SI GILA DARI MUARA
BANGKAI
Oleh Teguh Suprianto
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Pulau Neraka
dalam episode:
Si Gila Dari Muara Bangkai
128 hal. ; 12 x 18 cm
SATU
Seorang bertubuh tegap terbungkus pakaian
ketat berwarna hijau tampak berdiri tegak di se-
buah batu besar sambil menatap ke arah muara
yang berair keruh di bawahnya. Rambutnya yang
panjang berkibar-kibar dipermainkan angin. Sebi-
lah golok yang tajam berkilat berada tepat di mu-
kanya. Untuk sesaat terlihat, perhatiannya seperti
terpusat pada satu arah. Lalu....
“Yeaaa...!”
Tubuh laki-laki berusia sekitar dua puluh dua
tahun itu berkelebat cepat. Dan seketika golok di
tangannya menyambar kesana kemari sedemikian
hebatnya.
Crak! Crok!
Seketika air yang mengalir di hadapannya ter-
lihat keruh. Lalu beberapa ekor ikan dan kepiting
tampak mengambang ke atas dalam keadaan ter-
belah dua. Tubuhnya kemudian kembali melesat
ke tempat semula, tanpa pernah terjeblos ke da-
lam air.
“Hup!”
Pemuda berbaju hijau itu mendaratkan ka-
kinya di atas tanah. Dan matanya langsung me-
mandang ke bawah, seperti tidak percaya dengan
apa yang telah diperbuatnya itu. Kemudian terli-
hat bibirnya tersenyum-senyum sendiri, lalu
menggaruk-garuk rambutnya yang kusut masai
seperti telah lama tidak tersentuh air.
“Hei? Aku telah berhasil! Aku telah berhasil
memecahkan jurus ‘Golok Angin’...!” teriak pemu-
da itu girang.
Kemudian kembali pemuda itu bergerak cepat,
menebas apa saja yang ada di sekitarnya. Sua-
ranya lantang bergema dalam teriakan keras yang
membahana ke sekeliling tempat itu.
“Yeaaa...!”
Tras! Cras!
Beberapa cabang pohon tampak berjatuhan
menjadi potongan-potongan kecil, begitu terkibas
goloknya. Demikian juga helai-helai dedaunan-
nya. Lalu ketika tubuhnya berkelebat lagi, bebe-
rapa ekor ikan dan kepiting yang berada di muara
itu langsung mengambang ke permukaan air da-
lam keadaan terbelah dua.
Ilmu golok pemuda itu mengandalkan kecepa-
tan gerak yang hebat dengan tebasan-tebasan sal-
ing menyilang. Lalu tebasan itu bergerak ke arah
yang berlawanan secara tidak terduga. Sehingga,
tubuh pemuda itu bagai terbungkus kelebatan go-
loknya sendiri.
Sebentar kemudian pemuda itu menutup ju-
rusnya dan berhenti bergerak. Matanya meman-
dang ke sekeliling dengan wajah puas. Lalu bibir-
nya tersenyum-senyum sendiri.
“Ha ha ha...! Tidak sia-sia aku tinggal di tem-
pat ini, selama sepuluh tahun! Tunggulah kalian,
Manusia-manusia Keparat! Aku akan datang me-
nagih hutang nyawa istri dan anak-anakku. Siapa
pun yang terlibat di dalamnya, akan mendapat
balasan yang menyakitkan dari Darmo Gandul!
Kalian telah membuatku terhina. Dan ini hanya
akan terbalas dengan nyawa kalian...!” teriak pe-
muda itu seraya tertawa lebar dengan suara nyar-
ing.
Kemudian terlihat pemuda yang bernama
Darmo Gandul itu menekuk wajahnya. Seraut bi-
as kekejaman seperti menyatu dalam guratan wa-
jahnya. Goloknya lantas disimpan di pinggang.
Kemudian, kembali matanya memandang batu
besar yang berada pada jarak lima langkah di de-
pannya. Lalu pikirannya dipusatkan barang bebe-
rapa saat. Kini dia menarik napas panjang, seraya
membuka satu jurus. Kedua tangannya sudah
bergerak menyilang di depan dada. Sebentar ke-
mudian, tangannya bergerak ke arah pinggang.
Dan mendadak saja, pemuda itu menghentakkan
kedua tangan ke depan.
“Yeaaa...!”
Jderrr!
Brukkk!
Batu sebesar kerbau di hadapan pemuda itu
kontan hancur berantakan menjadi kerikil dihan-
tam pukulan maut yang terlontar dari telapak
tangannya yang disorongkan ke depan.
“Hua ha ha....! Hei! Pukulanku pun ternyata
sangat hebat! Ah! Sungguh dahsyat. Ha ha ha...!
Mereka akan mendapat ancaman hebat dariku!”
celoteh Darmo Gandul, bicara sendiri sambil ter-
tawa-tawa seperti orang kurang waras.
Setelah puas tertawa, Darmo Gandul melom-
pat lincah dari sebuah batu ke batu lainnya. Ke
mudian dia berlari kencang, ke arah hutan kecil
yang tidak begitu jauh dari tempatnya tadi.
Beberapa saat pemuda itu berhenti, dan lang-
sung memandang ke satu arah. Pada jarak sepu-
luh langkah di depannya, terlihat sebuah gundu-
kan tanah makam yang agak besar. Dan di sebe-
lahnya, terdapat dua buah gundukan tanah ma-
kam yang berukuran lebih kecil. Dihampirinya
perlahan-lahan, lalu bersimpuh di antara ketiga
makam itu. Wajahnya terlihat muram. Dan untuk
beberapa saat kepalanya tertunduk lesu.
“Minarni, maafkan kakangmu yang tidak
mampu melindungimu...,” ujar Darmo Gundul
bernada duka. “Tapi aku berjanji, manusia-
manusia keparat itu akan mampus di tanganku.
Jaga anak kita baik-baik, ya? Katakan pada me-
reka, jangan nakal-nakal. Ah! Kalau mereka de-
wasa, tentu akan gagah sepertiku. Dan si kecil
yang baru kau lahirkan, akan secantik dirimu....”
Darmo Gandul kembali terdiam, kemudian
mendadak berdiri tegak. Matanya menyapu ke se-
keliling tempat itu dengan sorot buas. Sesaat dia
menggeram, kemudian mencabut goloknya.
“Yeaaaa...! Mampuslah kalian! Mampusss...!
Yeaaaa....!”
Crok! Cras!
Pemuda itu berteriak-teriak garang sambil
menebas ranting-ranting kayu di sekitarnya. Se-
bentar saja, terlihat semak-semak berserakan ti-
dak karuan seperti bekas dilanda topan.
Tras! Bruakkk!
Pohon-pohon kecil tumbang disapu goloknya.
Demikian juga dedaunan. Darmo Gandul menga-
muk hebat untuk beberapa saat Kemudian diirin-
gi satu lengkingan panjang, tubuhnya berkelebat
cepat dari tempat itu, menerobos hutan di seki-
tarnya...
Alam kembali tenang. Hewan-hewan kecil yang
tadi bersembunyi di sekitarnya kembali menam-
pakkan diri, setelah ketakutan melihat keganasan
lelaki itu!
***
Beberapa petani yang tengah menggarap sa-
wah ladang di pagi hari yang cerah ini tampak
tersentak kaget, ketika sesuatu melintas di pema-
tang bagai sapuan angin kencang. Dedaunan ber-
goyang-goyang dan ratusan ekor bebek yang ber-
kumpul ribut mencari makan, mendadak hening.
Lalu binatang-binatang itu terpaku beberapa saat
lamanya.
“Astaga! Apa itu yang barusan lewat?!” desis
seseorang sambil membuka topi bambunya.
“Datangnya dari arah muara!” sahut kawan-
nya di sawah sebelah.
“Muara? Muara Bangkai?! Hiii! Mungkin pe-
nunggu tempat itu yang sedang berkeliaran!” sa-
hut seorang wanita setengah baya dengan wajah
ketakutan.
“Husy, kamu ada-ada saja!” umpat laki-laki
yang menyangkut caping bambunya.
“Bisa jadi, Kang Karjo!” timpal seorang kawan
nya yang berdiri tidak jauh darinya.
“Bisa jadi bagaimana, Gimin?” tanya laki-laki
bercaping yang dipanggil Kaijo.
“Eeeh! Memangnya Kakang belum tahu
keangkeran Muara Bangkai itu?” sahut laki-laki
yang bernama Gimin balik bertanya.
Karjo menggeleng.
“Wah! Kang Karjo ketinggalan berita. Kata
orang-orang tempat itu ada penunggunya. Mak-
hluk halus barangkali. Tidak ada seorang pun
yang berani datang ke sana. Belum lama ini ker-
baunya Pak Somad kesasar ke sana. Eh, kemu-
dian ditemukan Kang Sujo telah menjadi bangkai
dan tinggal tulang-belulangnya saja. Kang Sujo
sempat melihat sekelebatan sesuatu yang berben-
tuk manusia. Dia tidak berani memastikan dan
langsung pulang buru-buru!” jelas Gimin.
Karjo termanggu mendengar penjelasan ka-
wannya. Sekilas dia memandang ke sekelilingnya.
Tampak beberapa orang mulai meninggalkan sa-
wah ladang dengan terburu-buru.
“Eh! Kang Dima, Pak Dudung, mau ke mana?!”
teriak Karjo.
“Pulang, Jo! Ngeri... soalnya takut menjadi
korban penghuni Muara Bangkai itu!” sahut me-
reka takut-takut.
Dan ketika melihat Gimin langsung ikut ang-
kat kaki dari tempatnya, Karjo pun mengikuti dari
belakang. Sementara istrinya telah lebih dulu
meninggalkannya.
Sebentar saja, persawahan itu terlihat sepi.
Dan mereka yang tadi berada di tempat ini, ber-
duyun-duyun meninggalkannya untuk kembali ke
rumah masing-masing. Namun baru saja tiba di
pinggiran desa, tampak ramai sekali orang berlari
ke sana kemari sambil menjerit-jerit ketakutan.
“Lari! Lariii...! Ada orang gila mengamuk...!”
“Orang gila?!”
Salah seorang dari mereka, yang kembali dari
sawah termangu. Sementara yang lainnya berge-
gas melihat apa yang tengah terjadi.
Namun mereka dibuat terkejut sendiri, ketika
melihat banyak mayat-mayat bergelimpangan di
sana-sini. Tampak seorang pemuda berambut
panjang dan acak-acakan tengah berjalan tenang
sambil menggerogoti buah-buahan di tangannya.
Di pinggangnya terselip sebilah golok yang agak
panjang. Melihat wajahnya yang kotor dan pa-
kaian hijaunya yang robek di sana-sini, maka se-
pintas saja bisa diduga kalau pemuda itu adalah
seorang gembel.
“Ha ha ha...! Rasakan sendiri kalau hendak
mencari penyakit denganku. Kalian akan mam-
pus! Padahal aku hanya minta sedikit makanan.
Tapi, kenapa kalian malah mengusirku seperti
anjing?!” kata pemuda itu sambil tertawa-tawa.
Pemuda gembel itu terus tertawa-tawa kegi-
rangan melihat mayat-mayat yang bergeletakan di
dekatnya. Lalu tanpa mempedulikan keadaan di
sekelilingnya, dia melenggang pergi dari tempat
itu. Tapi baru saja berjalan beberapa langkah,
mendadak beberapa orang pemuda desa menghadang. Rata-rata wajah mereka garang penuh ke-
marahan dengan masing-masing menggenggam
sebilah golok tajam terhunus.
“Gembel busuk! Kau kira bisa seenaknya bisa
pergi dari sini?! Huh! Kau harus membayar nyawa
mereka dengan nyawamu!” bentak salah seorang
pemuda yang bertubuh besar dengan pipi gemuk.
“He he he...! Hei, Babi Busuk! Minggatlah dari
sini. Dan, jangan cari penyakit kalau tidak ingin
mampus seperti mereka!” hardik pemuda gembel
itu sambil tertawa mengejek.
“Kurang ajar! Kau kira aku takut denganmu,
he?! Mampuslah kau!” geram pemuda bertubuh
besar itu, langsung menyabetkan goloknya ke
arah pemuda gembel itu.
Bettt!
“Uts!”
Cras!
“Aaa...!”
Cepat sekali pemuda gembel itu bergerak me-
lompat ke samping kanan, menghindari tebasan
golok pemuda gemuk ini. Bahkan dia langsung
menyabetkan goloknya.
Kontan terdengar pekikan nyaring, sambaran
golok pemuda gembel itu mengenai sasaran den-
gan telak. Pemuda gemuk itu terhuyung-huyung
ke belakang dengan tangan memegangi dahi. Go-
loknya pun sudah terlepas dari genggaman. Pada
dahinya terlihat bekas tebasan golok lawan yang
terus membelah mukanya. Darah terus mengucur
deras membasahi tanah ketika tubuhnya ambruk
tak berdaya.
“Hei?!”
Kawan-kawan laki-laki gemuk itu tersentak
kaget melihat teman mereka tewas dalam waktu
singkat Bahkan mereka tidak sempat melihat ba-
gaimana pemuda gembel itu mencabut golok dan
langsung menebas kawan mereka. Bahkan pada
saat dia menyarungkan kembali goloknya, tidak
ada seorang pun yang mampu melihatnya.
“Hi hi hi...! Babi busuk! Kenapa malah tertidur
di situ? Bukankah kau akan membunuhku? Hi Hi
hi...! Ayo, bangunlah. Bunuhlah aku!” teriak pe-
muda gembel itu sambil tertawa mengejek.
“Kurang ajar! Keparat jahanam! Akan kuba-
laskan kematian Ludiro!” dengus seorang pemuda
bertubuh agak kurus. Padahal kawan-kawannya
yang lain mulai ciut nyalinya, melihat apa yang
telah dilakukan si gembel itu.
“Hi hi hi...! Kenapa marah-marah, tolol?! Kau
hendak membalas kematian si gemuk tolol itu?
Ayo, serang aku!” sahut pemuda gembel itu te-
nang dan tetap tertawa mengejek.
“Setan! Terima kematianmu, yeaaa...!”
Orang bertubuh agak kurus itu langsung me-
lesat dengan kibasan golok terhunus, lumayan
cepat gerakannya. Namun pemuda gembel itu te-
tap tenang-tenang saja. Tapi sedikit lagi senjata
orang kurus itu hendak membabat lehernya, dia
sedikit mengegos ke kanan.
Begitu serangan itu luput, pemuda gembel
langsung menghantam ke arah dada.
Debb!
“Aaaa...!”
Pemuda bertubuh kurus itu kontan memekik
tertahan begitu dadanya mendapat satu pukulan
telak dari pemuda gembel itu. Tubuhnya langsung
terjungkal beberapa langkah ke tanah dalam kea-
daan luka dalam. Tulang dadanya hancur remuk!
Agaknya, pukulan pemuda gembel itu telah diser-
tai pengerahan tenaga dalam tinggi. Sehingga, la-
ki-laki kurus itu tak mampu dikalahkannya. Pe-
muda gembel itu memandang tajam pada laki-laki
itu. Kemudian, tatapan matanya beredar ke seke-
liling.
“Siapa lagi yang mau menggangguku? Ayo,
maju!” sentak pemuda gembel itu melotot garang.
Beberapa pemuda desa itu kini betul-betul
ciut nyalinya. Dan begitu mendengar bentakan
nyaring, perlahan-lahan mereka beringsut kemu-
dian kabur secepatnya dari tempat ini.
“Ha ha ha...! Dasar pengecut-pengecut hina.
Larilah kalian sejauh-jauhnya dari sini!” ujar pe-
muda gembel itu sambil terkekeh-kekeh. Dia ber-
lalu dengan langkah tenang meninggalkan tempat
itu, seperti tidak ada kejadian apa-apa.
***
Siang ini matahari tidak terlalu garang bersi-
nar. Namun jalan yang dilalui sebuah rombongan
orang berkuda terasa sangat teduh. Karena, di ki-
ri dan kanan terbentang jajaran pepohonan lebat
yang menaungi.
Seorang pemuda yang berkuda di depan sese-
kali melirik ke belakang, ke sebuah kereta kuda
yang dijaga ketat oleh beberapa orang berkuda di
kiri, kanan, depan, dan belakang. Kemudian ku-
danya dihela perlahan-lahan. Melihat dari gerak-
geriknya, agaknya dia yang memimpin rombongan
itu.
Ketika mereka melintasi jalan yang sudah
tampak sepi, salah seorang anak buahnya mema-
cu kudanya. Langsung dibarenginya langkah ku-
da pemuda pemimpin rombongan itu.
“Kakang Darsono, tempat ini agak sepi. Se-
baiknya kita berhati-hati....”
Pemuda yang dipanggil Darsono tersenyum
kecil.
“Adi Gundala..., kau tidak usah merasa cemas
begitu. Aku hafal daerah ini. Dan rasanya tidak
ada yang akan mengganggu kita,” sahut Darsono.
“Aku mengerti, Kang. Tapi perasaanku sejak
tadi gelisah. Tidak ada salahnya kalau kita was-
pada. Siapa tahu ada kejadian yang tidak terdu-
ga...” kata pemuda bernama Gundala itu.
Darsono berpikir sesaat, kemudian kembali
tersenyum.
“Hm.., apa yang kau katakan memang tidak
salah. Kita dalam perjalanan mengawal putri Adi-
pati Buntaran. Dan sudah selayaknya bertang-
gung jawab penuh atas keselamatannya. Nah, ka-
takan pada yang lain agar berwaspada...!” kata
Darsono memberi perintah.
“Baik, Kang...!” sahut Gundala cepat seraya
membalikkan tali kekangnya. Lalu dia memberi
perintah pada yang lain.
Dalam sekejap, rombongan yang berjumlah le-
bih dari dua belas orang itu bersiaga di tempat
masing-masing. Dan merasakan suasana yang
sedikit tegang, sosok tubuh ramping yang berada
dalam kereta kuda menjadi heran. Lalu disibak-
nya tirai jendela keretanya. Ternyata dia adalah
seorang gadis cantik bermata jeli. Sepasang alis-
nya yang tebal, memberi isyarat pada seorang
pengawal yang berada di samping keretanya.
“Pengawal, apa yang sedang terjadi? Kenapa
Kakang Gundala memberi perintah pada kalian
untuk berwaspada? Apakah kita sedang mengha-
dapi musuh?” tanya gadis itu lembut.
“Ampun, Kanjeng Putri Nirmala. Sebenarnya
tidak ada apa-apa. Gundala hanya memberi pe-
rintah agar kami tetap waspada. Sebab walaupun
suasana kelihatan tenang, siapa tahu ada keja-
dian yang tidak terduga,” sahut pengawal itu.
Mendengar penjelasan itu, gadis cantik yang
bernama Nirmala mengangguk tenang. Kemudian,
kembali ditutupnya tirai jendela kereta.
Namun baru saja mereka berjalan kurang dari
dua puluh tombak, mendadak Darsono memberi
isyarat pada anak buahnya untuk menghentikan
laju kuda masing-masing. Melihat hal ini, Gunda-
la langsung memacu kuda mendekatinya. Dan dia
melihat tempat itu telah dikepung sekawanan pe-
rampok yang bersenjata lengkap. Tiga orang yang
agaknya bertindak sebagai pimpinan, berdiri tegak di depan pada jarak lima tombak.
“Kakang Darsono, siapa mereka ini?” tanya
Gundala, sedikit cemas.
“Entahlah, Adi Gundala. Setahuku, daerah ini
bukan sarang perampok. Namun melihat gelagat,
agaknya mereka berniat jahat terhadap kita....”
“Hati-hati, Kakang! Jumlah mereka banyak
sekali...!”
Darsono diam termangu, menunggu tindakan
apa yang dilakukan kawanan itu. Tampak tiga
orang yang menghadang di depan mereka me-
langkah pelan mendekati. Kemudian ketika telah
berjarak lima tombak langkah ketiga orang itu
berhenti. Seorang yang berperut besar dan ber-
cambang bawuk tebal mendekati. Di pinggangnya
banyak terselip pisau kecil. Wajahnya seram den-
gan sepasang mata merah menyala. Apalagi, keti-
ka memandang ke arah Darsono.
“Turun kalian semua!” bentak laki-laki berwa-
jah seram itu agak serak.
Darsono tersenyum kecil. Kemudian sebelah
tangannya diangkat untuk memberi isyarat pada
anak buahnya, agar jangan menuruti perintah
orang itu.
“Kisanak! Siapakah kalian, dan apa yang di-
kehendaki dari kami?” tanya pemuda ini ramah
pada lelaki bertubuh gemuk dan besar itu.
“Bangsat! Kau kira bisa bertingkah di hadapan
Perampok Pisau Terbang, he?! Kuperintahkan se-
kali lagi, turun kalian semua! Tinggalkan segala
barang berharga yang kalian bawa, dan pergilah
dari tempat ini secepatnya kalau ingin selamat!”
hardik orang bertubuh besar itu, mengancam.
“Hm. Agaknya kalian adalah kawanan rampok
yang menamakan diri Perampok Pisau Terbang.
Apakah saat ini aku tengah berhadapan dengan
Satwa Manggala?” tanya Darsono, ingin memasti-
kan.
“Bocah ingusan! Kau telah mengenalku. Nah,
sekarang apakah kau ingin coba-coba bertingkah
di hadapanku?!” dengus Ketua Perampok Pisau
Terbang yang dikenal sebagai Satwa Manggala
semakin galak.
“Ki Satwa Manggala! Kemashyuran namamu
sering kudengar. Dan, siapa yang ingin berani
mencari gara-gara denganmu? Tapi saat ini, kami
tengah mengemban tugas dari Adipati Buntaran.
Jadi, harap kalian tidak mengganggu kami....”
“Setan! Dikira dengan membawa-bawa nama
adipati sial itu, aku akan takut, heh?! Sekalipun
kalian tengah mengemban tugas dari raja, apa
peduliku? Lekas tinggalkan barang-barang ber-
harga yang dibawa, dan pergilah dari sini kalau
masih ingin hidup!”
“Ki Satwa Manggala, sayang sekali, kami tidak
bisa menuruti keinginanmu. Maaf..., ini adalah
tanggung jawab. Dan walau bagaimanapun, kami
tidak bisa berbuat seenaknya. Harap kau menger-
ti dan tidak memaksa...,” sahut Darsono pelan.
“Keparat! Kalau begitu, mampuslah kalian...!”
bentak Ki Satwa Manggala seraya melompat menyerang Darsono.
Begitu melihat ketuanya bergerak menyerang,
maka sepuluh anggota Perguruan Pisau Terbang
serentak menyerang rombongan itu. Maka per-
tempuran tidak dapat dielakkan lagi. Meski anak
buah Darsono berjumlah sedikit, namun lang-
sung mengadakan perlawanan gigih.
Darsono langsung melompat dari punggung
kudanya, begitu tubuh lawan menerjang. Namun
Ki Satwa Manggala agaknya tidak membiarkan-
nya luput begitu saja. Tubuhnya langsung me-
lenting ringan dengan kaki melayang menghan-
tam muka. Namun Darsono tidak kalah gesit
menghindari. Sambil mengegoskan kepala, tu-
buhnya berbalik. Bahkan kepalan tangan kirinya
dapat melepaskan pukulan ke arah laki-laki se-
ram itu.
“Yeaaaa...!”
Ki Satwa Manggala cepat menangkis dengan
tangan kanannya. Akibatnya benturan keras pun
terjadi.
Plakkk!
Bahkan kepalan tangan kiri laki-laki bercam-
bang bauk itu langsung menghantam dada Dar-
sono dengan keras.
Wuk!
“Uts!”
Darsono cepat melompat ke belakang dengan
wajah kaget Angin serangan pemimpin perampok
itu kuat bukan main, dan terasa menyambar da-
danya dengan kuat. Dan baru saja hendak me-
mantapkan kedudukannya, serangan Ki Satwa
Manggala kembali datang. Maka cepat pemuda itu
mencabut keris yang terselip di pinggang bela-
kang.
Begitu melihat pemuda itu mencabut senjata,
cepat Ki Satwa Manggala mengimbangi. Tangan-
nya langsung bergerak ke pinggang, dan langsung
bergerak mengibas.
Serr! Ser!
Seketika beberapa buah pisau kepala peram-
pok itu meluncur deras menghujani Darsono. Pe-
muda itu jadi terkejut berusaha mengelak dari
sambaran hujan pisau yang berseliweran. Namun,
tidak urung sebuah pisau tak mampu dihinda-
rinya. Maka....
Cras!
“Oh...!”
Sebuah pisau berhasil merobek bahu kiri pe-
muda itu. Darsono kontan mengeluh kesakitan,
dan langsung bergulingan menyelamatkan diri
dari sambaran pisau yang masih mengejarnya.
“Hiyaaaa...!”
***
DUA
Darsono cepat melenting menjauhi hujan se-
rangan pisau Ketua Perampok Pisau Terbang.
Namun pada saat yang sama mendadak satu han-
taman keras mengancam dadanya. Begitu cepat
serangan itu, hingga Darsono tak mampu menghindarinya. Maka....
Diegkh!
“Aaakh...!”
Pemuda itu kontan menjerit kesakitan. Tu-
buhnya terjungkal beberapa langkah ke tanah
disertai muntahan darah segar, begitu dadanya
terhantam tendangan keras Ki Satwa Manggala.
Isi dadanya terasa akan pecah dan nyeri bukan
main. Dia berusaha bangkit, namun tubuhnya
bergetar dan pandangannya berkunang-kunang.
Dan belum juga keadaannya membaik, laki-laki
pemimpin perampok itu sudah kembali menye-
rangnya!
“Bocah keparat! Rasakan akibat kesombon-
ganmu! Yeaaa...!”
Ki Satwa Manggala langsung melesat, mele-
paskan tendangan ke dagu. Sementara Darsono
hanya mampu terbeliak lebar. Dan....
Begkh!
“Aaaa...!”
Kembali Darsono terjungkal ke tanah disertai
pekik kesakitan, ketika ujung kaki laki-laki seten-
gah baya itu menghantam dagunya. Beberapa
buah giginya kontan tanggal dan rahangnya se-
perti mau lepas.
Sementara, begitu kedua kakinya mendarat di
tanah, Ki Satwa Manggala terkekeh seraya berka-
cak pinggang.
“Ayo, bangkitlah. Tunjukkan kemampuanmu!”
suara laki-laki itu terdengar sinis.
Darsono merangkak tertatih-tatih, berusaha
bangkit. Namun baru saja kembali berdiri, ujung
kaki Ki Satwa Manggala kembali menghantam.
Untuk ketiga kalinya, pemuda itu terjungkal dan
menjerit keras. Tubuhnya terkapar tanpa daya.
Entah hidup atau mati!
Sementara itu, Gundala benar-benar tidak
berdaya menghadapi keroyokan kedua pembantu
utama Ki Satwa Manggala. Meski telah menge-
rahkan seluruh kepandaian yang dimiliki, tetap
saja dia tidak bisa berbuat banyak. Kedua lawan
menyerangnya bertubi-tubi silih berganti.
“Yeaaaa...!”
Salah seorang yang bersenjatakan tombak
menyapu kepala Gundala dengan ujung senjata.
Namun pemuda itu segera melompat ke belakang.
Sementara, orang yang bersenjata golok, telah
siap menyambut dengan tebasannya. Maka ter-
paksa Gundala menangkis dengan kerisnya.
Trakkk!
“Uuh...!”
Seperti yang tadi terjadi, Gundala bisa mendu-
ga kalau tidak akan mampu menahan tenaga
yang disalurkan tebasan lawannya. Bahkan ke-
risnya pun sampai terlepas dari genggaman! Dan
belum lagi dia mampu menguasai diri, seorang
lawannya melepaskan satu tendangan keras ber-
tenaga dalam tinggi. Sehingga....
Begkh!
“Aaakh...!”
Gundala menjerit keras dan tubuhnya sem-
poyongan begitu perutnya mendapat satu tendangan keras. Namun demikian Gundala masih
mampu menjatuhkan diri, untuk menghindari
hunjaman senjata tombak lawannya yang seorang
lagi. Namun, ketika ujung kaki orang bersenjata
tombak menyapu pinggangnya dengan keras, ma-
ka terpaksa Gundala melenting ke atas untuk
menghindarinya. Sayang, pada saat itu lawannya
yang bersenjata golok mengayunkan senjatanya
cepat ke lambung. Begitu cepatnya, sehingga
Gundala tidak sempat mengelak. Dan....
“Aaaakh...!”
Gundala menjerit keras, begitu sabetan golok
lawannya menyambar pinggang. Tubuhnya kem-
bali ambruk dengan pinggang robek lebar. Darah
tampak mengucur deras dari lukanya, bercampur
tanah dan debu. Pemuda itu menggelepar-gelepar
beberapa saat menahan sekarat, kemudian diam
tidak berkutik. Mati.
Sisa-sisa rombongan pengawal kereta kuda itu
pun agaknya mengalami nasib sama dengan ke-
dua pimpinannya. Satu persatu mereka tewas
tanpa daya menghadapi perampok yang berjum-
lah banyak dan memiliki kemampuan hebat.
“Aouw...! Lepaskan akuuu, Keparat! Le-
paskaaan...!”
Dalam keadaan demikian, rombongan pen-
gawal itu dibuat terkejut begitu terdengar jeritan
wanita dari dalam kereta. Agaknya beberapa
orang anak buah Perampok Pisau Terbang berha-
sil menyelinap ke dalam, dan berusaha menculik
putri Adipati Buntaran. Beberapa orang dari mereka berusaha menolong, namun anak buah Pe-
rampok Pisau Terbang agaknya tidak membiarkan
begitu saja. Langsung tiga orang dari mereka
menghadang dan menyerang anak buah Darsono
yang berusaha membantu.
“Hentikan langkah kalian. Dan, biarkan mere-
ka bersenang-senang dengan wanita itu!” hardik
salah seorang dari kawanan rampok.
“Keparat jahanam! Kalian betul-betul kawanan
binatang!” bentak salah seorang dari anak buah
Darsono.
“Huh! Apa pedulimu?! Yang jelas, kalian akan
mampus hari ini, yeaaaa...!”
“Huh! Jangan kira kami takut menghadapi ka-
lian! Walaupun harus mati, tapi kalian tidak da-
pat menginjak-injak kami seenaknya! Hiyaaa!”
Crab! Crab!
“Aaaa...!”
Begitu dua orang pengawal itu hendak bersa-
ma-sama menyerang, salah seorang kawanan
rampok mendadak melemparkan beberapa buah
pisau.
Serrr!
Mereka terkejut dan berusaha menghindar.
Namun, terlambat karena....
Seketika dua orang pengawal memekik kesaki-
tan, ketika pisau itu menghunjam dada. Mereka
kontan terjengkang ke tanah, dengan dada men-
gucurkan darah.
Begitu melihat kedua kawannya tewas, para
pengawal yang tersentak kaget dan terpaku beberapa saat Pada saat itulah kawanan perampok itu
melompat menerkam bagai kawanan serigala ke-
laparan.
“Hiyaaaa...!”
Maka dalam waktu singkat, para pengawal
terbantai satu demi satu disertai jeritan menyayat
Sementara itu beberapa orang anak buah Ki
Satwa Manggala langsung menyeret Nirmala yang
berada di dalam kereta. Gadis itu langsung diba-
wa ke hadapan Ketua Perampok Pisau Terbang.
Laki-laki berperut gemuk bercambang bauk
tebal itu tersenyum lebar, begitu melihat gadis
cantik bertubuh montok di hadapannya yang me-
ronta-ronta berusaha melepaskan diri.
“He he he...! Jadi, inikah putri Adipati Bunta-
ran itu? Hm... cantik sekali. Dia sangat cocok un-
tuk jadi istriku...!” Ki Satwa Manggala menyerin-
gai lebar, bagai anjing liar melihat ayam kam-
pung.
“Rampok keparat! Lepaskan aku! Kalau tidak,
ayahku akan menghukum gantung kalian!” jerit
Nirmala dengan wajah galak, mengancam kawa-
nan rampok itu.
“He, kalian dengar itu? Ayahnya akan meng-
hukum gantung kita!” teriak Ki Satwa Manggala
seraya memandang ke seluruh anak buahnya
dengan senyum mengejek.
Seluruh anak buah laki-laki gendut itu terba-
hak-bahak mendengar kata-kata Nirmala.
“Hei, Bocah! Di kadipaten sana, kau boleh
berkata begitu. Tapi di sini, hanya ada satu penguasa. Perampok Pisau Terbang! Meski raja seka-
lipun, harus tunduk di bawah undang-undang
kami!” teriak salah seorang.
“Alam adalah milik orang-orang berhati bersih.
Maka tidak sepatutnya kawanan rampok mengu-
asainya!” sahut sebuah suara, tiba-tiba.
“Hei?!”
***
Semua mata dibuat kaget oleh suara yang be-
gitu keras, dan menggema ke segala arah. Maka
serentak mereka berpaling, ke arah sumber sua-
ra. Kini, tampak seorang pemuda tampan beram-
but gondrong. Tubuhnya yang tegap, terbungkus
pakaian dari kulit harimau. Pemuda itu berdiri
tegak di belakang para perampok pada jarak tu-
juh langkah. Sikapnya tenang sekali dan tidak
peduli, ketika beberapa orang anggota Perampok
Pisau Terbang langsung melompat mengurung-
nya. Apalagi monyet kecil berbulu hitam yang be-
rada di pundaknya. Binatang itu mengejek-ejek
kawanan rampok ini dengan seringainya yang lu-
cu. Kemudian, dia melompat-lompat seraya me-
nunjukkan pantatnya berkali-kali.
“Kaaaakh...!”
“Siapa kau, Bocah? Pergilah dari sini. Dan,
jangan cari penyakit selagi punya waktu!” hardik
Ki Satwa Manggala dengan suara menggelegar.
“Hm.... Boleh saja aku pergi. Tapi, kalian ha-
rus merasakan dulu, apa yang dirasakan mere-
ka!” sahut pemuda itu, seraya menuding ke arah
mayat-mayat yang bergeletakan di sekitarnya.
“Keparat! Rupanya kau sengaja datang untuk
mampus, heh?!” geram Ki Satwa Manggala. Lang-
sung tangannya memberi isyarat pada anak
buahnya untuk menghajar pemuda itu.
Beberapa orang anak buah laki-laki gendut itu
langsung melompat menyerang.
“Yeaaaa...!”
Serr!
Beberapa orang di antara mereka sudah lang-
sung menggunakan senjata rahasia berupa pisau-
pisau kecil yang menyambar cepat sekali. Namun
pemuda berpakaian dari kulit harimau itu hanya
tersenyum kecil, kemudian bergerak cepat sekali.
Sehingga seketika dia seperti lenyap dari pandan-
gan. Bahkan tahu-tahu saja, terdengar pekik ke-
sakitan dari beberapa orang anak buah Ki Satwa
Manggala. Tiga orang dari mereka terjungkal
muntah darah! Dan ini membuat para perampok
menghentikan. serangan untuk sementara.
“Setan! Siapa kau?!” hardik Ki Satwa Manggala
mulai berhati-hati melihat sepak terjang pemuda
itu.
Pemuda berbaju kulit harimau itu tersenyum
sinis.
“Orang-orang menyebutku Pendekar Pulau Ne-
raka...!” sahut pemuda itu pelan. Namun, cukup
didengar mereka yang berada di tempat itu.
“Apa?! Pendekar Pulau Neraka...?”
Ki Satwa Manggala tersentak kaget. Demikian
pula seluruh anak buahnya. Siapa yang tidak
akan kenal nama besar Pendekar Pulau Neraka?
Sosok pemuda tampan yang belakangan ini
menggegerkan rimba persilatan dan sangat dita-
kuti orang-orang seperti mereka.
Tapi Ki Satwa Manggala cepat menutupi rasa
terkejutnya. Kini, raut wajahnya kembali seperti
semula. Dalam keadaan begitu, mana mau keter-
kejutan hatinya ditunjukkan di depan anak
buahnya. Maka sambil menyungging senyum
yang tidak kalah sinisnya, dia bertolak pinggang.
Langsung ditudingnya pemuda yang tak lain Bayu
Hanggara alias Pendekar Pulau Neraka.
“He, Bocah! Siapa pun dirimu, mau Pendekar
Pulau Neraka atau dedemit dari neraka, pergilah
dari tempat ini! Paling tidak selagi aku masih
mengampuni jiwamu!”
“Aku tidak butuh ampunan! Tapi begitu kalian
merasakan penderitaan yang mereka alami, maka
saat itu juga aku akan pergi dari sini. Tanpa dis-
uruh!” sahut Bayu dingin.
“Hm.... Kalau begitu, jelas. Kau memang ingin
mampus, Bocah. Maka jangan salahkan aku nan-
tinya,” ancam Ki Satwa Manggala, sinis. Kembali
tangannya memberi isyarat pada dua orang anak
buahnya, “Kebo Wungu dan Danang Selaksa! Beri
pelajaran pada bocah sombong ini!”
Kedua anak buah Ki Satwa Manggala yang
bersenjata tombak dan golok itu terdiam beberapa
saat dengan wajah ragu.
“Kalian dengar perintahku?!” hardik Ki Satwa
Manggala, berang.
“Dengar, Ki. Tapi...,” Kebo Wungu yang ber-
senjata tombak hendak mengemukakan alasan,
namun....
“Cepat laksanakan...!” potong laki-laki gendut
itu dengan bentakan menggelegar.
“Baik..., baik, Ki,” sahut keduanya serentak.
Dengan ragu-ragu terpaksa Kebo Wungu dan
Danang Selaksa membuka jurus. Mereka lang-
sung berputar mengelilingi Bayu. Agaknya, kedu-
anya sadar kalau bukanlah tandingan Pendekar
Pulau Neraka. Namun begitu, mereka lebih takut
lagi terhadap Ki Satwa Manggala. Sehingga tidak
heran bila segenap kemampuan yang dimiliki
langsung dikerahkan ketika melompat menyerang
pemuda itu.
“Yeaaa....!”
“Hup!”
Bayu berkelit dengan melompat ke atas ketika
mendapat serangan dari dua arah. Sebelah ka-
kinya ditekuk menghindari tebasan golok, semen-
tara kepalanya merunduk untuk menghindari sa-
puan tombak Kebo Wungu. Kemudian tubuhnya
berputaran indah di udara dan mendarat manis
di tanah. Kebo Wungu dan Danang Selaksa cepat
mengejar dengan serangan-serangan maut. Na-
mun gesit sekali pemuda itu mengelak menge-
goskan tubuhnya.
“Uts...!”
Begitu habis mengegos, Pendekar Pulau Nera-
ka cepat membuat jarak dengan membuat salto
beberapa kali. Dan begitu menjejak tanah, dia
langsung berbalik. Lalu seketika, tangan kanan-
nya dikibaskan. Maka saat itu juga melesat Cakra
Mautnya yang merupakan senjata andalannya.
Singngng!
Cakra Maut melesat bagaikan kilat ke arah
dua anak buah Ki Satwa Manggala itu. Danang
Selaksa sempat menjatuhkan diri menghindari.
Namun, Kebo Wungu berada dalam keadaan yang
sulit Dia tidak sempat menghindar, namun men-
coba menangkis dengan tombaknya.
Tras! Cras!
“Aaaa...!”
Tapi yang terjadi sungguh mengejutkan semua
yang berada di tempat itu. Tombak Kebo Wungu
putus dan Cakra Maut terus meluncur deras me-
robek dadanya. Kebo Wungu menjerit menyayat,
dan kontan terjungkal ke tanah. Tepat ketika Ke-
bo Wungu tak berkutik lagi. Bayu kembali men-
gangkat tangannya. Maka, Cakra Maut kembali
melesat pulang ke tangannya.
“Hei?!”
“Keparat!” maki Ki Satwa Manggala geram.
Laki-laki gendut itu kemudian melompat me-
nyerang Pendekar Pulau Neraka sambil melem-
parkan senjata rahasianya.
Serr! Set!
“Huh!”
Bayu hanya mendengus kecil, kemudian men-
gibaskan tangan kanannya.
Singngng!
Cakra Maut yang baru saja menempel di per
gelangan tangan Bayu kembali melesat memapak
senjata rahasia Ki Satwa Manggala.
Trass!
“Uts!”
Pisau-pisau yang dilemparkan Ketua Peram-
pok Pisau Terbang itu langsung hancur beranta-
kan. Bahkan senjata Pendekar Pulau Neraka nya-
ris merobek lehernya, kalau dia tidak buru-buru
menjatuhkan diri.
“Hiyaaaa...!”
Bayu agaknya tidak sudi lagi memberi kesem-
patan pada laki-laki gendut itu. Begitu Ki Satwa
Manggala menjatuhkan diri menghindari senja-
tanya, saat itu juga tubuhnya melesat menyerang.
Sementara tangan kanannya menangkap senja-
tanya yang bergerak pulang ke tempatnya.
***
Ki Satwa Manggala terkejut bukan main, dan
tidak sempat menghindar. Terpaksa tendangan
Pendekar Pulau Neraka yang berisi tenaga dalam
cukup sempurna ditangkis.
Plakkk!
“Hiiih!”
Pergelangan tangan laki-laki gendut itu terasa
remuk ketika menahan tendangan Bayu. Namun
begitu serangan susulan Pendekar Pulau Neraka
masih sempat dihindarinya dengan mengegos ke
kanan.
Sementara Bayu cepat berbalik. Langsung di-
lepaskannya satu tendangan keras menyapu
pinggang Ki Satwa Manggala. Namun, laki-laki
gendut itu cepat melompat ke atas menghindari.
Melihat hal ini Pendekar Pulau Neraka cepat me-
lenting mengikuti. Kepalan kirinya langsung diki-
baskan ke arah dada. Dan untung saja, Ki Satwa
Manggala masih sempat menangkis.
Plakk!
Benturan keras terjadi, sehingga membuat Ki
Satwa Manggala terjajar. Dan belum lagi dia
mampu menguasai diri, ujung kaki Pendekar Pu-
lau Neraka telah menghantam ke arah perut Begi-
tu cepat gerakannya, sehingga laki-laki itu tidak
mampu berbuat apa-apa.
Dukkk!
“Aaaakh...!”
Ki Satwa Manggala memekik kesakitan, ketika
tubuhnya terjungkal beberapa langkah ke bela-
kang.
“Yeaaa...!”
Pendekar Pulau Neraka terus melesat menye-
rang ketika kedua kakinya baru saja menjejak ta-
nah. Melihat itu tentu saja para anak buah Ki
Satwa Manggala tidak tinggal diam. Sementara
mereka langsung menyerang pemuda berbaju ku-
lit harimau itu.
Tapi, Bayu agaknya tidak sudi melepaskan la-
wannya begitu saja. Maka ketika mengetahui ka-
lau anak buah laki-laki gendut ini hendak mem-
bokongnya, tangan kanannya kembali dikibaskan.
Seketika Cakra Maut melesat ke arah anak
buah Ki Satwa Manggala. Sehingga....
Tras! Cras! Brett!
“Aaaa...!”
Terdengar pekik kesakitan ketika senjata maut
Pendekar Pulau Neraka memapas lawan-lawan
yang mencoba mendekatinya. Padahal perhatian
Pendekar Pulau Neraka sendiri terus tertuju pada
pemimpin perampok itu. Tubuh mereka kontan
terjungkal. Dua orang robek perutnya, sementara
seorang lagi lehernya nyaris putus.
Sementara itu Ki Satwa Manggala cepat me-
nangkis tendangan Pendekar Pulau Neraka. Wa-
jahnya kontan berkerut menahan sakit, ketika
kedua kaki dan tangan mereka berbenturan.
Bayu terus mengejar dengan hantaman kepalan
tangan kiri ke arah dada Ki Satwa Manggala. La-
ki-laki itu segera melompat ke belakang. Namun
tubuh Bayu telah lebih dulu berjumpalitan den-
gan melepaskan satu pukulan ke arah dada.
Begkh!
“Aaaakh...!”
Ki Satwa Manggala memekik kesakitan begitu
dadanya telak sekali terhantam pukulan Pende-
kar Pulau Neraka. Tubuhnya tersungkur sejauh
sepuluh langkah sambil memuntahkan darah se-
gar. Sedangkan Bayu berjumpalitan kembali
sambil menangkap Cakra Maut yang tadi dile-
paskannya. Dan begitu tangan kanannya mengi-
bas kembali, Cakra Maut kembali melesat ke arah
anak buah Ki Satwa Manggala yang langsung me-
nyerang dengan pisau-pisau kecil mereka.
Sing!
Tras! Breet!
“Aaaa...!”
Korban kembali berjatuhan di pihak kawanan
Perampok Pisau Terbang. Kali ini, lima orang
langsung terjungkal tewas dengan leher nyaris
putus. Danang Selaksa mencoba membokong,
pada saat Bayu tengah bergerak untuk menang-
kap senjatanya yang berbalik pulang.
“Yeaaaa...!”
“Uts...!”
Dengan cepat pemuda itu mengegoskan kepa-
la. Kemudian tangan kanannya bergerak me-
nangkis kepalan tangan kiri Danang Selaksa.
Plakkk!
Danang Selaksa langsung melenguh kesaki-
tan, ketika menangkis tadi. Namun ujung kaki ki-
rinya cepat mencoba menghantam lambung Pen-
dekar Pulau Neraka. Bayu segera melompat ke
atas menghindarinya sembari menangkap kembali
Cakra Mautnya yang melesat ke arahnya.
Begitu Cakra Maut kembali ke pergelangan
tangannya, saat itu juga Bayu melepaskannya.
Seketika Cakra Maut melesat, menderu keras ke
arah Danang Selaksa. Laki-laki itu terkesiap, dan
mencoba menangkis dengan goloknya.
Trang!
Namun golok itu putus disambar senjata Ca-
kra Maut Bahkan senjata andalan Pendekar Pu-
lau Neraka tenis menyambar lehernya.
“Aaaa....!”
Danang Selaksa hanya mampu memekik ter
tahan. Tubuhnya kontan ambruk dengan darah
muncrat membasahi tanah.
Kini beberapa orang dari kawanan rampok itu
terkejut dan ragu-ragu menyerang Bayu. Namun
sebagian masih tetap tidak peduli. Mereka segera
menyerang dengan amarah meluap-luap.
“Bocah Keparat, mampus kau...! Yeaaa...!”
“Aaaa...!”
Bayu agaknya tidak mau bertindak kepalang
tanggung. Begitu tangan kanannya dikibaskan,
Cakra Mautnya langsung melesat memapaki se-
rangan.
Singngng!
Cras! Brett!
Kembali terdengar pekik kematian yang diirin-
gi robohnya beberapa orang anak buah kawanan
rampok. Senjata andalan Pendekar Pulau Neraka
kembali meminta korban. Ketika beberapa orang
kembali menyerang, maka Cakra Maut Pendekar
Pulau Neraka tenis menyambar-nyambar.
“Pendekar Pulau Neraka! Hentikan perbua-
tanmu...!”
Terdengar suara serak yang berteriak mence-
gah pembantaian itu.
“Hmmm...!”
Bayu menoleh dan tersenyum sinis ke arah Ki
Satwa Manggala yang berteriak mencegahnya. La-
lu dia melompat kecil, menangkap Cakra Maut
yang melesat ke arahnya.
***
TIGA
Pendekar Pulau Neraka menatap Ki Satwa
Manggala dalam-dalam.
“Kenapa?” tanya Bayu bernada dingin.
Ki Satwa Manggala bangkit perlahan-lahan
sambil mendekap dadanya yang terasa nyeri den-
gan tangan kirinya.
“Kuakui kekalahan kami. Dan, tidak perlu lagi
kau membantai anak buahku. Sudah cukup kor-
ban yang kau timbulkan...,” pinta Ki Satwa Mang-
gala, lemah.
“Hm.... Tadi kudengar ada nada kesombongan
pada kata-katamu. Apakah Perampok Pisau Ter-
bang saat ini telah menjadi pengecut?” ejek Bayu.
“Pendekar Pulau Neraka! Kau boleh berkata
apa saja saat ini. Tapi, aku lebih mengutamakan
keselamatan anak buahku. Suatu saat, aku akan
menagih persoalan ini berikut bunganya!” dengus
Ki Satwa Manggala dengan hawa amarah mengge-
lora mendengar kata-kata Bayu.
“Kisanak! Kapan saja kau hendak menagih hu-
tang atas persoalan ini, aku akan bersedia melu-
nasinya sampai tuntas!” sahut Bayu mantap.
Ki Satwa Manggala menoleh sekilas ke arah
Pendekar Pulau Neraka. Kemudian tangannya
memberi isyarat pada sisa anak buahnya, untuk
segera berlalu dari tempat ini. Maka begitu orang-
tua itu, berbalik dan melangkah pergi, sisa anggo-
ta Perampok Pisau Terbang segera mengikutinya.
Bayu masih sempat memperhatikan beberapa
saat sampai kawanan itu lenyap dari pengliha-
tannya. Lalu kakinya melangkah pelan mendekati
gadis yang nyaris menjadi korban kebiadaban
kawanan tadi. Tampak wajah gadis itu masih pu-
cat menahan rasa ketakutan. Bayu tersenyum
dan mencoba meyakinkan lewat raut wajahnya
kalau tidak bermaksud jahat padanya.
“Nisanak, siapakah namamu? Namaku, Bayu.
Dan, jangan khawatir. Aku tidak bermaksud jahat
padamu...,” ujar Bayu ramah.
Gadis itu memperhatikan beberapa saat Se-
pertinya, dia hendak meyakinkan pada dirinya
kalau apa yang dikatakan pemuda itu memang
benar.
“Aku..., aku Nirmala, putri Adipati Buntaran
dari Kadipaten Karang Wates...,” sahut gadis itu,
masih dilanda ketakutan.
“Hm, Nirmala.... Kini kau boleh kembali ke
tempatmu...,” ujar Bayu, seraya hendak berbalik
dari melangkah pergi.
“Eh! Kisanak sendiri hendak ke mana?” tanya
Nirmala buru-buru, ketika melihat Bayu hendak
melangkah.
“Aku hendak melanjutkan perjalanan....”
“Tunggu!” cegah Nirmala tiba-tiba, “Aku takut
pulang seorang diri. Kau lihat? Semua pengawal-
ku tewas oleh mereka. Bersediakah kau mengan-
tarkanku sampai di kadipaten? Ayahku tentu
akan memberi hadiah yang banyak atas bantuan
yang kau berikan padaku....”
“Aku tidak mengharapkan hadiah atas apa
yang kulakukan padamu, Nirmala!” sahut Bayu
menegaskan.
“Eh! Bukan maksudku menyepelekan bantuan
yang kau berikan. Tapi, anggaplah sebagai rasa
terima kasihku. Apa pun yang kau inginkan,
ayahku pasti akan mengabulkannya!” bujuk gadis
itu.
Bayu tersenyum kecil.
“Baiklah. Aku akan mengantarkanmu sampai
di kadipaten. Tapi, ingat! Aku tidak akan mengha-
rapkan hadiah apa-apa atas apa yang kuperbuat
hari ini terhadapmu!” tegas Bayu kembali.
Wajah gadis itu tampak berseri, seketika pe-
muda itu langsung berbalik dan berjalan ke arah
kereta. Bergegas gadis itu mengikuti di belakang-
nya. Sebentar saja Pendekar Pulau Neraka sudah
melompat ringan ke atas kereta kuda. Rupanya
Bayu hendak bertindak sebagai kusir mengganti-
kan kusir yang telah tewas. Sementara monyet
kecil yang tadi sempat menyelamatkan diri, kini
telah langsung melompat ke sampingnya. Bina-
tang itu seketika berjingkrak-jingkrak, sambil
mengeluarkan suara melengking.
“Yeaaa...!”
Bayu menghela kencang kedua kuda yang
menarik kereta, begitu Nirmala telah berada di
dalamnya. Seketika hewan-hewan itu berlari,
dengan kecepatan bagai dikejar setan. Nirmala
tersentak kaget. Nyaris gadis itu terjerembab di
dalam kereta, kalau tidak cepat berpegangan.
“Bayu! Perlahan-lahan sedikit mengendalikan-
nya. Aku bisa terjatuh!” jerit Nirmala.
Bayu terkekeh pelan. Kemudian, kuda-kuda
itu mulai dikendalikan agar berlari dengan kece-
patan biasa. Kini Nirmala menghela napas lega.
Namun demikian, bukan berarti hatinya bisa te-
nang. Hatinya malah mulai mencurigai pemuda
itu. Jangan-jangan malah pemuda itu akan mem-
bawanya ke suatu tempat Lalu..., ah! Dia tidak
mampu membayangkan kejadian buruk yang
bakal menimpanya! Tidak terasa, diam-diam gadis
itu berdoa di dalam hati.
Sementara Pendekar Pulau Neraka sama seka-
li tidak banyak bicara, dia diam membisu selama
dalam perjalanan. Padahal gadis itu telah menco-
ba untuk mengajaknya bicara. Namun, Bayu
hanya menjawab sepatah atau dua patah kata sa-
ja. Dan hal ini membuatnya merasa sungkan un-
tuk terus mengajak bercakap-cakap.
Kalau ada satu hal yang membuat gadis itu
merasa tenang, adalah karena rasa aman dalam
hatinya. Meskipun seorang diri, namun Nirmala
bisa melihat bagaimana Bayu mengalahkan ka-
wanan Perampok Pisau Terbang yang justru telah
menewaskan seluruh para pengawalnya. Dan apa
yang diduga memang tidak berlebihan. Tidak ada
satu gangguan pun yang dialami, sejak pemuda
itu memegang kendali kereta kudanya.
Menjelang sore, kereta kuda yang ditumpangi
Nirmala memasuki kadipaten dan terus melaju ke
tempat kediaman Adipati Buntaran di tengah kota. Tidak lama kemudian, kereta kuda itu berhen-
ti tepat di pintu gerbang kadipaten. Nirmala me-
nunggu beberapa saat, agar Bayu membukakan
pintu kereta baginya. Hal itu memang biasa dila-
kukan oleh para kusir keretanya yang lain. Na-
mun untuk beberapa lama, tidak terdengar suara
apa pun. Gadis itu jadi kesal sendiri. Segera di-
bukanya pintu kereta, lalu kepalanya mendongak
ke tempat kusir berada. Namun dia terpaku sen-
diri jadinya. Ternyata Pendekar Pulau Neraka hi-
lang dari tempatnya berada!
***
Beberapa pengawal kadipaten yang melihat
ada kereta kuda milik kadipaten berhenti di pintu
gerbang, bergegas menghampiri. Dan mereka se-
gera memberi penghormatan, ketika melihat siapa
yang turun dari kereta kuda.
“Kanjeng Gusti Ayu Nirmala, terimalah salah
hormat kami...!” kata salah seorang.
“Kalian lihat pemuda itu?” Nirmala malah ber-
tanya.
“Pemuda? Pemuda yang mana, Kanjeng Gus-
ti?” tanya seorang pengawal dengan wajah bin-
gung.
“Pemuda tampan berambut panjang, memakai
baju dari kulit harimau? Dia bersama seekor mo-
nyet kecil berbulu hitam!” jelas gadis itu.
Beberapa pengawal memperhatikan ke sekitar
tempat itu, kemudian menggeleng lemah. Semen-
tara seorang pengawal segera melangkah memasuki rumah kediaman adipati, begitu menyadari
kalau putri junjungannya, Adipati Buntaran kem-
bali hanya seorang diri.
“Kanjeng Gusti. Kami tidak melihat siapa-
siapa bersamamu....”
“Mustahil! Dia yang menyelamatkan aku dari
kawanan Perampok Pisau Terbang, dan mengan-
tarkanku hingga tiba di sini!” tandas Nirmala
dengan wajah bingung tidak mengerti. Para pen-
gawal yang berada di tempat itu kembali dibuat
bingung oleh kata-kata Nirmala. Dua orang dari
mereka langsung melompat ke punggung kuda
dan memeriksa di sekitarnya.
“Kanjeng Gusti Ayu, silakan masuk! Ayahanda
telah menunggu-nunggu sejak tadi...,” kata seo-
rang pengawal yang tadi memasuki rumah berha-
laman luas ini, dan melaporkan pada Adipati
Buntaran.
Gadis itu melangkah perlahan. Wajahnya ma-
sih menampakkan kebingungan. Ke mana geran-
gan pemuda yang bernama Bayu tadi?
Belum juga putri Adipati Buntaran itu masuk
ke rumahnya, seorang lelaki setengah baya tam-
pak tergopoh-gopoh menghampiri diiringi bebera-
pa orang pengawal.
“Nirmala, anakku. Kau tidak apa-apa?!” tanya
laki-laki yang tak lain Adipati Buntaran dengan
wajah semburat kegembiraan.
Langsung dipeluknya Nirmala dengan pera-
saan haru. Dan gadis itu pun membalasnya dengan hangat.
“Ayah cemas ketika para pengawal melaporkan
kau kembali seorang diri! Ke mana para pengawal
yang menyertaimu?” tanya Adipati Buntaran.
“Ayahanda, ceritanya panjang. Lebih baik, kita
bercakap-cakap di dalam saja...,” sahut Nirmala.
“Oh, tentu saja. Nah, mandilah lebih dulu.
Dan bersihkan tubuhmu, lalu makanlah. Kemu-
dian baru setelah itu temui ayah di balairung
utama!”
Nirmala mengangguk cepat. Sementara dua
orang wanita setengah baya yang merupakan para
pengasuhnya sejak kecil, buru-buru mengirin-
ginya ke salah satu ruangan dari gedung di dalam
kadipaten ini.
***
Adipati Buntaran duduk di kursi besar di
ujung ruangan balairung utama. Di sebelahnya
terlihat seorang wanita setengah baya berwajah
cantik dan berpakaian mewah, didampingi seo-
rang gadis cantik berpakaian indah. Sementara
berjejer ke kiri dan kanannya duduk bersila para
abdi setia. Di antara mereka, terlihat dua orang
panglima utama yang berusia sekitar tiga puluh
lima tahun. Mereka adalah Ki Dipati Unus dan Ki
Soma Nagara.
Adipati Buntaran sengaja mengumpulkan para
perwiranya di ruangan ini, untuk membahas apa
yang telah menimpa putrinya sore tadi. Kedatan-
gannya seorang diri tanpa diiringi para pengawal,
sudah membuat teka-teki yang mencurigakan.
Sekaligus, membuat cemas hatinya.
Dan ketika Nirmala menceritakan semua keja-
dian yang menimpa dirinya, semua orang yang
berada dalam ruangan mendengar dengan sek-
sama. Beberapa kali Adipati Buntaran tampak
mengerutkan rahang, menahan amarah.
“Kurang ajar! Kawanan rampok itu agaknya
patut mendapat hajaran yang setimpal!” geram
Adipati Buntaran sambil mengepalkan kedua tan-
gannya.
Laki-laki itu lalu memandang ke arah dua
panglimanya.
“Ki Soma Nagara dan Ki Dipati Unus! Besok
pagi-pagi sekali, siapkan pasukan pilihan. Dan,
gempur kawanan rampok itu. Sapu bersih mereka
dan jangan sisakan seorang pun!”
“Ampun, Kanjeng Gusti Adipati. Segala titah
akan hamba kerjakan secepatnya!” sahut Ki Dipa-
ti Unus.
“Maaf, Kanjeng Gusti. Bukan hamba bermak-
sud hendak lancang. Namun, bukankah para ka-
wanan rampok itu telah mendapat hukuman yang
setimpal dari pemuda yang telah diceritakan Gus-
ti Ayu Nirmala tadi? Tentu saat ini mereka tengah
bersembunyi, mereka pasti menduga kalau Kan-
jeng Gusti akan mengejar mereka. Maka menurut
hemat hamba, pekerjaan mencari-cari mereka
akan sia-sia saja. Bahkan bukan tidak mustahil,
pada saat banyak pengawal di kadipaten ini dike-
rahkan untuk mencari, mereka tiba-tiba datang
menyerbu tempat ini,” saran Ki Soma Nagara.
“Hm...,” Adipati Buntaran berpikir sesaat, ke-
mudian mengangguk pelan. “Apa yang kau kata-
kan terakhir memang benar, Ki Soma Nagara.
Namun, aku tetap memutuskan untuk mengirim
beberapa orang pilihan untuk menghajar mereka!”
“Ampun, Gusti Adipati. Sekali lagi, bukan
hamba hendak melangkahi keputusan. Namun
kalau Kanjeng Gusti tetap hendak mengirim bebe-
rapa orang untuk menyapu bersih mereka, menu-
rut hemat hamba itu bukanlah keputusan bijak-
sana. Sebab, kita tidak tahu, sampai di mana ke-
kuatan mereka. Bila yang dikatakan Gusti Ayu
Nirmala benar bahwa pemuda itu telah banyak
menewaskan para perampok itu, bukan berarti
kekuatan mereka lemah. Malah bisa jadi mereka
tidak membawa serta seluruh kekuatannya saat
itu. Dan kalau Kanjeng Gusti mengirimkan hanya
beberapa orang saja, hamba khawatir malah kita
yang akan tunggang-langgang....”
Adipati Buntaran kembali tercenung menden-
gar nasihat salah seorang panglimanya. Apa yang
dikatakan Ki Soma Nagara memang benar, serba
masuk di akal. Dia memandang laki-laki itu den-
gan seksama.
“Lalu menurutmu, langkah apa yang terbaik
untuk menghajar mereka?” tanyanya.
Ki Soma Nagara berpikir sesaat, kemudian
memandang Nirmala.
“Gusti Nirmala, siapa pemuda yang kau kata-
kan telah menolongmu?”
“Kalau tidak salah, namanya Bayu. Ya, Bayu!
Aku ingat “Begitu dia menyebutkan namanya,”
sahut Nirmala.
“Bayu? Hm..., bagaimana ciri-cirinya?” tanya
Ki Soma Nagara lagi.
“Dia masih muda. Dan..., tampan. Lalu ram-
butnya panjang dan memakai baju dari kulit ha-
rimau. Dan senjatanya, aneh. Sebab, bisa melesat
cepat dari pergelangan tangannya, lalu kembali ke
tempatnya semula...,” jelas Nirmala.
“Cakra Maut! Astaga, pasti pemuda itu Pende-
kar Pulau Neraka!” desis Ki Soma Nagara, kaget
“Ah! Benar sekali, Paman! Aku ingat betul saat
itu kepala perampok itu menyebutkannya demi-
kian. Siapa sebenarnya Pendekar Pulau Neraka
itu, Paman?” tanya Nirmala.
Semua orang yang berada di ruangan itu ter-
diam beberapa saat
“Gusti Nirmala, dia adalah seorang pendekar
hebat berkepandaian amat tinggi. Jarang ada
orang yang mampu mengalahkannya. Suatu ke-
beruntungan bagimu bisa bertemu dengannya...,”
sahut Ki Soma Nagara.
“Ki Soma Nagara, kembali kepada persoalan
semula. Apakah kau mempunyai cara untuk
mengatasi kawanan perampok itu?” tanya Adipati
Buntaran kembali.
Namun belum sempat Ki Soma Nagara menja-
wab, terdengar jeritan keras dari arah luar. Mere-
ka yang berada di ruangan itu tersentak kaget.
Seketika Ki Soma Nagara dan Ki Dipati Unus
langsung melompat keluar.
***
Di halaman luas depan rumah Adipati Bunta-
ran, tampak seorang pemuda berpakaian com-
pang-camping seperti pengemis tengah terkekeh-
kekeh kegirangan melihat beberapa mayat para
pengawal kadipaten tergeletak bermandikan da-
rah. Beberapa orang pengawal sudah mengu-
rungnya, namun ragu-ragu untuk menyerang
kembali. Seperti yang disaksikan sendiri, kecepa-
tan bergerak pemuda berambut panjang dan
awut-awutan itu luar biasa. Entah bagaimana ca-
ranya, dia mampu mencabut golok dan menebas
dahi lawan, lalu menyarungkan kembali goloknya,
dalam sekelebatan saja.
“Ha ha ha...! Lho? Lho.... Kenapa pada tidur?
Bukankah tadi kalian hendak meringkusku? Ayo,
bangun! Bangun, Geblek! Dan kalian, kenapa di-
am saja? Ayo tangkap aku! Ringkus dan cincang
seperti cacing! Hi hi hi...! Dasar kantung-kantung
tai tidak berguna!” celoteh pemuda gembel itu
sendiri sambil menuding-nuding ke arah mayat
yang bergeletakan, lalu ke arah para pengawal
kadipaten yang masih mengurungnya.
“Orang sinting keparat! Kau kira kami takut,
heh?! Mampus kau sekarang!” geram pengawal
itu.
Dengan cepat pengawal itu melompat dan me-
nerkam, dengan senjata tombak yang diputar se-
demikian rupa seperti kitiran.
“Yeaaa...!”
Melihat kawannya melompat, tiga orang pen
gawal lain langsung melompat, seraya menghu-
nuskan senjata golok panjang yang tajam berki-
lat.
“Hi hi hi...! Dasar cecurut bau! Kalian kira bisa
berbuat apa terhadapku, heh?!” sahut pemuda
pengemis itu sambil terkekeh-kekeh mengejek.
“Uts!”
Begitu senjata pengawal menyambar tubuh-
nya, pemuda gembel itu cepat melompat ke atas
dan berputaran beberapa kali. Dan diiringi benta-
kan nyaring, pengemis itu meluruk turun dengan
sabetan goloknya yang cepat bagai kilat
“Hiyaaaa...!”
Crasss!
“Aaaa...!”
Cepat sekali golok itu menebas dahi keempat
lawannya, sehingga sulit diikuti pandangan mata
biasa. Bahkan keempat lawannya sama sekali ti-
dak menyadari kalau pemuda gembel itu menca-
but senjata. Dan tiba-tiba saja mereka merasakan
sakit luar biasa di dahi. Keempat orang itu me-
mekik menyayat, dengan pandangan menjadi ge-
lap. Tubuh, mereka seketika roboh bermandikan
darah.
“Gila!” desis para pengawal lain dengan wajah
kaget dan mata terbelalak.
“Hi hi hi...! Ayo! Siapa yang hendak berlomba
ke neraka? Aku akan senang hati mengirim kalian
ke sana! Ayo! Yang paling cepat, itu yang paling
baik. Atau kalian ingin bersama-sama?!” sentak
pemuda gembel itu terus terkekeh-kekeh, begitu
mendarat di tanah. Matanya langsung beredar ke-
liling, seperti menantang.
Kemudian terlihat raut wajah gembel itu beru-
bah garang seraya melangkah ke arah para pen-
gurungnya dengan sikap mengancam. Namun se-
belum bertindak lebih jauh.
“Kisanak, hentikan perbuatanmu...!”
Tiba-tiba terdengar sebuah suara yang menge-
jutkan, membuat pemuda gembel itu berpaling,
Tampak Ki Soma Nagara dan Ki Dipati Unus telah
berdiri tegak di depan para pengawal seraya me-
mandang pemuda gembel itu dengan sorot mata
tajam. Wajah mereka tampak garang, memendam
amarah meluap-luap melihat mayat-mayat berge-
limpangan di halaman ini.
“Siapa kalian, Monyet buduk?!” hardik pemu-
da gembel itu seenaknya.
“Kisanak. Hati-hati bicaramu, dan jaga lidah-
mu! Kau tengah berhadapan dengan kedua pan-
glima kadipaten!” ujar Ki Soma Nagara, dingin.
“Puiih! Kenapa aku harus berhati-hati kepada
dua ekor monyet buduk! Heh?! Tidak usah ba-
nyak bicara. Suruh si keparat Buntaran itu ke-
luar! Aku hendak mengambil kepalanya!” desis
pemuda gembel itu dengan suara garang.
“Kisanak! Kau sungguh keterlaluan...!”
“Setan belang, monyet buduk, kadal beng-
kak...! Tutup mulut busukmu itu! Suruh keluar si
Buntaran keparat itu! Katakan padanya, Darmo
Gandul alias si Gila dari Muara Bangkai, menagih
hutang nyawa istri dan anaknya! Ayo! Atau,
kuundang pantat kalian...?” potong pemuda yang
ternyata Darmo Gandul dan berjuluk si Gila dari
Muara Bangkai dengan suara menggelegar meme-
kakkan telinga.
“Hm. Kau semakin keterlaluan, Kisanak. Aku
tidak bisa membiarkan perbuatanmu yang see-
naknya saja...!” desis Ki Dipati Unus tidak dapat
menahan amarahnya lagi.
Namun sebelum kedua orang itu mencabut
senjatanya, Darmo Gandul telah melompat me-
nyerang diiringi bentakan nyaring.
“Yeaaaa...!”
“Uts!”
Kedua panglima kadipaten itu tersentak kaget
melihat gerakan si Gila dari Muara Bangkai yang
cepat bukan main. Terpaksa keduanya melompat
ke belakang seraya mencabut pedang masing-
masing. Namun baru saja mencabut senjata,
mendadak berkelebat angin tajam menyambar.
Buru-buru mereka menangkis
Trangngng!
Kedua panglima itu kontan mengeluh kesaki-
tan, ketika senjata mereka seperti membentur ba-
tu cadas yang keras luar biasa. Bahkan sempat
membuat genggaman pada senjata masing-
masing nyaris terlepas.
***
EMPAT
“Hiyaaa...!”
Gembel yang menyebut dirinya si Gila dari
Muara Bangkai kembali berkelebat cepat menye-
rang kedua Panglima Kadipaten Karang Wates.
Sementara beberapa orang para pengawal kadipa-
ten mencoba membokong ke arah pemuda gembel
itu.
“Yeaaaa...!”
Namun tanpa berbalik sedikit pun, si Gila dari
Muara Bangkai mengebutkan goloknya ke bela-
kang. Begitu cepat gerakannya, sehingga para
pembokong tak kuasa menghindarinya. Dan....
Trang! Cras!
“Aaaa...!”
Dua orang pembokong langsung memekik ke-
sakitan. Tubuh mereka tersungkur dengan luka
di dahi mengucurkan darah segar. Melihat hal ini
kedua panglima kadipaten itu menggeram.
“Gembel keparat! Kau akan rasakan pembala-
san kami, yeaaa...!”
Ki Dipati Unus menggeram. Pedangnya segera
diputar sedemikian rupa, menyambar pinggang
Darmo Gandul. Sementara pada saat yang ber-
samaan, Ki Soma Nagara langsung menyerang
kembali.
“Hup! He he he...! Apa yang kau tebas, Tikus
busuk?” ejek si Gila dari Muara Bangkai setelah
berhasil menghindari serangan Ki Soma Nagara
dengan lompatan indah dan putarkan tubuhnya.
Namun serangan Ki Soma Nagara tidak ber-
henti sampai di situ saja. Pedangnya cepat dikele-
batkan ke depan, ke arah Si Gila dari Muara
Bangkai. Melihat hal ini, Darmo Gandul tidak gu-
gup. Maka goloknya berkelebat cepat menangkis
tebasan pedang Ki Soma Nagara yang mencoba
memapas pinggangnya.
Trang!
Ki Soma Nagara jadi terjajar dua langkah tepat
ketika Si Gila dari Muara Bangkai mendarat di
tanah. Bahkan pemuda gembel itu langsung me-
lepaskan tendangan geledek yang begitu cepat.
Akibatnya....
Dukkk!
“Aaaakh...!”
Ki Soma Nagara menjerit kesakitan, begitu
ujung kaki Si Gila dari Muara Bangkai menggedor
keras dadanya. Tubuhnya kontan terjungkal ke
belakang disertai muntahan darah segar.
“Yeaaa...! Mampus kau...!?”
Geram Ki Soma Nagara mengincar kesempatan
ketika pemuda itu lengah. Pedangnya langsung
berkelebat, menyambar ke arah leher.
“Uts!”
Namun, pemuda yang disangkanya lengah itu
mudah sekali menundukkan kepalanya menghin-
dari tebasan pedang itu. Kemudian tubuhnya
berbalik cepat menyambar pergelangan tangan Ki
Dipati Unus.
Tras!
“Aaaakh...!”
Panglima Kadipaten Karang Wates itu kontan
memekik, ketika pergelangan tangannya yang
memegang senjata putus disambar golok Si Gila
dari Muara Bangkai.
“Hiiih!”
Darmo Gandul alias Si Gila dari Muara Bang-
kai mendengus tajam. Tanpa memberi kesempa-
tan sedikit pun, tubuhnya melompat mengejar
panglima yang terhuyung-huyung. Dan seketika
goloknya kembali berkelebat tanpa mampu dihin-
dari.
Cras!
“Aaaa...!”
Kembali terdengar jeritan menyayat, membe-
lah angkasa yang semula sunyi. Dipati Unus tidak
mampu menghindari golok lawan yang cepat se-
kali menyambar dahinya. Tubuhnya langsung
terhuyung-huyung dengan darah mengucur deras
mengiringi tubuhnya yang ambruk di tanah
menggelepar-gelepar.
“He he he...! Siapa yang mau menyusul? Ayo,
cepat! Cepat...!” teriak Si Gila dari Muara Bangkai
sambil memandang lawan-lawannya disertai tawa
mengejek.
Ki Soma Nagara dan para pengawal kadipaten
yang tersisa, terpaku beberapa saat Para pengaw-
al itu ragu-ragu untuk menyerang, dan hanya
mampu melirik ke arah panglima kadipaten ini.
Agaknya, mereka menunggu keputusan dari laki-laki itu.
Sedangkan Ki Soma Nagara sendiri melangkah
sambil menahan rasa nyeri di dadanya. Kemudian
langkahnya berhenti di depan pemuda gembel itu
pada jarak lima tombak.
“Kisanak! Di antara kita tidak ada urusan apa-
apa....”
“Diam mulutmu, Kodok Buduk! Tahu apa kau
dengan segala urusanku?! Panggil si keparat Bun-
taran, dan menyingkirlah dari mukaku!” sentak
pemuda gembel itu memotong pembicaraan Ki
Soma Nagara dengan suara menggelegar.
Sementara itu, Ki Soma Nagara berusaha un-
tuk bersabar. Dia mengulur waktu, dengan men-
gajak pemuda gembel itu bercakap-cakap. Dan
ketika seorang pengawal yang baru saja kembali
dari dalam bangunan megah itu memberi isyarat,
dia langsung mengerti.
Sementara itu, Adipati Buntaran bukannya ti-
dak mengerti gelagat. Dan ketika dikabari bahwa,
salah seorang panglimanya tewas, adipati itu se-
gera mengungsikan istri serta putrinya keluar da-
ri bangunan kadipaten lewat jalan belakang. Laki-
laki berusia lebih dari setengah baya itu menya-
dari akan kepandaian pemuda gembel yang telah
berjuluk Si Gila dari Muara Bangkai. Walaupun
seluruh pengawalnya menyerang, rasanya pemu-
da itu masih mampu mengatasi. Bahkan mampu
menghabisi mereka dengan cepat
Namun, agaknya Si Gila dari Muara Bangkai
bukannya tidak mengerti gelagat. Apalagi ketika
pendengarannya yang tajam mendengar ringkikan
kuda dari arah belakang istana kadipaten. Maka
dengan wajah geram, tubuhnya melompat ke atas
atap istana disertai ilmu meringankan tubuhnya
yang sudah cukup tinggi.
“Setan Alas! Jangan coba-coba kabur dariku,
heh!” dengus Si Gila dari Muara Bangkai.
“Pemuda gembel! Kau masih berurusan den-
ganku! Jangan coba-coba kabur! Serang dia...!”
teriak Ki Soma Nagara seraya melompat mengha-
dang, setelah memberi perintah pada sisa pen-
gawal kadipaten. Seketika ilmu meringankan tu-
buhnya dikerahkan pula.
***
Darmo Gandul, menggeram melihat Ki Soma
Nagara menghadang. Bahkan langsung menye-
rangnya. Maka tubuhnya langsung melesat cepat
bagai sapuan angin kencang disertai kelebatan
goloknya yang cepat bukan main. Beberapa orang
pengawal kadipaten langsung roboh sambil me-
mekik kesakitan. Dan ini membuat Ki Soma Na-
gara terkejut setengah mati.
“Yeaaaa...!”
Satu sambaran kencang dari Si Gila dari Mua-
ra Bangkai mengancam tubuh Ki Soma Nagara.
Maka dengan cepat panglima itu menyabetkan
pedangnya untuk menangkis.
Trang!
“Uhh...!”
Tangan Ki Soma Nagara langsung bergetar he-
bat dan telapak tangannya terasa nyeri bukan
main. Bahkan nyaris pedang dalam genggaman-
nya terlepas, ketika senjatanya beradu dengan go-
lok Darmo Gandul.
Dan belum juga Ki Soma Nagara mampu men-
guasai diri, ujung kaki Si Gila dari Muara Bangkai
menghantam ke arah dada. Maka, dengan sebisa-
bisanya panglima itu melompat ke belakang. Na-
mun Darmo Gandul agaknya tidak sudi memberi
kesempatan pada laki-laki itu lagi. Maka cepat
tubuhnya melesat sambil mengayunkan goloknya,
selagi panglima itu belum mantap keseimbangan
tubuh. Sehingga....
Wusss!
Bress!
“Aaaa...!”
Ki Soma Nagara kontan memekik kesakitan,
begitu golok Darmo Gandul menyambar batok ke-
palanya. Tubuhnya langsung terjungkal roboh
dengan batok kepala nyaris terbelah. Sementara,
tubuh Si Gila dari Muara Bangkai terus melesat
bagai kilat ke belakang, tanpa mempedulikannya.
Namun, sisa para pengawal kadipaten rupanya
terus mengejarnya.
“Buntaran keparat! Kau kira bisa kabur dari-
ku, heh?!” bentak Si Gila dari Muara Bangkai
nyaring begitu melihat sebuah kereta yang berlari
kencang. Maka seketika dikejarnya kereta kuda
itu, disertai ilmu meringankan tubuhnya. Begitu
cepat lesatan tubuh Si Gila dari Muara Bangkai,
sehingga sebentar saja sudah hampir mendekati
kereta kuda itu. Kemudian....
“Heyaaa...!”
Kedua ekor kuda yang menarik kereta lang-
sung meringkik nyaring dengan kedua kaki depan
terangkat tinggi, ketika sebuah tenaga dahsyat
menyentak laju kereta. Bahkan tiba-tiba saja....
Crass!
“Hieeee...!”
Kedua ekor kuda itu menggelepar tanpa daya,
ketika kedua kaki depannya terpapas putus oleh
kelebatan senjata Si Gila dari Muara Bangkai.
Sementara kereta yang ditarik terjungkal diiringi
jerit ketakutan penumpang di dalamnya. Sedang-
kan laki-laki setengah baya yang tak lain adalah
Adipati Buntaran ikut terjungkal, tak mampu
mengendalikan kereta kudanya. Dia memang ber-
tindak menjadi kusir, untuk menyelamatkan
anak-istrinya.
“Kakang...!”
“Ayaaah...!”
“He he he...! Buntaran keparat! Akhirnya kau
harus menerima pembalasan akibat perbuatanmu
terhadap keluargaku tujuh tahun lalu. Hari ini,
kau tidak akan bisa lolos dari tanganku...!” desis
pemuda gembel itu seraya berdiri tegak di depan
tiga orang penumpang kereta kuda yang terjung-
kal itu. Tawanya panjang menggema ke seluruh
tempat ini penuh rasa dendam dan amarah.
Adipati Buntaran hanya menggigil ketakutan.
Demikian pula kedua wanita yang memeluknya
erat-erat
“Si... siapa kau...?!” tanya adipati itu, terga
gap.
“Hei?! Masih berlagak lupa rupanya? Aku
Darmo Gandul, Setan! Tujuh tahun lalu, kau me-
nyuruh beberapa pendekar mengeroyokku. Mere-
ka menyiksa dan memperkosa istriku beramai-
ramai. Kemudian anakku pun dibunuhnya. Se-
mua itu karena kau, Keparat! Hari ini pembalasan
telah tiba, dan dimulai darimu. Kau akan mene-
rima buah dari perbuatanmu! Siapa menabur an-
gin, dia akan menuai badai!” dengus Darmo Gan-
dul dengan wajah kelam.
“Darmo Gandul? Ah, ya...! Aku ingat. Kau ada-
lah perampok yang sering berbuat kerusuhan.
Dan kau juga sering memperkosa gadis-gadis ser-
ta wanita-wanita cantik di kadipaten ini, tanpa
mempedulikan istri orang lain atau bukan!” sahut
Adipati Buntaran berusaha menenangkan diri.
“Phuih! Aku tidak peduli pembelaanmu. Tidak
seharusnya sebagai adipati yang bijaksana kau
berbuat begitu. Kau tidak merasakan, bagaimana
siksaan yang kualami. Dan kini, kau akan mera-
sakannya, Setan! Kau akan merasakannya, Kepa-
rat! Ha ha ha...!”
Si Gila dari Muara Bangkai tertawa terbahak-
bahak. Bahkan goloknya langsung dicabut den-
gan sikap mengancam. Namun saat itu juga, para
pengawal kadipaten telah berdatangan dan men-
gepung tempat itu. Bahkan mereka langsung me-
lompat menyerang Si Gila dari Muara Bangkai.
“Gembel keparat! Mampuslah kau! Yeaaa...!”
“Huh!”
Si Gila dari Muara Bangkai mendengus geram.
Tubuhnya segera melompat cepat sambil menca-
but golok, yang langsung dikelebatkan dengan ce-
pat
Srak!
Craass!
“Aaaa...!”
Dua orang langsung terjungkal roboh tidak
berdaya dengan darah memancur deras dari ken-
ing. Kini Si Gila dari Muara Bangkai mengamuk
sejadi-jadinya.
Sementara pada saat itu juga, Adipati Bunta-
ran mencari kesempatan untuk meloloskan diri,
namun menyuruh Nirmala bergegas lebih dulu.
“Cepat! Selamatkan dirimu, anakku! Lari! Lari-
lah sekuat tenagamu...!” teriak Adipati Buntaran.
Begitu mendapat kesempatan. Darmo Gandul
melompat cepat untuk menghadang. Namun be-
berapa orang pengawal mencoba menghalanginya.
Bukan main geramnya pemuda gembel itu. Seke-
tika goloknya berkelebat cepat menyambar mere-
ka. Maka kembali terdengar jeritan panjang yang
menyayat
“Aaaa...!”
“Hiyaaaa...!”
Darmo Gandul terus berusaha mengejar Nir-
mala yang berlari kencang meninggalkan tempat
itu. Sesekali kepalanya menoleh ke belakang, me-
lihat ke arah kedua orang tuanya yang mencoba
membantu menghadang pemuda gembel itu. Be-
rat rasa hatinya meninggalkan mereka. Namun
ayahnya terus memaksa. Gadis itu mengerti, apa
yang akan terjadi terhadap kedua orang tuanya.
Dan ini membuat hatinya pilu. Dengan tangis
panjang dan air mata berlinang, gadis itu terus
berlari menyusuri jalan setapak dan menembus
kegelapan malam di balik pepohonan rimbun.
“Darmo Gandul! Kau berurusan denganku!
Jangan ganggu anakku...!” teriak Adipati Bunta-
ran.
Adipati itu cepat mengejar, dan langsung
menghadang Darmo Gandul dengan keris terhu-
nus. Namun, Si Gila dari Muara Bangkai tentu
saja tidak sudi niatnya terhalang. Maka goloknya
langsung dibabatkan, menghadang keris adipati
itu.
Trang!
Adipati Buntaran terkejut setengah mati. Ke-
risnya langsung terlepas dari genggaman dihan-
tam golok Darmo Gandul. Bahkan tubuhnya
sempat terjajar beberapa langkah. Dan belum lagi
dia sempat menguasai diri, satu tendangan keras
menghantam dadanya.
Dukk!
“Aaaakh...!”
Terdengar jeritan kesakitan dari Adipati Bun-
taran. Laki-laki setengah baya itu terjungkal ke
belakang sambil menyemburkan darah segar dari
mulutnya.
“Kakang...!”
Nyai Buntaran langsung menubruk suaminya
yang tengah megap-megap tidak berdaya, disertai
jeritan memilukan.
“Gembel hina, mampus kau...!” bentak sisa
pengawal kadipaten yang semakin kalap melihat
kelakuan Si Gila dari Muara Bangkai.
Darmo Gandul semakin geram. Wajahnya ter-
lihat semakin kelam. Dengan melompat bagaikan
sapuan angin kencang, tubuhnya menyelinap ke
arah para pengawal. Sesaat kemudian, terdengar
pekik kematian yang disusul robohnya tiga orang
lawan. Berikutnya, dua orang kembali roboh. Se-
mentara tubuh pemuda gembel itu melenting ke
arah belakang, ketika dua orang pengawal yang
tersisa menyerbu sekaligus. Lalu....
“Yeaaa...!”
Gras!
“Aaaa...!”
Kembali terdengar jerit kesakitan, ketika ke-
dua pengawal kadipaten roboh bersimbah darah
tersabet golok pemuda gembel itu. Darmo Gandul
kini mulai menyarungkan goloknya cepat, kemu-
dian memandang ke arah suami-istri itu dengan
wajah menyeringai.
“Sekarang, tidak ada seorang pun yang bisa
menolongmu...,” ujar Si Gila dari Muara Bangkai,
dingin.
“Bunuhlah kami! Bunuhlah kami...! Aku tidak
takut mati...!” teriak Adipati Buntaran kalap.
“Membunuhmu? Membunuh kalian...? Ha ha
ha...! Itu terlalu enak bagimu, Setan! Kau akan
merasakan mati perlahan-lahan dan amat mende-
rita lahir batin...!” teriak Darmo Gandul terbahak
bahak.
Kemudian Si Gila dari Muara Bangkai meng-
hampiri keduanya perlahan-lahan. Namun sebe-
lum sempat berbuat sesuatu,
“Gembel hina, hentikan perbuatanmu...!”
“Hei?!”
Terdengar bentakan nyaring, yang membuat
Darmo Gandul tersentak. Dan dia langsung ber-
paling ke arah datangnya suara.
***
Tepat empat tombak di depan Si Gila dari Mu-
ara Bangkai, tegak seorang lelaki berusia sekitar
empat puluh tahun. Tubuhnya yang besar, ter-
bungkus pakaian kelabu. Sebilah pedang, tampak
tersampir di punggungnya. Rambutnya yang pan-
jang digelung ke atas. Sambil melipat kedua tan-
gan di dada, matanya memandang ke arah Si Gila
dari Muara Bangkai dengan sorot tajam menusuk.
“Ah! Aku kenal kau! Aku kenal kau...! Gajah
Bengkak yang sebentar lagi akan menyusul yang
lain. Hi hi hi...! Suatu kebetulan yang amat kuim-
pikan kau datang ke sini. Sehingga, aku tidak su-
sah payah lagi mencarimu!” oceh pemuda gembel
itu sambil tertawa kegirangan.
“Kau berani lancang kepada Gajah Lanang,
gembel keparat! Dan, rupanya kau masih hidup
juga, heh?! Hari ini, aku akan membereskanmu
sehingga tidak bergentayangan lagi!” sahut laki-
laki bernama Gajah Lanang dengan nada lantang.
“Hi hi hi...! Gajah Bengkak! Bicara apa kau?
Ajal sudah di ambang mata, tapi masih mengoceh
seperti orang gila. Mana kawan-kawanmu yang
lain? Kenapa tidak disuruh ke sini mengeroyok-
ku? Ayo, panggil mereka. Dan, keroyok aku seper-
ti dulu. Kali ini, lebih mudah dan cepat rasanya
membereskan kalian...!” sahut Si Gila dari Muara
Bangkai.
“Phuiih! Menghadapi orang sinting sepertimu,
tidak perlu banyak orang! Cabutlah golokmu, agar
persoalan lebih cepat selesai!” desis Gajah Lanang
seraya meraba gagang pedangnya.
Sring!
Gajah Lanang sudah langsung mencabut pe-
dangnya.
“Hi hi hi...! Tujuh tahun lalu saja, kau tidak
akan mampu menghadapiku seorang diri. Sehing-
ga, perlu meminta bantuan kawan-kawanmu.
Apalagi, saat ini. Hi hi hi...! Hei, Buntaran kepa-
rat! Sungguh beruntung kecoa ini datang, sehing-
ga nyawamu bisa sedikit diperpanjang!” ejek
Darmo Gandul terkekeh-kekeh.
“Adipati Buntaran! Tenangkanlah hatimu. Se-
bentar lagi, keparat ini akan kumusnahkan dari
muka bumi!” teriak Gajah Lanang.
“Syukur kau cepat datang, Sobat. Gembel bu-
suk ini hampir saja merenggut nyawa kami...,”
sahut Adipati Buntaran dengan wajah sedikit le-
ga.
“Hi hi hi...! Bukan hampir, Buntaran goblok!
Tapi, aku hanya meluangkan waktu sedikit. Nah,
Gajah Lanang. Ayo seranglah aku. Dan, buktikan
kata-katamu!” teriak Darmo Gandul menimpali.
“Keparat! Lihat serangan...!” geram Gajah La-
nang seraya melompat menyerang.
Namun Darmo Gandul gesit sekali mengelak
dengan meliuk-liuk indah. Sementara derit angin
serangan laki-laki bertubuh besar itu menyapu
seluruh tubuh Darmo Gandul dari kaki hingga
rambut. Namun Si Gila dari Muara Bangkai terus
meliuk-liuk bagai penari sambil tertawa-tawa ke-
ras mengejek. Bukan main panasnya Gajah La-
nang diremehkan demikian rupa. Namun sesung-
guhnya dia kagum melihat pemuda gembel itu.
Setelah tujuh tahun berselang, tanpa diduga ke-
pandaian Darmo Gandul maju demikian pesat.
Buktinya, seluruh kepandaiannya telah dikerah-
kan namun belum mampu menyentuh bajunya
sekali pun.
“Sekarang giliranku, Gajah Lanang! Lihat se-
rangan...!” bentak Si Gila dari Muara Bangkai.
Tring!
Secepat kilat Darmo Gandul mencabut golok,
secepat itu pula dikelebatkan ke arah perut Gajah
Lanang. Laki-laki bertubuh besar itu terkesiap
dan cepat menangkis dengan pedangnya.
Trang!
Benturan kedua senjata membuat kulit tela-
pak tangan Gajah Lanang terasa perih dan terke-
lupas. Dan belum lagi sempat menyadari, menda-
dak satu tebasan kilat menyambar dahinya.
Crasss!
“Aaaa....”
Gajah Lanang kontan memekik kesakitan den-
gan tubuh roboh bermandikan darah. Tangannya
terus memegangi luka menganga di dahinya,
sambil menggelepar-gelepar meregang nyawa.
“Hi hi hi...! Mampus kau, mampuss...! He he
he...! Sekarang pertunjukan berikutnya, setan
Buntaran!” teriak Si Gila dari Muara Bangkai
dengan mata memandang tubuh Gajah Lanang.
Tepat ketika tubuh Gajah Lanang diam tak
berkutik lagi, Si Gila dari Muara Bangkai menga-
lihkan pandangan ke arah Adipati Buntaran yang
belum juga pergi dari tempat ini. Bahkan ketika
pemuda gembel itu melompat ke arah istrinya, dia
hanya terkesiap saja. Cepat sekali Si Gila dari
Muara Bangkai menyambar istri Buntaran, dan
memeluknya erat-erat.
“Aouw! Lepaskan aku! Lepaskan aku, Kepa-
rat...!” teriak wanita itu mencoba berteriak-teriak
dan melepaskan diri.
“Lepaskan istriku, Keparat...!” teriak adipati
itu, begitu tersadar. Seketika adipati itu melompat
cepat, hendak membebaskan istrinya.
Namun tanpa diduga ujung kaki pemuda itu
menghantam dadanya.
Dukkk!
“Aaaakh...!”
Laki-laki setengah baya itu kembali tersung-
kur disertai muntahan darah kental.
“He he he...! Seharusnya anakmu yang cantik
dan montok itu menjadi bagianku. Tapi, tidak
apa. Karena, istrimu pun masih memenuhi syarat. Kau akan melihat pertunjukan yang menggai-
rahkan, Buntaran...!” ejek Si Gila dari Muara
Bangkai, terdengar memuakkan.
Dengan tangan kiri memeluk, Nyai Buntaran
dari belakang, tangan kanan Si Gila dari Muara
Bangkai bergerak cepat menjambret baju wanita
itu.
Bret! Bret!
“Aouww! Kurang ajar! Keparat! Lepaskan aku!
Lepaskaaaan...! Aouw...!”
Istri Adipati Buntaran menjerit-jerit ketakutan,
ketika semua pakaiannya telah dilucuti. Bahkan
tubuhnya yang lemah itu dilemparkan hingga ter-
jerembab. Wanita yang sama sekali tak memiliki
ilmu olah kanuragan itu berteriak kesakitan. Ke-
mudian seperti serigala melihat anak ayam, pe-
muda gembel ini melompat menerkam tubuh wa-
nita yang telah, telanjang itu dan menindihnya
kuat-kuat. Nyai Buntaran menjerit ketakutan dan
berusaha melepaskan diri. Namun, jepitan Si Gila
dari Muara Bangkai itu kuat luar biasa.
“Lepaskan istriku, Setan Keparat! Lepaskan
dia...!” teriak Adipati Buntaran dengan sekujur
tubuh menggigil menahan amarah menggelegak.
Laki-laki itu hendak bangkit menolong is-
trinya, namun mulutnya kembali memuntahkan
darah kental berkali-kali. Hawa amarah dan luka
dalam yang dideritanya, semakin membuatnya ti-
dak berdaya.
Apalagi mendengar teriakan-teriakan istrinya
yang sangat menghiba penuh ketakutan. Lelaki
itu hanya bisa berteriak-teriak, lalu kembali me-
muntahkan darah segar. Dan ketika istrinya me-
lengking nyaring menahan rasa sakit, kemudian
semuanya terasa gelap sekali!
***
LIMA
Hari telah agak malam ketika Bayu tiba di
pinggiran Hutan Kaliwalang. Sejak tadi Tiren me-
lenguh pendek. Dan pemuda itu jadi tersenyum
dan mengajaknya berhenti.
“Kau lapar, Tiren?”
“Nguk! Nguk...!”
“Nah, bisakah kau mencari sesuatu untuk
makan malam kita?”
“Nguk! Nguk...!” Tiren mengangguk.
“Baiklah. Kau mencari makanan buat kita,
sementara aku menyalakan api. Kita bermalam di
sini saja. Tampaknya, di daerah ini banyak yang
bisa didapat sebagai makanan...,” lanjut Bayu se-
raya memandang ke sekeliling.
Tanpa banyak bicara lagi, monyet kecil itu me-
lompat ke salah satu cabang pohon, lalu menghi-
lang di kegelapan malam. Ketika kembali kepada
Bayu di tangannya telah bergelantungan buah-
buahan segar. Monyet kecil itu berteriak girang.
Tampak pemuda yang selalu berpakaian dari kulit
harimau itu telah membuat api unggun dan se-
dang menguliti dua ekor kelinci yang bertubuh
gemuk.
“Kaaakh...!”
“Kau makanlah bagianmu. Dan aku akan me-
makan bagianku! Kau tentu tidak menyukai dag-
ing kelinci ini, bukan?” sahut Bayu tenang.
“Nguk! Nguk...!”
Bayu tersenyum kecil, kemudian mulai me-
manggang kedua daging kelinci yang diperoleh-
nya. Sementara, Tiren menggerogoti buah-
buahan.
“Hmmm. Harum betul daging kelinci ini. Pe-
rutku semakin lapar saja. Tapi kalau untuk dibagi
dua pun, rasanya masih cukup!” kata pemuda itu
seperti untuk dirinya sendiri.
Tiren melompat-lompat seraya berteriak keras.
“Hus! Diamlah, Tiren! Jangan malah membuat
takut sobat kita yang sedang mengintip. Mungkin
dia juga lapar, seperti kita. Tak perlu khawatir,
masih banyak bagian kalau dia hendak berga-
bung...,” lanjut Bayu.
Pada saat itu juga, tepat di depan Pendekar
Pulau Neraka keluar sesosok tubuh laki-laki se-
tengah baya dari balik semak-semak, Bayu tetap
tenang dan tidak mempedulikan kehadiran orang
itu, karena sibuk membolak-balik daging kelinci
yang sedang dibakarnya.
“Hm! Sungguh aku bertindak gegabah terha-
dap orang yang berkepandaian tinggi seperti Ki-
sanak. Maafkan kelancanganku. Namaku, Bhata-
ra Wisesa. Siapakah dirimu, Kisanak? Oh, ya.
Apakah tidak keberatan bila aku bergabung dan
meminta sedikit daging kelincimu untuk meng-
ganjal perutku yang lapar?” sapa laki-laki yang
baru datang itu dengan ramah.
Bayu mengangkat kepalanya. Kini di depannya
berdiri seorang laki-laki setengah baya bersenja-
takan kapak besar terselip di pinggang. Tubuh la-
ki-laki yang mengaku bernama Bhatara Wisesa
agak kurus. Sepasang kelopak matanya cekung,
ketika memandang ke arah Pendekar Pulau Nera-
ka. Namun begitu, senyumnya amat ramah dan
wajahnya bersih. Jauh sekali dari kesan seorang
yang hendak berniat jahat.
“Silakan, Kisanak. Tentu saja dengan senang
hati aku akan membagimu daging kelinci ini. Du-
duklah. Namaku Bayu Hanggara. Kau boleh me-
manggilku sesuka hatimu...,” sahut Bayu menyi-
lakan tamunya untuk duduk.
Ki Bhatara Wisesa itu duduk bersila persis di
depan Pendekar Pulau Neraka. Sementara Bayu
langsung memberikan daging kelinci yang tadi
tengah dibakarnya. Laki-laki bertubuh kurus itu
menerimanya disertai senyum cerah.
“Silakan, Kisanak!” ujar Bayu.
“Terima kasih.”
Mereka duduk bersila sambil sesekali melahap
hidangan daging kelinci. Sedangkan Tiren melom-
pat-lompat di dekat Bayu, sambil menyeringai le-
bar ke arah tamu Bayu. Kemudian menjerit keras
beberapa kali.
“Hus! Diamlah, Tiren! Kau hanya menambah
ribut saja...!”
“Nguk! Nguk...!”
Tiren mengangguk cepat. Kepalanya tertun-
duk, kemudian terdengar melenguh pendek.
“Hm, nikmat sekali daging kelinci ini. Kenyang
rasanya perutku saat ini. Terima kasih banyak,
Bayu. Melihat kawan kecilmu ini dan mengetahui
namamu, aku jadi teringat akan seseorang. Sejak
tadi aku berpikir tentangmu. Apakah kau yang
berjuluk Pendekar Pulau Neraka...?” tanya Ki
Bhatara Wisesa.
Bayu tersenyum kecil mendengar pertanyaan
tamunya itu. Kemudian kepalanya mengangguk
pelan.
“Ah! Sungguh tak kuduga kalau saat ini se-
dang berhadapan dengan seorang pendekar besar
di zaman ini!” desah Ki Bhatara Wisesa kagum.
“Kisanak, jangan terlalu berlebihan memuji
orang. Bisa-bisa kepalaku semakin besar saja.
Aku hanyalah manusia biasa seperti kebanyakan
orang...,” sahut Bayu merendah. “Kalau boleh ta-
hu, akan ke manakah tujuanmu saat ini?”
“Aku hendak mengunjungi sahabat lamaku.
Adipati Buntaran....”
“Hm, Adipati Buntaran? Ya, ya...,” sahut Bayu
mengangguk.
“Apakah kau mengenalnya juga, Bayu?”
“Kebetulan, aku hanya pernah mendengar
namanya....”
“Beliau memang seorang adipati yang amat
termashyur!” sahut Ki Bhatara Wisesa memuji.
Bayu kembali tersenyum, lalu menghabiskan
sisa daging kelinci panggangnya. Namun menda-
dak pemuda itu berpaling. Terlebih lagi, ketika Ti-
ren berteriak nyaring. Bayu cepat berdiri dan
memandang ke sekelilingnya.
Sementara Ki Bhatara Wisesa jadi bingung
sendiri dibuatnya, dan ikut-ikutan berdiri.
“Ada apa, Bayu...?” tanya laki-laki kurus itu
bingung.
“Aku mendengar jerit ketakutan...,” sahut pe-
muda itu seraya melompat ke satu arah. Tiren
mengikuti dari belakang. Dan, Ki Bhatara Wisesa
pun agaknya tidak mau ketinggalan.
***
Seorang gadis tengah menjerit ketakutan me-
lihat dua orang laki-laki bertubuh besar yang me-
nyeringai lebar. Napasnya kembang kempis tidak
beraturan dan lututnya gemetar tidak berdaya.
Setelah berlari cukup lama, kini tak disangka-
sangka kedua orang itu muncul di hadapannya.
Niatnya tadi hendak berbalik dan kabur, namun
kedua kakinya seperti tidak mampu bergerak.
Gadis itu hanya bisa menjerit sekuat tenaga, keti-
ka kedua orang bertampang seram itu semakin
mendekat.
“He he he...! Diamlah, anak manis. Percuma
saja berteriak-teriak. Karena, tidak ada seorang
pun di tempat ini yang akan menolongmu,” kata
salah seorang seraya tersenyum lebar, tapi mirip
seringai serigala.
“Apa yang dikatakannya benar, Cah Ayu. Per
cuma kau berteriak. Lebih baik, simpan tenaga-
mu. Sebab, sebentar lagi kita akan bersama-sama
melakukan perjalanan ke sorga...! He he he...!”
timpal yang seorang lagi.
Gadis itu beringsut ke belakang. Sinar rembu-
lan samar-samar memperlihatkan wajahnya yang
pucat dengan tubuh gemetar ketakutan.
“Jangan...! Jangan.... Kasihanilah aku.... Ku-
mohon, pergilah. Dan, jangan ganggu aku...,” rin-
tih gadis itu memohon dan mengharap belas ka-
sihan kedua lelaki brewok itu.
“He he he...! Tentu saja! Siapa yang hendak
mengganggumu? Kami justru akan memberi ke-
nikmatan. Nah, tenang-tenang sajalah. Tak perlu
takut...”
Serentak, kedua orang yang berwajah mirip itu
menyergap dan langsung memeluk gadis ini.
“Oh, tidak! Tidak! Aouw...! Lepaskan! Le-
paskaaaan...!” teriak gadis itu, ketakutan. Semen-
tara kedua orang itu begitu erat memeluk tubuh-
nya. Bahkan dengan sangat bernafsu, diciuminya
gadis ini yang terus berteriak-teriak, dan berusa-
ha melepaskan diri. Namun hingga mereka berti-
ga terjerembab, pelukan kedua lelaki itu sama se-
kali tidak terlepas.
“Jangan! Jangaaan...! Lepaskan aku! Lepaskan
aku...!” teriak gadis itu semakin ketakutan ketika
mereka telah merobek-robek pakaiannya dengan
kasar.
Gadis itu berusaha memukul-mukul sekuat
tenaga, namun tenaga kedua lelaki itu sangat
tangguh dan kuat. Bahkan salah seorang telah
menotoknya hingga membuat gadis itu tak mam-
pu bergerak lagi tanpa daya. Dan kini, laki-laki
yang seorang lagi dengan penuh nafsu mengge-
rayangi seluruh tubuhnya.
“Tidak! Oh, jangan! Jangaaan...! Lepaskan
aku! Lepaskan!” teriak gadis itu, seperti tiada
henti. Tubuhnya terus menggelinjang, berusaha
melepaskan diri dari cengkeraman mereka.
Gadis itu tidak dapat membendung lagi air
matanya menyadari nasibnya yang buruk. Jan-
tungnya berdetak lebih kencang, dan darahnya
mengalir tidak beraturan. Perasaan marah, benci,
dan dendam menyatu dalam hatinya. Gadis itu
megap-megap tidak berdaya. Dan dia berdoa da-
lam hati, mengharapkan kemukjizatan yang bakal
terjadi.
Dan baru saja doa gadis itu selesai, tiba-tiba
melesat bayangan kuning yang begitu cepat bagai
kilat ke arah dua laki-laki bertampang seram
yang tengah dirasuki nafsu iblis itu. Lalu....
Degkh! Bugh!
“Aah! Ugh!”
Seketika terdengar pekik kesakitan dari dua
laki-laki bertampang seram itu. Tubuh mereka
kontan terjungkal beberapa langkah, begitu
bayangan kuning itu melepaskan dua tendangan
beruntun.
Kini gadis itu merasa tubuhnya sangat ringan.
Dan dia buru-buru bangkit seraya menutupi tu-
buhnya dengan sisa-sisa pakaiannya yang masih
lebar. Tepat ketika berdiri, gadis itu melihat dua
sosok tubuh yang berwajah penuh kemarahan.
Ketika melihat seekor monyet kecil bergelantun-
gan di bahu seseorang yang baru datang itu, ga-
dis ini langsung merasa bersyukur.
“Bayu...! Oh, syukurlah kau datang tepat wak-
tunya. Tolonglah aku! Mereka..., mereka hendak
menodaiku...!”
Tanpa malu-malu lagi, gadis itu memeluk pe-
muda yang baru tiba di depan kedua lelaki yang
hendak memperkosanya. Hal itu membuat pemu-
da yang memang Bayu menjadi gelagapan.
“Nirmala? Kenapa kau sampai ada di sini...?!”
tanya Bayu ketika mengenali gadis itu.
“Ceritanya panjang. Oh, tolonglah aku! Mere-
ka..., mereka....”
“Tenanglah, Nirmala. Biar kubereskan mere-
ka...,” sahut Bayu seraya melepaskan rangkulan
gadis itu perlahan-lahan.
Sementara kedua lelaki yang tadi terjungkal,
sudah bangkit dengan wajah garang.
“Setan keparat! Siapa kalian? Huh! Manusia
yang mau mampus berani mengganggu urusan
Setan Kembar!” dengus salah seorang dari kedua
lelaki berewok yang berjuluk Setan Kembar. Bah-
kan golok panjang yang telah dihunus terselip di
pinggang masing-masing.
“Hei! Setan Kembar! Sungguh kotor perbua-
tanmu. Hari ini kalian akan menerima akibatnya.
Aku Bhatara Wisesa, bersumpah akan membu-
nuh kalian saat ini!” geram seorang lelaki yang
sudah berada di samping Pendekar Pulau Neraka.
“Hm.... Ki Bhatara Wisesa, makhluk pengecut!
Siapa yang tidak mengenalmu? Tujuh tahun lalu,
kau hanya mampu menghadapi seorang pemuda
tidak berguna. Bahkan secara keroyokan. Kau ti-
dak ada derajat berhadapan dengan kami!” den-
gus orang tertua dari Setan Kembar itu.
“Dan kau siapa, bocah usil?!” tanya orang
yang lebih muda dari Setan Kembar, sambil me-
nuding ke arah Bayu.
“Setan Kembar! Ketahuilah, pemuda inilah
yang berjuluk Pendekar Pulau Neraka!” sahut Ki
Bhatara Wisesa.
“Hm, Pendekar Pulau Neraka....”
Kedua Setan Kembar tampak terkejut men-
dengar penjelasan laki-laki setengah baya itu.
Namun mana mau keterkejutannya ditunjukkan.
Dan mereka tetap saja menunjukkan wajah sinis.
“Huh! Siapa yang peduli dengan segala julu-
kanmu?! Kurapa! Mereka telah mengganggu ke-
senangan kita. Dan untuk itu, mereka harus
mampus di tangan kita! Hm.... Tapi rasanya kita
masih memberi mereka kesempatan kalau ingin
selamat. Pergilah dan tinggalkan gadis itu di sini!”
sentak orang tertua dari Setan Kembar mengger-
tak.
“Benar, Kurapi. Kalau mereka membandel, ki-
ta hajar saja!” timpal laki-laki termuda dari Setan
Kembar, yang dipanggil Kurapa.
Bayu hanya tersenyum dingin.
“Setan Kembar! Sungguh bagus usulmu itu.
Hanya sayang, aku tidak pernah meninggalkan
tempat sebelum urusan selesai. Dan, aku akan
menyelesaikannya, agar kalian bisa merasa te-
nang...,” sahut Bayu enteng.
“Bocah setan! Baiklah kalau kau ingin mam-
pus. Nah, terima kematianmu!” desis Kurapi,
orang tertua dari Setan Kembar. Dan laki-laki
bertampang seram itu langsung melompat menye-
rang Pendekar Pulau Neraka.
“Yeaaa...!”
Pada saat yang bersamaan, Kurapa tidak mau
ketinggalan dengan kakaknya. Goloknya segera
dicabut, menyerang Ki Bhatara Wisesa.
“Huh?!”
***
Bayu mendengus sinis. Demikian pula Ki Bha-
tara Wisesa. Laki-laki setengah baya itu sudah
langsung mencabut kampaknya, menyambut se-
rangan Kurapa.
“Hiyaaaa...!”
Tragngng!
“Hiiih...!”
Ketika terjadi benturan senjata, Ki Bhatara
Wisesa sedikit mengeluh. Himpitan tenaga dalam
Kurapa yang disalurkan lewat senjata golok pan-
jangnya, begitu kuat luar biasa. Bahkan sempat
membuatnya terkejut kaget menahan rasa nyeri.
Namun begitu, Ki Bhatara Wisesa masih sigap se-
kali melompat ke samping menghindari satu ten-
dangan susulan yang dilakukan Kurapa.
Sementara itu, Bayu yang tengah menghadapi
Kurapi dengan tenang melejit dari terkaman sen-
jata lawannya. Lalu, Pendekar Pulau Neraka me-
lompat ke samping. Sedangkan laki-laki bertubuh
besar itu terus mengejarnya sambil berbalik men-
gayunkan senjata.
Wuk!
“Uts!”
Bayu cepat menundukkan kepala, menghinda-
ri tebasan senjata Kurapi. Dan belum juga tegak
berdiri, kepalan tangan Kurapi sudah menderu ke
arah dada. Maka cepat Pendekar Pulau Neraka
menghindar ke samping, dan langsung mele-
paskan serangan balasan. Ujung kakinya lang-
sung bergerak menghantam ke arah pinggang.
Kurapi tersentak kaget, melihat kecepatan gerak
Pendekar Pulau Neraka. Bahkan belum lagi kedu-
dukannya mantap, mendadak kepalan tangan
kanan Pendekar Pulau Neraka menghujam ke
arah perut.
“Uhh....”
“Yeaaaa...!”
Namun demikian Kurapi masih sempat menge-
lak. Malah cepat melancarkan serangan balasan
berupa tendangan ke arah dada. Sayang, Bayu te-
lah melejit ke atas ke samping seraya berputaran
di udara beberapa kali. Melihat hal ini, Kurapi ti-
dak ingin menyia-nyiakan kesempatan itu. Lang-
sung diserangnya Pendekar Pulau Neraka dengan
senjata terhunus. Tapi pada saat nyaris bersa-
maan, Bayu yang masih di udara mengibaskan
tangan kanannya.
Singngng!
Seketika Cakra Maut melesat cepat menyam-
bar ke arah Kurapi. Akibatnya laki-laki gemuk itu
terkesiap setengah mati.
Sementara cahaya putih yang mengeluarkan
bunyi desing nyaring dari Cakra Maut itu melesat
tidak tertahankan. Kurapi cepat menyabetkan go-
loknya untuk menangkis.
Tras!
Namun siapa sangka kalau golok itu sama se-
kali tidak berguna. Bahkan putus disambar sen-
jata Cakra Maut Malah senjata Pendekar Pulau
Neraka terus menyambar pangkal lehernya.
Cras!
“Aaakh...!”
Terdengar jeritan Kurapi yang menyayat Darah
muncrat bersama tubuhnya yang ambruk ke ta-
nah tidak berdaya!
“Hei?! Kurapi!” Kurapa tersentak kaget begitu
mendengar jeritan Kurapi yang kini menggelepar-
gelepar meregang nyawa. Padahal saat itu dia se-
dang mendesak lawannya. Malah Ki Bhatara Wi-
sesa sendiri sempat keteter beberapa kali.
Tanpa mengindahkan lawannya, Kurapa me-
lompat menyerang Bayu dengan amarah meluap-
luap.
“Pendekar Pulau Neraka! Kau harus mem-
bayar nyawa saudaraku dengan nyawa busukmu!
Yeaaa...!”
Kurapa langsung mengelebatkan senjatanya
ke arah batok kepala Bayu. Namun manis sekali
Pendekar Pulau Neraka mengelak ke samping. La-
lu tubuhnya melenting ke atas, saat Kurapa me-
mapas pinggangnya. Dan baru saja Pendekar Pu-
lau Neraka mendarat, kepalan kiri laki-laki gemuk
itu menghantam keras ke arah dada. Seketika
Pendekar Pulau Neraka menangkis dengan tela-
pak tangan kanannya.
Plak!
“Uhh...!”
Laki-laki gemuk itu merasakan kepalan tan-
gannya seperti menghantam batu cadas ketika di-
tangkis Pendekar Pulau Neraka. Dan belum hi-
lang rasa kagetnya, mendadak Pendekar Pulau
Neraka mengayunkan tendangan keras ke arah
dada. Kurapa terkejut, lalu cepat melompat ke be-
lakang. Namun, Pendekar Pulau Neraka terus
mengejar. Seketika, kepalan tangannya menghan-
tam ke arah dada Kurapa.
“Yeaaa...!”
Kurapa cepat menangkis dengan pergelangan
tangan kirinya.
Plakk!
“Aaaakh...!”
Seketika laki-laki berewok itu menjerit kesaki-
tan ketika tangannya beradu. Dan belum lagi hi-
lang rasa sakitnya, Pendekar Pulau Neraka mem-
buat gerakan berputar. Langsung dilepaskannya
satu tendangan setengah lingkaran ke arah pung-
gung Kurapa. Begitu cepat gerakannya, sehingga...,
Begkh!
“Aaakh!”
Tubuh Kurapa terhuyung-huyung ke depan
disertai jerit kesakitan. Tendangan yang berisi te-
naga dalam kuat itu membuat tulang punggung-
nya seperti lumpuh tidak berdaya. Dan belum lagi
kedudukannya diperbaiki, mendadak melesat ca-
haya putih keperakan ke arahnya.
Singngng!
“Hei?! Oh...!”
Kurapa hanya mampu tergagap dengan wajah
pucat. Namun Cakra Maut Pendekar Pulau Nera-
ka agaknya tidak mengenal ampun. Senjata anda-
lan Pendekar Pulau Neraka itu terus menyambar
lehernya.
Cras!
“Aaaakh...!”
Laki-laki gemuk itu kontan menjerit tertahan,
begitu lehernya tersambar Cakra Maut. Tubuhnya
lalu ambruk dengan darah memancur dari pang-
kal lehernya yang nyaris putus, membuat luka
yang lebar.
Sementara Ki Bhatara Wisesa hanya bisa tern-
ganga melihat apa yang dilakukan Pendekar Pu-
lau Neraka. Semua berlangsung singkat saja.
Bahkan dia tidak sempat membantu Pendekar
Pulau Neraka. Dalam waktu singkat-saja Pende-
kar Pulau Neraka membereskan si Setan Kembar
dengan cara... amat kejam!
Nirmala sendiri sejak tadi memalingkan muka
dengan perasaan ngeri bercampur takut. Apa
yang dilakukan pemuda itu terhadap kedua la-
wannya, sungguh membuat hatinya bergidik nge-
ri. Bukan hanya saat ini. Malah ketika pemuda
itu dulu membereskan kawanan Perampok Pisau
Terbang, dia sudah begitu ngeri.
“Kaaaakh...!”
Tiren menjerit keras seraya melompat meng-
hampiri Bayu. Pemuda itu menangkapnya dan
membawanya ke pundaknya. Lalu dihampirinya
Ki Bhatara Wisesa dan Nirmala.
***
ENAM
“Nirmala, kau tidak apa-apa?” tanya Pendekar
Pulau Neraka halus.
Nirmala mengangkat wajahnya. Dan rasa ta-
kutnya yang tadi menghantuinya, kini berubah
menjadi rasa takut yang aneh ketika memandang
pemuda itu. Dua kali dia bertemu, dan dua kali
pula hatinya dibuat bergidik ngeri melihat keke-
jaman sepak terjang pemuda yang berjuluk Pen-
dekar Pulau Neraka ini.
“Eh! T... tidak...,” sahut gadis itu, menggeleng
lemah.
“Hm....”
Bayu menggumam pelan seraya memalingkan
wajahnya. Tidak enak rasanya memandang gadis
itu, yang berpakaian tak karuan. Sehingga, ba-
gian-bagian tertentu tubuhnya yang putih mulus
masih terlihat. Apa yang dilakukan pemuda itu
agaknya diikuti Ki Bhatara Wisesa pula.
“Kenapa kau bisa berada di tempat ini?” lanjut
Bayu.
“Eh! Ceritanya..., ceritanya....”
Nirmala tidak mampu melanjutkan kata-kata.
Suaranya seperti tercekat di kerongkongan ketika
rasa duka cita yang amat dalam terasa sesak dan
berkumpul di rongga dadanya. Wajah gadis itu
memerah dan bibirnya yang indah bergetar. Ke-
dua kelopak matanya terlihat sembab, menahan
air mata yang hendak tumpah. Namun akhirnya
dia tak kuasa menahan, sambil menunduk sedih
gadis itu menangis terisak.
“Nirmala! Apa yang terjadi sebenarnya?” tanya
Bayu, dengan wajah heran.
“Se... seorang pemuda gembel mengamuk dan
menewaskan banyak sekali pengawal kadipaten.
Dia mengincar ayahku. Dan saat aku melarikan
diri, dia... dia.... Oh, Tuhan! Bayu, tolonglah aku!
Aku..., aku takut sekali...,” jelas gadis itu singkat.
“Pemuda gembel? Pemuda gembel bagaimana
yang kau maksud...?”
“Entahlah. Aku tidak tahu. Dia..., dia menye-
but dirinya Si Gila dari Muara Bangkai. Sedang
namanya kalau tidak salah Dar..., Darmo Gan-
dul.”
“Darmo Gandul?!”
Ki Bhatara Wisesa jadi terkejut mendengar se-
buah nama yang diucapkan gadis itu.
Bayu memandang ke arah laki-laki setengah
baya itu dengan wajah meminta penjelasan.
“Kau kenal orang itu, Ki!”
“Hm. Nantilah kuceritakan padamu. Kalau
kau setuju, bagaimana kalau kita ke kadipaten
sekarang juga, Bayu?” ajak Ki Bhatara Wisesa.
“Baiklah. Mari, Nirmala...,” sahut Bayu menga-
jak gadis itu seraya menuntun tangannya.
Ketika mereka mulai berangkat, Ki Bhatara
Wisesa tergesa-gesa sekali. Sedangkan Nirmala
terlihat letih dan pucat. Sesekali kakinya tersan-
dung, dan mengeluh kesakitan.
“Bayu! Kita harus secepatnya ke sana...,” kata
Ki Bhatara Wisesa.
Bayu berpikir sesaat, kemudian mengangguk
pelan. Lalu cepat digendong Nirmala. Seketika
Pendekar Pulau Neraka berlari cepat ke arah ka-
dipaten.
“Maaf, Nirmala. Tidak ada cara lain...!” ucap
Bayu sambil berlari.
Nirmala hanya mengangguk, karena menyada-
ri keadaan dirinya sendiri. Kini ketiga orang itu
bergerak ke tempat tujuan. Dan ketika. Bayu
mengempos tenaga untuk mengerahkan ilmu lari
cepatnya, Ki Bhatara Wisesa pun tidak mau ke-
tinggalan. Mereka terus berlari cepat disertai pen-
gerahan ilmu meringankan tubuh.
***
Apa yang ditemukan di halaman bangunan
Kadipaten Karang Wates itu sangat mengenaskan.
Mayat-mayat para pengawal bergelimpangan di
sana-sini bersimbah darah bercampur tanah. Ki
Bhatara Wisesa mendesis geram.
“Melihat luka yang sama di dahi mereka, ini
hanya bisa dilakukan oleh orang yang memiliki
ilmu golok yang sangat hebat. Bagaimana mung-
kin dia mampu berbuat begini? Kalau benar per-
buatannya, tentu amat membahayakan!” desis Ki
Bhatara Wisesa.
Sementara itu Nirmala sama sekali tidak
mempedulikan. Gadis itu sudah langsung meng-
hambur ke dalam bangunan megah yang kini sepi
tanpa penghuni.
“Ayaaah...! Ibuuuu...!” teriak gadis itu, khawa-
tir.
“Nirmala...!” seru Bayu, seraya mengejar.
Gadis itu terus menghambur ke halaman be-
lakang, sementara Bayu mengejarnya. Nirmala
langsung menuju jalan yang tak jauh dari bagian
belakang rumahnya. Dia terus berlari, sampai
akhirnya tiba di tempat saat kereta kudanya di-
hadang Darmo Gandul.
“Oh, tidak! Tidaaaak...?!”
Tiba-tiba Nirmala memekik sambil mendekap
wajahnya dengan kedua tangan.
“Nirmala...?!”
Bayu tersentak dan buru-buru melompat
menghampiri. Tampak gadis itu bersimpuh di
tengah jalan, menghadapi dua sosok mayat yang
bersimbah darah. Yang seorang, laki-laki seten-
gah baya berpakaian indah. Punggungnya terluka
parah, seperti dihantam senjata tajam. Tangan
kanannya terjulur berusaha menggapai tangan
seorang wanita setengah baya, yang juga tergele-
tak bersimbah darah tanpa mengenakan sehelai
pakaian di tubuhnya. Melihat pemandangan itu,
Bayu terpaksa memalingkan pandangan.
“Adipati Buntaran, sahabatku? Oh! Kenapa
nasibmu sampai begini rupa?!” desis Ki Bhatara
Wisesa yang telah berada di situ pula. Wajahnya
tampak pucat dengan bibir gemetar.
Bayu mendiamkan saja kedua orang itu larut
dalam kedukaan. Pendekar Pulau Neraka lantas
duduk di atas sebuah batu besar, sambil mem-
perhatikan mereka. Sedangkan Tiren duduk di
pangkuannya.
“Nirmala, tenangkanlah hatimu. Aku bersum-
pah akan menuntut balas atas kematian kedua
orangtuamu ini!” tegas Ki Bhatara Wisesa sambil
menepuk-nepuk pundak gadis itu.
Nirmala diam saja tanpa menoleh. Dia terpe-
kur disertai isakan tangisnya. Ki Bhatara Wisesa
bangkit, dan memandangnya sekilas sebelum ber-
jalan pelan menghampiri Bayu.
“Orang itu benar-benar terkutuk...!” desis
orang tua itu geram.
“Hm.... Kau belum menceritakan, bagaimana
duduk persoalannya sehingga pemuda gembel
yang diceritakan Nirmala berbuat begini terhadap
keluarga Adipati Buntaran...!” tanya Bayu.
Ki Bhatara Wisesa menarik napas panjang,
kemudian mulai menceritakan peristiwa yang ter-
jadi tujuh tahun silam. Dan buntutnya, adalah
kejadian sekarang ini.
***
Pemakaman Adipati Buntaran dan istrinya
serta para pengawal kadipaten dilaksanakan pada
pagi harinya. Banyak penduduk yang datang
menghadiri. Selama ini, Adipati Buntaran me-
mang tidak terlalu ramah. Dia jarang turun meli-
hat keadaan rakyatnya. Namun begitu, beliau te-
tap dihormati. Karena selama pemerintahannya,
tujuh wilayah yang termasuk dalam Kadipaten
Karang Wates, selalu aman-aman saja.
Sementara itu Nirmala masih tetap tidak ba-
nyak bicara. Dan Bayu pun agaknya tidak ingin
mengusik kesedihan gadis itu. Dia lebih banyak
diam, memperhatikan kesibukan itu. Sedangkan
Ki Bhatara Wisesa tampak bertindak sebagai
pengganti tuan rumah dalam kesibukan yang ter-
jadi di rumah kediaman almarhum Adipati Bunta-
ran.
Orang-orang sudah kembali ke tempat mas-
ing-masing, sementara beberapa orang penduduk
yang kenal baik dengan Adipati Buntaran, masih
berada di tempat ini sambil bercakap-cakap. Ki
Bhatara Wisesa mendekati Bayu yang duduk di
salah satu pojok ruangan di teras depan.
“Bayu, maukah kau menolongku...?” tanya Ki
Bhatara Wisesa, seraya meletakkan bokongnya di
samping Pendekar Pulau Neraka.
“Hm..., tentang apa?” Bayu malah balik ber-
tanya.
“Kita harus menghentikan perbuatan pemuda
itu. Dia tidak waras, dan akan membuat keka
cauan yang lebih parah!”
“Kita...?!”
Ki Bhatara Wisesa memandang Pendekar Pu-
lau Neraka dengan wajah tidak percaya. Tadinya,
dia berharap Bayu akan turun tangan memban-
tunya untuk memerangi pemuda gembel yang
berjuluk Si Gila dari Muara Bangkai. Bahkan ka-
lau mungkin membinasakannya. Tapi, jawaban
Bayu yang bernada aneh itu membuatnya kecewa
sekali.
“Bayu! Apakah..., apakah kau tidak bersedia
menolong kami?” tanya Ki Bhatara Wisesa mene-
gaskan.
“Aku suka sekali menolong, tapi lihat dulu,
apa dan siapa yang hendak kutolong!” tegas Bayu.
“Maksudmu?”
“Orang yang sepatutnya mendapat pertolongan
tentunya!”
“Bayu! Aku tidak ingin memohon padamu. Ka-
lau memang kau tidak ingin membantu, aku sen-
diri masih mampu melakukannya! Hanya perlu
diingat, bukankah perbuatannya terhadap ke-
luarga Adipati Buntaran sungguh keji dan bi-
adab?!” sentak orang tua itu tak senang.
“Tentu saja! Tapi, kau telah bercerita padaku,
kenapa Si Gila dari Muara Bangkai, sampai ber-
buat demikian. Kalian telah membunuh anak dan
istrinya. Bahkan beberapa orang kawanmu me-
nodai istrinya, sebelum dibunuh. Bukankah be-
rarti kalian sama keji dan biadabnya?! Dan semua
itu atas perintah Adipati Buntaran!” sahut Bayu,
tidak kalah sengitnya.
“Dia patut menerima itu, setelah apa yang di-
lakukannya terhadap wanita-wanita seluruh ka-
dipaten ini!” kilah Ki Bhatara Wisesa.
“Hm. Sudah sewajarnya sebagai seorang ma-
nusia, dia memiliki dendam yang hebat terhadap
kalian. Seandainya aku diperlakukan begitu, ten-
tu akan bisa merasakan dendam yang hebat da-
lam dadaku....”
“Terima kasih atas bantuanmu semalam,
Bayu. Maaf, aku musti mengurus yang lainnya...!”
sahut Ki Bhatara Wisesa seraya beranjak dari
tempat itu.
Bayu menghela napas panjang seraya meman-
dang laki-laki itu. Kemudian pandangannya di-
alihkan, seraya bangkit dan perlahan-lahan me-
ninggalkan tempat. Namun baru saja keluar dari
halaman depan bangunan kadipaten itu, menda-
dak.
“Bayu, tunggu...!”
Bayu langsung menoleh. Tampak Nirmala
menghampirinya. Dia menunggu beberapa saat
Dan ketika telah dekat, bukannya bicara dengan
pemuda ini, tapi gadis itu malah menundukkan
kepala dengan keadaan membisu.
“Ada apa, Nirmala...?”
“Apakah kau akan meninggalkanku begini sa-
ja...?” tanya gadis itu bernada berat serta putus
asa.
“Nirmala! Di antara orang-orang itu terdapat
kerabatmu. Dan kau berarti telah berada di tengah keluargamu....”
“Bayu! Benarkah kau tidak ingin menolong-
ku...?”
“Menolong bagaimana, Nirmala...?”
Gadis itu menarik napas panjang-panjang,
kemudian menghembuskannya perlahan-lahan
seraya mengalihkan pandangan. Kemudian bebe-
rapa saat kemudian matanya menatap lurus ke-
pada Bayu.
“Tahukah kau, betapa sakit hati dan dendam-
nya hatiku melihat keadaan begini yang menimpa
keluargaku? Kalau saja aku memiliki kemampuan
tentu saja tidak mesti memohon kepadamu...,”
kata gadis itu.
Bayu memandang gadis itu sejenak.
“Nirmala, maaf. Bukannya aku tidak mengerti
perasaanmu. Tapi, aku tidak bisa berjanji. Kita li-
hat saja bagaimana nanti,” ucap Bayu pelan.
Kemudian Bayu berbalik dan berlalu dari tem-
pat itu. Nirmala ingin menahannya, namun hanya
bisa terpaku dengan wajah tidak menentu. Dan
matanya menyertai pemuda itu sampai hilang da-
ri pandangannya.
Haruskah Bayu menolong mereka? Bukankah
dendam antara keduanya telah menjadi impas?
Adipati Buntaran menyiksa pemuda gembel yang
berjuluk Si Gila dari Muara Bangkai berikut istri
dan anaknya. Sedangkan Si Gila dari Muara
Bangkai telah membalasnya. Hanya saja, pemuda
gembel itu masih berkeliaran dan Adipati Bunta-
ran telah menemui ajalnya. Lalu, siapakah yang
akan membalaskan dendam orang-orang yang te-
lah dianiaya pemuda itu sebelumnya? Dan bukan
tidak mungkin, dia akan membuat keonaran yang
lebih dahsyat Apalagi kemampuannya yang me-
nurut Ki Bhatara Wisesa, telah meningkat pesat
Tentu semakin sulit saja bagi orang lain untuk
mencegah perbuatan-perbuatan buruknya.
***
Dua orang laki-laki berusia setengah baya
tampak berlari cepat melintasi pinggir Hutan Kali
Walang. Melihat dari cara berpakaian dan senjata
yang disandang, jelas kalau keduanya termasuk
tokoh persilatan. Yang seorang berpakaian serba
kuning, dengan sebilah pedang di punggung. Se-
mentara yang seorang lagi berbaju hijau, memba-
wa-bawa sebuah tongkat baja yang ujungnya
runcing seperti tombak.
“Kakang Baladewa! Apakah menurutmu Ki
Jangger ada di tempatnya saat ini? Sudah lama
sekali kita tidak bertemu beliau,” kata lelaki yang
berbaju kuning.
“Entahlah, Adi Dunggo. Mudah-mudahan saja
dia ada di tempatnya,” sahut laki-laki berbaju hi-
jau yang dipanggil Baladewa.
“Hm. Apa yang menimpa Adipati Buntaran su-
dah jelas. Darmo Gandul ternyata masih hidup,
dan kepandaiannya kini berlipat ganda. Seharus-
nya dulu pastikan kematiannya di dalam jurang.
Tapi Ki Jangger malah mengajak kita pergi. Dan
sekarang, beginilah jadinya. Dia menyusahkan ki
ta saja...!” umpat laki-laki yang bernama Ki
Dunggo dengan wajah kesal.
“Hm. Itu sudah menjadi tanggung jawab kita.
Tidak perlu menyesali apa yang telah terjadi. Toh
pada saat itu, tidak ada yang menolak usulnya.
Sebab, jurang tempat kita membuangnya telah
terkenal angker dan banyak dihuni binatang-
binatang berbisa. Kita tidak tahu, bagaimana ca-
ranya dia bisa lolos dari maut. Yang jelas, kita ha-
rus menyiapkan diri dari segala ancamannya...,”
gumam Ki Baladewa.
“Benar, Kakang. Tapi aku sedikit khawatir.
Dulu saja, kita bersusah payah menjatuhkannya.
Dan, setelah tujuh tahun berselang, ternyata ke-
mampuannya semakin pesat, aku khawatir apa-
kah kita bisa mengalahkannya...?” desah Ki
Dunggo, seperti berat untuk mengatakannya.
Ki Baladewa terdiam mendengar kata-kata Ki
Dunggo. Apa yang didengarnya memang tidak sa-
lah. Kematian Adipati Buntaran dan seluruh pen-
gawal kadipaten, telah membuatnya cemas. Pe-
muda gembel itu sama sekali tidak menemui ke-
sulitan menghadapi kedua panglima kadipaten
yang memiliki kepandaian cukup tinggi.
“Apa yang kau pikirkan, Kakang?” tanya Ki
Dunggo membuyarkan lamunan laki-laki itu.
“Dia sedang memikirkan kematiannya...! Hi hi
hi...!”
Mendadak terdengar satu suara menyahuti.
Dan yang lebih mengejutkan lagi, tiba-tiba mele-
sat sesosok tubuh dari atas sebuah cabang pohon, lalu tepat berdiri di depan mereka.
“Hei?!” kedua orang itu tersentak kaget dan
langsung menghentikan langkah.
Di depan mereka, kini berdiri tegak seorang
pemuda berpakaian compang-camping dengan
rambut panjang awut-awutan. Di pinggangnya
terselip sebuah golok agak panjang. Sorot ma-
tanya tajam dan memandang rendah ke arah me-
reka berdua.
“Siapa kau...?!” bentak Ki Dunggo garang.
“He he he...! Dunggo Keparat! Ternyata kau
sudah lupa padaku. Tapi jangan harap Darmo
Gandul akan lupa padamu!” sahut pemuda gem-
bel itu.
“Darmo Gandul! Jadi, kau yang berjuluk Si Gi-
la dari Muara Bangkai...?” sahut Ki Dunggo, den-
gan wajah kaget
Bukan hanya Ki Dunggo yang terkejut. Malah
Ki Baladewa sampai terjingkat. Terakhir mereka
mengenal Darmo Gandul adalah pemuda tampan
yang selalu rapi, serta memiliki kemampuan he-
bat Maka tidak heran bila dia mampu menggaet
dan merusak kehormatan gadis-gadis yang tergi-
la-gila padanya. Tapi yang mereka lihat saat ini,
Darmo Gandul lebih buruk dan jorok dari penge-
mis yang paling kotor sekalipun. Kalaupun ada
yang membuat nyali mereka ciut, adalah sorot
mata pemuda itu yang tajam laksana seekor ha-
rimau hendak menerkam mangsa.
“He he he...! Mulai ciut, Dunggo Keparat? Hari
ini, kalian berdua tidak akan bisa lepas dari ke
matian! Hi hi hi...! Satu persatu kalian akan
mampus di tanganku. Si Buntaran keparat telah
mendapat giliran pertama. Dan belum lama berse-
lang, kawan kalian si, setan Gumilar telah me-
nyusulnya. Hi hi hi...!”
“Apa?! Kau telah membunuh Gumilar pula?
Keparat! Kau tidak akan lepas dariku, Darmo
Gandul!” sentak Ki Baladewa garang.
“Diam! Cabut senjatamu, dan pertahankan
nyawamu dari golokku...!” bentak Darmo Gandul
dengan suara menggeledek.
Setelah berkata demikian, Si Gila dari Muara
Bangkai langsung mencabut golok dan melompat
menerkam.
“Yeaaa...!”
Ki Baladewa dan Ki Dunggo tersentak kaget
Namun mereka buru-buru melompat ke belakang,
menghindari serangan Darmo Gandul seraya
mencabut senjata.
Sring!
Begitu senjata mereka tercabut, langsung di-
papaknya serangan golok Si Gila dari Muara
Bangkai.
Trak! Trak!
“Uhh....”
Kembali kedua orang itu terkejut, ketika men-
coba menangkis golok Darmo Gandul. Pedang Ki
Dunggo terlihat rompal, dan nyaris terlepas dari
genggamannya. Telapak tangannya terasa nyeri
dan terkelupas, ketika benturan terjadi. Begitu
pula tongkat Baladewa yang nyaris patah, disambar golok itu. Tenaga dan kecepatan Si Gila dari
Muara Bangkai amat cepat dan kuat. Dan belum
lagi beberapa jurus, mereka tampaknya mulai ke-
teter.
“Hiyaaaa...!”
Kedua orang tua itu menggeram,” mencoba
membalas menyerang. Namun Si Gila dari Muara
Bangkai gesit sekali mengelak dengan melenting
ke atas. Dan tahu-tahu, dia telah mendarat di be-
lakang mereka sambil mengayunkan goloknya.
Cras!
“Aaah...!”
Ki Dunggo mengeluh kesakitan, ketika golok Si
Gila dari Muara Bangkai memotong telinga ki-
rinya.
Sementara nasib baik masih berpihak pada Ki
Baladewa. Begitu golok Darmo Gandul berkelebat
ke arahnya, dia cepat berbalik. Seketika ditang-
kisnya golok itu.
Trang!
Ki Baladewa terjajar beberapa langkah. Namun
belum juga bisa menguasai diri, tiba-tiba ujung
kaki pemuda itu meluncur ke arah dadanya. Begi-
tu cepatnya, sehingga....
Begkh!
“Aaaakh!”
Ki Baladewa mengeluh tertahan, begitu kaki
Darmo Gandul mendarat telak di dadanya. Tu-
buhnya sampai terjajar beberapa langkah, namun
cepat menguasai diri. Seketika dikerahkannya
hawa murni untuk mengusir rasa sesak yang menyerang dadanya.
“Hi hi hi...! Dua ekor tikus busuk menjerit ke-
sakitan! He he he...! Sebentar lagi, kalian akan
merasakan sakit yang lebih hebat dan seru...!”
ejek Si Gila dari Muara Bangkai tertawa terkekeh.
“Setan!” Ki Dunggo menggeram. Demikian juga
Ki Baladewa. Dengan disertai amarah meluap ke-
dua orang itu melompat bersamaan menyerang Si
Gila dari Muara Bangkai.
“Yeaaaa...!”
Si Gila dari Muara Bangkai menggeram. Tu-
buhnya segera bergerak cepat, melejit menghinda-
ri serangan kedua lawannya. Terasa angin bersiur
cepat Dan begitu berada di udara, Darmo Gandul
cepat meluruk turun disertai sabetan goloknya ke
arah Ki Dunggo yang hanya mampu ternganga.
Dan tahu-tahu....
Cras!
“Aaaaa...!”
Ki Dunggo memekik keras, begitu dahinya ter-
babat golok Si Gila dari Muara Bangkai. Tubuh-
nya, terjungkal dengan darah mengucur deras da-
ri luka dalam di dahinya, tepat ketika Darmo
Gandul mendarat di tanah.
“Hei?! Kurang ajar...!”
Bukan main geram dan marahnya Ki Balade-
wa melihat kenyataan itu. Darahnya tersirap, dan
langsung menyerang pemuda itu dengan memba-
bi buta.
“He he he...! Sini! Ke sinilah cepat. Susullah
kawanmu itu...!” ejek Darmo Gandul.
“Yeaaaa...!”
Ki Baladewa menyabetkan tongkatnya menya-
pu seluruh tubuh Darmo Gandul. Sehingga terli-
hat seolah pemuda itu terkurung dan tidak mam-
pu keluar dari putaran tongkatnya. Namun, men-
dadak Ki Baladewa terkejut. Tiba-tiba, Darmo
Gandul melompat ke atas, lalu meluruk dengan
kebutan goloknya. Begitu cepat gerakannya, se-
hingga....
Cras!
“Aaaa...!”
Terdengar jerit tertahan, kemudian terlihat tu-
buh Ki Baladewa ambruk bermandikan darah
dengan dahi luka cukup dalam.
“Hi hi hi...! Mampus kau! Mampus kalian...! Hi
hi hi...!” teriak Si Gila dari-Muara Bangkai seraya
tertawa nyaring dan melesat meninggalkan Hutan
Kaliwalang yang kembali sunyi seperti tadi.
***
TUJUH
Seorang laki-laki tua tampak duduk terpaku
dengan kedua kaki bersila di atas bale-bale di be-
randa pondoknya yang sederhana. Matanya yang
cekung memandang lurus ke depan. Sementara
dua orang laki-laki lain yang berusia sekitar tiga
puluh tahun, berada di kiri kanannya, dengan
mata jelalatan ke seluruh tempat itu, seperti
mencari-cari sesuatu. Wajah mereka tampak me
nyiratkan perasaan cemas, dan gelisah. Demikian
juga yang terlihat pada wajah lelaki tua itu. Na-
mun, agaknya dia berusaha menepis perasaannya
dan bersikap lebih tenang.
“Ki Jengger, apakah kira-kira dia akan da-
tang?” tanya laki-laki yang memakai ikat kepala
merah pada laki-laki tua itu.
Orang tua yang dipanggil Ki Jangger menoleh
kemudian tersenyum kecil.
“Dia telah mengirim surat tantangan pada ki-
ta. Jadi sudah pasti dia akan datang ke sini, Sa-
songko....”
“Hm.... Kepandaiannya maju pesat dan sangat
luar biasa. Seluruh pengawal kadipaten berikut
dua orang panglimanya yang tangguh, dapat dis-
apu bersih olehnya...,” gumam laki-laki yang seo-
rang lagi.
“Apakah kau merasa gentar, Dusila?” tanya Ki
Jangger.
“Entahlah. Kemampuanku bisa diukur, dan
tidak banyak mengalami kemajuan belakangan
ini. Aku tidak mengira dia masih hidup setelah
dicemplungkan ke dalam jurang....”
“Salahmu sendiri. Kau terlalu rakus dengan
perempuan! Kerjamu hanya pelesir dan berse-
nang-senang saja...!” umpat Ki Jangger.
Dusila hanya tersenyum.
“Seharusnya kita menghubungi Ki Dunggo, Ki
Baladewa, dan Ki Bhatara Wisesa lebih dulu...,”
kata Sasongko pelan.
“Hm. Siapa yang tahu kalau saat ini mereka
masih hidup....”
“Apa maksudmu, Ki Jangger?”
“Siapa tahu Darmo Gandul telah menghabisi
mereka lebih dulu. Ki Gajah Lanang telah tewas
di tangannya. Dan bukan tidak mungkin, dia
mendatangi mereka satu persatu untuk mengu-
rangi kekuatan kita,” sahut Ki Jangger menje-
laskan.
Sasongko menghela napas panjang, untuk
mengusir kegalauannya.
“Hm.... Dulu saja, kita harus susah payah ba-
ru berhasil mengalahkannya. Lalu, apa yang bisa
kita lakukan dengan bertiga begini?” tanya Dusi-
la.
“Agaknya kau takut, Dusila?” sindir Ki Jang-
ger.
“Aku bukan takut, Ki Jangger. Hanya masih
sayang nyawaku...!”
“Kau boleh pulang sebelum dia datang!” sahut
Ki Jangger tenang.
Ki Dusila menarik napas panjang.
“Hm, kukira itu usul yang baik. Kepandaianku
tidak seberapa. Malah masih berada di bawah
Kakang Gajah Lanang. Kalau saja dia tewas di
tangan pemuda itu, sudah pasti aku tidak akan
mampu berbuat apa-apa menghadapinya...,” sa-
hut Dusila, mengutarakan kekhawatirannya.
“Jadi, kau ingin melarikan diri, Dusila...?”
tanya Sasongko.
“Aku tidak mau mati konyol di sini!”
“Hm. Kau pengecut, Dusila!” ejek Sasongko.
“Terserah apa kata kalian. Yang jelas, aku ma-
sih sayang nyawaku...!” sahut Dusila seraya be-
ranjak dari tempat itu.
Sasongko merasa geram bukan main melihat
kepengecutan kawannya. Dia sudah mau melom-
pat mengejar. Namun Ki Jangger telah menang-
kap pergelangan tangannya.
“Biarkan saja dia memilih jalannya, Sasong-
ko!”
“Huh! Aku tidak sudi punya kawan sepengecut
dia! Dia tidak pantas hidup. Lebih baik mampus
di tanganku!”
“Tidak perlu! Apa kau pikir Darmo Gandul
akan membiarkannya lolos begitu saja? Tidak. Ke
mana pun dia pergi, pemuda gembel itu akan
mencarinya. Dan dia akan celaka karena harus
menghadapinya seorang diri. Paling tidak, kita be-
runtung karena bisa menghadapinya berdua...,”
jelas Ki Jangger.
Meski Sasongko bisa mengerti apa yang di-
maksud Ki Jangger, namun hatinya masih tetap
panas.
Dan hawa amarah dalam dirinya belum bisa
surut begitu saja. Dipandangi Dusila yang me-
lenggang seenaknya di depan mereka.
“Huh! Manusia Pengecut Busuk! Mudah-
mudahan di tengah jalan bertemu Darmo Gandul
dan mampus di tangannya!” dengus Sasongko
menahan geram.
Dan baru saja kata-katanya selesai, mendadak
terdengar jerit panjang melolong. Tampak Dusila
terbirit-birit lari ke arah mereka dengan darah
memancur deras di dahinya. Namun baru saja
melangkah tiga tindak, tubuhnya ambruk dan
nyawanya melayang seketika. Tidak jauh dari
mayatnya, tampak berdiri tegak seorang pemuda
berpakaian gembel dengan rambut panjang awut-
awutan. Senyumnya sinis dan sorot matanya ta-
jam memandang rendah ke arah mayat Dusila.
“He he he...! Kau kira bisa kabur seenaknya
lari dariku, Setan?! Hm.... Tidak ada seorang pun
dari kalian yang akan hidup jika aku mendatan-
gi...!” kata pemuda gembel itu sambil terkekeh-
kekeh sendiri.
Sasongko dan Ki Jangger tersentak kaget Dan
mereka jadi saling pandang sesaat.
“Si Gila dari Muara Bangkai!” seru mereka,
hampir berbarengan. Kembali tatapan kedua
orang itu beralih pada sosok pemuda berpakaian
compang-camping itu.
“Dia telah datang, Ki Jangger,” lanjut Sasong-
ko.
Ki Jangger mengangguk. Kemudian dia beran-
jak dari duduknya. Demikian pula Sasongko. Me-
reka lantas berjalan lalu berdiri tegak beberapa
tindak, lalu menunggu pemuda gembel itu meng-
hampiri.
***
“Hi hi hi...! Kalian tentu terlalu lama menung-
guku, bukan? Maafkanlah. Sebab, baru saja tadi
aku mengirim dua orang kawan kalian. Siapa
namanya? Ah, aku ingat! Satu seekor tikus kurap
yang bernama Dunggo. Dan satu lagi, seekor ke-
coa buduk tidak berguna yang bernama Balade-
wa. Mereka telah menyusul kawan-kawannya
yang lain. Dan si pengecut ini, pantas mendapat
giliran berikutnya...!” teriak pemuda itu sambil te-
rus tertawa-tawa sendiri kegirangan.
“Darmo Gandul! Jangan dikira dengan ulahmu
ini bisa menggertak kami!” sahut Ki Jangger, din-
gin.
“Ha ha ha...! Tua Bangka bulukan yang ber-
nama Jengger! Kau kira aku menggertak, heh?
Untuk apa? Aku tidak akan menggertakmu, tapi
langsung akan mengirim kalian ke akherat me-
nyusul yang lain!” ejek Si Gila dari Muara Bang-
kai.
“Keparat!”
“Hei? Apa kau bilang, Kodok buduk?!” sentak
Darmo Gandul pada Sasongko yang menggeram.
“Kau Jahanam keparat!” maki Sasongko.
“He he he...! Kalian pun pantas mendapat se-
butan itu. Kalau begitu, kita sama-sama keparat
Masih ingat peristiwa tujuh tahun silam. Oh....
Kasihan sekali istriku mendapat perlakuan kalian
yang buas. Kau dan Dusila jahanam itu, mem-
perkosanya tanpa henti. Lalu, membunuhnya di
depan mataku. Dan aku juga berbuat begitu ter-
hadap istrimu dan semua kekasih Dusila jaha-
nam itu. Mereka semua mampus setelah teren-
gah-engah meladeniku. Hanya sayang, kau tidak
sempat menyaksikannya, Sasongko....”
“Apa katamu? Keparat jahanam! Apa yang kau
lakukan terhadap istriku...?!” geram Sasongko
dengan mata melotot lebar.
“Eit, eit! Jangan sampai lupa. Tidak hanya is-
trimu, tapi juga anak perempuanmu yang sedang
ranum-ranumnya...! Hi hi hi...!”
“Setan! kubunuh kau! Kubunuh kau...!” geram
Sasongko bukan main, laki-laki itu bahkan lang-
sung melompat menyerang setelah mencabut go-
loknya.
“Yeaaa...!”
Ki Jangger hendak menahan kawannya, na-
mun Sasongko telah lebih dulu melompat menye-
rang dengan mengerahkan segenap kemampuan-
nya. Sebagai orang yang lebih tua dan kenyang
pengalaman, Ki Jangger bisa merasakan bahaya
yang akan menimpa kawannya. Sasongko berta-
rung dengan amarah meluap-luap, yang bakal
membuat serangan-serangannya menjadi tidak
beraturan. Maka laki-laki tua itu tidak bisa ber-
pangku tangan saja. Dengan cepat, dicabutnya
pedang yang tergenggam di tangan kiri. Lalu
orang tua itu ikut melompat menyerang Darmo
Gandul.
“Darmo Gandul, maaf. Aku terpaksa ikut tu-
run tangan...!”
“He he he...! Siapa yang melarangmu? Lebih
cepat kalian maju bersamaan, akan lebih bagus.
Berarti memudahkan pekerjaanku...!” sahut Dar-
mo Gandul tenang.
“Yeaaa...!”
“Setan...!”
Golok Sasongko menyambar-nyambar, mengu-
rung pertahanan Darmo Gandul. Sementara Ki
Jangger menjaga agar jangan sampai Darmo
Gandul mampu menghindar. Maka begitu melihat
pemuda itu bergerak menyusup ke atas, ujung
pedangnya langsung menghadang.
Trang!
“Uhhh...!”
Bukan main kagetnya Ki Jangger, ketika pe-
dangnya membentur golok Si. Gila dari Muara
Bangkai yang tercabut dengan cepat. Tangannya
langsung bergetar hebat dan jantungnya berdetak
lebih kencang. Dan belum sempat menguasai diri,
tendangan Darmo Gandul meluncur ke arah da-
gunya.
“Hiiih...!”
Masih untung Ki Jangger melompat ke bela-
kang, untuk menghindarinya. Dan dia semakin
tertolong, ketika Sasongko mengayunkan golok
menebas pinggang Darmo Gandul.
“Mampus...!”
“He he he...! Apanya yang mampus? Kau yang
akan mampusss...!” ejek Darmo Gandul seraya
menghindari serangan dengan cepat.
Tubuh Si Gila dari Muara Bangkai melejit ke
belakang sambil menunduk, sekaligus menghin-
dari tebasan pedang Ki Jangger. Goloknya menyi-
lang di dahi, lalu mendadak saja berkelebat cepat
menyambar kepala Sasongko.
Cras!
“Aaaa...!”
Sasongko kontan memekik panjang begitu go-
lok Darmo Gandul membabat dahinya. Tubuhnya
langsung tersungkur ke depan dengan darah
mengucur deras dari dahinya.
Maka bukan main kagetnya Ki Jangger. Untuk
sesaat dia tidak tahu harus berbuat apa.
“Hua ha ha...! Mampus! Eh, dia benar-benar
mampus! Hi hi hi...! Dasar kodok buduk tidak
berguna. Tua Bangka, keparat! Kini di antara ka-
lian yang tersisa, tinggal dua orang lagi Ki Bhata-
ra Wisesa dan kau! Sayang, dia tidak kujumpai di
rumahnya. Tapi, kau ada di hadapanku. Maka,
kaulah yang lebih dulu akan menyusul kawan-
kawanmu!”
“Darmo Gandul! Sampai kapan pun aku tidak
takut menghadapimu. Kau tidak perlu mengger-
takku...!” sahut Ki Jangger dingin.
“Hi hi hi...! Apakah aku menggertakmu? Hi hi
hi...! Aku tidak pernah mengatakannya. Tapi, ju-
stru akan melaksanakannya. Seperti sekarang...!”
Setelah berkata demikian, tubuh Darmo Gan-
dul melesat cepat menerkam Ki Jangger. Namun
orang tua yang telah waspada itu menangkis gesit
dengan kibasan pedangnya. Sejak tadi diperhati-
kannya, cepat sekali Darmo Gandul mencabut go-
lok. Dan secepat itu pula disarungkannya kemba-
li. Permainan goloknya tidak seperti kebanyakan
tokoh-tokoh lainnya. Begitu selesai satu gerakan,
maka kembali disarungkannya. Lalu, dicabut
kembali jika diperlukannya. Semua dilakukan
dengan gerakan cepat sekali. Bahkan pandangan
mata orang tua itu yang tajam, sedikit mengalami
kesulitan untuk melihatnya kalau tidak diamat-
amati betul.
Begitu tangan Darmo Gandul meraba gagang
golok cepat sekali Ki Jangger mengayunkan pe-
dangnya, gerakan pemuda itu sungguh cepat luar
biasa. Baru saja pedang orang tua itu mengibas,
golok Darmo Gandul telah memapaknya.
Trangngng!
Seperti perkiraannya, pedang Ki Jangger rom-
pal disambar golok pemuda itu. Malah nyaris ter-
lepas dari genggamannya akibat himpitan tenaga
dalam Darmo Gandul yang disalurkan begitu
kuat.
“Hiiih!”
“Uts!”
Ki Jangger melompat ke belakang, ketika Si
Gila dari Muara Bangkai mengayunkan tendan-
gan menggeledek. Tubuh pemuda gembel itu
langsung melompat mengejar. Dan sambil berba-
lik, kepalan tangannya dihantamkan ke dada
orang tua itu. Maka Ki Jangger cepat mengi-
baskan pedangnya. Namun, ternyata pukulan itu
hanya tipu belaka. Karena tanpa disangka-sangka
Darmo Gandul menarik kepalan tangannya, lalu
cepat sekali memutar tubuhnya. Dan seketika
kaki kanannya diayunkan menghantam telak
pinggang Ki Jangger.
Begkh!
“Aaakh...!”
Ki Jangger menjerit kesakitan begitu ping-
gangnya tersambar kaki pemuda itu. Tepat ketika
tubuhnya terjungkal ke belakang, Si Gila dari
Muara Bangkai melompat menerkam disertai
sambaran goloknya. Begitu cepat gerakannya, se-
hingga....
“Yeaaaa...!”
Crasss!
“Aaaa...!”
Ki Jangger kembali memekik tertahan, begitu
golok Darmo Gandul menyambar dahinya. Darah
kontan memancur deras dari luka yang meman-
jang dan dalam. Tubuhnya terjungkal ke tanah
diiringi tawa nyaring Si Gila dari Muara Bangkai
yang melesat meninggalkan tempat itu.
“Ha ha ha...!”
***
Dua sosok tubuh berbeda usia dan berlainan
jenis tampak berjalan santai sekali. Mereka tam-
paknya lebih banyak berdiam diri. Hanya sesekali
lelaki tua di sebelah sosok gadis cantik itu meng-
hibur. Sementara, gadis itu hanya tersenyum ke-
cil. Lalu kepalanya tertunduk dengan wajah mu-
ram.
“Akan ke. mana tujuan kita sekarang, Paman
Bhatara Wisesa...?” tanya gadis itu, setelah sekian
lama berjalan. Keringat mulai bercucuran di da-
hinya. Dan nyata sekali, keletihan membayangi
wajahnya. Dan laki-laki tua yang tak lain Ki Bha-
tara Wisesa itu tersenyum kecil.
“Agaknya kau terlalu larut dalam kesedihan-
mu, Nirmala. Sehingga tidak mendengar kata-
kataku sejak tadi....”
“Maafkan aku, Paman...,” ucap gadis yang ter-
nyata adalah Nirmala.
“Nirmala.... Kita akan menuju tempat kawan-
ku. Dia seorang tokoh hebat. Mudah-mudahan
bersama yang lainnya, kami akan berhasil menga-
lahkan pemuda gembel itu. Kau tidak boleh terla-
lu larut dalam kesedihan. Tidak lama lagi, pemu-
da gembel itu tentu akan mendapat pembalasan
yang setimpal atas perbuatannya!” tegas Ki Bha-
tara Wisesa meyakinkan.
Nirmala, putri Adipati Buntaran itu terdiam
beberapa saat lamanya mendengar penjelasan Ki
Bhatara Wisesa.
“Apa yang sedang kau pikirkan...?” tanya Ki
Bhatara Wisesa seperti mengerti jalan pikiran ga-
dis itu.
“Eh! Tidak ada, Paman...!”
Ki Bhatara Wisesa tersenyum kecil.
“Nirmala! Aku telah menganggapmu sebagai
putriku sendiri. Dan demikian pula, aku berharap
kau sudi menganggapku sebagai pengganti ayah-
mu..., yang telah tiada.”
“Terima kasih, Paman....”
“Ayahmu bersahabat baik denganku. Kami se-
perti saudara saja layaknya. Nah! Maukah kau
menganggapku sebagai pengganti ayahmu?”
Gadis itu tersenyum, kemudian mengangguk
kecil.
“Hm, sebagai seorang ayah, sudah sepatutnya
membantu anaknya. Kulihat wajahmu muram te-
rus. Apa gerangan yang kau pikirkan...?” tanya Ki
Bhatara Wisesa.
“Aku ingin agar pemuda gembel itu menerima
pembalasan yang setimpal, Paman...!”
“Ya! Paman mengerti dan bisa merasakannya.
Namun, rasanya masih ada kekecewaan lain yang
tersirat di wajahmu. Boleh paman tahu?” desah
laki-laki itu.
Gadis itu menggeleng lemah.
“Tidak ada....”
“Kau memikirkan pemuda itu, bukan...?” duga
Ki Bhatara Wisesa.
“Siapa yang Paman maksudkan...?” tanya ga-
dis itu sedikit kaget.
“Siapa lagi kalau bukan si Pendekar Pulau Ne-
raka...!”
Nirmala terdiam. Wajahnya yang tampak jen-
gah, buru-buru dialihkan. Namun, Ki Bhatara
Wisesa masih sempat melihatnya.
“Betul kau memikirkannya...?”
Nirmala tidak menjawab. Namun tidak bisa
memungkiri apa yang dikatakan orang tua ini.
Dia memang memikirkan Bayu. Dan rasanya, ti-
dak bisa dilupakannya begitu saja. Dua kali dia
diselamatkan pemuda itu. Padahal Nirmala sama
sekali tidak mengenalnya. Sikapnya yang tidak
peduli, bahkan berkesan tidak ramah, entah ke-
napa membuatnya merasa senang terhadap pe-
muda itu. Tapi sebagai seorang wanita yang terbiasa hidup di lingkungan yang penuh tata kra-
ma, tidak mungkin perasaannya dibeberkan.
Atau, paling tidak sedikit memberikan lampu hi-
jau bagi pemuda itu. Dan ketika Bayu sama sekali
tidak mengerti apa yang dirasakannya, seharus-
nya Nirmala kesal dan benci. Perasaan itu pun
ada, namun hanya sesaat. Karena, gadis ini tidak
mampu menghimpit rasa sukanya terhadap Bayu.
“Benar, bukan...?” tanya Ki Bhatara Wisesa
menyentak lamunannya.
Gadis itu kembali tersenyum kecil, seraya ber-
paling.
“Jangan terlampau berharap kepadanya, Nir-
mala. Sebagai orang tua, aku memberi nasihat
yang berguna bagimu...,” ujar Ki Bhatara Wisesa.
“Kenapa, Paman?”
“Dia orang liar dan sulit diatur. Bahkan sangat
terkenal kejam. Orang begitu sulit dipercaya.
Meski selama ini dia terkenal sebagai pembasmi
kejahatan yang sulit dicari tandingannya, tapi
sering berbuat sesuka hatinya. Buktinya dalam
persoalan ini, dia sama sekali tidak peduli!”
Nirmala diam saja mendengar kata-kata orang
tua itu.
“Nah! Orang seperti itu, tidak pantas meneri-
ma perhatianmu. Lebih baik jangan diingat-ingat
lagi!” tandas orang tua itu.
“Dia memang kejam, Paman. Tapi Bayu telah
dua kali menolongku. Bagaimana mungkin Pa-
man bisa menafsirkannya begitu?” tanya Nirmala,
heran.
“Hm, paman tidak katakan dia jahat. Tapi, wa-
taknya sulit diduga. Itu saja. Bisa jadi sekarang
dia baik dan telah menolongmu. Tapi, siapa tahu
di lain kesempatan malah meminta pamrih dan
berbuat yang bukan-bukan terhadapmu!”
“Kurasa dia bukan orang seperti itu, Pa-
man....”
“Hm.... Terserahlah. Paman hanya tidak ingin
kau jatuh ke dalam kebaikan palsu seorang laki-
laki yang belum banyak kau kenal. Sebab, kalau
saja terjadi sesuatu yang buruk terhadapmu, su-
dah barang tentu kedua orangtuamu di alam sana
akan menyesali paman...”
“He he he...! Sejak kapan kunyuk yang berna-
ma Ki Bhatara Wisesa pandai menasihati
orang...?”
Tiba-tiba terdengar suara menyahuti.
“Hei?!”
“Ohhh!”
***
DELAPAN
Mendadak saja melesat sebuah bayangan. Dan
sebentar saja telah berdiri sesosok tubuh di ha-
dapan Ki Bhatara Wisesa dan Nirmala. Kedua
orang itu terkejut setengah mati.
“Paman, dialah orang itu...!” teriak Nirmala.
Ki Bhatara Wisesa menyipitkan matanya meli-
hat seorang pemuda kumal berpakaian compang
camping. Rambutnya yang panjang, dibiarkan
awut-awutan tak terurus. Sementara di ping-
gangnya terselip sebilah golok berukuran agak
panjang.
“Hm. Jadi kau rupanya Darmo Gandul alias Si
Gila dari Muara Bangkai...?” tanya Ki Bhatara Wi-
sesa, seperti berkata pada diri sendiri.
“Hi hi hi...! Kunyuk busuk! Agaknya kau ma-
sih ingat denganku. Bagus-bagus...! Dan kau, ga-
dis cantik. Sungguh pucuk dicinta ulam tiba.
Ternyata, tidak bersusah payah aku mencarimu
ke mana-mana. Sebentar lagi, setelah aku mem-
bereskan kunyuk ini, aku akan bersenang-senang
denganmu...!” sahut Darmo Gandul diiringi tawa
nyaring.
“Darmo Gandul! Tutup mulut kotormu itu!”
bentak Ki Bhatara Wisesa.
“Hm. Pintar menyalak juga kau, Kunyuk! Mu-
dah-mudahan sebentar lagi kau akan menyalak
panjang sebagai akhir hidupmu. Ke mana kawan-
kawan yang lain? Ha ha ha...! Sungguh bodoh di-
riku! Kenapa aku menjadi pelupa begini? Hi hi
hi...! Mereka memang sudah tidak sabar menyu-
sul si Keparat Buntaran. Jadi..., ya kukirim saja
mereka semua menyusulnya. Dan sungguh kasi-
han, karena kau orang terakhir...!”
“Darmo Gandul, apa maksudmu?!”
“He he he...! Kau membentak, ya? Ha ha ha...!
Sungguh hebat, Kunyuk tolol. Nyawa telah di am-
bang maut, masih mencoba unjuk gigi. Kalau me-
lihat jalan yang ditempuh, agaknya kau akan
Menemui kawan-kawanmu, bukan? Nah! Lebih baik,
urungkan niatmu. Sebab, mereka semua telah ko-
jor! Hi hi hi...! Kunyuk Jangger, Sasongko, Dusila,
kodok Dunggo, dan kecoa Baladewa, telah kabur
duluan ke akherat! Hi hi hi...!”
“Keparat! Aku bersumpah akan membunuh-
mu...!”
Srettt!
Dengan amarah meluap-luap mendengar kata-
kata Darmo Gandul, Ki Bhatara Wisesa mencabut
kapaknya yang terselip di pinggang.
“Hi hi hi...! Mau apa kau dengan penggebuk
lalat itu...?” ejek Darmo Gandul kembali.
“Untuk menggorok lehermu, Keparat!”
“Yeaaaa...!”
Setelah berkata demikian, Ki Bhatara Wisesa
langsung melompat menyerang. Darmo Gandul
dengan mengerahkan seluruh kepandaiannya.
Meski belum membuktikan akan kehebatan la-
wannya, namun kalau saja Darmo Gandul mam-
pu mengobrak-abrik seluruh pengawal kadipaten,
tentu saja kepandaiannya tidak rendah.
Wukkk!
“Uts! Belum kena, Monyet!” ejek Darmo Gan-
dul, langsung mengelak manis saat kapak orang
tua itu menyambar lehernya. Kepalanya ditekuk
ke belakang, dan tubuhnya bergerak ke samping.
Ki Bhatara Wisesa menggeram, lalu tubuhnya
berputar. Cepat kapaknya dihantamkan ke tulang
iga Si Gila dari Muara Bangkai.
Bettt!
“Jauh sekali, Setan!” ejek Darmo Gandul, dis-
ertai gerakan menghindar. Tubuhnya melejit ke
samping, lalu melompat ke atas.
“Sekarang kau akan mampus...!” dengus Ki
Bhatara Wisesa, langsung mengejar ke atas sam-
bil mengayunkan kapaknya.
“Yeaaa...!”
“Hi hi hi...! Kau tak akan mampu menyerang-
ku dengan kepandaian yang seujung kuku itu,
Monyet buduk!” ejek Darmo Gandul, langsung ce-
pat berputaran ke belakang, dengan tubuh masih
di udara.
Bukan main kalapnya Ki Bhatara Wisesa me-
lihat pemuda itu mempermainkannya begitu rupa
sambil terus mengejeknya. Darahnya terasa naik
ke ubun-ubun, dan bola matanya merah mena-
han geram bukan main.
Sementara itu Nirmala terlihat pucat wajahnya
begitu melihat kehadiran pemuda gembel itu. Tu-
buhnya bergetar dan semangatnya melayang ter-
bang. Dia hanya bisa bersandar di sebuah batang
pohon, tanpa mampu menggerakkan seluruh tu-
buhnya untuk berlari menjauh menyelamatkan
diri. Tanpa sadar dia terus berdoa dengan bibir
gemetar. Firasatnya mengatakan, orang tua itu ti-
dak akan mampu mengalahkan Si Gila. dari Mua-
ra Bangkai. Bahkan bukan tidak mungkin Ki
Bhatara Wisesa akan binasa. Kalau seluruh pen-
gawal di kadipaten saja binasa di tangan pemuda
sinting itu, apalagi Ki Bhatara Wisesa yang hanya
seorang diri?
“Oh, Bayu.... Datanglah. Aku betul-betul ta-
kut...”
Tanpa sadar gadis itu memanggil nama pemu-
da yang belakangan ini lekat dalam ingatannya.
“Aaaakh...!”
“Ohh!”
Nirmala tersentak kaget mendengar jeritan Ki
Bhatara Wisesa. Ternyata pergelangan tangan
orang tua itu telah putus!
“Hi hi hi...! Sekarang giliranmu, Kunyuk! Kau
telah kuberi kesempatan melakukan serangan,
dan ternyata disia-siakan...!” ejek Darmo Gandul
sambil terkekeh-kekeh.
Seketika tubuh Si Gila dari Muara Bangkai
melesat cepat menyambar ke arah Ki Bhatara Wi-
sesa. Maka cepat-cepat orang tua itu bergulingan
untuk menghindarinya. Sambil menahan rasa sa-
kit dan tanpa senjata karena sudah terlempar
bersama tangannya yang buntung, dia mencoba
bertahan.
Namun Si Gila dari Muara Bangkai terus men-
gejarnya. Malah kali ini Darmo Gandul mele-
paskan tendangan geledek, sebelum Ki Bhatara
Wisesa mampu berdiri.
Dan....
Bukkk!
“Aaaakh...!”
Untuk kedua kalinya Ki Bhatara Wisesa me-
mekik kesakitan. Satu tendangan keras mendarat
telak di perutnya. Akibatnya, tubuhnya terangkat
sekitar dua jengkal dari permukaan tanah. Dan
belum juga rasa sakit itu hilang, cepat sekali Si
Gila dari Muara Bangkai mencabut goloknya.
Langsung disambarnya kaki kiri orang tua itu se-
batas lutut
Cras!
“Aaaakh...!”
“Hi hi hi...! Kita akan bermain-main dulu ba-
rang beberapa saat, Kunyuk! Karena, kau adalah
orang terakhir. Dan setelah aku puas, maka le-
paslah penderitaanmu bersama penderitaanku
yang menanggung dendam...”
***
“Keparat! Lebih baik bunuh saja aku! Ayo, bu-
nuh! Aku tidak takut mati...!” teriak Ki Bhatara
Wisesa, menggelegar.
“He he he...! Bunuh? Hm.... Itu soal mudah.
Tapi tidak ada salahnya kalau kita bermain-main
dulu barang sesaat..!”
Tubuh Darmo Gandul kembali berkelebat Se-
mentara Ki Bhatara Wisesa berusaha menghindar
dengan bergulingan.
“Eh!” Eh! Mau lari ke mana? Hm.... Kakimu
masih kuat, ya? Nih, satu lagi!” Si Gila dari Muara
Bangkai kembali membabatkan goloknya. Begitu
cepat, sehingga Ki Bhatara Wisesa tak mampu
menyelamatkan sebelah kakinya lagi.
Cras!
“Aaaakh...!”
Ki Bhatara Wisesa kembali memekik kesaki-
tan, begitu golok Darmo Gandul menebas kakinya
yang satu lagi. Ki Bhatara Wisesa masih bergulin-
gan, walaupun kakinya terus mengeluarkan da-
rah. Sementara Si Gila dari Muara Bangkai hanya
memperhatikan, seperti menyaksikan tontonan
yang amat menarik.
“Nirmala, pergi dari sini! Pergi cepaaat..!” te-
riak Ki Bhatara Wisesa mengingatkan, tanpa
mempedulikan rasa sakit akibat pergelangan tan-
gan kiri dan kedua kakinya yang buntung.
“Hm, kabur? Coba saja...,” ejek Darmo Gan-
dul.
Mendengar teriakan itu, Nirmala tersentak ka-
get Dia seperti tersadar dari lamunan panjang.
Namun baru saja berdiri, pemuda gembel itu te-
lah melesat dan mendarat di hadapannya. Dia
menjerit ketakutan, namun Darmo Gandul telah
memeluk dan mengangkatnya ke pundak.
“Lepaskan aku! Aouw...! Lepaskan akuuuu...!”
teriak gadis itu sambil memukul-mukul punggung
Si Gila dari Muara Bangkai.
“Keparat busuk, lepaskan dia! Dia tidak ada
sangkut-pautnya dengan urusanmu!” teriak Ki
Bhatara Wisesa, namun tidak bisa, berbuat apa-
apa..
“He he he...! Istri dan anakkupun tidak ada
urusan denganku. Tapi, kenapa kalian memper-
lakukannya dengan kejam? Dan tidak ada salah-
nya kalau aku berbuat hal yang sama...!” sahut
pemuda gembel itu dengan tenang, seraya meng-
hempaskan keras Nirmala ke tanah keras.
Gadis itu menjerit kesakitan. Namun lagi sempat menguasai diri, mendadak pemuda itu telah
menghimpit erat tubuhnya. Ki Bhatara Wisesa
menggeram. Dan dengan sekuat tenaga, tubuh-
nya digulirkan sambil menghantam tubuh Darmo
Gandul dengan kepalan tangan kiri.
Namun tanpa menoleh sedikit pun Si Gila dari
Muara Bangkai menangkis dengan kaki kanan-
nya, lalu ujung kakinya keras menghantam ke
arah wajah orang tua itu.
Plak! Begkh!
“Aaaakh...!”
Ki Bhatara Wisesa memekik kesakitan. Tu-
buhnya bergulir bermandikan darah dari tulang
hidung dan giginya yang rontok dan patah.
“Hi hi hi...! Mau mencoba menghalangiku? Ti-
dak ada seorang pun yang boleh menghalangiku
kalau tidak ingin mampus...!”
“Aku yang akan menghalangi niatmu, Kisa-
nak!”
Mendadak terdengar sebuah suara, memeng-
gal kalimat Si Gila dari Muara Bangkai.
Darmo Gandul terkejut. Buru-buru dia bang-
kit berdiri, dan langsung memandang seorang
pemuda berambut gondrong dan berwajah tam-
pan. Pemuda berbaju kulit harimau dengan see-
kor monyet kecil di pundak itu memanglah Bayu
Hanggara alias Pendekar Pulau Neraka.
“Bayu...! Oh, syukurlah kau cepat datang...!”
Nirmala terkejut bercampur girang melihat ke-
datangan pemuda itu. Semangatnya cepat bangkit
dan bermaksud berdiri menghampiri untuk menumpahkan perasaan syukurnya.
Namun cepat sebelah tangan Darmo Gandul
melayang ke arahnya. Nirmala tercekat. Untung
pada saat itu juga, kaki kanan Bayu meluncur
untuk memapak.
Plakkk!
Begitu terjadi benturan kaki dan tangan, Dar-
mo Gandul cepat berbalik. Langsung dihantam-
nya kepala Bayu dengan tendangan keras. Pende-
kar Pulau Neraka cepat menunduk. Namun bu-
kan main kagetnya Bayu, ketika tiba-tiba bersiur
angin kencang menyambarnya. Matanya sempat
melihat, tangan Darmo Gandul mencabut golok
hendak memapas dahinya. Maka Pendekar Pulau
Neraka cepat melompat ke belakang menghindari.
Namun, Si Gila dari Muara Bangkai terus menge-
jarnya dengan serangan-serangan maut
“Hiyaaaa...!”
“Hm. Ilmu golokmu luar biasa, sobat! Sebaik-
nya persoalan ini tidak usah diteruskan, asal
dengan satu syarat Kau harus melepaskan mere-
ka. Sudah banyak yang menjadi korbanmu....”
“Tutup mulutmu! Siapa pun orangnya yang
mencoba menghalangi niatku, harus mampus!”
desis Darmo Gandul menggeram.
“Di antara kita tidak ada saling permusuhan?
Kenapa kau ingin menghabisiku? Bukankah apa
yang kuusulkan padamu masuk akal? Mereka te-
lah cukup mendapat hajatanmu, Dan, sudah se-
patutnya kau harus mengakhiri dendammu...,”
ujar Bayu kembali menasihatinya.
“He he he...! Ternyata kau sama saja dengan
kunyuk buduk itu. Sok menasihati, dan sok men-
gatur orang. Lebih baik atur dirimu sendiri. Se-
bab, aku tidak akan mengampuni siapa pun yang
mencoba menghalangi niatku!” dengus Darmo
Gandul.
Bayu bukannya tidak punya alasan untuk
menawarkan usulnya. Sebab Pendekar Pulau Ne-
raka tahu kalau pemuda itu sekadar balas den-
dam. Tapi dalam keadaan tidak waras begitu, ten-
tu saja dia akan berbahaya bagi orang lain. Apa-
lagi kepandaiannya luar biasa. Mau tidak mau,
Bayu mengagumi kehebatannya.
“Yeaaaa...!”
Darmo Gandul terus mencecar Pendekar Pu-
lau Neraka. Dan pada satu kesempatan, goloknya
dikebutkan ke dahi Bayu.
“Uts!”
Pendekar Pulau Neraka cepat melenting ke be-
lakang, tapi terlambat karena....
Cras!
Ternyata golok Si Gila dari Muara Bangkai
sempat melukai dada Pendekar Pulau Neraka,
hingga mengeluarkan darah segar.
***
“Bayu...!”
Nirmala menjerit ketakutan. Dan wajahnya
pun tampak cemas, ketika melihat golok pemuda
gembel itu melukai dada sebelah kanan Pendekar
Pulau Neraka.
Bayu sendiri kaget. Tidak heran kalau lawan-
lawannya dibuat tidak berdaya oleh Si Gila dari
Muara Bangkai. Kecepatan gerak pemuda ini luar
biasa. Bahkan sama sekali tidak terduga.
Begitu mendarat di tanah. Tampak wajah Pen-
dekar Pulau Neraka mulai kelam, dan hawa keke-
jaman mulai terlintas pancaran matanya ketika
memandang ke arah Si Gila dari Muara Bangkai
yang tertawa terbahak-bahak mengejeknya.
“Hua ha ha...! Itu satu peringatan bagimu.
Dan berikutnya, kau akan menemukan kema-
tianmu! Hi hi hi...! Tidak ada waktu lagi bagimu
untuk merubah pendirian. Meski kau merangkak-
rangkak dan mencium telapak kakiku, nyawa bu-
sukmu tidak mungkin kuampuni, Kecoa buduk!”
“Hm. Sungguh hebat, Tikus bulukan! Tapi aku
yakin, itu hanya kebetulan. Karena, kau tidak
akan mampu melakukannya untuk kedua ka-
linya,” balas Bayu, mengejek.
“Apa katamu, heh?! Apa katamu? Kurang ajar!
Kau menganggap remeh padaku, ya?! Kau kira Si
Gila dari Muara Bangkai ini apa, heh?! Setan
alas? Kecoa busuk! Kau akan mampus! Mampus!
Mampusss...!” teriak Darmo Gandul kalap, den-
gan melompat menyerang Pendekar Pulau Neraka.
“Hiyaaa...!”
Namun baru saja Si Gila dari Muara Bangkai
melesat, Bayu cepat mengebutkan tangan kanan-
nya, dengan tubuh agak miring ke kiri dan kaki
melebar.
Singngng!
“Hei?!”
Darmo Gandul terkejut bukan main, ketika
melihat sekelebatan cahaya putih keperakan me-
nyambar ke arahnya diiringi suara berdesing
nyaring. Buru-buru tubuhnya mengegos ke samp-
ing. Tapi, siapa sangka kalau saat itu Pendekar
Pulau Neraka melesat bersamaan. Seketika satu
tendangan dilepaskan Bayu.
Begitu berhasil menghindari terjangan Cakra
Maut, buru-buru Darmo Gandul memapak ten-
dangan Pendekar Pulau Neraka.
Plak!
Terjadi benturan keras, membuat Darmo Gan-
dul sedikit terhuyung. Namun, Pendekar Pulau
Neraka kelihatan tak ingin memberi kesempatan
sedikitpun. Seketika tubuhnya berputar, seraya
melepaskan satu tendangan geledek ke punggung
Si Gila dari Muara Bangkai. Begitu cepat gera-
kannya, sehingga....
Dukkk!
“Aaaakh...!”
Darmo Gandul kontan tersungkur disertai te-
riakan kesakitan. Melihat hal ini, Bayu melompat
ke atas menyambar Cakra Maut yang kembali me-
lesat ke arahnya. Dan begitu senjata maut itu
menempel di pergelangan tangan kanannya, sece-
pat itu pula kembali dikibaskan.
Singngng!
“Eeeh...!”
Kembali cahaya putih keperakan yang berdes-
ing nyaring melesat bagai kilat ke arah Si Gila dari Muara Bangkai, sehingga membuatnya terkejut
Dan secepat apa pun dia bergerak, rasanya tidak
mungkin mampu mengimbangi kecepatan senjata
Pendekar Pulau Neraka. Maka dengan geram, go-
loknya dikibaskan untuk menangkis.
Tras!
“Hei?!”
Kembali Darmo Gandul dibuat terkejut meli-
hat senjatanya patah jadi dua bagian. Dan belum
lagi hilang keterkejutannya, Cakra Maut terus
menerjang ke arah lehernya. Begitu cepatnya, se-
hingga....
Cras!
“Aaaa...!”
Kejadian itu cepat sekali berlangsung. Darmo
Gandul memekik kesakitan ketika Cakra Maut
menerjang lehernya hingga hampir buntung!
Bahkan tubuhnya sampai terjungkal mengikuti
dorongan tenaga Cakra Maut. Tubuhnya mengge-
lepar-gelepar sesaat begitu jatuh keras di tanah
beserta ceceran darah yang membasahi bumi. Tak
lama kemudian, tubuhnya diam tak berkutik lagi.
Mati.
“Huh!” Bayu mendengus pelan seraya mengi-
baskan tangan kanannya. Maka senjata itu kem-
bali melesat ke arahnya. Begitu tertangkap, diber-
sihkannya Cakra Maut dari noda darah.
“Bayu...!” panggil Nirmala.
Bayu hanya menoleh sekilas, kemudian men-
gambil Tiren yang berlari ke arahnya. Dibawanya
monyet kecil itu ke pundaknya. Pendekar Pulau
Neraka lantas menatap gadis itu sesaat. Jarak
mereka hanya terpaut dua langkah saja. Lalu bi-
birnya tersenyum kecil.
“Nirmala.... Apa yang dikatakan orang tua itu
tentang ku, memang benar. Orang sepertiku tidak
pantas menerima perhatianmu. Nah, baik-baiklah
kau menjaga diri. Selamat tinggal...!”
Gadis itu hendak menahan, namun lagi-lagi
suaranya tercekat dalam tenggorokannya. Dan
Bayu pun telah melesat ke atas, kemudian cepat
sekali menghilang setelah melompat dari satu ca-
bang pohon ke cabang pohon lain.
“Bayu...? Oh! Tidak mengertikah kau pera-
saanku...?” desah Nirmala perlahan seraya me-
mandang ke arah menghilangnya Pendekar Pulau
Neraka.
Diam-diam gadis itu berharap kalau-kalau
Bayu akan berbalik lagi untuknya. Namun sam-
pai lamunannya terusik oleh rintihan Ki Bhatara
Wisesa, Bayu tidak muncul-muncul lagi.
Nirmala mendesah pelan, dan terus mendesah. Entah sampai kapan....
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar