SENGKETA SEPASANG
PENDEKAR
oleh Teguh Suprianto
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Rajawali Sakti
dalam episode :
Sengketa Sepasang Pendekar
128 hal ; 12 x 18 cm
SATU
Angin bertiup begitu kencang menyebarkan udara
dingin yang menusuk hingga ke tulang. Malam ini
langit begitu pekat sekali, tanpa terlihat setitik pun
cahaya bintang maupun rembulan. Malam yang
membuat semua orang di Desa Harugating tidak ada
yang mau keluar dari dalam rumahnya. Membuat
desa yang cukup besar dan padat penduduknya itu
jadi sunyi senyap, bagaikan sebuah desa mati yang
ditinggalkan penghuninya. Hanya kerlip cahaya lampu
pelita di tiap beranda depan rumah saja, yang
menandakan desa itu masih berpenduduk.
Dalam kesunyian yang begitu mencekam, terlihat
seseorang berjalan perlahan-lahan memasuki Desa
Harugaling. Sulit untuk mengenali wajahnya. Karena
dia mengenakan tudung dari bambu yang sudah
usang dan cukup besar hingga menutupi hampir
seluruh wajahnya. Hanya pada bagian bibir dan dagu
saja yang terlihat.
Pakaian yang dikenakan cukup ketat, berwarna
hitam, hingga membuatnya hampir tersamar di dalam
kegelapan malam yang sangat pekat ini. Sebatang
tongkat dari bambu berwarna kuning, diayun-ayunkan
di tangan kanannya. Sesekali dia mengecutkan
tongkatnya ke samping seperti ada sesuatu yang
mengganggu langkah kakinya dari samping
kanannya. Dan setelah dia berada cukup dalam di
Desa Harugaling ini, ayunan langkah kakinya terhenti.
Beberapa saat dia berdiri tegak dengan kepala sedikit
terangkat. Hingga terlihat sebentuk hidung yang kecil,
namun sangat indah mencuat ke atas.
“Hm....”
Sedikit dia menggumam kecil sambil meng-
gerakkan kepalanya ke kiri dan kanan, seakan dia
hendak merayapi sekitarnya dari balik tudung bambu
yang menutupi hampir seluruh wajahnya ini. Tidak
seorang pun yang terlihat di sekitarnya. Hanya rumah-
rumah saja yang terdiam membisu.
“Sunyi sekali desa ini. Seperti tengah terjadi
sesuatu...,” gumamnya lagi dengan suara perlahan
menduga-duga.
Beberapa saat dia masih terdiam memandangi
sekelilingnya yang sunyi seperti tidak berpenghuni ini.
Dari suaranya, sudah bisa dipastikan kalau dia
seorang laki-laki. Dan ketika kakinya baru saja
terayun hendak melangkah, tiba-tiba saja telinganya
yang tajam mendengar suatu suara. Dan belum juga
dia bisa mengetahui suara apa yang didengarnya
barusan, mendadak saja...
Wusss!
“Heh...?! Hup!”
Untung dia cepat melompat ke atas, hingga
terjangan sebatang anak panah yang meluruk cepat
bagai kilat itu bisa dihindari. Dan anak panah itu
lewat di bawah telapak kakinya, langsung menancap
pada daun pintu sebuah rumah yang berada tepat di
belakang laki-laki berhidung bambu ini.
Dengan gerakan yang sangat indah sekali, dia
menjejakkan kakinya di tanah tanpa menimbulkan
suara sedikit pun juga. Tepat pada saat itu, terlihat
sekitar sepuluh orang laki-laki berusia muda
berlompatan dari balik dinding dan atap rumah yang
ada di sekitar laki-laki berhidung bambu itu berada.
Sebentar saja dia sudah terkepung tidak lebih dari
sepuluh orang yang semuanya sudah menghunus
golok di tangan kanan.
Belum juga lama laki-laki berhidung bambu itu
terkurung, muncul seorang laki-laki berusia lanjut,
mengenakan baju jubah putih panjang yang bersih,
dengan sebatang tongkat kayu tergenggam di tangan
kanan menyangga tubuhnya yang sudah kelihatan
agak membungkuk.
Walaupun usianya sudah lanjut dan rambutnya
sudah memutih semua, tapi dari caranya berjalan
begitu ringan, sudah bisa dipastikan kalau orang tua
ini memiliki kepandaian yang tidak bisa dipandang
dengan sebelah bola mata. Dia baru berhenti
melangkah setelah jaraknya tinggal sekitar lima
langkah lagi di depan laki-laki berhidung bambu ini.
“Siapa kau, Kisanak? Ada perlu apa kau datang
malam-malam ke desa ini?” tegur orang tua berjubah
putih itu langsung.
“Aku hanya seorang pengembara yang kebetulan
lewat di desa ini, Ki,” sahut laki-laki bertudung bambu
itu kalem. “Apakah kedatanganku mengganggu
ketenangan desamu ini...?”
“Lalu apa tujuanmu datang ke sini?” tanya orang
tua berjubah putih itu lagi, masih dengan nada suara
yang dingin dan datar menggetarkan hati.
“Hanya sekadar singgah.”
“Anak muda, bukannya aku tidak menginginkan
kau berada di desa ini. Tapi untuk kebaikanmu
sendiri, sebaiknya kau segera tinggalkan desa ini
sekarang juga,” kata orang tua berjubah putih itu
tegas.
Kalau saja tidak terlindung oleh tudung bambu
yang berukuran cukup lebar itu, pasti sudah terlihat
kening laki-laki bertudung bambu ini berkemyit
mendengar kata-kata yang tegas dan jelas bernada
mengusir itu. Dan untuk beberapa saat mereka
semua jadi terdiam. Sementara orang tua berjubah
putih yang tampaknya mempunyai pengaruh di Desa
Harugaling ini memandangi orang bertudung itu
dengan sinar mata yang sangat tajam menusuk. Tapi
yang dipandangi seperti tidak peduli. Seakan-akan
tidak ada sedikit pun bahaya mengancam di
sekitarnya. Padahal semua orang yang mengepung-
nya ini sudah siap menyerang dengan senjata
terhunus di tangan masing-masing.
“Kenapa kau diam...? Cepatlah kau tinggalkan
desa ini sebelum terjadi sesuatu yang merugikan
pada dirimu!” sentak orang tua berjubah putih agak
lantang suaranya.
“Tidak mungkin aku kembali lagi, Ki. Aku harus
melalui desa ini,” sahut orang bertudung bambu itu
mantap.
“Hhh! Bandel juga kau rupanya. Apa yang kau
andalkan, heh...?”
“Hm....”
Orang bertudung bambu itu hanya menggumam
saja sedikit Jelas dia sudah tahu kalau laki-laki tua
berjubah putih ini sudah gusar dengan sikapnya yang
tetap tidak mau meninggalkan Desa Harugaling ini.
Sementara anak-anak muda yang mengepungnya
sudah kelihatan tidak sabaran lagi.
“Maaf, aku harus melanjutkan perjalananku,” ucap
orang bertudung bambu itu.
Dan belum lagi kata-katanya menghilang dari
pendengaran, dia sudah melesat dengan cepat sekali
ke atas. Tapi pada saat yang bersamaan, laki-laki tua
berjubah putih sudah melesat mengejarnya sambil
membabatkan tongkat kayunya dengan kecepatan
bagai kilat, disertai pengerahan tenaga dalam yang
tinggi.
Wut!
“Upts...!”
Kibasan tongkat kayu itu berhasil dihindari dengan
memutar tubuhnya ke belakang. Dan orang berhidung
bambu ini kembali menjejakkan kakinya di tanah.
Tepat bersamaan dengan mendaratnya orang tua
berjubah putih.
***
Perlahan orang bertudung bambu melepaskan
tudung yang menutupi hampir seluruh wajahnya itu.
Dan dalam siraman cahaya pelita yang redup dari
rumah penduduk di sekitarnya, terlihat seraut wajah
tampan, dengan kumis tipis menghiasi bawah
hidungnya. Dia langsung menatap orang tua berjubah
putih di depannya dengan sinar mata yang teramat
tajam sekali. Seakan dia tidak senang perjalanannya
terhambat seperti ini.
“Ki, aku Klabang Ireng tidak suka diperlakukan
seperti ini. Aku hanya sekadar lewat, tapi kenapa kau
seperti memusuhiku...? Apa maumu sebenarnya,
Ki...?” terdengar agak lantang suara anak muda yang
mengenalkan dirinya bernama Klabang Ireng ini.
“Kalau kau mau menuruti kata-kataku, kau tidak
akan mendapatkan kesulitan di sini. Anak Muda.
Siapa pun kau, desa ini tertutup bagi pendatang.
Walaupun hanya sekadar lewat,” sahut orang tua
berjubah putih itu tegas.
“Kau kepala desa ini?” tanya Klabang Ireng agak
sinis nada suaranya.
“Benar. Aku Ki Jamparut, Kepala Desa Harugaling
ini. Dan aku yang berkuasa di desa ini. Jadi kau tidak
perlu membuat ribut di sini,” sahut orang tua
berjubah putih yang ternyata Kepala Desa Ha-
rugaling, dan bernama Ki Jamparut ini tegas.
“Kenapa kau tutup desa ini?” tanya Klabang Ireng
ingin tahu.
“Semua orang yang datang ke sini hanya membuat
susah penduduk saja. Dan aku berhak untuk
menutup desa ini dari pendatang mana pun juga,
termasuk kau...!”
“Baik, aku akan pergi dari sini. Tapi aku tidak mau
kembali ke jalan semula,” kata Klabang Ireng tegas.
“Kau tidak bisa melewati desa ini sebelum
melangkahi mayatku, Anak Muda!”
“Hm....”
Lagi-lagi Klabang Ireng menggumam perlahan.
Jelas sekali dari raut wajahnya kalau dia sudah tidak
sabar lagi meladeni sikap Kepala Desa Harugaling ini.
Dan gerahamnya sudah bergemeletuk menahan
kegeraman. Sementara Ki Jamparut sendiri sudah
memberikan isyarat pada anak-anak muda di
sekelilingnya untuk siap menerima perintah.
“Maaf, aku tidak punya waktu berdebat
denganmu, Ki,” ujar Klabang Ireng dingin.
Dan setelah dia berkata begitu, langsung saja dia
melesat dengan cepat, berusaha melewati hadangan
Ki Jamparut di depannya. Tapi pada saat yang
bersamaan, Ki Jamparut sudah menggeser kakinya
sedikit ke kiri sambil mengecutkan tongkat kayunya
ke depan, dengan disertai pengerahan tenaga dalam
yang tinggi.
Bet!
“Haiiit..!”
Tanpa diduga sama sekali, Klabang Ireng
melentingkan tubuhnya ke atas, hingga tongkat Ki
Jamparut hanya lewat di bawah kedua telapak
kakinya. Dan langsung dia meluruk deras melewati
kepala orang tua itu.
“Hadang dia...!” seru Ki Jamparut memberi
perintah.
“Hiyaaa...!”
“Yeaaah...!”
“Setan! Hih...!”
Klabang Ireng benar-benar sudah tidak dapat lagi
mengendalikan dirinya. Begitu dua orang anak muda
menyerangnya dengan berlompatan sambil
mengebutkan goloknya, dengan cepat sekali dia
memutar tubuhnya di udara, lalu bagaikan kilat
tangan kanannya mengibas dua kali.
Dan saat itu juga....
Siap!
Wusss!
“Akh!”
“Aaa...!”
Dua kali jeritan seketika terdengar bersamaan
dengan terlihatnya dua buah benda berwarna hitam
pekat yang langsung menghantam dada dua orang
pemuda yang menyerang Klabang Ireng. Dan kedua
anak muda itu langsung terperai ke belakang. Lalu
keras sekali tubuh mereka jatuh menghantam tanah.
Tampak dada mereka berlubang seperti tertembus
senjata hingga ke punggungnya. Dan darah seketika
memuncrat keluar dengan deras.
Hanya beberapa saat saja dua orang anak muda
itu menggeliat sambil mengerang meregang nyawa.
Kemudian mengejang kaku, lalu diam tidak bergerak-
gerak lagi. Mati! Seketika nyawa mereka lenyap dari
tubuhnya.
“Keparat..! Kau bunuh muridku! Kau harus
mampus, Setan Keparat! Hiyaaat.!”
Sambil membentak nyaring, Ki Jamparut langsung
saja melompat dengan kecepatan bagai kilat
menyerang anak muda yang kini sudah melepaskan
tudung bambunya itu. Dan tepat di saat Ki Jamparut
mengebutkan tongkatnya ke arah kepala, Klabang
Ireng mengibaskan tangan kirinya yang memegang
tudung bambu.
Plak!
“Ikh...?!”
Ki Jamparut jadi terpekik kaget, begitu tongkatnya
membentur tudung bambu anak muda itu. Dia
merasakan seperti tersengat ribuan lebah berbisa
tangannya. Cepat dia melompat ke belakang sambil
memutar tubuhnya beberapa kali. Dan begitu manis
sekali kedua kakinya kembali menjejak tanah.
Sementara Klabang Ireng berdiri tegak sambil
menaruh tudung bambunya di dada, dengan tangan
kiri memeganginya.
“Kau punya isi juga rupanya, heh...? Bagus! Aku
tidak akan sungkan-sungkan lagi menghadapimu!”
desis Ki Jamparut dingin menggetarkan.
“Hm....”
Tapi Klabang Ireng hanya menggumam saja sedikit
Dan dia tetap berdiri tegak seperti menanti serangan
Kepala Desa Harugaling itu datang. Walaupun
perhatiannya tertuju pada Ki Jamparut, tapi dia juga
memperhatikan orang-orang yang ada di sekitarnya.
Dan tidak jauh di depannya, menggeletak dua orang
yang berlubang dadanya, terkena senjata rahasia
yang dilepaskan Klabang Ireng tadi.
“Kau harus bayar nyawa muridku, Setan Keparat!
Hiyaaat..!”
Sambil berteriak lantang menggelepar, Ki
Jamparut melompat dengan kecepatan bagai kilat
menerjang Klabang Ireng. Dan tongkatnya langsung
dikebutkan beberapa kali, mencecar bagian-bagian
tubuh lawannya yang mematikan.
“Hup! Yeaaah...!”
Tapi memang Klabang Ireng bukanlah anak muda
sembarangan. Walaupun dia diserang begitu gencar
dan dengan kecepatan yang tinggi, tapi sedikit pun
tidak tersirat kegentaran di wajahnya. Meskipun dia
menyadari dirinya sudah terkepung dengan rapat
Klabang Ireng berjumpalitan menghindari setiap
serangan yang dilancarkan Ki Jamparut.
***
Beberapa kali sabetan tongkat Ki Jamparut
berhasil ditangkis Klabang Ireng dengan tudung
bambunya. Dan setiap kali terjadi benturan, Ki
Jamparut selalu merasakan tangannya bergetar. Dan
tulang-tulangnya jadi terasa nyeri seperti mau rontok.
Tapi Ki Jamparut tidak menghiraukan lagi. Dia terus
menyerang dengan jurus-jurus tingkat tinggi yang
begitu cepat dan sangat berbahaya.
Dan dalam waktu tidak beberapa lama saja, Ki
Jamparut sudah menghabiskan lebih dari lima jurus.
Tapi belum satu pun serangannya yang berhasil
masuk ke sasaran. Bahkan sudah beberapa kali pula
dia harus berjumpalitan menghindari serangan
balasan yang dilancarkan lawannya ini. Walaupun
senjatanya hanya berupa tudung bambu, tapi
Klabang Ireng sama sekali tidak kelihatan terdesak.
Bahkan setelah beberapa jurus lagi berlalu, terlihat Ki
Jamparut tidak sanggup lagi melakukan serangan.
Bahkan kini dia harus berjumpalitan menghindari
setiap serangan yang dilancarkan Klabang Ireng.
“Hiyaaa...!”
Tiba-tiba saja Klabang Ireng berteriak keras
menggelegar. Dan pada saat itu juga dia
melentingkan tubuhnya sedikit ke atas. Lalu bagaikan
kilat kaki kanannya menghentak ke depan. Begitu
cepatnya serangan yang dilancarkan Klabang Ireng,
sehingga Ki Jamparut tidak dapat lagi menghidar.
Terlebih tubuhnya dalam keadaan miring, baru saja
menghindari serangan pukulan lawannya ini. Dan....
Diegkh!
“Akh...!”
Ki Jamparut jadi menjerit, begitu terasakan
tendangan yang dilancarkan Klabang Ireng tepat
menghantam dadanya. Dan membuatnya terpental
sejauh dua batang tombak ke belakang.
Bruk!
Keras sekali tubuh orang tua itu jatuh
menghantam tanah. Sementara Klabang Ireng sudah
kembali berdiri tegak pada kedua kakinya yang
kokoh.
“Seraaang...! Hoek!”
Ki Jamparut memutahkan darah kental agak
kehitaman begitu berteriak memberi perintah pada
murid-muridnya yang berjumlah cukup banyak ini.
“Hiyaaa...!”
“Yeaaah...!”
Tanpa menunggu perintah dua kali, anak-anak
muda yang memang sejak tadi sudah tidak sabaran
itu langsung saja berlompatan menyerang Klabang
Ireng dari segala arah. Namun Klabang Ireng memang
bukanlah orang sembarangan. Menghadapi
keroyokan berjumlah banyak seperti ini, dia langsung
melentingkan tubuhnya ke atas. Dan dengan
kecepatan bagai kilat, dia melesat berusaha untuk
meninggalkan lawan-lawannya ini.
Tapi belum juga keinginannya terlaksana, Ki
Jamparut sudah melemparkan beberapa batu kerikil
yang dipungutnya dari tanah, disertai dengan
pengerahan tenaga dalam yang sudah tinggi
tingkatannya.
“Hih!”
“Haiiit..!”
Klabang Ireng terpaksa harus menggagalkan
keinginannya, cepat dia mengecutkan tudung
bambunya beberapa kali menangkis lemparan batu-
batu kerikil yang meluruk begitu deras sekali bagai
anak panah mengincar tubuhnya.
“Hiyaaa...!”
“Hiyaaa...!”
Baru saja Klabang Ireng berhasil menangkis
semua batu kerikil yang dilontarkan Ki Jamparut, dua
orang anak muda yang sejak tadi mengepungnya
berlompatan dengan cepat sekali sambil mem-
babatkan goloknya bergantian.
“Hup!”
Klabang Ireng cepat meliukkan tubuhnya, meng-
hindari setiap serangan yang datang mengancamnya.
Dan begitu berhasil terlepas dari sambaran golok
kedua lawannya, dia langsung saja memutar
tubuhnya sambil memberikan dua kali pukulan yang
beruntun dengan kecepatan bagai kilat
Begitu cepatnya serangan balasan yang diberikan
Klabang Ireng, hingga membuat dua orang anak
murid Ki Jamparut itu tidak dapat lagi meng-
hindarinya. Dan pukulan yang dilepaskan Klabang
Ireng tepat menghantam dada mereka, hingga
membuatnya terpental cukup jauh ke belakang.
Dan hanya sebentar saja mereka menggeliat
Kemudian diam tidak bergerak-gerak lagi dengan
dada menghitam hangus seperti terbakar. Ki
Jamparut jadi tidak dapat lagi menahan
kemarahannya, melihat empat orang muridnya sudah
menggeletak tidak bernyawa lagi hanya dalam waktu
begitu singkat
“Hup! Hiyaaat..!”
Sambil berteriak nyaring, Ki Jamparut kembali
melesat dengan kecepatan yang sangat tinggi sekali
menerjang ke arah Klabang Ireng. Dan kembali dia
mengecutkan tongkatnya secara beruntun. Tapi
gerakan yang dilakukan Klabang Ireng memang
sungguh luar biasa sekali. Tubuhnya seperti belut,
begitu sulit untuk dijamah. Walaupun begitu, dia agak
kewalahan juga menghadapi serangan Ki Jamparut
kali ini, yang dibantu oleh murid-muridnya. Dan
serangan yang datang kali ini begitu gencar sekali,
datang dari segala penjuru mata angin. Membuat
Klabang Ireng terpaksa harus berjumpalitan, meliuk-
liukkan tubuhnya menghindari setiap serangan yang
datang tanpa dapat lagi memberikan serangan
balasan yang berarti.
“Phuih! Bisa terlambat nanti kalau mengurusi
mereka terus. Aku harus bisa pergi dari sini, huh...!”
Klabang Ireng jadi mendengus geram sendiri di
dalam hati. Dan dia terus mencari celah untuk bisa
meloloskan diri. Baru saja dia berpikir begitu,
kesempatan langsung datang. Klabang Ireng tidak
menyia-nyiakan begitu saja.
“Hup! Yeaaah...!”
Sambil berteriak keras menggelegar, dia langsung
melesat cepat menerobos daerah yang dianggapnya
lemah. Saat itu juga tudung bambunya dikibaskan.
Wut!
Dua orang murid Ki Jamparut terpaksa harus
berlompatan ke belakang, menghindari terjangan
Klabang Ireng. Dan ini memberikan kesempatan lebih
besar lagi bagi Klabang Ireng untuk bisa lolos dari
keadaan yang tidak menguntungkan ini. Tanpa
membuang-buang waktu lagi, dia cepat melesat
dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya
yang sudah tinggi tingkatannya.
“Hiyaaa...!”
'Tahan dia...!” seru Ki Jamparut begitu melihat
lawannya berhasil membuka kepungan.
Tapi teriakan perintah Ki Jamparut sudah
terlambat sedikit Klabang Ireng sudah berlari dengan
kecepatan yang sangat tinggi sekali, menghindari
kepungan anak-anak muda Desa Harugaling. Dan
kesempatan ini tidak dibuang begitu saja. Klabang
Ireng terus berlari dengan kecepatan seperti angin.
Hingga dalam waktu sebentar saja bayangan
tubuhnya sudah lenyap tidak terlihat lagi. Ki Jamparut
jadi kesal melihat lawannya lolos begitu saja. Dia
menghentakkan tongkatnya ke tanah.
“Kalian urus yang mati. Aku akan mengejar iblis
keparat itu!” perintah Ki Jamparut pada anak-anak
muda muridnya itu.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Ki Jamparut
langsung melesat, berlari cepat dengan mengerahkan
ilmu meringkan tubuhnya yang sudah tinggi
tingkatannya, hingga dalam sekejapan mata saja
bayangan tubuhnya sudah lenyap dari pandangan.
Sementara murid-muridnya membereskan teman-
temannya yang tewas.
DUA
Klabang Ireng terus berlari cepat dengan
mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya yang
sudah tinggi tingkatannya, menembus malam yang
begitu pekat, tanpa sedikit pun tersiram cahaya
bintang maupun bulan. Dia bani berhenti berlari
setelah dirasakan cukup jauh meninggalkan Desa
Harugaling. Perlahan dia memutar tubuhnya berbalik,
memandang ke arah desa yang masih kelihatan sunyi
seperti tidak berpenghuni. Hanya kerlip lampu pelita
saja yang menandakan desa itu masih dihuni
penududuknya.
Klabang Ireng baru menyadari kalau dia sekarang
berada di lereng sebuah bukit yang cukup lebat
ditumbuhi pepohonan. Dan udara di lereng bukit ini
terasa begitu dingin, membuat tubuhnya bergidik
menggigil. Klabang Ireng memakai lagi tudung
bambunya. Hingga wajahnya tampak kembali tertutup
tudung bambu yang cukup lebar ini. Sebentar dia
mengedarkan pandangannya berkeliling.
“Hm..., kalau tidak salah ini yang dinamakan Bukit
Sampan,” gumam Klabang Ireng perlahan, bicara
pada diri sendiri.
Kembali dia mengedarkan pandangannya
berkeliling. Tidak ada yang bisa dilihat, di dalam
kegelapan yang teramat pekat ini. Hanya pepohonan
saja yang terlihat menghitam. Tapi dari lereng ini, dia
bisa melihat jelas bentuk bukit yang memang mirip
sekali dengan sebuah sampan terbalik. Tidak salah
kalau bukit ini dinamakan Bukit Sampan.
“Aku sudah dekat. Mudah-mudahan saja tidak ada
lagi rintangan yang menghalangiku,” gumam Klabang
Ireng lagi.
Dia kembali memutar tubuhnya, dan terus
melangkah mendaki lereng bukit ini. Tidak terlalu sulit
baginya untuk berjalan terus di malam hari. Walau
sedikit pun tidak ada penerangan yang menuntun
langkahnya. Klabang Ireng terus berjalan menembus
pepohonan yang semakin dirasakan lebat
“Heh...?!”
Tiba-tiba saja Klabang Ireng menghentikan
langkahnya dengan terkejut. Dari balik tudung
bambunya, dia melihat seberkas cahaya seperti api di
depannya. Sesaat Klabang Ireng termenung diam.
Kemudian dia kembali mengayunkan kakinya,
melangkah dengan mengerahkan ilmu meringankan
tubuh yang sudah tinggi tingkatannya. Hingga sedikit
pun tidak terdengar suara saat kakinya terayun
melangkah.
“Hm, siapa dia...?” gumam Klabang Ireng,
bertanya-tanya di dalam hati begitu dia melihat
seseorang duduk di depan api unggun mem-
belakanginya.
Klabang Ireng mengamat-amati orang itu.
Keningnya jadi berkerut dengan kelopak mata
menyipit. Sulit untuk bisa mengenalinya. Orang itu
membelakangi, sehingga sukar untuk bisa melihat
wajahnya. Tapi dia yakin kalau dilihat dari bentuk
tubuhnya yang ramping, orang itu pasti wanita.
“Akan kucoba menegurnya. Mudah-mudahan saja
dia tidak memusuhiku seperti yang lainnya,” gumam
Klabang Ireng di dalam hati lagi.
Setelah mengambil keputusan, Klabang Ireng
melangkah keluar dari balik pohon tempatnya
bersembunyi tadi. Sengaja dia tidak mempergunakan
ilmu meringankan tubuh. Sehingga baru saja dia
berjalan beberapa langkah, wanita yang duduk di
depan api unggun itu langsung berpaling.
Tampaknya dia terkejut begitu melihat ada orang
mendatanginya. Cepat dia berdiri sambil memutar
tubuhnya berbalik. Dan tangan kirinya langsung
menggenggam gagang pedang yang berada di
pinggang.
Dari balik tudung bambunya yang lebar, Klabang
Ireng agak tercengang juga melihat raut wajah wanita
itu. Sungguh dia tidak menduga kalau wanita itu
begitu cantik bagai bidadari yang baru turun di
kayangan. Hingga membuatnya tertegun beberapa
saat, memandangi wajah yang begitu cantik.
“Maaf, kalau kedatanganku mengejutkanmu,
Nisanak,” ucap Klabang Ireng dengan nada suara
yang dibuat sopan.
“Siapa kau?” bentak gadis yang mengenakan baju
warna hijau muda cukup ketat itu.
“Aku Klabang Ireng,” sahut Klabang Ireng
memperkenalkan diri, sambil melepaskan tudung
bambu yang menutupi hampir seluruh wajahnya ini.
Dan dia melangkah beberapa tindak ke depan,
hingga jaraknya dengan gadis itu tinggal sekitar enam
langkah lagi. Senyumnya terkembang begitu manis
sekali. Tapi gadis cantik itu malah memasang wajah
angker. Dia mendelik, seakan tidak menyukai
senyuman ramah yang diberikan Klabang Ireng.
“Mau apa kau datang ke Bukit Sampan ini?” tanya
gadis itu lagi.
“Nisanak, sebelum aku jawab pertanyaanmu,
boleh aku tahu siapa namamu...?” ujar Klabang Ireng
dengan sikap yang ramah dan senyuman manis
terkembang di bibir.
“Rara Sawit,” sahut gadis itu memperkenalkan
namanya.
“Nama yang cantik, secantik orangnya,” puji
Klabang Ireng tulus.
“Jangan memujiku, Kisanak,” dengus Rara Sawit
ketus. “Sekarang jawab pertanyaanku. Mau apa kau
datang ke Bukit Sampan ini?”
“Hanya sekadar lewat,” sahut Klabang Ireng
kalem.
“Hhh...!
Rara Sawit jadi tersenyum sinis mendengar
jawaban yang tidak diinginkannya itu. Dia menggeser
kakinya sedikit ke kanan, sehingga cahaya api
unggun yang dibuatnya bisa menerangi wajah
Klabang Ireng yang kini tidak tertutup tudung
bambunya. Wajah tampan itu sempat juga membuat
Rara Sawit jadi agak tertegun. Tapi dia cepat bisa
menguasai diri. Tidak ingin langsung terpikat dengan
ketampanan laki-laki ini.
“Kau pasti datang ke sini sama seperti yang
lainnya. Kau juga mau mengakui pewaris Pedang
Dewa Naga, heh...?” terasa begitu sinis sekali nada
suara Rara Sawit.
***
Klabang Ireng tampak terkejut setengah mati,
ketika Rara Sawit menyebut Pedang Dewa Naga.
Begitu terkejutnya, sampai dia terlompat ke belakang
dua langkah. Sedangkan Rara Sawit semakin sinis
senyumannya. Seakan dia begitu yakin kalau
dugaannya tidak meleset sedikit pun juga.
“Nisanak, siapa kau sebenarnya? Dari mana kau
tahu tentang Pedang Dewa Naga...?” tanya Klabang
Ireng masih dengan keterkejutan yang amat sangat.
“Hhh! Sudah kuduga, kau datang ke bukit ini juga
dengan maksud yang sama seperti yang lainnya,”
dengus Rara Sawit semakin sinis, tanpa menjawab
sedikit pun pertanyaan yang dilontarkan Klabang
Ireng.
Sementara Klabang Ireng yang sudah bisa
menguasai rasa keterkejutannya tadi, langsung ber-
kerenyut keningnya mendengar kata-kata yang begitu
sinis dari gadis cantik ini. Seakan dia tidak percaya
dengan pendengarannya sendiri. Seorang gadis yang
begitu cantik bagai bidadari seperti ini bisa
melontarkan kata-kata begitu sinis dan tidak sedap
didengar telinga.
Tapi bukan kesinisan gadis itu yang membuat
Klabang Ireng jadi terpaku. Sungguh dia tidak
mengetahui kalau kabar tentang Pedang Dewa Naga
sudah tersebar begitu luas. Bahkan selama dalam
perjalanannya ke Bukit Sampan ini, sudah beberapa
kali dia terpaksa harus bertarung dengan orang-orang
yang mencoba mengurangi persaingan dalam
memperebutkan Pedang Dewa Naga.
Klabang Ireng sendiri tidak tahu, dari mana orang-
orang persilatan itu bisa mengetahui tentang Pedang
Dewa Naga yang sebenarnya memang sedang
dicarinya. Dan sekarang, dia harus berhadapan
dengan seorang gadis cantik yang kelihatannya sama
sekali tidak menunjukkan rasa persahabatan dan
keramah-tamahannya. Klabang Ireng merasa kalau
dia tidak mungkin bisa mengajak damai gadis ini,
kalau tahu dia sendiri sebenarnya memang sedang
mencari pedang pusaka itu. Tapi keterkejutan dan
pertanyaan tadi, sudah membuat yakin kalau Klabang
Ireng juga sedang mencari Pedang Dewa Naga.
“Dengar, Kisanak. Kalau kau menginginkan
Pedang Dewa Naga, langkahi dulu mayatku,” kata
Rara Sawit tegas.
Namun Klabang Ireng hanya diam saja,
memandangi gadis itu dengan sinar mata yang cukup
tajam. Seakan dia tengah mengukur sampai di mana
tingkat kepandaian yang dimiliki gadis cantik itu.
“Kenapa kau diam, heh...? Ayo, majulah kalau kau
memang ingin pedang itu!” bentak Rara Sawit garang.
“Aku tidak tahu siapa kau, Nisanak. Dan aku tidak
pernah ada urusan denganmu. Sebaiknya tidak perlu
di antara kita saling menumpahkan darah,” kata
Klabang Ireng mencoba untuk mendinginkan suasana
yang sudah terasa menghangat ini.
“Phuih! Kau takut, heh...?” ejek Rara Sawit
mencibir.
“Aku bukannya takut, tapi enggan berselisih
dengan wanita,” sahut Klabang Ireng kalem.
“Keparat..! Kau merendahkan aku, heh...?” geram
Rara Sawit langsung memuncak amarahnya.
Sret!
Cring...!
Tanpa menunggu lagi, Rara Sawit langsung saja
mencabut pedangnya yang tergantung di pinggang.
Saat itu juga kedua bola mata Klabang Ireng jadi
terbeliak lebar, melihat pedang yang sudah
tergenggam di tangan gadis itu. Sebuah pedang yang
berkilatan, memancarkan cahaya putih keperakan.
Dan dari ujung pedang itu, mengepul asap tipis yang
hampir tidak terlihat dengan pandangan mata biasa.
“Nisanak, siapa kau sebenarnya?” tanya Klabang
Ireng.
“Aku Rara Sawit, murid tunggal Eyang Sangga
Langit,” sahut Rara Sawit agak lantang suaranya.
“Hm..., jadi kau murid pembunuh keparat itu
rupanya,” desis Klabang Ireng jadi dingin suaranya.
“Setan! Berani kau menghina guruku, ya...? Kau
harus tebus dengan nyawamu! Hiyaaat..!”
Rara Sawit tidak dapat lagi menahan
kemarahannya, begitu telinganya mendengar nama
gurunya disebut sebagai pembunuh keparat. Dan
tanpa menghiraukan lagi siapa pemuda itu, Rara
Sawit langsung melompat menerjang sambil berteriak
nyaring.
Bet!
“Upths!”
Klabang Ireng cepat melompat ke belakang, begitu
pedang yang bercahaya putih keperakan itu
berkelebat begitu cepat sekali bagai kilat. Dan hampir
saja ujung pedang itu merobek tenggorokannya,
kalau saja dia tidak cepat menarik kepalanya ke
belakang.
Namun belum juga Klabang Ireng bisa
menegakkan tubuhnya kembali, Rara Sawit sudah
memberikan satu tendangan menggeledek yang
sangat dahsyat dengan tubuh dimiringkan ke kiri.
“Hap!”
Tidak ada lagi kesempatan bagi Klabang Ireng
untuk menghindari tendangan gadis ini. Cepat dia
mengecutkan tudung bambunya ke depan. Dan....
Prak!
“Heh...?!”
Klabang Ireng jadi terperanjat setengah mati,
begitu melihat tudung bambunya seketika hancur
terkena tendangan kaki kanan gadis itu. Cepat dia
melentingkan tubuhnya ke belakang, sambil
berputaran beberapa kali. Dan manis sekali kedua
kakinya menjejak tanah berumput yang cukup tebal
ini. Sementara Rara Sawit sudah siap hendak
menyerang lagi.
“Hiyaaa...!”
Sambil berteriak lantang menggelegar, Rara Sawit
kembali melompat sambil memutar pedangnya
dengan kecepatan bagai kilat. Dan Klabang Ireng
terpaksa harus berjumpalitan menghindari serangan
dahsyat gadis ini. Begitu cepatnya putaran pedang
itu, hingga bentuknya lenyap dari pandanggan mata.
Dan yang terlihat hanya kilatan-kilatan cahaya putih
keperakan, seperti mengurung seluruh tubuh Klabang
Ireng.
“Hiya! Hiya! Hiyaaa...!”
Rara Sawit semakin meningkatkan serangannya,
setelah beberapa jurus berlalu belum juga dia bisa
mendesak lawannya ini. Namun memang Klabang
Ireng bukanlah lawan yang ringan bagi gadis ini.
Walaupun tidak menggunakan senjata, Klabang Ireng
teramat sulit untuk dikalahkan. Bahkan sedikit pun
Rara Sawit tidak bisa mendesaknya. Bahkan sudah
beberapa kali Klabang Ireng membuatnya jungkir
balik, saat melancarkan serangan balasan.
Dan dalam waktu tidak berapa lama saja,
pertarungan itu sudah berjalan hampir sepuluh jurus.
Tapi belum juga Rara Sawit bisa mendesak.
Sedangkan pedangnya benar-benar sudah lenyap
bentuknya. Dan hanya kilatan-kilatan cahaya saja
yang terlihat berkelebat di sekitar tubuh Klabang
Ireng yang terus berjumpalitan menghindarinya.
“Hup! Yeaaah...!”
Tiba-tiba saja Klabang Ireng melentingkan
tubuhnya tinggi-tinggi ke atas. Tepat di saat Rara
Sawit membabatkan pedangnya mengarah ke kaki.
Dan pedang yang memancarkan cahaya putih
keperakan itu lewat sedikit saja di bawah telapak kaki
Klabang Ireng.
“Hap!”
Beberapa kali Klabang Ireng berputaran di udara.
Dan dengan cepat sekali dia meluruk ke bawah,
dengan jari-jari tangan kanan terkembang bagai
hendak mencengkeram batok kepala gadis cantik
lawannya ini.
“Haiiit...!”
Wuk!
Namun Rara Sawit juga bukan wanita
sembarangan yang bisa dengan mudah dikecohkan
begitu saja. Tepat di saat jari-jari tangan kanan
Klabang Ireng yang terkembang kaku seperti cakar
burung elang itu dekat, secepat kilat Rara Sawit
mengebut-kan pedangnya ke atas kepala.
“Upths...!”
Cepat-cepat Klabang Ireng menarik tangannya,
dan langsung dia memutar tubuhnya ke atas
menghindari tebasan pedang gadis ini. Setelah
berputaran beberapa kali di udara, Klabang Ireng
kembali menjejakkan kakinya di tanah. Namun pada
saat itu juga, Rara Sawit sudah memutar pedangnya
dan langsung dibabatkan ke pinggang pemuda
lawannya ini sambil berteriak keras menggelegar
bagai guntur membelah angkasa.
“Yeaaah...!”
Wusss!
“Hap!”
***
Klabang Ireng terpaksa harus melompat ke
belakang, sambil memutar tubuhnya satu kali di
udara, menghindari serangan yang dilancarkan gadis
cantik lawannya ini. Namun Rara Sawit tidak mau
melepaskannya begitu saja. Baru saja Klabang Ireng
bisa menjejakkan kakinya di tanah, Rara Sawit sudah
kembali melancarkan serangan.
Namun kali ini Klabang Ireng tidak mau lagi
tanggung-tanggung menghadapi gadis ini. Begitu
pedang yang berkilatan putih keperakan itu
berkelebat mengarah ke tenggorokan, dengan cepat
dia mencabut seruling hitamnya yang sejak tadi
terselip di pinggang. Dan langsung dikebutkan untuk
menangkis tebasan pedang gadis ini.
Trang!
Kilatan bunga api memijar, begitu dua benda yang
digunakan sebagai senjata beradu keras di udara.
Tampak mereka sama-sama berlompatan ke
belakang, dan berputaran beberapa kali di udara
sebelum menjejak tanah.
“Gila, gadis ini...! Kuat sekali pengerahan tenaga
dalamnya,” dengus Klabang Ireng dalam hati.
Memang Klabang Ireng merasakan tangannya
agak bergetar juga ketika suling hitamnya ber-
benturan dengan pedang Rara Sawit Tapi perasaan
itu juga ada di dalam diri Rara Sawit. Dia juga
merasakan tangannya jadi bergetar. Dan hampir saja
pedangnya tadi terlepas, kalau tidak segera
melentingkan tubuhnya berputaran ke belakang.
Semula Rara Sawit mengira kalau hanya dia saja
yang berbuat begitu. Tapi secara bersamaan, Klabang
Ireng juga melentingkan tubuhnya ke belakang, untuk
menghindari seruling hitamnya yang terlepas dari
tangan. Mereka saling mengakui ketangguhan
masing-masing, walaupun hanya terucap di dalam
hati. Dan untuk beberapa saat lamanya mereka
hanya berdiri tegak saling berpandangan dengan
sinar mata tajam. Seakan-akan mereka tengah
mengukur tingkat kepandaian yang dimiliki masing-
masing.
“Akan kucoba dia dengan jurus 'Kupu-kupu Menari
Menyengat Kumbang',” gumam Rara Sawit dalam
hati.
Setelah mendapat pikiran begitu, Rara Sawit
langsung mengembangkan kedua tangannya ke
samping. Dan begitu dia mengecutkan tangan
kanannya ke depan dengan pedang berputar cepat,
rubuhnya langsung melesat dengan kecepatan bagai
kilat menerjang Klabang Ireng.
Wut!
“Haiiit...!”
Klabang Ireng cepat meliukkan tubuhnya,
menghindari sambaran pedang gadis ini. Dan dia jadi
terperangah juga, melihat pedang itu meliuk lentur
mengejar gerakan tubuhnya. Cepat-cepat Klabang
Ireng melompat ke belakang beberapa langkah. Tapi
Rara Sawit tidak mau berhenti begitu saja. Dengan
gerakan-gerakan lembut namun sangat cepat, dia
terus mencecar pemuda berbaju serba hitam dengan
jurus yang dinamakannya 'Kupu-kupu Menari
Menyengat Kumbang'.
Dan jurus ini rupanya membuat Klabang Ireng jadi
kelabakan juga menghadapinya. Setiap gerakan yang
dilakukan Rara Sawit memang begitu lemah dan
lembut sekali. Bahkan terlihat seperti sedang menari.
Tapi setiap gerakan yang dilakukannya itu
mengandung ancaman yang tidak bisa dipandang
dengan sebelah mata. Terlebih lagi pedangnya yang
bisa meliuk dan sukar sekali untuk diterka arah
tujuannya. Klabang Ireng terpaksa harus
berjumpalitan menghindari setiap serangan aneh dari
gadis ini. Beberapa kali serangan yang dilancarkan
Rara Sawit hampir mengenai tubuhnya. Tapi sampai
saat ini dia masih bisa mengatasinya, walaupun
begitu kewalahan sekali.
Namun begitu serangan Rara Sawit sempat
terhenti sesaat, kesempatan yang sangat sedikit ini
tidak disia-siakan begitu saja. Klabang Ireng
melentingkan tubuhnya ke atas, dan dengan
kecepatan bagai kilat dia meluruk turun sambil
melontarkan satu pukulan keras menggeledek
dengan tangan kirinya sambil berteriak keras
menggelegar.
“Hiyaaa...!”
***
TIGA
Begitu kerasnya pukulan yang dilepaskan Klabang
Ireng, hingga menimbulkan hempasan angin yang
begitu kuat bagai badai. Membuat Rara Sawit jadi
terperangah sesaat. Namun dengan cepat dia
meliukkan tubuhnya ke kanan sambil mengecutkan
pedangnya ke atas kepala.
Tapi tanpa diduga sama sekali, Klabang Ireng
memutar tubuhnya sambil menghentakkan tangan
kanannya yang memegang seruling hitam ke arah
dada gadis ini. Begitu cepatnya hentakan tangan
kanan pemuda berpakaian serba hitam itu, sehingga
Rara Sawit tidak sempat lagi berkelit menghindarinya.
Dan dia terpaksa harus menangkis kibasan seruling
hitam itu dengan tangan kirinya tepat di depan dada.
Plak!
“Akh...!”
Rara Sawit jadi terpekik merasakan sakit yang
amat sangat pada pergelangan tangan kirinya yang
terhantam seruling hitam Klabang Ireng. Cepat dia
menjatuhkan diri, dan bergulingan beberapa kali di
tanah, begitu Klabang Ireng terus mencecarnya
dengan mengecutkan serulingnya begitu cepat
beberapa kali.
“Hup!”
Begitu punya kesempatan, Rara Sawit langsung
melompat bangkit berdiri. Tapi pada saat kedua
kakinya baru menjejak tanah, Klabang Ireng sudah
menyodokkan tangan kirinya ke depan. Dan membuat
Rara Sawit jadi terperangah. Cepat dia mengecutkan
pedangnya, berusaha menghindari sodokan tangan
kiri pemuda itu. Namun tanpa diduga sama sekali,
tangan kiri Klabang Ireng bisa meliuk berputar seperti
ular. Dan langsung meluruk deras ke dada yang
membusung ini. Hingga....
Des!
“Akh...!”
Kembali Rara Sawit terpekik, begitu sodokan
tangan kiri Klabang Ireng menghantam tepat pada
bagian tengah dadanya. Membuat tubuhnya jadi
terdorong ke belakang beberapa langkah. Merah
seluruh wajah gadis itu seketika. Betapa tidak, balum
pernah ada seorang pun laki-laki yang menyentuh
dadanya. Tapi kini, Klabang Ireng berhasil men-
daratkan tangannya di sana. Rara Sawit jadi
menggereng marah.
“Keparat...!”
Dan dia langsung mengibaskan pedangnya, mem-
buat beberapa gerakan yang begitu cepat dengan
bibir mengeluarkan desisan aneh seperti ular. Begitu
cepatnya gerakan pedang itu, sehingga yang terlihat
hanya kilatan cahaya putih keperakan, disertai suara
mencicit yang menggiriskan hati.
“Aph! Yeaaah...!”
Klabang Ireng terpaksa harus berjumpalitan lagi,
menghindari setiap serangan yang dilancarkan Rara
Sawit dengan begitu cepat dan memburu bagai badai.
Setiap kebutan pedangnya kali ini menyebarkan hawa
dingin yang menusuk sampai ke tulang. Ditambah lagi
dengan udara malam yang memang sudah terasa
begitu dingin membekukan. Membuat gerakan
Klabang Ireng terasa jadi terhambat. Dan....
“Jebol dadamu! Yeaaah...!”
Sambil membantak keras menggelegar, Rara Sawit
menghentakkan tangan kirinya tepat menghantam ke
dada pemuda berbaju hitam pekat ini. Begitu
cepatnya pukulan tangan kiri gadis itu, membuat
Klabang Ireng tidak sempat lagi berkelit menghindar.
Dan pukulan yang keras mengandung pengerahan
tenaga dalam tinggi itu tepat menghantam dadanya
yang kosong.
Diegkh!
“Akh...!”
Klabang Ireng jadi terpekik, begitu pukulan tangan
kiri Rara Sawit menghantam keras dadanya.
Membuat tubuhnya jadi terpental cukup jauh ke
belakang. Dan keras sekali punggung pemuda itu
menghantam pohon hingga hancur berkeping-keping.
Sementara Rara Sawit yang sudah benar-benar
marah, tidak mau menyia-nyiakan kesempatan ini.
Sambil berteriak keras menggelegar, gadis itu
langsung melesat, meluruk deras dengan pedang
terhunus ke depan.
“Mampus kau, Setan Keparat! Hiyaaat..!”
Begitu cepatnya gerakan yang dilakukan Rara
Sawit, hingga membuat kedua bola mata Klabang
Ireng terbeliak lebar, dalam keadaan diri telentang di
antara pecahan kayu pohon yang terlanda tubuhnya
tadi. Dan dia merasa tidak ada lagi kesempatan
untuk bisa menyelamatkan selembar nyawanya.
Namun begitu ujung pedang Rara Sawit hampir
menembus tenggorokan pemuda ini, mendadak
saja....
Siap!
Trang!
“Heh...?! Hup!”
***
Rara Sawit jadi tersentak kaget setengah mati,
begitu tiba-tiba terlihat secercah kilatan putih
keperakan berkelebat begitu cepat sekali meng-
hantam pedangnya. Cepat dia melompat berputar ke
belakang beberapa kali. Dan dengan manis dia
menjejakkan kakinya di tanah, sekitar dua batang
tombak jauhnya dari Klabang Ireng yang masing
menggeletak dengan napas tersengal, akibat
hantaman keras bertenaga dalam tinggi di dadanya.
“Keparat...! Siapa berani main curang denganku,
heh...?” bentak Rara Sawit geram.
Sunyi.... Tidak ada jawaban sedikit pun juga
terdengar. Hanya gema suara gadis itu saja yang
terdengar. Rara Sawit mengedarkan pandangannya
berkeliling. Tidak seorang pun yang terlihat di
sekitarnya. Hanya Klabang Ireng saja yang ada di
antara pecahan kayu pohon. Pemuda itu masih meng-
geletak, berusaha mengatur jalan pernapasannya.
Tampak perlahan Klabang Ireng mulai bisa bangkit
duduk. Dia langsung mengambil sikap bersemadi,
duduk bersila dengan kedua telapak tangan
menempel erat pada kedua lututnya yang tertekuk.
Dan kedua bola matanya terpejam, sambil mengatur
jalan pernapasannya. Dia seperti tidak peduli pada
Rara Sawit yang masih geram, akibat serangannya
yang mematikan pada Klabang Ireng tadi terhalang
sesuatu seperti cahaya putih keperakan.
“Huh! Nyawamu tidak akan lepas dari tanganku,
Klabang Ireng...!” desis Rara Sawit dingin.
Tatapan matanya begitu tajam, memandang lurus
pada Klabang Ireng yang tengah bersemadi, mencoba
menormalkan kembali jalan darah dan per-
napasannya di dada. Sementara Rara Sawit sudah
bersiap kembali melancarkan serangan pada pemuda
itu.
“Mampus kau, Klabang Ireng! Hiyaaat..!”
Sambil berteriak keras menggelegar, Rara Sawit
melompat dengan kecepatan bagai kilat, mengerah-
kan seluruh ilmu meringankan tubuhnya. Dan
pedangnya tertuju lurus ke dada Klabang Ireng yang
masih tetap duduk bersila bersemadi.
“Yeaaah...!”
Bet!
Namun begitu Rara Sawit mengebutkan
pedangnya ke arah dada Klabang Ireng, kembali
terlihat kilatan cahaya putih keperakan berkelebat
begitu cepat sekali ke ujung pedang gadis ini.
“Hih...!”
Namun kali ini Rara Sawit rupanya sudah bisa
mengetahui akan datang serangan itu. Dan dengan
cepat sekali dia memutar pedangnya, lalu sambil
membentak keras, dia mengebutkan pedangnya
menghantam cahaya putih keperakan yang datang
hendak menggagalkan serangannya pada Klabang
Ireng. Dan....
Trang!
Siap!
Kilatan cahaya putih keperakan itu terpental balik
ke arah semula, begitu terkena sambaran pedang
Rara Sawit. Dan pada saat yang bersamaan, Rara
Sawit melentingkan tubuhnya ke atas. Lalu cepat
sekali dia menukik dengan pedang terhunjam ke arah
ubun-ubun kepala Klabang Ireng.
Dan pada saat ujung pedang gadis itu hampir
menghunjam di kepala Klabang Ireng, terlihat sebuah
bayangan kuning berkelebat begitu cepat sekali bagai
kilat, langsung meluruk deras ke arah Rara Sawit
yang meluncur dari atas. Seketika itu juga....
“Hup! Yeaaah...!”
Rara Sawit cepat melentingkan tubuhnya kembali
ke atas, dan berputaran beberapa kali dengan
gerakan yang begitu indah sekali. Sementara
bayangan kuning yang datang bagaikan kilat itu lewat
hanya sedikit saja di bawah tubuh gadis ini.
“Hap!”
Manis sekali Rara Sawit kembali menjejakkan
kakinya di tanah, sekitar dua batang tombak dari
Klabang Ireng yang masih tetap duduk bersila
melakukan semadi. Bibir gadis itu langsung
menyunggingkan senyuman sinis, begitu melihat
seorang pemuda lain sudah berada tidak jauh di
sebelah kiri Klabang Ireng.
Seorang pemuda dengan wajah tampan, rambut
panjang tergelung ke atas, dengan bagian bawahnya
dibiarkan terurai melewati bahu. Tidak terlihat satu
senjata pun tersandang di tubuhnya. Pemuda itu
mengenakan baju dari kulit harimau, dengan dua
buah benda bersegi enam berupa cakra putih
keperakan menempel pada pergelangan tangan
kanannya. Seekor monyet kecil berbulu hitam
nangkring di pundak kanannya.
“Akhirnya keluar juga kau, Pengacau Busuk...!”
dengus Rara Sawit dingin menggetarkan.
“Tidak pantas kau membunuh orang yang sudah
tidak berdaya, Nisanak. Dan lagi, tidak ada urusannya
kau membunuhnya,” kata pemuda itu kalem, tanpa
menghiraukan dengusan sinis gadis cantik ini.
“Apa pedulimu, heh...? Siapa kau sebenarnya?”
bentak Rara Sawit sengit.
“Aku memang, tidak akan peduli, kalau kau mau
berlaku secara ksatria, Nisanak. Tapi aku lihat kau
ingin membunuhnya secara pengecut Dan itu
mendorongku untuk mencegahmu berbuat begitu,”
sahut pemuda itu tetap tenang nada suaranya.
“Phuih! Siapa kau...?” dengus Rara Sawit semakin
ketus.
“Namaku Bayu,” sahut pemuda itu mem-
perkenalkan diri.
Pemuda tampan yang mengenakan baju dari kulit
harimau itu memang Bayu Hanggara. Dia lebih
dikenal dengan nama julukan Pendekar Pulau
Neraka. Seorang pendekar muda yang selalu
menggetarkan rimba persilatan dalam setiap
kemunculannya. Dan kali ini dia tiba-tiba muncul
menyelamatkan nyawa Klabang Ireng dari ancaman
maut gadis cantik di depannya ini.
“Kenapa kau selamatkan nyawanya dariku? Apa
kau saudaranya...?” tanya Rara Sawit lagi, masih
dengan nada suara yang ketus.
“Aku tidak kenal sama sekali dengannya,” sahut
Bayu masih tetap tenang suaranya.
“Lalu, kenapa kau menolongnya? Sebaiknya kau
cepat menyingkir dari sini. Atau kau ingin
menggantikan kepalanya?”
“Tenang, Nisanak. Aku tahu apa yang membuatmu
begitu bernafsu ingin membunuhnya. Sebaiknya
antara kau dan dia tidak perlu saling bermusuhan.
Apalagi sampai saling mengadu jiwa,” kata Bayu lagi,
masih dengan nada suara yang tenang sekali.
“Heh...?! Siapa kau sebenarnya...?” bentak Rara
Sawit agak terkejut, mendengar kata-kata Pendekar
Pulau Neraka itu barusan.
“Aku bukan siapa-siapa. Tapi aku tahu apa yang
kalian semua ributkan. Aku hanya ingin mengatakan
kalau apa yang kalian perebutkan itu tidak ada
artinya sama sekali. Aku tahu di mana adanya Pedang
Dewa Naga. Dan aku tahu persis siapa yang berhak
memilikinya. Kalian sama sepertiku. Masih muda, dan
masih jauh jangkauannya. Sebaiknya tidak perlu
meributkan sesuatu yang bukan hak milik sendiri.”
“Keparat..! Jangan berkhotbah di depanku! Dari
mana kau tahu tentang Pedang Dewa Naga, hah...?”
Bayu hanya tersenyum saja mendengar per-
tanyaan gadis cantik ini. Dia mengayunkan kakinya
beberapa langkah ke depan, hingga jaraknya dengan
gadis itu tinggal sekitar enam langkah lagi.
Sementara agak jauh di belakangnya, Klabang Ireng
sudah mulai membuka kelopak matanya. Dia
langsung melihat Rara Sawit kini berdiri berhadapan
dengan seorang pemuda sebaya dengannya, yang
sama sekali tidak dikenalnya. Tapi dia langsung bisa
menebak kalau pemuda itu yang telah menyelamat-
kan nyawanya dari ujung pdang Rara Sawit tadi.
Klabang Ireng sengaja tidak segera bangkit berdiri,
walaupun dirasakan seluruh aliran darah dan jalan
pernapasannya sudah kembali normal seperti
semula. Dia ingin tahu apa yang akan dilakukan Rara
Sawit dan pemuda penolongnya itu.
***
Sementara Klabang Ireng memperhatikan, Rara
Sawit sudah memasukkan pedangnya kembali Ke
dalam warangkanya yang tergantung di pinggang.
Sedangkan Bayu tampak tersenyum melihat raut
wajah gadis itu kini tidak lagi kelihatan garang seperti
tadi. Bahkan tampak begitu cantik sekali, dengan
sinar mata yang bercahaya terang bagai bintang di
langit yang kelam. Kembali Bayu melangkah
beberapa tindak semakin dekat dengan gadis ini. Dan
senyumnya kembali terkembang penuh rasa
persahabatan. Entah kenapa, Rara Sawit malah
membalasnya dengan senyum yang manis pula. Tapi
begitu tersadar, dia cepat memasang wajah angker
lagi.
“Nisanak, boleh aku tahu kenapa kau mencari
Pedang Dewa Naga...?” ujar Bayu bertanya dengan
suara yang dibuat begitu lembut sekali.
“Mau apa kau tahu urusanku?” Rara Sawit malah
balik bertanya dengan nada suara masih tetap
terdengar ketus. Walaupun raut wajahnya tidak
segarang tadi.
“Sepanjang perjalanan, aku banyak bertemu
dengan mereka yang menginginkan Pedang Dewa
Naga. Dan sekarang, aku juga bertemu denganmu
yang hampir membunuh karena merebut pedang itu.
Kenapa kau membahayakan nyawa sendiri hanya
untuk sebuah benda, Nisanak...? Bukankah kau
sendiri sudah memiliki pedang yang bagus?”
“Aku menginginkannya untuk guruku!” sahut Rara
Sawit masih tetap ketus suaranya. Tapi kali ini sudah
mulai terdengar agak melunak.
“Untuk apa?” tanya Bayu terus mendesak ingin
tahu.
“Guruku adalah pewaris tunggal Pedang Dewa
Naga. Dan aku harus mendapatkannya sebelum
orang lain. Dengan pedang itu penyakit guruku akan
sembuh,” sahut Rara Sawit lagi.
“Hm, sakit apa yang diderita gurumu?” tanya Bayu
lagi.
Rara Sawit tidak langsung menjawab. Dia seperti
keberatan menjawab pertanyaan Pendekar Pulau
Neraka barusan. Dan dia hanya memandangi wajah
tampan pendekar muda itu saja. Sedangkan Bayu jadi
tersenyum. Dia tahu kalau pertanyaannya tadi tidak
mungkin terjawab.
“Baiklah, Nisanak. Memang tidak seharusnya aku
terlalu banyak bertanya padamu. Tapi yang aku tahu,
hanya ada seorang saja di dunia ini yang ternak
mewarisi Pedang Dewa Naga,” kata Bayu diiringi
senyuman kecil tersungging di bibir.
“Hanya guruku pewarisnya,” sentak Rara Sawit
cepat
“Dusta...!”
Tiba-tiba saja Klabang Ireng membentak keras,
ambil melompat bangkit berdiri. Rara Sawit dan Bayu
langsung menatap pemuda yang mengenakan baju
warna hitam pekat itu. Klabang Ireng langsung
melangkah menghampiri mereka, dan berdiri tidak
lauh di sebelah kanan Pendekar Pulau Neraka.
“Bukan gurumu pewaris Pedang Dewa Naga. Tapi
aku.... Akulah cucu Eyang Rampayak, pembuat dan
pemilik Pedang Dewa Naga. Aku yang berhak
memilikinya!” kata Klabang Ireng tegas, dengan suara
yang keras dan lantang menggelegar.
“Enak saja kau bicara. Apa buktinya kau cucu
Eyang Rampayak, heh...?” sentak Rara Sawit sengit.
“Kau sendiri...? Apa buktinya gurumu yang paling
berhak mewarisi Pedang Dewa Naga? Eyang
Rampayak tidak punya murid seorang pun juga. Dan
hanya punya satu putra. Dan aku anak dari putra
Eyang Rampayak. Hanya aku cucunya. Tidak ada
orang lain lagi yang berhak atas pedang itu...!”
“Aku yang berhak!” bentak Rara Sawit jadi kalap
lagi.
“Aku...!” balas Klabang Ireng tidak mau kalah.
“Setan! Kau memang harus mampus!”
Cring!
Wut!
“Cukup...!”
Bayu langsung saja membentak, dan melompat ke
tengah, begitu melihat mereka sudah sama-sama
mencabut senjatanya. Entah kenapa, mereka jadi
terdiam melihat Bayu berdiri di antara mereka berdua
dengan tangan terentang lebar.
“Simpan kembali senjata kalian!” bentak Bayu
lantang.
Rara Sawit dan Klabang Ireng saling berpandangan
dengan tajam beberapa saat. Kemudian mereka
menyimpan kembali senjatanya. Entah kenapa,
mereka jadi menuruti kata-kata Pendekar Pulau
Neraka ini. Sementara Bayu memandangi mereka
satu persatu secara bergantian. Dan dia menurunkan
lagi tangannya yang sudah terentang tadi.
“Kalian masing-masing mempertahankan pen-
dapat sendiri. Baik, aku memang tidak tahu mana
yang benar di antara kalian berdua. Dan ini harus
dibuktikan, siapa di antara kalian yang paling berhak
memiliki Pedang Dewa Naga. Tapi bukan dengan cara
saling mengadu jiwa,” kata Bayu tegas.
“Huh!”
Rara Sawit hanya mendengus saja dengan raut
wajah jengkel. Sementara Klabang Ireng diam
memandangi Pendekar Pulau Neraka.
“Aku akan buktikan, Kisanak,” selak Klabang Ireng
tegas.
“Dengan cara apa kau akan membuktikan...?”
dengus Rara Sawit sinis.
“Pedang Dewa Naga tidak akan bisa digunakan
oleh orang yang bukan satu darah dengan Eyang
Rampayak. Dan aku akan buktikan nanti kalau sudah
menemukan pedang itu,” sahut Klabang Ireng
lantang.
“Sebelum kau yang memegangnya, aku yang akan
mendapatkannya,” desis Rara Sawit bernada
mengejek.
“Sudah.... Kalian tidak perlu saling bermusuhan.
Aku tahu di mana adanya Pedang Dewa Naga. Dan
kalau kalian ingin saling membuktikan, aku akan
tunjukkan di mana Pedang Dewa Naga berada,” kata
Bayu menenangkan suasana yang hangat ini.
Rara Sawit dan Klabang Ireng saling ber-
pandangan. Kemudian mereka sama-sama me-
mandang pada Pendekar Pulau Neraka yang berada
di tengah-tengah di antara mereka berdua. Entah
kenapa, mereka sama-sama mengangkat bahunya.
Seakan menyerahkan segala persoalannya pada
Pendekar Pulau Neraka itu.
“Bagus. Malam ini kita sama-sama bermalam di
sini. Besok pagi kalian berdua akan kubawa ke
tempat Pedang Dewa Naga,” kata Bayu tersenyum.
Dan memang malam ini mereka semua bermalam
di hutan lereng Bukit Sampan ini. Namun antara Rara
Sawit dan Klabang Ireng, tetap saja saling membuka
garis peperangan. Tidak ada seorang pun di antara
mereka berdua yang memulai untuk membuka suara.
Sedangkan Bayu hanya bisa memperhatikan sambil
menghangatkan tubuh di dekat api unggun,
menunggu sampai pagi datang.
***
EMPAT
Pagi-pagi sekali, disaat matahari baru menam-
pakkan cahayanya di ufuk timur, Bayu sudah
membawa Klabang Ireng dan Rara Sawit menuruni
Bukit Sampan ini. Mereka berdua berjalan bersisian
dibelakang Pendekar Pulau Neraka itu. Sedangkan
l'iren tidak lepas dari pundak pemuda berbaju kulit
harimau ini. Tidak ada seorang pun yang
mengeluarkan suara. Mereka berjalan agak cepat
menuruni lereng bukit yang cukup lebat ditumbuhi
pepohonan ini.
Namun baru saja mereka sampai di kaki bukit,
Bayu menghentikan langkahnya. Klabang Ireng dan
Rara Sawit ikut berhenti juga melangkah. Tampak di
depan mereka menghadang lebih dari lima puluh
orang yang semuanya rata-rata masih berusia muda.
Hanya seorang saja yang kelihatan sudah tua. Dan
orang tua yang mengenakan jubah putih pantang itu
berdiri paling depan. Sebatang tongkat kayu
tergenggam di tangan kanannya. Seakan untuk
menyangga tubuhnya yang sudah agak membungkuk.
Klabang Ireng yang mengenali orang tua itu, langsung
melangkah mendekat Pendekar Pulau Neraka.
“Kau kenal mereka, Klabang Ireng?” tanya Bayu
seperti sudah bisa menduga.
“Ya,” sahut Klabang Ireng. “Orang tua itu Ki
Jamparut. Kepala Desa Harugaling. Dan yang ada di
belakangnya adalah murid-muridnya,” sahut Klabang
Ireng.
“Mau apa mereka menghadang?” tanya Bayu lagi
dengan suara terdengar menggumam. Seakan
pertanyaan itu untuk dirinya sendiri.
“Untukku,” sahut Klabang Ireng pelan.
Bayu berpaling sedikit, langsung menatap pada
Klabang Ireng dengan kening berkerut. Terasa aneh
bagi Pendekar Pulau Neraka ini. Dia memang baru
semalam kenal dengan Klabang Ireng. Tapi tampak-
nya Klabang Ireng mempunyai banyak persoalan yang
tidak diketahuinya. Timbul berbagai macam per-
tanyaan di dalam benak Pendekar Pulau Neraka ini.
Tapi dia tidak mau mempersoalkan lebih dulu,
sebelum mengetahui persoalan persisnya, antara
Klabang Ireng dengan Kepala Desa Harugaling dan
murid-muridnya itu. Sementara Rara Sawit sudah
berada di sebelah Pendekar Pulau Neraka ini. Dia
juga merasa heran dengan orang-orang yang meng-
hadang jalan mereka ini.
“Siapa mereka, Kisanak?” tanya Rara Sawit
“Mereka ada urusan dengan Klabang Ireng,” sahut
Bayu tanpa berpaling sedikit pun juga.
Rara Sawit langsung saja menatap pada Klabang
Ireng. Tapi yang dipandangi seperti tidak peduli. Dia
melangkah beberapa tindak mendekati Ki Jamparut
yang berdiri di depan murid-muridnya. Tatapan mata
orang tua itu sangat tajam sekali, seakan ingin
melumat pemuda berbaju hitam yang sudah
menewaskan empat orang muridnya ini.
“Punya nyali besar juga kau berani muncul lagi di
sini...,” terdengar sinis sekali nada suara Ki Jamparut.
“Maaf atas kejadian semalam, Ki. Kali ini aku tidak
melewati desamu lagi. Aku dan teman-temanku akan
menuju ke utara,” kata Klabang Ireng. Kali ini dia
berkata dengan nada suara yang sopan.
“Phuih!” Ki Jamparut menyemburkan ludahnya
dengan sengit
Sedangkan Klabang Ireng diam saja.
“Kau tidak bisa lewat begitu saja, Anak Muda. Kau
harus membayar nyawa murid-muridku dengan
nyawamu!” bentak Ki Jamparut lantang.
“Kalau kau membiarkan aku lewat, tentu tidak
akan sampai kehilangan muridmu, Ki. Sekarang aku
harap kau tidak lagi membuka persoalan. Aku sedang
enggan mengotori tangan dengan darah,” sambut
Klabang Ireng tidak kalah lantangnya.
“Berani kau berkata begitu setelah membunuh
muridku, heh...? Kau akan rasakan akibatnya,
Bocah!” bentak Ki Jamparut jadi berang.
“Maaf, Ki. Bukan maksudku untuk...!”
“Tutup mulutmu, Bocah! Kau harus mampus?
Hiyaaat..!”
Ki Jamparut tidak bisa lagi banyak bicara. Sambil
membentak nyaring memutuskan ucapan Klabang
Ireng, dia langsung melompat dengan cepat
menerjang pemuda ini.
“Haiiit..!”
Klabang Ireng tidak dapat lagi menghindari
bentrokan. Dia cepat melompat ke samping, sambil
meliukkan tubuhnya menghindari sabetan tongka
kayu Kepala Desa Harugaling ini. Sedikit saja tongkat
itu lewat di samping tubuh Klabang Ireng. Namun Ki
Jamparut tidak berhenti sampai di situ saja. Dia terus
menyerang dengan jurus-jurus yang cepat dan sangat
membahayakan jiwa anak muda berbaju hitam ini.
Sementara Bayu dan Rara Sawit tidak bisa berbuat
apa-apa. Mereka terpaksa menjadi penonton, tanpa
dapat membantu Klabang Ireng yang terus diserang
dengan kebutan-kebutan tongkat Ki Jamparut yang
begitu cepat dan mengandung pengerahan tenaga
dalam tinggi. Tapi tampaknya Klabang Ireng masih
bisa bertahan, walaupun dia hanya bisa berkelit dan
menghindari setiap serangan Ki Jamparut yang
dahsyat ini.
“Hup! Hiyaaa...!”
Tiba-tiba saja Klabang Ireng melentingkan
tubuhnya tinggi-tinggi ke atas, tepat ketika Ki
Jamparut mengecutkan tongkatnya ke arah kaki. Dan
langsung dia meluruk deras ke belakang sambil
berputaran beberapa kali di udara. Dan dengan
manis sekali dia menjejakkan kakinya di tanah sejauh
dua batang tombak dari Ki Jamparut.
“Jangan menghindar terus kau, Bocah! Hiyaaat..!”
Ki Jamparut semakin kelihatan berang saja,
karena serangan-serangannya tidak mendapatkan
hasil sedikit pun juga. Bahkan kini Klabang Ireng
berhasil menjaga jarak cukup jauh. Kepala Desa
Harugaling itu kembali melompat sambil berteriak
keras menggelegar. Dan tongkatnya langsung dikejut-
kan tepat mengarah ke kepala Klabang Ireng.
“Hih!”
Bet!
Trak!
Klabang Ireng cepat mencabut seruling bambu
hitamnya, dan langsung dikebutkan ke samping
kelolanya. Hingga tongkat Ki Jamparut menghantam
seruling hitam pemuda itu. Dan pada saat itu juga,
lubuh Klabang Ireng meliuk setengah berputar. Lalu
dengan kecepatan yang sangat luar biasa sekali, dia
menghentakkan tangan kirinya ke depan. Dan....
Diegkh!
“Ugkh...!”
Begitu cepatnya hentakan tangan kiri Klabang
Ireng, sehingga Ki Jamparut tidak sempat lagi meng-
hindarinya. Dan kepalan tangan pemuda itu tepat
menghantam perutnya. Membuat orang tua ini
terlenguh dengan tubuh terbungkuk. Dan pada saat
itu juga, Klabang Ireng melepaskan satu pukulan
keras dengan tangan kanannya, setelah dia
menyimpan lagi serulingnya ke balik ikat pinggang.
“Hiyaaa...!”
Plak!
“Akh...!”
Ki Jamparut jadi terpekik, begitu pukulan tangan
kiri Klabang Ireng yang mengandung sedikit
pengerahan tenaga dalam itu menghantam tepat ke
wajahnya. Tampak orang tua itu terdongak, dan ter-
huyung-huyung ke belakang. Seketika itu juga darah
merembes keluar dari sudut bibir dan lubang
hidungnya. Walaupun tidak sepenuhnya Klabang
Ireng mengerahkan tenaga dalam pada pukulannya,
tapi sudah membuat Ki Jamparut terpaksa harus
kehilangan muka di depan murid-muridnya sendiri.
“Keparat..!”
***
Ki Jamparut jadi geram setengah mati. Sambil
menyeka darah yang mengalir keluar dari mulut dan
hidungnya, dia melangkah ke depan beberapa tindak.
Sementara Klabang Ireng tetap berdiri tegak tanpa
terlihat memegang senjata. Tampak sekali kalau Ki
Jamparut tidak bisa lagi dihentikan amarahnya.
Terlebih lagi dia sudah mendapatkan pukulan yang
cukup keras di wajahnya. Membuat amarahnya
semakin menggelegak di dalam dada.
Sementara Bayu dan Rara Sawit sama sekali tidak
bisa berbuat apapun juga. Mereka hanya diam dan
melihat semua itu tanpa bicara sedikit pun juga. Tapi
diam-diam, Bayu terus memperhatikan murid-murid
Ki Jamparut yang sudah mulai bergerak mendekati
tempat pertarungan gurunya dengan Klabang Ireng
ini.
“Kau harus mampus, Bocah Keparat..!”
Sambil menggeram marah, Ki Jamparut
melangkah mendekati Klabang Ireng. Dan begitu
iraknya tinggal sekitar empat langkah lagi, dia
langsung menyodokkan tongkatnya tepat mengarah
ke perut
“Haiiit..!”
Tapi dengan liukan tubuh yang begitu indah sekali,
Klabang Ireng bisa menghindari sodokan tongkat
orang tua itu. Namun tanpa diduga sama sekali, Ki
Jamparut memutar tubuhnya dengan cepat sambil
menghentakkan kaki kanannya tanpa menarik
tongkatnya lagi. Sesaat Klabang Ireng terperangah.
Dan dia cepat melangkah mundur sambil menarik
tubuhnya ke belakang.
Tepat pada saat itu juga, Klabang Ireng mencabut
seruling hitamnya, dan langsung dikebutkan ke kaki
yang masih menjulur ke depan itu. Begi cepatnya
sabetan seruling hitam pemuda ini, sehingga Ki
Jamparut tidak sempat lagi menyadarinya. Dan...
Tak!
“Akh...!”
Ki Jamparut jatuh terguling seketika, begitu tulang
keringnya terhantam seruling hitam Klabang Ireng
yang sangat keras, karena disertai dengan
pengerahan tenaga dalam yang tinggi. Seketika
tulang kaki orang tua itu hancur, membuatnya tidak
dapat lagi berdiri. Sementara Klabang Ireng
melompat menjauhi, sambil menyepakkan kakinya ke
tongkat Ki Jamparut yang tergeletak di tanah. Tongkat
itu melayang jauh. Dan entah jatuh di mana.
“Bocah keparat...!” geram Ki Jamprut berang
setengah mati, sambil meringis menahan sakit yang
amat sangat pada tulang kering kakinya. “Seraaang...!
Bunuh bocah setan itu...!”
“Hiyaaat...!”
“Yeaaah...!”
Belum lagi hilang teriakan Ki Jamparut, semua
murid-muridnya sudah berlompatan menyerang
Klabang Ireng sambil berteriak-teriak, membuat
suasana di kaki Bukit Sampan ini jadi hiruk-pikuk
seperti ada perang.
“Klabang Ireng, cepat ke sini...!” seru Bayu dengan
suara yang keras disertai sedikit pengerahan tenaga
dalam.
Klabang Ireng berpaling sedikit ke arah Pendekar
Pulau Neraka itu. Dia melihat Bayu memanggil
dengan melambaikan tangannya. Dan tanpa berpikir
panjang lagi, Klabang Ireng segera melesat men-
dekati Pendekar Pulau Neraka itu. Hanya sekali
lompatan saja, dia sudah berada di samping pemuda
berbaju kulit harimau ini.
“Tinggalkan tempat ini,” kata Bayu tergesa.
“Baik,” sahut Klabang Ireng.
“Hup!”
“Haaap!”
“Yeaaah...!”
Ketiga anak muda berkepandaian tinggi itu
langsung berlompatan dan terus berlari dengan cepat
mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah
tinggi tingkatannya. Begitu cepatnya mereka berlari,
hingga dalam waktu sebentar saja sudah jauh.
Membuat murid-murid Ki Jamparut tidak ada yang
sanggup mengejar. Dan mereka terpaksa kembali
menghampiri gurunya yang masih duduk di tanah
menahan sakit pada kakinya yang hancur tulang
keringnya.
“Cepat, bawa aku pulang!” perintah Ki Jamprut.
Tanpa banyak bicara lagi, empat orang muridnya
segera menggotong dan membawanya pergi dari kaki
Bukit Sampan ini. Sedangkan yang lainnya mengikuti
dari belakang. Sementara Bayu, Klabang Ireng, dan
Rara Sawit sudah sangat jauh meninggalkan kaki
Bukit Sampan. Mereka terus berlari dengan cepat
mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Tampak
Bayu berlari paling depan. Sesekali dia berpaling
melihat Klabang Ireng dan Rara Sawit yang terus
tertinggal di belakang.
Setelah dirasa cukup jauh dan tidak ada lagi yang
mengejar, Bayu baru menghentikan larinya. Dia
menunggu beberapa saat sambil melipat kedua
tangannya di depan dada. Sedikit pun tidak terlihat
tetesan keringat di tubuhnya. Dan tarikan napasnya
juga begitu teratur sekali, sepertinya tadi sama sekali
dia tidak berlari sejauh ini. Sementara Klabang Ireng
dan Rara Sawit langsung menjatuhkan diri, duduk di
rerumputan begitu sampai di dekat Pendekar Pulau
Neraka ini. Tiren mendekati gadis itu, dan langsung
duduk di pangkuannya. Rara Sawit mendiamkan saja
monyet kecil itu duduk di pangkuannya.
Keringat mengalir deras membasahi sekujur tubuh
mereka. Dan napas mereka agak tersengal memburu
cepat. Bayu tersenyum saja memandangi mereka
yang seperti baru dikejar setan tadi. Senyum
Pendekar Pulau Neraka itu membuat Rara Sawit jadi
mendelik.
“Kenapa kau tersenyum...?” bentak Rara Sawit
dengan napas masih tersengal-sengal.
“Tidak apa-apa,” sahut Bayu masih tersenyum.
“Jangan coba-coba merendahkan aku, ya...,”
dengus Rara Sawit memberengut.
Bayu hanya diam saja. Dan dia duduk bersila di
depan mereka. Sikapanya begitu tenang sekali,
dengan senyuman masih terkembang mengukir
bibirnya yang agak memerah. Sementara Klabang
Ireng dan Rara Sawit sudah mulai bisa mengatur
Jalan pemapasannya. Mereka kini sudah tenang
kembali.
“Sudah cukup istirahatnya...?” tanya Bayu seraya
bangkit berdiri.
Klabang Ireng langsung berdiri, diikuti Rara Sawit
Tiren cepat melompat naik ke pundak Bayu lagi. Dan
tanpa bicara lagi mereka kembali melanjutkan
perjalanannya menuju ke utara. Sementara matahari
sudah naik cukup tinggi, memancarkan cahayanya
yang terik membakar kulit. Namun ketiga anak muda
itu terus berjalan tanpa menghiraukan teriknya
mentari. Dan begitu jauh mereka berjalan, belum ada
seorang pun yang membuka suara. Baru setelah
mereka sampai di tepi sungai yang tidak begitu besar,
Rara Sawit mulai membuka suaranya.
“Bayu, kenapa kau tadi meminta Klabang Ireng
meninggalkan mereka?”
“Hanya membuang-buang tenaga saja mengurusi
mereka. Sedangkan perjalanan kita masih cukup
jauh,” sahut Bayu seenaknya.
“Sebenarnya ada persoalan apa kau dengan
mereka, Klabang Ireng?” tanya Rara Sawit ingin tahu.
Tatapannya kini beralih pada Klabang Ireng.
“Aku sendiri tidak tahu. Semalam aku melewati
desa mereka. Dan mereka tidak mengizinkan aku
melaluinya. Mereka langsung menyerang ingin
membunuhku. Terpaksa aku menewaskan empat
orang dari mereka. Ya, terpaksa...,” sahut Klabang
Ireng kalem.
“Tidak mungkin kalau tidak ada alasan mereka
ingin membunuhmu, Klabang Ireng,” kata Rara Sawit
tidak percaya.
“Terserah kau, mau percaya apa tidak. Yang jelas,
aku sendiri baru pertama kali itu datang ke Desa
Harugaling. Sama sekali aku tidak kenal dengan
mereka,” balas Klabang Ireng agak ketus suaranya.
“Mungkin mereka kenal denganmu, Klabang Ireng.
Dan kau sendiri tidak kenal, atau mungkin juga sudah
lupa,” kata Bayu menengahi.
“Mungkin juga...,” desah Klabang Ireng perlahan.
“Tapi aku benar-benar tidak tahu, Bayu.”
“Klabang Ireng, kau mengaku cucu tunggal Eyang
Rampayak. Pasti kau tahu dari mana asalnya...,”
selak Rara Sawit seperti memancing.
“Tentu saja aku tahu,” sahut Klabang Ireng tegas.
“Dari mana?” desak Rara Sawit.
“Desa Harugaling.”
“Tepat dugaanku...!” sentak Bayu langsung
berhenti melangkah.
Rara Sawit dan Klabang Ireng jadi ikut berhenti,
dan langsung menatap Pendekar Pulau Neraka itu
dengan pandangan dan sorot mata yang sukar untuk
diartikan. Sedangkan Bayu sendiri malah meng-
arahkan pandangannya ke Desa Harugaling yang kini
sudah tidak terlihat lagi dari tempat ini. Dan untuk
beberapa saat mereka jadi terdiam membisu. Entah
apa yang ada di dalam pikiran mereka masing-
masing.
“Apa yang kau duga, Kisanak?” tanya Klabang
Ireng ingin tahu.
“Siapa nama ayahmu?” Bayu malah balik
bertanya.
“Rakata Ireng,” sahut Klabang Ireng.
“Dan ibumu?”
“Diah Permata.”
“Heh...?!”
Entah kenapa, Rara Sawit jadi terlonjak seperti
tersengat kala berbisa begitu mendengar Klabang
Ireng menyebut nama ibunya. Dan ini membuat Bayu
maupun Klabang Ireng jadi tersentak juga
memandangi gadis cantik ini.
“Kau jangan mengaku-aku. Diah Permata ibumu,
ya...!” bentak Rara Sawit jadi garang wajahnya.
“Heh...?! Dia memang ibuku!” sentak Klabang
Ireng.
“Kau tahu, Diah Permata adalah guruku. Juga ibu
angkatku!”
“Tidak mungkin! Ibuku tidak punya murid! Kau
dusta! Pembohong...!”
“Kau yang pembohong!”
“Kau...!”
Seketika suasana jadi memanas. Klabang Ireng
dan Rara Sawit sudah saling berhadapan dengan
wajah garang tidak mau mengalah. Dan ini membuat
Bayu jadi terlongong.
“Cukup...!”
Bayu langsung membentak begitu melihat Rara
Sawit sudah mau mencabut pedangnya. Sedangkan
Klabang Ireng juga sudah siap mencabut seruling
hitamnya. Bayu cepat melompat, dan berdiri di
tengah-tengah mereka.
“Dengar, kalian masing-masing berkeras mengakui
pewaris Pedang Dewa Naga. Kalau kalian tidak mau
menahan diri sedikit saja, aku berani bertaruh tidak
ada di antara kalian yang bisa memiliki Pedang Dewa
Naga,” kata Bayu jadi agak gusar.
Klabang Ireng dan Rara Sawit hanya diam saja
saling bertatapan dengan tajam. Seakan mereka
tidak mendengarkan kata-kata Pendekar Pulau
Neraka itu barusan.
“Baik.... Kalau kalian masih terus begini, aku akan
pergi sendiri. Dan ingat, kalian tidak akan bisa
mendapatkan Pedang Dewa Naga,” kata Bayu lagi,
seraya hendak melangkah pergi.
Tapi belum juga kakinya terayun, Klabang Ireng
sudah melompat ke depannya menghadang. Dan
bersamaan dengan itu, Rara Sawit juga melompat
menghadang Pendekar Pulau Neraka ini.
“Kau selalu mencegah kami bertarung, Kisanak.
Terus terang, sejak semalam aku terus bertanya-
tanya siapa kau sebenarnya? Kenapa kau begitu
tepat muncul disaat aku hampir saja memenggal
batang lehernya?” terasa dingin sekali nada suara
Rara Sawit seraya melirik sedikit pada Klabang Ireng.
“Katakan sejujurnya, siapa kau sebenarnya. Dan
ada maksud apa kau menemui kami berdua?” desak
Klabang Ireng mengikuti Rara Sawit
“Aku hanya menjalankan tugas untuk menjemput
kalian berdua,” sahut Bayu diiringi dengan senyum
manis tersungging di bibir.
“Hanya ada satu orang yang harus kutemui. Dan
dia namanya bukan Bayu, tapi Pendekar Pulau
Neraka,” kata Klabang Ireng.
“Setan! Kau selalu mendahuluiku, Klabang Ireng!
Guruku yang menyuruhku menunggu di Bukit Sampan
sampai Pendekar Pulau Neraka datang. Hanya dia
yang bisa membawaku ke tempat penyimpanan
Pedang Dewa Naga!” sentak Rara Sawit sengit.
“Kau yang mengada-ada!” bentak Klabang Ireng
seraya mendelik geram.
“Sudah! Kalian tidak perlu bertengkar. Aku Bayu,
juga Pendekar Pulau Neraka,” kata Bayu langsung
memberi tahu siapa dirinya yang sebenarnya.
Memang tidak ada pilihan lain lagi bagi Pendekar
Pulau Neraka itu selain berterus terang, melihat
kedua orang yang memang harus dijemputnya ini
terus-menerus bertengkar. Dan Bayu tidak ingin ada
di antara mereka sampai mengeluarkan darah. Dia
harus membawa mereka berdua ke tempat me-
nyimpanan Pedang Dewa Naga.
“Dengar, kalau kalian masih saja bertengkar, aku
akan pergi sendiri dan tidak akan membawa kalian ke
tempat Pedang Dewa Naga. Hanya aku yang tahu di
mana tempatnya. Dan kalian seumur hidup tidak
akan bisa melihat bentuk pedang itu...!” agak lantang
terdengar suara Bayu.
Klabang Ireng dan Rara Sawit terdiam. Memang
mereka tidak tahu di mana adanya Pedang Dewa
Naga. Mereka hanya mendapat perintah untuk ke
Bukit Sampan menemui Pendekar Pulau Neraka yang
akan membawa mereka sampai ke tempat
penyimpanan Pedang Dewa Naga. Dan memang
hanya Pendekar Pulau Neraka saja yang mengetahui
di mana adanya pedang pusaka yang menjadi
rebutan dua orang remaja ini.
“Sekarang kalian boleh pilih. Terus bertengkar,
atau mau menuruti kata-kataku!” kata Bayu
menjelaskan.
Namun belum juga Klabang Ireng dan Rara sawit
bisa membuka suaranya, tiba-tiba saja terdengar
suara tawa yang keras menggelegar bagai guntur
membelah angkasa di siang hari. Membuat mereka
jadi tersentak kaget setengah mati.
“Ha ha ha...!”
***
LIMA
Suara tawa itu demikian keras terdengar menggema,
seperti datang dari segala penjuru mata angin. Sukar
untuk diketahui dari mana arah datangnya suara
tawa yang semakin lama menyakitkan telinga ini.
Bayu yang sudah berpengalaman dalam merambah
kejamnya rimba persilatan, langsung bisa merasakan
kalau suara tawa itu disertai dengan pengerahan
tenaga dalam yang tinggi. Dan sudah pasti ditujukan
pada mereka bertiga. Bayu bisa merasakan adanya
bahaya kalau mendiamkan terus suara tawa itu.
“Cepat kalian ke belakangku...!” pinta Bayu.
Tanpa banyak tanya lagi, Klabang Ireng dan Rara
Sawit berlompatan ke belakang Pendekar Pulau
Neraka. Mereka sudah merasakan telinganya begitu
sakit mendengar suara tawa yang teramat keras
seakan tidak pernah mau berhenti ini. Bahkan
Klabang Ireng sudah sejak tadi mengerahkan tenaga
dalamnya, untuk mencoba menangkal suara yang
membuat telinganya terus berdenging ini.
“Jangan jauh dariku,” pinta Bayu.
Setelah berkata begitu, Bayu langsung merapatkan
kedua telapak tangannya di depan dada.
Sedangkan monyet kecil berbulu hitam yang selalu
mengikuti ke mana saja Pendekar Pulau Neraka itu
pergi, sudah memeluk leher pemuda ini erat-erat.
Sesekali dia mencerecet membuat telinga Bayu
terasa pekak. Sebentar kelopak matanya terpejam.
Lalu begitu kelopak matanya terbuka, seketika itu
juga dia menghentakkan kedua tangannya ke
samping sambil berteriak keras menggelegar.
“Yeaaah...!”
Begitu kerasnya suara teriakan Pendekar Pulau
Neraka itu, membuat bumi yang mereka pijak jadi
bergetar bagai diguncang gempa yang sangat dahsyat
Bahkan angin pun jadi terbalik berhembus. Pohon-
pohon menggugurkan daunnya. Batu-batu
berpentalan memperdengarkan suara berderak
hingga hancur berkeping-keping. Teriakan Bayu yang
begitu keras menggelegar, membuat alam di
sekitarnya bagaikan mengamuk.
“Edan...! Ilmu macam apa itu...?” desis Klabang
Ireng kagum.
Dan teriakan Bayu yang begitu keras menggelegar
bagai guntur itu, mampu meredam suara tawa yang
membuat telinga mereka jadi sakit. Pada saat itu
juga, Bayu merapatkan kedua telapak tangannya di
depan dada. Lalu sambil berseru lantang, dia
mengibiaskan kedua tangannya ke depan. Dan
bagaikan kilat, dia mengibaskan tangan kanannya ke
kanan.
Sing...!
Cakra Maut yang selalu menempel di perge-langan
tangan Pendekar Pulau Neraka itu seketika melesat
dengan kecepatan bagai kilat. Hingga yang terlihat
hanya kilatan cahaya putih keperakan meluncur
langsung menembus lebatnya pepohonan. Dan...
Srak!
Siap!
Tepat pada saat itu juga terlihat bayangan hijau
berkelebat keluar dari balik pepohonan, bersamaan
dengan melesatnya Cakra Maut kembali pada
Pendekar Pulau Neraka. Sedikit saja Bayu
mengangkat tangan kanannya ke atas, Cakra Maut
kembali menempel erat di pergelangan tangan
Pendekar Pulau Neraka itu.
“Hm....”
Bayu menggumam sedikit, begitu melihat seorang
wanita berusia setengah baya sudah berdiri sekitar
dua batang tombak di depannya. Baju warna hijau
daun yang ketat, membentuk tubuhnya yang cukup
ramping dan indah dipandang mata. Sebilah pedang
bergagang kepala ular berwarna putih keperakan,
tersampir di punggungnya.
“Cuma seorang wanita...,” gumam Klabang Ireng
mendesis dingin.
“Jangan menghina kaum wanita, Klabang Ireng!”
sentak Rara Sawit tersinggung.
“Maaf, bukannya aku mau menyinggungmu, Rara
Sawit,” ucap Klabang Irjeng sambil menyeringai. Baru
menyadari kalau di sebelahnya berdiri seorang wanita
yang sampai saat ini masih bisa dikatakan
saingannya dalam memperebutkan Pedang Dewa
Naga.
Sementara itu Bayu sudah melangkah beberapa
tindak ke depan, mendekati wanita setengah baya
yang mengenakan baju hijau daun ini. Pendekar
Pulau Neraka itu baru berhenti melangkah setelah
jaraknya tinggal sekitar lima langkah lagi. Saat itu
Bayu menilai kalau wanita ini usianya sudah lebih dari
lima puluh tahun. Tapi wajahnya masih kelihatan
cantik, dengan bentuk tubuh yang ramping dan indah
terbungkus baju yang cukup ketat. Seakan baru
mencapai dua puluh lima tahunan usianya.
“Kenapa kau mengganggu kami, Nisanak?” tanya
Bayu langsung dengan nada suara yang cukup dingin
terdengar.
“Bukan kalian tujuanku. Tapi kau, Pendekar Pulau
Neraka!” sahut wanita itu agak lantang suaranya.
“Hm, kenapa...? Rasanya aku belum kenal
denganmu, Nisanak.”
“Kau memang belum kenal siapa aku, Pendekar
Pulau Neraka. Tapi aku sudah tahu siapa kau. Dan
sekarang aku membutuhkanmu. Kau harus ikut
denganku. Tinggalkan dua tikus busuk itu,” kata
wanita itu sambil menuding pada Klabang Ireng dan
Rara Sawit.
Dikatakan tikus busuk, Rara Sawit langsung
memerah wajahnya. Dan Klabang Ireng juga cepat
melompat ke depan. Tapi gerakan mereka jadi
terhambat, begitu melihat Bayu merentangkan
tangannya. Mencegah mereka berbuat yang bisa
merugikan diri sendiri. Klabang Ireng dan Rara Sawit
hanya bisa mendengus kesal, menatap dengan sinar
mata yang tajam pada perempuan setengah baya
yang masih kelihatan cantik itu.
“Dengar, Pendekar Pulau Neraka. Kau tidak bisa
menolak keinginanku. Ikut denganku, atau kau harus
rela melepaskan nyawamu di sini,” kata wanita itu
lagi dengan nada suara yang tegas.
“Maaf, Nisanak. Bukannya aku menolak keinginan-
mu itu. Tapi aku belum tahu siapa kau sebenarnya?
Dan apa tujuanmu memintaku ikut denganmu...?”
tanya Bayu halus.
“Aku Dewi Pedang Maut. Dan kau harus ikut
denganku untuk menunjukkan di mana tempat
penyimpanan Pedang Dewa Naga. Aku tahu kalau
hanya kau satu-satunya yang tahu di mana Pedang
Dewa Naga berada,” sahut wanita setengah baya itu
yang ternyata bernama Dewi Pedang Maut.
“Hm.... Sudah sering kali aku dengar namamu,
Dewi Pedang Maut. Kau memang tangguh dan
digdaya. Tapi terus terang saja, aku sama sekali tidak
menyukai sepak terjangmu selama ini,” kata Bayu
agak menggumam suaranya.
“Jangan sombong kau, Bocah! Kau pikir aku tidak
tahu siapa dirimu yang sebenarnya, heh...?” bentak
Dewi Pedang Maut sengit.
“Aku memang bukan manusia suci, Dewi Pedang
Maut. Tapi aku masih bisa bertindak dengan batas
ukuran yang wajar. Maaf, aku ada tugas yang lebih
penting lagi. Dan aku tidak berurusan dengan Pedang
Dewa Naga,” kata Bayu tegas.
“Keparat...!” desis Dewi Pedang Maut geram,
mendengar penolakan Bayu yang halus namun tegas
itu.
Sedangkan Bayu sudah memutar tubuhnya
berbalik. Dan melangkah menghampiri Klabang Ireng
dan Rara Sawit. Namun baru saja Pendekar Pulau
Neraka itu berjalan beberapa langkah, Dewi Pedang
Maut sudah mengebutkan tangan kirinya dengan
cepat ke depan. Dan seketika itu juga, terlihat
beberapa benda halus berwarna putih keperakan
melesat dengan kecepatan bagai kilat ke arah
pemuda berbaju kulit harimau ini.
“Bayu, awaaas...!” seru Klabang Ireng mem-
peringati.
“Hap! Yeaaah...!”
Sambil memutar tubuhnya dengan cepat, Bayu
menghentakkan tangan kanannya lurus ke depan
tubuhnya. Dan seketika itu juga Cakra Maut yang
menempel di pergelangan tangan kanannya melesat
menyambut senjata rahasia yang dilemparkan Dewi
Pedang Maut.
Cras!
Hanya sekali lesatan saja, Cakra Maut
merontokkan semua senjata rahasia Dewi Pedang
Maut. Dan kembali senjata bersegi enam keperakan
itu melesat balik, lalu menempel lagi di pergelangan
tangan Pendekar Pulau Neraka ini.
Bayu berdiri tegak dengan pandangan mata yang
sangat tajam sekali, menatap langsung ke bola mata
Dewi Pedang Maut. Dari sorot matanya yang tajam,
sudah bisa dipastikan kalau Pendekar Pulau Neraka
itu sama sekali tidak menyukai cara Dewi Pedang
Maut yang menyerangnya dari belakang. Penyerangan
dengan cara membokong seperti ini memang sangat
tidak disukai Bayu.
Baginya, membokong merupakan tindak pengecut
yang tidak bisa diberi ampun lagi. Perlahan Bayu
menggeser kakinya ke kanan. Dia melirik sedikit pada
Klabang Ireng dan Rara Sawit yang berada agak jauh
di belakangnya. Sementara Dewi Pedang Maut
tersenyum-senyum, merasakan pancingannya ber-
hasil untuk menaklukkan Pendekar Pulau Neraka ini.
“Dengar, Nisanak. Apapun alasanmu, aku paling
tidak suka dengan caramu main bokong seperti itu,”
terasa dingin sekali nada suara Bayu.
“Kalau kau tidak suka, kenapa kau tolak ta-
waranku...?” ringan sekali Dewi Pedang Maut
menyahuti.
“Apa maumu sebenarnya?” tanya Bayu.
“Pedang Dewa Naga yang ada padamu,” sahut
Dewi Pedang Maut tegas.
“Pedang Dewa Naga tidak ada padaku.”
“Kalau begitu, kau harus tunjukan di mana kau
simpan pedang itu.”
“Pedang itu ada pemiliknya, Nisanak. Dan aku
tahu, kau bukanlah orang yang tepat memiliki Pedang
Dewa Naga. Jadi aku minta kau cepat tinggalkan
tempat ini,” tegas Bayu langsung mengusir.
“Hik hik hik...!” '
Dewi Pedang Maut malah tertawa mengikik
mendengar pengusiran tegas Pendekar Pulau Neraka
itu. Dia benar-benar menganggap ringan pada
pendekar muda yang selalu mengenakan baju dari
kulit harimau ini. Dan tanpa berkata apapun juga, dia
langsung mengebutkan tangan kanannya ke depan,
sambil berteriak keras menggelegar.
“Hiyaaa...!”
Siap!
“Hup!”
***
Tepat disaat Dewi Pedang Maut melontarkan
senjata rahasianya, Bayu melentingkan tubuhnya ke
atas dengan berputaran dua kali di udara. Dan
bagaikan kilat, dia melunak deras ke arah wanita
setengah baya yang masih kelihatan cantik ini Saa itu
juga Bayu mengecutkan tangan kanannya ke depari
sambil berteriak keras menggelegar.
“Hiyaaa...!”
Wusss...!
Cakra Maut yang selalu menempel di perge-langan
tangan Pendekar Pulau Neraka itu seketika melesat
dengan kecepatan bagai kilat Begitu cepatnya Cakra
Maut melesat, hingga yang terlihat hanya kilatan
cahaya keperakan saja. Dan ini membuat Dewi
Pedang Maut jadi terbeliak. Tidak ada lagi
kesempatan bagi Dewi Pedang Maut untuk berkelit
menghindari serangan senjata maut Pendekar Pulau
Neraka itu. Dan....
“Hih!”
Cring!
“Yeaaah...!”
Bet!
Dewi Pedang Maut langsung mencabut pedangnya,
dan dikebutkan ke depan, menyambut serangan
Cakra Maut. Tapi tanpa diduga sama sekali, Cakra
Maut seperti memiliki mata saja. Begitu pedang Dewi
Pedang Maut berkelebat hendak menyambarnya,
senjata Pendekar Pulau Neraka itu seketika melesat
ke atas. Membuat Dewi Pedang Maut jadi terbeliak
kaget setengah mati. Dan belum lagi hilang rasa
keterkejutannya, Cakra Maut sudah melunak dengan
deras mengarah ke kepalanya.
“Hih! Hiyaaat..!”
Bet!
Dewi Pedang Maut cepat-cepat memutar
pedangnya ke atas kepala, berusaha melindungi
dirinya dari sambaran senjata maut Pendekar Pulau
Neraka itu. Namun pada saat yang bersamaan, Bayu
sudah menjejakkan kakinya di tanah, tepat seldtar
dua langkah lagi di depan wanita ini. Dan seketika itu
juga dia melepaskan satu pukulan yang sangat keras
menggeledek, disertai dengan pengerahan tenaga
dalamnya yang sudah sempurna tingkatannya.
“Yeaaah...!”
Mendapat serangan dari dua arah yang
bersamaan waktunya seperti ini, Dewi Pedang Maut
benar-benar jadi kelabakan setengah mati. Dan dia
sama sekali tidak bisa lagi menghindari pukulan
Pendekar Pulau Neraka itu. Hingga....
Begkh!
“Aaakh...!”
Dewi Pedang Maut menjerit keras, begitu pukulan
Bayu yang keras dan bertenaga dalam sempurna
menghantam telak di dadanya. Membuat tubuhnya
terpental jauh ke belakang. Keras sekali dia jatuh
menghantam tanah, membuatnya kembali menjerit
Sementara Bayu menjejakkan kakinya kembali di
tanah dengan gerakan yang begitu ringan sekali.
Dewi Pedang Maut menggeliat sambil merintih,
menahan sakit yang amat sangat di dadanya. Tampak
cairan berwarna merah kental mengalir keluar dari
sudut bibirnya. Tatapan matanya begitu tajam sekali
bersorot langsung pada Pendekar Pulau Neraka yang
berdiri sekitar tiga batang tombak di depannya.
Pemuda itu hanya memandangi saja dengan wajah
yang datar.
“Mudah bagiku untuk membunuhmu, Dewi Pedang
Maut. Tapi aku sama sekali tidak mempunyai
persoalan denganmu. Dan sebaiknya kau tidak perlu
lagi bersusah payah mendapatkan Pedang Dewa
Naga. Pedang itu sudah ada yang memiliki,” kata
Bayu dingin menggetarkan.
Dewi Pedang Maut hanya diam saja. Dia
menyemburkan ludah yang bercampur dengan darah.
Tubuhnya yang ramping menggeliat sedikit. Namun
rasa sakit dan sesak di dadanya membuat wanita itu
tetap terbaring di tanah. Sementara Bayu sudah
memutar tubuhnya berbalik, terus melangkah
menghampiri Klabang Ireng dan Rara Sawit yang
sejak tadi menunggu.
“Ayo...,” ajak Bayu, tidak menghentikan langkahnya
sedikit pun juga.
Klabang Ireng menatap Dewi Pedang Mau
sebentar. Kemudian dia melangkahkan kakinya
menyusul Bayu dan Rara Sawit yang sudah berjalan
lebih dahulu meninggalkan tempat ini. Tinggal Dewi
Pedang Maut yang masih merintih, berusaha bangkit
kembali sambil memegangi dadanya yang masih
terasa nyeri dan sesak akibat terkena pukulan yang
cukup dahsyat dari Pendekar Pulau Neraka.
“Phuih! Kau akan mati di tanganku, Pendekar
Pulau Neraka...!” desis Dewi Pedang Maut geram,
sambil menyemburkan ludahnya yang bercampur
dengan darah.
Sementara Bayu, Klabang Ireng, dan Rara Sawit
sudah jauh meninggalkannya. Hingga mereka tidak
terlihat lagi, Dewi Pedang Maut baru bisa berdiri. Agak
limbung tubuhnya. Tapi dia cepat menyangga dengan
ujung pedang ditekan kuat ke tanah. Dewi Pedang
Maut masih memandangi ke arah kepergian
Pendekar Pulau Neraka. Sekali lagi dia
menyemburkan ludahnya dengan sengit. Lalu mulai
berjalan dengan tertatih-tatih. Bara api dendam
benar-benar tersirat pada kedua bola matanya.
Dendam yang tidak mungkin bisa terlupakan begitu
saja.
***
Jauh juga perjalanan yang harus ditempuh Klabang
Ireng dan Rara Sawit yang mengikuti Pendekar Pulau
Neraka. Dan tidak sedikit rintangan yang harus
mereka hadapi. Terutama rintangan dari orang-orang
persilatan, yang menginginkan Pedang Dewa Naga.
Namun Pendekar Pulau Neraka bisa menghadapi
segala rintangan itu, walaupun harus memeras
keringat dan kepandaiannya.
Dan setelah menempuh perjalanan sepanjang dua
hari, akhirnya mereka sampai di sebuah tempat yang
berbatu. Mereka memandangi sekitarnya. Sepanjang
mata memandang, hanya batu-batuan saja yang
tampak. Begitu gersang tempat ini, hingga matahari
yang bersinar begitu terik sekali terasa menyengat
kulit. Hanya ada satu pohon yang mereka lihat. Dan
itu juga sudah tidak terlihat lagi daun-daunnya.
“Di mana pedang itu, Bayu?” tanya Klabang Ireng
tidak sabaran.
“Tidak ada di sini,” sahut Bayu tanpa berpaling
sedikit pun juga.
“Apa maksudmu tidak ada di sini, Bayu? Bukankah
tadi kau mengatakan kalau kita bisa mendapatkan
pedang itu di sini...?” selak Rara Sawit jadi tidak
mengerti.
“Memang kita akan mendapatkan pedang itu di
sini. Tapi pedang itu sekarang belum ada di sini,”
sahut Bayu kalem.
“Aku tidak mengerti maksudmu, Bayu....”
“Kita akan menunggu di sini sampai pedang itu
datang.”
“Berapa lama?” tanya Rara Sawit tidak sabaran.
Bayu tidak menjawab. Dia hanya mengangkat
bahunya saja sedikit. Tanpa menghiraukan dua orang
yang dibawanya ini, Pendekar Pulau Neraka itu
langsung saja duduk di balik sebongkah batu yang
sangat besar, dengan bagian bawahnya terdapat
rongga seperti goa. Di tempat ini dia bisa melindungi
dirinya dari sengatan matahari.
Sementara Klabang Ireng dan Rara Sawit hanya
bisa memandangi saja tanpa dapat mengerti dengan
sikap yang ditunjukkan Pendekar Pulau Neraka itu.
Tapi mereka mendekati juga, tidak tahan dengan
sengatan teriknya cahaya matahari. Rongga batu ini
memang cukup besar juga, hingga bisa menampung
mereka bertiga, dan melindunginya dari keganasan
mentari. Dan untuk beberapa saat lamanya mereka
hanya terdiam membisu, tidak ada yang membuka
suara lebih dahulu.
“Kalian tunggu di sini,” kata Bayu tiba-tiba sambil
bangkit berdiri.
“Mau ke mana kau?” tanya Klabang Ireng.
Bayu tidak menjawab. Dia terus saja melangkah
sambil menggendong monyet kecil yang selalu
mengikutinya ke mana saja dia pergi. Monyet kecil
yang bernama Tiren itu langsung nangkring di pundak
Pendekar Pulau Neraka ini. Klabang Ireng dan Rara
Sawit hanya saling berpandangan saja. Dan
membiarkan Bayu pergi meninggalkannya. Bayu terus
berjalan semakin jauh, hingga akhirnya tidak terlihat
lagi.
“Aku jadi curiga. Jangan-jangan dia hanya mau
menjebak kita berdua di sini,” kata Rara Sawit
setengah bergumam, seakan dia bicara pada diri
sendiri.
“Kenapa kau menaruh curiga padanya, Rara
Sawit? Sudah jelas dia Pendekar Pulau Neraka,” kata
Klabang Ireng, tidak setuju dengan pendapat Rara
Sawit.
“Kelakuannya aneh,” sahut Rara Sawit.
“Aneh bagaimana?”
“Apa kau tidak merasa, untuk apa dia
meninggalkan kita berdua di tempat seperti ini...?”
Rara Sawit malah balik bertanya.
Klabang Ireng jadi terdiam. Memang kalau
dirasakan, tingkah Pendekar Pulau Neraka yang
selalu membawa monyet kecilnya itu sangat
dirasakan aneh. Tapi Klabang Ireng ingat pada pesan
gurunya, untuk pergi ke Bukit Sampan, dan
menjumpai Pendekar Pulau Neraka. Pendekar itu
yang akan menunjukkan di mana dia bisa
mendapatkan Pedang Dewa Naga. Yang menurut
gurunya adalah pedang warisan dari leluhurnya.
Sedangkan di sebelahnya kini, ada seorang gadis
cantik yang juga mengakui kalau Pedang Dewa Naga
adalah miliknya. Kebimbangan mulai menyelimuti hati
Klabang Ireng. Sebentar dia mengarahkan
pandangannya ke arah mana tadi Bayu pergi. Dan
sebentar kemudian dia menatap pada Rara Sawit.
Sedangkan Rara Sawit sendiri kelihatan meng-
arahkan pandangannya lurus ke depan. Merayapi
batu-batuan yang ada di sekitarnya. Perlahan Klabang
Ireng bangkit berdiri. Rara Sawit langsung
menatapnya dengan sinar mata yang cukup tajam.
“Kau juga mau pergi, Klabang Ireng?” tanya Kara
Sawit menegur.
“Aku mau cari pedang itu di sekitar sini,” sahut
Klabang Ireng seraya melangkah keluar dari relung
batu ini.
“Kau percaya kalau ini tempatnya?” tanya Rara
Sawit lagi, sambil ikut berdiri dan melangkah keluar
mengikuti Klabang Ireng.
Namun Klabang Ireng tidak menjawab sedikit pun
juga. Dia terus saja berjalan perlahan-lahan dengan
mata menatap tajam beredar berkeliling. Sedangkan
Rara Sawit hanya berdiri diam saja memandangi
pemuda itu. Entah apa yang ada di dalam pikiran
gadis ini. Sementara Klabang Ireng terus melangkah
sambil meneliti setiap jengkal yang dilewatinya.
Namun tidak ada tanda-tanda di mana adanya
Pedang Dewa Naga berada.
Lama juga Klabang Ireng mencari, sampai
matahari condong ke arah barat. Sedangkan Rara
Sawit sama sekali tak berusaha mencari. Dia
menunggu saja dari dalam relung batu yang
melindungi dirinya dari sengatakan matahari. Tapi
matanya tidak lepas dari Klabang Ireng. Dan disaat
matahari hampir tenggelam di ufuk barat, mendadak
saja tanah berbatu yang ada di sekitar mereka
bergetar bagai diguncang gempa.
“Hup!”
Rara Sawit cepat-cepat melompat keluar dari
relung batu ini. Sedangkan Klabang Ireng juga
langsung berlari mendekati gadis ini. Dan belum lagi
hilang rasa keterkejutan mereka, tiba-tiba terlihat
secercah cahaya kilat di angkasa. Kilatan cahaya
terang itu meluruk deras ke arah dua anak muda ini.
“Awas...!” seru Klabang Ireng.
“Hup!”
“Hiyaaa...!”
Mereka berlompatan menghindari kilatan cahaya
itu. Berjumpalitan di udara, dan kembali menjejakkan
kakinya di tanah yang berbatu ini. Saat itu juga
kilatan cahaya tadi lenyap bagai tertelan bumi. Dan
getaran yang mengguncang tempat itu juga
menghilang tidak terasakan lagi. Keanehan ini
membuat Klabang Ireng dan Rara Sawit jadi saling
berpandangan. Namun entah kenapa, mereka seperti
mempunyai satu ikatan untuk tidak berpisah. Padahal
semula mereka saling bermusuhan. Bahkan hampir
saling bunuh.
“Hati-hati, Rara Sawit,” ujar Klabang Ireng
memperingatkan.
“Iya,” sahut Rara Sawit perlahan.
***
ENAM
Lama juga tidak ada lagi kejadian yang dialami
Klabang Ireng dan Rara Sawit. Namun mereka
seakan tidak berani untuk meninggalkan tempat ini.
Dan sikap mereka masih terus berwaspada.
Sementara malam sudah jatuh menyelimuti
sekitarnya. Dan kegelapan pun membuat pandangan
mereka jadi terhalang. Angin mulai terasa dingin
mengusap kulit Namun kedua anak muda itu masih
tetap berdiri tegak berdampingan tanpa berbicara
sedikit pun juga. Dan pada saat kegelapan benar-
benar sudah menyatu dengan alam, tiba-tiba saja
Klabang Ireng melihat secercah cahaya dari atas
bukit yang berada tidak seberapa jauh dari daerah
berbatuan ini.
“Lihat, Rara Sawit..!” seru Klabang Ireng seraya
menunjuk ke puncak bukit yang kelihatan gersang
dan berbatu ini.
“Mungkinkah ada orang di sana...?” desis Rara
Sawit seperti bertanya pada diri sendiri.
“Sebaiknya aku lihat ke sana,” kata Klabang Ireng.
“Tunggu...!” sentak Rara Sawit mencegah, sebelum
Klabang Ireng bergerak.
“Lihat, Rara Sawit..!” seru Klabang Ireng seraya
menunjuk ke puncak bukit yang kelihatan gersang
dan berbatu itu.
“Sebaiknya aku ke sana!”
“Tunggu...!” cegah Rara Sawit “Kau tidak bisa pergi
sendirian ke sana!”
“Kenapa? Kau takut aku menguasai pedang itu
sendiri...?” terdengar sinis suara Klabang Ireng.
Klabang Ireng berpaling menatap gadis itu.
“Kau tidak bisa pergi sendirian ke sana, Klabang
Ireng,” kata Rara Sawit agak datar suaranya.
“Kau takut aku akan menguasai pedang itu
sendiri...?” terdengar agak sinis nada suara Klabang
Ireng.
“Pedang itu milikku, Klabang Ireng. Ingat, aku yang
berhak atas Pedang Dewa Naga.”
“Siapa bilang...? Aku yang lebih berhak
memilikinya. Karena aku adalah cucu tunggal Eyang
Kampayak.”
“Aku yang berhak!” tukas Rara Sawit mendelik.
“Kita buktikan nanti, siapa yang paling berhak
memilikinya. Aku atau kau!” tantang Klabang Ireng.
“Baik, kita buktikan sekarang,” balas Rara Sawit
mantap.
Dan tanpa membuang-buang waktu lagi, mereka
langsung saja berlari cepat mempergunakan ilmu
meringankan tubuhnya yang sudah tinggi tingkatan-
nya, menuju ke arah titik cahaya di atas bukit. Mereka
terus berlari dengan kecepatan tinggi, seakan-lkan
saling berlomba agar bisa sampai lebih dulu. Tapi
tampaknya tingkat ilmu meringankan tubuh yang
mereka miliki sejajar, sehingga mereka terus
beriringan tanpa ada yang tertinggal sedikit pun juga.
Begitu tingginya ilmu meringankan tubuh yang
mereka miliki, sehingga dalam waktu tidak berapa
lama mereka sudah sampai di tempat yang mereka
tuju. Sebuah bukit yang hanya terdiri dari batu-batu
bertumpuk. Kelihatan begitu rapuh sekali bukit ini.
Dan cahaya itu terlihat jelas, berada tepat di puncak
bukit Begitu terang dan menyilaukan mata. Membuat
kedua anak muda ini jadi terperangah memadangnya.
Mereka terus memandang dari kaki bukit batu ini
tanpa berkedip sedikit pun juga. Dan untuk beberapa
saat lamanya mereka jadi terdiam mematung dengan
kepala terdongak memandang cahaya yang
memancar dari puncak bukit batu di depannya ini.
“Ayo kita daki bukit ini,” ajak Klabang Ireng begitu
tersadar dari keterpanaannya.
“Tunggu dulu...!” sentak Rara Sawit, sambil
mencekal pergelangan tangan pemuda itu.
Klabang Ireng yang sudah bersiap hendak
melangkah mendaki bukit batu ini, jadi menghentikan
keinginannya. Dan dia langsung berpaling menatap
pada gadis cantik di sebelahnya. Saat itu Rara Sawit
langsung tersadar. Cepat-cepat dia melepaskan
cekalan tangannya pada pergelangan tangan pemuda
itu. Seketika wajahnya jadi menyemburat merah. Dan
dia mengarahkan pandangannya ke arah lain, seakan
ingin menyembunyikan wajahnya yang mendadak jadi
terasa panas. Entah kenapa, dadanya terasa begitu
cepat berdetak. Dan darahnya juga jadi bergolak tidak
seperti biasanya. Namun cepat Rara Sawit bisa
menguasai keadaan dirinya yang mendadak saja jadi
terasa ganjil ini.
“Kenapa kau selalu mencegahku, Rara Sawit? Apa
kau takut aku akan serakah menguasai pedang itu
sendiri?” tegur Klabang Ireng dengan nada suara
yang terdengar agak dingin.
“Aku.... Aku, aku hanya...,” entah kenapa, Rara
Sawit jadi tergagap.
“Dengar, Rara Sawit. Kalau pedang itu sudah kita
temukan, di sana nanti kita akan tentukan siapa
diantara kita berdua yang berhak memilikinya,” kata
Klabang Ireng lagi, tanpa mempedulikan ketergagapan gadis itu.
“Terserah kau, Klabang Ireng,” sambut Rara Sawit
sudah mulai agak tenang suaranya kini. “Tapi kini aku
hanya ingin mengatakan, sebaiknya kita pikirkan dulu
untuk mendaki bukit ini. Apa kau tidak lihat,
bagaimana rapuhnya bukit ini...? Lihat, Klabang Ireng.
Sedikit saja melakukan kesalahan, aku yakin bukit ini
akan ambruk mengubur kita semua di sini.”
Klabang Ireng jadi tertegun, memandangi bukit
batu yang ada di depannya ini. Dan di dalam hatinya
dia mengakui kebenaran dari kata-kata Rara Sawit
barusan. Bukit ini memang kelihatan begitu rapuh
sekali. Bahkan bukit ini hanya terdiri dari batu-batu
yang bertumpuk. Seakan-akan memang sengaja
dibuat tangan manusia. Klabang Ireng mengakui di
dalam hati, perlu pengerahan ilmu meringankan
tubuh yang lebih lagi untuk bisa mendaki bukit ini
sampai ke puncak. Sedangkan dia menyadari kalau
ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya sekarang
ini, belum cukup untuk mengimbangi merapuhan
bukit ini. Dan yang pasti, beban berat tubuhnya akan
membuat batu-batu bukit ini berguguran.
Sesaat Klabang Ireng beralih menatap pada Rara
Sawit Seakan dia tengah mengukur tingkat ilmu
meringankan tubuh yang dimiliki gadis ini. Dia tahu
kalau ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Rara
Sawit seimbang dengan yang dimilikinya. Jadi tidak
mungkin mereka berdua mendaki bukit batu ini.
Terlalu besar resikonya yang harus mereka hadapi
nanti. Sedangkan cahaya terang yang memendar dari
atas bukit itu sudah membuat mereka berdua begitu
yakin, kalau Pedang Dewa Naga yang selama ini
mereka cari ada di sana. Dan cahaya yang memendar
terang itu berasal dari Pedang Dewa Naga.
“Kau tunggu saja di sini, Rara Sawit. Kalau aku
gagal nanti, kau bisa menggantikanku,” kata
Klabang Ireng.
“Tidak...!” sentak Rara Sawit tegas.
Klabang Ireng jadi mendelik.
“Kalau kau naik ke bukit ini, aku juga ikuti naik,”
kata Rara Sawit lagi tetap tegas.
“Jangan main-main, Rara Sawit. Kau sendiri vang
memperingatkan tadi. Tapi sekarang, kau keras
kepala mau tetap mendaki bukit ini,” dengus Klabang
Ireng jadi sengit.
“Aku yang menentukan dalam hal ini!” bentak Rara
Sawit tidak mau kalah sengitnya.
“Heh...?! Memangnya kau ini apaku...?”
“Jangan bilang aku ini apamu, Klabang Ireng.
Karena aku yang lebih berhak atas pedang itu
daripada kau!”
“Edan...! Kau benar-benar keras kepala, Rara Sawit
Menyesal aku bertemu denganmu,” dengus Klabang
Ireng menggerutu kesal.
Rara Sawit hanya mencibir saja sambil mendengus
kecil. Dia kemudian mengayunkan kakinya beberapa
langkah ke depan. Klabang Ireng tidak mau
ketinggalan. Dia cepat melangkah hendak menyusul
gadis ini. Tapi baru saja kakinya berada di depan satu
langkah, Rara Sawit sudah mengibaskan tangannya
ke samping.
“Haiiit..!”
Klabang Ireng cepat menghentakkan tangannya,
menangkis kibasan tangan gadis ini. Dan kedua
tangan itu seketika beradu dengan keras.
Plak!
“Upths!”
“Hap...!”
Mereka sama-sama berlompatan ke samping,
hingga terdapat jarak sekitar satu batang tombak.
Manis sekali mereka menjejakkan kakinya secara
bersamaan di tempat yang berbatu ini. Dan sekarang
mereka sama-sama berdiri saling berhadapan,
dengan tatapan mata yang tajam, tidak ada yang mau
mengalah sedikit pun juga.
***
“Tingkahmu semakin memuakkan saja, Rara
Sawit,” desis Klabang Ireng tidak dapat lagi menahan
kesabarannya. “Seharusnya kau mau mengalah
sedikit”
“Huh! Enak saja kau bicara!” dengus Rara Sawit
mangkel. “Aku datang jauh-jauh hanya dengan satu
tujuan. Tapi kau seenaknya saja bicara. Kau pikir aku
tidak mampu menghajarmu...?”
Merah seluruh wajah Klabang Ireng mendengar
kata-kata Rara Sawit yang begitu pedas dan
menyakitkan. Dia merasa benar-benar direndahkan
gadis ini. Memang beberapa waktu yang lalu, Rara
Sawit hampir saja memenggal kepalanya, kalau
Pendekar Pulau Neraka tidak segera datang dan
menyelamatkannya. Tapi waktu itu Klabang Ireng
terlalu meremehkan kemampuan gadis ini, sehingga
dia lengah, dan pukulan Rara Sawit sampai mendarat
di dadanya.
Tapi sekarang, Klabang Ireng tidak bisa lagi
memandang sebelah mata pada gadis yang sudah
membuat hatinya jengkel ini. Terlebih lagi kata-kata
Rara Sawit tadi benar-benar merendahkan dirinya.
Jelas sekali dari sikap kata-katanya yang selalu
menyakitkan itu, Rara Sawit sudah memandang
rendah pada pemuda ini. Dan tadi Rara Sawit sudah
membuka tantangan secara terbuka. Pantang bagi
Klabang Ireng mendiamkan tantangan itu.
“Seharusnya kau diberi sedikit pelajaran, agar tahu
adat,” desis Klabang Ireng dingin menggetarkan.
“O..., jadi kau ingin membuktikan kejantananmu
lagi? Baik, jangan menyesal kalau kau mati sebelum
melihat Pedang Dewa Naga,” sambut Rara Sawit
tidak kalah dinginnya.
“Sombong...!” dengus Klabang Ireng semakin
geram hatinya.
“Ayo, aku beri kesempatan kau sepuluh jurus,
Klabang Ireng,” tantang Rara Sawit lagi.
Klabang Ireng malah diam saja, dengan
pandangan mata yang bersorot sangat tajam,
menembus langsung ke bola mata gadis itu.
Sementara Rara Sawit jadi tersenyum sinis,
membalas tatapan pemuda itu dengan sinar mata
yang merendahkan.
“Sebelum sampai sepuluh jurus, kau akan
menyembah di telapak kakiku, Perempuan Liar!”
desis Klabang Ireng memanasi.
“Keparat! Kau akan menyesal, Klabang Ireng!”
geram Rara Sawit langsung memerah wajahnya
dikatakan perempuan liar.
Sret!
Cring...!
Rara Sawit langsung saja mencabut pedangnya,
dan disilangkan ke depan dada. Sementara Klabang
Ireng jadi tersenyum tipis melihat gadis itu sudah
langsung mencabut pedangnya. Sedikit dia
menggeser seruling hitam yang selalu terselip di balik
ikat pinggangnya.
“Ayo! Maju kau, Keparat!” bentak Rara Sawit tidak
bisa lagi menahan kegeramannya.
“Kau memberiku sepuluh jurus, Perempuan Liar.
Sekarang aku beri kau kesempatan jurus,” balas
Klabang Ireng semakin memanasi.
“Setan...! Kupenggal kepalamu! Hiyaaat..!”
Rara Sawit tidak bisa lagi menahan kemarahan
nya. Dia langsung saja melompat sambil berteri
nyaring, menyerang pemuda ini. Pedangnya begi
cepat sekali dikibaskan mengarah langsung ke ba-
tang leher.
Bet!
“Haiiit...!”
Namun hanya dengan sedikit saja Klabang Ireng
menarik kepalanya ke belakang, ujung pedang Rara
Sawit berkelebat lewat di depan tenggorokannya. Dan
pada saat itu juga, Klabang Ireng memberikan satu
sodokan cepat ke dada gadis ini.
“Kurang ajar! Hih...!”
Semakin memerah wajah Rara Sawit melihat
tangan Klabang Ireng menyorong ke arah dadanya.
Sambil membentak, dia memutar pedangnya ke
depan dada. Namun dengan gerakan berputar yang
begitu indah sekali Klabang Ireng bisa menghindari
tangannya dari tebasan pedang gadis ini. Dan sambil
meliukkan tubuhnya, dia melepaskan satu tendangan
keras menggeledek yang disertai dengan pengerahan
tenaga dalam tinggi.
“Yeaaah...!”
“Upths!”
Rara Sawit cepat melompat ke belakang,
menghindari tendangan dahsyat pemuda ini. Namun
belum juga kedua kakinya menjejak tanah, Klabang
Ireng sudah melompat dengan kecepatan yang
sangat tinggi sambil mencabut senjatanya yang
berbentuk sebuah seruling hitam pekat. Dan bagai
kilat dia mengebutkan seruling hitam itu ke pinggang
gadis ini.
Wut!
“Aikh...?!”
Rara Sawit jadi tersentak kaget setengah mati.
Cepat-cepat dia memutar tubuhnya, hingga sabetan
seruling hitam itu tidak sampai menyambar
pinggangnya. Dan dengan manis sekali dia berhasil
menjejakkan kakinya di tanah. Tepat pada saat itu,
Klabang Ireng memberikan satu pukulan keras
dengan tangan kirinya sambil berteriak lantang
menggelegar.
“Hiyaaa...!”
“Hup!”
Rara Sawit kembali harus melentingkan tubuhnya
ke udara, menghindari pukulan Klabang Ireng yang
begitu dahsyat bagai halilintar ini. Klabang Ireng tidak
bisa lagi menahan arus pukulannya yang begitu
deras. Sehingga kepalan tangannya menghantam
dinding kaki bukit batu ini. Dan....
Glarrr...!
Satu ledakan yang begitu keras seketika terdengar
menggelegar. Dan seketika itu juga bukit batu yang
menjadi persoalan mereka ini bergetar hebat bagai
diguncang gempa. Suara gemuruh terdengar
membuat kedua orang yang sedang bertarung ini jadi
tersentak kaget setengah mati.
Namun Rara Sawit yang sudah begitu marah, tidak
mau mempedulikan bukit batu yang bergetar bagai
hendak runtuh ini. Dia langsung saja melesat begitu
cepat sekali dengan ujung pedang tertuju lurus ke
depan dada lawannya ini sambil berteriak nyaring
melengking.
“Hiyaaat..!”
“Hup! Yeaaah...!”
Klabang Ireng yang sempat melihat bukit batu itu
akan runtuh, cepat-cepat dia melentingkan tubuhnya
ke belakang, dan terus berputaran beberapa kali di
udara sebelah serangan Rara Sawit sampai.
“Hup! Yeaaah...!”
Klabang Ireng kembali melesat begitu kakinya
menjejak batu. Dan kembali dia berputaran di udara,
bergerak cepat ke belakang. Sementara Rara Sawit
yang belum menyadari keadaan, terus mengejar
pemuda ini sambil mengecutkan pedangnya dengan
cepat Gadis itu terus berlompatan mengejar lawannya
yang terus saja berjumpalitan di udara sambil
bergerak ke belakang.
“Hap!”
Begitu merasa jaraknya sudah cukup jauh dari
bukit batu yang terus bergetar runtuh ini, Klabang
Ireng tidak lagi melentingkan tubuhnya ke belakang.
Dan dia berdiri tegak memperhatikan Rara Sawit yang
terus meluruk deras, bagai anak panah dilepaskan
dari busurnya.
“Rara Sawit, hentikan semua ini...!” seru Klabang
Ireng mencoba memperingati.
“Kau harus mampus, Klabang Ireng Keparat!
Hiyaaa...!”
***
Rara Sawit sama sekali tidak mempedulikan
peringatan Klabang Ireng. Dan dia terus saja
menyerang pemuda ini dengan jurus pedangnya yang
begitu cepat dan dahsyat. Klabang Ireng terpaksa
harus berjumpalitan kembali di udara, menghindari
setiap serangan Rara Sawit yang begitu dahsyat itu.
Tapi Klabang Ireng bergerak semakin menjauhi bukit
batu. Dan sama sekali dia tidak melancarkan
serangan balasan.
Sikap Klabang Ireng yang sebenarnya ingin
menyelamatkan diri mereka berdua dari kehancuran
bukit batu itu, malah diartikan Rara Sawit lain. Gadis
ini merasa pemuda itu sudah merendahkannya
dengan terus menghindar tanpa mau membalas
serangannya sedikit pun juga. Bahkan Klabang Ireng
terus bergerak mundur dengan berjumpalitan di
udara.
“Pengecut kau, Klabang Ireng! Hiyaaat..!” teriak
Rara Sawit sengit.
Bentakan Rara Sawit begitu keras menggelegar.
Dan seketika itu juga dia mengebutkan pedangnya
tepat mengarah ke dada dan leher Klabang Ireng
dengan kecepatan yang sangat tinggi, hingga bentuk
pedangnya lenyap, dan yang terlihat hanya kilatan
cahaya putih keperakan menyambar ke arah dada
dan leher dalam waktu yang hampir bersamaan.
“Upths...!”
Klabang Ireng berhasil menghindari tebasan
pedang itu pada lehernya. Namun saat pedang itu
berputar mengarah ke dada, sama sekali tidak ada
kesempatan bagi Klabang Ireng untuk berkelit
menghindarinya. Dan ujung pedang itu siap merobek
dadanya. Namun disaat ujung pedang itu seulung
rambut lagi menyentuh dada Klabang Ireng,
mendadak saja secercah cahaya putih keperakan
berkelebat dengan kecepatan bagai kilat menyambar
Rara Sawit ini. Dan....
Trang!
“Ikh...?!”
Rara Sawit jadi terpekik kaget, begitu merasakan
pedangnya bagai membentur sebongkah batu cadas
yang teramat keras. Hingga dia terpaksa harus
menarik pulang serangannya, dan melompat ke
belakang sejauh lima langkah sambil berputaran di
udara dua kali. Tampak bibirnya meringis begitu
kakinya menjejak tanah berbatu yang bergetaran
seperti diguncang gempa sejak tadi ini.
Benturan cahaya putih keperakan bagai kilat pada
pedangnya tadi, membuat seluruh persendian tulang
kanan gadis ini jadi terasa nyeri. Dan belum lagi Rara
Sawit bisa menyadari apa yang telah terjadi tadi,
terlihat sebuah bayangan kuning berkelebat begitu
cepat sekali, hingga tahu-tahu di antara dia dan
Klabang Ireng sudah berdiri seorang pemuda berbaju
kulit harimau, dengan seekor monyet kecil berbulu
hitam pekat berada di pundaknya.
“Bayu...,” desis Rara Sawit langsung mengenali.
Pemuda yang baru datang itu memang Bayu, yang
lebih dikenal dengan nama sebutan Pendekar Pulau
Neraka. Dia berdiri tepat di antara Rara Sawit dan
Klabang Ireng yang sama-sama menghunus
senjatanya ini.
“Untuk apa kalian bertarung?” terasa begitu dingin
sekali nada suara Bayu.
Tidak ada seorang pun yang menjawab pertanyaan
Pendekar Pulau Neraka itu. Entah kenapa, mulut
mereka seakan terkunci, melihat wajah ang ker yang
ditunjukkan Bayu. Seakan-akan Pendekar Pulau
Neraka itu memiliki satu kekuatan aneh yang
membuat mereka tidak ada yang bisa mengeluarkan
suara.
“Masukkan senjata kalian!” bentak Bayu
memerintah.
Kembali Klabang Ireng dan Rara Sawit tidak bisa
membantah perintah Pendekar Pulau Neraka itu.
Tanpa diperintah dua kali, mereka menyimpan
senjatanya masing-masing. Seperti anak kecil yang
ketahuan nyolong mangga, mereka tertunduk tidak
berani membalas tatapan mata Pendekar Pulau
Neraka yang begitu tajam memandangi mereka
berdua bergantian.
“Apa yang kalian perebutkan?” tanya Bayu lagi.
Tidak ada seorang pun yang menjawab. Dan
perlahan mereka sama-sama mengangkat kepalanya,
lalu secara bersamaan pula mereka menatap ke arah
puncak bukit batu yang kini sudah tenang kembali.
Tampak tidak sedikit batu-batu dari bukit itu yang
berguguran. Dan di atas puncak bukit itu, masih
terlihat semburat cahaya terang benderang, yang
membuat daerah sekitarnya jadi terang, seperti
tersiram cahaya rembulan. Padahal malam ini di
langit tidak terlihat bulan sedikit pun juga. Bahkan
tidak satu pun bintang menggantung di sana. Langit
kelihatan begitu kelam pekat, tersaput awan hitam
yang tebal bergulung-gulung. Membuat udara di
sekitar bukit batu itu jadi terasa dingin menggigilkan
tubuh.
“Kalian tahu, apa yang ada di sana?” tanya Bayu
lagi, langsung bisa mengetahui arti pandangan mata
Klabang Ireng dan Rara Sawit yang tertuju ke puncak
bukit.
Kembali tidak ada seorang pun yang menjawab.
Mereka malah mengarahkan matanya, memandang
Pendekar Pulau Neraka ini. Sementara Bayu
menurunkan Tiren dari pundaknya. Dan monyet kecil
itu mencerecet ribut, begitu terlepas dari pundak
pemuda ini. Seakan dia tidak senang menginjak
bebatuan yang terasa begitu dingin membekukan
tulang.
“Kau ke sana, Tiren,” pinta Bayu seraya menunjuk
ke puncak bukit.
“Nguk!”
Tanpa diminta dua kali, monyet kecil berbulu hitam
pekat itu langsung berlarian berjingkrakan menuju ke
bukit batu. Dengan gerakan yang begitu lincah dan
ringan sekali, Tiren mendaki bukit batu itu dengan
cepat. Sementara Klabang Ireng dan Rara Sawit
hanya bisa memandangi saja tanpa dapat mengeluar-
kan suara lagi. Dan Bayu terus memandangi monyet
kecil itu sampai menghilang dari pandangan matanya.
Dan setelah beberapa saat menunggu, tiba-tiba
saja cahaya terang yang ada di puncak bukit itu
padam. Klabang Ireng dan Rara Sawit jadi terkejut.
Meskipun mulut mereka tenganga, tapi tidak ada
suara sedikit pun juga yang terdengar. Sedangkan
Bayu sudah mengayunkan kakinya mendekati bukit
batu itu. Dia baru berhenti melangkah setelah berada
di kaki bukit ini. Dan pada saat itu, Tiren terlihat
berlompatan dengan gerakan yang begitu ringan
sekali menuruni lereng bukit.
“Nguk! Craaagkh...!”
Jeritan monyet kecil berbulu hitam yang nyaring
itu, sempat membuat telinga mereka yang
mendengar jadi terasa sakit Sementara Klabang Ireng
dan Rara Sawit menunggu dengan segudang
pertanyaan berkecamuk di dalam kepalanya, Tiren
sudah dekat dengan Pendekar Pulau Neraka. Dan
pemuda berbaju kulit harimau itu menjulurkan
tangannya. Tiren langsung melompat naik ke pundak
Pendekar Pulau Neraka itu melalui tangan yang
menjulur padanya.
“Kalian lihat ini...!” seru Bayu seraya memutar
tubuhnya berbalik.
“Hah...?!”
“Oh...?!”
Klabang Ireng dan Rara Sawit jadi terkejut
setengah mari, dengan bola mata terbeliak dan mulut
ternganga lebar. Seakan mereka tidak percaya
dengan apa yang dilihatnya. Padahal tadi mereka
tidak melihat Tiren membawanya, tapi sekarang di
tangan Pendekar Pulau Neraka itu...
“Pedang Dewa Naga...,” desis Klabang Ireng,
hampir tidak terdengar suaranya.
Sementara Bayu sudah melangkah perlahan
menghampiri mereka. Dia berhenti setelah jaraknya
tinggal sekitar empat langkah lagi. Dia memandangi
Klabang Ireng dan Rara Sawit bergantian. Sedangkan
yang dipandangi malah memperhatikan pedang
bersarung putih keperakan, dengan bagian gagang-
nya berbentuk kepala seekor naga berwarna putih
keperakan juga. Tampak pada bagian pangkal sarung
pedang dekat gagang, menyemburat cahaya
keperakan.
Pedang yang berada di dalam genggaman tangan
Pendekar Pulau Neraka itu memang Pedang Dewa
Naga yang menjadi permasalahan selama ini. Pedang
yang membuat tokoh-tokoh persilatan selalu
memimpikan untuk memilikinya. Bahkan menjadi
rebutan antara Klabang Ireng dan Rara Sawit yang
sama-sama mengakui menjadi pewaris yang sah dari
pedang itu.
“Sekarang kalian sudah tahu pedang ini memang
ada. Hanya satu orang yang berhak memiliki pedang
ini. Dan pada tubuh orang itu harus mengalir darah
dari pembuatnya. Aku tidak tahu, siapa di antara
kalian berdua yang berhak memilikinya. Tapi aku
mendapat amanat untuk menyerahkan pedang ini di
antara kalian berdua,” kata Bayu dengan nada suara
yang tegas.
“Aku siap bertarung sampai mati untuk
membuktikannya, Bayu,” sambut Rara Sawit mantap.
“Bukan itu yang kumaksudkan,” kata Bayu seraya
tersenyum dan menggelengkan kepalanya.
“Lalu, bagaimana kau akan membuktikan siapa
yang paling berhak?” tanya Klabang Ireng ingin tahu.
Bayu tidak menjawab. Dia hanya tersenyum saja
mendengar pertanyaan Klabang Ireng barusan.
Seakan pertanyaan itu membuat hatinya tergelitik.
Senyum Pendekar Pulau Neraka itu membuat
Klabang Ireng dan Rara Sawit jadi saling melempar-
kan pandangan. Kemudian mereka memandangi
Pendekar Pulau Neraka itu dengan sinar mata yang
sukar untuk diartikan.
“Katakan, Bayu. Siapa di antara kami yang berhak
memilikinya,” desak Rara Sawit tidak sabar lagi.
Dan belum juga Bayu menjawab pertanyaan gadis
itu, tiba-tiba saja terdengar suara keras yang
menggelegar mengejutkan.
“Kalian semua tidak berhak...!”
“Heh...?!”
“Oh...?!”
Belum lagi hilang suara yang keras menggelegar
itu, muncul seorang wanita setengah baya, yang
diiringi sekitar tiga puluh orang gadis-gadis cantik
membawa tombak dari arah selatan. Dan tidak lama
kemudian, dari arah timur muncul juga seorang laki-
laki tua berjubah putih yang berjalan menggunakan
tongkat bersama sekitar dua puluh orang pemuda-
pemuda bersenjata golok.
“Dewi Pedang Maut..,” desis Rara Sawit.
“Ki Jamparut..,” desis Klabang Ireng hampir
bersamaan.
Mereka memang Ki Jamparut dan Dewi Pedang
Maut. Mereka datang tepat di saat Pendekar Pulau
Neraka sudah mendapatkan Pedang Dewa Naga. Dan
ini sebentar saja tempat ini sudah dipenuhi dua
kekuatan yang cukup besar itu. Bayu bergegas
melangkah lebih dekat dengan kedua anak muda ini.
Seakan dia ingin melindungi mereka berdua dengan
Pedang Dewa Naga yang berada di tangannya kini.
“Serahkan pedang itu padaku, Pendekar Pulau
Neraka!” bentak Dewi Pedang Maut lantang.
“Untuk apa aku menyerahkan pedang ini padamu,
Nisanak? Bukan kau yang berhak memilikinya,” sahut
Bayu tegas.
“Siapa saja berhak memilikinya, Bocah!” bentak Ki
Jamparut menyelak lantang.
“Ada yang lebih berhak daripada kalian,” sahut
Bayu tetap tegas. “Dan aku tahu siapa yang berhak
memiliki pedang ini.”
“Huh! Alasan saja...! Aku tahu, kau juga ingin
memilikinya,” dengus Dewi Pedang Maut dingin.
Bayu hanya tersenyum saja. Dia melangkah dua
tindak ke depan, mendekati wanita setengah baya
yang masih kelihatan cantik ini. Meskipun kata-kata
Dewi Pedang Maut tadi begitu menyakitkan telinga,
tapi Bayu sama sekali tidak menghiraukan. Bahkan
dia kelihatn begitu tenang sekali, menyelipkan
Pedang Dewa Naga ke balik ikat pinggangnya. Sedikit
Bayu berpaling, menatap pada Klabang Ireng dan
Rara Sawit
“Menyingkirlah kalian. Mereka bukan tandingan
kalian berdua,” kata Bayu meminta.
Klabang Ireng dan Rara Sawit saling berpandangan
sejenak. Kemudian mereka melangkah ke belakang,
menjauhi Pendekar Pulau Neraka itu. Sementara
Bayu sendiri menurunkan Tiren dari pundaknya.
Monyet kecil berbulu hitam itu seperti tahu akan
bahaya yang sedang dihadapi Pendekar Pulau Neraka
ini. Dia bergegas berlari menghampiri bongkah batu
yang cukup besar di belakang Pe dekar Pulau Neraka.
Dengan gerakan yang san ringan sekali monyet kecil
itu melomapt naik atas batu. Bayu tersenyum melihat
Tiren, Klabang Ireng, dan Rara Sawit sudah berada di
tempat yang cukup aman.
“Apa yang kalian inginkan sekarang...?” tanya Bayu
dengan nada suara yang terdengar dingin meng-
getarkan.
Dewi Pedang Maut dan Ki Jamparut saling
berpandangan beberapa saat, mendengar pertanyaan
Bayu yang bernada menantang itu. Mereka sudah
sama-sama tahu siapa Pendekar Pulau Neraka ini.
Seorang pendekar muda digdaya yang sukar dicari
tandingannya. Dan mereka sudah pernah bentrok
dengannya. Mereka juga sama-sama menyadari ka
lau tingkat kepandaian yang dimilikinya belum cu kup
untuk menandingi Pendekar Pulau Neraka ini. Tapi
mereka begitu menginginkan Pedang Dewa Naga
menjadi milikinya. Dengan pedang itu, kekuatan yang
mereka miliki akan berlipat ganda.
“Bagaimana, Ki?” tanya Dewi Pedang Maut
meminta pendapat.
“Kita serang saja sama-sama. Kalau sudah beres,
baru kita tentukan nanti antara kita berdua,” sahut Ki
Jamparut mantap.
Dewi Pedang Maut menganggukkan kepalanya
sambil mengembangkan senyuman tipis yang terasa
begitu pahit sekali. Dia tahu, walaupun sekarang
harus bergabung dengan Ki Jamparut, tapi urusan
mereka untuk mendapatkan Pedang Dewa Naga
nanti juga akan ditentukan dengan darah. Dan
sekarang mereka berdua harus menghadapi
Pendekar Pulau Neraka bersama-sama.
“Sekarang, Ki...,” ujar Dewi Pedang Maut
“Ya!” sahut Ki Jamparut mantap. “Gunakan dulu
orang-orang kita.”
Dewi Pedang Maut kembali mengangguk. Dan....
“Seraaang...!”
Secara bersamaan, Dewi Pedang Maut dan Ki
Jamparut berteriak lantang menggelegar memberikan
perintah pada pengikutnya. Dan seketika itu juga,
mereka yang sejak tadi berada di belakang kedua
orang ini langsung berlarian meluruk ke arah
Pendekar Pulau Neraka.
***
Kaki bukit yang berbatu itu seakan dilanda gempa,
bergemuruh menggetarkan begitu sekitar lima puluh
orang berhamburan, meluruk deras menyerang
Pendekar Pulau Neraka dengan berlarian sambil
berteriak-teriak membahana. Membuat malam yang
pekat dan dingin seketika menjadi hangat dan gegap
gempita bagai hendak meruntuhkan bukit batu ini.
Sementara Bayu tetap berdiri tegak dengan kedua
tangan terkepal di samping pinggangnya. Tatapan
matanya begitu tajam sekali memandang orang-orang
yang berhamburan, meluruk deras ke arahnya. Dan
begitu mereka dekat, dengan jarak kurang dari satu
batang tombak lagi...
“Hiyaaa...!”
Sambil berteriak keras menggelegar, Pendekar
Pulau Neraka itu menghentakkan kedua tangannya
tepat ke depan ujung kakinya. Dan seketika itu juga,
batu-batu yang ada di depan kakinya berhamburan
terhantam kekuatan dahsyat dari pukulan bertenaga
dalam tinggi Pendekar Pulau Neraka itu.
Batu-batu yang berhamburan itu langsung meng-
hujani mereka yang berlarian hendak menyerang
Pendekar Pulau Neraka ini. Begitu cepatnya kejadian
itu, sehingga mereka tidak sempat lagi menyadari.
Dan batu-batu itu langsung menghantam batok
kepala mereka, hingga membuat jeritan-jeritan
melengking seketika terdengar menyayat saling
sambut.
Seketika itu juga tubuh-tubuh dengan kepala
pecah terhantam batu, jatuh bergelimpangan
mengiringi jeritan-jeritan panjang yang melengking
menyayat hati. Dan Bayu kembali menghentakkan
kedua tangannya dengan jari-jari terkembang ke
depan sambil berteriak keras menggelegar meng-
getarkan jantung.
“Yeaaah...!”
Brolll!
Kembali batu-batu di depan Pendekar Pulau
Neraka itu berhamburan terhempas angin pukulan
kedua tangan pemuda ini. Dan terus menghujani
pengikut Dewi Pedang Maut dan Ki Jamparut.
Membuat mereka semakin kelabakan, berhamburan
berusaha mencari selamat. Tapi batu-batu yang
terlontar itu bagaikan hujan saja datangnya. Hingga
mereka tidak punya lagi peluang untuk bisa
menyelamatkan diri.
Jerit dan pekikan panjang melengking menyayat,
terus terdengar saling sambut disusul dengan
berjatuhnya tubuh-tubuh berlumuran darah. Tidak
seorang pun yagn bisa bangkit lagi begitu tubuhnya
menghantam tanah berbatu ini. Darah berhamburan
membasahi batu-batu dari kepala yang pecah.
Keadaan ini tentu saja membuat Ki Jamparut dan
Dewi Pedang Maut jadi ternganga. Mereka begitu
terkejut, tidak menyangka bakal seperti ini jadinya.
Dua kekuatan pengikut mereka yang berjumlah lima
puluh orang ini, sama sekali tidak berdaya hanya
menghadapi satu orang saja. Dan dalam waktu tidak
lama, tidak ada seorang pun dari mereka yang masih
terlihat berdiri.
Bayu berdiri tegak dengan kedua tangan terlipat di
depan dada. Sorot matanya terlihat begitu tajam
sekali memandangi mayat-mayat yang ber-
gelimpangan saling tumpang tindih di depannya.
Kemudian pandangannya tertuju lurus pada Ki Jam-
parut dan Dewi Pedang Maut yang masih terbeliak,
seperti tidak percaya dengan apa yang bani saja
disaksikannya ini.
Pengikut mereka berdua yang bergabung menjadi
satu, dan berjumlah tidak kurang dari lima puluh
orang itu, kini tidak satu pun yang terlihat masih bisa
berdiri. Mereka sudah bergelimpangan saling
tumpang tindih tanpa nyawa lagi melekat di tubuhnya.
Hampir semua dari mereka kepalanya pecah
berlumuran darah, terhantam batu-batu yang
terlempar akibat terkena pukulan dahsyat Pendekar
Pulau Neraka.
“Keparat..!” desis Ki Jamparut begitu tersadar dari
keterpanaannya. “Kau harus mampus di tanganku,
Bocah Setan! Hiyaaat...!”
Sambil berteriak lantang menggelegar, Ki Jam-
parut yang sudah hancur kakinya itu langsung saja
melompat dengan kecepatan yang luar biasa sekali.
Dan tongkat kayunya langsung dikebutkan tepat
mengarah ke kepala Pendekar Pulau Neraka ini.
“Mampus kau, Bocah Setan!”
Bet!
“Haiiit...!”
Namun dengan hanya mengegoskan kepalanya
saja sedikit, Bayu bisa menghindari kebutan tongkat
laki-laki tua ini. Dan tanpa diduga sama sekali,
Pendekar Pulau Neraka itu menghentakkan tangan
kirinya lurus ke depan, tepat disaat tongkat yang
hampir menghantam kepalanya itu lewat ke samping.
“Upths!”
Namun dengan gerakan tubuh berputar di udara,
Ki Jamparut berhasil menghindari sodokan tangan kiri
Pendekar Pulau Neraka itu. Dan dengan manis sekali
dia menjejakkan kakinya di tanah. Tongkatnya
langsung menekan tanah berbatu ini, untuk
menyangga tubuhnya yang kini hanya berkaki satu.
“Hup! Yeaaah...!”
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Ki Jamparut
kembali melompat menerjang dengan kebutan
tongkat yang begitu cepat disertai dengan
pengerahan tenaga dalam yang tinggi. Laki-laki tua ini
mengarahkan kebutan tongkatnya ke kepala
Pendekar Pulau Neraka. Tapi kembali kebutan
tongkatnya lewat tanpa mendatangkan hasil. Bayu
hanya mengegoskan kepalanya saja sedikit, mem-
buat serangan Ki Jamparut tidak mencapai sasaran
dengan tepat.
“Hih! Yeaaah...!”
Bet!
Bayu yang tidak mau lagi membuang-buang waktu
menghadapi lawannya ini, langsung mengecutkan
tangan kanannya ke depan sambil memiringkan
tubuhnya sedikit ke kiri. Dan seketika itu juga Cakra
Maut yang selalu menempel di perge- langan
tangannya melesat begitu cepat sekali bagai kilat.
Hingga yang terlihat hanya kilatan cahaya putih
keperakan.
“Ikh...?!”
Ki Jamparut terpekik kaget setengah mati. Cepat-
cepat dia mengebutkan tongkatnya ke depan, sambil
melentingkan tubuhnya, berputaran ke belakang.
Hingga Cakra Maut lewat menerobos di bawah orang
tua berjubah putih ini.
Tapi tanpa diduga sama sekali, Cakra Maut itu
langsung berputar balik, tepat disaat Bayu
menghentakkan tangan kanannya ke atas. Dan
langsung meluruk deras menyerang orang tua
berjubah putih ini. Begitu cepatnya lesatan senjata
maut berbentuk lingkaran bersegi enam berwarna
putih keperakan ini, hingga membuat kedua bola
mata Ki Jamparut jadi terbeliak lebar. Daa...
Bet!
Wusss...!
“Heh...?!”
Ki Jamparut jadi terkejut setengah mati, begitu
melihat kebutan tongkatnya tidak sampai
menghantam senjata aneh Pendekar Pulau Neraka
itu. Bahkan Cakra Maut bisa melesat ke atas
menghindari sabetan tongkat orang tua mi. Seperti
memiliki mata saja, Cakra Maut langsung meluruk
deras. Dan....
Crabbb!
“Aaa...!”
***
Ki Jamparut jadi terpekik keras, begitu Cakra Maut
menghantam dadanya, hingga tembus ke punggung.
Dan senjata maut Pendekar Pulau Neraka itu
langsung melesat tembus dari punggung orang tua
ini. Sementara Bayu sudah mengangkat tangan
kanannya ke atas kepala. Cakra Maut kembali
menempel di pergelangan tangan Pendekar Pulau
Neraka itu.
Tampak Ki Jamparut masih berdiri dengan tubuh
limbung dan mata terbeliak lebar, seakan tidak
percaya dengan apa yang telah terjadi pada dirinya.
Darah mengalir keluar dengan deras sekali dari dada
dan punggungnya yang berlubang tertembus Cakra
Maut, senjata andalan Pendekar Pulau Neraka tadi.
Dan tidak lama Ki Jamparut bertahan berdiri.
Kemudian tubuh tuanya ambruk dengan keras sekali
menghantam bebatuan yang berserakan di
sekitarnya. Beberapa kali tubuh orang tua berjubah
putih itu bergulingan. Kemudian menggelegar, dan
mengejang kaku diiringi suara erangan tertahan.
Kemudian diam tidak bergerak-gerak lagi. Seketika
nyawanya melayang dari tubuhnya yang menggeletak
dengan darah tenis bercucuran deras dari lubang di
dada dan punggungnya.
“Phuih!”
Kematian Ki Jamparut membuat Dewi Pedang
Maut jadi mendengus geram, menyemburkan
ludahnya. Dia memandangi Pendekar Pulau Neraka
dengan sinar mata yang begitu tajam menusuk.
Seakan dia ingin menghancur-leburkan pemuda
berbaju kulit harimau itu dengan cahaya bola
matanya yang tajam, dan merah membara bagai
sepasang bola api. Sedangkan yang dipandangi tetap
berdiri tegak dengan kedua tangan terlipat di depan
dada.
Tapi tampaknya Dewi Pedang Maut ragu-ragu
untuk menyerang. Cukup lama juga dia memandangi
Pendekar Pulau Neraka itu dengan sinar mata yang
tajam dan merah membara bagai api berselimut
dendam dan kemarahan. Sedangkan Bayu tetap
menunggu dengan sikap yang kelihatan begitu tenang
sekali. Bahkan bibirnya terlihat mengulas senyuman
tipis. Seakan dia menanti serangan wanita setengah
baya yang masih kelihatan cantik itu.
“Giliranmu sekarang, Nisanak,” ujar Bayu dingin.
“Phuih...!”
Dewi Pedang Maut hanya menyemburkan
ludahnya dengan sengit, menyambut tantangan
Pendekar Pulau Neraka itu. Tapi dia belum juga mau
bergerak. Seakan dia ragu-ragu untuk menyerang
Pendekar Pulau Neraka ini. Melihat begitu mudahnya
Bayu menghantam lawan-lawannya tadi, gentar juga
hati wanita ini. Tapi begitu melihat mayat-mayat
pengikutnya yang bergelimpangan di depannya,
darahnya kembali bergolak mendidih. Kini tidak ada
lagi orang yang berdiri di belakangnya. Dan hanya dia
sendiri yang harus menghadapi Pendekar Pulau
Neraka. Dewi Pedang Maut kembali menyemburkan
ludahnya, seakan dia ingin memantapkan hatinya
menghadapi pemuda berbaju kulihat harimau yang
sangat digdaya ini.
Sret!
Cring...!
Dewi Pedang Maut mencabut pedangnya, dan
langsung disilangkan ke depan dada. Memang tidak
ada pilihan lain lagi baginya, kecuali menghadapi
Pendekar Pulau Neraka ini seorang diri. Walaupun di
dalam hatinya menyadari, kepandaian yang
dimilikinya belum cukup untuk menghadapi Pendekar
Pulau Neraka. Tapi Dewi Pedang Maut tidak punya
pilihan lagi. Dan dia tidak mau kehilangan muka.
Baginya lebih baik mati dalam pertarungan, daripada
harus meninggalkan tempat ini tanpa memiliki muka
lagi.
“Sekarang kita bertarung sampai salah satu di
antara kita ada yang mati, Pendekar Pulau Neraka,”
terdengar begitu dingin sekali nada suara Dewi
Pedang Maut.
“Hm,” Bayu hanya menggumam saja sedikit.
'Tahan seranganku, Pendekar Pulau Neraka
Hiyaaat..!”
“Hap!”
Bayu cepat melompat ke kanan, begitu Dewi
Pedang Maut melesat menyerangnya dengan ujung
pedang tertuju lurus ke arah dadanya. Sedikit Bayu
memiringkan tubuhnya, hingga pedang wanita itu
lewat di depan dadanya. Dan pada saat itu juga Bayu
menghantamkan telapak tangannya ke pergelangan
tangan Dewi Pedang Maut.
“Haiiit..!”
Tapi Dewi Pedang Maut sudah lebih cepat
memutar tangan kanannya yang menggenggam
pedang itu. Dan langsung dikibaskan ke arah batang
leher Pendekar Pulau Neraka ini. Begitu cepatnya
tebasan berputar yang dilakukan Dewi Pedang Maut,
sehingga tidak ada lagi kesempatan bagi Bayu untuk
berkelit menghindarinya dalam jarak yang begitu
rapat ini. Dan....
***
DELAPAN
“Haps!”
Cepat Bayu mengangkat tangan kanannya ke
depan lehernya, hingga mata pedang wanita itu
menghantam tepat di pergelangan tangan kanan
yang terdapat senjata berupa cakra bersegi enam.
Tring!
“Ikh...?!”
Dewi Pedang Maut jadi terpekik kaget, begitu mata
pedangnya membentur senjata maut Pendekar Pulau
Neraka itu. Cepat dia melompat ke belakang, sambil
memutar tubuhnya dua kali. Begitu kerasnya
benturan dua senjata itu, hingga terlihat percikan
bunga api yang menyebar ke segala arah. Sedangkan
Bayu sendiri tetap berdiri tegak, tidak bergeming
sedikit pun juga.
“Hap!”
Manis sekali Dewi Pedang Maut menjejakkan
kakinya ke tanah sekitar satu batang tombak jauhnya
dari Pendekar Pulau Neraka. Dengan bibir meringis,
dia mengurut tangan kanannya yang sempat nyeri
akibat benturan yang keras tadi dengan senjata aneh
Pendekar Pulau Neraka yang melekat di pergelangan
tangan kanannya itu.
“Keparat kau, Pendekar Pulau Neraka...,” Dewi
Pedang Maut geram, dengan sorot mata yang
memancar tajam menatap lurus ke bola mata
pemuda di depannya ini.
Bayu hanya diam saja dengan bibir menyungging-
kan senyuman tipis. Dia menaruh tangan kirinya ke
depan dada, seakan ingin memperlihatkan senjata
Cakra Maut yang menempel di luar perge-langan
tangan kanannya itu. Senjata maut Pendekar Pulau
Neraka itu berkilatan, bagai mengancam jiwa wanita
setengah baya yang masih kelihatan cantik ini.
“Saatnya kau tahan jurus andalanku, Pendekar
Pulau Neraka! Hiyaaat..!”
Sambil membentak keras menggelegar, Dewi
Pedang Maut melompat dengan kecepatan tinggi
menenang Pendekar Pulau Neraka. Pedangnya
diangkat lurus mengarah ke dada pemuda itu. Dan
begitu dekat, langsung dikibaskan dengan gerakan
berputar.
“Haiiit..!”
Namun hanya dengan mengegoskan tubuhnya
saja, Bayu bisa menghindari tebasan pedang itu. Dan
dia cepat melompat ke belakang, begitu Dewi Pedang
Maut tenis mencecar dengan sabetan pedangnya
yang begitu cepat bagai kilat Beberapa kali ujung
pedang wanita itu hampir merobek tubuh Bayu. Tapi
dengan gerakan yang begitu indah dan cepat luar
biasa, Bayu masih bisa menghindarinya.
Serangan-serangan yang dilancarkan Dewi Pedang
Maut kali ini memang sangat luar biasa sekali.
Permainan pedangnya sungguh cepat luar biasa.
Bahkan setiap sabetan pedangnya selalu menimbul-
kan suara mencicit yang membuat hati jadi ter-giris.
Namun Bayu masih menandinginya dengan hanya
berputaran dan meliuk-liukkan tubuhnya. Hingga
tidak satu pun serangan yang dilancarkan Dewi
Pedang Maut berhasil menyentuh tubuhnya.
“Cukup sudah kesempatanmu, Dewi Pedang Maut!
Yeaaah...!”
Tiba-tiba saja Bayu membentak nyaring. Dan
seketika itu juga tubuhnya melesat tinggi ke atas, lalu
bagaikan kilat dia meluruk deras dengan tangan kiri
menjulur lurus mengarah ke bagian atas kepala
wanita lawannya ini. Begitu cepatnya serangan balik
yang dilancarkan Pendekar Pulau Neraka itu,
sehingga membuat Dewi Pedang Maut jadi ter-
perangah dibuatnya.
“Hup! Yeaaah...!”
Tapi belum juga serangan yang dilancarkan
Pendekar Pulau Neraka itu sampai, Dewi Pedang
Maut sudah membanting tubuhnya ke tanah yang
berbatu ini, dan bergulingan beberapa kali sebelum
dia melompat bangkit berdiri. Tepat di saat Bayu
menjejakkan kakinya kembali dengan tegak. Dan saat
itu juga Bayu memiringkan tubuhnya ke kiri dengan
posisi agak membungkuk. Lalu sambil berteriak keras
menggelegar, dia mengebutkan tangan kanannya ke
depan.
“Hiyaaa...!”
Wusss!
Cakra Maut yang menempel pada pergelangan
tangan kanan Pendekar Pulau Neraka itu melesat
begitu cepat sekali bagai kilat Begitu cepatnya,
hingga yang terlihat hanya kilatan cahaya putih
keperakan yang meluruk deras mengarah ke dada
Dewi Pedang Maut Membuat wanita itu jadi terbeliak
lebar. Dan....
Crab!
“Aaa...!”
Tidak ada lagi kesempatan bagi Dewi Pedang Maut
untuk menghindarkan diri dari ancaman senjata maut
Pendekar Pulau Neraka itu. Cakra Maut seketika itu
juga menghujam begitu dalam sekali ke dada wanita
ini. Begitu tingginya pengerahan tenaga dalam yang
disalurkan Bayu pada senjatanya ini, membuat
senjata berbentuk bintang bersegi enam itu tembus
sampai ke punggung.
Darah seketika muncrat berhamburan dari dada
dan punggung yang berlubang tertembus Cakra Maut
Dan di saat Bayu mengangkat tangan kanannya ke
atas kepala, senjata cakra bersegi enam berwarna
putih keperakan itu melesat balik dengan cepat, lalu
menempel erat di pergelangan tangan kanan
Pendekar Pulau Neraka ini. Sementara Dewi Pedang
Maut masih terlihat berdiri dengan tubuh yang sudah
limbung.
Dia memandangi Bayu dengan sinar mata seakan
tidak percaya dengan apa yang terjadi pada dirinya.
Sementara darah semakin banyak mengalir keluar
dari dada dan punggungnya yang berlubang, ter-
tembus senjata Pendekar Pulau Neraka itu tadi.
Hanya sebentar saja Dewi Pedang Maut masih bisa
bertahan berdiri dengan kedua kakinya. Setelah dia
limbung beberapa saat, kemudian mulai ambruk
menggelimpang di tanah yang berbatu ini. Begitu
keras sekali tubuhnya jatuh bergelimpang, hingga
tempat sekitarnya jadi terasa bergetar. Sedikit pun
wanita itu tidak bergerak lagi. Nyawanya langsung
melayang seketika, begitu tubuhnya menghantam
bebatuan ini. Sementara Bayu sudah memutar
tubuhnya berbalik, dan melangkah menghampiri
KJabang Ireng dan Rara Sawit yang menunggu
bersama Tiren. Monyet kecil berbulu hitam
mencerecet ribut. Seakan begitu gembira melihat
pemuda ini dapat mengalahkan semua musuh-
musuhnya.
***
“Hhh...! Ini terakhir. Aku harus mengurus
mereka...,” desah Bayu di dalam hati, begitu berada
dekat di depan Klabang Ireng dan Rara Sawit.
Beberapa saat Pendekar Pulau Neraka ini
memandangi mereka. Terdengar tarikan napasnya
yang panjang, disusul dengan hembusan napas yang
keras dan terasa nyeri. Seakan dia begitu sulit untuk
menentukan siapa di antara mereka yang lebih
berhak memiliki Pedang Dewa Naga yang kini berada
di dalam genggaman tangan kanannya ini.
“Kalian masih menginginkan pedang ini?” tanya
Bayu dengan nada suara terdengar agak dingin.
Klabang Ireng dan Rara Sawit serentak meng-
anggukkan kepala. Dan Bayu kembali menghembus-
kan napas panjang yang terasa begitu berat
terdengar di telinga. Kembali mereka bertiga terdiam
beberapa saat Sedangkan Tiren yang berada di
pundak Pendekar Pulau Neraka itu juga terdiam
membisu, tidak memperdengarkan suara sedikit pun
juga.
“Kalian tahu, pedang ini selalu membawa
malapetaka. Semua orang selalu menginginkannya.
Bahkan mereka tidak pedulikan nyawa yang hanya
selembar, asalkan bisa memiliki pedang ini,” kata
Bayu lagi memberi tahu.
“Aku harus membawa pulang pedang itu untuk
guruku, Bayu,” ujar Rara Sawit.
“Aku juga,” selak Klabang Ireng.
“Guruku sedang sakit. Hanya pedang itu yang
dapat menyembuhkannya,” kata Rara Sawit tidak
mau kalah.
“Ayahku juga sangat membutuhkannya. Kelum-
puhannya bisa terobati dengan pedang itu. Dan lagi,
ayahku keturunan langsung dari Eyang Rampayak.
Jadi aku yang lebih berhak membawa pedang itu
daripada kau,” sentak Klabang Ireng seraya menatap
tajam gadis cantik di sebelahnya.
“Siapa pun dari kalian berhak memiliki pedang ini,”
kata Bayu menengahi.
“Karena kalian adalah cucu-cucu dari Eyang
Rampayak.”
“Apa kau bilang...?!”
Klabang Ireng .dan Rara Sawit jadi terbeliak lebar
mendengar kata-kata yang diucapkan Pendekar Pulau
Neraka barusan. Sungguh mereka tidak bisa mem-
percayai, kalau mereka sebenarnya satu keturunan.
Dan berhak memiliki Pedang Dewa Naga yang selama
ini mereka perebutkan. Bahkan menjadi rebutan
orang-orang rimba persilatan. Mereka memandangi
Pendekar Pulau Neraka itu, seakan masih belum bisa
mempercayai dengan apa yang barusan didengarnya.
“Sekarang aku serahkan pedang ini pada kalian
berdua. Tapi ingat... Kalian harus menjaganya hati-
hati. Jangan sampai jatuh ke tangan orang lain yang
tidak bertanggung jawab,” kata Bayu seraya
mengulurkan pedang itu.
Tapi kali ini tidak ada yang mau mengambilnya.
Klabang Ireng dan Rara Sawit hanya memandangi
saja, seperti tidak percaya kalau pedang itu
diserahkan begitu saja pada mereka berdua. Bayu
yang melihat tidak ada seorang pun yang mau
mengambil, meletakkan pedang itu di depan mereka.
Lalu tanpa bicara lagi dia memutar tubuhnya, dan
terus saja berjalan meninggalkan kedua anak muda
ini.
Sementara Rara Sawit dan Klabang Ireng masih
tetap diam, tidak tahu kalau Pendekar Pulau Neraka
sudah meninggalkan mereka. Mereka terus
memandangi pedang yang tergeletak di depannya.
Tidak ada yang mau mengambilnya lebih dahulu.
Padahal sebelum ini mereka sampai bertarung,
bahkan hampir di antara mereka menjadi korban.
Tapi sekarang..., setelah pedang itu ada di depan
mereka, tidak ada yang mau mengambilnya lebih
dulu. Seakan kata-kata Bayu yang mengejutkan bagai
petir menyambar di tengah malam buta ini, membuat
mereka jadi seperti patung.
Dan setelah begitu lama mereka diam mematung,
sampai Bayu tidak terlihat lagi, baru mereka
menggerakkan kepalanya. Lalu saling berpandangan,
dengan sinar mata yang begitu sukar untuk dilukiskan
dengan kata-kata.
“Kau percaya apa katanya, tadi?” tanya Rara Sawit
pelan suaranya.
“Ayahku saja mempercayainya. Aku juga harus
percaya pada apa yang dikatakannya,” sahut Klabang
Ireng.
“Tapi dari mana kita bisa bersaudara?” tanya Rara
Sawit.
“Sebaiknya kita tanyakan saja pada orang tuaku,
juga pada gurumu,” sahut Klabang Ireng.
“Ya, itu memang satu-satunya cara,” sambut Rara
Sawit seraya mengangkat bahunya.
Mereka kembali terdiam dan memandangi Pedang
Dewa Naga yang masih tergeletak di depan mereka
berdua. Rara Sawit bergerak maju mendekati, dan
mengambil pedang itu dengan hati-hati. Sebentar dia
memandangi, kemudian menghampiri Klabang Ireng.
Kemudian menyodorkan pedang itu pada pemuda ini.
“Aku rasa, aku harus mempercayakan pedang itu
kau pegang, Klabang Ireng,” ujar Rara Sawit.
“Kau percaya padaku?” Klabang Ireng kelihatan
ragu-ragu.
“Kau begitu percaya pada apa yang dikatakan
Pendekar Pulau Neraka. Dan aku juga tidak punya
pilihan lain lagi. Aku percaya kau akan berlaku jujur
dan ksatria,” sahut Rara Sawit seraya tersenyum.
“Baiklah, Rara Sawit Akan kupegang kepercayaan-
mu,” sambut Klabang Ireng, seraya menerima pedang
itu.
Sebentar Klabang Ireng memandangi pedang di
tangannya ini. Kemudian dia menggantungkan di
pinggang. Entah kenapa, Rara Sawit jadi tersenyum
melihat Klabang Ireng menggantungkan pedang di
pinggangnya. Dan memang dengan Pedang Dewa
Naga, Klabang Ireng kelihatan semakin bertambah
gagah dan tampan.
“Ayo, Rara Sawit,” ajak Klabang Ireng.
“Ke mana tujuan kita?” tanya Rara Sawit.
“Menemui gurumu lebih dulu. Lalu baru kita sama-
sama menemui ayahku.”
Rara Sawit mengangguk menyetujui. Dan mereka
kemudian melangkah tanpa banyak bicara lagi,
meninggalkan tempat yang begitu penting dan
berharga bagi mereka berdua. Mereka pergi untuk
mencari tahu dari mana asal-usul mereka berdua,
hingga Pendekar Pulau Neraka mengatakan kalau
mereka bersaudara. Dan yang tahu memang
orangtua mereka sendiri.
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar