..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Minggu, 09 Februari 2025

PENDEKAR NAGA PUTIH EPISODE PENDEKAR MURTAD

Pendekar Murtad

 

PENDEKAR MURTAD 
Oleh T. Hidayat 
Cetakan pertama 
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S. 
Gambar sampul oleh Pro's 
Hak cipta pada Penerbit 
Dilarang mengcopy atau memperbanyak 
sebagian atau seluruh Isi buku ini 
tanpa izin tertuHs dari penerbit
T. Hidayat
Serial Pendekar Naga Putih 
dalam episode: 
Pendekar Murtad 
128 hal. ; 12 x 18 cm


SATU

"Tolooong...! Lepaskan aku! 
Binatang kau!"
Gadis yang berada di pondongan 
lelaki tinggi kurus itu berteriak-
teriak. Sepasang tangannya yang 
berjari mungil tak henti hentinya 
memukuli punggung orang itu. Dia terus 
meronta sambil berteriak-teriak
"He he he...! Biarpun berteriak-
teriak sampai suaramu habis, tak akan 
ada orang yang menolongmu. Hutan ini 
sangat lebat dan tidak ada seorang pun 
yang berani mendatanginya," kata lebki 
tinggi kurus itu sambil terkekeh 
parau. Setelah berkata demikian, 
dielusnya pinggul ramping gadis itu.
"Benar, Manis. Untuk apa 
membuang-buang tenaga percuma. Lebih 
baik simpan tenagamu untuk melayani 
kami nanti. Tak usah takut. Kami tidak 
akan melukaimu. Hanya.... He he he!" 
orang yang berlari di samping si 
tinggi kurus ikut membujuk. Suaranya 
terdengar melengking bagaikan suara 
wanita.
Orang yang satu itu penampilannya 
sangat jauh berbeda dengan kawannya. 
Tubuhnya pendek dan gemuk sehingga 
terlihat bulat. Dan pada saat tengah 
berlari seperti itu, tak ubahnya 
sebuah bola yang menggelinding.

Dua orang laki-laki yang jauh 
berbeda bagai langit dan bumi itu tems 
berlari menerobos semak belukar. 
Sepertinya mereka sama sekali tidak 
merasa khawatir kalau-kalau akan 
bertemu binatang buas.
Tidak berapa lama kemudian, kedua 
orang itu menghentikan larinya. Di 
hadapan mereka tampak membentang 
lapangan berumput hijau yang cukup 
luas. Sementara itu, gadis yang berada 
dalam pondongan si kurus, tampaknya 
sudah tak kuasa lagi untuk meronta 
ronta. Sepertinya dia sudah pasrah.
Laki laki tinggi kurus itu 
melangkahkan kakinya menuju sebatang 
pohon besar yang berdaun lebat. 
Bergegas diturunkan tubuh molek yang 
berada dalam pondongannya itu, lalu 
direbahkan di atas rerumputan tebal 
laksana permadani. Sedangkan tubuhnya 
sendiri dijatuhkan di samping gadis 
itu, sambil tetap memeluk.
Gadis manis berwajah bulat telur 
itu hanya menangis sambil menutupi 
wajahnya. Menilik pakaian yang 
dikenakan, pastilah gadis itu putri 
seorang yang cukup berada. Karena 
pakaiannya terbuat dari bahan surra 
halus, bersulamkan benang emas. Dengan 
warna kuning gading, serasi benar 
dengan kulit tubuhnya yang putih 
mulus. Tampak gadis itu hanya

meringkuk dengan wajah bersimbah air 
mata.
"Kasihanibh aku, Tuan. 
Kembalikanlah aku kepada ayahku," 
ratap gadis manis itu, di antara isak 
tangisnya yang menyayat.
"He he he...! Berhentilah 
menangis, Bidadariku. Beristirahatlah 
agar tenagamu tetap kuat untuk rnela-
yani kami berdua," ujar si tinggi 
kurus yang berwajah mirip tengkorak.
Tulang-tulang wajahnya tampak 
menonjol, seolah-olah hanya merupakan 
tulang yang terbungkus kulit. Kembali 
dielus-elusnya pinggul gadis yang 
padat berisi itu. Dan gadis itu hanya 
bisa menatap.
"He he he...! Kita harus 
mengundinya, Kakang. Siapa yang berhak 
mencicipi tubuh molek ini terlebih 
dahulu," usul si pendek gemuk, seraya 
tertawa.
Sepasang matanya yang sipit 
menjilari sekujur tubuh ramping 
mengundang gairah. Karena meskipun 
gadis itu mengenakan pakaian, jelas 
sekali lekuk tubuhnya begitu indah.
"Huh! Enak saja kau bicara! Tentu 
saja aku dulu yang harus mencicipinya. 
Pertama aku telah susah payah 
memondongnya hingga sampai ke tempat 
ini. Kedua, aku adalah kakakmu. Dan 
tentu saja harus didahulukan. Jadi
sudah sepantasnya kalau kau mendapat


bagian paling belakang. Bukankah itu 
sudah adil?" sentak si tinggi kurus 
mengajukan alasan. Sementara tangannya 
masih saja sibuk mengelus tubuh si 
gadis.
"Wah! Kau memang selalu ingin 
menang sendiri, Kakang. Setiap kite 
mendapat sesuatu, selalu kau ajukan 
alasan yang sama. Lalu, kapan aku akan 
mendapat bagian pertama?" sergah si 
gemuk dengan wajah menyeringai sedih. 
Mulutnya tampak cemberut mendengar 
alasan kakaknya.
"Ah, sudahlah. Mengapa masalah 
sepele ini harus dipersoalkan. Lebih 
baik lihat, bagaimana aku menundukkan 
bidadari liar ini. Apakah kau tidak 
ingin menyaksikannya?"
"He he he...! Tentu saja aku mau. 
Tapi kau harus melakukannya dengan 
baik, Kakang. Nah! Dengan begitu, 
mungkin aku bisa menerima alasanmu 
tadi," sahut si gendut. Sepasang 
matanya tampak berbinar penuh 
kegembiraan. Sepertinya ia merasa 
senang sekali mendengar perkataan si 
tinggi kurus itu.
"Nah, lihatlah!" kata si tinggi 
kurus, parau. Setelah berkata 
demikian, segera disekapnya tubuh si 
gadis yang maslh terisak ketakutan.
"Oh! Jangan, Tuan. Lepaskan 
aku...!" si gadis kembali berteriak 
Sedangkan sepasang matanya membelalak

ngeri, membayangkan apa yang yang akan 
diperbuat si kurus itu.
"He he he...! Merontalah, Manis. 
Gerakanmu membuatku semakin 
bersemangat!" ucap orang itu sambil 
mendekap mangsanya penuh gejolak.
Si gemuk pendek tertawa 
kegirangan melihat perbuatan kakak 
seperguruannya itu. Wajahnya yang 
bulat tampak semakin merah. Sepasang 
matanya dibuka lebar-lebar agar dapat 
melihat jelas pemandangan di depannya.
Belum lagi laki-Iaki tinggi kurus 
itu meneruskan niat kotornya, tiba-
tiba sesosok bayangan putih berkelebat 
cepat ke arah mereka.
***
"Jahanam! Lepaskan gadis itu!" 
bentak sosok tubuh berjubah putih itu. 
Berdirinya demikian gagah, dengan 
kedua kaki terpentang. Sepasang 
matanya mencorong tajam memancarkan 
sinar berapl
Seketika itu juga si kurus 
bangkit disertai kemarahan memuncak. 
Sepasang matanya yang memang sudah 
melotot keiuar itu nampak semakin 
menonjol.
"Bangsat! Siapa kau, Anak Muda?! 
Apakah kau sudah tidak menyayangi 
nyawamu?!" bentak laki-laki bermuka 
mirip tengkorak itu. Suaranya cukup

meng-gelegar, memekakkan telinga. 
Sepertinya sangat marah karena 
kesenangannya terganggu.
"Hei, Anak Muda! Tahukah kau, 
dengan siapa kau berhadapan saat 
ini?!" si gendut ikut menimpali. 
Suaranya yang kecil semakin 
melengking, karena ia pun sudah pula 
diliputi kemarahan.
Pemuda berjubah putih itu 
tersenyum tenang. Wajahnya yang tampan 
tampak semakin menarik. Perlahan-lahan 
dilangkahkan kakinya semakin mendekati 
kedua orang itu. Kira-kira berjarak 
sekirar tiga tombak, pemuda itu pun 
menghentikan langkahnya. Jelas sekali 
kalau pemuda itu tidak merasa gentar 
menghadapi dua orang yang bertampang 
agak aneh itu.
"Hm.... Aku tidak peduli, siapa 
kalian berdua! Lepaskan gadis itu, 
maka kalian akan selamat!" sahut 
pemuda tampan berjubah putih itu 
setengah mengancam.
Kedua orang itu tertawa terkekeh-
kekeh ketika mendengar ancaman pemuda 
itu. Kemarahan di hati mereka mendadak 
lenyap, karena merasa geli dengan 
ucapan pemuda itu. Keduanya 
terpingkal-pingkal sambil memegangi 
perut.
"He he he...! Lucu.... Lucu! Ada 
anak menjangan yang coba-coba 
menggertak harimau! Lucu...!" ejek si

tinggi kurus yang masih saja tertawa 
terpingkal-pingkal. Bahkan air matanya 
sampai keluar.
"Ha ha ha...! Ketahuilah, Anak 
Muda. Saat ini kau tengah berhadapan 
dengan Setan Langit dan Setan Bumi," 
si gendut memperkenalkan julukan 
mereka untuk menakut-nakuti pemuda 
itu.
"Hm.... Baru Setan Langit dan 
Setan Bumi. Bahkan Raja Setan 
sekalipun, tetap akan kutentang!" 
sahut pemuda tampan itu tetap tenang 
tanpa rasa gentar sedikit pun!
"Eh?!"
Kedua orang itu seketika 
menghentikan tawanya, karena menjadi 
terkejut mendengar jawaban pemuda itu. 
Untuk beberapa saat lamanya mereka 
hanya dapat saling pandang dengan 
wajah heran.
"Hm.... Jadi kau belum pernah 
mendengar julukan kami berdua?! 
Ketahuilah! Kami dijuluki sebagai 
Setan Langit dan Setan Bumi karena 
sepak terjang kami yang sangat kejam!" 
si tinggi kurus masih mencoba menakut-
nakuti pemuda tampan itu.
Tapi, kedua orang itu kembali 
harus mendan kekecewaannya. Ternyata, 
pemuda berjubah putih sama sekali 
tidak berubah sikapnya. Malah kini 
kepalanya terangkat dengan sikap agak 
angkuh.

"Hm.... Sekarang giliranku untuk 
memperkenalkan diri kepada kalian. 
Ketahuilah! Kalangan rimba persilatan 
memberikan julukan padaku. Sepak 
terjangku yang telah mengguncangkan 
dunia persilatan, membuat diriku 
dijuluki Pendekar Naga Putih. Apakah 
kalian sudah pernah mendengar julukan 
itu?" kata pemuda tampan itu, tenang.
'Pendekar Naga Putih...?!" seru 
Setan Langit dan Setan Bumi tersentak 
kaget
Wajah mereka berubah seketika, 
saat mendengar julukan pemuda berjubah 
putih itu. Serentak keduanya mdangkah 
mundur dengan wajah agak pucat.
"Huh! Kau kira kami akan 
mempercayainya begitu saja? Jangan 
coba-coba menakut-nakuti, Anak Muda!" 
kilah salah seorang dari mereka sambil 
mencoba menekan debaran dalam dadanya.
Meskipun sebenarnya kata-kata 
anak muda itu mulai dipercayai, namun 
untuk menjaga julukannya, Setan Bumi 
yang bertubuh pendek itu berusaha 
untuk menyembunyikan kegentarannya.
"Hm.... Biarpun kau memang benar 
Pendekar Naga Putih, jangan harap kami 
akan gentar! Malah kami sudah lama 
ingin berhadapan denganmu. Kami ingln 
mencoba kehebatan 'Ilmu Naga Sakti' 
dan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'mu 
yang terkenal itu. Nah! Marilah kita 
mulai!" timpal Setan Langit yang

bertubuh jangkung dan berwajah mirip 
tengkorak itu.
Sebagai tokoh gdongan hitam yang 
sangat ditakuti, tentu saja Setan 
Langit tidak ingin memperlihatkan rasa 
gentarnya di hadapan pendekar muda 
yang terkenal itu.
Sementara itu, tanpa 
sepengetahuan ketiga orang sakti itu, 
sesosok tubuh tegap tampak 
memperhatikan mereka. Sepasang mata 
yang tersembunyi di balik semak semak 
itu nampak terbelalak. Untunglah
jaraknya terpisah beberapa belas 
tombak, sehingga kehadirannya tidak 
sampai diketahui tiga orang tokoh itu.
Laki laki berusia sekitar empat 
puluh lima tahun itu berdebar hatinya. 
Memang, sebentar lagi ia akan 
menyaksikan sebuah pertarungan yang 
sangat langka.
"Hm.... Aku harus berhati-hati 
agar tidak terdengar oleh mereka. 
Kalau tidak, bisa-bisa pertarungan itu 
akan gagal," desah laki-laki itu dalam 
hati.
Dengan menarik napas perlahan-
lahan, orang itu berusaha menekan 
debaran dalam dadanya. Kembali matanya
diarahkan pada tiga orang yang saling 
menggertak, untuk menjatuhkan nyali 
masing-masing.
"Ha ha ha...! Kalau memang itu 
sudah menjadi keputusan kalian,

baiklah. Tapi bagaimana dengan gadis 
tawananmu! Apakah tidak sebaiknya kita 
bertaruh?" usul si pemuda yang 
kelihatannya memang Pendekar Naga 
Putih itu.
Sikap Pendekar Naga Putih itu 
tetap tenang, seolah-olah sama sekali 
tidak merasa khawatir meskipun yang 
dihadapinya adalah dua orang tokoh 
hitam yang menggiriskan.
"Apa maksudmu, Pendekar Naga 
Putih?" tanya Setan Bumi seraya 
mengerutkan keningya. Memang sulit 
dimengerti, apa yang diinginkan 
pendekar itu.
"Ya! Katakanlah, tidak perlu 
berbelit-belit!" timpal Setan Langit 
yang sudah tidak sabar melihat sikap 
pemuda yang masih saja nampak santai.
"Hm.... Begini maksudku, Setan 
Berotak Udang! Kalau aku memenangkan 
pertempuran ini, maka kuminta agar 
gadis itu diserahkan kepadaku. 
Sebaliknya, apabila kau yang 
memenangkan pertarungan ini, terserah 
apa yang akan kau lakukan kepadaku dan 
juga kepada gadis itu. Bagaimana? 
Apakah kalian berani?" tawar pemuda
tampan itu sambil tersenyum 
merendahkan. Ia sengaja berbuat 
demikian untuk membuat hati kedua 
calon Iawannya itu menjadi panas.
"Baik!. Kuterima tantanganmu, 
Pendekar Naga Putih! Nah, sekarang

bersiaplah!" sahut Setan Langit, 
langsung bersiap menghadapi 
pertarungan.
Melihat Setan Langit telah 
bersiap, Setan Bumi pun bergegas 
menggeser tubuhnya merenggang. 
Tampaknya mereka hendak menggencet 
Pendekar Naga Putih dan dua arah.
"Ha ha ha...! Mengapa kalian 
begitu terburu-buru? Sabarlah. 
Bukankah perjanjian kita belum 
selesai?" sergah Pendekar Naga Putih 
yang langsung tertawa melihat kedua 
orang calon Iawannya sudah bersiap-
siap.
"Bangsat! Apa lagi yang hendak 
kau ucapkan, Pendekar Naga Putih? 
Apakah kau memang sengaja hendak
mempermainkan kami?"
Setan Langit yang sudah mulai 
menyiapkan ilmunya segera mengendurkan 
urat-urat tubuhnya. Lelaki tinggi 
kurus berusia enam puluhan tahun itu 
mulai bangkit nafsu membunuhnya. 
Karena, ia merasa telah dipermainkan 
pendekar muda itu.
"Bedebah! Rupanya kau memang 
sengaja hendak mengejek kami, Pendekar 
Naga Putih! Aku tidak peduli dengan 
segala macam syarat yang kau ajukan 
itu! Kalau tidak segera bersiap, 
jangan salahkan kami. Hati hati, 
tubuhmu akan terbelah oleh pukulanku!" 
ancam Setan Bumi.

Laki-laki gemuk pendek itu pun 
sudah terbangkit kemarahannya. Rasanya 
pendekar itu memang seperti sengaja 
hendak mengulur-ulur waktu. Tentu saja 
hal itu membuat hatinya jengkel.
"Wah, wah! Sabar dulu, Kisanak. 
Aku sama sekali tidak bermaksud 
demikian. Aku hanya ingin bertanya, 
apakah kita bertarung dengan tangan 
kosong, atau menggunakan senjata?" 
kilah Panji sambil merentangkan kedua 
tangannya ke depan dada untuk 
menyabar-kan kedua orang itu.
"Tidak peduli! Kau boleh 
menggunakan apa saja untuk menghadapi 
kami! Aku tidak sudi terhadap segala 
macam aturan pertandingan! Sekarang 
kau benar-benar harus bersiap, 
Pendekar Naga Putih!" geram Setan 
Langit yang sudah menarik napas 
berulang-ulang.
"Hmh...!"
Dengan sebuah gerengan keras, 
Setan Langit mendorongkan telapak 
tangannya ke depan. Hawa panas 
langsung berhembus disertai bau amis 
yang menusuk hidung. Tokoh sesat itu 
benar-benar tidak main-main, dan 
langsung saja mengeluarkan ilmunya 
yang mengerikan dalam menghadapi 
pendekar muda yang memang sudah 
terkenal itu.
Beberapa tombak di sebelah Setan 
Langit, nampak Setan Bumi juga sudah

mempersiapkan ilmu andalannya. 
Sepasang tangannya dengan telapak 
terbuka bergerak turun-naik 
bergantian. Angin dingin bergemuruh 
ketika kedua tangannya mulai 
digerakkan.
"Ha ha ha...! Keluarkanlah 
'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'mu, 
Pendekar Naga Putih. Aku ingin tahu, 
apakah ilmu 'Pukulan Badai Salju'ku 
dapat kau tahan!" desis Setan Bumi 
yang sudah menarik kedua tangannya ke 
sisi pinggang. Sedangkan kuda-kuda 
kakinya tetap membentuk kuda-kuda 
kokoh.
"Hmh...!"
Pemuda berjubah putih itu 
menggeram perlahan. Kedua tangannya 
mendorong ke atas dengan telapak 
menghadap langit. Kedua kakinya yang 
membentuk kuda-kuda menunggang kuda 
bergerak turun dalam posisi yang amat 
rendah. Kemudian, kedua tangan itu
bergerak turun menyilang. Pendekar 
Naga Putih mendorong tangannya lurus-
lurus ke depan setelah menariknya ke 
sisi pinggang
"Sambutlah 'Pukulan Api 
Neraka'ku, Pendekar Naga Putih! 
Heaaat...!" ujar Setan Langit.
Tubuh kakek tinggi kurus itu 
meluncur cepat dengan serangan
dahsyat. Kedua tangannya berputaran 
menimbulkan sambaran angin panas yang

menyengat kulit. Nampaknya dia tidak 
ingin ayal-ayalan lagi. Begiru 
serangannya dibuka, langsung digunakan 
ilmu pamungkasnya yang menggiriskan 
itu.
Wuttt! Wuttt...!
"Hahhh!"
Pendekar Naga Putih membentak 
menggelegar. Tubuhnya langsung 
melambung ke udara. Begitu serangan 
Setan Langit lewat di bawah kakinya, 
tangan pemuda itu bergerak menusuk ke 
arah ubun-ubun lawannya.
Cuiiit...!
Angin pukulan yang keluar dari 
jari-jari yang menusuk itu mencicit 
tajam, sehingga mengejutkan lawan. 
Setan Langit mengegoskan kepalanya 
dengan gerakan berputar. Kemudian 
tubuhnya bergulingan ke kiri 
menghindari sambaran susulan. Setelah 
berhasil menyelamatkan diri, tubuh 
tokoh sesat itu langsung mencelat 
melontarkan tendangan terbang!
Zebbb!
Plakkk!
Pendekar Naga Putih menapak kaki 
yang melancarkan tendangan itu. 
Kemudian tubuhnya berjumpalitan 
melewati kepala Iawannya dengan 
meminjam tenaga tepakan tadi.
Wusss!
Baru saja kaki pemuda itu 
menyentuh permukaan tanah, tahu-tahu

saja serangkum angin dingin berhembus 
keras ke arahnya. Cepat cepat tubuhnya 
direndahkan disertai liukan. Kemudian, 
kedua tangannya mendorong ke depan 
menyambut serangan Setan Bumi.
Bresss!
"Ahk...!"
Sungguh hebat pertemuan dua 
tenaga dalam tingkat tinggi itu. Udara 
di sekitarnya tampak bergetar hebat.
Daun-daun pohon di dekat mereka 
langsung berguguran ke atas tanah. 
Sedangkan tubuh kedua orang sakti itu 
sama-sama terjajar mundur ke belakang. 
Sepertinya, pada pertemuan tenaga 
pertama itu keduanya berimbang!
"Ha ha ha...! Ternyata julukanmu 
bukan sekadar nama kosong belaka, 
Pendekar Naga Putih!" puji Setan 
Langit sambil terkekeh, meskipun di 
sudut bibirnya tampak cairan merah 
merembes keluar.
"Kau pun hebat, Setan Langit!" 
sambut Panji yang juga menekap 
dadanya. Dari sudut bibir pemuda itu 
juga mengalir cairan merah perlahan.
"Yeaaat...!"
Saat itu pukulan Setan Langit 
meluncur datang, siap mehimatkan tubuh 
Pendekar Naga Putih. 
Blarrr!
Debu dan dedaunan mengepul, 
beterbangan di udara ketika pukulan 
Setan Langit mengenai permukaan bumi.


