ISTANA IBLIS
Oleh Teguh Suprianto
Cetakanpertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Gambarsampul oleh Soeryadi
Hak ciptapada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izintertulis daripenerbit
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Pulau Neraka
dalam episode:
Istana Iblis
128 hal. ; 12 x18 cm
SATU
"Aaa...!"
Suatu jeritan panjang melengking tinggi, memecah
kesunyian malam yang mencekam. Jeritan itu
membangunkan seorang laki-laki tua yang tengah
tertidur melingkar di bawah pohon. Tubuh tua
berkeriput itu bergegas bangun. Kepalanya dimiringkan
ke kanan dan ke kiri, seolah-olah mencari arah sumber
suara tadi. Sesaat kemudian tatapan matanya terpaku
pada sebuah bangunan hitamdi atas sebuah bukit batu.
Laki-laki tua berbaju compang-camping penuh
tambalan itu bangkit berdiri. Namun belum juga bisa
berdiri sempurna, mendadak saja berkelebat sebuah
bayangan hitam tidak jauh di depannya. Laki-laki tua itu
tersentak kaget Secepat kilat dia melesat mengejar
bayangan hitam yang berkelebat tadi.
"Berhenti...!"serunya keras.
Seketika sosok tubuh hitam itu berhenti berlari. Laki-
laki tua berpakaian penuh tambalan itu juga berhenti
mengejar. Jarak mereka tinggal sekitar empat batang
tombak lagi. Sosok tubuh hitam itu membelakangi,
seakan-akan menyembunyikan wajahnya.
"Siapa kau?!" tanya orang tua itu sedikit dibuat galak.
"Hi hi hi...!"
Tiba-tiba saja sosok tubuh hitam agak bungkuk itu
tertawa terkikik. Dan belum lagi suara tawanya hilang,
dengan cepat dibalikkan tubuhnya. Seketika laki-laki tua
itu terperanjat kaget. Kedua matanya membeliak lebar,
dan mulutnya terbuka menganga. Tak ada kata-kata
terucapkan keluar dari mulutnya.
Sebelum laki-laki tua berpakaian pengemis itu bisa
menyadari apa yang dilihatnya itu, mendadak saja sosok
tubuh hitam bungkuk itu berkelebat cepat menyambar.
Dan....
"Aaa...!" Laki-laki tua itu menjerit melengking tinggi.
"Hi hi hi...!"
Kembali jeritan melengking terdengar disertai tawa
mengikik, membelah udara malam yang dingin ini. Dan
sebelum suara itu lenyap dari pendengaran, sosok tubuh
hitamitu sudah berbalik cepat, lalu melesat pergi menuju
lereng bukit batu. Sedangkan laki-laki tua berpakaian
pengemis itu masih berdiri tegak dengan mata terbuka
dan mulut menganga lebar.
Sebentar kemudian, tubuh tua itu ambruk ke tanah.
Bersamaan dengan itu darah langsung muncrat dari leher
yang terpenggal. Kepala orang tua itu menggelinding
terpisah dari lehernya. Tak ada lagi suara yang terdengar.
Tak ada lagi gerakan dari tubuh pengemis tua itu. Laki-
laki tua itu seketika tewas tanpa dapat melakukan
gerakan apa pun juga. Sementara malam terus merayap
semakin larut Udara pun semakin terasa menggigit
tulang. Tak ada yang menyaksikan kejadian mengerikan
itu. Sangat cepat, sukar disadarisepenuhnya.
***
Suasana pagi masih agak gelap. Matahari belum lagi
menampakkan diri dengan penuh. Hanya cahaya merah
jingga menyemburat di ufuk Timur. Kokok ayam jantan
mengalun bersahutan membangunkan seluruh makhluk
di mayapada ini. Dalam keremangan pagi buta ini,
terlihat seorang laki-laki muda tengah mengayunkan
kakinya pelahan-lahan menyibak kabut.
Rambutnya yang panjang tergerai sebatas bahu,
melambai-lambai mengikuti irama langkah kakinya.
Sesekali dihembuskan napas panjang, berusaha mengusir
hawa dingin menggigilkan tubuh. Mendadak langkah
kakinya terhenti, dan tatapan matanya terpaku pada
sosok tubuh tergeletak tanpa kepala. Darah yang keluar
dari lehernya sudah membeku. Pelahan-lahan pemuda
itu menghampiri, dan berlutut di samping tubuh tanpa
kepala itu. Matanya menatap kepala tua yang teronggok
tidak berapa jauh. Sebentar diperiksanya bagian leher
yang buntung itu, kemudian terdengar tarikan napasnya
yang panjang. Pemuda itu kembali bangkit berdiri.
"Aneh.... Begitu banyak orang mati di sini. Semuanya
dengan leher buntung. Hmmm.... Apa yang terjadi di
sini...?" pemuda itu bergumam pelan, bicara pada dirinya
sendiri.
Sebentar matanya merayap ke sekeliling, kemudian
kakinya kembali terayun melangkah pelahan. Pemuda
itu mulai memasuki sebuah jalan tanah berbatu yang
cukup besar. Jalan ini cukup untuk dilalui sebuah pedati
pengangkut barang. Agak tertegun juga dia melihat jalan
ini telah ditumbuhi rerumputan. Meskipun belum begitu
banyak, namun sudah menandakan kalau jalan ini sudah
lama tidak digunakan lagi.
Pemuda berbaju kulit harimau itu terus melangkah
menyusuri jalan, menuju arah yang berlawanan dengan
matahari terbit. Langkah kakinya kembali terhenti ketika
memasuki sebuah perkampungan yang nampak sepi
bagai tak berpenghuni. Kembali ditemukan sesosok
mayat tanpa kepala. Sosok mayat perempuan yang
hanya terbungkusselembar kain lusuh.
Pemuda itu menyingkirkan tubuh tanpa kepala itu ke
tepi, dan menyatukan dengan kepalanya yang terpisah.
Kemudian kembali langkahnya terayun. Pandangannya
tidak berkedip merayapi ruman-rumah yang berjajar di
sepanjang jalan ini. Begitu sepi, tak terdengar adanya
napas kehidupan di perkampungan ini. Tak terlihat
adanya cahaya pelita. Semua pintu dan jendela tertutup
rapat. Sementara cahaya matahari semakin membias
terang.
"Hmmm...," pemuda berbaju dari kulit harimau itu
menggumampelan.
Ayunan langkahnya semakin pelahan. Matanya
menatap sebuah rumah kecil yang kelihatannya ringkih.
Dindingnya banyak yang berlubang. Tampak seorang
laki-laki setengah baya duduk memeluk lutut di atas balai
bambu yang beralaskan anyaman tikar pandan lusuh.
Laki-laki tua itu mengangkat kepalanya pelahan-lahan.
Sementara pemuda itu berhenti tidak jauh di depannya.
Tampak wajah laki-laki setengah baya itu demikian
murung, dan sinar matanya redup tanpa sedikit pun
memancarkan gairah kehidupan.
Pemuda itu menyapa lembut dan sopan, namun laki-
laki tua itu hanya menyambut dengan senyuman tipis.
Hampir tidak terlihat gerak bibirnya.
"Boleh numpang beristirahat sebentar di sini,
Kisanak?" pinta pemuda itu sopan.
Laki-laki setengah baya itu tidak menyahut tapi
digeser juga duduknya sedikit Pemuda itu
menganggukkan kepalanya, dan tersenyum, kemudian
melangkah mendekati. Dia duduk di samping laki-laki
setengah baya itu. Suasana kaku sangat terasa, dan tidak
menyenangkan samasekali.
"Apa nama desa ini, Pak?" tanya pemuda itu mengisi
kebisuan.
"Walang," sahut laki-laki setengah baya itu singkat
Begitu datar nada suaranya.
"Hmmm...," pemuda berbaju dari kulit harimau itu
hanya bergumamsaja.
Untuk beberapa saat lamanya tidak ada yang bicara
lagi. Semua bisu, tapi hati berbicara sendiri-sendiri.
Sementara pemuda itu mengedarkan pandangannya ke
sekeliling. Hari semakin terang, dan matahari mulai
tinggi. Tapi suasana desa ini masih juga sepi. Tak ada
seorang pun yang terlihat keluar dari rumahnya. Pemuda
itu menatap laki-laki setengah baya yang duduk
memeluk lutut di sampingnya.
Tiba-tiba saja terdengar suara rintihan lirih dari dalam
pondok ini. Laki-laki setengah baya itu bergegas bangkit
dan melangkah masuk ke dalam. Sepertinya tidak mau
peduli lagi dengan pemuda yang jadi bengong tidak
mengerti. Pemuda berbaju kulit harimau itu
memandangi sampai laki-laki setengah baya itu masuk
ke dalam pondok ini. Pintunya tidak ditutup, sehingga
bagian dalampondok dapat terlihat jelas.
Tampak di atas sebuah dipan bambu yang hanya
beralaskan tikar lusuh, tergolek seorang wanita yang
hanya mengenakan pakaian lusuh dengan beberapa
bagian sobek. Rambutnya yang panjang tergerai lepas,
dan wajahnya pucat. Laki-laki setengah baya itu duduk
di tepi dipan. Diambilnya waskom tanah liat dan
dicelupkan selembar kain ke dalam air dalam waskom
itu untuk membasuh wajah wanita yang terbaring lemah
itu. Wajahnya pucat. Sinar matanya redup tanpa cahaya
kehidupan.
Pemuda berbaju dari kulit harimau itu bangkit
berdiri, lalu melangkah masuk pelahan-lahan.
Dipandangi wajah wanita yang kelihatan masih berusia
muda, namun begitu pucat. Gerak napasnya sangat
pelan, hampir tidak terlihat.
"Sakit, Kisanak?" pelansuara pemuda itu.
"Ya," laki-laki setengah baya itu menjawab lirih.
"Boleh aku lihat?"
Laki-laki setengah baya itu tidak menjawab, tapi
hanya menoleh menatap pemuda berbaju dari kulit
harimau yang sudah berada dekat di belakangnya.
Kemudian dia berdiri dan menggeser memberi tempat
Pemuda itu melangkah maju, lalu duduk di tepi
pembaringan. Tangannya ditempelkan ke bagian leher
dekat rahang gadis itu.
"Sudah berapa lama sakitnya, Ki?" tanya pemuda itu
tanpa menoleh. Jari-jari tangannya bergerak lembut
memberikan beberapa pijatan di beberapa bagian tubuh
gadis itu.
"Hampir satu purnama," sahut laki-laki setengah baya
itu.
"Ah...," wanita itu merintih lirih ketika jari tangan
pemuda berbaju kulit harimau menekan dadanya.
"Hm...," pemuda itu bergumam, kemudian
membalikkan tubuh wanita itu.
Tampak pada punggung yang terbuka lebar, terlihat
noda merah kehitaman. Tidak begitu besar dan bulat
seperti kuku ibu jari. Pemuda itu langsung menekan
noda itu dengan telapak tangan kanannya.
"Akh...!" wanita itu memekik tertahan.
"He...!" laki-laki setengah baya itu terkejut, dan
menyentakkan pundak pemuda itu.
'Tidak apa-apa, Ki. Akan kukeluarkan racun di dalam
tubuhnya," kata pemuda itu tidak bergeming sedikit pun.
'Tapi...."
Pemuda berbaju kulit harimau itu diam saja.
Wajahnya nampak menegang dan memerah bagai
kepiting rebus. Dan tangan kanan yang menempel pada
punggung berkulit putih halus itu agak bergetar.
Sedangkan laki-laki setengah baya itu hanya
memperhatikan saja. Raut wajahnya begitu tegang, dan
sinar matanya memancarkan kecemasan yang amat
sangat
"Akh! Hoek...!"
Wanita itu memuntahkan darah kental agak
kekuningan. Dua kali muntah, kemudian terkulai lemas.
Napasnya memburu bagai baru saja berlari jauh. Pemuda
berbaju kulit harimau itu membalikkan tubuh gadis itu,
kemudian menghentakkan tangannya, tepat di dada
wanita itu.
"Ugh! Hoeeek..!"
"Hhh...!" Pemuda itu menghembuskan napas
panjang.
Pelahan pemuda itu bangkit berdiri, dan melangkah
mundur. Dipandanginya wajah wanita muda yang
tampak diam dengan mata agak terpejam. Pelahan
namun pasti, wajahnya mulai memerah. Napasnya juga
mulai teratur kembali. Pemuda berbaju dari kulit
harimau itu membalikkan tubuhnya, dan mengajak laki-
laki setengah baya itu keluar. Saat itu wanita yang
tergolek di atas dipan bambu sudah terlihat tertidur
tenang. Tarikan napasnya lembut dan teratur. Wajahnya
tidak lagi memucat seperti tadi.
***
Siang ini terasa begitu lambat berlalu. Pemuda
berbaju kulit harimau yang ternyata adalah Bayu tengah
duduk di sebuah kursi reyot yang hampir tidak kuat
menahan beban tubuhnya. Matanya kelihatan setengah
terpejam. Sedang tidak jauh di sampingnya berdiri laki-
laki tua yang menamakan dirinya Ki Sampang.
Pandangan mata Pendekar Pulau Neraka itu tidak lepas
ke arah sosok tubuh seorang gadis yang masih tergolek di
atas dipan. Ki Sampang mengatakan kalau gadis itu
bernama Wurani.
"Dia sudah sadar. Den Bayu," ujar Ki Sampang.
Pendekar Pulau Neraka bangkit berdiri dari
duduknya. Dilangkahkan kakinya mendekati dipan itu,
lalu duduk di tepinya. Sedangkan Ki Sampang masih
tetap berdiri dekat pintu. Gadis yang bernama Wurani
mulai menggeliat, dan matanya mengerjap terbuka. Dia
bergelinjang akan bangkit, tapi Bayu Hanggara lebih
cepat mencegah.
"Jangan bangun dulu."
"Oh! Siapa kau?" tanya Wurani masih lirihsuaranya.
"Aku Bayu," Pendekar Pulau Neraka itu
memperkenalkan diri.
Wurani memalingkan mukanya, menatap pada Ki
Sampang yang masih tetap berdiri dekat pintu pondok
kecil yang reyot ini.
"Kau kutemukan tergeletak di jalan, lalu kubawa ke
sini," kata Ki Sampang, seolah-olah bisa mengerti
pandangan gadis itu.
'Terima kasih," ucap Wurani pelan.
"Kau mengigau dan menyebut namamu Wurani.
Benar?" sambung Ki Sampang lagi seraya melangkah
menghampiri. Laki-laki setengah baya itu berdiri saja di
belakang Pendekar Pulau Neraka.
"Benar. Aku memang bernama Wurani," pelan,
hampir tidak terdengarsuara gadis itu.
"Pemuda ini yang menyembuhkanmu," sambung Ki
Sampang lagi
"Terima kasih," ucap Wurani seraya berusaha
tersenyum.
Sesaat lamanya mereka terdiam membisu. Entah apa
yang ada dalam benak masing-masing. Sementara Bayu
kembali memeriksa kondisi gadis itu, kemudian
tersenyumlega.
"Bagaimana kau bisa terluka seperti itu, Nisanak?"
tanya Bayu.
"Jangan panggil aku Nisanak, Panggil saja Wurani,"
pinta gadis itu.
Bayu kembali tersenyum, dan dibalas oleh Wurani
dengan manis. Sementara itu Ki Sampang menyingkir
dan duduk di kursi, tempat Pendekar Pulau Neraka
duduk tadi.
"Lukamu bukan luka biasa. Aku tahu, kau juga
memiliki daya tahan yang luar biasa...," kata Bayu lagi,
terdengar mengambang nadasuaranya.
"Dan aku yakin, kau juga bukan orang sembarangan,
Kisa...."
"Bayu. Panggil saja aku Bayu," potong Bayu cepat
"Hm..., kau dapat menyembuhkan lukaku.
Sebenarnya aku sendiri sudah pasrah. Terima kasih,"
Wurani kembali tersenyum. Begitu manis senyum gadis
itu.
'Terlalu banyak kau mengucapkan terima kasih. Tapi
belum juga kau ceritakan tentang lukamu itu, Wurani,"
Bayu mengingatkan pertanyaannya yang belum
terjawab.
"Maaf,apakah itu penting untukmu?" tanya Wurani.
"Mungkin..., tidak," Bayu memang tidak punya
kepentingan terhadap luka yang diderita gadis itu.
Keberadaannya di sini hanya kebetulan saja, lalu
menolong dan menyembuhkan luka wanita itu.
"Sebaiknya kau memang tidak perlu tahu," ujar
Wurani.
"Aku tidak memaksa," desah Bayu seraya
mengangkat bahunya. “Tapi, asal kau tahu saja. Racun di
dalam tubuhmu belum semuanya punah. Dan paling
tidak kau harus bersemadi satu hari penuh."
“Terima kasih,” ucap Wurani lagi seraya tersenyum.
Bayu menepuk punggung tangan gadis itu,
kemudian bangkit berdiri. Pendekar Pulau Neraka itu
melangkah mendekati Ki Sampang, lalu memberi isyarat
dengan matanya. Dan Ki Sampang bisa mengerti,
kemudian bergegas bangkit dan melangkah mengikuti
pemuda berbaju dari kulit harimau itu. Mereka keluar
dari pondok itu dan sama-sama duduk di dipan bambu
yang sudah reyot, hampir rubuh. Sebentar Bayu menarik
napas, dan memandang berkeliling. Suasana di desa ini
masih tetap sunyi. Hampir setengah harian Pendekar
Pulau Neraka itu berada di Desa Walang ini, tapi tidak
melihat orang lain lagi, selain Ki Sampang dan Wurani.
"Ada yang ingin kau katakan, Den Bayu?" tanya Ki
Sampang.
"Aku merasa ada kelainan di sini, Ki," desah Bayu
pelahan.
"Kesunyian ini...?" tebak Ki Sampang langsung. "Satu
diantaranya."
"Sudah beberapa bulan ini Desa Walang mati. Tidak
ada lagi orang yang suka tinggal di sini. Bahkan untuk
melintasinya saja enggan," pelan kata-kata Ki Sampang.
"Ada tanda-tanda kemakmuran di sini. Aku tidak
mengerti, mengapa semua penduduk meninggalkannya,
Ki?" tanya Bayu lagi, makin ingin tahu saja.
"Bukan pada tempatnya kalau kau bertanya seperti
itu padaku, Den. Aku sendiri hanya pendatang di sini.
Aku datang, desa ini sudah seperti ini. Tidak ada lagi
penduduknya."
"Oh...?!" Bayu terkejut tidak menduga.
"Aku rasa Wurani lebih tahu. Ketika aku datang ke
sini dia sudah tergeletak di tepi jalan, dan kubawa ke
pondok ini," sambung Ki Sampang.
Bayu tidak bertanya lagi. Namun tatapan matanya
begitu dalam menusuk langsung ke bola mata laki-laki
setengah baya di sampingnya. Seolah-olah Pendekar
Pulau Neraka itu tidak percaya terhadap keterangan
yang diberikan Ki Sampang barusan.
"Aku siapkan makan siang dulu," ujar Ki Sampang
seraya bangkit berdiri.
Dan sebelum Bayu bisa mengucapkan sesuatu, laki-
laki setengah baya yang mengenakan baju garis-garis dan
memakai ikat kepala dari kain coklat itu sudah
melangkah masuk kembali ke dalam pondok. Sebentar
Bayu memandangi, sampai Ki Sampang lenyap dari
depan matanya. Pendekar Pulau Neraka itu menarik
napaspanjang, dan menghembuskannya kuat-kuat
"Aneh...?!" desah Bayu seraya bangkit berdiri. Hanya
itu yang bisa diucapkannya. Sungguh tidak jelas, apa
yangsedang terjadi di Desa Walang ini.
Semua yang dilihat dan dirasakan memang terasa
aneh. Sukar bagi Pendekar Pulau Neraka untuk bisa
mempercayai. Sepanjang jalan yang dilalui menuju ke
desa ini, tidak sedikit ditemukan mayat tergeletak dengan
kepala buntung. Dari bekas penggalannya, tidak
ditemukan adanya bekas senjata tajam. Leher dari mayat-
mayat yang ditemukannya, seperti tercabut begitu saja.
Dari pengalamannya dalam berkecimpung di rimba
persilatan, Pendekar Pulau Neraka itu bisa mengenali
setiap luka. Paling tidak bisa menentukan senjata atau
pukulan yang digunakan. Tapi kali ini sungguh lain.
Juga luka di punggung Wurani. Meskipun Bayu bisa
memastikan adanya aliran racun yang lambat dan dapat
mematikan, tapi sukar untuk menentukan jenisnya. Sulit
untuk bisa diduga apakah itu akibat dari pukulan atau
akibat senjata. Noda hitam di punggung gadis itu ada
sedikit lubang seperti bekas tusukan jarum. Namun lebih
besar lagi. Dan tusukan itu bergerigi, sehingga mengoyak
sedikit kulit punggungnya.
Pendekar Pulau Neraka itu mengayunkan kakinya
pelahan-lahan. Langkahnya terhenti setelah sampai di
tengah-tengah jalan di depan pondok kecil itu. Kembali
matanya memandang berkeliling. Tampak beberapa ekor
anjing liar tengah berpesta mengoyak sosok mayat yang
nampaknya sudah membusuk. Udara di sekitar Desa
Walang ini juga terasa lain. Sedikit bau. Mungkin saja
akibat dari banyaknya mayat yang berceceran dengan
kepala terpisah tanpa sempat dikuburkan lagi.
"Hhh...!" Bayu menarik napas panjang.
Pendekar Pulau Neraka itu kembali melangkah,
mendekati satu sosok mayat yang sebagian tubuhnya
tenggelam dalam parit. Dia berhenti dekat mayat itu.
