HANTU RIMBA PERSILATAN
Oleh: Teguh S.
Cetakan pertama, 1992
Penerbit Sanjaya Agency, Jakarta
Setting oleh: Trias Typesetting
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini.
tanpa izin tertulis dari penerbit.
Teguh S.
Serial Pendekar Pulau Neraka
dalam episode :
Hantu Rimba Larangan
SATU
Bocah berusia sekitar tujuh tahun itu berkali- kali
dihardik oleh bapaknya. Wajahnya terlihat kecut dan
air matanya seperti hendak merembang di kelopak ma-
ta. Namun dikuatkan juga hatinya. Dan dengan keta-
kutan dia kembali memasang kuda-kuda.
"Duk!"
"Anak goblok! Tolol! Bagaimana mungkin kamu bi-
sa menjadi orang hebat kalau kuda-kudamu saja, tak
kokoh!" bentak bapaknya sambil menendang lutut ba-
gian belakang si bocah.
Anak kecil itu kembali terjerembab di tanah keras.
Keningnya berdarah. Dan kali ini dia tak kuat lagi me-
nahan rasa sakit. Air matanya meleleh ketika dia
bangkit tertatih-tatih sambil memandangi laki-laki
berkumis melintang yang melotot garang.
"Ayo cepat! Atau kutendang lagi pantatmu!
"Tapi ayah... seluruh tubuhku sakit sekali...."
"Laki-laki apa kau ini?! Baru terkena hajar begitu
sudah lembek! Cepat pasang kembali kuda-kudamu
dan ulangi kembali gerakan yang tadi kuajarkan!"
"Hup!"
Bocah itu mengulangi gerakan-gerakan dasar ilmu
silat yang tadi diajarkan bapaknya. Sebisa mungkin
dihemposnya seluruh tenaga agar terlihat mantap.
"Yang benar kau Jliteng! Atau kuhajar kau!" hardik
laki-laki berkumis melintang itu dengan wajah garang
melihat gerakan yang dilakukan anaknya terlihat le-
mah dan tak bertenaga.
Baru saja selesai kata-katanya, kaki kanannya te-
lah melayang menghantam punggung bocah yang ber-
nama Jliteng. Si bocah berusaha membungkukkan tu-
buh seperti pelajaran yang diingatnya. Kemudian
menggeser tubuh dan berbalik cepat menghantam pa-
ha lawan dengan satu tendangan keras.
Namun jangankan berbuat begitu. Untuk mem-
bungkukkan badan saja dia tak sempat. Tendangan
bapaknya sangat cepat dirasakan. Walau terlihat asal-
asalan namun karena keadaan tubuhnya yang letih,
Jliteng tersungkur dan kembali mencium tanah. Kali
ini dia mengaduh kesakitan sambil menggelepar.
"Bangun!"
Jliteng seperti tak mendengarkan bentakan itu. Bi-
asanya walau sakit bagaimana pun akan ditahannya,
dan dengan wajah ketakutan dia akan berusaha cepat
bangkit. Tapi tendangan itu ternyata betul-betul tak
tertahankan lagi sakitnya. Bocah kecil yang bernama
Jliteng cuma terisak sambil merintih kesakitan meme-
gangi punggungnya yang memar.
"Dari pada menjadi laki-laki tak berguna, men-
dingan sekalian saja kau mampus!" sentak laki-laki itu
bertambah geram lalu mencengkram kerah baju anak-
nya.
Si bocah diangkatnya tinggi-tinggi dan akan diban-
tingnya ke tanah. Namun pada saat yang bersamaan
menjerit satu suara yang membuat laki-laki itu men-
gurungkan niatnya sesaat. Dari dalam rumah keluar
seorang wanita berusia sekitar dua puluh lima tahun
sambil mengacungkan pedang ke arah laki-laki itu.
"Kakang Patisena, kalau kau tak suka mengajari
Jliteng ilmu silat, ya sudah! Aku tak akan memaksa.
Tapi kalau kau bermaksud menyiksa anakku, langkahi
dulu mayatku!"
Seperti sadar akan kelakuannya yang keterlaluan,
laki-laki itu melepaskan anaknya sambil menggeleng-
kan kepala dengan wajah lesu. Jliteng sendiri begitu
bebas dari cengkraman Bapaknya langsung mengham-
bur ke pelukan ibunya sambil menangis tersedu-sedu.
"Maaf Andini... aku tak bermaksud begitu..." ujar
Patisena dengan suara lemah.
"Cukup Kakang Patisena! Selama seminggu ini ku-
lihat kau bukan mengajari Jliteng ilmu silat, tap kau
malah menyiksanya! Aku sadar bahwa dia bukan anak
kandungmu sehingga mana mungkin kau mau menga-
jarkan dia dengan baik!"
"Andini, jangan berkata begitu! Aku hanya ingin
mengajarkan padanya bahwa hidup ini keras. Sebagai
laki-laki dia harus menyadari hal itu!"
"Menyadari apa? Menyadari untuk kau siksa setiap
hari? Tidak bisakah kau sedikit bersikap lunak pa-
danya? Apakah begitu caranya kau mendidik anak la-
ki-laki agar menjadi keras dengan cara menyiksanya
habis-habisan?! Katakan Kakang Patisena, bahwa kau
tak sayang padanya. Dalam hatimu hanya ada keben-
cian karena wajah Jliteng mirip dengan almarhum
ayahnya sehingga membuat batinmu panas setiap kali
melihatnya!" sentak wanita itu dengan suara berapi-api
penuh kemarahan.
Patisena terkejut mendengar tuduhan itu. Benar-
kah apa yang dikatakan Andini? Wajah Jliteng me-
mang mirip dengan Bomantara, ayah kandung Jliteng.
Dulu ketika masih muda mereka sahabat karib. Sam-
pai kemudian tanpa disadari keduanya menaruh hati
pada seorang gadis yang merupakan kembang paling
harum di desa mereka, yaitu Andini.
Namun karena Bomantara berparas lebih tampan
dan halus budi bahasanya, Andini lebih tertarik pa-
danya. Patisena waktu itu memang sakit hati.
Cintanya pada Andini begitu mendalam. Dan meli-
hat Bomantara berhasil mempersunting Andini, timbul
dendam dan kebencian di hatinya. Semua penduduk
desa mengetahui hal itu. Tingkahnya sering ugal-
ugalan dan brangasan. Namun sampai sejauh itu dia
masih bersikap ksatria dan tak mau mengganggu ru-
mah tangga sahabatnya. Patisena mengalah dan pergi
meninggalkan desanya untuk mengembara.
Beberapa tahun kemudian dia kembali dan men-
dapati Andini telah menjanda dan mempunyai seorang
anak. Walaupun demikian hasrat hatinya tetap meng-
gebu untuk menyunting Andini, dan ketika hal itu di-
utarakan, ternyata dia tak bertepuk sebelah tangan.
Andini menyambut baik dengan satu persyaratan
bahwa Patisena harus menganggap Jliteng, anak hasil
perkawinannya dengan Bomantara, sebagai anaknya
sendiri.
"Andini... sudahlah. Jangan bawa-bawa persoalan
ini di depan anak-anak. Aku memang salah. Maafkan-
lah..." kata Patisena pelan.
Mendengar kata-kata Patisena semakin me-lunak,
luluh juga hati wanita itu. Pedang ditangannya ditarik
kembali. Diusap-usapnya kepala Jliteng dengan penuh
kasih sayang.
"Sejak ayahnya meninggal dia tak punya siapa-
siapa lagi selain diriku. Bersamamu penuh harapanku
agar anak ini mendapat kebahagiaannya kembali.
Mungkin aku salah terlalu berharap banyak agar kau
pun sayang padanya..." ujar Andini pelan.
"Aku sayang padanya...."
Andini terdiam mendengar kata-kata Patisena. Dili-
riknya Patisena sekilas. Kemudian melangkah mende-
kati sambil merangkul mereka berdua.
"Aku sayang pada kalian..." desah Patisena kemba-
li.
Diraihnya pedang yang masih dalam genggam-an
isterinya, dan dibimbingnya mereka ke dalam bersa-
ma-sama. Patisena menggendong Jliteng sambil men-
gusap-usap kepala anak itu.
*
* *
Siang yang terik itu perlahan-lahan memudar keti-
ka sekumpulan awan kelabu berarak di angkasa. Pati-
sena duduk beralaskan tikar di ruang depan rumah
mereka. Sesekali bola matanya melirik ke kamar. Ter-
lihat Jliteng tertidur pulas setelah tubuhnya diurut
dan dibaluri obat.
Dia beranjak ke ruang tengah ketika melihat iste-
rinya baru saja selesai menyusui putri bungsu mereka
yang baru berusia kurang dari dua tahun, buah per-
kawinan mereka berdua. Bocah mungil itu tertidur dan
bibirnya menyungging senyum menggemaskan. Patise-
na meliriknya sekilas, kemudian sambil menghela na-
fas panjang kembali dia mondar-mandir di ruang de-
pan.
Andini beranjak mendekatinya setelah me-
nidurkan anak bungsunya di kamar. Dengan penuh
kelembutan diusapnya punggung suaminya sambil
menyandarkan wajahnya.
Patisena seperti tak bereaksi. Pandangannya lurus
ke depan menatap pekarangan yang ditumbuhi pepo-
honan. Wanita itu merasa heran dan menghela nafas
pendek.
"Kakang marah atas kata-kataku tadi...?" tanya
Andini pelan.
Patisena memandang wajah isterinya sekilas. Ke-
mudian dia menggelengkan kepala sambil duduk di
atas balai-balai. Andini pun ikut duduk di sampingnya.
"Tidak."
"Kelihatannya Kakang gelisah terus sejak tadi?"
Patisena diam tak menjawab.
"Katakanlah, Kakang Patisena, apakah kakang ma-
rah? Aku sudah memaafkan perbuatanmu tadi pagi,
asal kakang berjanji tidak mengulanginya lagi. Bagai-
manapun juga aku masih tetap berharap agar Kakang
bisa menerima Jliteng sebagai anak kandung sendiri.
Bukankah Kakang telah berjanji demikian ketika
mcngawiniku dulu?"
"Andini, aku sudah menganggap Jliteng sebagai
anak kandungku sendiri...."
"Jadi apa lagi yang merisaukan pikiran Kakang?"
"Entahlah, aku pun tak tahu. Tadi malam aku
mimpi buruk dan sangat mengganggu sekali. Mimpi
yang sama seperti kenyataan yang bakal terjadi. Bertu-
rut-turut dalam seminggu ini..."
"Mimpi? Mimpi apa, Kakang? Kenapa kau tak per-
nah menceritakannya padaku?" tanya Andini terkejut.
Patisena melirik isterinya, kemudian meman-
dangnya tajam-tajam.
"Kau ingat kematian Bomantara?" tanya Patisena
pelan.
"Tentu saja aku ingat. Saat itu dia disuruh guru ki-
ta dalam suatu tugas bersama dua orang kawannya
yang lain. Mereka tewas dibunuh, menurut keterangan
orang-orang yang mengantarkan mayatnya. Tapi apa
hubungannya dengan mimpimu?"
Patisena menghela nafas. Terasa berat dan sesak.
"Bukankah sampai saat ini kau, aku, bahkan al-
marhum guru kita tak tahu sebab kematiannya dan
dia tewas oleh siapa?"
"Kami menduga bahwa Kakang Bomantara dibu-
nuh oleh musuh-musuhnya...."
"Tidak mungkin, Andini. Di luaran sana Bomantara
tidak mempunyai musuh. Kalaupun ada yang men-
dendam dan benci kepadanya, orang itu adalah aku.
Tapi aku bersumpah tidak membunuhnya. Walaupun
dia yang mendapatkanmu, aku tak sepicik dan seren-
dah itu untuk membunuhnya!"
"Aku percaya, Kakang Patisena. Tapi ceritamu se-
makin membuatku bingung...."
"Tahukah kau, Andini kira-kira siapa orang yang
membenci kita dan kawan-kawan sepermainan kita
dulu semasa kita masih remaja? Maksudku, adakah
orang yang pernah kau ingat di desa kita ini dulu?
Orang yang sangat aneh dan sering diejek oleh kawan-
kawan kita yang lain?"
Andini mengingat-ingat sesuatu sampai keningnya
berkerut. Tiba-tiba dia tersentak kaget.
"Astaga! Apakah yang kau maksud anak yang ting-
gal di tepi hutan itu?!"
Patisena mengangguk.
"Ya, pemuda yang memiliki keanehan seperti tak
masuk akal. Dia memiliki dua buah kepala dan dua
pasang tangan. Dulu kita sering mengejeknya sebagai
anak setan, anak haram, dan anak pembawa malape-
taka. Bahkan hampir semua pemuda di desa ini yang
sebaya dengan kita memperlakukannya dengan kejam.
Termasuk juga aku. Gadis-gadis berpaling dan mem-
buang ludah di depan matanya ketika dia memandang
kalian. Kau pun berbuat seperti itu padanya. Bahkan
aku ingat, kaulah yang paling jijik bila dia meman-
dangmu sering-sering," ujar Patisena.
Entah kenapa tiba-tiba bulu kuduk Andini merind-
ing mengingat kejadian itu. Pemuda itu entah datang
dari mana, tapi dia diasuh oleh perempuan tua yang
hidup sendiri di dekat hutan pinggiran desa mereka.
Pada waktu-waktu tertentu dia sering berjalan di desa,
sepertinya ingin bergaul dengan mereka semua.
Patisena dan Bomantara paling suka mengejek dan
menyiksa pemuda itu. Lebih-lebih lagi mereka berdua
memang murid terpandai Ki Sena Manggala, orang tua
yang menjadi guru hampir semua muda-mudi di desa
ini. Kasihan pemuda aneh itu. Dia cuma mengeluh dan
berteriak kesakitan kalau kedua pemuda itu telah
memukulinya. Dari sorot matanya terlihat api dendam
dan kebencian. Dan kalau sudah begitu maka pemu-
da-pemuda yang lainnya bertambah senang memuku-
linya. Sampai ibu dari pemuda aneh itu datang dan
menghardik pemuda-pemuda yang memukul anaknya.
Kemudian dengan penuh kasih sayang dituntunnya
anaknya pulang sambil berkeluh kesah.
Tapi pemuda aneh itu sepertinya tak pernah mera-
sa kapok. Beberapa hari kemudian dia datang lagi.
Bahkan dia berani mengintip gadis-gadis yang sedang
mencuci dan mandi di pancuran. Dan, bila pemuda-
pemuda di desa itu mengetahuinya, maka tak ampun
lagi mereka langsung memukulinya sampai babak be-
lur.
Tapi ketika ibunya meninggal, pemuda aneh itu
pun tak pernah terlihat lagi. Dia hilang bagai ditelan
bumi.
"Apakah... apakah mimpimu berkaitan dengan pe-
muda itu...?" tanya Andini ragu.
Patisena mengangguk pasti.
"Itulah yang merisaukanku. Beberapa hari ini
mimpi itu semakin terbayang nyata. Dia datang sambil
tersenyum dan menjinjing kepala Bomantara yang di-
tujukannya padaku...."
"Apa?!" pekik Andini kaget sambil memandang wa-
jah suaminya tajam.
"Maaf Andini, aku tak bermaksud menyinggung pe-
rasaanmu. Itulah yang membuatku melatih Jliteng
dengan keras. Agar dia mampu melindungi dirinya dari
lawan kelak."
Andini terdiam beberapa saat. Bola matanya mene-
rawang ke mana-mana dengan wajah gelisah.
"Hei!"
Sebuah bayangan melintas di halaman depan. An
dini cepat bergerak menyambar pedang yang tergan-
tung di dinding.
*
* *
Ada apa?" tanya Patisena cemas.
"Bersiaplah, Kakang...!" bisik Andini lirih sambil
melangkah pelan ke depan.
Patisena mengikuti dari belakang dengan pedang di
tangan.
"Aaaa...!"
Suami istri itu saling pandang ketika mendengar
jerit tertahan dari arah kamar.
"Anakku!" pekik Andini sambil melompat ke kamar.
Patisena sigap menghadapi segala kemungkinan.
Tapi belum lagi mereka tiba, dari dalam kamar melesat
dua sosok tubuh kecil dan persis jatuh di kaki mereka.
"Anakku!" jerit Andini dengan tubuh terguncang.
Wajah wanita itu pucat pasi begitu melihat Jliteng
dan putri bungsunya yang baru berusia setahun lebih,
tewas dengan kepala remuk. Dipeluknya kedua tubuh
yang sudah tak bernyawa itu dengan kesedihan yang
mendalam.
"Anjing biadab! Siapa yang melakukan ini?!" bentak
Patisena langsung menerjang ke dalam ka-mar dengan
pedang terhunus.
Namun dengan tiba-tiba satu bayangan melesat
memapaki. Patisena membabatkan pedangnya dengan
cepat.
"Tak!"
"Begkh!"
"Akh!"
Patisena terkejut. Gerakan lawan sangat cepat.
Bukan saja dia tak berhasil mengirimkan serangan
maut, tapi dengan tiba-tiba tangannya seperti dihan-
tam besi keras dan membuat pedangnya terlepas. Be-
lum sempat mengetahui apa yang terjadi tiba-tiba da-
danya dihantam oleh suatu benda yang amat keras
dan membuat tubuhnya terlempar menghantam dind-
ing kamar hingga jebol. Dari mulut dan hidungnya
mengalir darah segar.
"Si... siapa kau?! Hah? Ka... kau...?"
Sosok tubuh berdiri di hadapannya. Pandangan
mata Patisena agak gelap. Namun ketika dia mene-
gaskan, bukan main terkejutnya laki-laki itu. Sosok
tubuh yang berdiri di hadapannya inilah yang selalu
menghantui mimpinya. Pemuda aneh berkepala dua
dan bertangan empat.
"Dolu Lungkat?!" pekik Andini halus ketika menge-
tahui siapa bayangan itu sebenarnya.
Seperti Patisena, dia pun tersentak kaget, dan tan-
pa sadar menyebut nama pemuda aneh itu.
Melihat namanya disebut, pemuda aneh itu meno-
leh. Kali ini Andini dapat melihat dengan jelas keadaan
tubuhnya yang ganjil. Kepalanya bulat lonjong dan ada
dua buah. Yang satu agak lebih besar, namun wajah-
nya serupa betul. Hitam legam dengan sorot mata yang
tajam menakutkan seperti rajawali hendak menerkam
mangsa. Satu tangan kanannya menuding, dan satu
tangan kiri bertolak pinggang, sedangkan dua lengan
yang lainnya diam tak bergerak.
"Hmmm... kalian masih mengenaliku rupa-nya.
Bagus! Hari ini adalah hari pembalasan untuk manu-
sia-manusia terhormat seperti kalian. Kau akan mam-
pus seperti Bomantara, dan suamimu sekarang dalam
keadaan sekarat. Sebentar lagi dia pun akan menyusul
kawannya. Tapi kau! Sebelum kau mati, ada hadiah
dariku yang akan kau bawa ke akherat!" suara pemu-
da aneh itu serak dan berat.
"Ja... jadi kau pembunuh suamiku Bomantara
yang..."
Belum lagi habis kata-kata Andini, pemuda aneh
itu bergerak cepat dengan sebelah tangan melambai ke
arahnya. Andini mencoba menangkis. Tanpa mengelak
pemuda aneh itu menangkap pergelangan tangan An-
dini. Entah bagaimana tiba-tiba gadis itu telah berada
dalam pelukannya. Dan tangan-tangan yang lain ber-
gerak merobek baju yang dikenakan wanita itu.
"Keparat! Apa maksudmu?! Lepaskan aku! Le-
paskan...!" teriak Andini berusaha berontak.
Percuma saja Andini berontak, karena kedua tan-
gan pemuda aneh itu mendekapnya erat sekali. Kemu-
dian dengan tiba-tiba tubuh Andini direbahkannya ke
lantai dan dengan beringas dia melampiaskan nafsu
setannya pada wanita itu. Andini berusaha berontak
tapi sia-sia saja. Tubuhnya terasa lemah tak berdaya,
dan kerongkongannya seperti tersumbat ketika bebe-
rapa bagian tubuhnya ditotok pemuda aneh itu.
Sementara dengan sisa tenaganya Patisena beru-
saha bangkit untuk menolong isterinya. Kemarahan-
nya begitu memuncak sampai urat-urat di pelipisnya
menegang. Tapi dia tak sampai melangkah ketika da-
danya terasa nyeri bukan kepalang. Tubuhnya kembali
tersungkur persis di dekat isterinya yang tak berdaya
digumuli pemuda bertubuh aneh itu.
"Ke... keparat...!" makinya geram ketika pemuda
aneh itu selesai melampiaskan perbuatan bejatnya.
"Itulah hadiah dariku atas apa yang kau berikan
padaku dulu. Penghinaan dan pandangan menjijikkan!
Nah, sekarang pergilah kalian ke akherat!"
"Crab!"
"Des!"
"Aaaa...!"
Dengan tiba-tiba tangan pemuda aneh itu men
cengkram dada kiri Andini. Gadis itu memekik kesaki-
tan ketika jantungnya dikorek keluar. Pada saat yang
bersamaan tubuh Patisena kembali menghantam dind-
ing ketika satu tendangan menerpanya.
Suami isteri itu tewas seketika, dengan tubuh pe-
nuh luka yang mengerikan. Pemuda bertubuh aneh itu
meninggalkannya sambil mengeluarkan tawa yang me-
nyeramkan.
***
DUA
Matahari belum lagi terbenam ketika hujan turun
seperti dicurahkan dari langit. Tanah-tanah yang ta-
dinya kering kini mulai lembab dan sebentar lagi be-
cek. Pohon-pohon tampak bergoyang-goyang ditiup an-
gin sambil melambai-lambaikan rantingnya yang ber-
daun lebat. Seperti merayakan hari kegembiraan atas
turunnya hujan yang memberikan kehidupan bagi me-
reka. Tapi tidak demikian halnya dengan seorang pe-
muda tampan berbaju kulit harimau. Dia dan seekor
monyet kecil di pundaknya berlari-lari kecil sambil
mendesah kesal mencari perlindungan.
"Hmmm... untung ada tebing yang bentuknya se-
perti ini," kata pemuda berbaju kulit harimau menghe-
la nafas lega.
"Nguk!"
"Yaah... lebih baik sedikit basah dari pada mandi
hujan dan kedinginan," sahut pemuda berbaju kulit
harimau yang ternyata adalah Bayu Hanggara atau le-
bih dikenal dengan Pendekar Pulau Neraka.
Mereka berdua berteduh pada sebuah batu yang
menempel di sisi sebuah tebing. Batu itu agak menjorok ke dalam kira-kira lima jengkal. Sehingga merupa-
kan tempat berteduh yang amah dari siraman air hu-
jan.
"Nguk!"
Monyet kecil berbulu hitam menyeringai lebar
sambil menepuk-nepuk perutnya. Bayu terkekeh sam-
bil menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. Wajah-
nya terlihat kesal sekali.
"Ah, hujan sial! Datang tiba-tiba mengejutkan
orang saja. Padahal kita sedang enak-enak bersantap.
Kau lihat Tiren! Aku cuma sempat membawa sekerat
daging kijang ini. Padahal yang tertinggal masih cukup
untuk dua hari lagi."
"Nguk...!"
Tiren mencericit sambil sesekali menunjukkan wa-
jah tak senang dengan kata-kata yang diucapkan
Bayu.
"Kenapa? Kau tak suka aku berkata begitu? Jelas,
karena daging itu bukan jatahmu. Paling buah-buahan
yang kau petik tertinggal dan gampang mencarinya la-
gi. Tapi daging kijang? Sulit diperoleh!"
"Kaaaakh!"
"Lho, kenapa?"
"Nguk! Nguk!" Tiren menyeringai garang sambil
menunjukkan tangannya ke atas.
"O... kau mau disambar petir?" tanya Bayu sambil
terkekeh menggoda sahabatnya.
"Kaaaakh...?" Tiren terlihat semakin kesal dengan
jeritan kerasnya itu.
"Iya, iya... aku mengerti maksudmu. Kita harus
berterima kasih atas turunnya hujan sebab ini anuge-
rah Yang Maha Kuasa. Begitu?"
Tiren tersenyum lebar sambil menepuk-nepuk-kan
tangan di atas kepalanya.
"Tapi bukan berarti kita tak boleh kesal. Itu bukan
berarti kita tidak mensyukuri, tapi... ya, pokoknya
kesal saja! Orang lagi enak-enaknya bersantap tiba-
tiba turun hujan. Huh, mana perut sedang lapar!" ge-
rutu Bayu kembali.
Pemuda itu memang sengaja berkata begitu agar
sahabatnya jengkel. Dan benar saja. Binatang cerdas
itu betul-betul seperti mengerti ucapan manusia. Khu-
susnya apa yang diucapkan oleh Bayu. Kembali dia
mencericit dengan suara ribut sambil memperlihatkan
wajah garang.
"Ha ha ha ha...! Nah, begitu lebih bagus, Tiren. Pal-
ing tidak saat hujan begini ada yang dijadikan hibu-
ran. Daripada kesal memikirkan perut lapar."
"Nguk!"
"Lho, kok berhenti? Ayo, menjeritlah yang keras!"
Monyet kecil berbulu hitam itu malah membuang
muka dan bungkam tanpa mengeluarkan suara sedikit
pun. Bayu semakin geli saja melihat tingkahnya.
Kilat menyambar-nyambar di angkasa. Cuaca yang
tadinya gelap tiba-tiba menjadi terang sesaat. Pandan-
gan Bayu yang tajam melihat sesuatu pada jarak sepu-
luh tombak di depannya.
"Hei?!"
Tubuhnya melesat cepat menembus derasnya air
hujan. Tiren terpaksa mengikuti dari belakang.
Apa yang dilihat Bayu ternyata seorang bocah pe-
rempuan berusia enam tahun yang sedang menekuri
dua sosok tubuh yang telah menjadi mayat. Bajunya
kuyup oleh air hujan. Wajahnya menekur sambil me-
mandangi kedua mayat itu tak berkedip. Bibirnya yang
mungil mulai membiru ketika tubuhnya bergetar hebat
karena kedinginan. Tapi semuanya seperti tak dirasa-
kan. Betul-betul bocah yang keras hati.
"Siapa namamu, Nak? Mengapa kau berada di si-
ni?" tanya Bayu ramah sambil menepuk pundaknya.
Bocah kecil itu menoleh, dan terlihat wajahnya
yang pucat menampakkan ketakutannya yang hebat.
Buru-buru dia bangkit dan bermaksud kabur dari
tempatnya itu.
"Hei! Jangan takut. Aku tak bermaksud melukai-
mu!" teriak Bayu sambil mencekal pergelangan tangan
bocah itu.
"Ampun...! Ampuuun...! Jangan bunuh aku. ayah...
ibu... tolong! Jangan bunuh aku...!" teriak-nya sema-
kin panik.
Bayu berusaha menenangkannya. Tapi bukan-nya
diam, bocah itu semakin keras berontak dan berteriak-
teriak ketakutan.
"Nguk! Nguk!"
"Ohhh...."
Melihat seekor monyet kecil yang meman-dangnya
sambil mengulurkan tangan, bocah kecil itu seketika
tertegun. Tapi tak lama kemudian dia kembali berusa-
ha berontak untuk melepaskan diri dari cekalan Bayu.
"Adik manis, diamlah. Aku tak bermaksud jahat
padamu. Demikian pula Tiren. Kami ingin berkawan
denganmu...."
Bocah itu seperti tak perduli dengan kata-kata
Bayu. Dia terus menjerit-jerit ketakutan. Bayu bilang
kesabarannya melihat keadaan itu.
"Diam!" bentaknya keras.
Bocah perempuan itu tersentak kaget. Wajah pias
seperti mayat. Bibirnya bergetar hebat. Bukan saja
oleh rasa dingin yang menyengat, tapi juga oleh rasa
takut yang memuncak di hatinya. Suaranya seperti
tersangkut di kerongkongan. Dipandanginya wajah
pemuda berambut gondrong dengan mimik seperti
orang melihat sesuatu yang mengerikan yang akan
mengancam jiwanya.
"Nah, begitu lebih baik dari pada kau terus berteriak-teriak seperti orang gila..." lanjut Bayu dengan su-
ara ramah.
"Nguk!"
"Namaku Bayu, dan ini sahabatku, Tiren. Kami ti-
dak jahat karena ingin berkawan denganmu. Kau tentu
mau menerima kami sebagai kawanmu, bukan?"
Bocah itu masih diam tak menyahut. Ke-
takutannya seperti tak hilang sedikit pun di wajahnya.
Bayu menggelengkan kepala sambil menghela nafas
panjang. Tubuh mereka telah kuyup oleh air hujan,
dan ketika sekali lagi berusaha ramah, bocah itu tetap
tak memberikan reaksi. Dia melirik sekilas pada dua
sosok mayat yang tergeletak di depannya.
"Apakah mereka ini ayahmu? Pamanmu? Atau
saudaramu...?" tanya Bayu lirih.
Bocah perempuan itu cuma melirik sekilas tanpa
menyahut sepatah kata pun.
"Hmmm... sungguh kejam orang yang telah mem-
bunuh mereka. Awas! Kalau sampai bertemu dengan-
ku dia tak akan lolos. Akan kupatahkan lehernya!" ge-
ram Bayu.
Bocah itu melirik lagi ke arah Bayu. Kali ini keta-
kutannya sedikit mereda. Entah oleh kata-kata Bayu
atau hatinya mulai percaya bahwa pemuda di depan-
nya bukanlah orang jahat.
"Betulkan Tiren? Akan kita patahkan leher orang
yang telah berbuat kejam itu!"
"Nguk!"
*
* *
"Wa... wajahnya seram...."
"Hei! Apa katamu?"
Bocah perempuan itu memandang ragu pada pe
muda berbaju kulit harimau.
"Jangan takut. Kami adalah kawanmu. Kita akan
balas perbuatan orang yang telah membuat paman-
pamanmu ini mati. Orang itu harus mendapat huku-
man yang berat."
"Be... betulkah?"
"Tentu saja! Orang itu pasti jahat, dan orang jahat
harus dihukum."
"Tapi orang itu berilmu tinggi. Kedua pamanku tak
mampu melawannya."
"Hmmm... jadi mereka ini adalah pamanmu? Siapa
yang telah membunuh mereka?"
"Seorang berwajah seram. Kepalanya ada dua dan
tangannya empat."
"Apa?!" Bayu terkejut mendengar keterangan bocah
itu.
"Betul, Paman. Aku melihat sendiri dari balik se-
mak-semak. Ketika itu aku bermaksud pipis, dan be-
rada agak jauh dari kedua paman. Tiba-tiba orang itu
muncul. Mereka berkelahi, tapi dia dengan mudah
membunuh paman-pamanku. Aku tak berani keluar
karena takut. Jadi hanya bersembunyi di balik semak-
semak saja...."
Bayu tertegun mendengar cerita bocah perempuan
itu. Tidak salahkah kata-katanya? Seorang tokoh ber-
kepala dua dan bertangan empat? Apa bukan karena
rasa ketakutannya saja?
"Apakah paman tak percaya ceritaku?"
"Ehh... percaya. Tentu saja paman percaya pada ceri-
tamu. Nah, kalau mereka paman-pamanmu, tentu kau
punya orang tua bukan? Di mana mereka berada, biar
aku antar kau pulang."
"Aku tak tahu jalan pulang, Paman..." sahut bocah
perempuan itu lesu.
"Hmmm... apakah kau tak tahu nama desamu?"
"Kalau itu aku ingat. Desa Kedungbala."
"Kalau begitu biar kita kubur mayat pamanmu ini,
dan setelah itu kita akan mencari desa tempat asal-
mu," sahut Bayu.
Setelah mengubur kedua mayat itu, mereka lang-
sung meninggalkan tempat tersebut. Tiren berada di
pundaknya, dan bocah perempuan itu digendongnya di
belakang ketika Bayu mengerahkan ilmu lari cepatnya.
"Takut?" tanya Bayu diantara desir angin yang
membuat bocah itu sulit untuk melihat ke depan.
"Ti... tidak."
"Ha ha ha ha.... Sebentar lagi tentu kau akan ter-
biasa. Oh, aku lupa siapa namamu?"
"Ambar, Paman."
"Ambar? Hmm... nama yang bagus dan cantik se-
perti orangnya," puji Pendekar Pulau Neraka.
"Paman dari desa mana?" tanya bocah bernama
Ambar mulai berani.
"Paman berasal dari jauh. Di sebuah pulau dekat
Pantai Selatan"
"Apakah paman masih punya orangtua?"
"Orangtua paman sudah meninggal sewaktu pa-
man masih kecil."
"Paman tentu sedih, bukan?"
Bayu tersenyum sambil menganggukkan kepala.
Sepanjang perjalanan mereka, bocah perempuan itu
mulai banyak bertanya dan terlihat sifat aslinya yang
polos dan riang sebagaimana layaknya bocah-bocah
seumurnya.
Setelah bertanya pada beberapa orang yang mereka
temui di tengah perjalanan, mereka tiba di desa yang
dituju. Desa itu persis berada di pinggiran sebuah hu-
tan dekat kaki gunung. Tapi bukan satu-satunya desa
yang terdapat di situ. Ada dua desa lagi yang agak ber-
dekatan jaraknya.
Hari telah malam ketika mereka sampai di Desa
Kedungbala. Suasananya tampak sepi. Tapi Ambar te-
rus menghambur sambil berlari kecil menuju rumah-
nya.
"Ayaaah.... Ibuuu...!"
Bayu mengikuti dari belakang. Tak berapa lama
pintu depan rumah yang dituju bocah itu terkuak. Se-
pasang suami istri berusia setengah baya menyambut-
nya dengan suka cita. Mereka berpelukan sesaat me-
numpahkan kerinduan. Namun ketika Ambar mulai
menceritakan kejadian yang dialaminya, kedua orang
tuanya terperanjat kaget.
"Untung ada Paman Bayu yang mengantarkan Am-
bar pulang. Kalau tidak tentu Ambar akan ke-sasar
dan tak akan menemukan jalan pulang ke sini," celo-
teh bocah itu dengan mulut bijak.
Dengan sifat kekanak-kanakkannya yang polos,
Ambar menarik tangan Bayu dan memper-
kenalkannya pada kedua orang tuanya.
"Terima kasih atas pertolongan Ki sanak pada anak
kami” kata ayah Ambar dengan wajah haru.
"Ah, tidak apa. Itu sudah menjadi kewajiban kita
sebagai manusia untuk saling tolong menolong."
"Tampaknya Ki sanak telah melakukan perjalanan
jauh. Kalau tidak keberatan menginaplah di rumah
kami. Apalagi hari telah malam begini...."
"Terima kasih kalau tidak merepotkan...."
Bayu mengikuti mereka beranjak ke dalam. Ke-
luarga ini bukan termasuk orang berada, tapi mereka
menyambutnya berlebihan sekali. Segala hidangan di-
keluarkan ketika mereka makan bersama. Seorang ga-
dis manis berusia sekitar lima belas tahun melaya-
ninya dengan cekatan.
"Ini adik istri saya. Namanya Puji Lestari," kata
Ayahnya Ambar tanpa diminta.
Bayu menganggukkan kepala. Ketika dilirik-nya,
gadis itu sedang melirik pula ke arahnya. Tapi buru-
buru dia menundukkan kepala sambil menuangkan air
minum pada cangkir pemuda berambut gondrong ber-
wajah tampan itu.
Setelah selesai makan, mereka berkumpul di ruang
tengah dan saling bercerita. Tapi malam ini suasa-
nanya lain. Berita yang dibawa Ambar sungguh menge-
jutkan hati dan membuat laki-laki bertubuh kurus
yang tak lain dari ayahnya Ambar, lebih banyak ber-
diam diri.
"Maaf, Kisanak. Desa ini terlihat begitu sepi, meli-
hat dari jumlah rumah yang ada mestinya merupakan
desa yang cukup ramai," tanya Bayu sekedar membu-
ka pembicaraan.
"Tadinya memang cukup ramai. Tapi dalam dua
hari ini telah banyak orang yang mengungsi...."
"Mengungsi? Kenapa?
Laki-laki kurus itu tersenyum getir.
"Desa kami ini tampaknya sudah tak aman lagi di-
huni...."
"Kenapa begitu, Ki sanak?"
"Seorang berkepandaian tinggi telah menjatuhkan
hukuman mati bagi seluruh penduduk desa!"
"Heh? Sungguh aneh. Siapa orang itu dan apa
haknya menghukum mati semua orang yang belum
tentu bersalah?"
"Ceritanya panjang Ki sanak...."
"Kalau Ki sanak mau menceritakannya, tentu aku
akan suka mendengarkannya sampai selesai...."
"Ayah, ceritakanlah. Paman Bayu akan menolong
kita semua. Paman Bayu hebat. Dia bisa berlari lebih
cepat dari kuda!" celetuk Ambar bersemangat.
Laki-laki bertubuh kurus itu menarik nafas pan-
jang sesaat sebelum menceritakan peristiwa yang ter
jadi di desa mereka dalam waktu seminggu belakan-
gan.
"Ooh... benarkah itu?!" tanya Bayu seperti tak per-
caya.
Wajah pemuda itu tampak kaget. Apa yang di-
ceritakan laki-laki ini sama dengan apa yang dilihat
Ambar tentang pembunuh kedua pamannya.
"Betul Ki sanak. Orang itu memang berkepala dua
dan bertangan empat. Dulu dia penduduk desa ini, ta-
pi karena semua penduduk desa tak menyukainya, dia
dikucilkan. Bahkan beberapa pemuda sebayanya ser-
ing memperlakukannya dengan kejam. Mungkin dia
dendam dan ingin menuntut balas!"
*
* *
Bayu mengangguk-anggukkan kepala dengan wa-
jah takjub. Sulit dipercaya ada orang seaneh itu. Tapi
laki-laki bertubuh kurus bercerita dengan cara yang
meyakinkan. Hingga mau tak mau timbul juga rasa
percayanya walau belum sepenuh hati. Tapi apa uru-
sannya menjatuhkan hukuman mati bagi seluruh pen-
duduk desa ini?
"Tidak ada yang berusaha melawan? Atau barang-
kali mereka hendak menyelamatkan diri? Atau juga
mendatangkan bala bantuan dari luar?" tanya Bayu
hati-hati.
"Tiada seorang pun yang mampu melawannya. Be-
berapa orang telah mencoba, tapi mereka tewas den-
gan mudah. Ada penduduk yang mencoba mengungsi,
tapi mereka tak ada yang selamat karena telah tewas
sebelum keluar dari desa ini. Kami pun telah mencoba
mendatangkan bantuan seperti yang kau lihat. Kusu-
ruh adikku untuk pergi mencari saudaraku yang paling tua di desa lain. Beruntung dia dapat selamat ke-
luar dari desa, bahkan membawa Ambar yang secara
diam-diam mengikutinya. Tapi akhirnya jadi begini.
Dia pun tewas sebelum kembali ke desa ini. Hhh... en-
tah bagaimana caranya. Kalau saja Ki Sena Manggala
masih hidup tentu lain ceritanya..." kata laki-laki itu
mengakhiri ceritanya sambil menghela nafas sesak.
"Ki Sena Manggala? Siapa dia?" tanya Bayu ingin
tahu.
"Dia seorang pendekar hebat yang kemudian mene-
tap di desa ini. Banyak muda-mudi yang berguru pa-
danya. Termasuk juga Bomantara dan Patisena...."
"Siapa mereka Ki sanak?" tanya Bayu kembali.
"Dua orang murid Ki Sena Manggala yang ter-
pandai. Tapi mereka pun tewas. Bahkan kematian ke-
luarga Patisena terjadi secara mengerikan.
"Dibunuh oleh orang yang sama?"
"Ya...!"
"Hmmm... sungguh kejam sekali orang itu..." gu-
mam Bayu geram.
"Dia sengaja membuat kami ketakutan me-nunggu
giliran, sebelum mati ditangannya satu persatu...."
"Dapatkah Ki sanak menunjukkan padaku di mana
orang itu berada?"
"Ki sanak akan mendatanginya?"
Bayu menganggukkan kepala mantap.
Laki-laki kurus itu menggelengkan kepala berkali-
kali sambil menghela nafas panjang.
"Hei?!"
Bayu tiba-tiba tersentak dan cepat berdiri tegak
mengawasi pintu depan dengan pandangan tajam. Se-
lintas terlihat olehnya sebuah bayangan bergerak ce-
pat. Pemuda berbaju kulit harimau bermaksud menge-
jar keluar, namun dia cepat berpikir jika hal tersebut
merupakan suatu pancingan agar bayangan itu bisa leluasa masuk ke dalam.
Pendekar Pulau Neraka menunggu beberapa saat.
Belum terdengar tanda-tanda yang mencurigakan.
Bahkan pendengarannya yang tajam tak mendengar
suara apa pun. Apakah matanya tadi salah melihat?
Tak mungkin! Walau bayang tadi bergerak cepat sekali,
tapi penglihatannya tak bisa tertipu.
Sekilas diliriknya keluarga itu. Wajahnya pucat dan
tegang seperti dicekam ketakutan yang hebat.
"Ki sanak yang berada di luar, silahkan masuk jika
bermaksud baik. Keluarga ini tentu akan menyam-
butmu dengan senang hati!" kata Bayu dengan suara
keras.
Belum terdengar ada reaksi. Bayu kembali me-
nunggu beberapa saat lamanya sambil memberi isyarat
kepada empat orang itu agar jangan bergerak mening-
galkan tempatnya.
***
TIGA
"Hup!"
Tubuh Pendekar Pulau Neraka mencelat ke atas
wuwungan menyambut sosok bayangan yang tiba-tiba
melesat turun dengan cepat menjebol atap rumah.
"Yeaaa...!"
"Plak!"
Benturan pukulan antara keduanya tak dapat di-
elakkan lagi. Tubuh Pendekar Pulau Neraka ter-jajar
ketika jatuh ke bawah sambil bersalto dengan ringan.
Namun dia cepat bangkit dan mengirim satu serangan
kilat.
"Ki sanak, tiarap semua!" teriak Bayu memperingatkan.
Keempat orang itu buru-buru tengkurap di lantai
ketika dua sosok tubuh itu kembali bergerak cepat sal-
ing berhadapan.
"Hiyaaa...!"
"Plak!"
"Beghk!"
"Akh...!"
Terdengar keluh kesakitan. Sosok bayangan men-
celat keluar dan terus berlari kencang. Bayangan ke-
dua menyusulnya dengan gerakan yang tak kalah ce-
pat. Sebentar saja terlihat mereka saling berkejaran di
kegelapan malam.
"Kakang, bagaimana keadaan mereka?" tanya wani-
ta setengah baya yang tak lain dari ibunya Ambar pada
suaminya ketika mereka bangkit dan melihat keadaan
sekeliling.
"Entahlah... aku sendiri tak tahu siapa orang tadi.
Barangkali si Dolo Lungkat."
"Kau yakin itu?"
"Aku tak yakin. Tapi siapa lagi yang mampu ber-
buat begitu selain dari dirinya? Tapi pemuda itu pun
tampaknya bukan orang sembarangan. Hmmm... mu-
dah-mudahan dia mampu mengalahkan orang gila
itu." "
"Paman Bayu hebat! Dia pasti akan membinasakan
orang jahat itu!" sahut Ambar dengan wajah penuh
keyakinan.
"Siapa dia sebenarnya, Bar?" tanya bibinya.
"Ambar tidak tahu. Tapi Paman Bayu bilang bahwa
dia berasal dari Pantai Selatan. Di mana tempat itu?"
tanya Ambar kepada bibinya.
Gadis manis yang bernama Puji Lestari mengge-
lengkan kepala.
"Mana bibi tahu. Sejak kecil sampai sekarang bibi
tak pernah kemana-mana...."
"Tempat itu agak jauh dari sini...." kata ayahnya.
"Ayah tahu di mana?! Paman Bayu berasal dari se-
buah pulau tak jauh dari Pantai Selatan katanya!" ce-
loteh Ambar bersemangat.
"Apa?! Kau katakan dia berasal dari sebuah pulau
di dekat Pantai Selatan?!" tanya ayahnya dengan wajah
kaget.
Ambar mengangguk pasti.
"Heh! Cuma ada sebuah pulau yang sangat angker
di tempat tersebut. Tak seorang pun yang bisa keluar
hidup-hidup dari tempat itu. Jangankan menginjakkan
kaki, berada di dekatnya saja orang tidak akan sela-
mat, selain...."
"Selain apa, Kakang?" tanya istrinya sedikit mende-
sak.
"Ah, rasanya tak mungkin!"
"Tak mungkin kenapa Kakang?" tanya isterinya
semakin penasaran.
"Menurut cerita yang kudengar ada seorang pende-
kar sakti berilmu tinggi yang berasal dari pulau itu.
Seperti namanya, dia bergelar Pendekar Pulau Nera-
ka...."
"Pendekar Pulau Neraka? Siapa dia, Kakang?"
tanya Puji Lestari heran.
"Dia seorang pendekar hebat yang belakangan ini
namanya ramai dibicarakan orang. Aku sendiri
belum pernah menyaksikan kehebatannya. Tapi menu-
rut cerita orang, kehebatannya tak pernah diragukan
lagi."
"Jadi... jadi, pemuda itukah yang bergelar Pendekar
Pulau Neraka, Rang?" tanya Puji Lestari dengan wajah
kagum.
"Entahlah... aku sendiri belum yakin benar...."
Pada saat yang bersamaan Bayu telah kembali.
Wajahnya terlihat lesu, keempat orang itu memperha-
tikan dengan wajah penuh tanya. Pemuda berbaju ku-
lit harimau, duduk beralaskan tikar pandan di dekat
mereka. Dia menarik nafas pelan dan menghem-
buskannya perlahan-lahan.
"Sayang sekali Ki sanak. Aku tak berhasil menang-
kapnya. Dia menghilang dikegelapan malam persis di
dekat hutan di ujung desa," kata Bayu lirih.
"Apakah Ki sanak mengetahui siapa orang itu?"
"Tak begitu jelas, tapi penglihatanku tak mungkin
salah. Orang itu persis seperti apa yang kalian cerita-
kan...."
"Hmmm.... Dolo Lungkat...."
"Kau tahu juga namanya, Ki?"
"Ya...."
"Tentu tahu juga di mana dia berada?"
"Tidak pasti. Tapi dulu dia tinggal di dekat hutan di
ujung desa ini bersama ibunya. Namun setelah orang
tuanya meninggal, dia hilang entah ke mana. Sejak
saat itu tak seorang pun mengetahui di mana dia be-
rada."
"Hmmm... kalau begitu biar besok aku akan ke sa-
na. Siapa tahu ada petunjuk tempat dia berada saat
ini."
"Itu pekerjaan yang berbahaya, Ki sanak...."
"Tidak apa, Ki. Kalau kalian memperkenankan aku
bermaksud akan membantu menyelesaikan persoalan
ini sebisaku."
"Oh, tentu saja kami akan sangat bergembira seka-
li. Tapi...."
"Tapi kenapa?"
"Rasanya tak pantas kau berkorban untuk kami.
Orang itu hebat dan ilmunya tinggi. Kalau kau tewas
dengan sia-sia tentu kami akan sangat merasa bersa-
lah."
"Belum tentu aku tewas di tangannya, Ki. Umur se-
seorang bukan ditentukan oleh manusia atau makhluk
lain, melainkan ditentukan oleh Yang Maha Kuasa.
Walaupun kepandaianku tak seberapa, tapi kalau Tu-
han belum mengijinkan aku mati, maka segalanya
akan mudah. Begitu juga sebaliknya. Kalau Tuhan te-
lah menggariskan aku akan mati, maka walau berada
di mana pun aku pasti akan tewas," sahut Bayu sambil
tersenyum kecil.
"Ya, ya... kau benar, Ki sanak."
"Kalau kalian hendak beristirahat, silahkan. Biar-
kan aku akan berjaga-jaga di sini...."
"Baiklah. Terima kasih atas segala budi baikmu
ini...."
Keempat orang itu segera beranjak ke kamar mas-
ing-masing. Bayu duduk bersila sambil melatih perna-
fasannya di ruang tengah. Telinganya dipertajam un-
tuk mendengar sesuatu yang mungkin mencurigakan.
Sementara sepasang matanya terpejam. Dengan kedua
tangan bertopang di atas paha, sikap Pendekar Pulau
Neraka terlihat khusuk.
Malam semakin merambat, dan suasana masih ter-
lihat sepi. Tapi Bayu tetap tak bergeming di tempatnya.
Monyet kecil berbulu hitam yang selalu setia menema-
ninya, tampak terkantuk-kantuk di atas sebuah kursi.
"Siapa?" tanya Bayu merandek pelan ketika telin-
ganya mendengar suara langkah halus men-dekati.
A... aku...."
Pemuda berbaju kulit harimau itu menoleh. Puji
Lestari malu-malu melirik ke arahnya.
"Kenapa belum tidur juga?"
"Mataku tak mau terpejam. Aku... aku takut seka-
li...."
"Hmm... tidurlah. Aku akan tetap berjaga di sini...."
"Kau tidak mengantuk...? Udara terasa dingin se
kali. Aku akan buatkan kopi untukmu," kata Puji Les-
tari.
Bayu tak menjawab ketika Puji Lestari beranjak ke
dapur. Tak berapa lama kemudian gadis itu kembali
bersama secangkir kopi panas di tangannya.
"Terima kasih. Kau baik sekali...."
"Ah, ini bukan apa-apa...."
"Duduklah," ujar Pendekar Pulau Neraka ketika
melihat gadis itu berdiri termangu seperti ragu hendak
beranjak ke dalam.
"Tidak mengganggu?"
Bayu tersenyum sambil menggelengkan kepala.
*
* *
Keduanya berdiam diri beberapa lama. Suara
jangkrik kembali terdengar seperti bernyanyi, dan tiba-
tiba monyet kecil yang tadi tertidur pulas ter-bangun,
kemudian melompat dengan ringan ke pangkuan Pen-
dekar Pulau Neraka. Bayu membelai-belai kepalanya
sambil menunjuk ke arah Puji Lestari.
"Tiren, kau belum sempat berkenalan dengan gadis
cantik ini, bukan? Nah, ayo ulurkan tanganmu!"
Monyet kecil itu mengulurkan tangannya sambil
menyeringai lebar. Puji Lestari menyambutnya sambil
tersenyum lucu.
"Monyet ini cerdas sekali. Siapa tadi namanya?
Tiren?"
"Nguk!"
Dengan lincah monyet itu melompat ke pangkuan
gadis cantik itu. Puji Lestari terlonjak kaget dengan
wajah takut.
"Jangan takut, dia tak akan mencakarmu," kata
Bayu sambil terkekeh.
"Nguk!"
Melihat monyet itu terlihat jinak dan ramah, perla-
han-lahan rasa takut gadis itu hilang. Bahkan kemu-
dian dia sudah berani membelai-belainya. Tiren terli-
hat mengerjap-ngerjapkan matanya seperti hendak ti-
dur.
"Tiren ini monyet laki-laki, jadi kalau dibelai wanita
dia keenakan!" goda Bayu.
"Nguk!"
Monyet kecil berbulu hitam menyeringai sambil
menepuk-nepuk tangannya di atas kepala. Kemudian
terlihat dia memainkan bibirnya seperti mengejek ke
arah Bayu.
"Eeee, berani kau mengejek aku, ya?!"
Monyet kecil itu semakin mencibirkan bibirnya sa-
ja. Bahkan sesekali mengeluarkan lidah. Puji Lestari
terkekeh melihat hal itu.
"Monyet kalau menjulurkan lidah bukan berarti
bertambah bagus. Mukamu seperti kunyuk!"
Tiren menghentikan perbuatannya dan meman-
dang Bayu sambil memiringkan kepala. Sebelah tan-
gannya menggaruk-garuk kepala seperti terlihat bin-
gung.
"Ha ha ha ha...! Agaknya dia bingung apa yang kau
katakan tadi. Tiren, monyet dan kunyuk itu sama saja.
Tak ada bedanya," jelas Puji Lestari.
Tiren kembali nyengir.
"Eh, siapa bilang tak ada bedanya? Jelas ada. Bah-
kan banyak sekali bedanya!" tangkis Bayu.
Dilihatnya Tiren bertingkah seperti tadi seperti bin-
gung.
"Monyet itu untuk kera yang baik, cerdas, ganteng,
dan berkelakuan baik. Sedangkan kunyuk itu untuk
kera yang jahat, goblok, tolol, wajahnya jelek, dan ber-
kelakuan buruk. Nah, kalau kau disebut kunyuk itu
penghinaan!"
"Kaaakh...!"
Tiren melompat dari pangkuan Puji Lestari dan
kembali ke kursinya sambil mencericit pelan dengan
wajah menyeringai.
"Nah, begitu lebih baik. Lebih bagus lagi kalau se-
kalian tidur. Tidak boleh mengganggu kalau orang se-
dang ngobrol. Apalagi kalau lagi ngobrol dengan wani-
ta," goda Bayu lagi sambil tersenyum.
Tiren malah memalingkan wajah mendengar itu.
"Wah, dia marah!"
"Tidak. Dia begitu malah ingin bercanda lagi."
"Kalian berdua tampak akrab. Sampai-sampai dia
mengerti segala ucapanmu. Eh, betul dia mengerti se-
gala yang kau bicarakan?"
"Mungkin juga begitu. Tampaknya kalau aku berbi-
cara apa pun dia bisa menangkapnya. Pada mulanya
aku memang agak heran dan takjub. Tapi lama kela-
maan timbul rasa kagum kepada pemilik pertama yang
membuat Tiren semakin cerdas...."
"Pemilik pertama?"
"Ya. Beliau adalah anak guruku..." sahut Bayu lirih
seperti mengandung kesedihan.
Puji Lestari agaknya cepat tanggap melihat peru-
bahan wajah Pendekar Pulau Neraka.
"Maaf, aku tak bermaksud membuatmu berse-
dih...."
"Tak apa. Hal itu sudah berlangsung lama...." Ke-
duanya kembali terdiam beberapa saat lama-nya.
"Eh... ng... mengenai orang itu apakah kau pun
mengetahuinya?" tanya Bayu memecahkan kesunyian
diantara mereka.
"Orang yang mana?"
"Yang diceritakan kakangmu tadi?"
"Oo.... Dolo Lungkat? Aku sedikit sekali mengetahuinya. Waktu kejadian itu terjadi aku masih kanak-
kanak. Cuma sering kulihat keanehan orang itu. Kasi-
han dia sering diejek bahkan dipukuli oleh pemuda-
pemuda desa ini karena kelainan pada anggota tubuh-
nya...."
Bayu mengangguk-anggukkan kepala.
"Tapi kini aku tak menyesali kejadian yang diper-
buat orang-orang desa ini terhadap dirinya!" dengus
gadis itu geram.
"Kenapa?"
"Dia memang bukan manusia, tapi iblis jahat yang
berhati kejam seperti binatang. Dia membunuh tak
kenal ampun, serta merusak kehormatan wanita-
wanita desa ini satu persatu sebelum dibunuhnya!"
"Ini tentu karena dendam. Dia sakit hati pada pen-
duduk desa yang dulu telah menghinanya...."
"Tapi apakah begitu caranya? Kalau dia mau sakit
hati, itu wajar. Kalau dia mau membalas dendam, ba-
laslah pada orang-orang yang menyakiti dan menyik-
sanya dulu. Bukan pada seluruh penduduk desa ini
yang tak berdosa apa-apa padanya. Kudengar dulu ju-
ga banyak yang kasihan dan memberikan pertolongan
padanya. Tidak semua penduduk desa ini memusu-
hinya!"
*
* *
Bayu membiarkan gadis itu menumpahkan segala
kesal di hatinya karena ancaman yang dilakukan
orang aneh bernama Dolo Lungkat. Setelah mulai agak
tenang, pemuda gondrong berbaju kulit harimau itu
berkata pelan.
"Sulit untuk memilih korban ketika dendam telah
menyelimuti hatinya. Bagi dia bukan lagi orang yang
menjadi ukuran untuk membalas sakit hatinya, me-
lainkan penduduk desa yang dianggap telah menghina
dirinya...."
Gadis itu baru saja akan menyahut ketika terden-
gar bunyi kentongan bertalu-talu yang dipukul seseo-
rang. Bayu cepat bereaksi dengan beranjak ke pintu
depan. Dia baru saja akan meninggalkan rumah ketika
ingat sesuatu dan menyurutkan langkah.
"Kenapa? Sebaiknya, Kakang melihat. Siapa tahu
ada yang membutuhkan pertolonganmu."
"Aku khawatir ini suatu pancingan agar aku keluar
dari rumah ini. Kalau dia berani masuk ke dalam ru-
mah, itu berarti keluarga kalianlah yang mendapat gili-
ran menjadi korbannya," sahut Bayu.
Bayu masih belum beranjak. Hatinya betul-betul
ragu. Sementara bunyi kentongan semakin keras saja
terdengar. Beberapa penghuni desa tampak mulai ke-
luar rumah satu persatu untuk melihat apa yang ter-
jadi. Termasuk juga kedua orang tua Ambar. Mereka
tersentak terjaga.
"Ada apa, Ki sanak? Apa yang terjadi?"
"Entahlah. Aku ingin melihatnya tapi khawatir
orang itu malah akan ke sini dan melakukan niat ja-
hatnya tadi yang tak kesampaian."
"Kalau begitu pergilah jika ingin melihat. Jangan
khawatir, kami bisa menjaga diri. Siapa tahu mereka
membutuhkan pertolongan."
Bayu ragu-ragu melangkah.
"Baiklah. Biar Tiren berada di sini. Dia akan menje-
rit keras kalau sesuatu terjadi pada keluarga ini," sa-
hut Bayu sambil terus melesat meninggalkan tempat
itu dengan menggunakan ilmu lari cepatnya.
Kentongan tadi telah berhenti. Pada sebuah rumah
terdengar jeritan seseorang. Bayu melesat ke tempat
itu secepatnya. Seorang wanita tua tampak sedang
menangisi beberapa sosok mayat yang bergelimpangan
dalam keadaan tanpa sehelai benang melekat ditu-
buhnya. Pada dadanya yang sebelah kiri tampak ber-
lubang.
Beberapa orang penduduk menyusul ketempat itu
dan menghibur wanita tua yang sedang menangisi
mayat di depannya. Dan yang lainnya merapihkan
mayat-mayat yang bergelimpangan."
"Nek, apakah nenek melihat siapa yang me-
lakukan semua ini?" tanya Bayu pelan.
Si nenek cuma menggelengkan kepala.
"Nenek sedang berada di belakang ketika menden-
gar jeritan mereka. Tahu-tahu anak dan cucu-cucuku
telah mati semua...!"
"Pasti perbuatan si keparat itu!" geram Bayu ketika
nenek berusia sekitar delapan puluh tahun itu dipa-
pah beberapa orang untuk menenangkannya.
Seorang wanita tua tampak sedang menangisi be-
berapa sosok mayat yang bergelimpangan dalam kea-
daan tanpa sehelai benang melekat di tubuhnya. Pada
dadanya yang sebelah kiri tampak berlubang.
Pemuda berbaju kulit harimau yang bergelar Pen-
dekar Pulau Neraka buru-buru keluar dan kembali ke
rumah Ambar. Tapi di jalan mereka bertemu. Wajah
mereka tampak pucat dan bertanya-tanya.
"Ada apa, Ki sanak?" tanya kedua orang tua Am-
bar.
"Keluarga di seberang sana menjadi korban..." sa-
hut Bayu lesu sambil menunjuk pada rumah yang di-
masukinya tadi.
"Astaga! Ki Sugiarta...? Mereka mati?!"
Bayu mengangguk lemah.
"Kalau saja aku bisa tiba tepat pada waktunya, pal-
ing tidak bisa berbuat sesuatu. Tapi aku berjanji bah-
wa hal ini tak bisa didiamkan saja. Orang itu harus
mendapat ganjaran yang setimpal dengan perbuatan-
nya!" lanjut Bayu sambil menggeram.
"Paman Bayu, orang jahat itu harus mati!" teriak
Ambar marah.
"Ya, Ambar. Orang itu harus mendapat hukuman
yang setimpal. Sebaiknya kita pulang saja dulu. Hari
telah larut malam."
Mereka segera beranjak meninggalkan tempat itu.
Dan seperti malam sebelumnya Bayu terus berjaga di
ruang tengah. Tapi mereka kepalang di-cekam pera-
saan takut oleh peristiwa itu, hingga sampai pagi tiba
tak seorang pun yang bisa memejamkan mata.
Bayu sendiri setelah sarapan pagi segera mening-
galkan rumah orang tua Ambar, untuk mencari jejak
orang yang telah meresahkan penduduk Desa Kedung-
bala.
"Paman, kembalilah sebelum malam. Aku takut..."
ujar Ambar dengan wajah pucat ketika Pendekar Pulau
Neraka akan melangkahkan kakinya.
Pemuda berambut gondrong itu mengangguk-kan
kepala, kemudian langsung berkelebat cepat mening-
galkan tempat itu menuju pinggiran hutan.
***
EMPAT
Agak jauh dari hutan di sebelah barat Desa Ke-
dungbala terdapat sebuah gunung yang men-julang
tinggi. Gunung itu tak persis betul dikelilingi oleh hu-
tan, karena masih terdapat beberapa buah desa di de-
katnya. Namun hutan itu terus saling berhubungan di
balik gunung pada sisi yang lain. Dan hutan yang be-
rada dibalik gunung itu jarang ada orang yang berani
mendekat. Bukan saja karena pohon-pohonnya yang
lebat dan besar hingga membuatnya sulit ditembus si-
nar matahari, tapi juga banyak orang yang meyakini
bahwa di dalam hutan itu terdapat mahluk yang me-
nyeramkan. Itu terbukti dengan banyaknya tulang-
tulang yang berserakan di pinggir hutan. Baik tulang-
tulang manusia maupun binatang. Hingga orang-orang
menyebutnya sebagai Rimba Larangan. Dan makhluk
yang menguasai itu dijuluki sebagai Hantu Rimba La-
rangan. Di langit awan hitam mulai berarak dan me-
lingkupi suasana di pinggiran hutan. Cuaca mulai ter-
lihat gelap, padahal senja belum lagi tiba. Beberapa
orang tampak tergopoh-gopoh sambil berlari-lari kecil.
Sesekali mereka melirik ke belakang dengan wajah ce-
mas seperti dikejar setan. Kemudian setelah merasa
bahwa tempat itu cukup aman, mereka berhenti untuk
melepaskan lelah.
"Hmm... mudah-mudahan prajurit-prajurit kera-
jaan tak mengejar kita sampai di sini...." kata seorang
sambil menyarungkan golok besarnya di punggung.
"Tapi mereka agaknya bernafsu betul untuk mele-
nyapkan kita sampai ke akar-akarnya, karena sasaran
kita pagi tadi adalah upeti yang dikirimkan untuk ke-
rajaan," sahut kawannya.
"Hmm... ke mana kira-kira Ki Cagak Palung dan
yang lainnya melarikan diri?" tanya kawannya yang
lain.!
"Entahlah... mana ku tahu. Dia cuma memerintah-
kan kita untuk berpencar agar pihak kerajaan bisa
terkecoh," sahut yang pertama tadi.
"Jangan-jangan malah kita yang dikejar. Mereka
enak-enakan membawa harta itu!" kata yang bermata
sipit curiga.
"Tak mungkin! Ki Cagak Palung selama ini selalu
adil dalam pembagian harta rampokan yang kita peroleh!" sahut seorang yang bertubuh kurus dengan ce-
pat.
"Ya. Selama ini memang Ki Cagak Palung tak per-
nah berbuat curang. Tapi kali ini persoalannya lain,"
ujar salah seorang yang bermuka bulat.
"Lain bagaimana?" tanya yang bertubuh kurus.
"Kali ini kita dikejar-kejar prajurit-prajurit ke-
rajaan dalam jumlah yang cukup besar. Rasanya me-
reka tak mungkin mau melepaskan kita begitu saja.
Siapa tahu hal ini mempengaruhi pikiran Ki Cagak Pa-
lung, karena untuk beberapa waktu kita tak mungkin
bisa bebas berkeliaran," jelas si muka bulat.
"Ya, dengan begitu mereka yang bersama dengan Ki
Cagak Palung bisa enak-enakan membagi hasil upeti
itu, sedang kita akan bersusah payah sambil gigit jari!"
sahut si mata sipit menimpali.
Untuk beberapa saat terlihat mereka saling pan-
dang setelah mendengar kata-kata kawannya tadi. Niat
untuk beristirahat tiba-tiba sirna ketika berpikir ke
arah harta rampasan itu.
"Bagaimana kalau kita mencari Ki Cagak Palung?"
kata si muka bulat memberi usul.
"Jangan, Kilung! Ki Cagak Palung pasti akan ma-
rah sekali karena kita tak mematuhi kata-katanya!"
cegah orang yang bertubuh kurus pada si muka bulat
yang dipanggil Kilung.
"Tapi Rambe! Kita tak bisa berdiam diri. Sampai
kapan kita harus bersembunyi seperti yang di-
perintahkan Ki Cagak Palung?" sahut Kilung pada si
kurus yang bernama Rambe.
"Betul yang dikatakan Kilung! Kita tak bisa terus
bersembunyi sementara pihak kerajaan memburu ki-
ta!" sahut si mata sipit cepat.
"Apakah kau mau menanggung akibatnya, Wala-
lang?!" tanya Rambe pada si mata sipit yang bernama
Walalang.
"Lho, kenapa musti aku? Kalau kita sudah se-
pakat, akibatnya harus kita tanggung bersama!" timpal
yang lainnya.
Ketika melihat semuanya telah sepakat, Rambe tak
punya pilihan lain. Akhirnya dia pun setuju juga atas
keputusan yang mereka ambil.
"Baiklah. Kalau begitu sekarang juga kita akan be-
rangkat mencari Ki Cagak Palung dan rombongan yang
lain. Kita akan bergabung dan mengatakan bahwa kita
tak punya pilihan lain untuk bersembunyi dari kejaran
prajurit-prajurit kerajaan!" ujar Rambe sambil bangkit
dan memberi perintah pada kawan-kawannya untuk
melanjutkan perjalanan.
Rombongan itu baru berjalan kira-kira sepuluh
langkah ketika terdengar sesuatu gerak yang mencuri-
gakan. Rambe yang agaknya menjadi pimpinan rom-
bongan itu memberikan isyarat agar mereka berhenti.
"Kenapa?" tanya Kilung.
"Apakah kau tak mendengar sesuatu yang mencu-
rigakan?"
Kilung menggeleng. Matanya menyapu ke seputar
tempat itu. Baru saja dia akan bertanya lebih lanjut
pada Rambe, tiba-tiba mereka dikejutkan ketika pulu-
han orang-orang berseragam telah mengepung tempat
itu.
"Berhenti! Kalian telah terkepung. Menyerah-lah
atau kalian akan menyesal nanti!"
"Hah?! Kita telah dikepung prajurit-prajurit kera-
jaan!" sentak Kilung terkejut.
*
* *
Apa yang dikatakan Kilung memang tak salah. Le
bih dari tiga puluh orang prajurit kerajaan telah men-
gepung tempat itu dengan senjata terhunus. Tak tera-
sa nyali mereka tiba-tiba menjadi ciut. Jumlah mereka
yang kurang dari lima belas orang dalam singkat pasti
akan disapu bersih jika mereka melakukan perlawa-
nan.
"Bagaimana, Rambe? Apa yang harus kita laku-
kan?" tanya Kilung kebingungan.
"Kita akan lawan mereka!"
"Kau gila! Jumlah mereka banyak. Kita tak mung-
kin bisa memberikan perlawanan. Kau lihat, mereka
dipimpin oleh Panglima Sudra Wulung. Orang itu ke-
jam dan ilmu silatnya tinggi!"
"Kita tak punya pilihan lain, Kilung. Kalau menye-
rah pun mereka tak akan mengampuni kita. Tak ada
pilihan lagi. Lebih baik mati dalam pertarungan dari
pada menjadi tawanan yang akhirnya pun akan mati
dengan terhina," sahut Rambe sambil mendengus ga-
rang.
"Benar, Kilung. Walau bagaimana pun kita harus
melawan mereka sampai tetes darah terakhir!" timbal
Walalang.
"Terserah kalian. Aku hanya ikut saja...." sahut Ki-
lung lemah.
"Anjing-anjing keparat! Agaknya kalian lebih suka
mampus dari pada menyerah dan mengembalikan upe-
ti yang kalian rampok tadi pagi! Aku hitung sampai ti-
ga kalau kalian tak mau menyerah, jangan menyesal
kalau kami terpaksa menghukum kalian di tempat ini
juga!" teriak Panglima Sudra Wulung yang bertubuh
besar dengan kumis melintang.
"Kami tak akan menyerah!" sentak Rambe garang.
"Bagus! Kalau begitu mampuslah kalian semua!"
dengus Panglima Sudra Wulung sambil memberikan
perintah pada anak buahnya untuk menyerang mereka.
Seperti tanggul jebol, prajurit-prajurit kerajaan
langsung menyerang orang-orang itu dengan semangat
menyala-nyala. Selama ini begal-begal itu sering mem-
buat kekacauan dan merampok harta benda pendu-
duk. Mereka sangat kejam tak mengenal belas kasi-
han, tak segan-segan membunuh korbannya jika me-
lawan. Selain licin dan sulit ditangkap, mereka pun ra-
ta-rata memiliki ilmu silat yang lumayan. Tapi prajurit-
prajurit yang dipimpin oleh Panglima Sudra Wulung
kali ini bukan sembarang. Mereka adalah prajurit-
prajurit pilihan yang rata-rata berkepandaian tinggi,
dan hebat ilmu silatnya.
Tak heran bila dalam kegemasan dan kejengkelan
terhadap begal-begal itu kini tertumpah ruah dan
mendapat pelampiasan yang paling tepat. Prajurit-
prajurit itu mengamuk sejadi-jadi-nya. Hingga dalam
tempo singkat beberapa anggota begal tewas dalam
keadaan yang mengenas-kan.
"Kini giliranmu, keparat!" bentak Panglima Sudra
Wulung ketika berhadapan dengan Rambe.
"Huh! jangan bermimpi kau dapat menangkap-ku!"
dengus Rambe garang.
"Siapa yang sudi menangkap orang sepertimu?!
Kau akan mampus dengan siksaan yang berat agar
menjadi contoh yang baik bagi kawan-kawanmu untuk
tidak mencoba-coba mengganggu harta kerajaan!"
"Kau boleh melakukannya di akherat sana, Pangli-
ma!" sahut Rambe sudah langsung menyerang lawan.
"Yeaaa...!"
"Hiyaaat...!"
"Trak!"
"Bet!"
"Hmm... boleh juga kepandaianmu. Tapi jangan
berharap terlalu banyak kau bisa lolos dariku!" ujar
Panglima Sudra Wulung ketika dalam bentrokan per-
tama lawan mampu menghindar dari sambaran pe-
dangnya yang cepat dan bertenaga kuat.
"Jangan girang dulu, Panglima. Justru aku yang
khawatir bila kau yang ternyata terbirit-birit lari dari-
ku!" ejek Rambe tersenyum sinis.
"Ha ha ha ha...! Pintar juga kau bicara. Tapi seben-
tar lagi bukan saja kau tak mampu bicara, tapi kau
akan membisu selamanya."
"Hiyaaat...!"
Dengan satu teriakan menggelegar, Panglima Sudra
Wulung menyerang lawan sambil memutar pedangnya
bagai titiran. Terasa angin serangannya mengandung
tenaga dalam kuat.
Tubuh Rambe jungkir balik menghindari serangan
lawan. Beberapa kali dicobanya untuk menangkis, tapi
telapak tangannya terasa kesemutan dan perih. Agak-
nya tenaga dalam lawan lebih tinggi dua tingkat di
atasnya. Diam-diam Rambe mengeluh dalam hati. Ka-
lau keadaan ini berlangsung terus dalam tempo tiga
jurus lagi dia pasti akan kena dihajar lawan. Bahkan
bukan tidak mungkin dia akan terbunuh. Untung ke-
cepatannya bergerak masih mampu menolong. Tapi itu
tak akan lama. Dia harus berusaha meloloskan diri da-
ri pertarungan ini, pikirnya.
"Hiyaaa...!"
Rambe berteriak kencang sambil membalas seran-
gan Panglima Sudra Wulung dengan gencar.
"Ha ha ha ha...! Kau mulai mengeluarkan ilmu
simpananmu? Ayo, keluarkan semuanya agar aku tak
mati penasaran!" ejek Panglima Sudra Wulung sambil
terkekeh.
"Tertawalah sepuasmu, karena kaulah yang akan
mampus!" dengus Rambe gemas.
Dalam empat kali serangan Rambe mampu sedikit
mendesak Panglima kerajaan itu, tapi selanjutnya
Panglima Sudra Wulung menggeram sambil memutar
pedangnya sedemikian rupa, kembali Rambe terdesak.
Orang bertubuh kurus itu sudah nekat. Dia merenca-
nakan untuk kabur kalau lawan terdesak. Sebelum
Panglima Sudra Wulung mendesaknya, Rambe mence-
lat jauh sambil bersalto beberapa kali ke belakang.
"Mau coba-coba kabur, he! Jangan harap kau lolos
dariku!" dengus Panglima Sudra Wulung.
Pedang di tangannya melesat cepat ke tubuh
Rambe ketika orang bertubuh besar itu melemparnya
dengan pengerahan tenaga dalam kuat. Rambe bukan-
nya tak mengetahui hal itu. Dia berusaha menangkis,
tapi pedang itu cuma bergeser sedikit. Justru lebih
membahayakan dirinya karena ujung pedang kini jadi
tepat menghunjam ke dada sebelah kiri.
"Crab!"
"Aaa...!"
Rambe menjerit setinggi langit ketika pedang Pan-
glima Sudra Wulung menembus dadanya dan terus
melesat hingga menancap pada batang pohon di bela-
kangnya. Sehingga terlihat pemandangan yang menge-
rikan. Tubuh Rambe terkulai layu di atas batang po-
hon disangga oleh pedang Panglima Sudra Wulung.
"Hus! Mampuslah kau perampok hina!" dengus
Panglima Sudra Wulung sinis.
Dia kemudian berteriak lantang memperingatkan
sisa-sisa perampok untuk menyerah.
"Menyerahlah kalian sebelum mati sia-sia! Tunjuk-
kan di mana harta rampasan itu kalian sembunyikan,
dan beritahu di mana pemimpin kalian yang bernama
Cagak Palung berada!"
Pertempuran tersebut seketika berhenti. Sisa-sisa
perampok yang berjumlah lima orang, ter-masuk Ki-
lung dan Walalang, saling pandangan satu sama lain.
Belum lagi mereka memutuskan sesuatu, tiba-tiba
terdengar suara tawa menggelegar. Semuanya berpal-
ing dan melihat kurang lebih dua puluh orang kawa-
nan perampok mengepung prajurit kerajaan dengan
senjata terhunus.
*
* *
"Ha ha ha ha...! Cacing-cacing kerajaan cuma bisa
bermimpi bila berharap dapat menangkap Cagak Pa-
lung!" kata seorang laki-laki bertubuh besar dengan
perut buncit.
Lima orang sisa-sisa perampok itu berseru girang
ketika mengetahui siapa yang datang.
"Ki Cagak Palung, bagus kau cepat datang!" seru
Kiling gembira.
"Hmm... jadi kau yang bernama Cagak Palung?!
Bagus kau berani menampakkan dirimu. Lekas berlu-
tut dan menyerah, kalau tidak kalian semua akan
mampus di sini!" bentak Panglima Sudra Wulung ga-
rang.
"Ha ha ha ha... jadi kau yang bernama Sudra Pa-
lung panglima kerajaan yang diutus untuk menang-
kapku? Kalau di luaran sana kalian boleh mengejar-
ngejar kami seperti tikus kejepit. Tapi di daerah ini
jangan harap hal itu bisa kalian lakukan dengan mu-
dah. Pulanglah dan katakan pada rajamu, Cagak Pa-
lung berhak atas harta benda yang telah dirampas-
nya!"
"Keparat kau, Cagak Palung! Mampuslah bagian-
mu!" bentak Panglima Sudra Wulung garang.
Dia segera memerintahkan anak buahnya untuk
menggempur lawan. Tapi kali ini seluruh anak buah Ki
Cagak Palung menyambutnya dengan bersemangat se
perti mereka hendak mengincar mangsa yang berharta
banyak.
Pertempuran diantara kedua belah pihak tak dapat
lagi dihindari. Masing-masing berjumlah sama dan
mempunyai kesempatan untuk menghabisi lawan se-
cepatnya.
"Kau bagianku, Panglima! Aku akan membuat per-
hitungan atas apa yang kau lakukan terhadap Rambe!"
dengus Ki Cagak Palung sambil melompat dan meng-
hunuskan golok panjang ke arah lawan.
"Hahahaha...! Mulut besarmu boleh juga. Tapi jan-
gan harap kali ini kau bisa lolos dari tanganku!" sahut
Panglima Sudra Wulung sambil tertawa mengejek.
"Yeaaa...!"
"Hiyaat...!"
"Trak!"
"Bet!"
Ketika tubuh Ki Cagak Palung melesat, Panglima
Sudra Wulung langsung memapaki dengan ayunan pe-
dang sambil berteriak keras. Keduanya sama terkejut
ketika merasakan bahwa tenaga dalam lawan yang
disalurkan lewat senjata masing-masing ternyata ham-
pir berimbang. Walau begitu Panglima Sudra Wulung
masih sempat membabatkan sekali ujung pedangnya
ke lambung lawan.
Ki Cagak Palung ternyata bukanlah orang semba-
rangan. Pengalamannya selama ini banyak membantu.
Walau tak sempat membalas, namun dia menyadari
akan serangan susulan lawan. Itulah sebabnya tubuh
besar berperut buncit itu melenting dengan ringan
sambil jungkir balik ke belakang.
"Tap!"
"Yeaaa...!"
Begitu kedua kakinya menjejak ke tanah Ki Cagak
Palung langsung melenting kembali dengan satu serangan hebat ke arah lawan.
Panglima Sudra Wulung melompat ke atas sambil
mengirimkan satu tendangan ke batok kepala lawan.
"Hut!"
"Bet!"
Tubuh Ki Cagak Palung membungkuk dengan pe-
rut menghadap ke atas dan terus ke belakang sambil
menghantamkan kedua kakinya ke perut lawan.
"Cras!"
"Akh!"
"Hiyaaa...!"
Ki Cagak Palung mengeluh tertahan. Tulang ke-
ringnya patah, dan kakinya menggantung nyaris pu-
tus. Tapi dia masih sempat berpijak pada kaki kanan-
nya dan terus melompat ke samping menghindari te-
basan pedang lawan berikutnya yang dengan cepat
hendak menyambar pinggangnya.
"Huh! Tak ada tempat lagi bagimu untuk kabur.
Kau akan mampus di sini!" dengus Panglima Sudra
Wulung sinis sambil terus menyerang lawan dengan
gencar.
Dengan sebuah kaki yang hampir putus per-
lawanan Ki Cagak Palung tak sehebat tadi. Hingga da-
lam waktu singkat dia menjadi bulan-bulanan lawan.
Melihat pemimpinnya dalam keadaan terdesak,
semangat anak buahnya mengendor. Sebaliknya praju-
rit-prajurit kerajaan semakin bersemangat menghabisi
lawan-lawannya. Korban yang jatuh di pihak para pe-
rampok itu semakin bertambah banyak.
Sementara dalam satu kesempatan, ujung pedang
Panglima Sudra Wulung berhasil menggores dada la-
wan. Ki Cagak Palung terkejut. Kesempatan itu diper-
gunakan oleh Panglima Sudra Wulung, melayangkan
kepalan tangannya ke perut lawan dengan cepat.
"Begkh!"
"Aaakh...!"
Tubuh Ki Cagak Palung terpental sambil men-jerit
keras. Pada saat yang bersamaan, sebelum tubuhnya
menyentuh tanah, serangkum angin panas menghan-
tam tubuhnya kembali. Ki Cagak Palung tak sempat
menjerit. Tubuhnya kembali mencelat dan menghan-
tam sebuah batu keras. Kemudian jatuh terkulai den-
gan nyawa lepas. Dari mulut dan hidungnya mengalir
darah segar.
Seseorang dengan tubuh aneh telah berdiri di tem-
pat itu sambil mendengus sinis. Kedua belah pihak
sama terkejut melihat kehadirannya!
***
LIMA
"Siapa pun yang berani berada di wilayah Rimba
Larangan akan mati tanpa ampun!" Terdengar suatu
suara serak yang mengandung ancaman.
"Siapa kau? Manusia atau hantu penunggu hutan
ini?!" tanya Panglima Sudra Wulung dengan suara lan-
tang.
Kepala pasukan prajurit istana itu sempat bergetar
juga menyaksikan kehadirannya. Sesosok tubuh hitam
dengan dua buah kepala dan dua pasang tangan. Ma-
tanya bulat seperti tak memiliki kelopak. Menatap ta-
jam ke arah mereka dengan penuh kebencian.
"Hantu Rimba Larangan telah menjatuhkan huku-
man mati bagi kalian!" suara serak dan dalam kembali
bergema.
"Hantu Rimba Larangan? Jadi cerita-cerita menge-
nai dirimu rupanya betul ada. Hmm..., bagus! Kami
akan sekalian menangkapmu karena perbuatanmu selama ini!" dengus Panglima Sudra Wulung.
Tapi belum lagi dia memerintahkan para pra-
juritnya untuk menyerang, Hantu Rimba Larangan te-
lah bergerak cepat. Tubuhnya melayang bagai sehelai
kapas bertiup angin ke arah mereka.
"Aaaa...!"
"Keparat!"
"Seraaang!"
Seperti dikomando, kedua belah pihak yang tadi
bertempur kini malah berbalik mengeroyok Hantu
Rimba Larangan.
"Hari ini aku akan mulai menjatuhkan hukuman
mati pada manusia-manusia keparat seperti kalian
dan orang-orang diluaran sana. Terimalah pembalasan
dari Hantu Rimba Larangan!" teriak sosok bertubuh
aneh dengan suara yang mengandung dendam dan ke-
bencian.
"Huh!"
"Yeaaah...!"
"Begkh!"
"Aaaa...!"
Dengan gerakan yang ringan dan bertenaga dalam
kuat, Hantu Rimba Larangan kembali membuat bebe-
rapa orang terjungkal dan tewas seketika dengan tu-
buh remuk.
"Keparat! Kau akan terima hukumanmu!" teriak
Panglima Sudra Wulung geram.
Tubuhnya melesat cepat ke arah Hantu Rimba La-
rangan sambil mengirimkan serangan hebat. Ujung
pedangnya berputar-putar menyambar tubuh lawan
seperti hendak melipat dan mengirisnya menjadi bebe-
rapa potongan kecil.
Hantu Rimba Larangan berkelebat cepat. Tubuh-
nya lenyap bagai ditelan bumi dan menghilang dari se-
rangan lawan. Panglima Sudra Wulung tercekat. Sela
ma ini belum ada seorang pun yang mampu menghi-
lang begitu saja dari serangannya. Tapi gerakan lawan
yang satu ini cepat bukan main. Belum lagi menyadari
di mana lawan berada. Tiba-tiba serangkum angin pu-
kulan berhawa panas menderu ke arahnya dari samp-
ing kiri.
"Heh?!"
"Begkh!"
"Akh!"
Walaupun dia cepat menyadari dan mencoba ber-
kelit, tapi pukulan jarak jauh lawan sempat menghan-
tam pinggangnya. Panglima Sudra Wulung menjerit
tertahan. Tubuhnya terhuyung-huyung dari sela bibir-
nya menetes darah segar. Belum lagi dia memperbaiki
posisi, Hantu Rimba Larangan telah kembali melesat
sambil mengirim serangan yang mematikan.
"Mampus!"
"Des!"
"Aaaa...!"
Kali ini Panglima Sudra Wulung tak sempat lagi
menghindar. Kepalan tangan lawan dengan telak
menghantam perutnya. Tubuhnya terjengkang bebera-
pa tombak dan hanya sempat menjerit kecil. Ketika
ambruk ke tanah, terkulai dan nyawanya putus saat
itu juga.
"Kini giliran kalian!" dengus Hantu Rimba Larangan
sambil menghantam para prajurit kerajaan dan sisa
anggota perampok tanpa kenal ampun.
"Yeaaa...!"
"Seraaaang...!"
"Duk! Begkh! Des!"
"Aaaa...!"
Walaupun mereka berusaha melawan mati-matian,
tapi Hantu Rimba Larangan terlalu tangguh. Bagai se-
kumpulan anak ayam menghadapi rajawali, mereka
dibantai dengan mudah.
"Ha ha ha ha...! Hari ini adalah pembalasan bagi
manusia-manusia terkutuk seperti kalian. Kabarkan
kematian ke seluruh penjuru, bahwa Hantu Rimba La-
rangan akan datang dan mencabut nyawa mereka satu
persatu!" teriak Hantu Rimba Larangan sambil terta-
wa-tawa girang penuh kemenangan.
"Tak mungkin kita bisa melawannya. Orang ini bu-
kan manusia, tapi setan pencabut nyawa!" keluh salah
seorang perampok.
"Betul. Sebaiknya kita lari saja!" sahut kawannya.
"Tapi mana mungkin dia mau melepaskan kita be-
gitu saja. Setan ini pasti akan membunuh kita semua."
"Ah, aku tak perduli! Lawanlah dia kalau kau mau
mati. Aku akan menyelamatkan diri. Dia tak ada uru-
sannya dengan kita!" kata orang itu sambil berlari ken-
cang meninggalkan kawan-kawannya.
Melihat itu beberapa prajurit kerajaan pun mulai
ikut melarikan diri.
"Ha ha ha ha...! Mana mungkin kalian bisa melari-
kan diri dariku begitu mudah. Hari ini adalah kema-
tian bagi diri kalian. Hantu Rimba Larangan tak mem-
beri ampun! Yeaaa...!"
"Des!"
"Aaaa...!"
Terdengar pekik kematian. Beberapa orang kembali
tersungkur dengan nyawa melayang dihantam pukulan
yang dilontarkan Hantu Rimba Larangan. Dia betul-
betul mengamuk. Hingga dalam waktu singkat kedua
belah pihak tinggal segelintir saja. Mereka berusaha
untuk melarikan diri.
*
* *
"Ha ha ha ha...! Baiklah, aku mencabut kata-
kataku. Kalian boleh melarikan diri. Ayo, hus! Hus! Ka-
takan pada semua orang, bahwa mulai hari ini Hantu
Rimba Larangan akan keluar dan membuat perhitun-
gan dengan mereka semua!" teriak orang bertubuh
aneh itu.
Tapi mana lagi mereka memikirkan kata-kata Han-
tu Rimba Larangan pada saat begitu. Yang utama ada-
lah bahwa mereka ternyata bisa selamat karena Hantu
Rimba Larangan betul-betul membuktikan kata-
katanya dan tidak menyerang mereka. Tapi jumlah itu
terlalu sedikit. Tiga orang prajurit kerajaan serta dua
orang anggota perampok yang tersisa hidup dan mela-
rikan diri.
Dari kejauhan suara tawa Hantu Rimba Larangan
masih terus menggema seperti mengejar kemana saja
mereka lari.
Setelah suara tawa itu hilang, kelima orang itu te-
rengah-engah sambil melepaskan lelah di dekat se-
buah pohon. Dalam keadaan begitu terlihat mereka
seperti melupakan persoalan yang tadi membuat per-
tempuran di kedua belah pihak.
"Apa yang harus kita laporkan pada Gusti Prabu?"
tanya salah seorang prajurit kerajaan.
"Entahlah, akupun tak tahu. Selama ini cerita
mengenai Hantu Rimba Larangan seperti dongeng. Ja-
rang ada orang yang mempercayainya.
"Tapi kenyataannya ada, dan dia betul-betul seperti
hantu."
"Bukan seperti, tapi memang hantu sungguh-an!"
"Apa Gusti Prabu akan percaya pada laporan kita?"
Prajurit ketiga melirik pada kedua perampok yang
melepaskan letih.
"Mereka akan menjadi barang bukti...."
"Apa? Kami? Bu..., bukankah sekarang kita berkawan?" tanya salah seorang perampok itu dengan wajah
ketakutan.
Tapi ketiga prajurit itu telah mengurung mereka
sambil menghunuskan pedang masing-masing. Kedua
perampok itu tak punya pilihan lagi. Waktu melarikan
diri tadi senjata mereka terjatuh, dan kalaupun ber-
maksud melawan dengan tangan kosong akan percu-
ma saja. Prajurit-prajurit ini bukanlah orang semba-
rangan.
"Kalian tetaplah penjahat yang musti di-tangkap.
Selain itu kalian akan membenarkan laporan kami pa-
da Gusti Prabu bahwa apa yang terjadi tadi adalah
nyata agar laporan kami bisa dipercaya!" sahut salah
seorang prajurit dengan garang.
Karena tak punya pilihan lain, terpaksa kedua pe-
rampok itu menyerah dan digiring ke istana untuk di-
adili.
Apa yang dipikirkan para prajurit itu memang bera-
lasan. Banyak kalangan pejabat istana yang sulit
mempercayai cerita mereka. Demikian juga halnya
dengan Baginda Raja. Meskipun kedua perampok yang
mereka tangkap telah membenarkan kejadian yang
menimpa mereka di pinggir Rimba Larangan, Baginda
Raja belum juga dapat mempercayainya. Tetapi karena
banyak prajurit kerajaan yang tewas terpaksa Baginda
Raja mengirimkan beberapa orang prajurit untuk me-
nyelidiki kejadian tersebut.
Jalan-jalan di sepanjang Kotaraja sepi, dan segala
kegiatan yang sehari-hari dilakukan penduduk berku-
rang satu persatu. Beberapa orang dikirim untuk me-
nangkap Hantu Rimba Larangan. Tapi kebanyakan da-
ri mereka tak pernah kembali. Tentu saja hal ini mem-
buat kecemasan di hati setiap penduduk desa itu se-
makin menjadi-jadi.
Bukan saja penduduk yang merasa cemas dengan ancaman Hantu Rimba Larangan tetapi juga kalangan
dunia persilatan merasa cemas dan marah. Hantu
Rimba Larangan sepertinya tak pilih-pilih korban. Da-
lam dua hari saja, banyak sudah perguruan silat yang
hancur ditangannya. Baik dari golongan putih maupun
dari golongan hitam.
Seperti yang terjadi hari ini pada Perguruan Elang
Hitam. Perguruan yang dipimpin oleh Ki Sadewo Murai
adalah salah satu perguruan silat yang terkenal. Orang
tua yang telah berusia sekitar tujuh puluh tahun itu
belakangan ini memperketat penjagaan. Beberapa
orang muridnya pagi tadi tewas dibantai oleh Hantu
Rimba Larangan ketika membantu prajurit kerajaan
untuk menangkap orang itu.
Banyak orang yang mengetahui, bahwa murid-
murid perguruan itu acap kali membantu pihak kera-
jaan jika dibutuhkan. Bahkan boleh disebut bahwa se-
bagian besar prajurit-prajurit kerajaan merupakan
murid-murid perguruan silat itu.
Sore ini terlihat Ki Sadewo Murai tengah berkum-
pul dengan murid-murid utamanya. Untuk membica-
rakan soal Hantu Rimba Larangan
"Kita harus secepatnya mengambil tindakan terha-
dap orang gila itu, Ki. Kalau tidak akan se-makin ba-
nyak korban yang jatuh!" kata salah seorang muridnya
yang berusia sekitar tiga puluh tahun dengan wajah
geram.
"Itulah yang sedang kupikirkan, Rumpin! Orang itu
sangat berbahaya. Kita tak boleh sembarangan. Ilmu
silatnya tinggi dan sulit diukur. Aku tak yakin kita bisa
melawannya seorang diri."
"Maksudnya kita harus beramai-ramai menge-
royoknya?"
"Bukan begitu. Tapi kita harus meminta ban-tuan
perguruan, silat lain untuk membantu menumpas iblis
itu!" sahut Ki Sadewo Murai.
"Tapi, Ki..., selama ini Elang Hitam dikenal sebagai
perguruan silat yang terkuat di wilayah utara ini. Apa
tidak malu kita mengundang mereka dan meminta
bantuannya dalam menyelesaikan soal Hantu Rimba
Larangan?!" tanya Rumpin heran.
Ki Sadewo Murai tersenyum arif.
"Aku tak pernah mengajarkan kalian untuk bersi-
kap sombong, dan menganggap diri sendiri hebat. Per-
soalan ini bukan saja melibatkan kita, tapi juga ba-
nyak orang. Mereka pun pantas terlibat...."
"Betul apa yang dikatakan, Ki Guru. Pagi tadi kami
bertemu dengan murid Perguruan Gelang Terbang. Me-
reka secara tak langsung menyampaikan amanat gu-
runya agar Ki Sadewo Murai mau membantu mereka
untuk bergabung. Dan bersama-sama menggempur
orang gila itu!" sahut salah seorang murid Elang Hitam
yang bernama Bapang.
"Apakah tidak memalukan bila beberapa perguruan
bergabung dan mengeroyok lawan yang cuma seo-
rang?" tanya Rumpin ragu.
Ki Sadewo Murai belum sempat menjawab ketika
dari arah luar terdengar jeritan kesakitan yang disusul
oleh suara tawa yang menggelegar.
"Orang-orang yang berada di dalam, keluar dan
sambut kematian kalian yang telah dijanjikan Hantu
Rimba Larangan!"
"Dia datang, Ki!" sentak beberapa orang murid
hampir berbareng.
*
* *
Walaupun Ki Sadewo Murai agak terkejut menge-
tahui kehadiran orang yang sedang mereka bicarakan,
namun sebisa mungkin dia bersikap tenang agar para
muridnya mampu mengusai diri.
Perlahan-lahan dia bangkit dan berjalan menuju
halaman depan diikuti oleh murid-muridnya. Tepat di
pintu gerbang perguruan yang telah hancur beranta-
kan, berdiri sesosok tubuh tinggi besar dan berkulit hi-
tam legam. Kepalanya dua buah dengan rambut kaku.
Sepasang matanya lebar dan bulat seperti tidak memi-
liki kelopak, serta sepasang tangan yang berkacak
pinggang, dan sepasang lagi terlipat di dada. Tak jauh
di dekat orang itu berdiri tergeletak beberapa orang
murid Elang Hitam dalam keadaan tak bernyawa. Dari
mulutnya mengalir darah segar.
"Ki sanak, kau datang tanpa diundang dan tahu-
tahu membuat keonaran di sini. Apa sebenarnya yang
kau inginkan?" tanya Ki Sadewo Murai dengan suara
datar menahan hawa amarah.
"Jangan banyak berbasa-basi, Orang tua! Kau tahu
siapa aku dan tahu apa yang kuinginkan, yaitu kema-
tian kalian!" dengus orang itu dengan suara serak dan
dalam penuh dengan kebencian dan dendam.
"Hm..., jadi betulkah engkau yang bernama Hantu
Rimba Larangan, dan telah menjatuhkan hukuman
mati pada semua orang dengan seenak perutmu sendi-
ri?" tanya Ki Sadewo Murai dengan suara yang lebih
lantang.
"Ha ha ha ha...! Akhirnya kau ingat juga, Tua
Bangka. Nah, bersiaplah untuk menerima kematian-
mu!"
Tiba-tiba orang yang menamakan dirinya Hantu
Rimba Larangan telah mencelat dan menyerang Ki Sa-
dewo Murai.
"Hiyaaat...!"
"Orang gila keparat, hadapilah dulu aku baru kau
boleh menyentuh guru kami!" teriak Rumpin sambil
mencabut golok bercagaknya dan memapaki serangan
lawan.
"Huh! Bocah tak tahu diri! Mampuslah kau seka-
rang juga!" dengus Hantu Rimba Larangan sambil ber-
kelit dan mengirim satu pukulan jarak jauh.
Tapi Rumpin bukanlah murid sembarangan. Dalam
jajaran Perguruan Elang Hitam dia termasuk tangan
kanan Ki Sadewo Murai. Tak heran bila ilmu silatnya
sudah hampir menyamai gurunya itu.
"Yeaaa...!"
Tubuhnya bergulung-gulung menghindari angin
sambaran pukulan Hantu Rimba Larangan. Kemudian
dengan cepat kembali menyerang lawan sambil meng-
gunakan jurus maut yang dimilikinya. Rumpin menya-
dari bahwa lawannya ini bukan orang sembarangan,
hingga tak heran kalau dia langsung melayaninya se-
perti menghadapi musuh bebuyutannya. Ujung golok
bercagaknya mendesing dan mengancam seluruh titik
kematian di tubuh lawan.
Dalam beberapa serangan Hantu Rimba Larangan
terlihat mulai terdesak, dan ketika jurus pertamanya
selesai, Rumpin seperti mendapat peluang emas. Per-
tahanan lawan kelihatan terbuka. Dengan cepat ujung
goloknya menyambar bahu kanan lawan.
"Tak!"
"Begkh!”
"Aaaa...!"
"Rumpin...!" Ki Sadewo Murai berteriak ingin mem-
peringatkan, tapi sudah terlambat.
Hal itu terjadi memang disengaja Hantu Rimba La-
rangan. Dia mengumpan bahunya, dan Rumpin tak
sempat menyadari bahwa tubuh lawan ternyata kebal
senjata tajam. Kulit tubuh orang itu hanya sedikit ter-
gores seperti terkena duri. Tapi dengan tiba-tiba kepa-
lan tangan lama dengan cepat menghantam dadanya
dengan telak. Rumpin cuma mampu menjerit tertahan
ketika tubuhnya terjungkal dan ambruk ditanah den-
gan nyawa putus.
Beberapa orang murid Elang Hitam sudah lang-
sung maju dan bermaksud menyerang lawan. Tapi Ki
Sadewo Murai memberi isyarat. Mereka menggerutu
kesal dan menahan amarahnya ketika orang tua itu
berkata dengan suara pelan.
"Hantu Rimba Larangan, perbuatanmu sungguh
kejam dan biadab. Kau memang tak pantas menjadi
seorang manusia, tapi lebih rendah dari seekor bina-
tang!"
"Jangan banyak mulut kau, Tua Bangka! Majulah
biar lebih gampang kukirim kau ke akherat!"
"Jangan khawatir, Ki sanak. Aku akan merelakan
tulang tua yang tak berguna ini untuk menghentikan
segala perbuatan terkutukmu!"
"Ha ha ha ha...! Kau hendak menghentikan perbua-
tanku? Jangan bermimpi tua bangka keparat! Hantu
Rimba Larangan akan membuat kalian mampus se-
muanya!"
"Sring!"
Ki Sadewo Murai mengeluarkan senjata an-
dalannya. Sebuah golok yang ujungnya bercagak dua
dan gagangnya terbuat dari perak.
"Aku tak terbiasa bertarung dengan tangan ko-
song, dan karena kulihat tubuhmu kebal senjata ta-
jam, biarlah hitung-hitung pertarungan ini berjalan
dengan adil," ujar Ki Sadewo Murai sambil tersenyum
sinis.
"Aku tak peduli kau bersenjata atau tidak. Bahkan
bila seluruh muridmu ingin ambil bagian, mereka bo-
leh mengeroyokku!"
"Hmmm..., sombong sekali kau. Lihat serangan...!"
teriak Ki Sadewo Murai sambil berkelebat cepat menyerang lawan.
Hantu Rimba Larangan melenting ke atas dengan
ringan, tapi tubuh Ki Sadewo Murai dengan tiba-tiba
telah berada di belakangnya dengan ujung golok men-
gancam leher lawan.
"Bet!"
Tapi dengan gerakan yang tak terduga tubuh Han-
tu Rimba Larangan membungkuk dalam keadaan be-
rada di udara, kemudian kedua kakinya menendang ke
arah lawan.
"Hiyaaa...!"
***
ENAM
Ki Sadewo Murai bukanlah tokoh sembarangan.
Meski belum termasuk dalam jajaran datuk-datuk per-
silatan, namun banyak kalangan persilatan yang segan
kepadanya. Selain jarang terlibat urusan dengan se-
sama tokoh persilatan dalam hal perkelahian, konon
melihat dari sepak terjang murid-muridnya yang selalu
membela kebenaran, orang dapat menilai sampai di-
mana kehebatan ilmu silat orang tua itu.
Begitu juga ketika Hantu Rimba Larangan mencoba
mengecoh orang tua itu dengan gerak tipu, Ki Sadewo
Murai dengan manis menghindarinya, lalu dengan ti-
ba-tiba menyerang lawan.
"Hm..., bagus! Agaknya kau memiliki ilmu silat
yang lumayan juga, Tua Bangka. Tapi itu bukan mem-
buatku senang, karena berarti umurmu akan cepat se-
lesai. Tak seorang pun boleh mensejajarkan diri den-
gan Hantu Rimba Larangan!" kata orang bertubuh
aneh itu dengan nada sombong.
"Bicaralah sesuka hatimu, Ki sanak. Siapa tahu ju-
stru hari ini adalah hari terakhirmu mampu bicara!"
dengus Ki Sadewo Murai.
"Yeaaah...!"
"Hiyaaat...!"
Kali ini dengan satu teriakan hebat, tubuh Hantu
Rimba Larangan mencelat menyerang lawan. Ki Sade-
wo Murai sedikit terkejut. Golok di tangannya cepat
berkelebat dengan gerakan yang sulit diikuti oleh pan-
dangan mata biasa.
"Bet!"
"Duk!"
"Crak!"
"Akh!"
Sabetan golok Ki Sadewo Murai dapat dielak-kan
lawan. Hantu Rimba Larangan bahkan berhasil meng-
hantam pukulan ke dada ketua Perguruan Elang Hi-
tam itu. Ki Sadewo Murai mengeluh kesakitan. Namun
bersamaan dengan itu goloknya berhasil melukai perut
lawan.
Hantu Rimba Larangan memang kebal senjata ta-
jam, namun tidak terlalu hebat karena tubuhnya ma-
sih mampu digores senjata lawan.
Kali ini lukanya sedikit parah karena darah sempat
mengucur dari perutnya yang terluka. Kalau saja hal
itu dilakukan oleh orang biasa, mungkin golok itu tak
begitu berarti. Tapi di tangan Ki Sadewo Murai lain
halnya. Orang tua itu memainkannya dengan pengera-
han tenaga dalam kuat.
Ki Sadewo Murai berguling ke samping menghinda-
ri dua kepalan tangan sekaligus yang menghantamnya,
namun dua lengan kiri lawan dengan cepat menyodok
perutnya ketika kakinya tersandung kaki lawan.
Orang tua itu cuma berpikir, jika senjata Rumpin
saja berhasil menggores kulit lawan, berarti lawan masih mampu dilukai jika dia mengerahkan tenaga dalam
kuat.
Tapi hal itu ternyata harus dibayar mahal. Ki Sa-
dewo Murai terluka parah di dalam dadanya akibat
pukulan lawan tadi. Meski dia memiliki tenaga dalam
yang tinggi, namun pukulan lawan menghantam lebih
kuat. Belum lagi dia sempat memperbaiki posisi, tubuh
Hantu Rimba Larangan kembali mencelat sambil men-
girim satu serangan kilat ke arahnya.
"Sekarang mampuslah kau, Orang Tua! Hiyaaat...!"
Ki Sadewo Murai berguling ke samping menghinda-
ri dua kepalan tangan sekaligus yang menghantamnya,
namun dua lengan kiri lawan dengan cepat menyodok
perutnya ketika kakinya tersandung kaki lawan.
"Begkh! Begkh!"
Ki Sadewo Murai cuma mengeluh pelan sekali.
Bahkan suara pukulan itu lebih kencang ketimbang
keluh kesakitannya. Dari mulut orang tua itu muncrat
darah segar ketika tubuhnya terangkat setinggi tiga
kaki ke atas. Ketika tubuh tua itu ambruk ke tanah,
nyawanya sudah lepas dari raga.
"Keparat! Kau harus membayar mahal untuk se-
mua ini!" bentak salah seorang anak murid Perguruan
Elang Hitam dengan garang.
"Cincang manusia biadab itu!"
"Bunuuuh...!"
"Yeaaah...!"
Amarah yang sejak tadi telah memuncak di setiap
hati murid Perguruan Elang Hitam, kini se-makin ma-
rah dengan kematian guru mereka di tangan Hantu
Rimba Larangan. Tanpa memikirkan keselamatan me-
reka langsung menyerang lawan dengan ganas dan
buas.
"Ha ha ha ha...! Mari ke sini, dan terimalah kema-
tian kalian seperti yang telah kujanjikan!" teriak Hantu
Rimba Larangan seperti orang kegirangan.
Hantu Rimba Larangan bekerja tak kepalang tang-
gung. Sekali tubuhnya bergerak, dua atau tiga orang
murid Perguruan Elang Hitam telah tewas dalam kea-
daan yang mengerikan. Kalau kepala mereka tidak pe-
cah, maka ada yang perutnya jebol dan ususnya teru-
rai keluar. Bahkan ada yang mengalami kematian den-
gan keadaan yang mengerikan. Dada kirinya bolong
dengan jantung hancur, serta tubuh mereka remuk
dari kepala hingga kaki.
Satu persatu murid Perguruan Elang Hitam binasa.
Sia-sia mereka melakukan perlawanan karena tak seo-
rangpun yang mampu menahan serangan Hantu Rim-
ba Larangan lebih dari enam gerakan. Dan orang itu
memang betul-betul gila karena dia seperti menikmati
apa yang dilakukannya sambil tertawa penuh keme-
nangan.
"Hi hi hi hi...! Mampuslah kalian semua, mampus-
lah kalian semua! Telah tiba saatnya hari pembalasan,
dan kalian akan merasakan penderitaanku dulu den-
gan kematian. Menangislah di akherat sana dan sesali
nasib kalian yang buruk seperti aku menyesali nasib-
ku dulu!"
Seperti orang kesurupan, Hantu Rimba Larangan
berteriak-teriak sendiri dengan suara menggelegar.
Kemudian dia tertawa-tawa sambil memutari mayat-
mayat yang bergelimpangan seperti orang menari. Ke-
mudian setelah puas melampiaskan segala kegiran-
gannya, dia meninggalkan tempat itu sambil terus ter-
tawa terbahak-bahak.
Tempat itu seketika senyap. Bau anyir tercium ber-
sama dengan tiupan angin yang membawanya jauh ke
desa terdekat. Seperti memperingatkan bahwa Hantu
Rimba Larangan telah berada di dekat mereka dan siap
menjemput maut.
*
* *
Pemuda berambut gondrong berbaju harimau me-
langkah lesu. Monyet kecil berbulu hitam yang sejak
tadi berada di pundaknya terus mencericit ribut. Tapi
pemuda yang tak lain adalah Bayu Hanggara alias
Pendekar Pulau Neraka masih terus memandang seke-
liling dengan perasaan curiga. Tempat itu telah diama-
tinya berkali-kali. Tak ada sesuatu yang mencuriga-
kan. Bahkan perabotan di dalam pondok kecil itu pe-
nuh debu seperti tak pernah dihuni bertahun-tahun.
"Nguk!"
"Diamlah dulu, Tiren. Aku tahu sebentar lagi senja.
Tapi kita harus memeriksa tempat ini sekali lagi."
"Kaaaakh...!"
Bayu mendesah pelan.
"Iya, aku tahu. Kau mengkhawatirkan mereka, bu-
kan? Begitu juga aku. Baiklah, kita kembali. Sudah
seharian kita menyelusuri tempat ini serta hutan di
dalam sana, namun tak terlihat batang hidung orang
itu. Mungkin dia memang tak berada di tempat ini,"
kata Bayu sambil menggelengkan kepala lemah.
"Nguk!"
Setelah memastikan bahwa tak ada sesuatu yang
dapat memberikan petunjuk tentang buruannya, Bayu
langsung kembali ke Desa Kedungbala. Ambar me-
nyambutnya dengan girang sambil memeluk pemuda
itu. Sedangkan Puji Lestari cuma tersenyum mengama-
ti.
"Bagaimana, Bayu? Apakah betul dia berada di sa-
na?" tanya laki-laki bertubuh kurus yang kini telah
memanggil pemuda itu dengan namanya.
"Agaknya dia telah lama meninggalkan tempat itu,
Ki Legowo..." sahut Bayu sambil menggelengkan kepa
la.
"Hhhh... kalau begitu aku betul-betul tak tahu lagi
di mana dia berada kini..." sahut Ki Legowo lirih.
"Kurasa aku pun tak bisa berlama-lama di sini,
Ki...."
"Paman mau ke mana?" tanya Ambar dengan wajah
sedih.
"Paman harus pergi...."
"Kenapa Paman harus pergi? Tidak sukakah pa-
man tinggal bersama kami di sini?" tanya gadis cilik itu
setengah memohon.
Bayu tersenyum kecil.
"Ambar, Paman Bayu tak bisa menetap di sini ka-
rena dia harus meneruskan perjalanan. Paman Bayu
seorang pengembara, dan orang seperti dia tak mung-
kin mau menetap di satu tempat...!" Ujar Puji Lestari
dengan suara pelan sambil memangku sepupunya.
Bayu melirik sekilas pada gadis itu. Kemudian
mengalihkan pandangan kepada Ambar sambil ber-
jongkok di hadapannya.
"Ambar, paman tak bisa berdiam diri di sini saja.
Orang jahat itu akan banyak membunuh orang kalau
tidak dihentikan. Kalau paman berada di sini terus,
bagaimana paman bisa menghentikannya? Nah, untuk
itu paman harus pergi mencari dan kemudian meng-
hukumnya," jelas Pendekar Pulau Neraka sambil ter-
senyum.
"Tapi paman akan kembali lagi ke sini."
"Tentu! Bukankah paman belum mengucapkan
bahwa paman harus berpisah denganmu, bukan?"
"Paman berjanji akan ke sini lagi dan menetap ber-
sama kami?" tanya bocah itu penuh harap dengan wa-
jah girang.
Pendekar Pulau Neraka menarik nafas panjang,
kemudian menghembuskannya perlahan. Sulit rasanya
dia menjawab pertanyaan bocah itu. Tak tega rasanya
untuk menyakiti hati anak yang masih polos ini. ba-
ginya kehidupan-kehidupan itu cuma hitam dan putih
yang gampang dicerna dan dibuat mudah.
"Ambar, paman bukan tak ingin menetap di sini,
tapi kalau paman harus pergi itu karena ingin mencari
orang tua paman yang sampai sekarang belum juga
bertemu. Paman rindu sekali padanya. Jadi Ambar tak
keberatan bukan? Setelah paman menghukum orang
itu maka paman akan ke sini untuk berpamitan den-
ganmu," kata Bayu lirih.
Bocah cilik itu menundukkan wajah. Dalam dua
hari ini saja persahabatannya dengan Bayu telah
membuat dirinya akrab dan merasa kenal bertahun-
tahun. Ada yang memperhatikannya, dan mengajaknya
bicara tentang hal yang selama ini belum pernah dike-
nalnya. Dan kini tiba-tiba orang itu harus pergi. Terasa
berat sekali hatinya untuk melepaskan Bayu. Namun
alasan yang dikeluarkan pemuda itu sangat menyen-
tuh hatinya. Dia dapat merasakan, betapa sedihnya ji-
ka berpisah dengan kedua orang tua. Jangankan sam-
pai bertahun-tahun, beberapa hari saja tak bertemu
rasanya bingung.
"Nah, kau mengerti bukan?" tanya Bayu sambil
memandangi wajah bocah polos itu dalam-dalam.
Ambar mengangukkan kepala.
"Tapi paman tidak akan berangkat sekarang, bu-
kan? Besok pagi saja! Sebentar lagi malam, tentu pa-
man harus tidur dulu untuk beristirahat."
"Baiklah. Paman akan berangkat besok pagi...."
Pemuda berambut gondrong itu baru saja bangkit
dari duduknya ketika dari arah luar terlihat sosok tu-
buh tergopoh-gopoh berlari menuju ke rumah ini.
"Ki Legowo! Ki Legowo...! Ada berita penting!" teriaknya.
"Berita penting apa, Bondang?" tanya Ki Legowo ke-
tika orang itu telah mendekat.
Sekilas dia tersenyum pada Bayu, kemudian laki-
laki yang berusia sekitar dua puluh lima tahun itu
meneruskan kata-katanya.
"Ki Karta dan keluarga kembali lagi ke desa...."
"Astaga! Jadi juga dia pergi. Selamatkah mereka
...?" tanya Ki Legowo khawatir.
"Mereka selamat, Ki."
"Lalu kenapa mereka kembali?"
"Inilah yang menjadi permasalahan. Dalam perjala-
nan dia mendengar tentang Dolo Lungkat...."
"Dolo Lungkat? Kabar apa?"
"Orang itu membuat kekacauan di mana-mana dan
menyebut dirinya sebagai Hantu Rimba Larangan!" je-
las orang yang bernama Bondang.
Kemudian Bondang menceritakan apa yang di den-
gannya dari Ki Karta sehubungan dengan keganasan
Hantu Rimba Larangan beberapa hari ini.
"Cerita itu telah menyebar ke mana-mana. Banyak
sudah orang yang binasa di tangannya. Bahkan bebe-
rapa tokoh persilatan ikut menjadi korban!" lanjut
Bondang.
"Hmmm... orang itu betul-betul sudah tidak waras.
Membunuh orang tanpa alasan selain kesenangan dan
melampiaskan dendamnya yang tak berketentuan,"
gumam Ki Legowo geram.
"Sudah, Ki. Aku ingin mengabarkan hal ini pada
yang lainnya. Ini kesempatan baik bagi kita untuk se-
cepatnya meninggalkan desa ini," kata Bondang kem-
bali sambil pamit dan meninggalkan rumah Ki Legowo.
*
* *
"Kalau begitu aku harus berangkat sekarang juga,
Ki. Kalau menunggu besok mungkin orang itu akan
mencari korban yang lain," kata Bayu menyentakkan
lamunan Ki Legowo.
"Kau akan mencarinya ke mana?"
"Ke Kotaraja seperti yang diceritakan Bondang tadi.
Paling tidak di desa-desa sekitar Kotaraja."
"Apakah tidak sebaiknya besok pagi saja kau be-
rangkat, Bayu. Kotaraja agak jauh dari sini dan me-
merlukan perjalanan satu hari penuh. Kau tentu ma-
sih lelah...."
"Betul. Paman berangkat besok pagi saja!" cegah si
kecil Ambar.
"Jangan-jangan malah malam ini dia akan kembali
ke desa ini lagi. Orang itu sulit diterka, namun yang je-
las dia pasti akan kembali untuk melanjutkan perbua-
tannya yang gila itu," sambung Puji Lestari dengan na-
da khawatir.
Bayu memandang wajah mereka sekilas satu per-
satu. Masih terbesit perasaan takut dan cemas ber-
campur geram. Lebih-lebih melihat wajah si kecil Am-
bar yang kini tampak pucat begitu mendengar nama
Hantu Rimba Larangan disebut-sebut.
"Nguk!"
Monyet kecil berbulu hitam di pundaknya pun
memandang dengan wajah kuyu kepada Pendekar Pu-
lau Neraka. Seolah-olah dia membenarkan kata-kata
gadis cantik yang duduk di sebelahnya.
Sambil menghela nafas panjang Bayu mengangkat
bahu dan berkata pelan.
"Yah... kalau demikian apa boleh buat. Tak baik
menolak tawaran orang lain. Baiklah, aku akan be-
rangkat besok pagi...."
Ambar tersenyum mendengar kata-kata itu.
Malam ini dilalui Pendekar Pulau Neraka seperti
malam sebelumnya. Hanya kali ini dia tak terjaga pe-
nuh. Kantuknya terasa berat bukan main. Dia mere-
bahkan diri di bale-bale yang berada di ruang. Tiren
berjaga-jaga di sisinya.
"Tiren, jangan sampai kau tertidur pula. Kalau kau
merasa tak kuat menahan kantuk, bangunkan aku!"
pesan Pendekar Pulau Neraka.
Matanya masih terasa berat dan kantuk me-
nyerangnya luar biasa, tapi pemuda berambut gon-
drong itu cuma merasa tidur sesaat ketika Tiren men-
cericit di telinga. Bayu cepat bangkit sambil merasakan
kepalanya pusing.
"Ada apa, Tiren? Kenapa kau menggangguku? Aku
ngantuk sekali!"
"Nguk!"
Monyet kecil itu menunjuk sesuatu. Bayu menoleh,
dan buru-buru dia mengucekkan matanya ketika Puji
Lestari telah berada di dekatnya sambil membawa se-
cangkir kopi panas. Gadis itu tersenyum manis.
"Maaf, aku tak bermaksud mengganggu. Tapi Tiren
terjaga dan mencericit terus di dekatmu. Aku... aku
cuma ingin mengantarkan kopi ini saja sahut gadis
cantik itu dengan suara terbata-bata.
"Oh ya... terima kasih! Kenapa tak tidur?"
Gadis itu tersenyum.
"Aku biasa bangun pagi-pagi sekali...."
Bayu mendongak sekilas, dan lapat-lapat teli-
nganya mendengar kokok ayam di kejauhan. Barulah
dia menepuk kepalanya sambil terkekeh kecil.
"Begitu mengantuknya aku tak sadar kalau hari
sudah pagi. Eh, terima kasih, Puji. Kau baik sekali.
Sudah mandi?" tanya Bayu sambil tersenyum menggo-
da.
"Belum...."
"Tapi tetap saja tubuhmu harum."
"Ka... Kakang Bayu bisa saja...."
"Betul, aku bicara apa adanya," sahut Pendekar
Pulau Neraka sambil menghirup kopinya.
Gadis itu menundukkan wajah sambil memper-
mainkan ujung bajunya. Bayu kembali memandang
sambil tersenyum.
"Kenapa berdiri terus? Kau tak mau duduk?"
"Tidak mengganggu?"
Bayu menggeleng.
Puji Lestari duduk di depannya dengan malu-malu.
Keduanya terdiam beberapa lama seperti tak ada
bahan pembicaraan.
"Kaaakh...!"
Ouw!"
Dasar monyet jahil! Dengan tiba-tiba dia melompat
di punggung gadis cantik itu sambil menjerit. Bukan
main terkejutnya Puji Lestari. Tanpa sadar dia menjerit
memeluk Bayu dengan wajah pucat.
"Tenanglah, Puji... itu cuma kerjaan si Tiren yang
memang usil. Itu tandanya dia suka denganmu, dan
ingin selalu berdekatan setiap hari..." suara Bayu ter-
dengar lirih.
Gadis itu seperti tak berusaha berontak ketika dia
memandang Bayu. Wajah mereka begitu dekat. Suasa-
na sepi itu seperti menggoda hati mereka masing-
masing. Puji Lestari mengatupkan kedua kelopak ma-
tanya ketika wajah pemuda itu dirasanya semakin
mendekat. Tiba-tiba dia merasa sulit bernafas ketika
bibirnya terasa hangat. Perasaan ganjil menyesak di
dadanya, dan hal itu belum pernah dialaminya selama
ini. Perasaan suka, senang, dan bahagia bercampur
takut namun tak kuasa menghindar.
"Kaaaakh...!"
Tiren kembali memekik nyaring mengagetkan ke-
dua insan yang tenggelam dalam suasana pagi yang
dingin.
"Eh...ng...maaf. Aku...aku...." Bayu salah tingkah
sambil melepaskan pelukannya pada gadis itu.
Lewat cahaya pelita yang menyala redup Bayu
mampu melihat wajah wanita itu yang memerah sebe-
lum dia menundukkan kepala dengan malu-malu dan
langsung beranjak ke belakang.
Pendekar Pulau Neraka menggaruk-garukkan ke-
palanya dengan wajah bingung seperti orang tolol. Ke-
mudian dia senyum-senyum sendiri ketika Tiren me-
nyeringai dan menjulurkan lidah persis di depannya.
Bayu terkekeh kecil.
***
TUJUH
Matahari belum lagi tepat berada di atas kepala ke-
tika sebuah bayangan tampak melesat cepat mening-
galkan sebuah gedung mewah sambil tertawa-tawa ke-
girangan. Melihat caranya bergerak bagai sapuan an-
gin pastilah orang tersebut memiliki ilmu lari cepat
tingkat tinggi, dan setidaknya pasti memiliki ilmu silat
yang jauh di atas orang-orang persilatan kebanyakan.
Namun bila melihatnya dari dekat, terlihat hal aneh
pada anggota tubuh orang itu. Tubuhnya berkulit hi-
tam legam memiliki kepala dua dan dua pasang tan-
gan. Rambutnya hitam kaku dan lusuh seperti tak
pernah kena air bertahun-tahun. Sepasang matanya
yang lebar dan bulat menempel begitu saja seperti tak
memiliki kelopak.
"Ha ha ha ha...! Semuanya akan tewas di tangan
Hantu Rimba Larangan! Kalian akan merasakan sik-
saan serta hinaan berat seperti apa yang kualami dulu.
Kalian akan merasakan semua...!" Terdengar suara se-
rak dan berat berkumandang ke segala pelosok tempat
itu.
Sesosok bayangan yang tak lain dari Hantu Rimba
Larangan terus berkelebat cepat mendekati sebuah
lembah di mana terdapat sebuah telaga yang di atas-
nya mengucur sebuah air terjun. Pemandangan di
tempat itu indah sekali. Sebongkah bukit cadas tegak
berdiri ditumbuhi lumut dan pepohonan kecil di te-
bingnya yang curam. Dari situlah mengalir air terjun
tersebut.
Hantu Rimba Larangan berhenti dan menciduk air
untuk membasahi kerongkongannya yang kering. Ter-
dengar helaan nafasnya yang lega. Kemudian tertun-
duk menekur pada sebuah batu besar dan berkaca pa-
da air telaga. Wajahnya tiba-tiba garang penuh keben-
cian dendam kesumat, berubah lesu dan nuansa ke-
pedihan terbayang nyata.
"Ibu... tak pernah aku menyalahkanmu atas kela-
hiranku yang tak semestinya ini. Tenanglah kau di
alam sana. Karena aku akan membalas sakit hatimu
pada mereka. Orang-orang itu harus mendapat pemba-
lasan yang setimpal...." katanya dengan suara lirih.
Hantu Rimba Larangan termangu. Wajahnya beru-
bah serius, dan sepertinya dia merasakan kehadiran
orang yang disebutnya tadi berbicara padanya lewat
bayangan di permukaan telaga.
"Tidak ibu! Jalan yang kutempuh adalah yang be-
nar! Masih ingatkah engkau ketika mereka mengejek
dan menyiksaku? Mereka menganggapku lebih hina
dari anjing kudisan. Hanya kau seorang yang menga-
sihiku di atas dunia ini. Tahukah ketika engkau ke-
mudian meninggalkanku? Hatiku hancur, Bu. Aku
berlari seperti orang gila ke dalam hutan. Saat itu aku
tak ingin hidup lagi. Kau pun tahu bukan? Sampai akhirnya aku terperosok ke dalam sebuah sumur tua
yang dalam dan pengap. Di sanalah kutemukan kitab
pelajaran ilmu silat. Bertahun-tahun aku melatih diri
untuk membalaskan sakit hati ini, dan sekarang masa
itu telah tiba. Mereka harus menanggung akibatnya!"
sentak Hantu Rimba Larangan sambil bangkit berdiri
dan mendengus garang.
Tak terasa air matanya menitik dan jatuh di per-
mukaan telaga hingga membuat bayangan dirinya ber-
cerai berai sesaat.
"Tidak ibu! Aku harus membalasnya pada mereka.
Kalau kau tak setuju dengan caraku, aku tak peduli!"
teriaknya seperti kehilangan akal.
Dengan gemas kemudian diangkat sebongkah batu
besar dan dibenamkannya ke dalam telaga. Suara ge-
muruh terdengar sesaat. Air telaga itu bergelombang.
Tidak sampai di situ, karena dengan tiba-tiba telapak
tangan kanan Hantu Rimba Larangan menghantam
permukaan telaga dengan tenaga dalam penuh.
"Hiyaaaat...!"
"Pyar!"
Sungguh hebat akibatnya. Air telaga yang tadi te-
nang kini bergelombang tinggi hingga mampu melawan
arus yang dibuat oleh air terjun di bawahnya.
"Yeaaaa...!"
Seperti orang kesurupan, Hantu Rimba Larangan
kembali menghantamkan pukulan dari atas ke bawah
pada curahan air terjun. Bukan main hebatnya puku-
lan yang dilontarkannya. Untuk beberapa saat air ter-
jun yang tercurah itu berhenti dan memuncrat ke atas
pada jarak kurang dari dua tombak di atas permukaan
telaga.
"Aku tak peduli apa yang kau katakan! Aku tak pe-
duli! Mereka harus mampus semua! Mereka harus
mampus! Hiyaaat...!" teriak Hantu Rimba Larangan seperti orang gila.
Dia mengamuk sejadi-jadinya. Batu cadas se-besar
kerbau hancur berantakan dan beberapa pohon besar
tumbang dihantam pukulannya. Tempat itu seperti di-
landa gempa dalam sekejap.
"Yeaaa...!"
"Glaaar!"
Setelah puas mengamuk, dia kembali terduduk
dengan wajah lesu dan kuyu. Seperti anak kecil yang
kehilangan ibunya. Terlihat Hantu Rimba Larangan
menangis kecil.
"Maafkan kelakuanku, Bu. Aku tak bermaksud me-
lawanmu, tapi apa yang kau katakan sangat berten-
tangan dengan hatiku. Apakah kau tidak merasakan
betapa sakitnya hatiku saat mereka menghina, menge-
jek, bahkan menyiksaku dengan angkuhnya? Mereka
beranggapan punya derajat lebih tinggi dariku. Tidak
pantaskah aku membalasnya dengan kematian mere-
ka? Apakah orang seperti itu harus dibiarkan hidup?
Mereka sama saja. Semua orang sama kelakuannya",
dan mereka akan mendapat ganjaran yang setimpal
dariku...." ujar Hantu Rimba Larangan kembali dengan
suara pilu.
Lama dia terpaku begitu tiba-tiba terdengar benta-
kan nyaring di belakangnya.
"Hantu Rimba Larangan, saat ini adalah hari kema-
tian bagimu! Dosamu telah melewati takaran. Tak ada
ampun lagi bagimu, dan tak ada tempat bagimu untuk
kabur! Tempat ini telah kami kepung rapat!"
*
* *
Orang bertubuh aneh itu menoleh. Terlihat di seke-
liling tempat itu telah ramai oleh berbagai orang dengan senjata terhunus. Dari cara berpakaian agaknya
mereka berasal dari dunia persilatan. Hantu Rimba La-
rangan menghitung, jumlah mereka tak kurang dari ti-
ga puluh orang. Bukannya dia merasa takut dan ce-
mas sebaliknya tertawa-tawa senang.
"Ha ha ha ha...! Bagus kalian telah berkumpul di
sini hingga tak susah-susah lagi aku mencari kalian
satu persatu. Ayo, siapa yang ingin maju lebih dulu?!
Atau kalian mau berbarengan, begitu lebih bagus agar
lebih mudah aku mengirimnya ke akherat!" teriak Han-
tu Rimba Larangan sambil bangkit berdiri menghadap
orang-orang dari rimba persilatan.
"Huh! Sombong sekali kau keparat! Terimalah sa-
lam dariku Garuda Merah Penyapu Angkasa!" teriak
seseorang yang mengenakan baju merah sambil me-
nyerang Hantu Rimba Larangan dengan sengit.
"Hiyaaat...!"
"Yeaaa...!"
Hantu Rimba Larangan memapaki serangan lawan
dengan wajah berkerut penuh kebencian.
Orang yang menamakan dirinya Garuda Merah Pe-
nyapu Angkasa mengetahui bahwa lawan berilmu ting-
gi, tapi dia begitu yakin akan kemampuan ilmu silat
dan tenaga dalamnya. Hingga begitu melihat kedua
tangan lawan terkembang, kedua telapak tangannya
pun menghantam sambil mengerahkan tenaga dalam
dengan kekuatan penuh. Agaknya dia begitu yakin la-
wan akan binasa atau terluka olehnya.
"Glaaaar!"
"Aaaa...!"
Orang yang mengenakan baju merah itu cuma
mampu mengeluh pelan ketika tubuhnya terlempar ke
belakang. Darah muncrat dari mulut dan hidungnya.
Begitu tiba di tanah, nyawanya lepas seketika.
"Ha ha ha ha...!" Mampuslah bagianmu, orang celaka! Kau pikir mampu mengalahkan Hantu Rimba La-
rangan begitu mudah?! Puiih!"
"Jahanam! Kau betul-betul manusia keparat. Han-
tu Rimba Larangan, mampuslah kau! bentak salah
seorang di antara mereka.
"Seraaang...!"
Mendengar teriakan itu, semuanya langsung berge-
rak mengeroyok Hantu Rimba Larangan.
"Yeaaa...!"
"Ha ha ha ha...! Majulah semua! Ayo, majulah dan
jemput kematian kalian di tanganku!" teriak Hantu
Rimba Larangan sambil tertawa kegirangan.
Orang-orang itu memang bukanlah tokoh semba-
rangan. Nama Hantu Rimba Larangan beberapa hari
dikenal sebagai tokoh pencabut nyawa yang ditakuti
karena ketinggian ilmu silat dan kesaktiannya. Maka
jika mereka yang berasal dari tokoh-tokoh gabungan
berbagai Perguruan silat berani mengejar dan bermak-
sud membunuhnya, tentulah mereka bukan orang
sembarangan. Paling tidak mereka adalah wakil nomor
satu di perguruannya masing-masing. Bahkan tak se-
dikit di antara mereka terdapat ketua perguruan silat
itu sendiri.
Tapi Hantu Rimba Larangan betul-betul membuk-
tikan bahwa dia tokoh yang sulit ditaklukkan.
Tubuhnya berkelebat dengan ringan menghantam
lawan dan bergerak dengan cepat menghindari seran-
gan lawan-lawannya. Kedua pasang tangannya itu
sangat merepotkan, dan merupakan alat pembunuh
yang ampuh.
"Yeaaa...!"
"Begkh!"
"Aaaa...!"
Beberapa orang kembali tewas di tangan Hantu
Rimba Larangan. Pada masing-masing tangannya ke
luar angin pukulan yang berbeda. Dua telapak tangan
mengeluarkan pukulan yang berhawa panas, sedang-
kan dari telapak kirinya menghantam pukulan berha-
wa dingin. Pengerahan dua pukulan yang masing-
masing berlawanan itu menunjukkan bahwa Hantu
Rimba Larangan bukanlah tokoh sembarangan, sebab
hal itu sangat sulit dilakukan meski oleh tokoh persila-
tan terkemuka sekalipun. Akibatnya bukan saja akan
merusak diri, bahkan mampu berbalik dan menyerang
diri sendiri, tapi Hantu Rimba Larangan mampu mela-
kukannya dengan leluasa. Dan tak sedikit pun tanda-
tanda bahwa dia terkena pukulan sendiri.
"Hantu Rimba Larangan, terimalah kematian-mu!"
teriak seorang sambil melemparkan sepasang senjata
yang mirip gelang.
"Bet! Bet!"
Tubuh Hantu Rimba Larangan bersalto di udara
beberapa kali menghindari terjangan senjata lawan.
Namun pada saat itu utusan dari Perguruan Walet Me-
rah telah mengejar sambil menghunuskan pedang.
Sementara tiga orang ketua perguruan silat menye-
rangnya dari arah yang berlawanan.
"Hiyaaaat...!"
"Yeaaa...!"
"Begkh!"
"Bret!"
"Aaaa...!"
Sehebat-hebatnya seorang tokoh persilatan berilmu
tinggi, tentu akan sulit menghindari dari serangan itu.
Apalagi dalam keadaan tubuh yang mengapung di uda-
ra. Namun dengan berani Hantu Rimba Larangan me-
mapaki serangan mereka. Ujung pedang salah seorang
utusan Walet Merah menggores punggungnya, tapi pu-
kulannya menghantam lawan yang seorang lagi hingga
terpental sambil menjerit keras.
Hantu Rimba Larangan menekuk kepalanya meng-
hindari salah seorang yang akan menyabet lehernya.
Dua telapak tangan kanannya menghantam ke arah
dua orang lawan, namun kedua orang itu membalas
dengan sebuah pukulan jarak jauh bertenaga dalam
penuh.
"Yeaaa...!"
"Glaaar!"
Kedua orang itu terpental sambil mengeluh kesaki-
tan. Hantu Rimba Larangan bukannya tak merasakan
akibat pukulan lawan. Namun dia menggunakannya
sebagai tenaga dorongan yang membuat tubuhnya ter-
pental agak jauh dan bersalto beberapa kali di udara.
"Habisi dia...!"
"Dia telah terluka...!"
"Cincaaaang...!"
Kedua kaki Hantu Rimba Larangan belum lagi
menjejak di atas tanah ketika lima orang lawan menye-
rangnya dengan ganas.
"Yeaaa...!"
"Plak!"
"Begkh!"
"Aaaa...!"
Dua orang kembali terjungkal dihantam pukulan
Hantu Rimba Larangan dan tewas seketika. Tapi dia
sempat terhuyung-huyung ketika sebuah pukulan la-
wan menyodok dadanya dengan keras.
"Rencah dia! Keparat ini telah terluka. Tak lama dia
pasti akan kehabisan tenaga dan mampus!" teriak se-
seorang memberi semangat.
Hantu Rimba Larangan memang berilmu tinggi dan
sulit dikalahkan. Tapi para pengeroyoknya pun bukan-
lah orang sembarangan. Bila diteruskan dengan cara
begini, lama kelamaan dia akan terus terdesak dan ke-
habisan tenaga. Jumlah ini sudah melampaui batas
untuk dilawannya seorang diri.
Seorang datuk persilatan yang tak terkalahkan pun
akan binasa bila dikeroyok oleh orang-orang berilmu
tinggi seperti mereka dalam jumlah banyak.
Berpikir begitu tubuhnya melesat ke atas sebuah
cabang pohon dan menghilang dari pandangan para
pengeroyoknya untuk melarikan diri.
"Kejar terus...!" Jangan biarkan dia melarikan di-
ri...!" teriak salah seorang memberi komando.
*
* *
Hantu Rimba Larangan telah bersumpah akan
membunuh orang itu semua, hingga tak mungkin dia
lari begitu saja dari pertarungan tanpa menuntut ba-
las. Rencananya telah tersusun rapi. Sambil menung-
gu malam tiba, dia beristirahat di sebuah cabang po-
hon yang besar dan tinggi untuk memulihkan tena-
ganya. Dari situ dia dapat mengintai mereka satu per-
satu yang masih terus men-carinya.
Sementara itu gabungan orang-orang persilatan te-
rus melakukan pencarian terhadap Hantu Rimba La-
rangan sampai senja mulai tiba.
"Bagaimana, Ki Srengseng? Apakah kita akan terus
mencarinya di tempat ini?" tanya salah se-orang ketua
perguruan silat yang bernama Ki Bagus
Sapta kepada ketua Perguruan Gelang Terbang.
"Hmm... aku punya firasat bahwa dia masih berada
di sekitar sini. Dia mengalami luka dalam, dan lagi pu-
la orang gila sepertinya tak mungkin mau kabur begitu
saja. Dia pasti akan muncul!"
"Bagaimana kalau dia benar-benar telah melarikan
diri?" tanya Ki Walang Sangit, ketua Perguruan Bela-
lang Ijo.
"Kami sependapat dengan Ki Srengseng. Hantu
Rimba Larangan adalah orang gila yang haus darah.
Tak mungkin dia meninggalkan kita begitu saja. Orang
itu pasti masih berada di sekitar sini!" sahut salah seo-
rang utusan dari Perguruan Kembang Pelangi.
"Pasti dia mempunyai rencana tertentu terhadap
kita!" dengus Ki Bagus Sapta.
"Aaaa...!"
"Heh?"
"Apa itu?"
Semua mengalihkan perhatian ke arah suara jeri-
tan tadi. Dua orang utusan dari Perguruan Batu Hitam
tewas dengan kepala remuk.
"Aaaa...!"
"Heh?"
Kembali terdengar jerit kematian. Lima orang utu-
san Perguruan Angsa Putih menemui ajal dihantam sa-
tu pukulan jarak jauh berhawa panas.
"Kurang ajar! Dia hendak bermain kucing-kucingan
pada kita!" sentak Ki Srengseng garang.
"Pertajam pendengaran kalian dan jangan lengah!"
teriak Ki Bagus Sapta garang.
Mendengar itu semuanya langsung berjaga-jaga
dengan sikap lebih waspada. Pendengaran mereka di-
buka lebar-lebar dan pandangan matanya dipertajam
untuk mengawasi setiap gerak yang mencurigakan.
"Yeaaa...!"
"Itu dia!"
"Seraaaang...!"
"Aaaa...!"
Suatu bentakan nyaring kembali terdengar yang
disusul dengan terpentalnya empat orang yang berada
di dekat sebuah pohon besar. Nyawa mereka lepas se-
ketika setelah menyentuh tanah. Ki Bagus Sapta dan
Ki Walang Sangit nyaris jadi korban kalau mereka tak
cepat menghindar.
"Sing!"
Sepasang gelang terbang milik Ki Srengseng men-
desing cepat ke arah sebuah bayangan yang sempat di-
tangkap penglihatannya.
"Kejar dia ke arah sana!" teriaknya memberi ko-
mando pada yang lain.
"Hiyaaat...!"
Ki Bagus Sapta dan Ki Walang Sangit telah menda-
hului yang lain dan mencelat ke cabang se-buah pohon
sambil mengirim satu pukulan jarak
jauh dengan tenaga dalam penuh.
"Aaaa...!"
"Hei?!"
Mereka tersentak kaget. Dari arah lain kembali ja-
tuh korban. Enam orang kembali tewas terpental di-
hantam pukulan jarak jauh yang membuat tubuh me-
reka remuk.
"Keparat kau Hantu Rimba Larangan! Keluar-lah
kalau kau memang bukan pengecut!" teriak Ki Sreng-
seng sambil menangkap kembali sepasang gelang ter-
bangnya yang tak menemui sasaran.
Tak terdengar sahutan. Tempat itu masih senyap
seperti semula. Ki Srengseng menatap yang lainnya.
Jumlah mereka kini banyak berkurang. Tak lebih dari
sepuluh orang. Hal ini betul-betul menjengkelkan dan
membuat hati mereka panas bukan main.
"Hmm... dia menggunakan kelebihannya dalam hal
ilmu meringankan tubuh untuk mengecoh kita!" den-
gus Ki Srengseng garang.
"Betul, Ki. Tenaga dalamnya pun hebat, dan berada
di atas kita. Dengan caranya itu kita tahu betul-betul
telah terkepung!" sahut Ki Walang Sangit.
"Awaas...!" teriak Ki Bagus Sapta memper-ingatkan
yang lain ketika sesosok bayangan menerpa ke arah
mereka.
Ketiga orang ketua perguruan silat itu melompat
menghadang, namun gerakan mereka terlambat.
Empat orang dari tokoh persilatan kembali menjadi
korban hantaman pukulan sesosok bayangan itu. Tu-
buh mereka terpental sambil menjerit tertahan. Dan
nyawanya langsung putus seketika.
"Yeaaa...!"
Bayangan itu bergerak begitu cepatnya. Bahkan
hampir tak terlihat dia menjejakkan kaki dan kembali
menyerang mereka dengan menimbulkan desk angin
kencang bagai badai topan.
"Plak!"
"Begkh!"
"Bret!"
"Aaaa...!"
Ki Srengseng memapaki serangan lawan ketika se-
pasang gelang terbangnya dengan mudah dielakkan.
Orang tua itu mengeluh kesakitan ketika kedua tela-
pak tangan mereka saling beradu. Bayangan itu berge-
rak cepat sekali menghindari sabetan pedang Ki Bagus
Sapta, namun tak urung dia mengeluh pelan ketika
senjata Ki Walang Sangit yang berupa clurit menggores
kulit perutnya sampai meneteskan darah segar. Na-
mun sebagai balasannya tiga orang di antara mereka
kembali menjadi korban pukulan dan tendangan kaki
bayangan itu.
***
DELAPAN
Sesosok bayangan itu melompat jauh sekitar tiga
tombak sambil mengeluarkan suara tawa yang serak
dan dalam.
"Ha ha ha ha...! Sekarang tinggal kalian bertiga.
Salah seorang terluka parah, itu berarti tinggal berdua.
Dengan sekali tepuk tamatlah riwayat kalian!"
'"Hantu Rimba Larangan, kau adalah seorang pen-
gecut yang amat menjijikkan!" dengus Ki Walang San-
git garang.
"Ha ha ha ha...! Siapa sebenarnya yang pengecut?
Mereka yang mengeroyok ataukah orang yang menye-
lamatkan diri dengan berbagai cara?" ejek orang yang
tak lain dari Hantu Rimba Larangan sambil tersenyum
kecil.
"Huh! Jangan kira walaupun berdua kami tak ta-
kut menghadapimu! Hari ini kalau bukan kami maka
kaulah yang akan mampus!" kata Ki Bagus Sapta lan-
tang.
"Kalau kalian patut mampus, tapi aku? Ha ha ha
ha...! Kau bermimpi mengharapkan kematianku dalam
keadaan begini!"
Selesai berkata begitu tiba-tiba tubuh Hantu Rimba
Larangan mencelat ke arah mereka sambil berteriak
nyaring.
"Hiyaaat...!"
Ki Bagus Sapta dan Ki Walang Sangit cepat meng-
hindar sambil balas menyerang lawan dengan senja-
tanya masing-masing. Namun dengan mudah Hantu
Rimba Larangan menghindari serangan mereka.
"Plak! Duk!"
"Akh!"
"Yeaaa...!"
Ketika Ki Bagus Sapta membabatkan pedangnya,
tubuh Hantu Rimba Larangan bergerak ke samping
sambil menundukkan kepala dari sabetan clurit Ki Wa
lang Sangit. Kepalan tangan kanannya menghantam
lurus ke dada Ki Bagus Sapta. Tapi orang tua itu cepat
melompat ke belakang, sementara tubuh Hantu Rimba
Larangan mengikuti sekaligus kedua tangan kirinya
menangkis pergelangan tangan Ki Walang Sangit keti-
ka terlebih dahulu menghindari sabetan senjatanya.
Saat itulah secara tak terduga kaki kanannya ber-
hasil menghajar tulang kering Ki Bagus Sapta hingga
orang tua itu mengeluh kesakitan. Demikian juga hal-
nya dengan Ki Walang Sangit. Tangan kanannya yang
memegang clurit nyaris terlepas ketika tubuhnya
mampu menghindari dua buah pukulan yang dilontar-
kan lawan.
Tapi tubuh Hantu Rimba Larangan telah kembali
mencelat sebelum mereka memperbaiki posisi. Sasaran
yang dirasanya lemah adalah Ki Bagus Sapta.
Ketua Perguruan Bulan Kambangan itu berguling-
guling menghindari serangan lawan. Untung pada
saat-saat terdesak Ki Walang Sangit masih sempat
membantu sehingga nyawanya masih bisa tersela-
matkan.
Sementara itu Ki Srengseng yang terluka dalam
akibat benturan tenaga dengan Hantu Rimba Laran-
gan, memaksakan diri bangkit dan bermaksud mem-
bantu kedua rekannya.
"Hmm... kalau kau memang menginginkan kema-
tian, pergilah lebih dulu!" dengus Hantu Rimba Laran-
gan ketika menghindari serangannya.
"Yeaaa...!"
Ki Bagus Sapta dan Ki Walang Sangit berbarengan
melompat menyerang lawan ketika Hantu Rimba La-
rangan bersiap menghantamkan pukulannya ke arah
Ki Srengseng.
"Huh! Kalau begitu mampuslah kalian bertiga!"
dengusnya sambil mengertakkan rahang dan mengalihkan pukulan ke arah keduanya.
"Hup!"
"Uts!"
"Hiyaaa...!"
"Duk!"
"Des!"
"Aaaa...!"
Bukan main terkejutnya Ki Bagus Sapta dan Ki
Walang Sangit melihat serangan Hantu Rimba Laran-
gan yang cepat dan kuat. Ketika hantaman pertama
tadi mereka masih mampu berkelit, tapi siapa sangka
pukulan lawan sama cepatnya dengan gerakan tubuh-
nya. Keduanya tak sempat lagi menghindar ketika se-
pasang tangan Hantu Rimba Larangan menghantam
dada mereka dengan telak. Keduanya terjengkang
sambil menjerit keras dan memuntahkan darah segar
dari mulutnya.
"Mampuslah kalian sekarang...!"
"Yeaaa...!"
Walaupun telah terluka parah, namun keduanya
bertahan mati-matian sambil bergulingan pada arah
yang berlawanan agar lawan tak mampu menghantam
mereka sekaligus. Taktik itu memang cukup jitu, na-
mun bagi Hantu Rimba Larangan taktik itu tak berar-
ti!"
"Hmm... kalian kira bisa menunda kematian dari-
ku? Kupastikan kalian akan mampus ketiganya pada
saat yang bersamaan," gumam Hantu Rimba Larangan
sambil tersenyum sinis.
Kedua tangan kirinya siap menghantam dengan
pukulan berhawa panas ke arah Ki Walang Sangit yang
dianggapnya memiliki tenaga dalam lebih kuat diban-
dingkan dengan yang lainnya. Sedangkan tangan ki-
rinya yang satu lagi siap menghantamkan hawa puku-
lan dingin ke arah tubuh Ki Srengseng yang bersiap
akan menyerang lawan.
"Yeaaa...!"
"Hiyaaa...!"
"Hei?!"
*
* *
Pada saat yang sangat keritis bagi ketiganya seso-
sok bayangan tiba-tiba melesat ke arah Hantu Rimba
Larangan sambil berteriak nyaring.
Orang itu terpaksa mengalihkan pukulannya ke
arah bayangan yang baru datang. Merasakan angin se-
rangannya yang kencang, Hantu Rimba Larangan tak
berani menganggap enteng. Keempat telapak tangan-
nya diarahkan penuh. Tapi bayangan tadi lebih lincah
lagi bergerak. Tubuhnya melenting beberapa kali di
udara, kemudian mencelat ke tanah. Namun belum la-
gi Hantu Rimba Larangan menegaskan siapa bayangan
yang menyerangnya, tiba-tiba datang lagi serangan ki-
lat ke arah tubuhnya.
"Hiyaaa...!"
"Huh!"
"Plak!"
"Begkh!"
"Keparat!" Hantu Rimba Larangan memaki ketika
pukulan mereka saling beradu. Namun lawan masih
sempat menyerangkan satu tendangan ke perutnya,
yang membuat tubuh Hantu Rimba Larangan ter-
huyung-huyung ke belakang sejauh tiga langkah.
"Dolo Lungkat! Sudah waktunya kau mengakhiri
semua ini!" kata bayangan itu sambil berdiri tegak pa-
da jarak dua tombak di depannya.
"Siapa kau?! Dari mana kau tahu namaku?!" ben-
tak Hantu Rimba Larangan sambil menegaskan pen
glihatannya.
Namun ketika mengetahui siapa sebenarnya
bayangan itu, yang tak lain dari pemuda gondrong
berbaju kulit harimau yang pernah ditemuinya bebe-
rapa hari lalu.
"Hmmm... kau rupanya orang usil!" dengusnya si-
nis.
"Dolo Lungkat, dosamu telah melewati takaran.
Kau harus terima hukumannya. Kalaupun aku bisa
mengampuni jiwamu, tapi mustahil semua orang mau
mengampunimu. Perbuatanmu sungguh biadab hingga
kau betul-betul bukan manusia seperti yang diejekkan
orang-orang di Desa Kedungbala padamu dulu," ujar
pemuda berbaju kulit harimau yang tak lain dari Bayu
Hanggara alias Pendekar Pulau Neraka.
"Jangan bawa-bawa peristiwa lalu. Kau atau yang
lainnya sama saja. Kalian manusia-manusia laknat
yang harus menerima pembalasan dariku. Termasuk
juga kau!"
"Sungguh sayang... orang dengan kepandaian ting-
gi sepertimu seharusnya mengabdikan diri di jalan ke-
benaran. Tapi kau malah berbuat sebaliknya...." sahut
Bayu tenang sambil menggelengkan kepala.
"Jangan menasehatiku! Kau pun akan mampus se-
perti yang lainnya," dengus Hantu Rimba Larangan.
Tak seperti menghadapi lawan-lawannya yang lain,
kali ini terlihat dia tak berani gegabah menghadapi
pemuda berambut gondrong itu. Pertarungan singkat
di Desa Kedungbala memberikan pelajaran pahit kare-
na ternyata pemuda ini bukanlah orang sembarangan.
Hantu Rimba Larangan berkelebat cepat dengan
mengerahkan tenaga dalam penuh sambil berteriak
nyaring.
"Terimalah kematianmu, Bocah! Yeaaa...!"
"Hiyaaa...!"
Pendekar Pulau Neraka dengan cepat menyambut
serangan lawan ketika tubuhnya melenting ke atas
menghindarinya. Namun tubuh Hantu Rimba Laran-
gan berbalik cepat mengejarnya.
"Hmm... agaknya kau betul-betul sulit disadarkan.
Kau menganggap dirimu tak terkalahkan. Meski aku
tak memiliki kepandaian, tapi aku bersumpah akan
menghentikan segala kebiadabanmu!" ujar Pendekar
Pulau Neraka dengan nada merendah.
"Jangan banyak mulut! Hari ini adalah kematian
bagi kalian semua!" sahut Hantu Rimba Larangan.
"Hiyaaat...!"
"Plak!"
"Duk!"
"Des!"
"Aaaa...!"
Pendekar Pulau Neraka menggeram dahsyat. Kedua
telapak tangannya memapaki keempat telapak tangan
lawan dengan gerakan yang cepat hingga sulit diikuti
oleh mata biasa. Kaki kiri Hantu Rimba Larangan ma-
sih sempat menendang ke perut lawan. Bayu mengeluh
pelan merasakan isi perutnya seperti diaduk-aduk. Un-
tung dia telah melindungi diri dengan mengerahkan
tenaga dalamnya. Tapi bukan berarti lawan tak menga-
lami naas. Kaki Bayu menghantam telak dadanya.
Keduanya terhuyung-huyung ke belakang berapa
tindak. Darah segar menetes disudut bibir masing-
masing menandakan keduanya mengalami luka dalam.
Hantu Rimba Larangan terkejut bukan main. Se-
lama dia malang melintang menghadapi lawan, belum
pernah dia bertemu dengan orang yang kepandaiannya
setinggi pemuda itu. Diam-diam timbul juga rasa kha-
watir dalam hatinya.
"Siapa kau sebenarnya, Bocah?"
"Sebelum kau mampus, ada baiknya aku memberi
tahukan siapa diriku agar kau tak mati penasaran.
Orang-orang persilatan menyebutku dengan Pendekar
Pulau Neraka. Jelas bukan?"
"Hmm.... Pendekar Pulau Neraka?" gumam Hantu
Rimba Larangan sambil menganggukkan kepala beru-
saha tenang.
Wajahnya sama sekali tak menunjukkan ke-
terkejutannya. Boleh jadi karena dia baru mengenal
nama itu. Tak heran, karena selama ini dia memang
jarang bergaul dan tak pernah mengenal siapa pun to-
koh-tokoh dunia persilatan. Dalam benaknya mereka
sama saja, dan dianggapnya tak berarti. Tapi berhada-
pan dengan pemuda itu membuatnya lebih waspada
dan menyadari bahwa ada juga orang-orang yang me-
miliki ilmu silat setingkat dengan dirinya. Bahkan tak
mustahil melebihinya.
Sebaliknya dengan ketiga tokoh yang merupakan
ketua perguruan silat, nama Pendekar Pulau Neraka
tak asing lagi di telinga mereka.
"Pendekar Pulau Neraka? Oh, tak sangka akhirnya
aku bisa melihat tokoh yang menggegerkan dunia per-
silatan belakangan ini!" seru Ki Srengseng sambil ter-
senyum kecil.
"Hmmm... tak kusangka orangnya ternyata masih
muda. Sungguh hebat dia!" puji Ki Bagus Sapta.
"Kiranya nama itu ada dan aku telah melihatnya
sendiri kali ini. Padahal kupikir nama itu hanya legen-
da saja," sahut Ki Walang Sangit.
"Mudah-mudahan dia mampu mengatasi orang gila
itu!" Ki Srengseng berharap sambil menggeram penuh
kemarahan.
*
* *
Sementara itu pertarungan antara Pendekar Pulau
Neraka dengan Hantu Rimba Larangan terus berlang-
sung alot. Sesekali terdengar monyet kecil berbulu hi-
tam yang tadi muncul bersama pemuda itu menjerit
keras sambil melompat-lompat ke sana ke mari. Kedua
tangannya bertepuk sambil memberikan semangat pa-
da Pendekar Pulau Neraka. Kelihatannya dia yakin be-
tul bahwa pemuda itu mampu mengalahkan lawannya.
Bayu sendiri memang harus mengakui bahwa ke-
pandaian lawan cukup tinggi. Bahkan tenaga dalam-
nya belum tentu berada di bawahnya. Tapi dia sedikit
merasa di atas angin ketika mengetahui ilmu merin-
gankan tubuhnya setingkat di atas lawan. Hal itu san-
gat menguntungkan. Lebih-lebih lagi keadaan Hantu
Rimba Larangan tidak lagi sesegar ketika dia mulai
bertarung dengan gabungan tokoh persilatan yang tadi
mengeroyoknya. Saat ini tenaganya nyaris banyak ter-
kuras.
Tapi bukan berarti Pendekar Pulau Neraka dapat
dengan mudah mencegahnya. Kedua pasang tangan-
nya masih sulit ditembus, dan penglihatannya masih
cukup tajam mengamati setiap gerakan lawan.
Pendekar Pulau Neraka telah kepalang geram dan
muak pada tokoh yang satu ini. Apalagi ketika ter-
bayang segala perbuatannya yang biadab, membunuh
manusia seperti membunuh binatang yang nyawanya
tak berarti. Berpikir ke arah itu kemarahannya sema-
kin memuncak, dan serangan-serangannya semakin
gencar.
"Hiyaaa...!"
Tubuhnya bergerak cepat menghantam perut la-
wan, namun dengan nekat Hantu Rimba Larangan
memapaki dengan kedua tangan kanannya. Semen-
tara kedua tangan kirinya bersiap menghantam ke da-
da lawan.
"Plak!"
"Bed!"
"Des!"
"Aaaa...!"
"Yeaaa...!"
Tubuh Hantu Rimba Larangan terpental ke bela-
kang beberapa langkah ketika pukulan mereka saling
bertemu. Kedua tangan kirinya dengan mudah dielak-
kan pemuda itu. Ketika tubuhnya melenting ke atas,
dan dengan cepat mengirim tendangan telak ke dada
lawan. Hantu Rimba Larangan menjerit keras. Tubuh-
nya terbanting dua tombak darah mengalir dari sela
bibir dan hidungnya.
"Uts!"
Namun dia masih sempat berguling menghindari
serangan susulan yang dilancarkan Pendekar Pulau
Neraka.
Pendekar Pulau Neraka mengibaskan tangan ka-
nannya sebelum tubuhnya mengejar lawan dengan sa-
tu serangan yang cukup cepat dan dengan pengerahan
tenaga dalam penuh.
"Sing!"
"Yeaaa...!"
"Cras!"
Hantu Rimba Larangan memang masih mampu
menghindari serangan Pendekar Pulau Neraka, namun
Cakra Maut yang dilontarkan Bayu tak mampu dihin-
darinya.
"Aaaa...!"
Hantu Rimba Larangan menjerit keras ketika pe-
rutnya robek disambar senjata lawan. Kulit tubuhnya
memang kebal terhadap senjata lawan, namun dia tak
memiliki ilmu kebal yang hebat. Lagi pula senjata Pen-
dekar Pulau Neraka bukanlah senjata sembarangan. Di
tangan si Cakra Maut, guru Pendekar Pulau Neraka,
senjata itu telah banyak membuktikan kehebatannya
dan ditakuti lawan. Di samping itu Bayu pun menya-
dari bahwa lawan kebal terhadap senjata tajam. Itulah
sebabnya dia tak mau meremehkannya, dan menge-
rahkan tenaga dalam tingkat tinggi saat melemparkan-
nya tadi.
"Hiyaaat...!"
"Begkh! Des!"
"Aaaa...!"
Tubuh Pendekar Pulau Neraka kembali melesat
sambil berputar bagai gasing. Hantu Rimba Larangan
berusaha bangkit sambil bergulingan. Tapi tendangan
kaki lawan lebih cepat lagi menghantam pinggang.
Terdengar tulang berderak patah. Tubuh Hantu Rimba
Larangan terangkat setengah tombak. Pendekar Pulau
Neraka agaknya tak mau bertindak kepalang tanggung.
Kepalan tangan kanannya menyusul menghantam tu-
buh lawan. Hantu Rimba Larangan menjerit lemah.
Tubuhnya terlempar sejauh tiga tombak dan memben-
tur batu besar didekat telaga. Kepalanya menggeleng
lemah sesaat sebelum akhirnya diam tak bergerak.
Nyawanya putus saat itu juga.
"Tenanglah kau di alam sana dari pada hidup
membuat kekejaman dan kebiadaban..." ujar Bayu li-
rih.
Agak lama dia memandang tubuh ganjil itu sebe-
lum akhirnya melangkah pelan setelah menangkap
monyet kecil sahabatnya. Dan meletakkannya di pun-
dak. Wajahnya terlihat kelam. Bagaimanapun hatinya
tersentuh dengan penderitaan yang dialami orang itu.
Tapi kalau dibiarkan hidup pasti akan menjadi anca-
man bagi umat manusia.
"Ki sanak, tunggu...!"
Bayu menghentikan langkah dan membalik-kan
tubuhnya. Baru dia teringat bahwa dia bukan satu
satunya yang masih hidup, masih ada tiga orang lagi
yang merupakan ketua perguruan silat di tempat itu.
"Kami ingin mengucapkan terima kasih atas perto-
longan Ki sanak...." ujar Ki Srengseng me-wakili dua
orang rekannya.
Bayu tersenyum kecil.
"Paman, tak perlu berterima kasih padaku. Ini su-
dah menjadi kewajiban kita bersama...."
"Setidaknya kau telah menyelamatkan kami dari
incaran maut..." timpal Ki Bagus Sapta.
"Paman, aku hanya perantara dan sama sekali bu-
kan penyelamat nyawa paman semua. Nah, untuk se-
gala sesuatunya aku mohon pamit dulu. Masih banyak
yang harus kukerjakan." kata Bayu sambil menjura
hormat.
Pendekar Pulau Neraka cepat berkelebat dari tem-
pat itu sambil menggunakan ilmu lari cepatnya. Hing-
ga dalam sekejap tubuhnya telah lenyap dari pandan-
gan mereka. Ketiganya menggelengkan kepala dengan wajah takjub!
TAMAT
0 comments:
Posting Komentar