Hebat sekali pukulan yang dilancarkan 
tokoh sesat itu. Akibatnya bumi di 
sekitar tempat itu bagai digoyang 
gempa! Untunglah pemuda berjubah putih 
itu sempat menyelamatkan diri. Kalau
tidak, nlscaya tubuhnya pasti sudah 
hancur terhantam pukulan dahsyat itu.
Pemuda itu terus bergulingan 
menjauhi kedua orang Iawannya. 
Sehingga tanpa sadar Setan Langit dan 
Setan Bumi mengejar sehingga 
meninggalkan tawanan mereka.
"He he he...! Mau lari ke mana 
kau, Pendekar Naga Putih? Sebentar 
lagi kematian akan segera 
menjemputmu!" seru Setan Langit 
terkekeh kegirangan. Tubuhnya lerus 
melesat mengejar pendekar muda yang 
sudah mulai terdesak.
Setan Bumi pun tidak mau 
ketinggalan. Tubuhnya yang bulat itu 
seperti menggelinding mengejar Iawan-
nya. Meskipun tubuhnya seperti itu, 
namun nyatanya dapat pula bergerak 
gesit.
***

DUA

Laki-laki berusia empat puluh 
tahun yang menyak-sikan pertarungan 
dari tempat tersembunyi, menjadi 
cemas. Sebab biarpun tidak begitu 
mengenal Pendekar Naga Putih, namun ia 
adalah salah seorang pengagumnya. Dan 
ketika pertarungan itu bergeser, laki-
laki itu terus membuntuti dengan 
menjaga jarak.
"Ah! Bisakah pendekar muda itu 
menyelamatkan diri dari ancaman kedua 
orang jahat itu? Kalau sampai pendekar 
itu tewas di tangan mereka, maka akan 
celakalah dunia persilatan. Dengan 
tewasnya Pendekar Naga Putih, berarti 
mereka akan semakin merajalela 
menyebarkan bencana. Mudah-mudahan 
saja pendekar muda itu dapat 
mengalahkan Iawannya. Atau paling 
tidak bisa meloloskan diri dari 
ancaman kematian," desah laki-laki itu 
penuh harap.
Memasuki jurus ketujuh puluh 
lima, Pendekar Naga Putih mulai tampak 
bangkit. Jurus-jurus andalannya mulai 
terlihat dahsyat. Sampai pada suatu 
saat....
Mendadak sepasang mata di balik 
semak belukar itu terbelalak heran! 
Kedua matanya digosok-gosokkan, 
seolah-olah tak mempercayai apa yang 
dilihatnya. Karena saat itu, tampak

Setan Langit dan Setan Bumi berlutut 
di depan kaki pemuda berjubah putih 
itu.
Sikap kedua orang tokoh sesat itu 
terlihat patuh dan takut.
"Hei! Apa yang telah terjadi 
terhadap kedua tokoh sesat itu? 
Bukankah tadi mereka telah berhasil 
mendesak Pendekar Naga Putih? Lalu 
mengapa sekarang berlutut kepada 
pemuda itu? Apa yang telah dilakukan 
pendekar muda itu terhadap lawan-
lawannya?" kata hati laki-laki yang 
bersembunyi di balik semak-semak itu. 
Dia jadi keheranan melihat kedua orang 
lawan Pendekar Naga Putih itu tahu-
tahu telah menyerah begitu saja.
Keheranan dan rasa tidak percaya 
semakin kuat menyelimuti benaknya. 
Apalagi ketika Pendekar Naga Putih 
menggerakkan tangannya seperti orang 
yang mengusir anjing. Seketika kedua 
orang yang cukup ditakuti kaum rimba 
persilatan itu tampak beranjak bangkit 
dan bergegas meninggalkan tempat itu. 
Sedikit pun mereka tidak menoleh, dan 
terus saja berlari bagai seorang 
pesuruh yang diperintah majikannya.
Sepeninggal kedua orang tokoh 
sesat yang sakti itu, pemuda berjubah 
putih melangkah mendekati gadis yang 
masih rebah ketakutan.
***

"Jangan takut. Kedua orang setan 
keparat itu sudah pergi. Bangkitiah. 
Mari kuantarkan ke rumahmu," ajak 
pemuda tampan itu.
Segera Pendekar Naga Putih 
mengulurkan tangannya menarik tangan 
si gadis untuk bangkit Senyum di wajah 
pemuda tampan itu mengembang, 
membuatnya tampak semakin menarik.
'Terima kasih, Tuan.... Tuan 
telah menyelamatkan diriku," ucap 
gadis manis itu dengan suara bergetar.
Sekujur tubuh dara itu semakin 
gemetar ketika lengannya yang berkulit 
kuning langsat itu digenggam Pendekar 
Naga Putih. Tampak warna kemerahan 
merona di kedua sisi wajahnya. Dengan 
agak malu-malu, gadis manis itu 
bangkit berdiri.
"Di manakah rumahmu?" tanya 
Pendekar Naga Putih, lembut.
Nada suara pemuda itu tampak 
bergetar karena merasakan hal yang 
sama dengan gadis itu. Hanya saja 
bedanya, ia tidak bersikap malu-malu.
"Jauh sekali...," sahut gadis itu 
dengan tubuh gemetar karena lengannya 
masih saja digenggam erat pemuda 
tampan itu. Gadis itu nampak semakin 
gugup saja.
"Tidak apa. Mari, kuantarkan," 
ajak Pendekar Naga Putih sambil tetap 
memegang tangan dara itu.

Sesaat kemudian Pendekar Naga 
Putih menyadari kelakuannya. Cepat-
cepat tangannya ditarik dari lengan 
gadis itu.
"Hm.... Siapa namamu?" tanya 
pemuda tampan itu sambil melangkah 
menjajari di samping kaki si gadis.
"Namaku Warti. Nama Kakang 
siapa?" tanya gadis manis itu.
Hatinya mulai memperoleh 
ketenangan. Sikapnya pun sudah tidak 
canggung lagi. Bahkan sudah berani 
pula bertanya tentang nama 
penolongnya.
"Namaku Panji," sahut pemuda 
tampan berjubah putih itu sambil 
memamerkan senyumnya.
"Dan kedua kakek bejat tadi 
menyebutmu sebagai Pendekar Naga 
Putin. Benarkah itu julukanmu?" tanya 
gadis yang ternyata bernama Warti itu 
semakin berani.
Pemuda berjubah putih yang 
mengaku bernama Panji itu 
menganggukkan kepalanya. Tiba-tiba 
saja kepala pendekar muda itu menoleh 
ke arah semak-semak yang terpisah 
beberapa tombak di sebelah kanannya. 
Setelah bergumam tak jelas, pemuda itu 
kembali mengalihkan pandangannya 
kepada Warti.
Laki-laki yang masih bersembunyi 
di batik semak-semak itu hampir saja 
melompat keluar ketika Pendekar Naga

Putih memperhatikan semak-semak 
tempatnya bersembunyi. Namun segera 
niatnya diurungkan ketika pemuda itu 
mengalihkan pandangannya kembali.
"Hm.... Apakah pemuda itu tahu 
kalau aku bersembunyi di sini?" pikir 
orang itu, bertanya kepada dirinya 
sendiri.
Sepeninggal Panji dan Warti, 
laki-laki itu kembali mengendap-endap 
mengikuti mereka. Ilmu meringankan 
tubuhnya dikerahkan agar tidak sampai 
menimbulkan suara mencurigakan. Orang 
itu juga menjaga jarak agar tidak 
terlalu dekat dengan pendekar yang 
dikaguminya itu.
Pendekar Naga Putih dan Warti 
terlihat semakin akrab. Sesekali gadis 
manis itu malah mencubit lengan Panji 
sambil terkikik manja. Tampaknya Warti 
sudah mulai melupakan kejadian yang 
hampir merenggut kehormatannya. Dia 
nampak semakin banyak memperlihatkan 
senyumnya. Sikapnya pun terlihat 
semakin manja kepada pemuda 
penolongnya itu.
"Hm.... Kita harus mencari kuda 
untuk mempercepat perjalanan," gumam 
Pendekar Naga Putih di sela-sela canda 
mereka.
Orang yang sudah mengenal pemuda 
tampan itu pasti akan merasa heran 
melihat sikapnya kali ini. Pemuda yang 
biasanya pendiam itu, kini nampak


pandai sekali berseloroh, sehingga 
Warti menjadi gembira dibuatnya. 
Bahkan sepasang matanya terkadang 
memandang gadis di sampingnya dengan 
penuh hasrat. Memang aneh sekali 
tingkah pemuda itu kali ini.
"Tidak apalah, Kakang. Aku pun 
tidak terlalu merasa letih," sahut 
Warti cepat.
Dari cara memandang dan tingkah 
laku, Pendekar Naga Putih tahu kalau 
gadis manis itu enggan untuk lekas-
lekas berpisah dengannya. Sepertinya 
dia sudah benar-benar melupakan 
keluarga dan tempat tinggalnya. 
Karena, hatinya benar-benar telah 
terpikat oleh ketampanan pemuda 
penolongnya itu. Dan hal itu tentu 
saja diketahui Pendekar Naga Putih.
"Apakah kau tidak takut kalau 
kita kemalaman di tengah hutan lebat 
ini?" tanya pemuda itu seperti hendak 
memancing perasaan Warti.
"Di manapun, aku tidak merasa 
takut kalau bersama Kakang," sahut 
gadis itu tanpa basa-basi.
Warti sepertinya sudah percaya 
penuh terhadap Pendekar Naga Putih. 
Sehingga perasaan hatinya tidak ragu-
ragu lagi untuk diungkapkan. Karena 
dari sikap serta pandang mata pemuda 
itu, diyakininya kalau orang yang 
mengaku bernama Panji itu juga 
menyukainya. Itulah sebabnya, mengapa

Warti begitu berani mengungkapkan 
perasaannya. Padahal, mereka baru 
beberapa saat saling mengenal.
"Sungguh...?" tanya Panji seraya 
mengelus wajah bulat telur itu dengan 
telapak tangannya. Sepasang mata 
pemuda itu tampak berbinar gembira.
Warti menganggukkan kepalanya 
seraya menangkap tangan pemuda itu, 
lalu digenggamnya penuh kehangatan. 
Sepasang matanya tampak terpejam 
seolah-olah ingin menikmati perasaan 
bahagia yang saat itu tengah 
dirasakannya.
Pemuda itu merunduk perlahan. 
Lalu dikecupnya bibir mungil itu penuh 
perasaan. Warti mengerang lirih 
bagaikan seekor kucing yang tengah 
dibelai-belai manja. Dibalasnya 
kecupan pemuda itu penuh gelora. 
Pelukan keduanya kini semakin rapat 
saja. Sebentar-sebentar terdengar 
erangan lirih penuh kenikmatan.
Laki-laki yang semenjak tadi 
masih tetap mengikuti kedua anak muda 
itu menjadi heran. Keningnya berkerut 
dalam melihat pemandangan yang 
terbentang di depan matanya. Diam-diam 
hatinya mulai tidak suka kepada 
Pendekar Naga Putih yang menurutnya 
telah menjebak gadis itu agar jatuh ke 
dalam pelukannya.
"Hm.... Tidak kusangka kalau 
Pendekar Naga Putih yang tersohor itu

ternyata adalah seorang pemuda mata 
keranjang," umpat laki-laki itu geram.
Dan memang, tentu saja ia tidak 
dapat berbuat apa-apa karena hal itu 
terjadi atas suka sama suka. Sedangkan 
ia hanya dapat memandang dengan mata 
terbelalak.
Dan kini yang terlihat hanyalah 
dua insan berlainan jenis saling 
berpacu dalam birahi. Masing-masing 
mulai menanggalkan pakaian, tanpa 
melepas pagutan. Kemudian, mereka 
sama-sama menjatuhkan diri di atas 
rumput tebal.
Sementara orang yang bersembunyi 
itu memejamkan mata sambil menahan 
seruannya ketika menyaksikan apa yang 
terjadi selanjutnya. Hatinya menjadi 
bingung dan tidak tahu harus berbuat 
apa. Sehingga akhirnya ia hanya dapat 
mengurut dada melihat perbuatan kedua 
orang muda yang tengah dipenuhi nafsu 
birahi itu.
***
"Kau menyesal, Warti?" tanya 
pemuda tampan itu sambil membelai 
wajah Warti.
Sementara, gadis itu masih sibuk 
membenahi pakaiannya yang morat-marit. 
Meskipun wajahnya agak pucat, namun 
jelas sekali kalau Warti merasa 
bahagia. Sepertinya Warti tidak

menyesali perbuatan yang telah 
dilakukannya.
"Tidak, Kakang. Sebaliknya, aku 
malah bahagia," ujar gadis itu 
memamerkan senyum manisnya.
Sambil berkata demikian, kedua 
tangannya bergerak merapikan rambutnya 
yang kusut. Wajahnya yang manis itu 
tampak masih dihiasi butir-butir 
keringat yang menitik. Namun di balik 
itu semua, tersimpan suatu perasaan 
yang sulit diungkapkan.
Pendekar Naga Putih tersenyum 
lembut. Kembali dikecupnya bibir gadis 
itu perlahan, kemudian bergerak 
bangkit dan mengenakan pakaiannya 
kembali. Wajah tampan itu pun masih 
terhias butir-butir keringat.
Sementara laki-laki gagah yang 
semenjak tadi menyembunyikan dirinya, 
segera melompat keluar. Rupanya dia 
sudah tidak kuasa lagi menahan rasa 
muak melihat perbuatan pemuda yang 
dikaguminya itu. Perbuatan yang jelas-
jelas menyimpang dari sepak terjangnya 
selama ini.
"Huh! Inikah pemuda bejat yang 
berjuluk Pendekar Naga Putih?! Sungguh 
aku merasa kecewa sekali. Semula 
kusangka Pendekar Naga Putih adalah 
seorang laki-laki sejati yang selalu 
menjunjung tinggi susila dan sopan 
santun. Tapi nyatanya hanyalah seorang 
pemuda bejat yang suka merayu gadis

gadis! Sungguh memuakkan!" kata laki-
laki gagah itu sambil bertolak 
pinggang.
Wajah laki-laki itu nampak 
memerah ketika mengingat perbuatan 
Pendekar Naga Putih yang telah menodai 
gadis desa lugu itu. Sedangkan 
Pendekar Naga Putih dan Warti langsung 
tersentak kaget melihat kehadiran 
orang itu yang dengan tiba-tiba saja.
"Hm... Siapakah Kisanak ini? Dan 
apa yang kau bicarakan itu?" sahut 
Panji dengan alis berkerut. Meskipun 
begitu, pemuda itu nampaknya berusaha 
menahan kegugupannya dengan kehadiran 
orang itu.
"Huh! Tidak usah berlagak bodoh, 
Pendekar Cabul! Aku lihat semua yang 
telah kau perbuat terhadap gadis itu! 
Apakah masih mau menyangkal?" laki-
laki gagah itu semakin sinis saja 
melihat sikap yang ditunjukkan 
Pendekar Naga Putih.
"Ha ha ha...! Kami berbuat karena 
dilandasi rasa suka sama suka. Mengapa 
kau yang marah-marah? Tanyalah gadis 
itu, apakah ia menyesal atau tidak?" 
sahut Panji, tenang.
Sikap Panji demikian tenang 
seolah-olah sama sekali tidak berbuat 
kesalahan. Tentu saja hal ini sangat 
mengherankan hati laki-laki gagah itu.
Orang itu bungkam begitu 
mendengar kata-kata Panji. Segera

pandangannya dialihkan kepada Warti
yang saat itu sudah ketakutan. Selain 
merasa malu karena perbuatannya telah 
dipergoki orang lain, gadis itu takut 
kalau-kalau pemuda yang dicintainya 
akan tewas di tangan laki-laki yang 
terlihat gagah dan bertenaga kuat itu.
"Nisanak. Apakah kau tidak sadar 
kalau dirimu sudah terjebak rayuan 
pemuda iblis berwajah tampan ini? 
Ketahuilah, Nisanak. Pemuda ini pasti 
akan segera meninggalkanmu setelah 
merenggut kehormatanmu. Kau telah 
dipermainkannya, Nisanak!" jelas laki-
laki gagah itu mencoba menyadarkan 
Warti.
"Oh, tidak mungkin! Kakang, 
katakanlah kalau kau tidak akan 
meninggalkan aku! Jawablah, Kakang!" 
sambil terisak ketakutan, Warti 
mengguncang-guncangkan lengan Panji.
"Nah! Kau lihat sendiri, bukan? 
Pemuda Iblis itu tidak akan sudi 
mempertanggungjawabkan perbuatannya 
terhadapmu," kembali si laki-laki 
gagah mencoba menyadarkan Warti.
"Jawablah, Kakang! Kau tidak akan 
meninggalkan aku, bukan? Kau akan 
mengantarkan aku kepada orang tuaku, 
bukan?"
Warti semakin kalap ketika pemuda 
tampan itu hanya berdiri mematung 
tanpa menjawab pertanyaan-nya. la

semakin keras mengguncangkan tangan 
pemuda itu.
"Diam kau, Perempuan Bodoh! 
Apakah kau lebih mempercayai orang itu 
daripada aku?" bentak Panji sambil 
menepiskan lengannya sehingga gadis 
itu terjatuh keras di tanah. 
"Ohhh...!"
Warti menekap wajah dengan 
telapak tangannya. Hatinya benar-benar 
sedih mendapat perlakuan yang demikian 
kasar dari pemuda yang dicintainya 
itu. Diam-diam ia pun mulai 
mempercayai kata-kata lelaki gagah 
itu.
"Hei, Pendekar Murtad! Sadarkah 
kau kalau perbuatanmu itu telah 
menghancurkan nama besarmu sendiri 
yang telah dipuja tokoh-tokoh 
persilatan! Maka kelak kesulitan akan 
datang kepadamu apabila kejadian ini 
tersebar dan diketahui kaum rimba 
persilatan!" tegas laki-laki gagah itu 
lagi, geram.
Ia yang semula kagum dengan 
pemuda itu, berbalik menjadi 
membencinya setengah mati. Sepertinya 
perbuatan Pendekar Naga Putih tidak 
bisa dimaafkan lagi.
"Ha ha ha...! Kejadian ini tidak 
akan tersebar apabila aku 
menghancurkan tubuhmu dan tubuh gadis 
kampung itu! Nah! Sekarang, bersiaplah 
untuk melayat ke akhirat!"

Setelah berkata demikian, tubuh 
Pendekar Naga Putih melesat dengan 
kecepatan kilat. Sepasang tangannya 
siap melumat tubuh laki-laki gagah 
itu.
Wuttt! Wuttt!
"Ahk...!"
Orang itu bergegas melempar 
tubuhnya ke belakang. Serangan yang 
berbahaya itu tidak mengenai sasaran. 
Tubuh lelaki gagah itu terus 
bergulingan menjauhkan diri dari 
serangan Pendekar Naga Putih. Begitu 
bangkit, tangannya telah menggenggam 
sebatang pedang yang langsung 
digerakkan untuk menghalau serbuan 
pendekar muda yang sakti itu. 
Wukkk! Wukkk!
Pendekar Naga Putih melompat ke 
belakang begitu serangannya disambut 
tebasan pedang. Begitu kakinya 
menyentuh tanah, kembali disiapkan 
serangan berikutnya.
"Nisanak! Kau larilah!" teriak 
laki-laki gagah itu memperingatkan 
Warti akan bahaya yang akan menimpa 
diri gadis itu.
"Ohhh.... Tidaaak...!"
Warti berteriak-teriak bagaikan 
kesetanan. Hatinya benar-benar 
terpukul atas kejadian yang dialaminya 
itu. Jiwanya begitu guncang sehingga 
Warti tidak lagi mempedulikan 
persoalan mati hidupnya.

Warti bergegas bangkit dengan 
sepasang mata menyala. Air matanya 
terus mengalir bagai anak sungai. 
Terdengar isak lirih yang keluar dari 
kerongkongannya. Rupanya gadis manis 
itu benar-benar telah mengalami 
guncangan jiwa yang hebat!
"Kubunuh kau...!" teriak Warti.
Bagaikan seekor harimau luka 
tubuhnya, gadis itu segera berlari 
menerjang Panji yang tengah berusaha 
untuk menghabisi nyawa si lelaki 
gagah.
Pendekar Naga Putih langsung 
menggerakkan tangannya menghantam 
batok kepala Warti yang pada saat itu 
tengah memukuli punggungnya. 
Akibatnya, pukulan yang bertenaga 
dalam tinggi itu memang parah apabila 
menghantam batok kepala wanita lemah 
seperti Warti. Maka....
Wuttt!
Prakkk!
Darah segar bercampur cairan 
putih memercik membasahi permukaan 
bumi. Batok kepala gadis itu langsung 
pecah terkena pukulan pemuda tampan 
itu. Tanpa sempat berteriak lagi, 
tubuh wanita desa yang malang itu 
tewas seketika.
"Biadab kau, Pendekar Naga Putih! 
Kau benar-benar setan! Kau sudah 
berubah menjadi iblis! Bagus sekali 
perbuatanmu. Setelah kau renggut

kehormatannya, kau renggut pula 
jiwanya! Kalau kau masih belum puas, 
ayo hirup darahku!" teriak laki-laki 
gagah itu yang menjadi meledak-ledak 
kemarahannya melihat kekejaman 
pendekar muda yang semula dikaguminya 
itu.
"Ha ha ha...! Tentu! Kau pun akan 
segera mendapat bagian, Manusia Usil!" 
ancam Pendekar Naga Putih. Karena 
disadari kalau orang itu terlalu 
berbahaya baginya. Dan sudah pasti 
tidak akan membiarkannya lolos!
"Heaaat...!"
Dibarengi sebuah bentakan 
menggeledek, tubuh pemuda berjubah 
putih itu meluncur ke arah Iawannya. 
Sepasang tangannya yang berbentuk 
cakar, berkelebat mencari sasaran.
Bet! Bet...!
"Ah...!"
Lelaki gagah itu berlompatan 
menghindari sambaran cakar Pendekar 
Naga Putih yang berhawa maut.
Sekali salah langkah saja, maka 
dirinya tidak mungkin dapat lolos dari 
kematian. Hal itu tentu saja 
disadarinya.
Walaupun lelaki gagah itu 
bukanlah lawan berat bagi Pendekar 
Naga Putih, namun sulit juga untuk 
menundukkannya. Dia selalu bisa 
menghindar sambil sesekali menusukkan

pedangnya apabila sudah sangat 
terdesak.
Lelaki gagah itu mulai menyadari 
kalau tidak mungkin akan menang 
menghadapi Pendekar Naga Putih. Namun 
ia pun tidak menginginkan pemuda itu 
terbebas dari hukuman atas 
perbuatannya yang keji itu. Setelah 
mempertimbangkan segalanya, maka 
diambilnya keputusan untuk meloloskan 
diri dari tangan maut Pendekar Naga 
Putih.
Mulailah dicari jalan agar dapat 
meloloskan diri dari pemuda sakti itu. 
Namun Pendekar Naga Putih tentu saja 
tidak ingin membiarkan Iawannya lolos. 
Begitu melihat gelagat kalau orang itu 
hendak mencari jalan untuk lari, maka 
semakin diperhebat serangan-
serangannya.
"Heaaat...!" 
Wuttt! Brettt! 
"Aaakh...!"
Orang itu menjerit kesakitan 
ketika sebuah tusukan jari tangan 
Panji mengenai bagian atas dada
kirinya. Tubuhnya langsung terlempar 
sejauh dua tombak ke belakang. Darah 
tampak merembes melalui lukanya yang 
terasa perih itu. Ketika tampak 
Pendekar Naga Putih melompat mengejar, 
cepat senjatanya dilemparkan ke arah 
lawan. Kemudian, secepat kilat 
tubuhnya melompat ke semak-semak.

Pendekar Naga Putih cukup 
terkejut melihat pedang lawan meluncur 
ke arahnya. Bergegas tubuhnya 
dimiringkan, sehingga senjata itu 
lewat di sisinya.
"Bangsat!" geram Panji ketika 
melihat Iawannya menghilang di balik 
semak-semak. Cepat pemuda itu bergegas 
mengejarnya. Tubuhnya melesat ke balik 
semak-semak tempat Iawannya tadi 
menghilang.
Kegelapan senja yang mulai 
menapak, membuat pemuda itu mendapat 
kesulitan untuk menemukan Iawannya. 
Setelah cukup lama mencari, namun 
tidak juga dapat menemukan orang itu, 
maka dengan hati kesal Pendekar Naga 
Putih bergegas meninggalkan tempat 
itu.
Lama setelah kepergian Pendekar 
Naga Putih, sesosok tubuh melayang 
turun dari atas pohon yang tidak jauh 
dari semak-semak. Sambil menekap luka 
di bagian atas dadanya, kakinya 
melangkah tertatih-tatih meninggalkan 
hutan. Lelaki gagah itu mengambil 
jalan yang berlawanan, agar tidak 
kepergok orang yang mcngaku berjuluk 
Pendekar Naga Putih itu.
Malam pun semakin merayap 
menampakkan kekuasaannya. Bintang-
bintang tampak menghiasi cakrawala 
yang berwarna biru gelap. Rembulan

tersenyum memancarkan cahayanya, 
menerobos kegelapan malam.
***
TIGA


“Tolooong...! Ada rampok.... 
Pembunuh...!"
Seorang laki-laki bercaping bambu 
berlari sambil berteriak-teriak. 
Cangkulnya yang semula tersandang di 
punggung, terlempar entah ke mana.
Beberapa orang petani yang hendak 
berangkat ke sawah, tertegun sesaat. 
Mereka terkejut melihat laki-laki yang 
berlari bagai dikejar setan itu.
"Bukankah itu tukang kebun Tuan 
Wiralaga? Mengapa berteriak-teriak 
seperti itu? Di mana pula ada perampok 
dan pembunuh?" bisik salah seorang 
petani kepada kawannya.
Orang yang diajak bicara hanya 
memandang bingung karena memang tidak 
tahu harus menjawab apa. Dia hanya 
memandang kawannya sambil mengangkat 
bahu tanda tak mengerti.
"Hei, Karja! Ada apa? Siapa yang 
dirampok? Dan siapa pula yang 
dibunuh?!" desak seorang laki-laki 
bertubuh sedang, menghentikan lari 
orang yang bernama Karja itu.
"Ada perampok... Pembunuh....'" 
kata Karja dengan napas megap-megap

bagaikan ikan yang diangkat dari 
sungai. Wajahnya tampak pucat bagai 
tak teraliri darah.
Sepertinya laki-laki setengah 
baya yang bernama Karja itu masih 
dilanda ketegangan dan keguncangan. 
Dan memang, meskipun orang bertubuh 
sedang itu bertanya lembut, ia hanya 
menjawab dua patah kata saja. Dan itu 
pun diulang-ulangnya.
"lya, siapa yang dirampok? Siapa 
yang dibunuh?!" teriak laki-laki 
bertubuh sedang itu sambil 
mengguncang-guncangkan tubuh Karja. 
Rupanya kesabarannya hilang melihat 
sikap Karja yang hanya mengulang-ulang 
dua kata itu saja.
"Bawa saja kepada kepala desa. 
Siapa tahu Ki Banggala dapat 
menyadarkannya?" usul salah seorang 
penduduk kepada lelaki bertubuh sedang 
yang tengah mengguncang-guncang tubuh 
Karja.
Mendengar usul yang baik, orang 
itu menganggukkan kepalanya. Kemudian 
tanpa minta persetujuan orang yang 
bersangkutan, langsung ditarik tubuh 
Karja untuk menemui Ki Banggala yang 
menjadi pemimpin desa itu.
"Ada apa, Kakang Dungga?" tanya 
salah seorang penjaga rumah kepala 
desa begitu mengenali siapa orang yang 
datang itu.

"Entahlah, Adi. Aku pun masih 
belum jelas. Tapi sepertinya si Karja 
ini baru saja mengalami peristiwa 
hebat," sahut orang bertubuh sedang 
yang ternyata bernama Dungga itu. 
Dungga kemudian melangkah kan kakinya, 
sambil menggamit lengan Karja menuju 
pintu masuk rumah kepala desa. 
Sementara penjaga itu segera 
mensejajarkan langkahnya di samping 
Dungga.
"Jadi Kakang Dungga pun belum 
tahu apa yang telah dialami orang ini? 
Lalu, mengapa Kakang membawanya ke 
sini? Untuk apa, Kakang? Siapa tahu ia 
hanya orang gila yang kesasar," kata
si penjaga yang rupanya tidak mengenai 
lelaki yang dibawa kawannya itu.
"Bodoh kau! Kalau tidak ada apa-
apa, mengapa harus bersusah-susah 
membawanya ke sini? Lagi pula, aku 
kenal baik orang ini. Dia sama sekali 
bukan orang gila seperti yang kau 
sangka itu!" sahut Dungga agak kesal. 
"Sekarang, lebih baik beritahukan 
kepada Ki Banggala kalau aku ingin 
bertemu dengannya!"
“Tapi, Kakang Mana aku berani? 
Aku juga belum tahu, apakah Ki 
Banggala sudah bangun atau belum! Kau 
sajalah yang membangunkannya, Kakang. 
Bukankah kau orang kepercayaannya? 
Jadi kalau kau yang memberitahukannya, 
mungkin dia tidak terlalu marah,"

tukas si penjaga yang tidak berani 
membangunkan kepala desanya.
"Ah, dasar kau!" umpat Dungga 
semakin bertambah kesal mendengar 
jawaban yang berbeda dengan 
keinginannya.
Tanpa banyak cakap lagi, Dungga 
bergegas menaiki anak tangga yang 
menuju ke pintu depan. Tangan kanannya 
tetap menarik Karja yang terus saja 
mengoceh hingga tak ubahnya seorang 
pemabuk, 
Der, der, der!
"Ki...! Aku Dungga, ingin 
melaporkan sesuatu yang sangat 
penting!"
Sambil menggedor-gedor pintu, 
Dungga berteriak-teriak membangunkan 
penghuni rumah yang sepertinya masih 
terlelap. Memang saat ini hari masih 
terlalu pagi. Hanya para petani yang 
sawahnya jauh saja yang sudah 
berangkat, memulai kehidupan di 
mayapada ini.
Setelah agak lama menunggu, 
terdengar langkah kaki yang terseret 
menghampiri pintu depan. Di situ, 
Dungga menunggu tak sabar.
"Apakah Ki Banggala sudah bangun? 
Cepat laporkan, Dungga ingin 
menyampaikan sesuatu yang sangat 
penting!" desah Dungga ketika melihat 
yang membuka pintu temyata hanyalah 
pembantu kepala desa.

Pembantu itu mempersilakan Dungga 
dan Karja untuk masuk, kemudian 
kembali ke ruangan dalam untuk 
memberitahukan majikannya. Dan tak 
berapa lama, tampak seorang laki-laki 
gagah berusia kira-kira lima puluh 
tahun muncul. Sepasang matanya nampak 
segar, menandakan kalau ia telah lama 
bangun dari tidur.
"Hm.... Kau rupanya, Dungga. Ada 
keperluan apa sepagi ini sudah datang 
menghadapku? Dan siapa pula orang kau 
bawa itu?" Ki Banggala yang begitu 
tiba, langsung memberi pertanyaan 
beruntun. Keningnya berkerut ketika 
mendengar ocehan yang keluar dari 
mulut orang yang datang bersama Dungga 
itu.
"Begini, Ki...," Dungga pun lalu 
menceritakan kejadian yang sebenarnya.
"Hm...," Ki Banggala bergumam tak 
jelas setelah mendengar penuturan 
pembantu utamanya itu. Cepat-cepat 
pelayannya diperintahkan untuk segera 
mengambilkan air putih.
Tak lama, pelayan itu keluar 
membawa air putih yang diminta 
majikannya. Kemudian, segera 
diserahkannya air putih itu. Ki 
Banggala segera meraih dan 
meminumkannya ke mulut Karja yang 
hanya menerima tanpa perlawanan. 
Kemudian orang tua itu memijat

beberapa bagian di pelipis dan 
belakang kepala Karja.
"Karja kau dengar suaraku? 
Kenalkah kau, siapa aku?" tanya Ki 
Banggala begitu melihat mata Karja 
kembali menunjukkan tanda-tanda 
kembali seperti biasa.
"Ki.... Banggala!" seru Karja 
setelah beberapa saat lamanya menegasi 
wajah laki-laki setengah baya yang 
duduk di depannya. Suaranya terdengar 
masih mengambang.
"Ceritakan, apa yang telah 
terjadi dan di mana kau melihatnya," 
desak Ki Banggala begitu mengetahui 
kalau Karja benar-benar telah tenang 
kembali.
Dengan terputus-putus, Karja lalu 
menceritakan apa yang telah disaksikan 
di rumah majikannya.
Berkali kali wajahnya ditutup 
dengan kedua telapak tangannya ketika 
terbayang peristiwa yang menimpa 
keluarga majikannya.
"Hm.... Jadi kau sempat melihat 
perampok itu, Karja?" tanya Ki 
Banggala setelah mendengar penuturan 
Karja sampai selesai.
"Benar, Ki. Saat itu kebetulan si 
perampok berdiri di bawah sinar lampu. 
Jadi aku sempat melihat wajahnya yang 
masih muda dan tampan. Dia bukan saja 
merampok, Ki. Tapi juga membunuh 
seluruh keluarga majikanku. Bahkan

sebelum membunuh, sepertinya ia telah 
memperkosa putri majikanku, Ki," tutur 
Karja dengan wajah sedih. Laki-laki 
setengah baya itu menutup wajahnya 
seolah-olah ingin membuang semua 
bayangan buruk yang sangat mengerikan 
itu.
"Hm.... Bagaimana kau tahu kalau 
putri majikanmu telah diperkosa 
sebelum dibunuh?" tanya Ki Banggala 
lagi dengan alis berkerut
Dan memang, biar bagaimanapun, Ki 
Banggala boleh juga mencurigai Karja. 
Sebab, hanya dialah satu-satunya orang 
yang mengetahuinya. Tentu saja hal itu 
bukan berarti Ki Banggala menuduh 
Karja sebagai pelakunya.
"Setelah perampok biadab itu 
pergi, aku lalu memeriksa seluruh 
ruangan. Dan ketika memasuki kamar 
putri majikanku, ternyata dia telah 
tewas dalam keadaan tidak berpakaian. 
Itulah sebabnya aku menduga demikian, 
Ki," tutur Karja lagi.
"Baiklah. Kalau begitu, kita 
harus segera berangkat untuk melihat 
keadaan tempat majikanmu itu," kata Ki 
Banggala, setelah jelas dengan semua 
keterangan yang diperoleh dari tukang 
kebun Tuan Wiralaga yang merupakan 
orang terkaya di desa itu.
Setelah memerintahkan pembantunya 
untuk menyiapkan beberapa ekor kuda,

Ki Banggala bergegas memasuki kamar 
untuk mengganti pakaiannya.
***
Lima ekor kuda berpacu cepat 
melintasi jalan utama desa. Keremangan 
pagi tidak menjadi halangan bagi lima 
orang untuk mempercepat lari kudanya. 
Karena yang ditempuh hanyalah jalan 
lurus yang biasa dipakai umum.
Ki Banggala yang berada paling 
depan, segera membelokkan kudanya 
menuju Timur desa. Tidak jauh di 
belakangnya, tampak Karja yang juga 
menunggang kuda. Sedangkan Dungga dan 
dua orang lainnya berada paling 
belakang.
Dan kini, kelima ekor kuda itu 
berhenti di depan sebuah rumah yang 
dikelilingi tembok kokoh. Ki Banggala 
terus saja melompat dari atas punggung 
kuda begitu telah berada di halaman 
rumah besar itu.
Karja, Dungga, dan dua orang 
lainnya juga bergegas turun dari atas 
punggung kuda. Senjata mereka telah 
terhunus untuk menjaga kemungkinan 
yang akan dihadapi nanti.
"Kalian berdua tunggu di sini! 
Biar aku, Karja, dan Dungga saja yang 
memeriksa keadaan di dalam. Ingat! 
Jika kalian melihat sesuatu yang 
mencurigakan, cepat beri tanda!"

perintah Ki Banggala kepada dua orang 
pengawalnya.
"Baik, Ki!" jawab salah seorang 
dari kedua penjaga itu mengangguk 
hormat.
Setelah mencabut senjata yang 
tergantung di pinggang, Ki Banggala 
melangkah memasuki rumah besar itu 
melalui jalan samping. Dungga 
mengikuti di belakangnya. Sedangkan 
Karja berjalan di belakang Dungga. 
Wajah laki-laki setengah baya itu 
tampak pucat ketakutan.
Ketiga orang itu terus melangkah 
memasuki setiap ruangan yang terdapat 
di dalam rumah besar itu. Namun mereka 
tidak menemukan sesuatu, selain mayat 
keluarga Tuan Wiralaga dan beberapa 
orang pembantunya. Maka ketiga orang 
itu bergegas kembali ke halaman depaa
"Karja! Menurut penuturanmu tadi, 
perampok itu hanya seorang diri. 
Benarkah itu?" tanya Ki Banggala 
kembali menegasi keterangan yang 
diberikan Karja tadi.
"Betul, Ki," jawab Karja pasti.
"Dan perampok itu adalah seorang 
pemuda tampan yang mengenakan jubah 
putih, dan mengeluarkan kabut 
keperakan pada tubuhnya. Begitu 
bukan?"
"Ya! Begitulah yang kulihat, Ki," 
sahut Karja lagi. Sebenarnya hati 
Karja sudah merasa tidak enak melihat

kepala desanya masih terus saja 
mendesak dengan pertanyaan-pertanyaan 
yang serupa. Namun, karena memang 
tidak bersalah, maka ia pun tidak me-
rasa takut untuk menjawabnya.
"Kau yakin, Karja? Apakah kau 
tidak salah lihat?" desak Ki Banggala 
kembali.
"Aku yakin, Ki. Karena aku 
bersembunyi di semak-semak itu dan 
pemuda tampan yang mengenakan jubah 
putih tepat berdiri di sini!" jawab 
Karja sambil menunjuk ke arah semak-
semak yang terpisah beberapa tombak 
dari tempatnya berdiri. Sinar mata 
Karja seperti memancarkan kekesalan 
karena didesak terus-menerus.
"Maafkan aku, Karja. Bukan semua 
keteranganmu tidak kupercayai. Tapi 
ciri-ciri orang yang kau sebutkan itu 
rasanya pernah kudengar. Dan suatu hal 
yang mustahil kalau orang itulah yang 
melakukan perbuatan ini," jelas Ki 
Banggala yang menjadi tidak enak 
karena terlalu mendesak orang itu.
'Tidak apa-apa, Ki. Aku mengerti 
apa yang kau pikirkan. Aku percaya, 
semua ini demi kepentingan penduduk 
desa agar kejadian semacam ini tidak 
akan terulang," Karja tersenyum untuk 
membuktikan kalau sama sekali tidak 
merasa tersinggung atas pertanyaan-
pertanyaan kepala desanya yang seperti

menyelidik dan tidak mempercayai 
keterangannya itu.
"Terima kasih, Karja," ucap Ki 
Banggala juga memperlihatkan senyumnya 
untuk menghilangkan ketegangan di 
antara mereka.
"Ki. Siapakah pemuda tampan 
berjubah putih yang pernah kau dengar 
itu? Dan di manakah tinggalnya?" tanya 
Dungga yang rupanya memikirkan tentang 
perampok tunggal berusia muda itu.
"Hm, dalam rimba persilatan, 
hanya ada satu pemuda mengenakan jubah 
putih yag tubuhnya mengeluarkan kabut 
keperakan. Tapi, apa mungkin kalau dia 
yang melakukannya. Karena orang itu 
adalah seorang pendekar besar yang 
menjadi kebanggaan tokoh persilatan 
golongan putih. Dia berjuluk Pendekar 
Naga Putih. Kebersihan jiwanya sudah 
sering ditunjukkan dengan jalan 
membasmi kejahatan. Sayang pendekar 
muda yang perkasa itu tidak mempunyai 
tempat tinggal tetap, Dungga," papar 
Ki Banggala tentang pemuda berjubah 
putih yang pernah didengamya itu.
Wajah orang tua itu nampak 
menyiratkan kebanggan ketika 
menceritakan tentang Pendekar Naga 
Putih yang memang sangat dikaguminya 
itu.
"Ki, Apakah tidak mungkin kalau 
ada seseorang yang sengaja hendak 
mencemarkan nama besar Pendekar Naga


Putih?" tiba-tiba saja ucapan itu 
terlontar dari mulut Dungga.
"Bisa saja, Dungga. Tapi yang 
menjadi persoalan, siapa orang yang 
melakukan perbuatan itu? Apakah kau 
mempunyai dugaan?" Ki Banggala malah 
balik bertanya kepada pembantu 
utamanya itu.
"Sayang sekali tidak, Ki," sahut 
Dungga. Wajahnya agak kecewa, karena 
memang tidak mempunyai dugaan sama 
sekali tentang orang yang melakukan 
perbuatan keji itu.
"Yah, sudahlah. Mari kita 
kembali. Biar nanti aku suruh beberapa 
orang penduduk untuk mengurus jenazah 
mereka," desah Ki Banggala sambil 
melompat ke atas punggung kudanya. 
Dihelanya kuda itu, yang segera 
berjalan menuju ke luar.
Dungga dan yang lainnya segera 
mengikuti kepala desa itu meninggalkan 
rumah kediaman Almarhum Tuan Wiralaga. 
Tidak berapa lama kemudian, kelima
penunggang kuda itu kembali menyusuri 
jalan utama desa.
***

EMPAT

Siang itu matahari memancar 
terik. Sinarnya yang kuning keemasan 
menyirami penmukaan bumi secara 
merata. Tiupan angin silir-silir 
memainkan pucuk dedaunan.
Di bawah siraman cahaya matahari, 
nampak iring-iringan yang cukup 
panjang tengah melintasi jalan utama. 
Beberapa orang di antaranya terlihat 
meng-gotong enam buah peti mati. 
Sepertinya iring-iringan itu akan 
melakukan penguburan.
Wajah-wajah puluhan laki-laki itu 
tampak tertunduk sedih. Diduga, suatu 
musibah baru saja menimpa, sehingga 
menewaskan kawan-kawan mereka. Karena 
pakaian yang dikenakan rata-rata 
berwarna putih. Dan pada bagian 
punggung terdapat bulatan yang cukup 
besar. Bulatan itu ternyata adalah 
sebuah lambang perguruan.
"Huh! Hal ini tidak bisa kita 
biarkan, Kakang! Kita harus mencari 
keparat keji itu untuk menuntut 
balas!" tegas salah seorang yang 
berwajah kuning dan pucat. Suaranya 
ditekan serendah mungkin agar tidak 
terdengar yang lain.
"Tentu saja kita harus 
membalasnya, Adi. Tapi yang menjadi 
pertanyaan dalam hatiku, apakah semua
ini memang hasil perbuatannya? Rasanya

aku belum dapat mempercayainya, Adi!" 
sahut orang itu yang masih merasa ragu 
tentang kejadian itu.
"Hm.... Jadi kau tidak 
mempercayai keterangan yang diberikan 
saudara seperguruan kita, Kakang? 
Bukankah tidak mungkin kalau mereka 
membohongj kita? Apa untungnya bagi 
mereka?" bantah laki-laki berwajah 
kuning pucat yang merasa tak senang 
mendengar jawaban kakak seperguruannya 
itu
"Bukan aku tidak mempercayai 
keterangan saudara seperguruan kita 
itu, Adi. Tapi rasanya mustahil kalau 
ini dilakukan Pendekar Naga Putih! 
Bukankah kau pun tahu, siapa Pendekar 
Naga Putih itu?"
'Tapi bukemkah ia masih muda, 
Kakang. Pemuda mana yang tidak akan 
tertarik melihat kedua orang adik 
seperguruan kita yang cantik-cantik 
itu? Mungkin saja pendekar muda itu
khilaf karena melihat kecantikan 
mereka. Dan karena mereka tidak 
melayaninya, maka jalan kekerasanlah 
yang diambilnya, lalu dibunuhnya 
setelah mereka dinodai terlebih 
dahulu! Dan saudara -saudara 
seperguruan kita yang mencoba membela, 
terpaksa harus tewas di tangannya. 
Beruntung dua orang saudara kita 
berhasil melarikan diri. Sehingga 
mereka dapat mengadukan hal ini kepada

guru," si muka pucat masih juga 
bersikeras mempertahankan pendapatnya.
"Yahhh.... Nantilah kita 
bicarakan hal ini kepada guru. 
Sekarang yang harus dilakukan adalah 
menasihati saudara-saudara yang lain. 
Agar mereka tidak bertindak sendiri-
sendiri. Setelah penguburan ini, baru 
kita rencanakan hal itu," jelas orang 
itu.
***
"Hei, lihat! Bukankah itu 
Pendekar Naga Putih!" tiba-tiba salah 
seorang dari anggota rombongan 
pengantar jenazah berteriak sambil 
menunjuk ke satu arah.
Mendengar teriakan itu, yang lain 
serentak menoIeh. Wajah puluhan orang 
itu langsung menegang ketika sesosok 
tubuh yang mengenakan jubah putih 
tampak tengah berjalan ke arah mereka. 
Beberapa orang yang semula menggotong 
peti mati malah serentak 
menurunkannya.
Pemuda tampan yang tengah 
melangkah lambat itu memang Pendekar 
Naga Putih. Wajahnya yang bersih dan 
tampan itu memancarkan rasa keheranan 
ketika melihat puluhan orang yang 
mengenakan pakaian serba putih 
berlarian ke arahnya. Dan rasa heran 
langsung berubah terkejut ketika

puluhan orang itu langsung 
mengurungnya.
"Ada apa ini, Kisanak?" tanya 
Panji yang tetap memperlihatkan sikap 
tenangnya. Padahal sebenarnya dadanya 
berdebar tegang!
"Huh! Tidak perlu bersandiwara, 
Pendekar Cabul! Lihatlah korban-
korbanmu itu!" sahut salah seorang 
dari para pengepung itu galak sambil 
menggerak-gerakkan pedangnya di depan 
dada dengan sikap mengancam.
"Ha ha ha...! Rupanya kau sengaja 
hendak melihat bagaimana korban-korban 
kebiadabanmu itu akan dikuburkan. 
Begitu bukan?" seru yang lainnya. 
Sikapnya jelas sekali menunjukkan 
kebencian yang dalam.
"Maaf, Kisanak. Aku sama sekali 
tidak mengerti pembicaraan kalian ini? 
Apakah kalian bersedia 
menjelaskannya?" pinta Panji tetap 
tenang tanpa amarah sedikit pun. 
Karena Pendekar Naga Putih tahu, kalau 
mereka telah salah menuduh.
'Tidak perlu bersandiwara, 
Pendekar Cabul! Pembunuhan dan 
perkosaan yang telah kau lakukan ter-
hadap murid wanita perguruan kami, 
hanya dapat dicuci dengan darahmu yang 
hitam itu!" bentak lelaki bermuka 
pucat
Laki-laki itu memang sangat 
dendam terhadap Pendekar Naga Putih,

karena salah satu korban adalah 
kekasihnya. Maka wajarlah kalau rasa 
dendamnya demikian dalam terhadap 
pendekar muda itu.
"Dengarlah, Kisanak. Kalian telah 
salah menuduh orang" sahut Panji yang 
menjadi pucat seketika. Suaranya pun 
sedikit bergetar. Benar-benar tidak 
disangka kalau dirinya akan dituduh 
sedemikian kejinya oleh orang-orang 
itu.
"Tidak perlu banyak bicara, 
Pendekar Murtad! Hari ini kami akan 
membalaskan sakit hati saudara-saudara 
kami yang telah kau bunuh itu! 
Terimalah hukumanmu! Heaaat..!"
Dibarengi sebuah teriakan keras, 
salah seorang pengepung Itu segera 
melompat menerjang Pendekar Naga 
Putih.
Wuuuttt!
Panji melangkah mundur sambil 
memiringkan tubuhnya untuk menghindari 
tebasan golok orang itu, kemudian 
melompat ke belakang. Maksudnya adalah 
untuk menghindari terjadinya 
pertempuran. Tapi anggapan orang-orang 
itu ternyata lain. Mereka segera 
melompat dan menerjang Pendekar Naga 
Putih yang dikira akan melarikan diri.
Bet! Bet! Bet...!
Beberapa mata pedang berkelebatan 
mengancam tubuh Pendekar Naga Putih. 
Cepat Panji melempar tubuhnya ke

belakang, menghindari bacokan. Dua di 
antaranya segera ditepis karena tidak 
mungkin lagi dielakkannya.
Plakkk! Plakkk!
"Uuuhhh...!"
Dua orang pengeroyok yang 
senjatanya tertepiskan itu terpental 
hingga dua tombak jauhnya. Mereka 
langsung memijat-mijat tangan yang 
terasa bagaikan patah itu. Sedangkan 
senjata mereka telah terpental entah 
ke mana.
"Kisanak. Tidak bisakah masalah 
ini diselesaikan secara baik-baik? 
Percayalah! Aku benar-benar tidak 
mengerti tuduhan yang kalian lontarkan 
itu!" dengus Panji yang tidak 
menginginkan terjadinya pertumpahan 
darah. Karena, menurutnya semua itu 
hanyalah kesalahpahaman saja.
"Apakatamu, Pendekar Murtad? 
Bicara baik-baik? Huh! Enak saja! 
Setelah kau bunuh dan kau nodai dua 
saudara seperguruan kami, kau masih 
ingin bicara baik-baik! Jangan mencari 
alasan, Pendekar Naga Putih! Lebih 
baik kau jagalah dirimu agar tidak 
tersayat pedang kami!" sahut si muka 
pucat yang memang sangat membenci 
Panji setelah kejadian itu.
"Sudahlah. Untuk apa bicara lagi! 
Ia pasti tidak akan sudi mengakui 
perbuatannya itu!"

Setelah ucapannya selesai, orang 
itu segera melompat sambil menyabetkan 
senjatanya ke leher Panji.
"Heaaat...!"
Beberapa orang kembali bergerak 
mengeroyok Sepertinya pertempuran 
tidak mungkin lagi untuk dihindari.
Pendekar Naga Putih yang semula 
masih mencoba bersabar, menjadi kesal 
hatinya. la benar-benar dongkol 
melihat sikap keras kepala orang-orang 
itu. Kemarahannya pun mulai bangkit 
ketika disadari kalau orang-orang yang 
sama sekali tidak dikenalnya memang 
benar-benar berniat membunuhnya.
"Hmh...!"
Sambil menggertakkan giginya, 
Panji pun mulai menggerakkan tangannya 
melancarkan serangan balasan.
Bukkk! Desss! 
"Hukh...!"
Dua orang pengeroyok terjungkal 
seketika begitu terkena hantaman 
Pendekar Naga Putih. Mereka pingsan 
seketika itu juga akibat kerasnya 
pukulan yang dilontarkan Panji. Masih 
untung Pendekar Naga Putih tidak 
berniat mencelakai, sehingga tidak 
mengerahkan tenaga dalam sepenuhnya.
"Kakang Balewa! Ayo kita hajar 
pendekar sesat itu!" ajak si muka 
pucat, menolehkan kepala kepada kakak 
seperguruannya.

Setelah berkata demikian, 
tubuhnya langsung melesat disertai 
sambaran goloknya yang menimbulkan 
deruan angin tajam. Dilihat dari 
gerakan dan kekuatannya, pastilah si 
muka pucat memiliki kepandaian yang 
cukup tinggi.
Sedangkan orang yang dipanggil 
Balewa termangu sejenak. Mulanya ia 
masih merasa ragu-ragu untuk melakukan 
pengeroyokan. Tapi begitu melihat dua 
orang kawannya tergeletak akibat 
terkena pukulan Pendekar Naga Putih, 
maka ia segera berkelebat membantu si 
muka pucat.
Wuttt!
Pedang di tangan Balewa menderu 
dan menimbulkan sambaran angin yang 
kencang! Bahkan gerak-annya terlihat 
lebih gesit dan mantap daripada si 
muka pucat
Tubuh Pendekar Naga Putih 
berkelebatan menyelinap di antara 
sambaran pedang para pengeroyoknya. 
SesekaH dilontarkannya serangan 
balasan agar tidak terlalu terdesak 
Sampai sejauh ini, Panji belum juga 
mengeluarkan ilmu-ilmu andalannya. 
Padahal keadaannya boleh dibilang 
terancam.
Semarah-marahnya Panji, rupanya 
masih tidak tega juga untuk menurunkan 
tangan kejam kepada orang-orang itu. 
Sebab disadari kalau tuduhan

terhadapnya bukanlah sekadar fltnah 
yang mereka cari-cari. Pasti ada 
sebab-sebab yang kuat sehingga tuduhan 
itu teriempar kepadanya. Dan bukannya 
tidak mungkin kalau yang melakukan 
adalah orang yang mengaku-ngaku 
sebagai dirinya. Jelasnya, pasti ada 
orang yang memang sengaja hendak 
mencemarkan namanya.
Setelah mempunyai dugaan seperti 
itu, Panji berniat meloloskan diri 
dari kepungan. Maka mulailah matanya 
melirik jalan keluar yang akan 
diterobosnya.
Wuttt..!
"Ihhh...!"
Untunglah Panji sempat 
memiringkan tubuhnya ke samping. Kalau 
tidak, tentu pedang di tangan Balewa 
sudah merobek perutnya. Begitu tebasan 
pedang Iawannya luput tangan Panji 
bergerak menusuk ke arah lambung orang 
itu. Gerakannya demikian cepat hlngga 
hampir tidak tertangkap mata.
Balewa yang mengetahui kehebatan 
ilmu Iawannya, cepat menarik mundur 
tubuhnya. Namun sayang, ia tertipu! 
Sebab saat itu Panji telah menarik 
pulang lengannya yang merupakan 
serangan tipuan itu. Mendadak tubuhnya 
berputar sambil melepaskan tendangan 
ke arah dada orang itu.
Desss!
"Uhg...!"

Tendangan berputar yang dilakukan 
Pendekar Naga Putih tepat hinggap di 
dada Balewa. Tanpa dapat dicegah lagi, 
tubuh orang itu pun terjengkang ke be-
lakang disertai semburan darah kental. 
Namun sebagai seorang yang terlatih 
baik, Balewa langsung melenting 
bangkit. Padahal kedudukan kedua 
kakinya terlihat agak goyah. Setelah 
menarik napas berulang-ulang untuk 
menghilangkan rasa nyeri yang 
diderita, Balewa kembali menerjang 
Panji.
Sesudah berhasil menjatuhkan 
Iawannya yang paling tangguh, tubuh
pendekar muda itu melesat menerobos 
kepungan di sebelah kirinya. Si muka 
pucat yang memang berada di sebelah 
kiri menjadi terkejut Ini karena 
dirinya menjadi incaran serangan 
pemuda itu. Cepat goloknya 
dikelebatkan untuk menahan serbuan 
pendekar muda yang lihai itu.
Wuttt!
Panji hanya periu memiringkan 
sedikit tubuhnya membiarkan ujung 
golok lawan lewat di sisi tubuhnya. 
Secepat kilat tubuhnya merendah, 
disertai sebuah totokan yang mengarah 
lambung si muka pucat!
Sadar akan bahaya yang mengancam, 
maka si muka pucat membentak sambil 
menjejak bumi kuat-kuat. Detik itu 
juga tubuhnya melambung melewati

kepala Iawannya. Dan dalam keadaan 
masih di udara, goloknya diayunkan, 
untuk membelah kepala Pendekar Naga 
Putih. 
"Yeaaat..!"
Pendekar Naga Putih sempat 
mengagumi kesigapan gerak Iawannya. 
Namun, ia tidak ingin bertindak ayal-
ayalan. Cepat tubuhnya dijatuhkan 
disertai ayunan kaki untuk menangkis 
bacokan golok lawan.
Plakkk!
"Ahk...!"
Si muka pucat berseru tertahan. 
Goloknya terpental akibat hantaman 
telapak kaki yang tepat mengenai 
pergelangan tangannya. Belum lagi 
sempat menyadari keadaannya, sebuah
tendangan berikutnya telah bersarang 
di dada si muka pucat.
Bukkk!
"Hegh...!"
Tubuh si muka pucat yang tengah 
meluncur turun itu kembali tersentak 
ke atas. Darah segar langsung 
menyembur dari mulutnya hingga 
membasahi jubah lawan. Meskipun 
demikian, ternyata tubuhnya masih 
sempat juga diselamatkan agar tidak 
terbanting di atas tanah.
Setelah berjumpalitan beberapa 
kali, kedua kaki si muka pucat hinggap 
di atas permukaan tanah dengan 
selamat. Kedua tangannya tampak

menekap bagian dada yang terasa bagai 
patah tulang-tulangnya. Rupanya 
tendangan Pendekar Naga Putih telah 
menjadi berlipat kekuatannya karena 
dibantu daya luncur tubuh si muka 
pucat itu sendiri. Dan akibatnya dia 
mengalami luka yang cukup parah!
Begitu kesempatan untuk 
meloloskan diri terbuka, tubuh Panji 
segera melesat meninggalkan tempat 
itu. Lesatannya demikian cepat bagai 
kilat, karena disertai pengerahan 
tenaga dalam tinggi. Sekejap kemudian, 
tubuh pemuda berjubah putih itu sudah 
jauh meninggalkan para pengeroyoknya.
"Keparat kau, Pendekar Naga 
Putih! Sampai ke ujung dunia pun, aku 
bersumpah akan tetap mengejarmu!" 
teriak si muka pucat dengan napas 
terengah-engah. Hatinya benar-benar 
penasaran sekali melihat musuh yang 
sudah di depan mata ternyata mampu 
meloloskan diri.
"Sudahlah, Adi. Lebih baik 
kuburkan dulu mayat-mayat itu. Sesudah 
itu baru kita melaporkan kejadian ini 
kepada guru," bujuk Balewa yang merasa 
tidak tega melihat keadaan adik 
seperguruannya yang tengah dilanda 
kekecewaan dan kesedihan itu.
"Aku bersumpah akan mencarinya 
nanti, Kakang. Berjanjilah bahwa kau 
juga akan membantuku," pinta si muka 
pucat kepada kakak seperguruannya itu.

"Aku berjanji akan membantumu, 
Adi. Karena hal itu memang sudah 
menjadi kewajibanku dan juga kewajiban 
seluruh murid perguruan kita," jawab 
Balewa menenangkan perasaan adik 
seperguruannya.
Dan kini, rombongan itu kembali 
bergerak ke daerah pekuburan. Saat itu 
matahari sudah semakin tinggi. 
Sinarnya terasa menyengat permukaan 
kulit. Seolah-olah sang mentari tidak 
peduli dengan kejadian yang 
berlangsung di bawahnya.
***
LIMA


Pendekar Naga Putih terus berlari 
mengerahkan ilmu meringankan tubuh. 
Perasaannya benar-benar kacau akibat 
kejadian yang baru saja dialaminya 
itu. Sudah cukup jauh juga dia 
berlari. Dan kini Panji tiba di suatu 
jalan setapak yang di kanan-kirinya 
ditumbuhi semak belukar.
"Perlahan dulu, Anak Muda...!"
Tiba-tiba terdengar teguran halus 
yang mengandung perbawa kuat. Mau tak 
mau Panji yang saat itu baru saja 
mengurangi kecepatan larinya menjadi 
terkejut dan menghentikan larinya.
Kening Pendekar Naga Putih 
berkerut dalam ketika melihat seorang

kakek tengah melambaikan tangan ke 
arahnya. Usianya sekitar delapan puluh 
tahun. Ketika melangkah menghampiri 
Panji, jubah putihnya tertiup angin. 
Empat orang lelaki gagah yang 
berpakaian serba putih, ikut 
menyertainya. Dua di antaranya, tampak 
dalam keadaan terluka.
Melihat lambang garuda putih yang 
ada di dada, Pendekar Naga Putih bisa 
menduga kalau mereka berasal dari 
Perguruan Garuda Putih. Dan kalau tak 
salah, pemimpin perguruan itu adalah 
Eyang Sancaka. Dan kini laki-laki tua 
itu telah berdiri di antara mereka, di
depan Panji
"Ada keperluan apakah Kakek 
menahan langkahku?" tanya Panji sopan.
Terus terang, dada Pendekar Naga 
Putih berdebar tegang saat melihat 
pakaian yang dikenakan mereka. Karena 
pakaian itu mengingatkannya kepada 
orang-orang yang tadi mengeroyoknya.
"Hm.... Maaf kalau aku 
mengejutkanmu, Pendekar Naga Putih. 
Bukankah demikian julukanmu?" ucap 
Eyang Sancaka. Suaranya juga lembut 
dan berwibawa. Tampak tangan kanannya 
mengelus-elus perlahan jenggotnya yang 
panjang dan berwarna putih.
"Benar, Kek. Itulah julukan yang 
diberikan orang kepadaku," jawab 
Panji. Perasaannya semakin tidak enak 
Pikirannya kembali melayang kepada

tuduhan yang dilontarkan pada 
pengeroyoknya tadi
"Hm.... Benarkah pemuda ini yang 
telah melakukan perbuatan itu, 
Panjala? Telitilah dulu?" Eyang San-
caka mengalihkan pandangan ke arah 
salah seorang muridnya yang tampak 
mengalami luka. Nada suaranya jelas 
meminta penegasan.
"Benar, Eyang. Tidak salah lagi! 
Pemuda inilah yang telah melakukan 
perbuatan biadab itu! Aku yakin, 
Eyang. Dan aku tidak akan salah!" 
jawab laki-laki gagah yang bernama 
Panjala itu tegas. Sepasang matanya 
menatap Panji dengan sorot dendam yang 
hebat
"Kau, Banawa. Benarkah pemuda 
ini yang telah mehikaimu?" tanya kakek 
itu lagi kepada muridnya yang lain. 
Orang itu juga dalam keadaan terluka 
pada bagian bahunya.
"Benar, Eyang Pemuda inilah yang 
telah melukai-ku dan menodai serta 
membunuh dua orang murid wanita kita," 
jawab laki-laki brewok yang dipanggil 
Banawa itu tanpa keraguan sedikit pun.
Panji yang saat itu pikirannya 
masih kalut, sebenarnya merasa 
tersinggung juga mendengar keluhan 
itu. Sepertinya mereka menganggapnya 
sebagai maling tertangkap basah yang 
hukumannya sedang diputuskan. Tapi 
karena masih memandang orang tua itu,

maka Panji terpaksa menelan rasa 
jengkelnya.
"Nah.!Kau dengar sendiri apa yang 
telah dikatakan kedua orang muridku 
ini, Anak Muda. Sekarang apa 
pendapatmu?" kata Eyang Sancaka,
mengalihkan pertanyaannya kepada 
Pendekar Naga Putih.
"Maaf, Kek. Bukan aku ingin 
menyangkal apa yang dituduhkan 
kepadaku. Tapi aku memang benar-benar 
tidak tahu apa sebenarnya yang kalian 
inginkan?" sahut Panji. Nadanya 
terdengar agak keras. Namun demikian 
sikap yang ditunjukkannya tetap 
membayangkan ketenangan, karena ia 
memang tidak merasa telah berbuat 
salah terhadap orang-orang itu.
"Hm.... Perbuatanmu telah 
mencoreng nama besarmu sendiri, 
Pendekar Naga Putih. Dan di sini ada 
dua orang saksi yang langsung 
mengalami kejadian itu. Dan apa-apa 
yang mereka katakan itu adalah 
kebenaran yang tidak mungkin 
diingkari," gumam Eyang Sancaka 
lembut. Namun di balik kata-katanya, 
terkandung tuntutan yang tidak mungkin 
dibantah.
Panji terdiam untuk beberapa saat 
lamanya. Ia mulai meragukan dirinya 
sendiri. Apakah benar perbuatan 
seperti yang mereka tuduhkan itu telah 
dilakukannya? Kalau tidak, mengapa

tampaknya mereka begitu yakin kalau 
dirinya yang telah melakukan? Ia yakin 
kalau orang-orang itu tidak hanya 
sekadar melemparkan fitnah belaka. 
Sebab Pendekar Naga Putih kenal betul 
kalau Perguruan Garuda Putih adalah 
perkumpulan orang-orang gagah yang 
tidak akan sembarangan menuduh. 
Apalagi, perguruan itu dipimpin Eyang 
Sancaka yang cukup arif dan bijaksana.
"Itu dia si Pendekar Murtad!"
Belum lagi Panji sempat menjawab 
pertanyaan yang dilontarkan kakek itu, 
tiba-tiba terdengar seruan keras.
Pendekar Naga Putih dan kelompok 
orang dari Perguruan Garuda Putih 
sama-sama menolehkan kepalanya ke arah 
teriakan tadi. Kening semua orang yang 
ada di situ jadi berkerut melihat 
tujuh orang laki-laki gagah dengan 
langkah lebar-lebar mendatangi mereka. 
Dari roman wajah tujuh orang itu jelas 
tei gambar kemarahan yang ditujukan 
kepada Panji.
"Hei! Pendekar Murtad, apakah kau 
masih ingat kepadaku?" tanya salah 
seorang dari ketujuh laki-laki gagah 
itu dengan suara yang sangat 
menyakitkan telinga.
"Maaf, Kisanak. Aku sama sekali 
belum mengenalmu. Dan rasanya kita 
belum pernah berjumpa," sahut Panji.
Rasanya hati Pendekar Naga Putih 
semakin tidak enak saja. Dia mulai

menduga kalau kedatangan orang itu 
mungkin membawa persoalan yang akan 
menambah ruwet pikirannya.
***
"O, begitu. Jadi kau tidak ingat 
dengan wanita desa yang kau gauli di 
dalam hutan, dan kemudian kau bunuh 
secara kejam? Mungkin kalau saat itu 
aku tidak berhasil meloloskan diri, 
pasti tubuhku sudah hancur oleh 
pukulanmu. Kenapa kau masih 
menyangkalnya, Pendekar Murtad?" ejek 
laki-laki bertubuh sedang itu setengah 
membentak. Wajahnya tampak memerah 
karena kemarahan yang menggelegak
Mendengar tuduhan itu, tubuh 
Panji menggigil hebat! Wajahnya 
berubah pucat bagai tak teraliri 
darah. Tuduhan itu terdengar bagaikan 
ledakan petir di telinga pemuda tampan 
itu.
"Hm.... Ini sudah keterlaluan. 
Apa sebenarnya maksud kalian 
melontarkan fitnah keji itu kepadaku? 
Lihatlah baik-baik. Apakah orang yang 
melakukan perbuatan keji itu adalah 
aku? Apakah orang itu memiliki ilmu-
ilmu sepertiku? Jawablah!" teriak 
Panji dengan suara menggelegar.
Hati Pendekar Naga Putih benar-
benar merasa terpukul atas tuduhan 
yang telah dilemparkan orang-orang itu

kepadanya. Kemarahan dan rasa sakit di 
hatinya benar-benar sudah tidak dapat 
ditahan lagi.
Lima orang dari Perguruan Garuda 
Putih dan tujuh orang tokoh persilatan 
itu melangkah mundur melihat sikap 
yang ditunjukkan pemuda itu. Serentak 
kedua belas orang itu bersiap 
menghadapi segala ke mungkinan yang 
bakal terjadi.
"Jangan coba untuk menyangkal, 
Pendekar Murtad. Kalau seandainya kau 
memiliki saudara kembar, apakah orang 
itu juga mempunyai ilmu 'Tenaga Sakti 
Gerhana Bulan' seperti yang kau miliki 
itu? Tidak mungkin, bukan? Nah, 
sekarang lebih baik kau menyerah untuk 
mempertanggungjawabkan segala 
kejahatanmu!" desak laki-laki gagah 
yang tak lain adalah Panjala, murid 
utama Perguruan Garuda Putih dengan 
suara mengejek.
"Jadi.... Jadi orang itu memiliki 
ilmu 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'?" 
tanya Panji seperti bertanya pada 
dirinya sendiri. Suaranya terdengar 
bergetar hingga tak ubahnya seperti 
orang berbisik Wajah pemuda itu 
semakin bertambah pucat ketika 
mendengar penjelasan Panjala.
"Benar! Dan orang itu juga 
mengeluarkan sinar putih keperakan 
dari tubuhnya. Jadi sudah pasti kalau 
orang Itu adalah kau, Pendekar Naga

Putih!" bentak Banawa, keras. Rupanya 
ia juga sudah tidak sabar untuk segera 
membalas perlakuan pemuda itu terhadap 
saudara-saudara seperguruannya.
"Keji...! Kalian telah 
melemparkan fltnah keji karena tidak 
suka kepadaku!" hati Panji benar-benar 
terguncang mendengar tuduhan-tuduhan 
yang dijatuh-kan kepadanya itu.
"Huh! Percuma saja. Apa pun yang 
kita katakan, ia tetap akan 
menyangkal!" timpal salah seorang dari 
tujuh laki-laki gagah itu, seraya 
mencabut pedang yang tergantung di 
pinggangnya.
"Ya! Lebih baik kita seret dengan 
paksa!" seru yang lain sambil 
menghunus senjatanya.
Tanpa banyak cakap lagi, orang 
itu langsung melompat menerjang Panji.
"Yeaaat..!"
Keenam orang tokoh lainnya 
bergegas melompat menyusul kawannya. 
Senjata-senjata mereka bergerak cepat 
menciptakan gulungan sinar yang 
menyilaukan mata.
Wuttt! Wukkk..!
Dua batang pedang menderu keras 
dari sebelah ldri. Sedang yang lainnya 
sudah pula menyusul mengancam tubuh 
pemuda berjubah putih itu.
Meskipun hati Pendekar Naga Putih 
terguncang sangat hebat, namun 
nalurinya yang terlatih telah membuat

tubuhnya bergerak menghindari sambaran 
pedang lawan. Cepat-cepat Panji 
melempar tubuhnya ke belakang untuk 
mempersiapkan jurus-jurusnya.
"Heeeaaa...!"
Terdengar pekikan laksana 
binatang terluka yang keluar dari 
mulut Panji. Rasa sakit hati dan 
penasaran telah membangkitkan 
kemarahannya. Sesaat kemudian, selapis 
kabut yang bersinar putih keperakan 
pun mulai bergerak menyelimuti seluruh 
tubuhnya Menyadari kalau lawan 
bukanlah orang-orang sembarangan, maka 
Pendekar Naga Putih mulai mengeluarkan 
ilmu-ilmu andalannya.
Jurus 'Naga Sakti' yang tidak 
pernah digunakan secara sembarangan, 
juga dikeluarkan. Hal ini dilakukan 
untuk menyelamatkan diri dari ancaman 
senjata dan pukulan para 
pengeroyoknya.
Ketujuh orang laki-laki gagah itu 
tersentak mundur ketika ada serangkum 
hawa dingin yang menyergap tubuh 
mereka.
"Hm.... Anak muda ini benar-benar 
hebat! Sayang ia telah memilih jalan 
yang salah dan tercela," ucap Eyang 
Sancaka yang menjadi Ketua Perguruan 
Garuda Putih, lirih.
Dari nada suaranya, jelas kalau 
kakek itu merasa kecewa terhadap 
Panji. Sebentar kemudian tubuh kakek

itu melesat ke tengah arena 
pertempuran Tangan kanannya mengibas, 
persis orang mengukir lalat
Wusss...!
Hebat sekali! Kibasan tangan si 
kakek yang terlihat sembarangan itu 
ternyata berhasil menguslr hawa dingin 
yang keluar dari tubuh Pendekar Naga
Putih.
Dan tentu saja hal itu membuat 
Pendekar Naga Putih terkejut dan 
semakin bersiaga penuh. Disadari betul 
kalau kakek itu satu-satunya lawan 
yang terberat
Dua orang murid urama Perguruan 
Garuda Putih sudah pula melompat ke 
tengah arena. Mereka ma-sing-masing 
telah menghunus sebatang pedang.
"Sambutlah, Anak Muda!" seru 
Eyang Sancaka sambil melompat 
melakukan serangkaian serangan yang 
menimbulkan sambaran angin mencicit 
tajam.
Wuttt..! Bettt..!
Panji memiringkan tubuhnya sambil 
menggeser kaki kanannya ke belakang. 
Kemudian secepat kilat dilancarkannya 
serangan balasan yang tidak kalah 
dahsyat Kedua tangannya yang membentuk 
cakar naga tampak bergerak cepat 
melakukan sambaran-sambaran yang 
menebarkan hawa dingin.
Tak pelak lagi, pertarungan 
sengit pun berlangsung hebat. Kedua


tokoh sakti itu saling menyerang 
hebat. Ilmu-ilmu andalan yang biasanya 
jarang sekali digunakan, kini 
dikeluarkan untuk menjatuhkan lawan.
Sedangkan para tokoh lain 
bergerak mundur menjauhi pertarungan 
yang mendebarkan itu. Sebab angin 
pukulan yang teriontar dari tangan 
kedua tokoh sakti itu menyambar-
nyambar ke segala arah. Dan kalau ti-
dak segera bergerak mundur, bisa jadi 
mereka akan terkena sambaran pukulan 
nyasar.
Jurus derm jurus berialu cepat.
Tak terasa, pertarungan telah memasuki 
jurus yang keenam puluh.
Namun, sampai sejauh itu belum 
terlihat tanda-tanda yang bakal 
terdesak 
"Heaaah...!"
Suatu saat, Ketua Perguruan 
Garuda Putih membentak keras. Sepasang 
tangannya yang membentuk cakar garuda 
bergerak susul-menyusul mengancam 
tubuh Panji.
Plakkk! Plakkk!
"Aaah...!"
Seketika terdengar ledakan yang 
memekakkan telinga ketika kedua lengan 
tokoh sakti itu saling berbenturan. 
Tubuh mereka masing-masing tampak 
terjajar mundur beberapa langkah ke 
belakang. Baik Panji dan kakek itu 
sama sama menyeringai menahan rasa

nyeri pada tulang lengan mereka. Untuk 
beberapa saat keduanya saling tatap 
bagaikan dua ekor ayam jago yang siap 
berlaga kembali.
"Haaat..!"
Pada saat mereka tengah terdiam 
sambil menehtl gerak satu sama lain, 
dua orang tokoh persilatan melompat 
disertai sambaran senjata yang 
menimbulkan deruan angin keras.
Wuttt! Wuttt...!
Cepat Panji melempar tubuhnya ke 
bclakanq. menghindari dua batang 
pedang yang mengancam tubuhnya itu. 
Setelah berputar di udara, tubuh 
Pendekar Naga Putih melayang turun 
sejauh tiga tombak dari dua orang 
Iawannya itu. Namun, baru saja kedua
kakinya menyentuh pcrmukaan tanah, 
serangan dari yang lain sudah meluncur 
datang.
Panji melangkah mundur sejauh dua 
tindak ketika dua batang pedang 
menyambar perut dan lambungnya. Begitu 
dua serangan itu lolos, tubuh pemuda 
itu melambung ke udara disertai 
sambaran cakarnya yang membawa hawa 
dingin menggigit tulang.
Bet! Bet...!
"Ahk...!"
Bukan main kagetnya hati kedua 
orang tokoh itu ketika mendadak tubuh 
mereka bagaikan dikurung dalam sebuah 
ruangan salju. Mereka kemudian cepat

cepat mengempos semangat, untuk 
mengerahkan hawa murni agar rasa 
dingin yang mengganggu gerakan mereka 
terusir. Dan pada saat sepasang cakar 
Pendekar Naga Putih hampir mencelakai, 
mereka pun bergulingan menghindarkan 
diri.
Ketika telah berada sejauh tiga 
tombak, kedua orang itu melenting 
bangkit. Namun alangkah terkejutnya 
hati mereka ketika pada saat itu 
Pendekar Naga Putih telah melontarkan 
pukulan jarak jauh disertai pengerahan 
'Tenaga Sakti Gerhana Bulan*.
Wusss!
Blarrr!
Untunglah kedua orang itu sempat 
melempar tubuhnya dan bergulingan ke 
samping. Kalau tidak, akan hancurlah 
tubuh mereka. Buktinya, pohon besar 
sepelukan orang dewasa yang ada di 
belakang mereka langsung tumbang 
menimbulkan suara berderak keras.
Wajah kedua orang tokoh 
persilatan itu langsung pucat. Ciut 
hati mereka membayangkan seandainya 
terkena pukulan maut pendekar muda 
itu.
"Sambut pukulanku, Pendekar Naga 
Putih!" bentak Eyang Sancaka 
memperingatkan. Saat itu juga tubuhnya 
meluncur disertai dorongan telapak 
tangannya yang menimbulkan terpaan 
angin keras.

Mendengar teriakan itu, Panji 
bergegas membalikkan tubuhnya. Tampak 
tubuh Eyang Sancaka meluncur 
menerjang. Maka Pendekar Naga Putih 
segera mendorong sepasang telapak 
tangannya untuk menyambut pukulan maut 
kakek itu.
Bresss!
Bumi di sekitar arena pertarungan 
bagai diguncang gempa ketika dua 
tenaga dalam tinggi saling berbenturan 
dahsyat. Tubuh mereka terpental ke 
belakang dan jatuh menimbulkan suara 
berdebuk keras.
Panji dan Eyang Sancaka bergegas 
melenting bangkit. Keduanya segera 
menyedot udara banyak-banyak untuk 
menghilangkan rasa nyeri yang menusuk 
rongga dada mereka. Dari sudut bibir 
masing-masing tokoh sakti itu tampak 
cairan merah mengalir.
"Haaat..!"
Empat orang tokoh persilatan yang 
melihat keadaan itu cepat melompat 
menerjang Panji. Mereka memang tidak 
ingin menyia-nyiakan kesempatan emas 
selagi pendekar muda itu terluka. 
Senjata mereka berdesing membelah 
udara. 
Plak! Plak! Bret! 
"Ahk..!"
Dua di antara empat batang 
senjata itu berhasil dttepiskan 
telapak tangan Pendekar Naga Putih.

Namun dua senjata lain berhasil 
merobek tubuhnya! Untunglah Panji 
masih sempat memiringkan tubuhnya, 
sehingga lukanya tidak terlalu parah.
Tubuh Pendekar Naga Putih 
terjajar mundur sejauh enam langkah, 
dan agak limbung. Tangan kirinya 
menekap luka di lambung, sedangkan 
tangan kanan menekap dada. Pada sela-
sela jarinya keluar darah segar dari 
luka sehingga menodai jubahnya. 
Meskipun kedua luka itu tidak terlalu 
dalam, tapi cukup membuat wajah 
pendekar muda itu meringis menahan 
nyeri
Meskipun kemarahan membakar 
dadanya, namun Panji sadar kalau bukan 
orang-orang itulah yang menjadi 
musuhnya. Maka begitu melihat lawan-
lawannya lengah, ia bergegas melompat 
meninggalkan tempat itu. Gerakannya 
demikian cepat, karena disertai ilmu 
meringankan tubuh yang telah mencapai 
taraf kesempurnaan.
"Mau lari ke mana kau, Pendekar 
Murtad?!" bentak Panjala yang segera 
menghadang Panji. Senjatanya melintang 
di depan dada dan siap menyerang.
Banawa yang berada di samping 
Panjala bertindak cepat. Tanpa basa-
basi lagi, tubuhnya segera melesat 
sambil menyabetkan senjata ke tubuh 
Pendekar Naga Putih.

Panjala pun berbuat hal yang 
serupa. Pedang di tangannya diputar 
sedemikian rupa hingga membentuk 
gundukan sinar yang membungkus seluruh 
tubuhnya. Dibarengi bentakan keras, 
tubuhnya langsung melayang ke arah 
Panji.
Kali ini Panji sudah benar-benar 
marah. Melihat kedua orang murid utama 
Perguruan Garuda Putih itu menghalangi 
jalannya, sepasang telapak tangannya 
segera didorongkan ke depan Serangkum 
angin dingin berhembus keras 
mengiringi dorongan tangan pemuda itu. 
Rupanya dalam kemarahannya kali ini, 
Pendekar Naga Putih telah menggunakan 
pukulan jarak jauh disertai pengerahan 
'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'nya yang 
sangat dahsyat itu.
Bukan main terkejutnya hati kedua 
orang tokoh Perguruan Garuda Putih 
itu. Wajah mereka pucat seketika. 
Untuk menghindar, rasanya sudah tidak 
mungkin lagi, tubuh keduanya dalam 
keadaan menga-pung di udara. Cepat-
cepat mereka mendorongkan telapak 
tangan kiri sepenuh tenaga.
Blarrr! 
"Aaargh...!"
Banawa dan Panjala berteriak 
ngeri ketika tubuh mereka bagaikan 
membentur sebuah kekuatan raksasa. 
Tubuh mereka terlempar keras hingga 
bebarapa tombak ke belakang. Tanpa

dapat dicegah lagi, tubuh keduanya 
terbanting keras di atas permukaan 
tanah.
"Ouhhh...!"
Kedua tokoh Perguruan Garuda 
Putih itu mcrintih setelah teriebih 
dahulu memuntahkan segumpal darah 
kental. Mereka mengerang sambil 
menekap dada yang terasa bagaikan 
dihantam godam!
"Panjala...! Banawa...!"
Eyang Sancaka yang menjadi Ketua 
Perguruan Garuda Putih berlari memburu 
kedua orang muridnya itu dengan wajah 
membayangkan kecemasan. Dia segera 
berjongkok memeriksa luka yang 
diderita kedua orang muridnya. Rasa 
cemas terbayang di wajahnya melihat 
keadaan muridnya. Hal ini membuat 
kakek itu melupakan kehadiran Panji 
yang berdiri tegak beberapa langkah di 
sampingnya.
Melihat kesempatan baik itu, 
Panji bergegas melompat meninggalkan 
tempat itu. Segera dikerahkan ilmu 
meringankan tubuhnya agar tidak sampai 
terkejar orang-orang itu.
"Pendekar Naga Putih, tunggu...! 
Persoalan di antara kita belum 
selesai!" teriak Eyang Sancaka seusai 
memberi obat pulung kepada kedua orang 
muridnya. Suaranya dikerahkan lewat 
tenaga dalam yang cukup tinggi, 
sehingga menggema sampai jauh.

"Keparat! Pemuda cabul itu telah 
berhasil meloloskan diri!" umpat salah 
seorang tokoh persilatan, geram.
"Ayo, kita kejar pendekar biadab 
itu!" ajak yang lainnya, cepat.
Setelah berkata demikian, mereka 
segera melesat mengejar Pendekar Naga 
Putih.
Enam orang lainnya bergegas 
menyusul kawannya. Rupanya hati mereka 
belum puas kalau beium dapat menghukum 
pendekar muda yang kira sangat dibenci 
itu.
***
ENAM

Pemuda berjubah putih itu terus 
berlari menerobos semak belukar. Pada 
bagian dada dan lambung terdapat noda 
merah yang membasahi pakaiannya. Namun 
sepertinya dia sama sekali tidak 
mempedulikan luka yang dideritanya 
itu, dan terus saja berlari ke dalam 
lebatnya rimba.
Wajah yang bersih dan tampan itu 
tampak sayu bagaikan orang kehilangan 
semangat. Peluh yang membasahi seluruh 
wajah dan tubuhnya sudah tidak 
dihiraukannya lagi. Sepertinya jiwa 
pemuda tampan berjubah putih itu 
tengah mengalami pukulan berat.

Setelah agak lama berlari dan 
telah jauh memasuki hutan, pemuda 
tampan itu menjatuhkan tubuhnya di 
atas permukaan rumput tebal. 
Disandarkan punggungnya pada sebatang 
pohon besar yang berada di 
belakangnya. Terdengar helaan napasnya 
yang berat, membayangkan kelelahan 
lahir dan batin.
"Ouhhh...!"
Pemuda tampan yang tak lain 
adalah Panji itu mengusap wajahnya 
diseretai keluhan berat. Agak lama 
pemuda itu menutupi wajahnya tanpa 
mempedulikan keadaan di sekelilingnya. 
Kemudian perlahan-lahan direbahkan 
tubuhnya. Matanya dipejamkan seolah-
olah hendak mengusir pergi bayangan-
bayangan buruk yang mengganggunya.
"Mengapa orang-orang itu 
memusuhiku? Mengapa mereka begitu 
yakin kalau aku telah melakukannya? 
Dan menurut keterangan mereka, orang 
yang melakukan perbuatan-perbuatan 
keji dan biadab itu adalah aku. 
Mungkinkah ada pemuda lain di dunia 
ini yang memiliki wajah serupa 
denganku? Apakah orang itu pun 
mempunyai Tenaga Sakti Gerhana Bulan' 
warisan Eyang Tirta Yasa? Aaah..., 
rasanya mustahil?" desah batin 
Pendekar Naga Putih yang bergelut 
dengan berbagai pertanyaan yang tidak 
mampu dijawabnya sendiri.

Panji kembali menghela napas 
berat, melepaskan gumpalan yang terasa 
mengganjal dalam rongga dadanya. 
Pikirannya menerawang, mencoba 
mengingat-ingat apa saja yang telah 
diperbuatnya selama ini. Namun sampai 
lelah, tak satu pun perbuatan jahat 
yang pernah dilakukannya.
“Tapi, mengapa mereka menuduhku 
pendekar murtad?!"
Ucapan itu terlontar begitu saja 
dari mulut Panji, hingga sempat 
tetperanjat mendengamya. Sepertinya, 
suara pertanyaan itu terlontar karena 
rasa penasaran dan tidak puas yang 
menekan jiwanya.
Mendadak Pendekar Naga Putih 
terlonjak dari duduknya, seperti baru 
saja teringat akan sesuatu. Dan bisa 
saja itu dapat menyingkap tabir 
rahasia ini. Dengan gerakan perlahan, 
sepasang mata Pendekar Naga Putih 
mulai meneliti sekujur tubuhnya, 
seolah-olah ingin mencari kelainan 
yang akan dapat membedakan dirinya
dengan manusia culas yang mengaku-aku 
sebagai dirinya.
"Ah, ini dia!" seru Pendekar Naga 
Putih sambil menurunkan Pedang Naga 
Langit dari punggungnya. Wajahnya 
tampak berseri ketika melihat benda 
pusaka yang tidak ada duanya dalam 
dunia persilatan. Perlahan lahan 
dicabutnya pedang itu dari sarungnya,

yang berukir seekor naga yang berwarna 
kuning keemasan (Untuk jelasnya 
tentang Pedang Naga Langit yang 
dimiliki Panji ini, silakan pembaca 
mengikuti serial Pendekar Naga Putih 
dalam episode "Bunga Abadi di Gunung 
Kembaran").
Srek!
Sinar kuning keemasan berpendar 
ketika Pendekar Naga Putih meloloskan 
pedang pusaka dari sarungnya. Sejenak 
Panji menutupi mata dengan sebelah 
tangannya, karena sinar pedang itu 
begitu silau.
"Ya. Hanya pedang inilah yang 
akan membedakan antara aku dengan 
bangsat keji itu! Aku yakih kalau 
orang yang telah mencemarkan namaku 
pasti tidak akan memiliki pedang 
pusaka yang tiada duanya ini," tegas 
Panji.
Hati Pendekar Naga Putih sedikit 
lega karena telah mempunyai bukti kuat 
kalau dirinya bukanlah orang yang 
dimaksud. Dengan Pedang Naga Langit 
yang tak ada duanya dalam rimba 
persilatan, jelas akan membedakan 
Panji dari yang lainnya.
'Tapi, apakah mungkin orang-orang 
itu akan menerima alasanku? Dapatkah 
mereka mempercayainya apabila pedang 
ini kutunjukkan sebagai bukti kalau 
aku tidak bersalah? Hm.... Sepertinya 
masalah ini belum selesai hanya dengan

menunjukkan pedang ini sebagai 
alasan," gumam Panji dalam hati.
Kembali Pendekar Naga Putih 
menghela napas sebagai tanda 
kekecewaannya. Pikirannya menerawang 
jauh hingga sampai ke wajah 
kekasihnya. Tiba-tiba saja wajah 
Kenanga muncul dalam benaknya.
"Ahhh.... Seandainya saja saat 
ini Kenanga ada bersamaku, pastilah 
akan dapat membantuku untuk memecahkan 
masalah rumit ini Tapi.... Tapi, 
ahhh...!" desah Panji sambil menepak 
keningnya perlahan.
Pendekar Naga Putih merasa 
khawatir juga apabila persoalan ini 
telah sampai ke telinga Kenanga. Sulit 
digambarkan, bagaimana tanggapan gadis 
itu ketika mendengar tuduhan yang 
telah dilimpahkan orang-orang kepada 
Panji. Apakah tuduhan itu akan 
dipercayainya? Ataukah akan lebih 
percaya kepada Panji?
Setelah menyarungkan pedangnya 
kembali, Panji duduk bersandar pada 
pohon di belakangnya. Pandangannya 
dilayangkan ke arah cakrawala yang
mulai tersaput keremangan senja. Hati 
Pendekar Naga Putih ikut melayang dan 
mengembara entah ke mana.
***

"Kakang...!"
Panji tersentak bangkit bagaikan 
disengat kalajengking. Dadanya 
berdebar tegang ketika mendengar suara 
merdu yang sangat dikenalnya. Mulut 
pemuda itu menggerimit seolah-olah 
tengah berhadapan dengan hantu yang 
menakutkan! Seluruh urat-urat tubuhnya 
menegang! Wajahnya pun pucat, dan 
keringat dinginnya mulai menitik 
Pemuda itu menjadi tegang karena suara 
merdu itu terdengar agak ketus.
Perlahan-lahan Pendekar Naga 
Putih menolehkan pandangan ke arah 
asal suara itu. Debaran dalam dadanya 
terdengar semakin bergemuruh ketika 
tampak sesosok tubuh ramping berparas 
jelita tengah memandang tajam ke 
arahnya. Dari raut wajahnya, Panji 
sadar kalau gadis itu telah mengetahui 
duduk persoalannya. Karena wajahnya 
menyiratkan kebencian hebat!
"Kenanga, kau.... Kau mengapa ada 
di tempat ini?" tanya Panji bergetar.
Pemuda itu merasa aneh ketika 
mendengar suaranya demikian asing di 
telinga. Seolah-olah suara itu 
bukanlah suara sendiri. Karena 
demikian kering dan bergetar, seperti 
dari alam lain.
"Hm.... Seharusnya aku yang harus 
bertanya seperti itu kepadamu?! 
Mengapa kau berada di tempat ini?! Apa 
yang tengah kau lakukan?!" tanya gadis

jelita itu. Suaranya terdengar tidak 
enak sekali di telinga Panji.
Hati pemuda itu pun semakin tidak 
enak ketika gadis itu tidak iagi 
menyebutnya 'kakang’. Jelas sekali 
kalau dia sudah tidak menunjukkan 
sikap mesra kepadanya. Dan hal itu 
membuat debaran dalam dada Panji 
semakin keras.
"Aku.... Aku sama sekali tidak 
melakukan apa-apa, Kenanga. Aku....
Aku hanya sedang melepaskan lelah," 
sahut Panji. Suaranya masih tetap 
bergetar karena hatinya masih diliputi 
ketegangan.
Diam-diam hati pemuda itu 
berharap agar kekasihnya belum 
mendengar berita-berita yang 
menyudutkan dirinya. Siapa tahu gadis 
itu hanya marah karena telah berpisah 
dengannya tanpa sengaja.
"Hm.... Mengapa ada luka di 
tubuhmu?" tanya Kenanga. Gadis itu 
menatap tajam penuh kebencian pada 
Pendekar Naga Putih.
Panji berdiri lesu bagaikan 
seorang pesakitan yang menunggu 
keputusan hakim. Sepasang mata 
kekasihnya yang biasanya selalu 
menimbulkan perasaan indah itu, kini 
tak lagi nampak Sebenarnya Panji lebih 
suka ditodongkan ujung tombak daripada 
mendapat tatapan mata kekasihnya yang 
tajam dan sangat menusuk hati

“Pendekar Naga Putih! Apakah kau 
memang sudah berubah menjadi seorang 
pengecut yang tidak mau 
mempertanggungjawabkan perbuatanmu? Ke 
mana perginya kegagahan yang selama 
ini kau miliki? Kau benar-benar telah 
membuatku kecewa, Panji!" sindir 
Kenanga. Wajahnya tampak mulai basah 
oleh air mata. Kata-kata itu memang 
demikian tajam. Bahkan sepertinya 
Kenanga tidak menganggap Panji lagi.
Kening Panji berkerut-kerut 
menahan rasa sakit hati akibat ucapan 
kekasihnya itu. Kalau saja orang lain 
yang mengatakannya, mungkin tidak apa-
apa. Tapi ucapan itu justru keluar 
dari mulut orang yang amat 
dicintainya. Tentu saja hal itu 
bagaikan ujung tombak yang menikam 
jantungnya.
"Kenanga. Kau pun percaya akan 
tuduhan orang-orang persilatan itu 
kepadaku? Kau..., kau lebih 
mempercayai mereka daripada aku? 
Ohhh...!"
Panji terhuyung ke belakang 
dengan wajah pucat. Keningnya semakin 
berkerut-kerut manahankan guncangan 
hebat pada dirinya. Ucapan kekasihnya 
itu bagaikan ujung pedang yang 
mengiris-iris jantungnya. Bahkan 
rasanya lebih baik tubuhnya diiris-
iris ujung pedang daripada harus 
mendengar tuduhan itu.

"Hm.... Pada mulanya aku memang 
tidak mempercayai berita yang tersebar 
di kalangan persilatan itu. Karena, 
aku mengenal betul siapa dirimu. Dan 
rasanya keyakinanku itu tidak akan 
berubah apabila tidak memergoki 
perbuatanmu yang keji itu. Jangan 
coba-coba membodohi aku, Pendekar Naga 
Putih. Karena aku telah memergokimu 
ketika kau baru saja melakukan 
perampokan, pembunuhan, dan sekaligus 
menodai seorang gadis anak keluarga 
kaya di Desa Tirtasana. Aku tahu, kau 
pasti telah melupakannya. Atau memang 
sengaja berpura-pura lupa agar aku
mempercayaimu," ucap gadis itu sambil 
menyusut air matanya yang mulai jatuh 
dan bergulir di pipinya yang halus 
itu. Kenanga segera menarik napas 
untuk melonggarkan rongga dadanya yang 
terasa sesak.
'Tidak mungkin...! Kau pasti 
keliru, Kenanga! Aku... aku tidak
pernah melakukan apa-apa! Sungguh!" 
bantah Panji.
Suara Pendekar Naga Putih 
terdengar semakin lemah dan serak.
Kedua kakinya tampak gemetar. 
Sepertinya ia tidak mampu lagi untuk 
menahan bobot tubuhnya. Terlihat 
pemuda tampan itu menyeringai menahan 
sakit sambil meremas-remas dadanya.
"Kau bilang aku keliru? Huh! 
Siapa lagi di dunia ini yang memiliki

ilmu 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'? 
Siapa lagi di dunia ini yang tubuhnya 
dapat mengeluarkan sinar putih 
keperakan? Dan siapa tokoh sakti di 
dunia ini yang masih muda dan tampan 
yang memiliki ilmu pukulan berhawa 
sedingin salju?" desah Kenanga.
Suara gadis itu semakin lama 
semakin tinggi. Bahkan pada akhir 
kalimatnya, gadis itu berteriak 
sekeras-kerasnya. Rupanya bukan hanya 
Panji saja yang menerima guncangan 
batin yang hebat Sepertinya gadis 
jelita itu juga tidak terlepas dari 
pukulan yang mendera batinnya.
"Tidak mungkin, Kenanga...! Tidak 
mungkin..! Oh, Tuhan.... Dosa apa yang 
telah hamba perhuat, sehingga begitu 
kuat cobaan yang Kau berikan...?!"
desah Panji dengan suara yang semakin 
serak dan lemah.
Pemuda itu berdiri bergoyang-
goyang bagai orang mabuk. Sepasang 
matanya yang selalu menyorotkan sinar 
tajam, kini nampak sayu.
"Jangan sebut-sebut nama Tuhan! 
Kesalahanmu sungguh besar, Pendekar 
Naga Putih. Dan kini kau masih juga 
berusaha menyangkal! Padahal kita 
sempat bertanding selama beberapa 
jurus. Dan sebelum melarikan diri, kau 
berkata agar aku segera melupakanmu 
dan tidak usah mencari-carimu lagi?! 
Apakah kau pun telah lupa dengan

ucapanmu itu?!" bentak Kenanga semakin 
keras.
Meskipun wajah gadis itu sama 
pucatnya dengan wajah Panji, namun 
Kenanga tampak lebih bisa menguasai 
dirinya. Itu bukan berarti dia lebih 
tegar. Tapi karena gadis itu sudah 
pasrah kepada nasib yang menimpa 
dirinya.
"Oh, Tuhan...," Panji mengeluh 
sambil menekap wajahnya.
Jari-jari tangan Pendekar Naga 
Putih tampak gemetar ketika mengusap 
wajahnya. Namun debaran dalam dadanya 
sudah tidak lagi sehebat tadi. 
Pendekar Naga Putih mulai bisa 
menenangkan gejolak hatinya.
"Baiklah. Kalau kau memang sudah 
tidak mempercayaiku lagi, terserah. 
Aku pasrah. Namun aku bersumpah, bahwa 
aku sama sekali tidak melakukan hal-
hal seperti yang kau tuduhkan itu. 
Biarlah kalau memang sudah begin! 
suratan nasibku, aku pasrah, Kenanga," 
kata Panji.
Suara Pendekar Naga Putih kini 
lebih tenang meskipun masih tetap 
bergetar, penuh perasaan kasih. Sambil 
mencoba menguatkan hatinya, Panji me-
langkah mendekati kekasihnya.
"Diam di tempatmu! Kalau kau 
masih juga melangkah, maka terpaksa 
kau akan kubunuh, Pendekar Naga 
Putih!" bentak Kenanga sambil

menodongkan ujung pedang yang 
mengeluarkan sinar keperakan ke tubuh 
Panji. Rupanya gadis itu masih juga 
mencurigainya. Meskipun saat itu Panji 
telah benar-benar pasrah.
"Aku bersumpah tidak pernah 
melakukan perbuatan-perbuatan keji 
itu, Kenanga. Percayalah kalau orang 
yang pernah bertarung denganmu itu 
bukanlah aku!" tegas Panji yang telah 
mendapatkan kembali ketenangan 
dirinya. Semua itu didapatkan setelah 
kepasrahan dalam dirinya timbul. 
Meskipun ia tetap tidak mengakui 
segala apa yang telah dituduhkan 
kepada dirinya itu.
"Hm.... Kalau memang kau masih 
juga tidak mengakui segala perbuatan 
biadabmu itu, marilah kita bertarung! 
Meskipun aku harus kehilangan orang 
yang paling kucintai. Ini terpaksa 
kulakukan demi menegakkan keadilan!" 
tegas Kenanga yang segera melintangkan 
pedangnya, siap menghadapi pertarungan
mati-matian.
'Tidak! Aku tidak akan melawanmu, 
Kenanga! Kalau kau memang ingin 
membunuhku, silakan! Dan aku akan 
ikhlas menerimanya," jawab Panji 
pasrah.
Memang jelas, bagaimana mungkin 
Pendekar Naga Putih akan melakukan 
pertarungan dengan kekasihnya. Dan

Panji tahu betul kalau gadis jelita 
itu tidak akan berani membunuhnya.
Melihat Pendekar Naga Putih 
tampak berdiri pasrah, Kenanga 
membanting-banting kaki kanannya 
karena kesal. Hatinya bergetar 
menerima tatapan lembut yang 
menyiratkan perasaan kasih yang dalam 
di hati pemuda itu. Hingga untuk 
beberapa saat lamanya, Kenanga hanya 
dapat memandang bingung.
"Lawanlah aku, Pendekar Naga 
Putih! Apakah kau telah berubah 
menjadi seorang pengecut?!" teriak 
Kenanga yang menjadi gemas melihat 
sikap yang ditunjukkan pemuda itu.
Panji hanya tersenyum getir 
melihat keadaan gadis yang 
dicintainya. Pemuda itu menggeleng 
pelan sebagai tanda kalau tidak bisa 
meluluskan permintaan kekasihnya.
"Hm.... Jangan dikira aku tidak 
akan berani untuk membunuhmu, Pendekar 
Naga Putih? Kalau kau masih juga tidak 
akan mencabut senjatamu, terpaksa kau 
akan kubunuh!" teriak Kenanga yang 
menjadi gusar.
"Aku siap menerima hukuman 
darimu, Kenanga," sahut Panji lembut.
Suara Pendekar Naga Putih 
bergetar menahan perasaan sakit dan 
kecewa. Wajahnya berkerut-kerut 
menandakan betapa terpukul hatinya

melihat orang yang dicintainya sudah 
tidak mempercayi dirinya lagi.
Melihat kenyataan kalau Panji 
masih juga belum mencabut senjatanya, 
Kenanga menggertakkan giginya menahan 
geram. Biarpun pemuda itu adalah orang 
satu-satunya yang dicintainya, 
akhirnya ia terpaksa memutuskan untuk 
melenyapkan kebathilan. Gadis itu masa 
bodoh apabila kehilangan orang yang 
paling dicintainya.
"Kalau itu memang sudah menjadi 
keputusanmu, baiklah! Bersiaplah untuk 
menerima hukuman, Pendekar Naga 
Putih!" ancam Kenanga yang sudah 
menggerakkan senjatanya, siap 
melenyapkan Pendekar Naga Putih.
***
TUJUH


Wuk! Wuk..! 
"Hiaaat...!"
Dibarengi teriakan nyaring, tubuh 
gadis itu pun melesat sambil 
menusukkan pedangnya ke dada Panji. 
Kenanga menguatkan hatinya yang sempat 
bergetar melihat tatapan penuh kasih 
yang terpancar di wajah pemuda itu. 
Dan getaran di hatinya telah membuat 
senjata di tangannya ikut pula 
bergetar!
Cappp!

"Akh...!"
Panji mengeluh pendek, menahan 
rasa sakit pada perutnya yang 
tertembus pedang kekasihnya. Mesk-pun 
wajahnya semakin memucat, namun 
tatapan penuh kasih itu tetap memancar 
di wajahnya.
"Ah...!"
Kenanga menahan jeritannya 
melihat darah segar mulai mengucur 
membasahi jubah pemuda itu. Bergegas 
tubuhnya melompat mundur sambil 
mencabut senjatanya dari perut Panji. 
Bibir gadis jelita itu bergetar 
menahankan perasaan hatinya yang 
terguncang.
Kenanga berdiri terpaku melihat 
tubuh kekasihnya roboh mandi darah. 
Bibir Panji tampak tersenyum memandang 
wajah kekasihnya. Akhimya karena tak 
sanggup menerima kenyataan, Kenanga 
langsung jatuh terduduk di atas 
rerumputan. Wajahnya basah oleh air 
mata yang mengalir deras menganak 
sungai.
"Ohhh..., Kakang. Apa artinya 
hidup ini bagiku! Tunggulah aku, 
Kakang...."
Sambil berkata demikian, Kenanga 
mengangkat pedangnya. Dan kini mata 
pedangnya menempel di belahan dadanya. 
Sepertinya Kenanga ingin bunuh diri 
karena tidak sanggup menahan 
penderitaan yang mendera jiwanya.

Dengan kedua tangan gemetar dan 
wajah bersim-bah air mata, gadis 
jelita itu memejamkan matanya. Pedang 
Sinar Rembulan terangkat dan siap 
dihunjamkan ke dada yang berisi 
kehancuran. Dan ketika ujung pedang 
itu hendak ditekan, mendadak...
Trang!
"Akh...!"
Kenanga terpekik kaget ketika 
pedangnya yang meluncur turun itu 
tiba-tiba terpental. Belum lagi gadis 
itu sempat mengetahui apa yang telah 
membuat senjatanya teriepas dari 
genggaman, tahu-tahu saja di depannya 
telah berdiri seorang kakek berusia 
sekitar delapan puluh tahun. Ternyata 
dengan pengerahan tenaga dalam tinggi, 
kakek itu menjentikkan kerikil dan 
tepat memapak pedang Kenanga.
"Cucuku, kematian bukanlah sebuah 
penyelesaian," kata kakek itu.
Dihampirinya Kenanga yang telah 
bersimbah air mata. Begitu dekat, 
dibelainya rambut kepala gadis jelita 
itu penuh kasih. Wajah tua itu 
berkerut ketika melihat tubuh seorang 
pemuda berjubah putih tergeletak 
beberapa tombak di depannya.
"Ohhh, Eyang.... Biarkanlah aku 
menyusul Kakang Panji. Aku... aku 
tidak sanggup untuk menahan 
penderitaan ini, Eyang," Kenanga 
menangis sesenggukan ketika mengenali

orang yang berdiri di depannya itu. 
Kakek itu tak lain adalah Raja Obat.
"Hm.... Rupanya aku terlambat..," 
desah Raja Obat penuh sesal. 
"Bangkitlah, Cucuku. Mari kita lihat 
keadaan kekasihmu itu."
Setelah berkata demikian, kakek 
itu melangkahkan kakinya menghampiri 
tubuh Panji yang tergeletak berlumur 
darah.
Mendengar ucapan Raja Obat, 
Kenanga bangkit merintih pilu. Tanpa 
mengucapkan sepatah kata pun, gadis 
jelita itu segera berlari meninggalkan 
tempat itu. Isaknya masih terdengar 
mengiringi langkah kakinya.
"Kenanga, tunggu...!" seru Raja 
Obat mencoba menahan kepergian gadis 
jelita itu.
Dan orang tua itu hanya bisa 
menggelengkan kepalanya melihat gadis 
itu terus mempercepat larinya
Untuk beberapa saat lamanya, Raja 
Obat hanya termangu tanpa mengucapkan 
sepatah kata pun. Matanya kembali 
menatap tubuh yang tergeletak itu.
Setelah agak lama terdiam, kakek 
itu pun mengulurkan tangannya 
memeriksa keadaan Panji. Senyum lega 
membayang di wajah tua itu ketika 
merasakan denyut jantung yang 
terdengar lemah. Jelas kalau pemuda 
itu masih mempunyai harapan hidup.

"Hhh.... Syukurlah, dia masih 
bisa diselamatkan," ucap Raja Obat 
lega.
Tak lama kemudian, kakek itu 
melangkah meninggalkan tempat itu 
dengan membawa tubuh Panji yang 
ternyata belum tewas.
Kegelapan mulai merangkak 
menyelimuti permukaan bumi. Tampaknya 
sang malam mulai menampakkan 
kekuasaannya. Tak lama kemudian, 
rembulan muncul menerangi jagat raya 
dengan sinarnya yang temaram.
***
Di sebuah kedai makan, tampak 
tiga orang tengah berbincang-bincang 
Mereka duduk dekat pintu masuk. 
Sementara ada seseorang yang duduk di 
pojok. Dia hanya memperhatikan saja. 
Sedangkan enam orang lainnya seperti 
acuh tak acuh.
"Hm.... Semakin hari sepak 
terjang Pendekar Naga Putih semakin 
merajalela saja. Sudah terlalu banyak 
perbuatan keji yang dilakukannya. Dan 
kalau kita belum juga dapat 
melenyapkannya, maka akan binasalah 
semua manusia di permukaan bumi ini,"
jelas seorang laki-laki bertubuh 
sedang, geram. Sepasang matanya tampak 
mencorong tajam menandakan kegusaran 
hatinya.

"Ya! Sayangnya sampai saat ini 
belum ada seorang pun yang sanggup 
menghentikan keganasannya. Bahkan kini 
yang menjadi korban bukan lagi orang-
orang awam, melainkan para tokoh 
golongan putih," timpal seorang laki-
laki berusia setengah baya. Wajahnya 
yang gagah itu tampak tertutup 
mendung. Berkali-kali kepalanya 
digelengkan disertai helaan napas 
berat
"Dan tampaknya kita harus 
menerima kenyataan pahit ini, Ki. Saat 
ini para tokoh golongan hitam bersorak 
gembira dan berpesta mengelu-elukan 
Pendekar Naga Putih. Tampaknya 
pendekar muda yang selama ini diagung-
agungkan tokoh golongan putih telah 
berubah haluan. Entah apa yang telah 
menyebabkannya?" orang yang lainnya 
ikut menimpah dengan suara penuh 
penyesalan.
"Apakah Ki Barak sudah berhasil 
menghubungi Ki Ageng Mandalewa?" tanya 
lelaki bertubuh sedang, yang pertama 
kali membuka percakapan. Langsung 
ditatapnya laki-laki setengah baya 
yang dipanggilnya dengan nama Ki 
Barak. Wajahnya yang lelah itu tampak 
menyiratkan sebuah harapan.
"Hhh.... Sayang sekali aku tidak 
berhasil, Aki Bantar. Menurut 
keterangan para muridnya, orang tua 
sakti itu sudah setengah bulan lebih

menyembunylkan diri di tempat 
pertapaan. Kita baru dapat 
menghubunginya pada lima purnama 
mendatang. Hhh..., entah siapa lagi 
yang harus kita hubungi untuk meminta 
bantuan dalam menghadapi keganasan 
Pendekar Naga Putih," sahut Ki Barak 
berdesah kecewa.
"Yahhh.... Belum lagi kita harus 
menghadapi tokoh golongan hitam yang 
sepertinya mulai bangkit dan melakukan 
kekacauan di mana-mana. Rasanya kali
ini para tokoh golongan putih tengah 
menghadapi ujian berat," ujar orang 
lainnya yang bertubuh gemuk dan 
berkepala botak.
Tanpa sepengetahuan ketiga orang 
yang tengah berbincang itu, seorang 
laki-laki bertubuh sedang dan berusia 
sekitar enam puluh tahun lebih tampak 
ikut memasang telinganya. Sesekali
terdengar helaan napasnya yang berat. 
Sepertinya dia juga tengah merasakan 
apa yang dirasakan orang-orang yang 
tengah berbicara itu. Kakek itu duduk 
tenang di pojok kedai sambil mencicipi 
hidangan di atas meja.
Saat itu suasana kedai memang 
tidak terlalu ramai. Hanya ada enam 
orang lagi, selain si kakek dan ketiga 
orang yang tengah berbincang itu. 
Untuk beberapa saat lamanya suasana 
menjadi hening ketika ketiga orang 
laki-laki yang semula berbincang itu

tampak berhenti dan menikmati 
makanannya.
Kakek yang duduk pada meja yang 
terdapat di sudut, tampak bergerak 
bangkit dari bangkunya. Kemudian, 
kakinya melangkah tertatih-tatih 
mendekati meja ketiga orang yang 
tengah menikmati hidangannya. Wajahnya 
yang mulai berkeriput itu tampak pu-
cat, seolah-olah tengah mengalami 
penderitaan yang berkepanjangan. 
Setelah terbatuk-batuk kecil, kakek 
itu menyapa Ki Barak dan dua orang 
kawannya.
"Ohhh.... Maaf, Kisanak. Bolehkah 
aku bergabung dengan kalian? Rasanya 
tidak enak sekali kalau harus 
menikmati hidangan tanpa seorang pun 
teman yang dapat diajak bicara," pinta 
kakek itu dengan suara lembut dan 
sopan. Sepasang matanya yang menghitam 
pada bagian bawahnya tampak menatap 
penuh harap.
Ki Barak, Bantar, dan kawannya 
yang seorang lagi sama-sama menatap ke 
arah wajah yang ditumbuhi kumis dan 
jenggot memutih itu.
"Oh, mari, mari, Ki. Silakan," 
sahut Ki Barak yang merupakan orang 
tertua di antara ketiga orang itu.
Kemudian, laki-laki setengah baya 
itu segera menarik kursi yang memang 
tinggal sebuah itu. Memang dalam satu 
meja, terdapat empat buah kursi.


"Ah, apakah aku tidak 
mengganggu?" tanya kakek itu yang 
sepertinya masih ragu, sehingga masih 
saja berdiri di tempatnya.
Dipandanginya wajah ketiga orang 
itu satu persatu, seolah-olah ingin 
memastikan kalau ketiga orang itu 
benar-benar tidak merasa keberatan 
dengan keberadaannya. Setelah melihat 
ketiganya mengangguk ramah, maka tanpa 
rasa ragu lagi segera diambilnya kursi 
yang telah diperuntukkan baginya.
Ki Barak bergegas menggapai 
seorang pelayan dan minta agar 
hidangan untuk mejanya ditambah. Hal 
ini dimaksudkan kalau dia sama sekali 
tidak merasa keberatan.
"Ah! Aku telah membuat kalian 
repot," desah kakek itu yang menjadi 
risih karena mendapat perlakuan yang 
demikian ramah dari lelaki setengah 
baya itu.
"Janganlah merasa sungkan, 
Kisanak. Anggaplah kami ini sebagai 
sahabat lama yang baru bertemu 
kembali," Ki Bantar menyahut sambil 
memperdengarkan tawanya yang lunak dan 
menunjukkan kegembiraan yang tidak 
dibuat-buat
'Terima kasih.... Terima kasih. 
Kalian benar-benar orang-orang baik 
Ah, beruntung sekali aku dapat 
berkenalan dengan kalian," ucap kakek 
itu lagi sambil melepaskan senyumnya.

Untuk beberapa saat lama-nya wajah-
wajah yang tertutup mendung tebal itu 
tampak berseri gembira.
"Boleh kami tahu, siapakah 
namamu?" tanya Ki Barak sesudah 
memperkenalkan namanya dan nama kedua 
orang temannya.
Meskipun tampaknya penyakitan dan 
lemah, namun Ki Barak dapat menduga 
kalau kakek itu bukanlah orang 
sembarangan. Memang, dari sinar mata 
yang sayu itu terkadang berkilat tajam 
dan mengandung perbawa kuat. Diam-diam
Ki Barak memperhatikan wajah kakek itu 
dengan seksama kalau-kalau saja 
mengenal kakek itu.
"Namaku Ki Tungkil. Kedatanganku 
ke desa ini semula hendak mengunjungi
cucuku. Aku memang sudah lama tidak 
pernah mengunjunginya. Tapi sayang 
kedatanganku terlambat. Sebab, cucuku 
itu ternyata telah pindah beberapa 
hari yang lalu. Maka aku pun singgah 
di kedai ini untuk mengisi perutku 
yang dari kemarin belum dimasuki apa-
apa," jelas kakek yang mengaku bernama 
Ki Tungkil itu pelan. Di akhir 
ucapannya, Ki Tungkil tertawa 
terkekeh.
"Ah, sayang sekali! Apakah para 
tetangganya tidak memberi tahu, ke 
mana cucu Ki Tungkil itu pindah?" 
tanya Ki Barak sekadar berbasa-basi. 
Dan sebagai orang yang berpengalaman,

Ki Barak bisa menduga kalau kakek itu 
menyembunyikan sesuatu.
"Sayang sekali tidak, Kisanak 
Tapi biarlah. Karena, aku yakin ia 
akan mengunjungiku setelah 
kepindahannya selesai," sahut Ki 
Tungkil menghela napas sejenak.
Pembicaraan mereka mendadak 
terhenti ketika pelayan kedai datang 
membawa pesanan. Sambil tertawa ramah, 
laki-laki setengah baya itu segera 
mempersilakan untuk segera menikmati 
hidangan yang masih mengepul dan 
menebarkan bau harum Itu.
"Ayolah, Selagi masih hangat,"
ajak Ki Barak yang tanpa ragu-ragu 
lagi segera menyantap hidangannya.
Suasana pun kembali sunyi. Yang 
terdengar hanya kunyahan mulut mereka.
"Maaf," selak Ki Tungkil setelah 
mereka menyantap hidangan. 'Tadi aku 
mendengar kalian membicarakan Pendekar 
Naga Putih. Sepertinya aku sering 
mendengar nama itu disebut-sebut orang 
di desa tempat tinggalku. Bisakah 
Kisanak menerangkan kepadaku, siapa 
sebenarnya orang itu? Dan bagaimana 
rupanya?" tanya Ki Tungkil sambil 
menatap Ki Barak lembut.
Mendengar pertanyaan itu, Ki 
Barak dan kedua orang temannya saling 
berpandangan sejenak. Dugaan laki-laki 
setengah baya itu semakin kuat kalau 
kakek itu bukanlah orang biasa,

seperti orang kebanyakan. Dan sudah 
bisa diraba sebelumnya, apa maksud 
kakek itu bergabung dengan mereka. 
Yang jelas pasti bukan hanya untuk 
mencari teman untuk berbicara. Dan 
tentu saja ada maksud lain yang 
disembunyikan.
"Maaf. Sebelum aku menjawab 
pertanyaan itu, bolehkah aku yang 
rendah ini mengetahui nama besarmu, Ki 
Tungkil?" tanya Ki Barak hati-hati, 
karena tidak ingin kalau kakek itu 
sampai tersinggung.
"He he he...!" kakek itu tertawa 
sambil menutup mulutnya dengan telapak 
tangan. Sepertinya Ki Tungkil merasa 
geli mendengar pertanyaan Ki Barak 
yang terdengar aneh di telinganya itu.
Tentu saja Ki Barak dan kedua 
orang kawannya saling berpandangan tak 
mengerti. Mereka merasa heran melihat 
kakek itu tertawa mendengar pertanyaan 
Ki Barak tadi. Karena, mereka sama 
sekali tidak menemukan sesuatu yang 
lucu dalam pertanyaan itu.
"Mengapa Ki Tungkil tertawa? 
Apakah ada sesuatu yang lucu dalam 
pertanyaanku tadi?" tanya Ki Barak 
dengan kening berkerut. Hatinya agak 
tersinggung juga melihat Ki Tungkil 
tertawa.
"He he he.... Maaf kalau suara 
tawaku telah membuatmu tersinggung, 
Kisanak. Tapi aku benar-benar merasa

geli mendengarnya. Sebab, aku hanyalah 
orang biasa yang tidak mempunyai 
kepandaian apa-apa. Jadi, tentu saja 
aku merasa lucu mendengar pertanyaan 
itu," jawab Ki Tungkil yang masih saja 
terkekeh sambil menyembunyikan 
mulutnya karena terrutup telapak 
tangan.
"Hm.... Maaf, Ki Tungkil. 
Meskipun aku bukanlah seorang pendekar 
besar, tapi tidak bisa tertipu. Dan 
aku bisa melihat bahwa kau pastilah 
memiliki ilmu silat. Buktinya tubuhmu 
terlihat masih segar dan berisi. Dan 
juga sinar matamu terkadang 
mengeluarkan kilatan tajam. Itulah 
yang membuatku yakin kalau Ki Tungkil 
tentu bukan sekadar memiliki ilmu 
silat. Bahkan mungkin juga seorang 
pendekar yang berusaha menyembunyikan 
diri. Apakah kau juga ingin mencari 
Pendekar Naga Putih?" tanpa ragu-ragu 
lagi Ki Barak pun langsung menyudutkan 
Ki Tungkil.
Ki Tungkil tersentak juga 
mendengar uraian Ki Barak yang 
memiliki pandangan cukup tajam Itu. 
Untuk beberapa saat lamanya, dia hanya 
terdiam sambil mengangguk-anggukkan 
kepalanya dan menggaruk rambutnya 
meskipun sama sekali tidak gatal.
'Teryata pandanganmu sangat 
tajam, Ki Barak. Tapi, memang. 
Sebenarnya aku tidak memiliki nama

besar seperti yang kau duga itu. Aku 
memang pernah mempelajari ilmu silat, 
namun hanya untuk menjaga kesehatan 
tubuhku saja dan tidak ada maksud-
maksud tertentu. Maaf kalau aku 
mengecewakanmu, Kisanak," kilah Ki 
Tungkil dengan wajah penuh sesal.
"Yah. Kalau memang begitu, 
sudahlah. Eh, masihkah Ki Tungkil 
menginginkan keterangan tentang Pen-
dekar Naga Putih?" tanya Ki Barak 
mencoba menghilangkan suasana kaku di 
antara mereka.
Tawa Ki Barak pun sudah terdengar 
kembali meskipun agak sedikit sumbang. 
Tapi jelas sekali kalau lelaki 
setengah baya itu berusaha 
menghilangkan kekakuan yang 
menyelimuti mereka.
“Tentu saja, kalau kau tidak 
merasa keberatan," sahut Ki Tungkil 
cepat sambil terkekeh nyaring.
"Sama sekali tidak, Ki. Justru 
aku minta maaf kalau keteranganku ini 
hanya serba sedikit. Kuakui, aku pun 
belum pernah berjumpa dengan pendekar 
muda yang kini tengah ramai 
dibicarakan orang rimba persilatan," 
ujar Ki Barak sebelum memulai 
ceritanya.
"Hm. Mengapa begitu? Apa yang 
telah. dilakukannya?" tanya Ki Tungkil 
seraya mengerutkan keningnya.

Sepertinya kabar yang menggemparkan 
itu memang belum pemah didengarnya.
"Yah, karena pendekar muda yang 
selama ini dipuja tokoh golongan putih 
itu, telah berubah menjadi seorang 
penjahat yang sangat kejam! Kejahatan 
yang dilakukannya benar-benar telah 
melewati takaran! Makanya, ia kini 
dikenal sebagai seorang perampok, 
pembunuh, dan sekaligus pemerkosa. 
Kebanyakan dari gadis yang dinodainya 
karena terpikat oleh ketampanan 
Pendekar Naga Putih! Dan ia tidak 
segan-segan membunuh gadis itu setelah 
terlebih dahulu dinodainya. Memang ada
beberapa di antaranya yang dilepaskan 
begitu saja. Tapi, apa bedanya hidup 
dan mati bagi seorang gadis yang telah 
kehilangan kehormatannya?" Ki Barak 
menghentikan ceritanya sejenak. 
Diteguknya sisa air di gelasnya yang 
terbuat dari potongan bambu itu.
***
DELAPAN


Sesosok tubuh ramping melangkah 
tersuruk-suruk menyusuri jalan 
berbatu. Sesekali terdengar keluhan 
lirih disertai isak tangisnya yang 
memilukan. Wajah yang sebenarnya 
cantik jelita itu nampak kotor tak 
terurus. Sebentar-sebentar air matanya

disusut dengan punggung tangan. 
Sepertinya dia tengah mengalami suatu 
penderitaan yang sangat berat, hingga 
tidak lagi mempedulikan keadaan 
dirinya.
Siapa lagi gadis cantik yang 
mengenakan pakaian serba hijau itu 
kalau bukan Kenanga. Pedang Sinar 
Rembulan masih tergenggam di 
tangannya. Pada ujung mata pedang itu 
masih terdapat darah yang telah 
mengering. Dan gadis itu sama sekali 
tidak berusaha membersihkan ujung 
pedangnya yang ternoda itu. Tampaknya 
hatinya merasa terpukul setelah mem-
bunuh Panji. Bahkan ia memutuskan 
untuk menghabisi nyawanya sendiri pada 
waktu itu. Untunglah Raja Obat keburu 
datang mencegahnya. Kalau tidak, 
mungkin saat itu ia sudah menyusul 
kekasihnya.
"Oh, Kakang...," keluh gadis 
jelita itu dengan hati hancur.
Kembali butiran air bening 
mengalir turun membasahi wajahnya yang 
tampak pucat dan agak kurus itu. 
Tubuhnya melangkah limbung begitu 
teringat akan Panji yang telah 
dibunuhnya. Meskipun Kenanga berusaha 
mengeraskan hatinya, namun tetap saja 
tidak mampu menghibur hatinya yang 
terguncang.
Gadis jelita itu terus berjalan 
mengikuti langkah kakinya. Sepertinya

dia sudah tidak mempunyai tujuan lagi, 
dan hanya membiarkan langkah kaki yang 
akan membawa tubuhnya.
"Oh...?!"
Kenanga menahan jeritan dengan 
menutupkan telapak tangan ke mulutnya. 
Tubuhnya bergetar hebat ketika melihat 
sosok tubuh terpampang di depannya. 
Sepasang matanya yang semula sayu tak 
bergairah, tiba-tiba terbelalak bagai 
orang melihat hantu di siang bolong!
"Oh, tidaaak..!"
Gadis jelita itu mengerjap-
ngerjapkan matanya, seolah-olah ingin 
mengusir bayangan yang dianggapnya 
semu itu. Kepalanya menggeleng-geleng 
diiringi keluhan menyayat. Tubuhnya 
bergerak mundur terhuyung-huyung. 
Sepertinya, penderitaan tak kunjung 
lenyap dari kehidupannya.
"Kenanga...."
Sosok tubuh berjubah putih yang 
membuat gadis itu terbelalak menyapa 
dengan suara lembut dan bergetar. 
Rupanya dialah yang telah kembali 
mengguncangkan hati Kenanga. 
Akibatnya, wajahnya sampai berkerut-
kerut menahankan perasaan hati yang
teraduk-aduk.
"Tidak mungkin...! Kau..., kau 
sudah mati..!" Akhimya suara itu 
meluncur juga dari bibir mungil yang 
pucat itu. Jari-jari gadis itu gemetar 
ketika mengarahkan telunjuknya ke

wajah sosok berjubah putih yang tak 
lain adalah Panji.
"Mengapa, Kenanga...?" tanya 
pemuda tampan berjubah putih itu agak 
heran melihat sikap Kenanga. "Mengapa 
kau bilang aku sudah mati?"
"Bukankah kau.... Kau telah 
kubunuh di dalam hutan beberapa hari 
yang lalu? Jadi... jadi tidak mungkin 
kalau hidup lagi. Tidak mungkin!" 
Kenanga berteriak keras sambil 
menggeleng-gelengkan kepalanya karena 
tidak mempercayai apa yang dilihatnya 
itu.
Pendekar Naga Putih tampak 
tertegun sesaat ketika mendengar 
ucapan gadis jelita itu Tapi sesaat 
kemudian, senyumnya pun kembali 
menghiasi wajahnya yang tampan itu.
"Hm.... Jadi kau telah berhasil 
membunuh manusia keparat yang telah 
mencemari namaku, Kenanga? Bagaimana 
kau bisa menemukan manusia iblis itu? 
Apakah ia benar-benar sudah tewas?'' 
pertanyaan itu meluncur begitu saja 
dari mulut Pendekar Naga i Putih. 
Wajah tampan itu mendadak berseri 
gembira. Langsung kakinya melangkah 
menghampiri gadis jelita itu
"Membunuhnya...? Apa... apa 
maksudmu, Kakang?" tanya Kenanga yang 
menjadi terkejut ketika mendengar 
kata-kata pemuda tampan berjubah putih 
itu.


"Ya. Orang yang telah kau bunuh 
itu adalah Pendekar Naga Putih palsu 
yang telah melakukan perbuatan-
perbuatan keji. Selamat, Kenanga, 
"sahut Panji semakin mendekati Kenanga 
sambil mengulurkan tangannya.
'Pendekar Naga Putih palsu? 
Benarkah itu? Tapi, mengapa demikian 
mirip? Tidak! Tidak mungkin!" desah 
Kenanga seperti berkata kepada dirinya 
sendiri.
Sejenak kemudian, Kenanga 
memijat-mijat kepalanya yang terasa 
berdenyut-denyut. Rasanya pusing 
sekali memikirkan hal yang sepertinya 
tidak masuk akal itu. Apalagi saat ini 
kondisinya memang sangat lemah dan 
tidak memungkinkan untuk berpikir 
keras.
"Mengapa tidak mungkin, Kenanga. 
Aku sudah pemah berjumpa sekali 
dengannya. Tapi sayang, ia berhasil 
meloloskan diri. Selain ilmu silatnya 
tinggi, ternyata manusia keparat itu 
pun memiliki ilmu sihir yang hebat! 
Dan dengan mengandalkan kehebatan ilmu 
sihirnya, tokoh-tokoh persilatan 
berhasil dikelabuinya. Dan kini, 
akulah yang terkena getahnya. Kau 
mengerti, Kenanga?" jelas Panji secara 
panjang lebar kepada Kenanga. 
Sementara langkahnya semakin mendekati 
Kenanga.

"Jadi... jadi..., ohhh!" Kenanga 
tak mampu menruskan kata-katanya.
Rupanya karena kelelahan yang 
amat sangat, gadis itu jadi tidak kuat 
hatinya menghadapi pertemuan yang 
mengejutkan. Tubuh Kenanga yang kini 
tampak kurus itu melorot jatuh di atas 
tanah berbatu. Pingsan!
***
"Kenanga...!"
Panji segera melompat hendak 
menangkap tubuh gadis itu agar tidak 
terjatuh di atas tanah berbatu. Belum 
lagi tubuh Pendekar Naga Putih sampai 
ke tempat Kenanga, tiba-tiba sebuah 
bayangan berkelebat cepat. Maka 
Pendekar Naga Putih cepat-cepat 
menarik pulang tangannya.
"Jangan sentuh gadis itu...!" 
bentak bayangan itu, langsung 
mendorongkan telapak tangannya ke dada 
Pendekar Naga Putih.
Bergegas Pendekar Naga Putih 
melempar tubuhnya ke belakang dan 
berjumpalitan beberapa kali di udara. 
Maka telapak tangan bayangan itu hanya 
lewat di depannya, sehingga 
menimbulkan angin mencicit tajam.
"Siapa kau! Mengapa mencampuri. 
urusanku!" bentak Pendekar Naga Putih 
geram. Seluruh wajahnya tampak memerah 
karena menahan kemarahan yang meluap.

"Hm! Apakah kau sudah pikun, 
Pendekar Naga Putih? Bukankah kita 
pemah bertemu beberapa waktu yang 
lalu? Dan aku juga telah berjanji akan
mengejarmu walau sampai ke ujung 
langit sekalipun!" tegas si kakek yang 
mengenakan pakaian serba putih itu 
seraya tersenyum lembut. Ia tak lain 
adalah Eyang Sancaka, Ketua Perguruan 
Garuda Putih. Dan memang pemah 
bertempur dengan Panji. Waktu itu, 
Eyang Sancaka ditemani dua orang 
muridnya yang juga ikut mengeroyok 
Pendekar Naga Putih.
"Hm.... Jangan berpura-pura 
bodoh, Pendekar Murtad!" bentak salah 
seorang dari murid Perguruan Garuda 
Putih yang juga telah berada di tempat 
itu.
"Dan hari ini kau tidak mungkin 
akan lolos lagi, Manusia Bejat!" 
timpal salah seorang murid utama kakek 
berpakaian putih yang bernama Banawa.
"He he he...! Jangan takut, 
Pendekar Naga Putih. Kami datang 
membantu!" terdengar tawa terkekeh 
sember yang cukup mengejutkan. Belum 
lagi gema suara itu lenyap, tahu-tahu 
sesosok tubuh jangkung telah berdiri 
di tempat itu. Ternyata dia adalah 
Setan Langit
"Ha ha ha...! Aku pun ikut, 
Kakang...!" kembali terdengar suara 
tawa yang menyakitkan anak telinga.

Suara tawa itu tadi dibarengi pula 
dengan menggelindingnya sebuah benda 
bulat yang mirip bola. Dia lebih 
dikenal dengan julukan Setan Bumi.
Tujuh orang tokoh Perguruan 
Garuda Putih yang berdiri dekat dengan 
benda yang menggelinding itu cepat 
berloncatan menghindar. Wajah mereka 
nampak terkejut melihatnya. Belum lagi 
rasa kaget mereka hilang, tiba-tiba 
benda itu melambung setinggi satu 
tombak
"Ha ha ha...!"
Kembali tokoh Perguruan Garuda 
Putih itu berlompatan sambil mencabut 
senjata masing-masing. Rasanya jantung 
mereka hampir copot ketika tahu-tahu 
saja sesosok tubuh gemuk pendek 
mengejutkan mereka dengan suara 
melengking
"Kaget, ya?" ledek sosok tubuh 
yang berwajah bulat seperti wajah 
kanak-kanak itu.
"Setan Langit dan Setan Bumi...!" 
seru Eyang Sancaka yang mengenakan 
pakaian serba putih, terkejut.
Dari nada suara laki-laki tua itu 
jelas sekali kalau dia merasa khawatir 
dengan kehadiran kedua orang aneh yang 
sake itu.
"Hm.... Pantas saja kau begitu 
tega menyebar maut, Pendekar Naga 
Putih? Kiranya kau berteman dengan dua 
setan tak tahu adat itu!" kata Eyang

Sancaka lagi. Nada suaranya terdengar 
sinis.
"He he he.... Bagus kau masih 
mengenaliku, Sancaka. Tanganku jadi 
semakin gatal saja melihat 
keberadaanmu di tempat ini!" kata 
Setan Langit yang bertubuh tinggi 
kurus.
Bahkan Eyang Sancaka sampai 
mendongakkan kepalanya ketika 
memandang wajah Setan Langit yang satu 
setengah kali lebih tinggi darinya 
itu.
Wajah Eyang Sancaka tampak cemas 
dengan adanya kedua orang itu. Karena, 
ia tahu betul akan kehebatan kedua 
orang manusia telengas itu. Dan di 
antara para tokoh yang terdapat di 
situ, hanya dialah yang mampu 
mengimbangi kesaktian kedua orang itu. 
Tentu saja hal ini membuatnya 
khawatir!
"He he he.... Pendekar Naga Putih 
palsu, si manusia bejat! Hari ini 
Malaikat Maut akan menjemputmu!"
Tiba-tiba terdengar suara 
menggema yang memenuhi sekitar tempat 
itu. Dan sebelum suara itu lenyap, 
terlihat seorang kakek kakek bertubuh 
sedang, berlari menuju ke tempat para 
tokoh rimba persilatan itu. Di 
belakangnya tampak Ki Barak dan dua 
orang kawannya. Siapa lagi kakek itu 
kalau bukan Ki Tungkil.

"Pendekar Naga Putih palsu...?"
Suara merdu yang parau itu keluar 
dari mulut Kenanga yang rupanya sudah 
mulai tersadar dari pingsannya. Dan 
gadis jelita itu kembali mengernyitkan 
kening, karena nama Pendekar Naga 
Putih palsu kembali terdengar disebut-
sebut untuk yang kedua kalinya.
"Apa maksudmu dengan ucapan itu, 
Kakek Tua?" tanya salah seorang murid 
Perguruan Garuda Putih yang menjadi 
terkejut mendengarnya.
"Hm.... Dapatkah kau 
membuktikannya, Kisanak?" tanya Ketua 
Perguruan Garuda Putih yang juga tidak 
kalah heran.
"Hm..., Nisanak Tahukah kau, 
senjata apa yang dimiliki Pendekar 
Naga Putih yang asli? Dan apakah
senjata itu ada pada orang yang 
mengaku sebagai Pendekar Naga Putih?" 
tanya Ki Tungkil kepada Kenanga sambil 
menunjuk ke arah pemuda tampan ber-
jubah putih itu.
"Oh! Mengapa aku baru teringat 
sekarang!" keluh Kenanga pelan. "Ya, 
aku ingat sekarang! Kakang Panji, 
tunjukkan senjatamu kepadaku?"
Pemuda tampan berjubah putih itu 
menjadi terkejut. Jelas sekali kalau 
ia agak bingung mendengar permintaan 
gadis itu. Dengan gerakan ragu-ragu, 
akhimya pemuda itu pun mengeluarkan 
pedangnya yang tergantung di pinggang.

"Hm.... Inilah senjataku, 
Kenanga!" sahut Pendekar Naga Putih 
sambil berusaha menenangkan 
perasaannya yang berdebar tegang.
"Kau... kau bukan Kakang Panji! 
Ohhh...!"
Gadis jelita itu menjerit tatkala 
mengingat perbuatannya yang telah 
membunuh Pendekar Naga Putih asli di 
sebuah hutan pada beberapa hari yang 
lalu.
"He he he.... Kau salah, Manusia 
Keji. Inilah senjata Pendekar Naga 
Putih kalau kau ingin tahu!" seru Ki 
Tungkil.
Laki-laki tua itu kemudian 
mengeluarkan sebatang pedang yang 
tergantung di punggungnya. Selama ini, 
rupanya kakek itu menyembunyikannya di 
balik jubah, sehingga tidak begitu 
terlihat orang lain.
"Pedang Naga Langit...!"
Seruan kaget dan kagum itu keluar 
dari mulut tokoh-tokoh tua seperti 
Eyang Sancaka, Setan Langit, dan Setan 
Bumi. Karena hanya merekalah yang 
pernah mendengar riwayat dan 
keberadaan pedang mukjizat itu.
"Aku menemukan senjata ini di 
sebuah hutan lebat di samping mayat 
pendekar muda itu," lanjut kakek itu 
menerangkan.
***

SEMBILAN

"Ohhh...!"
Kenanga kembali mengeluh ketika 
mendengar ucapan terakhir kakek itu. 
Gadis itu benar-benar merasa berdosa 
kepada kekasihnya.
"Keparat kau, Manusia Keji! 
Terimalah balasanku!" bentak gadis 
jelita itu yang segera memutar 
pedangnya kuat-kuat
"Nisanak, tahan! Biar aku yang 
menghadapinya!" cegah Ki Tungkil yang 
segera melompat ke arah pemuda 
berjubah putih itu. Sepasang mata 
kakek itu mencorong tajam 
menggiriskan.
"Ha ha ha.... Jangan kalian kira 
akan begitu mudah menangkapku! Nah! 
Kalian bisa lihat baik-baik! Seekor 
naga berkepala tiga akan segera 
menelan kalian semua hidup-hidup!" 
ancam pemuda berjubah putih itu. 
Suaranya terdengar demikian keras dan 
menggetarkan hati para tokoh 
persilatan yang berada di tempat itu.
"Ahk...!"
Ki Tungkil, Kenanga, Eyang 
Sancaka dan para tokoh persilatan 
lainnya berteriak kaget dengan mata 
membelalak: Tanpa sadar kaki mereka 
bergerak mundur ketika menyaksikan 
pemandangan yang tak masuk akal.
"Ilmu iblis...!"

"Ilmu sihir...!"
Terdengar teriakan-teriakan parau 
dan bergetar. Dan memang, apa yang 
diucapkan pemuda tampan itu benar-
benar menjadi kenyataan! Segumpal asap 
hitam bergulung-gulung keluar dari 
tangan pemuda itu, kemudian membentuk 
seekor naga berkepala tiga!
"Graaaurrr...!"
Naga berkepala tiga itu meraung 
keras sambil bergerak siap menelan 
tubuh mereka hidup-hidup!
"Huh! Jangan kira aku takut 
dengan pertunjukan murahan itu, Pemuda 
Biadab! Lihatlah!"
Setelah berkata demikian, Ki 
Tungkil segera mencabut keluar pedang 
dari sarungnya.
Sringngng!
Sinar kuning keemasan berpendar 
dari badan Pedang Naga Langit yang 
telah keluar dari sarungnya. 
"Heaaat..!"
Ki Tungkil segera melompat sambil 
menyabetkan pedangnya ke arah naga 
berkepala tiga. Sinar keemasan itu 
terlihat semakin melebar ketika pedang 
itu digerakkan.
Wusss...!
Blarrr!
Terdengar ledakan keras yang 
mengguncangkan tanah di sekitar tempat 
itu! Naga berkepalatiga ciptaan 
Pendekar Naga Putih palsu itu langsung


lenyap begitu sinar kuning keemasan 
yang memancar dari Pedang Naga Langit 
membabat kepalanya. 
"Aaahk...!"
Bersamaan dengan ledakan dan 
lenyapnya wujud naga itu, terdengar 
jerit kesakitan yang keluar dari mulut 
Pendekar Naga Putih palsu. Tubuhnya 
terjajar mundur ke belakang. Memang, 
dengan lenyapnya ilmu sihir ciptaannya 
itu, maka tenaga sihimya dengan 
sendirinya membalik dan memukul 
tubuhnya.
"Bangsat kau, Kakek Tua! Siapa 
kau sebenarnya?!" bentak Pendekar Naga 
Putih palsu sambil bergerak bangkit 
karena tadi dia sempat terjatuh. Di 
sudut bibimya tampak cairan merah 
menetes. Sepertinya pemuda itu 
mengalami luka dalam akibat ilmu 
sihimya telah dipatahkan kakek itu.
"He he he.... Ilmu sihirmu memang 
dapat kau pergunakan untuk mengelabui 
orang lain. Tapi tidak berlaku 
untukku. Dan aku pun akan 
mengembalikan ke ujud asalmu yang kini 
masih menyamar sebagai Pendekar Naga 
Putih!" ancam Ki Tungkil yang sudah 
bersiap melancarkan serangan berikut.
"Bedebah! Kubunuh kau, Kakek 
Peot!" teriak pemuda tampan itu
Setelah berteriak keras, tubuh 
pemuda itu pun melompat disertai 
sabetan pedangnya. Rupanya ia sudah


tidak berniat lagi menggunakan ilmu 
sihimya, karena hal itu akan percuma 
saja. Sebab, kakek itu pasti akan 
memunahkannya dengan menggunakan
pedang mukjizat yang tergenggam di 
tangannya itu. Satu-satunya jalan 
ialah pedang itu hams dapat direbut 
dari tangan si kakek. 
"Haaat...!"
Ki Tungkil berseru nyaring. 
Tubuhnya melesat menyambut serangan 
pemuda itu. Sesaat kemudian, keduanya 
sudah bertarung sengit. Dua gulungan 
sinar putih dan kuning saling libat 
dan saling mengalahkan! Sedangkan 
tubuh kedua orang yang tengah 
bertarung itu sudah tidak tampak lagi. 
Yang terlihat kini hanya bayangan 
samar berkelebatan saling desak!
Jurus demi jurus terus berlalu. 
Kedua orang itu berusaha keras untuk
segera menjatuhkan satu sama lain 
secepatnya. Ilmu-ilmu andalan masing-
masing telah keluar untuk mencapai 
kemenangan. Namun sampai sedemikian 
jauh, keduanya tampak masih tetap 
seimbang.
***
Sementara itu, pertarungan yang 
lain pun sudah pula berlangsung. Eyang 
Sancaka berhadapan dengan Setan 
Langit. Nampaknya kakek itu menemukan

lawan yang seimbang. Buktinya, 
keduanya terlihat sama-sama gesit. Dan 
pukulan-pukulan mereka juga sama-sama 
menimbulkan deruan angin tajam. Dan 
memang pertarungan dua orang tokoh
yang berbeda golongan itu tidak kalah 
serunya dibanding pertarungan Ki 
Tungkil dengan Pendekar Naga Putih 
palsu.
Sedangkan Setan Bumi dikeroyok 
Kenanga, Ki Barak, Banawa dan Panjala, 
sehingga menjadi kewalahan juga. 
Apalagi keempat orang pengeroyok itu 
bukanlah tokoh sembarangan. Terutama 
gadis jelita berpakaian serba hijau 
itu. Serangan-serangannya demikian 
ganas dan menggiriskan. Mau tak mau 
Setan Bumi terpaksa harus memusatkan 
perhatiannya kepada gadis itu.
Di tempat lain, pertarungan yang 
berlangsung antara Ki Tungkil dan 
Pendekar Naga Putih palsu terlihat 
semakin seru dan menegangkan. Rupanya 
ilmu pedang yang dimiliki kakek itu 
memang benar-benar hebat. Sehingga 
semakin lama sinar putih itu pun 
semakin mengecil lingkarannya.
"Heaaat..!"
Diiringi sebuah teriakan nyaring, 
Ki Tungkil menyabetkan pedangnya 
secara mendatar, mengarah ke pinggang 
lawan. Sinar kuning keemasan 
berkeredep disertai sambaran angin 
yang menggemuruh.

Wuttt!
Trangngng!
"Uhhh...!"
Pemuda ahli sihir itu bergegas 
menggerakkan pedangnya menangkis 
serangan. Maka seketika terdengar 
benturan yang memekakkan telinga. 
Tubuh Pendekar Naga Putih palsu 
terjajar mundur diiringi keluhan 
kesakitan.
Pemuda tampan berjubah putih itu 
berdiri limbung sambil menyeringai 
menahan sakit pada lengannya yang 
digunakan untuk menangkis tadi. Jelas 
sekali hatinya merasa terkejut ketika 
mendapat kenyataan kalau tenaga dalam 
kakek itu ternyata masih berada di 
atasnya.
"Yeaaat..!"
Ketika melihat lawannya termangu 
dengan seringai kesakitan, Ki Tungkil 
tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. 
Bergegas dia melompat dengan kecepatan 
kilat Sepertinya kakek itu sudah tidak 
sabar untuk segera menghabisi riwayat 
pemuda itu.
Wukkk! Wukkk..!
Pendekar Naga Putih palsu buru-
buru melempar tubuhnya ke belakang 
beberapa tombak, maka dua buah 
serangan kakek itu mengenai angin 
kosong. Begitu kakinya menjejak bumi, 
tubuh pemuda itu melambung ke arah Ki

Tungkil disertai bacokan dari atas ke 
bawah.
Kakek tua yang kelihatan 
penyakitan itu ternyata memiliki 
kegesitan hebat! Begitu serangan lawan 
tiba, segera kaki kanannya digeser ke 
depan dengan kuda-kuda rendah. Sesaat 
setelah serangan lawan lolos, Ki 
Tungkil menusukkan pedangnya ke 
lambung lawan yang terbuka. Namun 
Pendekar Naga Putih palsu cepat 
memiringkan tubuhnya sambil 
melontarkan sebuah tendangan ke 
kepala.
Bret! Desss!
"Aaah...!" 
"Uuuh...!"
Keduanya terjajar mundur disertai 
jeritan masing masing. Pakaian yang 
dikenakan pemuda itu robek. Ternyata 
mata pedang kakek itu sempat melukai 
kulit perutnya. Untung tubuhnya sempat 
dimiringkan. Kalau tidak, mungkin 
lambungnya bolong akibat tusukan 
pedang kakek Hu.
Sedangkan kakek itu pun terlihat 
meringis sambil mengusap bahunya yang 
terkena tendangan lawan. Ki Tungkil 
rupanya salah tafsir. Semula disangka
tendangan itu mengarah perutnya. Maka 
ia pun mengegos sambil menarik kaki 
kanan sehingga kuda-kudanya agak naik. 
Dan ketika tendangan itu terus 
melayang ke atas, terpaksa bahunya

dibiarkan jadi sasaran lawan. Dan 
tentu saja bahunya telah terlindungr
oleh tenaga dalam.
"Keparat! Kau harus membayar 
mahal akibat perbuatanmu ini, Kakek 
Peot!" teriak pemuda itu marah.
Setelah berkata demikian, 
pedangnya segera dilintangkan, siap 
melancarkan serangan!
"He he he.... Lihatlah, Kawan-
kawan! Apakah manusia biadab ini 
benar-benar Pendekar Naga Putih?" Ki 
Tungkil bertanya kepada para tokoh 
persilatan yang tengah menyaksikan 
pertarungan itu.
"Hei! Dia ternyata Pendekar Naga 
Putih palsu!" seru salah seorang 
tokoh.
Tentu saja semua orang yang ada 
di situ menjadi terkejut melihat wajah 
pemuda itu telah berubah. Hal itu 
disebabkan, tubuhnya telah tersentuh 
Pedang Naga Langit yang memang dapat 
melenyapkan pengaruh ilmu sihir.
"Ya! Dia bukan Pendekar Naga 
Putih!" seru yang lainnya, heran.
Sedangkan pemuda berjubah putih 
itu nampak kebingungan, karena ia 
sendiri tidak dapat melihat bagaimana 
rupa wajahnya sekarang. Padahal wajah-
nya kini memang benar-benar telah 
berubah menjadi dirinya sendiri.
Ki Tungkil menatap tajam wajah 
pemuda yang juga tampan dan bersih

itu. Sebaris kumis tipis tampak 
menghias wajahnya. Dan di kedua sisi 
wajahnya tampak tumbuh bulu-bulu halus 
yang menyerupai cambang Rupanya 
seperti itulah wajah asli pemuda 
tukang sihir itu sebenarnya.
"Kini terimalah kematianmu, 
Keparat'"
Sambil berkata demikian, tubuh 
kakek itu meluncur disertai sambaran 
pedang yang mengaung memekakkan 
telinga.
Pemuda tukang sihir yang semula 
menyamar sebagai Pendekar Naga Putih 
itu terperanjat ketika melihat sinar 
kuning berpendar menyilaukan mata. 
Tanpa sadar telapak tangannya bergerak 
melindungi matanya dari sinar kuning 
menyilaukan yang berben-tuk bulat itu. 
Maka....
Wukkk!
Crasss! 
"Aaargh...!"
Pemuda itu menjerit setinggi 
langit ketika ujung pedang di tangan 
lawannya telah membeset perutnya. 
Darah segar langsung menyemprot dari 
goresan luka yang dalam dan memanjang 
itu. Tubuh pemuda itu terhuyung mundur 
disertai darah yang berceceran. 
Beberapa saat kemudian, tubuhnya 
ambruk ke tanah dan tak mampu bangkit 
lagi.

"Ough.... Bunuhlah aku, Kakek 
Peot!" ratap pemuda yang rupanya belum 
tewas itu. Tubuhnya bergetar dan 
berkelojotan menahan rasa sakit yang 
diderita.
"Hm.... Aku tidak akan 
membunuhmu, Iblis Keji! Karena tanpa 
kubunuh pun kau akan mati! Sekarang 
jawab pertanyaanku! Siapa kau 
sebenarnya? Dan apa tujuanmu
mencemarkan nama Pendekar Naga Putih?" 
ujar kakek itu sambil menghembuskan 
napasnya kuat kuat la hanya berdiri 
menatap wajah pemuda yang tak berdaya 
itu.
"Baiklah. Aku akan menjelaskannya 
agar kau tidak menjadi penasaran, 
Kakek Peot," sahut pemuda itu 
terengah-engah. "Ketahuilah. Aku 
berjuluk Raja Sihir dari Barat Dan 
cita-citaku adalah menguasal dunia 
persilatan. Namun rupanya Pendekar 
Naga Pullh adalah satu-satunya 
penghalang berat yang harus segera 
kusingkirkaa Karena tidak mungkin 
dapat mengalahkannya, maka aku 
menyamar sebagai dirinya untuk 
melakukan kejahatan. Nah! Dengan 
demikian, aku dapat menghancurkan 
Pendekar Naga Putih dan juga tokoh-
tokoh golongan putih lainnya. Apakah 
kau puas, Kakek Peot?" tanya pemuda 
yang ternyata berjuluk Raja Sihir dari

Barat itu dengan napas yang semakin 
memburu.
Ki Tungkil sama sekali tidak 
menjawab. Tanpa mempedulikan lawannya 
yang sudah tak berdaya itu, kakinya 
melangkah meninggalkan tubuh lawan 
yang tak mampu bangkit lagi.
Sedangkan di arena lain, tampak 
pertarungan yang berlangsung antara 
Eyang Sancaka dan Setan Langit sudah 
mencapai puncaknya! Tubuh keduanya 
saat itu tengah melambung ke udara 
sambil mendorongkan telapak tangan 
masing-masing.
Blarrr!
"Aaahk...!"
Udara di sekitar arena 
pertarungan bergetar ketika dua 
gelombang tenaga sakti yang sama kuat 
saling berbenturan di udara. Tubuh 
keduanya terlempar balik diiringi 
jerit kesakitan.
"Kkk.. kau... hebattth 
Sancaka...!" puji Setan Langit yang 
berdiri limbung.
Rupanya tokoh sesat itu tidak 
sampai terbanting jatuh di tanah, 
ketika kedua kakinya mendarat di 
tanah. Darah segar tampak mengalir 
dari mulutnya.
"Hkkk..., kau pun hebat, Setan 
Langit...!" Eyang Sancaka pun memuji 
kehebatan lawannya.

Kakek itu berdiri tegak sambil 
menekap dadanya Sedangkan dari 
mulutnya, juga mengalir tetesan darah 
segar. Seperti halnya Setan Langit, 
kakek itu. Juga melayang turun dengan 
kedua kaki lebih dulu.
Sementara itu Setan Bumi yang 
sekujur tubuhnya telah dipenuhi 
goresan-goresan luka, bergegas melesat 
meninggalkan lawan-lawannya begitu 
melihat saudaranya terluka.
"Kakang.... Kau tidak apa-
apa...?" tanya Setan Bumi sambil 
memapah tubuh Setan Langit yang masih 
limbung itu.
Kenanga dan tiga orang lainnya 
bergegas memburu Setan Bumi yang 
tengah memapah saudaranya itu. Rupanya 
mereka masih penasaran karena belum 
dapat membunuh lawan.
"Biarkan mereka...!" tiba-tiba Ki 
Tungkil berseru menahan gerakan 
keempat orang itu.
"Mengapa mereka dilepaskan, Ki?" 
tanya Ki Barak heran melihat sikap Ki 
Tungkil yang melepaskan kedua tokoh 
sesat itu begitu saja.
"Biarkanlah. Mudah-mudahan saja 
dengan begitu mereka akan menyadari 
kesalahannya. Karena orang yang 
menjadi biang keladi dari semua ini 
adalah pemuda itu," sahut Ki Tungkil 
sambil menunjuk sosok tubuh yang 
tengah tak berdaya.

Para tokoh persilatan itu 
bergerak menghampiri sosok tubuh yang 
berlumuran darah. Banawa dan Panjala 
berpaling sejenak ke arah gurunya yang 
saat itu tengah bersemadi.
"Keparat kau, Manusia Iblis! Kau 
telah menghancurkan hidupku!" sambil 
terisak, Kenanga mengayunkan 
senjatanya ke leher pemuda yang telah 
menyebabkan kesengsaraan pada dirinya 
itu.
"Kenanga, tahan...!" cegah Ki 
Tungkil ketika melihat apa yang 
dilakukan gadis itu. Namun, terlambat! 
Ternyata pedang gadis itu telah 
menebas putus leher pemuda yang tengah 
meregang nyawa.
Kenanga memalingkan wajahnya ke 
arah Ki Tungkil. Ternyata pada saat 
berteriak tadi, suara kakek itu 
terdengar lain dari biasanya. Dan 
suara itu sangat dikenalnya.
Sedangkan Ki Tungkil yang tanpa 
sadar telah mengeluarkan suara 
aslinya, hanya tersenyum melihat gadis 
jelita itu menatapnya lekat lekat.
"Kau.... Siapa kau sebenarnya, 
Ki?" tanya gadis jelita itu dengan 
suara bergetar karena ketegangan yang 
amat sangat.
"Eh! Apakah kau suka kepadaku, 
Nisanak? Mengapa kau memandangiku 
seperti itu?" ledek Ki Tungkil yang 
tidak lagi menyembunyikan suaranya.

"Kau... kau...!"
"Ah, sudahlah. Lebih baik aku 
pergi sekarang!" desah Ki Tungkil lagi 
sambil berpamitan kepada para tokoh 
persilatan yang berada di tempat itu. 
"Mari, Kenanga...."
"Kakang..., kaukah itu?" desah 
Kenanga dengan wajah yang mulai basah 
oleh air mata.
Ki Tungkil sama sekali tidak 
mempedulikan gadis itu, dan terus saja 
melangkah meninggalkan tempat itu. 
Langkahnya kini nampak berbeda dengan 
yang sebelumnya. Beberapa tombak 
kemudian, kakek itu menghentikan 
langkahnya dan melambaikan tangan 
kepada Kenanga.
Gadis jelita itu semakin tertegun 
melihat cara berjalan kakek itu. 
Wajahnya semakin pucat karena 
ketegangan. Air mata semakin banyak 
menuruni pipinya yang halus itu.
"Kakaaang...!"
Tanpa ragu-ragu lagi, Kenanga 
segera berlari memburu Ki Tungkil yang 
saat itu masih berdiri sambil 
melambaikan tangan. Kedua tangan kakek 
itu mengembang ketika Kenanga berlari 
menghampirinya.
Begitu tiba, Kenanga langsung 
memeluk tubuh kakek itu erat-erat.
Nalurinya begitu yakin kalau kakek itu 
adalah Panji atau Pendekar Naga Putih

yang semula dikira telah tewas di 
tangannya.
Kakek itu memeluk tubuh Kenanga 
dengan penuh kasih. Dibelainya rambut 
kepala gadis itu lembut, membuat 
Kenanga semakin sesenggukan tangisnya.
"Ah! Tidak malukah kau berpelukan 
dengan seorang kakek-kakek semesra 
ini, Bidadariku?" goda kakek itu 
sambil tersenyum.
"Kakang. Mengapa kau masih ingin 
menyiksa perasaanku? Tidak tahukah kau 
akan penderitaan yang kualami?" isak 
Kenanga sambil mengangkat kepalanya 
menatap wajah Ki Tungkil. Tiba-tiba 
tangan kanannya terulur mencabut kumis 
dan jenggot putih yang ternyata palsu.
"Ah, Kenanga. Apakah kau kira aku 
bahagia selama ini?" tanya kakek itu 
yang ternyata adalah Pendekar Naga 
Putih asli.
Pemuda itu sama sekali tidak 
berusaha mengelak ketika Kenanga 
mencabut kumis dan jenggot palsunya. 
Malah dibantunya dengan menggosok 
kedua telapak tangan ke wajahnya. 
Sehingga, keriput yang menghiasi 
wajahnya pun lenyap. Dan Ki Tungkil
kini telah berubah menjadi Pendekar 
Naga Putih.
Tanpa malu-malu lagi, Kenanga 
segera menciumi wajah kekasihnya penuh 
kerinduan. Beberapa saat kemudian, 
Panji menjauhkan wajahnya dari wajah

gadis itu. Lalu, dihapusnya air mata 
yang masih membasahi wajah kekasihnya.
"Hm.... Kau nampak kurus, 
Kenanga? Kau menyiksa dirimu sendiri," 
gumam Panji ketika menyadari kalau 
wajah gadis jelita itu agak kurus.
"Ampuni dosaku, Kakang.... Aku 
mengaku salah," ucap gadis itu setelah 
mereka sama-sama melepaskan 
rangkulannya.
"Sudahlah. Jadikanlah semua itu 
pelajaran. Aku yakin setelah kejadian 
ini, pikiranmu akan lebih dewasa. Dan 
kau tidak akan memutuskan segala 
persoalan tanpa penyelidikan lebih 
dahulu. Janji?"
"Aku berjanji, Kakang. Dan aku 
pun menyadari kekeliruanku setelah aku 
merasa kau telah tiada. Tapi, 
bagaimana kau bisa selamat dan 
menyamar sebagai kakek-kakek jelek 
itu?" tanya Kenanga. Gadis ini sengaja 
mengatakan kakek-kakek jelek untuk 
menggoda Panji.
"Biar jelek tapi kau suka kan?"
"Ih, tidak sudil" sahut Kenanga 
mencibir.
"Buktinya kau tidak malu memeluk 
kakek-kakek jelek tadi. Apakah itu 
bukan pertanda suka?" goda Panji lagi.
"Ah, sudahlah. Aku pergj saja 
kalau Kakang tidak sudi menjawab 
pertanyaanku tadi!" desah Kenanga, 
merajuk.

"Ayolah. Nanti aku ceritakan 
sambil jalan," sahut Panji.
Lalu Pendekar Naga Putih 
melangkah sambil memeluk tubuh
kekasihnya. Kenanga pun melingkarkan 
lengannya di pinggang pemuda 
pujaannya.
Sambi melangkah meninggalkan 
tempat itu, Panji segera menceritakan 
semuanya. Waktu itu dirinya telah 
diselamatkan Raja Obat, dan diberikan 
nasihat agar batinnya tidak terpukul 
atas kejadian itu. Sedangkan Kenanga 
mendengarkan penuturan kekasihnya itu 
penuh perhatian.
"Jadi yang mendandani Kakang 
menyamar sebagai kakek-kakek itu Raja 
Obat?" tanya Kenanga begitu Panji 
telah menyelesaikan ceritanya.
"Benar. Sungguh besar sekali budi 
Raja Obat kepadaku. Dia ternyata 
mempercayaiku. Sebab menurutnya, tidak 
mungkin kalau aku melakukan perbuatan 
keji itu. Dan sebelum pergi, dia 
berpesan agar aku menggunakan Pedang 
Naga Langit untuk menghadapi ilmu 
sihir. Karena salah satu keistimewaan 
pedang itu adalah sebagai penangkal 
ilmu sihir."
"Lalu di manakah sekarang Raja 
Obat berada, Kakang?" tanya Kenanga 
lagi.
"Entahlah. Dia pergi begitu saja, 
tanpa memberi tahu ke mana tujuannya,"
sahut Panji sambil melepaskan 
pandangan ke arah cakrawala biru.
Keduanya kembali membisu. Hanya 
wajah mereka sajalah yang menampakkan 
kebahagiaan, karena ternyata dapat 
bersatu kembali.
"Oh ya, Kakang. Dari mana 
Pendekar Naga Putih palsu tahu kalau 
aku kekasihmu?" tanya Kenanga yang 
masih bingung karena Pendekar Naga 
Putih palsu seakan-akan mengenai betul 
dirinya.
"Orang yang menyamar, biasanya 
akan berusaha sesempurna mungkin 
meniru orang yang disamarinya. Bahkan 
sampai meniru kehidupannya."
"Maksudmu?"
"Ya, tentu saja dia berusaha 
mencari keterangan tentang 
kehidupanku. Sampai tentang, siapa 
kekasihku!" jelas Panji.
Kenanga mengangguk-anggukkan 
kepalanya mulai mengerti.
Kini sepasang pendekar muda itu 
melanjutkan pengembaraan kembali.
Begitulah sikap seorang pendekar 
sejati yang selalu siap membela orang-
orang lemah.


                           SELESAI



Share:

0 comments:

Posting Komentar