IBLIS CEBOL
Oleh Teguh Suprianto
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Pulau Neraka
dalam episode:
Iblis Cebol
128 hal. ; 12 x 18 cm
SATU
Ki Kalawungu sejak tadi mondar-mandir den-
gan wajah gelisah di ruangan utama perguruan-
nya yang cukup besar dan megah. Sesekali ma-
tanya menatap lurus ke depan, seperti hendak
menembus batas cakrawala. Lalu kembali dia
menghela napas pendek, dan duduk di kursinya.
Tidak lama kemudian, laki-laki berusia sekitar li-
ma puluh tahun itu bangkit dan melangkah mon-
dar-mandir lagi.
Sementara itu beberapa muridnya memperha-
tikan dengan wajah bingung. Mereka tidak tahu,
apa yang harus dilakukan untuk menenangkan
kegelisahan laki-laki yang menjadi guru mereka.
Mereka juga tidak mengerti, apa yang menyebab-
kan kegelisahan Ki Kalawungu.
“Keparat!” Ki Kalawungu mendesis geram se-
raya mengepalkan tangan.
Kata-kata seperti itu entah yang keberapa kali
terdengar. Semua membisu, seperti tadi. Namun
seorang murid utama agaknya merasa tidak enak
hati kalau hanya diam diri. Maka dia memberani-
kan diri untuk mendekat.
“Guru, tidakkah lebih baik kalau kita bersikap
tenang menunggunya...?”
Ki Kalawungu melirik ke arah murid tertuanya,
lalu menghela napas.
“Bagaimana aku bisa tenang, Danang?”
“Kita akan menghadapinya, sampai titik darah
terakhir...,” sahut murid utama yang dipanggil
Danang, pelan.
Ki Kalawungu memalingkan mukanya, lalu
menatap tajam sepasang mata Danang Prakoso.
“Danang! Apakah kau kira gurumu ini takut
menghadapinya...?” tegur Ki Kalawungu.
“Kenapa Guru berpikiran demikian? Kami se-
mua tahu, Guru bukanlah seorang pengecut.”
Ki Kalawungu menghela napas untuk yang ke-
sekian kalinya,
“Kalau saja kutahu keberadaannya, niscaya
aku yang akan datang kepadanya. Dadaku terasa
sesak mendengar sepak terjangnya yang bengis
serta biadab. Dan aku merasa tertantang men-
dengar kesombongannya yang ingin menghancur-
kan perguruan ini serta seluruh perguruan silat
di muka bumi!” kata laki-laki setengah baya itu.
Ki Kalawungu lalu mengeluarkan selembar ku-
lit kambing dari balik bajunya. Kemudian diba-
canya tulisan yang tertera sambil tersenyum
mengejek.
Danang Prakoso tahu sudah berapa kali gu-
runya telah membaca surat tantangan yang bera-
da di tangannya. Namun setiap kali gurunya
membaca, hanya kernyitan di dahi yang muncul.
“Siapa sebenarnya Iblis Cebol keparat ini?!” de-
sis Ki Kalawungu seraya melipat surat itu, dan
menyimpannya kembali ke balik bajunya.
“Dengar dengar dia bukan manusia, Guru....”
“Bukan manusia katamu?” Ki Kalawungu den-
gan dahi berkerut.
“Entahlah. Aku sendiri belum pernah melihat
nya. Tapi kata orang-orang, kepandaiannya hebat
bahkan kebal terhadap senjata tajam,” desah Da-
nang Prakoso. tertunduk lesu.
“Hm.... Apakah dengan begitu dia bisa bertin-
dak seenaknya membantai semua tokoh persila-
tan?” dengus Ki Kalawungu, dengan wajah kelam.
Murid tertua Ki Kalawungu itu terdiam. Kepa-
lanya lalu menunduk menekuri tanah.
Ki Kalawungu menghela napas pendek.
“Danang, ambilkan keris pusakaku...,” ujar
orang tua itu.
“Baik, Guru...,” sahut Danang Prakoso.
Laki-laki berusia lima puluh tahun itu bergerak
cepat menghampiri salah seorang murid lain yang
sejak tadi menggenggam sebuah keris terbungkus
kain merah. Setelah mengambil keris itu, Danang
Prakoso kembali menyerahkan pada gurunya.
Ki Kalawungu mengamat-amati sesaat bungku-
san kain merah itu, lalu membukanya pelan-
pelan. Sementara, Danang Prakoso mengambil
kain merah yang membungkusnya, dan menye-
rahkan pada murid yang tadi memegang senjata
pusaka Ki Kalawungu.
“Keris ini bukan sekadar barang peninggalan
turun-temurun. Tapi, juga lambang kejayaan Per-
guruan Jalak Sampurno. Dan kita wajib memper-
tahankannya mati-matian...,” gumam Ki Kala-
wungu.
Danang Prakoso membungkuk hormat begitu
gurunya mengacungkan senjata pusaka itu. De-
mikian juga semua murid Perguruan Jalak Sampurno. Ketika Ki Kalawungu menyelipkan keris
itu ke pinggang, barulah mereka mengangkat ke-
pala kembali. Orang tua itu memandang seksama
pada seluruh muridnya.
“Murid-muridku! Hari ini, seperti yang telah di-
janjikan lewat surat tantangannya, Iblis Cebol
akan datang bersama kesombongannya untuk
menghancurkan kita. Bahkan belakangan ini te-
lah banyak perguruan silat serta tokoh-tokoh
berkepandaian tinggi yang binasa di tangannya.
Ini membuktikan kalau orang itu memiliki kesak-
tian hebat. Dan aku telah bertekad untuk meng-
hadapinya sampai titik darah yang penghabisan.
Namun begitu, tidak menghalangi kalian untuk
mundur jika ada yang takut Silakan mundur dan
pergilah dari tempat ini untuk menyelamatkan di-
ri, selagi masih ada kesempatan...!” kata Ki Kala-
wungu, datar. Namun suaranya cukup terdengar
oleh seluruh muridnya.
“Guru! Kami akan tetap setia mendampingimu
untuk menghadapi Iblis Cebol...!” sahut murid-
murid Perguruan Jalak Sampurno serentak den-
gan suara lantang.
Ki Kalawungu tersenyum haru mendengar ja-
waban murid-muridnya. Namun baru saja hendak
melanjutkan kata-katanya....
“Ha ha ha...! Sekumpulan tikus hendak men-
coba mengaum menanti kehadiran seekor hari-
mau liar...!”
Tiba-tiba terdengar suara tawa menggelegar,
memenuhi tempat ini.
“Hei?!”
***
Mereka yang berada di tempat itu terkejut ka-
get Bahkan sebagian menutup kedua telinga den-
gan tubuh gemetar hebat, akibat pengerahan te-
naga dalam kuat yang disalurkan lewat suara ta-
wa itu.
Tak lama kemudian, sesosok tubuh kecil mele-
sat ringan, dan mendarat tepat di hadapan Ki Ka-
lawungu pada jarak tujuh langkah. Sehingga se-
mua yang ada di situ bisa melihat sosok bertubuh
kecil dengan kepala botak berukuran besar. Ke-
dua tangannya sebatas siku terlihat bersisik bagai
ular dengan kuku-kuku panjang. Tangan kanan-
nya menggenggam sebatang tongkat dari baja
yang amat keras sepanjang lebih kurang sepuluh
jengkal. Sepasang matanya yang bulat lebar me-
mandang tajam kepada Ki Kalawungu.
“Hei, Monyet Tua! Kaukah yang bernama Ki Ka-
lawungu...?!” bentak laki-laki bertubuh cebol itu,
“Kurang ajar...!” bentak Danang Prakoso ga-
rang.
Laki-laki berbadan kekar ini sudah hendak
mencabut keris di pinggang, untuk menyerang la-
ki-laki botak yang baru datang.
“Danang! Tenanglah dulu. Tidak baik bersikap
begitu pada tamu kita....”
Untung saja Ki Kalawungu sudah keburu men-
cegah. Langsung gerakannya terhenti.
“Tapi, Guru...!”
Danang Prakoso hendak membantah, namun
Ki Kalawungu telah memberi isyarat lewat lam-
baian tangannya. Terpaksa dia berdiam diri den-
gan menahan amarah menggelegak.
Ki Kalawungu memandang tajam ke arah laki-
laki cebol berusia sekitar empat puluh tahun di
hadapannya.
“Kisanak! Kaukah yang berjuluk Iblis Cebol?
Kalau benar, memang akulah orang yang kau ca-
ri. Aku Kalawungu, Ketua Perguruan Jalak Sam-
purno...,” kata laki-laki setengah baya itu, datar.
“Hm.... Ternyata kau tidak salah mengenali
orang. Nah! Maksud kedatanganku sudah kau ke-
tahui. Maka, cabutlah senjatamu dan hadapi aku.
Kau boleh pilih. Satu lawan satu, atau sekaligus
minta bantuan pada murid-muridmu untuk men-
geroyokku...!” lantang suara laki-laki kecil yang
berjuluk Iblis Cebol bernada jumawa.
Ki Kalawungu tersenyum halus seraya melang-
kah mendekati.
“Untuk menghadapimu, rasanya tenaga mereka
belum perlu kugunakan...,” balas Ki Kalawungu
sambil melangkah pelan. Kakinya kemudian ber-
henti tepat pada saat jarak mereka terpaut empat
langkah.
“Ha ha ha...! Kau kira aku butuh segala oce-
hanmu? Menghadapiku seorang diri atau menge-
royokku, sama saja. Kalian semua akan mampus
di tanganku!” kata Iblis Cebol, makin jumawa.
“Kisanak! Tidak usah banyak bicara. Maju-
lah...!” sahut Ki Kalawungu mendengus tajam.
Agaknya orang tua ini geram juga mendengar
kesombongan manusia cebol di depannya.
“Huh! Jaga seranganku!” dengus Iblis Cebol.
Tiba-tiba saja tongkat di tangan Iblis Cebol te-
rayun menghajar batok kepala Ki Kalawungu. Se-
dangkan orang tua pemimpin Perguruan Jalak
Sampurno itu terkesiap, sama sekali tidak men-
duga serangan dengan gerakan secepat itu. Na-
mun sebagai tokoh yang telah banyak pengala-
man dalam dunia persilatan, tentu saja dia tidak
akan lengah begitu saja. Dengan gerakan tidak
kalah gesit, dia melompat ke samping disertai pu-
taran tubuh. “Hiiih!”
Dan tiba-tiba kaki kanan Ki Kalawungu men-
coba menyambar batok kepala laki-laki cebol yang
setinggi dada.
Namun dengan tangkas Iblis Cebol menangkis
dengan tangannya.
Plakkk!
“Uhhh...!”
Ki Kalawungu mengeluh tertahan begitu ka-
kinya terpapak tangan. Meski telah mengerahkan
tenaga dalam kuat, namun kakinya seperti meng-
hajar tembok baja yang keras bukan main.
“Yeaaah...!”
Ki Kalawungu langsung melompat ke samping,
ketika tongkat di tangan Iblis Cebol menyambar
kepala. Dan belum juga dia bersiaga, pinggangnya
telah terancam oleh hantaman tongkat yang ce-
pat, sulit ditangkap mata biasa.
“Hup!”
Orang tua itu jadi melompat ke sana kemari,
menghindari kejaran tongkat lawan yang mengi-
kuti setiap gerakannya. Rasanya gempuran laki-
laki cebol itu dilakukan dengan pengerahan tena-
ga dalam hebat sekali. Rambut dan pakaiannya
sampai berkibar-kibar, di hantam angin serangan
yang kuat dan tajam.
“Yeaaah...!
Permainan tongkat Iblis Cebol memang bukan
main hebatnya. Meski Ki Kalawungu mampu
menghindarinya, namun bisa merasakan kalau
tidak akan lama lagi bisa dijatuhkan bila terus
menggunakan tangan kosong. Sedangkan saat ini
tak ada kesempatan sedikit pun baginya untuk
membuka jurus baru, karena Iblis Cebol terus
mengejarnya. Maka, sambil menggeram keras, di-
lepaskannya satu pukulan jarak jauh ke arah la-
ki-laki bertubuh kerdil itu.
Iblis Cebol sama sekali tidak terkejut. Malah
tangannya bergerak cepat, memapak pukulan Ki
Kalawunggu.
Plak!
Wutt!”
Kedua pukulan mereka beradu, menimbulkan
siur angin kencang. Bahkan tubuh Ki Kalawungu
sampai bergetar hebat, langsung terhuyung-
huyung ke belakang terkena pukulannya yang
berbalik ke arahnya.
Pada saat tubuh Ki Kalawungu terhuyung-
huyung, tubuh kerdil Iblis Cebol melompat ke
arahnya dengan tongkat siap menghajar.
Namun Ki Kalawungu cepat memperbaiki kea-
daannya. Maka secepat itu pula, keris pusakanya
dicabut, untuk menangkis senjata tongkat laki-
laki cebol itu.
“Hih!”
Trakkk!
Kedua senjata mereka beradu. Namun wajah
orang tua itu jadi meringis menahan sakit. Keris
di tangannya nyaris lepas, saking kuat dan he-
batnya hantaman tongkat lawan.
“Hmmm...!”
Iblis Cebol menggeram. Dan kembali tongkat-
nya melesat cepat, menghantam bagian bawah
tubuh lawan.
“Uts!”
Ki Kalawungu terpaksa melompat ke atas. Dan
saat itulah Iblis Cebol tiba-tiba menyentakkan te-
lapak tangan kirinya yang terkembang. Maka se-
ketika serangkum cahaya kelabu langsung mele-
sat cepat, menyambar ke arah Ketua Perguruan
Jalak Sampurno diiringi desir angin kencang.
“Hiiih...!”
“Uts!”
“Yeaaah...!”
Ki Kalawungu menyadari kalau tidak mungkin
menghindar dari pukulan lawan. Karena di samp-
ing melepaskan pukulan jarak jauh, Iblis Cebol
telah menyiapkan serangan tongkatnya. Maka
sambil menggeretakkan rahang menahan geram,
Ki Kalawunggu memapak serangan Iblis Cebol
dengan pukulan jarak jauh pula.
Jdeeer...!
“Aaakh...!”
***
Dua pukulan bertenaga dahsyat beradu. Ki Ka-
lawungu kontan melenguh dan tubuhnya ter-
jungkal ke belakang. Hantaman Iblis Cebol me-
mang kuat sekali, sehingga kulit tangan orang tua
itu sampai terkelupas. Bahkan keris pusaka yang
digenggamnya terlepas. Keseimbangan tubuh Ke-
tua Perguruan Jalak Sampurno itu menjadi ka-
cau. Maka saat itulah cepat sekali ujung tongkat
Iblis Cebol bergerak, menghantam batok kepala
tanpa bisa dicegah.
Wuttt!
Prakkk!
“Aaakh...!”
Ki Kalawungu memekik nyaring begitu kepa-
lanya terhantam tongkat Iblis Cebol! Tubuhnya
terhuyung-huyung sambil memegangi kepalanya
yang retak mengucurkan darah. Tak lama kemu-
dian dia ambruk dan tidak bergerak lagi setelah
menggelepar sesaat.
“Jahanam Keparat...!”
Semua murid Perguruan Jalak Sampurno ter-
sentak kaget, melihat kejadian yang menimpa
guru mereka. Dan untuk sesaat mereka hanya
terkesima oleh kejadian yang demikian cepatnya.
Sementara, terlihat Danang Prakoso menggeram
dan langsung melompat menyerang Iblis Cebol.
“Kau harus menebus kematian guruku...!”
“Serang orang itu...!”
Melihat sikap murid tertua itu, yang lain seren-
tak ikut menyerang Iblis Cebol. Apalagi ketika
saat itu terdengar suara nyaring yang memberi
perintah pada mereka.
“He he he...! Ayo ke sini cepat! Susullah guru
kalian di akherat!” tantang Iblis Cebol sambil ter-
tawa keras.
“Yeaaah...!”
Beberapa serangan langsung meluncur datang,
mengancam Iblis Cebol.
“Huh!”
Namun tongkat di tangan Iblis Cebol sudah
berkelebat cepat, memapaki serangan-serangan
lawannya.
Trakkk! Trakkk!
Begitu habis memapak, Iblis Cebol melanjuti
dengan kebutan-kebutan dahsyat. Akibatnya....
Prakkk!
“Aaa...!”
Kini jerit kematian mulai mewarnai tempat itu.
Semua murid Perguruan Jalak Sampurno menye-
rang dengan semangat dan amarah menggebu-
gebu. Namun, tongkat Iblis Cebol berkali-kali me-
nyambar. Satu persatu korban berjatuhan. Dan
darah pun mulai menggenangi sekitarnya.
“Setan...!”
Danang Prakoso menggeram. Dan seketika ke-
risnya menyambar wajah Iblis Cebol. Namun, la-
ki-laki kerdil itu tentu saja tak tinggal diam.
Tongkatnya cepat digerakkan menyilang di depan
wajah.
Trang!
Benturan dua senjata terjadi, membuat keris di
tangan Danang Prakoso terpental jauh. Murid ter-
tua Ki Kalawungu itu menggeram, namun tak
mampu berbuat apa-apa. Dan dia cepat melompat
ke samping sambil jungkir balik, ketika terjangan
senjata Iblis Cebol kembali datang. Dan untung
saja murid-murid lain kembali menyerang Iblis
Cebol. Padahal, keadaan Danang Prakoso sudah
terdesak hebat.
“Ha ha ha...! Ayo ke sini! Terimalah kematian
kalian! Heaaat...!”
Seketika Iblis Cebol bergerak cepat dengan ke-
butan-kebutan yang sulit diikuti pandangan mata
biasa. Begitu cepatnya dia bergerak, sehingga....
“Aaa...!”
Pekik kematian kembali menggema, disusul
oleh ambruknya beberapa sosok tubuh dengan
kepala remuk dihantam tongkat Iblis Cebol.
“Hi hi hi...! Ke sini, cepat! Ayo! Ayo...!”
“Kurang ajar...!”
Meski menyadari kalau perlawanan yang dila-
kukan tidak berarti banyak, namun murid-murid
Perguruan Jalak Sampurno sama sekali tidak
mengenal takut. Mereka terus bertarung gigih,
menahan gempuran-gempuran Iblis Cebol.
Demikian pula Danang Prakoso. Dengan se-
buah golok yang diraih dari seorang murid lain,
murid tertua ini cepat memapak hantaman tong-
kat Iblis Cebol. Namun goloknya lagi-lagi terpental
jauh. Dan tubuhnya cepat melompat menghindari
kibasan tongkat laki-laki kerdil itu. Namun agak-
nya kali ini Iblis Cebol sama sekali tidak mau
memberi kesempatan. Ujung tongkatnya cepat
berkelebatan menghantam tulang kering di kaki
kanan Danang Prakoso yang baru saja terangkat.
Trakkk!
“Akh...!”
Danang Prakoso kontan memekik keras begitu
tulang kaki kanannya dihantam tongkat lawan
hingga remuk. Dia bermaksud bergulingan untuk
menyelamatkan diri dari kejaran tongkat lawan
selanjutnya, namun terlambat. Dan....
Prakkk!
“Aaa...!”
Danang Prakoso kembali menjerit tertahan, ke-
tika ujung tongkat Iblis Cebol menghantam kepa-
lanya hingga remuk. Darah langsung muncrat-
muncrat dari batok kepala ketika tubuhnya am-
bruk ke tanah.
Bukan main marahnya murid-murid Perguruan
Jalak Sampurno melihat kenyataan itu. Mereka
mengamuk sejadi-jadinya untuk membalas kema-
tian guru dan saudara seperguruan mereka yang
lain. Namun Iblis Cebol agaknya memang bukan
tandingan mereka. Maka mudah saja dia mem-
bantai mereka satu persatu seperti menepuk la-
lat.
Sementara itu di suatu sudut bangunan pergu-
ruan ini, terlihat seorang gadis belia menjerit-jerit,
sambil berusaha melepaskan diri dari cengkera
man tangan laki-laki bongkok berusia sekitar lima
puluh tahun.
“Paman Sudira! Lepaskan aku! Lepaskaaan...!
Biar kuhajar Iblis Cebol keparat itu...!” teriak ga-
dis itu geram.
“Tenanglah, Andini! Tahahlah amarahmu. Dan,
berpikirlah dengan jernih. Kita pergi dari sini un-
tuk menyelamatkan diri...,” bujuk laki-laki bong-
kok yang dipanggil Paman Sudira.
“Tidak! Dia telah membunuh ayah. Dan Paman
Danang pun tewas di tangannya. Aku harus
membalas kematian mereka, agar arwah ayahku
tenang di alam sana. Lepaskan tanganku, Paman!
Lepaskaaan...!” teriak gadis bernama Andini.
“Andini! Kau bisa saja menuntut balas, tapi ti-
dak sekarang. Itu sama artinya dengan bunuh di-
ri. Kita akan mencari cara untuk mengalahkan-
nya kelak. Ayo, ikut denganku. Dan, jangan sia-
siakan waktu...!” ujar Paman Sudira.
“Tidak! Tidaaak...!”
Andini mencoba berontak. Namun dengan se-
kali sentak, Paman Sudira langsung menotok ga-
dis itu dan membopongnya. Seketika Andini di-
bawanya pergi dari tempat ini.
Ternyata walaupun dalam keadaan dikeroyok,
Iblis Cebol masih mampu memperhatikan seki-
tarnya. Maka ketika melihat ada yang hendak ka-
bur, dia menggeram marah.
“Huh! Kalian bermimpi untuk kabur dari sini!”
dengus Iblis Cebol. Tangan kirinya yang terkem-
bang cepat dihentakkan. Maka seketika segumpal
cahaya kelabu menghantam cepat ke arah Paman
Sudira yang tengah membopong tubuh Andini.
“Uts...!”
Tubuh Paman Sudira bergulingan, menghinda-
ri hantaman pukulan jarak jauh Iblis Cebol. Dan
laki-laki kerdil itu bermaksud melanjutkan seran-
gannya. Namun....
“Hajar dia! Jangan sampai Ki Sudira dan Andi-
ni celaka! Seraaang...!”
Pada saat yang bersamaan, beberapa orang
murid Perguruan Jalak Sampurno serentak
menghalangi niatnya. Agaknya mereka menyada-
ri, apa yang akan dilakukan Ki Sudira. Maka me-
reka bertekad untuk melindungi dengan pengor-
banan nyawa.
“Hiiih...! Rasakan kematian kalian, orang-orang
bodoh! Mampus!” geram Iblis Cebol garang seraya
mengumbar serangannya.
Prak! Prakkk!
“Aaa...!”
Jeritan panjang menyiratkan kematian yang
saling susul mengiringi ambruknya belasan murid
Perguruan Jalak Sampurno yang tersisa dengan
kepala remuk. Darah muncrat menyiram bumi,
menebarkan bau anyir darah yang terbawa hem-
busan angin. Iblis Cebol betul-betul mengamuk
marah, dengan mengerahkan segenap kepan-
daiannya.
Meskipun murid-murid perguruan itu mencoba
melawan sekuat tenaga, namun nyatanya usaha
mereka sama sekali sia-sia belaka. Dalam waktu
singkat saja, seluruhnya tumpas di tangan lelaki
bertubuh kerdil itu.
“Huh! Sayang masih ada yang tersisa! Tapi, su-
atu saat nanti mereka akan kutemukan! Mereka
seluruhnya harus musnah, tanpa sisa!” dengus
Iblis Cebol. Hatinya sedikit kesal, menyadari ka-
lau laki-laki bongkok yang diserangnya tadi ber-
hasil kabur dari tempat itu.
Setelah meludah beberapa kali, tubuh Iblis Ce-
bol melesat ringan dari tempat itu, lalu menghi-
lang dalam sekejapan mata. Sinar matahari tam-
pak terhalang awan kelabu. Sementara di angka-
sa terlihat sekawanan burung pemakan bangkai
yang terbang berputar-putar, mengincar mayat-
mayat yang bergelimpangan menebarkan bau
anyir darah.
***
DUA
Siang hari, Desa Kandi tampak ramai oleh
orang-orang yang lalu-lalang silih berganti. Bah-
kan tidak jarang ada yang menginap barang satu
atau dua malam. Desa ini memang tidak begitu
jauh dari ibukota kadipaten. Sehingga, tidak he-
ran bila setiap hari keadaannya ramai. Selain ba-
nyak dikunjungi pedagang, juga dikunjungi to-
koh-tokoh persilatan. Seperti yang terlihat hari
ini.
Di dalam sebuah kedai yang cukup ramai di
desa ini, seorang pemuda tampan berbaju kulit
harimau tampak tengah duduk tenang menyan-
tap hidangan di mejanya. Sementara seekor mo-
nyet kecil duduk di atas meja juga tengah mela-
hap sesisir pisang. Sesekali tampak binatang itu
menyeringai ke arah pemuda itu, kemudian meli-
rik sekitarnya. Sedangkan pemuda ini tersenyum
kecil, lalu memberi isyarat pada monyet itu untuk
tidak membuat ulah. Rupanya, binatang itu hen-
dak melempar sebuah kulit pisang ke tengah-
tengah pengunjung lain.
“Jangan membuat mereka marah, Tiren...,”
“Kaaakh...!” monyet yang dipanggil Tiren men-
jerit pelan seraya menyeringai lebar.
Pemuda berbaju dari kulit harimau yang tak
lain Bayu alias Pendekar Pulau Neraka itu me-
mandang ke sekeliling. Bayu melihat banyak di
antara pengunjung kedai adalah tokoh persilatan.
Sementara, sisanya adalah para pedagang yang
kebetulan lewat, atau hendak menjual barang da-
gangannya.
Pendekar Pulau Neraka baru saja selesai me-
neguk araknya, ketika terdengar ringkik halus
dua ekor kuda yang berhenti tepat di depan kedai
itu. Begitu melompat turun, dua penunggang ku-
da itu melangkah ke dalam kedai. Mereka adalah
sepasang anak muda berusia sekitar dua puluh
tahun. Yang mengenakan rompi hitam adalah
pemuda berwajah kasar dengan sebuah codet di
pipi kirinya. Matanya yang menyorot tajam me-
nyapu ke sekeliling ruangan kedai. Sesekali tangannya memegang gagang golok panjang yang ter-
selip di pinggangnya.
Sementara, berjalan di sebelah pemuda itu
adalah seorang gadis berwajah cantik dengan ikat
kepala berwarna kuning. Matanya yang liar me-
nyapu pengunjung kedai disertai senyum manis-
nya yang genit. Pakaiannya berwarna biru agak
ketat, dengan bagian perutnya dibiarkan terbuka.
Sehingga, pusarnya terlihat. Sepasang pedang
pendek tampak terselip di pinggangnya. Dengan
langkah tenang serta berkesan seenaknya, gadis
itu duduk di tengah-tengah ruangan kedai.
Sementara itu, semua pengunjung kedai meli-
rik ke arah sepasang anak muda ini sambil terse-
nyum-senyum kecil menggoda. Sedangkan pemu-
da yang mendampingi gadis itu tampak semakin
galak wajahnya. Agaknya, hatinya betul-betul ti-
dak suka kalau gadis di sampingnya menjadi pu-
sat perhatian. Terlebih-lebih lagi, pandangan ma-
ta para pengunjung kedai seperti hendak mene-
lanjangi pakaian ketat gadis itu.
“Tenanglah, Danu Wiryo. Tidakkah kau melihat
kalau mereka mengagumiku...?” kata gadis cantik
ini, dengan mata sayu dan senyum genitnya yang
sangat memikat.
“Aku tidak suka pandangan mereka terhadap-
mu, Diah!” dengus pemuda yang dipanggil Danu
Wiryo kesal.
“Kenapa?” tanya gadis yang dipanggil Diah.
“Mereka seperti ingin menelanmu!”
Gadis itu terkikik kecil, seraya tetap menyapu
sekitarnya dengan matanya.
“Sebaiknya tinggalkan saja tempat ini. Aku in-
gin muntah melihat tatapan mata mereka!” den-
gus Danu Wiryo lagi.
Diah Kemuning belum menghentikan keta-
wanya. Agaknya, gadis itu menikmati betul ke-
jengkelan Danu Wiryo.
“Kau cemburu pada mereka?” ledek Diah Ke-
muning.
Danu Wiryo hanya mendengus mendengar le-
dekan gadis ini.
“Kau lihat pemuda berbaju kulit harimau itu?”
tunjuk Diah Kemuning.
Danu Wiryo menoleh sekilas, kemudian kemba-
li mendengus.
“Huh! Apa kau kira dia punya kelebihan di-
banding diriku?” kata Danu Wiryo.
“Hm.... Wajahnya tampan dan sama sekali ti-
dak peduli dengan kehadiranku. Aku suka sekali
padanya,” sahut Diah Kemuning seraya terse-
nyum genit.
“Cukup Diah! Jangan coba-coba membakar
amarahku!” sentak Danu Wiryo, tiba-tiba.
“Hm, kau marah rupanya?” tanya gadis itu
mengejek.
“Apa perlu kuhajar pemuda itu, agar kau men-
getahuinya?” tantang Danu Wiryo.
Gadis itu tidak menyahut, tapi malah terse-
nyum kecil. Dan bagi Danu Wiryo, agaknya se-
nyum itu ditafsirkan untuk memanasi hatinya
yang memang sudah kesal. Dia bermaksud akan
menghajar pemuda itu untuk membuktikan kata-
katanya di depan Diah Kemuning. Tapi belum ju-
ga dilakukannya, dua orang laki-laki yang mas-
ing-masing bertubuh gemuk dan bercambang
bauk tebal mendekati mereka sambil menyeringai
lebar.
“Kutu Kupret! Minggir kau!” hardik salah seo-
rang yang di pinggangnya terselip sebuah golok.
Bukan main geramnya Danu Wiryo, ketika
orang itu mengibaskan tangannya. Seketika di-
tangkapnya tangan orang itu, dan hendak diban-
tingnya ke meja. Namun belum lagi hal itu dila-
kukan, lutut kiri orang itu telah menghajar pe-
rutnya.
Bukkk!
“Uhhh...!”
Danu Wiryo terjajar ke belakang dengan tubuh
terlipat ke depan. Namun secepat kilat pemuda
itu menjaga keseimbangannya. Langsung dike-
rahkannya hawa murni untuk menghilangkan ra-
sa mual pada perutnya.
“Keparat! Kubunuh kau, babi gemuk!” geram
pemuda itu seraya mencabut golok. Langsung
diserang orang bertubuh besar yang menghan-
tamnya lagi.
Namun sebelum laki-laki gemuk itu mencabut
senjatanya, kawannya yang bercambang bauk
langsung mencabut clurit panjang di pinggang.
Cepat ditangkisnya golok pemuda itu.
Trang!
Benturan dua buah senjata terjadi. Danu Wiryo
kontan terjajar beberapa langkah. Dan belum lagi
dia bersiap, senjata clurit laki-laki bercambang
bauk bergerak cepat ke arahnya. Untung saja
pemuda itu cepat menunduk dan melompat ke
meja, sehingga luput dari sasaran. Kemudian di-
balasnya serangan itu dengan satu tendangan ke-
ras.
“Hiiih!”
“Ust!”
Laki-laki bercambang bauk itu memiringkan
tubuhnya menghindari tendangan Danu Wiryo.
Dan seketika senjatanya disambarkan ke arah
pemuda itu.
“Hup!”
Danu Wiryo cepat melompat ke belakang untuk
menghindari tebasan senjata lawan.
Brakkk!
Meja yang tadi dipijak terbelah dua tak kuat
menanggung beban tenaga dalam Danu Wiryo.
Sementara Diah Kemuning yang sudah duduk di
kursi dekat meja itu pun melompat menghindar-
kan diri dari serangan laki-laki gemuk yang tiba-
tiba juga meluncur ke arahnya.
“Hi hi hi...! Kenapa harus berkelahi di sini?
Ayo! Keluarlah dan bertarung di tempat yang le-
bih luas. Siapa di antara kita yang paling hebat,
tentu akan mendapat hadiah menarik dariku!”
***
“Diah, tutup mulutmu!” hardik Danu Wiryo ge-
ram mendengar ocehan gadis itu.
“Hei? Kenapa kau marah? Apa dikira aku mi-
likmu? Aku bebas pergi dengan siapa saja. Dan
kalau perlu, tidur bersama mereka yang memiliki
kepandaian hebat!” sahut Diah Kemuning seraya
tersenyum genit bernada mengejek.
“Setaaan! Kalau begitu, kau saja yang mampus
lebih dulu!” geram Danu Wiryo.
Seketika dia melompat ke arah Diah sambil
mengayunkan goloknya. Namun belum lagi mam-
pu menyentuh gadis itu, kedua orang bertubuh
gemuk dan bercambang bauk telah bergerak ce-
pat seraya memapak senjata Danu Wiryo.
Trang!
Terdengar benturan dua senjata yang cukup
keras. Bahkan masing-masing sampai terjajar be-
berapa langkah.
“Kau dengar katanya? Dia bukan milikmu! Ka-
rena setelah kau mampus, dia akan menjadi milik
kami!” dengus laki-laki bertubuh gemuk yang
bersenjatakan golok.
“Keparat! Huh! Kalian akan mampus di tan-
ganku!” dengus Danu Wiryo membentak geram.
Dan dengan kemarahan meluap-luap, dia lang-
sung menyerang.
Dengan mengerahkan segenap kemampuan
yang dimiliki, dia mencoba menyerang kedua la-
wannya yang juga sangat bernafsu menghabi-
sinya.
Begitu mendapat kesempatan Danu Wiryo ce-
pat melesat keluar. Tentu saja kedua orang la-
wannya tidak membiarkan begitu saja. Mereka terus mengejar.
Sementara itu, Diah Kemuning masih meman-
dangi mereka yang melesat keluar dengan sorot
mata penuh kesinisan.
“Hei, gadis molek! Kalau pemuda yang bersa-
mamu kubunuh apakah kau sudi tidur dengan-
ku?!” kata seorang laki-laki kurus dengan kumis
tipis memanjang ke bawah bibirnya. Di pung-
gungnya tampak terselip sebatang pedang pan-
jang.
Gadis itu memandang ke arahnya. Dibalasnya
senyum laki-laki itu dengan genit.
“Hi hi hi...! Kau boleh maju pada giliran beri-
kutnya...,” kata Diah Kemuning, enteng.
“Hei? Apa aku pun bisa tidur denganmu kalau
mereka kubuat mampus?” timpal seorang laki-
laki tua berkulit hitam dan berambut putih, den-
gan suara serak. Tampang orang tua itu kasar,
sehingga membuat ngeri orang-orang yang me-
mandang ke arahnya.
“Semua mendapat kesempatan yang sama, asal
bersedia tunggu giliran...,” sahut Diah Kemuning
sambil mengumbar senyum genitnya.
Beberapa lelaki yang berada di kedai itu men-
gajukan tawaran yang sama, dan diladeni dengan
baik oleh gadis itu. Hidung mereka jadi kembang
kempis dan mata mereka langsung jelalatan me-
nikmati tubuh gadis itu. Mereka membayangkan
keindahan tersendiri dalam benak, sehingga
membuat air liur meleleh.
Sementara itu, Bayu sama sekali tidak bergeming. Bahkan tidak peduli ketika sebagian besar
tokoh persilatan yang berada di dalam kedai ini
berbondong-bondong keluar untuk menunggu gi-
liran menghajar salah seorang yang keluar seba-
gai pemenang, dari pertarungan antara Danu
Wiryo dan kedua lawannya.
“Kaaakh...!”
Tiren berteriak pelan seraya menunjuk keluar.
Kedua kakinya melompat-lompat dengan kedua
tangan menepuk-nepuk. Lalu, mulutnya menye-
ringai lebar seperti mengejek pemuda itu. Se-
dangkan Bayu tersenyum tipis, melihat kelakuan
binatang peliharaannya.
“Hm.... Kau pun mengerti apa yang dipersoal-
kan? Dasar monyet genit!” rungut Bayu.
“Nguk! Nguk...! Keeeh...!”
Tiren kembali melompat-lompat, seraya me-
nunjuk-nunjuk keluar. Lalu mulutnya menyerin-
gai lebar.
“Apa? Kau ingin agar aku ikut dalam pertarun-
gan itu? Brengsek! Kau kira aku suka mempere-
butkan pepesan kosong!” ujar Bayu sinis.
Tiren melonjak-lonjak kegirangan ketika isya-
ratnya dimengerti pemuda itu. Tubuhnya bergu-
lingan di meja makan sambil memegang perutnya
serta mencerecet beberapa kali seperti kegiran-
gan.
“Brengsek!” Bayu menggerutu kecil, kemudian
berdiri meninggalkan mejanya. Dan Tiren pun
melompat, lalu hinggap di pundak kanannya.
Monyet kecil berbulu hitam itu mengira Bayu
akan mengikuti apa yang diinginkannya. Namun
apa yang diduga ternyata melesat. Bayu malah
membayar makanan yang disantapnya pada pe-
milik kedai, kemudian berlalu dengan tenang me-
ninggalkan kedai.
“Kaaakh...!”
Tiren kembali berteriak kesal, melihat Bayu
sama sekali tidak mempedulikan keramaian di
sekitarnya. Padahal, banyak penduduk desa dan
orang-orang yang kebetulan lewat, berkerumun
menonton pertarungan di depan kedai.
Dan ternyata teriakan Tiren mengundang per-
hatian Diah Kemuning yang tengah diperebutkan.
Dengan langkah gemulai dan senyum genit, di-
hampiri dan dihadangnya Pendekar Pulau Nera-
ka.
“Siapa namamu? Apakah kau tidak ingin
memperebutkan diriku?” tanya Diah Kemuning,
lembut.
Bayu tersenyum kecil.
“Apakah kau seorang ratu yang amat berkuasa,
sehingga aku perlu susah payah mempere-
butkanmu? Maaf, masih banyak keperluan pent-
ing ketimbang memperebutkanmu!” dengus Bayu
keras sambil menuding gadis itu. Lalu, Bayu ber-
gerak hendak melangkah.
“Jangan buru-buru pergi, Kakang...,” cegah Di-
ah Kemuning seraya mencekal pergelangan tan-
gan Bayu. Tubuhnya cepat mendekap, dan sebe-
lah tangannya mengusap pipi pemuda itu sambil
tersenyum genit menggoda.
“Jangan coba-coba menghalangi langkahku...!”
dengus Bayu seraya menepis tangan dan mendo-
rong tubuh gadis itu agar menjauh.
Dengan langkah gusar, Pendekar Pulau Neraka
buru-buru melangkah. Namun gadis itu dengan
sigap kembali mencekal pergelangan tangannya.
“Tahukah kau, aku lebih menyukaimu ketim-
bang mereka? Ajaklah aku pergi bersamamu....”
“Jangan coba-coba merayu, Nisanak! Pergilah
bersama mereka!” sentak Bayu kembali menepis
lengan Diah Kemuning.
Pemuda itu baru saja hendak melangkah. Na-
mun tiba-tiba seseorang menghadang langkah-
nya. Orang itu langsung memandang tajam Bayu,
kemudian melirik ke arah Diah Kemuning.
“Bila kuhajar pemuda ini sampai mampus,
apakah juga berarti kau milikku?” tanya orang
yang menghadang Bayu seraya menyeringai lebar.
“Cobalah kalau kau mampu. Aku akan meme-
nuhi janjiku...,” sahut Diah Kemuning tenang.
“He he he...! Kau dengar katanya, bocah? Dia
akan menjadi milikku dengan bayaran nyawamu.
Nah! Pertahankanlah selembar nyawamu!” dengus
laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun, ber-
baju putih.
Sring!
Laki-laki setengah baya itu sudah langsung
mencabut pedangnya.
“Kisanak! Minggirlah kau! Aku tidak ingin ber-
tarung denganmu untuk memperebutkan seorang
perempuan rendah. Kau boleh mengambilnya, sesukamu. Dan kau tak perlu curiga kalau aku
akan merebutnya. Dia hanya pepesan kosong be-
laka!” ujar Bayu sinis.
“Huh! Suka atau tidak, kau adalah taruhan
bagiku untuk mendapatkannya. Nah, jaga dirimu
baik-baik. Lihat serangan!” dengus laki-laki itu,
langsung membabatkan pedangnya ke arah Bayu
dari atas kepala hingga ke kaki.
“Uts!”
“Setan!” maki Pendekar Pulau Neraka geram
seraya bergerak ke samping. Sehingga, senjata la-
ki-laki itu hanya menyambar angin.
Sementara itu, Tiren buru-buru melompat dari
pundak Pendekar Pulau Neraka dan hinggap di
atas atap kedai yang paling rendah. Itu dilakukan
ketika mulai merasakan getaran amarah di dada
pemuda berbaju kulit harimau ini.
“Kau yang menginginkannya. Dan kau pula
akan menanggung akibatnya!” desis Bayu geram,
seraya memasang kuda-kuda untuk menghadapi
serangan selanjutnya.
***
“Huh! Banyak omong! Jaga perutmu...!” geram
laki-laki bersenjata pedang itu, seraya menyam-
bar perut Pendekar Pulau Neraka dengan ujung
pedangnya.
Tubuh Pendekar Pulau Neraka cepat melenting
ke atas, menghindari sambaran ujung pedang la-
ki-laki berbaju putih itu. Dan seketika ujung kaki
kanannya melayang cepat ke arah dagu. Laki-laki
setengah baya itu terkejut, namun cepat melom-
pat ke samping. Lalu tubuhnya balas menerjang
ayunkan tendangan dengan kaki yang keras.
Pendekar Pulau Neraka cepat-cepat menyelinap
ke samping, sehingga serangan laki-laki itu men-
genai tempat kosong. Dan seketika dengan gera-
kan mengagumkan Pendekar Pulau Neraka mele-
paskan tendangan berputar ke arah dada. Begitu
cepat gerakannya sehingga....
Dukkk!
“Aaakh...!”
Laki-laki itu menjerit keras begitu tendangan
kaki kanan Bayu menghantam dadanya dari arah
samping. Tubuhnya langsung terjungkal sambil
mendekap dadanya yang terasa sakit bukan
main. Dengan wajah gusar, dia berusaha bangkit.
“Keparat! Kubunuh kau! Yeaaah...!”
Pedang di tangan laki-laki berbaju putih itu
berkelebat cepat menyambar tubuh Pendekar Pu-
lau Neraka seperti hendak mengiris-irisnya men-
jadi beberapa potong. Tubuh Pendekar Pulau Ne-
raka seketika berkelebat cepat, menyelinap di an-
tara sambaran senjata pedang yang mengancam
jiwanya. Lalu disertai bentakan nyaring, tangan
kanannya memapak senjata laki-laki berbaju pu-
tih itu.
Trangngng!
“Hei?!”
Orang itu kontan tersentak kaget, begitu tiba-
tiba saja pedang di tangannya seperti menghan-
tam benda keras. Bahkan senjata sampai terlepas
dari genggamannya dalam keadaan patah menjadi
dua bagian. Belum lagi disadari apa yang terjadi,
satu hantaman keras tiba-tiba mendarat di pe-
rutnya.
Begkh...!
“Aaakh...!”
Laki-Laki berbaju putih itu memekik kesakitan.
Tubuhnya langsung terjungkal beberapa langkah
di tanah disertai darah segar. Isi perutnya seperti
diaduk-aduk akibat hantaman pukulan yang
kuat. Beberapa kali dia berusaha bangkit. Na-
mun, langkahnya limbung dan kembali ambruk
disertai muntahan darah segar.
Melihat keadaan itu, beberapa tokoh persilatan
yang sejak tadi melihat pertarungan Pendekar Pu-
lau Neraka melawan laki-laki berbaju putih itu
berdecak kagum. Bahkan mereka sampai bergidik
ngeri ketika memandang ke arah Pendekar Pulau
Neraka yang mendengus tajam. Agaknya salah
seorang penonton seperti mengenali pemuda ber-
baju kulit harimau itu.
“Hei? Bukankah pemuda itu Pendekar Pulau
Neraka?!”
“Ah! Apa benar?!” sahut yang lain.
“Benar! Aku pernah melihatnya beberapa kali!”
“He?!” tambah yang lain dengan wajah takjub.
“Hm.... Kabar tentang kehebatannya ternyata
bukan sekadar kabar burung. Ki Somad Paksi
adalah tokoh hebat. Namun dalam beberapa ge-
brakan saja, sudah tersungkur olehnya!” seru
orang lain sambil berdecak kagum.
Dalam keadaan begitu, mendadak terdengar je-
ritan panjang. Semua mata langsung mengalih-
kan perhatian ke arah datangnya suara. Mereka
melihat tubuh Danu Wiryo terkapar di tanah da-
lam keadaan terluka parah terkena senjata kedua
lawannya. Darah bercampur debu tampak mem-
balur sekujur tubuhnya yang menggelepar-
gelepar tanpa daya. Beberapa saat kemudian, tu-
buhnya diam tidak berkutik. Sementara kedua
orang lawannya bertolak pinggang, dengan wajah
pongah memperhatikan orang-orang di sekeliling-
nya.
“Siapa lagi yang akan menantang Sepasang
Naga Bertaring?!” tanya laki-laki bertubuh gemuk
yang bersenjatakan golok.
Tak lama tampak seorang maju ke muka.
Usianya sekitar tiga puluh tahun. Tubuhnya ku-
rus, dengan rambut panjang digelung ke bela-
kang. Tangan kanannya menggenggam sebatang
pedang yang warangkanya berukir indah. Laki-
laki itu tersenyum sinis, seperti mengejek kedua
orang berperut gendut yang berjuluk Sepasang
Naga Bertaring.
“Hei, Sepasang Naga Bertaring yang kini telah
ompong! Apakah kalian akan memperebutkan
pepesan kosong?!” tegur laki-laki kurus itu lan-
tang.
Sepasang Naga Bertaring langsung menatap ta-
jam seraya mendengus geram.
“Hm, Sanjung Tulang keparat! Apa maksud ka-
ta-katamu?!” hardik yang bertubuh gendut.
“Gadis itu telah pergi dengan seseorang...,” ka-
ta laki-laki kurus yang dipanggil Sanjung Tulang.
“Apa?!”
Sepasang Naga Bertaring kontan terkejut dan
memandang ke sekeliling tempat itu. Namun me-
reka tidak menemukan gadis yang bertubuh
menggiurkan tadi.
“Keparat!” dengus Sepasang Naga Bertaring,
hampir berbarengan.
Sementara Ki Sanjung Tulang terkekeh.
“Ha ha ha...! Dasar naga bodoh! Kalian kira bi-
sa dapatkan gadis molek itu? Dia telah pergi ber-
sama seseorang yang agaknya digila-gilainya....”
“Kurang ajar! Siapa orang yang digila-gilanya
itu?” sentak laki-laki gendut yang bersenjatakan
golok dengan nada geram.
“Siapa lagi kalau bukan Pendekar Pulau Nera-
ka....”
“Setan! Awas dia! Akan kuremukkan tulang-
tulangnya!” dengus laki-laki bercambang bauk
yang bersenjata clurit, seraya memandang ke
arah kawannya.
“Mari, Ruksa! Kita kejar mereka!”
“Benar, Rekso! Akan kuremukkan tubuh pe-
muda keparat itu. Dan, akan kukerjai perempuan
sial itu sampai mampus!” dengus laki-laki bersen-
jata golok yang bernama Ruksa.
Sepasang Naga Bertaring segera melesat dari
tempat itu dengan mengerahkan ilmu meringan-
kan tubuh. Sementara Ki Sanjung Tulang me-
mandang mereka sambil tersenyum tipis, kemudian ikut berkelebat membayangi dengan gerakan
ringan.
Orang-orang yang masih berkerumunan di
tempat itu berdecak kagum melihat cara tokoh-
tokoh persilatan itu bergerak. Dalam sekejapan
mata saja, mereka telah jauh meninggalkan tem-
pat itu, kemudian hilang dari jarak pandang. Me-
reka masih berkerumun beberapa saat lamanya,
sebelum kemudian bubar satu persatu.
***
TIGA
Bayu terus melesat cepat, jauh meninggalkan
kedai sementara Tiren mengamit lehernya erat-
erat ketika Bayu mengerahkan ilmu lari cepatnya.
Pendekar Pulau Neraka memang menggunakan
kesempatan itu pergi dari kedai, ketika orang-
orang berpaling darinya untuk mengalihkan per-
hatian pada suara jeritan. Tak heran kalau dia
kini telah melesat jauh meninggalkan kedai. Apa-
lagi, ilmu meringankan tubuhnya telah begitu
tinggi.
Sementara itu gadis berwajah cantik yang ber-
nama Diah Kemuning ternyata tidak begitu mu-
dah terpedaya. Sejak tadi, matanya tidak lepas
mengawasi Pendekar Pulau Neraka. Maka begitu
Bayu berlalu, langsung disusulnya. Dan ternyata
ilmu larinya cukup lumayan untuk mengimbangi
Pendekar Pulau Neraka.
Semula Bayu tidak begitu memperhatikan, dan
terus saja berlari sampai jauh dari desa itu. Keti-
ka dirasakannya sudah cukup jauh, larinya di-
hentikan. Kini, kakinya melangkah tenang sambil
mengatur jalan napasnya.
“Nguk! Nguk...!”
Tiren membuka matanya. Kemudian mulutnya
dibuka lebar-lebar seraya merentangkan tangan-
nya.
Dan matanya langsung menatap ke sekeliling.
Kemudian binatang itu berteriak-teriak kecil
kembali.
“Puih! Hampir saja aku terjebak dalam urusan
yang tidak berguna...,” dengus Bayu sambil ber-
napas lega.
“Hi hi hi...! Pendekar gagah perkasa, kenapa la-
ri dari urusan?”
Mendadak terdengar satu suara, membuat
Bayu seketika berpaling. Kini tampaklah sosok
tubuh ramping melayang turun dari satu cabang
pohon yang tidak jauh di sampingnya. Pemuda itu
mendesah kesal, begitu mengetahui siapa yang
muncul. Dia tak lain wanita genit yang tadi bera-
da di kedai. Karena, justru dialah pangkal persoa-
lan sesungguhnya!
“Apa maksudmu mengikutiku ke sini?!” tanya
Bayu ketus.
“Apakah tidak boleh?”
“Kembalilah kau ke sana! Mungkin mereka te-
lah menyelesaikan urusannya untuk menda-
patkanmu!”
“Huh! Siapa yang peduli dengan keledai-keledai
dungu itu!”
“Lalu, untuk apa kau mengikutiku?”
Gadis bernama Diah Kemuning itu melangkah
gemulai, mendekati Bayu seraya tersenyum genit.
“Tidak bisakah kau bicara sedikit lembut...?
Sayang sekali jika orang setampanmu ini mem-
punyai sifat kasar...,” kata Diah Kemuning, agak
manja.
“Bukan urusanmu! Pergilah kau. Kita tidak
punya urusan apa-apa!” dengus Bayu kesal se-
raya berbalik, membelakangi gadis itu. Lalu ka-
kinya melangkah terburu-buru.
Namun baru saja melangkah tiga tindak, men-
dadak tubuh gadis itu telah melayang ringan dan
mendarat tepat dekat di hadapan Bayu. Dengan
senyum genit, diusapnya pipi kiri pemuda itu dis-
ertai tatapan mata yang sayu.
“Kudengar kau Pendekar Pulau Neraka. Pende-
kar nomor wahid yang memiliki kepandaian ting-
gi. Tidakkah kau tertarik padaku? Akan kuberi-
kan apa saja yang kumiliki untukmu asal kau
sudi menolongku...,” Diah Kemuning.
“Kau tidak perlu berkata begitu! Jangankan
menolongmu, untuk mencampuri urusanmu saja
aku muak!” sentak Bayu seraya menepis tangan
gadis itu.
“Jangan terburu-buru, Pendekar Pulau Neraka.
Tidakkah kau ingin mendengar ceritaku lebih du-
lu?” tanya Diah Kemuning. Kali ini sikapnya terli-
hat lebih wajar. Bahkan cenderung bersungguh
sungguh.
Bayu mendengus kesal. Meski melihat kesung-
guhan dalam tatapannya, tapi Pendekar Pulau
Neraka tetap masih belum yakin kalau gadis itu
tidak akan menipu.
“Apa untungnya aku mendengar ceritamu?”
tanya Bayu, sinis.
“Kurasa tidak ada. Tapi ini bukan sekadar me-
nyangkut diriku, melainkan orang banyak....”
“Tidak usah berbelit-belit. Katakan, apa yang
kau ingin ceritakan! Lalu, pergilah dari sini sece-
patnya!” sahut Bayu, tegas.
“Betulkah kau ingin mendengar ceritaku?!”
tanya Diah Kemuning menegaskan.
“Jangan bertele-tele! Cepat katakan...!”
“Baiklah. Tapi, sebelumnya aku akan memper-
kenalkan namaku.... Diah Kemuning....”
Bayu melotot garang.
“Aku tidak tanya namamu! Lekas ceritakan!
Atau, aku akan pergi dari sini?!” potong Pendekar
Pulau Neraka kesal.
“Baiklah. Pernah mendengar orang yang berju-
luk Iblis Cebol...?”
“Siapa orang itu?” tanya Bayu dengan berkerut
dahi heran.
“Hm.... Sungguh kau tidak pernah mendengar
berita yang menggemparkan ini? Banyak sudah
tokoh persilatan yang tewas di tangan manusia
cebol itu. Bahkan lebih dari sepuluh perguruan
silat ternama hancur di tangannya...!” tutur Diah
Kemuning.
Bayu mengangguk-angguk. “Hm, ya. Aku den-
gar soal itu. Jadi, Iblis Cebol pelakunya? Lalu,
apa hubungannya denganmu?”
“Aku menginginkan kepala orang itu!” sahut
Diah Kemuning.
Bayu tersentak kaget, kemudian tersenyum
sendiri seperti tidak percaya pada pendengaran-
nya. Dipandanginya gadis itu dengan seksama, la-
lu kembali tersenyum.
“Itukah urusan yang kau katakan menyangkut
kepentingan orang banyak?” tanya Bayu.
“Itu pertolonganmu padaku. Sedangkan bagi
orang banyak, adalah kematiannya” sahut gadis
itu bersungguh-sungguh.
“Kenapa tidak kau sendiri saja yang melaku-
kannya?”
“Kalau aku mampu, tidak perlu minta perto-
longanmu. “
“Kau takut mati? Lalu, mengapa begitu den-
dam padanya?”
“Ya! Aku memang takut mati, sebab belum
sempat membalas dendam pada manusia keparat
itu!” dengus Diah Kemuning dengan bola mata
berbinar tajam.
Bayu lalu melangkah tenang meninggalkan ga-
dis itu.
“Maaf. Aku tidak bisa membantumu. Kau boleh
cari orang lain saja....”
“Pendekar Pulau Neraka! Apakah kau takut un-
tuk menghadapi manusia cebol itu?!” teriak Diah
Kemuning kesal dengan nada mengejek.
Bayu tersenyum. Dan tanpa berpaling, kakinya
terus melanjutkan langkahnya.
“Ya! Aku takut berhadapan dengannya. Karena
kusadari, hal itu tidak ada gunanya,” sahut Bayu
tenang.
“Kalau begitu, aku akan memaksamu...!” desis
Diah Kemuning seraya mencabut pedang. Lang-
sung diserang Pendekar Pulau Neraka dari bela-
kang.
“Yeaaaah...!”
***
“Hup! Uts...!”
Bayu mengelak ke samping, ketika merasakan
angin sambaran senjata Diah Kemuning. Namun
kedua ujung pedang gadis itu terus menyambar-
nya silih berganti. Serangannya amat teratur dan
saling menyusul dalam waktu cepat.
“Gadis sial! Kau kira bisa membujukku dengan
cara begini?!” dengus Bayu kesal.
“Siapa yang akan membujukmu? Aku bahkan
akan memenggal kepalamu!” sahut gadis itu ga-
rang.
“Edaaan...!”
Bayu kembali memaki ketika pedang gadis itu
nyaris menyambar tenggorokannya. Tubuhnya
melompat ke belakang, sambil jungkir balik. Na-
mun, Diah Kemuning kembali melakukan seran-
gan kilat
“Yeaaah...!”
Pemuda berbaju kulit harimau itu berkali-kali
memaki kesal. Bayu merasa, tidak ada gunanya
meladeni gadis ini. Maka Pendekar Pulau Neraka
langsung balas menyerang, setelah menghindari
dua tebasan senjata yang terarah pada leher dan
jantungnya. Tubuhnya melejit ke samping, dan
langsung melakukan sodokan keras lewat kepalan
tangan kirinya ke dada kiri gadis itu.
“Hiiih...!”
“Brengsek! Dasar lelaki cabul!” umpat Diah
Kemuning sambil menggeser tubuh ke kiri.
Namun serangan selanjutnya kembali datang.
Satu tendangan keras yang dilakukan pemuda itu
meluncur ke arahnya. Terpaksa dia melompat ke
belakang untuk menghindarinya.
Namun angin serangan Pendekar Pulau Neraka
yang kuat, cukup membuat tubuh gadis itu ber-
getar, dan kuda-kudanya menjadi limbung. Diah
Kemuning betul-betul tercekat kaget dan jan-
tungnya berdetak lebih kencang. Tidak disang-
kanya kalau Pendekar Pulau Neraka memiliki te-
naga dalam yang demikian hebat.
“Brengsek! Dasar edan! Kau hendak membu-
nuhku, he?!” maki gadis itu kesal. “Heh?! Ke ma-
na perginya dia?”
Diah Kemuning jadi celingukan sendiri dengan
hati bertambah kesal saja. Ternyata tahu-tahu
Pendekar Pulau Neraka telah hilang dari pandan-
gan. Matanya langsung mencari-cari ke sekitar
tempat itu, namun Pendekar Pulau Neraka betul-
betul tidak terlihat lagi batang hidungnya.
“Pendekar Pulau Neraka! Ke mana pun kau
pergi, akan kukejar...!” teriak gadis itu kesal se-
raya berlari cepat ke satu arah.
Ketika Diah Kemuning telah berlalu jauh, tiba-
tiba sesosok tubuh meluruk turun dari cabang
atas sebuah pohon yang tidak begitu jauh. Pen-
dekar Pulau Neraka tersenyum sambil mengge-
leng lemah.
“Dasar gadis binal! Hanya menyusahkan sa-
ja...!”
“Nguk! Nguk...!”
Tiren melompat-lompat sambil mencerecet ri-
but Agaknya monyet kecil itu kurang setuju den-
gan tindakan Bayu.
“Kita tidak boleh mempercayai orang seperti
tadi, Tiren. Dia banyak akalnya. Dan siapa tahu,
apa yang dikatakannya itu tipu muslihat...,” jelas
Bayu seperti mengerti bahasa monyet.
“Kaaakh!” Tiren menjerit keras seperti hendak
membantah ucapan Pendekar Pulau Neraka.
Bayu hanya tersenyum kecil. Dan baru saja
kakinya melangkah dua tindak....
“Pendekar Pulau Neraka! Berhenti kau...!”
Tiba-tiba terdengar bentakan keras. Dan tahu-
tahu dua sosok tubuh besar telah menghadang
Pendekar Pulau Neraka. Bayu tercekat, dan ter-
paksa menghentikan langkahnya. Dipandanginya
mereka satu persatu, kemudian tersenyum kecil.
Kedua orang bertubuh besar itu tak lain dari Se-
pasang Naga Bertaring, yang tadi bertarung di de-
pan kedai.
“Huh! Bocah seperti ini mau bertingkah di de
pan Sepasang Naga Bertaring!” dengus orang yang
bersenjata golok, dan bernama Ruksa dengan wa-
jah sinis.
“Apa yang kalian inginkan dariku?” tanya Bayu
tenang.
“Serahkan gadis itu pada kami!” sentak orang
yang bersenjata clurit, yang bernama Rekso.
“Dia telah pergi....”
“Huh! Kau kira kami percaya begitu saja?” den-
gus Ruksa.
“Aku tidak menyuruh kalian untuk percaya.
Tapi kalau kalian tidak ingin kehilangan dia, su-
sullah ke arah sana!” tunjuk Bayu ke arah Diah
Kemuning tadi berlalu.
“Kau apakan dia?!” tanya Rekso, geram.
Bayu memandang orang bersenjata clurit itu
dengan wajah tidak senang, karena sangat me-
mandang remeh padanya. Demikian pula kawan-
nya. Dan hal itu membuatnya semakin tidak me-
nyukai mereka.
“Kau pikir aku sudi melepaskan begitu saja?
Dia telah menawarkan dirinya. Dan, mana mung-
kin kusia-siakan begitu saja...,” sahut Bayu see-
naknya memanasi.
“Kurang ajar!” maki Ruksa, langsung mencabut
goloknya.
“Sudah, Ruksa! Kita hajar saja bocah tak tahu
diri ini!” ujar Rekso.
“Huh! Tanganku memang sudah gatal, Rekso!”
desis Ruksa.
Laki-laki itu segera melompat menyerang Pendekar Pulau Neraka. Dan tindakannya diikuti
Rekso. Tampaknya, mereka begitu bernafsu
menghabisi Pendekar Pulau Neraka dalam waktu
singkat Sehingga tidak heran bila mereka lang-
sung mengerahkan kemampuan pada tingkat ter-
tinggi.
Srakkk!
“Yeaaah...!”
“Kaaakh...!”
Begitu melihat kedua orang itu menyerang, Ti-
ren segera melompat dari pundak Pendekar Pulau
Neraka dan hinggap di cabang sebuah pohon yang
tidak begitu jauh dari tempat ini. Sedangkan
Bayu mendengus dingin. Dan tubuhnya segera
meliuk ke samping kiri dan kanan sambil mem-
bungkuk menghindari tebasan senjata Sepasang
Naga Bertaring.
“Hup, Uts...!”
“Hiyaaa...!”
Begitu terlepas dari serangan, Pendekar Pulau
Neraka balas menyerang. Ujung kaki kanannya
cepat menyodok ke dada Ruksa. Lalu, tubuhnya
berputar seraya menghantamkan kepalan tangan
ke muka Rekso.
“Uts...!”
“Uh...!”
***
Sepasang Naga Bertaring tersentak kaget, me-
lihat serangan Pendekar Pulau Neraka yang da-
tangnya cepat luar biasa. Belum lagi angin serangan pemuda itu yang kuat bukan main. Tubuh
mereka bergerak berputar, untuk menghindari.
Lalu mereka kembali balas menyerang dengan ge-
ram.
Wukkk! Bettt!
Bayu melompat ke atas, lalu berputaran bebe-
rapa kali di udara. Sehingga, serangan Sepasang
Naga Bertaring lewat di bawah tubuhnya. Begitu
meluruk turun, kedua kaki Pendekar Pulau Nera-
ka melepaskan hantaman ke muka lawan-
lawannya. Rekso dan Ruksa tersentak kaget Na-
mun mereka masih sempat menangkis dengan
tangan kiri.
Plak! Plak!
“Uh...!”
Kedua orang itu mengeluh kesakitan ketika
tangan mereka menangkis tendangan Pendekar
Pulau Neraka.
“Yeaaa...!”
Begitu mendarat di tanah. Bayu kembali me-
mutar tubuhnya. Sebelah kakinya cepat diangkat,
ketika tebasan clurit Rekso meluncur datang. Se-
dangkan kepalanya cepat menunduk, menghinda-
ri tebasan golok Ruksa. Dan begitu tertebas, Pen-
dekar Pulau Neraka cepat mengibaskan tangan-
nya ke arah dada Rekso.
“Uts!”
Rekso terkejut bukan main mendapat serangan
mendadak ini. Maka cepat dia melompat ke bela-
kang. Namun, Pendekar Pulau Neraka terus men-
gejar dengan gerakan tangan yang indah, melepaskan pukulan-pukulan mautnya. Dalam bebe-
rapa jurus saja Pendekar Pulau Neraka bisa men-
gerti kalau kekuatan Sepasang Naga Bertaring be-
rada pada kerjasama dalam membangun seran-
gan. Untuk itulah Pendekar Pulau Neraka terpak-
sa memojokkan salah seorang tanpa mengurangi
kewaspadaan terhadap serangan yang seorang la-
gi.
“Hiiih!”
Dengan gemas Rekso membabatkan cluritnya.
Namun tangkas sekali Bayu menangkis dengan
Cakra Maut di pergelangan tangan kanan.
Trakkk!
“Hei?!”
Rekso terkejut bukan main, begitu habis me-
nangkis. Karena bukan tangan pemuda itu yang
putus, melainkan cluritnya yang patah. Dan ju-
stru dalam keadaan demikian, dia membuat kesa-
lahan besar. Maka kelengahan beberapa saat itu,
digunakan Pendekar Pulau Neraka dengan baik.
Langsung dilepaskannya satu sodokan keras ke
dada Rekso.
Begkh!
“Aaakh...!”
Rekso menjerit keras begitu dadanya telak se-
kali menerima hantaman Pendekar Pulau Neraka.
Tubuhnya yang besar langsung terjungkal dan te-
rus berguling-gulingan di tanah. Dari mulutnya
tampak meleleh darah kental.
“Hiyaaa...!”
Sementara itu, Ruksa membentak geram. Goloknya, cepat bergerak, menghantam batok kepala
Pendekar Pulau Neraka dengan cepat. Dan Pen-
dekar Pulau Neraka segera berkelit ke kanan. La-
lu langsung dia balas menyerang dengan ayunan
kaki kanan ke pinggang. Melihat hal ini Ruksa
cepat menangkis serangan menekuk kaki kanan-
nya.
Plak!
“Hiiih!”
Golok Ruksa kembali menyambar, begitu habis
menangkis. Namun, Pendekar Pulau Neraka telah
menyelinap ke belakang. Dan tahu-tahu, Bayu
melepaskan hantaman telak ke pinggang kiri
Ruksa.
Duk!
“Aaakh!”
Ruksa kontan menjerit keras. Tubuhnya lang-
sung terhuyung-huyung sambil memegangi ping-
gang kirinya yang terasa linu. Wajahnya kelam,
menahan amarah meluap-luap. Dan dia kembali
memasang kuda-kuda. Lalu langsung diserang-
nya Pendekar Pulau Neraka tanpa mempedulikan
rasa sakit yang diderita.
“Yeaaa...!”
“Uts!”
Bayu mampu berkelit dengan mudah, kemu-
dian melompat ke atas. Namun, Ruksa tangkas
sekali mengayunkan senjatanya ke arah Bayu.
Maka dengan cepat Pendekar Pulau Neraka men-
gibaskan tangan kanannya.
Singngng!
Cakra Maut di pergelangan tangan Pendekar
Pulau Neraka tiba-tiba melesat cepat, menimbul-
kan suara mendesing nyaring yang mengiringi ca-
haya putih keperakan. Ruksa tersentak kaget.
Namun, tidak ada waktu lagi baginya untuk men-
gelak. Senjata itu terus menderu ke lehernya.
Dan....
Cras!
“Hokh!”
Orang bertubuh tinggi besar itu hanya mampu
memekik tertahan begitu lehernya dihantam sen-
jata Pendekar Pulau Neraka hingga nyaris putus.
Tubuhnya terhuyung-huyung sesaat, kemudian
ambruk ke tanah. Dan darah segar mengucur de-
ras dari luka di leher Ruksa.
“Keparat! Kau membunuh saudaraku! Kubu-
nuh kau...! Kubunuh kau...!” sentak Rekso kalap.
Dengan menguatkan diri, Rekso melompat me-
nerkam Pendekar Pulau Neraka yang tengah me-
nangkap senjata Cakra Maut yang melesat kem-
bali ke pergelangan tangannya.
Namun belum lagi Rekso sampai, mendadak
sesosok tubuh ramping melesat dan langsung
memapaki. Rekso terkejut. Bahkan dia tidak
sempat mengelak ketika dua buah senjata tajam
menyambar perut dan dadanya.
Cras! Brettt!
“Aaa...!”
Terdengar jeritan keras ketika dua buah senja-
ta menyayat dalam tubuh Rekso. Isi perutnya
sampai terburai keluar dan bagian dadanya pun
robek lebar dengan darah mengucur deras. Tu-
buhnya langsung ambruk ke tanah dan mengge-
lepar-gelepar beberapa saat, sebelum nyawanya
melayang.
Pendekar Pulau Neraka mendengus pelan keti-
ka melihat siapa orang yang baru muncul, dan
langsung melenyapkan Rekso.
“Kau lagi! Dasar perempuan brengsek! Kenapa
kau kembali ke sini lagi?” kata Bayu, keras.
Orang yang baru muncul itu memang tak lain
dari Diah Kemuning. Sambil tersenyum kecil
mengejek, dihampirinya Pendekar Pulau Neraka.
“Hmmm.... Kau kira aku bisa ditipu begitu sa-
ja? Tidak mungkin kau bisa lolos begitu cepat dari
pandanganku. Makanya aku kembali lagi, karena
yakin kau pasti bersembunyi di dekat sini. Dan
ternyata, dugaanku benar....”
***
EMPAT
”Huh!”
Bayu hanya mendengus pelan, kemudian me-
lengos meninggalkan tempat itu.
“Kaaakh...!” jerit Tiren, nyaring.
Bayu kembali mendengus kesal ketika Diah
Kemuning kembali menyerang. Seketika terasa
serangkum angin yang mendesir ke arahnya.
“Uts...!”
Pendekar Pulau Neraka cepat bergerak ke
samping untuk menghindarinya.
“Aku akan membunuhmu sekarang juga!” den-
gus Diah Kemuning geram.
“Edaaan!” maki Bayu seraya melenting ke atas,
dan hinggap pada salah satu cabang pohon di de-
katnya. Namun, Diah Kemuning terus mengejar
dengan babatan pedangnya.
“Hup!”
Trasss! Pras!
Cabang pohon yang dipijak Bayu patah menja-
di tiga bagian dipapas pedang gadis itu. Untung
saja Pendekar Pulau Neraka ini telah melesat ke
cabang pohon yang lainnya. Sementara Diah Ke-
muning semakin geram saja melihat serangan-
serangannya kembali gagal. Namun pemuda itu
terus dikejarnya.
“Cukup...!” bentak Bayu, geram.
Namun Diah Kemuning tidak mempedulikan-
nya. Dia terus melesat dengan pedang terhunus.
Maka terpaksa Pendekar Pulau Neraka mengi-
baskan tangan kanannya. Sehingga saat itu juga,
cahaya putih keperakan dari Cakra Maut di per-
gelangan tangan Pendekar Pulau Neraka melesat
bagaikan kilat ke arah Diah Kemuning. Gadis itu
tercekat, namun sudah terlambat untuk meng-
hindar. Terpaksa Cakra Maut dihantamnya den-
gan pedangnya.
Trasss!
Diah Kemuning terkesiap ketika pedangnya
terbabat putus, hingga tinggal gagangnya saja.
“Fuuuh...!”
Diah Kemuning menghela napas lega, begitu
mendarat di tanah. Nyaris jantungnya berhenti
berdenyut melihat keganasan senjata Pendekar
Pulau Neraka.
“Hei?! Ke mana dia?” sentak gadis itu kesal.
Ternyata Bayu telah kembali lenyap dari tem-
pat itu. Sengaja Pendekar Pulau Neraka tadi me-
lepaskan Cakra Mautnya, untuk mengejutkan ga-
dis itu. Dan ternyata, dugaannya benar. Diah
Kemuning tersentak kaget, melihat berdesingnya
Cakra Maut ke arahnya. Lalu ketika gadis itu ter-
pana, buru-buru ditangkapnya kembali Cakra
Mautnya, dan kabur dari tempat itu setelah me-
nyambar Tiren.
Diah Kemuning baru menyadarinya belakan-
gan, ketika tidak juga kunjung bertemu pemuda
itu. Sambil mengomel berkali-kali, dirayapinya se-
luruh daerah ini. Namun sampai sekian lama,
pemuda itu tidak terlihat juga batang hidungnya.
“Sial! Dia pasti telah kabur!” dengusnya kesal.
Berpikir begitu, Diah Kemuning segera berlalu
meninggalkan tempat ini. Yang dituju adalah arah
yang diperkirakan arah kepergian Pendekar Pulau
Neraka.
***
Pantai Karang Alas terlihat angker. Gugusan
karang berbentuk bukit-bukit kecil, membentang
ke sepanjang pantai sebelah kanan. Sementara di
sebelah kirinya, terlihat rerimbunan pohon bakau
dan pohon api-api. Debur ombak yang menggulung sesekali menghantam dinding karang.
Di puncak salah satu karang yang membukit,
tampak dua sosok tubuh tengah mematung bebe-
rapa saat, seraya memandang jauh ke depan.
Laut terlihat membiru dan cakrawala membatasi
pemandangan mereka. Burung-burung camar di
pantai terbang ke sana kemari dan sesekali melin-
tas di atas kepala mereka.
“Paman, telah berapa lama kita berjalan...?”
tanya sosok bertubuh ramping berbaju serba pu-
tih. Rambutnya yang dikucir ke belakang, diikat
pita warna merah muda terbuat dari sutera halus.
Di pinggang kirinya terselip sebuah keris.
“Telah seminggu, Andini...,” sahut sosok yang
satu lagi, dan ternyata seorang laki-laki berusia
lebih dari lima puluh tahun. Dia berada di samp-
ing sosok berbaju putih yang ternyata seorang
gadis bernama Andini.
Gadis putri Ketua Perguruan Jalak Sampurno
ini memang berhasil kabur bersama laki-laki
bongkok yang tak lain Paman Sudira. Tampak
tangan kanan Paman Sudira menggenggam se-
buah tongkat yang menopang tubuhnya.
“Lalu apa yang akan kita kerjakan di tempat
ini?” tanya Andini.
“Bukankah kita akan menemui Resi Wangsa
Purbaya...?” Paman Sudira mengingatkan.
Andini menghela napas pendek.
“Sejak subuh tadi, kita berada di sini. Lalu, ka-
pan orang tua itu akan ke sini...?”
“Sabarlah, Andini....”
Keduanya membisu untuk beberapa saat Andi-
ni lalu duduk di atas sebuah tonjolan karang be-
sar seraya menyeka keringat yang mulai mengu-
cur di dahinya. Paman Sudira menghampiri dan
kembali mematung di dekatnya.
“Paman Sudira! Apakah benar orang tua yang
bernama Resi Wangsa Purbaya mempunyai sesu-
atu yang dapat diandalkan untuk mengalahkan
Iblis Cebol?” tanya Andini.
“Begitulah yang dikatakan beberapa orang. Re-
si Wangsa Purbaya memiliki sebuah pedang ber-
nama Pedang Ular Mas. Menurut apa yang ter-
dengar, pedang itulah yang mampu mengakhiri
Iblis Cebol...,” jelas laki-laki bongkok itu.
“Paman! Kalau memang demikian, tentu akan
banyak orang ke sini untuk mendapatkan pedang
itu. Sebab, banyak sekali orang yang mendendam
pada Iblis Cebol!” sahut gadis berbaju serba putih
itu dengan wajah tegang.
Paman Sudira terdiam beberapa saat, kemu-
dian memandang Andini dengan wajah gelisah.
Kemudian terlihat kepalanya mengangguk pelan.
“Itulah yang kukhawatirkan. Tapi tidak mung-
kin resi itu sudi memberikan Pedang Ular Mas
kepada orang sembarangan. Paling tidak, dia
akan memilih orang yang tepat dan bisa diper-
caya...,” desah Paman Sudira.
“Paman, aku sangat mendendam pada manusia
yang bernama Iblis Cebol. Kalau dia tidak mati di
tanganku, rasanya kehidupanku selamanya tidak
akan tenang...!” desis Andini.
Paman Sudira menghela napas panjang, ke-
mudian tersenyum kecil seperti hendak menghi-
bur gadis itu.
“Andini, kita hanya bisa berdoa semoga pedang
itu berjodoh dengan kita. Sebab, yang mengingin-
kannya bukan hanya kita saja. Lihatlah ke seke-
liling kita...?” ujar Paman Sudira.
Gadis itu melirik, kemudian memandang den-
gan wajah berkerut. Ternyata, entah dari mana
datangnya beberapa orang tokoh persilatan telah
berada di tempat itu. Dan agaknya, mereka akan
terus berdatangan. Tidak terasa, gadis itu mende-
sah pelan, kemudian memandang laki-laki di de-
katnya dengan wajah kesal.
“Mengapa mereka mesti ke sini...?” tanya Andi-
ni.
“Mereka mempunyai tujuan sama dengan kita,
Andini,” jelas Paman Sudira.
“Apa yang dipikirkan gadis itu, sesungguhnya
juga telah dipikirkan Paman Sudira sejak tadi.
Dan kekhawatirannya adalah, jika terjadi perebu-
tan untuk memiliki pedang itu di antara mereka.
“Bagaimana cara memperoleh pedang itu, Pa-
man...?” tanya Andini memecah kesunyian.
“Hm.... Kita harus menemukan resi itu lebih
dulu....”
“Tapi bagaimana caranya?” lanjut Andini.
“Entahlah.... Tapi menurut apa yang kudengar,
dia akan datang sendiri menemui kita...,” desah
laki-laki bongkok itu.
Belum lagi habis kata-kata yang diucapkan
Paman Sudira, mendadak bertiup angin kencang
di sekitar tempat itu. Laki-laki bongkok itu cepat
melindungi Andini dengan tubuhnya, untuk me-
nahan hantaman angin kencang yang menerpa.
Demikian pula tokoh-tokoh persilatan lain yang
berada di tempat itu.
Tidak beberapa lama kemudian, angin kencang
mulai reda perlahan-lahan. Dan, semua mata
memandang ke arah bukit kecil yang tidak jauh
dari tempat mereka berkumpul. Bukit kecil itu
berupa sebuah karang yang tingginya lebih ku-
rang dua tombak dengan ujung yang sedikit runc-
ing. Di situ, berdiri sesosok tubuh berpakaian
serba putih dengan rambut digelung ke atas. Wa-
jahnya bersih dan jenggotnya yang juga berwarna
putih, memanjang hingga ke dada. Tangan kirinya
menggenggam sebatang pedang yang dibungkus
warangka indah berukir seekor ular berwarna
keemasan.
“Resi Wangsa Purbaya...! “desis salah seorang
di antara mereka yang melihat orang tua itu.
Beberapa orang dari mereka tampak menjura,
seraya memberi salam hormat kepada orang tua
yang dipanggil Resi Wangsa Purbaya.
“Terimalah salam hormat kami, Kanjeng Re-
si....”
“Terima kasih....”
Orang tua itu menganggukkan kepala sambil
tersenyum kecil.
“Kanjeng Resi, kedatangan kami ke tempatmu
ini...,” kata salah seorang, namun tidak dila
jutkan. Karena, orang tua itu sudah memberi
isyarat dengan tangannya untuk memotong pem-
bicaraan.
“Aku mengerti apa yang kalian inginkan. Dan
Pedang Ular Mas di tanganku ini sesungguhnya
akan berada di tangan yang berhak, untuk kupin-
jamkan dalam membasmi keangkaramurkaan.
Tapi, anak-anakku semua. Apakah di antara ka-
lian ada yang mampu memikul tanggung jawab
begitu berat?” tanya Resi Wangsa Purbaya.
“Kanjeng Resi! Semua telah mengetahui kalau
belakangan ini seorang tokoh sesat bernama Iblis
Cebol tengah mengamuk dan membantai tokoh-
tokoh persilatan. Orang itu memiliki kepandaian
hebat dan sulit ditaklukkan. Oleh sebab itu, ke-
datangan kami ke sini untuk meminjam Pedang
Ular Mas milikmu, guna melenyapkan Iblis Cebol
itu!” sahut Paman Sudira angkat bicara.
Resi Wangsa Purbaya tersenyum arif seraya
memandang laki-laki tua bongkok itu.
“Kisanak! Kau yakin akan mampu mengalah-
kan Iblis Cebol dengan Pedang Ular Mas ini?”
“Kalau Kanjeng Resi berkenan meminjamkan-
nya, tentu saja aku akan berupaya sekuat tenaga
untuk melenyapkan Iblis Cebol dengan bantuan
pedang itu!” sahut Paman Sudira mantap.
“Setiap senjata adalah sebuah alat. Dan, bukan
benda maha keramat yang patut dipuja. Orang
yang lebih berkuasa adalah si pemakainya. Se-
bab, dia yang akan menentukan, bagaimana sen-
jata itu bekerja. Nah! Satu syaratku pada kalian
semua, barang siapa yang mampu menarik pe-
dang ini dari warangka, maka dialah yang akan
kupinjamkan Pedang Ular Mas ini. Dimulai dari
kau lebih dahulu!” kata Resi Wangsa Purbaya se-
raya menuding ke arah Paman Sudira.
Tubuh orang itu lalu melayang ringan, dan ta-
hu-tahu telah berada di hadapan Ki Sudira.
“Silakan, Kisanak!” lanjut Resi Wangsa Purbaya
seraya mengulurkan gagang pedang dengan wa-
rangka tetap dalam genggaman tangan kiri.
“Maafkan kelancanganku, Kanjeng Resi...,” sa-
hut Paman Sudira seraya memberi hormat.
Tak lama, terlihat laki-laki bongkok itu memu-
satkan perhatiannya. Seketika dikerahkannya te-
naga dalam pada telapak tangan kanan, lalu ce-
pat menangkap gagang Pedang Ular Mas. Sebe-
lumnya dia sudah berusaha menyentak gagang
pedang dengan kuat.
Tappp!
“Heup!”
***
Bukan main terkejutnya Paman Sudira ketika
pedang itu sama sekali tidak mau lepas dari wa-
rangka. Kekuatannya langsung dilipatgandakan.
Namun sampai pada puncak tenaganya, gagang
pedang itu tidak tercabut juga. Keringat mulai
bercucuran dari dahi dan sekujur tubuhnya sete-
lah beberapa saat berkutat menarik pedang. Dan
pada akhirnya, Paman Sudira kelelahan sendiri.
Napasnya megap-megap seperti hendak putus ketika mengakhiri permainan itu. Lalu, tarikannya
dilepas.
“Kau telah gagal, Kisanak...,” kata Resi Wangsa
Purbaya tersenyum kecil.
Paman Sudira melangkah lesu, ketika seorang
kembali mencoba menarik pedang itu dari wa-
rangkanya. Namun seperti Paman Sudira, orang
itu pun mengalami kegagalan.
“Gila...!” desis orang itu seraya bersungut-
sungut
Beberapa orang kembali berusaha mencoba.
Namun seperti yang lain, mereka pun gagal men-
cabut pedang itu.
“Pedang Ular Mas memang bukan senjata sem-
barangan...,” desah seorang laki-laki bertubuh
kecil, setelah gagal mencabut pedang itu dari wa-
rangka.
“Tidak heran kalau senjata itu banyak diminati
orang...,” sahut kawannya.
“Ah! Itu hanya tipu muslihat Resi Wangsa Pur-
baya agar pedang itu tidak dipinjamkannya!”
sanggah salah seorang dengan wajah licik dan
kesal. Agaknya, dia pun telah gagal mencabut pe-
dang itu.
“Apa maksudmu?” tanya kawannya yang ber-
muka lebar dengan wajah bingung.
“Iya! Seperti kita tahu, Resi Wangsa Purbaya
adalah tokoh berkepandaian hebat. Tampaknya
pedang itu sengaja ditahan dengan tenaganya.
Mana mungkin kita bisa mengalahkan tenaganya
yang hebat luar biasa itu!”
Orang yang bermuka lebar itu hanya diam
membisu. Wajahnya menyiratkan antara rasa
percaya dan tidak mendengar keterangan kawan-
nya.
Sementara, orang terakhir telah mencoba pula.
Dan seperti yang lainnya, dia pun telah gagal. Re-
si Wangsa Purbaya memandang mereka sambil
tersenyum kecil.
“Jika kalian tidak mampu mencabut pedang ini
dari warangkanya, bagaimana mungkin kalian
mampu mengalahkan Iblis Cebol? Seperti tadi te-
lah kukatakan, pedang ini hanya senjata biasa.
Dan dia tidak akan berarti, jika pemiliknya hanya
memiliki kepandaian rendah. Meski salah seorang
di antara kalian kupinjamkan untuk melawan Ib-
lis Cebol, niscaya tetap tidak akan mampu men-
galahkannya...,” jelas Resi Wangsa Purbaya.
Orang-orang yang berada di tempat itu terdiam
beberapa saat lamanya. Wajah Andini tampak le-
su. Demikian pula Paman Sudira.
“Aku tidak tahu lagi, bagaimana caranya kita
bisa mengalahkan Iblis Cebol itu, Paman...,” kata
gadis itu lesu.
“Paman telah berusaha, Andini....”
Andini mengangguk lemah.
“Aku mengerti, Paman. Tapi dendam di hatiku
ini tidak akan bisa tuntas kalau Iblis Cebol masih
berkeliaran....”
Pada saat itu mendadak melompat seorang
pemuda ke hadapan Resi Wangsa Purbaya. Kulit-
nya agak hitam. Tubuhnya yang tegap terbungkus
baju rompi coklat dari kulit rusa. Rambutnya
yang keriting diikat sehelai kain merah. Di pung-
gungnya tersandang sepasang golok panjang.
“Orang tua, aku akan mencoba mencabut pe-
dangmu...!” tantang pemuda itu dengan sikap pe-
nuh percaya diri.
“Hm, cobalah...,” desah Resi Wangsa Purbaya
tenang, seraya mengulurkan pedangnya.
“Heup!”
Pemuda itu memusatkan perhatian seraya
mengerahkan tenaga dalamnya yang disalurkan
pada kedua belah telapak tangan.
“Yeaaah...!”
Dia membentak nyaring, lalu mengulurkan
tangannya untuk memegang gagang pedang itu.
Dan pemuda itu berusaha menarik gagang pe-
dang sekuat tenaga. Wajahnya berkerut ketika
berkutat dengan Resi Wangsa Purbaya yang ten-
gah memegang warangka Pedang Ular Mas den-
gan sikap tenang. Sama sekali tidak terlihat kalau
orang tua itu tengah mengerahkan tenaga. Wa-
jahnya polos. Bahkan tetap tersenyum kecil.
“Setan!” maki pemuda itu.
Kembali pedang itu disentaknya dengan kuat
Namun, tetap tidak juga lolos dari warangkanya.
“Hiyaaa...!”
Pemuda itu membentak nyaring. Lalu telapak
tangan kirinya dihantamkan ke arah dada Resi
Wangsa Purbaya. Semua yang melihat kejadian
itu tersentak kaget Agaknya, pemuda itu sengaja
dengan licik hendak membunuh sang Resi dalam
keadaan demikian.
“Hup!”
Namun sigap sekali Resi Wangsa Purbaya me-
mapak, serangan kedua telapak tangan mereka
beradu.
Plakkk!
Wusss!
Bahkan serangkum angin kencang yang kuat
luar biasa tahu-tahu menghantam pemuda itu
tanpa bisa dielakkan lagi. Kontan tubuh pemuda
ini terjungkal ke belakang sambil memekik kesa-
kitan.
“Aaakh...! “
Sambil mengusap darah yang menetes di sela
bibirnya, pemuda itu berusaha bangkit dengan
wajah gusar. Namun, Resi Wangsa Purbaya telah
menuding ke arahnya dengan ujung gagang pe-
dang dalam genggamannya.
“Anak Muda! Aku tidak menyuruhmu untuk
menyerangku, melainkan untuk mencabut pe-
dang ini dari warangka. Jika niatmu memang bu-
ruk, lebih baik kau tinggalkan tempat ini...,” ujar
Resi Wangsa Purbaya.
“Keparat! Bagaimanapun caranya, aku harus
mendapatkan pedang itu...,” maki pemuda itu se-
raya mencabut sepasang golok panjang di pung-
gungnya. Dan dia langsung melompat menyerang
Resi Wangsa Purbaya kembali.
“Yeaaa...!”
“Anak bandel! Kau hanya menyusahkan dirimu
saja...,” sahut Resi Wangsa Purbaya, pelan.
Seketika tangan kiri resi itu menghantam ke
depan. Dan dari telapaknya yang terbuka mende-
ru serangkum angin kencang seperti tadi, lang-
sung menghantam tubuh pemuda itu.
Debbb!
“Aaakh...!”
Untuk kedua kalinya, pemuda itu terjungkal ke
belakang. Dan kali ini keadaannya tampak parah.
Dari mulutnya menyembur darah kental berkali-
kali. Dia berusaha bangkit, namun langkahnya
terlihat limbung. Dipungutnya sepasang goloknya
yang tadi terpental, kemudian disarungkannya
kembali. Sebentar dipandanginya orang tua itu
dengan sorot mata tajam penuh kebencian.
“Orang tua! Suatu saat, aku akan datang ke
sini lagi untuk mengambil pedang itu dari tan-
ganmu. Hati-hatilah kau! Sebab, bukan tidak
mungkin aku akan mengambil nyawamu pula!”
dengus pemuda itu segera melesat pergi dari tem-
pat itu.
Resi Wangsa Purbaya menghela napas panjang,
kemudian menggeleng lemah.
“Anak muda yang malang. Dia terlalu dipenga-
ruhi nafsu angkaramurka dalam dadanya....”
Kemudian Resi Wangsa Purbaya memandang
ke arah yang lain.
“Nah! Karena tak ada seorang pun yang mam-
pu melepaskan pedang ini dari warangkanya, ma-
ka kalian tidak memenuhi syarat untuk kupin-
jamkan pedang ini. Pulanglah kalian semua...,”
ujar orang tua itu, keras.