Agak menggiris juga hatinya ketika melihat mayat itu,
yang ternyata seorang gadis kecil. Mungkin usianya baru
sekitar sepuluh tahun. Tak ada kepala lagi di lehernya.
Bau busuk sudah terasa menyengat hidung. Namun
Pendekar Pulau Neraka itu memeriksa sekitar leher yang
buntung tanpa kepala.
"Hm..., seperti bekas tarikan yang kuat. Tidak ada
tanda-tanda bekas tersayatsenjata tajam," gumamBayu.
"Den Bayu...!" terdengar panggilan Bayu menoleh.
Tampak Ki Sampang sudah berdiri di depan pintu
pondok kecil itu. Dan Pendekar Pulau Neraka itu
kembali mengayunkan kakinya menghampiri pondok.
Benaknya masih sibuk memikirkan mayat-mayat yang
tergeletak tanpa kepala lagi. Juga sikap Ki Sampang dan
Wurani yang dirasakannya sangat aneh. Bayu tidak akan
menduga-duga dulu, meskipun hatinya diliputi rasa
penasaran yang sangat kuat
***
DUA
Bayu terjaga dari tidurnya ketika mendengar suara
jeritan melengking yang sangat menyayat. Pendekar
Pulau Neraka itu menggelinjang bangkit dari dipan yang
ditidurinya. Sebentar ditatapnya Wurani dan Ki
Sampang yang juga tidur di dipan itu. Mereka juga
terjaga, dan langsung duduk. Sedangkan Pendekar Pulau
Neraka itusudah melangkah menghampiri jendela.
"Bayu...," terdengar suara Wurani ketika Bayu akan
membuka jendela itu.
Bayu mengurungkan niatnya, lalu berbalik
memandang Wurani dan Ki Sampang secara bergantian.
Jeritan melengking tadi tidak lagi terdengar. Dan suasana
malam ini kembali sunyi lengang. Hanya desiran angin
dingin saja yang masih terdengar mengusik gendang
telinga. Angin malam yang menyebarkan bau tidak
sedap.
"Kalian dengar suara jeritan tadi?" tanya Bayu ingin
mengetahuisikap kedua orang itu.
"Ya," sahut Ki Sampang pelan tanpa tekanan sama
sekali padanada suaranya.
"Hm.... Sepertinya kalian sudah biasa
mendengarnya," gumam Bayu mulai dihinggapi rasa
curiga. Ki Sampang dan Wurani hanya diam saja. "Aku
akan melihat keluar," kata Bayu seraya membalikkan
tubuhnya dan melangkah mendekati pintu.
"Apa yang akan kau lakukan di luar?" tanya Ki
Sampang.
"Barangkali aku masih bisa menemukan seorang
manusia," sahut Bayu seraya membuka pintu pondok itu.
"Bayu, jangan...!" sentak Ki Sampang seraya
melompat turun dari dipan.
Tapi Pendekar Pulau Neraka itu sudah melangkah
keluar. Ki Sampang mengejar, namun laki-laki setengah
baya itu hanya sampai di depan pintu saja. Sebentar
dipandangi Bayu yang melangkah tegap menjauhi
pondok ini, kemudian menatap Wurani. Laki-laki
setengah baya itu menutup pintu pondok kembali.
Ditariknya napas panjang dan berat. Sedangkan Wurani
hanya diamsaja memandangi laki-laki setengah baya itu.
Sementara di luar, Pendekar Pulau Neraka terus
melangkah pelahan-Iahan menyusuri jalan tanah
berdebu. Udara malam yang berhembus agak kencang,
semakin tidak sedap tercium hidung. Mayat busuk
begitu banyak tergeletak di sepanjang pinggir jalan ini.
Bahkan tidak sedikit yang sudah koyak disantap
binatang liar. Bayu berhenti melangkah di depan sebuah
rumah yang cukup besar yang berdinding sebagian dari
batu, dan sebagian lagi dari belahan papan. Rumah itu
nampak sepi lengang, namun terlihat ada sedikit cahaya
menyemburat dari dalam.
Pendekar Pulau Neraka langsung melompat begitu
melihat adanya satu bayangan berkelebat keluar dari atap
rumah itu. Ringan sekali gerakan pemuda berbaju dari
kulit harimau itu. Dalam sekejap saja tubuhnya sudah
mendarat di atas atap rumah itu. Dan pada saat yang
sama, bayangan hitam yang dilihatnya sudah berlari
cepat ke bagian belakang rumah.
"Hup!"
Bayu segera melompat disertai pengerahan ilmu
meringankan tubuh. Lesatannya begitu cepat bagai kilat
Begitu sempurnanya ilmu meringankan tubuh yang
dimiliki, sehingga Pendekar Pulau Neraka itu bisa
menyusul dalam waktu singkat Bahkan langsung
berbalik menghadang.
"Berhenti...!" bentak Bayu keras.
Sosok tubuh hitamitu langsung berhenti dari larinya.
"Siapa kau?" tanya Bayu.
Keadaan malam yang begitu gelap, sukar bagi Bayu
untuk mengenali wajah sosok tubuh itu yang hampir
sebagian wajahnya tertutup rambut panjang tergerai
tidak teratur. Tubuhnya kurus dan agak bungkuk. Baju
yang dikenakannya berwarna hitam pekat dan longgar.
Bayu mencoba untuk melihat wajah orang itu. Tapi
karena orang itu selalu menunduk, sukar untuk dilihat
jelas.
Dan belumlagi Bayu sempat untuk bertanya, tiba-tiba
saja orang aneh itu bergerak cepat bagaikan kilat
menerjangnya. Begitu cepat dan tiba-tiba, sehingga
membuat Pendekar Pulau Neraka itu tidak sempat
menyadari lagi. Tahu-tahu pemuda berbaju kulit
harimau itu sudah terpental deras ke belakang. Sebatang
pohon beringin sangat besar, langsung hancur seketika
terlanda tubuhnya.
"Sial...!" rutuk Bayusambil melompat bangkit berdiri.
Pendekar Pulau Neraka itu mengatur napasnya yang
mendadak saja terasa sesak. Dadanya seperti remuk,
terasa nyeri sekali. Namun belum juga hilang nyeri di
dadanya, kembali orang aneh itu menerjang dengan
kecepatan yang luar biasa. Sesaat Bayu terperangah,
namun cepat-cepat membanting tubuhnya ke tanah, lalu
bergulingan menjauh. Cepat pula tubuhnya melompat
bangkit berdiri.
Namun belum juga Pendekar Pulau Neraka itu
mampu berpijak kokoh, orang aneh berjubah hitam itu
kembali melompat menerjang bagai kilat. Pendekar
Pulau Neraka tidak punya kesempatan untuk berkelit
lagi. Dengan cepat dihentakkan kedua tangannya ke
depan. Maka satu benturan keras tidak dapat
terhindarkan lagi.
"Akh...!" Bayu terpekik keras agak tertahan.
Pendekar Pulau Neraka itu terpental sejauh dua
batang tombak. Sedangkan orang aneh berjubah hitam
itu hanya terdorong sekitar dua langkah saja. Sebentar dia
berdiri tegak, kemudian melesat demikian cepat,
sehingga tahu-tahu bayangan tubuhnya sudah lenyap
dari pandangan mata. Bayu berusaha mengejar, namun
dadanya terasa begitu sesak Napasnya pun jadi tersengal.
Buru-buru Pendekar Pulau Neraka itu duduk bersila
dan mengambil sikap bersemadi. Cukup lama Bayu
bersemadi menyalurkan hawa mumi ke seluruh tubuh
untuk mengatur jalan napasnya. Pendekar Pulau Neraka
itu kembali bangkit berdiri setelah kondisi tubuhnya
kembali seperti semula. Ditekannya dada sebelah kiri.
Masih terasa nyeri, namun tidak lagi sakitseperti tadi.
"Hm, siapa dia? Apa yang dilakukannya di rumah
itu?" Bayu bertanya-tanya dalamhati.
Pendekar Pulau Neraka itu bergegas melangkah
menuju ke rumah yang tidak seberapa jauh dari tempat
ini. Nyala pelita masih terlihat redup, dari bagian dalam
rumah itu. Sebentar Pendekar Pulau Neraka itu
mengamati sekitarnya, lalu melesat ke udara, dan
hinggap di atas atap. Tubuh pemuda berbaju kulit
harimau itu langsung saja meluruk masuk ke dalam
melalui atap yang jebol.
"Ah...!" Seketika mata Bayu membelalak lebar begitu
kakinya mendarat di lantai rumah.
***
Sukar untuk dipercaya akan apa yang disaksikan
Pendekar Pulau Neraka di dalam rumah ini. Seorang
anak perempuan berusia sekitar sepuluh tahun, tengah
menangis memeluk mayat seorang wanita tanpa kepala
lagi. Tidak jauh di sampingnya tergeletak mayat seorang
laki-laki yang juga buntung kepalanya.
Mungkin merasakan adanya orang lain, gadis kecil
itu menoleh. Hampir saja Bayu memekik melihat wajah
gadis kecil itu hampir tidak terlihat karena tertutup
darah. Entah darah siapa, karena kedua tangannya juga
penuh darah. Bayu buru-buru menghampiri dan
menggendong gadis kecil itu.
"Mari adik kecil, kita keluar dari sini," ucap Bayu
lembut.
"Ibuuu...," rintih gadis kecil itu lirih.
"Aku akan mengurusmu nanti," kata Bayu berjanji.
Pendekar Pulau Neraka itu tidak membuang-buang
waktu lagi. Langsung tubuhnya melesat menembus atap
rumah yang memangsudah jebol berantakan.
Gadis kecil yang berada dalam gendongannya, masih
menangis memanggil-manggil ibunya. Bayu terus
melenting begitu berada diatas atap.
Ringan sekali gerakan Pendekar Pulau Neraka itu.
Lentingannya bagai seekor burung, dari atas atap
langsung meluruk ke tanah. Dia berlari cepat menuju
pondok kecil, tempat Ki Sampang dan Wurani berada.
Dalam waktu tidak berapa lama, Bayu sudah berada di
depan pintu. Diketuknya pintu itu beberapa kali.
"Siapa...?" terdengarsuara dari dalam.
"Aku. Bayu.... Cepat buka pintunya!"sahut Bayu.
Pintu pondok itu terbuka. Muncul Ki Sampang. Laki-
laki setengah baya itu hampir memekik melihat seorang
gadis kecil berlumuran darah berada dalam gendongan
Bayu. Ki Sampang bergegas mengambil gadis itu, dan
membawanya ke dipan. Sementara Bayu melangkah
masuk, lalu menutup pintu pondok itu. Wurani jadi
sibuk membersihkan darah yang melumuri wajah,
tangan dan tubuh gadis itu, sambil mencoba membujuk
agar anak itu tidak menangis lagi.
Agak lama juga gadis kecil itu baru dapat berhenti
menangis. Sesekali masih juga terisak lirih. Sementara
Bayu sudah menghenyakkan tubuhnya di kursi. Ki
Sampang menghampiri Pendekar Pulau Neraka itu.
Sedangkan Wurani mencoba menenangkan gadis kecil
itu agar tidur. Bayu hanya memperhatikan saja, tapi
benaknya masih terus dipenuhi berbagai macampikiran.
Masih belum bisa dipahami semua yang terjadi di desa
ini, juga pada malam ini. Semuanya terjadi begitu tiba-
tiba dan cepat,sukar untuk bisa dimengerti.
"Di mana kau temukan gadis itu, Bayu?" tanya Ki
Sampang yang sudah menghilangkan panggilan Raden
pada Pendekar Pulau Neraka itu. Dan memang pemuda
itu sendiri yang memintanya.
"Di sebuah rumah yang di depannya ada pohon
kamboja," sahut Bayu seraya melirik ke arah dipan.
Nampak gadis kecil itu sudah tidur, sedangkan Wurani
duduk saja di sampingnya.
'Tidak kuduga masih ada yang hidup di sini...,"
gumam Ki Sampang setengah mendesah.
"Ayah dan ibunya baru saja tewas," ujar Bayu seperti
untuk dirinya sendiri.
"Oh...!" Ki Sampang tampak terkejut.
"Barangkali masih ada orang lain lagi yang masih
hidup. Aku memang tidak yakin kalau semua orang di
sini telah tewas," kata Bayu lagi dengan nada bergumam.
Ki Sampang menarik napas panjang, lalu
menghembuskannya kuat-kuat. Dibalikkan tubuhnya,
lalu dihampiri dipan, dan duduk di sisinya. Sedangkan
Wurani hanya tertunduk saja memandangi wajah gadis
kecil yang telah lelap walau hanya beralaskan tikar
pandan lusuh. Wajah dan tubuhnya sudah bersih. Tidak
ada lagi darah yang melekat, karena memang tidak ada
satu luka pun. Darah itu pasti darah ibunya yang tewas
malamini.
"Kau seperti menyembunyikan sesuatu, Ki," tebak
Bayusambil menatap tajamlaki-laki tua itu.
Ki Sampang kembali menghembuskan napas
panjang, seakan hendak melegakan rongga dadanya.
Hembusan napasnya begitu terasa berat.
"Apa sebenarnya yang tengah terjadi di sini?" tanya
Bayu mendesak.
"Sungguh aku tidak tahu. Aku juga sama sepertimu.
Hanya pendatang," sahut Ki Sampang sambil
mengangkat kepalanya menatap Pendekar Pulau
Neraka.
"Kau juga begitu, Wurani?" Bayu mengalihkan
pandangannya pada Wurani.
Wurani tidak menjawab. Kepalanya tetap tertunduk
dalam. Sementara malam merambat semakin larut. Dan
Bayu semakin yakin kalau tidak Ki Sampang, pasti
Wurani yang mengetahui peristiwa yang tengah
melanda Desa Walang ini. Hanya mereka berdua saja
yang dijumpai di desa mati ini. Desa yang dipenuhi
mayat bergelimpangan tanpa kepala.
Bayu menghembuskan napas panjang dan terasa
berat. Memang sukar mendesak orang yang lebih suka
diam menutup mulut. Pendekar Pulau Neraka itu
bangkit berdiri dan melangkah ke pintu. Dibukanya
pintu pondok itu, lalu kakinya terus melangkah keluar.
Ki Sampang bergegas menyusul, dan langsung
menutup pintu begitu berada di luar. Sementara Bayu
hanya berdiri saja merayapi kesunyian dan kegelapan
malam ini. Ki Sampang menghampiri dan berdiri di
samping pemuda berbaju dari kulitharimau itu.
"Jangan paksa aku atau Wurani untuk mengatakan
apa-apa, Bayu. Sungguh kami tidak tahu apa-apa.
Terlebih lagi aku yang hanya pendatang di sini, sama
sepertimu," tegas Ki Sampang mencoba meyakinkan
Pendekar Pulau Neraka itu.
"Kau cukup lama berada di sini, Ki. Tentunya bisa
mengetahuisedikit keadaan di desa ini," kata Bayu pelan.
'Tidak! Aku tidak tahu apa-apa. Ketika aku datang,
desa ini memang sudah seperti ini. Tidak ada yang
kutemui selain Wurani. Dan gadis itu sendiri dalam
keadaan terluka," sergah Ki Sampang.
"Dan kau menungguinya?" agak sinis nada suara
Bayu. Sama sekali tidak dipercayainya keterangan laki-
laki setengah baya itu.
"Aku berkata sejujurnya, Bayu. Aku tidak bisa
meninggalkannya sendirian begitu saja. Sudah kucoba
untuk menyembuhkannya, tapi aku tidak mampu.
Untungnya kau cepat datang dan berhasil
menyembuhkan lukanya," Ki Sampang tetap berusaha
meyakinkan Pendekar Pulau Neraka itu.
"Hhh...!" Bayu menghembuskan napas panjang-
panjang.
Ki Sampang terdiam membisu, lalu berbalik dan
duduk di balai bambu yang sudah reyot. Sementara
Pendekar Pulau Neraka masih tetap berdiri tegak
memandang lurus ke depan. Cukup lama juga mereka
membisu dengan pikiran masing-masing yang sukar
untuk diterka.
"Bayu, mengapa kau begitu tertarik dengan keadaan
di sini?" tanya Ki Sampang memecah kebisuan yang
terjadi cukup lama.
"Hanya naluri," sahut Bayu pelan.
"Kauseorang pendekar?" tanya Ki Sampang lagi.
"Hanya pengelana."
"Kita akan menyelidiki keadaan di sini bersama-
sama, Bayu," kata Ki Sampang lagi.
"Hmmm...," Bayu hanya menggumam saja, seperti
tidak mendengar kata-kata laki-laki tua itu.
***
Siang ini udara terasa begitu panas menyengat
Matahari bersinar terik, seakan-akan hendak
menghanguskan semua yang ada di atas permukaan
bumi ini. Di bawah sengatan teriknya sinar matahari,
Bayu berjalan menyusuri jalan berdebu. Setiap rumah
yang dilalui, tidak pernah terlewatkan untuk diperiksa.
Dan semua rumah yang dimasuki, dalam keadaan
kosong tanpa penghuni. Padahal hampir semua rumah
di Desa Walang ini telah diperiksa. Tapi tak satu pun
manusia dijumpai. Bahkan binatangsaja tidak dilihatnya.
Pendekar Pulau Neraka itu tiba di sebuah bangunan
batu bertumpuk sebagai tanda batas Desa Walang.
Pemuda berbaju dari kulit harimau itu berhenti
melangkah. Pandangan matanya langsung tertuju ke
puncak bukit di depannya. Sebuah bangunan batu
berdiri menantang langit di puncak bukit itu. Bayu tahu
kalau bukit itu disebut Bukit Walang Jati dari gadis kecil
yang ditemukan di dalam rumah saat menangisi mayat
ibunya.
"Bayu...!" tiba-tiba terdengar suara panggilan dari
arah belakang.
Bayu hanya menolehkan kepala saja. Tampak Wurani
berjalan cepat menghampirinya. Bayu kembali
memalingkan wajah setelah Wurani berada di
sampingnya. Gadis itu kelihatan segar dan cantik siang
ini. Baju biru yang dikenakannya sangat kontras dengan
kulitnya yang putih halus. Bajunya ketat, sehingga
memetakan lekuk tubuhnya yang ramping.
"Apa yang kau kerjakan di sini, Bayu?" tanya Wurani
ingin tahu.
"Tidak tahu," sahut Bayu singkat dan datar.
"Ki Sampang sudah siap, tinggal menunggumu saja,"
kata Wurani lagi.
"Jadi dia meninggalkan desa ini?" tanya Bayu.
"Benar. Gadis kecil itu juga ikut"
"Kausendiri?"
"Tergantung dirimu, Bayu. Kalau kau juga pergi,
maka aku ikut pergi. Tapi kalau kau tetap akan
menyelidiki keadaan di sini, maka aku akan ikut juga
bersamamu," tegas jawaban Wurani.
"Kau perlu menentukan sikap, Wurani."
"Hanya itu sikapku, Bayu. Kau telah menyelamatkan
nyawaku. Maka tidak akan kubiarkan kau sendirian
berada di sini. Mungkin aku akan menyulitkan, tapi
paling tidak kau masih punya teman untuk diajak
bicara," tetap tegas nada suara Wurani.
"Sebaiknya kau pergi, Wurani. Aku merasa tempat ini
dipenuhihawa iblis dan kematian."
"Dan kau..., akan tetap di sini?"
"Tidak. Aku akan meneruskan pengembaraanku.
Ada hal penting yang harus kukejar secepatnya. Bagiku
tidak ada gunanya lagi lama-lama disini"
"Kalau begitu, sebaiknya kita bersama-sama. Saat
waktunya berpisah, aku tidak akan menghalangimu,"
ujar Wurani.
Bayu tersenyum, kemudian membalikkan tubuhnya
dan berjalan kembali ke Desa Walang. Sedangkan
Wurani mengikutinya, mensejajarkan langkahnya di
samping Pendekar Pulau Neraka itu. Mereka berjalan
tanpa berkata-kata lagi.
Dari kejauhan, tampak Ki Sampang dan seorang
gadis kecil sudah menunggu. Laki-laki setengah baya itu
memegangi tali kekang kuda coklat yang diduduki
seorang gadis kecil di punggungnya. Mereka menunggu
dengan sabar sampai Bayu dan Wurani mendekat.
"Ayo kita berangkat" ujar Bayu setelah berada di
depan Ki Sampang.
Tanpa berkata apa-apa lagi, mereka segera berjalan
meninggalkan Desa Walang itu menuju ke arah Barat.
Tak ada yang membuka suara sedikit pun. Mereka
berjalan terus tanpa menoleh atau memandang
sekelilingnya, kecuali Pendekar Pulau Neraka. Pemuda
berbaju kulit harimau itu tidak pernah berhenti
memandang berkeliling. Dan setiap kali melihat
seonggok mayat tanpa kepala, hatinya selalu tergiris.
Mereka terus berjalan sampai melewati perbatasan
desa sebelah Barat. Masih tetap belum ada yang
membuka suara sedikit pun. Sementara matahari sudah
begitu tinggi, tegak lurus di atas kepala. Perjalanan
mereka baru berhenti setelah tiba di tepi sebuah sungai
kecil yang berair jernih. Mereka membersihkan diri dari
debu yang melekat. Tempat ini begitu tenang. Udaranya
pun sangat segar, meskipun matahari bersinar sangat
terik.
"Agaknya kita harus berpisah di sini," kata Bayu
setelah mereka cukup beristirahat.
Tak ada yang bicara. Bayu bisa mengerti arti pan-
dangan mata mereka yang menginginkannya terus ikut
pergi. Tapi Pendekar Pulau Neraka itu sudah mantap,
harus berpisah di tempat ini. Dia kenal daerah ini. Setelah
menyeberangi sungai, dan melintasi padang rumput,
maka akan ditemukan sebuah perkampungan yang tidak
begitu besar. Mungkin di sana akan didapat tempat yang
layak
"Kalian terus saja berjalan menyeberangi sungai ini,
lalu melintasi padang rumput Ada sebuah
perkampungan tidak jauh dari padang rumput itu," jelas
Bayu.
"Bayu, kenapa kau tidak ikut saja sekalian bersama
kami?" tanya Ki Sampang.
"Sebenarnya aku ingin bersama kalian, tapi ada hal
lebih penting yang harus kukerjakan," sahut Bayu
beralasan.
"Aku tidak bisa mendesakmu, Bayu. Mudah-
mudahan kita bisa bertemu lagi," ujar Ki Sampang
menyerah.
Bayuhanya tersenyumsaja.
"Selamat tinggal, Bayu. Aku senang bisa bertemu
denganmu," ucap Ki Sampang seraya menepuk pundak
Pendekar Pulau Neraka itu.
"Semoga kalian selamat" balas Bayu.
Ki Sampang menuntun kuda coklat yang membawa
gadis kecil di punggungnya. Laki-laki setengah baya itu
melangkah menyeberangi sungai. Sementara Wurani
masih tetap berdiri di depan Pendekar Pulau Neraka itu.
Pandangan gadis itu tidak berkedip ke arah wajah
tampan di depannya.
"Pergilah," ujar Bayu lembut.
"Aku berhutang padamu.... Hm, boleh aku
memanggilmu Kakang?"
"Dengan senang hati."
"Terima kasih."
Bayu menepuk lembut bahu gadis itu.
"Mudah-mudahan kita bertemu lagi. Aku ingin
membalas kebaikanmu, Kakang," ucap Wurani
Bayu tidak menjawab, dan hanya tersenyum saja.
Wurani membalikkan tubuhnya, lalu menyeberangi
sungai, menyusul Ki Sampang yang sudah tiba di tepi.
Sementara Pendekar Pulau Neraka masih tetap berdiri
memandang kepergian mereka dari seberang sungai. Ki
Sampang dan Wurani terus berjalan semakin jauh.
Beberapa kali gadis itu menoleh, dan pada tolehan ke
sekian kalinya Pendekar Pulau Neraka sudah tidak ada
lagi di tempatnya.
***
TIGA
Malam sudah demikian larut. Lolongan anjing saling
bersahutan, terbawa hembusan angin dingin
membekukan tulang. Malam yang begitu hening,
mendadak pecah oleh suara hiruk pikuk dan denting
senjata beradu. Tampak di Kaki Bukit Walang Jati sebelah
Selatan, beberapa orang tengah bertarung mengeroyok
seseorang berjubah hitampanjang.
Di sekitar pertarungan itu sudah tidak terhitung lagi
tubuh yang bergelimpangan. Yang membuat hati tergiris
melihatnya, tubuh-tubuh berlumuran darah itu
semuanya berkepala buntung. Sedangkan sekitar
sepuluh orang bersenjata golok dan pedang masih
bertarung sengit mengeroyok seorang berjubah hitam
dengan rambut panjang tergerai menutupi sebagian
wajahnya.
"Aaa...!"satu jeritan melengking terdengar menyayat
Tepat saat ada seorang yang ambruk dengan kepala
buntung, mendadak sebuah bayangan kuning berkelebat
cepat menghantam orang berjubah hitam agak bungkuk
itu. Orang itu mengerang lirih. Tubuhnya bergulingan
beberapa kali di tanah. Namun dia cepat bangkit berdiri.
Sekitar sembilan orang hanya terlongong begitu
melihat seorang pemuda mengenakan baju kulit harimau
menerjang orang berjubah hitamitu. Mereka jadi terpaku,
karena pertarungan itu langsung pecah tanpa ada yang
bisa mencegah lagi.
"Hiyaaa...!"
Tiba-tiba saja terdengar teriakan keras. Seketika tubuh
hitam itu melesat cepat ke udara, dan dalam sekejap saja
lenyap dari pandangan mata. Pemuda berbaju kulit
harimau itu tidak bisa lagi mengejar. Sembilan orang
yang memegang senjata terhunus, bergegas
menghampiri. Salah seorang yang mengenakan baju
ketat putih dan memegang pedang, membungkukkan
badan memberi hormat di depan pemuda berbaju kulit
harimau itu.
"Terima kasih. Kisanak datang tepat pada waktunya,"
ucap laki-laki setengah baya berbaju putih itu seraya
menyarungkan pedangnya di pinggang.
Pemuda berbaju kulit harimau itu memandangi
sembilan(orang yang berada di depannya. Mereka semua
memakai baju putih ketat berikat kepala juga putih.
Melihat sulaman bergambar burung gagak di dada kiri,
pemuda itu menduga kalau mereka tentu berasal dari
sebuah padepokan. Pemuda itu memandang mayat-
mayat yang bergelimpangan. Semuanya mengenakan
baju putih bersulamkan gambar burung gagak berwarna
hitampada bagian dadasebelah kiri.
"Oh, ya. Siapakah Kisanak ini? Sekali lagi kuucapkan
terima kasih atas kebaikan hati Kisanak menolong kami!"
kata laki-lakisetengah baya itu dengannada suarasopan.
"Namaku Bayu, aku kebetulan saja lewat di sini,"
pemuda itu menyahut memperkenalkan namanya.
"Aku Tepasena. Ah, Kisanak telah berjasa pada kami.
Jika tidak berkeberatan, aku atas nama Eyang Resi
Jayaraga mengundang Kisanak ke Padepokan Gagak
Hitam," ujar laki-laki setengah baya itu memperkenalkan
dirinya.
"Rasanya sukar bagiku menolak undangan ramah
ini,"sahut Bayu.
"Ah, terima kasih. Mari, Kisanak."
Bayu mengayunkan langkahnya di samping
Tepasena. Sedangkan delapan orang berseragam putih
ketat mengikuti dari belakang. Mereka masih terlihat
muda-muda, dan mungkin usianya sebaya Pendekar
Pulau Neraka itu.
"Ki Tepasena, boleh bertanya sesuatu?" pinta Bayu.
"Silakan, Kisanak,"sahut Tepasena ramah.
"Ah, sebaiknya panggil saja aku Bayu. Hmmm...,
siapa sebenarnya orang yang bertarung denganmu tadi
itu?" tanya Bayu setelah meminta agar Tepasena
memanggil namanya saja.
"Sukar untuk dikatakan, Ki..., oh, Bayu. Kami waktu
itu sedang dalam perjalanan kembali ke padepokan.
Tiba-tiba saja orang itu datang mencegat dan langsung
menyerang tanpa berkata apa-apa lagi," jelas Tepasena
singkat.
"Hm..., jadi kau tidak tahu siapa dia?" tanya Bayu
agak kecewa. Padahal harapannya tadi, laki-laki setengah
baya ini mengetahui tentang orang aneh yang juga
pernah bertemu sekali dengannya di Desa Walang.
"Tampaknya kau pernah berhadapan dengannya,
Bayu. Paling tidak, sekali," tebak Tepasena langsung.
Bayu hanya tersenyum saja. Tebakan lelaki setengah
baya itu tepat, tidak meleset sedikit pun. Pendekar Pulau
Neraka itu sempat mengagumi di dalam hati terhadap
pandangan tajamTepasena.
"Aku memang sedang memburunya, Ki Tepasena.
Tapi tidak tahu siapa diasebenarnya," kata Bayu.
"Oh! Kenapa?" Tepasena tampak terkejut.
"Sukar untuk dijelaskan."
"Tidak mengapa, Bayu."
Lagi-lagi Pendekar Pulau Neraka mengagumi sikap
lelaki setengah baya itu. Sangat arif. Setiap kata yang
diucapkan begitu sopan, berwibawa, dan terdengar
agung. Dalam hati, Bayu menduga kalau Tepasena pasti
seorang yang memiliki ilmu tinggi. Paling tidak seorang
guru pengajar pada Padepokan Gagak Hitam.
Mereka terus berjalan menembus kegelapan malam
tanpa bicara lagi. Sebenarnya Bayu ingin menceritakan
kejadian di Desa Walang. Tapi rasanya belum ada alasan
kuat. Lagi pula dugaannya, orang-orang dari Padepokan
Gagak Hitam ini tidak tahu menahu sama sekali. Tapi
sedikit ada harapan di hati Pendekar Pulau Neraka saat
Tepasena mengatakan Padepokan Gagak Hitam tidak
jauh dari Bukit Walang Jati sebelah Selatan ini. Hanya
dibatasi hutan kecil dan aliran sungai yang tidak begitu
besar. Bayu berharap, mungkin di dalam padepokan itu
bisa didapat banyak keterangan. Dia tahu kalau sebuah
padepokan, tentu tidak jauh dari sebuah perkampungan.
Kalau pun menyendiri, itu paling tidak di sebuah
lembah, puncak gunung, atau sebuah bukit Tapi tetap
juga tidak jauh dari perkampungan.
***
Sama sekali Bayu tidak menyangka kalau Eyang
Jayaraga tidak seperti yang dibayangkannya semula.
Biasanya, sebuah padepokan selalu dipimpin oleh orang
tua berjubah panjang dan berjanggut memutih. Nada
suaranya lembut penuh kewibawaan. Tapi yang
sekarang berada di depan Pendekar Pulau Neraka kali
ini...,sungguh tidak mudah dipercaya.
Bayu sendiri sampai terpana tidak percaya ketika
Tepasena memperkenalkannya pada Ketua Padepokan
Gagak Hitam. Seorang pemuda cukup tampan yang
usianya mungkin baru dua puluh delapan tahun, atau
mungkin tiga puluhan. Kulitnya kuning langsat dan sinar
matanya tajam menusuk. Pakaiannya sangat sederhana,
terbuat dari kulit binatang Sengaja dibuat tanpa lengan,
dihiasi tali-tali dari urat binatang menyilang pada bagian
dadanya. Sebilah pedang yang gagangnya berbentuk
kepala burung gagak bertengger di punggungnya.
"Senang sekali bisa bertemu denganmu, Pendekar
Pulau Neraka," ucap laki-laki muda yang ternyata
bernama Eyang Jayaraga itu menyambut kedatangan
Bayu Hanggara.
'Terima kasih...," ucap Bayu, agak kaku juga.
Betapa tidak? Bayu merasa tidak pantas memanggil
laki-laki yang usianya sangat jauh jika dipanggil Eyang.
Paling tidak dia memanggilnya Kakang.
"Silakan duduk," ujar Eyang Jayaraga.
Bayu duduk di kursi menghadap meja bundar kecil.
Sedangkan Eyang Jayaraga kembali duduk di kursinya,
tepat di depan Pendekar Pulau Neraka. Tidak ada lagi
orang lain di ruangan yang cukup besar ini. Tepasena
yang mengantarkan tadi, sudah sejak tadi keluar dari
ruangan ini. Sebentar Bayu merayapi keadaan ruangan
yang cukup besar dan indah ini.
"Sukar rasanya bagiku untuk memanggilmu...," Bayu
tak jadi meneruskan ucapannya.
"Ha ha ha...!" Eyang Jayaraga hanya tertawa saja.
Bayu terdiam membisu.
"Panggil saja aku Jayaraga. Tidak perlu kau panggil
aku Eyang," kata Eyang Jayaraga polos disertai
senyuman di bibir.
"Sulit. Meskipun kau masih kelihatan muda, tapi
sudah memimpin padepokan. Sebutan Eyang sudah
melekat di depan namamu," ujar Bayu.
"Kalau begitu, terserah kau sajalah."
Kembali Bayu terdiam.
'Terus terang, aku begitu gembira menerima
kunjunganmu, Pendekar Pulau Neraka. Sudah lama aku
ingin dapat bertemu denganmu. Dan sekarang sepertinya
aku mendapat kehormatan atas kunjunganmu ke sini,"
ucap Eyang Jayaraga pelan dan cukup lembut
"Hm..., kau tahu nama julukanku," gumam Bayu.
Pendekar Pulau Neraka selalu memotong akhir
ucapannya. Sepertinya berusaha untuk menghindar
menyebut nama laki-laki muda pemimpin Padepokan
Gagak Hitamini. Terasa risih bagi lidahnya.
"Hanya ada satu Pendekar Pulau Neraka di dunia ini.
Dan aku tahu siapa dirimu, meskipun belum kau
sebutkan julukanmu," kata Eyang Jayaraga kalem.
"Bagaimana kau bisa tahu? Sedangkan baru kali ini
kita bertemu," selidik Bayu ingin tahu.
"Pakaianmu, dan senjata anehmu itu."
Bayu tersenyum seraya mengangkat bahunya sedikit
Pakaian yang dikenakannya memang terlalu menyolok,
tapi dia sangat menyukainya. Terlebih senjata Cakra
Maut yang setiap saat menempel di pergelangan tangan
kanannya. Untuk beberapa saat lamanya mereka tidak
ada yang bicara. Dalam hati, Bayu mengagumi juga
kejelian penglihatan laki-laki muda yang sudah dipanggil
eyang itu. Pemimpin besar Padepokan Gagak Hitam ini
memang masih menjadi beban pertanyaan di benak
Pendekar Pulau Neraka. Sama sekali tidak diketahuinya
tentang padepokan ini. Meskipun semua penghuninya
ramah, tapi Bayu tetap ingin tahu banyak mengenai
Padepokan Gagak Hitam yang berada di sebelah Selatan
Bukit Walang Jati.
***
Dua hari Bayu berada di lingkungan Padepokan
Gagak Hitam. Dan selama itu pula dia belum
memperoleh apa-apa tentang manusia aneh dan
misterius yang membantai penduduk Desa Walang
secara kejam. Eyang Jayaraga sendiri tidak tahu tentang
kekejaman itu. Bahkan sepertinya tidak tahu kalau ada
sebuah desa di balik Bukit Walang Jati. Bahkan semua
orang yang ada di padepokan ini, tidak ada yang bisa
memberi jawaban memuaskan.
Sukar untuk dipercayai. Letak Padepokan Gagak
Hitam dengan Desa Walang, tidak seberapa jauh.
Mustahil kalau mereka tidak tahu menahu terhadap
semua yang terjadi di desa itu. Beberapa kali Bayu
menanyakan tentang hal ini pada Eyang Jayaraga, tapi
laki-laki muda pemimpin padepokan itu seperti sengaja
menghindar.
"Kau akan pergi juga, Bayu?" tanya Tepasena siang
itu ketika melihat Pendekar Pulau Neraka sudah bersiap-
siapakan meninggalkan Padepokan Gagak Hitamini.
"Ya,"sahut Bayusingkat.
"Eyang Jayaraga sangat senang atas kehadiranmu di
sini. Bahkan dia menginginkan agar kau tetap tinggal
untuk beberapa hari lagi," kata Tepasena.
"Aku juga senang berada di sini. Tapi masih ada yang
harus kukerjakan di luar sana,"sahut Bayu.
"Hm.... Kau tetap akan menyelidiki orang misterius
itu, Bayu?"
"Ya. Aku tidak bisa melihat kekejaman berlangsung
di depan mataku," tegas jawaban Pendekar Pulau
Neraka.
"Bukankah semua tindakanmu juga dikatakan kejam,
Bayu."
Bayu Hanggara seketika tertegun. Pandangannya
tajam menusuk langsung ke bola mata laki-laki setengah
baya itu. Sungguh tidak disangka kalau Tepasena bisa
bicara seperti itu. Kata-kata yang meluncur lancar bagai
tidak pernah terpikirkansebelumnya.
"Maaf, kalau ucapanku membuatmu tersinggung,"
ucap Tepasena buru-buru menyadari kata-katanya.
"Seberapa jauh kau mendengar tentang diriku,
Paman?" tanya Bayu datar.
'Tidak banyak. Hanya mendengar saja dari cerita
orang-orang," sahut Tepasena.
"Orang-orang..? Tidak kulihat adanya desa di sekitar
sini. Hanya padepokan ini saja yang ada. Siapa yang
dimaksud orang-orang itu, Paman?" nada suara Bayu
terdengarseperti mencurigai dan penuh selidik
Tepasena terdiam, tidak bisa segera menjawab. Raut
wajahnya berubah seketika. Sepertinya baru saja
kepergok mencuri. Sikap laki-laki setengah baya itu
membuat Pendekar Pulau Neraka semakin curiga, dan
ingin tahu lebih banyak lagi. Tapi waktu yang
dimilikinya saat ini begitu sedikit. Dia sudah berpamitan
pada Eyang Jayaraga, dan harus segera pergi dari
Padepokan Gagak Hitamini.
"Aku pergi dulu, Paman. Mudah-mudahan bisa
bertemu lagi dalamsuasana masih penuh persahabatan,"
ucap Bayu seraya menjura memberi hormat.
Tepasena hanya diam seraya menganggukkan
kepalanya sedikit membalas penghormatan Pendekar
Pulau Neraka itu. Tanpa bicara apa-apa lagi, Bayu
membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi. Pen-dekar
Pulau Neraka lewat di depan bangunan utama
Padepokan Gagak Hitam ini. Langkahnya terhenti saat
melihat Eyang Jayaraga berdiri di ambang pintu
bangunan utama padepokan itu.
Bayu membungkukkan tubuhnya untuk memberi
hormat, kemudian terus saja berjalan cepat keluar dari
Padepokan Gagak Hitam. Dua orang penjaga pintu
gerbang bergegas membuka pintu yang terbuat dari kayu
tebal dan cukup tinggi. Pendekar Pulau Neraka terus saja
berjalan. Sementara Eyang Jayaraga memandangi sampai
pintu gerbang kembali tertutup. Digerakkan tangannya
untuk memanggil Tepasena.
Bergegas laki-laki setengah baya itu menghampiri,
lalu menjura memberi hormat dengan membungkukkan
tubuhnya dalam-dalam. Eyang Jayaraga yang masih
muda dan berwajah cukup tampan itu melangkah
beberapa tindak menuruni anak-anak tangga beranda
depan bangunan besar Padepokan Gagak Hitam itu.
Langkahnya berhenti setelah dekat di depan laki-laki
setengah baya itu.
"Apa saja yang ditanyakan padamu, Paman?" tanya
Jayaraga datar nada suaranya.
"Seperti yang kemarin, Nanda Jayaraga. Selalu ingin
tahu," sahut Tepasena.
"Hmmm...," Jayaraga menggumam dengan kepala
terangguk-angguk.
Pemuda yang selalu dipanggil eyang itu membalik-
kan tubuhnya, kemudian melangkah masuk ke dalam
bangunan besar itu. Tepasena masih tetap berdiri dan
tubuhnya agak membungkuk. Dia baru menegakkan
tubuhnya setelah Jayaraga hilang di dalam bangunan
utama padepokan itu.
***
Sementara itu, Bayu sudah cukup jauh berjalan
meninggalkan Padepokan Gagak Hitam. Arahnya sudah
jelas, kembali ke Desa Walang yang berada di balik bukit
sebelah Timur. Ayunan kaki Pendekar Pulau Neraka itu
tidak tergesa-gesa, namun terasa ringan seperti tidak
menapak tanah.
"Heh...!" tiba-tiba Bayu berseru terkejut.
Mendadak saja beberapa orang berpakaian serba
hitam muncul dari balik semak dan meluncur turun dari
atas pohon. Pendekar Pulau Neraka memutar tubuhnya.
Di sekelilingnya kini sudah mengepung tidak kurang
dari dua puluh orang berpakaian serba hitam dengan
kepala terselubung kain hitam pula. Hanya bagian
matanyasaja masih terlihat
"Siapa kalian?! Kenapa mencegat jalanku?!" bentak
Bayu keras.
"Jangan banyak omong! Bunuh...!" terdengar
bentakan dari arah belakang.
Dan belum juga Pendekar Pulau Neraka bisa
memutar tubuhnya, mendadak dua puluh orang berbaju
serba hitam itu berlompatan sambil mencabut
pedangnya masing-masing. Bayu tidak punya pilihan
lain lagi. Seketika itu juga tubuhnya berputar, dan berkelit
menghindari beberapa tebasan pedang yang datang
beruntun. Pertempuran tidak dapat dihindari lagi.
Beberapa kali Bayu mencoba bertanya, tapi tak ada yang
menyahuti setiap pertanyaannya.
Serangan dua puluh orang berbaju serba hitam itu
sangat luar biasa dahsyatnya. Beberapa kali Bayu harus
membanting tubuhnya, atau berputaran di udara
menghindari setiap serangan. Sebentar-sebentar
mulutnya mendesis menahan geram menghadapi
pedang-pedang yang bisa merobek tubuhnya, atau
mungkin juga bisa memenggal kepalanya. Orang-orang
berbaju hitam itu bertarung tanpa banyak mengeluarkan
suara. Namun setiap serangannya sungguh dahsyat, dan
mengandung tenaga dalamcukup tinggi.
'Tahan..! Kenapa kalian menyerangku?! Siapa
kalian?!" keras suara Baya
Tapi orang-orang berbaju hitam itu tidak ada yang
menjawab, bahkan semakin memperhebat serangan-
serangannya. Beberapa kali Bayu bertanya, tapi tak ada
yang menjawab. Tentu saja hal ini membuat Pendekar
Pulau Neraka itu kian berang. Terlebih lagi ketika sebuah
pedang hampir saja membabat buntung lehernya.
Untung pemuda berbaju kulit harimau itu cepat-cepat
berkelit menghindarinya.
"Setan! Kalian yang memaksa...! Jangan menyesal,
keparat!" geram Bayu memuncak amarahnya.
Seketika itu juga Pendekar Pulau Neraka berteriak
keras menggelegar. Kedua tangannya segera
mengembang ke samping, lalu bergerak cepat diikuti
gerakan kakinya yang lincah. Saat itu juga dua orang
berpakaian hitam terjungkal terhantam tangan yang
bergerak bagai kilat dan mengandung pengerahan
tenaga dalamcukup sempurna.
"Hiya! Hiyaaa...!"
Jeritan melengking terdengar saling sambut, disusul
berpelantingannya orang-orang berbaju serba hitam itu.
Bayu sengaja memilih bagian tubuh yang tidak
mematikan, meskipun pukulannya mengandung tenaga
dalam sangat tinggi. Tapi begitu mereka menggeletak di
tanah, langsung menghunjamkan pedangnya ke
tubuhnya sendiri.
"Keparat..!" geram Bayu tersentak kaget.
Sebentar saja, tinggal dua orang yang masih hidup.
Namun tanpa diduga sama sekali, mereka menusukkan
pedangnya sendiri, tepat di dada. Bukan main
terkejutnya Pendekar Pulau Neraka menyaksikan lawan-
lawannya bunuh diri dalam keadaan kalah. Bayu
memandangi mayat-mayat yang bergelimpangan
terpanggang pedang masing-masing. Tak ada lagi yang
hidup, semuanya tewas seketika.
Bayu menghampiri salah sebuah mayat yang tidak
berapa jauh darinya, lalu membuka kain yang
menyelubungi kepala orang itu. Pendekar Pulau Neraka
menggeleng-gelengkan kepalanya. Kemudian dibukanya
satu persatu kain-kain hitam yang menyelubungi
mereka. Bayu berdiri setelah membuka selubung kepala
mayat yang terakhir. Mereka semua masih muda, dan
mungkin baru berusia sekitar dua puluh tahun.
Hebatnya, tingkat kepandaian mereka sudah cukup
tinggi. Hanya yang tidak bisa dimengerti, mereka bunuh
dirisendiri setelah menyadari kekalahannya.
"Aku tidak tahu siapa mereka. Kenapa menyerang
dan membunuh diri sendiri...?" desah Bayu sambil
menggelengkan kepala beberapa kali.
Tak ada tanda-tanda yang dapat dikenali. Dan
Pendekar Pulau Neraka itu tidak bisa mengenali wajah-
wajah mereka yang begitu asing. Pelahan-lahan Bayu
melangkah mundur, kemudian berbalik dan kembali
berjalan cepat menuju Desa Walang. Saat itu hari sudah
mulai senja. Dan Bayu tidak sampai kemalaman tiba di
Desa Walang, karena berjalan cepat mempergunakan
ilmu meringankan tubuh.
***
EMPAT
Malam belum begitu larut Namun suasana di Desa
Walang begitu senyap. Tak ada satu suara pun terdengar,
kecuali desir angin saja mengusik gendang telinga. Begitu
sunyi, seakan-akan binatang malam pun enggan
memperdengarkan suaranya.
Seorang pemuda berbaju kulit harimau yang tengah
duduk memeluk lutut di beranda sebuah rumah kecil
yang reyot mendadak mengangkat kepalanya ketika
mendengar lolongan anjingan hutan. Lolongan itu begitu
panjang dan menyayat hati. Pemuda itu menggelinjang
bangkit saat matanya menangkap bayangan berkelebat
cepat dari satu atap rumah ke atap lainnya.
"Hup...!"
Pemuda itu bergegas melentingkan tubuhnya,
langsung hinggap di atas atap. Ringan sekali gerakannya,
sehingga tidak terdengar suara sedikit pun. Tatapan
matanya begitu tajam, mengamari bayangan yang
berkelebat cepat di atas atap rumah penduduk. Dan
begitu bayangan itu meluruk turun ke jalan, pemuda
berbaju dari kulit harimau itu langsung melesat
menghadangnya.
“Tunggu...!" sentak pemuda itu keras. Tampak
seorang berjubah hitam yang rambutnya meriap panjang
dan tidak teratur, sangat terkejut melihat kemunculan
seorang pemuda berbaju kulit harimau yang begitu tiba-
tiba. Sesaat mereka hanya saling pandang dalam jarak
sekitar tiga batang tombak. Orang berjubah hitam dan
bertubuh agak bungkuk itu menggumam kecil. Hampir
tidak terdengarsuara gumamannya itu.
"Hik hik hik...!" tiba-tiba saja orang itu tertawa
mengikik. Suaranya terdengar kecil dan serak.
"Hm..., siapa kau?" tanya pemuda berbaju kulit
harimau itu dingin.
"Hik...! Anak muda, kau bukan penduduk sini. Aku
tidak ingin berurusan denganmu. Pergilah, sebelum
nasibmu sama dengan yang lain!" serak suara orang
berjubah hitamitu.
"Pasti kau yang membantai semua penduduk di sini!"
tetap dingin nada suara pemuda berbaju harimau itu.
"Apa pedulimu, bocah?" bentak orang berjubah hitam
itu kasar.
"Aku selalu peduli pada setiap kekejaman yang
terjadi di depan mataku!"
"Phuih! Kau cari penyakit, Anak Muda! Berani
berurusan dengan penghuni Istana Iblis!"
"Sekalipun dari neraka, aku tidak peduli!
Perbuatanmu sudah melampaui batas!"
"Hik hik hik...! Kau pikir dirimu sendiri bersih,
bocah?! Sepak terjangmu tidak jauh berbeda dengan
manusia iblis! Seharusnya kau bergabung denganku
untuk menumpas manusia-manusia dungu tidak
berguna. Menjadikan kerajaan iblis yang terbesar dan
tidak tertandingi! Hik hikhik...!"
"Impianmu akan pupus, iblis busuk!" geramBayu.
“Tidak seorang pun bisa menentangku, bocah!"
"Aku yang akan menghentikan!"
"Ha ha ha...!" orang berjubah hitam itu tertawa
tergelak-gelak.
Seketika orang berjubah hitam itu menepuk
tangannya tiga kali. Tiba-tiba saja dari balik rumah,
pohon, dan atap, bermunculan orang-orang berbaju
hitam terselubung kain hitam pada kepalanya. Bayu
tersentak kaget. Tidak diduga sama sekali kalau di
tempat ini begitu banyak orang berpakaian hitam. Sama
sekali tidak diketahui. Bahkan telinganya juga tidak
mendengar keberadaan mereka.
Bayu menyadari kalau orang-orang itu memiliki
kepandaian yang tidak bisa dianggap enteng. Terbukti
kehadirannya tidak diketahui sama sekali. Pendekar
Pulau Neraka itu menatap tajam orang berjubah hitam
dan agak bungkuk di depannya. Orang itu terkikik serak
sehingga bahunya sedikit terguncang.
"Aku percaya akan kemampuanmu, Anak Muda.
Dua puluh orang anak buahku dengan mudah dapat
kaukalahkan. Dan aku yakin, kau juga tidak mengalami
kesulitan menandingi mereka sekaligus. Tapi kau pasti
akan berpikir dua kali, Pendekar Pulau Neraka...," kata
orang berjubah hitamyang wajahnya sukar untuk dilihat,
karena tertutup rambut panjang yang tidak teratur itu.
"Heh! Kau tahu namaku...?!" sentak Bayu agak
terkejut juga dia.
"Nama aslimu pun aku tahu. Semua sepak terjangmu
selalu kuikuti. Itu sebabnya kau masih kuberi
kesempatan hidup. Aku ingin kau ikut memperkuat
pasukanku. Pasukan Istana Iblis,ha ha ha...!"
Bayu menggeram pelan. Disadari kalau semua sepak
terjang serta dirinya sudah diketahui. Tapi dia tidak tahu,
siapa orang berjubah hitam dan mereka yang
mengepung tempat ini. Pendekar Pulau Neraka itu
merasakan dirinya seperti tengah diadili saat ini.
Memang diakui kalau selama ini tindakannya selalu
tegas dan tanpa kompromi. Sehingga tidak heran kalau
tokoh-tokoh rimba persilatan sukar untuk
memasukkannya ke dalamgolongan hitamatau putih.
Padahal jelas, kalau selama ini Bayu selalu menolong
yang lemah. Memang tidak bisa dipungkiri kalau
Pendekar Pulau Neraka itu kerap juga bentrok dengan
tokoh beraliran putih. Dan yang lebih menyolok lagi,
Bayu tidak pernah memberi kesempatan pada setiap
lawannya untuk menghirup udara kembali. Bayu
memang berada di antara dua kutub yang begitu kuat
menariknya. Darahnya adalah darah seorang pendekar,
tapi semua kepandaiannya berasal dari seorang tokoh
hitam beraliran sesat. Tidak heran kalau dalam diri
Pendekar Pulau Neraka terdapat dua jiwa yang saling
bertentangan. Dan ini belum bisa dikendalikan. Bayu
masih menuruti apa kata hatinya. Jika dianggap harus
bertindak, maka tidak ada yang bisa mencegahnya.
"Bagaimana, Bayu? Sudah ada pilihan?" tegur orang
berjubah hitam itu membangunkan lamunan Pendekar
Pulau Neraka.
"Aku kira, kau terlalu banyak berharap untuk bisa
merangkulku, manusia iblis!" sahut Bayu dingin dan
tegas nada suaranya.
"Ha ha ha...!" orang berjubah hitam itu tertawa
terbahak-bahak.
Bayu jadi tidak mengerti ketika melihat orang
berjubah hitam itu memberi isyarat agar anak buahnya
yang mengepung tempat ini pergi. Dan tanpa diminta
dua kali, mereka segera berlompatan menghilang. Begitu
cepat gerakannya, sehingga sebentar saja sudah tidak ada
lagi yang mengepung tempat ini. Tinggal Bayu dan orang
berjubah hitamitusaja yang ada.
"Biasanya aku tidak pernah memberi kesempatan
dua kali. Tapi untukmu, kuberi waktu untuk berpikir.
Waktumu hanya dua hari, Pendekar Pulau Neraka! Ha
haha...!"
"Hey...!"
Bayu ingin mencegah, tapi orang berjubah hitam itu
sudah lebih cepat melesat. Sekejap saja bayangan
tubuhnya lenyap dari pandangan mata. Pendekar Pulau
Neraka berdiri memandangi arah kepergian manusia
misterius itu. Terlalu banyak yang ada dalam benak
Bayu. Dan ini membuat kepala Pendekar Pulau Neraka
itu jadi pening. Masih belum bisa dipahami semua
peristiwa yang terjadi ini.
***
Semalaman penuh Pendekar Pulau Neraka berdiri di
tengah-tengah jalan berdebu. Sampai matahari muncul,
Pendekar Pulau Neraka belum juga bergeming dari
tempatnya. Pandangan matanya lurus menatap ke arah
Puncak Bukit Walang Jati. Di situ terlihat sebuah
bangunan batu bagai istana kuno yang sudah tidak
terpakai lagi. Ke arah sanalah orang aneh misterius itu
pergi Tepatnya kearah Bukit Walang Jati.
Bayu mengalihkan perhatiannya pada segumpal
debu yang membumbung tinggi di angkasa. Semakin
lama debu itu semakin terlihat jelas dan dekat. Dari balik
gumpalan debu itu terlihat seekor kuda yang dipacu
cepat bagai dikejar setan. Di punggung kuda itu duduk
seorang laki-laki setengah baya mengenakan baju putih
ketat. Semakin dekat semakin jelas terlihat.
"Paman Tepasena...," desis Bayu mengenali
penunggang kuda itu.
Kuda warna coklat yang kedua kaki depannya putih
itu berhenti tepat di depan Pendekar Pulau Neraka. Dan
penunggang kuda itu bergegas melompat turun, lalu
menghampiri pemuda berbaju dari kulit harimau. Laki-
laki setengah baya itu membungkukkan tubuhnya
memberi hormat.
"Hm.... Ada apa, Paman?" tanya Bayu ingin tahu.
"Bayu, aku mohon maafkanlah aku...," ucap Tepasena
dengan tubuh masih agak membungkuk.
"He...! Apa aku tidak salah dengar?" sentak Bayu
terkejut tidak mengerti.
"Aku mohon, Bayu. Maafkanlah aku...," pinta
Tepasena berharap. Begitu seriusnada suaranya.
Bayu jadi berkernyit juga keningnya. Dipandanginya
dalam-dalam wajah laki-laki setengah baya itu, mencoba
mencari sesuatu di matanya. Dan Bayu jadi keheranan,
karena sikap Tepasena begitu bersungguh-sungguh.
"Ada apa? Kenapa meminta maaf padaku?" tanya
Bayu.
"Aku.... Aku telah mendustaimu, Bayu. Aku mohon
maaf. Aku terpaksa berbuat itu karena.... Akh!"
"Paman...!" Bayu tersentak kaget.
Tiba-tiba saja sebatang anak panah melesat cepat dan
menancap tepat di punggung laki-laki setengah baya itu.
Pada saat itu terlihat sebuah bayangan hitam berkelebat
cepat. Dan Bayu tidak membuang-buang waktu lagi.
Segera dilentingkan tubuhnya mengejar bayangan hitam
itu.
Ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Pendekar
Pulau Neraka itu sudah mencapai taraf kesempurnaan
Gerakannya demikian cepat sehingga yang terlihat hanya
bayangan tubuhnya berkelebat dari atap-atap rumah
penduduk Desa Walang ini. Tatapan matanya tidak
berkedip mengamati sosok tubuh hitam yang
berkelebatan di depannya. Jarak mereka semakin dekat
saja. Dan begitu Bayu melompat tiba-tiba....
"Hey...!" Pendekar Pulau Neraka kembali tersentak
kaget.
Tiba-tiba saja sebuah bayangan memotong, dan
langsung menghajar sosok tubuh yang tengah dikejar
Pendekar Pulau Neraka itu. Demikian cepat gerakan
orang berbaju biru muda itu, sehingga sukar untuk
diikuti pandangan mata biasa. Tahu-tahu sosok tubuh
hitam itu sudah menggelepar di tanah dengan dada
sobek mengucurkan darah segar.
“Tunggu...!" seru Bayu ketika orang berbaju biru
muda yang membelakanginya hendak pergi.
Orang berbaju biru muda itu membalikkan
tubuhnya, setelah sosok tubuh berbaju hitam di
depannya sudah tidak bergerak lagi. Dan seketika itu
juga Bayu jadi membeliak dan mulutnya terbuka lebar.
Hampir tidak dipercayaapa yang dilihatnyasaat itu.
"Wurani...," desis Bayu tidak percaya akan
penglihatannya.
"Apa kabar, Kakang?" orang berbaju biru muda itu
ternyata memang Wurani. Gadis yang telah diselamatkan
Bayu dari kematian akibat terkena sesuatu yang
mengandung racun.
"Bagaimana kau bisa berada di sini?" dengus Bayu
sambil melirik tubuh yang sudah tidak bernyawa lagi di
belakang Wurani.
Wurani tidak menjawab, tapi malah berpaling
menatap tubuh tak bernyawa di belakangnya. Perlahan
digeser kakinya mendekati Pendekar Pulau Neraka.
"Maaf, aku mendahuluimu," ucap Wurani perlahan.
Namun tidakada nada penyesalan di dalamsuaranya.
Bayu tidak menanggapi. Ditariknya napas panjang,
kemudian berbalik Pendekar Pulau Neraka langsung saja
melangkah cepat kembali ke Desa Walang. Dia teringat
Tepasena yang entah bagaimana nasibnya sekarang.
Panah yang menancap di punggungnya begitu dalam.
Kalau sampai menembus jantung, jelas tidak ada harapan
hidup lagi. Padahal Bayu sudah merasa kalau laki-laki
setengah baya itu akan mengatakansesuatu yang penting
"Kakang...!" panggil Wurani seraya berlari mengejar.
Bayu terus saja berjalan cepat tidak mempedulikan
Wurani yang sudah berjalan cepat pula di sampingnya.
"Kau marah padaku, Kakang?" tegur Wurani melihat
Bayu diamsaja tanpa menoleh sedikit pun padanya.
'Tidak!"sahut Bayusingkat.
'Tapi, sikapmu...."
"Lupakan saja."
Mereka terus berjalan cepat memasuki Desa Walang.
Bayu langsung menghampiri sosok tubuh berbaju putih
yang tengkurap di tanah. Sebatang anak panah masih
terbenam di punggungnya. Darah merembes keluar
mengotori baju putih itu. Bergegas Bayu membalikkan
laki-laki setengah baya itu, lalu memeriksa detak
jantungnya.
"Hhh...," Bayu menarik napas panjang, dan kembali
berdiri.
Ujung panah itu tembus ke dada. Tepasena sudah
tidak bisa tertolong lagi. Dia tewas sebelum
mengucapkan sesuatu yang penting. Padahal itu sangat
diharapkan Pendekar Pulau Neraka.
"Siapa dia?" tanya Wurani yang berdiri di samping
Bayu.
“Tepasena," sahut Bayu.
***
Hari itu Bayu menguburkan mayat-mayat yang
bergelimpangan di Desa Walang. Udara di sekitar desa
itu jadi tidak sedap oleh banyaknya mayat
bergelimpangan membusuk tanpa kepala. Bayu tidak
mungkin bisa menguburkan satu persatu. Sungguh sulit
untuk menentukan, mana kepala yang cocok dengan
tubuhnya. Dia menggali lubang besar dan mengubur
mereka jadi satu. Tapi lubang yang dibuatnya tidak
cukup, sehingga terpaksa harus menggali lagi.
Sudah tiga lubang yang dibuat dan telah terisi penuh
oleh mayat. Namun belum juga cukup. Masih banyak
mayat yang belum terkuburkan. Sementara senja sudah
mulai turun. Suasana mulai meremang. Bayu menyeka
keringat setelah selesai menggali lubang yang keempat.
Sebuah lubang yang cukup besar, dan mampu untuk
mengubur tiga bangkai gajah.
"Kau tidak mungkin mengubur mereka semua,
Kakang," kata Wurani.
Bayu menoleh, menatap gadis itu. Sejak membuat
lubang pertama, Wurani hanya diam saja
memperhatikan. Tidak sedikit pun gadis itu membantu.
Dan Bayu memang tidak meminta bantuannya. Memang
hatinya masih kesal terhadap kecerobohan Wurani yang
telah membunuh orang yang telah menewaskan
Tepasena secara licik.
"Kau hanya membuang-buang tenaga saja, Kakang,"
kata Wurani lagi.
"Apa maksudmu, Wurani?" tanya Bayu bernada
menyelidik.
Entah kenapa, selama ini Pendekar Pulau Neraka jadi
mudah menaruh curiga. Mungkin karena orang-orang
yang dijumpainya selalu bertingkah aneh dan misterius.
Termasuk juga Wurani. Bayu belum tahu jelas tentang
gadis itu. Juga bagaimana sampai bisa terluka parah,
bahkan mungkin bisa menghilangkan nyawanya.
Sedangkan sikap Wurani sendiri, seperti
menyembunyikan sesuatu.
Wurani tidak menjawab, tapi malah mengangkat
bahunya dan berbalik. Gadis itu melangkah mendekati
sebuah rumah yang terlihat lebih baik dari yang lainnya.
Sedangkan Bayu menguburkan mayat yang sudah
dikumpulkannya di dekat lubang. Diuruknya lubang itu
setelah mayat yang dikumpulkan masuk ke dalam
lubang. Memang masih banyak yang belum dikuburkan,
dan masih berserakan di mana-mana. Pendekar Pulau
Neraka menghampiri Wurani yang sudah duduk
mencangkung di beranda rumah itu, setelah ia selesai
dengan tugasnya menguruk lubang kuburan.
"Mau minum?" Wurani menawarkan begitu Bayu
menghenyakkan tubuhnya di sampingnya.
Bayu mengambil kendi yang disodorkan gadis itu,
dan meneguk isinya. Diletakkan kendi itu di meja
berdebu. Wurani membersihkan tikar pandan dan
menggelarnya di dipan bambu yang didudukinya.
Sedangkan Bayu pindah duduknya ke kursi dekat dipan.
"Lumayan, buat tidur malamini," kata Wurani.
Sepertinya sudah dilupakan semua yang terjadi, dan
membuat Pendekar Pulau Neraka itu gusar.
"Hm...," Bayu hanya menggumamsaja. Hanya sedikit
melirik, kemudian perhatiannya dialihkan ke arah jalan.
"Kau masih marah padaku, Kakang? Maaf ya..., aku
memang ceroboh," ucap Wurani seraya mendekati dan
duduk di depan pemuda berbaju kulit harimau itu. Tidak
dipedulikan kalau kursi yang didudukinya penuh debu.
"Hhh...," Bayu hanya menarik napas panjang saja.
"Kakang, kau tidak menanyakan kenapa aku kembali
lagi ke sini. Atau menanyakan bagaimana keadaan Ki
Sampang dan gadis kecil itu," kata Wurani mencoba
membuka mulut Pendekar Pulau Nerakaagar bicara.
"Untuk apa? Dengan caramu menyerang dan
membunuh orang itu saja sudah bisa kutebak," sahut
Bayu datar. Sedikit pun tidak berpaling. Pandangannya
lurus menatap jalan yang lengang.
Wurani langsung terdiam membisu. Kata-kata Bayu
terasa sinis di telinganya. Tapi gadis itu malah tersenyum,
mencoba untuk tidak tersinggung. Disadari kalau
tindakannya tadi salah, padahal sudah terlihat kalau
Bayu sedang mengejar orang itu. Tapi Wurani masih
belum bersedia mengatakan alasannya kenapa langsung
membunuh orang berbaju hitamitu.
"Sejak pertama aku sudah tidak percaya kalau kau
tidak tahu menahu tentang keadaan di sini. Dan
tindakanmu tadi, semakin menebalkan
ketidakpercayaanku," kata Bayu setelah bergumam,
seolah-olah bicara pada dirinya sendiri.
"Kenapa bicara begitu, Kakang?"
"Kenapa...? Seharusnya bisa kau jawab sendiri,
Wurani. Kau terluka cukup parah di tengah-tengah
lingkungan yang sangat mengenaskan. Ditunggui
seorang laki-laki setengah baya, dan kalian berpura-pura
tidak saling mengenal. Aku tahu itu, Wurani. Semula aku
tidak ingin tahu. Tapi belakangan ini aku merasa
dilibatkan, dan kau masih juga menutupi. Untuk apa...?!"
agak kesal nada suara Bayu terhadap sikap Wurani.
"Kau tidak mengerti, Kakang," pelan suara Wurani.
"Justru aku mengerti dan jadi peduli akan keadaan di
sini!" dengus Bayu. Wurani terdiam.
"Aku bisa saja menutup telinga dan membutakan
mata untuk tidak mau tahu terhadap semua ini, Wurani
Tapi hati kecilku tidak bisa begitu saja menyaksikan
semua kekejaman di sini. Terlebih lagi setelah kujumpai
orang-orang aneh yang bersikap penuh kepalsuan.
Mereka semua tahu, tapi pura-pura tidak tahu! Sama
seperti halnya kau, Ki Sampang, dan mereka...!"
Wurani tetap diammembisu.
"Apa sebenarnya yang sedang terjadi di sini,
Wurani?" tanya Bayu seraya menatap dalam-dalam pada
gadis itu.
"Aku tidak tahu," sahut Wurani.
"He...! Kau masih juga pura-pura tidak tahu?
Kenapa?! Untuk apa kau biarkan semua kepalsuan
menyelimuti dirimu? Kenapa, Wurani?! Takut..? Apa
yang ditakutkan?" Bayu semakin tidak mengerti terhadap
sikap gadis itu.
"Sudah, Kakang. Jangan mendesakku terus. Aku
tidak tahu!"agak kerassuara Wurani.
"Lalu, kenapa kau bunuh orang itu? Padahal kau tahu
kalau aku sedang mengejarnya, bukan?" tebak Bayu
mendesak.
"Aku..., aku...," Wurani jadi tergagap.
"Kau membunuhnya karena sebenarnya kau tahu
semua apa yang sedang terjadi di sini, bukan?" desak
Bayu memotong cepat.
Entah kenapa, tiba-tiba saja Wurani bangkit, lalu
melangkah ke dipan bambu. Dihenyakkan tubuhnya di
atas dipan itu. Dia menelungkup, menutupi mukanya.
Tak ada suara terdengar, tapi bahunya terguncang
pelahan. Bayu menarik napas panjang. Dia tahu kalau
gadis itu menangis, tapi dibiarkannyasaja.
Cukup lama juga Wurani menelungkup di dipan itu,
lalu pelahan-lahan bangkit dan duduk. Kepalanya
tertunduk, tapi pelahan-lahan mendongak sambil
menarik napas panjang Bayu sempat memperhatikan
bola mata yang memerah sedikit sembab. Tidak ada air
mata terlihat, meskipun mata itu berkaca-kaca. Dalam
hati, Bayu kagum juga. Seorang gadis yang bisa menahan
tangis, tentulah memilikihati baja dan tegar.
***
LIMA
Tidak ada peristiwa yang berarti malam ini. Sampai
lewat tengah malam, tidak juga terdengar sesuatu. Dan
Bayu mulai diserang rasa kantuk yang amat sangat
Padahal dia berusaha untuk tidak tertidur. Pendekar
Pulau Neraka itu melirik Wurani yang sudah terlelap
dibuai mimpisejak tadi.
Plak!
"Mampus kau!" umpat Bayu.
Pendekar Pulau Neraka memandangi seekor nyamuk
yang gepeng di telapak tangannya. Nyamuk di sini
cukup besar. Gigitannya pun cukup pedih menusuk kulit
Bayu melirik Wurani yang terjaga. Gadis itu bangkit lalu
duduk memeluk lutut. Udara malam ini memang terasa
dingin. Angin bertiup cukup kencang, masih membawa
bau tidak sedap meskipun sudah mulai berkurang
"Ada apa?" tanya Wurani seraya memandangi
pemuda yang duduk bersandar di dinding.
"Nyamuk," sahut Bayu seraya menunjukkan nyamuk
yang masih melekat gepeng di tangannya.
"Uhhh...! Nyamuk saja bikin kaget orang tidur!"
rungut Wurani.
Bayu tersenyum kecut. Disentilnya bangkai nyamuk
di telapak tangannya. Lalu dibersihkan titik noda darah
dengan ujung tikar. Wurani menguap lebar menutupi
mulurnya.
"Kau tidak tidur, Kakang?" pelan suara gadis itu.
"Tidak," sahut Bayu singkat.
"Tidurlah. Biar aku yang menggantikan," ujar
Wurani.
"Kausaja yang tidur."
"Uh! Sudah bangun, susah lagi tidurnya...!" keluh
Wurani.
Lagi-lagi Bayu hanya tersenyum kecut. Sementara
Wurani menggosok-gosok matanya, lalu membasuh
mukanya dengan air bening dari dalam kendi tanah liat.
Wajahnya kelihaian segar kembali. Cantik juga, tapi Bayu
tidak sempat memperhatikannya.
"Kau masih marah padaku, Kakang?" tegur Wurani
merasa sepi karena Bayu hanya diam saja. Paling tidak
hanya menjawab singkat dan datar.
'Tidak," sahut Bayu singkat.
'Tapi, kenapasikapmu begitu dingin?"
"Aku tidak tahu."
"Hhh...!" Wurani mendesah panjang. "Kau
kelihatannya masih juga belum percaya semua yang
kukatakan, Kakang."
Bayu diam saja. Matanya menerawang jauh
memperhatikan kegelapan yang menyelimuti seluruh
Desa Walang ini. Tangannya kembali memukul kakinya.
Lagi-lagi seekor nyamuk bernasib sial. Tewas di tangan
Pendekar Pulau Neraka itu.
"Aku mengatakan yang sebenarnya, Kakang.
Kedatanganku ke sini memang sudah dalam keadaan
seperti ini. Aku tidak tahu siapa yang melakukannya.
Bahkan kudapatkan keluarga kakakku sudah tewas
semua. Aku sempat menguburkan mereka, tapi
malamnya aku diserang beberapa orang berbaju hitam.
Dugaanku merekalah yang membantai penduduk desa
ini. Tapi mereka sangat tangguh. Bahkan sebuah benda
kecil berhasil dihunjamkan ke punggungku. Hhh....
Aku tidak tahu lagi kelanjutannya, dan tidak sadarkan
diri saat itu juga. Yang aku tahu..., aku tersadar keesokan
harinya. Di situ sudah ada Ki Sampang. Aku
sempat bicara dan saling mengenal nama dengannya.
Tapi setelah itu, aku sering tidak sadarkan diri," Wurani
menceritakan panjang lebar. Padahal semua itu sudah
dikatakannya sore tadi.
"Kau lahir di sini?" tanya Bayu.
"Benar. Tapi sejak berusia tujuh tahun aku tinggal di
Pertapaan Kali Anget. Aku belajar banyak di sana,
termasuk ilmu olah kanuragan. Kedatanganku ke sini
sebenarnya hanya untuk berkunjung saja. Tapi yang
kudapatkan...," Wurani berhenti berkata.
Bayu diam saja, seraya menarik napas panjang-
panjang dan menghembuskannya kuat-kuat.
"Kau masih belum percaya, Kakang...?" pelan suara
Wurani.
"Aku percaya," desah Bayu.
Wurani menghembuskannapas panjang.
"Kau lahir di desa ini. Aneh juga kalau sampai tidak
tahu apa-apa yang telah terjadi di sini," kata Bayu
setengah bergumam.
“Aku tidak pernah lagi ke sini sejak berumur tujuh
tahun, Kakang. Baru kali inilah aku kembali."
"Hm...."
"Mungkin kau akan lebih jelas lagi kalau ada Ki
Sampang."
Bayu menatap dalam-dalam gadis itu.
"Besok siang, Ki Sampang ke sini. Itu pun kalau dia
sudah menemukan saudara gadis kecil itu. Dia kenal dan
tahu keluarganya. Ki Sampang penduduk asli Desa
Walang ini," jelas Wurani.
"Kau tahu itu, kenapa tidak kau katakan
sebelumnya?" Bayu sedikit menyesali.
"Aku baru tahu setelah pergi dari sini kemarin," selak
Wurani tidak ingin disalahkan terus.
Bayu terdiam.
"Dia banyak bercerita tentang keadaan di Desa
Walang ini. Tapi aku tidak mengatakan apa-apa. Bahkan
Ki Sampang tidak tahu kalau aku ke sini lebih dahulu
darinya," lanjut Wurani. 'Tapi...."
"Kenapa?" desak Bayu.
"Anehnya, Ki Sampang selalu mengelak jika kudesak
untuk menceritakan tentang kejadian sebenarnya...,"
sambung Wurani.
"Hm," Bayu mengerutkan keningnya.
"Bahkan waktu menyebut nama Istana Iblis,
wajahnya langsung berubah dan terus mengalihkan
pembicaraan. Setiap kali kuarahkan ke sana, Ki Sampang
selalu mengelak," ujar Wurani lagi.
"Istana Iblis...," gumamBayu pelan.
Bayu teringat kata-kata orang berjubah hitam yang
misterius. Orang itu juga menyebut Istana Iblis. Bahkan
juga mengatakan kalau dirinya pengikut atau penghuni
Istana Iblis. Pendekar Pulau Neraka mengarahkan
pandangannya ke Puncak Bukit Walang Jati. Tampaklah
sebuah bangunan batu menyerupai sebuah istana berdiri
megah di puncak bukit itu. Keadaannya sungguh
mengerikan, bagaikan....
"Istana Iblis...!" lagi-lagi Bayu mendesis.
***
Malam terus beranjak semakin larut. Udara pun
terasa dingin membekukan kulit. Suasana di Desa
Walang semakin mencekam. Tak lagi terdengar suara
sedikit pun, kecuali desir angin yang bertiup agak keras.
Kabut pun ikut terbawa sehingga menyelimuti seluruh
permukaan desa ini.
"Auuu...!"
Lolongan anjing hutan terdengar lirih, membuat hati
siapa saja yang mendengarnya jadi tergiris. Lolongan
anjing hutan itu semakin banyak dan terasa dekat
terdengar. Wurani yang duduk di atas balai bambu,
menggeser duduknya lebih mendekati Pendekar Pulau
Neraka. Suasana malam ini memang sungguh
mencekam. Sepertinya seluruh udara yang terhirup
mengandung maut. Yang setiap saat dapat menyebar
dan menjemputsiapa saja.
"Kang...," pelan dan agak tergetarsuara Wurani.
"Kenapa?" tanya Bayu.
"Kau lihat di kaki bukit itu?"
Bayu yang memang sedang memperhatikan Kaki
Bukit Walang Jati, tidak mengeluarkan suara apa pun.
Pandangannya tidak berkedip, terus mengikuti cahaya
yang bergerak timbul tenggelam di antara lebarnya
pepohonan. Suara lolongan anjing hutan terus terdengar
saling sambut Dan suasana pun semakin mencekam.
Cahaya di kaki bukit itu semakin terlihat.
'Terus mendaki, Kang," desah Wurani.
Bayu tetap diam. Cahaya itu memang terus bergerak
mendaki bukit. Semakin ke lereng, semakin jelas kalau itu
merupakan cahaya obor. Entah berapa buah obor yang
ada. Cahaya itu bergerak seperti ular menyusuri lereng
bukit.
Bayu bangkit berdiri dan melangkah pelahan-lahan.
Pandangannya tidak berkedip, menatap lurus cahaya
obor yang terus mendaki bukit itu. Wurani bergegas
mengikuti, gadis itu berjalan di samping pemuda berbaju
kulit harimau itu.
"Hmmm..., siapa mereka...?" gumam Bayu seperti
bertanya pada diri sendiri.
"Sepertinya mereka menuju ke...."
Belum habis Wurani berkata, mendadak sebuah
bayangan berkelebat cepat bagai kilat dan langsung
menyambar gadis itu. Namun Bayu lebih cepat lagi
bertindak. Didorongnya tubuh Wurani, sehingga gadis
itu jatuh bergulingan di tanah. Dan Pendekar Pulau
Neraka itu sendiri melentingkan tubuhnya ke udara, lalu
cepat menukik sambil melepaskan satu tendangan keras
ke arah bayangan hitamitu.
Duk!
"Ughk!" satu keluhan pendek terdengar.
Bayu bergegas memburu, tapi secercah sinar
keperakan melesat cepat ke arah Pendekar Pulau Neraka.
"Uts!"
Cepat-cepat Bayu merundukkan kepala, maka benda
kecil berwarna keperakan itu lewat di atas kepalanya.
Dan belum lagi Bayu bisa menegakkan kepalanya
kembali, satu tendangan menggeledek melayang ke arah
dadanya.
"Hap!"
Tak mungkin lagi bagi Bayu untuk berkelit. Dan
cepat-cepat diangkat tangannya, menangkis tendangan
itu. Terdengar satu benturan keras menggelegar, disusul
pekikan keras melengking tinggi.
Belum lagi Bayu bisa berbuat sesuatu, mendadak
Wurani melentingkan tubuhnya. Dan tahu-tahu gadis itu
sudah menghunus sebilah pedang yang langsung
dibabarkan ke arah orang berbaju serba hitam yang
tengah mengerang kesakitan.
Cras!
"Aaa...!" orang berbaju serba hitam itu menjerit keras
melengking tinggi.
Tebasan pedang Wurani tepat membelah dadanya.
Darah memuncrat deras dari dada yang terbelah lebar.
Hanya sebentar orang itu masih mampu berdiri,
kemudian limbung dan ambruk menggelepar di tanah.
Wurani menarik napas panjang melihat orang itu
langsung diamtanpanyawa lagi.
"He...!" Wurani tiba-tiba tersentak kaget
Saat menoleh, ternyata tidak ada lagi Pendekar Pulau
Neraka di sekitar tempat ini. Gadis itu jadi celingukan,
dan mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Bayu
benar-benar sudah lenyap tidak ketahuan lagi bekasnya.
"Kakang...!" panggil Wurani keras.
Suara teriakan gadis itu menggema, dipantulkan oleh
dinding bukit dan terus terbawa angin malam. Tapi tak
ada sahutan sama sekali. Hanya desir angin dingin yang
menyambut panggilan keras itu. Wurani kembali
mengedarkan pandangannya kesekeliling.
Tetapi tetap tidak ada tanda-tanda kehadiran
Pendekar Pulau Neraka. Pemuda berbaju dari kulit
harimau itu bagaikan lenyap tertelan bumi. Tak ada
bekas sama sekali.
"Huh!" Wurani mendengus kesal.
Bagaikan kilat gadis itu melesat cepat meninggalkan
tempat itu. Begitu tingginya ilmu meringankan tubuh
yang dimiliki, sehingga dalam sekejap saja bayangan
tubuhnya sudah lenyap ditelan kegelapan malam.
Namun dari arahnya, jelas terlihat kalau gadis itu menuju
ke Bukit Walang Jati.
Dan belum begitu lama Wurani pergi, dari sebuah
rumah yang dindingnya penuh lubang muncul Pendekar
Pulau Neraka. Pemuda berbaju dari kulit harimau itu
memandang ke arah kepergian Wurani. Tampak
bibirnya menyunggingkan senyuman tipis, kemudian
cepat sekali melesat mengejar.
***
Malam terus merayap semakin larut Bayu berlari
cepat disertai pengerahan ilmu meringankan tubuh yang
sudah mencapai taraf kesempurnaan. Matanya lurus ke
depan, tanpa berkedip memperhatikan tubuh ramping
yang berkelebatan cepat menyelinap di pepohonan. Tapi
tiba-tiba saja....
"He.„!" Bayu tersentak kaget
Cepat-cepat Pendekar Pulau Neraka melompat, dan
mendarat ringan di atas sebongkah batu besar
menghitam penuh lumut. Pandangannya langsung
beredar ke sekeliling. Tidak lagi terlihat tubuh ramping
yang diikutinya sejak dari Desa Walang tadi.
"Mustahil dia bisa menghilang begitu saja!" dengus
Bayu menggumam.
Pendekar Pulau Neraka mendongak ke atas. Seketika
itu juga tubuhnya melenting cepat, dan hinggap di atas
pohon yang cukup tinggi. Kembali pandangannya
beredar ke sekeliling. Tetap saja tidak melihat adanya
satu bayangan pun berkelebat. Malam begitu gelap, dan
kabut sangat tebal menghalangi pandangan mata.
Namun bagi Pendekar Pulau Neraka, hal itu bukan
merupakan halangan berarti.
"Hm..., siapa sebenarnya gadis itu? Kenapa
menghilang begitu tiba-tiba di sini?" Bayu kembali
bergumam, bertanya pada dirinya sendiri.
Pendekar Pulau Neraka kembali melesat meluruk
turun. Tak ada suara sedikit pun dari gerakannya. Dan
begitu kakinya menjejak tanah, juga tidak menimbulkan
suara apa-apa. Tapi belum juga mengedarkan
pandangannya, mendadak sebatang tombak panjang
melesat cepat ke arahnya.
"Uts!"
Bayu bergegas memiringkan tubuhnya sedikit dan
tombak itu lewat di depan dada. Namun belum juga bisa
menarik kembali tubuhnya, kembali sebuah tombak
melayang ke arahnya, disusul bertebarannya puluhan
batang anak panah. Pendekar Pulau Neraka itu cepat
melentingkan tubuhnya ke atas, dan bersalto beberapa
kali menghindari hujan tombak dan anak panah.
Manis sekali pemuda berbaju kulit harimau itu
menotokkan ujung jari kakinya pada sebatang tombak
yang melesat lewat di bawah kakinya. Lalu dengan
gerakan yang indah dan begitu ringan, tubuhnya melesat
ke atas, dan hinggap di dahan pohon yang cukup tinggi.
Serbuan panah dan tombak berhenti seketika. Dan Bayu
mengedarkan pandangannya ke arah datangnya serbuan
tadi.
Sekilas dilihat adanya gerakan halus dari dalam
semak. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Pendekar
Pulau Neraka itu melesat cepat ke arah semak itu.
Namun belum juga sampai, kembali datang puluhan
anak panah ke arahnya.
"Kampret! Hup...! Hiyaaa...
Terpaksa Bayu harus berpelantingan di udara,
menghindari hujan panah itu. Dan begitu kakinya
mendarat di tanah, cepat dia melenting ke arah semak
yang dicurigainya. Satu pukulan keras didaratkan
disertai pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai
taraf kesempurnaan.
Bug!
Bayu merasakan pukulannya mengenai sesuatu. Dan
seketika itu juga terdengar suara jeritan melengkiing
tinggi, disusul terpentalnya satu sosok tubuh
menghantam pohon. Bayu bergegas memburu. Namun
belum juga sampai, dari balik semak dan pepohonan
berlompatan tubuh berbaju hitam pekat. Mereka
langsung memberikan serangan dahsyat tanpa berkata
apa-apa lagi.
"Kadal tengik! Hiyaaa...!" Bayu mengumpat geram.
Pendekar Pulau Neraka itu tidak dapat lagi
mengontrol kemarahannya. Merasa dirinya
dipermainkan, maka dengan kecepatan yang luar biasa,
tubuhnya melompat ke belakang sambil bersalto
beberapa kali. Begitu kakinya menjejak sebatang pohon,
langsung meluruk tajam disertai seruan keras
menggelegar.
"Hiyaaat...!"
Sekitar enam orang berpakaian hitam yang seluruh
wajahnya terselubung kain hitam pekat langsung
berpelantingan berusaha menghindari terjangan
Pendekar Pulau Neraka. Tapi dua orang terlambat
menghindar, dan langsung memekik keras. Tubuhnya
terpental jauh, menghantam sebatang pohon hingga
tumbang.
Bayu kembali berteriak keras menggelegar, lalu
mengebutkan tangan kanannya dengan cepat. Seketika
itu juga dari pergelangan tangan kanannya melesat
sebuah benda bulat pipih yang ujung-ujungnya
melengkung berjumlah enam buah. Senjata yang dikenal
sebagai Cakra Maut itu kontan meluruk menghantam
dua orang berbaju serba hitam itu. Dua jeritan
melengking terdengar saling sambut. Dan belum lagi ada
yang menyadari, Bayu sudah melesat cepat sambil
melontarkan dua pukulan sekaligus.
"Hiyaaat..!"
"Akh!"
"Aaa...!"
Dua orang yang tersisa tidak bisa lagi menghindar,
meskipun sudah berusaha. Serangan Pendekar Pulau
Neraka demikian cepat dan sukar dibendung lagi. Tubuh
mereka mencelat jauh ke belakang, dan tewas seketika itu
juga. Bayu mengangkat tangan kanannya sedikit maka
Cakra Maut kembali menempel di pergelangan tangan
kanannya. Pendekar Pulau Neraka itu berdiri tegak.
Tatapan matanya tajam merayapi enam sosok tubuh
hitam yang menggeletak tak bernyawa lagi. Bau anyir
darah langsung tercium terbawa angin malam yang
dingin.
Bayu memutar tubuhnya, tapi mendadak tersentak
kaget. Entah dari mana datangnya, tahu-tahu di
depannya sudah berdiri puluhan orang berpakaian serba
hitam. Pendekar Pulau Neraka itu memutar tubuhnya,
maka semakin tersentak kaget. Ternyata di sekelilingnya
sudah berdiri orang berbaju hitam yang berjumlah
puluhan.
"Gila! Dari mana mereka muncul...?!" desis Bayu.
Belum lagi Bayu sempat berpikir jauh, mendadak
secercah sinar merah melesat bagai kilat ke arahnya.
Seketika Bayu melompat ke samping, namun dari arah
lain meluncur lagi sinar merah. Kali ini Pendekar Pulau
Neraka itu sukar untuk menghindar, dan langsung
menggerakkan tangan kanannya, menangkis sinar merah
itu.
Trang!
"Heh...!" Bayu tersentak kaget, karena merasakan
tangan kanannya terbentur sebuah benda keras.
Belum juga hilang terkejutnya, kembali sinar merah
yang memancar dari sebuah benda kecil bagai jarum itu
melesat ke arahnya dari tempat lain. Pendekar Pulau
Neraka itu buru-buru merundukkan kepalanya. Namun
satu serangan lagi yang mengarah kakinya tidak dapat
dihindarkan lagi....
"Akh...!" Bayu memekik keras tertahan.
Saat itu juga, Pendekar Pulau Neraka merasakan
kakinya jadi panas dan kaku. Rasanya sulit untuk
menguasai keseimbangan tubuhnya yang langsung
ambruk ke tanah. Saat itu juga dua orang yang mengu-
rungnya melompat cepat sambil melemparkan tambang,
yang langsung disambut dua orang lagi yang juga
melompat cepat. Empat orang berlompatan di sekitar
tubuh Pendekar Pulau Neraka.
Sukar dibayangkan, tahu-tahu tubuh Bayu sudah
terikat tambang dari kaki sampai ke leher. Dan pemuda
berbaju dari kulit harimau itu tidak berdaya lagi.
Tubuhnya menggeletak terikat tambang. Ditambah lagi
hawa panas yang menjalar dari kaki kirinya mulai
merambat ke seluruh tubuhnya.
"Aaakh...!" Bayu berteriak keras melengking.
Pendekar Pulau Neraka itu langsung jatuh pingsan ketika
secercah sinar merah menghantam dadanya. Tampak,
sebuah benda kecil seperti jarum menusuk dadanya. Dan
benda yang sama juga tertanam pada kaki kiri. Dua
orang bertubuh hitam dengan kepala terselubung kain
hitam pekat bergegas menghampiri. Mereka segera
menggotong tubuh Pendekar Pulau Neraka, lalu
membawanya pergi dari tempat itu. Orang-orang berbaju
serba hitamyang kepalanya terselubung kain hitamketat,
juga bergegas pergi. Sebentar saja tempat itu sudah sepi,
tak ada lagi yang terlihat.
Tak ada seorang pun yang tahu, kalau semua
kejadian itu disaksikan seseorang yang sejak tadi berada
di atas pohon yang cukup tinggi, terlindung daun-daun.
Sosok tubuh itu terus mengawasi tanpa berkedip. Lalu
mendadak saja dia melesat. Gerakannya sungguh ringan,
cepat bagaikan kilat. Sekejap saja sudah tak terlihat lagi.
Hilang di antara pohon-pohon yang merapat dan hitam
oleh kabut tebal.
***
ENAM
Suara rintihan lirih terdengar dari bibir seorang
pemuda berbaju kulit harimau yang tergeletak di atas
pembaringan indah beralaskan kain sutra halus merah
muda. Kepalanya bergerak lemah. Kelopak matanya
mulai terbuka pelahan. Sebentar dia mengerjap, lalu
bergegas bangkit. Namun sebuah tangan halus dan
lembut menahan dadanya, membuat pemuda itu
kembali terbaring.
"Oh..., di mana aku?" rintih pemuda itu lirih.
'Tenanglah, kau masih lemah. Jangan bergerak dulu,"
terdengarsuara lembut.
Pemuda berbaju kulit harimau itu mengerjapkan
matanya beberapa kali. Samar-samar dilihatnya sesosok
tubuh ramping berada di dekatnya. Pelahan namun pasti
pandangannya mulai jelas. Kening pemuda itu agak
berkernyit ketika melihat seorang wanita cantik dan
berambut hitam meriap bergelombang. Wanita itu
memakai baju biru muda yang sangat tipis, sehingga
memetakan bentuk tubuhnya yang ramping,
membayang dari balik bajunya yang tipis.
"Siapa kau...?" tanya pemuda itu seraya berusaha
bangkit. Namun kembali tangan halus menahan
dadanya.
"Berbaringlah, kau masih terlalu lemah," lembut suara
wanita itu.
"Siapa kau?! Bagaimana aku bisa berada di sini?!"
tanya pemuda itu tidak mempedulikan cegahan wanita
cantik itu.
Pemuda berbaju kulit harimau itu menggelinjang
bangkit, dan bergegas turun dari pembaringan ini.
Dilangkahkan kakinya menuju jendela yang terbuka
tebar. Jendela itu terhalang jeruji besi yang cukup tebal
dan kuat. Sebentar diamati keadaan di luar. Tampak
sebuah pemandangan yang cukup indah di sana. Sebuah
taman yang tertata apik dihiasi kolam berair jernih.
Beberapa gadis tampak tengah becanda ria di pinggir
kolam. Mereka hanya mengenakan kain tipis
membungkus tubuhnya. Pemuda itu membalikkan
tubuhnya, langsung menatap wanita yang masih duduk
di tepi pembaringan.
"Katakan! Siapa kau dan di mana ini?!" desak pemuda
itu. Sorot matanya tajam menusuk.
"Kau berada di surga, Bayu...," lembut suara wanita
itu, diiringi senyuman manis menawan.
"He...! Kau tahu namaku...?!" pemuda berbaju kulit
harimau itu tersentak kaget
'Tentu, aku tahu," jawab wanita itu lembut.
Pemuda berjubah dari kulit harimau yang memang
bernama Bayu dan berjulukan Pendekar Pulau Neraka
itu melangkah menghampiri. Dia berdiri tegak di depan
wanita itu. Pandangannya tetap tajam menusuk.
"Siapa namamu?" tanya Bayu.
"Mega Dara," sahut wanita itu lembut
memperkenalkan dirinya.
Bayu mendesah panjang, kemudian memutar
tubuhnya. Pada saat itu terdengar suara ketukan di pintu.
Mega Dara dan Pendekar Pulau Neraka menoleh ke arah
pintu hampir bersamaan. Saat itu pintu yang terbuat dari
kayu jari berukir terbuka. Tak lama, muncul seorang laki-
laki bertubuh tinggi kekar dan bertelanjang dada.
Wajahnya cukup tampan, namun sorot matanya
mencerminkan kebengisan disertai senyum tipis seperti
meremehkan.
"Kau dipanggil, Mega," kata pemuda itu tanpa
menoleh sedikit pun pada Bayu.
"Siapa?" tanya Mega Dara.
"Ayah."
Mega Dara bangkit berdiri. Dengan langkah gemulai,
wanita itu berjalan keluar. Sedangkan Bayu hanya
memandangi saja. Pemuda yang menjemput, bergegas
keluar, lalu menutup pintu kamar itu. Bayu bergegas
menghampiri, tapi tidak dapat membuka pintu yang
sudah terkunci dari luar. Pendekar Pulau Neraka itu
berbalik, dan menyandarkan punggungnya pada pintu.
"Aku tidak mengerti. Apa sebenarnya yang terjadi...?"
desah Bayu bergumam.
Pendekar Pulau Neraka mencoba mengingat-ingat
semua yang terjadi pada dirinya. Mulai dari Desa
Walang, saat malam itu melihat cahaya api yang panjang
bergerak mendaki Bukit Walang Jati. Lalu datang
serangan kilat. Kemudian Wurani menghilang di lereng
bukit. Bayu hanya ingat saat dikepung puluhan orang
berbaju hitam, lalu diserang jarum-jarum merah. Setelah
itu..., Bayu menggeleng-gelengkan kepalanya. Sulit untuk
bisa mengingat apa yang terjadi selanjutnya. Tahu-tahu
sudah tersadar dan berada di dalam kamar ini, bersama
seorang wanita cantik yang mengaku bernama Mega
Dara.
Bayu memeriksa setiap sudut kamar ini. Dinding,
lantai, pintu, dan atap serta jendela. Semuanya diperiksa.
Kamar ini tidak ada istimewanya sama sekali. Hanya
sekali pukul saja, pasti dinding atau pintunya jebol.
Pendekar Pulau Neraka itu mendongak ke atas. Untuk
keluar dari kamar ini, memang hanya melalui atap. Cara
yang termudah dan cukup aman.
"Hup...!"
Bayu mencoba melompat, tapi....
"Akh...!" Bayu memekik tertahan.
Hampir tidak dipercaya. Pendekar Pulau Neraka
tidak bisa lagi melompat tinggi. Sekali mencoba saja,
sudah jatuh bergulingan. Tubuhnya terasa nyeri begitu
menabrak dinding demikian keras. Bayu benar-benar
tidak mengerti, kenapa dia begitu lemas dan tidak
mampu melompat menembus atap itu.
Bayu bergegas bangkit berdiri. Dihampirinya
dinding yang tadi terlanda tubuhnya. Pendekar Pulau
Neraka mengerahkan seluruh tenaganya, lalu....
"Hiyaaa...!"
Keras sekali Bayu menghantam dinding yang terbuat
dari belahan papan itu, disertai pengerahan tenaga yang
besar. Tapi....
"Akh...!" Pendekar Pulau Neraka itu memekik keras.
Bukan main terkejutnya ketika disadari kalau dinding
papan itu demikian keras. Tulang-tulang tangannya
seperti remuk saat membentur dinding itu. Bayu
meringis kesakitan, memijat-mijat tangannya yang
berdenyut nyeri.
"Setan...!" jerit Bayu begitu menyadari apa yang
terjadi pada dirinya.
Pendekar Pulau Neraka berteriak-teriak sambil
memukul-mukul dinding kamar ini sekuat tenaga. Tapi
sampai terjatuh lemas, dinding kamar itu tetap utuh.
Bahkan seluruh tangannya memerah bengkak. Bayu
sadar kalau semua tenaganya sudah lenyap. Tapi dia
tidak tahu, bagaimana semua itu terjadi.
Bayu bangkit berdiri. Wajahnya memerah dan bola
matanya menyala berang. Napasnya mendengus cepat
bagai baru saja berlari jauh. Sebentar ditatapnya Cakra
Maut di pergelangan tangannya, lalu pandangannya
beralih pada pintu yang terbuat dari kayu tebal berukir.
Pelahan-lahan Pendekar Pulau Neraka itu merentangkan
kakinya ke samping, lalu dibungkukkan tubuhnya
sedikit doyong ke kiri.
"Hiyaaat...!"
Tiba-tiba saja Bayu menghentakkan tangan kanannya
ke depan sambil berteriak keras. Tapi Cakra Maut bersegi
enam berwarna keperakan itu tetap menempel pada
pergelangan tangan kanannya. Bayu semakin gusar, lalu
mengulangi sampai beberapa kali. Namun tetap saja
senjata andalannya itu tidak terlepas dari pergelangan
tangannya. Bukan main geramnya Pendekar Pulau
Neraka itu. Dia berlari kencang dan menubruk pintu.
Akibatnya tubuhnya terpental balik ke belakang, dan
bergulingan beberapa kali. Pendekar Pulau Neraka baru
berhenti bergulingan setelah menabrak sebuah meja.
"Setan keparat...! Apa yang mereka lakukan
padaku..?!" geramBayu memaki.
***
Bayu tidak tahu, berapa lama dia terlelap setelah puas
mengamuk, memporak-porandakan seluruh kamar yang
mengurungnya ini. Pendekar Pulau Neraka itu baru
terbangun ketika merasakan sentuhan lembut pada
keningnya. Pemuda berbaju dari kulit harimau itu
bergegas menggelinjang bangkit. Tampak seraut wajah
cantik menyunggingkan senyuman manis begitu dekat di
depannya.
Bayu merayapi keadaan kamar yang berantakan.
Meja, kursi, dan perabotan lainnya yang tidak karuan
lagi. Ada yang patah-patah, jungkir balik, tidak tentu
tempatnya. Bahkan pembaringan yang semula rapih
indah itu, kini tidak berbentuk lagi. Kamarnya ini seperti
barusaja diamuk puluhan ekor gajah.
"Apa yang kau lakukan padaku, Mega Dara?" tanya
Bayu ketus. Tatapan matanya begitu tajam menusuk.
"Kenapa? Aku tidak melakukan apa-apa
terhadapmu, Bayu," lembut dan terdengar tenang suara
Mega Dara.
Dengan kasar, Bayu mencekal pergelangan tangan
gadis itu, sehingga membuat Mega Dara meringis
kesakitan. Tapi Bayu tidak peduli. Bahkan disentakkan
gadis itu, hingga jatuh ke lantai. Bayu menekan
tangannya ke leher yang putih jenjang.
"Jangan coba-coba mempermainkan diriku, Mega
Dara!" desis Bayu bernada mengancam.
"Kau menyakiti aku, Bayu," rintih Mega Dara seraya
meringis kesakitan.
"Aku bisa berbuat lebih dari ini!" dingin sekali nada
suara Pendekar Pulau Neraka.
"Apa yang kau inginkan dariku?" tanya Mega Dara.
Mulutnya meringis, tapi nada suaranya begitu tenang
dan tetap terdengar lembut.
"Apa yang kau lakukan padaku?" tanya Bayu dingin.
"Aku tidak melakukan apa-apa. Sungguh...!" sahut
Mega Dara serius.
"Mungkin kau tidak, tapi yang lain!"
"Aku..., aku tidak mengerti maksudmu."
"Hih!"
Bayu menyentakkan rubuh gadis itu, dan dengan
kasar dipaksanya untuk berdiri. Pendekar Pulau Neraka
itu melingkarkan tangannya di leher Mega Dara dari
belakang, sedangkan tangan yang lain memiting tangan
gadis itu. Kembali Mega Dara meringis kesakitan. Tapi
anehnya, wanita itu kelihatan tenang. Bahkan tidak
bertindak apa pun juga. Mengaduh pun tidak.
"Kau lihat semua ini, Mega? Lihat..!" dingin nada
suara Bayu
"Ya, aku lihat, Kamar ini berantakan. Dan yang pasti
kau pelakunya," kata Mega Dara kalem.
"Kalau kau tahu namaku, tentunya tahu juga siapa
aku sebenarnya. Kamar ini tidak seberapa kuat, mudah
bagiku untuk menghancurkannya. Kau tahu, Mega! Kau
tahu itu...?!"
"Ya."
"Ya..., kau memang tahu. Dan kau mengambil semua
tenagaku! Hih...!" Bayu menyentakkan tubuh wanita itu.
Tak sedikit pun keluar suara pekikan, meskipun
tubuh ramping itu terdorong kasar, sampai jatuh ke lantai
keras. Tanpa mengeluh sedikit pun, Mega berusaha
bangkit. Bibirnya malah tersenyum memandang wajah
Bayu yang memerah menahan amarah.
"Kenapa tersenyum?!" bentak Bayu tidaksenang.
"Aku tersenyum karena lucu," sahut Mega Dara
semakin lebar senyumnya.
"Edan! Kau mengejekku, Mega Dara...!" rungut Bayu
geram.
'Tidak."
"Phuih!"
Brak!
Bayu berbalik sambil menghantamkan tangannya ke
dinding, sehingga ruangan ini bergetar. Pelahan-lahan
Pendekar Pulau Neraka itu memutar tubuhnya. Tatapan
matanya masih tajam, menusuk langsung ke bola mata
yang bening dan indah itu. Bola mata yang seperti tidak
memiliki dosa sama sekali. Begitu bening dan indah
dipandang.
"Seharusnya kau banyak beristirahat Meluapkan
kemarahan bisa berakibat lebih fatal lagi nantinya. Kau
belum pulih benar, masih banyak yang harus dilakukan
Ayah agar kau kembali seperti semula," ujar Mega Dara
lembut.
"Kau bicara seperti berhadapan dengan orang sakit!"
dengus Bayu menggerutu.
"Kau memang sedang sakit dan cukup parah," sahut
Mega Dara tetap kalem.
Bayu baru akan membuka mulutnya, ketika pintu
kamar itu terkuak. Muncul seorang laki-laki tua yang
rambut dan janggutnya sudah memutih semua. Laki laki
itu memakai jubah panjang berwarna putih bersih. Sorot
matanya bening bagai telaga. Di belakangnya berdiri
seorang pemuda yang cukup tampan, namun garis-garis
ketegasan terlihat jelas pada wajah dansorot matanya.
"Ayah...," ucap Mega Dara seraya merapatkan kedua
telapak tangannya di depan dada. Gadis itu beringsut ke
samping dengan sikap penuh rasa hormat.
Laki-laki tua berjubah putih itu melangkah masuk,
dan berhenti tepat sekitar tiga langkah lagi di depan
Pendekar Pulau Neraka. Sebentar dirayapi seluruh kamar
yang berantakan. Kemudian pandangannya yang lembut
menatap wajah pemuda di depannya. Sedangkan Bayu
membalas dengan tajam.
"Kau terlalu banyak membuang tenaga dan
kemarahan, Anak Muda," tenang dan lembut sekali suara
laki-laki tua berjubah putih itu.
"Siapa kau, Orang Tua?" tanya Bayu ketus.
"Orang-orang biasa memanggilku Eyang Tambak
Baja. Itu anakku, dan kau pasti sudah mengenalnya lebih
dahulu," laki-laki tua itu menunjuk Mega Dara. "Dan dia
suaminya."
Bayu menatap laki-laki muda di samping laki-laki tua
berjubah putih. Eyang Tambak Baja memperkenalkan.
Namanya Padu Reksa. Laki-laki muda itu hanya
menganggukkan kepala sedikit kemudian menggeser
kakinya mendekati Mega Dara.
"Dulu pernah kualami hal yang sama denganmu,
Anak Muda. Aku juga mengamuk, marah dan tidak bisa
mengontrol diri. Memang menyakitkan menjadi orang
yang lemah tanpa daya sama sekali," kata Eyang Tambak
Baja.
"Aku tidak mengerti maksudmu...."
"Kau terkena racun yang dapat mematikan. Racun itu
bekerja dengan terlebih dahulu menghilangkan semua
kekuatan yangada pada dirimu," celetuk Mega Dara.
Bayu menatap wanita cantik itu.
"Berbaringlah, akan kuperiksa keadaanmu. Mudah-
mudahan masih bisa kukembalikan kekuatanmu," ujar
Eyang Tambak Baja.
Bayu tidak menolak ketika dituntun ke pembaringan
yang berantakan. Pemuda itu menurut saja ketika
disuruh berbaring. Bahkan diam saja saat jari-jari tangan
Eyang Tambak Baja memberikan beberapa pijatan di
tubuhnya. Laki-laki tua itu tersenyum dan mengangguk-
anggukkan kepalanya, kemudian menoleh menatap
Mega Dara.
"Bawa ke sini ramuan itu, Mega Dara," ujar Eyang
Tambak Baja.
Mega Dara mengambil mangkuk kecil yang berada di
tangan Padu Reksa. Segera dihampiri ayahnya, dan
diserahkan mangkuk itu. Eyang Tambak Baja
menerimanya, lalu meminumkan cairan kental berwarna
merah ke mulut Bayu Hanggara. Pendekar Pulau Neraka
itu meringis, merasakan pahit yang amat sangat saat
minumcairan merah kental itu.
"Daya tahan tubuhmu sungguh luar biasa, Anak
Muda. Aku yakin, dalamdua atau tiga hari saja kau akan
pulih seperti sedia kala," jelas Eyang Tambak Baja seraya
bangkit berdiri.
"Tungguh dulu!" cegah Bayu langsung duduk.
"Kalau kau ingin menanyakan sesuatu, bisa kau
tanyakan pada putriku, atau menantuku ini," kata Eyang
Tambak Bajaseraya melangkah pergi.
Bayu menatap Mega Dara dan Padu Reksa
bergantian.
"Kau bisa keluar, Kakang?" pinta Mega Dara.
"Baik, tapi harus kau katakan apa adanya, Ingat pesan
Ayah. Jangan menutup-nutupi," kata Padu Reksa.
Mega Dara tersenyum manis. Padu Reksa berbalik
dan melangkah keluar seraya menutup pintu kamar
itu. Mega Dara menarik kursi yang menggeletak
terbalik di lantai. Didekatkan kursi itu ke pembaringan,
lalu duduk di sana dengan anggunnya. Bayu hanya
memperhatikan saja tanpa berkedip.
"Apa yang akan kau tanyakan? Aku siapa menjawab
semuanya," ucap Mega Dara disertai senyuman
menawan.
"Aku belum tahu siapa kau dan semua yang ada di
sini," kata Bayu mulai lunak suaranya.
"Kausudah tahu nama kamisemua, Bayu."
"Apa sebenarnya yang terjadi pada diriku?" tanya
Bayu langsung.
"Apa yang kau ingat saat terbangun dari pingsan?"
Mega Dara malah balik bertanya.
"Aku tidak tahu. Aku bertarung, dan....," suara Bayu
terputus.
"Kau bertarung melawan orang-orang penghuni
Istana Iblis,"sambung Mega Dara.
"Istana Iblis...?!" Bayu terperanjat
"Benar. Ayah melihat semuanya."
"Lalu?"
"Sebelum dibawa mereka, Ayah berhasil
membebaskanmu. Tapi mereka begitu kuat. Tentu saja
Ayah tidak mungkin bisa mengalahkannya. Ayah hanya
mampu membawamu pergi dalam keadaan tidak
sadarkan diri. Hanya itu yang kutahu, Bayu," jelas Mega
Dara.
Bayu terdiam. Ingatannya kembali pada semua
peristiwa yang dialaminya. Dia memang pingsan dan
tidak tahu apa-apa setelah terkena dua benda berwarna
merah. Pemuda berbaju kulit harimau itu menatap Mega
Dara dalam-dalam.
"Kau berada di Puri Sapta Dewa. Tempat yang belum
terjamah manusia-manusia iblis penghuni Istana Iblis di
Puncak Bukit Walang Jati," sambung Mega Dara.
"Belum...?!" Bayu tidak mengerti.
"Belum terjamah, tapi suatu saat nanti merek pasti
akan menjarah ke sini. Seperti tempat-tempat lainnya.
Kau pasti sudah tahu keadaan Desa Walang, atau
mungkin juga kau telah ke Padepokan Gagak Hitam. Bisa
kau lihat, bagaimana keadaannya di sana. Daerah yang
sudah menjadi kekuasaan Ratu Istana Iblis," jelas Mega
Dara lagi.
Bayu kembali diam membisu. Dicobanya mencerna
semua kata-kata yang diucapkan Mega Dara. Mulai
tumbuh keyakinan di hatinya kalau orang-orang di sini
tidak bermaksud buruk, bahkan berusaha menolongnya.
Bukan lagi berusaha, malah Eyang Tambak Baja sudah
menyelamatkannya dari cengkeraman orang-orang yang
tidak diketahuinya sama sekali. Orang-orang yang telah
membunuh seluruh manusia di Desa Walangsecara keji.
"Sudah beberapa kali mereka berusaha menjarah ke
sini. Tapi kami masih bisa menghalaunya. Entah jika
untuk lain kali. Ayah sudah berusaha meminta bantuan
para pendekar, tapi semua tidak ada yang mampu
melawannya. Ayah melihatmu, dan mengenali dirimu.
Itu sebabnya kenapa Ayah nekad membebaskanmu dan
berupaya menyembuhkanmu. Harapannya, jika kau
kembali pulih seperti semula, pasti kau dapat
menghancurkan Istana Iblis itu," kata Mega Dara lagi.
"Apa yangharus kulakukan?" tanya Bayu.
"Aku tidak tahu. Mungkin hanya Ayah yang tahu,"
sahut Mega Dara.
Bayu bergumam pelan. Dia melihat noda hitam pada
dada dan betisnya. Noda seperti ini pernah dilihat pada
Wurani, seorang gadis yang ditemuinya di Desa Walang.
Pendekar Pulau Neraka itu kembali menatap Mega Dara
yang masih tetap duduk di kursinya.
"Aku pernah menyembuhkan seseorang dari luka
seperti ini," kata Bayu menunjuk luka pada dadanya.
"Oh, benarkah?" Mega Dara tampak terkejut.
"Ya. Dan kelihatannya dia tidak mengalami
kehilangan tenaga sama sekali. Bahkan katanya sudah
satu purnama terluka," kara Bayu lagi.
"Satu purnama...? Mustahil!"
Bayu menatap dalam-dalam Mega Dara yang
menggeleng-gelengkan kepalanya tidak percaya akan
cerita Pendekar Pulau Neraka itu. Mega Dara bangkit
berdiri dan berjalan mendekati jendela, lalu membukanya
lebih lebar, sehingga sinar matahari lebih banyak lagi
yang masuk ke kamar ini. Beberapa saat kesunyian
menyelimuti kamar yang berantakan ini.
***
TUJUH
Hampir satu pekan lamanya Bayu berada di Puri
Sapta Dewa. Dan kini mulai dirasakan kondisi tubuhnya
membaik. Bahkan kekuatannya semakin bertambah
pulih. Pendekar Pulau Neraka itu mulai berlatih jurus-
jurus ringan dan kekuatan tenaga dalamnya. Selama itu
pula Eyang Tambak Baja tidak pernah lepas
mengawasinya.
Pagi ini Bayu baru saja selesai berlatih tenaga dalam.
Dia puas, karena kekuatan tenaga dalamnya sudah
benar-benar pulih. Bahkan pagi ini sudah berlatih jurus-
jurus yang keras. Pendekar Pulau Neraka itu tidak
menyadari kalau Eyang Tambak Baja selalu
memperhatikannya sampai latihannya selesai. Bayu baru
mengetahuisaat berbalik hendak kembali ke puri.
"Oh...!" Bayu agak terkejut juga.
'Tampaknya kau sudah benar-benar pulih, Bayu,"
ucap Eyang Tambak Baja seraya mendekati.
"Terima kasih. Semua ini berkat usahamu, Eyang,"
ucap Bayu merendah.
“Karena kemauanmu dan ketekunanmu, Bayu."
Pendekar Pulau Neraka itu hanya tersenyum saja,
kemudian duduk bersila di atas rerumputan di bawah
batang pohon yang cukup rindang. Eyang Tambak Baja
juga mengambil tempat, duduk di depan pemuda
berbaju dari kulit harimau itu.
"Mereka mulai mencoba menjarah tempat ini lagi.
Semalam tiga orang muridku tewas," jelas Eyang Tambak
Baja setelah cukup lama terdiam.
"Oh...!" Bayu terkejut mendengarnya.
Semalam Pendekar Pulau Neraka itu tidur nyenyak
sekali, sehingga tidak mengetahui ada peristiwa yang
menewaskan tiga orang murid Puri Sapta Dewa.
Pendekar Pulau Neraka menatap dalam-dalam laki-laki
tua di depannya.
"Memang tinggal tempat ini yang belum dijamah.
Sedangkan kekuatan yang kumiliki semakin berkurang.
Keruntuhan Puri Sapta Dewa tinggal menunggu waktu
lagi," sambung Eyang Tambak Baja bernada mengeluh.
"Itu tidak akan terjadi, Eyang," tegas Bayu.
"Aku juga berkeyakinan begitu, Bayu. Tapi setelah
runtuhnya Padepokan Gagak Hitam, keyakinanku
seperti luntur."
"Aku pernah ke Padepokan Gagak Hitam, dan
tampaknya mereka tidak mengalami sesuatu apa pun,"
selak Bayu.
"Baru dua hari yang lalu mereka hancur. Tidak ada
seorang pun yanghidup lagi."
"Oh!" Kali ini Bayu benar-benar tersentak kaget
"Bagaimana keadaan Eyang Jayaraga?"
'Tewas," pelan suara Eyang Tambak Baja. Bayu
mendesah lirih.
"Adi Jayaraga mencoba menentang keinginan Ratu
Istana Iblis, karena tidak memiliki lagi orang-orang yang
harus dipersembahkan. Dan dia mengambil resiko yang
cukup tinggi," lanjut Eyang Tambak Baja.
"Persembahan...?" Bayu mengerutkan keningnya.
"Ya! Tujuh orang pemuda setiap purnama. Terutama
mereka yang memiliki kepandaian cukup tinggi"
"Untuk apa?"
"Dijadikan prajurit, setelah otaknya terkuras. Mereka
tidak bisa lagi mengetahui diri mereka sendiri. Yang
diketahuinya hanya satu, perintah dari Ratu Istana Iblis."
"Ilmu hitam...!" desis Bayu.
Pendekar Pulau Neraka terdiam sambil
menundukkan kepala. Kini baru dimengerti, kenapa
sikap orang-orang yang ada di Padepokan Gagak Hitam
selalu menutup diri. Bahkan Eyang Jayaraga sendiri
sepertinya tidak ambil peduli dengan keadaan
sekelilingnya. Rupanya sikap yang diambil hanya untuk
keselamatan diri sendiri. Dan itu semua pecah dua hari
yang lalu. Rupanya Eyang Jayaraga tidak bisa menahan
lagi tekanan-tekanan yang datang. Maka diambillah
resiko tinggi yang mengakibatkan kehancuran
Padepokan Gagak Hitam. Memang sukar untuk
dimengerti, tapi memang itulah kenyataannya yang
harus dihadapi.
"Sekarang tidak ada lagi desa atau padepokan yang
berdiri di Kaki Bukit Walang Jati. Tinggal Puri Sapta
Dewa inilah satu-satunya," lanjut Eyang Tambak Baja
lirih.
"Mereka harus dihentikan, Eyang!' tekad Bayu.
"Aku percaya pada kemampuanmu, Bayu. Tapi yang
jelas aku tidak akan mengorbankan lagi seorang
pendekar. Sudah begitu banyak pendekar yang kumintai
bantuan, tapi semuanya tewas di tangan Ratu Istana Iblis.
Tingkatan kepandaiannya sangat tinggi, sukar dicari
tandingannya. Aku sendiri tidak akan sanggup
menghadapinya," ujar Eyang Tambak Baja bernada
mengeluh.
“Tidak ada yang langgeng di dunia ini, Eyang. Setiap
kekuatan, pasti ada kelemahannya," kata Bayu mantap.
Eyang Tambak Baja hanya diam saja. Ditariknya
napas panjang-panjang, dan dihembuskannya kuat-kuat.
Sedangkan Bayu hanya memandanginya saja dengan
mata tidak berkedip.
"Sudah berapa banyak pendekar yang kau mintakan
bantuan, Eyang?" tanya Bayu.
"Entahlah! Aku tidak menghitungnya," sahut Eyang
Tambak Baja.
"Eyang selalu melihat bagaimana merekabertarung?"
“Tidak. Tidak ada yang berani mendekati Istana Iblis.
Terlalu banyak penjagaan dan sangat ketat. Aku tidak
tahu, apakah para pendekar itu dapat menembus masuk,
atau tidak kuat menahan penjagaan yang begitu ketat
Yang jelas, tidak ada seorang pun yang pernah kembali
lagi," sahut Eyang Tambak Baja menjelaskan.
"Hmmm...," Bayu bergumampelan.
Pendekar Pulau Neraka itu bangkit berdiri dan
melangkah pelahan-lahan. Eyang Tambak Baja
mengikutinya, lalu mensejajarkan langkahnya di
samping pemuda berbaju dari kulit harimau itu. Bayu
jadi teringat akan pertemuannya beberapa kali dengan
orang aneh dan misterius yang selalu mengenakan jubah
panjang yang wajahnya tertutup rambut panjang meriap.
Orang itu pernah mengatakan kalau dirinya penghuni
Istana Iblis. Apakah itu yang disebut Ratu Istana Iblis...?
***
Apa yang dikatakan Eyang Tambak Baja memang
benar. Begitu banyak orang berbaju hitam dengan kepala
terselubung kain hitam tengah berjaga-jaga di sekitar
bangunan tua yang terbuat dari batu berlumut tebal.
Bangunan bagaikan sebuah istana yang sudah tidak
terpakai lagi. Sangat cocok dengan julukannya "Istana
Iblis".
Bayu mengamati bangunan itu dari tempat yang agak
jauh dan cukup tersembunyi. Di sampingnya berdiri
Mega Dara dan suaminya, Padu Reksa. Sebenarnya Bayu
tidak ingin mereka ikut serta. Tapi keinginan Eyang
Tambak Baja sulit ditolak. Beliau telah memerintahkan
putri dan menantunya itu ikut bersama Pendekar Pulau
Neraka ke Istana Iblis.
"Kita tidak mungkin masuk ke sana, Bayu.
Penjagaannya terlalu ketat," kata Mega Dara setengah
berbisik.
"Mereka terlalu banyak. Tidak mungkin menghadapi
mereka semua,"sambung Padu Reksa.
Bayu membalikkan tubuhnya, menatap pasangan
suami istri muda itu. Mereka memang benar, dan
Pendekar Pulau Neraka tidak membantah sama sekali.
Tapi Bayu tidak ingin menyerah begitu saja. Terlebih lagi
sudah berjanji pada Eyang Tambak Baja untuk
menghentikan dan menghancurkan orang-orang di
Istana Iblis itu. Kalau saja mereka memang benar terkena
pengaruh ilmu hitam, tentu ada sesuatu yang bisa
membuat mereka normal kembali. Dan sesuatu itu
adanya di dalam Istana Iblis.
"Mega Dara! Kau tentu ingat kalau aku pernah
menolong seseorang yang terluka sama persis denganku,
bukan?" Bayu menatap wanita cantik di depannya.
“Tentu," sahut Mega Dara teringat cerita Pendekar
Pulau Neraka itu.
"Apa yang kau katakan waktu itu?"
"Mustahil," sahut Mega Dara.
“Tepat'"
Mega Dara memandang Bayu tidak mengerti.
"Eyang Tambak Baja juga berkata seperti itu. Tidak
ada seorang pun yang bisa tahan selama satu purnama.
Dan gadis itu tidak mengalami gangguan apa pun,
bahkan cepat sembuh hanya dalam waktu satu hari saja.
Padahal sudah jelas, luka yang diderita sama persis
dengan yang kualami."
"Maksudmu...?" Mega Dara masih belummengerti.
"Dua kali aku berusaha menangkap salah seorang
dari mereka. Tapi gadis itu sudah lebih dulu
membunuhnya sebelum aku bisa berbuat apa-apa. Dan
ketika kubuntuti, dia menghilang begitu saja. Bahkan
kemudian muncul orang-orang berbaju hitam. Di situ
aku kalah, dan selanjutnya kau sudah tahu."
"Siapa nama gadis itu?" tanya Padu Reksa yang sejak
tadi diamsaja mendengarkan.
"Wurani," sahut Bayu.
"Perempuan Iblis...!" geramPadu Reksa mendesis.
Bayu menatap laki-laki muda yang usianya tidak
jauh berbeda darinya itu. Sedangkan Mega Dara juga
mendesis dengan wajah berubah memerah.
"Kalian kenal gadis itu?" tanya Bayu.
Belum Juga Padu Reksa dan Mega Dara menjawab,
tiba-tiba berlompatan orang-orang berbaju hitam pekat
yang langsung mengurung mereka bertiga. Kemunculan
orang-orang berbaju hitam itu sungguh mengejutkan.
Dan tanpa berkata apa-apa, langsung menyerang dengan
ganas.
Padu Reksa segera menghunus pedangnya, demikian
pula Mega Dara. Sedangkan Bayu menghadapi dengan
tangan kosong saja. Dia memang tidak memiliki pedang
atau senjata lain lagi, selain Cakra Maut kebanggaannya.
Tapi senjata andalannya itu hanya digunakan kalau
keadaan terpaksa saja.
***
Bayu melihat orang berbaju hitam pekat itu semakin
banyak saja jumlahnya. Dan hatinya jadi cemas melihat
Padu Reksa dan Mega Dara mulai kewalahan
menghadapi keroyokan itu. Sedangkan dia sendiri tidak
bisa berbuat apa-apa. Begitu banyak yang
mengeroyoknya tanpa memberi kesempatan sedikit pun
untuk menggunakan senjata Cakra Maut.
"Akh...!" tiba-tiba terdengar pekikan keras tertahan.
Bayu tersentak kaget begitu melihat Padu Reksa
terhuyung-huyung sambil menekap dadanya yang
berdarah. Pendekar Pulau Neraka itu kontan melesat
menghampiri Padu Reksa. Cepat sekali tangan kanannya
mengibas, maka Cakra Maut melesat cepat bagaikan kilat
menyambar dua orang berbaju hitam sekaligus. Suara
jeritan melengking terdengar, dan Bayu langsung
mendarat di depan Padu Reksa.
"Hiyaaa...!"
Pendekar Pulau Neraka itu melontarkan satu
tendangan keras bertenaga dalam tinggi. Seorang yang
mencoba membabatkan pedangnya, langsung memekik
keras, dan tubuhnya terlontar ke belakang. Seketika itu
juga orang itu tewas tanpa mampu mengerang lagi.
"Kau terluka, Reksa...," ujar Bayu sambil melontarkan
satu pukulan keras bertenaga dalam sempurna. Satu
orang yang mencoba mendekat, kontan terjungkal dan
tewas seketika.
"Cukup parah,"sahut Padu Reksa.
"Secepatnya kita harus pergi dari sini," kata Bayu.
"Tidak mungkin, Bayu. Jumlah mereka semakin
bertambah banyak."
"Tapi..."
Bayu tidak bisa melanjutkan ucapannya, karena
orang-orang berbaju hitamitu kembali menyerang ganas.
Pendekar Pulau Neraka itu bertarung sambil
mempergunakan Cakra Maut-nya. Digenggam senjata
mautnya itu pada salah satu sisinya. Dengan senjata
andalannya itu, Pendekar Pulau Neraka bagaikan singa
gurun yang terluka. Dia mengamuk, berlompatan, dan
menghajar orang-orang yang terus merangsek tanpa
mengenal takut. Padahal sudah tidak terhitung lagi dari
mereka yang tewas.
Sedangkan Padu Reksa, terus bertarung dengan sisa-
sisa kekuatannya. Darah semakin banyak keluar dari
dadanya yang terluka. Sedangkan di tempat lain, tampak
Mega Dara juga sudah semakin terdesak. Keringat telah
bercucuran membasahi tubuh wanita itu. Dan Bayu
semakin cemas menyadari keadaan yang tidak
menguntungkan ini.
"Mega! Bawa suamimu pergi! Dia terluka...!" seru
Bayu keras.
"Apa...?" tanya Mega Dara juga dengan suara keras,
berusaha mengalahkan suara-suara teriakan pertarungan
dan jerit lengking kematian.
"Suamimu terluka! Cepat bawa pergi..!"
"Hiyaaat...!"
Mega Dara cepat melompat menghampiri Padu
Reksa begitu berhasil merobohkan dua orang,
pengeroyoknya. Wanita itu segera menggamit tangan
Padu Reksa. Mereka segera melompat melewati beberapa
kepala, sambil mengayunkan pedangnya secepat kilat
Sementara Bayu berusaha menghalangi orang orang
berbaju hitam yang berusaha menghadang pasangan
muda itu. Bayu melontarkan Cakra Maut-nya cepat maka
jeritan melengking terdengarsalingsusul.
"Hup! Hiyaaa...!"
Bayu bergegas melompat begitu Mega Dara dan
Padu Reksa sudah lenyap. Cakra Maut sudah kembali
menempel di pergelangan Pendekar Pulau Neraka itu.
Tapi orang-orang berbaju hitam tidak memberi
kesempatan pada Bayu untuk kabur, dan memusatkan
perhatiannya pada Pendekar Pulau neraka itu. Mereka
tidak lagi peduli pada dua orang yang berhasil kabur.
"Gunakan tambang...!" terdengar suara memerintah
yang begitu keras.
Seketika itu juga beberapa orang mengeluarkan
tambang, dan langsung berlompatan sambil membawa
tambang terulur panjang, beberapa orang lagi
menyambut ujung tambang satunya lagi. Bayu jadi
kebingungan. Belum lagi menyadari apa yang terjadi,
tambang-tambang itu sudah membelit tubuhnya erat-erat
Bayu tidak kuasa lagi menguasai keseimbangan badan.
Tubuhnya limbung, lalu jatuh tersungkur, dan telah
terlilit tambang Sepuluh orang yang memegangi ujung-
ujung tambang itu langsung berlari cepat menyeret
Pendekar Pulau Neraka.
"Ughk...!"
Bayu berusaha melepaskan diri dari belitan tambang-
tambang ini, tapi simpulnya demikian kuat. Tubuhnya
terus terseret, benar-benar tidak berdaya lagi. Sukar
baginya untuk bisa melepaskan diri. Sementara sepuluh
orang yang menyeretnya, terus berlari kencang menuju
Istana Iblis.
***
DELAPAN
Bayu tergagap ketika dirasakan cairan dingin
mengguyur tubuhnya. Dia tidak tahu, berapa lama telah
jatuh pingsan. Pendekar Pulau Neraka itu mengerjapkan
matanya, dan menjadi terkejut begitu menyadari dirinya
sudah terikat di sebuah tiang. Seorang berbaju hitam
dengan kepala terselubung kain hitam pula berada di
dekatnya. Dia memegang sebuah ember dari kayu yang
sudah kosong. Seluruh tubuh Pendekar Pulau Neraka itu
basah kuyup tersiramair.
Bayu mengedarkan pandangan ke sekeliling.
Disadari kalau dirinya berada di satu ruangan yang
berdinding batu. Ruangan pengap yang hanya diterangi
dua buah obor di dinding. Pandangan Pendekar Pulau
Neraka kemudian tertuju pada seseorang yang duduk di
sebuah kursi batu berhiaskan kepala-kepala tengkorak
manusia. Orang itu mengenakan jubah hitam panjang.
Rambutnya meriap tidak teratur, menutupi sebagian
wajahnya. Namun yang menjadi perhatian Bayu adalah
seorang gadis yang berada di sampingnya.
"Wurani...," desis Bayu mengenali gadis yang berdiri
disamping orang berjubah hitamagak bungkuk itu.
Hampir saja Bayu terpekik ketika matanya tertumbuk
pada sesosok tubuh menggantung di sudut ruangan.
Sosok tubuh gadis kecil yang pernah dilihatnya di Desa
Walang. Di samping tubuh gadis kecil itu ada Ki
Sampang yang juga tergantung. Mereka semua sudah
tewas. Itu terlihat dari luka menganga di lehernya yang
cukup besar,hampir membuat leher itu buntung.
"Biadab...!" desis Bayu berusaha memberontak. Tapi
empat orang berpakaian hitam kontan bergerak, dan
langsung menempelkan senjata mereka ke leher
Pendekar Pulau Neraka itu. Bayu langsung terdiam, dan
hanya menggeram menahan amarahnya. Pandangannya
begitu tajam menusuk langsung pada Wurani yang
sudah melangkah menghampiri. Gadis itu tersenyum-
senyum, dan baru berhenti melangkah setelah jaraknya
tinggal dua tombak lagi di depan Pendekar Pulau Neraka
itu.
"Sayang sekali, kita bertemu dalam suasana yang
tidak enak...," kata Wurani diiringi senyumannya.
"Seharusnya kubunuh saja kau, perempuan iblis!"
geramBayu mendesis.
"Ha ha ha...! Kau terlalu bodoh untuk bisa
membunuhku, Bayu!" Wurani tertawa tergelak-gelak.
Seluruh tubuh Bayu menggelegar menahan geram.
Bibirnya terkatup rapat, dan bola matanya memerah
menahan amarah. Sementara Wurani terus tertawa
terbahak-bahak sambil membalikkan tubuhnya. Suara
tawanya berhenti, dan segera membungkukkan
tubuhnya pada orang berjubah hitam yang duduk di
singgasana batu berhiaskan kepala tengkorak manusia.
"Gusti Ratu, apa yang harus kulakukan terhadap
pemuda dungu ini?" ujar Wurani.
"Kepandaiannya sangat tinggi, Wurani. Seperti
biasanya, cuci otaknya dan jadikan dia anjing yang paling
setia," sahut orang berjubah hitam itu. Suaranya serak
dan kering.
"Baik, Gusti Ratu," sahut Wurani.
"Lakukan secepatnya. Aku berharap seluruh dunia
persilatan gempar. Aku ingin menggunakan dia untuk
menghancurkan orang-orang yang mencoba menantang
kita,hihi hi...!"
Wurani membungkukkan tubuhnya. Sebentar
kemudian orang berjubah hitam itu bangkit berdiri, lalu
berjalan meninggalkan ruangan batu yang cukup besar
ini, namun berudara sangat lembab. Wurani baru berdiri
tegak setelah orang berjubah hitam itu tidak terlihat lagi.
Kemudian disuruhnya semua orang yang ada di ruangan
ini keluar. Tidak ada yang membantah. Semuanya
menuruti perintah gadis itu.
"Kau dengar! Apa yang diinginkan Gusti Ratu tadi,
Bayu?" ucap Wurani seraya mendekati Pendekar Pulau
Neraka.
Bayu hanya diam saja. Segera diatur jalan napasnya,
mencoba untuk melenturkan seluruh otot-otot di
tubuhnya. Dengan bantuan hawa mumi dan kelenturan
otot, memang bisa diatur keseimbangan tubuhnya agar
kenyal seperti karet. Dan ilmu itu dinamakan 'Ragaseda'.
Satu ilmu yang belum pernah digunakan sebelumnya,
dan didapatkan dari gurunya di Pulau Neraka. Memang
membutuhkan waktu yang tidak sedikit Bayu harus bisa
memancing gadis ini agar tidak cepat-cepat mencuci
otaknya.
"Apa yang akan kau lakukan padaku, Wurani?" tanya
Bayu mencoba mengalihkan sedikit perhatian gadis itu.
Sudah mulai dirasakan otot-ototnya mulai melentur, tapi
belumcukup untuk melepaskan diri dari ikatan ini.
"Mencuci otakmu dan menjadikanmu budak yang
sangat patuh pada perintah. Bahkan kau tidak akan bisa
mengenal dirimu lagi. Kau hanya patuh pada perintahku
saja,"sahut Wurani disertai senyumyang merekah.
"Seperti yang kau lakukan pada mereka?"
"Ha ha ha...! Rupanya kau sudah tahu banyak,
Pendekar Pulau Neraka!"
"Hanya sedikit Tapi aku tidak percaya dengan
kelanggengan ilmu hitammu."
"Mungkin kau sudah mendengar. Tapi mungkin juga
kau tidak akan percaya kalau aku tidak menggunakan
benda apa pun untuk melakukannya. Hanya
menggunakan kekuatan batin yang sempurna. Tidak ada
seorang pun yang bisa mengembalikan mereka, kecuali
kematiankusendiri. Tapi itu sulit.., sulit."
"Hebat...!" desis Bayu sinis.
"Memang! Bahkan Ratu sendiri berada di bawah
kekuasaanku," dengus Wurani bangga.
"Ratu.., heh!" Bayu tersenyumsinis.
"Dia memang bukan seorang Ratu, tapi hanya
perempuan tua yang memiliki kepandaian cukup tinggi.
Aku hanya menjadikannya sebuah boneka agar istana ini
memiliki ratu yang berada di bawah kendaliku. Dan
sebenarnya, akulah Ratu Istana Iblis ini! Ha ha ha...!"
Wurani tertawa terbahak-bahak.
Bayu diam saja. Semakin terasa muak mendengar
ocehan gadis itu Tapi dalam diamnya, Pendekar Pulau
Neraka terus berusaha mengerahkan Ilmu 'Ragaseda'.
Sudah mulai dirasakan ikatan pada pergelangan
tangannya mengendur. Dan tidak berapa lama lagi ikatan
tambang iniakan terlepas.
"Wurani! Aku pernah terkena benda beracun, persis
seperti yang kau alami...," kata Bayu kembali mencoba
mengalihkan perhatian gadis itu.
"Ha ha ha...! Kau benar-benar bodoh, Bayu. Aku yang
memiliki senjata itu, dan tentu juga memiliki
pemunahnya," sahut Wurani.
"Lalu, apa maksudmu berbuat begitu?"
"Kau terlalu banyak tanya, Bayu!" dengus Wurani
mulai tidak senang. "Aku bisa melakukan apa saja
sesukaku. Dan Ki Sampang tolol itu hampir saja
membocorkan rahasiaku di depanmu! Maka hanya
kematianlah yang pantas untuknya!"
Bayu menggumam tidak jelas. Hatinya sudah bisa
tersenyum karena ikatan di tangannya sudah terlepas,
tapi masih dipegangi tambang itu agar tidak jatuh. Dia
menunggu kesempatan yang baik untuk bergerak.
Sementara itu Wurani mulai menggerak-gerakkan
tangannya di depan wajah Pendekar Pulau Neraka. Dari
bibirnya keluar suara mendesis. Dan Bayu mulai
merasakan kepalanya pening, lalu mencium bau tidak
sedap. Bayu sadar kalau Wurani mulai beraksi
menggunakan kekuatan batin untuk mencuci otaknya
agar menjadi budak yang patuh.
"Cukup, Wurani...!" bentak Bayu tiba-tiba disertai
pengerahan tenaga dalamyang sangat sempurna.
"Heh!" Wurani tersentak kaget Dan belum lagi gadis
itu hilang dari keterkejutannya, mendadak Bayu
menghentakkan tangannya ke depan. Begitu cepatnya
gerakan itu, sehingga Wurani tidak sempat
mengetahuinya. Dan....
Buk!
"Akh...!" Wurani memekik tertahan.
Gadis itu terpental sejauh tiga batang tombak ke
belakang. Hentakan tangan Pendekar Pulau Neraka tepat
menghantam dadanya. Namun gadis itu cepat bangkit
berdiri, meskipun agak limbung tubuhnya. Tampak dari
sudut bibirnya mengalir darah.
"Setan...!" geram Wurani mendesis. Disekanya darah
yang mengalir di bibir.
***
"Bersiaplah untuk mati, iblis!" desis Bayu
menggeram.
Seketika itu juga, Pendekar Pulau Neraka cepat
menerjang sambil mengirimkan dua pukulan secara
beruntun. Wurani cepat-cepat berkelit dengan melompat
ke samping, dan bergulingan beberapa kali. Gadis itu
segera bangkit berdiri, dan melompat ke pintu. Tapi Bayu
sudah kembali menerjang sambil melontarkan satu
pukulan jarak jauh.
"Hiyaaa...!"
"Hup!"
Wurani melentingkan tubuhnya ke atas, maka
pukulan Pendekar Pulau Neraka itu hanya menghantam
dinding batu, sehingga jebol berentakan menimbulkan
suara bergemuruh. Ruangan yang besar ini bergetar
hebat. Pada saat itu, beberapa orang berbaju hitam
berlarian masuk ke dalam.
"Bunuhsetan keparat itu...!" perintah Wurani.
Sekitar sepuluh orang bersenjata pedang, serentak
berlompatan menyerang Pendekar Pulau Neraka.
Namun terjangan mereka begitu mudah dapat dihindari.
Bahkan Bayu membalasnya tidak kalah dahsyatnya. Jerit
pekik kematian terdengar saling susul diiringi
bertumbangannya tubuh-tubuh berbaju hitamitu.
Wurani jadi geram. Dalam waktu sebentar saja, enam
orang sudah tergeletak tak bernyawa di tangan Pendekar
Pulau Neraka. Gadis itu berteriak keras memanggil yang
lainnya. Tidak berapa lama, dari pintu bermunculan
orang-orang yang mengenakan baju hitam dengan
kepala terselubung kain hitam pula. Tampak seorang
bertubuh kurus bungkuk mengenakan jubah hitam ikut
muncul.
"Ada apa Wurani?" tanya orang berjubah hitamitu.
"Huh! Setan keparat itu...!" dengus Wurani.
"Biaraku yang menanganinya."
"Bunuhsaja,aku tidak memerlukannya lagi!"
"He he he...!" orang itu terkekeh, kemudian melompat
cepat ke dalamkancah pertempuran.
"Mundur...!"
Mendengar teriakan keras itu, orang-orang yang
tengah mengeroyok Bayu, kontan berlompatan mundur.
Seketika orang berjubah hitam yang wajahnya tertutup
rambut panjang itu mendarat lunak sekitar satu batang
tombak jaraknya di depan Pendekar Pulau Neraka.
"Aku sudah menawarkan dengan baik padamu,
bocah. Tapi rupanya kau malah memilih mampus!"
dingin nada suara orang itu.
Disibakkan rambut yang menutupi wajahnya. Agak
bergidik juga Pendekar Pulau Neraka saat melihat seraut
wajah yang hampir tidak memiliki kulit dan daging lagi.
Sebelah matanya bolong. Pipi kirinya terkelupas,
menampakkan tulang pipinya, hingga bagian gigi-
giginya terlihat.
Dan belum lagi Bayu bisa menghilangkan
keterkejutannya, orang itu sudah melompat menyerang
cepat luar biasa. Bergegas Bayu membanting tubuhnya
ke tanah, lalu bergulingan beberapa kali. Cepat pula
Pendekar Pulau Neraka itu melompat bangkit. Tapi
belum juga berdiri sempurna, orang berjubah hitam itu
sudah menyerang ganas kembali. Kali ini Bayu tidak
ingin lagi berlama-lama. Langsung dihentakkan tangan
kanannya ke depan. Seketika itu juga, dari pergelangan
tangan kanannya melesat secercah sinar keperakan yang
datang dari senjata Cakra Maut. Senjata bersegi enam itu
meluncur deras bagaikan kilat.
Crab!
Cakra Maut kontan menembus dada orang berjubah
hitam itu yang masih di udara. Dia tidak sempat lagi
berkelit menghindarinya.
"Aaa...!" orang itu menjerit melengking tinggi.
Tubuh berjubah hitam itu ambruk dan menggelepar
di tanah. Bayu mengangkat tangan kanannya, maka
Cakra Maut melesat keluar dari dada yang berlumuran
darah, langsung menempel kembali di pergelangan
tangan Pendekar Pulau Neraka. Semua orang yang
melihat terkejut setengah mati. Kematian ratu mereka
begitu cepat dan tidak terduga sama sekali. Demikian
pula Wurani. Gadis itu sampai terbengong tidak percaya.
"Kenapa bengong...? Serang! Bunuh keparat itu...!"
seru Wurani keras.
Teriakan-teriakan keras terdengar. Seketika
berlompatanlah tubuh-tubuh berbaju hitam, meluruk ke
arah Pendekar Pulau Neraka.
Bayu tidak ingin lagi menguras tenaga menghadapi
mereka yang sebenarnya tidak pernah menyadari akan
semua perbuatannya. Bahkan tidak lagi mengenal siapa
dirinya sebenarnya. Setelah menewaskan tiga orang yang
terdepan, Pendekar Pulau Neraka itu langsung melesat
cepat ke udara. Tangannya yang terkepal erat
menghantamatap yang terbuat dari batu cadas keras.
"Hiyaaa...!"
Glaaar...!
Atap batu itu hancur berhamburan. Batu-batu besar
dan kecil berjatuhan. Seluruh ruangan itu bergetar bagai
terjadi gempa yang sangat dahsyat. Jerit dan pekik
terdengar gaduh. Beberapa orang mulai menggelepar
tertimpa batu-batu yang berguguran. Dua kali Pendekar
Pulau Neraka itu menghantam dinding dan atap
ruangan batu tersebut, kemudian melesat keluar begitu
melihat Wurani bergegas berlari keluar menyelamatkan
diri.
***
Tapi baru saja Bayu berada di luar, dua sinar merah
meluruk ke arahnya. Pendekar Pulau Neraka bergegas
melentingkan tubuhnya ke udara, dan bersalto tiga kali
menghindari terjangan sinar merah itu. Kemudian
dengan bertumpu pada dinding batu, pemuda berbaju
kulit harimau itu segera menggenjot tubuhnya, langsung
meluruk deras ke arah Wurani yang tengah melarikan
diri dari dalamistana batu ini.
"Hiyaaa...!" Bayu berteriak keras melengking tinggi.
Dua kali pukulan dilontarkan, tapi Wurani gesit
sekali bisa menghindarinya. Bahkan gadis itu langsung
melesat keluar. Pukulan Pendekar Pulau Neraka itu
menghantam sebuah pilar dan dinding bangunan istana
di Puncak Bukit Walang Jati ini. Ledakan keras terdengar
menggelegar dahsyat, membuat bangunan yang
seluruhnya terbuat dari batu itu bergetar semakin keras.
Bayu bergegas melesat keluar, sebelum istana ini benar-
benar runtuh seluruhnya.
"Heh...!" Bayu tersentak kaget begitu sampai di
bagian depan halaman istana batu itu.
Tampak Eyang Tambak Baja tengah bertarung
melawan Wurani. Sedangkan tidak jauh dari situ, terlihat
Mega Dara tengah dikeroyok tidak kurang dari tiga
puluh orang berbaju hitam pekat Di tempat lain lagi
terlihat pula Padu Reksa yang juga tengah bertarung.
Sementara di belakang Pendekar Pulau Neraka, istana
batu di Puncak Bukit Walang Jari ini semakin keras
bergetar. Suara bergemuruh terdengar dahsyat membuat
tanah berguncang.
"Akh...!" tiba-tiba terdengar pekikan keras tertahan.
Tampak Eyang Tambak Baja terhuyung-huyung
sambil menekap dadanya yang berlumuran darah. Saat
itu Wurani sudah melompat cepat sambil menusukkan
pedangnya yang berwarna hitam pekat dan
mengeluarkan uap kebiru-biruan.
"Hiyaaa...!"
Bagaikan kilat, Bayu melompat menghadang
terjangan Wurani. Dikebutkan tangan kanannya, maka
Cakra Maut melesat bagai kilat. Senjata andalan Bayu itu
langsung menghajar pedang yang hampir saja menusuk
dada Eyang Tambak Baja.
Tring!
"Akh!" Wurani memekik tertahan.
Hampir saja pedang di tangan gadis itu terpental
ketika terbentur Cakra Maut Untung saja Wurani cepat-
cepat melompat mundur. Pada saat itu. Bayu cepat
mengirimkan satu tendangan keras menggeledek yang
tidak terduga sama sekali. Kembali gadis itu memekik
keras terhantam tendangan yang mengandung tenaga
dalam sangat sempurna itu. Tubuhnya terpelanting,
bergulingan beberapa kali di tanah.
"Hoek..!" Wurani memuntahkan darah kental.
Gadis itu berusaha bangkit berdiri, tapi tubuhnya
limbung. Sementara Bayu segera menolong Eyang
Tambak Baja berdiri. Laki-laki tua itu merintih, meringis
menahan sakit pada dadanya yang terbelah cukup dalam
dan panjang. Darah mengucur deras membasahi jubah
putihnya.
Pada saat yang sama, Wurani sudah kembali
melompat sambil berteriak keras menggelegar. Secepat
itu pula, Bayu memutar tubuhnya sambil mengebutkan
tangan kanannya. Kembali Cakra Maut melesat cepat
bagai kilat, menyongsong terjangan Wurani
"Hiyaaa...!"
Wurani mengebutkan pedangnya, menghalau
terjangansenjata Pendekar Pulau Neraka.
Trang!
"Hiyaaa...!"
Bayu langsung melentingkan tubuhnya ke atas, dan
secepat itu pula dilontarkan dua pukulan beruntun
disertai pengerahan tenaga dalam sempurna. Wurani
cepat-cepat berkelit dengan menarik miring tubuhnya.
Tapi sungguh tidak diduga sama sekali. Kaki Pendekar
Pulau Neraka itu melayang sebelum menjejak tanah,
langsung menghantamiga gadis itu.
"Akh!" kembali Wurani memekik tertahan.
"Hup! Hiyaaa...!"
Begitu Bayu mendarat di tanah, langsung dikebutkan
tangan kanannya cepat. Dan Cakra Maut yang baru saja
melesat balik, seketika kembali berkelebat ke arah Wurani
yang sedang berusaha bangkit berdiri. Gadis itu
terperangah, dan matanya membeliak lebar. Dan....
"Aaa...!" Wurani menjerit melengking tinggi Cakra
Maut menghunjam dalam membabat leher yang putih
jenjang itu. Wurani menggelepar di tanah dengan leher
hampir terpenggal buntung. Sementara Bayu
mengangkat tangannya ke atas, maka senjata cakra
bersegi enam itu kembali menempel di pergelangan
tangan kanannya. Pendekar Pulau Neraka itu
memandangi Wurani yang mengerang sambil
menggelepar. Darah terus mengucur deras dari lehernya
yanghampir buntung.
Cukup lama juga gadis itu meregang nyawa, dan
pada akhirnya diam tidak bergerak-gerak lagi. Pendekar
Pulau Neraka menarik napas panjang dan
menghembuskannya kuat-kuat. Dia menoleh pada
Eyang Tambak Baja yang berdiri bertumpu pada
tongkatnya. Darah di dadanya sudah berhenti mengalir.
Tadi Bayu memang sempat memberikan totokan untuk
menghentikan aliran darah di dada laki-laki tua berjubah
putih itu.
***
Pendekar Pulau Neraka membalikkan tubuhnya ke
arah Puncak Bukit Walang Jati yang masih bergetar
hebat. Dan pelahan-lahan bangunan istana batu yang
disebut Istana Iblis itu runtuh. Batu-batu berguguran
memperdengarkan suara bergemuruh, membuat bukit
ini berguncang bagai terjadi gempa dahsyat. Tampak
orang-orang berpakaian serba hitam berusaha keluar,
berlarian di antara reruntuhan batu-batu Istana Iblis itu.
Pertempuran Mega Dara dan Padu Reksa melawan
orang-orang berbaju hitam langsung berhenti seketika.
Mereka semua memandangi runtuhnya Istana Iblis.
Sebuah bangunan yang selama ini menjadi momok
menakutkan bagi semua orang. Satu suara ledakan
dahsyat terdengar menggelegar, bersamaan dengan
ambruknya Istana Iblis itu. Debu berkepul
membumbung tinggi ke udara.
Tepat saat bangunan batu itu ambruk, terlihat orang-
orang berbaju hitam yang berhasil selamat langsung
bergelimpangan ke tanah. Eyang Tambak Baja, Mega
Dara, Padu Reksa, dan Bayu Hanggara memandangi
mereka yang bergelimpangan tanpa sebab itu. Sementara
debu terus membumbung tinggi dari reruntuhan
bangunan Istana Iblis di Puncak Bukit Walang Jati ini.
"Kenapa mereka, Ayah?" tanya Mega Dara tidak
mengerti melihat ke arah orang-orang berpakaian serba
hitamitu.
“Pengaruh kekuatan batin mereka telah hilang.
Mereka telah terbebas dari penguasa Istana Iblis," sahut
Eyang Tambak Baja
"Aku tidak mengerti...," gumamMega Dara.
"Selama ini mereka di bawah pengaruh kekuatan
ilmu hitam, sehingga membuat mereka tidak ingat lagi
dirinya sendiri, dan selalu patuh pada perintah Wurani,"
selak Bayu menjelaskan.
"Pencucian otak," sambung Eyang Tambak baja.
"Mempengaruhi jiwa dan pikiran manusia lewat
kekuatan ilmu hitam. Bisa juga dari kekuatan suatu
benda,atau kekuatan batin."
"Ilmu sihir, Ayah?" tebak Mega Dara.
"Sejenisnya, tapi ini lebih kuat pengaruhnya dan
sangat berbahaya."
Sementara itu, orang-orang berbaju hitampekat mulai
siuman. Mereka bangkit sambil merintih memegangi
kepalanya. Orang-orang itu tampak kebingungan, lalu
membuka selubung kain yang membungkus kepalanya.
Satu sama lain saling bertanya-tanya, tapi tak ada yang
memberikan jawaban. Mereka memandangi reruntuhan
puing-puing Istana Iblis, lalu sama-sama berpaling
menatap Eyang Tambak Baja, Mega Dara, Padu Reksa
dan Pendekar Pulau Neraka.
Dengan singkat, Eyang Tambak Baja memberikan
keterangan tentang semua yang telah terjadi. Sebagian
dari mereka, belum bisa mengerti sepenuhnya. Tapi tak
ada yang bertanya lagi. Eyang Tambak Baja meminta
mereka semua untuk kembali ke tempat tinggal masing-
masing. Tapi ada beberapa orang yang kebingungan,
karena tidak tahu harus pergi ke mana. Sebab Eyang
Tambak Baja telah memberitahu mengenai beberapa desa
yang hancur dan padepokan-padepokan yang kini sudah
tidak ada lagi.
Eyang Tambak Baja ingin meminta pendapat pada
Pendekar Pulau Neraka. Tapi begitu menoleh, pemuda
berbaju kulit harimau itu tidak nampak lagi di tempat ini.
Mega Dara dan Padu Reksa juga tidak mengetahui ke
mana perginya Pendekar Pulau Neraka itu.
"Hhh...! Aku tidak tahu, harus mengucapkan apa.
Terlalu besar jasanya bagi kita semua," desah Eyang
Tambak Baja.
"Ayah! Sebaiknya mereka yang tidak mempunyai
tempat, bisa tinggal sementara di Puri Sapta Dewa," usul
Mega Dara.
"Baiklah," sahut Eyang tambak Baja menyetujui.
"Sudah hampir pagi, sebaiknya kita segera pulang."
Eyang Tambak Baja, Mega Dara, dan Padu Reksa
berjalan menuruni Bukit Walang Jati ini. Sementara
orang-orang berbaju hitam yang belum punya tujuan
hanya mengikuti dari belakang. Tepat pada saat matahari
muncul dari peraduannya, Bukit Walang Jati kembali
tenang. Tampak puluhan orang tengah bergerak
menuruni bukit itu, menuju Puri Sapta Dewa.
0 comments:
Posting Komentar