PEDANG SETAN
DEWA RUCI
Oleh Teguh Suprianto
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Pulau Neraka
dalam episode:
Pedang Setan Dewa Ruci
128 hal ; 12 x 18 cm
SATU
Hari belum begitu malam ketika keributan itu
terjadi di rumah Juragan Suminta. Teriakan ke-
ras dan jerit kesakitan mulai mewarnai keadaan
di sekitar rumah mewah dengan pekarangan luas
itu. Suara-suara pertarungan itu kemudian dis-
usul dengan kegaduhan yang semakin memun-
cak. Api mulai menjalar menimbulkan asap hitam
yang membumbung ke angkasa. Ada jerit tangis
saling bersahutan, lalu... terdengar teriakan ke-
matian!
Dari arah belakang terdengar derap kaki kuda
berlari kencang. Seorang laki-laki setengah baya
melarikan kudanya dengan tergesa-gesa. Sesekali
terlihat dia melirik ke belakang. Wajahnya cemas,
seperti mengkhawatirkan sesuatu. Di punggung-
nya tergembok sebuah bungkusan berukuran
agak besar dengan lobang udara kecil di sela-sela
sisi-sisinya. Namun apabila diperhatikan dengan
seksama, akan terlihat bahwa bungkusan itu ter-
nyata kain panjang yang dilipat sedemikian rupa.
Dan di dalamnya terlihat seorang bayi berusia se-
kitar lima bulan yang diselimuti kain tebal.
“Jangan biarkan dia kabur! Lekas kejar! Tang-
kap dia dan bunuh mereka...!” Seorang laki-laki
berteriak di antara hiruk-pikuk pertarungan di
halaman rumah Juragan Suminta.
“Heaaa...!”
Lima orang laki-laki berwajah kasar serentak
melompat ke punggung kuda masing-masing dan
mengejar laki-laki setengah baya yang meloloskan
diri dari pintu belakang gedung itu.
Merasa bahwa pelariannya ternyata diketahui
oleh orang-orang itu, lelaki setengah baya itu
tampak lebih cemas lagi wajahnya. Dia memacu
kudanya sambil berteriak-teriak kencang.
“Hiyaaa...! Heaaa...!”
“Kurang ajar! Akan kulumatkan kepalanya...!”
geram salah seorang di antara para pengejar itu.
Wajahnya berkerut menahan geram. Kedua biji
matanya itu bagai hampir meloncat keluar, jadi
lebih mengerikan manakala sedang marah seperti
itu.
“Sudah, jangan banyak ribut! Kalian menyebar
ke sana, dan kami terus mengejar dari sini!” ser-
gah laki-laki bertubuh besar yang mengenakan
ikat kepala merah.
Bersama dengan seorang kawannya, dia terus
mengejar laki-laki setengah baya itu. Sementara
tiga orang lainnya memotong jalan melewati hu-
tan kecil yang ada disebelah kiri jalan mereka,
yang nantinya akan tembus ke jalan yang akan
dilalui oleh laki-laki setengah baya yang sedang
mereka kejar.
Laki-laki setengah baya mulai kelihatan geli-
sah. Berkali-kali dia menoleh ke belakang. Para
pengejarnya semakin memperpendek jarak saja.
Meski dia memacu kudanya dengan kencang,
namun hewan itu seperti terbatas kemampuan la-
rinya. Dia mengeluh pelan, dan merasa tidak be-
rapa lama lagi tentu dia akan terkejar.
“Maafkan paman, Ayu. Paman akan berusaha
melindungimu walau dengan taruhan nyawa se-
kalipun. Tidak akan paman biarkan mereka me-
renggut nyawamu begitu saja....” Lirih terdengar
suara laki-laki itu sambil menoleh ke arah bayi di
punggungnya.
Bayi itu seperti mengerti apa yang tengah ter-
jadi pada mereka, hanya diam saja. Sama sekali
tidak menangis!
“Yeaaa...!”
“Ohhh...!” laki-laki setengah baya terkejut. Tiga
orang penunggang kuda telah menghadang di de-
pannya. Buru-buru dia menarik tali kekang ku-
danya. Namun hewan yang telah lelah itu malah
meringkik keras seraya mengangkat kedua kaki
depannya tinggi-tinggi.
“Hup!” Dengan sigap dia melompat dan menje-
jakkan kedua kakinya ke tanah dengan mulus.
“Wandira, berhenti kau! Jangan harap kau bisa
selamat dari kami!” bentak salah seorang di anta-
ra penghadangnya itu. Kemudian melompat dari
kudanya dan menghadang laki-laki setengah baya
yang dipanggil Wandira itu dengan sorot mata
buas.
“Hua ha ha...!” Kau kira bisa menyelamatkan
diri dari kami?!”
Ki Wandira kembali terkejut. Dua orang pe-
nunggang kuda yang tadi mengejarnya di bela-
kang, kini ikut mengepungnya juga. Dia bersiaga
akan segala kemungkinan yang akan terjadi. So-
rot matanya tajam mengawasi mereka satu persatu.
Laki-laki bertubuh besar dan memakai ikat ke-
pala merah, yang agaknya pemimpin keempat
kawannya itu, melompat turun dari punggung
kudanya dan melangkah pelan mendekati Ki
Wandira. Pada jarak lima langkah dia berhenti,
lalu sambil bertolak pinggang, wajahnya menye-
ringai buas. Tangan kanannya mengelus-elus ga-
gang golok yang terselip di pinggang kiri. Semen-
tara tangan kirinya memilin-milin ujung kumis-
nya yang tebal.
“Hari ini keluarga Suminta dan keturunannya
akan musnah dari dunia ini, dan tidak ada seo-
rang pun yang mampu menghalanginya!” dengus
laki-laki itu sinis.
“Keparat kau, Suteja! Kau boleh berkata se-
maumu, tapi jangan harap aku akan menyerah
begitu saja padamu!” dengus Ki Wandira tidak ka-
lah menggertak.
“Ha ha ha...! Tua bangka, Wandira. Apa yang
akan bisa kau andalkan untuk menghadapi kami
berlima!” Majikan dan centeng-centengnya yang
berilmu tangguh telah tewas. Kau cuma tukang
kebun yang lemah. Apa yang bisa kau andalkan
untuk melindungi putri majikanmu itu? Menye-
rahlah agar kami bisa meringankan hukumanmu.
Mengingat kau cuma seorang tukang kebun, sia-
pa tahu ketua kami bisa mengampuni jiwamu!”
“Terkutuk kau, Suteja! Sampai kapan pun aku
tidak akan menyerah dan membiarkan kalian
menyembelih bayi yang tidak berdosa ini!”
“Huh, keras kepala! Kalau begitu kau boleh
mampus sekarang juga! Ayo, rencah dia!” teriak
Suteja seraya memberi isyarat pada keempat ka-
wannya untuk menyerang Ki Wandira.
“Yeaaa...!”
***
Ki Wandira mendengus sinis. Melihat keli-
manya maju bersamaan dengan senjata terhunus,
dia menggertak rahang, tubuhnya berkelit ke
samping dengan sedikit membungkuk ketika satu
tebasan menghajar ke arah dada kirinya. Kemu-
dian dengan enteng tubuhnya melompat ke atas
sambil mengayunkan satu tendangan ke arah la-
wan yang terdekat setelah mengelak dari dua te-
basan yang menyusul.
“Hiyaaa...!”
“Uts!”
Tukang kebun sial! Ternyata kau memiliki ke-
mampuan juga! Bagus. Aku ingin lihat, sampai di
mana kebisaanmu!” dengus Suteja seraya meng-
hindar ke samping dari tendangan itu.
Wut!
Plak!
Dengan gemas tubuhnya melenting ke atas.
Goloknya menyambar ke leher lawan. Tubuh Ki
Wandira merungkel menghindari serangan itu,
dan tangan kirinya berputar menghantam teng-
kuk lawan. Suteja dengan spontan menangkis. Ki
Wandira terkejut. Wajahnya berkerut menahan
sakit akibat benturan itu. Namun dia masih
mampu melompat ke samping seraya mengi-
baskan tangan kanan untuk menghindari kepalan
tangan salah seorang lawan.
Begkh!
“Akh!”
Laki-laki setengah baya itu mengeluh kesakitan
ketika salah seorang pengeroyoknya dengan tiba-
tiba berhasil menyarangkan hantaman kepalan
tangan kanannya ke pinggang. Ki Wandira ter-
huyung-huyung beberapa langkah. Namun begitu
tubuhnya masih mampu menghindar dari teba-
san seorang pengeroyoknya yang lain.
“Uts!”
“Mampus...!” gumam Suteja seraya melompat
ke arah lawan dengan mengayunkan satu ten-
dangan keras ke arah lambung.
Ki Wandira terkejut. Tubuhnya melompat ke
belakang. Namun dengan gemas ujung golok Su-
teja menyambar. Serangan itu memang telah di-
rencanakan untuk mengecoh lawan. Ki Wandira
terkejut dan tidak sempat mengelak. Orang tua
itu menjerit kesakitan.
Cras!
“Aaaakh...!”
Salah seorang pengeroyoknya lagi berhasil
menghantam perutnya yang tengah terluka parah
itu dengan satu tendangan keras. Ki Wandira
memekik kesakitan ketika tubuhnya terjungkal.
Namun dengan kekuatan tenaga, orang tua itu
berusaha jatuh dalam keadaan tengkurap agar
bayi di punggungnya tidak tertindih tubuhnya.
“Setan! Masih alot juga rupanya kau...!” maki
salah seorang yang langsung mengayun goloknya
ke punggung lawan.
“Ohhh...!”
“Ki Wandira terkejut dan berusaha memperta-
hankan nyawa si bayi dengan mengibaskan sebe-
lah kakinya untuk menghantam perut lawan. Ta-
pi....
Cras!
“Aaakh...!”
Kembali orang tua itu terpekik. Senjata lawan
dengan cepat berbalik dan menyambar kakinya
hingga putus. Darah mengucur deras sebatas lu-
tut Orang tua itu berusaha bangkit dengan lang-
kah terpincang-pincang. Pada saat itu dua orang
lawannya kembali mengayunkan golok dengan
wajah beringas dan siap menghabisi nyawa orang
tua itu bersama bayi dalam gendongannya.
“Mampus kau, Wandira...!”
“Yeaaah...!”
Ki Wandira terkesiap. Dia berusaha melompat
untuk menghindari serangan lawan. Namun
ujung salah satu senjata lawan cepat menyambar
pahanya. Orang tua itu kembali menjerit. Dan
kembali berteriak kesakitan ketika dia berhasil
menghindari sabetan senjata lawan yang kedua,
namun ujung kaki lawannya itu menghantam te-
lak ke arah dadanya.
Bagai kawanan serigala kelaparan, Suteja dan
dua orang kawannya menerkam tubuh Ki Wandi-
ra yang terjungkal tak berdaya. Ketiga senjata
mereka siap menghabisi nyawa Ki Wandira.
Orang tua itu mengeluh pelan. Wajahnya ber-
kerut menahan sakit dan sepasang matanya ter-
pejam pasrah. Tidak ada lagi yang bisa dilaku-
kannya untuk menyelamatkan bayi yang dilin-
dunginya mati-matian itu. Hati dan bibirnya tiada
henti berdoa.
“Ki Suminta, maafkan aku yang tidak berguna.
Aku tak mampu menyelamatkan keturunanmu
satu-satunya...” keluhnya pelan di dalam hati.
“Yeaaah...!”
Klap! Klap...!
“Aaakh...!”
Pada saat yang kritis bagi Ki Wandira, menda-
dak melesat bayangan putih menghadang seran-
gan Suteja dan kedua kawan-kawannya. Mereka
tersentak kaget, namun tak mampu berbuat apa-
apa. Kedua kawannya cuma mampu melihat tiga
buah golok yang malang jauh, dan jeritan pan-
jang!
Suteja dan kedua kawannya terjungkal tujuh
langkah dengan napas memburu. Ketiganya me-
rasa dadanya perih ketika satu pukulan keras
yang amat cepat menghantam. Dengan gusar laki-
laki bertubuh besar itu bangkit dan memandang
seorang laki-laki tua berjubah putih dengan jeng-
got panjang yang berdiri gagah di depan mereka.
“Orang tua terkutuk, siapa kau?! Berani mati
mencampuri urusan kami!” geram Suteja memaki.
***
Orang tua yang kelihatannya berwajah ramah
dan berkulit bersih itu tersenyum kecil seraya
memandang ke arah mereka. Sikapnya tenang
dan percaya diri. Rambutnya yang panjang dan
telah memutih, dibiarkan lepas begitu saja. Kedua
tangannya bersedekap ke dada, dan bola matanya
lurus memandang ke arah Suteja tanpa mau pe-
duli pada dua orang anak buah Suteja yang ber-
siap di belakangnya untuk menyergap.
“Apakah setan telah menguasai hatimu sehing-
ga kau tega membunuh seorang bayi yang tak
berdosa?” tanya si orang tua itu pelan.
“Orang tua, lebih baik lekas kau menyingkir
dari tempat ini kalau tak ingin celaka!” sahut Su-
teja membentak garang.
“Baiklah, aku akan pergi dari sini. Dan tentu
saja aku tidak ingin celaka...” sahut si orang tua
seraya melangkah pelan mendekati Kr Wandira.
“Hentikan langkahmu, orang tua!” bentak Sute-
ja merah.
Laki-laki itu menjadi kalap karena orang tua
itu meremehkan kata-katanya. Dan sama sekali
tidak menganggap dirinya sebagai ancaman di
tempat itu dengan mendatangi Ki Wandira yang
tengah sekarat.
Tapi orang tua itu sama sekali tidak memper-
dulikan bentakan Suteja. Dia berjongkok pelahan
dan meraih bayi dalam gendongan Ki Wandira
dengan hati-hati sekali.
“Hm, bayi mungil yang cantik. Kau seharusnya
tidak melihat kekejaman orang-orang ini. Tapi
agaknya telah ditakdirkan bahwa kelak kau men-
jadi anak yang tabah...” gumam si orang tua se-
raya tersenyum kecil menimang-nimang jabang
bayi itu.
“Ki sanak, tolong selamatkan bayi ini. Dia putri
satu-satunya majikanku... Ju... juragan Suminta.
Namanya... Ayu Laksmini...,” kata Ki Wandira
dengan suara terbata-bata.
“Tenangkan dirimu, sobat..,” Si orang tua itu
berusaha menghentikan pendarahan di tubuh Ki
Wandira untuk menghentikan rasa sakit yang di-
deritanya.
“Percuma sobat. Aku... aku merasa ajalku su-
dah dekat Te... terima kasih atas kesedianmu me-
lindungi dan merawat bayi ini...,” sahut Ki Wandi-
ra seraya tersenyum lega.
Ki Wandira menarik nafas panjang. Wajahnya
berkerut menahan rasa sakit. Terlihat tubuhnya
mengejang sesaat, sebelum diam tak bergerak lagi
untuk selamanya. Nyawanya melayang dari tu-
buhnya.
“Tenangkan hatimu di alam sana, sobat. Tentu
saja aku akan merawat dan melindungi bayi ini
dari siapa pun yang mencoba mengganggunya.
Telah lama sekali aku tidak mempunyai cucu. Ha-
ri ini dialah cucuku...!” sahut si orang tua seraya
mengusap wajah Ki Wandira.
Kemudian dia bangkit dengan tenang dan me-
mandang kelima orang lawan-lawannya yang siap
menyerangnya. Orang tua itu tersenyum kecil dan
sama sekali tidak menganggap bahwa kelima
orang itu merupakan hantu yang menakutkan
baginya.
“Orang tua, serahkan bayi itu! Ini peringatan
terakhir bagimu! Kalau kau masih berkeras juga
maka nasibmu akan sama dengan Ki Wandira!”
bentak salah seorang anak buah Suteja.
“Hm, bayi ini sekarang adalah cucuku, dan ti-
dak seorang pun kuperkenankan merebutnya dari
tanganku...,” sahut si orang tua itu dengan sikap
tenang.
“Bebedah! Kalau begitu kau mencari mampus!
Baiklah kalau memang itu maumu!” bentak Sute-
ja seraya memberi isyarat pada anak buahnya.
Kelima orang itu segera memutar golok di tan-
gan dan melangkah mengelilingi orang tua itu
dengan sorot mata setajam mata elang. Bagaima-
napun mereka patut berhati-hati. Dengan sekali
gebrak orang tua itu mampu menjatuhkan Suteja
dan kedua kawannya. Itu saja sudah cukup
membuktikan bahwa si orang tua memiliki ke-
mampuan yang hebat dan tidak bisa dianggap en-
teng.
“Yeaaah...!”
Wut! Wut!
Dengan mengerahkan seluruh kecepatan, me-
reka bergerak. Kelima senjata lawan menyambar
ke seluruh bagian tubuh orang tua itu.
“Dasar manusia-manusia durjana! Tidak cu-
kupkah bagi kalian nyawa beberapa orang yang
telah kalian bantai. Dan kini seorang bayi yang
tidak berdosa hendak kalian renggut pula dari
tanganku. Huh, jangan salahkan aku jika bertin-
dak keras terhadap kalian!” dengus orang tua itu
geram.
Dengan tangan kiri menggendong bayi, gerakan
orang tua itu sama sekali tidak terhalangi ketika
tubuhnya melompat ke atas menghindari samba-
ran senjata lawan. Kemudian dia membuat gera-
kan salto beberapa kali. Kedua kakinya bergerak
cepat menyambar dua pergelangan tangan lawan.
Tak! Tak!
“Aaakh!”
Kedua orang itu menjerit kesakitan. Golok da-
lam genggaman mereka terlepas dari pergelangan
tangannya patah. Namun orang tua itu agaknya
tidak berhenti sampai di situ. Tubuhnya merun-
duk ketika dua sabetan lain menyambar. Kemu-
dian bergerak ke atas sambil mengayunkan sebe-
lah kaki dengan gerakan ke atas sambil men-
gayunkan sebelah kaki dengan gerakan menyapu
dari kiri ke kanan.
Duk! Begkh!
“Aaakh!”
Dua orang lawan kembali menjerit kesakitan
ketika dada mereka seperti dihantam benda ke-
ras. Keduanya terjungkal ke belakang.
Suteja terkejut bukan main. Kini dia tinggal
sendiri berhadapan dengan orang itu.
“Keparat! Jangan kau kira aku takut padamu!
Yeaaah...!” Suteja geram bukan main mendengar
kata-kata si orang tua. Di hadapannya hal itu me-
rupakan penghinaan. Dan di depan anak buah
nya, mana mungkin dia menunjukkan kepenge-
cutannya. Maka tanpa pikir panjang lagi, Suteja
melompat menyerang lawan dengan senjata ter-
hunus.
“Hup!”
Dengan gerakan gesit dan manis, orang tua itu
merundukkan kepala lalu melompat ke samping
menghindari tebasan senjata lawan.
Suteja geram bukan main melihat lawan mam-
pu menghindari setiap serangan dengan gerakan
gesit. Tapi lebih kaget lagi dia manakala merasa-
kan satu hajaran telak menghantam dagu ketika
orang tua itu melompat ke atas.
Tak!
“Aaakh...!”
Tubuh Suteja terjerembab ke belakang sambil
memuntahkan darah segar dari mulut Tiga buah
giginya tanggal, dan golok di tangannya terlepas
dari genggaman.
“Kurang ajar...!” Suteja menggeram sambil me-
ludah. Dia segera bangkit dengan wajah gusar
dan siap menyerang lawan kembali. Namun orang
tua itu telah lenyap dari tempat itu. Dia meman-
dang ke sekeliling tempat.
“Kemana dia?! Ke mana orang tua keparat
itu?!” bentaknya geram pada keempat kawannya.
Keempat orang kawannya diam tak menjawab.
Mereka memang tidak mengetahui, bagaimana
caranya si orang tua menghilang dari tempat itu.
“Dasar kantong-kantong nasi pengecut! Kenapa
kalian diam saja dan bukannya membantu aku
menghajarnya?!” maki Suteja seraya menghardik
geram.
Keempat kawannya cuma kembali diam seraya
menundukkan kepala. Wajah mereka beberapa
kali berkerut menahan rasa sakit. Kemudian pe-
lahan-lahan melompat ke punggung kuda ketika
Suteja yang lebih dulu melompat ke punggung
kudanya, berlalu dari tempat itu!
***
DUA
Laki-laki bertubuh besar yang mengenakan
ikat kepala warna hitam dan lebar itu berdiri te-
gak sambil tersenyum lebar. Pedang besar di tan-
gan kanannya yang berlumur darah dibersihkan-
nya dengan menggosok-gosokkan pada baju salah
seorang mayat yang tergeletak di dekatnya. Bebe-
rapa orang kawan-kawannya yang berjumlah le-
bih dari lima belas orang tampak mondar-mandir
di seluruh pekarangan dan di dalam gedung besar
itu seperti hendak memastikan bahwa tidak seo-
rang pun penghuninya yang selamat
“Semuanya sudah mampus!” desis salah seo-
rang yang mendekati lelaki bertubuh besar seraya
menyarungkan kembali golok ke pinggangnya.
“Bagaimana dengan Suteja dan kawan-
kawannya?” tanya lelaki bertubuh besar itu den-
gan suara serak.
“Dia pasti sedang membereskan sisanya...”
“Hm, seluruh keturunan si Suminta harus bi-
nasa! Begitu yang diperintahkan Ki Kartawijaya.
Kalau saja ada yang hidup, maka kalian semua
akan menanggung akibatnya!”
“Saat ini mereka tentu telah dibereskan Ki Su-
teja,” sahut laki-laki itu meyakinkan.
“Hm, mudah-mudahan saja benar apa yang
kau katakan...”
“Apa yang akan kita lakukan sekarang, Ki
Jambrong Suta?” tanya anak buahnya itu.
“Siapkan yang lain. Kita akan berangkat seka-
rang juga ke markas!” perintah laki-laki bertubuh
besar itu dengan suara keras.
“Apakah kita tidak menunggu Ki Suteja dan
yang lainnya?”
“Tidak perlu. Begitu mereka telah menyelesai-
kan urusannya, mereka pasti akan kembali ke
markas!”
“Baiklah...!” sahut anak buahnya seraya men-
gangguk pelan dan berteriak pada yang lainnya.
Sebentar saja mereka telah melompat ke pung-
gung kuda masing-masing dan meninggalkan
tempat itu sambil memacu kuda-kuda dengan
kencang. Namun baru saja berada di pintu ger-
bang depan, sekonyong-konyong melesat sebuah
bayangan menghadang mereka. Serentak Ki Jam-
brong Suta menghentikan lari kuda sehingga he-
wan itu meringkik keras. Demikian pula dengan
para anak buahnya.
“Kurang ajar! Siapa yang berani menghalangi
jalanku?!” bentak Ki Jambrong Suta geram.
Beberapa orang anak buahnya sudah langsung
melompat dan berdiri tegak dengan sikap waspa-
da mengepung seorang laki-laki tua yang tengah
menggendong seorang bayi. Orang tua itu tenang
sekali sikapnya dan sama sekali tak merasa takut
melihat lawan-lawannya siap hendak menghabi-
sinya.
Melihat keadaan itu Ki Jambrong Suta menjadi
curiga. “Kalau bukan orang gila yang ingin mam-
pus, pastilah orang tua ini memiliki nyawa seri-
bu,” pikirnya. Dia memberi isyarat pada anak
buahnya untuk tidak menyerang si orang tua du-
lu.
“Ki sanak, apa maksudmu menghadang perja-
lanan kami?” tanya Ki Jambrong Suta dengan na-
da suara ditekan sedemikian rupa, mungkin un-
tuk menunjukkan kewibawaannya di hadapan
orang tua itu.
“Kaukah yang memimpin rombongan ini?”
tanya si orang tua tidak menghiraukan perta-
nyaan Ki Jambrong Suta.
Mendengar itu saja rasanya amarah Ki Jam-
brong Suta hendak naik ke ubun-ubun. Orang
tua itu sama sekali tidak memandang sebelah
mata padanya. Dia tak peduli dengan perta-
nyaanya, dan malah balik mengajukan perta-
nyaan sendiri. Namun memandang sorot mata si
orang tua yang tajam dan menyilaukan matanya,
sadarlah Ki Jambrong Suta bahwa dia tengah
berhadapan dengan seorang tokoh yang memiliki
kepandaian tinggi dan sulit diukur sampai di ma
na tingkat kepandaiannya. Untuk itu dia harus
hati-hati dan tidak bisa bertindak gegabah.
“Benar, akulah yang memimpin rombongan
ini. Namaku Ki Jambrong Suta. Siapakah engkau,
Ki sanak...?”
“Apa hubunganmu dengan Nini Widyadara?”
tanya si orang tua itu sama sekali tidak mempe-
dulikan niat baiknya untuk beramah tamah. Na-
mun dia berusaha menekan amarahnya dan me-
nyahut tenang.
“Hm, agaknya kau mengenal sesepuh kami ju-
ga. Beliau adalah istri guru kami...”
“Kartawijaya...?!”
“Kau pun mengenalnya?” Ki Jambrong Suta
mulai berhati-hati begitu mengetahui bahwa
orang tua di depannya ini mengetahui kedua se-
sepuh di perguruannya itu. Boleh jadi dia kawan
baik gurunya. Untuk itu dia tak berani bersikap
gegabah lagi.
“Ki sanak, siapakah kau sebenarnya? Kau begi-
tu mengenal kedua sesepuh kami. Pastilah kau
amat dekat dengan mereka...”
“Ha ha ha ha...! Katakan pada mereka bahwa
suatu saat kelak aku akan mengambil milikku
yang telah mereka perdayai. Saat itu aku tidak bi-
sa memastikan apakah akan mengampuni mere-
ka atau tidak!”
Ki Jambrong Suta tersentak kaget. Orang tua
berjanggut panjang dan telah memutih itu tertawa
lebar. Kemudian melesat ke atas dan menapak
dengan enteng pada sebuah cabang pohon sebelum dia dan anak buahnya sempat menyadari hal
itu.
“Orang tua sinting! Siapa kau sebenarnya dan
apa urusanmu dengan kedua guru kami?!” ben-
tak Ki Jambrong Suta seraya melemparkan go-
loknya ke arah melesatnya bayangan si orang tua.
Namun senjatanya itu hanya menancap di ba-
tang pohon, sedangkan si orang tua telah lenyap
dari tempat itu. Suara tawanya masih terdengar
nyaring yang diikuti gema suaranya.
“Katakan pada kedua tikus licik itu, Dewa Ruci
akan meminta kembali benda miliknya yang telah
mereka renggut..!”
Dan kemudian suara itu menghilang. Ki Jam-
brong Suta dan anak buahnya kembali terpaku.
“Dewa Ruci...?” tanyanya bingung pada diri
sendiri.
Dia mencoba mengingat-ingat di mana pernah
mendengar nama itu.
“Astaga! Dewa Ruci! Dia... dia saudara sepergu-
ruan Ki Kartawijaya. Pantas saja kepandaiannya
demikian hebat!” desis Ki Jambrong Suta begitu
mengingat siapa orang tua itu sebenarnya.
Anak buahnya pun terkesima. Kalau saja orang
tua itu sempat marah dan menghajar mereka,
niscaya tidak seorang pun di antara mereka yang
bisa selamat.
“Lekas kita kembali dan kabarkan hal ini pada
ketua!” teriak Ki Jambrong Suta memberi perin-
tah pada anak buahnya.
Tidak berapa lama kemudian mereka telah meninggalkan tempat itu sambil memacu kencang
kudanya.
***
Orang tua bertubuh kurus itu tampak merah
menahan marah begitu mendengar laporan anak
buahnya. Dipandanginya mereka satu-persatu
kemudian terdengar suaranya yang lantang.
“Ke arah mana dia pergi?”
“Eh... kami... kami tidak mengetahuinya,
Eyang,” sahut Ki Jambrong Suta sambil menun-
dukkan wajahnya.
“Tolol! Apa kau tidak bisa memperkirakan ke
mana dia pergi?!”
“Sabarlah, Kakang. Kau tidak bisa menyalah-
kan mereka begitu saja. Kepandaian Kakang De-
wa Ruci memang sulit diukur. Apalagi setelah se-
kian tahun berlalu...,” ujar seorang wanita tua be-
rambut panjang yang duduk di samping laki-laki
tua itu.
Laki-laki tua itu mendengus geram.
“Apakah orang tua itu berbahaya bagi kita,
Eyang? Bukankah beliau kakak seperguruan
Eyang...?!” tanya Ki Jambrong Suta dengan dahi
berkerut.
“Huh, tahu apa kau dengan segala urusanku!”
dengus orang tua itu sinis.
Ki Jambrong Suta terdiam. Wajahnya di tun-
dukkan dalam-dalam.
“Ki Jambrong Suta, urusanmu telah selesai.
Pergilah keluar...,” kata wanita tua yang berada di
depannya dengan nada ramah.
“Baiklah, Eyang...,” sahut Ki Jambrong Suta
seraya memberi hormat dan berlalu dari ruang
itu.
Laki-laki tua bertubuh kurus itu sesungguhnya
bernama Ki Kartawijaya, dan wanita di sebelah-
nya adalah Nini Widyadara. Kedua orang tua itu
amat disegani di kalangan dunia persilatan kare-
na kepandaian mereka yang hebat. Dan untuk
saat ini Perguruan Camar Hitam yang mereka
pimpin, merupakan salah satu dari sekian banyak
perguruan silat yang amat menonjol dan amat
disegani.
Sebenarnya Ki Kartawijaya tidak turun tangan
langsung memimpin Perguruan Camar Hitam se-
telah putranya dewasa. Beliau menyerahkan tam-
puk kepemimpinannya ketangan Ki Dewantara,
putra tertuanya. Pemuda yang berusia sekitar tiga
puluh tahun lebih itu pun tak kalah hebat ke-
pandaiannya dibanding dengan orangtuanya.
Hari ini tidak seperti biasanya bagi mereka.
Terlebih bagi suami istri yang telah berusia lanjut
itu. Berita yang dibawa oleh Ki Jambrong Suta
memang amat mengagetkan mereka. Dari mana
Ki Dewa Ruci mengetahui bahwa Ki Jambrong Su-
ta muridnya?
“Tak aneh, Kakang. Melihat dari gerakan-
gerakan ilmu silatnya saja dia sudah bisa mene-
baknya.
Tidak ada orang lain yang menjadi murid eyang
selain kita bertiga...,” jelas Nini Widyadara.
“Hm, kenapa dia tidak langsung menuju ke si-
ni? Dia pasti mempunyai rencana lain...,” gumam
Ki Kartawijaya dengan nada bertanya-tanya.
“Kenapa Ayah dan Ibu kelihatan khawatir den-
gan kemunculan orang tua bernama Dewa Ruci
itu?” tanya Ki Dewantara yang sejak tadi diam sa-
ja mendengar percakapan mereka.
Ki Kartawijaya memandangnya sekilas, kemu-
dian berpaling seperti tidak ingin menjawab per-
tanyaan putranya itu.
“Ayahanda, jika ada sesuatu yang membebani
pikiran Ayahanda tentang orang tua itu, serahkan
saja pada ananda. Biar Ananda yang akan men-
gurus erang tua itu...”
“Apa yang bisa kau urus?” tanya Ki Kartawijaya
tersenyum kecut.
“Ayah menghendaki apa dari orang tua itu?”
sahut Ki Dewantara mantap dengan pertanyaan
yang meyakinkan orangtuanya itu.
“Apakah jika ayahanda menginginkan kema-
tiannya kau mampu mengurusnya?” tanya Ki Kar-
tawijaya kembali tersenyum getir.
“Kalau memang Ayah menghendaki demikian,
serahkan saja urusannya pada ananda,” sahut Ki
Dewantara mantap.
“Ki Dewantara, anakku. Kau tidak tahu orang
macam apa yang sedang kita bicarakan ini. Bu-
kan hanya namanya saja yang berawal dewa, tapi
kepandaiannya pun hampir menyamai nama itu.
Tidak ada seorang pun yang mampu mengimban-
gi kepandaiannya. Kau akan sia-sia untuk melawannya. Apalagi mencoba membunuhnya,” jelas
Nini Widyadara dengan suara Junak.
“Ibu, apakah Ibu tidak percaya dengan ke-
mampuan ananda?”
“Siapakah yang meragukan kemampuanmu?
untuk saat ini segala kepandaian ibu dan aya-
handamu telah engkau kuasai.”
“Lalu kenapa Ibu masih meragukan ananda?
Kalau memang Ki Dewa Ruci itu saudara sepergu-
ruan Ayahanda dan Ibu, tentu kepandaiannya se-
banding pula. Dan kenapa ananda tidak mampu
melawannya?” tanya Ki Dewantara dengan wajah
kurang puas.
“Apa yang kau katakan memang benar. Tapi
ada satu yang belum kau ketahui bahwa Ki Dewa
Ruci itu bukan hanya berguru pada satu orang.
Tapi dia seorang petualang yang memiliki banyak
guru. Kepandaiannya beraneka ragam dan sulit
diukur,” jelas Nini Widyadara.
“Tapi bukan berarti ananda tidak mampu
menghadapinya, bukan? Percayalah, ananda tak
takut melawannya bila memang Ayahanda dan
Ibu begitu mengkhawatirkan orang tua itu,” sahut
Ki Dewantara kembali dengan nada mantap.
“Sudahlah, lebih baik kau urus murid-
muridmu.
Biar persoalan yang satu ini kami yang urus,”
kata Ki Kartawijaya dengan suara tegas.
“Tapi, Ayahanda...”
“Jangan membantah! Apa yang bisa kau laku-
kan? Apa kau ingin mengantar nyawa secara per
cuma? Sudah, pergilah sana!” bentak Ki Kartawi-
jaya dengan nada lebih tinggi.
Ki Dewantara sebenarnya ingin membantah.
Tapi mendengar suara ayahnya yang mulai ber-
nada keras, dia tidak berani buka mulut lagi.
Meski hatinya sedikit tidak enak ditinggalkannya
juga ruangan itu setelah menjura hormat.
Nini Widyadara menoleh kepada suaminya
sambil menghela napas pendek.
“Tidak baik kau berkata keras begitu padanya.
Bukankah dia bermaksud baik..?”
“Huh, jangan kau selalu mengajarinya berle-
mah-lembut. Dia anak laki-laki, dan seorang laki-
laki patut mendapat perlakuan keras.”
“Dan selama ini semakin kau kerasi mereka
akan semaian membantah. Apakah itu ada man-
faatnya bagi mereka?”
“Dan mereka pun mendapat pelajaran akibat
membantah perkataanku. Itu menjadi pengala-
man berharga bagi mereka.”
“Dalam hal ini, mereka mengetahui bahwa kau
melarang ikut campur. Apakah kau yakin mereka
akan mematuhinya? Bagaimana bila Ki Dewanta-
ra dengan diam-diam melanggar laranganmu dan
mencari Kakang Ki Dewa Ruci untuk menantang-
nya bertarung? Kakang Ki Dewa Ruci memang
penyabar. Tapi kalau Ki Dewantara terus memak-
sanya, dia akan terbunuh. Apakah hal seperti itu
yang kau katakan pengalaman berharga bagi me-
reka?
“Ah, sudahlah. Jangan urusi soal itu,” sergah
Ki Kartawijaya kesal.
***
Nini Widyadara terdiam beberapa saat la-
manya. Demikian pula halnya dengan Ki Kartawi-
jaya. Apa yang dikatakan istrinya memang ada
benarnya. Tapi tentu saja dia tidak bisa menga-
wasi anaknya itu setiap hari. Meski perguruan itu
dipegang oleh Ki Dewantara, namun dalam pelak-
sanaannya dia sering mewakilkan pada dua orang
adiknya, yaitu Ki Ganggapura dan Ki Soma Jagat
Sedangkan Ki Dewantara sendiri lebih sering ber-
kelana seorang diri. Tidak seorang pun mengeta-
hui apa yang dilakukannya di luar sana.
“Kakang, apakah kau begitu mengkhawatirkan
kedatangan Kakang Ki Dewa Ruci ke tempat
ini...?” tanya Nini Widyadara pelan.
“Huh, apa yang kutakutkan darinya?” sahut Ki
Kartawijaya sambil mencibir.
“Kalau begitu, kenapa Kakang begitu kelihatan
cemas mendengar berita kedatangannya? Belum
tentu dia akan datang ke sini....”
“Cepat atau lambat dia pasti akan datang ke
sini untuk menagih benda miliknya, dan kita ha-
rus siap mempertanggungjawabkannya.”
Nini Widyadara mendesah pelan.
“Aku sendiri tidak mengetahui di mana benda
itu berada sekarang ini.”
“Itu salahmu sendiri. Kenapa kau tidak me-
nyembunyikannnya dengan rapi saat pertarungan
tempo hari,” sentak Ki Kartawijaya dengan nada
kesal.
“Siapa yang mengira bahwa pemuda itu memi-
liki kepandaian yang hebat dan mampu meram-
pas Pedang Setan itu dari tanganku,” sahut Nini
Widyadara tak senang merasa disalahkan.
Kedua orangtua itu kembali terdiam setelah
saling menyalahkan. Kemudian terlihat Ki Karta-
wijaya menghela napas panjang seraya mengge-
lengkan kepalanya pelan.
“Maafkan aku, Nini. Tidak seharusnya aku me-
nyalahkanmu. Pemuda itu memang memiliki ke-
pandaian yang hebat...”
Mendengar nada suara suaminya mulai lunak
dengan perasaan penyesalan, kekesalan di hati
wanita tua itu pun mereda. Dia memegang tangan
Ki Kartawijaya dan meremasnya pelan seraya ter-
senyum kecil.
“Sudahlah. Yang telah terjadi tidak mungkin
kembali lagi. Kita memang bersalah, dan sudah
sepatutnya mendapat hukuman akibat kesalahan
kita sendiri...”
“Tapi...”
“Apakah kau masih merasa tinggi hati untuk
meminta maaf pada Kakang Ki Dewa Ruci?” po-
tong Nini Widyadara cepat.
“Entahlah...,” sahut Ki Kartawijaya lemah.
“Kakang, kita sudah tua. Lupakanlah perti-
kaian kalian di masa lalu. Lagi pula, tidakkah
engkah merasakan bahwa Kakang Ki Dewa Ruci
telah banyak mengalah pada persoalan ini? Kau
merebut aku darinya, tapi dia malah menghindar
pergi dan meninggalkan kita begitu saja tanpa
membuat perhitungan denganmu. Lalu kita men-
curi senjata pusakanya, dan baginya itu adalah
perbuatan yang di luar batas. Apalagi ketika sen-
jata itu kita pergunakan untuk berbuat sewe-
nang-wenang. Tentu saja dia tidak suka dan men-
jadi marah. Tapi dia memberi kesempatan pada-
mu untuk mengembalikan senjata itu karena kau
berdalih hendak meminjamnya. Tapi ketika waktu
itu habis, kita malah kabur darinya. Bukankah
sudah sepatutnya kalau dia merasa jengkel dan
mendendam pada kita?”
“Lalu maksudmu kita harus meminta maaf dan
membiarkannya memenggal leher kita berdua?”
tanya Ki Kartawijaya dengan nada tak senang.
“Bukan begitu maksudku. Tapi masih ada jalan
lain yang lebih baik dan kurasa dia pun mau
mengampuni kesalahan kita.”
“Apa itu?”
“Bagaimana kalau kita cari pedang itu? Selama
ini hidupku hanya kucurahkan untuk mencari
pedang itu, tapi sampai kini si keparat itu tidak
muncul batang hidungnya. Kalaupun kita berha-
sil menemukan si keparat itu, belum tentu kita
mampu mengalahkannya. Apalagi setelah dia ber-
sembunyi sekian tahun lamanya. Tentu dia ten-
gah mempelajari ilmu silat yang berada dalam pe-
dang itu. Dan tidak bisa di pungkiri, bagaimana
kehebatan si keparat itu kalau dia muncul kem-
bali.
“Tapi bagaimanapun caranya, kita harus me
nemukan pedang itu dan menyerahkannya kem-
bali pada Kakang Ki Dewa Ruci. Dan dalam hal
ini, tidak ada salahnya kalau kita melibatkan mu-
rid-murid Perguruan Camar Hitam untuk menca-
rinya, atau mencari berita tentang si keparat itu.”
Ki Kartawijaya berpikir beberapa saat lamanya.
Bagaimana, Kakang...?” tanya Nini Widyadara.
“Yah, kurasa usulmu itu memang tidak ada sa-
lahnya kalau kuturuti...,” sahut laki-laki tua itu
pelan.
“Syukurlah kalau memang Kakang menyetu-
juinya. “
“Tapi bagaimana kalau dia datang ke tempat
ini sebelum kita menemukan pedang itu? Dan
seandainya dia masih tetap tidak percaya kalau
kita akan berusaha menemukan benda miliknya
itu, dia tentu akan mengamuk sejadinya.”
“Biarlah nanti aku yang akan menghadapinya.
Aku yakin Kakang Ki Dewa Ruci tidak akan ber-
tindak sembrono.”
“Terserahlah kalau memang begitu rencana-
mu...”
“Nah, ada baiknya rencana ini kita bicarakan
dengan si Ki Dewantara. Agar dia bisa mengerti.
Kalaupun kelak dia harus tewas ditangan si pen-
curi pedang itu, aku malah akan merasa bangga
karena dia tewas dalam menunaikan tugas dari
darma bakti yang benar. Dan bukan kematian
yang sia-sia dibandingkan bila dia tewas di tan-
gan Kakang Ki Dewa Ruci.”
“Kalau begitu, panggillah dia segera. Anak itu
kadang keras kepala dan merasa mampu memi-
kul semua tanggung jawab. Jangan sampai dia
lebih dahulu memutuskan pergi dan bertarung
sia-sia,” kata Ki Kartawijaya.
Nini Widyadara segera turun dari kursinya dan
beranjak dari ruangan itu. Ki Kartawijaya meng-
hela napas panjang, seraya menggelengkan kepa-
lanya.
***
TIGA
Sang Surya terus bersinar dan bersembunyi di
balik gelap malam ketika pucuk-pucuk pohon
membuat tunas baru. Telur-telur burung mulai
menetas dan menjadi dewasa. Ranting-ranting
pohon telah menjadi cabang yang kokoh dan kuat
Demikian pula dengan tunas-tunas muda yang
kini telah berdiri tegak bersama bergulirnya sang
Waktu. Dan tidak terasa bergulir hari demi hari
menjadi bulan, kemudian terus bergulir ke tahun.
Enam belas tahun telah berlalu sejak kejadian
itu! Banyak perubahan yang terjadi. Dan juga ba-
nyak yang kini tinggal sejarah, atau masih berlan-
jut menjalani sisa garis hidupnya.
Dataran tinggi di Bukit Warimun Giri yang se-
nantiasa berselimut kabut kelihatan tenang se-
perti menyimpan rahasia yang tersembunyi. Ja-
rang sekali ada manusia yang berani mendeka-
tinya, karena daerah perbukitan itu seringkali
menjebak penglihatan. Kabut tebal yang mengha-
langi itu seringkali menjebak penglihatan. Kabut
tebal yang menghalangi menyesatkan mereka
yang mencoba mendaki. Dan tidak jarang akhir-
nya terperosok ke dalam jurang-jurang yang ba-
nyak terdapat di sekitar tempat ini. Apalagi men-
coba mengetahui rahasia apa yang ada di balik
kabut tebal sepanjang musim itu.
Meskipun begitu ternyata ada juga seorang to-
koh yang mampu mendiami daerah berkabut di
Bukit Warimun Giri itu. Bahkan tokoh tua yang
namanya pernah menggetarkan rimba persilatan
di jamannya itu telah bercokol lama sekali di
tempat itu, bersama dengan seorang murid tung-
galnya. Seorang dara jelita berusia sekitar enam
belas tahun.
“Yeaaah...!”
Pagi yang gelap dipecahkan oleh suara teriakan
membahana. Sebuah bayangan melesat dengan
cepat Gerakannya ringan sekali bagai seekor wa-
let Bayangan putih itu bergulung-gulung sambil
sesekali melenting ke sana kemari. Dan ketika
beberapa pohon dilewati, akan terlihat daun-
daunnya jatuh berguguran bersama dengan rant-
ing-ranting, dalam keadaan terpotong!
“Ayu, tahan setanganku...!” satu suara berte-
riak nyaring yang diikuti melesatnya sesosok tu-
buh. Bayangan pertama langsung melesat mema-
paki.
“Yeaaah...!”
Tring...!
Terdengar beberapa kali suara berdenting nyar-
ing dari beradunya dua senjata tajam yang berge-
rak cepat Kemudian terasa angin bersiur kencang
dan tajam seperti sabetan senjata rahasia yang
jumlahnya amat banyak.
Kejadian itu berlangsung lebih kurang sekeja-
pan saja, dan baru selesai ketika masing-masing
membentak nyaring. Dua sosok bayangan itu me-
lenting saling berjauhan, kemudian hinggap den-
gan ringan di tanah. Pada jarak sepuluh langkah,
terlihat bayangan pertama tadi adalah seorang
gadis berparas rupawan memakai baju serba pu-
tih dengan rambut panjang diikat ekor kuda agak
ke atas, lalu diikat pula dengan sehelai pita putih
terbuat dari sutera halus seperti bahan pakaian-
nya. Tangan kanannya menggenggam sebatang
pedang kecil yang disilangkan di dadanya. Semen-
tara bayangan kedua adalah seorang laki-laki
yang telah berusia lanjut dengan rambut panjang
telah memutih. Demikian pula dengan jenggotnya.
Di tangan kanan laki-laki itu pun tergenggam se-
batang pedang berukuran agak besar.
“Bagus, Ayu. Gerakanmu sudah lumayan ce-
pat, dan tenaga dalammu pun sudah sempurna.
Kalau ada kekurangan pada dirimu adalah kau
butuh pengalaman untuk bertarung. Namun ha-
rus diingat, bahwa semua jurus-jurus tipuan
yang telah aku ajarkan hendaknya menjadi ta-
meng yang berguna bagimu...!”
“Terima kasih, Eyang...” sahut si gadis yang di-
panggil Ayu itu seraya merangkapkan sebelah
tangan ke dada dan tubuh sedikit dibungkukkan
dengan sikap hormat
“Kemarilah Ayu, ada yang hendak kubicarakan
denganmu...!”
Gadis itu mendekat dan mengikuti langkah si
orang tua ke sebuah pondok kecil yang tak jauh
dari tempat mereka berlatih tadi. Kemudian du-
duk di hadapan orang tua yang bersila di bale-
bale pondok itu.
Dipandanginya beberapa saat gadis itu, kemu-
dian tersenyum pelan seraya menepuk-nepuk se-
belah pundaknya.
“Apakah gerangan yang hendak Eyang bicara-
kan padaku...?”
“Telah enam belas tahun kau berada di tempat
ini, dan kurasa telah tiba saatnya kau menjalani
tugasmu. Ayu...”
“Apakah Eyang yakin bahwa aku mampu me-
mikul tanggung jawab besar itu?” tanya si gadis
dengan nada tak yakin.
Orang tua yang bernama Ki Dewa Ruci itu ter-
senyum halus, “Apakah kau tidak yakin dengan
kemampuanmu?”
“Eyang sering bercerita bahwa di dunia luar
sana banyak kejadian yang tiada terduga. Bagai-
mana mungkin Eyang bisa meyakinkan bahwa
aku mampu memikul tanggung jawab dalam tu-
gas mulia ini?”
“Keyakinan itu adanya di hati, dan keberhasi-
lan itu tergantung dari kerja keras yang pantang
menyerah. Kalau bekerja membabi buta, maka
hasilnya akan kacau-balau. Tapi kau telah mem-
punyai bekal, dan itu cukup bagimu, sehingga da-
lam masa remajamu ini kau sudah harus berpikir
cermat dan tepat untuk cepat mengetahui setiap
gejala yang akan mencelakakanmu sehingga kau
langsung bisa bertindak untuk menyelamatkan
diri. Nah, yakinlah dengan semua bekal yang kau
miliki, dan gunakan akalmu untuk melindungi
nyawamu...” jelas Ki Dewa Ruci memberi wejan-
gan kembali.
Si gadis yang bernama Ayu Laksmini mengang-
guk pelan. Wajahnya kemudian kembali tegak se-
raya memandang orang tua itu dengan perasaan
sedih.
“Eyang, aku telah menganggapmu sebagai ka-
kekku sendiri yang amat kusayangi...,” ucapnya
lirih.
“He, jangan bersedih! Apa kau kira ini perpisa-
han bagi kita? Tidak! Bila Tuhan Yang Maha Esa
berkenan memperpanjang umur kita, tentu saja
kita akan bertemu kembali. Dan tentu saja aku
senang bisa bertemu dengan cucuku tersayang.
Nah, berangkatlah sekarang juga!”
Ayu Laksmini terharu, kemudian berlutut di
depan orang tua itu. Tangan kasar Ki Dewa Ruci
menyapu air mata yang menetes di wajah gadis
muda yang cantik itu. Kemudian tersenyum kecil.
Ayu Laksmini berdiri tegak, lalu kembali men-
jura hormat Ki Dewa Ruci mengangguk seraya
tersenyum dan menepuk-nepuk pundaknya.
“Aku pamit, Eyang...,” kata gadis itu lalu ber
balik dan melangkah pelan meninggalkan tempat
itu.
Ki Dewa Ruci memandangnya sekilas, kemu-
dian kembali ke pondoknya seperti tidak ada ke-
jadian apa-apa.
***
Siang hari ini matahari bersinar tidak terlalu
garang. Seorang pemuda berwajah tampan na-
mun terlintas kesan keras dari raut wajahnya itu,
berjalan dengan tenang seraya sesekali menepuk-
nepuk monyet kecil berbulu hitam yang berada di
pundak kirinya. Pemuda yang mengenakan baju
dari kulit harimau itu seperti tidak mempedulikan
ketika beberapa pasang mata mengintainya dari
balik semak-semak di sepanjang jalan yang dila-
luinya.
“Nguk..! Nguk..!” Monyet kecil itu melompat-
lompat dipunggungnya sambil berteriak dengan
suara keras. Sebelah tangannya menunjuk-
nunjuk ke satu arah.
“Tenang saja, Sobat Aku juga tahu apa yang
kau maksud. Tapi selama mereka tidak meng-
ganggu kita, biarkan saja mereka menguntit,” sa-
hut pemuda itu seperti mengerti apa yang dimak-
sud oleh monyet berbulu hitam itu.
Pemuda yang tidak lain dari Bayu Hanggara itu
masih tenang-tenang saja berjalan. Namun demi-
kian pendengarannya yang tajam terus mengikuti
perkembangan beberapa orang yang sejak tadi
masih tenis mengintainya.
Dia masih belum bisa menduga apa yang me-
reka kehendaki darinya. Tapi sejauh mereka tidak
apa-apa, maka dia pun tidak ingin bertindak Tapi
di suatu tempat yang agak sepi, tiba-tiba saja me-
lesat beberapa sosok tubuh menghadang perjala-
nannya. Bayu tersenyum kecil.
“Berhenti...!” teriak salah seorang dari mereka
seraya mencabut golok dengan sikap mengancam.
Bayu menghitung. Jumlah mereka hanya ber-
lima, dan rata-rata memiliki wajah yang tidak
bersahabat Apalagi kelimanya telah bersiap den-
gan golok di tangan masing-masing. Yang mem-
bentaknya tadi agaknya pemimpin empat orang
kawannya yang lain. Tubuhnya agak pendek dan
dahinya lebar. Usianya sekitar tiga puluh tahun.
Orang itu maju dua langkah seraya mendengus
sinis.
“Siapa kau dan apa yang kau bawa?” bentak
orang itu kembali.
“Aku cuma seorang pengembara, dan kalian bi-
sa melihat apa yang kubawa. Sebaliknya, siapa-
kah kalian dan apa yang kalian inginkan dari-
ku...?” tanya Bayu tenang balik bertanya.
“Apa yang kau ketahui tentang Pedang Setan
Dewa Ruci?” tanya orang itu kembali masih den-
gan nada tinggi dengan sorot mata menyelidik
“Pedang Setan Dewa Ruci? Hm, baru sekali ini
kudengar nama itu...,” kata Bayu setengah ber-
gumam.
“Ki Wongso, kukira dia pasti berbohong. Aku
yakin bahwa pemuda inilah yang belakangan sering membuat onar dan memiliki pedang itu,” bisik
salah seorang kawannya.
Laki-laki yang dipanggil Ki Wongso oleh anak
buahnya itu kembali mendengus ke arah Pende-
kar Pulau Neraka dengan wajah sinis.
“Huh, lebih baik kau mengaku saja dan serah-
kan pedang itu pada kami. Kalau tidak, kau akan
menyesal sendiri nantinya,” lanjut Ki Wongso
dengan nada geram mengancam.
Bayu tersenyum kecil.
“Ki sanak, aku tidak mengerti apa yang kau bi-
carakan. Seolah-olah kau menuduhku mencuri
sesuatu darimu, dan kau memaksa aku untuk
mengembalikannya. Tapi mungkin telingamu tuli
dan sekarang kutegaskan kembali bahwa aku ti-
dak tahu-menahu apa yang kau bicarakan. Dan
aku sama sekali tidak pernah berurusan den-
ganmu, apalagi sampai mencuri barang milikmu!”
Setelah berkata tegas begitu, Bayu segera ber-
paling dan bermaksud melangkah untuk mening-
galkan mereka begitu saja. Tapi mendengar jawa-
ban pemuda itu, dan melihat sikapnya yang san-
gat menyepelekan mereka, tentu saja membuat Ki
Wongso dan kawan-kawannya menjadi geram. Sa-
lah seorang anak buahnya sudah langsung me-
lompat menyerang sambil memaki geram.
“Keparat! Kau pikir sedang bicara dengan sia-
pa?”
“Hup!”
Dengan gerakan gesit pemuda itu menunduk-
kan kepala, sehingga senjata lawan luput dari sasaran. Tapi hal itu tidak membuatnya merasa jera
melainkan kembali menyerang sambil membalik-
kan tubuh membabat bagian leher hingga ke
pinggang Pendekar Pulau Neraka.
“Yeaaat..!”
Bayu melompat dengan ringan ke atas sambil
membuat gerakan salto yang indah. Namun be-
lum lagi kedua kakinya menyentuh tanah, men-
dadak satu sabetan lawan telah mengejar hendak
memapas kedua kakinya. Tapi dengan gerakan
gesit Bayu menekuk kedua kakinya, dan dengan
gerakan menyilang yang sulit diikuti oleh mata
lawan, tiba-tiba saja kedua ujung kakinya meng-
hajar pergelangan tangan lawan hingga goloknya
terlepas dari genggaman. Sementara ujung kaki
yang sebelah lagi menghantam dada, dan mem-
buat lawan terjungkal sambil menjerit keras.
“Aaakh...!”
“Kurang ajar! Hajar dia sampai mampus...!” ge-
ram Ki Wongso memberi perintah pada anak
buahnya begitu melihat salah seorang dari mere-
ka dapat dipecundangi oleh lawan dengan mudah.
Tanpa membuang waktu lagi, keempatnya me-
nyambar Pendekar Pulau Neraka dengan senjata
terhunus. Bayu hanya tersenyum kecil sambil
melepaskan Tiren dari pangkuannya. Monyet kecil
itu melompat cepat dan berjumpalitan sambil ber-
teriak-teriak keras menepuk-nepuk kedua tan-
gannya seperti memberi semangat pada sahabat-
nya itu untuk menghajar lawan-lawannya.
Dan apa yang ada di benak Bayu agaknya me
mang demikian. Sejak tadi dia memang sudah ti-
dak sabar melihat sikap mereka. Namun begitu
masih berusaha untuk menghindarkan diri. Tapi
begitu melihat mereka yang tetap penasaran dan
bermaksud mencelakainya, tentu saja kemara-
hannya bangkit dan kejengkelannya memuncak
untuk memberi pelajaran pada mereka. Dan itu-
lah yang tengah dikerjakannya saat ini.
Tanpa sungkan-sungkan lagi dia meladeni me-
reka dengan gerakan gesit Dua buah serangan ke
arah bagian bawah, dapat dihindarinya dengan
gerakan manis. Namun senjata Ki Wongso dengan
cepat menyambar tengkuknya. Bayu menenga-
dahkan kepala ke belakang dan tangan kirinya
menghantam pergelangan tangan lawan.
Tak!
Begkh!
“Aaakh...!”
Ki Wongso menjerit kesakitan. Golok dalam
genggamannya terlepas ketika pergelangan tan-
gannya terkilir dihantam lawan. Pada saat yang
nyaris bersamaan, kaki kiri Bayu berbalik meng-
hantam perut lawan yang mencoba membopong-
nya dari belakang. Lalu ketika tubuhnya bergerak
ke atas, kedua kakinya kembali menyambar wa-
jah Ki Wongso dan bagian dada seorang lawannya
yang lain ketika hendak menyambar pinggang
Pendekar Pulau Neraka. Tiga orang itu terjungkal
kesakitan.
Dua orang lawannya menyerang dengan ragu-
ragu. Tapi Bayu betul-betul tidak memberi ke
sempatan pada mereka. Tubuhnya bergerak men-
dahului salah seorang lawan yang sedang men-
gayunkan goloknya. Sementara dari arah yang
berlawanan, lawannya yang lain juga mencoba
membokongnya dari belakang.
“Yeaaa...!”
Begkh!
Desss!
“Aaakh...!”
***
Tubuh Pendekar Pulau Neraka berjumpalitan
ke atas untuk menghindari sabetan senjata la-
wan. Lalu dengan cepat ujung kaki kanannya
menghantam ke arah dada. Bertumpu pada ten-
dangan itu, tubuhnya kembali melesat ke atas se-
raya menghindari serangan dari belakang dan
ujung kaki kirinya tepat menghantam dahi lawan
yang seorang lagi. Kedua orang itu menjerit kesa-
kitan ketika tubuh mereka terjembab ke bela-
kang.
“Nguk! Nguk! Keaaakh...!”
Monyet kecil itu melompat-lompat kegirangan
sambil berteriak-teriak keras. Dia berlari-lari kedi
mengelilingi kelima lawan sahabatnya itu sambil
menjulurkan lidah lalu dengan gesit melompat ke
pangkuan Pendekar Pulau Neraka sambil mene-
puk-nepuk tangan.
“Kurang ajar! Kau akan mampus, keparat!”
maki Ki Wongso geram seraya bangkit dan bersiap
hendak menghajar lawan.
Demikian juga halnya dengan keempat kawan-
nya. Meski menahan rasa sakit, mereka masih te-
tap belum merasa jera dan malah tampak sema-
kin garang.
“Sial! Akan kucincang tubuh kalian berdua!”
ujar seseorang mengumpat
“Huh, jangan lagi diberi kesempatan!” timpal
yang lainnya dengan nada bernafsu untuk cepat-
cepat menghabisi Bayu. Namun baru saja mereka
hendak menyerang Bayu, mendadak terdengar
suara halus menahan.
“Paman Wongso, menepilah dan suruh paman-
paman yang lain untuk segera minggir. Pemuda
ini bukan lawan kalian. Biar aku yang mengha-
dapinya...!”
“Heh?!” Mereka serentak kaget dan menoleh.
Seorang gadis berbaju hijau dan berparas cantik
telah berdiri tidak jauh dari mereka. Gadis yang
memiliki ikat pinggang berupa selendang berwar-
na kuning itu terlihat menggenggam sebatang pe-
dang di tangan kirinya.
Melihat si gadis, tampaknya kelima orang itu
menaruh rasa hormat yang mendalam.
“Ah, kami kira siapa... ternyata Ni Padmi Ning-
sih...”
Gadis berusia sekitar tujuh atau delapan belas
tahun itu melangkah mendekati Bayu, kemudian
memandangnya tajam untuk beberapa saat la-
manya.
“Ni, sebaiknya biar kami yang mengurus si ke-
parat satu ini...”
“Jangan khawatir, Paman Wongso. Aku tidak
akan melukainya, lagi pula aku sudah melihat
bagaimana kalian dengan mudah dapat dijatuh-
kannya. Pemuda itu bukan tandingan kalian. Bi-
arlah aku coba bermain-main dengannya. Siapa
tahu dia bisa sedikit lunak...” potong gadis itu
yang dipanggil Ni Padmi Ningsih sebelum kata-
kata Ki Wongso selesai.
Setelah berkata demikian, Ni Padmi Ningsih
kembali maju beberapa langkah mendekati Pen-
dekar Pulau Neraka. Kemudian seraya tersenyum
kecil, dia berkata pelan.
“Ki sanak, siapakah kau sebenarnya...?”
Bayu tersenyum kecil karena merasa lucu me-
lihat sikap gadis itu yang merasa yakin mampu
menundukkannya.
“Aku telah katakan siapa aku, dan kali ini
keinginanku adalah pergi dari tempat ini. Nah,
kalau kalian memang mau berbaik hati, menepi-
lah dan biarkan aku pergi...,” kata Bayu tenang.
“Boleh saja. Silakan...,” kata Ni Padmi Ningsih
seraya menepi ke kiri.
“Ni Padmi...?!” Ki Wongso terkejut melihat apa
yang dilakukan gadis itu. Dengan seenaknya dia
hendak melepaskan buruan mereka?
“Terima kasih...,” lanjut Bayu sambil melang-
kah pendek.
“Maksudku boleh saja kau pergi, tapi tidak bo-
leh dari lima langkah...,” sahut Ni Padmi Ningsih
seraya melompat ke arah lawan ketika Bayu telah
berjarak tujuh langkah darinya.
“Yeaaa...!”
“Hup!”
Tubuh Bayu berputar menghindari serangan
lawan, kemudian dengan sedikit menunduk keti-
ka satu tendangan menghajar kepalanya, dia me-
lepaskan Tiren dari gendongan.
Namun serangan gadis itu kemudian terlihat
lebih gencar dan dahsyat Untuk sejenak Bayu
merasa kaget, namun dia tidak bisa berlaku len-
gah. Gadis itu agaknya tidak segan-segan mem-
buktikan kata-katanya untuk menundukkan di-
rinya.
Bayu bertindak hati-hati ketika tubuh Ni Pad-
mi Ningsih melayang ke arahnya. Kepalanya sedi-
kit ditundukkan, kemudian tubuhnya melesat ke
atas ketika lawan menyapu bagian bawah tubuh-
nya dan diikuti dengan hantaman kepalan tangan
bertenaga kuat ke arah dada. Begitu mengetahui
serangannya luput, tubuh Ni Padmi Ningsih ber-
gerak mengejar lawan tanpa sungkan-sungkan la-
gi, langsung mencabut pedangnya.
Sriiing!
“Yeaaa...!”
“Uhhh...!”
Semula Bayu tidak begitu khawatir, namun ke-
tika mengetahui permainan pedang lawan yang
lihai bukan main, dia sedikit mengeluh. Tubuh-
nya bergerak cepat untuk menghindari setiap
sambaran pedang lawan.
“Huh, terimalah jurus ampuhku ini! Hiyaaat..!”
geram Ni Padmi Ningsih ketika serangan
serangannya belum juga ada yang mengenai la-
wan.
Dia merubah jurus. Tubuhnya sesekali berpu-
tar bagai gangsing, namun mampu bergerak cepat
bagai angin lesus yang menyerang lawan ke mana
saja bergerak menghindar. Kadang-kadang pula
mengepung dalam empat penjuru, membuat Bayu
merasa sulit untuk menghindar. Seperti yang ter-
jadi saat ini.
***
EMPAT
“Hiyaaat...!” Bayu membentak nyaring. Tubuh-
nya berkelebat ke atas sambil berputar-putar dan
meliuk-liuk menghindari kepungan serangan la-
wan.
Bet!
“Uhhh...!”
Nyaris ujung pedang lawan menyambar teng-
kuknya kalau saja dia tidak cepat menggulung
tubuh. Sebelah kakinya mencoba menghantam
pergelangan tangan lawan. Namun lengan gadis
itu lebih cepat meliuk menyambar pinggangnya.
Padahal saat itu Bayu baru saja menjejakkan se-
belah kakinya ke tanah. Tidak ayal lagi, tubuhnya
kembali melenting menghindari serangan lawan.
Cras!
Wut!
Senjata lawan menyambar dengan cepat ketika
Pendekar Pulau Neraka memancingnya ke arah
sebuah batang pohon, lalu kembali melompat
menghindari. Cabang pohon sebesar paha itu pu-
tus dihantam pedang si gadis. Namun begitu Pen-
dekar Pulau Neraka mempunyai kesempatan un-
tuk balas menyerang lawan.
Plak!
Tres!
Des!
“Uhhh...!”
Tendangan yang dilakukan Bayu dari arah
samping dengan cepat ditangkis lawan dengan ki-
basan tangannya. Pada saat itu juga dia men-
gayunkan tangan kanannya ke arah leher si ga-
dis. Ni Padmi Ningsih terpaksa menangkis sambil
berputar untuk melindungi bagian dadanya yang
kemungkinan bisa dihajar lawan. Namun Cakra
Maut yang berada di pergelangan tangannya lu-
put dari perhatian lawan dan menghantam pe-
dangnya hingga terpental. Dua buah jari tangan
kanannya menyambar kedua biji mata lawan. Ni
Padmi Ningsih terkesiap dan cepat mundur ke be-
lakang seraya mendongakkan kepala. Saat itu ju-
ga tendangan Bayu menghantam dengan telak ke
perutnya. Gadis itu menjerit kesakitan. Tubuhnya
terjajar beberapa langkah dalam keadaan sem-
poyongan.
“Nguk! Kaaakh...!” Tiren bersorak kegirangan
sambil menjerit keras begitu melihat lawan Pen-
dekar Pulau Neraka terhuyung-huyung. Kedua
tangannya bertepuk dan wajahnya berkerut mengejek gadis itu.
“Itu pelajaran bagi kalian untuk tidak berbuat
gegabah...,” dengus Bayu dingin.
“Kurang ajar! Kau kira bisa berbuat seenakmu
saja? Huh! Kau harus mampus di tanganku!” ba-
las salah seorang anak buah Ki Wongso dengan
amarah yang meluap dan langsung menyerang
Pendekar Pulau Neraka dengan senjata terhunus.
“Huh, keras kepala!” Bayu menggeram.
Tubuhnya berkelit ke belakang, kemudian ber-
balik sambil melompat ke atas menghindari sabe-
tan golok lawan. Ujung kaki kirinya mencoba
menghantam wajah laki-laki itu, namun dengan
gesit lawan bergerak ke samping. Justru pada
saat itulah tendangan kaki kanan Bayu melesat
ke arah dada tanpa bisa dihindari.
Duk!
Kraaak!
“Aaa...!”
Orang itu memekik sekeras mungkin. Tendan-
gan yang dilakukan Pendekar Pulau Neraka tera-
sa keras bukan main hingga membuat tulang ru-
suknya berderak, patah. Bahkan dada bagian ki-
rinya melesak ke dalam dan membuat jantungnya
pecah. Nyawa laki-laki itu seketika melayang me-
ninggalkan tubuhnya yang bersimbah darah.
“Keparat! Kau akan membayar nyawanya...!”
geram Ki Wongso melihat kematian salah seorang
anak buahnya itu.
Ketiga anak buahnya pun serentak melompat
dengan amarah yang meluap-luap.
Bayu mendengus sinis. Matanya memandang
mereka dengan tajam.
“Huh, kalau kalian ingin mampus, majulah
bersama-sama!”
“Setan! Yeaaa…!”
Dengan serentak mereka melompat bersamaan
dari segala arah mengepung lawan. Sepertinya
kali ini mereka tidak ingin memberi sedikit pun
kesempatan pada pemuda itu untuk meloloskan
diri.
“Hup!”
“Yeaaa...!”
Melihat dirinya terkepung sedemikian rupa,
Bayu tersenyum sinis. Dia tegak berdiri, lalu me-
lompat cepat mendahului menyerang lawan den-
gan gerakan yang sulit diikuti oleh mata biasa. Ki
Wongso dan anak buahnya terkesiap. Mereka
menyambar Pendekar Pulau Neraka dengan sen-
jata terhunus pada setiap kelebatan tubuhnya.
Namun dengan tiba-tiba terasa sesuatu benda ke-
ras menimpa tubuh tiga orang di antara mereka.
Plak!
Duk!
“Aaakh...!”
Tiga orang itu terjungkal sambil menjerit se-
tinggi langit. Dua orang terlihat dadanya remuk
dan menggelepar-gelepar beberapa saat sebelum
nyawanya lepas dari tubuh. Yang seorang lagi
muntah darah dan berusaha bangkit dengan
sempoyongan, tapi kemudian rubuh lagi dengan
napas tercekat
“Aku tidak bermusuhan dengan kalian, tapi ka-
lianlah yang mencari gara-gara. Hari ini jika ka-
lian merasa tidak senang, boleh memperpanjang
urusan denganku. Jangan katakan Pendekar Pu-
lau Neraka takut menghadapai tikus-tikus busuk
seperti kalian!” seru Bayu geram seraya menyam-
bar Tiren dan melompat ke salah satu cabang po-
hon dan melesat dari tempat itu dengan cepat
Ni Padmi Ningsih dan Ki Wongso hanya bisa
terpaku dengan wajah geram.
“Keparat! Dia tentu tidak akan lepas dari tan-
gan kita!” geram Ki Wongso.
“Lebih baik laporkan hal ini pada ayah,” sahut
Ni Padmi Ningsih kesal seraya melesat mening-
galkan tempat itu.
Ki Wongso menyusul setelah membopong
keempat kawannya yang tergeletak tidak berdaya.
***
Ki Dewantara terkejut setengah mati melihat
apa yang terjadi dengan ketiga muridnya yang te-
was, dan seorang luka parah. Ki Wongso hanya
menunduk dalam-dalam melihat kemarahan gu-
runya itu.
“Kau tahu siapa Pendekar Pulau Neraka itu?!”
hardik Ki Dewantara garang.
“Ampun Guru, hamba... hamba baru mengeta-
huinya belakangan....”
“Seharusnya kau mengetahui bahwa bukan
Pendekar semacam dia yang kau tuduh dengan
membabi buta.”
“Tapi... tapi Guru, ciri-ciri pemuda itu mirip
dengannya...”
“Tolol! Apakah kau tidak bisa membedakan di
antara mereka berdua?! Kau katakan, kau pernah
melihat pemuda itu. Sekarang bagaimana mung-
kin kau tidak bisa membedakannya?”
“Ketika itu hamba hanya melihatnya sekilas sa-
ja, Guru...”
“Sudah, jangan banyak bicara! Sekarang ke-
bumikan mereka dengan layak!”
“Tapi Guru, apakah... apakah kita tidak mem-
buat perhitungan dengannya? Dia telah mene-
waskan tiga orang murid Perguruan ini....”
“Tutup mulutmu! Biar ini menjadi urusanku.
Nah, pergilah kau sekarang!”
“Baiklah, Guru...,” sahut Ki Wongso seraya be-
ranjak dari ruangan itu setelah menjura hormat
Ki Dewantara menghela napas panjang sambil
menggeleng lemah. Ni Padmi Ningsih yang sejak
tadi diam, hanya menundukkan kepala dengan
wajah yang cemberut Beberapa kali dia meman-
dang wajah ayahandanya itu, lalu mengalihkan
perhatian.
“Apa yang kau lakukan tadi? Tidak tahukah
kau sedang berhadapan dengan siapa? Bukannya
ayah menyuruhmu untuk tidak keluar dari ru-
mah.
Masih untung kau bisa selamat berhadapan
dengannya. Bagaimana kalau kau sampai tewas
seperti mereka?!” tegur Ki Dewantara marah.
“Aku... aku sekadar membantu pekerjaan me
reka, Ayah...”
“Dengan mengorbankan nyawamu?”
“Kematian Paman Ganggapura amat menya-
kitkan hatiku...”
“Itu urusan perguruan dan kau tidak boleh
ikut campur!”
“Tapi aku ingin menangkap pemuda itu hidup-
hidup untuk kita adili di perguruan ini...!”
“Padmi, jangan membantah. Kau tidak tahu
bagaimana keadaan di luar sana. Kau bisa celaka
kalau bertindak gegabah!”
Ni Padmi Ningsih tertunduk dengan wajah se-
makin cemberut kesal mendengar bentakan aya-
handanya itu.
Ki Dewantara menghela napas panjang. Dipan-
danginya putri satu-satunya itu dengan seksama,
kemudian menggeleng pelan.
“Hhh... masih untung kau bisa selamat, Anak-
ku. Pendekar Pulau Neraka seorang tokoh yang
belakangan ini namanya sangat terkenal karena
kepandaiannya yang hebat. Ayah sendiri belum
pernah bentrok dengannya, tapi dari berita yang
sering ayah dengar, dia seorang tokoh pembasmi
kejahatan. Namun begitu tindakannya amat sadis
dan tidak kenal ampun terhadap lawan-lawannya.
Rata-rata semua binasa di tangannya....”
“Apakah Ayah akan mendiamkan saja peristiwa
ini...?”
Ki Dewantara kembali menghela napas pan-
jang.
“Aku bukannya tidak sakit hati mendengar berita ini, tapi membuat urusan pada saat keadaan
kita genting begini, tentu akan membuat suasana
menjadi runyam. Pemuda yang bernama Ki Buyut
Kelana itu saja sudah amat merepotkan dengan
ulahnya membantai murid-murid Perguruan Ca-
mar Hitam yang berkeliaran mencari benda pusa-
ka yang berada di tangannya itu. Dan kita sama-
sama mengetahui bahwa pamanmu, Ki Gangga-
pura, telah tewas di tangannya,” sahut Ki Dewan-
tara dengan suara lirih.
“Jadi Ayah betul-betul tidak ingin membuat
perhitungan dengan pemuda yang menamakan
dirinya Pendekar Pulau Neraka itu?!” sentak Ni
Padmi Ningsih dengan nada kesal.
“Tentu saja. Tapi tidak sekarang....”
“Lalu kapan?”
“Setelah urusan kita selesai dengan pemuda
bernama Ki Buyut Kelana itu,” sahut Ki Dewanta-
ra menegaskan.
“Huh, ternyata Ayah yang kubangga-
banggakan sejak dulu tak lebih dari seorang pen-
gecut! Menghadapai kedua pemuda tak tahu diri
itu saja sudah mundur. Kalau memang Ayah tak
mampu, biar aku sendiri yang akan menghajar
mereka berdua!” seru Ni Padmi Ningsih seraya
berlalu dari ruangan itu.
“Padmi! Padmi...! Hentikan niatmu itu...!” te-
riak Ki Dewantara berusaha mencegah niat pu-
trinya itu.
Namun gadis itu telah berlari cepat, dan pergi
dari Perguruan Camar Hitam dengan mengerah
kan ilmu meringankan tubuhnya yang telah men-
capai taraf sempurna.
“Anak keras kepala! Dia akan celaka sendiri...!”
umpat Ki Dewantara kesal.
Laki-laki itu kemudian memanggil beberapa
orang murid utamanya. Dua orang segera tergo-
poh-gopoh menemuinya. Masing-masing berusia
sekitar tiga puluh tahun dengan memiliki tubuh
tegap.
“Ada keperluan apa memanggil kami, Guru...?”
tanya salah seorang di antara mereka.
“Ni Padmi Ningsih kabur. Dia bermaksud hen-
dak mencari pemuda bernama Ki Buyut Kelana
dan Pendekar Pulau Neraka. Kalian kejar dia dan
lindungi dari segala bahaya. Dan bawa dia segera
pulang!”
“Pendekar Pulau Neraka? Apakah... apakah dia
ikut pula terlibat dalam persoalan kita, Guru?”
tanya muridnya dengan wajah heran dan dahi
berkerut.
“Laksanakan saja perintahku, dan jangan ba-
nyak tanya!” sentak Ki Dewantara.
“Baik, Guru. Kami berangkat sekarang!” seru
keduanya segera berlalu dari tempat itu.
Ki Dewantara kembali menarik napas panjang
sambil menggeleng lemah. Bola matanya menatap
ke arah dua orang muridnya itu sampai mereka
menghilang di balik pintu gerbang depan.
“Mudah-mudahan kau selamat, Anakku...,” bi-
siknya seraya berdoa di hati.
***
Ki Dewantara baru saja membalikkan tubuh
untuk kembali ke ruangannya ketika itu terden-
gar jeritan kesakitan dari arah gerbang depan.
Buru-buru dia berbalik dan melihat beberapa
orang muridnya tewas bermandikan darah.
Tiga orang murid Perguruan Camar Hitam ter-
lihat mengepung seorang tamu yang tidak diun-
dang itu, namun dengan sekali sentak mereka te-
was bersimbah darah. Bukan main terkejutnya Ki
Dewantara. Dia segera melompat dan mengha-
dang serangan lawan sambil membentak nyaring.
“Ni sanak, hentikan perbuatanmu!”
Sosok tubuh itu menghentikan aksinya. Dia
memandang ke arah Ki Dewantara dengan sorot
mata tajam menusuk. Ujung pedang ditangannya
yang masih berlumuran darah, ditudingkan ke
wajah lawan.
“Siapa kau...?”
Ki Dewantara sebenarnya merasa tersinggung
dan terhina melihat pedakuan itu. Dia mencoba
tersenyum dan menaksir, gadis ini tentu berusia
sekitar enam belas tahun. Tapi sepak terjangnya
amat ganas, dan yang jelas dia memiliki kepan-
daian yang tidak rendah. Sebab, kalau tidak dia
tak akan mungkin mampu menghabisi lawan se-
cepat tadi.
“Ni sanak, namaku Dewantara. Aku adalah ke-
tua perguruan ini. Adakah sesuatu yang mem-
buat kau begitu membenci kami sehingga datang
dengan tiba-tiba dan membuat kekacauan?”
tanya Ki Dewantara dengan suara yang dibuat sedemikian ramah dan menekan hawa amarah di
hatinya.
Gadis berparas cantik dan mengenakan pa-
kaian serba putih itu melirik sejenak ke sekeliling
tempat itu. Puluhan murid Perguruan Camar Hi-
tam telah mengurungnya rapat-rapat dan siap
menghajarnya dengan sekali isyarat Kemudian
dia meluruskan pandangan ke depan, ke arah Ki
Dewantara seraya menurunkan pedangnya. Wa-
jahnya terlihat sinis.
“Aku, Ayu Laksmini, murid tunggal Eyang De-
wa Ruci. Membawa pesan dari beliau agar Ki Kar-
tawijaya dan Nini Widyadara menyerahkan Pe-
dang Setan yang dipinjamnya puluhan tahun la-
lu,” sahut gadis itu tegas.
“Apa? Kau... kau utusan Ki Dewa Ruci...?!” Ki
Dewantara sedikit terkejut.
Sama sekali tidak pernah dibayangkan olehnya
bahwa hari ini dia bertemu dengan murid Ki De-
wa Ruci, orang yang belasan tahun lalu pernah
dicari-carinya untuk membuat perhitungan. Ka-
lau saja pertemuan kali ini terjadi belasan tahun
lalu, mungkin dia akan merasa senang dan lang-
sung akan menghajar gadis ini dan memaksanya
untuk menunjukkan tempat persembunyian gu-
runya. Tapi waktu telah banyak berubah. Juga
termasuk perubahan sikapnya untuk tidak ter-
bawa hawa nafsu yang membabi buta.
Ki Dewantara tersenyum dan berusaha bersi-
kap ramah. Bagaimana pun dia menyadari bahwa
gadis di depannya ini adalah masih terhitung
saudara seperguruan juga dengannya.
“Adik Ayu, bagaimana kalau kita berbicara di
dalam? Bukankah dengan begitu akan lebih baik
dan terlihat sopan sebagaimana layaknya dua
orang yang bersaudara?”
“Ki Dewantara, tidak usah berbasa-basi. Kau
sudah tahu jelas apa maksud kedatanganku ke
sini. Serahkan Pedang Setan itu padaku dan aku
akan segera pergi dari tempat ini!” seru gadis itu
dengan wajah garang.
“Adik Ayu, kalau memang demikian keingi-
nanmu, tidak apa. Tapi sungguh sangat disesal-
kan. Pedang itu saat ini tak ada pada kami, tapi
telah diambil seseorang puluhan tahun lalu. Saat
ini berada di tangan seorang pemuda bernama Ki
Buyut Kelana. Kami sedang berusaha keras un-
tuk merebutnya kembali dan bermaksud menye-
rahkannya pada Eyang Dewa Ruci...,” sahut Ki
Dewantara dengan suara pelan menjelaskan.
“Aku tidak peduli apa jawabanmu. Yang jelas
aku datang ke sini dan harus membawa pedang
itu kembali ke tangan Eyang Dewa Ruci,” dengus
Ayu Laksmini.
“Guru, kalau memang dia tak bisa diajak ber-
baik-baik, buat apa Guru meladeninya lagi? Su-
dah jelas dia memang ingin mencari keributan,”
sela salah seorang murid Perguruan Camar Hi-
tam.
“Betul, Guru. Tidak sepatutnya Guru bersikap
ramah begitu. Kita sudah menunjukkan itikad
baik kita, namun ternyata dia tak mau menerima.
Guru tak pantas masih bersikap sabar terus,” sa-
hut yang lainnya.
Ki Dewantara bermaksud hendak meredakan
amarah murid-muridnya, tapi gadis itu telah lebih
dulu menudingkan ujung pedangnya ke arah mu-
rid-murid Perguruan Camar Hitam seraya men-
dengus geram.
“Hei, monyet-monyet keparat! Kalian kira bisa
berbuat seenaknya padaku? Huh, siapa yang mau
mampus majulah cepat!”
“Sial!” seru beberapa orang di antara murid-
murid perguruan itu seraya mencabut golok dan
hendak menyerang gadis itu dengan wajah ga-
rang.
“Diam! Hentikan perbuatan kalian...!” bentak
Ki Dewantara garang.
Tapi agaknya bentakan itu bukannya mereda-
kan ketegangan. Murid-muridnya memang mena-
han sabar mendengar bentakan gurunya itu, na-
mun tubuh Ayu Laksmini telah melesat sambil
menghunuskan pedang ke arah beberapa orang
murid perguruan itu dan menyerang dengan ga-
nas. Tentu saja hal itu membuat mereka kelaba-
kan.
“Yeaaa...!”
Trak!
Bret!
Crasss!
“Aaakh...!”
Diserang begitu rupa tentu saja beberapa orang
murid Perguruan Camar Hitam kalang kabut menyelamatkan diri. Beberapa orang berhasil me-
nangkis, namun lima orang langsung tewas sam-
bil menjerit keras disambar pedang si gadis. Tu-
buh mereka ambruk bersimbah darah dengan
sayatan lebar di bagian dada.
“Kurang ajar! Hajar dia...!” teriak murid-murid
perguruan itu dengan amarah yang meluap-luap.
Dan bagai air bah yang meluap, serentak me-
reka menyerang gadis itu dengan senjata terhu-
nus.
Melihat hal itu Ayu Laksmini bukannya menja-
di gentar. Dengan bersemangat tubuhnya melom-
pati seraya membuat gerakan indah meliuk-liuk
menyambuti serangan-serangan lawan. Pedang-
nya berkelebat ke sana kemari dan sulit diikuti
pandangan mata biasa.
“Hiyaaat..!”
Trang! Tring!
Brettt!
Crasss!
“Aaakh...!”
***
LIMA
Ki Dewantara agaknya tak tahu harus berbuat
apa. Untuk mencegah perbuatan murid-muridnya
pun rasanya dia tak mampu. Selain mereka yang
sudah terbakar amarah melihat kelakuan gadis
itu, hati kecilnya pun merasa tak suka melihat
sepak terjang si gadis. Terlebih-lebih saat itu keti-
ka dilihatnya gadis itu betul-betul melakukan
pembantaian hebat
Kepandaian Ayu Laksmini memang hebat dan
sama sekali bukan tandingan murid-muridnya.
Apa yang pernah didengarnya tentang kehebatan
Eyang Dewa Ruci memang bukan omong kosong
belaka. Dengan kepandaiannya itu murid-
muridnya sama sekali tak mampu melawan si ga-
dis. Tak bisa dibayangkan bagaimana bila Eyang
Dewa Ruci sendiri yang turun tangan saat ini.
Dan keterkejutan Ki Dewantara agaknya tak
berlanjut lama. Dia tak tega melihat murid-
muridnya yang tewas secara percuma tanpa bisa
melakukan perlawanan berarti. Maka dengan hati
terpaksa dia melompat menahan serangan si ga-
dis seraya membentak nyaring.
“Adik Ayu, hentikan pembantaianmu...!”
“Yeaaa...!”
Mendengar bentakan itu bukannya si gadis
menghentikan serangan, pedangnya malah lang-
sung berputar menyambar tubuh Ki Dewantara
yang berkelebat menghadang serangannya. Ki
Dewantara agaknya sudah menduga hal itu dan
bersiap dengan pedang terhunus menyambut se-
rangan lawan.
Sring!
Tring! Trang!
Ketika kedua senjata mereka beradu, laki-laki
itu merasa terkejut Tangannya kesemutan hebat
dan sedikit nyeri. Kalau saja tadi melihat permai
nan pedang si gadis dia sudah terkagum-kagum,
maka ketika saat itu berhadapan langsung dia bi-
sa merasakan kehebatan ilmu pedang lawan.
Ujung pedang itu menyambar-nyambar tenggoro-
kan dan dadanya dengan kecepatan yang bukan
main hebatnya.
Wuuut! “Uhhh...!”
“Hiyaaat...!”
Ketika ujung senjata lawan menyambar perut-
nya, dengan cepat Ki Dewantara bergerak ke
samping seraya menangkis.
Trang!
Ayu Laksmini memutar pedang sedemikian ru-
pa dan menyambar leher lawan. Ki Dewantara
kembali bergerak ke samping sambil melompat
ketika senjata lawan membabat pinggangnya. Ayu
Laksmini menyusul dengan satu tendangan kaki
kirinya yang menyilang ke arah dada lawan.
“Hiiih!”
“Uts!”
Ki Dewantara terkejut, namun masih sempat
mengayunkan pedang. Ayu Laksmini menarik
tendangannya dan menekuk kaki. Dengan ber-
tumpu pada sebelah kaki, tubuhnya melesat ke
atas dengan pedang berputar-putar menyambar
bagian kepala. Ki Dewantara menjatuhkan tubuh,
dan terus bergulingan untuk kemudian melenting
ke atas menjauhi lawan. Tapi saat itu juga ujung
pedang lawan berkelebat menyambar ke arah leh-
er. Ki Dewantara terkejut setengah mati. Dia be-
rusaha melompat ke samping namun akibatnya
ujung pedang lawan menyambar dadanya.
Crasss!
“Akh...!”
Ki Dewantara bergulingan untuk menghindari
serangan lawan berikutnya sambil menahan rasa
nyeri. Tapi Ayu Laksmini tak meneruskan seran-
gan. Dia berdiri tegak memandang lawan seraya
mengacungkan ujung pedang ke arah Ki Dewan-
tara.
“Itu peringatan pertama bagimu!” dengusnya
sinis.
Ki Dewantara mengeluh kesakitan dengan wa-
jah berkerut. Dadanya tergores cukup dalam aki-
bat sambaran pedang lawan. Beberapa muridnya
bergerak menyerang gadis itu. Namun buru-buru
Ki Dewantara mencegahnya seraya menyorongkan
tangan. Dia berusaha berdiri tegak, kemudian
menyilangkan pedang sambil membuka jurus ba-
ru. Sorot matanya tajam memandang gadis itu.
“Baiklah kalau memang itu yang kau kehenda-
ki. Aku akan meladenimu...,” sahut Ki Dewantara
dengan suara dingin.
Setelah berkata demikian terlihat kedua ka-
kinya merapat dan tubuhnya sedikit miring den-
gan pedang menjurus ke depan. Lalu dengan satu
bentakan nyaring dia melompat menyerang lawan
dengan gerakan yang cepat.
“Hiyaaat..!”
Ayu Laksmini mendengus sinis. Dia bisa mera-
sakan tenaga dalam lawan yang dikerahkan lewat
pukulan tangannya yang menimbulkan tenaga
dorongan kuat Gadis belia berwajah cantik itu
menggeram, kemudian melompat memapaki.
“Yeaaa...!”
Plak!
Wut!
Kepalan tangan kanan Ki Dewantara yang
menderu keras ditahan dengan telapak tangan ki-
ri lawan. Dia nyaris tak percaya kalau gadis itu
mampu berbuat demikian, karena hal itu bisa
mencelakakan dirinya sendiri. Tapi kemudian dia
kaget sendiri dibuatnya. Meski Ki Dewantara
mengerahkan segenap tenaga dalam yang dimili-
kinya, tapi masih saja dadanya terasa nyeri akibat
tekanan tenaga dalam lawan. Ujung pedangnya
menyambar ke arah leher dan pinggang si gadis.
Ayu Laksmini melompat ke atas sambil bersalto
indah. Ujung pedangnya balas menyambar batok
kepala lawan. Ki Dewantara terkejut dan cepat
mendongak ke belakang dengan tubuh siap ber-
gulingan. Namun justru saat itulah ujung kaki
kanan Ayu Laksmini menghantam dadanya.
Duk!
“Aaakh...!”
Ki Dewantara menjerit keras. Isi dadanya se-
perti remuk menerima tendangan itu. Tubuhnya
terjungkal beberapa langkah. Ayu Laksmini terus
mengejar seperti tak ingin memberi kesempatan
lagi padanya.
“Sekarang terimalah kematianmu! Yeaaa..:!”
Ki Dewantara tercekat. Dalam keadaan demi-
kian, tipis harapan baginya untuk menghindari.
Dan meskipun murid-muridnya bersiap hendak
menghadang serangan gadis itu, tapi dia tak ya-
kin mereka akan mampu mendahului gerak gadis
itu. Ki Dewantara memejamkan mata dengan si-
kap pasrah. Tak ada lagi yang bisa dilakukannya
saat ini. Darah kental berkali-kali keluar dari mu-
lutnya menandakan keadaannya yang terluka pa-
rah di dalam tubuhnya. Badannya terasa ngilu
dan sakit sekali, serta sulit untuk digerakkan.
Namun pada saat yang kritis itu mendadak me-
lesat dua sosok bayangan yang memapaki seran-
gan Ayu Laksmini.
Trang!
Wut!
“Huh!”
***
Ayu Laksmini bukannya tak mengetahui dua
orang lawan itu. Semula dia berusaha untuk ti-
dak peduli dan segera ingin menghabisi Ki De-
wantara lebih dahulu, baru kemudian memapaki
serangan kedua lawan barunya itu sekaligus. Tapi
merasakan kecepatan mereka yang bukan main
hebatnya. Perhitungannya segera mengatakan
bahwa dia tak akan mampu memapaki Ki Dewan-
tara lebih dulu dan terpaksa meladeni kedua la-
wannya itu.
Pedangnya berputar cepat menyambar kedua-
nya, namun kedua lawannya agaknya telah mem-
perhitungkan hal itu dan buru-buru menghindar
sehingga serangan Ayu Laksmini menyambar
tempat kosong.
Ayu Laksmini mendengus kesal ketika kedua
kakinya menjejak tanah. Kedua lawannya tak
mengejar, sehingga ketika mereka menjejakkan
kaki, dia bisa melihat dengan jelas sepasang ka-
kek nenek yang sama-sama menggenggam seba-
tang pedang. Wajah si kakek kelihatan mengge-
ram dan sepasang matanya yang menyorot tajam
ke arahnya. Sementara si nenek sendiri sedikit
kelihatan ramah dengan tersenyum kecil.
“Ni sanak, siapakah kau sebenarnya dan kena-
pa ingin mencelakakan orang?” tanya si nenek
yang tak lain dari Nini Widyadara.
“Siapa pula kau?” sahut Ayu Laksmini dengan
nada sinis.
“Bocah, hati-hati bicaramu! Apa kau kira den-
gan kepandaianmu itu kau bisa berlagak di sini?!”
bentak si kakek yang tak lain dari Ki Kartawijaya
dengan nada berang.
“Tua bangka busuk! Menyingkirlah kalau me-
mang kau tak ada urusan dengan persoalanku!”
balas Ayu Laksmini sengit.
“Bocah kurang ajar! Rupanya orangtuamu tak
pernah mengajarkan sopan santun padamu. Biar-
lah aku yang akan mengajarkannya hari ini!”
dengus Ki Kartawijaya geram.
Kakek tua itu sudah hendak menyerang Ayu
Laksmini kalau saja saat itu Nini Widyadara tak
mencegahnya.
“Kakang, sabarlah dulu. Kita belum mengeta-
hui apa maksud kedatangannya ke sini....”
“Tidak usah banyak berbasa-basi. Aku Ayu
Laksmini, murid Eyang Dewa Ruci. Kedatanganku
ke sini untuk meminta kembali Pedang Setan
yang pernah kalian pinjam dari beliau. Dan aku
harus mendapatkannya sekarang juga!” sahut
Ayu Laksmini menegaskan dengan suara lantang.
“Ayah, Ibu... aku telah menjelaskannya tapi
gadis itu tak mau mengerti juga. dia tetap me-
maksa kita...,” sahut Ki Dewantara menjelaskan.
Nini Widyadara mengangguk pelan, kemudian
tersenyum ketika memandang gadis itu.
“Ni Sanak, kami berusaha bersikap sopan ter-
hadapmu dan selama ini perguruan kami selalu
berusaha bersikap jujur. Setelah kami mengata-
kan hal yang sebenarnya, kenapakah engkau ma-
sih tak percaya? Kami akan berusaha menda-
patkan pedang itu dan mengembalikannya kepa-
da yang berhak, yaitu gurumu...,” katanya dengan
suara yang masih rendah.
“Perempuan tua, kaulah yang bernama Nini
Widyadara?!” tanya Ayu Laksmini dengan suara
keras dan sorot mata tajam.
“Hm, agaknya gurumu telah memperkenalkan
aku padamu....”
“Cuih, perempuan rendah! Kau pikir dengan
kata-kata manismu itu bisa melunakkan hatiku?
Eyang Dewa Ruci sangat tersiksa dengan
pengkhianatanmu. Orang sepertimu sudah sepa-
tutnya mampus. Kau sama sekali tak berharga
untuk hidup!” desis Ayu Laksmini dengan sikap
garang dan sama sekali tak bersahabat
“Bocah kurang ajar! Jaga mulutmu. Hati-hati
kau bicara! Kau kira tengah berhadapan dengan
siapa saat ini?!” bentak Ki Kartawijaya dengan
muka merah padam menahan marah.
“Orang tua busuk! Kau pasti si Kartawijaya ke-
parat, yang telah merebut perempuan tua itu dari
sisi guruku. Kau dan istrimu itu sama busuknya.
Dan orang seperti kalian memang tak pantas hi-
dup lebih lama!” sergah Ayu Laksmini seraya me-
nuding dengan ujung pedangnya.
“Keparat!” agaknya Ki Kartawijaya sudah tak
bisa lagi menahan kesabarannya. Tubuh lelaki
tua itu melompat gesit menyerang Ayu Laksmini.
“Yeaaa...!”
Ayu Laksmini yang sejak tadi memang telah
bersiaga dengan cepat menyambut serangan la-
wan. Tubuhnya melompat ke samping seraya
membabatkan pedang ke leher lawan. Ki Kartawi-
jaya bukannya tak mengetahui hal itu. Telapak
tangan kirinya terkembang dan dari situ keluar
angin kencang berhawa panas. Bersamaan den-
gan itu kepalanya ditundukkan untuk menghin-
dari tebasan senjata lawan.
“Uts!”
Tubuh gadis itu melenting ke atas. Kaki kirinya
berputar menghantam pinggang lawan. Ki Karta-
wijaya meliuk dan melompat ke atas seraya mem-
buat gerakan salto yang indah. Telapak tangan
kanannya bermaksud menghantam batok kepala
lawan. Namun dengan gerakan yang tak kalah ge-
sitnya, tubuh Ayu Laksmini merendah. Ujung pe
dangnya menyambar dengan cepat ke arah dada
lawan. Kemudian tubuhnya tenis bergerak ke be-
lakang.
“Uhhh...!”
Ki Kartawijaya terkejut bukan main. Gerakan
yang dilakukan gadis itu cepat bukan main. Nya-
ris dadanya kena dibabat kalau saja tubuhnya ti-
dak buru-buru berputar miring. Ujung pedang
lawan lewat beberapa inci, namun angin samba-
rannya yang keras terasa sampai ke jantung. Hal
itu saja telah membuktikan bahwa tenaga dalam
gadis itu memang telah mencapai taraf sempurna.
Belum lagi dia bersiaga untuk memantapkan
posisinya, tubuh Ayu Laksmini kembali melesat
cepat sambil membentak nyaring.
“Hiyaaat...!”
“Uts!”
Wuk!
Tubuh Ki Kartawijaya melompat ke samping
seraya bergulingan untuk menghindari tebasan
senjata lawan yang beruntun. Telapak kirinya
masih sempat menghantam lawan dengan puku-
lan jarak jauh yang bertenaga kuat Namun Ayu
Laksmini dengan gesit mengelak ke atas, dan tu-
buhnya membuat lompatan ringan ke arah lawan
dengan gerakan cepat.
“Yeaa...!”
Crasss!
“Ohhh...!”
Ki Kartawijaya terkejut bukan main melihat ge-
rakan lawan. Dia berusaha menghindar dengan
terus bergulingan dan bermaksud melenting ke
belakang untuk menjauhi serangan lawan. Tapi
dengan tidak terduga, ujung pedang lawan lebih
cepat lagi menyambar betis kirinya dan membuat
luka panjang yang cukup dalam. Orang tua itu
mengeluh kesakitan. Tubuh Ayu Laksmini berge-
tar, namun dengan cepat dia kembali melompat
menyerang lawan dengan amarah yang meluap.
“Orangtua busuk, mampuslah kau sekarang!
Yeaaa...!”
“Hiyaaa...!”
***
Ki Kartawijaya sebenarnya tidak terlalu terjepit
keadaannya pada saat itu. Dan sebenarnya dia
masih mampu untuk menghindari serangan la-
wan. Namun Ki Dewantara agaknya sudah tidak
sabaran. Tangannya merasa gatal melihat ulah
gadis itu. Maka tanpa pikir panjang lagi dia lang-
sung melompat menghadang Ayu Laksmini den-
gan senjata terhunus.
Ayu Laksmini cepat menyambut serangan la-
wan dengan kehebatan pedangnya.
Trang!
Bet!
Begitu kedua senjata mereka beradu, Ki De-
wantara merasa tangannya kesemutan. Bunga api
kecil terpercik. Wajahnya tampak kerut menahan
sakit Namun begitu dia masih mampu untuk
memiringkan tubuh seraya mendongakkan kepala
sedikit ke belakang guna menghindari tendangan
kaki lawan yang menyusul.
“Bocah kurang ajar! Kali ini kau akan mampus
di tanganku!” dengus Ki Kartawijaya dengan ama-
rah yang meluap-luap.
Tanpa mempedulikan keadaan, orang tua itu
langsung mencabut pedangnya dan ikut menye-
rang Ayu Laksmini. Nini Widyadara mengeluh
pendek. Dia tidak tahu harus berbuat apa. Kata-
kata yang dilontarkan gadis itu memang benar.
Karena dia meyakini betul akan kesalahannya.
Namun meskipun demikian hatinya tetap saja
merasa sakit dan tidak bisa menerima begitu saja.
Maka dia tidak berusaha mencegah sikap Ki Kar-
tawijaya meski dia mengetahui bahwa orang tua
itu sedang marah besar. Dan kalau Ki Kartawijaya
marah begitu, bisa dipastikan dia akan menge-
rahkan seluruh kemampuan yang dimilikinya.
Dan saat ini hal itulah yang terjadi. Ki Kartawi-
jaya seorang tokoh dunia persilatan yang disegani
karena kehebatan ilmu silat yang dimilikinya,
saat ini tengah mendesak gadis itu dengan jurus-
jurus terhebat yang dimilikinya. Sementara mu-
rid-muridnya yang melihat pertarungan itu,
hanya diam memperhatikan dan berjaga akan se-
gala kemungkinan yang akan menimpa guru me-
reka.
“Yeaaa...!”
“Uts!”
Ayu Laksmini terkejut. Ujung pedang orang tua
itu berkelebat cepat menyambar wajah dan ba-
gian dadanya. Tubuhnya meliuk-liuk ke samping
untuk menghindari. Namun pada saat itu juga Ki
Kartawijaya siap menerkamnya. Ayu Laksmini
menggeram, dan telapak kirinya menghantam ke
muka lawan.
“Hiyaaat..!”
Ki Kartawijaya menundukkan kepala. Tubuh-
nya berputar ke samping untuk menghindari pu-
kulan jarak jauh yang dilancarkan lawan. Bersa-
maan dengan itu kepalan tangan kiri Ki Kartawi-
jaya melesat menghantam lawan. Ayu Laksmini
terkesiap. Pedang di tangan kanannya berputar
menyambar pergelangan tangan lawan. Namun
hal itu ternyata hanya tipuan belaka yang dilan-
carkan orang tua itu. Begitu pedang lawan berke-
lebat, saat itu pula tangannya kembali ditarik.
Sambil memiringkan kepala untuk menghindari
tebasan senjata lawan, pedang ditangannya me-
nyambar ke arah pinggang. Tubuh Laksmini me-
liuk menghindari dan saat itulah telapak tangan
kiri Ki Kartawijaya menghantam dengan menge-
rahkan tenaga dalam kuat ke dada lawan pada ja-
rak lebih kurang tiga langkah.
Desss!
“Akh...!” Ayu Laksmini menjerit keras. Tubuh-
nya terpental ke belakang beberapa langkah se-
raya memuntahkan darah kental. Dia bermaksud
untuk memutar tubuh ke samping ketika Ki Kar-
tawijaya menyambar dengan ujung pedangnya ke
arah pinggang. Namun gerakannya terasa lam-
ban, sehingga ujung pedang lawan masih mampu
menggores paha kanannya.
Crasss!
“Akh!”
Untuk kedua kalinya gadis itu menjerit kesaki-
tan. Tubuhnya mulai terhuyung-huyung. Kesada-
rannya sedikit berkurang. Namun meskipun de-
mikian, dia masih bisa melihat serangan Ki Kar-
tawijaya yang begitu bernafsu hendak menghabi-
sinya. Ayu Laksmini merasa bahwa dia tak akan
bisa bertahan dalam beberapa jurus menghadapi
serangan Ki Kartawijaya. Maka dengan sisa-sisa
tenaga yang dimilikinya, gadis itu melompat tinggi
dan bermaksud melarikan diri dari tempat itu.
Tapi tentu saja Ki Kartawijaya tidak akan mem-
biarkannya begitu saja. Orang tua itu langsung
melesat mengejar.
“Huh. Kau kira bisa kabur begitu saja dariku
setelah apa yang kau lakukan di tempatku? Kau
harus mampus, Bocah Sial!” dengus Ki Kartawi-
jaya.
Melihat orang tua itu bergerak, Ki Dewantara
pun segera menyusul. Demikian pula dengan mu-
rid-murid Perguruan Camar Hitam. Mereka ber-
bondong-bondong mengejar gadis itu.
Ayu Laksmini bukannya tidak menyadari hal
itu. Harapannya untuk kabur semakin tipis. Na-
mun gadis itu berusaha dengan sekuat tenaganya
untuk melepaskan diri dari kejaran mereka. Luka
dalam yang dideritanya membuat gadis itu tidak
dapat leluasa bergerak. Belum lagi paha kanan-
nya yang terasa nyeri dibawa berlari. Walaupun
lebih kurang sepeminuman teh dia merasa tak
mampu lagi bertahan. Sementara Ki Kartawijaya
semakin dekat saja di belakangnya.
Melewati sebuah pinggiran hutan, Ayu Laksmi-
ni bermaksud menerobos ke dalam dan bersem-
bunyi di balik semak-semak. Namun sebelum
niatnya tercapai, sebelah kakinya tersandung
akar pohon. Gadis itu terjatuh terjerembab. Saat
itu juga Ki Kartawijaya yang tepat berada di bela-
kangnya melompat dengan ganas sambil men-
gayunkan pedang.
“Gadis liar! Mampuslah kau sekarang!
Yeaaa...!” teriak Ki Kartawijaya geram.
Ayu Laksmini terkejut bukan main. Kali ini
keadaannya betul-betul seperti telur di ujung
tanduk. Meski dia mampu mengelak, namun ti-
dak akan mampu menghindari serangan berikut-
nya yang pasti akan dilancarkan lawan. Pada saat
itulah mendadak melesat sebuah bayangan yang
langsung memapaki serangan Ki Kartawijaya.
“Hiyaaa...!”
Trang!
Bet!
“Uhhh..!”
***
ENAM
Ki Kartawijaya terkesiap. Sebagai tokoh yang
telah berpengalaman dia bisa membedakan seo-
rang lawan yang memiliki kepandaian tinggi. Karena ketika bayangan lawan barunya itu memben-
tak nyaring seraya berkelebat ke arahnya, angin
serangannya bersiur kencang menimbulkan teka-
nan hebat pada dirinya. Orang tua itu tidak bisa
menganggap enteng. Kalau dia meneruskan se-
rangan ke arah Ayu Laksmini, bukan tidak
mungkin dia akan celaka sendiri. Maka mau tidak
mau dengan terpaksa memapaki serangan lawan
dengan mengibaskan pedangnya. Apa yang didu-
ganya memang tidak salah. Meski telah menge-
rahkan tenaga dalam kuat untuk menjatuhkan
lawan dengan sekali gebrak, namun kenyataan-
nya dia mengeluh sendiri. Telapak tangannya te-
rasa ngilu ketika pedangnya seperti membentur
tembok tebal yang amat kokoh. Belum lagi habis
rasa kagetnya, mendadak satu sapuan keras
menghantam kepalanya. Orang tua itu cepat me-
nunduk, kemudian melompat seraya membuat
gerakan salto yang berputar indah.
Masih untung pada saat itu lawan tak menge-
jar sehingga ketika kedua kakinya menjejak ta-
nah, keadaannya masih tetap aman. Ki Kartawi-
jaya kini mampu melihat siapa lawannya itu den-
gan jelas.
“Siapa kau?!” bentaknya garang ketika melihat
seorang pemuda tampan berwajah keras dan
memakai baju yang terbuat dari kulit harimau.
Pemuda yang berambut panjang dengan mo-
nyet berbulu hitam di salah satu pundaknya itu
tersenyum sinis. Tapi belum lagi dia menjawab,
salah seorang murid Perguruan Camar Hitam
yang telah tiba di tempat itu bersama dengan Ki
Dewantara buru-buru menunjuk pemuda itu se-
raya berteriak nyaring.
“Eyang, pemuda inilah yang berjuluk Pendekar
Pulau Neraka!”
Ki Kartawijaya tersenyum kecil, sedangkan Ki
Dewantara tersenyum sinis. Nama Pendekar Pu-
lau Neraka telah lama mereka kenal. Namun baru
kali inilah mereka berkesempatan untuk bertemu
muka secara langsung. Dan bisa jadi akan terjadi
bentrokan, kalau saja pemuda itu ikut campur
urusan mereka.
“Pendekar Pulau Neraka, hm... merupakan su-
atu kehormatan bisa bertemu denganmu. Angin
apa gerangan yang membawa langkahmu ke tem-
pat ini? Aku Ki Kartawijaya beserta seluruh mu-
rid-muridku menyampaikan salam hormat kepa-
damu,” sapa orang tua itu dengan nada ramah.
Pemuda berambut panjang yang tidak lain ada-
lah Bayu Hanggara itu tersenyum kecil seraya
membalas salam penghormatan si orang tua.
“Ki Kartawijaya, terimalah salam hormatku.
Maafkan atas kelancanganku yang telah men-
campuri urusanmu. Tapi aku memang tidak ter-
biasa melihat ketidak-adilan di depanku dan su-
dah gatal tangan ingin mencampurinya,” sahut
Bayu.
“Hm, suatu sikap yang baik. Tapi mencampuri
urusan orang lain hendaknya lebih dulu melihat,
apakah kita berada di pihak yang benar ataukah
kita malah membantu pihak yang salah,” sindir KiKartawijaya.
“Bisa jadi aku memang salah. Dan hal itu tidak
kupungkiri. Tapi untuk kali ini kurasa tidak, se-
bab aku telah mendengar pembicaraan kalian se-
jak tadi. Dan maafkanlah bila dalam hal ini aku
mempercayai kata-kata gadis itu,” kata Bayu te-
nang.
Mendengar kata-kata Pendekar Pulau Neraka,
Ki Kartawijaya menjadi tak enak hati. Jelas sudah
bahwa pemuda itu memang hendak mencampuri
urusan mereka. Dan selamanya Ki Kartawijaya
memang bukanlah orang yang sabar, pada siapa
pun! Meski sekalipun orang yang tengah dihada-
pinya termasuk orang yang diseganinya, seperti
Pendekar Pulau Neraka.
“Pendekar Pulau Neraka, kalau memang kau
telah mendengar pembicaraan kami tentu engkau
pun telah mengetahui apa yang diperbuat gadis
itu di perguruan kami. Dan sebagai seorang yang
terhormat, kau tentu bisa membedakan mana
perbuatan salah dan mana yang benar,” ucap Ki
Kartawijaya tegas.
“Tentu saja. Seorang yang telah meminjam se-
buah benda sudah sepatutnya mengembalikan
dan bukan menyalahgunakannya. Tapi apa yang
kalian lakukan? Seseorang telah berbuat keona-
ran dengan menggunakan senjata yang telah ka-
lian pinjam. Lalu apa pertanggungjawabanmu
terhadap orang-orang yang terbunuh oleh senjata
itu? Bukankah nyawa kalian masih belum ber-
harga untuk menebusnya?” dengus Bayu dengan
nada sedikit sinis.
“Eyang, untuk apa bicara lama-lama dengan-
nya? Sudah jelas apa yang diinginkannya, dan ki-
ta pun mengetahui bahwa gadis itu jelas bersa-
lah!” ujar salah seorang murid perguruan itu me-
rasa tak sabar mendengar omong kosong di anta-
ra kedua orang itu.
“Betul, Eyang. Perintahkanlah pada kami un-
tuk menghajar pemuda tak tahu diri ini!” timpal
seorang lainnya sambil mencabut pedang di
punggungnya dengan sikap garang.
“Kau dengar itu, Pendekar Pulau Neraka? Mu-
rid-muridku agaknya sudah tidak sabar menden-
gar bicaramu. Jelas sudah kau berpihak pada
siapa. Tapi kami tetap pada pendirian bahwa ga-
dis itu patut mendapat pelajaran setimpal atas
perbuatan yang dilakukannya di perguruan kami.
Dan tidak ada seorang pun yang boleh mengha-
langinya. Tidak juga dirimu!” tajam terdengar na-
da bicara Ki Karta wijaya.
“Ki Kartawijaya, tidak usah banyak bicara! La-
kukanlah apa yang ingin kau perbuat, tapi jangan
coba-coba menyentuh gadis ini!” balas Bayu men-
gancam.
“Kurang ajar! Kalau demikian, terima pelajaran
dari kami!” teriak salah seorang murid Perguruan
Camar Hitam yang agaknya sudah tidak bisa lagi
menahan amarahnya.
Sambil membentak nyaring, orang itu melom-
pat menyerang Bayu dengan senjata terhunus.
“Yeaaa...!”
***
Bayu mendengus dingin. Tubuhnya sedikit
bergeser ke kiri dan kepalanya tertunduk ke bela-
kang menghindari sabetan pedang lawan. Kemu-
dian cepat meliuk ke atas seraya mengayunkan
satu tendangan keras ke dagu lawan... Laki-laki
berusia sekitar tiga puluh tahun dan berbadan
besar itu sedikit terkejut dan tak menyangka ge-
rakan lawan bisa sedemikian cepat Namun dia
masih sempat mengelak sambil menjatuhkan diri
ke belakang. Namun saat itu juga tubuh Pendekar
Pulau Neraka telah mengejar sambil berbalik dan
mengayunkan tendangan beruntun bertenaga
kuat yang tak mampu dielakkan lawan.
Bukkk!
Desss!
“Aaakh...!”
Orang itu memekik kesakitan. Tubuhnya ter-
jungkal muntah darah, dan tersungkur pada ja-
rak enam langkah dan tidak bangkit lagi.
Kejadian itu tentu saja mengagetkan kawan-
kawannya yang lain. Demikian pula halnya den-
gan Ki Kartawijaya dan Ki Dewantara. Juga Ayu
Laksmini yang sejak tadi masih berdiam diri me-
nahan rasa nyeri di dadanya.
Orang itu tewas di tangan Pendekar Pulau Ne-
raka. Apa yang mereka dengar tentang keganasan
pemuda itu memang bukan isapan jempol belaka,
tapi terbukti di depan mata mereka sendiri.
“Pendekar Pulau Neraka, tindakanmu sangat
kejam dan aku tidak bisa membiarkanmu begitu
saja!” geram Ki Kartawijaya menahan emosi.
Ki Dewantara semula hendak bergerak meng-
hajar pemuda itu, tapi Ki Kartawijaya telah lebih
dulu menahannya.
Orang tua itu menyadari bahwa kepandaian Ki
Dewantara tidak akan mungkin menandingi Pen-
dekar Pulau Neraka. Dalam bentrokan pertama
tadi saja dia sudah bisa merasakan bagaimana
hebatnya tenaga lawan. Belum lagi gerakannya
yang amat gesit serta serangannya tak terduga
datangnya. Kalau saja Ki Dewantara berkeras
hendak menantangnya, bukan mustahil bila dia
akan terbunuh sendiri seperti seorang muridnya
tadi.
Ki Kartawijaya melangkah mendekati, dan ber-
henti ketika jarak mereka terpaut empat langkah.
Matanya liar mengawasi setiap gerakan kecil yang
dilakukan lawan. Sebaliknya Bayu masih tetap
tenang dan juga mengawasi lawan dengan seksa-
ma.
“Pendekar Pulau Neraka, lihat serangan ini!” Ki
Kartawijaya membentak seraya memberi peringa-
tan akan serangan pertamanya.
Bersamaan dengan itu tubuhnya pun melesat
cepat ke arah lawan seraya memutar pedang di
tangannya. Angin tajam bersiur kencang dan
mencoba menghimpit setiap langkah menghindar
yang dilakukan Pendekar Pulau Neraka. Ke mana
saja dia mencoba bergerak, maka saat itu juga ja-
rak mereka terpaut hanya beberapa inci saja.
Agaknya Ki Kartawijaya betul-betul telah mengerahkan segenap kepandaiannya untuk menjatuh-
kan lawan secepat mungkin.
Bayu Hanggara menggeram. Kalau saja dia ti-
dak hati-hati dan mengerahkan segala kemam-
puan bergeraknya menghindari setiap serangan
lawan, niscaya ujung pedang lawan pasti dari se-
jak tadi menyambar tubuhnya. Dan hal itu pun
agaknya tidak akan bisa bertahan lama sean-
dainya dia terus bertahan seperti itu. Maka dalam
suatu kesempatan, Pendekar Pulau Neraka beru-
saha menjauhkan jarak dari serangan lawan un-
tuk balik menyerang.
“Yeaaa...!”
Tubuhnya bergulung-gulung seraya melompat
ke belakang ketika kedua kakinya baru saja men-
jejak tanah. Ki Kartawijaya mengejar, namun tu-
buh Bayu Hanggara melejit ke atas cabang se-
buah pohon. Ki Kartawijaya semakin gemas saja.
Dihantamnya cabang pohon itu dengan pukulan
jarak jauh.
“Hiyaaa...!”
Brakkk!
“Hihhh!”
Namun belum lagi hantaman itu ikut meng-
hancurkan tubuhnya seperti yang terjadi pada
sebatang pohon itu, tubuh Pendekar Pulau Nera-
ka menukik deras ke arah lawan. Ki Kartawijaya
terkesiap, namun tidak kehilangan kesadaran un-
tuk mengayunkan pedangnya. Bayu menangkis
dengan pergelangan tangannya.
Trakkk! “Uhhh...!”
Senjata lawan tepat beradu dengan Cakra Maut
di pergelangan tangannya. Ki Kartawijaya terkejut
bukan main. Tangannya kesemutan, dan tubuh-
nya bergetar hebat akibat benturan itu. Untuk se-
saat dia bisa menduga bahwa senjata itulah yang
tadi memapaki pedangnya ketika pemuda itu me-
nahan serangannya terhadap Ayu Laksmini. Na-
mun begitu dia masih mampu mengayunkan kaki
menghantam wajah lawan. Bayu berkelit ke kiri
seraya menghantam kepalan tangan kanannya ke
dada lawan. Ki Kartawijaya menangkis dengan
tangan kirinya.
Tak!
Untuk kedua kalinya orang tua itu merasa ka-
get ketika tangan mereka saling beradu. Baru dia
menyadari bahwa tenaga dalam lawan memang
tak bisa dipandang enteng. Tapi Ki Kartawijaya ti-
dak kecil hati. Pedangnya kembali berkelebat me-
liuk-liuk menyambar tubuh lawan. Dia menyadari
betul bahwa lawan tak mungkin menerobos per-
tahanannya selagi dia memainkan ilmu pedang-
nya yang hebat.
Hal itu bukannya tidak disadari oleh Bayu.
Bukan saja dia tak mampu menerobos pertaha-
nan lawan, sebaliknya serangan yang dilancarkan
lawan pun dengan menggunakan jurus-jurus pe-
dangnya, agak sulit dihadapinya dengan tangan
kosong seperti sekarang.
Ketika kaki lawan menghajar ke arah dagu,
Pendekar Pulau Neraka bergerak ke samping.
Namun Ki Kartawijaya lebih cepat memberikan
serangan susulan dengan kelebatan pedangnya ke
arah leher. Bayu terkejut dan berusaha melompat
ke belakang untuk menghindari tebasan golok la-
wan. Namun ujung pedang Ki Kartawijaya masih
sempat menggores dadanya.
Crasss!
“Uhhh...!”
“Kaaakhhh...!” Monyet berbulu hitam yang me-
lihat sahabatnya berhasil dilukai lawannya, berte-
riak nyaring. Wajahnya terlihat cemas, dan bebe-
rapa kali dia mondar-mandir mengikuti jalannya
pertarungan itu.
Sebaliknya hal itu menimbulkan rasa senang di
hati Ki Dewantara dan murid-murid Perguruan
Camar Hitam. Kalau Pendekar Pulau Neraka ber-
hasil dilukai, maka tidak berapa lama dia pasti
akan dapat dilumpuhkan oleh Ki Kartawijaya, ba-
rangkali itu anggapan mereka.
Agaknya pikiran seperti itu pun menyelinap di-
benak orang tua itu. Dia mendesak Bayu habis-
habisan dan bermaksud menjatuhkan lawan se-
cepat mungkin. Baru saja tubuh Pendekar Pulau
Neraka melompat ke belakang sambil bergulung-
gulung, saat itu juga tubuhnya melesat mengikuti
dengan ujung pedang berputar-putar menyambar
bagian tubuh lawan.
“Hiyaaat..!”
Dalam keadaan terjepit begitu, Bayu tak mau
tinggal diam. Dia mengibaskan tangan kanannya
sambil membentak nyaring.
“Yeaaa...!”
Siiing...!
Trasss
“Hei?!”
***
Bersamaan dengan itu melesat sekelebat sinar
keperakan menyambar lawan. Ki Kartawijaya ter-
kejut dan cepat mengayunkan pedangnya. Tapi
yang kemudian terjadi justru membuatnya terke-
jut Pedangnya putus, dan benda keperakan itu te-
rus mendesing menyambar lehernya. Kalau saja
dia tak buru-buru memiringkan tabuh niscaya
kepalanya akan berpisah dari badan. Orang tua
itu tak habis rasa terkejutnya merasakan angin
sambaran tajam yang terasa perih dan menim-
bulkan hawa panas.
“Hiyaaat...!”
Belum lagi habis rasa terkejutnya, saat itu juga
serangan Pendekar Pulau Neraka telah kembali
datang. Ujung kaki kanannya menghantam lurus
ke arah dada. Ki Kartawijaya berkelit seraya me-
mutar tubuh, namun tubuh Bayu pun ikut ber-
putar dan kaki kanannya kembali menyapu ke
arah pinggang. Ki Kartawijaya melompat ke atas,
dan Pendekar Pulau Neraka mengikuti seraya
menyambar kembali Cakra Mautnya yang melesat
pulang.
“Yeaaa...!”
Siiing!
Begitu Cakra Maut berada di tangannya, kem-
bali dikibaskannya lagi. Senjata maut itu melesat
deras ke arah Ki Kartawijaya pada jarak dekat
Orang tua itu tidak sempat mengelak. Meski dia
berusaha menghindar, namun tak urung lengan
kirinya kena sambar, dan putus.
Crasss!
“Aaakh!”
Ki Kartawijaya menjerit tertahan. Namun ma-
sih sempat menghantam lawan dengan pukulan
jarak jauh yang berisi tenaga dalam kuat Pende-
kar Pulau Neraka melompat ke atas seraya bergu-
lung-gulung menghindari serangan lawan. Kedua
kakinya menyilang bergantian dan langsung
menghajar batok kepala lawan.
Desss!
Duk!
“Aaa...!”
Ki Kartawijaya kembali memekik keras. Kali ini
tubuhnya terjungkal ke samping sambil mengge-
lepar kesakitan.
Orang tua itu memuntahkan darah kental ber-
kali-kali. Dia berusaha untuk bangkit, namun
kembali terjatuh. Beberapa orang muridnya lang-
sung memburu dengan penuh khawatir. Mereka
membantunya duduk bersila. Namun tidak demi-
kian halnya dengan Ki Dewantara. Dengan ama-
rah yang meluap, dia langsung menyerang Bayu.
“Bocah keparat! Kau harus menerima pembala-
san dariku!” geramnya tajam seraya mengayun-
kan pedang ke arah Bayu.
Bayu mendengus kecil. Tangan kanannya diki-
baskan ke bawah. Saat itu juga mendesing Cakra
Maut ke arah lawan.
Siiing!
Werrr!
Meski dalam keadaan kalap begitu, tapi Ki De-
wantara menyadari bahwa senjata lawan sangat
dahsyat, dan dia tak berani untuk mencoba me-
mapaki. Kepalanya ditundukkan ketika tubuhnya
kemudian melompat ke samping sambil berbalik
untuk menghindari senjata lawan, kemudian te-
rus menerjang ke arah leher Pendekar Pulau Ne-
raka dengan ujung pedang menyambar ke arah
tenggorokan dan dada.
Uts!”
Bayu melompat ke belakang, kemudian berge-
rak ke samping dan terus bergerak ke atas meng-
hindari tebasan senjata lawan. Kaki kirinya dite-
kuk sedemikian rupa, kemudian melayang me-
nyambar ke muka lawan. Ki Dewantara sedikit
tergagap menyadari kecepatan lawan bergerak
namun dia tak mau berlaku lengah. Buru-buru
dia menundukkan tubuh ke belakang, lalu terus
bergerak ke samping, dan balas menyerang lawan
dengan ayunan pedangnya. Namun belum lagi
pedangnya mampu menebas ke arah lawan, dia
terpaksa kembali menundukkan tubuh ketika
Cakra Maut berbalik menyerangnya.
Bayu menangkap senjatanya, dan kembali me-
lepaskannya ke arah Ki Dewantara. Laki-laki itu
terkejut Dalam jarak dekat tak mungkin baginya
untuk bisa mengelak Maka dengan terpaksa dia
memiringkan tubuh dan mengayunkan pedang
untuk mencoba menangkis senjata lawan.
Tras!
Cras!
“Aaakh...!”
Seperti apa yang diduganya, pedang dalam
genggamannya putus sebatas gagangnya. Cakra
Maut terus melesat menyambar sebelah daun te-
linganya hingga putus. Ki Dewantara mengeluh
kesakitan. Dia masih belum sempat menguasai
diri ketika serangan Pendekar Pulau Neraka me-
nyusul.
“Yeaaa...!”
Begkh!
Desss!
“Aaakh...!”
Untuk kedua kalinya Ki Dewantara memekik
keras. Kali ini tubuhnya terjungkal keras sambil
memuntahkan darah segar. Tendangan keras
yang dilancarkan Pendekar Pulau Neraka meng-
hantam dada dan perutnya dengan telak. Tubuh-
nya menggelepar-gelepar tak berdaya, dan beru-
saha untuk bangkit berdiri tegak. Tapi baru saja
dia hendak mencobanya, tubuhnya tiba-tiba
kembali ambruk.
“Guru...!” beberapa murid Perguruan Camar
Hitam langsung memburu untuk memberikan
bantuan.
Tapi lima orang lainnya serentak bergerak hen-
dak menyerang Bayu. Wajah mereka tampak ga-
rang menahan amarah yang memuncak.
“Pendekar Pulau Neraka, hari ini kami akan
mengadu jiwa denganmu!” dengus salah seorang
di antara mereka.
Kalau saja saat itu Ki Kartawijaya tak memben-
tak melarang mereka, Niscaya kelima orang itu
akan melabrak Pendekar Pulau Neraka dan me-
nyerangnya dengan mati-matian.
“Tahaaan...!”
***
TUJUH
“Kenapa Eyang? Pemuda ini telah melukai
Eyang dan Guru. Kenapa kami tak boleh menun-
tut balas atas perlakuannya itu?!” tanya salah
seorang murid Perguruan Camar Hitam dengan
wajah kesal.
“Diamlah kalian, dan jangan lagi memperpan-
jang urusan! Apa kalian mau membuang nyawa
secara percuma?!” bentak Ki Kartawijaya berusa-
ha berdiri dengan dibantu tiga orang muridnya.
Mendengar kata-kata orang tua itu, kelima mu-
ridnya terpaksa mengurungkan tindakan mereka
meski di dalam hati masih tersimpan rasa tidak
puas. Walaupun kepandaian mereka tak sebera-
pa, tapi jelas mereka tidak takut mati untuk
membela kehormatan nama guru dan perguruan
mereka.
Ki Kartawijaya memandang ke arah Pendekar
Pulau neraka, kemudian berkata pelan.
“Pendekar Pulau Neraka, kehebatan namamu
yang terdengar memang bukan nama kosong be-
laka. Hari ini aku Ki Kartawijaya mengaku kalah
padamu. Tapi bukan berarti urusan ini akan sele-
sai. Suatu saat nanti hutang ini akan kubalas be-
rikut bunganya padamu!”
“Ki Kartawijaya, kalau memang kau mengang-
gap bahwa kejadian hari ini sebagai suatu hu-
tang, kau boleh menagihnya kapan saja kau suka
padaku. Tentu akan kutunggu saat itu,” sahut
Bayu dingin.
Setelah berkata demikian terlihat Ki Kartawi-
jaya mengajak murid-muridnya segera berlalu da-
ri tempat itu. Bayu masih sempat memandang
mereka, kemudian menyambar Tiren yang men-
dekat ke arahnya seraya berteriak nyaring.
“Kaaakh...!”
Monyet kecil itu melompat-lompat ke pundak-
nya silih berganti, kemudian mengusap-usap
rambut pemuda itu. Dan Bayu tersenyum kecil,
kemudian memandang ke arah Ayu Laksmini dan
menghampirinya.
“Bagaimana keadaanmu...?” tanyanya dengan
sura pelan.
“Terima kasih atas pertolonganmu...” lirih ter-
dengar suara Ayu Laksmini.
“Kudengar kau murid Ki Dewa Ruci. Beliau
adalah tokoh terkenal yang memiliki kepandaian
hebat.”
Ayu Laksmini tersenyum kecut
“Aku hanya membuat malu nama beliau saja,
bukan...?” katanya dengan nada getir.
“Kau tak perlu berkecil hati seperti itu. Mereka
memang hebat, dan mampu bertahan cukup lama
melawan gempuran keduanya, sudah membukti-
kan kehebatan ilmu silat yang kau miliki...” puji
Bayu membesarkan semangat gadis itu.
“Ah, aku memang murid yang tak berguna. Ba-
gaimana mungkin mampu mengemban amanat
yang dititipkan eyang kalau berhadapan dengan
mereka saja aku tak mampu...” keluh Ayu Laks-
mini dengan wajah gundah.
Bayu menarik napas pendek, kemudian me-
mandang ke arah gadis itu dengan seksama. Lalu
berkata pendek,” Maafkan kelancanganku yang
telah mendengar pembicaraan kalian...”
“Apa maksudmu...?”
“Secara tak sengaja aku lewat di muka pergu-
ruan mereka dan mendengar keributan yang kau
perbuat Pedang Setan itu memang pernah selin-
tas kudengar, dan aku sedikit terkejut ketika be-
lakangan mendengar bahwa senjata ampuh itu
berada di tangan seorang pemuda yang tidak ber-
tanggung jawab. Dia membuat kekejaman dengan
membantai orang-orang yang tak berdosa dengan
pedang itu...” jelas Bayu singkat.
“Jadi, benarkah pedang itu tidak berada di
tangan mereka?” tanya Ayu Laksmini meyakin-
kan.
“Entahlah. Soal itu aku tak tahu banyak. Tapi
kalau kau hendak mengambil kembali pedang itu,
maka kau mesti berhadapan dengan pemuda itu,
sebab banyak orang yang ingin merebut Pedang
Setan itu dari tangannya, tapi mereka semua ha-
bis dibantainya...”
“Lalu di mana aku bisa menemui pemuda itu?”
tanya Ayu Laksmini seraya bangkit dengan wajah
bernafsu hendak mendapatkan kembali pusaka
gurunya itu.
“Aku sendiri tidak mengetahui di mana pemu-
da itu berada. Tapi kudengar kata-kata Ki Karta-
wijaya dan Nini Widyadara, bisa jadi mereka men-
getahui siapa pemuda itu sebenarnya sehingga
dari siapa dia menemukan Pedang Setan itu...”
“Huh, kalau begitu aku akan kembali ke Pergu-
ruan Camar Hitam dan memaksa mereka untuk
memberitahu di mana pemuda itu berada!” den-
gus Ayu Laksmini.
“Ni sanak...” panggil Bayu pelan.
Gadis itu menoleh. Ketika dilihatnya pemuda
itu menatapnya dengan seksama, gadis itu buru-
buru memperbaiki sikapnya yang tak bersahabat.
“Maafkan sikapku. Aku ingin buru-buru me-
nyelesaikan tugas yang diberikan Eyang Dewa
Ruci...”
“Ah, tidak mengapa. Bolehkah kau kupanggil
Ayu...?”
“Kau tentu telah mengetahui namaku, bukan?
Sebaliknya, aku harus memanggil apa padamu?”
“Eh, kau boleh panggil aku Bayu....”
“Bayu, eh Kakang Baya..,” gadis itu menjadi
jengah sendiri ketika memperbaiki panggilannya
terhadap pemuda itu. Dia tertunduk malu sesaat,
tapi Bayu cepat memperbaiki keadaan itu.
“Ayu, kalau kau tak keberatan, biarlah aku
menemanimu ke perguruan itu....”
“Eh, kalau Kakang Bayu tak keberatan, tentu
saja aku senang sekali....”
“Nah, marilah kita berangkat sekarang untuk
tidak membuang-buang waktu!” ajak Bayu seraya
melangkah lebih dulu.
Ayu Laksmini mengikuti dari belakang dengan
langkah pelan. Tapi tak berapa lama dia pun
menjejeri langkah pemuda itu.
***
Nini Widyadara menghela napas pendek. Dia
semakin tak tahu apa yang harus diperbuatnya
ketika suaminya beserta putranya mengejar gadis
itu. Setelah sekian lama mereka hidup tenteram,
kini dalam beberapa saat telah banyak peristiwa
yang menimpa. Kematian putra keduanya di tan-
gan seorang pemuda yang membawa-bawa Pe-
dang Setan amat mengejutkannya. Dan kini seo-
rang gadis datang menagih senjata itu pada me-
reka, kemudian sedikit mengungkit kenangan la-
manya. Hal itu menambah perih beban yang dide-
ritanya. Ki Dewa Ruci pasti telah cerita banyak
pada muridnya itu. Dia memang tak menyalah-
kan, karena tahu betul bahwa dia memang bersa-
lah dalam hal ini. Kalau saja dulu dia bisa berpi-
kir tenang, tentu dia tak akan mempedulikan se-
gala rayuan Ki Kartawijaya sehingga meninggal-
kan Ki Dewa Ruci yang amat mencintainya. Bah-
kan dalam keadaan berkhianat begitu, dia masih
berani mencuri senjata pusaka kesayangan Ki
Dewa Ruci.
Wanita tua itu mengeluh pelan seraya memba-
likkan tubuh memasuki gedung di belakangnya.
Tapi mendadak pada saat itu terdengar jeritan
panjang dari arah pintu gerbang. Dengan cepat
wanita itu berbalik dan melihat dua orang murid
perguruan itu tewas dengan cara yang mengeri-
kan. Dada mereka hangus oleh goresan senjata
yang merobek lebar. Tubuh mereka pun pucat se-
perti tak berdarah, dan tewas saat itu juga.
“Siapa kau, bocah?!” bentak Nini Widyadara
begitu melihat seorang pemuda berambut panjang
dan memakai baju yang terbuat dari kulit hari-
mau.
Nini Widyadara terkejut setengah mati melihat
kehadiran pemuda itu. Tapi lebih terkejut lagi ke-
tika melihat pedang di tangan kanannya. Pedang
berwarna hitam yang berkilat memancarkan sinar
laksana sihir itu seperti menyilaukan mata dan
membuat jantungnya berdetak lebih kencang. Ti-
dak salah lagi, itulah Pedang Setan yang dicari-
carinya selama ini.
Ditatapnya pemuda itu dengan seksama. Wa-
jahnya hitam dengan bintik-bintik kecil tampak
dingin dan menyiratkan hawa kesadisan. Tangan
kirinya menggenggam buntalan kain putih yang
meneteskan darah di bawahnya. Jantung wanita
tua itu semakin bergetar, dan wajahnya tampak
pucat. “Apa isi buntalan yang dibawa pemuda
itu?” bisik hatinya cemas.
“Masih ingatkah kau dengan mendiang guruku,
Ki Sarpa Kenaka?” tanya pemuda itu dengan nada
dingin.
“Ki Sarpa Kenaka...? Hm, akhirnya dia datang
juga meski mewakili padamu...”
“Pedang Setan telah berjodoh pada guruku,
dan kini diwariskan padaku. Tapi kau dan sua-
mimu serta semua murid-muridmu mencoba me-
rebutnya dariku seperti tikus-tikus got lainnya.
Mereka akan mampus ditanganku menjadi kor-
ban pedang ini!” dengus pemuda itu.
“Anak muda, jaga bicaramu! Pedang itu milik
perguruan kami, dan tidak ada hak sama sekali
bagimu untuk menyerakahinya. Apalagi mencoba
mengakuinya sebagai pusaka milikmu! Serahkan
padaku, dan aku akan melupakan perbuatanmu
tadi!” ucap Nini Widyadara menegaskan.
“Ha ha ha...! Tidak kusalahkan kalau kau tuli,
orang tua. Tapi ingin kutegaskan sekali lagi. Se-
lama ini yang paling bernafsu untuk merebut pe-
dang ini dari tanganku adalah pihak kalian. Dan
setelah kubereskan beberapa tokoh yang ingin
merampas pedang ini dari tanganku, maka seka-
rang giliran kalian akan kulenyapkan. Seorang
anakmu telah kubuat mampus. Dan salah seo-
rang lagi akan menyusul setelah kau kenali siapa
yang kubawa ini!” teriak pemuda itu seraya men-
geluarkan buntalan di tangan kirinya ke hadapan
wanita tua itu.
Nini Widyadara terkejut bukan main ketika me-
lihat kepala siapa yang berada dalam buntalan
yang dibawa pemuda itu.
“Padmi Ningsih, cucuku...!”
Darahnya seperti tersirap dan detak jantung-
nya berdebar lebih kencang menyaksikan cucu
kesayangannya tergeletak bermandikan darah.
Begitu juga dengan murid-murid Perguruan Ca-
mar Hitam yang berada ditempat itu. Dengan
spontan Ni Widyadara mencabut pedangnya dan
membentak garang.
“Bocah keparat! Aku akan mengadu jiwa den-
ganmu! Yeaaa...!” Bersamaan dengan itu tubuh-
nya melesat menyerang lawan.
Pemuda itu mendengus sinis. Sama sekali tak
terlihat wajah ketakutan di mukanya. Bahkan je-
las dia memandang rendah pada wanita tua itu.
“Huh, majulah kau dan bawa serta semua anak
muridmu agar lebih cepat aku menyelesaikan tu-
gasku membasmi kalian!”
“Keparat!” desis Nini Widyadara geram.
Wut!
Bet!
“Uhhh...!”
Begitu pedang lawan menyambar-nyambar ke
arahnya, pemuda itu mengibaskan pedang di tan-
gannya. Angin kencang berhawa panas seketika
menyambar ke arah Nini Widyadara. Wanita tua
itu menyadari keampuhan Pedang Setan di tan-
gan lawan dan tak berani untuk mencoba mema-
pakinya, dan hanya berusaha mengelak serta se-
sekali mencoba memasuki pertahanan lawan.
Tapi hal itu bukan pekerjaan mudah baginya.
Dalam sekejap saja dia merasakan bahwa bukan
saja dia tak mampu menembus pertahanan la-
wan. Bahkan sebaliknya serangan-serangan gen-
car yang dilakukan pemuda itu membuatnya ha-
rus pontang-panting menyelamatkan selembar
nyawanya.
“Yeaaa...!”
Pemuda itu membentak nyaring. Tubuhnya
melesat ke arah lawan seraya memutar pedang
dengan cepat Angin bersiur kencang membuat
debu mengepul ke udara. Nini Widyadara kalang
kabut dibuatnya. Wanita tua itu berusaha me-
nangkis serangan lawan dengan pedangnya ketika
senjata lawan menderu keras menyambar ke arah
leher. Dia menyadari tak mungkin lagi menghin-
dar. Dan kalaupun hal itu dilakukannya, tidak
akan mampu menyelamatkan nyawanya.
Tras!
Pret!
“Aaakh...!”
Apa yang diduganya memang menjadi kenya-
taan. Pedangnya putus dihajar senjata lawan. Be-
lum lagi dia berusaha mengelak, pedang itu telah
menyambar bahu kirinya dan memapas pangkal
lengannya. Wanita tua itu menjerit kesakitan. Ka-
ki kiri lawan menghujam ke arah dadanya, na-
mun dengan sigap dia menjatuhkan diri ke bela-
kang. Tubuh lawan terus mengejar bagai angin
topan yang menggila.
“Yeaaa...!”
Brasss! Brasss!
“Uhhh...!”
Nini Widyadara bergulingan menyelamatkan di-
ri dari tebasan senjata lawan. Pedang di tangan
pemuda itu menghantam tanah berkali-kali. Pada
saat itu beberapa orang murid Perguruan Camar
Hitam terus melompat menyerangnya untuk me-
nyelamatkan nyawa guru mereka. Namun dengan
sekali berbalik, ujung pedang pemuda itu telah
meminta korban.
Brettt!
“Aaah...!”
***
Tiga orang langsung terjungkal dengan dada
robek lebar. Tubuh mereka pucat seperti kehabi-
san darah. Dan begitu jatuh ke tanah, diam tak
berkutik lagi. Nyawa mereka lepas dari raga.
Beberapa orang kembali menyerang tanpa
mengenal rasa takut Kali ini pemuda itu betul-
betul mengalihkan perhatian kepada murid-murid
perguruan itu.
“Tikus-tikus busuk, kalau kalian mau mampus
lebih dulu, aku akan penuhi keinginan kalian!
Yeaaa...!”
Bret!
Crasss!
“Aaa...!”
Korban kembali berjatuhan ketika pemuda itu
mengamuk dengan hebatnya. Beberapa orang
memekik kesakitan, dan ambruk dengan tubuh
pucat tak bernyawa lagi. Dalam beberapa gebra
kan saja, lebih dari sepuluh orang murid pergu-
ruan itu tewas tak berdaya. Hal itu tentu saja
membuat Nini Widyadara mengeluh pelan. Dia
tak tahu harus berbuat apa lagi untuk menyela-
matkan mereka selain menghadang serangan pe-
muda itu.
“Bocah, hentikan perbuatanmu! Hadapilah
aku...!”
“Hei, bocah keparat! Hentikan perbuatanmu...!”
Belum lagi habis kata-kata Nini Widyadara,
saat itu juga terdengar bentakan nyaring. Seren-
tak mereka berpaling dan melihat rombongan Ki
Kartawijaya yang telah tiba di tempat itu. Bukan
main kagetnya wanita tua itu ketika melihat kea-
daan suaminya. Buru-buru dia menghampiri den-
gan wajah cemas.
“Kakang, oh... apa yang telah terjadi pada-
mu...?!”
“Tenanglah, Nini. Aku tak apa-apa. Apakah bo-
cah keparat itu yang berbuat ini padamu?!” tanya
Ki Kartawijaya dengan menahan amarah seraya
menunjuk sebelah lengan istrinya yang buntung.
Nini Widyadara mengeluh pendek seraya berka-
ta lirih.
“Kakang, dia... dia murid si Sarpa Kenaka itu.
Kepandaiannya hebat sekali. Apalagi dengan
adanya Pedang Setan di tangannya itu....”
Suara wanita tua itu terputus ketika Ki Dewan-
tara berteriak pilu mendapati kepala anaknya
yang berlumur darah.
“Padmi Ningsih, anakku...! Oh, siapa yang ber
buat begini padamu, Nak..?!” jerit Ki Dewantara
seraya mendekap kepala anaknya dan meman-
dang sekeliling tempat dengan wajah beringas.
“Aku yang melakukannya!” sahut pemuda yang
menggenggam Pedang Setan itu mendengus lirih.
Ki Dewantara bangkit dan menyambar sebilah
pedang dari salah seorang muridnya, kemudian
melangkah pelan mendekati pemuda itu. Sorot
matanya tajam seperti hendak menelan bulat-
bulat pemuda di hadapannya itu.
“Siapa kau, dan dendam apa yang kau bawa
sehingga membunuh putriku dengan cara yang
biadab begini?!” desis Ki Dewantara dengan suara
ditekan sedemikian rupa menahan amarah yang
mengguncang di hatinya.
“Aku, Buyut Kelana, murid tunggal Eyang Sar-
pa Kenaka. Kedua orangtuamu mengetahui apa
maksudku ke sini. Kalian semua harus lenyap
seperti mereka yang menginginkan pedang di tan-
ganku ini!”
“Keparat! Aku tak peduli dengan segala barang
rongsokan yang kau bicarakan. Kau hutang satu
nyawa padaku, dan aku tidak akan membiar-
kanmu bicara seenaknya tanpa merasa bersalah.
Manusia durjana, kau harus mampus ditangan-
ku!”
Setelah berkata demikian, tubuh Ki Dewantara
berkelebat menyerang lawan. Pemuda yang me-
namakan dirinya Buyut Kelana itu mendengus si-
nis. Tubuhnya sama sekali tak bergerak untuk
menghindari serangan lawan. Tapi begitu ujung
pedang lawan sedikit lagi akan menyentuh tu-
buhnya, saat itu juga pedangnya berkelebat me-
mapaki.
Trasss!
Brettt!
Ki Dewantara terkejut setengah mati. Meski dia
mengetahui kehebatan pedang di tangan lawan
dari cerita kedua orangtuanya, namun hawa ama-
rah dan ketidakyakinannya membuat dirinya ber-
tindak kurang waspada dan terlalu menganggap
enteng. Akibatnya sungguh fatal. Pedang di tan-
gan putus dibabat senjata lawan. Dan bukan itu
saja, dengan sekali berkelebat ujung pedang la-
wan menyambar dadanya dan membuat luka
yang melebar dan dalam.
“Aaakh...!”
Ki Dewantara hanya mampu berteriak terta-
han. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang.
Wajahnya pucat seperti tak berdarah. Demikian
pula dengan sekujur tubuhnya. Laki-laki itu am-
bruk dan tak bergerak lagi.
“Dewantara, Anakku.,.!” Nini Widyadara terke-
jut bukan main melihat kenyataan itu. Wanita tua
itu langsung menubruk tubuh anaknya sambil
menangis pilu.
Ki Kartawijaya bermaksud melabrak pemuda
itu. Namun sebelum dia bergerak lebih lanjut,
terdengar seseorang menyela dengan suara din-
gin.
“Ayah, biar kuhadapi orang gila ini...!”
Mereka yang berada di tempat itu serentak
menoleh.
Seorang laki-laki bertubuh sedang dan berusia
sekitar empat puluh lima tahun berdiri tak jauh
dari pintu gerbang depan. Di belakangnya berdiri
kurang lebih sepuluh orang laki-laki berseragam
sama dengan murid-murid Perguruan Camar Hi-
tam.
“Soma Jagat, hm... agaknya kau telah kemba-
li...!”
“Sekian lama kucari pemuda ini untuk menun-
tut balas atas kematian Kakang Ganggapura, sia-
pa sangka, ternyata dia berada di tempat ini dan
telah membuat kerusuhan. Ayah, biarlah kuha-
dapi manusia durjana ini!” dengus laki-laki itu
dengan wajah beringas dan pelan-pelan mendeka-
ti Ki Buyut Kelana.
“Soma Jagat, menepilah kau. Dia bukan tan-
dinganmu. Biar aku yang akan memberi pelajaran
padanya,” sela Ki Kartawijaya.
“Tidak, Ayah! Ayah dalam keadaan luka parah,
demikian pula Ibu. Biarlah aku yang mewakili ka-
lian untuk menghajar bocah sombong ini,” sela Ki
Soma Jagat seraya mencabut pedang dan menud-
ing lurus ke arah Ki Buyut Kelana.
“Bocah, bersiaplah kau!” lanjut Ki Soma Jagat
menantang.
***
DELAPAN
Begitu selesai dengan kata-katanya, Ki Soma
Jagat langsung melompat menyerang lawan.
“Yeaaa...!”
Ki Buyut Kelana mendengus pelan. Tidak se-
perti menghadapi Ki Dewantara, pemuda itu lang-
sung menyambut serangan lawan dan ikut me-
lompat memapaki serangan lawan. Pedangnya di-
putar sedemikian rupa menimbulkan angin ken-
cang yang tajam dan berhawa panas.
Untuk beberapa saat Ki Soma Jagat terkejut
dan merasakan angin serangan senjata yang ga-
nas. Dia menyadari betul bahwa senjata di tangan
lawan bukan pedang sembarang. Pedang itulah
yang belakangan ini amat menghebohkan kalan-
gan persilatan. Kepalanya ditundukkan untuk
menghindari sabetan lawan, dan tubuhnya me-
liuk berputar untuk membabatkan pedang ke
pinggang lawan. Tapi Ki Buyut Kelana terlalu lihai
untuk ditipu seperti itu. Tubuhnya sedikit miring
hingga ujung pedang lawan lewat beberapa inci
dari pinggangnya.
Bet!
Uuuh...!”
Kepalan tangan kiri Ki Buyut Kelana mengha-
jar dadanya, namun dengan sigap Ki Soma Jagat
mengelak ke samping. Ujung pedang lawan me-
nyambar ke arah tenggorokan. Tubuh Ki Soma
Jagat melompat ke belakang menghindarinya.
Namun ujung kaki kanan lawan telah menyusul
melakukan serangan ke arah selangkangannya.
Ki Soma Jagat terkejut dan buru-buru memba-
batkan pedang. Lawan menekuk kakinya, dan
dengan kaki yang satunya lagi menjejakkan ta-
nah. Tubuh Ki Buyut Kelana melejit ke atas se-
raya membuat gerakan salto yang indah mengejar
kelebatan tubuh Ki Soma Jagat seraya menghu-
nuskan senjatanya. Telapak kirinya bersiap
menghantamkan pukulan jarak jauh untuk men-
jaga segala kemungkinan yang terjadi.
Apa yang diduga pemuda itu memang menjadi
kenyataan. Dalam keadaan terdesak seperti itu Ki
Soma Jagat melepaskan pukulan jarak jauh ke
arah lawan dengan mengerahkan segenap tenaga
dalam yang dimilikinya.
“Hiyaaa...!”
Bersamaan dengan itu pula Ki Buyut Kelana
memapaki pukulan lawan. Kepalan tangan ki-
rinya menghantam ke muka. Untuk beberapa saat
terdengar benturan keras yang diiringi angin ken-
cang yang bersiur kencang laksana badai topan.
Tubuh Ki Soma Jagat terpental beberapa langkah
sambil menjerit keras. Dari mulutnya muncrat
darah kental. Pada saat yang bersamaan dengan
itu tubuh Ki Buyut Kelana telah kembali melesat
ke arahnya dengan pedang terhunus.
“Keparat!” Ki Kartawijaya memaki geram. Tu-
buhnya melompat hendak memapaki serangan
lawan guna menyelamatkan putranya. Namun lu-
ka dalam yang dideritanya akibat pertarungan
dengan Pendekar Pulau Neraka membuat gera-
kannya menjadi terhambat dan kurang gesit Se-
dangkan Ki Buyut Kelana agaknya tak bisa dice-
gah lagi, maka....
Bresss!
Trasss!
“Aaargkh...!”
Ki Soma Jagat menjerit tertahan. Ujung pedang
lawan melesak menembus jantung. Tubuhnya
bergerak sedikit, dan pelahan-lahan terlihat me-
mucat ketika darahnya seperti terisap habis ke
batang pedang lawan.
Ki Buyut Kelana pun agaknya bertindak cepat
Begitu serangan Ki Kartawijaya sedikit lagi men-
dekat, maka buru-buru dia mencabut pedang lalu
sambil bergulingan menyambar senjata lawan.
Pedang di tangan Ki Kartawijaya putus dan nyaris
orang tua itu menjadi korban keganasan Pedang
Setan yang terus meluncur menyambar lehernya
kalau saja dia tak buru-buru memiringkan kepa-
la.
“Yeaaa...!”
Tubuh Ki Buyut Kelana terus mengejar orang
tua itu. Ki Kartawijaya terkejut dan cepat bergu-
lingan menghindari sabetan pedang lawan yang
bukan main lihai dan cepatnya. Beberapa orang
muridnya mencoba membantu, namun pedang Ki
Buyut Kelana lebih cepat lagi menyambar mereka.
Bret!
Crasss!
“Aaa...!”
Empat orang kembali tewas disambar Pedang
Setan, dan tubuh mereka pucat bagai tak berda-
rah. Ki Kartawijaya memanfaatkan kesempatan
itu untuk menguasai diri. Namun begitu tubuh-
nya mencoba untuk melenting, Ki Buyut Kelana
telah bergerak menyambar lawan dengan pedang
di tangan. Orang tua itu tercekat dan berusaha
mengelak. Namun dalam keadaan mengapung di
udara, sulit baginya untuk menghindari diri. Sa-
tu-satunya cara yang bisa dilakukannya adalah
menghantam lawan dengan pukulan jarak jauh.
Dan hal itulah yang dilakukannya saat ini.
Tapi Ki Buyut Kelana pun agaknya telah mem-
perhitungkan hal itu. Terbukti ketika dia balas
menghantam pukulan jarak jauh ke arah lawan.
Terdengar suara keras ketika kedua pukulan
dahsyat itu beradu. Angin bersiur kencang dan
menerbangkan debu-debu serta menutupi tempat
di sekitar itu dalam beberapa saat.
Jdarrr!
“Aaa...!” Keadaan Ki Kartawijaya sebenarnya
tak memungkinkan baginya untuk mengerahkan
tenaga dalam sepenuhnya. Kalau hal itu dilaku-
kannya sama artinya dengan bunuh diri, dan hal
itulah yang terjadi pada orang tua itu. Tubuhnya
terlempar dua tombak seraya memuntahkan da-
rah kental kehitaman. Belum lagi Ki Buyut Kelana
mengirim serangan susulan, tubuh orang tua itu
diam tak berkutik setelah menggelepar-gelepar
beberapa saat lamanya.
“Pemuda durjana, terimalah pembalasan dari
kami!” bentak murid-murid Perguruan Camar Hi-
tam seraya mengepung pemuda itu beramai-
ramai. Dan menyerangnya bersamaan.
Tindakan mereka itu bukannya menimbulkan
rasa gentar di hati Ki Buyut Kelana. Pemuda itu
malah menyeringai lebar sambil mengibaskan pe-
dang.
“Kantong-kantong tak berguna, majulah kalian
semua kalau ingin mampus! Ayo, siapa yang lebih
dulu ingin kukirim ke akherat?!”
Setelah berkata demikian, pemuda itu melom-
pat ke arah lawan-lawannya sambil menyambar
dengan pedang terhunus. Bisa diduga apa yang
terjadi kemudian. Beberapa orang langsung tewas
disambar senjata maut di tangannya. Tidak ada
satu pun senjata lawan yang mampu menahan
amukan pedangnya yang haus darah itu. Siapa
saja yang mendekat dengannya, bisa dipastikan
tewas hanya dalam waktu beberapa saat saja.
Bret! Crasss!
“Aaa...!”
Pekik tertahan saling susul-menyusul mengi-
ringi ambruknya tubuh murid-murid Perguruan
Camar Hitam satu-persatu.
Mendadak pada saat itu melesat sebuah sinar
keperakan ke arah batang pedangnya. Dengan
spontan Ki Buyut Kelana menangkis.
Sring!
Trang!
“Hei...?!”
***
Bukan main kagetnya pemuda itu ketika senja-
tanya seperti menghantam tembok keras.
Selama ini tidak ada satu benda pun yang
mampu menahan keampuhan Pedang Setan di
tangannya. Tapi kali ini tangannya bergetar hebat
seperti kesemutan ketika menghantam benda ke-
perakan yang melayang cepat tadi. Dengan kon-
tan pemuda itu menoleh dan melihat pemuda be-
rambut panjang telah berdiri di belakangnya pada
jarak tujuh langkah. Pemuda yang memakai baju
yang terbuat dari kulit harimau seperti dirinya itu
memandangnya dengan sorot mata tajam. Di
pundaknya terlihat seekor monyet kecil berbulu
hitam. Dan di samping pemuda itu berdiri tegak
seorang gadis cantik memakai pakaian serba pu-
tih. Ki Buyut Kelana sempat melihat benda apa
yang tadi menahan pedangnya ketika pemuda itu
menangkap sebuah senjata cakra bersegi enam
berwarna keperakan.
“Hm, melihat dari senjatamu itu pastilah kau
yang berjuluk Pendekar Pulau Neraka...,” ujarnya
dengan nada dingin.
“Matamu sungguh tajam, Sobat! Apa yang kau
katakan memang benar. Orang-orang menjuluki-
ku sebagai Pendekar Pulau Neraka...,” sahut pe-
muda yang tak lain dari Bayu Hanggara itu.
Kalau saja Ki Buyut Kelana merasa kaget kare-
na senjata Pendekar Pulau Neraka mampu mena-
han Pedang Setan di tangannya, maka hal itu pun
dialami oleh Bayu. Dia merasa kaget ketika cakra
mautnya tak mampu memapak putus pedang la
wan. Bahkan dari bunyi beradunya kedua senjata
itu saja dia bisa menduga bahwa senjata lawan
memang bukan pedang sembarang.
“Kakang Bayu, tidak salah lagi. Pedang itulah
yang dimaksud Guruku...!” seru gadis di sebelah
yang tak lain dari Ayu Laksmini.
“Hm, aku pun menduga demikian, Ayu...”
Sring!
Ayu Laksmini sudah langsung mencabut pe-
dang dan melompat ke hadapan Ki Buyut Kelana.
Wajahnya garang dan ujung pedang di tangannya
ditudingkan ke arah pemuda itu.
“Lekas berikan senjata itu, atau kutebas ba-
tang lehermu!” bentaknya mengancam.
Mendengar ancaman si gadis, Ki Buyut Kelana
tersenyum mengejek.
“Gadis manis, sungguh besar nyalimu berkata
begitu. Apakah kau mempunyai nyawa sambi-
lan?”
“Keparat! Kau sama sekali tak berhak atas
benda itu. Pedang Setan adalah kepunyaan Eyang
Dewa Ruci, guruku. Lekas berikan padaku atau
nyawamu melayang saat ini juga!” bentak si gadis
semakin garang diremehkan lawan begitu rupa.
“Hm, jadi kau murid Ki Dewa Ruci? Guruku
pernah cerita kehebatannya. Dan sebagai murid-
nya kau tentu mewarisi kehebatannya. Sudah la-
ma sekali aku ingin berhadapan dengannya, tapi
tidak juga kunjung bertemu. Kurasa dia takut
mampus di tanganku dengan senjatanya sendi-
ri...!”
“Setan!” Bukan main geramnya Ayu Laksmini
mendengar kata-kata pemuda itu. Sambil memaki
geram, tubuhnya melompat menyerang lawan
dengan menggunakan ilmu pedang yang dimili-
kinya.
“Yeaaa...!”
“Uts! Hm, boleh juga jurus ilmu pedangmu.
Akan lebih hebat lagi kalau si Dewa Ruci sendiri
yang memainkannya. Kau masih terlihat kaku
dan kurang pengalaman. Hm, sungguh kurang
beruntung aku tak bertemu langsung dengan-
nya,” ejek Ki Buyut Kelana sambil terus mengejek
gadis itu.
“Pemuda ceriwis, anggap saja aku mewakili be-
liau untuk merobek mulutmu itu, yaaa...!”
Ayu Laksmini menyerang lawan sambil menge-
rahkan segenap kemampuan yang dimilikinya,
namun pemuda itu dengan tenang terus meng-
hindar dan tak bermaksud membalas. Dengan si-
kapnya itu jelas dia ingin mempermainkan lawan.
Sementara itu melihat Pendekar Pulau Neraka
dan gadis itu datang, serentak murid-murid Per-
guruan Camar Hitam menghentikan perlawanan
mereka dan kini hanya memperhatikan dengan
seksama pertarungan antara gadis itu dengan Ki
Buyut Kelana.
Dan Bayu sendiri tadi hendak melarang gadis
itu untuk turun tangan. Namun dia menyadari
watak gadis itu yang keras kepala. Ayu Laksmini
tentu tetap akan berkeras untuk menghajar pe-
muda itu. Maka dia hanya bisa memperhatikan
seraya menjaga segala kemungkinan yang akan
terjadi. Dia sendiri sebenarnya menyadari meski
kepandaian gadis itu tergolong hebat dan berba-
haya, namun jelas Ayu Laksmini sangat mentah
sekali pengalaman bertarungnya. Hal itu terlihat
jelas dari jurus-jurus ilmu pedang yang dimain-
kannya. Meski terlihat bahwa Ki Buyut Kelana
asal-asalan menghindari serangan lawan, tapi ter-
lihat bahwa dia cukup hati-hati. Sebab sedikit sa-
ja lengah bukan tak mungkin pedang Ayu Laks-
mini akan mencelakainya!
Setelah sekian jurus berlangsung, kali ini terli-
hat Ki Buyut Kelana mulai balas menyerang.
“Cukup! Kini giliranku untuk menyerangmu.
Lihat serangan ini!” bentak Ki Buyut Kelana sam-
bil mengibaskan pedang dan mendadak mener-
kam ke arah lawan.
Ayu Laksmini terkejut merasakan angin ken-
cang yang tajam dan berhawa panas menerpa di-
rinya. Tubuhnya melompat ke atas menghindari
seraya menghantam pukulan jarak jauh ke arah
lawan. Kelebatan sinar putih berhawa dingin me-
nyambar ke arah Ki Buyut Kelana.
“Yeaaa...!”
“Hiyaaat..!”
Jderrr!
“Uuuh...!”
Melihat gadis itu menghantamkan pukulan ke-
rasnya, Ki Buyut Kelana pun membalas. Bera-
dunya dua pukulan dahsyat itu menimbulkan su-
ara keras. Angin pukulan Ayu Lasmini buyar di
hantam pukulan jarak jauh lawan dan terus me-
nerobos menghantam gadis itu. Ayu Laksmini
memekik nyaring. Tubuhnya terjungkal seraya
mengeluarkan darah kental dari sudut bibirnya.
Dalam keadaan demikian agaknya lawan tak ingin
memberi kesempatan padanya. Tubuh Ki Buyut
Kelana terus melompat mengejar dengan senjata
terhunus ke arah Ayu Laksmini.
“Yeaaa...!”
Keadaan Ayu Laksmini memang sangat
mengkhawatirkan sekali. Meski dia mampu
menghindari dua atau tiga serangan lawan, na-
mun bisa diduga dia tak akan mampu bertahan
dari lima kali serangan. Kalau saja saat itu Pen-
dekar Pulau Neraka tidak turun tangan meno-
longnya, niscaya kecemasannya hanya tinggal se-
saat lagi saja.
“Kisanak, hentikan seranganmu! Lihat pada-
ku...!”
***
Sriiing!
Tring!
“Yeaaa...!”
Cakra Maut Pendekar Pulau Neraka melesat
kencang memapaki pedang Ki Buyut Kelana. Ter-
dengar bunyi berdenting nyaring yang diiringi
percikan bunga api ketika kedua senjata itu bera-
du. Pedang di tangan Ki Buyut Kelana bergetar
hebat seperti juga tangannya. Sedangkan laju Ca-
kra Maut Pendekar Pulau Neraka agak melenceng
ketika kembali ketangannya. Terpaksa Bayu me-
lompat mengejarnya. Namun pada saat itu juga Ki
Buyut Kelana telah melompat menyerangnya.
“Uts!”
Bayu menundukkan kepala, dan ujung pedang
lawan lewat beberapa inci dari ubun-ubunnya.
Kepalan tangan kirinya menghantam ke arah da-
da. Namun dengan tangkas, lawan menahan se-
rangannya dengan tangkisan tangan kanannya.
Plak!
“Hiyaaat...!”
Keduanya berkerut menahan rasa sakit ketika
kedua tangan mereka beradu. Agaknya dengan
begitu Ki Buyut Kelana bisa menduga sampai di
mana kekuatan tenaga dalam lawan. Dan mem-
buatnya untuk tidak berbuat gegabah. Apalagi ke-
tika satu tendangan kaki kanan lawan menyam-
bar ke arah lehernya. Ki Buyut Kelana bergerak
ke kanan dan menangkis dengan tangan kirinya.
Bersamaan dengan itu pula pedang di tangan
kanannya menyambar dengan gerakan meliuk-
liuk ke arah leher, dada, dan pinggang Pendekar
Pulau Neraka. Bayu melompat ke belakang, na-
mun lawan mengikuti gerakannya dengan ujung
pedang tetap mengancam tubuhnya.
“Yeaaa...!”
Siiing!
Tring!
“Hiyaaa...!”
Dalam keadaan terjepit begitu, Bayu mele-
paskan Cakra Mautnya. Senjata ampuhnya itu
melesat kencang mengejar lawan, namun dengan
sigap Ki Buyut Kelana menangkis dengan senja-
tanya. Keduanya kembali berbenturan dan me-
nimbulkan suara berdenting nyaring diiringi per-
cikan bunga api. Ki Buyut Kelana kembali mera-
sakan telapak tangannya kesemutan, dan detak
jantungnya semakin tak beraturan. Namun dia
tak mau mempedulikan keadaan dirinya, dan su-
dah terus melompat menyerang lawan dengan ke-
kuatan penuh.
Tubuh Bayu melompat beberapa kali menyam-
bar Cakra Maut yang masih melayang di udara.
Nyaris ujung pedang lawan menyambar ping-
gangnya kalau saja dia tak buru-buru melejit ke
atas. Agaknya Ki Buyut Kelana menyadari akan
kehebatan senjata lawan, untuk itulah dia menye-
rang ke dua arah sekaligus, yaitu menyambar
Cakra Maut dan kemudian diteruskan menyabet
pergelangan tangan kanan lawan.
Namun agaknya Bayu menyadari hal itu se-
hingga dia memperhitungkan baik-baik kapan ha-
rus melepaskan Cakra Maut, dan berapa lama
waktu yang diperlukannya untuk menangkap
senjatanya kembali dengan serangan-serangan
yang dilakukan oleh lawan.
“Yeaaa...!”
Ki Buyut Kelana mencoba menyambar perge-
langan tangan lawan ketika Cakra Maut yang di-
lepaskan Pendekar Pulau Neraka meleset dari sa-
saran. Tubuhnya bergulung-gulung menghindari
kehebatan pedang lawan yang bukan main dah
syatnya. Kemudian dengan sekali sentak, tubuh-
nya melejit ke atas menyambar Cakra Maut yang
bergerak ke arahnya. Pada saat bersamaan tubuh
Ki Buyut Kelana mengejar dari bawah dan men-
coba memapas kedua kakinya. Namun dengan
gesit Bayu menekuk kedua kakinya dan mele-
paskan Cakra Maut di tangannya ke arah leher
lawan.
Siiing!
Crasss!
“Aaarkh...!”
Kejadian itu cepat sekali berlangsung dalam ja-
rak dekat Cakra Maut melesat bagai kilat dan tak
mampu ditahan lawan. Ki Buyut Kelana hanya
mampu berteriak tertahan ketika senjata maut
lawan menyambar lehernya. Kepala pemuda itu
menggelinding ke tanah, dan darah muncrat dari
pangkal lehernya!
Semua orang yang berada di tempat itu mena-
han napas karena ngeri melihat apa yang terjadi
dengan Ki Buyut Kelana. Namun dengan tenang
Bayu mendekati lawan dan mengambil pedang
dalam genggaman tangannya. Pemuda itu mena-
rik napas dalam-dalam, dan menghembuskannya
pelahan-lahan. Ada hawa panas yang hendak
menerobos lewat pembuluh darahnya ketika Pe-
dang Setan digenggamnya erat-erat Hawa panas
yang menimbulkan amarah dan kegarangan. Na-
mun dengan kekuatan tenaga batinnya dia beru-
saha menekan pengaruh jahat itu dan menguasai
senjata itu dengan tenang.
Bayu memandang ke sekeliling tempat, kemu-
dian berkata pelan.
“Pedang Setan ini telah membawa bencana,
dan tidak sembarangan orang mampu meme-
gangnya dengan baik. Kalau sampai jatuh ke tan-
gan yang salah maka keangkaramurkaan akan
melanda dunia. Oleh sebab itu dia akan aman bi-
la berada di tangan pemiliknya. Aku akan menye-
rahkan pedang ini ke tangan Ki Dewa Ruci. Ada-
kah di antara kalian yang mencoba merampasnya
dari tanganku?”
Seluruh murid-murid Perguruan Camar Hitam,
juga Nini Wiyadara yang tengah duduk bersila
mengatur pernapasan dan jalan darahnya guna
menyembuhkan luka dalamnya, diam membisu.
Tidak ada seorang pun dari mereka yang berani
bertindak. Bisa jadi setelah melihat sepak terjang
pemuda itu mereka merasa ngeri. Pemuda ini tak
kalah sadisnya dengan Ki Buyut Kelana. Meski
dia tak sembarang membunuh orang, tapi dia tak
segan-segan memancung kepala siapa saja yang
mencoba mengancam keselamatan dirinya.
Setelah melihat tak ada reaksi dari mereka, pe-
lahan-lahan pemuda itu menghampiri Ayu Laks-
mini setelah menggendong monyet berbulu hitam
yang tak lain dari Tiren, teman kesayangannya
itu.
“Ayu, pedang ini telah berada ditanganku dan
kita akan bersama-sama menyerahkannya pada
gurumu....”
“Eh, terima kasih. Tapi.... Tapi apakah tidak
merepotkanmu, Kakang Bayu...?”
“Maaf, bukannya aku tak percaya padamu. Ta-
pi Pedang Setan ini memang bukan sembarang
pedang. Diadakan mempengaruhi siapa saja yang
memegangnya untuk menimbulkan keangkara-
murkaan dalam dirinya. Dalam keadaan dirimu
yang tengah terluka dalam begini, tentu akan
berbahaya pula bagi dirimu....”
“Tidak apa, Kakang. Aku percaya padamu....”
“Terima kasih. Bagaimana keadaanmu seka-
rang...?” tanya Bayu seraya memeriksa nadi di
tangan gadis itu.
“Agak baik, Kakang...,” sahut gadis itu merasa
jengah dengan suara lirih. Seumur hidupnya be-
lum pernah tangannya diremas seorang pemuda,
meski pada saat itu Bayu tengah memeriksa urat
nadinya. Dan hal itu membuat tubuhnya merasa
panas dingin.
“Hm, memang tidak terlalu parah...,” sahut
Bayu bergumam pelan seraya mengangguk kecil.
“Kakang, apakah kita akan berangkat seka-
rang?”
“Apakah kau sudah merasa kuat?” tanya Bayu
balik bertanya.
“Jangan khawatir, aku masih mampu berlari
ribuan tombak lagi!” sahut gadis itu cepat seraya
tersenyum kecil.
“Baiklah, kita berangkat sekarang...,” sahut
Bayu seraya berjalan lebih dulu.
Ayu Laksmini kesal juga hatinya. Pemuda itu
tak acuh sama sekali padanya. Apakah dia tak
punya perasaan? Tidak bisakah berbasa-basi
dengan mengajaknya, atau menggandeng tangan-
nya, lalu tersenyum kecil? Tapi malah cepat pergi,
gumamnya dalam hati. Ayu Laksmini cepat-cepat
menyusul Bayu dan berusaha menyamai lang-
kahnya. Dan sepanjang perjalanan, lagi-lagi dia
merasa kesal karena pemuda itu terlalu serius,
dan jarang tersenyum, apalagi berkelakar! Tapi
entah kenapa, meski begitu dia suka sekali melihat pemuda itu.
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar