PEREMPUAN
BERTOPENG EMAS
Oleh Teguh Suprianto
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: Puji. S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Pulau Neraka
dalam episode:
Perempuan Bertopeng Emas
128 hal. ; 12 x 18 cm
SATU
“Perempuan setan! Kubunuh kau! Hiyaaat..!”
Terdengar bentakan penuh kemarahan dari
seorang pemuda.
“Hik hik hik...!”
Namun belum juga pemuda tampan itu bisa
berbuat sesuatu, sudah terlihat kilatan selendang
kuning keemasan menyambar ke arah lehernya.
Bet!
Cras!
“Aaa...!”
Dan anak muda itu langsung, terpaku dengan
mata mendelik, disertai jeritan panjang memilu-
kan. Tampak darah mengalir deras dari batang
lehernya yang menganga, akibat sambaran selen-
dang kuning yang bagai sebilah pedang. Hanya
sesaat saja dia masih mampu berdiri, kemudian
limbung di depan seorang wanita bertubuh ramp-
ing, yang baru saja mengebutkan selendang ku-
ningnya. Tak lama kemudian pemuda itu ambruk,
dan menggelepar bersama empat tubuh lain yang
sudah sejak tadi tergeletak tidak bernyawa den-
gan tubuh bersimbah darah.
“Hik hik hik...!”
Suara tawa mengikik kembali terdengar nyar-
ing mengerikan, mengiringi berkelebatnya tubuh
ramping terbalut pakaian kuning keemasan, me-
ninggalkan lima sosok tubuh yang bergelimpan-
gan di dalam ruangan depan sebuah rumah di
Desa Caringin
Belum lama suara tawa mengikik itu menghi-
lang dari pendengaran, sudah terlihat orang-
orang berdatangan sambil membawa obor dan
senjata dari berbagai macam bentuk dan ukuran.
Mereka mendatangi rumah yang agak terpencil di
Desa Caringin ini.
Para penduduk desa ini begitu terkejut melihat
darah berceceran di depan pintu rumah yang ter-
buka lebar itu. Jelas sekali terlihat kalau daun
pintu itu hancur, seperti diterjang kerbau men-
gamuk. Lebih terkejut lagi, setelah melihat ke da-
lam. Tampak tubuh-tubuh bergelimpangan tak
bernyawa lagi dengan darah menggenang di seki-
tarnya.
Tidak ada seorang pun yang tahu kejadiannya.
Para penduduk ini datang setelah mendengar jeri-
tan dan tawa yang panjang mengikik tadi. Dan
mereka tahu, siapa penghuni rumah yang terkena
bencana ini. Tidak ada seorang pun yang masih
kelihatan hidup. Namun entah kenapa, wajah pa-
ra penduduk kelihatan gembira melihat mayat-
mayat yang bergelimpangan memenuhi ruangan
depan ini.
“Mereka patut menerima ganjaran seperti ini,”
gumam salah seorang, seraya melangkah pergi
meninggalkan rumah ini.
Yang lainnya pun ikut melangkah pergi tanpa
mempedulikan mayat-mayat di dalam rumah itu.
Hingga akhirnya, hanya tinggal seorang saja yang
tetap berada di depan pintu yang sudah hancur
itu. Dia tadi memang kebetulan lewat, tepat ketika para penduduk itu sudah menimbrung di de-
pan rumah itu. Karena merasa tertarik, kakinya
langsung melangkah mendekati, ikut melihat apa
yang terjadi. Dia adalah seorang pemuda tampan
berbaju dari kulit harimau. Seekor monyet kecil
berbulu hitam tampak bertengger di pundak ka-
nannya. Dipandanginya mayat-mayat itu dengan
kelopak mata tidak berkedip. Dan kepalanya baru
berpaling ke belakang, ketika mendengar suara
langkah kaki mendekati.
Ternyata yang datang menghampiri adalah seo-
rang laki-laki tua berjubah putih. Sebatang tong-
kat kayu rupanya ikut membantu ayunan lang-
kah kakinya. Tubuhnya juga sudah kelihatan ter-
bungkuk. Meskipun usianya kelihatan sudah be-
gitu lanjut, tapi sinar wajahnya tampak begitu
bersih dan bercahaya. Sinar matanya juga men-
cerminkan gairah hidup yang menyala-nyala.
Ayunan langkahnya begitu ringan, pertanda orang
tua ini memiliki kepandaian yang tidak bisa di-
pandang sebelah mata. Hentakan ujung tongkat-
nya pada tanah pun tidak mengeluarkan suara
sedikit pun.
Pemuda tampan berbaju kulit harimau itu
menggeser kakinya sedikit ke tepi pintu, seakan
memberi kesempatan pada orang tua ini untuk
melihat ke dalam.
“Kau tidak pergi seperti mereka, Anak Mu-
da...?” terdengar lembut sekali suara orang tua
itu.
Sedikit orang tua itu menjulurkan kepalanya
ke dalam, melongok keadaan di dalam rumah ini.
Kemudian matanya kembali menatap wajah tam-
pan pemuda yang tetap berdiri di samping pintu.
Pemuda itu hanya diam saja, seakan tidak men-
dengar pertanyaan orang tua ini tadi.
“Siapa namamu, Anak Muda?” tanya orang tua
itu lagi.
“Bayu,” sahut pemuda berbaju kulit harimau
itu singkat, memperkenalkan namanya.
Dia memang Bayu Hanggara” yang di dalam
rimba persilatan lebih dikenal sebagai Pendekar
Pulau Neraka.
Sementara orang tua itu mengangguk-
anggukkan kepala. Bibirnya yang hampir tertutup
kumis putih kelihatan menyunggingkan senyum
tipis yang begitu ramah. Bayu membalas dengan
anggukan kepala sedikit, disertai ulasan senyu-
man kecil di bibirnya.
“Dan kau siapa, Ki?” tanya Bayu dengan suara
dan sikap ramah.
“Orang-orang selalu memanggilku Dewa
Bayangan Putih. Kau juga boleh memanggilku be-
gitu, Anak Muda,” sahut orang tua yang mengaku
berjuluk Dewa Bayangan Putih.
“Nama aslimu?” tanya Bayu ingin tahu lagi.
“Entahlah.... Aku sendiri sudah lupa namaku
yang sebenarnya,” sahut si Dewa Bayangan Putih,
agak mendesah.
Bayu bisa memaklumi. Memang begitu banyak
orang yang berkecimpung dalam rimba persilatan,
namun sudah tidak lagi peduli nama sebenarnya.
Bahkan mereka selalu melupakannya. Mereka le-
bih senang menggunakan julukan daripada nama
sebenarnya. Tapi, buat Bayu malah sebaliknya.
Dia selalu memperkenalkan diri dengan nama se-
benarnya. Bahkan begitu sulit untuk menye-
butkan julukannya, kalau tidak terpaksa sama
sekali. Hanya orang-orang tertentu saja yang
mengenalnya sebagai Pendekar Pulau Neraka.
“Kau kenal siapa mereka, Anak Muda?” tanya
Dewa Bayangan Putih seraya melirik ke dalam
rumah.
“Tidak,” sahut Bayu seraya menggeleng. “Aku
hanya kebetulan saja lewat di desa ini, Ki. Aku ti-
dak tahu sama sekali, apa yang terjadi. Juga ti-
dak mengerti sikap mereka yang tidak ambil pe-
duli terhadap orang-orang malang ini.”
“Kau tidak bisa menyalahkan mereka, Anak
Muda.”
“Kenapa, Ki?”
Orang tua itu tidak langsung menjawab. Tu-
buhnya lalu diputar berbalik, dan terus saja me-
langkah meninggalkan rumah ini. Sementara,
kening Bayu jadi berkerut. Pemuda berbaju kulit
harimau itu benar-benar tidak mengerti sikap
semua orang di desa ini. Bahkan orang tua yang
mengaku berjuluk Dewa Bayangan Putih itu juga
seakan tidak peduli. Beberapa saat Pendekar Pu-
lau Neraka diam termenung, kemudian bergegas
melangkah menyusul orang tua itu. Sebentar saja
ayunan langkahnya sudah di samping si Dewa
Bayangan Putih.
***
Malam terus merayap semakin larut, menyeli-
muti seluruh Desa Caringin. Sementara, suasana
desa sudah kembali sunyi, tanpa seorang pendu-
duk pun yang kelihatan berada di luar. Hanya
Bayu dan Dewa Bayangan Putih saja yang masih
kelihatan berjalan membelah jalan tanah di desa
itu. Bulan yang tertutup awan hitam, seakan ti-
dak ingin memperlihatkan cahayanya di sana.
Sehingga, membuat keadaan di desa itu semakin
sunyi bagai berada di tengah-tengah kuburan.
“Seharusnya kita kuburkan mereka, Ki. Toh,
mereka juga manusia. Bukan binatang,” usul
Bayu setelah cukup lama berdiam diri.
“Untuk apa...?” terdengar ringan sekali nada
suara Dewa Bayangan Putih. Seakan, sedikit pun
tidak ada beban pada mereka yang mati di rumah
itu.
“Aku belum tahu kejahatan apa yang mereka
lakukan, hingga semua orang begitu membenci.
Sampai-sampai mereka mati pun tidak ada yang
sudi mengurusnya,” jelas sekali terdengar nada
ketidaksenangan kata-kata Bayu.
“Kau bukan orang sini, Anak Muda. Sebaiknya,
jangan campuri urusan mereka. Aku berkata be-
gini, demi dirimu juga. Terutama, keselamatan-
mu,” sergah Dewa Bayangan Putih tanpa meng-
hentikan langkah sedikit pun.
“Kelihatannya kau sudah tahu apa yang terja-
di, Ki,” duga Bayu bernada curiga.
“Hm...,” Dewa Bayangan Putih hanya menggu
mam saja sedikit
“Kau bersedia menjelaskannya padaku, Ki...?”
pinta Bayu langsung.
“Untuk apa?” Dewa Bayangan Putih malah ba-
lik bertanya.
Pendekar Pulau Neraka hanya mengangkat ba-
hu saja sedikit Dia sendiri tidak tahu, untuk apa
mengetahui semua urusan berdarah ini. Cepat
disadari kalau dirinya memang tidak ada hubun-
gannya dengan persoalan yang sama sekali tidak
diketahuinya ini.
“Ke mana tujuanmu, Anak Muda?” tanya Dewa
Bayangan Putih mengalihkan pembicaraan.
“Ke mana saja kakiku melangkah, Ki,” sahut
Bayu seenaknya.
“Kau pengembara?” tanya Dewa Bayangan Pu-
tih lagi.
Bayu hanya menganggukkan kepala sedikit sa-
ja.
“Sebaiknya, kita berpisah di sini saja, Anak
Muda. Kalau kau akan mencari penginapan, ada
di ujung jalan ini,” ujar Dewa Bayangan Putih se-
raya menunjuk ke depan.
Bayu membuang pandangannya ke arah yang
ditunjuk Dewa Bayangan Putih. Di ujung jalan ini
memang terdapat sebuah rumah yang besar. Dan
kelihatannya, rumah itu lebih terang dan ramai
daripada yang lain. Saat Pendekar Pulau Neraka
itu berpaling kembali, dia jadi terkejut Ternyata
orang tua berjubah putih itu sudah tidak ada lagi
di sampingnya. Entah ke mana dan kapan per
ginya, sama sekali tidak diketahuinya.
“Ke mana dia pergi...?” gumam Bayu jadi ber-
tanya-tanya sendiri dalam hati.
Bayu jadi tertegun juga memikirkan orang tua
yang baru dikenalnya. Sikapnya memang aneh
dan menimbulkan begitu banyak pertanyaan. Ta-
pi, tampaknya dia tahu banyak terhadap semua
yang terjadi di Desa Caringin ini.
Pendekar Pulau Neraka menarik napas dalam-
dalam dan menghembuskannya kuat-kuat, men-
coba menghalau semua pikiran yang timbul da-
lam benaknya. Kakinya kembali terayun melang-
kah menuju rumah penginapan yang ditunjukkan
Dewa Bayangan Putih tadi. Sementara, monyet
kecil yang ada di pundaknya sudah sejak tadi
mendengkur, melingkarkan tangannya ke leher
pemuda ini.
Namun baru beberapa langkah Bayu berjalan,
ayunan langkah kakinya tiba-tiba saja terhenti.
Dan kening Pendekar Pulau Neraka jadi kelihatan
berkerut Tiba-tiba saja tubuhnya berbalik. Lalu
dengan kecepatan bagai kilat, Bayu melesat cepat
mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang
sudah mencapai tingkat sempurna. Begitu cepat
lesatannya, hingga yang terlihat hanya kelebatan
bayangan tubuhnya saja.
Sebentar saja Pendekar Pulau Neraka sudah
kembali berada di depan rumah yang kelihatan
sunyi, setelah seluruh penghuninya terbantai ta-
di. Bayu menghentikan larinya tepat sekitar tiga
langkah lagi di depan pintu yang tetap terbuka
ini. Sunyi sekali keadaan sekitarnya, tidak seo-
rang pun terlihat Bahkan gerit bintang malam
pun tidak terdengar. Hanya desir angin saja yang
terdengar mengusik gendang telinga.
“Hm...,” Bayu menggumam kecil.
Perlahan Pendekar Pulau Neraka mengayunkan
kakinya, mendekati pintu yang sudah hancur.
Dan dia berhenti tepat di ambang pintu. Namun,
seketika itu juga kedua bola matanya jadi terbe-
liak lebar. Hampir Bayu tidak percaya dengan apa
yang dilihatnya. Memang sulit bisa dipercaya, ka-
rena mayat-mayat yang ada di dalam rumah ini
kini sudah lenyap tidak meninggalkan bekas sa-
ma sekali. Bahkan darah yang tadi begitu banyak
menggenang di lantai, juga tidak terlihat setetes
pun. Tanpa sadar, Bayu menarik kakinya ke be-
lakang beberapa langkah. Namun baru saja ber-
gerak sekitar lima langkah....
Wusss...!
“Heh...?! Hup!”
***
Cepat Bayu melenting ke atas dan berputaran
dua kali, tiba-tiba dari belakangnya terdengar su-
ara desingan disertai hempasan angin yang begitu
kuat hampir menerpa tubuhnya. Tampak sebuah
benda bercahaya kuning keemasan tiba-tiba me-
lesat begitu cepat bagai kilat di bawah tubuhnya.
“Hap!”
Sungguh ringan gerakan Pendekar Pulau Nera-
ka saat kakinya menjejak kembali di tanah. Memang begitu sempurna ilmu meringankan tubuh-
nya, sehingga sama sekali tidak terdengar suara
saat mendarat tadi. Sementara kilatan cahaya
kuning keemasan itu terus menghantam tiang
penyangga beranda rumah di belakang Pendekar
Pulau Neraka.
Brak!
Seketika, atap beranda rumah ini roboh ter-
hantam kilatan cahaya kuning keemasan itu.
Bayu sempat melompat ke depan, menghindari
potongan kayu yang berpentalan di sekitarnya.
Kembali kakinya menjejak mantap di tanah dan
berdiri tegak dengan tangan kanan tersilang di
depan dada. Seakan cakar mautnya yang me-
nempel di pergelangan tangan kanan ingin diper-
lihatkan pada penyerang gelapnya.
“Siapa kau...?!” teriak Bayu membentak keras.
Begitu keras suara yang dikeluarkan Pendekar
Pulau Neraka, hingga menggema ke segala arah.
Tapi tidak terdengar sahutan sedikit pun. Kea-
daan di sekitarnya tetap sunyi, bagai berada di
tengah-tengah hutan yang sedang lelap dalam ti-
dur. Pandangan Bayu beredar ke sekeliling den-
gan sorot mata tajam. Tetap tidak terlihat seorang
pun di sekitarnya. Begitu sunyi, hingga membuat
bulu-bulu halus di sekujur tubuhnya jadi mere-
mang berdiri.
Dan belum juga Bayu sempat berpikir panjang,
terdengar suara tawa mengikik yang begitu keras
dan menggema di sekelilingnya. Seakan, suara
tawa itu datang dari segala arah. Jelas sekali kalau suara itu dikeluarkan lewat pengerahan tena-
ga dalam tinggi.
Bayu mencoba untuk mencari arah sumber
suara itu, tapi sulit untuk bisa menduga arahnya.
Dan ini membuatnya jadi kebingungan sendiri,
karena tidak dapat menentukan dari mana da-
tangnya suara yang membingungkan ini.
Di saat Pendekar Pulau Neraka itu tengah ke-
bingungan, mendadak saja....
Siap!
“Heh...?!”
Kedua bola mata Bayu jadi terbeliak lebar, be-
gitu tiba-tiba dari depan berkelebat cahaya kun-
ing keemasan yang begitu cepat bagai kilat.
“Hup!”
Cepat Bayu melenting dan berputaran ke atas
dua kali, menghindari terjangan cahaya kuning
keemasan itu. Sehingga, serangan itu lewat sedi-
kit saja di bawah tubuhnya. Manis sekali Bayu
menjejakkan kaki kembali di tanah. Namun pada
saat itu juga...
Wusss...!
“Edan! Hup...!”
Kembali Bayu terpaksa harus berjumpalitan di
udara, begitu mendapat serangan cahaya kuning
keemasan lagi. Memang sulit bagi Pendekar Pulau
Neraka untuk menghadapi serangan yang tidak
ketahuan arahnya. Cahaya kuning keemasan itu
bagai memiliki nyawa saja, selalu menyerang dari
arah yang sulit dengan kecepatan bagai kilat. Dan
mau tak mau, Pendekar Pulau Neraka terpaksa
harus berjumpalitan di udara untuk menghinda-
rinya.
“Setan! Hih...!”
Pendekar Pulau Neraka jadi berang juga men-
dapat serangan yang tidak berwujud ini. Begitu
mendapat kesempatan, cepat tubuhnya sedikit
merunduk. Dan tangan kanannya langsung diki-
baskan ke depan, tepat di saat kilatan cahaya
kuning keemasan itu meluruk deras ke arahnya
dari depan.
Dan....
Plash!
“Hap...!”
Cepat Bayu mengangkat tangan kanannya ke
atas kepala, begitu Cakra Maut yang dilepaskan-
nya kembali ke arahnya. Seketika senjata persegi
enam itu kembali menempel di pergelangan tan-
gan Pendekar Pulau Neraka. Sementara saat itu
juga cahaya kuning keemasan itu segera lenyap,
setelah berbenturan dengan Cakra Maut senjata
andalan Pendekar Pulau Neraka tadi.
“Hm.... Siapa pun dia, pasti memiliki kepan-
daian tinggi sekali,” gumam Bayu perlahan, bica-
ra pada diri sendiri.
Kembali keadaan menjadi sunyi, tanpa terden-
gar suara sedikit pun. Bayu mengedarkan pan-
dangan ke sekeliling, mencari orang yang menye-
rangnya tadi begitu gencar. Tapi, sulit untuk bisa
melihat jelas di dalam kegelapan malam yang be-
gitu pekat Sementara, bulan terus menyembunyi-
kan diri di balik awan yang menggumpal hitam.
Dan angin pun terasa semakin keras menerpa wa-
jah Pendekar Pulau Neraka. Lama juga Bayu me-
nunggu, tapi tidak ada satu pun serangan yang
datang. Dan suasana di sekitarnya semakin tera-
sa sunyi mencekam.
“Kau pergi dulu, Tiren,” ujar Bayu seraya me-
nurunkan monyet kecil yang sejak tadi berada di
pundaknya.
“Nguk!”
Seperti tahu kalau sedang menghadapi bahaya,
monyet kecil yang bernama Tiren itu segera berla-
ri mendekati pohon yang tidak jauh dari Pendekar
Pulau Neraka. Ringan sekali gerakannya saat naik
ke atas pohon itu. Dan binatang itu duduk diam
di cabang pohon. Sementara, Bayu tetap berdiri
tegak dengan tangan kanan berada di depan da-
da. Sorot matanya terlihat begitu tajam meman-
dangi sekitarnya.
Suasana tetap sunyi, tanpa terdengar suara
sedikit pun. Perlahan kaki Bayu terayun ke de-
pan. Matanya lalu melirik sedikit pada monyet ke-
cilnya yang kini sudah berada di tempat aman.
Agak tenang juga hatinya melihat Tiren berada di
tempat yang aman, cukup jauh dari jangkauan
serangan yang mungkin saja datang secara tiba-
tiba nanti. Ayunan kakinya baru berhenti setelah
berjalan sekitar lima langkah.
“Siapa pun kau, keluarlah...! Tunjukkan diri-
mu...!” teriak Pendekar Pulau Neraka dengan sua-
ra lantang menggelegar, disertai pengerahan tena-
ga dalam tinggi.
Belum juga hilang suara Pendekar Pulau Nera-
ka, kembali dikejutkan oleh munculnya satu
bayangan putih yang berkelebat begitu cepat ba-
gai kilat Dan tahu-tahu, di depan Pendekar Pulau
Neraka sudah berdiri seorang laki-laki tua berju-
bah putih, dengan sebatang tongkat kayu berada
dalam genggaman tangan kanan.
“Dewa Bayangan Putih...,” desis Bayu langsung
mengenali orang tua ini.
“Kau benar-benar mencari susah, Anak Muda.
Untuk apa datang lagi ke sini, heh...?!” terdengar
begitu dingin nada suara Dewa Bayangan Putih.
Kata-kata orang tua itu membuat Bayu jadi
tersentak kaget Sungguh tidak disangka kalau
orang tua itu akan berkata demikian, seakan-
akan tidak menghendaki kehadirannya di sini.
Bayu jadi bertanya-tanya sendiri dalam hati,
“Mengenai orang tua aneh ini. Dia selalu muncul
tiba-tiba, dan pergi juga tanpa diketahui arah-
nya.”
“Kau yang tadi menyerangku, Ki?” tanya Bayu
langsung, dengan nada curiga tanpa disembunyi-
kan lagi.
“Untuk apa aku menyerangmu...?” Dewa
Bayangan Putih jadi mendelik mendengar perta-
nyaan Pendekar Pulau Neraka. “Justru kedatan-
ganku untuk menyelamatkan nyawamu yang
hanya selembar itu, Anak Muda. Pergilah sebelum
kau menyesali kebodohanmu!”
“Heh...?! Kenapa...?” Bayu jadi terkejut
“Jangan banyak tanya! Cepat pergi sebelum
kau menyesal!”
Tapi belum juga habis kata-kata Dewa Bayan-
gan Putih dari pendengaran, sudah terlihat kila-
tan cahaya kuning keemasan meluruk deras ke
arah mereka berdua.
“Awas...!” teriak Dewa Bayangan Putih sambil
cepat melompat ke belakang.
“Hup!”
Pendekar Pulau Neraka juga cepat-cepat me-
lenting berputar ke belakang menghindari terjan-
gan cahaya kuning keemasan itu. Dan kilatan ca-
haya kuning keemasan itu pun hanya menghan-
tam tepat di tengah-tengah antara Bayu dan De-
wa Bayangan Putih tadi berdiri. Dan seketika itu
juga, terdengar ledakan yang begitu dahsyat! Ta-
nah yang terhantam kontan terbongkar, hingga
menyembur sampai ke atas bagai ledakan gunung
berapi.
Bayu yang baru saja bisa menjejakkan kakinya
di tanah, jadi tersentak kaget Sungguh tidak dis-
angka kalau serangan itu dahsyat luar biasa.
“Edan...! Bagaimana jadinya kalau cahaya itu
menghantam tubuhku...?” desis Bayu dalam hati.
Sementara, Dewa Bayangan Putih sudah kem-
bali melesat mendekati Pendekar Pulau Neraka.
Dan langsung kakinya menjejak di samping pe-
muda berbaju kulit harimau ini. Tangannya cepat
mencekal pergelangan tangan Bayu. Dan....
“Hey...?!”
Bayu jadi kaget setengah mati, begitu tiba-tiba
tubuhnya terasa tersentak keras. Dan belum lagi
bisa menyadari apa yang terjadi, Dewa Bayangan
Putih sudah melesat dengan kecepatan bagai kilat
tanpa dapat dicegah lagi. Belum juga Bayu men-
gucapkan sesuatu, tahu-tahu sudah berada begi-
tu jauh dari tempat yang membingungkan di-
rinya.
Begitu tiba di suatu tempat, mereka berhenti.
Pendekar Pulau Neraka langsung berdiri di depan
Dewa Bayangan Putih dengan tangan masih ter-
cekal erat. Dewa Bayangan Putih baru mele-
paskan, setelah mendapatkan tatapan yang begi-
tu tajam dari Pendekar Pulau Neraka.
***
DUA
“Apa yang kau lakukan padaku, Ki?” tanya
Bayu meminta penjelasan.
“Kau seharusnya berterima kasih padaku,
Anak Muda. Itu berarti aku sudah menyela-
matkanmu,” sahut Dewa Bayangan Putih dingin,
tanpa tekanan sedikit pun pada suaranya.
“Kau selamatkan aku? Selamat dari apa...?”
Bayu kembali meminta penjelasan.
“Kematian yang sia-sia,” sahut Dewa Bayangan
Putih singkat dan datar.
“Jangan mengada-ada, Ki. Aku masih sanggup
menghadapi serangan gila seperti itu. Bahkan
yang lebih gila pun pernah kuhadapi,” dengus
Bayu jadi kesal juga menghadapi orang tua aneh
ini.
“Kau tidak akan bisa menghadapinya, Anak
Muda. Bukan manusia yang kau hadapi tadi. Ta-
pi, iblis dari neraka.”
“Aku..., aku semakin tidak mengerti...,” Bayu
kelihatan kebingungan sekali mendengar kata-
kata Dewa Bayangan Putih.
“Dengar, Anak Muda. Kau sekarang berada da-
lam neraka yang sewaktu-waktu bisa menghan-
curkan seluruh kehidupanmu. Hanya dalam pan-
danganmu saja sepertinya kau berada di sebuah
desa. Tapi, sebenarnya desa itu adalah neraka
bagi semua orang sepertimu. Termasuk aku
ini...,” Dewa Bayangan Putih mencoba menje-
laskan.
Tapi penjelasan orang tua itu malah membuat
Bayu semakin bertambah bingung. Benar-benar
sulit dimengerti semua yang diutarakan Dewa
Bayangan Putih barusan. Dan dia juga tidak ta-
hu, apa yang sedang terjadi di sekitarnya selama
ini. Baru siang tadi Pendekar Pulau Neraka sam-
pai di Desa Caringin, tapi sudah beberapa keja-
dian aneh dan membingungkan yang ditemuinya.
Bahkan baru saja mengalami peristiwa aneh yang
membuat kepalanya semakin dipenuhi segala ma-
cam pertanyaan yang sulit dijawab untuk seka-
rang ini.
“Sudah lebih dari tiga purnama ini aku terus
membayanginya. Dan sudah beberapa kali aku
bentrok dengannya. Tapi, sampai sekarang belum
juga bisa kuhentikan semua perbuatan iblisnya.
Bahkan sepak terjangnya semakin ganas. Walau-
pun, semua yang menjadi korbannya bisa dikata-
kan bukan orang baik-baik. Hanya saja, dia tidak
memandang, sampai sejauh mana kejahatan yang
dilakukan korbannya. Memang banyak orang
yang senang akan tindakannya. Tapi, bagiku se-
mua yang dilakukannya di luar batas kemanu-
siaan. Dan aku tidak menyukai tindakan yang
tanpa aturan seperti itu,” keluh Dewa Bayangan
Putih seakan sedang mengeluarkan segala keke-
salan yang terpendam dalam hatinya.
“Siapa orang itu, Ki?” tanya Bayu.
“Entahlah.... Sampai saat ini aku sendiri belum
tahu, siapa dia sebenarnya,” sahut Dewa Bayan-
gan Putih agak mendesah nada suaranya. “Wa-
laupun sudah beberapa kali bentrok dengannya,
tapi belum pernah wajahnya bisa kulihat dengan
jelas. Setiap kali muncul dia selalu berpakaian
seperti terbuat dari emas. Dan semua senjata
yang digunakannya juga bagai terbuat dari emas.”
Bayu terdiam dengan kening berkerut. Dari ce-
rita Dewa Bayangan Putih tadi, sedikitnya sudah
bisa dimengerti apa yang tengah terjadi di Desa
Caringin ini. Bayu bisa langsung menduga kalau
orang yang melakukan semua pembunuhan itu
menyimpan dendam mendalam. Dan mungkin dia
bertekad membunuh siapa saja yang pernah me-
lakukan kejahatan. Entah dendam apa yang ada
dalam hatinya, hingga membantai semua orang
yang pernah berkecimpung dalam dunia hitam.
Bahkan mereka yang sudah lama meninggalkan
dunia kelam pun tak lepas dari incarannya.
Di dalam hatinya, Bayu langsung sependapat
dengan Dewa Bayangan Putih. Apa pun alasan-
nya, tindakan hantam kromo seperti itu tidak da-
pat dibenarkan. Dan Bayu jadi semakin ingin
mengetahui, bahkan kalau bisa menghentikan se-
gala pembunuhan liar seperti itu. Walaupun, yang
menjadi korbannya sudah jelas mereka yang ber-
jalan dalam dunia hitam.
“Ada satu lagi yang menjadi pertanyaan di da-
lam hatiku sampai sekarang ini, Anak Muda,” ka-
ta Dewa Bayangan Putih.
“Apa itu, Ki?” tanya Bayu ingin tahu.
“Dia selalu muncul di malam hari. Dan tidak
pernah keluar dari Desa Caringin ini. Bahkan se-
mua penduduk desa, seakan-akan begitu senang
atas kemunculannya, karena segala bentuk keja-
hatan memang tidak pernah tenggelam di desa
ini,” jelas Dewa Bayangan Putih lagi.
“Apa tidak mungkin orang itu juga penduduk
Desa Caringin ini, Ki?” Bayu langsung menduga.
“Dugaan seperti itu sudah ada sejak sepak ter-
jangnya kuamati, Anak Muda. Tapi sampai seka-
rang ini, aku belum punya bukti kuat untuk me-
mastikannya. “
“Aku akan mencoba menyelidikinya, Ki,” tegas
Bayu.
“Tidak semudah apa yang kau kira, Anak Mu-
da. Kau pasti akan mendapat kesulitan dari pen-
duduk desa ini. Mereka tidak akan mau mengata-
kan siapa dan di mana orang itu.”
“Tapi perbuatannya harus segera dihentikan,
Ki. Bukannya tidak mungkin, hal itu akan menja-
di kebiasaan. Sehingga, bisa saja dia membunuh
siapa saja tanpa pandang bulu.”
Dewa Bayangan Putih jadi terdiam. Entah ke-
napa, matanya jadi memandangi Pendekar Pulau
Neraka dengan sinar yang begitu sukar diartikan.
Sedangkan Bayu malah mengarahkan pandan-
gan ke Desa Caringin yang masih tetap lelap da-
lam buaian malam. Dan saat itu, terdengar jerit
seekor monyet Bayu jadi tersentak. Langsung in-
gatannya tertuju pada Tiren yang ditinggalkan-
nya.
Tapi belum juga Pendekar Pulau Neraka bisa
berbuat sesuatu, terlihat seekor monyet kecil ber-
lari-lari sambil mencerecet ribut menghampiri.
Bayu langsung mengulurkan tangannya. Dan
monyet kecil berbulu hitam itu pun melompat
naik ke pundak Pendekar Pulau Neraka, langsung
memeluk erat leher seakan ingin mengatakan se-
suatu pada pemuda ini. Bayu hanya menepuk
kepala monyet kecil itu dengan lembut, seakan
ingin menenangkannya.
“Maaf, aku tadi terpaksa memisahkan kalian
berdua,” ucap Dewa Bayangan Putih.
Tidak apa, Ki. Tiren selalu tahu, di mana aku
berada,” sahut Bayu seraya tersenyum, dan men-
gelus kepala monyet kecilnya.
Dewa Bayangan Putih juga tersenyum melihat
Tiren merapatkan tubuhnya ke leher Pendekar
Pulau Neraka. Tangannya yang kecil melingkari
leher pemuda ini, seakan ingin melindungi diri
dari terpaan angin yang semakin terasa dingin di
tengah malam ini. Sementara bulan perlahan mu-
lai menampakkan cahayanya dari gumpalan awan
hitam yang semakin terlihat menipis di angkasa.
Cahayanya yang keemasan mulai menyirami Desa
Caringin.
“Biasanya tidak akan ada kejadian lagi setelah
lewat tengah malam. Sebaiknya, kau beristirahat
di tempatku saja, Anak Muda,” ajak Dewa Bayan-
gan Putih, menawarkan.
“Kau punya tempat tinggal di sini, Ki?” tanya
Bayu.
“Hanya gubuk kecil yang kubangun di luar de-
sa. Tidak jauh dari sini,” sahut Dewa Bayangan
Putih.
Bayu mengayunkan kakinya, begitu Dewa
Bayangan Putih juga melangkah meninggalkan
tempat ini. Mereka berjalan bersisian sambil terus
membicarakan peristiwa yang tengah terjadi di
Desa Caringin. Mereka terus menyusuri tepian
hutan yang melingkari desa ini, bagai sebuah
benteng pertahanan untuk berlindung dari seran-
gan orang luar.
***
Rumah yang ditempati Dewa Bayangan Putih
memang tidak begitu besar. Hanya ada satu ka-
mar tidur dan ruangan depan yang menyatu den-
gan ruangan tengah, yang hanya dipisahkan oleh
selembar kain tipis berwarna merah muda. Tidak
ada yang bisa dilihat di dalam rumah ini. Bahkan
untuk tidur pun hanya berupa sebuah balai bam-
bu beralaskan selembar tikar daun pandan yang
sudah lusuh.
“Kau bisa tidur di dalam. Aku cukup di sini sa-
ja,” kata Dewa Bayangan Putih, seraya menunjuk
hamparan tikar yang menggeletak di sudut ruang
tengah.
“Terima kasih, Ki. Sebaiknya, aku saja yang ti-
dur di sini,” sahut Bayu menolak halus.
“Kau tamuku, Anak Muda. Sudah sepantasnya
aku memberi yang terbaik untukmu.”
“Bukannya aku menolak, Ki. Tapi aku sudah
terbiasa tidur beratap langit Dan aku sudah ber-
terima kasih sekali bisa berada dalam ruangan
tertutup, jauh dari gangguan embun.”
Dewa Bayangan Putih mengangkat bahunya
sedikit, tidak dapat lagi memaksa Bayu agar mau
tidur di dalam kamar. Sedangkan Pendekar Pulau
Neraka sendiri sudah merebahkan dirinya di su-
dut ruangan yang hanya beralaskan selembar ti-
kar saja. Tak lama Dewa Bayangan Putih men-
gambil selembar tikar lagi yang tergulung di sudut
lain dari ruangan ini. Digelarnya tikar itu, tidak
jauh dari Pendekar Pulau Neraka.
“Kenapa tidak di dalam saja, Ki?” tegur Bayu
melihat orang tua itu merebahkan dirinya di da-
lam ruangan ini juga.
“Kau dan aku sama, Anak Muda. Sudah terbia-
sa tidur beratap langit. Rumah ini memang sudah
kosong waktu aku datang. Tidak pantas kalau
ada perbedaan di antara kita di dalam rumah ini,”
kilah Dewa Bayangan Putih lembut.
Bayu menggeliatkan tubuhnya sedikit, kemu-
dian duduk bersila. Sedangkan Tiren sudah men-
dengkur di sebelahnya dengan tubuh melingkar
memeluk lututnya sendiri. Sementara, Dewa
Bayangan Putih tetap telentang melipat kedua
tangannya di bawah kepala. Pandangannya lurus,
menatap langit-langit ruangan ini. Beberapa saat
mereka terdiam, tidak ada yang membuka pembi-
caraan lebih dulu. Begitu sunyinya, sehingga ta-
rikan napas dan detak jantung mereka berdua ja-
di terdengar jelas.
“Sejak kapan kau menempati rumah ini, Ki?”
tanya Bayu memecah kebisuan yang terjadi di an-
tara mereka.
“Sejak mengintai wanita itu,” sahut Dewa
Bayangan Putih.
“Wanita...?”
“Ya! Dia seorang wanita. Dan semua orang se-
lalu menyebutnya Perempuan Bertopeng Emas,”
kata Dewa Bayangan Putih menjelaskan lagi.
“Nama yang penuh teka-teki...,” desis Bayu
perlahan.
“Memang. Dan, sangat cocok dengan perbua-
tannya. Dia seperti baru bangkit dari alam kubur,
lantas membantai orang-orang yang sepertinya
terkait dengan kematiannya,” sambung Dewa
Bayangan Putih juga pelan suaranya, seakan bi-
cara pada diri sendiri.
“Tentunya kau sudah cukup banyak tahu ten
tang dirinya, Ki. Sudah cukup lama kau mengin-
tainya,” ujar Bayu lagi.
“Bisa dikatakan begitu, Anak Muda. Tapi
sayangnya, apa yang kuketahui selama ini belum
cukup untuk mengetahui tentang dia sebenar-
nya,” sahut Dewa Bayangan Putih mengakui ke-
kurangannya.
“Dia selalu muncul seperti hantu, Ki?” tanya
Bayu lagi.
“Sulit untuk memperkirakannya, Anak Muda.
Memang gerakannya seperti hantu. Muncul dan
menghilang begitu saja, tanpa dapat diikuti jejak-
nya. Seakan, dia tidak pernah menapak tanah.
Berkali-kali aku selalu mendapat kesukaran un-
tuk mendapatkan jejaknya!” jelas Dewa Bayangan
Putih lagi.
Bayu terdiam membisu. Keningnya terlihat
berkerut begitu dalam, seakan tengah memikir-
kan sesuatu. Sementara Dewa Bayangan Putih
sudah memejamkan matanya. Tarikan napasnya
terdengar begitu halus dan teratur. Sedangkan
Bayu masih sulit memejamkan matanya. Pikiran-
nya terus menerawang, mencerna semua cerita
Dewa Bayangan Putih.
Pendekar Pulau Neraka merasakan hatinya be-
gitu tergerak untuk menyingkap tabir yang me-
nyelimuti seluruh Desa Caringin ini. Terutama
sekali, tabir teka-teki yang menyelimuti wanita
yang selama ini dikenal berjuluk Perempuan Ber-
topeng Emas itu. Wanita yang sudah meminta
korban cukup banyak, dari orang-orang yang ber
kecimpung dalam dunia hitam.
“Aneh...,” gumam Bayu, bicara pada diri sendi-
ri.
Beberapa kali kepala Pendekar Pulau Neraka
bergerak menggeleng dan keningnya semakin da-
lam berkerut Beberapa kali pula terdengar suara
decakan dari bibirnya yang terus merapat. Se-
mentara malam terus merayap menjelang pagi.
Angin yang bertiup menerobos lubang-lubang
dinding rumah ini, menyebarkan udara dingin
yang cukup membuat tubuh menggigil. Dan Pen-
dekar Pulau Neraka semakin sulit memejamkan
matanya. Entah berapa kali matanya melirik De-
wa Bayangan Putih yang dengkurnya sejak tadi
sudah terdengar halus. Orang tua itu pasti sudah
terlelap dalam buaian mimpi.
***
Desa Caringin memang bukan desa kecil, wa-
laupun dikelilingi hutan yang lebat dan bukit
Penduduknya sangat padat, dengan rumah-
rumah yang hampir merapat letaknya. Bayu sen-
diri sempat heran melihat semua penduduknya.
Mereka seperti tidak merasa kalau ada seorang
pembunuh liar yang hampir setiap malam selalu
meminta korban nyawa. Memang tidak ada alasan
untuk merasa takut atau cemas, karena pembu-
nuh itu hanya mengambil korban dari orang-
orang yang hidupnya berada dalam lembah hitam.
Sejak matahari mulai terbit tadi, Bayu sudah
mengelilingi desa ini untuk mengamati keadaan
dan suasananya. Semua ini memang membuat di-
rinya semakin diselimuti berbagai macam perta-
nyaan. Semua orang yang dijumpai, tidak satu
pun yang menampakkan wajah takut atau kece-
masan terhadap kemunculan Perempuan Berto-
peng Emas itu. Bahkan sampai matahari berada
di atas kepala, sama sekali tidak terdengar ada
seorang pun yang membicarakan wanita itu.
Bahkan korban-korbannya mereka lupakan begi-
tu saja. Kejadian semalam pun tidak ada yang
membicarakannya. Dan ini yang membuat Bayu
jadi bertanya-tanya sendiri dalam benaknya.
“Nguk!”
“Kau sudah lapar, Tiren?” tanya Bayu sambil
berpaling menatap monyet kecil di pundaknya.
“Nguk!” Tiren mengangguk kecil, seakan men-
gerti apa yang dikatakan Pendekar Pulau Neraka.
“Sebentar kita cari kedai dulu,” ujar Bayu se-
raya tersenyum.
“Nguk!”
Senyuman Bayu semakin lebar, melihat Tiren
menunjuk ke depan. Dan memang, tidak jauh ter-
lihat sebuah kedai yang pengunjungnya tidak be-
gitu ramai. Sebuah kedai yang tidak begitu besar
dan cukup terbuka, terletak di bawah pohon be-
ringin yang sangat besar. Hingga, keadaannya ter-
lihat begitu damai dan menyejukkan. Bayu lang-
sung mengarahkan kakinya menuju ke kedai itu.
Pendekar Pulau Neraka berhenti sebentar, begi-
tu berada di depan kedai ini. Hanya ada lima pen-
gunjung yang semuanya berada dalam satu meja.
Tapi dari pakaian dan senjata yang dibawa, jelas
sekali kalau mereka dari kalangan persilatan.
Bayu segera melangkah memasuki kedai itu. Sa-
lah seorang dari pengunjung melirik ke arahnya
sedikit, tapi kemudian tidak mempedulikannya.
Pemuda berbaju kulit harimau itu mengambil
tempat agak ke sudut. Tidak berapa lama, seo-
rang wanita berwajah cantik dan berbaju biru
muda agak ketat yang membungkus tubuh ram-
pingnya, datang menghampiri. Senyumnya lang-
sung terkembang begitu manis, membuat setiap
mata laki-laki yang memandangnya pasti tidak
akan berkedip. Bayu membalas senyuman itu se-
dikit saja.
“Mau makan, Den...?” sapa wanita itu dengan
suara lembut.
“Ya,” sahut Bayu singkat.
“Makan apa?”
“Apa saja yang ada di sini. Juga, sediakan sesi-
sir pisang untuk sahabatku ini,” sahut Bayu
sambil menempatkan Tiren di atas meja.
“Sebentar disiapkan, Den.”
Wanita itu kembali meninggalkannya. Tapi
hanya sebentar saja, dia sudah kembali lagi ber-
sama seorang laki-laki tua yang membawa sebuah
baki cukup besar, penuh berisi makanan serta
seguci arak. Dengan sikap lembut disertai se-
nyum manis tersungging di bibir, wanita itu me-
nyiapkan hidangan yang dipesan Bayu di atas
meja di depannya. Sementara Bayu hanya mem-
perhatikan saja sekilas.
“Silakan, Den,” ucap wanita itu setelah selesai
dengan pekerjaannya.
“Terima kasih,” ucap Bayu seperti tidak peduli.
Tapi ketika wanita itu hendak pergi meninggal-
kannya, cepat Bayu menangkap pergelangan tan-
gan kirinya. Seketika wanita itu agak terperanjat.
Sementara, laki-laki tua yang datang bersamanya
tadi sudah tidak terlihat lagi di dalam ruangan
kedai yang terbuka ini.
“Kau bisa menemaniku makan di sini...?” Bayu
langsung menawarkan.
Wanita itu tersenyum manis sekali. Tanpa bi-
cara sedikit pun juga, dia langsung saja duduk di
sebelah kiri Pendekar Pulau Neraka. Bayu sempat
mencium bau harum tubuh wanita yang berwajah
cantik ini. Sementara, lima orang yang sudah ada
di kedai ini sejak tadi menatap Bayu dengan sorot
mata memancarkan ketidaksenangan. Bahkan sa-
lah seorang langsung menyemburkan ludahnya
dengan sikap sengit Tapi pemuda berbaju kulit
harimau itu sama sekali tidak mempedulikannya.
Malah duduknya dirapatkan pada wanita di sebe-
lahnya ini.
“Boleh aku tahu namamu, Nisanak...?” tanya
Bayu.
“Tarsih,” sahut wanita itu memperkenalkan di-
ri.
“Nama yang cantik, secantik orangnya,” puji
Bayu.
“Ah, Aden bisa saja...,” Tarsih jadi tersipu, dan
langsung menunduk mendapat pujian.
Sedangkan Bayu mulai menikmati makanan-
nya. Tiren juga seperti tidak mempedulikan kea-
daan sekelilingnya. Binatang lucu ini begitu nik-
mat menyantap pisang yang disediakan khusus
untuknya. Sementara, Tarsih selalu menambah-
kan arak ke dalam bambu yang selalu kosong di-
hirup Pendekar Pulau Neraka. Sementara senyum
manis tidak pernah terlepas dari bibirnya yang
merah menggairahkan.
“Kau asli penduduk desa ini, Tarsih?” tanya
Bayu lagi.
Tarsih hanya menganggukkan kepala saja.
“Dan yang tadi itu, ayahmu...?” tanya Bayu la-
gi.
“Dia bekas pelayan ayahku,” sahut Tarsih begi-
tu lirih.
“Bekas pelayan...?” kening Bayu jadi berkerut,
langsung menghentikan makannya.
“Iya. Hanya Ki Radut yang masih setia mengi-
kutiku. Sedangkan yang lainnya sudah tidak ada
lagi sejak...,” Tarsih tidak melanjutkan.
“Orangtuamu sudah meninggal...?” tebak Bayu
langsung.
Tarsih hanya menganggukkan kepala saja. Dan
wanita ini jadi terus tertunduk dengan wajah
mencerminkan duka. Bayu merasa jadi tidak
enak atas pertanyaannya yang membuat wanita
ini jadi berubah murung.
“Maaf, tidak seharusnya aku banyak bertanya,”
ucap Bayu cepat-cepat.
“Ah, tidak apa-apa...,” sahut Tarsih kembali
tersenyum.
Bayu membalas senyuman itu dengan manis.
“Sejak beberapa tahun ini, hanya kau yang ba-
ru menanyakan itu. Mereka semua sudah melu-
pakannya. Padahal, peristiwa itu selalu saja da-
tang membayangiku,” ujar Tarsih pelan suaranya,
sehingga hampir tidak terdengar di telinga Pende-
kar Pulau Neraka.
Baru saja Bayu membuka mulutnya hendak
bertanya lagi, tiba-tiba saja....
“Tarsih...!”
“Oh...?!”
Tarsih jadi tersentak kaget, begitu terdengar
suara yang keras menggelegar memanggilnya. Wa-
jahnya seketika jadi memucat, begitu melihat sa-
lah seorang dari lima orang pengunjung kedai
yang sejak tadi memperhatikan Bayu berdiri den-
gan berkacak pinggang. Wajahnya kelihatan begi-
tu garang, dengan sepasang bola mata merah
menyala. Kumis tebal menghiasi bibirnya yang
besar. Kulitnya juga kelihatan hitam terjemur ma-
tahari. Sepasang gelang berwarna hitam berben-
tuk ular yang menggigit ekornya sendiri, terpa-
sang pada kedua pergelangan tangannya.
Tarsih langsung bangkit berdiri dengan tubuh
bergetar. Sementara, Bayu hanya memperhatikan
saja dengan kelopak mata agak menyipit.
“Ke sini kau...!” bentak laki-laki bertubuh besar
dan kekar dengan wajah garang itu kasar.
“Iii.., iya. Sebentar, Kang...,” sahut Tarsih terbata.
Bergegas Tarsih menghampiri dengan sikap be-
gitu takut. Sementara, Bayu terus memperhati-
kan tanpa berkedip sedikit pun. Tarsih terbung-
kuk-bungkuk, begitu sampai di depan laki-laki
bertubuh besar dan kekar ini. Dan tiba-tiba sa-
ja....
Plak!
“Aouwh...!”
“Heh...?!”
Bayu jadi terlonjak begitu melihat tangan yang
besar itu menampar wajah cantik wanita pelayan
kedai ini. Sementara, Tarsih langsung berputar
dan jatuh menimpa meja. Saat itu, laki-laki ber-
tubuh kekar ini sudah melompat menghampiri.
Langsung dicengkeramnya batang leher Tarsih.
Seketika wanita itu jadi terpekik. Dan sebelum
ada yang sempat menyadari, tahu-tahu tubuh
Tarsih sudah terangkat. Lalu....
“Perempuan rendah! Mampus kau! Hih...!”
Bruk!
“Akh...!”
***
TIGA
Kembali Tarsih terpekik, begitu tubuhnya di-
lempar dengan keras sekali ke atas permukaan
meja. Begitu kerasnya, hingga meja itu hancur
berkeping-keping. Sementara wanita itu jatuh
bergulingan di lantai kedai ini. Bayu yang me
nyaksikan semua itu kontan mendidih darahnya.
Tidak mungkin hatinya tak tersentuh melihat seo-
rang wanita lemah tersiksa begitu rupa. Langsung
dia melompat, tepat di saat kaki yang besar dan
berbulu itu sudah terangkat hendak menginjak
tubuh ramping yang tergeletak di lantai tanah ini.
Seketika dilepaskannya tendangan keras ke arah
kaki berbulu itu. Dan....
Plak!
“Akh...!”
Tiba-tiba saja laki-laki bertubuh besar itu me-
mekik keras agak tertahan, begitu kakinya ter-
hantam kaki Pendekar Pulau Neraka. Dan tahu-
tahu tubuhnya terpental ke belakang hingga
menghantam meja yang ditempatinya bersama
empat orang temannya. Mereka jadi begitu terke-
jut melihat meja yang ditempati hancur tertimpa
tubuh besar dan kekar. Sementara, Tarsih bang-
kit berdiri dibantu Bayu yang tahu-tahu sudah
berada di dekatnya.
“Keparat..! Monyet buntung!” umpat laki-laki
bertubuh kekar itu seraya bangkit berdiri dengan
beringas.
Kedua bola mata laki-laki itu semakin merah
menyala, melihat Tarsih kini berada dalam deka-
pan seorang pemuda tampan yang mengenakan
baju dari kulit harimau itu. Sedangkan empat
orang lainnya sudah langsung mencabut senjata
masing-masing. Sedangkan laki-laki bertubuh
kekar yang tadi tendangannya dipapak Bayu,
langsung mencabut goloknya yang besar dari ba
lik ikat pinggangnya yang terbuat dari kulit sapi.
“Menyingkirlah. Akan kuhadapi mereka,” ujar
Bayu sambil mendorong pelan tubuh wanita pe-
layan kedai itu.
Sambil meringis menahan sakit di sekujur tu-
buhnya, Tarsih melangkah mundur menjauhi
Pendekar Pulau Neraka. Saat itu, dari belakang
kedai muncul Ki Radut Laki-laki tua itu bergegas
menghampiri Tarsih, dan membawanya ke bela-
kang. Tapi, Tarsih berhenti begitu mencapai pintu
yang memisahkan ruangan kedai ini dengan ba-
gian belakang. Sementara, Bayu sudah dikelilingi
lima orang yang semuanya sudah menghunus
senjata di tangan kanan.
“Monyet jelek! Kau belum tahu siapa kami,
heh...?!” bentak laki-laki bertubuh kekar itu
menggeram marah.
“Aku tahu, siapa kalian semua. Kalian adalah
tikus-tikus busuk yang beraninya hanya pada pe-
rempuan lemah,” sahut Bayu begitu dingin nada
suaranya.
“Beledek! Kau akan mampus di tangan Lima
Begal Sungai Ular!” geram laki-laki bertubuh ke-
kar itu semakin berang.
“Sudah.... Jangan banyak bicara, Kakang. Bu-
nuh saja manusia picik ini!” selak salah seorang,
tidak dapat lagi menahan kegeramannya.
Dan saat itu juga....
“Mampus kau! Hiyaaat..!”
Sambil berteriak keras menggelegar, laki-laki
bertubuh kekar itu langsung saja melompat menerjang disertai ayunan goloknya yang besar, te-
pat mengarah ke kepala pemuda berbaju kulit ha-
rimau ini.
Bet!
“Hap...!”
Tapi hanya dengan egosan kepala sedikit saja,
tebasan golok itu bisa dihindari Bayu dengan
mudah. Bahkan tanpa diduga-duga, tangan ka-
nan Pendekar Pulau Neraka bergerak cepat Lang-
sung dilepaskannya satu sodokan yang mengarah
tepat ke bagian tengah dada laki-laki ini.
Diegkh!
“Hegkh...!”
Laki-laki bertubuh kekar itu langsung ter-
huyung ke belakang dengan tubuh agak terbung-
kuk. Melihat itu, empat orang lainnya jadi berang
setengah mati. Tanpa diperintah lagi, mereka
yang berjuluk Lima Begal Sungai Ular langsung
berlompatan menyerang Pendekar Pulau Neraka.
“Hup! Yeaaah...!”
Tapi sebelum serangan sampai, Bayu sudah
melesat cepat bagai kilat melewati atas kepala
mereka. Dan Pendekar Pulau Neraka langsung
melesat keluar dari kedai itu. Indah sekali gera-
kannya saat berputar di udara, lalu ringan sekali
kakinya menjejak tanah. Pendekar Pulau Neraka
langsung berdiri tegak, menanti Lima Begal Sun-
gai Ular.
Dan memang seperti yang diduga Pendekar Pu-
lau Neraka, lima orang laki-laki bertampang ben-
gis itu berlompatan keluar mengejarnya. Dua
orang langsung saja menyerang dengan senjata
golok yang besar ke arah kepala dan kaki. Tapi
hanya sedikit melompat dan merundukkan tu-
buh, serangan serentak itu berhasil dihindari
Bayu dengan manis. Bahkan begitu cepat sekali
tubuhnya berputar sambil melepaskan tendangan
beruntun yang begitu keras disertai sedikit penge-
rahan tenaga dalam. Begitu cepatnya tendangan
yang dilepaskan Pendekar Pulau Neraka, sehingga
dua orang lawannya tidak dapat lagi menghindar.
Diegh! Dugh!
“Aaakh...!”
“Ugh!”
Dan kedua orang itu kontan menjerit begitu
tubuhnya terpental akibat tendangan yang sangat
keras ini. Sementara, Bayu kembali berdiri tegak.
Di pandangnya dua orang lawannya yang bergu-
lingan di tanah sambil mengerang menahan sakit
di tubuhnya.
“Serang! Bunuh monyet keparat itu…!”
“Hiyaaa…!”
“Yeaaah…!”
***
Pendekar Pulau Neraka cepat melenting ke
atas, begitu kelima orang yang menamakan diri
Lima Begal Sungai Ular itu berlompatan menye-
rang secara bersamaan. Dan pada saat itu juga,
dengan gerakan cepat luar biasa Bayu berputaran
di udara. Seketika dilepaskannya pukulan berun-
tun beberapa kali dengan kecepatan tinggi, disertai pengerahan tenaga dalam yang tidak penuh.
Begitu cepat pukulan-pukulannya, sehingga
membuat Lima Begal Sungai Ular tidak dapat
menghindari lagi.
Plak plak plakkk...!
“Aaakh...!
“Ugh!”
Dan jeritan-jeritan keras pun terdengar saling
sambut, mengiringi tubuh-tubuh yang berpenta-
lan dan jatuh bergulingan di tanah.
Entah bagaimana caranya, di tangan kanan
Pendekar Pulau Neraka sudah tergenggam lima
buah golok yang dirampasnya dari tangan kelima
orang lawannya. Pendekar Pulau Neraka berdiri
tegak memadangi Lima Begal Sungai Ular yang
bergelimpangan sambil merintih menahan sakit di
sekujur tubuhnya, akibat terkena pukulan keras
bertenaga dalam tinggi. Sambil meringis dan me-
rintih, mereka bangkit berdiri. Tapi mereka jadi
terkejut setengah mati, begitu melihat senjata
masing-masing sudah berpindah tangan tanpa
diketahui lagi.
“Sebaiknya kalian cepat angkat kaki dari sini,
sebelum pikiranku berubah untuk menghirup da-
rah kalian!” terdengar begitu dingin suara Bayu.
“Nih...!”
Sekali sentak saja, lima buah golok yang bera-
da dalam genggaman tangan Bayu terlempar ke
depan, dan tepat jatuh menancap di depan kaki-
kaki kelima orang itu. Seketika mereka jadi terbe-
liak lebar dengan wajah kontan memucat Maka
tanpa mengeluarkan suara lagi, mereka bergegas
mengambil golok masing-masing, dan langsung
berlarian meninggalkan Pendekar Pulau Neraka.
Bayu jadi tersenyum melihat lima orang laki-
laki bertubuh kekar dengan wajah garang itu ber-
larian seperti lima ekor kelinci melihat harimau.
Sambil tersenyum-senyum, Pendekar Pulau Nera-
ka kembali melangkah masuk ke dalam kedai.
Sedangkan Tarsih dan pelayan tuanya langsung
menyambutnya di pintu kedai. Mereka membawa
Pendekar Pulau Neraka kembali duduk di me-
janya semula.
“Ada yang sakit...?” tanya Bayu langsung sam-
bil menatap Tarsih yang duduk di samping ki-
rinya.
“Tidak,” sahut Tarsih seraya menggeleng.
Bayu memperhatikan wanita itu beberapa saat
Deraan yang diterima Tarsih tadi memang sangat
menyakitkan bagi orang biasa. Tapi, kelihatannya
Tarsih sama sekali tidak merasakan sakit Bahkan
sedikit pun tidak terlihat luka di wajah maupun
tubuhnya. Wanita ini masih tetap kelihatan can-
tik, walaupun tadi sampai terbanting menghan-
tam meja hingga meja itu hancur berkeping-
keping. Sementara Bayu sempat melirik keluar.
Dan saat itu juga, keningnya jadi berkerut.
“Aneh...,” desis Bayu tanpa sadar.
“Apanya yang aneh, Den?” tanya Ki Radut yang
duduk di seberang meja.
“Ah, tidak apa-apa...,” sahut Bayu langsung
mengambil lodong bambu, dan meneguknya hingga tandas tak tersisa lagi.
Tarsih segera menuangkan kembali arak dari
dalam guci ke dalam lodong bambu di tangan
Pendekar Pulau Neraka itu. Sementara Bayu
kembali melirik keluar kedai. Begitu banyak orang
yang lalu-lalang di jalan depan kedai ini. Tapi, ti-
dak ada seorang pun yang peduli dengan perta-
rungan tadi. Seakan, mereka tidak mau tahu
dengan urusan orang lain. Bahkan tidak seorang
pun yang melirik ke kedai ini.
“Mereka memang begitu, Kang,” ujar Tarsih,
yang kini langsung tidak lagi memanggil Raden-
pada Bayu.
Kelihatannya wanita itu tahu apa yang ada di
dalam kepala Pendekar Pulau Neraka. Kata-kata
Tarsih membuat kening Bayu jadi berkerut, me-
mandang wajah cantik yang duduk di sebelahnya.
“Semua orang di sini terlalu sibuk dengan diri
sendiri. Jadi, tidak ada perhatian sedikit pun
dengan sekitarnya,” sambung Ki Radut.
Bayu hanya diam saja. Entah, apa yang ada
dalam kepalanya saat ini. Diteguknya sedikit arak
dan diletakkannya lodong bambu itu ke atas me-
ja. Sedangkan tangan kirinya mengusap kepala
Tiren. Monyet kecil itu hanya menyeringai, mem-
perlihatkan baris-baris giginya yang kecil dan se-
dikit runcing.
“Mereka tidak akan peduli dengan sekeliling-
nya, meskipun desa ini dibayangi kehancuran,”
sambung Ki Radut lagi.
“Kehancuran bagaimana, Ki?” tanya Bayu jadi
ingin tahu.
“Raden sudah dengar pembunuhan-
pembunuhan yang terjadi di sini...?” Ki Radut ma-
lah balik bertanya.
Bayu hanya diam saja. Wajahnya begitu datar,
seakan tidak memperhatikan pertanyaan yang di-
lontarkan laki-laki tua itu. Tapi tatapannya justru
begitu tajam, menembus langsung ke bola mata
Ki Radut Sehingga orang tua itu jadi tidak menen-
tu perasaannya.
“Sudah lebih dari dua purnama terjadi pembu-
nuhan di desa ini, Den. Memang, yang menjadi
korban adalah orang-orang jahat Tapi semua
penduduk desa ini tidak menyadari kalau sebe-
narnya juga terancam. Raden lihat sendiri, mere-
ka begitu tidak peduli, walaupun semalam satu
keluarga habis terbantai. Bahkan mayat mereka
juga tidak bisa ditemukan lagi,” sambung Ki Ra-
dut.
“Apakah tidak ada orang yang berusaha me-
nyelidikinya, Ki?” tanya Bayu.
“Tidak,” sahut Ki Radut seraya menggelengkan
kepala.
“Mereka malah senang, Kang. Mereka men-
ganggap pembunuh itu akan membuat desa ini
jadi tenteram. Tapi, malah sebaliknya...,” selak
Tarsih yang sejak tadi diam saja.
“Kalian merasa terganggu?” tanya Bayu lagi.
“Selama ini memang belum, Den. Tapi, aku me-
rasa tidak lama lagi bencana akan datang ke desa
ini,” sahut Ki Radut
“Bencana apa, Ki?”
“Pembunuh itu pasti akan membantai semua
orang di sini satu persatu. Dan aku, rasanya ting-
gal menunggu waktu saja,” sahut Ki Radut lagi.
Bayu jadi terdiam lagi. Kata-kata Ki Radut yang
terakhir membuatnya jadi tertegun. Perkiraan Ki
Radut begitu sama dengan dugaannya yang su-
dah dikemukakan pada Dewa Bayangan Maut
semalam. Tapi, inilah yang membuat Bayu jadi
merasa aneh. Sejak datang ke desa ini kemarin,
baru Ki Radut saja yang mempunyai perasaan se-
perti itu. Sedangkan semua orang di desa ini sa-
ma sekali tidak bisa melihat kalau akan ada ben-
cana yang bakal datang menimpa.
Bayu merasa inilah saatnya bisa memperoleh
keterangan lebih banyak lagi. Maka semua yang
belum diketahuinya terus ditanyakan pada Ki Ra-
dut Hanya sesekali saja Tarsih menambahkan ce-
rita Ki Radut mengenai keadaan di Desa Caringin
ini. Tapi semakin banyak cerita yang masuk, se-
makin sulit bagi Bayu mencari jalan untuk men-
getahui, siapa wanita yang berjuluk Perempuan
Bertopeng Emas itu.
***
Bayu tidak bisa lagi menolak ketika Tarsih
memintanya untuk menginap di kedainya yang
juga menjadi tempat tinggalnya. Dan memang,
saat itu matahari sudah sejak tadi tenggelam di
balik peraduannya. Suasana di Desa Caringin ini
kembali sunyi, tanpa seorang pun terlihat lagi berada di luar rumah.
Wanita itu menyediakan satu kamar yang letak
jendelanya langsung menghadap keluar. Memang,
rumah wanita ini cukup besar, dan berada tepat
di belakang kedainya. Tapi, Bayu belum juga be-
ranjak masuk ke dalam kamarnya. Pemuda ber-
baju kulit harimau itu masih tetap duduk meng-
hadapi meja di sudut kedai. Dan perhatiannya ti-
dak lepas dari jalan yang langsung menjadi sunyi,
begitu matahari tenggelam di ufuk barat.
Keanehan memang begitu terasa di desa ini.
Dan Bayu sangat merasakannya. Tapi, sungguh
tidak diketahuinya, apa yang menjadi sebab dari
semua keanehan ini. Hatinya hanya dipenuhi
berbagai macam pertanyaan yang sukar dijawab.
Bayu melirik sedikit, saat telinganya menden-
gar ayunan langkah kaki yang halus dari sebelah
kanan. Tampak Ki Radut datang menghampiri
sambil membawa sebuah pelita kecil di tangan ki-
ri. Orang tua itu langsung saja duduk di depan
Pendekar Pulau Neraka, tanpa dipersilakan lagi.
Diletakkannya pelita yang dibawa tepat di tengah-
tengah meja. Bayu hanya memperlihatkan saja
dengan sudut ekor mata.
“Sudah malam. Tidak tidur, Den...?” tegur Ki
Radut lembut.
Bayu hanya tersenyum saja menjawab sapaan
lembut dan ramah itu. Ditariknya napas sedikit,
dan dihembuskannya dengan kuat. Ekor matanya
sempat memperhatikan Tiren yang sudah meling-
kar di sudut meja ini. Monyet kecil itu memang
mudah sekali jatuh tidur kalau perutnya sudah
terasa kenyang.
“Boleh aku bertanya sesuatu padamu, Den...?”
ujar Ki Radut lagi masih nada suara sopan.
“Apa yang ingin kau tanyakan, Ki?”
“Boleh aku tahu dari mana asal Raden...?”
tanya Ki Radut langsung.
Kembali Pendekar Pulau Neraka tersenyum, ti-
dak langsung menjawab pertanyaan itu. Baginya
pertanyaan seperti ini tidak pernah didengar. Dan
pemuda berbaju kulit harimau itu sendiri tidak
bisa menjawab pasti, dari mana asalnya. Walau-
pun Bayu tidak bisa melupakan asal kelahiran-
nya, tapi sudah lama mencoba melupakannya.
Dan dia tidak ingin kembali hanyut dalam duka
yang mendalam setiap kali teringat asal-usulnya
sendiri. Memang begitu menyakitkan....
“Aku datang dari sebuah pulau yang jauh dari
sini, Ki. Pulau yang tidak bernama dan tidak ada
penghuninya,” sahut Bayu mencoba memuaskan
hati orang tua ini.
“Orangtua Raden...?” tanya Ki Radut lagi seper-
ti sedang menyelidiki Pendekar Pulau Neraka.
“Sudah lama tiada. Sejak aku masih bayi,” sa-
hut Bayu pelan.
“Lalu, Raden diasuh siapa di pulau itu?”
“Kakek.”
Ki Radut mengangguk-angguk sambil memper-
dengarkan gumaman kecil bagai lebah. Sementa-
ra Bayu mengarahkan pandangan lurus ke depan,
menembus malam yang begitu pekat tanpa disinari cahaya bintang maupun bulan. Malam ini,
langit kelihatan hitam tertutup awan tebal bergu-
lung-gulung. Sehingga membuat suasana malam
di desa ini semakin terasa mencekam.
“Sejak tadi aku tidak melihat Tarsih. Di mana
dia, Ki?” tanya Bayu mengalihkan pembicaraan.
“Dia selalu berada dalam kamarnya kalau su-
dah malam, Den. Baru besok pagi dia keluar dari
kamarnya,” sahut Ki Radut.
“Kasihan dia. Sepertinya batinnya begitu terte-
kan,” desah Bayu perlahan, seakan bicara pada
diri sendiri.
“Begitulah keadaannya, Den. Kedua orangtua
dan seluruh saudaranya mati dibantai perampok.
Bahkan rumahnya dibakar bersama semua ke-
luarganya yang mati. Masih untung dia bisa se-
lamat Yah..., kejadian itu memang sudah lama,
Den. Ketika Tarsih sendiri juga masih kecil dan
tidak tahu apa-apa. Tapi, dia menyaksikan semua
kekejaman yang dialami keluarganya. Akulah
yang membawanya pergi dari rumah ketika peris-
tiwa itu terjadi. Tapi yang lebih menyakitkan lagi,
semua penduduk di sini tidak ada yang mau me-
nolongnya. Mereka malah hanya menyaksikan sa-
ja tanpa berbuat apa-apa, sampai api menghan-
curkan rumah orangtuanya Tarsih,” tutur Ki Ra-
dut dengan suara begitu pelan, mengisahkan ke-
hidupan Tarsih.
“Menyakitkan sekali...,” desis Bayu tanpa sa-
dar.
“Memang sangat menyakitkan, Den. Tapi aku
tidak pernah memberi kesempatan padanya un-
tuk melampiaskan dendam. Bahkan aku memeli-
hara dan membesarkannya seperti layaknya seo-
rang wanita. Yah..., kami hidup dari membuka
kedai ini saja, Den. Kedai ini kubangun sendiri, di
atas bekas reruntuhan rumahnya sendiri,” sam-
bung Ki Radut menceritakan.
“Tapi aku lihat, kedai ini selalu sepi saja, Ki.
Tidak seperti kedai-kedai lainnya,” ujar Bayu. Je-
las sekali kalau nada suaranya menyelidik.
“Itulah yang membuatku selalu sedih, Den. Se-
jak membuka kedai ini, tidak ada seorang pendu-
duk pun yang mau datang ke sini. Entah kenapa,
mereka seperti merasa jijik makan di sini. Hanya
pengembara dan pendatang saja yang singgah di
sini. Dan kini belum tentu dapat tamu satu atau
dua orang dalam sehari. Aku sendiri sebenarnya
sudah tidak tahan, Den. Tapi, Tarsih tidak mau
meninggalkan desa ini. Dia tetap bertekad untuk
hidup di desa ini, walaupun semua orang tidak
mau memandangnya, “ sambung Ki Radut dengan
bola mata berkaca-kaca.
Sesaat Pendekar Pulau Neraka jadi diam terte-
gun. Keningnya kelihatan berkerut dengan kelo-
pak mata agak menyipit memandangi wajah orang
tua yang duduk di depannya. Entah apa yang ada
dalam pikiran Pendekar Pulau Neraka. Sambil
menghembuskan napas panjang, Bayu bangkit
berdiri dari kursinya. Sedangkan Ki Radut sempat
melirik memperhatikannya.
“Aku mau jalan-jalan dulu, Ki,” ujar Bayu ber
pamitan.
“Sebaiknya jangan, Den. Bahaya...,” cegah Ki
Radut sambil berdiri dari duduknya.
“Kenapa...?” tanya Bayu memancing.
“Apa Raden tidak ingat, ada pembunuh kejam
berkeliaran di desa ini...?”
“Aku tahu, Ki. Aku percaya, dia tidak akan
mencelakakan aku. Dia hanya mencari orang-
orang yang hidup dalam kejahatan saja,” sahut
Bayu seraya tersenyum.
Setelah Pendekar Pulau Neraka menepuk lem-
but pundak laki-laki tua itu, kakinya terayun me-
langkah. Sekilas matanya sempat melirik Tiren
yang masih tetap tidur lelap di atas meja.
“Tolong jaga sahabatku, Ki,” pinta Bayu berpe-
san.
“Hati-hati, Den. Kembali lagi ke sini, sebelum
tengah malam,” pesan Ki Radut.
Bayu hanya tersenyum saja. Sementara ka-
kinya terus terayun melangkah keluar dari dalam
kedai ini. Ki Radut sendiri bergegas meninggalkan
kedai, sambil menggendong Tiren yang masih saja
terlelap dalam tidurnya. Sementara, Bayu tenis
mengayunkan kakinya semakin jauh meninggal-
kan kedai itu. Dia menyusuri jalan tanah yang
berdebu dan membelah Desa Caringin ini bagai
menjadi dua.
***
EMPAT
Belum jauh berjalan meninggalkan kedai Ki
Radut, Bayu sudah dikejutkan oleh terdengarnya
jeritan panjang yang begitu tinggi dan melengking
dari arah timur. Tanpa membuang-buang waktu
lagi, Pendekar Pulau Neraka langsung melesat ce-
pat mempergunakan ilmu meringankan tubuh
tingkat sempurna.
Begitu sempurnanya ilmu meringankan tubuh
yang dimiliki Pendekar Pulau Neraka itu, sehingga
larinya bagaikan terbang di atas angin. Kedua te-
lapak kakinya bagai tidak menyentuh tanah sedi-
kit pun. Dan yang terlihat hanya bayangan kun-
ing yang berkelebat di antara rumah-rumah pen-
duduk Desa Caringin ini.
“Heh...?!”
Bayu sampai terhenyak, begitu melihat seseo-
rang bertubuh ramping terbungkus pakaian kun-
ing bagai terbuat dari emas. Sosok bertubuh wa-
nita itu tengah bertarung sengit menghadapi tiga
orang laki-laki berbadan besar dan kekar bersen-
jatakan golok. Terlihat dua orang tubuh laki-laki
bertubuh kekar telah tergeletak tidak jauh dari
tempat pertarungan dengan darah menggenang di
sekitarnya.
Dan pada saat Pendekar Pulau Neraka bisa
mengenali lawan wanita berpakaian serba kuning
keemasan itu, sudah kembali terdengar jeritan
panjang melengking tinggi dari salah seorang aki
bat lehernya terlilit selendang emas. Dan ketika
selendang itu ditarik oleh wanita berpakaian ser-
ba kuning itu dengan kuat...
Brolll...!
Tidak ada lagi terdengar jeritan di saat kepala
orang itu tertarik buntung dari lehernya. Darah
seketika menghambur keluar dengan deras sekali
dari leher yang buntung tak berkepala lagi. Hanya
sebentar saja dia masih mampu berdiri tanpa ke-
pala, kemudian tubuhnya ambruk begitu kepa-
lanya jatuh dari belitan selendang kuning keema-
san itu.
Sementara, dua orang lainnya yang tersisa jadi
terpaku tidak percaya. Wajah mereka pucat-pasi
seperti mayat, melihat tiga orang temannya sudah
menggeletak jadi mayat dengan darah mengge-
nang di sekitar tubuhnya. Tapi hanya sebentar
saja mereka terpaku bagai tersihir, kemudian....
“Perempuan setan! Kubunuh kau! Hiyaaat..!”
“Yeaaah...!”
Serentak mereka berlompatan menyerang wa-
nita bertopeng kuning keemasan ini dengan golok
yang berkelebatan begitu cepat Tapi saat itu juga,
wanita bertopeng kuning keemasan ini juga su-
dah cepat mengebutkan selendang mautnya.
Dan....
Bet!
Bret! Cras!
“Akh!”
“Aaa...!”
Jeritan panjang melengking mengiringi kematian kembali terdengar saling sambut, disusul
ambruknya dua orang laki-laki kekar yang dike-
nali Bayu sebagai dua dari Lima Begal Sungai
Ular. Mereka ambruk menggelepar di tanah den-
gan leher hampir buntung mengucurkan darah
segar begitu deras, sebelum bisa berbuat lebih
banyak lagi.
Sementara, sosok tubuh ramping berpakaian
serba kuning emas itu berdiri tegak sambil mem-
belitkan selendang di pinggangnya yang ramping.
Sedangkan Bayu seperti terpana, menyaksikan
semua kejadian yang begitu cepat ini. Dalam wak-
tu tidak berapa lama saja, Lima Begal Sungai Ular
sudah tidak ada lagi yang bergerak. Mereka mati
secara mengerikan sekali. Beberapa saat Bayu
berdiri tegak bagai tersihir, memandangi sosok
tubuh ramping berpakaian serba kuning emas
itu.
“Kau tidak termasuk dalam hitunganku, Bayu.
Jangan coba-coba mencampuri urusanku....”
“Heh...?!”
Bayu jadi tersentak kaget mendengar kata-kata
yang jelas dikeluarkan oleh wanita berbaju kun-
ing itu. Tapi bukan itu yang membuat Bayu jadi
terkejut. Ternyata yang mengenakan topeng pada
wajahnya itu sudah mengenal namanya. Padahal,
rasanya mereka belum pernah bertemu. Dan
mungkin baru kali ini berhadapan muka.
“Siapa kau sebenarnya, Nisanak?” tanya Bayu
langsung begitu bisa menguasai diri.
“Kau tidak perlu tahu siapa aku, Bayu. Kau ju
ga tidak perlu mencampuri urusan ini. Lebih baik
lagi, cepatlah tinggalkan desa ini, sebelum tu-
buhmu kuhancurkan!” sahut wanita bertopeng
emas itu dingin menggetarkan.
“Hm...,” Bayu jadi menggumam perlahan.
Beberapa saat Pendekar Pulau Neraka mem-
perhatikan wanita berpakaian serba kuning kee-
masan di depannya. Tapi memang sulit bisa men-
genali jelas wajahnya, karena tertutup topeng
berbentuk wajah seorang wanita berwarna kuning
emas.
“Dari mana kau tahu namaku, Nisanak?” ter-
dengar agak datar nada suara Bayu.
“Aku tahu nama semua orang yang ada di desa
ini, walaupun baru datang beberapa saat yang la-
lu,” sahut wanita itu, masih datar nada suaranya.
“Hm...,” kembali Bayu menggumam perlahan.
“Maaf, aku ada urusan lain yang lebih penting,”
ucap wanita itu, seraya membalikkan tubuhnya.
“Tunggu...!”
Bayu cepat mencegah, begitu melihat wanita
berpakaian serba kuning keemasan yang dikenal
berjuluk Perempuan Bertopeng Emas itu hendak
pergi meninggalkannya. Dan Pendekar Pulau Ne-
raka langsung melompat mendekati. Hanya sekali
lesat saja, dia sudah berada sekitar lima langkah
lagi di depan Perempuan Bertopeng Emas ini.
“Mau apa kau...?!” terdengar ketus nada suara
wanita ini.
“Kenapa kau lakukan semua ini? Apa kau ingin
membunuh habis semua orang di desa ini...?”
tanya Bayu langsung, tanpa menunggu waktu la-
gi.
“Itu urusanku, Bayu. Sebaiknya jangan ikut
campur! Atau, kau ingin kusamakan dengan me-
reka...?!” bentak Perempuan Bertopeng Emas ter-
dengar kesal suaranya.
Dan begitu kata-katanya selesai, Perempuan
Bertopeng Emas ini langsung saja melesat cepat
sekali, meninggalkan Pendekar Pulau Neraka.
“Hey! Tunggu...!” teriak Bayu, mencoba mence-
gah.
“Hup...!”
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Pendekar
Pulau Neraka langsung saja melesat mengejar
wanita berpakaian serba kuning keemasan ini.
Tapi, Bayu jadi kelabakan juga. Baru beberapa
saat wanita itu melesat pergi, ternyata sudah le-
nyap tidak terlihat lagi. Dan Bayu terpaksa
menghentikan pengejarannya. Dirayapinya kea-
daan sekitarnya, tapi bayangan Perempuan Ber-
topeng Emas memang sudah tak terlihat lagi.
Sungguh cepat sekali menghilangnya, bagaikan
hantu saja.
“Ilmu meringankan tubuhnya begitu sempurna,
hingga bisa cepat menghilang tanpa diketahui lagi
jejaknya. Hm..., benar apa kata Dewa Bayangan
Putih. Dia benar-benar seperti hantu yang baru
bangkit dari alam kubur,” desis Bayu menggu-
mam pelan, bicara pada diri sendiri.
Beberapa saat Bayu masih mengedarkan pan-
dangan ke sekeliling, memperhatikan sekitarnya.
Sorotan matanya sangat tajam, bagai hendak me-
nembus kegelapan malam yang begitu pekat ini.
“Sebaiknya aku kelilingi saja desa ini,” gumam
Bayu mengambil keputusan.
Pendekar Pulau Neraka mengayunkan kakinya
kembali sambil memperhatikan sekitarnya tanpa
berkedip. Kakinya terus melangkah, mencari ka-
lau-kalau Perempuan Bertopeng Emas itu terlihat
lagi. Rasa penasarannya semakin membakar me-
nyulut hatinya. Ayunan langkah kaki Pendekar
Pulau Neraka berhenti, setelah tiba di ujung jalan
yang bercabang.
“Hm.... Kalau ke kiri kembali ke rumah Tarsih.
Dan ke kanan..., ini jalan menuju pondok yang di-
tempati Dewa Bayangan Putih,” gumam Bayu bi-
cara sendiri.
Dan setelah Pendekar Pulau Neraka sudah
mengambil keputusan, kakinya terayun ke kiri.
Tapi baru saja berjalan beberapa langkah, tiba-
tiba saja....
“Aaa...!”
“Heh...?!”
***
Bayu tersentak kaget setengah mati, begitu ti-
ba-tiba terdengar jeritan panjang melengking dari
sebuah rumah yang berada tepat di sebelah ki-
rinya. Dan belum lagi hilang rasa keterkejutan-
nya, terlihat sebuah bayangan kuning keemasan
melesat cepat bagai kilat, keluar menembus jen-
dela samping rumah itu.
“Hey...!”
Kedua bola mata Bayu seketika terbeliak meli-
hat si Perempuan Bertopeng Emas keluar dari
rumah, menyusul terdengarnya jeritan panjang
melengking tadi. Tanpa berpikir panjang lagi,
Bayu langsung saja melesat mengejar wanita ber-
pakaian serba kuning keemasan itu. Seluruh ilmu
meringankan tubuhnya yang sudah mencapai
tingkat kesempurnaan langsung dikerahkan,
hingga bagaikan terbang saja. Dia melesat begitu
cepat, melintasi beberapa atap rumah penduduk.
“Hup! Yeaaah...!”
Sambil berteriak keras menggelegar, Pendekar
Pulau Neraka mengempos seluruh kepandaiannya
mengejar wanita yang dijuluki Perempuan Berto-
peng Emas. Beberapa kali tubuhnya berputaran
di udara, kemudian cepat bagai kilat meluruk de-
ras ke arah punggung wanita ini. Tapi begitu ja-
raknya tinggal sekitar satu batang tombak lagi....
Bet!
Siap...!
“Heh...?! Hup...!”
Cepat Bayu memutar tubuhnya. Langsung di-
hindarinya kilatan cahaya kuning keemasan yang
tiba-tiba saja melesat ke arahnya, bersamaan
dengan berputarnya tubuh Perempuan Bertopeng
Emas itu. Kilatan cahaya kuning keemasan itu
hanya lewat sedikit saja di bawah tubuh Pendekar
Pulau Neraka.
“Yeaaah...!”
Kembali Bayu berteriak keras menggelegar,
dengan tubuh terus meluruk deras ke arah wani-
ta berpakaian serba kuning keemasan itu. Dan
seketika itu juga, satu pukulan yang disertai pen-
gerahan tenaga dalam sempurna dilepaskan den-
gan kecepatan sangat tinggi. Namun hanya meli-
ukkan tubuhnya sekali, wanita ini berhasil meng-
hindari pukulan Pendekar Pulau Neraka.
“Hih! Hiyaaa...!”
Rrrt!
“Haiiit..!”
Bayu cepat-cepat mengegoskan tubuhnya ke
kanan, begitu Perempuan Bertopeng Emas ini me-
lepaskan selendang kuningnya. Selendang itu me-
luruk deras bagaikan seekor ular naga ke arah
Pendekar Pulau Neraka. Untung saja Bayu cepat
mengegos, sehingga hanya sedikit saja ujung se-
lendang lewat di samping tubuhnya. Namun pada
saat itu juga, selendang kuning keemasan itu
kembali meliuk cepat, dan langsung meluruk ke
arah leher Pendekar Pulau Neraka.
“Hap!”
Tidak ada lagi kesempatan bagi Bayu untuk
berkelit Maka dengan cepat sekali tangan kirinya
diangkat Lalu....
Tap!
“Ikh...?!”
Perempuan Bertopeng Emas jadi terpekik ka-
get, tidak menyangka kalau Bayu bisa menangkap
ujung selendang emasnya. Saat itu juga, selen-
dangnya dihentakkan dengan pengerahan tenaga
dalam tinggi.
“Hih!”
Bayu jadi tersentak juga. Tubuhnya sampai
terlonjak ke depan sedikit, tapi cepat mengerah-
kan tenaga dalamnya. Segera ditahannya tarikan
selendang emas yang berada dalam genggaman
tangan kirinya ini. Namun pada saat itu juga,
tangan kiri Perempuan Bertopeng Emas mengibas
ke depan. Maka seketika itu juga dari telapak
tangannya melesat tiga buah benda bulat berwar-
na kuning keemasan yang begitu cepat, bagai
anak panah lepas dari busur.
“Hup! Yeaaah...!”
Cepat Bayu melenting ke atas tanpa mele-
paskan ujung selendang emas itu dari genggaman
tangan kirinya. Dan tiga buah benda berwarna
kuning keemasan pun melesat lewat di bawah te-
lapak kaki Pendekar Pulau Neraka. Namun pada
saat Bayu berada di udara, tiba-tiba saja Perem-
puan Bertopeng Emas itu melesat cepat bagai ki-
lat, langsung memberikan satu pukulan mengge-
ledek dengan tangan kiri.
“Hiyaaa...!”
“Upths...!”
Terpaksa Bayu melepaskan ujung selendang
emas itu. Lalu, tubuhnya cepat berputar dua kali
ke belakang, menghindari pukulan tangan kiri
wanita berpakaian serba kuning keemasan ini.
Saat itu juga si Perempuan Bertopeng Emas mele-
sat cepat meninggalkan Pendekar Pulau Neraka.
“Jangan lari kau! Hiyaaa...!”
Bayu tidak mau lagi membuang-buang waktu.
Didukung oleh pengerahan ilmu meringankan tu-
buhnya yang sudah sempurna, tubuhnya lang-
sung saja melesat mengejar Perempuan Bertopeng
Emas itu. Dan kini kejar-kejaran pun terjadi di
antara rumah-rumah penduduk Desa Caringin.
Bahkan mereka sesekali terlihat berlompatan dari
satu atap, ke atap rumah lainnya. Dan ketika tiba
di jalan dekat rumah Tarsih, mendadak saja Pe-
rempuan Bertopeng Emas itu menghilang dari
pandangan Pendekar Pulau Neraka.
“Heh...?! Ke mana dia...?” desis Bayu jadi celin-
gukan.
Terpaksa Bayu menghentikan pengejarannya.
Kini Pendekar Pulau Neraka berdiri tegak di ten-
gah-tengah jalan, tepat di depan kedai Tarsih. Be-
berapa saat pandangannya beredar ke sekitarnya
dengan sinar mata begitu tajam. Tapi, sedikit pun
tidak terlihat bayangan wanita berpakaian serba
kuning keemasan itu. Bahkan tidak ada seorang
penduduk pun yang keluar dari dalam rumahnya.
Padahal jelas sekali kalau malam yang sunyi ini
tadi sudah terpecah oleh jeritan melengking ke-
matian dan teriakan-teriakan Bayu yang keras
saat mengejar si Perempuan Bertopeng Emas. Ta-
pi, keadaan di desa ini tetap sunyi seperti tidak
pernah terjadi apa-apa.
“Hm...,” perlahan Bayu menggumam.
Dan kaki Pendekar Pulau Neraka segera te-
rayun melangkah menghampiri kedai, saat meli-
hat titik cahaya lampu pelita keluar dari bagian
belakang kedai itu.
***
“Raden.... Syukurlah, kau tidak apa-apa,” ujar
Ki Radut yang baru keluar dari dalam kedai
membawa pelita yang nyala apinya begitu kecil.
“Aku tadi mendengar jeritan, kemudian teriakan-
teriakan seperti orang bertarung.”
“Aku mengejar wanita itu, Ki,” jelas Bayu.
“Oh, Perempuan Bertopeng Emas...?” desis Ki
Radut agak terbeliak kedua bola matanya.
Laki-laki tua itu jadi kelihatan bergetar tubuh-
nya. Cepat-cepat dihampirinya Pendekar Pulau
Neraka, dan langsung ditariknya masuk ke dalam
kedai. Bayu tidak membantah. Diturutinya saja
ajakan Ki Radut. Mereka kemudian duduk meng-
hadapi sebuah meja di dalam kedai yang gelap
keadaannya ini. Ki Radut meletakkan pelitanya di
atas meja. Sesaat dipandanginya wajah Bayu
yang terus saja mengarahkan pandangan ke de-
pan jalan.
“Dia menghilang di sekitar sini, Ki,” ujar Bayu
memberitahu lagi tanpa berpaling sedikit pun.
“Di sini...?!” kembali kedua bola mata Ki Radut
terbeliak lebar.
“Kau tidak melihatnya, Ki?” tanya Bayu.
“Tidak...,” sahut Ki Radut agak bergetar sua-
ranya.
Pendekar Pulau Neraka kembali terdiam. Se-
mentara pandangannya terus beredar ke jalan
yang masih tetap sunyi tanpa seorang pun terli-
hat di sana. Sementara bulan di langit mulai me-
mancarkan cahayanya, setelah awan hitam yang
menutupinya tersingkap tertiup angin. Siraman
cahaya bulan membuat penglihatan Bayu sema-
kin leluasa mengamati jalan di depan kedai ini.
“Sebaiknya kau tidur saja, Ki. Kalau perlu, li-
hat Tarsih. Apa dia masih ada di dalam kamarnya
atau tidak,” ujar Rangga seraya berpaling mena-
tap orang tua yang duduk di seberang meja.
“Baik..., baik. Aku lihat Tarsih dulu,” sahut Ki
Radut jadi tergagap.
Bergegas laki-laki tua itu melangkah mening-
galkan Pendekar Pulau Neraka seorang diri di da-
lam kedai. Ayunan langkah kakinya agak tergesa.
Dan Bayu sempat memperhatikannya. Seketika
keningnya jadi berkerut, melihat ayunan langkah
kaki Ki Radut yang begitu ringan, seperti seorang
tokoh peralatan berkepandaian tinggi. Bahkan
Bayu hampir tidak mendengar hentakan kakinya
pada lantai kedai yang hanya dari tanah ini.
Namun belum juga Bayu bisa membuka mu-
lutnya untuk memanggil, Ki Radut sudah menghi-
lang di balik pintu yang menghubungkan kedai
dengan rumah tinggal. Terpaksa mulutnya dika-
tupkan lagi. Tapi entah kenapa, perasaan hatinya
mengatakan lain. Sambil menghembuskan napas
yang terasa begitu berat, pemuda berbaju kulit
harimau itu bangkit berdiri dari duduknya. Se-
bentar pandangannya dilayangkan ke depan. Ke-
mudian kakinya terayun, melangkah masuk ke
bagian belakang kedai ini.
Cukup gelap keadaan di dalam, karena tidak
satu pelita pun menyala. Hanya cahaya bulan redup saja yang menerangi dari lubang-lubang di
atas jendela dan pintu rumah ini. Bayu terus me-
langkah melintasi ruangan yang cukup luas. Dan
ketika baru saja melewati pintu, tiba-tiba saja....
“Eh...?!”
“Oh...?!”
“Tarsih...,” desis Bayu terkejut.
Hampir saja mereka bertabrakan, kalau saja
Bayu tidak cepat menarik kakinya selangkah ke
belakang. Tarsih sendiri juga kelihatan terkejut
sekali bertemu Pendekar Pulau Neraka di ruangan
ini. Namun rasa keterkejutannya bisa cepat dis-
embunyikan, dan cepat memberi senyum yang
begitu manis. Dan ini membuat Bayu terpaksa
harus menelan air liurnya sendiri melihat senyu-
man yang begitu manis dari wanita cantik ini. En-
tah kenapa, mendadak saja Bayu merasakan ha-
tinya jadi tidak menentu.
“Kau belum tidur, Tarsih?” tanya Bayu mengu-
rangi ketidakmenentuan hatinya.
“Aku baru dari pergi,” sahut Tarsih. “Ini baru
mau ke kamar lagi. Kakang sendiri, kenapa belum
tidur?”
“Udara panas malam ini. Aku sulit memejam-
kan mata,” sahut Bayu sekenanya.
“Memang beberapa hari ini cukup panas uda-
ranya. Mungkin sebentar lagi akan datang musim
hujan,” balas Tarsih.
Entah sengaja atau tidak, Tarsih mengipaskan
dadanya dengan belahan bajunya sendiri. Sehing-
ga, dua gundukan putih yang begitu indah jadi
sedikit terbuka. Maka seketika tatapan mata
Bayu jadi tidak berkedip menyorotinya. Kembali
Pendekar Pulau Neraka terpaksa harus menelan
ludahnya sendiri.
“Tidurlah...,” ujar Bayu seraya hendak melang-
kah meninggalkan wanita ini.
Tapi belum juga mengayunkan kakinya, Tarsih
sudah mencekal pergelangan tangan Pendekar
Pulau Neraka itu. Dan seketika itu juga mereka
jadi saling berpandangan dengan sorot mata yang
begitu sukar diartikan. Perlahan Tarsih mendeka-
ti pemuda ini, hingga tubuhnya begitu dekat
hampir merapat. Saat itu juga, Bayu mencium
bau harum yang menyebar dari tubuh wanita ini.
Dan jantungnya pun semakin bertambah cepat
berdetak.
“Kakang...,” terdengar desah suara Tarsih.
Perlahan Tarsih mulai mendekatkan wajahnya
ke wajah tampan Pendekar Pulau Neraka. Dan
hembusan napasnya mulai terasa hangat, mener-
pa kulit wajah Bayu. Dan pemuda itu merasakan
tenggorokannya jadi kering seketika.
Tarsih memang cantik. Bentuk tubuhnya juga
bisa membuat setiap mata laki-laki yang meman-
dangnya tidak akan berkedip. Dalam pandangan
mata laki-laki, Tarsih memang sangat menggai-
rahkan. Dan Bayu tidak memungkiri kelebihan
yang ada pada diri wanita ini.
Tapi ketika Tarsih hendak melingkarkan tan-
gannya ke leher, Bayu cepat mencekalnya dan
menurunkan tangan itu lagi. Kakinya segera ditarik ke belakang satu langkah, hingga terdapat ja-
rak yang cukup untuk menghentikan rayuan wa-
nita ini.
“Aku tamu di sini, Tarsih. Tidak baik berbuat
seperti itu,” ujar Bayu mencoba menolak halus.
“Kenapa...? Semua laki-laki selalu mengingin-
kan begitu padaku. Apa aku sekarang tidak can-
tik lagi, Kakang...?” jelas sekali kalau nada suara
Tarsih tersinggung atas penolakan Pendekar Pu-
lau Neraka.
“Kau sangat cantik. Bahkan tidak ada wanita
lain di desa ini yang bisa menandingi kecanti-
kanmu, “ puji Bayu tidak ingin membuat wanita
itu semakin merasa tersinggung.
“Tapi, kenapa kau menolakku, Kakang?” tanya
Tarsih ingin tahu.
“Bukannya menolakmu, Tarsih. Tapi aku...,
aku...,” terasa sulit bagi Bayu untuk mengemu-
kakannya.
“Ayo ke kamarku, Kakang. Tidak ada yang bisa
mengganggu di sana,” bujuk Tarsih mengajak.
Wanita itu kembali mencekal pergelangan tan-
gan Pendekar Pulau Neraka. Dan entah kenapa,
kali ini Bayu jadi sulit menolak lagi ajakan wanita
ini. Seperti kerbau yang dicucuk hidungnya, Bayu
mengikuti saja ayunan langkah kaki wanita ini.
Dan mereka pun masuk ke dalam kamar yang
langsung tertutup pintunya.
***
LIMA
Pendekar Pulau Neraka menggeliat saat mera-
sakan kehangatan sinar matahari yang menyirami
seluruh tubuhnya. Seketika Bayu jadi terkejut,
begitu membuka matanya. Ternyata dirinya telah
berada di dalam sebuah kamar yang sangat in-
dah, bagai kamar seorang putri bangsawan. Cepat
pemuda berbaju kulit harimau ini menggerinjang
bangkit dari pembaringan yang beralaskan kain
sutera merah muda itu. Dan ketika kakinya hen-
dak terayun keluar, pintu kamar itu sudah terbu-
ka. Ternyata dari luar kamar ini Tarsih muncul
bersama senyumnya yang manis tersungging di
bibir. Wanita itu langsung masuk dan menutup
kembali pintunya.
“Kau sudah bangun, Kakang...?” tegur wanita
itu lembut
Bayu hanya diam saja memandangi. Sedang-
kan yang dipandangi seperti tidak peduli. Diam-
bilnya guci arak dari atas meja kecil di sudut ka-
mar ini. Lalu isinya dituangkan ke dalam mang-
kuk perak. Dengan bibir yang selalu merah terus
menyunggingkan senyum, mangkuk perak itu
disodorkan pada Pendekar Pulau Neraka.
“Minumlah, Kakang. Arak ini bisa memulihkan
kembali tenagamu, setelah terkuras semalam,”
ujar Tarsih tetap lembut suaranya.
Bayu menerima mangkuk perak itu, dan lang-
sung meneguk habis isinya. Dan Tarsih mengam
bil gelas yang sudah kosong itu, lalu meletakkan-
nya di atas meja kecil di sudut ruangan. Kemu-
dian dia duduk di tepi pembaringan. Sengaja tan-
gannya menyingkapkan kain yang dikenakan,
hingga menampakkan sepasang paha yang berku-
lit putih dan indah sekali.
Bayu sempat melirik sedikit ke arah paha yang
menantang itu. Seketika terbayang kembali se-
mua yang sudah dilakukannya di dalam kamar
ini semalam bersama Tarsih. Wanita itu bukan
hanya memiliki wajah cantik dan tubuh indah
menggairahkan, tapi juga memiliki gairah yang
begitu menggelora. Bahkan Bayu merasakan di-
rinya bagai berada dalam taman kayangan para
dewi yang dikelilingi ribuan bidadari cantik.
Bayu memang sulit untuk bisa melupakannya,
bagaimana terlena dalam belaian asmara yang di-
bangkitkan wanita ini semalam. Dan memang,
Tarsih begitu menggairahkan. Bahkan pagi ini ju-
ga kelihatan lebih cantik dan menggairahkan. De-
tak jantung Bayu jadi semakin tidak beraturan,
saat Tarsih mulai membuka bagian atas pakaian-
nya. Sehingga, belahan dadanya terlihat begitu je-
las dan indah.
“Kau begitu gagah sekali semalam, Kakang.
Rasanya aku ingin selalu dekat bersamamu,” ujar
Tarsih lembut, disertai senyum menggairahkan
tersungging di bibir yang selalu basah memerah.
“Hhh...!” Bayu hanya menghembuskan napas
panjang saja.
Pendekar Pulau Neraka tidak tahu lagi, apa
yang harus dilakukannya terhadap wanita ini. In-
gin rasanya dia melawan gairah yang mulai
menggelora dalam rongga dadanya. Tapi semakin
keras berusaha memberontak, semakin besar
nyala api gairahnya. Dan tiba-tiba saja, Bayu me-
rasakan pandangannya jadi nanar. Kepalanya
pun terasa jadi pening. Tubuhnya terasa jadi lim-
bung. Dan belum juga bisa menyadari apa yang
tengah terjadi, kesadarannya pun seketika meng-
hilang. Yang ada pada dirinya kini hanya gairah
yang begitu membara, menggelegak dalam dada.
Kini Bayu tidak kuasa lagi bertahan. Kakinya mu-
lai terayun menghampiri wanita yang kini sudah
terbaring di atas ranjang dengan pakaian seten-
gah terbuka.
“Ayo, Kakang. Kita ulangi lagi kenikmatan se-
malam...,” desah Tarsih pelan.
Sebentar saja Bayu berdiri di sisi pembaringan
ini, kemudian menjatuhkan dirinya di atas pem-
baringan. Terlihat bergetar tangannya saat berge-
rak menyusuri sebentuk paha putih yang mulus
tanpa cacat. Sementara Tarsih mulai merintih
dan mendesah, merasakan lembutnya belaian ja-
ri-jari tangan pemuda ini yang merayap semakin
naik mendekati pangkal pahanya.
“Ah, Kakang...,” desah Tarsih lirih.
Wanita itu tidak dapat lagi menguasai gejolak gai-
rahnya. Langsung direngkuhnya tubuh Pendekar Pu-
lau Neraka ke dalam pelukannya. Sementara, Bayu
sendiri sudah tidak lagi ingat akan dirinya. Seluruh
tubuh dan pikirannya sudah tertutup gejolak gairah
yang begitu membara tanpa dapat dibendung lagi. Dan
di dalam kamar ini, peristiwa semalam kembali teru-
lang. Tidak ada lagi kata-kata yang terucap. Semua
berganti desahan dan rintihan lirih, disertai dengusan
napas memburu bagai kuda pacu.
***
“Oh....”
Bayu merintih lirih sambil memegangi kepa-
lanya yang terasa begitu berat dan pening. Bebe-
rapa kali kepalanya digelengkan, mencoba men-
gusir rasa pening yang menyengat seluruh kepa-
lanya. Dan perlahan kelopak matanya mulai di-
buka.
Seketika Pendekar Pulau Neraka jadi tersentak
kaget setengah mati, begitu mendapati dirinya ki-
ni berada di dalam sebuah kamar berdinding bilik
bambu. Dan tubuhnya terbaring di atas dipan
bambu, hanya beralaskan selembar tikar lusuh.
“Kau sudah bangun, Bayu...?”
“Oh...?!”
Bayu kembali terkejut begitu mendengar suara
yang sudah tidak asing lagi di telinganya. Cepat
kepalanya berpaling ke arah datangnya suara itu.
Bergegas pemuda itu bangkit duduk begitu meli-
hat seorang laki-laki tua berjubah putih duduk di
atas kursi bambu tidak jauh dari dipan ini.
“Ki Dewa Bayangan Putih...,” desis Bayu lirih,
langsung mengenali orang tua berjubah putih itu.
“Jangan banyak bicara dulu, Bayu. Kerahkan
hawa murnimu. Atur seluruh peredaran darah-
mu. Bersemadilah barang sebentar,” ujar Dewa
Bayangan Putih memberi petunjuk.
Bayu menuruti saja kata-kata orang tua itu.
Segera diambilnya sikap bersemadi. Dan kelopak
matanya langsung terpejam rapat. Beberapa kali
ditariknya napas panjang-panjang dan dihem-
buskannya perlahan-lahan. Seluruh pikiran dan
jiwanya dikosongkan. Perlahan Bayu merasakan
peredaran darahnya kembali pulih seperti semula.
Dan rasa pening pun berangsur menghilang, begi-
tu hawa murninya dikerahkan dari pusat tubuh-
nya.
Hanya sebentar saja Bayu bersemadi untuk
memulihkan keadaan tubuhnya. Dan kelopak ma-
tanya kembali dibuka. Pandangannya langsung
tertuju pada Dewa Bayangan Putih yang masih te-
tap duduk di kursi, dekat pintu kamar berdinding
bilik bambu ini. Sebentar Bayu mengedarkan
pandangan, mengamati kamar ini. Dia ingat, ka-
lau sekarang berada di rumah yang ditempati
Dewa Bayangan Putih, dan letaknya tidak jauh
dari Desa Caringin.
“Apa yang terjadi padaku, Ki?” tanya Bayu
langsung ingin tahu.
“Seharusnya kau sudah tahu, apa yang terjadi
pada dirimu, Bayu. Aku menemukanmu tergele-
tak di tepi hutan. Hampir saja tubuhmu habis
dimakan burung-burung bangkai. Untung saja
aku segera datang dan membawamu ke sini,” ujar
Dewa Bayangan Putih.
Bayu jadi terdiam. Dicobanya untuk mengingat
semua peristiwa yang sudah dialaminya selama
ini.
“Ingat-ingatlah, Bayu. Apa saja yang kau alami
selama berada di Desa Caringin,” ujar Dewa
Bayangan Putih, mencoba membantu ingatan
Pendekar Pulau Neraka.
Sedikit demi sedikit, Bayu mulai bisa merang-
kai satu persatu peristiwa yang dialaminya sela-
ma berada di Desa Caringin. Dan yang terakhir
diingatnya, dia berada di dalam sebuah kamar in-
dah bersama Tarsih, wanita cantik pemilik kedai
di ujung jalan Desa Caringin. Hanya sampai di si-
tu saja Bayu bisa mengingatnya. Selebihnya, dia
tidak tahu lagi apa yang telah terjadi pada di-
rinya.
“Di mana Tiren, Ki?” tanya Bayu begitu teringat
monyet kecilnya.
“Aku hanya menemukan dirimu saja, Bayu.
Aku tidak tahu, di mana monyet kecilmu itu,” sa-
hut Dewa Bayangan Putih.
“Oh...,” Bayu melenguh panjang sambil meme-
gangi kepalanya.
“Ada apa, Bayu?” tanya Dewa Bayangan Putih.
“Tiren pasti masih bersama mereka,” ujar Bayu
pelan, seperti bicara untuk diri sendiri.
“Siapa mereka?” tanya Dewa Bayangan Putih
lagi.
“Tarsih dan pelayan tuanya,” sahut Bayu ma-
sih dengan suara pelan.
“Tarsih...?”
“Ya..., wanita pemilik kedai yang ada di ujung
jalan desa. Aku sempat menginap semalam di sa-
na. Dan Tiren kutinggalkan di sana waktu mengejar Perempuan Bertopeng Emas. Ah...! Aku tidak
tahu lagi, apa yang terjadi pada diriku...,” terden-
gar lirih suara Bayu.
“Barangkali monyetmu itu masih ada di sana,
Baya. Sebaiknya, cepat kembali ke sana sebelum
terjadi sesuatu padanya. Kau sangat menyayan-
ginya, bukan...?” ujar Dewa Bayangan Putih men-
dorong semangat Pendekar Pulau Neraka.
“Aku memang harus ke sana, Ki,” sahut Bayu
mantap.
Cepat Pendekar Pulau Neraka turun dari dipan
bambu ini. Dewa Bayangan Putih juga bangkit
berdiri dari kursinya. Sebentar Bayu mengamati
keadaan dirinya. Hatinya jadi lega begitu melihat
Cakra Maut masih tetap menempel di pergelangan
tangan kanannya. Senjata itu memang tidak bo-
leh tercecer sembarangan dari Pendekar Pulau
Neraka.
“Aku pergi dulu, Ki,” pamit Bayu.
“Hati-hatilah. Mungkin kau akan mendapat
rintangan di sana,” ujar Dewa Bayangan Putih
menasihati.
Bayu tersenyum dan menganggukkan kepala
sedikit Kemudian dia melangkah keluar dari da-
lam kamar, dan terus berjalan keluar dari rumah
kecil yang begitu sederhana ini. Sementara, Dewa
Bayangan Putih mengantarkan hanya sampai di
ambang pintu saja. Dan Bayu sendiri terus berja-
lan menuju Desa Caringin tanpa menoleh lagi.
Sementara Dewa Bayangan Putih masih tetap
berdiri di ambang pintu memandangi kepergian
Pendekar Pulau Neraka ke Desa Caringin. Sampai
punggung pemuda itu lenyap dari pandangan,
Dewa Bayangan Putih masih tetap berada di am-
bang pintu rumah kecil yang ditempatinya.
“Anak Muda...,” desah Dewa Bayangan Putih
seraya menggelengkan kepala sedikit beberapa
kali.
Perlahan orang tua itu memutar tubuhnya ber-
balik dan hendak masuk kembali ke dalam rumah
ini. Tapi belum juga kakinya terayun melangkah,
mendadak saja....
Wusss...!
“Heh...?! Hap!”
Dewa Bayangan Putih cepat memiringkan tu-
buhnya ke kiri, begitu terasa adanya hembusan
angin yang cukup kencang dari arah belakang.
Dan seketika itu juga, tongkatnya bergerak cepat
ke sebelah kanannya. Tepat pada saat itu, terlihat
kilatan cahaya kuning keemasan meluncur deras
dari arah belakang orang tua ini Dan....
Trak!
“Hup...!”
Dewa Bayangan Putih cepat melompat ke bela-
kang sambil berputaran dua kali di udara, begitu
tongkatnya terasa membentur sebuah benda yang
sangat keras dan berwarna kuning keemasan. Se-
dangkan benda berbentuk bulat sebesar mata
kucing itu kembali terpental balik ke belakang.
Dan tepat ketika benda itu menghantam pohon
hingga tumbang, Dewa Bayangan Putih manis se-
kali menjejakkan kakinya di depan rumah yang
ditempatinya selama ini.
“Hik hik hik...!”
“Perempuan Bertopeng Emas...,” desis Dewa
Bayangan Putih, begitu tiba-tiba terdengar tawa
mengikik yang menggema bagai datang dari sega-
la arah.
Dan belum lagi orang tua itu bisa berpikir lebih
jauh, tiba-tiba saja terlihat sebuah bayangan kun-
ing keemasan berkelebat begitu cepat bagai kilat
Tahu-tahu, di depan Dewa Bayangan Putih sudah
berdiri sesosok tubuh ramping berbaju kuning
keemasan. Wajahnya tertutup topeng berwarna
kuning seperti terbuat dari emas, sehingga sulit
dikenali.
“Mau apa kau datang ke sini?” terasa begitu
dingin nada suara Dewa Bayangan Putih.
“Seharusnya kau sudah tahu, untuk apa aku
datang ke sini Dewa Bayangan Putih,” sahut Pe-
rempuan Bertopeng Emas tidak kalah dingin.
Dewa Bayangan Putih jadi terdiam. Sudah bisa
ditebak, kemunculan Perempuan Bertopeng Emas
ini tentu untuk mencabut nyawanya. Tapi tentu
saja selembar nyawanya tidak ingin diserahkan
begitu saja. Walaupun disadari kalau kepandaian
Perempuan Bertopeng Emas itu belum bisa diper-
kirakannya.
“Kau belum pantas menantangku, Nisanak.
Kepandaian yang kau miliki hanya untuk cacing-
cacing tanah tak berguna,” sengaja Dewa Bayan-
gan Putih memanasi.
“Hik hik hik...!”
Tapi kata-kata Dewa Bayangan Putih hanya di-
tanggapi dengan suara tawa mengikik kecil. Se-
mentara, Dewa Bayangan Putih sendiri sudah
menggenggam erat tongkatnya di tangan kanan.
Sementara ujung tongkatnya menekan kuat ke
tanah, tepat di ujung jari kakinya. Sorot matanya
terlihat begitu tajam, tidak berkedip memandangi
wanita bertopeng kuning keemasan yang berada
sekitar setengah batang tombak di depannya.
“Sebutlah nama leluhurmu sebelum kau ter-
bang ke neraka, Dewa Bayangan Putih,” desis Pe-
rempuan Bertopeng Emas sinis.
“Aku khawatir, justru kau yang akan menggali
lubang kuburmu sendiri, Nisanak,” sambut Dewa
Bayangan Putih, tidak kalah sinisnya.
“Hik hik hik! Ajalmu sudah tiba, Dewa Bayan-
gan Putih. Bersiaplah, yeaaah...!”
Sambil membentak nyaring, Perempuan Berto-
peng Emas langsung saja mengebutkan selen-
dangnya yang berwarna kuning keemasan dengan
kecepatan begitu tinggi. Selendang yang kelihatan
halus dan lembut itu meluruk deras bagai seekor
naga menyambar ke arah kepala Dewa Bayangan
Putih.
“Haiiit...!”
Namun hanya sedikit saja mengegoskan kepa-
la, ujung selendang itu lewat di samping kepala
Dewa Bayangan Putih. Lalu cepat sekali tongkat
putihnya diangkat, dan langsung disabetkan ke
bagian tengah selendang itu. Tapi tanpa diduga
sama sekali, selendang itu bisa meliuk indah
menghindari sabetan tongkat kayu orang tua ini.
Dan dengan kecepatan sukar diikuti pandangan
mata biasa, selendang kuning keemasan itu mele-
sat bagai kilat mengarah ke kaki orang tua ini.
“Hup! Yeaaah...!”
***
Dewa Bayangan Putih cepat melesat ke atas,
menghindari sambaran selendang kuning keema-
san. Tapi begitu berada di atas tanah, tangan kiri
Perempuan Bertopeng Emas sudah bergerak ce-
pat, mengibas ke depan. Maka seketika itu juga,
tiga buah benda bulat sebesar mata kucing ber-
warna kuning keemasan, melesat ke arah tubuh
orang tua ini.
“Hap! Yeaaah...!”
Dewa Bayangan Putih cepat memutar tongkat-
nya. Sehingga tiga buah benda bulat kuning kee-
masan itu berpentalan balik, begitu membentur
putaran tongkat orang tua ini. Manis sekali Dewa
Bayangan Putih meluruk turun, dan menjejakkan
kakinya kembali di tanah. Namun belum juga tu-
buhnya bisa ditegakkan, Perempuan Bertopeng
Emas sudah menyerang cepat bagai kilat dengan
selendangnya lagi.
“Hiyaaa...!”
Bet!
Memang tidak ada lagi kesempatan bagi Dewa
Bayangan Putih untuk menghindari serangan se-
lendang kuning keemasan itu. Maka langsung
tongkatnya diputar dan dihantamkannya tepat di
bagian ujung selendang itu.
Rrrt...!
“Heh...?!”
Dewa Bayangan Putih jadi terkejut setengah
mati, begitu tiba-tiba tongkatnya terbelit ujung
selendang emas. Cepat tongkatnya ditarik disertai
pengerahan tenaga dalam tinggi. Tapi sungguh ti-
dak diduga sama sekali, belitan selendang itu
demikian kuat. Sehingga sulit dilepaskannya.
Dan belum juga Dewa Bayangan Putih bisa
menguasai tongkatnya, Perempuan Bertopeng
Emas sudah melesat cepat seperti kilat sambil
berteriak nyaring.
“Hiyaaat..!”
“Upths...!”
Cepat-cepat Dewa Bayangan Putih membanting
tubuhnya ke tanah. Dan dia langsung bergulin-
gan beberapa kali menghindari tendangan meng-
geledek yang dilepaskan Perempuan Bertopeng
Emas.
“Hup!”
Kembali dengan gerakan cepat Dewa Bayangan
Putih melompat bangkit berdiri. Namun pada saat
itu juga, selendang yang masih membelit tongkat-
nya bergerak memutar begitu cepat, sehingga De-
wa Bayangan Putih tidak sempat lagi menyada-
rinya. Dan....
Rrrt!
“Ikh...!”
Dewa Bayangan Putih jadi terpekik kaget se-
tengah mati, begitu tahu-tahu seluruh tubuhnya
sudah terlilit selendang Perempuan Bertopeng
Emas ini. Dan pada saat itu juga, wanita ini su-
dah melompat sambil melepaskan satu pukulan
menggeledek yang begitu keras disertai pengera-
han tenaga dalam tinggi.
“Hiyaaa...!”
Diegkh!
“Akh...!”
Dewa Bayangan Putih kontan menjerit, begitu
pukulan yang mengandung pengerahan tenaga
dalam tinggi menghantam tepat di dadanya. Seke-
tika tubuhnya, terpental jauh ke belakang dengan
tubuh masih terbelit selendang yang begitu kuat
Beberapa kali orang tua itu bergulingan di tanah.
Dan belum juga bisa membebaskan diri dari liba-
tan selendang, Perempuan Bertopeng Emas sudah
melancarkan serangan dahsyat lagi, sambil berte-
riak keras menggelegar.
“Mampus kau! Yeaaah...!”
Prak!
“Aaa...!”
Seketika jeritan panjang yang menyayat pun
terdengar, begitu pukulan yang dilancarkan si Pe-
rempuan Bertopeng Emas menghantam kepala
Dewa Bayangan Putih. Tampak kepala orang tua
itu retak, dan darah mengucur keluar dengan de-
ras sekali.
Dewa Bayangan Putih menggelepar di tanah
dengan tubuh masih terlilit selendang. Sedangkan
darah semakin banyak keluar dari kepalanya
yang pecah. Sementara, Perempuan Bertopeng
Emas itu sudah mengambil ujung selendangnya.
Dan hanya sekali sentakan saja, libatan selen-
dang pada tubuh Dewa Bayangan Putih terlepas
seketika.
“Hih! Yeaaah...!”
Perempuan Bertopeng Emas tidak berhenti
sampai di situ saja saat melihat lawannya masih
bisa bergerak, walaupun sudah tidak mungkin
dapat bangkit berdiri lagi. Sambil membentak
nyaring, selendangnya dikebutkan. Seketika
ujung selendang itu tepat menghantam batang
leher Dewa Bayangan Putih.
Bret!
Tidak ada lagi jeritan yang terdengar. Tampak
leher laki-laki tua itu terpenggal hingga hampir
buntung, membuat darah makin deras keluar.
Dewa Bayangan Putih semakin keras menggelepar
bagai ayam disembelih. Namun hanya sebentar
saja bergerak, sesaat kemudian sudah mengejang
kaku dan diam tidak bergerak-gerak lagi. Darah
terus mengucur menggenangi tanah di sekitar tu-
buhnya.
“Hik hik hik...!”
Perempuan Bertopeng Emas tertawa mengikik
melihat lawannya dapat mudah ditaklukkan. Lalu
selendangnya dililitkan kembali di pinggangnya
yang ramping. Kemudian dengan ayunan kaki
yang tenang sekali, dia melangkah meninggalkan
Dewa Bayangan Putih yang kini sudah tergeletak
diam tidak bernyawa lagi.
“Hik hik hik...
Suara tawa wanita yang selalu bertopeng war-
na emas dengan seluruh pakaian juga berwarna
kuning keemasan itu terus terdengar mengiringi
ayunan langkahnya meninggalkan mayat lawan-
nya. Dan suara tawa itu terus terdengar, walau-
pun tubuh wanita itu sudah tidak terlihat lagi, le-
nyap ditelan lebatnya pepohonan di pinggiran De-
sa Caringin yang berbatasan langsung dengan hu-
tan ini.
Sementara, Dewa Bayangan Putih masih terge-
letak kaku dengan darah menggenang di sekitar-
nya. Kematian yang begitu mengenaskan bagi
Dewa Bayangan Putih. Dan suasana pun kembali
sunyi. Hanya desir angin saja yang terdengar
mempermainkan dedaunan. Suara tawa mengikik
itu pun sudah tidak terdengar lagi, begitu tubuh
si Perempuan Bertopeng Emas tidak terlihat lagi
di tepian hutan ini.
***
ENAM
Sementara itu, Bayu yang sudah kembali bera-
da di Desa Caringin, langsung menuju kedai milik
Tarsih. Namun tidak ada seorang pun yang da-
tang mengunjungi kedai itu. Keadaannya terlihat
begitu sunyi, walaupun di jalan depan kedai terli-
hat orang-orang hilir-mudik. Mereka seakan-akan
tidak tahu kalau ada kedai di pinggiran jalan itu.
Bayu langsung menerobos masuk ke dalam kedai. Kali ini bukan Tarsih, tapi Ki Radut yang me-
nyambutnya dengan tergopoh-gopoh. Orang tua
itu langsung saja menarik tangan Pendekar Pulau
Neraka, dan mengajaknya duduk agak ke sudut
dari ruangan kedai yang cukup terbuka ini.
“Den, wanita itu sudah mulai membunuh satu
keluarga penduduk,” tutur Ki Radut langsung
memberitahu, begitu mereka duduk berseberan-
gan meja.
“Hm...,” Bayu hanya menggumam saja sedikit
sambil memandangi wajah laki-laki tua yang du-
duk di seberang mejanya.
Memang Pendekar Pulau Neraka sudah men-
duga sejak semalam, kalau korban Perempuan
Bertopeng Emas itu adalah satu keluarga pendu-
duk yang sehari-harinya hanya berladang, tanpa
mengenal ilmu olah kanuragan. Tapi, Perempuan
Bertopeng Emas itu juga semalam sudah mem-
bunuh Lima Begal Sungai Ular, sebelum menda-
pat korban satu keluarga penduduk Desa Carin-
gin ini.
“Tidak lama lagi, desa ini akan rata dengan ta-
nah. Wanita itu pasti akan membunuh habis se-
mua penduduk Desa Caringin ini,” sambung Ki
Radut.
“Kau kelihatannya malah senang atas kejadian
ini, Ki...,” ujar Bayu, agak mendesis suaranya. Je-
las sekali kalau kata-kata Pendekar Pulau Neraka
mengandung kecurigaan pada orang tua ini.
“Mereka patut mendapat ganjaran yang setim-
pal seperti itu, Den,” sahut Ki Radut, agak datar
nada suaranya.
Kening Bayu jadi semakin dalam berkerut
mendengar jawaban orang tua ini. Sungguh tidak
disangka kalau Ki Radut menyukai tindakan si
Perempuan Bertopeng Emas. Semula Bayu meng-
harapkan Ki Radut akan memberi jawaban yang
lain. Tapi, kata-kata orang tua itu malah mem-
buatnya semakin bertambah curiga.
“Mana Tarsih, Ki?” tanya Bayu langsung terin-
gat pada wanita cantik yang menjadi pelayan di
kedai ini.
“Pergi,” sahut Ki Radut.
“Ke mana?” desak Bayu.
Belum juga Ki Radut bisa menjawab, dari ba-
gian belakang kedai ini muncul Tarsih disertai
senyuman manis tersungging di bibir. Bayu lang-
sung mengarahkan pandangan pada wanita ber-
wajah cantik itu.
“Aku tidak ke mana-mana, Kakang. Sejak tadi,
aku ada di belakang,” kata Tarsih langsung, sam-
bil menempatkan diri di samping Pendekar Pulau
Neraka.
Saat itu, muncul Tiren dari belakang kedai
sambil mencerecet rebut. Monyet kecil itu lang-
sung melompat naik ke pundak dan memeluk erat
leher Pendekar Pulau Neraka, seakan tidak ingin
dilepaskan lagi. Dengan halus Bayu melepaskan
pelukan monyet kecilnya.
“Dia terus-menerus ribut mencarimu, Den,” je-
las Ki Radut.
“Hm...,” Bayu hanya menggumam saja sedikit
Beberapa saat mereka jadi terdiam membisu.
Sementara, Bayu terus memandang Ki Radut dan
Tarsih bergantian. Entah apa yang dicari Pende-
kar Pulau Neraka pada wajah mereka berdua.
Namun jelas sekali terlihat kalau raut wajah me-
reka begitu datar, sulit diterka artinya.
Bayu lalu mengarahkan pandangannya ke luar.
Tampak matahari sudah condong ke arah barat
Sinarnya yang semula terasa terik, kini begitu
lembut menyapu seluruh permukaan Desa Carin-
gin ini Sedikit Bayu menghela napas, kemudian
dia bangkit berdiri.
“Kau mau ke mana, Kakang?” tanya Tarsih
langsung ikut berdiri.
“Pergi,” sahut Bayu singkat.
Kaki Pendekar Pulau Neraka terus saja terayun
melangkah keluar dari dalam kedai ini. Sementa-
ra Tarsih yang ingin mengejar, cepat dicegah Ki
Radut dengan mencekal pergelangan tangannya.
Terpaksa Tarsih tidak jadi mengejar Pendekar Pu-
lau Neraka. Hanya dipandanginya saja sampai
Bayu tidak terlihat lagi, menghilang di tikungan
jalan.
“Biarkan dia pergi, Tarsih,” ujar Ki Radut sam-
bil melepaskan cekalannya pada pergelangan tan-
gan wanita itu.
“Tapi, Ki....”
“Sudahlah.... Jangan turutkan kata hatimu,
Tarsih,” selak Ki Radut cepat, sebelum Tarsih bisa
melanjutkan ucapannya. “Sudah kau selesaikan
pekerjaanmu?”
“Sudah,” sahut Tarsih seraya mengangguk.
“Bagus,” sambut Ki Radut dengan bibir me-
nyunggingkan senyum. “Masih banyak pekerjaan
lain yang harus kau selesaikan di sini, Tarsih.
Dan kuminta hanya sekali itu saja kau keluar pa-
da siang hari”.
Tarsih hanya menganggukkan kepala saja, lalu
kembali duduk menghadapi meja. Raut wajahnya
kelihatan begitu datar, dengan pandangan mene-
kuri permukaan meja dari kayu ini. Sementara Ki
Radut sudah kembali ke belakang kedai.
***
Malam sudah jatuh menyelimuti seluruh per-
mukaan bumi. Suasana di Desa Caringin kembali
sunyi, bagaikan tidak berpenghuni lagi. Sementa-
ra tidak jauh di pinggiran desa, tampak Bayu
berdiri tegak di depan gundukan tanah yang ma-
sih kelihatan baru. Tidak jauh di belakangnya ter-
lihat sebuah rumah kecil berdinding bilik bambu.
Entah, apa yang ada dalam hati Pendekar Pulau
Neraka ini, mendapati Dewa Bayangan Putih su-
dah mati dengan luka begitu mengerikan. Kepa-
lanya retak, dengan leher terobek hampir bun-
tung.
Bayu menemukan orang tua itu tergeletak mati
tidak jauh di depan rumah yang ditempatinya.
Sedangkan darah yang menggenang sudah men-
gering. Kelihatannya kematian Dewa Bayangan
Putih sudah cukup lama. Malah, beberapa saat
setelah ditinggalkannya.
“Tapi, siapa yang bisa membunuh Dewa
Bayangan Putih...?” pertanyaan ini yang terus
mengganggu pikiran Bayu. Tapi Pendekar Pulau
Neraka bisa langsung menduga, siapa pelakunya.
“Hhh! Aku tidak bisa mendiamkan ini terus
berlangsung. Perempuan itu harus menanggung
akibatnya!” dengus Bayu memuntahkan kekesa-
lan hatinya.
Sebentar Bayu masih berdiri memandangi ku-
buran Dewa Bayangan Putih, kemudian tubuhnya
berbalik. Segera kakinya melangkah pergi me-
ninggalkan tempat peristirahatan terakhir tokoh
tua itu.
Bayu terus mengayunkan mantap kakinya me-
nuju Desa Caringin lagi. Di dalam hatinya, dia
bertekad akan membuat perhitungan kepada si
Perempuan Bertopeng Emas yang sudah membu-
nuh Dewa Bayangan Putih!
Tanpa disadari, Bayu berjalan sambil menge-
rahkan ilmu meringankan tubuhnya yang tingka-
tannya sudah sempurna sekali. Hingga dalam
waktu tidak berapa lama saja, Pendekar Pulau
Neraka sudah tiba ke Desa Caringin yang selalu
sunyi jika malam telah datang menyelimuti.
Sungguh menyolok perbedaannya bila pada siang
hari yang selalu ramai. Jika malam sudah datang,
desa ini bagaikan mati. Tidak seorang pun terlihat
berada di luar rumahnya.
Terlebih lagi, semalam satu keluarga yang di-
kenal semua penduduk hanya sebagai petani bi-
asa, mati menjadi korban si Perempuan Bertopeng Emas. Kejadian itu membuat seluruh pen-
duduk Desa Caringin jadi tidak berani keluar ru-
mah, dan benar-benar dicekam ketakutan yang
amat sangat Mereka kini sadar, kalau kematian
telah menghantui. Kalau hari-hari sebelumnya
mereka merasa senang karena yang dibunuh ada-
lah tokoh-tokoh hitam atau penjahat biasa, tapi
kini ternyata yang dibunuh oleh Perempuan Ber-
topeng Emas juga para penduduk biasa seperti
mereka.
Biasanya kalau sehabis ada pembantaian, para
penduduk desa ini berani keluar rumah, untuk
melihat tokoh siapa yang tewas dibunuh. Tapi se-
karang, mereka lebih memilih tinggal di rumah
dengan hati was-was, jangan-jangan diri mereka
yang mendapat giliran menjadi korban.
Ada apakah ini? Apakah pembunuhan-
pembunuhan terdahulu hanya sebagai siasat un-
tuk melenyapkan para penduduk Desa Caringin?
Memang masih terlalu dini untuk menjawabnya.
Sementara itu, Bayu memperlambat ayunan
kakinya, setelah sampai di tengah-tengah desa.
Kedua bola matanya dipentang lebar, mengamati
keadaan sekitarnya yang begitu sunyi. Sehingga,
gerit binatang malam pun seakan enggan mem-
perdengarkan suaranya. Hanya desir angin saja
yang terdengar, mengusik telinga Pendekar Pulau
Neraka. Perlahan-lahan Bayu mengayunkan ka-
kinya menyusuri jalan yang membelah desa ini.
Sementara, Tiren terus berada di pundak Pende-
kar Pulau Neraka tanpa memperdengarkan suara
sedikit pun. Seakan monyet kecil itu juga bisa
merasakan kesunyian yang begitu mencekam di
sekitarnya.
“Kita terpaksa tidak tidur malam ini, Tiren,”
ujar Bayu pelan.
“Nguk.”
“Malam ini, aku harus bisa mendapatkan wani-
ta iblis itu. Akan kuhajar dia seperti yang dilaku-
kannya pada Ki Dewa Bayangan Putih!” tegas
Bayu lagi, dengan nada agak ditekan.
Tiren hanya diam saja. Binatang itu seperti ta-
hu kalau Pendekar Pulau Neraka sedang me-
nyimpan kemarahan yang amat sangat dalam da-
danya. Dan memang, saat itu Bayu menyimpan
kemarahan menggelegar. Ini bisa terlihat jelas da-
ri raut wajahnya yang memerah, dengan sorot
mata tajam menyala bagai bola api hendak mem-
bakar hangus seluruh Desa Caringin ini. Semen-
tara, malam terus merayap semakin larut Dan ke-
sunyian semakin terasa begitu mencekam. Bayu
terus melangkahkan kakinya, mengelilingi desa
yang selalu sunyi di malam hari.
***
Sampai jauh tengah malam, Bayu belum juga
bisa menemukan adanya si Perempuan Bertopeng
Emas. Sedangkan kakinya sudah terasa penat, te-
rus-menerus berjalan mengelilingi Desa Caringin
yang cukup luas. Sedikit pun tidak ada tanda-
tanda kalau Perempuan Bertopeng Emas itu bak-
al muncul malam ini. Bayu berhenti melangkah,
tidak jauh dari rumah Tarsih. Entah kenapa, ha-
tinya begitu tergerak untuk mengamati rumah
yang bagian depannya dijadikan kedai. Sengaja
Bayu berdiri dekat pohon di pinggir jalan, sehing-
ga cahaya bulan tidak sampai meneranginya.
“Hm....”
Bayu menggumam sedikit, ketika melihat se-
seorang seperti akan keluar dari samping rumah
itu.
Hanya kepalanya saja yang terlihat menyembul
keluar, menoleh ke kanan dan ke kiri. Seakan dia
sedang mengamati keadaan sekitarnya. Kepala
yang diyakini Bayu adalah Ki Radut kembali teng-
gelam masuk ke dalam rumah. Dan tidak lama
setelah itu....
“Heh..?!”
Kedua bola mata Bayu jadi terbeliak lebar begi-
tu tiba-tiba melihat sebuah bayangan kuning
keemasan melesat keluar dari samping rumah itu.
Begitu cepat lesatannya, sehingga dalam sekeja-
pan mata saja sudah lenyap dari pandangan. Se-
mentara, Bayu masih terpaku, seperti tidak per-
caya dengan apa yang dilihatnya barusan.
Bayangan kuning keemasan yang diyakininya
adalah si Perempuan Bertopeng Emas, keluar dari
rumah yang sedang diamatinya. Dan pada saat
itu, pintu samping rumah itu tertutup lagi, sete-
lah sebelumnya terlihat kepala Ki Radut sedikit
keluar mengamati keadaan sekitarnya yang masih
kelihatan sunyi. Tampaknya, laki-laki tua itu ti-
dak menyadari kalau dari tempat yang sangat tersembunyi Bayu terus memperhatikan.
“Sebaiknya aku tunggu saja sampai dia kemba-
li di sini. Aku tidak tahu, ke mana dia pergi,” gu-
mam Bayu dalam hati, bicara pada diri sendiri.
Memang tidak mungkin bagi Pendekar Pulau
Neraka untuk mengejar si Perempuan Bertopeng
Emas yang sudah tidak terlihat lagi. Entah, ke
arah mana perginya wanita itu. Tapi Bayu sudah
begitu yakin, kalau Perempuan Bertopeng Emas
itu adalah Tarsih, wanita cantik yang menjadi pe-
layan di kedai itu. Bayu mengambil Tiren dari
pundaknya, dan menyuruhnya untuk naik ke
atas pohon. Dia tidak mau monyet kecilnya terlu-
ka saat menyergap si Perempuan Bertopeng Emas
nanti.
Seperti bisa mengerti kekhawatiran Bayu, Tiren
segera naik ke atas pohon. Dipilihnya dahan yang
dirasakannya cukup enak untuk tempat ber-
naung. Monyet kecil itu duduk mencangkung
sambil memperhatikan Bayu yang tetap berada di
bawah pohon. Sedikit pun Tiren tidak memper-
dengarkan suara, sepertinya tahu kalau saat se-
perti ini diperlukan kesunyian.
Belum juga lama Bayu menunggu, tiba-tiba
terdengar jeritan yang begitu panjang melengking
dari arah selatan desa ini. Dan tidak lama, dis-
usul dua kali jeritan lainnya yang tidak kalah
nyaringnya. Seketika, darah Bayu terasa bagai
berhenti mengalir mendengar jeritan-jeritan pan-
jang yang menandakan kematian.
Saat Bayu tengah menduga apa yang sedang
dilakukan Perempuan Bertopeng Emas di sebelah
selatan desa ini, tiba-tiba terlihat kobaran api
yang begitu besar dari arah selatan. Kembali Pen-
dekar Pulau Neraka jadi terkesiap. Dan matanya
tidak berkedip memandangi kobaran api yang
semakin lama semakin besar. Selang beberapa
saat kemudian, terdengar teriakan-teriakan orang
yang kalang-kabut melihat kobaran api itu. Se-
mentara, Bayu masih tetap bertahan. Pemuda ini
tidak mau terpancing dengan keributan yang ter-
jadi di bagian selatan Desa Caringin. Sudah bisa
dibayangkan, kalau penduduk desa ini tengah be-
rusaha memadamkan api yang membakar rumah
penduduk.
“Hm.... Itu dia datang....”
Tiba-tiba Bayu menggumam, ketika melihat se-
buah bayangan kuning keemasan berkelebat begi-
tu cepat dari arah selatan. Cepat Pendekar Pulau
Neraka mempersiapkan diri untuk menyergap
bayangan kuning keemasan. Tapi belum juga
berbuat sesuatu, tiba-tiba saja bayangan kuning
itu berkelebat begitu cepat ke arah timur. Dan se-
ketika itu juga, lenyap di antara rumah-rumah
penduduk.
“Edan...! Ke mana lagi dia...?” desis Bayu jadi
terperanjat tidak mengerti.
Begitu cepat sekali si Perempuan Bertopeng
Emas itu berkelebat. Sehingga, dalam sekejapan
mata saja sudah lenyap dari pandangan Pendekar
Pulau Neraka. Sulit untuk bisa diterka lagi, ke
mana arah tujuannya. Bayu jadi ragu-ragu untuk
mengejar dan menunggu di tempat ini. Dan di
saat Pendekar Pulau Neraka tengah berpikir,
mendadak saja....
Wusss...!
“Heh...?!”
Bayu jadi tersentak kaget, begitu tiba-tiba ter-
dengar hempasan angin yang begitu kuat dari
arah belakang. Dan ketika berpaling ke belakang,
terlihat sebuah benda bulat kecil seperti mata
kucing berwarna kuning keemasan, berkelebat
begitu cepat bagai kilat menuju ke arahnya.
“Haiiit..!”
Cepat Bayu memiringkan tubuhnya ke kanan.
Sehingga, benda kuning keemasan sebesar mata
kucing itu lewat di samping tubuhnya, dan lang-
sung menghantam sebuah pohon yang ada di se-
berang jalan. Seketika, pohon itu hancur berkep-
ing-keping memperdengarkan ledakan keras
menggelegar bagai gunung memuntahkan lahar.
Bayu sempat terbeliak melihat benda sekecil itu
mampu menghancurkan pohon yang cukup be-
sar!
“Hup...!”
Pendekar Pulau Neraka bergegas melompat ke
tengah jalan, begitu bayangan kuning keemasan
itu terlihat berkelebat begitu cepat dari belakang.
Langsung tubuhnya merunduk, hingga bayangan
kuning keemasan itu lewat di atas tubuhnya. Saat
itu juga, Bayu merasakan hempasan hawa panas
yang begitu menyengat, bersamaan dengan melin-
tasnya bayangan kuning keemasan itu di atas tubuhnya tadi.
“Hup! Yeaaah...!”
Pendekar Pulau Neraka langsung melenting ke
atas dan berputaran beberapa kali, sebelum ke-
dua telapak kakinya kembali menjejak tanah ja-
lan ini.
Saat itu juga, sekitar satu batang tombak di
depannya sudah terlihat seseorang berdiri menan-
tang. Tubuhnya ramping mengenakan baju yang
seluruhnya berwarna kuning keemasan. Cahaya
bulan yang memancar di langit, memantulkan
warna kuning keemasan dari topeng yang menu-
tupi wajah orang itu. Dari bentuk tubuhnya yang
indah dan ramping, sudah dapat dipastikan kalau
dia seorang wanita. Sementara, Bayu memperha-
tikannya beberapa saat Sudah bisa diduga kalau
di balik topeng emas itu tersembunyi wajah Tar-
sih yang cantik.
“Aku sudah tahu, siapa kau sebenarnya, Nisa-
nak. Dan kau tidak perlu lagi bersembunyi di ba-
lik topeng,” ujar Bayu dengan suara dingin meng-
getarkan.
“Kau sudah terlalu banyak ikut campur, Bayu.
Kau sama saja dengan Dewa Bayangan Putih.
Dan rasanya, kau sudah pantas kalau juga men-
dapat ganjaran sama,” tidak kalah dinginnya sua-
ra Perempuan Bertopeng Emas itu.
“Sudah kuduga, pasti kau yang membunuh-
nya,” desis Bayu dengan rahang menggeretak me-
nahan geram.
“Hik hik hik.... Sudah sepantasnya dia menda
patkan itu, Bayu. Dan kau juga akan menda-
patkannya, kalau masih ikut campur urusanku,”
ujar Perempuan Bertopeng Emas dingin.
“Kau bisa saja membunuh Dewa Bayangan Pu-
tih. Tapi, jangan harap begitu mudah melaku-
kannya padaku, Nisanak,” tantang Bayu lang-
sung.
“Hik hik hik...!” Perempuan Bertopeng Emas itu
hanya tertawa saja mengikik.
Jelas sekali kalau sikap perempuan itu begitu
meremehkan Pendekar Pulau Neraka. Dia sama
sekali tidak tahu kalau yang sedang dihadapinya
seorang pendekar muda yang sudah malang me-
lintang menghadapi segala macam bahaya dan
pertarungan berat dalam rimba persilatan. Bah-
kan semua tokoh persilatan akan segan bila ber-
hadapan dengannya. Tapi meskipun julukannya
berada pada deretan atas tokoh persilatan, Bayu
tidak merasa dirinya paling tinggi. Bahkan sama
sekali tidak memandang enteng terhadap wanita
bertopeng emas ini. Sudah beberapa kali Bayu
menyaksikan kehebatannya, dan harus hati-hati
menghadapinya.
Perlahan Pendekar Pulau Neraka menggeser
kakinya beberapa langkah ke kanan. Sorot ma-
tanya begitu tajam, tanpa berkedip sedikit pun
memperhatikan wanita bertopeng emas di depan-
nya. Sementara Perempuan Bertopeng Emas itu
belum juga bergerak. Dia malah tertawa mengi-
kik, melihat Bayu sudah menyilangkan tangan
kanannya di depan dada.
“Kau akan menyesal datang ke desa ini, Bayu.
Merataplah kau di neraka...!” dengus Perempuan
Bertopeng Emas dingin menggetarkan.
“Kita lihat saja, siapa yang lebih dulu terbang
ke neraka,” sambut Bayu tidak kalah dingin.
“Bersiaplah, Bayu.... Tahan selendang emasku!
Yeaaah...!
Rrrt..!
“Hup! Yeaaah...!”
***
TUJUH
Cepat Bayu melenting ke atas, begitu Perem-
puan Bertopeng Emas mengebutkan selendang-
nya sambil membentak keras menggelegar. Selen-
dang tipis berwarna kuning keemasan itu melu-
ruk deras, bagai seekor naga mengarah ke bagian
perut Pendekar Pulau Neraka. Cepat-cepat Bayu
bersalto. Dan ketika tubuhnya mendatar di uda-
ra....
“Hih! Shyaaa...!”
Tepat di saat selendang emas itu berada di ba-
wah tubuhnya, dengan pengerahan seluruh ke-
kuatan tenaga dalamnya yang sudah sempurna,
Bayu melepaskan satu pukulan keras menggele-
dek ke bagian tengahnya. Begitu cepat pukulan
yang dilepaskannya, sehingga Perempuan Berto-
peng Emas itu jadi terkejut setengah mati.
“Hap!”
Cepat wanita itu menghentakkan selendang-
nya, hingga bergerak cepat ke samping. Dengan
demikian, pukulan yang dilepaskan Bayu hanya
sedikit saja melesat di samping selendang emas
itu. Dan ketika kaki Pendekar Pulau Neraka men-
jejak tanah, si Perempuan Bertopeng Emas sudah
menggerakkan tangannya yang menggenggam se-
lendang kuning keemasan itu.
Rrrt!
Bagai seekor ular, selendang emas itu meliuk
begitu indah melingkari tubuh Pendekar Pulau
Neraka. Gerakan berputar yang begitu cepat,
sempat membuat Bayu jadi terperangah. Tapi dia
cepat berputaran di udara, seraya langsung men-
gibaskan tangan kanannya. Dan....
Siap!
“Heh...?!”
Perempuan Bertopeng Emas jadi kaget seten-
gah mati, tidak menyangka kalau benda bersegi
enam yang menempel di pergelangan tangan pe-
muda berbaju kulit harimau itu ternyata sebuah
senjata yang bisa dilemparkan, hanya dengan
mengebutkan tangannya saja. Dan belum juga
sempat disadari, tahu-tahu Cakra Maut yang di-
lepaskan Bayu sudah menghantam bagian tengah
selendangnya.
Bret!
“Ikh...?!”
Kembali Perempuan Bertopeng Emas itu terke-
jut hingga terpekik. Ternyata selendang kebang-
gaannya langsung terbelah menjadi dua bagian,
terkena sambaran senjata maut Pendekar Pulau
Neraka. Sementara, Bayu sendiri sudah menje-
jakkan kakinya kembali di tanah. Dan di saat
tangan kanannya terangkat naik ke atas kepala,
Cakra Maut melesat balik, lalu kembali menempel
kuat di pergelangan tangan kanan pemuda ini.
“Setan...! Kubunuh kau...!” geram Perempuan
Bertopeng Emas marah, mendapati selendangnya
tinggal sepotong lagi.
Sambil berteriak keras menggelegar, wanita
berpakaian serba kuning keemasan itu berlompa-
tan mengelilingi Pendekar Pulau Neraka. Dan se-
ketika itu juga, puluhan benda bulat kecil seperti
mata kucing berwarna kuning keemasan, ber-
hamburan di sekeliling Pendekar Pulau Neraka.
Cepat sekali benda-benda kuning keemasan itu
berhamburan bagai hujan.
“Hup! Yeaaah...!”
Tidak ada waktu lagi bagi Bayu untuk berpikir
menghadapi serangan gencar Perempuan Berto-
peng Emas ini. Cepat tubuhnya melenting ke atas
sambil berputaran beberapa kali, menghindari
benda-benda kecil yang sangat berbahaya itu.
Dan seketika itu juga, terdengar ledakan-ledakan
keras menggelegar dari senjata-senjata maut Pe-
rempuan Bertopeng Emas yang saling berbentu-
ran. Bahkan yang jatuh ke bawah pun membuat
tanah jadi terbongkar menimbulkan ledakan yang
begitu dahsyat menggelegar. Sehingga seluruh
Desa Caringin jadi bergetar bagai diguncang gempa.
Ledakan akibat pertarungan maut Pendekar
Pulau Neraka dengan Perempuan Bertopeng
Emas, membuat seluruh penduduk Desa Caringin
keluar dari dalam rumah. Tapi mereka langsung
menyingkir menjauh, begitu melihat wanita ber-
pakaian serba emas yang selama ini dianggap se-
bagai dewi pelindung, namun sudah meminta
korban penduduk biasa itu, bertarung melawan
seorang pemuda yang pernah terlihat menghajar
Lima Begal Sungai Ular di depan kedai Tarsih.
Sementara beberapa rumah penduduk yang
berdekatan letaknya dengan tempat pertarungan
sudah mulai hancur terkena sambaran senjata-
senjata maut yang dilemparkan si Perempuan
Bertopeng Emas. Bahkan tidak sedikit yang su-
dah terbakar, hingga membuat keadaan di sekitar
pertarungan jadi terang-benderang. Dan suasana
pun jadi berubah hangat oleh api yang kini ber-
kobar besar, membakar beberapa rumah. Se-
dangkan Bayu masih harus berjumpalitan di uda-
ra, menghindari setiap benda-benda maut yang
dilepaskan lawannya.
***
Serangan-serangan Perempuan Bertopeng
Emas masih terus datang menghujani Pendekar
Pulau Neraka. Benda-benda kecil berwarna kun-
ing keemasan itu bagai tidak pernah habis, terus
berhamburan di sekitar tubuh Bayu. Sedikit pun
pemuda berbaju kulit harimau itu tidak memiliki
kesempatan balas menyerang. Tubuhnya hanya
bisa berputaran di udara dan terus menghindari
serangan gencar lawannya.
Namun setelah cukup lama berlangsung, ak-
hirnya Perempuan Bertopeng Emas menghentikan
serangannya juga. Tampak tarikan napasnya
memburu cepat, bagai kuda yang baru dipacu
mendaki bukit terjal. Wanita itu berdiri tegak,
menatap tajam Pendekar Pulau Neraka dari balik
lubang mata topeng emasnya. Sementara, Bayu
juga sudah berdiri tegak mengatur napasnya yang
mulai terdengar agak memburu. Keringat tampak
menitik deras membasahi sekujur tubuh Pende-
kar Pulau Neraka.
“Hhh...!” Bayu menghembuskan napas berat-
nya.
Pendekar Pulau Neraka kali ini melakukan per-
tarungan yang sangat berat dan menguras ba-
nyak tenaga. Lawan yang dihadapinya memang
tidak bisa dianggap sembarangan. Wanita itu
memiliki kepandaian yang begitu tinggi, sehingga
sukar diukur tingkat kepandaiannya. Bayu benar-
benar tidak dapat lagi memandang sebelah mata
pada wanita bertopeng ini.
Sementara, orang-orang yang menyaksikan
pertarungan semakin bertambah banyak. Dan api
yang membakar rumah juga semakin besar, me-
rambat ke rumah-rumah lain. Sudah dapat dipas-
tikan kalau tidak lama lagi, Desa Caringin akan
hangus termakan api. Sedangkan di tengah-
tengah jalan, Bayu tetap berdiri tegak berhadapan
dengan Perempuan Bertopeng Emas. Entah kenapa, mereka jadi terdiam saling menatap tajam,
seakan tengah mengukur tingkat kepandaian
masing-masing.
“Kau memang tangguh, Bayu. Tapi, aku belum
kalah. Malam ini juga, kau harus mati di tangan-
ku...,” desis Perempuan Bertopeng Emas dingin
menggetarkan.
“Hm...,” Bayu pun hanya mengeluarkan gu-
maman sedikit.
“Bersiaplah menerima kematianmu, Bayu,” de-
sis Perempuan Bertopeng Emas lagi.
Setelah berkata demikian, wanita itu mencabut
sebuah benda sepanjang dua jengkal berwarna
kuning emas dari balik sabuk yang membelit
pinggangnya. Dan ketika dikebutkan, benda itu
menjadi panjang seperti tongkat Tampak bagian
ujungnya berbentuk mata tombak yang berkilatan
begitu tajam. Namun Pendekar Pulau Neraka sa-
ma sekali tidak merasa gentar melihat senjata
wanita bertopeng ini. Bahkan sikapnya kelihatan
tenang, walaupun kelihatannya tidak ada satu
senjata pun yang tergenggam di tangan.
Sementara semua orang yang menyaksikan se-
perti mencemaskan pemuda berbaju kulit hari-
mau yang kelihatannya tidak memiliki senjata.
Sedangkan lawannya kini sudah memainkan sen-
jata tombak emasnya. Putarannya tampak begitu
cepat, hingga yang terlihat hanya lingkaran
bayangan kuning keemasan bagai sebuah perisai
melindungi dirinya.
“Tahan seranganku, Bayu! Hiyaaat..!”
Bersamaan dengan melompatnya Perempuan
Bertopeng Emas itu dalam menyerang Pendekar
Pulau Neraka, semua orang yang melihat jadi me-
nahan napas. Sementara, Bayu sendiri tetap ber-
diri tegak dengan sikap begitu tenang. Hanya ta-
tapan matanya saja yang terlihat menyorot tajam,
memperhatikan gerakan Perempuan Bertopeng
Emas yang meluruk deras dengan ujung tombak
emas tertuju tepat ke dada.
Tepat di saat ujung tombak berwarna kuning
emas itu hampir menembus dada, cepat Bayu
mengangkat tangan kanannya terbalik ke depan
dada. Maka ujung tombak itu langsung menghan-
tam Cakra Maut yang berada di pergelangan tan-
gan Pendekar Pulau Neraka.
Tring!
“Ikh...!”
Perempuan Bertopeng Emas jadi terpekik, begi-
tu seluruh tangannya terasa bergetar, ketika
ujung tombaknya menghantam Cakra Maut di
pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka. Ce-
pat dia melompat ke belakang beberapa langkah.
Namun pada saat yang sama, Bayu pun sudah
membungkukkan tubuhnya sedikit agak miring
ke kiri. Dan dengan kecepatan bagai kilat tangan
kanannya dikibaskan ke depan sambil berteriak
keras menggelegar.
“Yeaaah...!”
Wusss!
Cakra Maut seketika itu juga melesat bagai se-
batang anak panah lepas dari busur, tepat mengarah ke dada Perempuan Bertopeng Emas. Begi-
tu cepat lesatannya hingga membuat Perempuan
Bertopeng Emas terbeliak dari balik topeng yang
menutupi wajahnya.
“Haiiit…!”
Bet!
Cepat wanita itu menghentakkan tongkat
emasnya menyilang ke depan dada. Sehingga Ca-
kra Maut menghantam bagian tengah batang
tombak kuning keemasan itu. Demikian keras
benturan Cakra Maut pada tombak itu, sehingga
menimbulkan percikan bunga api yang menyebar
ke segala arah. Tampak Perempuan Bertopeng
Emas terdorong tiga langkah, akibat benturan ke-
ras Cakra Maut pada tombaknya.
“Gila...! Senjatanya tidak bisa dibuat main-
main, “ dengus Perempuan Bertopeng Emas da-
lam hati.
Wanita itu masih merasakan nyeri pada selu-
ruh persendian tulang tangannya, akibat dua kali
terjadi benturan keras pada senjatanya tadi. Se-
mentara, Bayu berdiri tegak dengan tangan terli-
pat di depan dada. Sedangkan senjata mautnya
sudah kembali menempel di pergelangan tangan
kanannya. Sikapnya seakan memberi kesempatan
pada lawannya untuk menyerang lagi. Bayu me-
mang sengaja tidak mau menyerang lebih dahulu,
dan selalu memberi kesempatan lawannya me-
nyerang lebih dulu. Paling tidak, untuk mengukur
sampai sejauh mana tingkat kepandaian yang di-
miliki lawannya.
***
“Kenapa kau diam, Nisanak...?” terdengar sinis
nada suara Bayu.
“Huh!”
Perempuan Bertopeng Emas itu hanya men-
dengus saja dengan kesal. Dari balik topeng
emasnya, matanya menatap tajam dengan sinar
memerah pada Pendekar Pulau Neraka. Perlahan
kakinya bergeser ke kanan. Dan belum juga bisa
berbuat lebih jauh lagi, tiba-tiba saja berkelebat
sebuah bayangan hitam melintasi kepala orang-
orang yang berkerumun menyaksikan pertarun-
gan maut ini
Dan bayangan hitam itu langsung meluruk de-
ras ke arah Pendekar Pulau Neraka. Dan pada
saat yang bersamaan, sebuah benda bulat sebe-
sar kepala terlempar ke arah pemuda berbaju ku-
lit harimau itu.
“Hup...!”
Cepat Bayu melenting seraya berputaran ke be-
lakang, menghindari benda hitam yang dilempar-
kan ke arahnya. Benda bulat sebesar kepala itu
tepat jatuh di tempat Bayu tadi berdiri. Dan seke-
tika itu juga, terdengar ledakan dahsyat mengge-
legar. Sehingga, membuat seluruh tanah di Desa
Caringin ini jadi bergetar bagai diguncang gempa
begitu dahsyat.
Tampak tanah yang terbongkar membumbung
tinggi ke angkasa, bersama asap hitam yang men-
gepul membentuk jamur raksasa. Sementara,
Bayu sudah menjejakkan kakinya kembali di tanah dengan dada berdebar keras. Tidak bisa di-
bayangkannya, bagaimana jadinya kalau benda
hitam itu tadi mengenai tubuhnya. Tanah jalan
yang tertimpa benda hitam itu kini terlihat berlu-
bang besar seperti sumur.
“Hiyaaat..!”
Sementara, bayangan hitam itu terus meluruk
deras ke arah Pendekar Pulau Neraka. Dan pada
saat itu juga, Bayu langsung menghentakkan ke-
dua tangannya ke depan dengan telapak tangan
terbuka lebar, tepat di saat matanya melihat satu
pukulan kepalan tangan kanan yang meluncur
deras mengarah dadanya. Hingga....
Glarrr...!
Kembali terdengar ledakan keras menggelegar
begitu kedua telapak tangan Bayu berbenturan
dengan kepalan tangan orang berbaju serba hitam
itu. Tampak orang berbaju serba hitam itu berpu-
taran beberapa kali ke belakang. Sementara,
Bayu sempat terdorong dua langkah ke belakang.
Dan Pendekar Pulau Neraka langsung membung-
kukkan tubuhnya sedikit agak miring ke kiri. Te-
pat di saat orang berpakaian serba hitam itu men-
jejakkan kakinya di tanah, Bayu langsung mengi-
baskan tangan kanannya ke depan sambil berte-
riak keras.
“Hiyaaa...!”
Wusss!
Seketika itu juga, Cakra Maut yang selalu me-
nempel di pergelangan tangan kanan, Pendekar
Pulau Neraka melesat cepat bagai kilat, mengarah
langsung pada orang berpakaian serba hitam
yang tiba-tiba saja muncul dan langsung menye-
rang. Begitu cepatnya Cakra Maut meluncur, se-
hingga orang berpakaian serba hitam itu tidak
sempat menyadarinya.
“Awas, Ki...!”
Cras!
Bersamaan terdengarnya teriakan nyaring
memberi peringatan, orang berpakaian serba hi-
tam yang seluruh kepalanya tertutup kain hitam
itu memiringkan tubuhnya ke kiri. Tapi, gerakan-
nya sudah terlambat Sehingga sisi Cakra Maut
yang runcing sempat merobek bahu kanannya.
“Akh...!”
Orang berpakaian serba hitam itu jadi terpekik
kaget agak tertahan. Seketika, darah mengucur
deras dari bahunya yang terluka cukup lebar aki-
bat tersambar Cakra Maut tadi. Sementara, senja-
ta Pendekar Pulau Neraka terus melesat. Dan ke-
tika Bayu menghentakkan tangan kanannya ke
belakang, maka Cakra Maut langsung berputar
balik dari arah belakang orang berpakaian serba
hitam itu. Demikian cepatnya senjata maut Pen-
dekar Pulau Neraka itu berputar dan langsung
melesat balik, sehingga membuat orang berpa-
kaian serba hitam yang masih dilanda keterkeju-
tan ini tidak sempat lagi menyadarinya. Dan....
Crab!
“Aaa...!”
“Ki...!”
Jeritan nyaring seketika terdengar melengking,
begitu Cakra Maut menancap di punggung orang
berbaju serba hitam agak ketat ini. Bersamaan
dengan itu pula, terdengar teriakan nyaring dari
si Perempuan Bertopeng Emas.
Tampak orang berbaju serba hitam itu ter-
huyung-huyung dengan Cakra Maut masih me-
nancap begitu dalam di punggungnya. Begitu
Pendekar Pulau Neraka menghentakkan tangan
kanannya ke atas kepala, Cakra Maut melesat
kembali ke arahnya. Maka darah seketika mun-
crat keluar dari punggung orang berbaju serba hi-
tam ini. Cakra Maut kini kembali menempel di
pergelangan tangan kanan pemuda berbaju kulit
harimau itu.
“Hiyaaa...!”
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Bayu
langsung melompat cepat bagai kilat sambil berte-
riak keras menggelegar. Dan saat itu juga, satu
pukulan keras menggeledek yang mengandung
pengerahan tenaga dalam sempurna dilepaskan,
tepat ke kepala orang berpakaian serba hitam
yang masih terhuyung-huyung. Serangan Bayu
yang begitu cepat ini, sama sekali tidak dapat di-
hindari lagi.
Prak!
“Aaa...!”
Kembali terdengar jeritan panjang melengking
tinggi, begitu pukulan dahsyat yang dilepaskan
Pendekar Pulau Neraka menghantam tepat di ke-
pala orang berpakaian serba hitam itu. Tampak
darah merembas keluar dari kain hitam yang menyelubungi kepala. Sementara, Bayu kembali me-
lenting ke belakang sambil mutar tubuhnya. Dan
tangannya sempat mengibas, menjambret kain se-
lubung hitam yang menutupi kepala orang itu.
Bret!
“Ki Radut..,” desis Bayu begitu kakinya menje-
jak tanah.
Tanpa selubung kain hitam, jelas sekali wajah
orang berpakaian serba hitam itu. Memang, orang
itu adalah Ki Radut Dan Bayu sama sekali tidak
terkejut lagi, karena memang sudah menduga.
Sementara Ki Radut sendiri sudah tidak dapat la-
gi menguasai diri. Dengan punggung berlubang
mengeluarkan darah, dan kepala retak terkena
pukulan dahsyat Pendekar Pulau Neraka, dia ti-
dak mungkin lagi bisa bertahan lebih lama.
Setelah beberapa saat tubuhnya gontai, laki-
laki tua ini seketika ambruk ke tanah dengan da-
rah terus mengucur dari punggung dan kepalanya
yang retak. Hanya sebentar saja Ki Radut meng-
geliat di tengah jalan berdebu ini, kemudian men-
gejang kaku sambil mengerang lirih. Lalu, tubuh-
nya diam tidak bergerak-gerak lagi, membujur
kaku tanpa nyawa.
“Keparat...! Kubunuh kau...!”
Perempuan Bertopeng Emas jadi geram melihat
Ki Radut tewas begitu mengerikan di tangan Pen-
dekar Pulau Neraka. Sambil menggeram marah,
wanita berpakaian serba kuning emas itu lang-
sung saja melangkah cepat, menghampiri pemuda
berbaju kulit harimau ini. Dan begitu jaraknya
tinggal sekitar lima langkah lagi, langsung tombak
emasnya dikebutkan ke depan sambil melompat
sedikit.
“Shyaaa...!”
“Haiiit...!”
Hanya sedikit saja Bayu menarik tubuhnya ke
belakang, hingga ujung tombak yang kuning dan
runcing itu lewat di depan perutnya. Tapi belum
juga Pendekar Pulau Neraka bisa menegakkan
tubuhnya kembali, Perempuan Bertopeng Emas
sudah melompat cepat sambil melepaskan satu
tendangan menggeledek dengan kaki kiri.
“Yeaaah...!”
“Hap!”
***
DELAPAN
Bayu langsung menghentakkan tangan kanan-
nya, menyambut tendangan kaki kiri Perempuan
Bertopeng Emas itu. Begitu cepatnya gerakan
yang dilakukan, hingga wanita berpakaian serba
kuning ini tidak dapat lagi menarik pulang seran-
gannya. Maka benturan keras pun seketika terja-
di.
“Akh...!”
Perempuan Bertopeng Emas itu jadi terpekik
agak tertahan, ketika kakinya membentur tangan
kanan Pendekar Pulau Neraka. Cepat-cepat tu-
buhnya melenting ke belakang, dengan berputaran dua kali. Dan begitu kaki wanita itu menjejak
tanah, Bayu langsung melompat cepat bagai kilat
sambil berteriak keras menggelegar.
“Hiyaaa...!”
Seketika itu juga, tangan kanan Pendekar Pu-
lau Neraka mengibas ke depan, membuat Cakra
Maut yang selalu berada di pergelangan tangan
kanan melesat menyerang si Perempuan Berto-
peng Emas.
“Hup!”
Tidak ada jalan lain lagi bagi wanita itu untuk
menghindar. Maka cepat tubuhnya melenting ke
atas. Dan pada saat itu pula, tangan kiri Bayu
berkelebat cepat ke kepala. Begitu cepat gerakan
tangan kirinya, sehingga Perempuan Bertopeng
Emas tidak dapat lagi menghindari. Terlebih lagi,
dia harus menghindari serangan senjata andalan
Pendekar Pulau Neraka. Dan....
Bret!
“Aukh...!”
Perempuan Bertopeng Emas itu jadi terpekik
kaget, ketika topeng yang dikenakannya terampas
tangan kiri Pendekar Pulau Neraka. Maka wajah
yang sejak tadi terlindung di balik topeng emas
itu kini terlihat jelas di bawah siraman cahaya
bulan dan terangnya cahaya api yang masih
membakar rumah-rumah penduduk Desa Carin-
gin ini.
“Tarsih....”
Semua orang yang menyaksikan pertarungan
itu jadi terperanjat, tidak mengira kalau Perempuan Bertopeng Emas itu ternyata Tarsih. Me-
mang, wanita pemilik kedai ini tidak disukai pen-
duduk, karena dulu ayahnya seorang pemeras
rakyat yang paling kaya di desa ini. Suatu ketika
semua kekayaan orangtua Tarsih ludes dirampok
dan rumahnya dibakar habis. Bahkan semua
penghuni rumah itu dibantai habis, kecuali Tar-
sih dan Ki Radut saja yang bisa menyelamatkan
diri. Dan Ki Radut sendiri, dulunya adalah seo-
rang tukang pukul orangtua Tarsih yang paling
kejam. Setelah berhasil menyelamatkan diri, Tar-
sih dengan diantar Ki Radut, berguru di Pergu-
ruan Selendang Emas. Kebetulan, yang menjadi
ketuanya adalah paman Ki Ridut sendiri. Dan ke-
tika telah menguasai ilmu-ilmu tingkat tinggi,
Tarsih dan Ki Ridut kembali ke Desa Caringin, se-
telah terlebih dahulu diwarisi senjata selendang
emas.
Namun ketika mereka kembali, rupanya para
penduduk yang dulu menjadi korban ketamakan
orangtua Tarsih, memasang wajah ketidaksenan-
gan mereka. Inilah yang menyebabkan Tarsih me-
rasa harus membalas sikap mereka. Demikian
pula terhadap penjahat-penjahat atau tokoh-
tokoh hitam yang telah merampok dan memban-
tai habis keluarganya!
“Bunuh saja dia...!”
“Bunuh perempuan setan itu...!”
Seketika seluruh penduduk Desa Caringin
memuntahkan kemarahannya. Dulu mereka ben-
ci terhadap orangtua Tarsih. Dan kini terhadap
Tarsih sendiri. Terlebih lagi sekarang ini mereka
sudah kehilangan seluruh harta benda dan tem-
pat berteduh. Bahkan tidak sedikit yang kehilan-
gan anggota keluarganya, yang tidak sempat me-
nyelamatkan diri dari dalam rumahnya yang ter-
bakar. Dan dengan malam ini, sudah dua keluar-
ga yang dibantai Tarsih!
Tapi kemarahan mereka hanya pada lontaran
kata-kata saja. Tidak ada seorang pun yang bera-
ni mendekati, karena begitu takut pada senjata
tombak yang masih berada dalam genggaman
Tarsih.
Mereka tahu, wanita ini bukanlah wanita sem-
barangan. Kepandaiannya begitu tinggi. Sehingga,
entah sudah berapa puluh orang yang menjadi
korbannya selama memakai julukan Perempuan
Bertopeng Emas.
***
“Sebaiknya kau menyerah saja, Tarsih. Demi
keselamatanmu sendiri, kupersilakan kau pergi
dari desa ini. Dan, jangan coba untuk kembali la-
gi membuat kekacauan,” ujar Bayu masih mem-
beri kelonggaran pada Perempuan Bertopeng
Emas itu.
“Phuih! Aku lebih baik mati bersama hancur-
nya desa ini!” dengus Tarsih tidak mau menyerah
begitu saja.
“Tidak ada gunanya kau mengumbar amarah
dan dendam. Rasa dendam tidak akan pernah bi-
sa padam, kalau kau sendiri tidak mau mema-
damkannya,” bujuk Bayu masih mencoba melunakkan kekerasan hati wanita itu.
“Jangan banyak bicara kau, Bayu! Lawan aku!
Hiyaaat..!”
Tarsih memang sudah merasa kepalang basah,
sehingga sama sekali tidak mau menyerah. Bah-
kan diiringi pengerahan seluruh kekuatan yang
tersisa, segera dia melompat cepat sekali menye-
rang Pendekar Pulau Neraka dengan senjata tom-
bak emasnya.
Bet!
Tombak berwarna kuning emas itu seketika
berkelebat begitu cepat ke arah tenggorokan
Bayu. Tapi hanya sedikit saja menarik kepala ke
belakang, Bayu bisa menghindari hunjaman
ujung tombak yang runcing. Dan segera kakinya
ditarik ke belakang dua langkah, begitu Tarsih
cepat memutar tombaknya dan langsung dis-
odokkan ke perut Pendekar Pulau Neraka.
“Hap!”
Bayu langsung mengibaskan tangan kanannya,
sambil memiringkan tubuh ke kiri. Langsung di-
tangkisnya tusukan tombak emas itu.
Tring!
Cakra Maut yang berada di pergelangan tangan
Pendekar Pulau Neraka tepat membentur mata
tombak emas ini. Sementara, Tarsih langsung
menarik pulang tombaknya. Tapi dengan kecepa-
tan kilat, senjatanya kembali disodokkan ke arah
dada Pendekar Pulau Neraka.
“Upths!”
Cepat Bayu menarik tubuhnya ke kiri, meng
hindari tusukan tombak ke dadanya. Dan begitu
mata tombak emas itu lewat di depan dada, cepat
tangan kirinya dikibaskan. Maka....
Tap!
“Ikh...!”
Tarsih jadi terpekik kaget, begitu tiba-tiba ba-
tang tombaknya tertangkap tangan kiri Pendekar
Pulau Neraka. Maka cepat seluruh kekuatan te-
naga dalamnya dikerahkannya untuk menarik
tombaknya. Tapi, genggaman tangan kiri Pende-
kar Pulau Neraka begitu kuat. Sehingga, senjata
yang seperti terbuat dari emas itu tidak bergerak
sedikit pun.
“Shyaaa...!”
Belum juga Tarsih bisa menguasai senjatanya
lagi, tiba-tiba saja Bayu sudah membentak keras
bagai guntur. Dan seketika itu juga, tubuhnya
mencelat ke atas sambil melepaskan satu tendan-
gan keras menggeledek mengandung pengerahan
tenaga dalam sempurna. Begitu cepat serangan-
nya, hingga membuat kedua bola mata Tarsih jadi
terbeliak lebar.
“Haiiit..!”
Tidak ada pilihan lain lagi bagi Perempuan Ber-
topeng Emas itu. Cepat tubuhnya dibanting ke
tanah sambil melepaskan tombaknya yang masih
berada dalam genggaman tangan kiri Bayu. Bebe-
rapa kali tubuhnya bergulingan di tanah, hingga
terhindar dari tendangan dahsyat Pendekar Pulau
Neraka. Tapi begitu melompat bangkit berdiri,
Bayu sudah melesat cepat sambil melepaskan satu pukulan menggeledek dengan tangan kiri.
“Hiyaaa...!”
Begitu cepat serangan Pendekar Pulau Neraka,
sehingga Tarsih tidak sempat lagi berkelit meng-
hindarinya. Dan....
Diegkh!
“Akh...!”
Tarsih jadi terpekik, begitu pukulan tangan kiri
yang mengandung pengerahan tenaga dalam ting-
gi itu menghantam tepat dadanya. Seketika, tu-
buhnya terpental deras ke belakang, dan jatuh
keras sekali menghantam tanah. Kembali tubuh-
nya bergulingan di tanah beberapa kali, hingga
berhenti begitu menabrak sebuah pohon yang
tumbuh di pinggir jalan. Seketika pohon itu roboh
terlanda tubuh ramping si Perempuan Bertopeng
Emas ini.
“Hoeeekh...!”
Tarsih langsung menyemburkan darah kental
berwarna agak kehitaman dari mulutnya, begitu
mencoba bangkit berdiri. Seluruh rongga dadanya
terasa bagai hendak meledak akibat terkena pu-
kulan dahsyat Pendekar Pulau Neraka tadi. Sam-
bil memegangi dadanya yang terasa remuk, Tarsih
mencoba bangkit berdiri.
Dengan susah payah, akhirnya Perempuan
Bertopeng Emas itu bisa juga berdiri. Walaupun,
tidak lagi bisa tegak. Darah masih terlihat meng-
gumpal di seluruh rongga mulutnya. Kembali dis-
emburkannya gumpalan darah kental agak kehi-
taman. Sementara, Bayu berdiri tegak memandangi dengan sinar mata sukar diartikan.
“Kau terluka parah, Tarsih. Sebaiknya tinggal-
kan saja desa ini,” bujuk Bayu masih memberi
kesempatan wanita itu untuk menyambung se-
lembar nyawanya.
“Akan kubunuh kau, Bayu. Kubunuh kau...,”
desis Tarsih agak tersedak suaranya.
Dengan tangan dan jari-jari bergetar, Perem-
puan Bertopeng Emas yang sekarang tidak lagi
mengenakan topeng itu menuding Pendekar Pu-
lau Neraka. Walaupun terluka begitu parah, tapi
sorot matanya terlihat sangat tajam menusuk
langsung ke bola mata Pendekar Pulau Neraka.
Jelas sekali terlihat pada sinar matanya yang pe-
nuh memendam dendam ini.
Dan Bayu bisa menyadari ketidakpuasan wani-
ta itu padanya. Tapi, dia tidak bisa berbuat apa-
apa lagi. Semua yang dilakukan hanya untuk
menyelamatkan nyawa orang banyak yang tidak
berdosa, setelah semua persoalannya diketa-
huinya dari awal. Tapi, Bayu masih saja memberi
kesempatan pada Tarsih untuk tetap hidup. Pe-
muda itu juga tidak memandang seluruh kesala-
han ada pada wanita ini. Bahkan Bayu merasa
iba melihat persoalan Tarsih, yang memaksanya
harus bertindak seperti iblis dengan membantai
siapa saja yang dianggapnya telah menyinggung
perasaannya.
“Pergilah, Tarsih. Jangan sia-siakan kesempa-
tan hidupmu yang hanya sekali ini. Percayalah,
padaku. Tidak ada seorang pun yang bisa mencegahmu pergi dari desa ini,” bujuk Bayu lagi.
Tarsih hanya diam saja memandangi wajah
tampan Pendekar Pulau Neraka. Sementara darah
masih terus keluar dari sudut bibirnya. Tapi, kali
ini sinar matanya tidak lagi terlihat tajam. Bah-
kan begitu redup dan berkaca-kaca memandangi
Pendekar Pulau Neraka.
Sementara, Bayu bisa merasakan semua yang
tengah dirasakan wanita ini. Baginya, jalan hidup
Tarsih tidak berbeda jauh dengan jalan hidup
yang ditempuhnya sejak masih bayi. Bayu juga
sudah kehilangan kedua orangtuanya, sejak ma-
sih bayi Bahkan tidak sempat lagi melihat wajah
kedua orangtuanya. Hingga, rasa sakit dalam ha-
tinya tidak seperti yang dirasakan Tarsih.
“Ayo, kuantar keluar dari desa ini,” ajak Bayu
lagi, tetap membujuk.
Tarsih hanya diam saja. Dia jadi bimbang oleh
ajakan Pendekar Pulau Neraka yang begitu tulus.
Di dalam hatinya, memang tersimpan kemarahan
pada Bayu yang sudah menggagalkan dendam-
nya. Tapi paling tidak, sebagian dari dendamnya
sudah terbalas. Walaupun, seluruh keinginannya
untuk menghancurkan Desa Caringin bersama
penduduknya tidak terlaksana.
“Ayo, Tarsih. Jangan sia-siakan kesempatan
ini,” bujuk Bayu lagi.
Bayu sudah hampir tidak sabar, melihat orang-
orang sudah mulai menghampiri dengan wajah
memancarkan kemarahan pada Perempuan Ber-
topeng Emas itu. Sementara, Tarsih hanya diam
saja memandangi Pendekar Pulau Neraka tanpa
berkedip sedikit juga. Perlahan tubuhnya mem-
bungkuk, mengambil tombaknya yang tergeletak
tidak jauh di samping kiri kakinya. Dengan tan-
gan gemetar digenggamnya tombak itu erat-erat
Sementara, semua orang sudah semakin dekat
menghampiri dengan berbagai macam senjata ter-
genggam di tangan.
“Aku tidak pantas hidup dengan semua kega-
galan ini. Maafkan aku, Bayu. Kuhargai semua
kebaikanmu padaku,” ujar Tarsih.
Setelah berkata demikian, wanita itu cepat
mengangkat tombaknya. Dan....
Bres!
“Tarsih...!”
Bayu jadi terkejut setengah mati, begitu meli-
hat Tarsih menghunjamkan tombak ke dadanya
sendiri. Kuat sekali hunjaman tombak itu, hingga
tembus ke punggung. Bukan hanya Bayu saja
yang terkejut. Bahkan semua orang yang melihat
juga tersentak kaget. Sungguh tidak disangka ka-
lau Tarsih akan berbuat nekat seperti itu.
Sementara Bayu pun tidak bisa berbuat apa-
apa. Hanya dipandanginya tubuh Tarsih yang
ambruk ke tanah dengan dada tertembus tom-
baknya sendiri. Wanita itu langsung menghem-
buskan napas terakhir begitu tubuhnya ambruk
dan menyentuh tanah.
“Mereka tetap manusia seperti kalian. Makam-
kanlah seperti layaknya,” ujar Bayu dengan suara
agak tertahan.
Semua orang hanya diam saja. Mereka seperti
tidak tahu, apa yang harus dilakukan. Walaupun
kebencian bersemayam dalam dada, tapi men-
dengar kata-kata yang diucapkan Pendekar Pulau
Neraka, beberapa orang sudah bergerak meng-
hampiri Tarsih dan Ki Radut. Dan mereka segera
mengangkat kedua mayat itu untuk dipindahkan
ke tempat yang lebih nyaman.
Sementara, Bayu hanya memperhatikan saja.
Kepalanya lalu berpaling sedikit, begitu Tiren
menghampiri. Monyet kecil itu naik ke pundak
Pendekar Pulau Neraka. Beberapa saat Bayu ma-
sih berdiri di tempatnya, memandangi orang-
orang yang mulai mengurus mayat-mayat yang
berjatuhan di malam ini. Sementara, mayat Tar-
sih dan Ki Radut ada bersama mereka.
“Ayo kita pergi, Tiren,” ajak Bayu pada monyet
kecilnya yang sudah berada di pundak sebelah
kanan.
“Nguk.”
Perlahan Bayu mengayunkan kakinya, mening-
galkan Desa Caringin. Di dalam kepalanya, masih
belum bisa dipahami sikap yang diambil Tarsih,
dengan membunuh dirinya sendiri. Malah, den-
gan senjatanya sendiri juga. Tapi, Bayu mengakui
kalau semua penderitaan yang dialami Tarsih be-
gitu berat. Memang tidak semua orang bisa me-
nanggung derita seberat itu. Hanya saja sangat
disayangkan tindakan Tarsih yang nekat. Daripa-
da hidup menanggung kekalahan dan kegagalan-
nya dalam melampiaskan dendam, baginya lebih baik bunuh diri!
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar