PEDANG ULAR EMAS
Oleh Buce L. Hadi
Cetakan pertama, 1991
Penerbit Mutiara, Jakarta
Pintu Besi Baru Plaza Lt. II 852/69
Jl. Samanhudi No. 14-16, Jakarta-Pusat
Setting Oleh: Trias Typesetting
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau
seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.
SATU
"Terkutuk! Orang-orang aliran lurus hendaknya
mampus disambar geledek! Biar semua jadi arang ge-
londang!" Sumpah serapah Nenek berbaju serba merah
yang larinya cepat bagai angin. Rambut putihnya ter-
gerai sebatas pinggang tergerak-gerak setiap kakinya
melangkah. Ia yang tidak lain Nenek keriput Nilasari
Grewek terus berlari menerobos hutan belukar nan le-
bat.
Sebilah pedang berkilau keemasan tergenggam
erat di tangan kanannya. Pedang itu dibabatkan ke
depan berkali-kali, menebas ranting-ranting pohon
yang menghalangi langkahnya.
Pandangannya lurus nyalang mengandung
murka. Selama ia berlari gerutunya tidak pernah pu-
tus.
"Srikaton Munggel juga sialan! Berani-
beraninya ia dihadapan ku berpihak pada orang-orang
aliran lurus. Mudah-mudahan ia mampus ditelan bu-
mi!" Saat itu Nilasari Grewek sudah menembus hutan
belukar. Dihadapannya membentang sebuah perkam-
pungan terpencil yang sunyi. Namun begitu para pen-
duduknya banyak berkeliaran mengisi kesibukan se-
hari-hari.
Tidak segan pula Nilasari Grewek menginjakkan
kaki ke desa terpencil tersebut. Kehadirannya sangat
mengejutkan penduduk kampung. Mereka betul-betul
keheranan menatap seorang nenek keriput yang terus
menggerutu dan langsung duduk pada sebuah balai di
depan sebuah gubuk.
"Aku yang telah banyak malang melintang da-
lam dunia persilatan, sama sekali tidak diberi muka.
Tidak ingat selama tiga puluh tahun hidup aku yang
mengurusi. Dasar murid tidak tabu diri. Sebaiknya ce-
pat-cepat mampus saja kalian semua!"
Mendengar sumpah serapah itu beberapa pen-
duduk yang kebetulan mendengar jadi ingin tertawa.
Mereka menganggap telah kehadiran seorang nenek
pikun. Tak urung juga penduduk yang lain berdatan-
gan ikut menertawai.
Nilasari Grewek tidak perduli dikerubungi oleh
para penduduk yang berbagai usia maupun jenis. Ta-
hu-tahu saja tempat itu telah penuh dengan orang-
orang yang mengerubunginya.
"Adisena, siapa nenek ini sebenarnya?" bisik sa-
lah seorang penduduk. Adisena yang juga berada di si-
tu mengangkat bahu.
"Mana aku tabu. Coba saja kau tanyakan, siapa
tahu dia nenek moyangmu." jawab Adisena bergurau.
"Monyong. Nenek moyangku tidak ada yang se-
jelek ini!" Gerutu sahabatnya. Ia menepuk punggung
Adisena lalu tertawa nyengir.
Tapi lama kelamaan Nilasari Grewek menyadari
juga kalau dirinya menjadi tontonan orang banyak.
Maka ia menghardik kuat-kuat.
"Kalian semua mau apa, hah! Ayo pergi!" ben-
taknya, seraya bangkit menggertak. Tapi
mana mau mereka menyingkir. Meskipun ne-
nek keriput itu menghunuskan pedang.
"Nenek sinting, sebaiknya kau yang mesti pergi
dari sini. Desa ini bukan tempatmu!" jawab mereka.
Nilasari menggeram demi mendengar kata-kata itu.
Maka murka sekali ia melemparkan pedangnya ke ha-
dapan orang yang berbicara tadi
Cepat pula orang itu beringsut mundur. Se-
hingga luput dari lemparan pedang. Namun pedang itu
tepat menancap tegak di atas permukaan tanah.
Melihat kemarahan itu para penduduk mundur
beberapa langkah. Mata mereka semua menatap ke
arah pedang yang menancap tegak. Sedangkan Nilasari
Grewek tetap duduk kembali mengangkat sebelah ka-
kinya di atas balai.
"Wuaaah... Tidak salahkah penglihatan ku?
Coba kau lihat pedang itu, Adisena. Bukankah itu pe-
dang emas?" kata mereka. Nilasari Grewek mencibir.
"Astaga.... Itu emas murni!" Mata Adisena terbe-
lalak. Yang lain juga menatap kagum ke arah pedang
tersebut.
"Tidak terpikirkan olehmu, seandainya pedang
emas itu menjadi milik kita?" kata mereka.
"Kita bisa menjualnya dan dapat membangun
desa ini." jawab Adisena mantap. "Bayangkan saja be-
rapa banyak uang yang akan kita terima nanti." sam-
bung Adisena.
"Kalau begitu kenapa tidak kita ambil saja. Toh,
nenek pikun itu tidak ada artinya bagi kita." Salah seo-
rang diantara mereka melangkah maju ke arah pedang
yang tertancap di tanah.
Meski acuh, Nilasari Grewek dapat melirik. Ma-
ka saat orang itu hendak menarik Pedang emas, Nenek
Keriput yang duduk tenang ini tidak segan-segan le-
paskan sebuah hantaman.
"Buuug...! Arrrrrght...!" Celaka bagi orang itu.
Tubuhnya langsung ambruk di tanah. Mulutnya me-
nyembur darah dengan tulang iga yang remuk. Hingga
tewas seketika. Kejadian tersebut membuat orang-
orang yang berada di situ jadi berbalik ngeri. Tapi tidak
membuat gentar beberapa orang lelaki yang masih
berdiri menghadapi Nilasari Grewek.
"Nenek Keriput! Kau telah membunuh seorang
sahabat kami. Sungguh berani bertindak sembaran-
gan." Mereka mengepung. Di antaranya ada yang men-
cabut golok.
"Jangan ada yang coba-coba menyentuh Pe-
dang Ular Emasku! Kalian akan celaka semua!" bentak
Nilasari Grewek.
"Percuma kau bicara begitu. Kau telah mene-
waskan satu penduduk desa ini. Kamilah yang akan
menghukum mu nenek busuk!" Mereka menerjang se-
rempak. Menghadapi serangan-serangan itu Nilasari
Grewek tidak perlu bangkit. Kedua tangannya cepat
memutar menyambut mereka. Setiap telapak tangan-
nya memapaki serangan mereka.
"Splaaak....! Splaaak...! Splaaak...!"
Mereka bergelimpang terhuyung. Sambutan itu
cukup membuat para penduduk semakin murka. Me-
reka bangkit lagi. Dan kali ini serangan mereka lebih
gencar. Menghadapi serangan dari enam orang, nenek
berbaju merah itu tidak bisa terus menerus sambil du-
duk. Sekali ia hentakkan kedua kakinya. Nilasari Gre-
wek melesat menjauh. Hantaman golok serta pukulan
mereka luput. Hanya balai yang berderak hancur.
Cepat mereka berbalik menatap ke arah Nilasa-
ri Grewek yang sudah berdiri di hadapan Pedang Ular
Emas. Keenam orang lawannya garang menerjang. Ce-
pat pula Nilasari Grewek mencabut pedang yang ter-
tancap itu. Lalu ia membabat ke depan.
Membersitlah sinar keemasan bagai setengah
lingkaran. Dibarengi pula dengan jeritan yang me-
nyayat. Tiga orang ambruk dengan perut mengham-
burkan darah.
Adisena membelalakkan mata. Ia segan untuk
maju menyerang lagi. Dua orang temannya bergidik
menatap tiga orang tewas mengerikan. Sedangkan Ni-
lasari Grewek telah siap menghadapi mereka. Jurus
pedangnya ngawur nampak begitu menakutkan.
Seluruh orang-orang kampung menyingkir
mundur. Mereka tidak berani mendekat. Apalagi kaum
perempuannya. Hampir rata-rata tidak berani menatap
ke arah pertempuran.
"Penduduk sialan! Kedatanganku ke sini sama
sekali tidak menyulitkan kalian, tapi justru kalian yang
mencari kesulitan sendiri. Nah, majulah bila ingin
mengambil pedang dari tanganku! Hayo...!" tantang Ni-
lasari Grewek. Mata tuanya menatap jalang.
Adisena yang memimpin gerakan itu jadi gela-
gapan. Dua orang temannya sudah tidak sabaran me-
lihat sikap nenek berbaju merah.
"Tunggu apa lagi, Adisena. Pedang di tangannya
jauh lebih mahal dari pada jiwa keriput ini!" bentak-
nya. Nilasari Grewek hanya menyeringai. Sigap ia me-
nyambut serangan dari ketiga lawannya. Pedangnya
membersit kembali memutuskan senjata-senjata me-
reka. Namun demi mendapatkan pedang yang terbuat
dari emas murni, mereka tidak gentar sedikitpun. Ti-
dak berpikir kalau nenek keriput yang tengah mereka
hadapi adalah seorang renta yang sangat berilmu ting-
gi. Tidak menyangka pula kalau kepala kedua penye-
rangnya tiba-tiba putus menggelinding.
Melihat itupun Adisena berjingkat mundur. Ia
tidak berani lagi menyerang. Orang-orang kampung
terpencil itu serempak menjerit ngeri. Mereka berlarian
bersembunyi.
Tapi mendadak pula Nilasari Grewek bergetar.
Adisena menatap keheranan. Ia tidak berani melang-
kah. Di luar dugaan Nilasari Grewek memuntahkan
darah. Keringat mengucur di sekujur tubuhnya. Mu-
lutnya menghambur darah kehitaman.
"Anak muda.... Aku tidak segan-segan mengha-
biskan seluruh penduduk desa ini. Kelima orang te-
manmu itu sebagai peringatan. Dan sekarang kalian
semua harus patuh," Suara Nilasari Grewek parau.
Kedua matanya mengembang air karena menahan rasa
sakit yang meluap dari dalam dadanya.
"Aku sekarang yang menguasai desa ini. Kalian
harus melayani aku seperti seorang raja. Mengerti...!"
Adisena mengangguk perlahan. Takut kalau-
kalau Pedang Ular Emas itu membersit ke arah tenggo-
rokannya. Dia hanya berani berdiri jauh. Menatap Ni-
lasari Grewek menyeka lumuran darah di sekitar mu-
lut.
"Sekarang suruh penduduk desa ini keluar se-
mua, mereka tidak perlu takut lagi. Cepat!" Perintah
nenek berambut putih. Ia kembali duduk bersila di
atas balai. Sedangkan Adisena yang masih ketakutan
langsung menyuruh para penduduk desa agar keluar.
Maka dalam sekejap saja mereka keluar dari
gubuknya masing-masing. Dengan langkah ngeri, me-
reka semua berjalan mendekat ke arah Nilasari Gre-
wek. Para perempuan mendekapi anak-anak mereka.
Memandang itu Nilasari Grewek menyeringai
seram. Sepertinya ia tengah menghitung jumlah pen-
duduk yang sangat sedikit. Tapi ia cukup puas dengan
adanya orang-orang itu. Serta merta ia bangkit berdiri.
"Mulai sekarang akulah pemimpin kalian. Aku
yang akan memerintahkan kalian. Bila ada yang coba-
coba membangkang, Pedang Ular Emas akan bicara.
Mengerti!"
Tidak ada yang berani menjawab. Mereka diam
dengan kepala tertunduk. "Bagus. Itu tandanya kalian
penduduk yang patuh."
Nilasari Grewek terbatuk-batuk. Mulutnya
menghamburkan lendir-lendir darah kehitaman. Lalu...
"Aku perlu satu gubuk yang cukup bagus. Aku
minta kalian membuatnya sekarang. Juga mayat-
mayat ini perlu kalian urusi, kalau perlu buang saja ke
hutan biar dimakan binatang buas." perintah Nilasari
Grewek.
"Dan kau anak muda..." kata Nilasari Grewek
dengan mata yang tertuju pada Adisena.
"Tolong carikan aku seorang tabib. Atau apa sa-
ja yang dapat menyembuhkan luka-lukaku ini. Ingat,
jangan coba-coba membantah bila tidak segera mam-
pus!"
Nilasari Grewek memang tengah terluka.
Mungkin para pembaca sekalian masih ingat pada ba-
gian akhir kisah Dewi Jalang Dari Gunung Tunggul.
Sewaktu ia bertempur menghadapi para pendekar ali-
ran lurus, seorang pendekar maha sakti bernama Pen-
dekar Kelana Sakti ikut menggempur tokoh hebat pen-
guasa Gunung Tunggul ini. Sehingga ia harus terkena
hantaman Tinju Bayu Delapan Penjuru dari si Pende-
kar Kelana Sakti. Sekarang ia sengaja meninggalkan
Gunung Tunggul demi menghindari serbuan-serbuan
para pendekar tersebut.
"Kenapa masih diam saja! Cepat lakukan apa
yang aku perintahkan tadi!" bentak nenek keriput
bringas.
*
* *
DUA
Dengan langkah yang terburu-buru, Adisena
menelusuri tepian hutan. Ia sudah meninggalkan jauh
desanya. Langkahnya cepat tanpa pernah berhenti.
Tapi sesekali ia menoleh ke belakang.
Ia tidak mengira sama sekali kalau nenek keri-
put yang diduganya pikun ternyata jauh sangat hebat.
Belum pernah ia menemukan orang setangguh dalam
usia Nilasari Grewek. Dan sungguh terpaksa pula sekarang ia menjadi budaknya. Bukan hanya dirinya
yang tunduk terhadap nenek penguasa Gunung Tung-
gul, Tetapi juga seluruh penduduk desa terpencil itu.
Sebenarnya satu kesempatan bagi Adisena un-
tuk melarikan diri. Namun ia bukanlah seorang penge-
cut meskipun dalam keadaan ketakutan.
Tujuannya benar-benar ingin menemui seorang
dukun ahli pengobatan. Dimana sang dukun sakti itu
tinggal diantara lebatnya hutan. Adisena tahu benar le-
taknya. Maka ia pantang ragu-ragu melangkahkan ka-
kinya.
Sebentar saja ia sudah dapat melihat sebuah
gubuk. Tidak besar namun cukup bersih dan terawat.
Di situlah tinggal seorang dukun bernama Kumbaya-
na. Sudah sering Adisena datang ke sana untuk me-
minta pertolongan. Dan kehadirannya sekarang sudah
dapat di ketahui. Kumbayana yang berada di depan
gubuknya menanti kedatangan Adisena.
Kumbayana seorang laki-laki setengah tua ber-
wajah buruk. Kedua matanya yang besar serta hi-
dungnya yang pesek, tidak lebih bagaikan wajah seo-
rang Buto Ijo. Kalau saja baru pertama kali melihat
pasti akan merasa ketakutan.
"Ada apa, Adisena? Kehadiranmu hari ini lain
sekali." sambut Kumbayana ketika Adisena datang te-
rengah-engah.
"Sebenarnya tidak ada satupun penduduk yang
butuh pengobatan, Paman. Tapi hari ini kami benar-
benar butuh pertolongan. Seorang tua berilmu tinggi
tahu-tahu datang mengamuk." Jelas Adisena. Kum-
bayana mengernyit tak mengerti.
"Astaga... Sampai sejauh itukah tindakannya?"
"Paman pasti tidak akan mengira kalau dari
penduduk desa sudah lima orang yang tewas. Untuk
itulah aku datang ke sini memohon pertolongan." ujar
Adisena.
"Apa yang harus aku lakukan?"
"Nenek berilmu tinggi itu rupanya tengah terlu-
ka. Ia memaksa kami mencari pengobatan, kalau sam-
pai gagal habislah semua penduduk kampung." kata
Adisena. Dukun berwajah menyeramkan itu diam seje-
nak. Bagaimana ia bisa membunuh lima orang sekali-
gus kalau dalam keadaan terluka, Kumbayana tak ha-
bis pikir.
"Luka apa yang dideritanya itu, Adisena?" tanya
Kumbayana.
"Entahlah. Kelihatannya ia mengeluarkan da-
rah hitam dari mulutnya, sebaiknya paman segera ke
sana sekarang demi keselamatan penduduk desa." ujar
Adisena tidak sabaran.
"Tunggu dulu, bagaimana mungkin orang yang
telah berbuat jahat itu harus ditolong?
Sebaiknya kita balas saja atas kejahatannya
itu." jawab Kumbayana.
"Tidak bisa, Paman. Nenek tua itu sangat sakti.
Salah-salah kita yang bakal celaka."
"Kalau begitu pergilah kau dulu. Sebentar aku
menyusul." jawab Kumbayana. Ia sendiri tidak perduli
dengan Adisena. Kumbayana memasuki gubuknya.
Sementara itu Adisena malas melangkah kembali ke
desanya. Ia sengaja menunggu Dukun berwajah me-
nyeramkan keluar. Dan bermaksud pergi bersama-
sama.
"Sebaiknya kita berangkat bersama, Paman.
Aku khawatir iblis itu tidak mempercayai ku." kata
Adisena setelah melihat Kumbayana keluar membawa
perlengkapan. Lelaki setengah tua itu tidak menjawab.
Langkahnya sigap mendahului langkah Adisena yang
berjalan di belakang mengikuti.
***
Kembalinya Srikaton Munggel dalam keluarga
Pedang Ular, ada kalanya membuat Umbayani gembira
bercampur sedih. Srikaton Munggel ternyata, benar
kakaknya. Dia tidak lain Umbamayu. Kakak perem-
puan yang telah hilang selama dua puluh tahun. Su-
dah pasti pertunangan Umbayani gagal total dengan
Arso Lumbing.
Apalagi Arso Lumbing telah membeberkan apa
yang telah dialami bersama Umbamayu. Keterusteran-
gan Arso Lumbing itu memupuskan harapan Umbaya-
ni. Tapi untunglah Umbayani cukup mengalah dan
mengerti. Yang ia pikirkan sekarang adalah keselama-
tan kakaknya dan Pedang Ular Emas yang kini berada
di tangan Nilasari Grewek.
Sampai saat ini Umbamayu belum juga sadar
dari pingsannya. Kian lama tubuhnya kian pucat
membiru. Terlentang di atas tempat tidur empuk. Di
sampingnya Arso Lumbing setia menunggu. Umbayani
dan Resi Wesakih menatap seakan menunggu kesada-
ran Umbamayu.
Sementara itu di luar pekarangan Perguruan
Pedang Ular tetap tidak berubah. Para penjaga yang
terdiri dari para murid Pedang Ular terus berjaga. Me-
reka mengetahui apa yang telah melanda perguruan-
nya. Itulah sebabnya mereka memperketat penjagaan.
Di dalam sebuah ruangan, Umbamayu tetap di-
am tidak sadarkan diri. Arso Lumbing hampir cemas
memikirkannya. Karena ia betul-betul menyintainya.
"Lukanya teramat parah. Mirip seperti apa yang pernah
dialami ayahmu dua puluh tahun yang lalu. Pastilah
Umbamayu terkena hantaman Tombak Gunung yang
sangat dahsyat itu." ujar Resi Wesakih. Ia seperti pu-
tus asa melihat keadaan Umbamayu.
"Kita harus dapat menolongnya, Paman. Kalau
tidak, aku akan kehilangan Umbamayu lagi." kata
Umbayani sedih. Ia menyelimuti tubuh Umbamayu
dengan kain tebal. Tubuh Umbamayu tidak bergeming
sedikitpun. "Kita harus berusaha demi keselamatan
kakakmu ini, Umbayani. Aku pernah tahu ada seorang
dukun sakti bernama Kumbayana. Dan kau Arso
Lumbing, tiada gunanya hanya duduk menunggu tan-
pa upaya." ujar Resi Wesakih. Lalu ia keluar dari ruan-
gan itu. Umbayani mengikutinya.
"Kemana harus kita cari dukun sakti itu, Pa-
man?"
"Beberapa mil dari perguruan ini." jawab Resi
Wesakih. Mereka memasuki ruangan lain. Di ruangan
itu duduk seorang anak muda berpakaian baju bulu
binatang. Pemuda ini langsung bangkit ketika melihat
kedatangan mereka.
"Keadaan Umbamayu amat parah, Wintara. Ka-
lau kita tidak segera mengobatinya, Umbamayu akan
celaka." kata Resi Wesakih.
"Jadi apa yang harus kita perbuat?" sahut Win-
tara.
"Kita harus membawanya ke Belantara Sawun-
gan. Mudah-mudahan Kumbayana dapat menghilang-
kan pengaruh hantaman Tombak Gunung. Cuma
Kumbayana satu-satunya orang yang mengerti segala
macam obat." jawab Resi Wesakih. Umbayani hanya
berdiri di samping laki-laki bungkuk berambut putih
itu.
"Kumbayana?" ulang Wintara.
"Ya, dia orang persilatan juga. Tapi ia tidak
berpihak pada aliran manapun. Semoga saja ia masih
tetap tinggal di Belantara Sawungan."
Ketiganya berhenti bicara, karena saat itu Arso
Lumbing muncul keluar dari kamar sambil memapah
tubuh Umbamayu yang berselimut kain tebal. Wintara
dapat melihat wajah Umbamayu pucat pasi. Arso
Lumbing langsung mendekati mereka.
"Ayah, biarlah aku yang akan ke Belantara Sa-
wungan. Keadaan Umbamayu amat serius." ujarnya
terhadap Resi Wesakih.
"Mana bisa begitu. Kau sendiri belum tentu bi-
sa melindungi Umbamayu. Bagaimanapun kita semua
harus ikut." tukas Resi Wesakih.
"Apa yang dikatakan Resi Wesakih benar, sobat
Arso Lumbing. Semestinya kita harus berangkat ber-
sama-sama. Mengingat situasi sekarang tengah gent-
ing." ujar Wintara.
"Keselamatan Umbamayu amatlah penting. Ka-
rena hanya dia yang tahu di mana Nilasari Grewek be-
rada. Bagaimanapun Pusaka Pedang Ular Emas harus
kembali ke tangan kita." kata Umbayani.
"Hm, untuk menuju ke Belantara Sawungan ki-
ta memerlukan sebuah kereta kuda."
"Jangan khawatir, Paman. Di sini masih ada sa-
tu kereta kuda yang masih bagus." ujar Umbayani se-
raya ia melangkah keluar dari ruangan itu. Beberapa
penjaga langsung diperintahkan agar menyiapkan ke-
reta tersebut.
Orang-orang itu langsung menariknya keluar
kandang. Beberapa ekor kuda juga di tarik keluar. Me-
reka mulai memasang tali-tali yang menghubungkan
ke kereta. Sebentar saja kereta itu sudah siap dengan
dua ekor kuda.
Saat itu Arso Lumbing sudah berdiri di depan
pintu gedung. Ia memapah tubuh Umbamayu. Me-
nunggu kereta kuda yang berjalan ke arahnya. Tanpa
diperintah, Arso Lumbing langsung menaiki kereta ter-
sebut.
Resi Wesakih yang tahu jalan arah Belantara
Sawungan sengaja mengendalikan di depan. Umbayani
ikut mendampingi Arso Lumbing menjaga Umbamayu.
Sedangkan Wintara mengawal dengan kuda tersendiri.
Beberapa murid Perguruan Pedang Ular ikut
pula mengawal. Tanpa menunggu-nunggu waktu lagi
kereta kuda itu langsung berangkat. Yang lain mengi-
kuti di belakang. Hingga merupakan sebuah iring-
iringan pendek.
Belasan murid yang menjaga perguruan cepat
menutup pintu gerbang saat rombongan itu sudah
meninggalkan tempat itu. Mereka tidak menyangka ka-
lau Umbamayu masih dapat ditemukan. Padahal sela-
ma dua puluh tahun ini mereka sudah betul-betul me-
lupakan akan peristiwa itu. Bahkan sama sekali, ada
yang tidak mengetahuinya.
Di dalam sebuah kereta yang tengah berjalan
itu, sosok Umbamayu tetap diam dalam penjagaan Ar-
so Lumbing dan Umbayani. Di depan kereta Resi We-
sakih memecuti cemeti menghela kuda-kuda yang me-
narik kereta. Wintara mengiringi di samping. Sedang-
kan di belakang kereta berderet belasan murid-murid
perguruan Pedang Ular. Mereka rata-rata menunggangi
kuda. Meskipun begitu langkah-langkah mereka tetap
perlahan mengikuti arus perjalanan laju kereta. Na-
mun tak urung iring-iringan itu semakin lama semakin
jauh meninggalkan perguruan.
Tujuan mereka adalah Belantara Sawungan. Di
mana seorang dukun sakti bernama Kumbayana ting-
gal. Resi Wesakih kenal baik terhadap Kumbayana.
Dua puluh tahun yang lalu Kumbayana pernah hampir
berhasil menyelamatkan ayah Umbayani dari luka pu-
kulan Tombak Gunung. Hanya saja saat itu keadaan
majikan pedang Ular teramat parah. Makanya seka-
rang Resi Wesakih bertekad untuk menemui Kum-
bayana, berupaya untuk mengobati luka Umbamayu.
Dengan harapan bisa disembuhkan.
Sebab keselamatan Umbamayu adalah suatu
kunci untuk mendapatkan kembali Pusaka Pedang
Ular. Bagaimanapun Umbamayu harus diselamatkan.
Dia harus tetap hidup meneruskan dalam memimpin
Perguruan Pedang Ular. Sebagai anak tertua, Umba-
mayu pantas mewarisi Pedang Ular Emas. Umbayani
cukup mengakui. Sebagai seorang adik ia harus men-
gerti dengan keadaan yang sekarang.
*
* *
TIGA
Hampir seharian penuh, para penduduk desa
terpencil telah menyelesaikan sebuah gubuk. Para le-
laki bergotong royong membangun gubuk tersebut di
tengah-tengah gubuk lain. Desa terpencil itu letaknya
di sekitar tepian belantara Sawungan.
Sedari tadi Nilasari Grewek petantang-
petenteng tidak sabaran. Ia ingin cepat-cepat beristira-
hat. Seharian penuh kerjanya menggerutu terus, bah-
kan tidak segan-segan ia memukul bila melihat salah
seorang dari mereka bermalas-malasan.
Sekarang gubuk itu sudah rapi betul. Mereka
tinggal membersihkan bagian luarnya saja. Melihat
itupun langkahnya cepat memasuki gubuk barunya,
tapi sebelum ia memasuki gubuk itu. Nilasari Grewek
menarik salah seorang yang tengah membersihkan ha-
laman gubuk.
"Mana si keparat Adisena itu, hah! Kenapa
sampai matahari gelap ini ia belum juga muncul? Ma-
na dia?" bentaknya. Karuan saja orang itu jadi ketakutan setengah mati. Karena ia tahu meskipun ia seorang
nenek keriput, namun hantamannya dapat membuat
orang menyemburkan darah.
"Sabar, Nek.... Sabaaar... Letak Belantara Sa-
wungan cukup jauh dari sini. Sabar saja, Adisena pasti
kemari bersama Kumbayana." jawabnya ketakutan.
Orang itu merungkut dalam cengkraman Nilasari Gre-
wek.
"Ingat! Kalau sampai malam ini Adisena tidak
kembali, kalian semua bakal celaka. Mayat-mayat ka-
lian akan menjadi jembatan pintu gubuk ini!" kata-
kata Nenek berbaju merah ini mengerikan. Dengan ka-
sar ia melepaskan cengkeramannya. Lalu ia sendiri
memasuki gubuknya. Suasana menjadi hening. Ba-
nyak para penduduk yang menatap ngeri. Dan mere-
kapun mulai meninggalkan tempat itu untuk kembali
ke gubuknya masing-masing.
Namun baru saja mereka bubar terdengar lagi
sebuah teriakan parau Nilasari Grewek. Dia berdiri
angker di tengah-tengah pintu gubuk.
"Woooy... Penduduk-penduduk tolol. Jangan
enak-enakan kalian pergi dari sini. Cepat sediakan
makanan yang enak buatku. Aku lapar sekali! Awas
kalau tidak.
Mendengar itupun penduduk desa itu saling
pandang. Bagaimana mereka harus menyediakan ma-
kanan yang enak-enak. Desa terpencil itu tidak mem-
punyai apa-apa. Kalau soal beras mereka memang ti-
dak pernah kehabisan. Dan setiap hari pula mereka
kebanyakan makan nasi campur garam. Sekarang me-
reka dituntut untuk mengeluarkan makanan yang le-
zat. Satu-satunya jalan mereka harus mengorbankan
binatang peliharaan mereka secara bergantian.
"Tidak ada makan yang enak, kalian akan ku
bantai satu persatu! Mengerti?" bentaknya parau. Ia
kembali masuk ke dalam gubuk. Untuk kemudian ia
tidak muncul-muncul. Para penduduk desa terpencil
itu merasa tertekan. Selama ini mereka amat rajin dan
menyayangi semua peliharaannya. Untuk menyembe-
lihnya saja kalau ada keperluan tertentu. Tapi bagai-
mana mereka sanggup menolak permintaan si Pengua-
sa Baru itu? Tindakannya yang kejam dan sadis mem-
buat mereka tidak berkutik,
Demi menjaga nyawa keluarga serta menyela-
matkan malapetaka yang terjadi di desa itu, terpaksa
pula mereka menuruti keinginan-keinginan Nilasari
Grewek. Meskipun dalam hati mereka berontak.
Mereka juga akan tetap khawatir. Karena Adi-
sena sampai saat ini belum juga kembali. Ia takut ka-
lau-kalau Adisena lari tidak memenuhi perintah nenek
keriput itu. Jelas mereka akan celaka semua. Mereka
bisa melihat ketika nenek itu membantai lima orang
penduduk kampung sekaligus. Keluarga dari para kor-
ban itu saja tidak ada yang berani menangisi atas ke-
matian mereka. Sebab mereka amat takut sekali akan
tindakannya yang gampang mencabut nyawa orang.
Apalagi setiap ucapannya tidak pernah main-main.
Tapi kekhawatiran itu segera lenyap ketika
penduduk desa melihat sosok Adisena datang bersama
Kumbayana. Hampir semuanya meluruk menyambut
kedatangan mereka.
"Untung saja kau cepat datang, Adisena. Kalau
tidak kami semua akan celaka di sini." kata mereka.
Mereka juga langsung mengantarkan Kumbayana ke
arah gubuk yang ditinggali Nilasari Grewek.
"Kami semua betul-betul terancam. Tadi siang
sudah lima orang yang tewas. Dua orang luka-luka.
Kami tidak bisa berbuat apa-apa."
"Tolonglah kami, Paman. Bagaimana caranya
bisa mengusir nenek keparat itu."
Mendengar suara ribut-ribut, Nilasari Grewek
langsung keluar dari gubuk. Dari depan pintu ia sudah
melihat kerumunan orang. Kemunculan Nilasari Gre-
wek membuat suasana malam itu hening kembali. Ti-
dak ada satupun yang berani mengeluarkan suara.
"Kalian aku perintahkan untuk menyiapkan makanan!
Mana makanan itu! Mana!" bentaknya sambil menye-
ringai.
"Soal makanan harap nenek berilmu tinggi ber-
sabar sebentar. Kedatangan kami ini kiranya..." Mere-
ka tidak meneruskan kata-katanya. Karena saat itu
nenek berbaju serba merah mengangkat sebelah tela-
pak tangannya ke atas. Ia sudah melihat Adisena be-
rada diantara kerumunan itu. Juga seorang tua berwa-
jah sangat mirip dengan Buto Ijo.
"Oh, kiranya dukun hebat itu tidak lain sobat
Kumbayana. Tidak kusangka wajah jelek mu itu tidak
pernah berubah." sapa Nilasari Grewek. Terhadap
Kumbayana, penguasa Gunung Tunggul ini cukup
mengenalinya.
"Tak kusangka pula kalau yang hendak memin-
ta pertolongan padaku seorang tokoh Penguasa Gu-
nung Tunggul adanya." jawab Kumbayana, sorot ma-
tanya tajam menatap nenek berambut putih.
"Sudah tahu begitu, kau jangan macam-macam
Kumbayana. Aku memang tengah terluka dan membu-
tuhkan pertolongan dari orang macam kau. Masuk-
lah." Nilasari Grewek memberi jalan. Kumbayana tidak
langsung masuk ke dalam gubuk. Ia menatap orang-
orang kampung terlebih dahulu.
"Hati-hati, Paman.... Nenek itu terlalu berba-
haya. Kita tidak bisa salah sedikit." pesan Adisena.
Kumbayana mendengus, lalu ia membalikkan tubuh
dan segera melangkah ke arah pintu gubuk.
Nilasari Grewek sudah menunggu dalam ruangan. Ia duduk bersila. Tangannya menggenggam sebi-
lah pedang berkilau keemasan. Melihat itu Kumbayana
kernyitkan alis, namun karena matanya terlalu besar
tetap saja seperti biasa. Betapa terkejut ia melihat Pe-
dang Ular Emas berada dalam tangan Nilasari Grewek.
Bagaimana mungkin sampai terjadi? Kumbayana tak
habis pikir. Kumbayana berjalan ke arah di mana Nila-
sari duduk bersila, tapi...
"Jangan terlalu mendekat, Kumbayana. Duduk-
lah di situ!" Nilasari Grewek tudingkan pedangnya ke
dada Kumbayana. Laki-laki Buto Ijo ini tidak menge-
lak. Terpaksa ia duduk bersila pula.
"Kau tidak nampak sakit, Nilasari Grewek." ujar
Kumbayana.
"Jangan menghibur diriku. Kelihatannya me-
mang tidak. Tapi jelasnya aku tengah terluka."
"Bagaimana aku bisa memastikan bahwa kau
tengah terluka kalau aku tidak dapat memeriksanya?
Aku bukan seorang dukun sakti seperti yang kau
bayangkan." jawab Kumbayana. Nilasari Grewek mena-
tap liar. Serta merta ia bangkit berdiri dan membuka
pakaian bagian atasnya.
"Nah, kau lihat!" Nilasari memperlihatkan ba-
gian tubuhnya. Memang nampak bekas-bekas telapak
tangan yang memar menghitam. Demi melihat itu
Kumbayana sangat tersentak.
"Kau telah terkena pukulan dari orang yang
berilmu tinggi, rupanya. Setahuku, tiada orang yang
sanggup menghadapimu. Siapakah dia gerangan."
tanya Kumbayana keheranan. Ia bergerak bangkit agar
lebih jelas dapat melihat bekas-bekas luka itu.
Tapi Nilasari Grewek kembali menudingkan Pe-
dang Ular Emasnya lagi. Kumbayana menghela nafas.
"Dua puluh tahun yang lalu memang tiada
orang yang sanggup mengalahkan aku, tapi nyatanya
sekarang aku harus dipecundangi dengan seorang bo-
cah yang bau kencur. Apalagi dia berani mengaku di-
rinya sebagai Pendekar Kelana Sakti." tutur Nilasari
Grewek.
"Pendekar Kelana Sakti? Selama hidupku baru
pernah kudengar nama pendekar itu. Dari mana ia
mendapatkan ilmu yang setinggi langit itu? Paling ti-
dak kita harus mengenali siapa gurunya. Masakah ki-
ta-kita yang tua ini tidak mengenalinya?"
"Jangan banyak komentar, Kumbayana. Sang-
gupkah kau menyembuhkan luka-luka ini?" tukas Ni-
lasari Grewek. Kumbayana tidak segera menjawab. Ta-
pi sebentar kemudian...
"Melihat dari bekas-bekas luka itu pasti lah te-
ramat parah. Bagaimana seandainya aku tidak sang-
gup mengobatimu, Nilasari Grewek?" jawab Kumbaya-
na. "Gampang saja. Kau beserta penduduk desa ini
akan bergelimpangan tanpa nyawa."
"Kau pikir mudah mengobati orang dengan ja-
rak yang terpisah seperti ini?" ujar Kumbayana. Ia me-
natap Nilasari Grewek merogoh sesuatu dari balik ikat
pinggangnya. Ternyata ia mengeluarkan beberapa butir
pil berwarna hitam.
"Aku curiga kaupun akan merebut pedang ini
dari tanganku. Karena sebelumnya kita memang per-
nah bentrok dalam urusan Pedang Ular Emas. Aku
khawatir pula kalau kau akan meracuni aku nanti."
Nilasari Grewek menyerahkan butir-butir pil hitam itu.
Kumbayana menerima dengan begitu saja.
"Racun itu amat mematikan. Sebagai jaminan,
kau harus menelannya. Dan kau tidak perlu takut.
Aku punya penawarnya. Telanlah. Lalu kau boleh mu-
lai mengobatiku. Tapi ingat jangan coba-coba menyen-
tuh pedang ini." kata Nilasari Grewek sambil hati-hati
meletakkan Pedang Ular Emas di sudut ruangan.
Tanpa ragu-ragu Kumbayana langsung mene-
lan butir-butir pil racun tersebut. Ia tidak memikirkan
akan bahayanya. Tindakannya semata-mata untuk
menyelamatkan penduduk desa terpencil. Sebab ia ta-
hu benar watak jahat yang ada pada diri Nilasari Gre-
wek. Yang ia tidak habis pikir adalah Pedang Ular
Emas. Bagaimana pedang itu bisa berada di tangan-
nya.? Sekarang harus pula ia mengobati luka-luka
penguasa Gunung Tunggul.
Bisa atau tidak itu tergantung nanti. Yang jelas
sekarang ia harus berusaha menyenangkan Nilasari
Grewek. Atau paling tidak mengurangi rasa sakitnya.
Selama itu pula Kumbayana hati-hati sekali dalam
mengobati luka-luka bekas pukulan di tubuh Nilasari
Grewek.
Cara pengobatan Kumbayana lain dari pada
yang lain. Jarang dilakukan oleh tabib macam mana-
pun. Kumbayana tanpa menggunakan ramuan obat
ataupun apa. Kecuali seperangkat pedang-pedang kecil
yang berukuran dua kali dari batang jarum. Alat-alat
pengobatan tersebut terbuat dari emas murni.
Lima batang pedang kecil sengaja ditusukkan
di sekitar luka memar. Tubuh Nilasari Grewek terlen-
tang tanpa merasakan sakit akibat dari tusukan-
tusukan pedang-pedang kecil. Kumbayana memang
ahli dalam bidang itu. Ia dapat mencari dan menan-
capkan pedang-pedang emas di setiap jalan darah. Se-
bentar saja bekas-bekas hitam memar segera berubah.
Menjadi merah seperti dialiri darah. Ternyata luka-
luka itu tidak hanya satu. Masih ada tiga bekas puku-
lan lagi. Sementara itu keringat Kumbayana sendiri te-
lah mengucur membasahi sekujur tubuhnya.
*
* *
EMPAT
Rupanya pengaruh racun yang diberikan Nila-
sari Grewek mulai bereaksi. Wajah Kumbayana beru-
bah pucat. Membuat wajah Buto Ijonya makin nampak
menyeramkan. Meskipun ia menyadari akan hal itu,
Kumbayana tetap melakukan pengobatan terhadap Ni-
lasari Grewek. Ia paksakan dirinya sampai tuntas.
Hingga dalam waktu yang sangat singkat Kum-
bayana berhasil menghilangkan bekas-bekas memar
hitam di tubuh Nilasari Grewek.
"Untuk malam ini cukup sekian dulu. Luka-
lukamu amat parah. Akan kita teruskan besok." ujar
Kumbayana menyeka keringat yang membasahi seku-
jur wajah pucatnya.
"Heh, tidak bisakah kau menyembuhkannya
sekarang? Kau jangan mempermainkan aku, Kum-
bayana!" bentak nenek keriput terlentang.
"Aku sudah mengerahkan seluruh kemampua-
nku. Masakah kau masih kurang percaya? Malah se-
karang aku yang telah keracunan. Berikan sekarang
penawarnya." kata Kumbayana.
"Enak saja! Sebelum aku sembuh betul, tidak
bakal aku berikan penawarnya. Juga jangan khawatir.
Kau tidak akan mati secepat ini. Racun itu akan beker-
ja setelah tiga hari suntuk." jawab Nilasari Grewek.
Kumbayana betul-betul merasa dipermainkan. Namun
demi menjaga tidak terjadinya keributan laki-laki ahli
pengobatan ini menahan emosi.
"Asalkan kau berjanji tidak menyakiti para
penduduk, aku bersedia memenuhi permintaanmu."
ujar Kumbayana.
"Itu soal nanti. Pokoknya siapapun yang ber-
maksud membangkang atau berniat menyentuh Pe
dang Ular Emas akan celaka. Termasuk juga kau." ka-
ta Nilasari Grewek seraya bangkit. Ia mengenakan
kembali pakaiannya. Setelah itu ia mengambil juga pe-
dang yang di letakkan di sudut ruangan. Ia kembali
duduk berhadapan dengan Kumbayana yang nampak
memberesi peralatannya.
"Umurmu masih ada dua hari lagi, Kumbayana.
Aku pasti memberikan penawarnya." kata nenek be-
rambut putih ini acuh. Keadaannya dirasakan jauh le-
bih baik.
"Kau harus ingat janjimu itu, Nilasari. Selama
ini kita tidak pernah bermusuhan. Aku tidak pernah
pusing dengan sepak terjang mu dalam dunia persila-
tan. Juga dengan Pedang Ular Emas, sama sekali aku
tidak tertarik."! kata Kumbayana sungguh-sungguh.
Tiba-tiba percakapan mereka terhenti karena
mendengar suara pintu gubuk di ketuk orang. Nilasari
Grewek langsung menoleh ke arah itu. Kiranya bebe-
rapa penduduk yang mengantarkan makanan. Tercium
bau aroma ayam bakar.
"Bagus, kalian harus terus patuh padaku. Le-
takkan saja makanan itu di situ, lalu kalian boleh ke-
luar." perintah Nilasari Grewek. Orang-orang itu segera
keluar setelah meletakkan hidangan di atas balai kayu.
Kembali dalam ruangan itu Nilasari Grewek mengha-
dapi Kumbayana.
"Atas pertolonganmu, kita boleh makan bersa-
ma. Silahkan."
Belantara Sawungan memang sebuah hutan
yang sunyi. Tidak ada tanda-tanda binatang buas ber-
keliaran di sana. Yang ada hanyalah burung-burung
dan kijang saling berlarian. Apalagi di sekitar itu ter-
dapat sebuah telaga dengan airnya yang hening. Mem-
buat belantara Sawungan nampak seperti sebuah ta-
man.
Kalau hutan itu nampak rapi terurus, sebenar-
nya Kumbayana yang berdiam di situ kerap kali mene-
bangi pohon-pohon kasar maupun rumput-rumput
liar. Sehingga kelihatan dataran itu ditumbuhi dengan
rumput-rumput yang halus.
Pemandangan macam itu dapat terlihat meski-
pun dalam keadaan malam. Karena bulan yang men-
gambang di atas sana bersinar penuh membiaskan si-
narnya menerobos belantara Sawungan.
Saat itu sebuah iring-iringan mengawal sebuah
kereta kuda menelusuri jalan berumput. Roda kereta
berderak-derak melindas rumput lunak. Resi Wesakih
tenang mengendalikan kereta tersebut. Ia memba-
wanya ke arah sebuah gubuk yang dari kejauhan
nampak gelap. Tanpa ragu Resi Wesakih membawa ke-
retanya menuju ke sana. Di belakang nya belasan pen-
gawal berkuda terus mengikuti. Wintara tenang me-
nunggangi kudanya di samping kereta.
Setelah tiba di muka gubuk gelap itu. Iring-
iringan pengawal kereta berhenti. Resi Wesakih turun.
Ia langsung memeriksa sekitar gubuk..
"Kita sudah sampai di tempat Kumbayana. Tapi
kenapa gubuknya nampak gelap? Apakah ia sudah ti-
dak tinggal disini lagi." ujar Resi Wesakih. Ia berdiri
dihadapan pintu yang tertutup rapat. Arso Lumbing
yang sedari tadi berada di dalam kereta menjaga Um-
bamayu bersama Umbayani langsung keluar dari kere-
ta.
"Betulkah ini tempat kediaman Kumbayana?
Jangan-jangan kita salah alamat." kata Arso Lumbing.
"Tidak mungkin. Aku masih ingat betul. Tempat
inipun nampaknya belum banyak berubah." jawab Resi
Wesakih, lalu...
"Kumbayana...! Kumbayana....!" Teriak Resi
Wesakih seraya ia mengetuk-ngetuk pintu gubuk, namun tetap tiada jawaban, karena gubuk itu memang
kosong.
"Nyalakan api. Dan periksa tempat ini." ujar
Wintara yang mulai turun dari kudanya.
Belasan pengawal berkuda itu segera turun, di
antaranya mulai membuat obor.
Sebentar saja empat batang obor telah menyala
menerangi tempat itu. Resi Wesakih diberinya satu. Ia
menerangi tiap-tiap sudut. Bahkan pandangannya co-
ba-coba menerobos masuk ke dalam gubuk.
"Ia tidak ada di dalam, rupanya ia tengah be-
pergian." ujar Resi Wesakih. Dalam keadaan terang itu
ia dapat melihat sebuah pelita besar tergantung di de-
pan pintu, maka dengan obornya ia menyalakan pelita
itu.
"Kita masuk saja. Tidak baik udara di luar buat
Umbamayu. Ah, Kumbayana lupa mengunci pintu.
Syukurlah." Resi Wesakih masuk paling dulu. Diikuti
oleh Arso Lumbing dan Umbayani. Di dalam ruangan
gubuk mereka cukup diterangi dengan lampu obor.
Tapi Resi Wesakih ternyata masih menemukan sebuah
pelita lagi.
Ruangan itu nampak rapi dan bersih. Dari
ruang tamu sampai kamar tidur di tata sedemikian in-
dah.
"Ia belum lama pergi, lihat saja asap api masih
menyala dalam tungku. Letakkan saja Umbamayu da-
lam kamar itu. Kita tunggu Kumbayana datang." kata
Resi Wesakih. Arso
Lumbing menuruti perintah ayahnya. Hati-hati
sekali ia merebahkan tubuh perempuan yang sangat di
cintainya. Umbayani menyelimuti dengan kain tebal.
"Apakah tindakan kita ini tidak terlalu cero-
boh?" ujar Wintara. "Bagaimana kalau Kumbayana ku-
rang senang atas kelancangan kita ini?"
"Terpaksa, Wintara. Aku pikir ia akan menger-
ti." jawab Resi Wesakih. Sementara itu belasan orang
pengawal hanya menunggu di luar gubuk. Untunglah
mereka membawa perlengkapan perjalanan. Sehingga
mereka tidak perlu repot-repot mengatasi udara dingin
malam itu. Namun mereka harus pula membuat api
unggun.
***
Di lain tempat, tepatnya di sebuah desa terpen-
cil, nampak sunyi di bawah sinar rembulan. Kerik bi-
natang malam mengiringi suasana malam yang sudah
menjadi kodratnya. Musik alam itu tidak pernah beru-
bah dari zaman ke zaman. Gubuk-gubuk di terangi
dengan lampu-lampu pelita kecil yang berkelap kelip
tertiup angin. Sesekali pula angin berdesir kencang.
Untuk kemudian lenyap sebagaimana layaknya angin.
Kumbayana belum juga dapat memejamkan
matanya. Dia duduk bersila di sudut ruangan. Nilasari
Grewek nampak telah tertidur mendengkur. Kedua
tangan keriputnya nampak memeluk erat Pedang Ular
Emas. Dengkurnya panjang bersahut-sahutan.
Keringat Kumbayana membanjir di sekujur tu-
buhnya. Diam-diam pula ia mengerahkan tenaganya
melawan pengaruh racun yang mengeram di dalam tu-
buh. Namun ternyata racun yang baru saja ditelannya
teramat dahsyat. Sampai sejauh ini ia belum juga da-
pat mempengaruhi racun tersebut. Hampir putus asa
Kumbayana dengan upayanya. Manakala tubuhnya
semakin pucat pias.
Dalam kesunyian itu ia mendengar suara yang
berderak-derak nyaring. Dibarengi pula dengan suara
derap kaki kuda. Juga suara orang berteriak-teriak
menakutkan. Sesaat Kumbayana tersentak kaget.
Mendadak saja ia bangkit dan mengintip dari celah-
celah dinding kayu. "Astaga....! Sekelompok pengacau!"
pekik Kumbayana dalam hati.
Dilihatnya beberapa orang menunggangi kuda
tengah membakari atap jerami gubuk. Belasan orang
lainnya nampak mendobrak pintu. Pemimpinnya yang
bertampang garang berteriak memerintah.
"Porak porandakan tempat ini! Bakar habis!
Ambil semua barang-barangnya....! Huaha-ha-ha-
ha.....!"
Seketika api membesar meletup-letup. Orang-
orang kampung berlarian keluar dari gubuk. Mereka
lari pontang panting sambil menjerit-jerit. Namun para
pengacau itu tidak membiarkan begitu saja. Senjata-
senjata mereka yang tajam berkilat berkelebat me-
nyambari tiap-tiap penduduk desa.
"Tolol! Jangan main bunuh saja! Ambil perem-
puan-perempuan cantiknya!" teriak pemimpin rom-
bongan itu. Ia tetap duduk di atas kudanya yang me-
ringkik-ringkik. Ia menatap semua anak buahnya mu-
lai menggondol barang-barang juga mereka tidak se-
gan-segan lepaskan hantaman kepada siapa saja yang
berusaha menahannya. Beberapa orang sudah menda-
patkan gadis-gadis cantik desa itu. Di bawah dekapan
mereka gadis-gadis itu menjerit meronta-ronta.
Suasana malam yang tadi sunyi sepi berubah
hingar bingar. Letupan gubuk yang terbakar berderak
nyaring. Tergerak dalam hati Kumbayana untuk meno-
long mereka. Maka tanpa menunggu waktu lagi ia te-
rus melesat mendobrak pintu gubuk yang baru saja
tadi siang selesai dibangun. Pintu itu berderak hancur
bersama melesatnya keluar tubuh Kumbayana.
Rupanya pula suara derak pintu dan ribut-
ribut di luar mengejutkan nyenyaknya Nilasari Grewek.
Serta merta ia bangkit seperti orang tersiram air panas. Ia langsung berjingkat melangkah keluar. Dilihat-
nya Kumbayana tengah menghadapi beberapa
orang. Kumbayana sendiri tidak perduli dengan
keadaannya yang tengah keracunan. Tapi nampaknya
kemampuannya itu dapat menggulingkan beberapa
orang dengan sekali hantam.
Dengan adanya Kumbayana, para perampok
agak sulit melakukan niatnya. Karena berkali-kali
Kumbayana dapat menghalangi mereka. Bahkan gadis-
gadis yang telah mereka kumpulkan itu dapat terlepas
semua. Kumbayana mati-matian menghadapi seran-
gan senjata mereka.
Dari pedang sampai golok berkelebat menyam-
bar di tubuhnya, namun tidak satu pun yang menge-
na. Gerakan Kumbayana sangat licin dan sukar untuk
dilukai. Nilasari Grewek yang memandang dari kejau-
han cukup kagum, tapi bagi pemimpin pengacau itu.
Tidak!
"Dasar dungu semua! Menghadapi seekor tikus
jelek saja kalian tidak becus! Minggir....! Aku Tala Metu
akan mengadu jiwa dengannya!" Sambil berteriak begi-
tu pemimpin yang bernama Tala Metu langsung me-
lompat dari kudanya lancarkan serangan.
Mendapat serangan mendadak, Kumbayana
agak gelagapan. Tak di sangka pula Tala Metu memiliki
kepandaian yang berimbang. Setiap hantamannya ber-
derak saling bentur.
*
* *
LIMA
Dan nyatanya kemarahan Tala Metu benar
benar telah meluap. Hantaman-hantamannya itu
membuat Kumbayana bergerak-gerak mundur meng-
hindar. Namun di karenakan kepandaian mereka be-
rimbang, Kumbayana selalu dapat memapaki seran-
gan-serangan itu. Teriakan serta benturan-benturan
hantaman mereka berderak menggelegar.
"Rampok busuk! Percuma saja usaha kalian,
desa ini tidak memiliki apa pun! Kau akan pulang den-
gan tangan kosong!" bentak Kumbayana. Seraya ia be-
rusaha membalas serangan. Tala Metu cepat menang-
kis.
"Itu karena adanya dirimu disini, Buto Ijo! Ka-
lau tidak kami sudah dapat membawa gadis-gadis desa
ini!" jawab Tala Metu. Serangannya datang lebih gen-
car lagi.
"Sayang, aku tidak akan membiarkannya!
Haait!" Sebelah lengannya memutar ke samping me-
nyambut serangan Tala Metu.
"Ha-ha-ha-ha...! Kau pikir aku takut? Jangan
menyesal kalau kepalamu menggelinding di sini!" Tala
Metu memberi aba-aba. Maka seluruh anak buahnya
segera mengurung Kumbayana. Senjata-senjata mere-
ka siap merencah. Serempak pula mereka menerjang.
Babatan-babatan senjata mengarah maut pada Kum-
bayana.
"Sreeet....!' Dalam kesigapan itu, tiba-tiba saja
beberapa anak buah Tala Metu menjerit di sertai den-
gan ambruknya tubuh mereka. Seleret sinar keemasan
membersit menjatuhkan dua orang lagi.
Tala Metu membelalakan mata. Ia tidak percaya
melihat seorang nenek berbaju merah tiba-tiba saja
muncul menjatuhkan beberapa anak buahnya. Ma-
tanya lebih melotot lagi. Saat ia melihat Nilasari Gre-
wek menggunakan Pedang Ular Emas di tangannya.
Manakala pedang itu terus berputar merobohkan
orang-orang Tala Metu.
"Siapa pun yang berniat mengacau desa ini
takkan ku beri ampun, karena mulai sekarang akulah
ketua mereka!" bentak Nilasari Grewek. Ia menghenti-
kan babatan pedangnya karena anak buah Tala Metu
beringsut mundur semua.
"Tolol! Kenapa mundur! Hayo gempur lagi!" pe-
rintah Tala Metu. Kontan mereka maju lagi.
"Takut apa dengan segala nenek keriput begitu!
Rencaaah! Bikin mampus kedua-duanya!"
Saat itu Kumbayana tidak perlu gentar. Dengan
adanya Nilasari Grewek ia akan sanggup mengusir pa-
ra perampok itu. Apalagi sekarang anak buah Tala Me-
tu sudah berkurang.
Babatan-babatan senjata mereka disambut
dengan sambaran pedang. Kumbayana melepaskan
hantaman yang bergulung-gulung ke depan. Hanta-
man tangan kosongnya dapat menjatuhkan dua orang
sekaligus. Lain Nilasari Grewek, sekali sambar, Pedang
Ularnya merenggut empat nyawa. Melihat itu pun Tala
Metu bergidik ngeri. Sambaran pedang Nilasari Grewek
bagaikan seleret sinar keemasan. Anak buahnya ku-
rang lebih tinggal enam orang. Ia harus terpaksa turun
tangan.
"Selama lima belas tahun jadi perampok, ter-
nyata hanya mengandalkan cecoro-cecoro ini! Hayo Ta-
la Metu! Kita boleh bertarung di sini." tantang Nilasari
Grewek, ia sempat melirik Kumbayana menghadapi
beberapa anak buah Tala Metu. Melihat itu Nilasari
Grewek melesat ke arah Kumbayana. Lalu ia mendo-
rong kuat-kuat tubuh Kumbayana ke belakang. Nilasa-
ri Grewek menggantikan posisinya, lalu secepat kilat
pedangnya berkelebat menyambar senjata-senjata me-
reka...
"Traaaang!"
Senjata mereka sapat semua. "Sungguh tolol
kau, Kumbayana. Tidak sadarkah kalau dirimu itu
tengah keracunan? Makin banyak bergerak makin ce-
pat pula kau bakal mampus!" ujar Nilasari Grewek.
"Untuk itulah, kau mesti memberikan pena-
warnya!" jawab Kumbayana.
"Tidak. diam saja kau di situ! Biar aku yang
menghadapi manusia-manusia jahanam ini!" Nilasari
Grewek tidak putus-putusnya memutar pedang. Lere-
tan-leretan sinar keemasan berkelebat kesana kemari.
Bersamaan dengan itu, anak buah Tala Metu berge-
limpangan satu persatu sambil menjerit menyayat.
"Bangsat!" Tala Metu mengumbar murka. "Ka-
lau kami manusia-manusia jahanam, lalu kau pikir
dirimu apa, keriput Renta? Kau lebih busuk dari jaha-
nam!" Tindakan Tala Metu tidak kepalang tanggung. Ia
nekad maju menyerang meskipun dengan tangan ko-
song.
"Kau kira dengan menggunakan Pedang Ular
Emas dapat menggertak ku? Sambut ini! Hraaaat...!"
Tala Metu maju melompat. Serangan itu sangat cepat.
Nilasari Grewek tidak menyambut, ia hanya bergerak
mundur menghindari pukulan yang berturut-turut
gencar mengarah.
Menghadapi serangan-serangan Tala Metu, Ni-
lasari Grewek sengaja melayani dengan sebelah lengan.
Ia mencari-cari kesempatan untuk melancarkan han-
taman Tombak Gunung yang sangat ampuh itu. Ma-
nakala Tala Metu menyerang tidak perduli.
"Kau boleh keluarkan jurus Tombak Gunung
mu itu, Nilasari Grewek! Selama lima belas tahun aku
sudah dapat memecahkan jurus itu! Hayo keluarkan!"
teriak Tala Metu yang ternyata sudah dapat membaca
maksud Nilasari Grewek, maka dengan sewot nenek
Penguasa Gunung Tunggul lepaskan kuat-kuat hantaman Tombak Gunung dengan sebelah tangannya.
"Bledaaaar.....!" Tala Metu memekik.
Tubuhnya terhuyung mundur beberapa meter.
Tapi ia tetap bersikap berdiri menantang.
"Sekarang ini pukulan Tombak Gunung tidak
ada artinya, Nenek peyot! Hayo keluarkan lagi!" ejek
Tala Metu. Nilasari Grewek bukan main marahnya.
Serta merta ia berjingkat mulai melancarkan serangan
lagi, tapi Tala Metu yang sangat cerdik cepat bergeser.
Sehingga hantaman kedua dari Nilasari Grewek nyep-
los mengenai angin.
Anak buah Tala Metu yang tinggal dua orang
itu tidak berani maju. Mereka hanya mengawasi ketu-
anya tengah menghadapi seorang nenek berilmu tinggi.
Mereka berdua tidak mungkin dapat mengalahkannya.
Begitu juga terhadap Kumbayana. Mereka sudah dapat
mengukur akan kehebatan dukun sakti itu.
Saat itu juga Nilasari Grewek tidak setengah-
setengah. Ia tahu benar akan nama besar perampok
macam Tala Metu. Maka serangannya mulai dengan
menggunakan Pedang Ular Emas. Sebenarnya pula
mereka berada pada pihak yang sama. Baik Nilasari
Grewek maupun Tala Metu dari kesatuan partai aliran
sesat. Kalau sekarang mereka bertempur mati-matian,
itu dikarenakan pendirian mereka yang berbeda.
Padahal kalau orang-orang aliran sesat tahu
akan tindakan Nilasari Grewek menghadapi 'orang
sendiri', Partai aliran sesat akan turun tangan meng-
gempur penguasa Gunung Tunggul itu. Meskipun su-
dah tahu akan akibatnya, Nilasari Grewek bersikap ti-
dak kepalang tanggung. Sekarang ia sudah memiliki
satu andalan. Sekalipun seluruh orang-orang Partai
aliran sesat bakal datang menggempur, Nilasari akan
bertekad menghadapinya dengan pusaka Pedang Ular
Emas.
Pedang Ular Emas berkelebat sangat cepat. De-
siran anginnya deras mendorong tubuh Tala Metu.
Bersamaan dengan itu pula....
"Breeeet!"
Tala Metu terkesiap. Tahu-tahu saja dadanya
sudah tergores dan mengeluarkan darah. Lukanya cu-
kup dalam. Tala Metu menggeram menahan sakit. Be-
lum sempat lagi ia membalas serangan. Seleret sinar
keemasan membersit menyambar tenggorokan. Seketi-
ka Tala Metu berdiri kaku. Kedua matanya terbeliak
lebar. Dari tenggorokannya menyembur darah bagai air
mancur.
Nilasari Grewek maupun Kumbayana hanya
berdiri menatap Tala Metu berdiri kaku. Penduduk de-
sa yang tengah bersembunyi sempat ketakutan me-
nyaksikan pemandangan mengerikan itu. Sementara
kobaran api bergulung-gulung makin besar tanpa bisa
di tanggulangi.
"Kau licik. Keriput Renta.... Hhhh.... Tanpa Pe-
dang Ular Emas di tanganmu, hhh... Kau tidak ada ar-
tinya... Hhh..." Suara Tala Metu terputus-putus. Nila-
sari Grewek menyeringai. Sebelah lengannya yang
menggenggam pedang bergetar hebat.
"Banyak omong! Cepat pindah ke akherat!"
Kuat-kuat Nilasari Grewek hantamkan pedangnya me-
nyilang.... "Zpraaaaaaas......!"
Orang-orang yang berada di situ memekik ngeri
melihat tubuh Tala Metu terputus menjadi dua. Poton-
gan-potongan tubuh tersebut ambruk di tanah dengan
bersimbah darah. Begitu juga dengan Pedang Ular
Emas di tangan Nilasari Grewek. Bilah pedang yang
meliuk-liuk bagai tubuh ular memerah bercampur da-
rah.
Nenek itu tetap menyeringai menatap dua po-
tong tubuh yang menggeletak di tanah. Sementara itu
dua orang anak buah Tala Metu yang masih nampak
lari ketakutan. Melihat itupun beberapa orang kam-
pung terdiri dari laki-laki semua tidak tinggal diam.
Mereka mengejar dua orang itu.
Ketika mereka di dapati, para penduduk desa
habis-habisan mereka mencincang. Nilasari Grewek
cukup puas melihat tindakan seperti itu.
"Yang lain jangan hanya menonton! Cepat pa-
damkan api!" perintah Nilasari Grewek. Para penduduk
desa baru menyadari kalau sedari tadi api meletup-
letup membakar habis beberapa gubuk. Lalu mereka
pun berlarian berusaha memadamkan api.
"Padamkan secepatnya! Jangan sampai me-
rambat pada gubuk-gubuk lainnya!" Nenek berbaju
merah ini berteriak-teriak kalang kabut. Setelah itu-
pun ia berjalan mendekati Kumbayana. Laki-laki Buto
Ijo ini nampak pucat sekali. Bibirnya sudah nampak
membiru.
"Kau juga sangat bodoh, Kumbayana! Sudah
tahu ada serangan, tidak memberi tahu aku! Akibat-
nya racun yang kuberikan itu malah berjangkit lebih
cepat. Aku tidak bisa mengukur lagi kapan kau akan
mampus!" gerutu Nilasari Grewek seraya ia menarik
tubuh Kumbayana memasuki gubuknya.
"Biar saja aku mampus! Untuk apa kalau hidup
tetap keracunan seperti ini? Siapa yang tahan!" jawab
Kumbayana.
"Mulutmu benar-benar bau! Kalau kau mam-
pus, siapa yang akan mengobati aku? Enak saja kalau
ngomong!"
"Berikan penawar racunmu itu!" Kumbayana
mengikuti langkah Nilasari Grewek. Mereka langsung
duduk di dalam ruangan itu. Nampak pula Nilasari
Grewek menggeram.
"Sekali lagi bicara, Pedang Ular Emas akan
menggorok lehermu, tahu!" kata Nilasari Grewek melo-
tot. Kumbayana diam seketika. Terhadap Nilasari Gre-
wek ia agak gentar, karena Kumbayana tahu Nilasari
Grewek tidak pernah main-main dalam bertindak.
Meskipun keadaan Kumbayana seperti mau mati, tapi
ia tetap menyayangi nyawa nya.
Sementara itu di luar jadi hiruk pikuk. Pendu-
duk desa yang terdiri dari laki-laki maupun perem-
puan bekerja keras memadamkan api. Mereka juga be-
rani menerobos untuk menyelamatkan para penduduk
yang terkurung oleh kobaran api.
*
* *
ENAM
Belasan murid-murid perguruan Pedang Ular
Emas serentak bangkit berdiri. Mereka menyaksikan
kobaran api. Dari tempat tinggal Kumbayana memang
terlihat dengan jelas kobaran api yang menghanguskan
desa terpencil. Karena jarak desa tersebut hanya bebe-
rapa kilo meter dari situ.
Mereka mengira kobaran itu akibat hutan yang
terbakar. Tak urung juga murid-murid perguruan Pe-
dang Ular ini jadi ikut kalang kabut. Keributan itu da-
pat didengar oleh Wintara dan Resi Wesakih. Begitu
juga Arso Lumbing dan Umbayani yang tengah menja-
ga Umbamayu di dalam gubuk. Para pentolan persila-
tan ini segera melangkah keluar untuk melihat kega-
duhan di luar.
"Astaga api apa itu?" pekik Resi Wesakih. Ia
hampir tidak percaya melihat kobaran api begitu besar.
"Sepertinya kebakaran hutan." ujar Arso Lumbing.
"Bukan. Tidak mungkin di malam sedingin ini
terjadi kebakaran hutan. Pastilah ada sesuatu yang
kurang beres di sana." Tukas Umbayani. Gadis ini
memang lebih cerdik. Siapa yang menyangka pula ka-
lau dalam Belantara Sawungan ada desa terpencil.
Wintara hanya mengamati kobaran api yang
meletup-letup terdengar sayup. Perasaannya agak lain.
Maka...
"Umbayani, apakah tidak sebaiknya memerin-
tahkan anak buahmu untuk menyelidikinya? Kebaka-
ran seperti ini amat membahayakan." ujar Wintara.
"Betul katamu itu, Pendekar Wintara. Kalau di-
biarkan hutan ini akan habis terbakar." sambut Resi
Wesakih.
"Biarlah aku bersama orang-orang Pedang Ular
yang akan melihat ke sana." kata, Arso Lumbing. Ia
melangkah ke arah di mana kuda-kuda mereka ditam-
batkan. Umbayani memerintahkan beberapa orang un-
tuk ikut bersama Arso Lumbing. Separuh dari mereka
langsung menunggangi kuda menuju di mana kobaran
api berada.
Arso Lumbing berjalan paling dulu. di bela-
kangnya mengikuti enam orang berkuda. Mereka me-
macu kudanya kuat-kuat. Memburu waktu, menem-
bus kepekatan malam dalam belantara.
Helaan-helaan mereka menggema di malam se-
sunyi itu. Manakala letup-letup api terdengar semakin
dekat. Selama menuju ke arah itu mereka tidak men-
dapat halangan apa pun. Jalan-jalan di Belantara Sa-
wungan sangat mudah ditempuh. Dengan begitu me-
reka lebih cepat sampai pada tujuan.
Kobaran api nampak semakin jelas. Dan mere-
ka sekarang tahu penyebab kebakaran itu. Dugaan
mereka tentang kebakaran hutan ternyata meleset.
Yang mereka lihat adalah kebakaran beberapa gubuk
di desa terpencil.
Mereka langsung memasuki perkampungan ke-
cil tersebut. Di mana para penduduknya sibuk kalang
kabut memadamkan api. Tapi kedatangan rombongan
Arso Lumbing membuat para penduduk desa itu keta-
kutan kembali. Melihat orang-orang berkuda, semua-
nya berlarian menyingkir.
"Mereka datang lagi! Mereka datang lagi!" teriak
mereka rata-rata lari ke arah gubuk Nilasari Grewek.
Arso Lumbing jadi tidak mengerti. Ia bersama enam
orang pengawalnya jadi keheranan. Apalagi ketika me-
lihat semua penduduk desa berlarian mengurung se-
buah gubuk.
"Apa sebenarnya yang terjadi di sini. Mereka
sepertinya tengah meminta pertolongan seseorang."
tanya Arso Lumbing dalam hati.
"Ketua....! Ketua.....! Gerombolan-gerombolan
itu datang lagi!" Mereka berteriak-teriak di depan pintu
gubuk. Sudah tentu Nilasari Grewek yang berada di
dalamnya bersama Kumbayana keluar. Serta merta Ni-
lasari Grewek membuka pintu gubuknya kuat-kuat.
Dan ia melihat puluhan orang di depan gubuk.
"Ada apa ribut-ribut lagi! Bukankah kalian ku-
perintahkan memadamkan api!" bentak Nilasari Gre-
wek. Tapi kata-katanya seperti tersendat. Tanpa di
sengaja kedua mata tuanya melihat rombongan Arso
Lumbing. Wajahnya mendadak berubah kecut.
Begitu juga dengan putra tunggal Resi Wesakih.
Ia seperti mati duduk di atas kudanya. Pandangannya
tidak percaya saat dilihatnya Nilasari Grewek berdiri
menggenggam Pedang Ular Emas.
"Oww... Rupanya tikus-tikus busuk ini sudah
sampai di Belantara Sawungan. Bagus! Kalian hanya
mengantarkan nyawa dengan percuma!" Nilasari Grewek melangkah. Para penduduk desa memberi jalan.
"Kebetulan pula kita bisa bertemu di sini, Ne-
nek pengecut! Cepat serahkan Pedang Ular Emas itu
padaku! Karena kau bukan haknya!" ujar Arso Lumb-
ing.
"Cuih! Aku tidak akan berbuat setolol itu, Anak
muda! Pusaka Pedang Ular Emas sudah berada di tan-
ganku, mana bisa aku menyerahkannya begitu saja!"
jawab Nilasari Grewek angkuh.
"Kalau begitu aku akan mengambilnya bersama
kepalamu!" Arso Lumbing langsung lompat dari ku-
danya seraya menarik pedang. Ia sudah melupakan
soal kebakaran. Di hadapannya ada persoalan baru
yang lebih penting. Arso Lumbing betul-betul tidak
menyangka kalau ia bisa bertemu dengan Nilasari
Grewek di belantara sesunyi ini. Iapun tidak tanggung-
tanggung lagi langsung menudingkan pedangnya. Na-
mun Nilasari Grewek cepat berjingkat menghindar.
Mengetahui apa yang bakal terjadi orang-orang desa
itu segera menjauh. Enam orang pengawal Arso Lumb-
ing serempak turun mencabut senjata.
Mereka berlarian mengepung Nilasari Grewek.
Nenek Penguasa Gunung Tunggul ini gesit menghinda-
ri serangan-serangan mereka. Arso Lumbing menatap
curiga pada laki-laki berwajah 'Buto Ijo' yang berdiri di
muka pintu.
"Arso Lumbing, kalau ingin pedang pusaka ini
kau boleh menghadapi aku! Dan kau Kumbayana, te-
tap diamlah di situ kalau tidak ingin racun di tubuh-
mu segera menjalar lebih parah!" teriak Nilasari Gre-
wek. Padahal dirinya sudah terkepung.
Mendengar ucapan itupun Arso Lumbing seper-
ti disambar geledek. Laki-laki berwajah 'Buto Ijo' ini
ternyata Kumbayana adanya. Orang yang mereka cari
untuk mengobati Umbamayu. Maka ia cepat-cepat melompat ikut mengurung Nilasari Grewek.
"Saksikan saja bagaimana aku mengirim putra
tunggal Resi Wesakih ke akherat!" kata Nilasari Grewek
lantang. Tangan siap melepaskan babatan pedang.
Kumbayana pun baru tahu kalau pemuda tampan
yang barusan di tatapnya adalah putra tunggal Resi
Wesakih. Sekarang ia melihat bagaimana Arso Lumb-
ing bersama pengawalnya menggempur Nilasari Gre-
wek.
"Sekarang kau tidak mungkin dapat melarikan
diri lagi, Nenek keparat!" bentak Arso Lumbing me-
mimpin penyerangan. Babatan pedangnya berkelebat
menyambar kepala. Melihat tindakan itu, enam orang
pengawalnya lebih semangat lepaskan serangan gen-
car.
Menghadapi serbuan sedemikian rupa, Nilasari
Grewek nampaknya tidak gentar. Dengan pedang an-
dalannya ia hadapi serbuan-serbuan mereka. Malah
serangan balasannya lebih dahsyat. Manakala Pedang
Ular Emas ditangannya bergerak memutar, dua orang
pengawal Arso Lumbing bergelimpangan dengan luka
yang hebat. Kontan dua orang itu kelojotan.
Sudah tentu Arso Lumbing tidak akan mem-
biarkan semua anak buahnya tewas. Ia tahu benar
niat Nilasari Grewek ini. Serangan balasannya sengaja
diarahkan pada anak buah Arso Lumbing dahulu. Se-
dangkan serangan Arso Lumbing yang sudah terlanjur
kalap itu tidak diperdulikan.
"Kalian menyingkir semua! Nenek keparat ini
bukan tandingan kalian! Menyingkir!" teriak Arso
Lumbing mencecar babatan pedangnya. Seleret sinar
keputihan berkelebat terus-menerus menggagalkan
tiap serangan Nilasari Grewek.
"Kalian bawa pergi laki-laki tua bernama Kum-
bayana itu! Cepat....!" Pedang Arso Lumbing menangkis
serangan Pedang Ular Emas. Ia tidak menyadari kalau
pusaka Pedang Ular Emas tidak bisa di anggap sepele.
Ia baru sadar setelah melihat pedangnya patah dua ke-
tika pedang mereka saling bentur.
Sementara itu empat orang pengawal Arso
Lumbing sudah membantu dua orang temannya yang
terluka. Mereka mendekati pula sosok laki-laki berwa-
jah 'Buto Ijo' yang sedari tadi berdiri di depan pintu
gubuk.
"Kaukah yang bernama Kumbayana dukun
yang sangat terkenal itu?" tanya mereka. Kumbayana
tidak menjawab. Ia menatap keheranan pada orang-
orang yang mendatanginya.
"Kalian siapa?" Kumbayana balik bertanya.
"Sebaiknya kau ikut kami, Kumbayana. Resi
Wesakih dan orang-orang Pedang Ular tengah me-
nunggu di sana." jelas mereka.
Kumbayana agak gembira mendengar ucapan
mereka. Sebentar ia menatap pertarungan Nilasari
Grewek dengan Arso Lumbing.
"Di mana mereka?" tanya Kumbayana lagi.
"Di gubukmu." jawab mereka hampir serempak.
Kumbayana tidak ragu-ragu lagi. Tanpa sepengeta-
huan Nilasari Grewek diam-diam ia mengikuti para
pengawal itu. Namun akhirnya Nilasari Grewek dapat
mengetahuinya pula. kemarahannya makin melonjak.
Ia bermaksud mengejar, tapi Arso Lumbing tetap
menghalangi dengan sambaran pedangnya. Meskipun
pedang miliknya itu tinggal separuh.
Tindakan Arso Lumbing ini sangat ceroboh. Ia
tidak memperhitungkan akan kehebatan tokoh sesat
penguasa Gunung Tunggul. Apalagi sosok Nilasari
Grewek menggunakan Pedang Ular Emas. Setiap sam-
baran pedangnya menyebarkan tenaga dalam yang te-
ramat dahsyat. Selama ia menghindari serangan
serangan Pedang Ular Emas. Ia tidak menyadari kalau
pusaka Pedang Ular Emas tidak bisa di anggap sepele.
Ia baru sadar setelah melihat pedangnya patah dua ke-
tika pedang mereka saling bentur.
Sementara itu empat orang pengawal Arso
Lumbing sudah membantu dua orang temannya yang
terluka. Mereka mendekati pula sosok laki-laki berwa-
jah 'Buto Ijo' yang sedari tadi berdiri di depan pintu
gubuk.
"Kaukah yang bernama Kumbayana dukun
yang sangat terkenal itu?" tanya mereka. Kumbayana
tidak menjawab. Ia menatap keheranan pada orang-
orang yang mendatanginya.
"Kalian siapa?" Kumbayana balik bertanya.
"Sebaiknya kau ikut kami, Kumbayana. Resi
Wesakih dan orang-orang Pedang Ular tengah me-
nunggu di sana." jelas mereka.
Kumbayana agak gembira mendengar ucapan
mereka. Sebentar ia menatap pertarungan Nilasari
Grewek dengan Arso Lumbing.
"Di mana mereka?" tanya Kumbayana lagi.
"Di gubukmu." jawab mereka hampir serempak.
Kumbayana tidak ragu-ragu lagi. Tanpa sepengeta-
huan Nilasari Grewek diam-diam ia mengikuti para
pengawal itu. Namun akhirnya Nilasari Grewek dapat
mengetahuinya pula. kemarahannya makin melonjak.
Ia bermaksud mengejar, tapi Arso Lumbing tetap
menghalangi dengan sambaran pedangnya. Meskipun
pedang miliknya itu tinggal separuh.
Tindakan Arso Lumbing ini sangat ceroboh. Ia
tidak memperhitungkan akan kehebatan tokoh sesat
penguasa Gunung Tunggul. Apalagi sosok Nilasari
Grewek menggunakan Pedang Ular Emas. Setiap sam-
baran pedangnya menyebarkan tenaga dalam yang te-
ramat dahsyat. Selama ia menghindari serangan
serangan itu Arso Lumbing harus mundur-mundur
terhuyung. Kesempatan itu digunakan Nilasari Grewek
untuk melepaskan pukulan Tombak Gunung.
"Des....!"
Pukulan tersebut tanpa bisa dihindari, Arso
Lumbing terjungkal hebat. Tubuhnya hampir saja ma-
suk ke dalam kobaran api. Manakala api semakin
membesar merambat membakari setiap gubuk. Semua
pengawalnya sudah tidak nampak. Begitu juga dengan
Kumbayana. Ia ikut lenyap bersama orang-orang itu.
Sementara penduduk desa tersebut berlari me-
nyingkir dari sengatan api yang membakar tubuh. Me-
reka tidak memiliki harapan lagi. Semua gubuk sudah
terbakar habis. Api meletup-letup bagai neraka jaha-
nam.
Di tengah-tengah, Arso Lumbing setengah mati
bergulingan menghindari sambaran pedang. Nenek
Penguasa Gunung Tunggul mendesaknya ke arah ko-
baran api. Dan Arso Lumbing benar-benar telah masuk
dalam perangkapnya. Tidak mungkin ia harus masuk
ke dalam api tersebut. Serta merta ia nekat bangkit
menyambut serangan Nilasari Grewek.
Anak muda macam Arso Lumbing ini memang
bukan lawan sembarangan. Kepandaiannya jauh satu
tingkat dari Tala Metu. Itulah sebabnya ia sanggup
mengimbangi serta menahan hantaman Tombak Gu-
nung yang dimiliki Nilasari Grewek, tapi menghadapi
Pedang Ular Emas, Arso Lumbing harus kelabakan.
Tanpa di duga-duga....
"Sreeet...! Sreeeet....!"
Sekujur tubuh Arso Lumbing yang melompat-
lompat bagai seekor kijang terasa nyeri. Tahu-tahu pa-
kaiannya sudah terkoyak sampai menembus kulit tu-
buhnya.
*
**
TUJUH
Sambaran pedang Nilasari Grewek tidak ber-
henti sampai di situ. Melihat Arso Lumbing kepayahan
dengan luka-lukanya, Nenek Penguasa Gunung Tung-
gul mengarahkan babatan pedang ke bagian leher. Te-
riakannya lantang disertai dengan tenaga yang sangat
keras.
"Hreaaaaa......!"
Leretan sinar keemasan membersit, namun si-
nar keemasan itu mendadak terputus.... Karena...
"Zplaaaak!"
Lengan Nilasari Grewek seperti bergetar. Seseo-
rang telah menggagalkan niatnya. Arso Lumbing tetap
berdiri dipinggiran kobaran api. Baik Nilasari Grewek
maupun Arso Lumbing membelalakan mata. Karena di
saat itu mereka melihat sosok pendekar mengenakan
pakaian bulu binatang berdiri di antara mereka.
"Sobat Wintara, syukurlah kau datang tepat
pada waktunya!" ujar Arso Lumbing. Wintara menja-
wab tersenyum...
"Aku curiga dengan kebakaran yang sangat be-
sar ini, sobat Arso Lumbing. Maka aku datang sendiri
kemari."
"Bangsat! Kiranya anjing buduk macam Pende-
kar Kelana Sakti telah berani pula mengusik! Baiklah,
malam ini kalian akan mampus bersama putra Resi
Wesakih!" bentak Nilasari Grewek.
"Aku tidak pernah pusing dengan segala sepak
terjangmu, Nenek keriput. Tapi karena kau merebut
Pedang Ular Emas dari tangan Umbayani, aku harus
terpaksa campur tangan!" jawab Wintara. Nilasari
Grewek menatap geram...
"Anjing penjilat! Kau boleh rasakan ini!
Hraaaaa....!"
Nilasari Grewek lepaskan hantaman Tombak
Gunungnya. Tapi Wintara yang selalu berhati-hati itu
cepat bertindak memapak dengan hantaman Tinju
Bayu Delapan Penjuru.
"Bledaaaar....!" Hantaman mereka beradu. Ke-
duanya terdorong mundur beberapa langkah. Wintara
cepat menyusun kekuatan lagi. Nenek Penguasa Gu-
nung Tunggul nampaknya sudah menyerang. Kali ini
ia melancarkan dua serangan sekaligus. Jurus Tombak
Gunung digabungkan dengan babatan Pedang Ular
Emas. Akibatnya sangat dahsyat sekali.
Wintara yang menyambutnya dengan hanta-
man Tinju Bayu Delapan Penjuru itu nyaris ambruk ke
tanah. Hantaman Tombak Gunung melenceng ke
samping. Babatan Pedang Ular Emas membuat Winta-
ra terkesiap menghadapinya. Untunglah ia cepat me-
runduk.
"Kau boleh selalu unggul dalam menghadapi
aku, Pendekar ingusan! Tapi sekarang jangan coba-
coba lagi bertingkah! Heaaaaa.....!" Sekali lagi Nilasari
Grewek membersitkan Pedang Ular Emas. Wintara me-
lompat mundur ke belakang sambil lepaskan jurus
Menyibak Tirai Bayu....
"Aiiiiik......!" Nilasari Grewek memekik hebat.
Hantaman itu rupanya mengena tepat di tubuh Nilasa-
ri Grewek. Tubuhnya mundur terhuyung. Melihat itu-
pun Wintara terus melompat ke depan. Dua hanta-
mannya siap di lancarkan lagi. Tapi Wintara cepat
mengurungkan niatnya. Karena Nilasari Grewek cepat
menghindar berlari ke arah kerumunan para pendu-
duk desa yang ketakutan.
"Kalian ingin cepat-cepat mampus rupanya!
Kenapa hanya diam menonton? Hayo bantu aku
menghabiskan dua orang keparat itu!" bentak Nilasari
Grewek pada orang-orang desa.
Wintara dapat melihat betapa para penduduk
desa merasa seperti tertekan. Dan nampak pula mere-
ka sangat ketakutan terhadap Nilasari Grewek.
"Tunggu apalagi! Hayo gempur mereka!" perin-
tah Penguasa Gunung Tunggul, maka dengan sangat
terpaksa mereka semua berlari menghambur mengu-
rung Wintara dan Arso Lumbing. Serangan-serangan
mereka ragu-ragu dan ngawur. Dua pendekar ini dapat
dengan mudah menangkis atau menghindar. Selama
menghadapi para penduduk desa keduanya tidak per-
nah melakukan serangan balasan. Karena mereka ta-
hu, tindakan orang-orang itu hanya dikarenakan an-
caman Nilasari Grewek.
Namun begitu, kedua pendekar ini cukup dire-
potkan. Serangan-serangan penduduk desa makin
gencar. Perempuan, laki-laki, tua, muda, semua ikut
menggempur. Di tengah-tengah kobaran api yang me-
letup-letup kian riuh oleh suara-suara teriakan mere-
ka.
"Hentikan serangan.....! Hentikan serangan....!"
Di antara suara-suara teriakan itu, terdengar suara
yang lebih lantang. Kiranya seorang lelaki yang cukup
berani. Ia menghalangi tiap-tiap serangan penduduk
desa.
"Kalian telah bertindak salah! Jangan menye-
rang lagi...!" Laki-laki ini berdiri melindungi Wintara
dan Arso Lumbing.
"kataku hentikan....!" Ia berteriak lebih keras.
"Adisena, kita harus menuruti perintah nenek
itu, kalau tidak kita akan celaka!" jawab mereka. Ter-
nyata laki-laki pemberani itu Adisena adanya.
"Sekarang tidak perlu lagi menuruti perintah-
nya! Kalian lihat di sana. Tua bangka itu sudah pergi!
Dia sengaja menggunakan kita untuk jalan melarikan
diri!" teriak Adisena. Demi mendengar itu semuanya
serentak menoleh ke belakang. Tidak ada lagi sosok Ni-
lasari Grewek di sana. Yang ada hanya kobaran api
menjilat habis gubuk-gubuk. Lalu mereka seperti me-
nyesal telah bertindak ceroboh.
"Nenek keriput itu adalah seorang tokoh sesat.
Gara-gara kalian, kami telah gagal melumpuhkannya."
ujar Arso Lumbing.
"Maafkan kami, pendekar-pendekar gagah. Ne-
nek itu telah menguasai kami. Kami tidak dapat ber-
buat apa-apa di bawah ancamannya yang tidak pernah
main-main." jawab Adisena.
"Syukurlah kalau sekarang kalian telah menya-
darinya. Sekarang apa tindakan kalian?" kata Wintara.
Mereka semua diam. Tidak satupun yang berani men-
jawab.
"Tidak ada jalan lain. Kami semua tidak berani
menghadapi nenek berilmu tinggi itu. Sekarang kami
berharap akan berlindung terhadap pendekar-
pendekar yang gagah ini. Sebab kami yakin tua bangka
itu pasti akan membantai kami satu demi satu seperti
apa yang pernah ia lakukan terhadap teman-teman di
kampung ini." jawab Adisena. Wintara dan Arso Lum-
bing berpikir sebentar. Apa yang mereka khawatirkan
benar adanya. Nilasari Grewek memang selalu bertin-
dak telengas. Hal ini perlu di pikirkan.
"Baiklah untuk sementara kalian boleh berga-
bung dengan kami. Kita berkumpul saja di gubuk
Kumbayana." jawab Arso Lumbing. Mendengar kepu-
tusan itu para penduduk ini amat gembira.
"Bukankah Kumbayana telah pergi bersama para pengawal tadi?" ujar Adisena.
"Hm.... Kalian tidak perlu cemas. Ia bersama
orang-orang kami. Di sana ia akan aman." tukas Arso
Lumbing.
"Sekarang kalian padamkan saja kobaran api
ini. Setelah itu kita berangkat ke Belantara Sawun-
gan." kata Wintara. Mendengar perintah itu, Adisena
memimpin para penduduk bekerja keras memadamkan
api. Dua pendekar ini tidak hanya berpangku tangan.
Mereka ikut pula bahu membahu. Apalagi mereka be-
rilmu tinggi. Dengan ilmu peringan tubuh kedua pen-
dekar ini menyambar cepat ember-ember berisi air.
***
Kicau burung saling cicit memamerkan sua-
ranya yang merdu. Saat itu sang mentari menyinari
permukaan Belantara Sawungan. Dan udara masih
sangat dingin menyengat kulit.
Di sekitar gubuk Kumbayana banyak orang du-
duk menahan rasa ngantuk. Mereka tidak lain para
penduduk desa terpencil yang mengungsi. Semalaman
suntuk mereka tidak tidur. Karena harus bekerja keras
menanggulangi kebakaran yang membakar hangus
gubuk-gubuk mereka.
Para murid Perguruan Pedang Ular melayani
mereka. Membantu membuat dapur-dapur umum. Di
kejauhan sana masih mengepul asap kehitaman mem-
bumbung tinggi ke langit. Orang-orang itu masih me-
mikirkan nasib gubuknya yang kini menjadi arang.
Sementara itu di dalam gubuk, nampak bebe-
rapa orang tengah duduk mengelilingi Kumbayana.
Keadaannya jauh lebih parah. Racun yang diberikan
oleh Nilasari Grewek telah menjalar. Seluruh tubuhnya
pucat. Bibirnya tidak lagi merah. Kini berubah hampir
biru pucat, serta kedua kelopak matanya yang lebar
menyeramkan nampak kuyu. Detak jantungnya sangat
keras.
Sukar sekali bagi Kumbayana untuk bernafas.
Sudah sejak tadi Wintara maupun Resi Wesakih men-
gadakan pertolongan Mereka menyalurkan tenaga inti
ke tubuh Kumbayana. Namun usaha mereka nampak-
nya hanya sia-sia. Hampir satu jam lebih mereka laku-
kan pertolongan, tapi tidak ada tanda-tanda peruba-
han pada diri Kumbayana.
"Hanya membuang-buang tenaga saja. Kalau
begini terus, kita tidak dapat mengobati Umbamayu.
Gadis itu jauh lebih parah dan mesti ditolong." ujar
Kumbayana. Ia seperti hendak bangkit. Wintara beru-
saha menahan.
"Bagaimana kau bisa mengobatinya kalau kau
sendiri tengah keracunan begini." kata Wintara. Kum-
bayana tersenyum pahit.
"Tak apa, Pendekar muda. Keselamatan Um-
bamayu lebih kita utamakan. Umurku masih ada satu
hari lagi, masih sempat membuat penawar racun ter-
sebut." jawab Kumbayana. Tubuhnya memang agak
lemah. Waktu berdiri, Arso Lumbing dan Umbayani
membantunya. Begitu juga saat ia melangkah berjalan.
Dua muda mudi ini harus menuntunnya.
"Tolong ambilkan peralatan ku di atas meja."
kata Kumbayana pada Wintara yang berdiri memper-
hatikan. Kumbayana melangkah ke arah sebuah ka-
mar. Hati-hati sekali Arso Lumbing dan Umbayani me-
nuntun. Di kamar itu terbaring sosok Umbamayu den-
gan tubuh yang dingin.
"Cah Ayu, malang benar nasibmu. Sudah se-
kian lama terpisah dengan keluarga, harus pula terke-
na hantaman Tombak Gunung. Aku pun masih mera-
gukan. Apakah masih bisa mengobatinya?" ujar Kum-
bayana setelah melihat sosok Umbamayu.
"Sungguh kami merasa kurang enak meminta
pertolongan kepadamu, Kumbayana. Kalau memang
merasa lelah jangan dipaksakan." kata Arso Lumbing.
Umbayani memijit-mijit tubuh Umbamayu. Ia membe-
tulkan letak selimut tebal.
"Sudah menjadi kewajiban menolong orang
yang terluka. Itu memang tugasku." jawab Kumbaya-
na.
Wintara masuk membawa peralatan dukun
sakti Kumbayana. Sebuah bungkusan kecil diserahkan
pada dukun sakti itu. Resi Wesakih ikut masuk men-
gikuti Wintara.
Setelah menerima bungkusan itu, Kumbayana
langsung membukanya. Kiranya bungkusan itu berisi
belasan pedang kecil. Pedang-pedang kecil itu beruku-
ran sebesar mata jarum, Terbuat dari emas murni. Su-
atu buatan yang sangat sempurna.
Kumbayana duduk di samping Umbamayu
yang terbaring. Arso Lumbing membantu membuka se-
limut tebal yang menyelubungi tubuh Umbamayu.
"Hal ini mengingatkan aku pada peristiwa dua
puluh tahun yang lalu. Sayang waktu itu aku belum
sanggup mengobati akibat hantaman Tombak Gunung,
sehingga majikan Perguruan Pedang Ular tidak bisa di
selamatkan. Hari ini pun aku khawatir akan gagal."
"Kita tidak akan penasaran bila sudah melaku-
kan usaha, Kumbayana." tukas Arso Lumbing.
*
* *
DELAPAN
Terlebih dahulu Kumbayana merendam pedang-pedang kecil ke dalam air panas. Umbayani
membuka seluruh pakaian yang melekat ditubuh Um-
bamayu. Pendekar-pendekar lelaki sudah tidak berada
dalam ruangan itu. Saat Kumbayana mulai mengobati
Umbamayu mereka sudah berada di luar gubuk.
Mereka melihat para penduduk desa yang men-
gungsi tengah menikmati teh hangat. Ada pula yang
rebahan melepaskan rasa ngantuk. Para murid Pergu-
ruan Pedang Ular nampak sedang memberi makan ku-
da. Asap hitam yang mengepul di ujung sana mulai
menipis. Resi Wesakih duduk di depan gubuk. Wintara
berdiri memandang ke langit. Hanya Arso Lumbing
yang nampak cemas. Ia takut akan kehilangan Umba-
mayu.
"Nilasari Grewek memang sangat licik. Dari du-
lu orang-orang persilatan selalu terkecoh. Entah sudah
berapa banyak nyawa yang melayang di tangannya."
ujar Resi Wesakih mengawali pembicaraan.
"Dia memang berilmu setinggi langit, dan lagi
selalu mendapat kesempatan melarikan diri." jawab
Wintara.
"Tapi yang kudengar dari Kumbayana, bahwa
Nilasari Grewek juga tengah terluka. Dia berusaha ma-
ti-matian menahan Kumbayana, bahkan sampai mera-
cuninya."
"Sungguh biadab! Ingin meminta pertolongan
tapi malah meracuninya." gerutu Wintara.
"Bukan Nilasari Grewek kalau ia bersikap baik-
baik. Kalau ada kesempatan, biar kepalanya kuhan-
curkan." tukas Arso Lumbing. Pemuda tampan ini
sangat dendam terhadap Penguasa Gunung Tunggul.
Pakaiannya tetap terkoyak. Tapi luka-luka babatan
pedang sudah dibalut.
"Jangan khawatir, Nilasari Grewek pasti tidak
pergi terlalu jauh dari sini. Ia masih membutuhkan
pertolongan Kumbayana. Kita masih punya harapan
untuk merebut kembali Pedang Ular Emas." kata Resi
Wesakih.
Di dalam ruangan khusus, Umbayani menatap
keheranan melihat cara-cara pengobatan yang dilaku-
kan Kumbayana. Tubuh Umbamayu yang telanjang
tanpa selembar benang itu mendapat cara pengobatan
yang sangat mengerikan. Tiap-tiap persendiannya telah
menancap sebatang pedang kecil.
Setiap kali Kumbayana menancapkan pedang
itu, Umbayani hampir tidak tahan melihat. Ia sudah
membayangkan betapa sakitnya. Untunglah Umba-
mayu dalam keadaan tidak sadar. Kurang lebih pe-
dang-pedang kecil itu telah digunakan sebanyak dua
belas batang. Dari telapak kaki, lutut, pinggang, pang-
kal lengan bahkan sampai tulang dahi. Selama mela-
kukan itu Kumbayana menguras habis tenaganya. Ke-
ringat telah mengucur membasahi tubuhnya. Selama
itu pula Umbayani membantu menyeka keringat Kum-
bayana.
Pengobatan macam itu dilakukan kurang lebih
hampir dua jam penuh. Kumbayana menghela nafas
ketika ia selesai menancapkan pedang kecil terakhir.
Lalu mencuci kedua tangannya dengan air hangat
yang tersedia di sampingnya.
Umbayani menutup kembali tubuh Umbamayu
dengan selimut tebal. Membiarkan pedang-pedang ke-
cil yang menancap di seluruh persendian Umbamayu
ikut tertutup.
"Cuma ini yang bisa aku lakukan, Umbayani.
Kita lihat saja hasilnya nanti." ujar Kumbayana seraya
bangkit dari tempat pembaringan.
"Mudah-mudahan saja berhasil, biar aku yang
menjaganya di sini." kata Umbayani. Gadis ini menun-
tun Kumbayana keluar dari ruangan itu.
"Umbamayu memang harus dirawat dan dijaga.
Sebab pedang-pedang kecil itu tidak selamanya me-
nancap terus menerus." tukas Kumbayana. Mereka
sudah berada di luar ruangan. Dan menemui para
pendekar lain yang berada di depan gubuk.
Di luar nampak ramai sekali, para penduduk
yang tengah mengungsi nampak sedang beristirahat.
Para Pendekar ini menyambut kehadiran Kumbayana.
"Bagaimana, Kumbayana. Nampaknya kau le-
lah sekali." ujar Resi Wesakih. Laki-laki berambut pu-
tih ini memberikan tempat duduk. Umbayani hati-hati
sekali mendudukan Kumbayana.
"Belum bisa dipastikan. Kalian sudah terlambat
membawanya kemari. Keadaannya lebih parah dari
ayahnya dulu." Mendengar ucapan Kumbayana Arso
Lumbing nampak gelisah sekali.
"Sekarang tinggal memikirkan bagaimana me-
nawarkan racun yang mengeram di tubuhmu, Kum-
bayana. Apakah ada jalan lain yang dapat kami ban-
tu?" tukas Wintara.
"Aku memang seorang dukun sekaligus ahli da-
lam pengobatan. Tapi menghadapi racun ini, aku be-
nar-benar tidak berdaya." jelas Kumbayana. Wajahnya
sangat pucat, sepertinya peredaran jalan darah ter-
sumbat. Wajah 'Buto Ijo' nya nampak memelas. Phi-
syiknya pun sangat lemah.
"Satu-satunya jalan, harus menemui Nilasari
Grewek untuk meminta penawarnya. Ku pikir cuma
itu!" ujar Arso Lumbing.
"Enak saja kalau ngomong! Kemana kita harus
mencari nenek keriput itu?" tukas Resi Wesakih, ayah-
nya. Kembali semuanya diam. Tidak ada sepatah kata-
pun yang dapat memecahkan persoalan itu.
Umbayani berjalan masuk kembali ke dalam
gubuk. Langsung ditemui kakaknya yang terbaring penuh dengan pedang-pedang kecil. Ia menatap iba wa-
jah cantik Umbamayu. Sosok yang tidak berdaya. Tan-
pa bersuara ia duduk di sebelah sosok terbaring itu.
Udara sejuk dapat masuk melalui jendela yang
terbuka. Juga sinar matahari menerobos menghangati
mereka. Tapi mendadak saja kedua mata Umbayani
membelalak. Pedang yang menancap di tulang dahi
Umbamayu mengeluarkan darah hitam kental. Melihat
itupun, Umbayani jadi sangat takut.
"Kumbayana....! Kumbayana....!" Spontan ia
berteriak-teriak. Mendengar teriakan Umbayani dari
dalam ruangan di mana Umbamayu terbaring, para
pendekar di luar gubuk ini berlarian masuk ke dalam.
Wintara cepat menuntun masuk Kumbayana. Mereka
berkumpul semua dalam ruangan itu. Semuanya me-
natap darah kehitaman meleleh di sekitar tulang dahi
Umbamayu.
"Tenanglah.... Tenanglah. Darah hitam ini ada-
lah darah mati akibat hantaman Tombak Gunung.
Syukurlah bisa keluar secepatnya." ujar Kumbayana.
Perlahan lelaki pucat pasi ini mencabut pedang pendek
dari tulang dahi.
"Harapannya sangat tipis. Masih ada sebelas
mata pedang lagi di tubuhnya." kata Kumbayana lagi.
Melihat itupun Arso Lumbing menyeka darah hitam
yang meleleh.
"Selama darah hitam itu masih keluar, bersih-
kan terus." perintah Kumbayana.
"Apakah pedang-pedang kecil ini akan menye-
dot keluar darah mati yang mengeram di tubuh Um-
bamayu?" tanya Umbayani.
"Hm.... Seperti yang sudah-sudah, pedang-
pedang kecil ini mesti dicabut setelah mengeluarkan
darah mati. Biasanya satu hari sekali pedang ini mesti
dicabut, berarti sebelas hari lagi kita mesti menjaganya." jawab Kumbayana.
"Kejadian in tidak apa-apa, tidak perlu gelisah,
Arso Lumbing." kata Kumbayana lagi, Putra tunggal
Resi Wesakih ini memang nampak cemas dengan kea-
daan Umbamayu.
"Biarkan saja Umbamayu beristirahat tenang di
sini. Harap dijaga saja." ujar Kumbayana. Ia bangkit
dari tempat pembaringan. Wintara bantu Kumbayana
melangkah keluar. Resi Wesakih mengikutinya. Arso
Lumbing bersama Umbayani menjaga Umbamayu.
"Rasanya aku hampir tidak tahan dengan hidup
begini. Aku yakin beberapa saat lagi akan tewas kera-
cunan." kata Kumbayana ketika berada di luar gubuk.
"Jangan putus asa, Kumbayana. Kalau masih
punya semangat hidup, kau akan selamat." jawab Resi
Wesakih.
"Seperti yang dikatakan Arso Lumbing. Aku ha-
rus menemui Nilasari Grewek. Cuma itu jalan satu-
satunya." kata Kumbayana.
"Tindakan itu akan membahayakan diri mu, ki-
ta tahu siapa Nilasari Grewek."
"Tidak mungkin dia akan bersikap buruk ter-
hadapku. Karena Nilasari Grewek masih membutuh-
kan pertolongan. Akulah orang yang dapat menyem-
buhkan luka-lukanya." jawab Kumbayana.
"Kalau begitu, aku akan mengawal selama
mencari tokoh sesat itu." Usul Wintara.
"Aku rasa tidak perlu. Bukannya aku mengang-
gap remeh, tapi kalau dalam hal ini ada campur tan-
gan orang-orang persilatan malah akan menjadi ru-
suh." Kumbayana tersenyum getir.
"Lalu anda akan pergi sendiri dalam keadaan
seperti ini?"
"Tentu saja tidak. Aku akan pergi bersama Adi-
sena. Aku kira dia dapat membantu. Dan juga tidak
mengundang curiga bagi Nilasari Grewek." jawab
Kumbayana.
Saat itu kebetulan Adisena mendatangi mereka
sambil membawa sebuah nampan besar berisi maka-
nan. Pemuda ini meletakkan nampan itu di atas balai
di depan gubuk.
"Adisena, harap kau ikut aku menelusuri Be-
lantara Sawungan. Kita harus cari kembali Nilasari
Grewek." ujar Kumbayana.
"Aku....? Kenapa mesti aku?" Adisena gelaga-
pan.
"Jangan khawatir Adisena, aku berani jamin
kau tidak akan apa-apa."
Adisena gelagapan. Ia tidak bisa mengelak. Ke-
pergian merekapun tidak bisa dihalangi. Para pendekar
ini hanya memberikan restu agar mereka berhasil me-
nemui Nilasari Grewek. Tapi akankah Penguasa Gu-
nung Tunggul itu mau memberikan penawar racun
tersebut? Bagaimana nanti kalau sikap Nilasari Gre-
wek malah mencelakakan mereka? Kumbayana yang
dalam keadaan parah itu tidak mungkin dapat menga-
tasi. Apalagi Adisena tidak berkemampuan apa-apa.
Dengan menggunakan kereta kuda, Adisena
membawa Kumbayana menerobos belantara Sawun-
gan. Roda kereta berderak-derak menggilas dataran
berumput. Selama dalam perjalanannya Adisena selalu
menoleh kanan dan kiri, dirinya merasa was-was.
Kumbayana yang berada dalam kereta kuda
duduk bersila. Kedua matanya dapat melihat keluar
melalui jendela kereta. Ia benar-benar berharap akan
menemui Nilasari Grewek. Saat itu mereka sudah jauh
meninggalkan gubuknya.
Sekarang harus dilalui bekas-bekas puing ter-
bakar. Tidak ada yang nampak gubuk utuh. Rata-rata
telah hangus rata dengan tanah. Sementara asap kehitaman mulai pupus terbawa angin. Mereka berhenti di
tempat itu. Mereka mengira Nilasari Grewek dapat di
temuinya.
Namun tempat itu sangat sunyi. Tiada satu so-
sokpun yang nampak. Apalagi sosok Nilasari Grewek.
Yang ada hanya hembusan debu menyiram muka.
"Nilasari Grewek....! Di mana kau! Keluarlah.
Aku membawa Kumbayana!" teriak Adisena sambil
menutup wajahnya dari hembusan debu hitam ber-
campur asap. Suara Adisena menggema. Tapi mereka
tidak mendengar adanya jawaban.
"Jalan terus, Adisena! Cari ke tempat lain!" Pe-
rintah Kumbayana. Roda keretapun berderak lagi ber-
sama helaan Adisena mencambuk kuda penarik.
*
* *
SEMBILAN
Kereta itu terus melaju semakin menembus be-
lantara Sawungan. Seharian penuh telah mereka lewa-
ti. Namun belum juga ditemukan sosok Nilasari Gre-
wek. Adisena yang mengendalikan kereta kuda nam-
pak sudah sangat lelah. Begitu juga Kumbayana yang
berada di dalam kereta itu. Manakala hari mulai gelap.
Kumbayana memerintahkan beristirahat di tempat itu.
Kumbayana tidak perlu merasa takut dalam be-
lantara tersebut. Sebagai orang yang telah hidup pulu-
han tahun dalam hutan itu, ia tabu benar akan kea-
daan hutan Sawungan. Tidak ada satu ekor binatang
buaspun yang berkeliaran di situ. Kecuali burung-
burung dan binatang jinak lainnya.
Tapi bagi Adisena, ia takut sekali. Karena ia harus berjaga sendirian di luar kereta. Suara binatang
malam dan udara dingin amat menakutkan.
Sementara itu suasana malam menyelubungi
gubuk Kumbayana. Para penduduk yang mengungsi
sudah tertidur lelap di sembarang tempat. Maka pela-
taran gubuk yang bersih itu nampak dipenuhi orang.
Udara yang dingin tidak mereka perdulikan.
Para murid Perguruan Pedang Ular berjaga-jaga
bergantian. Wintara duduk sendiri di teras gubuk ber-
lantai kayu. Letupan api unggun sayup-sayup terden-
gar di sampingnya.
Di dalam sebuah ruangan, Umbayani sudah
tertidur lelap juga. Seharian penuh ia menjaga Umba-
mayu. Kini Arso Lumbing yang menjaganya. Di sudut
ruangan itu Resi Wesakih duduk merenung. Ruangan
itu di terangi dua buah lampu pelita. Arso Lumbing
dapat melihat wajah cantik Umbamayu terlentang be-
lum sadarkan diri.
Tiba-tiba saja angin bertiup kencang menerpa
daun jendela. Suara itu sampai berderak keras. Mem-
bangunkan Umbayani yang sudah terlelap tidur. Angin
menerobos ke dalam ruangan kamar. Menyibak seli-
mut penutup tubuh Umbamayu. Cepat-cepat Arso
Lumbing membetulkan letak selimut, tapi baru saja ia
hendak menutupinya. Ia terkejut setengah mati.
Mata ngantuk Umbayani juga jadi terbelalak.
Melihat itupun Resi Wesakih bangkit dari duduknya.
Mereka melihat dua pedang kecil yang menancap pada
telapak kaki Umbamayu mengeluarkan darah hitam.
Seperti apa yang diperintahkan Kumbayana,
Resi Wesakih perlahan-lahan mencabut kedua pedang
tersebut. Umbayani mempersiapkan air hangat. Arso
Lumbing membersihkan kedua telapak kaki Umba-
mayu yang meleleh darah mati.
"Dua pedang dicabut sekaligus. Apakah itu di
benarkan, Paman?" tanya Umbayani. "Bukankah ia
memerintahkan satu hari satu pedang yang mesti di-
cabut?"
"Itu kalau satu pedang yang telah mengelua-
rkan darah mati." jawab Resi Wesakih.
"Ayah, dari telapak kaki ini terlalu banyak da-
rah keluar." ujar Arso Lumbing khawatir.
"Bersihkan saja terus. Usahakan sampai keluar
semua." tukas Resi Wesakih. Arso Lumbing menurut.
Ia membersihkan darah-darah hitam di kaki Umba-
mayu dengan air hangat. Umbayani bangkit menutup
jendela.
"Daya tahan tubuh Umbamayu sangat kuat.
Masih ada harapan bisa sembuh." tutur Resi Wesakih.
Memang betul. Andaikata orang lain yang ter-
kena hantaman Tombak Gunung pasti sudah binasa.
Tapi untuk Umbamayu tidak. Mungkin dikarenakan
perempuan ini bekas murid Nilasari Grewek. Sedikit
banyaknya ia telah memiliki dasar-dasar jurus Tombak
Gunung.
Kekhawatiran mereka agak berkurang ketika
suatu hari tubuh Umbamayu berangsur-angsur han-
gat. Tubuhnya tidak lagi pucat seperti sebelumnya. Bi-
birnya yang mungil nampak merah, terkadang pula
nampak bergetar.
Apalagi ketika dua buah pedang kecil di bagian
lututnya mencairkan darah kehitaman. Arso Lumbing
makin bersemangat membersihkannya. Itu berarti su-
dah lima batang pedang kecil keluar dari tubuh Um-
bamayu. Dalam waktu dua hari saja, lima pedang kecil
sudah dikeluarkan. Betul-betul luar biasa. Berarti ma-
sih ada tujuh batang lagi di tubuh Umbamayu.
Meskipun begitu Umbamayu nampak sudah
berusaha membuka kedua matanya. Hal itu membuat
Arso Lumbing dan yang lainnya sangat senang. Melihat
itu Umbayani mengeluarkan air mata. Ia tidak dapat
menahan rasa gembiranya.
Sementara itu Umbamayu membuka matanya.
Pandangannya masih samar, dan dirasakan kedua bo-
la matanya perih. Namun ia masih dapat melihat tiga
orang berdiri di samping pembaringan.
"Umbamayu... Umbamayu... Kau tidak apa-
apa...?"
Bibir Umbamayu bergetar. Ia mendengar suara
itu. Seketika kepalanya jadi pening. Ia seperti pernah
mendengar nama itu. Entah kapan, entah siapa Um-
bamayu. Nama Umbamayu itu membuat ingatan mun-
dur. Kenangan pahit selama itu tergambar di luar ke-
sadarannya. Ia pernah menggendong seorang gadis ke-
cil sambil berteriak-teriak.... Umbamayu.... Umba-
mayu... Ia masih ingat betul akan nama gadis kecil
yang menjadi sebagian hidupnya. Umbayani! Yah Um-
bayani. Ia pernah mempunyai seorang adik bernama
Umbayani.
Tapi satu perpisahan yang telah terlupakan se-
karang tergambar kembali dalam benaknya. Suatu per-
tempuran telah terjadi di wilayah Perguruan Pedang
Ular. Seorang nenek berbaju merah telah memisahkan
dirinya dari Umbayani. Hidup sekian lama bersama
nenek Penguasa Gunung Tunggul dalam kekerasan,
yang membuat dirinya menjadi Srikaton Munggel. (Ba-
ca: Alap-Alap Liang Kubur dan Dewi Jalang Dari Gu-
nung Tunggul).
Entah berapa banyak orang-orang persilatan
yang tewas di tangannya selama menjadi murid Nilasa-
ri Grewek. Gambaran itu jelas sekali diingat. Teriak ke-
sakitan. Darah menyembur kemana-mana. Kejam serta
sadis. Semua itu didikan Nilasari Grewek. Nenek itu
berusaha menempa Umbamayu menjadi seorang tokoh
sesat yang tak kenal ampun.
Berangsur-angsur penglihatannya pulih. Tiga
orang jelas berdiri di sampingnya. Saat itu Wintara
masuk menemui mereka. Melihat pendekar Kelana
Sakti ini. Umbamayu amat terkejut. Bagaimana pun ia
masih mengenalinya. Pendekar inilah yang selalu
membuat Umbamayu bersama gurunya lari terbirit-
birit....
"Umbamayu, kau nampak hampir sehat. Ba-
gaimana perasaanmu?" tanya Resi Wesakih. Air mata
Umbayani berderai. Kedua belah pipinya telah basah.
Ia berdiri paling dekat dengan Umbamayu.
"Bu-bu-bukan-kah k-kk-kau gadis yang per-
pernah k-kk-ku-lu-kai duu-lu?" ujar Umbamayu terpu-
tus-putus. Ia berpegangan dengan lengan Arso Lumb-
ing. Pemuda tampan ini hampir meremasnya.
"Perbuatanmu tidak bisa disalahkan, kakak....
Aku.... Aku Umbayani." jawab gadis itu. Tangisnya
berderai. Resi Wesakih mengelus-elus rambut Um-
bayani.
"K-kk-kau Um-umm-Umbayani?" Sambil meng-
hapus air matanya Umbayani mengangguk. Mata Um-
bamayu pun berkaca-kaca. Ia tidak percaya dengan
pengakuan itu.
"Benar Umbamayu, gadis ini adalah adik mu.
Umbayani. Aku rasa kaupun masih mengenaliku. Aku-
lah Resi Wesakih yang pernah mengabdi di dalam Per-
guruan Pedang Ular terhadap Ayahmu. Arso Lumbing
adalah anakku. Teman mainmu dulu."
"Be-be-benarkah....?" Umbamayu bermaksud
bangkit. Tapi sekujur tubuhnya terasa. sakit sekali. Ia
pun dapat melihat sebagian tubuhnya telah menancap
batang-batang pedang kecil sebanyak tujuh batang.
"Jangan bergerak dulu, Umbamayu. Kau ten-
gah terluka parah, kau terkena hantaman Tombak
Gunung. Di sini kami tengah merawatmu." Resi Wesa
kih merebahkan kembali tubuh Umbamayu. Perem-
puan ini menatap ke arah langit-langit kamar.
Hantaman Tombak Gunung. Cuma Nilasari
Grewek yang memilikinya. Ia pernah lihat keampuhan
jurus tersebut. Kalau sekarang ia terbaring sedemikian
rupa, ia memang telah terkena hantaman Tombak Gu-
nung. Dikarenakan ia memisahkan diri dari Nilasari
Grewek. Nenek Penguasa Gunung Tunggul itu amat
murka setelah diketahui Umbamayu hidup bersama
Arso Lumbing.
Sudah ada tanda-tanda kesembuhan pada diri
Umbamayu. Tapi ada lagi masalah baru yang mesti
mereka pikirkan. Mengenai diri Kumbayana. Ia telah
pergi selama dua hari bersama Adisena. Sampai saat
ini tidak ada kabar beritanya. Keadaan mereka perlu
diketahui. Untuk itu Wintara memutuskan diri menca-
ri mereka.
Mereka tahu pasti kalau Kumbayana tengah
keracunan. Dalam waktu yang sangat singkat Kum-
bayana akan binasa. Kalau Kumbayana tewas dalam
perjalanan pastilah Adisena sudah memberi kabar. Se-
bagai satu-satunya orang yang dapat mengimbangi ke-
pandaian Nilasari Grewek, Wintara harus mencari me-
reka. Atas persetujuan Resi Wesakih, Wintara berang-
kat hari itu juga.
Dan pada malam harinya. Suasana malam ini
agak lain. Tidak seperti biasanya angin berhembus
demikian kencang. Berkali-kali orang-orang yang bera-
da di pelataran gubuk Kumbayana harus menyalakan
kembali api unggun. Pada malam itu, mereka tidak
cukup hanya membuat satu api unggun. Pelataran gu-
buk sangat diterangi oleh empat tumpukan kayu ba-
kar.
Meskipun udara sangat dingin, sudah banyak
orang-orang berbaring tertidur. Begitu juga dengan Resi Wesakih. Kepalanya sudah terkantuk-kantuk dalam
sebuah ruangan. Kedua matanya terasa berat dan ti-
dak kuasa menahan ngantuk.
Sedari tadi Umbayani yang tengah menjaga
Umbamayu bersama Arso Lumbing sudah menguap
berkali-kali. Sampai akhirnya pada tengah malam, ke-
duanya betul-betul terlena dalam tidurnya. Keduanya
sama-sama rebah di samping kanan kiri pembaringan.
Umbamayu tetap terbaring di atas pembaringan itu.
Berselimut kain tebal.
Sementara di luar, suara binatang malam
mengkerik berselubung hawa dingin. Baik para pen-
gungsi maupun murid-murid perguruan Pedang Ular,
semua sudah tertidur lelap. Mereka dapat melepaskan
lelah di sekitar tempat api unggun yang menghangati
tubuh.
Tak ada seorangpun yang menyadari kalau ada
sosok tubuh melesat keluar dari dalam gubuk. Dalam
suasana gelap itu sukar untuk dipastikan sosok siapa
gerangan. Yang jelas saat sosok itu pergi menjauh di
telan kegelapan malam, tidak terjadi apa-apa.
Ketenangan itu berakhir sampai esok pagi, ke-
tika langit mulai merah menampakkan sinar matahari,
Umbayani bangun terlebih dahulu. Dan ia terkejut se-
tengah mati ketika dilihatnya tempat pembaringan ko-
song.
"Arso Lumbing, bangun....! Arso Lumbing....!"
Umbayani membangunkan Arso Lumbing. Pemuda ini
menggeliat. Resi Wesakih yang tidur di ruangan lain
terbangun mendengar suara Umbayani. Ia langsung
masuk ke dalam ruangan itu. Arso Lumbing nampak
gelagapan terbangun.
"Tidakkah paman melihat kemana Umba-
mayu?" tanya Umbayani.
"Umbamayu...?" Resi Wesakih keheranan. Ia
melihat pembaringannya kosong. Jendela kamarpun
terbuka lebar. Pada lantai ruangan yang terbuat dari
kayu papan banyak membercak tetes-tetes darah hi-
tam. Bercak-bercak itu menuju ke arah jendela..
"Astaga.... Umbamayu melarikan diri. Cepat ki-
ta ikuti jejaknya."
*
* *
SEPULUH
Roda kereta terus berderak membawa kereta itu
semakin masuk ke Belantara Sawungan. Adisena yang
mengendarai kuda dimuka kereta sudah bosan berte-
riak-teriak memanggil-manggil nama Nilasari Grewek.
Tokoh sesat Penguasa Gunung Tunggul itu tidak juga
menampakkan diri.
Adisena sendiri sebenarnya sudah merasa curi-
ga terhadap Kumbayana yang berada di dalam kereta.
Sejak dua hari ini dukun sakti itu tidak mengeluarkan
suara. Mengingat Kumbayana tengah keracunan, Adi-
sena khawatir akan Kumbayana yang bakal tewas da-
lam perjalanan.
Untuk menghilangkan rasa khawatirnya itu,
Adisena sengaja berteriak-teriak terus....
"Nilasari Grewek! Tunjukanlah dirimu! Kum-
bayana ada disini...!" Suara Adisena menggema menye-
ruak lebatnya hutan. "Keluarlah Nilasari Grewek...!"
Dalam pada itu terdengar suara gemereseknya dedau-
nan pohon. Disertai dengan suara angin yang berge-
muruh. Cepat Adisena menoleh. Nampak sosok berba-
ju merah meluncur deras ke arahnya sambil menu-
dingkan pedang. Melihat itupun Adisena cepat melompat dari atas kereta. Sampai jatuh bergulingan.
Sosok berbaju merah itu terus meluncur den-
gan babatan pedangnya. Pedang bersinar keemasan
membersit berkali-kali menghantam kereta kuda itu.
Terjangan gesit bagai angin berpindah-pindah meng-
hancurkan dinding-dinding kereta.
Sosok berbaju merah itu tidak lain Nilasari
Grewek adanya. Ia menyeringai sadis menatap kereta
kuda yang hancur berantakan. Dua ekor kuda penarik
meringkik-ringkik ketakutan. Saat itu Kumbayana
nampak duduk tenang bersila. Tubuhnya sangat pucat
bagai pelepah daun pisang. Wajah Buto Ijo-nya nam-
pak kuyu.
"Kumbayana sialan! Rupanya sengaja kau
membiarkan aku mati! Jangan mimpi yang muluk-
muluk! Tidak kau sadarikah kalau dirimu itu tengah
keracunan juga?" ujar Nilasari Grewek. Kumbayana te-
tap diam.
"Percuma saja kedatanganmu ini. Luka-luka di
tubuhku sudah terlanjur mengeram. Dan kaupun ti-
dak mungkin akan mendapatkan penawar racun!
Mampus saja sekalian." gerutu Nilasari Grewek.
"Tidak! Kedatangan Kumbayana mencari kau
tidak lebih untuk mengobatimu! Kau tidak boleh mem-
biarkan Kumbayana binasa begitu saja!" sergah Adise-
na melindungi Kumbayana. Terasa sekali tubuh Kum-
bayana sangat dingin.
"Pemuda tolol! Bisa apa kau mati-matian me-
lindungi keparat itu? Rupanya ingin pula mampus ber-
samanya!" Nilasari Grewek murka. Lengannya siap
membersitkan Pedang Ular Emas. Adisena memang ti-
dak becus apa-apa, tapi ia lebih baik mati dari pada
harus terlunta-lunta dalam Belantara Sawungan sen-
dirian. Maka ia tidak bereaksi saat Nilasari Grewek
mulai menerjang.
"Tahaaaan...!" Tiba-tiba saja Kumbayana berte-
riak. Nilasari Grewek ngurungkan niatnya. Ia berbalik
memandang Kumbayana yang pucat pias.
"Dari pada kau membunuhnya, lebih baik kau
membunuhku saja! Adisena bukanlah lawanmu! Aku
puas binasa di tanganmu. Sebab aku yakin beberapa
saat lagi pun kau akan binasa. Jangan selalu kau
sembunyikan rasa sakitmu itu, Nilasari Grewek! Jan-
gan kira aku tidak tahu kalau kau tengah terluka pa-
rah. Aku bisa mengukur masa hidupmu itu tinggal be-
berapa hari lagi. Besok. Lusa atau nanti, kau akan bi-
nasa dengan sendirinya." tutur Kumbayana. Mendadak
Nilasari Grewek jadi kecut.
Mendadak pula dadanya terasa sakit. Saat itu
juga ia memuntahkan darah. Memang tidak bisa di
pungkiri. Selama ini Nilasari Grewek terus menerus
memuntahkan darah. Sekujur tubuhnya terasa nyeri.
Tulang-tulangnya pun terasa remuk.
"Jujur saja! Apakah masih memerlukan pengo-
batan dariku? Kalau tidak, lebih baik kau bunuh aku
di sini!" ujar Kumbayana.
Bagi Nilasari Grewek tidak ada pilihan. Siapa
manusia yang ingin cepat mati. Lagi pula apa gunanya
ia memiliki Pedang Ular Emas kalau sebentar lagi ia
akan binasa?
"Baiklah untuk hari ini aku mengalah.
Kau bersama anak muda itu boleh hidup. Tapi
mulai sekarang kau harus mengobatiku!"
"Kemarilah!" kata Kumbayana sembari merogoh
sebuah bungkusan kecil dari ikat pinggangnya. Seperti
yang sudah kita ketahui isi bungkusan itu seperangkat
pedang-pedang kecil.
Melihat itupun Nilasari Grewek tidak ragu-ragu
mendekati Kumbayana.
"Tidak kusangka kau dapat bertahan dari ra
cun ku itu, Kumbayana. Tadinya aku sudah mengira
bahwa kau sudah mampus!" kata Nilasari Grewek yang
langsung duduk bersila berhadapan dengan Kum-
bayana. Mereka duduk di atas kereta yang telah han-
cur. Adisena tetap tidak menjauh dari Kumbayana.
"Bagian depan tidak perlu lagi, berbaliklah.
Punggungmu harus dirawat agar tidak terlalu banyak
mengeluarkan darah." Kumbayana mempersiapkan
beberapa batang pedang kecil. Nilasari Grewek me-
mang merasakan sakit di sekitar dada, maka ia cepat
berbalik duduk bersila membelakangi Kumbayana.
Nenek berbaju merah ini membuka sebagian bajunya
tanpa diperintah.
Sebagai seorang dukun sakti ia sudah tahu apa
yang mesti di lakukan. Tanpa banyak bicara Kum-
bayana mulai bekerja. Sebatang pedang kecil di tan-
capkan perlahan-lahan pada tulang leher. Nilasari
Grewek meringis.
"Kenapa sakit sekali?"
"Karena kau terlalu banyak bergerak. Diamlah,
aku akan menancapkan dua batang pedang sekaligus
di tulang belikat mu." Kumbayana mempersiapkan dua
batang pedang kecil. Nilasari Grewek menahan nafas
menanti rasa sakit.
Saat Kumbayana melihat dua tulang belikat di
punggung Nilasari Grewek, Kumbayana membuka ma-
ta lebar-lebar. Serta merta ia menancapkan dua pe-
dang kecil itu kuat-kuat....
"Creeeep!.....Creeeep!......Aaaaaarght!"
Tak urung Nilasari Grewek jadi kelojotan. Tu-
buhnya berguling membuat pedang-pedang kecil me-
nancap semakin dalam.
"Bangsat kau, Kumbayana! Kau ingin membu-
nuhku rupanya!" bentak Nilasari Grewek menyemburkan darah lagi.
"Ha-ha-ha-ha-ha.....Aku tidak bodoh, nenek ke-
riput! Siapa sudi mengobati seorang tokoh sesat ma-
cam kau!" teriak Kumbayana, . ia bangkit berdiri di
atas kepingan-kepingan kereta. Kedua lengannya ber-
putar mengembangkan jurus. Seketika itu juga tubuh
pucatnya berangsur hilang. Tubuhnya kembali normal
seperti sedia kala.
"Keparat! Diam-diam rupanya kau mengingin-
kan juga Pedang ini. Jangan harap kau bisa menda-
patkannya, Kumbayana!" jawab Nilasari Grewek geram.
Ia bangkit menantang.
"Hua-ha-ha-ha.....! Siapa yang tidak tergiur me-
lihat Pedang Ular Emas itu, Nilasari Grewek! Aku yang
sudah tua ini masih ingin memilikinya!" ujar Kum-
bayana.
"Tidak! Pusaka ini sudah menjadi milik ku! Lagi
pula kau akan mampus karena racun ku!" Nilasari
Grewek melangkah mundur. Kedua tangannya siap
melancarkan serangan.
"Bukanlah Kumbayana si Dukun Sakti kalau
harus binasa oleh karena racun! Mana lagi racun-
racunmu itu. Keluarkan semua! Biar ku telan habis di
depan hidungmu!" tantang Kumbayana.
"Bangsaaaat....!" Nilasari menerjang. Babatan
pedangnya menjurus ke depan. Di luar dugaan Kum-
bayana dapat mengelak dengan melompat salto ke
atas. Adisena menyingkir dari situ.
Nilasari Grewek terus mencecar dengan baba-
tan pedangnya. Sinar-sinar keemasan membersit ke-
sana kemari. Namun dengan lincah Kumbayana selalu
dapat mengelak.
Sebenarnya kepandaian Nilasari Grewek jauh
lebih tinggi dari Kumbayana. Namun di karenakan Ni-
lasari Grewek tengah terluka, gerakannya nampak
sangat lambat. Selama menghadapi Penguasa Gunung
Tunggul ini pula Kumbayana selalu berhati-hati. Yang
amat ditakutinya adalah Pedang Ular Emas. pedang itu
seakan memberi pengaruh kekuatan terhadap Nilasari
Grewek.
Sambaran pedangnya selalu cepat bagai kilat
membawa maut. Meskipun serangan Nilasari Grewek
agak ngawur, Kumbayana agak sulit melakukan se-
rangan balasan. Karena Pedang Ular Emas selalu
membersit melindungi Nilasari Grewek.
Saat itu, Wintara yang tengah mencari Kum-
bayana dan Adisena merasa tersesat dalam Belantara
Sawungan yang lebat itu. Ia sama sekali tidak mene-
mui jejak mereka. Yang ia lihat hanyalah semak-semak
merimbun tiada habisnya.
Bagi pendekar Kelana Sakti ini, ia sudah tidak
tahu kemana harus membawa kudanya. Sepanjang
yang ia lihat hanyalah pohon-pohon besar mengelilingi.
Jalan kembali pulang pun sudah tidak tahu lagi. Tapi
sebagai seorang pengelana, ia pantang menyerah da-
lam menentukan langkahnya.
Dalam ketersesatannya itu, Wintara mendadak
tersentak. Karena dari kejauhan ia dapat melihat sosok
tubuh berlari sangat kencang. Sosok itu nampak jelas
seorang perempuan. Mengenakan pakaian yang sangat
ganjil. sosok tubuh mulus yang hanya ditutupi selem-
baran kain tebal.
Tergerak bagi Wintara untuk mengikuti sosok
itu. Maka setelah sosok perempuan itu agak jauh, Win-
tara menghela kudanya kuat-kuat. Menyusul kemana
sosok itu pergi.
***
Sementara itu pula Resi Wesakih tengah me-
mimpin pendekar-pendekar muda mengikuti bercak
bercak darah hitam. Tetes-tetes darah itu membekas
setiap jarak tiga meter. Dan jelas kelihatan di atas
permukaan rerumputan dataran Belantara Sawungan.
"Ayah, mungkinkah Umbamayu dapat berlari
sejauh ini?" ujar Arso Lumbing menyusul langkah Resi
Wesakih. Pemuda ini lari berdampingan dengan Um-
bayani.
"Melihat dari jejak tapak kakinya ia hanya seo-
rang diri. Tapi langkah-langkahnya sangat luar biasa.
Menandakan ia menggunakan ilmu pelari yang sangat
cepat." jawab Resi Wesakih.
"Aku khawatir ada seseorang yang melarikan
Umbamayu, Paman." kata Umbayani.
"Maksudmu Nilasari Grewek?" tukas Resi We-
sakih. Tatapannya terus menyusuri bercak-bercak da-
rah hitam tanpa menghentikan langkahnya.
"Tidak mungkin, Umbayani. Kalau Nilasari
Grewek yang datang semalam melarikan Umbamayu,
kita-kita sudah tewas semua di saat tertidur pulas. Ja-
di menurut ku, ini tindakan Umbamayu sendiri." kata
Resi Wesakih lagi. Dua pendekar muda di belakangnya
dapat menyusul. Sekarang mereka beriringan.
"Kenapa Umbamayu bertindak senekad ini, bu-
kankah ia sedang terluka? Aku khawatir tindakannya
itu akan mencelakakan diri nya sendiri." ujar Umbaya-
ni.
"Kita lihat saja nanti, sampai di mana bercak-
bercak darah ini berakhir. Mudah-mudahan Umba-
mayu tidak kurang satu apa pun." Resi Wesakih masih
memimpin perjalanan. Mengikuti bercak-bercak darah
hitam yang semakin jelas di dataran berumput Belan-
tara Sawungan.
*
* *
SEBELAS
Pertarungan masih terus berlangsung. Nilasari
Grewek mati-matian mempertahankan Pedang Ular
Emas. Kumbayana berusaha keras merebutnya. Se-
rangan-serangannya selalu pupus disambut dengan
babatan Pedang Ular Emas.
"Kerahkan terus tenagamu, Nilasari Grewek!
Hayo kuras semua! Biar kau cepat-cepat mampus! Ha-
ha-ha-ha-ha.....! ujar Kumbayana. Nilasari Grewek ma-
rah semakin hebat.
"Lebih baik kita mati bersama! Biar tidak satu-
pun di antara kita menguasai pedang ini.... Hraaaa!"
Terjangan nenek berlumuran darah ini sangat dahsyat.
Kumbayana cepat menyingkir. Namun saat tubuhnya
bergerak ke samping Kumbayana sempat melepaskan
sebuah hantaman.
"Deees....!" Nilasari Grewek memekik. Tubuhnya
ambruk terbanting di tanah. Darah segarpun menyem-
bur. Kumbayana memasang jurus lagi. Nilasari Grewek
berusaha bangkit meskipun terhuyung.
"Kalau tahu begini, harusnya kau sudah kubu-
nuh sejak dulu! Rupanya kau lebih licik dari keparat
manapun!" gerutu Nenek sesat ini. Kumbayana hanya
tertawa mendengar ucapan itu.
"Melumpuhkan engkau, harus menggunakan
cara halus. Sekarang diri rentamu sudah tidak berarti
lagi. Mampuslah! Hiaaaa....!" Serta merta Kumbayana
lepaskan sebuah tendangan geledek.
"Deeeer.....!" Kontan Nilasari Grewek mencelat
jauh. Pedang Ular Emas sampai terlepas dari gengga-
mannya. Melihat itupun Kumbayana langsung melom-
pat menyambar pedang tersebut.
Nilasari Grewek betul-betul di buatnya tidak
berkutik. Tatkala ia bangkit. Pedang Ular Emas sudah
tidak berada di tangannya lagi. Pandangannya yang
suram dapat melihat Kumbayana berdiri menghu-
nuskan pedang bersinar keemasan.
Kumbayana mendadak tersentak kaget. Cepat
ia membalikkan tubuhnya ke belakang. Mata tuanya
dapat melihat sosok tubuh perempuan cantik berdiri
berselubung selimut tebal. Saat itu terdengar pula de-
rap kaki kuda melangkah cepat ke arah itu. Kumbaya-
na makin gelagapan. Ia tidak menyangka kalau gadis
berselimut yang tidak lain Umbamayu adanya bisa
sampai ke tempat itu. Begitu juga dengan Wintara.
Pendekar Kelana Sakti ini langsung turun dari ku-
danya berjalan melangkah ke arah Kumbayana.
"Syukurlah kau telah merebut Pedang Ular
Emas dari tangan Nilasari Grewek. Kebetulan pula
Umbamayu berada di sini. Sebaiknya pedang itu dis-
erahkan padanya." ujar Wintara. Jawaban Kumbayana
lain. Pedang Ular Emas ditangannya membersit ke
arah dada Pendekar Kelana Sakti....
"Weees!" Wintara sudah membayangkan dan
berhati-hati. Ia melesat mundur ke belakang.
"Apa yang kau lakukan ini, Kumbayana.
Kau...!" Wintara keheranan. Begitu juga dengan Um-
bamayu. Perempuan ini cepat melompat maju, tapi
Kumbayana cepat pula menghunuskan pedangnya ke
arah mereka.
"Jangan mimpi orang-orang pedang ular akan
mendapatkan kembali pedang ini. Sekarang urusannya
jadi lain. Ingin mendapatkan pedang ini harus berani
menukar dengan kepala kalian." ujar Kumbayana.
"Kau bergurau, Kumbayana?" Wintara ker-
nyitkan alis. Kumbayana tidak menjawab, malah ia le-
paskan babatan pedang dengan keras. Angin berdesing
mendorong tubuh Wintara beberapa langkah ke belakang....
"Siuuuuut!" Benar-benar dahsyat! Dan tidak
main-main.
"Hua-ha-ha-ha.....! Kau pikir aku ini anak ingu-
san yang suka bercanda? Jangan berolok-olok. Terus
terang, aku sengaja ingin memiliki pedang ini. Siapa-
pun yang menghalangi, akan tahu akibatnya." jawab
Kumbayana. Wajah Buto Ijo nya menyeringai. Umba-
mayu menatap geram. Di tubuhnya masih menancap
tujuh batang pedang kecil. Tapi tidak nampak karena
terselubung selimut tebal.
"Kami memang telah salah menilai orang. Wa-
jah buruk memang selalu menunjukkan sifat aslinya
seperti wajah yang kau miliki itu, Kumbayana." kata
Wintara. Matanya terus mengawasi Pedang Ular Emas
di tangan Kumbayana.
"Berani menghina wajahku, itu tandanya kalian
harus minggat ke akherat! Heaaaa.....!" Serta merta
Kumbayana maju menyerang. Wintara bergeser ke
samping seraya ia menarik tubuh Umbamayu meng-
hindari sambaran pedang. Tapi mendadak Kumbayana
memekik sambil tubuhnya ambruk berguling. Pedang
Ular Emas terlepas dari tangannya. Pedang itu tergele-
tak persis di antara mereka.
"Heh, keparat Kumbayana. Ada satu yang tidak
kau ingat." Nilasari Grewek nampak berdiri tegak. Ru-
panya dialah tadi yang melepaskan hantaman ke arah
Kumbayana. Nenek ini penuh darah di mulutnya.
Kumbayana meringis berusaha bangkit.
"Kau melupakan kalau Nilasari Grewek masih
memiliki pukulan dahsyat bernama Tombak Gunung!
Hik-hik-hik-hik....! Sudah kau rasakan tadi, bukan?"
ujar Nilasari Grewek. Ia langsung menoleh ke arah pe-
dang yang tergeletak di tanah. Wintara bersama Um-
bamayu bersiap siaga menyambar pedang tersebut.
Suasana jadi nampak tegang.
"Heh, Srikaton Munggel. ternyata kau masih
hidup pula. Kukira kau sudah menjadi makanan cac-
ing." Terhadap Umbamayu, Nilasari Grewek masih me-
nyebut Srikaton Munggel.
"Aku akan mengampunimu, asalkan kau jan-
gan turut campur urusanku! Menyingkirlah!" Sambil
berkata begitu, Nilasari Grewek melompat bermaksud
menyambar Pedang Ular Emas yang tergeletak di ta-
nah. Tapi rupanya Umbamayu tidak kalah siap. Pe-
rempuan berselimut kain tebal ini ikut melompat. Juga
Kumbayana, meskipun tubuhnya terasa lemas, ia ikut
berlomba merebut Pedang Ular Emas.
Sebagai seorang pendekar tua yang banyak
berpengalaman, Nilasari Grewek tidak langsung me-
nyambar pedang itu. Tapi terlebih dulu ia melepaskan
tendangan memutar.
Wintara yang sudah melihat gelagat kurang
baik, cepat melompat menyambar tubuh Umbamayu.
Sehingga tendangan memutar Nilasari Grewek luput
dan hanya mengenai di tubuh Kumbayana.
Usaha yang dilakukan Nilasari Grewek ini san-
gat sempurna. Dengan begitu semua saingannya ter-
singkir, maka dengan leluasa dapat menyambar Pe-
dang Ular Emas. Begitu Pedang Ular Emas berada di
tangannya Nilasari Grewek langsung menyabet ke
samping....
"Craaaas....!" Malang bagi Kumbayana. Ia tidak
sempat menghindari sambaran pedang yang mengarah
ke tenggorokannya. Tidak pula sempat memekik ketika
tubuhnya ambruk bersama dengan kepalanya yang
menggelinding bagai bola ke tanah.
Darah menghambur di sekitar tempat itu. Win-
tara menatap tenang. Umbamayu bersiap-siap meng-
hadapi Nilasari Grewek. Melihat dua orang inipun Nila
sari Grewek tidak tanggung-tanggung menerjang. Ba-
batan pedangnya membersit menimbulkan suara angin
yang bergemuruh. Mengeluarkan cahaya emas menyi-
laukan.
"Mundduuuur.....!" teriak Wintara sambil mele-
sat ke belakang. Umbamayu ikut berjingkat menghin-
dari sambaran pedang. Selama tubuhnya melesat, pe-
rempuan itu mencabut dua batang pedang pendek
yang menancap di pangkal lengannya. Lalu dengan ref-
lek Umbamayu melemparkannya ke depan....
"Creeep....! Creeeep.....! Wuaaaaa.....!"
Nilasari memekik hebat. Lemparan kedua pe-
dang kecil Umbamayu tepat menembus di kedua biji
mata Nilasari Grewek. Nenek berlumuran darah ini
menggelepar-gelepar memekik. Matanya gelap serta pe-
rih.
Umbamayu menatap ngeri. Bagaimanapun Ni-
lasari Grewek adalah mantan gurunya. Ia pernah hi-
dup selama tiga puluh tahun bersamanya. Tapi setelah
mengingat tindak tanduknya yang telah memisahkan
kehidupannya dari keluarga, Umbamayu jadi berubah
murka.
Ketika ia hendak melepaskan serangan, Winta-
ra menahan Umbamayu. Tindakan Umbamayu itu
akan membawa celaka. Sebab, meskipun Nilasari Gre-
wek telah buta parah, ia terus memutar Pedang Ular
Emas. Tindakan itu memang untuk melindungi tu-
buhnya dari serangan. Apalagi sebelah lengannya terus
melepaskan hantaman Tombak Gunung. Dia lepaskan
hantaman itu kemana suka. Wintara dan Umbamayu
malah berbalik kewalahan menghadapi hantaman-
hantaman tersebut. Hantaman Tombak Gunung yang
selalu nyeplos itu mengenai batang-batang pohon be-
sar. Mengakibatkan batang-batang pohon itu tumbang
berdegum di tanah, bahkan ada yang menimpa tubuh
Kumbayana.
Sungguh dahsyat, Nilasari Grewek mengamuk
sejadi-jadinya. Baik Wintara dan Umbamayu tidak ada
yang berani mendekat.
Mereka hanya menyambut dengan hantaman-
hantaman jarak jauh.
Umbamayu mencabut sekaligus empat batang
pedang pendek yang masih menancap di tubuhnya.
Satu persatu pedang-pedang itu dilemparkan menga-
rah pada Nilasari Grewek bagai senjata rahasia.
Namun pedang-pedang kecil berpentalan saat
membentur putaran Pedang Ular Emas di tangan Nila-
sari Grewek. Bahkan pedang-pedang kecil itu patah
berkeping-keping.
Melihat itupun Wintara segera lepaskan han-
taman Tinju Bayu Delapan Penjuru.
"Hreaaaa.....!" Kedua telapak Wintara maju ke
depan. Hantaman itu membentur segulungan sinar
keemasan. Benturannya terdengar nyaring. Manakala
Nilasari Grewek semakin kuat memutar Pedang Ular
Emas, Wintara pun terus melancarkan hantaman Tin-
ju Bayu Delapan Penjuru.
"Bledaaar....! Bledaaar....! Bledaaaaaa-
Selama hantaman itu membentur keduanya
terdorong mundur. Di luar dugaan pula Nilasari Gre-
wek memuntahkan darah. Tanah dimana ia berpijak
telah penuh dengan lumuran darah.
Wintara sendiri sudah benar-benar kehabisan
tenaganya. Tidak mungkin ia terus menerus lancarkan
Tinju Bayu Delapan Penjuru. Ia hanya membuang te-
naganya dengan percuma. Sementara putaran Pedang
Ular Emas mendengung kian kencang.
Umbamayu tidak tahu apa yang mesti ia laku-
kan. Nilasari Grewek memang bukan tandingannya.
Apalagi ia menggunakan Pedang Ular Emas. Dirinya
seakan bukan apa-apa bagi Penguasa Gunung Tunggul
itu. Ia hanya menatap bagaimana Wintara menghadapi
serangan-serangan Nilasari Grewek.
Sekarang ia agak terkejut melihat jurus-jurus
baru Wintara. Dirinya yang berdiri begitu dekat dengan
Pendekar Kelana Sakti seperti terasa dingin. Jelas ha-
wa dingin itu berasal dari tubuh Wintara.
Hantaman-hantaman Tombak Gunung menye-
bar kemana-mana, Wintara tahu benar akan akibat
hantaman tersebut, maka dengan mengerahkan selu-
ruh tenaga sisanya, ia lepaskan hantaman yang paling
dahsyat. Hantaman yang selama ini menjadi andalan
dan jarang ia gunakan kecuali dalam keadaan terdesak
seperti ini.
"Hraaaaaaa.....!" Serta merta Wintara berteriak
menghempaskan pukulan andalannya yang bernama:
Selaksa Bayu Penjerat nadi, maka "Bluaaaaaar....!" Se-
ketika Nilasari Grewek memekik. Mendadak seluruh
tubuhnya kaku. Jalan darahnya seakan terhenti. Len-
gannya yang menggenggam Pedang Ular Emas berpu-
tar lemah. Kemudian berhenti. Tubuh renta Nilasari
Grewek kaku bagai seonggok patung. urat-uratnya
menonjol seakan hendak keluar dari kulitnya. Di luar
dugaan pula Pedang Ular Emas jatuh ke tanah. Serta
merta Umbamayu melompat menyambar Pedang Ular
Emas itu, kemudian langsung membabat menyilang....
"Craaaas!" Tubuh Nilasari Grewek terpotong
menjadi dua. Darah menyembur bagai air mancur
mengotori wajah cantik Umbamayu.
Sementara itu Wintara jatuh terduduk di tanah.
Ia baru saja mengadu nyawa. Untunglah hantaman Se-
laksa Bayu Penjerat Nadi tepat mengenai sasarannya.
Kalau tidak hantaman itu akan berbalik memakan di-
rinya sendiri. Untuk itu, Wintara menarik nafas dalam-
dalam
Dalam hati Pendekar kelana Sakti ini, merasa
bersyukur. Karena telah menunaikan tugasnya dengan
jurus maut tersebut.
Umbamayu berdiri terpekur menatap dua po-
tong tubuh Nilasari Grewek. Pedang Ular Emas di tan-
gannya masih membaur darah. Adisena yang sedari
tadi menyaksikan pertempuran itu merungkut takut.
Ia tidak berani keluar dari balik persembunyiannya.
"Umbamayu... Kau tidak apa-apa?" ujar Winta-
ra yang sudah dapat bangkit berdiri. Ia paksakan di-
rinya melangkah ke arah Umbamayu.
"Kau sangat hebat, Pendekar Kelana Sakti.
Tanpa adanya kau, setan tua ini tidak akan binasa.
Aku sangat malu bertemu dengan kau." jawab Umba-
mayu.
"Kenapa harus malu? Tindakanmu tadi sudah
cukup sebagai penebus dosa-dosamu. Ternyata kau
seorang perempuan hebat." tukas Wintara. Lalu ia me-
noleh ke arah Adisena.
"Keluarlah, Adisena. Untuk apa bersembunyi
terus. Semua iblis telah binasa. Tidak ada lagi yang
perlu ditakutkan." Adisena masih gemetar. Namun ia
beranikan diri keluar dari persembunyiannya. Melihat
itupun Wintara hampir tertawa.
"Sebenarnya kaupun cukup berani, Adisena.
Dan lagi..." Ucapan Wintara terputus, karena diden-
garnya suara langkah-langkah orang menuju ke tem-
pat itu. Kiranya mereka adalah rombongan Resi Wesa-
kih. Umbayani langsung berlari ketika sampai ke tem-
pat itu. Namun setelah melihat wajah Umbamayu ber-
lumur darah, gadis ini tidak berani mendekat. Terle-
bih-lebih Umbamayu menggenggam Pedang Ular Emas.
Mereka melihat pula sosok Nilasari Grewek dan
Kumbayana tewas mengerikan. Semuanya saling bisu
menatap Umbamayu yang berdiri menatap Umbayani.
Arso Lumbing melangkah ke samping Umbamayu. Pe-
rempuan ini langsung jatuh ke dalam pelukan Arso
Lumbing.
"Benarkah dia Umbayani adikku?" Suara Um-
bamayu bergetar.
"Benar, Umbamayu. Dan kau bukan Srikaton
Munggel lagi. Kau Umbamayu." jawab Arso Lumbing.
Umbamayu tersenyum getir. Perlahan ia menyerahkan
Pedang Ular Emas pada Umbayani. Gadis ini tidak
perduli dengan pemberian itu, Umbayani malah berlari
_ mendekati Umbamayu, dan ia memeluknya erat-erat.
Umbamayu balas memeluk.
"Maafkan aku, Umbayani. Semua sudah terja-
di." bisik Umbamayu.
"Aku tidak perduli. Asalkan kita berkumpul la-
gi, aku akan senang. Dan harus ingat, kau tengah ha-
mil." balas Umbayani menderaikan air mata.
"Ternyata kau seorang yang hebat. Dapat men-
galahkan Nilasari Grewek, musuh kita." ujar Umbayani
lagi.
"Kau salah Umbayani. Seharusnya kata-kata
itu ditujukan pada sobat Wintara. Tanpa dia, kita se-
mua bakal binasa. Dan ada satu permintaanku un-
tukmu." bisik Umbamayu.
"katakanlah..." tuntut Umbayani.
"Meski tidak memiliki kepandaian, dia seorang
pemberani dan jujur. Bagaimana kalau kau kujodoh-
kan dengannya." Suara Umbamayu agak keras. Semua
orang dapat mendengarnya.
"Aah..." Pipi Umbayani memerah.
Adisena salah tingkah. Yang lain tertawa. Suara
tawa mereka berderai memenuhi suasana Belantara
Sawungan.
Arso Lumbing langsung memapah tubuh Um-
bamayu dan menaiki ke atas kuda yang sebenarnya
milik Wintara. Pemuda ini hanya menuntun kuda itu
berjalan. Lainnya berjalan mengikuti.
Adisena berjalan paling belakang. Ia agak kikuk
mengikuti mereka. Apalagi setelah mendengar gurauan
Umbamayu. Selama melangkah pikirannya tidak me-
nentu.
"Adisena, ayo cepat. Galon pengantin tidak bo-
leh lemas begitu." teriak Umbayani. Jantung Adisena
seperti kena sambar geledek. Dilihatnya Umbayani
berdiri menunggu. Maka ia berlari sekencang-
kencangnya mendekati gadis itu.
TAMAT
0 comments:
Posting Komentar