DI BALIK CAPING BAMBU
Oleh Teguh Suprianto
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia,Jakarta
Penyunting: Puji S.
Gambar sampul oleh TonyG
Hak cipta pada Penerbit
Dilarangmengeopyatau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Pulau Neraka
dalam episode 014 :
Di Balik CapingBambu
128 hal ;12 x18 cm
SATU
"Tolooong...!"
Terdengar teriakan keras melengking tinggi
memecah keheningan malam. Teriakan itu
terdengar berulang-ulang dari tepi sebuah hutan
yang sangat lebat dan menghitam pekat. Tampak
seorang wanita muda dengan baju koyak dan
tubuh berlumur darah berlari terseok-seok.
Wanita itu menjerit-jerit minta tolong. Tapi tidak
seorang pun yang mendengar jeritannya, karena
hutan itu memang sangat jauh dari pemukiman
penduduk.
"Ha ha ha...!"
Tiba-tiba terdengar suara tawa menggelegar
menghalau suara jeritan wanita itu.
"Oh!" wanita itu tersentak kaget.
Belum lagi hilang keterkejutannya, tiba-tiba
muncul sesosok bayangan hitam! Sebuah caping
lebar hampir menutupi seluruh kepalanya. Mata
wanita itu membeliak dengan tubuh bergetar dan
wajah pucat pasi.
"Tolong, jangan sakiti aku.... Ampuuun...,"
rintih wanita itu memelas.
Sosok tubuh itu hanya membisu sambil berdiri
tegak dengan kedua tangan sejajar tubuhnya.
Pelahan-lahan kakinya terayun semakin dekat.
Tubuh wanita itu pun semakin gemetar dan
wajahnya sudah memucat bagai mayat
"Jangan..., tolong, biarkan aku pergi. Jangan
bunuh aku! Jangan...," rintih wanita itu, bergetar
suaranya.
Tidak ada suara sedikit pun yang terdengar
dari sosok hitam bercaping lebar itu. Dia tetap
melangkah pelahan semakin mendekat. Dan
setelah jaraknya tinggal tiga langkah lagi, tiba-
tiba tangannya bergerak cepat menyampok kepala
wanita itu!
"Aaa...!"
Satu jeritan panjang melengking tinggi
terdengar menyayat hari. Dan belum lagi jeritan
itu hilang dari pendengaran, tubuh wanita itu
telah ambruk ke tanah dengan kepala terpisah
dari leher! Darah segar pun langsung
menyemburat deras keluar dari leher yang
buntung itu.
"Ha ha ha...!"
Kembali terdengar suara tawa terbahak-
bahak. Sesaat kemudian, suara tawa itu
menghilang, disertai lanyapnya sosok tubuh
hitam bercaping lebar itu. Kini suasana malam
menjadi sunyi seketika. Tidak lagi terdengar
suara apa pun. Malam yang pekat dan awan
hitam yang menggantung di langit, membuat
suasana di tepian hutan itu semakin
menyeramkan. Angin berhembus agak kencang,
sehingga memperdengarkan suara menggemuruh.
Bau anyir darah yang mengalir deras dari leher
tanpa kepala itu, menguar kemana-mana.
Setelah agak lama suasana seperti itu terjadi,
dari arah Selatan terlihat dua orang berlari-lari
cepat ke arah tepian hutan. Semakin dekat,
semakin jelas rupa kedua orang itu. Yang seorang
terlihat sudah berumur sekitar lima puluh tahun,
ia mengenakan baju putih bersih yang agak ketat,
sehingga membentuk tubuhnya yang tegap
berotot. Sedangkan yang satunya lagi terlihat
masih muda, memakai baju biru tua. Di pinggang
mereka masing-masing tergantung sebilah
pedang panjang.
Kedua laki-laki itu berhenti, tepat di dekat
sosok tubuh wanita yang menggeletak tak
bernyawa lagi dengan kepala terpisah cukup jauh
dari badannya.
"Kita terlambat, Paman," desah pemuda yang
memakaibaju biru tua.
"Ya," sahut laki-laki setengah baya itu lirih.
Beberapa saat lamanya kedua laki-laki itu
hanya diam membisu sambil memandangi sosok
tubuh tidak bernyawa lagi itu. Darah segar masih
saja mengucur dari leher yang buntung. Pemuda
berbaju biru tua mengedarkan pandangannya ke
sekeliling. Sedangkan laki-laki setengah baya dan
memakai baju putih itu, melangkah mendekati
kepala yang terpisah dari badannya. Dipungutnya
kepala itu dan disatukan kembali dengan
lehernya. Kemudian dibetulkannya letak tubuh
wanita itu agar terbaring sempurna. Sebentar
dipandanginya mayat itu, kemudian bangkit
berdiri seraya menarik napas panjang.
"Kumpulkan ranting-ranting kayu, Randu
Watung," perintah laki-laki setengah baya berbaju
putih itu.
Pemuda berbaju biru tua yang dipanggil
Randu Watung itu tidak membantah. Segera
dipungutnya ranting-ranting yang banyak
berserakan di sekitar tepian hutan ini. Kemudian
ditumpuknya ranting-ranting itu untuk
mengubur mayat wanita tersebut, sehingga
seluruh tubuhnya tertutup ranting kering.
Pemuda itu kemudian menyalakan api dari
pemantik yang diambilnya dari sabuk
pinggangnya. Api langsung berkobar besar dan
melahap ranting-ranting kering itu. Terdengar
ledakan-ledakan kecil, disertai bunga api meletup
menghiasi angkasa yang kelam. Randu Warung
melangkah menghampiri laki-laki setengah baya
yang dikenal dengan nama Martalaya itu.
"Lebih baik jasadnya dibakar, daripada
dijadikan santapan binatang liar," kata Martalaya
pelan.
"Sebaiknya kita kembali saja, Paman. Aku
khawatir kuda-kuda kita ada yang mencuri," ujar
Randu Warung setengah berbisik.
"Ayolah."
Kemudian kedua laki-laki itu pun
mengayunkan kakinya meninggalkan tempat itu.
Mereka berjalan pelahan dengan kepala agak
tertunduk. Sesekali Martalaya menoleh ke
belakang, menatap api yang masih terlihat besar.
Bau yang khas mulai tercium. Dan kedua laki-laki
itu terus melangkah semakin jauh meninggalkan
tempat itu. Mereka tidak menyadari kalau ada
sepasang mata yang mengawasi dari tempat yang
cukup tersembunyi!
***
"Paman...!" seru Randu Watung.
Ki Martalaya bergegas menghampiri pemuda
itu. Sejenak mulutnya ternganga dan matanya
membeliak lebar. Betapa tidak? Tempat mereka
bermalam sudah porak poranda, dan kuda-kuda
mereka pun hilang, entah ke mana perginya?
Padahal baru beberapa saat saja ditinggalkan,
karena mendengar jeritan minta tolong, disusul
dengan pekikan panjang melengking tinggi.
"Sejak semula aku sudah khawatir, Paman,"
kata Randu Watung bernada menyesali.
"Randu Watung, kita kedatangan tamu. Hati-
hatilah...," bisik Martalaya, tanpa menghiraukan
gerutuan pemuda itu.
Belum lagi Randu Watung bisa membuka
mulut, mendadak sebuah bayangan hitam
berkelebat cepat bagaikan kilat dan langsung
meluruk deras ke arah pemuda itu. Namun
Randu Watung ternyata bukanlah seorang
pemuda kosong. Dengan kecepatan yang sukar
diikuti mata biasa, pemuda itu melompat ke
samping menghindari terjangan bayangan hitam
itu.
Randu Watung langsung melompat mendekati
Martalaya. Dan mereka jadi terpaku begitu
melihat sosok tubuh hitam mengenakan caping
lebar yang hampir menutupi seluruh kepalanya,
tahu-tahu sudah berdiri tegak sekitar tiga batang
tombak jauhnya dari mereka. Kedua tangan sosok
tubuh hitam itu terlipat di depan dada. Martalaya
menoleh pada Randu Watung yang saat itu juga
sedang menatapnya.
"Hati-hati, Randu. Tampaknya dia memiliki
kepandaian yang tidak rendah," ujar Martalaya
setengah berbisik.
"Iya, angin sambarannya sungguh luar biasa,"
sahut Randu Watung. Kembali ditatapnya sosok
tubuh hitam di depannya.
Martalaya melangkah maju tiga tindak.
Dengan sikunya, digesernya gagang pedang agak
ke depan. Tangan kanannya langsung
menggenggam gagang pedang yang menggantung
di pinggangnya. Sikapnya begitu waspada, dan
tatapan matanya tajam menusuk. Ingin
dilihatnya wajah sosok tubuh di depannya, tapi
seluruh wajah orang itu tertutup caping yang
lebar. Hanya bagian dagunya saja yang terlihat
putih.
"Siapa kau? Kenapa menyerang kami tanpa
alasan?" tanya Martalaya, datarnada suaranya.
"Hm..., kalian berdua telah lancang. Berani
mencampuri urusanku!" dengus sosok tubuh
hitam bercaping lebar itu.
Martalaya menggumam tidak jelas. Kepalanya
sedikit dimiringkan ke kanan dan agak
mendongak ke atas. Sepertinya sedang berusaha
menebak-nebak siapa orang di depannya ini.
Suaranya terdengar dibuat-buat, dan sepertinya
hendak menyembunyikan keadaan dirinya.
Sukar bagi Martalaya untuk memastikan
apakah orang itu laki-laki atau perempuan.
Bentuk tubuhnya memang terlihat ramping,
namun sangat tegap dan padat berisi. Tangannya
yang hanya terlihat sampai pergelangan saja,
memang berkulit putih halus bagai tangan
seorang wanita. Juga kakinya yang berbentuk
indah. Dilihat dari bentuk tubuhnya, Martalaya
menduga kalau orang itu adalah perempuan.
Terlebih lagi dengan adanya gundukan kembar
pada dadanya yang tertutup baju hitam yang
rapat sampai menutupi leher.
"Nisanak, aku tidak kenal siapa kau. Dan aku
juga tidak tahu maksud kata-katamu. Tolong
berikan penjelasan, dan seandainya kami berbuat
kesalahan, aku mohon maaf," ucap Martalaya
sopan.
Sosok tubuh hitam bercaping lebar itu tidak
menyahuti. Namun tiba-tiba saja dia melompat
cepat bagaikan kilat disertai pukulan beruntun
sebanyak tiga kali. Martalaya tersentak kaget.
Buru-buru dia melompat mundur menghindari
terjangan gadis itu. Tubuhnya dimiringkan ke kiri
dan ke kanan dengan cepat, lalu dibalasnya
serangan mendadak itu dengan melayangkan
satu tendangan cepat menggeledek.
"Hait...!"
Tapi sosok tubuh yang bentuknya seperti
wanita muda itu lebih cepat lagi berkelit dengan
melentingkan tubuhnya ke atas. Dan pada saat
rubuhnya melayang di udara, tanpa diduga sama
sekali dihantamnya kepala Martalaya dengan
satu tendangan keras bertenaga dalam tinggi!
"Akh...!" Martalaya memekik tertahan.
Laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun itu
terpental ke samping. Tubuhnya jatuh dan
bergulingan beberapa kali. Tapi belum lagi tubuh
laki-laki itu berhenti berguling, tubuh hitam
bercaping lebar itu sudah meluruk deras ke
arahnya. Kembali dilepaskannya satu pukulan
keras bertenaga dalam tinggi.
"Hiyaaat..!"
Tapi belum juga orang itu bisa melaksanakan
maksudnya, Randu Watung sudah melompat
cepat memotong arus terjangan orang berbaju
serba hitam itu. Randu Watung menghentakkan
tangan kanannya ke arah perut. Tapi rupanya
orang berbaju hitam itu tidak bisa dianggap
enteng. Diegoskan tubuhnya sedikit ke kanan,
dan sodokan tangan Randu Watung pun meleset
dari sasaran. Dan belum lagi Randu Watung bisa
menarik pulang tangannya, tiba-tiba....
Des!
"Akh...!" Randu Watung memekik keras.
Tanpa dapat dihindari lagi, satu pukulan telak
mendarat di dada pemuda itu. Tubuh Randu
Watung pun langsung terjengkang ke belakang,
dan punggungnya menghantam pohon dengan
keras hingga tumbang!
"Mampus kau! Hiyaaa...!" teriak sosok tubuh
berbaju hitam pekat itu.
Ia langsung melompat ke arah Randu Watung
yang saat itu sedang berusaha bangkit berdiri.
Dari udut bibir pemuda itu mengucurkan darah
kental agak kehitaman. Randu Watung terkesiap
begitu melihat orang berbaju hitam yang tidak
banyak bicara itu sudah melompat hendak
menyerang kembali. Tapi belum juga Randu
Watung bisa melakukan sesuatu, mendadak
Martalaya melompat memapak serangan itu.
"Hait..!"
Dug!
"Akh...!"
Sungguh luar biasa! Pukulan Martalaya yang
disertai pengerahan tenaga dalam cukup tinggi
itu, malah berbalik menghantam dirinya sendiri.
Dan akibatnya tubuh laki-laki setengah baya itu
terpental deras ke belakang. Sedangkan orang
berbaju hitam dan bercaping lebar itu hanya
terdorong satu langkah saja, padahal pukulan
Matalaya tadi tepat bersarang di dadanya.
"Phuih! Rupanya kau ingin lebih dulu ke
neraka!" dengus orang berbaju serba hitam itu.
Karena marahnya, dia lupa mempergunakan
ilmu yang bisa merubah suara. Sehingga
terdengar suara merdu seorang wanita. Tapi
semua itu tidak sempat diperhatikan Martalaya,
karena orang bercaping itu sudah melompat cepat
bagaikan kilat ke arah laki-laki setengah tua yang
sedang berusaha bangkitberdiri itu.
"Paman, awas...!" teriak Randu Watung keras.
Tapi peringatan pemuda itu terlambat, karena
satu pukulan keras bertenaga dalam sangat tinggi
sudah bersarang di dada Martalaya, sehingga
tubuh laki-laki. setengah baya itu kembali
terpental ke belakang sambil menjerit keras
melengking tinggi. Dua pohon besar langsung
tumbang terlanda tubuhnya.
Tapi Martalaya masih juga bisa bangkit
berdiri, meskipun agak limbung. Laki-laki
setengah baya itu mencabut pedang yang
berwarna keperakan dan segera disilangkan di
depan dadanya. Tatapan matanya begitu tajam,
dan bibirnya terkatup rapat. Tapi tidak bisa
mencegah darah yang merembes dari sudut
bibirnya.
"Randu, cepat pergi! Dia bukan lawanmu!"
seru Martalaya keras.
"Paman...."
"Jangan hiraukan aku, cepat pergi!" bentak
Martalaya.
Randu Watung kelihatan ragu-ragu. Hatinya
tidak bisa membiarkan Martalaya dalam keadaan
seperti itu sendirian. Tapi mengingat dirinya yang
terluka dalam cukup parah, Randu Watung tidak
punya pilihan lain. Bisa dimengerti, kenapa orang
tua itu menyuruh pergi secepatnya.
Sementara Randu Watung masih diliputi
kebimbangan, orang bercaping lebar itu sudah
kembali melompat cepat bagaikan kilat, disertai
teriakan keras melengking tinggi. Serangan yang
begitu cepat dan sukar diikuti pandangan mata
biasa itu, membuat Martalaya sedikit gugup.
Namun dengan cepat dia melompat ke samping
seraya mengibaskan pedangnya.
"Randu, cepat pergi...!" seru Martalaya keras.
Perintah yang keras dan bernada tegas itu
membuat Randu Watung tersentak. Kemudian
setelah agak lama berpikir, dia langsung
melompat cepat meninggalkan tempat itu.
Meskipun dalam keadaan terluka cukup parah,
namun Randu Watung masih juga bisa
mengerahkan ilmu meringankan tubuh.
Meskipun tidak sebaik ketika tubuhnya dalam
keadaan normal.
"Keparat..!"geram orang bercaping lebar itu.
***
Menyadari tidak mungkin lagi mengejar
Randu Watung, orang berbaju serba hitam yang
kepalanya tertutup caping lebar itu jadi geram
setengah mati. Dia berteriak keras, dan langsung
menyerang Martalaya dengan ganas. Serangan
yang demikian cepat disertai pengerahan tenaga
dalam sangat tinggi itu, membuat Martalaya
kewalahan juga sehingga jatuh bangun
menghindari serangan yang beruntun itu.
"Hiya...! Hiyaaa...!"
Sambil berteriak keras, orang berbaju serba
hitam itu melompat ke depan, dan kakinya
menendang cepat ke arah kepala Martalaya. Tapi
laki-laki tua itu masih bisa menghindar dengan
merundukkan tubuhnya sedikit. Namun untuk
serangan kedua yang dilancarkan lebih cepat,
Martalaya tidak sanggup lagi menghindar.
Dalam keadaan tubuh masih di udara, orang
bercaping itu mampu melemparkan dua buah
pisau kecil yang tipis. Kedua pisau itu tidak bisa
dielakkan oleh Martalaya, dan langsung
menghunjam dalam hingga ke pangkal
gagangnya.
"Aaa...!" Martalaya menjerit melengking tinggi.
Tubuh Martalaya langsung limbung, dan
darah merembes keluar dari dadanya yang
tertembus dua pisau bergagang segitiga seperti
sebuah caping.
Pada saat tubuh Martalaya limbung, orang
bercaping lebar itu melayangkan satu tendangan
keras, disusul dengan pukulan geledek bertenaga
dalam cukup tinggi ke arah kepala. Kembali
Martalaya menjerit keras melengking. Pedang di
tangannya terlepas dan jatuh ke tanah. Dipegangi
kepalanya yang retak berlumuran darah segar.
"Mampus! Hih...!"
Satu pukulan menggeledek kembali mendarat
di dada Martalaya. Untuk ke sekian kalinya, laki-
laki setengah baya itu menjerit. Tubuhnya
terlontar deras dan menabrak sebongkah batu
besar hingga hancur berantakan! Tubuh tegap itu
pun langsung menggelosor ke tanah. Belum juga
puas melihat lawannya masih bernapas, orang
bercaping lebar itu lalu mengambil sebongkah
batu besarberwarna hitam dan berlumut.
"Hiyaaa...!"
Tubuh ramping terbungkus baju hitam itu
melenting tinggi ke udara, lalu dengan derasnya
meluncur turun. Dan tangannya dihentakkan
cepat ke bawah. Batu yang berada di dalam
cengkeraman jari-jari lentik itu, langsung
dihempaskan ke kepala Martalaya.
"Aaa...!"
Darah langsung muncrat begitu kepala
Martalaya hancur berantakan tertimpa batu yang
hampir sebesar kepala kerbau itu. Hanya
sebentar Martalaya mampu bergerak, kemudian
tubuhnya mengejang dan tidak bergerak-gerak
lagi. Orang berbaju hitam itu berdiri tegak
memandangi mayat yang kepalanya sudah tak
berbentuk lagi itu.
"Huh! Satu lolos...!" dengus orang itu kesal.
Dilayangkan pandangannya ke arah Randu
Watung tadi melesat pergi. Malam yang gelap
dan pekat, menghalangi pandangan matanya.
Terlebih lagi saat itu udara dipenuhi kabut tebal.
Lagi-lagi orang bercaping lebar itu menggerutu
dan kakinya menghentak ke tanah karena kesal.
"Randu Watung.... Hm..., namamu Randu
Watung. Huh! Kau tidak akan bisa lolos dariku,
Randu Watung. Tidakada seorang pun yang boleh
mencampuri urusanku. Huh!"
Sambil bersungut-sungut kesal, orang
bercaping lebar itu langsung melesat cepat
meninggalkan tempat itu. Lesatannya sungguh
cepat luar biasa, sehingga bagaikan hilang saja!
Kini keadaan di sekitar tempat itu menjadi sunyi
senyap bagai tidak pernah terjadi sesuatu. Hanya
sosok tubuh dengan kepala pecah saja yang
menjadi saksi bahwa di tempat itu tadi,
berlangsung suatu pertempuran yang cukup
dahsyat. Pertempuran yang meminta korban
nyawa seorang laki-laki setengah baya.
Beberapa saat lamanya setelah orang berbaju
hitam dan bercaping lebar itu lenyap, muncul
Randu Watung dari balik semak belukar. Pemuda
itu terseok-seok mendekati mayat Martalaya.
Langsung ditubruk dan dipeluknya tubuh yang
berlumuran darah itu.
"Paman, kenapa kau korbankan nyawamu
hanya untuk menyelamatkanku...?" rintih Randu
Watung! "Paman, aku berjanji di depan jasadmu.
Akan kubalas kematianmu, dan kubunuh orang
itu. Aku juga berjanji akan menemukan si Mata
Iblis. Dendammu akan kubalaskan, Paman. Aku
janji...!"
***
DUA
Siang itu langit tampak cerah. Awan tipis
berarak mengikuti hembusan angin yang datang
semilir menyejukkan. Matahari bersinar indah,
membawa makna kehidupan bagi seluruh
makhluk di permukaan bumi ini. Namun semua
keindahan itu seperti tidak dinikmati oleh seorang
pemuda berbaju biru tua yang berjalan terseok-
seok sambil menekan dadanya dengan tangan
kanan. Sesekali bibirnya meringis merasakan
sakit pada rongga dadanya.
"Hoek...!"
Pemuda itu memuntahkan darah kental
kehitaman. Kemudian tubuhnya limbung, dan
tiba-tiba ambruk ke tanah berumput basah.
Pemuda itu berusaha bangkit berdiri, tapi
tenaganya tidak mampu lagi menahan berat
tubuhnya. Tubuhnya kembali ambruk, dan
memuntahkan darah kental kehitaman. Pemuda
itu berusaha merayap, menggapai-gapai
mendekati sebuah sungai kecil yang berair jernih
di depannya.
"Oh...," rintihnya lirih. Bibirnya semakin lebar
meringis. Pandangannya berkunang-kunang, dan
kepalanya terasa berat, bagai terbebani batu yang
sangatbesar.
Dengan sekuat tenaga, pemuda berbaju biru
tua itu berusaha mengangkat kepalanya. Kelopak
matanya disipitkan. Samar-samar dilihatnya
bayangan seseorang yang berdiri tidak jauh di
seberang sungai kecil itu. Pemuda itu berusaha
menajamkan penglihatannya yang semakin
berkurang, dan belum lagi dapat melihal jelas,
penglihatannya sudah menghilang sama sekali,
lalu terkulai tidak sadarkan diri.
Seorang laki-laki muda berwajah cukup
tampan, melompat indah menyeberangi sungai
kecil itu. Dia langsung mendarat tepat di dekat
pemuda berbaju biru yang tergeletak tidak
sadarkan diri lagi. Pemuda itu kemudian duduk
bertumpu pada lututnya di tanah, sebentar
diperiksanya tubuh yang tergeletak itu, kemudian
kepalanya terangguk-angguk. Setelah
mengedarkan pandangannya ke sekeliling,
pemuda berwajah cukup tampan dengan garis-
garis kekerasan itu, mengangkat tubuh yang
tergeletak pingsan. Lalu dibawanya ke tempat
yang teduh dan terlindung dari sengatan
matahari. Dibaringkannya tubuh pemuda berbaju
biru tua itu dibawah pohon yang berumput tebal.
"Hm...., lukanya cukup parah. Harus
kukeluarkan racun di dalam tubuhnya dulu,"
gumam pemuda berbaju kulit harimau itu
pelahan.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, pemuda
berbaju kulit harimau itu duduk bersila. Kedua
telapak tangannya merapat di depan dada dan
matanya terpejam. Tidak lama kemudian
matanya terbuka, dan tangannya langsung
dihentakkan ke depan. Erat sekali kedua telapak
tangannya menempel di dada pemuda yang
menggeletak tidak sadarkan diri itu. Tampak
asap tipis mengepul dari sela-sela jari tangan
pemuda berbaju kulit harimau itu. Dan wajahnya
mulai memerah, pertanda dia tengah berusaha
menyalurkan hawa murni ke dalam tubuh
pemuda berbaju biru tua itu
"Uh...."
Dengan satu keluhan pendek, dilepaskan
tangannya dari dada bidang yang terbuka itu.
Kemudian ditempelkan kembali telapak
tangannya erat-erat setelah menggerak-
gerakkannya sesaat. Kembali asap tipis mengepul
dari sela-sela jarinya yang bergetar. Tampak dari
seluruh pori-pori tubuh pemuda berbaju biru itu
merembes darah. Dari mulut dan hidungnya juga
mengeluarkan darah agak kehitaman. Semakin
lama darah yang keluar dari mulutnya semakin
banyak. Sedikit demi sedikit darah kehitaman itu
berubah merah dan segar.
"Hhh...!" pemuda berbaju kulit harimau itu
menarik napas panjang.
Pelahan-lahan dilepaskan tangannya dari dada
yang terbuka lebar. Kemudian jari-jari tangannya
bergerak lincah menotok beberapa bagian tubuh
pemuda yang menggeletak pingsan di depannya.
Kembali ditariknya napas panjang, lalu digeser
duduknya agak menjauh. Kedua tangannya
bergerak-gerak di depan dada, kemudian pelahan
turun ke bawah, dan berhenti tepat di lututnya
yang tertekuk.
"Hsss...!"
Pemuda berbaju kulit harimau itu hanya
sebentar menghimpun kembali tenaga dalam dan
hawa murni yang terkuras akibat berusaha
mengeluarkan racun dalam tubuh pemuda
berbaju biru tua itu. Bersama dengan tersadarnya
pemuda berbaju biru itu, dia juga membuka
matanya.
"Ohhh...," rintih pemuda berbaju biru itu lirih.
"Jangan banyak bergerak dulu. Racun di
tubuh belum semuanya terbuang," ujar pemuda
itu seraya mendekati.
"Oh..., siapa kau?" tanya pemuda itu seraya
berusaha bangkit. Tapi keburu ditahan, sehingga
dia rebah lagi.
"Namaku Bayu," sahut pemuda berbaju kulit
harimau itu memperkenalkan diri.
"Bayu.... Sepertinya aku belum mengenalmu."
"Memang, kita belum saling mengenal. Aku
menemukanmu dalam keadaan pingsan dan
terluka cukup parah."
'Terima kasih."
"Siapa namamu?" tanya Bayu.
"Randu Watung."
"Siapa yang melukaimu?" tanya Bayu lagi.
Randu Watung tidak langsung menjawab,
menarik napas panjang dan berat. Terlalu sukar
untuk menjawab pertanyaan Bayu Hanggara
yang lebih kenal dengan panggilan Pendekar
Pulau Neraka. Masalahnya, dia sendiri tidak tahu
siapa yang melukai dan membunuh pamannya.
Orang itu sukar dikenali. Seluruh wajahnya
tertutup caping lebar dan pakaiannya serba
hitam.
"Sudahlah, jangan terlalu banyak berpikir
dulu. Sebaiknya kau beristirahat," ujar Bayu
memaklumi.
'Ya, dadaku masih terasa sakit," pelan suara
Randu Watung.
"Hm...."
Randu Watung memejamkan matanya
kembali. Dia berusaha menghimpun hawa murni
untuk membantu mempercepat pemulihan
tubuhnya. Sedangkan Pendekar Pulau Neraka
duduk bersila di sampingnya, tidak ada lagi yang
dibicarakan. Tapi dilihat dari kening Bayu yang
berkerut, sudah bisa ditebak kalau ia memikirkan
sesuatu. Entah apa yang dipikirkannya, yang jelas
beberapa kali diliriknya Randu Watung yang
masih terpejam.
***
Randu Watung melangkah pelahan-lahan di
samping Pendekar Pulau Neraka. Saat itu
matahari sudah condong ke arah Barat. Sinarnya
mulai redup, tidak lagi terik seperti semula.
Mereka berhenti melangkah dan memandang
lurus tidak berkedip ke depan. Tampak sebuah
perkampungan kumuh yang letak rumah-
rumahnya tidak teratur, dan jalanannya becek
berlumpur. Randu Watung menoleh pada
Pendekar l'ulau Neraka. Tangan kanannya masih
memegangi dadanya yang belum hilang rasa
sakitnya.
"Kau perlu tempat untuk menyembuhkan luka
dalammu, Randu Watung," kata Bayu, seakan
mengerti maksud pandangan pemuda berbaju
biru itu.
"Apa penduduk desa itu akan menerima kita?
tanya Randu Watung.
"Mudah-mudahan saja," sahut Bayu agak
mendesah.
"Tunggu sebentar, Bayu!" cegah Randu
Watung melihat Bayu akan melangkah.
Pendekar Pulau Neraka itu menghentikan
langkahnya. Ditatapnya pemuda di sampingnya.
"Aku merasa ada yang aneh di desa itu, Bayu,
kata Randu Watung pelan.
Bayu mengerutkan keningnya. Kemudian
menoleh kembali menatap ke arah desa yang
terlihat di depannya. Semakin dalam kerutan di
keningnya. Memang tidak seperti desa-desa
lainnya. Desa di depan itu sungguh tidak sedap
dipandang mata. Kadaannya tidak teratur dan
berantakan sekali. Bahkan terlihat ada sekitar
lima rumah hancur berantakan hampir rubuh.
Juga tidak terlihat seorang pun penduduk di sana.
Suasananya sunyi sepi seperti tidak berpenduduk
sama sekali.
Dan belum jauh Pendekar Pulau Neraka itu
berpikir lebih lama, tiba-tiba di sekitar mereka
bermunculan orang-orang bertampang beringas
menghunus senjata tajam. Bayu menggeser
kakinya mendekati Randu Watung. Sebentar saja
mereka sudah dikepung tidak kurang dari
sepuluh orang bersenjata terhunus. Mereka
semuanya memakai ikat kepala berwarna merah
tua dengan bulatan hitam pada keningnya
"Si Mata Iblis...," desis Randu Warung pelan
begitu pelannya sehingga hampir tidak terdengar
oleh Pendekar Pulau Neraka.
"Hm...., kau kenal mereka, Randu Watung?"
tanya Bayu setengah bergumam.
'Ya, mereka anak buahnya si Mata Iblis," sahut
Randu Watung.
"Si Mata Iblis?! Siapa dia?" tanya Bayu lagi.
Belum sempat Randu Watung menjawab, tiba-
tiba dua orang dari pengepung itu melompat
sambil berteriak nyaring. Golok mereka yang
tajam berkilat, berkelebatan cepat mengarah ke
bagian-bagian tubuh Bayu dan Randu Watung
yang mematikan. Namun gerakan Pendekar
Pulau Neraka itu lebih cepat dari dua orang
penyerang itu. Dan sekali gebrak saja, mereka
terpelanting seraya memekik keras!
Tubuh mereka bergulingan di tanah, namun
segera bangkit kembali dan menyilangkan
goloknya di depan dada. Sementara Bayu sudah
siap, dan berusaha agar Randu Watung tidak
banyak bergerak, karena luka dalamnya belum
sembuh benar. Gerakan-gerakan yang
dipaksakan, akan menambah parah luka
dalamnya.
"Jangan bertindak kalau tidak terpaksa,
Randu," pesan Bayu.
"Seraaang...!" tiba-tiba terdengar sebuah
seruan keras.
Seketika itu juga, sepuluh orang bersenjata
golok dengan ikat kepala merah itu bergerak
berlompatan menyerang. Mereka berteriak
memekakkan telinga seraya mengelebatkan
golok-goloknya cepat mengincar bagian tubuh
yang mematikan. Namun mereka tidak
menyadari kalau berhadapan dengan seorang
pendekar yang tangguh dan pilih tanding.
Seorang pendekar muda yang sudah malang-
melintang di rimba persilatan.
Meskipun harus melindungi seseorang yang
sedang mengalami luka dalam cukup parah,
Pendekar Pulau Neraka masih mampu
menghadapi sepuluh orang pengeroyoknya.
Bahkan satu persatu mereka terbanting keras ke
tanah. Pekik pertempuran yang tadinya
menggelegar, kini berganti jerit melengking
kesakitan. Beberapa kali Bayu harus menangkis
senjata mereka dengan pergelangan tangannya
yang terdapat sebuah cakra perak.
Tring!
Sebuah golok hampir menebas kepala
Pendekar Pulau Neraka itu, namun manis sekali
ditangkisnya dengan tangan. Bahkan golok itu
terbelah dua ketika membentur cakra yang
menempel di pergelangan tangan kanan Pendekar
Pulau Neraka itu! Dan satu tendangan
menggeledek dilepaskan Bayu, sehingga
lawannya menjerit keras, terpental jauh ke
belakang.
"Hiyaaa...!" teriak Bayu keras.
Seketika itu juga direndahkan tubuhnya ke
samping agak terbungkuk. Lalu dengan
kecepatan yang sukar diikuti mata biasa, dari
pergelangan tangan kanannya melesat seberkas
cahaya keperakan. Cakra Maut, senjata dahsyat
andalan Pendekar Pulau Neraka ttu melesat
cepat, dan seketika itu juga terdengar jeritan-
jeritan melengking saling sambut. Disusul
bergelimpangannya tubuh-tubuh yang bersimbah
darah.
"Hap...!"
Tiba-tiba Pendekar Pulau Neraka melompat,
dan tangan kanannya terangkat ke atas. Cakra
Maut pun kembali menempel di pergelangan
tangan kanannya. Lalu begitu kakinya mendarat
di tanah, cepat dilepaskan kembali senjatanya.
Kembali berturut-turut terdengar jeritan
menyayat hati. Cakra Maut kembali melesat balik
setelah merobohkan tiga orang sekaligus. Bayu
berdiri tegak dengan tangan melipat di depan
dada.
Hanya dua kali saja dilepaskan senjatanya,
enam orang menggeletak bersimbah darah tidak
bernyawa lagi! Sedangkan yang empat orang lagi
jadi tertegun dengan wajah pucat pasi saling
berpandangan. Kemudian, tanpa berkata-kata
lagi keempat orang itu melarikan diri tunggang-
langgang. Bayu menarik napas panjang.
Ditolehkan kepalanya pada Randu Watung yang
tidak bergeming sedikit pun di tempatnya.
Pemuda berbaju biru tua itu melangkah
mendekati.
"Sebaiknya kita cepat pergi, Bayu," usul Randu
Watung.
"Hm, baiklah," sahut Bayu, seraya
menyipitkan matanya.
Randu Watung bergegas melangkah menuju
desa itu, diikuti Bayu. Mereka berjalan cepat
meninggalkan enam mayat yang bergelimpangan
bersimbah darah. Sementara matahari semakin
tenggelam di ufuk Barat! Rona merah
menyemburat indah bagai kobaran api yang
membakar permukaan bumi. Sedangkan kedua
pemuda yang baru berkenalan itu mulai
memasuki desa yang kumuh seperti tak
berpenghuni itu.
***
Bayu memilih sebuah rumah yang kosong
Keadaannya sungguh kotor dan berantakan.
Meja, kursi, dan dipan bambu sudah tidak
berbentuk lagi. Pendekar Pulau Neraka itu
membereskan sebuah kamar yang masih terdapat
dipan bambu. Dia meminta agar Randu Warung
beristirahat di kamar itu, sementara dia sendiri
memeriksa keadaan rumah itu.
"Ada orangnya?" tanya Randu Warung, ketika
Bayu kembali masuk ke dalam kamar itu. Randu
Watung duduk bersila dengan tangan menempel
pada lutut
"Tidak," sahut Bayu singkat seraya duduk di
tepi pembaringan yang hanya beralaskan tikar
rombeng.
"Pasti telah terjadi sesuatu di sini...," gumam
Randu Warung seperti bicara untuk dirinya
sendiri.
Bayu hanya diam saja. Namun pandangannya
begitu dalam menatap wajah pemuda berbaju biru
tua itu. Dalam hatinya dia menduga ada sesuatu
yang dirahasiakan, sehingga membuat Randu
Watung kini termenung menatap kosong ke
depan. Begitu jauh pandangannya, sehingga
menerobos jendela yang sudah tidak memiliki
daun lagi.
Sementara suasana mulai gelap. Matahari
sudah tenggelam di balik peraduannya,
digantikan cahaya bulan dan bintang yang indah
gemerlapan. Meskipun cahaya bulan dan api
unggun sudah membuat terang di dalam kamar
ini, namun semua itu tidak mampu mengurangi
dinginnya udara malam yang serasa menusuk
tulang.
"Kau seperti memikirkan sesuatu, Randu,"
tegur Bayu. Tidak enak rasanya menduga terus-
menerus.
"Entahlah...," desah Randu Watung seraya
menghembuskan napas panjang dan berat.
"Kau belum menceritakan penyebab lukamu,
Randu," kata Bayu masih diliputi penasaran.
Sebab dia tahu kalau luka dalam yang diderita
Randu Watung cukup parah. Dan dia tidak bisa
mengeluarkan semua racun yang mengendap di
dalam tubuhnya. Sewaktu-waktu racun itu bisa
membunuhnya secara pelahan-lahan.
"Hhh...! Aku sendiri tidak mengerti, kenapa dia
menyerang dan membunuh pamanku. Padahal
aku tidak mengenal, dan juga tidak tahu
permasalahannya. Tiba-tiba dia datang dan
menyerang tanpa berkata-kata lagi," Randu
Watung mencoba menceritakan peristiwa pahit
yang dialaminya.
"Hm..., aneh," gumam Bayu setengah tidak
percaya.
"Memang sukar dipercaya, Bayu. Tapi
memang itulah kenyataannya. Sayang paman
telah tewas."
"Sama sekali kau tidak bisa mengenalinya?"
tanya Bayu.
'Tidak. Dia berbaju serba hitam dan memakai
caping lebar sehingga menutupi seluruh
kepalanya. Gerakannya begitu cepat, dan ilmunya
sungguh luaibiasa!"
"Randu, kelihatannya kau kenal dengan
orang-orang yang tadi mengeroyok kita. Siapa
mereka?" tanya Bayu lagi.
"Mereka anak buahnya si Mata Iblis. Bisa
dikenali dari ikat kepalanya," sahut Randu
Watung.
'Tampaknya mereka sengaja hendak
menyerangmu. Bisa kulihat dari pola
serangannya yang selalu mengarah padamu,"
kata Bayu bernada curiga dan ingin tahu.
"Memang. Mereka memang hendak
membunuhku," sahut Randu Warung berterus
terang
"Kenapa?"
Randu Watung tidak langsung menjawab.
Ditariknya napas panjang, tapi langsung
meringis, karena dadanya tiba-tiba jadi terasa
nyeri. Setiap kali ditariknya napas panjang,
dadanya selalu saja seperti tertusuk ribuan jarum
berbisa. Sungguh menyakitkan!
"Masih terasa sakit?" tanya Bayu yang sejak
tadi memperhatikan.
"Dadaku ini..., ugh!" Randu Warung mengeluh
pendek.
"Luka dalammu cukup parah, Randu. Hanya
Seorang tabib ahli saja yang dapat
menyembuhkan lukamu. Terlebih lagi racun di
dalam tubuhmu belum semuanya ke luar.
Meskipun tidak begitu berbahaya, tapi...."
"Aku tahu, Bayu. Nyawaku memang terancam.
Dan aku tidak boleh banyak bergerak, terlebih
lagi mengerahkan tenaga dalam," potong Randu
Watung cepat
Bayu hanya menarik napas panjang. Ada
sedikit kekaguman di dalam hatinya melihat
ketabahan pemuda itu.
"Masih sanggup untuk bicara, Randu?" tanya
Bayu.
Randu Watung tersenyum dan mengangguk.
"Kenapa si Mata Iblis hendak membunuhmu?"
tanya Bayu.
"Bayu, sebenarnya Ayahku adalah seorang
Adipati di Sangkal Putung. Bermula dari
sekelompok orang yang memberontak pada
kerajaan, dan Kadipaten Sangkal Putung menjadi
sasaran pertama. Meskipun seluruh prajurit
kadipaten sudah dikerahkan, tapi tetap tidak
mampu mengusir para pemberontak itu. Mereka
berhasil memukul mundur para prajurit, dan
memaksa Ayah melarikan diri. Memang tadinya
ada beberapa prajurit dan keluarga yang ikut Tapi
mereka semua tewas terbunuh dalam pelarian.
Tinggal aku dan Paman yang masih bisa sampai
ke hutan itu. Tapi, yaaah..., akhirnya Paman
tewas juga di tangan orang yang tidak kukenali,"
Randu Watung menceritakan tentang dirinya.
"Hm..., lalu ke mana tujuanmu sekarang?" tan
Bayu.
"Aku tidak tahu, kabar terakhir yang
kudengar kerajaan juga sedang berperang. Aku
tidak mungkin datang ke sana dan melaporkan
kejadian di Kadipaten Sangkal Putung."
"Apakah pihak kerajaan berperang melawan
para pemberontak itu juga?" tebak Bayu.
"Bukan, tapi dengan kerajaan lain."
"Hm..., jadi mereka mengambil kesempatan...,”
gumam Bayu mulai mengerti.
"Begitulah."
"Lalu, siapa sebenarnya si Mata Iblis itu. Apa
dia pemimpin pemberontakan itu?" tanya Bayu
lagi.
"Aku tidak tahu," sahut Randu Watung.
"Lho...?!" Bayu terkejut mendengar jawaban
itu. "Kau bisa mengenali mereka, tapi kau tidak
tahu siapa si Mata Iblis itu. Aku tidak mengerti
maksudmu, Randu...?"
"Aku memang tidak pernah tahu siapa itu si
Mata Iblis. Aku hanya pernah mendengar dan
mengetahui ciri-cirinya saja. Aku juga tidak tahu,
kenapa anak buah si Mata Iblis selalu mengejar-
ngejar kami berdua," Randu Warung berusaha
menjelaskan.
Meskipun demikian, Bayu bisa menangkap
adanya nada lain pada suara Randu Watung.
Nada suara yang lain dan agak tertekan. Bayu
menduga kalau Randu Watung menyimpan
sesuatu rahasia yang tidak ingin diketahui orang
lain. Dan rahasia itu nampaknya berhubungan
dengan anak buah si Mata Iblis yang sore tadi
mengeroyok.
"Randu, aku tidak mau mengetahui urusan
pribadimu. Kau akan kubawa kepada seorang
tabib yang dapat mengobati luka-lukamu. Aku
tahu seorang tabib yang sangat pandai...," kata
Bayu, terputus suaranya.
'Terima kasih," ucap Randu Warung pelan.
"Sekarang istirahatlah, biar aku yang berjaga-
jaga malam ini."
'Tidak akan kulupakan pertolonganmu ini,
Bayu."
Pendekar Pulau Neraka itu hanya tersenyum
saja. Kemudian bangkit dari pembaringan, dan
melangkah keluar kamar. Sedangkan Randu
Watung masih duduk bersila dengan mata
setengah terpejam. Hawa murni terus dialirkan
untuk mengurangi rasa sakit dan menghambat
penyebaran racun di dalam tubuhnya. Sementara
malam terus beranjak semakin larut. Udara pun
semakin dingin serasa menggigit tulang. Api
unggun di dalam kamar itu tak mampu
mengurangi hawa dingin yang menggigilkan itu.
Suasana kembali sepi, sesekali terdengar suara
binatang malam yang memecah kesunyian di
malam itu.
***
TIGA
"Masih jauh tempatnya, Bayu?" tanya Randu
Warung sambil menyeka keringatnya.
'Tidak," sahut Bayu tanpa menghentikan
langkahnya.
Tapi langkah kaki Pendekar Pulau Neraka
akhirnya terhenti juga karena tidak mendengar
lagi suara langkah kaki di belakangnya. Dia
menoleh, da langsung terkejut begitu dilihatnya
Randu Watung menggeletak tengkurap! Bayu
bergegas menghampiri dan membalikkan tubuh
pemuda berbaju biru yang tak bergerak sedikit
pun. Seluruh wajahnya basah oleh keringat.
Hampir tiga hari penuh mereka berjalan
merambah hutan, dan itu membuat Randu
Watung terpaksa menguras tenaganya. Bayu
memeriksa urat nadi di pergelangan tangan
Randu Watung.
"Hhh...! Terlalu banyak tenaga yang
dikeluarkannya,"desah Bayu.
Pendekar Pulau Neraka itu mengangkat
rubuh Randu Watung, dan kembali melangkah
seraya membopong tubuh pemuda itu di
pundaknya. Dikerahkan ilmu meringankan
tubuh, sehingga dengan cepat dia bisa berjalan
melebihi orang berlari sekuat tenaga! Begitu cepat
langkahnya, seolah-olah tidak menapak tanah!
Cukup sulit perjalanan yang ditempuh
Pendekar Pulau Neraka itu, karena hutan yang
semakin rapat dan jalan yang mendaki. Namun
dengan ilmu meringankan tubuh yang sudah
mencapai taraf kesempurnaan, tidak sulit
baginya untuk cepat sampai di tempat tujuan.
Dan belum lagi matahari berada tepat di atas
kepala, Pendekar Pulau Neraka itu sudah tiba di
sebuah tempat yang berbatu dan dipenuhi pohon-
pohon besar dan kecil. Di antara bongkahan batu
sebesar kerbau, dan tiga buah pohon beringin,
terlihat sebuah gubuk kecil yang kumuh. Bayu
mengayunkan kakinya mendekati gubuk reyot
itu.
"Masuklah, Bayu. Pintu tidak terkunci...!"
terdengar suara serak dan bergetar dari dalam
gubuk reyot itu.
Bayu langsung saja menerobos pintu yang
setengah terbuka itu. Tampak di dalam ruangan
yang sempit dan pengap, duduk bersila seorang
laki-laki tua bertubuh kurus kering. Hanya
selembar kain lusuh yang melilit tubuhnya. Kain
yang tadinya berwarna putih itu sudah pudar.
Bayu segera meletakkan tubuh Randu Watung di
atas selembar tikar lusuh di depan laki-laki tua
itu.
"Siapa dia, Bayu?" tanya laki-laki tua kurus itu
sambil mengelus-elus janggutnya yang panjang
dan putih.
"Randu Watung. Lukanya cukup parah, dan
sudah tiga kali pingsan, Eyang Puger," sahut
Bayu yang sudah duduk bersila.
"Temanmu?" tanya laki-laki tua yang dipanggil
Eyang Puger itu.
"Bukan. Ia tergeletak pingsan ketika
kutemukan di tepi sungai."
"Hm...,"gumam Eyang Puger pelahan.
Laki-laki tua kurus kering itu memeriksa
sebentar tubuh Randu Watung. Kemudian
kepalanya terangguk-angguk sambil bergumam.
Ditatapnya Pendeka Pulau Neraka yang hanya
memperhatikan saja. Matanya yang cekung,
serasa begitu tajam menusuk ke bola mata Bayu.
"Bagaimana dia bisa terluka seperti ini,
Bayu?" tanya Eyang Puger.
"Aku tidak tahu pasti. Dia hanya bercerita
bahwa dirinya diserang oleh orang tidak dikenal.
Sedangkan pamannya tewas oleh orang itu,"
sahut Bayu.
"Hm..., kau tahu siapa dia?"
Bayu menggeleng-gelengkan kepalanya.
Alisnya berkerut sehingga hampir menyatu.
Sedangkan Eyang Puger semakin tajam menatap
padanya.
"Eyang kenal dengannya?" tanya Bayu
penasaran.
"Entahlah, aku kurang yakin," sahut Eyang
Puger. 'Tapi aku harus menyembuhkannya. Luka
dalam yang dideritanya cukup parah. Belum lagi
harus mengeluarkan racun yang bersemayam di
tubuhnya. Hm..., mungkin dia tidak sadarkan diri
selama tiga hari,”
"Sembuhkan dia, Eyang. Tampaknya ada
sesuatu yang disembunyikannya. Aku merasakan
ketertutupan pada dirinya," kata Bayu berharap.
"Keluar dulu, Bayu," kata Eyang Puger.
Bayu bangkit berdiri, kemudian berbalik dan
melangkah ke luar. Dihenyakkan tubuhnya di
balai-balai bambu yang berada di samping pintu.
Pendekar Pulau Neraka itu berbaring dengan
kepala bertumpu pada kedua tangannya.
"Hm..., tampaknya Eyang Puger mengenali
Randu Watung. Tidak biasanya dia begitu...,"
gumam Bayu dalamhati.
Pandangan mata Pendekar Pulau Neraka itu
jauh menerawang ke langit-langit beranda yang
hitam dipenuhi sarang laba-laba. Dia teringat
kembali awal pertemuannya dengan Eyang
Puger. Pertemuan yang tidak disengaja. Desahan
napas panjang terdengar berat dari hidung
Pendekar Pulau Neraka itu. Kemudian dia
bangkit berdiri, dan melangkah ke samping
pondok ini.
Langkah Bayu langsung terhenti ketika di
ujung kakinya terdapat gundukan tanah
berumput dikelilingi batu-batu. Dia berlutut di sisi
gundukan tanah itu. Tangannya bertumpu pada
batu nisan di sebelah kanannya.
"Hhh..., seharusnya kau tidak perlu berbuat
nekad begitu, Wurati". Tapi aku kagum padamu.
Cintamu begitu tulus dan murni, meskipun tahu
suamimu seorang perampok besar. Hhh..., sayang
kau terlalu cepat mengambil keputusan
mengakhiri hidupmu," pelan suara Bayu.
"Ehm, ehm...!"
Bayu kaget dan langsung menoleh ketika
mendengar suara mendehem di belakangnya.
Tampak Eyang Puger sudah berdiri di
belakangnya. Pendekar Pulau Neraka itu bangkit
berdiri, dan berbalik menghadap laki-laki tua
kurus kering itu. Sebatang tongkat yang tidak
beraturan bentuknya tergenggam di tangan yang
kurusbagai tulang terbalut kulit.
"Kau sudah menemukan si jahanam itu,
Bayu?" tanya Eyang Puger, agak tertekan nada
suaranya.
"Sudah," sahut Bayu. 'Tapi hanya sekali,
karena dia berhasil lari dan mengorbankan
banyakanakbuahnya."
"Hhh...! Seandainya aku lebih memperdalam
ilmu olah kanuragan, tentu tidak akan begini
jadinya. Wurati cucuku satu-satunya. Aku terlalu
mencintainya sehingga tidak bisa melarangnya
mencintai si jahanam itu," keluh Eyang Puger
bernada menyesali diri.
"Eyang tidak salah, Wurati juga tidak. Tapi si
jahanam itu memang harus membayar semua
yang diperbuatnya. Aku janji, Eyang. Jika dia
kutemukan, akan kubalaskan sakit hatimu. Aku
berhutang nyawa padamu, Eyang," janji Bayu
teringat pertolongan Eyang Puger yang
menyembuhkan dirinya dari keracunan akibat
bertarung melawan seorang yang tangguh dan
memiliki ilmu racun yang sangat dahsyat.
"Aku percaya padamu, Bayu. Selama si Balaga
masih hidup, jiwaku selalu bersamamu. Kau
harus membunuhnya, Bayu. Kalau tidak, akan
lebih banyak lagi gadis-gadis terpedaya dan tewas
di tangannya. Biarlah cucuku menjadi tumbal,"
kata Eyang Puger pelan.
"Aku janji, Eyang," ucap Bayu tegas. Eyang
Puger menepuk-nepuk pundak Pendekar Pulau
Neraka itu. Kemudian berbalik dan berjalan ke
depan pondok diikuti Bayu. Mereka kemudian
duduk bersisian di balai-balai bambu reyot yang
hanya beralaskan tikar daun pandan lusuh dan
robek-robek. Sesaat lamanya tidak ada yang
berbicara. Seakan-akan sedang mengenang masa-
masa lalu. Masa-masa yang teramat pahit bagi
laki-laki tua itu.
"Bagaimana keadaan Randu Watung, Eyang?"
tanya Bayu teringat pada pemuda yang
ditolongnya.
'Tunggu sampai dia sadar dulu. Tapi aku
sudah memberinya penahan rasa," sahut Eyang
Puger.
"Kapan dia akan sembuh?"
'Tergantung dari daya tahan tubuhnya. Tapi
kulihat otot-ototnya terlatih baik. Mungkin tidak
lama."
Bayu kembali diam. Dan Eyang Puger pun
terdiam. Mereka kembali sibuk dengan
pikirannya masing-masing. Tak ada lagi yang
berbicara. Mereka hanya menatap alam yang
tidak begitu sedap dipandang mata.
***
Sudah dua hari Bayu tinggal di pondok kecil
Eyang Puger. Dan selama itu Randu Watung
belum juga sadarkan diri Randu Watung masih
tetap dirawat oleh Eyang Puger, seorang tua yang
ahli dalam ilmu pengobatan.
Siang itu Bayu menemani Eyang Puger
menunggui Randu Watung, tapi pemuda itu tetap
seperti tidur nyenyak. Tidak bergeming sedikit
pun.
"Hm...,"gumam Eyang Puger pelan.
"Ada apa, Eyang?" tanya Bayu.
'Tampaknya aku kedatangan tamu," sahut
Eyang Puger.
Bayu bangkit berdiri, dan pada saat itu
sebatang anak panah melesat masuk menerobos
pintu yang terbuka. Secepat kilat Pendekar Pulau
Neraka itu menggerakkan tangannya, dan
menangkap anak panah yang tertuju ke arah
Eyang Puger.
"Hup...!"
Bayu langsung melompat ke luar bagaikan
kilat, seraya melemparkan anak panah di
tangannya ke arah datangnya tadi. Begitu besar
dan sempurnanya tenaga dalam yang dimiliki
Pendekar Pulau Neraka, sehingga anak panah itu
melesat cepat melebihi dari yang tadi. Anak
panah itu langsung menerobos semakbelukar.
"Aaa...!"
Belum hilang suara jeritan panjang
melengking, muncul sesosok tubuh dari semak itu.
Tampak sebatang anak panah tertanam dalam di
lehernya! Pada saat tubuh itu ambruk ke tanah,
Bayu sudah mendarat lunak di halaman depan
pondok Eyang Puger. Bersamaan dengan itu, dari
balik pepohonan bermunculan sekitar dua puluh
orang mengenakan ikat kepala merah dengan
bulatan hitam tepat di keningnya. Mereka semua
bersenjata golok. Tapi ada seorang yang
memegang tombak bercabang dua pada ujung
atasnya. Seorang laki-laki setengah baya
mengenakan baju merah menyala yang di
dadanya terdapat tiga lingkaran hitam. Seperti
yang lainnya, dia juga mengenakan ikat kepala
yang sama.
"Anak muda, serahkan Randu Watung
padaku!" berat suara laki-laki setengah baya yang
memegang tombak bercabang dua pada ujungnya
itu.
"Hm..., aku tidak mengenalmu. Dan ada
urusan apa kau meminta Randu Watung?" tanya
Bayu dingin.
"Anak muda, aku peringatkan! Sebaiknya
jangan berurusan dengan Partai Mata Iblis!"
"O..., jadi kau si Mata Iblis itu?" tebak Bayu.
"Bukan! Aku Nyakra, wakil ketiga dari si Mata
Iblis! Sudahlah, Anak Muda. Jangan terlalu
banyak tanya. Di mana kau sembunyikan Randu
Watung?" agak kesal nada suara laki-laki
setengah baya itu yang mengaku bernama
Nyakra.
"Dia tidak ada bersamaku!" sahut Bayu tegas.
"Hm...," Nyakra menggumam tidak percaya.
Matanya tajam melihat langsung ke dalam
pondokyang pintunya terbuka lebar.
Bayu juga sempat melirik ke arah pondok itu.
Tampak gelap di dalam sana. Tidak terlihat
sesuatu pun. Pondok itu memang selalu gelap di
dalamnya, Tidak ada jendela, hanya ada satu
pintu di depan. Tapi biasanya keadaannya tidak
segelap itu, karena ini siang hari, dan pintunya
terbuka lebar. Lagi pula di dalam pondok itu
terdapat api abadi yang selalu menyala terang
kalau tidak ditutupi batu di atas tungkunya.
"Geledah rumah itu!" perintah Nyakra.
"Hey..., tunggu!" sentak Bayu terkejut.
Tapi dua orang sudah melompat cepat ke
pondok itu. Dan Bayu yang berada cukup jauh,
tidak mungkin bisa mengejar lagi. Pendekar
Pulau Neraka itu mendepak dua buah kerikil
yang berada di ujung kakinya, dan langsung
melesat cepat bagai kilat. Kerikil itu pun segera
menghantam kepala kedua orang yang hampir
sampai ke pintu pondok!
"Akh!"
"Aaa...!"
Jeritan melengking dan tertahan terdengar
hampir bersamaan. Dua orang itu pun langsung
ambruk dengan kepala pecah tertimpa batu
kerikil yang disepak dengan kekuatan tenaga
dalam sangat sempurna sekali. Dua orang itu
langsung tewas seketika! Bayu bergegas
melompat ke pintu, dan berdiri tegak seraya
melipat tangan di depan dada. Pandangan
matanya begitu tajam menusuk, merayapi orang-
orang di depannya.
"Tidak semudah itu kalian bisa masuk ke
pondok ini!" dengus Bayu tandas.
"Anak muda, apa kau sadar dengan
tindakanmu itu? Kau akan berhadapan dengan
Partai Mata Iblis!" agak keras suara Nyakra.
"Siapa pun kalian, enyahlah dari sini!" bentak
Bayu.
"Hm..., rupanya kau tidak bisa diajak lunak.
Anak Muda. Baiklah, rasakan akibatnya!"
Nyakra menjentikkan jari tangannya. Dan
enam orang bersenjata golok, langsung
melangkah ke depan. Pendekar Pulau Neraka
menggeser kakinya sedikit ke samping. Diliriknya
bagian dalam pondok itu. Tidak ada seorang pun
di sana. Meskipun benaknya masih bertanya-
tanya, tapi harus dihadapinya enam orang lawan
yang berlompatan menyerang.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Dengan satu gerakan kilat, Bayu melompat
dan mengirimkan pukulan serta tendangan
beruntun ke arah enam orang itu. Gerakannya
sungguh luar biasa cepat, dan setiap pukulan
maupun tendangannya mengandung tenaga
dalam sangat sempurna! Tak pelak lagi, sebelum
enam orang itu berhasil menyarangkan
serangannya, mereka harus menerima hajaran
Pendekar Pulau Neraka.
Jerit dan pekik kesakitan terdengar saling
susul. Enam orang bersenjata golok terpental ke
belakang, dan jatuh bergulingan di tanah. Entah
bagaimana caranya, tahu-tahu golok mereka
sudah berpindah tangan! Sedangkan Bayu hanya
berdiri tegak menatap enam orang yang
menggeletak tidak bergerak gerak lagi. Tenaga
dalam yang dimiliki Pendekar Pulau Neraka
memang sangat dahsyat, sehingga hanya sekali
pukul saja, orang yang memiliki kepandaian
rendah akan tewas seketika.
"Hih!"
Bayu melemparkan golok rampasannya. Golok
itu melayang cepat, dan menancap dalam di ujung
kaki Nyakra. Golok berjumlah enam buah itu
berjajar rapi mengelilingi wakil ketiga dari si
Mata Iblis.
"Pergilah, sebelum aku bertindak lebih kejam
lagi!" kata Bayu tegas.
Nyakra diam saja seraya menatap tajam.
Gerahamnya bergemeletuk menahan amarah
yang luar biasa. Tapi sudah dua kali dia mencoba,
dan delapan orang anak buahnya tewas hanya
dengan satu kali gebrakan saja!
"Heh...!"
Nyakra mengegoskan kepalanya disertai suara
mendengus bagai sapi melenguh minta makan.
Sisa anak buahnya segera melangkah mundur.
Beberapa orang menggotong mayat teman
mereka. Tanpa berkata apa-apa lagi, orang-orang
dari Partai Mata Iblis segera meninggalkan
tempat itu. Tapi Nyakra masih sempat
menyemburkan ludah ke arah Pendekar Pulau
Neraka.
Bayu hanya menarik napas panjang.
Ditolehkan kepalanya ke arah kiri. Tampak
Eyang Puger sudah berdiri di ambang pintu. Dan
Bayu jadi terkejut, karena dilihatnya Randu
Watung terbujur pingsan di dalam pondok itu
Eyang Puger kemudian melangkah mendekati.
"Kau harus hati-hati, Bayu. Kelihatannya
mereka tidak main-main," ujar Eyang Puger
seraya menepuk pundak Pendekar Pulau Neraka
itu.
"Ya," sahut Bayu mendesah.
Bayu melirik ke dalam pondok, dan Eyang
Puger tersenyum. Dia bisa menebak apa yang
dipikirkan pendekar muda itu. Ditepuknya
pundak pemuda berbaju kulit harimau itu sekali
lagi, dan diajaknya duduk di beranda.
"Aku tadi terpaksa menggunakan aji
'Halimun', kata Eyang Puger memberitahu tanpa
diminta.
"O...?!" Bayu terkejut tidak mengerti.
"Aku menutupi pondok dengan kabut hitam
agar tidak terlihat dari luar. Hanya itu yang bisa
kulakukan untuk menyelamatkan diri. Aku
khawatir melihat jumlah mereka yang banyak."
"Eyang bertindak tepat," puji Bayu tulus.
"Hanya untuk menjaga diri, Bayu. Ilmu itu
tidak bisa digunakan untuk bertarung. Hanya
untuk menyembunyikan diri saja. Ilmu pengecut!"
Eyang Puger merendahkan diri.
"Tidak, Eyang. Pada dasarnya semua ilmu itu
baik. Hanya manusianya saja yang membedakan
baik buruknya ilmu itu."
"Kau bijaksana sekali, Bayu."
"Hanya sekadar mengingatkan, mungkin
Eyang lupa."
"Ha ha ha.... Aku semakin yakin kalau kau
orang yang berbudi luhur dan berhati emas.
Meskipun...," Eyang Puger menghentikan kata-
katanya.
'Teruskan, Eyang," pinta Bayu.
"Kadang-kadang tindakanmu terlalu...," lagi-
lagi yang Puger memutus kalimatnya.
"Kejam...," sambung Bayu langsung menebak.
"Aku tidak mengatakan begitu, Bayu. Aku
yakin, kau masih bisa merubahnya."
'Terima kasih, Eyang," ucap Bayu tanpa ada
perasaan tersinggung.
Bayu memang menyadari kalau setiap
tindakannya selalu dikatakan kejam. Bahkan
tokoh-tokoh rimba persilatan pun tidak bisa
memasukkannya ke dalam golongan hitam atau
putih. Sampai saat ini Pendekar Pulau Neraka
tidak mempedulikan lawan yang bakal
dihadapinya. Tidak peduli dari golongan mana.
Terlebih lagi kalau orang itu tersangkut dengan
pembunuhan keluarganya. Hingga saat ini tidak
diketahui nasib ibunya, apakah sudah meninggal
atau masih hidup. Hanya pusara ayahnya dan
murid-murid ayahnya saja yang ditemukannya.
Bayu sadar, kalau sifatnya tidak akan bisa
berubah sebelum menemukan ibunya. Dua puluh
tahun lebih tidak pernah berjumpa. Bahkan
wajah ibunya pun tidak pernah diketahuinya,
karena terpisah sejak masih lahir. Belum tahu
apa-apa, dan ayahnya saja baru memberinya
sepotong nama ketika kerusuhan itu terjadi (
Baca Serial Pendekar Pulau Neraka, dalam kisah
"Geger Rimba Persilatan").
"Kau melamun, Bayu?" tegur Eyang Puger.
"Oh!" Bayu tersentak dari lamunannya.
"Ada yang kau pikirkan?" tanya Eyang Puger
lembut
'Tidak," sahut Bayu cepat. "Oh, ya. Sebaiknya
kita lihat keadaan Randu Watung," Bayu
mengalihka perhatian.
Eyang Puger mengangguk dan tersenyum.
Kemudian bangkit berdiri dan melangkah masuk
ke dalam pondoknya. Sesaat Bayu masih duduk,
kemudian ikut masuk ke dalam pondok kecil yang
hampir rubuh itu. Kalau saja tidak ditunjang oleh
batu dan pohon beringin, mungkin sudah lama
pondok kecil ini hancur terhempasangin.
***
Tepat seperti yang diramalkan Eyang Puger.
Setelah tiga hari, Randu Watung baru bisa
sadarkan dan itu pun keadaannya masih sangat
lemah sekali, dia belum bisa diajak bicara. Eyang
Puger merawatnya dengan sabar. Setiap saat laki-
laki tua kurus itu mengeluarkan racun di dalam
tubuh Randu Watung dan sedikit demi sedikit
kesehatan pemuda itu pun pulih kembali.
Memang tidak hanya satu hari untuk dapat
bangkit dari pembaringan.
Setelah satu pekan pulih dari kesadarannya,
Randu Watung baru bisa berlatih ringan.
Tenaganya belum pulih benar, dan Eyang Puger
juga masih berusaha memulihkannya seperti
sediakala. Terlalu berat luka dalam yang diderita
pemuda itu. Sehingga harus menjalani beberapa
tahap penyembuhan. Dan tampaknya Randu
Watung menyadari hal itu, dia selalu sabar dan
mematuhi setiap kata yang diucapkan Eyang
Puger.
"Kau berlatih cukup keras hari ini, Randu,"
kata Eyang Puger pada hari ke sepuluh Randu
Warung melatih jurus-jurusnya kembali.
"Aku hanya berlatih ringan saja, Eyang," sahut
Randu Watung.
"Nampaknya keadaanmu sudah pulih benar.
Kau sudah bisa mengerahkan kekuatan tenaga
dalammu kembali. Mudah-mudahan tidak
berkurang,"ujar Eyang Puger.
"Sudah kucoba, Eyang Tidak ada perubahan
sama sekali."
"O..., syukurlah," desah Eyang Puger
tersenyum senang.
Percakapan mereka terhenti ketika Bayu
datang membawa seikat kayu bakar. Pendekar
Pulau Neraka itu meletakkan kayu bakar di
samping pondok, kemudian dihampirinya Eyang
Puger dan Randu Watung yang duduk di bawah
pohon beringin di depan pondok agak
menyamping. Bayu duduk di samping laki-laki
tua kurus berjubah putih kekuningan itu.
"Kelihatannya serius sekali," kata Bayu seraya
memandangi mereka.
"Tidak," sahut Eyang Puger.
"Hm ... bagaimana keadaanmu, Randu?"
tanyai Bayu
"Baik," sahut Randu Watung. 'Tenagaku sudah
pulih kembali, dan ini berkat perawatan Eyang
Puger."
"Syukurlah kalau begitu. Dan berarti aku
tidak bisa terus tinggal di sini. Harus kulanjutkan
perjalanan kembali," ucap Bayu langsung tanpa
basa-basi lagi.
"Bayu..," agak tertahan suara Randu Watung
Dia merasa tidakenak.
"Ada yang harus kukerjakan, Randu. Dan aku
sudah berjanji pada Eyang Puger," potong Bayu
cepat.
"Bayu, sebaiknya kau tunda dulu urusan itu.
Nampaknya Randu lebih penting dan harus
didahulukan. Sudah tiga kali mereka datang ke
sini. Kau tidak akan membiarkannya sendirian,
kan?" lembut dan berwibawa nada suara Eyang
Puger.
'Terus terang, Eyang. Aku tidak bisa terus-
menerus menghadapi mereka tanpa tahu
permasalahannya," kata Bayu seraya melirik
Randu Watung.
"Maaf, kalau aku lupa menjelaskannya
padamu, Bayu,"ucap Randu Watung menyesal.
"Baru sedikit. Yang aku tidak ketahui, siapa
sebenarnya si Mata Iblis itu? Dan mengapa ia
selalu mengejar, bahkan ingin membunuhmu?"
tanya Bayu langsung.
"Sebenarnya aku tidak ingin melibatkan orang
lain dalam urusan pribadiku ini. Aku telah begitu
banyak merepotkan kalian berdua. Seharusnya
urusan ini kuselesaikan sendiri," kata Randu
Watung, semakin tidak enakharinya.
"Kau jangan berkata begitu, Randu. Sejak kau
kutemukan tergeletak pingsan, mau tidak mau
aku sudah terlibat Apalagi sudah lebih dari
sepuluh orang tewas di tanganku. Mereka tentu
tidak akan melupakanku begitu saja," potong
Bayu cepat.
"Aku menyesal telah melibatkanmu, Bayu,"
desah Randu Watung pelan.
"Ah, sudahlah. Ceritakan saja, apa masalahmu
sehingga orang-orang Partai Mata Iblis mau
membunuhmu?"desak Bayu tidak sabar.
Randu Watung menarik napas panjang. Tapi
belum juga pemuda berbaju biru tua itu membuka
mulutnya, mendadak....
"Awas...!" seru Bayu tiba-tiba.
***
EMPAT
Pendekar Pulau Neraka langsung
melentingkan tubuhnya ketika seleret cahaya
keperakan meluncur deras dari arah depan.
Tubuhnya berputaran dua kali di udara, dan
mendadak cahaya keperakan itu pun lenyap di
dalam gulungan putaran tubuhnya. Begitu
kakinya mendarat di tanah, terlihat sebilah pisau
kecil' dan tipis berwarna keperakan terjepit di
antara kedua jari tangan kanannya.
Belum lagi Bayu bisa menarik napas, datang
lagi dua cahaya keperakan ke arah dirinya.
Secepat kilat Pendekar Pulau Neraka itu
menggerakkan tangannya, dan mulutnya
menangkap salah satu pisau kecil itu. Satunya
lagi berhasil dijepitoleh jari tangan kiri.
"Hiyaaa.!"
Sambil berteriak keras, Bayu melemparkan
dua pisau di tangannya sekaligus ke arah
datangnya tadi. Dan sambil memutar tubuh,
diambilnya pisau kecil yang berada di mulutnya,
lalu dilontarkan ke atas sebuah pohon yang cukup
tinggi dan rimbun.
"Akh!"
"Aaa...!"
Bersamaan dengan munculnya seseorang dari
balik semak dengan dua pisau tertancap di leher,
dari atas pohon meluncur jatuh seorang lagi
dengan pisau menancap tembus di lehernya.
Belum lagi hilang suara jeritan itu, tiba-tiba
berlompatan beberapa orang yang langsung
mengepung Bayu, Randu Watung dan Eyang
Puger.
Ada sekitar tiga puluh orang mengenakan ikat
kepala merah dengan bulatan hitam di bagian
kening. Mereka semua sudah menghunus golok
masing-masing. Dan belum lagi ada yang
membuka suara, dari atas pohon meluncur turun
sebuah bayangan hitam. Tahu-tahu di depan
Pendekar Pulau Neraka sudah berdiri seorang
berbaju hitam yang kepalanya hampir tertutup
caping bambu yang lebar. Dari bentuk tubuh,
kulit tangan serta kaki yang putih, dapat
diketahui kalau orang itu adalah wanita.
"Caping Maut...," desis Eyang Puger pelahan,
hampir tidak terdengar suaranya.
Tapi Bayu mendengar desisan itu dan
diliriknya laki-laki tua berjubah kumal dan
bertubuh kurus kering itu. Bayu menggeser
kakinya mendekati Eyang Puger. Sedangkan
Randu Watung nampak agak pucat menatap
tidak berkedip pada orang berbaju hitam
bercaping lebar yang menutupi hampir seluruh
wajahnya itu. Perubahan wajah Randu Watung
itu dapat dilihat Bayu, meskipun perubahan itu
hanya sesaat, dan hampir tidak terlihat sama
sekali.
. "Randu Watung! Sebaiknya kau tidak
melakukan perlawanan sama sekali. Kau tinggal
sendiri, tidak mungkin bisa meneruskan rencana
gila ayahmu," lantang kata-kata orang bercaping
bambu itu. Meskipun nada suaranya dibuat-buat,
tapi masih dapat diketahui kalau dia seorang
wanita. "Dan kalian berdua, sebaiknya tidak ikut
campur dalamurusan ini
"Randu, siapa dia?" tanya Bayu setengah
berbisik.
"Aku tidak tahu. Dialah yang membunuh
pamanku dan melukaiku," sahut Randu Watung
jujur,
"Dia berjuluk si Caping Maut. Tapi...," celetuk
Eyang Puger terdengar bergumam seperti untuk
dirinya sendiri.
"Hm..., rupanya kau tahu banyak tentang
diriku, Orang Tua. Tapi sayang, kau salah
menilai!" celetuk si Caping Maut dingin.
"Siapa kau sebenarnya? Kenapa berlindung di
balik nama Caping Maut?" tanya Eyang Puger
keras.
"Ha ha ha...! Akulah si Caping Maut!" si
Caping Maut tertawa terbahak-bahak.
"Aku kenal si Caping Maut. Dia tidak punya
ilmu pukulan beracun. Dan ilmu yang kau
gunakan pada Randu Watung adalah jurus 'Dewa
Maut Menyebar Racun'," lantang suara Eyang
Puger.
"Orang tua! Sebaiknya jangan banyak bicara.
Urusanku dengan bocah itu, bukan denganmu!"
bentak si Caping Maut geram.
"Hhh! Sebaiknya kau buka saja tudungmu,
Nisanak. Kalau bukan si Ratu Iblis, pasti kau
adalah muridnya. Atau kau seorang pencuri ilmu?
kata-kata Eyang Puger.
"Keparat! Kau terlalu banyak omong, tua
bangka!" geram si Caping Maut.
Kalau saja wajahnya tidak tertutup caping
yang lebar itu, pasti wajahnya sudah memerah
bagai udang rebus. Dan orang berbaju serba
hitam itu menjentikkan jarinya. Seketika itu juga
sepuluh orang bersenjata golok berlompatan
menyerang. Tujuan mereka sudah jelas,
membunuh Eyang Puger yang membuat murka si
Caping Maut.
Saat itu juga Bayu tidak bisa tinggal diam. Dia
tidak ingin Eyang Puger celaka. Karena Pendekar
Pulau Neraka itu tahu kalau Eyang Puger hanya
bisa sedikit ilmu olah kanuragan, meskipun ilmu
meringankan tubuhnya sudah mencapai tahap
kesempurnaan. Pendekar Pulau Neraka itu cepat
melompat menghadang terjangan sepuluh orang
itu. Bahkan Randu Watung yang merasa
berhutang nyawa pada Eyang Puger, tidak mau
tinggal diam. Langsung diloloskan pedangnya,
dan bergerak cepat menghadang serangan
sepuluh orang itu. Sedangkan Eyang Puger hanya
berdiri saja di antara dua pemuda yang berusaha
menghalau penyerang-penyerang itu.
***
Si Caping Maut memberi isyarat lagi ketika
dilihatnya dalam sebentar saja sudah enam orang
tewas bersimbah darah. Dan semua orang yang
dibawanya, langsung bergerak maju mengeroyok
Randu Watung dan Pendekar Pulau Neraka.
Menghadapi keroyokan yang demikian
banyaknya, Bayu sukar melepaskan senjata
andalannya, Cakra Maut. Dia terpaksa
mcnggunakan senjata itu digenggam. Namun
begitu, keampuhannya tidak berkurang Golok
yang beradu dengan Cakra Maut, langsung
terpotong jadi dua bagian!
Denting senjata beradu dan pekik pertempura
berbaur menjadi satu. Tubuh-tubuh
bergelimpangan semakin bertambah. Bau anyir
darah pun mulai tercium menyengat hidung. Tapi
orang-orang Mata Iblis seakan tidak mengenal
rasa takut. Meskipun sudah banyak yang tewas,
tetap saja mereka merangsek.
"Hup! Hiyaaa...!"
Tiba-tiba saja si Caping Maut melompat cepat
bagaikan kilat menyambar Eyang Puger, dan
langsung dibawanya pergi. Bayu yang melihat itu,
berusaha mengejar, namun orang-orang Mata
Iblis menghalanginya. Pendekar Pulau Neraka itu
jadi geram setengah mati. Dia mengamuk bagai
banteng terluka! Jerit peki kematian pun
menggema saling susul dibarengi terjungkalnya
tubuh-tubuh yang tak bernyawa lagi!
Sementara itu bayangan si Caping Maut sudah
tidak terlihat lagi. Dan orang-orang dari Partai
Mata Iblis, langsung berlompatan mundur
melarikan diri. Jumlah mereka sudah berkurang
lebih dari setengahnya. Bayu berusaha mengejar,
tapi beberapa pisau kecil beterbangan ke arahnya.
Pendekar Pulau Neraka itu terpaksa
berjumpalitan menghindari terjangan pisau-pisau
kecil dan tipis berwarna keperakan itu. Dan
begitu tidak ada lagi serangan yang datang,
semua orang yang mengeroyoknya tadi sudah
tidak terlihat lagi. Lenyap bagai ditelan bumi
"Huh!" dengus Bayu kesal. Dibalikkan
badannya menghadap Randu Watung yang baru
saja memasukkan pedang ke dalam sarungnya di
pinggang.
Randu Watung menatap penuh penyesalan
atas kejadian ini, karena harus melibatkan orang-
orang yang telah berjasa menyelamatkan
nyawanya dari maut. Bukan keinginannya untuk
melibatkan Pendekar Pulau Neraka dan Eyang
Puger. Tapi keadaanlah yang memaksa. Semua
sudah terjadi, tidak ada gunanya penyesalan di
hati. Sekarang ini keselamatan Eyang Puger
menjadi perhatian utama.
"Apa yang harus kita lakukan sekarang,
Bayu?" tanya Randu Warung seperti orang
kehilangan akal.
"Seharusnya aku yang bertanya begitu
padamu!" sentak Bayu kesal.
"Maaf, aku...," Randu Watung menjadi
bergetar.
"Ah, sudahlah...!" potong Bayu cepat. Paling
tidak disukainya mendengar kata-kata
penyesalan. Baginya segala sesuatu yang telah
terjadi tidak perlu disesalkan, tapiharus dihadapi.
Baginya kata-kata penyesalan bukan satu hal
untuk menyelesaikan persoalan.
Randu Warung langsung terdiam. Dari sorot
matanya jelas terlihat kalau dia begitu menyesali
semua yang telah terjadi. Tapi melihat sikap
Pendekar Pulau Neraka yang tampaknya berang,
dia tidak bisa berkata-kata lagi. Hanya diam yang
bisa dilakukannya saat ini.
"Kau tahu, di mana sarang mereka?" tanya
Bayu tajam
"Aku tidak tahu," sahut Randu Watung.
"Tidak tahu...?!" Bayu jadi mendelik. "Mereka
selalu berusaha mencarimu. Dan kau mengakui
kalau ada urusan dengan mereka, tapi sekarang
kau bilang tidak tahu di mana mereka berada. Ini
bukan saatnya main-main, Randu Watung!
Kesabaranku bisa hilang, tahu!" keras nada suara
Bayu.
"Sungguh, Bayu. Aku tidak tahu tempat
tinggal mereka," kata Randu Watung berusaha
meyakinkan.
"Randu apa sebenarnya masalahmu dengan
mereka?" tanya Bayu setelah menarik napas
panjang.
Randu Warung tidak langsung menjawab,
meskipun nada suara Pendekar Pulau Neraka itu
sudah terdengar sedikit lunak. Pemuda berbaju
biru tua itu menghembuskan napas panjang,
seakan-akan berat untuk menjawab pertanyaan
itu. Melihat hal itu, Bayu tampak kesal. Digeleng-
gelengkan kepalanya dengan tatapan mata sukar
untuk diartikan.
"Baik...! Kau tunggu di sini sampai aku
kembali bersama Eyang Puger. Tapi kalau terjadi
apa-apa padanya, kau yang pertama harus
bertanggung jawab," kata Bayu tegas.
Setelah berkata demikian, Bayu langsung
berbalik dan melangkah lebar-lebar. Sejenak
Randu Watung hanya diam mematung dengan
mulut terbuka lebar Kemudian dia berlari
mengejar Pendekar Pulau Neral itu.
"Bayu, tunggu...!"
Tapi Bayu tetap berjalan cepat. Tapi dia tidak
mempergunakan ilmu meringankan tubuh.
Sehingga Randu Watung dengan mudah bisa
mengejar, dan mensejajarkan langkahnya di
samping pemuda berbaju kulit harimau itu.
"Bayu, aku minta maaf. Bukan maksudku
untuk mempermainkan dirimu. Sungguh, aku
tidak menghendaki semua ini terjadi...," kata
Randu Watung dengan nada suara bersungguh-
sungguh.
Namun Bayu tetap diam. Dan langkahnya juga
tidak berhenti setindak pun. Bahkan semakin
cepat saja diayunkan kakinya.
"Dengar dulu, Bayu. Dengar penjelasanku...,"
desak Randu Warung.
"Tidak perlu, dan kau sebaiknya tunggu di
pondok sampai aku kembali! Jangan paksa aku
berubah pikiran, Randu!" tegas kata-kata Bayu.
"Tapi kau tidak akan bisa ke sana sendirian,
Bayu!"
Seketika itu juga langkah kaki Pendekar Pulau
Neraka terhenti. Tatapan matanya tajam
menusuk langsung ke bola mata Randu Warung.
Sedangkan yang ditatap jadi gelisah. Baru
disadari kalau sudah keterlepasan bicara tadi.
"Yah..., memang seharusnya aku berterus
terang padamu. Bayu. Bagaimanapun juga kau
sudah terlibat. Dan sekarang keselamatan Eyang
Puger terancam di tangan mereka. Aku memang
bersalah tidak mau berterus terang sejak semula.
Tapi bukan maksudku untuk mempermainkan
atau bermaksud buruk. Aku hanya tidak ingin
ada orang lain yang terlibat dalam masalah ini
Sungguh, Bayu. Aku berkata jujur dari hati
nuraniku sendiri. Aku hanya tidak ingin ada yang;
celaka Sudah terlalu banyak korban yang jatuh,"
terdengar serius kata-kata Randu Watung.
"Kau sudah melibatkan aku, Randu. Mau
tidak mau, suka atau tidak suka, aku sudah
tedibat Dan sekarang nyawa Eyang Puger
terancam. Bagaimanapun juga aku turut bersalah
karena keterlibatan Eyang Puger karenaku juga,"
kata Bayu, mulai lunak suaranya.
"Bayu, memang ada beberapa ceritaku yang
tidak benar. Tapi tidak semuanya bohong...," kata
Randu Watung mulai terbuka.
"Di mana kebohonganmu?" tanya Bayu dingin.
Kekesalannya mulai kambuh mendengar dirinya
dibohongi.
"Aku sebenarnya bukan anak adipati, dan
ayahku juga bukan seorang adipati. Semua itu
tidak benar. Tapi memang ada pemberontakan di
Kadipaten...."
"Siapa kau sebenarnya?" potong Bayu cepat
sebelum Randu Watung selesaiberbicara.
"Aku memang berasal dari sana. Juga seluruh
keluargaku. Ayahku adalah seorang pejabat tinggi
di sana, Tapi Ayah selalu menentang tindakan
Gusti Adipati yang bertangan besi dan selalu
menyengsarakan rakyat. Sebenarnya ayahlah
yang memimpin pemberontakan. Tapi gagal,
karena Gusti Adipati dibantu oleh orang dari
Partai Mata Iblis. Mereka membunuh semua
keluargaku, membakar hangus seluruh desa
kelahiran keluargaku. Mereka belum puas kalau
seluruh keturunan ayahku dan semua keluargaku
belum lenyap," cerita Randu Watung.
"Hm.... Benar itu, Randu?" tanya Bayu
setengah tidak percaya.
"Kali ini aku mengatakan yang sebenarnya,
Bayu," sahut Randu Warung sungguh-sungguh.
'Teruskan," pinta Bayu.
***
Randu Warung menceritakan keadaan di
Kadipaten Sangkal Putung sambil berjalan
pelahan-lahan. Saat itu senja mulai merayap
turun, tapi mereka tetap saja berjalan tanpa
mempedulikan sang waktu. Sementara Bayu yang
berjalan di sampingnya, hanya sesekali saja
membuka suara. Itu pun dia bertanya kalau ada
yang kurang jelas.
"Hm.... Rasanya sukar dipercaya kalau kau
tidak tahu-menahu sama sekali tentang si Mata
Iblis. Kau bisa mengenali orang-orangnya, tapi
tidak tahu pemimpinnya," kata Bayu setengah
bergumam.
"Mereka tiba-tiba saja muncul, dan
menghancurkan semua rencana yang sudah
disusun matang ayahku. Tidak ada yang tahu
tentang mereka, kecuali adipati sendiri," sahut
Randu Warung.
"Kau juga tidak tahu tentang si Caping Maut?"
tanya Bayu bernada enggan. Karena sudah bisa
ditebak jawaban Randu Watung.
"Tidak," sahut Randu Warung singkat
Bayu tersenyum tipis. Jawaban itulah yang
sudah diduganya sejak semula.
"Kau pasti tidak percaya, Bayu," Randu
Warung merasakan ada kekecewaan di balik
senyuman tipispendekar muda itu.
"Percaya. Hanya saja terasa aneh bagiku.
Bagaimana mungkin kau akan membalaskan
kematian pamanmu, kalau kau tidak tahu siapa
yang melakukan semua itu. Sedangkan baru
menghadapi si Caping Maut saja sudah tidak
mampu. Bukannya aku meremehkanmu, Randu.
Tapi..., ah, sudahlah!" Bayu menggeleng-
gelengkan kepalanya.
"Aku rasa semua jawabannya akan didapat di
Kadipaten Sangkal Putung, Bayu," kata Randu
Watung pelan. Nada suaranya terdengar ragu-
ragu.
"Kau yakin?"
"Entahlah," sahut Randu Watung ragu-ragu.
'Tapi semua persoalannya berawal dari sana."
"Dan kau pasti tidak berani masuk ke sana."
"Bayu, demi Eyang Puger, aku rela mati. Aku
berhutang nyawa padanya. Juga padamu. Aku
tidak bisa lagi berbuat lain. Aku perlu
pertolonganmu, Bayu," kata Randu Watung
memohon.
Bayu hanya diam saja.
"Aku memang anak seorang pemberontak,
Bayu. Tapi semua yang dilakukan oleh
keluargaku demi kemanusiaan. Memerangi
keangkaramurkaan yang merajalela di Kadipaten
Sangkal Putung. Tidak ada maksud lain tersirat
di hatiku, juga di hati ayahku selain
membebaskan rakyat dari penderitaan dan
tekanan yang mencekik leher. Kau bisa melihat
penderitaan mereka nanti di sana, Bayu. Kau bisa
saksikan, betapa menderitanya mereka. Bumi
yang subur dan banyak menjanjikan
kemakmuran terasa bagai neraka bagi mereka,"
kata Randu Watung serius.
"Aku sering melihat orang-orang yang
menderita, tertekan, bergelimang dalam
kemiskinan. Bukan hanya di tanah kelahiranmu,
tapi juga di seluruh pelosok mayapada ini. Semua
itu tidak akan bisa terhapus sampai dunia ini
hancur sekalipun! Penderitaan bukan untuk
disesali dan dikasihani. Tapi harus dilawan
sebatas kemampuan. Kau, atau siapa pun juga
tidak akan bisa merubah nasib mereka, Randu!
Semua itu bisa hilang dari diri sendiri. Seorang
yang kelihatannya tidak memiliki apa-apa, belum
tentu dia miskin, dan sebaliknya. Semua bisa
diukur dari jiwa, bukan dari berlimpahnya harta,
kedudukan ataupun kekuasaan," kata Bayu
panjang lebar menguraikan arti kehidupan.
"Kau bijaksana sekali, Bayu. Tidak heran
kalau Eyang Puger selalu menyanjungmu," ucap
Randu Watung tulus.
Kata-kata Pendekar Pulau Neraka itu
sungguh meresap ke dalam sanubari Randu
Watung. Dan semakin diresapi, semakin nyata
kebenarannya. Kemiskinan dan penderitaan
memang tidak bisa diukur dengan berlimpahnya
harta, pangkat, kedudukan dan kuasaan. Tapi
semua hanya dapat dirasakan oleh masing-
masing. Oleh jiwa seseorang.
"Randu, kita ke Kadipaten Sangkal Putung.
Tapi ingat, bukan untuk merubah nasib
rakyatnya, melainkan meringankan beban
penderitaan mereka. Itu pun kalau memang
benar apa yang kau ceritakan. Tapi kalau
ternyata hanya karanganmu saja, aku tidak bisa
berkata apa-apa lagi. Kau sendiri yang harus
menentukannya," kata Bayu setengah
mengancam.
"Nyawaku taruhannya, Bayu," janji Randu
Watung.
"Terserah kau."
Pendekar Pulau Neraka itu memang sudah
tidak mudah lagi percaya, karena Randu Watung
pernah membohonginya. Sekali saja dirinya
merasa dipermainkan, tidak ada ampun lagi.
Bayu memang tegas, tapi mudah jatuh belas
kasih. Hanya saja dia tidak bisa dikhianati sedikit
pun. Sekali saja orang mendustainya, sukar
baginya untuk bisa mempercayai kembali. Tapi
melihat adanya kesungguhan di hari Randu
Watung, Bayu mau juga ke Kadipaten Sangkal
Putung. Tapi yang menjadi tujuan utamanya
adalah menyelamatkan Eyang Puger dari
cengkeraman orang yang berjuluk si Caping Maut
itu.
***
LIMA
Sementara itu, di suatu tempat tidak jauh dari
Kadipaten Sangkal Putung, tepatnya di Bukit
Kedaung, Eyang Puger duduk bersila di tanah
yang tertutup jerami kering. Dinding-dinding batu
yang melingkarinya sangat tinggi, hitam dan
berlumut tebal. Tidak ada sedikit pun lubang.
Ruangan kecil ini terasa lembab. Hanya sebuah
pelita kecil yang meneranginya dari luar pintu
besi yang kokoh. Pintu itu hanya terdapat lubang
kotak kecilyang tidak bisa dimasuki tangan.
Eyang Puger mengangkat kepalanya ketika
mendengar suara pintu terbuka. Cahaya pelita
langsung menerobos masuk, bersamaan dengan
masuknya dua orang bertubuh kekar dengan
golok terselip di pinggang. Dua orang berwajah
beringas dan kasar itu kemudian mengangkat
tubuh Eyang Puger, dan memaksanya berdiri.
Lalu dengan kasar salah seorang mendorongnya
keluar.
"Cepat, jalan!" bentaknya kasar. Eyang Puger
melangkah tertatih-tatih keluar dari ruangan
sempit berdinding batu itu. Dia terus berjalan
menyusuri lorong batu yang cukup panjang dan
berliku diiringi dua orang di belakangnya. Laki-
laki tua kurus kering itu berhenti tepat di depan
sebuah pintu yang terbuat dari besi baja yang
kokoh dan rapat. Salah seorang mengetuk pintu
itu, yang langsung terbuka lebar. Cahaya
matahari seketika menerobos masuk, membuat
mata Eyang Puger mengerjap-ngerjap karena
silau
Salah seorang mendorong punggungnya, dan
Eyang Puger kembali melangkah ke luar. Sejenak
dipandanginya keadaan di luar. Tampak sebuah
bangunan besar dan megah bagai sebuah istana
kecil, berdiri megah di depan pintu penjara bawah
tanah ini. Beberapa orang bersenjata, tampak
menjaga bangunan itu. Eyang Puger melangkah
menuju ke bangunan besar itu, mengikuti salah
seorang yang membawanya. Sedangkan seorang
lagi berjalan di belakang.
Lantai marmer yang putih, halus dan licin
terasa dingin begitu kaki kurus laki-laki tua itu
menginjaknya. Eyang Puger terus dibawa masuk
ke dalam bangunan besar dan megah itu. Sebuah
tangan kasar mendorongnya dengan keras,
sehingga laki-laki tua itu jatuh tersungkur ke
lantai. Pelahan-lahan Eyang Puger mengangkat
kepalanya, dan matanya langsung membeliak
lebar begitu melihat seorang laki-laki muda
berwajah tegang dengan garis-garis kekerasan,
berdiri tegak berkacak pinggang di depannya. Di
belakangnya terlihat sebuah singgasana yang
indah.
Ada empat orang di sebelah kiri pemuda
berbaju indah dari bahan sutra halus berwarna
hijau muda itu. Di sebelah kanannya juga
terdapat empat orang. lalu dibelakangnya, di
samping singgasana duduk seorang berpakaian
hitam dengan wajah tertutup cadar hitam yang
tipis. Juga ada seorang wanita berwajah cantik
mengenakan baju gemeriapan yang ketat
sehingga membentuk tubuhnya yang indah. Di
punggungnya tersandang sebilah pedang yang
gagangnya dihiasi batu mutiara. Yang membuat
Eyang Puger terbeliak, justru laki-laki muda
berwajah keras itu.
"Balaga...," desis Eyang Puger, agak tertahan
suaranya.
"Selamat datang di istanaku, Ayah," ucap laki-
laki yang dikenali Eyang Puger bernama Balaga
itu.
"Phuih! Tidak pantas kau menyebut ayah
padaku, Balaga!" dengus Eyang Puger ketus.
"Bagaimanapun juga kau adalah mertuaku."
"Siapa sudi punya menantu sepertimu?
Cucuku bunuh dirigara-gara kau, Manusia iblis!"
"Ah, sayang sekali. Seharusnya dia bisa
menunggu. Tapi sudahlah, itu memang
kemauannya."
"Iblis kau, Balaga! Kubunuh kau...!" geram
Eyang Puger memuncak amarahnya.
Tapi belum juga laki-laki tua itu bergerak,
sebilah golok sudah menempel di lehernya. Laki-
laki yang membawanya dari dalam penjara
bawah tanah menatapnya tajam seraya
menempelkan goloknya di leher laki-laki tua itu.
Golok itu menjauh setelah Balaga memberi
isyarat dengan tangannya. Tapi Eyang Puger
tidak bisa berbuat apa apa lagi. Dua orang
bersenjata golok kini telah mengapitnya, dan
menekannya agar tetap duduk di lantai
"Ketahuilah, Eyang Puger. Aku membawamu
ke sini agar kau tidak terlibat dengan si
pemberontak keparat itu. Dia pelarian, dan aku
harus menyerahkan kepalanya pada Gusti
Adipati. Tapi sayang, dia juga bermaksud buruk
padaku. Terpaksa nyawanya harus melayang,"
ringan sekali kata-kata Balaga.
Eyang Puger hanya diam dengan geraham
bergelemetuk menahan geram.
"Aku juga tidak akan segan-segan memenggal
kepalamu jika kau tetap keras kepala!" kali ini
terasa dingin nada suara Balaga.
"Kau pikir aku takut mendengar ancamanmu,
bocah setan!" dengus Eyang Puger sinis.
"Jelas kau tidak takut mati, karena kau
memang sudah bau tanah! Tapi bukan itu yang
kuinginkan..."
"Bicaramu berbelit-belit, tapi hatimu tetap
busuk!"ucap Eyang Pugergeram.
"Ha ha ha...! Kau tidak akan berkata begitu
kalau tahu siapa yang membawamu ke sini,
Eyang Puger," kata Balaga seraya tertawa
terbahak-bahak.
Eyang Puger menatap orang yang berbaju
serba hitam dan memakai cadar hitam pula.
Masih memperdengarkan suara tawanya, Balaga
berbalik dan melangkah menghampiri orang yang
duduk di samping singgasana itu. Ditepuk-
tepuknya bahu orang itu yang ramping. Dan
pelahan-lahan orang itu mengangkat cadar yang
menutupi seluruh wajahnya.
"Kau...!" Eyang Puger terbeliak begitu melihat
wajah orang itu.
"Ha ha ha...!"
***
Sementara itu di tempat lain yang cukup jauh
dari Kadipaten Sangkal Putung, Bayu Hanggara
dan Randu Watung masih terus berjalan menuju
kadipaten itu. Mereka berjalan cepat
mempergunakan ilmu meringankan tubuh.
Menurut Randu Watung, setelah melewati sebuah
sungai yang besar, mereka akan sampai di
wilayah Kadipaten Sangkal Putung.
Sekarang sungai besar yang airnya mengalir
deras itu sudah terlihat Tampak sebuah rakit
bersandar di tepi sungai. Di dalamnya duduk
seorang tukang rakit menunggu penumpang.
Bayu bergegas menuju rakit itu, karena
dilihatnya di seberang sungai sana juga ada
beberapa orang hendak menyeberang.
'Tukang rakit, tunggu...!" teriak Bayu saat
melihat tukang rakit itu hendak menuju ke
seberang.
Tukang rakit itu menoleh, dan menunggu.
Bayu bergegas melompat naik diikuti Randu
Watung. Rakit dari bambu itu bergerak pelahan
menuju ke seberang sungai. Bayu berdiri paling
ujung di depan. Pandangannya lurus tidak
berkedip ke depan. Di belakangnya berdiri Randu
Watung. Wajah pemuda itu kelihatan gelisah.
Seberang sungai sana adalah wilayah Kadipaten
Sangkal Putung. Itu berarti dia harus siap
menyabung nyawa di tanah kelahirannya sendiri.
Tidak berapa lama kemudian, rakit itu pun
merapat ke tepi, Bayu bergegas melompat diikuti
Randu Watung. Pendekar Pulau Neraka itu
melemparkan sekeping uang perak yang langsung
ditangkap tukang rakit dengan tangkas. Kedua
bola matanya membeliak lebar begitu melihat
uang di dalam genggamannya. Hampir tidak
dipercayainya dengan apa yang dilihatnya ini.
Sungguh besar sekali pembayaran yang
diterimanya. Bisa dua bulan penuh tidak akan
habis uang ini meskipun dia tidak lagi mengayuh
rakit menyeberangkan orang di sungai ini.
Sementara orang-orang yang menunggu akan
menyeberang, sudah naik ke rakit itu.
"Yihuiii...!" si tukang rakit berteriak gembira
seraya berjingkrakan bagai anak kecil.
Tidak dipedulikannya lagi orang-orang yang
akan menyeberang. Dengan cepat dia melompat
dari rakitnya dan berlari kencang. Tinggal orang-
orang yang sudah menunggu terbengong-bengong
keheranan. Tukang rakit itu berlari-lari
berjingkrakan sambilberteriak-teriak gembira.
"Kenapa dia?"
"Sudah gila, barangkali."
'Terus, rakit ini...?"
Enam orang diatas rakit saling berpandangan.
"Hei...! Tukang rakit...!" teriak salah seorang
memanggil.
"Buat kalian saja rakitnya...!" teriak si tukang
rakit keras. "Aku tidak jadi tukang rakit lagi! Aku
sudah kaya...!Ha ha ha...!"
"Beleguk!"
"Dasaredan...!"
Orang-orang yang sudah berada di atas rakit
mengumpat kesal melihat tingkah orang yang
selalu berada di sungai menjual jasa itu. Sebentar
mereka saling berpandangan, lalu salah seorang
mengambil kayuh, dan mulai mengayuh rakit itu
ke seberang. Tidak ada lagiyang mempedulikan si
tukang rakit yang dianggap sudah gila itu.
Sementara Pendekar Pulau Neraka dan Randu
Watung sudah demikian jauh meninggalkan
sungai. Mereka terus berjalan cepat melintasi
hutan kecil yang menjadi pembatas kota
kadipaten dengan perbatasan sungai besar itu.
Bayu menghentikan langkahnya sekitar beberapa
tombak lagi jaraknya memasuki pintu gerbang
kota kadipaten. Randu Watung juga ikut berhenti
melangkah. Mereka memandang pintu gerbang
perbatasan yang dijaga dua orang prajurit
kadipaten.
"Kau ragu-ragu, Randu?" Bayu menoleh
menatap Randu Warung.
"Aku merasa ada yang aneh, Bayu. Tidak
biasanya gerbang Utara ini dijaga," kata Randu
Watung setengah bergumam.
Bayu kembali mengalihkan pandangannya.
Saat itu seorang penjaga sudah berjalan
menghampiri., Tombak panjang tergenggam erat
di tangan kanannya. Dia berhenti setelah
jaraknya tinggal beberapa langkah lagi Dan
begitu melihat Randu Watung, langsung
membungkuk memberihormat.
"Raden...," ucap penjaga itu, agak tersendat
suaranya. Kepalanya menoleh ke kanan dan ke
kiri, seperti takutada orang lain yang melihatnya.
"Kenapa Raden kembali?"
"Siapa yang menugaskanmu di sini?" Randu
Watung malah balik bertanya.
"Gusti Mata Iblis, perintah langsung dari si
Caping Maut," sahut prajurit penjaga itu.
"Bukan Gusti Adipati?"
"Gusti Adipati sudah tiada, Raden. Sekarang
ini istana kadipaten dalam keadaan kosong. Kami
semua mengharapkan Raden, tapi tidak bisa
berharap terlalu banyak. Bahkan seharusnya
Raden tidak kembali pada saat seperti ini. Terlalu
berbahaya, Raden...."
Randu Watung menatap Pendekar Pulau
Neraka yang hanya diam saja dengan kening
agak berkerut. Randu Watung bisa mengetahui
kalau Bayu minta penjelasan tentang sikap
prajurit penjaga itu. Tapi sekarang ini tidak ada
waktu untuk menjelaskan.
"Prajurit kau harus melupakan pertemuan ini.
Jangan katakan pada siapa pun kalau aku sudah
kembali. Percayalah, Kadipaten Sangkal Putung
sebentar lagi akan kembali seperti semula," pesan
Randu Watung.
"Baik, Raden," sahut prajurit itu seraya
membungkuk hormat.
"Kembalilah ke tempatmu, katakan pada
temanmu itu. Jaga rahasia ini."
"Hamba laksanakan, Raden."
Saat prajurit itu berbalik, Randu Watung
mencolek tangan Bayu. Dan secepat kilat mereka
melompat melewati kepala prajurit penjaga itu,
langsung menerobos pintu gerbang memasuki
kota kadipaten. Begitu cepatnya mereka bergerak,
sehingga dua orang prajurit itu hanya bisa
bengong terlolong dengan mulut terbuka lebar.
Bayu dan Randu Watung terus berlari cepat
menggunakan ilmu meringankan tubuh. Kalau
mau, sebenarnya Pendekar Pulau Neraka itu bisa
jauh meninggalkan Randu Watung. Tapi hal itu
tidak dilakukannya karena dia tidak tahu seluk-
beluk kadipaten ini. Dan sikap penjaga gerbang
Utara itu masih menjadi bahan pemikirannya.
Tidak mungkin penjaga itu membungkuk hormat
kalau Randu Watung bukan seorang putra yang
disegani. Terlebih lagi penjaga itu menyebutnya
Raden.
"Randu, sebaiknya jangan sekarang. Tunggu
sampai malam," kata Bayu seraya menghentikan
langkah kakinya.
Randu Watung menghentikan langkahnya.
Sebentar ditatapnya Pendekar Pulau Neraka itu.
Kemudian ditolehkan kepalanya ke kanan dan ke
kiri, lalu mengajak Bayu pergi, mencari tempat
yang aman. Kedua pemuda itu melangkah cepat
menembus pepohonan yang sangat rapat
***
Malam sudah merambat jatuh ke dalam
pelukan bumi. Seluruh permukaan Bukit
Kedaung terselimut kegelapan. Tapi di salah satu
tempat tampak terang oleh cahaya obor dan
pelita. Tempat yang sangat indah dengan
bangunan megah bagai sebuah istana kecil di
puncak bukit
Pintu gerbang benteng yang tinggi dan kokoh,
terkuak memperdengarkan suara berderit dari
engsel berkarat Terlihat seorang laki-laki tua
berjubah putih kumal berjalan tertatih-tatih
keluar dari gerbang benteng istana itu. Pintu yang
terbuat dari kayu jati tebal, kembali tertutup.
Orang tua berambut putih semua itu berhenti
sebentar. Dipalingkan wajahnya memandang
bangunan yang megah di belakangnya. Kemudian
pelahan-lahan kakinya kembari terseret
melangkah pergi. Tongkat kayu tanpa bentuk
membantu langkahnya yang terseret lesu.
Tanpa disadari, dua pasang mata mengamati
sejak laki-laki tua itu keluar dari pintu gerbang
benteng bangunan megah itu. Dua pasang mata
itu terus mengikuti sampai jauh meninggalkan
bangunan tersebut Dan tiba-tiba mereka muncul
di depan, sehingga membuat laki-laki tua itu
terkejut setengah mati.
"Eyang, iniaku..., Bayu."
"Oh...," laki-laki tua yang ternyata Eyang
Puger mendesah panjang.
Orang yang mengamati sejak tadi ternyata
memang Bayu dan Randu Watung. Keduanya
langsung mendekati dan menuntun Eyang Puger
menjauhi tempat yang terbuka itu. Mereka
berhenti di depan sebuah mulut goa yang tidak
begitu besar. Kemudian masuk ke dalam goa itu
dengan tubuh agak membungkuk. Randu Watung
menyalakan pelita dari buah jarak. Keadaan goa
yang tadinya gelap gulita, seketika jadi terang.
"Eyang tidak apa-apa?" tanya Bayu sambil
membawa orang tua itu duduk di atas jerami
kering.
"Tidak," sahut Eyang Puger seraya menarik
napas panjang.
Randu Warung duduk bersila di depan laki-
laki tua kurus itu. Sedangkan Bayu duduk di
dekat mulut goa. Sesekali matanya memandang
ke luar, mengamati keadaan di luar sana. Nyala
lampu pelita yang kecil, cukup menerangi goa
meskipun samar-samar. Bayu memperhatikan
wajah Eyang Puger yang murung dengan
pandangan mata kosong menekun lantai goa.
"Mereka menyakitimu, Eyang?" tegur Bayu.
Eyang Puger hanya menggeleng lemah.
Pandangannya sayu mengarah pada Pendekar
Pulau Neraka yang duduk dekat mulutgoa.
"Randu, kau bisa menjaga di luar?"
Randu Watung menoleh sebentar pada Bayu
kemudian bangkit berdiri. Dia tahu kalau ada
sesuatu yang tidak boleh diketahuinya. Pemuda
itu melangkah ke luar goa. Bayu menggeser
duduknya mendekati Eyang Puger. Dia merasa
ada sesuatu yang hendak diungkapkan laki-laki
tua itu, tapi begitu berat untuk mengucapkannya.
"Eyang, aku tahu ada yang ingin kau
katakan," kata Bayu selembut mungkin.
"Sulit, Bayu. Sepertinya aku sudah mati...,"
keluh Eyang Puger sendu.
"Ada apa sebenarnya, Eyang? Apa yang
mereka lakukan padamu?" tanya Bayu mendesak.
Eyang Puger terdiam seraya menundukkan
kepalanya menekun lantai goa yang lembab. Jelas
sekali kalau ada sesuatu yang terasa berat untuk
diucapkan. Hal ini membuat Bayu semakin
penasaran. Pendekar Pulau Neraka itu menggeser
duduknya semakin mendekat Sementara cahaya
pelita bertambah suram nyalanya.
"Eyang...," lembut suara Bayu. Digenggamnya
jari-jari tangan orang tua itu yang kurus kering.
"Bayu, waktu kau menemukan mayat Wurati,
apa kau yakin dia itu...," suara Eyang Puger
terputus. Kepalanya menggeleng-geleng beberapa
kali, sepertinya tidak sanggup untuk berkata-kata
lagi.
"Eyang, apa maksudmu berkata begitu? Aku
menemukan Wurati saat dia mau terjun ke
jurang. Aku berusaha mencegahnya, tapi dia tetap
nekad melompat ke jurang. Kepalanya pecah,
wajahnya hancur. Sukar untuk dikenali lagi. Tapi
aku yakin kalau dia Wurati, cucumu Eyang. Aku
sempat bicara padanya," kata Bayu meyakinkan.
"Kau tidak mengatakan itu padaku, Bayu,"
nada suara Eyang Pugeragak menyesali.
"Maaf, Eyang. Saat itu kau terpukul sekali.
Aku tidak sanggup mengatakannya,"ujar Bayu.
Eyang Puger menarik napas panjang.
Ditatapnya dalam-dalam wajah Pendekar Pulau
Neraka. Kemudian digenggamnya erat-erat
tangan pemuda itu, seolah-olah hendak mencari
kekuatan pada diri Bayu.
"Bayu, kau tahu bahwa Wurati sebenarnya
bukan cucuku asli. Dia datang padaku dalam
keadaan yang mengenaskan sekali. Aku
menerimanya, mengasihi dan menganggapnya
sebagai cucuku sendiri. Dia begitu baik, penurut,
dan rajin. Aku mencintainya, Bayu. Tapi...,"
kembali suara laki-laki tua itu terputus. Ada
sedikit isakan di sela kata-katanya.
'Tapi kenapa, Eyang?"
"Aku tidak tahu harus mengatakan apa lagi,
Bayu. Aku...."
Belum habis Eyang Puger berkata, tiba-tiba
muncul Randu Watung dengan tergopoh-gopoh.
Bayu langsung menggelinjang bangkit dan
menghampiri Randu Watung.
"Celaka! Mereka menuju ke sini...!" kata Randu
Watung sebelum ada yang bertanya.
“Mereka siapa?” Tanya Bayu.
“Orang-orang si Mata Iblis.”
“Jagat Dewa Batara…,” keluh Eyang Puger
lirih.
***
ENAM
Bayu tidak sempat lagi bersuara, karena di
depan goa sudah terdengar teriakan keras
menggelegar menyuruh Randu Watung dan
Eyang Puger ke luar. Kedua orang yang disebut
namanya itu saling berpandangan. Sedangkan
Pendekar Pulau Neraka sudah merapat di bibir
goa. Diperhatikannya sekeliling mulut goa. Agak
terkejut juga begitu dilihatnya goa ini sudah
dikepung puluhan orang bersenjata terhunus.
"Aku tahu kau di dalam Randu. Keluarlah,
sebelum goa itu hancur!" teriakan keras dari luar
goa terdengar lagi.
"Bagaimana, Bayu?" tanya Randu Watung.
"Kau tetap di sini, jaga Eyang Puger," kata
Bayu tenang.
"Kau sendiri?"
"Aku akan ke luar. Mudah-mudahan mereka
bisa pergi tanpa kekerasan," sahut Bayu tetap
tenang.
"Jangan, Bayu. Berbahaya. Jumlah mereka
terlalu banyak. Mereka orang-orang kejam," cegah
Randu Watung.
"Jaga saja Eyang Puger. Keselamatannya ada
di tanganmu," Bayu tidak menghiraukan cegahan
itu. Belum sempat Randu Watung berkata,
Pendekar Pulau Neraka itu sudah melompat
cepat ke luar. Randu Watung bergegas berlari
mendekati mulut goa. Dari balik batu, dia
mengintip ke luar. Tampak Bayu berdiri tegak
seraya melipat tangan di depan dada. Tidak jauh
di depannya berdiri seorang laki-laki muda
berbaju indah. Namun garis-garis kekerasan
terlihat jelas di wajahnya. Di sekeliling Pendekar
Pulau Neraka itu sudah mengepung puluhan
orang bersenjata golok terhunus. Mereka semua
mengenakan ikat kepala berwarna merah dengan
bulatan hitam pada keningnya.
"Balaga...," desis Bayu tertahan begitu
mengenali laki-lakidi depannya.
Bayu mengenali orang itu, karena memang
laki-laki itulah yang dicarinya. Orang itu harus
dibunuhnya untuk membalas budi pada Eyang
Puger yang telah menolongnya dari luka-luka
yang dideritanya ketika bertarung. Dan Balaga
adalah cucu menantu, seorang kepala perampok
berhati kejam.
Dengan memperalat istrinya, dia berhasil
mencuri kitab berharga milik Eyang Puger. Kitab
yang berisi ramu-ramuan obat-obatan dan segala
jenis racun. Serta ilmu-ilmu pukulan beracun
yang sangat dahsyat dan mematikan. Balaga
menikahi Wurati, memang punya maksud
tertentu untuk menguasai kitab itu. Untung saja
minuman untuk Eyang Puger yang diberi bubuk
racun, tidak mematikan laki-laki tua itu, hanya
membuat tubuhnya habis seperti tinggal tulang
saja. Kalau saja Eyang Puger tidak memiliki
pengetahuan tentang racun mungkin sekarang
sudah tidak ada lagi. Dan Wurati sendiri setelah
menyadari kesalahannya mengambil keputusan
yang nekad. Bunuh diri dengan menceburkan
dirinya ke dalam jurang berbatu cadas. Semua itu
diketahui Bayu, bahkan saat Wurati bunuh diri
pun Pendekar Pulau Neraka itu melihatnya.
Bahkan berusaha mencegahnya.
"Sudah kuduga, kau pasti bersama monyet-
monyet busuk itu, Bayu," dingin nada suara
Balaga.
"Aku memang sengaja mencarimu, Balaga,"
ujar Bayu tidak kalah dinginnya.
"Ha ha ha...! Dulu kau boleh menang, Bayu.
Tapi sekarang.... Kepandaianmu tidak ada artinya
bagiku!" kata Balaga jumawa.
"Hm..., tidak kusangka kau bisa cepat
menguasai isi kitab itu," sahut Bayu sinis.
"Ha ha ha...!" Balaga tertawa congkak.
"Kau harus mengembalikan kitab itu, Balaga!"
dengus Bayu dingin.
"Sudah kubakar!" sahut Balaga lantang.
"Keparat! Manusia macam kau tidak patut lagi
hidup lebih lama!" ujar Bayu tidak bisa lagi
menahan amarahnya. Tapi tetap berusaha untuk
tidak terpancing, meskipun darahnya sudah
mendidih sampai ke kepala.
"Kau lihat, Bayu. Orang-orangku yang akan
mencincangmu!"
Setelah berkata begitu, Balaga langsung
menjentikkan jarinya Dan seketika itu juga orang-
orang bersenjata golok terhunus berlompatan
menerjang Pendekar Pulau Neraka. Namun Bayu
yang sudah siap sejak tadi, tidak bisa menahan
diri. Langsung digunakannya jurus 'Kelelawar
Maut'. Satu jurusyang dahsyat
"Hiya! Hiya...!"
Pendekar Pulau Neraka berlompatan cepat
bagai kilat Tangannya berkelebatan menghajar
setiap penyerang yang mencoba mendekatinya.
Sungguh luar biasa pukulan Pendekar Pulau
Neraka itu. Kepala dan dada hancur terkena
pukulan mautnya! Belum lagi' jari-jari tangannya
yang setajam mata pisau, mampu-mengoyak
tubuh manusia hingga berkelojotan meregang
nyawa. Setiap pukulan, sabetan tangan Pendekar
Pulau Neraka dari jurus 'Kelelawar Maut'
mengandung racun yang langsung mematikan.
Jurus-jurus pukulan Bayu memang sudah lebih
disempurnakan lagi dalam pengembaraannya,
sehingga terasa dahsyat akibatnya Tidak ada
seorang pun yang mampu bangkit lagi jika
terkena pukulannya.
Dalam waktu tidak berapa lama saja, terlihat
sudah lebih dari dua puluh orang menggeletak
tidak bernyawa lagi. Dan mereka yang masih
hidup, jadi gentar. Serangan-serangannya kacau,
tidak beraturan lagi. Dan ini membuat Bayu
semakin ganas.
Melihat orang-orangnya banyak yang tewas,
Balaga jadi geram setengah mati.
"Mundur...!" teriak Balaga keras.
Seketika itu juga orang-orangnya berlompatan
mundur. Jumlah mereka yang semula ada sekitar
tujuh puluh orang, kini tinggal sekitar empat
puluh orang lagi. Mayat-mayat bergelimpangan
bersimbah darah. Sedangkan Bayu berdiri tegak
dengan tangan terlipat di depan dada.
"Hup...!"
Balaga melompat cepat, dan mendarat di
depan Pendekar Pulau Neraka sekitar satu
batang tombak jauhnya. Dia menyepak salah satu
tubuh di dekat kakinya, sehingga tubuh tak
bernyawa lagi itu menggelinding menjauh.
"Kau harus mati malam ini, Bayu. Dulu kau
hampir menggagalkan aku menguasai kitab itu.
Dan sekarang kau juga akan menggagalkan aku
menguasai Kadipaten Sangkal Putung. Phuih!
Kau bermimpi bisa menghalangiku, Bayu!" kata
Balaga dingin.
"Hm...," Bayu hanya menggumam kecil saja.
Namun tatapan matanya begitu tajam menusuk.
"Bersiaplah untuk mati, Pendekar Pulau
Neraka! Hiyaaa...!"
Bagaikan kilat Balaga melompat menerjang
Pendekar Pulau Neraka. Jari-jari tangannya
mengembang kaku, siap menerkam tubuh Bayu.
Namun pemuda berbaju kulit harimau itu sudah
siap sejak tadi. Bergegas dimiringkan tubuhnya
ke kanan seraya menekuk lutut sedikit.
Serangan Balaga luput dari sasaran. Namun
dia kembali menyerang lebih cepat dan dahsyat.
Bayu terpaksa berlompatan menghindari
serangan-serangan itu Dan memang sepertinya
Balaga tidak memberi kesempatan pada
Pendekar Pulau Neraka itu untuk balas
menyerang. Mengambil napas saja tidak diberi
kesempatan lagi. Namun sampai beberapa jurus
berganti, belum juga Balaga mendesak. Bahkan
sepertinya Bayu sengaja mempermainkan dengan
lompatan menghindar dan berkelit saja tanpa
balas menyerang.
"Setan keparat! Kau mau mempermainkan
aku, heh...!" dengus Balaga menyadari kalau Bayu
tidak pernah balas menyerang sekali pun.
"Ada orang yang lebih berhak menghukummu,
Balaga," kata Bayu tenang seraya menghindari
satu pukulan cepat menggeledek.
"Huh, sombong! Mampus kau! Hiyaaat...!"
Balaga semakin memperhebat serangan-
serangannya. Dan Bayu memang mengakui kalau
Balaga mengalami kemajuan yang pesat sekali.
Angin pukulannya mengandung racun yang
dahsyat dan keras luar biasa. Bayu terpaksa
harus menahan napas, dan memindahkannya
melalui pernapasan pusar. Dia tidak ingin
menghirup udara yang sudah tersebar racun dari
serangan-serangan Balaga.
"Ha ha ha...!" Balaga tertawa terbahak-bahak
begitu melihat Bayu mulai limbung menghindari
serangan dahsyatnya.
"Sebentar lagi kau akan mampus, Pendekar
Pulau Neraka!"
"Hm..., bicaralah sepuasmu, Balaga!" dengus
Bayu dalam hati.
Pendekar Pulau Neraka itu tidak berani
membuka suara. Sekali saja bersuara, maka
udara penuh racun di sekitar pertarungan akan
terhisap ke dalam tubuhnya. Dan ini bisa
membahayakan dirinya. Bayu memang sengaja
menggunakan jurus 'Dewa Mabok'. Satu jurus
yang sungguh aneh gerakan-gerakannya.
Tubuhnya seperti sudah tidak berdaya lagi. Dan
beberapa kali hampir jatuh tersuruk, tapi semua
itu memang merupakan jurusnya yang ganjil dan
baru sekali ini dikeluarkan dalam
pengembaraannya mengarungi rimba persilatan.
Wajah Balaga yang semula gembira, jadi
berkerut karena dia tidak bisa memasukkan salah
satu pukulannya. Meskipun kelihatannya Bayu
sudah limbung, namun masih sukar baginya
menjatuhkan Pendekar Pulau Neraka itu.
Bahkan beberapa kali Bayu mulai membalas
serangan-serangan Balaga. Dan setiap serangan
balasan itu terlontar, Balaga jadi jumpalitan
menghindarinya.
"Kadal...!" dengus Balaga menggeram.
***
Pertarungan antara Pendekar Pulau Neraka
melawan Balaga masih berlangsung sengit. Sudah
beberapa kali Bayu memberikan serangan
balasan. Dan entah berapa kali pukulannya
berhasil disarangkan di tubuh lawannya. Tapi
pukulan itu tidak disertai pengerahan tenaga
dalam secara penuh, sehingga tidak memb Balaga
terluka parah.
Selagi bertarung, Pendekar Pulau Neraka itu
sempat melirik ke arah goa. Tampak Eyang Puger
dan Randu Watung berdiri di depan mulut goa.
Mereka menyaksikan pertarungan itu dengan
serius. Sedangkan orang-orang dari Partai Mata
Iblis berada cukup jauh Tidak ada seorang pun
yang berani mendekat, karena mereka tahu kalau
Balaga mempergunakan jurus-jurus yang
mengandung racun. Dan sudah jelas udara di
sekitar pertarungan itu sudah tersebar racun
yang sangat mematikan.
"Eyang, tampaknya Bayu tidak bersungguh-
sungguh," kata Randu Watung setengah berbisik
"Hm.... Aku tidak tahu, apa maksudnya,"
gumam1Eyang Puger.
"Mungkin dia ingin menyerahkan Balaga
hidup-hidup padamu, Eyang."
Eyang Puger menatap pemuda di sampingnya.
"Sedikit aku mengetahui tentang dirimu dan
persoalanmu pada Balaga. Itulah sebabnya
mengapa aku mengajak Bayu ke sini, karena aku
tahu kalau Balaga adalah wakil utama dari Ketua
Partai Mata Iblis," kata Randu Watung bisa
menangkap arti pandangan laki-laki tua ahli
pengobatan dan racun itu.
"Dari mana kau tahu?" tanya Eyang Puger.
"Secara tidak sengaja pernah kudengar
pembicaraanmu dengan Bayu. Maaf, bukannya
aku mau menguping. Aku tidak sengaja
mendengarnya," sahut Randu Watung.
Eyang Puger memalingkan wajahnya kembali,
melihat pertarungan antara Bayu dan Balaga.
Dan Randu Watung juga sudah serius lagi
memperhatikan pertarungan itu. Tampak kalau
kini keadaan telah berubah jauh. Kali ini Balaga
terpaksa jatuh bangun berusaha menghindari
serangan-serangan Pendekar Pulau Neraka itu.
Beberapa kali pukulan dan tendangan Bayu
masuk telak di tubuhnya. Tapi semua itu tidak
mengandung tenaga dalam penuh, sehingga
Balaga masih bisa bertahan, meskipun darah
sudah mengucur dari mulut dan hidungnya.
"Eyang! Beri dia hukuman yang pantas...!"
teriak Bayu tiba-tiba.
Dan belum lagi hilang suara teriakan itu, tiba-
tiba saja Bayu bergerak cepat memutari tubuh
Balaga, dan tahu-tahu satu tendangan keras
menghantam tubuh orang itu, hingga terjungkal
jauh, ambruk mencium tanah tepat di depan kaki
Eyang Puger. Balaga berusaha bangkit berdiri,
tapi Randu Watung sudah cepat mencabut
pedangnya. Ujung pedang itu langsung
ditekankan pada leher Balaga. Tentu saja hal ini
membuat Balaga tidak bisa berkutik lagi. Dia
hanya dapat memandang Eyang Puger dengan
mata berapi-api.
Melihat pemimpinnya tidak berdaya lagi di
bawah ujung pedang, orang-orang Partai Mata
Iblis langsung berlarian meninggalkan tempat itu.
Dan Bayu memang enggan mengejar. Kemudian
dilangkahkan kakinya menghampiri Eyang Puger
yang masih memandangi Balaga yang terlentang
dengan ujung pedang berada di tenggokannya.
"Orang seperti dia tidak pantas dibiarkan
hidup, Eyang," kata Randu Watung dingin.
"Balaga, aku akan memaafkanmu kalau kau
mau berkata terus terang," kata Eyang Puger
tidak menghiraukan kata-kata Randu Watung.
"Huh!" Balaga mendengus.
"Siapa orang yang mirip Wurati itu?" tanya
Eyang Puger.
"Kau bisa tanya sendiri padanya, tua bangka!"'
jawab Balaga ketus.
"Aku tidak main-main, Balaga. Kau boleh
pergi dengan jaminanku kalau kau berkata jujur,"
kata Eyang Puger, agak tertahan nada suaranya.
"Kau pikir aku bodoh? Begitu aku bilang,
pedang ini pun akan langsung memanggang
leherku!
"Randu...,"- Eyang Puger menatap Randu
Watung.
Dengan perasaan terpaksa, Randu Watung
menyingkirkan pedangnya, dan memasukkan
kembali ke dalam sarungnya.
Balaga bergegas bangkit berdiri. Ditatapnya
Randu Watung dan Bayu dengan pandangan
yang tajam menusuk. Sinar matanya
memancarkan kebencian dan dendam yang
membara. Kemudian ditatapnya Eyang Puger.
Pelahan kakinya bergerak mundur tiga langkah.
"Siapa, Balaga?" desak Eyang Puger
mengulangi pertanyaan yang belum terjawab.
Nada suaranya begitu berharap sekali.
"Dia itu Wurati yang asli! Aku sengaja
menyusupkannya ke dalam kehidupanmu," kata
Balaga datar.
"Lalu, siapa wanita yang bunuh diri itu?" tanya
Eyang Puger, semakin tertahan suaranya.
"Perempuan bodoh yang kubuat gila dan
kurubah wajahnya agar mirip Wurati. Ha ha
ha...!"
"Kau bohong, Balaga!" geram Eyang Puger.
"Aku tahu kau tidak memiliki kepandaian
merubah wajah seseorang. Siapa orang yang kau
bunuh itu?"
'Tanyakan saja pada Wurati!" sahut Balaga
seraya melompat.
Dan secepat kilat tangannya mengibas ke arah
Eyang Puger. Seleret cahaya hijau meluncur deras
dari tangan itu. Eyang Puger terkesiap. Namun
belum sempat cahaya hijau dari sebilah pisau
kecil itu bisa menyambar tubuh Eyang Puger,
Bayu sudah bertindak cepat
"Hiyaaa...!"
Wut!
Begitu tangan kanan Pendekar Pulau Neraka
itu mengibas, Cakra Maut berwarna keperakan
pun melesat cepat, dan menghantam pisau hijau
yang dilepaskan Balaga. Bayu menghentakkan
tangannya kembali begitu cakra berwarna perak
itu kembali melesat cepat ke udara, dan langsung
menancap dalam di dada laga yang masih berada
di udara.
"Aaakh...!" Balaga menjerit melengking.
Tubuhnya langsung meluruk deras jatuh ke
tanah. Bayu menghentakkan tangan kanannya ke
atas kepala, dan Cakra Maut melesat keluar dari
tubuh Balaga, langsung menempel kembali di
pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau
Neraka itu. Sesaat Balaga menggelepar dengan
dada mengucurkan darah segar. Kemudian diam
tidak bergerak-gerak lagi. Kejadian yang begitu
cepat, dan sukar diikuti pandangan mata biasa.
"Tamat sudah riwayatmu, Balaga...," desah
Bayu pelahan.
Bayu menatap Eyang Puger yang hanya diam
mematung dengan pandangan kosong. Pendekar
Pulau Neraka itu menghampiri dan mengambil
tangannya, lalu digenggamnya erat-erat. Eyang
Puger menatap Pendekar Pulau Neraka itu
dalam-dalam.
"Bayu, aku mohon padamu. Cari tahu, apakah
Wurati masih hidup atau memang sudah mati.
Aku melihatnya di istana di Bukit Kedaung," kata
Eyang Puger lirih.
Setelah berkata begitu, Eyang Puger
melangkahi pergi tertatih-tatih. Sebentar Bayu
memandangi, kemudian berjalan cepat mengejar
Randu Watung mengikuti dari belakang.
"Eyang mau ke mana?" tanya Bayu.
"Pulang. Tidak ada gunanya aku berada di sini.
Bayu, kuharap kau mau membunuhnya kalau
memang Wurati bermaksud buruk padaku, dan
berkomplot dengan Balaga. Tapi kalau dia
seorang yang baik, suruh dia kembali padaku,"
kata Eyang Puger tanpa menghentikan ayunan
kakinya.
"Kita harus secepatnya ke sana, Bayu.
Bangunan itu tempat peristirahatan...," Randu
Warung menghentikan kalimatnya.
"Kau harus berterus terang pada Bayu, Randu.
Katakan dirimu yang sebenarnya, dan tujuanmu
berada di Kadipaten Sangkal Putung ini. Kuharap
kau bisa menyelesaikan tugasmu dengan baik,"
ujar Eyang Puger.
"Sampaikan salam maafku pada ayahmu
karena aku tidak menyambut dan mengenalimu
dengan baik."
"Ada apa lagi ini...?!" sentak Bayu semakin
kebingungan tidak mengerti. Dipandanginya
Randu Watung dan Eyang Pugerbergantian.
"Kau bisa menjelaskannya, Randu. Aku pergi
dulu. Kuharap kalian berdua bisa memberantas
mereka," kata Eyang Puger.
"Eyang...!" sentak Bayu.
Tapi Eyang Puger sudah lebih cepat melesat
pergi. Begitu cepatnya, sehingga dalam sekejap
saja bayangan tubuhnya sudah lenyap ditelan
kegelapan malam. Bayu menatap Randu Watung
yang hanya diam saja dengan wajah yang sukar
diartikan.
"Kau masih juga mendustaiku, Randu...?!"
dingin nada suara Bayu.
"Maaf, Bayu. Aku terpaksa. Semua ini
kulakukan demi tugasku yang teramat berat,"
kata Randu Watung meminta pengertian
Pendekar Pulau Neraka itu.
"Siapa kau sebenarnya?" desak Bayu, tetap
dingin nada suaranya.
"Aku sebenarnya Putra Mahkota Kerajaan
Mandureja. Kadipaten Sangkal Putung termasuk
wilayah Kerajaan Mandureja. Ayahanda Prabu
menugaskanku untuk menghentikan
pemberontakan orang-orang dari Partai Mata
Iblis yang ingin menguasai Kadipaten Sangkal
Putung ini. Bahkan mungkin akan menyebar ke
kadipaten-kadipaten lainnya," ungkap Randu
Watung mulai berterus terang.
"Bisa kupercaya ceritamu itu, Randu
Watung?"! Bayu masih sukar mempercayainya.
Meskipun dia teringat dengan penjaga perbatasan
yang begitu hormat dan memanggil Raden pada
Randu Watung.
"Kali ini aku berkata terus terang, Bayu,"
Randu Watung meyakinkan.
"Dua kali kau berkata begitu padaku. Dan ini
yang ketiga kalinya. Kalau kau tetap berdusta
juga, aku tidak segan-segan memenggal
kepalamu!" ancam Bayu tidak main-main.
"Kau boleh memenggal kepalaku, bahkan
mencincang seluruh tubuhku, Bayu. Aku akan
membawamu ke istana kalau persoalan ini sudah
selesai. Akan kuceritakan jasamu, dan meminta
Ayahanda Prabu agar kau menjadi saudara
tuaku," nada suara Randu Watung terdengar
serius kali ini.
"Aku tidak mengharapkan semua itu. Aku
cukup puas jika kau tidak membiasakan diri
mendustai orang!" tegas kata-kata Bayu.
"Bagaimanapun juga kau telah berjasa
banyak, dan aku tidak akan melupakan jasa-
jasamu."
Bayu terdiam. Kembali dilangkahkan kakinya
perlahan-lahan. Meskipun nada suara Randu
Watung terdengar serius, tapi Pendekar Pulau
Neraka itu belum bisa percaya penuh. Sudah dua
kali Randu Warung bercerita bohong padanya.
Dan itu sudah lebih dari cukup untuk tidak bisa
langsung percaya lagi. Tapi Bayu masih tetap
membiarkan pemuda berbaju biru itu
mengikutinya, karena mereka punya tujuan yang
sama, meskipun dengan maksud yang berbeda.
Bayu belum bisa meninggalkan tempat ini,
sebelum pesan Eyang Puger terlaksana
seluruhnya. Dia harus mencari tahu apakah
Wurati masih hidup, atau sudah mati.
"Kau marah padaku, Bayu?" tegur Randu
Watung merasa tidak enak, karena Bayu diam
saja.
"Tergantung dari sikap dan pembicaraanmu,"
sahut Bayu datar.
"Aku minta maaf," ucap Randu Warung.
"Maafmu bisa kau ucapkan nanti."
"Aku senang kalau kau mau memaafkanku."
"Sudahlah, sebaiknya kita cepat ke Bukit
Kedaung," ujar Bayu enggan bicara lagi.
"Sebaiknya jangan sekarang."
"Kenapa?"
"Mereka pasti melipatgandakan penjagaan.
Ayo lah, kau ikuti saja kata-kataku. Kita tunggu
saja laporan telik sandiku Setelah yakin, baru kita
gempur mereka," kata Randu Warung.
"Hm .., mungkin kau benar. Tapi itu bukan
berarti aku mulai percaya padamu."
Randu Warung tersenyum lebar. Hatinya
kembali senang karena Bayu mau mengikuti
kata-katanya, meskipun di hati Pendekar Pulau
Neraka itu masih tersimpan ketidakpercayaan.
Tapi kesediaan Bayu mengikutinya sudah cukup
baginya.
***
TUJUH
Rumah yang ditempati mereka tidak begitu
besar. Tapi Bayu mendapatkan sebuah kamar
yang cukup indah, bagai kamar seorang pembesar
kerajaan. Bayu jadi berpikir juga, karena di
rumah ini selalu saja ada orang-orang yang
datang secara sembunyi-sembunyi. Dan di bagian
depan terdapat kedai minum yang selalu sepi dari
pengunjung. Bahkan Bayu bisa melihat kalau
laki-laki tua yang katanya pemilik kedai dan
rumah penginapan ini sikapnya begitu kaku
melayani pengunjung. Bahkan buku-buku
tangannya nampak halus, seperti tidak pernah
bekerja berat. Juga pelayan-pelayan lainnya
sangat canggung membawa baki.
Bayu menggeliat bangun dari
pembaringannya. Dia tersentak kaget, dan
langsung menggelinjang bangun begitu melihat
Randu Watung sudah duduk di kursi dekat
jendela kamar ini. Sedangkan pintu masih
tertutup rapat. Randu Watung tersenyum.
Pakaiannya sangat indah berhiaskan sulaman
dari benang emas. Pemuda itu sangat tampan,
persis seorang putra mahkota. Bayu duduk di tepi
pembaringan. Disambarnya cawan berisi arak
manis, dan langsung menenggaknya hingga
tandas.
"Tidurmu nyenyak sekali," ucap Randu
Watung tidak terlepas dari senyumannya.
"Ya, sampai kesiangan bangun," sahut Bayu.
"Kau tidur terlalu larut, bahkan menjelang
pagi."
Bayu tersentak kaget. Ditatapnya lekat-lekat
wajah Randu Watung yang masih juga
tersenyum. Pemuda yang bajunya dari sutra
berwarna biru itu memain-mainkan cawan perak
di tangannya. Sudah tiga hari ini, Randu Watung
selalu memakai baju dengan warna yang sama.
Kalau tidakbiru tua, selalu biru muda.
"Memang tidak ada perlunya aku mengetahui
se tiap kegiatanmu, Bayu. Tapi dengan ke luar
setiap malam secara diam-diam, itu bisa
membahayakan dirimu sendiri," kata Randu
Watung dengan nada yang sangat lain dari
biasanya. Suaranya begitu empuk dan
mengandung kewibawaan yang sangat besar.
Bayu sendiri hampir tidak percaya dengan
pendengarannya.
Sepertinya Bayu tidak menghadapi Randu
Watung yang dianggapnya sebagai pembual,
pengarang cerita saja. Seolah-olah Bayu
berhadapan dengan orang lain yang belum
dikenalnya sama sekali. Sungguh sangat berbeda
sekali, jauh dariyang selama ini dikenalnya.
"Aku berterima kasih sekali padamu, karena
selama tiga hari ini telah mengurangi separuh
dari jumlah mereka. Beberapa telik sandiku
melaporkan bahwa jumlah anggota Partai Mata
Iblis sudah berkurang lebih dari setengahnya.
Dan itu berarti mengurangi kekuatan mereka,
meskipun masih ada yang tangguh. Terutama
pemimpinnya," lanjut Randu Warung.
"Jangan membuatku bingung, Randu Watung.
Aku tidak mengerti dengan semua yang kau
bicarakan," selak Bayu.
"Memang sukar menyelami jiwa seorang
pendekar," kata Randu Warung kembali
tersenyum lebar.
"Randu Watung, setiap malam aku memang ke
luar. Aku ingin menyelidiki sendiri keadaan dan
kekuatan mereka. Tapi tidak pernah bentrok
dengan mereka, apalagi sampai membunuh
begitu banyak anggota Partai Mata Iblis. Tidak
sekali pun aku bentrok dengan mereka!" kata
Bayu tegas.
"Kau terlalu merendah, Bayu."
"Aku berkata yang sebenarnya, Randu. Tidak
seperti kau, yang selalu membual!" dengus Bayu
sedikit kesal juga
"Hm...,"gumam Randu Watung pelan.
Sedangkan Bayu hanya diam menatap tajam,
langsung menusuk ke bola mata pemuda tampan
di depannya.
"Kalau bukan kau yang mengurangi jumlah
mereka, lalu siapa...?" Randu Watung seperti
bertanya untuk dirinya sendiri.
"Belum pernah aku bermain seperti itu.
Bagiku, menyerang, lalu menghilang tanpa jejak
bukan sifat seorang ksatria. Aku lebih suka
bertarung secara terbuka!" kata Bayu tegas.
"Kalau bukan kau, tentu ada orang lain,"
gumam Randu Watung pelan.
"Huh! Seharusnya aku tidak bertemu
denganmu, Randu. Persoalan ini semakin
bertambah rumit saja!" keluh Bayu bersungut-
sungut.
"Bukan kita yang menginginkannya, tapi
Dewata,"!ucap Randu Warung.
"Ah, sudahlah. Apa pun katamu, yang jelas
aku tidak pernah membantai mereka. Aku sendiri
heran dengan jumlah mereka yang semakin
berkurang," potong Bayu cepat.
"Aku percaya padamu, Bayu. Tapi siapa pun
orangnya, dia pasti punya tujuan yang sama,
meskipun dengan jalan berbeda. Atau mungkin
juga punya tujuan lain yang kita tidak tahu," kata
Randu Watung tetap lembut nada suaranya,
meskipun Bayu bernada sengit setiap kali
berbicara dengannya. Dan Randu Watung bisa
memakluminya. Tidak ada seorang pun yang rela
dirinya didustai sampai dua kali berturut-turut.
Randu Watung bangkit berdiri, dan
melangkah mendekati pintu. Dibukanya pintu itu,
tapi belum juga kakinya melangkah ke luar, dia
sudah berbalik lagi dengan pintu tetap terbuka
lebar. Sedangkan Bayu masih tetap duduk di tepi
pembaringannya.
"Kau mau makan di sini, atau di depan?" tanya
Randu Warung.
"Nanti saja, aku belum lapar," sahut Bayu
seraya bangkit berdiri.
"Aku tunggu kau di kedai depan, Bayu."
"Hm...."
Randu Watung melangkah ke luar, dan
menutup kembali pintu kamar itu. Sementara
Bayu melangkah ke jendela, dan membukanya
lebar-lebar. Sebentar ditatapnya keadaan di luar,
kemudian berbalik dan melangkah ke pintu.
Tangannya membuka pintu, kemudian
melangkah ke luar dari kamar ini. Dibiarkannya
saja pintu itu tetap terbuka.
***
Sejak matahari tenggelam, Bayu sudah berada
tidak jauh dari bangunan megah dikelilingi
tembok benteng yang tinggi dan kokoh, di Puncak
Bukit Kedaung. Pendekar Pulau Neraka itu
berada cukup terlindung dari penglihatan orang.
Tatapan matanya sangat tajam, dan tidak
berkedip mengamari sekitar bangunan megah itu.
Seperti seekor burung, dia duduk di atas dahan
yang cukup besar dengan daun-daun rimbun
hampir menutupi tubuhnya.
Pandangan mata Pendekar Pulau Neraka itu
tertuju langsung ke bagian Timur gedung megah
itu. Tampak sebuah bayangan berkelebatan
menyelinap di antara pepohonan dan tembok batu
benteng gedung itu. Cukup jauh jaraknya,
sehingga Bayu tidak bisa melihat jelas. Tapi
mendadak saja, Pendekar Pulau Neraka itu
dikejutkan oleh sebuah suara melengking tinggi.
Dan belum lagi hilang rasa terkejutnya,
mendadak di bagian Timur bangunan itu, terlihat
beberapa tubuh berpentalan di udara. Jerit pekik
menyayat terdengar saling susul. Bayu dapat
melihat kalau bayangan itu bergerak cepat
membantai orang-orang dari Partai Mata Iblis.
Juga dilihatnya puluhan orang berlarian keluar
dari dalam bangunan itu. Dan bayangan itu
langsung berkelebat cepat melompati tembok
benteng langsung lenyap di dalamhutan.
"Aku harus tahu, siapa dia!" gumam Bayu
dalamhati. "Hup!"
Bagaikan kilat, Pendekar Pulau Neraka
melesat cepat ke arah bayangan itu lenyap. Ilmu
meringankan tubuhnya sudah mencapai taraf
kesempurnaan, sehingga yang terlihat hanya
bayangan kuning berkelebatan di antara
pepohonan. Sementara di dalam benteng
bangunan megah itu terjadi keributan besar,
karena tidak kurang dari dua puluh orang tewas
diserang orang yang tidak jelas tadi.
Dengan tatapan mata yang setajam mata
elang, Pendekar Pulau Neraka mampu melihat di
kegelapan malam. Cepat sekali dapat dilihatnya
bayangan putih berkelebatan menyelinap di
antara pepohonan. Bayu menggenjot tubuhnya,
melenting ke udara, dan berputaran beberapa
kali. Lalu indah sekali kakinya menotok sebuah
dahan, lalu melesat kembali dengan kecepatan
yang sangat sukardiikuti pandangan mata biasa.
"Hap...!"
Manis sekali Pendekar Pulau Neraka hinggap
di dahan pohon setelah melewati orang yang
dikejarnya.
Dan dia memandangi terus, mengikuti arah
larinya orang itu. Lalu....
"Berhenti...!"
Sambil berteriak keras, Pendekar Pulau
Neraka melompat turun, langsung di depan orang
berbaju putih longgar. Bayu terkesiap begitu
mengenali orang tersebut. Beberapa saat
Pendekar Pulau Neraka itu hanya bisa terdiam
dengan mulut sedikit terbuka. Sedangkan di
depannya berdiri seorang laki-laki tua yang
rambut dan janggutnya memutih semua.
Jubahnya yang panjang putih, sudah kumal agak
kekuningan. Tangan kanannya menggenggam
sebatang tongkat yang tidak karuan bentuknya.
Dia juga terkejut begitu tiba-tiba di depannya
menghadang seorang pemuda berbaju kulit
harimau.
"Eyang Puger...," desis Bayu setengah tidak
percaya.
"Apa yang kau lakukan di sini, Bayu?" tanya
Eyang Puger setelah hilang dari rasa
keterkejutannya.
"Seharusnya aku yang bertanya begitu
padamu, Eyang. Untuk apa kau lakukan semua
ini? Membantai mereka, lalu menghilang seperti
musang," ujar Bayu seraya melangkah
menghampiri laki-laki tua kurus kering itu.
"Aku tidak perlu menjelaskan lagi, Bayu. Kau
pasti sudah tahu, kenapa aku begitu dendam pada
mereka. Bagiku, dendam ini tidak akan pupus
sebelum mereka musnah dari muka bumi," datar
nada suara Eyang Puger.
"Aku mengerti, Eyang. Mereka memang
orang-orang berhati iblis. Tapi dengan caramu
seperti itu akan membuat kesulitan bagi dirimu
sendiri," kata Bayu.
"Aku sudah tua, Bayu. Mati pun aku tidak
menyesal kalau manusia keparat itu sudah
mampus! Sampai ke neraka sekalipun aku tidak
akan bisa mengampuninya. Dia telah menyakiti
hatiku, Bayu. Belum pernah aku merasa
terpedaya seperti kerbau begini. Aku malu, sakit
hati...!" agak tertahan suara Eyang Puger.
"Eyang, apa sebenarnya yang telah terjadi
padamu?" tanya Bayu tidak mengerti.
"Kau terlalu baik, Bayu. Sudah banyak aku
menyusahkanmu. Rasanya tidak pantas kalau
kukatakan hal ini padamu," terdengar pelan
suara Eyang Puger.
"Katakan, Eyang. Mungkin akan membantu
meringankan beban batinmu. Kau perlu
seseorang yang bisa diajak bicara. Aku bersedia
mendengar semua keluhanmu," desak Bayu.
"Bayu, kau ingat kata-kata Balaga waktu itu?"
"Ya," Bayu mengangguk.
"Apa yang dikatakannya, sebagian memang
benar. Aku sengaja tidak kembali, karena aku
penasaran dan ingin tahu kebenarannya. Tiga
hari ini aku selalu menyelidiki mereka,
mengurangi jumlah mereka agar Raden Randu
Watung mudah menyelesaikan tugas beratnya.
Oh.... Sungguh memalukan!" Eyang Puger
menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Hm...!" kening Bayu berkerut
"Aku benar-benar malu pada diriku sendiri,
Bayu. Kalau si keparat itu belum mati, tidak
bakalan aku berani hidup di dunia ramai
Sungguh memalukan!"
"Begitu jauhkah?" Bayu masih kurang
mengerti kata-kata Eyang Puger yang berbelit-
belit menyesali dirinya.
"Kau tidak akan berkata begitu kalau sudah
melihatnya sendiri, Bayu."
'"Melihatnya? Melihat apa?" tanya Bayu.
"Wurati. Dia masih hidup dan sekarang ada di
bangunan benteng itu."
"Apa...!?"
"Itulah yang ingin kuselidiki kebenarannya.
Dan semakin jauh kuketahui, semakin sakit rasa
hatiku. Kau pasti tidak akan percaya kalau
Wurati benar-benar belum mati."
"Bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi,
Eyang?" tanya Bayu masih belum percaya. "Jelas
aku melihatnya sendiri, bahkan sempat
membujuknya agar tidak bunuh diri. Mustahil
kalau dia masih hidup!"
"Kenyataannya begitu, Bayu. Wurati sengaja
datang padaku dengan satu maksud buruk.
Sebenarnya dia adalah istri Balaga. Mereka
memang punya maksud untuk menguasai
kitabku. Kau pasti tahu bagaimana pentingnya
kitab itu bagiku. Perlu dua puluh tahun
menyusunnya kembali Mereka kini
menguasainya, dan sudah mempelajarinya.
Kitab itu sudah dibakar , " ada nada keluhan
pada kata-kata terakhirnya. "Wurati harus mati,
Bayu. Dia telah menghancurkan seluruh
kehidupanku. Semua yang kulakukan selama
hidupku. Semuanya hancur...!"
Bayu diam saja. Masih belum bisa dipahami
dan dipercayainya kalau Wurati belum mati.
Memang sebelumnya Eyang Puger sudah
memberitahu, agar dia menyelidiki kebenaran
dari kematian Wurati. Tapi belum bisa berbuat
banyak. Dan sekarang Eyang Puger bertindak
sendiri, bahkan begitu yakin kalau Wurati masih
hidup.
"Hihi hi...!" tiba-tiba saja terdengar suara tawa
mengikik.
Belum lagi Bayu bisa menghilangkan rasa
keterkejutannya, tiba-tiba sebuah bayangan
hitam berkelebat cepat, langsung menyerang
Eyang Puger. Laki-laki tua renta itu berusaha
menghindar seraya membanting tubuhnya ke
tanah. Tapi gerakannya begitu lamban, dan entah
bagaimana kejadiannya, tahu-tahu tubuh kurus
kering itu terpental.
"Aaa...!"
Eyang Puger menjerit keras melengking.
Tubuh kurus kering itu membentur sebongkah
batu sebesar kerbau. Dan batu itu pun hancur
berkeping-keping memperdengarkan suara
ledakan menggemuruh. Eyang Puger berusaha
bangkit berdiri, namun bayangan hitam itu sudah
berbalik dan hendak menyerang kembali. Namun
pada saat bayangan hitam itu meluruk deras,
secepat kilat Bayu mengebutkan tangannya, dan
dia sendiri juga melesat ke arah Eyang Puger.
"Hiaaat...!"
"Hop!"
***
Seleret cahaya perak mendesing bagai kilat
menyambar ke arah sosok tubuh hitam yang
melesat di udara. Untungnya dia cepat-cepat
memutar tubuhnya, sehingga Cakra Maut yang
dilepaskan Pendekar Pulau Neraka tidak sampai
mengoyak tubuhnya. Dan pada saat yang
bersamaan, Bayu menubruk Eyang Puger.
Secepat itu pula seberkas sinar merah meluncur
bagai kilat menghantam tanah di mana Eyang
Puger tadi berdiri. Satu ledakan keras
menggelegar menghantam tanah yang merekah
berhamburan ke sekitarnya.
'Tunggu di sini, Eyang," kata Bayu setelah
menempatkan Eyang Puger di tempat yang cukup
aman.
"Hati-hati, Bayu," ujar Eyang Puger. Bayu
hanya menggumam kecil. Kemudian melompat
menghadapi orang berbaju serba hitam
mengenakan caping besar yang menutupi seluruh
kepalanya. Belum sempat Pendekar Pulau
Neraka itu membuka suara, mendadak saja di
sekeliling mereka bermunculan orang-orang
berikat kepala merah dengan senjata terhunus.
Jumlah mereka tidak kurang dari lima puluh
orang. Tampak di antara mereka terdapat
Nyakra, dan seorang perempuan muda dan cantik
dengan pedang bertengger di punggungnya.
Wanita cantik itu mendekati orang berbaju
hitam dengan caping bambu yang lebar
bertengger di kepalanya Sedangkan Nyakra
menggerakkan tangannya, memberi isyarat pada
semua orang pengikutnya untuk bersiaga Bayu
memperhatikan dengan mata tidak berkedip.
"Kalau hanya satu orang, tidak perlu
mengerahkan banyak anggota, Caping Maut,"
kata wanita itu setengah berbisik.
"Dia bukan orang sembarangan, Kaniten.
Kepandaiannya sangat tinggi," sahut si Caping
Maut
"Hm...," wanita yang dipanggil Kaniten melirik
pemuda berbaju kulit harimau. "Boleh aku coba,
Caping Maut?"
"Hati-hatilah! Terutama dengan senjatanya."
"Senjatanya...? Aku tidak melihat dia
membawa senjata."
"Kau lihat pergelangan tangan kanannya,
Kaniten?"
"Ya."
"Cakra itulah senjata mautnya."
Kaniten tertawa mendengar penjelasan si
Caping Maut. Sama sekali dia tidak memandang
sebelah mata pada Pendekar Pulau Neraka.
Sementara Bayu yang mendengar semua
pembicaraan itu hanya diam saja. Sempat
diliriknya Eyang Puger yang berada di atas pohon
yang cukup tinggi, dan terlindung tempatnya.
Entah mereka tahu atau tidak, yang jelas
tidak ada seorang pun yang memperhatikan
Eyang Puger. Semua perhatian mereka tercurah
pada Pendekar Pulau Neraka.
"Aku mau tahu, seperti apa kehebatan senjata
yang kau takutkan itu, Ketua," kata Kaniten,
nada suaranya sinis mengejek.
"Aku lebih tahu daripadamu, Kaniten.
Beberapa kali aku bentrok dengannya. Kau akan
menyesal tidak menghiraukan peringatanku,"
kata si Caping Mautagak tersinggung.
"Kita lihat saja. Kalau aku berhasil
mengalahkannya, kau harus mundur dari
jabatanmu sebagai Ketua Partai Mata Iblis!" kata
Kaniten tandas.
"Kuharap kau bisa menyadari kepongahanmu,
Kaniten."
Wanita cantik yang menyandang pedang di
punggungnya itu, hanya mendengus mencibirkan
si Caping Maut. Sama sekali tidak dihiraukan
peringatan Ketua Partai Mata Iblis itu. Dengan
sikap seenaknya, dia melangkah maju mendekati
Bayu. Bibirnya masih menyunggingkan
senyuman meremehkan. Sedangkan Pendekar
Pulau Neraka memperhatikan dengan mata tidak
berkedip. Dia sudah malang-melintang di dalam
rimba persilatan, dan sudah banyak bertemu
dengan tokoh-tokoh sakti rimba persilatan. Sikap
Kaniten yang meremehkannya, sama sekali tidak
dipandang enteng.
"Enggan aku berkata banyak. Bersiaplah,
Kisanak!" kata Kaniten langsung membuka jurus.
Bayu masih berdiri tegak dengan tangan
melipat di depan dada. Namun tatapan matanya
begitu tajam memperhatikan gerak-gerak kaki
dan tangan Kaniten yang membuka jurus-jurus
kembangan untuk memulai pertarungan.
"Tahan seranganku! Hiyaaat...!"
Cepat sekali Kaniten melompat sambil
melontarkan dua pukulan sekaligus. Namun
Bayu hanya sedikit memiringkan tubuhnya,
sehingga serangan wanita itu berhasil dielakkan
dengan mudah. Bahkan kakinya tidak
dipindahkan sedikit pun. Dan Kaniten terus
menyerang dengan cepat dan dahsyat.
"Hup!"
***
DELAPAN
Bayu terpaksa melompat ketika satu sepakan
kaki Kaniten mengarah ke kakinya. Dan pada
waktu Pendekar Pulau Neraka berada di udara,
Kaniten dengan cepat mencabut pedangnya, dan
langsung dikibaskan ke arah perut. Bayu
terkesiap sesaat, tidak menyangka kalau Kaniten
akan menyerang dengan pedangnya secepat itu.
Tidak ada waktu lagi untuk berkelit Cepat sekali
Bayu menghentakkan tangan kanannya,
memapak tebasan pedang itu.
Tring!
"Ikh!"
Kaniten memekik kaget. Buru-buru ditarik
pulang pedangnya. Wajah wanita itu jadi
memerah, bibirnya meringis merasakan nyeri
pada jari-jari tangannya. Sungguh tidak diduga
kalau tenaga dalam Pendekar Pulau Neraka
begitu dahsyat, dan pedangnya tadi hampir saja
terpental ketika membentur Cakra Maut yang
menempel di pergelangan tangan pemuda berbaju
kulitharimau itu.
Dua kali Kaniten melangkah mundur. Tatapan
matanya begitu tajam menusuk langsung ke
pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau
Neraka. Sementara itu Bayu sudah berdiri tegak
dengan tangan melipat di depan dada tidak jauh
dan arena pertarungan itu, tampak si Caping
Maut tersenyum. Diangkatnya sedikit caping
yang menutupi wajahnya, sehingga bagian
bibirnya dapat terlihat.
"Sudah kubilang, hati-hati dengan senjatanya,
Kaniten'" seru si Caping Maut
"Huh!" dengus Kaniten kesal. Wanita cantik
itu kembali menggerakkan pedangnya di depan
dada. Lalu sambil berteriak keras, dia melompat
mengibaskan pedangnya beberapa kali, mengarah
pada bagian-bagian tubuh Pendekar Pulau
Neraka yang mematikan. Namun gesit sekali
Bayu berkelit menghindari serangan-serangan
yang cepat dan dahsyat itu. Bahkan dia masih
mampu membalas dengan tidak kalah
dahsyatnya.
Pertarungan semakin meningkat. Tampak
sekali kalau Kaniten sudah mengeluarkan jurus-
jurusnya yang ampuh dan sangat berbahaya.
Sedangkan sampai saat ini, Bayu belum punya
kesempatan menggunakan senjata mautnya. Dia
tidak punya jarak yang cukup untuk
melontarkannya. Kaniten seperti sudah tahu saja,
dia bertarung rapat tanpa memberi kesempatan
pada Pendekar Pulau Neraka untuk
merenggangkan jarak.
"Pecah kepalamu, keparat!" bentak Kaniten
tiba-tiba.
"Hiat..!"
Cepat sekali Kaniten mengibaskan pedangnya
ke kepala Pendekar Pulau Neraka. Dan
kesempatan ini tidak disia-siakan begitu saja.
Dengan cepat Bayu mengangkat tangan
kanannya ke atas, melindungi kepalanya dari
tebasan pedang itu.
Tring!
"Hait...!"
Begitu dua senjata beradu, cepat-cepat Bayu
melentingkan tubuhnya ke belakang, dan secepat
kilat dikebutkan tangan kanannya. Secercah
cahaya keperakan melesat cepat bagai kilat dari
pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka. Saat
itu Kaniten terperangah, namun secepat kilat
dikebutkan pedangnya menghalau Cakra Maut
yang meluncur deras mengancam tubuhnya.
Tring!
"Akh...!" Kaniten memekik tertahan.
Pedang di tangannya terpental ke udara begitu
membentur Cakra Maut yang dilepaskan Bayu.
Pada saat itu, Bayu cepat melompat sambil
menghunjamkan satu pukulan bertenaga dalam
sangat sempurna. Serangan yang cepat itu tidak
dapat dihindarkan lagi, sehingga....
"Aaa...!" Kaniten menjerit keras melengking.
Tubuh ramping itu terpental jauh ke belakang
terkena pukulan keras bertenaga dalam sangat
sempurna. Dan sebelum tubuh Kaniten jatuh ke
tanah, Pendekar Pulau Neraka sudah
menghentakkan tangan kanannya secara keras ke
depan. Senjata cakra yang baru saja mau balik
menempel, langsung melesat kembali, dan....
"Aaa…!"
Untuk kedua kalinya Kaniten menjerit
melengking tinggi. Tampak Cakra Maut
menghunjam dalam di dada yang membusung
indah itu. Kaniten menggelepar di tanah Darah
mengucur deras dari dadanya begitu Cakra Maut
kembali menghentak balik pada pemiliknya.
Hanya sebentar wanita itu mampu bergerak,
sesaat kemudian diam dengan nyawa melayang
dari tubuhnya.
Gumaman-gumaman tertahan terdengar dari
orang-orang anggota Partai Mata Iblis. Mereka
semua tahu kalau Kaniten memiliki kepandaian
yang sukar dicari tandingannya. Tapi sekarang
menggeletak tidak bernyawa di tangan seorang
pemuda berbaju kulit harimau. Pemuda yang
belum dikenal, meskipun sudah malang-
melintang di dalam rimba persilatan.
"Seraaang...!" tiba-tiba Nyakra berteriak keras.
Belum lagi hilang suara Nyakra, seketika itu juga
terdengar seruan-seruan keras, disusul
berlompatannya orang-orang bersenjata golok
memakai ikat kepala merah dengan bulatan
hitam pada keningnya. Mereka berlompatan
menyerbu Pendekar Pulau Neraka. Hampir
semua anggota Partai Mata Iblis berlompatan
menyerang dengan golok terhunusberkelebatan.
***
Bayu tidak punya pilihan lain lagi. Dia belum
mau mati tercincang sia-sia. Dengan
mengerahkan jurus 'Kelelawar Sakti', Pendekar
Pulau Neraka itu mengamuk bagai banteng
terluka! Paling tidak disukainya menghadapi
keroyokan seperti ini. Terlebih lagi para
penyerangnya bertarung serabutan tidak pakai
aturan sama sekali. Memang menguntungkan,
tapi Bayu sendiri jadi sukar untuk
menghadapinya.
Satu orang bisa terhajar, tiga atau lima orang
menyerang serentak dari segala jurusan. Pekik
pertempuran berbaur menjadi satu dengan jeritan
kematian. Setiap pukulan dan tendangan
Pendekar Pulau Neraka, selalu membawa korban.
Tapi Bayu tidak terlalu sering menyerang, karena
sudah disibukkan dengan serangan yang
beruntun, sehingga harus lebih banyak terpusat
pada penghindaran.
Sungguh suatu keadaan yang tidak
menguntungkan bagi Pendekar Pulau Neraka.
Untuk bisa lolos saja rasanya sudah tidak
mungkin lagi. Pengepungan pada dirinya begitu
rapat. Bahkan mereka seperti orang kemasukan
setan, tidak lagi takut mati. Terus merangsek
meskipun sudah banyak yang tewas berlumuran
darah. Malam yang seharusnya hening, kini jadi
hiruk-pikuk oleh pertempuran yang tidak
seimbang
"Huh! Kalau begini terus, bisa habis napasku!"
dengus Bayu menggerutu dalamhati.
Tapi Pendekar Pulau Neraka itu tidak punya
kesempatan lagi untuk keluar dari keroyokan ini.
Jumlah mereka tadi terlihat hanya sekitar lima
puluh orang. Tapi entah dari mana datangnya,
tahu-tahu jumlah mereka jadi tiga kali lipat
banyaknya. Namun demikian, Bayu masih
sempat melirik ke tempat Eyang Puger tadi
berada. Dan hatinya jadi terkesiap, karena di sana
tidak lagi dilihatnya laki-laki tua itu. Bayu jadi
cemas, begitu diketahuinya kalau Eyang Puger
tengah jungkir balik, jatuh bangun menghadang
serangan si Caping Maut.
Bayu jadi geram melihat keadaan seperti ini.
Dan begitu ada kesempatan, dilontarkan Cakra
Maut-nya dengan cepat Senjata berbentuk
bintang yang ujung-ujungnya bengkok itu melesat
cepat memutar, membabat orang-orang yang
berada di sekitar Pendekar Pulau Neraka itu.
Secepat kilat, Pendekar Pulau Neraka itu
melompat melewati beberapa kepala. Namun
belum jauh melompat, puluhan batang tombak
sudah beterbangan menghujani tubuhnya.
"Kampret!" Bayu mengumpatgeram.
Terpaksa Bayu harus berjumpalitan di udara
menghindari terjangan tombak-tombak itu. Dan
berhasil ditangkapnya satu tombak. Dengan
tombak di tangan, Pendekar Pulau Neraka itu
meluruk turun, lalu mengamuk membuka jalan
mendekati pertarungan antara Eyang Puger
melawan si Caping Maut. Sementara senjata
Cakra Maut terus bergerak beterbangan bagai
seekor burung. Menghantam orang-orang Partai
Mata Iblis yang jadi panik, menghadapi senjata
yang bisa bergerak sendiri dengan kecepatan
bagai kilat
Tiba-tiba saja di bagian lain terjadi kegaduhan.
Tampak Randu Watung beserta orang-orang
berjumlah lebih dari seratus orang menyerbu
masuk ke dalam kancah pertarungan. Mereka
semua mengenakan seragam prajurit dengan
senjata pedang dan tombak panjang. Tampak
orang-orang dari Partai Mata Iblis kocar-kacir
tidak beraturan.
"Hap!"
Bayu langsung melompat sambil
menghentakkan tangannya ke atas. Dan Cakra
Maut pun melesat bagai kilat menempel kembali
di pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau
Neraka itu. Bagaikan seekor burung walet
Pendekar Pulau Neraka melesat cepat ke arah
Eyang Puger.
"Eyang! Mundur...!" seru Bayu keras.
Pada saat itu, satu pukulan telak dari si
Caping Maut bersarang di dada yang kurus kering
itu. Eyang Puger memekik keras, tubuhnya
terlontar jauh ke belakang seraya memuntahkan
darah segar dari mulutnya. Bayu langsung
meluruk ke arah laki-laki tua itu dan
menyangganya sebelum Eyang Puger jatuh ke
tanah.
"Eyang...," nada suara Bayu terdengar cemas.
"Aku tidak apa-apa..., uhk!" kembali Eyang
Puger memuntahkan darah kental kehitaman.
"Kau terkena racun, Eyang," kata Bayu
semakin cemas.
Pada saat itu, si Caping Maut sudah melompat
menerjang sambil melepaskan satu pukulan yang
mengandung hawa panas menyengat Serangan
yang sangat cepat, dan tidak mungkin dihindari
lagi!
Namun tanpa diduga sama sekali, Eyang
Puger nekad melompat menghadang serangan itu.
Tak pelak lagi, pukulan itu bersarang di dada
laki-laki tua itu.
Dug!
"Akh...!" Eyang Puger memekik keras.
"Eyang...!" seru Bayu terkejut.
Bergegas Pendekar Pulau Neraka itu
melompat, dan menghambur menangkap tubuh
kurus kering yang melayang di udara. Lalu dia
mendarat lunak, dan membaringkan Eyang Puger
di bawah pohon. Tampak dari mulut, hidung dan
telinga Eyang Puger mengucurkan darah.
Napasnya tersendat, dan matanya setengah
terpejam.
"Eyang...."
"Hati-hati menghadapinya, Bayu. Dia punya
pukulan beracun yang sangat langka dan
dahsyat," kata Eyang Puger lemah.
Bayu menggeram marah. Sementara si Caping
Maut berdiri bertolak pinggang dengan
angkuhnya. Caping bambu yang lebar masih
menutupi sebagian wajahnya. Terlihat bibirnya
yang merah menyunggingkan senyuman tipis
mengejek.
"Bayu..., dia itu Wurati. Dia tidak mati di
dasar jurang. Itu memang sudah direncanakan
bersama Balaga.... Dia sengaja melompat ke
dalam jurang sementara Balaga menunggu
dengan mayat perempuan yang memakai baju
sama persis dengan Wurati. Mereka sengaja
merusak wajahnya agar tidak dikenali... uhk
uhk!" kata-kata Eyang Puger tersendat-sendat
Dan dia terbatuk-batuk disertai muntahan darah
kental kehitaman. "Lenyapkan dia, Bayu. Dia
sangat berbahaya kalau sudah menguasai seluruh
kitabku. Rebut kembali kitab itu dari tangannya...
uhk!" lanjut Eyang Puger.
"Eyang...!"
Eyang Puger terkulai lemah. Matanya
terpejam. Namun dadanya masih bergerak-gerak,
meskipun sangat sedikit dan satu-satu. Bayu
membaringkan tubuh tua itu, kemudian berdiri
dan melangkah maju beberapa tindak. Tatapan
matanya tajam, menusuk langsung pada tubuh
berbaju hitam dengan caping bambu yang lebar
menutupi wajahnya.
'Tidak perlu kau menutupi wajahmu, Wurati!"
dengus Bayu.
"Bagus! Rupanya si tua bangka bodoh itu
sudah bercerita banyak padamu!" sahut wanita
berbaju hitam itu sambil tetap berdiri tenang.
Bibirnya yang merah selalu menyunggingkan
senyuman tipis bernada mengejek. Bayu
menggeser kakinya lebih mendekat Dan baru
berhenti setelah jaraknya tinggal sekitar dua
batang tombak lagi. Sementara itu para prajurit
Kadipaten Sangkal Putung di bawah pimpinan
Randu Watung, masih bertarung sengit melawan
orang-orang Partai Mata Iblis.
***
Bayu sempat melirik Randu Watung yang
bertarung sengit melawan Nyakra. Dan orang-
orang dari Partai Mata Iblis sudah kelihatan
terdesak. Bahkan beberapa di antaranya sudah
berhasil melarikan diri. Sementara si Caping
Maut yang kini menjadi pimpinan Partai Mata
Iblis, menggantikan Balaga, sudah bersiap-siap
melakukan penyerangan.
"Hiyaaat..!" si Caping Maut berteriak keras
seraya melompat menerjang.
"Hait!"
Seketika itu juga Bayu melesat ke atas, dan
tangannya menghentak ke depan dengan jari-jari
tangan terbuka lebar. Tanpa dapat dicegah lagi,
dua tangan saling berbenturan di udara dengan
kerasnya, sehingga menimbulkan satu ledakan
keras menggelegar! Dua orang itu terpental ke
belakang dan sama-sama jatuh bergulingan di
tanah.
"Hup!" .
Namun Bayu langsung mampu melompat
bangkit berdiri. Sedangkan si Caping Maut
memuntahkan darah segar dua kali. Dengan agak
terhuyung, tari bangkit berdiri. Tangan kirinya
menekap dada, dengan bibir meringis.
"Kematianmu sudah dekat, Wurati!" dengus
Bayu dingin.
"Phuih! Kau pikir aku mudah kalah begitu
saja? Lihat ini!" bentak Wurati tidak kalah
dinginnya.
Cepat sekali wanita berbaju hitam itu
melepaskan caping bambu yang selama ini
menutupi seluruh kepa lanya. Dan bagaikan kilat
dilemparkannya caping itu ke arah Pendekar
Pulau Neraka.
Wut!
"Hiyaaa...!"
Seketika itu juga Bayu mengecutkan
tangannya ke atas, dan dari pergelangan
tangannya melesat secercah sinar keperakan dari
senjata Cakra Maut. Dua benda yang meluncur
deras itu langsung berbenturan di udara. Kembali
satu ledakan keras terdengar menggelegar. Kali
ini ledakannya sangat dahsyat sekali, sehingga
menimbulkan getaran yang hebat, disertai
hempasan angin yang keras dan percikan bunga
api. Beberapa orang yang terkena percikan api,
langsung menjerit keras. Tubuh mereka seketika
hangus terbakar!
"Setan!" rutuk Wurati begitu melihat
capingnya hancur berkeping-keping.
Sedangkan Cakra Maut, senjata andalan
Pendekar Pulau Neraka kembali melesat balik
pada pemiliknya. Bayu mengangkat tangan
kanannya, dan senjata kebanggaannya itu
kembali menempel erat di pergelangan tangan
kanannya. Wurati bersungut-sungut memaki, dan
menyumpah habis-habisan. Caping kebanggaan
nya itu bukan saja untuk pelengkap, tapi juga
sebagai senjata yang sangat dahsyat. Tapi
melawan Cakra Maut, caping itu hancur
berantakan!
"Kau harus membayar mahal Caping Sakti-ku,
Pendekar Pulau Neraka!" geram Wurati
memuncak amarahnya.
"Hhh! Caping seperti itu, terlalu banyak dijual
di pasaran, Wurati," ejak Bayu sinis.
"Kadal buduk! Kubunuh kau, keparat!
Hiyaaa...!"
Wurati tidak dapat lagi menahan amarahnya.
Dia melompat seraya melontarkan beberapa
pukulan dahsyat mengandung tenaga dalam yang
sangat tinggi. Pukulannya mengandung hawa
panas menyengat. Dan dari hawa itu tercium bau
racun yang kuat dan mematikan. Bayu cepat-
cepat melompat mundur, lalu seketika itu juga
dikebutkan tangan kanannya ke depan. Wut!
"Eh...!" Wurati tersentak kaget. Buru-buru
gadis itu membanting tubuhnya ke tanah. Namun
gerakannya terlambat sedikit, dan ujung cakra
yang melengkung, berhasil merobek bahu kiri
wanita berbaju serba hitam itu. Darah segar pun
langsung merembes ke luar. Wurati bergegas
melompat bangkit kembali, tidak dipedulikan
luka di bahunya. Dia kembali melompat
menerjang Pendekar Pulau Neraka.
Tapi baru saja melompat, tahu-tahu dari arah
belakang terdengar suara mendesing yang keras
mengagetkan. Wurati langsung menoleh. Bukan
main terkejutnya dia begitu melihat Cakra Maut
berbalik bagaikan kilat menyerangnya kembali.
Mau tidak mau, secepat kilat si Caping Maut itu
melentingkan tubuhnya berputaran di udara
menghindari terjangan senjata dahsyat itu.
"Hiya...!"
Secepat Cakra Maut kembali menempel di
pergelangan tangannya, secepat itu pula Bayu
melompat mengirimkan satu tendangan
menggeledek ke tubuh si Caping Maut. Serangan
yang tidak terduga sama sekali, terlebih lagi pada
saat itu keseimbangan tubuh si Caping Maut
belum sempurna akibat berusaha menghindari
terjangan Cakra Maut senjata andalan Pendekar
Pulau Neraka itu.
Dug!
"Akh...!" Wurati menjerit keras.
Tubuh ramping terbungkus baju hitam itu
meluncur deras ke tanah. Bersamaan dengan
terbantingnya tubuh si Caping maut Pendekar
Pulau Neraka juga mendarat di tanah, dan
secepat itu pula dihentakkan tangannya ke depan
seraya membungkukkan tubuhnya sedikit
"Hiaaat..!"
Wut!
"Aaa...!"
Jeritan melengking tinggi terdengar menyayat
Tampak Wurati yang baru bisa bangkit berdiri
tegak dengan mata membeliak lebar. Sesaat
kemudian, tubuhnya ambruk ke tanah dengan
kepala menggelinding terpisah dari lehernya!
Darah segar pun membasahi tanah. Bayu
mengangkat tangan kanannya, dan Cakra Maut
pun kembali menempel pada tempatnya semula.
Sebentar Pendekar Pulau Neraka itu
memandangi mayat Wurati atau si Caping Maut
yang menjadi Ketua Partai Mata Iblis. Kemudian
dihampiri dan diperiksanya tubuh wanita itu.
Dari balik lipatan baju pada bagian dadanya,
Pendekar Pulau Neraka itu menemukan sebuah
kitab bersampul biru tua yang cukup tebal. Bayu
tahu kalau kitab itu milik Eyang Puger.
Kemudian Bayu bergegas berbalik dan
menghampiri Eyang Puger yang masih
menggeletak tidak sadarkan diri. Diselipkan kitab
itu di balik sabuk pinggang Eyang Puger,
kemudian diangkat dan dipondongnya tubuh
kurus itu.
"Bayu...!"
***
Bayu yang hendak melangkah pergi, jadi
tertahan langkahnya ketika mendengar suara
panggilan dari arah belakang. Pendekar Pulau
Neraka itu berbalik, dan tampaklah Randu
Watung sedang berlari-lari kecil menghampirnya.
Bayu sempat melihat Nyakra menggeletak
dengan leher hampir buntung. Rupanya Randu
Watung berhasil menghentikan perlawanan wakil
ketua tiga Partai Mata Iblis itu. Randu Watung
berdiri setelah jaraknya tinggal sekitar tiga
langkah lagi di depan Bayu. Sementara itu
pertarungan sudah berhenti. Sisa-sisa anggota
Partai Mata Iblis yang masih hidup sudah
menyerah. Dan memang tidak sedikit yang
berhasil kabur.
"Kenapa Eyang Puger?" tanya Randu Watung
bernada cemas.
"Terluka, aku harus segera membawanya
pulang," sahut Bayu.
"Perjalanan ke sana cukup jauh, dan
memerlukan waktu tiga atau empat hari, Bayu.
Sebaiknya kau bawa Eyang Puger ke istana
kadipaten. Ada tabib ahli yang mungkin bisa
mengobati lukanya," kata Randu Watung.
Belum lagi Bayu bisa menjawab untuk
menolak, Randu Watung sudah memanggil
seorang patih. Bayu sendiri tidak mengerti,
karena seorang laki-laki setengah baya bertubuh
tinggi tegap membungkuk hormat pada Randu
Watung
"Siapkan kuda secepatnya. Kemudian kirim
utusan ke istana kadipaten untuk menyiapkan
kamar dan tabib," perintah Randu Watung. Nada
suaranya tegasberwibawa.
"Baik, Raden. Segera hamba laksanakan,"
sahut laki-laki setengah baya yang dipanggil patih
itu.
"Cepat, jangan buang-buang waktu!"
Patih itu bergegas pergi. Bayu masih bengong
Sedangkan tidak lama patih itu sudah kembali
bersama tiga orang prajurit berpangkat punggawa
membawa kuda. Randu Watung langsung
melompat ke salah satu kuda.
"Ayo, Bayu Jangan buang-buang waktu!" kata
Randu Watung.
Bayu masih diam memondong tubuh Eyang
Puger. Tapi kemudian dilangkahkan kakinya
mendekati patih itu, dan diberikannya tubuh laki-
laki tua itu. Patih itu memondongnya dengan
sikap ragu-ragu. Bayu melangkah mundur setelah
Eyang Puger sudah berpindah tangan.
"Aku harus pergi, salamkan saja pada Eyang
Puger," kata Bayu.
"Hey! Kau mau ke mana?" sentak Randu
Watung seraya melompat turun dari kudanya.
Dia sangat terkejut sekali dengan kata-kata Bayu
tadi.
"Masih banyak yang harus kukerjakan. Satu
saat nanti aku akan datang menjenguk Eyang
Puger," kata Bayu pelan.
"Kau harus ikut, Bayu. Aku akan
memperkenalkanmu pada Ayahanda Prabu. Itu
sudah janjiku!" kata Randu Watung tegas.
'Terima kasih, bukannya aku menolak.
Rasanya tidak pantas jika kuterima anugerah
sebesar itu. Sekali lagi, aku mohon maaf, Raden,"
ucap Bayu seraya membungkuk memberi hormat
"Aku percaya kau seorang putra mahkota.
Maaf atas kekasaranku beberapa hari ini," ucap
Bayu lagi.
"Edan! Kau bicara apa?" sentak Randu
Watung tidak suka.
"Mudah-mudahan kita bisa bertemu lagi,
Raden. Sampaikan salamku pada Eyang Puger,"
ucap Bayu seraya melompat cepat bagaikan kilat.
"Bayu !" seru Randu Watung keras, tapi
bayangan Pendekar Pulau Neraka sudah tidak
terlihat lagi. Randu Watung berdiri mematung
memandangi arah kepergian Bayu. Entah apa
yang ada di dalam benaknya saat ini. Yang jelas
dia merasa kehilangan seorang sahabat sejati.
Tidak akan mungkin dia bisa melupakan
pertemuannya dengan Pendekar Pulau Neraka.
"Raden...," tegur laki-laki setengah baya yang
memondong Eyang Puger.
"Kau naik kuda bersama Eyang Puger. Bawa
secepatnya ke istana kadipaten!" perintah Randu
Warung tegas.
"Baik, Raden."
Randu Watung juga bergegas melompat naik
ke punggung kudanya. Dan begitu patih itu
melompat naik sambil membawa Eyang Puger,
Randu Watung menggebah kudanya cepat-cepat.
Diikuti patih yang masih memondong Eyang
Puger di atas punggung kuda. Sekitar seratus
prajurit mengikutinya dari belakang. Mereka juga
menunggang kuda. Sedangkan ada sekitar lima
puluh prajurit lagi berjalan kaki membawa
tawanan.
Randu Warung memacu kudanya dengan
cepat di depan. Pikirannya masih tertuju pada
Pendekar Pulau Neraka. Rasanya belum tenang
kalau tidak memberikan sesuatu pada pendekar
yang sudah begitu banyak jasanya. Randu
Watung bertekad di dalam hatinya untuk mencari
tahu di mana Pendekar Pulau Neraka berada.
"Randu, kitab pada Eyang Puger bisa menjadi
petunjuk untuk mengobati lukanya...!" tiba-tiba
terdengar suara Bayu yang menggema.
"Heh!" Randu Warung terkejut, langsung
dihentikan langkah kaki kudanya. Begitu juga
dengan yang lainnya. Mereka semua terkejut
mendengar suara tanpa ujud itu.
"Bayu! Di mana kau...?" teriak Randu Watung
keras.
Sunyi, tidak ada seorang pun yang tedihat
Randu Watung mengedarkan pandangannya ke
sekeliling. Juga dipasang telinganya tajam-tajam.
Tetap saja sunyi, tidak ada Bayu di dekat tempat
itu. Randu Watung memerintahkan pada
patihnya untuk membawa Eyang Puger
secepatnya ke istana bersama sebagian prajurit
Dia sendiri masih belum beranjak meskipun patih
itu bersama sebagian prajurit sudah menggebah
kudanya.
Agak lama juga Randu Warung menunggu,
tapi Bayu tidak juga muncul. Pemuda yang
ternyata putra mahkota itu mendesah panjang
dan berat. Kemudian digebah kudanya pelahan-
lahan meninggalkan tempat itu.
SELESAI
Serial Pendekar Pulau Neraka
yang telah terbit:
1. GEGER RIMBA PERSILATAN
2. PEMBALASAN RATU SIHIR
3. LAMBANG KEMATIAN
4. CINTA BERLUMUR DARAH
5. PESANGGRAHAN GOA LARANGAN
6. JAGO DARI SEBERANG
7. PENDEKAR KEMBAR
8. PENGANTIN DEWA RIMBA
9. MENEMBUS LORONG MAUT
10. MUSTIKA DEWI PELANGI
11. BUNGA DALAM LUMPUR
12. GADIS BURONAN
13. ISTANA IBLIS
14. LINGKARAN RANTAI SETAN
15. DI BALIK CAPING BAMBU
Serial Pendekar Perisai Naga
0 comments:
Posting Komentar