 
Godaka!" tegas Prabu Podaralaga, agak 
dalam nada suaranya.
"Menahan mereka sama sekali tidak 
berguna, Ayah. Bahkan akan membuat 
kesulitan baru lagi Aku benar-benar 
tidak mengerti semua ini. Tiba-tiba 
saja Ayah keluar dari pertapaan, dan 
mengira kalau salah seorang dari 
Adipati dan Tumenggung merencanakan 
suatu pemberontakan. Sedangkan selama

ini, aku tidak pernah mendengar adanya 
rencana seperti itu. Terlebih lagi 
dari mereka, Ayah. Sebenamya, dari 
mana Ayah mendapat berita seperti 
itu...?"
"Kau sudah mulai meragukan 
diriku, Bojananta," agak mendesis 
suara Prabu Podaralaga.
"Maaf, Ayahanda Prabu. Bukan 
maksudku untuk meragukan. Tapi keadaan 
ini rasanya tidak bisa dibiarkan 
terialu lama berlarut-larut. Harus ada 
satu penyelesaiannya. Akan semakin 
besar pengaruhnya bila mereka tidak 
segera dibebaskan, Ayah."
"Berpikirlah secara jernih, 
Bojananta."
Prabu Bojananta ingin bicara 
lagi. Tapi sebelum sempat membuka 
mulutnya, laki-laki tua berbaju serba 
putih itu sudah melangkah meninggalkan 
ruangan ini. Dia melalui pintu yang 
tadi dilalui, saat masuk ke dalam 
ruangan ini. Kini tinggal Prabu 
Bojananta sendbi di tempat itu. Dia 
duduk merenung memikirkan keadaan yang 
semakin bertambah tidak menentu ini. 
Sedangkan sampai sekarang, belum jelas 
kebenaran berita yang dibawa ayahnya, 
hingga sampai keluar dari pertapaan.

"Aku yakin, ada sesuatu yang 
tidak beres. Hm..., aku harus 
menyelidiki sendiri tanpa seorang pun 
boleh tahu. Tapi dari mana aku harus 
memulai...?" gumam Prabu Bojananta 
berbicara sendiri dalam hati.
***
Malam sudah merayap cukup larut 
menyelimuti seluruh wilayah Kerajaan 
Godaka. Prabu Bojananta menuntun 
kudanya perlahan-lahan, keluar dari 
benteng istana melalui jalan rahasia 
yang terietak di bagian Timur bangunan 
megah itu. Tak ada seorang pun yang 
mengetahui, karena pintu rahasia itu 
berada di dalam taman kaputren yang 
hanya keluarga istana saja yang boleh 
memasukinya.
"Heh...?!"
Prabu Bojananta jadi terkejut 
begitu berada di luar. Kedua bola 
matanya terbeliak lebar, hampir tidak 
percaya dengan apa yang sedang 
dilihatnya.
Belum lagi hilang rasa
keterkejutannya, tiba-tiba saja tiga 
orang berpakaian serba hitam 
berlompatan menyerang. Golok-golok

mereka yang berkilatan, ber-kelebat 
mengincar tubuhnya. Cepat-cepat Prabu 
Bojananta melentingkan tubuhnya ke 
udara, meninggalkan kudanya yang harus 
menerima nasib terbabat sebilah golok 
yang tadi diarahkan untuknya. Kuda 
berbulu putih bersih itu meringkik 
keras, lalu jatuh menggelepar dengan 
leher hampir terbabat buntung. Darah 
mengucur deras dari leher yang hampir 
buntung terbabat golok.
"Keparat..! Kalian harus ganti 
nyawa kudaku...!" geram Prabu 
Bojananta, seketika memuncak 
amarahnya.
Sret!
Kemarahan Prabu Bojananta memang 
tidak dapat dikendalikan, tatkala 
melihat kuda kesayangannya sudah 
tergeletak tak bemyawa lagi. Langsung 
pedangnya yang tersimpan di punggung 
dicabut
"Mampus kalian! Hiyaaat..!"
Bet!!!
Cepat sekali Prabu Bojananta 
meluruk, sambil membabatkan pedang ke 
arah kepala salah seorang berbaju 
hitam yang menyerangnya tadi. Begitu 
cepat gerakan tangannya saat 
mengebutkan pedang, sehingga orang

berbaju hitam itu tidak sempat lagi 
berkelit. Dan....
Cras!
"Aaa...!"
Jeritan panjang melengking tinggi 
terdengar begitu menyayat orang 
berbaju serba hitam itu terhuyung-
huyung sambil memegangi kepalanya yang 
terbelah terbabat pedang Prabu 
Bojananta. Raja yang masih berusia 
muda itu tidak puas begitu saja. 
Dengan kecepatan bagai kilat, dia 
kembali melompat menyerang dua orang 
berbaju serba hitam lainnya.
"Hiyaaat..!"
Bet!
Trang!
"Akh...!"
Satu orang yang mencoba menangkis 
tebasan pedang Prabu Bojananta jadi 
terpekik. Goloknya yang terbang 
melayang ke udara tidak bisa lagi 
diselamatkan. Sebelum orang itu sempat 
menyadari apa yang terjadi, Prabu 
Bojananta sudah melepaskan satu ten 
dangan menggeledek sambil memutar 
tubuhnya. Kembali orang berbaju serba 
hitam yang sudah kehilangan goloknya 
itu terpekik keras, begitu tendangan 
Prabu Bojananta mendarat telak di

dadanya. Seketika itu juga tubuhnya 
terpental deras ke belakang, sampai 
menghantam sebatang pohon yang cukup 
besar hingga hancur berkeping-keping.
Pada saat yang bersamaan, Prabu 
Bojananta juga mengebutkan pedangnya 
pada satu orang lagi yang berada dekat 
dengannya. Tapi belum juga pedangnya 
sampai di dada orang itu, tiba-tiba 
saja berkelebat sebuah bayangan hitam 
pekat Kelebatan bayangan itu masih 
dibarengi kilatan cahaya keperakan, 
langsung menghantam pedang yang sudah 
hempir membelah dada orang berbaju 
hitam itu.
Trang!
"Ikh...?!"
Prabu Bojananta terkejut setengah 
mati, begitu pedangnya seperti 
membentur sebongkah batu cadas yang 
teramat keras. Seluruh tangan kanannya 
sampai bergetar. Raja muda itu cepat-
cepat melompat mundur sebelum 
pedangnya teriepas dari genggaman. 
Bergegas pergelangan tangannya yang 
bergetar diurut Seakan-akan, seluruh 
aliran darah di tangan kanannya jadi 
terbalik, saat pedangnya terbentur 
cahaya keperakan yang muncul bersamaan 
dengan kelebatan bayangan hitam pekat

Dan kini tahu-tahu di depannya 
sudah berdiri seseorang yang 
mengenakan baju wama hitam pekat 
Seluruh wajahnya tertutup topeng kayu 
berwama hitam juga. Sebuah gagang 
pedang berwama keperakan yang berkilat 
tersilang di depan dada. Dan belum 
lagi keterkejutan Prabu Bojananta 
hilang, tahu-tahu dari balik kegelapan 
malam bermunculan orang-orang berbaju 
serba hitam yang menghunus golok 
telanjang. Mereka langsung mengepung 
tempat itu tanpa diperintah lagi. 
Prabu Bojananta mengebutkan pedangnya 
beberapa kali, kemudian disiiangkan di 
depan dada.
"Penunggang Kuda Bertopeng..." 
desis Prabu Bojananta langsung 
mengenali orang yang tiba-tiba muncul 
itu.
"Seharusnya kau tidak perlu 
keluar dari istana, Prabu Bojananta," 
agak dalam nada suara laki-laki yang 
wajahnya terselubung topeng berwarna 
hitam. Memang, dia adalah si 
Penunggang Kuda Bertopeng.
"Aku keluar memang ingin 
mencarimu, Kisanak. Kau telah 
mengacaukan keadaan istana. Apa 
maksudmu menyebarkan fitnah yang

begitu keji...?" tegas Prabu Bojananta 
langsung bertanya pada pokok 
persoalannya.
"Seharusnya kau tidak perlu marah 
padaku, Prabu Bojananta. Aku hanya 
menjalankan, apa yang menjadi 
kewajibanku untuk melindungi Kerajaan 
Godaka ini dari rongrongan musuh 
terselubung. Bahkan bisa menikammu 
dari belakang," tenang sekali jawaban 
si Penunggang Kuda Bertopeng.
"Terima kasih..., hhh!" dengus 
Prabu Bojananta sinis.
"Seharusnya kau sudah bisa 
meringkus mereka, Prabu Bojananta. 
Tapi sekarang, sudah terlambat Karena 
mereka sudah mulai bergerak, dan sudah 
ada di perbatasan Utara. Besok pagi, 
mereka pasti sudah sampai, dan 
langsung menyerang istana ini," jelas 
si Penunggang Kuda Bertopeng.
"Jangan coba-coba mempermainkan 
aku untuk yang kedua kali, Kisanak. 
Siapa kau sebenarnya...?" masih 
terdengar dingin nada suara Prabu 
Bojananta.
"Belum saatnya kau tahu tentang 
diriku, Prabu Bojananta. Tapi jika 
kata-kataku tidak dituruti, kau akan 
menyesal seumur hidup. Kedudukanmu

sebagai raja sedang terancam. 
Sedangkan kau terlalu dibakar nafsu 
amarah."
"Huh! Jangan mengguruiku, 
Kisanak...!"
"Hm.... Kau terlalu keras kepala, 
Prabu Bojananta. Kau memang masih 
terlalu muda untuk menjadi raja. 
Baiklah.... Mungkin aku memang harus 
turun tangan untuk menyelamatkan 
Kerajaan Godaka. Aku tidak lagi bisa 
mengandalkanmu. Kau harus turun takhta 
malam ini juga, karena kau benar-benar 
buta dan tidak bisa melihat keadaan 
sekelilingmu. Kau masih terlalu 
terbawa nafsu dan darah mudamu," kali 
ini nada suara si Penunggang Kuda 
Bertopeng terdengar begitu dingin.
"Edan...! Rupanya kau sendiri 
yang ingin menjatuhkan takhtaku, 
Keparat..!" geram Prabu Bojananta, 
langsung memuncak amarahnya.
"Wadyabala...! Kalian semua masuk 
ke istana. Kuasai seluruh istana. 
Jaga, jangan sampai ada seorang pun 
yang keluar!" perintah si Penunggang 
Kuda Bertopeng, lantang.
Tanpa menunggu perintah dua kali, 
semua orang yang mengenakan baju serba 
hitam itu segera bergerak hendak masuk

ke dalam benteng istana dari pintu ra-
hasia. Tapi Prabu Bojananta sudah 
lebih dulu melompat cepat, dan berdiri 
tegak di depan pintu rahasia itu.
"Langkahi dulu mayatku jika 
kalian ingin masuk!" tantang Prabu 
Bojananta dengan pedang terhunus di 
depan dada.
Semua orang yang mengenakan baju 
hitam itu jadi berhenti bergerak, dan 
kelihatan ragu-ragu. Sedangkan si 
Penunggang Kuda Bertopeng menggereng 
geram melihat sikap Prabu Bojananta 
yang tidak mengindahkan peringatannya 
sama sekali.
"Tindakanmu sudah kelewat batas, 
Bojananta! Minggir kau...!" bentak si 
Penunggang Kuda Bertopeng itu lantang.
"Heh...!?"
Prabu Bojananta jadi tersentak 
kaget setengah mati mendengar bentakan 
yang begitu lantang menggelegar. 
Tetiebih lagi, manusia penuh teka-teki 
yang selalu mengaku berjuluk si 
Penunggang Kuda Bertopeng itu langsung 
menyebut namanya saja, tanpa ada 
panggilan prabu di depan namanya. 
"Hup...!"
Tapi belum juga hilang rasa 
keterkejutannya, tiba-tiba saja si

Penunggang Kuda Bertopeng sudah 
melompat cepat bagaikan kilat ke depan 
Prabu Bojananta. Secepat kilat pula, 
dilepaskannya satu sodokan ke arah 
dada bagian kiri raja muda itu.
"Uts...!"
Tapi dengan gerakan manis sekali, 
Prabu Bojananta berhasil berkelit 
menghindari sodokan tangan kanan si 
Prabu Bojananta. Cepat-cepat tubuhnya 
meliuk. Lalu dengan bertumpu pada satu 
kaki, Prabu Bojananta segera memutar 
tubuhnya sambil melepaskan satu 
tendangan berputar yang begitu cepat 
luar biasa.
"Yeaaah...!"
"Hup!"
Namun si Penunggang Kuda 
Bertopeng sudah melentingkan tubuhnya 
ke udara. Sehingga, sepakan kaki kanan 
Prabu Bojananta tidak sampai mengenai 
tubuhnya. Bahkan begitu berhasil 
menjejakkan kakinya kembali ke tanah, 
cepat sekali diberikannya satu pukulan 
keras menggeledek yang disertai 
pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Hiyaaa...!"
"Haiti"
Prabu Bojananta tidak bisa lagi 
berkelit Dengan cepat sekali pedangnya

dibabatkan, hendak mematahkan pukulan 
si Penunggang Kuda Bertopeng.
Wuk!
"Uts...!"
Cepat-cepat si Penunggang Kuda 
Bertopeng menarik tangannya pulang, 
sehingga terbebas dari tebasan pedang 
Prabu Bojananta. Namun sebelum sempat 
berbuat lebih jauh lagi, Prabu 
Bojananta sudah melakukan serangan 
kembali. Pedangnya berkelebat cepat 
bagai kilat mengarah ke pinggang. 
Begitu cepat serangannya, sehingga si 
Penunggang Kuda Bertopeng tidak sempat 
lagi menghindar. Maka, pedangnya cepat 
diayunkan untuk menangkis tebasan 
pedang raja muda itu.
Bet! Trang!
***
Percikan bunga api memijar, saat 
dua pedang beradu keras di samping 
pinggang si Penunggang Kuda Bertopeng. 
Cepat-cepat si Penunggang Kuda 
Bertopeng melompat ke belakang, lalu 
membuat beberapa gerakan dengan 
kebutan pedang di depan dada, begitu 
kakinya menjejak tanah kembali. Pada 
saat itu, Prabu Bojananta jadi terpaku

begitu melihat pedang si Penunggang 
Kuda Bertopeng sudah melintang di atas 
kepala. Padahal di saat itu dia juga 
seiesai melakukan gerakan gerakan yang 
sama. Pedangnya juga sudah melintang 
di atas kepala. Saat itu juga Prabu 
Bojananta langsung menyadari kalau 
jurus yang mereka miliki sama persis.
"Heh...?! Siapa kau sebenamya?! 
Dari mana kau peroleh jurus 'Pedang 
Dewa'...?" tanya Prabu Bojananta 
terkejut setengah mati.
"Kau benar-benar buta, Bojananta. 
Seharusnya kau sudah tahu sejak awal 
tadi. Hhh...! Kau benar-benar belum 
pantas menduduki takhta Kerajaan Goda-
ka...!" dengus si Penunggang Kuda 
Bertopeng, agak dingin nada suaranya.
"Suaramu...?" tersedak suara 
Prabu Bojananta.
Dan memang, suara si Penunggang 
Kuda Bertopeng kali ini terdengar lain 
di telinga Prabu Bojananta. Dan suara 
itu seperti mengingatkannya pada se-
seorang yang sudah begitu lama tidak 
pernah dijumpai setelah dia menduduki 
takhta, sebagai Raja di Kerajaan 
Godaka ini Tapi....

"Mustahil.... Tidak mungkin...," 
desis Prabu Bojananta seraya 
menggeleng-gelengkan kepala.
Saat itu, si Penunggang Kuda 
Bertopeng sudah berdiri tegak kembali. 
Dan pedangnya kini dimasukkan ke dalam 
sarungnya yang tergantung di pinggang. 
Kemudian, sarung pedangnya dilepaskan 
dari pinggangnya, dan diberikannya 
pada salah seorang yang berada dekat 
dengannya. Sementara Prabu Bojananta 
hanya memperhatikan saja. Dia benar-
benar tidak mengerti dengan semua 
kejadian yang bru saja di alaminya.
Dan raja muda itu juga masih 
belum yakin akan dugaannya sekarang 
ini. Sungguh dia tidak tahu, apa yang 
terjadi. Sementara si Penunggang Kuda 
Bertopeng mengangkat tangan kanannya 
keatas kepala, lalu perlahan-lahan 
melepaskan topeng kayu berwarna hitam 
pekat yang salama ini menutupi wajah 
dan seluruh kepabnya. Sedangkan Prabu 
Bojananta jadi menahan napas, menunggu 
untuk melihat wajah asli si Penunggang 
Kuda Bertopeng itu. Dan begitu seluruh 
topeng terlepas dari kepala orang yang 
penuh misteri itu....
"Kau...?!"

Kedua bola mata Prabu Bojananta 
jadi terbeliak lebar. Sepertinya dia 
sedang bermimpi, dan hampir tidak 
percaya dengan apa yang sedang 
disaksikannya. Sungguh tidak disangka 
kalau orang yang berdiri di depannya 
ini adalah paman, yang juga sekaligus 
gurunya. Guru yang segala hal, sejak 
masih kecil hingga menduduki takhta 
Kerajaan Godaka ini.
“Paman Waragati...," desis Prabu 
Bojananta masih belum percaya dengan 
apa yang dilihatnya.
Sama sekali tidak disangka kalau 
si Penunggang Kuda Bertopeng itu 
sebenamya adalah Paman Waragati. 
Memang sulit dipercaya! Tapi yang 
sekarang berdiri di depannya ini 
memang benar Paman Waragati, orang 
yang sangat dihormari selain ayahnya. 
Berkat bimbingan Paman Waragatilah, 
maka dia bisa menjadi pemuda yang 
tangguh dan patut diperhitungkan. 
Bahkan selama ini, dia selalu bersikap 
adil dan bijaksana selama menduduki 
takhta menggantikan ayahnya.
Tapi memang benar apa yang 
dikatakan Paman Waragati, kalau 
terkadang darah mudanya masih terasa 
sukar dikendalikan. Hal itu memang

disadari. Sebagai seorang putra 
tunggal seorang raja, kekerasan 
kepalaannya memang sukar dihilangkan 
begitu saja. Padahal, dia sudah 
berusaha keras untuk menghilangkannya. 
Tapi semua itu akan selalu timbul bila 
menghadapi suatu persoalan yang begitu 
menekan Seperti persoalan yang baru-
baru ini dihadapinya.
"Maafkan aku, Paman...," ucap 
Prabu Bojananta seraya membungkuk 
memberi hormat
"Sudahlah, Ananda Prabu," ujar 
Paman Waragati yang selama ini 
menggunakan julukan si Penunggang Kuda 
Bertopeng, seraya melangkah 
menghampiri raja muda itu.
“Tapi, kenapa Paman muncul dengan 
cara seperti ini? Kenapa tidak terang-
terangan saja...?" tanya Prabu 
Bojananta langsung
"Itu tidak mungkin, Ananda Prabu. 
Jika kemunculanku terang-terangan, 
pemberontak itu bisa cepat mengetahui. 
Tapi dengan cara seperti ini, aku 
justru membuat mereka bingung."
“Tapi hal itu malah semakin 
memperburuk keadaan, Paman."
"Tidak juga, karena sebagian 
pemberontak sudah kutumpas."

"Maksud, Paman...?"
Paman Waragati hanya tersenyum 
saja. Dipanggilnya salah seorang yang 
mengenakan baju wama hitam pekat, yang 
ternyata murid-murid laki-laki separuh 
baya ini.
"Panggil Pendekar Pulau Neraka ke 
sini," perintah Paman Waragati.
"Baik, Ki," sahut laki-laki yang 
masih berusia muda itu sambil 
membungkukkan tubuh memberi hormat
"Pendekar Pulau Neraka...?" desis 
Prabu Bojananta seraya mengerutkan 
keningnya.
Sementara pemuda berbaju hitam 
itu sudah berlalu, Prabu Bojananta 
menatap agak dalam pada Paman 
Waragati. Dia teringat cerita 
Tumenggung Pratala yang sempat 
bertarung melawan si Penunggang Kuda 
Bertopeng ini, lalu diselamatkan 
seorang pemuda asing yang mengaku 
berjuluk Pendekar Pulau Neraka. Dan 
sebelum Prabu Bojananta selesai dengan 
semua pikiran yang berkecamuk di 
kepalanya, pemuda berbaju serba hitam 
murid laki-laki separuh baya ini sudah 
datang kembali bersama seorang pemuda 
tampan berbaju kulit harimau. Tampak

seekor monyet kecil berbulu hitam 
nangkring di pundak kanannya.
* * *
TUJUH


"Kau harus berterima kasih pada 
Pendekar Pulau Neraka, Ananda Prabu. 
Karena dialah, maka negeri ini bisa 
terselamatkan," kata Paman Waragati.
"Aku.... Aku tidak mengerti 
maksudmu, Paman?" Prabu Bojananta 
meminta penjelasan.
"Sebenamya aku sudah lama 
mencurigai beberapa orang Tumenggung 
dan Adipati. Tapi aku tidak bisa 
menyelidiki kebenarannya. Dan Pendekar 
Pulau Neraka kuminta bantuan untuk 
menyelidiknya. Hanya saja, salah satu 
Tumenggung yang kucurigai temyata 
tidak terbukti. Dialah Tumenggung 
Pratala yang benar-benar setia pada 
negeri ini. Sedangkan yang benar-benar 
pengkhianat adalah Tumenggung Baliga, 
Tumenggung Abiguna, dan Adipati 
Mahesa. Semua ini terbukti, karena aku 
dan Pendekar Pulau Neraka telah 
meringkus beberapa orang pengikutnya.

Dan sekarang mereka telah diamankan 
tidak jauh dari perbatasan kota 
sebelah Utara," jelas Paman Waragati
singkat
"Benar, Gusti. Sehabis aku 
menyelamatkan Tumenggung Pratala, 
esoknya Paman Waragati menyuruhku 
untuk menemuinya. Itu pun secara 
sembunyi-sembunyi, yakni lewat 
muridnya yang berseragam hitam. Hal 
itu dilakukan agar tidak tercium kaum 
pemberontak. Dan ketika aku menemui di 
rumahnya, Paman Waragati langsung 
menceritakan duduk persoalannya," 
jelas Bayu.
"Lalu?" pinta Prabu Bojananta. 
"Aku langsung menyelidikinya. 
Dalam penyelidikanku, aku berpatokan 
pada Tumenggung Pratala yang kau 
tangkap. Karena aku yakin, dia adalah 
orang setia. Dan begitu aku tahu kalau 
para Tumenggung dan Adipati lain juga 
kau tangkap, maka dugaanku kian jelas 
kalau mereka tak bersalah. Dengan 
demikian, kecurigaanku jatuh pada 
Tumenggung Baliga, Tumenggung Abiguna, 
dan Adipati Mahesa yang justru tidak 
kau tangkap. Orang-orang seperti ini 
biasanya memang lepas dari perhatian," 
tambah Bayu.

"Para pemberontak tahu kalau aku 
merupakan penghalang tujuan mereka. 
Dan ketika suatu malam gerombolan 
orang berbaju seragam prajurit 
menyerang padepokanku, aku berhasil 
menaklukkannya. Yang masih hidup 
langsung kupaksa untuk membuka suara. 
Maka dari sinilah aku tahu, siapa 
dalang dari semua ini," jelas Paman 
Waragati, menambahkan keterangan Bayu.
Prabu Bojananta benar-benar 
terkejut Karena dia tidak menyangka 
kalau orang-orang yang selama ini 
dipercayainya, justru berkhianat 
Sedangkan mereka yang justru setia, 
kini harus meringkuk dalam penjara. 
Dan semua itu karena menuruti kata-
kata ayahnya, untuk menjebloskan semua 
tumenggung dan adipati ke dalam 
penjara. Kecuali, yang bertiga itu. 
Sebenarnya, justru mereka bertigalah 
yang masuk ke dalam penjara.
"Memang tadi aku mengatakan kalau 
mereka akan menyerbu ke sini. Itu 
semua hanya permainan kata-kataku 
saja, Ananda Prabu. Hal ini kulakukan 
karena permintaan ayahmu."
"Ayahanda Prabu...?"
"Benar, Ananda Prabu. Tanpa 
ayahmu, semua ini tidak akan berakhir.

Bahkan bukannya tidak mungkin mereka 
benar-benar menggulingkan takhta."
"Oh...! Bagaimana ini bisa 
terjadi, Paman...?"
"Sebaiknya kau tanyakan saja pada 
ayahmu, Ananda Prabu. Karena, 
kecurigaanku sendiri bisa berkat 
laporan ayahmu, yang memang sudah lama 
mencurigai mereka. Bahkan 
kecurigaannya semakin mendalam saat 
kau mengangkat dan menempatkan mereka 
pada kedudukan tinggi."
Prabu Bojananta terdiam merenung. 
Sungguh belum bisa dipahami dengan 
semua ini. Dan dia juga tidak tahu, 
kenapa hal ini harus terjadi. Mereka 
yang temyata pengkhianat, justru 
orang-orang yang sangat dipercaya. 
Bahkan ketika mereka meminta izin 
untuk mendirikan pasukan prajurit 
sendiri, Prabu Bojananta tidak punya 
pertimbangan lagi. Usul itu langsung 
disetujuinya, karena mereka 
menjanjikan akan selalu siap mengirim 
prajurit yang dibentuk bila diperlukan 
untuk memperkuat barisan prajurit 
kerajaan.
Tapi kenyataannya, justru 
prajurit itu dibentuk untuk maksud 
memberontak. Hanya saja, pemberontakan

yang belum terlaksana ini membuatnya 
jadi tidak mengerti. Apa sebenarnya 
yang mendorong mereka hendak melakukan 
pemberontakan...? Pertanyaan itu yang 
kini mengganjal di hati Prabu 
Bojananta. Tapi pertanyaan itu memang 
sukar dijawab. Dan belum juga Prabu 
Bojananta menanyakannya pada Paman 
Waragati, tiba-tiba saja terdengar 
suara ribut-ribut dari dalam istana.
"Ada apa di dalam sana...?" desah 
Paman Waragati bertanya pada diri 
sendiri.
"Kita lupa, Paman. Mereka telah 
menyusupkan orang-orangnya ke dalam 
istana," ujar Bayu yang sejak tadi 
diam saja.
"Oh...?!" Paman Waragati menepuk 
keningnya sendiri.
"Hup...!"
Pada saat itu juga, Bayu melompat 
tinggi ke udara. Begitu sempurnanya
ilmu meringankan tubuh yang dimiliki 
Pendekar Pulau Neraka, sehingga 
lesatannya begitu cepat dan ringan. 
Hanya sedikit saja ujung jari kakinya 
disentuhkan ke bibir tembok benteng 
yang mengelilingi bangunan istana ini, 
lalu meluruk deras ke balik tembok 
benteng itu.

"Hup!"
"Yeaaah...!"
Paman Waragati dan Prabu 
Bojananta bergegas berlompatan 
melewati tembok benteng yang tingginya 
lebih dari dua batang tombak. 
Sementara orang-orang berbaju serba 
hitam yang temyata murid-murid Paman 
Waragati, bergegas berlarian masuk ke 
dalam bangunan benteng istana itu 
melalui pintu rahasia yang masih 
terbuka. Dan beberapa orang dari 
mereka yang sudah memiliki ilmu 
meringankan tubuh yang cukup tinggi, 
berlompatan melewati tembok benteng 
ini. Sehingga sebentar saja, keadaan 
di luar benteng itu sudah sunyi. Kini, 
tak terlihat seorang pun di sana. Se-
mua orang tenggelam di dalam tembok 
benteng yang tinggi dan kokoh.
***
Bukan hanya Prabu Bojananta dan 
Paman Waragati yang terkejut melihat 
beberapa mayat prajurit bergelimpangan 
di sekitar bangunan istana yang megah 
ini. Sementara suara-suara ribut yang 
terdengar tadi, kini sudah tidak lagi 
terdengar. Keterkejutan mereka semakin

bertambah, karena tidak menemukan 
seorang prajurit pun di sekitar istana 
ini
“Penjara...," desis Prabu 
Bojananta.
Bergegas raja muda itu berlari 
cepat mempergunakan ilmu meringankan 
tubuh ke bangunan penjara yang 
terletak di belakang bangunan istana 
ini Paman Waragati dan Pendekar Pulau 
Neraka mengikuti dari belakang. 
Kembali mereka terkejut melihat pintu 
penjara sudah jebol. Sementara, enam 
orang prajurit penjaga sudah 
tergeletak tak bemyawa lagi.
"Di mana ayahmu, Bojananta...?" 
tanya Paman Waragati yang jadi lupa 
terhadap segala rata aturan. Dia telah 
memanggil Prabu Bojananta dengan 
namanya saja.
"Oh...?! Ayah...," desah Prabu 
Bojananta langsung teringat ayahnya. 
"Ada di dalam istana, Paman...."
Tanpa membuang-buang waktu lagi, 
mereka bergegas berlarian kembali 
menuju bangunan istana. Langsung 
diterobosnya pintu belakang, dan terus 
menyusuri lorong yang di kanan dan 
ldrinya terdapat pintu-pintu kamar 
yang tertutup rapat. Tampak beberapa

tubuh prajurit tergeletak di lorong 
ini, dan sudah tidak bemyawa lagi
Mereka sampai di sebuah ruangan 
yang berukuran sangat luas. Namun, tak 
ada seorang pun di dalam ruangan ini. 
Mereka terus melangkah cepat setengah 
berlari, melintasi ruangan itu. Prabu 
Bojananta cepat membuka pintu yang 
terbuat dari kayu jati tebal berukir 
cukup indah.
"Ayah...!" pekik Prabu Bojananta 
begitu pintu terbuka lebar.
Tampak di satu ruangan yang tidak 
begitu besar ukurannya, tergeletak 
sesosok tubuh berjubah putih 
berlumuran darah. Sebllah pedang 
tertanam dalam di dadanya yang sudah 
tak bergerak lagi. Tidak jauh dari 
situ, teriihat dua orang pemuda 
berbaju ketat serba putih. Mereka 
tampaknya juga sudah tidak bemyawa 
lagi. Darah berceceran di seluruh 
bagian lantai ruangan ini Prabu 
Bojananta cepat berlari, dan 
menghambur memeluk ayahnya yang sudah 
tidak bernyawa lagi.
"Siapa yang melakukan ini, 
Ayah...? Oh...! Akan kubunuh mereka 
semua...," desis Prabu Bojananta

seraya memeluk jasad laki-laki tua 
itu.
"Akan kuperiksa ke tempat lain, 
Paman," kata Bayu perlahan, dekat 
telinga Paman Waragati.
"Kita sama-sama, Bayu. Biarkan 
murid-muridku mengamankan tempat ini," 
sahut Paman Waragati.
Paman Waragati memerintahkan 
murid-muridnya yang berkumpul di depan 
pintu ruangan itu untuk menjaga Prabu 
Bojananta. Kemudian, dia bersama 
Pendekar Pulau Neraka bergegas 
meninggalkan ruangan itu. Mereka 
melangkah cepat melintasi ruangan 
besar yang biasa disebut Balai Sema 
Agung, tempat pertemuan seluruh 
pembesar Kerajaan Godaka dengan 
rajanya.
Mereka terus melangkah ke luar 
melalui pintu depan yang terbuka 
lebar. Tampak empat orang prajurit 
tergeletak di depan pintu tak bernyawa 
lagi. Tak ada seorang prajurit pun 
yang teriihat masih hidup. Dan mereka 
terpaksa harus menahan napas begitu 
sampai di luar.
Di halaman depan istana yang luas 
ini, teriihat tubuh-tubuh tak bernyawa 
bergelimpangan sating tumpang tindih.

Sungguh suatu pemandangan yang tidak 
sedap dinikmati. Rupanya, telah 
terjadi pertempuran dahsyat di dalam 
istana ini Sehingga, tak ada 
seorangpun yang teriihat hidup.
“Tidak kusangka kalau ini akan 
terjadi...," desah Paman Waragati 
mengeluh.
"Semua bisa terjadi kalau aku 
yang menginginkan, Waragati...!"
"Heh...?!"
Paman Waragati tersentak kaget 
begitu tiba-tiba terdengar suara keras 
menggema. Dan belum lagi hilang 
keterkejutannya, tiba-tiba saja 
berkelebat sebuah bayangan merah dari 
atas tembok benteng depan. Begitu 
cepat dan ringan sekali gerakannya, 
dan tahu-tahu di depan Paman Waragati 
dan Pendekar Pulau Neraka sudah 
berdiri seorang laki-laki yang usianya 
sebaya dengan Paman Waragati. Dia 
mengenakan baju merah menyala.
"Adipati Mahesa...," desis Paman 
Waragati langsung mengenali.
"Kau tentu terkejut kalau 
kerajaan ini bisa kuruntuhkan dalam 
sekejap, Waragati... Aku bisa melaku-
kan apa saja di sini. Dan tak seorang 
pun bisa mencegah. Termasuk kau,

Waragati," terasa dingin sekali nada 
suara laki-laki separuh baya yang 
temyata memang Adipati Mahesa.
Salah seorang adipati yang 
dipercaya, tapi justru yang hendak 
meruntuhkan Kerajaan Godaka ini. Dan 
tentu saja tidak ada yang bakal 
menyangka kalau Adipati Mahesa yang 
menjadi biang keladi dari semua 
kerusuhan ini.
Dan sebelum Paman Waragati bisa 
membuka suara, kembali teriihat dua 
sosok tubuh berbaju merah berkelebat 
Dan tahu-tahu, di samping kin dan 
kanan Adipati Mahesa sudah berdiri 
lagi dua orang laki-laki separuh baya. 
Mereka adalah Tumenggung Abiguna dan 
Tumenggung Baliga. Kemudian, disusul 
bermunculannya orang-orang berseragam 
prajurit yang berlainan corak dan 
bentuknya. Mereka semua menyandang 
senjata lengkap, dan siap bertempur. 
Dalam waktu sebentar saja, halaman 
depan istana yang luas dan sudah 
dipenuhi mayat, kini dipenuhi orang-
orang berseragam prajurit Mereka 
tentunya bukan para prajurit Kerajaan 
Godaka.
"Seharusnya mereka tertahan di 
perbatasan Utara. Kenapa bisa sampai

ke sini...?" desah Paman Waragati, 
seperti bicara pada diri sendiri.
"Pasti murid-muridmu sudah mereka 
hancurkan, Paman," sahut Bayu.
"Hm.... Jumlah mereka memang 
terlalu banyak," gumam Paman Waragati.
Laki-laki setengah baya itu 
menyadari, kalau murid-muridnya yang 
ditugaskan untuk menghentikan mereka 
di perbatasan Utara, tentu tidak akan 
bisa menahan jumlah sebanyak ini.
"Paman! Apakah tidak ada lagi 
prajurit Godaka...?" tanya Bayu.
Pendekar Pulau Neraka memang 
sejak tadi hanya melihat sejumiah 
kecil saja prajurit yang tewas, selama 
berada di dalam lingkungan istana ini
"Entahlah... Mereka seperti
menghilang begitu saja," sahut Paman 
Waragati mendesah.
"Hm...," Bayu menggumam kecil.
Sementara itu, Paman Waragati 
tengah memandang tiga orang berpakaian 
serba merah. Kecurigaannya memang 
tepat, tapi sungguh tidak disangka 
kalau justru mereka yang punya rencana 
pemberontakan ini. Paman Waragati tahu 
betul, siapa Adipati Mahesa. Dia 
adalah adik tiri Prabu Podaralaga, 
sama seperti dirinya juga. Tapi selama

ini, seluruh kehidupannya diabdikan 
untuk kejayaan Kerajaan Godaka. 
Sedangkan pengabdian yang diberikan 
Adipati Mahesa, ternyata hanya 
pengabdian semu dan di balik semua 
itu, ternyata tersimpan maksud untuk 
menguasai kerajaan ini. Dan saat yang 
tepat baginya adalah sekarang ini. 
Kerajaan Godaka yang dipimpin seorang 
raja yang masih berusia muda ini 
memang masih terlalu mudah 
dipengaruhi.
Hal ini yang sama sekali tidak 
diduga siapa pun juga. Karena selama 
ini, sedikit pun tidak ada sikap 
maupun tingkah laku Adipati Mahesa 
yang mencurigakan. Dan diam-diam, 
Paman Waragati mengagumi dalam hati. 
Dia kagum, karena Adipati Mahesa 
benar-benar bisa memerankan lakonnya 
sendiri, tanpa ada seorang pun yang 
mencurigainya.
***
"Sejak semula, aku memang sudah 
tahu kalau Penunggang Kuda Bertopeng 
itu adalah kau, Waragati Aku sudah 
tahu saat kau muncul mengancamku, dan 
sempat bertarung beberapa jurus.

Samaranmu tidak ada artinya di 
depanku, Waragati. Aku sudah 
mengetahui betul jurus-jurusmu," kata 
Adipati Mahesa dengan suara begitu 
sinis.
"Kalau sudah tahu, kenapa aku 
tidak kau bunuh saja waktu itu?" tanya 
Paman Waragati, agak terkejut juga.
"Untuk apa...? Permainan sudah 
kau buka bersama Kakang Podaralaga. 
Dan aku ingin mengikuti alur 
permainanmu. Tapi sayang, semua jalan 
per mainanmu bisa mudah kupatahkan. 
Dan akhirnya, kau lihat sendiri 
kenyataannya, Waragati."
"Aku akui, kau memang cukup 
cerdik, Mahesa," puji Paman Waragati 
tulus.
"Ha ha ha...! Tapi sayang, 
semuanya sudah terlambat untukmu. Aku 
harus menyingkirkan siapa saja yang 
mencoba menghalangiku. Termasuk juga 
Kakang Podaralaga, yang coba-coba 
menentang keinginanku."
"Hm.... Jadi kau yang membunuh 
Kakang Podaralaga...?" desis Paman 
Waragati.
"Sudah kukatakan, aku harus 
menyingkirkan siapa pun yang mencoba 
menghalangiku, Waragati. Ha ha ha...!"

"Biadab...!" desis Paman 
Waragati, langsung bergetar seluruh 
tubuhnya menahan amarah yang tiba-tiba 
saja meluap mendidih.
"Kubunuh kau, Pengkhianat! 
Hiyaaat..!"
"Bojananta...?!" desis Paman 
Waragati terkejut, begitu tiba-tiba 
saja Prabu Bojananta melompat melompat 
cepat bagai kilat dari dalam istana.
Bukan hanya Paman Waragati yang 
terkejut, tapi juga Bayu, Adipati 
Mahesa, dan dua orang tumenggung yang 
mendampingi adipati pengkhianat itu. 
Mereka tidak menyangka kalau Prabu 
Bojananta akan menyerang begitu cepat 
dan tiba-tiba, begitu muncul dari 
dalam bangunan istana megah itu.
Sret!
Bet!
Cepat sekali Prabu Bojananta 
mengebutkan pedangnya, secepat
mencabut dari warangka di pinggang. 
Kebutan pedangnya langsung diarahkan 
ke leher Adipati Mahesa yang saat itu 
masih terperangah. Tapi sebelum 
sabetan pedang Prabu Bojananta 
membabat lehemya, Adipati Mahesa sudah 
bertindak cepat.
"Uts!"

Hanya menarik sedikit tubuhnya ke 
belakang, ujung pedang Prabu Bojananta 
lewat sedikit saja di depan leher 
Adipati Mahesa. Dan sebelum Prabu 
Bojananta bisa menarik pedangnya 
kembali, tiba-tiba saja Tumenggung 
Abiguna sudah melompat cepat sambil 
melepaskan satu pukulan keras 
menggeledek, disertai pengerahan 
tenaga dalam tinggi.
"Hiyaaa...!"
Begitu cepat serangan yang 
dilakukan Tumenggung Abiguna, sehingga 
Prabu Bojananta tidak bisa lagi 
berkelit menghindar. Dan....
Desss!
"Akh...!"
Prabu Bojananta terpental sekitar 
dua batang tombak, begitu pukulan 
Tumenggung Abiguna bersarang di 
tubuhnya. Keras sekali tubuhnya jatuh 
berguling di tanah. Dan pada saat itu, 
Tumenggung Baliga sudah melompat 
sambil mencabut pedangnya yang 
tergantung di pinggang.
"Hiyaaat..!"
Cepat sekali ujung pada pedangnya 
dihunjamkan ke arah dada Prabu 
Bojananta yang tergeletak telentang di 
tanah. Tak ada lagi kesempatan bagi

Prabu Bojananta untuk bisa 
menyelamatkan nyawa dari an caman 
pedang yang meluncur deras mengancam 
dadanya. Tapi begitu ujung pedang 
hampir menembus dadanya, tiba-tiba 
saja....
Wusss!
Tring!
"Ikh...?!"
Tumenggung Baliga terperanjat 
bukan main, begitu tiba-tiba saja 
sebuah benda berwama keperakan 
meluncur cepat bagai kilat menghantam 
mata pedangnya. Buru-buru dia melompat 
kebelakang, dan melakukan beberapa 
kali putaran. Kedua bola matanya jadi 
terbeliak, begitu melihat pedangnya 
buntung. Dan lebih terkejut lagi, 
begitu melihat pemuda tampan berbaju 
kulit harimau yang sejak tadi diam 
saja di samping Paman Waragati, tengah 
mengangkat tangan kanannya ke atas 
kepala. Maka sebuah benda keperakan 
berbentuk bintang bersegi enam melesat 
cepat, lalu melekat erat di 
pergelangan tangan pemuda itu.
Dengan tenang sekali, pemuda 
berbaju kulit harimau yang dikenal 
beijuluk Pendekar Pulau Neraka 
melangkah menghampiri Prabu Bojananta

yang tengah berusaha bangkit berdiri. 
Pemuda yang sebenamya bernama Bayu, 
segera membantu Prabu Bojananta begitu 
berdiri terhuyung-huyung. Sedangkan 
monyet kecil berbulu hitam masih tetap 
nangkring di pundak Pendekar Pulau 
Neraka.
"Bersemadilah. Kau terluka dalam 
cukup parah," ujar Bayu. "Biar aku 
yang akan menghadapi mereka."
"Terima kasih," ucap Prabu 
Bojananta. "Hati-hatilah. Mereka 
orang-orang yang berkepandaian 
tinggi."
Bayu hanya tersenyum saja 
mendapat peringatan itu. Pendekar 
Pulau Neraka memang tahu kalau mereka 
berkepandaian tinggi. Tapi mereka juga 
curang dan licik, karena menyerang 
pada saat lawan dalam keadaan tidak 
berdaya lagi. Pendekar Pulau Neraka 
melangkah tenang menghampiri tiga 
orang yang mengenakan baju wama merah 
menyala. Tatapan matanya begitu tajam 
menusuk. Diambilnya monyet kecil yang 
masih nangkring di pundaknya, dan 
ditaruhnya di tanah.
"Kau menyingkirlah, Tiren. Ini 
bukan pertarunganmu," ujar Bayu sambil 
mengelus kepala monyet kecil itu.

"Nguk!"
Monyet kecil yang dipanggil Tiren 
itu bergegas berlarian menyingkir, 
mendekati Prabu Bojananta yang sudah 
duduk bersila di tangga istana. Raja 
muda itu sudah duduk bersila, 
mengambil sikap bersemadi. 
Pada saat itu, dari dalam istana 
bermunculan murid-murid Paman Waragati 
yang semuanya mengenakan baju serba 
hitam. Mereka langsung berdiri 
berjajar di belakang gurunya. 
Sementara, Bayu sudah berada sekitar 
tujuh langkah lagi di depan Adipati 
Mahesa yang didampingi Tumenggung 
Abiguna dan Tumenggung Baliga.
***
DELAPAN


"Siapa kau, Anak Muda...?!" tanya 
Adipati Mahesa, lantang menggelegar.
"Rasanya itu tidak penting. Namun 
yang paling penting, aku paling tidak 
suka melihat manusia-manusia bejat 
seperti kalian mengotori dunia ini!" 
dingin sekali jawaban Bayu.

"Keparat..! Kau akan menyesal 
karena telah menghina kami, Bocah!" 
geram Tumenggung Baliga, yang masih 
penasaran karena pedangnya buntung 
oleh senjata maut pemuda berbaju kulit 
harimau itu.
Bayu hanya tersenyum sinis pada 
Tumenggung Baliga.
"Mampus kau, Bocah Keparat! 
Hiyaaat..!"
Tumenggung Baliga tidak bisa lagi 
menahan diri. Cepat sekali ia melompat 
sambil melepaskan beberapa pukulan 
beruntun yang mengandung pengerahan 
tenaga dalam tinggi. Tapi dengan 
gerakan manis sekali, Bayu meliuk-
liukkan tubuhnya. Dihindarinya 
pukulan-pukulan yang dilepaskan 
Tumenggung Baliga, sehingga tak satu 
pun yang berhasil mengenai sasaran.
"Paman Waragati, ini 
bagianmu...!" teriak Bayu tiba-tiba. 
"Yeaaah...!"
Bagaikan kilat, Pendekar Pulau 
Neraka tiba-tiba saja melakukan 
gerakan yang sukar diikuti pandangan 
mata biasa. Dan tahu-tahu, tangannya 
sudah bergerak cepat menggedor dada 
Tumenggung Baliga. Begitu cepat

serangannya sehingga Tumenggung Baliga 
tidak sempat lagi menghindar.
Degkh!
"Akh...!"
Seketika itu juga, tubuh 
Tumenggung Baliga terpental deras ke 
arah Paman Waragati. Dan begitu dekat, 
Paman Waragati langsung menghentakkan 
ke dua tangannya untuk menyambut tubuh 
yang melayang deras ke arahnya.
"Yeaaah...!"
Desss!
Tumenggung Baliga kembali 
terpental ke udara, lalu keras sekali 
jatuh menghantam tanah. Darah pun 
kontan muncrat dari mulutnya. Hanya 
sedikit saja tumenggung itu masih 
mampu menggeliat, kemudian mengejang 
kaku dan diam tak bernyawa lagi.
"Keparat..!" geram Adipati Mahesa 
melihat Tumenggung Baliga tewas 
seketika begitu cepat
Sementara Bayu sudah berdiri 
tegak sambil tersenyum tipis. 
Sedangkan di samping Prabu Bojananta, 
Tiren berjingkrakan sambil mencerecet 
ribut menyambut kemenangan Pendekar 
Pulau Neraka.
"Kubunuh kau, Bocah Keparat,
Hiyaaat..!"

Adipati Mahesa benar-benar meluap 
kemarahannya, begitu melihat 
Tumenggung Baliga tewas ditangan 
Pendekar Pulau Neraka. Bagaikan kilat, 
dia langsung melompat menyerang. Pada 
saat yang bersamaan, Paman Waragati 
sudah melompat menghadang Tumenggung 
Abiguna.
Sret!
Tumenggung Abiguna langsung 
mencabut pedangnya. Dia tahu, siapa 
yang harus dihadapinya. Seorang tokoh 
utama Kerajaan Godaka yang memiliki 
kepandaian tinggi sekali. Bahkan 
tingkat kepandaian Adipati Mahesa 
sendiri hanya satu tingkat saja di 
atas tingkat kepandaian Paman Waragati 
yang dulu menjabat panglima perang 
kerajaan ini. Dan begitu Prabu 
Podaralaga turun takhta dan digantikan 
putra tunggalnya, Paman Waragati 
langsung mengundurkan diri dari 
jabatannya sebagai panglima. Kini dia 
mengkhususkan diri untuk mengurus 
padepokannya.
"Kau lawanku, Tumenggung 
Abiguna," desis Paman Waragati.
"Phuih!" Tumenggung Abiguna 
menyemburkan ludahnya.


Mata Tumenggung Abiguna melirik 
ke kanan dan ke kiri. Sementara itu, 
Adipati Mahesa sudah bertarung ketat 
melawan Pendekar Pulau Neraka. Bahkan 
Adipati Mahesa sudah mengeluarkan 
senjata andalannya, berupa pedang 
perak yang cahayanya berkilatan 
menyilaukan mata.
"Kalian semua! Seraaang...!" 
teriak Tumenggung Abiguna tiba-tiba, 
begitu keras dan menggelegar.
"Hancurkan semuanya...!" 
"Hiyaaa...!" 
"Yeaaah...!"
Seketika itu juga, orang-orang 
berpakaian seperti prajurit yang 
memang sejak tadi sudah menunggu pe-
rintah, langsung berhamburan sambil 
berteriak-teriak mengangkat senjata. 
Melihat itu semua, Paman Waragati 
segera memerintahkan seluruh muridnya 
untuk menghadang. Tapi belum juga 
semua orang berpakaian serba hitam itu 
bergerak, tiba-tiba saja dari atas 
atap bangunan istana berhamburan 
ratusan anak panah ke arah para 
prajurit pembangkang.
"Setan keparat..!" desis 
Tumenggung Abiguna menggeram.

Tumenggung itu terkejut setengah 
mati. Karena tiba-tiba saja, dari atap 
bangunan istana bermunculan para 
prajurit yang,sejak tadi tidak 
kelihatan. Bahkan langsung menghujani 
para prajurit pembangkang de ngan 
anak-anak panah. Pada saat itu, 
dinding kanan istana tiba-tiba saja 
bergerak menggeser ke samping. Maka 
dari dalam dinding itu tiba-tiba 
berhamburan para prajurit kerajaan 
yang selama ini seperti menghilang.
Rupanya, dinding itu merupakan 
pintu rahasia dari sebuah lorong yang 
besar dan panjang. Dan rupanya pula, 
para prajurit bersembunyi di sana. 
Kini mereka keluar, dan langsung 
berhamburan menyerbu prajurit-prajurit 
pembangkang yang kini malah jadi ciut
nyalinya. Melihat ini semua, 
Tumenggung Abiguna jadi kelabakan. 
Terlebih lagi, para prajuritnya jadi 
kacau tak terkendali. Jerit pekik 
melengking tinggi dan menyayat 
terdengar saling sambut membelah 
angkasa yang terselimut kabut tebal. 
Pada saat itu juga, semua murid Paman 
Waragati langsung berlarian, masuk ke 
dalam kancah pertempuran tanpa 
diperintah lagi. Dan ini membuat para

prajurit pembangkang semakin kelabakan 
tak terkendali lagi.
***
Pertempuran di alun-alun Istana 
Godaka itu memang tidak dapat 
dihindari lagi. Para prajurit kerajaan 
yang langsung dipimpin Panglima Gajah 
Pati, bertarung penuh semangat Tubuh-
tubuh berlumuran darah, bergelimpangan 
diiringi jerit dan pekikan melengking 
tinggi yang saling susul tiada henti. 
Dan Paman Waragati pun sudah menyerang 
Tumenggung Abiguna yang jadi kelabakan 
melihat keadaan yang tidak diduga-duga 
ini.
Memang tidak ada yang menduga 
kalau para prajurit kerajaan sejak 
tadi menunggu saat yang tepat untuk 
menghadapi para pemberontak. Dan 
mereka baru muncul setelah tokoh-tokoh 
kerajaan yang dibantu Pendekar Pulau 
Neraka melakukan tindakan.
Sementara itu teriihat Panglima 
Gajah Pati berlari-lari menghampiri 
Prabu Bojananta yang kini sudah 
berdiri di anak rangga pertama istana, 
sambil memandangi pertempuran yang 
tidak diduga sama sekali akan terjadi

seperti ini. Dan juga tidak disangka 
kalau para prajuritnya yang setia 
masih ada. Bahkan menunggu saat yang 
tepat untuk menghancurkan para 
pemberontak.
"Gusti Prabu tidak apa-apa...?" 
tanya Panglima Gajah Pati setelah 
dekat di depan Prabu Bojananta.
“Tidak. Tapi, aku tidak mungkin 
bisa ikut berperang," sahut Prabu 
Bojananta.
"Para prajurit sudah mampu 
mengatasinya, Gusti."
Prabu Bojananta menatap Panglima 
Gajah Pati, Hanya Panglima Gajah Pati 
yang tetap setia. Bahkan mampu 
memimpin para prajurit yahg masih 
berjumlah ratusan itu untuk menggempur 
para pembangkang.
"Bagaimana kau bisa tahu ada 
ruangan rahasia, Paman?" tanya Prabu 
Bojananta.
"Sebelum dibunuh, Gusti Ayahanda 
Prabu telah memberitahukan hamba, 
Gusti Prabu. Dan ternyata, memang 
berguna dalam keadaan genting seperti 
ini. Hamba sengaja memasukkan para 
prajurit ke sana sedikit demi sedikit, 
sehingga kelihatannya jumlah prajurit 
semakin berkurang. Dan itu atas

perintah Gusti Ayahanda Prabu. Hamba 
hanya menjalankan perintah saja, Gusti
Prabu," jelas PangBma Gajah Pati.
Prabu Bojananta menghembuskan 
napas panjang.
"Lalu, bagaimana keadaan para 
Adipati dan Tumenggung yang berada di 
dalam tahanan?" tanya Panglima Gajah 
Pati lagi.
"Mereka dalam keadaan selamat, 
Gusti Prabu. Mereka juga berada di 
ruangan rahasia yang lain. Semua hamba 
lakukan pada saat yang tepat, ketika 
mereka datang menyerang. Dan hanya ada 
satu regu prajurit saja yang belum 
hamba selamatkan, hingga akhirnya 
harus bertempur."
"Hm...," Prabu Bojananta 
menggumam perlahan.
Entah apa yang ada dalam 
pikirannya saat ini. Tapi yang jelas, 
rasa kagum pada ayahnya semakin 
bertambah atas kejadian ini. Memang, 
Prabu Bojananta tidak tahu kalau 
ayahnya sudah bisa mencium adanya 
pemberontakan ini, sehingga melakukan 
tindakan sangat tepat untuk 
menyelamatkan tahta dari kehancuran.
Sementara itu pertarungan terus 
berlangsung. Dan sudah jelas kalau


para prajurit kerajaan benar-benar 
menguasai jalannya pertempuran. Sudah 
lebih dari separuh jumlah pemberontak 
yang tewas. Dan mereka semakin tak 
mampu lagi menahan gempuran para pra-
jurit kerajaan yang begitu penuh 
semangat dalam pertempuran ini
Sedangkan di lain tempat, tampak 
Paman Waragati juga sudah berada di 
atas angin. Beberapa kali pukulan-
pukulan kerasnya yang bertenaga dalam 
tinggi berhasil disarangkan ketubuh 
Tumenggung Abiguna. Tampak sekali 
kalau Tumenggung itu tidak mampu lagi 
menahan serangan-serangannya. Hingga 
akhirnya....
“Tamat riwayatmu, Abiguna! 
Hiyaaa...!"
Sambil berteriak keras 
menggelegar, Paman Waragati melompat 
cepat sambil mengebutkan pedangnya ke 
arah dada Tumenggung Abiguna. Begitu 
cepat serangannya sehingga tidak ada 
lagi kesempatan bagi Tumenggung 
Abiguna untuk berkelit menghindar. 
Dan...
Bresss!
"Aaakh...!" Tumenggung Abiguna 
menjerit keras melengking tinggi.

Tubuhnya terhuyung-huyung sambil 
mendekap dadanya yang terbelah. Darah 
mengucur deras dari sela-sela jari 
tangan yang mendekap dada. Sementara 
itu, Paman Waragati sudah mengangkat 
pedangnya di atas kepala. Ujungnya 
tertuju lurus ke depan. Sedangkan 
sorot matanya tajam menusuk.
"Hiyaaat..!"
Bagaikan kilat, Paman Waragati 
melompat ke arah Tumenggung Abiguna. 
Dan secepat kilat pula, pedangnya 
dibabatkan ke leher tumenggung 
pembangkang itu.
Crasss!
"Aaa...!" lagi-lagi Tumenggung 
Abiguna menjerit melengking tinggi.
Hanya sebentar saja dia masih 
mampu bertahan berdiri, kemudian 
tubuhnya limbung. Tumenggung Abiguna 
ambruk menggelepar di tanah dengan 
leher terpenggal hampir buntung. Darah 
menyembur deras keluar dari dada dan 
lehemya. Tak berapa lama kemudian, 
Tumenggung Abiguna sudah tak bergerak-
gerak lagi. Saat itu juga nyawanya 
melayang dari raga.
"Hhh...!" Paman Waragati 
menghembuskan napas berat

Laki-laki setengah baya itu 
berdiri tegak menatap mayat Tumenggung 
Abiguna, kemudian berpaling menatap ke 
arah pertarungan. Tampak Adipati 
Mahesa dan Pendekar Pulau Neraka masih 
bertarung sengtt, menggunakan jurus-
jurus dahsyat tingkat tinggi Se-
mentara, pertarungan antara prajurit 
sudah berhenti.
Para prajurit pembangkang yang 
merasa tidak ada gunanya lagi melawan 
segera melemparkan senjata, langsung 
berlutut menyerah. Panglima Gajah Pati 
segera mengambil alih. 
Diperintahkannya para prajurit untuk 
melucuti senjata para pembangkang itu. 
Kemudian, mereka dikumpulkan di tempat 
yang tidak dipenuhi mayat yang 
bergelimpangan saling tumpang tindih.
***
Sementara itu Bayu masih terus 
bertarung sengit melawan Adipati 
Mahesa. Dan tampaknya, Pendekar Pulau 
Neraka memang sengaja memperlambat 
jalan nya pertarungan hingga seluruh 
pertempuran benar-benar terhenti
"Hup...!"

Bayu segera melompat mundur, 
keluar dari pertarungan begitu melihat 
seluruh pertarungan sudah berhentL 
Beberapa kali Pendekar Pulau Neraka 
melakukan putaran di udara. Lalu, 
manis sekali menjejakkan kakinya di 
tanah, sekitar dua batang tombak 
jaraknya dari Adipati Mahesa.
"Tidak ada gunanya lagi melawan, 
Adipati Mahesa. Kau lihat sendiri, 
tidak ada lagi yang mendukungmu," kata 
Bayu kalem.
Adipati Mahesa tampak terkejut 
setengah mati begitu mengedarkan 
pandangan ke sekeliling. Sungguh tidak 
disangka kalau para prajuritnya sudah 
takluk. Dan sekarang, tinggal dia 
sendiri yang masih bertarung dengan 
Pendekar Pulau Neraka. Yang lebih 
mengejutkan lagi adalah kemunculan 
para prajurit kerajaan yang tidak 
diduga sama sekali. Bahkan dikira 
seluruh prajurit sudah kabur begitu 
istana ini diserangnya. Tapi 
kenyataannya, mereka muncul dan 
berhasil menaklukkan prajuritnya yang 
sudah teriatih.
"Persetan dengan kalian semua! 
Kalian harus mampus...!" geram Adipati 
Mahesa.

Seketika itu juga, Adipati Mahesa 
mengangkat pedangnya ke atas kepala. 
Senjata itu diputar cepat, hingga 
bentuknya tak teriihat lagi. Hanya 
lingkaran keperakan saja yang teriihat 
memayungi kepalanya.
"Gila...! Dia mengeluarkan aji 
'Guntur Pembelah Bumi'...," desis 
Paman Waragati yang begitu mengenali 
jurus-jurus dan aji kesaktian yang 
dimiliki Adipati Mahesa.
Dan Paman Waragati tahu kalau 
ajian yang akan dikeluarkan Adipati 
Mahesa bisa membunuh siapa saja yang 
ada di dekatnya. Bahkan dalam jarak 
dua puluh tombak darinya. Itu berarti, 
semua yang ada di alun-alun depan 
istana ini akan mati. Bahkan juga ba-
ngunan istana ini bisa hancur jadi 
puing. Dan selama ini, belum ada yang 
bisa mengalahkan aji 'Guntur Pembelah 
Bumi' yang begitu dahsyat.
Bayu yang mulai merasakan akan 
adanya ajian dahsyat yang sangat 
berbahaya, segera merentangkan kakinya 
lebar-lebar ke samping. Lalu tubuhnya 
direndahkan hingga agak terbungkuk ke 
depan. Sementara tangan kanannya 
disilangkan ke depan dada. Lalu....
"Hiyaaa...!"

Sambil berteriak keras 
menggelegar, Pendekar Pulau Neraka 
menghentakkan tangan kanannya ke 
depan. Seketika itu juga, Cakra Maut 
yang selalu menempel di pergelangan 
tangannya melesat cepat bagai kilat ke 
arah pergelangan tangan Adipati Mahesa 
yang berada di atas kepala. Pedangnya 
tampak cepat sekali di atas dada.
Wusss...!
Cras!
"Akh...!" Adipati Mahesa terpekik 
keras agak tertahan.
Sungguh tidak disangka kalau 
pemuda berbaju kulit harimau itu akan 
menyerang begitu cepat luar biasa. 
Sehingga, Cakra Maut yang melesat 
begitu cepat tidak bisa lagi teriihat 
Dan senjata maut Pendekar Pulau Neraka 
itu langsung menghantam pergelangan 
tangannya.
Begitu dahsyat senjata Cakra Maut 
itu, sehingga kedua pergelangan tangan 
Adipati Mahesa terpenggal buntung. 
Sementara, pedangnya langsung jatuh ke 
tanah. Darah kontan mengucur dari 
kedua pergelangan tangan yang 
terpenggal buntung oleh Cakra Maut 
yang dilemparkan Pendekar Pulau 
Neraka.

"Keparat..! Setan kau...!" desis 
Adipati Mahesa menggeram berang.
Darah semakin banyak keluar dari 
kedua pergelangan tangan Adipati 
Mahesa yang buntung. Tanpa tangan 
lagi, Adipati Mahesa memang tidak bisa 
ber-buat apa-apa. Bahkan untuk 
menghentikan darahnya saja, tidak 
mampu lagi. Dan dia hanya dapat meng-
geram, memaki-maki Pendekar Pulau 
Neraka yang telah membuntungi kedua 
pergelangan tangannya.
Begitu banyak darah yang keluar, 
membuat pandangannya jadi berkunang-
kunang, dan tubuhnya terhuyung-huyung 
limbung. Sementara itu, Bayu sudah 
mengangkat tangan kanannya ke atas 
kepala. Maka Cakra Maut kembali 
menempel di pergelangan tangan 
kanannya.
"Setan...! Kubunuh kau, Bocah 
Keparat..!" geram Adipati Mahesa masih 
mencoba bertahan.
"Hiyaaat..!"
Tiba-tiba saja adipati itu 
berbuat nekat, melompat cepat dengan 
sisa-sisa kekuatannya yang ada. 
Meskipun kedua pergelangan tangannya 
buntung bercucuran darah, dia masih 
berusaha melepaskan beberapa pukulan

beruntun. Tapi Bayu lebih cepat lagi 
bertindak Sambil membungkukkan 
tubuhnya, kembali tangan kanannya 
dihentakkan ke depan dengan cepat
"Hiyaaa...!"
Wusss!
Kembali Cakra Maut melesat cepat 
dari pergelangan tangan kanannya, dan 
langsung menerjang dada Adipati Mahesa 
yang kosong tak terlindung sama 
sekali.
Crab!
"Aaakh...!"
Adipati Mahesa terpental ke 
belakang diterjang Cakra Maut yang 
dilepaskan Bayu, disertai pengerahan 
tenaga dalam yang sempurna sekali. 
Keras sekali tubuh adipati itu 
terbanting ke tanah. Dan begitu 
Pendekar Pulau Neraka menghentakkan 
tangan kanannya ke atas kepala, Cakra 
Maut yang tenggelam di dada Adipati 
Mahesa kembali melesat cepat Dan kini, 
senjata itu kembali menempel di 
pergelangan tangan kanan Pendekar 
Pulau Neraka.
Sementara Adipati Mahesa terus 
menggelepar sambil menggerung-gerung 
meregang nyawa. Beberapa saat 
kemudian, tubuhnya mengejang kaku,

lalu diam tak bergerak-gerak lagi 
Kini, nyawanya melayang dari raganya. 
Bayu berdiri tegak memandangi seakan-
akan ingin memastikan kalau lawannya 
benar-benar sudah tewas. Pendekar 
Pulau Neraka baru berpaling begitu 
mendengar cerecet si Tiren yang 
berjingkrakan di tangga istana, tidak 
jauh di samping Prabu Bojananta.

                          SELESAI



 

Share:

0 comments:

Posting Komentar