IRAMA PENCABUT
NYAWA
Oleh: Teguh S.
Cetakan pertama, 1992
Penerbit Sanjaya Agency, Jakarta
Setting oleh: Trias Typesetting
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini.
tanpa izin tertulis dari penerbit.
SATU
Hari belum lagi gelap ketika Bayu tiba di se-buah
desa. Dari papan nama yang terpampang di perbata-
san dia mengetahui bahwa desa ini bernama Jaranan.
Tapi sungguh aneh, dari pertama tiba dia tak melihat
satu manusia pun berkeliaran. Desa ini, sepi seperti
tak berpenghuni. Obor-obor yang biasanya menyala di
depan rumah belum menyala. Pemuda berambut gon-
drong itu mengerutkan dahi melihat suasana itu.
"Hmmm... kenapa desa ini? Apakah tidak berpeng-
huni?" tanya Bayu di dalam hatinya.
"Nguuuk."
"Apakah kau yakin desa ini tak berpenghuni, Ti-
ren?" tanya Bayu sambil berpaling menatap Tiren.
Monyet kecil berbulu hitam yang sejak tadi berada
di pundaknya berteriak pelan. Namun agaknya Bayu
telah mengerti betul arti dari suaranya itu.
"Ya, kau benar. Aku pun merasakan bahwa mereka
sepertinya sedang dilanda ketakutan. Tapi apakah ka-
rena kedatangan kita?"
"Nguk! Nguk!"
"Hmm..., tidak mungkin. Kalau pun mereka takut
itu pasti karena melihat tampangmu yang lucu!" goda
Bayu sambil tersenyum melirik sahabat kecilnya.
Monyet kecil itu agaknya mengerti bahwa Bayu
menggodanya. Tangannya langsung menjewer telinga
Pendekar Pulau Neraka.
"Hei, jangan keras-keras! Telingaku bisa copot nan-
ti!" teriak Bayu sambil terkekeh.
"Kaaak...!"
"Ha ha ha ha...!"
"Nguk! Nguk!"
Tiren tampak bersungut-sungut sambil mele
paskan jewerannya. Bayu masih terkekeh. Tapi tiba-
tiba wajahnya berubah serius ketika mendengar tangis
bayi dari salah satu rumah.
"Kau dengar, Tiren? Sepertinya ada suara tangis
bayi. Coba kita ketuk pintu rumahnya. Siapa tahu me-
reka mau berbaik hati memberikan tumpangan mengi-
nap buat kita," kata Bayu sambil melangkah pelan ke
arah suara tangis bayi yang didengarnya tadi.
Dari luar terlihat cahaya penerangan dari dalam
rumah yang baru saja dinyalakan. Masih terdengar
suara sang ibu yang berusaha mendiamkan bayinya
yang semakin rewel.
Bayu berdiam diri beberapa saat menunggu suasa-
na reda. Tapi yang ditunggu tak kunjung tiba. Tangis
bayi itu semakin keras.
. "Diamkan anakmu! atau kau ingin si keparat itu
menuju ke sini?" terdengar bentakan dari dalam.
"Iya, iya... aku juga sedang mendiamkannya. Kena-
pa kau sekarang jadi pemarah begitu?"
"Apakah kau ingin kita semua celaka...?"
"Kenapa musti begitu? Kita tak punya sesuatu yang
bisa diambilnya."
"Jangan banyak bicara, Karsih! Semua orang men-
getahui bahwa si keparat itu tak memilih-milih bulu.
Sekarang kau bisa mendiamkan anakmu atau kita
menjadi pusat perhatiannya?"
Tak terdengar sahutan dari suara perempuan tadi
selain suara bujukan yang ditujukan pada bayinya.
Bayu jadi tak enak hati untuk mengetuk pintu rumah
itu. Dia ingin berbalik namun kakinya tersandung
bangku kecil.
"Brak!"
"Siapa...?!"
Terdengar bentakan dari dalam. Bayu sengaja tak
menyahut dan menempelkan telunjuk ke bibir untuk
memberi isyarat pada sahabat kecilnya yang bernama
Tiren untuk tidak mengeluarkan suara.
"Sebaiknya kita buru-buru saja meninggalkan ru-
mah ini," bisiknya sambil melangkah pelan.
"Bedebah! Jangan kira kami takut padamu. Ayo,
tunjukkan dirimu di hadapanku!"
Tiba-tiba saja pintu terbuka dan dari dalam keluar
seorang laki-laki berusia muda menggenggam golok di
tangan. Wajahnya terlihat garang penuh kemarahan.
Bayu terkesiap tak sempat menghindar. Dia hanya
bisa menggerakkan tangan sambil tersenyum berusaha
menjelaskan.
"Maaf Ki sanak, kami tak bermaksud mengganggu
ketenangan kalian. Tadinya kami bermaksud menum-
pang menginap tapi karena suasananya mungkin tidak
mengijinkan, baiklah kami pergi saja..."
"Huh? Siapa yang percaya pada mulut manis-mu?
Di depan kau katakan akan pergi. Tapi. di belakang
kau akan membokong diam-diam!"
"Ki sanak, harap tidak menuduhku yang bukan-
bukan. Kami berdua sama sekali tak bermaksud bu-
ruk...."
"Phuih! Kau kira aku takut padamu? Orang-orang
boleh takut padamu tapi jangan harap padaku. Walau
kau bermulut manis sekalipun aku tak perduli. Hari
ini biar kita tentukan, kau atau aku yang akan mam-
pus!"
Setelah berkata begitu, pemuda tadi langsung me-
nyerang Bayu.
"Yeaaah...!"
"Uts! Sabar, Ki sanak. Sabar...."
"Telah cukup lama kami bersabar tapi kali ini tidak
lagi!"
"Ada persoalan apa sebenarnya?" tanya Bayu sam-
bil berkelit menghindari serangan orang itu yang mem
babi buta.
"Phuih! Masih bisa juga kau berkelit dari per-
buatan terkutukmu dengan berpura-pura bodoh. Ta-
nyakan nanti pada setan-setan di neraka sana!"
Bayu menggeleng-gelengkan kepala melihat si-kap
orang itu. Tak ada angin tak ada hujan tiba-tiba saja
dia diserang dan dituduh macam-macam. Tentu saja
pemuda yang bergelar Pendekar Pulau Neraka terhe-
ran-heran.
Melihat dari gerakan orang itu agaknya dia memili-
ki sedikit kepandaian ilmu silat. Tapi dari beberapa ge-
rakan saja Bayu cepat menyadari bahwa kepandaian
pemuda itu tak seberapa. Lebih-lebih saat dia sedang
kalap seperti sekarang. Gerakannya tak teratur, se-
hingga dalam satu kesempatan mudah saja bagi Bayu
untuk menangkis serangan-serangannya.
"Hiyaaa...!"
"Plak!"
"Bet!"
"Maaf, Ki sanak. Aku tak bermaksud mencelakai-
mu tapi golokmu ini bisa menimbulkan korban, se-
baiknya jangan kau pergunakan," kata Bayu sambil
menangkap pergelangan tangan lawan dan menarik
senjata pemuda itu hingga terlepas dari genggaman.
"Yeaaah...!"
Walau goloknya telah berpindah ke tangan Bayu
dan pergelangan tangannya ditangkap si Pendekar Pu-
lau Neraka, pemuda itu bukannya takluk dan menye-
rah. Kepalan tangan kirinya langsung menghajar Bayu.
Melihat hal itu bukan main geramnya Pendekar Pu-
lau Neraka. Sambil memiringkan tubuh, tangan ka-
nannya cepat menangkis. Dan sebelah kakinya lang-
sung menyapu kaki lawan. Tak ampun lagi, pemuda
itu terbanting dengan keras.
"Gusrak!"
Sambil mengeluh pelan dia berusaha bangkit. Ber-
samaan dengan itu seorang perempuan muda berwa-
jah cantik berlari dari arah dalam. Sambil menggen-
dong bayi dalam pangkuannya, wanita itu menjerit
dengan wajah cemas.
"Oh, Kakang...! Apa yang terjadi padamu...?!"
Wanita itu begitu cemas sampai dia berteriak den-
gan suara yang agak keras dan memilukan hati. Pa-
dahal pemuda yang tak lain dari suaminya tidak men-
galami cedera berat. Entah karena suaranya tiba-tiba
saja beberapa penduduk desa keluar dari rumah sam-
bil menghunus senjata di tangan. Wajah mereka terli-
hat garang memandang ke arah Bayu. Salah seorang
coba meyakinkan pemuda yang tadi berhadapan den-
gan Pendekar Pulau Neraka.
"Kau tidak apa-apa, Kardi?
*
* *
"Syukurlah kalian cepat datang. Aku tidak apa-
apa."
"Hmm..., Ki sanak. Kalau kau bermaksud jahat
terhadap orang-orang di desa ini pergilah cepat sebab
kami tak sudi kau perlakukan sesuka hatimu," kata
seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun
dengan suara dingin.
Bayu semakin tak enak hati saja melihat sua-sana
itu. Dipandanginya mereka sekilas, dan tak satu pun
dari wajah-wajah itu yang menunjukkan sikap bersa-
habat. Semuanya berwajah geram dan penuh kegaran-
gan. Rasanya bila ada satu perintah yang keluar dari
mulut seseorang maka laksana air bah mereka akan
menyerbu ke arahnya.
"Ki sanak, kejadian ini barangkali cuma salah paham. Kedatanganku ke sini sama sekali tak bermak-
sud buruk."
"Dusta! Dia telah mencelakakan Kang Kardi!" ben-
tak wanita yang sedang menggendong bayinya itu den-
gan wajah sengit.
"Kalau aku bermaksud mencelakakan dirinya, apa-
kah suamimu bisa bangkit lagi, Nyai?" tanya Bayu
dengan suara lunak.
"Huh! Kau hanya berpura-pura saja! Melihat diri-
mu telah terkepung maka nyalimu berubah ciut. Tapi
hari ini jangan harap mereka percaya dengan mulut
manis mu!"
Bayu menghela nafas pendek. Tuduhan wanita itu
sungguh tidak beralasan sama sekali selain dari fitnah
yang ingin dilontarkan pada dirinya. Lagipula bila dia
terus menjawab dan berusaha mengelak, keadaan
akan semakin keruh. Dan bisa jadi tuduhan mereka
akan semakin kuat bahwa dia adalah tamu yang
membuat malapetaka bagi seluruh penduduk desa ini.
Berpikir begitu Bayu bermaksud membalikkan tu-
buh. Namun bersamaan dengan itu beberapa orang
pemuda desa bergerak mengepungnya dengan sikap
mengancam.
"Ki sanak, aku telah jelaskan bahwa ini cuma salah
paham belaka kenapa harus dibuat menjadi begini?
Kedatanganku ke sini cuma bermaksud menumpang
menginap tapi ternyata mereka salah paham, dan aku
sama sekali tak bermaksud mencelakai suami wanita
ini melainkan untuk membela diri. Nah, karena keha-
diranku ternyata tak dikehendaki, ijinkanlah aku me-
ninggalkan desa ini," kata Bayu menjelaskan.
"Hmm... apakah bisa kupercaya kata-katamu?"
tanya laki-laki setengah baya tadi yang agaknya begitu
dihormati oleh orang lain.
"Aku tak memaksamu untuk percaya, Ki sanak.
Apa yang kukatakan tadi adalah hal yang sebenarnya,"
sahut Bayu.
"Ki Sentanu, bajingan ini tak boleh dipercaya! Dia
akan membuat keonaran kalau tidak kita adili seka-
rang juga. Akan banyak lagi korban yang jatuh karena
ulahnya. Apakah akan dibiarkan pergi begitu saja...?"
Laki-laki yang dipanggil Ki Sentanu itu menoleh
pada wanita yang sedang menggendong bayinya. Ke-
mudian dengan suara lunak dia bertanya.
"Nyi Karsih, sebagai kepala desa aku punya kewaji-
ban untuk menentukan persoalan salah atau tidak
menyangkut keamanan desa. Memang betul kita harus
curiga pada setiap pendatang asing. Apa lagi sejak ke-
kacauan yang melanda desa tetangga kita belum lama
ini. Tapi bukan berarti kita harus menuduh setiap
orang yang datang ke desa ini adalah pengacau sebe-
lum melihat bukti yang jelas," jawab Ki Sentanu den-
gan sikap arif.
Laki-laki yang ternyata adalah kepala desa Jaranan
kemudian memalingkan wajah ke arah Bayu.
"Nah, Ki sanak. Sebelum mereka berubah pikiran,
sebaiknya cepatlah kau tinggalkan desa ini. Kami tak
bermaksud mengusirmu tapi setiap pendatang asing di
desa ini patut dicurigai sejak terjadinya peristiwa keo-
naran di beberapa desa. Terlebih-lebih seorang pemu-
da sepertimu.
Tadinya Bayu bermaksud ingin minta pen-jelasan.
Namun melihat sikap mereka yang tak bersahabat dia
mengurungkan niat dan bermaksud meninggalkan de-
sa itu secepatnya.
Belum lagi Bayu berjalan sepuluh langkah se-
konyong-konyong terdengar jeritan panjang dari se-
buah rumah yang berada di ujung desa. Semua yang
berada di tempat itu memalingkan wajah dan melihat
kepulan asap dan nyala api yang membakar rumah
penduduk.
"Apa kataku! Si keparat ini ternyata tak datang
sendiri!" teriak wanita yang sedang menggendong bayi
pada Ki Sentanu.
"Tangkap pemuda itu, dan sebagian segera ke sa-
na!" perintah Ki Sentanu cepat.
"Yeaaah...!"
"Mampuslah kau lebih dulu, Keparat!"
Dengan amarah yang meluap beberapa orang pen-
duduk desa yang sejak tadi telah menunjukkan sikap
bermusuhan menyerang Bayu, sementara yang lainnya
mengikuti Ki Sentanu ke arah kebakaran itu.
"Tunggu! Kalian salah menilai orang."
Ucapan si Pendekar Pulau Neraka terputus ke-tika
ujung senjata mereka bertubi-tubi menghantam ke
arahnya. Terpaksa Bayu berkelit ke sana ke mari
mempertahankan selembar nyawanya. Pemuda beram-
but gondrong itu bukan main kesalnya melihat sikap
orang-orang ini. Namun walau demikian dia sedikit
mengerti akan kecurigaan mereka terhadap orang as-
ing, serta kecemasan akan malapetaka yang bakal me-
nimpa meski dia tak mengerti apa itu sebenarnya.
Tapi dia pun tak bisa menghindar terus-terusan
dengan cara begini. Walau orang-orang itu sama sekali
bukan lawan yang sepadan, lama-kelamaan tentu dia
akan kehabisan nafas. Atau paling tidak akan terluka.
Lagipula dia bukan termasuk orang yang sabar. Lebih-
lebih diperlakukan begitu. Maka dengan kesal Bayu
mulai membalas.
"Orang-orang picik tak tahu diri! Kalian kira den-
gan membunuhku malapetaka tak akan mengganggu
kalian lagi? Huh!"
"Hiyaaa...!"
"Plak!"
"Duk!"
"Ugkh!"
Sekali Bayu berkelebat, lima buah golok berhasil
dirampasnya, dan sebagian lain dihajarnya hingga ter-
lepas dari genggaman Lalu ketika tubuhnya kembali
berkelebat dengan kecepatan yang sulit diikuti mata,
para pengeroyoknya mengeluh kesakitan. Tubuh me-
reka terpental sambil mendekap perut.
"Kalian uruslah diri kalian sendiri. Aku akan pergi
dari sini!" desis Bayu sambil melemparkan golok-golok
di tangannya.
Pendekar Pulau Neraka itu bermaksud berkelebat
dari situ secepatnya. Tapi monyet kecil berbulu hitam
yang sejak tadi berada di pundaknya, melompat dan
menunjuk-nunjuk sesuatu sambil berteriak.
"Nguk! Nguk!"
"Sudahlah, Tiren. Untuk apa menolong orang yang
akan mencelakakan kita. Biar sekalian mereka mam-
pus dimakan api!" dengus Bayu kesal.
"Kaaakh…!"
"Aaaakh...!"
"Tolooong...!"
*
* *
Bayu tersentak kaget. Dalam sekejap kebakaran
tadi semakin meluas. Dan orang-orang yang berada di
dalam rumah serabutan lari keluar menyelamatkan di-
ri sambil berteriak-teriak ketakutan. Suara itu diting-
kahi oleh jerit kematian dan gelak tawa dari segerom-
bolan orang-orang berwajah seram.
"Nguk!"
"Iya, aku tahu dan kali ini biarlah mengalah. Lagi-
pula toh mereka orang-orang desa yang tak memiliki
kepandaian apa-apa. Mana mungkin aku bisa mem
biarkan pembantaian terhadap si lemah terjadi di de-
pan mataku," sahut Bayu ketika monyet kecil saha-
batnya menarik-narik tangannya.
"Kaaakh...!" Tiren menjerit senang.
Sambil menggendong sahabatnya, Bayu langsung
menggenjot tubuh dengan menggunakan. ilmu lari ce-
patnya menuju peristiwa yang dilihatnya dari jarak
jauh.
Apa yang diduganya memang terbukti. Segerombo-
lan orang sedang membuat kekacauan di desa ini. Me-
reka merampok dan membakar beberapa buah rumah.
Beberapa orang penduduk mencoba mempertahankan
hak mereka. Tapi sebagian tewas bergelimpangan da-
rah dihajar gerombolan itu. Sementara di sudut lain
terlihat beberapa orang wanita sedang diseret ke balik
semak-semak oleh beberapa orang laki-laki berwajah
kasar.
"Bedebah laknat! Perbuatan mereka betul-betul se-
perti binatang!" maki Bayu.
Tubuh Pendekar Pulau Neraka langsung me-lompat
dan menghajar orang-orang yang hendak melakukan
perbuatan mesum terhadap wanita-wanita desa.
"Hiyaaa...!"
"Begkh!"
"Aaa...!"
"Siapa kau?!"
Melihat serangan Bayu yang sangat mengagetkan,
tentu saja membuat kawan-kawannya yang lain sangat
terkejut. Dan sekejap mereka melihat beberapa orang
terpental sambil memuntahkan darah dari mulutnya.
Salah seorang bertubuh besar yang agaknya kepala ge-
rombolan itu langsung membentak garang.
"Huh! Peduli apa kau tahu siapa aku. Yang jelas
aku adalah malaikat maut yang akan menendang ka-
lian ke neraka!" sahut Bayu sambil mendengus sinis.
"Keparat...! Rupanya ada juga orang yang sok be-
rani jadi pahlawan di hadapanku. Hei, bocah! Mungkin
kau belum mendengar nama Rampok Sungai Alur.
Nah, kamilah orangnya! Sebelum kupecahkan kepala-
mu dengan gada berduri ku ini, bersujudlah minta
ampun. Siapa tahu akan berbaik hati mengampuni ji-
wamu!" bentak orang bertubuh besar itu sambil men-
gacungkan senjatanya yang berupa gada berduri ber-
bentuk buah kelapa di ujungnya.
"Ha ha ha ha...! Menyerahlah kau, Bocah. Atau ke-
palamu akan kami rencah beramai-ramai!" sambut
anak buah Rampok Sungai Alur sambil tertawa berge-
lak.
"Kaaakh...!"
Mendengar itu monyet kecil di pundak pemuda be-
rambut gondrong itu memekik nyaring sambil menju-
lurkan lidahnya mengejek kawanan Itu.
"Ha ha ha ha...! Kau lihat, Tiren? Wajahmu lebih
cantik ketimbang mereka, dan sikapmu lebih baik dari
mereka. Kata apakah yang lebih pantas untuk mereka
selain dari binatang berujud manusia?" ejek Bayu
sambil terkekeh.
"Bedebah! Rupanya kau ingin mampus, Bocah!
Anak-anak, rencah bocah keparat itu!" teriak kepa-
la Rampok Sungai Alur dengan wajah geram.
"Yeaaah...!"
*
* *
DUA
Tanpa membuang waktu lagi kawanan Rampok
Sungai Alur langsung menyerang Bayu bertubi-tubi.
Tapi dengan gerakan yang sangat mantap sekali, pe-
muda berambut gondrong yang bergelar Pendekar Pu-
lau Neraka langsung menyambutnya. Terhadap mereka
yang jelas-jelas telah menunjukkan niat jahatnya, dan
kini malah ingin merencahnya beramai-ramai, tentu
saja Pendekar Pulau Neraka tak bertindak setengah-
setengah. Kekesalannya yang tadi ditumpahkan pada
para pengeroyoknya.
"Hiyaaa...!"
"Begkh!"
"Duk!"
"Aaaa...!"
Dengan gerakan yang begitu cepat dan sulit diikuti
oleh pandangan mata biasa, Bayu berkelit dari seran-
gan lawan dan balas menyarangkan pukulan dengan
telak. Tak ampun lagi, sekali dia bergerak lima orang
anak buah Rampok Sungai Alur terpental sambil me-
muntahkan darah segar.
"Keparat! Rupanya kau memiliki kepandaian juga,
heh...! Pantas berani berlagak di hadapanku. Tapi
mengganggu urusan Rampok Sungai Alur kau sung-
guh gagah, bocah. Aku Weling Ijo yang akan merencah
batok kepalamu!" bentak kepala Rampok Sungai Alur
itu sambil melompat dan mengayunkan senjatanya.
Bersamaan dengan itu seluruh anak buahnya se-
perti melupakan tujuan mereka semula dan sudah ikut
terjun mengeroyok pemuda itu. Agaknya kemarahan
pimpinan mereka yang bernama Weling Ijo membuat
kemarahan mereka pada Bayu semakin bertambah.
Dan barangkali juga merupakan isyarat bila Weling Ijo
telah menggempur lawan berarti mereka harus mem-
pertaruhkan nyawa demi membuat musuh binasa.
"Yeaaah...!"
"Hiya...!"
Untuk sesaat Bayu agak terkesiap melihat cara me
reka bertarung. Serangan-serangan mereka membabi
buta tapi tidak menjadikan gerakan mereka kacau ba-
lau. Sepertinya serangan itu memang ditujukan untuk
penyerangan bersama dan dengan Weling Ijo sebagai
ujung tombak yang sangat berbahaya. Terlebih-lebih
dengan senjata gada berdurinya yang mengancam ke-
selamatan siapa saja yang menjadi lawannya.
"Sekarang jangan harap kau bisa lari dariku!" den-
gus Weling Ijo sambil tersenyum sinis melihat Bayu tak
berkutik untuk membalas serangan mereka.
Tapi kalau Pendekar Pulau Neraka belum memba-
las serangan gencar itu, bukan berarti bahwa dia tak
mampu membalas. Diam-diam Bayu mengagumi bari-
san serangan yang mereka lakukan. Begitu teratur dan
kompak. Salah seorang menyerang, maka ketika dia
menghindar dari serangan balasan Bayu, seorang ka-
wannya telah langsung menyerang dari arah lain. Begi-
tu seterusnya. Kalau saja rata-rata mereka memiliki
ilmu silat dan tenaga dalam tinggi, niscaya tentu Pen-
dekar Pulau Neraka itu akan berhadapan dengan la-
wan yang amat tangguh.
Namun ilmu silat yang mereka miliki masih jauh di
bawahnya. Dan jika ada yang bisa diperhitungkan itu
cuma. Weling Ijo, kepala Rampok Sungai Alur. Dan ke-
tika orang bertubuh besar itu mengejeknya demikian,
Bayu cuma tersenyum sinis.
"Siapa yang sudi lari darimu? Aku bahkan ingin
melihat kalian lari terbirit-birit!" balas Bayu sambil ter-
senyum tipis seperti mengejek.
"Hiyaaaa...!"
"Sing!"
"Heh! Cakra Maut...?!
Weling Ijo tersentak kaget ketika melihat lawannya
mengibaskan sebelah tangan ke atas. Pada saat itu ju-
ga melesat sebuah benda bersinar keperakan yang
mendesing cepat bagai kilat menyambar kawanan itu.
"Crab! Crab!"
"Aaa...!"
"Berhenti!" bentak Weling Ijo lantang menggelegar.
Kepala Rampok Sungai Alur mendatangi beberapa
orang anak buahnya yang tewas disambar senjata
maut yang melesat dari tangan pemuda gondrong ber-
baju kulit harimau itu. Kemudian dengan wajah penuh
tanda tanya dia berpaling pada Bayu.
"Ki sanak, siapa kau sebenarnya? Di dunia ini se-
tahuku cuma dua orang yang memiliki senjata itu, yai-
tu si Cakra Maut yang bernama Gardika, dan belakan-
gan seorang pemuda bergelar Pendekar Pulau Neraka.
Melihat usiamu tentu kaulah yang bergelar Pendekar
Pulau Neraka. Apakah dugaanku benar?" tanya Weling
Ijo dengan suara yang lebih lunak.
"Hmm... sebenarnya aku tak suka menyebutkan
nama sekedar untuk pamer. Tapi dugaanmu benar,
Weling Ijo. Orang-orang menyebutku Pendekar Pulau
Neraka," sahut Bayu.
"Tak sangka, ternyata kali ini kami terbentur den-
gan batu cadas. Ki sanak, maafkan kelancangan ka-
mi...."
"Ki sanak, maaf... aku tak mengerti ke mana arah
pembicaraanmu?"
"Hm... begini. Mengingat nama besarmu, biar-lah
kami mengalah dan menyudahi urusan sampai di si-
ni...."
"Begitu lebih baik. Aku pun sebenarnya lebih me-
nyukai penyelesaian cara begini...."
Namun ketika Weling Ijo mengajak anak buah-nya
untuk segera berlalu dari tempat itu, salah seorang
penduduk desa cepat-cepat membuka suara sambil
menatap Bayu. Tapi jelas sekali kalau bicaranya ditu-
jukan pada Weling Ijo.
"Ki sanak, orang seperti mereka tak bisa di-biarkan
begitu saja. Kalau benar Ki sanak seorang pendekar
yang digdaya yang ternama, sudah sepatutnya mence-
gah perbuatan-perbuatan mereka yang biadab. Kalau
mereka dibiarkan pergi, maka akan banyak lagi keka-
cauan yang mereka perbuat."
Bukan main geramnya Weling Ijo mendengar kata-
kata itu. Kalau saja di situ tidak ada Pendekar Pulau
Neraka, mungkin tubuhnya akan langsung melompat
dan merobek mulut orang itu, tapi kali ini dia cuma
berbalik dan menatap Bayu seperti menanti keputusan
pemuda berbaju kulit harimau.
"Ki sanak semua, aku tak berhak mengadili orang
yang sudah mengadakan perdamaian. Siapakah yang
bisa menduga apa yang mereka lakukan esok hari? Be-
lum tentu mereka melakukan kejahatan. Lalu apakah
aku harus menghukum orang-orang yang belum keli-
hatan bersalah? Kurasa hari ini telah cukup. Beberapa
orang penduduk desa telah tewas, tapi di pihak mereka
pun banyak yang tewas. Dan mereka telah mengemba-
likan harta benda kalian semua. Kalau mereka mem-
punyai maksud begitu, bagaimanakah aku harus
menghukum? Lagipula bukan kewajibanku untuk
menghukum mereka," sahut Bayu.
Tapi jawaban itu ternyata belum memuaskan me-
reka. Sebagian penduduk masih menggerutu kesal.
Saat itulah terdengar suara keras dengan nada-nada
bersyair mengalun dari kegelapan cabang-cabang po-
hon.
*
* *
Wahai, sungguh nikmat kejahatan Yang berampun
dengan kecemasan hati semua orang. Kalau kebaikan dibalas dengan kejahatan. Manakah kebaikan
dan kejahatan yang terang ?
Semua yang berada di bawah serentak mendon-
gakkan wajahnya ke atas.
Pada sebuah cabang pohon yang agak tinggi terli-
hat seorang pemuda berambut gondrong dengan wajah
tampan. Di tangannya terlihat sebuah seruling yang
tadi dimainkannya sejenak. Pakaian yang dikenakan
indah dan tampaknya terbuat dari sutera halus ber-
warna kuning bercampur merah.
"Siapa kau, Ki sanak. Dan apa maksud perkataan
mu tadi?!" tanya Weling Ijo membentak.
Meski kepala Rampok Sungai Alur itu bukan-lah
orang pintar, tapi dia tak bodoh. Perasaaannya menga-
takan bahwa syair pemuda itu menyindir dirinya.
"Namaku tak penting, Weling Ijo. Yang paling pent-
ing saat ini adalah melihat kepengecutan se-
seorang...." sahut pemuda itu terkekeh kecil.,
Bukan main geramnya Weling Ijo. Jelas sudah
bahwa kata-kata itu ditujukan kepadanya. Tapi dia
masih mampu menahan amarahnya dan coba mereda-
kan suasana.
"Ki sanak, di antara kita tak ada persoalan apa-
apa. Kalau kau tak punya kepentingan maka kami
akan segera berlalu dari sini."
"Ha ha ha ha...! Setelah membuat kerusuhan ka-
lian akan berlalu begitu saja? Ki sanak, tanyakan pada
semua penduduk desa ini apakah mereka rela mele-
paskan kalian begitu saja. Kalau mereka tak setuju,
biarlah aku mewakili mereka untuk memberi hukuman
pada kalian!" Mendengar kata-kata itu, serentak seba-
gian besar penduduk desa menimpali dan mendukung
kata-kata pemuda itu.
"Akuuur...! Mereka harus mendapat ganjaran yang
setimpal!"
"Orang-orang ini harus dibuat mampus!"
"Biang pengacau harus dibasmi sampai habis!"
"Nah, kalian dengar mereka? Ternyata aku harus
bertindak sekarang," sahut pemuda itu langsung mele-
sat turun dan mengirim satu serangan ke arah Weling
Ijo.
"Bedebah! Kau pikir aku takut padamu? Mampus-
lah kalau kau ingin mampus lebih dulu!" desis Weling
Ijo geram sambil mengelak dan balas menyerang lawan
dengan senjata gada berdurinya.
Melihat pertarungan itu Bayu jadi serba salah. Ka-
lau dia membela kawanan Rampok Sungai Alur, sudah
jelas itu tidak menguntungkan. Keadaannya akan ter-
sudut. Tapi bila mendukung pemuda itu, hati kecilnya
seperti tak bisa membenarkan tindakannya. Bukankah
seharusnya orang yang sudah menawarkan niat baik-
nya harus disambut dengan sikap bijaksana? Apakah
keputusannya tadi kurang bijaksana?
"Ki sanak semua, hal ini tidak akan menyelesaikan
persoalan? Kenapa tidak dibiarkan saja mereka pergi
dengan damai?" tanya Bayu berusaha memberi penje-
lasan pada penduduk desa.
"Ki sanak, kalau kau tak sudi menolong kami per-
gilah sesuka hatimu. Sekarang telah ada orang yang
lebih ringan tangan dan mengerti akan kecemasan
kami!" sahut salah seorang penduduk desa.
"Betul! Pergilah kau dari sini secepatnya!" sahut
yang lain.
Dan beberapa prang penduduk yang lain menimpa-
li dengan nada serupa.
Bayu menggelengkan kepala sambil mendesah kes-
al.
"Mari, Tiren. Agaknya kali ini kita tidak menemu-
kan penduduk desa yang murah hati. Lebih baik kita
meninggalkan tempat ini akan lebih baik untuk kita...."
kata Bayu sambil menyongsongkan lengan pada mo-
nyet kecil berbulu hitam sahabat-nya.
Tanpa menoleh lagi Bayu langsung berkelebat me-
ninggalkan desa itu.
Sementara itu pertandingan antara pemuda berwa-
jah tampan yang enggan menyebutkan namanya ten-
gah berlangsung alot dengan Weling Ijo. Kepala Ram-
pok Sungai Alur seperti orang kerasukan setan menye-
rang lawannya bertubi-tubi. Gada berduri di tangan-
nya berkali-kali nyaris membuat tubuh lawan remuk.
Walau demikian tak terlihat sedikit pun bahwa pe-
muda itu terdesak oleh serangan Weling Ijo. Bah-kan
dia masih sempat mengejek sambil menghindar dari
serangan lawan dengan gerakan gesit.
"Ha ha ha ha...! Weling Ijo, hanya seginikah ke-
mampuanmu? Kau sungguh tak pantas menjadi kepa-
la rampok. Tapi lebih cocok kalau menjadi kepala rom-
bongan banci!"
"Keparat! Ingin kulihat sampai di mana kebisaan-
mu bocah!" maki Weling Ijo.
Secepat itu pula dia bersuit nyaring. Dan bersa-
maan dengan itu anak buahnya langsung membuat
barisan dan mengeroyok pemuda itu.
"Ha ha ha ha...! Rupanya kau takut mati juga, La-
ler Ijo? Ayo, kerahkan semua anak buahmu. Kalau
masih ada yang bersembunyi, suruh keluar dan serang
aku beramai-ramai!" ejek pemuda itu.
Bukan main gusarnya Weling Ijo mendengar ejekan
pemuda itu. Lebih-lebih saat dirinya disebut Laler Ijo.
"Yeaaah...!"
Dengan satu teriakan keras tubuhnya melesat
kembali menyerang lawan. Teriakan itupun agaknya
sebagai komando bagi anak buahnya untuk mulai pe-
nyerangan. Jurus yang digunakan kali ini adalah sama
dengan yang dipergunakan saat menyerang Bayu tadi.
"He he he he...! Kau menggunakan jurus cacing ke-
panasan ini untuk menyerangku? Sungguh lucu, Laler
Ijo? Kalau aku belum menyaksikannya, mungkin aku
akan terkejut dan menganggap kalian hebat. Tapi
sayang, karena tadi aku sempat melihat dan mengeta-
hui kelemahannya. Maka jangan heran kalau dalam
sekejap serangan kalian kupatahkan!"
"Bicaralah sepuasmu kalau kau sudah mampus!"
geram Weling Ijo sambil melayangkan gada berdurinya
ke wajah pemuda itu, disertai dengan pengerahan te-
naga dalam yang sudah mencapai tingkatan yang ting-
gi.
"Uts!"
"Hiyaaa...!"
"Trak! Trak!"
"Duk!"
"Aaaakh…!"
*
* *
Sambil mengelak serangan Weling Ijo, tubuh pe-
muda itu berkelebat cepat menghindari dua serangan
yang menyusul dari anak buah Rampok Sungai Alur.
Tiga serangan lain yang menyusul ditangkisnya dengan
suling, kemudian tubuhnya berputar dengan cepat
sambil melayangkan tendangan kilat. Lima orang lang-
sung terpental sambil menjerit keras. Begitu tiba di ta-
nah nyawa mereka langsung melayang!
"Keparat! Kali ini aku akan mengadu jiwa dengan-
mu!" dengus Weling Ijo semakin geram.
"Yeaaah...!"
"Laler Ijo, kalau mau mampus bawalah anak bini
mu ikut serta!" teriak pemuda itu mengejek.
Tubuhnya mencuat ke atas dengan ringan bagai
sehelai kapas ditiup angin. Kemudian melesat turun
dengan kecepatan kilat. Dua orang anak buah Rampok
Sungai Alur mencoba memapaki dengan ujung golok
mereka.
"Hiyaaa...!"
"Trak!"
"Begkh!"
"Aaaa...!"
Suling di tangan pemuda itu dengan cepat me-
nangkis dan menghantam senjata lawan hingga ter-
pental. Kaki kiri pemuda itu dengan cepat menendang
ke arah dada. Terdengar derak tulang dada kedua la-
wannya yang patah disusul pekik kematian mereka.
"Yeaaah...!"
Sambil membentak nyaring tubuh pemuda itu te-
rus menghantam sisa anak buah Rampok Sungai Alur
yang lain sambil sesekali menangkis serangan Weling
Ijo.
Agaknya serangan pemuda itu yang lebih di-
tujukan pada anak buah Weling Ijo mampu membuat
barisan serangan itu porak poranda. Dalam sekejap
terlihat serangan mereka telah kacau dan tak teratur
lagi karena masing-masing sibuk menyelamatkan diri.
Bukan main geramnya Weling Ijo melihat keadaan
itu. Satu persatu anak buahnya tewas tanpa mampu
dicegahnya. Hanya dengan senjata suling yang terbuat
dari besi putih di tangannya, pemuda itu mampu me-
nangkis senjata mereka. Bahkan setiap kali senjatanya
bentrok, Weling Ijo merasa tangannya kesemutan. Dia
langsung menyadari bahwa tenaga dalam pemuda itu
berada di atasnya. Bukan cuma itu, tapi ilmu merin-
gankan tubuh lawan pun jauh melebihinya. Sehingga
sulit bogi mereka untuk mengimbanginya.
Tak heran bila dalam tempo singkat seluruh anak
buah Rampok Sungai Alur dibabat habis oleh pemuda
itu.
"Sekarang giliranmu, Laler Ijo! Walau kau me-
nyembah kakiku berkali-kali nyawamu tak akan
kuampuni. Bersiaplah menjemput kematianmu!" kata
pemuda itu sambil tersenyum sinis setelah mene-
waskan dua orang anak buah Weling Ijo yang terakhir.
"Huh! Jangan harap aku akan menyembah kaki-
mu, Keparat! Walau kau memiliki kepandaian tinggi
aku tak takut padamu!"
"Bagus! Tahan seranganku ini!"
"Yeaaa...!"
"Hiyaaa...!"
Sebelum pemuda itu bergerak menyerangnya, Wel-
ing Ijo telah lebih mendahului membentak nyaring.
Kali ini dia tak mau menyerang tanggung-tanggung.
Seluruh kemampuan yang dimiliki telah dikerahkan-
nya sehingga terlihat serangannya begitu ganas dan
bertenaga kuat.
Namun dengan gerakan yang lebih cepat pemuda
itu berkelit. Kepalanya ditundukkan ketika senjata la-
wan menghantam. Bersamaan dengan itu kaki kirinya
menendang ke dada lawan.
"Yeaaaah...!"
"Uts!"
Tubuh Weling Ijo mencuat ke atas dengan gerakan
jungkir balik dan tangan kanannya kembali menghan-
tamkan gada berduri ke batok kepala lawan. Tapi tu-
buh pemuda itu lebih cepat lagi bergerak ke kiri. Den-
gan satu gerakan yang membuat tubuhnya berputar di
udara, pemuda itu menghantamkan sulingnya ke
punggung lawan. Weling Ijo tak menyangka bahwa la-
wan mampu bergerak secepat itu. Dia tersentak kaget
dan berusaha menghindar. Tapi suling di tangan si
pemuda telah dialiri tenaga dalam yang kuat itu tak
mampu lagi dihindari.
"Begkh!"
"Kraaak!"
"Aaaa...!"
Tak ampun lagi! Suling pemuda itu menghantam
pinggang Weling Ijo dan membuat tulangnya patah.
Weling Ijo memekik kesakitan ketika tubuhnya am-
bruk.
Belum lagi lawan berusaha bangkit dengan nafas
megap-megap kaki pemuda itu telah menghantam da-
da kirinya. Kali ini Weling Ijo cuma mengeluh pelan.
Nyawanya putus seketika dengan mata melotot dan li-
dah terjulur keluar ketika kaki kanan pemuda itu me-
remukkan tulang dadanya hingga melesak ke jantung.
"Mampuslah kau, dan biang bencana musnah sa-
lah satunya!" dengus pemuda itu sambil me-nyeringai
bengis.
Kematian Weling Ijo disambut para penduduk den-
gan sorak sorai gembira. Mereka mengelu-elukan pe-
muda itu dan menganggapnya sebagai dewa penyela-
mat.
"Hidup dewa penyelamat kita!"
"Hiduuuup...!"
"Ki sanak, sebaiknya menginaplah di sini ma-lam
ini. Sebentar lagi malam tiba. Kau tentu lelah. Atas
nama seluruh penduduk desa ini kami mengucapkan
terima kasih yang sedalam-dalamnya atas pertolon-
ganmu," kata Ki Sentanu pada pemuda itu.
"Terima kasih, Ki sanak. Memang benar apa yang
kau katakan itu. Kalau kalian tak keberatan untuk
menerimaku di desa ini sungguh kebetulan sekali."
"Kami akan menjamu sepuas-puasmu!" sahut yang
lain.
"Benar! Kalau kau sudi tinggal di desa ini, kami
bahkan lebih merasa suka sekali!" sahut yang lain.
Pemuda itu cuma tersenyum-senyum gembira me-
lihat sambutan meriah terhadap dirinya. Seperti seo-
rang pangeran saja layaknya, mereka berebutan me-
nawarkan rumahnya untuk tempat menginap pemuda
itu.
*
* *
TIGA
Bayu menggeliat sambil menggerak-gerakkan ba-
dan ketika matahari pagi telah bersinar di ufuk timur.
Pemuda berambut gondrong itu mengucek-ucek ma-
tanya sesaat. Ketika dilihatnya monyet kecil berbulu
hitam yang selalu berada tak jauh darinya kini meng-
hilang. Pemuda itu cepat melon-cat turun dari cabang
pohon tempatnya berbaring tadi.
"Tiren, ke mana kau?" panggilnya dengan suara
yang agak keras.
Namun yang dipanggil tak kunjung tiba. Pemuda
itu menggaruk-garuk kepalanya dengan wajah kesal
sambil memperhatikan keadaan di sekelilingnya. Ke-
mudian dengan satu gerakan ringan dia mencelat ke
salah satu cabang pohon kecil yang terletak tak jauh
dari situ. Kemudian dengan beberapa kali loncatan,
kakinya mendarat di ujung cabang sebuah pohon yang
paling tinggi. Dari situ Bayu mengedar pandangan ke
seluruh tempat.
"Hm... di sebelah sana agaknya ada sebuah sungai
kecil. Aku akan ke sana dan mandi sepuas-puasnya,"
gumam pemuda itu dengan wajah berseri-seri.
Baru saja dia meloncat turun dari cabang itu, Tiren
muncul sambil menunjuk ke arah yang sama pada
tempat yang akan ditujunya.
"Nguk! Nguk!"
"Oh, rupanya kau telah melihatnya, ya? Kema-
juanmu sungguh pesat sekarang. Biasanya kau takut
air, kali ini malah mengajakku untuk mandi...."
"Kaaakh!"
Tiren menjerit keras sambil menarik-narik lengan
Bayu. Si Pendekar Pulau Neraka mengerutkan kening.
"Ada apa, Tiren? Apakah kau melihat sesuatu?"
tanya Bayu curiga.
Monyet kecil sahabatnya itu mengangguk cepat.
Tanpa membuang waktu Bayu langsung menyambar-
nya dan berkelebat cepat menuju tempat yang ditun-
juk sahabat kecilnya itu.
Tempat yang ditunjuk Tiren memang agak jauh bila
ditempuh oleh orang yang tak memiliki ilmu lari cepat.
Tetapi hal itu tak jadi masalah bagi Bayu. Ilmu lari ce-
patnya telah mencapai tingkat tinggi.
Belum lagi mereka tiba di tempat yang dituju, pen-
dengarannya yang tajam mendengar teriakan-teriakan
seorang wanita dari kejauhan.
"Hmm... aku mengerti maksudmu, sahabat. Kau
ingin aku menolong wanita itu bukan?" tanya Bayu
sambil tersenyum kecil.
"Nguk!"
Tiren mengangguk cepat. Baru saja selesai dia
menganggukkan kepala, kembali monyet kecil berbulu
hitam itu tersentak kaget ketika Bayu menggenjot tu-
buh dan berlari lebih cepat dibandingkan tadi.
Tiba di tepi sebuah sungai kecil yang berair jernih,
Bayu melihat seorang laki-laki sedang menindih tubuh
seorang wanita dengan nafsu kotornya. Sementara di
sampingnya berdiri seorang laki-laki lain yang tertawa
bergelak-gelak menyaksikan perbuatan kawannya itu.
"Ha ha ha.... Kenapa menundukkan wanita satu ini
saja kau sulit sekali, Soma? Apa perlu aku yang turun
tangan lebih dulu mengajarimu?" tanya laki-laki yang
tadi tertawa-tawa.
"Diamlah kau, Margana! Tidakkah kau melihat ku-
da betina ini liar sekali?! Sebentar lagi pun dia akan
takluk padaku," sahut laki-laki yang sedang menggelu-
ti wanita itu.
"Bajingan keparat! Lepaskan aku! Lepaskan aku!
Toloooong...!" Teriak wanita itu sambil menggeliat-
geliat dan berusaha melepaskan diri dari dekapan laki-
laki di atasnya yang seperti kerasukan setan.
"Ha ha ha ha... berontaklah sesuka hatimu tapi
jangan harap kau bisa lepas dari tanganku!"
"Auw! Bajingan! Kubunuh kau! Kubunuh kau!"
maki wanita itu ketika laki-laki itu mulai mengge-
rayangi lekuk-lekuk tubuhnya.
Kedua tangan wanita itu ditangkap tangan kiri laki-
laki yang tadi dipanggil Soma, dan sebelah tangannya
yang lain dengan leluasa merobek-robek pakaian wani-
ta itu sambil menggerayangi bukit kenyal yang tersibak
lebar membuat sepasang matanya semakin lebar melo-
tot, dan air liurnya menetes.
"Sudahlah Soma. Lebih baik kau totok saja wanita
itu maka kau tak akan susah payah lagi!" saran ka-
wannya sambil sesekali melirik ke arah tubuh wanita
yang molek dan tersingkap lebar.
"Siapa sudi berbuat begitu? Tak ada kenikmatan
yang ku peroleh. Tapi dengan cara begini kau akan
merasakan perbedaannya!" sahut Soma sambil terke-
keh-kekeh.
Pada saat itulah ketika Soma melepaskan penutup
tubuh bagian bawah wanita itu dan siap akan melak-
sanakan perbuatan kotornya, Bayu yang baru tiba
langsung membentak dengan suara menggeledeg.
"Bajingan kotor, hentikan perbuatan bejad kalian!"
Kedua orang itu langsung tersentak kaget. Soma
yang nafsu kotornya tadi telah sampai ke ubun-ubun,
tiba-tiba saja mereda dan berubah garang ketika tu-
buhnya bangkit dan melihat siapa orang yang meng-
ganggu kesenangannya itu.
"Siapa kau, keparat?! Berani betul mengganggu ke-
senangan orang lain?!" bentaknya sengit.
Belum lagi Bayu menyahut dilihatnya wanita yang
seluruh pakaiannya telah tercabik-cabik itu berusaha
bangkit dan bermaksud melarikan diri. Namun dengan
gerakan cepat salah seorang dari keduanya menotok
tubuh wanita itu hingga ambruk tak berdaya.
*
* *
"Kalian tak perlu tahu siapa aku. Lepaskan wanita
itu atau kalian pulang tinggal nama?" gertak Bayu
dengan suara yang ditekan penuh ancaman.
Mendengar itu bukannya kedua laki-laki yang wa-
jahnya penuh dengan bopeng itu takut, mereka malah
tertawa terbahak-bahak.
"Ha ha ha ha.... Kau dengar, Margana? Baru kali
ini Sepasang Setan Burik diancam oleh bocah kencur!"
sahut Soma, yang mengenakan ikat kepala warna kun-
ing.
"Mungkin dia belum tahu siapa kita. Atau juga bo-
cah bau kencur yang belum mengetahui luasnya dunia
dan sudah menganggap dirinya jago!" timpal Margana.
"Ha ha ha ha.... Aku memang bocah bau kencur
yang paling jago. Orang seperti kalian tak ada seujung
kuku dibanding denganku. Sekali tendang mungkin
kedua wajah kalian yang rusak itu akan bertambah
rusak," balas Bayu dengan nada mengejek.
Sengaja dia mengeluarkan kata-kata yang begitu
sombong untuk memancing kemarahan mereka. Dan
ternyata pancingannya mengena. Kedua orang itu
mendelikkan mata dan menggeram dengan murka.
"Bocah sepertimu memang harus cepat-cepat
mampus!" bentak Soma sambil menghantamkan puku-
lan jarak jauh ke arah Bayu.
Pukulan itu kelihatannya ringan saja. Tapi akibat-
nya sungguh hebat. Kalau saja Bayu tak cepat melom-
pat tentu nasibnya akan sama dengan tanah tempat-
nya tadi berpijak yang terbongkar sedalam tiga jengkal.
"Hmm... agaknya kau memiliki kepandaian juga.
Tapi jangan merasa menang sebelum me-rasakan pu-
kulanku ini," dengus Soma sambil terus menyerang
lawannya.
"Yeaaa...!"
"Hiyaaaa...!"
Dengan gerakan mantap tubuh Bayu berkelit
menghindari serangan lawan. Kepalan kanannya
menghantam dada lawan. Tapi dengan gerakan yang
tak sengit Soma menghindar sambil mengangsurkan
telapak tangan kirinya menangkis.
"Des!"
"Akh!"
Laki-laki berwajah bopeng berusia sekitar empat
puluh tahun itu mengeluh kesakitan sambil memegan-
gi telapak tangannya yang terasa sakit akibat benturan
tadi. Sungguh dia tak memperkirakan bahwa lawan
memiliki tenaga dalam yang kuat.
"Kenapa tidak dadamu saja yang kau sodorkan
agar kau lebih cepat mampus?" ejek Bayu.
"Keparat! Jangan harap kau bisa mempermalukan
kami begitu saja bocah. Kali ini kau harus mampus!"
sentak Margana dan langsung menyerang Bayu den-
gan tangan kosong.
Kali ini Bayu tak bisa bermain-main lagi. Serangan
Margana betul-betul ganas dan mengandung tenaga
dalam kuat. Bukan itu saja, laki-laki berwajah penuh
bopeng itu pun memiliki gerakan yang cukup gesit.
Sedikit saja dia salah menghindar sudah pasti tubuh-
nya bisa remuk dihantam kepalan tangan lawan.
"Yeaa...!"
"Uts, ha...!"
"Keparat. Apakah kebisaanmu cuma berkelit?! Ayo,
keluarkan seluruh kepandaianmu dan balas serangan-
seranganku kalau kau memang mampu!" Bentak Mar-
gana ketika dilihatnya Bayu cuma menghindar dari se-
rangannya yang bertubi-tubi.
"Oh, apakah kau ingin kugebuk seperti kawanmu
itu? Baiklah. Nah, coba tahan seranganku!"
"Hiyaaa...!"
Sambil berteriak nyaring Bayu merubah gerakan.
Tubuhnya melayang ke arah Margana dengan kedua
tangan ke depan. Tentu saja hal ini kelihatannya seba-
gai serangan main-main. Tapi bagi Margana mana dia
peduli. Dengan cepat kepalan tangan kanannya meng-
hajar dada lawan.
"Yeaaa...!"
"Uts!"
"Plak!"
"Des!"
"Akh!"
Margana menjerit kesakitan ketika kaki kanan
Bayu yang dibuat menangkis pukulannya, tiba-tiba
menghantam ke arah dada.
Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang sambil
mendekap dada. Dari mulutnya mengalir darah kental.
Tapi serangan Bayu tak berhenti sampai di situ. Tu-
buhnya melompat bagai harimau, dan dengan bertum-
pu pada kedua jangan, kedua kakinya menghantam
kepala dan lutut lawan.
"Duk!"
"Gusrak!"
"Aakh!"
Margana kembali menjerit keras ketika sebelah ka-
ki Bayu menghantam kepalanya. Tidak cukup keras,
tapi membuat pandangannya berkunang-kunang. Be-
lum sempat menyadari diri, tiba-tiba tubuhnya me-
layang dan jatuh bedebum ke tanah ketika sebelah ka-
ki Bayu menghantam kedua lututnya di bagian bela-
kang.
Tapi pada saat yang bersamaan pula melompat
Soma dan bermaksud menolong kawannya itu dengan
menyerang Pendekar Pulau Neraka.
"Yeaaa...!"
"Oh, rupanya kau belum kapok juga? Baik kau pun
akan terima bagian yang sama," ujar Bayu tersenyum
kecil.
Tanpa menunggu serangan lawan tiba, tubuhnya
bergerak cepat menyambut dengan satu serangan ber-
tenaga dalam kuat.
"Hiyaaaa...!"
"Plak!"
"Begkh!"
"Ukh...!"
Kepalan tangan Soma berhasil dihindarinya dengan
menundukkan kepala. Tapi saat itu juga Soma men-
gayunkan kaki ke wajah Bayu. Pendekar Pulau Neraka
membuang tubuh ke belakang. Kaki Soma yang sebe-
lah lagi dengan cepat menghantam. Justru hal itu yang
diharapkan Bayu. Kaki kanannya menghantam tulang
kering lawan, dan kaki kirinya menendang pantat So-
ma hingga orang itu tersedak dengan tubuh mencelat
ke atas setinggi setengah tombak dan mengeluh kesa-
kitan.
Belum lagi kedua kakinya menjejak tanah, kembali
Bayu meloncat mengirimkan tendangan telak meng-
hantam perutnya. Soma menjerit kesakitan ketika tu-
buhnya terpental sejauh dua tombak. Dari mulutnya
muncrat darah segar.
"Pergilah cepat dari sini sebelum kuremukkan ke-
pala kalian!" bentak Bayu sambil memelototkan mata.
Kedua orang yang menyebut dirinya Sepasang Se-
tan Burik berusaha bangkit dengan susah payah dan
tertatih-tatih. Keduanya memandang pemuda itu den-
gan wajah yang amat penasaran.
"Ki sanak, siapa kau sebenarnya? Urusan ini tak
cukup sampai di sini. Suatu saat penghinaan ini akan
terbalas berikut dengan bunganya!" desis Soma geram.
"Hmmm... kalian bermaksud menuntut balas? Ba-
gus! Orang-orang menyebutku Pendekar Pulau Neraka.
Carilah aku jika kalian merasa tak puas dengan keja-
dian ini!"
Mendengar pemuda itu menyebutkan gelarnya, ke-
duanya tersentak sesaat. Tapi cepat mendengus kem-
bali dengan wajah penuh dendam.
"Baiklah. Pendekar Pulau Neraka, namamu tak
akan pernah kami lupakan. Suatu saat nanti Sepasang
Setan Burik akan menagih hutang ini...."
"Eit, jangan seenaknya pergi begitu saja," sentak
Bayu ketika melihat mereka siap akan meninggalkan
tempat itu.
"Ada apa, Ki sanak? Apakah kau akan membunuh
kami saat ini juga?" tanya Soma.
Meski suaranya terdengar lantang dan sinis, tapi
sempat bergetar juga hatinya. Jangan-jangan pemuda
itu berubah pikiran dan menghabisi mereka saat ini
juga dari pada memikirkan dendam yang entah kapan
datangnya. Siapa yang tak kenal dengan Pendekar Pu-
lau Neraka? Tokoh itu biasanya telengas terhadap la
wan-lawannya dan jarang meninggalkan lawan pergi
begitu saja.
"Hmm... bukan. Soal itu kalian masih ku berikan
kesempatan. Tapi persoalan gadis ini. Kalian telah me-
robek-robek pakaiannya, maka kalian pula yang harus
menggantinya. Aku tidak memaksa, tapi sebaiknya to-
long tanggalkan pakaian kalian..." pinta Bayu dengan
nada tegas.
Kedua orang berwajah penuh bopeng itu saling
pandang sesaat, kemudian.
"Tapi...."
"Itu juga termasuk persyaratan, Ki sanak! Kalau
kalian tak memenuhinya maka lebih baik kita selesai-
kan persoalan kita sekarang saja!" desis Bayu dengan
sikap mengancam.
Karena tak punya pilihan lain, akhirnya mereka
melepaskan bajunya masing-masing. Untuk melawan
pemuda itu dalam keadaan terluka parah begini sung-
guh suatu perbuatan bunuh diri, meskipun mereka
berdua mengeroyoknya.
*
* *
Setelah keduanya meninggalkan tempat itu, Bayu
mendekati wanita tadi perlahan-lahan.
"Ni sanak, pakailah salah satu baju ini untuk me-
lindungi tubuhmu yang terbuka begini," katanya sam-
bil melempar kedua baju yang dipegangnya ke tubuh
wanita muda yang tergolek itu.
"Bagaimana aku bisa memakainya dalam keadaan
tertotok begini?"
"Ah, aku lupa...." seru Bayu sambil mendekat un-
tuk membebaskan totokan wanita itu.
"Jangan mendekat!"
Bayu tersentak mendengar bentakan wanita itu.
"Kenapa Ni sanak? Bukankah kau sedang tertotok
dan aku bermaksud akan membebaskan totokanmu?"
"Bagaimana aku tahu kau tidak mempunyai nafsu
kotor seperti mereka?"
"Aku akan membebaskan totokanmu dan setelah
itu akan pergi meninggalkanmu begitu saja," sahut
Bayu kesal.
"Bukan itu maksudku!"
"Jadi apa?"
"Kau mencari kesempatan saat keadaanku sedang
tertotok begini?"
Bayu menghela nafas kesal dan membalikkan tu-
buh sambil melangkah pelan meninggalkan tempat itu.
"Hei, mau ke mana kau?" bentak wanita itu.
"Untuk apa aku berlama-lama di sini? Tujuanku
cuma ingin menolongmu dari perbuatan mereka. Dan
karena mereka telah pergi, untuk apt aku di sini lagi.
Toh kau tak memerlukan pertolonganku lagi, bukan?"
sahut Bayu tanpa membalikkan tubuh.
"Kau akan meninggalkan aku begitu saja dalam
keadaan tertotok begini?"
"Bukankah kau yang menghendaki begitu?"
"Brengsek! Aku tidak mengatakan begitu?"
"Dengan caramu melarangku untuk membebaskan
totokan itu, apa namanya?"
Wanita itu terdiam sesaat. Kemudian katanya lirih.
"Bebaskanlah totokanku... tapi ingat! Jangan pa-
lingkan wajahmu ke sini!"
Bayu seperti tersentak. Pantas saja wanita itu ma-
rah padanya. Tanpa sadar dia telah memandangi tu-
buhnya yang setengah telanjang itu dengan leluasa.
Pantas saja gadis itu marah karena bukit kenyalnya
yang halus mulus terlihat jelas oleh pemuda Itu. Bayu
sendiri seperti orang bodoh tadi dan memandanginya
begitu saja tanpa malu-malu.
'"Ba... baik..." kata Bayu sambil melangkah mun-
dur.
Kemudian dengan tangannya dia meraba-raba ba-
gian tubuh wanita itu untuk mencari urat yang terto-
tok.
"Ouw! Kurang ajar!"
Gadis itu menjerit garang ketika tangan Bayu me-
nyentuh salah satu bukit kembarnya yang kenyal dan
padat. Buru-buru dia melepaskan dengan wajah serba
salah.
"Maaf Ni sanak... aku betul-betul tak sengaja."
"Huh, semua laki-laki sama saja! Pura-pura ber-
buat salah padahal niatnya telah menggebu-gebu!"
dengus gadis itu cepat bangkit dan menyambar kedua
baju di dekatnya setelah dibebaskan dari totokannya.
"Tapi aku...."
"Jangan berbalik! Aku sedang berpakaian, go-blok!"
bentak gadis itu garang ketika dilihatnya Bayu ber-
maksud membalikkan tubuh ke arahnya.
"Hhhh... pusing, pusing! Begini salah begitu salah.
Semuanya jadi serba salah..." keluh Bayu menghela
nafas sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tak
gatal dan melangkahkan kaki meninggalkan tempat
itu.
"Nguk! Nguk!"
"Kau sih yang jadi penyebabnya!" tuding Bayu pada
sahabat kecilnya itu.
"Mau ke mana lagi kau sekarang?!" bentak gadis
itu garang sambil bertolak pinggang.
"Mau pergi!" sahut Bayu ketus.
"Aku ikut!" sahut gadis itu sambil merendengi ja-
lannya.
Bayu melirik sekilas. Sungguh lucu kelihatannya.
Baju yang dikenakan gadis itu kebesaran. Tapi itu ma
sih biasa dibandingkan dengan pakaian bagian bawah.
Seperti wanita di jaman primitif gadis itu membuat pe-
nutup tubuhnya bagian bawah dengan baju yang satu
lagi. Bayu bisa memaklumi karena sekilas tadi dia
sempat melihat penutup tubuh bagian bawah gadis itu
keadaannya sangat tidak memadai akibat perbuatan
Sepasang Setan Burik.
"Kenapa ketawa?!" bentak gadis itu ketus.
"Karena aku ingin ketawa...."
"Kau pikir aku tontonan ya?!"
"Barangkali iya...."
"Brengsek!" bentak gadis itu sambi} melayang-kan
kepalan tangan menghantam dada si Pendekar Pulau
Neraka.
"Duk!"
Pukulan itu terlihat ringan saja. Bahkan seperti
main-main, sehingga Bayu tak berusaha menangkis.
Tapi alangkah terkejutnya dia ketika merasakan da-
danya nyeri akibat pukulan itu. Tubuhnya terhuyung-
huyung beberapa tindak ke belakang sambil mendekap
dada.
*
* *
EMPAT
Tubuh Pendekar Pulau Neraka mencelat beberapa
tombak ke belakang sambil bersalto dengan ringan.
Belum lagi dia sempat mengatur pernafasannya, seko-
nyong-konyong gadis itu kembali melesat dengan ke-
cepatan yang sulit diikuti mata biasa dan menyerang-
nya.
"Hiyaaa...!"
"Perempuan laknat! Ternyata kau adalah iblis keji!"
desis Bayu dengan wajah garang.
"Hi hi hi hi...! Cuma segitukah kemampuan Pende-
kar yang digembar-gemborkan sempat menggegerkan
rimba persilatan di delapan penjuru angin?"
"Bedebah! Siapa kau sebenarnya?!"
"Aku...? Bukankah tadi kau telah menyebutkan-
nya?"
"Huh, siapa pun kau adanya kau akan mendapat
balasan yang setimpal!" dengus Bayu sambil jungkir
balik menghindari serangan lawan.
Kali ini dia tak bisa menganggap lawan rendah.
Walau pukulan yang dikeluarkannya terlihat le-
mah, tapi akibatnya sungguh fatal seperti yang dirasa-
kan-nya tadi. Dadanya masih terasa sosok akibat pu-
kulan itu.
Ada hal yang membuat Bayu tak habis pikir ten-
tang gadis ini. Pertama, kalau dia memiliki dendam ke-
sumat terhadapnya kenapa pukulannya tadi tak ber-
maksud untuk menewaskan dirinya? Padahal pada se-
rangan selanjutnya pukulan itu mampu menghancur-
kan sebatang pohon dengan cara yang mengerikan.
Sebatang pohon besar tampak retak-retak dan tum-
bang menjadi beberapa potongan dihantam pukulan
wanita itu.
Yang kedua, setelah beberapa kali menye-rangnya
terlihat bahwa ilmu silat gadis itu tak rendah. Bahkan
kalau mau dengan mudah dia bila mengalahkan Sepa-
sang Setan Burik. Tapi kenapa tadi dia seperti orang
yang kelihatan tak berdaya?
"Ni sanak, siapa kau sebenarnya dan apa maksud
perbuatanmu yang aneh-aneh ini?" tanya Bayu dengan
suara lunak.
"Maksudku jelas, ingin mengorek jantungmu!"
"Kenapa tadi tak kau lakukan?"
"Aku ingin pertarungan yang adil dan jujur!"
"Dengan perbuatanmu tadi apakah itu bisa di-
anggap adil dan jujur?"
"Salahmu sendiri kenapa lengah!"
"Karena kukira kau bukan musuhku!"
"Di situlah kesalahanmu! Kau terlalu percaya pada
orang yang baru dikenal dan itu bisa membahayakan
jiwamu kalau tak sering waspada."
"Baiklah, kau menang. Tapi aku tak biasa membu-
nuh lawan jika tak tahu sebab-sebabnya. Dasar apa
kau ingin mengorek jantungku? Apakah di antara kita
ada dendam?"
"Buatku tak perlu ada persoalan dendam segala
kalau ingin mengorek jantungmu!"
"Dasar sinting! Kalau begitu tak ada gunanya aku
meladenimu!" dengus Bayu sambil berbalik dan me-
nangkap Tiren dari ranting sebuah pohon, dan berke-
lebat dari tempat itu secepatnya.
"Aku tak ada waktu meladeni segala urusanmu, Ni
sanak!" lanjutnya sambil berteriak nyaring.
"Huh, apa kau pikir bisa lari dariku?! Jangan mim-
pi!"
Setelah berkata begitu gadis itu pun langsung
menggenjot tubuh mengejar Pendekar Pulau Neraka
sambil mengerahkan ilmu lari cepat yang dimilikinya.
Tadinya Bayu menyangka bahwa gadis itu tak akan
mampu mengejarnya. Tapi dugaannya itu ternyata sa-
lah. Pada jarak lima tombak di belakang terlihat gadis
itu terus mengejarnya.
"Sialan! Hebat juga ilmu lari cepatnya. Tapi ingin
kulihat sampai di mana kemampuan kuntilanak itu.
Tiren, pegang leherku erat-erat!" kata Bayu.
Setelah berkata begitu si Pendekar Pulau Neraka
langsung menghempas tenaga dan mengerahkan selu-
ruh kemampuan ilmu lari cepat yang dimilikinya. Tubuhnya berkelebat bagai sapuan angin kencang. Da-
lam hati dia menduga gadis itu kini telah tertinggal
jauh. Dan ketika dia menoleh ke belakang....
"Hah! Brengsek?! Siapa dia sebenarnya?" sentak-
nya kaget ketika melihat gadis itu masih terus mem-
buntuti di belakangnya.
Kali ini jarak mereka memang terpaut agak jauh,
tapi rasanya tak mungkin Bayu bisa menghindar dan
bersembunyi dari kejarannya. Tak mungkin rasanya
mereka terus-terusan begini. Maka dengan kesal Bayu
menghentikan larinya dan menunggu gadis itu sambil
bertolak pinggang dan memasang wajah garang.
"Hmmm... apakah kau akan menyerah?" tanya ga-
dis itu sambil tersenyum mengejek.
"Huh, siapa sudi! Aku justru ingin menggaplok
pantatmu!"
"Nah, kenapa tak kau lakukan?"
"Hiyaaaa...!"
Dengan satu bentakan nyaring tubuh Pendekar Pu-
lau Neraka berkelebat cepat menyerang gadis itu tanpa
basa-basi. Bersamaan dengan itu dia mengibaskan
tangan kanannya. Tak pelak lagi Cakra Maut di perge-
langan tangannya itu melesat cepat menghantam la-
wan.
"Sing!"
"Uts! Gila! Apakah kau ingin membunuhku?!" ben-
tak gadis itu terlihat kesal sambil jungkir balik meng-
hindari serangan senjata maut itu dan serangan yang
dilancarkan Bayu terhadap dirinya.
"Bukankah kau pun ingin membunuhku? Dari pa-
da orang membunuhku lebih dulu lebih baik kau yang
mampus lebih dulu!" desis Bayu dengan wajah serius
penuh ancaman.
Hal ini memang betul-betul dibuktikannya. Seran-
gan yang dilakukan si Pendekar Pulau Neraka betul
betul ganas seperti menghadapi musuh bebuyutan
yang akan mengancam dirinya. Tentu saja hal ini
membuat si gadis kalang kabut menyelamatkan selem-
bar nyawanya.
"Yeaaaa...!"
Kepalan tangannya berkali-kali menghantam. Dari
situ tak terasa desir angin atau sinar apa pun yang ke-
luar. Tapi bila terkena, akibatnya sungguh berbahaya.
Sebongkah batu sebesar kerbau yang terkena pukulan
itu hancur berkeping-keping menjadi potongan kecil.
Bayu bukannya takut menghadapi pukulan lawan,
tapi dia memang sengaja menghindar dan sebisa
mungkin untuk tidak memapakinya. Perhatiannya be-
tul-betul ditujukan untuk melumpuhkan pertahanan
gadis itu.
"Hiyaa...!"
"Sing!"
"Breet!"
"Auw...!"
Gadis itu menjerit kaget ketika seberkas cahaya
keperakan menerpa menyambar pinggangnya tanpa bi-
sa dicegah. Jantungnya nyaris berhenti berdetak!
*
* *
Plak!"
"Des!"
"Gusrak!"
Dalam keadaan demikian dia pasrah dan men-
ganggap jiwanya tak tertolong lagi. Tapi menyadari
bahwa tak sedikit pun rasa sakit yang dirasakannya,
gadis itu cepat bereaksi. Tapi terlambat. Saat itu kepa-
lan tangan Bayu menghantam ke arah dada. Dengan
gerakan tergagap dia menangkis. Pukulan itu memang
tak sepenuhnya menghantam dadanya. Tapi akibatnya
tubuh gadis itu terdorong ke belakang dan dengan
mudah Bayu menendang perutnya. Tubuh yang telah
hilang keseimbangannya itu langsung terjerembab ja-
tuh.
Ternyata serangan Bayu tidak hanya sampai di si-
tu. Setengah jengkal sebelum tubuh gadis itu menyen-
tuh tanah, dua buah jari tangannya cepat menotok
urat gerak di tubuh gadis itu.
"Tuk!"
"Nah, sekarang diamlah kau di sini! Aku tak perdu-
li, apakah kau akan diperkosa atau dicabik-cabik he-
wan buas. Itu sudah nasibmu karena kau memang
menghendakinya!" desis Bayu sambil bersungut-
sungut kesal.
"Kurang ajar! Apakah kau akan mempermalukan
aku dalam keadaan begini?!" jerit gadis itu melengking
mengetahui bahwa bajunya robek lebar dan menam-
pakkan dua bukit kembarnya sebagian, ketika tadi
disambar Cakra Maut si Pendekar Pulau Neraka.
"Bukankah kau yang menghendakinya? Kita ber-
temu saat keadaanmu begitu, maka aku punya kewa-
jiban untuk mengembalikan keadaanmu semula.
Sayang, sekarang kedua orang bermuka bopeng itu tak
ada. Kalau tidak kau akan ku tinggalkan persis seperti
tadi!"
"Sialan! Lepaskan totokanmu ini!" bentak gadis itu.
"Untuk apa? Agar kau bisa memuaskan niat ko-
nyolmu untuk membunuhku? Huh, pasrahkan saja di-
rimu pada nasib. Selamat Tinggal!"
Bayu memanggil sahabatnya, monyet kecil berbulu
hitam itu. Setelah hewan itu berada di pundaknya, dia
melangkahkan kaki meninggalkan tempat itu tanpa
menoleh lagi.
"Hei, mau ke mana kau?!"
Bayu tak memperdulikan teriakan gadis itu. Jangankan menyahut, untuk menoleh pun tidak.
Gadis itu terus berteriak-teriak sambil memaki-
maki, dan Bayu terus berjalan tak memperdulikannya.
Baru ketika jarak pemuda itu nyaris tak terlihat gadis
itu berteriak memohon dengan suara memelas.
"Bayu, kali ini aku memohon. Lepaskan aku, dan
jangan tinggalkan aku dalam keadaan begini...."
Walaupun suara itu tak terlalu keras tapi Bayu
masih bisa mendengarnya. Lebih-lebih saat itu angin
bertiup ke arahnya. Pemuda itu menoleh sambil me-
mandang ke arah sahabat kecilnya itu.
"Bagaimana pendapatmu Tiren? Apakah kuntila-
nak itu masih perlu dikasih hati?"
"Nguk! Nguk!"
"Hmm... walau kau binatang tapi hatimu lebih mu-
lia dariku. Kalau tak ada kau pasti akan ku-biarkan
perempuan celaka itu menjalani nasibnya yang buruk
dalam keadaan demikian. Baiklah, kita akan kembali
dan membebaskannya," sahut Bayu.
Sekali menggenjot tubuh dengan menggunakan Il-
mu lari cepatnya, Bayu telah tiba kembali di tempat
itu. Tanpa basa-basi dia langsung melepaskan totokan
di tubuh gadis itu. Dan tanpa bicara sepatah kata pun
kembali melangkahkan kaki meninggalkannya.
"Tunggu...!"
Si Pendekar Pulau Neraka menoleh dan meman-
dang gadis itu sekilas tanpa menyahut.
"Terima kasih..." kata gadis itu sambil menunduk-
kan kepala dengan wajah malu.
Bayu cuma mendengus kecil, kemudian kembali
memalingkan tubuh dan berjalan meninggalkan gadis
itu. Walau dia tahu bahwa gadis itu mengikuti dari be-
lakang, namun tak sedikit pun pemuda itu mau meno-
leh.
Lama hal itu berlangsung sampai mereka tiba di
mulut suatu desa. Gadis itu masih terus mengintilnya
dari belakang. Bayu menghela nafas kesal. Dalam kea-
daan pakaiannya yang demikian apa kata orang-orang
desa melihat mereka? Jangan-jangan dia akan dituduh
orang gila! Paling tidak, membawa seorang gadis gila.
"Apa sih maumu?!" bentaknya kesal sambil meng-
hentikan langkah dan melotot garang pada gadis itu.
"Aku tidak mau apa-apa...."
"Jadi kenapa mengikutiku terus sejak tadi? Apa
kau ingin membokongku lagi?!"
"Maaf... sebenarnya aku tak bermaksud begitu..."
sahut gadis itu dengan suara pelan.
"Jadi apa maumu?!"
"Aku... aku...."
"Bicara yang betul!" bentak Bayu galak.
"Galak betul sih...?"
"Orang sepertimu tak bisa dikasih hati. Sekali aku
lemah kau pasti akan mencari kesempatan untuk
mencelakai ku lagi!"
"Sekarang tidak...."
"Huh!"
"Aku... aku... ingin minta pertolonganmu...."
"Siapa yang sudi menolong orang sepertimu!"
"Aku... aku akan membayar berapa pun yang kau
minta...."
"Huh, aku tak butuh apa-apa darimu!"
"Tak bisakah hatimu sedikit lunak...."
"Apa untungnya aku bersikap lunak pada wanita
brengsek sepertimu?!"
"Bayu... eh maaf aku memanggil namamu begitu
saja. Aku betul-betul butuh pertolonganmu, sebab
hanya kaulah orangnya yang bisa menolongku. Apa
pun yang kau minta akan kuberi, bahkan aku rela
menjadi budakmu asal kau meluluskan permintaan-
ku..." ujar gadis itu dengan suara memelas.
Mendengar itu tersentuh juga hati Bayu. Gadis itu
bersedia jadi budaknya asal dia menolongnya, tentu ini
persoalan yang amat serius. Tapi dia tak langsung per-
caya begitu saja. Apalagi gadis itu tadi sempat meni-
punya.
"Pertolongan apa?" tanya Bayu lunak.
"Oh, apakah kau betul-betul bersedia menolong-
ku?!" tanya gadis itu dengan wajah girang.
"Jangan banyak omong! Pertolongan apa yang kau
minta dariku?!"
"Membawa kepala seseorang padaku!"
"Apa?!"
"Kepala seseorang yang dulu amat kukasihi sepe-
nuh hati, tapi kini ku benci sedalam lautan!"
Bayu terdiam beberapa saat lamanya sambil me-
mandang wajah gadis itu. Sempat terlihat sepasang
mata indah gadis itu memancarkan dendam membara
saat dia menyebutkan permintaannya itu. Mau tak
mau Bayu bisa merasakan amarah yang terpendam
dan telah menyatu di seluruh tubuh gadis itu pada se-
seorang.
"Kenapa mesti aku? Dengan kepandaian yang kau
miliki sekarang jarang orang bisa mengalahkanmu...."
"Tapi orang itu memiliki kepandaian yang lebih
tinggi dibandingkan denganku. Aku tahu betul karena
dia adalah kakak seperguruanku...."
"Kakak seperguruanmu?!"
Gadis itu mengangguk.
"Ceritanya panjang. Ketika mendiang guru masih
ada kami menjalin asmara. Ah... aku memang betul-
betul terpikat dengan rayuannya. Selain berwajah
tampan, berilmu tinggi, dia pun pandai merayu. Sam-
pai-sampai aku rela menyerahkan kehormatanku pa-
danya ketika dia berjanji akan mengawiniku kelak. Hal
itu terjadi berkali-kali tanpa sepengetahuan guru.
Sampai..." gadis itu menghentikan ceritanya.
Bayu menunggu beberapa saat dan melihat sekilas
air mata merembang di kelopak mata gadis itu.
"Dia kabur meninggalkanmu..." tebak Bayu hati-
hati dengan suara pelan.
"Pada akhirnya memang begitu. Sampai aku hamil
dan guru mengetahuinya. Tapi beliau bijaksana dan
menyuruh kakak seperguruanku untuk mengawiniku.
Tapi dasar laki-laki buaya pengecut, dia malah kabur
dan mencuri kitab sakti ten-tang pukulan maut Pugel
Sayuto tingkat lanjutan yang selama ini disembunyi-
kan guru kami dengan hati-hati sekali. Aku sempat
memergokinya dan mengingatkan akan janjinya untuk
mengawini aku serta perintah guru. Tapi seperti ber-
hadapan dengan musuh besar, dia malah menyerang-
ku habis-habisan sampai aku tergeletak tak berdaya.
Untunglah guru cepat menolongku, tapi anak yang be-
rada di rahimku tak tertolong lagi...."
Gadis itu menyudahi ceritanya. Air matanya ter-
tumpah ruah membasahi kedua pipinya yang putih
halus.
Bayu tak tahu, apakah dia harus percaya bahwa
itu cerita sungguh-sungguh atau tipu muslihat belaka.
Dia cuma mendiamkan untuk mendengarkan lanjutan
cerita gadis itu.
"Setelah keadaanku agak membaik, aku turun gu-
nung dan bertekad mencarinya untuk meminta per-
tanggung jawabannya. Guru telah melarang, tapi aku
pergi secara diam-diam. Sepanjang perjalanan banyak
kudengar sepak terjangnya yang amat memalukan.
Memperkosa gadis-gadis cantik dan isteri orang lain,
merampok serta berbuat kejahatan. Dia memang pin-
tar hingga orang sulit mengenalinya. Selain berganti-
ganti nama dia pun memang pandai sekali menyamar.
Tapi aku tak akan tertipu!"
"Siapa namanya yang asli?"
"Kamajaya. Tapi orang-orang yang yakin bahwa
perbuatan-perbuatan yang dilakukannya itu dikerja-
kan oleh satu orang, yaitu dia menyebutnya sebagai
Penyair Muka Kumala."
"Hmm... Penyair Muka Kumala? Baru kudengar
nama itu...."
"Bagaimana Bayu? Apakah kau sudi menolongku?"
"Kenapa kau yakin bahwa aku yang bisa meno-
longmu?"
"Entahlah. Tapi sepanjang perjalanan banyak ku-
dengar nama Pendekar Pulau Neraka sebagai pendekar
muda yang memiliki ilmu hebat dan tak pernah terka-
lahkan. Aku merasa yakin kaulah orang yang bisa me-
nolongku untuk membasmi si keparat. Setelah menge-
tahui ciri-ciri tentang diri-mu, aku pun mulai menca-
rimu. Dan tadi pagi barulah aku menemuimu. Aku tak
tahu bagaimana caranya menarik perhatianmu sampai
kedua orang itu muncul. Maka ku pancinglah mereka
agak menjauh, dan... ah, perbuatanku memang keter-
laluan dan sangat menjijikkan!"'sahut gadis itu tersipu
malu.
Bayu masih terdiam belum memberikan jawa-
bannya.
"Bagaimana Bayu?"
"Aku akan memikirkannya lebih dulu...."
"Apakah kau masih berpikir sementara jelas-jelas
dia telah berbuat kejahatan yang nyata? Anggaplah
kau menolong orang banyak dari perbuatannya yang
tercela, dan aku sebagai perantara yang meminta per-
tolonganmu, dan aku juga akan membalas jasamu.
Bagaimana?"
"Aku mau bukan berarti aku ingin jasa yang kau
tawarkan!"
"Aku tak peduli! Yang penting si keparat itu harus
mampus walau harus menjadi budakmu sekalipun.
Aku berjanji Bayu! Bila si keparat itu mampus maka
aku bersedia kau suruh apa pun. Anggaplah aku seba-
gai budakmu!"
"Sudah! Sudah! Mari kita berangkat. Tapi kau tidak
bisa berpakaian dengan cara begitu. Kau tunggu di sini
biar aku carikan pakaian di desa sana!" kata Bayu
sambil terus melesat meninggalkan gadis itu.
"Kau tidak akan meninggalkan aku, bukan?!"
"Kata-kataku boleh kau pegang!" balas Bayu sambil
berteriak.
Gadis itu tersenyum haru sambil matanya tak ber-
kedip memandang Pendekar Pulau Neraka yang terus
berkelebat hingga lenyap dari pandangan. Tapi dia ter-
nyata tak menunggu lama sebab tak lama kemudian
pemuda itu kembali sambil membawa seperangkat pa-
kaian wanita. Setelah mengganti pakaian, keduanya
segera meninggalkan tempat itu.
*
* *
LIMA
Siang ini terlihat dua pengendara kuda berpacu
kencang melewati halaman belakang istana kerajaan
yang luas. Yang seorang adalah pemuda berwajah
tampan dan gagah, serta mengenakan pakaian yang
bagus. Sementara di sebelahnya seorang gadis berwa-
jah jelita dengan rambut panjang yang hitam berikat
kepala merah. Kulitnya yang putih terlihat kemerah-
merahan dibakar terik matahari. Beberapa tetes kerin-
gat mengalir di pipinya. Melihat cara mereka berpa-
kaian agaknya kedua orang ini pastilah berasal dari
orang-orang persilatan.
"Kakang Gandasena, ayo coba kau kejar aku!" te-
riak gadis cantik itu sambil memacu kudanya lebih
kencang.
"Awas kau Ratih! Sebentar lagi pasti akan ter-
susul!" sahut pemuda yang dipanggil Gandasena.
Setelah berkata begitu tampak dia mengeprak ku-
danya sambil berkali-kali berteriak keras. Melihat ca-
ranya menunggang kuda agaknya memang dia lebih
mahir dibanding gadis itu karena sebentar saja terlihat
gadis itu mulai tersusul.
"Nah, apa kataku! Kau pasti akan tersusul!" lanjut
pemuda itu sambil tertawa senang.
"Siapa bilang?! Jarak kita masih dua tombak lagi.
Kudamu mana mungkin bisa mengimbangi larinya Ki
Sengkolo!"
"Kata siapa tidak bisa? Kalau aku yang menung-
gangi Ki Sengkolo mungkin kau tak mampu mengejar-
ku. Tapi karena kau yang menunggangi-nya maka
akan kau lihat sebentar lagi kau pasti akan tersusul!"
"Jangan banyak omong, Kakang! Ayo buktikan ka-
ta-katamu itu!"
"Baik! Heaa...!"
Melihat pemuda itu kembali mengeprak kudanya
dengan bersemangat, gadis itu pun tak kalah sigap.
Kuda berwarna hitam mengkilat yang bernama Ki
Sengkolo itu dipacunya sambil berteriak keras.
"Heaaa...!"
Keduanya terus berpacu hingga tak terasa telah
berada jauh dari halaman belakang istana tadi. Namun
seperti tak memperdulikan keadaan mereka, gadis itu
masih terus bersemangat memacu kudanya karena
pemuda di belakangnya sebentar lagi akan menyusul.
Agaknya dia merasa yakin bisa mengungguli kuda si
pemuda.
Namun apa yang dibayangkannya ternyata tak ter-
bukti. Pemuda di belakangnya semakin memperpendek
jarak. Lalu ketika jarak mereka tinggal satu tombak la-
gi dengan tiba-tiba pemuda itu berteriak keras.
"Hiyaaa...!"
Tubuhnya melompat ke depan sambil bersalto be-
berapa kali dan mendarat empuk di punggung kuda,
tepat di belakang punggung gadis itu. Dengan serta
merta dipeluknya pinggang gadis itu dengan satu tan-
gan, dan tangan yang satunya menarik tali kendali
hingga Ki Sengkolo menghentikan larinya.
"Kau curang, Kakang Gandasena!" teriak gadis itu
sambil bersungut-sungut.
"Yang penting aku bisa menang!" kilah Gandasena
terkekeh-kekeh.
"Menang dengan cara curang!"
"Aku tak peduli!"
"Dasar! Kalau semua pelatih sepertimu mana ada
muridnya yang pintar?!"
"Buktinya kau pintar!"
"Pintar apa?"
"Pintar ini!"
Tiba-tiba Gandasena menjatuhkan diri ke tanah.
Gadis itu menjerit, namun tertahan karena Gandasena
menyumbat dengan bibirnya. Pemuda itu ternyata pin-
tar menggoda. Dalam bayangan gadis itu mereka akan
jatuh berdebum sambil berangkulan, namun sebelah
kaki pemuda itu berpijak di tanah dan mereka me-
mang benar jatuh... di atas rerumputan, dengan em-
puk, sambil berpelukan.
"Kakang, kau betul-betul nakal!" dengus gadis itu
sambil mengibas-ngibaskan pakaiannya setelah pemu-
da itu melepaskan rangkulannya.
"He he he he...! Nakal pada kekasih sendiri apa ti-
dak boleh?"
"Tidak! Kalau sampai ayahanda tahu apa jadi-nya?"
"Beliau pasti akan setuju untuk mengawinkan kita
secepatnya!"
"Tidak lucu, Kakang!" sentak si gadis yang berna-
ma Ratih itu sambil memasang wajah cemberut.
"Kau marah padaku?"
Ratih tidak menjawab melainkan memalingkan wa-
jah sambil mempermainkan sehelai rumput dengan
memilin-milinnya.
"Katakanlah, apakah kau marah padaku, Ratih?"
"Aku... aku cuma tak ingin perbuatan kita di-
ketahui orang. Apa jadinya wibawa ayahanda di mata
rakyatnya...?" sahut Ratih pelan.
"Siapa yang tahu bahwa kau putri raja dalam kea-
daan begini?"
"Kakang, aku cuma khawatir...."
"Sudahlah... aku tak mengulanginya lagi...."
"Betul?!"
Gandasena mengangguk sambil tersenyum.
"Kakang, aku tak bermaksud membuatmu ter-
luka...."
"Ya, ya aku mengerti. Cuma tidak tahu sampai ka-
pan kita harus kucing-kucingan begini. Ayahku cuma
seorang kepala pasukan pengawal di sebuah kadipa-
ten, sedangkan kau adalah junjunganku...."
"Kakang, jangan sebut perbedaan di antara kita la-
gi! Aku sungguh-sungguh mencintaimu, dan tidak me-
lihat derajatmu!" sentak Ratih.
"Aku cuma malu...."
"Lalu kenapa kau tidak langsung menghadap aya-
handa? Ku yakin beliau pasti akan menyetujui hubun-
gan kita."
"Aku merasa belum waktunya, Ratih...."
"Lalu kapan, Kakang? Apakah kau ingin kita terus-
menerus begini? Apa kau ingin agar aku yang mengatakannya pada ayahanda?"
"Jangan, Ratih! Biar aku sendiri yang akan menga-
takannya pada beliau. Apa jadinya aku sebagai laki-
laki kalau mesti kau yang mengatakannya."
"Nah, katakanlah sekarang. Kapan kau akan
menghadap ayahanda untuk meminang ku?"
Gandasena tak langsung menjawab. Banyak hal
yang musti dipikirkannya. Bukan soal status dirinya
yang jauh berbeda, tapi juga dia belum mempunyai
persiapan yang cukup untuk berumah tangga. Dan
ada hal yang paling penting yang membuat dirinya ra-
gu, yaitu kabar yang mengatakan bahwa Ratih telah
dijodohkan oleh putra raja yang belakangan ini erat
sekali mengadakan persahabatan dengan kerajaan me-
reka.
Dalam keadaan begitu sekonyong-konyong le-wat
seorang nenek bertubuh bongkok yang membawa kayu
bakar berjumlah banyak di pinggangnya.
"Ohhh...!"
Ratih tersentak kaget dan buru-buru menghampiri
si nenek untuk membantunya.
"Kasihan kau, Nek. Di mana rumahmu? Biar ku
bawakan kayu bakar ini untukmu!"
Si nenek tak menjawab ketika Ratih berusaha
mengambil beberapa kayu bakar yang dibawanya. Dia
hanya memperhatikan dengan seksama.
"Ratih, biar aku saja yang membantu nenek ini!"
teriak Gandasena buru-buru bangkit.
Tapi pemuda itu tersentak kaget ketika dengan ti-
ba-tiba si nenek bergerak cepat. Entah apa yang terja-
di, tiba-tiba Ratih jatuh lunglai tak berdaya dan telah
berada dalam gendongan nenek itu. Kayu bakar di
tangannya tadi telah dicampakkannya begitu saja.
"Siapa kau sebenarnya?!" bentak Gandasena ga-
rang.
Si nenek membuka selaput tipis di wajahnya yang
berkerut dan tersingkaplah wajahnya yang asli. Seo-
rang pemuda berambut gondrong dengan wajah tam-
pan dan kulit yang halus mulus bagai wanita. Dan ke-
tika jubah yang tadi dikenakan disingkapnya, terlihat
dia memakai seperangkat pakaian bagus terbuat dari
sutera. Tangan kanannya memegang sebatang suling
terbuat dari besi baja berkilat.
*
* *
"Sungguh mesra asrama bergelora di dada Hingga
melupakan dunia dan isinya. Yang mengintip di ba-
lik semak dengan penuh duka. Berharap kasih ber-
bagi suka bersama-sama...."
Si nenek yang kini telah menjelma menjadi pemuda
berwajah tampan itu bersyair di depan Gandasena
sambil tersenyum kecil. Sementara Ratih masih tetap
dalam dekapan tangan kirinya.
"Ki sanak, aku tak butuh segala macam syair-mu.
Lepaskan gadis itu atau kau akan terima hukuman!"
"Ha ha ha ha...! Hukuman apakah yang akan kau
berikan pada si Penyair Muka Kumala? Dan kenapa
kau begitu berkeras ingin merebut gadis ini yang begi-
tu pulas tertidur dalam dekapanku?"
"Hei, kaukah orang yang bergelar Penyair Muka
Kumala?" sengat Gandasena terkejut.
Nama itu memang belum terkenal luas, tapi karena
ayahandanya adalah kepala pasukan pengawal di se-
buah kadipaten yang selalu menerima laporan tentang
gangguan yang meresahkan penduduk di wilayah ka-
dipaten yang dipimpinnya, sedikit banyak dia menden-
gar juga nama Penyair Muka Kumala. Seorang tokoh
persilatan berusia muda yang berilmu tinggi namun
berkelakuan seperti binatang berkedok malaikat.
"Kenapa? Apakah ada larangan orang untuk ber-
syair di wilayah kerajaan ini?"
"Huh! Kaukah rupanya biang perusuh itu?!" den-
gus Gandasena tak memperdulikan kata-kata si Pe-
nyair Muka Kumala.
Walau mengetahui bahwa lawan berilmu tinggi, ta-
pi mana mau dia menunjukkan kegentaran dirinya.
Gandasena memandang pemuda itu dengan sikap sinis
dan merendahkan. Bahkan terlihat bahwa dia tak ta-
kut sedikit pun.
"Ha ha ha ha...! Agaknya kau pun mendengar ceri-
ta burung itu rupanya, Ki sanak. Tapi percayalah, aku
tak serendah apa yang disangka orang...."
"Tak peduli apa prasangka orang terhadapmu, yang
penting saat ini lepaskan gadis itu! Kau tahu siapa
dia? Bila pengawal kerajaan melihat hal ini kau tentu
tak akan bisa sembunyi ke mana pun dan akan mene-
rima hukuman yang berat!" gertak Gandasena garang.
"Ha ha ha ha...! Siapa yang tak kenal Putri Ratih
Kumaladewi yang tersohor cantik rupawan ini? Tentu
saja aku kenal kalau beliau putri rajamu. Tapi apa pe-
duliku? Kami saling mencintai, dan kalau orang sudah
saling mencintai apa pun tak menjadi soal," sahut si
Penyair Muka Kumala tenang sambil tak henti-
hentinya tersenyum.
"Huh! Lancang sekali kau berkata begitu, Ki sanak!
Ratih tak mungkin berbagi kasih dengan orang lain.
Kami berkawan sejak masih kecil dan aku tahu dia tak
mungkin menodai cinta kami!" dengus Gandasena.
"Oh, tak percayakah kau pada kata-kataku? Baik,
mari kita tanyakan sendiri padanya," jawab si Penyair
Muka Kumala enteng.
Dengan satu gerakan cepat ditotoknya beberapa
bagian tubuh gadis itu sehingga membuat gadis itu
terjaga. Sepasang mata si Penyair Muka Kumala mena-
tap erat seperti menghunjam ke hati Ratih dan mem-
buat gadis itu seperti orang bodoh.
"Ratih Kumaladewi, katakan pada orang itu. Bu-
kankah cintamu hanya kau peruntukkan bagiku? Ka-
kangmu, Kamajaya...! Katakan padanya agar terang
segala duduk persoalan..." kata si Penyair Muka Ku-
mala berulang-ulang.
Setelah selesai mendengar kata-kata itu, Ratih
membalikkan tubuh dan menatap Gandasena dengan
tatapan asing. Kemudian dari mulutnya meluncur ka-
ta-kata yang diucapkan terbata-bata.
"Aku mencintaimu Kakang Kamajaya... cinta-ku
hanya untuk Kakang Kamajaya...."
"Keparat! Kau telah menyihirnya! Orang sepertimu
lebih baik mampus!" geram Gandasena berteriak nyar-
ing sambil melompat dan menyerang si Penyair Muka
Kumala dengan pedang terhunus.
"Ha ha ha ha...! Kemarahan hanya membuat otak-
mu buntu dan hatimu buta. Kekasih orang lain diakui
sebagai kekasih sendiri. Ah... ini betul-betul penderi-
taan hebat. Aku kasihan padamu, Ki sanak. Dari pada
kau menderita batin yang membuat kau gila, lebih baik
aku menolongmu dengan mengirim ke akherat sece-
patnya," sahut Penyair Muka Kumala masih tetap ter-
senyum.
Dengan gerakan ringan Penyair Muka Kumala
menghindar dari serangan Gandasena. Tangan kirinya
masih memeluk Ratih sementara suling di tangan ka-
nannya memapaki pedang lawan.
"Trak!"
"Bet!"
Gandasena mengeluh kesakitan ketika senjata me-
reka beradu. Himpitan tenaga dalam lawan yang disalurkan lewat suling itu menandakan bahwa tenaga
dalam lawan lebih tinggi beberapa tingkat di atasnya.
Kulit tangannya sampai terkelupas menahan pedang-
nya yang nyaris terlepas. Namun tak percuma sebagai
putra kepala pasukan pengawal kadipaten kalau dia
tak mampu berkelit dari serangan Penyair Muka Ku-
mala selanjutnya, tendangan cepat ke arah ulu ha-
tinya.
Walaupun gugup, namun tubuh Gandasena men-
celat ke atas. Justru hal itulah yang agaknya diha-
rapkan Penyair Muka Kumala. Dengan kecepatan yang
sulit dielakkan Gandasena, suling si Penyair Muka
Kumala menghantam deras ke batok kepalanya tanpa
bisa dielakkan.
"Hiyaaa...!"
"Prak!"
"Aaa...!"
Nyawa Gandasena tak tertolong lagi ketika tubuh-
nya terhuyung-huyung ambruk dengan batok kepala
remuk.
"Hi hi hi hi...! Lenyaplah sudah penghalang kita.
Mari kekasihku, kita akan bersenang-senang mereguk
sorga dunia. Kau pasti akan berbahagia bersamaku!"
ujar Penyair Muka Kumala sambil tertawa-tawa senang
dan meninggalkan tempat itu secepatnya sambil mem-
bopong tubuh Ratih yang tak berusaha menolak.
*
* *
Siang itu udara tak terlalu panas sebab selain ma-
tahari tak terlalu garang bersinar, di angkasa terlihat
awan hitam mulai menutupi langit biru. Agaknya se-
bentar lagi suasana akan mendung dan turun hujan.
Tapi bagi kedua orang muda-mudi yang sedang
berjalan itu seperti tak berusaha berteduh. Padahal
melihat dari kulit tubuh mereka yang berdebu bercam-
pur keringat, pastilah keduanya telah melakukan per-
jalanan yang cukup jauh.
"Pelangi, apakah kau tak merasa lelah? Sudah se-
tengah harian kita berjalan berputar-putar, kau pasti
butuh istirahat," kata pemuda berbaju kulit harimau
pada gadis di sebelahnya.
"Orang yang kita cari semakin dekat, Bayu. Aku
khawatir jejaknya akan menghilang...."
"Hmmm... sungguh bejat perbuatan kakak se-
perguruanmu itu. Sepanjang perjalanan banyak orang
mengutuk dirinya. Ini membuat diriku semakin geram
untuk bertemu dan menampar wajahnya! Tak kusa-
lahkan kau begitu mendendam padanya," dengus Bayu
mengepalkan tangan.
"Itulah sebabnya batinku tak akan tenang sebelum
memotes kepalanya. Letih ini tak seberapa, Bayu. Bila
dibanding dengan harapan bertemu dan membalaskan
sakit hatiku padanya," sahut gadis yang dipanggil Pe-
langi itu dengan nada geram.
"Ya, ya... aku mengerti. Tapi sebaiknya kita berhen-
ti di kedai itu dulu. Perutku sudah melilit minta diisi.
Begitu juga dengan sahabat kecilku ini. Siapa tahu di
desa ini kita mendapat keterangan yang lebih jelas ten-
tang orang yang kau cari itu," kata si pemuda beram-
but gondrong yang tak lain dari Bayu Hanggara alias
Pendekar Pulau Neraka.
Pelangi mengangguk setuju, keduanya langsung
memasuki sebuah kedai yang cukup ramai di desa
yang mereka singgahi ini. Beberapa orang pengunjung
kedai memperhatikan mereka dengan tatapan aneh
yang sulit dimengerti. Sementara yang lainnya acuh
tak acuh.
"Mau pesan apa, Ki sanak?" tanya si pelayan
menghampiri.
Bayu segera memesan dua porsi untuk mereka
berdua, dan santapan khusus untuk monyet kecil ber-
bulu hitam yang selalu berada di dekatnya.
"Jangan lupa dua bumbung tuaknya, Pak!" lanjut-
nya sebelum pelayan itu menghilang ke belakang un-
tuk menyiapkan pesanan mereka.
"Apakah kau merasa aneh dengan suasana di sini,
Bayu?" tanya Pelangi dengan suara pelan.
"Entahlah. Sekilas kulihat mereka memandang kita
penuh selidik., Terlebih-lebih padaku. Entah apa yang
mereka pikirkan tentang kita, tapi aku tak peduli!"
Sepasang mata Bayu melihat beberapa orang ke-
luar dari kedai itu. Dia menoleh ke meja mereka. Ma-
kanan mereka belum habis, dan kalau bermaksud ke-
luar dengan semestinya, pastilah mereka harus mem-
bayar terlebih dulu. Tapi orang-orang itu keluar begitu
saja seperti jagoan yang ingin makan tanpa bayar.
"Kenapa Bayu? Apakah kau mencurigai mereka?"
tanya Pelangi yang agaknya juga memperhatikan
orang-orang itu.
"Perasaanku mengatakan ada yang tak beres di de-
sa ini. Tapi apa? Yang jelas bersangkutan dengan ke-
hadiran kita..." gumam pemuda itu bertanya-tanya.
"Barangkali kau pernah membuat kekacauan di si-
ni?"
"Hus, bicara sembarangan! Kekacauan apa yang
kuperbuat? Menginjak desa ini baru sekarang, bagai-
mana mungkin bisa mengenal aku sebagai pengacau!"
"Mungkin di desa ini pernah ada seorang pengacau
yang wajahnya mirip denganmu." tebak Pelangi sambil
tersenyum menggoda.
"Sialan! Memangnya tampangku mirip pengacau?
Yang jelas pasti orang-orang di desa ini matanya buta
atau lamur semua!"
"Kenapa jadi menyalahkan orang lain?" tanya Pe-
langi terus menggoda.
"Sudah! Sudah!" sentak Bayu kesal.
Pada saat itu masuk beberapa orang berpakaian
seragam seperti pengawal kerajaan. Tanpa basa basi
lagi mereka langsung menuju ke arah muda-mudi itu.
Salah seorang di antara mereka berkata dengan suara
lantang.
"Atas nama Gusti Prabu Wisnupaksi, kau kami
tangkap!" tunjuknya ke arah Bayu.
Tentu saja Pendekar Pulau Neraka tersentak kaget
mendengar kata-kata itu.
"Heh...?! Apa-apaan ini? Kenal pun tidak dengan
raja kalian tiba-tiba seenaknya menangkapku. Apa ke-
salahanku?!"
"Jangan banyak bicara! Kau telah terkepung. Me-
nyerahlah atau kami akan bertindak keras padamu!"
"Hmmm... menyerah soal gampang, tapi jelas-kan
dulu apa kesalahanku hingga kalian menangkapku
seenaknya?"
"Kau telah melarikan Putri Ratih Kumala-dewi!"
"Apa?"
*
* *
ENAM
Bayu lebih terkejut lagi mendengar tuduhan itu.
Betapa tidak? Jangankan menculik, mengenal orang
yang namanya disebutkan itu pun dia belum tahu.
Bahkan namanya pun baru dikenalnya sekarang. Ba-
gaimana mungkin mereka bisa menuduhnya demikian?
"Ki sanak, kukira kalian salah alamat. Aku tidak
menculik siapa pun, dan gadis ini bukan bernama Ra-
tih Kumaladewi," sahut Bayu tenang.
"Kami tidak mengatakan gadis ini yang kau culik.
Menyerahlah kau Penyair Muka Kumala, atau kami
terpaksa menggunakan kekerasan sekarang juga!" ben-
tak pengawal kerajaan itu sambil menghunus pedang-
nya.
Beberapa anak buahnya mengikuti perbuatan-nya
dan bersikap siaga.
"Apa? Kau menyebutku Penyair Muka Kumala? Ki
sanak, kau betul-betul salah...."
"Yeaaa...!"
Belum lagi habis kata-kata yang diucapkan Bayu,
ujung pedang pengawal kerajaan itu membabat leher-
nya.
"Aku diperintahkan membawamu hidup-hidup un-
tuk menerima hukuman atau membunuhmu di tempat
itu kalau kau membangkang!"
"Sialan!" maki Bayu geram sambil menunduk-kan
kepala menghindar dari sabetan pedang lawan.
"Kaaakh...!"
Monyet kecil sahabatnya itu pun terpekik kaget ke-
tika ujung pedang prajurit yang lain nyaris merobek
tubuhnya. Masih untung dia sempat berkelit dengan
melompat ke tempat lain.
"Hentikan!" bentak Pelangi tiba-tiba dengan wajah
sengit.
"Ni sanak, sebaiknya kau tak perlu dekat-dekat
dengan bajingan ini!" sahut salah satu prajurit kera-
jaan.
"Siapa yang kau maksud bajingan? Tidak tahukah
kalian siapa dia?!"
Para prajurit kerajaan itu terdiam beberapa saat
sambil memandangi pemuda berambut gondrong berbaju kulit harimau itu dengan seksama.
"Siapa lagi kalau bukan Penyair Muka Kumala
yang berjiwa bejat itu?!"
"Huh! Dari siapa kalian tahu bahwa dia adalah ba-
jingan keparat itu?"
"Ada orang-orang yang memberitahukan kami ten-
tang kehadiran pemuda ini. Pihak kerajaan di-sebar ke
seluruh pelosok desa karena dia membawa lari Puteri
Ratih Kumaladewi."
"Kalian salah. Dia bukan orang yang dimaksud, ka-
rena kami pun sedang mencari Penyair Muka Kumala."
"Hmmm... kalau bukan dia, jadi siapa pemuda ini?"
"Bukalah telinga kalian lebar-lebar agar tak salah
tangkap lagi. Dialah pendekar muda yang bergelar
Pendekar Pulau Neraka."
"Apa?! Pendekar Pulau Neraka?"
Kali ini prajurit-prajurit itulah yang terkejut setelah
Pelangi memberitahukan siapa Bayu sebenarnya. Na-
ma itu agaknya telah menyebar pula di tempat ini.
Terbukti para prajurit kerajaan itu menatap Bayu den-
gan pandangan takjub.
"Pendekar Pulau Neraka?!"
Tiba-tiba seseorang menghampiri Bayu. Seorang
laki-laki setengah baya. Wajahnya terlihat berseri-seri.
"Ki sanak, apakah kau masih mengenaliku?" tanya
laki-laki itu.
Bayu memandangi orang tua itu beberapa saat.
Kemudian mengangguk-anggukkan kepala.
"Kau adalah Ki Sentanu, kepala desa Jaranan, bu-
kan?"
"Tak salah! Aku memang Ki Sentanu. Ah, tak sang-
ka akhirnya kita bertemu lagi di desa ini. Tapi... ng...."
"Kenapa Ki Sentanu? Apakah yang membuat-mu
tiba di desa yang jauh dari desamu ini?"
"Itulah Ki sanak. Tahukah kau pemuda yang tempo
hari datang menolong kami?"
Bayu mengangguk cepat.
"Dia adalah si laknat keparat itu!" desis Ki Sentanu
geram.
"Apa maksudmu Ki Sentanu?"
"Di balik kebaikannya ternyata tersembunyi mak-
sud-maksud jahat yang terkutuk... eh, bisakah kita
berbicara tanpa... ng maksudku ini adalah peristiwa
yang memalukan bagi desa kami...."
Bayu memandang ke arah Pelangi sejurus kemu-
dian. Ketika dilihatnya gadis itu mengangguk-kan ke-
pala, mereka meninggalkan desa itu menuju ke suatu
tempat.
"Tunggu dulu, Ki sanak!" panggil salah seorang
prajurit kerajaan.
"Ada apa lagi?!" Pelangi yang menyambut dengan
wajah galak.
"Maafkan kesalahan kami menuduh kalian tanpa
bukti...."
"Hmmm... tak apa. Kalau tak ada urusan lain kami
permisi dulu," sahut Bayu.
"Maaf Ki sanak. Kalau benar kau sedang men-cari
orang itu, sudilah memberitahukan pihak kerajaan.
Paling tidak mencari tahu di mana dia menyembunyi-
kan Putri Ratih Kumaladewi...."
"Ya, akan ku usahakan."
"Terima kasih atas kesediaanmu...."
Bayu mengangguk. Dia segera mengajak mereka
untuk meninggalkan tempat itu secepatnya. Mulanya
dia sedikit terkejut karena beberapa orang pemuda
mengikuti mereka. Tapi Ki Sentanu menjelaskan bah-
wa orang-orang itu datang bersamanya. Barulah si
Pendekar Pulau Neraka mengerti.
** *
Di tengah perjalanan Ki Sentanu menceritakan ke-
jadian yang menimpa desa mereka kepada pemuda itu.
Bayu mendengarkannya dengan seksama sambil
menggeleng-gelengkan kepala dengan wajah muram.
Lebih-lebih Pelangi. Wajahnya diliputi hawa marah
yang memuncak.
"Maafkan kesalahan kami tempo hari Ki sanak.
Kami sungguh tiada menyangka bahwa orang itulah
yang justru kami takutkan. Ketika melihatmu tempo
hari kami mengira bahwa kaulah orangnya yang berge-
lar Penyair Muka Kumala. Sebab menurut beberapa
orang yang sempat mengenalinya dia berwajah tampan
dan berambut gondrong. Persis sepertimu...."
"Sudahlah. Kejadian yang terjadi tak bisa dihindari
lagi. Baiknya ini dijadikan pelajaran.... Jadi kalian per-
gi begitu jauh untuk mencari dan menuntut balas ke-
padanya?"
"Apa lagi yang bisa kami lakukan? Dia telah meno-
dai hampir semua wanita dan gadis-gadis di desa kami
dengan rayuan mautnya. Dan ketika kami menyadari
hal itu, dia telah pergi meninggalkan desa dengan
menculik lima orang gadis. Salah satu di antaranya
adalah putri ku sendiri..." sahut Ki Sentanu sedih pe-
nuh luapan emosi.
"Ki Sentanu, orang itu berilmu tinggi dan sulit di-
taklukkan. Kalian hanya akan mengantarkan nyawa
secara percuma bila bertemu dengannya. Kembalilah
pulang, dan serahkan urusan Penyair Muka Kumala
pada kami..." ujar Bayu.
"Betul Ki. Biarlah kami berdua yang mewakili ka-
lian untuk membalaskan sakit hati pada jahanam itu.
Soal gadis-gadis yang diculiknya kurasa mereka akan
pulang dengan sendirinya. Penyair Muka Kumala jarang membunuh gadis-gadis yang telah dinodainya..."
timpal Pelangi.
"Itulah yang justru ku takutkan...."
"Lho, kenapa?"
"Dua orang gadis desa kami kedapatan tewas bu-
nuh diri. Mungkin mereka tak kuat menanggung malu.
Kalaupun Penyair Muka Kumala tak membunuh mere-
ka, rasanya tak mungkin gadis-gadis itu mau pulang
kembali ke kampung halaman mereka. Aku khawatir
mereka merasakan harga dirinya sudah tak berguna
dan nekat memilih jalan pintas dengan cara bunuh di-
ri..." keluh Ki Sentanu.
"Nah, kalau kalian hendak menyelamatkannya, ca-
rilah mereka. Mudah-mudahan masih belum terlam-
bat. Yakinlah bahwa Penyair Muka Kumala jarang
membunuh gadis yang dinodainya. Dia memerlukan
mereka hanya untuk pemuas nafsu iblisnya saja. Sete-
lah puas maka gadis itu akan ditinggalkannya begitu
saja. Kecuali kalau gadis-gadis itu berkeras menagih
janji dan memaksanya terus barangkali dia bisa mem-
bunuhnya tanpa perasaan sedikit pun," bujuk Pelangi.
"Nah, Ki Sentanu. Pulanglah, lalu carilah mereka.
Mudah-mudahan kalian berhasil!" timpal Bayu.
Orang tua itu menoleh dan menatap keduanya
agak lama seolah meyakinkan harapan mereka tergan-
tung pada kedua orang itu.
"Sungguh-sungguhkah kalian akan mencari dan
membinasakannya?"
Bayu tersenyum. Tapi Pelangi lebih dulu menya-
hut.
"Kebencian kami tidak kalah dengan kebencian
yang kalian miliki padanya. Aku bersumpah akan me-
motes lehernya!"
"Ohhh... terima kasih! Terima kasih, Ki sanak. Aku
tak tahu bagaimana cara terbaik mengucapkan terima
kasih pada kalian. Khususnya padamu, Ki sanak!"
tunjuknya ke arah Bayu.
"Sudah, lupakan peristiwa itu...."
"Aku betul-betul tak tahu kau adalah pendekar ke-
sohor itu. Kalau saja kami mengetahuinya tentu kami
tak akan bersikap begitu padamu. Bahkan sejak di ke-
dai tadi kami melihatmu, masih tersimpan kekesalan
sampai kawanmu ini menyebutkan siapa dirimu...."
"Aku juga salah tak menyebutkan nama pada ka-
lian. Tapi aku sungguh-sungguh tak tahu bahwa na-
maku berarti bagi kalian..." sahut Bayu.
Tadinya dia akan menyinggung dengan kata-kata,
bahwa namanya ternyata lebih berarti dari-pada per-
buatannya. Namun mengingat mereka dalam suasana
duka dia mengurungkan niat. Bagaimana pun rasa
jengkelnya masih terasa karena perlakuan mereka be-
berapa hari yang lalu. Tapi melihat masalah yang me-
reka hadapi mau tak mau timbul juga rasa kasihan-
nya.
Tak berapa lama kemudian setelah mengucapkan
terima kasih dan penyesalannya sampai berkali-kali,
mereka pun pergi meninggalkan kedua orang itu den-
gan dada penuh harapan.
"Ke mana tujuan kita sekarang?" tanya Pelangi se-
telah Ki Sentanu dan yang lainnya pergi. Bayu berpikir
sesaat.
"Coba pikirkan, bila seorang laki-laki akan me-
lakukan perbuatan maksiat, tempat apa yang kira-kira
cocok?" tanya Bayu.
"Mana ku tahu! Aku wanita dan kau laki-laki. Se-
harusnya kau yang lebih tahu."
Bayu tersipu malu.
"Brengsek! Kalau aku sering melakukan hal demi-
kian tentu aku tak akan tanya padamu!" sungutnya
gondok.
"Setidaknya kau pasti mengerti. Tempat yang ba-
gaimana tepatnya untuk melakukan perbuatan yang
demikian!"
"Hmmm... dia baru saja melarikan putri raja. Seti-
daknya dia pasti menyadari bahwa prajurit kerajaan
tak akan tinggal diam dan pasti men-carinya. Rasanya
tidak mungkin kalau dia memilih tempat yang dekat
dari desa ini. Setidaknya di desa lain atau di tempat
yang terpencil yang jarang dilalui orang."
"Di mana kira-kira?"
"Bagaimana kalau kita berpencar?"
Pelangi memandang wajah pemuda itu beberapa
saat lamanya setelah mendengar kata-kata Bayu.
"Kenapa?"
"Bayu, aku tak akan meminta pertolonganmu ka-
lau aku mampu menghadapinya seorang diri. Sudah
kukatakan, aku rela mati, tapi harus yakin bahwa dia
pun mampus sebelum aku menemui ajal...."
"Ya, ya... hm, kalau begitu lebih baik kita menyelu-
suri hutan di depan sana. Terlihat ada gunung tinggi.
Pasti banyak terdapat lembah atau yang sejenisnya.
Tempat seperti itu biasanya jarang dilalui manusia bi-
asa, mari kita ke sana!" ajak Pendekar Pulau Neraka
sambil menggenjot tubuh menggunakan ilmu lari ce-
patnya.
Bersamaan dengan itu Pelangi pun mengikuti sam-
bil merendengi lari Pendekar Pulau Neraka.
*
* *
Seseorang tampak berkelebat memasuki sebuah
hutan yang cukup lebat di depannya. Melihat caranya
berlari pastilah orang itu bukan sembarangan. Apalagi
terlihat bahwa dia menggendong tubuh seseorang.
Tampaknya biasa saja seolah tak membawa beban be-
rat. Bahkan wajahnya terlihat senang. Dan sesekali dia
tertawa-tawa kecil dan berbicara dengan orang sedang
yang dibopongnya itu.
"Hi hi hi hi...! Sebentar lagi manis, sebentar lagi.
Kau tentu sudah tak sabaran bukan? Demikian juga
aku. Namun tak lama lagi kita akan mengecap kenik-
matan bersama-sama. Kita akan mencari tempat yang
sepi dan aman dari gangguan orang lain," kata orang
itu yang ternyata adalah seorang pemuda gondrong
berwajah tampan.
Dalam bopongannya itu adalah seorang gadis can-
tik yang kulit kuning langsat dan halus sekali. Ram-
butnya ikal mayang dan hidungnya kecil dan man-
cung. Siapa pun lelaki yang melihat parasnya pasti
akan terpesona. Melihat caranya berpakaian, pastilah
gadis itu orang-orang persilatan pada umumnya. Sia-
pakah mereka sebenarnya?
Yang laki-laki bernama Kamajaya, atau lebih di-
kenal sebagai Penyair Muka Kumala, dan gadis yang
sedang dalam bopongannya itu tak lain dari Ratih Ku-
maladewi yang saat itu sedang mengenakan pakaian
penyamarannya. Gadis itu sebenarnya adalah putri ra-
ja yang telah dilarikan oleh Penyair Muka Kumala.
Melihat kedudukannya sebagai putri raja, rasanya
mustahil gadis itu tak berontak dan berusaha melari-
kan diri dari orang yang menculiknya. Apa lagi dalam
keadaan terjaga begitu rupa. Padahal pemuda itu bu-
kan tunangannya. Kalau saja dia dalam keadaan sadar
tentu saja gadis itu akan berbuat demikian. Tapi ada
hal yang aneh ketika melihat wajahnya. Sorot mata ga-
dis itu kosong seperti tak ada gairah kehidupan. Seper-
tinya dia pasrah saja akan dibawa ke mana oleh pe-
muda itu.
Bahkan ketika Kamajaya menidurinya di balik semak-semak, gadis itu tak berusaha berontak. Sorot
matanya tetap menatap kosong pada Penyair Muka
Kumala. Begitu juga ketika Kamajaya melepaskan pa-
kaiannya satu persatu hingga tersingkap lekuk-lekuk
tubuh gadis itu yang menggiurkan.
"Ahhh... tubuh bagus! Tubuh bagus! Belum pernah
aku melihat tubuh bagus seperti ini. Dadamu indah
menantang dan pinggul mu padat berisi, Kau betul-
betul sempurna sebagai seorang gadis. Sebentar,
Sayang.... Sebentar, Sayang..." oceh Kamajaya beru-
lang-ulang sambil mengelus-elus tubuh gadis itu dari
atas sampai bawah.
Tak berapa lama kemudian dia pun melepaskan se-
luruh pakaian dengan dengus nafas garang. Dicium-
nya gadis itu dengan penuh nafsu dan perlahan-lahan
dipeluknya erat-erat.
Gadis itu tetap tak bereaksi. Wajahnya hanya sedi-
kit berkerut seperti menahan nyeri ketika dengus nafas
Kamajaya semakin kencang seperti orang sedang ber-
lari jauh. Keringatnya telah bercucuran sebesar biji ja-
gung.
Entah berapa lama dia berbuat demikian. Pada ak-
hirnya terdengar dengus nafas Kamajaya mereda. Pe-
muda itu mendesah sambil menggeleng-gelengkan ke-
pala dengan wajah berseri.
"Ohhh... betul-betul hebat! Sempurna! Kau betul-
betul membuatku puas, Sayang!" desisnya berkali-kali.
Dipandangnya gadis itu dengan penuh kemesraan
dan kembali dikecupnya bibir merah merekah itu. Si
gadis diam seribu bahasa tanpa memberikan reaksi.
Namun kedua tangan Kamajaya semakin nakal me-
nyusuri kembali lekuk-lekuk padat pada dua buah bu-
kit kenyal yang menantang kejantanannya. Dan seperti
orang yang kemasukan setan, Kamajaya mengulangi
perbuatan terkutuknya sekali lagi.
Entah setan apa yang merasuk ke dalam pemuda
berwajah tampan itu, tapi setiap kali dipandanginya
tubuh gadis yang tanpa busana itu, maka setiap kali
pula nafsu setannya terangsang kembali dan gadis ma-
lang itu harus pasrah menanggung derita yang tak
disadarinya. Dia tak bereaksi apa-apa atas perbuatan
pemuda itu. Hanya wajahnya yang sesekali berkerut
seperti menahan rasa sakit. Dan pada puncaknya saat
Kamajaya betul-betul telah kelelahan, gadis itu seper-
tinya tak kuat lagi menahan rasa sakit. Wajahnya
hanya berkerut sesaat, untuk kemudian betul-betul
tak sadarkan diri.
"Tidurlah, Sayang... tidurlah. Sebentar lagi kau
pasti akan segar kembali dan kita bisa melanjutkan
permainan kita esok hari," ujar Kamajaya sambil me-
nyelimuti tubuh si gadis begitu saja dengan bajunya
tadi.
Dia sendiri merebahkan diri di atas rerumputan di
sebelah si gadis sambil berkali-kali menguap. Sebelah
tangannya memeluk tubuh gadis itu dengan penuh
mesra.
Tak terasa senja telah berlalu, dan keduanya betul-
betul pulas dalam gulitanya malam. Yang satu pulas
kelelahan sambil menyungging senyum puas, sementa-
ra si gadis terlelap tanpa reaksi selain sudut bibirnya
yang membuat lekuk jerit batinnya yang luka.
Entah berapa lama mereka terlena dalam keadaan
begitu, tiba-tiba saja Kamajaya terbangun sambil me-
mekik keras. Perutnya seperti diaduk-aduk, dan pung-
gungnya terasa linu terbentur batang pohon yang cu-
kup besar. Walaupun dalam keadaan demikian dia
masih mampu menjaga keseimbangan tubuhnya dan
jatuh di atas kedua kaki dengan mantap.
Matanya agak silau ketika matahari pagi persis
menerpa ke arah wajahnya. Sambil menyeka sudut bibirnya yang mengeluarkan darah, pemuda itu berusa-
ha memejamkan penglihatan.
Di depannya pada jarak tiga tombak berdiri lima
sosok bayangan dengan sorot mata garang mengan-
cam. Kamajaya berusaha mengenali mereka satu per-
satu. Empat orang laki-laki itu tak dikenalnya, namun
ketika melihat seorang gadis yang berdiri paling kiri dia
tersentak kaget.
"Pelangi...? Apakah kau Pelangi kekasihku?!"
"Benar Kakang Kamajaya, aku Pelangi. Tapi bukan
kekasihmu, melainkan malaikat maut yang akan men-
jemput nyawamu!"
"Pelangi, kenapa kau berkata begitu? Apakah kau
sudah tak mencintai aku lagi?"
"Jangan mencoba untuk merayu ku, Kakang. Per-
cuma, karena segala rayuan mu tak akan mempan lagi
untukku!"
"Pelangi, begitu tegakah kau melupakan masa-
masa indah kita dulu yang...."
"Diam kataku anjing laknat!" sentak gadis itu den-
gan suara menggeledek.
Kamajaya agak terkejut mendengarnya. Bukan oleh
pengaruh suara yang dikeluarkan dengan pengerahan
tenaga dalam hebat itu, melainkan karena dia tahu be-
tul bahwa gadis itu tak pernah mengeluarkan suara
sekeras itu padanya sebelum hari ini.
*
* *
TUJUH
Kenapa Pelangi telah berada di tempat itu? Pada
saat mereka memutuskan untuk memasuki hutan
yang ditunjuk oleh Bayu, keduanya bertemu dengan
tiga orang persilatan lain yang kebetulan sedang men-
cari Kamajaya, alias Penyair Muka Kumala. Yang seo-
rang merupakan utusan dari kerajaan, yaitu Panglima
Bayan Rimang. Beliau adalah salah seorang yang be-
rilmu silat tinggi dan amat disegani oleh semua kalan-
gan termasuk orang-orang persilatan. Dengan senjata
andalannya berupa tombak sakti dia sempat malang
melintang di rimba persilatan dengan gelar Tombak
Sakti Pencabut Nyawa, sebelum bekerja pada kerajaan.
Sedang kedua orang lainnya adalah Ki Wangsapala.
Seorang tokoh tua yang jarang muncul dan dikenal se-
bagai Malaikat Maut Berwajah Buruk, dan Nyai Agni
Permoni, wanita setengah baya yang termasuk tokoh
persilatan berilmu tinggi, dan amat disegani. Beliau le-
bih terkenal dengan gelar Kuntilanak Pipi Merah.
Kedua tokoh persilatan itu agaknya punya persoa-
lan pribadi dengan Penyair Muka Kumala. Terlihat ke-
tika tiba-tiba Nyai Agni Permoni ketawa nyaring den-
gan nada mengancam.
"Hi hi hi hi...! Inikah orangnya yang punya gelar
Penyair Muka Kumala? Hmmm... bocah bagus! Kalau
saja kelakuanmu terpuji sungguh senang sekali punya
menantu sepertimu. Tapi sayang, kau mempermainkan
hati putri ku hingga dia bunuh diri akibat perbuatan-
mu. Dan kau akan terima balasannya hari ini, kepa-
rat!"
Kamajaya menyadari bahwa kelima orang itu da-
tang bukan dengan maksud baik, melainkan ingin me-
nuntut balas terhadapnya. Tapi pemuda itu sungguh
percaya diri terhadap kemampuannya. Dengan tenang
dia melangkah pelan dan berhenti ketika jarak mereka
persis satu tombak. Dipandanginya keempat orang itu
satu persatu. Dan pada jarak inilah dia dapat menge-
nali seorang lagi di antara mereka. Seorang pemuda
berambut gondrong berbaju kulit harimau dengan see-
kor monyet kecil berbulu hitam di pundaknya.
"Hmmm.... Pendekar Pulau Neraka, agaknya kau
pun berada di sini. Sungguh kehormatan luar biasa
bagiku bisa bertemu dengan sahabat lama di sini," ka-
tanya dengan nada ramah sambil tersenyum kecil.
"Aaah... kau terlalu memuji, Ki sanak. Orang seper-
tiku mana pantas menjadi sahabatmu sebab aku lebih
cocok menjadi juraganmu yang akan menghukummu
karena telah berbuat kesalahan," balas Bayu sambil
menahan geram.
"Hmmm... begitukah? Sungguh malang nasib jura-
ganku. Untuk menghukum seorang budak tak berdaya
sepertiku saja harus membawa tiga orang centeng yang
galak dan seram."
"Demikian pula sebaliknya aku, sungguh kasihan
melihat keadaanmu. Saking ketakutannya sampai lupa
ingatan dan menganggap tiga malaikat maut yang
akan mengadilimu sebagai centengku. Mungkin dalam
beberapa saat lagi kau akan semakin tak waras dan
menganggap dirimu penguasa tanpa tanding. Tapi bo-
lehlah kau beranggapan demikian asal tempatmu di
neraka sana!"
"Ha ha ha ha...! Tak kusangka Pendekar Pulau Ne-
raka yang terkenal sadis dan kejam ternyata cuma
pandai bersilat lidah. Nah, katakanlah apa yang kalian
inginkan dari budakmu ini?"
"Huh, semakin banyak omong kepalamu akan se-
makin besar. Aku sudah tak sabaran ingin mengorek
jantungmu!" desis Nyai Agni Permoni sambil melompat
dan menyerang Penyair Muka Kumala dengan sengit.
"Ohhh... apakah kau pun ingin bersenang-senang
denganku? Tak apa. Walaupun kau sudah berumur
tapi masih kelihatan cantik dan tak kalah dengan putri
mu," ejek Kamajaya sambil bergerak menghindar.
"Yeaaa...!"
"Bet!"
Nyai Agni Permoni mengetahui bahwa pemuda itu
berilmu tinggi. Itulah sebabnya dia tak mau berlaku
sembarangan. Serangannya ganas dan betul-betul
mematikan. Sebagai salah seorang tokoh yang disegani
di dunia persilatan tentu saja dia tak mau kehilangan
muka dan dijatuhkan pemuda itu dalam beberapa ju-
rus.
Tapi lawan yang dihadapinya kali ini bukanlah
orang sembarangan. Walaupun gerakan menghindar
yang dilakukan Kamajaya terlihat lemah gemulai se-
perti orang menari, tapi dengan tiba-tiba bisa berubah
cepat dan ganas laksana banteng liar. Sehingga terlihat
pertarungan itu betul-betul berjalan seimbang.
Kelima orang itu tadi telah sepakat untuk me-
lakukan pertarungan satu persatu menghadapi lawan-
nya. Mereka tentu saja tak mau kehilangan muka den-
gan mengeroyok pemuda itu dalam membalaskan sakit
hatinya. Padahal kalau saja mau membunuh begitu
saja, tentu telah sejak tadi mereka lakukan saat pe-
muda itu sedang tertidur pulas. Panglima Bayan Ri-
mang cuma menendangnya dengan sedikit pengerahan
tenaga dalam hingga tak membuat Penyair Muka Ku-
mala terluka parah. Tapi karena Kamajaya tak menge-
tahuinya tentu saja dia tak berusaha menyalurkan te-
naga dalam untuk menahan tendangan itu.
Tadinya Pelangi yang akan langsung memotes leher
pemuda itu saat dia sedang tertidur, tapi Panglima
Bayan Rimang lebih dulu menendangnya setelah me-
raih tubuh Ratih Kumaladewi dan meletakkan di tem-
pat yang aman.
"Hmmm... aku sudah tak sabar ingin memotes ke-
pala si keparat itu agar Gusti Prabu merasa setimpal
dengan apa yang telah dilakukan jahanam itu terha
dap putrinya!" ujar Panglima Bayan Rimang dengan
wajah geram.
"Bukan kau saja yang ingin kepalanya, sahabat.
Aku pun sama besar keinginannya dibandingkan den-
ganmu. Dia telah membawa lari putri ku dan meno-
dainya berkali-kali. Dan setelah puas ditinggalkannya
begitu saja!" sahut Ki Wangsapala yang berwajah bu-
ruk itu.
"Jadi bagaimana sekarang, Bayu?" tanya Pelangi
pelan dan agak menjauh dari kedua orang itu.
"Bagaimana kenapa?"
"Kau tak jadi menolongku?"
"Kenapa tidak?"
"Kelihatannya tenang-tenang saja, dan menyerah-
kan persoalan kepada mereka!?" Bayu tersenyum.
"Ahhh... memang sudah nasibku dendam tak ter-
balas... biarlah. Barangkali untuk hidup pun aku su-
dah tak berguna lagi. Kalaupun mati toh tak ada yang
menyesali...."
"Kenapa berkata begitu, Pelangi? Sabarlah. Kalau
kita maju berbareng mengeroyok kakak seperguruan-
mu itu, tentu yang lain akan merasa diremehkan. Biar-
lah mereka mendapat bagiannya masing-masing."
"Mereka bukan tandingannya!"
"Hei! Kenapa kau berkata begitu? Mereka merupa-
kan orang-orang tangguh berilmu tinggi!"
"Aku tahu! Tapi kau tak akan tahu sampai di mana
kemampuan Kamajaya saat ini. Dulu saja sebelum me-
larikan kitab pusaka peninggalan guru kami kepan-
daiannya sudah demikian tinggi dan hampir menyamai
guru kami. Bisa kau bayangkan bagaimana kemam-
puannya sekarang!"
"Sepertinya kau selalu mengunggulkan gurumu
dan kepandaian kakak seperguruanmu itu. Selama ini
aku tak tahu, siapa guru kalian sebenarnya.
Pelangi melirik pemuda itu sekilas. Kemudian ka-
tanya dengan suara lirih.
"Kau menganggap remeh ya? Tak apalah. Barang-
kali guruku bukan orang terkenal dan bukan satu-
satunya orang yang berilmu tinggi. Namanya Kun Ta-
pa...."
"Setan Maut Langlang Buana?!" potong Bayu kaget.
"Kenapa? Apakah kau mengenalnya!" tanya Pelangi
enteng.
*
* *
Nama itu pernah dikenal dari gurunya, Eyang Gar-
dika. Seorang datuk sesat yang ilmunya tinggi tiada
bandingan. Mereka hidup sejaman dan saling meng-
hormati sehingga tak pernah terjadi bentrok antara
keduanya. Beliau juga salah satu yang diantara orang
yang diwanti-wanti Eyang Gardika agar dia berhati-
hati bila berhadapan dengannya, tapi tak sangka hari
ini dia musti berhadapan dengan muridnya.
Bayu tersentak ketika mendengar satu jeritan ke-
ras. Terlihat Nyai Agni Permoni terlempar keras meng-
hantam batang kayu besar akibat beradu pukulan
dengan Penyair Muka Kumala. Baru saja dia bermak-
sud memberikan pertolongan ketika melihat Kamajaya
telah mencelat dan bermaksud menghabisi nyawa wa-
nita setengah baya itu ketika Panglima Bayan Rimang
telah lebih dulu bergerak memapaki.
"Yeaaaa...!"
"Huh! Kau juga akan menerima bagian yang sama!"
dengus Kamajaya.
Namun pemuda itu tak berani gegabah ketika me-
lihat toya di tangan Panglima Bayan Rimang berputar
menderu-deru sehingga menimbulkan pusaran angin
kencang menghantam dirinya.
"Tak semudah apa yang kau bayangkan, bocah!
Kau boleh berbangga hati dengan kehebatanmu. Tapi
di hadapanku jangan harap!"
"Hiyaaaa...!"
"Bet!"
"Praak!"
"Akh!"
Panglima Bayan Rimang terkejut setengah mati ke-
tika kepalan tangan pemuda itu dihantamkan ke de-
pan. Tak terlihat angin kencang akibat pengerahan te-
naga dalam yang dilontarkannya, tapi tiba-tiba saja
toya yang sedang berputar bagai kitiran itu hancur be-
rantakan menjadi puing-puing kecil dihantam pukulan
yang tak terlihat itu. Sementara tangan kanan Pangli-
ma Bayan Rimang sendiri hancur sebatas bahu seperti
terkena ledakan dahsyat.
"Terimalah kematianmu, sahabat!" bentak Kama-
jaya sambil meluncur cepat mengirim serangan beri-
kutnya.
Pada saat yang bersamaan tiga sosok bayangan
bergerak serentak memapaki serangan Penyair Muka
Kumala untuk menyelamatkan nyawa Panglima Bayan
Rimang. Tapi hal itu telah disadari Kamajaya, kare-
nanya tubuh pemuda itu melentik menghindar.
"Yeaaa...!"
"Brusss...!"
Beberapa pohon terlihat tumbang dihantam puku-
lan ketiga sosok bayangan tadi. Sementara Kamajaya
terkekeh-kekeh ketika menjejakkan kedua kakinya di
tanah.
"Ha ha ha ha...! Agaknya kalian sudah tak sabar
menunggu giliran hingga perlu turun tangan sekali-
gus!"
"Penyair Muka Kumala, kami tak perlu turun tan
gan bersama kalau cuma ingin meringkusmu. Ayo, ma-
julah kau! Hadapi si Wangsapala ini!" tantang orang
tua itu geram.
Kalau saja mereka bertiga tadi bergerak bersamaan
itu bukan berarti bahwa ketiganya bermaksud menge-
royok Kamajaya. Kebetulan saja mereka mempunyai
niat yang sama, yaitu ingin menolong nyawa Panglima
Bayan Rimang.
"Hmmm... kau rupanya Ki Wangsapala yang berge-
lar Malaikat Maut Pencabut Nyawa. Namamu pernah
menggetarkan dunia persilatan beberapa belas tahun
silam. Kata orang ilmu silatmu hebat tiada tara. Siapa
nyana hari ini kau begitu berbaik hati ingin memberi
pelajaran padaku. Silahkan Ki sanak! Aku yang muda
bersiap menerima pelajaran darimu," sahut Kamajaya
sambil tersenyum mengejek.
Ki Wangsapala baru saja akan bersiap menyerang
pemuda itu ketika Pelangi menyela dengan tiba-tiba.
"Ki Wangsapala, maaf! Dari tadi aku lebih banyak
mengalah. Kali ini kau harus membiarkan aku meng-
hajar bajingan keparat ini!"
"Pelangi...!"
"Diamlah kau, Bayu! Aku telah bertekad untuk
menghajar bajingan ini walaupun aku harus mati!"
sentak Pelangi ketika Bayu mencoba mencegahnya.
"Tidak bisa, Ni sanak! Pemuda ini adalah bagian-
ku!" sahut Ki Wangsapala berkeras.
"Ki Wangsapala, aku punya dendam tujuh turunan
terhadapnya. Tidak bisakah kau mengalah sedikit?"
"Bukan kau saja yang mendendam tapi aku pun
mendendam terhadapnya. Dia harus mampus di tan-
ganku!"
"Amboooi, hebat benar perselisihan ini rupanya!
Agaknya nyawaku betul-betul berharga kali ini. Ki sa-
nak, kalau kalian betul menginginkan kepalaku, kena
pa tidak mengambilnya bersama-sama saja? Setelah
kalian mendapatkan boleh dibagi bersama. Aku pun
tak keberatan memberikannya asal kalian mau menu-
kar dengan jantung kalian masing-masing," potong
Kamajaya tersenyum-senyum.
"Kamajaya keparat! Aku tak perlu campur tangan
orang lain untuk memotes kepalamu!" bentak Pelangi
sudah terus-mencelat ke arah pemuda itu sambil men-
girim serangan kilat.
Namun pada saat yang bersamaan pula tubuh Ki
Wangsapala melompat menyerang Penyair Muka Ku-
mala. Agaknya orang tua itu sudah tak memperdulikan
harga dirinya lagi dengan mengeroyok lawan. Yang ada
di benaknya adalah bahwa dia tak mau kedahuluan
gadis itu yang akan menghabisi lawan. Tekatnya begitu
keras bahwa Penyair Muka Kumala harus tewas di
tangannya.
"Hiyaaa...!"
"Ha ha ha ha.... Bukankah begini lebih baik? Keka-
sihku bersekutu dengan orang-lain ingin memenggal
kepalaku... hei, Pendekar Pulau Neraka! Apakah kau
tak ingin ikut serta dalam pesta ini? Kenapa musti ma-
lu-malu? Ayo, ikutlah kalau kau suka!" teriak Kama-
jaya seperti menganggap enteng.
"Terima kasih, Ki sanak. Aku lebih sabar me-
nunggu sisanya saja. Tak baik mengganggu kesenan-
gan orang lain!" sahut Bayu.
Sebenarnya dia agak mendongkol juga, sekaligus
geram melihat kesombongan pemuda itu. Sepertinya
dia betul-betul menganggap enteng lawan-lawannya. Di
samping Bayu pun agak cemas memikirkan Pelangi.
Karena Kamajaya kakak seperguruannya tentu lebih
mudah baginya untuk mengalahkan gadis itu. Bahkan
bukan tak mungkin dia bertindak kejam dengan mem-
bunuh Pelangi. Sebab yang terakhir saja dia tega
menghajar gadis itu dalam keadaan hamil besar sam-
pai babak belur dan nyaris tewas.
"Apa yang harus kita lakukan, Tiren?" tanyanya li-
rih sambil memperhatikan pertarungan itu.
"Nguk!"
"Hmmm... tak baik rasanya kalau aku pun ikut tu-
run tangan membantu mereka. Biarlah kita lihat saja
bagaimana hasilnya nanti. Mudah-mudahan mereka
berdua bisa mengatasinya."
*
* *
Sementara itu pertarungan antara mereka berlang-
sung alot dan cepat. Ki Wangsapala dan Pelangi terli-
hat begitu bersemangat mengalahkan Penyair Muka
Kumala. Sebaliknya Kamajaya terlihat masih santai-
santai saja melayani mereka. Karena mengetahui se-
mua serangan yang dilancarkan Pelangi, dia seperti
tinggal memusatkan perhatian terhadap serangan-
serangan Ki Wangsapala. Walaupun demikian belum
terlihat bahwa dia memiliki peluang untuk menjatuh-
kan keduanya.
"Penyair Muka Kumala! Apakah kebisaanmu hanya
menghindar saja?! Ayo, keluarkan kepandaianmu!"
bentak Ki Wangsapala geram.
"Hmmm... agaknya kau tak sabaran betul Ki Wang-
sapala. Baiklah kalau itu yang kau inginkan," sahut
Kamajaya.
Setelah berkata demikian pemuda itu merubah ju-
rus-jurus yang dimainkannya. Gerakannya semakin
cepat dan jurus-jurusnya terlihat membingungkan.
Jangankan bagi Ki Wangsapala, bahkan Pelangi sendiri
belum pernah melihat jurus yang dimainkan pemuda
itu sebelumnya
"Yeaaa...!"
"Hiyaaa...!"
"Bet!"
"Yts!"
Bukan main kagetnya Ki Wangsapala. Jantungnya
seperti hendak berhenti berdetak ketika pukulan yang
dihantamkan pemuda itu nyaris membuat tubuhnya
remuk berkeping-keping seperti batu besar di dekat-
nya. Anginnya saja terasa membuat tubuhnya bergetar
hebat. Belum lagi dia menguasai diri, kembali Kama-
jaya telah menyerangnya dengan kecepatan yang sulit
diikuti oleh mata.
"Yeaaa...!"
"Kamajaya, kau meremehkan aku! Terimalah puku-
lan ini!" teriak Pelangi sambil menghantamkan telapak
tangan kanannya ke punggung Kamajaya.
Tubuh Penyair Muka Kumala bersalto beberapa
kali menghindari angin pukulan Pelangi, namun se-
rangannya ke arah Ki Wangsapala seperti tak berubah.
"Hup! Yeaaa...!"
"Hiyaaat...!"
"Begk!"
Ki Wangsapala memekik kesakitan. Paha kanannya
kena dihantam pukulan Kamajaya dan kaki di bagian
itu hancur seperti terkena ledakan.
"Yeaa...!"
"Kalau kau ingin mampus sekarang, terimalah ke-
matianmu Pelangi!" geram Kamajaya sambil menoleh
dan mengirimkan satu pukulan maut ke arah Pelangi
yang sedang menghantamkan pukulan bertenaga da-
lam kuat ke arahnya.
"Pelangi, jangan!" teriak Bayu langsung melompat
menyambar tubuh gadis itu.
Pukulan Kamajaya lewat dua inci dari tubuhnya.
Tapi Penyair Muka Kumala tak berhenti sampai di situ.
Begitu pukulannya melesat, tubuhnya langsung men-
celat mengejar Bayu yang sedang membopong tubuh
Pelangi.
"Hiyaaat...!"
Bukan main terkejutnya Bayu melihat kecepatan
bergerak Kamajaya yang nyaris seringan kapas dan se-
cepat kilat. Jantungnya berkali-kali nyaris berdegup
kencang merasakan angin sambaran pukulan lawan
yang lewat hanya beberapa kali dari kulit tubuhnya.
Sedikit saja dia lambat bergerak bukan mustahil tubuh
mereka akan remuk. Dan gilanya pula! Kamajaya se-
perti orang kesetanan dan terus menyerang mereka
tanpa henti. Sementara itu Bayu masih belum sempat
membalas sedikitpun juga. Dia jungkir balik menyela-
matkan diri sambaran pukulan lawan.
Pendekar Pulau Neraka mengeluh sendiri. Dua ju-
rus di muka kalau keadaannya terus begini dia pasti
akan kehabisan tenaga dan binasa di tangan lawan.
Maka sambil berteriak keras dan menghempas seluruh
kemampuannya, Pendekar Pulau Neraka melentik se-
perti ikan, beberapa kali di udara sambil melempar tu-
buh Pelangi.
"Pelangi, jaga dirimu baik-baik dan jangan ikut
campur urusan! Biar bajingan ini aku tangani!" teriak-
nya.
"Tenang saja Bayu! Aku tak apa-apa di sini!" teriak
Pelangi ketika mendarat dengan empuk di atas rerum-
putan.
Setelah merasa bebannya berkurang, tubuh Bayu
kembali bersalto beberapa kali menghindari serangan
lawan dan mengukur jarak agak jauh dari Kamajaya
sambil mengatur nafas. Kemudian dalam satu kesem-
patan pemuda itu berteriak nyaring sambil menghan-
tamkan satu pukulan ke arah lawan.
"Hiyaaa...!"
*
* *
DELAPAN
Sambil menghindari pukulan lawan, serangkum
angin kencang menerpa Kamajaya. Si Penyair Muka
Kumala tersentak kaget. Tubuhnya sedikit bergetar
disambar angin pukulan Bayu. Walau begitu dia masih
sempat tertawa ketika menghentikan serangannya dan
berdiri tegak berhadapan pada jarak dua tombak.
"Ha ha ha ha...! Ternyata cerita orang-orang tak sa-
lah tentangmu. Pendekar Pulau Neraka memang tokoh
hebat. Tak percuma hari ini aku bisa belajar banyak
darimu."
"Terima kasih, sobat. Kaupun sungguh hebat, na-
mun sayang bahwa kehebatanmu lebih dikenal dengan
perbuatan maksiat yang kau lakukan."
"Ha ha ha ha...! Masing-masing orang memiliki ke-
lebihan tersendiri. Anggap saja bahwa hal itu merupa-
kan kelebihanku. Seperti juga halnya dengan ini!"
Setelah berkata begitu sepasang mata Kamajaya
menatap tajam ke arah Bayu: Si Pendekar Pulau Nera-
ka terkesima. Untuk sesaat dia merasa perlahan-lahan
kesadarannya semakin berkurang.
"Ha ha ha ha...! Sebenarnya kau lemah, sobat. Kau
lemah sekali. Bahkan untuk melawanku kau tidak
memiliki kemampuan apa-apa. Dalam hatimu penuh
rasa ketakutan hebat...."
"Bayu! Sadarlah! Jangan tatap matanya. Dia se-
dang menggunakan ilmu sihirnya untuk mempengaru-
hi mu!" teriak Pelangi memperingatkan.
"Hiyaaa...!"
"Duk!"
"Aaakh...!"
Peringatan itu sedikit terlambat. Tubuh Kamajaya
telah melesat sambil mengirim satu pukulan telak
menghantam dada Pendekar Pulau Neraka. Tubuh
Bayu terlempar sejauh lima tombak sambil menjerit
lemah. Dari mulutnya menggelogok darah segar.
"Sekarang pergilah kau ke neraka. Di sana lebih
cocok bagimu!" teriak Kamajaya sambil mengirimkan
serangan susulan.
"Keparat...!" desis Pelangi sambil menghantamkan
kepalan tangannya ke arah Kamajaya.
"Yeaa...!"
"Begkh!"
"Aaaa...!"
Kamajaya telah menduga hal itu, tanpa berusaha
menghindar dia memapaki serangan Pelangi. Benturan
dua pukulan yang mereka lontarkan itu
tak dapat dihindari lagi.
Pelangi menjerit keras. Tubuhnya terlempar tiga
tombak. Dari mulutnya menyembur darah segar.
"Sekarang tak ada lagi yang bisa menghalangiku
untuk membunuhmu sobat!" katanya dengan wajah
bengis sambil menghantamkan pukulan ke arah Bayu
yang sedang megap-megap kepayahan.
"Penyair Muka Kumala, mampuslah kau!"
"Yeaa...!"
"Uts!"
"Hiyaaat...!"
"Glaaar!"
"Aaaa...!"
Pada saat-saat genting begitu ketiga lawannya yang
lain dengan nekat maju serentak sambil menghantam-
kan pukulan jarak jauh ke arahnya.
Kamajaya tersentak kaget, namun dia sempat ber
gerak menghindar dan balas menghantam lawan. Pan-
glima Bayan Rimang dan Nyai Agni Permoni terpental
dengan tubuh hancur. Namun pukulan Ki Wangsapala
sempat menghantam pinggangnya dan membuat pe-
muda itu terjerembab. Tapi Ki Wangsapala pun akhir-
nya mengalami hal yang sama dengan dua rekannya
yang lain karena pada saat yang bersamaan Kamajaya
berhasil melepaskan pukulan dan menghantam telak
tubuhnya.
Sementara itu Bayu merasakan isi perutnya serta
dadanya terasa sakit sekali. Kalau saja dia tak memili-
ki tenaga dalam yang tinggi, sudah pasti tubuhnya
akan hancur seperti yang lainnya.
"Nguk...!"
Monyet kecil berbulu hitam yang melihat sahabat-
nya itu terluka buru-buru menghampiri. Wajahnya ter-
lihat sedih dan khawatir. Sorot matanya garang mena-
tap ke arah Kamajaya. Kalau saja Bayu tak menarik
ekornya, monyet itu telah melompat menyerang si Pe-
nyair Muka Kumala.
"Jangan Tiren. Dia terlalu berbahaya bagimu. Me-
nyingkirlah dari sini dan selamatkan Pelangi dan Ratih
Kumaladewi."
"Kaaakh...!"
"Jangan buang-buang waktu! Ayo, cepat pergi!"
Tapi monyet kecil itu seperti tak mau beranjak dari
sisi Bayu. Dipandanginya pemuda berbaju kulit hari-
mau itu sedih. Tak terasa air matanya merembang di
kedua kelopak mata.
"Jangan menangis, Tiren. Aku tak apa-apa...."
"Nguk...!"
Seperti manusia saja layaknya, monyet kecil itu
merasakan bahwa Bayu mengalami penderitaan yang
hebat. Rasanya untuk bertarung pun dia tak mampu.
Pemuda berbaju kulit harimau itu cuma terbaring lesu
seperti menanti ajal. Berkali-kali dia berusaha bangkit,
tapi saat itu juga dia mengeluh kesakitan.
"Ha ha ha ha...! Sungguh mengharukan sekali pe-
mandangan yang ku saksikan hari ini. Seekor monyet
menangisi majikannya yang akan mampus..." ejek Ka-
majaya sambil melangkah pelan mendekati mereka.
"Kaaakh...!"
Monyet kecil itu melompat ingin menerkam Kama-
jaya. Tapi sesudahnya dia terjerembab sendiri karena
ekornya masih dicekal Bayu.
"Jangan Tiren! Jangan. Dia bukan tandingan-mu.
Sebaiknya selamatkan dirimu dari manusia berbentuk
setan ini...."
"He he he he...! Jangan harap dia bisa melarikan
diri dariku. Hari ini dunia persilatan akan mencatat
bahwa si Penyair Muka Kumala telah membawa kepala
Pendekar Pulau Neraka ke mana-mana agar semua
orang tahu siapa aku. Penyair Muka Kumala adalah
raja, dan manakala angin bertiup semilir melanglang
semua desa, di situ tahta berada. Membawa jejak sang
raja dan bersenandung memujinya..."
"Hentikan ocehanmu, sobat! Kau sama sekali tak
pantas menjadi raja. Kau adalah sampah yang menji-
jikkan!"
"Hi hi hi hi...! Kudengar semua kata-katamu, dan
bicaralah yang banyak sebelum jiwamu mengembara di
alam lain. Kepalamu akan jadi saksi semua orang di
atas jagat ini bahwa nama Pendekar Pulau Neraka
akan tamat."
"Huhhh...!"
"Nah, bersiaplah menerima kematian!" desis Kama-
jaya tiba-tiba dengan wajah garang.
Tangan kanannya bersiap terangkat. Dengan sekali
hantam niscaya tubuh si Pendekar Pulau Neraka tak
akan berbentuk seperti tiga orang tadi.
Namun pada saat-saat kritis itulah tiba-tiba ter-
dengar bentakan-bentakan nyaring.
"Itu dia!"
"Tangkap si Penyair Muka Kumala!"
"Ringkus hidup atau mati!"
"Bunuuuh...!"
Kamajaya tersentak kaget. Di sekelilingnya telah
banyak orang berkumpul dengan senjata terhunus.
Wajah mereka terlihat garang dengan nafsu membu-
nuh. Tapi setelah memperhatikan lebih teliti, Penyair
Muka Kumala kembali terkekeh,
"He he he he...! Kerbau-kerbau dungu kerajaan,
apa kebisaan kalian ingin menangkapku di sini?!"
*
* *
Yang muncul pada saat itu memang prajurit-
prajurit kerajaan yang ditugaskan untuk mencari Putri
Ratih Kumaladewi dan menangkap si Penyair Muka
Kumala hidup atau mati. Begitu melihat keduanya ada
di tempat itu, beberapa orang langsung menghambur
ke arah Ratih Kumaladewi yang masih tak sadarkan
diri.
"Jangan sentuh dia, atau kalian mampus semua!"
bentak Kamajaya.
Salah seorang prajurit yang agaknya kepala dari
pasukan itu berteriak nyaring memberi perintah.
"Bawa Putri Ratih Kumaladewi segera dari sini dan
yang lainnya tangkap si keparat ini. Kalau dia melawan
bunuh di tempat!"
"Ha ha ha ha...! Kalian kira mudah membunuh si
Penyair Muka Kumala? Jangan mimpi kerbau-kerbau
dungu! Yeaa...!"
"Glaaar!"
"Aaaa...!"
Terdengar ledakan hebat. Lima orang prajurit kera-
jaan yang berusaha mendekati Ratih Kumaladewi ter-
pental dengan tubuh hancur berkeping-keping.
"Seraaang...!" teriak kepala pasukan prajurit itu
memberi komando.
Lebih kurang dua puluh orang prajurit kerajaan
mengurung si Penyair Muka Kumala dan langsung
menyerangnya dengan senjata terhunus. Sementara
sisanya masih mencoba berusaha menyelamatkan Ra-
tih Kumaladewi, tapi tak semudah itu mereka melaku-
kannya karena Kamajaya tetap mempertahankan sam-
bil menghantam mereka yang mencoba mendekati ga-
dis itu.
"Jangan ada yang coba-coba mendekatinya, kalian
akan mampus di tanganku!" dengus Penyair Muka
Kumala garang.
Kata-katanya memang ternyata terbukti. Setiap
prajurit yang berusaha mendekati gadis itu tewas di-
hantam pukulan jarak jauh yang dilontarkannya.
Sementara mereka sedang bertarung, Bayu mem-
pergunakan kesempatan itu untuk mengerahkan hawa
murninya perlahan-lahan. Masih terasa nyeri dan ali-
ran darahnya bergerak tak normal. Tapi pemuda ber-
baju kulit harimau itu terus berusaha sekuat tenaga
agar peredaran darahnya bisa kembali normal.
"Bayu... kau tak apa-apa?"
Pemuda itu menolehkan pandangan. Dilihatnya Pe-
langi merangkak perlahan-lahan mendekatinya. Dari
bibirnya tak henti-henti menetes darah kental.
"Agaknya sudah ditakdirkan bahwa aku akan mati
di sini...."
"Jangan putus asa Pelangi. Kita harus terus beru-
saha karena takdir akan kalah pada manusia yang tak
berhenti berusaha sampai titik darah yang penghabi-
san...."
"Apa yang bisa diharapkan lagi? Walaupun praju-
rit-prajurit itu berjumlah empat kali dibanding seka-
rang si keparat itu tentu akan menghabisi mereka den-
gan mudah...."
"Walaupun begitu kau harus yakin untuk tetap hi-
dup. Keyakinan itu perlu agar semangat kita kuat.
Kalau semangat kita kuat maka putus asa akan
menjauh."
Pelangi terdiam beberapa saat lamanya. Diperhati-
kannya pemuda berambut gondrong itu lama sekali.
Wajahnya semakin pucat dan belakangan darah kental
beberapa kali muncrat dari mulutnya. Sementara tak
jauh di dekatnya monyet kecil berbulu hitam yang se-
lalu berada di dekat pemuda itu mondar-mandir me-
meriksa keadaan sahabatnya itu. Kadang-kadang dia
mengurut-ngurut beberapa bagian tubuh pemuda ber-
baju kulit harimau itu berkali-kali dan pindah-pindah
tempat. Tapi gadis itu tak melihat reaksi yang terjadi.
Tubuh Bayu tetap terbaring bagai sosok mayat yang
beku. Apalagi terlihat wajahnya yang semakin pucat.
Pemuda itu betul-betul telah kehilangan banyak darah.
Tak terasa batin gadis itu bagai diiris-iris. Dia me-
rasa salah. Kalau bukan karena dirinya tak mungkin
pemuda itu akan menemui ajalnya di sini. Ah, setelah
dia merusak dirinya sendiri, kini diapun merusak ke-
hidupan orang lain. Orang yang sama sekali belum
pernah dikenal sebelumnya.
"Maafkan aku Bayu... maafkan aku...."
"Sudahlah Pelangi...."
"Aku yang bersalah hingga hal ini terjadi pada-
mu...."
"Kau tidak bersalah apa-apa. Ini hanya takdir yang
berasal dari kesalahanku akibat kelengahan ku sendi
ri...."
"Bayu... bila Tuhan menghendaki kita hidup, aku
bersumpah akan mengabdi padamu walau menjadi
budak sekalipun. Meski kau tak suka, aku tak perdu-
li...."
"Jangan berkata begitu Pelangi...."
Bayu tak meneruskan kata-katanya. Dilihatnya
tangis gadis itu telah membuat air matanya membasa-
hi kedua pipinya. Wajahnya tertelungkup di tanah. In-
gin rasanya dia membujuk dan mendiamkannya. Na-
mun jarak mereka agak jauh. Padahal dia sendiri sulit
bergerak.
Apa yang diperkirakan Pelangi memang menjadi
kenyataan. Prajurit-prajurit kerajaan itu bukanlah
tandingan Kamajaya, karena dalam waktu singkat me-
reka dapat disapu bersih tanpa sisa.
"Ha ha ha ha...! Beruntunglah kau Pendekar Pulau
Neraka. Umurmu bisa diperpanjang sesaat lagi. Paling
tidak kau masih sempat menatap wajah monyetmu itu
sebelum kau mampus!" ejek Kamajaya sambil tertawa
penuh kemenangan.
"Tak perlu berbasa-basi lagi, Ki sanak. Kalau kau
mau mencabut nyawaku silahkan. Kenapa musti di-
buat lama?"
"Ooo... agaknya kau sudah tidak sabaran lagi?
Baiklah."
Kamajaya baru saja akan bersiap melancarkan sa-
tu pukulan jarak jauh ketika Bayu berkata dengan su-
ara mengejek.
"Pada saat-saat kemenanganmu pun kau masih
bersikap curang. Membunuhku dengan cara begitu
bukanlah perbuatan ksatria. Kau tahu aku tak mampu
menghindar dan melawan. Pada jarak segitu rasanya
aku masih mampu menahan pukulanmu dan kau be-
tul-betul pengecut karena membiarkan ku sekarat."
Kamajaya terkekeh-kekeh sambil melangkah men-
dekati Pendekar Pulau Neraka hingga jarak mereka
persis setengah tombak. Kemudian dengan wajah ben-
gis kepalan tangannya dihantamkan ke punggung
Bayu yang sedang dalam keadaan tertelungkup.
"Tamatlah riwayatmu hari ini Pendekar Pulau Ne-
raka! Yeaa...!"
"Kaaakh...!"
" Bayu...!" Jerit Pelangi tertahan.
Gadis itu tak kuat menyaksikan peristiwa mengeri-
kan yang terjadi di depan matanya hingga dia meneng-
gelamkan wajahnya ke bawah. Dalam bayangannya
pastilah tubuh si Pendekar Pulau Neraka hancur lebur
tak berbentuk lagi. Pukulan Pugel Sayuto yang diwa-
riskan guru mereka itu memang dahsyat tiada bandin-
gan. Apalagi Kamajaya telah mempelajari kitab yang
sebagian berisi tentang tingkat lanjutan pukulan itu.
Pastilah kekuatannya akan berlipat ganda. Dalam kea-
daan terluka parah begitu mana mungkin Pendekar
Pulau Neraka mampu menahannya.
"Hiyaaa...!"
"Siing!" ,
"Crab!"
"Aaa...!"
Terdengar jerit setinggi langit menggema di tempat
itu. Jantung Pelangi seperti berhenti berdetak. Ketika
seberkas cahaya keperakan kembali melesat dua kali,
kembali terdengar jeritan lemah yang disusul ambruk-
nya sosok tubuh. Gadis itu terkejut. Tak mungkin
Bayu tewas dengan tubuh ambruk. Pasti ada yang tak
beres! Perlahan-lahan wajahnya terangkat untuk meli-
hat kejadian itu.
"Bayu?! Kau... kau masih hidup?" jeritnya dengan
wajah penuh kegembiraan.
Dilihatnya tubuh Kamajaya ambruk dengan dada
kiri berlubang. Kemudian kening dan perutnya pun
berlubang hingga tembus ke belakang. Dan Bayu be-
rusaha bangkit mendekatinya sambil tersenyum den-
gan wajah pucat.
"Bagaimana ini bisa terjadi?" tanya Pelangi nyaris
tak percaya.
"Tuhan belum menghendaki aku untuk mati di
tangannya. Itulah takdir yang sebenarnya. Kini bang-
kitkan semangat hidupmu dan pelan-pelan alirkan pe-
redaran darahmu yang tersumbat. Aku akan memban-
tu mengurut-ngurutnya."
"Tapi..."
"Tidak ada tapi-tapi! Kau telah berjanji akan men-
jadi budakku, maka kau harus menurut apa yang ku-
katakan!" sentak Bayu.
Gadis itu tersenyum manis dan melakukan apa
yang diperintahkan si Pendekar Pulau Neraka.
Sebenarnya apa yang telah terjadi tadi? Pada saat
prajurit-prajurit kerajaan sedang menempur Kamajaya,
Bayu mengerahkan hawa murninya dan melancarkan
peredaran darahnya yang kacau balau. Itulah yang di-
lihat Pelangi ketika dia berkali-kali muntah darah ken-
tal. Tenaganya tak seluruhnya pulih, namun dia mam-
pu bergerak. Namun bila bertarung dengan Kamajaya
niscaya dalam satu jurus dia pasti binasa. Apalagi ja-
rak mereka agak jauh. Itulah sebabnya dia memancing
si Penyair Muka Kumala agar lebih mendekat.
Dengan sisa-sisa tenaganya yang terakhir Bayu
bergulingan menghindari pukulan Kamajaya sambil
melemparkan Cakra Maut tepat menembus jantung
lawan. Senjata mautnya itu kembali bergerak dua kali
menghantam kening dan perut Kamajaya hingga si Pe-
nyair Muka Kumala ambruk dan tewas beberapa saat
kemudian.
Setelah beberapa saat kemudian terlihat Pelangi
memuntahkan darah kental berkali-kali. Wajahnya ter-
lihat semakin pucat, namun dia masih sempat terse-
nyum dan duduk bersila di sebelah Bayu.
"Hamba telah melakukan apa yang juragan perin-
tahkan, dan kini kalau tak keberatan sudikah juragan
menceritakan kejadian tadi? Juragan mungkin tak
menyangka bahwa budakmu ini begitu cemas dan
khawatir akan keselamatan dirimu..." ujar gadis itu
tersenyum.
Bayu menceritakan kejadian itu, dan menambah-
kan.
"Itulah sebabnya aku diam saja agar dia tetap me-
nyangka bahwa aku masih tetap tak berdaya. Entah-
lah... tindakan itu sepertinya curang. Tapi aku tak pe-
duli kata orang, sebab orang seperti dia kalau terus hi-
dup akan menimbulkan malapetaka yang lebih menge-
rikan," jelasnya mengakhiri cerita.
"Percayalah Bayu. Tak ada seorang pun yang me-
nyalahkan tindakanmu. Kau melakukan hal yang be-
nar..." sahut Pelangi!
Bayu tersenyum kecut sambil berdiri menggendong
monyet kecil sahabatnya itu.
"Tugasku telah selesai. Kini aku harus pergi...."
"Bayu, aku tak akan mencabut kata-kataku tadi!"
tegas Pelangi dengan wajah serius.
Pendekar Pulau Neraka menggeleng lesu.
"Maaf Pelangi, aku tak bisa. Langkahku masih pan-
jang dan aku tak mau terikat oleh apa pun...."
"Aku tak memaksamu agar menjadi suamiku. Tapi
ijinkanlah aku ikut ke mana pun kau pergi. Paling ti-
dak menemanimu selama beberapa hari sampai kau
sembuh betul...?" sahut gadis itu dengan nada penuh
harap.
Bayu berpikir beberapa saat lamanya, kemudian
mengangguk pelan.
"Oh, terima kasih Bayu!"
Tiba-tiba gadis itu memeluk tubuh Pendekar Pulau
Neraka erat-erat dan mencium bibirnya hingga pemuda
itu terkejut dan jatuh terjerembab. Bayu tak kuasa
menolak selain pasrah!
TAMAT
0 comments:
Posting Komentar