..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Rabu, 05 Februari 2025

PENDEKAR PULAU NERAKA EPISODE PEREMPUAN BERTOPENG EMAS

Perempuan Bertopeng Emas

 

PEREMPUAN 
BERTOPENG EMAS
Oleh Teguh Suprianto
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: Puji. S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Teguh Suprianto 
Serial Pendekar Pulau Neraka 
dalam episode: 
Perempuan Bertopeng Emas 
128 hal. ; 12 x 18 cm

SATU

“Perempuan setan! Kubunuh kau! Hiyaaat..!”
Terdengar bentakan penuh kemarahan dari 
seorang pemuda.
“Hik hik hik...!”
Namun belum juga pemuda tampan itu bisa 
berbuat sesuatu, sudah terlihat kilatan selendang 
kuning keemasan menyambar ke arah lehernya.
Bet!
Cras!
“Aaa...!”
Dan anak muda itu langsung, terpaku dengan 
mata mendelik, disertai jeritan panjang memilu-
kan. Tampak darah mengalir deras dari batang 
lehernya yang menganga, akibat sambaran selen-
dang kuning yang bagai sebilah pedang. Hanya 
sesaat saja dia masih mampu berdiri, kemudian 
limbung di depan seorang wanita bertubuh ramp-
ing, yang baru saja mengebutkan selendang ku-
ningnya. Tak lama kemudian pemuda itu ambruk, 
dan menggelepar bersama empat tubuh lain yang 
sudah sejak tadi tergeletak tidak bernyawa den-
gan tubuh bersimbah darah.
“Hik hik hik...!”
Suara tawa mengikik kembali terdengar nyar-
ing mengerikan, mengiringi berkelebatnya tubuh 
ramping terbalut pakaian kuning keemasan, me-
ninggalkan lima sosok tubuh yang bergelimpan-
gan di dalam ruangan depan sebuah rumah di 
Desa Caringin

Belum lama suara tawa mengikik itu menghi-
lang dari pendengaran, sudah terlihat orang-
orang berdatangan sambil membawa obor dan 
senjata dari berbagai macam bentuk dan ukuran. 
Mereka mendatangi rumah yang agak terpencil di 
Desa Caringin ini.
Para penduduk desa ini begitu terkejut melihat 
darah berceceran di depan pintu rumah yang ter-
buka lebar itu. Jelas sekali terlihat kalau daun 
pintu itu hancur, seperti diterjang kerbau men-
gamuk. Lebih terkejut lagi, setelah melihat ke da-
lam. Tampak tubuh-tubuh bergelimpangan tak 
bernyawa lagi dengan darah menggenang di seki-
tarnya.
Tidak ada seorang pun yang tahu kejadiannya. 
Para penduduk ini datang setelah mendengar jeri-
tan dan tawa yang panjang mengikik tadi. Dan 
mereka tahu, siapa penghuni rumah yang terkena 
bencana ini. Tidak ada seorang pun yang masih 
kelihatan hidup. Namun entah kenapa, wajah pa-
ra penduduk kelihatan gembira melihat mayat-
mayat yang bergelimpangan memenuhi ruangan 
depan ini.
“Mereka patut menerima ganjaran seperti ini,” 
gumam salah seorang, seraya melangkah pergi 
meninggalkan rumah ini.
Yang lainnya pun ikut melangkah pergi tanpa 
mempedulikan mayat-mayat di dalam rumah itu. 
Hingga akhirnya, hanya tinggal seorang saja yang 
tetap berada di depan pintu yang sudah hancur 
itu. Dia tadi memang kebetulan lewat, tepat ketika para penduduk itu sudah menimbrung di de-
pan rumah itu. Karena merasa tertarik, kakinya 
langsung melangkah mendekati, ikut melihat apa 
yang terjadi. Dia adalah seorang pemuda tampan 
berbaju dari kulit harimau. Seekor monyet kecil 
berbulu hitam tampak bertengger di pundak ka-
nannya. Dipandanginya mayat-mayat itu dengan 
kelopak mata tidak berkedip. Dan kepalanya baru 
berpaling ke belakang, ketika mendengar suara 
langkah kaki mendekati.
Ternyata yang datang menghampiri adalah seo-
rang laki-laki tua berjubah putih. Sebatang tong-
kat kayu rupanya ikut membantu ayunan lang-
kah kakinya. Tubuhnya juga sudah kelihatan ter-
bungkuk. Meskipun usianya kelihatan sudah be-
gitu lanjut, tapi sinar wajahnya tampak begitu 
bersih dan bercahaya. Sinar matanya juga men-
cerminkan gairah hidup yang menyala-nyala. 
Ayunan langkahnya begitu ringan, pertanda orang 
tua ini memiliki kepandaian yang tidak bisa di-
pandang sebelah mata. Hentakan ujung tongkat-
nya pada tanah pun tidak mengeluarkan suara 
sedikit pun.
Pemuda tampan berbaju kulit harimau itu 
menggeser kakinya sedikit ke tepi pintu, seakan
memberi kesempatan pada orang tua ini untuk 
melihat ke dalam.
“Kau tidak pergi seperti mereka, Anak Mu-
da...?” terdengar lembut sekali suara orang tua 
itu.
Sedikit orang tua itu menjulurkan kepalanya

ke dalam, melongok keadaan di dalam rumah ini. 
Kemudian matanya kembali menatap wajah tam-
pan pemuda yang tetap berdiri di samping pintu. 
Pemuda itu hanya diam saja, seakan tidak men-
dengar pertanyaan orang tua ini tadi.
“Siapa namamu, Anak Muda?” tanya orang tua 
itu lagi.
“Bayu,” sahut pemuda berbaju kulit harimau 
itu singkat, memperkenalkan namanya.
Dia memang Bayu Hanggara” yang di dalam 
rimba persilatan lebih dikenal sebagai Pendekar 
Pulau Neraka.
Sementara orang tua itu mengangguk-
anggukkan kepala. Bibirnya yang hampir tertutup 
kumis putih kelihatan menyunggingkan senyum 
tipis yang begitu ramah. Bayu membalas dengan 
anggukan kepala sedikit, disertai ulasan senyu-
man kecil di bibirnya.
“Dan kau siapa, Ki?” tanya Bayu dengan suara 
dan sikap ramah.
“Orang-orang selalu memanggilku Dewa 
Bayangan Putih. Kau juga boleh memanggilku be-
gitu, Anak Muda,” sahut orang tua yang mengaku 
berjuluk Dewa Bayangan Putih.
“Nama aslimu?” tanya Bayu ingin tahu lagi.
“Entahlah.... Aku sendiri sudah lupa namaku 
yang sebenarnya,” sahut si Dewa Bayangan Putih, 
agak mendesah.
Bayu bisa memaklumi. Memang begitu banyak 
orang yang berkecimpung dalam rimba persilatan, 
namun sudah tidak lagi peduli nama sebenarnya.

Bahkan mereka selalu melupakannya. Mereka le-
bih senang menggunakan julukan daripada nama 
sebenarnya. Tapi, buat Bayu malah sebaliknya. 
Dia selalu memperkenalkan diri dengan nama se-
benarnya. Bahkan begitu sulit untuk menye-
butkan julukannya, kalau tidak terpaksa sama 
sekali. Hanya orang-orang tertentu saja yang 
mengenalnya sebagai Pendekar Pulau Neraka.
“Kau kenal siapa mereka, Anak Muda?” tanya 
Dewa Bayangan Putih seraya melirik ke dalam 
rumah.
“Tidak,” sahut Bayu seraya menggeleng. “Aku 
hanya kebetulan saja lewat di desa ini, Ki. Aku ti-
dak tahu sama sekali, apa yang terjadi. Juga ti-
dak mengerti sikap mereka yang tidak ambil pe-
duli terhadap orang-orang malang ini.”
“Kau tidak bisa menyalahkan mereka, Anak 
Muda.”
“Kenapa, Ki?”
Orang tua itu tidak langsung menjawab. Tu-
buhnya lalu diputar berbalik, dan terus saja me-
langkah meninggalkan rumah ini. Sementara, 
kening Bayu jadi berkerut. Pemuda berbaju kulit 
harimau itu benar-benar tidak mengerti sikap 
semua orang di desa ini. Bahkan orang tua yang 
mengaku berjuluk Dewa Bayangan Putih itu juga 
seakan tidak peduli. Beberapa saat Pendekar Pu-
lau Neraka diam termenung, kemudian bergegas 
melangkah menyusul orang tua itu. Sebentar saja 
ayunan langkahnya sudah di samping si Dewa 
Bayangan Putih.

***
Malam terus merayap semakin larut, menyeli-
muti seluruh Desa Caringin. Sementara, suasana 
desa sudah kembali sunyi, tanpa seorang pendu-
duk pun yang kelihatan berada di luar. Hanya 
Bayu dan Dewa Bayangan Putih saja yang masih 
kelihatan berjalan membelah jalan tanah di desa 
itu. Bulan yang tertutup awan hitam, seakan ti-
dak ingin memperlihatkan cahayanya di sana. 
Sehingga, membuat keadaan di desa itu semakin 
sunyi bagai berada di tengah-tengah kuburan.
“Seharusnya kita kuburkan mereka, Ki. Toh, 
mereka juga manusia. Bukan binatang,” usul 
Bayu setelah cukup lama berdiam diri.
“Untuk apa...?” terdengar ringan sekali nada 
suara Dewa Bayangan Putih. Seakan, sedikit pun 
tidak ada beban pada mereka yang mati di rumah 
itu.
“Aku belum tahu kejahatan apa yang mereka
lakukan, hingga semua orang begitu membenci. 
Sampai-sampai mereka mati pun tidak ada yang 
sudi mengurusnya,” jelas sekali terdengar nada 
ketidaksenangan kata-kata Bayu.
“Kau bukan orang sini, Anak Muda. Sebaiknya, 
jangan campuri urusan mereka. Aku berkata be-
gini, demi dirimu juga. Terutama, keselamatan-
mu,” sergah Dewa Bayangan Putih tanpa meng-
hentikan langkah sedikit pun.
“Kelihatannya kau sudah tahu apa yang terja-
di, Ki,” duga Bayu bernada curiga.
“Hm...,” Dewa Bayangan Putih hanya menggu

mam saja sedikit
“Kau bersedia menjelaskannya padaku, Ki...?” 
pinta Bayu langsung.
“Untuk apa?” Dewa Bayangan Putih malah ba-
lik bertanya.
Pendekar Pulau Neraka hanya mengangkat ba-
hu saja sedikit Dia sendiri tidak tahu, untuk apa 
mengetahui semua urusan berdarah ini. Cepat 
disadari kalau dirinya memang tidak ada hubun-
gannya dengan persoalan yang sama sekali tidak 
diketahuinya ini.
“Ke mana tujuanmu, Anak Muda?” tanya Dewa 
Bayangan Putih mengalihkan pembicaraan.
“Ke mana saja kakiku melangkah, Ki,” sahut 
Bayu seenaknya.
“Kau pengembara?” tanya Dewa Bayangan Pu-
tih lagi.
Bayu hanya menganggukkan kepala sedikit sa-
ja.
“Sebaiknya, kita berpisah di sini saja, Anak 
Muda. Kalau kau akan mencari penginapan, ada 
di ujung jalan ini,” ujar Dewa Bayangan Putih se-
raya menunjuk ke depan.
Bayu membuang pandangannya ke arah yang 
ditunjuk Dewa Bayangan Putih. Di ujung jalan ini 
memang terdapat sebuah rumah yang besar. Dan 
kelihatannya, rumah itu lebih terang dan ramai 
daripada yang lain. Saat Pendekar Pulau Neraka 
itu berpaling kembali, dia jadi terkejut Ternyata 
orang tua berjubah putih itu sudah tidak ada lagi 
di sampingnya. Entah ke mana dan kapan per

ginya, sama sekali tidak diketahuinya.
“Ke mana dia pergi...?” gumam Bayu jadi ber-
tanya-tanya sendiri dalam hati.
Bayu jadi tertegun juga memikirkan orang tua 
yang baru dikenalnya. Sikapnya memang aneh 
dan menimbulkan begitu banyak pertanyaan. Ta-
pi, tampaknya dia tahu banyak terhadap semua 
yang terjadi di Desa Caringin ini.
Pendekar Pulau Neraka menarik napas dalam-
dalam dan menghembuskannya kuat-kuat, men-
coba menghalau semua pikiran yang timbul da-
lam benaknya. Kakinya kembali terayun melang-
kah menuju rumah penginapan yang ditunjukkan 
Dewa Bayangan Putih tadi. Sementara, monyet 
kecil yang ada di pundaknya sudah sejak tadi 
mendengkur, melingkarkan tangannya ke leher 
pemuda ini.
Namun baru beberapa langkah Bayu berjalan, 
ayunan langkah kakinya tiba-tiba saja terhenti. 
Dan kening Pendekar Pulau Neraka jadi kelihatan 
berkerut Tiba-tiba saja tubuhnya berbalik. Lalu 
dengan kecepatan bagai kilat, Bayu melesat cepat 
mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang 
sudah mencapai tingkat sempurna. Begitu cepat 
lesatannya, hingga yang terlihat hanya kelebatan 
bayangan tubuhnya saja.
Sebentar saja Pendekar Pulau Neraka sudah 
kembali berada di depan rumah yang kelihatan 
sunyi, setelah seluruh penghuninya terbantai ta-
di. Bayu menghentikan larinya tepat sekitar tiga 
langkah lagi di depan pintu yang tetap terbuka

ini. Sunyi sekali keadaan sekitarnya, tidak seo-
rang pun terlihat Bahkan gerit bintang malam 
pun tidak terdengar. Hanya desir angin saja yang 
terdengar mengusik gendang telinga.
“Hm...,” Bayu menggumam kecil.
Perlahan Pendekar Pulau Neraka mengayunkan 
kakinya, mendekati pintu yang sudah hancur. 
Dan dia berhenti tepat di ambang pintu. Namun, 
seketika itu juga kedua bola matanya jadi terbe-
liak lebar. Hampir Bayu tidak percaya dengan apa 
yang dilihatnya. Memang sulit bisa dipercaya, ka-
rena mayat-mayat yang ada di dalam rumah ini 
kini sudah lenyap tidak meninggalkan bekas sa-
ma sekali. Bahkan darah yang tadi begitu banyak 
menggenang di lantai, juga tidak terlihat setetes 
pun. Tanpa sadar, Bayu menarik kakinya ke be-
lakang beberapa langkah. Namun baru saja ber-
gerak sekitar lima langkah....
Wusss...!
“Heh...?! Hup!”
***
Cepat Bayu melenting ke atas dan berputaran 
dua kali, tiba-tiba dari belakangnya terdengar su-
ara desingan disertai hempasan angin yang begitu 
kuat hampir menerpa tubuhnya. Tampak sebuah 
benda bercahaya kuning keemasan tiba-tiba me-
lesat begitu cepat bagai kilat di bawah tubuhnya.
“Hap!”
Sungguh ringan gerakan Pendekar Pulau Nera-
ka saat kakinya menjejak kembali di tanah. Memang begitu sempurna ilmu meringankan tubuh-
nya, sehingga sama sekali tidak terdengar suara 
saat mendarat tadi. Sementara kilatan cahaya 
kuning keemasan itu terus menghantam tiang 
penyangga beranda rumah di belakang Pendekar 
Pulau Neraka.
Brak!
Seketika, atap beranda rumah ini roboh ter-
hantam kilatan cahaya kuning keemasan itu. 
Bayu sempat melompat ke depan, menghindari 
potongan kayu yang berpentalan di sekitarnya. 
Kembali kakinya menjejak mantap di tanah dan 
berdiri tegak dengan tangan kanan tersilang di 
depan dada. Seakan cakar mautnya yang me-
nempel di pergelangan tangan kanan ingin diper-
lihatkan pada penyerang gelapnya.
“Siapa kau...?!” teriak Bayu membentak keras.
Begitu keras suara yang dikeluarkan Pendekar 
Pulau Neraka, hingga menggema ke segala arah. 
Tapi tidak terdengar sahutan sedikit pun. Kea-
daan di sekitarnya tetap sunyi, bagai berada di 
tengah-tengah hutan yang sedang lelap dalam ti-
dur. Pandangan Bayu beredar ke sekeliling den-
gan sorot mata tajam. Tetap tidak terlihat seorang 
pun di sekitarnya. Begitu sunyi, hingga membuat 
bulu-bulu halus di sekujur tubuhnya jadi mere-
mang berdiri.
Dan belum juga Bayu sempat berpikir panjang, 
terdengar suara tawa mengikik yang begitu keras 
dan menggema di sekelilingnya. Seakan, suara 
tawa itu datang dari segala arah. Jelas sekali kalau suara itu dikeluarkan lewat pengerahan tena-
ga dalam tinggi.
Bayu mencoba untuk mencari arah sumber 
suara itu, tapi sulit untuk bisa menduga arahnya. 
Dan ini membuatnya jadi kebingungan sendiri, 
karena tidak dapat menentukan dari mana da-
tangnya suara yang membingungkan ini.
Di saat Pendekar Pulau Neraka itu tengah ke-
bingungan, mendadak saja....
Siap!
“Heh...?!”
Kedua bola mata Bayu jadi terbeliak lebar, be-
gitu tiba-tiba dari depan berkelebat cahaya kun-
ing keemasan yang begitu cepat bagai kilat.
“Hup!”
Cepat Bayu melenting dan berputaran ke atas 
dua kali, menghindari terjangan cahaya kuning 
keemasan itu. Sehingga, serangan itu lewat sedi-
kit saja di bawah tubuhnya. Manis sekali Bayu 
menjejakkan kaki kembali di tanah. Namun pada 
saat itu juga...
Wusss...!
“Edan! Hup...!”
Kembali Bayu terpaksa harus berjumpalitan di 
udara, begitu mendapat serangan cahaya kuning 
keemasan lagi. Memang sulit bagi Pendekar Pulau 
Neraka untuk menghadapi serangan yang tidak 
ketahuan arahnya. Cahaya kuning keemasan itu 
bagai memiliki nyawa saja, selalu menyerang dari 
arah yang sulit dengan kecepatan bagai kilat. Dan 
mau tak mau, Pendekar Pulau Neraka terpaksa

harus berjumpalitan di udara untuk menghinda-
rinya.
“Setan! Hih...!”
Pendekar Pulau Neraka jadi berang juga men-
dapat serangan yang tidak berwujud ini. Begitu 
mendapat kesempatan, cepat tubuhnya sedikit 
merunduk. Dan tangan kanannya langsung diki-
baskan ke depan, tepat di saat kilatan cahaya 
kuning keemasan itu meluruk deras ke arahnya 
dari depan.
Dan....
Plash!
“Hap...!”
Cepat Bayu mengangkat tangan kanannya ke 
atas kepala, begitu Cakra Maut yang dilepaskan-
nya kembali ke arahnya. Seketika senjata persegi 
enam itu kembali menempel di pergelangan tan-
gan Pendekar Pulau Neraka. Sementara saat itu 
juga cahaya kuning keemasan itu segera lenyap, 
setelah berbenturan dengan Cakra Maut senjata 
andalan Pendekar Pulau Neraka tadi.
“Hm.... Siapa pun dia, pasti memiliki kepan-
daian tinggi sekali,” gumam Bayu perlahan, bica-
ra pada diri sendiri.
Kembali keadaan menjadi sunyi, tanpa terden-
gar suara sedikit pun. Bayu mengedarkan pan-
dangan ke sekeliling, mencari orang yang menye-
rangnya tadi begitu gencar. Tapi, sulit untuk bisa 
melihat jelas di dalam kegelapan malam yang be-
gitu pekat Sementara, bulan terus menyembunyi-
kan diri di balik awan yang menggumpal hitam.

Dan angin pun terasa semakin keras menerpa wa-
jah Pendekar Pulau Neraka. Lama juga Bayu me-
nunggu, tapi tidak ada satu pun serangan yang 
datang. Dan suasana di sekitarnya semakin tera-
sa sunyi mencekam.
“Kau pergi dulu, Tiren,” ujar Bayu seraya me-
nurunkan monyet kecil yang sejak tadi berada di 
pundaknya.
“Nguk!”
Seperti tahu kalau sedang menghadapi bahaya, 
monyet kecil yang bernama Tiren itu segera berla-
ri mendekati pohon yang tidak jauh dari Pendekar 
Pulau Neraka. Ringan sekali gerakannya saat naik 
ke atas pohon itu. Dan binatang itu duduk diam 
di cabang pohon. Sementara, Bayu tetap berdiri 
tegak dengan tangan kanan berada di depan da-
da. Sorot matanya terlihat begitu tajam meman-
dangi sekitarnya.
Suasana tetap sunyi, tanpa terdengar suara 
sedikit pun. Perlahan kaki Bayu terayun ke de-
pan. Matanya lalu melirik sedikit pada monyet ke-
cilnya yang kini sudah berada di tempat aman. 
Agak tenang juga hatinya melihat Tiren berada di 
tempat yang aman, cukup jauh dari jangkauan 
serangan yang mungkin saja datang secara tiba-
tiba nanti. Ayunan kakinya baru berhenti setelah 
berjalan sekitar lima langkah.
“Siapa pun kau, keluarlah...! Tunjukkan diri-
mu...!” teriak Pendekar Pulau Neraka dengan sua-
ra lantang menggelegar, disertai pengerahan tena-
ga dalam tinggi.

Belum juga hilang suara Pendekar Pulau Nera-
ka, kembali dikejutkan oleh munculnya satu 
bayangan putih yang berkelebat begitu cepat ba-
gai kilat Dan tahu-tahu, di depan Pendekar Pulau 
Neraka sudah berdiri seorang laki-laki tua berju-
bah putih, dengan sebatang tongkat kayu berada 
dalam genggaman tangan kanan.
“Dewa Bayangan Putih...,” desis Bayu langsung 
mengenali orang tua ini.
“Kau benar-benar mencari susah, Anak Muda. 
Untuk apa datang lagi ke sini, heh...?!” terdengar 
begitu dingin nada suara Dewa Bayangan Putih.
Kata-kata orang tua itu membuat Bayu jadi 
tersentak kaget Sungguh tidak disangka kalau 
orang tua itu akan berkata demikian, seakan-
akan tidak menghendaki kehadirannya di sini. 
Bayu jadi bertanya-tanya sendiri dalam hati, 
“Mengenai orang tua aneh ini. Dia selalu muncul 
tiba-tiba, dan pergi juga tanpa diketahui arah-
nya.”
“Kau yang tadi menyerangku, Ki?” tanya Bayu 
langsung, dengan nada curiga tanpa disembunyi-
kan lagi.
“Untuk apa aku menyerangmu...?” Dewa 
Bayangan Putih jadi mendelik mendengar perta-
nyaan Pendekar Pulau Neraka. “Justru kedatan-
ganku untuk menyelamatkan nyawamu yang 
hanya selembar itu, Anak Muda. Pergilah sebelum 
kau menyesali kebodohanmu!”
“Heh...?! Kenapa...?” Bayu jadi terkejut
“Jangan banyak tanya! Cepat pergi sebelum

kau menyesal!”
Tapi belum juga habis kata-kata Dewa Bayan-
gan Putih dari pendengaran, sudah terlihat kila-
tan cahaya kuning keemasan meluruk deras ke 
arah mereka berdua.
“Awas...!” teriak Dewa Bayangan Putih sambil
cepat melompat ke belakang.
“Hup!”
Pendekar Pulau Neraka juga cepat-cepat me-
lenting berputar ke belakang menghindari terjan-
gan cahaya kuning keemasan itu. Dan kilatan ca-
haya kuning keemasan itu pun hanya menghan-
tam tepat di tengah-tengah antara Bayu dan De-
wa Bayangan Putih tadi berdiri. Dan seketika itu 
juga, terdengar ledakan yang begitu dahsyat! Ta-
nah yang terhantam kontan terbongkar, hingga 
menyembur sampai ke atas bagai ledakan gunung 
berapi.
Bayu yang baru saja bisa menjejakkan kakinya 
di tanah, jadi tersentak kaget Sungguh tidak dis-
angka kalau serangan itu dahsyat luar biasa.
“Edan...! Bagaimana jadinya kalau cahaya itu 
menghantam tubuhku...?” desis Bayu dalam hati.
Sementara, Dewa Bayangan Putih sudah kem-
bali melesat mendekati Pendekar Pulau Neraka. 
Dan langsung kakinya menjejak di samping pe-
muda berbaju kulit harimau ini. Tangannya cepat 
mencekal pergelangan tangan Bayu. Dan....
“Hey...?!”
Bayu jadi kaget setengah mati, begitu tiba-tiba 
tubuhnya terasa tersentak keras. Dan belum lagi

bisa menyadari apa yang terjadi, Dewa Bayangan 
Putih sudah melesat dengan kecepatan bagai kilat 
tanpa dapat dicegah lagi. Belum juga Bayu men-
gucapkan sesuatu, tahu-tahu sudah berada begi-
tu jauh dari tempat yang membingungkan di-
rinya.
Begitu tiba di suatu tempat, mereka berhenti. 
Pendekar Pulau Neraka langsung berdiri di depan 
Dewa Bayangan Putih dengan tangan masih ter-
cekal erat. Dewa Bayangan Putih baru mele-
paskan, setelah mendapatkan tatapan yang begi-
tu tajam dari Pendekar Pulau Neraka.
***
DUA


“Apa yang kau lakukan padaku, Ki?” tanya 
Bayu meminta penjelasan.
“Kau seharusnya berterima kasih padaku, 
Anak Muda. Itu berarti aku sudah menyela-
matkanmu,” sahut Dewa Bayangan Putih dingin, 
tanpa tekanan sedikit pun pada suaranya.
“Kau selamatkan aku? Selamat dari apa...?” 
Bayu kembali meminta penjelasan.
“Kematian yang sia-sia,” sahut Dewa Bayangan 
Putih singkat dan datar.
“Jangan mengada-ada, Ki. Aku masih sanggup 
menghadapi serangan gila seperti itu. Bahkan 
yang lebih gila pun pernah kuhadapi,” dengus 
Bayu jadi kesal juga menghadapi orang tua aneh

ini.
“Kau tidak akan bisa menghadapinya, Anak 
Muda. Bukan manusia yang kau hadapi tadi. Ta-
pi, iblis dari neraka.”
“Aku..., aku semakin tidak mengerti...,” Bayu 
kelihatan kebingungan sekali mendengar kata-
kata Dewa Bayangan Putih.
“Dengar, Anak Muda. Kau sekarang berada da-
lam neraka yang sewaktu-waktu bisa menghan-
curkan seluruh kehidupanmu. Hanya dalam pan-
danganmu saja sepertinya kau berada di sebuah
desa. Tapi, sebenarnya desa itu adalah neraka 
bagi semua orang sepertimu. Termasuk aku 
ini...,” Dewa Bayangan Putih mencoba menje-
laskan.
Tapi penjelasan orang tua itu malah membuat 
Bayu semakin bertambah bingung. Benar-benar 
sulit dimengerti semua yang diutarakan Dewa 
Bayangan Putih barusan. Dan dia juga tidak ta-
hu, apa yang sedang terjadi di sekitarnya selama 
ini. Baru siang tadi Pendekar Pulau Neraka sam-
pai di Desa Caringin, tapi sudah beberapa keja-
dian aneh dan membingungkan yang ditemuinya. 
Bahkan baru saja mengalami peristiwa aneh yang 
membuat kepalanya semakin dipenuhi segala ma-
cam pertanyaan yang sulit dijawab untuk seka-
rang ini.
“Sudah lebih dari tiga purnama ini aku terus 
membayanginya. Dan sudah beberapa kali aku 
bentrok dengannya. Tapi, sampai sekarang belum 
juga bisa kuhentikan semua perbuatan iblisnya.

Bahkan sepak terjangnya semakin ganas. Walau-
pun, semua yang menjadi korbannya bisa dikata-
kan bukan orang baik-baik. Hanya saja, dia tidak 
memandang, sampai sejauh mana kejahatan yang 
dilakukan korbannya. Memang banyak orang 
yang senang akan tindakannya. Tapi, bagiku se-
mua yang dilakukannya di luar batas kemanu-
siaan. Dan aku tidak menyukai tindakan yang 
tanpa aturan seperti itu,” keluh Dewa Bayangan 
Putih seakan sedang mengeluarkan segala keke-
salan yang terpendam dalam hatinya.
“Siapa orang itu, Ki?” tanya Bayu.
“Entahlah.... Sampai saat ini aku sendiri belum 
tahu, siapa dia sebenarnya,” sahut Dewa Bayan-
gan Putih agak mendesah nada suaranya. “Wa-
laupun sudah beberapa kali bentrok dengannya, 
tapi belum pernah wajahnya bisa kulihat dengan 
jelas. Setiap kali muncul dia selalu berpakaian 
seperti terbuat dari emas. Dan semua senjata 
yang digunakannya juga bagai terbuat dari emas.”
Bayu terdiam dengan kening berkerut. Dari ce-
rita Dewa Bayangan Putih tadi, sedikitnya sudah 
bisa dimengerti apa yang tengah terjadi di Desa 
Caringin ini. Bayu bisa langsung menduga kalau 
orang yang melakukan semua pembunuhan itu 
menyimpan dendam mendalam. Dan mungkin dia 
bertekad membunuh siapa saja yang pernah me-
lakukan kejahatan. Entah dendam apa yang ada 
dalam hatinya, hingga membantai semua orang 
yang pernah berkecimpung dalam dunia hitam. 
Bahkan mereka yang sudah lama meninggalkan

dunia kelam pun tak lepas dari incarannya.
Di dalam hatinya, Bayu langsung sependapat 
dengan Dewa Bayangan Putih. Apa pun alasan-
nya, tindakan hantam kromo seperti itu tidak da-
pat dibenarkan. Dan Bayu jadi semakin ingin 
mengetahui, bahkan kalau bisa menghentikan se-
gala pembunuhan liar seperti itu. Walaupun, yang 
menjadi korbannya sudah jelas mereka yang ber-
jalan dalam dunia hitam.
“Ada satu lagi yang menjadi pertanyaan di da-
lam hatiku sampai sekarang ini, Anak Muda,” ka-
ta Dewa Bayangan Putih.
“Apa itu, Ki?” tanya Bayu ingin tahu.
“Dia selalu muncul di malam hari. Dan tidak 
pernah keluar dari Desa Caringin ini. Bahkan se-
mua penduduk desa, seakan-akan begitu senang 
atas kemunculannya, karena segala bentuk keja-
hatan memang tidak pernah tenggelam di desa 
ini,” jelas Dewa Bayangan Putih lagi.
“Apa tidak mungkin orang itu juga penduduk 
Desa Caringin ini, Ki?” Bayu langsung menduga.
“Dugaan seperti itu sudah ada sejak sepak ter-
jangnya kuamati, Anak Muda. Tapi sampai seka-
rang ini, aku belum punya bukti kuat untuk me-
mastikannya. “
“Aku akan mencoba menyelidikinya, Ki,” tegas 
Bayu.
“Tidak semudah apa yang kau kira, Anak Mu-
da. Kau pasti akan mendapat kesulitan dari pen-
duduk desa ini. Mereka tidak akan mau mengata-
kan siapa dan di mana orang itu.”


“Tapi perbuatannya harus segera dihentikan, 
Ki. Bukannya tidak mungkin, hal itu akan menja-
di kebiasaan. Sehingga, bisa saja dia membunuh 
siapa saja tanpa pandang bulu.”
Dewa Bayangan Putih jadi terdiam. Entah ke-
napa, matanya jadi memandangi Pendekar Pulau 
Neraka dengan sinar yang begitu sukar diartikan.
Sedangkan Bayu malah mengarahkan pandan-
gan ke Desa Caringin yang masih tetap lelap da-
lam buaian malam. Dan saat itu, terdengar jerit 
seekor monyet Bayu jadi tersentak. Langsung in-
gatannya tertuju pada Tiren yang ditinggalkan-
nya.
Tapi belum juga Pendekar Pulau Neraka bisa 
berbuat sesuatu, terlihat seekor monyet kecil ber-
lari-lari sambil mencerecet ribut menghampiri. 
Bayu langsung mengulurkan tangannya. Dan 
monyet kecil berbulu hitam itu pun melompat 
naik ke pundak Pendekar Pulau Neraka, langsung 
memeluk erat leher seakan ingin mengatakan se-
suatu pada pemuda ini. Bayu hanya menepuk 
kepala monyet kecil itu dengan lembut, seakan 
ingin menenangkannya.
“Maaf, aku tadi terpaksa memisahkan kalian 
berdua,” ucap Dewa Bayangan Putih.
Tidak apa, Ki. Tiren selalu tahu, di mana aku 
berada,” sahut Bayu seraya tersenyum, dan men-
gelus kepala monyet kecilnya.
Dewa Bayangan Putih juga tersenyum melihat 
Tiren merapatkan tubuhnya ke leher Pendekar 
Pulau Neraka. Tangannya yang kecil melingkari

leher pemuda ini, seakan ingin melindungi diri 
dari terpaan angin yang semakin terasa dingin di 
tengah malam ini. Sementara bulan perlahan mu-
lai menampakkan cahayanya dari gumpalan awan 
hitam yang semakin terlihat menipis di angkasa. 
Cahayanya yang keemasan mulai menyirami Desa 
Caringin.
“Biasanya tidak akan ada kejadian lagi setelah 
lewat tengah malam. Sebaiknya, kau beristirahat 
di tempatku saja, Anak Muda,” ajak Dewa Bayan-
gan Putih, menawarkan.
“Kau punya tempat tinggal di sini, Ki?” tanya 
Bayu.
“Hanya gubuk kecil yang kubangun di luar de-
sa. Tidak jauh dari sini,” sahut Dewa Bayangan 
Putih.
Bayu mengayunkan kakinya, begitu Dewa 
Bayangan Putih juga melangkah meninggalkan 
tempat ini. Mereka berjalan bersisian sambil terus 
membicarakan peristiwa yang tengah terjadi di 
Desa Caringin. Mereka terus menyusuri tepian 
hutan yang melingkari desa ini, bagai sebuah 
benteng pertahanan untuk berlindung dari seran-
gan orang luar.
***
Rumah yang ditempati Dewa Bayangan Putih 
memang tidak begitu besar. Hanya ada satu ka-
mar tidur dan ruangan depan yang menyatu den-
gan ruangan tengah, yang hanya dipisahkan oleh 
selembar kain tipis berwarna merah muda. Tidak

ada yang bisa dilihat di dalam rumah ini. Bahkan 
untuk tidur pun hanya berupa sebuah balai bam-
bu beralaskan selembar tikar daun pandan yang 
sudah lusuh.
“Kau bisa tidur di dalam. Aku cukup di sini sa-
ja,” kata Dewa Bayangan Putih, seraya menunjuk 
hamparan tikar yang menggeletak di sudut ruang 
tengah.
“Terima kasih, Ki. Sebaiknya, aku saja yang ti-
dur di sini,” sahut Bayu menolak halus.
“Kau tamuku, Anak Muda. Sudah sepantasnya 
aku memberi yang terbaik untukmu.”
“Bukannya aku menolak, Ki. Tapi aku sudah 
terbiasa tidur beratap langit Dan aku sudah ber-
terima kasih sekali bisa berada dalam ruangan 
tertutup, jauh dari gangguan embun.”
Dewa Bayangan Putih mengangkat bahunya 
sedikit, tidak dapat lagi memaksa Bayu agar mau 
tidur di dalam kamar. Sedangkan Pendekar Pulau 
Neraka sendiri sudah merebahkan dirinya di su-
dut ruangan yang hanya beralaskan selembar ti-
kar saja. Tak lama Dewa Bayangan Putih men-
gambil selembar tikar lagi yang tergulung di sudut 
lain dari ruangan ini. Digelarnya tikar itu, tidak 
jauh dari Pendekar Pulau Neraka.
“Kenapa tidak di dalam saja, Ki?” tegur Bayu 
melihat orang tua itu merebahkan dirinya di da-
lam ruangan ini juga.
“Kau dan aku sama, Anak Muda. Sudah terbia-
sa tidur beratap langit. Rumah ini memang sudah 
kosong waktu aku datang. Tidak pantas kalau

ada perbedaan di antara kita di dalam rumah ini,” 
kilah Dewa Bayangan Putih lembut.
Bayu menggeliatkan tubuhnya sedikit, kemu-
dian duduk bersila. Sedangkan Tiren sudah men-
dengkur di sebelahnya dengan tubuh melingkar 
memeluk lututnya sendiri. Sementara, Dewa 
Bayangan Putih tetap telentang melipat kedua 
tangannya di bawah kepala. Pandangannya lurus, 
menatap langit-langit ruangan ini. Beberapa saat 
mereka terdiam, tidak ada yang membuka pembi-
caraan lebih dulu. Begitu sunyinya, sehingga ta-
rikan napas dan detak jantung mereka berdua ja-
di terdengar jelas.
“Sejak kapan kau menempati rumah ini, Ki?” 
tanya Bayu memecah kebisuan yang terjadi di an-
tara mereka.
“Sejak mengintai wanita itu,” sahut Dewa 
Bayangan Putih.
“Wanita...?”
“Ya! Dia seorang wanita. Dan semua orang se-
lalu menyebutnya Perempuan Bertopeng Emas,” 
kata Dewa Bayangan Putih menjelaskan lagi.
“Nama yang penuh teka-teki...,” desis Bayu 
perlahan.
“Memang. Dan, sangat cocok dengan perbua-
tannya. Dia seperti baru bangkit dari alam kubur, 
lantas membantai orang-orang yang sepertinya 
terkait dengan kematiannya,” sambung Dewa 
Bayangan Putih juga pelan suaranya, seakan bi-
cara pada diri sendiri.
“Tentunya kau sudah cukup banyak tahu ten

tang dirinya, Ki. Sudah cukup lama kau mengin-
tainya,” ujar Bayu lagi.
“Bisa dikatakan begitu, Anak Muda. Tapi 
sayangnya, apa yang kuketahui selama ini belum 
cukup untuk mengetahui tentang dia sebenar-
nya,” sahut Dewa Bayangan Putih mengakui ke-
kurangannya.
“Dia selalu muncul seperti hantu, Ki?” tanya 
Bayu lagi.
“Sulit untuk memperkirakannya, Anak Muda. 
Memang gerakannya seperti hantu. Muncul dan 
menghilang begitu saja, tanpa dapat diikuti jejak-
nya. Seakan, dia tidak pernah menapak tanah. 
Berkali-kali aku selalu mendapat kesukaran un-
tuk mendapatkan jejaknya!” jelas Dewa Bayangan 
Putih lagi.
Bayu terdiam membisu. Keningnya terlihat 
berkerut begitu dalam, seakan tengah memikir-
kan sesuatu. Sementara Dewa Bayangan Putih 
sudah memejamkan matanya. Tarikan napasnya 
terdengar begitu halus dan teratur. Sedangkan 
Bayu masih sulit memejamkan matanya. Pikiran-
nya terus menerawang, mencerna semua cerita 
Dewa Bayangan Putih.
Pendekar Pulau Neraka merasakan hatinya be-
gitu tergerak untuk menyingkap tabir yang me-
nyelimuti seluruh Desa Caringin ini. Terutama 
sekali, tabir teka-teki yang menyelimuti wanita 
yang selama ini dikenal berjuluk Perempuan Ber-
topeng Emas itu. Wanita yang sudah meminta 
korban cukup banyak, dari orang-orang yang ber

kecimpung dalam dunia hitam.
“Aneh...,” gumam Bayu, bicara pada diri sendi-
ri.
Beberapa kali kepala Pendekar Pulau Neraka 
bergerak menggeleng dan keningnya semakin da-
lam berkerut Beberapa kali pula terdengar suara 
decakan dari bibirnya yang terus merapat. Se-
mentara malam terus merayap menjelang pagi. 
Angin yang bertiup menerobos lubang-lubang 
dinding rumah ini, menyebarkan udara dingin 
yang cukup membuat tubuh menggigil. Dan Pen-
dekar Pulau Neraka semakin sulit memejamkan 
matanya. Entah berapa kali matanya melirik De-
wa Bayangan Putih yang dengkurnya sejak tadi 
sudah terdengar halus. Orang tua itu pasti sudah 
terlelap dalam buaian mimpi.
***
Desa Caringin memang bukan desa kecil, wa-
laupun dikelilingi hutan yang lebat dan bukit 
Penduduknya sangat padat, dengan rumah-
rumah yang hampir merapat letaknya. Bayu sen-
diri sempat heran melihat semua penduduknya. 
Mereka seperti tidak merasa kalau ada seorang 
pembunuh liar yang hampir setiap malam selalu 
meminta korban nyawa. Memang tidak ada alasan 
untuk merasa takut atau cemas, karena pembu-
nuh itu hanya mengambil korban dari orang-
orang yang hidupnya berada dalam lembah hitam.
Sejak matahari mulai terbit tadi, Bayu sudah 
mengelilingi desa ini untuk mengamati keadaan
dan suasananya. Semua ini memang membuat di-
rinya semakin diselimuti berbagai macam perta-
nyaan. Semua orang yang dijumpai, tidak satu 
pun yang menampakkan wajah takut atau kece-
masan terhadap kemunculan Perempuan Berto-
peng Emas itu. Bahkan sampai matahari berada 
di atas kepala, sama sekali tidak terdengar ada 
seorang pun yang membicarakan wanita itu. 
Bahkan korban-korbannya mereka lupakan begi-
tu saja. Kejadian semalam pun tidak ada yang 
membicarakannya. Dan ini yang membuat Bayu 
jadi bertanya-tanya sendiri dalam benaknya.
“Nguk!”
“Kau sudah lapar, Tiren?” tanya Bayu sambil 
berpaling menatap monyet kecil di pundaknya.
“Nguk!” Tiren mengangguk kecil, seakan men-
gerti apa yang dikatakan Pendekar Pulau Neraka.
“Sebentar kita cari kedai dulu,” ujar Bayu se-
raya tersenyum.
“Nguk!”
Senyuman Bayu semakin lebar, melihat Tiren 
menunjuk ke depan. Dan memang, tidak jauh ter-
lihat sebuah kedai yang pengunjungnya tidak be-
gitu ramai. Sebuah kedai yang tidak begitu besar 
dan cukup terbuka, terletak di bawah pohon be-
ringin yang sangat besar. Hingga, keadaannya ter-
lihat begitu damai dan menyejukkan. Bayu lang-
sung mengarahkan kakinya menuju ke kedai itu.
Pendekar Pulau Neraka berhenti sebentar, begi-
tu berada di depan kedai ini. Hanya ada lima pen-
gunjung yang semuanya berada dalam satu meja.


Tapi dari pakaian dan senjata yang dibawa, jelas 
sekali kalau mereka dari kalangan persilatan. 
Bayu segera melangkah memasuki kedai itu. Sa-
lah seorang dari pengunjung melirik ke arahnya 
sedikit, tapi kemudian tidak mempedulikannya.
Pemuda berbaju kulit harimau itu mengambil 
tempat agak ke sudut. Tidak berapa lama, seo-
rang wanita berwajah cantik dan berbaju biru 
muda agak ketat yang membungkus tubuh ram-
pingnya, datang menghampiri. Senyumnya lang-
sung terkembang begitu manis, membuat setiap 
mata laki-laki yang memandangnya pasti tidak 
akan berkedip. Bayu membalas senyuman itu se-
dikit saja.
“Mau makan, Den...?” sapa wanita itu dengan 
suara lembut.
“Ya,” sahut Bayu singkat.
“Makan apa?”
“Apa saja yang ada di sini. Juga, sediakan sesi-
sir pisang untuk sahabatku ini,” sahut Bayu 
sambil menempatkan Tiren di atas meja.
“Sebentar disiapkan, Den.”
Wanita itu kembali meninggalkannya. Tapi 
hanya sebentar saja, dia sudah kembali lagi ber-
sama seorang laki-laki tua yang membawa sebuah 
baki cukup besar, penuh berisi makanan serta 
seguci arak. Dengan sikap lembut disertai se-
nyum manis tersungging di bibir, wanita itu me-
nyiapkan hidangan yang dipesan Bayu di atas 
meja di depannya. Sementara Bayu hanya mem-
perhatikan saja sekilas.


“Silakan, Den,” ucap wanita itu setelah selesai 
dengan pekerjaannya.
“Terima kasih,” ucap Bayu seperti tidak peduli.
Tapi ketika wanita itu hendak pergi meninggal-
kannya, cepat Bayu menangkap pergelangan tan-
gan kirinya. Seketika wanita itu agak terperanjat.
Sementara, laki-laki tua yang datang bersamanya 
tadi sudah tidak terlihat lagi di dalam ruangan 
kedai yang terbuka ini.
“Kau bisa menemaniku makan di sini...?” Bayu 
langsung menawarkan.
Wanita itu tersenyum manis sekali. Tanpa bi-
cara sedikit pun juga, dia langsung saja duduk di 
sebelah kiri Pendekar Pulau Neraka. Bayu sempat 
mencium bau harum tubuh wanita yang berwajah 
cantik ini. Sementara, lima orang yang sudah ada 
di kedai ini sejak tadi menatap Bayu dengan sorot 
mata memancarkan ketidaksenangan. Bahkan sa-
lah seorang langsung menyemburkan ludahnya 
dengan sikap sengit Tapi pemuda berbaju kulit 
harimau itu sama sekali tidak mempedulikannya. 
Malah duduknya dirapatkan pada wanita di sebe-
lahnya ini.
“Boleh aku tahu namamu, Nisanak...?” tanya 
Bayu.
“Tarsih,” sahut wanita itu memperkenalkan di-
ri.
“Nama yang cantik, secantik orangnya,” puji 
Bayu.
“Ah, Aden bisa saja...,” Tarsih jadi tersipu, dan 
langsung menunduk mendapat pujian.

Sedangkan Bayu mulai menikmati makanan-
nya. Tiren juga seperti tidak mempedulikan kea-
daan sekelilingnya. Binatang lucu ini begitu nik-
mat menyantap pisang yang disediakan khusus 
untuknya. Sementara, Tarsih selalu menambah-
kan arak ke dalam bambu yang selalu kosong di-
hirup Pendekar Pulau Neraka. Sementara senyum 
manis tidak pernah terlepas dari bibirnya yang 
merah menggairahkan.
“Kau asli penduduk desa ini, Tarsih?” tanya 
Bayu lagi.
Tarsih hanya menganggukkan kepala saja.
“Dan yang tadi itu, ayahmu...?” tanya Bayu la-
gi.
“Dia bekas pelayan ayahku,” sahut Tarsih begi-
tu lirih.
“Bekas pelayan...?” kening Bayu jadi berkerut, 
langsung menghentikan makannya.
“Iya. Hanya Ki Radut yang masih setia mengi-
kutiku. Sedangkan yang lainnya sudah tidak ada 
lagi sejak...,” Tarsih tidak melanjutkan.
“Orangtuamu sudah meninggal...?” tebak Bayu 
langsung.
Tarsih hanya menganggukkan kepala saja. Dan 
wanita ini jadi terus tertunduk dengan wajah 
mencerminkan duka. Bayu merasa jadi tidak 
enak atas pertanyaannya yang membuat wanita 
ini jadi berubah murung.
“Maaf, tidak seharusnya aku banyak bertanya,” 
ucap Bayu cepat-cepat.
“Ah, tidak apa-apa...,” sahut Tarsih kembali

tersenyum.
Bayu membalas senyuman itu dengan manis.
“Sejak beberapa tahun ini, hanya kau yang ba-
ru menanyakan itu. Mereka semua sudah melu-
pakannya. Padahal, peristiwa itu selalu saja da-
tang membayangiku,” ujar Tarsih pelan suaranya, 
sehingga hampir tidak terdengar di telinga Pende-
kar Pulau Neraka.
Baru saja Bayu membuka mulutnya hendak 
bertanya lagi, tiba-tiba saja....
“Tarsih...!”
“Oh...?!”
Tarsih jadi tersentak kaget, begitu terdengar 
suara yang keras menggelegar memanggilnya. Wa-
jahnya seketika jadi memucat, begitu melihat sa-
lah seorang dari lima orang pengunjung kedai 
yang sejak tadi memperhatikan Bayu berdiri den-
gan berkacak pinggang. Wajahnya kelihatan begi-
tu garang, dengan sepasang bola mata merah 
menyala. Kumis tebal menghiasi bibirnya yang 
besar. Kulitnya juga kelihatan hitam terjemur ma-
tahari. Sepasang gelang berwarna hitam berben-
tuk ular yang menggigit ekornya sendiri, terpa-
sang pada kedua pergelangan tangannya.
Tarsih langsung bangkit berdiri dengan tubuh 
bergetar. Sementara, Bayu hanya memperhatikan 
saja dengan kelopak mata agak menyipit.
“Ke sini kau...!” bentak laki-laki bertubuh besar 
dan kekar dengan wajah garang itu kasar.
“Iii.., iya. Sebentar, Kang...,” sahut Tarsih terbata.

Bergegas Tarsih menghampiri dengan sikap be-
gitu takut. Sementara, Bayu terus memperhati-
kan tanpa berkedip sedikit pun. Tarsih terbung-
kuk-bungkuk, begitu sampai di depan laki-laki 
bertubuh besar dan kekar ini. Dan tiba-tiba sa-
ja....
Plak!
“Aouwh...!”
“Heh...?!”
Bayu jadi terlonjak begitu melihat tangan yang 
besar itu menampar wajah cantik wanita pelayan 
kedai ini. Sementara, Tarsih langsung berputar 
dan jatuh menimpa meja. Saat itu, laki-laki ber-
tubuh kekar ini sudah melompat menghampiri. 
Langsung dicengkeramnya batang leher Tarsih. 
Seketika wanita itu jadi terpekik. Dan sebelum 
ada yang sempat menyadari, tahu-tahu tubuh 
Tarsih sudah terangkat. Lalu....
“Perempuan rendah! Mampus kau! Hih...!”
Bruk!
“Akh...!”
***
TIGA


Kembali Tarsih terpekik, begitu tubuhnya di-
lempar dengan keras sekali ke atas permukaan 
meja. Begitu kerasnya, hingga meja itu hancur 
berkeping-keping. Sementara wanita itu jatuh 
bergulingan di lantai kedai ini. Bayu yang me
nyaksikan semua itu kontan mendidih darahnya. 
Tidak mungkin hatinya tak tersentuh melihat seo-
rang wanita lemah tersiksa begitu rupa. Langsung 
dia melompat, tepat di saat kaki yang besar dan 
berbulu itu sudah terangkat hendak menginjak 
tubuh ramping yang tergeletak di lantai tanah ini. 
Seketika dilepaskannya tendangan keras ke arah 
kaki berbulu itu. Dan....
Plak!
“Akh...!”
Tiba-tiba saja laki-laki bertubuh besar itu me-
mekik keras agak tertahan, begitu kakinya ter-
hantam kaki Pendekar Pulau Neraka. Dan tahu-
tahu tubuhnya terpental ke belakang hingga 
menghantam meja yang ditempatinya bersama 
empat orang temannya. Mereka jadi begitu terke-
jut melihat meja yang ditempati hancur tertimpa 
tubuh besar dan kekar. Sementara, Tarsih bang-
kit berdiri dibantu Bayu yang tahu-tahu sudah 
berada di dekatnya.
“Keparat..! Monyet buntung!” umpat laki-laki
bertubuh kekar itu seraya bangkit berdiri dengan 
beringas.
Kedua bola mata laki-laki itu semakin merah 
menyala, melihat Tarsih kini berada dalam deka-
pan seorang pemuda tampan yang mengenakan 
baju dari kulit harimau itu. Sedangkan empat 
orang lainnya sudah langsung mencabut senjata 
masing-masing. Sedangkan laki-laki bertubuh 
kekar yang tadi tendangannya dipapak Bayu, 
langsung mencabut goloknya yang besar dari ba

lik ikat pinggangnya yang terbuat dari kulit sapi.
“Menyingkirlah. Akan kuhadapi mereka,” ujar 
Bayu sambil mendorong pelan tubuh wanita pe-
layan kedai itu.
Sambil meringis menahan sakit di sekujur tu-
buhnya, Tarsih melangkah mundur menjauhi 
Pendekar Pulau Neraka. Saat itu, dari belakang 
kedai muncul Ki Radut Laki-laki tua itu bergegas 
menghampiri Tarsih, dan membawanya ke bela-
kang. Tapi, Tarsih berhenti begitu mencapai pintu 
yang memisahkan ruangan kedai ini dengan ba-
gian belakang. Sementara, Bayu sudah dikelilingi 
lima orang yang semuanya sudah menghunus 
senjata di tangan kanan.
“Monyet jelek! Kau belum tahu siapa kami, 
heh...?!” bentak laki-laki bertubuh kekar itu 
menggeram marah.
“Aku tahu, siapa kalian semua. Kalian adalah 
tikus-tikus busuk yang beraninya hanya pada pe-
rempuan lemah,” sahut Bayu begitu dingin nada 
suaranya.
“Beledek! Kau akan mampus di tangan Lima 
Begal Sungai Ular!” geram laki-laki bertubuh ke-
kar itu semakin berang.
“Sudah.... Jangan banyak bicara, Kakang. Bu-
nuh saja manusia picik ini!” selak salah seorang, 
tidak dapat lagi menahan kegeramannya.
Dan saat itu juga....
“Mampus kau! Hiyaaat..!”
Sambil berteriak keras menggelegar, laki-laki 
bertubuh kekar itu langsung saja melompat menerjang disertai ayunan goloknya yang besar, te-
pat mengarah ke kepala pemuda berbaju kulit ha-
rimau ini.
Bet!
“Hap...!”
Tapi hanya dengan egosan kepala sedikit saja, 
tebasan golok itu bisa dihindari Bayu dengan 
mudah. Bahkan tanpa diduga-duga, tangan ka-
nan Pendekar Pulau Neraka bergerak cepat Lang-
sung dilepaskannya satu sodokan yang mengarah 
tepat ke bagian tengah dada laki-laki ini.
Diegkh!
“Hegkh...!”
Laki-laki bertubuh kekar itu langsung ter-
huyung ke belakang dengan tubuh agak terbung-
kuk. Melihat itu, empat orang lainnya jadi berang 
setengah mati. Tanpa diperintah lagi, mereka 
yang berjuluk Lima Begal Sungai Ular langsung 
berlompatan menyerang Pendekar Pulau Neraka.
“Hup! Yeaaah...!”
Tapi sebelum serangan sampai, Bayu sudah 
melesat cepat bagai kilat melewati atas kepala 
mereka. Dan Pendekar Pulau Neraka langsung 
melesat keluar dari kedai itu. Indah sekali gera-
kannya saat berputar di udara, lalu ringan sekali 
kakinya menjejak tanah. Pendekar Pulau Neraka 
langsung berdiri tegak, menanti Lima Begal Sun-
gai Ular.
Dan memang seperti yang diduga Pendekar Pu-
lau Neraka, lima orang laki-laki bertampang ben-
gis itu berlompatan keluar mengejarnya. Dua

orang langsung saja menyerang dengan senjata 
golok yang besar ke arah kepala dan kaki. Tapi 
hanya sedikit melompat dan merundukkan tu-
buh, serangan serentak itu berhasil dihindari 
Bayu dengan manis. Bahkan begitu cepat sekali 
tubuhnya berputar sambil melepaskan tendangan 
beruntun yang begitu keras disertai sedikit penge-
rahan tenaga dalam. Begitu cepatnya tendangan 
yang dilepaskan Pendekar Pulau Neraka, sehingga 
dua orang lawannya tidak dapat lagi menghindar.
Diegh! Dugh!
“Aaakh...!” 
“Ugh!”
Dan kedua orang itu kontan menjerit begitu 
tubuhnya terpental akibat tendangan yang sangat 
keras ini. Sementara, Bayu kembali berdiri tegak. 
Di pandangnya dua orang lawannya yang bergu-
lingan di tanah sambil mengerang menahan sakit 
di tubuhnya.
“Serang! Bunuh monyet keparat itu…!”
“Hiyaaa…!”
“Yeaaah…!”
***
Pendekar Pulau Neraka cepat melenting ke 
atas, begitu kelima orang yang menamakan diri 
Lima Begal Sungai Ular itu berlompatan menye-
rang secara bersamaan. Dan pada saat itu juga, 
dengan gerakan cepat luar biasa Bayu berputaran 
di udara. Seketika dilepaskannya pukulan berun-
tun beberapa kali dengan kecepatan tinggi, disertai pengerahan tenaga dalam yang tidak penuh. 
Begitu cepat pukulan-pukulannya, sehingga 
membuat Lima Begal Sungai Ular tidak dapat 
menghindari lagi.
Plak plak plakkk...!
“Aaakh...!
“Ugh!”
Dan jeritan-jeritan keras pun terdengar saling 
sambut, mengiringi tubuh-tubuh yang berpenta-
lan dan jatuh bergulingan di tanah.
Entah bagaimana caranya, di tangan kanan 
Pendekar Pulau Neraka sudah tergenggam lima 
buah golok yang dirampasnya dari tangan kelima 
orang lawannya. Pendekar Pulau Neraka berdiri 
tegak memadangi Lima Begal Sungai Ular yang
bergelimpangan sambil merintih menahan sakit di 
sekujur tubuhnya, akibat terkena pukulan keras 
bertenaga dalam tinggi. Sambil meringis dan me-
rintih, mereka bangkit berdiri. Tapi mereka jadi 
terkejut setengah mati, begitu melihat senjata 
masing-masing sudah berpindah tangan tanpa 
diketahui lagi.
“Sebaiknya kalian cepat angkat kaki dari sini, 
sebelum pikiranku berubah untuk menghirup da-
rah kalian!” terdengar begitu dingin suara Bayu.
“Nih...!”
Sekali sentak saja, lima buah golok yang bera-
da dalam genggaman tangan Bayu terlempar ke 
depan, dan tepat jatuh menancap di depan kaki-
kaki kelima orang itu. Seketika mereka jadi terbe-
liak lebar dengan wajah kontan memucat Maka

tanpa mengeluarkan suara lagi, mereka bergegas 
mengambil golok masing-masing, dan langsung 
berlarian meninggalkan Pendekar Pulau Neraka.
Bayu jadi tersenyum melihat lima orang laki-
laki bertubuh kekar dengan wajah garang itu ber-
larian seperti lima ekor kelinci melihat harimau. 
Sambil tersenyum-senyum, Pendekar Pulau Nera-
ka kembali melangkah masuk ke dalam kedai. 
Sedangkan Tarsih dan pelayan tuanya langsung 
menyambutnya di pintu kedai. Mereka membawa 
Pendekar Pulau Neraka kembali duduk di me-
janya semula.
“Ada yang sakit...?” tanya Bayu langsung sam-
bil menatap Tarsih yang duduk di samping ki-
rinya.
“Tidak,” sahut Tarsih seraya menggeleng.
Bayu memperhatikan wanita itu beberapa saat 
Deraan yang diterima Tarsih tadi memang sangat 
menyakitkan bagi orang biasa. Tapi, kelihatannya 
Tarsih sama sekali tidak merasakan sakit Bahkan 
sedikit pun tidak terlihat luka di wajah maupun 
tubuhnya. Wanita ini masih tetap kelihatan can-
tik, walaupun tadi sampai terbanting menghan-
tam meja hingga meja itu hancur berkeping-
keping. Sementara Bayu sempat melirik keluar. 
Dan saat itu juga, keningnya jadi berkerut.
“Aneh...,” desis Bayu tanpa sadar.
“Apanya yang aneh, Den?” tanya Ki Radut yang 
duduk di seberang meja.
“Ah, tidak apa-apa...,” sahut Bayu langsung 
mengambil lodong bambu, dan meneguknya hingga tandas tak tersisa lagi.
Tarsih segera menuangkan kembali arak dari 
dalam guci ke dalam lodong bambu di tangan 
Pendekar Pulau Neraka itu. Sementara Bayu 
kembali melirik keluar kedai. Begitu banyak orang 
yang lalu-lalang di jalan depan kedai ini. Tapi, ti-
dak ada seorang pun yang peduli dengan perta-
rungan tadi. Seakan, mereka tidak mau tahu 
dengan urusan orang lain. Bahkan tidak seorang 
pun yang melirik ke kedai ini.
“Mereka memang begitu, Kang,” ujar Tarsih, 
yang kini langsung tidak lagi memanggil Raden-
pada Bayu.
Kelihatannya wanita itu tahu apa yang ada di 
dalam kepala Pendekar Pulau Neraka. Kata-kata 
Tarsih membuat kening Bayu jadi berkerut, me-
mandang wajah cantik yang duduk di sebelahnya.
“Semua orang di sini terlalu sibuk dengan diri 
sendiri. Jadi, tidak ada perhatian sedikit pun 
dengan sekitarnya,” sambung Ki Radut.
Bayu hanya diam saja. Entah, apa yang ada 
dalam kepalanya saat ini. Diteguknya sedikit arak 
dan diletakkannya lodong bambu itu ke atas me-
ja. Sedangkan tangan kirinya mengusap kepala 
Tiren. Monyet kecil itu hanya menyeringai, mem-
perlihatkan baris-baris giginya yang kecil dan se-
dikit runcing.
“Mereka tidak akan peduli dengan sekeliling-
nya, meskipun desa ini dibayangi kehancuran,” 
sambung Ki Radut lagi.
“Kehancuran bagaimana, Ki?” tanya Bayu jadi

ingin tahu.
“Raden sudah dengar pembunuhan-
pembunuhan yang terjadi di sini...?” Ki Radut ma-
lah balik bertanya.
Bayu hanya diam saja. Wajahnya begitu datar, 
seakan tidak memperhatikan pertanyaan yang di-
lontarkan laki-laki tua itu. Tapi tatapannya justru 
begitu tajam, menembus langsung ke bola mata 
Ki Radut Sehingga orang tua itu jadi tidak menen-
tu perasaannya.
“Sudah lebih dari dua purnama terjadi pembu-
nuhan di desa ini, Den. Memang, yang menjadi 
korban adalah orang-orang jahat Tapi semua 
penduduk desa ini tidak menyadari kalau sebe-
narnya juga terancam. Raden lihat sendiri, mere-
ka begitu tidak peduli, walaupun semalam satu 
keluarga habis terbantai. Bahkan mayat mereka 
juga tidak bisa ditemukan lagi,” sambung Ki Ra-
dut.
“Apakah tidak ada orang yang berusaha me-
nyelidikinya, Ki?” tanya Bayu.
“Tidak,” sahut Ki Radut seraya menggelengkan 
kepala.
“Mereka malah senang, Kang. Mereka men-
ganggap pembunuh itu akan membuat desa ini 
jadi tenteram. Tapi, malah sebaliknya...,” selak 
Tarsih yang sejak tadi diam saja.
“Kalian merasa terganggu?” tanya Bayu lagi.
“Selama ini memang belum, Den. Tapi, aku me-
rasa tidak lama lagi bencana akan datang ke desa 
ini,” sahut Ki Radut

“Bencana apa, Ki?”
“Pembunuh itu pasti akan membantai semua 
orang di sini satu persatu. Dan aku, rasanya ting-
gal menunggu waktu saja,” sahut Ki Radut lagi.
Bayu jadi terdiam lagi. Kata-kata Ki Radut yang 
terakhir membuatnya jadi tertegun. Perkiraan Ki 
Radut begitu sama dengan dugaannya yang su-
dah dikemukakan pada Dewa Bayangan Maut 
semalam. Tapi, inilah yang membuat Bayu jadi 
merasa aneh. Sejak datang ke desa ini kemarin, 
baru Ki Radut saja yang mempunyai perasaan se-
perti itu. Sedangkan semua orang di desa ini sa-
ma sekali tidak bisa melihat kalau akan ada ben-
cana yang bakal datang menimpa.
Bayu merasa inilah saatnya bisa memperoleh 
keterangan lebih banyak lagi. Maka semua yang 
belum diketahuinya terus ditanyakan pada Ki Ra-
dut Hanya sesekali saja Tarsih menambahkan ce-
rita Ki Radut mengenai keadaan di Desa Caringin 
ini. Tapi semakin banyak cerita yang masuk, se-
makin sulit bagi Bayu mencari jalan untuk men-
getahui, siapa wanita yang berjuluk Perempuan 
Bertopeng Emas itu.
***
Bayu tidak bisa lagi menolak ketika Tarsih 
memintanya untuk menginap di kedainya yang 
juga menjadi tempat tinggalnya. Dan memang, 
saat itu matahari sudah sejak tadi tenggelam di 
balik peraduannya. Suasana di Desa Caringin ini 
kembali sunyi, tanpa seorang pun terlihat lagi berada di luar rumah.
Wanita itu menyediakan satu kamar yang letak 
jendelanya langsung menghadap keluar. Memang, 
rumah wanita ini cukup besar, dan berada tepat 
di belakang kedainya. Tapi, Bayu belum juga be-
ranjak masuk ke dalam kamarnya. Pemuda ber-
baju kulit harimau itu masih tetap duduk meng-
hadapi meja di sudut kedai. Dan perhatiannya ti-
dak lepas dari jalan yang langsung menjadi sunyi, 
begitu matahari tenggelam di ufuk barat.
Keanehan memang begitu terasa di desa ini. 
Dan Bayu sangat merasakannya. Tapi, sungguh 
tidak diketahuinya, apa yang menjadi sebab dari 
semua keanehan ini. Hatinya hanya dipenuhi 
berbagai macam pertanyaan yang sukar dijawab.
Bayu melirik sedikit, saat telinganya menden-
gar ayunan langkah kaki yang halus dari sebelah 
kanan. Tampak Ki Radut datang menghampiri 
sambil membawa sebuah pelita kecil di tangan ki-
ri. Orang tua itu langsung saja duduk di depan 
Pendekar Pulau Neraka, tanpa dipersilakan lagi. 
Diletakkannya pelita yang dibawa tepat di tengah-
tengah meja. Bayu hanya memperlihatkan saja 
dengan sudut ekor mata.
“Sudah malam. Tidak tidur, Den...?” tegur Ki 
Radut lembut.
Bayu hanya tersenyum saja menjawab sapaan 
lembut dan ramah itu. Ditariknya napas sedikit, 
dan dihembuskannya dengan kuat. Ekor matanya 
sempat memperhatikan Tiren yang sudah meling-
kar di sudut meja ini. Monyet kecil itu memang

mudah sekali jatuh tidur kalau perutnya sudah 
terasa kenyang.
“Boleh aku bertanya sesuatu padamu, Den...?” 
ujar Ki Radut lagi masih nada suara sopan.
“Apa yang ingin kau tanyakan, Ki?”
“Boleh aku tahu dari mana asal Raden...?” 
tanya Ki Radut langsung.
Kembali Pendekar Pulau Neraka tersenyum, ti-
dak langsung menjawab pertanyaan itu. Baginya 
pertanyaan seperti ini tidak pernah didengar. Dan 
pemuda berbaju kulit harimau itu sendiri tidak 
bisa menjawab pasti, dari mana asalnya. Walau-
pun Bayu tidak bisa melupakan asal kelahiran-
nya, tapi sudah lama mencoba melupakannya. 
Dan dia tidak ingin kembali hanyut dalam duka 
yang mendalam setiap kali teringat asal-usulnya 
sendiri. Memang begitu menyakitkan....
“Aku datang dari sebuah pulau yang jauh dari 
sini, Ki. Pulau yang tidak bernama dan tidak ada 
penghuninya,” sahut Bayu mencoba memuaskan 
hati orang tua ini.
“Orangtua Raden...?” tanya Ki Radut lagi seper-
ti sedang menyelidiki Pendekar Pulau Neraka.
“Sudah lama tiada. Sejak aku masih bayi,” sa-
hut Bayu pelan.
“Lalu, Raden diasuh siapa di pulau itu?”
“Kakek.”
Ki Radut mengangguk-angguk sambil memper-
dengarkan gumaman kecil bagai lebah. Sementa-
ra Bayu mengarahkan pandangan lurus ke depan, 
menembus malam yang begitu pekat tanpa disinari cahaya bintang maupun bulan. Malam ini, 
langit kelihatan hitam tertutup awan tebal bergu-
lung-gulung. Sehingga membuat suasana malam 
di desa ini semakin terasa mencekam.
“Sejak tadi aku tidak melihat Tarsih. Di mana 
dia, Ki?” tanya Bayu mengalihkan pembicaraan.
“Dia selalu berada dalam kamarnya kalau su-
dah malam, Den. Baru besok pagi dia keluar dari 
kamarnya,” sahut Ki Radut.
“Kasihan dia. Sepertinya batinnya begitu terte-
kan,” desah Bayu perlahan, seakan bicara pada 
diri sendiri.
“Begitulah keadaannya, Den. Kedua orangtua 
dan seluruh saudaranya mati dibantai perampok. 
Bahkan rumahnya dibakar bersama semua ke-
luarganya yang mati. Masih untung dia bisa se-
lamat Yah..., kejadian itu memang sudah lama, 
Den. Ketika Tarsih sendiri juga masih kecil dan 
tidak tahu apa-apa. Tapi, dia menyaksikan semua 
kekejaman yang dialami keluarganya. Akulah 
yang membawanya pergi dari rumah ketika peris-
tiwa itu terjadi. Tapi yang lebih menyakitkan lagi, 
semua penduduk di sini tidak ada yang mau me-
nolongnya. Mereka malah hanya menyaksikan sa-
ja tanpa berbuat apa-apa, sampai api menghan-
curkan rumah orangtuanya Tarsih,” tutur Ki Ra-
dut dengan suara begitu pelan, mengisahkan ke-
hidupan Tarsih.
“Menyakitkan sekali...,” desis Bayu tanpa sa-
dar.
“Memang sangat menyakitkan, Den. Tapi aku

tidak pernah memberi kesempatan padanya un-
tuk melampiaskan dendam. Bahkan aku memeli-
hara dan membesarkannya seperti layaknya seo-
rang wanita. Yah..., kami hidup dari membuka 
kedai ini saja, Den. Kedai ini kubangun sendiri, di 
atas bekas reruntuhan rumahnya sendiri,” sam-
bung Ki Radut menceritakan.
“Tapi aku lihat, kedai ini selalu sepi saja, Ki. 
Tidak seperti kedai-kedai lainnya,” ujar Bayu. Je-
las sekali kalau nada suaranya menyelidik.
“Itulah yang membuatku selalu sedih, Den. Se-
jak membuka kedai ini, tidak ada seorang pendu-
duk pun yang mau datang ke sini. Entah kenapa, 
mereka seperti merasa jijik makan di sini. Hanya 
pengembara dan pendatang saja yang singgah di 
sini. Dan kini belum tentu dapat tamu satu atau 
dua orang dalam sehari. Aku sendiri sebenarnya 
sudah tidak tahan, Den. Tapi, Tarsih tidak mau 
meninggalkan desa ini. Dia tetap bertekad untuk 
hidup di desa ini, walaupun semua orang tidak 
mau memandangnya, “ sambung Ki Radut dengan 
bola mata berkaca-kaca.
Sesaat Pendekar Pulau Neraka jadi diam terte-
gun. Keningnya kelihatan berkerut dengan kelo-
pak mata agak menyipit memandangi wajah orang 
tua yang duduk di depannya. Entah apa yang ada 
dalam pikiran Pendekar Pulau Neraka. Sambil 
menghembuskan napas panjang, Bayu bangkit 
berdiri dari kursinya. Sedangkan Ki Radut sempat 
melirik memperhatikannya.
“Aku mau jalan-jalan dulu, Ki,” ujar Bayu ber

pamitan.
“Sebaiknya jangan, Den. Bahaya...,” cegah Ki 
Radut sambil berdiri dari duduknya.
“Kenapa...?” tanya Bayu memancing.
“Apa Raden tidak ingat, ada pembunuh kejam 
berkeliaran di desa ini...?”
“Aku tahu, Ki. Aku percaya, dia tidak akan 
mencelakakan aku. Dia hanya mencari orang-
orang yang hidup dalam kejahatan saja,” sahut 
Bayu seraya tersenyum.
Setelah Pendekar Pulau Neraka menepuk lem-
but pundak laki-laki tua itu, kakinya terayun me-
langkah. Sekilas matanya sempat melirik Tiren 
yang masih tetap tidur lelap di atas meja.
“Tolong jaga sahabatku, Ki,” pinta Bayu berpe-
san.
“Hati-hati, Den. Kembali lagi ke sini, sebelum 
tengah malam,” pesan Ki Radut.
Bayu hanya tersenyum saja. Sementara ka-
kinya terus terayun melangkah keluar dari dalam 
kedai ini. Ki Radut sendiri bergegas meninggalkan 
kedai, sambil menggendong Tiren yang masih saja 
terlelap dalam tidurnya. Sementara, Bayu tenis 
mengayunkan kakinya semakin jauh meninggal-
kan kedai itu. Dia menyusuri jalan tanah yang 
berdebu dan membelah Desa Caringin ini bagai 
menjadi dua.
***

EMPAT

Belum jauh berjalan meninggalkan kedai Ki 
Radut, Bayu sudah dikejutkan oleh terdengarnya 
jeritan panjang yang begitu tinggi dan melengking 
dari arah timur. Tanpa membuang-buang waktu 
lagi, Pendekar Pulau Neraka langsung melesat ce-
pat mempergunakan ilmu meringankan tubuh 
tingkat sempurna.
Begitu sempurnanya ilmu meringankan tubuh 
yang dimiliki Pendekar Pulau Neraka itu, sehingga 
larinya bagaikan terbang di atas angin. Kedua te-
lapak kakinya bagai tidak menyentuh tanah sedi-
kit pun. Dan yang terlihat hanya bayangan kun-
ing yang berkelebat di antara rumah-rumah pen-
duduk Desa Caringin ini.
“Heh...?!”
Bayu sampai terhenyak, begitu melihat seseo-
rang bertubuh ramping terbungkus pakaian kun-
ing bagai terbuat dari emas. Sosok bertubuh wa-
nita itu tengah bertarung sengit menghadapi tiga 
orang laki-laki berbadan besar dan kekar bersen-
jatakan golok. Terlihat dua orang tubuh laki-laki 
bertubuh kekar telah tergeletak tidak jauh dari 
tempat pertarungan dengan darah menggenang di 
sekitarnya.
Dan pada saat Pendekar Pulau Neraka bisa
mengenali lawan wanita berpakaian serba kuning 
keemasan itu, sudah kembali terdengar jeritan 
panjang melengking tinggi dari salah seorang aki

bat lehernya terlilit selendang emas. Dan ketika 
selendang itu ditarik oleh wanita berpakaian ser-
ba kuning itu dengan kuat...
Brolll...!
Tidak ada lagi terdengar jeritan di saat kepala 
orang itu tertarik buntung dari lehernya. Darah 
seketika menghambur keluar dengan deras sekali 
dari leher yang buntung tak berkepala lagi. Hanya 
sebentar saja dia masih mampu berdiri tanpa ke-
pala, kemudian tubuhnya ambruk begitu kepa-
lanya jatuh dari belitan selendang kuning keema-
san itu.
Sementara, dua orang lainnya yang tersisa jadi 
terpaku tidak percaya. Wajah mereka pucat-pasi 
seperti mayat, melihat tiga orang temannya sudah 
menggeletak jadi mayat dengan darah mengge-
nang di sekitar tubuhnya. Tapi hanya sebentar 
saja mereka terpaku bagai tersihir, kemudian....
“Perempuan setan! Kubunuh kau! Hiyaaat..!”
“Yeaaah...!”
Serentak mereka berlompatan menyerang wa-
nita bertopeng kuning keemasan ini dengan golok 
yang berkelebatan begitu cepat Tapi saat itu juga, 
wanita bertopeng kuning keemasan ini juga su-
dah cepat mengebutkan selendang mautnya. 
Dan....
Bet!
Bret! Cras!
“Akh!”
“Aaa...!”
Jeritan panjang melengking mengiringi kematian kembali terdengar saling sambut, disusul 
ambruknya dua orang laki-laki kekar yang dike-
nali Bayu sebagai dua dari Lima Begal Sungai 
Ular. Mereka ambruk menggelepar di tanah den-
gan leher hampir buntung mengucurkan darah 
segar begitu deras, sebelum bisa berbuat lebih 
banyak lagi.
Sementara, sosok tubuh ramping berpakaian 
serba kuning emas itu berdiri tegak sambil mem-
belitkan selendang di pinggangnya yang ramping. 
Sedangkan Bayu seperti terpana, menyaksikan 
semua kejadian yang begitu cepat ini. Dalam wak-
tu tidak berapa lama saja, Lima Begal Sungai Ular 
sudah tidak ada lagi yang bergerak. Mereka mati 
secara mengerikan sekali. Beberapa saat Bayu 
berdiri tegak bagai tersihir, memandangi sosok 
tubuh ramping berpakaian serba kuning emas 
itu.
“Kau tidak termasuk dalam hitunganku, Bayu. 
Jangan coba-coba mencampuri urusanku....”
“Heh...?!”
Bayu jadi tersentak kaget mendengar kata-kata 
yang jelas dikeluarkan oleh wanita berbaju kun-
ing itu. Tapi bukan itu yang membuat Bayu jadi 
terkejut. Ternyata yang mengenakan topeng pada 
wajahnya itu sudah mengenal namanya. Padahal, 
rasanya mereka belum pernah bertemu. Dan 
mungkin baru kali ini berhadapan muka.
“Siapa kau sebenarnya, Nisanak?” tanya Bayu 
langsung begitu bisa menguasai diri.
“Kau tidak perlu tahu siapa aku, Bayu. Kau ju

ga tidak perlu mencampuri urusan ini. Lebih baik 
lagi, cepatlah tinggalkan desa ini, sebelum tu-
buhmu kuhancurkan!” sahut wanita bertopeng 
emas itu dingin menggetarkan.
“Hm...,” Bayu jadi menggumam perlahan.
Beberapa saat Pendekar Pulau Neraka mem-
perhatikan wanita berpakaian serba kuning kee-
masan di depannya. Tapi memang sulit bisa men-
genali jelas wajahnya, karena tertutup topeng 
berbentuk wajah seorang wanita berwarna kuning 
emas.
“Dari mana kau tahu namaku, Nisanak?” ter-
dengar agak datar nada suara Bayu.
“Aku tahu nama semua orang yang ada di desa 
ini, walaupun baru datang beberapa saat yang la-
lu,” sahut wanita itu, masih datar nada suaranya.
“Hm...,” kembali Bayu menggumam perlahan.
“Maaf, aku ada urusan lain yang lebih penting,” 
ucap wanita itu, seraya membalikkan tubuhnya.
“Tunggu...!”
Bayu cepat mencegah, begitu melihat wanita 
berpakaian serba kuning keemasan yang dikenal 
berjuluk Perempuan Bertopeng Emas itu hendak 
pergi meninggalkannya. Dan Pendekar Pulau Ne-
raka langsung melompat mendekati. Hanya sekali 
lesat saja, dia sudah berada sekitar lima langkah 
lagi di depan Perempuan Bertopeng Emas ini.
“Mau apa kau...?!” terdengar ketus nada suara 
wanita ini.
“Kenapa kau lakukan semua ini? Apa kau ingin 
membunuh habis semua orang di desa ini...?”

tanya Bayu langsung, tanpa menunggu waktu la-
gi.
“Itu urusanku, Bayu. Sebaiknya jangan ikut 
campur! Atau, kau ingin kusamakan dengan me-
reka...?!” bentak Perempuan Bertopeng Emas ter-
dengar kesal suaranya.
Dan begitu kata-katanya selesai, Perempuan 
Bertopeng Emas ini langsung saja melesat cepat 
sekali, meninggalkan Pendekar Pulau Neraka.
“Hey! Tunggu...!” teriak Bayu, mencoba mence-
gah. 
“Hup...!”
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Pendekar 
Pulau Neraka langsung saja melesat mengejar 
wanita berpakaian serba kuning keemasan ini. 
Tapi, Bayu jadi kelabakan juga. Baru beberapa 
saat wanita itu melesat pergi, ternyata sudah le-
nyap tidak terlihat lagi. Dan Bayu terpaksa 
menghentikan pengejarannya. Dirayapinya kea-
daan sekitarnya, tapi bayangan Perempuan Ber-
topeng Emas memang sudah tak terlihat lagi. 
Sungguh cepat sekali menghilangnya, bagaikan 
hantu saja.
“Ilmu meringankan tubuhnya begitu sempurna, 
hingga bisa cepat menghilang tanpa diketahui lagi 
jejaknya. Hm..., benar apa kata Dewa Bayangan 
Putih. Dia benar-benar seperti hantu yang baru 
bangkit dari alam kubur,” desis Bayu menggu-
mam pelan, bicara pada diri sendiri.
Beberapa saat Bayu masih mengedarkan pan-
dangan ke sekeliling, memperhatikan sekitarnya.


Sorotan matanya sangat tajam, bagai hendak me-
nembus kegelapan malam yang begitu pekat ini.
“Sebaiknya aku kelilingi saja desa ini,” gumam 
Bayu mengambil keputusan.
Pendekar Pulau Neraka mengayunkan kakinya 
kembali sambil memperhatikan sekitarnya tanpa 
berkedip. Kakinya terus melangkah, mencari ka-
lau-kalau Perempuan Bertopeng Emas itu terlihat 
lagi. Rasa penasarannya semakin membakar me-
nyulut hatinya. Ayunan langkah kaki Pendekar 
Pulau Neraka berhenti, setelah tiba di ujung jalan 
yang bercabang.
“Hm.... Kalau ke kiri kembali ke rumah Tarsih. 
Dan ke kanan..., ini jalan menuju pondok yang di-
tempati Dewa Bayangan Putih,” gumam Bayu bi-
cara sendiri.
Dan setelah Pendekar Pulau Neraka sudah 
mengambil keputusan, kakinya terayun ke kiri. 
Tapi baru saja berjalan beberapa langkah, tiba-
tiba saja....
“Aaa...!”
“Heh...?!”
***
Bayu tersentak kaget setengah mati, begitu ti-
ba-tiba terdengar jeritan panjang melengking dari 
sebuah rumah yang berada tepat di sebelah ki-
rinya. Dan belum lagi hilang rasa keterkejutan-
nya, terlihat sebuah bayangan kuning keemasan 
melesat cepat bagai kilat, keluar menembus jen-
dela samping rumah itu.

“Hey...!”
Kedua bola mata Bayu seketika terbeliak meli-
hat si Perempuan Bertopeng Emas keluar dari 
rumah, menyusul terdengarnya jeritan panjang 
melengking tadi. Tanpa berpikir panjang lagi, 
Bayu langsung saja melesat mengejar wanita ber-
pakaian serba kuning keemasan itu. Seluruh ilmu 
meringankan tubuhnya yang sudah mencapai 
tingkat kesempurnaan langsung dikerahkan, 
hingga bagaikan terbang saja. Dia melesat begitu 
cepat, melintasi beberapa atap rumah penduduk.
“Hup! Yeaaah...!”
Sambil berteriak keras menggelegar, Pendekar 
Pulau Neraka mengempos seluruh kepandaiannya 
mengejar wanita yang dijuluki Perempuan Berto-
peng Emas. Beberapa kali tubuhnya berputaran 
di udara, kemudian cepat bagai kilat meluruk de-
ras ke arah punggung wanita ini. Tapi begitu ja-
raknya tinggal sekitar satu batang tombak lagi....
Bet!
Siap...!
“Heh...?! Hup...!”
Cepat Bayu memutar tubuhnya. Langsung di-
hindarinya kilatan cahaya kuning keemasan yang 
tiba-tiba saja melesat ke arahnya, bersamaan 
dengan berputarnya tubuh Perempuan Bertopeng 
Emas itu. Kilatan cahaya kuning keemasan itu 
hanya lewat sedikit saja di bawah tubuh Pendekar 
Pulau Neraka.
“Yeaaah...!”
Kembali Bayu berteriak keras menggelegar,

dengan tubuh terus meluruk deras ke arah wani-
ta berpakaian serba kuning keemasan itu. Dan 
seketika itu juga, satu pukulan yang disertai pen-
gerahan tenaga dalam sempurna dilepaskan den-
gan kecepatan sangat tinggi. Namun hanya meli-
ukkan tubuhnya sekali, wanita ini berhasil meng-
hindari pukulan Pendekar Pulau Neraka.
“Hih! Hiyaaa...!” 
Rrrt!
“Haiiit..!”
Bayu cepat-cepat mengegoskan tubuhnya ke 
kanan, begitu Perempuan Bertopeng Emas ini me-
lepaskan selendang kuningnya. Selendang itu me-
luruk deras bagaikan seekor ular naga ke arah 
Pendekar Pulau Neraka. Untung saja Bayu cepat 
mengegos, sehingga hanya sedikit saja ujung se-
lendang lewat di samping tubuhnya. Namun pada 
saat itu juga, selendang kuning keemasan itu 
kembali meliuk cepat, dan langsung meluruk ke 
arah leher Pendekar Pulau Neraka. 
“Hap!”
Tidak ada lagi kesempatan bagi Bayu untuk 
berkelit Maka dengan cepat sekali tangan kirinya 
diangkat Lalu....
Tap!
“Ikh...?!”
Perempuan Bertopeng Emas jadi terpekik ka-
get, tidak menyangka kalau Bayu bisa menangkap 
ujung selendang emasnya. Saat itu juga, selen-
dangnya dihentakkan dengan pengerahan tenaga 
dalam tinggi.

“Hih!”
Bayu jadi tersentak juga. Tubuhnya sampai 
terlonjak ke depan sedikit, tapi cepat mengerah-
kan tenaga dalamnya. Segera ditahannya tarikan 
selendang emas yang berada dalam genggaman 
tangan kirinya ini. Namun pada saat itu juga, 
tangan kiri Perempuan Bertopeng Emas mengibas 
ke depan. Maka seketika itu juga dari telapak 
tangannya melesat tiga buah benda bulat berwar-
na kuning keemasan yang begitu cepat, bagai 
anak panah lepas dari busur.
“Hup! Yeaaah...!”
Cepat Bayu melenting ke atas tanpa mele-
paskan ujung selendang emas itu dari genggaman 
tangan kirinya. Dan tiga buah benda berwarna 
kuning keemasan pun melesat lewat di bawah te-
lapak kaki Pendekar Pulau Neraka. Namun pada 
saat Bayu berada di udara, tiba-tiba saja Perem-
puan Bertopeng Emas itu melesat cepat bagai ki-
lat, langsung memberikan satu pukulan mengge-
ledek dengan tangan kiri.
“Hiyaaa...!”
“Upths...!”
Terpaksa Bayu melepaskan ujung selendang 
emas itu. Lalu, tubuhnya cepat berputar dua kali 
ke belakang, menghindari pukulan tangan kiri 
wanita berpakaian serba kuning keemasan ini. 
Saat itu juga si Perempuan Bertopeng Emas mele-
sat cepat meninggalkan Pendekar Pulau Neraka.
“Jangan lari kau! Hiyaaa...!”
Bayu tidak mau lagi membuang-buang waktu.

Didukung oleh pengerahan ilmu meringankan tu-
buhnya yang sudah sempurna, tubuhnya lang-
sung saja melesat mengejar Perempuan Bertopeng 
Emas itu. Dan kini kejar-kejaran pun terjadi di 
antara rumah-rumah penduduk Desa Caringin. 
Bahkan mereka sesekali terlihat berlompatan dari 
satu atap, ke atap rumah lainnya. Dan ketika tiba 
di jalan dekat rumah Tarsih, mendadak saja Pe-
rempuan Bertopeng Emas itu menghilang dari 
pandangan Pendekar Pulau Neraka.
“Heh...?! Ke mana dia...?” desis Bayu jadi celin-
gukan.
Terpaksa Bayu menghentikan pengejarannya. 
Kini Pendekar Pulau Neraka berdiri tegak di ten-
gah-tengah jalan, tepat di depan kedai Tarsih. Be-
berapa saat pandangannya beredar ke sekitarnya 
dengan sinar mata begitu tajam. Tapi, sedikit pun
tidak terlihat bayangan wanita berpakaian serba 
kuning keemasan itu. Bahkan tidak ada seorang 
penduduk pun yang keluar dari dalam rumahnya. 
Padahal jelas sekali kalau malam yang sunyi ini 
tadi sudah terpecah oleh jeritan melengking ke-
matian dan teriakan-teriakan Bayu yang keras 
saat mengejar si Perempuan Bertopeng Emas. Ta-
pi, keadaan di desa ini tetap sunyi seperti tidak 
pernah terjadi apa-apa.
“Hm...,” perlahan Bayu menggumam.
Dan kaki Pendekar Pulau Neraka segera te-
rayun melangkah menghampiri kedai, saat meli-
hat titik cahaya lampu pelita keluar dari bagian 
belakang kedai itu.

***
“Raden.... Syukurlah, kau tidak apa-apa,” ujar 
Ki Radut yang baru keluar dari dalam kedai 
membawa pelita yang nyala apinya begitu kecil. 
“Aku tadi mendengar jeritan, kemudian teriakan-
teriakan seperti orang bertarung.”
“Aku mengejar wanita itu, Ki,” jelas Bayu.
“Oh, Perempuan Bertopeng Emas...?” desis Ki 
Radut agak terbeliak kedua bola matanya.
Laki-laki tua itu jadi kelihatan bergetar tubuh-
nya. Cepat-cepat dihampirinya Pendekar Pulau 
Neraka, dan langsung ditariknya masuk ke dalam 
kedai. Bayu tidak membantah. Diturutinya saja 
ajakan Ki Radut. Mereka kemudian duduk meng-
hadapi sebuah meja di dalam kedai yang gelap 
keadaannya ini. Ki Radut meletakkan pelitanya di 
atas meja. Sesaat dipandanginya wajah Bayu 
yang terus saja mengarahkan pandangan ke de-
pan jalan.
“Dia menghilang di sekitar sini, Ki,” ujar Bayu 
memberitahu lagi tanpa berpaling sedikit pun.
“Di sini...?!” kembali kedua bola mata Ki Radut 
terbeliak lebar.
“Kau tidak melihatnya, Ki?” tanya Bayu.
“Tidak...,” sahut Ki Radut agak bergetar sua-
ranya.
Pendekar Pulau Neraka kembali terdiam. Se-
mentara pandangannya terus beredar ke jalan 
yang masih tetap sunyi tanpa seorang pun terli-
hat di sana. Sementara bulan di langit mulai me-
mancarkan cahayanya, setelah awan hitam yang

menutupinya tersingkap tertiup angin. Siraman 
cahaya bulan membuat penglihatan Bayu sema-
kin leluasa mengamati jalan di depan kedai ini.
“Sebaiknya kau tidur saja, Ki. Kalau perlu, li-
hat Tarsih. Apa dia masih ada di dalam kamarnya 
atau tidak,” ujar Rangga seraya berpaling mena-
tap orang tua yang duduk di seberang meja.
“Baik..., baik. Aku lihat Tarsih dulu,” sahut Ki 
Radut jadi tergagap.
Bergegas laki-laki tua itu melangkah mening-
galkan Pendekar Pulau Neraka seorang diri di da-
lam kedai. Ayunan langkah kakinya agak tergesa.
Dan Bayu sempat memperhatikannya. Seketika 
keningnya jadi berkerut, melihat ayunan langkah 
kaki Ki Radut yang begitu ringan, seperti seorang 
tokoh peralatan berkepandaian tinggi. Bahkan 
Bayu hampir tidak mendengar hentakan kakinya 
pada lantai kedai yang hanya dari tanah ini.
Namun belum juga Bayu bisa membuka mu-
lutnya untuk memanggil, Ki Radut sudah menghi-
lang di balik pintu yang menghubungkan kedai 
dengan rumah tinggal. Terpaksa mulutnya dika-
tupkan lagi. Tapi entah kenapa, perasaan hatinya 
mengatakan lain. Sambil menghembuskan napas 
yang terasa begitu berat, pemuda berbaju kulit 
harimau itu bangkit berdiri dari duduknya. Se-
bentar pandangannya dilayangkan ke depan. Ke-
mudian kakinya terayun, melangkah masuk ke 
bagian belakang kedai ini.
Cukup gelap keadaan di dalam, karena tidak 
satu pelita pun menyala. Hanya cahaya bulan redup saja yang menerangi dari lubang-lubang di 
atas jendela dan pintu rumah ini. Bayu terus me-
langkah melintasi ruangan yang cukup luas. Dan 
ketika baru saja melewati pintu, tiba-tiba saja.... 
“Eh...?!” 
“Oh...?!”
“Tarsih...,” desis Bayu terkejut.
Hampir saja mereka bertabrakan, kalau saja 
Bayu tidak cepat menarik kakinya selangkah ke 
belakang. Tarsih sendiri juga kelihatan terkejut
sekali bertemu Pendekar Pulau Neraka di ruangan 
ini. Namun rasa keterkejutannya bisa cepat dis-
embunyikan, dan cepat memberi senyum yang 
begitu manis. Dan ini membuat Bayu terpaksa 
harus menelan air liurnya sendiri melihat senyu-
man yang begitu manis dari wanita cantik ini. En-
tah kenapa, mendadak saja Bayu merasakan ha-
tinya jadi tidak menentu.
“Kau belum tidur, Tarsih?” tanya Bayu mengu-
rangi ketidakmenentuan hatinya.
“Aku baru dari pergi,” sahut Tarsih. “Ini baru 
mau ke kamar lagi. Kakang sendiri, kenapa belum 
tidur?”
“Udara panas malam ini. Aku sulit memejam-
kan mata,” sahut Bayu sekenanya.
“Memang beberapa hari ini cukup panas uda-
ranya. Mungkin sebentar lagi akan datang musim 
hujan,” balas Tarsih.
Entah sengaja atau tidak, Tarsih mengipaskan 
dadanya dengan belahan bajunya sendiri. Sehing-
ga, dua gundukan putih yang begitu indah jadi

sedikit terbuka. Maka seketika tatapan mata 
Bayu jadi tidak berkedip menyorotinya. Kembali 
Pendekar Pulau Neraka terpaksa harus menelan 
ludahnya sendiri.
“Tidurlah...,” ujar Bayu seraya hendak melang-
kah meninggalkan wanita ini.
Tapi belum juga mengayunkan kakinya, Tarsih 
sudah mencekal pergelangan tangan Pendekar 
Pulau Neraka itu. Dan seketika itu juga mereka 
jadi saling berpandangan dengan sorot mata yang 
begitu sukar diartikan. Perlahan Tarsih mendeka-
ti pemuda ini, hingga tubuhnya begitu dekat 
hampir merapat. Saat itu juga, Bayu mencium 
bau harum yang menyebar dari tubuh wanita ini. 
Dan jantungnya pun semakin bertambah cepat 
berdetak.
“Kakang...,” terdengar desah suara Tarsih.
Perlahan Tarsih mulai mendekatkan wajahnya 
ke wajah tampan Pendekar Pulau Neraka. Dan 
hembusan napasnya mulai terasa hangat, mener-
pa kulit wajah Bayu. Dan pemuda itu merasakan 
tenggorokannya jadi kering seketika.
Tarsih memang cantik. Bentuk tubuhnya juga 
bisa membuat setiap mata laki-laki yang meman-
dangnya tidak akan berkedip. Dalam pandangan 
mata laki-laki, Tarsih memang sangat menggai-
rahkan. Dan Bayu tidak memungkiri kelebihan 
yang ada pada diri wanita ini.
Tapi ketika Tarsih hendak melingkarkan tan-
gannya ke leher, Bayu cepat mencekalnya dan 
menurunkan tangan itu lagi. Kakinya segera ditarik ke belakang satu langkah, hingga terdapat ja-
rak yang cukup untuk menghentikan rayuan wa-
nita ini.
“Aku tamu di sini, Tarsih. Tidak baik berbuat 
seperti itu,” ujar Bayu mencoba menolak halus.
“Kenapa...? Semua laki-laki selalu mengingin-
kan begitu padaku. Apa aku sekarang tidak can-
tik lagi, Kakang...?” jelas sekali kalau nada suara 
Tarsih tersinggung atas penolakan Pendekar Pu-
lau Neraka.
“Kau sangat cantik. Bahkan tidak ada wanita 
lain di desa ini yang bisa menandingi kecanti-
kanmu, “ puji Bayu tidak ingin membuat wanita 
itu semakin merasa tersinggung.
“Tapi, kenapa kau menolakku, Kakang?” tanya 
Tarsih ingin tahu.
“Bukannya menolakmu, Tarsih. Tapi aku..., 
aku...,” terasa sulit bagi Bayu untuk mengemu-
kakannya.
“Ayo ke kamarku, Kakang. Tidak ada yang bisa 
mengganggu di sana,” bujuk Tarsih mengajak.
Wanita itu kembali mencekal pergelangan tan-
gan Pendekar Pulau Neraka. Dan entah kenapa, 
kali ini Bayu jadi sulit menolak lagi ajakan wanita 
ini. Seperti kerbau yang dicucuk hidungnya, Bayu 
mengikuti saja ayunan langkah kaki wanita ini. 
Dan mereka pun masuk ke dalam kamar yang 
langsung tertutup pintunya.
***

LIMA

Pendekar Pulau Neraka menggeliat saat mera-
sakan kehangatan sinar matahari yang menyirami 
seluruh tubuhnya. Seketika Bayu jadi terkejut, 
begitu membuka matanya. Ternyata dirinya telah 
berada di dalam sebuah kamar yang sangat in-
dah, bagai kamar seorang putri bangsawan. Cepat 
pemuda berbaju kulit harimau ini menggerinjang 
bangkit dari pembaringan yang beralaskan kain 
sutera merah muda itu. Dan ketika kakinya hen-
dak terayun keluar, pintu kamar itu sudah terbu-
ka. Ternyata dari luar kamar ini Tarsih muncul 
bersama senyumnya yang manis tersungging di 
bibir. Wanita itu langsung masuk dan menutup 
kembali pintunya.
“Kau sudah bangun, Kakang...?” tegur wanita 
itu lembut
Bayu hanya diam saja memandangi. Sedang-
kan yang dipandangi seperti tidak peduli. Diam-
bilnya guci arak dari atas meja kecil di sudut ka-
mar ini. Lalu isinya dituangkan ke dalam mang-
kuk perak. Dengan bibir yang selalu merah terus 
menyunggingkan senyum, mangkuk perak itu 
disodorkan pada Pendekar Pulau Neraka.
“Minumlah, Kakang. Arak ini bisa memulihkan 
kembali tenagamu, setelah terkuras semalam,” 
ujar Tarsih tetap lembut suaranya.
Bayu menerima mangkuk perak itu, dan lang-
sung meneguk habis isinya. Dan Tarsih mengam

bil gelas yang sudah kosong itu, lalu meletakkan-
nya di atas meja kecil di sudut ruangan. Kemu-
dian dia duduk di tepi pembaringan. Sengaja tan-
gannya menyingkapkan kain yang dikenakan, 
hingga menampakkan sepasang paha yang berku-
lit putih dan indah sekali.
Bayu sempat melirik sedikit ke arah paha yang 
menantang itu. Seketika terbayang kembali se-
mua yang sudah dilakukannya di dalam kamar 
ini semalam bersama Tarsih. Wanita itu bukan 
hanya memiliki wajah cantik dan tubuh indah 
menggairahkan, tapi juga memiliki gairah yang 
begitu menggelora. Bahkan Bayu merasakan di-
rinya bagai berada dalam taman kayangan para 
dewi yang dikelilingi ribuan bidadari cantik.
Bayu memang sulit untuk bisa melupakannya, 
bagaimana terlena dalam belaian asmara yang di-
bangkitkan wanita ini semalam. Dan memang, 
Tarsih begitu menggairahkan. Bahkan pagi ini ju-
ga kelihatan lebih cantik dan menggairahkan. De-
tak jantung Bayu jadi semakin tidak beraturan, 
saat Tarsih mulai membuka bagian atas pakaian-
nya. Sehingga, belahan dadanya terlihat begitu je-
las dan indah.
“Kau begitu gagah sekali semalam, Kakang. 
Rasanya aku ingin selalu dekat bersamamu,” ujar 
Tarsih lembut, disertai senyum menggairahkan 
tersungging di bibir yang selalu basah memerah.
“Hhh...!” Bayu hanya menghembuskan napas 
panjang saja.
Pendekar Pulau Neraka tidak tahu lagi, apa

yang harus dilakukannya terhadap wanita ini. In-
gin rasanya dia melawan gairah yang mulai 
menggelora dalam rongga dadanya. Tapi semakin 
keras berusaha memberontak, semakin besar 
nyala api gairahnya. Dan tiba-tiba saja, Bayu me-
rasakan pandangannya jadi nanar. Kepalanya 
pun terasa jadi pening. Tubuhnya terasa jadi lim-
bung. Dan belum juga bisa menyadari apa yang 
tengah terjadi, kesadarannya pun seketika meng-
hilang. Yang ada pada dirinya kini hanya gairah 
yang begitu membara, menggelegak dalam dada. 
Kini Bayu tidak kuasa lagi bertahan. Kakinya mu-
lai terayun menghampiri wanita yang kini sudah 
terbaring di atas ranjang dengan pakaian seten-
gah terbuka.
“Ayo, Kakang. Kita ulangi lagi kenikmatan se-
malam...,” desah Tarsih pelan.
Sebentar saja Bayu berdiri di sisi pembaringan 
ini, kemudian menjatuhkan dirinya di atas pem-
baringan. Terlihat bergetar tangannya saat berge-
rak menyusuri sebentuk paha putih yang mulus 
tanpa cacat. Sementara Tarsih mulai merintih 
dan mendesah, merasakan lembutnya belaian ja-
ri-jari tangan pemuda ini yang merayap semakin 
naik mendekati pangkal pahanya.
“Ah, Kakang...,” desah Tarsih lirih.
Wanita itu tidak dapat lagi menguasai gejolak gai-
rahnya. Langsung direngkuhnya tubuh Pendekar Pu-
lau Neraka ke dalam pelukannya. Sementara, Bayu 
sendiri sudah tidak lagi ingat akan dirinya. Seluruh 
tubuh dan pikirannya sudah tertutup gejolak gairah 
yang begitu membara tanpa dapat dibendung lagi. Dan

di dalam kamar ini, peristiwa semalam kembali teru-
lang. Tidak ada lagi kata-kata yang terucap. Semua 
berganti desahan dan rintihan lirih, disertai dengusan 
napas memburu bagai kuda pacu.
***
“Oh....”
Bayu merintih lirih sambil memegangi kepa-
lanya yang terasa begitu berat dan pening. Bebe-
rapa kali kepalanya digelengkan, mencoba men-
gusir rasa pening yang menyengat seluruh kepa-
lanya. Dan perlahan kelopak matanya mulai di-
buka.
Seketika Pendekar Pulau Neraka jadi tersentak
kaget setengah mati, begitu mendapati dirinya ki-
ni berada di dalam sebuah kamar berdinding bilik 
bambu. Dan tubuhnya terbaring di atas dipan 
bambu, hanya beralaskan selembar tikar lusuh.
“Kau sudah bangun, Bayu...?” 
“Oh...?!”
Bayu kembali terkejut begitu mendengar suara 
yang sudah tidak asing lagi di telinganya. Cepat 
kepalanya berpaling ke arah datangnya suara itu. 
Bergegas pemuda itu bangkit duduk begitu meli-
hat seorang laki-laki tua berjubah putih duduk di 
atas kursi bambu tidak jauh dari dipan ini.
“Ki Dewa Bayangan Putih...,” desis Bayu lirih, 
langsung mengenali orang tua berjubah putih itu.
“Jangan banyak bicara dulu, Bayu. Kerahkan 
hawa murnimu. Atur seluruh peredaran darah-
mu. Bersemadilah barang sebentar,” ujar Dewa 
Bayangan Putih memberi petunjuk.

Bayu menuruti saja kata-kata orang tua itu. 
Segera diambilnya sikap bersemadi. Dan kelopak 
matanya langsung terpejam rapat. Beberapa kali 
ditariknya napas panjang-panjang dan dihem-
buskannya perlahan-lahan. Seluruh pikiran dan 
jiwanya dikosongkan. Perlahan Bayu merasakan 
peredaran darahnya kembali pulih seperti semula. 
Dan rasa pening pun berangsur menghilang, begi-
tu hawa murninya dikerahkan dari pusat tubuh-
nya.
Hanya sebentar saja Bayu bersemadi untuk 
memulihkan keadaan tubuhnya. Dan kelopak ma-
tanya kembali dibuka. Pandangannya langsung 
tertuju pada Dewa Bayangan Putih yang masih te-
tap duduk di kursi, dekat pintu kamar berdinding 
bilik bambu ini. Sebentar Bayu mengedarkan 
pandangan, mengamati kamar ini. Dia ingat, ka-
lau sekarang berada di rumah yang ditempati
Dewa Bayangan Putih, dan letaknya tidak jauh 
dari Desa Caringin.
“Apa yang terjadi padaku, Ki?” tanya Bayu
langsung ingin tahu.
“Seharusnya kau sudah tahu, apa yang terjadi 
pada dirimu, Bayu. Aku menemukanmu tergele-
tak di tepi hutan. Hampir saja tubuhmu habis 
dimakan burung-burung bangkai. Untung saja 
aku segera datang dan membawamu ke sini,” ujar 
Dewa Bayangan Putih.
Bayu jadi terdiam. Dicobanya untuk mengingat 
semua peristiwa yang sudah dialaminya selama 
ini.

“Ingat-ingatlah, Bayu. Apa saja yang kau alami 
selama berada di Desa Caringin,” ujar Dewa 
Bayangan Putih, mencoba membantu ingatan 
Pendekar Pulau Neraka.
Sedikit demi sedikit, Bayu mulai bisa merang-
kai satu persatu peristiwa yang dialaminya sela-
ma berada di Desa Caringin. Dan yang terakhir 
diingatnya, dia berada di dalam sebuah kamar in-
dah bersama Tarsih, wanita cantik pemilik kedai 
di ujung jalan Desa Caringin. Hanya sampai di si-
tu saja Bayu bisa mengingatnya. Selebihnya, dia 
tidak tahu lagi apa yang telah terjadi pada di-
rinya.
“Di mana Tiren, Ki?” tanya Bayu begitu teringat 
monyet kecilnya.
“Aku hanya menemukan dirimu saja, Bayu. 
Aku tidak tahu, di mana monyet kecilmu itu,” sa-
hut Dewa Bayangan Putih.
“Oh...,” Bayu melenguh panjang sambil meme-
gangi kepalanya.
“Ada apa, Bayu?” tanya Dewa Bayangan Putih.
“Tiren pasti masih bersama mereka,” ujar Bayu 
pelan, seperti bicara untuk diri sendiri.
“Siapa mereka?” tanya Dewa Bayangan Putih
lagi.
“Tarsih dan pelayan tuanya,” sahut Bayu ma-
sih dengan suara pelan.
“Tarsih...?”
“Ya..., wanita pemilik kedai yang ada di ujung 
jalan desa. Aku sempat menginap semalam di sa-
na. Dan Tiren kutinggalkan di sana waktu mengejar Perempuan Bertopeng Emas. Ah...! Aku tidak 
tahu lagi, apa yang terjadi pada diriku...,” terden-
gar lirih suara Bayu.
“Barangkali monyetmu itu masih ada di sana, 
Baya. Sebaiknya, cepat kembali ke sana sebelum 
terjadi sesuatu padanya. Kau sangat menyayan-
ginya, bukan...?” ujar Dewa Bayangan Putih men-
dorong semangat Pendekar Pulau Neraka.
“Aku memang harus ke sana, Ki,” sahut Bayu 
mantap.
Cepat Pendekar Pulau Neraka turun dari dipan 
bambu ini. Dewa Bayangan Putih juga bangkit 
berdiri dari kursinya. Sebentar Bayu mengamati 
keadaan dirinya. Hatinya jadi lega begitu melihat 
Cakra Maut masih tetap menempel di pergelangan 
tangan kanannya. Senjata itu memang tidak bo-
leh tercecer sembarangan dari Pendekar Pulau 
Neraka.
“Aku pergi dulu, Ki,” pamit Bayu.
“Hati-hatilah. Mungkin kau akan mendapat 
rintangan di sana,” ujar Dewa Bayangan Putih 
menasihati.
Bayu tersenyum dan menganggukkan kepala 
sedikit Kemudian dia melangkah keluar dari da-
lam kamar, dan terus berjalan keluar dari rumah 
kecil yang begitu sederhana ini. Sementara, Dewa 
Bayangan Putih mengantarkan hanya sampai di 
ambang pintu saja. Dan Bayu sendiri terus berja-
lan menuju Desa Caringin tanpa menoleh lagi.
Sementara Dewa Bayangan Putih masih tetap 
berdiri di ambang pintu memandangi kepergian

Pendekar Pulau Neraka ke Desa Caringin. Sampai 
punggung pemuda itu lenyap dari pandangan, 
Dewa Bayangan Putih masih tetap berada di am-
bang pintu rumah kecil yang ditempatinya.
“Anak Muda...,” desah Dewa Bayangan Putih 
seraya menggelengkan kepala sedikit beberapa 
kali.
Perlahan orang tua itu memutar tubuhnya ber-
balik dan hendak masuk kembali ke dalam rumah 
ini. Tapi belum juga kakinya terayun melangkah, 
mendadak saja....
Wusss...!
“Heh...?! Hap!”
Dewa Bayangan Putih cepat memiringkan tu-
buhnya ke kiri, begitu terasa adanya hembusan 
angin yang cukup kencang dari arah belakang. 
Dan seketika itu juga, tongkatnya bergerak cepat 
ke sebelah kanannya. Tepat pada saat itu, terlihat 
kilatan cahaya kuning keemasan meluncur deras 
dari arah belakang orang tua ini Dan....
Trak!
“Hup...!”
Dewa Bayangan Putih cepat melompat ke bela-
kang sambil berputaran dua kali di udara, begitu 
tongkatnya terasa membentur sebuah benda yang 
sangat keras dan berwarna kuning keemasan. Se-
dangkan benda berbentuk bulat sebesar mata 
kucing itu kembali terpental balik ke belakang. 
Dan tepat ketika benda itu menghantam pohon 
hingga tumbang, Dewa Bayangan Putih manis se-
kali menjejakkan kakinya di depan rumah yang

ditempatinya selama ini.
“Hik hik hik...!”
“Perempuan Bertopeng Emas...,” desis Dewa 
Bayangan Putih, begitu tiba-tiba terdengar tawa 
mengikik yang menggema bagai datang dari sega-
la arah.
Dan belum lagi orang tua itu bisa berpikir lebih 
jauh, tiba-tiba saja terlihat sebuah bayangan kun-
ing keemasan berkelebat begitu cepat bagai kilat 
Tahu-tahu, di depan Dewa Bayangan Putih sudah 
berdiri sesosok tubuh ramping berbaju kuning 
keemasan. Wajahnya tertutup topeng berwarna 
kuning seperti terbuat dari emas, sehingga sulit 
dikenali.
“Mau apa kau datang ke sini?” terasa begitu 
dingin nada suara Dewa Bayangan Putih.
“Seharusnya kau sudah tahu, untuk apa aku
datang ke sini Dewa Bayangan Putih,” sahut Pe-
rempuan Bertopeng Emas tidak kalah dingin.
Dewa Bayangan Putih jadi terdiam. Sudah bisa 
ditebak, kemunculan Perempuan Bertopeng Emas 
ini tentu untuk mencabut nyawanya. Tapi tentu 
saja selembar nyawanya tidak ingin diserahkan 
begitu saja. Walaupun disadari kalau kepandaian 
Perempuan Bertopeng Emas itu belum bisa diper-
kirakannya.
“Kau belum pantas menantangku, Nisanak. 
Kepandaian yang kau miliki hanya untuk cacing-
cacing tanah tak berguna,” sengaja Dewa Bayan-
gan Putih memanasi. 
“Hik hik hik...!”

Tapi kata-kata Dewa Bayangan Putih hanya di-
tanggapi dengan suara tawa mengikik kecil. Se-
mentara, Dewa Bayangan Putih sendiri sudah 
menggenggam erat tongkatnya di tangan kanan. 
Sementara ujung tongkatnya menekan kuat ke 
tanah, tepat di ujung jari kakinya. Sorot matanya 
terlihat begitu tajam, tidak berkedip memandangi 
wanita bertopeng kuning keemasan yang berada 
sekitar setengah batang tombak di depannya.
“Sebutlah nama leluhurmu sebelum kau ter-
bang ke neraka, Dewa Bayangan Putih,” desis Pe-
rempuan Bertopeng Emas sinis.
“Aku khawatir, justru kau yang akan menggali 
lubang kuburmu sendiri, Nisanak,” sambut Dewa 
Bayangan Putih, tidak kalah sinisnya.
“Hik hik hik! Ajalmu sudah tiba, Dewa Bayan-
gan Putih. Bersiaplah, yeaaah...!”
Sambil membentak nyaring, Perempuan Berto-
peng Emas langsung saja mengebutkan selen-
dangnya yang berwarna kuning keemasan dengan 
kecepatan begitu tinggi. Selendang yang kelihatan 
halus dan lembut itu meluruk deras bagai seekor 
naga menyambar ke arah kepala Dewa Bayangan 
Putih.
“Haiiit...!”
Namun hanya sedikit saja mengegoskan kepa-
la, ujung selendang itu lewat di samping kepala 
Dewa Bayangan Putih. Lalu cepat sekali tongkat 
putihnya diangkat, dan langsung disabetkan ke 
bagian tengah selendang itu. Tapi tanpa diduga 
sama sekali, selendang itu bisa meliuk indah

menghindari sabetan tongkat kayu orang tua ini. 
Dan dengan kecepatan sukar diikuti pandangan 
mata biasa, selendang kuning keemasan itu mele-
sat bagai kilat mengarah ke kaki orang tua ini.
“Hup! Yeaaah...!”
***
Dewa Bayangan Putih cepat melesat ke atas, 
menghindari sambaran selendang kuning keema-
san. Tapi begitu berada di atas tanah, tangan kiri 
Perempuan Bertopeng Emas sudah bergerak ce-
pat, mengibas ke depan. Maka seketika itu juga, 
tiga buah benda bulat sebesar mata kucing ber-
warna kuning keemasan, melesat ke arah tubuh 
orang tua ini.
“Hap! Yeaaah...!”
Dewa Bayangan Putih cepat memutar tongkat-
nya. Sehingga tiga buah benda bulat kuning kee-
masan itu berpentalan balik, begitu membentur 
putaran tongkat orang tua ini. Manis sekali Dewa 
Bayangan Putih meluruk turun, dan menjejakkan 
kakinya kembali di tanah. Namun belum juga tu-
buhnya bisa ditegakkan, Perempuan Bertopeng 
Emas sudah menyerang cepat bagai kilat dengan 
selendangnya lagi.
“Hiyaaa...!”
Bet!
Memang tidak ada lagi kesempatan bagi Dewa 
Bayangan Putih untuk menghindari serangan se-
lendang kuning keemasan itu. Maka langsung 
tongkatnya diputar dan dihantamkannya tepat di

bagian ujung selendang itu.
Rrrt...!
“Heh...?!”
Dewa Bayangan Putih jadi terkejut setengah 
mati, begitu tiba-tiba tongkatnya terbelit ujung 
selendang emas. Cepat tongkatnya ditarik disertai 
pengerahan tenaga dalam tinggi. Tapi sungguh ti-
dak diduga sama sekali, belitan selendang itu 
demikian kuat. Sehingga sulit dilepaskannya.
Dan belum juga Dewa Bayangan Putih bisa 
menguasai tongkatnya, Perempuan Bertopeng
Emas sudah melesat cepat seperti kilat sambil 
berteriak nyaring.
“Hiyaaat..!”
“Upths...!”
Cepat-cepat Dewa Bayangan Putih membanting 
tubuhnya ke tanah. Dan dia langsung bergulin-
gan beberapa kali menghindari tendangan meng-
geledek yang dilepaskan Perempuan Bertopeng 
Emas.
“Hup!”
Kembali dengan gerakan cepat Dewa Bayangan 
Putih melompat bangkit berdiri. Namun pada saat 
itu juga, selendang yang masih membelit tongkat-
nya bergerak memutar begitu cepat, sehingga De-
wa Bayangan Putih tidak sempat lagi menyada-
rinya. Dan....
Rrrt!
“Ikh...!”
Dewa Bayangan Putih jadi terpekik kaget se-
tengah mati, begitu tahu-tahu seluruh tubuhnya

sudah terlilit selendang Perempuan Bertopeng 
Emas ini. Dan pada saat itu juga, wanita ini su-
dah melompat sambil melepaskan satu pukulan 
menggeledek yang begitu keras disertai pengera-
han tenaga dalam tinggi.
“Hiyaaa...!”
Diegkh!
“Akh...!”
Dewa Bayangan Putih kontan menjerit, begitu
pukulan yang mengandung pengerahan tenaga 
dalam tinggi menghantam tepat di dadanya. Seke-
tika tubuhnya, terpental jauh ke belakang dengan 
tubuh masih terbelit selendang yang begitu kuat 
Beberapa kali orang tua itu bergulingan di tanah. 
Dan belum juga bisa membebaskan diri dari liba-
tan selendang, Perempuan Bertopeng Emas sudah 
melancarkan serangan dahsyat lagi, sambil berte-
riak keras menggelegar.
“Mampus kau! Yeaaah...!”
Prak!
“Aaa...!”
Seketika jeritan panjang yang menyayat pun 
terdengar, begitu pukulan yang dilancarkan si Pe-
rempuan Bertopeng Emas menghantam kepala 
Dewa Bayangan Putih. Tampak kepala orang tua 
itu retak, dan darah mengucur keluar dengan de-
ras sekali.
Dewa Bayangan Putih menggelepar di tanah 
dengan tubuh masih terlilit selendang. Sedangkan 
darah semakin banyak keluar dari kepalanya 
yang pecah. Sementara, Perempuan Bertopeng

Emas itu sudah mengambil ujung selendangnya. 
Dan hanya sekali sentakan saja, libatan selen-
dang pada tubuh Dewa Bayangan Putih terlepas 
seketika.
“Hih! Yeaaah...!”
Perempuan Bertopeng Emas tidak berhenti 
sampai di situ saja saat melihat lawannya masih 
bisa bergerak, walaupun sudah tidak mungkin 
dapat bangkit berdiri lagi. Sambil membentak 
nyaring, selendangnya dikebutkan. Seketika 
ujung selendang itu tepat menghantam batang 
leher Dewa Bayangan Putih.
Bret!
Tidak ada lagi jeritan yang terdengar. Tampak 
leher laki-laki tua itu terpenggal hingga hampir 
buntung, membuat darah makin deras keluar. 
Dewa Bayangan Putih semakin keras menggelepar 
bagai ayam disembelih. Namun hanya sebentar 
saja bergerak, sesaat kemudian sudah mengejang 
kaku dan diam tidak bergerak-gerak lagi. Darah 
terus mengucur menggenangi tanah di sekitar tu-
buhnya. 
“Hik hik hik...!”
Perempuan Bertopeng Emas tertawa mengikik 
melihat lawannya dapat mudah ditaklukkan. Lalu 
selendangnya dililitkan kembali di pinggangnya 
yang ramping. Kemudian dengan ayunan kaki 
yang tenang sekali, dia melangkah meninggalkan 
Dewa Bayangan Putih yang kini sudah tergeletak 
diam tidak bernyawa lagi. 
“Hik hik hik...

Suara tawa wanita yang selalu bertopeng war-
na emas dengan seluruh pakaian juga berwarna 
kuning keemasan itu terus terdengar mengiringi 
ayunan langkahnya meninggalkan mayat lawan-
nya. Dan suara tawa itu terus terdengar, walau-
pun tubuh wanita itu sudah tidak terlihat lagi, le-
nyap ditelan lebatnya pepohonan di pinggiran De-
sa Caringin yang berbatasan langsung dengan hu-
tan ini.
Sementara, Dewa Bayangan Putih masih terge-
letak kaku dengan darah menggenang di sekitar-
nya. Kematian yang begitu mengenaskan bagi 
Dewa Bayangan Putih. Dan suasana pun kembali 
sunyi. Hanya desir angin saja yang terdengar 
mempermainkan dedaunan. Suara tawa mengikik 
itu pun sudah tidak terdengar lagi, begitu tubuh 
si Perempuan Bertopeng Emas tidak terlihat lagi 
di tepian hutan ini.
***
ENAM


Sementara itu, Bayu yang sudah kembali bera-
da di Desa Caringin, langsung menuju kedai milik 
Tarsih. Namun tidak ada seorang pun yang da-
tang mengunjungi kedai itu. Keadaannya terlihat 
begitu sunyi, walaupun di jalan depan kedai terli-
hat orang-orang hilir-mudik. Mereka seakan-akan 
tidak tahu kalau ada kedai di pinggiran jalan itu.
Bayu langsung menerobos masuk ke dalam kedai. Kali ini bukan Tarsih, tapi Ki Radut yang me-
nyambutnya dengan tergopoh-gopoh. Orang tua 
itu langsung saja menarik tangan Pendekar Pulau 
Neraka, dan mengajaknya duduk agak ke sudut 
dari ruangan kedai yang cukup terbuka ini.
“Den, wanita itu sudah mulai membunuh satu 
keluarga penduduk,” tutur Ki Radut langsung 
memberitahu, begitu mereka duduk berseberan-
gan meja.
“Hm...,” Bayu hanya menggumam saja sedikit 
sambil memandangi wajah laki-laki tua yang du-
duk di seberang mejanya.
Memang Pendekar Pulau Neraka sudah men-
duga sejak semalam, kalau korban Perempuan 
Bertopeng Emas itu adalah satu keluarga pendu-
duk yang sehari-harinya hanya berladang, tanpa 
mengenal ilmu olah kanuragan. Tapi, Perempuan 
Bertopeng Emas itu juga semalam sudah mem-
bunuh Lima Begal Sungai Ular, sebelum menda-
pat korban satu keluarga penduduk Desa Carin-
gin ini.
“Tidak lama lagi, desa ini akan rata dengan ta-
nah. Wanita itu pasti akan membunuh habis se-
mua penduduk Desa Caringin ini,” sambung Ki 
Radut.
“Kau kelihatannya malah senang atas kejadian 
ini, Ki...,” ujar Bayu, agak mendesis suaranya. Je-
las sekali kalau kata-kata Pendekar Pulau Neraka 
mengandung kecurigaan pada orang tua ini.
“Mereka patut mendapat ganjaran yang setim-
pal seperti itu, Den,” sahut Ki Radut, agak datar
nada suaranya.
Kening Bayu jadi semakin dalam berkerut 
mendengar jawaban orang tua ini. Sungguh tidak 
disangka kalau Ki Radut menyukai tindakan si 
Perempuan Bertopeng Emas. Semula Bayu meng-
harapkan Ki Radut akan memberi jawaban yang 
lain. Tapi, kata-kata orang tua itu malah mem-
buatnya semakin bertambah curiga.
“Mana Tarsih, Ki?” tanya Bayu langsung terin-
gat pada wanita cantik yang menjadi pelayan di 
kedai ini.
“Pergi,” sahut Ki Radut.
“Ke mana?” desak Bayu.
Belum juga Ki Radut bisa menjawab, dari ba-
gian belakang kedai ini muncul Tarsih disertai 
senyuman manis tersungging di bibir. Bayu lang-
sung mengarahkan pandangan pada wanita ber-
wajah cantik itu.
“Aku tidak ke mana-mana, Kakang. Sejak tadi, 
aku ada di belakang,” kata Tarsih langsung, sam-
bil menempatkan diri di samping Pendekar Pulau 
Neraka.
Saat itu, muncul Tiren dari belakang kedai 
sambil mencerecet rebut. Monyet kecil itu lang-
sung melompat naik ke pundak dan memeluk erat 
leher Pendekar Pulau Neraka, seakan tidak ingin 
dilepaskan lagi. Dengan halus Bayu melepaskan 
pelukan monyet kecilnya.
“Dia terus-menerus ribut mencarimu, Den,” je-
las Ki Radut.
“Hm...,” Bayu hanya menggumam saja sedikit

Beberapa saat mereka jadi terdiam membisu. 
Sementara, Bayu terus memandang Ki Radut dan 
Tarsih bergantian. Entah apa yang dicari Pende-
kar Pulau Neraka pada wajah mereka berdua. 
Namun jelas sekali terlihat kalau raut wajah me-
reka begitu datar, sulit diterka artinya.
Bayu lalu mengarahkan pandangannya ke luar. 
Tampak matahari sudah condong ke arah barat 
Sinarnya yang semula terasa terik, kini begitu 
lembut menyapu seluruh permukaan Desa Carin-
gin ini Sedikit Bayu menghela napas, kemudian 
dia bangkit berdiri.
“Kau mau ke mana, Kakang?” tanya Tarsih 
langsung ikut berdiri.
“Pergi,” sahut Bayu singkat.
Kaki Pendekar Pulau Neraka terus saja terayun 
melangkah keluar dari dalam kedai ini. Sementa-
ra Tarsih yang ingin mengejar, cepat dicegah Ki 
Radut dengan mencekal pergelangan tangannya. 
Terpaksa Tarsih tidak jadi mengejar Pendekar Pu-
lau Neraka. Hanya dipandanginya saja sampai 
Bayu tidak terlihat lagi, menghilang di tikungan 
jalan.
“Biarkan dia pergi, Tarsih,” ujar Ki Radut sam-
bil melepaskan cekalannya pada pergelangan tan-
gan wanita itu.
“Tapi, Ki....”
“Sudahlah.... Jangan turutkan kata hatimu, 
Tarsih,” selak Ki Radut cepat, sebelum Tarsih bisa 
melanjutkan ucapannya. “Sudah kau selesaikan 
pekerjaanmu?”

“Sudah,” sahut Tarsih seraya mengangguk.
“Bagus,” sambut Ki Radut dengan bibir me-
nyunggingkan senyum. “Masih banyak pekerjaan 
lain yang harus kau selesaikan di sini, Tarsih. 
Dan kuminta hanya sekali itu saja kau keluar pa-
da siang hari”.
Tarsih hanya menganggukkan kepala saja, lalu 
kembali duduk menghadapi meja. Raut wajahnya 
kelihatan begitu datar, dengan pandangan mene-
kuri permukaan meja dari kayu ini. Sementara Ki 
Radut sudah kembali ke belakang kedai.
***
Malam sudah jatuh menyelimuti seluruh per-
mukaan bumi. Suasana di Desa Caringin kembali 
sunyi, bagaikan tidak berpenghuni lagi. Sementa-
ra tidak jauh di pinggiran desa, tampak Bayu 
berdiri tegak di depan gundukan tanah yang ma-
sih kelihatan baru. Tidak jauh di belakangnya ter-
lihat sebuah rumah kecil berdinding bilik bambu. 
Entah, apa yang ada dalam hati Pendekar Pulau 
Neraka ini, mendapati Dewa Bayangan Putih su-
dah mati dengan luka begitu mengerikan. Kepa-
lanya retak, dengan leher terobek hampir bun-
tung.
Bayu menemukan orang tua itu tergeletak mati 
tidak jauh di depan rumah yang ditempatinya. 
Sedangkan darah yang menggenang sudah men-
gering. Kelihatannya kematian Dewa Bayangan 
Putih sudah cukup lama. Malah, beberapa saat 
setelah ditinggalkannya.

“Tapi, siapa yang bisa membunuh Dewa 
Bayangan Putih...?” pertanyaan ini yang terus 
mengganggu pikiran Bayu. Tapi Pendekar Pulau 
Neraka bisa langsung menduga, siapa pelakunya.
“Hhh! Aku tidak bisa mendiamkan ini terus 
berlangsung. Perempuan itu harus menanggung 
akibatnya!” dengus Bayu memuntahkan kekesa-
lan hatinya.
Sebentar Bayu masih berdiri memandangi ku-
buran Dewa Bayangan Putih, kemudian tubuhnya 
berbalik. Segera kakinya melangkah pergi me-
ninggalkan tempat peristirahatan terakhir tokoh 
tua itu.
Bayu terus mengayunkan mantap kakinya me-
nuju Desa Caringin lagi. Di dalam hatinya, dia 
bertekad akan membuat perhitungan kepada si 
Perempuan Bertopeng Emas yang sudah membu-
nuh Dewa Bayangan Putih!
Tanpa disadari, Bayu berjalan sambil menge-
rahkan ilmu meringankan tubuhnya yang tingka-
tannya sudah sempurna sekali. Hingga dalam 
waktu tidak berapa lama saja, Pendekar Pulau 
Neraka sudah tiba ke Desa Caringin yang selalu 
sunyi jika malam telah datang menyelimuti. 
Sungguh menyolok perbedaannya bila pada siang 
hari yang selalu ramai. Jika malam sudah datang, 
desa ini bagaikan mati. Tidak seorang pun terlihat 
berada di luar rumahnya.
Terlebih lagi, semalam satu keluarga yang di-
kenal semua penduduk hanya sebagai petani bi-
asa, mati menjadi korban si Perempuan Bertopeng Emas. Kejadian itu membuat seluruh pen-
duduk Desa Caringin jadi tidak berani keluar ru-
mah, dan benar-benar dicekam ketakutan yang 
amat sangat Mereka kini sadar, kalau kematian 
telah menghantui. Kalau hari-hari sebelumnya 
mereka merasa senang karena yang dibunuh ada-
lah tokoh-tokoh hitam atau penjahat biasa, tapi 
kini ternyata yang dibunuh oleh Perempuan Ber-
topeng Emas juga para penduduk biasa seperti 
mereka.
Biasanya kalau sehabis ada pembantaian, para 
penduduk desa ini berani keluar rumah, untuk
melihat tokoh siapa yang tewas dibunuh. Tapi se-
karang, mereka lebih memilih tinggal di rumah 
dengan hati was-was, jangan-jangan diri mereka 
yang mendapat giliran menjadi korban.
Ada apakah ini? Apakah pembunuhan-
pembunuhan terdahulu hanya sebagai siasat un-
tuk melenyapkan para penduduk Desa Caringin? 
Memang masih terlalu dini untuk menjawabnya.
Sementara itu, Bayu memperlambat ayunan 
kakinya, setelah sampai di tengah-tengah desa. 
Kedua bola matanya dipentang lebar, mengamati 
keadaan sekitarnya yang begitu sunyi. Sehingga, 
gerit binatang malam pun seakan enggan mem-
perdengarkan suaranya. Hanya desir angin saja 
yang terdengar, mengusik telinga Pendekar Pulau 
Neraka. Perlahan-lahan Bayu mengayunkan ka-
kinya menyusuri jalan yang membelah desa ini. 
Sementara, Tiren terus berada di pundak Pende-
kar Pulau Neraka tanpa memperdengarkan suara

sedikit pun. Seakan monyet kecil itu juga bisa 
merasakan kesunyian yang begitu mencekam di 
sekitarnya.
“Kita terpaksa tidak tidur malam ini, Tiren,” 
ujar Bayu pelan.
“Nguk.”
“Malam ini, aku harus bisa mendapatkan wani-
ta iblis itu. Akan kuhajar dia seperti yang dilaku-
kannya pada Ki Dewa Bayangan Putih!” tegas
Bayu lagi, dengan nada agak ditekan.
Tiren hanya diam saja. Binatang itu seperti ta-
hu kalau Pendekar Pulau Neraka sedang me-
nyimpan kemarahan yang amat sangat dalam da-
danya. Dan memang, saat itu Bayu menyimpan 
kemarahan menggelegar. Ini bisa terlihat jelas da-
ri raut wajahnya yang memerah, dengan sorot 
mata tajam menyala bagai bola api hendak mem-
bakar hangus seluruh Desa Caringin ini. Semen-
tara, malam terus merayap semakin larut Dan ke-
sunyian semakin terasa begitu mencekam. Bayu 
terus melangkahkan kakinya, mengelilingi desa 
yang selalu sunyi di malam hari.
***
Sampai jauh tengah malam, Bayu belum juga 
bisa menemukan adanya si Perempuan Bertopeng 
Emas. Sedangkan kakinya sudah terasa penat, te-
rus-menerus berjalan mengelilingi Desa Caringin 
yang cukup luas. Sedikit pun tidak ada tanda-
tanda kalau Perempuan Bertopeng Emas itu bak-
al muncul malam ini. Bayu berhenti melangkah,

tidak jauh dari rumah Tarsih. Entah kenapa, ha-
tinya begitu tergerak untuk mengamati rumah 
yang bagian depannya dijadikan kedai. Sengaja 
Bayu berdiri dekat pohon di pinggir jalan, sehing-
ga cahaya bulan tidak sampai meneranginya.
“Hm....”
Bayu menggumam sedikit, ketika melihat se-
seorang seperti akan keluar dari samping rumah 
itu.
Hanya kepalanya saja yang terlihat menyembul 
keluar, menoleh ke kanan dan ke kiri. Seakan dia 
sedang mengamati keadaan sekitarnya. Kepala 
yang diyakini Bayu adalah Ki Radut kembali teng-
gelam masuk ke dalam rumah. Dan tidak lama 
setelah itu....
“Heh..?!”
Kedua bola mata Bayu jadi terbeliak lebar begi-
tu tiba-tiba melihat sebuah bayangan kuning 
keemasan melesat keluar dari samping rumah itu. 
Begitu cepat lesatannya, sehingga dalam sekeja-
pan mata saja sudah lenyap dari pandangan. Se-
mentara, Bayu masih terpaku, seperti tidak per-
caya dengan apa yang dilihatnya barusan.
Bayangan kuning keemasan yang diyakininya 
adalah si Perempuan Bertopeng Emas, keluar dari 
rumah yang sedang diamatinya. Dan pada saat 
itu, pintu samping rumah itu tertutup lagi, sete-
lah sebelumnya terlihat kepala Ki Radut sedikit 
keluar mengamati keadaan sekitarnya yang masih 
kelihatan sunyi. Tampaknya, laki-laki tua itu ti-
dak menyadari kalau dari tempat yang sangat tersembunyi Bayu terus memperhatikan.
“Sebaiknya aku tunggu saja sampai dia kemba-
li di sini. Aku tidak tahu, ke mana dia pergi,” gu-
mam Bayu dalam hati, bicara pada diri sendiri.
Memang tidak mungkin bagi Pendekar Pulau 
Neraka untuk mengejar si Perempuan Bertopeng 
Emas yang sudah tidak terlihat lagi. Entah, ke 
arah mana perginya wanita itu. Tapi Bayu sudah 
begitu yakin, kalau Perempuan Bertopeng Emas 
itu adalah Tarsih, wanita cantik yang menjadi pe-
layan di kedai itu. Bayu mengambil Tiren dari 
pundaknya, dan menyuruhnya untuk naik ke 
atas pohon. Dia tidak mau monyet kecilnya terlu-
ka saat menyergap si Perempuan Bertopeng Emas 
nanti.
Seperti bisa mengerti kekhawatiran Bayu, Tiren 
segera naik ke atas pohon. Dipilihnya dahan yang 
dirasakannya cukup enak untuk tempat ber-
naung. Monyet kecil itu duduk mencangkung 
sambil memperhatikan Bayu yang tetap berada di 
bawah pohon. Sedikit pun Tiren tidak memper-
dengarkan suara, sepertinya tahu kalau saat se-
perti ini diperlukan kesunyian.
Belum juga lama Bayu menunggu, tiba-tiba 
terdengar jeritan yang begitu panjang melengking 
dari arah selatan desa ini. Dan tidak lama, dis-
usul dua kali jeritan lainnya yang tidak kalah 
nyaringnya. Seketika, darah Bayu terasa bagai 
berhenti mengalir mendengar jeritan-jeritan pan-
jang yang menandakan kematian.
Saat Bayu tengah menduga apa yang sedang

dilakukan Perempuan Bertopeng Emas di sebelah 
selatan desa ini, tiba-tiba terlihat kobaran api 
yang begitu besar dari arah selatan. Kembali Pen-
dekar Pulau Neraka jadi terkesiap. Dan matanya 
tidak berkedip memandangi kobaran api yang 
semakin lama semakin besar. Selang beberapa 
saat kemudian, terdengar teriakan-teriakan orang 
yang kalang-kabut melihat kobaran api itu. Se-
mentara, Bayu masih tetap bertahan. Pemuda ini 
tidak mau terpancing dengan keributan yang ter-
jadi di bagian selatan Desa Caringin. Sudah bisa 
dibayangkan, kalau penduduk desa ini tengah be-
rusaha memadamkan api yang membakar rumah 
penduduk.
“Hm.... Itu dia datang....”
Tiba-tiba Bayu menggumam, ketika melihat se-
buah bayangan kuning keemasan berkelebat begi-
tu cepat dari arah selatan. Cepat Pendekar Pulau 
Neraka mempersiapkan diri untuk menyergap 
bayangan kuning keemasan. Tapi belum juga
berbuat sesuatu, tiba-tiba saja bayangan kuning 
itu berkelebat begitu cepat ke arah timur. Dan se-
ketika itu juga, lenyap di antara rumah-rumah 
penduduk.
“Edan...! Ke mana lagi dia...?” desis Bayu jadi 
terperanjat tidak mengerti.
Begitu cepat sekali si Perempuan Bertopeng 
Emas itu berkelebat. Sehingga, dalam sekejapan 
mata saja sudah lenyap dari pandangan Pendekar 
Pulau Neraka. Sulit untuk bisa diterka lagi, ke 
mana arah tujuannya. Bayu jadi ragu-ragu untuk

mengejar dan menunggu di tempat ini. Dan di 
saat Pendekar Pulau Neraka tengah berpikir, 
mendadak saja....
Wusss...!
“Heh...?!”
Bayu jadi tersentak kaget, begitu tiba-tiba ter-
dengar hempasan angin yang begitu kuat dari 
arah belakang. Dan ketika berpaling ke belakang, 
terlihat sebuah benda bulat kecil seperti mata 
kucing berwarna kuning keemasan, berkelebat 
begitu cepat bagai kilat menuju ke arahnya.
“Haiiit..!”
Cepat Bayu memiringkan tubuhnya ke kanan. 
Sehingga, benda kuning keemasan sebesar mata 
kucing itu lewat di samping tubuhnya, dan lang-
sung menghantam sebuah pohon yang ada di se-
berang jalan. Seketika, pohon itu hancur berkep-
ing-keping memperdengarkan ledakan keras 
menggelegar bagai gunung memuntahkan lahar. 
Bayu sempat terbeliak melihat benda sekecil itu 
mampu menghancurkan pohon yang cukup be-
sar!
“Hup...!”
Pendekar Pulau Neraka bergegas melompat ke 
tengah jalan, begitu bayangan kuning keemasan 
itu terlihat berkelebat begitu cepat dari belakang. 
Langsung tubuhnya merunduk, hingga bayangan 
kuning keemasan itu lewat di atas tubuhnya. Saat 
itu juga, Bayu merasakan hempasan hawa panas 
yang begitu menyengat, bersamaan dengan melin-
tasnya bayangan kuning keemasan itu di atas tubuhnya tadi.
“Hup! Yeaaah...!”
Pendekar Pulau Neraka langsung melenting ke 
atas dan berputaran beberapa kali, sebelum ke-
dua telapak kakinya kembali menjejak tanah ja-
lan ini.
Saat itu juga, sekitar satu batang tombak di 
depannya sudah terlihat seseorang berdiri menan-
tang. Tubuhnya ramping mengenakan baju yang 
seluruhnya berwarna kuning keemasan. Cahaya 
bulan yang memancar di langit, memantulkan 
warna kuning keemasan dari topeng yang menu-
tupi wajah orang itu. Dari bentuk tubuhnya yang 
indah dan ramping, sudah dapat dipastikan kalau 
dia seorang wanita. Sementara, Bayu memperha-
tikannya beberapa saat Sudah bisa diduga kalau 
di balik topeng emas itu tersembunyi wajah Tar-
sih yang cantik.
“Aku sudah tahu, siapa kau sebenarnya, Nisa-
nak. Dan kau tidak perlu lagi bersembunyi di ba-
lik topeng,” ujar Bayu dengan suara dingin meng-
getarkan.
“Kau sudah terlalu banyak ikut campur, Bayu. 
Kau sama saja dengan Dewa Bayangan Putih. 
Dan rasanya, kau sudah pantas kalau juga men-
dapat ganjaran sama,” tidak kalah dinginnya sua-
ra Perempuan Bertopeng Emas itu.
“Sudah kuduga, pasti kau yang membunuh-
nya,” desis Bayu dengan rahang menggeretak me-
nahan geram.
“Hik hik hik.... Sudah sepantasnya dia menda

patkan itu, Bayu. Dan kau juga akan menda-
patkannya, kalau masih ikut campur urusanku,” 
ujar Perempuan Bertopeng Emas dingin.
“Kau bisa saja membunuh Dewa Bayangan Pu-
tih. Tapi, jangan harap begitu mudah melaku-
kannya padaku, Nisanak,” tantang Bayu lang-
sung.
“Hik hik hik...!” Perempuan Bertopeng Emas itu 
hanya tertawa saja mengikik.
Jelas sekali kalau sikap perempuan itu begitu 
meremehkan Pendekar Pulau Neraka. Dia sama 
sekali tidak tahu kalau yang sedang dihadapinya 
seorang pendekar muda yang sudah malang me-
lintang menghadapi segala macam bahaya dan 
pertarungan berat dalam rimba persilatan. Bah-
kan semua tokoh persilatan akan segan bila ber-
hadapan dengannya. Tapi meskipun julukannya 
berada pada deretan atas tokoh persilatan, Bayu 
tidak merasa dirinya paling tinggi. Bahkan sama 
sekali tidak memandang enteng terhadap wanita 
bertopeng emas ini. Sudah beberapa kali Bayu 
menyaksikan kehebatannya, dan harus hati-hati 
menghadapinya.
Perlahan Pendekar Pulau Neraka menggeser 
kakinya beberapa langkah ke kanan. Sorot ma-
tanya begitu tajam, tanpa berkedip sedikit pun 
memperhatikan wanita bertopeng emas di depan-
nya. Sementara Perempuan Bertopeng Emas itu 
belum juga bergerak. Dia malah tertawa mengi-
kik, melihat Bayu sudah menyilangkan tangan 
kanannya di depan dada.

“Kau akan menyesal datang ke desa ini, Bayu. 
Merataplah kau di neraka...!” dengus Perempuan 
Bertopeng Emas dingin menggetarkan.
“Kita lihat saja, siapa yang lebih dulu terbang
ke neraka,” sambut Bayu tidak kalah dingin.
“Bersiaplah, Bayu.... Tahan selendang emasku!
Yeaaah...!
Rrrt..!
“Hup! Yeaaah...!”
***
TUJUH


Cepat Bayu melenting ke atas, begitu Perem-
puan Bertopeng Emas mengebutkan selendang-
nya sambil membentak keras menggelegar. Selen-
dang tipis berwarna kuning keemasan itu melu-
ruk deras, bagai seekor naga mengarah ke bagian 
perut Pendekar Pulau Neraka. Cepat-cepat Bayu 
bersalto. Dan ketika tubuhnya mendatar di uda-
ra....
“Hih! Shyaaa...!”
Tepat di saat selendang emas itu berada di ba-
wah tubuhnya, dengan pengerahan seluruh ke-
kuatan tenaga dalamnya yang sudah sempurna, 
Bayu melepaskan satu pukulan keras menggele-
dek ke bagian tengahnya. Begitu cepat pukulan 
yang dilepaskannya, sehingga Perempuan Berto-
peng Emas itu jadi terkejut setengah mati.
“Hap!”

Cepat wanita itu menghentakkan selendang-
nya, hingga bergerak cepat ke samping. Dengan 
demikian, pukulan yang dilepaskan Bayu hanya 
sedikit saja melesat di samping selendang emas 
itu. Dan ketika kaki Pendekar Pulau Neraka men-
jejak tanah, si Perempuan Bertopeng Emas sudah 
menggerakkan tangannya yang menggenggam se-
lendang kuning keemasan itu.
Rrrt!
Bagai seekor ular, selendang emas itu meliuk 
begitu indah melingkari tubuh Pendekar Pulau 
Neraka. Gerakan berputar yang begitu cepat, 
sempat membuat Bayu jadi terperangah. Tapi dia 
cepat berputaran di udara, seraya langsung men-
gibaskan tangan kanannya. Dan....
Siap!
“Heh...?!”
Perempuan Bertopeng Emas jadi kaget seten-
gah mati, tidak menyangka kalau benda bersegi 
enam yang menempel di pergelangan tangan pe-
muda berbaju kulit harimau itu ternyata sebuah 
senjata yang bisa dilemparkan, hanya dengan 
mengebutkan tangannya saja. Dan belum juga 
sempat disadari, tahu-tahu Cakra Maut yang di-
lepaskan Bayu sudah menghantam bagian tengah 
selendangnya.
Bret!
“Ikh...?!”
Kembali Perempuan Bertopeng Emas itu terke-
jut hingga terpekik. Ternyata selendang kebang-
gaannya langsung terbelah menjadi dua bagian,

terkena sambaran senjata maut Pendekar Pulau 
Neraka. Sementara, Bayu sendiri sudah menje-
jakkan kakinya kembali di tanah. Dan di saat 
tangan kanannya terangkat naik ke atas kepala, 
Cakra Maut melesat balik, lalu kembali menempel 
kuat di pergelangan tangan kanan pemuda ini.
“Setan...! Kubunuh kau...!” geram Perempuan 
Bertopeng Emas marah, mendapati selendangnya 
tinggal sepotong lagi.
Sambil berteriak keras menggelegar, wanita 
berpakaian serba kuning keemasan itu berlompa-
tan mengelilingi Pendekar Pulau Neraka. Dan se-
ketika itu juga, puluhan benda bulat kecil seperti 
mata kucing berwarna kuning keemasan, ber-
hamburan di sekeliling Pendekar Pulau Neraka. 
Cepat sekali benda-benda kuning keemasan itu 
berhamburan bagai hujan.
“Hup! Yeaaah...!”
Tidak ada waktu lagi bagi Bayu untuk berpikir 
menghadapi serangan gencar Perempuan Berto-
peng Emas ini. Cepat tubuhnya melenting ke atas 
sambil berputaran beberapa kali, menghindari 
benda-benda kecil yang sangat berbahaya itu. 
Dan seketika itu juga, terdengar ledakan-ledakan 
keras menggelegar dari senjata-senjata maut Pe-
rempuan Bertopeng Emas yang saling berbentu-
ran. Bahkan yang jatuh ke bawah pun membuat 
tanah jadi terbongkar menimbulkan ledakan yang 
begitu dahsyat menggelegar. Sehingga seluruh 
Desa Caringin jadi bergetar bagai diguncang gempa.

Ledakan akibat pertarungan maut Pendekar 
Pulau Neraka dengan Perempuan Bertopeng 
Emas, membuat seluruh penduduk Desa Caringin 
keluar dari dalam rumah. Tapi mereka langsung 
menyingkir menjauh, begitu melihat wanita ber-
pakaian serba emas yang selama ini dianggap se-
bagai dewi pelindung, namun sudah meminta 
korban penduduk biasa itu, bertarung melawan 
seorang pemuda yang pernah terlihat menghajar 
Lima Begal Sungai Ular di depan kedai Tarsih.
Sementara beberapa rumah penduduk yang 
berdekatan letaknya dengan tempat pertarungan 
sudah mulai hancur terkena sambaran senjata-
senjata maut yang dilemparkan si Perempuan 
Bertopeng Emas. Bahkan tidak sedikit yang su-
dah terbakar, hingga membuat keadaan di sekitar 
pertarungan jadi terang-benderang. Dan suasana 
pun jadi berubah hangat oleh api yang kini ber-
kobar besar, membakar beberapa rumah. Se-
dangkan Bayu masih harus berjumpalitan di uda-
ra, menghindari setiap benda-benda maut yang 
dilepaskan lawannya.
***
Serangan-serangan Perempuan Bertopeng 
Emas masih terus datang menghujani Pendekar 
Pulau Neraka. Benda-benda kecil berwarna kun-
ing keemasan itu bagai tidak pernah habis, terus 
berhamburan di sekitar tubuh Bayu. Sedikit pun 
pemuda berbaju kulit harimau itu tidak memiliki 
kesempatan balas menyerang. Tubuhnya hanya

bisa berputaran di udara dan terus menghindari 
serangan gencar lawannya.
Namun setelah cukup lama berlangsung, ak-
hirnya Perempuan Bertopeng Emas menghentikan 
serangannya juga. Tampak tarikan napasnya 
memburu cepat, bagai kuda yang baru dipacu 
mendaki bukit terjal. Wanita itu berdiri tegak, 
menatap tajam Pendekar Pulau Neraka dari balik 
lubang mata topeng emasnya. Sementara, Bayu 
juga sudah berdiri tegak mengatur napasnya yang 
mulai terdengar agak memburu. Keringat tampak 
menitik deras membasahi sekujur tubuh Pende-
kar Pulau Neraka.
“Hhh...!” Bayu menghembuskan napas berat-
nya.
Pendekar Pulau Neraka kali ini melakukan per-
tarungan yang sangat berat dan menguras ba-
nyak tenaga. Lawan yang dihadapinya memang 
tidak bisa dianggap sembarangan. Wanita itu 
memiliki kepandaian yang begitu tinggi, sehingga 
sukar diukur tingkat kepandaiannya. Bayu benar-
benar tidak dapat lagi memandang sebelah mata 
pada wanita bertopeng ini.
Sementara, orang-orang yang menyaksikan 
pertarungan semakin bertambah banyak. Dan api 
yang membakar rumah juga semakin besar, me-
rambat ke rumah-rumah lain. Sudah dapat dipas-
tikan kalau tidak lama lagi, Desa Caringin akan 
hangus termakan api. Sedangkan di tengah-
tengah jalan, Bayu tetap berdiri tegak berhadapan 
dengan Perempuan Bertopeng Emas. Entah kenapa, mereka jadi terdiam saling menatap tajam, 
seakan tengah mengukur tingkat kepandaian 
masing-masing.
“Kau memang tangguh, Bayu. Tapi, aku belum 
kalah. Malam ini juga, kau harus mati di tangan-
ku...,” desis Perempuan Bertopeng Emas dingin 
menggetarkan.
“Hm...,” Bayu pun hanya mengeluarkan gu-
maman sedikit.
“Bersiaplah menerima kematianmu, Bayu,” de-
sis Perempuan Bertopeng Emas lagi.
Setelah berkata demikian, wanita itu mencabut 
sebuah benda sepanjang dua jengkal berwarna 
kuning emas dari balik sabuk yang membelit 
pinggangnya. Dan ketika dikebutkan, benda itu 
menjadi panjang seperti tongkat Tampak bagian 
ujungnya berbentuk mata tombak yang berkilatan 
begitu tajam. Namun Pendekar Pulau Neraka sa-
ma sekali tidak merasa gentar melihat senjata 
wanita bertopeng ini. Bahkan sikapnya kelihatan 
tenang, walaupun kelihatannya tidak ada satu 
senjata pun yang tergenggam di tangan.
Sementara semua orang yang menyaksikan se-
perti mencemaskan pemuda berbaju kulit hari-
mau yang kelihatannya tidak memiliki senjata. 
Sedangkan lawannya kini sudah memainkan sen-
jata tombak emasnya. Putarannya tampak begitu 
cepat, hingga yang terlihat hanya lingkaran 
bayangan kuning keemasan bagai sebuah perisai 
melindungi dirinya.
“Tahan seranganku, Bayu! Hiyaaat..!”
Bersamaan dengan melompatnya Perempuan 
Bertopeng Emas itu dalam menyerang Pendekar 
Pulau Neraka, semua orang yang melihat jadi me-
nahan napas. Sementara, Bayu sendiri tetap ber-
diri tegak dengan sikap begitu tenang. Hanya ta-
tapan matanya saja yang terlihat menyorot tajam, 
memperhatikan gerakan Perempuan Bertopeng 
Emas yang meluruk deras dengan ujung tombak 
emas tertuju tepat ke dada.
Tepat di saat ujung tombak berwarna kuning 
emas itu hampir menembus dada, cepat Bayu
mengangkat tangan kanannya terbalik ke depan 
dada. Maka ujung tombak itu langsung menghan-
tam Cakra Maut yang berada di pergelangan tan-
gan Pendekar Pulau Neraka.
Tring! 
“Ikh...!”
Perempuan Bertopeng Emas jadi terpekik, begi-
tu seluruh tangannya terasa bergetar, ketika 
ujung tombaknya menghantam Cakra Maut di 
pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka. Ce-
pat dia melompat ke belakang beberapa langkah. 
Namun pada saat yang sama, Bayu pun sudah 
membungkukkan tubuhnya sedikit agak miring 
ke kiri. Dan dengan kecepatan bagai kilat tangan 
kanannya dikibaskan ke depan sambil berteriak 
keras menggelegar.
“Yeaaah...!”
Wusss!
Cakra Maut seketika itu juga melesat bagai se-
batang anak panah lepas dari busur, tepat mengarah ke dada Perempuan Bertopeng Emas. Begi-
tu cepat lesatannya hingga membuat Perempuan 
Bertopeng Emas terbeliak dari balik topeng yang 
menutupi wajahnya. 
“Haiiit…!”
Bet!
Cepat wanita itu menghentakkan tongkat 
emasnya menyilang ke depan dada. Sehingga Ca-
kra Maut menghantam bagian tengah batang 
tombak kuning keemasan itu. Demikian keras 
benturan Cakra Maut pada tombak itu, sehingga 
menimbulkan percikan bunga api yang menyebar 
ke segala arah. Tampak Perempuan Bertopeng 
Emas terdorong tiga langkah, akibat benturan ke-
ras Cakra Maut pada tombaknya.
“Gila...! Senjatanya tidak bisa dibuat main-
main, “ dengus Perempuan Bertopeng Emas da-
lam hati.
Wanita itu masih merasakan nyeri pada selu-
ruh persendian tulang tangannya, akibat dua kali 
terjadi benturan keras pada senjatanya tadi. Se-
mentara, Bayu berdiri tegak dengan tangan terli-
pat di depan dada. Sedangkan senjata mautnya 
sudah kembali menempel di pergelangan tangan 
kanannya. Sikapnya seakan memberi kesempatan 
pada lawannya untuk menyerang lagi. Bayu me-
mang sengaja tidak mau menyerang lebih dahulu, 
dan selalu memberi kesempatan lawannya me-
nyerang lebih dulu. Paling tidak, untuk mengukur 
sampai sejauh mana tingkat kepandaian yang di-
miliki lawannya.

***
“Kenapa kau diam, Nisanak...?” terdengar sinis 
nada suara Bayu.
“Huh!”
Perempuan Bertopeng Emas itu hanya men-
dengus saja dengan kesal. Dari balik topeng 
emasnya, matanya menatap tajam dengan sinar 
memerah pada Pendekar Pulau Neraka. Perlahan 
kakinya bergeser ke kanan. Dan belum juga bisa 
berbuat lebih jauh lagi, tiba-tiba saja berkelebat 
sebuah bayangan hitam melintasi kepala orang-
orang yang berkerumun menyaksikan pertarun-
gan maut ini
Dan bayangan hitam itu langsung meluruk de-
ras ke arah Pendekar Pulau Neraka. Dan pada 
saat yang bersamaan, sebuah benda bulat sebe-
sar kepala terlempar ke arah pemuda berbaju ku-
lit harimau itu.
“Hup...!”
Cepat Bayu melenting seraya berputaran ke be-
lakang, menghindari benda hitam yang dilempar-
kan ke arahnya. Benda bulat sebesar kepala itu 
tepat jatuh di tempat Bayu tadi berdiri. Dan seke-
tika itu juga, terdengar ledakan dahsyat mengge-
legar. Sehingga, membuat seluruh tanah di Desa 
Caringin ini jadi bergetar bagai diguncang gempa 
begitu dahsyat.
Tampak tanah yang terbongkar membumbung 
tinggi ke angkasa, bersama asap hitam yang men-
gepul membentuk jamur raksasa. Sementara, 
Bayu sudah menjejakkan kakinya kembali di tanah dengan dada berdebar keras. Tidak bisa di-
bayangkannya, bagaimana jadinya kalau benda 
hitam itu tadi mengenai tubuhnya. Tanah jalan 
yang tertimpa benda hitam itu kini terlihat berlu-
bang besar seperti sumur.
“Hiyaaat..!”
Sementara, bayangan hitam itu terus meluruk 
deras ke arah Pendekar Pulau Neraka. Dan pada 
saat itu juga, Bayu langsung menghentakkan ke-
dua tangannya ke depan dengan telapak tangan 
terbuka lebar, tepat di saat matanya melihat satu 
pukulan kepalan tangan kanan yang meluncur 
deras mengarah dadanya. Hingga....
Glarrr...!
Kembali terdengar ledakan keras menggelegar 
begitu kedua telapak tangan Bayu berbenturan 
dengan kepalan tangan orang berbaju serba hitam 
itu. Tampak orang berbaju serba hitam itu berpu-
taran beberapa kali ke belakang. Sementara, 
Bayu sempat terdorong dua langkah ke belakang. 
Dan Pendekar Pulau Neraka langsung membung-
kukkan tubuhnya sedikit agak miring ke kiri. Te-
pat di saat orang berpakaian serba hitam itu men-
jejakkan kakinya di tanah, Bayu langsung mengi-
baskan tangan kanannya ke depan sambil berte-
riak keras.
“Hiyaaa...!”
Wusss!
Seketika itu juga, Cakra Maut yang selalu me-
nempel di pergelangan tangan kanan, Pendekar 
Pulau Neraka melesat cepat bagai kilat, mengarah

langsung pada orang berpakaian serba hitam 
yang tiba-tiba saja muncul dan langsung menye-
rang. Begitu cepatnya Cakra Maut meluncur, se-
hingga orang berpakaian serba hitam itu tidak 
sempat menyadarinya.
“Awas, Ki...!”
Cras!
Bersamaan terdengarnya teriakan nyaring 
memberi peringatan, orang berpakaian serba hi-
tam yang seluruh kepalanya tertutup kain hitam 
itu memiringkan tubuhnya ke kiri. Tapi, gerakan-
nya sudah terlambat Sehingga sisi Cakra Maut 
yang runcing sempat merobek bahu kanannya.
“Akh...!”
Orang berpakaian serba hitam itu jadi terpekik 
kaget agak tertahan. Seketika, darah mengucur 
deras dari bahunya yang terluka cukup lebar aki-
bat tersambar Cakra Maut tadi. Sementara, senja-
ta Pendekar Pulau Neraka terus melesat. Dan ke-
tika Bayu menghentakkan tangan kanannya ke 
belakang, maka Cakra Maut langsung berputar 
balik dari arah belakang orang berpakaian serba 
hitam itu. Demikian cepatnya senjata maut Pen-
dekar Pulau Neraka itu berputar dan langsung 
melesat balik, sehingga membuat orang berpa-
kaian serba hitam yang masih dilanda keterkeju-
tan ini tidak sempat lagi menyadarinya. Dan....
Crab!
“Aaa...!” 
“Ki...!”
Jeritan nyaring seketika terdengar melengking,

begitu Cakra Maut menancap di punggung orang 
berbaju serba hitam agak ketat ini. Bersamaan 
dengan itu pula, terdengar teriakan nyaring dari 
si Perempuan Bertopeng Emas.
Tampak orang berbaju serba hitam itu ter-
huyung-huyung dengan Cakra Maut masih me-
nancap begitu dalam di punggungnya. Begitu 
Pendekar Pulau Neraka menghentakkan tangan 
kanannya ke atas kepala, Cakra Maut melesat 
kembali ke arahnya. Maka darah seketika mun-
crat keluar dari punggung orang berbaju serba hi-
tam ini. Cakra Maut kini kembali menempel di 
pergelangan tangan kanan pemuda berbaju kulit 
harimau itu.
“Hiyaaa...!”
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Bayu 
langsung melompat cepat bagai kilat sambil berte-
riak keras menggelegar. Dan saat itu juga, satu 
pukulan keras menggeledek yang mengandung 
pengerahan tenaga dalam sempurna dilepaskan, 
tepat ke kepala orang berpakaian serba hitam 
yang masih terhuyung-huyung. Serangan Bayu 
yang begitu cepat ini, sama sekali tidak dapat di-
hindari lagi.
Prak!
“Aaa...!”
Kembali terdengar jeritan panjang melengking 
tinggi, begitu pukulan dahsyat yang dilepaskan 
Pendekar Pulau Neraka menghantam tepat di ke-
pala orang berpakaian serba hitam itu. Tampak 
darah merembas keluar dari kain hitam yang menyelubungi kepala. Sementara, Bayu kembali me-
lenting ke belakang sambil mutar tubuhnya. Dan 
tangannya sempat mengibas, menjambret kain se-
lubung hitam yang menutupi kepala orang itu.
Bret!
“Ki Radut..,” desis Bayu begitu kakinya menje-
jak tanah.
Tanpa selubung kain hitam, jelas sekali wajah 
orang berpakaian serba hitam itu. Memang, orang 
itu adalah Ki Radut Dan Bayu sama sekali tidak 
terkejut lagi, karena memang sudah menduga. 
Sementara Ki Radut sendiri sudah tidak dapat la-
gi menguasai diri. Dengan punggung berlubang 
mengeluarkan darah, dan kepala retak terkena 
pukulan dahsyat Pendekar Pulau Neraka, dia ti-
dak mungkin lagi bisa bertahan lebih lama.
Setelah beberapa saat tubuhnya gontai, laki-
laki tua ini seketika ambruk ke tanah dengan da-
rah terus mengucur dari punggung dan kepalanya 
yang retak. Hanya sebentar saja Ki Radut meng-
geliat di tengah jalan berdebu ini, kemudian men-
gejang kaku sambil mengerang lirih. Lalu, tubuh-
nya diam tidak bergerak-gerak lagi, membujur 
kaku tanpa nyawa.
“Keparat...! Kubunuh kau...!”
Perempuan Bertopeng Emas jadi geram melihat 
Ki Radut tewas begitu mengerikan di tangan Pen-
dekar Pulau Neraka. Sambil menggeram marah, 
wanita berpakaian serba kuning emas itu lang-
sung saja melangkah cepat, menghampiri pemuda 
berbaju kulit harimau ini. Dan begitu jaraknya

tinggal sekitar lima langkah lagi, langsung tombak 
emasnya dikebutkan ke depan sambil melompat 
sedikit.
“Shyaaa...!”
“Haiiit...!”
Hanya sedikit saja Bayu menarik tubuhnya ke 
belakang, hingga ujung tombak yang kuning dan 
runcing itu lewat di depan perutnya. Tapi belum 
juga Pendekar Pulau Neraka bisa menegakkan 
tubuhnya kembali, Perempuan Bertopeng Emas 
sudah melompat cepat sambil melepaskan satu 
tendangan menggeledek dengan kaki kiri.
“Yeaaah...!”
“Hap!”
***
DELAPAN


Bayu langsung menghentakkan tangan kanan-
nya, menyambut tendangan kaki kiri Perempuan 
Bertopeng Emas itu. Begitu cepatnya gerakan 
yang dilakukan, hingga wanita berpakaian serba 
kuning ini tidak dapat lagi menarik pulang seran-
gannya. Maka benturan keras pun seketika terja-
di.
“Akh...!”
Perempuan Bertopeng Emas itu jadi terpekik 
agak tertahan, ketika kakinya membentur tangan 
kanan Pendekar Pulau Neraka. Cepat-cepat tu-
buhnya melenting ke belakang, dengan berputaran dua kali. Dan begitu kaki wanita itu menjejak 
tanah, Bayu langsung melompat cepat bagai kilat 
sambil berteriak keras menggelegar.
“Hiyaaa...!”
Seketika itu juga, tangan kanan Pendekar Pu-
lau Neraka mengibas ke depan, membuat Cakra 
Maut yang selalu berada di pergelangan tangan 
kanan melesat menyerang si Perempuan Berto-
peng Emas.
“Hup!”
Tidak ada jalan lain lagi bagi wanita itu untuk 
menghindar. Maka cepat tubuhnya melenting ke 
atas. Dan pada saat itu pula, tangan kiri Bayu
berkelebat cepat ke kepala. Begitu cepat gerakan 
tangan kirinya, sehingga Perempuan Bertopeng 
Emas tidak dapat lagi menghindari. Terlebih lagi, 
dia harus menghindari serangan senjata andalan 
Pendekar Pulau Neraka. Dan....
Bret!
“Aukh...!”
Perempuan Bertopeng Emas itu jadi terpekik 
kaget, ketika topeng yang dikenakannya terampas 
tangan kiri Pendekar Pulau Neraka. Maka wajah 
yang sejak tadi terlindung di balik topeng emas 
itu kini terlihat jelas di bawah siraman cahaya 
bulan dan terangnya cahaya api yang masih 
membakar rumah-rumah penduduk Desa Carin-
gin ini.
“Tarsih....”
Semua orang yang menyaksikan pertarungan 
itu jadi terperanjat, tidak mengira kalau Perempuan Bertopeng Emas itu ternyata Tarsih. Me-
mang, wanita pemilik kedai ini tidak disukai pen-
duduk, karena dulu ayahnya seorang pemeras 
rakyat yang paling kaya di desa ini. Suatu ketika 
semua kekayaan orangtua Tarsih ludes dirampok 
dan rumahnya dibakar habis. Bahkan semua 
penghuni rumah itu dibantai habis, kecuali Tar-
sih dan Ki Radut saja yang bisa menyelamatkan 
diri. Dan Ki Radut sendiri, dulunya adalah seo-
rang tukang pukul orangtua Tarsih yang paling 
kejam. Setelah berhasil menyelamatkan diri, Tar-
sih dengan diantar Ki Radut, berguru di Pergu-
ruan Selendang Emas. Kebetulan, yang menjadi 
ketuanya adalah paman Ki Ridut sendiri. Dan ke-
tika telah menguasai ilmu-ilmu tingkat tinggi, 
Tarsih dan Ki Ridut kembali ke Desa Caringin, se-
telah terlebih dahulu diwarisi senjata selendang 
emas.
Namun ketika mereka kembali, rupanya para 
penduduk yang dulu menjadi korban ketamakan 
orangtua Tarsih, memasang wajah ketidaksenan-
gan mereka. Inilah yang menyebabkan Tarsih me-
rasa harus membalas sikap mereka. Demikian 
pula terhadap penjahat-penjahat atau tokoh-
tokoh hitam yang telah merampok dan memban-
tai habis keluarganya!
“Bunuh saja dia...!”
“Bunuh perempuan setan itu...!”
Seketika seluruh penduduk Desa Caringin 
memuntahkan kemarahannya. Dulu mereka ben-
ci terhadap orangtua Tarsih. Dan kini terhadap

Tarsih sendiri. Terlebih lagi sekarang ini mereka 
sudah kehilangan seluruh harta benda dan tem-
pat berteduh. Bahkan tidak sedikit yang kehilan-
gan anggota keluarganya, yang tidak sempat me-
nyelamatkan diri dari dalam rumahnya yang ter-
bakar. Dan dengan malam ini, sudah dua keluar-
ga yang dibantai Tarsih!
Tapi kemarahan mereka hanya pada lontaran 
kata-kata saja. Tidak ada seorang pun yang bera-
ni mendekati, karena begitu takut pada senjata
tombak yang masih berada dalam genggaman 
Tarsih.
Mereka tahu, wanita ini bukanlah wanita sem-
barangan. Kepandaiannya begitu tinggi. Sehingga, 
entah sudah berapa puluh orang yang menjadi 
korbannya selama memakai julukan Perempuan 
Bertopeng Emas.
***
“Sebaiknya kau menyerah saja, Tarsih. Demi 
keselamatanmu sendiri, kupersilakan kau pergi 
dari desa ini. Dan, jangan coba untuk kembali la-
gi membuat kekacauan,” ujar Bayu masih mem-
beri kelonggaran pada Perempuan Bertopeng 
Emas itu.
“Phuih! Aku lebih baik mati bersama hancur-
nya desa ini!” dengus Tarsih tidak mau menyerah 
begitu saja.
“Tidak ada gunanya kau mengumbar amarah 
dan dendam. Rasa dendam tidak akan pernah bi-
sa padam, kalau kau sendiri tidak mau mema-
damkannya,” bujuk Bayu masih mencoba melunakkan kekerasan hati wanita itu.
“Jangan banyak bicara kau, Bayu! Lawan aku! 
Hiyaaat..!”
Tarsih memang sudah merasa kepalang basah, 
sehingga sama sekali tidak mau menyerah. Bah-
kan diiringi pengerahan seluruh kekuatan yang 
tersisa, segera dia melompat cepat sekali menye-
rang Pendekar Pulau Neraka dengan senjata tom-
bak emasnya.
Bet!
Tombak berwarna kuning emas itu seketika 
berkelebat begitu cepat ke arah tenggorokan 
Bayu. Tapi hanya sedikit saja menarik kepala ke 
belakang, Bayu bisa menghindari hunjaman 
ujung tombak yang runcing. Dan segera kakinya 
ditarik ke belakang dua langkah, begitu Tarsih 
cepat memutar tombaknya dan langsung dis-
odokkan ke perut Pendekar Pulau Neraka.
“Hap!”
Bayu langsung mengibaskan tangan kanannya, 
sambil memiringkan tubuh ke kiri. Langsung di-
tangkisnya tusukan tombak emas itu.
Tring!
Cakra Maut yang berada di pergelangan tangan 
Pendekar Pulau Neraka tepat membentur mata 
tombak emas ini. Sementara, Tarsih langsung 
menarik pulang tombaknya. Tapi dengan kecepa-
tan kilat, senjatanya kembali disodokkan ke arah
dada Pendekar Pulau Neraka.
“Upths!”
Cepat Bayu menarik tubuhnya ke kiri, meng

hindari tusukan tombak ke dadanya. Dan begitu 
mata tombak emas itu lewat di depan dada, cepat 
tangan kirinya dikibaskan. Maka....
Tap! 
“Ikh...!”
Tarsih jadi terpekik kaget, begitu tiba-tiba ba-
tang tombaknya tertangkap tangan kiri Pendekar
Pulau Neraka. Maka cepat seluruh kekuatan te-
naga dalamnya dikerahkannya untuk menarik 
tombaknya. Tapi, genggaman tangan kiri Pende-
kar Pulau Neraka begitu kuat. Sehingga, senjata 
yang seperti terbuat dari emas itu tidak bergerak 
sedikit pun.
“Shyaaa...!”
Belum juga Tarsih bisa menguasai senjatanya 
lagi, tiba-tiba saja Bayu sudah membentak keras 
bagai guntur. Dan seketika itu juga, tubuhnya 
mencelat ke atas sambil melepaskan satu tendan-
gan keras menggeledek mengandung pengerahan 
tenaga dalam sempurna. Begitu cepat serangan-
nya, hingga membuat kedua bola mata Tarsih jadi 
terbeliak lebar.
“Haiiit..!”
Tidak ada pilihan lain lagi bagi Perempuan Ber-
topeng Emas itu. Cepat tubuhnya dibanting ke 
tanah sambil melepaskan tombaknya yang masih 
berada dalam genggaman tangan kiri Bayu. Bebe-
rapa kali tubuhnya bergulingan di tanah, hingga 
terhindar dari tendangan dahsyat Pendekar Pulau 
Neraka. Tapi begitu melompat bangkit berdiri, 
Bayu sudah melesat cepat sambil melepaskan satu pukulan menggeledek dengan tangan kiri.
“Hiyaaa...!”
Begitu cepat serangan Pendekar Pulau Neraka, 
sehingga Tarsih tidak sempat lagi berkelit meng-
hindarinya. Dan....
Diegkh!
“Akh...!”
Tarsih jadi terpekik, begitu pukulan tangan kiri 
yang mengandung pengerahan tenaga dalam ting-
gi itu menghantam tepat dadanya. Seketika, tu-
buhnya terpental deras ke belakang, dan jatuh 
keras sekali menghantam tanah. Kembali tubuh-
nya bergulingan di tanah beberapa kali, hingga 
berhenti begitu menabrak sebuah pohon yang 
tumbuh di pinggir jalan. Seketika pohon itu roboh 
terlanda tubuh ramping si Perempuan Bertopeng 
Emas ini.
“Hoeeekh...!”
Tarsih langsung menyemburkan darah kental 
berwarna agak kehitaman dari mulutnya, begitu 
mencoba bangkit berdiri. Seluruh rongga dadanya 
terasa bagai hendak meledak akibat terkena pu-
kulan dahsyat Pendekar Pulau Neraka tadi. Sam-
bil memegangi dadanya yang terasa remuk, Tarsih 
mencoba bangkit berdiri.
Dengan susah payah, akhirnya Perempuan 
Bertopeng Emas itu bisa juga berdiri. Walaupun, 
tidak lagi bisa tegak. Darah masih terlihat meng-
gumpal di seluruh rongga mulutnya. Kembali dis-
emburkannya gumpalan darah kental agak kehi-
taman. Sementara, Bayu berdiri tegak memandangi dengan sinar mata sukar diartikan.
“Kau terluka parah, Tarsih. Sebaiknya tinggal-
kan saja desa ini,” bujuk Bayu masih memberi 
kesempatan wanita itu untuk menyambung se-
lembar nyawanya.
“Akan kubunuh kau, Bayu. Kubunuh kau...,” 
desis Tarsih agak tersedak suaranya.
Dengan tangan dan jari-jari bergetar, Perem-
puan Bertopeng Emas yang sekarang tidak lagi 
mengenakan topeng itu menuding Pendekar Pu-
lau Neraka. Walaupun terluka begitu parah, tapi 
sorot matanya terlihat sangat tajam menusuk 
langsung ke bola mata Pendekar Pulau Neraka. 
Jelas sekali terlihat pada sinar matanya yang pe-
nuh memendam dendam ini.
Dan Bayu bisa menyadari ketidakpuasan wani-
ta itu padanya. Tapi, dia tidak bisa berbuat apa-
apa lagi. Semua yang dilakukan hanya untuk 
menyelamatkan nyawa orang banyak yang tidak 
berdosa, setelah semua persoalannya diketa-
huinya dari awal. Tapi, Bayu masih saja memberi 
kesempatan pada Tarsih untuk tetap hidup. Pe-
muda itu juga tidak memandang seluruh kesala-
han ada pada wanita ini. Bahkan Bayu merasa 
iba melihat persoalan Tarsih, yang memaksanya 
harus bertindak seperti iblis dengan membantai 
siapa saja yang dianggapnya telah menyinggung 
perasaannya.
“Pergilah, Tarsih. Jangan sia-siakan kesempa-
tan hidupmu yang hanya sekali ini. Percayalah, 
padaku. Tidak ada seorang pun yang bisa mencegahmu pergi dari desa ini,” bujuk Bayu lagi.
Tarsih hanya diam saja memandangi wajah 
tampan Pendekar Pulau Neraka. Sementara darah 
masih terus keluar dari sudut bibirnya. Tapi, kali 
ini sinar matanya tidak lagi terlihat tajam. Bah-
kan begitu redup dan berkaca-kaca memandangi 
Pendekar Pulau Neraka.
Sementara, Bayu bisa merasakan semua yang 
tengah dirasakan wanita ini. Baginya, jalan hidup 
Tarsih tidak berbeda jauh dengan jalan hidup 
yang ditempuhnya sejak masih bayi. Bayu juga 
sudah kehilangan kedua orangtuanya, sejak ma-
sih bayi Bahkan tidak sempat lagi melihat wajah
kedua orangtuanya. Hingga, rasa sakit dalam ha-
tinya tidak seperti yang dirasakan Tarsih.
“Ayo, kuantar keluar dari desa ini,” ajak Bayu 
lagi, tetap membujuk.
Tarsih hanya diam saja. Dia jadi bimbang oleh 
ajakan Pendekar Pulau Neraka yang begitu tulus. 
Di dalam hatinya, memang tersimpan kemarahan 
pada Bayu yang sudah menggagalkan dendam-
nya. Tapi paling tidak, sebagian dari dendamnya 
sudah terbalas. Walaupun, seluruh keinginannya 
untuk menghancurkan Desa Caringin bersama 
penduduknya tidak terlaksana.
“Ayo, Tarsih. Jangan sia-siakan kesempatan 
ini,” bujuk Bayu lagi.
Bayu sudah hampir tidak sabar, melihat orang-
orang sudah mulai menghampiri dengan wajah 
memancarkan kemarahan pada Perempuan Ber-
topeng Emas itu. Sementara, Tarsih hanya diam

saja memandangi Pendekar Pulau Neraka tanpa 
berkedip sedikit juga. Perlahan tubuhnya mem-
bungkuk, mengambil tombaknya yang tergeletak 
tidak jauh di samping kiri kakinya. Dengan tan-
gan gemetar digenggamnya tombak itu erat-erat 
Sementara, semua orang sudah semakin dekat 
menghampiri dengan berbagai macam senjata ter-
genggam di tangan.
“Aku tidak pantas hidup dengan semua kega-
galan ini. Maafkan aku, Bayu. Kuhargai semua 
kebaikanmu padaku,” ujar Tarsih.
Setelah berkata demikian, wanita itu cepat 
mengangkat tombaknya. Dan....
Bres!
“Tarsih...!”
Bayu jadi terkejut setengah mati, begitu meli-
hat Tarsih menghunjamkan tombak ke dadanya 
sendiri. Kuat sekali hunjaman tombak itu, hingga 
tembus ke punggung. Bukan hanya Bayu saja 
yang terkejut. Bahkan semua orang yang melihat 
juga tersentak kaget. Sungguh tidak disangka ka-
lau Tarsih akan berbuat nekat seperti itu.
Sementara Bayu pun tidak bisa berbuat apa-
apa. Hanya dipandanginya tubuh Tarsih yang 
ambruk ke tanah dengan dada tertembus tom-
baknya sendiri. Wanita itu langsung menghem-
buskan napas terakhir begitu tubuhnya ambruk 
dan menyentuh tanah.
“Mereka tetap manusia seperti kalian. Makam-
kanlah seperti layaknya,” ujar Bayu dengan suara 
agak tertahan.


Semua orang hanya diam saja. Mereka seperti 
tidak tahu, apa yang harus dilakukan. Walaupun 
kebencian bersemayam dalam dada, tapi men-
dengar kata-kata yang diucapkan Pendekar Pulau 
Neraka, beberapa orang sudah bergerak meng-
hampiri Tarsih dan Ki Radut. Dan mereka segera 
mengangkat kedua mayat itu untuk dipindahkan 
ke tempat yang lebih nyaman.
Sementara, Bayu hanya memperhatikan saja. 
Kepalanya lalu berpaling sedikit, begitu Tiren 
menghampiri. Monyet kecil itu naik ke pundak 
Pendekar Pulau Neraka. Beberapa saat Bayu ma-
sih berdiri di tempatnya, memandangi orang-
orang yang mulai mengurus mayat-mayat yang 
berjatuhan di malam ini. Sementara, mayat Tar-
sih dan Ki Radut ada bersama mereka.
“Ayo kita pergi, Tiren,” ajak Bayu pada monyet 
kecilnya yang sudah berada di pundak sebelah 
kanan.
“Nguk.”
Perlahan Bayu mengayunkan kakinya, mening-
galkan Desa Caringin. Di dalam kepalanya, masih 
belum bisa dipahami sikap yang diambil Tarsih, 
dengan membunuh dirinya sendiri. Malah, den-
gan senjatanya sendiri juga. Tapi, Bayu mengakui 
kalau semua penderitaan yang dialami Tarsih be-
gitu berat. Memang tidak semua orang bisa me-
nanggung derita seberat itu. Hanya saja sangat 
disayangkan tindakan Tarsih yang nekat. Daripa-
da hidup menanggung kekalahan dan kegagalan-
nya dalam melampiaskan dendam, baginya lebih baik bunuh diri!


                               SELESAI








































Share:

0 comments:

Posting Komentar