..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Rabu, 05 Februari 2025

PENDEKAR PULAU NERAKA EPISODE PEDANG SETAN DEWA RUCI

Pedang Setan Dewa Ruci

 PEDANG SETAN 

DEWA RUCI
Oleh Teguh Suprianto
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Pulau Neraka
dalam episode:
Pedang Setan Dewa Ruci
128 hal ; 12 x 18 cm


SATU

Hari belum begitu malam ketika keributan itu 
terjadi di rumah Juragan Suminta. Teriakan ke-
ras dan jerit kesakitan mulai mewarnai keadaan 
di sekitar rumah mewah dengan pekarangan luas 
itu. Suara-suara pertarungan itu kemudian dis-
usul dengan kegaduhan yang semakin memun-
cak. Api mulai menjalar menimbulkan asap hitam 
yang membumbung ke angkasa. Ada jerit tangis 
saling bersahutan, lalu... terdengar teriakan ke-
matian!
Dari arah belakang terdengar derap kaki kuda 
berlari kencang. Seorang laki-laki setengah baya 
melarikan kudanya dengan tergesa-gesa. Sesekali 
terlihat dia melirik ke belakang. Wajahnya cemas, 
seperti mengkhawatirkan sesuatu. Di punggung-
nya tergembok sebuah bungkusan berukuran 
agak besar dengan lobang udara kecil di sela-sela 
sisi-sisinya. Namun apabila diperhatikan dengan 
seksama, akan terlihat bahwa bungkusan itu ter-
nyata kain panjang yang dilipat sedemikian rupa. 
Dan di dalamnya terlihat seorang bayi berusia se-
kitar lima bulan yang diselimuti kain tebal.
“Jangan biarkan dia kabur! Lekas kejar! Tang-
kap dia dan bunuh mereka...!” Seorang laki-laki 
berteriak di antara hiruk-pikuk pertarungan di 
halaman rumah Juragan Suminta.
“Heaaa...!”
Lima orang laki-laki berwajah kasar serentak 
melompat ke punggung kuda masing-masing dan

mengejar laki-laki setengah baya yang meloloskan 
diri dari pintu belakang gedung itu.
Merasa bahwa pelariannya ternyata diketahui 
oleh orang-orang itu, lelaki setengah baya itu 
tampak lebih cemas lagi wajahnya. Dia memacu 
kudanya sambil berteriak-teriak kencang.
“Hiyaaa...! Heaaa...!”
“Kurang ajar! Akan kulumatkan kepalanya...!” 
geram salah seorang di antara para pengejar itu. 
Wajahnya berkerut menahan geram. Kedua biji 
matanya itu bagai hampir meloncat keluar, jadi 
lebih mengerikan manakala sedang marah seperti 
itu.
“Sudah, jangan banyak ribut! Kalian menyebar 
ke sana, dan kami terus mengejar dari sini!” ser-
gah laki-laki bertubuh besar yang mengenakan 
ikat kepala merah.
Bersama dengan seorang kawannya, dia terus 
mengejar laki-laki setengah baya itu. Sementara 
tiga orang lainnya memotong jalan melewati hu-
tan kecil yang ada disebelah kiri jalan mereka, 
yang nantinya akan tembus ke jalan yang akan 
dilalui oleh laki-laki setengah baya yang sedang 
mereka kejar.
Laki-laki setengah baya mulai kelihatan geli-
sah. Berkali-kali dia menoleh ke belakang. Para 
pengejarnya semakin memperpendek jarak saja. 
Meski dia memacu kudanya dengan kencang, 
namun hewan itu seperti terbatas kemampuan la-
rinya. Dia mengeluh pelan, dan merasa tidak be-
rapa lama lagi tentu dia akan terkejar.

“Maafkan paman, Ayu. Paman akan berusaha 
melindungimu walau dengan taruhan nyawa se-
kalipun. Tidak akan paman biarkan mereka me-
renggut nyawamu begitu saja....” Lirih terdengar 
suara laki-laki itu sambil menoleh ke arah bayi di 
punggungnya.
Bayi itu seperti mengerti apa yang tengah ter-
jadi pada mereka, hanya diam saja. Sama sekali 
tidak menangis!
“Yeaaa...!”
“Ohhh...!” laki-laki setengah baya terkejut. Tiga 
orang penunggang kuda telah menghadang di de-
pannya. Buru-buru dia menarik tali kekang ku-
danya. Namun hewan yang telah lelah itu malah 
meringkik keras seraya mengangkat kedua kaki 
depannya tinggi-tinggi.
“Hup!” Dengan sigap dia melompat dan menje-
jakkan kedua kakinya ke tanah dengan mulus.
“Wandira, berhenti kau! Jangan harap kau bisa 
selamat dari kami!” bentak salah seorang di anta-
ra penghadangnya itu. Kemudian melompat dari 
kudanya dan menghadang laki-laki setengah baya 
yang dipanggil Wandira itu dengan sorot mata 
buas.
“Hua ha ha...!” Kau kira bisa menyelamatkan 
diri dari kami?!”
Ki Wandira kembali terkejut. Dua orang pe-
nunggang kuda yang tadi mengejarnya di bela-
kang, kini ikut mengepungnya juga. Dia bersiaga 
akan segala kemungkinan yang akan terjadi. So-
rot matanya tajam mengawasi mereka satu persatu.
Laki-laki bertubuh besar dan memakai ikat ke-
pala merah, yang agaknya pemimpin keempat 
kawannya itu, melompat turun dari punggung 
kudanya dan melangkah pelan mendekati Ki 
Wandira. Pada jarak lima langkah dia berhenti, 
lalu sambil bertolak pinggang, wajahnya menye-
ringai buas. Tangan kanannya mengelus-elus ga-
gang golok yang terselip di pinggang kiri. Semen-
tara tangan kirinya memilin-milin ujung kumis-
nya yang tebal.
“Hari ini keluarga Suminta dan keturunannya 
akan musnah dari dunia ini, dan tidak ada seo-
rang pun yang mampu menghalanginya!” dengus 
laki-laki itu sinis.
“Keparat kau, Suteja! Kau boleh berkata se-
maumu, tapi jangan harap aku akan menyerah 
begitu saja padamu!” dengus Ki Wandira tidak ka-
lah menggertak.
“Ha ha ha...! Tua bangka, Wandira. Apa yang 
akan bisa kau andalkan untuk menghadapi kami 
berlima!” Majikan dan centeng-centengnya yang 
berilmu tangguh telah tewas. Kau cuma tukang 
kebun yang lemah. Apa yang bisa kau andalkan 
untuk melindungi putri majikanmu itu? Menye-
rahlah agar kami bisa meringankan hukumanmu. 
Mengingat kau cuma seorang tukang kebun, sia-
pa tahu ketua kami bisa mengampuni jiwamu!”
“Terkutuk kau, Suteja! Sampai kapan pun aku 
tidak akan menyerah dan membiarkan kalian 
menyembelih bayi yang tidak berdosa ini!”

“Huh, keras kepala! Kalau begitu kau boleh 
mampus sekarang juga! Ayo, rencah dia!” teriak 
Suteja seraya memberi isyarat pada keempat ka-
wannya untuk menyerang Ki Wandira.
“Yeaaa...!”
***
Ki Wandira mendengus sinis. Melihat keli-
manya maju bersamaan dengan senjata terhunus, 
dia menggertak rahang, tubuhnya berkelit ke 
samping dengan sedikit membungkuk ketika satu 
tebasan menghajar ke arah dada kirinya. Kemu-
dian dengan enteng tubuhnya melompat ke atas 
sambil mengayunkan satu tendangan ke arah la-
wan yang terdekat setelah mengelak dari dua te-
basan yang menyusul.
“Hiyaaa...!”
“Uts!”
Tukang kebun sial! Ternyata kau memiliki ke-
mampuan juga! Bagus. Aku ingin lihat, sampai di 
mana kebisaanmu!” dengus Suteja seraya meng-
hindar ke samping dari tendangan itu.
Wut!
Plak!
Dengan gemas tubuhnya melenting ke atas. 
Goloknya menyambar ke leher lawan. Tubuh Ki 
Wandira merungkel menghindari serangan itu, 
dan tangan kirinya berputar menghantam teng-
kuk lawan. Suteja dengan spontan menangkis. Ki 
Wandira terkejut. Wajahnya berkerut menahan 
sakit akibat benturan itu. Namun dia masih

mampu melompat ke samping seraya mengi-
baskan tangan kanan untuk menghindari kepalan 
tangan salah seorang lawan.
Begkh!
“Akh!”
Laki-laki setengah baya itu mengeluh kesakitan 
ketika salah seorang pengeroyoknya dengan tiba-
tiba berhasil menyarangkan hantaman kepalan 
tangan kanannya ke pinggang. Ki Wandira ter-
huyung-huyung beberapa langkah. Namun begitu 
tubuhnya masih mampu menghindar dari teba-
san seorang pengeroyoknya yang lain.
“Uts!”
“Mampus...!” gumam Suteja seraya melompat 
ke arah lawan dengan mengayunkan satu ten-
dangan keras ke arah lambung.
Ki Wandira terkejut. Tubuhnya melompat ke 
belakang. Namun dengan gemas ujung golok Su-
teja menyambar. Serangan itu memang telah di-
rencanakan untuk mengecoh lawan. Ki Wandira 
terkejut dan tidak sempat mengelak. Orang tua 
itu menjerit kesakitan.
Cras!
“Aaaakh...!”
Salah seorang pengeroyoknya lagi berhasil 
menghantam perutnya yang tengah terluka parah 
itu dengan satu tendangan keras. Ki Wandira 
memekik kesakitan ketika tubuhnya terjungkal. 
Namun dengan kekuatan tenaga, orang tua itu 
berusaha jatuh dalam keadaan tengkurap agar 
bayi di punggungnya tidak tertindih tubuhnya.

“Setan! Masih alot juga rupanya kau...!” maki 
salah seorang yang langsung mengayun goloknya 
ke punggung lawan.
“Ohhh...!”
“Ki Wandira terkejut dan berusaha memperta-
hankan nyawa si bayi dengan mengibaskan sebe-
lah kakinya untuk menghantam perut lawan. Ta-
pi....
Cras!
“Aaakh...!”
Kembali orang tua itu terpekik. Senjata lawan 
dengan cepat berbalik dan menyambar kakinya 
hingga putus. Darah mengucur deras sebatas lu-
tut Orang tua itu berusaha bangkit dengan lang-
kah terpincang-pincang. Pada saat itu dua orang 
lawannya kembali mengayunkan golok dengan 
wajah beringas dan siap menghabisi nyawa orang 
tua itu bersama bayi dalam gendongannya.
“Mampus kau, Wandira...!”
“Yeaaah...!”
Ki Wandira terkesiap. Dia berusaha melompat 
untuk menghindari serangan lawan. Namun 
ujung salah satu senjata lawan cepat menyambar 
pahanya. Orang tua itu kembali menjerit. Dan 
kembali berteriak kesakitan ketika dia berhasil 
menghindari sabetan senjata lawan yang kedua, 
namun ujung kaki lawannya itu menghantam te-
lak ke arah dadanya.
Bagai kawanan serigala kelaparan, Suteja dan 
dua orang kawannya menerkam tubuh Ki Wandi-
ra yang terjungkal tak berdaya. Ketiga senjata

mereka siap menghabisi nyawa Ki Wandira.
Orang tua itu mengeluh pelan. Wajahnya ber-
kerut menahan sakit dan sepasang matanya ter-
pejam pasrah. Tidak ada lagi yang bisa dilaku-
kannya untuk menyelamatkan bayi yang dilin-
dunginya mati-matian itu. Hati dan bibirnya tiada 
henti berdoa.
“Ki Suminta, maafkan aku yang tidak berguna. 
Aku tak mampu menyelamatkan keturunanmu 
satu-satunya...” keluhnya pelan di dalam hati.
“Yeaaah...!”
Klap! Klap...!
“Aaakh...!”
Pada saat yang kritis bagi Ki Wandira, menda-
dak melesat bayangan putih menghadang seran-
gan Suteja dan kedua kawan-kawannya. Mereka 
tersentak kaget, namun tak mampu berbuat apa-
apa. Kedua kawannya cuma mampu melihat tiga 
buah golok yang malang jauh, dan jeritan pan-
jang!
Suteja dan kedua kawannya terjungkal tujuh 
langkah dengan napas memburu. Ketiganya me-
rasa dadanya perih ketika satu pukulan keras 
yang amat cepat menghantam. Dengan gusar laki-
laki bertubuh besar itu bangkit dan memandang 
seorang laki-laki tua berjubah putih dengan jeng-
got panjang yang berdiri gagah di depan mereka.
“Orang tua terkutuk, siapa kau?! Berani mati 
mencampuri urusan kami!” geram Suteja memaki.
***

Orang tua yang kelihatannya berwajah ramah 
dan berkulit bersih itu tersenyum kecil seraya 
memandang ke arah mereka. Sikapnya tenang 
dan percaya diri. Rambutnya yang panjang dan 
telah memutih, dibiarkan lepas begitu saja. Kedua 
tangannya bersedekap ke dada, dan bola matanya 
lurus memandang ke arah Suteja tanpa mau pe-
duli pada dua orang anak buah Suteja yang ber-
siap di belakangnya untuk menyergap.
“Apakah setan telah menguasai hatimu sehing-
ga kau tega membunuh seorang bayi yang tak 
berdosa?” tanya si orang tua itu pelan.
“Orang tua, lebih baik lekas kau menyingkir 
dari tempat ini kalau tak ingin celaka!” sahut Su-
teja membentak garang.
“Baiklah, aku akan pergi dari sini. Dan tentu 
saja aku tidak ingin celaka...” sahut si orang tua 
seraya melangkah pelan mendekati Kr Wandira.
“Hentikan langkahmu, orang tua!” bentak Sute-
ja merah.
Laki-laki itu menjadi kalap karena orang tua 
itu meremehkan kata-katanya. Dan sama sekali 
tidak menganggap dirinya sebagai ancaman di 
tempat itu dengan mendatangi Ki Wandira yang 
tengah sekarat.
Tapi orang tua itu sama sekali tidak memper-
dulikan bentakan Suteja. Dia berjongkok pelahan 
dan meraih bayi dalam gendongan Ki Wandira 
dengan hati-hati sekali.
“Hm, bayi mungil yang cantik. Kau seharusnya 
tidak melihat kekejaman orang-orang ini. Tapi

agaknya telah ditakdirkan bahwa kelak kau men-
jadi anak yang tabah...” gumam si orang tua se-
raya tersenyum kecil menimang-nimang jabang 
bayi itu.
“Ki sanak, tolong selamatkan bayi ini. Dia putri 
satu-satunya majikanku... Ju... juragan Suminta. 
Namanya... Ayu Laksmini...,” kata Ki Wandira 
dengan suara terbata-bata.
“Tenangkan dirimu, sobat..,” Si orang tua itu 
berusaha menghentikan pendarahan di tubuh Ki 
Wandira untuk menghentikan rasa sakit yang di-
deritanya.
“Percuma sobat. Aku... aku merasa ajalku su-
dah dekat Te... terima kasih atas kesedianmu me-
lindungi dan merawat bayi ini...,” sahut Ki Wandi-
ra seraya tersenyum lega.
Ki Wandira menarik nafas panjang. Wajahnya 
berkerut menahan rasa sakit. Terlihat tubuhnya 
mengejang sesaat, sebelum diam tak bergerak lagi 
untuk selamanya. Nyawanya melayang dari tu-
buhnya.
“Tenangkan hatimu di alam sana, sobat. Tentu 
saja aku akan merawat dan melindungi bayi ini 
dari siapa pun yang mencoba mengganggunya. 
Telah lama sekali aku tidak mempunyai cucu. Ha-
ri ini dialah cucuku...!” sahut si orang tua seraya 
mengusap wajah Ki Wandira.
Kemudian dia bangkit dengan tenang dan me-
mandang kelima orang lawan-lawannya yang siap 
menyerangnya. Orang tua itu tersenyum kecil dan 
sama sekali tidak menganggap bahwa kelima

orang itu merupakan hantu yang menakutkan 
baginya.
“Orang tua, serahkan bayi itu! Ini peringatan 
terakhir bagimu! Kalau kau masih berkeras juga 
maka nasibmu akan sama dengan Ki Wandira!” 
bentak salah seorang anak buah Suteja.
“Hm, bayi ini sekarang adalah cucuku, dan ti-
dak seorang pun kuperkenankan merebutnya dari 
tanganku...,” sahut si orang tua itu dengan sikap 
tenang.
“Bebedah! Kalau begitu kau mencari mampus! 
Baiklah kalau memang itu maumu!” bentak Sute-
ja seraya memberi isyarat pada anak buahnya.
Kelima orang itu segera memutar golok di tan-
gan dan melangkah mengelilingi orang tua itu 
dengan sorot mata setajam mata elang. Bagaima-
napun mereka patut berhati-hati. Dengan sekali 
gebrak orang tua itu mampu menjatuhkan Suteja 
dan kedua kawannya. Itu saja sudah cukup 
membuktikan bahwa si orang tua memiliki ke-
mampuan yang hebat dan tidak bisa dianggap en-
teng.
“Yeaaah...!”
Wut! Wut!
Dengan mengerahkan seluruh kecepatan, me-
reka bergerak. Kelima senjata lawan menyambar 
ke seluruh bagian tubuh orang tua itu.
“Dasar manusia-manusia durjana! Tidak cu-
kupkah bagi kalian nyawa beberapa orang yang 
telah kalian bantai. Dan kini seorang bayi yang 
tidak berdosa hendak kalian renggut pula dari

tanganku. Huh, jangan salahkan aku jika bertin-
dak keras terhadap kalian!” dengus orang tua itu 
geram.
Dengan tangan kiri menggendong bayi, gerakan 
orang tua itu sama sekali tidak terhalangi ketika 
tubuhnya melompat ke atas menghindari samba-
ran senjata lawan. Kemudian dia membuat gera-
kan salto beberapa kali. Kedua kakinya bergerak 
cepat menyambar dua pergelangan tangan lawan.
Tak! Tak!
“Aaakh!”
Kedua orang itu menjerit kesakitan. Golok da-
lam genggaman mereka terlepas dari pergelangan
tangannya patah. Namun orang tua itu agaknya 
tidak berhenti sampai di situ. Tubuhnya merun-
duk ketika dua sabetan lain menyambar. Kemu-
dian bergerak ke atas sambil mengayunkan sebe-
lah kaki dengan gerakan ke atas sambil men-
gayunkan sebelah kaki dengan gerakan menyapu 
dari kiri ke kanan.
Duk! Begkh!
“Aaakh!”
Dua orang lawan kembali menjerit kesakitan 
ketika dada mereka seperti dihantam benda ke-
ras. Keduanya terjungkal ke belakang.
Suteja terkejut bukan main. Kini dia tinggal 
sendiri berhadapan dengan orang itu.
“Keparat! Jangan kau kira aku takut padamu! 
Yeaaah...!” Suteja geram bukan main mendengar 
kata-kata si orang tua. Di hadapannya hal itu me-
rupakan penghinaan. Dan di depan anak buah

nya, mana mungkin dia menunjukkan kepenge-
cutannya. Maka tanpa pikir panjang lagi, Suteja 
melompat menyerang lawan dengan senjata ter-
hunus.
“Hup!”
Dengan gerakan gesit dan manis, orang tua itu 
merundukkan kepala lalu melompat ke samping 
menghindari tebasan senjata lawan.
Suteja geram bukan main melihat lawan mam-
pu menghindari setiap serangan dengan gerakan 
gesit. Tapi lebih kaget lagi dia manakala merasa-
kan satu hajaran telak menghantam dagu ketika 
orang tua itu melompat ke atas.
Tak!
“Aaakh...!”
Tubuh Suteja terjerembab ke belakang sambil 
memuntahkan darah segar dari mulut Tiga buah 
giginya tanggal, dan golok di tangannya terlepas 
dari genggaman.
“Kurang ajar...!” Suteja menggeram sambil me-
ludah. Dia segera bangkit dengan wajah gusar 
dan siap menyerang lawan kembali. Namun orang 
tua itu telah lenyap dari tempat itu. Dia meman-
dang ke sekeliling tempat.
“Kemana dia?! Ke mana orang tua keparat 
itu?!” bentaknya geram pada keempat kawannya.
Keempat orang kawannya diam tak menjawab. 
Mereka memang tidak mengetahui, bagaimana 
caranya si orang tua menghilang dari tempat itu.
“Dasar kantong-kantong nasi pengecut! Kenapa 
kalian diam saja dan bukannya membantu aku
menghajarnya?!” maki Suteja seraya menghardik 
geram.
Keempat kawannya cuma kembali diam seraya 
menundukkan kepala. Wajah mereka beberapa 
kali berkerut menahan rasa sakit. Kemudian pe-
lahan-lahan melompat ke punggung kuda ketika 
Suteja yang lebih dulu melompat ke punggung 
kudanya, berlalu dari tempat itu!
***
DUA


Laki-laki bertubuh besar yang mengenakan 
ikat kepala warna hitam dan lebar itu berdiri te-
gak sambil tersenyum lebar. Pedang besar di tan-
gan kanannya yang berlumur darah dibersihkan-
nya dengan menggosok-gosokkan pada baju salah 
seorang mayat yang tergeletak di dekatnya. Bebe-
rapa orang kawan-kawannya yang berjumlah le-
bih dari lima belas orang tampak mondar-mandir 
di seluruh pekarangan dan di dalam gedung besar 
itu seperti hendak memastikan bahwa tidak seo-
rang pun penghuninya yang selamat
“Semuanya sudah mampus!” desis salah seo-
rang yang mendekati lelaki bertubuh besar seraya 
menyarungkan kembali golok ke pinggangnya.
“Bagaimana dengan Suteja dan kawan-
kawannya?” tanya lelaki bertubuh besar itu den-
gan suara serak.
“Dia pasti sedang membereskan sisanya...”

“Hm, seluruh keturunan si Suminta harus bi-
nasa! Begitu yang diperintahkan Ki Kartawijaya. 
Kalau saja ada yang hidup, maka kalian semua 
akan menanggung akibatnya!”
“Saat ini mereka tentu telah dibereskan Ki Su-
teja,” sahut laki-laki itu meyakinkan.
“Hm, mudah-mudahan saja benar apa yang 
kau katakan...”
“Apa yang akan kita lakukan sekarang, Ki 
Jambrong Suta?” tanya anak buahnya itu.
“Siapkan yang lain. Kita akan berangkat seka-
rang juga ke markas!” perintah laki-laki bertubuh 
besar itu dengan suara keras.
“Apakah kita tidak menunggu Ki Suteja dan 
yang lainnya?”
“Tidak perlu. Begitu mereka telah menyelesai-
kan urusannya, mereka pasti akan kembali ke 
markas!”
“Baiklah...!” sahut anak buahnya seraya men-
gangguk pelan dan berteriak pada yang lainnya.
Sebentar saja mereka telah melompat ke pung-
gung kuda masing-masing dan meninggalkan 
tempat itu sambil memacu kuda-kuda dengan 
kencang. Namun baru saja berada di pintu ger-
bang depan, sekonyong-konyong melesat sebuah 
bayangan menghadang mereka. Serentak Ki Jam-
brong Suta menghentikan lari kuda sehingga he-
wan itu meringkik keras. Demikian pula dengan 
para anak buahnya.
“Kurang ajar! Siapa yang berani menghalangi 
jalanku?!” bentak Ki Jambrong Suta geram.

Beberapa orang anak buahnya sudah langsung 
melompat dan berdiri tegak dengan sikap waspa-
da mengepung seorang laki-laki tua yang tengah
menggendong seorang bayi. Orang tua itu tenang 
sekali sikapnya dan sama sekali tak merasa takut 
melihat lawan-lawannya siap hendak menghabi-
sinya.
Melihat keadaan itu Ki Jambrong Suta menjadi 
curiga. “Kalau bukan orang gila yang ingin mam-
pus, pastilah orang tua ini memiliki nyawa seri-
bu,” pikirnya. Dia memberi isyarat pada anak 
buahnya untuk tidak menyerang si orang tua du-
lu.
“Ki sanak, apa maksudmu menghadang perja-
lanan kami?” tanya Ki Jambrong Suta dengan na-
da suara ditekan sedemikian rupa, mungkin un-
tuk menunjukkan kewibawaannya di hadapan 
orang tua itu.
“Kaukah yang memimpin rombongan ini?” 
tanya si orang tua tidak menghiraukan perta-
nyaan Ki Jambrong Suta.
Mendengar itu saja rasanya amarah Ki Jam-
brong Suta hendak naik ke ubun-ubun. Orang 
tua itu sama sekali tidak memandang sebelah 
mata padanya. Dia tak peduli dengan perta-
nyaanya, dan malah balik mengajukan perta-
nyaan sendiri. Namun memandang sorot mata si 
orang tua yang tajam dan menyilaukan matanya, 
sadarlah Ki Jambrong Suta bahwa dia tengah 
berhadapan dengan seorang tokoh yang memiliki
kepandaian tinggi dan sulit diukur sampai di ma

na tingkat kepandaiannya. Untuk itu dia harus 
hati-hati dan tidak bisa bertindak gegabah.
“Benar, akulah yang memimpin rombongan 
ini. Namaku Ki Jambrong Suta. Siapakah engkau, 
Ki sanak...?”
“Apa hubunganmu dengan Nini Widyadara?” 
tanya si orang tua itu sama sekali tidak mempe-
dulikan niat baiknya untuk beramah tamah. Na-
mun dia berusaha menekan amarahnya dan me-
nyahut tenang.
“Hm, agaknya kau mengenal sesepuh kami ju-
ga. Beliau adalah istri guru kami...”
“Kartawijaya...?!”
“Kau pun mengenalnya?” Ki Jambrong Suta 
mulai berhati-hati begitu mengetahui bahwa 
orang tua di depannya ini mengetahui kedua se-
sepuh di perguruannya itu. Boleh jadi dia kawan 
baik gurunya. Untuk itu dia tak berani bersikap 
gegabah lagi.
“Ki sanak, siapakah kau sebenarnya? Kau begi-
tu mengenal kedua sesepuh kami. Pastilah kau 
amat dekat dengan mereka...”
“Ha ha ha ha...! Katakan pada mereka bahwa 
suatu saat kelak aku akan mengambil milikku 
yang telah mereka perdayai. Saat itu aku tidak bi-
sa memastikan apakah akan mengampuni mere-
ka atau tidak!”
Ki Jambrong Suta tersentak kaget. Orang tua 
berjanggut panjang dan telah memutih itu tertawa 
lebar. Kemudian melesat ke atas dan menapak 
dengan enteng pada sebuah cabang pohon sebelum dia dan anak buahnya sempat menyadari hal 
itu.
“Orang tua sinting! Siapa kau sebenarnya dan 
apa urusanmu dengan kedua guru kami?!” ben-
tak Ki Jambrong Suta seraya melemparkan go-
loknya ke arah melesatnya bayangan si orang tua.
Namun senjatanya itu hanya menancap di ba-
tang pohon, sedangkan si orang tua telah lenyap 
dari tempat itu. Suara tawanya masih terdengar 
nyaring yang diikuti gema suaranya.
“Katakan pada kedua tikus licik itu, Dewa Ruci 
akan meminta kembali benda miliknya yang telah 
mereka renggut..!”
Dan kemudian suara itu menghilang. Ki Jam-
brong Suta dan anak buahnya kembali terpaku.
“Dewa Ruci...?” tanyanya bingung pada diri 
sendiri.
Dia mencoba mengingat-ingat di mana pernah 
mendengar nama itu.
“Astaga! Dewa Ruci! Dia... dia saudara sepergu-
ruan Ki Kartawijaya. Pantas saja kepandaiannya 
demikian hebat!” desis Ki Jambrong Suta begitu 
mengingat siapa orang tua itu sebenarnya.
Anak buahnya pun terkesima. Kalau saja orang 
tua itu sempat marah dan menghajar mereka, 
niscaya tidak seorang pun di antara mereka yang 
bisa selamat.
“Lekas kita kembali dan kabarkan hal ini pada 
ketua!” teriak Ki Jambrong Suta memberi perin-
tah pada anak buahnya.
Tidak berapa lama kemudian mereka telah meninggalkan tempat itu sambil memacu kencang 
kudanya.
***
Orang tua bertubuh kurus itu tampak merah 
menahan marah begitu mendengar laporan anak 
buahnya. Dipandanginya mereka satu-persatu 
kemudian terdengar suaranya yang lantang.
“Ke arah mana dia pergi?”
“Eh... kami... kami tidak mengetahuinya, 
Eyang,” sahut Ki Jambrong Suta sambil menun-
dukkan wajahnya.
“Tolol! Apa kau tidak bisa memperkirakan ke 
mana dia pergi?!”
“Sabarlah, Kakang. Kau tidak bisa menyalah-
kan mereka begitu saja. Kepandaian Kakang De-
wa Ruci memang sulit diukur. Apalagi setelah se-
kian tahun berlalu...,” ujar seorang wanita tua be-
rambut panjang yang duduk di samping laki-laki 
tua itu.
Laki-laki tua itu mendengus geram.
“Apakah orang tua itu berbahaya bagi kita, 
Eyang? Bukankah beliau kakak seperguruan 
Eyang...?!” tanya Ki Jambrong Suta dengan dahi 
berkerut.
“Huh, tahu apa kau dengan segala urusanku!” 
dengus orang tua itu sinis.
Ki Jambrong Suta terdiam. Wajahnya di tun-
dukkan dalam-dalam.
“Ki Jambrong Suta, urusanmu telah selesai. 
Pergilah keluar...,” kata wanita tua yang berada di

depannya dengan nada ramah.
“Baiklah, Eyang...,” sahut Ki Jambrong Suta 
seraya memberi hormat dan berlalu dari ruang 
itu.
Laki-laki tua bertubuh kurus itu sesungguhnya 
bernama Ki Kartawijaya, dan wanita di sebelah-
nya adalah Nini Widyadara. Kedua orang tua itu 
amat disegani di kalangan dunia persilatan kare-
na kepandaian mereka yang hebat. Dan untuk 
saat ini Perguruan Camar Hitam yang mereka 
pimpin, merupakan salah satu dari sekian banyak 
perguruan silat yang amat menonjol dan amat 
disegani.
Sebenarnya Ki Kartawijaya tidak turun tangan 
langsung memimpin Perguruan Camar Hitam se-
telah putranya dewasa. Beliau menyerahkan tam-
puk kepemimpinannya ketangan Ki Dewantara, 
putra tertuanya. Pemuda yang berusia sekitar tiga 
puluh tahun lebih itu pun tak kalah hebat ke-
pandaiannya dibanding dengan orangtuanya.
Hari ini tidak seperti biasanya bagi mereka. 
Terlebih bagi suami istri yang telah berusia lanjut 
itu. Berita yang dibawa oleh Ki Jambrong Suta 
memang amat mengagetkan mereka. Dari mana 
Ki Dewa Ruci mengetahui bahwa Ki Jambrong Su-
ta muridnya?
“Tak aneh, Kakang. Melihat dari gerakan-
gerakan ilmu silatnya saja dia sudah bisa mene-
baknya.
Tidak ada orang lain yang menjadi murid eyang 
selain kita bertiga...,” jelas Nini Widyadara.

“Hm, kenapa dia tidak langsung menuju ke si-
ni? Dia pasti mempunyai rencana lain...,” gumam 
Ki Kartawijaya dengan nada bertanya-tanya.
“Kenapa Ayah dan Ibu kelihatan khawatir den-
gan kemunculan orang tua bernama Dewa Ruci 
itu?” tanya Ki Dewantara yang sejak tadi diam sa-
ja mendengar percakapan mereka.
Ki Kartawijaya memandangnya sekilas, kemu-
dian berpaling seperti tidak ingin menjawab per-
tanyaan putranya itu.
“Ayahanda, jika ada sesuatu yang membebani 
pikiran Ayahanda tentang orang tua itu, serahkan 
saja pada ananda. Biar Ananda yang akan men-
gurus erang tua itu...”
“Apa yang bisa kau urus?” tanya Ki Kartawijaya 
tersenyum kecut.
“Ayah menghendaki apa dari orang tua itu?” 
sahut Ki Dewantara mantap dengan pertanyaan 
yang meyakinkan orangtuanya itu.
“Apakah jika ayahanda menginginkan kema-
tiannya kau mampu mengurusnya?” tanya Ki Kar-
tawijaya kembali tersenyum getir.
“Kalau memang Ayah menghendaki demikian, 
serahkan saja urusannya pada ananda,” sahut Ki 
Dewantara mantap.
“Ki Dewantara, anakku. Kau tidak tahu orang 
macam apa yang sedang kita bicarakan ini. Bu-
kan hanya namanya saja yang berawal dewa, tapi 
kepandaiannya pun hampir menyamai nama itu. 
Tidak ada seorang pun yang mampu mengimban-
gi kepandaiannya. Kau akan sia-sia untuk melawannya. Apalagi mencoba membunuhnya,” jelas 
Nini Widyadara dengan suara Junak.
“Ibu, apakah Ibu tidak percaya dengan ke-
mampuan ananda?”
“Siapakah yang meragukan kemampuanmu? 
untuk saat ini segala kepandaian ibu dan aya-
handamu telah engkau kuasai.”
“Lalu kenapa Ibu masih meragukan ananda? 
Kalau memang Ki Dewa Ruci itu saudara sepergu-
ruan Ayahanda dan Ibu, tentu kepandaiannya se-
banding pula. Dan kenapa ananda tidak mampu 
melawannya?” tanya Ki Dewantara dengan wajah 
kurang puas.
“Apa yang kau katakan memang benar. Tapi 
ada satu yang belum kau ketahui bahwa Ki Dewa 
Ruci itu bukan hanya berguru pada satu orang. 
Tapi dia seorang petualang yang memiliki banyak 
guru. Kepandaiannya beraneka ragam dan sulit 
diukur,” jelas Nini Widyadara.
“Tapi bukan berarti ananda tidak mampu 
menghadapinya, bukan? Percayalah, ananda tak 
takut melawannya bila memang Ayahanda dan 
Ibu begitu mengkhawatirkan orang tua itu,” sahut 
Ki Dewantara kembali dengan nada mantap.
“Sudahlah, lebih baik kau urus murid-
muridmu.
Biar persoalan yang satu ini kami yang urus,” 
kata Ki Kartawijaya dengan suara tegas.
“Tapi, Ayahanda...”
“Jangan membantah! Apa yang bisa kau laku-
kan? Apa kau ingin mengantar nyawa secara per

cuma? Sudah, pergilah sana!” bentak Ki Kartawi-
jaya dengan nada lebih tinggi.
Ki Dewantara sebenarnya ingin membantah. 
Tapi mendengar suara ayahnya yang mulai ber-
nada keras, dia tidak berani buka mulut lagi. 
Meski hatinya sedikit tidak enak ditinggalkannya 
juga ruangan itu setelah menjura hormat.
Nini Widyadara menoleh kepada suaminya 
sambil menghela napas pendek.
“Tidak baik kau berkata keras begitu padanya. 
Bukankah dia bermaksud baik..?”
“Huh, jangan kau selalu mengajarinya berle-
mah-lembut. Dia anak laki-laki, dan seorang laki-
laki patut mendapat perlakuan keras.”
“Dan selama ini semakin kau kerasi mereka 
akan semaian membantah. Apakah itu ada man-
faatnya bagi mereka?”
“Dan mereka pun mendapat pelajaran akibat 
membantah perkataanku. Itu menjadi pengala-
man berharga bagi mereka.”
“Dalam hal ini, mereka mengetahui bahwa kau 
melarang ikut campur. Apakah kau yakin mereka 
akan mematuhinya? Bagaimana bila Ki Dewanta-
ra dengan diam-diam melanggar laranganmu dan
mencari Kakang Ki Dewa Ruci untuk menantang-
nya bertarung? Kakang Ki Dewa Ruci memang 
penyabar. Tapi kalau Ki Dewantara terus memak-
sanya, dia akan terbunuh. Apakah hal seperti itu 
yang kau katakan pengalaman berharga bagi me-
reka?
“Ah, sudahlah. Jangan urusi soal itu,” sergah

Ki Kartawijaya kesal.
***
Nini Widyadara terdiam beberapa saat la-
manya. Demikian pula halnya dengan Ki Kartawi-
jaya. Apa yang dikatakan istrinya memang ada 
benarnya. Tapi tentu saja dia tidak bisa menga-
wasi anaknya itu setiap hari. Meski perguruan itu 
dipegang oleh Ki Dewantara, namun dalam pelak-
sanaannya dia sering mewakilkan pada dua orang 
adiknya, yaitu Ki Ganggapura dan Ki Soma Jagat 
Sedangkan Ki Dewantara sendiri lebih sering ber-
kelana seorang diri. Tidak seorang pun mengeta-
hui apa yang dilakukannya di luar sana.
“Kakang, apakah kau begitu mengkhawatirkan 
kedatangan Kakang Ki Dewa Ruci ke tempat 
ini...?” tanya Nini Widyadara pelan.
“Huh, apa yang kutakutkan darinya?” sahut Ki 
Kartawijaya sambil mencibir.
“Kalau begitu, kenapa Kakang begitu kelihatan 
cemas mendengar berita kedatangannya? Belum
tentu dia akan datang ke sini....”
“Cepat atau lambat dia pasti akan datang ke 
sini untuk menagih benda miliknya, dan kita ha-
rus siap mempertanggungjawabkannya.”
Nini Widyadara mendesah pelan.
“Aku sendiri tidak mengetahui di mana benda
itu berada sekarang ini.”
“Itu salahmu sendiri. Kenapa kau tidak me-
nyembunyikannnya dengan rapi saat pertarungan 
tempo hari,” sentak Ki Kartawijaya dengan nada

kesal.
“Siapa yang mengira bahwa pemuda itu memi-
liki kepandaian yang hebat dan mampu meram-
pas Pedang Setan itu dari tanganku,” sahut Nini 
Widyadara tak senang merasa disalahkan.
Kedua orangtua itu kembali terdiam setelah 
saling menyalahkan. Kemudian terlihat Ki Karta-
wijaya menghela napas panjang seraya mengge-
lengkan kepalanya pelan.
“Maafkan aku, Nini. Tidak seharusnya aku me-
nyalahkanmu. Pemuda itu memang memiliki ke-
pandaian yang hebat...”
Mendengar nada suara suaminya mulai lunak 
dengan perasaan penyesalan, kekesalan di hati 
wanita tua itu pun mereda. Dia memegang tangan 
Ki Kartawijaya dan meremasnya pelan seraya ter-
senyum kecil.
“Sudahlah. Yang telah terjadi tidak mungkin 
kembali lagi. Kita memang bersalah, dan sudah 
sepatutnya mendapat hukuman akibat kesalahan 
kita sendiri...”
“Tapi...”
“Apakah kau masih merasa tinggi hati untuk 
meminta maaf pada Kakang Ki Dewa Ruci?” po-
tong Nini Widyadara cepat.
“Entahlah...,” sahut Ki Kartawijaya lemah.
“Kakang, kita sudah tua. Lupakanlah perti-
kaian kalian di masa lalu. Lagi pula, tidakkah 
engkah merasakan bahwa Kakang Ki Dewa Ruci 
telah banyak mengalah pada persoalan ini? Kau 
merebut aku darinya, tapi dia malah menghindar

pergi dan meninggalkan kita begitu saja tanpa 
membuat perhitungan denganmu. Lalu kita men-
curi senjata pusakanya, dan baginya itu adalah 
perbuatan yang di luar batas. Apalagi ketika sen-
jata itu kita pergunakan untuk berbuat sewe-
nang-wenang. Tentu saja dia tidak suka dan men-
jadi marah. Tapi dia memberi kesempatan pada-
mu untuk mengembalikan senjata itu karena kau 
berdalih hendak meminjamnya. Tapi ketika waktu 
itu habis, kita malah kabur darinya. Bukankah 
sudah sepatutnya kalau dia merasa jengkel dan 
mendendam pada kita?”
“Lalu maksudmu kita harus meminta maaf dan 
membiarkannya memenggal leher kita berdua?” 
tanya Ki Kartawijaya dengan nada tak senang.
“Bukan begitu maksudku. Tapi masih ada jalan 
lain yang lebih baik dan kurasa dia pun mau 
mengampuni kesalahan kita.”
“Apa itu?”
“Bagaimana kalau kita cari pedang itu? Selama 
ini hidupku hanya kucurahkan untuk mencari 
pedang itu, tapi sampai kini si keparat itu tidak 
muncul batang hidungnya. Kalaupun kita berha-
sil menemukan si keparat itu, belum tentu kita 
mampu mengalahkannya. Apalagi setelah dia ber-
sembunyi sekian tahun lamanya. Tentu dia ten-
gah mempelajari ilmu silat yang berada dalam pe-
dang itu. Dan tidak bisa di pungkiri, bagaimana 
kehebatan si keparat itu kalau dia muncul kem-
bali.
“Tapi bagaimanapun caranya, kita harus me

nemukan pedang itu dan menyerahkannya kem-
bali pada Kakang Ki Dewa Ruci. Dan dalam hal 
ini, tidak ada salahnya kalau kita melibatkan mu-
rid-murid Perguruan Camar Hitam untuk menca-
rinya, atau mencari berita tentang si keparat itu.”
Ki Kartawijaya berpikir beberapa saat lamanya.
Bagaimana, Kakang...?” tanya Nini Widyadara.
“Yah, kurasa usulmu itu memang tidak ada sa-
lahnya kalau kuturuti...,” sahut laki-laki tua itu 
pelan.
“Syukurlah kalau memang Kakang menyetu-
juinya. “
“Tapi bagaimana kalau dia datang ke tempat 
ini sebelum kita menemukan pedang itu? Dan 
seandainya dia masih tetap tidak percaya kalau 
kita akan berusaha menemukan benda miliknya 
itu, dia tentu akan mengamuk sejadinya.”
“Biarlah nanti aku yang akan menghadapinya. 
Aku yakin Kakang Ki Dewa Ruci tidak akan ber-
tindak sembrono.”
“Terserahlah kalau memang begitu rencana-
mu...”
“Nah, ada baiknya rencana ini kita bicarakan 
dengan si Ki Dewantara. Agar dia bisa mengerti. 
Kalaupun kelak dia harus tewas ditangan si pen-
curi pedang itu, aku malah akan merasa bangga 
karena dia tewas dalam menunaikan tugas dari 
darma bakti yang benar. Dan bukan kematian 
yang sia-sia dibandingkan bila dia tewas di tan-
gan Kakang Ki Dewa Ruci.”
“Kalau begitu, panggillah dia segera. Anak itu

kadang keras kepala dan merasa mampu memi-
kul semua tanggung jawab. Jangan sampai dia 
lebih dahulu memutuskan pergi dan bertarung 
sia-sia,” kata Ki Kartawijaya.
Nini Widyadara segera turun dari kursinya dan 
beranjak dari ruangan itu. Ki Kartawijaya meng-
hela napas panjang, seraya menggelengkan kepa-
lanya.
***
TIGA


Sang Surya terus bersinar dan bersembunyi di 
balik gelap malam ketika pucuk-pucuk pohon 
membuat tunas baru. Telur-telur burung mulai 
menetas dan menjadi dewasa. Ranting-ranting 
pohon telah menjadi cabang yang kokoh dan kuat 
Demikian pula dengan tunas-tunas muda yang 
kini telah berdiri tegak bersama bergulirnya sang 
Waktu. Dan tidak terasa bergulir hari demi hari 
menjadi bulan, kemudian terus bergulir ke tahun. 
Enam belas tahun telah berlalu sejak kejadian 
itu! Banyak perubahan yang terjadi. Dan juga ba-
nyak yang kini tinggal sejarah, atau masih berlan-
jut menjalani sisa garis hidupnya.
Dataran tinggi di Bukit Warimun Giri yang se-
nantiasa berselimut kabut kelihatan tenang se-
perti menyimpan rahasia yang tersembunyi. Ja-
rang sekali ada manusia yang berani mendeka-
tinya, karena daerah perbukitan itu seringkali

menjebak penglihatan. Kabut tebal yang mengha-
langi itu seringkali menjebak penglihatan. Kabut 
tebal yang menghalangi menyesatkan mereka 
yang mencoba mendaki. Dan tidak jarang akhir-
nya terperosok ke dalam jurang-jurang yang ba-
nyak terdapat di sekitar tempat ini. Apalagi men-
coba mengetahui rahasia apa yang ada di balik 
kabut tebal sepanjang musim itu.
Meskipun begitu ternyata ada juga seorang to-
koh yang mampu mendiami daerah berkabut di 
Bukit Warimun Giri itu. Bahkan tokoh tua yang 
namanya pernah menggetarkan rimba persilatan 
di jamannya itu telah bercokol lama sekali di 
tempat itu, bersama dengan seorang murid tung-
galnya. Seorang dara jelita berusia sekitar enam 
belas tahun.
“Yeaaah...!”
Pagi yang gelap dipecahkan oleh suara teriakan 
membahana. Sebuah bayangan melesat dengan 
cepat Gerakannya ringan sekali bagai seekor wa-
let Bayangan putih itu bergulung-gulung sambil 
sesekali melenting ke sana kemari. Dan ketika 
beberapa pohon dilewati, akan terlihat daun-
daunnya jatuh berguguran bersama dengan rant-
ing-ranting, dalam keadaan terpotong!
“Ayu, tahan setanganku...!” satu suara berte-
riak nyaring yang diikuti melesatnya sesosok tu-
buh. Bayangan pertama langsung melesat mema-
paki.
“Yeaaah...!”
Tring...!

Terdengar beberapa kali suara berdenting nyar-
ing dari beradunya dua senjata tajam yang berge-
rak cepat Kemudian terasa angin bersiur kencang 
dan tajam seperti sabetan senjata rahasia yang 
jumlahnya amat banyak.
Kejadian itu berlangsung lebih kurang sekeja-
pan saja, dan baru selesai ketika masing-masing 
membentak nyaring. Dua sosok bayangan itu me-
lenting saling berjauhan, kemudian hinggap den-
gan ringan di tanah. Pada jarak sepuluh langkah, 
terlihat bayangan pertama tadi adalah seorang 
gadis berparas rupawan memakai baju serba pu-
tih dengan rambut panjang diikat ekor kuda agak 
ke atas, lalu diikat pula dengan sehelai pita putih 
terbuat dari sutera halus seperti bahan pakaian-
nya. Tangan kanannya menggenggam sebatang 
pedang kecil yang disilangkan di dadanya. Semen-
tara bayangan kedua adalah seorang laki-laki 
yang telah berusia lanjut dengan rambut panjang 
telah memutih. Demikian pula dengan jenggotnya. 
Di tangan kanan laki-laki itu pun tergenggam se-
batang pedang berukuran agak besar.
“Bagus, Ayu. Gerakanmu sudah lumayan ce-
pat, dan tenaga dalammu pun sudah sempurna. 
Kalau ada kekurangan pada dirimu adalah kau 
butuh pengalaman untuk bertarung. Namun ha-
rus diingat, bahwa semua jurus-jurus tipuan 
yang telah aku ajarkan hendaknya menjadi ta-
meng yang berguna bagimu...!”
“Terima kasih, Eyang...” sahut si gadis yang di-
panggil Ayu itu seraya merangkapkan sebelah

tangan ke dada dan tubuh sedikit dibungkukkan 
dengan sikap hormat
“Kemarilah Ayu, ada yang hendak kubicarakan 
denganmu...!”
Gadis itu mendekat dan mengikuti langkah si 
orang tua ke sebuah pondok kecil yang tak jauh 
dari tempat mereka berlatih tadi. Kemudian du-
duk di hadapan orang tua yang bersila di bale-
bale pondok itu.
Dipandanginya beberapa saat gadis itu, kemu-
dian tersenyum pelan seraya menepuk-nepuk se-
belah pundaknya.
“Apakah gerangan yang hendak Eyang bicara-
kan padaku...?”
“Telah enam belas tahun kau berada di tempat 
ini, dan kurasa telah tiba saatnya kau menjalani 
tugasmu. Ayu...”
“Apakah Eyang yakin bahwa aku mampu me-
mikul tanggung jawab besar itu?” tanya si gadis 
dengan nada tak yakin.
Orang tua yang bernama Ki Dewa Ruci itu ter-
senyum halus, “Apakah kau tidak yakin dengan 
kemampuanmu?”
“Eyang sering bercerita bahwa di dunia luar 
sana banyak kejadian yang tiada terduga. Bagai-
mana mungkin Eyang bisa meyakinkan bahwa 
aku mampu memikul tanggung jawab dalam tu-
gas mulia ini?”
“Keyakinan itu adanya di hati, dan keberhasi-
lan itu tergantung dari kerja keras yang pantang 
menyerah. Kalau bekerja membabi buta, maka

hasilnya akan kacau-balau. Tapi kau telah mem-
punyai bekal, dan itu cukup bagimu, sehingga da-
lam masa remajamu ini kau sudah harus berpikir 
cermat dan tepat untuk cepat mengetahui setiap 
gejala yang akan mencelakakanmu sehingga kau 
langsung bisa bertindak untuk menyelamatkan 
diri. Nah, yakinlah dengan semua bekal yang kau 
miliki, dan gunakan akalmu untuk melindungi 
nyawamu...” jelas Ki Dewa Ruci memberi wejan-
gan kembali.
Si gadis yang bernama Ayu Laksmini mengang-
guk pelan. Wajahnya kemudian kembali tegak se-
raya memandang orang tua itu dengan perasaan 
sedih.
“Eyang, aku telah menganggapmu sebagai ka-
kekku sendiri yang amat kusayangi...,” ucapnya 
lirih.
“He, jangan bersedih! Apa kau kira ini perpisa-
han bagi kita? Tidak! Bila Tuhan Yang Maha Esa 
berkenan memperpanjang umur kita, tentu saja 
kita akan bertemu kembali. Dan tentu saja aku 
senang bisa bertemu dengan cucuku tersayang. 
Nah, berangkatlah sekarang juga!”
Ayu Laksmini terharu, kemudian berlutut di 
depan orang tua itu. Tangan kasar Ki Dewa Ruci 
menyapu air mata yang menetes di wajah gadis 
muda yang cantik itu. Kemudian tersenyum kecil.
Ayu Laksmini berdiri tegak, lalu kembali men-
jura hormat Ki Dewa Ruci mengangguk seraya 
tersenyum dan menepuk-nepuk pundaknya.
“Aku pamit, Eyang...,” kata gadis itu lalu ber

balik dan melangkah pelan meninggalkan tempat
itu.
Ki Dewa Ruci memandangnya sekilas, kemu-
dian kembali ke pondoknya seperti tidak ada ke-
jadian apa-apa.
***
Siang hari ini matahari bersinar tidak terlalu 
garang. Seorang pemuda berwajah tampan na-
mun terlintas kesan keras dari raut wajahnya itu, 
berjalan dengan tenang seraya sesekali menepuk-
nepuk monyet kecil berbulu hitam yang berada di 
pundak kirinya. Pemuda yang mengenakan baju 
dari kulit harimau itu seperti tidak mempedulikan 
ketika beberapa pasang mata mengintainya dari 
balik semak-semak di sepanjang jalan yang dila-
luinya.
“Nguk..! Nguk..!” Monyet kecil itu melompat-
lompat dipunggungnya sambil berteriak dengan 
suara keras. Sebelah tangannya menunjuk-
nunjuk ke satu arah.
“Tenang saja, Sobat Aku juga tahu apa yang 
kau maksud. Tapi selama mereka tidak meng-
ganggu kita, biarkan saja mereka menguntit,” sa-
hut pemuda itu seperti mengerti apa yang dimak-
sud oleh monyet berbulu hitam itu.
Pemuda yang tidak lain dari Bayu Hanggara itu 
masih tenang-tenang saja berjalan. Namun demi-
kian pendengarannya yang tajam terus mengikuti 
perkembangan beberapa orang yang sejak tadi 
masih tenis mengintainya.

Dia masih belum bisa menduga apa yang me-
reka kehendaki darinya. Tapi sejauh mereka tidak 
apa-apa, maka dia pun tidak ingin bertindak Tapi 
di suatu tempat yang agak sepi, tiba-tiba saja me-
lesat beberapa sosok tubuh menghadang perjala-
nannya. Bayu tersenyum kecil.
“Berhenti...!” teriak salah seorang dari mereka 
seraya mencabut golok dengan sikap mengancam.
Bayu menghitung. Jumlah mereka hanya ber-
lima, dan rata-rata memiliki wajah yang tidak 
bersahabat Apalagi kelimanya telah bersiap den-
gan golok di tangan masing-masing. Yang mem-
bentaknya tadi agaknya pemimpin empat orang 
kawannya yang lain. Tubuhnya agak pendek dan 
dahinya lebar. Usianya sekitar tiga puluh tahun. 
Orang itu maju dua langkah seraya mendengus 
sinis.
“Siapa kau dan apa yang kau bawa?” bentak 
orang itu kembali.
“Aku cuma seorang pengembara, dan kalian bi-
sa melihat apa yang kubawa. Sebaliknya, siapa-
kah kalian dan apa yang kalian inginkan dari-
ku...?” tanya Bayu tenang balik bertanya.
“Apa yang kau ketahui tentang Pedang Setan 
Dewa Ruci?” tanya orang itu kembali masih den-
gan nada tinggi dengan sorot mata menyelidik
“Pedang Setan Dewa Ruci? Hm, baru sekali ini 
kudengar nama itu...,” kata Bayu setengah ber-
gumam.
“Ki Wongso, kukira dia pasti berbohong. Aku 
yakin bahwa pemuda inilah yang belakangan sering membuat onar dan memiliki pedang itu,” bisik 
salah seorang kawannya.
Laki-laki yang dipanggil Ki Wongso oleh anak 
buahnya itu kembali mendengus ke arah Pende-
kar Pulau Neraka dengan wajah sinis.
“Huh, lebih baik kau mengaku saja dan serah-
kan pedang itu pada kami. Kalau tidak, kau akan 
menyesal sendiri nantinya,” lanjut Ki Wongso 
dengan nada geram mengancam.
Bayu tersenyum kecil.
“Ki sanak, aku tidak mengerti apa yang kau bi-
carakan. Seolah-olah kau menuduhku mencuri 
sesuatu darimu, dan kau memaksa aku untuk 
mengembalikannya. Tapi mungkin telingamu tuli 
dan sekarang kutegaskan kembali bahwa aku ti-
dak tahu-menahu apa yang kau bicarakan. Dan 
aku sama sekali tidak pernah berurusan den-
ganmu, apalagi sampai mencuri barang milikmu!”
Setelah berkata tegas begitu, Bayu segera ber-
paling dan bermaksud melangkah untuk mening-
galkan mereka begitu saja. Tapi mendengar jawa-
ban pemuda itu, dan melihat sikapnya yang san-
gat menyepelekan mereka, tentu saja membuat Ki 
Wongso dan kawan-kawannya menjadi geram. Sa-
lah seorang anak buahnya sudah langsung me-
lompat menyerang sambil memaki geram.
“Keparat! Kau pikir sedang bicara dengan sia-
pa?”
“Hup!”
Dengan gerakan gesit pemuda itu menunduk-
kan kepala, sehingga senjata lawan luput dari sasaran. Tapi hal itu tidak membuatnya merasa jera 
melainkan kembali menyerang sambil membalik-
kan tubuh membabat bagian leher hingga ke 
pinggang Pendekar Pulau Neraka.
“Yeaaat..!”
Bayu melompat dengan ringan ke atas sambil 
membuat gerakan salto yang indah. Namun be-
lum lagi kedua kakinya menyentuh tanah, men-
dadak satu sabetan lawan telah mengejar hendak 
memapas kedua kakinya. Tapi dengan gerakan 
gesit Bayu menekuk kedua kakinya, dan dengan 
gerakan menyilang yang sulit diikuti oleh mata 
lawan, tiba-tiba saja kedua ujung kakinya meng-
hajar pergelangan tangan lawan hingga goloknya 
terlepas dari genggaman. Sementara ujung kaki 
yang sebelah lagi menghantam dada, dan mem-
buat lawan terjungkal sambil menjerit keras.
“Aaakh...!”
“Kurang ajar! Hajar dia sampai mampus...!” ge-
ram Ki Wongso memberi perintah pada anak 
buahnya begitu melihat salah seorang dari mere-
ka dapat dipecundangi oleh lawan dengan mudah.
Tanpa membuang waktu lagi, keempatnya me-
nyambar Pendekar Pulau Neraka dengan senjata 
terhunus. Bayu hanya tersenyum kecil sambil 
melepaskan Tiren dari pangkuannya. Monyet kecil 
itu melompat cepat dan berjumpalitan sambil ber-
teriak-teriak keras menepuk-nepuk kedua tan-
gannya seperti memberi semangat pada sahabat-
nya itu untuk menghajar lawan-lawannya.
Dan apa yang ada di benak Bayu agaknya me

mang demikian. Sejak tadi dia memang sudah ti-
dak sabar melihat sikap mereka. Namun begitu 
masih berusaha untuk menghindarkan diri. Tapi 
begitu melihat mereka yang tetap penasaran dan 
bermaksud mencelakainya, tentu saja kemara-
hannya bangkit dan kejengkelannya memuncak 
untuk memberi pelajaran pada mereka. Dan itu-
lah yang tengah dikerjakannya saat ini.
Tanpa sungkan-sungkan lagi dia meladeni me-
reka dengan gerakan gesit Dua buah serangan ke 
arah bagian bawah, dapat dihindarinya dengan 
gerakan manis. Namun senjata Ki Wongso dengan 
cepat menyambar tengkuknya. Bayu menenga-
dahkan kepala ke belakang dan tangan kirinya 
menghantam pergelangan tangan lawan.
Tak!
Begkh!
“Aaakh...!”
Ki Wongso menjerit kesakitan. Golok dalam 
genggamannya terlepas ketika pergelangan tan-
gannya terkilir dihantam lawan. Pada saat yang 
nyaris bersamaan, kaki kiri Bayu berbalik meng-
hantam perut lawan yang mencoba membopong-
nya dari belakang. Lalu ketika tubuhnya bergerak 
ke atas, kedua kakinya kembali menyambar wa-
jah Ki Wongso dan bagian dada seorang lawannya 
yang lain ketika hendak menyambar pinggang 
Pendekar Pulau Neraka. Tiga orang itu terjungkal 
kesakitan.
Dua orang lawannya menyerang dengan ragu-
ragu. Tapi Bayu betul-betul tidak memberi ke

sempatan pada mereka. Tubuhnya bergerak men-
dahului salah seorang lawan yang sedang men-
gayunkan goloknya. Sementara dari arah yang 
berlawanan, lawannya yang lain juga mencoba 
membokongnya dari belakang.
“Yeaaa...!”
Begkh!
Desss!
“Aaakh...!”
***
Tubuh Pendekar Pulau Neraka berjumpalitan 
ke atas untuk menghindari sabetan senjata la-
wan. Lalu dengan cepat ujung kaki kanannya 
menghantam ke arah dada. Bertumpu pada ten-
dangan itu, tubuhnya kembali melesat ke atas se-
raya menghindari serangan dari belakang dan 
ujung kaki kirinya tepat menghantam dahi lawan 
yang seorang lagi. Kedua orang itu menjerit kesa-
kitan ketika tubuh mereka terjembab ke bela-
kang.
“Nguk! Nguk! Keaaakh...!”
Monyet kecil itu melompat-lompat kegirangan 
sambil berteriak-teriak keras. Dia berlari-lari kedi 
mengelilingi kelima lawan sahabatnya itu sambil 
menjulurkan lidah lalu dengan gesit melompat ke 
pangkuan Pendekar Pulau Neraka sambil mene-
puk-nepuk tangan.
“Kurang ajar! Kau akan mampus, keparat!” 
maki Ki Wongso geram seraya bangkit dan bersiap 
hendak menghajar lawan.

Demikian juga halnya dengan keempat kawan-
nya. Meski menahan rasa sakit, mereka masih te-
tap belum merasa jera dan malah tampak sema-
kin garang.
“Sial! Akan kucincang tubuh kalian berdua!” 
ujar seseorang mengumpat
“Huh, jangan lagi diberi kesempatan!” timpal 
yang lainnya dengan nada bernafsu untuk cepat-
cepat menghabisi Bayu. Namun baru saja mereka 
hendak menyerang Bayu, mendadak terdengar 
suara halus menahan.
“Paman Wongso, menepilah dan suruh paman-
paman yang lain untuk segera minggir. Pemuda 
ini bukan lawan kalian. Biar aku yang mengha-
dapinya...!”
“Heh?!” Mereka serentak kaget dan menoleh. 
Seorang gadis berbaju hijau dan berparas cantik 
telah berdiri tidak jauh dari mereka. Gadis yang 
memiliki ikat pinggang berupa selendang berwar-
na kuning itu terlihat menggenggam sebatang pe-
dang di tangan kirinya.
Melihat si gadis, tampaknya kelima orang itu 
menaruh rasa hormat yang mendalam.
“Ah, kami kira siapa... ternyata Ni Padmi Ning-
sih...”
Gadis berusia sekitar tujuh atau delapan belas 
tahun itu melangkah mendekati Bayu, kemudian 
memandangnya tajam untuk beberapa saat la-
manya.
“Ni, sebaiknya biar kami yang mengurus si ke-
parat satu ini...”


“Jangan khawatir, Paman Wongso. Aku tidak 
akan melukainya, lagi pula aku sudah melihat 
bagaimana kalian dengan mudah dapat dijatuh-
kannya. Pemuda itu bukan tandingan kalian. Bi-
arlah aku coba bermain-main dengannya. Siapa 
tahu dia bisa sedikit lunak...” potong gadis itu 
yang dipanggil Ni Padmi Ningsih sebelum kata-
kata Ki Wongso selesai.
Setelah berkata demikian, Ni Padmi Ningsih 
kembali maju beberapa langkah mendekati Pen-
dekar Pulau Neraka. Kemudian seraya tersenyum 
kecil, dia berkata pelan.
“Ki sanak, siapakah kau sebenarnya...?”
Bayu tersenyum kecil karena merasa lucu me-
lihat sikap gadis itu yang merasa yakin mampu 
menundukkannya.
“Aku telah katakan siapa aku, dan kali ini 
keinginanku adalah pergi dari tempat ini. Nah, 
kalau kalian memang mau berbaik hati, menepi-
lah dan biarkan aku pergi...,” kata Bayu tenang.
“Boleh saja. Silakan...,” kata Ni Padmi Ningsih 
seraya menepi ke kiri.
“Ni Padmi...?!” Ki Wongso terkejut melihat apa 
yang dilakukan gadis itu. Dengan seenaknya dia 
hendak melepaskan buruan mereka?
“Terima kasih...,” lanjut Bayu sambil melang-
kah pendek.
“Maksudku boleh saja kau pergi, tapi tidak bo-
leh dari lima langkah...,” sahut Ni Padmi Ningsih 
seraya melompat ke arah lawan ketika Bayu telah 
berjarak tujuh langkah darinya.

“Yeaaa...!”
“Hup!”
Tubuh Bayu berputar menghindari serangan 
lawan, kemudian dengan sedikit menunduk keti-
ka satu tendangan menghajar kepalanya, dia me-
lepaskan Tiren dari gendongan.
Namun serangan gadis itu kemudian terlihat 
lebih gencar dan dahsyat Untuk sejenak Bayu 
merasa kaget, namun dia tidak bisa berlaku len-
gah. Gadis itu agaknya tidak segan-segan mem-
buktikan kata-katanya untuk menundukkan di-
rinya.
Bayu bertindak hati-hati ketika tubuh Ni Pad-
mi Ningsih melayang ke arahnya. Kepalanya sedi-
kit ditundukkan, kemudian tubuhnya melesat ke 
atas ketika lawan menyapu bagian bawah tubuh-
nya dan diikuti dengan hantaman kepalan tangan 
bertenaga kuat ke arah dada. Begitu mengetahui 
serangannya luput, tubuh Ni Padmi Ningsih ber-
gerak mengejar lawan tanpa sungkan-sungkan la-
gi, langsung mencabut pedangnya.
Sriiing!
“Yeaaa...!”
“Uhhh...!”
Semula Bayu tidak begitu khawatir, namun ke-
tika mengetahui permainan pedang lawan yang 
lihai bukan main, dia sedikit mengeluh. Tubuh-
nya bergerak cepat untuk menghindari setiap 
sambaran pedang lawan.
“Huh, terimalah jurus ampuhku ini! Hiyaaat..!” 
geram Ni Padmi Ningsih ketika serangan

serangannya belum juga ada yang mengenai la-
wan.
Dia merubah jurus. Tubuhnya sesekali berpu-
tar bagai gangsing, namun mampu bergerak cepat 
bagai angin lesus yang menyerang lawan ke mana 
saja bergerak menghindar. Kadang-kadang pula 
mengepung dalam empat penjuru, membuat Bayu
merasa sulit untuk menghindar. Seperti yang ter-
jadi saat ini.
***
EMPAT


“Hiyaaat...!” Bayu membentak nyaring. Tubuh-
nya berkelebat ke atas sambil berputar-putar dan 
meliuk-liuk menghindari kepungan serangan la-
wan.
Bet!
“Uhhh...!”
Nyaris ujung pedang lawan menyambar teng-
kuknya kalau saja dia tidak cepat menggulung 
tubuh. Sebelah kakinya mencoba menghantam 
pergelangan tangan lawan. Namun lengan gadis 
itu lebih cepat meliuk menyambar pinggangnya. 
Padahal saat itu Bayu baru saja menjejakkan se-
belah kakinya ke tanah. Tidak ayal lagi, tubuhnya 
kembali melenting menghindari serangan lawan.
Cras!
Wut!
Senjata lawan menyambar dengan cepat ketika

Pendekar Pulau Neraka memancingnya ke arah 
sebuah batang pohon, lalu kembali melompat 
menghindari. Cabang pohon sebesar paha itu pu-
tus dihantam pedang si gadis. Namun begitu Pen-
dekar Pulau Neraka mempunyai kesempatan un-
tuk balas menyerang lawan.
Plak!
Tres!
Des!
“Uhhh...!”
Tendangan yang dilakukan Bayu dari arah 
samping dengan cepat ditangkis lawan dengan ki-
basan tangannya. Pada saat itu juga dia men-
gayunkan tangan kanannya ke arah leher si ga-
dis. Ni Padmi Ningsih terpaksa menangkis sambil 
berputar untuk melindungi bagian dadanya yang 
kemungkinan bisa dihajar lawan. Namun Cakra 
Maut yang berada di pergelangan tangannya lu-
put dari perhatian lawan dan menghantam pe-
dangnya hingga terpental. Dua buah jari tangan 
kanannya menyambar kedua biji mata lawan. Ni 
Padmi Ningsih terkesiap dan cepat mundur ke be-
lakang seraya mendongakkan kepala. Saat itu ju-
ga tendangan Bayu menghantam dengan telak ke 
perutnya. Gadis itu menjerit kesakitan. Tubuhnya 
terjajar beberapa langkah dalam keadaan sem-
poyongan.
“Nguk! Kaaakh...!” Tiren bersorak kegirangan 
sambil menjerit keras begitu melihat lawan Pen-
dekar Pulau Neraka terhuyung-huyung. Kedua 
tangannya bertepuk dan wajahnya berkerut mengejek gadis itu.
“Itu pelajaran bagi kalian untuk tidak berbuat 
gegabah...,” dengus Bayu dingin.
“Kurang ajar! Kau kira bisa berbuat seenakmu 
saja? Huh! Kau harus mampus di tanganku!” ba-
las salah seorang anak buah Ki Wongso dengan 
amarah yang meluap dan langsung menyerang 
Pendekar Pulau Neraka dengan senjata terhunus.
“Huh, keras kepala!” Bayu menggeram.
Tubuhnya berkelit ke belakang, kemudian ber-
balik sambil melompat ke atas menghindari sabe-
tan golok lawan. Ujung kaki kirinya mencoba 
menghantam wajah laki-laki itu, namun dengan 
gesit lawan bergerak ke samping. Justru pada 
saat itulah tendangan kaki kanan Bayu melesat 
ke arah dada tanpa bisa dihindari.
Duk!
Kraaak!
“Aaa...!”
Orang itu memekik sekeras mungkin. Tendan-
gan yang dilakukan Pendekar Pulau Neraka tera-
sa keras bukan main hingga membuat tulang ru-
suknya berderak, patah. Bahkan dada bagian ki-
rinya melesak ke dalam dan membuat jantungnya 
pecah. Nyawa laki-laki itu seketika melayang me-
ninggalkan tubuhnya yang bersimbah darah.
“Keparat! Kau akan membayar nyawanya...!” 
geram Ki Wongso melihat kematian salah seorang 
anak buahnya itu.
Ketiga anak buahnya pun serentak melompat 
dengan amarah yang meluap-luap.

Bayu mendengus sinis. Matanya memandang 
mereka dengan tajam.
“Huh, kalau kalian ingin mampus, majulah 
bersama-sama!”
“Setan! Yeaaa…!”
Dengan serentak mereka melompat bersamaan 
dari segala arah mengepung lawan. Sepertinya 
kali ini mereka tidak ingin memberi sedikit pun 
kesempatan pada pemuda itu untuk meloloskan 
diri.
“Hup!”
“Yeaaa...!”
Melihat dirinya terkepung sedemikian rupa, 
Bayu tersenyum sinis. Dia tegak berdiri, lalu me-
lompat cepat mendahului menyerang lawan den-
gan gerakan yang sulit diikuti oleh mata biasa. Ki 
Wongso dan anak buahnya terkesiap. Mereka 
menyambar Pendekar Pulau Neraka dengan sen-
jata terhunus pada setiap kelebatan tubuhnya. 
Namun dengan tiba-tiba terasa sesuatu benda ke-
ras menimpa tubuh tiga orang di antara mereka.
Plak!
Duk!
“Aaakh...!”
Tiga orang itu terjungkal sambil menjerit se-
tinggi langit. Dua orang terlihat dadanya remuk 
dan menggelepar-gelepar beberapa saat sebelum 
nyawanya lepas dari tubuh. Yang seorang lagi 
muntah darah dan berusaha bangkit dengan 
sempoyongan, tapi kemudian rubuh lagi dengan 
napas tercekat


“Aku tidak bermusuhan dengan kalian, tapi ka-
lianlah yang mencari gara-gara. Hari ini jika ka-
lian merasa tidak senang, boleh memperpanjang 
urusan denganku. Jangan katakan Pendekar Pu-
lau Neraka takut menghadapai tikus-tikus busuk 
seperti kalian!” seru Bayu geram seraya menyam-
bar Tiren dan melompat ke salah satu cabang po-
hon dan melesat dari tempat itu dengan cepat
Ni Padmi Ningsih dan Ki Wongso hanya bisa 
terpaku dengan wajah geram.
“Keparat! Dia tentu tidak akan lepas dari tan-
gan kita!” geram Ki Wongso.
“Lebih baik laporkan hal ini pada ayah,” sahut 
Ni Padmi Ningsih kesal seraya melesat mening-
galkan tempat itu.
Ki Wongso menyusul setelah membopong 
keempat kawannya yang tergeletak tidak berdaya.
***
Ki Dewantara terkejut setengah mati melihat 
apa yang terjadi dengan ketiga muridnya yang te-
was, dan seorang luka parah. Ki Wongso hanya 
menunduk dalam-dalam melihat kemarahan gu-
runya itu.
“Kau tahu siapa Pendekar Pulau Neraka itu?!” 
hardik Ki Dewantara garang.
“Ampun Guru, hamba... hamba baru mengeta-
huinya belakangan....”
“Seharusnya kau mengetahui bahwa bukan 
Pendekar semacam dia yang kau tuduh dengan 
membabi buta.”

“Tapi... tapi Guru, ciri-ciri pemuda itu mirip 
dengannya...”
“Tolol! Apakah kau tidak bisa membedakan di 
antara mereka berdua?! Kau katakan, kau pernah 
melihat pemuda itu. Sekarang bagaimana mung-
kin kau tidak bisa membedakannya?”
“Ketika itu hamba hanya melihatnya sekilas sa-
ja, Guru...”
“Sudah, jangan banyak bicara! Sekarang ke-
bumikan mereka dengan layak!”
“Tapi Guru, apakah... apakah kita tidak mem-
buat perhitungan dengannya? Dia telah mene-
waskan tiga orang murid Perguruan ini....”
“Tutup mulutmu! Biar ini menjadi urusanku. 
Nah, pergilah kau sekarang!”
“Baiklah, Guru...,” sahut Ki Wongso seraya be-
ranjak dari ruangan itu setelah menjura hormat
Ki Dewantara menghela napas panjang sambil 
menggeleng lemah. Ni Padmi Ningsih yang sejak 
tadi diam, hanya menundukkan kepala dengan 
wajah yang cemberut Beberapa kali dia meman-
dang wajah ayahandanya itu, lalu mengalihkan 
perhatian.
“Apa yang kau lakukan tadi? Tidak tahukah 
kau sedang berhadapan dengan siapa? Bukannya 
ayah menyuruhmu untuk tidak keluar dari ru-
mah.
Masih untung kau bisa selamat berhadapan 
dengannya. Bagaimana kalau kau sampai tewas 
seperti mereka?!” tegur Ki Dewantara marah.
“Aku... aku sekadar membantu pekerjaan me


reka, Ayah...”
“Dengan mengorbankan nyawamu?”
“Kematian Paman Ganggapura amat menya-
kitkan hatiku...”
“Itu urusan perguruan dan kau tidak boleh 
ikut campur!”
“Tapi aku ingin menangkap pemuda itu hidup-
hidup untuk kita adili di perguruan ini...!”
“Padmi, jangan membantah. Kau tidak tahu 
bagaimana keadaan di luar sana. Kau bisa celaka 
kalau bertindak gegabah!”
Ni Padmi Ningsih tertunduk dengan wajah se-
makin cemberut kesal mendengar bentakan aya-
handanya itu.
Ki Dewantara menghela napas panjang. Dipan-
danginya putri satu-satunya itu dengan seksama,
kemudian menggeleng pelan.
“Hhh... masih untung kau bisa selamat, Anak-
ku. Pendekar Pulau Neraka seorang tokoh yang 
belakangan ini namanya sangat terkenal karena 
kepandaiannya yang hebat. Ayah sendiri belum 
pernah bentrok dengannya, tapi dari berita yang 
sering ayah dengar, dia seorang tokoh pembasmi 
kejahatan. Namun begitu tindakannya amat sadis 
dan tidak kenal ampun terhadap lawan-lawannya.
Rata-rata semua binasa di tangannya....”
“Apakah Ayah akan mendiamkan saja peristiwa 
ini...?”
Ki Dewantara kembali menghela napas pan-
jang.
“Aku bukannya tidak sakit hati mendengar berita ini, tapi membuat urusan pada saat keadaan 
kita genting begini, tentu akan membuat suasana 
menjadi runyam. Pemuda yang bernama Ki Buyut 
Kelana itu saja sudah amat merepotkan dengan 
ulahnya membantai murid-murid Perguruan Ca-
mar Hitam yang berkeliaran mencari benda pusa-
ka yang berada di tangannya itu. Dan kita sama-
sama mengetahui bahwa pamanmu, Ki Gangga-
pura, telah tewas di tangannya,” sahut Ki Dewan-
tara dengan suara lirih.
“Jadi Ayah betul-betul tidak ingin membuat 
perhitungan dengan pemuda yang menamakan 
dirinya Pendekar Pulau Neraka itu?!” sentak Ni 
Padmi Ningsih dengan nada kesal.
“Tentu saja. Tapi tidak sekarang....”
“Lalu kapan?”
“Setelah urusan kita selesai dengan pemuda 
bernama Ki Buyut Kelana itu,” sahut Ki Dewanta-
ra menegaskan.
“Huh, ternyata Ayah yang kubangga-
banggakan sejak dulu tak lebih dari seorang pen-
gecut! Menghadapai kedua pemuda tak tahu diri 
itu saja sudah mundur. Kalau memang Ayah tak 
mampu, biar aku sendiri yang akan menghajar 
mereka berdua!” seru Ni Padmi Ningsih seraya 
berlalu dari ruangan itu.
“Padmi! Padmi...! Hentikan niatmu itu...!” te-
riak Ki Dewantara berusaha mencegah niat pu-
trinya itu.
Namun gadis itu telah berlari cepat, dan pergi 
dari Perguruan Camar Hitam dengan mengerah

kan ilmu meringankan tubuhnya yang telah men-
capai taraf sempurna.
“Anak keras kepala! Dia akan celaka sendiri...!” 
umpat Ki Dewantara kesal.
Laki-laki itu kemudian memanggil beberapa 
orang murid utamanya. Dua orang segera tergo-
poh-gopoh menemuinya. Masing-masing berusia 
sekitar tiga puluh tahun dengan memiliki tubuh 
tegap.
“Ada keperluan apa memanggil kami, Guru...?” 
tanya salah seorang di antara mereka.
“Ni Padmi Ningsih kabur. Dia bermaksud hen-
dak mencari pemuda bernama Ki Buyut Kelana 
dan Pendekar Pulau Neraka. Kalian kejar dia dan 
lindungi dari segala bahaya. Dan bawa dia segera 
pulang!”
“Pendekar Pulau Neraka? Apakah... apakah dia 
ikut pula terlibat dalam persoalan kita, Guru?” 
tanya muridnya dengan wajah heran dan dahi 
berkerut.
“Laksanakan saja perintahku, dan jangan ba-
nyak tanya!” sentak Ki Dewantara.
“Baik, Guru. Kami berangkat sekarang!” seru 
keduanya segera berlalu dari tempat itu.
Ki Dewantara kembali menarik napas panjang 
sambil menggeleng lemah. Bola matanya menatap 
ke arah dua orang muridnya itu sampai mereka 
menghilang di balik pintu gerbang depan.
“Mudah-mudahan kau selamat, Anakku...,” bi-
siknya seraya berdoa di hati.
***
Ki Dewantara baru saja membalikkan tubuh 
untuk kembali ke ruangannya ketika itu terden-
gar jeritan kesakitan dari arah gerbang depan. 
Buru-buru dia berbalik dan melihat beberapa 
orang muridnya tewas bermandikan darah.
Tiga orang murid Perguruan Camar Hitam ter-
lihat mengepung seorang tamu yang tidak diun-
dang itu, namun dengan sekali sentak mereka te-
was bersimbah darah. Bukan main terkejutnya Ki 
Dewantara. Dia segera melompat dan mengha-
dang serangan lawan sambil membentak nyaring.
“Ni sanak, hentikan perbuatanmu!”
Sosok tubuh itu menghentikan aksinya. Dia 
memandang ke arah Ki Dewantara dengan sorot 
mata tajam menusuk. Ujung pedang ditangannya 
yang masih berlumuran darah, ditudingkan ke 
wajah lawan.
“Siapa kau...?”
Ki Dewantara sebenarnya merasa tersinggung 
dan terhina melihat pedakuan itu. Dia mencoba 
tersenyum dan menaksir, gadis ini tentu berusia 
sekitar enam belas tahun. Tapi sepak terjangnya 
amat ganas, dan yang jelas dia memiliki kepan-
daian yang tidak rendah. Sebab, kalau tidak dia 
tak akan mungkin mampu menghabisi lawan se-
cepat tadi.
“Ni sanak, namaku Dewantara. Aku adalah ke-
tua perguruan ini. Adakah sesuatu yang mem-
buat kau begitu membenci kami sehingga datang 
dengan tiba-tiba dan membuat kekacauan?” 
tanya Ki Dewantara dengan suara yang dibuat sedemikian ramah dan menekan hawa amarah di 
hatinya.
Gadis berparas cantik dan mengenakan pa-
kaian serba putih itu melirik sejenak ke sekeliling 
tempat itu. Puluhan murid Perguruan Camar Hi-
tam telah mengurungnya rapat-rapat dan siap 
menghajarnya dengan sekali isyarat Kemudian 
dia meluruskan pandangan ke depan, ke arah Ki 
Dewantara seraya menurunkan pedangnya. Wa-
jahnya terlihat sinis.
“Aku, Ayu Laksmini, murid tunggal Eyang De-
wa Ruci. Membawa pesan dari beliau agar Ki Kar-
tawijaya dan Nini Widyadara menyerahkan Pe-
dang Setan yang dipinjamnya puluhan tahun la-
lu,” sahut gadis itu tegas.
“Apa? Kau... kau utusan Ki Dewa Ruci...?!” Ki
Dewantara sedikit terkejut.
Sama sekali tidak pernah dibayangkan olehnya 
bahwa hari ini dia bertemu dengan murid Ki De-
wa Ruci, orang yang belasan tahun lalu pernah
dicari-carinya untuk membuat perhitungan. Ka-
lau saja pertemuan kali ini terjadi belasan tahun 
lalu, mungkin dia akan merasa senang dan lang-
sung akan menghajar gadis ini dan memaksanya 
untuk menunjukkan tempat persembunyian gu-
runya. Tapi waktu telah banyak berubah. Juga 
termasuk perubahan sikapnya untuk tidak ter-
bawa hawa nafsu yang membabi buta.
Ki Dewantara tersenyum dan berusaha bersi-
kap ramah. Bagaimana pun dia menyadari bahwa 
gadis di depannya ini adalah masih terhitung

saudara seperguruan juga dengannya.
“Adik Ayu, bagaimana kalau kita berbicara di 
dalam? Bukankah dengan begitu akan lebih baik 
dan terlihat sopan sebagaimana layaknya dua 
orang yang bersaudara?”
“Ki Dewantara, tidak usah berbasa-basi. Kau 
sudah tahu jelas apa maksud kedatanganku ke 
sini. Serahkan Pedang Setan itu padaku dan aku 
akan segera pergi dari tempat ini!” seru gadis itu
dengan wajah garang.
“Adik Ayu, kalau memang demikian keingi-
nanmu, tidak apa. Tapi sungguh sangat disesal-
kan. Pedang itu saat ini tak ada pada kami, tapi 
telah diambil seseorang puluhan tahun lalu. Saat 
ini berada di tangan seorang pemuda bernama Ki 
Buyut Kelana. Kami sedang berusaha keras un-
tuk merebutnya kembali dan bermaksud menye-
rahkannya pada Eyang Dewa Ruci...,” sahut Ki 
Dewantara dengan suara pelan menjelaskan.
“Aku tidak peduli apa jawabanmu. Yang jelas 
aku datang ke sini dan harus membawa pedang 
itu kembali ke tangan Eyang Dewa Ruci,” dengus 
Ayu Laksmini.
“Guru, kalau memang dia tak bisa diajak ber-
baik-baik, buat apa Guru meladeninya lagi? Su-
dah jelas dia memang ingin mencari keributan,” 
sela salah seorang murid Perguruan Camar Hi-
tam.
“Betul, Guru. Tidak sepatutnya Guru bersikap 
ramah begitu. Kita sudah menunjukkan itikad 
baik kita, namun ternyata dia tak mau menerima.

Guru tak pantas masih bersikap sabar terus,” sa-
hut yang lainnya.
Ki Dewantara bermaksud hendak meredakan 
amarah murid-muridnya, tapi gadis itu telah lebih 
dulu menudingkan ujung pedangnya ke arah mu-
rid-murid Perguruan Camar Hitam seraya men-
dengus geram.
“Hei, monyet-monyet keparat! Kalian kira bisa 
berbuat seenaknya padaku? Huh, siapa yang mau 
mampus majulah cepat!”
“Sial!” seru beberapa orang di antara murid-
murid perguruan itu seraya mencabut golok dan 
hendak menyerang gadis itu dengan wajah ga-
rang.
“Diam! Hentikan perbuatan kalian...!” bentak
Ki Dewantara garang.
Tapi agaknya bentakan itu bukannya mereda-
kan ketegangan. Murid-muridnya memang mena-
han sabar mendengar bentakan gurunya itu, na-
mun tubuh Ayu Laksmini telah melesat sambil 
menghunuskan pedang ke arah beberapa orang 
murid perguruan itu dan menyerang dengan ga-
nas. Tentu saja hal itu membuat mereka kelaba-
kan.
“Yeaaa...!”
Trak!
Bret!
Crasss!
“Aaakh...!”
Diserang begitu rupa tentu saja beberapa orang 
murid Perguruan Camar Hitam kalang kabut menyelamatkan diri. Beberapa orang berhasil me-
nangkis, namun lima orang langsung tewas sam-
bil menjerit keras disambar pedang si gadis. Tu-
buh mereka ambruk bersimbah darah dengan 
sayatan lebar di bagian dada.
“Kurang ajar! Hajar dia...!” teriak murid-murid 
perguruan itu dengan amarah yang meluap-luap.
Dan bagai air bah yang meluap, serentak me-
reka menyerang gadis itu dengan senjata terhu-
nus.
Melihat hal itu Ayu Laksmini bukannya menja-
di gentar. Dengan bersemangat tubuhnya melom-
pati seraya membuat gerakan indah meliuk-liuk 
menyambuti serangan-serangan lawan. Pedang-
nya berkelebat ke sana kemari dan sulit diikuti 
pandangan mata biasa.
“Hiyaaat..!”
Trang! Tring!
Brettt!
Crasss!
“Aaakh...!”
***
LIMA


Ki Dewantara agaknya tak tahu harus berbuat 
apa. Untuk mencegah perbuatan murid-muridnya 
pun rasanya dia tak mampu. Selain mereka yang 
sudah terbakar amarah melihat kelakuan gadis 
itu, hati kecilnya pun merasa tak suka melihat

sepak terjang si gadis. Terlebih-lebih saat itu keti-
ka dilihatnya gadis itu betul-betul melakukan 
pembantaian hebat
Kepandaian Ayu Laksmini memang hebat dan 
sama sekali bukan tandingan murid-muridnya. 
Apa yang pernah didengarnya tentang kehebatan 
Eyang Dewa Ruci memang bukan omong kosong 
belaka. Dengan kepandaiannya itu murid-
muridnya sama sekali tak mampu melawan si ga-
dis. Tak bisa dibayangkan bagaimana bila Eyang 
Dewa Ruci sendiri yang turun tangan saat ini.
Dan keterkejutan Ki Dewantara agaknya tak 
berlanjut lama. Dia tak tega melihat murid-
muridnya yang tewas secara percuma tanpa bisa 
melakukan perlawanan berarti. Maka dengan hati 
terpaksa dia melompat menahan serangan si ga-
dis seraya membentak nyaring.
“Adik Ayu, hentikan pembantaianmu...!”
“Yeaaa...!”
Mendengar bentakan itu bukannya si gadis 
menghentikan serangan, pedangnya malah lang-
sung berputar menyambar tubuh Ki Dewantara 
yang berkelebat menghadang serangannya. Ki 
Dewantara agaknya sudah menduga hal itu dan 
bersiap dengan pedang terhunus menyambut se-
rangan lawan.
Sring!
Tring! Trang!
Ketika kedua senjata mereka beradu, laki-laki 
itu merasa terkejut Tangannya kesemutan hebat 
dan sedikit nyeri. Kalau saja tadi melihat permai

nan pedang si gadis dia sudah terkagum-kagum, 
maka ketika saat itu berhadapan langsung dia bi-
sa merasakan kehebatan ilmu pedang lawan. 
Ujung pedang itu menyambar-nyambar tenggoro-
kan dan dadanya dengan kecepatan yang bukan 
main hebatnya.
Wuuut! “Uhhh...!”
“Hiyaaat...!”
Ketika ujung senjata lawan menyambar perut-
nya, dengan cepat Ki Dewantara bergerak ke 
samping seraya menangkis.
Trang!
Ayu Laksmini memutar pedang sedemikian ru-
pa dan menyambar leher lawan. Ki Dewantara 
kembali bergerak ke samping sambil melompat
ketika senjata lawan membabat pinggangnya. Ayu 
Laksmini menyusul dengan satu tendangan kaki 
kirinya yang menyilang ke arah dada lawan. 
“Hiiih!”
“Uts!”
Ki Dewantara terkejut, namun masih sempat 
mengayunkan pedang. Ayu Laksmini menarik 
tendangannya dan menekuk kaki. Dengan ber-
tumpu pada sebelah kaki, tubuhnya melesat ke 
atas dengan pedang berputar-putar menyambar 
bagian kepala. Ki Dewantara menjatuhkan tubuh, 
dan terus bergulingan untuk kemudian melenting 
ke atas menjauhi lawan. Tapi saat itu juga ujung 
pedang lawan berkelebat menyambar ke arah leh-
er. Ki Dewantara terkejut setengah mati. Dia be-
rusaha melompat ke samping namun akibatnya

ujung pedang lawan menyambar dadanya.
Crasss!
“Akh...!”
Ki Dewantara bergulingan untuk menghindari 
serangan lawan berikutnya sambil menahan rasa 
nyeri. Tapi Ayu Laksmini tak meneruskan seran-
gan. Dia berdiri tegak memandang lawan seraya 
mengacungkan ujung pedang ke arah Ki Dewan-
tara.
“Itu peringatan pertama bagimu!” dengusnya 
sinis.
Ki Dewantara mengeluh kesakitan dengan wa-
jah berkerut. Dadanya tergores cukup dalam aki-
bat sambaran pedang lawan. Beberapa muridnya 
bergerak menyerang gadis itu. Namun buru-buru 
Ki Dewantara mencegahnya seraya menyorongkan 
tangan. Dia berusaha berdiri tegak, kemudian 
menyilangkan pedang sambil membuka jurus ba-
ru. Sorot matanya tajam memandang gadis itu.
“Baiklah kalau memang itu yang kau kehenda-
ki. Aku akan meladenimu...,” sahut Ki Dewantara 
dengan suara dingin.
Setelah berkata demikian terlihat kedua ka-
kinya merapat dan tubuhnya sedikit miring den-
gan pedang menjurus ke depan. Lalu dengan satu 
bentakan nyaring dia melompat menyerang lawan 
dengan gerakan yang cepat.
“Hiyaaat..!”
Ayu Laksmini mendengus sinis. Dia bisa mera-
sakan tenaga dalam lawan yang dikerahkan lewat 
pukulan tangannya yang menimbulkan tenaga

dorongan kuat Gadis belia berwajah cantik itu 
menggeram, kemudian melompat memapaki.
“Yeaaa...!”
Plak!
Wut!
Kepalan tangan kanan Ki Dewantara yang 
menderu keras ditahan dengan telapak tangan ki-
ri lawan. Dia nyaris tak percaya kalau gadis itu 
mampu berbuat demikian, karena hal itu bisa 
mencelakakan dirinya sendiri. Tapi kemudian dia 
kaget sendiri dibuatnya. Meski Ki Dewantara 
mengerahkan segenap tenaga dalam yang dimili-
kinya, tapi masih saja dadanya terasa nyeri akibat 
tekanan tenaga dalam lawan. Ujung pedangnya 
menyambar ke arah leher dan pinggang si gadis. 
Ayu Laksmini melompat ke atas sambil bersalto 
indah. Ujung pedangnya balas menyambar batok 
kepala lawan. Ki Dewantara terkejut dan cepat 
mendongak ke belakang dengan tubuh siap ber-
gulingan. Namun justru saat itulah ujung kaki 
kanan Ayu Laksmini menghantam dadanya. 
Duk!
“Aaakh...!”
Ki Dewantara menjerit keras. Isi dadanya se-
perti remuk menerima tendangan itu. Tubuhnya 
terjungkal beberapa langkah. Ayu Laksmini terus 
mengejar seperti tak ingin memberi kesempatan 
lagi padanya.
“Sekarang terimalah kematianmu! Yeaaa..:!”
Ki Dewantara tercekat. Dalam keadaan demi-
kian, tipis harapan baginya untuk menghindari.

Dan meskipun murid-muridnya bersiap hendak 
menghadang serangan gadis itu, tapi dia tak ya-
kin mereka akan mampu mendahului gerak gadis 
itu. Ki Dewantara memejamkan mata dengan si-
kap pasrah. Tak ada lagi yang bisa dilakukannya 
saat ini. Darah kental berkali-kali keluar dari mu-
lutnya menandakan keadaannya yang terluka pa-
rah di dalam tubuhnya. Badannya terasa ngilu 
dan sakit sekali, serta sulit untuk digerakkan.
Namun pada saat yang kritis itu mendadak me-
lesat dua sosok bayangan yang memapaki seran-
gan Ayu Laksmini.
Trang!
Wut!
“Huh!”
***
Ayu Laksmini bukannya tak mengetahui dua 
orang lawan itu. Semula dia berusaha untuk ti-
dak peduli dan segera ingin menghabisi Ki De-
wantara lebih dahulu, baru kemudian memapaki 
serangan kedua lawan barunya itu sekaligus. Tapi 
merasakan kecepatan mereka yang bukan main 
hebatnya. Perhitungannya segera mengatakan 
bahwa dia tak akan mampu memapaki Ki Dewan-
tara lebih dulu dan terpaksa meladeni kedua la-
wannya itu.
Pedangnya berputar cepat menyambar kedua-
nya, namun kedua lawannya agaknya telah mem-
perhitungkan hal itu dan buru-buru menghindar 
sehingga serangan Ayu Laksmini menyambar

tempat kosong.
Ayu Laksmini mendengus kesal ketika kedua 
kakinya menjejak tanah. Kedua lawannya tak 
mengejar, sehingga ketika mereka menjejakkan 
kaki, dia bisa melihat dengan jelas sepasang ka-
kek nenek yang sama-sama menggenggam seba-
tang pedang. Wajah si kakek kelihatan mengge-
ram dan sepasang matanya yang menyorot tajam 
ke arahnya. Sementara si nenek sendiri sedikit 
kelihatan ramah dengan tersenyum kecil.
“Ni sanak, siapakah kau sebenarnya dan kena-
pa ingin mencelakakan orang?” tanya si nenek 
yang tak lain dari Nini Widyadara.
“Siapa pula kau?” sahut Ayu Laksmini dengan 
nada sinis.
“Bocah, hati-hati bicaramu! Apa kau kira den-
gan kepandaianmu itu kau bisa berlagak di sini?!” 
bentak si kakek yang tak lain dari Ki Kartawijaya 
dengan nada berang.
“Tua bangka busuk! Menyingkirlah kalau me-
mang kau tak ada urusan dengan persoalanku!” 
balas Ayu Laksmini sengit.
“Bocah kurang ajar! Rupanya orangtuamu tak 
pernah mengajarkan sopan santun padamu. Biar-
lah aku yang akan mengajarkannya hari ini!” 
dengus Ki Kartawijaya geram.
Kakek tua itu sudah hendak menyerang Ayu 
Laksmini kalau saja saat itu Nini Widyadara tak 
mencegahnya.
“Kakang, sabarlah dulu. Kita belum mengeta-
hui apa maksud kedatangannya ke sini....”

“Tidak usah banyak berbasa-basi. Aku Ayu 
Laksmini, murid Eyang Dewa Ruci. Kedatanganku 
ke sini untuk meminta kembali Pedang Setan 
yang pernah kalian pinjam dari beliau. Dan aku 
harus mendapatkannya sekarang juga!” sahut 
Ayu Laksmini menegaskan dengan suara lantang.
“Ayah, Ibu... aku telah menjelaskannya tapi 
gadis itu tak mau mengerti juga. dia tetap me-
maksa kita...,” sahut Ki Dewantara menjelaskan.
Nini Widyadara mengangguk pelan, kemudian 
tersenyum ketika memandang gadis itu.
“Ni Sanak, kami berusaha bersikap sopan ter-
hadapmu dan selama ini perguruan kami selalu 
berusaha bersikap jujur. Setelah kami mengata-
kan hal yang sebenarnya, kenapakah engkau ma-
sih tak percaya? Kami akan berusaha menda-
patkan pedang itu dan mengembalikannya kepa-
da yang berhak, yaitu gurumu...,” katanya dengan 
suara yang masih rendah.
“Perempuan tua, kaulah yang bernama Nini 
Widyadara?!” tanya Ayu Laksmini dengan suara
keras dan sorot mata tajam.
“Hm, agaknya gurumu telah memperkenalkan 
aku padamu....”
“Cuih, perempuan rendah! Kau pikir dengan 
kata-kata manismu itu bisa melunakkan hatiku? 
Eyang Dewa Ruci sangat tersiksa dengan 
pengkhianatanmu. Orang sepertimu sudah sepa-
tutnya mampus. Kau sama sekali tak berharga 
untuk hidup!” desis Ayu Laksmini dengan sikap 
garang dan sama sekali tak bersahabat

“Bocah kurang ajar! Jaga mulutmu. Hati-hati 
kau bicara! Kau kira tengah berhadapan dengan 
siapa saat ini?!” bentak Ki Kartawijaya dengan
muka merah padam menahan marah.
“Orang tua busuk! Kau pasti si Kartawijaya ke-
parat, yang telah merebut perempuan tua itu dari 
sisi guruku. Kau dan istrimu itu sama busuknya. 
Dan orang seperti kalian memang tak pantas hi-
dup lebih lama!” sergah Ayu Laksmini seraya me-
nuding dengan ujung pedangnya.
“Keparat!” agaknya Ki Kartawijaya sudah tak 
bisa lagi menahan kesabarannya. Tubuh lelaki 
tua itu melompat gesit menyerang Ayu Laksmini.
“Yeaaa...!”
Ayu Laksmini yang sejak tadi memang telah 
bersiaga dengan cepat menyambut serangan la-
wan. Tubuhnya melompat ke samping seraya 
membabatkan pedang ke leher lawan. Ki Kartawi-
jaya bukannya tak mengetahui hal itu. Telapak 
tangan kirinya terkembang dan dari situ keluar 
angin kencang berhawa panas. Bersamaan den-
gan itu kepalanya ditundukkan untuk menghin-
dari tebasan senjata lawan.
“Uts!”
Tubuh gadis itu melenting ke atas. Kaki kirinya 
berputar menghantam pinggang lawan. Ki Karta-
wijaya meliuk dan melompat ke atas seraya mem-
buat gerakan salto yang indah. Telapak tangan 
kanannya bermaksud menghantam batok kepala 
lawan. Namun dengan gerakan yang tak kalah ge-
sitnya, tubuh Ayu Laksmini merendah. Ujung pe

dangnya menyambar dengan cepat ke arah dada
lawan. Kemudian tubuhnya tenis bergerak ke be-
lakang.
“Uhhh...!”
Ki Kartawijaya terkejut bukan main. Gerakan 
yang dilakukan gadis itu cepat bukan main. Nya-
ris dadanya kena dibabat kalau saja tubuhnya ti-
dak buru-buru berputar miring. Ujung pedang 
lawan lewat beberapa inci, namun angin samba-
rannya yang keras terasa sampai ke jantung. Hal 
itu saja telah membuktikan bahwa tenaga dalam 
gadis itu memang telah mencapai taraf sempurna.
Belum lagi dia bersiaga untuk memantapkan 
posisinya, tubuh Ayu Laksmini kembali melesat 
cepat sambil membentak nyaring.
“Hiyaaat...!”
“Uts!”
Wuk!
Tubuh Ki Kartawijaya melompat ke samping 
seraya bergulingan untuk menghindari tebasan 
senjata lawan yang beruntun. Telapak kirinya 
masih sempat menghantam lawan dengan puku-
lan jarak jauh yang bertenaga kuat Namun Ayu 
Laksmini dengan gesit mengelak ke atas, dan tu-
buhnya membuat lompatan ringan ke arah lawan 
dengan gerakan cepat.
“Yeaa...!”
Crasss!
“Ohhh...!”
Ki Kartawijaya terkejut bukan main melihat ge-
rakan lawan. Dia berusaha menghindar dengan

terus bergulingan dan bermaksud melenting ke 
belakang untuk menjauhi serangan lawan. Tapi 
dengan tidak terduga, ujung pedang lawan lebih 
cepat lagi menyambar betis kirinya dan membuat 
luka panjang yang cukup dalam. Orang tua itu 
mengeluh kesakitan. Tubuh Ayu Laksmini berge-
tar, namun dengan cepat dia kembali melompat 
menyerang lawan dengan amarah yang meluap.
“Orangtua busuk, mampuslah kau sekarang! 
Yeaaa...!”
“Hiyaaa...!”
***
Ki Kartawijaya sebenarnya tidak terlalu terjepit 
keadaannya pada saat itu. Dan sebenarnya dia 
masih mampu untuk menghindari serangan la-
wan. Namun Ki Dewantara agaknya sudah tidak 
sabaran. Tangannya merasa gatal melihat ulah 
gadis itu. Maka tanpa pikir panjang lagi dia lang-
sung melompat menghadang Ayu Laksmini den-
gan senjata terhunus.
Ayu Laksmini cepat menyambut serangan la-
wan dengan kehebatan pedangnya.
Trang!
Bet!
Begitu kedua senjata mereka beradu, Ki De-
wantara merasa tangannya kesemutan. Bunga api 
kecil terpercik. Wajahnya tampak kerut menahan 
sakit Namun begitu dia masih mampu untuk 
memiringkan tubuh seraya mendongakkan kepala 
sedikit ke belakang guna menghindari tendangan

kaki lawan yang menyusul.
“Bocah kurang ajar! Kali ini kau akan mampus 
di tanganku!” dengus Ki Kartawijaya dengan ama-
rah yang meluap-luap.
Tanpa mempedulikan keadaan, orang tua itu 
langsung mencabut pedangnya dan ikut menye-
rang Ayu Laksmini. Nini Widyadara mengeluh 
pendek. Dia tidak tahu harus berbuat apa. Kata-
kata yang dilontarkan gadis itu memang benar. 
Karena dia meyakini betul akan kesalahannya. 
Namun meskipun demikian hatinya tetap saja 
merasa sakit dan tidak bisa menerima begitu saja. 
Maka dia tidak berusaha mencegah sikap Ki Kar-
tawijaya meski dia mengetahui bahwa orang tua 
itu sedang marah besar. Dan kalau Ki Kartawijaya 
marah begitu, bisa dipastikan dia akan menge-
rahkan seluruh kemampuan yang dimilikinya.
Dan saat ini hal itulah yang terjadi. Ki Kartawi-
jaya seorang tokoh dunia persilatan yang disegani 
karena kehebatan ilmu silat yang dimilikinya, 
saat ini tengah mendesak gadis itu dengan jurus-
jurus terhebat yang dimilikinya. Sementara mu-
rid-muridnya yang melihat pertarungan itu, 
hanya diam memperhatikan dan berjaga akan se-
gala kemungkinan yang akan menimpa guru me-
reka.
“Yeaaa...!”
“Uts!”
Ayu Laksmini terkejut. Ujung pedang orang tua 
itu berkelebat cepat menyambar wajah dan ba-
gian dadanya. Tubuhnya meliuk-liuk ke samping

untuk menghindari. Namun pada saat itu juga Ki 
Kartawijaya siap menerkamnya. Ayu Laksmini 
menggeram, dan telapak kirinya menghantam ke 
muka lawan.
“Hiyaaat..!”
Ki Kartawijaya menundukkan kepala. Tubuh-
nya berputar ke samping untuk menghindari pu-
kulan jarak jauh yang dilancarkan lawan. Bersa-
maan dengan itu kepalan tangan kiri Ki Kartawi-
jaya melesat menghantam lawan. Ayu Laksmini 
terkesiap. Pedang di tangan kanannya berputar 
menyambar pergelangan tangan lawan. Namun 
hal itu ternyata hanya tipuan belaka yang dilan-
carkan orang tua itu. Begitu pedang lawan berke-
lebat, saat itu pula tangannya kembali ditarik. 
Sambil memiringkan kepala untuk menghindari 
tebasan senjata lawan, pedang ditangannya me-
nyambar ke arah pinggang. Tubuh Laksmini me-
liuk menghindari dan saat itulah telapak tangan 
kiri Ki Kartawijaya menghantam dengan menge-
rahkan tenaga dalam kuat ke dada lawan pada ja-
rak lebih kurang tiga langkah.
Desss!
“Akh...!” Ayu Laksmini menjerit keras. Tubuh-
nya terpental ke belakang beberapa langkah se-
raya memuntahkan darah kental. Dia bermaksud 
untuk memutar tubuh ke samping ketika Ki Kar-
tawijaya menyambar dengan ujung pedangnya ke 
arah pinggang. Namun gerakannya terasa lam-
ban, sehingga ujung pedang lawan masih mampu 
menggores paha kanannya.

Crasss!
“Akh!”
Untuk kedua kalinya gadis itu menjerit kesaki-
tan. Tubuhnya mulai terhuyung-huyung. Kesada-
rannya sedikit berkurang. Namun meskipun de-
mikian, dia masih bisa melihat serangan Ki Kar-
tawijaya yang begitu bernafsu hendak menghabi-
sinya. Ayu Laksmini merasa bahwa dia tak akan 
bisa bertahan dalam beberapa jurus menghadapi 
serangan Ki Kartawijaya. Maka dengan sisa-sisa 
tenaga yang dimilikinya, gadis itu melompat tinggi 
dan bermaksud melarikan diri dari tempat itu. 
Tapi tentu saja Ki Kartawijaya tidak akan mem-
biarkannya begitu saja. Orang tua itu langsung 
melesat mengejar.
“Huh. Kau kira bisa kabur begitu saja dariku 
setelah apa yang kau lakukan di tempatku? Kau 
harus mampus, Bocah Sial!” dengus Ki Kartawi-
jaya.
Melihat orang tua itu bergerak, Ki Dewantara 
pun segera menyusul. Demikian pula dengan mu-
rid-murid Perguruan Camar Hitam. Mereka ber-
bondong-bondong mengejar gadis itu.
Ayu Laksmini bukannya tidak menyadari hal 
itu. Harapannya untuk kabur semakin tipis. Na-
mun gadis itu berusaha dengan sekuat tenaganya 
untuk melepaskan diri dari kejaran mereka. Luka 
dalam yang dideritanya membuat gadis itu tidak 
dapat leluasa bergerak. Belum lagi paha kanan-
nya yang terasa nyeri dibawa berlari. Walaupun 
lebih kurang sepeminuman teh dia merasa tak

mampu lagi bertahan. Sementara Ki Kartawijaya 
semakin dekat saja di belakangnya.
Melewati sebuah pinggiran hutan, Ayu Laksmi-
ni bermaksud menerobos ke dalam dan bersem-
bunyi di balik semak-semak. Namun sebelum 
niatnya tercapai, sebelah kakinya tersandung 
akar pohon. Gadis itu terjatuh terjerembab. Saat 
itu juga Ki Kartawijaya yang tepat berada di bela-
kangnya melompat dengan ganas sambil men-
gayunkan pedang.
“Gadis liar! Mampuslah kau sekarang! 
Yeaaa...!” teriak Ki Kartawijaya geram.
Ayu Laksmini terkejut bukan main. Kali ini 
keadaannya betul-betul seperti telur di ujung 
tanduk. Meski dia mampu mengelak, namun ti-
dak akan mampu menghindari serangan berikut-
nya yang pasti akan dilancarkan lawan. Pada saat 
itulah mendadak melesat sebuah bayangan yang 
langsung memapaki serangan Ki Kartawijaya.
“Hiyaaa...!”
Trang!
Bet!
“Uhhh..!”
***
ENAM


Ki Kartawijaya terkesiap. Sebagai tokoh yang 
telah berpengalaman dia bisa membedakan seo-
rang lawan yang memiliki kepandaian tinggi. Karena ketika bayangan lawan barunya itu memben-
tak nyaring seraya berkelebat ke arahnya, angin 
serangannya bersiur kencang menimbulkan teka-
nan hebat pada dirinya. Orang tua itu tidak bisa 
menganggap enteng. Kalau dia meneruskan se-
rangan ke arah Ayu Laksmini, bukan tidak 
mungkin dia akan celaka sendiri. Maka mau tidak 
mau dengan terpaksa memapaki serangan lawan 
dengan mengibaskan pedangnya. Apa yang didu-
ganya memang tidak salah. Meski telah menge-
rahkan tenaga dalam kuat untuk menjatuhkan 
lawan dengan sekali gebrak, namun kenyataan-
nya dia mengeluh sendiri. Telapak tangannya te-
rasa ngilu ketika pedangnya seperti membentur 
tembok tebal yang amat kokoh. Belum lagi habis 
rasa kagetnya, mendadak satu sapuan keras 
menghantam kepalanya. Orang tua itu cepat me-
nunduk, kemudian melompat seraya membuat 
gerakan salto yang berputar indah.
Masih untung pada saat itu lawan tak menge-
jar sehingga ketika kedua kakinya menjejak ta-
nah, keadaannya masih tetap aman. Ki Kartawi-
jaya kini mampu melihat siapa lawannya itu den-
gan jelas.
“Siapa kau?!” bentaknya garang ketika melihat 
seorang pemuda tampan berwajah keras dan 
memakai baju yang terbuat dari kulit harimau.
Pemuda yang berambut panjang dengan mo-
nyet berbulu hitam di salah satu pundaknya itu 
tersenyum sinis. Tapi belum lagi dia menjawab, 
salah seorang murid Perguruan Camar Hitam

yang telah tiba di tempat itu bersama dengan Ki 
Dewantara buru-buru menunjuk pemuda itu se-
raya berteriak nyaring.
“Eyang, pemuda inilah yang berjuluk Pendekar 
Pulau Neraka!”
Ki Kartawijaya tersenyum kecil, sedangkan Ki 
Dewantara tersenyum sinis. Nama Pendekar Pu-
lau Neraka telah lama mereka kenal. Namun baru 
kali inilah mereka berkesempatan untuk bertemu 
muka secara langsung. Dan bisa jadi akan terjadi 
bentrokan, kalau saja pemuda itu ikut campur 
urusan mereka.
“Pendekar Pulau Neraka, hm... merupakan su-
atu kehormatan bisa bertemu denganmu. Angin 
apa gerangan yang membawa langkahmu ke tem-
pat ini? Aku Ki Kartawijaya beserta seluruh mu-
rid-muridku menyampaikan salam hormat kepa-
damu,” sapa orang tua itu dengan nada ramah.
Pemuda berambut panjang yang tidak lain ada-
lah Bayu Hanggara itu tersenyum kecil seraya 
membalas salam penghormatan si orang tua.
“Ki Kartawijaya, terimalah salam hormatku. 
Maafkan atas kelancanganku yang telah men-
campuri urusanmu. Tapi aku memang tidak ter-
biasa melihat ketidak-adilan di depanku dan su-
dah gatal tangan ingin mencampurinya,” sahut 
Bayu.
“Hm, suatu sikap yang baik. Tapi mencampuri 
urusan orang lain hendaknya lebih dulu melihat, 
apakah kita berada di pihak yang benar ataukah 
kita malah membantu pihak yang salah,” sindir KiKartawijaya.
“Bisa jadi aku memang salah. Dan hal itu tidak 
kupungkiri. Tapi untuk kali ini kurasa tidak, se-
bab aku telah mendengar pembicaraan kalian se-
jak tadi. Dan maafkanlah bila dalam hal ini aku 
mempercayai kata-kata gadis itu,” kata Bayu te-
nang.
Mendengar kata-kata Pendekar Pulau Neraka, 
Ki Kartawijaya menjadi tak enak hati. Jelas sudah 
bahwa pemuda itu memang hendak mencampuri 
urusan mereka. Dan selamanya Ki Kartawijaya 
memang bukanlah orang yang sabar, pada siapa 
pun! Meski sekalipun orang yang tengah dihada-
pinya termasuk orang yang diseganinya, seperti 
Pendekar Pulau Neraka.
“Pendekar Pulau Neraka, kalau memang kau 
telah mendengar pembicaraan kami tentu engkau 
pun telah mengetahui apa yang diperbuat gadis 
itu di perguruan kami. Dan sebagai seorang yang 
terhormat, kau tentu bisa membedakan mana 
perbuatan salah dan mana yang benar,” ucap Ki 
Kartawijaya tegas.
“Tentu saja. Seorang yang telah meminjam se-
buah benda sudah sepatutnya mengembalikan 
dan bukan menyalahgunakannya. Tapi apa yang 
kalian lakukan? Seseorang telah berbuat keona-
ran dengan menggunakan senjata yang telah ka-
lian pinjam. Lalu apa pertanggungjawabanmu 
terhadap orang-orang yang terbunuh oleh senjata 
itu? Bukankah nyawa kalian masih belum ber-
harga untuk menebusnya?” dengus Bayu dengan

nada sedikit sinis.
“Eyang, untuk apa bicara lama-lama dengan-
nya? Sudah jelas apa yang diinginkannya, dan ki-
ta pun mengetahui bahwa gadis itu jelas bersa-
lah!” ujar salah seorang murid perguruan itu me-
rasa tak sabar mendengar omong kosong di anta-
ra kedua orang itu.
“Betul, Eyang. Perintahkanlah pada kami un-
tuk menghajar pemuda tak tahu diri ini!” timpal 
seorang lainnya sambil mencabut pedang di 
punggungnya dengan sikap garang.
“Kau dengar itu, Pendekar Pulau Neraka? Mu-
rid-muridku agaknya sudah tidak sabar menden-
gar bicaramu. Jelas sudah kau berpihak pada 
siapa. Tapi kami tetap pada pendirian bahwa ga-
dis itu patut mendapat pelajaran setimpal atas 
perbuatan yang dilakukannya di perguruan kami. 
Dan tidak ada seorang pun yang boleh mengha-
langinya. Tidak juga dirimu!” tajam terdengar na-
da bicara Ki Karta wijaya.
“Ki Kartawijaya, tidak usah banyak bicara! La-
kukanlah apa yang ingin kau perbuat, tapi jangan 
coba-coba menyentuh gadis ini!” balas Bayu men-
gancam.
“Kurang ajar! Kalau demikian, terima pelajaran 
dari kami!” teriak salah seorang murid Perguruan 
Camar Hitam yang agaknya sudah tidak bisa lagi 
menahan amarahnya.
Sambil membentak nyaring, orang itu melom-
pat menyerang Bayu dengan senjata terhunus.
“Yeaaa...!”

***
Bayu mendengus dingin. Tubuhnya sedikit 
bergeser ke kiri dan kepalanya tertunduk ke bela-
kang menghindari sabetan pedang lawan. Kemu-
dian cepat meliuk ke atas seraya mengayunkan 
satu tendangan keras ke dagu lawan... Laki-laki 
berusia sekitar tiga puluh tahun dan berbadan 
besar itu sedikit terkejut dan tak menyangka ge-
rakan lawan bisa sedemikian cepat Namun dia 
masih sempat mengelak sambil menjatuhkan diri 
ke belakang. Namun saat itu juga tubuh Pendekar 
Pulau Neraka telah mengejar sambil berbalik dan 
mengayunkan tendangan beruntun bertenaga 
kuat yang tak mampu dielakkan lawan. 
Bukkk!
Desss!
“Aaakh...!”
Orang itu memekik kesakitan. Tubuhnya ter-
jungkal muntah darah, dan tersungkur pada ja-
rak enam langkah dan tidak bangkit lagi.
Kejadian itu tentu saja mengagetkan kawan-
kawannya yang lain. Demikian pula halnya den-
gan Ki Kartawijaya dan Ki Dewantara. Juga Ayu 
Laksmini yang sejak tadi masih berdiam diri me-
nahan rasa nyeri di dadanya.
Orang itu tewas di tangan Pendekar Pulau Ne-
raka. Apa yang mereka dengar tentang keganasan 
pemuda itu memang bukan isapan jempol belaka, 
tapi terbukti di depan mata mereka sendiri.
“Pendekar Pulau Neraka, tindakanmu sangat 
kejam dan aku tidak bisa membiarkanmu begitu


saja!” geram Ki Kartawijaya menahan emosi.
Ki Dewantara semula hendak bergerak meng-
hajar pemuda itu, tapi Ki Kartawijaya telah lebih 
dulu menahannya.
Orang tua itu menyadari bahwa kepandaian Ki 
Dewantara tidak akan mungkin menandingi Pen-
dekar Pulau Neraka. Dalam bentrokan pertama 
tadi saja dia sudah bisa merasakan bagaimana 
hebatnya tenaga lawan. Belum lagi gerakannya 
yang amat gesit serta serangannya tak terduga 
datangnya. Kalau saja Ki Dewantara berkeras 
hendak menantangnya, bukan mustahil bila dia 
akan terbunuh sendiri seperti seorang muridnya 
tadi.
Ki Kartawijaya melangkah mendekati, dan ber-
henti ketika jarak mereka terpaut empat langkah. 
Matanya liar mengawasi setiap gerakan kecil yang 
dilakukan lawan. Sebaliknya Bayu masih tetap 
tenang dan juga mengawasi lawan dengan seksa-
ma.
“Pendekar Pulau Neraka, lihat serangan ini!” Ki 
Kartawijaya membentak seraya memberi peringa-
tan akan serangan pertamanya.
Bersamaan dengan itu tubuhnya pun melesat 
cepat ke arah lawan seraya memutar pedang di 
tangannya. Angin tajam bersiur kencang dan 
mencoba menghimpit setiap langkah menghindar 
yang dilakukan Pendekar Pulau Neraka. Ke mana 
saja dia mencoba bergerak, maka saat itu juga ja-
rak mereka terpaut hanya beberapa inci saja. 
Agaknya Ki Kartawijaya betul-betul telah mengerahkan segenap kepandaiannya untuk menjatuh-
kan lawan secepat mungkin.
Bayu Hanggara menggeram. Kalau saja dia ti-
dak hati-hati dan mengerahkan segala kemam-
puan bergeraknya menghindari setiap serangan 
lawan, niscaya ujung pedang lawan pasti dari se-
jak tadi menyambar tubuhnya. Dan hal itu pun 
agaknya tidak akan bisa bertahan lama sean-
dainya dia terus bertahan seperti itu. Maka dalam 
suatu kesempatan, Pendekar Pulau Neraka beru-
saha menjauhkan jarak dari serangan lawan un-
tuk balik menyerang.
“Yeaaa...!”
Tubuhnya bergulung-gulung seraya melompat 
ke belakang ketika kedua kakinya baru saja men-
jejak tanah. Ki Kartawijaya mengejar, namun tu-
buh Bayu Hanggara melejit ke atas cabang se-
buah pohon. Ki Kartawijaya semakin gemas saja. 
Dihantamnya cabang pohon itu dengan pukulan 
jarak jauh.
“Hiyaaa...!”
Brakkk!
“Hihhh!”
Namun belum lagi hantaman itu ikut meng-
hancurkan tubuhnya seperti yang terjadi pada 
sebatang pohon itu, tubuh Pendekar Pulau Nera-
ka menukik deras ke arah lawan. Ki Kartawijaya 
terkesiap, namun tidak kehilangan kesadaran un-
tuk mengayunkan pedangnya. Bayu menangkis 
dengan pergelangan tangannya.
Trakkk! “Uhhh...!”

Senjata lawan tepat beradu dengan Cakra Maut 
di pergelangan tangannya. Ki Kartawijaya terkejut 
bukan main. Tangannya kesemutan, dan tubuh-
nya bergetar hebat akibat benturan itu. Untuk se-
saat dia bisa menduga bahwa senjata itulah yang 
tadi memapaki pedangnya ketika pemuda itu me-
nahan serangannya terhadap Ayu Laksmini. Na-
mun begitu dia masih mampu mengayunkan kaki 
menghantam wajah lawan. Bayu berkelit ke kiri 
seraya menghantam kepalan tangan kanannya ke 
dada lawan. Ki Kartawijaya menangkis dengan 
tangan kirinya.
Tak!
Untuk kedua kalinya orang tua itu merasa ka-
get ketika tangan mereka saling beradu. Baru dia 
menyadari bahwa tenaga dalam lawan memang 
tak bisa dipandang enteng. Tapi Ki Kartawijaya ti-
dak kecil hati. Pedangnya kembali berkelebat me-
liuk-liuk menyambar tubuh lawan. Dia menyadari 
betul bahwa lawan tak mungkin menerobos per-
tahanannya selagi dia memainkan ilmu pedang-
nya yang hebat.
Hal itu bukannya tidak disadari oleh Bayu. 
Bukan saja dia tak mampu menerobos pertaha-
nan lawan, sebaliknya serangan yang dilancarkan 
lawan pun dengan menggunakan jurus-jurus pe-
dangnya, agak sulit dihadapinya dengan tangan 
kosong seperti sekarang.
Ketika kaki lawan menghajar ke arah dagu, 
Pendekar Pulau Neraka bergerak ke samping. 
Namun Ki Kartawijaya lebih cepat memberikan


serangan susulan dengan kelebatan pedangnya ke 
arah leher. Bayu terkejut dan berusaha melompat 
ke belakang untuk menghindari tebasan golok la-
wan. Namun ujung pedang Ki Kartawijaya masih 
sempat menggores dadanya.
Crasss! 
“Uhhh...!”
“Kaaakhhh...!” Monyet berbulu hitam yang me-
lihat sahabatnya berhasil dilukai lawannya, berte-
riak nyaring. Wajahnya terlihat cemas, dan bebe-
rapa kali dia mondar-mandir mengikuti jalannya 
pertarungan itu.
Sebaliknya hal itu menimbulkan rasa senang di 
hati Ki Dewantara dan murid-murid Perguruan 
Camar Hitam. Kalau Pendekar Pulau Neraka ber-
hasil dilukai, maka tidak berapa lama dia pasti 
akan dapat dilumpuhkan oleh Ki Kartawijaya, ba-
rangkali itu anggapan mereka.
Agaknya pikiran seperti itu pun menyelinap di-
benak orang tua itu. Dia mendesak Bayu habis-
habisan dan bermaksud menjatuhkan lawan se-
cepat mungkin. Baru saja tubuh Pendekar Pulau 
Neraka melompat ke belakang sambil bergulung-
gulung, saat itu juga tubuhnya melesat mengikuti 
dengan ujung pedang berputar-putar menyambar 
bagian tubuh lawan.
“Hiyaaat..!”
Dalam keadaan terjepit begitu, Bayu tak mau 
tinggal diam. Dia mengibaskan tangan kanannya 
sambil membentak nyaring.
“Yeaaa...!”

Siiing...!
Trasss
“Hei?!”
***
Bersamaan dengan itu melesat sekelebat sinar 
keperakan menyambar lawan. Ki Kartawijaya ter-
kejut dan cepat mengayunkan pedangnya. Tapi 
yang kemudian terjadi justru membuatnya terke-
jut Pedangnya putus, dan benda keperakan itu te-
rus mendesing menyambar lehernya. Kalau saja 
dia tak buru-buru memiringkan tabuh niscaya 
kepalanya akan berpisah dari badan. Orang tua 
itu tak habis rasa terkejutnya merasakan angin 
sambaran tajam yang terasa perih dan menim-
bulkan hawa panas.
“Hiyaaat...!”
Belum lagi habis rasa terkejutnya, saat itu juga 
serangan Pendekar Pulau Neraka telah kembali 
datang. Ujung kaki kanannya menghantam lurus 
ke arah dada. Ki Kartawijaya berkelit seraya me-
mutar tubuh, namun tubuh Bayu pun ikut ber-
putar dan kaki kanannya kembali menyapu ke 
arah pinggang. Ki Kartawijaya melompat ke atas, 
dan Pendekar Pulau Neraka mengikuti seraya 
menyambar kembali Cakra Mautnya yang melesat 
pulang.
“Yeaaa...!”
Siiing!
Begitu Cakra Maut berada di tangannya, kem-
bali dikibaskannya lagi. Senjata maut itu melesat

deras ke arah Ki Kartawijaya pada jarak dekat 
Orang tua itu tidak sempat mengelak. Meski dia 
berusaha menghindar, namun tak urung lengan 
kirinya kena sambar, dan putus.
Crasss!
“Aaakh!”
Ki Kartawijaya menjerit tertahan. Namun ma-
sih sempat menghantam lawan dengan pukulan 
jarak jauh yang berisi tenaga dalam kuat Pende-
kar Pulau Neraka melompat ke atas seraya bergu-
lung-gulung menghindari serangan lawan. Kedua 
kakinya menyilang bergantian dan langsung 
menghajar batok kepala lawan.
Desss!
Duk!
“Aaa...!”
Ki Kartawijaya kembali memekik keras. Kali ini 
tubuhnya terjungkal ke samping sambil mengge-
lepar kesakitan.
Orang tua itu memuntahkan darah kental ber-
kali-kali. Dia berusaha untuk bangkit, namun 
kembali terjatuh. Beberapa orang muridnya lang-
sung memburu dengan penuh khawatir. Mereka 
membantunya duduk bersila. Namun tidak demi-
kian halnya dengan Ki Dewantara. Dengan ama-
rah yang meluap, dia langsung menyerang Bayu.
“Bocah keparat! Kau harus menerima pembala-
san dariku!” geramnya tajam seraya mengayun-
kan pedang ke arah Bayu.
Bayu mendengus kecil. Tangan kanannya diki-
baskan ke bawah. Saat itu juga mendesing Cakra

Maut ke arah lawan.
Siiing!
Werrr!
Meski dalam keadaan kalap begitu, tapi Ki De-
wantara menyadari bahwa senjata lawan sangat
dahsyat, dan dia tak berani untuk mencoba me-
mapaki. Kepalanya ditundukkan ketika tubuhnya 
kemudian melompat ke samping sambil berbalik 
untuk menghindari senjata lawan, kemudian te-
rus menerjang ke arah leher Pendekar Pulau Ne-
raka dengan ujung pedang menyambar ke arah 
tenggorokan dan dada.
Uts!”
Bayu melompat ke belakang, kemudian berge-
rak ke samping dan terus bergerak ke atas meng-
hindari tebasan senjata lawan. Kaki kirinya dite-
kuk sedemikian rupa, kemudian melayang me-
nyambar ke muka lawan. Ki Dewantara sedikit 
tergagap menyadari kecepatan lawan bergerak 
namun dia tak mau berlaku lengah. Buru-buru 
dia menundukkan tubuh ke belakang, lalu terus 
bergerak ke samping, dan balas menyerang lawan 
dengan ayunan pedangnya. Namun belum lagi 
pedangnya mampu menebas ke arah lawan, dia 
terpaksa kembali menundukkan tubuh ketika 
Cakra Maut berbalik menyerangnya.
Bayu menangkap senjatanya, dan kembali me-
lepaskannya ke arah Ki Dewantara. Laki-laki itu 
terkejut Dalam jarak dekat tak mungkin baginya 
untuk bisa mengelak Maka dengan terpaksa dia 
memiringkan tubuh dan mengayunkan pedang


untuk mencoba menangkis senjata lawan.
Tras!
Cras!
“Aaakh...!”
Seperti apa yang diduganya, pedang dalam 
genggamannya putus sebatas gagangnya. Cakra 
Maut terus melesat menyambar sebelah daun te-
linganya hingga putus. Ki Dewantara mengeluh 
kesakitan. Dia masih belum sempat menguasai 
diri ketika serangan Pendekar Pulau Neraka me-
nyusul.
“Yeaaa...!”
Begkh!
Desss!
“Aaakh...!”
Untuk kedua kalinya Ki Dewantara memekik 
keras. Kali ini tubuhnya terjungkal keras sambil 
memuntahkan darah segar. Tendangan keras 
yang dilancarkan Pendekar Pulau Neraka meng-
hantam dada dan perutnya dengan telak. Tubuh-
nya menggelepar-gelepar tak berdaya, dan beru-
saha untuk bangkit berdiri tegak. Tapi baru saja 
dia hendak mencobanya, tubuhnya tiba-tiba 
kembali ambruk.
“Guru...!” beberapa murid Perguruan Camar 
Hitam langsung memburu untuk memberikan 
bantuan.
Tapi lima orang lainnya serentak bergerak hen-
dak menyerang Bayu. Wajah mereka tampak ga-
rang menahan amarah yang memuncak.
“Pendekar Pulau Neraka, hari ini kami akan

mengadu jiwa denganmu!” dengus salah seorang 
di antara mereka.
Kalau saja saat itu Ki Kartawijaya tak memben-
tak melarang mereka, Niscaya kelima orang itu 
akan melabrak Pendekar Pulau Neraka dan me-
nyerangnya dengan mati-matian.
“Tahaaan...!”
***
TUJUH


“Kenapa Eyang? Pemuda ini telah melukai 
Eyang dan Guru. Kenapa kami tak boleh menun-
tut balas atas perlakuannya itu?!” tanya salah 
seorang murid Perguruan Camar Hitam dengan 
wajah kesal.
“Diamlah kalian, dan jangan lagi memperpan-
jang urusan! Apa kalian mau membuang nyawa 
secara percuma?!” bentak Ki Kartawijaya berusa-
ha berdiri dengan dibantu tiga orang muridnya.
Mendengar kata-kata orang tua itu, kelima mu-
ridnya terpaksa mengurungkan tindakan mereka 
meski di dalam hati masih tersimpan rasa tidak 
puas. Walaupun kepandaian mereka tak sebera-
pa, tapi jelas mereka tidak takut mati untuk 
membela kehormatan nama guru dan perguruan 
mereka.
Ki Kartawijaya memandang ke arah Pendekar 
Pulau neraka, kemudian berkata pelan.
“Pendekar Pulau Neraka, kehebatan namamu

yang terdengar memang bukan nama kosong be-
laka. Hari ini aku Ki Kartawijaya mengaku kalah 
padamu. Tapi bukan berarti urusan ini akan sele-
sai. Suatu saat nanti hutang ini akan kubalas be-
rikut bunganya padamu!”
“Ki Kartawijaya, kalau memang kau mengang-
gap bahwa kejadian hari ini sebagai suatu hu-
tang, kau boleh menagihnya kapan saja kau suka 
padaku. Tentu akan kutunggu saat itu,” sahut 
Bayu dingin.
Setelah berkata demikian terlihat Ki Kartawi-
jaya mengajak murid-muridnya segera berlalu da-
ri tempat itu. Bayu masih sempat memandang 
mereka, kemudian menyambar Tiren yang men-
dekat ke arahnya seraya berteriak nyaring.
“Kaaakh...!”
Monyet kecil itu melompat-lompat ke pundak-
nya silih berganti, kemudian mengusap-usap 
rambut pemuda itu. Dan Bayu tersenyum kecil, 
kemudian memandang ke arah Ayu Laksmini dan 
menghampirinya.
“Bagaimana keadaanmu...?” tanyanya dengan 
sura pelan.
“Terima kasih atas pertolonganmu...” lirih ter-
dengar suara Ayu Laksmini.
“Kudengar kau murid Ki Dewa Ruci. Beliau 
adalah tokoh terkenal yang memiliki kepandaian 
hebat.”
Ayu Laksmini tersenyum kecut
“Aku hanya membuat malu nama beliau saja, 
bukan...?” katanya dengan nada getir.

“Kau tak perlu berkecil hati seperti itu. Mereka 
memang hebat, dan mampu bertahan cukup lama 
melawan gempuran keduanya, sudah membukti-
kan kehebatan ilmu silat yang kau miliki...” puji 
Bayu membesarkan semangat gadis itu.
“Ah, aku memang murid yang tak berguna. Ba-
gaimana mungkin mampu mengemban amanat 
yang dititipkan eyang kalau berhadapan dengan 
mereka saja aku tak mampu...” keluh Ayu Laks-
mini dengan wajah gundah.
Bayu menarik napas pendek, kemudian me-
mandang ke arah gadis itu dengan seksama. Lalu 
berkata pendek,” Maafkan kelancanganku yang 
telah mendengar pembicaraan kalian...”
“Apa maksudmu...?”
“Secara tak sengaja aku lewat di muka pergu-
ruan mereka dan mendengar keributan yang kau 
perbuat Pedang Setan itu memang pernah selin-
tas kudengar, dan aku sedikit terkejut ketika be-
lakangan mendengar bahwa senjata ampuh itu 
berada di tangan seorang pemuda yang tidak ber-
tanggung jawab. Dia membuat kekejaman dengan 
membantai orang-orang yang tak berdosa dengan 
pedang itu...” jelas Bayu singkat.
“Jadi, benarkah pedang itu tidak berada di 
tangan mereka?” tanya Ayu Laksmini meyakin-
kan.
“Entahlah. Soal itu aku tak tahu banyak. Tapi 
kalau kau hendak mengambil kembali pedang itu, 
maka kau mesti berhadapan dengan pemuda itu, 
sebab banyak orang yang ingin merebut Pedang

Setan itu dari tangannya, tapi mereka semua ha-
bis dibantainya...”
“Lalu di mana aku bisa menemui pemuda itu?”
tanya Ayu Laksmini seraya bangkit dengan wajah 
bernafsu hendak mendapatkan kembali pusaka 
gurunya itu.
“Aku sendiri tidak mengetahui di mana pemu-
da itu berada. Tapi kudengar kata-kata Ki Karta-
wijaya dan Nini Widyadara, bisa jadi mereka men-
getahui siapa pemuda itu sebenarnya sehingga 
dari siapa dia menemukan Pedang Setan itu...”
“Huh, kalau begitu aku akan kembali ke Pergu-
ruan Camar Hitam dan memaksa mereka untuk 
memberitahu di mana pemuda itu berada!” den-
gus Ayu Laksmini.
“Ni sanak...” panggil Bayu pelan.
Gadis itu menoleh. Ketika dilihatnya pemuda 
itu menatapnya dengan seksama, gadis itu buru-
buru memperbaiki sikapnya yang tak bersahabat.
“Maafkan sikapku. Aku ingin buru-buru me-
nyelesaikan tugas yang diberikan Eyang Dewa 
Ruci...”
“Ah, tidak mengapa. Bolehkah kau kupanggil
Ayu...?”
“Kau tentu telah mengetahui namaku, bukan? 
Sebaliknya, aku harus memanggil apa padamu?”
“Eh, kau boleh panggil aku Bayu....”
“Bayu, eh Kakang Baya..,” gadis itu menjadi 
jengah sendiri ketika memperbaiki panggilannya 
terhadap pemuda itu. Dia tertunduk malu sesaat, 
tapi Bayu cepat memperbaiki keadaan itu.

“Ayu, kalau kau tak keberatan, biarlah aku 
menemanimu ke perguruan itu....”
“Eh, kalau Kakang Bayu tak keberatan, tentu 
saja aku senang sekali....”
“Nah, marilah kita berangkat sekarang untuk 
tidak membuang-buang waktu!” ajak Bayu seraya 
melangkah lebih dulu.
Ayu Laksmini mengikuti dari belakang dengan 
langkah pelan. Tapi tak berapa lama dia pun 
menjejeri langkah pemuda itu.
***
Nini Widyadara menghela napas pendek. Dia 
semakin tak tahu apa yang harus diperbuatnya 
ketika suaminya beserta putranya mengejar gadis 
itu. Setelah sekian lama mereka hidup tenteram, 
kini dalam beberapa saat telah banyak peristiwa 
yang menimpa. Kematian putra keduanya di tan-
gan seorang pemuda yang membawa-bawa Pe-
dang Setan amat mengejutkannya. Dan kini seo-
rang gadis datang menagih senjata itu pada me-
reka, kemudian sedikit mengungkit kenangan la-
manya. Hal itu menambah perih beban yang dide-
ritanya. Ki Dewa Ruci pasti telah cerita banyak 
pada muridnya itu. Dia memang tak menyalah-
kan, karena tahu betul bahwa dia memang bersa-
lah dalam hal ini. Kalau saja dulu dia bisa berpi-
kir tenang, tentu dia tak akan mempedulikan se-
gala rayuan Ki Kartawijaya sehingga meninggal-
kan Ki Dewa Ruci yang amat mencintainya. Bah-
kan dalam keadaan berkhianat begitu, dia masih


berani mencuri senjata pusaka kesayangan Ki 
Dewa Ruci.
Wanita tua itu mengeluh pelan seraya memba-
likkan tubuh memasuki gedung di belakangnya. 
Tapi mendadak pada saat itu terdengar jeritan 
panjang dari arah pintu gerbang. Dengan cepat 
wanita itu berbalik dan melihat dua orang murid 
perguruan itu tewas dengan cara yang mengeri-
kan. Dada mereka hangus oleh goresan senjata 
yang merobek lebar. Tubuh mereka pun pucat se-
perti tak berdarah, dan tewas saat itu juga.
“Siapa kau, bocah?!” bentak Nini Widyadara 
begitu melihat seorang pemuda berambut panjang 
dan memakai baju yang terbuat dari kulit hari-
mau.
Nini Widyadara terkejut setengah mati melihat 
kehadiran pemuda itu. Tapi lebih terkejut lagi ke-
tika melihat pedang di tangan kanannya. Pedang 
berwarna hitam yang berkilat memancarkan sinar 
laksana sihir itu seperti menyilaukan mata dan 
membuat jantungnya berdetak lebih kencang. Ti-
dak salah lagi, itulah Pedang Setan yang dicari-
carinya selama ini.
Ditatapnya pemuda itu dengan seksama. Wa-
jahnya hitam dengan bintik-bintik kecil tampak 
dingin dan menyiratkan hawa kesadisan. Tangan 
kirinya menggenggam buntalan kain putih yang 
meneteskan darah di bawahnya. Jantung wanita 
tua itu semakin bergetar, dan wajahnya tampak 
pucat. “Apa isi buntalan yang dibawa pemuda 
itu?” bisik hatinya cemas.

“Masih ingatkah kau dengan mendiang guruku, 
Ki Sarpa Kenaka?” tanya pemuda itu dengan nada 
dingin.
“Ki Sarpa Kenaka...? Hm, akhirnya dia datang 
juga meski mewakili padamu...”
“Pedang Setan telah berjodoh pada guruku, 
dan kini diwariskan padaku. Tapi kau dan sua-
mimu serta semua murid-muridmu mencoba me-
rebutnya dariku seperti tikus-tikus got lainnya. 
Mereka akan mampus ditanganku menjadi kor-
ban pedang ini!” dengus pemuda itu.
“Anak muda, jaga bicaramu! Pedang itu milik 
perguruan kami, dan tidak ada hak sama sekali 
bagimu untuk menyerakahinya. Apalagi mencoba 
mengakuinya sebagai pusaka milikmu! Serahkan 
padaku, dan aku akan melupakan perbuatanmu 
tadi!” ucap Nini Widyadara menegaskan.
“Ha ha ha...! Tidak kusalahkan kalau kau tuli, 
orang tua. Tapi ingin kutegaskan sekali lagi. Se-
lama ini yang paling bernafsu untuk merebut pe-
dang ini dari tanganku adalah pihak kalian. Dan 
setelah kubereskan beberapa tokoh yang ingin 
merampas pedang ini dari tanganku, maka seka-
rang giliran kalian akan kulenyapkan. Seorang 
anakmu telah kubuat mampus. Dan salah seo-
rang lagi akan menyusul setelah kau kenali siapa 
yang kubawa ini!” teriak pemuda itu seraya men-
geluarkan buntalan di tangan kirinya ke hadapan 
wanita tua itu.
Nini Widyadara terkejut bukan main ketika me-
lihat kepala siapa yang berada dalam buntalan

yang dibawa pemuda itu.
“Padmi Ningsih, cucuku...!”
Darahnya seperti tersirap dan detak jantung-
nya berdebar lebih kencang menyaksikan cucu 
kesayangannya tergeletak bermandikan darah. 
Begitu juga dengan murid-murid Perguruan Ca-
mar Hitam yang berada ditempat itu. Dengan 
spontan Ni Widyadara mencabut pedangnya dan 
membentak garang.
“Bocah keparat! Aku akan mengadu jiwa den-
ganmu! Yeaaa...!” Bersamaan dengan itu tubuh-
nya melesat menyerang lawan.
Pemuda itu mendengus sinis. Sama sekali tak 
terlihat wajah ketakutan di mukanya. Bahkan je-
las dia memandang rendah pada wanita tua itu.
“Huh, majulah kau dan bawa serta semua anak 
muridmu agar lebih cepat aku menyelesaikan tu-
gasku membasmi kalian!”
“Keparat!” desis Nini Widyadara geram.
Wut!
Bet!
“Uhhh...!”
Begitu pedang lawan menyambar-nyambar ke 
arahnya, pemuda itu mengibaskan pedang di tan-
gannya. Angin kencang berhawa panas seketika 
menyambar ke arah Nini Widyadara. Wanita tua 
itu menyadari keampuhan Pedang Setan di tan-
gan lawan dan tak berani untuk mencoba mema-
pakinya, dan hanya berusaha mengelak serta se-
sekali mencoba memasuki pertahanan lawan.
Tapi hal itu bukan pekerjaan mudah baginya.


Dalam sekejap saja dia merasakan bahwa bukan 
saja dia tak mampu menembus pertahanan la-
wan. Bahkan sebaliknya serangan-serangan gen-
car yang dilakukan pemuda itu membuatnya ha-
rus pontang-panting menyelamatkan selembar 
nyawanya.
“Yeaaa...!”
Pemuda itu membentak nyaring. Tubuhnya 
melesat ke arah lawan seraya memutar pedang 
dengan cepat Angin bersiur kencang membuat 
debu mengepul ke udara. Nini Widyadara kalang 
kabut dibuatnya. Wanita tua itu berusaha me-
nangkis serangan lawan dengan pedangnya ketika 
senjata lawan menderu keras menyambar ke arah 
leher. Dia menyadari tak mungkin lagi menghin-
dar. Dan kalaupun hal itu dilakukannya, tidak 
akan mampu menyelamatkan nyawanya.
Tras!
Pret!
“Aaakh...!”
Apa yang diduganya memang menjadi kenya-
taan. Pedangnya putus dihajar senjata lawan. Be-
lum lagi dia berusaha mengelak, pedang itu telah
menyambar bahu kirinya dan memapas pangkal 
lengannya. Wanita tua itu menjerit kesakitan. Ka-
ki kiri lawan menghujam ke arah dadanya, na-
mun dengan sigap dia menjatuhkan diri ke bela-
kang. Tubuh lawan terus mengejar bagai angin 
topan yang menggila.
“Yeaaa...!”
Brasss! Brasss!

“Uhhh...!”
Nini Widyadara bergulingan menyelamatkan di-
ri dari tebasan senjata lawan. Pedang di tangan 
pemuda itu menghantam tanah berkali-kali. Pada 
saat itu beberapa orang murid Perguruan Camar 
Hitam terus melompat menyerangnya untuk me-
nyelamatkan nyawa guru mereka. Namun dengan 
sekali berbalik, ujung pedang pemuda itu telah 
meminta korban.
Brettt!
“Aaah...!”
***
Tiga orang langsung terjungkal dengan dada 
robek lebar. Tubuh mereka pucat seperti kehabi-
san darah. Dan begitu jatuh ke tanah, diam tak
berkutik lagi. Nyawa mereka lepas dari raga.
Beberapa orang kembali menyerang tanpa 
mengenal rasa takut Kali ini pemuda itu betul-
betul mengalihkan perhatian kepada murid-murid 
perguruan itu.
“Tikus-tikus busuk, kalau kalian mau mampus 
lebih dulu, aku akan penuhi keinginan kalian! 
Yeaaa...!”
Bret!
Crasss!
“Aaa...!”
Korban kembali berjatuhan ketika pemuda itu 
mengamuk dengan hebatnya. Beberapa orang 
memekik kesakitan, dan ambruk dengan tubuh 
pucat tak bernyawa lagi. Dalam beberapa gebra

kan saja, lebih dari sepuluh orang murid pergu-
ruan itu tewas tak berdaya. Hal itu tentu saja 
membuat Nini Widyadara mengeluh pelan. Dia 
tak tahu harus berbuat apa lagi untuk menyela-
matkan mereka selain menghadang serangan pe-
muda itu.
“Bocah, hentikan perbuatanmu! Hadapilah 
aku...!”
“Hei, bocah keparat! Hentikan perbuatanmu...!”
Belum lagi habis kata-kata Nini Widyadara, 
saat itu juga terdengar bentakan nyaring. Seren-
tak mereka berpaling dan melihat rombongan Ki 
Kartawijaya yang telah tiba di tempat itu. Bukan 
main kagetnya wanita tua itu ketika melihat kea-
daan suaminya. Buru-buru dia menghampiri den-
gan wajah cemas.
“Kakang, oh... apa yang telah terjadi pada-
mu...?!”
“Tenanglah, Nini. Aku tak apa-apa. Apakah bo-
cah keparat itu yang berbuat ini padamu?!” tanya 
Ki Kartawijaya dengan menahan amarah seraya 
menunjuk sebelah lengan istrinya yang buntung.
Nini Widyadara mengeluh pendek seraya berka-
ta lirih.
“Kakang, dia... dia murid si Sarpa Kenaka itu. 
Kepandaiannya hebat sekali. Apalagi dengan 
adanya Pedang Setan di tangannya itu....”
Suara wanita tua itu terputus ketika Ki Dewan-
tara berteriak pilu mendapati kepala anaknya 
yang berlumur darah.
“Padmi Ningsih, anakku...! Oh, siapa yang ber

buat begini padamu, Nak..?!” jerit Ki Dewantara 
seraya mendekap kepala anaknya dan meman-
dang sekeliling tempat dengan wajah beringas.
“Aku yang melakukannya!” sahut pemuda yang 
menggenggam Pedang Setan itu mendengus lirih.
Ki Dewantara bangkit dan menyambar sebilah 
pedang dari salah seorang muridnya, kemudian 
melangkah pelan mendekati pemuda itu. Sorot 
matanya tajam seperti hendak menelan bulat-
bulat pemuda di hadapannya itu.
“Siapa kau, dan dendam apa yang kau bawa 
sehingga membunuh putriku dengan cara yang 
biadab begini?!” desis Ki Dewantara dengan suara 
ditekan sedemikian rupa menahan amarah yang
mengguncang di hatinya.
“Aku, Buyut Kelana, murid tunggal Eyang Sar-
pa Kenaka. Kedua orangtuamu mengetahui apa 
maksudku ke sini. Kalian semua harus lenyap 
seperti mereka yang menginginkan pedang di tan-
ganku ini!”
“Keparat! Aku tak peduli dengan segala barang 
rongsokan yang kau bicarakan. Kau hutang satu 
nyawa padaku, dan aku tidak akan membiar-
kanmu bicara seenaknya tanpa merasa bersalah. 
Manusia durjana, kau harus mampus ditangan-
ku!”
Setelah berkata demikian, tubuh Ki Dewantara 
berkelebat menyerang lawan. Pemuda yang me-
namakan dirinya Buyut Kelana itu mendengus si-
nis. Tubuhnya sama sekali tak bergerak untuk 
menghindari serangan lawan. Tapi begitu ujung

pedang lawan sedikit lagi akan menyentuh tu-
buhnya, saat itu juga pedangnya berkelebat me-
mapaki.
Trasss!
Brettt!
Ki Dewantara terkejut setengah mati. Meski dia 
mengetahui kehebatan pedang di tangan lawan 
dari cerita kedua orangtuanya, namun hawa ama-
rah dan ketidakyakinannya membuat dirinya ber-
tindak kurang waspada dan terlalu menganggap 
enteng. Akibatnya sungguh fatal. Pedang di tan-
gan putus dibabat senjata lawan. Dan bukan itu 
saja, dengan sekali berkelebat ujung pedang la-
wan menyambar dadanya dan membuat luka 
yang melebar dan dalam.
“Aaakh...!”
Ki Dewantara hanya mampu berteriak terta-
han. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang. 
Wajahnya pucat seperti tak berdarah. Demikian 
pula dengan sekujur tubuhnya. Laki-laki itu am-
bruk dan tak bergerak lagi.
“Dewantara, Anakku.,.!” Nini Widyadara terke-
jut bukan main melihat kenyataan itu. Wanita tua 
itu langsung menubruk tubuh anaknya sambil 
menangis pilu.
Ki Kartawijaya bermaksud melabrak pemuda 
itu. Namun sebelum dia bergerak lebih lanjut, 
terdengar seseorang menyela dengan suara din-
gin.
“Ayah, biar kuhadapi orang gila ini...!”
Mereka yang berada di tempat itu serentak

menoleh.
Seorang laki-laki bertubuh sedang dan berusia 
sekitar empat puluh lima tahun berdiri tak jauh 
dari pintu gerbang depan. Di belakangnya berdiri 
kurang lebih sepuluh orang laki-laki berseragam 
sama dengan murid-murid Perguruan Camar Hi-
tam.
“Soma Jagat, hm... agaknya kau telah kemba-
li...!”
“Sekian lama kucari pemuda ini untuk menun-
tut balas atas kematian Kakang Ganggapura, sia-
pa sangka, ternyata dia berada di tempat ini dan 
telah membuat kerusuhan. Ayah, biarlah kuha-
dapi manusia durjana ini!” dengus laki-laki itu 
dengan wajah beringas dan pelan-pelan mendeka-
ti Ki Buyut Kelana.
“Soma Jagat, menepilah kau. Dia bukan tan-
dinganmu. Biar aku yang akan memberi pelajaran 
padanya,” sela Ki Kartawijaya.
“Tidak, Ayah! Ayah dalam keadaan luka parah, 
demikian pula Ibu. Biarlah aku yang mewakili ka-
lian untuk menghajar bocah sombong ini,” sela Ki 
Soma Jagat seraya mencabut pedang dan menud-
ing lurus ke arah Ki Buyut Kelana.
“Bocah, bersiaplah kau!” lanjut Ki Soma Jagat 
menantang.
***

DELAPAN

Begitu selesai dengan kata-katanya, Ki Soma
Jagat langsung melompat menyerang lawan.
“Yeaaa...!”
Ki Buyut Kelana mendengus pelan. Tidak se-
perti menghadapi Ki Dewantara, pemuda itu lang-
sung menyambut serangan lawan dan ikut me-
lompat memapaki serangan lawan. Pedangnya di-
putar sedemikian rupa menimbulkan angin ken-
cang yang tajam dan berhawa panas.
Untuk beberapa saat Ki Soma Jagat terkejut 
dan merasakan angin serangan senjata yang ga-
nas. Dia menyadari betul bahwa senjata di tangan 
lawan bukan pedang sembarang. Pedang itulah 
yang belakangan ini amat menghebohkan kalan-
gan persilatan. Kepalanya ditundukkan untuk 
menghindari sabetan lawan, dan tubuhnya me-
liuk berputar untuk membabatkan pedang ke 
pinggang lawan. Tapi Ki Buyut Kelana terlalu lihai 
untuk ditipu seperti itu. Tubuhnya sedikit miring 
hingga ujung pedang lawan lewat beberapa inci 
dari pinggangnya.
Bet!
Uuuh...!”
Kepalan tangan kiri Ki Buyut Kelana mengha-
jar dadanya, namun dengan sigap Ki Soma Jagat 
mengelak ke samping. Ujung pedang lawan me-
nyambar ke arah tenggorokan. Tubuh Ki Soma 
Jagat melompat ke belakang menghindarinya.

Namun ujung kaki kanan lawan telah menyusul 
melakukan serangan ke arah selangkangannya. 
Ki Soma Jagat terkejut dan buru-buru memba-
batkan pedang. Lawan menekuk kakinya, dan 
dengan kaki yang satunya lagi menjejakkan ta-
nah. Tubuh Ki Buyut Kelana melejit ke atas se-
raya membuat gerakan salto yang indah mengejar 
kelebatan tubuh Ki Soma Jagat seraya menghu-
nuskan senjatanya. Telapak kirinya bersiap 
menghantamkan pukulan jarak jauh untuk men-
jaga segala kemungkinan yang terjadi.
Apa yang diduga pemuda itu memang menjadi 
kenyataan. Dalam keadaan terdesak seperti itu Ki 
Soma Jagat melepaskan pukulan jarak jauh ke 
arah lawan dengan mengerahkan segenap tenaga 
dalam yang dimilikinya.
“Hiyaaa...!”
Bersamaan dengan itu pula Ki Buyut Kelana 
memapaki pukulan lawan. Kepalan tangan ki-
rinya menghantam ke muka. Untuk beberapa saat 
terdengar benturan keras yang diiringi angin ken-
cang yang bersiur kencang laksana badai topan. 
Tubuh Ki Soma Jagat terpental beberapa langkah 
sambil menjerit keras. Dari mulutnya muncrat 
darah kental. Pada saat yang bersamaan dengan 
itu tubuh Ki Buyut Kelana telah kembali melesat 
ke arahnya dengan pedang terhunus.
“Keparat!” Ki Kartawijaya memaki geram. Tu-
buhnya melompat hendak memapaki serangan 
lawan guna menyelamatkan putranya. Namun lu-
ka dalam yang dideritanya akibat pertarungan

dengan Pendekar Pulau Neraka membuat gera-
kannya menjadi terhambat dan kurang gesit Se-
dangkan Ki Buyut Kelana agaknya tak bisa dice-
gah lagi, maka....
Bresss!
Trasss!
“Aaargkh...!”
Ki Soma Jagat menjerit tertahan. Ujung pedang 
lawan melesak menembus jantung. Tubuhnya 
bergerak sedikit, dan pelahan-lahan terlihat me-
mucat ketika darahnya seperti terisap habis ke 
batang pedang lawan.
Ki Buyut Kelana pun agaknya bertindak cepat 
Begitu serangan Ki Kartawijaya sedikit lagi men-
dekat, maka buru-buru dia mencabut pedang lalu 
sambil bergulingan menyambar senjata lawan. 
Pedang di tangan Ki Kartawijaya putus dan nyaris 
orang tua itu menjadi korban keganasan Pedang 
Setan yang terus meluncur menyambar lehernya 
kalau saja dia tak buru-buru memiringkan kepa-
la.
“Yeaaa...!”
Tubuh Ki Buyut Kelana terus mengejar orang 
tua itu. Ki Kartawijaya terkejut dan cepat bergu-
lingan menghindari sabetan pedang lawan yang 
bukan main lihai dan cepatnya. Beberapa orang 
muridnya mencoba membantu, namun pedang Ki 
Buyut Kelana lebih cepat lagi menyambar mereka.
Bret!
Crasss! 
“Aaa...!”

Empat orang kembali tewas disambar Pedang 
Setan, dan tubuh mereka pucat bagai tak berda-
rah. Ki Kartawijaya memanfaatkan kesempatan 
itu untuk menguasai diri. Namun begitu tubuh-
nya mencoba untuk melenting, Ki Buyut Kelana 
telah bergerak menyambar lawan dengan pedang 
di tangan. Orang tua itu tercekat dan berusaha 
mengelak. Namun dalam keadaan mengapung di 
udara, sulit baginya untuk menghindari diri. Sa-
tu-satunya cara yang bisa dilakukannya adalah 
menghantam lawan dengan pukulan jarak jauh. 
Dan hal itulah yang dilakukannya saat ini.
Tapi Ki Buyut Kelana pun agaknya telah mem-
perhitungkan hal itu. Terbukti ketika dia balas 
menghantam pukulan jarak jauh ke arah lawan. 
Terdengar suara keras ketika kedua pukulan 
dahsyat itu beradu. Angin bersiur kencang dan 
menerbangkan debu-debu serta menutupi tempat 
di sekitar itu dalam beberapa saat.
Jdarrr!
“Aaa...!” Keadaan Ki Kartawijaya sebenarnya 
tak memungkinkan baginya untuk mengerahkan 
tenaga dalam sepenuhnya. Kalau hal itu dilaku-
kannya sama artinya dengan bunuh diri, dan hal 
itulah yang terjadi pada orang tua itu. Tubuhnya 
terlempar dua tombak seraya memuntahkan da-
rah kental kehitaman. Belum lagi Ki Buyut Kelana 
mengirim serangan susulan, tubuh orang tua itu 
diam tak berkutik setelah menggelepar-gelepar 
beberapa saat lamanya.
“Pemuda durjana, terimalah pembalasan dari

kami!” bentak murid-murid Perguruan Camar Hi-
tam seraya mengepung pemuda itu beramai-
ramai. Dan menyerangnya bersamaan.
Tindakan mereka itu bukannya menimbulkan 
rasa gentar di hati Ki Buyut Kelana. Pemuda itu 
malah menyeringai lebar sambil mengibaskan pe-
dang.
“Kantong-kantong tak berguna, majulah kalian 
semua kalau ingin mampus! Ayo, siapa yang lebih 
dulu ingin kukirim ke akherat?!”
Setelah berkata demikian, pemuda itu melom-
pat ke arah lawan-lawannya sambil menyambar 
dengan pedang terhunus. Bisa diduga apa yang 
terjadi kemudian. Beberapa orang langsung tewas 
disambar senjata maut di tangannya. Tidak ada 
satu pun senjata lawan yang mampu menahan 
amukan pedangnya yang haus darah itu. Siapa 
saja yang mendekat dengannya, bisa dipastikan 
tewas hanya dalam waktu beberapa saat saja.
Bret! Crasss!
“Aaa...!”
Pekik tertahan saling susul-menyusul mengi-
ringi ambruknya tubuh murid-murid Perguruan 
Camar Hitam satu-persatu.
Mendadak pada saat itu melesat sebuah sinar 
keperakan ke arah batang pedangnya. Dengan 
spontan Ki Buyut Kelana menangkis.
Sring!
Trang!
“Hei...?!”
***

Bukan main kagetnya pemuda itu ketika senja-
tanya seperti menghantam tembok keras.
Selama ini tidak ada satu benda pun yang 
mampu menahan keampuhan Pedang Setan di 
tangannya. Tapi kali ini tangannya bergetar hebat 
seperti kesemutan ketika menghantam benda ke-
perakan yang melayang cepat tadi. Dengan kon-
tan pemuda itu menoleh dan melihat pemuda be-
rambut panjang telah berdiri di belakangnya pada 
jarak tujuh langkah. Pemuda yang memakai baju 
yang terbuat dari kulit harimau seperti dirinya itu 
memandangnya dengan sorot mata tajam. Di 
pundaknya terlihat seekor monyet kecil berbulu 
hitam. Dan di samping pemuda itu berdiri tegak 
seorang gadis cantik memakai pakaian serba pu-
tih. Ki Buyut Kelana sempat melihat benda apa 
yang tadi menahan pedangnya ketika pemuda itu 
menangkap sebuah senjata cakra bersegi enam 
berwarna keperakan.
“Hm, melihat dari senjatamu itu pastilah kau 
yang berjuluk Pendekar Pulau Neraka...,” ujarnya 
dengan nada dingin.
“Matamu sungguh tajam, Sobat! Apa yang kau 
katakan memang benar. Orang-orang menjuluki-
ku sebagai Pendekar Pulau Neraka...,” sahut pe-
muda yang tak lain dari Bayu Hanggara itu.
Kalau saja Ki Buyut Kelana merasa kaget kare-
na senjata Pendekar Pulau Neraka mampu mena-
han Pedang Setan di tangannya, maka hal itu pun 
dialami oleh Bayu. Dia merasa kaget ketika cakra 
mautnya tak mampu memapak putus pedang la

wan. Bahkan dari bunyi beradunya kedua senjata 
itu saja dia bisa menduga bahwa senjata lawan 
memang bukan pedang sembarang.
“Kakang Bayu, tidak salah lagi. Pedang itulah 
yang dimaksud Guruku...!” seru gadis di sebelah 
yang tak lain dari Ayu Laksmini.
“Hm, aku pun menduga demikian, Ayu...”
Sring!
Ayu Laksmini sudah langsung mencabut pe-
dang dan melompat ke hadapan Ki Buyut Kelana. 
Wajahnya garang dan ujung pedang di tangannya 
ditudingkan ke arah pemuda itu.
“Lekas berikan senjata itu, atau kutebas ba-
tang lehermu!” bentaknya mengancam.
Mendengar ancaman si gadis, Ki Buyut Kelana 
tersenyum mengejek.
“Gadis manis, sungguh besar nyalimu berkata 
begitu. Apakah kau mempunyai nyawa sambi-
lan?”
“Keparat! Kau sama sekali tak berhak atas 
benda itu. Pedang Setan adalah kepunyaan Eyang 
Dewa Ruci, guruku. Lekas berikan padaku atau 
nyawamu melayang saat ini juga!” bentak si gadis 
semakin garang diremehkan lawan begitu rupa.
“Hm, jadi kau murid Ki Dewa Ruci? Guruku 
pernah cerita kehebatannya. Dan sebagai murid-
nya kau tentu mewarisi kehebatannya. Sudah la-
ma sekali aku ingin berhadapan dengannya, tapi 
tidak juga kunjung bertemu. Kurasa dia takut 
mampus di tanganku dengan senjatanya sendi-
ri...!”

“Setan!” Bukan main geramnya Ayu Laksmini 
mendengar kata-kata pemuda itu. Sambil memaki 
geram, tubuhnya melompat menyerang lawan 
dengan menggunakan ilmu pedang yang dimili-
kinya.
“Yeaaa...!”
“Uts! Hm, boleh juga jurus ilmu pedangmu. 
Akan lebih hebat lagi kalau si Dewa Ruci sendiri 
yang memainkannya. Kau masih terlihat kaku 
dan kurang pengalaman. Hm, sungguh kurang 
beruntung aku tak bertemu langsung dengan-
nya,” ejek Ki Buyut Kelana sambil terus mengejek 
gadis itu.
“Pemuda ceriwis, anggap saja aku mewakili be-
liau untuk merobek mulutmu itu, yaaa...!”
Ayu Laksmini menyerang lawan sambil menge-
rahkan segenap kemampuan yang dimilikinya, 
namun pemuda itu dengan tenang terus meng-
hindar dan tak bermaksud membalas. Dengan si-
kapnya itu jelas dia ingin mempermainkan lawan.
Sementara itu melihat Pendekar Pulau Neraka 
dan gadis itu datang, serentak murid-murid Per-
guruan Camar Hitam menghentikan perlawanan 
mereka dan kini hanya memperhatikan dengan 
seksama pertarungan antara gadis itu dengan Ki 
Buyut Kelana.
Dan Bayu sendiri tadi hendak melarang gadis 
itu untuk turun tangan. Namun dia menyadari 
watak gadis itu yang keras kepala. Ayu Laksmini 
tentu tetap akan berkeras untuk menghajar pe-
muda itu. Maka dia hanya bisa memperhatikan

seraya menjaga segala kemungkinan yang akan 
terjadi. Dia sendiri sebenarnya menyadari meski 
kepandaian gadis itu tergolong hebat dan berba-
haya, namun jelas Ayu Laksmini sangat mentah 
sekali pengalaman bertarungnya. Hal itu terlihat 
jelas dari jurus-jurus ilmu pedang yang dimain-
kannya. Meski terlihat bahwa Ki Buyut Kelana 
asal-asalan menghindari serangan lawan, tapi ter-
lihat bahwa dia cukup hati-hati. Sebab sedikit sa-
ja lengah bukan tak mungkin pedang Ayu Laks-
mini akan mencelakainya!
Setelah sekian jurus berlangsung, kali ini terli-
hat Ki Buyut Kelana mulai balas menyerang.
“Cukup! Kini giliranku untuk menyerangmu. 
Lihat serangan ini!” bentak Ki Buyut Kelana sam-
bil mengibaskan pedang dan mendadak mener-
kam ke arah lawan.
Ayu Laksmini terkejut merasakan angin ken-
cang yang tajam dan berhawa panas menerpa di-
rinya. Tubuhnya melompat ke atas menghindari 
seraya menghantam pukulan jarak jauh ke arah 
lawan. Kelebatan sinar putih berhawa dingin me-
nyambar ke arah Ki Buyut Kelana.
“Yeaaa...!”
“Hiyaaat..!”
Jderrr!
“Uuuh...!”
Melihat gadis itu menghantamkan pukulan ke-
rasnya, Ki Buyut Kelana pun membalas. Bera-
dunya dua pukulan dahsyat itu menimbulkan su-
ara keras. Angin pukulan Ayu Lasmini buyar di

hantam pukulan jarak jauh lawan dan terus me-
nerobos menghantam gadis itu. Ayu Laksmini 
memekik nyaring. Tubuhnya terjungkal seraya 
mengeluarkan darah kental dari sudut bibirnya. 
Dalam keadaan demikian agaknya lawan tak ingin 
memberi kesempatan padanya. Tubuh Ki Buyut 
Kelana terus melompat mengejar dengan senjata 
terhunus ke arah Ayu Laksmini.
“Yeaaa...!”
Keadaan Ayu Laksmini memang sangat 
mengkhawatirkan sekali. Meski dia mampu 
menghindari dua atau tiga serangan lawan, na-
mun bisa diduga dia tak akan mampu bertahan 
dari lima kali serangan. Kalau saja saat itu Pen-
dekar Pulau Neraka tidak turun tangan meno-
longnya, niscaya kecemasannya hanya tinggal se-
saat lagi saja.
“Kisanak, hentikan seranganmu! Lihat pada-
ku...!”
***
Sriiing!
Tring!
“Yeaaa...!”
Cakra Maut Pendekar Pulau Neraka melesat 
kencang memapaki pedang Ki Buyut Kelana. Ter-
dengar bunyi berdenting nyaring yang diiringi 
percikan bunga api ketika kedua senjata itu bera-
du. Pedang di tangan Ki Buyut Kelana bergetar 
hebat seperti juga tangannya. Sedangkan laju Ca-
kra Maut Pendekar Pulau Neraka agak melenceng

ketika kembali ketangannya. Terpaksa Bayu me-
lompat mengejarnya. Namun pada saat itu juga Ki 
Buyut Kelana telah melompat menyerangnya.
“Uts!”
Bayu menundukkan kepala, dan ujung pedang 
lawan lewat beberapa inci dari ubun-ubunnya. 
Kepalan tangan kirinya menghantam ke arah da-
da. Namun dengan tangkas, lawan menahan se-
rangannya dengan tangkisan tangan kanannya.
Plak!
“Hiyaaat...!”
Keduanya berkerut menahan rasa sakit ketika 
kedua tangan mereka beradu. Agaknya dengan 
begitu Ki Buyut Kelana bisa menduga sampai di 
mana kekuatan tenaga dalam lawan. Dan mem-
buatnya untuk tidak berbuat gegabah. Apalagi ke-
tika satu tendangan kaki kanan lawan menyam-
bar ke arah lehernya. Ki Buyut Kelana bergerak 
ke kanan dan menangkis dengan tangan kirinya.
Bersamaan dengan itu pula pedang di tangan 
kanannya menyambar dengan gerakan meliuk-
liuk ke arah leher, dada, dan pinggang Pendekar 
Pulau Neraka. Bayu melompat ke belakang, na-
mun lawan mengikuti gerakannya dengan ujung 
pedang tetap mengancam tubuhnya.
“Yeaaa...!”
Siiing!
Tring!
“Hiyaaa...!”
Dalam keadaan terjepit begitu, Bayu mele-
paskan Cakra Mautnya. Senjata ampuhnya itu

melesat kencang mengejar lawan, namun dengan 
sigap Ki Buyut Kelana menangkis dengan senja-
tanya. Keduanya kembali berbenturan dan me-
nimbulkan suara berdenting nyaring diiringi per-
cikan bunga api. Ki Buyut Kelana kembali mera-
sakan telapak tangannya kesemutan, dan detak 
jantungnya semakin tak beraturan. Namun dia 
tak mau mempedulikan keadaan dirinya, dan su-
dah terus melompat menyerang lawan dengan ke-
kuatan penuh.
Tubuh Bayu melompat beberapa kali menyam-
bar Cakra Maut yang masih melayang di udara. 
Nyaris ujung pedang lawan menyambar ping-
gangnya kalau saja dia tak buru-buru melejit ke 
atas. Agaknya Ki Buyut Kelana menyadari akan 
kehebatan senjata lawan, untuk itulah dia menye-
rang ke dua arah sekaligus, yaitu menyambar 
Cakra Maut dan kemudian diteruskan menyabet 
pergelangan tangan kanan lawan.
Namun agaknya Bayu menyadari hal itu se-
hingga dia memperhitungkan baik-baik kapan ha-
rus melepaskan Cakra Maut, dan berapa lama 
waktu yang diperlukannya untuk menangkap 
senjatanya kembali dengan serangan-serangan 
yang dilakukan oleh lawan.
“Yeaaa...!”
Ki Buyut Kelana mencoba menyambar perge-
langan tangan lawan ketika Cakra Maut yang di-
lepaskan Pendekar Pulau Neraka meleset dari sa-
saran. Tubuhnya bergulung-gulung menghindari 
kehebatan pedang lawan yang bukan main dah

syatnya. Kemudian dengan sekali sentak, tubuh-
nya melejit ke atas menyambar Cakra Maut yang 
bergerak ke arahnya. Pada saat bersamaan tubuh 
Ki Buyut Kelana mengejar dari bawah dan men-
coba memapas kedua kakinya. Namun dengan 
gesit Bayu menekuk kedua kakinya dan mele-
paskan Cakra Maut di tangannya ke arah leher 
lawan.
Siiing!
Crasss!
“Aaarkh...!”
Kejadian itu cepat sekali berlangsung dalam ja-
rak dekat Cakra Maut melesat bagai kilat dan tak 
mampu ditahan lawan. Ki Buyut Kelana hanya 
mampu berteriak tertahan ketika senjata maut 
lawan menyambar lehernya. Kepala pemuda itu 
menggelinding ke tanah, dan darah muncrat dari
pangkal lehernya!
Semua orang yang berada di tempat itu mena-
han napas karena ngeri melihat apa yang terjadi 
dengan Ki Buyut Kelana. Namun dengan tenang 
Bayu mendekati lawan dan mengambil pedang 
dalam genggaman tangannya. Pemuda itu mena-
rik napas dalam-dalam, dan menghembuskannya 
pelahan-lahan. Ada hawa panas yang hendak 
menerobos lewat pembuluh darahnya ketika Pe-
dang Setan digenggamnya erat-erat Hawa panas 
yang menimbulkan amarah dan kegarangan. Na-
mun dengan kekuatan tenaga batinnya dia beru-
saha menekan pengaruh jahat itu dan menguasai 
senjata itu dengan tenang.

Bayu memandang ke sekeliling tempat, kemu-
dian berkata pelan.
“Pedang Setan ini telah membawa bencana, 
dan tidak sembarangan orang mampu meme-
gangnya dengan baik. Kalau sampai jatuh ke tan-
gan yang salah maka keangkaramurkaan akan 
melanda dunia. Oleh sebab itu dia akan aman bi-
la berada di tangan pemiliknya. Aku akan menye-
rahkan pedang ini ke tangan Ki Dewa Ruci. Ada-
kah di antara kalian yang mencoba merampasnya 
dari tanganku?”
Seluruh murid-murid Perguruan Camar Hitam, 
juga Nini Wiyadara yang tengah duduk bersila 
mengatur pernapasan dan jalan darahnya guna 
menyembuhkan luka dalamnya, diam membisu. 
Tidak ada seorang pun dari mereka yang berani 
bertindak. Bisa jadi setelah melihat sepak terjang 
pemuda itu mereka merasa ngeri. Pemuda ini tak 
kalah sadisnya dengan Ki Buyut Kelana. Meski 
dia tak sembarang membunuh orang, tapi dia tak 
segan-segan memancung kepala siapa saja yang 
mencoba mengancam keselamatan dirinya.
Setelah melihat tak ada reaksi dari mereka, pe-
lahan-lahan pemuda itu menghampiri Ayu Laks-
mini setelah menggendong monyet berbulu hitam 
yang tak lain dari Tiren, teman kesayangannya 
itu.
“Ayu, pedang ini telah berada ditanganku dan 
kita akan bersama-sama menyerahkannya pada 
gurumu....”
“Eh, terima kasih. Tapi.... Tapi apakah tidak

merepotkanmu, Kakang Bayu...?”
“Maaf, bukannya aku tak percaya padamu. Ta-
pi Pedang Setan ini memang bukan sembarang 
pedang. Diadakan mempengaruhi siapa saja yang 
memegangnya untuk menimbulkan keangkara-
murkaan dalam dirinya. Dalam keadaan dirimu 
yang tengah terluka dalam begini, tentu akan 
berbahaya pula bagi dirimu....”
“Tidak apa, Kakang. Aku percaya padamu....”
“Terima kasih. Bagaimana keadaanmu seka-
rang...?” tanya Bayu seraya memeriksa nadi di 
tangan gadis itu.
“Agak baik, Kakang...,” sahut gadis itu merasa 
jengah dengan suara lirih. Seumur hidupnya be-
lum pernah tangannya diremas seorang pemuda, 
meski pada saat itu Bayu tengah memeriksa urat 
nadinya. Dan hal itu membuat tubuhnya merasa 
panas dingin.
“Hm, memang tidak terlalu parah...,” sahut 
Bayu bergumam pelan seraya mengangguk kecil.
“Kakang, apakah kita akan berangkat seka-
rang?”
“Apakah kau sudah merasa kuat?” tanya Bayu 
balik bertanya.
“Jangan khawatir, aku masih mampu berlari 
ribuan tombak lagi!” sahut gadis itu cepat seraya 
tersenyum kecil.
“Baiklah, kita berangkat sekarang...,” sahut 
Bayu seraya berjalan lebih dulu.
Ayu Laksmini kesal juga hatinya. Pemuda itu 
tak acuh sama sekali padanya. Apakah dia tak

punya perasaan? Tidak bisakah berbasa-basi 
dengan mengajaknya, atau menggandeng tangan-
nya, lalu tersenyum kecil? Tapi malah cepat pergi, 
gumamnya dalam hati. Ayu Laksmini cepat-cepat 
menyusul Bayu dan berusaha menyamai lang-
kahnya. Dan sepanjang perjalanan, lagi-lagi dia 
merasa kesal karena pemuda itu terlalu serius, 
dan jarang tersenyum, apalagi berkelakar! Tapi 
entah kenapa, meski begitu dia suka sekali melihat pemuda itu.


                              SELESAI



















Share:

0 comments:

Posting Komentar