CAKAR HARIMAU
Oleh Teguh Suprianto
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Gambar sampul oleh Soeryadi
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Pulau Neraka
dalam episode:
Cakar Harimau
128 hal ; 12 x 18 cm
SATU
Dua ekor kuda berjalan perlahan menuruni le-
reng sebuah gunung yang berdiri megah dan angkuh
menantang langit cerah yang membiru. Hari ini me-
mang seluruh alam diliputi kecerahan. Langit tampak
bening, tanpa awan sedikit pun menggumpal. Matahari
bersinar terang, namun tak begitu terik Memang saat
itu angin bertiup kencang seperti mengusir udara pa-
nas jauh-jauh. Dua ekor kuda itu terus bergerak per-
lahan. Penunggangnya yang terdiri dari dua orang ga-
dis berparas cantik, terlihat lelah sekali.
"Berapa jauh lagi Desa Malanapa, Kak?" tanya
seorang gadis yang mengenakan baju warna biru mu-
da.
"Di kaki Gunung Parang ini," sahut gadis sa-
tunya lagi yang mengenakan baju warna merah. "Kau
sudah lelah, Suci?"
"Sedikit," sahut gadis berbaju biru muda yang
dipanggil Suci. "Kak Intan sendiri...?"
Gadis berbaju merah hanya tersenyum saja,
tanpa menjawab sedikit pun. Langkah kaki kudanya
dihentikan, tepat di tepi sebuah sungai kecil yang
mengalir menghadang melingkari gunung ini. Gera-
kannya indah dan ringan sekali saat turun dari pung-
gung kudanya. Suci mengikuti. Mereka sama-sama
menghempaskan diri, duduk di tepi sungai.
Untuk beberapa saat mereka tidak ada yang
membuka suara. Sama-sama diam memandangi kuda
yang tengah mereguk sejuknya air sungai, Memang se-
jak kemarin kuda-kuda mereka tidak menemukan air.
Dan mereka sendiri sebenarnya sudah terlalu lelah, la-
par, dan haus sekali. Keadaan ini bisa terlihat dari
raut wajah dan sorot mata mereka yang redup.
"Aku heran, Kak..," ujar Suci dengan nada sua-
ra terputus dan agak mengeluh. "Heran kenapa?"
tanya Intan. "Mengapa kita yang diberi tugas begini?
Mengapa bukan Kakang Seta atau Kakang Darmasaka
saja, Kak..? Mereka kan kepandaiannya lebih tinggi
dari kita," ungkap Suci, mengemukakan isi hatinya.
"Yang jelas, Eyang Purata tidak akan salah, sa-
hut Intan. "Ah, sudahlah.... Kenapa harus memper-
soalkan itu sih...?"
"Bukannya begitu, Kak. Aku yakin ada sesuatu
dengan tugas ini."
"Maksudmu...? Aku kok tidak mengerti, Suci."
"Eyang Purata pasti punya maksud tertentu
yang tidak kita ketahui, Kak. Aku yakin itu," mantap
sekali suara Suci.
"Jangan berpikir yang tidak-tidak, Suci Walau-
pun Eyang Purata punya maksud tertentu, tidak
mungkin akan mencelakakan murid-muridnya sendiri.
Aku yakin, seandainya perasaanmu itu benar, pasti
ada baiknya untukmu dan untukku."
"Tapi, Kak..."
"Ah..., sudahlah. Hilangkan saja sangkaan bu-
ruk di kepalamu itu," potong Intan cepat.
Suci jadi diam membisu, namun masih tetap
yakin kalau tugas yang diberikan gurunya mempunyai
tujuan tertentu yang tidak diketahui secara pasti.
Keyakinannya itu semakin menebal saat mereka sudah
semakin dekat dengan Desa Malanapa yang terletak di
kaki gunung Parang ini.
Suci memang mengakui kebenaran kata-kata
kakak seperguruannya ini. Yang pasti, meskipun
Eyang Purata mempunyai tujuan tertentu, tidak akan
mungkin mencelakakan muridnya sendiri. Terlebih la
gi, sampai mengorbankan nya. Kecurigaan Suci mun-
cul ketika kemarin secara tiba-tiba saja mereka dis-
erang oleh empat orang yang tidak mau menunjukkan
wajahnya.
Empat orang itu meminta sesuatu yang sama
sekali tidak diketahui kedua gadis ini. Kemudian me-
reka langsung menyerang setelah Intan mengatakan
tidak memiliki yang diinginkan. Namun mereka seketi-
ka itu Juga pergi, sebelum kedua gadis ini memberi se-
rangan balasan yang berarti. Sejak kejadian kemarin
itu, benak Suci jadi dipenuhi berbagai macam pikiran
dan dugaan yang sukar dijawab dengan cepat.
Sedangkan setiap kali hal itu dibicarakannya,
Intan seperti tidak ingin persoalan itu diperpanjang la-
gi. Suci memang tidak bisa menyalahkan. Dan itu me-
mang sudah watak Intan, yang tidak pernah mau men
perpanjang setiap persoalan. Apalagi memikirkannya,
sehingga membuat kepala jadi berdenyut.
"Sudah cukup, ayo jalan lagi," ajak Intan seraya
bangkit berdiri.
Dengan malas, Suci ikut bangkit berdiri. Saat
itu matahari memang sudah agak condong ke Barat.
Dan tentu saja mereka tidak ingin bermalam lagi di
tengah hutan. Sebelum matahari benar-benar tengge-
lam nanti, mereka harus sudah sampai di Desa Mala-
napa yang menjadi tujuan kedua gadis ini.
***
Saat matahari tenggelam di balik peraduannya,
Intan dan Suci sudah sampai di Desa Malanapa. Mere-
ka turun dari kuda, lalu berjalan kaki sambil menun-
tun kuda masing-masing. Dua gadis itu berjalan perla-
han-lahan sambil melihat-lihat suasana di desa yang
tidak begitu besar ini. Rumah-rumah yang berdiri di
sepanjang jalan tanah yang berdebu ini, sebagian su-
dah menyalakan pelita. Memang suasana petang ini
sudah mulai gelap. Dan pasti, sebentar lagi malam
akan datang menyelimuti maya pada.
"Apakah kita langsung ke rumah kepala desa
saja, Kak?" tanya Suci.
"Nanti saja. Yang penting, sekarang kita cari
penginapan dulu," sahut Intan.
"Apa ada penginapan yang baik di desa ini?"
"Mudah-mudahan saja ada," Suci tidak bertanya lagi.
Gadis itu yakin kalau di
desa yang kecil ini, tidak ada penginapan yang
baik. Kalaupun ada, pasti hanya sebuah penginapan
kecil yang kumuh dan tidak sedap dipandang. Namun
Suci harus bisa memaklumi. Dalam keadaan seperti
ini, tidur di dalam kamar rumah penginapan masih le-
bih baik, daripada tidur di alam terbuka.
Kedua gadis itu terus saja berjalan perlahan-
lahan menyusuri jalan tanah berdebu. Sementara,
keadaan sudah semakin gelap saja. Di langit sana, bu-
lan mulai menampakkan sebagian wajahnya yang ber-
sinar lembut. Cahayanya yang redup dan samar-
samar, seakan enggan menyinari bumi ini. Kedua gadis
itu berhenti melangkah di depan sebuah rumah yang
cukup besar.
Tampak di bagian depan rumah itu dipenuhi
orang-orang yang sedang menikmati makanan dan mi-
numan. Sebentar Intan memandang pada Suci.
"Kedai inilah yang terbaik di Desa Malanapa,"
jelas Intan.
Terus, untuk menginapnya?" tanya Suci.
"Ada.... Kedai ini juga merangkap menyewakan kamar
untuk bermalam," jelas Intan kembali.
"Kelihatannya kedai ini ramai sekali, Kak," kata
Suci yang sejak tadi memperhatikan bagian dalam ke-
dai di depannya.
"Kedai Ki Karta memang selalu ramai." "Apa
masakannya enak, Kak?" tanya Suci lagi. "Bisa kau
coba nanti."
Suci hanya tersenyum saja. Gadis itu tahu ka-
lau Intan mendesaknya untuk memasuki kedai Ki Kar-
ta.
Dan hal itu tidak bisa ditolaknya lagi. Tak be-
rapa kemudian kedua gadis itu sudah melangkah me-
masuki kedai yang selalu ramai.
Seorang laki-laki berusia setengah baya, me-
nyongsong kedua gadis itu. Dengan sikap ramah, di-
persilakannya kedua gadis itu duduk di tempat yang
kebetulan kosong. Meskipun kedai ini kelihatannya
ramai, tapi masih ada be berapa meja yang belum teri-
si. Suci merasa kalau kedai ini cukup besar dan ber-
sih.
"Minta makanannya saja, Ki," Intan memesan.
"Tidak pakai arak?" laki-laki tua yang dikenal
bernama Ki Karta itu menawarkan.
"Tidak, air biasa saja," tolak Intan.
"Baiklah, Den Ayu. Sebentar disiapkan."
Ki Karta meninggalkan kedua gadis itu. Seben-
tar laki-laki tua itu berbicara dengan salah seorang pe-
layan kedai ini, kemudian sudah kembali sibuk me-
nyambut tamu yang baru masuk lagi. Kali ini tamunya
adalah seorang pemuda berpakaian yang sangat lain
dengan orang-orang yang berada di kedai ini.
Seorang pemuda berwajah tampan. Bajunya
dari kulit harimau. Sikapnya terlihat agak dingin. So-
rot matanya memancar cukup tajam, namun tercermin
suatu kelembutan dan ketegasan pribadinya. Dia tidak
banyak bicara, dan hanya memesan se guci arak ma-
nis saja. Ki Karta tetap melayaninya dengan senyuman
ramah di bibir.
"Ki...." Intan melambaikan tangannya memang-
gil pemilik kedai itu.
Ki Karta bergegas menghampiri. "Ada apa, Den
Ayu?" tanya Ki Karta setelah berada di dekat Intan.
"Masih ada kamar kosong?" tanya Intan. "Masih
ada, perlu berapa kamar?" "Satu saja, Dan kalau bisa,
yang menghadap langsung ke jalan."
"Ah, kebetulan sekali. Tinggal satu yang meng-
hadap ke jalan, Den Ayu."
"Kalau begitu, siapkan saja, Ki. Selesai makan,
kami berdua langsung ingin istirahat" "Baik, Den Ayu."
Baru saja Intan akan membuka mulut, menda-
dak saja terdengar bentakan keras dari belakangnya.
"Ki Karta, sini...!"
Laki-laki tua itu bergegas menghampiri orang
yang memanggil dengan suara keras menggelegar ba-
gaikan guntur. Sedangkan Intan hanya melirik sedikit
saja. Tampak Ki Karta agak terbungkuk di depan se-
buah meja yang tepat di belakang Intan. Dan di sana,
duduk seorang laki-laki berusia sekitar dua puluh lima
tahun. Namun wajah yang kasar dan penuh brewok,
membuatnya kelihatan lebih tua dari usia yang sebe-
narnya.
"Beri aku arak lagi," pinta laki-laki berwajah
penuh brewok itu. Suaranya terdengar berat dan kasar
sekali.
"Tapi, Den Basra.... Raden sudah terlalu ba-
nyak minum...," kata Ki Karta dengan sikap takut-
takut.
"Sejak kapan kau berani membantah, heh...?!"
bentak pemuda yang dipanggil Basra itu.
Dengan sikap kasar sekali, Basra menarik baju
Karta, hingga jadi limbung. Hampir saja dia terjatuh
kalau tidak cepat-cepat menekan bibir meja hingga ter-
tahan.
"Iya.... Iya, Den. Sebentar disediakan," kata
Karta tergagap. "Huh!"
Basra menghentakkan tangannya yang men-
cengkeram baju laki-laki tua pemilik kedai ini. Hampir
saja Ki Karta menabrak Intan. Untung, gadis itu cepat-
cepat menahannya. Namun Intan masih tetap saja du-
duk kursinya.
"Oh.... Terima kasih, Den Ayu," ucap Ki Karta.
"Kau tidak apa-apa, Ki?" tanya Intan. "Tidak," sahut Ki
Karta.
"Ki Karta, sini...!" kembali Basra memanggil
dengan suara keras menggelegar.
Ki Karta akan menghampiri, tapi Intan sudah
keburu mencegah dengan mencekal tangan Ki Karta.
Bahkan dengan halus sekali, Intan meminta Ki Karta
tetap melayaninya. Dan ini membuat laki-laki tua jadi
kebingungan. Dia tidak tahu, yang mana harus dida-
hulukan.
"Jangan hiraukan, Ki," tegas Intan. Ki Karta
semakin kebingungan. Wajahnya seketika memucat
begitu melihat Basra bangkit berdiri dan
menghampiri. Laki-laki berwajah kasar itu
menggeser gagang goloknya yang terselip di pinggang-
nya. Kemudian langkahnya berhenti di depan meja
yang ditempati Intan.
"Ha ha ha...!" tiba-tiba saja Basra tertawa ter-
bahak-bahak.
"Hm...," Intan hanya menggumam pelan saja.
Sedangkan Ki Karta semakin kelihatan pucat dan ge-
metar. Kakinya bergeser, dan berdiri di belakang Intan.
Tapi mendadak saja Basra mengibaskan tangannya ke
arah laki-laki tua itu, melewati kepala Intan. Namun....
Bet!
"Heh...?!" Basra terkejut bukan main. Buru-
buru tangannya ditarik kembali, begitu tiba-tiba sekali
Intan mengebutkan tangan untuk menyampok kibasan
tangan Basra. Kebutan tangan gadis itu demikian ce-
pat. Walaupun Basra sudah bergegas menarik, namun
ujung jari tangannya masih juga terkena kebutan tan-
gan gadis itu. Dan hal ini membuatnya semakin terke-
jut saja, karena mendadak jari-jari tangannya seperti
tersengat ribuan kala berbisa. Nyeri dan menggetarkan
sekali!
"Hih...!"
Basra melompat mundur satu tindak. Matanya
tajam memandangi Intan, seakan-akan tidak percaya
dengan apa yang baru saja terjadi pada dirinya. Jari-
jari tangannya masih bergetar, dan sedikit terasa nyeri.
Memang sukar baginya untuk percaya. Ternyata gadis
muda dan cantik seperti ini memiliki kekuatan tenaga
dalam yang cukup tinggi.
"Rupanya kau ingin unjuk kebolehan di sini..."
desis Basra dingin.
"Maaf, aku tidak ingin mengotori tanganku," ba-
las Intan kalem.
"Setan...!" geram Basra langsung memerah wa-
jahnya.
Kata-kata Intan yang terdengar kalem itu, na-
mun sangat menusuk perasaan. Basra merasa kalau
kata-kata itu sangat merendahkan dan mengejeknya.
Dan baginya, itu merupakan tantangan yang dilontar-
kan halus, tapi nyata sekali. Pantang bagi Basra men-
dapatkan hinaan seperti ini. Apalagi datangnya dari
seorang gadis cantik yang kelihatannya lemah.
Bet!
Mendadak saja Basra mengebutkan tangan kiri
ke arah muka Intan. Kebutan yang cepat dan menda-
dak itu, sempat membuat Intan sedikit terperangah.
Namun dengan sedikit menarik kepalanya, kebutan
tangan yang dilancarkan Basra bisa dielakkan. Ujung
jari tangan laki-laki berwajah kasar penuh brewok itu
hanya lewat sedikit saja di depan muka Intan.
"Edan...!" geram Basra.
Kemarahan laki-laki kasar itu semakin me-
muncak karena dua kali dibuat terpana oleh tindakan
Intan yang kalem dan manis sekali. Kejadian itu mem-
buat pengunjung kedai jadi tertarik. Mereka semua
memperhatikan, seakan-akan sedang disuguhi satu
tontonan menarik. Beberapa orang mulai melontarkan
kata-kata yang membuat telinga Basra jadi memerah
panas.
"Bedebah...!" desis Basra geram.
"Yeaaah...!"
Dengan hati panas diliputi kemarahan dan pe-
rasaan malu, Basra langsung menyerang gadis itu. Di
lontarkannya dua pukulan sekaligus, disertai pengera-
han tenaga dalam yang cukup tinggi. Namun tanpa di
duga sama sekali, Intan hanya meliukkan tubuhnya
saja. Bahkan tanpa memindah duduknya sedikit pun.
Dua pukulan bertenaga dalam cukup tinggi yang dile-
paskan Basra tidak mengenai sasaran sama sekali.
Kembali terdengar suara-suara usil mengejek
Basra. Dan ini membuatnya semakin geram saja. Dia
benar-benar marah, karena merasa sudah dipermain-
kan dan dipermalukan seorang gadis cantik yang le-
mah ini. Sambil menggereng marah, kembali dilancar-
kannya serangan-serangan yang cepat dan beruntun.
Beberapa serangan laki-laki brewok itu masih
bisa di hadapi Intan tanpa beranjak dari kursinya.
Namun ketika Basra mencabut golok dan langsung di-
kibaskan ke arah leher yang putih jenjang itu, Intan ti-
dak lagi berdiam di kursinya. Tepat ketika baru berha-
sil mengelakkan tebasan golok yang mengarah ke leh-
er, bagaikan kilat tubuhnya melenting tinggi ke udara.
Sambil berputaran ke belakang, Intan meng-
hentakkan kakinya ke arah dada laki-laki bersenjata
golok itu. Serangan yang dilancarkan gadis itu, mem-
buat Basra terperangah tidak menyangka. Laki-laki
kasar itu tidak dapat lagi menghindari tendangan yang
cepat dan tidak terduga. Sehingga....
"Yeaaah...!"
Diegkh!
"Akh...!" pekik Basra keras.
Tendangan yang dilancarkan Intan, tepat
menghantam dada laki-laki bersenjata golok itu, aki-
batnya Basra terpental sejauh dua batang tombak ke
belakang. Keras sekali tubuhnya terbanting, menghan-
tam sebuah meja hingga hancur berantakan. Dan pada
baru saja bangkit berdiri, Intan sudah kembali melom-
pat menerjangnya. Lagi-lagi gadis itu melontarkan ten-
dangan keras menggeledek.
"Hiyaaa...!"
"Hah...?!"
Basra hanya bisa terperangah dengan mulut
terbuka. Dan dia tidak bisa lagi melakukan sesuatu,
karena tendangan keras Intan sudah kembali menda-
rat telak di dadanya. Tak pelak lagi, tubuh laki-laki be-
rotot itu kembali terpental ke belakang deras sekali.
Brak!
Dinding bagian depan kedai ini jebol terlanda
tubuh yang tinggi besar dan berotot itu. Basra jatuh
bergulingan di luar kedai setelah tubuhnya menghan
tam dinding yang terbuat dari belahan papan, hingga
berantakan.
Sedangkan Intan sudah kembali menghampiri
mejanya. Namun sebelum sempat duduk, tiba-tiba ter-
dengar tawa mengikik, disertai kata-kata bernada ker-
ing dan mengejek. Intan tidak jadi duduk di tempatnya
semula. Gadis itu hanya menggumam kecil, sambil
mengedarkan pandangannya ke sekeliling.
"Hm...."
Tatapan mata gadis itu tertuju pada seorang
perempuan tua yang mengenakan jubah warna biru te-
rang. Perempuan tua itu duduk tepat di dekat jendela.
Tidak jauh dari perempuan tua itu, duduk seorang
pemuda berwajah tampan yang mengenakan baju kulit
harimau. Pemuda itu kelihatannya tidak Mempeduli-
kan sama sekali dengan suasana yang mulai memanas
di dalam kedai ini.
"Setan Kobra Betina...," desis Intan, mengenali
perempuan tua yang duduk sekitar tiga batang tombak
di hadapannya.
Dan pandangan Intan beralih pada pemuda
berbaju kulit harimau. Pada saat yang sama, pemuda
itu mengarahkan pandangannya kepada gadis ini. Dan
untuk beberapa saat pandangan mereka bertemu pada
satu titik. Entah kenapa, tiba-tiba saja Intan merasa-
kan darahnya berdesir mengalir cepat. Bahkan jan-
tungnya berdetak kencang tidak seperti biasanya. Bu-
ru-buru pandangannya dialihkan ke arah perempuan
tua berjubah biru terang.
"Hm...," lagi-lagi Intan menggumam kecil.
***
DUA
"He he he.... Jurus 'Tendangan Halilintar' mu
cukup dahsyat juga. Tapi rasanya tidak berarti jika di-
ikutsertakan dalam perlombaan di Gunung Parang!"
nada suara Si Setan Kobra Betina terdengar kering
bergetar.
Intan tidak mempedulikan, lalu duduk di tem-
pat nya semula. Diraihnya gelas yang terbuat dari
bambu yang dihaluskan, lalu diteguknya air bening di
dalamnya. Namun sebelum air di dalam gelas itu ha-
bis, mendadak saja gelas itu pecah. Seketika airnya
tumpah membasahi baju gadis ini.
"Bedebah...!" desis Intan geram.
Gadis itu langsung menatap si Setan Kobra Be-
tina kemudian memandangi pecahan gelas yang terge-
letak di atas meja di depannya. Di antara kepingan pe-
cahan gelas bambu itu, tergeletak serpihan kulit kayu.
Intan kembali menatap perempuan tua berjubah biru
yang duduk tidak seberapa jauh di depannya. Tampak
kulit kayu sudut meja di depan si Setan Kobra Betina
terkelupas.
"Aku tidak mempunyai urusan denganmu, Se-
tan Kobra Betina," tegas Intan dingin menggetarkan.
"Kehadiranmu di sini menjadi urusanku, In-
tan." sahut Setan Kobra Betina, tidak kalah dingin.
"Aku disini hanya sekadar lewat, dan tidak per-
nah mengganggu segala macam urusanmu. Jangan
mencari gara-gara tanpa alasan, Setan Kobra Betina,"
semakin dingin nada suara Intan.
Gadis itu tahu, kalau Setan Kobra Betina bu-
kanlah tandingannya. Mereka pernah bentrok sekali,
dan Intan hampir saja tewas kalau tidak segera dis
elamatkan Eyang Purata yang kini menjadi gurunya.
Sejak itulah dia tinggal di padepokan milik Eyang Pu-
rata. Dan sekarang, dia bertemu lagi dengan perem-
puan tua itu. Yang pasti, Setan Kobra Betina tidak
akan melupakan pertarungannya dengan Intan.
"Siapa dia, Kak Intan?" tanya Suci yang sejak
tadi diam saja memperhatikan.
"Hm...," Intan hanya menggumam saja tanpa
menjawab sedikit pun pertanyaan adik seperguruan-
nya itu.
Sedangkan pandangan Intan tetap tertuju pada
perempuan tua berjubah biru di depannya, dan hanya
terhalang beberapa meja dan kursi yang sudah diting-
galkan pengunjung kedai ini. Dan sejak pertarungan
yang singkat tadi, sebagian pengunjung kedai sudah
berhamburan ke luar. Kini tinggal beberapa orang saja
yang tampaknya memiliki kepandaian tinggi. Sementa-
ra tak satu pun pelayan kedai ini yang terlihat. Ki Kar-
ta sendiri sudah menghilang entah ke mana. Suasana
di dalam kedai yang besar ini semakin bertambah pa-
nas dan menegangkan sekali.
"Aku ingin menyelesaikan persoalan lama di an-
tara kita di sini, Intan. Aku yakin, kau sudah bertam-
bah maju sekarang," tegas si Setan Kobra Betina lang-
sung mengajukan tantangan.
Intan tidak menjawab. Dan sebenarnya, tan-
tangan ini ingin dihindarinya. Tapi, perempuan tua itu
sepertinya mengetahui jalan pikiran Intan. Maka, tan-
tangan itu segera diungkapkan secara langsung, tanpa
basa basi lagi. Intan melirik sedikit pada Suci yang
saat tengah memandanginya. Gadis itu tahu kalau Su-
ci meminta penjelasan tentang kejadian semua ini. Ta-
pi saat ini, memang tidak ada waktu untuk bisa menje-
laskan.
"Bersiaplah, Intan. Hiyaaa....!"
Si Setan Kobra Betina seketika mengebutkan
tongkatnya yang berbentuk seekor ular kobra hitam
yang mengembangkan leher ke arah gadis berbaju me-
rah yang duduk di depannya.
Slap!
"Uts!"
Bergegas Intan memiringkan tubuh ke kanan
ketika dari mulut tongkat berbentuk ular kobra, me-
luncur seberkas sinar merah berbentuk bulat sebesar
mata kucing. Cepat sekali sinar merah itu meluruk,
namun hanya lewat sedikit di samping tubuh Intan.
Saat itu juga terdengar ledakan keras menggelegar ke-
tika sinar merah bulat sebesar mata kucing itu meng-
hantam dinding kedai di belakang gadis ini.
"Hm..," Intan menggumam kecil.
Dalam hatinya, diakui kalau serangan yang di-
lancarkan si Setan Kobra Betina itu sangat dahsyat Bi-
sa dibayangkan kalau sinar merah itu mengenai tubuh
manusia, pasti hancur berkeping-keping seperti dind-
ing kedai di belakang Intan itu. Dan di saat gadis ini
sedang diam dengan otak berputar keras, si Setan Ko-
bra Betina sudah kembali melancarkan serangan.
"Hiya! Hiya! Yeaaah...!"
Beberapa kali perempuan tua berjubah biru itu
mengebutkan tongkatnya ke depan. Maka sinar-sinar
merah bulat sebesar mata kucing berdesiran deras ke
arah Intan. Serangan yang beruntun ini tidak mungkin
lagi dihadapi dengan hanya duduk sambil mengelak-
kan tubuhnya. Seketika Intan bergegas melentingkan
tubuhnya ke udara. Kemudian gadis itu berputaran
beberapa kali, menghindari serangan-serangan yang
dahsyat itu.
"Yeaaah...!"
Sambil berteriak keras, Intan meluruk deras ke
arah si Setan Kobra Betina. Itu dilakukannya ketika te-
lah berhasil mengelakkan semua sinar-sinar merah
yang keluar dari ujung tongkat perempuan tua berju-
bah biru itu. Begitu cepatnya Intan meluruk sambil
melontarkan dua pukulan bertenaga dalam tinggi, se-
hingga membuat si Setan Kobra Betina terperangah
sesaat. Memang sungguh tidak disangka kalau Intan
bisa meluruk begitu deras, selagi berada di udara.
"Hiyaaa...!"
Buru-buru perempuan tua berjubah biru itu
melompat ke samping sambil mengibaskan tongkat,
menghadang arus terjangan gadis itu. Dan tak dapat di
hindarkan lagi ketika satu pukulan yang dilancarkan
Intan, menghantam kepala tongkat yang berbentuk
ular kobra itu.
Blarrr!
Ledakan keras terdengar menggelegar meme-
kakkan telinga, begitu pukulan Intan menghantam ke-
pala tongkat si Setan Kobra Betina. Tampak Intan
memutar tubuhnya ke belakang beberapa kali, lalu
manis sekali mendarat di permukaan sebuah meja.
Sedangkan si Setan Kobra Betina terdorong sekitar tiga
langkah belakang.
"Edan...!" desis si Setan Kobra Betina.
"Ugh...!" Intan mengeluh kecil sambil meng-
hembuskan napas panjang.
"Kau telah memperoleh kemajuan yang pesat
Intan. Bagus...! Aku senang bila kau bisa menghadapi-
ku lebih dari lima jurus," puji Setan Kobra Betina.
"Hm...," Intan hanya menggumam kecil saja.
Pada saat itu si Setan Kobra Betina sudah
kembali melancarkan serangan. Tongkatnya berkelebat
cepat mengincar tubuh Intan yang paling mematikan.
Serangan-serangan yang cepat dan beruntun itu, sem-
pat membuat Intan kelabakan menghindari. Namun
pada serangan berikut, tepatnya saat si Setan Kobra
Betina menusukkan ujung tongkat ke arah dada, Intan
tak mungkin lagi berkelit. Jalan satu-satunya yang ha-
rus dilakukan adalah melompat ke belakang. Maka...
"Hiyaaa...!"
Brak!
Tubuh yang ramping itu menabrak dinding ke-
dai yang terbuat dari belahan papan. Akibatnya dind-
ing itu hancur berkeping-keping, dan tubuh melesat
hingga keluar dari dalam kedai. Pada saat yang bersa-
maan, si Setan Kobra Betina sudah melesat mengejar.
Dia melompat ke atas untuk menjebol atap kedai ini.
Tubuhnya langsung meluruk ke halaman, tempat In-
tan berada di sana.
***
Pertarungan terus berlanjut di depan halaman
ke dai Ki Karta. Jurus demi jurus berlalu cepat Lima
jurus yang dijanjikan si Setan Kobra Betina, sudah ter-
lewati. Namun demikian perempuan tua itu belum juga
mampu mengalahkan Intan. Bahkan mendesak saja
belum bisa. Intan ternyata masih cukup tangguh me-
layani beberapa jurus lagi. Sampai-sampai si Setan
Kobra betina tertegun melihat kemajuan pesat yang di-
capai gadis itu.
Sementara itu Suci sudah keluar dari kedai.
Gadis itu ingin sekali membantu Intan, tapi hati kecil-
nya tidak mengizinkan. Lebih-lebih dia tidak tahu
permasalahan nya. Memang sedikit sudah bisa ditang-
kap kalau antara Intan dan perempuan tua itu ada
persoalan lama, dan kebetulan bertemu di kedai ini.
Persoalan yang tidak diketahui itulah yang membuat
Suci tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali hatinya jadi
penonton. Sedangkan pertarungan itu terus berlang-
sung sengit.
"Hiyaaa...!"
Tiba-tiba saja tubuh Setan Kobra Betina me-
lenting ke udara sambil berteriak nyaring. Dan secepat
itu tongkatnya dikebutkan ke arah kepala Intan. Seke-
tika itu juga kepala tongkat yang berbentuk ular kobra
memancarkan cahaya merah bagai terbakar.
"Oh...?!" Intan terkejut setengah mati.
Buru-buru gadis itu melompat ke samping,
langsung menjatuhkan tubuh ke tanah. Beberapa kali
dia bergulingan, mencoba keluar dari naungan cahaya
merah yang semakin lama semakin menyebar.
"Ha ha ha...!" Setan Kobra Betina tertawa ter-
bahak-bahak.
Perempuan tua berjubah biru itu kini sudah te-
gak dengan angkuhnya di tengah-tengah halaman de-
pan kedai. Tangan kanannya agak bergetar memegangi
tongkat yang terus memancarkan sinar merah. Pada
saat itu, seekor burung lewat di atas kepalanya. Maka
mendadak saja burung itu memekik keras langsung ja-
tuh menggelepar di dekat kaki si Setan Kobra Betina.
"Ha ha ha...!"
Sementara Intan terus cepat bergulingan, tidak
terkena cahaya merah yang semakin meluas. Namun
gerakannya memang kalah cepat bila di banding pe-
nyebaran cahaya itu. Hingga....
"Aaakh...!" mendadak saja Intan menjerit me-
lengking tinggi.
Dan selagi tubuh gadis itu menggelepar, men-
dadak sebuah bayangan berkelebat cepat menyambar-
nya. Begitu cepatnya, tahu-tahu Intan sudah lenyap
dari pandangan.
"Heh.?" Setan Kobra Betina terkejut setengah
mati.
Begitu tongkat di tangan kanannya terhentak,
cahaya merah itu seketika lenyap. Matanya nyalang
beredar berkeliling, tapi tidak lagi terlihat Intan di seki-
tar tempat ini. Dan pandangannya langsung tertuju
pada Suci, gadis yang datang ke desa ini bersama-
sama Intan. Dan Suci sendiri juga terkejut melihat ada
bayangan berkelebat cepat menyambarnya.
"Grrrrr! Kau temannya. Maka, kau juga harus
mampus, Bocah...!" geram Setan Kobra Betina. Perem-
puan tua ini mengalihkan kemarahannya Suci. Gera-
mannya memang perlahan, namun terdengar jelas se-
kali. Tentu saja Suci terperangah setengah mati. Dis-
adari kalau kemampuan yang dimilikinya tidak akan
sanggup menghadapi perempuan tua ini. Dari perta-
rungannya dengan Intan saja, Suci sudah bisa mengu-
kur kemampuan diri sendiri. kepandaiannya tidak se-
banding dengan kepandaian yang dimiliki perempuan
tua ini.
"Hiyaaa..!"
Tiba-tiba saja si Setan Kobra Betina melompat
cepat bagai kilat menerjang Suci. Begitu cepatnya, se-
hingga membuat gadis itu terhenyak, langsung mem-
belalak lebar. Tapi dia cepat tersadar, dan buru-buru
melompat ke samping.
"Hup...!"
Namun gerakan gadis itu memang kalah cepat
dibanding serangan yang dilancarkan si Setan Kobra
Betina. Terlebih lagi Suci sempat terperangah tadi.
Akibatnya, satu pukulan keras yang dilepaskan pe-
rempuan tua itu masih sempat menyerempet bahu ki-
rinya.
"Akh...!" Suci terpekik kaget.
Gadis itu jatuh bergulingan di tanah beberapa
kali. Ketika mencoba bangkit berdiri, namun bahu ki-
rinya terasa sakit sekali. Seakan-akan, tulang-tulang
bahu kirinya berpatahan terserempet pukulan yang di-
lepaskan perempuan tua itu. Dan sebelum Suci bisa
berdiri tegak, kembali si Setan Kobra Betina sudah ce-
pat melompat menerjang.
"Oh...," Suci hanya bisa terhenyak.
Gadis itu benar-benar tidak bisa lagi melaku-
kan sesuatu. Maka, telak sekali pukulan keras yang di
lepaskan si Setan Kobra Betina menghantam dadanya.
Begitu kerasnya, sehingga gadis, itu harus menjerit ke-
ras, tepat saat tubuhnya terpental jauh ke belakang.
Keras sekali gadis itu jatuh menghantam tanah.
"Hoaghk..!"
Suci memuntahkan darah kental begitu men-
coba bangkit berdiri. Dia sendiri tidak tahu, apakah
sudah mati atau masih hidup. Yang jelas, saat itu si
Setan Kobra Betina sudah kembali melompat hendak
menyerangnya. Kali ini tongkatnya yang sudah ber-
warna merah bagai terbakar, terayun ke arahnya. Dan
Suci tidak mungkin akan bisa menghindar dari seran-
gan!
"Mampus kau, Bocah! Hiyaaa...!"
"Mati aku...," desah Suci seraya memejamkan
matanya sedikit.
Wut! Slap!
Tepat ketika si Setan Kobra Betina mengayun-
kan tongkat ke kepala Suci, mendadak saja sebuah
bayangan kembali berkelebat cepat menyambar gadis
itu. Si Setan Kobra Betina terkejut setengah mati, dan
tidak bisa menarik pukulan tongkatnya lagi.
Glaaar...!
Ledakan keras menggelegar terdengar dahsyat
begitu tongkat berbentuk ular kobra itu menghantam
tanah. Seketika tanah tempat Suci berada tadi, ter-
bongkar. Kepulan debu seketika tercipta, dan langsung
membumbung tinggi ke angkasa.
"Setan keparat...!" geram Setan Kobra Betina
berteriak keras.
Dua kali lawannya lenyap disambar bayangan-
bayangan yang bergerak begitu cepat tanpa dapat di
ketahui. Meskipun sempat melihat bayangan itu, tapi
Setan Kobra Betina tidak bisa mengetahui jelas. Yang
pasti, dua _bayangan itu berbeda.
***
Ke mana sebenarnya Intan dan Suci berada...?
Malam sudah begitu jauh merambat, menyeli-
muti sekitar Gunung Parang. Malam ini terasa begitu
pekat. Tak sedikit pun ada cahaya menerangi. Langit
tampak kelam, tanpa cahaya bintang maupun bulan
yang menerangi. Begitu pekatnya, sehingga Gunung
Parang terlihat bagai sosok raksasa yang berdiri ang-
kuh menentang langit yang menghitam pekat.
Di bagian lain lereng Gunung Parang, terlihat
orang tengah duduk bersila saling berhadapan. Yang
seorang tengah merentangkan tangan ke depan, se-
hingga kedua telapaknya menempel di dada orang
yang di depannya. Mereka sama-sama memejamkan
mata, dengan napas teratur dan perlahan sekali. Ham-
pir tidak terdengar teriakan nafasnya.
"Huh...!"
Bersamaan dengan terdengarnya hembusan na-
fas panjang, kedua telapak tangan itu terlepas dari da-
da. Dan salah seorang langsung jatuh terkulai, meng
geletak di tanah. Seorang lagi menggerak-gerakkan
tangannya sebentar, lalu membetulkan letak orang
yang kini tergeletak di tanah. Dibaringkannya tubuh
itu di dekat bakaran api unggun.
"Kau akan sembuh kembali. Besok saat fajar ti-
ba, kau pasti sudah segar," kata laki-laki muda yang
mengenakan baju kulit harimau.
Kemudian laki-laki muda itu duduk bersila di
samping sosok tubuh ramping yang terbaring di dekat
api. Terlihat jelas, kalau tarikan nafasnya begitu rin-
gan dan teratur. Sebentar dipandanginya tubuh ramp-
ing di sampingnya, kemudian nafasnya ditarik dalam
dan dihembuskan kuat-kuat.
"Hhh...!" kembali pemuda itu menghembuskan
napas panjang.
Setelah menarik napas dalam-dalam, kemudian
matanya dipejamkan perlahan-lahan. Sebentar kemu-
dian jalan nafasnya diatur agar lebih teratur lagi. Ke-
dua telapak tangannya berada di atas lutut yang me-
nekuk. Namun tak lama melakukan semadi, telinganya
mendengar rintihan lirih. Kembali matanya dibuka,
langsung menatap sosok tubuh ramping yang terbar-
ing di sampingnya.
Tampak orang yang terbaring itu mulai meng-
gerakkan kepalanya sambil memperdengarkan rintihan
kecil. Sebentar kemudian matanya terbuka, lalu men-
gerjap beberapa kali. Hatinya agak terkejut begitu me-
lihat di sampingnya duduk seorang laki-laki yang tidak
dikenal sama sekali. Dia mencoba bangkit, namun pe-
muda berbaju kulit harimau itu sudah mencegah, agar
tetap berbaring.
"Kau masih lemah, jangan bangkit dulu," lem-
but sekali suara pemuda itu.
"Siapa kau? Mengapa aku berada di tempat
ini?" tanya gadis yang mengenakan baju biru muda itu.
"Aku Bayu," pemuda berbaju kulit harimau itu
memperkenalkan diri.
"Aku...."
"Aku tahu siapa dirimu. istirahat saja dulu. Lu-
ka dalammu belum sembuh benar." potong pemuda
yang mengaku bernama Bayu.
Dan memang, dia bernama Bayu yang lebih di-
kenal bergelar Pendekar Pulau Neraka. Sedangkan ga-
dis berbaju biru muda itu adalah Suci, yang hampir
saja tewas di tangan Setan Kobra Betina. Gadis itu.
coba untuk mengingat-ingat, apa yang telah terjadi pa-
da dirinya.
Dia bisa mengingat sedikit, tapi terus menghi-
lang dan tidak tahu lagi. Suci masih sadar saat dirinya
jatuh pingsan begitu tongkat si Setan Kobra Betina te-
rarah ke kepalanya. Namun gadis itu tidak tahu, apa-
kah tongkat itu sempat menghantam kepalanya atau
tidak. Dan sama sekali tidak diketahuinya kalau Pen-
dekar Pulau Neraka ini yang menyambarnya, sebelum
ujung tongkat berbentuk seekor ular kobra itu meng-
hantam kepalanya.
"Apa yang terjadi padaku...?" tanya Suci dengan
suara lemah.
"Kau terluka dalam cukup parah, Suci," jelas
Bayu. "Kau bertarung dengan perempuan tua yang
mengaku bernama Setan Kobra Betina."
"Bagaimana kau bisa tahu?" tanya Suci lagi.
"Aku berada di kedai itu, sehingga melihat se-
mua kejadiannya," jawab Bayu sambil tersenyum.
Suci menghembuskan napas panjang. Dia kini
ingat. Jadi, pemuda berbaju kulit harimau inilah yang
duduk tidak jauh dari perempuan tua berjubah biru
yang dikenal bernama Setan Kobra Betina. Perempuan
tua itu pulalah yang telah memisahkannya dari kakak
seperguruannya. Kembali Suci memandang pemuda
tampan yang tetap duduk bersila di sampingnya.
Dan Suci tidak bertanya, dari mana pemuda
yang tidak pernah dikenal sebelumnya ini mengetahui
tentang dirinya. Yang jelas, pasti pemuda berbaju kulit
harimau ini bisa mendengar kalau Intan menyebut
namanya.
"Apakah kau juga yang menolong Kak Intan?"
tanya Suci begitu teringat kalau Intan juga menghilang
begitu saja.
Bayu hanya menggelengkan kepalanya.
"Lalu, siapa yang membawa Kak Intan?"
"Aku tidak tahu. Mungkin guru kalian, atau ju-
ga kakak-kakak seperguruanmu," sahut Bayu lagi.
"Kau tahu tentang kami...?" Suci tidak bisa me-
nyembunyikan keterkejutannya lagi.
Bayu hanya tersenyum saja.
"Sebaiknya kau tidur saja, Suci. Tubuhmu per-
lu istirahat sepanjang malam ini," saran Bayu.
"Aku tidak bisa tidur," Suci menolak.
"Kenapa?"
"Aku harus tahu, apakah Kak Intan selamat
atau tidak."
"Tidak mungkin mengetahui malam ini juga,
Suci. Sudah terlalu larut, dan keadaanmu juga tidak
memungkinkan untuk berjalan."
Suci mencoba menggerakkan tubuhnya. Tapi
baru sedikit saja bergerak, seluruh rongga dadanya
sudah terasa nyeri dan nafasnya menjadi sesak. Gadis
itu mencoba mengatur nafasnya, kemudian meman-
dang Bayu yang hanya tersenyum saja memperhati-
kan.
"Kenapa kau tersenyum...?" tegur Suci merasa
tidak suka dipandangi seperti orang tidak punya daya
sama sekali.
"Kau terlalu keras, Suci. Sebaiknya sadarilah
keadaan dirimu," sahut Bayu kalem.
"Kau pasti senang melihatku begini," dengus
Suci memberengut.
Bayu hanya menggelengkan kepalanya saja.
Dalam hati Pendekar Pulau Neraka tersenyum geli me-
lihat sikap gadis ini. Begitu manja dan mudah sekali
tersinggung. Juga sangat keras kepala, tidak bisa me-
nyadari keadaan dirinya yang tidak memungkinkan
melakukan sesuatu.
"Aku berterima kasih karena kau telah menye-
lamatkan nyawaku malam ini.. Tapi itu bukan berarti
bisa seenaknya memerintah. Akan kubayar semua hu-
tang ini," tegas Suci lagi.
"Terserahlah," sambut Bayu tersenyum.
"Hutang ini akan kubayar."
Lagi-lagi Bayu hanya tersenyum saja. Kemu-
dian duduknya bergeser agak menjauh. Dan kini Pen-
dekar Pulau Neraka memejamkan matanya kembali.
Sebentar ditarik napas panjang-panjang, kemudian di-
atur dengan baik sekali. Bayu memang melakukan
semadi, untuk memulihkan kondisi tubuhnya yang
terkuras karena menyembuhkan luka dalam yang di-
derita Suci tadi.
Sementara itu Suci hanya memandangi saja.
Beberapa kali napas panjang dihembuskan dengan ke-
pala menggeleng kecil. Entah kenapa, terasa sukar
baginya untuk memejamkan mata. Bahkan un-
tuk mengalihkan pandangan saja sulit sekali.
"Uh! Kenapa aku ini...?" dengus Suci dalam ha-
ti.
***
TIGA
Suci mengayunkan kakinya perlahan-lahan di
samping Pendekar Pulau Neraka. Sejak pagi tadi, me-
reka berjalan. Namun sampai saat ini, belum ada seo-
rang pun yang membuka suara. Beberapa kali gadis
itu menghembuskan napas panjang seraya melirik pe-
muda berbaju kulit harimau di sampingnya. Entah apa
yang ada di dalam pikirannya. Sedangkan Bayu sendiri
terus saja mengayunkan kakinya perlahan-lahan.
Mereka menembus hutan yang tidak begitu le-
bat di lereng Gunung Parang. Suci tahu, kalau seka-
rang ini arah yang dituju adalah Desa Malanapa.
"Seharusnya kau tidak perlu mengikutiku terus
Kakang," kata Suci yang sudah membiasakan dengan
memanggil kakang pada Pendekar Pulau Neraka.
"Tujuanku memang ke sana. Dan kau sendiri
hendak ke desa itu juga. Jadi, tidak ada salahnya jika
kita berjalan sama-sama," sahut Bayu kalem.
"Kau ada urusan di sana, Kakang?" tanya Suci
ingin tahu.
Bayu tidak menjawab, dan hanya tersenyum
saja menjawab pertanyaan gadis itu.
"Kau sendiri...?" Bayu malah balik bertanya.
"Hanya sekadar lewat saja," sahut Suci, seenaknya.
"Bukan karena perintah gurumu?" Suci tersen-
tak kaget mendengar pertanyaan Pendekar Pulau Ne-
raka itu. Bahkan sampai berhenti melangkah, lalu me-
natap Bayu dalam-dalam. Entah dari mana datangnya,
di hati gadis ini mulai terselip rasa curiga. Pemuda
berbaju kulit harimau ini baru dikenalnya tidak begitu
lama, tapi mengapa sudah bisa menebak maksudnya?
Dan dia tidak tahu, siapa sebenarnya Bayu. Tapi kata
kata dan pertanyaan yang selalu di lontarkannya, me-
nandakan kalau dia sudah mengenal banyak tentang
diri Suci. Dan ini membuat gadis itu jadi curiga.
"Siapa kau sebenarnya, Kakang?" tanya Suci,
agak dalam nada suaranya.
"Namaku Bayu, dan hanya seorang pengembara
biasa saja. Dan...."
"Cukup...!" sentak Suci agak keras. Bayu men-
gangkat alisnya sedikit. Dipandanginya gadis ini da-
lam-dalam. Pada saat yang sama, Suci juga tengah
memandang tajam padanya. Untuk beberapa saat la-
manya mereka hanya diam saling melemparkan pan-
dangan yang penuh arti. Entah kenapa, Suci merasa-
kan jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya.
Rasanya tidak sanggup lagi menatap bola mata pemu-
da itu.. Namun hatinya terus dikuatkan dan terus me-
natap tajam.
"Aku tidak percaya jika kau hanya kebetulan
saja menolongku," tegas Suci. Jelas sekali kalau nada
suara gadis itu mengandung kecurigaan.
"Kenapa kau berkata seperti itu, Suci?" kata
lembut suara Bayu.
"Kau sepertinya mengetahui banyak tentang di-
ri ku. Bahkan sepertinya juga tahu tentang Eyang Pu-
rata."
"Mungkin kau tidak percaya. Tapi aku memang
benar-benar tidak tahu tentang dirimu. Apalagi orang
yang kau sebutkan tadi, Suci."
"Tapi, kenapa kau bertanya seperti itu?" desak
Suci tetap curiga.
"Hanya menebak saja. Dan yang pasti, kau
memiliki seorang guru, yang memberi tugas kepada-
mu." sahut Bayu, tetap kalem suaranya.
"Aku tidak percaya dengan jawabanmu, Ka
kang, dengus Suci.
Bayu hanya mengangkat bahunya saja. Pende-
kar Pulau Neraka kembali mengayunkan kakinya. Se-
bentar Suci masih diam memandangi pemuda berbaju
kulit harimau itu. Setelah Bayu berjalan sejauh dua
batang tombak, gadis itu baru melangkah menyusul.
Ayunan kakinya lebar-lebar dan cepat, sehingga seben-
tar saja sudah berada di samping Pendekar Pulau Ne-
raka lagi.
Wus!
"Awas...!" seru Bayu tiba-tiba.
Mendadak saja Pendekar Pulau Neraka mendo-
rong tubuh Suci, hingga terpental ke samping dan ja-
tuh bergulingan di tanah. Sedangkan Bayu sendiri
langsung melentingkan tubuh ke udara. Dan seketika
tangan kirinya bergerak cepat mengibas ke bawah, te-
pat di saat sebatang ranting kering meluncur cepat ba-
gai anak panah yang dilepaskan dari busur. Tap!
Manis sekali Pendekar Pulau Neraka menang-
kap sebatang ranting kering sepanjang tiga jengkal
yang meluncur deras ke arahnya. Kemudian setelah
memutar tubuhnya sekali di udara, kakinya mendarat
ringan di tanah, tanpa menimbulkan suara sedikit
pun. Pada saat yang sama, Suci sudah bisa berdiri
kembali.
"Apa yang kau lakukan, Kakang...?!" sentak
Suci, tidak menerima perlakuan Bayu tadi.
"Ada yang menyambut kita, Suci," sahut Bayu
tanpa berpaling sedikit pun juga.
Pendekar Pulau Neraka segera menyodorkan
ranting kering yang berhasil ditangkapnya tadi. Seben-
tar Suci memandangi, kemudian mengambil batang
ranting kering sepanjang. tiga jengkal itu. Langsung
gadis itu memandang Pendekar Pulau Neraka yang
tengah memusatkan pandangan dan pendengarannya
ke sekeliling tempat ini,
Perlahan Suci mendekati pemuda berbaju kulit
harimau itu, lalu berdiri di sampingnya. Gadis itu juga
ikut mengedarkan pandangannya berkeliling. Namun,
sebentar kemudian malah menatap dalam-dalam wa-
jah tampan di sampingnya. Ada sedikit getaran menye-
linap di hati gadis itu, saat ini Suci merasakan kalau di
dalam hatinya tengah terjadi pertentangan hebat. Dan
dia sendiri tidak tahu, pertentangan apa yang terjadi
dalam dirinya.
"Tampaknya ada yang tidak menyukai kedatan-
gan kita kembali ke Desa Malanapa, Suci. Entah untuk
mencegahmu, atau mencegah ku ke sana," jelas Bayu
pelan, setengah bergumam suaranya.
Suci tidak menyahuti. Dia diam saja dan kem-
bali mengedarkan pandangannya berkeliling. Saat itu
juga benaknya langsung berputar. Kedatangannya ke
wilayah Gunung Parang ini memang karena tugas gu-
runya, Eyang Purata. Tapi dia tidak begitu jelas mak-
sud gurunya yang sebenarnya. Walaupun sebagian su-
dah diketahui meski tidak jelas.
"Ayo, kita jalan lagi," ajak Bayu.
"He he he..., tidak perlu bersusah payah ke Ma-
lanapa, Pendekar Pulau Neraka...!"
"Heh...?!" Bayu tersentak kaget ketika tiba-tiba
saja terdengar suara keras menggema.
Bukan hanya Bayu yang terkejut. Suci pun ikut
tersentak kaget mendengarnya. Pandangan mereka be-
redar ke sekeliling, dan tidak jadi melanjutkan perjala-
nan. Namun tidak ada seorang pun di tempat ini, ke-
cuali mereka berdua. Sedangkan suara itu demikian
jelas terdengar, seakan-akan datang dari segala penju-
ru mata angin.
"Hm...," gumam Bayu perlahan.
Sementara itu Suci sudah menggeser pedang-
nya yang tergantung di pinggang. Sedangkan Pendekar
Pulau Neraka hanya bergumam pelan. Dan sebelum
mulutnya terbuka, mendadak saja sebuah bayangan
hitam berkelebat di depannya. Dan tahu-tahu, di de-
pan mereka sudah berdiri seorang laki-laki tua berju-
bah hitam. Sebatang tongkat hitam tak beraturan ben-
tuknya, tergenggam di tangan kanan. Sebentar Bayu
memandangi orang tua berjubah hitam itu, kemudian
melirik Suci yang berdiri di samping kanannya.
Kembali ditatapnya orang tua berjubah hitam
yang berdiri di depan. Tatapan matanya begitu tajam
menusuk, seakan-akan tengah menyelidik dan mengu-
kur kepandaian orang tua itu. Pada saat yang sama,
orang tua berjubah hitam itu juga memandang Pende-
kar Pulau Neraka. Seakan-akan, dia juga sedang men-
gukur tingkat kepandaian yang dimiliki pemuda berba-
ju kulit harimau itu.
"Kau memang cukup tangguh, Pendekar Pulau
Neraka. Tapi sebaiknya cepat tinggalkan wilayah Gu-
nung Parang ini," dingin sekali nada suara laki-laki tua
berjubah hitam itu.
"Hm.... Siapa kau, Orang Tua? Bagaimana kau
tahu tentang diriku?" tanya Bayu kalem, meskipun
sempat terkejut karena orang tua berjubah hitam itu
mengetahui julukannya.
***
Satu julukan yang bisa membuat orang gemeta-
ran bila mendengarnya. Terlebih lagi, sikap, dan sepak
terjang Pendekar Pulau Neraka memang sukar digo-
longkan. Pendekar itu bisa bertindak lebih kejam dari
pada seorang tokoh hitam. Tapi, dia juga bisa lembut
dan berhati emas bagai seorang pendekar sejati.
Meskipun Bayu jarang sekali memberi ampun pada se-
tiap lawannya, tapi semua yang dilakukannya berda-
sarkan alasan yang tepat. Pendekar Pulau Neraka ti-
dak akan menewaskan lawannya, kalau tidak terpaksa
sekali.
"He he he...," orang tua berjubah hitam itu
hanya terkekeh saja menjawab pertanyaan Pendekar
Pulau Neraka.
"Kau kenal dia, Suci?" tanya Bayu pada Suci
yang sudah berada di sampingnya lagi.
"Tidak," sahut Suci sambil tetap memandangi
laki-laki tua di depannya.
"Hm...," lagi-lagi Bayu bergumam pelan.
Kembali dipandanginya laki-laki tua ini. Tapi,
laki-laki tua itu sudah menyerangnya. Dan Bayu yakin
kalau serangan itu bukan hanya sekadar main-main.
Yang jelas, pasti mempunyai alasan kuat. Terlebih lagi
tadi sudah meminta Pendekar Pulau Neraka untuk se-
gera meninggalkan Gunung Parang ini.
"Kenapa kau meminta ku meninggalkan tempat
ini, Orang Tua?" tanya Bayu lagi. Dari nada suaranya
yang tenang, Pendekar Pulau Neraka masih mencoba
menekan kesabarannya.
"Karena kau tidak ada urusan di sini, Pendekar
Pulau Neraka," sahut orang tua itu tegas.
"Barangkali penyerangan mu tadi sudah mem-
beri satu persoalan padaku," tandas Bayu.
"Kau memang keras kepala sekali, Pendekar
Pulau Neraka. Mungkin memang harus digunakan ca-
ra lain untuk memaksamu keluar wilayah ini," sema-
kin dingin nada suara orang tua ini.
"Cara apa yang akan kau gunakan...?"
Laki-laki tua berjubah hitam itu tidak menja-
wab. Pertanyaan Bayu barusan, sudah jelas maksud-
nya. Tantangan. Laki-laki tua itu menghentakkan
tongkatnya sedikit ke tanah. Meskipun kelihatannya
hanya sedikit saja ujung tongkatnya dipukulkan ke ta-
nah, namun Bayu dan Suci merasakan kalau tanah
yang] dipijak agak bergetar.
"Hm...," lagi-lagi Bayu menggumam pelan.
Dan sebelum Pendekar Pulau Neraka bisa ber-
pikir panjang, laki-laki tua itu sudah memutar tong-
katnya di depan dada. Putarannya demikian cepat, se-
hingga yang terlihat hanya lingkaran hitam kecoklatan.
Bahkan juga menimbulkan suara angin yang menderu-
deru bagai hendak terjadi badai saja.
Wut!
Mendadak saja laki-laki tua berjubah hitam itu
mengebutkan tongkatnya ke depan. Seketika itu juga
berhembus angin kencang, disertai memancarnya se-
berkas sinar kilat yang mengarah ke tubuh Pendekar
Pulau Neraka.
"Uts...!"
Cepat sekali Bayu mendorong tubuh Suci, se-
hingga untuk kedua kalinya gadis itu terhuyung. Dan
pada saat yang sama, Pendekar Pulau Neraka melom-
pat ke samping, Cahaya kilat yang keluar dari ujung
tongkat berbentuk tak beraturan itu lewat sedikit saja
di samping tubuh Bayu.
Glarr!
Ledakan keras terdengar saat ujung kilat itu
menghantam pohon yang tadi tepat di belakang Pende-
kar Pulau Neraka. Bayu sempat sedikit menoleh, begi-
tu kakinya mendarat lagi. Dalam hatinya, Pendekar
Pulau Neraka mengagumi kehebatan laki-laki tua ber-
jubah hitam itu. Sungguh dahsyat serangannya baru
san. Bisa dibayangkan, bagaimana kalau ujung tong-
kat itu mengenai dirinya.
"Itu baru permulaan, Pendekar Pulau Neraka,"
tegas laki-laki tua ini. "Dan sebaiknya jangan memak-
sa ku untuk memperingatkan kedua kalinya."
"Apa sebenarnya yang kau inginkan, Orang
Tua?" tanya Bayu agak jengkel juga jadinya.
"He he he..." lagi-lagi orang tua berjubah hitam
itu hanya terkekeh saja menjawab pertanyaan Pende-
kar Pulau Neraka.
Orang tua itu masih tetap merentangkan tong-
katnya lurus ke depan, terarah langsung ke dada Pen-
dekar Pulau Neraka. Sementara tatapan matanya de-
mikian tajam, menusuk langsung ke bola mata pemu-
da berbaju kulit harimau di depannya. Untuk waktu
yang agak lama, mereka hanya berdiam diri sambil sal-
ing menatap tajam. Sepertinya mereka sedang mengu-
kur kepandaian masing-masing.
***
"Sebenarnya aku tidak ingin bersikap keras
denganmu, Pendekar Pulau Neraka. Tapi tampaknya
kau memaksaku untuk melakukan kekerasan," ter-
dengar dingin sekali suara orang tua berjubah hitam
itu.
"Aneh...! Semua pembicaraanmu tidak bisa ku
mengerti," desis Bayu pelan.
"Memang seharusnya kau tidak perlu mengerti,
Pendekar Pulau Neraka. Jika tidak segera enyah dari
sini, aku yang akan membantumu pergi," semakin din-
gin suara orang tua itu.
Belum juga Bayu sempat membuka mulut,
mendadak saja orang tua itu memutar tongkatnya ce
pat bagai kilat. Lalu kembali berteriak nyaring me-
lengking dia melompat cepat menerjang Pendekar Pu-
lau Neraka.
"Hiyaaa...!"
"Heh...?!
Hup!"
Bergegas Bayu melompat ke samping sambil
memiringkan tubuhnya. Maka sabetan tongkat orang
tua itu tidak berhasil mendapatkan sasaran. Namun
tanpa diduga sama sekali, tubuhnya bisa memutar se-
lagi kakinya belum juga menjejak tanah. Secepat itu
pula tongkatnya dikibaskan ke arah Pendekar Pulau
Neraka.
Bet!
Kali ini Bayu tidak sempat lagi menghindar dari
kebutan tongkat hitam yang tak beraturan bentuknya
itu. Dengan cepat tangannya diangkat Lalu sambil
mengerahkan tenaga dalam yang sudah mencapai taraf
sempurna, Pendekar Pulau Neraka membenturkan
pergelangan tangan kanannya dengan tongkat hitam
orang tua itu. Trang!
Bunga api memercik begitu Cakra Maut yang
menempel di pergelangan tangan Bayu membentur
tongkat hitam orang tua itu. Tampak masing-masing
terpental ke belakang sejauh lima langkah. Orang tua
berjubah hitam itu kelihatan terkejut saat seluruh jari-
jari tangannya terasa menegang kaku. Sungguh tidak
disangka kalau kekuatan tenaga dalam Pendekar Pu-
lau Neraka mampu mengimbangi kekuatan tenaga da-
lamnya.
Sedangkan Bayu sendiri sempat meringis. Dia
juga terkejut begitu merasakan kekuatan tenaga dalam
orang tua berjubah hitam itu demikian dahsyat. Tu-
lang pergelangan tangannya seperti remuk. Sebentar
senjata andalannya yang selalu melekat kuat di perge-
langan tangan kanan diperiksa. Sepertinya tak ada sa-
tu goresan sedikit pun pada Cakra Maut
"Hiyaaa...!"
Bagaikan kilat orang tua berjubah hitam itu
kembali melompat menyerang Pendekar Pulau Neraka.
serangannya begitu dahsyat, sehingga ayunan tong-
katnya saja sukar diikuti pandangan mata biasa. Na-
mun Bayu yang sudah siap sejak tadi, manis sekali
menghindari serangan yang dilancarkan orang tua ini.
Bagai seekor burung sri gunting, Pendekar Pu-
lau Neraka berlompatan sambil meliuk-liukkan tubuh-
nya untuk menghindari serangan yang dilancarkan
orang tua berjubah hitam itu. Beberapa kali tebasan
ataupun tusukan tongkat hitam itu terpaksa harus di-
tangkis. Beberapa kali pula terdengar ledakan keras,
percikan bunga api setiap kali tongkat hitam berbentu-
ran dengan Cakra Maut yang berada di pergelangan
Pendekar Pulau Neraka.
Pertarungan terus berjalan sengit. Jurus demi
jurus berlalu, saling berganti dengan cepat. Tanpa te-
rasa mereka sama-sama sudah menghabiskan lebih
dua puluh jurus. Namun pertarungan belum juga be-
rakhir. Bahkan belum ada tanda-tanda yang terdesak.
Sementara Suci yang menyaksikan pertarungan ting-
kat tinggi itu seketika kepalanya terasa pening dan
matanya berkunang-kunang, karena mengikuti setiap
gerakan yang dilakukan dua orang yang bertarung itu.
"Oh...?!"
Tiba-tiba Suci menutup mulutnya ketika meli-
hat orang tua berjubah hitam itu menyodokkan tong-
kat ke arah dada Pendekar Pulau Neraka. Itu terjadi
tepat saat pemuda berbaju kulit harimau itu baru me-
nangkis satu tendangan menggeledek yang dilepaskan
orang tua itu.
Bet!
Cepat sekali Bayu mengebutkan tangan kanan-
nya ke depan dada untuk menyampok sodokan tong-
kat hitam yang tak beraturan bentuknya itu. Satu ben-
turan keras bertenaga dalam tinggi pun tak terelakkan.
Ledakan keras seketika terdengar menggelegar bagai
guntur membelah angkasa. Bunga api memercik me-
nyebar ke segala arah.
Tampak orang tua berjubah hitam itu terpental
balik ke belakang sejauh dua batang tombak. Sedang-
kan Bayu melentingkan tubuhnya ke udara, dan seke-
tika itu juga mengibaskan tangan kanan ke depan
sambil memutar tubuh di udara.
Wus!
Cakra Maut bersegi enam berwarna keperakan
yang selalu menempel di pergelangan tangan Pendekar
Pulau Neraka itu seketika melesat cepat ke arah orang
tua berjubah hitam. Begitu cepatnya melesat, hingga
membuat orang tua itu terperangah sejenak. Namun
cepat sekali tongkatnya dikebutkan, menyampok sen-
jata maut Pendekar Pulau Neraka.
"Yeaaah...!"
Bet!
"Heh...?!"
***
Bukan main terkejutnya orang tua berjubah hi-
tam itu, ketika Cakra Maut yang meluncur deras itu
tiba-tiba saja meliuk menghindari tebasan tongkatnya.
Belum lagi hilang keterkejutannya, mendadak Cakra
Maut bersegi enam itu sudah meluruk deras ke arah
kepala orang tua berjubah hitam itu.
"Ih...! Uts!"
Buru-buru kepalanya di egoskan ke samping.
Dan begitu Cakra Maut lewat ke samping kanan. Lang-
sung tubuhnya diputar dan tongkatnya dikibaskan,
menghajar Cakra Maut yang saat itu sudah kembali
berputar berbalik hendak menyerang kembali.
Bet!
Tring!
"Ikh...!"
Orang tua berjubah hitam itu terkejut setengah
mati ketika tongkatnya berbenturan dengan senjata
cakra perak yang dilepaskan Pendekar Pulau Neraka.
Cepat dia melompat mundur, lalu tubuhnya memutar
menghadap kembali pada Pendekar Pulau Neraka. Pa-
da saat yang sama, Bayu menghentakkan tangan ka-
nan ke atas kepalanya. Maka Cakra Maut membalik,
langsung menempel di pergelangan tangan kanannya.
Tap!
"Cakra Maut...," desis laki-laki tua itu seakan-
akan tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.
Hampir saja orang tua berjubah hitam itu tewas
oleh senjata Pendekar Pulau Neraka yang begitu dah-
syat dan tak ada bandingnya saat ini. Sama sekali per-
gelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka tidak
diperhatikannya. Sedangkan matanya memandang
Bayu seperti melihat hantu saja. Sedangkan yang di-
pandang hanya berdiri tegak, membalas dengan tata-
pan tajam menusuk.
"Ada hubungan apa kau dengan Gardika si Ca-
kra Maut?" tanya orang tua berjubah hitam itu.
"Dari mana kau tahu tentang Eyang Gardika?
Bayu malah batik bertanya.
Pendekar Pulau Neraka terkejut juga menden-
gar pertanyaan orang tua berjubah hitam ini. Pandan
gan matanya semakin tajam dan penuh kecurigaan.
Dia teringat gurunya, si Cakra Maut. Dalam sisa-sisa
hidupnya, Eyang Gardika harus sengsara dengan ke-
dua kaki buntung dan buta. Semua itu akibat ulah
musuh-musuhnya. Dan Bayu harus mencari mereka
yang telah membuntungi dan membutakan gurunya
itu.
Sedangkan di depannya kini berdiri seorang la-
ki-laki tua yang mengenal gurunya. Tentu saja setelah
Pendekar Pulau Neraka menggunakan senjata andalan
yang diperoleh dari gurunya. Bayu mencoba mengin-
gat-ingat nama-nama yang telah diberikan gurunya.
Nama-nama orang yang telah membuat si Cakra Maut
cacat seumur hidup.
"Hm...," terdengar gumaman kecil dari bibir
Pendekar Pulau Neraka.
Ingatan Pendekar Pulau Neraka langsung teri-
kat pada kata-kata gurunya, tentang nama-nama to-
koh yang harus dihadapinya. Salah satu ciri-ciri orang
yang disebutkan Eyang Gardika kini ada di depannya.
Memang, sebelumnya Bayu tidak mengenal orang itu.
Namun begitu Orang berjubah hitam itu menyebut
nama Eyang Gardika, maka ingatannya langsung tera-
rah ke situ.
***
EMPAT
"Dari mana senjata itu kau dapatkan, Pendekar
Pulau Neraka?" tanya orang tua berjubah hitam dingin.
"Ini senjataku. Kapan dan dari mana ku peroleh
bukan urusanmu, Iblis Tongkat Hitam," sahut Bayu tidak kalah dinginnya.
"Heh....?! Kau tahu julukanku...?" orang tua
berjubah hitam itu terkejut mendengar julukannya
disebut Pendekar Pulau Neraka. Padahal sama sekali
namanya tidak pernah disebutkan tadi.
Bayu hanya tersenyum sinis saja. Sedangkan
kakinya bergeser sedikit ke kanan dan kedua tangan-
nya terlipat di depan dada. Sementara, sorot matanya
tetap tajam menusuk langsung ke bola mata laki-laki
tua berjubah hitam yang dikenali berjuluk Iblis Tong-
kat Hitam. Bayu bisa mengenalinya, setelah mengin-
gat-ingat nama-nama yang diberikan gurunya. Juga,
ciri-ciri serta jurus-jurus yang dimilikinya.
Dan semua itu ada pada diri laki-laki tua ber-
jubah hitam ini, sehingga Bayu tidak ragu-ragu lagi.
Laki-laki tua ini adalah salah seorang tokoh persilatan
yang mengeroyok si Cakra Maut sampai kedua kakinya
buntung dan sepasang matanya buta.
"Asal tahu saja, Iblis Tongkat Hitam. Pemilik
pertama senjata ini, meminta ku untuk membalaskan
perlakuan orang-orang yang telah membuat sengsara
selama hidupnya," tandas Bayu lagi, dengan suara
yang tetap dingin.
"Hm.... Siapa sebenarnya kau, Pendekar Pulau
Neraka?" tanya Iblis Tongkat Hitam mendesis.
"Aku hanya anak kemarin sore yang mencari
manusia-manusia bejat sepertimu," sahut Bayu, se-
makin dingin nada suaranya. "Bersiaplah untuk mati,
Iblis Tongkat Hitam...."
Setelah berkata demikian, Bayu langsung berte-
riak keras menggelegar. Sebentar tangannya bergerak-
gerak di depan dada, kemudian cepat sekali tubuhnya
melompat menerjang laki-laki tua berjubah hitam itu.
Begitu cepatnya serangan yang dilancarkan Pendekar
Pulau Neraka, sehingga membuat si Iblis Tongkat Hi-
tam jadi terperangah sejenak.
"Uts...!?"
Buru-buru Iblis Tongkat Hitam mengegoskan
tubuhnya, menghindari satu pukulan menggeledek
mengandung tenaga dalam tinggi yang dilepaskan
Pendekar Pulau Neraka- Tapi sebelum tubuhnya sem-
pat ditarik kembali, Bayu sudah memberi lagi satu se-
rangan cepat dan dahsyat Terpaksa si Iblis Tongkat Hi-
tam melentingkan tubuhnya ke udara, menghindari
serangan yang begitu cepat dan dahsyat
"Hiyaaa...!"
Melihat lawannya meleset ke udara, maka Bayu
cepat menggenjot tubuhnya hingga melesat bagai kilat
ke udara menyusul laki-laki tua berjubah hitam itu.
Saat itu juga dilontarkannya beberapa pukulan berun-
tun yang disertai pengerahan tenaga dalam yang su-
dah mencapai taraf kesempurnaan.
"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"
"Uts! Hup...!"
Beberapa kali Bayu melepaskan pukulan keras
menggeledek, tapi si Iblis Tongkat Hitam masih mampu
menghindarinya. Kelihatannya, laki-laki tua itu begitu
kewalahan, bahkan hampir-hampir pukulan terakhir
yang dilepaskan Bayu mengenai dadanya. Untung
tongkatnya cepat dikibaskan untuk melindungi da-
danya dari pukulan Pendekar Pulau Neraka.
Trak!
Bayu sengaja tidak menarik pulang pukulan-
nya, sehingga menghantam tongkat hitam yang menyi-
lang di depan dada. Seketika satu ledakan keras pecah
menggelegar. Bersamaan dengan itu, tampak kedua
orang yang bertarung di udara itu terpental ke bela-
kang. Mereka sama-sama berputaran di udara, kemu
dian meluruk turun. Hampir bersamaan kaki mereka
menjejak tanah, dan sama-sama langsung terhuyung.
"Hup!" Bayu cepat menggerak-gerakkan tan-
gannya, sambil mengatur pernafasannya.
Sedangkan si Iblis Tongkat Hitam cepat memu-
tar tongkatnya, kemudian keras sekali menghentakkan
ujungnya ke tanah. Untuk beberapa saat mereka ter-
diam berdiri tegak, dengan mata saling menyorot ta-
jam.
"Kau menggunakan jurus-jurus milik si Cakra
Maut. Apakah kau muridnya, Pendekar Pulau Neraka?"
si Iblis Tongkat Hitam ingin tahu, setelah mengetahui
jurus-jurus yang dikeluarkan Pendekar Pulau Neraka.
"Benar! Dan aku akan membalas perlakuanmu
pada guruku," sahut Bayu dingin menggetarkan.
"Ha ha ha.!" tiba-tiba saja si Iblis Tongkat Hi-
tam tertawa terbahak-bahak.
"Hm...," Bayu hanya menggumam kecil saja.
Tatapan mata Pendekar Pulau Neraka tidak
berkedip sedikit pun, dan tajam sekali. Sementara si
Iblis Tongkat Hitam terus tertawa terbahak-bahak den-
gan suara keras sekali. Akibatnya, membuat telinga
orang yang berada di sekitarnya terasa sakit, seperti
akan pecah.
"Si Cakra Maut sendiri tidak sanggup menan-
dingi ku, Bocah. Aku khawatir kau akan bernasib sa-
ma dengannya," ejek si Iblis Tongkat Hitam.
"Kau bisa mengalahkannya karena main ke-
royok, Iblis Tongkat Hitam," desis Bayu.
"Phuih! Tanpa mereka pun, aku mampu mengi-
rimnya ke neraka, Bocah!"
"Dan sekarang kau yang akan kukirim ke nera-
ka, iblis!"
"Setan...! Kau murid si Cakra Maut, maka tidak
pantas rasanya hidup lebih lama lagi.!
Hiyaaat..!"
Bagaikan kilat, si Iblis Tongkat Hitam melompat
menerjang Pendekar Pulau Neraka. Tongkat hitam
yang tidak beraturan bentuknya itu berkelebat cepat
mengurung ruang gerak pemuda berbaju kulit hari-
mau. Namun Bayu yang sudah siap dan sudah menge-
tahui laki-laki tua ini sebenarnya, tidak lagi bertindak
tanggung-tanggung. Segera dikerahkannya jurus-jurus
yang dahsyat disertai pengerahan tenaga dalam yang
sudah mencapai taraf kesempurnaan.
"Setan alas...!" desis si Iblis Tongkat Hitam ge-
ram. Betapa tidak...? Sungguh sama sekali tidak dis-
angka kalau jurus-jurus si Cakra Maut yang dimain-
kan Pendekar Pulau Neraka lebih dahsyat dari pemi-
liknya sendiri. Bahkan beberapa kali laki-laki tua itu
terpaksa harus berjumpalitan di udara, menghindari
serangan-serangan balasan yang dilancarkan Bayu.
***
"Hiyaaa....!"
Tiba-tiba saja Bayu berteriak nyaring melengk-
ing tinggi. Dan bersamaan dengan itu, tubuhnya me-
lenting sambil mengebutkan tangan kanannya. Bagai-
kan kilat. Cakra Maut yang menempel di pergelangan
tangan kanan Pendekar Pulau Neraka melesat cepat
"Ufs!"
Cepat sekali si Iblis Tongkat Hitam meliukkan
tubuhnya, menghindari terjangan senjata maut Pende-
kar Pulau Neraka. Tapi belum juga posisi tubuhnya bi-
sa dikembalikan, mendadak saja Bayu sudah meluruk
deras ke arahnya sambil melontarkan dua terjangan
menggeledek secara beruntun.
"Heh...?!"
Bukan main terkejutnya si Iblis Tongkat Hitam,
mendapatkan serangan yang demikian cepat beruntun.
Bergegas laki-laki tua itu melompat ke belakang. Na-
mun satu tendangan yang dilancarkan Pendekar Pulau
Neraka tidak bisa dihindari lagi.
Begkh...!
"Akh...!" Iblis Tongkat Hitam memekik keras.
Tendangan Pendekar Pulau Neraka tepat
menghantam dada Iblis Tongkat Hitam yang lowong,
Begitu kerasnya tendangan itu, sehingga membuat tu-
buhnya terpental ke belakang sejauh tiga batang tom-
bak
Bruk!
Keras sekali Iblis Tongkat Hitam jatuh tersuruk
di tanah, namun cepat bangkit kembali, meskipun
sempoyongan. Dan sebelum keadaan tubuhnya sempat
dikuasai, Bayu sudah kembali melompat menyerang.
Du pukulan keras dilontarkan dengan cepat. Hal ini
membuat si Iblis Tongkat Hitam terperangah beberapa
saat.
"Hup!"
Bergegas tubuhnya melenting ke udara, dan
berputaran beberapa kali. Manis sekali laki-laki tua itu
mendarat di atas cabang sebuah pohon yang cukup
tinggi. Sedangkan Bayu sudah berdiri tegak bertolak
pinggang.
"Turun kau...!" bentak Bayu menggelegar sua-
ranya.
"Kuakui, kau memang lebih hebat dari gurumu,
Pendekar Pulau Neraka," puji si Iblis Tongkat Hitam
agak terengah suaranya.
"Terima kasih. Tapi aku tidak butuh pujian.
Pembalasan tetap berlangsung, Iblis Tongkat Hitam,"
sambut Bayu dingin.
"Sayang sekali, aku ada keperluan lain yang le-
bih penting. Maaf..."
"Hei...!"
Tapi Bayu tidak mungkin bisa mengejar orang
tua berjubah hitam yang sudah melesat cepat sekali.
Dalam sekejap saja, Iblis Tongkat Hitam itu sudah
menghilang dari pandangan mata. Dan Bayu hanya
menggerutu. Satu orang yang harus ditemui kini le-
nyap lagi, sebelum sakit hati gurunya terbalaskan.
Pendekar Pulau Neraka memutar tubuhnya
mendengar suara gemerisik ayunan langkah yang ha-
lus. Ternyata dia adalah Suci yang tengah menghampi-
ri pemuda berbaju dari kulit harimau itu. Gadis itu
berhenti melangkah setelah tinggal tiga tindak lagi di
depan Pendekar Pulau Neraka.
"Kau sudah tahu siapa aku, Suci. Sebaiknya
kau pergi saja," kata Bayu sebelum Suci sempat mem-
buka suara.
"Guruku sering menceritakan tentang dirimu,
kang. Maaf, kalau sikapku selama ini tidak menye-
nangkan hatimu," lembut sekali suara Suci, nadanya
terdengar menyesal atas sikapnya selama ini pada
Bayu.
"Lupakan saja," desah Bayu seraya mengayun-
kan kakinya.
"Kakang, tunggu...!" seru Suci seraya bergegas
mengejar.
Gadis itu mensejajarkan langkahnya di samp-
ing Pendekar Pulau Neraka. Sedangkan Bayu sendiri
terus berjalan tanpa berpaling sedikit pun. Disadari
kalau selama ini sepak terjangnya sudah menjadi buah
bibir tokoh-tokoh rimba persilatan. Jadi, tidak heran
jika guru gadis ini sudah mendengar dan mengetahui
namanya.
Dan memang hal itu yang tidak diinginkan
Bayu. Mulai disadari kalau di sekitar Gunung Parang
ini terdapat musuh-musuh gurunya. Sedangkan di-
rinya sendiri masih memiliki kewajiban darma bakti
pada gurunya, meskipun terkadang sangat bertentan-
gan dengan hati nuraninya sendiri. Tapi demi semua
itu, Bayu harus menjalankan amanat terakhir yang di-
embannya. Sakit hati Eyang Gardika harus diba-
laskan, pada orang-orang yang telah membuatnya ca-
cat. Dan Pendekar Pulau Neraka tidak ingin ada orang
lain yang terlibat dalam urusan pribadinya.
"Kenapa kau terus mengikuti ku, Suci?" tanya
Bayu seraya menoleh sedikit pada gadis yang berjalan
di sampingnya.
"Aku ingin minta bantuanmu," sahut Suci lang-
sung.
"Bantuan apa?" tanya Bayu.
"Mencari Kak Intan."
Bayu menghentikan ayunan langkahnya. Dita-
tapnya gadis itu dalam-dalam.
"Kenapa kau berubah begitu cepat, Suci?"
tanya Bayu ingin tahu.
Suci tidak menjawab, tapi malah tersenyum.
Gadis itu kembali mengayunkan kakinya setelah ber-
henti sebentar. Dan Bayu hanya memandangi gadis itu
beberapa saat, kemudian melangkah lagi. Ayunan kaki
nya disejajarkan di samping gadis ini.
Mereka terus berjalan menuju Desa Malanapa.
Tak ada lagi yang berbicara. Masing-masing sibuk ber-
bicara dalam hatinya sendiri-sendiri. Beberapa kali
Suci mencuri pandang pada pemuda tampan berbaju
harimau di sampingnya. Di dalam hatinya, Suci tak bi-
sa lagi membantah kalau hatinya tertarik setelah men
getahui pemuda ini sebenarnya. Dia sudah sering
mendengar tentang Pendekar Pulau Neraka. Dan seka-
rang, pendekar yang selalu menjadi buah bibir berjalan
di sampingnya. Ada sedikit kebanggaan terselip di ha-
tinya, karena bisa berjalan bersama seorang pendekar
digdaya yang disegani lawan maupun kawan.
***
Memang tidak mudah mencari seseorang yang
tidak diketahui di mana adanya. Sudah tiga hari Bayu
dan Suci menjelajahi Desa Malanapa dan sekitar Gu-
nung Parang, tapi tidak juga bisa menemukan Intan.
Kakak seperguruan Suci ini lenyap entah ke
mana, setelah bertarung dengan seorang perempuan
tua yang mengaku berjuluk Setan Kobra Betina.
Sedangkan perempuan tua itu sendiri seperti
menghilang ditelan bumi saja. Tidak ada lagi kabar be-
ritanya di sekitar Gunung Parang ini. Bukan hanya di
Desa Malanapa. Bahkan desa-desa lain yang berada di
sekitar Gunung Parang, sudah dimasuki Bayu dan Su-
ci Tapi, mereka tetap belum menemukan jejak Intan
saat ini.
"Ke mana lagi harus mencari kakak sepergu-
ruan mu, Suci?" tanya Bayu, saat mereka baru saja
meninggalkan sebuah desa yang berada di sebelah Se-
latan kaki Gunung Parang.
"Hhh...!" Suci hanya menghembuskan nafasnya
saja, seraya mengangkat bahu tinggi-tinggi.
Gadis itu sendiri tidak tahu, ke mana lagi harus
mencari Intan. Tiga hari bukanlah waktu yang sedikit
Dan mereka sudah menjelajahi daerah yang luas,
meskipun belum sampai keluar dari wilayah Gunung
Parang.
"Tidak ada lagi perkampungan di sekitar Gu-
nung Parang ini, Suci. Dan itu tadi desa terakhir. Tapi
di sana juga tidak ada tanda-tandanya," sambung
Bayu seraya melemparkan sebuah kerikil ke dalam
sungai yang mengalir di depannya.
"Kita belum mencari ke puncak gunung, Ka-
kang," tegas Suci mengingatkan."
"Tidak ada apa-apa di sana, Suci," sahut Bayu.
"Tapi kudengar, orang-orang persilatan saat ini
tengah menuju ke sana. Barangkali saja di sana kita
bisa bertemu Kak Intan. Atau paling tidak, bisa mene-
mukan petunjuk," Suci beralasan.
Bayu menarik napas dalam-dalam dan meng-
hembuskannya kuat-kuat. Bukan hanya Suci saja
yang tahu. Pendekar Pulau Neraka pun tahu kalau
orang-orang persilatan kini tengah menuju Puncak
Gunung Parang. Dan Bayu pun tahu, untuk apa to-
koh-tokoh persilatan itu menuju ke sana. Sedangkan
dirinya sendiri sebenarnya memang ingin ke sana, tapi
yang pasti dengan tujuan yang berbeda dari mereka
semua.
"Atau sebaiknya kita kembali lagi ke Desa Ma-
lanapa, Kakang," usul Suci lagi.
"Untuk apa?" tanya Bayu.
"Aku ada titipan yang harus disampaikan pada
kepala desa," jawab Suci.
"Kenapa tidak dari kemarin kau berikan?"
"Aku baru ingat sekarang."
Sambil menghembuskan napas panjang, Pen-
dekar Pulau Neraka bangkit berdiri. Saat itu Suci su-
dah berdiri lebih dahulu. Tanpa mengeluarkan satu
kata pun mereka kembali melanjutkan perjalanan.
Hanya saja mereka berjalan tidak terburu-buru.
"Pesan apa yang ingin kau sampaikan, Suci?"
tanya Bayu.
"Eyang Purata hanya menitipkan bingkisan sa-
ja. Aku tidak tahu, apa isinya," sahut Suci. "Penting?"
"Kelihatannya begitu. Soalnya Eyang Purata
minta agar aku hati-hati menjaganya. Dan lagi, hanya
Ki Gandul saja yang boleh menerimanya."
"Kalau memang penting, seharusnya jangan di-
lalaikan, Suci. Kita bisa mencari kakakmu, setelah pe-
san gurumu disampaikan," nada suara Bayu terdengar
seperti menyesali Suci yang telah melalaikan tugas
utama gurunya.
"Aku lupa, Kakang. Aku begitu khawatir pada
Kak Intan," Suci mencoba membela diri.
"Aku bisa mengerti, Suci, Sebaiknya untuk saat
ini, kau lupakan dulu masalah kakakmu. Nanti setelah
titipan gurumu kau berikan pada Ki Gandul, baru se-
luruh perhatianmu bisa dipusatkan pada kakakmu."
"Baiklah," sahut Suci mendesah.
Bayu tidak berkata-kata lagi. Mereka terus ber-
jalan dengan bibir terkatup rapat Kedua orang itu sen-
gaja memilih jalan yang biasa dilalui orang. Padahal
bisa saja mereka merambah hutan, memotong jalan
agar lebih cepat sampai. Tapi entah kenapa, baik Bayu
maupun Suci malah memilih jalan biasa, yang meng-
hubungkan desa yang satu dengan desa lainnya.
***
LIMA
Bayu duduk bersila di samping Suci. Di depan
mereka bersila seorang laki-laki bertubuh gemuk beru-
sia sekitar lima puluh tahun. Pakaiannya putih bersih,
dan terlihat perlente sekali. Rambutnya berkilat, terta-
ta rapi. Sebaris kumis tipis menghiasi bibirnya. Laki-
laki setengah baya inilah yang mengepalai Desa Mala-
napa. Dan biasanya, dipanggil dengan nama Gandul.
"Jadi, kau yang bernama Suci...,?" tanya Ki
Gandul seraya menatap Suci, seakan-akan ingin me-
mastikan kalau gadis di depannya ini memang berna-
ma Suci.
"Benar," sahut Suci.
"Dan kau, Anak Muda?" Ki Gandul beralih me-
natap Pendekar Pulau Neraka.
"Bayu," sahut Bayu memperkenalkan namanya.
"Kau juga dari Padepokan Sokalima?"
"Bukan, aku hanya seorang pengembara," jelas
Bayu.
Ki Gandul mengangguk-anggukkan kepalanya.
Kembali ditatapnya Suci yang selalu diam, dan baru
bicara kalau ditanya. Suasana di ruangan depan ru-
mah kepala desa ini pun menjadi sunyi. Pandangan Ki
Gandul kembali beralih pada gulungan daun lontar
dan kotak kayu kecil yang berada di tangannya. Ba-
rang-barang itu titipan dari Eyang Purata.
"Eyang Purata mengatakan kalau kau akan da-
tang bersama Intan. Bagaimana kau bisa berpisah
dengan kakak seperguruanmu, Suci?" Ki Gandul me-
minta penjelasan.
Tanpa diminta dua kali, Suci menceritakan se-
mua kejadian yang dialami. Dari peristiwa di kedai Ki
Karta sampai Intan lenyap disambar sebuah bayangan
yang tidak ketahui siapa orangnya. Sedangkan dirinya
sendiri sampai saat ini masih bisa bernapas. Itu pun
karena ditolong Pendekar Pulau Neraka, yang kini du-
duk di samping kanannya.
Ki Gandul mendengarkan penuh perhatian semua kisah yang dituturkan Suci. Sesekali dia bergu-
mam dengan kepala terangguk-angguk. Laki-laki se-
tengah baya itu masih terdiam, meskipun Suci sudah
menyelesaikan ceritanya.
"Tidak kuduga kalau hal ini sudah menyebar
begitu luas, sehingga orang-orang persilatan datang ke
Gunung Parang," ujar Ki Gandul setengah bergumam,
seakan-akan berbicara pada dirinya sendiri.
Sebentar laki-laki setengah baya itu menarik
napas panjang, dan dihembuskannya perlahan-lahan.
Pandangannya beralih dari Suci ke Pendekar Pulau Ne-
raka secara bergantian. Beberapa kali napas panjang
di hembuskan, dan terasa berat sekali. Sedangkan
baik Suci maupun Bayu hanya diam saja menunggu.
"Apa yang dikatakan Eyang Purata di dalam su-
ratnya, Ki?" tanya Suci ingin tahu.
Gadis itu jadi penasaran, dan ingin tahu isi su-
rat yang diberikan gurunya pada kepala desa ini. Ter-
lebih lagi setelah melihat sikap Ki Gandul yang seper-
tinya tengah menanggung beban berat, setelah mene-
rima surat dari Eyang Purata. Laki-laki setengah baya
itu kembali menarik napas dalam-dalam dan meng-
hembuskannya kuat-kuat Sepertinya dia begitu berat
mengatakan isi surat ini pada Suci.
"Apa gurumu tidak mengatakannya, Suci?" Ki
Gandul malah balik bertanya.
"Tidak," sahut Suci seraya menggelengkan ke-
palanya.
"Kau diperintahkan ke Puncak Gunung Parang,
Suci," jelas Ki Gandul, suaranya terdengar berat sekali.
"Ke Puncak Gunung Parang..? Untuk apa...?"
Suci bertanya seperti untuk dirinya sendiri.
"Aku tidak bisa mengatakannya. Hanya, Eyang
Purata meminta agar aku menyertaimu ke sana," sahut
Ki Gandul "Tapi sayang, kakak seperguruanmu telah
hilang."
"Apakah ada hubungannya dengan Kak Intan,
Ki?" tanya Suci menduga-duga.
Ki Gandul tidak langsung menjawab, namun
kembali menarik napas dalam-dalam dan menghem-
buskannya kuat-kuat. Pandangannya kembali tertuju
pada Bayu yang sejak tadi hanya diam saja, sementara
Suci sudah mulai banyak bertanya. Pendekar Pulau
Neraka merasa kalau ini bukan urusannya. Makanya,
dia memilih diam mendengarkan daripada ikut cam-
pur. Memang dirinya sendiri tidak mengerti, apa yang
dibicarakan kepala desa ini dengan Suci.
"Kau sudah menyelamatkan nyawa Suci. Jadi,
aku percaya kalau kau juga bisa melindunginya, Anak
Muda," kata Ki Gandul pelan.
"Hanya kebetulan saja, Ki," sahut Bayu meren-
dah.
"Aku tahu siapa itu Setan Kobra Betina. Ke-
pandaiannya sangat tinggi, dan sukar dicari tandin-
gannya. Kau bisa menyelamatkan dirimu dari seran-
gannya, sekaligus menyelamatkan Suci. Itu berarti ke-
pandaian mu tinggi, Anak Muda. Jadi rasanya aku ti-
dak ragu-ragu lagi member! kepercayaan padamu un-
tuk mendampingi Suci ke Puncak Gunung Parang,"
lembut dan cukup berwibawa nada suara Ki Gandul.
Bayu melirik gadis yang duduk di sampingnya.
Pada saat yang hampir bersamaan, gadis itu juga meli-
rik Pendekar Pulau Neraka. Sesaat dua pasang mata
beradu pada satu titik, kemudian sama-sama menga-
lihkan pandangannya pada Ki Gandul.
"Kapan kau akan berangkat, Sua?" tanya Ki
Gandul.
Suci tidak segera menjawab. Kembali di liriknya
sedikit pemuda berbaju kulit harimau yang duduk di
sampingnya.
"Secepatnya, Ki," sahut Suci.
"Memang sebaiknya begitu, Suci Lebih cepat,
lebih baik lagi. Maaf, aku tidak bisa mendampingimu
ke sana. Banyak yang harus kukerjakan di sini"
"Tidak mengapa, Ki" Suci mencoba tersenyum
memaklumi.
Kalau mau jujur, Suci memang lebih suka jika
kepergiannya ke Puncak Gunung Parang ditemani
Pendekar Pulau Neraka. Bukan hanya karena pemuda
ini tampan, tapi kepandaiannya yang tinggi sangat
menarik perhatiannya. Dan gadis itu sudah menyaksi-
kan. kehebatan Pendekar Pulau Neraka saat bertarung
dengan laki-laki tua berjuluk Iblis Tongkat Hitam.
***
Siang itu juga Suci berangkat ke Gunung Pa-
rang, ditemani Pendekar Pulau Neraka. Ki Gandul tak
lupa memberi mereka kuda, agar perjalanan lebih ce-
pat dan mudah. Namun sampai di lereng Gunung Pa-
rang, mereka terpaksa meninggalkan kuda-kuda itu.
Pepohonan di lereng gunung ini begitu lebat, dan su-
kar sekali dilalui dengan kuda.
"Sepertinya kita harus bermalam di sini, Ka-
kang," kata Suci sambil menyibakkan gerumbul semak
di depannya.
"Kurang cocok bermalam di sini, Suci," sahut
Bayu seraya memandang ke sekelilingnya.
"Apa ada tempat yang lebih baik lagi daripada
ini?" tanya Suci seraya menghentikan langkahnya.
"Mungkin agak ke atas lagi," sahut Bayu terus
saja melangkah.
Suci terpaksa mengayunkan kakinya kembali.
Padahal, keadaannya sudah begitu lelah, sete-
lah satu harian berjalan mendaki lereng gunung yang
lebat dan seperti tidak pernah terjamah manusia ini.
Keringat sudah mengucur deras, membasahi sekujur
tubuh dan wajahnya.
Namun gadis itu agak heran juga ketika melihat
Bayu seperti tidak kelihatan lelah sedikit pun. Bahkan
sama sekali tidak ada keringat menetes di tubuhnya.
Pemuda berbaju kulit harimau itu terus berjalan den-
gan ayunan langkah yang mantap. Pendekar Pulau Ne-
raka seperti tidak mendapatkan kesukaran melintasi
hutan yang begini lebat, dengan pepohonannya yang
rapat bagai kaki-kaki raksasa menghadang.
Pendekar Pulau Neraka baru berhenti setelah
sampai di tempat yang agak lapang. Pepohonan di sini
tidak begitu rapat, karena banyak batu besar maupun
kecil tersebar. Sebentar Bayu mengedarkan pandan-
gannya berkeliling dari atas sebongkah batu yang cu-
kup besar. Kemudian dengan gerakan ringan sekali,
dia melompat ke atas batu lainnya.
Setelah melewati lima buah batu yang cukup
besar, Pendekar Pulau Neraka baru berhenti. Bibirnya
menyunggingkan senyum saat melihat genangan air di
antara bebatuan. Genangan air itu bagai sebuah ko-
lam. Airnya begitu jernih. Suara gemericik dari air yang
mengalir di antara sela-sela bebatuan semakin mem-
buat orang ingin segera mandi saja rasanya. Saat Bayu
membasuh mukanya dengan air itu, Suci tiba di sam-
pingnya.
"Wah..., jernih sekali...," desah Suci kagum.
"Mau mandi?" tanya Bayu seraya berpaling.
"Asal kau jauh-jauh dari sini," sahut Suci.
"Kenapa? Malu...?" goda Bayu.
"Huuuh..., maumu," cibir Suci.
Bayu tertawa saja melihat gadis itu memberen-
gut. Tapi kakinya diayunkan juga, menjauhi kolam ba-
tu itu. Sedangkan Suci hanya memandanginya saja.
Gadis itu memang ingin menyegarkan tubuhnya yang
penat. Apalagi sejak pagi tadi belum tersentuh air se-
dikit pun.
"Heh...! Kenapa berhenti di situ...?" seru Suci
melihat Bayu berhenti tidak jauh dari kolam batu ini.
"Mandi saja, aku tidak mungkin mengganggu-
mu. sahut Bayu kalem.
Pendekar Pulau Neraka itu tidak peduli pada
gadis yang mendelik berang saat di liriknya. Bahkan
malah menghenyakkan tubuhnya di atas batu yang
agak datar dan rendah. Sedikit dilirik Suci kembali
yang masih saja berdiri di bibir kolam.
"Awas ular...!" teriak Bayu tiba-tiba.
"Maria...?!" sentak Suci terkejut.
Begitu terkejutnya, sampai-sampai dia terlom-
pat dan tidak sadar kalau tengah berdiri di tepi kolam.
Dan gadis itu terpekik begitu terjatuh ke tengah kolam.
Sedangkan Bayu hanya tertawa terbahak-bahak meli-
hat gadis itu basah kuyup di tengah kolam.
"Monyet! Tidak lucu...!" Suci memberengut kes-
al.
Tiba-tiba terlintas di benaknya untuk memba-
las.
"Akh! Toloong...!" mendadak saja Suci menjerit
kencang sambil menggapai-gapai.
"Tipuan mu tidak manjur, Suci...!" seru Bayu
kembali tertawa.
"Kunyuk!" Suci menggerutu.
"Kolam itu dangkal. Jadi tidak mungkin akan
tenggelam," kata Bayu lagi.
Suci hanya bisa menggerutu dalam hati. Perla-
han tubuhnya menepi, dan berlindung di balik sebuah
batu yang cukup besar dan menjorok ke dalam kolam
ini. Di sana bajunya dibuka. Tapi baru saja membuka
bagian atas, tangannya berhenti melepaskan baju.
"Hhh...! Kolam ini jernih sekali. Pasti dia bisa
melihat dengan jelas. Huh! Dasar buaya...!" dengus
Suci.
Kembali tubuhnya ditutup, dan bajunya tidak
jadi dibuka. Namun sebentar dia tertegun. Dan....
"Masa bodoh, ah! Kalau ingin macam-macam,
tidak peduli kepandaiannya tinggi."
Suci kembali melepaskan seluruh bajunya tan-
pa ragu-ragu lagi, kemudian meletakkannya di atas ba-
tu. Dengan gerakan lincah dan lembut sekali, gadis itu
berenang bagaikan seekor ikan yang gembira bisa ber-
temu air lagi. Sedangkan Bayu sama sekali tidak
mempedulikan, tapi malah duduk dengan sikap ber-
semadi. Suci yang iseng melirik, jadi tertegun.
"Sial...!" dengus gadis itu dalam hati. "Rupanya
dia termasuk Laki-laki yang tidak peduli terhadap pe-
rempuan. Tapi..., biarlah, itu lebih baik lagi. Jadi, aku
tidak perlu khawatir karena dia tak akan berbuat ma-
cam-macam."
Suci benar-benar menikmati sejuknya air da-
lam kolam batu ini. Namun sama sekali tidak disadari
kalau di dalam sikap bersemadinya, sebenarnya Bayu
tidak bersemadi. Kelopak matanya memang terlihat
terpejam, tapi perhatiannya tidak lepas pada gadis itu.
Bahkan dari tempatnya duduk, Bayu bisa melihat jelas
lekuk-lekuk tubuh Suci yang begitu indah berbalut ku-
lit putih mulus, tanpa cacat sedikit pun.
"Cantik dan menggairahkan sekali gadis ini...,"
gumam Bayu dalam hati.
***
Malam sudah menyelimuti seluruh permukaan
Gunung Parang. Malam itu, bulan bersinar penuh.
Langit tampak bening tanpa awan sedikit pun meng-
gantung di sana. Keindahan malam ini semakin sema-
rak oleh cahaya bintang bergemerlapan yang menghia-
si angkasa luas tak bertepi ini! Malam semakin terasa
indah dengan adanya kemerlip cahaya api dari ranting-
ranting kering di antara bebatuan yang tersusun me-
lingkar bagai sebuah cincin.
Di dalam siraman api itu, duduk bersila Pende-
kar Pulau Neraka. Sedangkan Suci berada agak Jauh
di depannya. Hanya seonggok api unggun yang mem-
batasi mereka berdua. Sejak melihat Suci mandi sore
tadi, Bayu tidak pernah melewatkan kesempatan un-
tuk memandangnya di kala lengah. Dan sama sekali
Suci tidak menyadari pada sikap Bayu yang selalu
mencuri-curi pandang.
"Matamu, Kakang...!" sentak Suci tiba-tiba.
Ditegur demikian, Bayu hanya tersenyum saja.
Gadis itu akhirnya tahu juga kalau pemuda di depan-
nya selalu mencuri-curi pandang. Dan dia merasa jen-
gah juga. Dan Suci merasa jengah dipandangi terus
menerus. Maka wajahnya segera dipalingkan untuk
menyembunyikan semburat merah yang merona di wa-
jahnya.
"Kau cantik, Suci," ujar Bayu lembut.
"Huh! Mulai...," dengus Suci dalam hati.
Tapi memang tidak bisa dipungkiri kalau pujian
itu sempat merobek hatinya, dan membuatnya sema-
kin tidak sanggup memandang pemuda itu. Suci sen-
diri tidak mengerti, kenapa darahnya berdesir begitu
cepat. Rasanya ingin sekali mendengar pujian itu seka
li lagi. Bahkan seratus kali pun dia akan senang men-
dengarnya. Namun Bayu tidak mengucapkan lagi.
"Berapa usia mu, Suci?" tanya Bayu, lebih lem-
but lagi suaranya.
"Sem..., eh! Sembilan belas," sahut Suci jadi
tergagap.
Gadis Itu memaki dirinya sendiri di dalam hati.
Suci tidak mengerti, kenapa hatinya jadi tidak menen-
tu begini. Beberapa kali pemuda itu dilirik. Dan setiap
kali lirikannya bertemu pandangan Bayu, langsung da-
rahnya berdesir kencang. Bahkan jantungnya berdetak
tidak beraturan.
Suci semakin tidak menentu saat melihat Bayu
bangkit berdiri dan melangkah menghampiri. Dan ti-
dak bisa dicegah lagi keringat yang mendadak saja
mengalir deras, begitu Bayu duduk di sampingnya. Be-
gitu dekat, sehingga hampir tidak ada jarak.
"Suci...."
"Oh...!"
Suci tersentak ketika Bayu menyentuh lembut
punggung tangannya. Seluruh tubuhnya menggeletar
saat jari-jari tangannya digenggam dan diremas den-
gan hangat sekali. Sungguh gadis itu tidak sanggup la-
gi menarik tangannya. Bahkan untuk menolak pun ti-
dak kuasa.
Keringat semakin deras bercucuran di sekujur
tubuhnya. Nafasnya serasa terhenti saat Bayu me-
rengkuh nya ke dalam pelukan. Lembut sekali Pende-
kar Pulau Neraka mengangkat wajah Suci, sehingga
gadis itu terpaksa memandang seraut wajah tampan
yang begitu dekat. Desah napas Bayu yang hangat
menerpa lembut wajah Suci. Mau tak mau gadis sema-
kin terperangkap ke dalam gelombang samudra yang
belum pernah dirasakan seumur hidupnya.
Suci tak sanggup lagi membuka matanya, keti-
ka Bayu mendekatkan wajahnya. Dan mendadak saja
tubuhnya menggigil begitu satu kecupan terasa lembut
menyentuh bibirnya. Saat itu juga, Suci merasakan
seakan-akan tubuhnya ringan, bagai melayang di ang-
kasa.
"Suci..., kau sakit..?" tanya Bayu lembut.
"Oh, tid..., tidak...," sahut Suci gugup.
Buru-buru wajahnya yang memerah disembu-
nyikan. Kecupan Bayu yang begitu lembut, masih tera-
sa membekas di bibirnya, Untuk pertama kali ini gadis
itu merasakan kecupan seorang laki-laki di bibirnya.
Dia sendiri tidak tahu, kenapa begitu pasrah pada pe-
muda tampan berbaju kulit harimau ini.
"Kau belum pernah, Suci...?" tanya Bayu mene-
bak.
Suci tidak bisa menjawab. Ada perasaan malu,
takut, dan keinginan yang besar mendesak dirinya.
Tapi semua itu hanya ada dalam hati. Perasaannya itu
tidak bisa dikeluarkan melalui kata-kata. Lidahnya te-
rasa kelu, sukar sekali diajak bicara.
Melihat Suci yang begitu kaku dan tubuhnya
gemetar, Bayu merasa tidak tega juga. Perlahan pelu-
kannya dilepaskan, dan duduknya digeser. Sedangkan
Suci hanya diam saja. Ingin sekali rasanya sepanjang
malam ini berada dalam pelukan Pendekar Pulau Ne-
raka. Tapi Suci tidak bisa meminta. Dia hanya bisa di-
am dengan hati terus berkecamuk.
***
Sejak malam itu, Suci jadi jauh berubah. Si-
kapnya selalu kelihatan kaku, dan tidak pernah lagi
mau memandang Bayu. Masih terbayang dan terasa je
las kecupan Pendekar Pulau Neraka di bibirnya. Wa-
laupun hanya sekali dan tipis, namun sangat membe-
kas di hati gadis ini. Kecupan pertama yang dirasakan
dari seorang pemuda.
Sampai mereka tiba di Puncak Gunung Parang,
Suci masih saja diam. Dia baru bicara kalau Bayu
tanya. Itu pun hanya sesekali saja, dan jawabannya
pendek-pendek. Dan gadis itu tak pernah memandang
pemuda itu. Sikap Suci yang jauh berubah ini sangat
terasa sekali bagi Bayu, namun didiamkan saja. Bayu
tahu kalau Suci belum pernah dicium, dan semalam
merupakan pengalaman pertamanya. Jadi, bisa dimak-
lumi kalau gadis ini bersikap lain.
"Tidak ada seorang pun di sini," gumam Bayu
seperti berbicara pada dirinya sendiri.
"Hhh...," Suci hanya menghembuskan nafasnya
saja.
Di Puncak Gunung Parang ini memang tidak
ada seorang pun yang terlihat selain mereka berdua.
Keadaannya begitu sunyi. Bahkan suara binatang pun
tidak terdengar sama sekali. Hanya hembusan angin
saja yang terdengar mengusik telinga. Mereka menge-
darkan pandangannya ke sekeliling. Tanpa disadari
Suci menatap Pendekar Pulau Neraka yang berdiri
sampingnya. Pada saat yang bersamaan, Bayu juga
menatap padanya.
Buru-buru Suci memalingkan wajah, meman-
dang ke arah lain. Entah kenapa, mendadak saja wa-
jahnya menyemburat merah jambu. Saat itu juga jan-
tungnya terasa berdetak keras, dan keringat mulai me-
rembes di lehernya yang putih jenjang.
"Kau sakit, Suci?" tanya Bayu berpura-pura.
Padahal Pendekar Pulau Neraka tahu, apa yang
dirasakan gadis itu saat ini. Yang jelas, hanya Suci
sendiri yang bisa merasakannya. Pertanyaan Bayu te-
rasa sukar dijawab. Dan gadis itu hanya menggeleng-
kan kepala saja.
Bayu mengambil tangan gadis itu dan meng-
genggamnya. Agak terkejut juga pemuda itu ketika me-
rasakan tangan Suci begitu dingin, bagai mayat. Kerin-
gat semakin deras mengucur. Sedangkan gadis itu ti-
dak tahu lagi, apa yang harus dilakukannya. Untuk
melepaskan genggaman tangan Bayu saja, terasa sulit.
"Aku tidak tahu, apa yang harus kita lakukan
di sini," desah Bayu mencoba mengusir kekakuan yang
terjadi di antara mereka berdua. Juga segera dile-
paskannya genggaman tangan pada gadis itu.
"Yaaah..,, aku juga tidak tahu," sahut Suci
mendesah. Pelan sekali suaranya, hampir tidak ter-
dengar.
"Sayang, Ki Gandul tidak mengatakan dengan
jelas," kata Bayu lagi.
"Eyang Purata memang tidak mengatakan apa-
apa dalam suratnya, Kakang. Aku juga tidak tahu
maksudnya menyuruhku datang ke sini," sambut Suci,
masih pelan suaranya.
Bayu terdiam merenung. Dirasakan ada suatu
maksud tertentu dari Eyang Purata. Rasanya memang
tidak mungkin seorang guru menyuruh muridnya tan-
pa ada maksud tertentu. Tapi apa...? Belum lagi Bayu
bisa menjawab semua pertanyaan yang berkecamuk di
dalam hati, mendadak saja....
Slap!
"Suci, awas...!
Hup!"
Sambil berseru keras, Bayu melompat seraya
menyambar pinggang gadis di sampingnya. Cepat se-
kali gerakan Pendekar Pulau Neraka, hingga Suci tidak
sempat menyadari. Tahu-tahu tubuhnya sudah bergu-
lingan di dalam pelukan Bayu, di atas tanah berumput
agak basah.
Dan sebelum Suci bisa menyadari apa yang ba-
ru saja terjadi, Pendekar Pulau Neraka sudah mele-
paskan pelukannya. Bagai kilat, pemuda berbaju kulit
harimau itu melesat ke atas, lalu berputaran beberapa
kali udara. Pada saat yang bersamaan, Suci melihat
berapa batang anak panah meluncur deras ke arah
Pendekar Pulau Neraka. Namun dengan gerakan manis
dan cepat sekali, semua panah yang meluncur itu ron-
tok di tengah jalan.
"Hup!"
Tanpa menimbulkan suara sedikit pun, Bayu
menjejakkan kakinya di tanah. Ada sekitar tujuh ba-
tang anak panah tergenggam di tangannya. Dan begitu
kakinya menjejak tanah, secepat itu pula panah-panah
yang berhasil ditangkapnya dilontarkan.
"Hiyaaa...!"
Wut...!
Panah-panah itu meluncur deras ke arah ka-
nan. Dan sesaat kemudian, terdengar teriakan-
teriakan keras melengking tinggi, itu pun masih dis-
usul bermunculannya tubuh-tubuh tertancap anak
panah. Saat itu Suci sudah berdiri, dan sempat terke-
jut melihat lima orang sudah tergeletak tak bernyawa
lagi dengan tubuh tertembus anak panah. Mereka se-
mua membawa kantung panah dari kulit dan sebatang
busur yang cukup besar ukurannya.
"Hm.... Rupanya kedatangan kita sudah di-
tunggu, Suci," gumam Bayu pelan.
Lagi-lagi Suci hanya menghembuskan napas
saja.
"Hik hik hik..!" tiba-tiba saja terdengar tawa
mengirik.
Belum lagi suara itu lenyap dari pendengaran,
mendadak saja dari arah kanan berkelebat cepat se-
buah bayangan biru ke arah Suci. Begitu cepatnya
berkelebat, sehingga Suci hanya bisa terpaku bengong.
Namun sebelum bayangan itu bisa menyambar tubuh
Suci, bagaikan kilat Pendekar Pulau Neraka mengi-
baskan tangan kanannya.
"Yeaaah,..!"
Wus!
***
ENAM
Secercah cahaya keperakan meluncur deras
bagai kilat dari pergelangan tangan Pendekar Pulau
Neraka. Namun bayangan biru itu lebih cepat lagi ber-
gerak, melenting ke atas. Cahaya keperakan itu lewat
di bawah bayangan biru yang berputaran cepat di uda-
ra.
"Hap!"
Bayu menghentakkan tangan kanannya ke atas
kepala. Seketika itu juga Cakra Maut yang dilontar-
kannya, berputar balik dengan kecepatan tinggi.
Tap!
Cakra Maut bersegi enam berwarna keperakan
itu kembali menempel di pergelangan tangan Pendekar
Pulau Neraka. Pada saat yang sama bayangan biru itu
sudah mendarat sekitar tiga tombak di depan Suci.
Bayu melompat ke samping gadis itu.
"Setan Kobra Betina...," desis Bayu mengenali
perempuan tua yang mengenakan jubah warna biru di
depannya.
Bayangan biru yang menyerang Suci tadi, me-
mang seorang perempuan tua berjubah biru yang di-
kenal berjuluk Setan Kobra Betina. Dia berdiri tegak
dengan tongkat ular kobra tergenggam erat di tangan
kanan. Tatapan matanya begitu tajam menusuk lang-
sung ke bola mata Pendekar Pulau Neraka. Sama seka-
li seorang gadis di samping pemuda berbaju dari kulit
harimau itu tidak dianggapnya.
"Seharusnya aku sudah tahu kalau kau yang
menolong bocah ingusan itu...," desis Setan Kobra Be-
tina, dingin nada suaranya.
"Aku tidak ada urusan denganmu, Perempuan
Tua!" bentak Suci gusar dipanggil bocah ingusan.
"Sungguh memalukan! Secantik apa pun, tetap
saja kau seorang pencuri busuk!" tetap dingin nada
suara si Setan Kobra Betina.
"Kurang ajar...!" desis Suci geram.
Hampir saja pedangnya dicabut kalau saja
Bayu tidak cepat mencekal pergelangan tangan gadis
itu. Terpaksa Suci harus menahan kesabarannya. Tu-
duhan secara langsung dan terbuka itu, membuatnya
merasa terhina. Tarikan nafasnya langsung tersengal,
dan seluruh wajahnya memerah menahan geram.
"Bertahun-tahun kau tenggelam, bersembunyi
di balik punggung si Sumpit Sakti. Orang lain memang
bisa kau kelabuhi. Tapi jangan harap bisa mengelabui
ku, Cakar Harimau," nada suara si Setan Kobra Betina
tetap terdengar mendesis dan dingin sekali.
"Cakar Harimau...? Siapa itu? Aku tidak men-
gerti maksudmu?" kata Suci bingung.
"Hik hik hik.., jangan berpura-pura bodoh, Ca-
kar Harimau. Tujuh belas tahun kau menghilang, tapi
wajahmu tetap saja seperti dulu. Ah..., sudahlah. Lebih
baik serahkan saja benda itu padaku, dan urusan ini
tidak akan ku perpanjang."
"Kau bicara semakin ngawur saja, Perempuan
Tua!" desis Suci semakin tidak mengerti perkataan Se-
tan Kobra Betina.
"Tidak perlu lagi berpura-pura, Cakar Harimau.
Kau datang ke sini, untuk apa lagi kalau bukan men-
gambil benda itu, heh...?"
"Aku...," suara Suci terhenti.
Suci benar-benar tidak mengerti semua yang
dikatakan Setan Kobra Betina ini. Sedangkan Bayu
hanya diam saja mendengarkan. Sebentar dipandang-
nya Suci, dan sebentar kemudian beralih pada perem-
puan tua berjubah biru di depannya. Pendekar Pulau
Neraka juga tidak tahu, apa yang sedang diributkan
kedua wanita ini.
"Sudah cukup lama aku bersabar, Cakar Hari-
mau. Dan aku tidak bisa lagi bersabar," tegas Setan
Kobra Betina. Nada suaranya jelas terdengar mengan-
dung ancaman.
"Aku tidak kenal dengan mu. Dan aku tidak ta-
hu, apa yang kau, bicarakan, Perempuan Tua. Jadi
apa maumu sekarang...?" Suci juga sudah tidak bisa
menahan kesabarannya.
"Kau benar-benar bocah keras kepala!" Setan
Kobra Betina gusar. "Jangan katakan aku kejam, ka-
lau kau mampus di tanganku, Bocah!"
"Bukan kau yang menentukan mati dan hidup
Setan Kobra Betina!" desis Suci dingin.
"Phuih! Lepas kepalamu..! Hiyaaat...!"
Mendadak saja si Setan Kobra Betina melompat
cepat bagai kilat menerjang Suci sambil mengibaskan
tongkatnya. Kibasan itu demikian kuat, dan sudah
pasti mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi. Ini
di buktikan oleh suara angin yang menderu bagai ter-
jadi badai topan.
Sesaat Suci terperangah melihat serangan pe-
rempuan tua berjubah biru itu ternyata demikian ce-
pat dan dahsyat sekali. Buru-buru gadis itu melompat
ke samping menghindari terjangan si Setan Kobra Be-
tina. Namun dia jadi terkejut, karena tongkat perem-
puan tua itu mendadak saja bisa berputar cepat, begi-
tu tebasannya dapat dielakkan.
Bet!
"Ikh...!"
Trang!
"Heh...?!"
***
Untuk kedua kalinya Setan Kobra Betina terke-
jut, begitu tongkatnya hampir saja menyambar kepala
Suci. Betapa tidak...? Ternyata tongkatnya mendadak
saja berbalik dan terasa seperti menghantam sebong-
kah batu karang yang keras. Cepat dia melompat
mundur ke belakang, lalu berputaran dua kali sebelum
kakinya menjejak tanah. Lagi-lagi perempuan tua itu
mendesis geram melihat Bayu sudah berada di samp-
ing Suci.
"Keparat..!" geram Setan Kobra Betina.
"Dia bukan lawanmu, Setan Kobra Betina," kata
Bayu dingin.
"Phuih! Kau benar-benar tidak bisa diberi ke-
longgaran, Pendekar Pulau Neraka!"
Setelah berkata demikian, Setan Kobra Betina
menghentakkan tongkatnya ke depan. Dan seketika itu
juga, dari ujung tongkat yang berbentuk kepala ular
kobra itu meluncur seberkas sinar merah. Sinar merah
itu meluruk deras ke arah Pendekar Pulau Neraka.
"Hup! Yeaaah...!"
Bagai seekor burung camar menyambar ikan di
laut, Bayu melesat cepat ke angkasa, lalu secepat itu
pula meluruk deras ke arah kepala si Setan Kobra Be-
tina. Sinar merah itu lewat di bawah tubuhnya.
"Monyet! Hup...!"
Gerakan Pendekar Pulau Neraka memang
sungguh mengejutkan. Hal ini membuat si Setan Ko-
bra Betina terpaksa melentingkan tubuh ke belakang,
lalu berputaran tiga kali di udara. Dan begitu kakinya
mendarat di tanah, dengan cepat tongkatnya dike-
butkan ke arah dada Pendekar Pulau Neraka.
Bet!
Bayu yang masih berada di udara, seketika
menghentakkan tangan kanan untuk menangkis teba-
san tongkat ular kobra hitam itu. Tak pelak lagi, ben-
turan keras terjadi hingga menimbulkan ledakan dah-
syat menggelegar.
Kedua orang itu sama-sama melompat ke bela-
kang beberapa tindak. Dan begitu menjejakkan ka-
kinya di tanah, seketika itu juga mereka sama-sama
melompat saling menyerang. Begitu cepatnya gerakan
mereka, sampai-sampai Suci yang menyaksikan perta-
rungan itu tidak bisa mengikuti. Padahal matanya te-
lah dipentang lebar-lebar.
Glarrr!
Terdengar ledakan keras menggelegar begitu te-
lapak tangan Bayu dan tongkat si Setan Kobra Betina
berbenturan keras di udara. Tampak mereka berpenta-
lan ke belakang, dan sama-sama mendarat di tanah.
"Ugkh...!" Setan Kobra Betina mengeluh pendek
sambil terhuyung-huyung.
Sedangkan Bayu masih tetap berdiri tegak dengan tenang. Pendekar Pulau Neraka seperti memberi
kesempatan pada perempuan tua itu untuk mengenda-
likan keseimbangan tubuhnya kembali.
"Keparat..!" geram Setan Kobra Betina.
Sebentar tongkatnya digerak-gerakkan di depan
dada. Tatapan matanya begitu tajam menusuk lang-
sung ke bola mata Pendekar Pulau Neraka di depan-
nya. Beberapa kali perempuan tua itu beradu kekua-
tan tenaga dalam dengan pemuda berbaju kulit hari-
mau itu. Dan beberapa kali pula tenaga dalamnya te-
rasa masih kalah satu tingkat dibanding pemuda itu.
"Kau memang tangguh, Pendekar Pulau Neraka.
Tapi coba tahan jurus 'Naga Melibat Gunung'...," desis
Setan Kobra Betina dingin.
Setelah berkata demikian Setan, Kobra Betina
menghentakkan tongkatnya ke tanah. Ujung tongkat
itu terbenam sedalam satu jengkal ke dalam tanah. La-
lu, tongkatnya dilepaskan dari genggaman. Sebentar
dia diam, memusatkan perhatiannya untuk mengerah-
kan jurus andalan.
Bet!
Bet!
Cepat sekali tangannya digerak-gerakkan di de-
pan dada. Kemudian kedua tangannya diangkat tinggi-
tinggi di atas kepala, lalu perlahan ditarik sampai seja-
jar dengan dada. Sementara itu Bayu masih tetap ber-
diri tenang. Diperhatikannya setiap gerakan yang dila-
kukan perempuan tua berjubah biru itu dengan cer-
mat tanpa berkedip.
"Hep!"
Bayu cepat mendorong tangan ke depan. Jari-
jari tangannya terkembang lebar, tepat ketika si Setan
Kobra Betina menyambar tongkatnya sendiri. Perem-
puan tua itu langsung melompat cepat menyerang
Pendekar Pulau Neraka.
"Hiyaaat.!"
"Hup! Yeaaah."
Glarrr!
Ledakan keras menggelegar terjadi ketika tela-
pak tangan Pendekar Pulau Neraka kembali berbentu-
ran dengan tongkat si Setan Kobra Betina. Ledakan ke-
ras itu disertai percikan bunga api ke segala penjuru
mata angin. Tampak mereka berpentalan di udara, dan
berputaran beberapa kali sebelum jatuh menghantam
bumi.
"Ugkh! Hoeghk..!"
Setan Kobra Betina memuntahkan darah segar
begitu tubuhnya keras sekali menghantam tanah. Se-
dangkan Pendekar Pulau Neraka hanya terhuyung se-
bentar, lalu cepat menguasai keseimbangan tubuhnya
kembali.
"Kau.... Dari mana kau peroleh jurus 'Kelelawar
Maut...?" agak terbata suara Setan Kobra Betina.
"Guruku," sahut Bayu kalem.
Pendekar Pulau Neraka tadi memang menggu-
nakan jurus andalan 'Kelelawar Maut, yang jarang se-
kali digunakan. Bayu sebenarnya terkejut juga men-
dengar pertanyaan perempuan tua itu. Penggunaan ju-
rus itu bisa dihitung dengan jari, sejak meninggalkan
Pulau Neraka. Tapi anehnya, perempuan tua ini sudah
mengenalinya.
"Siapa gurumu?" tanya Setan Kobra Betina se-
raya bangkit berdiri.
"Untuk apa kau tahu guruku?" Bayu balik ber-
tanya.
Perempuan tua berjubah biru itu menatap
Bayu dalam-dalam. Tatapan matanya tertumbuk pada
pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka. Dia seper
ti tidak percaya melihat senjata Cakra Maut menempel
di pergelangan tangan pemuda berbaju kulit harimau
itu. Kemudian kembali dipandanginya Pendekar Pulau
Neraka. Sungguh tidak diperhatikannya pergelangan
tangan Bayu. Dan benar-benar tidak disadarinya kalau
beberapa kali tadi sempat berhadapan dengan senjata
maut itu.
"Ada hubungan apa kau dengan si Cakra
Maut?" tanya Setan Kobra Betina.
"Dia guruku," sahut Bayu tidak bisa lagi me-
nyembunyikan kerahasiaan gurunya.
"Kau jangan coba-coba membohongi ku, Anak
Muda. Cakra Maut sudah mati dua puluh lima tahun
yang lalu. Dan lagi, tidak mungkin dia memiliki mu-
rid!" Setan Kobra Betina tidak percaya.
"Dari mana kau tahu tentang guruku?" Bayu
malah balik bertanya.
Ada nada kecurigaan di dalam suara Pendekar
Pulau Neraka. Kini tatapan matanya begitu tajam me-
nusuk. Seakan-akan tengah menyelidiki, siapa sebe-
narnya perempuan tua berjubah biru ini. Dicobanya
untuk mengingat-ingat musuh-musuh gurunya yang
masih hidup. Sedangkan Setan Kobra Betina masih be-
lum percaya kalau Pendekar Pulau Neraka adalah mu-
rid tunggal si Cakra Maut, yang diketahui semua orang
rimba persilatan sudah tewas dua puluh lima tahun
yang lalu.
"Hm.... Kau pasti si Setan Kobra dari Gua Ular,"
Bayu agak mendesis suaranya.
"Benar. Aku memang Setan Kobra dari Gua
Ular," si Setan Kobra Betina mengakui.
"Kalau begitu kau harus mati!" semakin dingin
nada suara Bayu.
"Tapi aku tidak akan membunuhmu begitu saja, Setan Kobra. Harus kau rasakan dulu, bagaimana
tersiksanya hidup tanpa mata dan kedua kaki, seperti
yang dialami si Cakra Maut!"
"Heh...! Siapa kau sebenarnya, Anak Muda...?!"
Setan Kobra Betina terkejut bukan main.
"Aku murid tunggal si Cakra Maut. Dan aku
akan menuntut balas dari perbuatan manusia-
manusia bejat sepertimu!" dingin sekali jawaban Bayu.
Dan sebelum si Setan Kobra Betina bisa mem-
buka mulutnya, Bayu sudah melompat menerjang
dengan kecepatan tinggi. Begitu cepatnya, sehingga
membuat perempuan tua itu sejenak terperangah.
Namun cepat-cepat tubuhnya bergerak, berkelit meng-
hindari serangan yang dilancarkan Pendekar Pulau Ne-
raka.
***
Pertarungan itu terus berjalan sengit masing-
masing mengeluarkan jurus-jurus dahsyat, sehingga
tempat pertarungan jadi porak poranda. Pohon-pohon
bertumbangan saling tumpang tindih. Batu-batu pecah
berhamburan, terkena pukulan-pukulan yang tidak
mengenai sasaran, Sementara Suci hanya bisa me-
nyaksikan saja dengan perasaan takjub.
Sama sekali gadis itu tidak bisa melakukan se-
suatu. Disadari kalau pertarungan itu sangat dahsyat
dan berbahaya. Juga disadari kalau kemampuan yang
dimilikinya tidak akan mungkin bisa menghentikan
pertarungan itu. Jadi, yang bisa dilakukan hanyalah
diam dan menyaksikan saja.
"Yeaaah...!" tiba-tiba saja Bayu berteriak nyar-
ing.
Dan mendadak, tangan kanannya mengibas ke
depan dengan cepat sekali. Begitu Cakra Maut yang se-
lalu menempel di pergelangan tangan kanannya mele-
sat ke arah si Setan Kobra Betina, secepat itu pula
Pendekar Pulau Neraka melompat menerjang sambil
melontarkan satu pukulan keras bertenaga dalam
sempurna.
"Uts!"
Setan Kobra Betina buru-buru mengebutkan
tongkatnya, menyampok senjata maut Pendekar Pulau
Neraka.
Tring!
Dentingan keras terdengar, begitu dua senjata
beradu keras di udara. Bunga api seketika memercik,
menyebar ke segala penjuru. Dan sebelum si Setan
Kobra Betina bisa menarik kembali tongkatnya, men-
dadak saja pukulan yang dilepaskan Pendekar Pulau
Neraka datang. Tentu saja hal itu mengejutkan perem-
puan tua itu. Begitu cepatnya serangan itu datang, se-
hingga si Setan Kobra Betina tidak sempat lagi berkelit
menghindar.
Bugkh!
"Akh...!" Setan Kobra Betina memekik melengk-
ing tinggi.
Pukulan Pendekar Pulau Neraka yang mengan-
dung pengerahan tenaga dalam sempurna itu tak da-
pat lagi dihindari. Akibatnya, pukulan Bayu telak
menghantam dada perempuan tua itu.
Bruk!
Keras sekali tubuh tua berjubah biru itu jatuh
terjengkang di tanah. Dan sebelum si Setan Kobra Be-
tina sempat melakukan sesuatu, Bayu sudah kembali
melancarkan serangan dahsyat luar biasa.
"Hiyaaat...!"
Bres!
"Aaa...!"
Satu jeritan panjang melengking tinggi, mengi-
ringi kematian si Setan Kobra Betina. Sungguh dah-
syat sekali sodokan tangan kanan Pendekar Pulau Ne-
raka yang mendarat telak di dada perempuan tua itu.
Tangan kanan pemuda berbaju kulit harimau itu mele-
sak masuk ke dalam dada. Dan begitu ditarik keluar,
darah langsung memuncrat deras sekali.
Bayu melompat mundur dua tindak. Tangan
kanannya yang berlumur darah diangkat ke atas kepa-
la. Maka Cakra Maut yang masih melayang kembali
menempel di pergelangan tangan Pendekar Pulau Ne-
raka. Tatapan matanya tidak berkedip dan sangat ta-
jam menusuk langsung pada tubuh perempuan tua
yang tergeletak tak bernyawa lagi.
"Aku terpaksa membunuhmu, Setan Kobra Be-
tina," desah Bayu pelan.
Pendekar Pulau Neraka itu memutar tubuhnya
ketika mendengar langkah kaki yang cepat mengham-
piri.
Dia sedikit tersenyum melihat Suci setengah
berlari menghampirinya.
"Kau tidak apa-apa, Kakang...?" tanya Suci be-
gitu dekat di depan Bayu.
"Tidak," sahut Bayu seraya memberikan se-
nyum.
Suci memandangi tubuh Setan Kobra Betina
yang tergeletak tak bernyawa lagi. Darah masih men-
galir dari dada yang berlubang sebesar kepalan tangan.
Kemudian kembali ditatapnya pemuda tampan berbaju
kulit harimau di depannya.
Untuk beberapa saat lamanya mereka saling
berpandangan saja tanpa berkata apa-apa. Perlahan
Bayu menghembuskan napas panjang, kemudian berbalik dan mengayunkan kakinya perlahan-lahan. Suci
memandangi pemuda berbaju kulit harimau itu, lalu
ikut melangkah. Ayunan kakinya disejajarkan di samp-
ing Pendekar Pulau Neraka. Belum juga ada yang bica-
ra. Sementara matahari sudah begitu condong ke Ba-
rat Dan itu berarti hampir satu harian Bayu bertarung
dengan si Setan Kobra Betina.
***
Sudah tiga hari Bayu dan Suci berada di Pun-
cak Gunung Parang. Namun selama itu, mereka tidak
mengetahui apa yang harus diperbuat di tempat sunyi
dan selalu berkabut ini. Dan selama tiga hari pula, me-
reka terpaksa harus berhadapan dengan beberapa to-
koh rimba persilatan.
Yang membuat Bayu tidak habis mengerti, me-
reka semua selalu memanggil Suci dengan julukan si
Cakar Harimau. Bahkan mereka selalu menuduh gadis
ini mencuri sebuah benda. Beberapa kali Bayu mende-
sak,
namun Suci tetap tidak merasa kalau dirinya
adalah si Cakar Harimau. Gadis itu juga tidak tahu,
benda yang dimaksudkan mereka.
"Suci. Aku yakin kejadian ini ada sangkut
pautnya dengan masa lalu mu," tebak Bayu ketika ma-
lam itu mereka tengah duduk berdua menghadapi
seonggok api unggun.
"Maksudmu?" tanya Suci tidak mengerti. "Seha-
rusnya kau sudah tahu, Suci. Mereka semua menuduh
mu sebagai si Cakar Harimau," sahut Bayu.
"Tapi aku bukan si Cakar Harimau. Lagi pula
aku tidak tahu, benda apa yang diinginkan itu," Suci
tetap pada pendiriannya.
"Barangkali orang tuamu, Suci. Atau mungkin
juga sanak keluargamu."
"Aku tidak tahu. Sejak kecil aku berada di pa-
depokan, bersama Eyang Purata. Jadi aku tidak tahu,
siapa orang tuaku," sahut Suci.
"Kau tidak pernah bertanya tentang orang tua-
mu pada Eyang Purata, Suci?" tanya Bayu.
Suci hanya menggelengkan kepalanya saja. Ter-
lihat dalam keremangan cahaya api unggun, ada ke-
senduan dalam sorot matanya. Gadis itu memang ti-
dak pernah mengetahui, siapa dan di mana orang tua-
nya. Bahkan selama ini tidak pernah peduli, dan selalu
menganggap Eyang Purata adalah orang tua satu-
satunya. Dan kini baru disadari kalau asal-usul lelu-
hur memang sangat perlu untuk diketahui.
"Apakah aku harus menanyakan hal ini pada
Eyang Purata, Kakang?" tanya Suci, seperti untuk di-
rinya sendiri.
Bayu hanya tersenyum saja. Dan sebelum Pen-
dekar Pulau Neraka menjawab pertanyaan gadis ini,
mendadak saja mereka dikejutkan sebuah suara berat,
dan berwibawa sekali.
"Tidak perlu bertanya, Suci...."
Bayu dan Suci sama-sama menoleh ke arah da-
tangnya suara itu. Mereka benar-benar terkejut. Kare-
na tanpa diketahui sama sekali, tahu-tahu di tempat
ini sudah ada seorang laki-laki tua berjubah putih.
Terlebih lagi Pendekar Pulau Neraka. Dia yang tingkat
kepandaiannya sudah hampir mencapai tahap kesem-
purnaan, sama sekali tidak mengetahui kedatangan
orang tua ini.
"Eyang...," desis Suci.
Gadis itu buru-buru bangkit berdiri dan meng-
hampiri laki-laki tua berjubah putih itu, kemudian ber
lutut di depannya. Kepalanya tertunduk dalam, den-
gan sikap begitu hormat. Sedangkan Bayu yang sudah
berdiri, hanya memandangi saja. Tanpa dijelaskan
pun, Pendekar Pulau Neraka tahu kalau laki-laki tua
ini adalah Eyang Purata. Dan sudah bisa ditebak kalau
kepandaian laki-laki tua ini tidak bisa dibuat main-
main. Itu sudah terbukti dengan kemunculannya yang
tidak diketahui sama sekali.
"Bangkitlah, Anakku," ujar Eyang Purata. Begi-
tu dalam dan berwibawa sekali suaranya.
Suci memberi sembah dengan merapatkan ke-
dua tangannya di depan hidung, kemudian perlahan-
lahan bangkit berdiri. Gadis itu melangkah ke bela-
kang dua tindak. Dia masih menundukkan kepalanya,
seakan-akan tidak sanggup membalas tatapan mata
laki-laki tua ini.
"Siapa kau, Anak Muda?" tanya Eyang Purata
seraya menatap Pendekar Pulau Neraka.
"Bayu," sahut Bayu memperkenalkan diri.
"Beberapa kali Kakang Bayu menyelamatkan
diriku, Eyang," selak Suci memberi tahu, tanpa me-
nunggu ditanya lagi.
Eyang Purata seperti tidak mendengarkan kata-
kata Suci, dan tetap saja menatap Bayu. Sinar ma-
tanya seakan-akan sedang menyelidiki pemuda berba-
ju kulit harimau ini. Sedangkan Bayu hanya sambil la-
lu membalas tatapan itu. Tapi dia sendiri sebenarnya
seperti tengah terpesona oleh penampilan laki-laki tua
berjubah putih ini.
Sinar mata Eyang Purata memang terlihat ta-
jam. Namun di dalamnya tersimpan satu kelembutan
dan keteduhan jiwa. Bayu merasakan sepertinya ten-
gah berhadapan dengan sosok dewa yang turun ke
maya pada. Dari sorot mata dan sikapnya saja, Bayu
sudah bisa menilai kalau orang tua berjubah putih itu
memiliki kepandaian yang sukar diukur.
"Apakah kau yang berjuluk Pendekar Pulau Ne-
raka, Anak Muda?" tanya Eyang Purata menebak.
"Benar," sahut Bayu agak terkejut mendengar
pertanyaan itu.
Eyang Purata mengangguk-anggukkan kepa-
lanya. Tatapan matanya masih tetap tajam, mengarah
langsung ke bola mata Pendekar Pulau Neraka.
"Dari mana kau tahu julukanku?" tanya Bayu
ingin tahu.
"Di dunia ini hanya satu pendekar muda yang
mengenakan baju kulit harimau, dengan senjata se-
buah cakra di pergelangan tangannya," sahut Eyang
Purata.
"Hm..., dari mana kau peroleh senjata itu, Anak
Muda?"
Bayu tidak segera menjawab. Dalam hatinya
terbesit satu kecurigaan pada laki-laki tua ini. Entah
kenapa, dia selalu menaruh curiga pada orang yang
mengenal senjatanya.
"Aku kenal pemilik Cakra Maut. Di mana dia
sekarang berada?"
Bayu tetap saja diam. Perasaannya semakin cu-
riga terhadap laki-laki tua berjubah putih ini. Sedang-
kan Suci hanya memperhatikan saja. Dia tidak men-
gerti semua pembicaraan kedua laki-laki ini.
"Aku sering mendengar sepak terjang mu. Pen-
dekar Pulau Neraka. Aku tahu, kau berada di sini un-
tuk mencari orang-orang yang telah mencelakakan Ca-
kra Maut. Memang, kebanyakan dari mereka tengah
berkumpul di sekitar Gunung Parang ini. Dan kau te-
lah menewaskan beberapa di antaranya," kata Eyang
Purata lagi.
Bayu semakin terpana mendengarnya. Sungguh
tidak disangka kalau laki-laki tua ini tahu maksud
kedatangannya ke Gunung Parang ini.
"Tapi kau tidak perlu curiga padaku, Anak mu-
da. Meskipun jalan yang ditempuh si Cakra Maut ber-
tentangan denganku, tapi aku tidak pernah melakukan
perbuatan keji seperti itu. Perbuatan mereka memang
patut mendapat ganjaran. Dan kau sebagai pemegang
senjata Cakra Maut sudah sepantasnya menuntut ba-
las. Aku yakin, kau adalah pewaris tunggal Cakra
Maut. Entah bagaimana caranya kau bisa memiliki
senjata itu," kata Eyang Purata panjang lebar.
"Tampaknya kau tahu banyak tentang diriku
dan si Cakra Maut, Eyang," ujar Bayu, agak bergumam
suaranya. "Dari mana kau tahu semua itu?"
Eyang Purata hanya tertawa saja mendengar
pertanyaan Bayu barusan. Begitu lepas suara tawanya,
namun terdengar sangat dalam dan penuh kewiba-
waan. Sedangkan Bayu hanya bergumam kecil. Ingin
diketahuinya, dari mana laki-laki tua ini bisa tahu be-
gitu banyak tentang diri dan gurunya. Sementara ma-
lam terus merayap semakin larut. Udara di sekitar
Puncak Gunung Parang ini semakin terasa dingin. Kini
di dekat api unggun itu duduk berkeliling tiga orang
yang tengah menghangatkan diri.
***
TUJUH
Malam terus merambat semakin larut Untuk
malam ini, Bayu dan Suci merasakan ketegangan agak
berkurang. Tidak seperti malam-malam sebelumnya,
yang selalu dihantui ketegangan dan ketidaktenangan.
Kemunculan Eyang Purata, seakan-akan membawa
kedamaian tersendiri yang sukar dilukiskan dengan
kata-kata. Bukan hanya Bayu yang bisa merasakan-
nya. Bahkan Suci pun merasa hari ini begitu damai.
Kemunculan gurunya itu mempunyai arti khusus, dan
hanya dirinya yang bisa merasakan.
"Eyang, ada sesuatu yang ingin kutanyakan,"
kata Suci saat keadaan sudah terasa lebih tenang, dan
tidak lagi menegang seperti tadi.
"Kau pasti ingin menanyakan tentang Cakar
Harimau, bukan...?" tebak Eyang Purata langsung.
Suci hanya diam saja. Memang itu yang hendak
ditanyakannya. Dan itu memang anjuran Bayu, sebe-
lum laki-laki tua berjubah putih ini muncul. Dan se-
benarnya bukan hanya itu saja. Terlalu banyak yang
ingin ditanyakan gadis ini.
"Waktu itu kau memang masih terlalu kecil un-
tuk mengetahui semuanya, Suci. Jadi, terpaksa ku ra-
hasiakan tentang dirimu," Eyang Purata mulai mem-
buka riwayat muridnya ini.
Suci hanya diam saja mendengarkan. Sedang-
kan Bayu juga diam membisu, sambil tidak lepas me-
mandangi laki-laki tua berjubah putih yang duduk
bersila di depannya. Hanya seonggok api unggun kecil
yang membatasi mereka.
"Aku bertemu denganmu ketika kau masih be-
rusia sekitar dua tahun, Suci. Masih begitu polos dan
lucu. Dosa besar jika anak berumur dua tahun ku li-
batkan dalam persoalan orang dewasa. Jadi, terpaksa
aku harus menunggu sampai kau benar-benar siap
untuk menghadapinya," sambung Eyang Purata.
Suci tetap diam membisu. Dicobanya untuk
mengingat-ingat ketika masih berusia sekitar satu atau
dua tahun. Tapi masa-masa seperti itu memang sukar
bisa diulang dalam ingatannya saat ini. Karena seta-
hunya, tidak ada yang istimewa dalam dirinya pada
masa-masa itu. Selama hidupnya dalam padepokan,
memang tidak ada yang terlalu istimewa. Dan ini me-
rupakan satu kekurangan yang ada dalam dirinya. Ti-
dak pernah mengingat apa pun yang telah terjadi di
masa lalu.
"Teruskan, Eyang," pinta Suci melihat Eyang
Purata diam saja.
"Tujuh belas tahun yang lalu, saat itu aku baru
saja mendirikan padepokan. Dan muridku baru tiga
orang. Kau datang diantar seorang perempuan muda
yang dalam keadaan luka parah. Dia hanya memberi-
kan beberapa potong kalimat dan sebuah benda pada-
ku," lanjut Eyang Purata.
"Benda...? Benda apa itu, Eyang?" tanya Suci.
"Sepotong Cakar Harimau," sahut Eyang Pura-
ta.
"Cakar Harimau...? Maksud, Eyang?" Suci be-
nar-benar tidak mengerti.
"Kalau tidak ada halangan, besok kau akan
menerimanya dari Intan," sahut Eyang Purata.
"Intan...?!" Suci terkejut bukan main.
"Sekarang dia dalam perjalanan ke sini bersa-
ma Seta dan Darmasaka."
"Jadi...?"
"Aku yang membawanya pergi. Untung luka-
lukanya tidak terlalu parah," jelas Eyang Purata sing-
kat.
"Oh...," Suci mendesah lega mendengar Intan
selamat. "Bagaimana Eyang bisa sampai dengan ce-
pat?"
"Aku memang mengikuti kalian," sahut Eyang
Purata.
"Bersama Kakang Seta dan Kakang Darmasa-
ka?" tanya Suci ingin ketegasan. "Benar."
"Kenapa Eyang lakukan itu?"
"Hanya ingin menjaga keselamatan kalian. Te-
rutama sekali kau, Suci. Karena aku tahu, perjala-
nanmu akan mendapat rintangan yang tidak kecil. Se-
dangkan kemampuan yang kau miliki masih kurang
sekali. Masih banyak yang harus kau pelajari. Dan se-
mua itu tidak akan kau dapatkan di padepokan. Den-
gan pengalaman seperti ini, kau bisa melihat bagaima-
na kehidupan dalam rimba persilatan," kembali Eyang
Purata menjelaskan.
Suci hanya diam saja. Diliriknya Bayu yang
duduk di sampingnya. Pendekar Pulau Neraka juga
hanya diam mendengarkan. Gadis itu jadi teringat ka-
ta-kata Bayu. Memang benar, ternyata gurunya ini ti-
dak akan mungkin melepaskannya begitu saja. Terle-
bih mencelakakan dirinya.
Seorang guru yang bijaksana, pasti akan men-
jaga dan membela muridnya. Hanya saja, Suci belum
begitu mengerti maksud Eyang Purata sebenarnya
yang menyuruhnya ke Puncak Gunung Parang ini. Dan
diyakini kalau ada satu maksud tersembunyi di balik
semua ini.
"Eyang...," terdengar agak ragu-ragu suara Su-
ci.
"Ada apa?" lembut sekali suara Eyang Purata,
seperti orang tua terhadap anak kesayangannya.
"Boleh bertanya lagi..?" pinta Suci.
"Tanyakan saja semua yang ingin kau ketahui,
Suci."
"Apa maksud Eyang menyuruh aku dan Kak In-
tan ke sini?" tanya Suci setelah menarik napas dalam
dalam.
Eyang Purata tidak langsung menjawab, tapi
malah tersenyum sambil mengelus-elus jenggotnya
yang panjang dan sudah berwarna putih semua. Dili-
riknya sedikit Pendekar Pulau Neraka yang duduk di
samping Suci. Lirikan yang sedikit itu, dapat di tang-
kap Bayu, maka dia langsung bisa mengerti maksud-
nya.
"Maaf, kalau boleh aku ingin berjalan-jalan se-
bentar," ujar Bayu seraya bangkit berdiri.
Sebelum ada yang menyahut, Pendekar Pulau
Neraka sudah berjalan pergi. Sedangkan Eyang Purata
hanya tersenyum saja memandangi kepergian pemuda
berbaju kulit harimau itu. Dalam hati dikaguminya
daya tangkap Bayu yang begitu cepat bisa mengerti
maksudnya. Padahal, itu dilakukan hanya dengan se-
dikit lirikan mata saja. Bayu terus berjalan semakin
jauh, dan akhirnya lenyap ditelan kegelapan malam.
"Kenapa Eyang memintanya pergi?" tanya Suci
yang rupanya juga melihat lirikan laki-laki tua ini.
"Mungkin lebih enak jika hanya kau saja yang
mengetahui, Suci," sahut Eyang Purata.
Suci seperti tidak setuju pendapat gurunya ini,
tapi tidak ingin membantah lagi. Dia tahu, dan bisa
menebak kalau Eyang Purata pasti akan menyampai-
kan suatu rahasia yang tidak boleh seorang pun men-
getahuinya. Dan ini yang membuatnya semakin di-
hinggapi perasaan penasaran ingin mengetahuinya.
Terlebih lagi, hal ini menyangkut dirinya. Dan me-
mang, pangkal persoalannya berasal dari dirinya.
***
Bayu mengayunkan kakinya perlahan, semakin
jauh meninggalkan Suci dan gurunya yang tengah du-
duk menghadapi seonggok api unggun. Pendekar Pu-
lau Neraka baru berhenti melangkah setelah diyakini
kalau jaraknya dengan tempat itu sudah cukup jauh.
Sebentar kepalanya berpaling ke belakang. Bibirnya
tersenyum kala melihat dua orang murid dan guru se-
dang asyik berbicara.
Pendekar Pulau Neraka itu cepat memutar tu-
buhnya ketika tiba-tiba saja terdengar suara ranting
patah terinjak. Suara itu memang kecil sekali, namun
sangat jelas terdengar di telinga pemuda berbaju kulit
harimau itu. Sebentar Bayu terdiam sambil menajam-
kan pendengarannya.
"Hm..., siapa lagi nyamuk kecil ini...," gumam
Bayu dalam hari.
Pendekar Pulau Neraka menjentikkan ujung ja-
ri kakinya. Maka sebatang ranting kering terpental ke
atas. Dan secepat kilat, Pendekar Pulau Neraka me-
nangkap ranting kering, dan secepat itu pula dihen-
takkan ke arah kanan.
Wut!
Srak...!
Bersamaan dengan amblasnya ranting itu ke
dalam semak, sebuah bayangan berkelebat keluar dari
situ. Dan dalam waktu yang hampir bersamaan, Bayu
melesat ke udara mengejar bayangan itu
"Yeaaah...!"
Bet!
Satu pukulan dilepaskan Pendekar Pulau Nera-
ka, namun sama sekali tidak disertai pengerahan tena-
ga dalam. Pukulan yang cepat itu, tepat mengenai
bayangan yang berputaran di udara. Seketika suara
mengaduh kecil terdengar. Sedangkan bayangan itu
meluruk turun dengan derasnya.
"Hap...!"
Manis sekali kakinya mendarat di tanah. Saat
yang sama, Bayu juga menjejakkan kedua kakinya di
tanah. Kini di depan Pendekar Pulau Neraka sudah
berdiri seorang perempuan muda mengenakan baju
warna merah menyala. Wanita itu cantik sekali, se-
hingga Bayu sempat terpana memandang raut wajah-
nya. Tubuhnya yang ramping terbungkus baju ketat,
sehingga memetakan lekuk-lekuk menggairahkan.
"Siapa kau...?" tanya Bayu setelah bisa menghi-
langkan keterpanaannya.
"Aku Rara Asih. Kedatanganku ke sini untuk
membalas kematian guruku!" sahut wanita muda itu
tegas.
"Gurumu...? Siapa gurumu?" tanya Bayu den-
gan kening agak berkerut
"Setan Kobra Betina," sahut Rara Asih, agak ke-
tus suaranya.
Kening Bayu semakin dalam berkerenyut. Di-
pandanginya gadis itu dalam-dalam. Seakan-akan sulit
dipercaya kalau gadis cantik yang mengaku bernama
Rara Asih ini adalah murid si Setan Kobra Betina. Na-
mun dari senjata yang terselip di pinggang yang ramp-
ing, Bayu harus percaya. Senjata itu berupa tongkat
pendek sepanjang lima jengkal, berbentuk seekor ular
kobra hitam.
Ikat kepala yang dikenakan gadis itu juga ber-
bentuk seekor ular kobra. Untuk beberapa saat la-
manya, Bayu terdiam memandangi gadis cantik di de-
pannya.
Meskipun dari senjata dan pakaiannya sudah
bisa dipastikan kalau gadis ini memang murid si Setan
Kobra Betina, namun tampaknya Bayu masih belum
bisa percaya penuh.
"Dari mana kau tahu kalau aku menewaskan si
Setan Kobra Betina?" tanya Bayu.
Pendekar Pulau Neraka tahu betul, kalau perta-
rungannya dengan si Setan Kobra Betina hanya Suci
yang menyaksikan. Tidak ada seorang pun yang meli-
hat pertarungan itu, selain Suci. Dan sekarang ada
seorang gadis cantik yang mengaku murid si Setan
Kobra Betina.
"Seluruh gunung ini sudah ku kuasai, Pende-
kar Pulau Neraka. Jadi aku bisa mengetahui semua
peristiwa yang terjadi di sini," sahut Rara Asih seraya
tersenyum sinis.
Bayu ingin membuka mulut lagi, tapi cepat di
urungkannya. Pendekar Pulau Neraka hanya menggu-
mam perlahan. Pendengarannya yang tajam langsung
dapat mendengar kalau di sekitarnya ada beberapa
orang, dengan tarikan napas halus dan hampir tidak
terdengar. Dihitungnya di dalam hati, setelah disadari
kalau tempat ini sudah terkepung.
"Gila..,! Banyak juga...," dengus Bayu dalam ha-
ti.
"Kau tidak akan bisa lolos dari kematian, Pen-
dekar Pulau Neraka. Semua tempat sudah terkepung,
dan jangan harap bisa menembus kepungan anak
buah ku," dingin sekali nada suara Rara Asih.
Bayu tersentak kaget Kembali dipandanginya
gadis itu dalam-dalam. Dia benar-benar terke-
jut, karena Rara Asih seperti bisa membaca pikiran-
nya. Dan memang pada saat itu Bayu tengah memikir-
kan cara untuk bisa terlepas dari tempat ini, setelah
menyadari kalau seluruh tempat ini sudah terkepung
puluhan orang yang bersembunyi.
"Suiiit..!" tiba-tiba saja Rara Asih bersiul nyaring.
"Heh...!" Bayu kembali tersentak kaget Dan se-
belum keterkejutan Pendekar Pulau Neraka lenyap,
mendadak saja dari empat arah berlompatan empat
orang berpakaian serba merah yang terdapat gambar
seekor ular kobra hitam di bagian punggungnya. Mere-
ka semua menggenggam senjata tongkat pendek ber-
bentuk ular, yang bagian ekornya runcing seperti mata
tombak.
"Bersiaplah untuk mati, Pendekar Pulau Nera-
ka. Ha ha ha...!"
Begitu Rara Asih menghentakkan tangan ka-
nannya ke depan, seketika itu juga empat orang laki-
laki muda yang mengepung Bayu cepat berlompatan.
Mereka langsung menyerang Pendekar Pulau Neraka.
"Hiyaaa...!"
"Hup! Yeaaah...!"
***
DELAPAN
Bayu tidak sempat lagi mencegah mereka. Ter-
paksa harus dilayaninya empat orang laki-laki muda
yang menyerang secara bergantian dengan kecepatan
tinggi dari empat jurusan. Dalam beberapa gebrak sa-
ja, Bayu sudah bisa mengukur tingkat kepandaian me-
reka. Namun Pendekar Pulau Neraka tidak mudah
mengambil kesempatan untuk memberi serangan bala-
san, yang bisa menghentikan perlawanan mereka.
Memang, empat orang berbaju merah itu selalu
menyerang cepat dan saling bergantian. Bayu sempat
terpana juga menghadapi pola serangan yang begitu
kompak dan beragam. Beberapa kali tubuhnya terpaksa dibanting ke tanah, atau berjumpalitan di udara
menghindari serangan-serangan yang datang cepat
dan beruntun itu.
"Phuih! Tenaga dalam mereka belum tinggi, tapi
kerja sama serangannya sungguh mengagumkan...,"
dengus Bayu dalam hati.
Meskipun agak kerepotan juga, namun Pende-
kar Pulau Neraka sempat memuji dalam hati. Kekagu-
mannya semakin bertambah, setelah keempat orang
lawannya kini menyerang dengan mempergunakan
senjata tongkat pendek berbentuk ular kobra hitam.
"Uts...!" tiba-tiba saja Bayu merundukkan kepa-
la
nya ketika satu tebasan tongkat hitam me-
nyambar ke arah kepalanya.
Belum lagi pemuda berbaju kulit harimau itu
sempat menegakkan kepala kembali, mendadak saja
satu sodokan tongkat mengandung pengerahan tenaga
dalam cukup tinggi mengarah ke perutnya.
"Hih...!"
Tidak ada lagi kesempatan bagi Bayu untuk
menghindar. Cepat sekali Pendekar Pulau Neraka itu
mengibaskan tangan kanannya, menyampok sodokan
tongkat hitam dari arah depan. Tak pelak lagi, satu
benturan keras terjadi.
Trak!
Terdengar suara sesuatu yang patah. Tampak
orang berbaju serba merah di depan Bayu terhuyung-
huyung ke belakang. Bukan hanya dirinya yang terke-
jut Bahkan ketiga temannya serta Rara Asih, terperan-
jat bukan main melihat tongkat di tangan pemuda ber-
baju merah itu patah jadi dua bagian.
"Hiyaaa...!"
Bayu tidak akan menyia-nyiakan kesempatan
yang hanya sedikit ini. Bagaikan kilat, Pendekar Pulau
Neraka melompat ke depan. Langsung diterjangnya
pemuda berbaju merah yang masih terhuyung-huyung
akibat benturan senjata tongkat dengan pergelangan
tangan Bayu. Dua pukulan bertenaga dalam tinggi ce-
pat dilepaskan Bayu.
"Hiya! Yeaaah...!"
Des!
"Aaakh...!" orang berbaju merah itu menjerit
melengking tinggi.
Keras sekali pukulan yang dilepaskan Pendekar
Pulau Neraka, sehingga membuat orang berbaju merah
itu terpental jauh ke belakang. Nyawanya langsung
melayang begitu tubuhnya mencium tanah. Bayu cepat
memutar tubuhnya, memandangi tiga orang lagi yang
terpana menyaksikan kecepatan gerak Pendekar Pulau
Neraka barusan.
"Aku tidak punya urusan dengan kalian. Se-
baiknya cepat tinggalkan tempat ini, sebelum bernasib
sama dengannya," Bayu menunjuk orang yang tergele-
tak tak bernyawa lagi
"Ha ha ha...! Kau tidak bisa menggertak mere-
ka, Pendekar Pulau Neraka!" Rara Asih menyahut
sambil tertawa terbahak-bahak.
Bayu mendengus kecil seraya melirik gadis can-
tik berbaju merah. Sementara itu, tiga orang laki-laki
muda di depannya, hanya saling berpandangan. Untuk
beberapa saat, kesunyian yang menegangkan menye-
limuti mereka.
"Kau jangan berbangga dulu, hanya karena bisa
membunuh salah seorang dari mereka, Pendekar Pu-
lau Neraka. Lihatlah sekelilingmu...!"
Setelah, berkata demikian, Rara Asih bersiul
nyaring. Dan seketika itu juga, dan balik kegelapan
bermunculan orang-orang berbaju merah. Mereka ber-
senjatakan tongkat pendek berbentuk ular kobra hitam
yang tergenggam di tangan. Bayu yang sudah mendu-
ga, tidak terkejut lagi melihat kemunculan mereka.
Namun sungguh tidak disangka akan sebanyak
ini. Jumlah mereka begitu besar, bagai satu pasukan
prajurit.
"Hm...!" gumam Bayu perlahan sambil menge-
darkan pandangannya berkeliling.
"Ha ha ha...!"
Pandangan Pendekar Pulau Neraka kemudian
tertumbuk pada gadis berbaju merah yang tertawa ter-
bahak-bahak. Bayu hanya mendengus dalam hati. Di-
akui kalau melihat keadaan ini, Rara Asih memang bo-
leh merasa menang. jumlah orang yang begitu besar,
memang tidak mudah dilawan.
"Sebaiknya mohon ampun dulu pada roh guru-
ku, sebelum terbang ke akherat, Pendekar Pulau Ne-
raka," dingin sekali suara Rara Asih.
"Aku tidak yakin orang-orangmu mampu mela-
kukannya, Rara Asih," sambut Bayu tidak kalah din-
ginnya.
"Boleh dicoba.... Aku ingin tahu, seberapa
kuatnya dirimu menghadapi mereka."
Rara Asih menghentakkan tangannya ke depan.
Maka seketika itu juga, orang-orang berbaju merah
berlompatan sambil berteriak-teriak menyerang Pende-
kar Pulau Neraka. Saat itu memang tidak ada pilihan
lain lagi bagi Bayu, kecuali harus menghadapi keroyo-
kan ini.
"Yeaaah....!"
***
Pertarungan memang tidak mungkin lagi dihin-
dari. Teriakan-teriakan keras disertai denting senjata
terdengar membahana, memecah kesunyian malam.
Menghadapi keroyokan begird banyak, Bayu tidak
mungkin bisa melontarkan senjatanya. Dan yang pasti,
tidak ada kesempatan memusatkan perhatian untuk
mengendalikan senjata mautnya. Maka Pendekar Pu-
lau Neraka menggenggam Cakra Maut pada salah satu
ujungnya.
Jerit dan pekikan melengking tinggi terdengar
menyayat saling sambut. Dalam waktu yang tidak be-
rapa lama saja, sudah terlihat beberapa tubuh berge-
limpangan tak bernyawa lagi. Darah menyembur
membasahi tanah berumput, bercampur keringat dan
embun. Meskipun sudah banyak yang bergelimpangan
tak bernyawa lagi, namun orang-orang berbaju merah
itu tidak merasa gentar sama sekali. Bahkan terus me-
rangsek, dan semakin rapat mengepung Pendekar Pu-
lau Neraka. Akibatnya, ruang gerak pemuda berbaju
kulit harimau itu semakin mengecil.
"Waaa...!"
"Aaa...!"
Mendadak saja terdengar jeritan-jeritan pan-
jang melengking tinggi dari arah luar kepungan itu.
Dan terlihat tubuh-tubuh berbaju merah berpentalan
di udara. Saat itu juga orang-orang berbaju merah
yang terdapat gambar ular kobra di punggungnya, jadi
terpecah perhatiannya.
Sedikit Bayu bisa menangkap ada dua orang
yang mengamuk, memporak-porandakan para penge-
royoknya ini. jerit dan pekik menyayat semakin sering
terdengar. Tubuh-tubuh berbaju merah, semakin ba-
nyak berpentalan di udara, dengan darah menyembu-
rat keluar dari tubuh yang terluka.
"Suci...," desis Bayu begitu bisa melihat gadis
berbaju biru muda mengamuk di dekat seorang laki-
laki berjubah putih.
Melihat Suci dan Eyang Purata membantu,
Pendekar Pulau Neraka tidak ingin menyia-nyiakan ke-
sempatan ini. Sambil berteriak menggelegar, dia me-
lompat cepat bagaikan kilat sambil mengibaskan tan-
gannya beberapa kali.
"Hiya! Hiya! Yeaaah...!"
Gerakan-gerakan yang dilakukan Bayu sung-
guh cepat luar biasa. Terlebih lagi, senjata Cakra Maut
yang tergenggam di tangan kanannya bagaikan senjata
dewa yang murka melihat ketidakadilan di dunia ini.
Begitu cepatnya Pendekar Pulau Neraka memainkan
senjatanya, sehingga sukar dilihat mata biasa.
"Hiyaaa...!"
Tiba-tiba saja Pendekar Pulau Neraka melompat
cepat bagaikan kilat, sambil mengibaskan tangannya
beberapa kali. Jerit dan pekikan melengking tinggi ter-
dengar beberapa kali saling susul dan menyayat
Tubuh pemuda berbaju kulit harimau itu melu-
ruk deras ke arah Rara Asih yang tengah mengumpat
dan memaki, karena orang-orangnya berantakan tidak
karuan. Gadis itu terkejut bukan main. Sebab, menda-
dak saja Bayu meluruk deras kearahnya, sambil me-
lontarkan dua pukulan sekaligus.
"Hup! Yeaaah...!"
Cepat sekali Rara Asih mengegoskan tubuhnya,
menghindari serangan yang dilancarkan Bayu. Begitu
terlepas dari incaran maut Pendekar Pulau Neraka,
dengan cepat Rara Asih melompat ke belakang sejauh
dua batang tombak.
"Phuih!" Rara Asih menyemburkan ludahnya.
"Awas, Kakang...!" tiba-tiba saja ada seruan ke
ras dari arah belakang.
"Uts! Yeaaah...!"
Bayu cepat memutar tubuhnya. Dan secepat itu
pula tangan kanannya yang menggenggam Cakra Maut
dikibaskan. Pada saat yang sama, satu orang anak
buah Rara Asih melompat hendak membokongnya.
Namun gerakannya kalah cepat sehingga....
Bret!
"Aaakh...!" orang berbaju merah itu menjerit
melengking tinggi.
Ujung Cakra Maut dalam genggaman tangan
kanan Pendekar Pulau Neraka merobek dalam sekali
dada orang itu. Darah segar pun seketika muncrat. Sa-
tu pukulan keras bertenaga dalam sempurna, dile-
paskan Bayu, telak menghantam dada. Akibatnya,
orang itu terpental sejauh dua batang tombak. Hanya
sebentar orang berbaju merah itu menggeliat, kemu-
dian diam tak bernyawa lagi.
Bayu mengangkat tangannya pada Suci yang
telah memperingati dirinya. Dari gadis itu hanya mem-
balas dengan senyuman saja, karena harus sibuk
menghalau
orang-orang berbaju merah yang sudah menye-
rang kembali dengan ganas sekali. Bayu memutar tu-
buhnya, kembali menghadap Rara Asih.
***
"Sebaiknya suruh mereka berhenti, Ni sanak.
Sebelum seluruh anak buahmu habis," kata Bayu
memperingatkan.
"Aku punya orang-orang yang cukup untuk
menghancurkan kau dan kedua temanmu itu, Pende-
kar Pulau Neraka," desis Rara Asih dingin.
Rara Asih kembali bersiul nyaring melengking.
Bayu sempat terkejut Dan memang, dari balik pepoho-
nan dan semak serta bebatuan yang banyak terdapat
di tempat ini, bermunculan orang-orang berbaju serba
merah. Jumlah mereka kini tiga kali lipat dari yang
pertama. Pendekar Pulau Neraka tidak menyangka ka-
lau gadis ini memiliki anak buah yang begitu besar
jumlahnya.
Pada saat yang sama, orang-orang berbaju me-
rah yang tengah bertarung dengan Eyang Purata dan
Suci, berlompatan mundur. Guru dan murid itu berge-
gas menghampiri Bayu. Mereka juga terkejut melihat
di sekelilingnya sudah padat oleh orang-orang berbaju
merah. Tak ada lagi celah yang bisa digunakan untuk
keluar dari tempat ini.
"Sebaiknya kalian menyerah saja, daripada
membuang tenaga percuma," tegas Rara Asih diikuti
tawanya yang lepas berderai.
Gadis itu benar-benar sudah merasa yakin be-
rada di atas angin. Dengan jumlah anak buah yang le-
bih dari dua ratus orang, memang tidak mungkin bisa
dihadapi tiga orang saja. Meskipun tingkat kepandaian
Eyang Purata dan Pendekar Pulau Neraka tidak bisa
dikatakan rendah, namun kedua orang itu harus ber-
pikir keras juga.
"Maaf. Muridku telah menyeret mu ke dalam
persoalan ini, Anak Muda," ucap Eyang Purata perla-
han.
Bayu melirik sedikit pada laki-laki tua berjubah
putih yang kini sudah berdiri di samping kanannya.
Pendekar Pulau Neraka kemudian menatap Suci yang
berada di samping gurunya itu. Sedangkan gadis itu
hanya diam saja, dan sepertinya tidak bisa membalas
tatapan Bayu Kembali Pendekar, Pulau Neraka memandang Rara Asih.
"Sebenarnya aku sengaja mengutus Suci dan
Intan untuk memancing perempuan ini keluar. Ge-
rombolan mereka memang sudah lama meresahkan se-
luruh penduduk desa di sekitar Gunung Parang ini,
Anak Muda," jelas Eyang Purata.
Bayu hanya diam saja. Pandangannya beredar
ke sekeliling. Walaupun memiliki kepandaian yang
sangat tinggi, tapi tidak akan mungkin bisa mengha-
dapi lawan begini banyak jumlahnya. Pendekar Pulau
Neraka berpaling menatap Eyang Purata.
"Perempuan ini tidak akan mati meskipun kau
menggunakan kesaktian yang tangguh sekalipun.
Hanya Cakar Harimau yang bisa menewaskannya," je-
las Eyang Purata lagi.
"Kenapa?" tanya Bayu ingin tahu.
"Karena di dalam tubuhnya tersimpan Warang-
ka Cakar Harimau. Dulu dia pernah bertarung den-
ganku, lalu ku hujamkan Warangka Cakar Harimau
dalam tubuhnya. Dia memang tidak mati, tapi warang-
ka itu akan melumpuhkannya."
Bayu mengerutkan keningnya sedikit.
"Bagaimana itu bisa terjadi?" tanya Bayu.
"Cukup...!" tiba-tiba Rara Asih membentak ke-
ras.
Eyang Purata yang hendak menjawab, jadi
mengurungkan niatnya. Dia dan Bayu langsung mena-
tap wanita cantik berbaju merah menyala itu. Pada
saat itu, pagi sudah datang menjelang. Di ufuk sebelah
Timur, cahaya matahari menyemburat merah, menan-
dakan sebentar lagi seluruh Puncak Gunung Parang
ini akan tersiram oleh cahayanya yang menyengat.
"Apa yang harus kita lakukan, Eyang?" tanya
Suci yang sejak tadi diam saja.
Eyang Purata tidak langsung menjawab, tapi
melirik Pendekar Pulau Neraka. Sedangkan yang dilirik
hanya diam saja. Bayu seperti tidak mengetahui, kalau
orang tua itu meminta pendapat padanya. Padahal
pemuda itu tidak tahu, apa yang harus dilakukannya
saat ini.
"Eyang Purata! Kau yang menanam Warangka
Cakar Harimau di tubuhku. Dan sekarang aku ingin
agar cakar itu diserahkan padaku," bentak Rara Asih.
"Benda itu tidak ada padaku," sahut Eyang Pu-
rata.
"Kau pikir aku bodoh, heh...?! Bertahun-tahun
benda itu kau simpan. Maka, sekaranglah saatnya aku
meminta benda itu, karena warangkanya sudah me-
nyatu dalam diriku!" dingin sekali suara Rara Asih.
"Kau akan lumpuh oleh benda itu, Rara Asih,"
ujar Eyang Purata.
"Ha ha ha...! Kau memang orang tua bodoh!
Bertahun-tahun aku terus mencoba mengendalikan
Warangka Cakar Harimau. Dan sekarang aku sudah
berhasil menjinakkannya."
"Bagaimana kau bisa melakukannya...?" tanya
Eyang Purata agak terkejut juga.
"Dengan ini," sahut Rara Asih seraya menun-
jukkan kalung yang melingkar di lehernya.
"Taring Harimau...," desis Eyang Purata terbe-
liak.
"Aku tahu kau mengubur mayat si Cakar Hari-
mau yang kau bunuh di Puncak Gunung Parang ini.
Dan kau merasa terusik begitu aku bisa menguasai se-
luruh wilayah gunung ini, Eyang Purata. Lalu kau pe-
ralat muridmu sendiri dengan menyebarkan berita bo-
hong kalau murid dungu mu itu adalah si Cakar Hari-
mau. Tapi jangan harap bisa mengelabui aku, Eyang
Purata. Kau memang boleh berbangga bisa mengelabui
guru ku si Setan Kobra Betina tapi tidak terhadapku.
Hhh! Aku tidak punya waktu banyak untuk mu. Se-
baiknya, serahkan saja-Cakar Harimau itu padaku!"
"Sudah kukatakan, benda itu tidak ada pada-
ku!" bentak Eyang Purata.
"Kau memang harus mampus, Orang Tua...! Se-
rang...!"
Maka, seketika orang-orang berbaju merah se-
gera menyerang Eyang Purata.
Bagaikan kilat, laki-laki tua berjubah putih itu
melompat, mencoba menghadang orang-orang berbaju
merah yang hendak menyerangnya. Namun demikian,
Rara Asih masih juga mengibaskan tangan kirinya.
Slap!
Beberapa buah benda halus seperti jarum ber-
warna merah, meluncur deras ke arah Eyang Purata.
Serangan dengan cara membokong ini membuat laki-
laki tua itu terkejut Cepat tubuhnya diputar, menghin-
dari jarum-jarum merah yang sangat halus itu.
"Hiya! Hiyaaa...!"
Sambil berjumpalitan di udara, Eyang Purata
mengebutkan kedua tangannya. Dicobanya untuk
menghalau jarum-jarum merah itu. Sementara Suci
juga sudah sibuk menghadapi sekitar dua puluh orang
berpakaian serba merah yang bersenjatakan tongkat
pendek berbentuk ular kobra hitam.
"Curang...!" geram Eyang Purata begitu bisa ter-
lepas dari serbuan jarum-jarum merah mengandung
racun yang dilepaskan Rara Asih. "Mampus kau, Pe-
rempuan Iblis! Hiyaaat..!"
Eyang Purata langsung meluruk deras menye-
rang Rara Asih. Namun sebelum sampai pada wanita
cantik itu, orang-orang berbaju merah yang memang
sudah siap sejak tadi segera berlompatan mengha-
dang. Hal ini membuat Eyang Purata semakin geram
saja. Segera dikerahkannya jurus-jurus ampuh dan
dahsyat untuk menghalau orang-orang berbaju merah
yang sema banyak meluruk ke arahnya.
"Setan keparat..! Hiyaaat..!"
Bagaikan seekor banteng yang terluka, Eyang
Purata mengamuk, dengan hati dihinggapi kemarahan
yang amat sangat. Laki-laki tua itu benar-benar ma-
rah, karena Rara Asih telah membongkar rahasia yang
telah ditutup rapat-rapat selama beberapa tahun ini.
Sebuah rahasia yang mengatakan kalau Suci adalah si
Cakar Harimau. Padahal, tokoh itu telah lama mati.
Sementara itu, Bayu yang menyaksikan kecu-
rangan dan ketidakadilan dari cara pertarungan ini, ti-
dak bisa tinggal diam begitu saja. Namun sebelum
pendekar muda ini dapat bergerak, orang-orang berba-
ju merah sudah lebih dahulu berlompatan merangsek.
"Hiyaaa...!"
Memang tidak ada pilihan lain lagi bagi Pende-
kar Pulau Neraka. Mau tak mau Bayu harus menguras
tenaga juga, menghadapi orang-orang yang sepertinya
tidak mengenal rasa jera dan takut ini. Melihat mereka
bersungguh-sungguh hendak membunuhnya, Bayu ti-
dak bisa lagi bermain-main. Maka dikerahkannya ju-
rus-jurus ampuh dan dahsyat. Setiap pukulan dan
tendangan yang dilontarkan, mengandung kekuatan
tenaga dalam sempurna.
Kembali Puncak Gunung Parang ini dipecahkan
jerit dan pekik pertempuran yang berbaur dengan jeri-
tan menyayat. Dentingan senjata beradu, mewarnai
pagi yang seharusnya indah untuk dinikmati.
Satu pertarungan yang tidak seimbang sama sekali.
Tiga orang harus menghadapi ratusan orang bersenjata tongkat pendek.
"Ha ha ha...!"
***
Suara tawa Rara Asih mendadak terhenti ketika
tiba-tiba saja orang-orangnya terlihat jadi kalang ka-
but. Dia mendengus geram begitu menyaksikan dari
arah bagian luar, anak buahnya berhamburan seperti
daun tertiup angin.
"Keparat..!" desis Rara Asih geram.
Keadaan yang kacau ini, rupanya juga diketa-
hui Pendekar Pulau Neraka. Dan pemuda berbaju kulit
harimau ini bisa menarik napas lega, melihat orang-
orang berpakaian prajurit memporak-porandakan anak
buah Rara Asih.
"Hiyaaa...!"
Bayu tidak mempedulikan dari mana para pra-
jurit itu datang. Yang penting, dia punya kesempatan
baik untuk bisa mendekati perempuan cantik berhati
iblis itu. Dengan sekali lompatan saja, Pendekar Pulau
Neraka bisa mencapai tempat Rara Asih berdiri.
"Sudah saatnya kau berhadapan denganku, Ra-
ra Asih," desis Bayu.
"Phuih!" Rara Asih menyemburkan ludahnya.
Mendadak saja wanita itu bergerak cepat, dan
tahu-tahu sudah memberi satu serangan kilat terha-
dap Pendekar Pulau Neraka. Sejenak Bayu terperan-
gah, namun cepat dia berkelit untuk menghindari se-
rangan yang dilancarkan wanita cantik berbaju merah
ini.
"Mampus kau! Hiyaaa...!"
Kemarahan Rara Asih semakin memuncak ma-
nakala sempat melihat orang-orangnya semakin beran
takan tidak beraturan lagi. Bahkan kini dari segala
arah, bermunculan orang-orang berpakaian seragam
prajurit yang langsung menyerang dan memporak-
porandakan anak buahnya.
"Yeaaah...!"
Mendadak saja Bayu berteriak keras sambil
memberi satu pukulan keras menggeledek ke arah da-
da. Begitu cepatnya pukulan yang dilontarkan, sehing-
ga membuat Rara Asih tidak sempat lagi menghindar.
Dan pukulan pemuda berbaju kulit harimau itu tepat
menghantam dadanya.
Deghk!
"Heh...?!"
Bukan main terkejutnya Pendekar, Pulau Nera-
ka tatkala pukulannya tepat mengenai dada Rara Asih.
Tangannya terasa seperti memukul segumpal karet
yang kenyal, sehingga berbalik.
"Ha ha ha...!" Rara Asih tertawa terbahak-
bahak.
Bayu langsung teringat kata-kata Eyang Pura-
ta. Gadis ini memang sukar dikalahkan, kecuali den-
gan Cakar Harimau. Teringat hal itu, Bayu ingin men-
coba kekebalan gadis ini. Segera tubuhnya dimiring-
kan dan agak membungkuk sedikit Lalu sambil berte-
riak keras, tangan kanannya mengibas ke depan.
Cakra Maut yang sudah menempel kembali di
pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka, se-
ketika melesat cepat bagaikan kilat menerjang Rara
Asih. Namun gadis itu menyambutnya dengan senyu-
man, dan sedikit pun tidak mencoba menghindar. Se-
hingga telak sekali Cakra Maut menghantam dadanya.
Namun apa yang terjadi...?
"Edan...!" dengus Bayu hampir tidak percaya.
Senjata andalan Pendekar Pulau Neraka terpental balik begitu menghantam dada Rara Asih, lalu
kembali menempel di pergelangan tangan pemiliknya.
Sejenak Bayu tertegun melihat wanita itu masih berdiri
tegar. Padahal tadi jelas sekali kalau dadanya tersam-
bar Cakra Maut milik Pendekar Pulau Neraka.
"Dia bukan lawanmu, Kisanak..."
Pendekar Pulau Neraka terkejut ketika tiba-tiba
terdengar suara halus dari arah belakang. Dia memang
sedang tertegun pada kekebalan Rara Asih sehingga
sampai tidak menyadari kalau ada seorang gadis lain
berdiri di belakangnya. Gadis itu berparas cantik,
mengenakan baju warna merah muda. Dia melangkah
maju melewati Pendekar Pulau Neraka.
"Kau akan mampus dengan ini...!" dengus gadis
itu seraya mengeluarkan sebuah benda berbentuk se-
buah kaki seekor harimau, dari balik lipatan bajunya.
"Heh...?!" Rara Asih tampak terkejut.
Begitu terkejutnya, hingga sampai terlompat
dua tindak ke belakang. Rara Asih seperti tidak per-
caya melihat benda yang tergenggam di tangan gadis di
depannya. Namun sebelum sempat melakukan sesua-
tu, gadis itu sudah melompat menyerangnya dengan
kecepatan yang cukup tinggi.
Namun Rara Asih bukanlah wanita kosong
yang mudah menyerah begitu saja. Dengan satu gera-
kan ringan dan cepat, serangan itu bisa dielakkan.
Bahkan mampu memberi serangan balasan yang tidak
kalah dahsyatnya. Sementara Bayu jadi bengong dan
hanya menyaksikan saja. Dia pernah melihat gadis itu.
Kini Bayu ingat, kalau pernah melihatnya di kedai Ki
Karta.
"Aku yakin, dia pasti Intan..." gumam Bayu da-
lam hati.
Dan dugaan Pendekar Pulau Neraka memang
tepat Gadis itu memang Intan, yang baru saja sampai
ke Puncak Gunung Parang ini bersama Seta dan Dar-
masaka. Dan kini, dua pemuda itu langsung terjun da-
lam kancah pertempuran. Sedangkan Intan sendiri,
menghadapi Rara Asih.
"Yeaaah...!"
Mendadak saja Rara Asih cepat memutar tu-
buhnya. Begitu cepatnya, sehingga Intan tidak sempat
menyadari apa yang dilakukan wanita itu. Dan tahu-
tahu....
"Akh..." Intan memekik keras. Bayu yang sejak
tadi selalu memperhatikan, jadi terkejut juga melihat
Rara Asih berhasil mendaratkan satu pukulan keras
ke dada Intan. Akibatnya, gadis itu terhuyung ke bela-
kang. Cakar Harimau yang berada di dalam gengga-
man tangannya, terpental ke udara.
"Hiyaaa...!"
Bergegas Bayu melentingkan tubuhnya, menge-
jar benda yang bisa dijadikan senjata maut itu. Cepat
sekali lesatan Pendekar Pulau Neraka. Dan sebelum
Rara Asih maupun Intan menyadari, Bayu sudah ber-
hasil menangkap Cakar Harimau. Pendekar Pulau Ne-
raka kembali meluruk cepat ke bawah.
"Yeaaah...!"
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Bayu se-
gera menyerang Rara Asih. Hal ini membuat wanita itu
terkejut setengah mati. Cepat-cepat wanita itu melom-
pat mundur, menghindari serangan yang dilancarkan
Bayu Namun Pendekar Pulau Neraka tidak memberi
kesempatan lagi, dan terus mencecar dengan jurus-
jurus yang dahsyat dan berbahaya.
Sementara Bayu kini tengah bertarung dengan
Rara Asih, di tempat lain pun pertarungan juga masih
terus berlangsung. Tampak Eyang Purata, Suci, Seta dan Darmasaka bahu membahu bersama prajurit un-
tuk menghancurkan anak buah Rara Asih. Dan tam-
paknya, prajurit itu berasal dari Kerajaan Galagong.
Lalu bagaimana para prajurit itu bisa datang ke
Puncak Gunung Parang? Ini berkat Ki Gandul, Kepala
Desa Malanapa.
Laki-laki gendut itu, begitu mendapat surat da-
ri Eyang Purata yang dititipkan pada Suci, segera pergi
ke Kerajaan Galagong. Memang, Desa Malanapa masih
termasuk dalam wilayah Kerajaan Galagong.
Ki Gandul sengaja tidak menceritakan seluruh
isi surat kepada Suci, agar tugas yang diemban gadis
itu tidak berantakan di tengah jalan. Tugas itu adalah
memancing keluar Rara Asih dan gerombolannya dari
tempat persembunyian mereka di Gunung Parang.
Dan pada kenyataannya, gerombolan itu telah
keluar. Bahkan sekarang, boleh dibilang hampir terde-
sak. Terlihat jelas kalau orang-orang berbaju merah itu
semakin terdesak saja. Bahkan tidak sedikit yang me-
larikan diri, mencari selamat, dan tidak sedikit pula
yang tewas berlumuran darah.
"Jebol...!" tiba-tiba Bayu berseru keras.
Seketika itu juga, Pendekar Pulau Neraka
memberi satu sodokan tangan kiri ke arah dada Rara
Asih. Tapi manis sekali gadis itu berhasil menghinda-
rinya. Namun tanpa diduga sama sekali, Bayu meng-
hentak kan tangan kanannya tanpa menarik pulang
tangan kiri.
"Uts...!"
Rara Asih terkejut bukan main Buru-buru tu-
buhnya diegoskan ketika Cakra Maut melesat cepat
bagaikan kilat mengincar tubuhnya. Namun begitu
senjata itu lewat, tanpa diduga sama sekali Bayu su-
dah mengibaskan kembali tangan kanan yang meng
genggam Cakar Harimau.
"Yeaaah...!"
"Ikh...!"
Bret!
Rara Asih hanya bisa mendelik, dan tak sempat
lagi menghindar. Wanita cantik itu memekik agak ter-
tahan ketika ujung Cakar Harimau menyobek bahu
kanannya. Dan sebelum sempat disadari apa yang ter-
jadi, Bayu sudah kembali menyodokkan Cakar Hari-
mau tepat ke arah dada.
Begitu cepatnya sodokan yang dilakukan Pen-
dekar Pulau Neraka. Dan itu membuat Rara Asih tidak
sempat lagi berkelit menghindar. Dan....
Bres!
"Aaa...!"
Satu jeritan panjang melengking tinggi mengi-
ringi kematian wanita cantik itu. Cakar Harimau ter-
benam dalam di dada. Darah langsung merembes de-
ras sekali. Bayu melepaskan genggamannya pada Ca-
kar Harimau itu, begitu tubuh Rata Asih ambruk ke
tanah.
"Hhh...!" Bayu menghembuskan napas panjang.
Sebentar Pendekar Pulau Neraka mengedarkan
pandangannya berkeliling. Senyumnya sedikit ter-
sungging ketika melihat anak buah Rara Asih mulai
berlarian begitu mengetahui pemimpinnya tewas. Na-
mun para prajurit Kerajaan Galagong tidak membiar-
kannya begitu saja. Sebagian langsung mengejar, dan
sebagian lagi tetap tinggal.
Eyang Purata, Seta dan Darmasaka bergegas
menghampiri Intan. Orang tua itu membungkuk den-
gan merapatkan kedua tangan di depan dada, diikuti
Seta dan Darmasaka.
Suci yang melihat guru dan kakak-kakak se
perguruannya bersikap begitu, jadi keheranan.
"Suci, beri hormat pada Gusti Ayu," perintah
Eyang Purata.
"Gusti Ayu...?" Suci tidak mengerti.
"Ah, sudahlah. Tidak perlu bersikap demikian.
Sebaiknya kita kembali saja ke padepokan. Biarkan
prajurit-prajurit yang mengurus mereka," ujar Intan
seraya tersenyum.
Mereka kemudian melangkah pergi. Suci tetap
ingin meminta penjelasan tentang diri Intan. Dengan
singkat Eyang Purata menjelaskan kalau Intan adalah
putri bungsu dari Raja Kerajaan Galagong yang me-
nuntut ilmu padanya.
Dan sebenarnya, Intan memang telah disela-
matkan Eyang Purata. Gadis itu dititipkan pada Ki
Gandul Dia ditunggui oleh Seta dan Darmasaka di ru-
mah kepala desa itu Dan ternyata bingkisan yang dibe-
rikan pada Ki Gandul itu berisi Cakar Harimau. Pusa-
ka itu rencananya memang akan digunakan untuk
menghabisi riwayat Rara Asih.
Sementara itu Bayu memandangi mereka se-
bentar seraya tersenyum tipis. Kemudian dengan cepat
melesat pergi. Begitu cepat dan sempurnanya ilmu me-
ringankan tubuh yang dimiliki. Sehingga dalam seke-
jap saja bayangan tubuh Pendekar Pulau Neraka su-
dah lenyap seperti ditelan bumi.
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar