..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Rabu, 05 Februari 2025

PENDEKAR PULAU NERAKA EPISODE TUMBAL AJIAN SESAT

Tumbal Ajian Sesat

 

TUMBAL AJIAN 
SESAT
Oleh Teguh Suprianto
Cetakan pertama 
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Pulau Neraka
dalam episode:
Tumbal Ajian Sesat
128 hal. ; 12 x 18 cm


SATU

Pergiwa memandang saudara-saudaranya den-
gan tajam, seolah ingin memastikan semangat 
mereka yang telah bulat. Padahal dia sendiri me-
rasa tidak yakin apakah mampu melakukannya.
“Apakah kau tidak mau ikut Pergiwa?” tanya 
Somantri saudara tertua mereka.
“Kenapa tidak? Seperti juga kalian, aku pun 
sangat mendendam kepada Pendekar Pulau Nera-
ka yang telah membunuh ayah kita. Tapi dengan 
kemampuan kita seperti sekarang ini, aku tidak 
yakin kita dapat mengalahkannya....”
“Hm, jadi kau menunggu apa lagi? Harus bera-
pa tahun lagi kita berguru agar bisa membalas 
sakit hati orangtua kita?” tanya Bagira dengan 
nada tak senang.
Pergiwa memandang saudara nomor duanya 
itu sekilas. Bagira memang berangasan dan selalu 
tidak pernah sabar kalau mempunyai keinginan. 
Apalagi hal ini menyangkut soal dendam kesumat 
mereka bersama.
“Aku mempunyai peta....”
“Aaah! Selalu itu yang kau bicarakan! Apa kau 
pikir dengan peta mainanmu itu kau berangan-
angan akan memperoleh harta karun yang meru-
pakan kitab ilmu silat peninggalan tokoh sakti!” 
potong Bagira kesal.
“Kenapa kalian selalu tidak pernah percaya...?” 
tanya Pergiwa sedikit kesal mendengar cemoohan 
saudaranya itu.

“Apa kau pikir kami bisa mempercayai begitu 
saja keteranganmu itu? Sudahlah, Pergiwa. Jan-
gan terlalu banyak berangan-angan! Peta yang 
kau peroleh itu hanya buatan orang iseng belaka!” 
sahut Bagira semakin jengkel saja dengan sikap 
adiknya itu.
“Benar, Pergiwa. Kalau memang peta yang kau 
temukan itu benar, tidak mungkin pengemis tua 
itu mau memberikannya begitu saja padamu. Apa 
dia tidak bernafsu untuk mempelajari warisan to-
koh sakti yang dikatakannya sangat hebat itu?” 
sahut Somantri mendukung pendapat Bagira.
Pergiwa terdiam sambil menghela napas pen-
dek. Kemudian melirik pada adiknya, Palguna.
“Apakah kau pun tak mempercayai kata-
kataku, Palguna?” tanyanya pelan.
Pemuda berusia sekitar dua puluh tahun itu 
memandang abangnya sekilas, kemudian men-
gangkat bahunya.
“Aku sependapat dengan Kakang Somantri dan 
Kakang Bagira. Kalau memang peta itu sangat 
berharga dan merupakan petunjuk tempat di ma-
na bersemayamnya tokoh sakti yang konon ka-
tanya telah berusia ratusan tahun dan mening-
galkan kitab ilmu silat yang sangat dahsyat, tentu 
pengemis tua itu tak akan memberikannya begitu 
saja dan sebagai imbalan sepiring nasi yang kau 
berikan padanya...,” sahut Palguna.
“Nah, sekarang bagaimana sikapmu? Kau mau 
ikut atau tidak?!” tanya Bagira menegaskan.
Pergiwa berpikir beberapa saat lamanya.

“Tidak usah terlalu banyak berpikir. Persoa-
lannya sudah jelas, dan jawabannya pun mudah. 
Kau mau ikut atau tidak?!” kembali Bagira men-
gulangi pertanyaannya dengan nada sedikit jeng-
kel.
“Dendam orangtua kita adalah dendam kita 
bersama. Kenapa aku musti tidak ikut? Kalau 
memang keputusan kalian telah bulat, apa boleh 
buat!” sahut Pergiwa.
“Seharusnya kau mengatakannya dari tadi dan 
jangan berbelit-belit. Dengan begitu urusan akan 
cepat selesai!” dengus Bagira sambil bersungut-
sungut kesal.
“Sudah! Sudah! Tidak perlu bertengkar segala 
untuk urusan ini,” kata Somantri menengahi.
“Apa yang harus kita kerjakan sekarang?” 
tanya Pergiwa.
Somantri memandang ke arah Palguna dengan 
tajam.
“Apa yang kau peroleh, Palguna?” tanyanya.
“Menurut apa yang kudengar, Pendekar Pulau 
Neraka saat ini sedang berada dalam perjalanan 
menuju ke timur. Jika kita perkirakan dari Desa 
Gedong tempat yang dia lalui, maka kini dia me-
nuju..., Desa Kayutiga!” sahut Palguna.
“Bagus! Berarti kita akan menunggunya di sa-
na!” sahut Somantri sambil bangkit berdiri dan 
mencabut golok yang terselip di dinding ruangan 
itu.
Saudara-saudaranya yang lain pun mengikuti 
hal yang sama. Kini di pinggang mereka masing

masing terselip sebuah golok yang sangat tajam. 
Keempat orang itu berdiri sejenak di pekarangan 
rumahnya ketika seorang laki-laki tua bertubuh 
kurus dengan wajah penuh keriput, menghampiri 
mereka dengan wajah sedih.
“Apakah Aden tetap bersikeras untuk menan-
tang Pendekar Pulau Neraka?” tanya orang tua 
itu.
“Benar, Paman Sampuro. Kalau terjadi apa-apa 
terhadap kami, harap Paman sudi menjaga dan 
memelihara rumah ini sebagaimana mestinya,” 
sahut Somantri.
Orang tua yang dipanggil Paman Sampuro itu 
memandang keempatnya dengan harapan mereka 
mengurungkan niatnya itu. Namun setelah bicara 
begitu, Somantri lalu mengajak adik-adiknya ber-
lalu dari tempat itu tanpa menoleh lagi. Ki Sam-
puro hanya bisa memandang kepergian mereka 
dengan wajah murung. Perlahan-lahan dia meng-
geleng-gelengkan kepalanya sambil menghela na-
pas panjang.
“Dasar anak-anak keras kepala. Kenapa sifat 
mereka menuruni adat ayahnya yang keras kepa-
la dan merasa dirinya hebat itu...?” gumam Ki 
Sampuro sambil melangkah masuk ke dalam ru-
mah yang kini terasa lengang dan sepi itu.
***
Desa Kayutiga terletak dalam wilayah Kadipaten Bumiagung yang terkenal ramai dan banyak 
dikunjungi orang dari berbagai tempat. Setelah 
melewati desa itu, barulah mereka akan tiba di 
kadipaten. Sehingga sebagai suatu daerah yang 
merupakan jalan pintas menuju kadipaten, jelas 
bahwa Desa Kayutiga termasuk wilayah yang te-
rus berkembang dan ramainya tak kalah dengan 
di kadipaten sendiri.
Hari belum lagi terlalu siang ketika pemuda 
berwajah tampan berambut gondrong dan mema-
kai baju terbuat dari kulit harimau itu tiba di mu-
lut desa. Pemuda itu tak lain dari Bayu Hanggara 
alias Pendekar Pulau Neraka. Dia memandang 
berkeliling dan menghentikan kudanya di muka 
sebuah kedai yang terlihat ramai dikunjungi 
orang. Setelah menambatkan kudanya di depan, 
Bayu melangkah masuk perlahan-lahan. Bebera-
pa orang memandangnya sekilas, kemudian kem-
bali melanjutkan santapannya. Bayu melangkah 
menuju ke sebuah meja yang kosong.
“Pelayan, tolong sediakan sepiring nasi beserta 
lauk-pauknya...!” katanya pada seorang pelayan 
yang mendekatinya.
Pelayan itu cepat mengangguk dan segera ber-
lalu untuk menyediakan pesanan Bayu.
Pendekar Pulau Neraka memandang ke sekelil-
ing ruangan dan mengamati pengunjung yang be-
rada di tempat itu sekilas sambil menunggu pe-
sanannya tiba. Di pojok ruangan terlihat dua 
orang laki-laki yang memiliki penampilan sangat 
berbeda sekali. Yang seorang memiliki wajah galak dengan berewok lebat, serta mengenakan baju 
warna merah menyala. Tangan kirinya yang 
menggenggam sebatang pedang yang warang-
kanya terukir indah. Yang seorang lagi memiliki 
wajah bersih dan berkesan terpelajar, serta me-
makai baju berwarna putih dan rapi. Tangan ka-
nannya yang menggenggam sebatang pedang, di-
letakkan di atas meja. Seperti pedang yang dimili-
ki oleh si berewok tadi, pedang miliknya pun me-
miliki warangka yang indah berwarna keperakan. 
Kedua orang itu sejak tadi memandang Pendekar 
Pulau Neraka dengan seksama.
“Hm, kenapa mereka memandangku begitu ru-
pa...?” gumam Bayu dalam hati sambil memaling-
kan wajah dan tidak mempedulikan mereka.
Dia bukannya tidak mengetahui bahwa sejak 
tadi mereka memperhatikannya terus. Si berewok 
tampak memperlihatkan sorot mata dendam dan 
amarah, sedangkan kawannya yang berbaju putih 
tampak lebih tenang. Seolah-olah sinar matanya 
tidak menafsirkan apa-apa. Sehingga hal itu 
membuat Bayu terus bertanya-tanya di hati. Na-
mun karena dia tidak ingin membuat persoalan 
dengan mereka, maka pemuda itu lebih baik me-
milih diam dan tidak mempedulikan mereka. 
Hingga ketika pesanannya tiba dia mulai mela-
hapnya, tidak ada reaksi dari kedua orang itu. 
Bayu melirik mereka sekilas, dan kedua orang itu 
agaknya masih tetap mengawasinya tanpa ber-
buat apa-apa.
Setelah selesai makan dan membayar harga


makanannya pada pemilik kedai itu, Bayu bang-
kit dan segera berlalu. Dia menoleh sekilas. Du-
gaannya ternyata benar, kedua orang itu pun 
bangkit dan mengikutinya dari belakang.
“Biarlah aku sengaja memperlambat lari kuda-
ku. Mungkin ada yang ingin mereka selesaikan 
padaku...,” pikir Bayu.
Maka tidak heran jika Bayu akhirnya secara 
sengaja memperlambat lari kudanya hingga me-
reka tiba di pinggir desa. Di sebuah tempat yang 
sepi, dua orang yang mengejarnya dengan me-
nunggang kuda itu mulai memperlihatkan gejala 
niat mereka.
Keduanya memacu kudanya dengan kencang 
hingga melewati Bayu dan berhenti persis di de-
pannya.
“Kisanak, berhentilah kau...!” bentak si bere-
wok dengan wajah garang.
Dengan sikap tenang Bayu menghentikan lari 
kudanya, kemudian memandang keduanya den-
gan wajah heran.
“Kisanak, siapakah kalian berdua ini dan ada 
keperluan apa mencegat perjalananku?” tanya 
Bayu sopan.
“Cuiiih! Tidak usah banyak mulut segala kau, 
keparat! Cabutlah senjatamu! Hari ini kita sele-
saikan segala hutang-piutang nyawa!” sentak si 
berewok garang dengan mata melotot lebar.
“Kebo Genggong, sabarlah kau sedikit! Kenda-
likanlah amarahmu itu...!” kata kawannya yang 
berbaju putih dengan suara pelan.

“Kala Kembara, kenapa kau ini? Sudah jelas ki-
ta telah bertemu dengan si keparat itu. Untuk apa 
berbaik-baik segala?!” sahut si berewok yang di-
panggil Kebo Genggong itu geram.
Namun kawannya yang bernama Kala Kembara 
itu tidak mempedulikan. Dia turun dari punggung 
kudanya dan melangkah mendekati Bayu.
“Kisanak, kaukah yang berjuluk Pendekar Pu-
lau Neraka?” tanyanya dengan nada perlahan dan 
sikap sopan.
“Benar. Apakah ada sesuatu yang bisa kuban-
tu?” sahut Bayu.
“Ya....”
“Apa itu?”
“Kami menginginkan jiwamu itu!” sahut Kala 
Kembara dingin.
Bayu tidak begitu terkejut mendengar jawaban 
itu. Melalui sikap Kebo Genggong yang beranga-
san dia sudah menduga maksud mereka terha-
dapnya.
“Hm, itu suatu hal yang berat, sobat. Mungkin 
aku tidak bisa membantumu....”
“Kalau demikian maka kami terpaksa memak-
sanya!”
“Maaf, kalian menginginkan sesuatu yang tidak 
bisa kuberikan, dan aku berhak mempertahan-
kannya, “ sahut Bayu sambil melompat turun dari 
punggung kudanya.
Bayu melangkah mendekati laki-laki berusia 
sekitar empat puluh tahun itu sehingga jarak me-
reka hanya terpaut tiga langkah lagi.

“Kisanak, cabutlah senjatamu dan pertahan-
kanlah jiwamu...!” kata Kala Kembara dengan so-
rot mata tajam.
“Ayo, cepaaat..!” bentak Kebo Genggong yang 
agaknya sudah tidak sabar mendengar debat 
omongan itu dari tadi.
Bayu hanya tersenyum tipis.
“Kisanak, setiap orang punya alasan mengin-
ginkan sesuatu. Maka kalian pun tentu demikian.
Apakah alasannya sehingga kalian mengingin-
kan jiwaku ini?”
“Keparat...!” setelah membunuh saudara seper-
guruan kami apa kau pikir bisa lolos begitu saja 
dari sini? Huh, orang-orang boleh takut padamu 
tapi jangan coba-coba terhadap kami...!”
Setelah berkata begitu Kebo Genggong lang-
sung menyerang Pendekar Pulau Neraka. Ama-
rahnya yang meluap-luap sejak tadi agaknya ti-
dak tertahan lagi, sehingga dengan garang dia 
mengeluarkan segenap kemampuannya untuk 
menghabisi lawan secepatnya.
“Yeaaah...!”
***
Wut!
Plak! 
“Hiiih!”
Kepalan tangan Kebo Genggong menghantam 
ke arah wajah Pendekar Pulau Neraka. Bayu memiringkan kepalanya sehingga serangan lawan 
lewat beberapa jengkal dari wajahnya. Namun ke-
palan tangan Kebo Genggong langsung menyapu 
ke pangkal leher dan membuat pemuda itu harus 
mundur ke belakang sambil merendahkan kepa-
lanya. Bersamaan dengan itu tangan kirinya me-
nangkis, namun dengan ganas Kebo Genggong 
mengayunkan satu tendangan berat ke perut 
Pendekar Pulau Neraka.
“Uts...!”
“Yeaaah...!”
Tubuh Pendekar Pulau Neraka bergerak miring 
ke kanan untuk berkelit dari serangan lawan, un-
tuk kemudian melenting menjauhi Kebo Geng-
gong. Namun pada saat itu juga Kala Kembara 
membentak nyaring sambil melompat menye-
rangnya.
“Maaf, Sobat. Kami terbiasa untuk maju ber-
dua. Yeaaah...!”
Bayu tidak menyangka akan hal itu sehingga 
keadaannya tidak begitu menguntungkan. Den-
gan terpaksa dia menangkis serangan lawannya.
Plak!
Wuk!
“Uhhh...!”
Tap! Tap!
Ketika Kala Kembara mengayunkan kepalan 
tangannya yang berisi tenaga dalam penuh dan 
menghantam ke arah dada, mau tak mau Pende-
kar Pulau Neraka terpaksa menangkis dengan te-
naganya kalau tidak mau celaka dia. Namun pada

saat itu keadaan Pendekar Pulau Neraka tengah 
mengapung di udara dan dia pun tidak mengira 
bahwa Kala Kembara akan menyerangnya selagi 
dia belum siap. Tidak heran maka dia mengeluh 
kesakitan ketika kedua tangan mereka berbentu-
ran. Meskipun begitu Pendekar Pulau Neraka ma-
sih sempat menekuk kedua kaki dan kepalanya 
untuk menghindari serangan susulan berupa 
tendangan keras ke arah atas dan bagian bawah 
tubuhnya.
Begitu kedua kakinya menjejak tanah, saat itu 
juga tubuhnya kembali melenting setinggi dua 
tombak ke arah batang pohon di dekatnya untuk 
menghindari sapuan tendangan menyilang yang 
dilakukan Kala Kembara. Melihat kesempatan itu, 
Kebo Genggong tidak mau menyia-nyiakan ke-
sempatan ini. Tubuhnya langsung melompat me-
nyerang sambil mengerahkan tenaga dalamnya 
kuat-kuat
“Yeaaah...!”
Tap!
“Huuup...!”
Bayu sudah menduga keadaan itu maka dia 
segera membuat taktik. Begitu Kebo Genggong 
dan Kala Kembara melompat bersamaan, saat itu 
juga kedua kakinya menotok di batang pohon. 
Menggunakan tenaga lompatan itu tubuhnya ber-
putar ke arah lawan sambil mengayunkan ten-
dangan keras.
Des! Des!
“Aaakh...!”

Kedua orang itu terjungkal sambil terhuyung-
huyung kesakitan. Mereka berusaha bangkit 
sambil mendekap dadanya yang terkena tendan-
gan keras. Kebo Genggong yang berangasan su-
dah langsung mengamuk.
Sringngng!
“Keparat! Mampuslah kau! Yeaaah...!”
Bettt! Bettt!
Merasa tidak unggulan menggunakan tangan 
kosong, Kebo Genggong langsung mencabut pe-
dangnya dan mengeluarkan jurus pedang yang 
sangat diandalkannya untuk secepatnya mengha-
bisi lawannya. Pendekar Pulau Neraka cepat men-
guasai keadaan. Tubuhnya bergerak lincah ke sa-
na kemari menghindari sambaran pedang Kebo 
Genggong. Namun hal itu tidak lagi bisa diandal-
kan ketika Kala Kembara pun mulai mendesak-
nya dengan jurus-jurus pedangnya.
“Pendekar Pulau Neraka, keluarkanlah senja-
tamu! Kalau tidak kau akan mati sia-sia!” bentak
Kala Kembara mulai kesal karena lawan belum 
juga mau mengeluarkan senjatanya. Hal itu tentu 
saja sangat meremehkan mereka.
Tapi Kebo Genggong mana mau mengerti hal 
itu. Lawan menggunakan senjata atau tidak da-
lam menghadapinya, tidak menjadi alasan ba-
ginya untuk merasa sungkan.
“Mampuslah kau...!” desisnya geram ketika 
ujung pedangnya menyambar bagian bawah tu-
buh lawan.
Pendekar Pulau Neraka melipat kedua kakinya

dalam keadaan memiringkan tubuh karena pada 
saat yang bersamaan, Kala Kembara membabat 
bahu kirinya.
Bet!
Wuk! 
“Uhhh...!”
Pendekar Pulau Neraka menghela napas pen-
dek sambil mengeluh pelan. Paduan ilmu pedang 
kedua lawannya tidak bisa dianggap enteng. Me-
reka betul-betul hebat. Dan lebih dari itu, kedua-
nya bersungguh-sungguh untuk mencabut nya-
wanya. Sudah barang tentu dia tidak bisa mem-
biarkan hal itu berlangsung terus.
“Kisanak, aku peringatkan kalian! Bukankah 
sebaiknya pertarungan ini dihentikan saja?”
“Keparat! Seenaknya saja kau bicara setelah 
membunuh saudara seperguruan kami. Huh, ka-
lau kau belum mampus kami tidak akan pernah
hidup tenang!” geram Kebo Genggong.
“Bagaimana denganmu, Kala Kembara?”
“Tidak usah banyak bicara! Pertahankan saja 
jiwamu itu...!” sahut Kala Kembara tidak mempe-
dulikan tawaran Bayu.
“Banyak orang yang telah terbunuh di tangan-
ku, dan sebagai manusia tentu saja aku bisa sa-
lah membunuh. Tapi kebanyakan dari mereka je-
las-jelas menyimpang dan merugikan banyak 
orang. Aku telah memperingatkannya sebelum 
akhirnya membunuh orang itu. Dan hal itu pun 
kulakukan pada kalian.”
“Setan! Apa kau pikir dirimu itu malaikat yang

mampu mencabut nyawa manusia seenakmu 
sendiri?! Heh, kau tidak perlu berkotbah di de-
panku. Setinggi apa pun kepandaian yang kau 
miliki itu, jangan harap kami akan takut!” geram 
Kebo Genggong semakin garang.
Setelah berkata demikian kembali dia menye-
rang lawan dengan ganas. Demikian pula halnya 
dengan Kala Kembara. Meskipun dia tidak banyak 
bicara, namun dari caranya menyerang yang bu-
kan main ganasnya, Bayu bisa menyimpulkan 
bahwa Kala Kembara pun memiliki dendam yang
sama dengan Kebo Genggong. Dia menghela na-
pas pendek, namun tidak bisa berbuat apa-apa 
lagi untuk mencegah tindakan mereka.
Kedua orang itu memiliki ilmu pedang yang 
hebat Apalagi saat mereka menyerang secara ber-
samaan. Dan Pendekar Pulau Neraka bukannya 
tidak menyadari hal itu. Kalau dia terus berusaha 
mengelak dan menghadapi mereka dengan tangan 
kosong maka kemungkinan terluka atau tewas di 
tangan mereka besar sekali. Maka....
“Yeaaah...!”
Singngng!
“Heh?!”
Takkk! Takkk!
Karena tidak mempunyai pilihan lain terpaksa 
Pendekar Pulau Neraka mengibaskan tangan ka-
nannya. Maka Cakra Maut di tangan kanannya 
meluncur dengan cepat bagai kilat menyambar-
nyambar tubuh lawan.
Kebo Genggong dan Kala Kembara tersentak

kaget ketika mereka melihat benda berbentuk segi 
enam meluncur deras menghantam pedang di 
tangan mereka hingga patah menjadi dua bagian. 
Dan....
Desss! Desss!
“Aaakh...!”
Bersamaan dengan itu pula satu tendangan ke-
ras yang dilancarkan Pendekar Pulau Neraka 
membuat keduanya terjungkal sambil memun-
tahkan darah segar. Keduanya berusaha untuk 
bangkit berdiri sambil memegangi dadanya yang 
nyeri. Sementara itu Pendekar Pulau Neraka ber-
diri tegak memperhatikan mereka dengan Cakra 
Maut di tangan kanannya siap untuk dilontarkan.
“Bunuhlah kami! Ayo, bunuhlah kami...!” te-
riak Kebo Genggong gemas karena lawannya tidak 
juga bergerak untuk menghabisi nyawa mereka.
“Apalagi yang kau tunggu, Pendekar Pulau Ne-
raka? Bunuhlah kami! Kau pikir kami seorang 
pengecut?!” timpal Kala Kembara sambil menden-
gus geram.
Bayu diam membisu dan tidak menyahut sepa-
tah kata pun.
“Keparat! Kau pikir bisa menakut-nakuti den-
gan sikapmu itu? Huh, Yeaaah...!”
Singngng!
Cras!
“Hokh...!”
“Kebo Genggong...!”
***

DUA

Kejadian itu cepat sekali berlangsung. Dengan 
amarah yang meluap-luap, Kebo Genggong men-
gerahkan sisa-sisa tenaganya yang masih ada 
kemudian dengan nekat menyerang Pendekar Pu-
lau Neraka. Tubuh Bayu berkelebat bagai kilat 
sambil melontarkan Cakra Maut ke tubuh Kebo 
Genggong. Yang terlihat kemudian adalah tubuh 
Kebo Genggong yang ambruk ke bumi dengan da-
da berlubang bermandikan darah. Kala Kembara 
tersentak kaget dan buru-buru mendapati sauda-
ra seperguruannya itu sambil menjerit keras me-
manggil namanya. Namun Kebo Genggong tidak 
bisa diselamatkan lagi, nyawanya telah lepas me-
layang.
“Pendekar Pulau Neraka, aku akan mengadu 
jiwa denganmu...!” geram Kala Kembara sambil 
berpaling.
Namun Pendekar Pulau Neraka telah lenyap 
dari tempat itu bersama kuda tunggangannya. 
Hal itu membuat Kala Kembara semakin geram 
saja.
“Ke mana pun kau akan kucari! Aku akan 
membuat perhitungan denganmu...!” teriaknya 
dengan suara menggelegar.
Setelah itu terlihat perlahan-lahan Kala Kem-
bara mengangkat tubuh Kebo Genggong yang te-
lah menjadi mayat dan membawanya pergi dari 
tempat itu sambil menuntun kuda Kebo Genggong.
Sementara itu Pendekar Pulau Neraka lang-
sung melompat ke punggung kudanya dan mele-
sat cepat dari tempat itu sambil menyarungkan 
kembali Cakra Mautnya. Hal itu memang sengaja 
dilakukannya untuk menghindari bertambahnya 
korban. Sebab dia tidak yakin, bila tetap berada 
di tempat itu Kala Kembara pasti tetap akan be-
rusaha untuk membunuhnya meski menyadari 
bahwa keadaannya tidak memungkinkan. Hal itu 
terbukti dengan Kebo Genggong tadi. Apalagi sete-
lah kematian saudara seperguruannya itu. Sudah 
pasti Kala Kembara tetap bersikeras hati hendak 
mengadu jiwa. Maka selagi dia sadar, Bayu lang-
sung saja meninggalkan tempat itu.
Pemuda itu kini telah berada di perbatasan de-
sa Kayutiga. Setelah merasa yakin bahwa Kala 
Kembara tidak mungkin menyusulnya, dia segera 
memperlambat lari kudanya. Namun justru pada 
saat itu melesat empat sosok tubuh di hadapan-
nya. Sikap mereka menunjukkan tidak bersaha-
bat. Itu terlihat dari sorot mata mereka yang ga-
rang.
“Kaukah yang berjuluk Pendekar Pulau Nera-
ka?” tanya salah seorang dari mereka yang bertu-
buh sedang dengan nada dingin.
“Benar. Siapakah kalian dan ada keperluan 
apa menghadang perjalananku?” sahut Bayu den-
gan ramah.
“Masih ingatkah kau dengan seseorang yang te-
lah kau bunuh sepuluh bulan yang lalu?”

“Kisanak, aku tidak mungkir banyak orang 
yang terbunuh di tanganku. Tapi aku tidak punya 
waktu untuk mengingat-ingat satu persatu nama 
dan wajah mereka....”
“Keparat! Kau telah membunuh ayah kami, ta-
hu!” dengus orang yang berada di belakang laki-
laki yang pertama bicara tadi.
Wajah orang itu tampak keras dan matanya 
melotot garang. Jelas dia seorang yang beranga-
san dan tidak sabaran dengan kata-kata itu.
“Aku tidak tahu telah membunuh ayah kalian, 
yang ku tahu kebanyakan dari mereka yang ku-
bunuh adalah orang-orang yang membuat keka-
cauan dan tindakannya merugikan orang banyak. 
Itu pun karena mereka memaksaku untuk bertin-
dak keras. Sebaiknya kalian berpikir tenang dan 
coba renungkan apakah ayah kalian orang baik-
baik atau memang tindakannya selalu meresah-
kan orang banyak,” sahut Bayu dengan tenang.
“Kau tidak perlu menggurui kami! Apa pun 
yang diperbuatnya, itu bukan urusanmu. Uru-
sanmu hari ini adalah mempertanggungjawabkan 
perbuatanmu itu. Kau harus mati, Pendekar Pu-
lau Neraka!” sentak laki-laki berwajah garang itu.
“Tidakkah kalian bisa berpikir lebih tenang dan 
menilai sesuatu dengan benar? Jangan menuruti 
hawa nafsu. Dan lebih dari itu aku sedang tidak 
bersemangat untuk berkelahi. Maafkan aku, So-
bat”
Setelah berkata begitu, Bayu bermaksud 
menghela kudanya, namun laki-laki berwajah garang itu sudah langsung melompat ke hadapan-
nya sambil mencabut golok dan menebas leher 
kuda tunggangannya.
“Kau pikir bisa menghindar seenaknya saja? 
Mampuslah kau. “Hiiih...!”
“Heee...!”
Takkk!
Begitu golok di tangannya berkelebat, saat itu 
juga kuda tunggangan Bayu meringkik keras 
sambil menaikkan kedua kaki depannya ke atas.
Laki-laki itu tersentak kaget Dia bermaksud 
menarik pulang serangannya, namun sebelah ka-
ki kuda itu lebih cepat menghantam pergelangan 
tangannya.
“Aaakh...!”
“Bagira...! Kau tidak apa-apa?” laki-laki perta-
ma buru-buru menghampiri saudaranya itu dan 
memeriksa pergelangan tangannya yang patah 
akibat hantaman kaki kuda tunggangan Pendekar 
Pulau Neraka.
“Tanganku...! Tanganku...!” laki-laki yang di-
panggil Bagira itu mengeluh kesakitan sambil 
menunjukkan pergelangan tangan kanannya yang 
membiru.
“Kurang ajar! Pendekar Pulau Neraka, kau ha-
rus membayar semua ini. Yeaaah...!” sambil 
membentak nyaring, laki-laki itu mencabut golok 
yang terselip di pinggangnya dan langsung me-
lompat menyerang lawan.
Perbuatan itu diikuti oleh kedua orang sauda-
ranya. Sehingga tampak Bayu dikeroyok tiga

orang dalam waktu yang bersamaan.
***
Bayu mendesah kecil sambil menggeleng le-
mah. Dia tidak punya pilihan selain menghadapi 
lawan-lawannya itu. Mereka tampak begitu ber-
nafsu sekali untuk membinasakannya. Dengan 
menepuk pantat kuda tunggangannya sehingga 
hewan itu melompat ke depan, tubuh Pendekar 
Pulau Neraka bersalto di udara sekaligus meng-
hindari tebasan golok-golok lawan.
“Hup!”
Bettt! Bettt!
Namun baru saja Pendekar Pulau Neraka luput 
dari serangan pertama, maka serangan berikut-
nya telah kembali menyambar leher, dada, dan 
bagian perutnya. Bayu tersentak untuk sesaat, 
namun dengan lincah dia berkelit dengan tubuh 
meliuk-liuk bagai orang yang sedang menari.
Wuttt!
Plakkk!
“Uts...!”
Saat tubuhnya melompat ke atas untuk meng-
hindari dua tebasan senjata lawan, Pendekar Pu-
lau Neraka menjauh ke belakang. Baru saja ke-
dua kakinya menjejak ke tanah, satu tusukan 
maut menyambar jantungnya. Pemuda itu menge-
lak ke kanan sambil menghantam pergelangan 
tangan lawan dengan tangan kirinya.

“Yeaaah...!”
Tap!
Rrrt...!
“Kakang Somantri, jangaaan...!”
Pada saat yang bersamaan, seorang lawan yang 
lain melompat dengan senjata terhunus ke arah 
Pendekar Pulau Neraka. Dengan cepat pemuda itu 
menangkap pergelangan tangan lawan di dekat-
nya dan menariknya keras sambil menekuk tan-
gannya. Golok dalam genggaman lawan terlepas 
dan tubuhnya menjadi tameng dari serangan la-
wan yang satunya lagi. Laki-laki itu berteriak ke-
ras dengan wajah pucat pasi. Namun gerakan 
yang dilakukan saudaranya sedemikian cepatnya 
dan tidak mampu lagi untuk ditarik kembali. Aki-
batnya....
Blesss...!
“Aaa...!”
“Palguna...! Palguna...!”
Tidak ampun lagi golok di tangan lawan me-
nembus ke jantung saudaranya yang dijadikan 
tameng oleh Pendekar Pulau Neraka. Saudaranya 
itu memekik kesakitan. Bayu melepaskannya, 
dan laki-laki yang bernama Somantri itu tersen-
tak kaget dengan wajah tidak percaya bahwa dia 
telah membunuh adiknya sendiri. Sambil menca-
but goloknya dia menubruk tubuh adiknya yang 
bermandikan darah sambil memanggil-manggil 
namanya berkali-kali.
“Kurang ajar! Kau harus menebus nyawa adik-
ku, Keparat! Yeaaa...!” Bagira menerjang Pendekar

Pulau Neraka sambil mengayunkan golok di tan-
gan kirinya.
Bersamaan dengan itu, kedua saudaranya yang
lain langsung bangkit dan ikut menyerang Pende-
kar Pulau Neraka dengan serangan yang gencar 
dan membabi buta. Meski serangan-serangan me-
reka hebat dan bertenaga kuat, namun terlihat 
bahwa Pendekar Pulau Neraka dengan mudah 
dapat mengelak. Hal itu karena mereka tidak lagi 
memperhatikan sasarannya serta taktik yang jitu, 
sehingga berkesan bahwa serangan yang mereka 
lakukan asal pukul saja. 
“Hup!”
Tubuh Pendekar Pulau Neraka meliuk ke 
samping ketika ayunan golok Somantri menebas 
kepalanya dari atas ke bawah. Tubuhnya lang-
sung melompat ke depan ketika Bagira membabat 
pinggangnya. Pada saat yang bersamaan, seorang 
lawannya yang lain menghunuskan golok ke arah 
jantung.
Desss!
Crasss!
“Aaakh...!”
“Bagira...!” kembali Somantri menjerit kaget ke-
tika melihat salah seorang adiknya memekik ke-
sakitan sambil mendekap perutnya yang robek.
“Kakang Bagira, kau..., kau...!” sentak sauda-
ranya yang lain dengan wajah pucat.
“Pergiwa, apa yang kau lakukan...?!” bentak 
Somantri dengan amarah yang meluap-luap ke-
pada adiknya yang tinggal seorang itu.

“Aku..., aku...,” ucap Pergiwa tergagap sambil 
menyesali dirinya atas apa yang telah terjadi pada 
saudaranya itu.
Apa yang menimpa Bagira memang bukan ke-
salahan Pergiwa. Ketika mengayunkan golok ke 
arah lawan, saat itu juga tubuh Pendekar Pulau 
Neraka mencelat ke atas sambil bersalto beberapa 
kali. Sebelah kakinya dengan keras menendang 
punggung Bagira yang berada di hadapannya. 
Tubuh Bagira terdorong ke depan dan langsung 
disambut golok adiknya itu tanpa bisa dielakkan 
lagi.
“Ini semua gara-garamu...! Kau harus mampus 
di tanganku, Bangsat! Kau harus mampusss...! 
Yeaaah...!” teriak Pergiwa nyaring.
Seperti orang kesurupan dia mengamuk sejadi-
jadinya menyerang Pendekar Pulau Neraka. Na-
mun dengan sikap tenang Bayu mengelakkan se-
rangan-serangan itu dengan mudah.
Sementara itu Somantri mendengus geram. 
Sambil meludah ke tanah, dia mendengus geram.
“Puih...! Hari ini kalau tidak aku yang mati 
maka kau yang akan binasa!”
Tubuh Somantri langsung melesat menyerang 
lawannya kembali dengan gencar. Bayu mengelak 
ke kanan sambil merendahkan tubuh untuk 
menghindari sambaran golok Pergiwa. Kaki ki-
rinya menghajar pergelangan tangan Somantri 
yang tengah menggenggam senjatanya. Namun 
dengan cepat laki-laki itu merendahkan tangan 
dan balik menyambar kaki lawannya. Pendekar

Pulau Neraka menekuk kaki kirinya dan me-
nyambar pundak lawan dan langsung menariknya 
dengan sentakan kuat untuk diadukan dengan 
saudaranya yang saat itu tengah mengayunkan 
goloknya.
“Hiiih...!”
“Pergiwa, jangan...!” teriak Somantri mempe-
ringatkan dengan wajah pucat.
Pergiwa tersentak kaget Buru-buru dia menarik
serangannya. Agaknya laki-laki itu kali ini lebih 
waspada dengan tipu muslihat lawannya. Namun 
Pendekar Pulau Neraka tidak berhenti sampai di 
situ. Begitu melihat Pergiwa mengurungkan niat-
nya untuk mengayunkan golok, secepat itu pula 
kaki kiri Pendekar Pulau Neraka bergerak meng-
hantam tengkuk dan punggung Somantri dengan 
kecepatan yang sulit diikuti oleh mata biasa.
Duk!
Begkh!
“Aaakh...!”
Blesss!
“Aaa...!”
Tubuh Somantri melesat ke depan sambil men-
jerit kesakitan. Dadanya langsung menyambar 
ujung golok yang masih dipegang adiknya.
“Kakang Somantriii...!” bukan main terkejutnya 
Pergiwa melihat keadaan itu.
Dua kali dia dipermainkan lawan yang menga-
kibatkan kematian dua orang saudaranya di tan-
gannya sendiri. Ujung golok di tangannya sampai 
menembus punggung belakang Somantri. Pergiwa

memapah tubuh saudaranya itu sambil menangis 
tersedu-sedu. Masih terlihat wajah Somantri yang 
terbelalak menahan rasa sakit dan marah sebe-
lum akhirnya menghembuskan napas terakhir-
nya.
***
“Kuharap ini bisa menjadi pelajaran yang ber-
guna bagimu. Tidak ada gunanya kita menu-
rutkan dendam dan hawa nafsu yang tidak pada 
tempatnya. Dan sebaiknya kau dapat berpikir le-
bih jernih lagi...,” kata Pendekar Pulau Neraka 
menasihati sambil membalikkan tubuh dan me-
langkah pelan menaiki kudanya.
“Pendekar Pulau Neraka, jangan pergi kau...!” 
sentak Pergiwa garang.
Bayu memandang ke arah anak muda itu. Dili-
hatnya Pergiwa berdiri tegak memandangnya den-
gan sorot mata tajam berbinar-binar penuh ke-
bencian. Di tangannya tergenggam goloknya yang 
telah berlumuran darah.
“Kisanak, aku peringatkan kau agar tidak lagi 
terjadi pertumpahan darah di antara kita. Pulan-
glah kau....”
“Tutup mulutmu! Setelah apa yang kau laku-
kan terhadap saudara-saudaraku ini, lantas see-
naknya saja kau berkata begitu. Hutang nyawa 
harus dibayar nyawa. Nah turunlah kau, hadapi-
lah aku kalau kau memang jantan!”

“Kisanak, pikirkanlah kata-kataku sebelum 
kau menyesal. Pulanglah....”
“Keparat! Apa kau pikir aku takut denganmu? 
Huh, yeaaah...!” geram Pergiwa sambil melompat 
menerjang lawannya.
Bayu mendesah kecil sambil mengayunkan ka-
ki kanannya memapaki serangan senjata lawan. 
Begitu sejengkal lagi ujung golok lawan akan me-
nebas kakinya, Pendekar Pulau Neraka memi-
ringkan kakinya sedikit, lalu bagaikan belitan 
seekor ular, dengan lincah kaki kanannya meng-
hantam pergelangan lawan.
Plak!
Desss!
Golok di tangan Pergiwa terpental dan dia sen-
diri menjerit kesakitan sambil memegangi tan-
gannya yang membiru. Namun belum lagi dia 
menyadari apa yang telah terjadi, mendadak 
ujung kaki Pendekar Pulau Neraka telah meng-
hantam dadanya dengan telak dan membuat tu-
buhnya terjungkal ke belakang sambil memun-
tahkan darah segar.
“Seharusnya kau memang lebih baik menyusul 
saudara-saudaramu saja. Tapi aku masih berbaik 
hati dengan kekerasan kepalamu itu. Mudah-
mudahan hajaranku tadi bisa membuat kepalamu 
lebih dingin sehingga otakmu bisa berpikir te-
nang...,” kata Bayu sambil mendengus pelan.
“Keparat! Aku tidak takut mati! Bunuhlah 
aku...! Ayo, bunuhlah akuuu.... Hoakh...!” Pergiwa 
berteriak-teriak dengan amarah yang meluap-luap

dan berusaha bangkit untuk menghajar Bayu.
Tapi baru saja melangkah dua tindak, dia men-
jerit kesakitan sambil memuntahkan darah segar. 
Tubuhnya tersungkur ke depan sambil menahan
rasa nyeri di dadanya. Agaknya tendangan yang 
dilancarkan Pendekar Pulau Neraka membuat lu-
ka dalam yang cukup parah.
“Kisanak, pulanglah kau dan lupakan segala 
dendam di hatimu. Jangan paksa aku untuk ber-
tindak keras terhadapmu...,” kata Bayu sambil
menaiki kudanya.
“Keparat kau Pendekar Pulau Neraka! Aku ti-
dak akan pernah melupakan peristiwa ini seumur 
hidupku. Ke mana pun kau berada akan kucari 
dan dendam ini harus terbayarkan!”
“Kisanak, kau akan termakan oleh dendammu 
itu. Hal itu akan lebih menyiksa dirimu sendiri...,” 
sahut Bayu tenang sambil memacu kudanya ber-
lalu dari tempat itu.
“Kau ingat itu, Pendekar Pulau Neraka! Aku 
akan mencarimu ke mana pun kau pergi! Kau 
akan membayar semua ini dengan nyawamu! Kau 
akan mampus di tanganku...! Kau akan mampus 
di tangankuuu...!”
Pergiwa kembali berteriak-teriak dengan nada 
penuh amarah yang meledak-ledak. Namun kesu-
dahannya dia sendiri yang tersiksa ketika rasa 
sakit di dadanya semakin hebat dan membuat tu-
buhnya limbung kemudian ambruk sambil ber-
guling-gulingan. Beberapa kali dia memuntahkan 
darah segar dari mulutnya.

Bayu sempat menoleh sekilas dan melihat la-
wannya itu tergeletak tidak berdaya lagi. Mungkin 
telah tewas atau juga pingsan. Tapi dia tidak 
mempedulikannya lagi dan sudah langsung me-
macu kudanya kencang-kencang untuk segera 
berlalu dari tempat itu.
Ada perasaan sedih di hatinya, karena melaku-
kan itu terhadap mereka. Dia ingin menghindar, 
namun mereka tidak memberi kesempatan pa-
danya sedikit pun. Terpaksa dia harus memper-
tahankan diri kalau tidak ingin nyawanya me-
layang karena mereka begitu kalap serta bermak-
sud menghabisinya.
Hari telah mulai gelap ketika dia tiba di tepi 
sebuah hutan. Bayu memutuskan untuk berhenti 
dan beristirahat di tempat itu. Setelah mengum-
pulkan ranting-ranting kering yang cukup ba-
nyak, pemuda itu mulai membuat api unggun.
Hawa dingin mulai merambat turun, dan Bayu 
mendekatkan dirinya pada nyala api unggun un-
tuk menghangatkan tubuhnya. Sambil menekuk 
kakinya, dia mendekap kedua lututnya dan me-
natap kosong ke arah nyala api itu.
“Mudah-mudahan Wulandari saat ini sudah le-
bih sehat...,” gumamnya perlahan di dalam hati.
Keadaan Wulandari memang sudah agak mem-
baik setelah diobati tabib terkenal beberapa 
minggu yang lalu. Meskipun belum sehat betul 
Wulandari bersikeras pergi ke suatu tempat un-
tuk urusan pribadinya. Bayu telah berusaha un-
tuk mencegah kepergiannya tapi Wulandari tetap

pada pendiriannya. Dan Bayu bermaksud mene-
mani gadis itu dalam perjalanannya, tapi Wulan-
dari bersikeras menolaknya. Gadis itu akhirnya 
memang pergi seorang diri. Tapi mana bisa Bayu 
membiarkannya begitu saja. Sore harinya Bayu 
berangkat menyusul gadis itu. Tapi dia tidak tahu 
ke arah mana gadis itu pergi sehingga sampai de-
tik ini jejaknya belum bisa diketahuinya.
“Hi hi hi...! Kasihan, sungguh kasihan...! Seo-
rang pemuda gagah dan tampan melamun seo-
rang diri di malam yang dingin begini...!”
Mendadak terdengar suara tawa nyaring yang 
merdu membelah keheningan malam. Bayu terke-
jut dan mencari-cari sumber suara itu.
“Heh?!”
***
TIGA


Bayu telah berusaha mencari-cari ke sekeliling, 
tapi yang terlihat hanya pepohonan dan kegela-
pan malam. Tidak terlihat sedikit pun sosok tu-
buh atau siapa pun di tempat ini. Namun Bayu 
berusaha tenang dan tidak mempedulikannya. 
Sikapnya seolah-olah tidak mempedulikan keha-
diran orang lain di tempatnya.
“Hi hi hi...! Bocah gagah, bocah bagus...!” 
agaknya kau memiliki keberanian yang hebat Ti-
dakkah kau merasa takut berada di tempat ini 
seorang diri? Jangan-jangan nanti kau dicekik

kuntilanak yang kelaparan!” kembali terdengar 
suara tawa nyaring yang merdu.
Bayu tersenyum kecil. Dia mengetahui betul 
bahwa itu adalah suara seorang wanita. Bahkan 
dari nada suaranya dia bisa mengetahui bahwa 
pemilik suara itu adalah seorang wanita muda. 
Kalaupun dia tidak mempedulikannya itu karena 
dia memang telah mengetahui di mana wanita itu 
bersembunyi, dan tidak mau menunjukkan keter-
kejutannya pada wanita itu.
“Kalau kuntilanak sepertimu, untuk apa aku 
takut? Kurasa malah setiap laki-laki ingin berte-
mu dengan kuntilanak sepertimu,” sahut Bayu 
tenang.
“Hi hi hi...! Belum apa-apa kau sudah mem-
buat aku tertarik, Bocah. Jarang aku bisa tertarik 
pada orang lain. Kebanyakan dari mereka lari se-
telah bertemu denganku, sebab aku tidak akan 
membiarkan mereka melihatku. Aku akan mela-
hap dan mencincang mereka hidup-hidup...!” sa-
hut suara itu dengan nada menakut-nakuti.
“Apakah kau menginginkan aku takut pada-
mu? Kalau benar, baiklah aku memang takut. 
Tapi jangan kau kira aku akan kabur dari sini. 
Aku masih merasa enak dan tidak ingin mening-
galkan tempat ini!” sahut Bayu seenaknya seperti 
hendak mengejek orang itu. 
“Hi hi hi...!”
Tap!
“Hmmm...!”
Mendadak saja sesosok tubuh telah berdiri di

hadapan pemuda itu sambil cekikikan.
Bayu menggumam pelan dengan sikap tidak 
peduli. Dia mendongakkan wajahnya untuk meli-
hat orang itu, dan....
“Heh...!”
“Kenapa? Kau takut melihatku, bukan? Kenapa 
kau memalingkan mukamu? Aku tahu meskipun 
kau mengatakan takut padaku tapi sesungguhnya 
kau hanya mengejek aku dengan menunjukkan 
bahwa kau tidak takut. Nah, ayo lihatlah aku ka-
lau memang kau berani! Kenapa malah mema-
lingkan wajah?”
Bayu memang segera berpaling, tapi bukan ka-
rena takut melainkan jengah. Sesosok tubuh di 
hadapannya memang seorang wanita muda dan 
berwajah cantik. Namun penampilannya sungguh 
seronok sekali. Rambutnya panjang sampai ke lu-
tut dan dibiarkan terurai lepas begitu saja. Tapi 
bukan itu yang membuat Bayu terpaksa mema-
lingkan muka melainkan karena..., gadis itu sama 
sekali tidak mengenakan penutup tubuhnya!
“Nisanak, tidakkah kau bisa sedikit lebih sopan 
dari ini...?” tanya Bayu sambil tetap memalingkan 
wajahnya.
“Kurang ajar! Apa kau kira kedatanganmu ke 
sini cukup sopan?!” bentak wanita muda itu den-
gan suara pedas.
“Maksudku pakailah pakaian yang sopan un-
tuk menutupi bagian tubuhmu yang terlarang 
itu....”
“Pakaian? Apa itu pakaian? Kulit yang melekat

ini adalah pakaian terbaik bagi suku kami!” sahut 
gadis itu seenaknya.
“Hm, begitukah...? Kalau memang demikian, 
terserah kau saja,” kata Bayu sambil beranjak 
dan bermaksud meninggalkan tempat itu.
“Hei, mau ke mana kau?!” sentak gadis itu kes-
al karena pemuda itu sama sekali tidak mempe-
dulikannya.
“Aku mau pergi...,” sahut Bayu tenang tanpa 
menoleh.
“Huh, kau pikir bisa pergi dari tempat ini see-
nakmu saja?!” dengus gadis itu.
“Apa maksudmu? Aku bisa pergi kapan saja 
aku suka dan tidak seorang pun bisa menghalan-
ginya,” sahut Bayu sambil melompat ke punggung 
kudanya.
Bersamaan dengan itu gadis cantik tersebut 
langsung bersuit nyaring.
“Heh...?!”
Bayu tersentak kaget Suitan nyaring yang dila-
kukan gadis itu ternyata bukan sembarangan. 
Suaranya memekakkan telinga dan membuat ku-
da tunggangannya meringkik keras sambil men-
gangkat kedua kaki depannya. Bayu buru-buru 
menenangkan kuda itu sambil menepuk-nepuk 
lehernya. Dan ketika kuda itu telah tenang kem-
bali, dia dikejutkan oleh peristiwa lain. Di tempat 
itu telah berkumpul lebih dari dua puluh orang 
gadis berambut panjang serta..., dalam keadaan 
bugil!
“Oh, apakah aku sedang bermimpi...?!” ucap

Bayu sambil mengucek-ucek matanya berkali-
kali.
Namun ketika pada akhirnya dia mencubit len-
gannya untuk lebih meyakinkan bahwa dia me-
mang tidak sedang bermimpi, pemuda itu bin-
gung sendiri.
“Hi hi hi...! Sekarang apa kau pikir bisa pergi
sesuka hatimu dari tempat ini?” ejek gadis yang 
tadi bicara dengannya sambil melompat ke hada-
pan pemuda itu.
“Nisanak, jangan memaksaku....”
“Tutup mulutmu! Kau telah berada dalam wi-
layah Suku Dayang, karena itu kau kini adalah 
tawanan kami. Kalau kau coba-coba untuk mela-
wan, maka kematianlah yang akan kau terima!” 
sentak gadis itu memotong kata-kata Bayu.
“Tawanan? Hm, aku semakin tidak mengerti 
dengan apa yang kalian bicarakan!”
“Kau telah memasuki wilayah kami tanpa izin 
dan itu sudah cukup bagi kami untuk menang-
kapmu. Kau akan mendapat hukuman yang se-
timpal!” dengus gadis itu geram.
Bayu terbingung-bingung beberapa saat la-
manya, tapi kemudian dia tertawa sendiri seperti 
orang gila.
“Kalian cukup hebat bersandiwara. Tapi aku 
tidak ada waktu untuk meladeninya. Maaf, aku 
harus buru-buru melanjutkan perjalananku yang 
tertunda...,” kata Bayu sambil menghela kudanya.
Tapi saat yang bersamaan gadis itu membentak 
nyaring.

“Tangkap dia...!”
“Heh...?!”
***
Bayu tersentak kaget ketika melihat gadis-
gadis itu mengurung dirinya sambil menghu-
nuskan tombak-tombak runcingnya. Sikap mere-
ka jelas tidak bersahabat. Tidak terlihat sedikit 
pun senyum tersungging di bibir mereka.
“Nisanak, aku tidak ingin mempersulit dirimu 
sendiri. Biarkan aku akan pergi dari sini dengan 
tenang...,” sahut Bayu sambil memandang pada 
gadis itu.
“Ringkus dia...!” sahut gadis itu sebagai jawa-
bannya.
“Hiyaaa...!”
“Hup!”
Bersamaan dengan itu belasan ujung tombak 
gadis-gadis yang mengepungnya itu menyambar 
dirinya.
Bayu melompat ke atas sambil menghalau ku-
danya menjauhi serangan-serangan mereka. Tu-
buhnya hinggap di salah satu cabang pohon yang 
berada di dekatnya tadi.
“Hiiih...!”
“Yeaaah...!”
Dengan tidak disangka-sangka beberapa orang 
lawannya langsung melesat ke atas sambil men-
gayunkan tombak di tangannya.
Tas!

Crab!
“Uhhh...!”
“Yeaaah...!”
Cabang pohon yang dipijaknya langsung patah 
dihantam ujung tombak lawan. Sementara bebe-
rapa ujung tombak lainnya menancap di dahan 
pohon yang dipijaknya. Namun tubuh Bayu telah 
melesat jauh ke bawah. Baru saja dia menjejak-
kan kedua kakinya, mendadak kembali bersiut 
angin kencang. Lima orang gadis-gadis berambut 
panjang itu mengayunkan ujung tombak di tan-
gannya menghantam bagian kepala, dada, dan 
bawah tubuh Pendekar Pulau Neraka. Pemuda itu 
terkejut dan buru-buru melompat ke belakang. 
Tubuhnya terus berputar-putar sambil melompat 
ke samping untuk menghindari kejaran serangan-
serangan lawan yang gencar.
“Hiyaaa...!”
Pendekar Pulau Neraka membentak nyaring 
sambil menyorongkan kepalan tangannya meng-
hantam salah seorang lawan yang terdekat. Na-
mun lawannya itu malah menyambutnya dengan 
tusukan tombak di tangannya. Sebelum ujung 
tombak itu menyentuh kepalan tangannya, Pen-
dekar Pulau Neraka bergerak ke kanan sambil 
menarik tangannya dan menangkap batang tom-
bak itu dengan tangan kirinya. Tangan kanannya 
menghantam pergelangan tangan lawan. Bersa-
maan dengan itu, tangan kirinya menyentak ke-
ras dan kaki kanannya menendang perut lawan.
Tap!

Bettt!
“Uhhh...!”
Desss!
“Aaakh...!”
Gadis itu menjerit keras ketika tubuhnya terje-
rembab jatuh. Saat itu juga kawan-kawannya 
langsung mengayunkan tombak mereka mengha-
jar Pendekar Pulau Neraka. Tapi Bayu telah siap 
menyambutnya dengan tombak rampasan di tan-
gannya.
“Hiyaaa...!”
Trak!
Trangngng!
Wukkk!
Pendekar Pulau Neraka membentak keras. Be-
berapa tombak lawan terpental dihajarnya, dan 
terdengar mereka mengeluh kesakitan sambil 
mengusap-usap telapak tangannya yang terkelu-
pas.
Gadis-gadis itu tersentak kaget melihat seran-
gan yang dilakukan Pendekar Pulau Neraka. Me-
reka tersentak mundur ketika pemuda itu men-
gayunkan ujung tombak ke hadapan mereka. Be-
berapa orang menggeram sambil mengayunkan 
tombak di tangannya. Kembali Pendekar Pulau 
Neraka menyapu senjata di tangan mereka den-
gan ganas.
“Hiiih...!”
Trang!
Tring!
“Uhhh...!”

Seperti tadi, tombak-tombak di tangan mereka 
terpental dan gadis-gadis itu mengeluh kesakitan 
sambil merasakan telapak tangan mereka yang 
mengelupas.
Pendekar Pulau Neraka mengancam mereka 
sambil memutar-mutar ujung tombak itu ke mu-
ka lawan-lawannya.
“Jangan paksa aku untuk bertindak keras. Ka-
lau kalian tetap memaksa, maka aku tidak akan 
segan-segan menyakiti kalian...!” ancam pemuda 
itu dengan wajah serius.
Gadis-gadis itu terdiam dengan wajah bingung. 
Mereka menyaksikan sendiri bagaimana dengan 
sekali hajar, pemuda di hadapannya itu mampu 
membuat senjata-senjata mereka terpental. Dan 
kini dengan tombak di tangannya itu, tentu tidak 
ada kesukaran baginya untuk mencelakakan me-
reka.
“Apa yang kalian tunggu lagi?! Serang dia...!” 
bentak gadis yang agaknya pimpinan mereka itu 
dengan suara melengking garang.
Maka tanpa diperintah dua kali, mereka kem-
bali menyerang Pendekar Pulau Neraka. Kali ini 
terlihat mereka bersungguh-sungguh seperti tadi 
dan bermaksud meringkus pemuda itu.
“Yeaaah...!”
Trang!
Trak!
“Hup!”
Begitu mereka serentak maju bersamaan, Pen-
dekar Pulau Neraka langsung memapaki sambil

mengayunkan tombak di tangannya dan meng-
hantam senjata-senjata lawan sehingga berpenta-
lan. Setelah itu kaki kirinya bergerak cepat meng-
hantam dua orang lawan yang terdekat.
Desss! Desss!
“Aaakh...!”
Kedua gadis itu berteriak kesakitan. Tubuh 
mereka jatuh terjerembab. Tapi Pendekar Pulau 
Neraka tidak berhenti sampai di situ saja. Ketika 
tubuhnya melompat ke atas sambil menangkis 
beberapa senjata lawan, kedua kakinya kembali 
menendang.
Begkh!
Duk!
“Aaakh...!”
Tiga orang kembali tersungkur sambil menjerit 
keras!
“Huh, kau pikir bisa berbuat seenakmu saja di 
sini? Yeaaah...!”
Gadis yang sejak tadi memberi perintah itu 
agaknya geram juga melihat tidak seorang pun 
anak buahnya yang mampu meringkus Pendekar 
Pulau Neraka, sehingga dia merasa perlu untuk 
turun tangan sendiri menghajarnya. Maka sambil 
membentak nyaring dia menyerang Pendekar Pu-
lau Neraka dengan melakukan gerakan indah dan 
ringan. Tiba-tiba saja telah tergenggam sebilah 
pedang yang cukup panjang di tangan kanannya 
dan menyambar-nyambar tubuh pemuda itu.
Bettt! Bettt!
“Uts...!”

Cras!
Bukan main terkejutnya Pendekar Pulau Nera-
ka melihat serangan lawan. Sama sekali tidak 
pernah disangkanya bahwa gadis itu mampu ber-
gerak sedemikian cepatnya. Sehingga ketika 
ujung pedangnya menyambar ke arah leher, Pen-
dekar Pulau Neraka menundukkan kepala. Tapi 
gadis itu mengayunkan satu tendangan ke arah 
dada membuatnya terpaksa mengayunkan tom-
bak di tangannya. Gadis itu menarik pulang ka-
kinya. Tubuhnya berbalik cepat sambil men-
gayunkan pedang menyambar kedua kaki lawan. 
Tidak ada waktu lagi bagi Pendekar Pulau Neraka
untuk mengayunkan tombak di tangannya. Tu-
buhnya melesat cepat di atas sambil berjumpali-
tan dan menekuk kedua kakinya. Tapi bersamaan 
dengan itu tubuh gadis itu pun melesat ke atas 
mengikutinya sambil memutar tubuh bagai gas-
ing, lalu tiba-tiba saja dadanya terasa perih. Keti-
ka Pendekar Pulau Neraka menjejakkan kedua 
kakinya di tanah, gadis itu telah berdiri di hada-
pannya pada jarak lima langkah sambil menghu-
nus pedang yang ujungnya masih terlihat noda 
darah.
“Aku bisa mencabut nyawamu kalau saja aku 
mau...!” dengus gadis itu dengan sombong.
“Hm, ilmu pedang yang hebat!” puji Pendekar 
Pulau Neraka sambil tersenyum kecil.
“Aku tidak butuh pujian dari seorang tawanan! 
Sekarang jangan coba-coba membantah lagi. Ka-
rena kau adalah tawananku dan harus ikut pada

semua perintahku!” kata gadis itu menegaskan.
“Nisanak, berapa kali aku harus mengatakan 
padamu, kalau aku tidak bisa mengikuti keingi-
nanmu itu. Kalau memang aku melanggar wi-
layah mu, maka aku minta maaf. Itulah sebabnya 
aku ingin buru-buru meninggalkan tempat ini. 
Tapi untuk menjadi tawananmu?! Maaf, kua-
nggap kau sungguh keterlaluan...,” sahut Bayu 
tenang.
Setelah berkata demikian Bayu langsung me-
langkah dengan tenang untuk mendekati ku-
danya. Gadis itu merasa bahwa pemuda itu me-
remehkannya. Maka dengan geram dia melompat 
menyerang dari belakang.
Trangngng!
Wuttt! Wuttt!
“Hup!”
Merasakan desiran angin serangan, Pendekar 
Pulau Neraka langsung mengayunkan tombak di 
tangannya untuk menangkis senjata lawan. Tu-
buhnya berbalik dan ujung tombak itu menghajar 
tubuh si gadis dan memaksanya untuk bergerak 
lincah menghindari serangan-serangan gencar 
yang dilancarkan Pendekar Pulau Neraka. Agak-
nya Pendekar Pulau Neraka memang ingin mem-
buktikan pada gadis itu bahwa dia tidak bisa see-
naknya memerintah orang. Pendekar Pulau Nera-
ka sama sekali tidak memberi kesempatan pada 
gadis itu untuk memperbaiki kedudukannya.
“Yeaaah...!”
“Uts...!”

“Hiiih!”
Ujung tombak di tangan Pendekar Pulau Nera-
ka berputar-putar menyambar ke mana saja la-
wan bergerak menghindar. Sehingga terlihat gadis
itu kerepotan menghindarinya. Beberapa kali dia 
mencoba menangkis tombak di tangan lawannya, 
namun pedangnya seperti menghantam tombak 
baja yang amat tebal dan membuat tangannya 
kesemutan dan jantungnya berdetak lebih ken-
cang. Tapi Bayu kagum dengan kehebatan gadis 
itu. Meski tenaga dalamnya tidak terlalu hebat, 
namun gerakannya sangat gesit Dia mampu ber-
gerak bagai lesatan anak panah. Terbukti ketika 
keadaannya tengah terdesak, gadis itu melompat 
ke bawah sambil bergulingan. Padahal Pendekar 
Pulau Neraka telah menunggunya dengan ten-
dangan sebelah kaki kiri. Tapi gadis itu lebih ce-
pat lagi bergulingan menghindari. Bahkan ketika 
ujung tombak Pendekar Pulau Neraka menghajar 
pinggangnya, tubuh gadis itu melenting ke atas 
dan dengan cepat mengayunkan pedangnya ke 
wajah lawannya.
Trang!
Dengan cepat Pendekar Pulau Neraka menang-
kis serangan lawan dengan pangkal tombaknya 
dan balas menyapu pinggang gadis itu dengan 
pengerahan tenaga kuat Tubuh gadis itu merun-
duk untuk kemudian melesat ke belakang sejauh 
lima langkah. Baru saja dia akan kembali melom-
pat menyerang lawan, maka saat itu juga terden-
gar bentakan nyaring.

“Sekar Mayaaang..., hentikan perbuatanmu 
itu...!”
“Ayah. Oh...!” gadis itu tersentak kaget dan ce-
pat menghentikan serangannya. Wajahnya ter-
tunduk dalam dan dia diam mematung dengan 
sikap bersalah ketika seorang laki-laki tinggi be-
sar hadir di tempat itu sambil memandang tajam 
ke arahnya.
Laki-laki itu berusia sekitar enam puluh tahun 
dan memiliki jenggot panjang yang telah memu-
tih. Rambutnya juga panjang dan memutih di-
biarkan lepas begitu saja hingga batas pinggang. 
Hingga kalau saja orang tidak melihat kumis dan 
jenggotnya yang panjang, tentu saja sepintas lalu 
akan menduga dia seorang perempuan. Laki-laki 
itu tidak memakai baju dan hanya sedikit kain 
yang menutupi bagian terlarang di pangkal pa-
hanya. Dengan memegang tongkat panjang di 
tangannya, dia memandang gadis-gadis itu den-
gan sikap marah. Gadis-gadis itu seperti mengerti 
apa yang akan mereka perbuat, diam membisu 
dan menundukkan wajahnya dalam-dalam.
“Apa yang kalian lakukan ini, he...?! Apa yang 
kalian lakukan di sini terhadap orang asing 
itu...?!” bentak laki-laki tua itu dengan suara 
menggelegar.
Bayu tersentak kaget. Suara laki-laki tua itu 
agaknya bukan sekadar membentak belaka. Ber-
sama suara itu pula dia mengerahkan tenaga ba-
tinnya yang kuat. Bayu sendiri merasakan jan-
tungnya berdetak lebih kencang dan kulitnya se

perti terbakar dengan gendang telinganya seolah 
mau pecah.
Yang terjadi pada gadis-gadis itu ternyata lebih 
parah lagi. Beberapa orang di antara mereka men-
jerit kesakitan sambil mendekap telinga dan hi-
dungnya yang mengucurkan darah segar. Mereka 
lalu ambruk ke tanah sambil berguling-gulingan 
menahan rasa sakit.
“Ampun, Ki Guntur Agung...! Ampunilah kesa-
lahan kami...!” rintih mereka dengan suara meme-
las.
***
EMPAT


“Kisanak, hentikanlah perbuatanmu...!” kata 
Bayu dengan sopan.
Meskipun dia berkata pelan namun Bayu men-
gerahkan tenaga batinnya lewat suara itu sehing-
ga mampu membuat orang tua itu terkejut dan 
menghentikan teriakannya. Dia memandang ke 
arah Pendekar Pulau Neraka dengan tajam, ke-
mudian terlihat perlahan-lahan tersenyum tipis.
“Kalau memang kau menginginkan demikian 
tentu saja dengan senang hati kukabulkan...,” 
sahut orang tua itu tenang seperti tidak terjadi 
apa-apa di tempat itu.
Bayu sedikit heran dengan sikap orang tua 
yang tadi dipanggil Ki Guntur Agung itu. Kenapa 
dia seolah-olah begitu patuh dengan kata

katanya?
“Mereka memang nakal dan suka mengganggu 
orang. Maafkan kelakuan mereka, Kisanak. Aku 
tahu betul, jika engkau hendak melukai mereka 
maka dengan mudah hal itu bisa kau lakukan se-
jak tadi,” lanjut orang tua itu dengan sikap hor-
mat
Bayu membalas salam hormat orang tua itu 
sambil memperkenalkan dirinya.
“Orang tua, namaku Bayu Hanggara. Maaf ka-
lau memang aku memasuki wilayah kalian tanpa 
seizinmu. Hal itu sama sekali tidak sengaja kare-
na kebodohanku....”
“Tidak mengapa, Anak Muda. Namaku Guntur 
Agung, dan aku adalah ketua suku Dayang yang 
menguasai lembah ini. Dan yang tadi bertemu 
denganmu itu adalah anak bungsuku yang ber-
nama Sekar Mayang. Dia memang bandel sekali 
dan suka mengganggu orang...,” sahut Ki Guntur 
Agung.
“Terima kasih, Ki Guntur. Kalau demikian aku 
pamit dulu untuk melanjutkan perjalananku...,” 
kata Bayu sambil memberi salam hormat pada 
orang tua itu.
“Kisanak, tidakkah kau berminat untuk mam-
pir barang sejenak di gubuk kami? Barangkali se-
kadar menghilangkan dahaga atau mengisi perut, 
kami memiliki banyak makanan dan minuman di 
tempat kami. Silakan...!”
Bayu tersenyum sambil memandang orang tua 
itu. Ada kekuatan yang dipancarkan orang tua itu

untuk membuatnya tidak mampu menolak kein-
ginannya. Tapi Bayu menyadari bahwa hal itu 
bukan kebetulan semata. Orang tua itu seper-
tinya ingin mengujinya dengan sorot matanya 
yang tajam mengandung daya sihir kuat. Untuk 
sesaat Bayu merasakan tubuhnya lemah tidak 
berdaya. Tidak ada gairah dan semangat hidup 
dalam dirinya. Tapi pemuda itu cepat sadar dan 
perlahan-lahan dia mengerahkan tenaga batinnya 
untuk melawan pengaruh sihir orang tua itu.
“Ki Guntur, terima kasih. Tapi ada sesuatu 
yang harus kukerjakan dan musti buru-buru...!” 
sahut Bayu sambil tersenyum tipis dan balas 
memandang orang tua itu dengan tajam.
“Hm, bukankah di tempat ini sangat dingin? 
Kau tentu akan sangat tersiksa sekali. Cobalah 
rasakan...,” lanjut Ki Guntur Agung sambil men-
gibas-ngibaskan tangannya ke muka.
Bersamaan dengan itu mendesir angin dingin 
yang mampu melinukan sumsum tulang dan 
membuat geraham bergemeletukan. Beberapa 
orang gadis itu buru-buru menjauh melihat kea-
daan itu.
“Kisanak, kau ternyata salah sebab saat ini 
udara belum terasa dingin, malah sangat panas...! 
Cobalah kau rasakan!” sahut Bayu sambil mengi-
bas-ngibaskan tangannya ke depan.
Ki Guntur Agung kini merasakan sebaliknya, 
angin panas nyaris membakar kulitnya kalau saja 
dia tidak buru-buru menghindar. Orang tua itu 
mencoba memapaki dengan pukulan berhawa

dingin yang dilancarkannya. Namun cuma mam-
pu bertahan sesaat sebab pukulan berhawa pa-
nas yang dikerahkan pemuda itu sedemikian 
kuatnya sehingga memaksanya untuk melompat 
ke sana kemari menghindarinya.
“Ki Guntur, kurasa cukuplah kau merasakan
hawa di tempatmu ini. Aku hendak mohon pamit 
dulu...,” sahut Bayu sambil menarik kembali pu-
kulannya.
“Hm, aku benar-benar kagum padamu, Kisa-
nak silakan...!” kata orang tua itu sambil menyi-
lakan Bayu untuk berlalu.
“Terima kasih, Ki Guntur Agung. Kuharap kita 
bisa bertemu kembali di lain waktu...,” sahut 
Bayu sambil melompat ke punggung kudanya dan 
berlalu dari tempat itu secepatnya.
Ki Guntur Agung memandangnya sampai pe-
muda itu hilang dari pandangannya. Dia menghe-
la napas pendek sambil mendesah pelan.
“Hm, usianya masih sangat muda tapi kepan-
daiannya sudah demikian hebat. Pastilah dia bu-
kan orang sembarangan di dunia persilatan...,” 
gumamnya pelan.
“Ki Guntur Agung...!” panggil salah seorang ga-
dis yang berada di tempat itu.
“Hm...,” orang tua itu berpaling sambil bergu-
mam pelan.
“Ni Sekar Mayang tidak ada di tempat...,” lanjut 
gadis itu.
“Apa?!” sentak Ki Guntur Agung sambil menca-
ri-cari di sekeliling tempat itu.

“Kami telah mencarinya, tapi dia tidak ada...,” 
sahut gadis itu kembali.
“Cepat cari dia! Tidak usah kembali kalau ka-
lian tidak menemukannya...!” bentak Ki Guntur 
Agung garang.
“Baik, Ki...,” sahut gadis-gadis itu serentak.
Tidak berapa lama kemudian mereka segera 
berlalu meninggalkan tempat itu.
***
Bayu memacu kudanya dengan kencang agar 
secepat mungkin dia bisa keluar dari lembah itu. 
Setelah dirasakannya cukup jauh, pemuda itu 
berhenti dan memandang ke sekeliling tempat itu. 
Tiba-tiba dia tersenyum kecil sambil menggeleng 
pelan.
“Kenapa kau mengikutiku...?!” tanyanya den-
gan suara keras.
Tak terdengar sahutan. Sepertinya pemuda itu 
tidak waras karena bicara sendiri.
Tapi sebenarnya dia mengetahui bahwa seseo-
rang berada di tempat itu dan sejak tadi mengiku-
tinya.
“Pergilah kau dan jangan lagi mengikutiku. 
Apakah kau ingin mengatakan bahwa tempat ini 
pun termasuk dalam wilayah mu sehingga dengan 
seenaknya kau menganggapku tawananmu...?!” 
lanjut Bayu dengan suara lebih keras.
Saat itu juga melesat turun sesosok gadis ber

wajah cantik dengan rambut panjang terurai, dan
tanpa mengenakan selembar pakaian pun! Di 
tangan kanannya tergenggam sebatang pedang 
panjang. Gadis yang tidak lain Sekar Mayang itu 
menundukkan kepalanya tidak berani meman-
dang wajah pemuda itu.
“Kenapa kau mengikutiku...?”
Gadis itu diam membisu tidak menjawab sepa-
tah kata pun.
“Hm, gerakanmu cukup hebat dan tiada dua-
nya. Kurasa aku pun tidak mampu mengimban-
ginya. Kalau kau menginginkan aku mengalah, 
maka kukatakan aku pasti kalah jika bertarung 
denganmu. Nah, pergilah...!” sahut Bayu meren-
dah agar urusannya itu cepat selesai.
“Aku tidak ingin bertarung denganmu...,” sahut 
Seka Mayang pelan.
“Jadi apa maumu?”
“Ayah pasti akan memarahiku karena perbua-
tanku tadi. Aku..., aku tidak berani pulang...,” 
sahut gadis itu lirih.
“Perbuatan apa yang kau maksud?”
“Mengganggumu dan mengerahkan pasukan 
untuk kepentingan diri sendiri. Apalagi aku men-
gatakan bahwa kau adalah tawananku, padahal 
itu tidak dibenarkan. Bahwa ayah selalu melarang 
kami untuk bertemu dengan orang luar. Siapa 
yang melanggar peraturan itu pasti akan menda-
patkan hukuman berat. Kau harus menolongku!” 
sahut gadis itu memandang wajah Bayu dengan 
penuh harap.

“Apa yang bisa kubantu?”
“Kau harus menjelaskan pada ayahku bahwa 
kau telah memaafkan semua kesalahanku....”
“Hm, aku tidak bisa!” sahut Bayu tegas.
Gadis itu memandangnya dengan wajah tidak 
percaya. Kemudian dia berucap lirih.
“Kalau begitu aku tidak mau kembali....”
“Terserahmu. Kau boleh pergi ke mana saja 
kau suka. Siapa yang mau melarangmu?”
“Aku akan ikut denganmu....”
“Apa?!” pekik Bayu karena terkejut mendengar 
jawaban gadis itu.
“Aku mau ikut denganmu!” sahut gadis itu te-
gas seperti tidak merasakan bahwa kata-katanya 
itu membuat Bayu tersentak kaget.
“Tidak bisa! Aku mau pergi sendiri dan kau ti-
dak boleh mengikutinya!” sahut Bayu tegas.
“Kenapa tidak? Bukankah kau tadi mengata-
kan bahwa aku boleh pergi ke mana saja aku su-
ka, dan tidak seorang pun yang bisa melarang-
nya? Kenapa kau sekarang malah melarangku?!” 
tanya gadis itu seperti menuduh pemuda itu tidak 
menepati ucapannya.
“Tapi maksudku bukan seperti itu. Kau boleh 
pergi ke mana saja kau suka asal tidak mengiku-
tiku!” sambung Bayu mengulangi kata-katanya 
sambil menekan pada si gadis hal-hal yang tidak 
boleh dilakukannya.
“Hm, kau sama saja seperti apa yang dikatakan 
oleh ayahku...,” sahut gadis itu bergumam pelan 
sambil berpaling.

“Apa yang dikatakan oleh ayahmu itu...?” tanya 
Bayu tertarik.
“Orang asing itu pembohong dan tidak bisa di-
percaya. Itulah sebabnya kami dilarang mendekat 
pada mereka...,” sahut gadis itu menjelaskan.
“Kata-kata ayahmu itu salah. Karena tidak se-
muanya orang asing itu mempunyai sifat bu-
ruk...,” sergah Bayu.
“Tapi aku baru saja membuktikannya. Kau ti-
dak menepati kata-katamu sendiri!” tuding gadis 
itu keras.
“Tapi itu lain...!” sahut Bayu mencoba mem-
bantah.
Gadis itu tidak menjawab, melainkan meman-
dang pemuda itu dengan seksama dengan sikap 
tetap mendakwanya. Bayu menggeleng lemah 
sambil menghela napas pendek. Perlahan dia me-
nambatkan kudanya dan mengumpulkan kayu-
kayu kering. Gadis itu pun mengikuti perbuatan-
nya. Bahkan membantunya ketika pemuda itu 
mulai membuat api unggun. Bayu diam membisu 
dan tidak tahu apa yang harus dilakukannya.
“Kenapa kau tidak mau berpaling kalau bicara 
denganku...?” tanya gadis itu sedikit kesal.
“Kau tanyakanlah saja pada dirimu sendiri. 
Apakah pantas seorang wanita berkeliaran dalam 
keadaan sedemikian?”
“Tapi di tempat kami hal ini adalah biasa!” 
sanggah gadis itu.
“Tapi di luar kau akan menjadi bahan tontonan 
orang banyak!” sahut Bayu kesal.

“Jadi harus bagaimana...?” tanya gadis itu ti-
dak mengerti.
“Pakailah baju dan tutupi bagian tubuhmu dari 
pangkal leher sampai mata kaki!” sahut Bayu 
seenaknya.
“Tapi saat ini aku tidak punya apa pun untuk 
menutupi tubuhku. Lalu dengan apa aku harus 
menutupinya...?”
“Itulah sebabnya kau tidak boleh ikut dengan-
ku!” sahut Bayu menegaskan.
Aku tidak boleh ikut denganmu karena pe-
nampilanku yang begini ini?” tanya gadis itu me-
negaskan.
“Ya....”
“Kalau begitu setelah aku menutupi tubuhku 
berarti boleh ikut denganmu, bukan?”
Bayu tersentak kaget. Kenapa dia sebodoh itu 
menjawab? Gadis ini kelihatannya cerdik dan 
otaknya cerdas meski pengalamannya tidak ba-
nyak. Bahkan kalau mendengar kata-katanya 
berkesan polos. Dia hanya mengerti sebatas kata-
kata yang diucapkan lawan bicaranya dan tidak 
mengerti makna-makna di balik kata-kata itu. 
Dan kini Bayu terjebak dengan kata-katanya sen-
diri.
“Maksudku bukan begitu...,” ucap Bayu tidak 
jadi meneruskan kata-katanya ketika melihat ga-
dis itu memandangnya dengan heran bercampur 
dakwaan. Seolah-olah menuduhnya telah dua kali 
berkata tidak benar di hadapannya.
“Berarti kata-kata ayahku benar, bahwa orang

asing itu tidak bisa dipercaya...,” gumam gadis itu 
lirih.
“Ya, aku memang tidak bisa dipercaya. Karena 
itu kau tidak boleh mengikutiku!” sahut Bayu 
kesal.
Gadis itu memandangnya kembali dengan sek-
sama. Namun seperti tadi, Bayu sama sekali tidak 
mau berpaling padanya. Dia tetap membelakangi 
gadis itu.
“Aku tidak percaya sebab ayahku tidak hanya 
berkata seperti itu. Beliau juga mengatakan bah-
wa orang asing yang laki-laki suka berbuat tidak 
baik pada gadis-gadis sepertiku. Tapi aku tidak 
tahu berbuat tidak baik seperti apa yang dimak-
sud beliau. Yang jelas itu pasti akan menyakiti di-
riku...,” lanjut gadis itu.
“Aku telah mengusirmu berkali-kali dan kau 
pasti merasa sakit hati. Oleh sebab itu aku telah 
berbuat tidak baik terhadapmu. Ayahmu benar, 
oleh sebab itu pergilah kau sebelum aku menya-
kiti lebih keras lagi!” sahut Bayu mendongkol.
“He he he...! Sekar Mayang, meskipun kau ti-
dak tahu apa-apa tapi aku yakin sekali bahwa
pemuda itu baik dan tahu sopan-santun...!” ucap 
seseorang yang mendadak tiba-tiba terdengar su-
ara tawanya yang nyaring lalu diikuti melesatnya 
sesosok tubuh dengan ringannya ke hadapan pe-
muda itu.
“Heh...?!”
***

Bayu langsung bangkit berdiri dengan sikap 
siaga untuk menghadapi segala kemungkinan. 
Tapi kemudian dia kembali bersikap tenang keti-
ka mengetahui siapa yang hadir di tempat itu. 
Orang tersebut tidak lain dari Ki Guntur Agung, 
ayah gadis itu. Tapi sungguh hebat gerakannya 
sehingga Bayu sama sekali tidak mengetahui ke-
hadirannya di tempat itu.
“Ki Guntur Agung, syukurlah kau datang ke 
sini. Aku tidak tahu harus bersikap bagaimana 
dengan sikap keras kepala putrimu itu. Dia ingin 
ikut denganku, mudah-mudahan kau bisa mela-
rangnya,” kata Bayu berharap orang tua itu 
mampu menyelesaikan persoalannya.
“Ayah, maafkan kelakuanku. Tapi pemuda ini 
telah memaafkannya sehingga Ayah tidak boleh
menghukumku...,” kata Sekar Mayang membela 
diri.
Ki Guntur Agung memandang keduanya den-
gan seksama secara bergantian dengan kedua 
tangannya berada di belakang sejak tadi. Dia sen-
diri tidak beranjak dari tempatnya berdiri sejak 
tadi.
“Bayu, putriku telah berbuat kesalahan karena 
mengganggumu, oleh sebab itu dalam suku kami 
dia patut mendapat hukuman. Apakah kau setuju 
dengan hal itu?” tanya Ki Guntur Agung perlahan.
“Sebelum kujawab pertanyaanmu, aku hendak 
bertanya lebih dulu. Beratkah hukuman yang 
akan diterimanya?”
“Dalam adat kami berat atau tidaknya huku

man itu tergantung dari bagaimana seseorang itu 
menerimanya. Nah, sebagai seorang pendekar 
yang mendukung sikap-sikap bijaksana, tentulah 
kau tidak menolak jika seseorang yang telah ber-
buat kesalahan harus mendapat hukuman? Se-
bab dalam suku kami perbuatan putriku ini jelas 
merupakan kesalahan!” sahut Ki Guntur Agung.
Bayu berpikir sejenak. Orang tua itu ternyata 
tidak sebodoh apa yang terlihat dari penampilan-
nya. Tidak ada jawaban lain yang bisa dilakukan-
nya selain mengangguk dan membenarkan kata-
kata orang tua itu.
“Dalam adat kami hukuman harus dijatuhkan 
oleh ketua suku, yaitu aku sendiri. Tapi hari ini 
kau mendapat kehormatan untuk membantu-
ku....”
“Bantuan apakah yang bisa kuberikan, Ki Gun-
tur?”
“Menyetujui hukuman yang akan kuberikan 
pada putriku,” sahut Ki Guntur Agung.
“Maaf, orang tua. Aku tidak bisa membantumu 
sebelum aku mengetahui jenis hukuman yang 
akan menimpa putrimu nanti. Kalau dia menda-
pat hukuman berat, tentu saja aku tidak bisa 
menambah beban yang dideritanya,” sahut Bayu 
tegas.
“Kalau aku memberikan hukuman ringan ba-
ginya apakah kau akan menyetujuinya?” tanya Ki 
Guntur Agung membalikkan kata-kata pemuda 
itu.
“Ng..., kurasa jawabannya ya...,” sahut Bayu

ragu karena merasa terjebak oleh kata-katanya 
sendiri.
“Sungguh-sungguhkah kau mau membantu-
ku?”
“Baiklah...!” sahut Bayu mantap.
“Bawalah putriku mengembara bersamamu....”
“Orang tua, maaf. Kalau hal itu aku tidak bisa!” 
sahut Bayu cepat memotong pembicaraan orang 
tua itu.
“Aku mengerti apa yang kau rasakan, juga 
mengerti kenapa kau menjawab demikian. Namun 
sebelumnya, tolong dengarkan dulu penjelasanku. 
Aku sudah tua dan sebagai seorang kepala suku 
pastilah harus digantikan oleh putriku satu-
satunya itu.
Tapi kepala suku harus pula mereka yang me-
miliki pengetahuan dan wawasan yang luas. Telah 
lama aku memikirkan hal itu. Sedangkan putriku 
belum memenuhi syarat untuk itu. Dia terlalu po-
los dan tidak banyak mengerti tentang pengala-
man hidup dan bergaul. Begitu tadi melihatmu 
aku lantas mengetahui bahwa kau seorang yang 
baik dan bisa dipercaya. Bayu aku tidak akan 
mempercayakan putriku kepadamu kalau saja 
aku yakin kau memiliki kelakuan yang buruk. 
Bawalah dia mengembara bersamamu untuk 
mencari pengalaman hidup yang berguna baginya 
kelak. Setelah kau rasa cukup, kau boleh men-
gantarkannya kembali padaku....”
Bayu termenung beberapa saat lamanya, ke-
mudian memandang wajah orang tua itu dengan

lesu.
“Ki Guntur, banyak hal yang membuatku tidak 
bisa mengajak putrimu turut serta...,” sahutnya 
lirih.
“Aku mengerti bahwa dia harus bisa menye-
suaikan diri dengan lingkungan kehidupan ka-
lian. Untuk itulah aku bawakan baginya satu stel 
pakaian lengkap untuknya...,” sahut Ki Guntur 
Agung sambil mengangsurkan satu stel pakaian 
wanita kepada putrinya dan menyuruh gadis itu 
mengenakannya.
Bayu memperhatikan sejenak ketika gadis itu 
telah berpakaian kemudian tersenyum kecil.
“Nah, bagaimana pendapatmu sekarang...?” 
tanya Ki Guntur Agung kembali.
“Ki, terus terang agar kalian ketahui bahwa 
aku telah bertunangan dengan seorang gadis lain. 
Apa jadinya kalau dia melihat putrimu berjalan 
bersamaku...?” sahut Bayu akhirnya berterus te-
rang agar mereka mengerti keberatannya.
“Hm, hal itu tidak menjadi masalah. Kau bisa 
menjelaskannya kalau dia melihatmu. Tunan-
ganmu pasti bisa mengerti. Bayu anggaplah bah-
wa perbuatanmu nanti sebagai pertolongan ter-
hadap kami. Kaulah orang yang bisa kupercaya 
untuk saat ini,” sahut Ki Guntur Agung enteng.
Bayu berpikir beberapa saat lamanya. Berat 
hatinya untuk mengajak Sekar Mayang, namun 
Ki Guntur Agung terus memaksanya sehingga 
membuatnya menjadi tidak enak hati. Apalagi ke-
tika orang tua itu mulai mengungkit-ungkit soal

janjinya tadi. Maka akhirnya dia terpaksa men-
ganggukkan kepalanya tanda setuju.
“Baiklah...”
“Terima kasih, Bayu. Sekar Mayang, jagalah di-
rimu baik-baik...!” setelah berkata demikian tu-
buh Ki Guntur Agung melesat cepat dari tempat 
itu dan membuat desah kekaguman di hati Bayu.
***
LIMA


Berjalan bersama gadis itu memang tidak mu-
dah dan hal itu disadari betul oleh Bayu. Sekar 
Mayang dengan seenaknya saja memeluk tubuh-
nya ketika mereka hendak tidur.
“Kenapa?” tanyanya merasa tidak bersalah ke-
tika Bayu menepisnya pelan.
“Sekar Mayang, satu hal yang perlu kau keta-
hui bahwa tidak patut antara laki-laki dan wanita 
tidur dengan cara demikian sebelum mereka me-
nikah. Hal itu amat tabu!” jelas Bayu.
Mula-mula Sekar Mayang tidak bisa menerima 
hal itu sehingga terpaksa Bayu menjelaskan sedi-
kit tentang adat kesopanan dan tata krama per-
gaulan di dunia mereka sehingga gadis itu akhir-
nya mengerti juga.
Mereka kemudian tidur pada tempat terpisah 
pada jarak agak jauh.
Dan agaknya gadis itu cepat tanggap pada apa 
yang dikatakan pemuda itu. Buktinya ketika mereka bangun pagi-pagi sekali dan Bayu menga-
jaknya untuk menunggang kuda, dia sama sekali 
tidak berani memegang pinggang Bayu. Padahal 
kuda itu berlari demikian kencang. Kalau saja dia 
tidak memiliki keseimbangan tubuh yang hebat 
niscaya sudah sejak tadi gadis itu terkapar ke be-
lakang.
“Kenapa kita ke tempat ini...?” tanya gadis itu 
ketika Bayu membawanya pada salah seorang pe-
tani yang banyak memelihara kuda tunggangan.
“Aku akan membelikanmu seekor kuda dan 
kemudian baru mengganti pakaian yang kau ke-
nakan?” jelas pemuda itu.
“Apakah pakaian yang kukenakan ini aneh ba-
gimu?” tanya Sekar Mayang.
“Tidak. Tapi terlalu buruk dan sudah lusuh. 
Kau akan lebih cantik bila memakai pakaian yang 
lebih pantas,” sahut pemuda itu.
Sekar Mayang mematut-matut dirinya dengan 
pakaian yang agak kekecilan dan lusuh yang di-
kenakannya itu. Sepintas orang akan melihatnya 
seperti seorang pengemis.
Setelah membayar harga kuda yang disetujui, 
gadis itu menunggang kuda berwarna coklat yang 
kelihatan gagah serta perkasa. Sama sekali dia ti-
dak merasa kesulitan sehingga menambah keka-
guman di hati pemuda itu saja.
“Melihat caramu berkuda tentu hewan itu tidak 
asing lagi padamu...,” kata pemuda itu seperti pa-
da dirinya sendiri.
“Ya, di tempat kami kuda memang sudah tidak

asing lagi. Setiap wanita pasti mahir menunggan-
ginya,” sahut Sekar Mayang dengan wajah cerah.
Keduanya segera memacu kudanya ke bagian 
desa yang agak ramai. Bayu membelikan pakaian 
warna biru muda terbuat dari bahan halus untuk 
gadis itu. Dan ketika Sekar Mayang keluar den-
gan pakaian barunya itu, Bayu tersenyum kecil.
“Nah, dengan begitu kau kelihatan cantik...!” 
pujinya.
“Terima kasih. Aku kini mengerti setelah meli-
hat pengemis-pengemis yang banyak berkeliaran 
di desa ini. Kau tentu tidak ingin aku terlihat se-
perti pengemis-pengemis itu, bukan?” sahut gadis 
itu sambil menduga apa yang terlintas di benak 
pemuda itu.
“Sebagian begitu dan sebagian lagi karena kau 
putri kepala suku maka sudah sepatutnya kau 
berpakaian secara layak dan bagus. Sebaiknya 
rambutmu yang panjang diikat dan pedangmu itu 
selipkan saja di pinggang,” sahut Bayu sambil 
memberitahukan apa yang pantas dilakukan ga-
dis itu.
“Bagaimana sekarang?” tanya Sekar Mayang 
setelah melakukan apa yang diperintahkan Bayu 
tadi.
“Nah, kini kau lebih cantik lagi...!” puji Bayu 
kembali.
“Aku.... Aku lapar...,” kata gadis itu ketika me-
reka keluar dari toko yang tadi dimasuki kedua-
nya.
“Ya, aku juga mulai merasa lapar. Sebaiknya

kita mencari kedai dan makan dulu...,” sahut 
Bayu sambil mengajak gadis itu memasuki se-
buah kedai yang cukup besar di desa itu.
Gadis itu hanya menurut saja ketika pemuda 
itu mengajaknya masuk ke dalam kedai itu. Bola 
matanya memperhatikan keadaan di seputar 
ruangan kedai. Di situ terlihat beberapa orang 
tengah bersantap. Dua orang laki-laki yang ber-
wajah kasar terkekeh-kekeh kecil sambil menge-
dipkan sebelah mata pada gadis itu. Sekar 
Mayang menatap mereka dengan tidak mengerti.
“Kenapa mereka tertawa-tawa dan menger-
dipkan mata padaku...?” tanyanya pada Bayu 
dengan wajah bingung.
“Diamkan saja dan jangan pedulikan. Mereka 
sedang menggodamu karena kau cantik dan me-
narik...,” sahut Bayu.
Sekar Mayang buru-buru mengalihkan perha-
tian, namun kedua laki-laki itu malah penasaran 
dan mendekati mereka terus.
“He he he...! Bocah cantik, siapa namamu? 
Maukah kau menemaniku makan di meja sa-
na...?” tanya salah seorang dari kedua laki-laki 
itu sambil menjawil dagu Sekar Mayang.
Gadis itu diam saja dan memperhatikan kedu-
anya dengan heran. Melihat keadaan itu, kedua 
laki-laki itu merasa bahwa gadis itu tidak meno-
lak kejahilan mereka. Maka dengan sangat ber-
nafsu, salah seorang dari mereka bermaksud me-
remas dada si gadis. Namun sebelum hal itu ter-
jadi, Bayu telah menangkap pergelangan tangan


nya dan menatap tajam ke arah keduanya.
“Kisanak, jangan berbuat kurang ajar! Pergilah 
kalian dari sini...!” tegas terdengar suara Bayu.
“He, kau berlagak jago di sini? Kurang ajar...!” 
kawannya membentak dan langsung menghan-
tamkan kepalan tangannya ke dada Bayu.
Plak!
Wuttt!
Desss!
Dukkk!
“Aaakh...!”
***
Pendekar Pulau Neraka cepat menangkis se-
rangan lawan dengan tangan kirinya. Orang itu 
mengeluh kesakitan ketika lengan tangannya be-
radu dengan Pendekar Pulau Neraka yang lang-
sung menekuk tangan orang yang tadi ditangkap-
nya. Dengan kesal orang itu diadukannya dengan 
kawannya hingga menjerit kesakitan. Beberapa 
buah meja dan kursi hancur berantakan.
“Aduh, maaf Den. Tolong kalau membuat keri-
butan jangan di sini. Lebih baik keluar sajalah...!”
kata pemilik kedai itu dengan wajah cemas penuh 
ketakutan.
“Kisanak, maafkan keributan kecil ini. Tapi aku 
akan mengganti kerusakanmu...!” sahut Bayu 
sambil mengeluarkan dua keping uang emas.
Si pemilik kedai melotot kegirangan dan buru-
buru menangkap uang emas itu. Kerusakan yang

terjadi amat kecil dibandingkan dengan imbalan 
yang diterima pemilik kedai itu. Bahkan dengan 
uang itu dia bisa membeli sepuluh buah kursi 
dan meja.
“Eeeh, apakah engkau tidak jadi makan? Kisa-
nak...! Eh, terima kasih...,” si pemilik kedai ak-
hirnya bergumam pelan setelah dia berteriak-
teriak memanggil Bayu dan Sekar Mayang yang 
terus berlalu meninggalkan kedai itu tanpa mem-
pedulikan panggilan pemilik kedai itu.
“Kurang ajar! Berhenti kau, hei Keparat..!” ma-
ki orang yang tadi dihajar Pendekar Pulau Neraka.
Srakkk!
“Kau akan merasakan akibatnya karena berani 
berurusan dengan orang-orang Gagak Paksi!” 
dengus kawannya sambil melompat ke depan dan 
menyerang Pendekar Pulau Neraka dengan men-
cabut golok yang terselip di pinggangnya.
Tapi sebelum pemuda itu bergerak, Sekar 
Mayang telah lebih dulu bertindak. Tubuhnya 
bergerak gesit menghindari tebasan golok lawan. 
Tangan kirinya menghantam pergelangan tangan 
sehingga membuat genggaman golok di tangan la-
ki-laki berangasan itu terlepas. Kemudian secepat 
kilat gadis itu menghajar dada lawan dengan satu 
tendangan keras.
Dukkk!
“Aaakh...!”
Untuk kedua kalinya laki-laki itu tersungkur. 
Kali ini keadaannya lebih parah karena tendan-
gan gadis itu sedemikian kerasnya membuat da

danya terasa nyeri dan memuntahkan darah se-
gar.
“Gadis liar...! Kau akan rasakan akibatnya, 
yeaaah...!” bentak kawan laki-laki tadi yang lang-
sung menyerang Sekar Mayang dengan kalap.
“Uts...!”
Tap!
Desss...!
“Hokh...!”
Sekar Mayang bergerak ke kiri sambil memi-
ringkan tubuh sehingga tebasan golok lawan le-
wat begitu saja di depannya. Tangan gadis itu 
menyikut dadanya dan diikuti oleh hantaman ke-
palan tangan kanan yang membuat lawan ter-
jungkal sambil terdesak kesakitan. Tubuhnya ter-
jerembab dan tidak bergerak lagi. Entah pingsan 
atau mati!
“Hebat! Sungguh hebat ilmu silatmu, Nisanak. 
Tapi kenapa musti berlaku keras terhadap mere-
ka...?” tegur seseorang yang hadir di tempat itu 
sambil memuji tindakan gadis itu.
Bayu dan Sekar Mayang langsung berpaling 
dan melihat seorang laki-laki bertubuh besar 
dengan kumis melintang di tempat itu. Di ping-
gangnya terselip sebilah golok yang berukuran 
panjang. Si pemuda mengetahui bahwa laki-laki 
itu berkata dengan suara menyindir. Maka dia se-
gera menyahut dengan sikap sopan.
“Kisanak, maafkan sikap kawanku tadi. Nama-
ku Bayu, dan kami hanya kebetulan mampir un-
tuk mengisi perut di kedai ini. Tapi kedua ka

wanmu itu telah berbuat kurang ajar terhadap 
kawanku ini, sehingga terpaksa aku menghajar-
nya,” jelas Bayu kepada laki-laki berusia sekitar 
lima puluh tahunan itu.
“Hm, namamu Bayu...? He, di mana pernah 
kudengar nama itu. Ah, tidak salah lagi, kau Pen-
dekar Pulau Neraka, bukan?!” tebak orang itu 
dengan wajah cerah.
***
“Kisanak, begitulah orang-orang menye-
butku...,” sahut Bayu dengan sikap sopan.
“Oh, maafkan sikap anak buahku, Bayu. Mere-
ka memang sungguh keterlaluan! Aku Ki Balade-
wa, Ketua Perguruan Gagak Paksi!” sahut laki-
laki itu dengan sikap sangat hormat sekali.
“Sudahlah. Kuanggap selesai persoalan ini. Ka-
lau demikian kami permisi dulu,” kata Bayu sam-
bil mengajak Sekar Mayang berlalu dari tempat 
itu.
“Eh, maaf Bayu. Kalau tidak keberatan, kami 
bermaksud hendak mengundangmu ke tempat 
kami. Bagaimana? Mudah-mudahan kalian tidak 
menolaknya,” lanjut Ki Baladewa dengan penuh 
harap.
“Ki Baladewa, aku akan suka sekali dengan 
undanganmu itu. Tapi maafkanlah karena kami 
harus buru-buru. Barangkali lain waktu kami bi-
sa memenuhi undanganmu...,” sahut Bayu menolak dengan cara halus.
Mendengar jawaban itu Ki Baladewa tidak bisa 
memaksa lagi. Dia hanya mampu memandang 
keduanya sambil menggeleng kepala.
“Hm, aku melihat wajah orang itu sangat ka-
gum begitu mengetahui siapa kau sebenarnya. 
Pendekar Pulau Neraka, begitukah orang-orang 
menyebutmu?” tanya Sekar Mayang.
Bayu mengangguk pelan.
“Kau agaknya orang terkenal yang sangat di-
hormati, Kakang.... Eh, bolehkan aku menyebut-
mu Kakang Bayu?”
Bayu tersenyum sekilas kemudian tersenyum 
kecil.
“Kau boleh memanggilku dengan sebutan apa
saja yang kau suka...,” sahutnya datar.
“Kakang, aku masih heran. Kenapa kau begitu 
marah dan sampai menghajar kedua orang itu?” 
tanya Sekar Mayang heran.
“Sekar, ketahuilah bahwa kedua orang itu telah 
membuat kurang ajar terhadapmu. Seorang gadis 
tidak boleh diperlakukan begitu oleh laki-laki 
yang tidak dikenalnya. Itu namanya tidak sopan 
dan kurang ajar! Mereka patut mendapat haja-
ran...,” sahut Bayu menjelaskan.
Sekar Mayang mengangguk mengerti menden-
gar penjelasan itu.
“Bagaimana kalau laki-laki yang kita kenal me-
lakukan hal itu?” tanya Sekar Mayang lagi.
“Tergantung....”
“Tergantung bagaimana, Kakang Bayu...?”

“Tergantung apakah kau merasa senang atau 
tidak. Tapi tetap saja itu tindakan yang tidak so-
pan. Dari semua sikap yang tidak sopan antara 
laki-laki dan wanita, hal itu menjadi biasa setelah 
mereka menikah...,” sahut Bayu menjelaskan se-
cara gamblang.
Sekar Mayang kembali mengangguk mengerti 
mendengar penjelasan pemuda itu.
Mendadak saat itu terdengar jeritan panjang 
seorang wanita muda sambil berlari-lari ke tengah 
jalan dengan wajah panik.
“Bayiku, tolooong...! Tolong bayiku diculik 
orang! Tolooong!” teriaknya berulang-ulang.
“Ke sana! Kejar dia! Kejaaar...!” teriak seseo-
rang yang langsung melompat ke arah yang ditun-
juknya tadi.
Mendengar teriakan laki-laki itu, beberapa 
orang penduduk desa itu langsung mengikutinya 
dari belakang sambil berteriak-teriak kalap.
“Hajar dia...! Bunuuuh...!”
“Sekar, ayo kita kejar orang itu...!” teriak Bayu.
“Baiklah...,” sahut gadis itu sambil memacu 
kudanya kencang.
“Heaaah...!”
Kedua orang itu menghela kuda-kuda mereka 
dengan kencang seolah ingin mendahului pendu-
duk desa yang tengah mengejar seseorang yang 
mereka curigai sebagai penculik bayi wanita mu-
da tadi yang berteriak-teriak histeris.
“Sekar, kau ke arah sana dan aku menyusuri 
jalan ini! Kita bertemu di depan sana. Tapi kalau

berpisah, kita kembali ke desa tadi. Kau menger-
ti?!” teriak Bayu tidak mempedulikan jawaban ga-
dis itu karena dia telah memacu kudanya dengan 
kencang ke arah kanan.
“Iya, iya...!” sahut gadis itu bingung. Namun 
meskipun demikian dia tetap memacu kudanya 
ke arah kiri.
Dia masih tidak mengerti apa yang diinginkan 
pemuda itu, namun ketika melihat para pendu-
duk desa yang berlari lurus, gadis itu mulai men-
duga bahwa Bayu bermaksud mengepung pencu-
lik bayi yang tengah mereka kejar dengan menda-
hului penduduk desa itu.
Bayu telah jauh memacu kudanya, namun je-
jak penculik bayi yang dikejarnya tidak kunjung 
terlihat Pemuda itu jadi bingung sendiri sambil 
menghentikan lari kudanya dan memasang kup-
ing dengan tajam agar mampu mendengar lebih 
jelas.
“Kakang...!”
“Hm...,” Bayu menggumam pelan ketika Sekar 
Mayang telah tiba di tempat itu.
“Apakah penculik bayi itu telah kau temukan?”
Bayu menggeleng lemah sambil melompat ke 
punggung kudanya.
“Aneh...!” desisnya pelan.
“Kenapa?” tanya Sekar Mayang bingung.
“Kalau benar dia penculik bayi itu maka akan 
celaka orang-orang....”
“Kenapa?”
Ilmu larinya cepat sekali. Padahal dia baru saja

menculik bayi itu tapi aku tak mampu mengejar-
nya. Tapi kau lihat sendiri, kita telah berlari cepat 
dan berada jauh dari desa itu namun jejaknya 
pun tidak kutemui!” sahut Bayu sambil mengge-
leng-gelengkan kepala.
“Kakang, jangan cepat menduga begitu. Siapa 
tahu bayi yang telah diculik itu dilarikan saat 
ibunya tengah tidak sadarkan diri lalu penculik 
itu leluasa mengambilnya....”
“Maksudmu bayi itu telah lama dilarikannya?”
Sekar Mayang mengangguk.
“Lalu kenapa laki-laki tadi menunjukkan ke sa-
tu arah. Seolah-olah dia yakin betul bahwa si 
penculik itu baru saja menculik seorang bayi?”
“Siapa tahu malah dia penculiknya. Setelah 
menculik bayi, lalu dia menyembunyikannya di 
suatu tempat kemudian sambil berteriak-teriak 
menunjuk ke satu arah agar orang banyak ke si-
ni, lalu dengan leluasa dia melarikan diri,” jelas 
Sekar Mayang.
“Keparat! Kita telah ditipunya mentah-mentah 
kalau begitu. Eh, tunggu dulu!”
“Ada apa?” tanya Sekar Mayang.
“Sekilas rasa-rasanya aku pernah melihat laki-
laki yang menuju ke arah sini!” desis Bayu sambil 
mengingat-ingat. Namun setelah sekian lama ti-
dak juga kunjung diingatnya.
“Sebaiknya kita ke desa tadi untuk membukti-
kan apakah dugaanku tadi benar atau salah...,” 
ajak Sekar Mayang setelah yakin bahwa Bayu ti-
dak mampu mengingatnya.

“Ya, kalau benar. Dengan begitu kita akan se-
makin tahu apakah dugaanmu benar atau salah,” 
sahut Bayu sambil menghela kudanya perlahan-
lahan.
Bayu memandangi gadis itu beberapa kali keti-
ka mereka berkuda, kemudian tersenyum kecil 
ketika gadis itu pun menoleh padanya. Sekar 
Mayang jadi ikut-ikutan tersenyum.
“Kenapa kau tersenyum, Kakang...?”
“Tidak aku hanya mengagumimu. Kau tidak 
saja cantik dan polos, tapi juga pintar. Mudah-
mudahan kau mampu menjadi kepala suku yang 
adil serta bijaksana seperti yang diharapkan 
ayahmu,” sahut Bayu memuji.
“Terima kasih, Kakang...,” sahut Sekar Mayang 
tersenyum malu-malu.
“Ada satu hal yang aku inginkan....”
“Apa itu?”
“Maukah kau mengabulkannya?
“Kalau kuanggap baik, kenapa tidak?”
“Tapi sebelumnya aku ingin bertanya dan kau 
harus menjawabnya, yaitu apakah perbedaan an-
tara kita dengan hewan...?”
“Tentu saja banyak, Kakang!” sahut Sekar 
Mayang cepat
“Salah satunya?”
“Binatang itu tidak sedap dipandang, bodoh, 
bebal, dan banyak yang lainnya.
“Binatang juga tidak mempunyai sopan-
santun, budaya, adab, serta rasa malu. Hal itu di-
tunjukkan dengan aurat mereka yang terbuka,


kawin sembarangan pada betina atau jantan ma-
na pun yang mereka sukai, dan sama sekali tidak 
merasa malu ditonton orang banyak. Nah, kita 
bukannya binatang. Kita manusia, punya perada-
ban, punya akal, dan punya budaya. Kita harus 
menjaganya dengan baik. Lalu salah satu yang 
terlihat jelas membedakan kita dengan binatang 
adalah, dengan menutupi tubuh kita,” jelas Bayu.
“Apakah Kakang memintaku untuk terus men-
genakan pakaian?” tanya Sekar Mayang mendu-
ga-
“Syukurlah kau sudah pintar menebak. Tapi 
permintaanku lebih dari itu, yaitu suruhlah ra-
kyat sukumu mengenakan pakaian agar kita ber-
beda dengan binatang. Bisakah kau penuhi?”
“Tentu saja, Kakang! Bahkan aku telah berpikir 
begitu sebelum kau minta!” sahut Sekar Mayang 
cepat
Bayu tersenyum kecil. Gadis itu pun terse-
nyum. Keduanya memacu kuda mereka perlahan-
lahan!
***
ENAM


Apa yang diduga Sekar Mayang memang benar. 
Mereka bertanya-tanya tentang laki-laki yang tadi 
berteriak sambil menunjuk ke satu arah itu. Ti-
dak seorang pun dari penduduk desa itu yang 
mengetahuinya. Dan mengetahui kenyataan itu

semakin membuat Bayu geram saja. Dia merasa 
dibodohi padahal si penculik berada di depan ma-
tanya sendiri saat itu. Sepanjang perjalanan tidak 
henti-hentinya pemuda itu menggeram dengan 
wajah kesal. Tapi Sekar Mayang selalu menghi-
burnya. Dan keadaan itu seperti berbalik pada 
mereka. Seharusnya Bayu yang memberi pelaja-
ran bagaimana seharusnya bersikap dengan baik 
pada gadis itu, tapi kini dengan arifnya, malah 
Sekar Mayang yang menyadarkannya. Menyadari 
hal itu Bayu jadi tersenyum-senyum sendiri dan 
mengakui bahwa naluri kewanitaan ternyata ma-
sih melekat erat di sanubari gadis itu.
Namun ketika mereka kembali melewati bebe-
rapa buah desa, penculik-penculik semakin san-
ter saja menjadi momok yang menakutkan. Dan 
yang membuat pemuda itu menjadi geram, kare-
na si penculik sangat lihai dan sulit ditangkap. 
Beberapa orang pemuda-pemuda desa yang gagah 
berani telah mencoba mengadakan ronda siang 
maupun malam untuk menangkap penculik bayi 
itu, namun penculikan bayi tetap saja terjadi. 
Tentu saja hal ini membuat mereka geram dan 
dendam bukan main.
“Kurang ajar...! Penculik bayi itu lihai sekali 
sehingga sampai saat ini kita belum juga mampu 
menangkapnya!” desis Bayu geram ketika mereka 
tiba di sebuah desa dan tempat itu hangat oleh 
cerita-cerita mengenai si penculik bayi.
“Kakang, bagaimana kalau si penculik itu kita 
pancing?” tanya Sekar Mayang mengusulkan.

“Pancingan bagaimana? Kok malah cengar-
cengir?”
“Kakang kelihatannya gelisah dan kesal. Ba-
gaimana kalau tenangkan hati baru kemudian 
kukatakan rencanaku....”
Mendengar nasihat gadis itu Bayu malah ikut-
ikutan tersenyum. Dia menghela napas pendek, 
kemudian berkata dengan suara datar.
“Nah, aku kini lebih tenang. Coba ceritakan 
rencanamu...”
“Kita bersembunyi di rumah salah seorang ke-
luarga yang mempunyai bayi atau hendak yang 
melahirkan. Ketika si penculik itu muncul, lalu 
kita sergap. Kita sudah punya gambaran bahwa 
penculik itu laki-laki dan masih berusia muda...”
“Tapi bagaimana caranya mendekati keluarga
itu? Salah-salah malah kita yang dituduh akan 
menculik!”
Sekar Mayang tersenyum.
“Kakang, bukankah nama Pendekar Pulau Ne-
raka disegani dan dihormati banyak orang? Tidak 
ada salahnya sedikit membanggakan diri untuk 
rencana yang akan dijalankan. Kita datangi kepa-
la desa dan ceritakan rencananya. Siapa tahu ke-
pala desa bisa membantu untuk menjelaskan pa-
da keluarga tersebut akan niat baik kita,” sahut 
Sekar Mayang menjelaskan.
Bayu memandang gadis itu sambil mengang-
guk pelan.
“Hm, baik juga rencanamu. Kau betul-betul 
cerdas dan berbakat jadi kepala suku yang baik,

Sekar!” puji Bayu.
“Sudahlah, simpan dulu pujian itu. Lebih baik 
kita bekerja, maka hasilnya akan lebih baik lagi. 
Ayo, kita temui dulu kepala desa ini!”
“Baiklah. Ayo...!” sahut Bayu sambil mengajak 
gadis itu menemui kepala desa yang berada di wi-
layah ini.
Laki-laki muda itu tampak gelisah sambil ber-
jalan mondar-mandir di depan rumahnya. Sese-
kali dia duduk di bale-bale, namun tidak berapa 
lama telah berdiri kembali. Beberapa kali dia me-
lirik ke dalam seolah meyakinkan bahwa sega-
lanya akan berjalan dengan lancar.
Seorang pemuda berusia sekitar tujuh belas 
tahun tampak berada di depan sebuah kamar 
sambil mempersiapkan segala sesuatunya seba-
gaimana layaknya menolong seseorang melahir-
kan.
“Kang Dadang, tenang saja. Lebih baik me-
nunggu di sini...,” kata pemuda itu sambil me-
manggil laki-laki yang berada di luar.
Dadang memang gelisah. Hari ini dia akan 
menjadi seorang ayah. Dan menunggu kelahiran 
anak pertama memang amat menggelisahkan. 
Terlebih lagi setelah mendengar penculikan bayi 
yang demikian santer belakangan ini diberbagai 
desa.
Meskipun kepala desa telah menghubunginya 
dan mengatakan bahwa rumahnya akan aman di-
jaga oleh dua pendekar hebat, namun hatinya 
masih belum tenang.

Kini dia memandang pemuda itu dengan sikap 
curiga. Sejak tadi dia memang tidak pernah men-
galihkan perhatian sedikit pun terhadap pemuda 
itu.
Nyai Lasinah yang membantu kelahiran anak 
pertamanya hari ini membawa pemuda bernama 
Damuri. Perempuan tua yang selama ini dikenal 
sebagai dukun beranak dari desa sebelah menga-
takan bahwa pemuda itu adalah cucunya yang 
baru tiba dari desa lain. Padahal selama ini Da-
dang belum pernah melihatnya. Nyai Lasinah 
hanya mengatakan Damuri diperlukan untuk 
membantunya. Sehingga ketika pemuda itu me-
nyuruhnya masuk, dengan cepat Dadang ke da-
lam tanpa berkata apa-apa.
“Sebentar lagi, Kang...,” kata-kata Damuri yang 
bermaksud menghibur Dadang berhenti ketika 
dari dalam terdengar jeritan seorang bayi yang 
menangis kencang atas kehadirannya di bumi ini.
“Anakku! Oh, anakku...!” sentak Dadang sam-
bil melompat girang ke dalam kamar.
Mendadak pada saat itu terdengar teriakan 
nyaring dari arah luar.
“Tolooong...! Anakku diculik, tolooong...!”
***
Bayu dan Sekar Mayang yang berada tidak be-
gitu jauh dari rumah Dadang tersentak kaget.
“Mayang, kau tetap di sini dan aku akan meli

hat apa yang terjadi di sana!” kata Bayu sambil 
melesat pergi dari tempat itu.
“Baik, Kakang...!” sahut gadis itu cepat
Setelah pemuda itu melesat pergi dari tempat 
itu, Sekar Mayang langsung ke dalam untuk me-
meriksa keadaan bayi Dadang.
“Apa yang telah terjadi Nisanak...?” tanya Da-
dang ketika melihat gadis itu di ambang pintu.
Sekar Mayang menghela napas lega. Dia meli-
hat bayi Dadang sehat Istrinya pun memandang-
nya sambil tersenyum. Begitu juga dengan Nyai 
Lasinah.
“Entahlah. Bayu sedang memeriksanya...,” sa-
hutnya datar.
“Jangan-jangan bayinya Nyi Murtinah...,” kata 
Dadang sambil tertegun.
“Nyi Murtinah? Siapa dia?” tanya Sekar 
Mayang.
“Apakah kepala desa tidak memberitahukan 
kalian berdua?” sahut Dadang balik bertanya.
Sekar Mayang menggeleng meskipun dia tidak 
begitu yakin.
“Bayi Nyi Murtinah baru berusia tiga bulan. 
Kasihan kalau dia menjadi korban...,” desah Da-
dang.
“Aku ingin membantu tapi Kakang Bayu..., dia 
mengatakan bahwa aku harus menjaga kalian di 
sini. Siapa tahu si penculik itu malah ke tempat 
ini,” sahut Sekar Mayang.
Mereka menunggu beberapa saat lamanya di 
tempat itu hingga Bayu kembali dengan wajah lesu.
“Bagaimana, Kakang...?” tanya Sekar Mayang 
cepat sambil memburu pemuda itu di depan pin-
tu.
“Penculik itu kabur...,” sahut Bayu lesu.
“Bayi siapa yang diculiknya?”
“Seorang wanita bernama..., Nyi Murtinah.”
“Astaga! Kasihan wanita itu...!” desis Dadang 
serta mereka yang berada di tempat itu.
“Si penculik membayar dua orang untuk men-
gecohku...,” lanjut Bayu geram.
“Mengecoh bagaimana?” tanya Sekar Mayang.
“Ketika wanita muda berteriak-teriak, kulihat 
dua orang berlari dengan arah yang berbeda. Se-
bagian penduduk mengejar seorang dan seorang 
lagi kukejar. Mereka ternyata hanya membawa 
sebatang kayu yang diselimuti kain, sedangkan 
penculik yang sebenarnya berhasil kabur tanpa 
diketahui ke mana larinya. Aku telah mencari-cari 
ke sekeliling desa ini namun tidak menemui je-
jaknya,” jelas pemuda itu.
“Keparat!” desis Dadang geram terhadap kedua 
kaki tangan si penculik.
“Lalu ke mana kedua orang itu sekarang?” 
tanya Sekar Mayang.
“Yang seorang terluka parah dan dalam kea-
daan tidak sadarkan diri dihajar oleh penduduk 
desa, sedangkan yang seorang lagi kuserahkan 
kepada kepala desa untuk diadili.
Aku telah memaksanya untuk mengatakan di 
mana si penculik itu berada, namun mereka sama

sekali tidak mengetahuinya. Kedua orang itu ada-
lah pengemis, dan mereka sama sekali belum 
pernah bertemu dengan orang yang menyuruhnya 
itu sebelumnya. Walaupun aku telah memaksa, 
hasilnya tetap saja nihil. Mereka benar-benar ti-
dak mengetahui di mana penculik itu berada,” 
sahut Bayu kembali dengan wajah lesu bercam-
pur geram.
“Lalu apa yang bisa kita lakukan sekarang...?”
tanya Sekar Mayang.
Bayu menghela napas sambil melangkah pelan 
ke beranda depan diikuti oleh Sekar Mayang.
“Apa yang diinginkan si penculik itu sebenar-
nya? Apakah sekadar membuat kekacauan atau-
kah tumbal untuk mendapatkan ilmu hitam..., 
he?!”
“Kau menemukan sesuatu, Kakang?” tanya Se-
kar Mayang ketika melihat perubahan wajah pe-
muda itu.
Bayu memandangnya dengan seksama.
“Sudah berapa banyak bayi yang berhasil dicu-
liknya...?”
“Yang kita ketahui saja lebih dari sepuluh 
orang...,” sahut Sekar Mayang dengan wajah se-
dih.
“Ya, kita tak mengetahui yang lainnya...,” tim-
pal Bayu kembali lesu.
“Kau menduga tentang apa, Kakang...?”
“Kurasa ini ada kaitannya dengan tumbal un-
tuk mendapatkan ilmu hitam...!” desis pemuda 
itu lirih.

“Ilmu hitam? Ilmu apa itu?”
“Ilmu yang diperoleh dengan jalan tidak baik 
dan menyusahkan orang lain untuk menda-
patkannya. Seperti si penculik bayi itu....”
“Apakah Kakang yakin bahwa si penculik itu 
sedang menjalankan syarat untuk mendapatkan 
ilmu hitam?”
“Entahlah, mungkin benar, tapi mungkin juga 
salah....”
“Lalu apa yang akan kita lakukan sekarang, 
Kakang...?”
Bayu tidak langsung menjawab melainkan me-
lirik orang-orang yang berada di sekitarnya. Me-
reka menatap dirinya sejak dari tadi dengan wa-
jah penuh harap. Pemuda itu kembali memaling-
kan wajah ke arah Sekar Mayang.
“Tidak keberatankah kau kalau kita menunggu 
mereka barang sehari atau dua hari...?”
“Kenapa aku mesti keberatan?”
Bayu tersenyum tipis.
“Kalau begitu syukurlah....”
***
Sesosok tubuh itu terus berlari dengan ken-
cang menembus kegelapan malam dan menerobos 
semak belukar di pinggiran hutan yang tidak ter-
lalu lebat. Dari mulutnya tidak henti-henti ter-
dengar tawanya yang menyeramkan.
“Ha ha ha...! Pendekar Pulau Neraka, kembali

kau terkecoh! Ha ha ha...! Setelah urusan ini se-
lesai maka kau akan menjadi tumbal yang terak-
hir! Ha ha ha...!”
Sesosok tubuh itu berusia sekitar dua puluh 
lima tahun. Wajahnya tak buruk namun berkesan 
sadis dan menunjukkan sinar mata yang menye-
ramkan seperti menyiratkan dendam kesumat 
yang mendalam di hatinya. Kedua tangannya 
membopong seorang bayi yang sejak tadi terus 
menangis.
Laki-laki muda itu terus berian menjauh ke 
kaki sebuah gunung yang menjulang tinggi. Tan-
pa mempedulikan keadaan di sekelilingnya dia te-
rus mendaki lereng gunung itu hingga ke pun-
caknya. Langit terlihat gelap karena sejak sore ta-
di mendung terus menebal. Beberapa kali terlihat 
kilat membelah angkasa ditingkahi geledek yang 
keras. Pemuda itu tiba di mulut sebuah gua keti-
ka rintik hujan mulai turun.
“He he he...! Eyang Denowo, hari ini kau akan 
bangkit dari tidur panjangmu! Kau akan menurut 
pada perintahku, dan kita akan mengejutkan ja-
gat ini...!” teriaknya sambil tertawa girang.
Ruangan di dalam gua itu terlihat suram. Satu-
satunya penerangan hanya sebuah obor yang ter-
gantung di salah satu dinding ruangan. Di ten-
gah-tengah ruangan gua itu terdapat sebuah altar 
batu berbentuk segi empat dengan tinggi sekitar 
lima jengkal dari permukaan tanah. Di atasnya 
terlihat sesosok tubuh tergeletak diam tak berge-
rak.

“He he he...! Sabarlah sebentar lagi, Eyang. 
Kau akan bangkit dan kita akan mengejutkan ja-
gat ini!” lanjut pemuda itu sambil terkekeh-kekeh.
Dia memperhatikan dengan seksama tubuh 
yang tergeletak di altar itu. Pakaiannya compang-
camping dan kulitnya hitam serta kotor. Rambut-
nya panjang dan hitam lebat tidak terurus. Tu-
buhnya kurus dengan tulang rusuk yang berton-
jolan. Kuku-kuku kaki dan tangannya panjang 
dan runcing.
Pemuda itu menyalakan pedupaan sehingga 
asapnya mengepul memenuhi ruangan gua. Dia 
sendiri duduk bersila dengan bayi yang berada di 
depannya. Mulut pemuda itu komat-kamit mem-
baca mantra. Perlahan-lahan dia mengeluarkan 
sebilah pisau tajam dari balik pinggangnya dan 
diletakkan di dekat si bayi.
“Eyang Denowo, hari ini kau akan bangkit! Hari 
ini kau akan bangkit untuk mematuhi segala pe-
rintahku...!” kata pemuda itu dengan suara berat 
dan mengandung daya sihir yang kuat.
Bersamaan dengan suara geledek menggelegar 
dan cahaya kilat yang menerangi ruangan gua itu 
untuk sesaat, pemuda itu berdiri tegak sambil 
mengangkat tubuh si bayi dengan tangan kiri. 
Sementara tangan kanannya menggenggam pisau.
Si bayi yang sejak tadi kedinginan masih terus 
menangis ketika tubuhnya diangkat di atas tubuh 
seorang yang tergeletak di altar itu. Lalu sambil 
komat-kamit membaca mantra, si pemuda itu 
mengangkat pisau di tangan kanannya tinggi

tinggi, dan....
Blesss...!
Tubuh bayi itu ditikamnya! Si bayi menjerit ke-
ras, namun dengan sadis si pemuda mencabik-
cabik tubuhnya hingga darahnya bertetesan ke 
bawah.
Setelah darah si bayi tumpah memenuhi tubuh 
di bawahnya, si pemuda mencampakkannya begi-
tu saja membentur dinding gua itu. Dia melumuri 
darah di tubuh mayat yang tergeletak di altar 
sampai rata sambil membaca mantra.
“Eyang Denowo, hari ini darah bayi yang telah 
genap membasuh tubuhmu dua puluh orang. Se-
perti usiamu yang telah dua ratus tahun, maka 
kau akan bangkit! Demi roh-roh liar yang berse-
mayam dalam jagat ini, maka bangkitlah kau! 
Tunduklah pada segala perintahku! Aku adalah 
penguasamu, aku adalah jiwamu, dan kau adalah 
pembantuku! Bangkitlah Eyang Denowo, bangkit-
lah...!”
Kilat kembali membelah angkasa diiringi gele-
dek menggelegar. Hujan mengguyur bumi dengan 
derasnya. Si pemuda memperhatikan dengan sek-
sama. Wajahnya terlihat cerah dan sepasang ma-
tanya melotot gembira ketika melihat jari-jari tan-
gan dan kaki mayat yang dipanggilnya Eyang De-
nowo itu bergerak-gerak.
“Ayo, bangkit! Bangkitlah cepat..!” teriaknya 
dengan girang.
Perlahan-lahan Eyang Denowo bangkit dan du-
duk di atas altar itu. Kelopak matanya yang tadi

terkatup, perlahan-lahan terbuka dan memancar-
kan sinar kesadisan yang membuat takut siapa 
saja yang memandangnya. Pemuda itu terkejut 
untuk beberapa saat lamanya. Namun dengan 
mantap dia membalas tatapan mata itu sambil 
berkata dengan suara berat.
“Eyang Denowo, hari ini kau telah bangkit dan 
aku yang membangkitkan mu! Aku Pergiwa yang 
telah membangkitkan mu! Untuk itu kau harus 
patuh terhadap perintahku...!” kata si pemuda 
yang menyebut namanya Pergiwa.
Eyang Denowo berdiri tegak dengan mulut ter-
katup. Bola matanya masih memandang tajam ke 
arah pemuda itu. Kemudian terdengar suaranya 
yang berat dan parau.
“Par... giwa, a... ku patuh pa... damu...!”
“Bagus! Bagus...! Menurut catatan di peta yang 
ada padaku maka dahulu kala kau adalah seo-
rang tokoh sakti yang tidak terkalahkan. Ilmu ke-
saktianmu hebat tiada tara. Maka dengan kesak-
tianmu itu kau harus membantuku!” sahut pe-
muda itu tegas.
“Apa yang bisa kubantu untukmu...?” sahut 
Eyang Denowo dengan suaranya yang serak dan 
berat.
“Aku mempunyai dendam yang dalam terhadap 
seorang yang bernama Pendekar Pulau Neraka. 
Kau harus membunuhnya untukku! Dia harus 
mampus! Kau ingat itu...?!”
“Pendekar Pulau Neraka akan mampus...!” 
ulang Eyang Denowo.

“Bagus! Bagus...! Ha ha ha...! Kakang Soman-
tri, Kakang Bagira, serta adikku Palguna..., hari 
ini akan kita balas dendam kita terhadap si kepa-
rat itu! Salah kalian sendiri, kenapa dulu tidak 
percaya pada kata-kataku! Aku telah membukti-
kan bahwa isi peta itu benar! Aku telah membuk-
tikannya...! Ha ha ha...! Tapi jangan khawatir, 
aku akan bereskan segalanya...!” teriak Pergiwa 
dengan suara menggelegar nyaring seakan hen-
dak meruntuhkan dinding-dinding gua itu.
Beberapa saat kemudian kedua orang itu ber-
lari-lari kencang menuruni bukit Beberapa kali 
Pergiwa tampak tertinggal. Kecepatan bergerak 
Eyang Denowo sungguh luar biasa.
Namun laki-laki tua yang kelihatan masih be-
rusia sekitar empat puluh tahun itu menung-
gunya dengan sabar, lalu dengan cepat disam-
barnya tubuh Pergiwa dan dibawanya menuruni 
lereng gunung dengan berlari kencang!
***
TUJUH


Di ujung Desa Pasirjaya, hujan masih turun 
dengan deras. Tidak seorang pun penduduk yang 
mau keluar dalam cuaca seperti ini. Semuanya 
tenggelam dalam lelap dan mimpi indah sambil 
menyelimuti diri dari hawa dingin yang turun se-
perti menggigit sumsum tulang.
Kesunyian dan ketenangan desa seperti tersentak ketika dari kejauhan terdengar teriakan-
teriakan panjang dengan nada ketakutan. Mula-
mula terdengar sayup-sayup, namun lama-
kelamaan semakin semarak karena setiap rumah 
mulai ambruk satu persatu.
“Tolooong...! Tolooong...!”
“Ada apa?” tanya beberapa orang dengan wajah 
kaget.
“Ada orang gila mengamuk. Tolooong, dia 
membunuh banyak orang dengan kejam!”
“Kurang ajar...!” geram beberapa pemuda desa 
sambil mencabut senjata tajam mendatangi orang 
gila yang dikatakan itu.
Apa yang dikatakan orang-orang sedang berla-
rian menyelamatkan diri itu memang benar. Dua 
orang asing yang sama sekali bukan penduduk 
desa itu mengamuk sejadi-jadinya. Mereka meng-
hancurkan beberapa rumah yang menghalangi ja-
lannya. Beberapa orang penduduk yang dekat 
dengan mereka binasa terkena hantaman puku-
lan-pukulannya. Tentu saja hal itu semakin 
membuat geram pemuda-pemuda desa itu. Den-
gan serentak mereka mengepung kedua orang gila 
itu.
“Hei, Iblis Laknat! Menyerahlah kau untuk me-
nerima hukuman!” bentak salah seorang dari pe-
muda-pemuda itu garang sambil menghunuskan 
goloknya yang tajam.
“Ha ha ha...! Kecoa-kecoa busuk. He, ke sinilah 
kalian kalau mau mampus di tangan Pergiwa. 
Ayo, ke sini!” bentak salah seorang dari kedua

orang gila yang berusia muda itu sambil balas 
mengacungkan golok.
“Keparat!” maki seseorang. Bersama dua orang 
kawannya dia langsung melompat menyerang ke-
dua lawannya itu.
“Hup...!” 
“Uts...!”
Crasss!
Brettt! Brettt!
“Aaakh...!”
Terdengar pekikan ketiga pemuda desa itu ke-
tika tubuh mereka terpental sambil bermandikan 
darah. Golok di tangan Pergiwa menyambar leher 
salah seorang di antara mereka setelah dia berha-
sil mengelakkan sambaran senjata lawan. Semen-
tara seorang lagi yang tidak lain dari Eyang De-
nowo, langsung menyambar kedua lawannya den-
gan mengibaskan kuku-kuku tangannya yang 
runcing. Kedua pemuda desa itu sempat terkejut 
ketika golok mereka sama sekali tidak mampu 
melukai kulit tubuh lawannya. Dan keduanya ti-
dak sempat lagi menyelamatkan diri ketika Eyang 
Denowo menghajar dada mereka hingga robek le-
bar.
“Keparat! Dia telah membunuh tiga orang ka-
wan kita. Ayo, kita hajar keduanya beramai-
ramai...!” teriak salah seorang pemuda desa lain-
nya memberi aba-aba.
Maka dengan amarah yang meluap-luap, lebih 
dari lima belas orang pemuda desa itu langsung 
menyerang kedua lawannya yang sedang mengamuk dengan garang.
“Hiyaaa...!”
Crakkk!
Brettt!
“Aaa...!”
Dengan geram Pergiwa memapaki serangan 
mereka sambil bergerak ke sana kemari menghin-
dari tebasan golok lawan-lawannya. Lalu dengan 
cepat dia menghunuskan golok menyambar dua 
orang yang terdekat Kembali terdengar jeritan 
panjang ketika kedua orang itu ambruk berman-
dikan darah saat ujung golok lawan menebas leh-
er mereka. Sementara apa yang dilakukan Eyang 
Denowo lebih dahsyat lagi. Tubuhnya yang tidak 
mempan senjata tajam, membuatnya leluasa 
membantai lawan-lawannya. Sekali saja dia ber-
gerak, maka dua jiwa melayang. Sedangkan orang 
itu mampu bergerak secepat kilat. Sehingga tidak 
mengherankan bila dalam waktu singkat saja 
korban banyak berjatuhan.
“Lariii...! Kita tidak mampu menghadapi mere-
ka. Kedua orang itu bukan manusia melainkan 
iblis!” teriak salah seorang memberi komando.
Dua orang pemuda desa yang tersisa langsung 
mengambil jurus seribu dan lari secepatnya me-
ninggalkan tempat itu. Namun kedua orang la-
wannya tidak membiarkannya begitu saja. Terle-
bih-lebih Eyang Denowo. Tubuhnya langsung me-
lesat dengan ringan mengejar keduanya.
Brettt..!
“Aaakh...!”

Kedua orang itu menjerit setinggi langit ketika 
punggung mereka robek dicakar Eyang Denowo 
dari belakang. Keduanya tersungkur ke depan 
sambil bermandikan darah. Nyawa mereka me-
layang beberapa saat kemudian.
“Lari...! Selamatkan diri kalian...!” teriak yang 
lainnya memberi peringatan.
Maka penduduk desa Pasirjaya yang tadi te-
nang, kini sibuk menyelamatkan diri sambil 
membawa apa saja yang mereka sambar. Namun 
kedua orang itu agaknya tidak membiarkan me-
reka pergi begitu saja. Sebagian penduduk desa 
itu mereka hadang dan dibantai dengan kejam, 
sementara sebagian lagi berhasil menyelamatkan 
diri.
“Ha ha ha...! Ayo, larilah kalian! Larilah sejauh-
jauhnya dan katakan bahwa Pergiwa akan meng-
getarkan jagat ini...! Ha ha ha...!” teriak pemuda 
bertubuh sedang itu sambil berteriak dengan sua-
ra menggelegar diiringi hujan dan geledek yang 
masih terus turun.
***
Desa Watumekar termasuk kawasan yang cu-
kup ramai penduduknya. Selain itu di daerah ini 
pun terdapat sebuah perguruan silat yang na-
manya cukup termashur di rimba persilatan, yai-
tu Perguruan Bambu Kuning yang diketuai oleh 
Ki Pergola. Orang tua yang berusia sekitar enam

puluh tahun itu terkenal dengan ilmu pedangnya 
yang hebat sehingga tidak heran bila dia dijuluki 
Pendekar Pedang Maut. Senjatanya yang khas 
terbuat dari bahan yang sederhana, gagang pe-
dang dan warangkanya terbuat dari bambu kun-
ing yang amat langka. Selain berusia ratusan ta-
hun karena merupakan warisan turun-temurun, 
bambu kuning itu pun tidak pernah pudar war-
nanya dan sedikit pun tidak menunjukkan tanda-
tanda keropos.
Pagi yang cerah menyelimuti desa itu ketika 
semalam hujan turun dengan lebatnya meng-
guyur bumi. Penduduk desa itu mulai keluar satu 
persatu untuk mencari nafkah. Sementara itu 
dua orang bertampang lusuh memasuki desa itu 
dengan langkah perlahan-lahan. Yang seorang 
adalah pemuda bertubuh sedang dengan golok 
terselip di pinggangnya, sedangkan yang seorang 
lagi adalah laki-laki kurus dengan pakaian com-
pang-camping. Sorot mata mereka tajam menu-
suk. Dan tidak sedikit pun senyum tersungging di 
bibirnya. Beberapa orang yang berpapasan den-
gan keduanya langsung menyingkir dengan pera-
saan seram.
Salah seorang bocah berusia tujuh tahun ten-
gah berlarian sambil berkejaran dengan dua 
orang kawannya. Secara tidak sengaja dia mena-
brak laki-laki bertubuh kurus itu. Laki-laki itu 
menggeram buas. Anak kecil itu terhenyak keta-
kutan dengan wajah ketakutan.
“Ma... maaf, Pak...,” katanya dengan suara gemetar.
“Hhh...!”
Tappp!
Sambil menggeram marah, laki-laki itu lang-
sung mencengkeram tengkuk anak kecil itu dan 
mengangkatnya tinggi-tinggi. Lalu....
Plas!
“Aaa...!”
Tanpa mengenal rasa kasihan tubuh anak itu 
dihempaskannya keras menghantam sebuah 
dinding rumah yang langsung jebol berantakan. 
Anak kecil itu memekik keras, tubuhnya remuk 
begitu menyentuh tanah. Nafasnya mengap-
mengap untuk beberapa saat sebelum nyawanya 
lepas dari raga.
“Anakku...! Keparat kau...!” seorang laki-laki 
berusia sekitar tiga puluh tahun yang tidak lain 
dari bapak anak itu tersentak kaget.
Dengan cepat dia mengejar anaknya dengan 
amarah yang meluap-luap bercampur rasa sedih 
yang mendalam.
Melihat kelakuan pendatang itu, beberapa 
penduduk desa langsung mengepungnya dengan 
senjata terhunus dan sikap marah.
“Hei, Iblis Keparat! Perbuatanmu sungguh bi-
adab! Menyerahlah kau untuk menerima huku-
man!” bentak salah seorang dengan garang.
“Hei, kau! Minggirlah kalau tidak ingin mam-
pus!” sahut si pemuda yang berada di samping 
laki-laki bertubuh kurus itu dengan sikap tak ka-
lah garangnya.
“Keparat! Kalian rupanya benar-benar iblis 
laknat Lebih baik kau mampus dulu!” sahut 
orang tadi sambil menghunuskan golok menyam-
bar pemuda itu.
Wuttt!
“Uts...!”
Ketika golok itu menyambar ke arah dada, 
dengan cepat pemuda itu mengelak ke samping. 
Lalu dengan cepat dia mencabut golok dan me-
nyambar leher lawannya.
Crasss!
“Aaa...!”
Orang itu menjerit keras. Tubuhnya langsung 
ambruk bermandikan darah dengan leher nyaris 
putus. Hal ini membuat yang lainnya menjadi ka-
lap dan menyerang keduanya dengan garang dan 
amarah yang meluap-luap.
Namun melihat penduduk desa mengeroyok-
nya, kedua orang yang berwajah kumuh dan sa-
dis itu bukannya menjadi takut. Mereka malah 
menyambutnya dengan bersemangat sambil ter-
tawa-tawa.
“Ha ha ha...! Ayo, maju kalian semua! Maju ka-
lau mau ingin cepat mampus!”
“Yeaaah...!”
Bettt!
Crasss!
“Aaa....”
Korban kembali berjatuhan dengan sekali ber-
kelebat Gerakan kedua orang itu cukup gesit un-
tuk menghindar dari serangan-serangan. Lalu

dengan tiba-tiba menyerang dengan cara yang ti-
dak terduga. Tubuhnya ringan sekali melayang, 
lalu melesat dengan cepat sambil mengayunkan 
cakar mautnya menyambar lawan. Dia seperti ti-
dak peduli dengan senjata-senjata lawannya yang 
menghantam tubuhnya dengan telak. Tak satu 
pun dari senjata-senjata itu yang mampu melukai 
kulit tubuhnya.
“Gila! Laki-laki kurus itu memiliki ilmu kebal. 
Percuma saja kita membacoknya!” desis salah 
seorang penyerangnya dengan wajah kaget Pa-
dahal dia telah membacok punggung laki-laki ber-
tubuh kurus itu dengan mengerahkan tenaga da-
lamnya.
Brettt!
“Aaa...!”
Orang itu langsung menjerit kesakitan ketika 
dengan tiba-tiba cakar lawan berhasil merobek 
perutnya sehingga isinya terurai keluar. Tubuh-
nya langsung ambruk bermandikan darah. Bebe-
rapa orang kawannya yang hendak membantunya 
kembali ambruk dengan dada robek terkena ca-
karan laki-laki kurus itu.
Sepak terjang laki-laki kurus itu sangat dah-
syat Dalam waktu singkat dia telah berhasil me-
newaskan sepuluh orang lawannya. Hal itu mem-
buat yang lainnya berpikir dua kali untuk menye-
rangnya. Bahkan banyak di antara penduduk de-
sa itu yang langsung lari menyelamatkan diri. 
Sementara sisanya yang tinggal beberapa orang 
itu habis dihajar oleh kedua orang itu tanpa ampun.
“Ayo, siapa lagi yang mau mampus?! Majulah 
ke sini! Hari ini tidak seorang pun yang boleh 
menghalang-halangiku! Aku Pergiwa adalah pen-
guasa jagat..!” teriak pemuda yang berada di sebe-
lah laki-laki bertubuh kurus itu sambil menepuk 
dada dengan sombong.
Sambil melangkah pelan memasuki desa, me-
reka menghajar siapa saja yang berani mendekat. 
Sepak terjang kedua orang itu membuat pendu-
duk desa menjadi gempar dan ketakutan. Mereka 
sibuk menyelamatkan diri, sementara yang bera-
da di dalam rumah langsung mengunci pintunya 
rapat-rapat
“Kisanak, hentikan perbuatan biadabmu...!”
“Huh apakah kalian mau mampus juga? Ayo, 
majulah ke sini?!” bentak Pergiwa dengan garang, 
ketika tujuh orang pemuda seusianya melompat 
ke hadapannya.
***
Ketujuh orang pemuda itu masing-masing 
menggenggam sebatang pedang bambu kuning. 
Mereka adalah murid-murid Perguruan Bambu 
Kuning. Mendengar keributan di tengah desa, me-
reka langsung ke tempat ini dan menghadang ke-
dua orang laki-laki itu. Salah seorang yang bertu-
buh tegap dan memakai baju kuning maju tiga 
langkah sambil menatap tajam ke arah Pergiwa

dan kawannya.
“Kisanak, tindakanmu sungguh biadab dan ti-
dak memiliki belas kasihan. Kalian adalah iblis-
iblis yang musti dilenyapkan dari muka bumi ini!” 
geram pemuda berbaju merah.
“Hei, kutu busuk! Tutup mulutmu! Lebih baik 
kau menyingkir dari hadapanku, kalau tidak in-
gin mampus!” sahut Pergiwa balas membentak.
“Keparat! Agaknya kalian memang patut diberi 
pelajaran. Lihat serangan ini!” bentak pemuda 
berbaju merah itu geram sambil melompat meng-
hunus pedangnya.
Sringngng!
Trak!
Wuttt!
Pergiwa langsung menyambutnya dengan gesit. 
Ketika senjata mereka beradu, terlihat pemuda 
berbaju merah itu mengeluh menahan rasa sakit 
pada telapak tangannya. Hal itu membuktikan 
bahwa tenaga dalam lawan lebih tinggi satu ting-
kat dibandingkan dengannya. Namun hal itu ti-
dak membuatnya patah semangat. Dia kembali 
menyerang lawannya dengan dahsyat.
Sementara itu murid-murid Perguruan Bambu 
Kuning yang lainnya langsung menyerang kawan 
Pergiwa yang tidak lain dari Eyang Denowo. Laki-
laki bertubuh kurus itu menggeram buas dan me-
lompat bagai seekor harimau liar. Dari mulutnya 
terdengar erangan-erangan mendirikan bulu 
roma.
“Hup!”

Trak!
Brettt...!
Dua orang langsung mencabut pedangnya dan 
langsung menghantamkan ke perut dan pinggang 
lawannya. Tapi alangkah terkejutnya mereka ke-
tika senjata itu seperti menghantam dinding baja 
yang tebal. Lalu dengan cepat Eyang Denowo 
mengayunkan cakarnya ke tenggorokan mereka.
“Aaa...!”
“Keparat! Mampuslah kau, yeaaah...!” dua 
orang kawannya langsung membabatkan pedang-
nya dengan geram dan amarah yang meluap-luap 
begitu melihat kawannya tewas dengan cara yang 
mengerikan. Sementara itu kedua orang lagi men-
gepung dari kiri dan kanan.
Eyang Denowo sama sekali tidak bergeming 
melihat keadaan itu. Tanpa mempedulikan pe-
dang lawannya yang membabat pinggang dan pe-
rutnya, dia memapaki kedua senjata lawan yang 
berada di depannya dengan pergelangan tangan.
Takkk!
“Heh?!” seperti kawannya tadi, kedua orang itu 
tersentak kaget ketika merasakan pedang mereka 
seperti menghantam benda yang sangat keras.
Brettt! Brettt!
“Aaa...!”
Pada saat keduanya tertegun, Eyang Denowo 
langsung mengibaskan tangan dengan keras. Dua 
orang lawan di depannya menjerit tertahan ketika 
leher mereka robek lebar. Begitu juga dengan la-
wan yang berada di sebelah kanannya. Perut me

reka robek tersambar kuku kaki kanan Eyang 
Denowo yang sangat tajam.
“Yeaaah...!”
“Aaa...!”
Tanpa menyia-nyiakan kesempatan, laki-laki 
kurus itu langsung melompat menyerang lawan-
nya yang tinggal seorang lagi. Bersamaan dengan 
itu, Pergiwa pun baru saja menyelesaikan perta-
rungannya. Pedang di tangan lawannya terlepas 
saat senjata mereka beradu. Kaki kanannya lang-
sung menyodok ke arah perut Pemuda berbaju 
merah itu terpekik ketika tubuhnya terjungkal ke 
belakang. Dengan buas Pergiwa melompat menge-
jar dan menyabetkan goloknya ke arah perut La-
wannya kembali terpekik. Isi perutnya terurai ke-
luar, dan tubuhnya menggelepar-gelepar sesaat 
sebelum diam tidak berkutik.
Trak!
Brettt!
“Aaa...!”
Sementara itu sisa murid Perguruan Bambu 
Kuning tidak punya pilihan lain untuk menangkis
serangan lawan selain mengayunkan pedangnya. 
Tapi hal itu percuma saja, sebab dengan sekali 
tepis pedangnya berhasil dibuat terpental oleh la-
wan. Kaki kanan laki-laki kurus itu menyodok ke 
arah dada. Kuku-kukunya yang panjang dan 
runcing langsung menembus ke jantung lawan. 
Lalu dengan sadis, ujung kakinya itu mengoyak 
dada lawan sehingga isinya terurai berantakan.
“Keparat! Jahanam! Mampuslah kau...!”

Bersamaan dengan itu terdengar bentakan 
nyaring yang penuh luapan amarah. Tanpa meno-
leh Eyang Denowo langsung menangkis dengan 
tangannya. Tubuhnya mencelat ke atas sambil 
berputar. Tangan kanannya menyodok ke dada 
lawan yang baru datang itu.
“Hiiih!”
“Uts...!”
Brettt!
Orang itu terkejut setengah mati melihat kece-
patan lawan bergerak. Dia bermaksud mengelak 
dengan merendahkan tubuhnya, namun tetap sa-
ja kuku tangan lawan berhasil merobek dadanya 
sedikit Ketika dia berguling-gulingan menyela-
matkan diri, Eyang Denowo telah berputar di atas 
tubuhnya bagai seekor elang mengincar mang-
sanya.
“Yeaaah...!”
Orang itu membentak nyaring. Dari telapak 
tangannya melesat selarik sinar merah pudar ke 
arah lawan. Namun dengan gesit Eyang Denowo 
berkelit menghindar. Eyang Denowo menggeram 
hebat, dan bersamaan dengan itu dari telapak 
tangannya melesat sinar lembayung yang berha-
wa panas menerpa tubuh lawannya tanpa bisa di-
elakkan lagi.
Blarrr!
“Ki Sontang Perwira...!” terdengar seseorang 
berteriak dengan wajah terkejut.
***

DELAPAN

Seorang laki-laki tua berusia sekitar enam pu-
luh tahun diikuti dengan beberapa orang bersen-
jata pedang bambu kuning mendapati sesosok 
tubuh yang hancur berantakan dihajar pukulan 
Eyang Denowo. Orang tua yang memakai baju pu-
tih tampak terhenyak. Seolah dia tidak percaya 
dengan apa yang dilihatnya. Lama dia tertegun 
sebelum akhirnya berdiri tegak memandang tajam 
ke arah laki-laki kurus itu.
“Siapa kau sebenarnya? Kesaktianmu sungguh 
hebat, namun kelakuanmu lebih hebat lagi den-
gan mengacau dan membunuh orang-orang tanpa 
sebab?” tanya orang tua itu dengan suara tajam 
menusuk.
Eyang Denowo diam tak menjawab. Dia me-
mandang orang tua itu dengan tatapan mata ta-
jam. Pergiwa langsung melangkah mendekati se-
hingga jarak mereka hanya lima langkah.
“Aku Pergiwa penguasa jagat ini! Kuperintah-
kan kau tunduk dan mencium kakiku...!” katanya 
dengan pongah.
“Pemuda keparat! Kau pikir siapa dirimu bera-
ni memerintah Ki Pergola, he?!” sahut orang itu 
mengeram marah sambil menyebutkan namanya.
“Siapa yang peduli denganmu, he? Ciumlah 
kakiku atau kau bakal mampus!” bentak Pergiwa 
hebat.
“Setan! Kepandaian kawanmu itu memang he

bat sehingga dia dengan mudah berhasil membi-
nasakan kawanku. Tapi ingin kulihat, sampai di 
mana kepandaianmu!” desis Ki Pergola yang tidak 
lain adalah Ketua Perguruan Bambu Kuning itu 
sambil menyodokkan ujung warangka pedang 
bambu kuningnya ke dada lawan.
“Uts...!”
Dengan gesit Pergiwa mengelak ke samping, 
namun tiba-tiba ujung sarung pedang lawan telah 
berada dekat dengan lehernya. Cepat-cepat dia 
menjatuhkan diri, dan terpaksa melompat ke be-
lakang sambil berteriak ketika ujung pedang la-
wan hampir saja menyodok dadanya.
“Eyang Denowo, bunuh dia...!”
“Yeaaah...!”
Takkk!
“Heh...?!”
Saat itu juga Eyang Denowo langsung melom-
pat memapaki serangan lawan. Ki Pergola memu-
tar warangka pedangnya sambil menyambar dada 
lawan. Namun dengan gesit Eyang Denowo me-
nangkis dengan tangan kirinya. Ki Pergola tersen-
tak kaget. Padahal dia telah mengerahkan tenaga 
dalamnya yang paling tinggi untuk menghantam 
lawan, namun tangannya bergetar hebat seperti 
menghantam dinding baja yang amat tebal. Belum 
lagi habis rasa kagetnya, mendadak ujung kuku 
kaki lawan yang runcing nyaris merobek perutnya 
kalau saja dia tidak cepat melompat ke belakang.
“Hup!”
“Yeaaah...!” Eyang Denowo langsung melompat

mengejar lawan tanpa memberi kesempatan sedi-
kit pun untuk lolos. Cakar tangan kirinya me-
nyambar dada lawan. Ki Pergola memutar tubuh-
nya sambil mengibaskan ujung warangka pe-
dangnya ke batok kepala lawan. Namun bukan-
nya mengelak, Eyang Denowo malah menangkap-
nya. Lalu bersamaan dengan itu kaki kirinya me-
nyambar perut lawan.
“Uts...!”
Sringngng!
“Yeaaah...!”
Tubuh Ki Pergola bergerak ke samping dan te-
rus melompat ke belakang sambil menarik pe-
dangnya dari warangka yang masih dalam geng-
gaman lawan. Dengan warangka pedang lawan 
yang berada di tangannya, Eyang Denowo lang-
sung melesat cepat menghajar lawan.
Tras! Trak!
Brettt!
“Aaakh...!”
Dengan cepat Ki Pergola membabat warangka 
pedangnya, dan batang pedangnya terus memba-
bat pergelangan tangan lawan. Eyang Denowo ti-
dak berusaha menghindar, dan hal itu tentu saja 
membuat Ki Pergola terkejut.
Pedang pusakanya sama sekali tidak mampu 
melukai lengan lawan. Malah cakar kiri lawan 
nyaris mengoyak dadanya kalau saja Ki Pergola 
tidak cepat-cepat menjatuhkan diri. Tak urung 
dadanya berhasil digores cakar lawan yang sangat 
tajam.

“Celaka...! Kuku-kukunya mengandung ra-
cun...!” desis Ki Pergola tersentak kaget ketika di 
sekitar goresan di dadanya itu terlihat berwarna 
ungu kehitam-hitaman.
Ki Pergola berusaha menotok jalan darah di se-
kitar goresan luka untuk menghilangkan rasa sa-
kit serta menghambat jalannya racun ke jantung.
Namun keadaan Ki Pergola demikian kritis, se-
bab pada detik itu juga lawan telah melompat 
menyerangnya dengan kecepatan kilat Beberapa 
orang muridnya yang cemas melihat keadaan gu-
runya itu, berusaha menolong dengan mengha-
dang serangan lawan. Namun hal itu sepertinya 
tidak menghalangi Eyang Denowo untuk mengha-
jar guru mereka, sebab kecepatan bergerak laki-
laki kurus itu tidak mampu diimbangi oleh mu-
rid-murid Perguruan Bambu Kuning.
Sementara itu dengan tabah Ki Pergola berusa-
ha bertahan sambil bersiap memapaki serangan 
lawan. Dia mengeluh dalam hati, sebab merasa 
yakin bahwa dia tidak akan mampu melawan se-
rangan lawan meskipun dengan senjata pusaka di 
tangannya. Racun akibat cakaran lawan sangat 
dahsyat Walaupun Ki Pergola telah menotok jalan 
darahnya, agar racun itu tidak menyebar ke selu-
ruh tubuh, namun tetap saja tangan kanannya 
mulai kesemutan dan sukar digerakkan. Semen-
tara jantungnya sendiri mulai terasa sakit seperti 
dihimpit benda keras.
“Yeaaah...!”
Plakkk!
Wuttt!
“Heh...?!”
***
Pada saat-saat yang kritis bagi jiwa Ki Pergola, 
tiba-tiba melesat sesosok tubuh putih yang lang-
sung menangkis serangan lawan. Tubuh Eyang 
Denowo melenting cepat dan langsung menyam-
bar lawan yang baru datang itu dengan kecepatan 
yang sulit diikuti mata biasa. Namun lawan ba-
runya itu dengan gesit menghindari serangannya, 
lalu dengan tiba-tiba telah berada di atas kepala 
sambil mengayunkan satu tendangan menggele-
dek. Tubuh Eyang Denowo berputar ke samping 
menghindari serangan. Tapi tiba-tiba....
Dukkk!
Satu hajaran keras membuat tubuh Eyang De-
nowo terjajar beberapa langkah ke belakang. Ti-
dak terdengar keluh kesakitan dari mulutnya. Dia 
sudah bersiap untuk menyerang lawan barunya 
itu kalau saja Pergiwa tidak melarangnya.
“Eyang Denowo, hentikan dulu seranganmu...!”
Eyang Denowo menggeram keras, namun dia 
amat patuh dan tegak berdiri mengawasi lawan-
nya itu. Sementara Pergiwa tertawa girang ketika 
mengetahui siapa orang yang baru datang itu.
“Pendekar Pulau Neraka, agaknya kau datang 
menjemput mautmu sendiri...!”
Orang yang baru datang itu memang adalah 
Bayu Hanggara alias Pendekar Pulau Neraka.

Bersamanya juga terlihat seorang gadis cantik be-
rambut panjang dan lebat dengan pedang panjang 
yang terselip di pinggangnya. Gadis itu tidak lain 
dari Sekar Mayang.
“Pergiwa, hm.... Kenapa tidak terpikir olehku 
bahwa kerusuhan yang selama ini terjadi adalah 
ulahmu...,” sahut Bayu dingin.
“Ha ha ha...! Dasar pendekar tolol, padahal aku 
pernah beberapa kali berada di depan hidungmu 
dengan melakukan penculikan-penculikan bayi 
itu. Tapi dengan mudah aku mengecohmu. Dan 
hari ini bukan saja aku akan mengecohmu me-
lainkan akan melenyapkanmu selama-lamanya!” 
sahut Pergiwa sambil tertawa penuh kemenangan.
“Hm, jadi kaukah yang menculik bayi-bayi itu? 
Kau apakan tubuh-tubuh tak berdosa itu?” tanya 
Pendekar Pulau Neraka dingin.
“Inilah dia jawabannya!” sahut Pergiwa singkat 
sambil menunjuk ke arah Eyang Denowo.
Pendekar Pulau Neraka segera mengerti ke 
mana arah pembicaraan pemuda itu. Wajahnya 
terlihat geram.
“Pergiwa, kau betul-betul iblis berwujud manu-
sia. Hatimu kejam dan tidak mengenal perikema-
nusiaan. Tega benar kau membunuh bayi-bayi 
tak berdosa itu, demi keinginan untuk menuruti 
dendam kesumat di hatimu!” desis Pendekar Pu-
lau Neraka.
“Ha ha ha...! Kau boleh berkata apa saja yang 
kau suka, tapi sebaiknya kau siapkan saja dirimu 
sendiri untuk menjemput ajalmu, karena sebentar lagi Eyang Denowo akan menghajarmu sampai 
mampus! Ha ha ha...! Pendekar Pulau Neraka 
yang katanya sangat hebat, hari ini akan mampus 
di tangan Pergiwa!” sahut Pergiwa dengan suara 
keras dan tertawa terbahak-bahak.
Bayu mencibir mendengar kata-kata pemuda 
itu. Dia kemudian berpaling ke arah Sekar 
Mayang.
“Sekar, maukah kau membantuku untuk me-
lenyapkan iblis keparat ini?!”
“Tentu saja. Dengan senang hati akan kulaku-
kan, Kakang...!” sahut gadis itu cepat.
“Huh, segala gadis ingusan hendak kau andal-
kan untuk menghadapiku!” dengus Pergiwa sinis.
Bayu cuma tersenyum di hati. Dia tahu betul 
kehebatan Pergiwa, dan tidak mungkin dalam 
waktu seminggu dia mampu menambah kepan-
daiannya dengan cepat.
Ilmu silat Sekar Mayang memang tidak begitu 
hebat, tapi bukan berarti berada di bawah kepan-
daian Pergiwa. Lagi pula gadis itu sangat cerdik 
dan memiliki ilmu meringankan tubuh yang san-
gat hebat Meski Pendekar Pulau Neraka bisa me-
rasakan bahwa tenaga dalam Pergiwa berada di 
atas gadis itu. Paling tidak kalau mereka berta-
rung, Sekar Mayang mampu bertahan puluhan 
jurus. Dan kalau gadis itu cerdik dengan mencari 
peluang kelemahan lawan lalu bergerak cepat, 
bukan tidak mungkin Pergiwa dapat dikalahkan-
nya.
Sementara itu mendengar kata-kata yang di

ucapkan Pendekar Pulau Neraka, Pergiwa menjadi 
cemas sendiri dan langsung memerintahkan 
Eyang Denowo untuk menyerang musuh besar-
nya itu.
“Eyang Denowo, inilah dia orangnya yang ber-
nama Pendekar Pulau Neraka. Dialah musuh be-
sar kita yang harus dilenyapkan segera. Kau ha-
rus bertarung habis-habisan dengannya! Kau ha-
rus membuatnya mampus...!” teriak Pergiwa be-
rulang-ulang dengan suara seperti mengandung 
daya sihir.
Selesai dengan kata-katanya itu, Eyang Deno-
wo menggeram buas dan langsung melompat me-
nyerang Pendekar Pulau Neraka.
“Yeaaah...!”
Bersamaan dengan itu Sekar Mayang pun me-
lompat menyerang Pergiwa.
“Uts...!”
Pendekar Pulau Neraka sedikit terkejut melihat 
lawannya mampu bergerak secepat kilat menye-
rangnya. Hampir saja kuku tangan kiri lawan 
berhasil merobek tenggorokannya kalau saja dia 
tidak menundukkan kepalanya ke belakang lalu 
tubuhnya melenting sambil mengayunkan kedua 
kakinya menendang perut lawan yang tengah 
mengapung di atasnya.
Dukkk!
Tubuh Eyang Denowo terlempar ke atas, na-
mun dalam keadaan berputar, lalu melesat turun 
dengan deras menyambar tubuh Pendekar Pulau 
Neraka. Bayu mendecak kagum sambil menggelengkan kepala melihat kekebalan tubuh lawan-
nya. Padahal tendangannya tadi sangat kuat dan
mampu menghancurkan batu karang. Namun 
Eyang Denowo sepertinya tidak merasakan sakit 
sama sekali.
Bettt! 
“Uhhh...!”
Pendekar Pulau Neraka mengeluh pelan ketika 
cakar tangan kiri lawan nyaris merobek mukanya. 
Namun dengan begitu dia bisa merasakan hawa 
racun yang kuat yang ada di kuku-kuku lawan-
nya dan hal itu membuat dirinya harus lebih hati-
hati lagi agar cakar lawan jangan sampai meng-
gores di tubuhnya.
Wukkk!
Desss!
“Aaakh...!”
Ketika tubuhnya bergerak ke samping untuk 
menghindari cakaran tangan kiri lawan, saat itu 
juga tubuh Eyang Denowo berputar. Ujung kaki 
kanannya yang memiliki kuku-kuku runcing 
mengibas dua kali dalam gerak meluruk ke atas 
ke bawah. Pendekar Pulau Neraka terpaksa me-
lompat ke belakang. Namun pada saat itu dengan 
tiba-tiba, tumit lawan dengan telak menghajar 
dadanya. Pendekar Pulau Neraka mengeluh kesa-
kitan. Tubuhnya terjungkal beberapa langkah ka-
rena dadanya seperti dihantam godam yang san-
gat berat. Namun masih untung dia mampu ber-
diri tegak di atas kedua kakinya meski dengan 
kuda-kuda yang limbung. Dari sudut bibirnya

menetes darah segar. Tapi saat itu juga tubuh 
Eyang Denowo telah melesat cepat menyerang ke 
arahnya. Lawan seperti tidak ingin memberi ke-
sempatan sedikit pun padanya untuk bernapas.
Singngng!
Srettt!
“Aaakh...!”
***
Merasa bahwa dengan tangan kosong dia bisa 
celaka walaupun mampu menghindari serangan-
serangan lawan, maka pemuda itu langsung men-
gebutkan tangan kanannya dengan kuat. Eyang 
Denowo tersentak kaget. Wajahnya tampak pucat 
begitu melihat benda berwarna keperakan melesat 
cepat ke arahnya. Tapi orang itu sepertinya tidak 
mau menarik serangannya, seolah-olah dia ingin 
menguji sampai di mana kekebalan tubuhnya 
terhadap senjata tajam. Dan ketika Cakra Maut 
itu menyambar dadanya, kedua orang itu sama-
sama terkejut! Eyang Denowo terpekik kesakitan 
sambil menggelepar-gelepar. Tubuhnya untuk se-
saat limbung. Namun kemudian orang itu bangkit 
sambil meraung-raung dengan kemarahan yang 
memuncak. Dadanya tampak robek dan mengelu-
arkan darah segar terkena sambaran Cakra Maut. 
Baru kali ini ada senjata tajam yang mampu me-
robek kulit tubuhnya.
Pendekar Pulau Neraka tampak juga terkejut, 
karena melihat Cakra Mautnya tidak berhasil

membinasakan Eyang Denowo. Biasanya Cakra 
Mautnya itu sangat ampuh, dan mampu menem-
bus tubuh lawan. Tapi tidak halnya dengan Eyang 
Denowo, Cakra Maut itu hanya mampu merobek 
kulit luarnya saja tanpa mampu menembus tu-
buhnya.
Eyang Denowo bersiap-siap menyerang Pende-
kar Pulau Neraka. Kuku-kuku tangannya yang 
panjang dan runcing menyambar-nyambar ke se-
gala arah. Dari kuku yang panjang dan tajam itu 
mengepul uap putih yang sangat menyesakkan 
dadanya. Dengan melentingkan tubuhnya, Pen-
dekar Pulau Neraka berhasil menghindari seran-
gan-serangan itu. Eyang Denowo sangat murka 
melihat serangan-serangannya berhasil dihindari 
lawan dengan mudah.
Dalam kemarahannya yang meluap-luap itu, 
Eyang Denowo kembali mengerahkan segenap ke-
kuatan dalam dirinya untuk membinasakan la-
wan. Telapak tangannya disorongkan ke muka 
dan dari telapak tangannya itu melesat selarik si-
nar lembayung menghajar Pendekar Pulau Nera-
ka. Bayu berusaha menghindari serangan itu tapi 
terlambat. Dadanya dengan telak terkena pukulan 
jarak jauh lawan. Tubuh Pendekar Pulau Neraka 
terjajar dua langkah dan dari bibirnya menetes 
darah segar.
Melihat lawan terluka Eyang Denowo mening-
katkan serangannya. Kuku-kuku tangannya yang 
runcing dan tajam menyambar-nyambar ke wajah 
Pendekar Pulau Neraka dengan kecepatan yang

sulit diikuti mata biasa, dengan susah payah 
sambil berguling-gulingan Pendekar Pulau Neraka 
menghindari serangan itu. Dan pada suatu ke-
sempatan dia berhasil melepaskan diri dari se-
rangan lawan. Secepat kilat Pendekar Pulau Ne-
raka mengibaskan tangan kanannya ke wajah la-
wannya itu.
Singngng!
Crab!
“Aaakh...!”
Eyang Denowo tersentak kaget melihat benda 
keperakan berbentuk segi enam melesat cepat ke 
arahnya. Tanpa mampu dihindari lagi Cakra Maut 
itu berhasil menancap tepat di mata kanannya. 
Eyang Denowo meraung-raung setinggi langit 
dengan suara menggelegar, tubuhnya langsung 
limbung dan dari matanya mengalir darah segar. 
Pendekar Pulau Neraka tidak menyia-nyiakan ke-
sempatan itu. Sambil berteriak keras dia kembali 
menyerang lawan dengan pukulan mautnya.
“Yeaaah...!”
Buk! Buk!
“Aaa...!”
Eyang Denowo kembali terpekik keras ketika 
pukulan maut Pendekar Pulau Neraka berhasil 
menghantam kepalanya dengan telak. Tubuhnya 
menggelepar-gelepar sesaat sebelum akhirnya di-
am untuk selama-lamanya. Bersamaan dengan 
binasanya Eyang Denowo, tubuh Pendekar Pulau 
Neraka menjadi lemas dan dia jatuh terduduk.
“Kakang, kau tidak apa-apa...?” tanya Sekar

Mayang dengan tergopoh-gopoh menghampiri 
pemuda itu.
“Aku.... Aku tidak apa-apa. Bagaimana Pergi-
wa...?”
“Dia sudah kubuat mampus, Kang! Ilmu silat-
nya ternyata tidak seberapa, sehingga dengan 
mudah aku berhasil membinasakannya...!” sahut 
Sekar Mayang sambil menyandarkan pemuda itu 
di bawah sebatang pohon.
“Ah, syukurlah. Aku tahu kau hebat dan bisa 
diandalkan....”
“Kakang, kau terluka dalam. Sebaiknya kita ke 
tempat ayahku. Beliau mampu merawatmu den-
gan baik,” kata Sekar Mayang dengan wajah ce-
mas sambil menyeka darah yang menetes dari 
sudut bibir Bayu.
“Apakah itu berarti kau telah siap pulang...?”
“Kakang, jangan pikirkan itu dulu. Pikirkanlah 
keselamatanmu sekarang...!” sahut gadis itu 
sambil memapah tubuh Bayu menaiki kudanya.
Pada saat itu beberapa orang murid Perguruan 
Bambu Kuning menghampiri keduanya.
“Kisanak, guru kami menghaturkan banyak te-
rima kasih atas pertolongan kalian menyingkirkan 
kedua manusia iblis ini,” kata salah seorang dari 
mereka.
“Oh, ya. Bagaimana keadaan gurumu...?” tanya 
Bayu.
Namun agaknya pemuda itu tidak perlu me-
nunggu jawaban murid Ki Pergola karena dilihat-
nya orang tua itu diam tak bergerak, sementara

beberapa orang muridnya yang lain menangis te-
risak-isak sambil memangku tubuh orang tua itu.
“Racun itu telah merenggut nyawanya, meski-
pun beliau telah berusaha, namun racun itu san-
gat dahsyat..,” jelas orang itu.
Pendekar Pulau Neraka tertunduk lesu. Bola 
matanya memandang sayu ketika perlahan-lahan 
dia mendekati orang tua itu. Lalu ketika murid-
murid Perguruan Bambu Kuning berpamitan un-
tuk mengebumikan jenazah gunanya itu, Bayu 
masih tetap duduk terpaku.
“Kakang, kenapa kau bersedih? Apakah orang 
tua itu saudaramu?” tanya Sekar Mayang heran.
-Bayu menggeleng.
Lalu kenapa kau musti bersedih? Bukankah
dia bukan saudaramu?”
“Kita patut bersedih karena dia tewas untuk 
membantu orang banyak dari kekacauan yang di-
timbulkan dua iblis tadi...,” jelas Bayu.
“Tapi bukankah kita yang membinasakan ke-
dua iblis itu? Kenapa musti bersedih pada orang 
tua itu?”
“Usaha yang dilakukannya mulia, jadi bukan 
berarti kita harus melupakannya begitu saja ka-
rena dia gagal dan tewas. Hukum peradaban ma-
nusia lebih menekankan perasaan halus seorang 
manusia dengan dasar cinta dan kasih sayang 
kepada sesamanya. Merasa bahwa semua manu-
sia itu adalah saudara...,” jelas Bayu singkat 
sambil melompat ke punggung kudanya.
Sekar Mayang masih bingung, dan sambil

mengejar Bayu yang telah lebih dulu melesat den-
gan memacu kudanya kencang, gadis itu berpikir 
keras tentang apa yang dikatakan Bayu tadi, lalu 
memperbandingkannya dengan pelajaran hidup 
yang diperolehnya selama melakukan perjalanan 
dengan pemuda itu.


                               SELESAI



















Share:

0 comments:

Posting Komentar