..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Rabu, 05 Februari 2025

PENDEKAR PULAU NERAKA EPISODE IBLIS CEBOL

Iblis Cebol


IBLIS CEBOL
Oleh Teguh Suprianto
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Teguh Suprianto 
Serial Pendekar Pulau Neraka 
dalam episode: 
Iblis Cebol
128 hal. ; 12 x 18 cm

SATU

Ki Kalawungu sejak tadi mondar-mandir den-
gan wajah gelisah di ruangan utama perguruan-
nya yang cukup besar dan megah. Sesekali ma-
tanya menatap lurus ke depan, seperti hendak 
menembus batas cakrawala. Lalu kembali dia 
menghela napas pendek, dan duduk di kursinya. 
Tidak lama kemudian, laki-laki berusia sekitar li-
ma puluh tahun itu bangkit dan melangkah mon-
dar-mandir lagi.
Sementara itu beberapa muridnya memperha-
tikan dengan wajah bingung. Mereka tidak tahu, 
apa yang harus dilakukan untuk menenangkan 
kegelisahan laki-laki yang menjadi guru mereka. 
Mereka juga tidak mengerti, apa yang menyebab-
kan kegelisahan Ki Kalawungu.
“Keparat!” Ki Kalawungu mendesis geram se-
raya mengepalkan tangan.
Kata-kata seperti itu entah yang keberapa kali 
terdengar. Semua membisu, seperti tadi. Namun 
seorang murid utama agaknya merasa tidak enak 
hati kalau hanya diam diri. Maka dia memberani-
kan diri untuk mendekat.
“Guru, tidakkah lebih baik kalau kita bersikap 
tenang menunggunya...?”
Ki Kalawungu melirik ke arah murid tertuanya,
lalu menghela napas.
“Bagaimana aku bisa tenang, Danang?”
“Kita akan menghadapinya, sampai titik darah 
terakhir...,” sahut murid utama yang dipanggil

Danang, pelan.
Ki Kalawungu memalingkan mukanya, lalu 
menatap tajam sepasang mata Danang Prakoso.
“Danang! Apakah kau kira gurumu ini takut 
menghadapinya...?” tegur Ki Kalawungu.
“Kenapa Guru berpikiran demikian? Kami se-
mua tahu, Guru bukanlah seorang pengecut.”
Ki Kalawungu menghela napas untuk yang ke-
sekian kalinya,
“Kalau saja kutahu keberadaannya, niscaya 
aku yang akan datang kepadanya. Dadaku terasa 
sesak mendengar sepak terjangnya yang bengis 
serta biadab. Dan aku merasa tertantang men-
dengar kesombongannya yang ingin menghancur-
kan perguruan ini serta seluruh perguruan silat 
di muka bumi!” kata laki-laki setengah baya itu.
Ki Kalawungu lalu mengeluarkan selembar ku-
lit kambing dari balik bajunya. Kemudian diba-
canya tulisan yang tertera sambil tersenyum 
mengejek.
Danang Prakoso tahu sudah berapa kali gu-
runya telah membaca surat tantangan yang bera-
da di tangannya. Namun setiap kali gurunya 
membaca, hanya kernyitan di dahi yang muncul.
“Siapa sebenarnya Iblis Cebol keparat ini?!” de-
sis Ki Kalawungu seraya melipat surat itu, dan
menyimpannya kembali ke balik bajunya.
“Dengar dengar dia bukan manusia, Guru....”
“Bukan manusia katamu?” Ki Kalawungu den-
gan dahi berkerut.
“Entahlah. Aku sendiri belum pernah melihat

nya. Tapi kata orang-orang, kepandaiannya hebat 
bahkan kebal terhadap senjata tajam,” desah Da-
nang Prakoso. tertunduk lesu.
“Hm.... Apakah dengan begitu dia bisa bertin-
dak seenaknya membantai semua tokoh persila-
tan?” dengus Ki Kalawungu, dengan wajah kelam.
Murid tertua Ki Kalawungu itu terdiam. Kepa-
lanya lalu menunduk menekuri tanah.
Ki Kalawungu menghela napas pendek.
“Danang, ambilkan keris pusakaku...,” ujar 
orang tua itu.
“Baik, Guru...,” sahut Danang Prakoso.
Laki-laki berusia lima puluh tahun itu bergerak 
cepat menghampiri salah seorang murid lain yang 
sejak tadi menggenggam sebuah keris terbungkus 
kain merah. Setelah mengambil keris itu, Danang 
Prakoso kembali menyerahkan pada gurunya.
Ki Kalawungu mengamat-amati sesaat bungku-
san kain merah itu, lalu membukanya pelan-
pelan. Sementara, Danang Prakoso mengambil 
kain merah yang membungkusnya, dan menye-
rahkan pada murid yang tadi memegang senjata 
pusaka Ki Kalawungu.
“Keris ini bukan sekadar barang peninggalan
turun-temurun. Tapi, juga lambang kejayaan Per-
guruan Jalak Sampurno. Dan kita wajib memper-
tahankannya mati-matian...,” gumam Ki Kala-
wungu.
Danang Prakoso membungkuk hormat begitu 
gurunya mengacungkan senjata pusaka itu. De-
mikian juga semua murid Perguruan Jalak Sampurno. Ketika Ki Kalawungu menyelipkan keris 
itu ke pinggang, barulah mereka mengangkat ke-
pala kembali. Orang tua itu memandang seksama 
pada seluruh muridnya.
“Murid-muridku! Hari ini, seperti yang telah di-
janjikan lewat surat tantangannya, Iblis Cebol 
akan datang bersama kesombongannya untuk 
menghancurkan kita. Bahkan belakangan ini te-
lah banyak perguruan silat serta tokoh-tokoh 
berkepandaian tinggi yang binasa di tangannya. 
Ini membuktikan kalau orang itu memiliki kesak-
tian hebat. Dan aku telah bertekad untuk meng-
hadapinya sampai titik darah yang penghabisan. 
Namun begitu, tidak menghalangi kalian untuk 
mundur jika ada yang takut Silakan mundur dan 
pergilah dari tempat ini untuk menyelamatkan di-
ri, selagi masih ada kesempatan...!” kata Ki Kala-
wungu, datar. Namun suaranya cukup terdengar 
oleh seluruh muridnya.
“Guru! Kami akan tetap setia mendampingimu 
untuk menghadapi Iblis Cebol...!” sahut murid-
murid Perguruan Jalak Sampurno serentak den-
gan suara lantang.
Ki Kalawungu tersenyum haru mendengar ja-
waban murid-muridnya. Namun baru saja hendak
melanjutkan kata-katanya....
“Ha ha ha...! Sekumpulan tikus hendak men-
coba mengaum menanti kehadiran seekor hari-
mau liar...!”
Tiba-tiba terdengar suara tawa menggelegar, 
memenuhi tempat ini.

“Hei?!”
***
Mereka yang berada di tempat itu terkejut ka-
get Bahkan sebagian menutup kedua telinga den-
gan tubuh gemetar hebat, akibat pengerahan te-
naga dalam kuat yang disalurkan lewat suara ta-
wa itu.
Tak lama kemudian, sesosok tubuh kecil mele-
sat ringan, dan mendarat tepat di hadapan Ki Ka-
lawungu pada jarak tujuh langkah. Sehingga se-
mua yang ada di situ bisa melihat sosok bertubuh 
kecil dengan kepala botak berukuran besar. Ke-
dua tangannya sebatas siku terlihat bersisik bagai 
ular dengan kuku-kuku panjang. Tangan kanan-
nya menggenggam sebatang tongkat dari baja 
yang amat keras sepanjang lebih kurang sepuluh 
jengkal. Sepasang matanya yang bulat lebar me-
mandang tajam kepada Ki Kalawungu.
“Hei, Monyet Tua! Kaukah yang bernama Ki Ka-
lawungu...?!” bentak laki-laki bertubuh cebol itu,
“Kurang ajar...!” bentak Danang Prakoso ga-
rang.
Laki-laki berbadan kekar ini sudah hendak 
mencabut keris di pinggang, untuk menyerang la-
ki-laki botak yang baru datang.
“Danang! Tenanglah dulu. Tidak baik bersikap 
begitu pada tamu kita....”
Untung saja Ki Kalawungu sudah keburu men-
cegah. Langsung gerakannya terhenti.
“Tapi, Guru...!”

Danang Prakoso hendak membantah, namun 
Ki Kalawungu telah memberi isyarat lewat lam-
baian tangannya. Terpaksa dia berdiam diri den-
gan menahan amarah menggelegak.
Ki Kalawungu memandang tajam ke arah laki-
laki cebol berusia sekitar empat puluh tahun di 
hadapannya.
“Kisanak! Kaukah yang berjuluk Iblis Cebol? 
Kalau benar, memang akulah orang yang kau ca-
ri. Aku Kalawungu, Ketua Perguruan Jalak Sam-
purno...,” kata laki-laki setengah baya itu, datar.
“Hm.... Ternyata kau tidak salah mengenali 
orang. Nah! Maksud kedatanganku sudah kau ke-
tahui. Maka, cabutlah senjatamu dan hadapi aku. 
Kau boleh pilih. Satu lawan satu, atau sekaligus 
minta bantuan pada murid-muridmu untuk men-
geroyokku...!” lantang suara laki-laki kecil yang 
berjuluk Iblis Cebol bernada jumawa.
Ki Kalawungu tersenyum halus seraya melang-
kah mendekati.
“Untuk menghadapimu, rasanya tenaga mereka 
belum perlu kugunakan...,” balas Ki Kalawungu 
sambil melangkah pelan. Kakinya kemudian ber-
henti tepat pada saat jarak mereka terpaut empat 
langkah.
“Ha ha ha...! Kau kira aku butuh segala oce-
hanmu? Menghadapiku seorang diri atau menge-
royokku, sama saja. Kalian semua akan mampus 
di tanganku!” kata Iblis Cebol, makin jumawa.
“Kisanak! Tidak usah banyak bicara. Maju-
lah...!” sahut Ki Kalawungu mendengus tajam.

Agaknya orang tua ini geram juga mendengar 
kesombongan manusia cebol di depannya.
“Huh! Jaga seranganku!” dengus Iblis Cebol.
Tiba-tiba saja tongkat di tangan Iblis Cebol te-
rayun menghajar batok kepala Ki Kalawungu. Se-
dangkan orang tua pemimpin Perguruan Jalak 
Sampurno itu terkesiap, sama sekali tidak men-
duga serangan dengan gerakan secepat itu. Na-
mun sebagai tokoh yang telah banyak pengala-
man dalam dunia persilatan, tentu saja dia tidak 
akan lengah begitu saja. Dengan gerakan tidak 
kalah gesit, dia melompat ke samping disertai pu-
taran tubuh. “Hiiih!”
Dan tiba-tiba kaki kanan Ki Kalawungu men-
coba menyambar batok kepala laki-laki cebol yang 
setinggi dada.
Namun dengan tangkas Iblis Cebol menangkis 
dengan tangannya.
Plakkk!
“Uhhh...!”
Ki Kalawungu mengeluh tertahan begitu ka-
kinya terpapak tangan. Meski telah mengerahkan 
tenaga dalam kuat, namun kakinya seperti meng-
hajar tembok baja yang keras bukan main.
“Yeaaah...!”
Ki Kalawungu langsung melompat ke samping, 
ketika tongkat di tangan Iblis Cebol menyambar 
kepala. Dan belum juga dia bersiaga, pinggangnya 
telah terancam oleh hantaman tongkat yang ce-
pat, sulit ditangkap mata biasa.
“Hup!”

Orang tua itu jadi melompat ke sana kemari, 
menghindari kejaran tongkat lawan yang mengi-
kuti setiap gerakannya. Rasanya gempuran laki-
laki cebol itu dilakukan dengan pengerahan tena-
ga dalam hebat sekali. Rambut dan pakaiannya 
sampai berkibar-kibar, di hantam angin serangan 
yang kuat dan tajam.
“Yeaaah...!
Permainan tongkat Iblis Cebol memang bukan 
main hebatnya. Meski Ki Kalawungu mampu 
menghindarinya, namun bisa merasakan kalau 
tidak akan lama lagi bisa dijatuhkan bila terus 
menggunakan tangan kosong. Sedangkan saat ini 
tak ada kesempatan sedikit pun baginya untuk 
membuka jurus baru, karena Iblis Cebol terus 
mengejarnya. Maka, sambil menggeram keras, di-
lepaskannya satu pukulan jarak jauh ke arah la-
ki-laki bertubuh kerdil itu.
Iblis Cebol sama sekali tidak terkejut. Malah 
tangannya bergerak cepat, memapak pukulan Ki 
Kalawunggu.
Plak!
Wutt!”
Kedua pukulan mereka beradu, menimbulkan 
siur angin kencang. Bahkan tubuh Ki Kalawungu 
sampai bergetar hebat, langsung terhuyung-
huyung ke belakang terkena pukulannya yang 
berbalik ke arahnya.
Pada saat tubuh Ki Kalawungu terhuyung-
huyung, tubuh kerdil Iblis Cebol melompat ke 
arahnya dengan tongkat siap menghajar.

Namun Ki Kalawungu cepat memperbaiki kea-
daannya. Maka secepat itu pula, keris pusakanya 
dicabut, untuk menangkis senjata tongkat laki-
laki cebol itu. 
“Hih!”
Trakkk!
Kedua senjata mereka beradu. Namun wajah 
orang tua itu jadi meringis menahan sakit. Keris 
di tangannya nyaris lepas, saking kuat dan he-
batnya hantaman tongkat lawan. 
“Hmmm...!”
Iblis Cebol menggeram. Dan kembali tongkat-
nya melesat cepat, menghantam bagian bawah 
tubuh lawan.
“Uts!”
Ki Kalawungu terpaksa melompat ke atas. Dan 
saat itulah Iblis Cebol tiba-tiba menyentakkan te-
lapak tangan kirinya yang terkembang. Maka se-
ketika serangkum cahaya kelabu langsung mele-
sat cepat, menyambar ke arah Ketua Perguruan 
Jalak Sampurno diiringi desir angin kencang.
“Hiiih...!”
“Uts!”
“Yeaaah...!”
Ki Kalawungu menyadari kalau tidak mungkin 
menghindar dari pukulan lawan. Karena di samp-
ing melepaskan pukulan jarak jauh, Iblis Cebol 
telah menyiapkan serangan tongkatnya. Maka 
sambil menggeretakkan rahang menahan geram, 
Ki Kalawunggu memapak serangan Iblis Cebol 
dengan pukulan jarak jauh pula.
Jdeeer...!
“Aaakh...!”
***
Dua pukulan bertenaga dahsyat beradu. Ki Ka-
lawungu kontan melenguh dan tubuhnya ter-
jungkal ke belakang. Hantaman Iblis Cebol me-
mang kuat sekali, sehingga kulit tangan orang tua 
itu sampai terkelupas. Bahkan keris pusaka yang 
digenggamnya terlepas. Keseimbangan tubuh Ke-
tua Perguruan Jalak Sampurno itu menjadi ka-
cau. Maka saat itulah cepat sekali ujung tongkat 
Iblis Cebol bergerak, menghantam batok kepala 
tanpa bisa dicegah.
Wuttt!
Prakkk!
“Aaakh...!”
Ki Kalawungu memekik nyaring begitu kepa-
lanya terhantam tongkat Iblis Cebol! Tubuhnya 
terhuyung-huyung sambil memegangi kepalanya 
yang retak mengucurkan darah. Tak lama kemu-
dian dia ambruk dan tidak bergerak lagi setelah 
menggelepar sesaat.
“Jahanam Keparat...!”
Semua murid Perguruan Jalak Sampurno ter-
sentak kaget, melihat kejadian yang menimpa 
guru mereka. Dan untuk sesaat mereka hanya 
terkesima oleh kejadian yang demikian cepatnya. 
Sementara, terlihat Danang Prakoso menggeram 
dan langsung melompat menyerang Iblis Cebol.
“Kau harus menebus kematian guruku...!”

“Serang orang itu...!”
Melihat sikap murid tertua itu, yang lain seren-
tak ikut menyerang Iblis Cebol. Apalagi ketika 
saat itu terdengar suara nyaring yang memberi 
perintah pada mereka.
“He he he...! Ayo ke sini cepat! Susullah guru 
kalian di akherat!” tantang Iblis Cebol sambil ter-
tawa keras.
“Yeaaah...!”
Beberapa serangan langsung meluncur datang, 
mengancam Iblis Cebol.
“Huh!”
Namun tongkat di tangan Iblis Cebol sudah
berkelebat cepat, memapaki serangan-serangan 
lawannya.
Trakkk! Trakkk!
Begitu habis memapak, Iblis Cebol melanjuti 
dengan kebutan-kebutan dahsyat. Akibatnya....
Prakkk!
“Aaa...!”
Kini jerit kematian mulai mewarnai tempat itu. 
Semua murid Perguruan Jalak Sampurno menye-
rang dengan semangat dan amarah menggebu-
gebu. Namun, tongkat Iblis Cebol berkali-kali me-
nyambar. Satu persatu korban berjatuhan. Dan 
darah pun mulai menggenangi sekitarnya.
“Setan...!”
Danang Prakoso menggeram. Dan seketika ke-
risnya menyambar wajah Iblis Cebol. Namun, la-
ki-laki kerdil itu tentu saja tak tinggal diam.
Tongkatnya cepat digerakkan menyilang di depan

wajah.
Trang!
Benturan dua senjata terjadi, membuat keris di 
tangan Danang Prakoso terpental jauh. Murid ter-
tua Ki Kalawungu itu menggeram, namun tak 
mampu berbuat apa-apa. Dan dia cepat melompat 
ke samping sambil jungkir balik, ketika terjangan 
senjata Iblis Cebol kembali datang. Dan untung 
saja murid-murid lain kembali menyerang Iblis 
Cebol. Padahal, keadaan Danang Prakoso sudah 
terdesak hebat.
“Ha ha ha...! Ayo ke sini! Terimalah kematian 
kalian! Heaaat...!”
Seketika Iblis Cebol bergerak cepat dengan ke-
butan-kebutan yang sulit diikuti pandangan mata 
biasa. Begitu cepatnya dia bergerak, sehingga....
“Aaa...!”
Pekik kematian kembali menggema, disusul 
oleh ambruknya beberapa sosok tubuh dengan 
kepala remuk dihantam tongkat Iblis Cebol.
“Hi hi hi...! Ke sini, cepat! Ayo! Ayo...!”
“Kurang ajar...!”
Meski menyadari kalau perlawanan yang dila-
kukan tidak berarti banyak, namun murid-murid 
Perguruan Jalak Sampurno sama sekali tidak 
mengenal takut. Mereka terus bertarung gigih, 
menahan gempuran-gempuran Iblis Cebol.
Demikian pula Danang Prakoso. Dengan se-
buah golok yang diraih dari seorang murid lain, 
murid tertua ini cepat memapak hantaman tong-
kat Iblis Cebol. Namun goloknya lagi-lagi terpental

jauh. Dan tubuhnya cepat melompat menghindari 
kibasan tongkat laki-laki kerdil itu. Namun agak-
nya kali ini Iblis Cebol sama sekali tidak mau 
memberi kesempatan. Ujung tongkatnya cepat 
berkelebatan menghantam tulang kering di kaki 
kanan Danang Prakoso yang baru saja terangkat.
Trakkk!
“Akh...!”
Danang Prakoso kontan memekik keras begitu 
tulang kaki kanannya dihantam tongkat lawan 
hingga remuk. Dia bermaksud bergulingan untuk 
menyelamatkan diri dari kejaran tongkat lawan 
selanjutnya, namun terlambat. Dan....
Prakkk!
“Aaa...!”
Danang Prakoso kembali menjerit tertahan, ke-
tika ujung tongkat Iblis Cebol menghantam kepa-
lanya hingga remuk. Darah langsung muncrat-
muncrat dari batok kepala ketika tubuhnya am-
bruk ke tanah.
Bukan main marahnya murid-murid Perguruan 
Jalak Sampurno melihat kenyataan itu. Mereka 
mengamuk sejadi-jadinya untuk membalas kema-
tian guru dan saudara seperguruan mereka yang 
lain. Namun Iblis Cebol agaknya memang bukan 
tandingan mereka. Maka mudah saja dia mem-
bantai mereka satu persatu seperti menepuk la-
lat.
Sementara itu di suatu sudut bangunan pergu-
ruan ini, terlihat seorang gadis belia menjerit-jerit, 
sambil berusaha melepaskan diri dari cengkera

man tangan laki-laki bongkok berusia sekitar lima 
puluh tahun.
“Paman Sudira! Lepaskan aku! Lepaskaaan...! 
Biar kuhajar Iblis Cebol keparat itu...!” teriak ga-
dis itu geram.
“Tenanglah, Andini! Tahahlah amarahmu. Dan, 
berpikirlah dengan jernih. Kita pergi dari sini un-
tuk menyelamatkan diri...,” bujuk laki-laki bong-
kok yang dipanggil Paman Sudira.
“Tidak! Dia telah membunuh ayah. Dan Paman 
Danang pun tewas di tangannya. Aku harus 
membalas kematian mereka, agar arwah ayahku 
tenang di alam sana. Lepaskan tanganku, Paman! 
Lepaskaaan...!” teriak gadis bernama Andini.
“Andini! Kau bisa saja menuntut balas, tapi ti-
dak sekarang. Itu sama artinya dengan bunuh di-
ri. Kita akan mencari cara untuk mengalahkan-
nya kelak. Ayo, ikut denganku. Dan, jangan sia-
siakan waktu...!” ujar Paman Sudira.
“Tidak! Tidaaak...!”
Andini mencoba berontak. Namun dengan se-
kali sentak, Paman Sudira langsung menotok ga-
dis itu dan membopongnya. Seketika Andini di-
bawanya pergi dari tempat ini.
Ternyata walaupun dalam keadaan dikeroyok, 
Iblis Cebol masih mampu memperhatikan seki-
tarnya. Maka ketika melihat ada yang hendak ka-
bur, dia menggeram marah.
“Huh! Kalian bermimpi untuk kabur dari sini!” 
dengus Iblis Cebol. Tangan kirinya yang terkem-
bang cepat dihentakkan. Maka seketika segumpal

cahaya kelabu menghantam cepat ke arah Paman 
Sudira yang tengah membopong tubuh Andini.
“Uts...!”
Tubuh Paman Sudira bergulingan, menghinda-
ri hantaman pukulan jarak jauh Iblis Cebol. Dan 
laki-laki kerdil itu bermaksud melanjutkan seran-
gannya. Namun....
“Hajar dia! Jangan sampai Ki Sudira dan Andi-
ni celaka! Seraaang...!”
Pada saat yang bersamaan, beberapa orang 
murid Perguruan Jalak Sampurno serentak 
menghalangi niatnya. Agaknya mereka menyada-
ri, apa yang akan dilakukan Ki Sudira. Maka me-
reka bertekad untuk melindungi dengan pengor-
banan nyawa.
“Hiiih...! Rasakan kematian kalian, orang-orang 
bodoh! Mampus!” geram Iblis Cebol garang seraya 
mengumbar serangannya.
Prak! Prakkk!
“Aaa...!”
Jeritan panjang menyiratkan kematian yang 
saling susul mengiringi ambruknya belasan murid 
Perguruan Jalak Sampurno yang tersisa dengan 
kepala remuk. Darah muncrat menyiram bumi, 
menebarkan bau anyir darah yang terbawa hem-
busan angin. Iblis Cebol betul-betul mengamuk 
marah, dengan mengerahkan segenap kepan-
daiannya.
Meskipun murid-murid perguruan itu mencoba 
melawan sekuat tenaga, namun nyatanya usaha 
mereka sama sekali sia-sia belaka. Dalam waktu

singkat saja, seluruhnya tumpas di tangan lelaki 
bertubuh kerdil itu.
“Huh! Sayang masih ada yang tersisa! Tapi, su-
atu saat nanti mereka akan kutemukan! Mereka 
seluruhnya harus musnah, tanpa sisa!” dengus 
Iblis Cebol. Hatinya sedikit kesal, menyadari ka-
lau laki-laki bongkok yang diserangnya tadi ber-
hasil kabur dari tempat itu.
Setelah meludah beberapa kali, tubuh Iblis Ce-
bol melesat ringan dari tempat itu, lalu menghi-
lang dalam sekejapan mata. Sinar matahari tam-
pak terhalang awan kelabu. Sementara di angka-
sa terlihat sekawanan burung pemakan bangkai 
yang terbang berputar-putar, mengincar mayat-
mayat yang bergelimpangan menebarkan bau 
anyir darah.
***
DUA


Siang hari, Desa Kandi tampak ramai oleh 
orang-orang yang lalu-lalang silih berganti. Bah-
kan tidak jarang ada yang menginap barang satu 
atau dua malam. Desa ini memang tidak begitu 
jauh dari ibukota kadipaten. Sehingga, tidak he-
ran bila setiap hari keadaannya ramai. Selain ba-
nyak dikunjungi pedagang, juga dikunjungi to-
koh-tokoh persilatan. Seperti yang terlihat hari 
ini.
Di dalam sebuah kedai yang cukup ramai di
desa ini, seorang pemuda tampan berbaju kulit 
harimau tampak tengah duduk tenang menyan-
tap hidangan di mejanya. Sementara seekor mo-
nyet kecil duduk di atas meja juga tengah mela-
hap sesisir pisang. Sesekali tampak binatang itu 
menyeringai ke arah pemuda itu, kemudian meli-
rik sekitarnya. Sedangkan pemuda ini tersenyum 
kecil, lalu memberi isyarat pada monyet itu untuk 
tidak membuat ulah. Rupanya, binatang itu hen-
dak melempar sebuah kulit pisang ke tengah-
tengah pengunjung lain. 
“Jangan membuat mereka marah, Tiren...,”
“Kaaakh...!” monyet yang dipanggil Tiren men-
jerit pelan seraya menyeringai lebar.
Pemuda berbaju dari kulit harimau yang tak 
lain Bayu alias Pendekar Pulau Neraka itu me-
mandang ke sekeliling. Bayu melihat banyak di 
antara pengunjung kedai adalah tokoh persilatan. 
Sementara, sisanya adalah para pedagang yang 
kebetulan lewat, atau hendak menjual barang da-
gangannya.
Pendekar Pulau Neraka baru saja selesai me-
neguk araknya, ketika terdengar ringkik halus 
dua ekor kuda yang berhenti tepat di depan kedai 
itu. Begitu melompat turun, dua penunggang ku-
da itu melangkah ke dalam kedai. Mereka adalah 
sepasang anak muda berusia sekitar dua puluh 
tahun. Yang mengenakan rompi hitam adalah 
pemuda berwajah kasar dengan sebuah codet di 
pipi kirinya. Matanya yang menyorot tajam me-
nyapu ke sekeliling ruangan kedai. Sesekali tangannya memegang gagang golok panjang yang ter-
selip di pinggangnya.
Sementara, berjalan di sebelah pemuda itu 
adalah seorang gadis berwajah cantik dengan ikat 
kepala berwarna kuning. Matanya yang liar me-
nyapu pengunjung kedai disertai senyum manis-
nya yang genit. Pakaiannya berwarna biru agak 
ketat, dengan bagian perutnya dibiarkan terbuka. 
Sehingga, pusarnya terlihat. Sepasang pedang 
pendek tampak terselip di pinggangnya. Dengan 
langkah tenang serta berkesan seenaknya, gadis 
itu duduk di tengah-tengah ruangan kedai.
Sementara itu, semua pengunjung kedai meli-
rik ke arah sepasang anak muda ini sambil terse-
nyum-senyum kecil menggoda. Sedangkan pemu-
da yang mendampingi gadis itu tampak semakin 
galak wajahnya. Agaknya, hatinya betul-betul ti-
dak suka kalau gadis di sampingnya menjadi pu-
sat perhatian. Terlebih-lebih lagi, pandangan ma-
ta para pengunjung kedai seperti hendak mene-
lanjangi pakaian ketat gadis itu.
“Tenanglah, Danu Wiryo. Tidakkah kau melihat 
kalau mereka mengagumiku...?” kata gadis cantik 
ini, dengan mata sayu dan senyum genitnya yang 
sangat memikat.
“Aku tidak suka pandangan mereka terhadap-
mu, Diah!” dengus pemuda yang dipanggil Danu 
Wiryo kesal.
“Kenapa?” tanya gadis yang dipanggil Diah.
“Mereka seperti ingin menelanmu!”
Gadis itu terkikik kecil, seraya tetap menyapu

sekitarnya dengan matanya.
“Sebaiknya tinggalkan saja tempat ini. Aku in-
gin muntah melihat tatapan mata mereka!” den-
gus Danu Wiryo lagi.
Diah Kemuning belum menghentikan keta-
wanya. Agaknya, gadis itu menikmati betul ke-
jengkelan Danu Wiryo.
“Kau cemburu pada mereka?” ledek Diah Ke-
muning.
Danu Wiryo hanya mendengus mendengar le-
dekan gadis ini.
“Kau lihat pemuda berbaju kulit harimau itu?” 
tunjuk Diah Kemuning.
Danu Wiryo menoleh sekilas, kemudian kemba-
li mendengus.
“Huh! Apa kau kira dia punya kelebihan di-
banding diriku?” kata Danu Wiryo.
“Hm.... Wajahnya tampan dan sama sekali ti-
dak peduli dengan kehadiranku. Aku suka sekali 
padanya,” sahut Diah Kemuning seraya terse-
nyum genit.
“Cukup Diah! Jangan coba-coba membakar 
amarahku!” sentak Danu Wiryo, tiba-tiba.
“Hm, kau marah rupanya?” tanya gadis itu 
mengejek.
“Apa perlu kuhajar pemuda itu, agar kau men-
getahuinya?” tantang Danu Wiryo.
Gadis itu tidak menyahut, tapi malah terse-
nyum kecil. Dan bagi Danu Wiryo, agaknya se-
nyum itu ditafsirkan untuk memanasi hatinya 
yang memang sudah kesal. Dia bermaksud akan

menghajar pemuda itu untuk membuktikan kata-
katanya di depan Diah Kemuning. Tapi belum ju-
ga dilakukannya, dua orang laki-laki yang mas-
ing-masing bertubuh gemuk dan bercambang 
bauk tebal mendekati mereka sambil menyeringai 
lebar.
“Kutu Kupret! Minggir kau!” hardik salah seo-
rang yang di pinggangnya terselip sebuah golok.
Bukan main geramnya Danu Wiryo, ketika 
orang itu mengibaskan tangannya. Seketika di-
tangkapnya tangan orang itu, dan hendak diban-
tingnya ke meja. Namun belum lagi hal itu dila-
kukan, lutut kiri orang itu telah menghajar pe-
rutnya.
Bukkk!
“Uhhh...!”
Danu Wiryo terjajar ke belakang dengan tubuh 
terlipat ke depan. Namun secepat kilat pemuda 
itu menjaga keseimbangannya. Langsung dike-
rahkannya hawa murni untuk menghilangkan ra-
sa mual pada perutnya.
“Keparat! Kubunuh kau, babi gemuk!” geram 
pemuda itu seraya mencabut golok. Langsung 
diserang orang bertubuh besar yang menghan-
tamnya lagi.
Namun sebelum laki-laki gemuk itu mencabut 
senjatanya, kawannya yang bercambang bauk 
langsung mencabut clurit panjang di pinggang. 
Cepat ditangkisnya golok pemuda itu.
Trang!
Benturan dua buah senjata terjadi. Danu Wiryo

kontan terjajar beberapa langkah. Dan belum lagi 
dia bersiap, senjata clurit laki-laki bercambang 
bauk bergerak cepat ke arahnya. Untung saja 
pemuda itu cepat menunduk dan melompat ke 
meja, sehingga luput dari sasaran. Kemudian di-
balasnya serangan itu dengan satu tendangan ke-
ras. 
“Hiiih!”
“Ust!”
Laki-laki bercambang bauk itu memiringkan
tubuhnya menghindari tendangan Danu Wiryo. 
Dan seketika senjatanya disambarkan ke arah 
pemuda itu.
“Hup!”
Danu Wiryo cepat melompat ke belakang untuk 
menghindari tebasan senjata lawan.
Brakkk!
Meja yang tadi dipijak terbelah dua tak kuat 
menanggung beban tenaga dalam Danu Wiryo. 
Sementara Diah Kemuning yang sudah duduk di 
kursi dekat meja itu pun melompat menghindar-
kan diri dari serangan laki-laki gemuk yang tiba-
tiba juga meluncur ke arahnya.
“Hi hi hi...! Kenapa harus berkelahi di sini? 
Ayo! Keluarlah dan bertarung di tempat yang le-
bih luas. Siapa di antara kita yang paling hebat, 
tentu akan mendapat hadiah menarik dariku!”
***
“Diah, tutup mulutmu!” hardik Danu Wiryo ge-
ram mendengar ocehan gadis itu.

“Hei? Kenapa kau marah? Apa dikira aku mi-
likmu? Aku bebas pergi dengan siapa saja. Dan 
kalau perlu, tidur bersama mereka yang memiliki 
kepandaian hebat!” sahut Diah Kemuning seraya 
tersenyum genit bernada mengejek.
“Setaaan! Kalau begitu, kau saja yang mampus 
lebih dulu!” geram Danu Wiryo.
Seketika dia melompat ke arah Diah sambil 
mengayunkan goloknya. Namun belum lagi mam-
pu menyentuh gadis itu, kedua orang bertubuh 
gemuk dan bercambang bauk telah bergerak ce-
pat seraya memapak senjata Danu Wiryo.
Trang!
Terdengar benturan dua senjata yang cukup 
keras. Bahkan masing-masing sampai terjajar be-
berapa langkah.
“Kau dengar katanya? Dia bukan milikmu! Ka-
rena setelah kau mampus, dia akan menjadi milik 
kami!” dengus laki-laki bertubuh gemuk yang 
bersenjatakan golok.
“Keparat! Huh! Kalian akan mampus di tan-
ganku!” dengus Danu Wiryo membentak geram. 
Dan dengan kemarahan meluap-luap, dia lang-
sung menyerang.
Dengan mengerahkan segenap kemampuan 
yang dimiliki, dia mencoba menyerang kedua la-
wannya yang juga sangat bernafsu menghabi-
sinya.
Begitu mendapat kesempatan Danu Wiryo ce-
pat melesat keluar. Tentu saja kedua orang la-
wannya tidak membiarkan begitu saja. Mereka terus mengejar.
Sementara itu, Diah Kemuning masih meman-
dangi mereka yang melesat keluar dengan sorot 
mata penuh kesinisan.
“Hei, gadis molek! Kalau pemuda yang bersa-
mamu kubunuh apakah kau sudi tidur dengan-
ku?!” kata seorang laki-laki kurus dengan kumis 
tipis memanjang ke bawah bibirnya. Di pung-
gungnya tampak terselip sebatang pedang pan-
jang.
Gadis itu memandang ke arahnya. Dibalasnya 
senyum laki-laki itu dengan genit.
“Hi hi hi...! Kau boleh maju pada giliran beri-
kutnya...,” kata Diah Kemuning, enteng.
“Hei? Apa aku pun bisa tidur denganmu kalau 
mereka kubuat mampus?” timpal seorang laki-
laki tua berkulit hitam dan berambut putih, den-
gan suara serak. Tampang orang tua itu kasar, 
sehingga membuat ngeri orang-orang yang me-
mandang ke arahnya.
“Semua mendapat kesempatan yang sama, asal 
bersedia tunggu giliran...,” sahut Diah Kemuning 
sambil mengumbar senyum genitnya.
Beberapa lelaki yang berada di kedai itu men-
gajukan tawaran yang sama, dan diladeni dengan 
baik oleh gadis itu. Hidung mereka jadi kembang 
kempis dan mata mereka langsung jelalatan me-
nikmati tubuh gadis itu. Mereka membayangkan 
keindahan tersendiri dalam benak, sehingga 
membuat air liur meleleh.
Sementara itu, Bayu sama sekali tidak bergeming. Bahkan tidak peduli ketika sebagian besar 
tokoh persilatan yang berada di dalam kedai ini
berbondong-bondong keluar untuk menunggu gi-
liran menghajar salah seorang yang keluar seba-
gai pemenang, dari pertarungan antara Danu 
Wiryo dan kedua lawannya.
“Kaaakh...!”
Tiren berteriak pelan seraya menunjuk keluar. 
Kedua kakinya melompat-lompat dengan kedua 
tangan menepuk-nepuk. Lalu, mulutnya menye-
ringai lebar seperti mengejek pemuda itu. Se-
dangkan Bayu tersenyum tipis, melihat kelakuan 
binatang peliharaannya.
“Hm.... Kau pun mengerti apa yang dipersoal-
kan? Dasar monyet genit!” rungut Bayu.
“Nguk! Nguk...! Keeeh...!”
Tiren kembali melompat-lompat, seraya me-
nunjuk-nunjuk keluar. Lalu mulutnya menyerin-
gai lebar.
“Apa? Kau ingin agar aku ikut dalam pertarun-
gan itu? Brengsek! Kau kira aku suka mempere-
butkan pepesan kosong!” ujar Bayu sinis.
Tiren melonjak-lonjak kegirangan ketika isya-
ratnya dimengerti pemuda itu. Tubuhnya bergu-
lingan di meja makan sambil memegang perutnya 
serta mencerecet beberapa kali seperti kegiran-
gan.
“Brengsek!” Bayu menggerutu kecil, kemudian 
berdiri meninggalkan mejanya. Dan Tiren pun 
melompat, lalu hinggap di pundak kanannya.
Monyet kecil berbulu hitam itu mengira Bayu

akan mengikuti apa yang diinginkannya. Namun 
apa yang diduga ternyata melesat. Bayu malah 
membayar makanan yang disantapnya pada pe-
milik kedai, kemudian berlalu dengan tenang me-
ninggalkan kedai.
“Kaaakh...!”
Tiren kembali berteriak kesal, melihat Bayu 
sama sekali tidak mempedulikan keramaian di 
sekitarnya. Padahal, banyak penduduk desa dan 
orang-orang yang kebetulan lewat, berkerumun 
menonton pertarungan di depan kedai.
Dan ternyata teriakan Tiren mengundang per-
hatian Diah Kemuning yang tengah diperebutkan.
Dengan langkah gemulai dan senyum genit, di-
hampiri dan dihadangnya Pendekar Pulau Nera-
ka.
“Siapa namamu? Apakah kau tidak ingin 
memperebutkan diriku?” tanya Diah Kemuning, 
lembut.
Bayu tersenyum kecil.
“Apakah kau seorang ratu yang amat berkuasa, 
sehingga aku perlu susah payah mempere-
butkanmu? Maaf, masih banyak keperluan pent-
ing ketimbang memperebutkanmu!” dengus Bayu 
keras sambil menuding gadis itu. Lalu, Bayu ber-
gerak hendak melangkah.
“Jangan buru-buru pergi, Kakang...,” cegah Di-
ah Kemuning seraya mencekal pergelangan tan-
gan Bayu. Tubuhnya cepat mendekap, dan sebe-
lah tangannya mengusap pipi pemuda itu sambil 
tersenyum genit menggoda.

“Jangan coba-coba menghalangi langkahku...!” 
dengus Bayu seraya menepis tangan dan mendo-
rong tubuh gadis itu agar menjauh.
Dengan langkah gusar, Pendekar Pulau Neraka 
buru-buru melangkah. Namun gadis itu dengan 
sigap kembali mencekal pergelangan tangannya.
“Tahukah kau, aku lebih menyukaimu ketim-
bang mereka? Ajaklah aku pergi bersamamu....”
“Jangan coba-coba merayu, Nisanak! Pergilah 
bersama mereka!” sentak Bayu kembali menepis 
lengan Diah Kemuning.
Pemuda itu baru saja hendak melangkah. Na-
mun tiba-tiba seseorang menghadang langkah-
nya. Orang itu langsung memandang tajam Bayu, 
kemudian melirik ke arah Diah Kemuning.
“Bila kuhajar pemuda ini sampai mampus, 
apakah juga berarti kau milikku?” tanya orang 
yang menghadang Bayu seraya menyeringai lebar.
“Cobalah kalau kau mampu. Aku akan meme-
nuhi janjiku...,” sahut Diah Kemuning tenang.
“He he he...! Kau dengar katanya, bocah? Dia 
akan menjadi milikku dengan bayaran nyawamu. 
Nah! Pertahankanlah selembar nyawamu!” dengus 
laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun, ber-
baju putih.
Sring!
Laki-laki setengah baya itu sudah langsung 
mencabut pedangnya.
“Kisanak! Minggirlah kau! Aku tidak ingin ber-
tarung denganmu untuk memperebutkan seorang 
perempuan rendah. Kau boleh mengambilnya, sesukamu. Dan kau tak perlu curiga kalau aku 
akan merebutnya. Dia hanya pepesan kosong be-
laka!” ujar Bayu sinis.
“Huh! Suka atau tidak, kau adalah taruhan 
bagiku untuk mendapatkannya. Nah, jaga dirimu 
baik-baik. Lihat serangan!” dengus laki-laki itu, 
langsung membabatkan pedangnya ke arah Bayu 
dari atas kepala hingga ke kaki.
“Uts!”
“Setan!” maki Pendekar Pulau Neraka geram 
seraya bergerak ke samping. Sehingga, senjata la-
ki-laki itu hanya menyambar angin.
Sementara itu, Tiren buru-buru melompat dari 
pundak Pendekar Pulau Neraka dan hinggap di 
atas atap kedai yang paling rendah. Itu dilakukan 
ketika mulai merasakan getaran amarah di dada 
pemuda berbaju kulit harimau ini.
“Kau yang menginginkannya. Dan kau pula 
akan menanggung akibatnya!” desis Bayu geram, 
seraya memasang kuda-kuda untuk menghadapi 
serangan selanjutnya.
***
“Huh! Banyak omong! Jaga perutmu...!” geram 
laki-laki bersenjata pedang itu, seraya menyam-
bar perut Pendekar Pulau Neraka dengan ujung 
pedangnya.
Tubuh Pendekar Pulau Neraka cepat melenting 
ke atas, menghindari sambaran ujung pedang la-
ki-laki berbaju putih itu. Dan seketika ujung kaki 
kanannya melayang cepat ke arah dagu. Laki-laki

setengah baya itu terkejut, namun cepat melom-
pat ke samping. Lalu tubuhnya balas menerjang 
ayunkan tendangan dengan kaki yang keras.
Pendekar Pulau Neraka cepat-cepat menyelinap 
ke samping, sehingga serangan laki-laki itu men-
genai tempat kosong. Dan seketika dengan gera-
kan mengagumkan Pendekar Pulau Neraka mele-
paskan tendangan berputar ke arah dada. Begitu 
cepat gerakannya sehingga....
Dukkk!
“Aaakh...!”
Laki-laki itu menjerit keras begitu tendangan 
kaki kanan Bayu menghantam dadanya dari arah 
samping. Tubuhnya langsung terjungkal sambil 
mendekap dadanya yang terasa sakit bukan 
main. Dengan wajah gusar, dia berusaha bangkit.
“Keparat! Kubunuh kau! Yeaaah...!”
Pedang di tangan laki-laki berbaju putih itu 
berkelebat cepat menyambar tubuh Pendekar Pu-
lau Neraka seperti hendak mengiris-irisnya men-
jadi beberapa potong. Tubuh Pendekar Pulau Ne-
raka seketika berkelebat cepat, menyelinap di an-
tara sambaran senjata pedang yang mengancam 
jiwanya. Lalu disertai bentakan nyaring, tangan 
kanannya memapak senjata laki-laki berbaju pu-
tih itu.
Trangngng! 
“Hei?!”
Orang itu kontan tersentak kaget, begitu tiba-
tiba saja pedang di tangannya seperti menghan-
tam benda keras. Bahkan senjata sampai terlepas

dari genggamannya dalam keadaan patah menjadi 
dua bagian. Belum lagi disadari apa yang terjadi, 
satu hantaman keras tiba-tiba mendarat di pe-
rutnya.
Begkh...!
“Aaakh...!”
Laki-Laki berbaju putih itu memekik kesakitan. 
Tubuhnya langsung terjungkal beberapa langkah 
di tanah disertai darah segar. Isi perutnya seperti 
diaduk-aduk akibat hantaman pukulan yang 
kuat. Beberapa kali dia berusaha bangkit. Na-
mun, langkahnya limbung dan kembali ambruk 
disertai muntahan darah segar.
Melihat keadaan itu, beberapa tokoh persilatan 
yang sejak tadi melihat pertarungan Pendekar Pu-
lau Neraka melawan laki-laki berbaju putih itu 
berdecak kagum. Bahkan mereka sampai bergidik 
ngeri ketika memandang ke arah Pendekar Pulau 
Neraka yang mendengus tajam. Agaknya salah 
seorang penonton seperti mengenali pemuda ber-
baju kulit harimau itu.
“Hei? Bukankah pemuda itu Pendekar Pulau 
Neraka?!”
“Ah! Apa benar?!” sahut yang lain.
“Benar! Aku pernah melihatnya beberapa kali!”
“He?!” tambah yang lain dengan wajah takjub.
“Hm.... Kabar tentang kehebatannya ternyata 
bukan sekadar kabar burung. Ki Somad Paksi 
adalah tokoh hebat. Namun dalam beberapa ge-
brakan saja, sudah tersungkur olehnya!” seru 
orang lain sambil berdecak kagum.

Dalam keadaan begitu, mendadak terdengar je-
ritan panjang. Semua mata langsung mengalih-
kan perhatian ke arah datangnya suara. Mereka 
melihat tubuh Danu Wiryo terkapar di tanah da-
lam keadaan terluka parah terkena senjata kedua 
lawannya. Darah bercampur debu tampak mem-
balur sekujur tubuhnya yang menggelepar-
gelepar tanpa daya. Beberapa saat kemudian, tu-
buhnya diam tidak berkutik. Sementara kedua 
orang lawannya bertolak pinggang, dengan wajah 
pongah memperhatikan orang-orang di sekeliling-
nya.
“Siapa lagi yang akan menantang Sepasang 
Naga Bertaring?!” tanya laki-laki bertubuh gemuk 
yang bersenjatakan golok.
Tak lama tampak seorang maju ke muka. 
Usianya sekitar tiga puluh tahun. Tubuhnya ku-
rus, dengan rambut panjang digelung ke bela-
kang. Tangan kanannya menggenggam sebatang 
pedang yang warangkanya berukir indah. Laki-
laki itu tersenyum sinis, seperti mengejek kedua 
orang berperut gendut yang berjuluk Sepasang 
Naga Bertaring.
“Hei, Sepasang Naga Bertaring yang kini telah 
ompong! Apakah kalian akan memperebutkan 
pepesan kosong?!” tegur laki-laki kurus itu lan-
tang.
Sepasang Naga Bertaring langsung menatap ta-
jam seraya mendengus geram.
“Hm, Sanjung Tulang keparat! Apa maksud ka-
ta-katamu?!” hardik yang bertubuh gendut.

“Gadis itu telah pergi dengan seseorang...,” ka-
ta laki-laki kurus yang dipanggil Sanjung Tulang.
“Apa?!”
Sepasang Naga Bertaring kontan terkejut dan 
memandang ke sekeliling tempat itu. Namun me-
reka tidak menemukan gadis yang bertubuh 
menggiurkan tadi.
“Keparat!” dengus Sepasang Naga Bertaring, 
hampir berbarengan.
Sementara Ki Sanjung Tulang terkekeh.
“Ha ha ha...! Dasar naga bodoh! Kalian kira bi-
sa dapatkan gadis molek itu? Dia telah pergi ber-
sama seseorang yang agaknya digila-gilainya....”
“Kurang ajar! Siapa orang yang digila-gilanya 
itu?” sentak laki-laki gendut yang bersenjatakan 
golok dengan nada geram.
“Siapa lagi kalau bukan Pendekar Pulau Nera-
ka....”
“Setan! Awas dia! Akan kuremukkan tulang-
tulangnya!” dengus laki-laki bercambang bauk 
yang bersenjata clurit, seraya memandang ke 
arah kawannya.
“Mari, Ruksa! Kita kejar mereka!”
“Benar, Rekso! Akan kuremukkan tubuh pe-
muda keparat itu. Dan, akan kukerjai perempuan 
sial itu sampai mampus!” dengus laki-laki bersen-
jata golok yang bernama Ruksa.
Sepasang Naga Bertaring segera melesat dari 
tempat itu dengan mengerahkan ilmu meringan-
kan tubuh. Sementara Ki Sanjung Tulang me-
mandang mereka sambil tersenyum tipis, kemudian ikut berkelebat membayangi dengan gerakan 
ringan.
Orang-orang yang masih berkerumunan di 
tempat itu berdecak kagum melihat cara tokoh-
tokoh persilatan itu bergerak. Dalam sekejapan 
mata saja, mereka telah jauh meninggalkan tem-
pat itu, kemudian hilang dari jarak pandang. Me-
reka masih berkerumun beberapa saat lamanya, 
sebelum kemudian bubar satu persatu.
***
TIGA


Bayu terus melesat cepat, jauh meninggalkan 
kedai sementara Tiren mengamit lehernya erat-
erat ketika Bayu mengerahkan ilmu lari cepatnya. 
Pendekar Pulau Neraka memang menggunakan 
kesempatan itu pergi dari kedai, ketika orang-
orang berpaling darinya untuk mengalihkan per-
hatian pada suara jeritan. Tak heran kalau dia 
kini telah melesat jauh meninggalkan kedai. Apa-
lagi, ilmu meringankan tubuhnya telah begitu 
tinggi.
Sementara itu gadis berwajah cantik yang ber-
nama Diah Kemuning ternyata tidak begitu mu-
dah terpedaya. Sejak tadi, matanya tidak lepas 
mengawasi Pendekar Pulau Neraka. Maka begitu 
Bayu berlalu, langsung disusulnya. Dan ternyata 
ilmu larinya cukup lumayan untuk mengimbangi 
Pendekar Pulau Neraka.

Semula Bayu tidak begitu memperhatikan, dan 
terus saja berlari sampai jauh dari desa itu. Keti-
ka dirasakannya sudah cukup jauh, larinya di-
hentikan. Kini, kakinya melangkah tenang sambil 
mengatur jalan napasnya.
“Nguk! Nguk...!”
Tiren membuka matanya. Kemudian mulutnya 
dibuka lebar-lebar seraya merentangkan tangan-
nya.
Dan matanya langsung menatap ke sekeliling. 
Kemudian binatang itu berteriak-teriak kecil 
kembali.
“Puih! Hampir saja aku terjebak dalam urusan 
yang tidak berguna...,” dengus Bayu sambil ber-
napas lega.
“Hi hi hi...! Pendekar gagah perkasa, kenapa la-
ri dari urusan?”
Mendadak terdengar satu suara, membuat 
Bayu seketika berpaling. Kini tampaklah sosok 
tubuh ramping melayang turun dari satu cabang 
pohon yang tidak jauh di sampingnya. Pemuda itu 
mendesah kesal, begitu mengetahui siapa yang 
muncul. Dia tak lain wanita genit yang tadi bera-
da di kedai. Karena, justru dialah pangkal persoa-
lan sesungguhnya!
“Apa maksudmu mengikutiku ke sini?!” tanya 
Bayu ketus.
“Apakah tidak boleh?”
“Kembalilah kau ke sana! Mungkin mereka te-
lah menyelesaikan urusannya untuk menda-
patkanmu!”

“Huh! Siapa yang peduli dengan keledai-keledai 
dungu itu!”
“Lalu, untuk apa kau mengikutiku?”
Gadis bernama Diah Kemuning itu melangkah 
gemulai, mendekati Bayu seraya tersenyum genit.
“Tidak bisakah kau bicara sedikit lembut...? 
Sayang sekali jika orang setampanmu ini mem-
punyai sifat kasar...,” kata Diah Kemuning, agak 
manja.
“Bukan urusanmu! Pergilah kau. Kita tidak 
punya urusan apa-apa!” dengus Bayu kesal se-
raya berbalik, membelakangi gadis itu. Lalu ka-
kinya melangkah terburu-buru.
Namun baru saja melangkah tiga tindak, men-
dadak tubuh gadis itu telah melayang ringan dan 
mendarat tepat dekat di hadapan Bayu. Dengan 
senyum genit, diusapnya pipi kiri pemuda itu dis-
ertai tatapan mata yang sayu.
“Kudengar kau Pendekar Pulau Neraka. Pende-
kar nomor wahid yang memiliki kepandaian ting-
gi. Tidakkah kau tertarik padaku? Akan kuberi-
kan apa saja yang kumiliki untukmu asal kau 
sudi menolongku...,” Diah Kemuning.
“Kau tidak perlu berkata begitu! Jangankan 
menolongmu, untuk mencampuri urusanmu saja 
aku muak!” sentak Bayu seraya menepis tangan 
gadis itu.
“Jangan terburu-buru, Pendekar Pulau Neraka. 
Tidakkah kau ingin mendengar ceritaku lebih du-
lu?” tanya Diah Kemuning. Kali ini sikapnya terli-
hat lebih wajar. Bahkan cenderung bersungguh

sungguh.
Bayu mendengus kesal. Meski melihat kesung-
guhan dalam tatapannya, tapi Pendekar Pulau 
Neraka tetap masih belum yakin kalau gadis itu 
tidak akan menipu.
“Apa untungnya aku mendengar ceritamu?” 
tanya Bayu, sinis.
“Kurasa tidak ada. Tapi ini bukan sekadar me-
nyangkut diriku, melainkan orang banyak....”
“Tidak usah berbelit-belit. Katakan, apa yang 
kau ingin ceritakan! Lalu, pergilah dari sini sece-
patnya!” sahut Bayu, tegas.
“Betulkah kau ingin mendengar ceritaku?!” 
tanya Diah Kemuning menegaskan.
“Jangan bertele-tele! Cepat katakan...!”
“Baiklah. Tapi, sebelumnya aku akan memper-
kenalkan namaku.... Diah Kemuning....”
Bayu melotot garang.
“Aku tidak tanya namamu! Lekas ceritakan! 
Atau, aku akan pergi dari sini?!” potong Pendekar 
Pulau Neraka kesal.
“Baiklah. Pernah mendengar orang yang berju-
luk Iblis Cebol...?”
“Siapa orang itu?” tanya Bayu dengan berkerut 
dahi heran.
“Hm.... Sungguh kau tidak pernah mendengar 
berita yang menggemparkan ini? Banyak sudah 
tokoh persilatan yang tewas di tangan manusia 
cebol itu. Bahkan lebih dari sepuluh perguruan 
silat ternama hancur di tangannya...!” tutur Diah 
Kemuning.
Bayu mengangguk-angguk. “Hm, ya. Aku den-
gar soal itu. Jadi, Iblis Cebol pelakunya? Lalu, 
apa hubungannya denganmu?”
“Aku menginginkan kepala orang itu!” sahut 
Diah Kemuning.
Bayu tersentak kaget, kemudian tersenyum
sendiri seperti tidak percaya pada pendengaran-
nya. Dipandanginya gadis itu dengan seksama, la-
lu kembali tersenyum.
“Itukah urusan yang kau katakan menyangkut 
kepentingan orang banyak?” tanya Bayu.
“Itu pertolonganmu padaku. Sedangkan bagi 
orang banyak, adalah kematiannya” sahut gadis 
itu bersungguh-sungguh.
“Kenapa tidak kau sendiri saja yang melaku-
kannya?”
“Kalau aku mampu, tidak perlu minta perto-
longanmu. “
“Kau takut mati? Lalu, mengapa begitu den-
dam padanya?”
“Ya! Aku memang takut mati, sebab belum 
sempat membalas dendam pada manusia keparat 
itu!” dengus Diah Kemuning dengan bola mata 
berbinar tajam.
Bayu lalu melangkah tenang meninggalkan ga-
dis itu.
“Maaf. Aku tidak bisa membantumu. Kau boleh 
cari orang lain saja....”
“Pendekar Pulau Neraka! Apakah kau takut un-
tuk menghadapi manusia cebol itu?!” teriak Diah 
Kemuning kesal dengan nada mengejek.

Bayu tersenyum. Dan tanpa berpaling, kakinya 
terus melanjutkan langkahnya.
“Ya! Aku takut berhadapan dengannya. Karena 
kusadari, hal itu tidak ada gunanya,” sahut Bayu
tenang.
“Kalau begitu, aku akan memaksamu...!” desis 
Diah Kemuning seraya mencabut pedang. Lang-
sung diserang Pendekar Pulau Neraka dari bela-
kang.
“Yeaaaah...!”
***
“Hup! Uts...!”
Bayu mengelak ke samping, ketika merasakan 
angin sambaran senjata Diah Kemuning. Namun 
kedua ujung pedang gadis itu terus menyambar-
nya silih berganti. Serangannya amat teratur dan 
saling menyusul dalam waktu cepat.
“Gadis sial! Kau kira bisa membujukku dengan 
cara begini?!” dengus Bayu kesal.
“Siapa yang akan membujukmu? Aku bahkan 
akan memenggal kepalamu!” sahut gadis itu ga-
rang.
“Edaaan...!”
Bayu kembali memaki ketika pedang gadis itu 
nyaris menyambar tenggorokannya. Tubuhnya 
melompat ke belakang, sambil jungkir balik. Na-
mun, Diah Kemuning kembali melakukan seran-
gan kilat
“Yeaaah...!”
Pemuda berbaju kulit harimau itu berkali-kali

memaki kesal. Bayu merasa, tidak ada gunanya 
meladeni gadis ini. Maka Pendekar Pulau Neraka
langsung balas menyerang, setelah menghindari 
dua tebasan senjata yang terarah pada leher dan 
jantungnya. Tubuhnya melejit ke samping, dan 
langsung melakukan sodokan keras lewat kepalan 
tangan kirinya ke dada kiri gadis itu. 
“Hiiih...!”
“Brengsek! Dasar lelaki cabul!” umpat Diah 
Kemuning sambil menggeser tubuh ke kiri.
Namun serangan selanjutnya kembali datang. 
Satu tendangan keras yang dilakukan pemuda itu 
meluncur ke arahnya. Terpaksa dia melompat ke 
belakang untuk menghindarinya.
Namun angin serangan Pendekar Pulau Neraka 
yang kuat, cukup membuat tubuh gadis itu ber-
getar, dan kuda-kudanya menjadi limbung. Diah 
Kemuning betul-betul tercekat kaget dan jan-
tungnya berdetak lebih kencang. Tidak disang-
kanya kalau Pendekar Pulau Neraka memiliki te-
naga dalam yang demikian hebat.
“Brengsek! Dasar edan! Kau hendak membu-
nuhku, he?!” maki gadis itu kesal. “Heh?! Ke ma-
na perginya dia?”
Diah Kemuning jadi celingukan sendiri dengan 
hati bertambah kesal saja. Ternyata tahu-tahu 
Pendekar Pulau Neraka telah hilang dari pandan-
gan. Matanya langsung mencari-cari ke sekitar 
tempat itu, namun Pendekar Pulau Neraka betul-
betul tidak terlihat lagi batang hidungnya.
“Pendekar Pulau Neraka! Ke mana pun kau

pergi, akan kukejar...!” teriak gadis itu kesal se-
raya berlari cepat ke satu arah.
Ketika Diah Kemuning telah berlalu jauh, tiba-
tiba sesosok tubuh meluruk turun dari cabang 
atas sebuah pohon yang tidak begitu jauh. Pen-
dekar Pulau Neraka tersenyum sambil mengge-
leng lemah.
“Dasar gadis binal! Hanya menyusahkan sa-
ja...!”
“Nguk! Nguk...!”
Tiren melompat-lompat sambil mencerecet ri-
but Agaknya monyet kecil itu kurang setuju den-
gan tindakan Bayu.
“Kita tidak boleh mempercayai orang seperti 
tadi, Tiren. Dia banyak akalnya. Dan siapa tahu, 
apa yang dikatakannya itu tipu muslihat...,” jelas 
Bayu seperti mengerti bahasa monyet.
“Kaaakh!” Tiren menjerit keras seperti hendak 
membantah ucapan Pendekar Pulau Neraka.
Bayu hanya tersenyum kecil. Dan baru saja 
kakinya melangkah dua tindak....
“Pendekar Pulau Neraka! Berhenti kau...!”
Tiba-tiba terdengar bentakan keras. Dan tahu-
tahu dua sosok tubuh besar telah menghadang 
Pendekar Pulau Neraka. Bayu tercekat, dan ter-
paksa menghentikan langkahnya. Dipandanginya 
mereka satu persatu, kemudian tersenyum kecil. 
Kedua orang bertubuh besar itu tak lain dari Se-
pasang Naga Bertaring, yang tadi bertarung di de-
pan kedai.
“Huh! Bocah seperti ini mau bertingkah di de

pan Sepasang Naga Bertaring!” dengus orang yang
bersenjata golok, dan bernama Ruksa dengan wa-
jah sinis.
“Apa yang kalian inginkan dariku?” tanya Bayu 
tenang.
“Serahkan gadis itu pada kami!” sentak orang 
yang bersenjata clurit, yang bernama Rekso.
“Dia telah pergi....”
“Huh! Kau kira kami percaya begitu saja?” den-
gus Ruksa.
“Aku tidak menyuruh kalian untuk percaya. 
Tapi kalau kalian tidak ingin kehilangan dia, su-
sullah ke arah sana!” tunjuk Bayu ke arah Diah 
Kemuning tadi berlalu.
“Kau apakan dia?!” tanya Rekso, geram.
Bayu memandang orang bersenjata clurit itu 
dengan wajah tidak senang, karena sangat me-
mandang remeh padanya. Demikian pula kawan-
nya. Dan hal itu membuatnya semakin tidak me-
nyukai mereka.
“Kau pikir aku sudi melepaskan begitu saja? 
Dia telah menawarkan dirinya. Dan, mana mung-
kin kusia-siakan begitu saja...,” sahut Bayu see-
naknya memanasi.
“Kurang ajar!” maki Ruksa, langsung mencabut 
goloknya.
“Sudah, Ruksa! Kita hajar saja bocah tak tahu 
diri ini!” ujar Rekso.
“Huh! Tanganku memang sudah gatal, Rekso!” 
desis Ruksa.
Laki-laki itu segera melompat menyerang Pendekar Pulau Neraka. Dan tindakannya diikuti 
Rekso. Tampaknya, mereka begitu bernafsu 
menghabisi Pendekar Pulau Neraka dalam waktu 
singkat Sehingga tidak heran bila mereka lang-
sung mengerahkan kemampuan pada tingkat ter-
tinggi.
Srakkk!
“Yeaaah...!”
“Kaaakh...!”
Begitu melihat kedua orang itu menyerang, Ti-
ren segera melompat dari pundak Pendekar Pulau 
Neraka dan hinggap di cabang sebuah pohon yang 
tidak begitu jauh dari tempat ini. Sedangkan 
Bayu mendengus dingin. Dan tubuhnya segera 
meliuk ke samping kiri dan kanan sambil mem-
bungkuk menghindari tebasan senjata Sepasang 
Naga Bertaring.
“Hup, Uts...!”
“Hiyaaa...!”
Begitu terlepas dari serangan, Pendekar Pulau 
Neraka balas menyerang. Ujung kaki kanannya 
cepat menyodok ke dada Ruksa. Lalu, tubuhnya 
berputar seraya menghantamkan kepalan tangan 
ke muka Rekso.
“Uts...!”
“Uh...!”
***
Sepasang Naga Bertaring tersentak kaget, me-
lihat serangan Pendekar Pulau Neraka yang da-
tangnya cepat luar biasa. Belum lagi angin serangan pemuda itu yang kuat bukan main. Tubuh 
mereka bergerak berputar, untuk menghindari. 
Lalu mereka kembali balas menyerang dengan ge-
ram.
Wukkk! Bettt!
Bayu melompat ke atas, lalu berputaran bebe-
rapa kali di udara. Sehingga, serangan Sepasang 
Naga Bertaring lewat di bawah tubuhnya. Begitu 
meluruk turun, kedua kaki Pendekar Pulau Nera-
ka melepaskan hantaman ke muka lawan-
lawannya. Rekso dan Ruksa tersentak kaget Na-
mun mereka masih sempat menangkis dengan 
tangan kiri.
Plak! Plak! 
“Uh...!”
Kedua orang itu mengeluh kesakitan ketika 
tangan mereka menangkis tendangan Pendekar 
Pulau Neraka.
“Yeaaa...!”
Begitu mendarat di tanah. Bayu kembali me-
mutar tubuhnya. Sebelah kakinya cepat diangkat, 
ketika tebasan clurit Rekso meluncur datang. Se-
dangkan kepalanya cepat menunduk, menghinda-
ri tebasan golok Ruksa. Dan begitu tertebas, Pen-
dekar Pulau Neraka cepat mengibaskan tangan-
nya ke arah dada Rekso.
“Uts!”
Rekso terkejut bukan main mendapat serangan 
mendadak ini. Maka cepat dia melompat ke bela-
kang. Namun, Pendekar Pulau Neraka terus men-
gejar dengan gerakan tangan yang indah, melepaskan pukulan-pukulan mautnya. Dalam bebe-
rapa jurus saja Pendekar Pulau Neraka bisa men-
gerti kalau kekuatan Sepasang Naga Bertaring be-
rada pada kerjasama dalam membangun seran-
gan. Untuk itulah Pendekar Pulau Neraka terpak-
sa memojokkan salah seorang tanpa mengurangi 
kewaspadaan terhadap serangan yang seorang la-
gi. 
“Hiiih!”
Dengan gemas Rekso membabatkan cluritnya. 
Namun tangkas sekali Bayu menangkis dengan 
Cakra Maut di pergelangan tangan kanan.
Trakkk!
“Hei?!”
Rekso terkejut bukan main, begitu habis me-
nangkis. Karena bukan tangan pemuda itu yang 
putus, melainkan cluritnya yang patah. Dan ju-
stru dalam keadaan demikian, dia membuat kesa-
lahan besar. Maka kelengahan beberapa saat itu, 
digunakan Pendekar Pulau Neraka dengan baik. 
Langsung dilepaskannya satu sodokan keras ke 
dada Rekso.
Begkh!
“Aaakh...!”
Rekso menjerit keras begitu dadanya telak se-
kali menerima hantaman Pendekar Pulau Neraka. 
Tubuhnya yang besar langsung terjungkal dan te-
rus berguling-gulingan di tanah. Dari mulutnya 
tampak meleleh darah kental.
“Hiyaaa...!”
Sementara itu, Ruksa membentak geram. Goloknya, cepat bergerak, menghantam batok kepala 
Pendekar Pulau Neraka dengan cepat. Dan Pen-
dekar Pulau Neraka segera berkelit ke kanan. La-
lu langsung dia balas menyerang dengan ayunan 
kaki kanan ke pinggang. Melihat hal ini Ruksa 
cepat menangkis serangan menekuk kaki kanan-
nya.
Plak! 
“Hiiih!”
Golok Ruksa kembali menyambar, begitu habis 
menangkis. Namun, Pendekar Pulau Neraka telah 
menyelinap ke belakang. Dan tahu-tahu, Bayu 
melepaskan hantaman telak ke pinggang kiri 
Ruksa.
Duk!
“Aaakh!”
Ruksa kontan menjerit keras. Tubuhnya lang-
sung terhuyung-huyung sambil memegangi ping-
gang kirinya yang terasa linu. Wajahnya kelam, 
menahan amarah meluap-luap. Dan dia kembali 
memasang kuda-kuda. Lalu langsung diserang-
nya Pendekar Pulau Neraka tanpa mempedulikan 
rasa sakit yang diderita.
“Yeaaa...!”
“Uts!”
Bayu mampu berkelit dengan mudah, kemu-
dian melompat ke atas. Namun, Ruksa tangkas 
sekali mengayunkan senjatanya ke arah Bayu. 
Maka dengan cepat Pendekar Pulau Neraka men-
gibaskan tangan kanannya.
Singngng!

Cakra Maut di pergelangan tangan Pendekar 
Pulau Neraka tiba-tiba melesat cepat, menimbul-
kan suara mendesing nyaring yang mengiringi ca-
haya putih keperakan. Ruksa tersentak kaget. 
Namun, tidak ada waktu lagi baginya untuk men-
gelak. Senjata itu terus menderu ke lehernya. 
Dan....
Cras!
“Hokh!”
Orang bertubuh tinggi besar itu hanya mampu 
memekik tertahan begitu lehernya dihantam sen-
jata Pendekar Pulau Neraka hingga nyaris putus. 
Tubuhnya terhuyung-huyung sesaat, kemudian 
ambruk ke tanah. Dan darah segar mengucur de-
ras dari luka di leher Ruksa.
“Keparat! Kau membunuh saudaraku! Kubu-
nuh kau...! Kubunuh kau...!” sentak Rekso kalap.
Dengan menguatkan diri, Rekso melompat me-
nerkam Pendekar Pulau Neraka yang tengah me-
nangkap senjata Cakra Maut yang melesat kem-
bali ke pergelangan tangannya.
Namun belum lagi Rekso sampai, mendadak 
sesosok tubuh ramping melesat dan langsung 
memapaki. Rekso terkejut. Bahkan dia tidak 
sempat mengelak ketika dua buah senjata tajam 
menyambar perut dan dadanya.
Cras! Brettt!
“Aaa...!”
Terdengar jeritan keras ketika dua buah senja-
ta menyayat dalam tubuh Rekso. Isi perutnya 
sampai terburai keluar dan bagian dadanya pun

robek lebar dengan darah mengucur deras. Tu-
buhnya langsung ambruk ke tanah dan mengge-
lepar-gelepar beberapa saat, sebelum nyawanya 
melayang.
Pendekar Pulau Neraka mendengus pelan keti-
ka melihat siapa orang yang baru muncul, dan 
langsung melenyapkan Rekso.
“Kau lagi! Dasar perempuan brengsek! Kenapa 
kau kembali ke sini lagi?” kata Bayu, keras.
Orang yang baru muncul itu memang tak lain 
dari Diah Kemuning. Sambil tersenyum kecil 
mengejek, dihampirinya Pendekar Pulau Neraka.
“Hmmm.... Kau kira aku bisa ditipu begitu sa-
ja? Tidak mungkin kau bisa lolos begitu cepat dari 
pandanganku. Makanya aku kembali lagi, karena 
yakin kau pasti bersembunyi di dekat sini. Dan 
ternyata, dugaanku benar....”
***
EMPAT


”Huh!”
Bayu hanya mendengus pelan, kemudian me-
lengos meninggalkan tempat itu.
“Kaaakh...!” jerit Tiren, nyaring.
Bayu kembali mendengus kesal ketika Diah 
Kemuning kembali menyerang. Seketika terasa 
serangkum angin yang mendesir ke arahnya.
“Uts...!”
Pendekar Pulau Neraka cepat bergerak ke

samping untuk menghindarinya.
“Aku akan membunuhmu sekarang juga!” den-
gus Diah Kemuning geram.
“Edaaan!” maki Bayu seraya melenting ke atas, 
dan hinggap pada salah satu cabang pohon di de-
katnya. Namun, Diah Kemuning terus mengejar 
dengan babatan pedangnya.
“Hup!”
Trasss! Pras!
Cabang pohon yang dipijak Bayu patah menja-
di tiga bagian dipapas pedang gadis itu. Untung 
saja Pendekar Pulau Neraka ini telah melesat ke 
cabang pohon yang lainnya. Sementara Diah Ke-
muning semakin geram saja melihat serangan-
serangannya kembali gagal. Namun pemuda itu 
terus dikejarnya.
“Cukup...!” bentak Bayu, geram.
Namun Diah Kemuning tidak mempedulikan-
nya. Dia terus melesat dengan pedang terhunus. 
Maka terpaksa Pendekar Pulau Neraka mengi-
baskan tangan kanannya. Sehingga saat itu juga, 
cahaya putih keperakan dari Cakra Maut di per-
gelangan tangan Pendekar Pulau Neraka melesat 
bagaikan kilat ke arah Diah Kemuning. Gadis itu 
tercekat, namun sudah terlambat untuk meng-
hindar. Terpaksa Cakra Maut dihantamnya den-
gan pedangnya.
Trasss!
Diah Kemuning terkesiap ketika pedangnya 
terbabat putus, hingga tinggal gagangnya saja.
“Fuuuh...!”

Diah Kemuning menghela napas lega, begitu 
mendarat di tanah. Nyaris jantungnya berhenti 
berdenyut melihat keganasan senjata Pendekar 
Pulau Neraka.
“Hei?! Ke mana dia?” sentak gadis itu kesal.
Ternyata Bayu telah kembali lenyap dari tem-
pat itu. Sengaja Pendekar Pulau Neraka tadi me-
lepaskan Cakra Mautnya, untuk mengejutkan ga-
dis itu. Dan ternyata, dugaannya benar. Diah 
Kemuning tersentak kaget, melihat berdesingnya 
Cakra Maut ke arahnya. Lalu ketika gadis itu ter-
pana, buru-buru ditangkapnya kembali Cakra 
Mautnya, dan kabur dari tempat itu setelah me-
nyambar Tiren.
Diah Kemuning baru menyadarinya belakan-
gan, ketika tidak juga kunjung bertemu pemuda 
itu. Sambil mengomel berkali-kali, dirayapinya se-
luruh daerah ini. Namun sampai sekian lama, 
pemuda itu tidak terlihat juga batang hidungnya.
“Sial! Dia pasti telah kabur!” dengusnya kesal.
Berpikir begitu, Diah Kemuning segera berlalu
meninggalkan tempat ini. Yang dituju adalah arah 
yang diperkirakan arah kepergian Pendekar Pulau 
Neraka.
***
Pantai Karang Alas terlihat angker. Gugusan 
karang berbentuk bukit-bukit kecil, membentang 
ke sepanjang pantai sebelah kanan. Sementara di 
sebelah kirinya, terlihat rerimbunan pohon bakau 
dan pohon api-api. Debur ombak yang menggulung sesekali menghantam dinding karang.
Di puncak salah satu karang yang membukit, 
tampak dua sosok tubuh tengah mematung bebe-
rapa saat, seraya memandang jauh ke depan. 
Laut terlihat membiru dan cakrawala membatasi 
pemandangan mereka. Burung-burung camar di 
pantai terbang ke sana kemari dan sesekali melin-
tas di atas kepala mereka.
“Paman, telah berapa lama kita berjalan...?” 
tanya sosok bertubuh ramping berbaju serba pu-
tih. Rambutnya yang dikucir ke belakang, diikat 
pita warna merah muda terbuat dari sutera halus. 
Di pinggang kirinya terselip sebuah keris.
“Telah seminggu, Andini...,” sahut sosok yang
satu lagi, dan ternyata seorang laki-laki berusia 
lebih dari lima puluh tahun. Dia berada di samp-
ing sosok berbaju putih yang ternyata seorang 
gadis bernama Andini.
Gadis putri Ketua Perguruan Jalak Sampurno
ini memang berhasil kabur bersama laki-laki 
bongkok yang tak lain Paman Sudira. Tampak 
tangan kanan Paman Sudira menggenggam se-
buah tongkat yang menopang tubuhnya.
“Lalu apa yang akan kita kerjakan di tempat 
ini?” tanya Andini.
“Bukankah kita akan menemui Resi Wangsa 
Purbaya...?” Paman Sudira mengingatkan.
Andini menghela napas pendek.
“Sejak subuh tadi, kita berada di sini. Lalu, ka-
pan orang tua itu akan ke sini...?”
“Sabarlah, Andini....”

Keduanya membisu untuk beberapa saat Andi-
ni lalu duduk di atas sebuah tonjolan karang be-
sar seraya menyeka keringat yang mulai mengu-
cur di dahinya. Paman Sudira menghampiri dan 
kembali mematung di dekatnya.
“Paman Sudira! Apakah benar orang tua yang 
bernama Resi Wangsa Purbaya mempunyai sesu-
atu yang dapat diandalkan untuk mengalahkan 
Iblis Cebol?” tanya Andini.
“Begitulah yang dikatakan beberapa orang. Re-
si Wangsa Purbaya memiliki sebuah pedang ber-
nama Pedang Ular Mas. Menurut apa yang ter-
dengar, pedang itulah yang mampu mengakhiri 
Iblis Cebol...,” jelas laki-laki bongkok itu.
“Paman! Kalau memang demikian, tentu akan 
banyak orang ke sini untuk mendapatkan pedang 
itu. Sebab, banyak sekali orang yang mendendam 
pada Iblis Cebol!” sahut gadis berbaju serba putih 
itu dengan wajah tegang.
Paman Sudira terdiam beberapa saat, kemu-
dian memandang Andini dengan wajah gelisah. 
Kemudian terlihat kepalanya mengangguk pelan.
“Itulah yang kukhawatirkan. Tapi tidak mung-
kin resi itu sudi memberikan Pedang Ular Mas 
kepada orang sembarangan. Paling tidak, dia 
akan memilih orang yang tepat dan bisa diper-
caya...,” desah Paman Sudira.
“Paman, aku sangat mendendam pada manusia 
yang bernama Iblis Cebol. Kalau dia tidak mati di 
tanganku, rasanya kehidupanku selamanya tidak 
akan tenang...!” desis Andini.

Paman Sudira menghela napas panjang, ke-
mudian tersenyum kecil seperti hendak menghi-
bur gadis itu.
“Andini, kita hanya bisa berdoa semoga pedang 
itu berjodoh dengan kita. Sebab, yang mengingin-
kannya bukan hanya kita saja. Lihatlah ke seke-
liling kita...?” ujar Paman Sudira.
Gadis itu melirik, kemudian memandang den-
gan wajah berkerut. Ternyata, entah dari mana 
datangnya beberapa orang tokoh persilatan telah 
berada di tempat itu. Dan agaknya, mereka akan 
terus berdatangan. Tidak terasa, gadis itu mende-
sah pelan, kemudian memandang laki-laki di de-
katnya dengan wajah kesal.
“Mengapa mereka mesti ke sini...?” tanya Andi-
ni.
“Mereka mempunyai tujuan sama dengan kita, 
Andini,” jelas Paman Sudira.
“Apa yang dipikirkan gadis itu, sesungguhnya 
juga telah dipikirkan Paman Sudira sejak tadi. 
Dan kekhawatirannya adalah, jika terjadi perebu-
tan untuk memiliki pedang itu di antara mereka.
“Bagaimana cara memperoleh pedang itu, Pa-
man...?” tanya Andini memecah kesunyian.
“Hm.... Kita harus menemukan resi itu lebih 
dulu....”
“Tapi bagaimana caranya?” lanjut Andini.
“Entahlah.... Tapi menurut apa yang kudengar, 
dia akan datang sendiri menemui kita...,” desah 
laki-laki bongkok itu.
Belum lagi habis kata-kata yang diucapkan

Paman Sudira, mendadak bertiup angin kencang 
di sekitar tempat itu. Laki-laki bongkok itu cepat 
melindungi Andini dengan tubuhnya, untuk me-
nahan hantaman angin kencang yang menerpa. 
Demikian pula tokoh-tokoh persilatan lain yang 
berada di tempat itu.
Tidak beberapa lama kemudian, angin kencang 
mulai reda perlahan-lahan. Dan, semua mata 
memandang ke arah bukit kecil yang tidak jauh 
dari tempat mereka berkumpul. Bukit kecil itu 
berupa sebuah karang yang tingginya lebih ku-
rang dua tombak dengan ujung yang sedikit runc-
ing. Di situ, berdiri sesosok tubuh berpakaian 
serba putih dengan rambut digelung ke atas. Wa-
jahnya bersih dan jenggotnya yang juga berwarna 
putih, memanjang hingga ke dada. Tangan kirinya 
menggenggam sebatang pedang yang dibungkus 
warangka indah berukir seekor ular berwarna 
keemasan.
“Resi Wangsa Purbaya...! “desis salah seorang 
di antara mereka yang melihat orang tua itu.
Beberapa orang dari mereka tampak menjura, 
seraya memberi salam hormat kepada orang tua 
yang dipanggil Resi Wangsa Purbaya.
“Terimalah salam hormat kami, Kanjeng Re-
si....”
“Terima kasih....”
Orang tua itu menganggukkan kepala sambil 
tersenyum kecil.
“Kanjeng Resi, kedatangan kami ke tempatmu 
ini...,” kata salah seorang, namun tidak dila
jutkan. Karena, orang tua itu sudah memberi 
isyarat dengan tangannya untuk memotong pem-
bicaraan.
“Aku mengerti apa yang kalian inginkan. Dan 
Pedang Ular Mas di tanganku ini sesungguhnya 
akan berada di tangan yang berhak, untuk kupin-
jamkan dalam membasmi keangkaramurkaan. 
Tapi, anak-anakku semua. Apakah di antara ka-
lian ada yang mampu memikul tanggung jawab 
begitu berat?” tanya Resi Wangsa Purbaya.
“Kanjeng Resi! Semua telah mengetahui kalau 
belakangan ini seorang tokoh sesat bernama Iblis
Cebol tengah mengamuk dan membantai tokoh-
tokoh persilatan. Orang itu memiliki kepandaian 
hebat dan sulit ditaklukkan. Oleh sebab itu, ke-
datangan kami ke sini untuk meminjam Pedang 
Ular Mas milikmu, guna melenyapkan Iblis Cebol 
itu!” sahut Paman Sudira angkat bicara.
Resi Wangsa Purbaya tersenyum arif seraya 
memandang laki-laki tua bongkok itu.
“Kisanak! Kau yakin akan mampu mengalah-
kan Iblis Cebol dengan Pedang Ular Mas ini?”
“Kalau Kanjeng Resi berkenan meminjamkan-
nya, tentu saja aku akan berupaya sekuat tenaga 
untuk melenyapkan Iblis Cebol dengan bantuan 
pedang itu!” sahut Paman Sudira mantap.
“Setiap senjata adalah sebuah alat. Dan, bukan 
benda maha keramat yang patut dipuja. Orang 
yang lebih berkuasa adalah si pemakainya. Se-
bab, dia yang akan menentukan, bagaimana sen-
jata itu bekerja. Nah! Satu syaratku pada kalian

semua, barang siapa yang mampu menarik pe-
dang ini dari warangka, maka dialah yang akan 
kupinjamkan Pedang Ular Mas ini. Dimulai dari 
kau lebih dahulu!” kata Resi Wangsa Purbaya se-
raya menuding ke arah Paman Sudira.
Tubuh orang itu lalu melayang ringan, dan ta-
hu-tahu telah berada di hadapan Ki Sudira.
“Silakan, Kisanak!” lanjut Resi Wangsa Purbaya 
seraya mengulurkan gagang pedang dengan wa-
rangka tetap dalam genggaman tangan kiri.
“Maafkan kelancanganku, Kanjeng Resi...,” sa-
hut Paman Sudira seraya memberi hormat.
Tak lama, terlihat laki-laki bongkok itu memu-
satkan perhatiannya. Seketika dikerahkannya te-
naga dalam pada telapak tangan kanan, lalu ce-
pat menangkap gagang Pedang Ular Mas. Sebe-
lumnya dia sudah berusaha menyentak gagang 
pedang dengan kuat.
Tappp!
“Heup!”
***
Bukan main terkejutnya Paman Sudira ketika 
pedang itu sama sekali tidak mau lepas dari wa-
rangka. Kekuatannya langsung dilipatgandakan. 
Namun sampai pada puncak tenaganya, gagang 
pedang itu tidak tercabut juga. Keringat mulai 
bercucuran dari dahi dan sekujur tubuhnya sete-
lah beberapa saat berkutat menarik pedang. Dan 
pada akhirnya, Paman Sudira kelelahan sendiri. 
Napasnya megap-megap seperti hendak putus ketika mengakhiri permainan itu. Lalu, tarikannya 
dilepas.
“Kau telah gagal, Kisanak...,” kata Resi Wangsa 
Purbaya tersenyum kecil.
Paman Sudira melangkah lesu, ketika seorang 
kembali mencoba menarik pedang itu dari wa-
rangkanya. Namun seperti Paman Sudira, orang 
itu pun mengalami kegagalan.
“Gila...!” desis orang itu seraya bersungut-
sungut
Beberapa orang kembali berusaha mencoba. 
Namun seperti yang lain, mereka pun gagal men-
cabut pedang itu.
“Pedang Ular Mas memang bukan senjata sem-
barangan...,” desah seorang laki-laki bertubuh 
kecil, setelah gagal mencabut pedang itu dari wa-
rangka.
“Tidak heran kalau senjata itu banyak diminati 
orang...,” sahut kawannya.
“Ah! Itu hanya tipu muslihat Resi Wangsa Pur-
baya agar pedang itu tidak dipinjamkannya!” 
sanggah salah seorang dengan wajah licik dan 
kesal. Agaknya, dia pun telah gagal mencabut pe-
dang itu.
“Apa maksudmu?” tanya kawannya yang ber-
muka lebar dengan wajah bingung.
“Iya! Seperti kita tahu, Resi Wangsa Purbaya 
adalah tokoh berkepandaian hebat. Tampaknya 
pedang itu sengaja ditahan dengan tenaganya. 
Mana mungkin kita bisa mengalahkan tenaganya 
yang hebat luar biasa itu!”

Orang yang bermuka lebar itu hanya diam 
membisu. Wajahnya menyiratkan antara rasa 
percaya dan tidak mendengar keterangan kawan-
nya.
Sementara, orang terakhir telah mencoba pula. 
Dan seperti yang lainnya, dia pun telah gagal. Re-
si Wangsa Purbaya memandang mereka sambil 
tersenyum kecil.
“Jika kalian tidak mampu mencabut pedang ini 
dari warangkanya, bagaimana mungkin kalian
mampu mengalahkan Iblis Cebol? Seperti tadi te-
lah kukatakan, pedang ini hanya senjata biasa. 
Dan dia tidak akan berarti, jika pemiliknya hanya 
memiliki kepandaian rendah. Meski salah seorang 
di antara kalian kupinjamkan untuk melawan Ib-
lis Cebol, niscaya tetap tidak akan mampu men-
galahkannya...,” jelas Resi Wangsa Purbaya.
Orang-orang yang berada di tempat itu terdiam 
beberapa saat lamanya. Wajah Andini tampak le-
su. Demikian pula Paman Sudira.
“Aku tidak tahu lagi, bagaimana caranya kita 
bisa mengalahkan Iblis Cebol itu, Paman...,” kata 
gadis itu lesu.
“Paman telah berusaha, Andini....”
Andini mengangguk lemah.
“Aku mengerti, Paman. Tapi dendam di hatiku 
ini tidak akan bisa tuntas kalau Iblis Cebol masih 
berkeliaran....”
Pada saat itu mendadak melompat seorang 
pemuda ke hadapan Resi Wangsa Purbaya. Kulit-
nya agak hitam. Tubuhnya yang tegap terbungkus
baju rompi coklat dari kulit rusa. Rambutnya 
yang keriting diikat sehelai kain merah. Di pung-
gungnya tersandang sepasang golok panjang.
“Orang tua, aku akan mencoba mencabut pe-
dangmu...!” tantang pemuda itu dengan sikap pe-
nuh percaya diri.
“Hm, cobalah...,” desah Resi Wangsa Purbaya 
tenang, seraya mengulurkan pedangnya.
“Heup!”
Pemuda itu memusatkan perhatian seraya 
mengerahkan tenaga dalamnya yang disalurkan 
pada kedua belah telapak tangan.
“Yeaaah...!”
Dia membentak nyaring, lalu mengulurkan 
tangannya untuk memegang gagang pedang itu. 
Dan pemuda itu berusaha menarik gagang pe-
dang sekuat tenaga. Wajahnya berkerut ketika 
berkutat dengan Resi Wangsa Purbaya yang ten-
gah memegang warangka Pedang Ular Mas den-
gan sikap tenang. Sama sekali tidak terlihat kalau 
orang tua itu tengah mengerahkan tenaga. Wa-
jahnya polos. Bahkan tetap tersenyum kecil.
“Setan!” maki pemuda itu.
Kembali pedang itu disentaknya dengan kuat 
Namun, tetap tidak juga lolos dari warangkanya.
“Hiyaaa...!”
Pemuda itu membentak nyaring. Lalu telapak 
tangan kirinya dihantamkan ke arah dada Resi 
Wangsa Purbaya. Semua yang melihat kejadian 
itu tersentak kaget Agaknya, pemuda itu sengaja 
dengan licik hendak membunuh sang Resi dalam
keadaan demikian.
“Hup!”
Namun sigap sekali Resi Wangsa Purbaya me-
mapak, serangan kedua telapak tangan mereka 
beradu.
Plakkk!
Wusss!
Bahkan serangkum angin kencang yang kuat 
luar biasa tahu-tahu menghantam pemuda itu 
tanpa bisa dielakkan lagi. Kontan tubuh pemuda 
ini terjungkal ke belakang sambil memekik kesa-
kitan.
“Aaakh...! “
Sambil mengusap darah yang menetes di sela 
bibirnya, pemuda itu berusaha bangkit dengan 
wajah gusar. Namun, Resi Wangsa Purbaya telah 
menuding ke arahnya dengan ujung gagang pe-
dang dalam genggamannya.
“Anak Muda! Aku tidak menyuruhmu untuk 
menyerangku, melainkan untuk mencabut pe-
dang ini dari warangka. Jika niatmu memang bu-
ruk, lebih baik kau tinggalkan tempat ini...,” ujar 
Resi Wangsa Purbaya.
“Keparat! Bagaimanapun caranya, aku harus 
mendapatkan pedang itu...,” maki pemuda itu se-
raya mencabut sepasang golok panjang di pung-
gungnya. Dan dia langsung melompat menyerang 
Resi Wangsa Purbaya kembali.
“Yeaaa...!”
“Anak bandel! Kau hanya menyusahkan dirimu 
saja...,” sahut Resi Wangsa Purbaya, pelan.

Seketika tangan kiri resi itu menghantam ke 
depan. Dan dari telapaknya yang terbuka mende-
ru serangkum angin kencang seperti tadi, lang-
sung menghantam tubuh pemuda itu.
Debbb!
“Aaakh...!”
Untuk kedua kalinya, pemuda itu terjungkal ke 
belakang. Dan kali ini keadaannya tampak parah. 
Dari mulutnya menyembur darah kental berkali-
kali. Dia berusaha bangkit, namun langkahnya 
terlihat limbung. Dipungutnya sepasang goloknya 
yang tadi terpental, kemudian disarungkannya 
kembali. Sebentar dipandanginya orang tua itu 
dengan sorot mata tajam penuh kebencian.
“Orang tua! Suatu saat, aku akan datang ke 
sini lagi untuk mengambil pedang itu dari tan-
ganmu. Hati-hatilah kau! Sebab, bukan tidak 
mungkin aku akan mengambil nyawamu pula!” 
dengus pemuda itu segera melesat pergi dari tem-
pat itu.
Resi Wangsa Purbaya menghela napas panjang, 
kemudian menggeleng lemah.
“Anak muda yang malang. Dia terlalu dipenga-
ruhi nafsu angkaramurka dalam dadanya....”
Kemudian Resi Wangsa Purbaya memandang 
ke arah yang lain.
“Nah! Karena tak ada seorang pun yang mam-
pu melepaskan pedang ini dari warangkanya, ma-
ka kalian tidak memenuhi syarat untuk kupin-
jamkan pedang ini. Pulanglah kalian semua...,” 
ujar orang tua itu, keras.

Tanpa banyak bicara, mereka meninggalkan 
tempat itu satu persatu.
“Ayo, Andini...!” ajak Paman Sudira.
“Tidak, Paman. Aku akan tetap berada di tem-
pat ini...,” sahut gadis itu sambil menggeleng le-
mah.
“Percuma, Andini. Resi itu tidak akan memin-
jamkan pedangnya untuk kita....”
Andini diam saja tidak menjawab. Sementara 
Paman Sudira menghela napas panjang. Dipan-
danginya dengan perasaan iba wajah gadis yang 
muram itu.
***
LIMA


Berkali-kali Paman Sudira membujuk, namun 
Andini tetap keras kepala.
“Paman Sudira! Tujuan kita hanya satu. Men-
dapatkan Pedang Ular Mas untuk membalas ke-
matian ayah dan seluruh murid Perguruan Jalak 
Sampurno. Kalau pedang itu tidak kuperoleh, 
apalagi yang harus kita kerjakan? Lebih baik aku 
mati daripada hidup tidak mampu membalas ke-
matian mereka!” sahut gadis itu lantang.
“Tapi kita tidak bisa memaksakan Resi Wangsa 
Purbaya untuk meminjamkan pedangnya...,” te-
gas Paman Sudira.
“Setidaknya, pasti ada jalan lain agar dia sudi 
meminjamkan pedangnya...,” sanggah Andini.
Paman Sudira kembali menghela napas sesak. 
Lalu matanya merayapi ke sekeliling tempat itu. 
Orang-orang yang tadi berkumpul telah menghi-
lang satu persatu. Sementara Resi Wangsa Pur-
baya tampak masih berdiri tegak di tempatnya, 
sambil memandang mereka. Kemudian terlihat 
bibirnya tersenyum. Perlahan-lahan kakinya me-
langkah menghampiri.
“Kisanak! Apa lagi yang kau tunggu? Pulanglah 
segera...,” ujar orang tua itu lembut.
Andini mendongakkan kepala dan memandang 
orang tua itu dengan seksama. Kemudian kedua 
tangannya dirangkapkan memberi hormat.
“Kanjeng Resi yang mulia. Aku tidak akan 
kembali ke tempatku sebelum Pedang Ular Mas 
dipinjamkan padaku. Aku akan tetap berada di 
tempat ini, sampai kau bersedia meminjamkan-
nya,” tegas gadis itu mantap.
“Anakku. Pedang ini tidak akan berarti apa-apa 
jika pemakainya tidak berkepandaian amat tinggi 
untuk menghadapi Iblis Cebol. Kau hanya akan 
menemukan kebinasaan saja,” tolak orang tua 
itu, halus.
“Kalau demikian, tunjukkan pada kami, ba-
gaimana caranya agar pedang itu bisa kau pin-
jamkan,” pinta Andini mendesak.
“Kau harus memiliki kepandaian hebat,” sahut 
Resi Wangsa Purbaya mantap.
“Itu memerlukan waktu lama, kecuali jika Kan-
jeng Resi sudi mengangkatku menjadi murid.”
Resi Wangsa Purbaya terlihat tersenyum mendengar kata-kata Andini.
“Kenapa Kanjeng Resi tersenyum?” tanya Andi-
ni, heran.
“Anakku.... Aku mengerti, apa yang berkeca-
muk dalam hatimu. Dan bisa kurasakan, jalan 
pikiranmu. Maaf aku telah bersumpah untuk ti-
dak kembali terjun dalam dunia persilatan. Ter-
masuk juga mengangkat seorang murid. Dan seo-
rang resi sudah sepatutnya menepati janji yang 
telah diucapkan. Meski hatiku menangis menden-
gar perbuatan keji Iblis Cebol, tapi aku terikat 
sumpah. Dan itu tidak bisa kuabaikan begitu sa-
ja,” jelas Resi Wangsa Purbaya halus. .
Andini terdiam beberapa saat. Demikian juga 
Paman Sudira.
“Kanjeng Resi, pasti ada jalan lain untuk men-
galahkan Iblis Cebol. Mohon petunjukmu...,” lan-
jut gadis itu, memecahkan kebisuan.
Resi Wangsa Purbaya berpikir beberapa saat. 
Kemudian dihelanya napas panjang seraya meng-
geleng lemah.
“Aku tahu betul, Iblis Cebol adalah murid seo-
rang tokoh sesat yang bernama Ki Suparji Kun-
ing. Beberapa puluh tahun lalu, guru Iblis Cebol 
tewas di tangan guruku yang bernama Ki Senoaji 
Purangga dengan menggunakan Pedang Ular Mas. 
Selain pedang itu, tidak ada satu senjata pun di 
muka bumi ini yang mampu melumpuhkan ilmu 
kebal mereka. Dan rupanya Iblis Cebol mengeta-
hui hal itu. Dan dia juga tahu tentang sumpahku. 
Maka sengaja dia membuat keonaran untuk memancing kemarahanku. Dan bila meladeninya, 
berarti aku melanggar sumpahku. Dengan demi-
kian, aku akan mudah sekali dipermainkannya. 
Keadaanku menjadi serba salah. Sebab, aku be-
rada di dua sisi yang bertolakan. Di satu sisi aku 
tidak bisa diam melihat perbuatannya, namun di 
sisi lain aku tidak mampu berbuat apa-apa. Dan 
aku juga tahu kalau Iblis Cebol memiliki kepan-
daian hebat, sehingga tak ada seorang pun yang 
bisa mengalahkannya. Karena selama gunanya 
hidup pun juga tak ada seorang tokoh yang ber-
hasil mengalahkannya, selain guruku,” jelas Resi 
Wangsa Purbaya panjang lebar.
Andini termanggu. Sementara Paman Sudira 
mengangguk-angguk.
“Lalu bagaimana, Kanjeng Resi...? Apakah Iblis 
Cebol akan dibiarkan saja berbuat sesuka ha-
tinya?” tanya Andini lagi.
“Tentu saja tidak. Aku tengah memikirkan satu 
cara.”
“Cara bagaimana, Kanjeng Resi?” tanya Andini 
bersemangat
“Kudengar, ada seorang tokoh muda yang bela-
kangan ini menggemparkan dunia persilatan. Ka-
lau tidak salah, julukannya adalah Pendekar Pu-
lau Neraka. Kurasa, dia mampu mengalahkan Ib-
lis Cebol bila menggunakan Pedang Ular Mas. Ca-
rilah pemuda itu, dan bawalah ke sini.”
Andini memandang Paman Sudira dengan wa-
jah heran. Selama ini, dia jarang sekali turun ke 
dunia ramai. Sehingga, julukan itu agak asing di

telinganya.
“Ya! aku memang pernah mendengarnya. Dia 
memang seorang tokoh yang hebat,” sahut Paman 
Sudira menganggukkan kepala. Agaknya, laki-laki 
bongkok itu pernah mendengar kedigdayaan Pen-
dekar Pulau Neraka.
“Tapi di mana kita harus mencarinya, Paman?” 
tanya Andini bingung.
“Entahlah....”
Resi Wangsa Purbaya tersenyum kecil.
“Kalian pergilah ke arah timur. Firasatku men-
gatakan, pemuda itu berada di daerah sana. Sete-
lah bertemu, katakan kalau aku memohon perto-
longannya untuk sesuatu yang penting.”
“Baiklah, Kanjeng Resi. Kalau demikian, kami 
mohon pamit dulu. Mohon doa restu dari Kanjeng 
Resi,” sahut Paman Sudira menjura hormat.
“Pergilah. Aku akan selalu mendoakan kalian.”
Setelah menjura hormat, kedua orang itu sege-
ra berbalik dan berlalu dari tempat itu, diikuti 
pandangan mata Resi Wangsa Purbaya. Sampai 
keduanya jauh dari sudut pandangannya, baru 
orangtua itu berlalu dari tempat ini dengan lang-
kah perlahan. Seketika serangkum angin kencang 
menerpa dan menggulung-gulung tubuhnya. De-
bu mengepul ke udara, menghalangi pemandan-
gan. Daun-daun kering yang berada di tempat itu 
beterbangan, seperti dilanda angin topan. Bebe-
rapa saat kemudian, angin kencang itu berhenti. 
Dan suasana kembali seperti semula. Sunyi dan 
lengang. Sedang Resi Wangsa Purbaya sudah lenyap entah ke mana.
***
Bayu melangkah perlahan ketika merasa kalau 
jaraknya dengan perempuan yang selalu mengun-
titnya sudah jauh. Beberapa kali kepalanya 
menggeleng kesal sambil menghela napas berat.
“Huh! Hanya menyusahkan saja...,” gerutu 
Pendekar Pulau Neraka.
Sementara Tiren menyeringai lebar. Monyet ke-
cil itu menepuk-nepuk kedua tangannya di atas 
kepala, seperti hendak mengejek Pendekar Pulau 
Neraka. Sedangkan Bayu hanya bisa mendelikkan 
matanya saja. Monyet kecil berbulu hitam itu 
mengkeret seraya menundukkan kepalanya.
“Nguuuk...!”
“Kau kira aku suka terhadap perempuan seper-
ti itu, heh...?!” rutuk Bayu, tak senang.
Tiren mencerecet pelan, dan tetap menunduk-
kan kepalanya di pundak Pendekar Pulau Neraka. 
Dan Bayu baru saja menghela napas panjang, ti-
ba-tiba pendengarannya yang tajam mendengar 
suara yang mencurigakan. Cepat tubuhnya me-
lompat ke salah satu cabang pohon. Dan Tiren 
pun mengikuti di belakangnya. Kemudian berge-
lantungan dari satu cabang ke cabang pohon 
lainnya, mendatangi sumber suara. Bayu membe-
ri isyarat pada monyet kecil itu untuk tidak mem-
buat ribut.
“Nguk!”
Tiren mengangguk mengerti isyarat Bayu. Dan

pada salah satu cabang pohon yang agak tinggi, 
pemuda berbaju kulit harimau itu berhenti, dan 
memandang dengan seksama ke bawah. Tiren 
menemani di sebelahnya.
Tampak di bawah sana terlihat dua orang ten-
gah bertarung hebat. Salah seorang bertubuh ce-
bol dengan kepala botak dan besar. Biji matanya 
seperti hendak keluar dari kelopaknya. Kedua 
tangannya bersisik seperti kulit ular sampai seba-
tas siku dengan kuku-kuku begitu panjang. Tan-
gan kanannya menggenggam sebatang kayu be-
rukuran cukup panjang. Sementara, lawannya 
seorang laki-laki tua bertubuh besar terbungkus 
baju hitam. Wajahnya penuh brewok. Dan dia 
memegang senjata pedang yang melengkung ta-
jam berkilat.
“Iblis Cebol keparat! Hari ini adalah kematian-
mu. Kau tidak akan bisa lolos dari tanganku!” ge-
ram lelaki yang berbaju hitam itu geram.
“He he he...! Wedus Keling! Kau hanya ber-
mimpi bisa mengalahkan aku. Sebaliknya, kaulah 
yang akan menemui ajal. Tidak ada seorang pun 
yang mampu mengalahkan Iblis Cebol. Mereka 
yang berhadapan denganku pasti mampus. Iblis 
Cebol akan menguasai rimba persilatan!” sahut 
orang bertubuh kerdil yang tak lain Iblis Cebol 
dengan nada sombong.
“Setan! Ingin kulihat kesombonganmu! 
Yeaaah...!”
Lelaki bertubuh gemuk dan besar yang dipang-
gil Wedus Keling itu menggeram. Dan dia langsung mengamuk hebat menyerang lawannya. De-
bu-debu di sekitar tempat pertarungan sudah 
mengepul ke udara. Demikian juga daun-daun 
kering di sekelilingnya, akibat tersambar angin 
pukulan nyasar. Malah, cabang-cabang pohon 
bergoyang diterpa angin serangan Wedus Keling 
yang dahsyat luar biasa.
Namun, Iblis Cebol masih tetap terkekeh seper-
ti tidak merasa kewalahan sedikit pun. Padahal 
Wedus Keling telah mengerahkan segenap ke-
mampuannya. Sesekali Iblis Cebol menangkis 
senjata Wedus Keling dengan menggunakan sen-
jata toya di tangannya:
Trangngng! 
“Ukh...!”
Wedus Keling mengeluh kesakitan begitu senja-
tanya beradu. Bahkan pedang di tangannya nya-
ris terlepas dari genggaman karena telapak tan-
gannya terasa perih akibat kalah tenaga dalam. 
Dia menggigit bibirnya sendiri, menahan rasa 
nyeri. Lalu, kembali diserangnya Iblis Cebol. Pe-
dangnya berkelebatan meliuk-liuk, menyambar 
seluruh tubuh lawannya. Bahkan tiba-tiba saja 
telapak tangan kirinya menghantam ke muka. 
Maka dari telapak tangannya melesat cahaya me-
rah muda yang samar-samar.
“Hiiih...!”
“He he he...! Kau kira pukulan busukmu itu bi-
sa melukainya? Phuih! Kau hanya bermimpi...!” 
ejek Iblis Cebol.
Iblis Cebol cepat-cepat mengayunkan toyanya

yang berada di tangan kanan, ketika diayunkan 
pedang Wedus Keling menyambar deras. Sedang-
kan telapak tangan kirinya disorongkan ke muka, 
menghasilkan satu lesatan cahaya berwarna ke-
kuningan yang berbau busuk memapaki pukulan 
Wedus Keling.
Trang!
Jder!
“Aaakh...!”
Setelah didahului benturan senjata, terdengar 
ledakan agak keras ketika pukulan jarak jauh 
mereka beradu. Angin kencang langsung bersiur 
dengan asap hitam membumbung tipis ke angka-
sa. Wedus Keling menjerit keras. Tubuhnya lang-
sung terjungkal ke belakang sambil memuntah-
kan darah kental kehitaman. Pedang di tangan-
nya sudah terlepas entah ke mana ketika tadi 
mengadu senjata. Napasnya tersengal ketika be-
rusaha bangkit Terlihat wajahnya berubah keku-
ningan bercampur hitam. Demikian juga tubuh di 
bagian dadanya.
Tapi dalam keadaan payah begitu, Wedus Kel-
ing sedikit pun tak diberi kesempatan oleh Iblis 
Cebol yang tetap segar akibat benturan itu. Tu-
buh laki-laki cebol itu melesat cepat, begitu kedua 
kakinya menjejak tanah. Sementara, toya di tan-
gannya menghantam ke batok kepala.
“Hiyaaa!”
“Uts...!”
Wedus Keling tergagap. Cepat-cepat dia menja-
tuhkan diri sambil bergulingan untuk menghindari serangan laki-laki cebol itu.
Tanah yang dihantam ujung toya Iblis Cebol 
kontan berlubang dalam, menimbulkan suara 
menggelegar keras. Dan bumi di sekitar tempat 
ini jadi berguncang bagai dilanda gempa.
“Hih...!”
Tubuh Iblis Cebol berbalik cepat, begitu me-
nyadari serangannya luput dari sasaran. Ujung 
kakinya, langsung menghantam perut Wedus Kel-
ing. Laki-laki itu berusaha sekuat tenaga meng-
hindari dengan berlompatan ke belakang. Namun 
saat itu juga, Iblis Cebol mengayunkan toyanya. 
Langsung dihantamnya batok kepala Wedus Kel-
ing tanpa bisa dihindari.
Prakkk!
“Aaakh...!”
Wedus Keling kontan menjerit tertahan begitu 
batok kepalanya pecah dihantam senjata Iblis Ce-
bol. Tubuhnya kontan ambruk dengan darah 
mengucur deras membasahi tanah.
“Mampus...!” dengus Iblis Cebol menggeram, 
seraya meludahi tubuh yang sudah tidak berkutik 
itu.
Dipandanginya sesaat tubuh Wedus Keling 
yang sudah berubah menjadi mayat sambil terse-
nyum mengejek.
“Huh! Kau hanya mencari mati saja, dengan 
menantang Iblis Cebol! Tidak ada seorang pun 
yang bisa mengalahkan aku di jagad raya ini. Aku 
akan menguasai dunia persilatan. Dan, orang-
orang harus tunduk padaku!”

Baru saja Iblis Cebol selesai berkata begitu, ke-
tika melayang sesosok bayangan kuning kecokla-
tan dari salah satu cabang pohon di dekatnya. 
Dan sosok itu persis jatuh ringan di depannya.
“Hmmm.... Jadi kaukah yang berjuluk Iblis Ce-
bol itu...?”
“Siapa kau?!”
***
Iblis Cebol membentak garang ketika melihat 
seorang pemuda berwajah tampan dan berambut 
panjang. Bajunya terbuat dari kulit harimau. Se-
mentara, seekor monyet kecil berbulu hitam tam-
pak turun dari pundaknya. Pemuda yang tidak 
lain dari Pendekar Pulau Neraka ini tersenyum 
sinis.
“Iblis Cebol! Namamu belakangan ini amat san-
ter kudengar. Dan selalu ulahmu membuatku 
muak. Dan aku tidak bisa berdiam diri saja meli-
hat ulahmu,” kata Bayu dingin.
“Hm.... Kalau tak salah, kau yang berjuluk 
Pendekar Pulau Neraka..., bukan? Sungguh kebe-
tulan kau berkeliaran dan bertemu denganku. 
Sehingga, aku tak susah payah mencarimu untuk 
kujadikan budakku!” sahut Iblis Cebol. Tampak-
nya, dua sudah mengenal ciri-ciri pendekar yang 
selama ini menjadi buah bibir tokoh persilatan.
“Hm.... Sungguh gegabah bicaramu. Justru 
aku ke sini untuk meminta kepalamu!” dengus 
Bayu geram.
“Anak ingusan! Bicaramu sungguh sombong!

Kau belum kenal Iblis Cebol, heh?! Cabutlah sen-
jata Cakra Maut-mu yang amat menghebohkan 
itu.
Ingin kulihat, sampai di mana ketajamannya 
bila menyentuh kulitku!”
“Baik.... Tahan serangan...!” bentak Pendekar 
Pulau Neraka, nyaring.
Seketika Pendekar Pulau Neraka melompat 
menyerang dengan melepaskan tendangan keras 
yang cepat bukan main. 
“Hih...!”
“Uts...!”
Iblis Cebol cepat menggerakkan toya di tan-
gannya, memapak tendangan itu dengan sabetan 
ke arah tulang kering. Bayu cepat menarik pulang 
kakinya dan menekuknya sedemikian rupa. Ke-
mudian tubuhnya berbalik cepat, seraya mele-
paskan sambaran kaki dengan berputar ke leher 
Iblis Cebol. Laki-laki kerdil itu menundukkan ke-
palanya, menghindari tendangan dahsyat berte-
naga dalam tinggi. Kemudian ujung toyanya lang-
sung disodokkan ke arah dada Pendekar Pulau 
Neraka.
“Yeaaah...!”
Pendekar Pulau Neraka cepat meliuk dengan 
gerakan indah, menghindari sodokan senjata Iblis 
Cebol. Namun toya laki-laki kerdil itu ternyata te-
rus mengejarnya, membabat pinggang. Terpaksa 
Bayu segera melompat ke samping.
Begitu terbebas, kepalan tangan Pendekar Pu-
lau Neraka cepat berbalik menghantam batok kepala laki-laki kerdil itu. Namun sigap sekali Iblis 
Cebol mengayunkan ujung toyanya, menyambar 
tubuh Pendekar Pulau Neraka yang tengah men-
gapung di udara. Pendekar Pulau Neraka terke-
siap melihat kecepatan bergerak lawannya. Tidak 
ada lagi kesempatan untuk mengelak. Dengan ge-
ram, ditangkisnya serangan itu dengan Cakra 
Maut yang menempel di pergelangan tangan ka-
nan.
Trakkk! 
“Hiiih...!”
Bukan main terkejutnya laki-laki cebol itu ke-
tika tangannya terasa kesemutan. Bahkan jan-
tungnya jadi berdetak lebih kencang, ketika sen-
jatanya beradu dengan Cakra Maut Dalam kea-
daan demikian, Iblis Cebol masih sempat melaku-
kan sodokan lewat kepalan tangan kiri yang berisi 
tenaga dalam kuat. Dan Bayu cepat berkelit gesit, 
sehingga kepalan bertenaga dahsyat itu lewat se-
dikit di pinggangnya.
Pertarungan dua tokoh persilatan tingkat tinggi 
berlangsung cepat dan seru. Pendekar Pulau Ne-
raka menyadari kalau lawannya bukanlah tokoh 
sembarangan. Demikian halnya Iblis Cebol. Nama 
Pendekar Pulau Neraka memang telah sering di-
dengarnya. Dan ini membuatnya tidak bisa bersi-
kap ayal-ayalan. Tidak heran kalau mereka berta-
rung langsung mengerahkan segenap kemam-
puan yang dimiliki dan berusaha menjatuhkan 
lawan secepatnya.
“Yeaaa...!”

Iblis Cebol menyabetkan senjata toyanya ber-
tubi-tubi, sehingga menimbulkan angin kencang 
yang bersiur menyambar tubuh Pendekar Pulau 
Neraka.
Bayu sedikit mengeluh mendapat desakan 
dahsyat ini. Sama sekali Iblis Cebol tidak membe-
rinya kesempatan untuk balas menyerang. Senja-
ta laki-laki kerdil itu benar-benar mengurungnya 
dengan ketat. Dan baru saja Pendekar Pulau Ne-
raka melompat ke belakang dengan gerakan salto 
yang indah, ujung toya Iblis Cebol telah meluncur 
deras membabat pinggangnya. Tidak ada kesem-
patan lagi bagi Bayu untuk mengelak. Dan satu-
satunya jalan hanyalah melepaskan senjata 
mautnya.
“Hiyaaat...!”
Singngng!
Seketika Cakra Maut mendesing kencang, begi-
tu Pendekar Pulau Neraka mengebutkan tangan-
nya. Senjata berbentuk segi enam itu terus me-
nyambar ke arah senjata Iblis Cebol. Dan laki-laki 
kerdil agaknya yakin betul kalau senjatanya 
mampu menangkis Cakra Maut. Maka dengan ge-
ram toyanya dikibaskan ke arah senjata Pendekar 
Pulau Neraka.
Trakkk!
“Hei?!”
Iblis Cebol tersentak kaget, begitu toyanya pa-
tah terkulai seperti ranting kayu yang tertekuk, 
akibat beradu dengan Cakra Maut. Namun, ter-
nyata Bayu pun ikut terkejut. Senjata Cakra Maut

selama ini tidak pernah kalah melawan senjata 
mana pun. Tapi nyatanya, toya Iblis Cebol hanya 
patah terkulai saja. Ini membuktikan kalau toya 
itu tidak bisa dianggap sembarangan.
“Yeaaa...!”
Cakra Maut kembali mendesing pulang setelah 
Pendekar Pulau Neraka mengangkat tangan ka-
nannya ke atas. Namun begitu Pendekar Pulau 
Neraka mengebutkannya, kembali Cakra Maut 
meluruk deras ke arah Iblis Cebol yang baru saja 
menyerangnya dengan ganas. Cepat-cepat Iblis 
Cebol melenting, menghindari sambaran Cakra 
Maut. Bahkan ketika berada di udara, tangan ki-
rinya langsung dihentakkan. Maka dari telapak 
tangannya yang terbuka melesat cahaya kekunin-
gan yang diikuti serangkum angin kencang men-
gancam Pendekar Pulau Neraka.
Pendekar Pulau Neraka terkesiap, namun ce-
pat-cepat melompat ke samping menghindari ter-
jangan cahaya kekuningan. Dan baru saja Pende-
kar Pulau Neraka memperbaiki kuda-kudanya 
hendak melepaskan Cakra Maut yang telah kem-
bali di tangan kanannya, kembali datang cahaya 
kekuningan dari tangan Iblis Cebol. Tak ada wak-
tu lagi bagi Pendekar Pulau Neraka untuk menge-
lak. Seketika tangan kirinya dihentakkan. Maka, 
dari telapak tangannya yang terbuka, melesat ca-
haya putih memapak cahaya kekuningan. Dan....
Jderrr!
***

ENAM

Terdengar benturan keras menggelegar ketika 
pukulan jarak jauh satu sama lain beradu pada 
satu titik. Tubuh keduanya sama-sama terjungkal 
ke belakang. Bayu masih sempat bergulingan. 
Dan begitu bangkit berdiri, Pendekar Pulau Nera-
ka hanya mendengus pelan. Tampak Iblis Cebol 
yang juga telah bangkit, menatap tajam ke arah 
Pendekar Pulau Neraka.
“Huh...! Ternyata apa yang digembar-
gemborkan orang mengenai kehebatanmu bukan 
omong kosong!” dengus Iblis Cebol seraya menye-
ka darah yang menetes di sudut bibirnya akibat 
benturan tenaga dalam dengan Pendekar Pulau 
Neraka.
Iblis Cebol agaknya terluka dalam, sehingga 
harus mengakui kalau Pendekar Pulau Neraka 
bukanlah lawan sembarangan. Namun demikian, 
bukan berarti Pendekar Pulau Neraka tidak men-
galami luka dalam. Dari sudut bibirnya pun me-
netes darah segar. Pemuda itu mengerutkan da-
hinya, menahan rasa nyeri di dada. Pukulan Iblis 
Cebol yang tadi dipapaknya sungguh luar biasa 
kuatnya.
Diam-diam pemuda itu harus mengakui kalau 
Iblis Cebol ternyata tidak bisa dianggap enteng. 
Tapi Bayu agaknya masih penasaran. Maka keti-
ka Iblis Cebol kembali menyerangnya, dia menco-
ba untuk menjajal Cakra Mautnya. Seketika,

Pendekar Pulau Neraka mengebutkan tangan ka-
nannya. Maka seketika Cakra Maut melesat, 
mencoba menahan serangan Iblis Cebol.
Singngng!
Iblis Cebol cepat menarik pulang serangannya. 
Lalu seketika lengan kirinya dikibaskan untuk 
menangkis.
Trakkk!
Senjata Cakra Maut kontan terpental ke samp-
ing. Maka dengan cepat Pendekar Pulau Neraka 
melompat untuk menangkapnya. Namun, agak-
nya Iblis Cebol tidak membiarkannya begitu saja. 
Dengan gerakan mengagumkan, tangan kanannya 
kembali menghantam Pendekar Pulau Neraka.
Pendekar Pulau Neraka bukannya tidak me-
nyadari keadaannya yang terjepit Tapi sebagai 
seorang yang telah kenyang makan asam garam 
rimba persilatan, tentu saja dia tidak akan ber-
tindak lengah. Secara diam-diam telapak tangan 
kirinya dikembangkan. Dan begitu tubuhnya be-
rada pada keadaan yang memungkinkan, dia ce-
pat berbalik. Seketika tangannya yang terkem-
bang dihentakkan, melepaskan pukulan jarak 
jauh bertenaga kuat.
“Yeaaah...!”
Cakra Maut melekat kembali di pergelangan 
tangan Pendekar Pulau Neraka, angin serangan 
Iblis Cebol langsung terpupus oleh pukulan jarak 
jauh milik Pendekar Pulau Neraka.
Jderrr!
“Aaakh...!”

Terdengar benturan keras ketika kedua puku-
lan mereka beradu. Bumi seperti tergoncang dan 
pepohonan di sekitar tempat itu bergoyang seperti 
hendak roboh. Debu, daun-daun, dan ranting-
ranting beterbangan ke udara. Sedangkan tanah 
di sekitar tempat pertarungan gompal, dan ter-
pental ke segala arah.
Seperti tadi, kedua tokoh tingkat tinggi itu 
kembali terpental sambil mengeluh kesakitan. 
Pendekar Pulau Neraka sempat bergulingan bebe-
rapa kali, sebelum kemudian duduk bersila di ta-
nah. Dari mulutnya mengalir darah kental kehi-
taman. Napasnya turun naik tidak beraturan. 
Dan mukanya pucat dengan peluh bercucuran 
bercampur debu.
Sementara, keadaan Iblis Cebol pun tidak lebih 
baik. Manusia kerdil itu terengah-engah, namun 
masih mampu bangkit walau dengan langkah 
limbung. Beberapa kali dia memuntahkan darah 
kental kehitaman. Dengan merangkapkan tangan 
kanan ke dada, perhatiannya berusaha dipu-
satkan untuk mengatur jalan napasnya.
Untuk beberapa saat keduanya terdiam se-
hingga suasana terasa sepi. Kelopak mata, mas-
ing-masing yang tadi terkatup kini terbuka perla-
han-lahan. Iblis Cebol memandang Pendekar Pu-
lau Neraka dengan sorot mata tajam. Demikian 
pula Pendekar Pulau Neraka.
“Hm.... Kau sungguh hebat, Bocah. Ilmu silat
dan tenaga dalammu telah mencapai tingkat 
sempurna. Dan biadab kali ini kau kulepaskan.

Tapi lain kali, akan kita teruskan permainan ini. 
Kau memang patut menjadi lawanku. Sebab, se-
lama ini tidak ada seorang pun yang mampu me-
nahan pukulanku. Nah..., selamat tinggal,” kata 
Iblis Cebol.
Setelah berkata demikian, Iblis Cebol segera 
meninggalkan tempat itu dengan berlari kecil. 
Bayu diam saja memandanginya sampai orang itu 
menghilang dari pandangannya. Kemudian, dia 
menghela napas lega.
“Nguk...!”
Tiren segera melompat ke pangkuan Pendekar 
Pulau Neraka dan memandangnya dengan wajah 
iba. Monyet kecil itu seperti bisa merasakan, apa 
yang dirasakan Bayu saat ini.
Bayu tersenyum kecil seraya mengusap-usap 
sahabatnya. Disadarinya akibat dari pertarungan 
tadi, telah menciptakan luka dalam yang tidak bi-
sa dibilang enteng. Dadanya terasa nyeri. Kedua 
kakinya serta tangannya terasa gemetar ketika 
berusaha bangkit. Pemuda itu menarik napas 
panjang, kemudian menghelanya perlahan-lahan. 
Namun baru saja berjalan tiga langkah, tiba-tiba 
melesat sesosok tubuh kurus di depannya.
“Ha ha ha...! Pendekar Pulau Neraka! Hari ini 
adalah saat kematianmu yang kutunggu-tunggu!”
“Heh...?!”
***
Bayu terkejut ketika melihat seorang laki-laki 
bertubuh kurus dan berwajah dingin di depan

nya. Tampangnya sebenarnya biasa saja. Namun 
guratan dan sinar matanya menandakan kalau 
dia seorang yang kejam dan licik. Kedua tangan-
nya bersedakap di dada. Dan pada tangan ka-
nannya tergenggam sebatang pedang. Rambutnya 
yang panjang digelung ke belakang. Pendekar Pu-
lau Neraka sama sekali belum pernah melihat 
orang ini sebelumnya.
“Kisanak! Siapa kau? Dan, apa maksud perka-
taanmu tadi?” tanya Bayu datar.
“Namaku Sanjung Tulang. Dan maksud kata-
kataku sudah jelas. Dalam keadaan terluka begi-
ni, akan mudah bagiku untuk membunuhmu. 
Dan orang-orang pun akan tahu kalau Pendekar 
Pulau Neraka tewas di tangan Ki Sanjung Tulang. 
Ha ha ha...!” sahut laki-laki kurus itu sambil ter-
tawa tergelak.
“Ki Sanjung Tulang! Di antara kita sama sekali 
tidak pernah saling bermusuhan. Mengapa kau 
hendak membunuhku?”
“Tidak perlu ada saling permusuhan kalau 
hendak membunuhmu, Pendekar Pulau Neraka! 
Sebab, tidak sedikit dari kawan-kawanku yang te-
lah kau bunuh. Itu saja sudah cukup menjadi 
alasan bagiku. Lebih dari itu, membunuhmu me-
rupakan kesempatan yang telah lama kutunggu-
tunggu. Kenapa...? Kau takut? Apa sekarang kau 
telah menjadi seorang pengecut? Kalau begitu, 
kau boleh mencium kakiku dan bersujud memo-
hon ampun,” ejek Ki Sanjung Tulang.
Bukan main geramnya Bayu mendengar kata

kata Ki Sanjung Tulang. Bias kekejian tampak 
tergurat di wajahnya.
“Keparat licik! Ternyata kau tidak hanya berani 
menungguku dalam keadaan terluka saja. Tapi 
jangan dikira aku takut cecurut sepertimu. Maju-
lah. Dan, cabut pedangmu...!” sahut Bayu, keras.
“Ha ha ha...! Pendekar Pulau Neraka! Ajalmu 
sebentar lagi tiba. Kau tahu? Sejak tadi aku me-
nyaksikan pertarunganmu dengan si Iblis Cebol. 
Sehingga, aku tahu keadaanmu yang terluka pa-
rah. Dan dalam beberapa gebrakan saja, kau 
akan kubinasakan. Ha ha ha...! Keadaanmu kini 
tak ubahnya harimau kehilangan cakar dan ta-
ringnya. Nah, bersiaplah...!”
Sringngng!
“Yeaaah...!”
Begitu pedangnya tercabut dengan cepat Ki 
Sanjung Tulang melompat menyerang Pendekar 
Pulau Neraka. Bayu mundur dua langkah, kemu-
dian menundukkan kepala. Lalu tubuhnya bergu-
lingan untuk menghindari tebasan pedang Ki 
Sanjung Tulang yang menyambar-nyambar selu-
ruh tubuhnya.
“Hihhh!”
Kaki kiri Pendekar Pulau Neraka masih sempat 
melepaskan tendangan ke perut laki-laki kurus 
itu. Namun tubuh Ki Sanjung Tulang sudah ber-
kelit sambil berputar dengan kaki kanan terang-
kat. Dan bersamaan dengan itu pedangnya me-
nyapu dada Pendekar Pulau Neraka. Maka pemu-
da berbaju kulit harimau itu melompat ke belakang menghindarinya.
“Hup!”
“Mampus...!”
Dengan geram Ki Sanjung Tulang mengejar 
sambil menyabetkan pedangnya. Terpaksa Pende-
kar Pulau Neraka kembali bergulingan menghin-
dari sambaran pedang itu. Disadari betul kalau 
keadaannya sangat tidak menguntungkan. Ka-
laupun mampu menggunakan Cakra Maut untuk 
membalas serangan, rasanya tidak akan berguna 
banyak. Sebab, menggunakan senjata itu memer-
lukan pengerahan tenaga dalam kuat Sedangkan 
dalam keadaan terluka seperti ini, tenaga dalam-
nya telah terkuras habis. Akibatnya Cakra Maut 
akan mudah ditepis, dan bahkan akan semakin 
mempersulit keadaannya.
“Hei, Pendekar Pulau Neraka! Mana keheba-
tanmu yang selama ini dihebohkan orang? Ayo, 
lawan aku! Balas seranganku! Apa kau ingin mati 
penasaran di tanganku...?”
“Keparat licik! Tidak perlu banyak bicara! Kau 
kira aku tidak mampu menghadapimu? Phuih! 
Seribu orang sepertimu, aku tidak akan lari!” sa-
hut Pendekar Pulau Neraka sengit.
“He he he.... Nyawa sudah diujung tanduk, kau 
masih bisa berkoar juga,” ejek Ki Sanjung Tulang 
seraya menggempur lawan kembali dengan sam-
baran pedangnya yang cepat luar biasa.
Bayu mengeluh dalam hati. Dia tidak tahu, 
sampai kapan mampu bertahan dari serangan la-
wannya. Keadaannya saat ini betul-betul genting.

Jangankan untuk membalas menyerang, untuk 
mempertahankan diri saja sudah tidak yakin 
mampu bertahan lama.
“Yeaaah...!”
Ki Sanjung Tulang berteriak gemas. Tangan 
kanannya yang menggenggam pedang, menyam-
bar tubuh Pendekar Pulau Neraka di bagian dada 
dan pinggang. Sementara telapak kirinya meng-
hantam pukulan jarak jauh yang bertenaga kuat. 
Bayu terkesiap dan bergulingan cepat menghin-
dari diri.
“Hih!”
Jderrr!
Sebongkah tanah mencuat ke atas berpecahan, 
meninggalkan lubang yang cukup dalam ketika 
pukulan laki-laki bertubuh kurus itu luput dari 
sasaran.
“Kurang ajar! Sekarang kau tidak akan luput, 
Keparat!” desis Ki Sanjung Tulang semakin ge-
ram.
Laki-laki kurus itu merangkapkan kedua tan-
gannya. Wajahnya berkerut dan sinar matanya 
liar menatap Bayu seperti hendak menelannya. 
Pendekar Pulau Neraka tercekat, dan tidak terasa 
mengeluh dalam hati. Hanya ada satu cara untuk 
menjaga agar tidak mati konyol, yakni dengan 
memapak pukulan itu. Tapi hal ini akan sangat 
membahayakan. Bahkan tidak menutup kemung-
kinan akan celaka dan terluka semakin parah.
Dalam keadaan demikian, mendadak melesat 
cepat sesosok tubuh ramping yang langsung memapak pukulan Ki Sanjung Tulang.
“Yeaaah...!”
“Hiyaaa...!”
Jderrr!
***
Ki Sanjung Tulang terhuyung-huyung ketika 
kedua pukulan tadi terpapak, hingga menimbul-
kan suara menggeledek. Belum lagi sempat mem-
perbaiki kedudukannya, mendadak sesosok tu-
buh yang tadi memapaki pukulannya melesat 
menyerang cepat dan ganas.
Sringngng!
“Yeaaah...!”
“Uhhh...!”
Ki Sanjung Tulang terkesiap. Gerakan sosok 
ramping itu hebat sekali. Kedua senjata pedang 
yang dipergunakannya, tampak bergulung-gulung 
bagai ombak samudera yang ketat mengurung-
nya. Beberapa kali dicobanya menangkis. Namun, 
telapak tangannya terasa perih dan jantungnya 
berdetak lebih kencang.
“Keparat! Siapa kau...?!” bentak Ki Sanjung Tu-
lang garang seraya menangkis pedang lawannya.
Trangngng!
“Huh...! Banyak omong! Apa kau kira punya
derajat untuk mengalahkan Pendekar Pulau Ne-
raka? Hadapi aku lebih dulu. Dan kalau kau 
mampu mengalahkanku, kau boleh menepuk da-
da!” terdengar sahutan nyaring yang tidak kalah 
sengitnya.


“Uts!”
Ki Sanjung Tulang terkejut bukan main. Baru 
saja menangkis, namun pedang sosok ramping 
yang sebuah lagi melesat cepat menyambar leher-
nya. Untung saja dia buru-buru melompat ke be-
lakang menghindari. Namun dalam keadaan begi-
tu, telapak kirinya masih sempat disorongkan ke 
arah sosok ramping yang sepertinya seorang wa-
nita.
“Hup!”
Tubuh ramping itu meliuk cepat menghindari 
sambaran pukulan jarak jauh yang bertenaga da-
lam kuat. Lalu dia kembali membalas serangan Ki 
Sanjung Tulang dengan pukulan jarak jauh yang 
tidak kalah kuatnya. Laki-laki kurus itu tersentak 
kaget. Cepat-cepat dia bergulingan menghindari, 
seraya mengibaskan pedang untuk menangkis 
senjata yang langsung terarah padanya.
Trang!
Sebuah senjata sosok ramping itu berhasil di-
tangkis Ki Sanjung Tulang. Namun pedang yang 
sebuah lagi, cepat menyambar ke arah paha ki-
rinya.
Brettt!
“Akh...!”
Dengan terpincang-pincang, tubuhnya melent-
ing ke belakang untuk menghindari serangan se-
lanjutnya. Namun, sosok ramping itu agaknya ti-
dak membiarkan lawannya menjauh begitu saja. 
Dan dia sudah langsung mengejarnya sambil me-
nyerang ganas. Kecepatan bergeraknya sungguh

mengagumkan, bagai seekor walet melesat cepat 
bagai kilat. Sehingga, membuat laki-laki kurus itu 
tergagap beberapa kali menahan kejutan yang 
menyentaknya. Bahkan dia tidak mempunyai ke-
sempatan serta ruang gerak yang bebas.
“Hiyaaa...!”
Pedang wanita ramping itu kembali meliuk-liuk 
menyambar. Dan dengan gerakan cepat Ki San-
jung Tulang menangkis.
Trang!
Dan ketika salah satu ujung pedang wanita itu 
menyambar pinggang, laki-laki itu berputar 
menghindari. Namun ternyata ujung kaki wanita 
itu cepat sekali terjulur ke arah dadanya.
Bukkk!
Untuk yang kedua kali Ki Sanjung Tulang me-
mekik kesakitan. Tubuhnya terhuyung-huyung ke 
belakang.
“Hiyaaa...!”
Ujung pedang wanita itu kembali melesat me-
nyerang Ki Sanjung Tulang. Dan laki-laki kurus 
itu tergagap, lalu bergulingan sebisanya untuk 
menghindari diri seraya mengayunkan pedangnya 
untuk menangkis.
Trangngng!
Dua benturan senjata kembali beradu. Namun
rupanya pedang Ki Sanjung Tulang langsung ter-
lepas dari genggaman. Serangan ini memang ber-
hasil dihindarinya. Namun senjata yang satu lagi 
milik wanita itu telah kembali berkelebat ke arah perutnya.


Brettt!
“Aaakh...!”
Tanpa bisa dihindari lagi, laki-laki kurus itu 
memekik kesakitan seraya mendekap perutnya 
dengan kedua tangannya. Wajahnya pucat berke-
ringat menatap ke arah lawannya yang tegak ber-
diri di dekatnya. Kini barulah bisa dilihat jelas, 
siapa orang itu sebenarnya.
“Kau...! Kau...!” tunjuk Ki Sanjung Tulang, ter-
gagap.
“Ya, aku. Kenapa rupanya...?”
“Dasar perempuan rendah...! Terkutuklah 
kau...!” maki Ki Sanjung Tulang, geram.
Perempuan yang disebutnya itu terkekeh pelan 
seraya bertolak pinggang. Ki Sanjung Tulang tahu 
betul, siapa wanita itu. Dia tak lain orang yang 
pernah dijumpainya di kedai tadi dan telah mem-
buat keonaran.
“Huh! Laki-laki busuk pengecut! Kau manusia 
hina yang tidak punya rasa malu. Kau hanya be-
rani pada orang yang tengah terluka. Sekarang, 
terimalah kematianmu,” desis wanita yang me-
mang Diah Kemuning itu dingin.
Ki Sanjung Tulang terkejut setengah mati keti-
ka wanita itu telah melompat menyerangnya 
kembali dengan sepasang pedang terhunus.
“Hiyaaat...!”
“Uts...!”
Dengan bergulingan, Ki Sanjung Tulang beru-
saha menghindari sambaran kedua pedang Diah 
Kemuning. Sementara, wanita itu menggeram, ketika kedua ujung pedangnya menyambar tanah 
hingga rompal. Ujung kaki kanannya cepat me-
nyambar dada Ki Sanjung Tulang. Maka cepat-
cepat laki-laki kurus itu berjingkat dan melompat 
ke belakang. Tapi, ujung pedang Diah Kemuning 
terus mencecar lehernya. Untung saja Ki Sanjung 
Tulang masih sempat menunduk. Namun, wanita 
itu cepat sekali berbalik, bahkan pedangnya yang 
sebuah lagi langsung menyambar ke arah dada Ki 
Sanjung Tulang yang memang sulit mengelak. 
Akibatnya....
Trasss!
Bret!
“Aaa...!”
Ki Sanjung Tulang kontan memekik setinggi 
langit. Kedua tangannya yang mendekap perutnya 
langsung putus tertebas pedang wanita itu. Bah-
kan senjata itu terus menerobos merobek da-
danya. Setelah terhuyung-huyung, laki-laki itu 
tersungkur ke tanah bersimbah darah.
“Mampus!” dengus Diah Kemuning seraya me-
ludah ke tubuh tidak berdaya di depannya.
Setelah menyeka pedangnya yang bersimbah 
darah, wanita itu menghampiri Pendekar Pulau 
Neraka yang tengah duduk bersila di bawah se-
buah pohon. Bayu memang tengah bersemadi, 
mengatur pernapasan dan jalan darahnya yang 
tidak beraturan. Mukanya pucat Lalu perlahan-
lahan kelopak matanya terbuka, ketika gadis itu 
tersenyum seraya duduk di sebelahnya.
“Hm.... Ternyata Pendekar Pulau Neraka bisa

juga tidak berdaya,” gumam Diah Kemuning.
Bayu tersenyum kecil.
“Ternyata wanita secantik kau, bisa juga ber-
tindak kejam.”
“Tapi tidak sekejam dirimu.”
Bayu diam saja tidak menjawab.
“Kalau saja kau memiliki Pedang Ular Mas, ten-
tu si keparat itu mudah dikalahkan,” kata Diah 
Kemuning lagi, seperti menggumam.
Kali ini Bayu menoleh ke arahnya, dengan wa-
jah heran.
“Pedang Ular Mas...?”
***
TUJUH


Diah Kemuning memandang Pendekar Pulau 
Neraka dengan senyum cerah.
“Pedang itu adalah senjata keramat. Dan, 
hanya dengan senjata itulah Iblis Cebol mampu 
dilawan. Kau telah membuktikannya sendiri, bu-
kan? Senjata Cakra Mautmu yang hebat sama se-
kali tidak mempan di tubuhnya. Iblis Cebol bu-
kanlah manusia sembarangan. Konon, katanya 
dia masih keturunan manusia ular yang amat 
sakti...,” jelas Diah Kemuning.
Bayu tersenyum mendengar penjelasan gadis
itu.
“Manusia ular yang sakti? Hm.... Bualanmu 
boleh juga....”

“He! Aku tidak bermaksud membual. Tapi, be-
gitulah yang pernah kudengar,” sanggah Diah 
Kemuning agak kesal.
“Sudahlah...,” cegah Bayu lebih lanjut.
“Aku senang kau mau bertarung melawan Iblis 
Cebol...,” kata gadis itu cerah.
“Aku melakukannya bukan karenamu. Tapi 
demi orang banyak yang sering menjadi korban-
nya,” sahut Bayu cepat.
“Hm.... Siapa yang peduli niatmu? Aku cukup
merasa senang kalau kau menempumya. Itu sa-
ja!” tutur gadis itu.
“Aku heran. Kepandaian ilmu silat yang kau 
miliki sudah demikian hebat Lantas, kenapa kau 
malah memintaku untuk menghabisinya?”
Diah Kemuning mendesah pelan.
“Kepandaianku tidak hebat. Dan kau sendiri 
bisa melihatnya. Kalau sekadar menghadapi kero-
co-keroco seperti tadi, mungkin bisa diandalkan, 
tapi Iblis Cebol bukanlah orang sembarangan....”
Bayu kembali tersenyum.
“Tapi kau lihat sendiri, kepandaianku ternyata 
tidak ada apa-apanya bila untuk melawan Iblis 
Cebol...,” desah Pendekar Pulau Neraka lemah.
“Kau tidak perlu berkecil hati. Aku telah meli-
hat segalanya. Dan kau ternyata bukanlah orang 
sembarangan. Meskipun kau terluka waktu 
menghadapinya, tapi dia pun terluka pula oleh-
mu. Kalau saja kau memiliki Pedang Ular Mas, 
maka dia akan lebih mudah dikalahkan.”
“Kau sering menyebut-nyebut Pedang Ular

Mas. Dari mana kau mengetahui kalau ilmu kebal 
Iblis Cebol mempan oleh senjata itu? Lalu, di ma-
na pedang tersebut bisa didapatkan?
“Hm.... Agaknya kau ketinggalan berita. Ba-
nyak orang tahu kalau ilmu kebal Iblis Cebol ti-
dak berarti bila berhadapan dengan Pedang Ular 
Mas. Aku mengetahuinya dari guruku yang tewas 
di tangannya. Dan apa yang kuketahui dari guru-
ku, pedang itu kini berada di tangan Resi Wangsa 
Purbaya. Kalau kau mau, aku bisa mengantar-
kanmu ke tempat beliau...,” sahut Diah Kemuning 
girang.
Bayu terdiam beberapa saat.
“Bagaimana?” desak Diah Kemuning.
Bayu memandang sekilas gadis itu, kemudian 
tersenyum kecil.
“Apa kau kira resi itu bersedia memberikannya 
begitu saja padaku?” tanya Pendekar Pulau Nera-
ka.
“Kita akan mencobanya,” desah Diah Kemun-
ing.
“Seorang resi, adalah orang yang memiliki ke-
pandaian hebat dan menjunjung tinggi kebena-
ran. Dia tentu tidak suka melihat sepak terjang 
Iblis Cebol. Dan dia sudah pasti tahu tentang ke-
lemahan ilmu kebal Iblis Cebol, yang akan takluk 
bila Pedang Ular Mas digunakan. Yang membua-
tku heran, kenapa Resi Wangsa Purbaya tidak 
mau turun tangan? Dan seandainya turun tan-
gan, bagaimana mungkin sudi memberikan pe-
dang itu padaku...,” sahut Bayu masgul.

Diah Kemuning tersenyum memandang pemu-
da itu.
“Kudengar, namamu Bayu. Boleh aku me-
manggilmu begitu?”
“Kau boleh memanggilku apa saja....”
“Baiklah, Bayu. Soal tadi aku pernah menden-
gar sedikit dari guruku. Kata beliau guru Iblis Ce-
bol tewas di tangan Resi Wangsa Purbaya oleh 
Pedang Ular Mas. Setelah gurunya tiada, pedang 
itu diberikan pada sang Resi. Tapi saat itu, Resi 
Wangsa Purbaya telah menjadi seorang pemuka 
agama, dan menjauhkan diri dari urusan dunia 
persilatan. Dia pun telah bersumpah untuk tidak 
terlibat lagi dalam urusan keduniaan. Dan ra-
sanya, semua tokoh tahu hal itu. Jadi apabila dia 
menempur Iblis Cebol, maka jelas akan melanggar 
sumpahnya. Kalau itu dilakukannya, tentu saja 
akan menjadi bahan tertawaan semua orang. Jadi 
dugaanku, beliau tidak akan menempur Iblis Ce-
bol. Dan dengan demikian, tentu akan bersedia 
meminjamkan pedangnya. Apabila kalau tahu, 
siapa yang meminjam. Dan, untuk apa pedang itu 
digunakan...,” sahut Diah Kemuning mengemu-
kakan alasannya.
Bayu memandang gadis itu seksama, kemu-
dian kembali tersenyum.
“Hm.... Tidak kusangka, selain kepandaianmu 
hebat, kau pun memiliki otak cerdik. Sungguh 
suatu perpaduan sempurna dengan wajahmu 
yang cantik....”
Diah Kemuning tersenyum lebar.

“Jadi kau bersedia kutemani pergi ke tempat 
resi itu?” tanya gadis itu dengan sorot mata ber-
binar.
“Dalam keadaanku seperti sekarang, rasanya 
agak berat Aku harus menyembuhkan luka da-
lamku lebih dulu....”
“Hm.... Aku akan suka sekali merawatmu ka-
lau kau suka, Bayu...?”
“Terima kasih...,” ucap Bayu disertai senyum
manis.
“Aku tahu suatu tempat untuk merawat luka-
luka dalammu. Setelah kau merasa agak baik, ki-
ta bisa melanjutkan perjalanan,” usul Diah Ke-
muning.
“Boleh saja. Tapi, aku tidak suka melihat dan-
danan mu seperti ini bila berjalan denganku,” te-
gas Bayu.
“Yah.... Kau tidak suka melihat dandananku 
begini? Baiklah. Dengan senang hati, aku akan 
menukarnya.”
“Kalau kau berpakaian lebih sopan dan tidak 
selalu bersikap genit, kau akan menjadi gadis 
yang lebih cantik...,” sanjung Bayu.
“Terima kasih. Nah, kita berangkat sekarang?”
Bayu bangkit perlahan, seraya menangkap Ti-
ren yang melompat ke pangkuannya.
“Baiklah...,” desah Bayu pelan.
Tanpa malu-malu lagi Diah Kemuning meng-
gandeng pemuda itu. Lalu diajaknya Pendekar 
Pulau Neraka berlalu dari tempat itu. Wajahnya 
tampak cerah, dan senyumnya terus mengembang.
***
Pendekar Pulau Neraka sedikit tertegun. Diah 
Kemuning ternyata membawanya ke sebuah ru-
mah kosong yang telah lama tidak dihuni. Dengan 
langkah ragu, Bayu masuk ke dalam. Di situ, ter-
dapat sebuah kamar yang di dalamnya ada se-
buah tempat tidur rapi, meskipun berkesan se-
derhana. Dari perabotan yang terdapat di situ, bi-
sa diduga bahwa tempat itu agaknya dihuni se-
seorang. Sebab, tak ada sebutir debu pun yang 
melekat.
“Rumah siapa ini?”
“Rumahku!” sahut Diah Kemuning singkat.
Bayu memandang tidak percaya.
“Kau tidak yakin? Tapi, aku sering berada di 
sini...,” sahut gadis itu seenaknya.
“Ya, terserahmu saja....”
“Nah! Kau tunggu di sini dulu. Aku akan mem-
buat ramuan untuk menyembuhkan luka dalam-
mu. Kau tahu, guruku sangat ahli dalam pengo-
batan,” ujar gadis itu seraya berlalu dari ruangan 
ini.
Bayu hanya tersenyum tipis. Dibiarkannya ga-
dis itu berlalu, kemudian duduk bersila memu-
satkan pikirannya. Lalu dikerahkannya hawa 
murni untuk mengatur jalan darah sambil men-
gatur pernapasannya. Kelopak matanya terpejam, 
ketika terasa hawa panas di bawah perutnya per-
lahan-lahan mengalir ke seluruh tubuhnya.

“Hoeeekh...!”
Dari mulut Pendekar Pulau Neraka seketika 
menyembur darah kental berwarna kehitaman 
beberapa kali. Dada pemuda itu terasa nyeri, dan 
wajahnya terlihat semakin pucat Setelah bebera-
pa kali memuntahkan darah kental, denyut na-
dinya terasa melemah. Namun jalan darahnya 
sudah terasa lancar, meski tubuhnya lemah se-
perti tidak bertulang.
Tidak berapa lama kemudian, terlihat Diah 
Kemuning muncul membawakan dua buah 
mangkuk dari tempurung kelapa dan sebuah 
bambu kecil yang biasa digunakan untuk minum.
“Minumlah obat ini. Kau banyak mengeluarkan 
darah,” ujar gadis itu seraya mengangsurkan se-
buah mangkuk tempurung kelapa.
Bayu mencium bau yang menyengat, ketika
mangkuk itu diterimanya. Kemudian, dipandang-
nya gadis itu dengan wajah curiga.
“Kau takut ramuan itu berisi racun? Percaya-
lah. Mana mungkin aku mau melakukan itu pa-
damu. Kau lebih cerdik dariku. Tentu, kau bisa 
membedakannya. Minumlah. Dan, kau akan me-
rasakan khasiatnya...,” sahut gadis itu seperti 
mengerti apa yang dipikirkan Bayu.
Dengan ragu-ragu, Bayu menenggak ramuan 
itu. Maka seketika terasa ada hawa panas dari 
perutnya yang menyegarkan sekujur tubuh. Pe-
muda itu menunggu hasilnya beberapa saat ke-
mudian. Dan seperti apa yang dikatakan gadis 
itu, ramuan yang diberikannya benar-benar mu

jarab. Tubuhnya semakin terasa segar saja. Dan 
aliran darahnya pun berjalan lancar dan tubuh-
nya mulai berkeringat.
“Bagaimana...?” tanya Diah Kemuning.
“Hm.... Kau betul-betul hebat. Ramuanmu san-
gat mujarab!” puji Bayu. Gadis itu tersenyum, 
kemudian menyodorkan mangkuk yang kedua.
“Sup ini baru saja kupanaskan. Sisa semalam. 
Mungkin tidak enak bagimu. Tapi, percayalah. 
Aku membuatnya dengan sepenuh hati. Kau bo-
leh mencobanya untuk mengisi perut....”
Bayu memandang gadis itu dan tersenyum 
manis setelah menerima mangkuk itu. Lalu, tan-
pa ragu-ragu lagi dilahapnya sup itu hingga tun-
tas.
“Enaaak...!” puji Bayu.
“Terima kasih.”
Diah Kemuning tersenyum seraya membe-
reskan kedua mangkuk yang telah kosong. Lalu 
diserahkannya bumbung bambu yang terakhir.
“Ramuan ini untuk mengembalikan tenagamu 
yang telah banyak terkuras....”
“Kau baik sekali, Diah....”
Diah Kemuning memandang ke arah Bayu se-
saat, kemudian berpaling jengah. Lalu kembali
dipandangnya pemuda yang tengah mengha-
biskan isi ramuan di dalam bumbung bambu itu.
“Bagaimana? Enak, bukan?” tanya gadis itu 
minta pendapat.
“Harum. Dan, baunya seperti arak yang 
enak....”

Diah Kemuning tersenyum, kemudian merapi-
kan mangkuk-mangkuk itu. Lalu dia beranjak da-
ri kamar.
“Mau ke mana?” tanya Bayu.
“Ke belakang sekalian menutup pintu dan jen-
dela. Tampaknya sebentar lagi hujan akan turun 
lebat Coba lihat! Gerumbul awan menghitam di 
langit sana,” ujar gadis itu seraya terus berlalu.
Bayu diam saja sambil merasakan keanehan 
yang mulai menjalari tubuhnya. Pemuda itu tiba-
tiba tercekat dan berusaha melawan sekuat tena-
ga. Namun, perasaan aneh itu semakin kuat men-
jalar di sekujur tubuhnya. Dia tiba-tiba merasa-
kan ada hawa panas yang membuat kejantanan-
nya berkobar-kobar dibakar hawa nafsu. Kepa-
lanya seperti diganduli benda yang beratnya bu-
kan main. Bayu mencoba bangkit, namun tubuh-
nya seperti melayang-layang di udara. Kembali 
tubuhnya dihenyakkan di pembaringan kamar 
itu.
“Apa ini...?” desis Bayu pelan.
Diah Kemuning telah muncul di ambang pintu 
sambil tersenyum lebar. Sedang Bayu mengga-
painya lemah.
“Diah....”
Gadis itu mendekat, lalu duduk di dekat Bayu. 
Dan seketika Bayu cepat merangkul dan mere-
bahkannya ke tempat tidur. Gadis itu sama sekali 
tak menolak. Bahkan ketika dengan gemas Bayu 
melumat bibirnya, dia hanya pasrah saja tanpa 
berusaha menghindar.

“Sabar, Kakang...,” bisik gadis itu pelan. Dia 
tertawa kecil, ketika Bayu hendak melucuti pa-
kaiannya.
“Diah, aku... aku....”
Suara Bayu seperti tercekat di tenggorokan. 
Dadanya sudah berdegup keras seperti meronta-
ronta.
“Iya.... Aku mengerti apa yang kau inginkan...,” 
sahut gadis itu, seraya menekap bibir Bayu den-
gan telunjuknya.
Kemudian dengan perlahan-lahan Diah Ke-
muning membuka pakaiannya sendiri.
Bayu agaknya merasa tidak sabar, ketika meli-
hat keadaan tubuh Diah Kemuning yang polos 
tanpa sehelai benang pun. Langsung dirangkul-
nya gadis itu sambil menggeram buas laksana 
seekor hewan yang kelaparan. Diah Kemuning 
hanya terkikik kecil, dan membiarkan saja kela-
kuan pemuda itu.
Di luar rintik hujan mulai turun bersama ge-
lapnya malam. Perlahan-lahan rintik hujan sema-
kin lebat dan lidah petir sesekali menyambar 
angkasa. Dingin mulai merayap di seluruh pelata-
ran. Namun dalam kamar di rumah itu terasa 
hangat, diiringi derit tempat tidur yang mengiringi 
pergulatan kedua anak manusia yang berbeda je-
nis. Sesekali terdengar suara pemuda mengge-
ram. Sementara gadis itu mendesah halus dengan 
napas terengah-engah. Keduanya berkeringat, 
dan hela napas mereka seperti berlomba bagai 
dua ekor kuda yang saling berpacu.

“Uhhh...!”
Keduanya melenguh panjang, kemudian ter-
dengar lengang. Lalu, yang terdengar hanya cura-
han air hujan yang jatuh menimpa bumi mem-
buat genangan.
***
“Brengsek!”
Bayu memaki geram ketika melihat Diah Ke-
muning tengah membereskan pakaiannya yang 
tidak karuan seraya membuka jendela.
Hujan telah lama reda. Dan di kejauhan ter-
dengar suara ayam berkokok saling bersahutan. 
Agaknya sebentar lagi pagi akan tiba. Dan Bayu 
baru menyadari kalau telah terlelap semalam di 
kamar ini dengan tubuh letih.
“Kenapa? Kau marah padaku, Kakang Bayu...?” 
tanya gadis itu lembut seraya duduk di dekat pe-
muda itu.
Bayu memperhatikan sesaat wajah gadis itu 
yang berbinar gembira. Rambutnya masih terlihat 
basah, dan tubuhnya harum dililit sehelai kain 
sebatas dada. Sehingga payudaranya yang mem-
busung indah masih terbayang.
Pendekar Pulau Neraka mengalihkan pandan-
gan ketika jari-jari lentik gadis itu menyapu wa-
jahnya.
“Kakang.... Aku telah lama mencintaimu. Bah-
kan sebelum kita berkenalan. Aku sering mengi-
kuti perjalananmu dan sering berangan-angan, 
kalau suatu saat kau menjadi kekasihku...,” sahut Diah Kemuning sendu.
“Kenapa kau menaruh ramuan perangsang da-
lam bumbung itu?” tanya Bayu.
“Entahlah.... Aku tidak tahu. Tapi saat itu, 
yang terlintas adalah impian bagaimana aku bisa 
tidur denganmu,” tegas Diah Kemuning seperti ti-
dak merasa bersalah.
“Diah.... Tahukah kau, sikapmu itu sangat bu-
ruk? Kau mungkin sering melakukannya pada le-
laki lain!” sergah Bayu tajam dengan nada menu-
suk.
“Kakang! Kenapa kau menuduhku begitu?” sa-
hut Diah Kemuning dengan wajah terpana.
Bayu terdiam seraya bangkit dan cepat mema-
kai bajunya. Kemudian dipandangnya gadis itu 
dengan kesal.
“Kenapa kau malah balik bertanya? Bukankah 
kau bisa menjawabnya sendiri! Kau adalah pe-
rempuan rendah dan pelacur hina!” desis Bayu 
kesal.
“Kakang, kau... kau...!”
Gadis itu terpana sungguh tidak disangka ka-
lau pemuda itu bisa berkata demikian. Dia betul-
betul terhenyak dan tidak tahu harus berbuat 
apa. Kepalanya langsung tertunduk. Tidak terasa, 
air matanya menitik dari kelopak matanya. Lalu, 
perlahan-lahan dipandanginya Bayu dengan ta-
jam.
“Kakang Bayu! Kau boleh berkata apa saja ten-
tangku. Tapi ketahuilah, tuduhanmu itu sama 
sekali tidak beralasan. Kau menilai penampilan

saja. Namun, sesungguhnya apa yang kau duga 
berlawanan sekali dengan apa yang kualami dan 
kulakukan selama ini. Aku tidak pernah tidur 
dengan lelaki mana pun, selama ini, kecuali, satu 
hal. Dan kejadian itu sudah lama sekali, ketika 
aku masih tinggal di perguruan. Waktu itu usiaku 
baru menginjak lima belas tahun, dan sama seka-
li tidak tahu kelicikan seseorang. Suatu saat, sa-
lah satu kakak seperguruanku memperkosaku. 
Dia mengancam akan membunuhku, kalau berani 
memberitahukan hal itu pada guru. Aku takut 
sekali. Bahkan tidak mampu berbuat apa-apa, ke-
tika dia berbuat seenaknya untuk beberapa kali. 
Dan ketika suatu hari guru mengetahui perbua-
tannya, dia dihukum berat..,” Diah Kemuning 
menghentikan ceritanya dan memandang sendu 
pada Bayu.
Bayu terdiam dan berpikir untuk meyakinkan
hatinya, apakah harus percaya atau tidak pada 
cerita gadis itu.
“Kakak seperguruanku lalu dikebiri oleh guru. 
Dan setelah mencabut semua ilmu yang dimili-
kinya, dia pun diusir dari perguruan. Guruku 
amat baik dan selalu berusaha mengembalikan 
kepercayaan diriku yang jatuh akibat peristiwa 
itu. Dialah pengganti orangtua ku yang telah tia-
da. Dan ketika Iblis Cebol membunuhnya, aku 
amat mendendam. Tapi kusadari kalau aku tidak 
akan mampu melawan manusia keparat itu. Maka 
untuk itulah aku mendapatkan akal, dengan 
memperdaya laki-laki yang kunilai memiliki ke

mampuan hebat. Dan dengan penampilan itulah 
aku menggunakannya untuk memikat mereka. 
Tapi ternyata cara itu pun menemukan jalan bun-
tu. Sebab, tidak ada seorang pun yang mampu 
mengalahkan Iblis Cebol. Bahkan beberapa orang 
tewas di tanganku ketika mereka mencoba mem-
perkosaku. Dan kemudian, sampai akhirnya aku 
bertemu denganmu. Tapi, Kakang Bayu. Kau bo-
leh percaya dan boleh tidak dengan ceritaku. Se-
sungguhnya, aku sama sekali tidak memperalat-
mu.
Karena, aku tahu. Kau berbeda dengan mere-
ka. Selain kemampuanmu yang hebat, kau pun 
cukup cerdik. Dan lebih dari itu, telah lama aku 
mendambakanmu. Aku betul-betul mencintaimu, 
Kakang...,” gadis itu mengakhiri kisahnya dengan 
air mata berlinang.
Bayu terdiam dan duduk termangu di tepi 
tempat tidur. Diah Kemuning lalu bangkit dan 
duduk di sebelah pemuda itu, seraya meremas 
tangannya perlahan. Bayu diam saja. Kemudian 
dipandangnya gadis itu dengan wajah bersalah 
penuh penyesalan.
“Maafkan kata-kataku tadi, Diah...,” ucap pe-
muda itu lirih.
“Tidak apa-apa, Kakang. Aku bisa memaha-
minya, kalau kau menuduhku begitu...,” desah 
Diah Kemuning.
“Aku telah salah mendugamu....”
“Kakang Bayu..., eh...! Bolehkah aku menye-
butkmu begitu?”

Bayu mengangguk pelan.
“Terima kasih, Kakang. Tapi, apakah kau men-
cintaiku pula...?” tanya Diah Kemuning.
Bayu tersenyum mendengar pertanyaan dari 
gadis itu.
“Cinta itu datangnya bukan tiba-tiba. Namun, 
perlahan lewat perkenalan dengan berusaha men-
getahui isi hati masing-masing. Sedang aku baru 
mengenalmu. Dan rasanya, kurang wajar jika aku 
mengatakan cinta begitu saja sekadar untuk me-
nyenangkan hatimu. Kau mengerti bukan?” jawab 
Bayu, bijaksana.
“Aku mengerti, Kakang. Berdekatan denganmu 
pun, sudah membuatku senang. Aku akan men-
coba menunggu jawabanmu....”
Bayu kembali terdiam, kemudian beranjak ke-
luar.
“Aku mandi dulu, dan setelah itu kita berang-
kat menemui resi yang kau katakan semalam...,” 
ujar Bayu.
Diah Kemuning mengangguk pelan, sambil 
menatap pemuda itu hingga menghilang di balik 
pintu. Lalu tubuhnya direbahkan di ranjang den-
gan senyum cerah.
***
DELAPAN


Sepasang anak muda berjalan perlahan. Sese-
kali yang seorang melirik ke sebelahnya. Sedang

kan pemuda itu pura-pura tidak peduli, bahkan 
ketika gadis itu menggandeng tangannya, dia be-
rusaha menolak dengan halus.
“Bagaimana keadaanmu sekarang, Kakang 
Bayu?” tanya gadis itu lembut.
Memang, mereka adalah Pendekar Pulau Nera-
ka dan Diah Kemuning yang tengah berjalan me-
nuju kediaman Resi Wangsa Purbaya.
“Hebat! Ramuan yang kamu berikan ternyata 
sangat ampuh,” sahut Bayu
“Syukur.... Seandainya saja kita bertemu den-
gan iblis keparat itu, kau tidak perlu berkecil hati 
lagi!”
Bayu diam saja tidak menjawab.
“Kakang....”
“Hm.”
“Kau tahu, apa yang kurasakan saat ini? Aku 
senang sekali berjalan denganmu,” Diah Kemun-
ing bertanya, namun langsung dijawabnya sendi-
ri.
Bayu menoleh sekilas, kemudian tersenyum 
kecil. Tiren yang nangkring di pundaknya menye-
ringai sambil mencerecet ribut dengan kedua tan-
gan bertepuk-tepuk.
“Huh! Diam...!” sentak Bayu.
Monyet kecil itu merengut seraya menunduk-
kan kepala. Bayu tersenyum dan mengelus-elus 
kepalanya. Tiren, langsung menyeringai lebar dan 
wajahnya kembali cerah. Diah Kemuning terse-
nyum melihat ulah monyet kecil itu. Namun men-
dadak keduanya terpaku, ketika mendengar suara-suara senjata saling beradu.
“Hm.... Suara pertarungan yang tidak jauh dari 
sini. Diah! Coba kita lihat, siapa yang bertarung,” 
kata Bayu seraya menggenjot tubuhnya.
Diah Kemuning mengikuti dari belakang. Den-
gan pengerahan ilmu meringankan tubuh tingkat 
tinggi sebentar saja mereka sampai di sebuah 
lembah yang tidak berapa jauh dari tempat itu. 
Dari tempat yang agak tinggi, mereka bisa melihat 
seorang laki-laki tua bertubuh bungkuk dan seo-
rang gadis belia berwajah cantik bersenjatakan 
keris, tengah dikeroyok lebih dari tujuh orang la-
ki-laki berwajah kasar.
“Hm.... Kawanan rampok Gagak Ireng,” desis 
Diah Kemuning bernada geram.
“Kau kenal?”
Diah Kemuning mengangguk.
Gadis itu sudah akan melompat turun untuk 
melabraknya, namun Bayu cepat mencegah.
“Kenapa, Kakang? Coba lihat... Kedua orang itu 
terdesak. Kita harus membantunya,” tanya Diah 
Kemuning, heran.
“Kita belum tahu, apa urusan mereka,” jelas 
Pendekar Pulau Neraka.
“Siapa yang tidak kenal kawanan rampok Ga-
gak Ireng? Mereka adalah kumpulan manusia ke-
parat yang kerjanya merampok, membunuh, serta 
memperkosa wanita-wanita yang tidak berdaya. 
Saat inilah yang tepat untuk memberi pelajaran 
pada mereka. Ayo, Kakang! Tunggu apa lagi?” ka-
ta Diah Kemuning seraya melompat turun.

Mau tidak mau, Bayu terpaksa mengikuti gadis 
itu. Sementara, dua orang yang meskipun men-
gadakan perlawanan sengit, namun tetap saja 
terdesak. Lawan mereka memang terlampau ba-
nyak dan memiliki kemampuan cukup hebat Se-
hingga, lambat laun mereka terlihat makin terde-
sak hebat Saat itu Diah Kemuning langsung ter-
jun ke dalam pertarungan.
“Manusia-manusia keparat! Mampuslah kalian!
Hiyaaat...!”
Sring!
Trang! Trang!
Kedua pedang gadis itu berkelebat cepat, me-
nyambar golok-golok para perampok. Bahkan 
membuat mereka berpentalan. Demikian juga 
dengan apa yang dilakukan Pendekar Pulau Ne-
raka. Tubuhnya berkelebat cepat, menghajar la-
wan-lawannya yang memang berkemampuan ren-
dah.
Kawanan rampok Gagak Ireng tersentak kaget, 
melihat kemunculan dua orang itu. Dalam waktu 
singkat saja, mereka yang berkemampuan rendah
terdesak hebat Kini mereka sadar kalau kedua 
orang yang baru muncul itu bukanlah tokoh 
sembarangan.
Ujung pedang Diah Kemuning menyambar da-
da seorang perampok. Orang itu menangkis den-
gan senjata golok, namun pedang gadis itu yang 
satu lagi bergerak cepat memapas lehernya.
Crasss! Brettt!
“Aaa...!”

Terdengar pekikan kesakitan, ketika orang itu 
ambruk ke tanah. Beberapa saat kemudian dia 
tewas dengan leher nyaris putus. Dan pada saat 
yang bersamaan, seorang lagi binasa di ujung ke-
ris gadis berpakaian serba putih yang ditolong ini.
“Aaa...!”
Laki-laki bongkok bersenjata tongkat itu seper-
ti mendapat semangat baru, melihat kemunculan 
dua orang penolong. Tongkatnya kembali berkele-
bat cepat, menyambar dua orang terdekat Salah 
seorang menangkis dengan sengit.
Trakkk!
Sementara seorang perampok melompat mun-
dur. Namun ujung tongkat laki-laki bongkok itu 
terus mengejar cepat, dan cepat menghantam te-
lak dadanya.
Bukkk!
“Aaa...!”
Orang itu memekik kesakitan ketika tulang da-
danya berderak patah.
Pada saat yang hampir bersamaan, ujung kaki 
Pendekar Pulau Neraka berhasil menghantam da-
gu salah seorang perampok. Orang itu memekik 
kesakitan, ketika tubuhnya terjungkal ke bela-
kang sambil memuntahkan darah segar. Tiga 
buah giginya seketika tanggal.
Empat orang yang tersisa, terpaku dan ragu-
ragu untuk melanjutkan serangannya. Namun, 
Diah Kemuning yang berangasan agaknya tidak 
sudi membiarkan mereka begitu saja. Langsung 
saja dia melompat menyerang mereka.

“Yeaaah...!”
Trangngng!
Keempat orang itu terpaksa melawan dengan 
semangat yang mulai mengendor. Kelebatan pe-
dang gadis itu dipapak. Namun dalam waktu 
singkat saja, mereka harus mengakui kalau kece-
patan gerak gadis itu luar biasa dan sulit diim-
bangi. Sehingga, tidak heran kalau sebentar saja 
dua orang kembali terjungkal tewas disertai jerit 
kesakitan ketika perutnya robek dibabat kedua 
pedang gadis ini. Kembali dua orang lainnya ter-
sentak kaget Mereka berusaha melarikan diri, tapi 
dengan geram Diah Kemuning melemparkan ke-
dua pedangnya. Crab!
Bresss! 
“Akh!”
“Aaa...!”
Kedua orang itu seketika menjerit melengking 
tinggi ketika punggungnya tertancap pedang Diah
Kemuning. Mereka ambruk ke tanah dengan 
nyawa melayang dari badannya. Diah Kemuning 
mendengus pelan, lalu melangkah mendekati. Di-
cabutnya kedua pedang yang tertancap di pung-
gung dua orang itu. Setelah membersihkan darah 
yang melekat, pedangnya disarungkan kembali. 
Kemudian kakinya melangkah mendekati Bayu 
dengan wajah tenang seperti tidak ada kejadian 
apa pun juga.
***
“Kisanak berdua, aku Paman Sudira. Dan ini

keponakanku, Andini. Kami mengucapkan terima 
kasih yang sedalam-dalamnya atas bantuan ka-
lian berdua. Kalau boleh tahu, siapakah kalian 
berdua ini..?” ujar laki-laki tua bertubuh bongkok 
yang memang Paman Sudira bersama Andiri.
“Namaku Diah Kemuning. Dan temanku ini 
Bayu. Tapi, mungkin kalian pernah mendengar 
julukan Pendekar Pulau Neraka. Nah, dialah 
orangnya,” sahut Diah Kemuning dengan nada 
bangga bisa memperkenalkan Pendekar Pulau Ne-
raka.
“Pendekar Pulau Neraka...? Oh! Sungguh kebe-
tulan sekali kami bisa bertemu denganmu, Kisa-
nak. Sebab, selama ini kami memang sedang 
mencarimu untuk satu urusan yang sangat pent-
ing,” kata Paman Sudira dengan wajah gembira.
“Hm.... Urusan apa itu, Ki?” tanya Bayu heran.
Laki-laki bungkuk itu agak ragu seraya me-
mandang kepada Diah Kemuning. Melihat cara 
memandang Paman Sudira, gadis itu merasa di-
curigai. Kini wajahnya mulai menunjukkan rasa 
tidak senang.
“Kisanak! Apakah aku tidak boleh mendengar 
pembicaraan ini?” tanya Diah Kemuning agak ke-
tus, mengungkapkan rasa ketidaksenangannya.
“Oh, bukan begitu. Tapi ini hanya untuk berja-
ga-jaga saja. Harap Nini Diah Kemuning tidak sa-
lah tanggap. Urusan ini harus hati-hati sekali,” 
sahut Paman Sudira.
“Ki Sudira, aku bertanggung jawab penuh pada 
Diah Kemuning. Nah! Ceritakanlah, apa yang in

gin kau katakan padaku,” selak Bayu cepat me-
nengahi.
“Baiklah... ini menyangkut Iblis Cebol,” ujar 
Paman Sudira agak terputus suaranya.
“Iblis Cebol...? Hm.... Mau apa lagi manusia 
keparat itu?” sentak Diah Kemuning geram.
“Sabar, Diah. Biarkan Paman Sudira menyele-
saikan dulu,” selak Bayu menenangkan.
Gadis itu kembali terdiam. Bayu kemudian 
memandang Paman Sudira.
“Nah Ki Sudira. Silakan lanjutkan....”
Paman Sudira mulai menceritakan pertemuan-
nya dengan Resi Wangsa Purbaya dan pesan yang 
harus disampaikannya pada Pendekar Pulau Ne-
raka.
“Hm.... Sungguh kebetulan, Kakang. Bukankah 
dugaanku benar?” selak Diah Kemuning cerah.
Bayu hanya menganggukkan kepala sedikit. 
Sementara Paman Sudira hanya berpandangan 
sejenak saja dengan Andini. Kemudian dipan-
dangnya Pendekar Pulau Neraka dengan wajah 
penuh harap.
“Bagaimana Kisanak?”
“Ki Sudira, sebenarnya tujuan kita sama. Kami 
berdua pun tengah menuju tempat kediaman Resi 
Wangsa Purbaya untuk meminjam pedang itu gu-
na menghancurkan Iblis Cebol,” jelas Bayu.
“Ah! Sungguh kebetulan,” sahut Paman Sudira 
dengan wajah semakin cerah.
“Kalau begitu, buat apa lagi berlama-lama di 
sini? Lebih baik, kita cepat ke sana,” lanjut Diah

Kemuning tidak sabar.
“Baiklah,” sahut Paman Sudira.
Mereka segera meninggalkan tempat itu tanpa 
banyak bicara lagi. Dan sejak awal perjalanan, 
Diah Kemuning tampak begitu manja pada Pen-
dekar Pulau Neraka. Sepertinya dia ingin menun-
jukkan pada kedua orang itu kalau Bayu adalah 
kekasihnya. Dan hal itu membuat Bayu jadi jen-
gah sendiri. Apa lagi ketika Paman Sudira dan 
Andini sesekali melirik. Beberapa kali Bayu mem-
beri isyarat pada Diah Kemuning. Tapi, gadis itu 
seperti pura-pura tidak tahu. Bayu akhirnya 
hanya bisa menarik napas panjang saja, mengha-
dapi sikap manja gadis itu.
Tidak berapa lama keempat orang itu menem-
puh perjalanan, sampailah mereka di tempat tu-
juan. Mereka menunggu beberapa saat. Dan keti-
ka Resi Wangsa Purbaya muncul, mereka lang-
sung menjura memberi hormat.
“Selamat datang ke tempatku, Anak-anak mu-
da...,” sapa Resi Wangsa Purbaya ramah.
“Senang sekali bertemu denganmu, Kanjeng 
Resi,” ucap Bayu membalas keramahan ini.
“Tentunya mereka telah memberitahu padamu 
tentang niatku,” ujar Resi Wangsa Purbaya lang-
sung.
Bayu mengangguk mantap.
“Aku merasa mendapat kehormatan atas ke-
percayaan yang kau berikan ini, Kanjeng Resi.”
“Pedang Ular Mas ini akan kupercayakan pa-
damu. Dan kau harus mengembalikannya, setelah semuanya selesai,” kata Resi Wangsa Pur-
baya.
“Aku berjanji akan mengembalikannya, Kan-
jeng Resi,” sahut Bayu mantap.
“Syukurlah. Tapi sebelumnya seperti yang lain, 
aku ingin menguji kemampuanmu dulu. Jangan 
berkecil hati, karena ini demi keselamatan dirimu 
sendiri. Bila pedang ini tidak berhasil dicabut dari 
warangkanya. Itu berarti kau tidak akan berhasil 
mengalahkan Iblis Cebol. Kau mengerti maksud-
ku, Anak Muda...?” jelas Resi Wangsa Purbaya.
“Aku mengerti Kanjeng Resi,”
“Nah! Mulailah cabut pedang ini,” lanjut Resi 
Wangsa Purbaya seraya mengulurkan gagang Pe-
dang Ular Mas ke depan Pendekar Pulau Neraka.
Bayu memusatkan perhatiannya barang seje-
nak. Kemudian ditariknya napas dalam-dalam, 
tanpa berkedip memandangi gagang pedang di 
depannya. Tapi baru saja hendak menarik pedang 
itu....
“Ha ha ha...! Agaknya semua sudah berkumpul 
di tempat buruk ini. Dan resi peot pengecut se-
makin ciut nyalinya, sehingga perlu meminta ban-
tuan orang lain.”
Mendadak terdengar suara keras yang memba-
hana di seputar tempat itu.
“Itu Iblis Cebol...,” desis Resi Wangsa Purbaya.
Beberapa saat kemudian, melesat turun seso-
sok tubuh cebol dengan kepala botak berukuran 
besar. Sepasang matanya melotot lebar. Kedua 
tangannya bersisik hitam kebiruan seperti kulit

ular sampai sebatas siku. Sebuah toya tergeng-
gam di tangan kanannya.
“Hm.... Pendekar Pulau Neraka. Akhirnya kita 
bertemu lagi di sini. Hari ini, aku tidak akan 
mengampunimu lagi!” hardik Iblis Cebol garang.
“Iblis Cebol! Aku tidak pernah merasa kau am-
puni. Kapan pun kau ingin menantangku, aku 
siap menghadapimu!” bentak Pendekar Pulau Ne-
raka geram.
“Huh! Kau boleh menunggu sampai aku meng-
hajar tua bangka keparat itu!” tuding Iblis Cebol 
pada Resi Wangsa Purbaya.
“Iblis Cebol! Kau tidak perlu repot-repot meng-
hadapi Resi Wangsa Purbaya. Aku akan mewaki-
linya untuk menghadapimu,” sahut Pendekar Pu-
lau Neraka lantang.
“Pendekar Pulau Neraka! Apa kau tidak bisa
bersabar menungguku untuk menyelesaikan tua 
bangka busuk ini lebih dulu? Aku ingin melihat 
kepengecutannya. Setelah sekian lama aku me-
nunggu, ternyata dia sama sekali tidak mau men-
coba menghentikan segala perbuatanku! Sehing-
ga, kuduga dia pasti ketakutan melihat kehadi-
ranku ini. Dan ternyata memang demikian, bu-
kan...? Ha ha ha...!” ejek Iblis Cebol.
“Iblis Cebol! Kau boleh berkata apa saja untuk 
membangkitkan amarahku. Tapi jangan harap 
aku harus melanggar sumpahku. Dan Pedang 
Ular Mas diciptakan yang khusus untuk mele-
nyapkan orang-orang sepertimu, akan kupinjam-
kan pada orang yang tepat untuk mewakiliku,”

kata Resi Wangsa Purbaya kalem.
Setelah itu Resi Wangsa Purbaya menjulurkan 
Pedang Ular Mas pada Pendekar Pulau Neraka.
“Anak Muda, lupakanlah ujian tadi. Aku sudah 
yakin kau mampu mencabutnya, tanpa perlu diuji 
lagi. Kupinjamkan pedang ini padamu, dengan 
keyakinanku kau pasti mampu menggunakannya. 
Nah! Wakililah aku serta orang-orang yang telah 
teraniaya akibat ulahnya. Hancurkan keangka-
ramurkaannya dengan pedang ini,” ujar Resi 
Wangsa Purbaya, yakin.
“Kanjeng Resi! Terima kasih atas kepercayaan 
yang kau berikan padaku. Aku akan mengguna-
kan sebaik-baiknya,” sahut Pendekar Pulau Nera-
ka mantap, seraya menerima pedang itu.
Kemudian Pendekar Pulau Neraka membalik-
kan tubuhnya dan melangkah mendekati Iblis 
Cebol dengan sorot mata tajam.
“Iblis Cebol! Bersiaplah! Kita akan melanjutkan 
pertarungan yang tertunda,” tantang Bayu lang-
sung.
Iblis Cebol tampak ragu-ragu melihat pemuda 
itu menggenggam Pedang Ular Mas. Tapi, mana 
mau keterkejutan hatinya ditunjukkan di depan 
lawannya ini. Dengan mendengus dingin, dia 
mencoba untuk membesarkan hati.
“Huh! Senjata bulukan hendak kau pamerkan 
padaku! Kau tahan seranganku ini! Hiyaaa...!”
Sambil membentak keras, Iblis Cebol melompat 
menyerang ganas Pendekar Pulau Neraka. Dis-
adari kalau Pendekar Pulau Neraka bukanlah lawan yang ringan. Karena, mereka pernah bertemu 
dan bentrok hingga masing-masing menderita lu-
ka yang parah. Apalagi sekarang ini Pendekar Pu-
lau Neraka memegang Pedang Ular Mas yang me-
nurut gurunya merupakan pemunah ilmu kebal 
miliknya yang selama ini amat dibanggakan.
Tidak heran kalau debu serta batu-batu sebe-
sar kepalan tangan kini beterbangan ke udara, 
akibat pertarungan antara kedua tokoh persilatan 
tingkat tinggi itu. Sementara yang lainnya segera 
menyingkir, menyaksikan dari jarak yang cukup 
jauh dan aman. Tampak pertarungan terus berja-
lan semakin sengit dan dahsyat. Masing-masing 
sudah langsung mengeluarkan jurus-jurus ting-
kat tinggi yang begitu diandalkan.
“Hiyaaat!”
“Shyaat!”
Tubuh Iblis Cebol tiba-tiba saja bergerak ke 
samping menghindari serangan Bayu sambil 
mengayunkan toyanya. Sementara, Bayu kembali 
mengapung di udara menghindari sambaran sen-
jata lawannya.
“Iblis Cebol! Terimalah kematianmu! Hiyaaa...!” 
bentak Bayu lantang menggelegar.
Srangngng!
“Heh...!”
Iblis Cebol jadi tersentak kaget. Terdengar sua-
ra gemerincing nyaring yang memekakkan telinga, 
ketika Pedang Ular Mas dicabut Pendekar Pulau 
Neraka dari warangkanya tanpa menemui kesuli-
tan. Dan memang tidak perlu diragukan lagi kemampuan Pendekar Pulau Neraka dalam menca-
but pedang itu. Kini, cahaya kuning keemasan 
langsung memantul dari batang pedang, sehingga 
bisa menyilaukan mata siapa saja yang meman-
dangnya.
Selagi Iblis Cebol terperanjat kaget menyaksi-
kan kehebatan pedang itu, Bayu menggunakan 
kesempatan ini sebaik-baiknya. Tubuhnya lang-
sung melesat cepat bagai kilat dengan sambaran 
pedangnya. Namun manusia bertubuh cebol itu 
masih sempat mengebutkan toyanya.
Trakkk!
Iblis Cebol terkesiap ketika senjatanya patah 
menjadi dua bagian ketika terhantam pedang di
tangan Bayu. Bahkan pedang itu terus meluncur,
mengincar ubun-ubunnya. Begitu cepat serangan 
Pendekar Pulau Neraka, sehingga Iblis Cebol 
hanya mampu mendelik saja. Lalu....
Blesss!
“Aaa...!”
Iblis Cebol memekik setinggi langit begitu Pe-
dang Ular Mas melesak ke dalam tubuhnya, lewat 
ubun-ubun. Bahkan pedang itu hanya terlihat 
gagangnya saja. Iblis Cebol terhuyung-huyung. 
Beberapa saat kemudian dia ambruk ke tanah 
dengan nyawa melayang seketika. Tampak darah 
sudah membasahi tubuh kerdil itu.
Bayu melangkah mendekati dan mencabut pe-
dang itu dari kepala lawannya. Lalu dia melihat 
keanehan lain. Cahaya keemasan itu masih ter-
pancar, meski tidak sekuat saat dicabut dari warangkanya tadi. Tidak ada setetes darah pun yang 
menempel di batang pedang ini. Padahal, tubuh 
Iblis Cebol dipenuhi darah. Kemudian, dimasuk-
kannya pedang itu kembali dalam warangkanya. 
Pendekar Pulau Neraka lalu melangkah mendeka-
ti Resi Wangsa Purbaya. Diangsurkannya pedang 
dahsyat itu pada pemiliknya lagi.
“Kanjeng Resi, aku telah menunaikan kewaji-
banku. Terima kasih atas bantuanmu,” ucap Pen-
dekar Pulau Neraka.
“Kau tidak perlu berterima kasih padaku, Anak 
Muda. Sesungguhnya, kami yang patut mengu-
capkan itu padamu,” sahut Resi Wangsa Purbaya 
seraya menerima pedangnya kembali.
“Kakang Bayu, kau hebat sekali...,” sambut Di-
ah Kemuning dengan wajah haru dan ceria.
Tanpa menghiraukan ada orang lain di sekitar-
nya, gadis itu langsung saja memeluk hangat 
Pendekar Pulau Neraka ini. Tidak ada perasaan 
malu sedikit pun pada wajah gadis itu. Dan pelu-
kannya baru dilepas setelah Bayu menolakkan 
tubuhnya dengan halus.
“Pendekar Pulau Neraka.... Kami sangat berte-
rima kasih atas segala bantuan yang kau berikan. 
Budimu tentu saja tidak akan pernah kami lupa-
kan,” ujar Paman Sudira menyelak cepat
“Ki Sudira, kita sama-sama merasa punya ke-
wajiban untuk melenyapkan Iblis Cebol. Jadi, ti-
dak perlu berterima kasih padaku,” sambut Bayu 
tidak ingin disanjung.
“Hatimu sungguh mulia, Kisanak. Nah! Karena

urusan telah selesai, kami mohon diri dulu,” lan-
jut Paman Sudira.
“Aku juga hendak melanjutkan perjalananku,” 
sambung Pendekar Pulau Neraka cepat-cepat
Resi Wangsa Purbaya tidak dapat mencegah. 
Hanya kepalanya saja yang mengangguk sedikit. 
Sementara, mereka sudah melangkah meninggal-
kannya dengan arah tujuan sendiri-sendiri.


                               SELESAI








































 

Share:

0 comments:

Posting Komentar