..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Rabu, 05 Februari 2025

PENDEKAR PULAU NERAKA EPISODE SENGKETA SEPASANG PENDEKAR

Sengketa Sepasang Pendekar

 

SENGKETA SEPASANG 
PENDEKAR 
oleh Teguh Suprianto 
Cetakan pertama 
Penerbit Cintamedia, Jakarta 
Hak cipta pada Penerbit 
Dilarang mengcopy atau memperbanyak 
sebagian atau seluruh isi buku ini 
tanpa izin tertulis dari penerbit 
Teguh Suprianto 
Serial Pendekar Rajawali Sakti 
dalam episode : 
Sengketa Sepasang Pendekar 
128 hal ; 12 x 18 cm

SATU

Angin bertiup begitu kencang menyebarkan udara 
dingin yang menusuk hingga ke tulang. Malam ini 
langit begitu pekat sekali, tanpa terlihat setitik pun 
cahaya bintang maupun rembulan. Malam yang 
membuat semua orang di Desa Harugating tidak ada 
yang mau keluar dari dalam rumahnya. Membuat 
desa yang cukup besar dan padat penduduknya itu 
jadi sunyi senyap, bagaikan sebuah desa mati yang 
ditinggalkan penghuninya. Hanya kerlip cahaya lampu 
pelita di tiap beranda depan rumah saja, yang 
menandakan desa itu masih berpenduduk. 
Dalam kesunyian yang begitu mencekam, terlihat 
seseorang berjalan perlahan-lahan memasuki Desa 
Harugaling. Sulit untuk mengenali wajahnya. Karena 
dia mengenakan tudung dari bambu yang sudah 
usang dan cukup besar hingga menutupi hampir 
seluruh wajahnya. Hanya pada bagian bibir dan dagu 
saja yang terlihat. 
Pakaian yang dikenakan cukup ketat, berwarna 
hitam, hingga membuatnya hampir tersamar di dalam 
kegelapan malam yang sangat pekat ini. Sebatang 
tongkat dari bambu berwarna kuning, diayun-ayunkan 
di tangan kanannya. Sesekali dia mengecutkan 
tongkatnya ke samping seperti ada sesuatu yang 
mengganggu langkah kakinya dari samping 
kanannya. Dan setelah dia berada cukup dalam di 
Desa Harugaling ini, ayunan langkah kakinya terhenti. 
Beberapa saat dia berdiri tegak dengan kepala sedikit

terangkat. Hingga terlihat sebentuk hidung yang kecil, 
namun sangat indah mencuat ke atas. 
“Hm....” 
Sedikit dia menggumam kecil sambil meng-
gerakkan kepalanya ke kiri dan kanan, seakan dia 
hendak merayapi sekitarnya dari balik tudung bambu 
yang menutupi hampir seluruh wajahnya ini. Tidak 
seorang pun yang terlihat di sekitarnya. Hanya rumah-
rumah saja yang terdiam membisu. 
“Sunyi sekali desa ini. Seperti tengah terjadi 
sesuatu...,” gumamnya lagi dengan suara perlahan 
menduga-duga. 
Beberapa saat dia masih terdiam memandangi 
sekelilingnya yang sunyi seperti tidak berpenghuni ini. 
Dari suaranya, sudah bisa dipastikan kalau dia 
seorang laki-laki. Dan ketika kakinya baru saja 
terayun hendak melangkah, tiba-tiba saja telinganya 
yang tajam mendengar suatu suara. Dan belum juga 
dia bisa mengetahui suara apa yang didengarnya 
barusan, mendadak saja... 
Wusss! 
“Heh...?! Hup!” 
Untung dia cepat melompat ke atas, hingga 
terjangan sebatang anak panah yang meluruk cepat 
bagai kilat itu bisa dihindari. Dan anak panah itu 
lewat di bawah telapak kakinya, langsung menancap 
pada daun pintu sebuah rumah yang berada tepat di 
belakang laki-laki berhidung bambu ini. 
Dengan gerakan yang sangat indah sekali, dia 
menjejakkan kakinya di tanah tanpa menimbulkan 
suara sedikit pun juga. Tepat pada saat itu, terlihat 
sekitar sepuluh orang laki-laki berusia muda 
berlompatan dari balik dinding dan atap rumah yang 
ada di sekitar laki-laki berhidung bambu itu berada.

Sebentar saja dia sudah terkepung tidak lebih dari 
sepuluh orang yang semuanya sudah menghunus 
golok di tangan kanan. 
Belum juga lama laki-laki berhidung bambu itu 
terkurung, muncul seorang laki-laki berusia lanjut, 
mengenakan baju jubah putih panjang yang bersih, 
dengan sebatang tongkat kayu tergenggam di tangan 
kanan menyangga tubuhnya yang sudah kelihatan 
agak membungkuk. 
Walaupun usianya sudah lanjut dan rambutnya 
sudah memutih semua, tapi dari caranya berjalan 
begitu ringan, sudah bisa dipastikan kalau orang tua 
ini memiliki kepandaian yang tidak bisa dipandang 
dengan sebelah bola mata. Dia baru berhenti 
melangkah setelah jaraknya tinggal sekitar lima 
langkah lagi di depan laki-laki berhidung bambu ini. 
“Siapa kau, Kisanak? Ada perlu apa kau datang 
malam-malam ke desa ini?” tegur orang tua berjubah 
putih itu langsung. 
“Aku hanya seorang pengembara yang kebetulan 
lewat di desa ini, Ki,” sahut laki-laki bertudung bambu 
itu kalem. “Apakah kedatanganku mengganggu 
ketenangan desamu ini...?” 
“Lalu apa tujuanmu datang ke sini?” tanya orang 
tua berjubah putih itu lagi, masih dengan nada suara 
yang dingin dan datar menggetarkan hati. 
“Hanya sekadar singgah.” 
“Anak muda, bukannya aku tidak menginginkan 
kau berada di desa ini. Tapi untuk kebaikanmu 
sendiri, sebaiknya kau segera tinggalkan desa ini 
sekarang juga,” kata orang tua berjubah putih itu 
tegas. 
Kalau saja tidak terlindung oleh tudung bambu 
yang berukuran cukup lebar itu, pasti sudah terlihat

kening laki-laki bertudung bambu ini berkemyit 
mendengar kata-kata yang tegas dan jelas bernada 
mengusir itu. Dan untuk beberapa saat mereka 
semua jadi terdiam. Sementara orang tua berjubah 
putih yang tampaknya mempunyai pengaruh di Desa 
Harugaling ini memandangi orang bertudung itu 
dengan sinar mata yang sangat tajam menusuk. Tapi 
yang dipandangi seperti tidak peduli. Seakan-akan 
tidak ada sedikit pun bahaya mengancam di 
sekitarnya. Padahal semua orang yang mengepung-
nya ini sudah siap menyerang dengan senjata 
terhunus di tangan masing-masing. 
“Kenapa kau diam...? Cepatlah kau tinggalkan 
desa ini sebelum terjadi sesuatu yang merugikan 
pada dirimu!” sentak orang tua berjubah putih agak 
lantang suaranya. 
“Tidak mungkin aku kembali lagi, Ki. Aku harus 
melalui desa ini,” sahut orang bertudung bambu itu 
mantap. 
“Hhh! Bandel juga kau rupanya. Apa yang kau 
andalkan, heh...?” 
“Hm....” 
Orang bertudung bambu itu hanya menggumam 
saja sedikit Jelas dia sudah tahu kalau laki-laki tua 
berjubah putih ini sudah gusar dengan sikapnya yang 
tetap tidak mau meninggalkan Desa Harugaling ini. 
Sementara anak-anak muda yang mengepungnya 
sudah kelihatan tidak sabaran lagi. 
“Maaf, aku harus melanjutkan perjalananku,” ucap 
orang bertudung bambu itu. 
Dan belum lagi kata-katanya menghilang dari 
pendengaran, dia sudah melesat dengan cepat sekali 
ke atas. Tapi pada saat yang bersamaan, laki-laki tua 
berjubah putih sudah melesat mengejarnya sambil

membabatkan tongkat kayunya dengan kecepatan 
bagai kilat, disertai pengerahan tenaga dalam yang 
tinggi. 
Wut! 
“Upts...!” 
Kibasan tongkat kayu itu berhasil dihindari dengan 
memutar tubuhnya ke belakang. Dan orang berhidung 
bambu ini kembali menjejakkan kakinya di tanah. 
Tepat bersamaan dengan mendaratnya orang tua 
berjubah putih. 
*** 
Perlahan orang bertudung bambu melepaskan 
tudung yang menutupi hampir seluruh wajahnya itu. 
Dan dalam siraman cahaya pelita yang redup dari 
rumah penduduk di sekitarnya, terlihat seraut wajah 
tampan, dengan kumis tipis menghiasi bawah 
hidungnya. Dia langsung menatap orang tua berjubah 
putih di depannya dengan sinar mata yang teramat 
tajam sekali. Seakan dia tidak senang perjalanannya 
terhambat seperti ini. 
“Ki, aku Klabang Ireng tidak suka diperlakukan 
seperti ini. Aku hanya sekadar lewat, tapi kenapa kau 
seperti memusuhiku...? Apa maumu sebenarnya, 
Ki...?” terdengar agak lantang suara anak muda yang 
mengenalkan dirinya bernama Klabang Ireng ini. 
“Kalau kau mau menuruti kata-kataku, kau tidak 
akan mendapatkan kesulitan di sini. Anak Muda. 
Siapa pun kau, desa ini tertutup bagi pendatang. 
Walaupun hanya sekadar lewat,” sahut orang tua 
berjubah putih itu tegas. 
“Kau kepala desa ini?” tanya Klabang Ireng agak 
sinis nada suaranya.

“Benar. Aku Ki Jamparut, Kepala Desa Harugaling 
ini. Dan aku yang berkuasa di desa ini. Jadi kau tidak 
perlu membuat ribut di sini,” sahut orang tua 
berjubah putih yang ternyata Kepala Desa Ha-
rugaling, dan bernama Ki Jamparut ini tegas. 
“Kenapa kau tutup desa ini?” tanya Klabang Ireng 
ingin tahu. 
“Semua orang yang datang ke sini hanya membuat 
susah penduduk saja. Dan aku berhak untuk 
menutup desa ini dari pendatang mana pun juga, 
termasuk kau...!” 
“Baik, aku akan pergi dari sini. Tapi aku tidak mau 
kembali ke jalan semula,” kata Klabang Ireng tegas. 
“Kau tidak bisa melewati desa ini sebelum 
melangkahi mayatku, Anak Muda!” 
“Hm....” 
Lagi-lagi Klabang Ireng menggumam perlahan. 
Jelas sekali dari raut wajahnya kalau dia sudah tidak 
sabar lagi meladeni sikap Kepala Desa Harugaling ini. 
Dan gerahamnya sudah bergemeletuk menahan 
kegeraman. Sementara Ki Jamparut sendiri sudah 
memberikan isyarat pada anak-anak muda di 
sekelilingnya untuk siap menerima perintah. 
“Maaf, aku tidak punya waktu berdebat 
denganmu, Ki,” ujar Klabang Ireng dingin. 
Dan setelah dia berkata begitu, langsung saja dia 
melesat dengan cepat, berusaha melewati hadangan 
Ki Jamparut di depannya. Tapi pada saat yang 
bersamaan, Ki Jamparut sudah menggeser kakinya 
sedikit ke kiri sambil mengecutkan tongkat kayunya 
ke depan, dengan disertai pengerahan tenaga dalam 
yang tinggi. 
Bet! 
“Haiiit..!”

Tanpa diduga sama sekali, Klabang Ireng 
melentingkan tubuhnya ke atas, hingga tongkat Ki 
Jamparut hanya lewat di bawah kedua telapak 
kakinya. Dan langsung dia meluruk deras melewati 
kepala orang tua itu. 
“Hadang dia...!” seru Ki Jamparut memberi 
perintah. 
“Hiyaaa...!” 
“Yeaaah...!” 
“Setan! Hih...!” 
Klabang Ireng benar-benar sudah tidak dapat lagi 
mengendalikan dirinya. Begitu dua orang anak muda 
menyerangnya dengan berlompatan sambil 
mengebutkan goloknya, dengan cepat sekali dia 
memutar tubuhnya di udara, lalu bagaikan kilat 
tangan kanannya mengibas dua kali. 
Dan saat itu juga.... 
Siap! 
Wusss! 
“Akh!” 
“Aaa...!” 
Dua kali jeritan seketika terdengar bersamaan 
dengan terlihatnya dua buah benda berwarna hitam 
pekat yang langsung menghantam dada dua orang 
pemuda yang menyerang Klabang Ireng. Dan kedua 
anak muda itu langsung terperai ke belakang. Lalu 
keras sekali tubuh mereka jatuh menghantam tanah. 
Tampak dada mereka berlubang seperti tertembus 
senjata hingga ke punggungnya. Dan darah seketika 
memuncrat keluar dengan deras. 
Hanya beberapa saat saja dua orang anak muda 
itu menggeliat sambil mengerang meregang nyawa. 
Kemudian mengejang kaku, lalu diam tidak bergerak-
gerak lagi. Mati! Seketika nyawa mereka lenyap dari

tubuhnya. 
“Keparat..! Kau bunuh muridku! Kau harus 
mampus, Setan Keparat! Hiyaaat.!” 
Sambil membentak nyaring, Ki Jamparut langsung 
saja melompat dengan kecepatan bagai kilat 
menyerang anak muda yang kini sudah melepaskan 
tudung bambunya itu. Dan tepat di saat Ki Jamparut 
mengebutkan tongkatnya ke arah kepala, Klabang 
Ireng mengibaskan tangan kirinya yang memegang 
tudung bambu. 
Plak! 
“Ikh...?!” 
Ki Jamparut jadi terpekik kaget, begitu tongkatnya 
membentur tudung bambu anak muda itu. Dia 
merasakan seperti tersengat ribuan lebah berbisa 
tangannya. Cepat dia melompat ke belakang sambil 
memutar tubuhnya beberapa kali. Dan begitu manis 
sekali kedua kakinya kembali menjejak tanah. 
Sementara Klabang Ireng berdiri tegak sambil 
menaruh tudung bambunya di dada, dengan tangan 
kiri memeganginya. 
“Kau punya isi juga rupanya, heh...? Bagus! Aku 
tidak akan sungkan-sungkan lagi menghadapimu!” 
desis Ki Jamparut dingin menggetarkan. 
“Hm....” 
Tapi Klabang Ireng hanya menggumam saja sedikit 
Dan dia tetap berdiri tegak seperti menanti serangan 
Kepala Desa Harugaling itu datang. Walaupun 
perhatiannya tertuju pada Ki Jamparut, tapi dia juga 
memperhatikan orang-orang yang ada di sekitarnya. 
Dan tidak jauh di depannya, menggeletak dua orang 
yang berlubang dadanya, terkena senjata rahasia 
yang dilepaskan Klabang Ireng tadi. 
“Kau harus bayar nyawa muridku, Setan Keparat!

Hiyaaat..!” 
Sambil berteriak lantang menggelepar, Ki 
Jamparut melompat dengan kecepatan bagai kilat 
menerjang Klabang Ireng. Dan tongkatnya langsung 
dikebutkan beberapa kali, mencecar bagian-bagian 
tubuh lawannya yang mematikan. 
“Hup! Yeaaah...!” 
Tapi memang Klabang Ireng bukanlah anak muda 
sembarangan. Walaupun dia diserang begitu gencar 
dan dengan kecepatan yang tinggi, tapi sedikit pun 
tidak tersirat kegentaran di wajahnya. Meskipun dia 
menyadari dirinya sudah terkepung dengan rapat 
Klabang Ireng berjumpalitan menghindari setiap 
serangan yang dilancarkan Ki Jamparut. 
*** 
Beberapa kali sabetan tongkat Ki Jamparut 
berhasil ditangkis Klabang Ireng dengan tudung 
bambunya. Dan setiap kali terjadi benturan, Ki 
Jamparut selalu merasakan tangannya bergetar. Dan 
tulang-tulangnya jadi terasa nyeri seperti mau rontok. 
Tapi Ki Jamparut tidak menghiraukan lagi. Dia terus 
menyerang dengan jurus-jurus tingkat tinggi yang 
begitu cepat dan sangat berbahaya. 
Dan dalam waktu tidak beberapa lama saja, Ki 
Jamparut sudah menghabiskan lebih dari lima jurus. 
Tapi belum satu pun serangannya yang berhasil 
masuk ke sasaran. Bahkan sudah beberapa kali pula 
dia harus berjumpalitan menghindari serangan 
balasan yang dilancarkan lawannya ini. Walaupun 
senjatanya hanya berupa tudung bambu, tapi 
Klabang Ireng sama sekali tidak kelihatan terdesak. 
Bahkan setelah beberapa jurus lagi berlalu, terlihat Ki

Jamparut tidak sanggup lagi melakukan serangan. 
Bahkan kini dia harus berjumpalitan menghindari 
setiap serangan yang dilancarkan Klabang Ireng. 
“Hiyaaa...!” 
Tiba-tiba saja Klabang Ireng berteriak keras 
menggelegar. Dan pada saat itu juga dia 
melentingkan tubuhnya sedikit ke atas. Lalu bagaikan 
kilat kaki kanannya menghentak ke depan. Begitu 
cepatnya serangan yang dilancarkan Klabang Ireng, 
sehingga Ki Jamparut tidak dapat lagi menghidar. 
Terlebih tubuhnya dalam keadaan miring, baru saja 
menghindari serangan pukulan lawannya ini. Dan.... 
Diegkh! 
“Akh...!” 
Ki Jamparut jadi menjerit, begitu terasakan 
tendangan yang dilancarkan Klabang Ireng tepat 
menghantam dadanya. Dan membuatnya terpental 
sejauh dua batang tombak ke belakang. 
Bruk! 
Keras sekali tubuh orang tua itu jatuh 
menghantam tanah. Sementara Klabang Ireng sudah 
kembali berdiri tegak pada kedua kakinya yang 
kokoh. 
“Seraaang...! Hoek!” 
Ki Jamparut memutahkan darah kental agak 
kehitaman begitu berteriak memberi perintah pada 
murid-muridnya yang berjumlah cukup banyak ini. 
“Hiyaaa...!” 
“Yeaaah...!” 
Tanpa menunggu perintah dua kali, anak-anak 
muda yang memang sejak tadi sudah tidak sabaran 
itu langsung saja berlompatan menyerang Klabang 
Ireng dari segala arah. Namun Klabang Ireng memang 
bukanlah orang sembarangan. Menghadapi

keroyokan berjumlah banyak seperti ini, dia langsung 
melentingkan tubuhnya ke atas. Dan dengan 
kecepatan bagai kilat, dia melesat berusaha untuk 
meninggalkan lawan-lawannya ini. 
Tapi belum juga keinginannya terlaksana, Ki 
Jamparut sudah melemparkan beberapa batu kerikil 
yang dipungutnya dari tanah, disertai dengan 
pengerahan tenaga dalam yang sudah tinggi 
tingkatannya. 
“Hih!” 
“Haiiit..!” 
Klabang Ireng terpaksa harus menggagalkan 
keinginannya, cepat dia mengecutkan tudung 
bambunya beberapa kali menangkis lemparan batu-
batu kerikil yang meluruk begitu deras sekali bagai 
anak panah mengincar tubuhnya. 
“Hiyaaa...!” 
“Hiyaaa...!” 
Baru saja Klabang Ireng berhasil menangkis 
semua batu kerikil yang dilontarkan Ki Jamparut, dua 
orang anak muda yang sejak tadi mengepungnya 
berlompatan dengan cepat sekali sambil mem-
babatkan goloknya bergantian. 
“Hup!” 
Klabang Ireng cepat meliukkan tubuhnya, meng-
hindari setiap serangan yang datang mengancamnya. 
Dan begitu berhasil terlepas dari sambaran golok 
kedua lawannya, dia langsung saja memutar 
tubuhnya sambil memberikan dua kali pukulan yang 
beruntun dengan kecepatan bagai kilat 
Begitu cepatnya serangan balasan yang diberikan 
Klabang Ireng, hingga membuat dua orang anak 
murid Ki Jamparut itu tidak dapat lagi meng-
hindarinya. Dan pukulan yang dilepaskan Klabang

Ireng tepat menghantam dada mereka, hingga 
membuatnya terpental cukup jauh ke belakang. 
Dan hanya sebentar saja mereka menggeliat 
Kemudian diam tidak bergerak-gerak lagi dengan 
dada menghitam hangus seperti terbakar. Ki 
Jamparut jadi tidak dapat lagi menahan 
kemarahannya, melihat empat orang muridnya sudah 
menggeletak tidak bernyawa lagi hanya dalam waktu 
begitu singkat 
“Hup! Hiyaaat..!” 
Sambil berteriak nyaring, Ki Jamparut kembali 
melesat dengan kecepatan yang sangat tinggi sekali 
menerjang ke arah Klabang Ireng. Dan kembali dia 
mengecutkan tongkatnya secara beruntun. Tapi 
gerakan yang dilakukan Klabang Ireng memang 
sungguh luar biasa sekali. Tubuhnya seperti belut, 
begitu sulit untuk dijamah. Walaupun begitu, dia agak 
kewalahan juga menghadapi serangan Ki Jamparut 
kali ini, yang dibantu oleh murid-muridnya. Dan 
serangan yang datang kali ini begitu gencar sekali, 
datang dari segala penjuru mata angin. Membuat 
Klabang Ireng terpaksa harus berjumpalitan, meliuk-
liukkan tubuhnya menghindari setiap serangan yang 
datang tanpa dapat lagi memberikan serangan 
balasan yang berarti. 
“Phuih! Bisa terlambat nanti kalau mengurusi 
mereka terus. Aku harus bisa pergi dari sini, huh...!” 
Klabang Ireng jadi mendengus geram sendiri di 
dalam hati. Dan dia terus mencari celah untuk bisa 
meloloskan diri. Baru saja dia berpikir begitu, 
kesempatan langsung datang. Klabang Ireng tidak 
menyia-nyiakan begitu saja. 
“Hup! Yeaaah...!” 
Sambil berteriak keras menggelegar, dia langsung

melesat cepat menerobos daerah yang dianggapnya 
lemah. Saat itu juga tudung bambunya dikibaskan. 
Wut! 
Dua orang murid Ki Jamparut terpaksa harus 
berlompatan ke belakang, menghindari terjangan 
Klabang Ireng. Dan ini memberikan kesempatan lebih 
besar lagi bagi Klabang Ireng untuk bisa lolos dari 
keadaan yang tidak menguntungkan ini. Tanpa 
membuang-buang waktu lagi, dia cepat melesat 
dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya 
yang sudah tinggi tingkatannya. 
“Hiyaaa...!” 
'Tahan dia...!” seru Ki Jamparut begitu melihat 
lawannya berhasil membuka kepungan. 
Tapi teriakan perintah Ki Jamparut sudah 
terlambat sedikit Klabang Ireng sudah berlari dengan 
kecepatan yang sangat tinggi sekali, menghindari 
kepungan anak-anak muda Desa Harugaling. Dan 
kesempatan ini tidak dibuang begitu saja. Klabang 
Ireng terus berlari dengan kecepatan seperti angin. 
Hingga dalam waktu sebentar saja bayangan 
tubuhnya sudah lenyap tidak terlihat lagi. Ki Jamparut 
jadi kesal melihat lawannya lolos begitu saja. Dia 
menghentakkan tongkatnya ke tanah. 
“Kalian urus yang mati. Aku akan mengejar iblis 
keparat itu!” perintah Ki Jamparut pada anak-anak 
muda muridnya itu. 
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Ki Jamparut 
langsung melesat, berlari cepat dengan mengerahkan 
ilmu meringkan tubuhnya yang sudah tinggi 
tingkatannya, hingga dalam sekejapan mata saja 
bayangan tubuhnya sudah lenyap dari pandangan. 
Sementara murid-muridnya membereskan teman-
temannya yang tewas.

DUA

Klabang Ireng terus berlari cepat dengan 
mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya yang 
sudah tinggi tingkatannya, menembus malam yang 
begitu pekat, tanpa sedikit pun tersiram cahaya 
bintang maupun bulan. Dia bani berhenti berlari 
setelah dirasakan cukup jauh meninggalkan Desa 
Harugaling. Perlahan dia memutar tubuhnya berbalik, 
memandang ke arah desa yang masih kelihatan sunyi 
seperti tidak berpenghuni. Hanya kerlip lampu pelita 
saja yang menandakan desa itu masih dihuni 
penududuknya. 
Klabang Ireng baru menyadari kalau dia sekarang 
berada di lereng sebuah bukit yang cukup lebat 
ditumbuhi pepohonan. Dan udara di lereng bukit ini 
terasa begitu dingin, membuat tubuhnya bergidik 
menggigil. Klabang Ireng memakai lagi tudung 
bambunya. Hingga wajahnya tampak kembali tertutup 
tudung bambu yang cukup lebar ini. Sebentar dia 
mengedarkan pandangannya berkeliling. 
“Hm..., kalau tidak salah ini yang dinamakan Bukit 
Sampan,” gumam Klabang Ireng perlahan, bicara 
pada diri sendiri. 
Kembali dia mengedarkan pandangannya 
berkeliling. Tidak ada yang bisa dilihat, di dalam 
kegelapan yang teramat pekat ini. Hanya pepohonan 
saja yang terlihat menghitam. Tapi dari lereng ini, dia 
bisa melihat jelas bentuk bukit yang memang mirip 
sekali dengan sebuah sampan terbalik. Tidak salah

kalau bukit ini dinamakan Bukit Sampan. 
“Aku sudah dekat. Mudah-mudahan saja tidak ada 
lagi rintangan yang menghalangiku,” gumam Klabang 
Ireng lagi. 
Dia kembali memutar tubuhnya, dan terus 
melangkah mendaki lereng bukit ini. Tidak terlalu sulit 
baginya untuk berjalan terus di malam hari. Walau 
sedikit pun tidak ada penerangan yang menuntun 
langkahnya. Klabang Ireng terus berjalan menembus 
pepohonan yang semakin dirasakan lebat 
“Heh...?!” 
Tiba-tiba saja Klabang Ireng menghentikan 
langkahnya dengan terkejut. Dari balik tudung 
bambunya, dia melihat seberkas cahaya seperti api di 
depannya. Sesaat Klabang Ireng termenung diam. 
Kemudian dia kembali mengayunkan kakinya, 
melangkah dengan mengerahkan ilmu meringankan 
tubuh yang sudah tinggi tingkatannya. Hingga sedikit 
pun tidak terdengar suara saat kakinya terayun 
melangkah. 
“Hm, siapa dia...?” gumam Klabang Ireng, 
bertanya-tanya di dalam hati begitu dia melihat 
seseorang duduk di depan api unggun mem-
belakanginya. 
Klabang Ireng mengamat-amati orang itu. 
Keningnya jadi berkerut dengan kelopak mata 
menyipit. Sulit untuk bisa mengenalinya. Orang itu 
membelakangi, sehingga sukar untuk bisa melihat 
wajahnya. Tapi dia yakin kalau dilihat dari bentuk 
tubuhnya yang ramping, orang itu pasti wanita. 
“Akan kucoba menegurnya. Mudah-mudahan saja 
dia tidak memusuhiku seperti yang lainnya,” gumam 
Klabang Ireng di dalam hati lagi. 
Setelah mengambil keputusan, Klabang Ireng

melangkah keluar dari balik pohon tempatnya 
bersembunyi tadi. Sengaja dia tidak mempergunakan 
ilmu meringankan tubuh. Sehingga baru saja dia 
berjalan beberapa langkah, wanita yang duduk di 
depan api unggun itu langsung berpaling. 
Tampaknya dia terkejut begitu melihat ada orang 
mendatanginya. Cepat dia berdiri sambil memutar 
tubuhnya berbalik. Dan tangan kirinya langsung 
menggenggam gagang pedang yang berada di 
pinggang. 
Dari balik tudung bambunya yang lebar, Klabang 
Ireng agak tercengang juga melihat raut wajah wanita 
itu. Sungguh dia tidak menduga kalau wanita itu 
begitu cantik bagai bidadari yang baru turun di 
kayangan. Hingga membuatnya tertegun beberapa 
saat, memandangi wajah yang begitu cantik. 
“Maaf, kalau kedatanganku mengejutkanmu, 
Nisanak,” ucap Klabang Ireng dengan nada suara 
yang dibuat sopan. 
“Siapa kau?” bentak gadis yang mengenakan baju 
warna hijau muda cukup ketat itu. 
“Aku Klabang Ireng,” sahut Klabang Ireng 
memperkenalkan diri, sambil melepaskan tudung 
bambu yang menutupi hampir seluruh wajahnya ini. 
Dan dia melangkah beberapa tindak ke depan, 
hingga jaraknya dengan gadis itu tinggal sekitar enam 
langkah lagi. Senyumnya terkembang begitu manis 
sekali. Tapi gadis cantik itu malah memasang wajah 
angker. Dia mendelik, seakan tidak menyukai 
senyuman ramah yang diberikan Klabang Ireng. 
“Mau apa kau datang ke Bukit Sampan ini?” tanya 
gadis itu lagi. 
“Nisanak, sebelum aku jawab pertanyaanmu, 
boleh aku tahu siapa namamu...?” ujar Klabang Ireng

dengan sikap yang ramah dan senyuman manis 
terkembang di bibir. 
“Rara Sawit,” sahut gadis itu memperkenalkan 
namanya. 
“Nama yang cantik, secantik orangnya,” puji 
Klabang Ireng tulus. 
“Jangan memujiku, Kisanak,” dengus Rara Sawit 
ketus. “Sekarang jawab pertanyaanku. Mau apa kau 
datang ke Bukit Sampan ini?” 
“Hanya sekadar lewat,” sahut Klabang Ireng 
kalem. 
“Hhh...! 
Rara Sawit jadi tersenyum sinis mendengar 
jawaban yang tidak diinginkannya itu. Dia menggeser 
kakinya sedikit ke kanan, sehingga cahaya api 
unggun yang dibuatnya bisa menerangi wajah 
Klabang Ireng yang kini tidak tertutup tudung 
bambunya. Wajah tampan itu sempat juga membuat 
Rara Sawit jadi agak tertegun. Tapi dia cepat bisa 
menguasai diri. Tidak ingin langsung terpikat dengan 
ketampanan laki-laki ini. 
“Kau pasti datang ke sini sama seperti yang 
lainnya. Kau juga mau mengakui pewaris Pedang 
Dewa Naga, heh...?” terasa begitu sinis sekali nada 
suara Rara Sawit. 
*** 
Klabang Ireng tampak terkejut setengah mati, 
ketika Rara Sawit menyebut Pedang Dewa Naga. 
Begitu terkejutnya, sampai dia terlompat ke belakang 
dua langkah. Sedangkan Rara Sawit semakin sinis 
senyumannya. Seakan dia begitu yakin kalau 
dugaannya tidak meleset sedikit pun juga.

“Nisanak, siapa kau sebenarnya? Dari mana kau 
tahu tentang Pedang Dewa Naga...?” tanya Klabang 
Ireng masih dengan keterkejutan yang amat sangat. 
“Hhh! Sudah kuduga, kau datang ke bukit ini juga 
dengan maksud yang sama seperti yang lainnya,” 
dengus Rara Sawit semakin sinis, tanpa menjawab 
sedikit pun pertanyaan yang dilontarkan Klabang 
Ireng. 
Sementara Klabang Ireng yang sudah bisa 
menguasai rasa keterkejutannya tadi, langsung ber-
kerenyut keningnya mendengar kata-kata yang begitu 
sinis dari gadis cantik ini. Seakan dia tidak percaya 
dengan pendengarannya sendiri. Seorang gadis yang 
begitu cantik bagai bidadari seperti ini bisa 
melontarkan kata-kata begitu sinis dan tidak sedap 
didengar telinga. 
Tapi bukan kesinisan gadis itu yang membuat 
Klabang Ireng jadi terpaku. Sungguh dia tidak 
mengetahui kalau kabar tentang Pedang Dewa Naga 
sudah tersebar begitu luas. Bahkan selama dalam 
perjalanannya ke Bukit Sampan ini, sudah beberapa 
kali dia terpaksa harus bertarung dengan orang-orang 
yang mencoba mengurangi persaingan dalam 
memperebutkan Pedang Dewa Naga. 
Klabang Ireng sendiri tidak tahu, dari mana orang-
orang persilatan itu bisa mengetahui tentang Pedang 
Dewa Naga yang sebenarnya memang sedang 
dicarinya. Dan sekarang, dia harus berhadapan 
dengan seorang gadis cantik yang kelihatannya sama 
sekali tidak menunjukkan rasa persahabatan dan 
keramah-tamahannya. Klabang Ireng merasa kalau 
dia tidak mungkin bisa mengajak damai gadis ini, 
kalau tahu dia sendiri sebenarnya memang sedang 
mencari pedang pusaka itu. Tapi keterkejutan dan

pertanyaan tadi, sudah membuat yakin kalau Klabang 
Ireng juga sedang mencari Pedang Dewa Naga. 
“Dengar, Kisanak. Kalau kau menginginkan 
Pedang Dewa Naga, langkahi dulu mayatku,” kata 
Rara Sawit tegas. 
Namun Klabang Ireng hanya diam saja, 
memandangi gadis itu dengan sinar mata yang cukup 
tajam. Seakan dia tengah mengukur sampai di mana 
tingkat kepandaian yang dimiliki gadis cantik itu. 
“Kenapa kau diam, heh...? Ayo, majulah kalau kau 
memang ingin pedang itu!” bentak Rara Sawit garang. 
“Aku tidak tahu siapa kau, Nisanak. Dan aku tidak 
pernah ada urusan denganmu. Sebaiknya tidak perlu 
di antara kita saling menumpahkan darah,” kata 
Klabang Ireng mencoba untuk mendinginkan suasana 
yang sudah terasa menghangat ini. 
“Phuih! Kau takut, heh...?” ejek Rara Sawit 
mencibir. 
“Aku bukannya takut, tapi enggan berselisih 
dengan wanita,” sahut Klabang Ireng kalem. 
“Keparat..! Kau merendahkan aku, heh...?” geram 
Rara Sawit langsung memuncak amarahnya. 
Sret! 
Cring...! 
Tanpa menunggu lagi, Rara Sawit langsung saja 
mencabut pedangnya yang tergantung di pinggang. 
Saat itu juga kedua bola mata Klabang Ireng jadi 
terbeliak lebar, melihat pedang yang sudah 
tergenggam di tangan gadis itu. Sebuah pedang yang 
berkilatan, memancarkan cahaya putih keperakan. 
Dan dari ujung pedang itu, mengepul asap tipis yang 
hampir tidak terlihat dengan pandangan mata biasa. 
“Nisanak, siapa kau sebenarnya?” tanya Klabang 
Ireng.

“Aku Rara Sawit, murid tunggal Eyang Sangga 
Langit,” sahut Rara Sawit agak lantang suaranya. 
“Hm..., jadi kau murid pembunuh keparat itu 
rupanya,” desis Klabang Ireng jadi dingin suaranya. 
“Setan! Berani kau menghina guruku, ya...? Kau 
harus tebus dengan nyawamu! Hiyaaat..!” 
Rara Sawit tidak dapat lagi menahan 
kemarahannya, begitu telinganya mendengar nama 
gurunya disebut sebagai pembunuh keparat. Dan 
tanpa menghiraukan lagi siapa pemuda itu, Rara 
Sawit langsung melompat menerjang sambil berteriak 
nyaring. 
Bet! 
“Upths!” 
Klabang Ireng cepat melompat ke belakang, begitu 
pedang yang bercahaya putih keperakan itu 
berkelebat begitu cepat sekali bagai kilat. Dan hampir 
saja ujung pedang itu merobek tenggorokannya, 
kalau saja dia tidak cepat menarik kepalanya ke 
belakang. 
Namun belum juga Klabang Ireng bisa 
menegakkan tubuhnya kembali, Rara Sawit sudah 
memberikan satu tendangan menggeledek yang 
sangat dahsyat dengan tubuh dimiringkan ke kiri. 
“Hap!” 
Tidak ada lagi kesempatan bagi Klabang Ireng 
untuk menghindari tendangan gadis ini. Cepat dia 
mengecutkan tudung bambunya ke depan. Dan.... 
Prak! 
“Heh...?!” 
Klabang Ireng jadi terperanjat setengah mati, 
begitu melihat tudung bambunya seketika hancur 
terkena tendangan kaki kanan gadis itu. Cepat dia 
melentingkan tubuhnya ke belakang, sambil

berputaran beberapa kali. Dan manis sekali kedua 
kakinya menjejak tanah berumput yang cukup tebal 
ini. Sementara Rara Sawit sudah siap hendak 
menyerang lagi. 
“Hiyaaa...!” 
Sambil berteriak lantang menggelegar, Rara Sawit 
kembali melompat sambil memutar pedangnya 
dengan kecepatan bagai kilat. Dan Klabang Ireng 
terpaksa harus berjumpalitan menghindari serangan 
dahsyat gadis ini. Begitu cepatnya putaran pedang 
itu, hingga bentuknya lenyap dari pandanggan mata. 
Dan yang terlihat hanya kilatan-kilatan cahaya putih 
keperakan, seperti mengurung seluruh tubuh Klabang 
Ireng. 
“Hiya! Hiya! Hiyaaa...!” 
Rara Sawit semakin meningkatkan serangannya, 
setelah beberapa jurus berlalu belum juga dia bisa 
mendesak lawannya ini. Namun memang Klabang 
Ireng bukanlah lawan yang ringan bagi gadis ini. 
Walaupun tidak menggunakan senjata, Klabang Ireng 
teramat sulit untuk dikalahkan. Bahkan sedikit pun 
Rara Sawit tidak bisa mendesaknya. Bahkan sudah 
beberapa kali Klabang Ireng membuatnya jungkir 
balik, saat melancarkan serangan balasan. 
Dan dalam waktu tidak berapa lama saja, 
pertarungan itu sudah berjalan hampir sepuluh jurus. 
Tapi belum juga Rara Sawit bisa mendesak. 
Sedangkan pedangnya benar-benar sudah lenyap 
bentuknya. Dan hanya kilatan-kilatan cahaya saja 
yang terlihat berkelebat di sekitar tubuh Klabang 
Ireng yang terus berjumpalitan menghindarinya. 
“Hup! Yeaaah...!” 
Tiba-tiba saja Klabang Ireng melentingkan 
tubuhnya tinggi-tinggi ke atas. Tepat di saat Rara

Sawit membabatkan pedangnya mengarah ke kaki. 
Dan pedang yang memancarkan cahaya putih 
keperakan itu lewat sedikit saja di bawah telapak kaki 
Klabang Ireng. 
“Hap!” 
Beberapa kali Klabang Ireng berputaran di udara. 
Dan dengan cepat sekali dia meluruk ke bawah, 
dengan jari-jari tangan kanan terkembang bagai 
hendak mencengkeram batok kepala gadis cantik 
lawannya ini. 
“Haiiit...!” 
Wuk! 
Namun Rara Sawit juga bukan wanita 
sembarangan yang bisa dengan mudah dikecohkan 
begitu saja. Tepat di saat jari-jari tangan kanan 
Klabang Ireng yang terkembang kaku seperti cakar 
burung elang itu dekat, secepat kilat Rara Sawit 
mengebut-kan pedangnya ke atas kepala. 
“Upths...!” 
Cepat-cepat Klabang Ireng menarik tangannya, 
dan langsung dia memutar tubuhnya ke atas 
menghindari tebasan pedang gadis ini. Setelah 
berputaran beberapa kali di udara, Klabang Ireng 
kembali menjejakkan kakinya di tanah. Namun pada 
saat itu juga, Rara Sawit sudah memutar pedangnya 
dan langsung dibabatkan ke pinggang pemuda 
lawannya ini sambil berteriak keras menggelegar 
bagai guntur membelah angkasa. 
“Yeaaah...!” 
Wusss! 
“Hap!” 
***

Klabang Ireng terpaksa harus melompat ke 
belakang, sambil memutar tubuhnya satu kali di 
udara, menghindari serangan yang dilancarkan gadis 
cantik lawannya ini. Namun Rara Sawit tidak mau 
melepaskannya begitu saja. Baru saja Klabang Ireng 
bisa menjejakkan kakinya di tanah, Rara Sawit sudah 
kembali melancarkan serangan. 
Namun kali ini Klabang Ireng tidak mau lagi 
tanggung-tanggung menghadapi gadis ini. Begitu 
pedang yang berkilatan putih keperakan itu 
berkelebat mengarah ke tenggorokan, dengan cepat 
dia mencabut seruling hitamnya yang sejak tadi 
terselip di pinggang. Dan langsung dikebutkan untuk 
menangkis tebasan pedang gadis ini. 
Trang! 
Kilatan bunga api memijar, begitu dua benda yang 
digunakan sebagai senjata beradu keras di udara. 
Tampak mereka sama-sama berlompatan ke 
belakang, dan berputaran beberapa kali di udara 
sebelum menjejak tanah. 
“Gila, gadis ini...! Kuat sekali pengerahan tenaga 
dalamnya,” dengus Klabang Ireng dalam hati. 
Memang Klabang Ireng merasakan tangannya 
agak bergetar juga ketika suling hitamnya ber-
benturan dengan pedang Rara Sawit Tapi perasaan 
itu juga ada di dalam diri Rara Sawit. Dia juga 
merasakan tangannya jadi bergetar. Dan hampir saja 
pedangnya tadi terlepas, kalau tidak segera 
melentingkan tubuhnya berputaran ke belakang. 
Semula Rara Sawit mengira kalau hanya dia saja 
yang berbuat begitu. Tapi secara bersamaan, Klabang 
Ireng juga melentingkan tubuhnya ke belakang, untuk 
menghindari seruling hitamnya yang terlepas dari 
tangan. Mereka saling mengakui ketangguhan

masing-masing, walaupun hanya terucap di dalam 
hati. Dan untuk beberapa saat lamanya mereka 
hanya berdiri tegak saling berpandangan dengan 
sinar mata tajam. Seakan-akan mereka tengah 
mengukur tingkat kepandaian yang dimiliki masing-
masing. 
“Akan kucoba dia dengan jurus 'Kupu-kupu Menari 
Menyengat Kumbang',” gumam Rara Sawit dalam 
hati. 
Setelah mendapat pikiran begitu, Rara Sawit 
langsung mengembangkan kedua tangannya ke 
samping. Dan begitu dia mengecutkan tangan 
kanannya ke depan dengan pedang berputar cepat, 
rubuhnya langsung melesat dengan kecepatan bagai 
kilat menerjang Klabang Ireng. 
Wut! 
“Haiiit...!” 
Klabang Ireng cepat meliukkan tubuhnya, 
menghindari sambaran pedang gadis ini. Dan dia jadi 
terperangah juga, melihat pedang itu meliuk lentur 
mengejar gerakan tubuhnya. Cepat-cepat Klabang 
Ireng melompat ke belakang beberapa langkah. Tapi 
Rara Sawit tidak mau berhenti begitu saja. Dengan 
gerakan-gerakan lembut namun sangat cepat, dia 
terus mencecar pemuda berbaju serba hitam dengan 
jurus yang dinamakannya 'Kupu-kupu Menari 
Menyengat Kumbang'. 
Dan jurus ini rupanya membuat Klabang Ireng jadi 
kelabakan juga menghadapinya. Setiap gerakan yang 
dilakukan Rara Sawit memang begitu lemah dan 
lembut sekali. Bahkan terlihat seperti sedang menari. 
Tapi setiap gerakan yang dilakukannya itu 
mengandung ancaman yang tidak bisa dipandang 
dengan sebelah mata. Terlebih lagi pedangnya yang

bisa meliuk dan sukar sekali untuk diterka arah 
tujuannya. Klabang Ireng terpaksa harus 
berjumpalitan menghindari setiap serangan aneh dari 
gadis ini. Beberapa kali serangan yang dilancarkan 
Rara Sawit hampir mengenai tubuhnya. Tapi sampai 
saat ini dia masih bisa mengatasinya, walaupun 
begitu kewalahan sekali. 
Namun begitu serangan Rara Sawit sempat 
terhenti sesaat, kesempatan yang sangat sedikit ini 
tidak disia-siakan begitu saja. Klabang Ireng 
melentingkan tubuhnya ke atas, dan dengan 
kecepatan bagai kilat dia meluruk turun sambil 
melontarkan satu pukulan keras menggeledek 
dengan tangan kirinya sambil berteriak keras 
menggelegar. 
“Hiyaaa...!” 
***

TIGA

Begitu kerasnya pukulan yang dilepaskan Klabang 
Ireng, hingga menimbulkan hempasan angin yang 
begitu kuat bagai badai. Membuat Rara Sawit jadi 
terperangah sesaat. Namun dengan cepat dia 
meliukkan tubuhnya ke kanan sambil mengecutkan 
pedangnya ke atas kepala. 
Tapi tanpa diduga sama sekali, Klabang Ireng 
memutar tubuhnya sambil menghentakkan tangan 
kanannya yang memegang seruling hitam ke arah 
dada gadis ini. Begitu cepatnya hentakan tangan 
kanan pemuda berpakaian serba hitam itu, sehingga 
Rara Sawit tidak sempat lagi berkelit menghindarinya. 
Dan dia terpaksa harus menangkis kibasan seruling 
hitam itu dengan tangan kirinya tepat di depan dada. 
Plak! 
“Akh...!” 
Rara Sawit jadi terpekik merasakan sakit yang 
amat sangat pada pergelangan tangan kirinya yang 
terhantam seruling hitam Klabang Ireng. Cepat dia 
menjatuhkan diri, dan bergulingan beberapa kali di 
tanah, begitu Klabang Ireng terus mencecarnya 
dengan mengecutkan serulingnya begitu cepat 
beberapa kali. 
“Hup!” 
Begitu punya kesempatan, Rara Sawit langsung 
melompat bangkit berdiri. Tapi pada saat kedua 
kakinya baru menjejak tanah, Klabang Ireng sudah 
menyodokkan tangan kirinya ke depan. Dan membuat

Rara Sawit jadi terperangah. Cepat dia mengecutkan 
pedangnya, berusaha menghindari sodokan tangan 
kiri pemuda itu. Namun tanpa diduga sama sekali, 
tangan kiri Klabang Ireng bisa meliuk berputar seperti 
ular. Dan langsung meluruk deras ke dada yang 
membusung ini. Hingga.... 
Des! 
“Akh...!” 
Kembali Rara Sawit terpekik, begitu sodokan 
tangan kiri Klabang Ireng menghantam tepat pada 
bagian tengah dadanya. Membuat tubuhnya jadi 
terdorong ke belakang beberapa langkah. Merah 
seluruh wajah gadis itu seketika. Betapa tidak, balum 
pernah ada seorang pun laki-laki yang menyentuh 
dadanya. Tapi kini, Klabang Ireng berhasil men-
daratkan tangannya di sana. Rara Sawit jadi 
menggereng marah. 
“Keparat...!” 
Dan dia langsung mengibaskan pedangnya, mem-
buat beberapa gerakan yang begitu cepat dengan 
bibir mengeluarkan desisan aneh seperti ular. Begitu 
cepatnya gerakan pedang itu, sehingga yang terlihat 
hanya kilatan cahaya putih keperakan, disertai suara 
mencicit yang menggiriskan hati. 
“Aph! Yeaaah...!” 
Klabang Ireng terpaksa harus berjumpalitan lagi, 
menghindari setiap serangan yang dilancarkan Rara 
Sawit dengan begitu cepat dan memburu bagai badai. 
Setiap kebutan pedangnya kali ini menyebarkan hawa 
dingin yang menusuk sampai ke tulang. Ditambah lagi 
dengan udara malam yang memang sudah terasa 
begitu dingin membekukan. Membuat gerakan 
Klabang Ireng terasa jadi terhambat. Dan.... 
“Jebol dadamu! Yeaaah...!”

Sambil membantak keras menggelegar, Rara Sawit 
menghentakkan tangan kirinya tepat menghantam ke 
dada pemuda berbaju hitam pekat ini. Begitu 
cepatnya pukulan tangan kiri gadis itu, membuat 
Klabang Ireng tidak sempat lagi berkelit menghindar. 
Dan pukulan yang keras mengandung pengerahan 
tenaga dalam tinggi itu tepat menghantam dadanya 
yang kosong. 
Diegkh! 
“Akh...!” 
Klabang Ireng jadi terpekik, begitu pukulan tangan 
kiri Rara Sawit menghantam keras dadanya. 
Membuat tubuhnya jadi terpental cukup jauh ke 
belakang. Dan keras sekali punggung pemuda itu 
menghantam pohon hingga hancur berkeping-keping. 
Sementara Rara Sawit yang sudah benar-benar 
marah, tidak mau menyia-nyiakan kesempatan ini. 
Sambil berteriak keras menggelegar, gadis itu 
langsung melesat, meluruk deras dengan pedang 
terhunus ke depan. 
“Mampus kau, Setan Keparat! Hiyaaat..!” 
Begitu cepatnya gerakan yang dilakukan Rara 
Sawit, hingga membuat kedua bola mata Klabang 
Ireng terbeliak lebar, dalam keadaan diri telentang di 
antara pecahan kayu pohon yang terlanda tubuhnya 
tadi. Dan dia merasa tidak ada lagi kesempatan 
untuk bisa menyelamatkan selembar nyawanya. 
Namun begitu ujung pedang Rara Sawit hampir 
menembus tenggorokan pemuda ini, mendadak 
saja.... 
Siap! 
Trang! 
“Heh...?! Hup!”

*** 
Rara Sawit jadi tersentak kaget setengah mati, 
begitu tiba-tiba terlihat secercah kilatan putih 
keperakan berkelebat begitu cepat sekali meng-
hantam pedangnya. Cepat dia melompat berputar ke 
belakang beberapa kali. Dan dengan manis dia 
menjejakkan kakinya di tanah, sekitar dua batang 
tombak jauhnya dari Klabang Ireng yang masing 
menggeletak dengan napas tersengal, akibat 
hantaman keras bertenaga dalam tinggi di dadanya. 
“Keparat...! Siapa berani main curang denganku, 
heh...?” bentak Rara Sawit geram. 
Sunyi.... Tidak ada jawaban sedikit pun juga 
terdengar. Hanya gema suara gadis itu saja yang 
terdengar. Rara Sawit mengedarkan pandangannya 
berkeliling. Tidak seorang pun yang terlihat di 
sekitarnya. Hanya Klabang Ireng saja yang ada di 
antara pecahan kayu pohon. Pemuda itu masih meng-
geletak, berusaha mengatur jalan pernapasannya. 
Tampak perlahan Klabang Ireng mulai bisa bangkit 
duduk. Dia langsung mengambil sikap bersemadi, 
duduk bersila dengan kedua telapak tangan 
menempel erat pada kedua lututnya yang tertekuk. 
Dan kedua bola matanya terpejam, sambil mengatur 
jalan pernapasannya. Dia seperti tidak peduli pada 
Rara Sawit yang masih geram, akibat serangannya 
yang mematikan pada Klabang Ireng tadi terhalang 
sesuatu seperti cahaya putih keperakan. 
“Huh! Nyawamu tidak akan lepas dari tanganku, 
Klabang Ireng...!” desis Rara Sawit dingin. 
Tatapan matanya begitu tajam, memandang lurus 
pada Klabang Ireng yang tengah bersemadi, mencoba

menormalkan kembali jalan darah dan per-
napasannya di dada. Sementara Rara Sawit sudah 
bersiap kembali melancarkan serangan pada pemuda 
itu. 
“Mampus kau, Klabang Ireng! Hiyaaat..!” 
Sambil berteriak keras menggelegar, Rara Sawit 
melompat dengan kecepatan bagai kilat, mengerah-
kan seluruh ilmu meringankan tubuhnya. Dan 
pedangnya tertuju lurus ke dada Klabang Ireng yang 
masih tetap duduk bersila bersemadi. 
“Yeaaah...!” 
Bet! 
Namun begitu Rara Sawit mengebutkan 
pedangnya ke arah dada Klabang Ireng, kembali 
terlihat kilatan cahaya putih keperakan berkelebat 
begitu cepat sekali ke ujung pedang gadis ini. 
“Hih...!” 
Namun kali ini Rara Sawit rupanya sudah bisa 
mengetahui akan datang serangan itu. Dan dengan 
cepat sekali dia memutar pedangnya, lalu sambil 
membentak keras, dia mengebutkan pedangnya 
menghantam cahaya putih keperakan yang datang 
hendak menggagalkan serangannya pada Klabang 
Ireng. Dan.... 
Trang! 
Siap! 
Kilatan cahaya putih keperakan itu terpental balik 
ke arah semula, begitu terkena sambaran pedang 
Rara Sawit. Dan pada saat yang bersamaan, Rara 
Sawit melentingkan tubuhnya ke atas. Lalu cepat 
sekali dia menukik dengan pedang terhunjam ke arah 
ubun-ubun kepala Klabang Ireng. 
Dan pada saat ujung pedang gadis itu hampir 
menghunjam di kepala Klabang Ireng, terlihat sebuah

bayangan kuning berkelebat begitu cepat sekali bagai 
kilat, langsung meluruk deras ke arah Rara Sawit 
yang meluncur dari atas. Seketika itu juga.... 
“Hup! Yeaaah...!” 
Rara Sawit cepat melentingkan tubuhnya kembali 
ke atas, dan berputaran beberapa kali dengan 
gerakan yang begitu indah sekali. Sementara 
bayangan kuning yang datang bagaikan kilat itu lewat 
hanya sedikit saja di bawah tubuh gadis ini. 
“Hap!” 
Manis sekali Rara Sawit kembali menjejakkan 
kakinya di tanah, sekitar dua batang tombak dari 
Klabang Ireng yang masih tetap duduk bersila 
melakukan semadi. Bibir gadis itu langsung 
menyunggingkan senyuman sinis, begitu melihat 
seorang pemuda lain sudah berada tidak jauh di 
sebelah kiri Klabang Ireng. 
Seorang pemuda dengan wajah tampan, rambut 
panjang tergelung ke atas, dengan bagian bawahnya 
dibiarkan terurai melewati bahu. Tidak terlihat satu 
senjata pun tersandang di tubuhnya. Pemuda itu 
mengenakan baju dari kulit harimau, dengan dua 
buah benda bersegi enam berupa cakra putih 
keperakan menempel pada pergelangan tangan 
kanannya. Seekor monyet kecil berbulu hitam 
nangkring di pundak kanannya. 
“Akhirnya keluar juga kau, Pengacau Busuk...!” 
dengus Rara Sawit dingin menggetarkan. 
“Tidak pantas kau membunuh orang yang sudah 
tidak berdaya, Nisanak. Dan lagi, tidak ada urusannya 
kau membunuhnya,” kata pemuda itu kalem, tanpa 
menghiraukan dengusan sinis gadis cantik ini. 
“Apa pedulimu, heh...? Siapa kau sebenarnya?” 
bentak Rara Sawit sengit.

“Aku memang, tidak akan peduli, kalau kau mau 
berlaku secara ksatria, Nisanak. Tapi aku lihat kau 
ingin membunuhnya secara pengecut Dan itu 
mendorongku untuk mencegahmu berbuat begitu,” 
sahut pemuda itu tetap tenang nada suaranya. 
“Phuih! Siapa kau...?” dengus Rara Sawit semakin 
ketus. 
“Namaku Bayu,” sahut pemuda itu mem-
perkenalkan diri. 
Pemuda tampan yang mengenakan baju dari kulit 
harimau itu memang Bayu Hanggara. Dia lebih 
dikenal dengan nama julukan Pendekar Pulau 
Neraka. Seorang pendekar muda yang selalu 
menggetarkan rimba persilatan dalam setiap 
kemunculannya. Dan kali ini dia tiba-tiba muncul 
menyelamatkan nyawa Klabang Ireng dari ancaman 
maut gadis cantik di depannya ini. 
“Kenapa kau selamatkan nyawanya dariku? Apa 
kau saudaranya...?” tanya Rara Sawit lagi, masih 
dengan nada suara yang ketus. 
“Aku tidak kenal sama sekali dengannya,” sahut 
Bayu masih tetap tenang suaranya. 
“Lalu, kenapa kau menolongnya? Sebaiknya kau 
cepat menyingkir dari sini. Atau kau ingin 
menggantikan kepalanya?” 
“Tenang, Nisanak. Aku tahu apa yang membuatmu 
begitu bernafsu ingin membunuhnya. Sebaiknya 
antara kau dan dia tidak perlu saling bermusuhan. 
Apalagi sampai saling mengadu jiwa,” kata Bayu lagi, 
masih dengan nada suara yang tenang sekali. 
“Heh...?! Siapa kau sebenarnya...?” bentak Rara 
Sawit agak terkejut, mendengar kata-kata Pendekar 
Pulau Neraka itu barusan. 
“Aku bukan siapa-siapa. Tapi aku tahu apa yang

kalian semua ributkan. Aku hanya ingin mengatakan 
kalau apa yang kalian perebutkan itu tidak ada 
artinya sama sekali. Aku tahu di mana adanya Pedang 
Dewa Naga. Dan aku tahu persis siapa yang berhak 
memilikinya. Kalian sama sepertiku. Masih muda, dan 
masih jauh jangkauannya. Sebaiknya tidak perlu 
meributkan sesuatu yang bukan hak milik sendiri.” 
“Keparat..! Jangan berkhotbah di depanku! Dari 
mana kau tahu tentang Pedang Dewa Naga, hah...?” 
Bayu hanya tersenyum saja mendengar per-
tanyaan gadis cantik ini. Dia mengayunkan kakinya 
beberapa langkah ke depan, hingga jaraknya dengan 
gadis itu tinggal sekitar enam langkah lagi. 
Sementara agak jauh di belakangnya, Klabang Ireng 
sudah mulai membuka kelopak matanya. Dia 
langsung melihat Rara Sawit kini berdiri berhadapan 
dengan seorang pemuda sebaya dengannya, yang 
sama sekali tidak dikenalnya. Tapi dia langsung bisa 
menebak kalau pemuda itu yang telah menyelamat-
kan nyawanya dari ujung pdang Rara Sawit tadi. 
Klabang Ireng sengaja tidak segera bangkit berdiri, 
walaupun dirasakan seluruh aliran darah dan jalan 
pernapasannya sudah kembali normal seperti 
semula. Dia ingin tahu apa yang akan dilakukan Rara 
Sawit dan pemuda penolongnya itu. 
*** 
Sementara Klabang Ireng memperhatikan, Rara 
Sawit sudah memasukkan pedangnya kembali Ke 
dalam warangkanya yang tergantung di pinggang. 
Sedangkan Bayu tampak tersenyum melihat raut 
wajah gadis itu kini tidak lagi kelihatan garang seperti 
tadi. Bahkan tampak begitu cantik sekali, dengan

sinar mata yang bercahaya terang bagai bintang di 
langit yang kelam. Kembali Bayu melangkah 
beberapa tindak semakin dekat dengan gadis ini. Dan 
senyumnya kembali terkembang penuh rasa 
persahabatan. Entah kenapa, Rara Sawit malah 
membalasnya dengan senyum yang manis pula. Tapi 
begitu tersadar, dia cepat memasang wajah angker 
lagi. 
“Nisanak, boleh aku tahu kenapa kau mencari 
Pedang Dewa Naga...?” ujar Bayu bertanya dengan 
suara yang dibuat begitu lembut sekali. 
“Mau apa kau tahu urusanku?” Rara Sawit malah 
balik bertanya dengan nada suara masih tetap 
terdengar ketus. Walaupun raut wajahnya tidak 
segarang tadi. 
“Sepanjang perjalanan, aku banyak bertemu 
dengan mereka yang menginginkan Pedang Dewa 
Naga. Dan sekarang, aku juga bertemu denganmu 
yang hampir membunuh karena merebut pedang itu. 
Kenapa kau membahayakan nyawa sendiri hanya 
untuk sebuah benda, Nisanak...? Bukankah kau 
sendiri sudah memiliki pedang yang bagus?” 
“Aku menginginkannya untuk guruku!” sahut Rara 
Sawit masih tetap ketus suaranya. Tapi kali ini sudah 
mulai terdengar agak melunak. 
“Untuk apa?” tanya Bayu terus mendesak ingin 
tahu. 
“Guruku adalah pewaris tunggal Pedang Dewa 
Naga. Dan aku harus mendapatkannya sebelum 
orang lain. Dengan pedang itu penyakit guruku akan 
sembuh,” sahut Rara Sawit lagi. 
“Hm, sakit apa yang diderita gurumu?” tanya Bayu 
lagi. 
Rara Sawit tidak langsung menjawab. Dia seperti

keberatan menjawab pertanyaan Pendekar Pulau 
Neraka barusan. Dan dia hanya memandangi wajah 
tampan pendekar muda itu saja. Sedangkan Bayu jadi 
tersenyum. Dia tahu kalau pertanyaannya tadi tidak 
mungkin terjawab. 
“Baiklah, Nisanak. Memang tidak seharusnya aku 
terlalu banyak bertanya padamu. Tapi yang aku tahu, 
hanya ada seorang saja di dunia ini yang ternak 
mewarisi Pedang Dewa Naga,” kata Bayu diiringi 
senyuman kecil tersungging di bibir. 
“Hanya guruku pewarisnya,” sentak Rara Sawit 
cepat 
“Dusta...!” 
Tiba-tiba saja Klabang Ireng membentak keras, 
ambil melompat bangkit berdiri. Rara Sawit dan Bayu 
langsung menatap pemuda yang mengenakan baju 
warna hitam pekat itu. Klabang Ireng langsung 
melangkah menghampiri mereka, dan berdiri tidak 
lauh di sebelah kanan Pendekar Pulau Neraka. 
“Bukan gurumu pewaris Pedang Dewa Naga. Tapi 
aku.... Akulah cucu Eyang Rampayak, pembuat dan 
pemilik Pedang Dewa Naga. Aku yang berhak 
memilikinya!” kata Klabang Ireng tegas, dengan suara 
yang keras dan lantang menggelegar. 
“Enak saja kau bicara. Apa buktinya kau cucu 
Eyang Rampayak, heh...?” sentak Rara Sawit sengit. 
“Kau sendiri...? Apa buktinya gurumu yang paling 
berhak mewarisi Pedang Dewa Naga? Eyang 
Rampayak tidak punya murid seorang pun juga. Dan 
hanya punya satu putra. Dan aku anak dari putra 
Eyang Rampayak. Hanya aku cucunya. Tidak ada 
orang lain lagi yang berhak atas pedang itu...!” 
“Aku yang berhak!” bentak Rara Sawit jadi kalap 
lagi.

“Aku...!” balas Klabang Ireng tidak mau kalah. 
“Setan! Kau memang harus mampus!” 
Cring! 
Wut! 
“Cukup...!” 
Bayu langsung saja membentak, dan melompat ke 
tengah, begitu melihat mereka sudah sama-sama 
mencabut senjatanya. Entah kenapa, mereka jadi 
terdiam melihat Bayu berdiri di antara mereka berdua 
dengan tangan terentang lebar. 
“Simpan kembali senjata kalian!” bentak Bayu 
lantang. 
Rara Sawit dan Klabang Ireng saling berpandangan 
dengan tajam beberapa saat. Kemudian mereka 
menyimpan kembali senjatanya. Entah kenapa, 
mereka jadi menuruti kata-kata Pendekar Pulau 
Neraka ini. Sementara Bayu memandangi mereka 
satu persatu secara bergantian. Dan dia menurunkan 
lagi tangannya yang sudah terentang tadi. 
“Kalian masing-masing mempertahankan pen-
dapat sendiri. Baik, aku memang tidak tahu mana 
yang benar di antara kalian berdua. Dan ini harus 
dibuktikan, siapa di antara kalian yang paling berhak 
memiliki Pedang Dewa Naga. Tapi bukan dengan cara 
saling mengadu jiwa,” kata Bayu tegas. 
“Huh!” 
Rara Sawit hanya mendengus saja dengan raut 
wajah jengkel. Sementara Klabang Ireng diam 
memandangi Pendekar Pulau Neraka. 
“Aku akan buktikan, Kisanak,” selak Klabang Ireng 
tegas. 
“Dengan cara apa kau akan membuktikan...?” 
dengus Rara Sawit sinis. 
“Pedang Dewa Naga tidak akan bisa digunakan

oleh orang yang bukan satu darah dengan Eyang 
Rampayak. Dan aku akan buktikan nanti kalau sudah 
menemukan pedang itu,” sahut Klabang Ireng 
lantang. 
“Sebelum kau yang memegangnya, aku yang akan 
mendapatkannya,” desis Rara Sawit bernada 
mengejek. 
“Sudah.... Kalian tidak perlu saling bermusuhan. 
Aku tahu di mana adanya Pedang Dewa Naga. Dan 
kalau kalian ingin saling membuktikan, aku akan 
tunjukkan di mana Pedang Dewa Naga berada,” kata 
Bayu menenangkan suasana yang hangat ini. 
Rara Sawit dan Klabang Ireng saling ber-
pandangan. Kemudian mereka sama-sama me-
mandang pada Pendekar Pulau Neraka yang berada 
di tengah-tengah di antara mereka berdua. Entah 
kenapa, mereka sama-sama mengangkat bahunya. 
Seakan menyerahkan segala persoalannya pada 
Pendekar Pulau Neraka itu. 
“Bagus. Malam ini kita sama-sama bermalam di 
sini. Besok pagi kalian berdua akan kubawa ke 
tempat Pedang Dewa Naga,” kata Bayu tersenyum. 
Dan memang malam ini mereka semua bermalam 
di hutan lereng Bukit Sampan ini. Namun antara Rara 
Sawit dan Klabang Ireng, tetap saja saling membuka 
garis peperangan. Tidak ada seorang pun di antara 
mereka berdua yang memulai untuk membuka suara. 
Sedangkan Bayu hanya bisa memperhatikan sambil 
menghangatkan tubuh di dekat api unggun, 
menunggu sampai pagi datang. 
***
EMPAT

Pagi-pagi sekali, disaat matahari baru menam-
pakkan cahayanya di ufuk timur, Bayu sudah 
membawa Klabang Ireng dan Rara Sawit menuruni 
Bukit Sampan ini. Mereka berdua berjalan bersisian 
dibelakang Pendekar Pulau Neraka itu. Sedangkan 
l'iren tidak lepas dari pundak pemuda berbaju kulit 
harimau ini. Tidak ada seorang pun yang 
mengeluarkan suara. Mereka berjalan agak cepat 
menuruni lereng bukit yang cukup lebat ditumbuhi 
pepohonan ini. 
Namun baru saja mereka sampai di kaki bukit, 
Bayu menghentikan langkahnya. Klabang Ireng dan 
Rara Sawit ikut berhenti juga melangkah. Tampak di 
depan mereka menghadang lebih dari lima puluh 
orang yang semuanya rata-rata masih berusia muda. 
Hanya seorang saja yang kelihatan sudah tua. Dan 
orang tua yang mengenakan jubah putih pantang itu 
berdiri paling depan. Sebatang tongkat kayu 
tergenggam di tangan kanannya. Seakan untuk 
menyangga tubuhnya yang sudah agak membungkuk. 
Klabang Ireng yang mengenali orang tua itu, langsung 
melangkah mendekat Pendekar Pulau Neraka. 
“Kau kenal mereka, Klabang Ireng?” tanya Bayu 
seperti sudah bisa menduga. 
“Ya,” sahut Klabang Ireng. “Orang tua itu Ki 
Jamparut. Kepala Desa Harugaling. Dan yang ada di 
belakangnya adalah murid-muridnya,” sahut Klabang 
Ireng.

“Mau apa mereka menghadang?” tanya Bayu lagi 
dengan suara terdengar menggumam. Seakan 
pertanyaan itu untuk dirinya sendiri. 
“Untukku,” sahut Klabang Ireng pelan. 
Bayu berpaling sedikit, langsung menatap pada 
Klabang Ireng dengan kening berkerut. Terasa aneh 
bagi Pendekar Pulau Neraka ini. Dia memang baru 
semalam kenal dengan Klabang Ireng. Tapi tampak-
nya Klabang Ireng mempunyai banyak persoalan yang 
tidak diketahuinya. Timbul berbagai macam per-
tanyaan di dalam benak Pendekar Pulau Neraka ini. 
Tapi dia tidak mau mempersoalkan lebih dulu, 
sebelum mengetahui persoalan persisnya, antara 
Klabang Ireng dengan Kepala Desa Harugaling dan 
murid-muridnya itu. Sementara Rara Sawit sudah 
berada di sebelah Pendekar Pulau Neraka ini. Dia 
juga merasa heran dengan orang-orang yang meng-
hadang jalan mereka ini. 
“Siapa mereka, Kisanak?” tanya Rara Sawit 
“Mereka ada urusan dengan Klabang Ireng,” sahut 
Bayu tanpa berpaling sedikit pun juga. 
Rara Sawit langsung saja menatap pada Klabang 
Ireng. Tapi yang dipandangi seperti tidak peduli. Dia 
melangkah beberapa tindak mendekati Ki Jamparut 
yang berdiri di depan murid-muridnya. Tatapan mata 
orang tua itu sangat tajam sekali, seakan ingin 
melumat pemuda berbaju hitam yang sudah 
menewaskan empat orang muridnya ini. 
“Punya nyali besar juga kau berani muncul lagi di 
sini...,” terdengar sinis sekali nada suara Ki Jamparut. 
“Maaf atas kejadian semalam, Ki. Kali ini aku tidak 
melewati desamu lagi. Aku dan teman-temanku akan 
menuju ke utara,” kata Klabang Ireng. Kali ini dia 
berkata dengan nada suara yang sopan.

“Phuih!” Ki Jamparut menyemburkan ludahnya 
dengan sengit 
Sedangkan Klabang Ireng diam saja. 
“Kau tidak bisa lewat begitu saja, Anak Muda. Kau 
harus membayar nyawa murid-muridku dengan 
nyawamu!” bentak Ki Jamparut lantang. 
“Kalau kau membiarkan aku lewat, tentu tidak 
akan sampai kehilangan muridmu, Ki. Sekarang aku 
harap kau tidak lagi membuka persoalan. Aku sedang 
enggan mengotori tangan dengan darah,” sambut 
Klabang Ireng tidak kalah lantangnya. 
“Berani kau berkata begitu setelah membunuh 
muridku, heh...? Kau akan rasakan akibatnya, 
Bocah!” bentak Ki Jamparut jadi berang. 
“Maaf, Ki. Bukan maksudku untuk...!” 
“Tutup mulutmu, Bocah! Kau harus mampus? 
Hiyaaat..!” 
Ki Jamparut tidak bisa lagi banyak bicara. Sambil 
membentak nyaring memutuskan ucapan Klabang 
Ireng, dia langsung melompat dengan cepat 
menerjang pemuda ini. 
“Haiiit..!” 
Klabang Ireng tidak dapat lagi menghindari 
bentrokan. Dia cepat melompat ke samping, sambil 
meliukkan tubuhnya menghindari sabetan tongka 
kayu Kepala Desa Harugaling ini. Sedikit saja tongkat 
itu lewat di samping tubuh Klabang Ireng. Namun Ki 
Jamparut tidak berhenti sampai di situ saja. Dia terus 
menyerang dengan jurus-jurus yang cepat dan sangat 
membahayakan jiwa anak muda berbaju hitam ini. 
Sementara Bayu dan Rara Sawit tidak bisa berbuat 
apa-apa. Mereka terpaksa menjadi penonton, tanpa 
dapat membantu Klabang Ireng yang terus diserang 
dengan kebutan-kebutan tongkat Ki Jamparut yang

begitu cepat dan mengandung pengerahan tenaga 
dalam tinggi. Tapi tampaknya Klabang Ireng masih 
bisa bertahan, walaupun dia hanya bisa berkelit dan 
menghindari setiap serangan Ki Jamparut yang 
dahsyat ini. 
“Hup! Hiyaaa...!” 
Tiba-tiba saja Klabang Ireng melentingkan 
tubuhnya tinggi-tinggi ke atas, tepat ketika Ki 
Jamparut mengecutkan tongkatnya ke arah kaki. Dan 
langsung dia meluruk deras ke belakang sambil 
berputaran beberapa kali di udara. Dan dengan 
manis sekali dia menjejakkan kakinya di tanah sejauh 
dua batang tombak dari Ki Jamparut. 
“Jangan menghindar terus kau, Bocah! Hiyaaat..!” 
Ki Jamparut semakin kelihatan berang saja, 
karena serangan-serangannya tidak mendapatkan 
hasil sedikit pun juga. Bahkan kini Klabang Ireng 
berhasil menjaga jarak cukup jauh. Kepala Desa 
Harugaling itu kembali melompat sambil berteriak 
keras menggelegar. Dan tongkatnya langsung dikejut-
kan tepat mengarah ke kepala Klabang Ireng. 
“Hih!” 
Bet! 
Trak! 
Klabang Ireng cepat mencabut seruling bambu 
hitamnya, dan langsung dikebutkan ke samping 
kelolanya. Hingga tongkat Ki Jamparut menghantam 
seruling hitam pemuda itu. Dan pada saat itu juga, 
lubuh Klabang Ireng meliuk setengah berputar. Lalu 
dengan kecepatan yang sangat luar biasa sekali, dia 
menghentakkan tangan kirinya ke depan. Dan.... 
Diegkh! 
“Ugkh...!” 
Begitu cepatnya hentakan tangan kiri Klabang


Ireng, sehingga Ki Jamparut tidak sempat lagi meng-
hindarinya. Dan kepalan tangan pemuda itu tepat 
menghantam perutnya. Membuat orang tua ini 
terlenguh dengan tubuh terbungkuk. Dan pada saat 
itu juga, Klabang Ireng melepaskan satu pukulan 
keras dengan tangan kanannya, setelah dia 
menyimpan lagi serulingnya ke balik ikat pinggang. 
“Hiyaaa...!” 
Plak! 
“Akh...!” 
Ki Jamparut jadi terpekik, begitu pukulan tangan 
kiri Klabang Ireng yang mengandung sedikit 
pengerahan tenaga dalam itu menghantam tepat ke 
wajahnya. Tampak orang tua itu terdongak, dan ter-
huyung-huyung ke belakang. Seketika itu juga darah 
merembes keluar dari sudut bibir dan lubang 
hidungnya. Walaupun tidak sepenuhnya Klabang 
Ireng mengerahkan tenaga dalam pada pukulannya, 
tapi sudah membuat Ki Jamparut terpaksa harus 
kehilangan muka di depan murid-muridnya sendiri. 
“Keparat..!” 
*** 
Ki Jamparut jadi geram setengah mati. Sambil 
menyeka darah yang mengalir keluar dari mulut dan 
hidungnya, dia melangkah ke depan beberapa tindak. 
Sementara Klabang Ireng tetap berdiri tegak tanpa 
terlihat memegang senjata. Tampak sekali kalau Ki 
Jamparut tidak bisa lagi dihentikan amarahnya. 
Terlebih lagi dia sudah mendapatkan pukulan yang 
cukup keras di wajahnya. Membuat amarahnya 
semakin menggelegak di dalam dada. 
Sementara Bayu dan Rara Sawit sama sekali tidak

bisa berbuat apapun juga. Mereka hanya diam dan 
melihat semua itu tanpa bicara sedikit pun juga. Tapi 
diam-diam, Bayu terus memperhatikan murid-murid 
Ki Jamparut yang sudah mulai bergerak mendekati 
tempat pertarungan gurunya dengan Klabang Ireng 
ini. 
“Kau harus mampus, Bocah Keparat..!” 
Sambil menggeram marah, Ki Jamparut 
melangkah mendekati Klabang Ireng. Dan begitu 
iraknya tinggal sekitar empat langkah lagi, dia 
langsung menyodokkan tongkatnya tepat mengarah 
ke perut 
“Haiiit..!” 
Tapi dengan liukan tubuh yang begitu indah sekali, 
Klabang Ireng bisa menghindari sodokan tongkat 
orang tua itu. Namun tanpa diduga sama sekali, Ki 
Jamparut memutar tubuhnya dengan cepat sambil 
menghentakkan kaki kanannya tanpa menarik 
tongkatnya lagi. Sesaat Klabang Ireng terperangah. 
Dan dia cepat melangkah mundur sambil menarik 
tubuhnya ke belakang. 
Tepat pada saat itu juga, Klabang Ireng mencabut 
seruling hitamnya, dan langsung dikebutkan ke kaki 
yang masih menjulur ke depan itu. Begi cepatnya 
sabetan seruling hitam pemuda ini, sehingga Ki 
Jamparut tidak sempat lagi menyadarinya. Dan... 
Tak! 
“Akh...!” 
Ki Jamparut jatuh terguling seketika, begitu tulang 
keringnya terhantam seruling hitam Klabang Ireng 
yang sangat keras, karena disertai dengan 
pengerahan tenaga dalam yang tinggi. Seketika 
tulang kaki orang tua itu hancur, membuatnya tidak 
dapat lagi berdiri. Sementara Klabang Ireng

melompat menjauhi, sambil menyepakkan kakinya ke 
tongkat Ki Jamparut yang tergeletak di tanah. Tongkat 
itu melayang jauh. Dan entah jatuh di mana. 
“Bocah keparat...!” geram Ki Jamprut berang 
setengah mati, sambil meringis menahan sakit yang 
amat sangat pada tulang kering kakinya. “Seraaang...! 
Bunuh bocah setan itu...!” 
“Hiyaaat...!” 
“Yeaaah...!” 
Belum lagi hilang teriakan Ki Jamparut, semua 
murid-muridnya sudah berlompatan menyerang 
Klabang Ireng sambil berteriak-teriak, membuat 
suasana di kaki Bukit Sampan ini jadi hiruk-pikuk 
seperti ada perang. 
“Klabang Ireng, cepat ke sini...!” seru Bayu dengan 
suara yang keras disertai sedikit pengerahan tenaga 
dalam. 
Klabang Ireng berpaling sedikit ke arah Pendekar 
Pulau Neraka itu. Dia melihat Bayu memanggil 
dengan melambaikan tangannya. Dan tanpa berpikir 
panjang lagi, Klabang Ireng segera melesat men-
dekati Pendekar Pulau Neraka itu. Hanya sekali 
lompatan saja, dia sudah berada di samping pemuda 
berbaju kulit harimau ini. 
“Tinggalkan tempat ini,” kata Bayu tergesa. 
“Baik,” sahut Klabang Ireng. 
“Hup!” 
“Haaap!” 
“Yeaaah...!” 
Ketiga anak muda berkepandaian tinggi itu 
langsung berlompatan dan terus berlari dengan cepat 
mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah 
tinggi tingkatannya. Begitu cepatnya mereka berlari, 
hingga dalam waktu sebentar saja sudah jauh.

Membuat murid-murid Ki Jamparut tidak ada yang 
sanggup mengejar. Dan mereka terpaksa kembali 
menghampiri gurunya yang masih duduk di tanah 
menahan sakit pada kakinya yang hancur tulang 
keringnya. 
“Cepat, bawa aku pulang!” perintah Ki Jamprut. 
Tanpa banyak bicara lagi, empat orang muridnya 
segera menggotong dan membawanya pergi dari kaki 
Bukit Sampan ini. Sedangkan yang lainnya mengikuti 
dari belakang. Sementara Bayu, Klabang Ireng, dan 
Rara Sawit sudah sangat jauh meninggalkan kaki 
Bukit Sampan. Mereka terus berlari dengan cepat 
mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Tampak 
Bayu berlari paling depan. Sesekali dia berpaling 
melihat Klabang Ireng dan Rara Sawit yang terus 
tertinggal di belakang. 
Setelah dirasa cukup jauh dan tidak ada lagi yang 
mengejar, Bayu baru menghentikan larinya. Dia 
menunggu beberapa saat sambil melipat kedua 
tangannya di depan dada. Sedikit pun tidak terlihat 
tetesan keringat di tubuhnya. Dan tarikan napasnya 
juga begitu teratur sekali, sepertinya tadi sama sekali 
dia tidak berlari sejauh ini. Sementara Klabang Ireng 
dan Rara Sawit langsung menjatuhkan diri, duduk di 
rerumputan begitu sampai di dekat Pendekar Pulau 
Neraka ini. Tiren mendekati gadis itu, dan langsung 
duduk di pangkuannya. Rara Sawit mendiamkan saja 
monyet kecil itu duduk di pangkuannya. 
Keringat mengalir deras membasahi sekujur tubuh 
mereka. Dan napas mereka agak tersengal memburu 
cepat. Bayu tersenyum saja memandangi mereka 
yang seperti baru dikejar setan tadi. Senyum 
Pendekar Pulau Neraka itu membuat Rara Sawit jadi 
mendelik.

“Kenapa kau tersenyum...?” bentak Rara Sawit 
dengan napas masih tersengal-sengal. 
“Tidak apa-apa,” sahut Bayu masih tersenyum. 
“Jangan coba-coba merendahkan aku, ya...,” 
dengus Rara Sawit memberengut. 
Bayu hanya diam saja. Dan dia duduk bersila di 
depan mereka. Sikapanya begitu tenang sekali, 
dengan senyuman masih terkembang mengukir 
bibirnya yang agak memerah. Sementara Klabang 
Ireng dan Rara Sawit sudah mulai bisa mengatur 
Jalan pemapasannya. Mereka kini sudah tenang 
kembali. 
“Sudah cukup istirahatnya...?” tanya Bayu seraya 
bangkit berdiri. 
Klabang Ireng langsung berdiri, diikuti Rara Sawit 
Tiren cepat melompat naik ke pundak Bayu lagi. Dan 
tanpa bicara lagi mereka kembali melanjutkan 
perjalanannya menuju ke utara. Sementara matahari 
sudah naik cukup tinggi, memancarkan cahayanya 
yang terik membakar kulit. Namun ketiga anak muda 
itu terus berjalan tanpa menghiraukan teriknya 
mentari. Dan begitu jauh mereka berjalan, belum ada 
seorang pun yang membuka suara. Baru setelah 
mereka sampai di tepi sungai yang tidak begitu besar, 
Rara Sawit mulai membuka suaranya. 
“Bayu, kenapa kau tadi meminta Klabang Ireng 
meninggalkan mereka?” 
“Hanya membuang-buang tenaga saja mengurusi 
mereka. Sedangkan perjalanan kita masih cukup 
jauh,” sahut Bayu seenaknya. 
“Sebenarnya ada persoalan apa kau dengan 
mereka, Klabang Ireng?” tanya Rara Sawit ingin tahu. 
Tatapannya kini beralih pada Klabang Ireng. 
“Aku sendiri tidak tahu. Semalam aku melewati

desa mereka. Dan mereka tidak mengizinkan aku 
melaluinya. Mereka langsung menyerang ingin 
membunuhku. Terpaksa aku menewaskan empat 
orang dari mereka. Ya, terpaksa...,” sahut Klabang 
Ireng kalem. 
“Tidak mungkin kalau tidak ada alasan mereka 
ingin membunuhmu, Klabang Ireng,” kata Rara Sawit 
tidak percaya. 
“Terserah kau, mau percaya apa tidak. Yang jelas, 
aku sendiri baru pertama kali itu datang ke Desa 
Harugaling. Sama sekali aku tidak kenal dengan 
mereka,” balas Klabang Ireng agak ketus suaranya. 
“Mungkin mereka kenal denganmu, Klabang Ireng. 
Dan kau sendiri tidak kenal, atau mungkin juga sudah 
lupa,” kata Bayu menengahi. 
“Mungkin juga...,” desah Klabang Ireng perlahan. 
“Tapi aku benar-benar tidak tahu, Bayu.” 
“Klabang Ireng, kau mengaku cucu tunggal Eyang 
Rampayak. Pasti kau tahu dari mana asalnya...,” 
selak Rara Sawit seperti memancing. 
“Tentu saja aku tahu,” sahut Klabang Ireng tegas. 
“Dari mana?” desak Rara Sawit. 
“Desa Harugaling.” 
“Tepat dugaanku...!” sentak Bayu langsung 
berhenti melangkah. 
Rara Sawit dan Klabang Ireng jadi ikut berhenti, 
dan langsung menatap Pendekar Pulau Neraka itu 
dengan pandangan dan sorot mata yang sukar untuk 
diartikan. Sedangkan Bayu sendiri malah meng-
arahkan pandangannya ke Desa Harugaling yang kini 
sudah tidak terlihat lagi dari tempat ini. Dan untuk 
beberapa saat mereka jadi terdiam membisu. Entah 
apa yang ada di dalam pikiran mereka masing-
masing.

“Apa yang kau duga, Kisanak?” tanya Klabang 
Ireng ingin tahu. 
“Siapa nama ayahmu?” Bayu malah balik 
bertanya. 
“Rakata Ireng,” sahut Klabang Ireng. 
“Dan ibumu?” 
“Diah Permata.” 
“Heh...?!” 
Entah kenapa, Rara Sawit jadi terlonjak seperti 
tersengat kala berbisa begitu mendengar Klabang 
Ireng menyebut nama ibunya. Dan ini membuat Bayu 
maupun Klabang Ireng jadi tersentak juga 
memandangi gadis cantik ini. 
“Kau jangan mengaku-aku. Diah Permata ibumu, 
ya...!” bentak Rara Sawit jadi garang wajahnya. 
“Heh...?! Dia memang ibuku!” sentak Klabang 
Ireng. 
“Kau tahu, Diah Permata adalah guruku. Juga ibu 
angkatku!” 
“Tidak mungkin! Ibuku tidak punya murid! Kau 
dusta! Pembohong...!” 
“Kau yang pembohong!” 
“Kau...!” 
Seketika suasana jadi memanas. Klabang Ireng 
dan Rara Sawit sudah saling berhadapan dengan 
wajah garang tidak mau mengalah. Dan ini membuat 
Bayu jadi terlongong. 
“Cukup...!” 
Bayu langsung membentak begitu melihat Rara 
Sawit sudah mau mencabut pedangnya. Sedangkan 
Klabang Ireng juga sudah siap mencabut seruling 
hitamnya. Bayu cepat melompat, dan berdiri di 
tengah-tengah mereka. 
“Dengar, kalian masing-masing berkeras mengakui

pewaris Pedang Dewa Naga. Kalau kalian tidak mau 
menahan diri sedikit saja, aku berani bertaruh tidak 
ada di antara kalian yang bisa memiliki Pedang Dewa 
Naga,” kata Bayu jadi agak gusar. 
Klabang Ireng dan Rara Sawit hanya diam saja 
saling bertatapan dengan tajam. Seakan mereka 
tidak mendengarkan kata-kata Pendekar Pulau 
Neraka itu barusan. 
“Baik.... Kalau kalian masih terus begini, aku akan 
pergi sendiri. Dan ingat, kalian tidak akan bisa 
mendapatkan Pedang Dewa Naga,” kata Bayu lagi, 
seraya hendak melangkah pergi. 
Tapi belum juga kakinya terayun, Klabang Ireng 
sudah melompat ke depannya menghadang. Dan 
bersamaan dengan itu, Rara Sawit juga melompat 
menghadang Pendekar Pulau Neraka ini. 
“Kau selalu mencegah kami bertarung, Kisanak. 
Terus terang, sejak semalam aku terus bertanya-
tanya siapa kau sebenarnya? Kenapa kau begitu 
tepat muncul disaat aku hampir saja memenggal 
batang lehernya?” terasa dingin sekali nada suara 
Rara Sawit seraya melirik sedikit pada Klabang Ireng. 
“Katakan sejujurnya, siapa kau sebenarnya. Dan 
ada maksud apa kau menemui kami berdua?” desak 
Klabang Ireng mengikuti Rara Sawit 
“Aku hanya menjalankan tugas untuk menjemput 
kalian berdua,” sahut Bayu diiringi dengan senyum 
manis tersungging di bibir. 
“Hanya ada satu orang yang harus kutemui. Dan 
dia namanya bukan Bayu, tapi Pendekar Pulau 
Neraka,” kata Klabang Ireng. 
“Setan! Kau selalu mendahuluiku, Klabang Ireng! 
Guruku yang menyuruhku menunggu di Bukit Sampan 
sampai Pendekar Pulau Neraka datang. Hanya dia

yang bisa membawaku ke tempat penyimpanan 
Pedang Dewa Naga!” sentak Rara Sawit sengit. 
“Kau yang mengada-ada!” bentak Klabang Ireng 
seraya mendelik geram. 
“Sudah! Kalian tidak perlu bertengkar. Aku Bayu, 
juga Pendekar Pulau Neraka,” kata Bayu langsung 
memberi tahu siapa dirinya yang sebenarnya. 
Memang tidak ada pilihan lain lagi bagi Pendekar 
Pulau Neraka itu selain berterus terang, melihat 
kedua orang yang memang harus dijemputnya ini 
terus-menerus bertengkar. Dan Bayu tidak ingin ada 
di antara mereka sampai mengeluarkan darah. Dia 
harus membawa mereka berdua ke tempat me-
nyimpanan Pedang Dewa Naga. 
“Dengar, kalau kalian masih saja bertengkar, aku 
akan pergi sendiri dan tidak akan membawa kalian ke 
tempat Pedang Dewa Naga. Hanya aku yang tahu di 
mana tempatnya. Dan kalian seumur hidup tidak 
akan bisa melihat bentuk pedang itu...!” agak lantang 
terdengar suara Bayu. 
Klabang Ireng dan Rara Sawit terdiam. Memang 
mereka tidak tahu di mana adanya Pedang Dewa 
Naga. Mereka hanya mendapat perintah untuk ke 
Bukit Sampan menemui Pendekar Pulau Neraka yang 
akan membawa mereka sampai ke tempat 
penyimpanan Pedang Dewa Naga. Dan memang 
hanya Pendekar Pulau Neraka saja yang mengetahui 
di mana adanya pedang pusaka yang menjadi 
rebutan dua orang remaja ini. 
“Sekarang kalian boleh pilih. Terus bertengkar, 
atau mau menuruti kata-kataku!” kata Bayu 
menjelaskan. 
Namun belum juga Klabang Ireng dan Rara sawit 
bisa membuka suaranya, tiba-tiba saja terdengar

suara tawa yang keras menggelegar bagai guntur 
membelah angkasa di siang hari. Membuat mereka 
jadi tersentak kaget setengah mati. 
“Ha ha ha...!” 
***

LIMA

Suara tawa itu demikian keras terdengar menggema, 
seperti datang dari segala penjuru mata angin. Sukar 
untuk diketahui dari mana arah datangnya suara 
tawa yang semakin lama menyakitkan telinga ini. 
Bayu yang sudah berpengalaman dalam merambah 
kejamnya rimba persilatan, langsung bisa merasakan 
kalau suara tawa itu disertai dengan pengerahan 
tenaga dalam yang tinggi. Dan sudah pasti ditujukan 
pada mereka bertiga. Bayu bisa merasakan adanya 
bahaya kalau mendiamkan terus suara tawa itu. 
“Cepat kalian ke belakangku...!” pinta Bayu. 
Tanpa banyak tanya lagi, Klabang Ireng dan Rara 
Sawit berlompatan ke belakang Pendekar Pulau 
Neraka. Mereka sudah merasakan telinganya begitu 
sakit mendengar suara tawa yang teramat keras 
seakan tidak pernah mau berhenti ini. Bahkan 
Klabang Ireng sudah sejak tadi mengerahkan tenaga 
dalamnya, untuk mencoba menangkal suara yang 
membuat telinganya terus berdenging ini. 
“Jangan jauh dariku,” pinta Bayu. 
Setelah berkata begitu, Bayu langsung merapatkan 
kedua telapak tangannya di depan dada. 
Sedangkan monyet kecil berbulu hitam yang selalu 
mengikuti ke mana saja Pendekar Pulau Neraka itu 
pergi, sudah memeluk leher pemuda ini erat-erat. 
Sesekali dia mencerecet membuat telinga Bayu 
terasa pekak. Sebentar kelopak matanya terpejam. 
Lalu begitu kelopak matanya terbuka, seketika itu

juga dia menghentakkan kedua tangannya ke 
samping sambil berteriak keras menggelegar. 
“Yeaaah...!” 
Begitu kerasnya suara teriakan Pendekar Pulau 
Neraka itu, membuat bumi yang mereka pijak jadi 
bergetar bagai diguncang gempa yang sangat dahsyat 
Bahkan angin pun jadi terbalik berhembus. Pohon-
pohon menggugurkan daunnya. Batu-batu 
berpentalan memperdengarkan suara berderak 
hingga hancur berkeping-keping. Teriakan Bayu yang 
begitu keras menggelegar, membuat alam di 
sekitarnya bagaikan mengamuk. 
“Edan...! Ilmu macam apa itu...?” desis Klabang 
Ireng kagum. 
Dan teriakan Bayu yang begitu keras menggelegar 
bagai guntur itu, mampu meredam suara tawa yang 
membuat telinga mereka jadi sakit. Pada saat itu 
juga, Bayu merapatkan kedua telapak tangannya di 
depan dada. Lalu sambil berseru lantang, dia 
mengibiaskan kedua tangannya ke depan. Dan 
bagaikan kilat, dia mengibaskan tangan kanannya ke 
kanan. 
Sing...! 
Cakra Maut yang selalu menempel di perge-langan 
tangan Pendekar Pulau Neraka itu seketika melesat 
dengan kecepatan bagai kilat. Hingga yang terlihat 
hanya kilatan cahaya putih keperakan meluncur 
langsung menembus lebatnya pepohonan. Dan... 
Srak! 
Siap! 
Tepat pada saat itu juga terlihat bayangan hijau 
berkelebat keluar dari balik pepohonan, bersamaan 
dengan melesatnya Cakra Maut kembali pada 
Pendekar Pulau Neraka. Sedikit saja Bayu

mengangkat tangan kanannya ke atas, Cakra Maut 
kembali menempel erat di pergelangan tangan 
Pendekar Pulau Neraka itu. 
“Hm....” 
Bayu menggumam sedikit, begitu melihat seorang 
wanita berusia setengah baya sudah berdiri sekitar 
dua batang tombak di depannya. Baju warna hijau 
daun yang ketat, membentuk tubuhnya yang cukup 
ramping dan indah dipandang mata. Sebilah pedang 
bergagang kepala ular berwarna putih keperakan, 
tersampir di punggungnya. 
“Cuma seorang wanita...,” gumam Klabang Ireng 
mendesis dingin. 
“Jangan menghina kaum wanita, Klabang Ireng!” 
sentak Rara Sawit tersinggung. 
“Maaf, bukannya aku mau menyinggungmu, Rara 
Sawit,” ucap Klabang Irjeng sambil menyeringai. Baru 
menyadari kalau di sebelahnya berdiri seorang wanita 
yang sampai saat ini masih bisa dikatakan 
saingannya dalam memperebutkan Pedang Dewa 
Naga. 
Sementara itu Bayu sudah melangkah beberapa 
tindak ke depan, mendekati wanita setengah baya 
yang mengenakan baju hijau daun ini. Pendekar 
Pulau Neraka itu baru berhenti melangkah setelah 
jaraknya tinggal sekitar lima langkah lagi. Saat itu 
Bayu menilai kalau wanita ini usianya sudah lebih dari 
lima puluh tahun. Tapi wajahnya masih kelihatan 
cantik, dengan bentuk tubuh yang ramping dan indah 
terbungkus baju yang cukup ketat. Seakan baru 
mencapai dua puluh lima tahunan usianya. 
“Kenapa kau mengganggu kami, Nisanak?” tanya 
Bayu langsung dengan nada suara yang cukup dingin 
terdengar.

“Bukan kalian tujuanku. Tapi kau, Pendekar Pulau 
Neraka!” sahut wanita itu agak lantang suaranya. 
“Hm, kenapa...? Rasanya aku belum kenal 
denganmu, Nisanak.” 
“Kau memang belum kenal siapa aku, Pendekar 
Pulau Neraka. Tapi aku sudah tahu siapa kau. Dan 
sekarang aku membutuhkanmu. Kau harus ikut 
denganku. Tinggalkan dua tikus busuk itu,” kata 
wanita itu sambil menuding pada Klabang Ireng dan 
Rara Sawit. 
Dikatakan tikus busuk, Rara Sawit langsung 
memerah wajahnya. Dan Klabang Ireng juga cepat 
melompat ke depan. Tapi gerakan mereka jadi 
terhambat, begitu melihat Bayu merentangkan 
tangannya. Mencegah mereka berbuat yang bisa 
merugikan diri sendiri. Klabang Ireng dan Rara Sawit 
hanya bisa mendengus kesal, menatap dengan sinar 
mata yang tajam pada perempuan setengah baya 
yang masih kelihatan cantik itu. 
“Dengar, Pendekar Pulau Neraka. Kau tidak bisa 
menolak keinginanku. Ikut denganku, atau kau harus 
rela melepaskan nyawamu di sini,” kata wanita itu 
lagi dengan nada suara yang tegas. 
“Maaf, Nisanak. Bukannya aku menolak keinginan-
mu itu. Tapi aku belum tahu siapa kau sebenarnya? 
Dan apa tujuanmu memintaku ikut denganmu...?” 
tanya Bayu halus. 
“Aku Dewi Pedang Maut. Dan kau harus ikut 
denganku untuk menunjukkan di mana tempat 
penyimpanan Pedang Dewa Naga. Aku tahu kalau 
hanya kau satu-satunya yang tahu di mana Pedang 
Dewa Naga berada,” sahut wanita setengah baya itu 
yang ternyata bernama Dewi Pedang Maut. 
“Hm.... Sudah sering kali aku dengar namamu,

Dewi Pedang Maut. Kau memang tangguh dan 
digdaya. Tapi terus terang saja, aku sama sekali tidak 
menyukai sepak terjangmu selama ini,” kata Bayu 
agak menggumam suaranya. 
“Jangan sombong kau, Bocah! Kau pikir aku tidak 
tahu siapa dirimu yang sebenarnya, heh...?” bentak 
Dewi Pedang Maut sengit. 
“Aku memang bukan manusia suci, Dewi Pedang 
Maut. Tapi aku masih bisa bertindak dengan batas 
ukuran yang wajar. Maaf, aku ada tugas yang lebih 
penting lagi. Dan aku tidak berurusan dengan Pedang 
Dewa Naga,” kata Bayu tegas. 
“Keparat...!” desis Dewi Pedang Maut geram, 
mendengar penolakan Bayu yang halus namun tegas 
itu. 
Sedangkan Bayu sudah memutar tubuhnya 
berbalik. Dan melangkah menghampiri Klabang Ireng 
dan Rara Sawit. Namun baru saja Pendekar Pulau 
Neraka itu berjalan beberapa langkah, Dewi Pedang 
Maut sudah mengebutkan tangan kirinya dengan 
cepat ke depan. Dan seketika itu juga, terlihat 
beberapa benda halus berwarna putih keperakan 
melesat dengan kecepatan bagai kilat ke arah 
pemuda berbaju kulit harimau ini. 
“Bayu, awaaas...!” seru Klabang Ireng mem-
peringati. 
“Hap! Yeaaah...!” 
Sambil memutar tubuhnya dengan cepat, Bayu 
menghentakkan tangan kanannya lurus ke depan 
tubuhnya. Dan seketika itu juga Cakra Maut yang 
menempel di pergelangan tangan kanannya melesat 
menyambut senjata rahasia yang dilemparkan Dewi 
Pedang Maut. 
Cras!

Hanya sekali lesatan saja, Cakra Maut 
merontokkan semua senjata rahasia Dewi Pedang 
Maut. Dan kembali senjata bersegi enam keperakan 
itu melesat balik, lalu menempel lagi di pergelangan 
tangan Pendekar Pulau Neraka ini. 
Bayu berdiri tegak dengan pandangan mata yang 
sangat tajam sekali, menatap langsung ke bola mata 
Dewi Pedang Maut. Dari sorot matanya yang tajam, 
sudah bisa dipastikan kalau Pendekar Pulau Neraka 
itu sama sekali tidak menyukai cara Dewi Pedang 
Maut yang menyerangnya dari belakang. Penyerangan 
dengan cara membokong seperti ini memang sangat 
tidak disukai Bayu. 
Baginya, membokong merupakan tindak pengecut 
yang tidak bisa diberi ampun lagi. Perlahan Bayu 
menggeser kakinya ke kanan. Dia melirik sedikit pada 
Klabang Ireng dan Rara Sawit yang berada agak jauh 
di belakangnya. Sementara Dewi Pedang Maut 
tersenyum-senyum, merasakan pancingannya ber-
hasil untuk menaklukkan Pendekar Pulau Neraka ini. 
“Dengar, Nisanak. Apapun alasanmu, aku paling 
tidak suka dengan caramu main bokong seperti itu,” 
terasa dingin sekali nada suara Bayu. 
“Kalau kau tidak suka, kenapa kau tolak ta-
waranku...?” ringan sekali Dewi Pedang Maut 
menyahuti. 
“Apa maumu sebenarnya?” tanya Bayu. 
“Pedang Dewa Naga yang ada padamu,” sahut 
Dewi Pedang Maut tegas. 
“Pedang Dewa Naga tidak ada padaku.” 
“Kalau begitu, kau harus tunjukan di mana kau 
simpan pedang itu.” 
“Pedang itu ada pemiliknya, Nisanak. Dan aku 
tahu, kau bukanlah orang yang tepat memiliki Pedang

Dewa Naga. Jadi aku minta kau cepat tinggalkan 
tempat ini,” tegas Bayu langsung mengusir. 
“Hik hik hik...!” ' 
Dewi Pedang Maut malah tertawa mengikik 
mendengar pengusiran tegas Pendekar Pulau Neraka 
itu. Dia benar-benar menganggap ringan pada 
pendekar muda yang selalu mengenakan baju dari 
kulit harimau ini. Dan tanpa berkata apapun juga, dia 
langsung mengebutkan tangan kanannya ke depan, 
sambil berteriak keras menggelegar. 
“Hiyaaa...!” 
Siap! 
“Hup!” 
*** 
Tepat disaat Dewi Pedang Maut melontarkan 
senjata rahasianya, Bayu melentingkan tubuhnya ke 
atas dengan berputaran dua kali di udara. Dan 
bagaikan kilat, dia melunak deras ke arah wanita 
setengah baya yang masih kelihatan cantik ini Saa itu 
juga Bayu mengecutkan tangan kanannya ke depari 
sambil berteriak keras menggelegar. 
“Hiyaaa...!” 
Wusss...! 
Cakra Maut yang selalu menempel di perge-langan 
tangan Pendekar Pulau Neraka itu seketika melesat 
dengan kecepatan bagai kilat Begitu cepatnya Cakra 
Maut melesat, hingga yang terlihat hanya kilatan 
cahaya keperakan saja. Dan ini membuat Dewi 
Pedang Maut jadi terbeliak. Tidak ada lagi 
kesempatan bagi Dewi Pedang Maut untuk berkelit 
menghindari serangan senjata maut Pendekar Pulau 
Neraka itu. Dan....

“Hih!” 
Cring! 
“Yeaaah...!” 
Bet! 
Dewi Pedang Maut langsung mencabut pedangnya, 
dan dikebutkan ke depan, menyambut serangan 
Cakra Maut. Tapi tanpa diduga sama sekali, Cakra 
Maut seperti memiliki mata saja. Begitu pedang Dewi 
Pedang Maut berkelebat hendak menyambarnya, 
senjata Pendekar Pulau Neraka itu seketika melesat 
ke atas. Membuat Dewi Pedang Maut jadi terbeliak 
kaget setengah mati. Dan belum lagi hilang rasa 
keterkejutannya, Cakra Maut sudah melunak dengan 
deras mengarah ke kepalanya. 
“Hih! Hiyaaat..!” 
Bet! 
Dewi Pedang Maut cepat-cepat memutar 
pedangnya ke atas kepala, berusaha melindungi 
dirinya dari sambaran senjata maut Pendekar Pulau 
Neraka itu. Namun pada saat yang bersamaan, Bayu 
sudah menjejakkan kakinya di tanah, tepat seldtar 
dua langkah lagi di depan wanita ini. Dan seketika itu 
juga dia melepaskan satu pukulan yang sangat keras 
menggeledek, disertai dengan pengerahan tenaga 
dalamnya yang sudah sempurna tingkatannya. 
“Yeaaah...!” 
Mendapat serangan dari dua arah yang 
bersamaan waktunya seperti ini, Dewi Pedang Maut 
benar-benar jadi kelabakan setengah mati. Dan dia 
sama sekali tidak bisa lagi menghindari pukulan 
Pendekar Pulau Neraka itu. Hingga.... 
Begkh! 
“Aaakh...!” 
Dewi Pedang Maut menjerit keras, begitu pukulan

Bayu yang keras dan bertenaga dalam sempurna 
menghantam telak di dadanya. Membuat tubuhnya 
terpental jauh ke belakang. Keras sekali dia jatuh 
menghantam tanah, membuatnya kembali menjerit 
Sementara Bayu menjejakkan kakinya kembali di 
tanah dengan gerakan yang begitu ringan sekali. 
Dewi Pedang Maut menggeliat sambil merintih, 
menahan sakit yang amat sangat di dadanya. Tampak 
cairan berwarna merah kental mengalir keluar dari 
sudut bibirnya. Tatapan matanya begitu tajam sekali 
bersorot langsung pada Pendekar Pulau Neraka yang 
berdiri sekitar tiga batang tombak di depannya. 
Pemuda itu hanya memandangi saja dengan wajah 
yang datar. 
“Mudah bagiku untuk membunuhmu, Dewi Pedang 
Maut. Tapi aku sama sekali tidak mempunyai 
persoalan denganmu. Dan sebaiknya kau tidak perlu 
lagi bersusah payah mendapatkan Pedang Dewa 
Naga. Pedang itu sudah ada yang memiliki,” kata 
Bayu dingin menggetarkan. 
Dewi Pedang Maut hanya diam saja. Dia 
menyemburkan ludah yang bercampur dengan darah. 
Tubuhnya yang ramping menggeliat sedikit. Namun 
rasa sakit dan sesak di dadanya membuat wanita itu 
tetap terbaring di tanah. Sementara Bayu sudah 
memutar tubuhnya berbalik, terus melangkah 
menghampiri Klabang Ireng dan Rara Sawit yang 
sejak tadi menunggu. 
“Ayo...,” ajak Bayu, tidak menghentikan langkahnya 
sedikit pun juga. 
Klabang Ireng menatap Dewi Pedang Mau 
sebentar. Kemudian dia melangkahkan kakinya 
menyusul Bayu dan Rara Sawit yang sudah berjalan 
lebih dahulu meninggalkan tempat ini. Tinggal Dewi

Pedang Maut yang masih merintih, berusaha bangkit 
kembali sambil memegangi dadanya yang masih 
terasa nyeri dan sesak akibat terkena pukulan yang 
cukup dahsyat dari Pendekar Pulau Neraka. 
“Phuih! Kau akan mati di tanganku, Pendekar 
Pulau Neraka...!” desis Dewi Pedang Maut geram, 
sambil menyemburkan ludahnya yang bercampur 
dengan darah. 
Sementara Bayu, Klabang Ireng, dan Rara Sawit 
sudah jauh meninggalkannya. Hingga mereka tidak 
terlihat lagi, Dewi Pedang Maut baru bisa berdiri. Agak 
limbung tubuhnya. Tapi dia cepat menyangga dengan 
ujung pedang ditekan kuat ke tanah. Dewi Pedang 
Maut masih memandangi ke arah kepergian 
Pendekar Pulau Neraka. Sekali lagi dia 
menyemburkan ludahnya dengan sengit. Lalu mulai 
berjalan dengan tertatih-tatih. Bara api dendam 
benar-benar tersirat pada kedua bola matanya. 
Dendam yang tidak mungkin bisa terlupakan begitu 
saja. 
*** 
Jauh juga perjalanan yang harus ditempuh Klabang 
Ireng dan Rara Sawit yang mengikuti Pendekar Pulau 
Neraka. Dan tidak sedikit rintangan yang harus 
mereka hadapi. Terutama rintangan dari orang-orang 
persilatan, yang menginginkan Pedang Dewa Naga. 
Namun Pendekar Pulau Neraka bisa menghadapi 
segala rintangan itu, walaupun harus memeras 
keringat dan kepandaiannya. 
Dan setelah menempuh perjalanan sepanjang dua 
hari, akhirnya mereka sampai di sebuah tempat yang 
berbatu. Mereka memandangi sekitarnya. Sepanjang

mata memandang, hanya batu-batuan saja yang 
tampak. Begitu gersang tempat ini, hingga matahari 
yang bersinar begitu terik sekali terasa menyengat 
kulit. Hanya ada satu pohon yang mereka lihat. Dan 
itu juga sudah tidak terlihat lagi daun-daunnya. 
“Di mana pedang itu, Bayu?” tanya Klabang Ireng 
tidak sabaran. 
“Tidak ada di sini,” sahut Bayu tanpa berpaling 
sedikit pun juga. 
“Apa maksudmu tidak ada di sini, Bayu? Bukankah 
tadi kau mengatakan kalau kita bisa mendapatkan 
pedang itu di sini...?” selak Rara Sawit jadi tidak 
mengerti. 
“Memang kita akan mendapatkan pedang itu di 
sini. Tapi pedang itu sekarang belum ada di sini,” 
sahut Bayu kalem. 
“Aku tidak mengerti maksudmu, Bayu....” 
“Kita akan menunggu di sini sampai pedang itu 
datang.” 
“Berapa lama?” tanya Rara Sawit tidak sabaran. 
Bayu tidak menjawab. Dia hanya mengangkat 
bahunya saja sedikit. Tanpa menghiraukan dua orang 
yang dibawanya ini, Pendekar Pulau Neraka itu 
langsung saja duduk di balik sebongkah batu yang 
sangat besar, dengan bagian bawahnya terdapat 
rongga seperti goa. Di tempat ini dia bisa melindungi 
dirinya dari sengatan matahari. 
Sementara Klabang Ireng dan Rara Sawit hanya 
bisa memandangi saja tanpa dapat mengerti dengan 
sikap yang ditunjukkan Pendekar Pulau Neraka itu. 
Tapi mereka mendekati juga, tidak tahan dengan 
sengatan teriknya cahaya matahari. Rongga batu ini 
memang cukup besar juga, hingga bisa menampung 
mereka bertiga, dan melindunginya dari keganasan

mentari. Dan untuk beberapa saat lamanya mereka 
hanya terdiam membisu, tidak ada yang membuka 
suara lebih dahulu. 
“Kalian tunggu di sini,” kata Bayu tiba-tiba sambil 
bangkit berdiri. 
“Mau ke mana kau?” tanya Klabang Ireng. 
Bayu tidak menjawab. Dia terus saja melangkah 
sambil menggendong monyet kecil yang selalu 
mengikutinya ke mana saja dia pergi. Monyet kecil 
yang bernama Tiren itu langsung nangkring di pundak 
Pendekar Pulau Neraka ini. Klabang Ireng dan Rara 
Sawit hanya saling berpandangan saja. Dan 
membiarkan Bayu pergi meninggalkannya. Bayu terus 
berjalan semakin jauh, hingga akhirnya tidak terlihat 
lagi. 
“Aku jadi curiga. Jangan-jangan dia hanya mau 
menjebak kita berdua di sini,” kata Rara Sawit 
setengah bergumam, seakan dia bicara pada diri 
sendiri. 
“Kenapa kau menaruh curiga padanya, Rara 
Sawit? Sudah jelas dia Pendekar Pulau Neraka,” kata 
Klabang Ireng, tidak setuju dengan pendapat Rara 
Sawit. 
“Kelakuannya aneh,” sahut Rara Sawit. 
“Aneh bagaimana?” 
“Apa kau tidak merasa, untuk apa dia 
meninggalkan kita berdua di tempat seperti ini...?” 
Rara Sawit malah balik bertanya. 
Klabang Ireng jadi terdiam. Memang kalau 
dirasakan, tingkah Pendekar Pulau Neraka yang 
selalu membawa monyet kecilnya itu sangat 
dirasakan aneh. Tapi Klabang Ireng ingat pada pesan 
gurunya, untuk pergi ke Bukit Sampan, dan 
menjumpai Pendekar Pulau Neraka. Pendekar itu

yang akan menunjukkan di mana dia bisa 
mendapatkan Pedang Dewa Naga. Yang menurut 
gurunya adalah pedang warisan dari leluhurnya. 
Sedangkan di sebelahnya kini, ada seorang gadis 
cantik yang juga mengakui kalau Pedang Dewa Naga 
adalah miliknya. Kebimbangan mulai menyelimuti hati 
Klabang Ireng. Sebentar dia mengarahkan 
pandangannya ke arah mana tadi Bayu pergi. Dan 
sebentar kemudian dia menatap pada Rara Sawit. 
Sedangkan Rara Sawit sendiri kelihatan meng-
arahkan pandangannya lurus ke depan. Merayapi 
batu-batuan yang ada di sekitarnya. Perlahan Klabang 
Ireng bangkit berdiri. Rara Sawit langsung 
menatapnya dengan sinar mata yang cukup tajam. 
“Kau juga mau pergi, Klabang Ireng?” tanya Kara 
Sawit menegur. 
“Aku mau cari pedang itu di sekitar sini,” sahut 
Klabang Ireng seraya melangkah keluar dari relung 
batu ini. 
“Kau percaya kalau ini tempatnya?” tanya Rara 
Sawit lagi, sambil ikut berdiri dan melangkah keluar 
mengikuti Klabang Ireng. 
Namun Klabang Ireng tidak menjawab sedikit pun 
juga. Dia terus saja berjalan perlahan-lahan dengan 
mata menatap tajam beredar berkeliling. Sedangkan 
Rara Sawit hanya berdiri diam saja memandangi 
pemuda itu. Entah apa yang ada di dalam pikiran 
gadis ini. Sementara Klabang Ireng terus melangkah 
sambil meneliti setiap jengkal yang dilewatinya. 
Namun tidak ada tanda-tanda di mana adanya 
Pedang Dewa Naga berada. 
Lama juga Klabang Ireng mencari, sampai 
matahari condong ke arah barat. Sedangkan Rara 
Sawit sama sekali tak berusaha mencari. Dia

menunggu saja dari dalam relung batu yang 
melindungi dirinya dari sengatakan matahari. Tapi 
matanya tidak lepas dari Klabang Ireng. Dan disaat 
matahari hampir tenggelam di ufuk barat, mendadak 
saja tanah berbatu yang ada di sekitar mereka 
bergetar bagai diguncang gempa. 
“Hup!” 
Rara Sawit cepat-cepat melompat keluar dari 
relung batu ini. Sedangkan Klabang Ireng juga 
langsung berlari mendekati gadis ini. Dan belum lagi 
hilang rasa keterkejutan mereka, tiba-tiba terlihat 
secercah cahaya kilat di angkasa. Kilatan cahaya 
terang itu meluruk deras ke arah dua anak muda ini. 
“Awas...!” seru Klabang Ireng. 
“Hup!” 
“Hiyaaa...!” 
Mereka berlompatan menghindari kilatan cahaya 
itu. Berjumpalitan di udara, dan kembali menjejakkan 
kakinya di tanah yang berbatu ini. Saat itu juga 
kilatan cahaya tadi lenyap bagai tertelan bumi. Dan 
getaran yang mengguncang tempat itu juga 
menghilang tidak terasakan lagi. Keanehan ini 
membuat Klabang Ireng dan Rara Sawit jadi saling 
berpandangan. Namun entah kenapa, mereka seperti 
mempunyai satu ikatan untuk tidak berpisah. Padahal 
semula mereka saling bermusuhan. Bahkan hampir 
saling bunuh. 
“Hati-hati, Rara Sawit,” ujar Klabang Ireng 
memperingatkan. 
“Iya,” sahut Rara Sawit perlahan. 
***

ENAM

Lama juga tidak ada lagi kejadian yang dialami 
Klabang Ireng dan Rara Sawit. Namun mereka 
seakan tidak berani untuk meninggalkan tempat ini. 
Dan sikap mereka masih terus berwaspada. 
Sementara malam sudah jatuh menyelimuti 
sekitarnya. Dan kegelapan pun membuat pandangan 
mereka jadi terhalang. Angin mulai terasa dingin 
mengusap kulit Namun kedua anak muda itu masih 
tetap berdiri tegak berdampingan tanpa berbicara 
sedikit pun juga. Dan pada saat kegelapan benar-
benar sudah menyatu dengan alam, tiba-tiba saja 
Klabang Ireng melihat secercah cahaya dari atas 
bukit yang berada tidak seberapa jauh dari daerah 
berbatuan ini. 
“Lihat, Rara Sawit..!” seru Klabang Ireng seraya 
menunjuk ke puncak bukit yang kelihatan gersang 
dan berbatu ini. 
“Mungkinkah ada orang di sana...?” desis Rara 
Sawit seperti bertanya pada diri sendiri. 
“Sebaiknya aku lihat ke sana,” kata Klabang Ireng. 
“Tunggu...!” sentak Rara Sawit mencegah, sebelum 
Klabang Ireng bergerak. 
“Lihat, Rara Sawit..!” seru Klabang Ireng seraya 
menunjuk ke puncak bukit yang kelihatan gersang 
dan berbatu itu. 
“Sebaiknya aku ke sana!” 
“Tunggu...!” cegah Rara Sawit “Kau tidak bisa pergi 
sendirian ke sana!”

“Kenapa? Kau takut aku menguasai pedang itu 
sendiri...?” terdengar sinis suara Klabang Ireng. 
Klabang Ireng berpaling menatap gadis itu. 
“Kau tidak bisa pergi sendirian ke sana, Klabang 
Ireng,” kata Rara Sawit agak datar suaranya. 
“Kau takut aku akan menguasai pedang itu 
sendiri...?” terdengar agak sinis nada suara Klabang 
Ireng. 
“Pedang itu milikku, Klabang Ireng. Ingat, aku yang 
berhak atas Pedang Dewa Naga.” 
“Siapa bilang...? Aku yang lebih berhak 
memilikinya. Karena aku adalah cucu tunggal Eyang 
Kampayak.” 
“Aku yang berhak!” tukas Rara Sawit mendelik. 
“Kita buktikan nanti, siapa yang paling berhak 
memilikinya. Aku atau kau!” tantang Klabang Ireng. 
“Baik, kita buktikan sekarang,” balas Rara Sawit 
mantap. 
Dan tanpa membuang-buang waktu lagi, mereka 
langsung saja berlari cepat mempergunakan ilmu 
meringankan tubuhnya yang sudah tinggi tingkatan-
nya, menuju ke arah titik cahaya di atas bukit. Mereka 
terus berlari dengan kecepatan tinggi, seakan-lkan 
saling berlomba agar bisa sampai lebih dulu. Tapi 
tampaknya tingkat ilmu meringankan tubuh yang 
mereka miliki sejajar, sehingga mereka terus 
beriringan tanpa ada yang tertinggal sedikit pun juga. 
Begitu tingginya ilmu meringankan tubuh yang 
mereka miliki, sehingga dalam waktu tidak berapa 
lama mereka sudah sampai di tempat yang mereka 
tuju. Sebuah bukit yang hanya terdiri dari batu-batu 
bertumpuk. Kelihatan begitu rapuh sekali bukit ini. 
Dan cahaya itu terlihat jelas, berada tepat di puncak 
bukit Begitu terang dan menyilaukan mata. Membuat


kedua anak muda ini jadi terperangah memadangnya. 
Mereka terus memandang dari kaki bukit batu ini 
tanpa berkedip sedikit pun juga. Dan untuk beberapa 
saat lamanya mereka jadi terdiam mematung dengan 
kepala terdongak memandang cahaya yang 
memancar dari puncak bukit batu di depannya ini. 
“Ayo kita daki bukit ini,” ajak Klabang Ireng begitu 
tersadar dari keterpanaannya. 
“Tunggu dulu...!” sentak Rara Sawit, sambil 
mencekal pergelangan tangan pemuda itu. 
Klabang Ireng yang sudah bersiap hendak 
melangkah mendaki bukit batu ini, jadi menghentikan 
keinginannya. Dan dia langsung berpaling menatap 
pada gadis cantik di sebelahnya. Saat itu Rara Sawit 
langsung tersadar. Cepat-cepat dia melepaskan 
cekalan tangannya pada pergelangan tangan pemuda 
itu. Seketika wajahnya jadi menyemburat merah. Dan 
dia mengarahkan pandangannya ke arah lain, seakan 
ingin menyembunyikan wajahnya yang mendadak jadi 
terasa panas. Entah kenapa, dadanya terasa begitu 
cepat berdetak. Dan darahnya juga jadi bergolak tidak 
seperti biasanya. Namun cepat Rara Sawit bisa 
menguasai keadaan dirinya yang mendadak saja jadi 
terasa ganjil ini. 
“Kenapa kau selalu mencegahku, Rara Sawit? Apa 
kau takut aku akan serakah menguasai pedang itu 
sendiri?” tegur Klabang Ireng dengan nada suara 
yang terdengar agak dingin. 
“Aku.... Aku, aku hanya...,” entah kenapa, Rara 
Sawit jadi tergagap. 
“Dengar, Rara Sawit. Kalau pedang itu sudah kita 
temukan, di sana nanti kita akan tentukan siapa 
diantara kita berdua yang berhak memilikinya,” kata 
Klabang Ireng lagi, tanpa mempedulikan ketergagapan gadis itu. 
“Terserah kau, Klabang Ireng,” sambut Rara Sawit 
sudah mulai agak tenang suaranya kini. “Tapi kini aku 
hanya ingin mengatakan, sebaiknya kita pikirkan dulu 
untuk mendaki bukit ini. Apa kau tidak lihat, 
bagaimana rapuhnya bukit ini...? Lihat, Klabang Ireng. 
Sedikit saja melakukan kesalahan, aku yakin bukit ini 
akan ambruk mengubur kita semua di sini.” 
Klabang Ireng jadi tertegun, memandangi bukit 
batu yang ada di depannya ini. Dan di dalam hatinya 
dia mengakui kebenaran dari kata-kata Rara Sawit 
barusan. Bukit ini memang kelihatan begitu rapuh 
sekali. Bahkan bukit ini hanya terdiri dari batu-batu 
yang bertumpuk. Seakan-akan memang sengaja 
dibuat tangan manusia. Klabang Ireng mengakui di 
dalam hati, perlu pengerahan ilmu meringankan 
tubuh yang lebih lagi untuk bisa mendaki bukit ini 
sampai ke puncak. Sedangkan dia menyadari kalau 
ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya sekarang 
ini, belum cukup untuk mengimbangi merapuhan 
bukit ini. Dan yang pasti, beban berat tubuhnya akan 
membuat batu-batu bukit ini berguguran. 
Sesaat Klabang Ireng beralih menatap pada Rara 
Sawit Seakan dia tengah mengukur tingkat ilmu 
meringankan tubuh yang dimiliki gadis ini. Dia tahu 
kalau ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Rara 
Sawit seimbang dengan yang dimilikinya. Jadi tidak 
mungkin mereka berdua mendaki bukit batu ini. 
Terlalu besar resikonya yang harus mereka hadapi 
nanti. Sedangkan cahaya terang yang memendar dari 
atas bukit itu sudah membuat mereka berdua begitu 
yakin, kalau Pedang Dewa Naga yang selama ini 
mereka cari ada di sana. Dan cahaya yang memendar 
terang itu berasal dari Pedang Dewa Naga.

“Kau tunggu saja di sini, Rara Sawit. Kalau aku 
gagal nanti, kau bisa menggantikanku,” kata 
Klabang Ireng. 
“Tidak...!” sentak Rara Sawit tegas. 
Klabang Ireng jadi mendelik. 
“Kalau kau naik ke bukit ini, aku juga ikuti naik,” 
kata Rara Sawit lagi tetap tegas. 
“Jangan main-main, Rara Sawit. Kau sendiri vang 
memperingatkan tadi. Tapi sekarang, kau keras 
kepala mau tetap mendaki bukit ini,” dengus Klabang 
Ireng jadi sengit. 
“Aku yang menentukan dalam hal ini!” bentak Rara 
Sawit tidak mau kalah sengitnya. 
“Heh...?! Memangnya kau ini apaku...?” 
“Jangan bilang aku ini apamu, Klabang Ireng. 
Karena aku yang lebih berhak atas pedang itu 
daripada kau!” 
“Edan...! Kau benar-benar keras kepala, Rara Sawit 
Menyesal aku bertemu denganmu,” dengus Klabang 
Ireng menggerutu kesal. 
Rara Sawit hanya mencibir saja sambil mendengus 
kecil. Dia kemudian mengayunkan kakinya beberapa 
langkah ke depan. Klabang Ireng tidak mau 
ketinggalan. Dia cepat melangkah hendak menyusul 
gadis ini. Tapi baru saja kakinya berada di depan satu 
langkah, Rara Sawit sudah mengibaskan tangannya 
ke samping. 
“Haiiit..!” 
Klabang Ireng cepat menghentakkan tangannya, 
menangkis kibasan tangan gadis ini. Dan kedua 
tangan itu seketika beradu dengan keras. 
Plak! 
“Upths!” 
“Hap...!”

Mereka sama-sama berlompatan ke samping, 
hingga terdapat jarak sekitar satu batang tombak. 
Manis sekali mereka menjejakkan kakinya secara 
bersamaan di tempat yang berbatu ini. Dan sekarang 
mereka sama-sama berdiri saling berhadapan, 
dengan tatapan mata yang tajam, tidak ada yang mau 
mengalah sedikit pun juga. 
*** 
“Tingkahmu semakin memuakkan saja, Rara 
Sawit,” desis Klabang Ireng tidak dapat lagi menahan 
kesabarannya. “Seharusnya kau mau mengalah 
sedikit” 
“Huh! Enak saja kau bicara!” dengus Rara Sawit 
mangkel. “Aku datang jauh-jauh hanya dengan satu 
tujuan. Tapi kau seenaknya saja bicara. Kau pikir aku 
tidak mampu menghajarmu...?” 
Merah seluruh wajah Klabang Ireng mendengar 
kata-kata Rara Sawit yang begitu pedas dan 
menyakitkan. Dia merasa benar-benar direndahkan 
gadis ini. Memang beberapa waktu yang lalu, Rara 
Sawit hampir saja memenggal kepalanya, kalau 
Pendekar Pulau Neraka tidak segera datang dan 
menyelamatkannya. Tapi waktu itu Klabang Ireng 
terlalu meremehkan kemampuan gadis ini, sehingga 
dia lengah, dan pukulan Rara Sawit sampai mendarat 
di dadanya. 
Tapi sekarang, Klabang Ireng tidak bisa lagi 
memandang sebelah mata pada gadis yang sudah 
membuat hatinya jengkel ini. Terlebih lagi kata-kata 
Rara Sawit tadi benar-benar merendahkan dirinya. 
Jelas sekali dari sikap kata-katanya yang selalu 
menyakitkan itu, Rara Sawit sudah memandang

rendah pada pemuda ini. Dan tadi Rara Sawit sudah 
membuka tantangan secara terbuka. Pantang bagi 
Klabang Ireng mendiamkan tantangan itu. 
“Seharusnya kau diberi sedikit pelajaran, agar tahu 
adat,” desis Klabang Ireng dingin menggetarkan. 
“O..., jadi kau ingin membuktikan kejantananmu 
lagi? Baik, jangan menyesal kalau kau mati sebelum 
melihat Pedang Dewa Naga,” sambut Rara Sawit 
tidak kalah dinginnya. 
“Sombong...!” dengus Klabang Ireng semakin 
geram hatinya. 
“Ayo, aku beri kesempatan kau sepuluh jurus, 
Klabang Ireng,” tantang Rara Sawit lagi. 
Klabang Ireng malah diam saja, dengan 
pandangan mata yang bersorot sangat tajam, 
menembus langsung ke bola mata gadis itu. 
Sementara Rara Sawit jadi tersenyum sinis, 
membalas tatapan pemuda itu dengan sinar mata 
yang merendahkan. 
“Sebelum sampai sepuluh jurus, kau akan 
menyembah di telapak kakiku, Perempuan Liar!” 
desis Klabang Ireng memanasi. 
“Keparat! Kau akan menyesal, Klabang Ireng!” 
geram Rara Sawit langsung memerah wajahnya 
dikatakan perempuan liar. 
Sret! 
Cring...! 
Rara Sawit langsung saja mencabut pedangnya, 
dan disilangkan ke depan dada. Sementara Klabang 
Ireng jadi tersenyum tipis melihat gadis itu sudah 
langsung mencabut pedangnya. Sedikit dia 
menggeser seruling hitam yang selalu terselip di balik 
ikat pinggangnya. 
“Ayo! Maju kau, Keparat!” bentak Rara Sawit tidak

bisa lagi menahan kegeramannya. 
“Kau memberiku sepuluh jurus, Perempuan Liar. 
Sekarang aku beri kau kesempatan jurus,” balas 
Klabang Ireng semakin memanasi. 
“Setan...! Kupenggal kepalamu! Hiyaaat..!” 
Rara Sawit tidak bisa lagi menahan kemarahan 
nya. Dia langsung saja melompat sambil berteri 
nyaring, menyerang pemuda ini. Pedangnya begi 
cepat sekali dikibaskan mengarah langsung ke ba-
tang leher. 
Bet! 
“Haiiit...!” 
Namun hanya dengan sedikit saja Klabang Ireng 
menarik kepalanya ke belakang, ujung pedang Rara 
Sawit berkelebat lewat di depan tenggorokannya. Dan 
pada saat itu juga, Klabang Ireng memberikan satu 
sodokan cepat ke dada gadis ini. 
“Kurang ajar! Hih...!” 
Semakin memerah wajah Rara Sawit melihat 
tangan Klabang Ireng menyorong ke arah dadanya. 
Sambil membentak, dia memutar pedangnya ke 
depan dada. Namun dengan gerakan berputar yang 
begitu indah sekali Klabang Ireng bisa menghindari 
tangannya dari tebasan pedang gadis ini. Dan sambil 
meliukkan tubuhnya, dia melepaskan satu tendangan 
keras menggeledek yang disertai dengan pengerahan 
tenaga dalam tinggi. 
“Yeaaah...!” 
“Upths!” 
Rara Sawit cepat melompat ke belakang, 
menghindari tendangan dahsyat pemuda ini. Namun 
belum juga kedua kakinya menjejak tanah, Klabang 
Ireng sudah melompat dengan kecepatan yang 
sangat tinggi sambil mencabut senjatanya yang

berbentuk sebuah seruling hitam pekat. Dan bagai 
kilat dia mengebutkan seruling hitam itu ke pinggang 
gadis ini. 
Wut! 
“Aikh...?!” 
Rara Sawit jadi tersentak kaget setengah mati. 
Cepat-cepat dia memutar tubuhnya, hingga sabetan 
seruling hitam itu tidak sampai menyambar 
pinggangnya. Dan dengan manis sekali dia berhasil 
menjejakkan kakinya di tanah. Tepat pada saat itu, 
Klabang Ireng memberikan satu pukulan keras 
dengan tangan kirinya sambil berteriak lantang 
menggelegar. 
“Hiyaaa...!” 
“Hup!” 
Rara Sawit kembali harus melentingkan tubuhnya 
ke udara, menghindari pukulan Klabang Ireng yang 
begitu dahsyat bagai halilintar ini. Klabang Ireng tidak 
bisa lagi menahan arus pukulannya yang begitu 
deras. Sehingga kepalan tangannya menghantam 
dinding kaki bukit batu ini. Dan.... 
Glarrr...! 
Satu ledakan yang begitu keras seketika terdengar 
menggelegar. Dan seketika itu juga bukit batu yang 
menjadi persoalan mereka ini bergetar hebat bagai 
diguncang gempa. Suara gemuruh terdengar 
membuat kedua orang yang sedang bertarung ini jadi 
tersentak kaget setengah mati. 
Namun Rara Sawit yang sudah begitu marah, tidak 
mau mempedulikan bukit batu yang bergetar bagai 
hendak runtuh ini. Dia langsung saja melesat begitu 
cepat sekali dengan ujung pedang tertuju lurus ke 
depan dada lawannya ini sambil berteriak nyaring 
melengking.

“Hiyaaat..!” 
“Hup! Yeaaah...!” 
Klabang Ireng yang sempat melihat bukit batu itu 
akan runtuh, cepat-cepat dia melentingkan tubuhnya 
ke belakang, dan terus berputaran beberapa kali di 
udara sebelah serangan Rara Sawit sampai. 
“Hup! Yeaaah...!” 
Klabang Ireng kembali melesat begitu kakinya 
menjejak batu. Dan kembali dia berputaran di udara, 
bergerak cepat ke belakang. Sementara Rara Sawit 
yang belum menyadari keadaan, terus mengejar 
pemuda ini sambil mengecutkan pedangnya dengan 
cepat Gadis itu terus berlompatan mengejar lawannya 
yang terus saja berjumpalitan di udara sambil 
bergerak ke belakang. 
“Hap!” 
Begitu merasa jaraknya sudah cukup jauh dari 
bukit batu yang terus bergetar runtuh ini, Klabang 
Ireng tidak lagi melentingkan tubuhnya ke belakang. 
Dan dia berdiri tegak memperhatikan Rara Sawit yang 
terus meluruk deras, bagai anak panah dilepaskan 
dari busurnya. 
“Rara Sawit, hentikan semua ini...!” seru Klabang 
Ireng mencoba memperingati. 
“Kau harus mampus, Klabang Ireng Keparat! 
Hiyaaa...!” 
*** 
Rara Sawit sama sekali tidak mempedulikan 
peringatan Klabang Ireng. Dan dia terus saja 
menyerang pemuda ini dengan jurus pedangnya yang 
begitu cepat dan dahsyat. Klabang Ireng terpaksa 
harus berjumpalitan kembali di udara, menghindari

setiap serangan Rara Sawit yang begitu dahsyat itu. 
Tapi Klabang Ireng bergerak semakin menjauhi bukit 
batu. Dan sama sekali dia tidak melancarkan 
serangan balasan. 
Sikap Klabang Ireng yang sebenarnya ingin 
menyelamatkan diri mereka berdua dari kehancuran 
bukit batu itu, malah diartikan Rara Sawit lain. Gadis 
ini merasa pemuda itu sudah merendahkannya 
dengan terus menghindar tanpa mau membalas 
serangannya sedikit pun juga. Bahkan Klabang Ireng 
terus bergerak mundur dengan berjumpalitan di 
udara. 
“Pengecut kau, Klabang Ireng! Hiyaaat..!” teriak 
Rara Sawit sengit. 
Bentakan Rara Sawit begitu keras menggelegar. 
Dan seketika itu juga dia mengebutkan pedangnya 
tepat mengarah ke dada dan leher Klabang Ireng 
dengan kecepatan yang sangat tinggi, hingga bentuk 
pedangnya lenyap, dan yang terlihat hanya kilatan 
cahaya putih keperakan menyambar ke arah dada 
dan leher dalam waktu yang hampir bersamaan. 
“Upths...!” 
Klabang Ireng berhasil menghindari tebasan 
pedang itu pada lehernya. Namun saat pedang itu 
berputar mengarah ke dada, sama sekali tidak ada 
kesempatan bagi Klabang Ireng untuk berkelit 
menghindarinya. Dan ujung pedang itu siap merobek 
dadanya. Namun disaat ujung pedang itu seulung 
rambut lagi menyentuh dada Klabang Ireng, 
mendadak saja secercah cahaya putih keperakan 
berkelebat dengan kecepatan bagai kilat menyambar 
Rara Sawit ini. Dan.... 
Trang! 
“Ikh...?!”

Rara Sawit jadi terpekik kaget, begitu merasakan 
pedangnya bagai membentur sebongkah batu cadas 
yang teramat keras. Hingga dia terpaksa harus 
menarik pulang serangannya, dan melompat ke 
belakang sejauh lima langkah sambil berputaran di 
udara dua kali. Tampak bibirnya meringis begitu 
kakinya menjejak tanah berbatu yang bergetaran 
seperti diguncang gempa sejak tadi ini. 
Benturan cahaya putih keperakan bagai kilat pada 
pedangnya tadi, membuat seluruh persendian tulang 
kanan gadis ini jadi terasa nyeri. Dan belum lagi Rara 
Sawit bisa menyadari apa yang telah terjadi tadi, 
terlihat sebuah bayangan kuning berkelebat begitu 
cepat sekali, hingga tahu-tahu di antara dia dan 
Klabang Ireng sudah berdiri seorang pemuda berbaju 
kulit harimau, dengan seekor monyet kecil berbulu 
hitam pekat berada di pundaknya. 
“Bayu...,” desis Rara Sawit langsung mengenali. 
Pemuda yang baru datang itu memang Bayu, yang 
lebih dikenal dengan nama sebutan Pendekar Pulau 
Neraka. Dia berdiri tepat di antara Rara Sawit dan 
Klabang Ireng yang sama-sama menghunus 
senjatanya ini. 
“Untuk apa kalian bertarung?” terasa begitu dingin 
sekali nada suara Bayu. 
Tidak ada seorang pun yang menjawab pertanyaan 
Pendekar Pulau Neraka itu. Entah kenapa, mulut 
mereka seakan terkunci, melihat wajah ang ker yang 
ditunjukkan Bayu. Seakan-akan Pendekar Pulau 
Neraka itu memiliki satu kekuatan aneh yang 
membuat mereka tidak ada yang bisa mengeluarkan 
suara. 
“Masukkan senjata kalian!” bentak Bayu 
memerintah.


Kembali Klabang Ireng dan Rara Sawit tidak bisa 
membantah perintah Pendekar Pulau Neraka itu. 
Tanpa diperintah dua kali, mereka menyimpan 
senjatanya masing-masing. Seperti anak kecil yang 
ketahuan nyolong mangga, mereka tertunduk tidak 
berani membalas tatapan mata Pendekar Pulau 
Neraka yang begitu tajam memandangi mereka 
berdua bergantian. 
“Apa yang kalian perebutkan?” tanya Bayu lagi. 
Tidak ada seorang pun yang menjawab. Dan 
perlahan mereka sama-sama mengangkat kepalanya, 
lalu secara bersamaan pula mereka menatap ke arah 
puncak bukit batu yang kini sudah tenang kembali. 
Tampak tidak sedikit batu-batu dari bukit itu yang 
berguguran. Dan di atas puncak bukit itu, masih 
terlihat semburat cahaya terang benderang, yang 
membuat daerah sekitarnya jadi terang, seperti 
tersiram cahaya rembulan. Padahal malam ini di 
langit tidak terlihat bulan sedikit pun juga. Bahkan 
tidak satu pun bintang menggantung di sana. Langit 
kelihatan begitu kelam pekat, tersaput awan hitam 
yang tebal bergulung-gulung. Membuat udara di 
sekitar bukit batu itu jadi terasa dingin menggigilkan 
tubuh. 
“Kalian tahu, apa yang ada di sana?” tanya Bayu 
lagi, langsung bisa mengetahui arti pandangan mata 
Klabang Ireng dan Rara Sawit yang tertuju ke puncak 
bukit. 
Kembali tidak ada seorang pun yang menjawab. 
Mereka malah mengarahkan matanya, memandang 
Pendekar Pulau Neraka ini. Sementara Bayu 
menurunkan Tiren dari pundaknya. Dan monyet kecil 
itu mencerecet ribut, begitu terlepas dari pundak 
pemuda ini. Seakan dia tidak senang menginjak

bebatuan yang terasa begitu dingin membekukan 
tulang. 
“Kau ke sana, Tiren,” pinta Bayu seraya menunjuk 
ke puncak bukit. 
“Nguk!” 
Tanpa diminta dua kali, monyet kecil berbulu hitam 
pekat itu langsung berlarian berjingkrakan menuju ke 
bukit batu. Dengan gerakan yang begitu lincah dan 
ringan sekali, Tiren mendaki bukit batu itu dengan 
cepat. Sementara Klabang Ireng dan Rara Sawit 
hanya bisa memandangi saja tanpa dapat mengeluar-
kan suara lagi. Dan Bayu terus memandangi monyet 
kecil itu sampai menghilang dari pandangan matanya. 
Dan setelah beberapa saat menunggu, tiba-tiba 
saja cahaya terang yang ada di puncak bukit itu 
padam. Klabang Ireng dan Rara Sawit jadi terkejut. 
Meskipun mulut mereka tenganga, tapi tidak ada 
suara sedikit pun juga yang terdengar. Sedangkan 
Bayu sudah mengayunkan kakinya mendekati bukit 
batu itu. Dia baru berhenti melangkah setelah berada 
di kaki bukit ini. Dan pada saat itu, Tiren terlihat 
berlompatan dengan gerakan yang begitu ringan 
sekali menuruni lereng bukit. 
“Nguk! Craaagkh...!” 
Jeritan monyet kecil berbulu hitam yang nyaring 
itu, sempat membuat telinga mereka yang 
mendengar jadi terasa sakit Sementara Klabang Ireng 
dan Rara Sawit menunggu dengan segudang 
pertanyaan berkecamuk di dalam kepalanya, Tiren 
sudah dekat dengan Pendekar Pulau Neraka. Dan 
pemuda berbaju kulit harimau itu menjulurkan 
tangannya. Tiren langsung melompat naik ke pundak 
Pendekar Pulau Neraka itu melalui tangan yang 
menjulur padanya.

“Kalian lihat ini...!” seru Bayu seraya memutar 
tubuhnya berbalik. 
“Hah...?!” 
“Oh...?!” 
Klabang Ireng dan Rara Sawit jadi terkejut 
setengah mari, dengan bola mata terbeliak dan mulut 
ternganga lebar. Seakan mereka tidak percaya 
dengan apa yang dilihatnya. Padahal tadi mereka 
tidak melihat Tiren membawanya, tapi sekarang di 
tangan Pendekar Pulau Neraka itu... 
“Pedang Dewa Naga...,” desis Klabang Ireng, 
hampir tidak terdengar suaranya. 
Sementara Bayu sudah melangkah perlahan 
menghampiri mereka. Dia berhenti setelah jaraknya 
tinggal sekitar empat langkah lagi. Dia memandangi 
Klabang Ireng dan Rara Sawit bergantian. Sedangkan 
yang dipandangi malah memperhatikan pedang 
bersarung putih keperakan, dengan bagian gagang-
nya berbentuk kepala seekor naga berwarna putih 
keperakan juga. Tampak pada bagian pangkal sarung 
pedang dekat gagang, menyemburat cahaya 
keperakan. 
Pedang yang berada di dalam genggaman tangan 
Pendekar Pulau Neraka itu memang Pedang Dewa 
Naga yang menjadi permasalahan selama ini. Pedang 
yang membuat tokoh-tokoh persilatan selalu 
memimpikan untuk memilikinya. Bahkan menjadi 
rebutan antara Klabang Ireng dan Rara Sawit yang 
sama-sama mengakui menjadi pewaris yang sah dari 
pedang itu. 
“Sekarang kalian sudah tahu pedang ini memang 
ada. Hanya satu orang yang berhak memiliki pedang 
ini. Dan pada tubuh orang itu harus mengalir darah 
dari pembuatnya. Aku tidak tahu, siapa di antara

kalian berdua yang berhak memilikinya. Tapi aku 
mendapat amanat untuk menyerahkan pedang ini di 
antara kalian berdua,” kata Bayu dengan nada suara 
yang tegas. 
“Aku siap bertarung sampai mati untuk 
membuktikannya, Bayu,” sambut Rara Sawit mantap. 
“Bukan itu yang kumaksudkan,” kata Bayu seraya 
tersenyum dan menggelengkan kepalanya. 
“Lalu, bagaimana kau akan membuktikan siapa 
yang paling berhak?” tanya Klabang Ireng ingin tahu. 
Bayu tidak menjawab. Dia hanya tersenyum saja 
mendengar pertanyaan Klabang Ireng barusan. 
Seakan pertanyaan itu membuat hatinya tergelitik. 
Senyum Pendekar Pulau Neraka itu membuat 
Klabang Ireng dan Rara Sawit jadi saling melempar-
kan pandangan. Kemudian mereka memandangi 
Pendekar Pulau Neraka itu dengan sinar mata yang 
sukar untuk diartikan. 
“Katakan, Bayu. Siapa di antara kami yang berhak 
memilikinya,” desak Rara Sawit tidak sabar lagi. 
Dan belum juga Bayu menjawab pertanyaan gadis 
itu, tiba-tiba saja terdengar suara keras yang 
menggelegar mengejutkan. 
“Kalian semua tidak berhak...!” 
“Heh...?!” 
“Oh...?!” 
Belum lagi hilang suara yang keras menggelegar 
itu, muncul seorang wanita setengah baya, yang 
diiringi sekitar tiga puluh orang gadis-gadis cantik 
membawa tombak dari arah selatan. Dan tidak lama 
kemudian, dari arah timur muncul juga seorang laki-
laki tua berjubah putih yang berjalan menggunakan 
tongkat bersama sekitar dua puluh orang pemuda-
pemuda bersenjata golok.

“Dewi Pedang Maut..,” desis Rara Sawit. 
“Ki Jamparut..,” desis Klabang Ireng hampir 
bersamaan. 
Mereka memang Ki Jamparut dan Dewi Pedang 
Maut. Mereka datang tepat di saat Pendekar Pulau 
Neraka sudah mendapatkan Pedang Dewa Naga. Dan 
ini sebentar saja tempat ini sudah dipenuhi dua 
kekuatan yang cukup besar itu. Bayu bergegas 
melangkah lebih dekat dengan kedua anak muda ini. 
Seakan dia ingin melindungi mereka berdua dengan 
Pedang Dewa Naga yang berada di tangannya kini. 
“Serahkan pedang itu padaku, Pendekar Pulau 
Neraka!” bentak Dewi Pedang Maut lantang. 
“Untuk apa aku menyerahkan pedang ini padamu, 
Nisanak? Bukan kau yang berhak memilikinya,” sahut 
Bayu tegas. 
“Siapa saja berhak memilikinya, Bocah!” bentak Ki 
Jamparut menyelak lantang. 
“Ada yang lebih berhak daripada kalian,” sahut 
Bayu tetap tegas. “Dan aku tahu siapa yang berhak 
memiliki pedang ini.” 
“Huh! Alasan saja...! Aku tahu, kau juga ingin 
memilikinya,” dengus Dewi Pedang Maut dingin. 
Bayu hanya tersenyum saja. Dia melangkah dua 
tindak ke depan, mendekati wanita setengah baya 
yang masih kelihatan cantik ini. Meskipun kata-kata 
Dewi Pedang Maut tadi begitu menyakitkan telinga, 
tapi Bayu sama sekali tidak menghiraukan. Bahkan 
dia kelihatn begitu tenang sekali, menyelipkan 
Pedang Dewa Naga ke balik ikat pinggangnya. Sedikit 
Bayu berpaling, menatap pada Klabang Ireng dan 
Rara Sawit 
“Menyingkirlah kalian. Mereka bukan tandingan 
kalian berdua,” kata Bayu meminta.

Klabang Ireng dan Rara Sawit saling berpandangan 
sejenak. Kemudian mereka melangkah ke belakang, 
menjauhi Pendekar Pulau Neraka itu. Sementara 
Bayu sendiri menurunkan Tiren dari pundaknya. 
Monyet kecil berbulu hitam itu seperti tahu akan 
bahaya yang sedang dihadapi Pendekar Pulau Neraka 
ini. Dia bergegas berlari menghampiri bongkah batu 
yang cukup besar di belakang Pe dekar Pulau Neraka. 
Dengan gerakan yang san ringan sekali monyet kecil 
itu melomapt naik atas batu. Bayu tersenyum melihat 
Tiren, Klabang Ireng, dan Rara Sawit sudah berada di 
tempat yang cukup aman. 
“Apa yang kalian inginkan sekarang...?” tanya Bayu 
dengan nada suara yang terdengar dingin meng-
getarkan. 
Dewi Pedang Maut dan Ki Jamparut saling 
berpandangan beberapa saat, mendengar pertanyaan 
Bayu yang bernada menantang itu. Mereka sudah 
sama-sama tahu siapa Pendekar Pulau Neraka ini. 
Seorang pendekar muda digdaya yang sukar dicari 
tandingannya. Dan mereka sudah pernah bentrok 
dengannya. Mereka juga sama-sama menyadari ka 
lau tingkat kepandaian yang dimilikinya belum cu kup 
untuk menandingi Pendekar Pulau Neraka ini. Tapi 
mereka begitu menginginkan Pedang Dewa Naga 
menjadi milikinya. Dengan pedang itu, kekuatan yang 
mereka miliki akan berlipat ganda. 
“Bagaimana, Ki?” tanya Dewi Pedang Maut 
meminta pendapat. 
“Kita serang saja sama-sama. Kalau sudah beres, 
baru kita tentukan nanti antara kita berdua,” sahut Ki 
Jamparut mantap. 
Dewi Pedang Maut menganggukkan kepalanya 
sambil mengembangkan senyuman tipis yang terasa

begitu pahit sekali. Dia tahu, walaupun sekarang 
harus bergabung dengan Ki Jamparut, tapi urusan 
mereka untuk mendapatkan Pedang Dewa Naga 
nanti juga akan ditentukan dengan darah. Dan 
sekarang mereka berdua harus menghadapi 
Pendekar Pulau Neraka bersama-sama. 
“Sekarang, Ki...,” ujar Dewi Pedang Maut 
“Ya!” sahut Ki Jamparut mantap. “Gunakan dulu 
orang-orang kita.” 
Dewi Pedang Maut kembali mengangguk. Dan.... 
“Seraaang...!” 
Secara bersamaan, Dewi Pedang Maut dan Ki 
Jamparut berteriak lantang menggelegar memberikan 
perintah pada pengikutnya. Dan seketika itu juga, 
mereka yang sejak tadi berada di belakang kedua 
orang ini langsung berlarian meluruk ke arah 
Pendekar Pulau Neraka. 
*** 
Kaki bukit yang berbatu itu seakan dilanda gempa, 
bergemuruh menggetarkan begitu sekitar lima puluh 
orang berhamburan, meluruk deras menyerang 
Pendekar Pulau Neraka dengan berlarian sambil 
berteriak-teriak membahana. Membuat malam yang 
pekat dan dingin seketika menjadi hangat dan gegap 
gempita bagai hendak meruntuhkan bukit batu ini. 
Sementara Bayu tetap berdiri tegak dengan kedua 
tangan terkepal di samping pinggangnya. Tatapan 
matanya begitu tajam sekali memandang orang-orang 
yang berhamburan, meluruk deras ke arahnya. Dan 
begitu mereka dekat, dengan jarak kurang dari satu 
batang tombak lagi... 
“Hiyaaa...!”


Sambil berteriak keras menggelegar, Pendekar 
Pulau Neraka itu menghentakkan kedua tangannya 
tepat ke depan ujung kakinya. Dan seketika itu juga, 
batu-batu yang ada di depan kakinya berhamburan 
terhantam kekuatan dahsyat dari pukulan bertenaga 
dalam tinggi Pendekar Pulau Neraka itu. 
Batu-batu yang berhamburan itu langsung meng-
hujani mereka yang berlarian hendak menyerang 
Pendekar Pulau Neraka ini. Begitu cepatnya kejadian 
itu, sehingga mereka tidak sempat lagi menyadari. 
Dan batu-batu itu langsung menghantam batok 
kepala mereka, hingga membuat jeritan-jeritan 
melengking seketika terdengar menyayat saling 
sambut. 
Seketika itu juga tubuh-tubuh dengan kepala 
pecah terhantam batu, jatuh bergelimpangan 
mengiringi jeritan-jeritan panjang yang melengking 
menyayat hati. Dan Bayu kembali menghentakkan 
kedua tangannya dengan jari-jari terkembang ke 
depan sambil berteriak keras menggelegar meng-
getarkan jantung. 
“Yeaaah...!” 
Brolll! 
Kembali batu-batu di depan Pendekar Pulau 
Neraka itu berhamburan terhempas angin pukulan 
kedua tangan pemuda ini. Dan terus menghujani 
pengikut Dewi Pedang Maut dan Ki Jamparut. 
Membuat mereka semakin kelabakan, berhamburan 
berusaha mencari selamat. Tapi batu-batu yang 
terlontar itu bagaikan hujan saja datangnya. Hingga 
mereka tidak punya lagi peluang untuk bisa 
menyelamatkan diri. 
Jerit dan pekikan panjang melengking menyayat, 
terus terdengar saling sambut disusul dengan

berjatuhnya tubuh-tubuh berlumuran darah. Tidak 
seorang pun yagn bisa bangkit lagi begitu tubuhnya 
menghantam tanah berbatu ini. Darah berhamburan 
membasahi batu-batu dari kepala yang pecah. 
Keadaan ini tentu saja membuat Ki Jamparut dan 
Dewi Pedang Maut jadi ternganga. Mereka begitu 
terkejut, tidak menyangka bakal seperti ini jadinya. 
Dua kekuatan pengikut mereka yang berjumlah lima 
puluh orang ini, sama sekali tidak berdaya hanya 
menghadapi satu orang saja. Dan dalam waktu tidak 
lama, tidak ada seorang pun dari mereka yang masih 
terlihat berdiri. 
Bayu berdiri tegak dengan kedua tangan terlipat di 
depan dada. Sorot matanya terlihat begitu tajam 
sekali memandangi mayat-mayat yang ber-
gelimpangan saling tumpang tindih di depannya. 
Kemudian pandangannya tertuju lurus pada Ki Jam-
parut dan Dewi Pedang Maut yang masih terbeliak, 
seperti tidak percaya dengan apa yang bani saja 
disaksikannya ini. 
Pengikut mereka berdua yang bergabung menjadi 
satu, dan berjumlah tidak kurang dari lima puluh 
orang itu, kini tidak satu pun yang terlihat masih bisa 
berdiri. Mereka sudah bergelimpangan saling 
tumpang tindih tanpa nyawa lagi melekat di tubuhnya. 
Hampir semua dari mereka kepalanya pecah 
berlumuran darah, terhantam batu-batu yang 
terlempar akibat terkena pukulan dahsyat Pendekar 
Pulau Neraka. 
“Keparat..!” desis Ki Jamparut begitu tersadar dari 
keterpanaannya. “Kau harus mampus di tanganku, 
Bocah Setan! Hiyaaat...!” 
Sambil berteriak lantang menggelegar, Ki Jam-
parut yang sudah hancur kakinya itu langsung saja

melompat dengan kecepatan yang luar biasa sekali. 
Dan tongkat kayunya langsung dikebutkan tepat 
mengarah ke kepala Pendekar Pulau Neraka ini. 
“Mampus kau, Bocah Setan!” 
Bet! 
“Haiiit...!” 
Namun dengan hanya mengegoskan kepalanya 
saja sedikit, Bayu bisa menghindari kebutan tongkat 
laki-laki tua ini. Dan tanpa diduga sama sekali, 
Pendekar Pulau Neraka itu menghentakkan tangan 
kirinya lurus ke depan, tepat disaat tongkat yang 
hampir menghantam kepalanya itu lewat ke samping. 
“Upths!” 
Namun dengan gerakan tubuh berputar di udara, 
Ki Jamparut berhasil menghindari sodokan tangan kiri 
Pendekar Pulau Neraka itu. Dan dengan manis sekali 
dia menjejakkan kakinya di tanah. Tongkatnya 
langsung menekan tanah berbatu ini, untuk 
menyangga tubuhnya yang kini hanya berkaki satu. 
“Hup! Yeaaah...!” 
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Ki Jamparut 
kembali melompat menerjang dengan kebutan 
tongkat yang begitu cepat disertai dengan 
pengerahan tenaga dalam yang tinggi. Laki-laki tua ini 
mengarahkan kebutan tongkatnya ke kepala 
Pendekar Pulau Neraka. Tapi kembali kebutan 
tongkatnya lewat tanpa mendatangkan hasil. Bayu 
hanya mengegoskan kepalanya saja sedikit, mem-
buat serangan Ki Jamparut tidak mencapai sasaran 
dengan tepat. 
“Hih! Yeaaah...!” 
Bet! 
Bayu yang tidak mau lagi membuang-buang waktu 
menghadapi lawannya ini, langsung mengecutkan

tangan kanannya ke depan sambil memiringkan 
tubuhnya sedikit ke kiri. Dan seketika itu juga Cakra 
Maut yang selalu menempel di perge- langan 
tangannya melesat begitu cepat sekali bagai kilat. 
Hingga yang terlihat hanya kilatan cahaya putih 
keperakan. 
“Ikh...?!” 
Ki Jamparut terpekik kaget setengah mati. Cepat-
cepat dia mengebutkan tongkatnya ke depan, sambil 
melentingkan tubuhnya, berputaran ke belakang. 
Hingga Cakra Maut lewat menerobos di bawah orang 
tua berjubah putih ini. 
Tapi tanpa diduga sama sekali, Cakra Maut itu 
langsung berputar balik, tepat disaat Bayu 
menghentakkan tangan kanannya ke atas. Dan 
langsung meluruk deras menyerang orang tua 
berjubah putih ini. Begitu cepatnya lesatan senjata 
maut berbentuk lingkaran bersegi enam berwarna 
putih keperakan ini, hingga membuat kedua bola 
mata Ki Jamparut jadi terbeliak lebar. Daa... 
Bet! 
Wusss...! 
“Heh...?!” 
Ki Jamparut jadi terkejut setengah mati, begitu 
melihat kebutan tongkatnya tidak sampai 
menghantam senjata aneh Pendekar Pulau Neraka 
itu. Bahkan Cakra Maut bisa melesat ke atas 
menghindari sabetan tongkat orang tua mi. Seperti 
memiliki mata saja, Cakra Maut langsung meluruk 
deras. Dan.... 
Crabbb! 
“Aaa...!” 
***

Ki Jamparut jadi terpekik keras, begitu Cakra Maut 
menghantam dadanya, hingga tembus ke punggung. 
Dan senjata maut Pendekar Pulau Neraka itu 
langsung melesat tembus dari punggung orang tua 
ini. Sementara Bayu sudah mengangkat tangan 
kanannya ke atas kepala. Cakra Maut kembali 
menempel di pergelangan tangan Pendekar Pulau 
Neraka itu. 
Tampak Ki Jamparut masih berdiri dengan tubuh 
limbung dan mata terbeliak lebar, seakan tidak 
percaya dengan apa yang telah terjadi pada dirinya. 
Darah mengalir keluar dengan deras sekali dari dada 
dan punggungnya yang berlubang tertembus Cakra 
Maut, senjata andalan Pendekar Pulau Neraka tadi. 
Dan tidak lama Ki Jamparut bertahan berdiri. 
Kemudian tubuh tuanya ambruk dengan keras sekali 
menghantam bebatuan yang berserakan di 
sekitarnya. Beberapa kali tubuh orang tua berjubah 
putih itu bergulingan. Kemudian menggelegar, dan 
mengejang kaku diiringi suara erangan tertahan. 
Kemudian diam tidak bergerak-gerak lagi. Seketika 
nyawanya melayang dari tubuhnya yang menggeletak 
dengan darah tenis bercucuran deras dari lubang di 
dada dan punggungnya. 
“Phuih!” 
Kematian Ki Jamparut membuat Dewi Pedang 
Maut jadi mendengus geram, menyemburkan 
ludahnya. Dia memandangi Pendekar Pulau Neraka 
dengan sinar mata yang begitu tajam menusuk. 
Seakan dia ingin menghancur-leburkan pemuda 
berbaju kulit harimau itu dengan cahaya bola 
matanya yang tajam, dan merah membara bagai 
sepasang bola api. Sedangkan yang dipandangi tetap 
berdiri tegak dengan kedua tangan terlipat di depan

dada. 
Tapi tampaknya Dewi Pedang Maut ragu-ragu 
untuk menyerang. Cukup lama juga dia memandangi 
Pendekar Pulau Neraka itu dengan sinar mata yang 
tajam dan merah membara bagai api berselimut 
dendam dan kemarahan. Sedangkan Bayu tetap 
menunggu dengan sikap yang kelihatan begitu tenang 
sekali. Bahkan bibirnya terlihat mengulas senyuman 
tipis. Seakan dia menanti serangan wanita setengah 
baya yang masih kelihatan cantik itu. 
“Giliranmu sekarang, Nisanak,” ujar Bayu dingin. 
“Phuih...!” 
Dewi Pedang Maut hanya menyemburkan 
ludahnya dengan sengit, menyambut tantangan 
Pendekar Pulau Neraka itu. Tapi dia belum juga mau 
bergerak. Seakan dia ragu-ragu untuk menyerang 
Pendekar Pulau Neraka ini. Melihat begitu mudahnya 
Bayu menghantam lawan-lawannya tadi, gentar juga 
hati wanita ini. Tapi begitu melihat mayat-mayat 
pengikutnya yang bergelimpangan di depannya, 
darahnya kembali bergolak mendidih. Kini tidak ada 
lagi orang yang berdiri di belakangnya. Dan hanya dia 
sendiri yang harus menghadapi Pendekar Pulau 
Neraka. Dewi Pedang Maut kembali menyemburkan 
ludahnya, seakan dia ingin memantapkan hatinya 
menghadapi pemuda berbaju kulihat harimau yang 
sangat digdaya ini. 
Sret! 
Cring...! 
Dewi Pedang Maut mencabut pedangnya, dan 
langsung disilangkan ke depan dada. Memang tidak 
ada pilihan lain lagi baginya, kecuali menghadapi 
Pendekar Pulau Neraka ini seorang diri. Walaupun di 
dalam hatinya menyadari, kepandaian yang
dimilikinya belum cukup untuk menghadapi Pendekar 
Pulau Neraka. Tapi Dewi Pedang Maut tidak punya 
pilihan lagi. Dan dia tidak mau kehilangan muka. 
Baginya lebih baik mati dalam pertarungan, daripada 
harus meninggalkan tempat ini tanpa memiliki muka 
lagi. 
“Sekarang kita bertarung sampai salah satu di 
antara kita ada yang mati, Pendekar Pulau Neraka,” 
terdengar begitu dingin sekali nada suara Dewi 
Pedang Maut. 
“Hm,” Bayu hanya menggumam saja sedikit. 
'Tahan seranganku, Pendekar Pulau Neraka 
Hiyaaat..!” 
“Hap!” 
Bayu cepat melompat ke kanan, begitu Dewi 
Pedang Maut melesat menyerangnya dengan ujung 
pedang tertuju lurus ke arah dadanya. Sedikit Bayu 
memiringkan tubuhnya, hingga pedang wanita itu 
lewat di depan dadanya. Dan pada saat itu juga Bayu 
menghantamkan telapak tangannya ke pergelangan 
tangan Dewi Pedang Maut. 
“Haiiit..!” 
Tapi Dewi Pedang Maut sudah lebih cepat 
memutar tangan kanannya yang menggenggam 
pedang itu. Dan langsung dikibaskan ke arah batang 
leher Pendekar Pulau Neraka ini. Begitu cepatnya 
tebasan berputar yang dilakukan Dewi Pedang Maut, 
sehingga tidak ada lagi kesempatan bagi Bayu untuk 
berkelit menghindarinya dalam jarak yang begitu 
rapat ini. Dan.... 
***

DELAPAN

“Haps!” 
Cepat Bayu mengangkat tangan kanannya ke 
depan lehernya, hingga mata pedang wanita itu 
menghantam tepat di pergelangan tangan kanan 
yang terdapat senjata berupa cakra bersegi enam. 
Tring! 
“Ikh...?!” 
Dewi Pedang Maut jadi terpekik kaget, begitu mata 
pedangnya membentur senjata maut Pendekar Pulau 
Neraka itu. Cepat dia melompat ke belakang, sambil 
memutar tubuhnya dua kali. Begitu kerasnya 
benturan dua senjata itu, hingga terlihat percikan 
bunga api yang menyebar ke segala arah. Sedangkan 
Bayu sendiri tetap berdiri tegak, tidak bergeming 
sedikit pun juga. 
“Hap!” 
Manis sekali Dewi Pedang Maut menjejakkan 
kakinya ke tanah sekitar satu batang tombak jauhnya 
dari Pendekar Pulau Neraka. Dengan bibir meringis, 
dia mengurut tangan kanannya yang sempat nyeri 
akibat benturan yang keras tadi dengan senjata aneh 
Pendekar Pulau Neraka yang melekat di pergelangan 
tangan kanannya itu. 
“Keparat kau, Pendekar Pulau Neraka...,” Dewi 
Pedang Maut geram, dengan sorot mata yang 
memancar tajam menatap lurus ke bola mata 
pemuda di depannya ini.

Bayu hanya diam saja dengan bibir menyungging-
kan senyuman tipis. Dia menaruh tangan kirinya ke 
depan dada, seakan ingin memperlihatkan senjata 
Cakra Maut yang menempel di luar perge-langan 
tangan kanannya itu. Senjata maut Pendekar Pulau 
Neraka itu berkilatan, bagai mengancam jiwa wanita 
setengah baya yang masih kelihatan cantik ini. 
“Saatnya kau tahan jurus andalanku, Pendekar 
Pulau Neraka! Hiyaaat..!” 
Sambil membentak keras menggelegar, Dewi 
Pedang Maut melompat dengan kecepatan tinggi 
menenang Pendekar Pulau Neraka. Pedangnya 
diangkat lurus mengarah ke dada pemuda itu. Dan 
begitu dekat, langsung dikibaskan dengan gerakan 
berputar. 
“Haiiit..!” 
Namun hanya dengan mengegoskan tubuhnya 
saja, Bayu bisa menghindari tebasan pedang itu. Dan 
dia cepat melompat ke belakang, begitu Dewi Pedang 
Maut tenis mencecar dengan sabetan pedangnya 
yang begitu cepat bagai kilat Beberapa kali ujung 
pedang wanita itu hampir merobek tubuh Bayu. Tapi 
dengan gerakan yang begitu indah dan cepat luar 
biasa, Bayu masih bisa menghindarinya. 
Serangan-serangan yang dilancarkan Dewi Pedang 
Maut kali ini memang sangat luar biasa sekali. 
Permainan pedangnya sungguh cepat luar biasa. 
Bahkan setiap sabetan pedangnya selalu menimbul-
kan suara mencicit yang membuat hati jadi ter-giris. 
Namun Bayu masih menandinginya dengan hanya 
berputaran dan meliuk-liukkan tubuhnya. Hingga 
tidak satu pun serangan yang dilancarkan Dewi 
Pedang Maut berhasil menyentuh tubuhnya.

“Cukup sudah kesempatanmu, Dewi Pedang Maut! 
Yeaaah...!” 
Tiba-tiba saja Bayu membentak nyaring. Dan 
seketika itu juga tubuhnya melesat tinggi ke atas, lalu 
bagaikan kilat dia meluruk deras dengan tangan kiri 
menjulur lurus mengarah ke bagian atas kepala 
wanita lawannya ini. Begitu cepatnya serangan balik 
yang dilancarkan Pendekar Pulau Neraka itu, 
sehingga membuat Dewi Pedang Maut jadi ter-
perangah dibuatnya. 
“Hup! Yeaaah...!” 
Tapi belum juga serangan yang dilancarkan 
Pendekar Pulau Neraka itu sampai, Dewi Pedang 
Maut sudah membanting tubuhnya ke tanah yang 
berbatu ini, dan bergulingan beberapa kali sebelum 
dia melompat bangkit berdiri. Tepat di saat Bayu 
menjejakkan kakinya kembali dengan tegak. Dan saat 
itu juga Bayu memiringkan tubuhnya ke kiri dengan 
posisi agak membungkuk. Lalu sambil berteriak keras 
menggelegar, dia mengebutkan tangan kanannya ke 
depan. 
“Hiyaaa...!” 
Wusss! 
Cakra Maut yang menempel pada pergelangan 
tangan kanan Pendekar Pulau Neraka itu melesat 
begitu cepat sekali bagai kilat Begitu cepatnya, 
hingga yang terlihat hanya kilatan cahaya putih 
keperakan yang meluruk deras mengarah ke dada 
Dewi Pedang Maut Membuat wanita itu jadi terbeliak 
lebar. Dan.... 
Crab! 
“Aaa...!”

Tidak ada lagi kesempatan bagi Dewi Pedang Maut 
untuk menghindarkan diri dari ancaman senjata maut 
Pendekar Pulau Neraka itu. Cakra Maut seketika itu 
juga menghujam begitu dalam sekali ke dada wanita 
ini. Begitu tingginya pengerahan tenaga dalam yang 
disalurkan Bayu pada senjatanya ini, membuat 
senjata berbentuk bintang bersegi enam itu tembus 
sampai ke punggung. 
Darah seketika muncrat berhamburan dari dada 
dan punggung yang berlubang tertembus Cakra Maut 
Dan di saat Bayu mengangkat tangan kanannya ke 
atas kepala, senjata cakra bersegi enam berwarna 
putih keperakan itu melesat balik dengan cepat, lalu 
menempel erat di pergelangan tangan kanan 
Pendekar Pulau Neraka ini. Sementara Dewi Pedang 
Maut masih terlihat berdiri dengan tubuh yang sudah 
limbung. 
Dia memandangi Bayu dengan sinar mata seakan 
tidak percaya dengan apa yang terjadi pada dirinya. 
Sementara darah semakin banyak mengalir keluar 
dari dada dan punggungnya yang berlubang, ter-
tembus senjata Pendekar Pulau Neraka itu tadi. 
Hanya sebentar saja Dewi Pedang Maut masih bisa 
bertahan berdiri dengan kedua kakinya. Setelah dia 
limbung beberapa saat, kemudian mulai ambruk 
menggelimpang di tanah yang berbatu ini. Begitu 
keras sekali tubuhnya jatuh bergelimpang, hingga 
tempat sekitarnya jadi terasa bergetar. Sedikit pun 
wanita itu tidak bergerak lagi. Nyawanya langsung 
melayang seketika, begitu tubuhnya menghantam 
bebatuan ini. Sementara Bayu sudah memutar 
tubuhnya berbalik, dan melangkah menghampiri 
KJabang Ireng dan Rara Sawit yang menunggu 
bersama Tiren. Monyet kecil berbulu hitam

mencerecet ribut. Seakan begitu gembira melihat 
pemuda ini dapat mengalahkan semua musuh-
musuhnya. 
*** 
“Hhh...! Ini terakhir. Aku harus mengurus 
mereka...,” desah Bayu di dalam hati, begitu berada 
dekat di depan Klabang Ireng dan Rara Sawit. 
Beberapa saat Pendekar Pulau Neraka ini 
memandangi mereka. Terdengar tarikan napasnya 
yang panjang, disusul dengan hembusan napas yang 
keras dan terasa nyeri. Seakan dia begitu sulit untuk 
menentukan siapa di antara mereka yang lebih 
berhak memiliki Pedang Dewa Naga yang kini berada 
di dalam genggaman tangan kanannya ini. 
“Kalian masih menginginkan pedang ini?” tanya 
Bayu dengan nada suara terdengar agak dingin. 
Klabang Ireng dan Rara Sawit serentak meng-
anggukkan kepala. Dan Bayu kembali menghembus-
kan napas panjang yang terasa begitu berat 
terdengar di telinga. Kembali mereka bertiga terdiam 
beberapa saat Sedangkan Tiren yang berada di 
pundak Pendekar Pulau Neraka itu juga terdiam 
membisu, tidak memperdengarkan suara sedikit pun 
juga. 
“Kalian tahu, pedang ini selalu membawa 
malapetaka. Semua orang selalu menginginkannya. 
Bahkan mereka tidak pedulikan nyawa yang hanya 
selembar, asalkan bisa memiliki pedang ini,” kata 
Bayu lagi memberi tahu. 
“Aku harus membawa pulang pedang itu untuk 
guruku, Bayu,” ujar Rara Sawit.

“Aku juga,” selak Klabang Ireng. 
“Guruku sedang sakit. Hanya pedang itu yang 
dapat menyembuhkannya,” kata Rara Sawit tidak 
mau kalah. 
“Ayahku juga sangat membutuhkannya. Kelum-
puhannya bisa terobati dengan pedang itu. Dan lagi, 
ayahku keturunan langsung dari Eyang Rampayak. 
Jadi aku yang lebih berhak membawa pedang itu 
daripada kau,” sentak Klabang Ireng seraya menatap 
tajam gadis cantik di sebelahnya. 
“Siapa pun dari kalian berhak memiliki pedang ini,” 
kata Bayu menengahi. 
“Karena kalian adalah cucu-cucu dari Eyang 
Rampayak.” 
“Apa kau bilang...?!” 
Klabang Ireng .dan Rara Sawit jadi terbeliak lebar 
mendengar kata-kata yang diucapkan Pendekar Pulau 
Neraka barusan. Sungguh mereka tidak bisa mem-
percayai, kalau mereka sebenarnya satu keturunan. 
Dan berhak memiliki Pedang Dewa Naga yang selama 
ini mereka perebutkan. Bahkan menjadi rebutan 
orang-orang rimba persilatan. Mereka memandangi 
Pendekar Pulau Neraka itu, seakan masih belum bisa 
mempercayai dengan apa yang barusan didengarnya. 
“Sekarang aku serahkan pedang ini pada kalian 
berdua. Tapi ingat... Kalian harus menjaganya hati-
hati. Jangan sampai jatuh ke tangan orang lain yang 
tidak bertanggung jawab,” kata Bayu seraya 
mengulurkan pedang itu. 
Tapi kali ini tidak ada yang mau mengambilnya. 
Klabang Ireng dan Rara Sawit hanya memandangi 
saja, seperti tidak percaya kalau pedang itu 
diserahkan begitu saja pada mereka berdua. Bayu

yang melihat tidak ada seorang pun yang mau 
mengambil, meletakkan pedang itu di depan mereka. 
Lalu tanpa bicara lagi dia memutar tubuhnya, dan 
terus saja berjalan meninggalkan kedua anak muda 
ini. 
Sementara Rara Sawit dan Klabang Ireng masih 
tetap diam, tidak tahu kalau Pendekar Pulau Neraka 
sudah meninggalkan mereka. Mereka terus 
memandangi pedang yang tergeletak di depannya. 
Tidak ada yang mau mengambilnya lebih dahulu. 
Padahal sebelum ini mereka sampai bertarung, 
bahkan hampir di antara mereka menjadi korban. 
Tapi sekarang..., setelah pedang itu ada di depan 
mereka, tidak ada yang mau mengambilnya lebih 
dulu. Seakan kata-kata Bayu yang mengejutkan bagai 
petir menyambar di tengah malam buta ini, membuat 
mereka jadi seperti patung. 
Dan setelah begitu lama mereka diam mematung, 
sampai Bayu tidak terlihat lagi, baru mereka 
menggerakkan kepalanya. Lalu saling berpandangan, 
dengan sinar mata yang begitu sukar untuk dilukiskan 
dengan kata-kata. 
“Kau percaya apa katanya, tadi?” tanya Rara Sawit 
pelan suaranya. 
“Ayahku saja mempercayainya. Aku juga harus 
percaya pada apa yang dikatakannya,” sahut Klabang 
Ireng. 
“Tapi dari mana kita bisa bersaudara?” tanya Rara 
Sawit. 
“Sebaiknya kita tanyakan saja pada orang tuaku, 
juga pada gurumu,” sahut Klabang Ireng. 
“Ya, itu memang satu-satunya cara,” sambut Rara 
Sawit seraya mengangkat bahunya.

Mereka kembali terdiam dan memandangi Pedang 
Dewa Naga yang masih tergeletak di depan mereka 
berdua. Rara Sawit bergerak maju mendekati, dan 
mengambil pedang itu dengan hati-hati. Sebentar dia 
memandangi, kemudian menghampiri Klabang Ireng. 
Kemudian menyodorkan pedang itu pada pemuda ini. 
“Aku rasa, aku harus mempercayakan pedang itu 
kau pegang, Klabang Ireng,” ujar Rara Sawit. 
“Kau percaya padaku?” Klabang Ireng kelihatan 
ragu-ragu. 
“Kau begitu percaya pada apa yang dikatakan 
Pendekar Pulau Neraka. Dan aku juga tidak punya 
pilihan lain lagi. Aku percaya kau akan berlaku jujur 
dan ksatria,” sahut Rara Sawit seraya tersenyum. 
“Baiklah, Rara Sawit Akan kupegang kepercayaan-
mu,” sambut Klabang Ireng, seraya menerima pedang 
itu. 
Sebentar Klabang Ireng memandangi pedang di 
tangannya ini. Kemudian dia menggantungkan di 
pinggang. Entah kenapa, Rara Sawit jadi tersenyum 
melihat Klabang Ireng menggantungkan pedang di 
pinggangnya. Dan memang dengan Pedang Dewa 
Naga, Klabang Ireng kelihatan semakin bertambah 
gagah dan tampan. 
“Ayo, Rara Sawit,” ajak Klabang Ireng. 
“Ke mana tujuan kita?” tanya Rara Sawit. 
“Menemui gurumu lebih dulu. Lalu baru kita sama-
sama menemui ayahku.” 
Rara Sawit mengangguk menyetujui. Dan mereka 
kemudian melangkah tanpa banyak bicara lagi, 
meninggalkan tempat yang begitu penting dan 
berharga bagi mereka berdua. Mereka pergi untuk 
mencari tahu dari mana asal-usul mereka berdua, 
hingga Pendekar Pulau Neraka mengatakan kalau

mereka bersaudara. Dan yang tahu memang 
orangtua mereka sendiri. 


                                SELESAI


Share:

0 comments:

Posting Komentar