Tanpa banyak bicara, mereka meninggalkan
tempat itu satu persatu.
“Ayo, Andini...!” ajak Paman Sudira.
“Tidak, Paman. Aku akan tetap berada di tem-
pat ini...,” sahut gadis itu sambil menggeleng le-
mah.
“Percuma, Andini. Resi itu tidak akan memin-
jamkan pedangnya untuk kita....”
Andini diam saja tidak menjawab. Sementara
Paman Sudira menghela napas panjang. Dipan-
danginya dengan perasaan iba wajah gadis yang
muram itu.
***
LIMA
Berkali-kali Paman Sudira membujuk, namun
Andini tetap keras kepala.
“Paman Sudira! Tujuan kita hanya satu. Men-
dapatkan Pedang Ular Mas untuk membalas ke-
matian ayah dan seluruh murid Perguruan Jalak
Sampurno. Kalau pedang itu tidak kuperoleh,
apalagi yang harus kita kerjakan? Lebih baik aku
mati daripada hidup tidak mampu membalas ke-
matian mereka!” sahut gadis itu lantang.
“Tapi kita tidak bisa memaksakan Resi Wangsa
Purbaya untuk meminjamkan pedangnya...,” te-
gas Paman Sudira.
“Setidaknya, pasti ada jalan lain agar dia sudi
meminjamkan pedangnya...,” sanggah Andini.
Paman Sudira kembali menghela napas sesak.
Lalu matanya merayapi ke sekeliling tempat itu.
Orang-orang yang tadi berkumpul telah menghi-
lang satu persatu. Sementara Resi Wangsa Pur-
baya tampak masih berdiri tegak di tempatnya,
sambil memandang mereka. Kemudian terlihat
bibirnya tersenyum. Perlahan-lahan kakinya me-
langkah menghampiri.
“Kisanak! Apa lagi yang kau tunggu? Pulanglah
segera...,” ujar orang tua itu lembut.
Andini mendongakkan kepala dan memandang
orang tua itu dengan seksama. Kemudian kedua
tangannya dirangkapkan memberi hormat.
“Kanjeng Resi yang mulia. Aku tidak akan
kembali ke tempatku sebelum Pedang Ular Mas
dipinjamkan padaku. Aku akan tetap berada di
tempat ini, sampai kau bersedia meminjamkan-
nya,” tegas gadis itu mantap.
“Anakku. Pedang ini tidak akan berarti apa-apa
jika pemakainya tidak berkepandaian amat tinggi
untuk menghadapi Iblis Cebol. Kau hanya akan
menemukan kebinasaan saja,” tolak orang tua
itu, halus.
“Kalau demikian, tunjukkan pada kami, ba-
gaimana caranya agar pedang itu bisa kau pin-
jamkan,” pinta Andini mendesak.
“Kau harus memiliki kepandaian hebat,” sahut
Resi Wangsa Purbaya mantap.
“Itu memerlukan waktu lama, kecuali jika Kan-
jeng Resi sudi mengangkatku menjadi murid.”
Resi Wangsa Purbaya terlihat tersenyum mendengar kata-kata Andini.
“Kenapa Kanjeng Resi tersenyum?” tanya Andi-
ni, heran.
“Anakku.... Aku mengerti, apa yang berkeca-
muk dalam hatimu. Dan bisa kurasakan, jalan
pikiranmu. Maaf aku telah bersumpah untuk ti-
dak kembali terjun dalam dunia persilatan. Ter-
masuk juga mengangkat seorang murid. Dan seo-
rang resi sudah sepatutnya menepati janji yang
telah diucapkan. Meski hatiku menangis menden-
gar perbuatan keji Iblis Cebol, tapi aku terikat
sumpah. Dan itu tidak bisa kuabaikan begitu sa-
ja,” jelas Resi Wangsa Purbaya halus. .
Andini terdiam beberapa saat. Demikian juga
Paman Sudira.
“Kanjeng Resi, pasti ada jalan lain untuk men-
galahkan Iblis Cebol. Mohon petunjukmu...,” lan-
jut gadis itu, memecahkan kebisuan.
Resi Wangsa Purbaya berpikir beberapa saat.
Kemudian dihelanya napas panjang seraya meng-
geleng lemah.
“Aku tahu betul, Iblis Cebol adalah murid seo-
rang tokoh sesat yang bernama Ki Suparji Kun-
ing. Beberapa puluh tahun lalu, guru Iblis Cebol
tewas di tangan guruku yang bernama Ki Senoaji
Purangga dengan menggunakan Pedang Ular Mas.
Selain pedang itu, tidak ada satu senjata pun di
muka bumi ini yang mampu melumpuhkan ilmu
kebal mereka. Dan rupanya Iblis Cebol mengeta-
hui hal itu. Dan dia juga tahu tentang sumpahku.
Maka sengaja dia membuat keonaran untuk memancing kemarahanku. Dan bila meladeninya,
berarti aku melanggar sumpahku. Dengan demi-
kian, aku akan mudah sekali dipermainkannya.
Keadaanku menjadi serba salah. Sebab, aku be-
rada di dua sisi yang bertolakan. Di satu sisi aku
tidak bisa diam melihat perbuatannya, namun di
sisi lain aku tidak mampu berbuat apa-apa. Dan
aku juga tahu kalau Iblis Cebol memiliki kepan-
daian hebat, sehingga tak ada seorang pun yang
bisa mengalahkannya. Karena selama gunanya
hidup pun juga tak ada seorang tokoh yang ber-
hasil mengalahkannya, selain guruku,” jelas Resi
Wangsa Purbaya panjang lebar.
Andini termanggu. Sementara Paman Sudira
mengangguk-angguk.
“Lalu bagaimana, Kanjeng Resi...? Apakah Iblis
Cebol akan dibiarkan saja berbuat sesuka ha-
tinya?” tanya Andini lagi.
“Tentu saja tidak. Aku tengah memikirkan satu
cara.”
“Cara bagaimana, Kanjeng Resi?” tanya Andini
bersemangat
“Kudengar, ada seorang tokoh muda yang bela-
kangan ini menggemparkan dunia persilatan. Ka-
lau tidak salah, julukannya adalah Pendekar Pu-
lau Neraka. Kurasa, dia mampu mengalahkan Ib-
lis Cebol bila menggunakan Pedang Ular Mas. Ca-
rilah pemuda itu, dan bawalah ke sini.”
Andini memandang Paman Sudira dengan wa-
jah heran. Selama ini, dia jarang sekali turun ke
dunia ramai. Sehingga, julukan itu agak asing di
telinganya.
“Ya! aku memang pernah mendengarnya. Dia
memang seorang tokoh yang hebat,” sahut Paman
Sudira menganggukkan kepala. Agaknya, laki-laki
bongkok itu pernah mendengar kedigdayaan Pen-
dekar Pulau Neraka.
“Tapi di mana kita harus mencarinya, Paman?”
tanya Andini bingung.
“Entahlah....”
Resi Wangsa Purbaya tersenyum kecil.
“Kalian pergilah ke arah timur. Firasatku men-
gatakan, pemuda itu berada di daerah sana. Sete-
lah bertemu, katakan kalau aku memohon perto-
longannya untuk sesuatu yang penting.”
“Baiklah, Kanjeng Resi. Kalau demikian, kami
mohon pamit dulu. Mohon doa restu dari Kanjeng
Resi,” sahut Paman Sudira menjura hormat.
“Pergilah. Aku akan selalu mendoakan kalian.”
Setelah menjura hormat, kedua orang itu sege-
ra berbalik dan berlalu dari tempat itu, diikuti
pandangan mata Resi Wangsa Purbaya. Sampai
keduanya jauh dari sudut pandangannya, baru
orangtua itu berlalu dari tempat ini dengan lang-
kah perlahan. Seketika serangkum angin kencang
menerpa dan menggulung-gulung tubuhnya. De-
bu mengepul ke udara, menghalangi pemandan-
gan. Daun-daun kering yang berada di tempat itu
beterbangan, seperti dilanda angin topan. Bebe-
rapa saat kemudian, angin kencang itu berhenti.
Dan suasana kembali seperti semula. Sunyi dan
lengang. Sedang Resi Wangsa Purbaya sudah lenyap entah ke mana.
***
Bayu melangkah perlahan ketika merasa kalau
jaraknya dengan perempuan yang selalu mengun-
titnya sudah jauh. Beberapa kali kepalanya
menggeleng kesal sambil menghela napas berat.
“Huh! Hanya menyusahkan saja...,” gerutu
Pendekar Pulau Neraka.
Sementara Tiren menyeringai lebar. Monyet ke-
cil itu menepuk-nepuk kedua tangannya di atas
kepala, seperti hendak mengejek Pendekar Pulau
Neraka. Sedangkan Bayu hanya bisa mendelikkan
matanya saja. Monyet kecil berbulu hitam itu
mengkeret seraya menundukkan kepalanya.
“Nguuuk...!”
“Kau kira aku suka terhadap perempuan seper-
ti itu, heh...?!” rutuk Bayu, tak senang.
Tiren mencerecet pelan, dan tetap menunduk-
kan kepalanya di pundak Pendekar Pulau Neraka.
Dan Bayu baru saja menghela napas panjang, ti-
ba-tiba pendengarannya yang tajam mendengar
suara yang mencurigakan. Cepat tubuhnya me-
lompat ke salah satu cabang pohon. Dan Tiren
pun mengikuti di belakangnya. Kemudian berge-
lantungan dari satu cabang ke cabang pohon
lainnya, mendatangi sumber suara. Bayu membe-
ri isyarat pada monyet kecil itu untuk tidak mem-
buat ribut.
“Nguk!”
Tiren mengangguk mengerti isyarat Bayu. Dan
pada salah satu cabang pohon yang agak tinggi,
pemuda berbaju kulit harimau itu berhenti, dan
memandang dengan seksama ke bawah. Tiren
menemani di sebelahnya.
Tampak di bawah sana terlihat dua orang ten-
gah bertarung hebat. Salah seorang bertubuh ce-
bol dengan kepala botak dan besar. Biji matanya
seperti hendak keluar dari kelopaknya. Kedua
tangannya bersisik seperti kulit ular sampai seba-
tas siku dengan kuku-kuku begitu panjang. Tan-
gan kanannya menggenggam sebatang kayu be-
rukuran cukup panjang. Sementara, lawannya
seorang laki-laki tua bertubuh besar terbungkus
baju hitam. Wajahnya penuh brewok. Dan dia
memegang senjata pedang yang melengkung ta-
jam berkilat.
“Iblis Cebol keparat! Hari ini adalah kematian-
mu. Kau tidak akan bisa lolos dari tanganku!” ge-
ram lelaki yang berbaju hitam itu geram.
“He he he...! Wedus Keling! Kau hanya ber-
mimpi bisa mengalahkan aku. Sebaliknya, kaulah
yang akan menemui ajal. Tidak ada seorang pun
yang mampu mengalahkan Iblis Cebol. Mereka
yang berhadapan denganku pasti mampus. Iblis
Cebol akan menguasai rimba persilatan!” sahut
orang bertubuh kerdil yang tak lain Iblis Cebol
dengan nada sombong.
“Setan! Ingin kulihat kesombonganmu!
Yeaaah...!”
Lelaki bertubuh gemuk dan besar yang dipang-
gil Wedus Keling itu menggeram. Dan dia langsung mengamuk hebat menyerang lawannya. De-
bu-debu di sekitar tempat pertarungan sudah
mengepul ke udara. Demikian juga daun-daun
kering di sekelilingnya, akibat tersambar angin
pukulan nyasar. Malah, cabang-cabang pohon
bergoyang diterpa angin serangan Wedus Keling
yang dahsyat luar biasa.
Namun, Iblis Cebol masih tetap terkekeh seper-
ti tidak merasa kewalahan sedikit pun. Padahal
Wedus Keling telah mengerahkan segenap ke-
mampuannya. Sesekali Iblis Cebol menangkis
senjata Wedus Keling dengan menggunakan sen-
jata toya di tangannya:
Trangngng!
“Ukh...!”
Wedus Keling mengeluh kesakitan begitu senja-
tanya beradu. Bahkan pedang di tangannya nya-
ris terlepas dari genggaman karena telapak tan-
gannya terasa perih akibat kalah tenaga dalam.
Dia menggigit bibirnya sendiri, menahan rasa
nyeri. Lalu, kembali diserangnya Iblis Cebol. Pe-
dangnya berkelebatan meliuk-liuk, menyambar
seluruh tubuh lawannya. Bahkan tiba-tiba saja
telapak tangan kirinya menghantam ke muka.
Maka dari telapak tangannya melesat cahaya me-
rah muda yang samar-samar.
“Hiiih...!”
“He he he...! Kau kira pukulan busukmu itu bi-
sa melukainya? Phuih! Kau hanya bermimpi...!”
ejek Iblis Cebol.
Iblis Cebol cepat-cepat mengayunkan toyanya
yang berada di tangan kanan, ketika diayunkan
pedang Wedus Keling menyambar deras. Sedang-
kan telapak tangan kirinya disorongkan ke muka,
menghasilkan satu lesatan cahaya berwarna ke-
kuningan yang berbau busuk memapaki pukulan
Wedus Keling.
Trang!
Jder!
“Aaakh...!”
Setelah didahului benturan senjata, terdengar
ledakan agak keras ketika pukulan jarak jauh
mereka beradu. Angin kencang langsung bersiur
dengan asap hitam membumbung tipis ke angka-
sa. Wedus Keling menjerit keras. Tubuhnya lang-
sung terjungkal ke belakang sambil memuntah-
kan darah kental kehitaman. Pedang di tangan-
nya sudah terlepas entah ke mana ketika tadi
mengadu senjata. Napasnya tersengal ketika be-
rusaha bangkit Terlihat wajahnya berubah keku-
ningan bercampur hitam. Demikian juga tubuh di
bagian dadanya.
Tapi dalam keadaan payah begitu, Wedus Kel-
ing sedikit pun tak diberi kesempatan oleh Iblis
Cebol yang tetap segar akibat benturan itu. Tu-
buh laki-laki cebol itu melesat cepat, begitu kedua
kakinya menjejak tanah. Sementara, toya di tan-
gannya menghantam ke batok kepala.
“Hiyaaa!”
“Uts...!”
Wedus Keling tergagap. Cepat-cepat dia menja-
tuhkan diri sambil bergulingan untuk menghindari serangan laki-laki cebol itu.
Tanah yang dihantam ujung toya Iblis Cebol
kontan berlubang dalam, menimbulkan suara
menggelegar keras. Dan bumi di sekitar tempat
ini jadi berguncang bagai dilanda gempa.
“Hih...!”
Tubuh Iblis Cebol berbalik cepat, begitu me-
nyadari serangannya luput dari sasaran. Ujung
kakinya, langsung menghantam perut Wedus Kel-
ing. Laki-laki itu berusaha sekuat tenaga meng-
hindari dengan berlompatan ke belakang. Namun
saat itu juga, Iblis Cebol mengayunkan toyanya.
Langsung dihantamnya batok kepala Wedus Kel-
ing tanpa bisa dihindari.
Prakkk!
“Aaakh...!”
Wedus Keling kontan menjerit tertahan begitu
batok kepalanya pecah dihantam senjata Iblis Ce-
bol. Tubuhnya kontan ambruk dengan darah
mengucur deras membasahi tanah.
“Mampus...!” dengus Iblis Cebol menggeram,
seraya meludahi tubuh yang sudah tidak berkutik
itu.
Dipandanginya sesaat tubuh Wedus Keling
yang sudah berubah menjadi mayat sambil terse-
nyum mengejek.
“Huh! Kau hanya mencari mati saja, dengan
menantang Iblis Cebol! Tidak ada seorang pun
yang bisa mengalahkan aku di jagad raya ini. Aku
akan menguasai dunia persilatan. Dan, orang-
orang harus tunduk padaku!”
Baru saja Iblis Cebol selesai berkata begitu, ke-
tika melayang sesosok bayangan kuning kecokla-
tan dari salah satu cabang pohon di dekatnya.
Dan sosok itu persis jatuh ringan di depannya.
“Hmmm.... Jadi kaukah yang berjuluk Iblis Ce-
bol itu...?”
“Siapa kau?!”
***
Iblis Cebol membentak garang ketika melihat
seorang pemuda berwajah tampan dan berambut
panjang. Bajunya terbuat dari kulit harimau. Se-
mentara, seekor monyet kecil berbulu hitam tam-
pak turun dari pundaknya. Pemuda yang tidak
lain dari Pendekar Pulau Neraka ini tersenyum
sinis.
“Iblis Cebol! Namamu belakangan ini amat san-
ter kudengar. Dan selalu ulahmu membuatku
muak. Dan aku tidak bisa berdiam diri saja meli-
hat ulahmu,” kata Bayu dingin.
“Hm.... Kalau tak salah, kau yang berjuluk
Pendekar Pulau Neraka..., bukan? Sungguh kebe-
tulan kau berkeliaran dan bertemu denganku.
Sehingga, aku tak susah payah mencarimu untuk
kujadikan budakku!” sahut Iblis Cebol. Tampak-
nya, dua sudah mengenal ciri-ciri pendekar yang
selama ini menjadi buah bibir tokoh persilatan.
“Hm.... Sungguh gegabah bicaramu. Justru
aku ke sini untuk meminta kepalamu!” dengus
Bayu geram.
“Anak ingusan! Bicaramu sungguh sombong!
Kau belum kenal Iblis Cebol, heh?! Cabutlah sen-
jata Cakra Maut-mu yang amat menghebohkan
itu.
Ingin kulihat, sampai di mana ketajamannya
bila menyentuh kulitku!”
“Baik.... Tahan serangan...!” bentak Pendekar
Pulau Neraka, nyaring.
Seketika Pendekar Pulau Neraka melompat
menyerang dengan melepaskan tendangan keras
yang cepat bukan main.
“Hih...!”
“Uts...!”
Iblis Cebol cepat menggerakkan toya di tan-
gannya, memapak tendangan itu dengan sabetan
ke arah tulang kering. Bayu cepat menarik pulang
kakinya dan menekuknya sedemikian rupa. Ke-
mudian tubuhnya berbalik cepat, seraya mele-
paskan sambaran kaki dengan berputar ke leher
Iblis Cebol. Laki-laki kerdil itu menundukkan ke-
palanya, menghindari tendangan dahsyat berte-
naga dalam tinggi. Kemudian ujung toyanya lang-
sung disodokkan ke arah dada Pendekar Pulau
Neraka.
“Yeaaah...!”
Pendekar Pulau Neraka cepat meliuk dengan
gerakan indah, menghindari sodokan senjata Iblis
Cebol. Namun toya laki-laki kerdil itu ternyata te-
rus mengejarnya, membabat pinggang. Terpaksa
Bayu segera melompat ke samping.
Begitu terbebas, kepalan tangan Pendekar Pu-
lau Neraka cepat berbalik menghantam batok kepala laki-laki kerdil itu. Namun sigap sekali Iblis
Cebol mengayunkan ujung toyanya, menyambar
tubuh Pendekar Pulau Neraka yang tengah men-
gapung di udara. Pendekar Pulau Neraka terke-
siap melihat kecepatan bergerak lawannya. Tidak
ada lagi kesempatan untuk mengelak. Dengan ge-
ram, ditangkisnya serangan itu dengan Cakra
Maut yang menempel di pergelangan tangan ka-
nan.
Trakkk!
“Hiiih...!”
Bukan main terkejutnya laki-laki cebol itu ke-
tika tangannya terasa kesemutan. Bahkan jan-
tungnya jadi berdetak lebih kencang, ketika sen-
jatanya beradu dengan Cakra Maut Dalam kea-
daan demikian, Iblis Cebol masih sempat melaku-
kan sodokan lewat kepalan tangan kiri yang berisi
tenaga dalam kuat. Dan Bayu cepat berkelit gesit,
sehingga kepalan bertenaga dahsyat itu lewat se-
dikit di pinggangnya.
Pertarungan dua tokoh persilatan tingkat tinggi
berlangsung cepat dan seru. Pendekar Pulau Ne-
raka menyadari kalau lawannya bukanlah tokoh
sembarangan. Demikian halnya Iblis Cebol. Nama
Pendekar Pulau Neraka memang telah sering di-
dengarnya. Dan ini membuatnya tidak bisa bersi-
kap ayal-ayalan. Tidak heran kalau mereka berta-
rung langsung mengerahkan segenap kemam-
puan yang dimiliki dan berusaha menjatuhkan
lawan secepatnya.
“Yeaaa...!”
Iblis Cebol menyabetkan senjata toyanya ber-
tubi-tubi, sehingga menimbulkan angin kencang
yang bersiur menyambar tubuh Pendekar Pulau
Neraka.
Bayu sedikit mengeluh mendapat desakan
dahsyat ini. Sama sekali Iblis Cebol tidak membe-
rinya kesempatan untuk balas menyerang. Senja-
ta laki-laki kerdil itu benar-benar mengurungnya
dengan ketat. Dan baru saja Pendekar Pulau Ne-
raka melompat ke belakang dengan gerakan salto
yang indah, ujung toya Iblis Cebol telah meluncur
deras membabat pinggangnya. Tidak ada kesem-
patan lagi bagi Bayu untuk mengelak. Dan satu-
satunya jalan hanyalah melepaskan senjata
mautnya.
“Hiyaaat...!”
Singngng!
Seketika Cakra Maut mendesing kencang, begi-
tu Pendekar Pulau Neraka mengebutkan tangan-
nya. Senjata berbentuk segi enam itu terus me-
nyambar ke arah senjata Iblis Cebol. Dan laki-laki
kerdil agaknya yakin betul kalau senjatanya
mampu menangkis Cakra Maut. Maka dengan ge-
ram toyanya dikibaskan ke arah senjata Pendekar
Pulau Neraka.
Trakkk!
“Hei?!”
Iblis Cebol tersentak kaget, begitu toyanya pa-
tah terkulai seperti ranting kayu yang tertekuk,
akibat beradu dengan Cakra Maut. Namun, ter-
nyata Bayu pun ikut terkejut. Senjata Cakra Maut
selama ini tidak pernah kalah melawan senjata
mana pun. Tapi nyatanya, toya Iblis Cebol hanya
patah terkulai saja. Ini membuktikan kalau toya
itu tidak bisa dianggap sembarangan.
“Yeaaa...!”
Cakra Maut kembali mendesing pulang setelah
Pendekar Pulau Neraka mengangkat tangan ka-
nannya ke atas. Namun begitu Pendekar Pulau
Neraka mengebutkannya, kembali Cakra Maut
meluruk deras ke arah Iblis Cebol yang baru saja
menyerangnya dengan ganas. Cepat-cepat Iblis
Cebol melenting, menghindari sambaran Cakra
Maut. Bahkan ketika berada di udara, tangan ki-
rinya langsung dihentakkan. Maka dari telapak
tangannya yang terbuka melesat cahaya kekunin-
gan yang diikuti serangkum angin kencang men-
gancam Pendekar Pulau Neraka.
Pendekar Pulau Neraka terkesiap, namun ce-
pat-cepat melompat ke samping menghindari ter-
jangan cahaya kekuningan. Dan baru saja Pende-
kar Pulau Neraka memperbaiki kuda-kudanya
hendak melepaskan Cakra Maut yang telah kem-
bali di tangan kanannya, kembali datang cahaya
kekuningan dari tangan Iblis Cebol. Tak ada wak-
tu lagi bagi Pendekar Pulau Neraka untuk menge-
lak. Seketika tangan kirinya dihentakkan. Maka,
dari telapak tangannya yang terbuka, melesat ca-
haya putih memapak cahaya kekuningan. Dan....
Jderrr!
***
ENAM
Terdengar benturan keras menggelegar ketika
pukulan jarak jauh satu sama lain beradu pada
satu titik. Tubuh keduanya sama-sama terjungkal
ke belakang. Bayu masih sempat bergulingan.
Dan begitu bangkit berdiri, Pendekar Pulau Nera-
ka hanya mendengus pelan. Tampak Iblis Cebol
yang juga telah bangkit, menatap tajam ke arah
Pendekar Pulau Neraka.
“Huh...! Ternyata apa yang digembar-
gemborkan orang mengenai kehebatanmu bukan
omong kosong!” dengus Iblis Cebol seraya menye-
ka darah yang menetes di sudut bibirnya akibat
benturan tenaga dalam dengan Pendekar Pulau
Neraka.
Iblis Cebol agaknya terluka dalam, sehingga
harus mengakui kalau Pendekar Pulau Neraka
bukanlah lawan sembarangan. Namun demikian,
bukan berarti Pendekar Pulau Neraka tidak men-
galami luka dalam. Dari sudut bibirnya pun me-
netes darah segar. Pemuda itu mengerutkan da-
hinya, menahan rasa nyeri di dada. Pukulan Iblis
Cebol yang tadi dipapaknya sungguh luar biasa
kuatnya.
Diam-diam pemuda itu harus mengakui kalau
Iblis Cebol ternyata tidak bisa dianggap enteng.
Tapi Bayu agaknya masih penasaran. Maka keti-
ka Iblis Cebol kembali menyerangnya, dia menco-
ba untuk menjajal Cakra Mautnya. Seketika,
Pendekar Pulau Neraka mengebutkan tangan ka-
nannya. Maka seketika Cakra Maut melesat,
mencoba menahan serangan Iblis Cebol.
Singngng!
Iblis Cebol cepat menarik pulang serangannya.
Lalu seketika lengan kirinya dikibaskan untuk
menangkis.
Trakkk!
Senjata Cakra Maut kontan terpental ke samp-
ing. Maka dengan cepat Pendekar Pulau Neraka
melompat untuk menangkapnya. Namun, agak-
nya Iblis Cebol tidak membiarkannya begitu saja.
Dengan gerakan mengagumkan, tangan kanannya
kembali menghantam Pendekar Pulau Neraka.
Pendekar Pulau Neraka bukannya tidak me-
nyadari keadaannya yang terjepit Tapi sebagai
seorang yang telah kenyang makan asam garam
rimba persilatan, tentu saja dia tidak akan ber-
tindak lengah. Secara diam-diam telapak tangan
kirinya dikembangkan. Dan begitu tubuhnya be-
rada pada keadaan yang memungkinkan, dia ce-
pat berbalik. Seketika tangannya yang terkem-
bang dihentakkan, melepaskan pukulan jarak
jauh bertenaga kuat.
“Yeaaah...!”
Cakra Maut melekat kembali di pergelangan
tangan Pendekar Pulau Neraka, angin serangan
Iblis Cebol langsung terpupus oleh pukulan jarak
jauh milik Pendekar Pulau Neraka.
Jderrr!
“Aaakh...!”
Terdengar benturan keras ketika kedua puku-
lan mereka beradu. Bumi seperti tergoncang dan
pepohonan di sekitar tempat itu bergoyang seperti
hendak roboh. Debu, daun-daun, dan ranting-
ranting beterbangan ke udara. Sedangkan tanah
di sekitar tempat pertarungan gompal, dan ter-
pental ke segala arah.
Seperti tadi, kedua tokoh tingkat tinggi itu
kembali terpental sambil mengeluh kesakitan.
Pendekar Pulau Neraka sempat bergulingan bebe-
rapa kali, sebelum kemudian duduk bersila di ta-
nah. Dari mulutnya mengalir darah kental kehi-
taman. Napasnya turun naik tidak beraturan.
Dan mukanya pucat dengan peluh bercucuran
bercampur debu.
Sementara, keadaan Iblis Cebol pun tidak lebih
baik. Manusia kerdil itu terengah-engah, namun
masih mampu bangkit walau dengan langkah
limbung. Beberapa kali dia memuntahkan darah
kental kehitaman. Dengan merangkapkan tangan
kanan ke dada, perhatiannya berusaha dipu-
satkan untuk mengatur jalan napasnya.
Untuk beberapa saat keduanya terdiam se-
hingga suasana terasa sepi. Kelopak mata, mas-
ing-masing yang tadi terkatup kini terbuka perla-
han-lahan. Iblis Cebol memandang Pendekar Pu-
lau Neraka dengan sorot mata tajam. Demikian
pula Pendekar Pulau Neraka.
“Hm.... Kau sungguh hebat, Bocah. Ilmu silat
dan tenaga dalammu telah mencapai tingkat
sempurna. Dan biadab kali ini kau kulepaskan.
Tapi lain kali, akan kita teruskan permainan ini.
Kau memang patut menjadi lawanku. Sebab, se-
lama ini tidak ada seorang pun yang mampu me-
nahan pukulanku. Nah..., selamat tinggal,” kata
Iblis Cebol.
Setelah berkata demikian, Iblis Cebol segera
meninggalkan tempat itu dengan berlari kecil.
Bayu diam saja memandanginya sampai orang itu
menghilang dari pandangannya. Kemudian, dia
menghela napas lega.
“Nguk...!”
Tiren segera melompat ke pangkuan Pendekar
Pulau Neraka dan memandangnya dengan wajah
iba. Monyet kecil itu seperti bisa merasakan, apa
yang dirasakan Bayu saat ini.
Bayu tersenyum kecil seraya mengusap-usap
sahabatnya. Disadarinya akibat dari pertarungan
tadi, telah menciptakan luka dalam yang tidak bi-
sa dibilang enteng. Dadanya terasa nyeri. Kedua
kakinya serta tangannya terasa gemetar ketika
berusaha bangkit. Pemuda itu menarik napas
panjang, kemudian menghelanya perlahan-lahan.
Namun baru saja berjalan tiga langkah, tiba-tiba
melesat sesosok tubuh kurus di depannya.
“Ha ha ha...! Pendekar Pulau Neraka! Hari ini
adalah saat kematianmu yang kutunggu-tunggu!”
“Heh...?!”
***
Bayu terkejut ketika melihat seorang laki-laki
bertubuh kurus dan berwajah dingin di depan
nya. Tampangnya sebenarnya biasa saja. Namun
guratan dan sinar matanya menandakan kalau
dia seorang yang kejam dan licik. Kedua tangan-
nya bersedakap di dada. Dan pada tangan ka-
nannya tergenggam sebatang pedang. Rambutnya
yang panjang digelung ke belakang. Pendekar Pu-
lau Neraka sama sekali belum pernah melihat
orang ini sebelumnya.
“Kisanak! Siapa kau? Dan, apa maksud perka-
taanmu tadi?” tanya Bayu datar.
“Namaku Sanjung Tulang. Dan maksud kata-
kataku sudah jelas. Dalam keadaan terluka begi-
ni, akan mudah bagiku untuk membunuhmu.
Dan orang-orang pun akan tahu kalau Pendekar
Pulau Neraka tewas di tangan Ki Sanjung Tulang.
Ha ha ha...!” sahut laki-laki kurus itu sambil ter-
tawa tergelak.
“Ki Sanjung Tulang! Di antara kita sama sekali
tidak pernah saling bermusuhan. Mengapa kau
hendak membunuhku?”
“Tidak perlu ada saling permusuhan kalau
hendak membunuhmu, Pendekar Pulau Neraka!
Sebab, tidak sedikit dari kawan-kawanku yang te-
lah kau bunuh. Itu saja sudah cukup menjadi
alasan bagiku. Lebih dari itu, membunuhmu me-
rupakan kesempatan yang telah lama kutunggu-
tunggu. Kenapa...? Kau takut? Apa sekarang kau
telah menjadi seorang pengecut? Kalau begitu,
kau boleh mencium kakiku dan bersujud memo-
hon ampun,” ejek Ki Sanjung Tulang.
Bukan main geramnya Bayu mendengar kata
kata Ki Sanjung Tulang. Bias kekejian tampak
tergurat di wajahnya.
“Keparat licik! Ternyata kau tidak hanya berani
menungguku dalam keadaan terluka saja. Tapi
jangan dikira aku takut cecurut sepertimu. Maju-
lah. Dan, cabut pedangmu...!” sahut Bayu, keras.
“Ha ha ha...! Pendekar Pulau Neraka! Ajalmu
sebentar lagi tiba. Kau tahu? Sejak tadi aku me-
nyaksikan pertarunganmu dengan si Iblis Cebol.
Sehingga, aku tahu keadaanmu yang terluka pa-
rah. Dan dalam beberapa gebrakan saja, kau
akan kubinasakan. Ha ha ha...! Keadaanmu kini
tak ubahnya harimau kehilangan cakar dan ta-
ringnya. Nah, bersiaplah...!”
Sringngng!
“Yeaaah...!”
Begitu pedangnya tercabut dengan cepat Ki
Sanjung Tulang melompat menyerang Pendekar
Pulau Neraka. Bayu mundur dua langkah, kemu-
dian menundukkan kepala. Lalu tubuhnya bergu-
lingan untuk menghindari tebasan pedang Ki
Sanjung Tulang yang menyambar-nyambar selu-
ruh tubuhnya.
“Hihhh!”
Kaki kiri Pendekar Pulau Neraka masih sempat
melepaskan tendangan ke perut laki-laki kurus
itu. Namun tubuh Ki Sanjung Tulang sudah ber-
kelit sambil berputar dengan kaki kanan terang-
kat. Dan bersamaan dengan itu pedangnya me-
nyapu dada Pendekar Pulau Neraka. Maka pemu-
da berbaju kulit harimau itu melompat ke belakang menghindarinya.
“Hup!”
“Mampus...!”
Dengan geram Ki Sanjung Tulang mengejar
sambil menyabetkan pedangnya. Terpaksa Pende-
kar Pulau Neraka kembali bergulingan menghin-
dari sambaran pedang itu. Disadari betul kalau
keadaannya sangat tidak menguntungkan. Ka-
laupun mampu menggunakan Cakra Maut untuk
membalas serangan, rasanya tidak akan berguna
banyak. Sebab, menggunakan senjata itu memer-
lukan pengerahan tenaga dalam kuat Sedangkan
dalam keadaan terluka seperti ini, tenaga dalam-
nya telah terkuras habis. Akibatnya Cakra Maut
akan mudah ditepis, dan bahkan akan semakin
mempersulit keadaannya.
“Hei, Pendekar Pulau Neraka! Mana keheba-
tanmu yang selama ini dihebohkan orang? Ayo,
lawan aku! Balas seranganku! Apa kau ingin mati
penasaran di tanganku...?”
“Keparat licik! Tidak perlu banyak bicara! Kau
kira aku tidak mampu menghadapimu? Phuih!
Seribu orang sepertimu, aku tidak akan lari!” sa-
hut Pendekar Pulau Neraka sengit.
“He he he.... Nyawa sudah diujung tanduk, kau
masih bisa berkoar juga,” ejek Ki Sanjung Tulang
seraya menggempur lawan kembali dengan sam-
baran pedangnya yang cepat luar biasa.
Bayu mengeluh dalam hati. Dia tidak tahu,
sampai kapan mampu bertahan dari serangan la-
wannya. Keadaannya saat ini betul-betul genting.
Jangankan untuk membalas menyerang, untuk
mempertahankan diri saja sudah tidak yakin
mampu bertahan lama.
“Yeaaah...!”
Ki Sanjung Tulang berteriak gemas. Tangan
kanannya yang menggenggam pedang, menyam-
bar tubuh Pendekar Pulau Neraka di bagian dada
dan pinggang. Sementara telapak kirinya meng-
hantam pukulan jarak jauh yang bertenaga kuat.
Bayu terkesiap dan bergulingan cepat menghin-
dari diri.
“Hih!”
Jderrr!
Sebongkah tanah mencuat ke atas berpecahan,
meninggalkan lubang yang cukup dalam ketika
pukulan laki-laki bertubuh kurus itu luput dari
sasaran.
“Kurang ajar! Sekarang kau tidak akan luput,
Keparat!” desis Ki Sanjung Tulang semakin ge-
ram.
Laki-laki kurus itu merangkapkan kedua tan-
gannya. Wajahnya berkerut dan sinar matanya
liar menatap Bayu seperti hendak menelannya.
Pendekar Pulau Neraka tercekat, dan tidak terasa
mengeluh dalam hati. Hanya ada satu cara untuk
menjaga agar tidak mati konyol, yakni dengan
memapak pukulan itu. Tapi hal ini akan sangat
membahayakan. Bahkan tidak menutup kemung-
kinan akan celaka dan terluka semakin parah.
Dalam keadaan demikian, mendadak melesat
cepat sesosok tubuh ramping yang langsung memapak pukulan Ki Sanjung Tulang.
“Yeaaah...!”
“Hiyaaa...!”
Jderrr!
***
Ki Sanjung Tulang terhuyung-huyung ketika
kedua pukulan tadi terpapak, hingga menimbul-
kan suara menggeledek. Belum lagi sempat mem-
perbaiki kedudukannya, mendadak sesosok tu-
buh yang tadi memapaki pukulannya melesat
menyerang cepat dan ganas.
Sringngng!
“Yeaaah...!”
“Uhhh...!”
Ki Sanjung Tulang terkesiap. Gerakan sosok
ramping itu hebat sekali. Kedua senjata pedang
yang dipergunakannya, tampak bergulung-gulung
bagai ombak samudera yang ketat mengurung-
nya. Beberapa kali dicobanya menangkis. Namun,
telapak tangannya terasa perih dan jantungnya
berdetak lebih kencang.
“Keparat! Siapa kau...?!” bentak Ki Sanjung Tu-
lang garang seraya menangkis pedang lawannya.
Trangngng!
“Huh...! Banyak omong! Apa kau kira punya
derajat untuk mengalahkan Pendekar Pulau Ne-
raka? Hadapi aku lebih dulu. Dan kalau kau
mampu mengalahkanku, kau boleh menepuk da-
da!” terdengar sahutan nyaring yang tidak kalah
sengitnya.
“Uts!”
Ki Sanjung Tulang terkejut bukan main. Baru
saja menangkis, namun pedang sosok ramping
yang sebuah lagi melesat cepat menyambar leher-
nya. Untung saja dia buru-buru melompat ke be-
lakang menghindari. Namun dalam keadaan begi-
tu, telapak kirinya masih sempat disorongkan ke
arah sosok ramping yang sepertinya seorang wa-
nita.
“Hup!”
Tubuh ramping itu meliuk cepat menghindari
sambaran pukulan jarak jauh yang bertenaga da-
lam kuat. Lalu dia kembali membalas serangan Ki
Sanjung Tulang dengan pukulan jarak jauh yang
tidak kalah kuatnya. Laki-laki kurus itu tersentak
kaget. Cepat-cepat dia bergulingan menghindari,
seraya mengibaskan pedang untuk menangkis
senjata yang langsung terarah padanya.
Trang!
Sebuah senjata sosok ramping itu berhasil di-
tangkis Ki Sanjung Tulang. Namun pedang yang
sebuah lagi, cepat menyambar ke arah paha ki-
rinya.
Brettt!
“Akh...!”
Dengan terpincang-pincang, tubuhnya melent-
ing ke belakang untuk menghindari serangan se-
lanjutnya. Namun, sosok ramping itu agaknya ti-
dak membiarkan lawannya menjauh begitu saja.
Dan dia sudah langsung mengejarnya sambil me-
nyerang ganas. Kecepatan bergeraknya sungguh
mengagumkan, bagai seekor walet melesat cepat
bagai kilat. Sehingga, membuat laki-laki kurus itu
tergagap beberapa kali menahan kejutan yang
menyentaknya. Bahkan dia tidak mempunyai ke-
sempatan serta ruang gerak yang bebas.
“Hiyaaa...!”
Pedang wanita ramping itu kembali meliuk-liuk
menyambar. Dan dengan gerakan cepat Ki San-
jung Tulang menangkis.
Trang!
Dan ketika salah satu ujung pedang wanita itu
menyambar pinggang, laki-laki itu berputar
menghindari. Namun ternyata ujung kaki wanita
itu cepat sekali terjulur ke arah dadanya.
Bukkk!
Untuk yang kedua kali Ki Sanjung Tulang me-
mekik kesakitan. Tubuhnya terhuyung-huyung ke
belakang.
“Hiyaaa...!”
Ujung pedang wanita itu kembali melesat me-
nyerang Ki Sanjung Tulang. Dan laki-laki kurus
itu tergagap, lalu bergulingan sebisanya untuk
menghindari diri seraya mengayunkan pedangnya
untuk menangkis.
Trangngng!
Dua benturan senjata kembali beradu. Namun
rupanya pedang Ki Sanjung Tulang langsung ter-
lepas dari genggaman. Serangan ini memang ber-
hasil dihindarinya. Namun senjata yang satu lagi
milik wanita itu telah kembali berkelebat ke arah perutnya.
Brettt!
“Aaakh...!”
Tanpa bisa dihindari lagi, laki-laki kurus itu
memekik kesakitan seraya mendekap perutnya
dengan kedua tangannya. Wajahnya pucat berke-
ringat menatap ke arah lawannya yang tegak ber-
diri di dekatnya. Kini barulah bisa dilihat jelas,
siapa orang itu sebenarnya.
“Kau...! Kau...!” tunjuk Ki Sanjung Tulang, ter-
gagap.
“Ya, aku. Kenapa rupanya...?”
“Dasar perempuan rendah...! Terkutuklah
kau...!” maki Ki Sanjung Tulang, geram.
Perempuan yang disebutnya itu terkekeh pelan
seraya bertolak pinggang. Ki Sanjung Tulang tahu
betul, siapa wanita itu. Dia tak lain orang yang
pernah dijumpainya di kedai tadi dan telah mem-
buat keonaran.
“Huh! Laki-laki busuk pengecut! Kau manusia
hina yang tidak punya rasa malu. Kau hanya be-
rani pada orang yang tengah terluka. Sekarang,
terimalah kematianmu,” desis wanita yang me-
mang Diah Kemuning itu dingin.
Ki Sanjung Tulang terkejut setengah mati keti-
ka wanita itu telah melompat menyerangnya
kembali dengan sepasang pedang terhunus.
“Hiyaaat...!”
“Uts...!”
Dengan bergulingan, Ki Sanjung Tulang beru-
saha menghindari sambaran kedua pedang Diah
Kemuning. Sementara, wanita itu menggeram, ketika kedua ujung pedangnya menyambar tanah
hingga rompal. Ujung kaki kanannya cepat me-
nyambar dada Ki Sanjung Tulang. Maka cepat-
cepat laki-laki kurus itu berjingkat dan melompat
ke belakang. Tapi, ujung pedang Diah Kemuning
terus mencecar lehernya. Untung saja Ki Sanjung
Tulang masih sempat menunduk. Namun, wanita
itu cepat sekali berbalik, bahkan pedangnya yang
sebuah lagi langsung menyambar ke arah dada Ki
Sanjung Tulang yang memang sulit mengelak.
Akibatnya....
Trasss!
Bret!
“Aaa...!”
Ki Sanjung Tulang kontan memekik setinggi
langit. Kedua tangannya yang mendekap perutnya
langsung putus tertebas pedang wanita itu. Bah-
kan senjata itu terus menerobos merobek da-
danya. Setelah terhuyung-huyung, laki-laki itu
tersungkur ke tanah bersimbah darah.
“Mampus!” dengus Diah Kemuning seraya me-
ludah ke tubuh tidak berdaya di depannya.
Setelah menyeka pedangnya yang bersimbah
darah, wanita itu menghampiri Pendekar Pulau
Neraka yang tengah duduk bersila di bawah se-
buah pohon. Bayu memang tengah bersemadi,
mengatur pernapasan dan jalan darahnya yang
tidak beraturan. Mukanya pucat Lalu perlahan-
lahan kelopak matanya terbuka, ketika gadis itu
tersenyum seraya duduk di sebelahnya.
“Hm.... Ternyata Pendekar Pulau Neraka bisa
juga tidak berdaya,” gumam Diah Kemuning.
Bayu tersenyum kecil.
“Ternyata wanita secantik kau, bisa juga ber-
tindak kejam.”
“Tapi tidak sekejam dirimu.”
Bayu diam saja tidak menjawab.
“Kalau saja kau memiliki Pedang Ular Mas, ten-
tu si keparat itu mudah dikalahkan,” kata Diah
Kemuning lagi, seperti menggumam.
Kali ini Bayu menoleh ke arahnya, dengan wa-
jah heran.
“Pedang Ular Mas...?”
***
TUJUH
Diah Kemuning memandang Pendekar Pulau
Neraka dengan senyum cerah.
“Pedang itu adalah senjata keramat. Dan,
hanya dengan senjata itulah Iblis Cebol mampu
dilawan. Kau telah membuktikannya sendiri, bu-
kan? Senjata Cakra Mautmu yang hebat sama se-
kali tidak mempan di tubuhnya. Iblis Cebol bu-
kanlah manusia sembarangan. Konon, katanya
dia masih keturunan manusia ular yang amat
sakti...,” jelas Diah Kemuning.
Bayu tersenyum mendengar penjelasan gadis
itu.
“Manusia ular yang sakti? Hm.... Bualanmu
boleh juga....”
“He! Aku tidak bermaksud membual. Tapi, be-
gitulah yang pernah kudengar,” sanggah Diah
Kemuning agak kesal.
“Sudahlah...,” cegah Bayu lebih lanjut.
“Aku senang kau mau bertarung melawan Iblis
Cebol...,” kata gadis itu cerah.
“Aku melakukannya bukan karenamu. Tapi
demi orang banyak yang sering menjadi korban-
nya,” sahut Bayu cepat.
“Hm.... Siapa yang peduli niatmu? Aku cukup
merasa senang kalau kau menempumya. Itu sa-
ja!” tutur gadis itu.
“Aku heran. Kepandaian ilmu silat yang kau
miliki sudah demikian hebat Lantas, kenapa kau
malah memintaku untuk menghabisinya?”
Diah Kemuning mendesah pelan.
“Kepandaianku tidak hebat. Dan kau sendiri
bisa melihatnya. Kalau sekadar menghadapi kero-
co-keroco seperti tadi, mungkin bisa diandalkan,
tapi Iblis Cebol bukanlah orang sembarangan....”
Bayu kembali tersenyum.
“Tapi kau lihat sendiri, kepandaianku ternyata
tidak ada apa-apanya bila untuk melawan Iblis
Cebol...,” desah Pendekar Pulau Neraka lemah.
“Kau tidak perlu berkecil hati. Aku telah meli-
hat segalanya. Dan kau ternyata bukanlah orang
sembarangan. Meskipun kau terluka waktu
menghadapinya, tapi dia pun terluka pula oleh-
mu. Kalau saja kau memiliki Pedang Ular Mas,
maka dia akan lebih mudah dikalahkan.”
“Kau sering menyebut-nyebut Pedang Ular
Mas. Dari mana kau mengetahui kalau ilmu kebal
Iblis Cebol mempan oleh senjata itu? Lalu, di ma-
na pedang tersebut bisa didapatkan?
“Hm.... Agaknya kau ketinggalan berita. Ba-
nyak orang tahu kalau ilmu kebal Iblis Cebol ti-
dak berarti bila berhadapan dengan Pedang Ular
Mas. Aku mengetahuinya dari guruku yang tewas
di tangannya. Dan apa yang kuketahui dari guru-
ku, pedang itu kini berada di tangan Resi Wangsa
Purbaya. Kalau kau mau, aku bisa mengantar-
kanmu ke tempat beliau...,” sahut Diah Kemuning
girang.
Bayu terdiam beberapa saat.
“Bagaimana?” desak Diah Kemuning.
Bayu memandang sekilas gadis itu, kemudian
tersenyum kecil.
“Apa kau kira resi itu bersedia memberikannya
begitu saja padaku?” tanya Pendekar Pulau Nera-
ka.
“Kita akan mencobanya,” desah Diah Kemun-
ing.
“Seorang resi, adalah orang yang memiliki ke-
pandaian hebat dan menjunjung tinggi kebena-
ran. Dia tentu tidak suka melihat sepak terjang
Iblis Cebol. Dan dia sudah pasti tahu tentang ke-
lemahan ilmu kebal Iblis Cebol, yang akan takluk
bila Pedang Ular Mas digunakan. Yang membua-
tku heran, kenapa Resi Wangsa Purbaya tidak
mau turun tangan? Dan seandainya turun tan-
gan, bagaimana mungkin sudi memberikan pe-
dang itu padaku...,” sahut Bayu masgul.
Diah Kemuning tersenyum memandang pemu-
da itu.
“Kudengar, namamu Bayu. Boleh aku me-
manggilmu begitu?”
“Kau boleh memanggilku apa saja....”
“Baiklah, Bayu. Soal tadi aku pernah menden-
gar sedikit dari guruku. Kata beliau guru Iblis Ce-
bol tewas di tangan Resi Wangsa Purbaya oleh
Pedang Ular Mas. Setelah gurunya tiada, pedang
itu diberikan pada sang Resi. Tapi saat itu, Resi
Wangsa Purbaya telah menjadi seorang pemuka
agama, dan menjauhkan diri dari urusan dunia
persilatan. Dia pun telah bersumpah untuk tidak
terlibat lagi dalam urusan keduniaan. Dan ra-
sanya, semua tokoh tahu hal itu. Jadi apabila dia
menempur Iblis Cebol, maka jelas akan melanggar
sumpahnya. Kalau itu dilakukannya, tentu saja
akan menjadi bahan tertawaan semua orang. Jadi
dugaanku, beliau tidak akan menempur Iblis Ce-
bol. Dan dengan demikian, tentu akan bersedia
meminjamkan pedangnya. Apabila kalau tahu,
siapa yang meminjam. Dan, untuk apa pedang itu
digunakan...,” sahut Diah Kemuning mengemu-
kakan alasannya.
Bayu memandang gadis itu seksama, kemu-
dian kembali tersenyum.
“Hm.... Tidak kusangka, selain kepandaianmu
hebat, kau pun memiliki otak cerdik. Sungguh
suatu perpaduan sempurna dengan wajahmu
yang cantik....”
Diah Kemuning tersenyum lebar.
“Jadi kau bersedia kutemani pergi ke tempat
resi itu?” tanya gadis itu dengan sorot mata ber-
binar.
“Dalam keadaanku seperti sekarang, rasanya
agak berat Aku harus menyembuhkan luka da-
lamku lebih dulu....”
“Hm.... Aku akan suka sekali merawatmu ka-
lau kau suka, Bayu...?”
“Terima kasih...,” ucap Bayu disertai senyum
manis.
“Aku tahu suatu tempat untuk merawat luka-
luka dalammu. Setelah kau merasa agak baik, ki-
ta bisa melanjutkan perjalanan,” usul Diah Ke-
muning.
“Boleh saja. Tapi, aku tidak suka melihat dan-
danan mu seperti ini bila berjalan denganku,” te-
gas Bayu.
“Yah.... Kau tidak suka melihat dandananku
begini? Baiklah. Dengan senang hati, aku akan
menukarnya.”
“Kalau kau berpakaian lebih sopan dan tidak
selalu bersikap genit, kau akan menjadi gadis
yang lebih cantik...,” sanjung Bayu.
“Terima kasih. Nah, kita berangkat sekarang?”
Bayu bangkit perlahan, seraya menangkap Ti-
ren yang melompat ke pangkuannya.
“Baiklah...,” desah Bayu pelan.
Tanpa malu-malu lagi Diah Kemuning meng-
gandeng pemuda itu. Lalu diajaknya Pendekar
Pulau Neraka berlalu dari tempat itu. Wajahnya
tampak cerah, dan senyumnya terus mengembang.
***
Pendekar Pulau Neraka sedikit tertegun. Diah
Kemuning ternyata membawanya ke sebuah ru-
mah kosong yang telah lama tidak dihuni. Dengan
langkah ragu, Bayu masuk ke dalam. Di situ, ter-
dapat sebuah kamar yang di dalamnya ada se-
buah tempat tidur rapi, meskipun berkesan se-
derhana. Dari perabotan yang terdapat di situ, bi-
sa diduga bahwa tempat itu agaknya dihuni se-
seorang. Sebab, tak ada sebutir debu pun yang
melekat.
“Rumah siapa ini?”
“Rumahku!” sahut Diah Kemuning singkat.
Bayu memandang tidak percaya.
“Kau tidak yakin? Tapi, aku sering berada di
sini...,” sahut gadis itu seenaknya.
“Ya, terserahmu saja....”
“Nah! Kau tunggu di sini dulu. Aku akan mem-
buat ramuan untuk menyembuhkan luka dalam-
mu. Kau tahu, guruku sangat ahli dalam pengo-
batan,” ujar gadis itu seraya berlalu dari ruangan
ini.
Bayu hanya tersenyum tipis. Dibiarkannya ga-
dis itu berlalu, kemudian duduk bersila memu-
satkan pikirannya. Lalu dikerahkannya hawa
murni untuk mengatur jalan darah sambil men-
gatur pernapasannya. Kelopak matanya terpejam,
ketika terasa hawa panas di bawah perutnya per-
lahan-lahan mengalir ke seluruh tubuhnya.
“Hoeeekh...!”
Dari mulut Pendekar Pulau Neraka seketika
menyembur darah kental berwarna kehitaman
beberapa kali. Dada pemuda itu terasa nyeri, dan
wajahnya terlihat semakin pucat Setelah bebera-
pa kali memuntahkan darah kental, denyut na-
dinya terasa melemah. Namun jalan darahnya
sudah terasa lancar, meski tubuhnya lemah se-
perti tidak bertulang.
Tidak berapa lama kemudian, terlihat Diah
Kemuning muncul membawakan dua buah
mangkuk dari tempurung kelapa dan sebuah
bambu kecil yang biasa digunakan untuk minum.
“Minumlah obat ini. Kau banyak mengeluarkan
darah,” ujar gadis itu seraya mengangsurkan se-
buah mangkuk tempurung kelapa.
Bayu mencium bau yang menyengat, ketika
mangkuk itu diterimanya. Kemudian, dipandang-
nya gadis itu dengan wajah curiga.
“Kau takut ramuan itu berisi racun? Percaya-
lah. Mana mungkin aku mau melakukan itu pa-
damu. Kau lebih cerdik dariku. Tentu, kau bisa
membedakannya. Minumlah. Dan, kau akan me-
rasakan khasiatnya...,” sahut gadis itu seperti
mengerti apa yang dipikirkan Bayu.
Dengan ragu-ragu, Bayu menenggak ramuan
itu. Maka seketika terasa ada hawa panas dari
perutnya yang menyegarkan sekujur tubuh. Pe-
muda itu menunggu hasilnya beberapa saat ke-
mudian. Dan seperti apa yang dikatakan gadis
itu, ramuan yang diberikannya benar-benar mu
jarab. Tubuhnya semakin terasa segar saja. Dan
aliran darahnya pun berjalan lancar dan tubuh-
nya mulai berkeringat.
“Bagaimana...?” tanya Diah Kemuning.
“Hm.... Kau betul-betul hebat. Ramuanmu san-
gat mujarab!” puji Bayu. Gadis itu tersenyum,
kemudian menyodorkan mangkuk yang kedua.
“Sup ini baru saja kupanaskan. Sisa semalam.
Mungkin tidak enak bagimu. Tapi, percayalah.
Aku membuatnya dengan sepenuh hati. Kau bo-
leh mencobanya untuk mengisi perut....”
Bayu memandang gadis itu dan tersenyum
manis setelah menerima mangkuk itu. Lalu, tan-
pa ragu-ragu lagi dilahapnya sup itu hingga tun-
tas.
“Enaaak...!” puji Bayu.
“Terima kasih.”
Diah Kemuning tersenyum seraya membe-
reskan kedua mangkuk yang telah kosong. Lalu
diserahkannya bumbung bambu yang terakhir.
“Ramuan ini untuk mengembalikan tenagamu
yang telah banyak terkuras....”
“Kau baik sekali, Diah....”
Diah Kemuning memandang ke arah Bayu se-
saat, kemudian berpaling jengah. Lalu kembali
dipandangnya pemuda yang tengah mengha-
biskan isi ramuan di dalam bumbung bambu itu.
“Bagaimana? Enak, bukan?” tanya gadis itu
minta pendapat.
“Harum. Dan, baunya seperti arak yang
enak....”
Diah Kemuning tersenyum, kemudian merapi-
kan mangkuk-mangkuk itu. Lalu dia beranjak da-
ri kamar.
“Mau ke mana?” tanya Bayu.
“Ke belakang sekalian menutup pintu dan jen-
dela. Tampaknya sebentar lagi hujan akan turun
lebat Coba lihat! Gerumbul awan menghitam di
langit sana,” ujar gadis itu seraya terus berlalu.
Bayu diam saja sambil merasakan keanehan
yang mulai menjalari tubuhnya. Pemuda itu tiba-
tiba tercekat dan berusaha melawan sekuat tena-
ga. Namun, perasaan aneh itu semakin kuat men-
jalar di sekujur tubuhnya. Dia tiba-tiba merasa-
kan ada hawa panas yang membuat kejantanan-
nya berkobar-kobar dibakar hawa nafsu. Kepa-
lanya seperti diganduli benda yang beratnya bu-
kan main. Bayu mencoba bangkit, namun tubuh-
nya seperti melayang-layang di udara. Kembali
tubuhnya dihenyakkan di pembaringan kamar
itu.
“Apa ini...?” desis Bayu pelan.
Diah Kemuning telah muncul di ambang pintu
sambil tersenyum lebar. Sedang Bayu mengga-
painya lemah.
“Diah....”
Gadis itu mendekat, lalu duduk di dekat Bayu.
Dan seketika Bayu cepat merangkul dan mere-
bahkannya ke tempat tidur. Gadis itu sama sekali
tak menolak. Bahkan ketika dengan gemas Bayu
melumat bibirnya, dia hanya pasrah saja tanpa
berusaha menghindar.
“Sabar, Kakang...,” bisik gadis itu pelan. Dia
tertawa kecil, ketika Bayu hendak melucuti pa-
kaiannya.
“Diah, aku... aku....”
Suara Bayu seperti tercekat di tenggorokan.
Dadanya sudah berdegup keras seperti meronta-
ronta.
“Iya.... Aku mengerti apa yang kau inginkan...,”
sahut gadis itu, seraya menekap bibir Bayu den-
gan telunjuknya.
Kemudian dengan perlahan-lahan Diah Ke-
muning membuka pakaiannya sendiri.
Bayu agaknya merasa tidak sabar, ketika meli-
hat keadaan tubuh Diah Kemuning yang polos
tanpa sehelai benang pun. Langsung dirangkul-
nya gadis itu sambil menggeram buas laksana
seekor hewan yang kelaparan. Diah Kemuning
hanya terkikik kecil, dan membiarkan saja kela-
kuan pemuda itu.
Di luar rintik hujan mulai turun bersama ge-
lapnya malam. Perlahan-lahan rintik hujan sema-
kin lebat dan lidah petir sesekali menyambar
angkasa. Dingin mulai merayap di seluruh pelata-
ran. Namun dalam kamar di rumah itu terasa
hangat, diiringi derit tempat tidur yang mengiringi
pergulatan kedua anak manusia yang berbeda je-
nis. Sesekali terdengar suara pemuda mengge-
ram. Sementara gadis itu mendesah halus dengan
napas terengah-engah. Keduanya berkeringat,
dan hela napas mereka seperti berlomba bagai
dua ekor kuda yang saling berpacu.
“Uhhh...!”
Keduanya melenguh panjang, kemudian ter-
dengar lengang. Lalu, yang terdengar hanya cura-
han air hujan yang jatuh menimpa bumi mem-
buat genangan.
***
“Brengsek!”
Bayu memaki geram ketika melihat Diah Ke-
muning tengah membereskan pakaiannya yang
tidak karuan seraya membuka jendela.
Hujan telah lama reda. Dan di kejauhan ter-
dengar suara ayam berkokok saling bersahutan.
Agaknya sebentar lagi pagi akan tiba. Dan Bayu
baru menyadari kalau telah terlelap semalam di
kamar ini dengan tubuh letih.
“Kenapa? Kau marah padaku, Kakang Bayu...?”
tanya gadis itu lembut seraya duduk di dekat pe-
muda itu.
Bayu memperhatikan sesaat wajah gadis itu
yang berbinar gembira. Rambutnya masih terlihat
basah, dan tubuhnya harum dililit sehelai kain
sebatas dada. Sehingga payudaranya yang mem-
busung indah masih terbayang.
Pendekar Pulau Neraka mengalihkan pandan-
gan ketika jari-jari lentik gadis itu menyapu wa-
jahnya.
“Kakang.... Aku telah lama mencintaimu. Bah-
kan sebelum kita berkenalan. Aku sering mengi-
kuti perjalananmu dan sering berangan-angan,
kalau suatu saat kau menjadi kekasihku...,” sahut Diah Kemuning sendu.
“Kenapa kau menaruh ramuan perangsang da-
lam bumbung itu?” tanya Bayu.
“Entahlah.... Aku tidak tahu. Tapi saat itu,
yang terlintas adalah impian bagaimana aku bisa
tidur denganmu,” tegas Diah Kemuning seperti ti-
dak merasa bersalah.
“Diah.... Tahukah kau, sikapmu itu sangat bu-
ruk? Kau mungkin sering melakukannya pada le-
laki lain!” sergah Bayu tajam dengan nada menu-
suk.
“Kakang! Kenapa kau menuduhku begitu?” sa-
hut Diah Kemuning dengan wajah terpana.
Bayu terdiam seraya bangkit dan cepat mema-
kai bajunya. Kemudian dipandangnya gadis itu
dengan kesal.
“Kenapa kau malah balik bertanya? Bukankah
kau bisa menjawabnya sendiri! Kau adalah pe-
rempuan rendah dan pelacur hina!” desis Bayu
kesal.
“Kakang, kau... kau...!”
Gadis itu terpana sungguh tidak disangka ka-
lau pemuda itu bisa berkata demikian. Dia betul-
betul terhenyak dan tidak tahu harus berbuat
apa. Kepalanya langsung tertunduk. Tidak terasa,
air matanya menitik dari kelopak matanya. Lalu,
perlahan-lahan dipandanginya Bayu dengan ta-
jam.
“Kakang Bayu! Kau boleh berkata apa saja ten-
tangku. Tapi ketahuilah, tuduhanmu itu sama
sekali tidak beralasan. Kau menilai penampilan
saja. Namun, sesungguhnya apa yang kau duga
berlawanan sekali dengan apa yang kualami dan
kulakukan selama ini. Aku tidak pernah tidur
dengan lelaki mana pun, selama ini, kecuali, satu
hal. Dan kejadian itu sudah lama sekali, ketika
aku masih tinggal di perguruan. Waktu itu usiaku
baru menginjak lima belas tahun, dan sama seka-
li tidak tahu kelicikan seseorang. Suatu saat, sa-
lah satu kakak seperguruanku memperkosaku.
Dia mengancam akan membunuhku, kalau berani
memberitahukan hal itu pada guru. Aku takut
sekali. Bahkan tidak mampu berbuat apa-apa, ke-
tika dia berbuat seenaknya untuk beberapa kali.
Dan ketika suatu hari guru mengetahui perbua-
tannya, dia dihukum berat..,” Diah Kemuning
menghentikan ceritanya dan memandang sendu
pada Bayu.
Bayu terdiam dan berpikir untuk meyakinkan
hatinya, apakah harus percaya atau tidak pada
cerita gadis itu.
“Kakak seperguruanku lalu dikebiri oleh guru.
Dan setelah mencabut semua ilmu yang dimili-
kinya, dia pun diusir dari perguruan. Guruku
amat baik dan selalu berusaha mengembalikan
kepercayaan diriku yang jatuh akibat peristiwa
itu. Dialah pengganti orangtua ku yang telah tia-
da. Dan ketika Iblis Cebol membunuhnya, aku
amat mendendam. Tapi kusadari kalau aku tidak
akan mampu melawan manusia keparat itu. Maka
untuk itulah aku mendapatkan akal, dengan
memperdaya laki-laki yang kunilai memiliki ke
mampuan hebat. Dan dengan penampilan itulah
aku menggunakannya untuk memikat mereka.
Tapi ternyata cara itu pun menemukan jalan bun-
tu. Sebab, tidak ada seorang pun yang mampu
mengalahkan Iblis Cebol. Bahkan beberapa orang
tewas di tanganku ketika mereka mencoba mem-
perkosaku. Dan kemudian, sampai akhirnya aku
bertemu denganmu. Tapi, Kakang Bayu. Kau bo-
leh percaya dan boleh tidak dengan ceritaku. Se-
sungguhnya, aku sama sekali tidak memperalat-
mu.
Karena, aku tahu. Kau berbeda dengan mere-
ka. Selain kemampuanmu yang hebat, kau pun
cukup cerdik. Dan lebih dari itu, telah lama aku
mendambakanmu. Aku betul-betul mencintaimu,
Kakang...,” gadis itu mengakhiri kisahnya dengan
air mata berlinang.
Bayu terdiam dan duduk termangu di tepi
tempat tidur. Diah Kemuning lalu bangkit dan
duduk di sebelah pemuda itu, seraya meremas
tangannya perlahan. Bayu diam saja. Kemudian
dipandangnya gadis itu dengan wajah bersalah
penuh penyesalan.
“Maafkan kata-kataku tadi, Diah...,” ucap pe-
muda itu lirih.
“Tidak apa-apa, Kakang. Aku bisa memaha-
minya, kalau kau menuduhku begitu...,” desah
Diah Kemuning.
“Aku telah salah mendugamu....”
“Kakang Bayu..., eh...! Bolehkah aku menye-
butkmu begitu?”
Bayu mengangguk pelan.
“Terima kasih, Kakang. Tapi, apakah kau men-
cintaiku pula...?” tanya Diah Kemuning.
Bayu tersenyum mendengar pertanyaan dari
gadis itu.
“Cinta itu datangnya bukan tiba-tiba. Namun,
perlahan lewat perkenalan dengan berusaha men-
getahui isi hati masing-masing. Sedang aku baru
mengenalmu. Dan rasanya, kurang wajar jika aku
mengatakan cinta begitu saja sekadar untuk me-
nyenangkan hatimu. Kau mengerti bukan?” jawab
Bayu, bijaksana.
“Aku mengerti, Kakang. Berdekatan denganmu
pun, sudah membuatku senang. Aku akan men-
coba menunggu jawabanmu....”
Bayu kembali terdiam, kemudian beranjak ke-
luar.
“Aku mandi dulu, dan setelah itu kita berang-
kat menemui resi yang kau katakan semalam...,”
ujar Bayu.
Diah Kemuning mengangguk pelan, sambil
menatap pemuda itu hingga menghilang di balik
pintu. Lalu tubuhnya direbahkan di ranjang den-
gan senyum cerah.
***
DELAPAN
Sepasang anak muda berjalan perlahan. Sese-
kali yang seorang melirik ke sebelahnya. Sedang
kan pemuda itu pura-pura tidak peduli, bahkan
ketika gadis itu menggandeng tangannya, dia be-
rusaha menolak dengan halus.
“Bagaimana keadaanmu sekarang, Kakang
Bayu?” tanya gadis itu lembut.
Memang, mereka adalah Pendekar Pulau Nera-
ka dan Diah Kemuning yang tengah berjalan me-
nuju kediaman Resi Wangsa Purbaya.
“Hebat! Ramuan yang kamu berikan ternyata
sangat ampuh,” sahut Bayu
“Syukur.... Seandainya saja kita bertemu den-
gan iblis keparat itu, kau tidak perlu berkecil hati
lagi!”
Bayu diam saja tidak menjawab.
“Kakang....”
“Hm.”
“Kau tahu, apa yang kurasakan saat ini? Aku
senang sekali berjalan denganmu,” Diah Kemun-
ing bertanya, namun langsung dijawabnya sendi-
ri.
Bayu menoleh sekilas, kemudian tersenyum
kecil. Tiren yang nangkring di pundaknya menye-
ringai sambil mencerecet ribut dengan kedua tan-
gan bertepuk-tepuk.
“Huh! Diam...!” sentak Bayu.
Monyet kecil itu merengut seraya menunduk-
kan kepala. Bayu tersenyum dan mengelus-elus
kepalanya. Tiren, langsung menyeringai lebar dan
wajahnya kembali cerah. Diah Kemuning terse-
nyum melihat ulah monyet kecil itu. Namun men-
dadak keduanya terpaku, ketika mendengar suara-suara senjata saling beradu.
“Hm.... Suara pertarungan yang tidak jauh dari
sini. Diah! Coba kita lihat, siapa yang bertarung,”
kata Bayu seraya menggenjot tubuhnya.
Diah Kemuning mengikuti dari belakang. Den-
gan pengerahan ilmu meringankan tubuh tingkat
tinggi sebentar saja mereka sampai di sebuah
lembah yang tidak berapa jauh dari tempat itu.
Dari tempat yang agak tinggi, mereka bisa melihat
seorang laki-laki tua bertubuh bungkuk dan seo-
rang gadis belia berwajah cantik bersenjatakan
keris, tengah dikeroyok lebih dari tujuh orang la-
ki-laki berwajah kasar.
“Hm.... Kawanan rampok Gagak Ireng,” desis
Diah Kemuning bernada geram.
“Kau kenal?”
Diah Kemuning mengangguk.
Gadis itu sudah akan melompat turun untuk
melabraknya, namun Bayu cepat mencegah.
“Kenapa, Kakang? Coba lihat... Kedua orang itu
terdesak. Kita harus membantunya,” tanya Diah
Kemuning, heran.
“Kita belum tahu, apa urusan mereka,” jelas
Pendekar Pulau Neraka.
“Siapa yang tidak kenal kawanan rampok Ga-
gak Ireng? Mereka adalah kumpulan manusia ke-
parat yang kerjanya merampok, membunuh, serta
memperkosa wanita-wanita yang tidak berdaya.
Saat inilah yang tepat untuk memberi pelajaran
pada mereka. Ayo, Kakang! Tunggu apa lagi?” ka-
ta Diah Kemuning seraya melompat turun.
Mau tidak mau, Bayu terpaksa mengikuti gadis
itu. Sementara, dua orang yang meskipun men-
gadakan perlawanan sengit, namun tetap saja
terdesak. Lawan mereka memang terlampau ba-
nyak dan memiliki kemampuan cukup hebat Se-
hingga, lambat laun mereka terlihat makin terde-
sak hebat Saat itu Diah Kemuning langsung ter-
jun ke dalam pertarungan.
“Manusia-manusia keparat! Mampuslah kalian!
Hiyaaat...!”
Sring!
Trang! Trang!
Kedua pedang gadis itu berkelebat cepat, me-
nyambar golok-golok para perampok. Bahkan
membuat mereka berpentalan. Demikian juga
dengan apa yang dilakukan Pendekar Pulau Ne-
raka. Tubuhnya berkelebat cepat, menghajar la-
wan-lawannya yang memang berkemampuan ren-
dah.
Kawanan rampok Gagak Ireng tersentak kaget,
melihat kemunculan dua orang itu. Dalam waktu
singkat saja, mereka yang berkemampuan rendah
terdesak hebat Kini mereka sadar kalau kedua
orang yang baru muncul itu bukanlah tokoh
sembarangan.
Ujung pedang Diah Kemuning menyambar da-
da seorang perampok. Orang itu menangkis den-
gan senjata golok, namun pedang gadis itu yang
satu lagi bergerak cepat memapas lehernya.
Crasss! Brettt!
“Aaa...!”
Terdengar pekikan kesakitan, ketika orang itu
ambruk ke tanah. Beberapa saat kemudian dia
tewas dengan leher nyaris putus. Dan pada saat
yang bersamaan, seorang lagi binasa di ujung ke-
ris gadis berpakaian serba putih yang ditolong ini.
“Aaa...!”
Laki-laki bongkok bersenjata tongkat itu seper-
ti mendapat semangat baru, melihat kemunculan
dua orang penolong. Tongkatnya kembali berkele-
bat cepat, menyambar dua orang terdekat Salah
seorang menangkis dengan sengit.
Trakkk!
Sementara seorang perampok melompat mun-
dur. Namun ujung tongkat laki-laki bongkok itu
terus mengejar cepat, dan cepat menghantam te-
lak dadanya.
Bukkk!
“Aaa...!”
Orang itu memekik kesakitan ketika tulang da-
danya berderak patah.
Pada saat yang hampir bersamaan, ujung kaki
Pendekar Pulau Neraka berhasil menghantam da-
gu salah seorang perampok. Orang itu memekik
kesakitan, ketika tubuhnya terjungkal ke bela-
kang sambil memuntahkan darah segar. Tiga
buah giginya seketika tanggal.
Empat orang yang tersisa, terpaku dan ragu-
ragu untuk melanjutkan serangannya. Namun,
Diah Kemuning yang berangasan agaknya tidak
sudi membiarkan mereka begitu saja. Langsung
saja dia melompat menyerang mereka.
“Yeaaah...!”
Trangngng!
Keempat orang itu terpaksa melawan dengan
semangat yang mulai mengendor. Kelebatan pe-
dang gadis itu dipapak. Namun dalam waktu
singkat saja, mereka harus mengakui kalau kece-
patan gerak gadis itu luar biasa dan sulit diim-
bangi. Sehingga, tidak heran kalau sebentar saja
dua orang kembali terjungkal tewas disertai jerit
kesakitan ketika perutnya robek dibabat kedua
pedang gadis ini. Kembali dua orang lainnya ter-
sentak kaget Mereka berusaha melarikan diri, tapi
dengan geram Diah Kemuning melemparkan ke-
dua pedangnya. Crab!
Bresss!
“Akh!”
“Aaa...!”
Kedua orang itu seketika menjerit melengking
tinggi ketika punggungnya tertancap pedang Diah
Kemuning. Mereka ambruk ke tanah dengan
nyawa melayang dari badannya. Diah Kemuning
mendengus pelan, lalu melangkah mendekati. Di-
cabutnya kedua pedang yang tertancap di pung-
gung dua orang itu. Setelah membersihkan darah
yang melekat, pedangnya disarungkan kembali.
Kemudian kakinya melangkah mendekati Bayu
dengan wajah tenang seperti tidak ada kejadian
apa pun juga.
***
“Kisanak berdua, aku Paman Sudira. Dan ini
keponakanku, Andini. Kami mengucapkan terima
kasih yang sedalam-dalamnya atas bantuan ka-
lian berdua. Kalau boleh tahu, siapakah kalian
berdua ini..?” ujar laki-laki tua bertubuh bongkok
yang memang Paman Sudira bersama Andiri.
“Namaku Diah Kemuning. Dan temanku ini
Bayu. Tapi, mungkin kalian pernah mendengar
julukan Pendekar Pulau Neraka. Nah, dialah
orangnya,” sahut Diah Kemuning dengan nada
bangga bisa memperkenalkan Pendekar Pulau Ne-
raka.
“Pendekar Pulau Neraka...? Oh! Sungguh kebe-
tulan sekali kami bisa bertemu denganmu, Kisa-
nak. Sebab, selama ini kami memang sedang
mencarimu untuk satu urusan yang sangat pent-
ing,” kata Paman Sudira dengan wajah gembira.
“Hm.... Urusan apa itu, Ki?” tanya Bayu heran.
Laki-laki bungkuk itu agak ragu seraya me-
mandang kepada Diah Kemuning. Melihat cara
memandang Paman Sudira, gadis itu merasa di-
curigai. Kini wajahnya mulai menunjukkan rasa
tidak senang.
“Kisanak! Apakah aku tidak boleh mendengar
pembicaraan ini?” tanya Diah Kemuning agak ke-
tus, mengungkapkan rasa ketidaksenangannya.
“Oh, bukan begitu. Tapi ini hanya untuk berja-
ga-jaga saja. Harap Nini Diah Kemuning tidak sa-
lah tanggap. Urusan ini harus hati-hati sekali,”
sahut Paman Sudira.
“Ki Sudira, aku bertanggung jawab penuh pada
Diah Kemuning. Nah! Ceritakanlah, apa yang in
gin kau katakan padaku,” selak Bayu cepat me-
nengahi.
“Baiklah... ini menyangkut Iblis Cebol,” ujar
Paman Sudira agak terputus suaranya.
“Iblis Cebol...? Hm.... Mau apa lagi manusia
keparat itu?” sentak Diah Kemuning geram.
“Sabar, Diah. Biarkan Paman Sudira menyele-
saikan dulu,” selak Bayu menenangkan.
Gadis itu kembali terdiam. Bayu kemudian
memandang Paman Sudira.
“Nah Ki Sudira. Silakan lanjutkan....”
Paman Sudira mulai menceritakan pertemuan-
nya dengan Resi Wangsa Purbaya dan pesan yang
harus disampaikannya pada Pendekar Pulau Ne-
raka.
“Hm.... Sungguh kebetulan, Kakang. Bukankah
dugaanku benar?” selak Diah Kemuning cerah.
Bayu hanya menganggukkan kepala sedikit.
Sementara Paman Sudira hanya berpandangan
sejenak saja dengan Andini. Kemudian dipan-
dangnya Pendekar Pulau Neraka dengan wajah
penuh harap.
“Bagaimana Kisanak?”
“Ki Sudira, sebenarnya tujuan kita sama. Kami
berdua pun tengah menuju tempat kediaman Resi
Wangsa Purbaya untuk meminjam pedang itu gu-
na menghancurkan Iblis Cebol,” jelas Bayu.
“Ah! Sungguh kebetulan,” sahut Paman Sudira
dengan wajah semakin cerah.
“Kalau begitu, buat apa lagi berlama-lama di
sini? Lebih baik, kita cepat ke sana,” lanjut Diah
Kemuning tidak sabar.
“Baiklah,” sahut Paman Sudira.
Mereka segera meninggalkan tempat itu tanpa
banyak bicara lagi. Dan sejak awal perjalanan,
Diah Kemuning tampak begitu manja pada Pen-
dekar Pulau Neraka. Sepertinya dia ingin menun-
jukkan pada kedua orang itu kalau Bayu adalah
kekasihnya. Dan hal itu membuat Bayu jadi jen-
gah sendiri. Apa lagi ketika Paman Sudira dan
Andini sesekali melirik. Beberapa kali Bayu mem-
beri isyarat pada Diah Kemuning. Tapi, gadis itu
seperti pura-pura tidak tahu. Bayu akhirnya
hanya bisa menarik napas panjang saja, mengha-
dapi sikap manja gadis itu.
Tidak berapa lama keempat orang itu menem-
puh perjalanan, sampailah mereka di tempat tu-
juan. Mereka menunggu beberapa saat. Dan keti-
ka Resi Wangsa Purbaya muncul, mereka lang-
sung menjura memberi hormat.
“Selamat datang ke tempatku, Anak-anak mu-
da...,” sapa Resi Wangsa Purbaya ramah.
“Senang sekali bertemu denganmu, Kanjeng
Resi,” ucap Bayu membalas keramahan ini.
“Tentunya mereka telah memberitahu padamu
tentang niatku,” ujar Resi Wangsa Purbaya lang-
sung.
Bayu mengangguk mantap.
“Aku merasa mendapat kehormatan atas ke-
percayaan yang kau berikan ini, Kanjeng Resi.”
“Pedang Ular Mas ini akan kupercayakan pa-
damu. Dan kau harus mengembalikannya, setelah semuanya selesai,” kata Resi Wangsa Pur-
baya.
“Aku berjanji akan mengembalikannya, Kan-
jeng Resi,” sahut Bayu mantap.
“Syukurlah. Tapi sebelumnya seperti yang lain,
aku ingin menguji kemampuanmu dulu. Jangan
berkecil hati, karena ini demi keselamatan dirimu
sendiri. Bila pedang ini tidak berhasil dicabut dari
warangkanya. Itu berarti kau tidak akan berhasil
mengalahkan Iblis Cebol. Kau mengerti maksud-
ku, Anak Muda...?” jelas Resi Wangsa Purbaya.
“Aku mengerti Kanjeng Resi,”
“Nah! Mulailah cabut pedang ini,” lanjut Resi
Wangsa Purbaya seraya mengulurkan gagang Pe-
dang Ular Mas ke depan Pendekar Pulau Neraka.
Bayu memusatkan perhatiannya barang seje-
nak. Kemudian ditariknya napas dalam-dalam,
tanpa berkedip memandangi gagang pedang di
depannya. Tapi baru saja hendak menarik pedang
itu....
“Ha ha ha...! Agaknya semua sudah berkumpul
di tempat buruk ini. Dan resi peot pengecut se-
makin ciut nyalinya, sehingga perlu meminta ban-
tuan orang lain.”
Mendadak terdengar suara keras yang memba-
hana di seputar tempat itu.
“Itu Iblis Cebol...,” desis Resi Wangsa Purbaya.
Beberapa saat kemudian, melesat turun seso-
sok tubuh cebol dengan kepala botak berukuran
besar. Sepasang matanya melotot lebar. Kedua
tangannya bersisik hitam kebiruan seperti kulit
ular sampai sebatas siku. Sebuah toya tergeng-
gam di tangan kanannya.
“Hm.... Pendekar Pulau Neraka. Akhirnya kita
bertemu lagi di sini. Hari ini, aku tidak akan
mengampunimu lagi!” hardik Iblis Cebol garang.
“Iblis Cebol! Aku tidak pernah merasa kau am-
puni. Kapan pun kau ingin menantangku, aku
siap menghadapimu!” bentak Pendekar Pulau Ne-
raka geram.
“Huh! Kau boleh menunggu sampai aku meng-
hajar tua bangka keparat itu!” tuding Iblis Cebol
pada Resi Wangsa Purbaya.
“Iblis Cebol! Kau tidak perlu repot-repot meng-
hadapi Resi Wangsa Purbaya. Aku akan mewaki-
linya untuk menghadapimu,” sahut Pendekar Pu-
lau Neraka lantang.
“Pendekar Pulau Neraka! Apa kau tidak bisa
bersabar menungguku untuk menyelesaikan tua
bangka busuk ini lebih dulu? Aku ingin melihat
kepengecutannya. Setelah sekian lama aku me-
nunggu, ternyata dia sama sekali tidak mau men-
coba menghentikan segala perbuatanku! Sehing-
ga, kuduga dia pasti ketakutan melihat kehadi-
ranku ini. Dan ternyata memang demikian, bu-
kan...? Ha ha ha...!” ejek Iblis Cebol.
“Iblis Cebol! Kau boleh berkata apa saja untuk
membangkitkan amarahku. Tapi jangan harap
aku harus melanggar sumpahku. Dan Pedang
Ular Mas diciptakan yang khusus untuk mele-
nyapkan orang-orang sepertimu, akan kupinjam-
kan pada orang yang tepat untuk mewakiliku,”
kata Resi Wangsa Purbaya kalem.
Setelah itu Resi Wangsa Purbaya menjulurkan
Pedang Ular Mas pada Pendekar Pulau Neraka.
“Anak Muda, lupakanlah ujian tadi. Aku sudah
yakin kau mampu mencabutnya, tanpa perlu diuji
lagi. Kupinjamkan pedang ini padamu, dengan
keyakinanku kau pasti mampu menggunakannya.
Nah! Wakililah aku serta orang-orang yang telah
teraniaya akibat ulahnya. Hancurkan keangka-
ramurkaannya dengan pedang ini,” ujar Resi
Wangsa Purbaya, yakin.
“Kanjeng Resi! Terima kasih atas kepercayaan
yang kau berikan padaku. Aku akan mengguna-
kan sebaik-baiknya,” sahut Pendekar Pulau Nera-
ka mantap, seraya menerima pedang itu.
Kemudian Pendekar Pulau Neraka membalik-
kan tubuhnya dan melangkah mendekati Iblis
Cebol dengan sorot mata tajam.
“Iblis Cebol! Bersiaplah! Kita akan melanjutkan
pertarungan yang tertunda,” tantang Bayu lang-
sung.
Iblis Cebol tampak ragu-ragu melihat pemuda
itu menggenggam Pedang Ular Mas. Tapi, mana
mau keterkejutan hatinya ditunjukkan di depan
lawannya ini. Dengan mendengus dingin, dia
mencoba untuk membesarkan hati.
“Huh! Senjata bulukan hendak kau pamerkan
padaku! Kau tahan seranganku ini! Hiyaaa...!”
Sambil membentak keras, Iblis Cebol melompat
menyerang ganas Pendekar Pulau Neraka. Dis-
adari kalau Pendekar Pulau Neraka bukanlah lawan yang ringan. Karena, mereka pernah bertemu
dan bentrok hingga masing-masing menderita lu-
ka yang parah. Apalagi sekarang ini Pendekar Pu-
lau Neraka memegang Pedang Ular Mas yang me-
nurut gurunya merupakan pemunah ilmu kebal
miliknya yang selama ini amat dibanggakan.
Tidak heran kalau debu serta batu-batu sebe-
sar kepalan tangan kini beterbangan ke udara,
akibat pertarungan antara kedua tokoh persilatan
tingkat tinggi itu. Sementara yang lainnya segera
menyingkir, menyaksikan dari jarak yang cukup
jauh dan aman. Tampak pertarungan terus berja-
lan semakin sengit dan dahsyat. Masing-masing
sudah langsung mengeluarkan jurus-jurus ting-
kat tinggi yang begitu diandalkan.
“Hiyaaat!”
“Shyaat!”
Tubuh Iblis Cebol tiba-tiba saja bergerak ke
samping menghindari serangan Bayu sambil
mengayunkan toyanya. Sementara, Bayu kembali
mengapung di udara menghindari sambaran sen-
jata lawannya.
“Iblis Cebol! Terimalah kematianmu! Hiyaaa...!”
bentak Bayu lantang menggelegar.
Srangngng!
“Heh...!”
Iblis Cebol jadi tersentak kaget. Terdengar sua-
ra gemerincing nyaring yang memekakkan telinga,
ketika Pedang Ular Mas dicabut Pendekar Pulau
Neraka dari warangkanya tanpa menemui kesuli-
tan. Dan memang tidak perlu diragukan lagi kemampuan Pendekar Pulau Neraka dalam menca-
but pedang itu. Kini, cahaya kuning keemasan
langsung memantul dari batang pedang, sehingga
bisa menyilaukan mata siapa saja yang meman-
dangnya.
Selagi Iblis Cebol terperanjat kaget menyaksi-
kan kehebatan pedang itu, Bayu menggunakan
kesempatan ini sebaik-baiknya. Tubuhnya lang-
sung melesat cepat bagai kilat dengan sambaran
pedangnya. Namun manusia bertubuh cebol itu
masih sempat mengebutkan toyanya.
Trakkk!
Iblis Cebol terkesiap ketika senjatanya patah
menjadi dua bagian ketika terhantam pedang di
tangan Bayu. Bahkan pedang itu terus meluncur,
mengincar ubun-ubunnya. Begitu cepat serangan
Pendekar Pulau Neraka, sehingga Iblis Cebol
hanya mampu mendelik saja. Lalu....
Blesss!
“Aaa...!”
Iblis Cebol memekik setinggi langit begitu Pe-
dang Ular Mas melesak ke dalam tubuhnya, lewat
ubun-ubun. Bahkan pedang itu hanya terlihat
gagangnya saja. Iblis Cebol terhuyung-huyung.
Beberapa saat kemudian dia ambruk ke tanah
dengan nyawa melayang seketika. Tampak darah
sudah membasahi tubuh kerdil itu.
Bayu melangkah mendekati dan mencabut pe-
dang itu dari kepala lawannya. Lalu dia melihat
keanehan lain. Cahaya keemasan itu masih ter-
pancar, meski tidak sekuat saat dicabut dari warangkanya tadi. Tidak ada setetes darah pun yang
menempel di batang pedang ini. Padahal, tubuh
Iblis Cebol dipenuhi darah. Kemudian, dimasuk-
kannya pedang itu kembali dalam warangkanya.
Pendekar Pulau Neraka lalu melangkah mendeka-
ti Resi Wangsa Purbaya. Diangsurkannya pedang
dahsyat itu pada pemiliknya lagi.
“Kanjeng Resi, aku telah menunaikan kewaji-
banku. Terima kasih atas bantuanmu,” ucap Pen-
dekar Pulau Neraka.
“Kau tidak perlu berterima kasih padaku, Anak
Muda. Sesungguhnya, kami yang patut mengu-
capkan itu padamu,” sahut Resi Wangsa Purbaya
seraya menerima pedangnya kembali.
“Kakang Bayu, kau hebat sekali...,” sambut Di-
ah Kemuning dengan wajah haru dan ceria.
Tanpa menghiraukan ada orang lain di sekitar-
nya, gadis itu langsung saja memeluk hangat
Pendekar Pulau Neraka ini. Tidak ada perasaan
malu sedikit pun pada wajah gadis itu. Dan pelu-
kannya baru dilepas setelah Bayu menolakkan
tubuhnya dengan halus.
“Pendekar Pulau Neraka.... Kami sangat berte-
rima kasih atas segala bantuan yang kau berikan.
Budimu tentu saja tidak akan pernah kami lupa-
kan,” ujar Paman Sudira menyelak cepat
“Ki Sudira, kita sama-sama merasa punya ke-
wajiban untuk melenyapkan Iblis Cebol. Jadi, ti-
dak perlu berterima kasih padaku,” sambut Bayu
tidak ingin disanjung.
“Hatimu sungguh mulia, Kisanak. Nah! Karena
urusan telah selesai, kami mohon diri dulu,” lan-
jut Paman Sudira.
“Aku juga hendak melanjutkan perjalananku,”
sambung Pendekar Pulau Neraka cepat-cepat
Resi Wangsa Purbaya tidak dapat mencegah.
Hanya kepalanya saja yang mengangguk sedikit.
Sementara, mereka sudah melangkah meninggal-
kannya dengan arah tujuan sendiri-sendiri.
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar