..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Kamis, 06 Februari 2025

PENDEKAR PULAU NERAKA EPISODE BIDADARI PENYAMBAR NYAWA

Bidadari PENYAMBAR nyawa

 

BIDADARI 
PENYAMBAR NYAWA
Oleh Teguh Suprianto
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Pulau Neraka
dalam episode:
Bidadari Penyambar Nyawa
128 hal. ; 12 x 18 cm


SATU

Rombongan prajurit Kadipaten Baluran yang 
dipimpin Ki Aria Depa telah memasuki kawasan 
Hutan Mlinping, ketika matahari mulai tergelincir 
ke arah barat. Kalau perjalanan ini tak terganggu, 
bisa jadi mereka akan tiba di kadipaten menjelang 
tengah malam nanti. Itu pun kalau sang Adipati 
Wiriaraja yang ikut dalam rombongan tidak 
menghendaki istirahat.
Seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh 
tahun itu memberi isyarat pada semua anak 
buahnya untuk waspada, ketika telah masuk ke 
dalam hutan ini.
“Kenapa, Ki Aria?” tanya seorang pemuda yang 
berada di samping kirinya.
Laki-laki bertubuh tegap yang dipanggil Ki Aria 
itu melirik sebentar pada anak buah yang mene-
gurnya.
“Kau tidak tahu, Brata Sena. Kawasan Hutan 
Mlinping telah dikuasai kawasan perampok yang 
menamakan dirinya Alap-alap Panah Beracun,” 
jawab laki-laki setengah baya yang sebenarnya 
bernama Ki Aria Depa.
“Hm, ya.... Aku pernah mendengar nama itu. 
Kalau tak salah, mereka dipimpin Ki Tambak 
Ireng yang anak buahnya bersenjatakan anak pa-
nah beracun,” desah Brata Sena.
Ki Aria Depa mengangguk pelan.
“Brata Sena! Kau mundur ke barisan kiri. Dan 
kau, Sendang Dulur! Jaga barisan kanan!”

“Baik, Ki...,” sahut Brata Sena dan seorang ka-
wannya di sebelah kanan Ki Aria Depa, yang di-
panggil Sendang Dulur. Keduanya segera memacu 
kuda ke arah yang ditunjukkan pemimpin mere-
ka.
Ki Aria Depa sendiri memutar kudanya dan 
bergerak ke arah kereta yang membawa Adipati 
Wiriaraja. Begitu dekat dengan kereta kuda, dia 
bicara sebentar dengan kusir kereta yang dikawal 
seseorang bersenjatakan panah. Baru setelah itu, 
didekatinya dinding kereta.
“Ada apa, Ki?” tanya sang Adipati Wiriaraja, se-
telah membuka tirai jendela keretanya. Sedikit 
kepalanya melongok keluar.
“Maaf, Kanjeng Adipati. Kita telah memasuki 
kawasan Hutan Mlinping. Hamba berharap, Kan-
jeng Adipati tidak lengah dan tetap waspada jika 
kita mendapat serangan mendadak dari kawanan 
perampok yang menguasai daerah ini,” jelas Ki 
Aria Depa.
Adipati Wiriaraja mengangguk pelan.
“Sudah kau siagakan semua pasukan?” tanya, 
adipati berusia tiga puluh lima tahun itu. Nada 
suaranya terdengar was-was.
“Sudah, Kanjeng Adipati!” sahut Ki Aria Depa.
“Bagus. Laksanakan tugasmu dengan baik.
Dan, jangan khawatir. Aku akan tetap waspa-
da.”
“Terima kasih, Kanjeng Adipati...,” sahut Ki 
Aria Depa seraya memberi hormat. Lalu, pemim-
pin pasukan itu kembali ke tempat semula.

Ki Aria Depa kemudian memerintahkan pasu-
kannya yang berjumlah sekitar dua puluh orang 
untuk berjalan pelan dengan seluruh kewaspa-
daan ditingkatkan. Matanya yang beredar ke se-
keliling dipasang lebar-lebar dan pendengaran di-
pertajam.
Semua tahu kalau kawanan Alap-alap Panah 
Beracun terkenal buas dan kejam. Bahkan tidak 
pilih-pilih dalam merampok dan membunuh 
mangsanya. Lebih dari itu, disadari pula kalau 
anak buah Ki Tambak Ireng memiliki kepandaian 
ilmu silat yang cukup hebat. Kalau saja ada yang 
bisa membuat sedikit tenang adalah karena ada 
Ki Aria Depa yang memang bukan orang semba-
rangan. Sebelum menjabat sebagai Kepala Pasu-
kan Kadipaten Baluran, dia adalah seorang pen-
dekar tangguh yang jarang ada tandingannya. Hal 
itu tidak heran, karena dia merupakan murid 
tunggal Nyi Sanggul Geni, tokoh wanita berke-
pandaian tinggi yang amat disegani kalangan per-
silatan.
Sementara itu, tidak berapa lama mereka ber-
jalan, mendadak telinga Ki Aria Depa yang tajam 
mendengar suara mencurigakan. Langsung dia 
memberi isyarat dengan tangan kepada pasukan-
nya untuk berhenti. Melihat itu, Brata Sena dan 
Sendang Dulur dengan sigap menghampiri lalu 
berhenti di samping Ki Aria Depa.
“Ada apa, Ki?” tanya Brata Sena, penasaran.
“Tidakkah kau mendengar suara itu?”
“Suara? Suara apa? Aku tidak mendengar sua

ra yang mencurigakan?” sahut Brata Sena, sema-
kin bingung.
Ki Aria Depa agaknya tidak mempedulikan ke-
heranan anak buahnya. Lalu, dipanggilnya lima 
orang anak buahnya yang lain.
“Kalian berlima, ikut aku,” ujar Ki Aria Depa. 
Lalu matanya beralih pada Brata Sena dan Sen-
dang Dulur. “Jaga pasukan sebaik-baiknya den-
gan tetap meningkatkan kewaspadaan...!”
Kemudian, Ki Aria Depa memacu kencang ku-
danya ke depan, diikuti lima orang anak buahnya. 
Sementara, Brata Sena masih terpaku di tempat-
nya dengan wajah bingung. Demikian pula Sen-
dang Dulur. Apa yang didengar Ki Aria Depa? Me-
reka sama sekali tidak mendengar apa-apa, selain 
desau angin dan suara cericit burung yang sese-
kali melintas terbang. Tapi menyadari kalau Ki 
Aria Depa memiliki kepandaian tinggi, maka ke-
duanya bisa memaklumi.
Kini tanpa mengurangi kewaspadaan, Brata 
Sena dan Sendang Dulur memimpin pasukan da-
lam keadaan siaga penuh. Perlahan-lahan mereka 
mendekati arah yang tadi dituju Ki Aria Depa be-
serta lima orang anak buahnya. Keduanya juga 
mengerti, kenapa Ki Aria Depa tidak mengajak. 
Sebab, laki-laki itu takut jika mereka bertiga pergi 
lebih dahulu, maka pasukan yang lain akan mu-
dah diserang oleh kawanan Alap-alap Panah Be-
racun yang setiap saat bisa saja terjadi. Sedang 
semua tahu kalau kekuatan pasukan itu justru 
terletak di tangan mereka bertiga.

***
Ki Aria Depa terus menjalankan kudanya ke 
arah jeritan halus tadi terdengar. Walaupun sa-
mar-samar sekali, namun jelas bisa dibedakan 
kalau jeritan itu keluar dari seorang wanita yang 
sedang dalam bahaya. Dan kecurigaannya pun 
semakin besar, ketika teriakan ketakutan itu se-
makin jelas terdengar.
Dan ketika tiba di tempat sumber jeritan tadi, 
Ki Aria Depa menggigil menahan marah dan lang-
sung melompat turun dari kudanya. Di depan 
matanya kini terlihat lima orang laki-laki berwa-
jah seram tengah mengerubungi seorang gadis be-
lia, berusia tak kurang dari empat belas tahun. 
Salah seorang tampak tengah menindihnya sam-
bil tertawa lebar. Dua orang yang lain tampak 
menontoni dengan wajah penuh nafsu. Sementara 
dua orang lainnya tengah membetulkan celana 
yang kedodoran disertai wajah puas, tanpa meli-
hat kehadiran Ki Aria Depa.
Gadis belia itu tampak lelah tak berdaya mene-
rima perlakuan kotor laki-laki yang menggilirnya 
satu persatu. Namun terlihat kalau dia sama se-
kali tak rela, dengan berusaha melepaskan diri 
dari cengkeraman.
“Binatang-binatang laknat! Hentikan perbuatan 
terkutuk kalian!” bentak Ki Aria Depa dengan su-
ara menggeledek.
Bersamaan dengan itu pula tubuh Ki Aria Depa 
melesat ringan disertai tendangan kaki kanan ke 
arah tubuh laki-laki yang tengah menindih gadis


belia itu. Begitu cepat datangnya serangan. Se-
hingga sebelum ada yang menyadari....
Desss!
“Aaakh...!”
Laki-laki yang tengah dirasuki nafsu iblis itu 
kontan memekik kesakitan, begitu tendangan Ki 
Aria Depa mendarat telak di pinggang kanannya. 
Tubuhnya seketika terjungkal sekitar lima lang-
kah disertai darah kental yang muncrat dari mu-
lut. Tendangan Ki Aria Depa tadi memang berisi 
tenaga dalam penuh. Dia memang menjadi tak 
peduli, apakah lawan akan binasa atau tidak. Apa 
pun akan dilakukannya dalam kemarahannya 
melihat kelakuan orang-orang biadab. Dan apa 
yang dilakukannya, sebatang pohon besar pun 
pasti akan tumbang. Maka tak heran kalau laki-
laki itu seketika tewas dengan pinggang remuk.
“Keparat! Berani benar kau mencampuri uru-
san kami?! Huh! Rasakan pembalasan kami!” sen-
tak keempat laki-laki pemerkosa, masing-masing.
Sementara itu, kelima anak buah Ki Aria Depa 
seketika tertegun. Namun, mereka cepat menca-
but golok dan melompat melindungi Ki Aria Depa. 
Sementara Ki Aria Depa sendiri tenang-tenang sa-
ja.
“Hm.... Pantas saja perbuatan kalian bejad! 
Dan selamanya, Kawanan Alap-alap Panah Bera-
cun selalu melakukan perbuatan biadab!” dengus 
laki-laki setengah baya itu dingin.
Ki Aria Depa segera bisa menduga kalau empat 
pemerkosa yang tersisa adalah sebagian dari Kawanan Alap-alap Panah Beracun. Itu bisa dilihat 
dari senjata berupa busur baja dan kantong anak 
panah yang tersandang di punggung masing-
masing.
“Bagus! Ternyata kau telah mengenal kami. Ka-
lau begitu, lekas pancung kepalamu untuk mene-
bus dosamu!” sentak salah seorang dari kawanan 
itu yang berbaju merah menyala.
“Ha ha ha...! Kawanan anjing kurap seperti ka-
lian memang selalu merasa tinggi dan mengang-
gap rendah orang lain...!” ejek Ki Aria Depa sambil 
tertawa.
“Kurang ajar! Kutu busuk kalian hendak berla-
gak di depan kami. Lebih baik mampus saja!” 
dengus laki-laki berbaju merah itu.
Langsung dia bergerak ke arah Ki Aria Depa, 
dengan ayunan busur yang digunakannya sebagai 
senjata. Dan seketika itu pula ketiga kawannya 
bergerak pula, menyerang anak buah Ki Aria De-
pa.
“Yeaaa...!”
“Hiyaaat...!”
Ki Aria Depa tersenyum sambil melompat un-
tuk menghindari sabetan busur laki-laki berbaju 
merah. Dan ujung kaki kanannya cepat memba-
las dengan sambaran ke arah wajah.
Wut!
Laki-laki berbaju merah itu melemparkan ke-
palanya ke belakang dengan wajah kaget. Sung-
guh tak dikira kalau laki-laki setengah baya itu 
mampu bergerak demikian cepat. Bukan hanya

itu. Angin sambaran tendangan Ki Aria Depa pun 
masih terasa menekan wajahnya. Meski begitu 
hatinya tak gentar. Malah, dia menyerang sema-
kin ganas.
“Hiyaaat...!”
Dalam suatu kesempatan, laki-laki berbaju me-
rah menyala itu menyambar anak panahnya. Dan 
seketika tiga buah anak panah langsung dihu-
jamkan ke arah Ki Aria Depa. Dengan cepat, laki-
laki setengah baya itu berjumpalitan untuk 
menghindarinya.
Belum juga Ki Aria Depa mendarat di tanah
orang berbaju merah itu kembali menyerang. Ke-
palan tangan kanannya yang berisi tenaga dalam 
kuat, menyambar lurus ke arah dada Ki Aria De-
pa. Maka begitu kakinya menyentuh tanah, di-
tangkisnya serangan itu dengan kibasan tangan 
kiri.
Plak!
“Ukh...!”
Orang berbaju merah itu merasa kesemutan 
ketika tangannya beradu. Wajahnya menyeringai 
menahan sakit. Namun kaki kirinya cepat berpu-
tar menyambar pinggang Ki Aria Depa. Maka ce-
pat-cepat laki-laki setengah baya itu melompat ke 
atas.
Sring!
Begitu berada di atas, Ki Aria Depa langsung 
mencabut pedangnya. Seketika, disambarnya ba-
tok kepala orang berbaju merah itu. Tentu saja 
hal ini membuat laki-laki itu kaget bukan main.

Buru-buru dia menjatuhkan diri. Namun ujung 
kaki kanan Ki Aria Depa lebih cepat lagi meng-
hantam tengkuknya.
Duk!
“Aaakh...!”
Orang berbaju merah itu mengeluh kesakitan, 
begitu tengkuknya terhajar kaki kanan Ki Aria 
Depa. Tubuhnya terjajar ke depan dan nyaris ter-
sungkur. Untungnya keseimbangan tubuhnya ce-
pat terkuasai.
Ki Aria Depa yang melihat keadaan lawannya 
tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Ujung pe-
dangnya langsung berkelebat ke arah pinggang 
kiri orang berbaju merah itu.
Bresss!
“Aaa...!”
Laki-laki itu kembali menjerit, begitu pedang Ki 
Aria Depa menembus pinggangnya: Sepasang ma-
tanya melotot nyalang, dan dari mulutnya me-
netes darah segar. Ki Aria Depa mendengus kecil 
seraya mencabut pedangnya yang terbenam ham-
pir setengahnya. Tubuh orang itu kemudian am-
bruk, dan tewas setelah menggelepar beberapa 
saat
“Huh! Mampuslah kau! Orang-orang sepertimu 
memang patut menerimanya!” dengus Ki Aria De-
pa dingin.
Pada saat yang hampir bersamaan, kembali 
terdengar dua jeritan anggota gerombolan Alap-
alap Panah Beracun. Ki Aria Depa menoleh. Tam-
pak dua orang tewas di tangan anak buahnya.

Sementara, dua orang lagi kabur melarikan diri.
“Biarkan mereka mengadu pada pimpinannya. 
Kita telah siap menghadapi mereka!” cegah Ki Aria 
Depa, ketika melihat anak buahnya akan menge-
jar.
“Tapi, Ki.... Perjalanan kita masih jauh. Bagai-
mana kalau mereka mengadu pada yang lainnya, 
lalu menghadang perjalanan kita?” tanya salah 
seorang anak buah Ki Aria Depa dengan wajah 
kurang puas.
Ki Aria Depa tak menjawab. Tapi dia mendekati 
gadis belia yang tadi sempat menjadi korban naf-
su iblis para pemerkosa. Salah seorang anak 
buah laki-laki setengah baya itu memberikan baju 
pada gadis itu untuk menutupi tubuhnya yang 
tanpa sehelai pakaian pun. Wajah gadis itu tam-
pak pucat dan bibirnya gemetar. Tetesan air mata 
telah mengering di bawah kelopak matanya yang 
sembab. Namun meski keadaannya lusuh begitu, 
jelas terlihat kalau gadis belia itu amat cantik. 
Tubuhnya pun bagus. Tak heran bila para begun-
dal tadi seperti kerasukan setan saja melihatnya.
“Siapa namamu, Cah Ayu?” tanya Ki Aria Depa 
seraya menundukkan tubuh dan tersenyum kecil.
***
Gadis itu surut ke belakang. Sepasang ma-
tanya memandang curiga ke arah Ki Aria Depa. 
Sinar kebencian jelas terlihat dari raut wajahnya. 
Sementara Ki Aria Depa bukannya tidak menge-
tahuinya. Dan bibirnya kembali tersenyum seraya

mengulurkan tangan.
“Namaku Aria Depa, Panglima Kadipaten Balu-
ran. Dan mereka adalah anak buahku. Kami bu-
kan orang jahat. Malah, sebaliknya kami akan 
melindungimu dari perbuatan jahat orang-orang 
yang telah berbuat tak senonoh padamu. Nah, 
Cah Ayu. Ikutlah bersama kami...,” bujuk Ki Aria 
Depa.
Gadis itu diam membisu, malah wajahnya di-
palingkan seolah tak peduli dengan apa yang di-
katakan Ki Aria Depa. Laki-laki itu menghela na-
pas pendek, tidak tahu harus berbuat apa.
Pada dasarnya, Ki Aria Depa memang bukan 
orang yang penuh kesabaran. Apalagi menghada-
pi hal seperti sekarang. Wajahnya lalu ditenga-
dahkan ke langit, kemudian berbalik, hendak 
meninggalkan gadis itu. Sedangkan kelima anak 
buahnya jadi serba salah. Mereka seperti tak per-
caya kalau Ki Aria Depa bermaksud meninggal-
kan gadis belia di sini. Bagaimana kalau kawanan 
begundal tadi datang kembali, dan mengulangi 
perbuatan kotor mereka dengan cara lebih biadab 
terhadap gadis belia itu?
“Apakah kalian punya cara untuk membujuk-
nya, agar mau ikut dengan kita? Dan yang lebih 
penting, apakah kalian, bisa meyakinkannya ka-
lau kita bukan bermaksud jahat padanya? Lihat 
sinar matanya yang penuh kecurigaan dan sea-
kan tak percaya pada setiap orang lagi,” gumam 
Ki Aria Depa. Suaranya terdengar pelan namun 
jelas penuh rasa iba pada nasib gadis belia itu.

“Paman Aria Depa, apakah yang sedang terjadi 
di tempat ini?”
Ki Aria Depa tersentak kaget begitu tiba-tiba 
mendengar sapaan halus dari belakang. Laki-laki 
setengah baya itu kontan menoleh dan berbalik. 
Kini di hadapannya telah berdiri Adipati Wiriaraja 
pada jarak tujuh langkah. Kedua telapak kakinya 
persis berpijak pada sebatang akar pohon yang 
mencuat ke atas permukaan tanah. Yang amat 
mengherankan, dari mana adipati ini tiba-tiba te-
lah berada di depannya tanpa diketahui?
“Maaf, Kanjeng Gusti Adipati. Hamba berusaha 
menyelamatkan seorang gadis belia dari perbua-
tan busuk Kawanan Alap-alap Panah Beracun. 
Namun, agaknya gadis itu tak percaya pada niat 
baik kami. Hamba tak berhasil membujuknya...,” 
jelas Ki Aria Depa singkat.
“Hm, begitukah? Baiklah. Mungkin aku bisa 
membujuknya, Paman,” desah adipati itu.
Adipati Wiriaraja lalu tersenyum seraya meng-
hampiri gadis itu. Namun, gadis ini sudah me-
mandangnya dengan rasa curiga dan kebencian.
“Nisanak, tersenyumlah. Dan, hilangkan ke-
bencian serta rasa curiga terhadap kami. Sesung-
guhnya, kau diberi akal budi untuk membedakan 
manusia yang hendak berbuat jahat padamu, dan
manusia yang hendak membantumu. Maka, 
alangkah sia-sianya jika Nisanak menuruti hawa 
nafsu untuk menyamakan semua manusia yang 
ditemui. Aku Adipati Wiriaraja, ikutlah dengan-
ku..,” kata Adipati Wiriaraja seraya mengulurkan

tangan dan tersenyum pada gadis itu.
Meskipun wajahnya masih terlihat pucat, na-
mun samar-samar ada sebersit senyum ketika 
gadis itu mengulurkan tangan menyambut uluran 
tangan sang Adipati.
“Jangan takut, kami bermaksud baik padamu. 
Siapa namamu...?” lanjut Adipati Wiriaraja tetap 
tersenyum ramah.
Gadis belia itu terdiam. Sementara Adipati Wi-
riaraja tetap tersenyum. Dan pada saat yang sa-
ma, rombongan yang dipimpin Brata Sena dan 
Sendang Dulur tiba di tempat itu. Keduanya sedi-
kit terkejut ketika melihat Adipati Wiriaraja telah 
berada di tempat ini lebih dulu bersama pasu-
kannya. Tidak ada seorang pun yang tahu, ba-
gaimana caranya Adipati Wiriaraja bisa cepat be-
rada di tempat ini.
“Mari, ikut denganku dengan kereta itu...!” ajak 
Adipati Wiriaraja seraya menuntun gadis itu ke 
dalam kereta.
Gadis itu tampak menurut dan melangkah per-
lahan-lahan. Sebelum kakinya masuk ke dalam 
kereta, dipandanginya mereka satu persatu seper-
ti hendak meyakinkan dirinya kalau orang-orang 
itu tidak akan mencelakakan dirinya.
“Kita langsung berangkat, Kanjeng Gusti Adi-
pati...?” tanya Ki Aria Depa.
“Ya. Kita berangkat sekarang...,” balas Adipati 
Wiriaraja setelah masuk ke dalam kereta bersama 
gadis belia itu.
Ki Aria Depa segera memerintahkan pasukan

nya untuk segera meninggalkan tempat ini tanpa 
mengurangi kewaspadaan terhadap kemungkinan 
serangan Kawanan Alap-alap Panah Beracun.
Hari telah menjelang sore ketika mereka keluar 
dari Hutan Mlinping. Agaknya, Kawanan Alap-
alap Panah Beracun tidak mengadakan pembala-
san atas beberapa orang anggotanya yang tewas. 
Atau mungkin juga, ada alasan lain yang mem-
buat mereka tidak mencegat rombongan itu. Se-
mua anggota pasukan kadipaten kini bisa berna-
pas lega. Tidak lama lagi, mereka akan tiba di de-
sa terdekat. Sedangkan Adipati Wiriaraja memberi 
isyarat pada Ki Aria Depa untuk beristirahat di 
desa Loh Gawe.
Namun baru saja melangkah beberapa saat, 
mendadak terdengar irama suling yang mengalun 
seperti mengelilingi tempat itu. Iramanya teratur 
dan terdengar merdu. Mereka saling berpandan-
gan, dan mencari-cari asal suara. Namun tak seo-
rang pun yang terlihat di tempat itu.
“Eyang Guru...,” desis Ki Aria Depa.
“Hi hi hi...! Hendak ke mana kalian ramai-
ramai seperti ini? Dan apakah yang kalian bawa
untukku...?!”
Suara suling itu lenyap. Dan kini berganti sua-
ra tawa cekikikan halus yang mengiringi berkele-
batnya sesosok tubuh dengan ringan di hadapan 
mereka dari depan.
Ternyata, dia adalah seorang perempuan tua 
berambut panjang teriap dan telah memutih. Ba-
junya terlihat kebesaran berwarna kelabu. Tangan kirinya menggenggam sebatang suling bam-
bu. Wajahnya terlihat riang dengan senyum selalu 
terkembang. Melihat kehadiran wanita itu, serta 
merta Ki Aria Depa membungkukkan tubuh dan 
memberi salam hormat. Tampaknya, Ki Aria Depa 
mempunyai hubungan dekat dengan wanita itu.
“Eyang, terimalah salam hormat muridmu 
ini....”
“Hi hi hi...! Kuterima salam hormatmu, Anak-
ku. Nah, apakah yang kau bawa untukku ini?” 
tanya perempuan tua itu, yang rupanya guru dari 
Ki Aria Depa.
“Ampun, Eyang. Kami tidak membawa apa-apa 
untukmu. Saat ini kami tengah menjalankan tu-
gas mengawal junjungan kami, yaitu Kanjeng 
Gusti Adipati Wiriaraja,” jelas Ki Aria Depa.
“Apa? Brengsek! Susah payah aku mendidik-
mu, ternyata kau menjadi budak orang. Apa aku 
pernah mengajarkanmu begitu, heh?! Justru ka-
lau bisa, kau harus menjadi raja yang dipuja ba-
nyak orang!” dengus perempuan tua itu geram.
“Tapi, Eyang....”
“Sudahlah. Sekarang juga, kau harus ikut den-
ganku!” potong wanita tua itu nyaring.
Ki Aria Depa menjadi serba salah mendengar 
perkataan wanita itu. Matanya melirik sekilas ke 
arah kereta, kemudian kembali memandang gu-
runya dengan wajah bingung.
“Ayo, apa lagi yang ditunggu? Apa yang kau 
pandang dari manusia itu, sehingga kau mau 
mengabdi padanya?” hardik wanita tua itu dengan sepasang mata melotot. Dalam seketika, wa-
jahnya yang tadi ramah dan penuh tawa, berubah 
garang laksana seekor macan betina yang tengah 
murka.
Ki Aria Depa semakin merasa serba salah. Har-
ga dirinya betul-betul jatuh diperlakukan demi-
kian oleh gurunya. Namun, dia tak mampu untuk 
berbuat apa-apa. Dan lagi, apa yang diperintah-
kan gurunya rasanya tidak mungkin bisa dikerja-
kan. Paling tidak, untuk saat ini. Sebab, tugasnya 
untuk mengawal sang Adipati hingga sampai ke 
tempat kediamannya belum selesai. Tapi kalau 
perintah gurunya tidak dituruti, bisa jadi dia 
akan marah besar. Dan bukan tidak mungkin 
akan menghajarnya di depan anak buahnya. Dia 
tahu betul watak gurunya.
Dalam keadaan demikian, Adipati Wiriaraja se-
gera turun dari kereta kudanya. Langsung di-
hampirinya wanita tua itu.
“Nyi Sanggul Geni, aku yang hina bernama Wi-
riaraja menghaturkan salam hormat kepada-
mu...!” ucap adipati itu dengan suara rendah dan 
halus.
***
DUA


Wanita tua yang dipanggil Nyi Sanggul Geni 
berpaling, menatap sinis pada Adipati Wiriaraja. 
Namun hatinya sedikit bergetar ketika sorot matanya beradu dengan laki-laki berusia sekitar tiga 
puluh lima tahun berwajah bersih itu. Tidak pelak 
lagi, Nyi Sanggul Geni bisa menduga bahwa adi-
pati ini agaknya bukanlah orang sembarangan. 
Dan orang seperti dirinya yang telah kenyang ma-
kan asam garam dunia persilatan, tentu saja bisa 
mudah menebak kalau tenaga batin sang Adipati 
itu tentu telah demikian tinggi.
“Huh! Aku tidak bicara padamu! Untuk apa 
menerima segala salam hormat darimu!” sahut 
perempuan tua itu tetap mendengus sinis.
Mendengar sahutan itu Adipati Wiriaraja sama 
sekali tak marah. Sebaliknya, malah tersenyum 
kecil.
“Seorang manusia terhormat hendaknya saling 
bertegur sapa dan memberi hormat setiap kali 
bertemu seseorang. Dan sudah sepatutnya orang 
yang diberi salam hormat itu pun membalas sa-
lam yang sama. Kecuali, kalau derajatnya bukan-
lah seorang manusia...,” kata Adipati Wiriaraja, 
kalem.
“Kurang ajar! Kau anggap apa aku, heh?!” har-
dik Nyi Sanggul Geni merasa tersinggung men-
dengar kata-kata adipati itu. Matanya mendelik 
garang, seperti hendak menelan bulat-bulat laki-
laki itu.
“Hm.... Kenapa Nyai marah? Apakah merasa 
tersinggung mendengar kata-kataku?”
“Brengsek! Kau kira apa derajatmu berani ber-
kata kurang ajar padaku?! Hei! Aku heran, apa 
kehebatanmu sehingga muridku bersedia mengabdi kepada orang sepertimu?! Kalau hanya ka-
rung kosong yang tidak berguna, kau akan mam-
pus di tanganku!” geram Nyi Sanggul Geni seraya 
melompat menyerang Adipati Wiriaraja.
“Eyang, jangan...!” cegah Ki Aria Depa berteriak 
cemas, seraya melompat menghadang serangan 
gurunya.
Prajurit Kadipaten Baluran terkejut melihat 
tindakan wanita tua itu. Namun, sesaat mereka 
tak tahu harus berbuat apa. Jika bergerak meng-
hadang, apa jadinya dengan Ki Aria Depa? Kare-
na, wanita tua itu adalah gurunya. Tapi jika di-
diamkan saja, keselamatan sang Adipati tentu 
akan terancam.
Sementara itu tubuh Ki Aria Depa sendiri begi-
tu terkejut, karena tiba-tiba saja gurunya mengi-
baskan sebelah tangannya. Dari situ menderu 
angin kencang yang menghantam dirinya. Ki Aria 
Depa berusaha berjumpalitan beberapa kali, ke-
mudian menjejakkan kakinya di tanah, tidak jauh 
dari tempat Adipati Wiriajara berada.
Nyai Sanggul Geni sedikit bersiap-siap akan
membuka jurus baru. Namun Ki Aria Depa sudah 
melangkah mendekati, langsung menjura hormat.
“Eyang, aku mohon jangan diteruskan...,” pinta 
laki-laki setengah baya itu.
“Minggir kau, Aria!” sentak Nyai Sanggul Geni 
cepat.
Namun, sikap Ki Aria Depa tidak berubah. 
Bahkan tetap berdiam diri di hadapan wanita tua 
itu.

“Huh! Kalau begitu, kau patut mendapat haja-
ran!” dengus wanita tua itu geram seraya men-
gayunkan telapak tangan kanan ke batok kepala 
muridnya.
Ki Aria Depa bukannya tidak tahu. Namun, 
keadaannya memang sedang terjepit dan tidak 
tahu harus berbuat apa untuk melerai tindakan 
gurunya. Kalaupun harus mati di tangan gu-
runya, itu lebih baik daripada bertindak tidak adil 
dalam peristiwa ini.
Dan dalam hal ini, agaknya Nyai Sanggul Geni 
betul-betul akan melakukan ancamannya. Wanita 
tua yang wataknya sulit ditebak ini, seperti tidak 
peduli apakah muridnya akan melawan atau ti-
dak. Maka seketika telapak tangannya diayunkan 
dengan deras. Namun sebelum menghantam ba-
tok kepala Ki Aria Depa, Adipati Wiriaraja cepat 
memapaki. Akibatnya, kedua telapak tangan me-
reka bertemu dan saling cengkeram.
“Nyi! Bukankah membunuh murid sendiri ada-
lah tidak terpuji? Apalagi muridmu bukanlah 
orang jahat Selama ini dia selalu membela orang-
orang tertindas. Bukankah itu merupakan didi-
kanmu? Dan hari ini, kau akan mengajarkan hal 
yang buruk padanya. Atau mungkin, penilaianku 
yang salah? Namun kumohon, sudilah kiranya 
kau mengampuninya....”
“He he he...! Tidak heran bila muridku men-
gabdi padamu. Tapi aku ingin melihat, pada siapa 
dia mengabdi. Kalau mengabdi pada orang tak 
berguna, maka lebih baik tak usah hidup. Di tanganmulah keputusan mati hidupnya,” sahut Nyi 
Sanggul Geni terkekeh kecil.
“Nyi! Aku hanya manusia biasa yang dipercaya 
memimpin kawula. Mana mungkin bisa melebihi 
kekuasaan Hyang Jagat Batara untuk menentu-
kan hidup mati seseorang...,” sahut Adipati Wiria-
raja tenang.
“Huh! Apa peduliku? Aku tidak bicara tentang 
Hyang Jagat Batara, tapi tentang muridku yang 
goblok dan kau yang kurang ajar!” dengus Nyi 
Sanggul Geni.
Sejak saling mengadu omong, mereka tidak 
melepaskan cengkeraman tangan masing-masing. 
Ki Aria Depa terkejut. Demikian juga Sendang 
Dulur dan Brata Sena. Tadi mereka dibuat terke-
jut oleh kehadiran adipati yang tiba-tiba. Dan ki-
ni, mereka melihat Adipati Wiriaraja malah berani 
memapak serangan wanita tua itu yang jelas-jelas 
memiliki kepandaian tinggi. Semua menyadari, 
apa yang tengah berlangsung di depan mata. Je-
las, itu adalah seperti adu kekuatan tenaga dalam 
dua tokoh tingkat tinggi. Terlihat asap mulai 
mengepul tipis dari kedua belah tangan mereka 
yang semakin lekat seperti bersatu. Wajah kedu-
anya mulai berkeringat Dan yang menjadi perta-
nyaan, dari mana Adipati Wiriaraja memiliki ke-
pandaian hebat sehingga mampu menandingi Nyi 
Sanggul Geni yang amat kosen dalam dunia persi-
latan?
***
Sejak pertama kali mengabdi di kadipaten, ti-
dak seorang pun yang tahu kalau Adipati Wiriara-
ja memiliki ilmu kedigdayaan. Demikian pula Ki 
Aria Depa. Laki-laki setengah baya itu hanya ter-
tarik mendengar keluhuran budi junjungannya 
terhadap rakyat, dan kebijaksanaannya. Tidak 
segan-segan beliau turun sendiri ke desa-desa 
untuk memperhatikan kehidupan dan kesejahte-
raan rakyat. Bahkan ikut membantu kawulanya 
yang sedang kesusahan. Dan pada dasarnya, Ki 
Aria Depa memang memiliki jiwa suka menolong. 
Maka dia merasa betah mengabdi pada sang Adi-
pati yang memang memiliki sifat lembut dan we-
las asih.
Tapi kini, apa yang terlihat sungguh menam-
bah kekaguman dan rasa hormat terhadap jun-
jungannya. Adipati Wiriaraja mampu menandingi 
kehebatan gurunya, yang selama ini amat disega-
ni dan diperhitungkan dalam kalangan persilatan.
“Nyi! Kurasa cukuplah dulu main-main kita 
saat ini. Aku mengaku kalah padamu...,” ujar 
Adipati Wiriaraja, seraya melompat ke belakang 
setelah mendorong perempuan tua itu.
Tubuh Nyi Sanggul Geni juga terjajar ke bela-
kang dalam keadaan berpijak di tanah. Sementa-
ra bibir adipati ini tersenyum kecil dan kembali 
menjura hormat pada wanita tua itu.
“Nyi! Aku sama sekali tidak menganggap budak 
terhadap muridmu. Sebaliknya, aku mengang-
gapnya sebagai sahabat terdekatku. Untuk itu, 
sudilah kau membiarkannya terus bekerja denganku...,” lanjut Adipati, ramah.
“Hi hi hi...! Sungguh patut kau bersahabat 
dengannya, Aria. Nah! Kau kurestui. Orang ini 
memang patut menjadi kawanmu. Baik-baiklah 
dengannya,” ujar Nyi Sanggul Geni.
Kemudian perempuan tua itu melangkah men-
dekati Adipati Wiriaraja. Matanya melirik sekilas 
ke dalam kereta, kemudian berpaling ke arah 
Adipati Wiriaraja.
“Tahukah kau, apa yang kuinginkan darimu?” 
lanjut wanita itu.
Adipati Wiriaraja tersenyum kecil.
“Kalau tidak salah menebak, kau tentu men-
ginginkan gadis belia yang berada di dalam kere-
taku itu, bukan?”
“He he he...! Ternyata kau juga cerdik dan ce-
pat tanggap. Sejak tadi, aku memang melihat per-
tarungan kalian dengan para cecunguk-cecunguk 
itu. Kalau saja muridku tidak cepat menyela-
matkan dirinya, tentu dia akan semakin menderi-
ta di tangan mereka. Kasihan, bocah itu. Dia kini 
sebatang kara. Aku ingin mengambilnya menjadi 
muridku. Nah, berikanlah padaku!” ujar Nyi 
Sanggul Geni.
“Maafkan aku, Nyi. Aku tidak bisa memberi-
kannya padamu...,” sahut Adipati Wiriaraja.
Wajah Nyi Sanggul Geni yang mulai lunak, 
kontan kembali garang mendengar jawaban adi-
pati itu. Tangan kirinya yang masih menggenggam 
suling langsung ditudingkan ke arah laki-laki itu.
“Bocah edan! Apa mesti kuhajar sampai mampus, baru aku bisa mendapatkan gadis itu, heh?! 
Atau, barangkali kau kepincut melihat kecanti-
kannya, dan bermaksud mengambilnya menjadi 
istrimu yang kesepuluh?” sentak Nyi Sanggul Ge-
ni disertai belalakan matanya.
Mendengar kata-kata pedas wanita tua itu, 
Adipati Wiriaraja sama tidak sekali tak marah. 
Dia malah tetap tenang sambil tersenyum.
“Nyi, apa yang kau katakan sama sekali tak be-
ralasan. Aku memang telah beristri, tapi cukup 
satu saja. Karena, aku merasa sudah bahagia. 
Adapun keinginanku memungut gadis itu, tidak 
lain ingin mengangkatnya sebagai anakku. Apala-
gi setelah sekian tahun berumah tangga, kami be-
lum juga dikaruniai anak...,” jelas Adipati Wiriara-
ja.
“Huh! Aku tidak peduli segala alasanmu! Beri-
kan bocah itu, atau aku mesti menempurmu 
sampai mampus?!” gertak wanita tua itu.
Adipati Wiriaraja tersenyum pahit Meskipun 
baru mengenal wanita tua itu, tapi sebenarnya 
mengerti betul wataknya yang angin-anginan dan 
mau menang sendiri. Namun dia sama sekali ti-
dak ingin bentrok dengannya. Bukan karena Nyi 
Sanggul adalah seorang tokoh angkatan tua du-
nia persilatan yang amat disegani. Tapi lebih dari 
itu, dia adalah guru dari Ki Aria Depa, panglima 
pasukan di kadipaten yang dipimpinnya.
“Eyang! Aku akan memenuhi segala keingi-
nanmu, asal Eyang tidak mengganggu urusan 
Kanjeng Gusti Adipati...,” kata Ki Aria Depa me

nengahi.
“Diam kau, Aria! Tahu apa kau dengan segala 
urusanku!” sentak Nyi Sanggul Geni marah.
“Tapi, Eyang. Bukankah hal itu perbuatan ti-
dak benar?” bela laki-laki setengah baya itu.
“Hm.... Kau bicara tentang kebenaran? Baik! 
Coba katakan padaku, apakah kewajiban seorang 
murid?!” sentak Nyi Sanggul Geni cepat.
“Murid mengetahuinya, Eyang. Yaitu, berbak-
ti....”
“Nah! Apakah aku tidak pantas meminta sesu-
atu yang menjadi hakku? Kaulah yang menyela-
matkan bocah itu, bukan dia!” tuding Nyi Sanggul 
Geni, ke arah Adipati Wiriaraja.
“Benar, Eyang. Tapi dalam hal ini, aku tengah 
menjalankan tugasku sebagai seorang Panglima 
Kadipaten. Maka sudah sepatutnya aku bertang-
gung jawab pada Kanjeng Gusti Adipati. Dengan 
demikian, segala sesuatu yang kudapatkan akan 
jadi wewenangnya, untuk memutuskan apa yang 
menjadi hakku dan mana yang tidak....”
“Aaah! Bicara apa kau ini? Berbelit-belit dan ti-
dak jelas. Sudah jelas kau yang menyelamatkan 
gadis itu. Dan sekarang, aku minta gadis itu un-
tuk kujadikan murid. Aku akan memeliharanya 
dan akan kubina dengan baik. Apa itu kurang je-
las di telingamu?” sentak perempuan tua itu, tak 
mau kalah.
Ki Aria Depa hendak menyahut lagi, namun 
buru-buru Adipati Wiriaraja mengangkat tangan-
nya, sebagai isyarat agar panglima itu tidak me

lanjutkan kata-katanya. Laki-laki itu tetap terse-
nyum meski dipaksakan ketika melangkah men-
dekati wanita tua itu.
“Nyi.... Benarkah kau akan memeliharanya 
dengan baik...?” tanya Adipati Wiriaraja.
“Phuih! Apa kau kira aku ini orang yang suka 
mengingkari janji?!” dengus perempuan tua itu.
“Baiklah.... Aku percaya padamu. Tapi mengin-
gat kalau gadis itu ingin kuangkat sebagai anak-
ku, tentu saja berat bagiku untuk melepaskan-
nya. Tapi kupikir, demi kebaikan kita bersama, 
tidak ada salahnya kutitipkan padamu. Namun 
ada syaratnya....”
“Brengsek! Apa syaratnya?!” bentak Nyi Sang-
gul Geni memaki kesal.
“Kalau kau hendak merawatnya, maka kuberi 
waktu dalam tiga tahun. Dan setelah itu, kau ha-
rus mengembalikannya padaku. Kalau dalam 
waktu tiga tahun tidak dikembalikan, maka aku 
akan mencarimu ke mana pun kau bersembunyi 
untuk menagih janji...!” papar adipati itu.
“Sial! Apa hakmu memintanya kembali? Bu-
kankah dia belum menjadi putri angkatmu?”
“Sekarang saatnya aku akan menanyakan ke-
sediaannya,” sahut Adipati Wiriaraja.
Setelah berkata demikian, Adipati Wiriaraja 
menyuruh gadis belia dalam kereta itu untuk se-
gera keluar. Dengan didampingi seorang prajurit 
kadipaten, gadis itu keluar perlahan-lahan seraya 
memandang ke arah dua orang yang tengah 
memperebutkan dirinya.

“Anak manis.... Kau telah mendengar pembica-
raan kami, bukan? Tidak ada niat buruk di anta-
ra kami padamu, Nah! Aku ingin bertanya, siapa-
kah namamu?” tanya adipati itu.
***
Gadis itu memandang ke arah Adipati Wiriara-
ja. Wajahnya yang semula curiga, kini tampak 
sembab. Ada rona kesedihan yang terpancar dari 
lubuk hatinya. Namun demikian, Adipati Wiriara-
ja seperti mampu merasakan getaran hati gadis 
yang kini mempercayai dirinya itu. Bisa dimenger-
ti, kesedihan apa yang melandanya.
“Hamba.... Hamba..., bernama Kunti, Kanjeng 
Gusti,” desah gadis bernama Kunti itu pelan den-
gan suara tersendat
“Nah, Kunti.... Maukah kau menjadi putri ang-
katku?” tanya adipati itu.
“Hamba.... Hamba senang sekali, Kanjeng Gus-
ti. Tapi hamba..., hamba merasa tak pantas....”
“Anakku.... Yang kuinginkan adalah jawaban-
mu. Iya atau tidak. Kebetulan aku dan istriku ti-
dak mempunyai anak. Dia tentu akan senang se-
kali melihat kehadiranmu. Nah, jawablah. Mau-
kah kau menjadi putriku?”
Kunti mengangguk pelan setelah memandang 
wajah sang Adipati beberapa saat. Kemudian ke-
palanya kembali tertunduk.
“Nah, begitu lebih baik. Kini, kau resmi sudah 
menjadi anakku, disaksikan mereka yang hadir di 
tempat ini. Dan namamu kini kutambah menjadi

Kunti Kameshawara, putri Wiraraja yang menjadi 
adipati Kadipaten Baluran.
“Ayahanda.... Terimalah sembah sujud Ananda. 
Dan, terima kasih dari lubuk hatiku atas kemu-
rahan hatimu...,” ucap gadis itu seraya bersujud 
di kaki Adipati Wiriaraja.
“Bangunlah, Anakku. Kau tidak boleh bersikap 
demikian...,” ujar adipati, langsung mengangkat 
kedua bahu putri angkatnya.
Kunti Kameshawara tetap menundukkan kepa-
la seraya bangkit perlahan-lahan. Sedangkan adi-
pati itu tersenyum mengangkat dagu anak ang-
katnya.
“Anakku, kiranya kau telah mendengar pula
yang kami bicarakan tadi. Nyi Sanggul Geni juga 
menginginkan kau untuk diangkat menjadi mu-
rid. Beliau juga mengasihimu. Dan hal ini meru-
pakan anugerah yang tiada ternilai. Maka, ikutlah 
padanya. Dan, belajarlah dengan baik untuk 
menjadi anak yang berguna kelak. Bila telah tiga 
tahun, berangkatlah kau ke Kadipaten Baluran. 
Aku dan ibumu akan bersuka cita menyambut 
kepulanganmu...,” wejang Adipati Wiriaraja.
“Ayahanda.... Berat rasanya hatiku berpisah 
denganmu. Aku telah mempercayaimu sebagai
orang yang berbudi dan telah menyelamatkan ji-
waku. Tentu saja aku tidak akan melupakanmu. 
Dan untuk itu, segala titahmu akan kulaksana-
kan sebaik-baiknya...,” sahut Kunti Kameshawa-
ra, dengan bahasa dan tata krama tinggi.
Adipati Wiriaraja tersenyum bangga. Jelas dari

sikapnya gadis itu tentu berasal dari kalangan 
terhormat. Dan keluguan dan kejujurannya, se-
makin menambah rasa percaya diri bagi sang 
Adipati. Apalagi Kunti Kameshawara sama sekali 
tidak merasa canggung menganggap adipati seba-
gai ayahandanya sendiri.
“Nah, Nyi. Telah kau dengar sendiri. Kunti kini 
telah menjadi putriku. Bawalah dia bersamamu. 
Dan, bimbinglah sebagai muridmu. Aku percaya-
kan keselamatannya padamu. Lalu setelah tiga 
tahun kau menggemblengnya, biarlah dia mene-
muiku. Kami akan selalu rindu padanya,” lanjut 
Adipati Wiriaraja.
“He he he...! Tentu saja, tentu saja...! Mari, Bo-
cah. Ikutlah denganku!” ajak Nyi Sanggul Geni se-
raya mengulurkan tangan pada Kunti Kamesha-
wara.
Gadis itu menyambut uluran tangan wanita 
tua yang segera mengajaknya untuk berlalu dari 
tempat itu. Masih sempat matanya memandang 
sekilas ke arah Adipati Wiriaraja. Kemudian se-
bentar saja Nyi Sanggul Geni telah menggendong 
dan membawanya lenyap dengan hanya sekali 
berkelebat. Sedangkan Adipati Wiriaraja terse-
nyum seraya menghela napas panjang.
“Kanjeng Gusti Adipati.... Maafkanlah atas se-
gala tindakan guruku yang tidak berkenan di ha-
ti...,” ucap Ki Aria Depa seraya menjura hormat, 
ketika gurunya telah lenyap dari pandangan.
“Tidak ada yang perlu dimaafkan, Paman 
Aria....”

“Kanjeng Gusti, tentunya merasa tersinggung 
atas ulah guru hamba....”
Adipati Wiriaraja tersenyum kembali.
“Aku memang merasa keberatan. Tapi, aku ti-
dak tersinggung dan kesal. Mungkin telah diga-
riskan kalau Kunti Kameshawara akan berjodoh 
di tangan gurumu. Aku merelakannya, karena 
aku yakin kelak dia akan kembali padaku....”
“Kenapa Kanjeng Gusti tidak berusaha mem-
pertahankannya? Bukankah Kanjeng Gusti mam-
pu melakukannya?” tanya panglima itu bernada 
memancing.
“Kau ingin aku bentrok dengan gurumu sendi-
ri?” tanya Adipati Wiriaraja tersenyum kecil.
Ki Aria Depa merasa lega mendengar jawaban
itu.
“Eh! Tentu saja tidak, Kanjeng Gusti,” sahut 
laki-laki setengah baya itu.
“Nah! Menurutmu, apakah tindakanku tadi sa-
lah?”
“Hm.... Selama mengikuti Kanjeng Gusti, lebih
banyak keputusan bijaksana yang hamba lihat.”
“Yang tadi mungkin tidak bijaksana. Namun, 
mampu menyelesaikan masalah. Tidak menjadi 
soal meski aku merasa sedikit dirugikan. Sebab, 
paling tidak kita telah menghindari pertumpahan 
darah. Dan itulah yang terbaik pada saat ini. Nah! 
Sekarang, bisakah kita melanjutkan perjalanan 
kembali?”
“Tentu saja, Kanjeng Gusti!” sahut Ki Aria Depa 
cepat.

Setelah menjura hormat, laki-laki setengah 
baya itu langsung melompat ke punggung ku-
danya. Langsung dia memberi perintah pada anak 
buahnya untuk segera berangkat meninggalkan 
tempat itu. Sedangkan Adipati Wiriaraja berjalan 
menuju kereta kudanya.
“Kita langsung berangkat menuju kadipaten, 
dan batalkan rencana beristirahat!” ujar adipati 
itu, ketika telah memasuki kereta kuda.
“Siap, Kanjeng Gusti” sahut Ki Aria Depa yang
berkuda di samping kereta adipati itu.
Ki Aria Depa kontan berteriak nyaring. Maka 
rombongan itu mulai bergerak diiringi derap lang-
kah kaki kuda yang mulai kencang melaju.
***
TIGA


Lima tahun telah berlalu, sejak Adipati Wiriara-
ja menyerahkan Kunti Kameshawara pada Nyi 
Sanggul Geni. Sementara di wilayah Kadipaten 
Baluran belum ada yang berubah. Adipati Wiria-
raja masih tetap dipercayakan memimpin wilayah 
itu, dengan kebijaksanaannya yang tetap tidak 
berubah. Tidak heran bila rakyat menginginkan-
nya untuk terus menjabat sebagai adipati.
Namun belakangan ini, Adipati Wiriaraja di-
buat pusing oleh banyaknya mayat yang sering 
ditemukan di wilayahnya. Kebanyakan dari mere-
ka adalah laki-laki berusia muda. Tidak ada seorang pun yang tahu, siapa pelaku kejahatan itu.
Pancaran sinar matahari siang ini di Kadipaten 
Baluran tidak terlalu terik. Lebih-lebih pepohonan 
yang melindungi pejalan kaki membuat suasana 
menjadi rindang dan teduh. Di bawah sebatang 
pohon mangga seorang pemuda berwajah tampan 
dan berambut panjang tampak sedang berkelakar 
dengan seekor monyet kecil berbulu hitam. Pe-
muda tampan berbaju kulit harimau itu tidak lain 
dari Bayu Hanggara atau yang dikenal sebagai 
Pendekar Pulau Neraka. Sementara, monyet kecil
itu tentu saja Tiren.
“Kaaakh...!”
Tiren melompat ke atas pohon mangga dengan 
gerakan lincah sekali. Dipetiknya serenceng 
mangga yang ranum dan harum baunya. Lalu di-
lemparkannya sebuah demi sebuah ke arah pe-
muda itu, seperti hendak bercanda.
Bayu yang memang tengah memperhatikan 
tingkah laku binatang itu segera bergerak ke kiri 
dan kanan sambil tersenyum. Tangannya dengan 
sigap menangkap buah-buahan itu.
Tap! Tap!
“Hei! Apakah kau hendak memberikan semua 
mangga itu padaku?!”
“Nguk! Nguk...!”
Tiren mengangguk seraya menepuk-nepuk ke-
dua tangannya. Tubuhnya lalu kembali melesat 
ke cabang yang lebih tinggi. Lalu dipetiknya tiga 
buah mangga yang berukuran agak besar.
“Dasar curang! Kau memberiku yang kecil

kecil, sedangkan untukmu sendiri yang besar!” 
umpat Bayu, seraya melempar sobatnya itu den-
gan biji mangga yang telah habis digerogotinya.
“Kaaakh! Kaaakh...!” Tiren tertawa mengejek.
Dengan sigap, monyet itu mengelak. Kemudian 
dikupasnya mangga yang diperoleh. Lalu bijinya 
yang dilemparkan ke arah Bayu.
“Sial! Hei?! Kau ingin berperang denganku?” 
tantang Bayu, langsung melempar sebuah biji 
mangga kembali ke arah monyet itu.
Namun dengan gerakan tidak kalah sigap Tiren 
melompat ke cabang pohon. Dan ketika Bayu 
kembali melemparnya, dia kembali melompat ke 
cabang yang lebih tinggi. Mulutnya terus menye-
ringai lebar sambil berjingkrak-jingkrak mengejek 
Bayu.
Bayu tersenyum kecil tidak mengacuhkannya. 
Dan dia terus berjalan meninggalkan monyet itu.
“Kalau memang kau lebih suka tinggal di sini, 
aku tidak akan menahanmu,” kata Bayu tenang.
“Kaaakh...!”
Tiren berteriak nyaring. Wajahnya tampak kes-
al melihat sikap sahabatnya. Maka buru-buru dia 
turun mencerecet tak karuan, seperti hendak me-
lampiaskan kekesalan hatinya. Namun tiba-tiba...
“Tolooong...!”
“Hei?!”
Bayu terkejut, langsung merayapi ke sekeli-
lingnya, ketika mendengar jeritan tertahan me-
minta tolong.
“Tiren! Cepat ikut aku!” teriak Bayu.

Seketika Pendekar Pulau Neraka melompat ke 
arah timur, setelah Tiren mendarat di pundaknya. 
Sebentar saja Pendekar Pulau Neraka telah berlari 
cepat dengan membawa Tiren di pundaknya. Pen-
dekar Pulau Neraka laksana sapuan angin ken-
cang, ketika berlari mengerahkan ilmu meringan-
kan tubuh yang telah mencapai taraf sempurna.
Namun belum lama Bayu berlari, tiba-tiba...
Ser! Ser!
“Uhhh...!”
Mendadak beberapa potong ranting sebesar te-
lunjuk tangan melesat ke arah Bayu. Seketika
Pendekar Pulau Neraka melenting ke udara dan 
berputaran beberapa kali. Namun baru saja men-
darat di tanah, beberapa potong ranting lagi me-
nyambarnya. Kembali pemuda itu melesat ke 
atas, kembali meliuk ringan ke bawah. Dan ka-
kinya pun mendarat manis di tanah. Masih sem-
pat Bayu melihat sebuah bayangan yang melesat 
kencang meninggalkannya. Pemuda itu mengge-
ram dan langsung mengejar. Dan sebelum Pende-
kar Pulau Neraka mampu menyusulnya, bayan-
gan itu telah menghilang ditelan lebatnya pepo-
honan. Bayu berusaha mencari-cari, namun tidak 
juga menemukan jejaknya. Dengan kesal Pende-
kar Pulau Neraka kembali ke tempat semula, 
tempat bayangan itu pertama terlihat.
“To..., tolooong...!”
Kembali terdengar suara minta pertolongan 
bernada lemah. Dan sebentar saja Pendekar Pu-
lau Neraka telah menemukan seorang laki-laki

tergolek di tanah dalam keadaan terluka parah. 
Dihampirinya orang itu. Tampak tulang dadanya, 
dan ususnya terburai seperti bekas disabet senja-
ta tajam.
Laki-laki itu memandang Bayu dengan wajah 
berkerut menahan rasa sakit yang hebat. Sebelah 
tangannya berusaha menggapai, ketika Bayu ber-
jongkok.
“Bidadari.... Penyambar.... Nyawa....”
Suara orang itu terdengar putus. Dan kepa-
lanya langsung terkulai lesu, ketika selesai men-
gucapkan kata-kata itu dengan pelan.
Sementara Bayu tampak bingung. Orang itu ti-
dak mampu melanjutkan kata-katanya, ketika 
nyawanya sudah lepas dari raga. Jika dilihat se-
pintas, orang itu masih berusia muda. Pedang
pendek yang tergeletak dalam keadaan patah dua, 
membuktikan kalau pemuda ini bukan orang 
sembarangan. Dan bila melihat keadaannya yang 
terluka parah, bahkan masih mampu bertahan 
cukup lama, menguatkan dugaan kalau pemuda 
ini memiliki kepandaian hebat. Siapa yang telah 
membuatnya tak berdaya? Bidadari Penyambar 
Nyawa? Bayu hanya tertegun sendiri. Julukan itu 
baru didengarnya kali ini. Bayangan yang tadi 
kukejarkah?
“Nguk! Nguk...!”
Tiren mencerecet pelan dengan wajah terman-
gu melihat mayat itu. Sedangkan Bayu segera 
berdiri seraya mengangkat tubuh Tiren ke pundaknya.


“Mari, Sobat. Kita tidak ada urusan dengan 
mereka...,” gumam Bayu, mengajak monyet kecil 
itu berlalu.
***
Seorang pemuda berpakaian ketat berwarna 
putih memacu kencang kudanya. Wajahnya tam-
pak tegang dan terburu-buru. Sesekali kepalanya 
menoleh ke belakang, seperti hendak memastikan 
kalau tidak ada seorang pun yang mengikutinya. 
Wajahnya sedikit lega, karena di depannya terli-
hat sebuah desa. Dia menduga, suasana ramai 
desa itu tentu jiwanya akan terselamatkan. Ra-
sanya, tidak mungkin pemburunya mau mengejar 
sampai ke sana. Namun....
“Hi hi hi...! Kau kira bisa lari dariku?!”
Tiba-tiba sebuah suara nyaring menggema 
membuat pemuda itu menghentikan lari kudanya. 
Tak lama kemudian melayang sesosok tubuh 
ramping di hadapan pemuda berbaju putih itu. 
Sementara kuda yang ditunggangi pemuda itu 
meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki 
depannya tinggi-tinggi. 
“Sial!”
Pemuda itu merutuk kesal seraya melompat 
dari punggung kudanya. Tangan kanannya cepat 
menyambar dua buah kapak yang terselip di 
pinggang, dan siap menghadapi segala kemungki-
nan.
“Hi hi hi...! Tidak ada jalan selamat, sebelum 
kau menggorok lehermu sendiri!” ejek orang yang

baru tiba sambil bertolak pinggang.
“Phuih! Lehermulah yang akan kugorok!” den-
gus pemuda itu dengan suara sedikit tinggi.
Sosok bertubuh ramping itu mengenakan to-
peng kayu yang menutupi seluruh wajahnya. Na-
mun dari suara, bentuk tubuh, dan caranya ber-
pakaian, jelas bisa ditebak kalau dia adalah seo-
rang wanita. Melihat kulit tangannya yang bersih 
dan bentuk tubuhnya yang padat kencang, tentu 
juga bisa diduga-duga kalau wanita itu berusia 
muda. Di pinggangnya tampak terselip sebilah 
pedang kecil dan sehelai selendang berwarna biru 
muda.
Melihat pemuda itu telah bersiap hendak me-
nyerang dengan sepasang kapak terhunus, wanita 
bertopeng ini sedikit pun tidak menampakkan ra-
sa takut Bahkan dari nada suaranya terasa kalau 
pemuda itu diremehkan.
“Ayo! Kemarilah kau, Setya Nugraha! Agar lebih 
cepat mampus!” tantang wanita itu.
“Keparat! Akan kubelah kepalamu! Yeaaa...!” 
bentak pemuda yang dipanggil Setya Nugraha se-
raya melompat menyerang.
“Hi hi hi...! Kau kira dengan kepandaianmu, 
mampu mengalahkanku? Nah, terimalah ajalmu!” 
ejek wanita bertopeng itu.
Siuttt...!
Begitu serangan kapak pemuda itu meluncur, 
tubuh wanita bertopeng kayu ini segera bergerak 
ke samping sambil menundukkan kepalanya. 
Hanya beberapa rambut serangan itu lewat di

samping tubuhnya. Kemudian ringan sekali dia 
melompat ke atas. Tangan kanannya cepat berge-
rak, mencabut pedang yang terselip di pinggang.
Sring! 
“Hih!”
Setya Nugraha terkesiap. Begitu cepat wanita 
bertopeng itu mencabut pedangnya. Dan seketika
itu pula ujung pedang menyambar tenggorokan-
nya. Cepat pemuda itu berusaha menangkis den-
gan sebelah kapaknya.
Trak!
Betapa terkejutnya Setya Nugraha, begitu me-
nyadari kalau gagang, kapaknya putus disambar 
senjata wanita itu. Bahkan ujung pedang wanita 
bertopeng itu langsung meluncur deras mengan-
cam leher. Namun gesit sekali pemuda ini beru-
saha mengelak dengan melompat ke samping 
agak miring. Dan belum lagi tubuhnya bisa dite-
gakkan, kemudian datang serangan. Begitu ce-
patnya, sehingga sulit dihindari. Dan....
Brettt!
“Aaakh...!”
Setya Nugraha kontan menjerit begitu dadanya 
terkena tebasan pedang, sehingga membuat luka 
yang cukup lebar. Darah kontan mengucur dari 
dadanya.
“Hiyaaa...!”
Dan belum juga Setya Nugraha menguasai 
keadaan, wanita itu cepat bergerak melancarkan 
serangan kembali. Namun dalam keadaan putus 
asa dan jiwanya yang terjepit, kapaknya yang satu lagi segera dilemparkan tepat ketika wanita itu 
melesat kencang ke arahnya.
“Uts!”
Namun dengan sedikit, memiringkan kepala 
dan mengayunkan pedang, wanita bertopeng itu 
berhasil menghindari sambaran kapak Setya Nu-
graha. Bahkan gagang kapak itu sampai putus 
disambar pedangnya.
“Yeaaa...!”
Pedang wanita itu terus berkelebat-kelebat 
mengancam Setya Nugraha yang bergulingan me-
nyelamatkan diri. Namun ketika pemuda itu be-
rusaha melenting ke atas untuk menghindari sa-
puan tendangan, ujung pedang wanita bertopeng 
itu menyambar cepat ke arah perut. Sehingga... 
Cras!
“Aaargkh...!”
Setya Nugraha langsung memekik kesakitan, 
begitu pedang wanita bertopeng itu menyambar 
perutnya. Tubuhnya langsung terhuyung-huyung 
sambil memegang isi perutnya yang terburai ke-
luar. Darah semakin banyak membanjiri tubuh-
nya. Dan belum juga Setya Nugraha ambruk ke 
tanah ujung kaki kanan wanita bertopeng itu ce-
pat memberi hantaman ke muka.
“Digkh!”
“Aaa...!”
Pemuda itu terpental beberapa langkah disertai 
jerit kematian. Dia langsung ambruk tak bangkit 
kembali. Mati!
“Huh! Manusia picisan seperti kau ingin berlagak di depanku!” dengus wanita bertopeng itu, 
sambil memandang sinis ke arah mayat Setya 
Nugraha. Sebentar kemudian, tubuhnya berkele-
bat meninggalkan tempat itu dengan gerakan rin-
gan.
Namun diam-diam, belum begitu jauh wanita 
bertopeng itu pergi, tiba-tiba muncul dua orang 
laki-laki keluar dari balik semak-semak. Mereka 
saling berpandangan satu sama lain dengan wa-
jah bingung.
“Gila! Wanita itu pasti yang berjuluk Bidadari
Penyambar Nyawa,” desis salah seorang yang ber-
tubuh agak kurus dan pendek.
“Mana mungkin Bidadari Penyambar Nyawa 
harus bertopeng seperti mayat?” tanya yang men-
genakan ikat kepala hitam.
“Alaaah! Tidak usah diributkan. Siapa lagi ka-
lau bukan dia yang membuat resah dengan tin-
dakannya yang kejam belakangan ini? Lagi pula 
melihat ciri-ciri yang pernah kudengar, tidak 
mungkin disangkal lagi kalau wanita itulah yang 
berjuluk Bidadari Penyambar Nyawa! Biasanya, 
dia membunuh setiap laki-laki yang ditemui. Ma-
sih untung kita bisa selamat Ayo, jangan bengong 
saja. Kita harus memberitahukan kejadian ini pa-
da orang-orang desa,” ajak laki-laki yang bertu-
buh kurus seraya berlari lebih dulu, kemudian di-
ikuti kawannya.
***
Adipati Wiriaraja bersama Ki Aria Depa serta
Brata Sena dan Sendang Dulur tengah bercakap-
cakap di ruang pendopo utama. Mereka juga di-
temani oleh seorang gadis berparas cantik berusia 
sekitar dua puluh tahun.
“Anakku.... Aku sungguh bangga mendengar 
kemajuanmu yang demikian pesat, setelah kau 
kembali dari Padepokan Karang Nunggal. Pesan 
apakah yang dikirim Ki Wahyu Tenggara untuk-
ku?” tanya Adipati Wiriaraja, pada gadis cantik di 
hadapannya.
“Ayahanda terlalu melebih-lebihkan. Ananda
masih merasa banyak kekurangan dan perlu bela-
jar lagi. Kalau saja bukan karena kebijaksanaan 
Ayahanda, tentu Ananda tidak seperti sekarang 
ini. Adapun Eyang Wahyu Tenggara menyampai-
kan salam hormat kepada Ayahanda. Beliau tidak 
sempat berkunjung ke sini...,” sahut gadis cantik 
itu yang tak lain Kunti Kameshawara, putri ang-
kat Adipati Wiriaraja.
“Hhh.... Tidak bisa dibayangkan, bagaimana 
hebatnya kepandaian Gusti Kunti Kameshawara 
saat ini. Setelah berguru tiga tahun pada Nyi 
Sanggul Geni, kini Gusti Kunti Kameshawara pun 
telah selesai berguru di Padepokan Karang Nung-
gal. Siapa yang tidak mengenal Ki Wahyu Tengga-
ra, tokoh kosen yang amat disegani di kalangan 
dunia persilatan,” puji Brata Sena.
“Betul! Tadi hamba sempat bermain-main. Dan 
hamba merasa, tidak mampu menghadapi kehe-
batan Gusti Kunti,” sambung Sendang Dulur.
“Ah! Paman berdua terlalu melebih-lebihkan.

Kalau saja Paman tidak mengalah, mana mung-
kin aku mampu menjatuhkan Paman berdua,” 
sahut Kunti Kameshawara merendah.
“Hm.... Agaknya hal itu memang pujian yang 
sesungguhnya. Sungguh beruntung nasibmu. Da-
lam usia yang masih muda, sungguh sulit menca-
ri lawan tanding bagimu. Barangkali, paman pun 
mesti mengaku kalah kepadamu,” sahut Ki Aria 
Depa sambil tersenyum kecil.
“Paman! Kalau Ayahanda mempercayakan Pa-
man sebagai panglima di kadipaten ini, tentulah 
bukan pilihan mudah. Ayahanda terkenal bijak-
sana dan sudah pasti mengetahui keadaan yang 
sesungguhnya. Lagi pula, Paman kini adalah ka-
kak seperguruanku. Dan sebagai kakak sepergu-
ruan, sudah jelas kemampuan Paman jauh bera-
da di atasku,” selak Kunti Kameshawara.
“Ha ha ha...! Kau bisa saja, Kunti...!” Ki Aria 
Depa terkekeh pelan.
“Dan rasanya wanita itu belum tentu mampu 
mengalahkanmu,” kata Sendang Dulur.
“Wanita mana yang kau maksudkan, Sendang 
Dulur?” tanya Brata Sena.
“Siapa lagi kalau bukan Bidadari Penyambar 
Nyawa.”
“Bidadari Penyambar Nyawa...?”
Adipati Wiriaraja tertegun pelan mendengar 
nama itu disebutkan. Dia memandang agak lama 
ke arah Ki Aria Depa.
“Apakah wanita itu belum juga tertangkap, 
Aria...?” lanjut adipati itu.

“Ampun, Kanjeng Gusti. Sampai saat ini ham-
ba telah berusaha sekuat kemampuan untuk me-
ringkusnya. Namun dia selalu berhasil melo-
loskan diri, saat berhadapan dengan hamba. Dan 
harus diakui, wanita itu memiliki kepandaian he-
bat. Hamba selalu gagal mengejarnya. Tapi ham-
ba berjanji, suatu saat nanti akan hamba tangkap 
wanita itu,” sahut Ki Aria Depa seraya menun-
dukkan kepala.
“Paman Aria Depa! Kau tidak perlu merasa ber-
salah. Aku pun tahu kerja kerasmu. Dan kau 
termasuk orang yang tidak melalaikan tugas. Aku 
juga memaklumi kemampuanmu yang mungkin 
terbatas. Tidak usah berkecil hati. Namun yang 
perlu dilakukan adalah mencari jalan, bagaimana 
caranya meringkus wanita itu. Sebab kalau terus 
dibiarkan, dia akan merajalela membuat keka-
cauan,” ujar adipati itu.
“Hamba juga mohon ampun, atas musibah 
yang menimpa Den Setya Nugraha dua hari lalu. 
Hamba telah mengerahkan prajurit-prajurit pili-
han untuk mengejar wanita itu, namun belum ju-
ga mendapat hasil,” sambung Ki Aria Depa pelan.
Adipati Wiriaraja menarik napas panjang dan 
terdiam beberapa saat.
“Keponakanku itu memang bengal. Malah ke-
lakuannya sering menyimpang dari kesopanan,” 
gumam Adipati Wiriaraja pelan, seraya berpaling.
Adipati itu menoleh lagi pada Aria Depa.
“Benarkah wanita itu selalu mencari korban 
para pemuda hidung belang dan pengganggu

penduduk lain?” tanya Adipati Wiriaraja.
“Memang benar, Kanjeng Gusti. Tapi hal itu ti-
dak menutupi kemungkinan terhadap pemuda 
serta orang-orang yang tak bersalah....”
“Hm.... Apa maksudnya berbuat demikian? 
Apakah demikian bencinya wanita itu terhadap 
kaum lelaki, sehingga berbuat kejam? Atau, apa-
kah ada tujuan lain? Tapi yang jelas, hal ini tidak 
bisa dibiarkan begitu saja,” kata Adipati Wiriaraja 
geram.
“Ayahanda! Izinkanlah ananda membantu tu-
gas Paman Aria Depa untuk meringkus wanita 
itu...,” pinta Kunti Kemeshawara menawarkan di-
ri.
Adipati Wiriaraja tersenyum. Namun belum lagi 
memberikan sambutan, mendadak seorang praju-
rit kadipaten menghadap kepadanya.
“Ampun, Kanjeng Gusti. Hamba membawa ka-
bar buruk. Sekawanan perampok sedang menga-
muk di alun-alun...,” lapor prajurit itu.
“Perampok? Siapa mereka?” sahut Adipati Wi-
riaraja, mengernyitkan alisnya.
“Agaknya mereka Kawanan Alap-alap Panah 
Beracun.”
“Hm.... Alap-alap Panah Beracun? Apa maksud 
mereka dengan segala ulahnya itu?” gumam Adi-
pati Wiriaraja. “Paman Aria Depa! Lekaslah ke sa-
na. Dan, tangkap mereka!”
“Baik, Kanjeng Gusti Adipati!” seru Ki Aria De-
pa cepat, langsung mengajak kedua anak buahnya.

Setelah menjura hormat, bergegas mereka me-
ninggalkan pendopo. Dan begitu sampai di luar 
mereka melompat ke punggung kuda masing-
masing, dengan diiringi prajurit secukupnya.
Sementara Kunti Kameshawara sendiri kemu-
dian menyelinap ke kamarnya. Seperti biasa, se-
tiap ada kekacauan maka Adipati Wiriaraja belum 
mempercayakan putri angkatnya untuk memban-
tu tugas abdi setianya. Dan Kunti Kameshawara 
agaknya memakluminya. Tapi tanpa sepengeta-
huan kedua orangtua angkatnya, gadis itu me-
nyelinap keluar lewat jendela kamarnya dan terus 
kabur menuju alun-alun.
***
EMPAT


Dengan dibantu lebih dari dua puluh orang 
anak buahnya, seorang laki-laki berkulit hitam 
dan berwajah lebar dipenuhi cambang bauk tam-
pak tengah mengamuk sejadi-jadinya. Beberapa 
penduduk yang berada di sekitarnya tewas seke-
tika, menjadi sasaran kemarahannya. Beberapa 
rumah tampak roboh dan sebagian lagi terbakar. 
Sehingga, asap hitam mengepul ke udara.
“Ke mana semua laki-laki di Kadipaten Baluran 
ini?! Ayo, hadapi aku! Akulah Tambak Ireng yang 
akan menghancurkan seluruh kadipaten ini jika 
pembunuh putraku tidak diserahkan padaku!” te-
riak laki-laki yang mengaku Ki Tambak Ireng itu

geram dengan suara lantang.
Laki-laki bertubuh besar yang menyandang 
busur di dada dan kantong anak panah di pung-
gung itu mengamuk sejadi-jadinya. Tangan ka-
nannya menggenggam sebuah golok besar yang 
sudah bersimbah darah penduduk kadipaten itu. 
Beberapa pemuda yang mencoba menahan amu-
kannya, dalam seketika tewas menjadi korban. 
Karena memang, laki-laki seram itu adalah Pim-
pinan Kawanan Alap-alap Panah Beracun.
Tidak hanya itu. Kawanan Alap-alap Panah Be-
racun juga mengejar penduduk yang berlarian
menyelamatkan diri. Kawanan itu bermaksud me-
ratakan semua bangunan dan menghabisi pen-
duduknya. Banyak anak-anak serta wanita lanjut 
usia yang terbantai secara kejam. Sedangkan pa-
ra wanita muda berparas cantik diperkosa dengan 
buas, sebagaimana kawanan serigala lapar. Siapa 
saja yang mencoba menghalangi, akan menemui 
ajal di tangan orang-orang itu.
“Tambak Ireng! Hentikan perbuatan biadab-
mu!”
Tiba-tiba terdengar suara menggeledek, yang 
disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
Ki Tambak Ireng segera menghentikan tinda-
kannya. Anak buahnya segera diisyaratkan agar 
berhenti menyerang. Kepalanya lalu berpaling ke 
arah datangnya suara. Demikian juga anak 
buahnya. Tampak para prajurit Kadipaten Balu-
ran telah mengepung tempat itu dengan senjata 
terhunus. Tiga orang penunggang kuda yang ber

diri paling depan tampak mendekatinya pelan. Sa-
lah seorang yang bertindak sebagai pemimpin 
menudingnya dengan wajah garang.
“Kelakuanmu sungguh biadab, Keparat!” maki 
laki-laki yang tak lain Ki Aria Depa.
“Hm.... Kaukah yang bernama Aria Depa? Ti-
dak usah banyak bicara. Serahkan wanita itu, 
dan kami akan pergi secepatnya dari sini!” bentak 
Ki Tambak Ireng tak kalah garang.
“Dasar keparat busuk! Apa yang kau bicara-
kan?! Datang dengan tiba-tiba dan mengamuk
tanpa alasan. Selama ini kami memang membiar-
kan gerombolanmu, karena tidak pernah mem-
buat kekacauan di kadipaten ini. Tapi melihat 
perbuatanmu sekarang, maka kau dan anak 
buahmu dihukum gantung!” tegas Ki Aria Depa.
“Ha ha ha...! Sungguh hebat bicaramu, Aria! 
Tapi tahukah kau, sedang berhadapan dengan 
siapa sekarang?! Apa dikira aku bisa digertak be-
gitu rupa? Hei, Panglima Kemarin Sore! Aku se-
lamanya tak pernah takut mati! Putraku telah 
terbunuh secara kejam oleh orang dari kadipaten 
ini. Itulah sebabnya, kenapa aku ingin meratakan 
kadipaten ini. Karena, pembunuh itu telah me-
nyelinap ke dalam gedung kadipaten. Jadi, siapa 
yang harus bertanggung jawab dalam hal ini se-
lain kalian?” tuding Ki Tambak Ireng.
“Huh! Kau hanya mencari-cari alasan untuk 
membenarkan perbuatan terkutukmu!” bantah Ki 
Aria Depa.
“Aku tak peduli bantahanmu! Yang penting, be

rikan orang itu. Atau, seluruh isi kadipaten ini 
kuratakan dengan tanah?” ancam Ki Tambak 
Ireng.
“Keparat! Kau boleh melangkahi mayatku du-
lu,” desis Ki Aria Depa seraya melompat dari ku-
danya. Dan sebentar saja, dia sudah menyerang 
Ki Tambak Ireng.
Agaknya, serangan itu merupakan isyarat bagi 
prajurit kadipaten untuk segera menyerang Ka-
wanan Alap-alap Panah Beracun. Maka serentak 
anak buah Ki Aria Depa langsung menghunus 
senjata dan menyerang.
Tapi anak buah Ki Tambak Ireng tampaknya 
juga tak kalah sigap. Begitu melihat serangan da-
tang, mereka langsung mencabut busur yang ter-
sandang. Maka langsung saja para prajurit kadi-
paten itu dihujani desingan anak panah.
Crab!
Wut!
“Aaakh...!”
Jerit kesakitan dan teriakan membahana seke-
tika terdengar. Beberapa orang prajurit kadipaten 
langsung ambruk diterjang panah-panah beracun 
yang dilepas Kawanan Alap-alap Panah Beracun. 
Tentu saja keadaan ini membuat Brata Sena dan 
Sendang Dulur geram bukan main. Dua orang 
terdekat Ki Aria Depa seketika melompat dan 
langsung menyerang kawanan itu. Dalam sekali 
gebrakan saja, tiga orang telah tewas di tangan 
mereka. Namun sebelum mereka membuat kor-
ban lebih banyak, tiba-tiba melesat dua sosok tubuh yang langsung memapak serangan.
“Mereka bukan lawanmu. Akulah orangnya,” 
desis laki-laki yang bertubuh besar dan berkumis 
melintang. Dia langsung menangkis tombak baja 
Brata Sena dengan busurnya yang tebal dan 
runcing pada kedua ujungnya. Sementara yang 
seorang lagi adalah laki-laki berusia lanjut, den-
gan tubuh bungkuk. Matanya langsung menatap 
tajam Sendang Dulur.
Brata Sena menggeram. Maka langsung dis-
erangnya laki-laki berkumis melintang itu dengan 
gencar disertai pengerahan segala kemampuan-
nya. Namun kali ini lawan yang dihadapi memang 
tidak sembarangan. Laki-laki bertubuh besar itu 
tangkas sekali melayani setiap serangan-
serangannya. Dari beberapa kali benturan yang 
terjadi, Brata Sena merasakan kalau tenaga da-
lamnya kalah jauh. Bahkan kegesitan orang itu 
amat mengagumkan. Belum lagi permainan senja-
ta busurnya yang amat lihai dan sulit diduga.
Demikian juga Sendang Dulur. Hatinya geram 
bukan karena belum juga mampu menghabisi la-
wannya yang bertubuh kecil dan bungkuk itu. 
Bahkan orang tua bungkuk itu malah sering ter-
kekeh-kekeh, setiap menghindari serangannya. 
Senjata busurnya merupakan bayangan maut 
yang setiap saat mampu membinasakan Sendang 
Dulur.
Dengan kekuatan yang dikerahkan, Kawanan 
Alap-alap Panah Beracun itu betul-betul mem-
buat semua prajurit kadipaten putus asa. Panah

panah beracun yang dilepaskan, sering mengenai 
sasaran. Belum lagi kepandaian ilmu silat setiap 
anak buah Ki Tambak Ireng yang sangat menga-
gumkan. Sehingga, membuat para prajurit Kadi-
paten Baluran sulit untuk bertahan lebih lama. 
Maka tidak heran bila satu persatu mereka bina-
sa di tangan kawanan itu.
***
Sementara itu, Ki Aria Depa sendiri agak kesu-
litan merobohkan pertahanan Ki Tambak Ireng. 
Bersenjatakan busur yang terbuat dari baja putih 
pilihan, Ki Tambak Ireng bukan saja mampu me-
nahan serangan lawan, bahkan mampu memba-
las dengan hebat. Kehebatannya ternyata bukan 
omong kosong belaka, karena kali ini Ki Aria Depa 
sendiri telah membuktikannya.
“Yeaaa...!”
Kini Ki Tambak Ireng tampak bergulung-gulung 
indah dengan tangan bergerak cepat menyambar 
anak panah. Kemudian belum lagi kedua kakinya 
menjejak tanah dilepaskannya panah-panah be-
racun yang melesat deras ke arah Ki Aria Depa. 
Bukan main terkejutnya Panglima Pasukan Kadi-
paten Baluran. Maka dengan sekuat tenaga, dia 
mengelak seraya memutar pedang bagai kitiran.
Trang! Trang!
Seluruh anak panah berhasil dipatahkan Ki 
Aria Depa. Namun belum juga bersiap....
“Hiyaaat...!”
Agaknya serangan Ki Tambak Ireng tidak ber

henti sampai di situ saja. Begitu kedua kakinya 
menjejak tanah, tubuhnya kembali melesat me-
nyerang panglima itu dengan sambaran busur-
nya.
Ki Aria Depa terkesiap. Buru-buru ditangkis-
nya serangan dengan senjatanya.
Trak!
Sementara pada saat yang hampir bersamaan, 
telapak tangan kiri Ki Tambak Ireng menghantam
ke arah dada. Cepat-cepat Ki Aria Depa meliuk-
liuk menghindarinya. Namun pada saat itulah sa-
lah satu ujung busur Ki Tambak Ireng yang runc-
ing menyambar ke arah tenggorokannya. Ki Aria 
Depa memang masih sempat menundukkan kepa-
la. Namun ketika Ki Tambak Ireng memutar sen-
jatanya dengan gerakan dari atas ke bawah....
Crasss!
“Aaargkh...!”
Ki Aria Depa kontan mengeluh tertahan, ketika 
kulit dadanya tersambar senjata Ki Tambak Ireng. 
Luka yang dideritanya tidak begitu dalam, namun 
terasa perih. Bahkan membuat pembuluh darah-
nya seperti terbakar.
“Celaka! Senjatanya mengandung racun ga-
nas...,” desis panglima itu tersentak kaget.
Ki Aria Depa segera menotok beberapa bagian 
jalan darah di sekitar lukanya, untuk mengham-
bat jalannya darah. Namun, justru racun itu dira-
sakan berjalan cepat, menyatu dengan aliran da-
rahnya.
“Yeaaa...!”

Wut! Wut!
Melihat keadaan panglima itu demikian, Ki 
Tambak Ireng agaknya tidak mau memberi hati. 
Terus diterjangnya Ki Aria Depa dengan serangan-
serangan maut yang mematikan. Mau tak mau 
panglima itu berusaha bertahan mati-matian. Pe-
dangnya diputar sedemikian rupa, untuk me-
nangkis kelebatan senjata pemimpin perampok
ini.
“Hih...!”
Trang!
“Ohhh...!”
Bukan main terkejutnya Ki Aria Depa ketika 
senjata memapak serangan Ki Tambak Ireng. 
Tangannya kontan terasa gemetar dan tenaganya 
berkurang. Dan belum lagi menyadari apa yang 
terjadi....
Trang!
Tiba-tiba saja pedang di tangan Ki Aria Depa 
terlepas dari genggaman, dihantam senjata Ki 
Tambak Ireng. Belum habis rasa terkejutnya, 
sambaran senjata Ki Tambak Ireng yang bertubi-
tubi membuat Ki Aria Depa terpaksa bergulingan 
di tanah.
Keadaan Ki Aria Depa memang sangat mem-
prihatinkan. Tubuhnya semakin lemah dan gera-
kannya semakin pelan akibat racun yang bersa-
rang di tubuhnya. Meski beberapa bagian jalan 
darah telah ditotok, namun agaknya racun yang 
berasal dari senjata Ki Tambak Ireng memang je-
nis racun hebat. Bahkan mampu merambat ke seluruh bagian tubuhnya dengan cepat.
“Yeaaa...!” 
“Oh...?!”
Ki Tambak Ireng kembali melancarkan seran-
gan dahsyat.
Ujung senjatanya terus berkelebat, mengincar 
wajah Ki Aria Depa. Namun panglima itu cepat 
melemparkan tubuhnya ke belakang. Dan belum 
juga Ki Aria Depa memantapkan kakinya di ta-
nah, serangan Ki Tambak Ireng selanjutnya me-
luncur datang. Rasanya sulit serangan ini dielak-
kan lagi Ki Aria Depa. Begitu mendarat di tanah 
tubuh Ki Aria Depa terasa kaku tidak dapat ber-
gerak. Sedangkan ujung busur Ki Aria Depa telah 
menderu ke arah jantungnya. Untung saja pada 
saat yang sangat gawat ini....
“Kisanak! Hentikan perbuatanmu!”
Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring. Namun, 
agaknya Ki Tambak Ireng tidak mempedulikan-
nya. Senjatanya tetap terus mengancam kesela-
matan Ki Aria Depa. Sehingga....
Ziiing!
Mendadak sekelebat cahaya putih keperakan 
melesat, setelah bersamaan suara nyaring yang 
mendesing ke arah Ki Tambak Ireng.
“Hei?!”
Tras!
Pemimpin Kawanan Alap-alap Panah Beracun 
itu terkejut. Dan lebih terkejut lagi ketika baru 
menyadari kalau busurnya patah menjadi dua 
bagian, akibat terpapak cahaya putih keperakan

tadi. Dan belum lagi, sempat mengetahui benda 
yang bergerak bagai kilat tadi, sebuah bayangan 
melesat cepat mengirim serangan ke arahnya. 
Maka cepat-cepat tangan kirinya bergerak me-
nangkis.
Plak!
“Hih...!”
Ki Tambak kemudian cepat memutar tubuh-
nya. Lalu dengan geram dihantamnya bayangan 
tadi lewat pengerahan tenaga dalam tinggi melalui 
kepalan tangan kanannya.
Wer!
Ternyata Ki Tambak Ireng hanya menghantam 
tempat kosong, karena bayangan itu telah berkelit 
cepat. Bahkan mendadak saja laki-laki itu mera-
sakan sambaran deras menghantam ke arah wa-
jahnya. Ki Tambak Ireng terkejut bukan main. 
Namun dia cepat melompat ke belakang seraya 
mengibaskan tangan kanannya ke depan. Maka 
seketika serangkum angin kencang menderu ke 
arah bayangan itu. Namun dengan gerakan amat 
gesit, bayangan itu telah menyelinap ke samping. 
Bahkan tiba-tiba sudah bergerak ke arah ping-
gang kanan Ki Tambak Ireng.
“Yeaaa...!”
“Uhhh...!”
Bukan main terkejutnya Ki Tambak Ireng. Ce-
pat-cepat ditangkisnya serangan itu dengan kiba-
san tangan kanan ke bawah. Plak!
Ki Tambak Ireng kontan merasakan pergelan-
gan tangannya seperti menghantam benda keras.

Tubuhnya langsung bergetar hebat. Dan dia terus 
melompat ke belakang, karena sapuan tendangan 
bayangan itu telah meluncur kembali ke arahnya. 
Namun belum lagi kedua kakinya menjejak tanah, 
kepalan tangan bayangan itu telah meluncur ke 
perutnya. Dan....
Begkh!
“Aaakh...!”
Ki Tambak Ireng menjerit keras dengan tubuh-
nya terjajar beberapa langkah. Untung saja se-
rangan bayangan itu berhenti. Dan kini, Ki Tam-
bak Ireng bisa melihat jelas, siapa penyerangnya 
tadi. Matanya jadi menyipit. Sementara, pergelan-
gan tangannya mengusap sudut bibirnya yang 
meneteskan sedikit darah segar. Kini terlihat jelas 
seorang pemuda tampan berwajah tampan, na-
mun mencerminkan kekerasan hatinya. Pemuda 
berambut panjang dan berpakaian dari kulit ha-
rimau itu berdiri tegak pada jarak tujuh langkah 
di depannya. Tampak matanya memandang tajam 
ke arah Ki Tambak Ireng.
“Bocah setan! Siapa kau, hingga berani-
beraninya mencampuri urusanku!” dengus Ki 
Tambak Ireng dengan amarah meluap.
***
“Orang-orang menyebutku, Bocah Setan..,” sa-
hut pemuda itu yang tak lain Bayu Hanggara atau 
lebih dikenal sebagai Pendekar Pulau Neraka.
“Kurang ajar! Kau kira bisa mempermainkan 
aku, heh?!” sentak laki-laki berkulit hitam itu,

bertambah geram mendengar jawaban Bayu.
“Apa kau kira aku bermain-main? Apalagi me-
lihat segala perbuatanmu yang biadab terhadap 
penduduk tidak berdosa. Kau patut mampus, Se-
tan Busuk!” dengus Bayu, sinis.
“Setan! Kaulah yang akan mampus!” sentak Ki 
Tambak Ireng.
Seketika laki-laki berkulit hitam itu menghen-
takkan tangannya ke depan. Dia memang ingin 
menghantam Bayu dengan pukulan jarak jauh 
yang berisi tenaga dalam kuat Maka seketika itu 
pula serangkum angin kencang beserta asap hi-
tam tipis menderu manghantam Pendekar Pulau 
Neraka.
Bayu mendengus sinis. Kemudian, telapak tan-
gan kirinya disorongkan ke depan. Mendadak dari 
telapak tangan kirinya melesat angin kencang 
bertenaga kuat yang memapak serangan!
Werrr! Bletarrr!
Kedua pukulan satu sama lain beradu cepat di 
tengah-tengah, sehingga membuat tempat di seki-
tarnya seperti dilanda angin topan hebat. Bahkan 
beberapa orang yang dekat dengan pertarungan 
terdengar menjerit kesakitan seraya memegangi 
leher. Tubuh mereka berkelojotan, untuk kemu-
dian ambruk dan menggelepar-gelepar tak ber-
daya.
Bayu begitu terkejut, menyadari kalau seba-
gian pukulan Ki Tambak Ireng yang menyebar ke 
sekitar tempat ini, ternyata mengandung racun 
hebat Sehingga mampu mencelakakan orang yang

menghirup udara di sekitarnya. Maka ketika Ki 
Tambak Ireng kembali melompat menyerang, 
Bayu tidak berusaha memapak, melainkan me-
lompat ke atas menghindarinya. Tubuhnya lantas 
bergulung-gulung di udara. Namun, akibatnya 
hantaman Ki Tambak Ireng membuat sebuah ru-
mah yang tadi di belakang Bayu, jadi hancur be-
rantakan.
Melihat serangannya gagal, bukan main ge-
ramnya laki-laki berkulit hitam itu. Tubuhnya te-
rus mengejar Pendekar Pulau Neraka dengan 
mengumbar pukulan mautnya. Namun sejauh itu 
Bayu mampu menghindar dengan gesit. Bahkan 
dengan gerakan tidak terduga, tubuhnya berbalik. 
Dan dia langsung bergerak cepat menghantam Ki 
Tambak Ireng yang terkejut bukan main. Mau tak 
mau, laki-laki berkulit hitam itu memapak puku-
lan Bayu.
Plak! Plak!
Tubuh Ki Tambak Ireng bergetar keras begitu 
kedua tangannya beradu. Meski demikian, tu-
buhnya masih mampu memapaki kepalan tangan 
kiri Bayu yang berputar menghantam ke arah 
leher.
Sementara Bayu cepat bergerak ke samping 
disertai hantaman tendangan untuk memancing. 
Ki Tambak Ireng segera bergerak mengelak den-
gan liukkan tubuhnya. Pancingan Bayu memba-
wa hasil. Seketika tubuh Pendekar Pulau Neraka 
melompat ke atas dengan ujung kaki kanan ber-
gerak ke arah dada. Akibatnya....

Des!
“Aaakh...!”
Ki Tambak Ireng kontan memekik kesakitan, 
begitu dadanya terhantam telak tendangan Pen-
dekar Pulau Neraka. Tubuhnya langsung terjung-
kal ke tanah beberapa langkah, disertai munta-
han darah segar. Dia berusaha bangkit, namun 
saat itu juga berkelebat cahaya keperakan ke 
arahnya bagai kilat Ki Tambak Ireng terkejut, 
namun sudah tidak berdaya apa-apa lagi. Sehing-
ga....
Zwing!
Cras!
“Hegkh...!”
Ki Tambak Ireng hanya mampu menjerit terta-
han, begitu cahaya keperakan itu menyambar 
leher dan nyaris membuat kepalanya putus. Tu-
buhnya, kembali ambruk ke tanah. Ki Tambak 
Ireng menggelepar-gelepar meregang nyawa. Da-
rah tampak terus mengucur dari lehernya. Seben-
tar saja, tubuhnya telah diam tak berkutik lagi. 
Sementara Pendekar Pulau Neraka segera mengi-
baskan tangan kanannya, dengan mata tetap 
memperhatikan Ki Tambak Ireng. Tak lama, sen-
jata Cakra Maut yang tadi dilepaskannya, kembali 
menempel erat di pergelangan tangan kanannya.
“Hei? Kau..., kaukah Pendekar Pulau Neraka 
yang termashyur itu?!”
Ki Aria Depa terkesima begitu melihat Cakra 
Maut menempel erat di pergelangan tangan Bayu. 
Kini baru disadari, benda apa yang tadi melesat

cepat itu. Sebuah cakra bersegi enam berwarna 
keperakan yang dimiliki Pendekar Pulau Neraka. 
Bahkan ketika Bayu sudah menghampirinya, Ki 
Aria Depa masih terpaku tak percaya.
“Begitulah orang-orang menyebutku...,” kata 
Bayu pelan.
Mendadak Pendekar Pulau Neraka cepat ber-
geser ke kiri seraya membungkuk. Dan tiba-tiba 
kedua tangannya bergerak cepat, menangkap se-
suatu yang berdesing ke arahnya. Dan tanpa ber-
balik, Bayu melemparkan beberapa buah anak 
panah yang tadi sempat ditangkapnya ke arah so-
sok beberapa tubuh yang membokongnya. Begitu 
cepat lesatan anak panah yang dikembalikan 
Bayu pada pemiliknya. Bahkan kecepatannya me-
lebihi saat meluncur datang tadi. Sehingga....
Ser! Ser!
Crab!
“Aaargkh...!”
Tiga orang anggota Kawanan Alap-alap Panah 
Beracun yang marah bukan kepalang melihat 
pemimpin mereka tewas, harus menemui ajalnya 
ketika anak panah yang dilemparkan Bayu meng-
hujam telak dada. Mereka langsung ambruk di 
tanah termakan senjatanya sendiri.
Zwing!
Cakra Maut di tangan Bayu kembali melesat, 
ketika tiga orang lagi menyerangnya secara ber-
samaan. Mereka langsung melepaskan panah-
panah beracun, siap menghujam tubuh Pendekar 
Pulau Neraka. Namun....

Trak! Trak!
Panah-panah beracun itu kontan berpatahan 
terhantam Cakra Maut. Bahkan senjata dahsyat 
itu terus mendesing ke arah para pembokong. Sa-
lah seorang tampak berusaha menghindar, na-
mun tak urung kulit dadanya tersambar juga. 
Sementara kawanan yang berada di belakang tak 
sempat mengelak, sehingga....
Brettt!
“Aaakh...!”
Orang itu menjerit kesakitan, ketika Cakra 
Maut merobek perutnya sehingga ususnya terbu-
rai keluar. Begitu mendapatkan sasaran Cakra 
Maut kembali melesat pulang, ketika Bayu men-
gibaskan tangan kanannya.
“Setan! Akulah lawanmu, Keparat!” teriak seo-
rang laki-laki bertubuh besar, begitu Cakra Maut 
kembali menempel di pergelangan tangan kanan 
Bayu.
Laki-laki bertubuh besar yang tadi menjadi la-
wan Brata Sena itu langsung menyerang Pende-
kar Pulau Neraka dengan gencar, setelah memberi 
perintah pada dua orang anak buahnya untuk 
menghadapi Brata Sena.
Sedangkan laki-laki bungkuk yang menjadi la-
wan Sendang Dulur juga bermaksud menghabisi 
Pendekar Pulau Neraka secepatnya. Namun sebe-
lum niatnya sampai, mendadak sebuah bayangan 
telah menghadangnya.
“Semua Kawanan Alap-alap Panah Beracun 
akan mampus di tanganku!”

***
LIMA


Orang tua bertubuh kecil dan bungkuk itu ter-
kejut. Cepat busur panahnya dikibaskan untuk 
menghalau serangan yang baru muncul.
Trak!
Bukan main terkejutnya orang tua itu ketika 
merasakan tangannya kesemutan, begitu senjata
busurnya seperti menghantam batu cadas yang 
keras luar biasa. Dan lebih terkejut lagi ketika 
merasakan sesuatu yang mendesir ke arah leher-
nya.
Bet!
“Uhhh...!”
Orang tua bungkuk itu melangkah ke belakang 
dan terus melompat ke samping untuk menghin-
dari sambaran senjata sosok bertubuh ramping 
yang menjadi lawannya. Namun, senjata itu terus 
mengejarnya seperti tak ingin memberi kesempa-
tan sedikit pun untuk bernapas. Bahkan baru sa-
ja kakinya menjejak, ujung senjata itu kembali 
menyambar. Seketika dipapaknya serangan itu 
dengan ayunan busurnya.
Trak!
Untuk kedua kalinya orang tua bungkuk itu 
merasakan tangannya kesemutan. Dia mengge-
ram. Dan sebelum sosok bertubuh ramping itu 
menyerang, ujung kaki kanannya telah lebih dulu 
diayunkan.

Seketika sosok bertubuh ramping ini cepat 
mengibaskan tangan kirinya. Maka, tiba-tiba se-
buah selendang meluncur deras, ke arah kaki 
orang tua bungkuk itu. Rrrt!
Bahkan seketika itu pula pergelangan kaki 
anak buah Ki Tambak Ireng ini dibelit selendang 
yang alot bukan main. Sementara, sosok ramping 
itu langsung menghentakkan selendangnya. Aki-
batnya, tubuh orang tua bungkuk itu langsung 
terjajar ke depan oleh sentakan tenaga keras. Dan 
belum lagi bisa menyadari apa yang terjadi, satu 
tendangan keras menghantam pinggang kirinya.
Desss!
“Aaakh...!”
Orang tua itu kontan memekik keras, begitu 
pinggangnya terhajar tendangan keras dari sosok 
ramping ini. Tubuhnya langsung terjungkal dan 
bergulingan di tanah. Namun tubuhnya kembali 
tertahan, bahkan kembali tersentak ke arah sosok 
ramping itu, karena selendang lawannya masih 
membelit kakinya.
Orang tua itu tidak kehilangan akal. Segera sa-
ja busur di tangannya dilemparkan, sehingga me-
lesat cepat ke arah sosok ramping yang terus 
membetotnya. Namun, sosok ramping itu telah si-
gap. Pedang di tangan kanannya cepat diki-
baskan, memapak luncuran busur panah itu.
Trak!
Senjata busur orang tua bungkuk itu berhasil 
ditangkis hingga terpental jauh. Sedangkan tu-
buhnya terus saja meluncur ke arah sosok ramping yang siap dengan hujaman senjatanya. Se-
hingga....
Bresss...!”
“Aaa...!”
Pedang di tangan sosok bertubuh ramping itu 
terus menderu keras, menembus dada kiri laki-
laki bungkuk ini tanpa tertahankan lagi disertai 
jeritan menyayat. Darah tampak membasahi da-
danya. Jantung orang tua itu kontan pecah ter-
tembus ujung pedang pendek milik sosok yang 
ternyata seorang gadis bertubuh ramping. Wanita 
bertopeng kayu di wajahnya itu memandangi 
mayat orang tua bungkuk itu tanpa mempeduli-
kan sekitarnya.
“Hei? Bukankah dia Bidadari Penyambar Nya-
wa?!” teriak seseorang, begitu mengenali gadis 
bertopeng itu.
Anak buah Ki Tambak Ireng yang lain tampak 
terkejut. Namun, mereka tidak punya waktu lagi 
untuk berdiam diri, karena gadis bertopeng itu te-
lah melesat membawa serangan ganas.
“Alap-alap keparat! Mampuslah kalian seka-
rang! Yeaaa...!”
“Hei?!”
Bukan main terkejutnya anggota Kawanan 
Alap-alap Panah Beracun itu mendapat serangan 
mendadak begitu. Namun beberapa orang masih 
sempat melepaskan anak-anak panah beracun ke
arah gadis bertopeng itu.
Ser! Ser!
Namun, dengan tangkas gadis itu memutar pedangnya, merontokkan anak panah beracun yang 
menyerangnya. Diiringi bentakan, ujung selen-
dang di tangan kirinya langsung dikibaskan me-
nyambar ke arah para pemanah. 
Tarrr!
“Aaakh...!”
“Hiyaaat...!”
Ujung selendang yang terlihat lemas itu jadi 
berubah kaku keras bagai sebatang baja. Dan 
tanpa ampun lagi, para pengikut Kawanan Alap-
alap Panah Beracun tersambar selendang itu. 
Dua orang seketika terlempar beberapa langkah 
dari tempatnya semula, dengan tubuh remuk. 
Tewas! Sedangkan yang lain mampu menyela-
matkan diri walaupun dengan pontang-panting. 
Namun gadis bertopeng itu agaknya tidak mem-
beri sedikit kesempatan pada mereka. Begitu me-
lihat mereka sibuk menyelamatkan diri, tubuhnya 
langsung melesat sambil memutar pedangnya.
Trak! Trak!
Beberapa orang mencoba menangkis sabetan 
pedang itu. Namun begitu selendang gadis yang 
dijuluki Bidadari Penyambar Nyawa itu ikut bica-
ra, tak ada yang bisa mencegahnya.
Brettt!
Crasss!
“Aaakh...!”
Pekik kematian kembali mengiringi beberapa 
Kawanan Alap-alap Panah Beracun yang tewas 
disambar selendang gadis itu. Sementara yang 
lainnya berusaha menangkis dengan senjata bu

sur. Namun, selendang itu kembali berbicara. Tu-
buh mereka berpelantingan ke tanah dengan ke-
ras. Siapa pun yang berusaha melepaskan diri, 
maka gadis itu akan mengejarnya. Akibatnya, me-
reka betul-betul tidak berdaya.
Melihat dari tindakannya, gadis bertopeng itu 
agaknya mendendam pada Kawanan Alap-alap 
Panah Beracun. Sehingga tidak seorang pun di-
biarkan hidup atau melarikan diri. Dia menga-
muk sejadinya. Dengan kepandaian serta kelin-
cahannya yang luar biasa, dalam waktu singkat 
saja semua kawanan itu tewas menemui ajalnya 
secara mengerikan.
“Mampuslah kalian semua!” dengus Bidadari 
Penyambar Nyawa bernada dingin. Matanya yang 
tajam memandangi sisa gerombolan yang tinggal 
seorang lagi. Dia adalah lawan Pendekar Pulau 
Neraka.
Bidadari Penyambar Nyawa hendak bergerak
menyerang. Namun, niatnya segera diurungkan, 
karena orang itu telah menjadi bulan-bulanan 
pemuda berbaju kulit harimau. Ketika memperha-
tikan sekilas, dia menduga kalau pemuda itu 
mungkin mempunyai dendam tersendiri terhadap 
kawanan ini. Nyatanya serangan-serangan pemu-
da itu tampak bukan main-main. Lawannya sam-
pai dibuat terjajar beberapa kali tanpa kenal am-
pun. Dan ketika orang itu berusaha bangkit, sen-
jata yang berada di pergelangan tangan pemuda 
ini melesat cepat Langsung disambarnya tenggo-
rokan orang itu tanpa ampun. Orang itu kontan

memekik tertahan. Tubuhnya langsung ambruk 
dengan leher hampir putus mengucurkan darah 
segar.
Melihat keadaan itu, gadis bertopeng itu lang-
sung melompat ke atas, hendak pergi dari situ. 
Namun Ki Aria Depa yang sejak tadi terkesima 
melihat sepak terjang gadis itu, segera terjaga.
“Lekas kejar, dan tangkap wanita itu...!” teriak 
Ki Aria Depa pada anak buahnya.
Brata Sena dan Sendang Dulur langsung me-
lompat mengejar, diikuti prajurit kadipaten. Se-
dangkan pemuda berbaju kulit harimau yang 
memang Bayu tetap tegak berdiri di tempatnya 
dengan wajah tak mengerti. Matanya memandang 
sekilas ke arah lenyapnya gadis bertopeng tadi, 
kemudian menyambar Tiren sahabatnya yang 
berteriak-teriak dan berlari kecil ke arahnya.
***
Ki Aria Depa yang masih terluka dalam, berdiri 
tegak mematung memandang para prajurit kadi-
paten. Kemudian, dia mengeluh pendek. Wajah-
nya terlihat muram, ketika melangkah mendekati 
kudanya.
“Sebenarnya sia-sia mereka mengejarnya. Aku
saja tak mampu. Apalagi mereka...,” gumam pan-
glima kadipaten ini pendek.
“Bukankah gadis bertopeng itu telah menolong 
kalian? Lalu, kenapa kau begitu bernafsu hendak 
menangkapnya?”
“Hei?!”

Ki Aria Depa terkejut dan cepat menoleh, keti-
ka seseorang menyahuti kata-katanya. Wajahnya 
tampak cerah, kemudian menjura hormat pada 
Bayu yang berada di dekatnya sambil menggen-
dong Tiren.
“Pendekar Pulau Neraka.... Aku berterima ka-
sih yang sedalam-dalamnya atas pertolonganmu. 
Maafkan. Pikiranku kacau, sehingga sampai me-
lupakan kehadiranmu....”
“Lupakanlah, Kisanak...,” desah Bayu.
“Ehm.... Namaku Aria Depa,” kata Ki Aria Depa 
cepat.
“Hm, Ki Aria Depa. Kau boleh memanggilku 
Bayu. Sepanjang jalan, banyak kudengar berita 
tentang sepak terjang wanita bertopeng itu. Tapi 
apa yang dilakukannya hari ini aku jadi bingung. 
Kenapa pihak kadipaten ingin menangkapnya? 
Bukankah dia telah menolong kalian tadi?” tanya 
Bayu.
“Ini memang sulit dijelaskan. Dan kurasa, dia 
bukan bermaksud menolong. Tapi, memang 
mempunyai dendam tersendiri terhadap Kawanan 
Alap-alap Panah Beracun,” jelas Ki Aria Depa.
“Apakah kalian semua merasa yakin kalau wa-
nita itu yang berjuluk Bidadari Penyambar Nya-
wa?”
“Aku bahkan pernah beberapa kali berusaha 
menangkapnya. Namun sayang, kepandaiannya 
terlalu tinggi. Sehingga, sulit bagiku untuk me-
ringkusnya,” jelas Ki Aria Depa, terus terang.
“Hm.... Kalau begitu, apakah pihak kadipaten

merasa yakin kalau selama ini dia memang mela-
kukan kesalahan?”
“Bayu.... Bidadari Penyambar Nyawa bukanlah 
tokoh baik-baik. Aku tidak tahu banyak tentang 
dirinya. Demikian juga semua orang di kadipaten 
ini. Semula perbuatannya kelihatan terpuji kare-
na banyak membantai perampok dan penjahat. 
Tapi lama-lama perbuatannya semakin membabi 
buta. Dia membunuh semua laki-laki yang tak 
disukainya,” jelas panglima itu.
“Apakah kau yakin kalau itu adalah perbua-
tannya?”
“Bidadari Penyambar Nyawa biasanya sering 
menampakkan diri, bila menewaskan seseorang. 
Sehingga, banyak yang melihat perbuatannya. 
Namun hingga saat ini, tidak ada seorang pun 
yang mampu mencegahnya.”
Bayu mengangguk-angguk kecil mendengar 
penuturan laki-laki itu.
“Ki, kurasa cukuplah penjelasan yang kau be-
rikan. Kalau demikian, aku mohon diri....” Bayu 
mohon pamit.
“Eh, maaf Bayu. Kalau tidak keberatan, sudilah
mampir di kadipaten bersamaku. Adipati Wiriara-
ja tentu senang sekali mendapat kunjungan-
mu...,” usul panglima itu.
“Maafkan aku, Ki. Aku masih banyak urusan. 
Sampaikan saja salam hormatku pada Adipati Wi-
riaraja. Nah, aku mohon diri....”
“Sayang sekali, Bayu...,” desah Ki Aria Depa.
Bayu baru saja hendak berbalik, tapi panglima


itu tiba-tiba ambruk. Maka buru-buru Pendekar 
Pulau Neraka memeriksa laki-laki itu.
“Hm.... Kau keracunan hebat, Ki...,” desis Bayu 
seraya meraba tubuh Ki Aria Depa yang mulai 
dingin bagai es.
“Oh! To..., tolong bawa aku ke kadipaten...,” ke-
luh Ki Aria Depa, lemah.
“Tenanglah. Nah, berbaringlah sambil mele-
maskan semua otot tubuhmu. Aku akan berusa-
ha mengeluarkan racun yang bersarang di tu-
buhmu,” sahut Bayu tanpa mempedulikan kata-
kata Ki Aria Depa.
Bayu lalu mengangkat laki-laki itu dan diba-
wanya ke bawah pohon. Disandarkan laki-laki itu 
di bawah pohon. Kemudian ditotoknya beberapa 
jalan darah di sekitar jantung, agar racun itu ti-
dak sampai menyebar. Lalu Bayu berpindah ke 
belakang, dan langsung menempelkan telapak 
tangannya ke pinggang Ki Aria Depa.
Seketika Ki Aria Depa merasakan hawa panas 
berputar melalui pinggangnya, yang kemudian 
berkumpul di perut. Hawa panas itu memang me-
rangsang hawa murni di bawah perutnya, untuk 
menekan peredaran darahnya. Dan ketika kedua 
telapak tangan Bayu telah berpindah ke tengkuk, 
laki-laki itu tak mampu lagi menguasai rasa mual 
dan sakit yang hebat. Dorongan dari bawah pe-
rutnya, laksana lahar gunung yang akan termun-
tahkan.
“Hoeeeekh...!”
Ki Aria Depa memuntahkan darah kental ber

warna kehitam-hitaman dari mulutnya. Tubuh-
nya langsung mengejang beberapa kali, namun 
dengan sigap Bayu mengurut bagian dada. Se-
hingga rasa sakit yang dirasakan laki-laki itu se-
dikit berkurang. Namun demikian, Ki Aria Depa 
masih tetap memuntahkan darah kental. Lama-
kelamaan, darah kental kehitaman itu berubah 
merah. Telapak tangan kiri Bayu kini melekat 
kuat di ubun-ubunnya. Sementara, telapak tan-
gan kanannya menempel erat di dada kiri. Hal itu 
berlangsung beberapa saat.
Ketika Ki Aria Depa mulai memuntahkan darah 
segar dari mulutnya, Bayu menghentikan pengo-
batannya.
“Syukurlah.... Racun yang mengendap di tu-
buhmu telah keluar. Meski sebagian kecil masih 
tersisa, namun lewat latihan pernapasan dan 
meminum ramuan-ramuan, kau akan kembali 
seperti sediakala...,” jelas Bayu.
Ki Aria Depa menarik napas panjang, lalu me-
musatkan hawa murninya. Kemudian dihelanya 
napas perlahan-lahan. Wajahnya terlihat pucat 
dan tubuhnya terasa letih bagai tidak bertulang. 
Ki Aria Depa telah kehilangan banyak darah aki-
bat racun yang keluar lewat muntahan darah ta-
di. Dan tiba-tiba laki-laki itu bersujud di hadapan 
Pendekar Pulau Neraka.
“Bayu.... Aku berhutang nyawa padamu. Aku 
tidak tahu, bagaimana harus membalas budi 
baikmu. Namun, penuhilah permintaanku untuk 
kujamu di kediamanku,” kata Ki Aria Depa me


mohon.
“Ki Aria Depa.... Jangan terlalu bersikap demi-
kian terhadapku. Aku tidak menentukan mati hi-
dupmu. Yang kulakukan hanyalah sekadar me-
ringankan beban penderitaanmu. Itu pun hanya 
semampuku sebagai seorang manusia. Nah, jan-
ganlah terlalu berlebihan. Bangunlah, Ki...,” ujar 
Bayu.
“Aku tidak bangun sebelum kau menyetujui 
permintaanku. Penuhilah permintaanku. Sekali 
saja...,” desah laki-laki itu.
Bayu menghela napas pendek, kemudian men-
gangguk pelan.
“Oh! Terima kasih, Bayu. Aku akan merasa 
mendapat kehormatan luar biasa atas kedatan-
ganmu,” kata Ki Aria Depa gembira.
Baru saja Ki Aria Depa ingin bangkit, para pra-
jurit kadipaten telah kembali. Brata Sena dan 
Sendang Dulur menghadap padanya dengan wa-
jah muram.
“Maafkan kami, Ki. Kami tidak mampu me-
nangkap gadis itu,” lapor Brata Sena, lesu.
Ki Aria Depa hanya tersenyum.
“Sudahlah, Brata Sena. Aku tahu, kau telah
bertugas dengan baik dan sepenuh hati. Keli-
haiannya memang bukan tandinganmu. Bahkan 
juga bukan tandinganku. Tidak kusalahkan bila 
kau gagal meringkusnya. Nah, sekarang mari kita 
kembali ke kadipaten untuk melaporkan peristiwa 
ini kepada Adipati Wiriaraja. Bawa serta mayat-
mayat temanmu. Kita akan mengubur mereka selayaknya,” ujar Ki Aria Depa bijaksana.
“Baik, Ki...,” sahut Brata Sena cepat.
Bayu sebenarnya enggan memenuhi undangan 
Ki Aria Depa, karena mengetahui kalau nantinya 
toh harus berkunjung ke kediaman Adipati Wiria-
raja. Namun pemuda itu tak punya pilihan, ketika 
melihat sikap Ki Aria Depa.
***
“Kisanak.... Sungguh suatu kehormatan bagi 
kadipaten ini. Khususnya, bagiku atas kunjun-
ganmu...,” sambut Adipati Wiriaraja disertai se-
nyum lebar pada Pendekar Pulau Neraka di depan 
pendopo rumahnya.
“Kanjeng Gusti Adipati.... Bukankah sebaliknya 
hamba yang merasa mendapat kehormatan dapat 
diterima baik oleh Kanjeng Adipati?” sahut Bayu, 
seraya membalas salam hormat Adipati Wiriaraja.
“Ah! Ternyata kau pandai merendahkan diri. 
Silakan, Kisanak,” lanjut Adipati Wiriaraja menga-
jak tamunya untuk masuk ke pendopo utama.
Mereka kemudian berjalan bersama, diikuti Ki
Aria Depa di belakang. Kini mereka tiba di ruang 
pendopo yang amat luas dan tertata indah. Bayu 
benar-benar mengagumi tata ruangan ini.
“Silakan, Kisanak,” Adipati Wiriaraja mempersi-
lakan Bayu untuk duduk.
Mereka semua yang ada di ruangan ini segera 
duduk bersama-sama.
“Kisanak.... Aku telah mendengar tindakanmu 
yang telah membantu kadipaten ini. Dan aku

sungguh berterima kasih, karena kau telah me-
nyelamatkan Aria Depa. Perbuatanmu sungguh 
terpuji...,” kata Adipati Wiriaraja, begitu duduk di 
kursinya.
“Kanjeng Gusti, apa yang hamba lakukan bu-
kanlah sesuatu yang istimewa. Rasanya, belum 
pantas menerima pujian setinggi langit itu...,” 
elak Bayu, merendah.
Adipati Wiriaraja belum sempat melanjutkan 
pembicaraannya, ketika Kunti Kameshawara 
muncul bersama seorang pelayan yang menghi-
dangkan teh hangat.
“Kisanak, perkenalkan. Ini putriku. Namanya 
Kunti Kameshawara...,” ujar Adipati Wiriaraja, 
memperkenalkan putrinya.
“Hm.... Sungguh cantik putri Kanjeng Gusti...,” 
puji Bayu, langsung berdiri dan menjabat tangan 
gadis itu.
Mereka saling berpandangan beberapa saat. 
Tidak sebagaimana layaknya gadis-gadis yang 
pernah ditemuinya. Kunti Kameshawara justru 
balas tersenyum dengan bola mata berbinar-
binar.
“Kisanak. Kaukah yang berjuluk Pendekar Pu-
lau Neraka...?” tanya Kunti Kameshawara, seraya 
melepaskan jabatan tangannya.
“Agaknya begitulah orang-orang memanggil-
ku...,” sahut Bayu tenang, dan segera duduk 
kembali.
“Kudengar namamu sering disebut-sebut seba-
gai pendekar nomor satu yang tidak terkalahkan.

Telah lama sekali aku ingin bertemu denganmu. 
Namun, agaknya baru hari ini keinginanku terpe-
nuhi. Maka tentu saja ini merupakan suatu kebe-
runtungan bagiku,” kata Kunti Kameshawara.
“Kunti, aku hanya manusia biasa seperti orang 
kebanyakan. Dan rasanya orang terlalu berlebih-
lebihan bila menganggap pendekar nomor satu 
yang tiada tandingannya. Seperti pepatah, di atas 
langit masih ada langit. Dan aku bukan salah sa-
tu dari langit itu. Aku hanya setinggi rumput di 
antara rimba pepohonan yang menjulang tinggi 
dan besar,” balas Bayu, merendah.
“Hm.... Agaknya. Kisanak memang suka me-
rendah. Namun, hal itu tidak mengurangi ha-
sratku untuk menimba pengalaman darimu...,” 
sahut Kunti Kameshawara.
“Maafkan kalau aku tidak mengerti maksud 
pembicaraanmu, Kunti...,” sahut Bayu dengan 
dahi berkerut, mendengar kata-kata Kunti Kame-
shawara.
“Terus terang, aku ingin mendapat sedikit pen-
galaman darimu,” sahut Kunti Kameshawara, 
langsung menepuk tangannya.
Tak berapa lama kemudian, keluar seorang pe-
layan yang membawakan dua bilah pedang. Kunti 
Kameshawara mengambil sebuah, dan segera di-
berikan kepada Bayu. Sementara, Pendekar Pulau 
Neraka hanya tersenyum kecil. Dia mengerti, apa 
yang diinginkan gadis itu.
“Kunti, kudengar kau memiliki kepandaian he-
bat. Tentu aku bukan tandinganmu. Bagaimana

kalau aku mengaku kalah saja padamu?” sahut 
Bayu, mencoba menolak halus.
“Hm.... Kau seorang pendekar nomor satu. Ma-
na mungkin bisa begitu. Lagi pula, yang kuingin-
kan bukan soal kalah dan menang. Tapi, apakah 
kau sudi memberi pelajaran bagiku untuk me-
nambah wawasanku,” sahut Kunti Kameshawara, 
cerdik.
Gadis itu kemudian memandang ke arah ayah 
angkatnya, disertai senyum manis.
“Bukankah Ayahanda menyetujuinya?” tanya 
gadis itu.
Adipati Wiriaraja hanya tersenyum.
“Putriku ini memang tidak pernah merasa cu-
kup dengan kepandaiannya. Aku memang selalu 
mengajarkannya untuk tidak selalu bangga den-
gan apa yang dimilikinya. Tapi dalam hal ini, ten-
tu saja lain. Kisanak tentu lelah. Dan rasanya, ti-
dak baik memaksa tamu kalau memang sedang 
tidak berkenan...,” ujar Adipati Wiriaraja, bijaksa-
na.
Bayu tersenyum. Kata-kata Adipati Wiriaraja 
terdengar bijaksana. Namun sesungguhnya Bayu 
tahu kalau dirinya disindir. Dan secara tidak 
langsung, adipati itu merestui kehendak putrinya. 
Maka seketika Bayu berdiri seraya menerima pe-
dang yang diulurkan padanya.
“Kalau keinginanmu demikian, baiklah. Tapi 
jangan tertawakan kalau aku membuat kesala-
han...,” desah Bayu merendah.
***

ENAM

“Silakan, Kunti...,” kata Bayu seraya menan-
capkan pedang di ujung kakinya. Mereka kini 
memang telah berada di halaman rumah Adipati 
Wiriaraja.
“Apakah kau akan menghadapiku tanpa senja-
ta?” tanya Kunti Kameshawara.
“Bukankah kita tidak hendak saling melukai?” 
sahut Bayu sambil tersenyum.
“Terserahmu saja. Tapi aku benar-benar ingin 
mendapat pelajaran darimu.”
“Kalau demikian, silakan saja. Jangan sung-
kan-sungkan. Kalau aku memerlukannya, tentu 
akan kugunakan....”
“Baiklah. Sekarang, lihat serangan!” bentak 
Kunti Kameshawara, langsung memasang kuda-
kudanya. Kemudian gadis itu melompat menye-
rang Bayu dengan ujung pedang berputar-putar 
menyambar ke arah wajah.
Bayu bergerak ke kiri dan kanan, lalu menun-
duk. Dan dia terus bergerak ke samping, untuk 
menghindari sambaran senjata gadis itu. Sedang-
kan Kunti Kameshawara segera berputar dengan 
kepalan tangan kiri menghantam ke arah dada 
kanan pemuda itu. Bayu mencoba memapak dis-
ertai cengkeraman tangan pada tangan gadis itu. 
Namun gadis itu cepat mengebutkan tangannya.
Plak!
“Hih!”
Baru saja kedua tangan mereka beradu, sece-
pat itu pula Kunti Kameshawara mengayunkan 
pedang ke arah leher. 
“Uts!”
Bayu cepat mendongak, dan terus melompat. 
Namun gadis itu terus mengejar disertai satu ten-
dangan keras. Bukan main terkejutnya Bayu me-
rasakan angin serangan laksana hantaman go-
dam ke arahnya. Maka sambil memutar tubuh, 
telapak tangan kirinya disorongkan untuk mema-
pak pukulan jarak jauh yang dilepaskan gadis itu.
Pyarrr...!
Serangkum angin kencang berputar di tempat 
itu, ketika pukulan mereka bertemu. Dan bagi 
yang melihat pertandingan itu, terasa bagai ter-
tampar mukanya akibat dahsyatnya angin seran-
gan kedua orang yang tengah bertarung. Adipati 
Wiriaraja sendiri sampai menggeleng lemah den-
gan wajah khawatir.
“Kenapa dengan putriku? Dia bukannya ingin 
mendapatkan pelajaran, tapi benar-benar men-
ginginkan pertarungan hidup dan mati...,” desis 
Adipati Wiriaraja berkali-kali menghela napas 
pendek.
“Apakah tidak sebaiknya dihentikan saja, Kan-
jeng Adipati?” sahut Ki Aria Depa.
“Menurutmu, sebaiknya bagaimana...?”
“Kanjeng Gusti Adipati, Pendekar Pulau Neraka 
memanglah orang baik dan pembela kebenaran. 
Namun siapa pun tahu kalau dia pun terkenal ke-
jam dan tidak segan-segan menghabisi orang

yang bermaksud mencelakainya. Dan apa yang 
kita saksikan saat ini, Gusti Kunti mencoba men-
celakakannya,” kata Ki Aria Depa lagi.
“Hm.... Kalau demikian, perintahkanlah mere-
ka untuk menghentikan permainan ini!”
“Baik, Gusti. Berhentiii...!”
Ki Aria Depa berteriak, memerintahkan mereka 
untuk menghentikan pertarungan. Namun, Kunti 
Kameshawara malah terus mencecar tanpa mem-
pedulikan teriakan itu.
“Paman, jangan khawatir. Aku tidak apa-
apa...!”
Sebenarnya Bayu sendiri bukannya tidak me-
nyadarinya. Serangan-serangan gadis itu memang 
dahsyat dan seperti hendak membunuhnya. Ka-
lau sedikit saja lengah, niscaya bukan tidak 
mungkin nyawanya akan melayang. Bayu men-
dengus kesal. Gadis itu benar-benar ingin men-
gumbar segala kepandaiannya untuk menjatuh-
kannya.
“Hup!”
Bayu melompat ke atas dengan tubuh berputar 
bagai gasing. Sementara Kunti Kameshawara
mengejar, dan sudah langsung mengayunkan pe-
dang.
Kunti Kameshawara gembira ketika melihat 
keadaan Bayu. Kelihatannya, kali ini pemuda itu
tidak akan luput dari serangannya. Kalau tidak 
tewas, tentu akan celaka terkena sambaran salah 
satu pedangnya. Namun apa yang terjadi? Ketika 
pedangnya berusaha menebas, Pendekar Pulau Neraka cepat mengangkat tangan kanannya. 
Dan....
Trang! Trang!
Senjata gadis itu rupanya membentur benda 
keras di tangan Pendekar Pulau Neraka, sehingga 
membuat percikan bunga api. Bahkan tangan 
Kunti Kameshawara kontan terasa kesemutan, 
serta telapak tangannya terasa perih.
“Yeaaa...!”
Begitu kedua kakinya menjejak tanah, saat itu 
juga Bayu melompat cepat menyambar gadis itu. 
Kunti hanya terkesiap, buru-buru mengayunkan 
pedang. Namun ternyata dia hanya menyambar 
angin, karena Pendekar Pulau Neraka telah berke-
lebat cepat beberapa saat, sebelum pedangnya ti-
ba.
Gadis itu langsung berbalik kembali men-
gayunkan pedang. Namun gesit sekali Bayu ber-
kelit dan menyelinap ke bawah samping kirinya 
seraya melepaskan tendangan keras.
“Uts!”
Kunti Kameshawara terkejut bukan main, dan 
cepat melompat ke atas. Pedangnya langsung di-
kibaskan ke bawah, namun Bayu seperti mengi-
kutinya. Pendekar Pulau Neraka bahkan lebih du-
lu telah berada di atas kepalanya dengan tiba-
tiba.
“Hih!”
“Yeaaa...!”
Dengan gemas Kunti Kameshawara mengayun-
kan pedangnya menghantam Bayu. Namun Pendekar Pulau Neraka seperti lenyap dari pandan-
gannya, karena telah berkelebat demikian cepat. 
Bahkan tiba-tiba gadis itu merasakan angin sam-
baran di kepala. Rambutnya sampai berkibar-
kibar dan kepalanya terasa berdenyut kencang. 
Padahal serangan Pendekar Pulau Neraka belum 
lagi tiba. Dan sebelum menyadari apa yang terja-
di, tiba-tiba Bayu berkelebat cepat menyambar 
ikat kepala dan ikat pinggang gadis itu hingga le-
pas. Lalu sebentar saja, Pendekar Pulau Neraka 
telah berdiri tegak pada jarak lima langkah di ha-
dapannya, dengan ikat kepala serta ikat pinggang 
gadis itu telah berada dalam genggamannya.
“Kunti, kurasa cukuplah pelajaran yang kau 
terima hari ini,” kata Bayu, datar.
***
Kunti Kemeshawara agaknya tidak bisa mene-
rima kekalahannya begitu saja. Tanpa berkata 
apa-apa lagi, gadis itu berlari kencang dan meng-
hilang di balik tembok. Bayu hanya melirik seki-
las, kemudian melangkah pelan mendekati Adipa-
ti Wiriaraja.
“Kanjeng Gusti Adipati, maafkan kelancangan 
hamba...,” ucap Bayu, memberi hormat.
Adipati Wiriaraja tersenyum.
“Bayu.... Tidak ada yang perlu dimaafkan. Mari 
kita kembali duduk dan berbincang-bincang. Ti-
dak usah merisaukan putriku. Adatnya memang 
keras, karena terlalu dimanja selama ini. Tapi, 
sebentar lagi dia tentu akan baik kembali...,” kilah adipati itu.
“Kanjeng Adipati, rasanya hamba tidak bisa 
berlama-lama di sini. Masih banyak yang harus 
hamba kerjakan di luar sana. Kalau Kanjeng Gus-
ti tidak keberatan, hamba ingin mohon diri. Teri-
ma kasih atas kemurahan hati Kanjeng Gusti...,” 
ucap Bayu.
“Hm.... Kenapa mesti terburu-buru? Bukankah 
kita belum banyak bertukar cerita? Aku masih 
senang duduk dan berbincang-bincang dengan-
mu.”
“Maafkan hamba, Kanjeng Gusti. Sebenarnya 
pun hamba ingin lebih lama di sini. Namun kare-
na ada sesuatu yang harus dikerjakan, maka 
hamba tidak bisa memenuhi keinginan Kanjeng 
Gusti,” sahut Bayu sedikit berbohong, menolak 
halus permintaan Adipati Wiriaraja.
“Ah! Sayang sekali kalau demikian. Tapi, baik-
lah. Kalau memang keperluanmu amat mendesak, 
aku pun tidak bisa menghalanginya. Namun ada 
satu keinginanku padamu, Bayu. Maukah kau 
menolongku?”
“Pertolongan apakah yang bisa hamba laku-
kan?”
“Soal wanita yang menyebut dirinya Bidadari 
Penyambar Nyawa....”
“Bidadari Penyambar Nyawa? Apa yang harus 
hamba lakukan?”
“Aku ingin kau meringkus wanita itu untukku!”
“Kanjeng Gusti.... Bukannya hamba menolak. 
Namun rasanya hamba tidak patut melakukan


nya. Bukankah di kadipaten ini masih banyak 
orang hebat? Apa jadinya bila hamba yang men-
gemban tugas ini? Tentu mereka akan berkecil 
hati. Sebab, hamba tahu kalau pengabdian praju-
rit kadipaten ini amat tinggi pada Kanjeng Gusti. 
Mereka tentu akan merasa direndahkan. Demi-
kian juga, Kanjeng Gusti akan dituduh tidak 
adil,” sahut Bayu.
Adipati Wiriaraja tersenyum mendengar penu-
turan Bayu.
“Benar apa yang kau katakan, Bayu. Namun 
dalam hal ini. Kadipaten Baluran telah banyak 
kehilangan prajurit gagah berani dalam pertarun-
gan melawan Kawanan Alap-alap Panah Beracun. 
Sehingga, kami kekurangan orang untuk me-
nangkap Bidadari Penyambar Nyawa yang memi-
liki kepandaian hebat,” sahut Adipati Wiriaraja 
mengemukakan alasannya.
Bayu kembali tersenyum mendengarnya.
“Kanjeng Gusti Adipati...,” panggil Bayu.
“Eh! Bukankah lebih baik kita duduk dulu. Ti-
dak sopan rasanya melayani tamu berbicara ber-
diri seperti ini,” potong Adipati Wiriaraja cepat.
“Baiklah...,” kata Bayu. Segera diikutinya Adi-
pati Wiriaraja yang menuju ruang pendopo uta-
ma. Sebentar saja, mereka sudah kembali duduk 
di kursi masing-masing.
“Nah! Silakan lanjutkan kembali. Apa yang in-
gin kau kemukakan,” ujar Adipati Wiriaraja sete-
lah duduk di kursinya.
Bayu memandang semua yang ada di situ satu

persatu.
“Ki Aria Depa.... Kalau memang benar gadis 
yang kita temui di sana adalah si Bidadari Pe-
nyambar Nyawa, menurut penilaianku dia mem-
punyai tandingan hebat di kadipaten ini.”
“Maksudmu?” tanya Ki Aria Depa.
Bayu kembali tersenyum.
“Bukankah kepandaian Kunti Kameshawara 
cukup hebat? Kanjeng Gusti Adipati dan semua 
yang ada di sini bisa melihatnya tadi...,” jelas 
Bayu.
“Putriku memang mempunyai kemampuan 
yang lumayan. Namun, dia kurang berpengala-
man dan masih mentah. Dalam sekali gebrak, 
tentu akan dapat dikalahkan Bidadari Penyambar 
Nyawa,” sahut Adipati Wiriaraja merendahkan 
kemampuan putrinya.
“Bagaimana, Bayu? Apakah kau bersedia 
membantu kami?” tanya Ki Aria Depa, setelah 
terdiam beberapa saat lamanya.
Bayu menarik napas dalam-dalam, kemudian 
menghembuskannya perlahan-lahan. Sekali lagi 
dipandangnya ke arah mereka satu persatu.
“Baiklah.... Tampaknya, aku tidak mempunyai 
pilihan...,” desah Bayu.
“Ah! Kami akan sangat senang atas kese-
diaanmu, Bayu,” kata Adipati Wiriaraja, merasa 
lega.
“Di manakah hamba bisa menemuinya, Kan-
jeng Adipati?” tanya Bayu kemudian.
“Itulah yang selama ini amat membingungkan.

Kami sendiri belum tahu, di mana wanita itu ber-
sembunyi. Tapi rasanya tidak sulit untuk mene-
muinya. Sebab, dia akan muncul dengan sendi-
rinya,” desah adipati itu.
“Maksud Kanjeng Adipati...?” tanya Bayu bin-
gung.
Adipati Wiriaraja menatap singkat ke arah 
Pendekar Pulau Neraka. Lalu perhatiannya bera-
lih ke arah jendela ruangan ini yang terbuka le-
bar.
“Ya kuperhatikan selama ini, agaknya Bidadari 
Penyambar Nyawa sering muncul bila mendengar 
ada pemuda yang banyak dibicarakan orang. 
Agaknya dia mempunyai sifat membenci laki-laki. 
Dalam hal ini, kemunculanmu di sini cukup me-
narik perhatian semua orang....”
Bayu tersenyum mendengar kata-kata itu.
“Hamba mengerti maksud Kanjeng Gusti....”
“Syukurlah...,” desah Adipati Wiriaraja. Kepa-
lanya lantas mendongak ke atas, kemudian kem-
bali berpaling pada Bayu. “Sebentar lagi hari mu-
lai gelap. Nanti, Aria Depa akan menunjukkan 
tempat peristirahatanmu, Bayu.”
“Terima kasih, Kanjeng Gusti.... Memang, 
agaknya aku harus bermalam di sini,” desah 
Bayu.
“Mari, Bayu. Kutunjukkan tempat beristira-
hatmu...,” ajak Ki Aria Depa seraya beranjak dari 
duduknya.
Mereka lantas memberi salam hormat pada 
adipati, sebelum berlalu meninggalkan tempat itu.

Sementara Adipati Wiriaraja memandang me-
reka beberapa saat, kemudian beranjak pergi dari 
sini setelah menghela napas lega.
***
Mendung yang sejak tadi menggumpal berwar-
na kehitaman, mulai menumpahkan titik-titik air 
perlahan-lahan. Senja telah berlalu dan diganti-
kan malam yang gelap bercampur gerimis. Angin 
bertiup kencang menggoyang-goyangkan dedau-
nan di sekitar Desa Jatimakmur.
Dipinggiran desa itu terlihat suatu sosok yang 
melompat-lompat ringan menghindari genangan 
air hujan di jalan. Di pinggir tegalan sawah yang 
semula mengering, dia berhenti dan berteduh di 
bawah sebatang pohon berdaun lebat. Tubuhnya 
tegap. Kedua tangannya yang bersedakap, men-
gapit sebilah pedang. Sebuah topi caping lebar 
terbuat dari bambu menutupi kepalanya. Orang 
itu terdiam beberapa saat, mengawasi sekitarnya 
dengan sorot mata tajam. Agaknya, dia bukan sa-
ja sekadar berteduh dari siraman hujan yang su-
dah turun deras. Mungkin dia tengah menunggu 
seseorang.
Seekor burung kuntul terbang melintas di de-
pannya disertai teriakan nyaring. Sementara 
orang itu tak bergeming dari tempatnya. Bahkan 
dia tetap diam, ketika sesosok tubuh ramping me-
layang turun dengan ringan pada jarak sepuluh 
langkah dari tempatnya berdiri. Orang yang baru 
muncul itu mengenakan topi caping berukuran

lebih kecil. Melihat dari potongan tubuhnya yang 
ramping, jelas dia adalah seorang wanita. Tampak 
sehelai selendang melilit di pinggangnya, dengan 
sebilah pedang pendek juga terselip di situ.
“Bagus! Akhirnya kau datang juga memenuhi 
tantanganku...!” kata wanita itu, nyaring.
“Huh! Kelelawar Setan Gantung tidak akan 
pernah lari! Apalagi hanya untuk menghadapi bo-
cah ingusan macam Bidadari Penyambar Nya-
wa...!” balas orang yang berdiri di bawah pohon
itu, sinis.
“Segala kelelawar budukan akan bertingkah di 
hadapanku. Lekas cabut pedangmu. Dan, berdoa-
lah. Karena, hari ini terakhir kalinya kau bisa 
bernapas!” dengus wanita itu dingin.
“Phuih! Kaulah yang seharusnya berdoa. Hari 
ini Bidadari Penyambar Nyawa hanya akan tinggal 
nama! Akan kurobek-robek perutmu dengan pe-
dangku....”
“Jangan banyak bicara! Lihat serangan...!” seru 
gadis itu, langsung melemparkan capingnya ke 
arah laki-laki yang berjuluk Kelelawar Setan Gan-
tung.
Sing!
Melihat serangan mendadak ini, Kelelawar Se-
tan Gantung tidak jadi ciut nyalinya. Langsung 
dibalasnya dengan melemparkan capingnya pula.
Brakkk!
Begitu kedua topi itu beradu, terdengar bunyi 
berderak keras. Dari sini bisa dilihat, betapa 
kuatnya tenaga dalam yang mereka kerahkan.

Bahkan kedua caping itu sampai hancur beranta-
kan.
“Yeaaa...!”
Bidadari Penyambar Nyawa langsung mener-
jang Kelelawar Setan Gantung. Sementara laki-
laki bertubuh tegap itu langsung mencabut pe-
dangnya, dibabatnya wanita itu dengan gerakan 
cepat
Sring!
Wut! Wut!
Bidadari Penyambar Nyawa berkelit indah, lalu 
melompat ke atas. Gerakannya laksana ombak 
bergulung-gulung di lautan. Kemudian ketika tu-
buhnya melayang turun, Kelelawar Setan Gan-
tung telah siap menyambutnya. Wanita bertopeng 
kayu itu terdengar mendengus sinis. Lalu pedang 
pendeknya langsung dicabut untuk menghantam 
pedang Kelelawar Setan Gantung.
Sring!
Trang!
“Uhhh...!”
Terlihat percikan bunga api, ketika kedua sen-
jata beradu. Kelelawar Setan Gantung mengeluh 
tertahan dengan tubuh terjajar dua langkah. Te-
lapak tangannya terasa perih dan jantungnya 
berdebar kencang akibat benturan tadi. Disertai 
rasa geram, kembali laki-laki itu menerjang Bida-
dari Penyambar Nyawa dengan babatan ke arah 
pinggang. Namun wanita itu begitu gesit melom-
pat ke atas seraya melepaskan tendangan keras 
ke arah muka.

“Hiyaaat..!”
Dengan bentakan keras, Kelelawar Setan Gan-
tung membabatkan pedangnya, mengincar kaki 
wanita itu yang mengarah ke wajahnya. Sementa-
ra, telapak tangan kirinya langsung menjulur ke 
arah dada. Cepat-cepat Bidadari Penyambar Nya-
wa menarik pulang kakinya, yang kemudian di-
gunakannya untuk memapak tangan kiri laki-laki 
itu.
Plak!
Tubuh wanita itu kontan melintir. Namun tan-
pa diduga, justru tenaga pelintiran itu digunakan 
untuk memutar tubuhnya. Bahkan langsung me-
lepaskan tendangan berputar ke arah dada.
Kelelawar Setan Gantung terkejut bukan main, 
namun cepat membungkukkan tubuhnya. Namun 
wanita itu tidak tinggal diam. Serangannya segera 
dilanjutkan dengan satu tendangan keras ke arah 
pinggang. Cepat-cepat laki-laki itu terus melejit ke 
kiri, bahkan cepat berbalik menyambar dengan 
pedangnya. Namun, tangkas sekali Bidadari Pe-
nyambar Nyawa menangkis dengan senjatanya.
Trang!
“Uhhh...!”
Kembali Kelelawar Setan Gantung mengeluh 
tertahan, begitu senjatanya beradu. Bahkan dia 
harus melompat ke belakang, karena harus 
menghindari kepalan tangan kanan Bidadari Pe-
nyambar Nyawa yang menderu ke arah dadanya.
Kelelawar Setan Gantung terkejut bukan main. 
Maka dengan gerakan sebisanya, dia melenting ke

atas. Tapi tanpa diduga, ujung pedang wanita itu 
telah menunggunya. Akibatnya...
Crasss!
“Aaakh...!”
Paha laki-laki itu kontan tersambar pedang Bi-
dadari Penyambar Nyawa, hingga menimbulkan 
luka cukup lebar. Darah pun langsung merembes 
keluar. Dan baru saja kakinya menjejak tanah 
dengan wajah berkerut menahan sakit, kembali 
serangan lawan datang. Buru-buru dia melempar 
diri ke samping, menghindari sapuan kaki kanan 
Bidadari Penyambar Nyawa.
Tapi tindakan wanita itu ternyata hanya tipuan 
belaka. Karena dengan kecepatan dahsyat, Bida-
dari Penyambar Nyawa melenting ke atas dan 
berputaran beberapa kali. Dan begitu meluruk tu-
run, ujung pedangnya langsung mencecar ping-
gang laki-laki itu.
Bukan main terkejutnya Kelelawar Setan Gan-
tung. Maka dengan sekuat tenaga, dia berusaha 
menghindari serangan. Langsung tubuhnya dija-
tuhkan ke bawah. Namun, ujung pedang wanita 
itu telah lebih dulu menyambar perut. Dan....
Brettt!
“Aaakh...!”
Kelelawar Setan Gantung kontan memekik ke-
ras, begitu pedang wanita itu menyambar perut-
nya. Ususnya langsung terburai disertai mun-
cratnya darah segar. Tubuhnya seketika ambruk 
dan menggelepar tak berdaya. Dan ketika berusa-
ha bangkit berdiri, ujung kaki Bidadari Penyambar Nyawa telah menghantam telak dada kirinya.
Bugkh!
“Aaakh...!”
Kelelawar Setan Gantung hanya mampu berte-
riak tertahan ketika tubuhnya ambruk kembali 
dan diam tak berkutik Mati!
Angin bertiup semilir. Di kejauhan, terdengar 
lolongan serigala. Wanita bertopeng itu menden-
gus dingin, sambil memandangi tubuh Kelelawar 
Setan Gantung yang bersimbah darah bercampur 
lumpur.
“Mudah-mudahan tadi kau sempat berdoa....”
“Bidadari Penyambar Nyawa, kami akan me-
nuntut balas atas kematian guru kami!”
Tiba-tiba terdengar teriakan membahana, me-
mutuskan gumaman Bidadari Penyambar Nyawa.
***
TUJUH


Beberapa orang bersenjatakan pedang panjang 
tiba-tiba berlompatan ke arah Bidadari Penyam-
bar Nyawa dengan wajah garang. Sementara gadis 
bertopeng kayu itu hanya mendengus dingin. Ke-
mudian ujung pedangnya ditudingkan ke arah 
mereka.
“Hm, kiranya Kelelawar Setan Gantung tidak 
lebih dari seorang pengecut! Kenapa kalian tidak 
muncul sekaligus saat dia menemui ajalnya? Ayo, 
majulah kalian kalau ingin menyusulnya!” tantang wanita bertopeng itu.
“Keparat! Hari ini kau akan mampus!” desis sa-
lah seorang seraya melompat menyerang.
“Yeaaa...!”
Tubuh Bidadari Penyambar Nyawa melompat 
tinggi, kemudian berputaran di udara. Pedangnya 
diayunkan, menangkis kelebatan senjata para 
pengikut Kelelawar Setan Gantung.
Trang! Trang!
Beberapa buah pedang di tangan para pengikut 
Kelelawar Setan Gantung langsung berpentalan 
ke udara. Bahkan ujung pedang gadis itu cepat 
menyambar mereka.
Bret!
“Aaa...!”
Terdengar jeritan nyaring, diikuti ambruknya 
tiga sosok tubuh. Galangan sawah di tempat itu 
kembali berwarna merah bercampur lumpur. Se-
mentara gadis bertopeng itu lincah sekali berge-
rak ke sana kemari bagai burung walet, disertai 
sambaran pedangnya yang menimbulkan desir 
angin kencang. Dan ketika tiga orang penyerang 
meluruk dari tiga arah yang berlawanan, gadis itu 
bergerak ke samping disertai kibasan pedang 
pendeknya ke segala arah.
Cras! Bret!
“Aaa...!”
Tiga orang pengikut Kelelawar Setan Gantung 
langsung ambruk bermandikan darah, ketika 
ujung pedang Bidadari Penyambar Nyawa me-
nyambar tenggorokan.

Dan baru saja Bidadari Penyambar Nyawa 
menjejakkan kedua kakinya di tegalan sawah, 
kembali empat orang yang tersisa datang menye-
rangnya. Sepertinya, mereka tidak ingin memberi 
kesempatan sedikit pun baginya untuk bernapas.
“Hup!”
Bidadari Penyambar Nyawa cepat memutar tu-
buhnya. Pedangnya langsung dikebutkan, me-
nyambar senjata para pengeroyoknya.
“Yeaaah...!”
Trang!
Dua bilah senjata pengikut Kelelawar Setan
Gantung kontan berpentalan terpapak senjata 
wanita itu. Bahkan ujung kakinya cepat meng-
hantam dua orang pengikut Kelelawar Setan Gan-
tung. Terdengar pekik kesakitan ketika mereka 
terjungkal dengan rahang patah.
Sementara itu kedua orang yang tersisa segera 
menebas pinggang gadis itu. Namun Bidadari Pe-
nyambar Nyawa cepat berputaran bagai gasing 
dan terus melejit ke atas. Melihat hal ini, kedua 
lawannya mengejar. Dan mendadak saja, tubuh 
Bidadari Penyambar Nyawa telah menukik tajam, 
memapaki serangan mereka.
Trang...!
Pedang para pengikut Kelelawar Setan Gantung 
kontan terpental dihantam senjata Bidadari Pe-
nyambar Nyawa. Dan belum lagi mereka menya-
dari apa yang harus dilakukan, ujung pedang wa-
nita bertopeng itu meluruk ke arah leher.
Cras!

“Aaa...!”
Kedua orang itu kontan menjerit kesakitan 
dengan tubuh terjungkal ke tanah. Tampak darah 
mengalir dari leher yang nyaris putus.
“Huh! Dasar cacing-cacing busuk tidak bergu-
na. Kalian lebih baik mampus menyusul guru-
mu!” dengus wanita itu kesal.
Bidadari Penyambar Nyawa bermaksud menye-
lipkan kembali pedangnya, namun pendengaran-
nya yang tajam menangkap suara gemerisik rant-
ing yang amat halus. Sejenak bibirnya tersenyum 
dingin. Dalam hati, dia menghitung jumlah orang 
yang tengah mengintai.
“Siapa pun kalian, keluarlah kalau ingin me-
nantangku...!”
Begitu Bidadari Penyambar Nyawa menyelesai-
kan kata-katanya, mendadak melesat tiga sosok 
tubuh ke arahnya. Wanita bertopeng itu hanya 
berdiri tegak sambil memperhatikan dengan sek-
sama.
Seorang dari tiga sosok yang baru datang itu 
adalah wanita tua. Tubuhnya yang agak bung-
kuk, tersangga sebatang tongkat hitam. Baju hi-
tam, amat kebesaran dibanding tubuhnya yang 
kecil.
Di sebelah kanan wanita tua itu, tampak seo-
rang laki-laki berhidung bengkok. Sepasang ma-
tanya yang sipit, menyorot tajam ke arah Bidadari 
Penyambar Nyawa. Sementara yang seorang lagi, 
adalah laki-laki berkepala botak. Tubuhnya tinggi 
besar, memanggul cangkul di pundaknya. Kedua

laki-laki itu sama-sama berusia sekitar lima pu-
luh tahun.
“Huh! Inikah bocah brengsek yang berjuluk Bi-
dadari Penyambar Nyawa?! Cah Ayu! Kau berhu-
tang satu nyawa pada Nyi Durgandi. Dan hari ini, 
kau harus membayarnya!” dengus wanita tua 
yang memegang tongkat itu.
“Benar, Nyi Durgandi. Dia memang patut men-
genali Ki Kermopati. Aku menginginkan kepa-
lanya. Sebagai pengganti cucuku yang dibunuh 
beberapa minggu lalu!” dengus laki-laki bermata 
sipit dan berhidung bengkok yang mengaku ber-
nama Ki Kermopati.
“Semula aku tidak ingin mencampuri urusan 
dunia persilatan lagi. Tapi dia memaksaku keluar 
dari sarangku setelah putra bungsuku dibunuh-
nya. Aku telah bersumpah, sebelum melihat dia 
menjadi mayat. Yang jelas, Ki Candul Wereng ti-
dak akan berhenti mengejarnya!” desis orang yang 
mengaku bernama Ki Candul Wereng dengan wa-
jah geram.
Bidadari Penyambar Nyawa tertawa kecil untuk 
menutupi jantungnya yang berdegup kencang. 
Meski belum tahu sampai di mana kehebatan me-
reka, namun setidaknya dia pernah mendengar 
nama-nama itu. Ketiga tokoh itu bukanlah orang 
yang sembarangan, karena termasuk angkatan 
tua yang kepandaiannya sulit diukur.
***
“Hm.... Agaknya Kelelawar Setan Gantung bukan saja mengundang muridnya ke tempat ini, 
tapi juga membawa kalian bertiga sebagai penga-
walnya. Sayang, kalian kurang cepat. Karena me-
reka semua telah menjadi mayat...,” ejek gadis 
bertopeng itu sinis.
“Hi hi hi...! Bocah tengil! Jangan anggap remeh 
kami! Kelelawar budukan itu memang tolol dan 
patut menerima kematiannya!” sahut perempuan 
tua yang bernama Nyi Durgandi seraya menunjuk 
kedua rekannya itu.
“He he he...! Kelelawar bego itu memang tidak 
tahu diri. Dia tidak bisa mengukur, sampai di 
mana kemampuannya. Baru menghadapi bocah 
bau kencur saja, sudah tak berdaya. Tapi di ha-
dapan kami, jangan kau berlagak sok jago. Keda-
tangan kami bukan saja sekadar membalas kema-
tian orang-orang yang kami cintai, tapi juga ingin 
membeset mulutmu yang meremehkan semua la-
ki-laki!” desis Ki Kermopati geram.
“Hei, Orang Tua Busuk! Tidak usah banyak bi-
cara! Cabutlah senjata kalian, agar lebih cepat 
kukirim ke neraka!”
Mendengar kata-kata pedas bernada meremeh-
kan dari gadis bertopeng ini, bukan main kalap-
nya ketiga orang tua itu.
“Bocah setan! Kubelah kepalamu! Yeaaah...!”
Ki Candul Wereng tidak bisa lagi menahan 
amarahnya. Sambil membentak nyaring, dia su-
dah langsung menyerang wanita bertopeng itu.
Cangkul di tangan Ki Candul Wereng langsung 
berkelebat menyambar Bidadari Penyambar Nya

wa. Maka cepat-cepat gadis bertopeng itu melom-
pat ke belakang. Namun cangkul laki-laki seten-
gah baya itu terus mengejarnya. Memang sulit di-
duga gerakan Ki Candul Wereng yang begitu cepat 
dan dahsyat. Untung saja pedangnya masih sem-
pat digerakkan, menangkis cangkul itu.
Trak! 
“Hih!”
Gadis bertopeng itu terkejut, ketika pedangnya 
terasa bergetar hebat akibat benturan dengan 
cangkul tadi.
“Hiiih!”
Begitu habis berbenturan, kepalan tangan kiri 
Ki Candul Wereng menderu keras menghantam 
dada Bidadari Penyambar Nyawa. Dengan gera-
man keras, gadis itu segera menangkap kepalan 
Ki Candul Wereng menggunakan telapak tangan 
kanannya.
Plak! Rrrt!
Wanita bertopeng itu merasakan tangannya se-
perti menahan lontaran batu sebesar kerbau. 
Namun, dia terus menggeram. Dan dengan ge-
mas, dicobanya meremas kepalan laki-laki botak 
itu sekuat tenaga.
Ki Candul Wereng agaknya tidak sudi mem-
biarkan gadis itu berbuat sesuka hatinya. Maka 
kaki kanannya segera dilayangkan ke arah ping-
gang. Namun tangkas sekali Bidadari Penyambar 
Nyawa membabatkan pedangnya yang telah ber-
pindah ke tangan kiri. Ki Candul Wereng cepat 
menarik pulang kakinya, sehingga babatan itu

luput dari sasaran. Dan seketika cangkulnya di-
hantamkan ke kepala gadis itu.
“Huh!”
“Uts!”
Dengan terpaksa Bidadari Penyambar Nyawa 
melepaskan kepalan tangannya, dan langsung 
melompat ke belakang. Namun Ki Candul Wereng 
tidak membiarkannya begitu saja. Begitu wanita 
itu mendarat di tanah, langsung dia melesat me-
lepaskan tendangan dahsyat. Namun Bidadari 
Penyambar Nyawa cepat memindahkan pedang-
nya ke tangan kanan, dan langsung dibabatkan 
ke arah kaki laki-laki botak itu. Ki Candul Wereng 
terpaksa menarik kakinya, dan memapak pedang 
itu dengan cangkulnya.
Trang!
Kembali Bidadari Penyambar Nyawa merasa-
kan tangannya perih akibat benturan senjata ba-
rusan. Namun disadari kalau kecepatan geraknya 
setingkat lebih tinggi dari laki-laki botak itu. Un-
tuk itu, hatinya agak tenang, sehingga diam-diam 
mulai mendikte lawan.
***
“Huh! Dikira aku akan betah berdiam diri saja 
menonton pertarungan mereka! Jangan-jangan 
malah si botak itu yang lebih dulu mendapatkan 
kepalanya. Sia-sia aku datang ke sini,” dengus 
Nyi Durgandi. Seketika perempuan tua itu me-
lompat tiba-tiba menyerang Bidadari Penyambar 
Nyawa.


Melihat keadaan itu, agaknya Ki Kermopati ti-
dak mau ketinggalan.
“Brengsek! Jangan serakah kalian! Bisa-bisa 
aku tidak kebagian apa-apa!” geram laki-laki ber-
hidung bengkok itu, langsung melompat pula me-
nyerang Bidadari Penyambar Nyawa.
“Yeaaah...!”
“Setan! Apa-apaan kalian ini?!” rutuk Ki Can-
dul Wereng kesal melihat tindakan kedua rekan-
nya yang ikut mengeroyok gadis itu.
“Jangan banyak mulut, Botak! Kau kira hanya 
kau saja yang punya urusan dengannya? Huh! 
Enak saja! Dia juga harus merasakan kemplan-
gan tongkatku ini!” dengus Nyi Durgandi tak ka-
lah sengit.
“He he he...! Begitu pula aku, Ki Candul. Jan-
gan serakah. Aku pun punya dendam kesumat 
pada bocah tengil ini!” timpal Ki Kermopati.
Mendengar jawaban kawan-kawannya, Ki Can-
dul Wereng merasa kesal sekali. Namun dia tak 
mampu berbuat apa-apa, karena kedatangan me-
reka ke tempat ini juga mempunyai tujuan sama. 
Membalas dendam pada Bidadari Penyambar 
Nyawa!
Sementara gadis bertopeng itu bukan main 
terkejutnya mendapat keroyokan dari tiga orang 
tua ini. Menghadapi Ki Candul Wereng saja, kea-
daannya sudah payah. Apalagi harus menghadapi 
serangan mereka bertiga? Tidak heran kalau da-
lam waktu singkat saja terdesak hebat
“Yeaaah...!”

Ki Kermopati membentak, langsung men-
gayunkan tendangan ke dada Bayu. Gadis itu 
bermaksud memapak kaki Ki Kermopati dengan 
pedangnya. Namun pada saat yang bersamaan, 
cangkul Ki Candul Wereng meluruk ke arah 
punggungnya. Sementara tongkat Nyi Durgandi 
mengancam kepalanya. Dengan terpaksa seran-
gannya. ditarik, dan langsung melompat ke samp-
ing. Dan baru saja kakinya menginjak tanah, Ki 
Kermopati sudah mengebutkan tangannya.
“Hiiih!”
Ser! Ser!
Mendadak saja beberapa buah pisau sebesar 
jari telunjuk mendesing kencang, mengancam Bi-
dadari Penyambar Nyawa.
“Hei?!”
Gadis bertopeng itu terkesiap dan cepat memu-
tar pedangnya untuk menangkis.
Tring! Tring!
Baru saja pisau-pisau itu berhasil dirontokkan, 
saat itu juga langsung menyusul cangkul Ki Can-
dul Wereng yang menyambar ke pinggang wanita 
bertopeng ini. Bidadari Penyambar Nyawa lang-
sung melejit ke atas, namun tongkat Nyi Durgandi 
cepat mengejarnya. Dia berusaha mengelak den-
gan berputaran di udara seraya mengebutkan 
tangkisannya. Seketika pukulan jarak jauh dari 
gadis bertopeng itu meluruk ke arah Nyi Durgan-
di. Namun tangkas sekali Nyi Durgandi menghin-
dari dengan berputaran pula. Bahkan langsung 
membalas dengan sabetan tongkat hitamnya,


yang mengarah ke pergelangan tangan kiri gadis 
itu.
Wusss!
Tak!
“Akh...!”
Gadis bertopeng itu menjerit kesakitan begitu 
pergelangan tangan kirinya terhantam tongkat hi-
tam Nyi Durgandi. Dan baru saja Bidadari Pe-
nyambar Nyawa itu mendarat di tanah, Ki Kermo-
pati telah menyerang dengan lemparan pisau-
pisau kecil yang tajam berkilat. Cepat-cepat gadis 
bertopeng itu bergulingan di tanah menghinda-
rinya, sambil memutar pedang. Pada saat yang 
sama dia pun harus pula menghindari sambaran 
cangkul Ki Candul Wereng. Tak ada pilihan bagi 
gadis itu, kembali memapak sambaran cangkul 
lebih dahulu. Tapi akibatnya....
Cras!
“Uhhh...!”
Bidadari Penyambar Nyawa terpaksa merela-
kan pinggangnya tersambar salah satu pisau Ki 
Kermopati. Untuk kedua kalinya gadis bertopeng 
itu mengeluh menahan rasa sakit di pinggangnya 
yang langsung mengeluarkan darah. Dan kesem-
patan itu dipergunakan Nyi Durgandi sebaik-
baiknya untuk menghabisi gadis itu dengan ayu-
nan tongkatnya sekuat tenaga.
“Bocah sombong! Mampuslah kau sekarang! 
Yeaaah...!”
Bidadari Penyambar Nyawa terkesiap. Kea-
daannya betul-betul gawat. Tidak ada lagi tempat
baginya untuk menghindari serangan. Apalagi 
pada saat yang bersamaan, kedua kawan Nyi 
Durgandi telah siap menghajarnya.
“Hentikan perbuatan kalian...!”
***
“Hei?!”
Ketiga tokoh tua itu terkesiap mendengar ben-
takan yang tiba-tiba. Dan mereka pun langsung 
menghentikan serangan.
“Siapa kau?!” bentak Ki Candul Wereng garang.
“Sebentar. Rasa-rasanya aku pernah melihat-
mu. Kau..., kau.... Pendekar Pulau Neraka!” ujar 
Ki Kermopati seraya menuding pemuda yang baru 
muncul itu.
“Pendekar Pulau Neraka? He! Bocah ingusan 
mau ikut campur urusanku. Hei, Bocah! Enyah-
lah kau dari hadapanku. Atau, kau tidak akan 
sempat menyesal nantinya!” bentak Nyi Durgandi 
geram.
“Maafkan kelancanganku. Tapi seperti halnya 
kalian, aku pun mempunyai kepentingan sama 
pada wanita bertopeng berjuluk Bidadari Pe-
nyambar Nyawa ini. Harap, kalian bisa menger-
ti...,” sahut pemuda yang memang Bayu dengan 
nada agak keras.
“Huh! Persetan dengan segala urusanmu! Per-
gilah dari sini sebelum kemarahan kami tertum-
pah padamu!” sentak Ki Candul Wereng dengan 
mata melotot lebar.
“Pendekar Pulau Neraka! Lebih baik turuti saja

kata-kata kawanku ini. Semua ini demi keselama-
tanmu sendiri!” sambung Ki Kermopati.
“Maafkan. Tapi, aku tetap tidak bisa menuruti 
kehendak kalian. Aku mendapat perintah dari 
Adipati Wiriaraja untuk meringkus wanita itu dan
membawanya ke kadipaten!” balas Bayu tak mau 
kalah.
“Kurang ajar! Kau kira kami takut denganmu?! 
Phuih! Kalau begitu lebih baik kau mampus!” ge-
ram Nyi Durgandi.
Agaknya perempuan tua itu tidak bisa mena-
han amarahnya lagi. Dia langsung melompat me-
nyerang Pendekar Pulau Neraka dengan ayunan 
tongkatnya bertubi-tubi. Angin serangannya yang 
dahsyat, membuktikan kalau segenap kemam-
puannya dikerahkan untuk menghabisi Pendekar 
Pulau Neraka secepatnya. Setidaknya, Nyi Dur-
gandi menyadari kalau Pendekar Pulau Neraka 
bukanlah julukan kosong belaka. Dan tentu saja 
dia tidak mau jatuh dalam waktu singkat di de-
pan dua tokoh lainnya yang menonton pertarun-
gan mereka.
“Uts!”
Bayu dengan sigap melompat ke belakang, 
sambil menundukkan kepala ketika tongkat pe-
rempuan tua itu menyambar kepalanya. Tubuh-
nya meliuk-liuk bagaikan sedang menari, ketika 
ujung tongkat hitam itu kembali menyambar-
nyambar dada dan perutnya.
“Yeaaa...!”
Seketika ujung kaki kanan Pendekar Pulau Neraka meluncur deras ke arah dada Nyi Durgandi. 
Perempuan tua itu mengelak ke kanan, disertai 
ayunan tongkatnya ke arah kepala. Bayu cepat 
membungkuk begitu serangan tongkat Nyi Dur-
gandi luput dari sasaran, kembali kakinya meng-
hantam ke arah perut perempuan tua itu.
“Setan!”
Nyi Durgandi memaki geram ketika tubuhnya 
melompat ke belakang untuk menghindari ten-
dangan lawan.
“Hei! Apakah kalian tidak punya otak! Lekas 
bereskan gadis itu, sementara bocah edan ini ba-
gianku!” lanjut perempuan tua itu, membentak 
garang kepada dua kawannya.
Mendengar bentakan Nyi Durgandi, kedua laki-
laki itu terkejut. Namun mereka segera mengalih-
kan perhatian pada Bidadari Penyambar Nyawa 
yang saat itu tengah bersiap pula.
“Yeaaah...!”
Ki Candul Wereng dan Ki Kermopati melompat 
bertarung melakukan serangan gencar ke arah 
Bidadari Penyambar Nyawa. Namun....
“Tidak akan kubiarkan kalian mendahuluiku 
menangkap gadis itu!”
Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring yang 
menggema ke sekitarnya. Bahkan....
Sing!
“Hei?!”
***

DELAPAN

Cakra Maut Pendekar Pulau Neraka melesat ke
arah Ki Candul Wereng dan Ki Kermopati yang 
hendak menyerang Bidadari Penyambar Nyawa. 
Kedua orang tua itu tersentak kaget. Namun Ki 
Candul Wereng yang memang berangasan, sudah 
langsung mengibaskan cangkulnya untuk mema-
pak Cakra Maut.
Krakkk!
“Heh?!”
Begitu senjatanya beradu, Ki Candul Wereng 
jadi terkejut sendiri. Cangkulnya ternyata putus 
disambar cahaya putih keperakan milik Pendekar 
Pulau Neraka. Dan belum lagi habis rasa kaget-
nya, senjata maut itu telah berbalik menyerang. 
Terpaksa Ki Candul Wereng dan Ki Kermopati 
berjumpalitan menghindarinya.
Sementara, Nyi Durgandi juga menyadari ke-
hebatan senjata Pendekar Pulau Neraka. Maka 
ketika Cakra Maut kembali melesat ke arah pemi-
liknya, perempuan tua itu langsung mengayun-
kan tongkatnya sekuat tenaga ke arah Pendekar 
Pulau Neraka. Dengan begitu, diharapkan Bayu 
akan kehilangan keseimbangan. Sehingga, senja-
tanya itu tidak mampu ditangkap.
“Hiiih!”
Namun agaknya Pendekar Pulau Neraka telah 
membaca gerakan Nyi Durgandi. Maka cepat dia 
melompat dua langkah. Sementara tangan kanannya yang terkembang cepat dihentakkan. Se-
ketika telapak tangan Pendekar Pulau Neraka me-
lesat angin kencang yang bergulung-gulung 
menghantam Nyi Durgandi.
Nyi Durgandi terkejut setengah mati. Untuk 
menghindar rasanya memang tak mungkin. Maka
segera telapak kirinya dikerahkan pula. Seketika 
dari situ menderu angin kencang yang memapak
pukulan!
Glarrr!
Terdengar benturan dahsyat ketika pukulan 
masing-masing beradu. Tubuh perempuan tua itu 
kontan bergetar hebat akibat kuatnya benturan 
kedua pukulan mereka beradu. Bukan itu saja. 
Nyi Durgandi pun merasakan dirinya seperti di-
hantam badai gelombang yang membuatnya ter-
huyung-huyung ke belakang oleh tenaga doron-
gan dahsyat
“Hup!”
“Yeaaah...!”
Dengan mudah Pendekar Pulau Neraka me-
nangkap kembali Cakra Mautnya yang melesat 
pulang. Nyi Durgandi menggeram. Bahkan lang-
sung menyerang kembali dengan pengerahan se-
luruh kemampuannya.
Bayu tidak mau lagi membuang-buang waktu. 
Ketika serangan datang kembali, cepat tangan 
kanannya dikibaskan.
Sing!
“Hei?!”
Cakra Maut langsung mendesing kencang ke

arah Nyi Durgandi dengan kecepatan bagai kilat 
Perempuan tua itu terkesiap, lalu buru-buru 
menggulingkan tubuhnya. Sementara tangan ka-
nannya cepat mengibaskan tongkat hitamnya un-
tuk menangkis Cakra Maut. Dan....
Tras!
“Yeaaah...!”
Nyi Durgandi tidak terlalu terkejut, begitu sen-
jatanya putus disambar Cakra Maut Namun yang 
membuatnya terkejut, ternyata Pendekar Pulau 
Neraka tiba-tiba saja telah meluruk ke arahnya. 
Padahal, dia baru saja bisa bernapas lega setelah 
berhasil menghindari senjata maut itu. Begitu ce-
pat gerakan Pendekar Pulau Neraka, sehingga 
terpaksa Nyi Dugandi harus menangkisnya.
Plak!
Wanita tua itu kontan merasakan tangannya 
linu akibat benturan tangan barusan. Dan belum 
lagi mempersiapkan pertahanan untuk menghin-
dari serangan berikut, satu sodokan keras tiba-
tiba menghajar telak dadanya.
Duk!
“Aaakh...!”
Nyi Durgandi menjerit kesakitan. Tubuhnya 
terjungkal ke tanah dan bergulingan disertai 
muntahan darah segar.
“Aku tidak bermaksud mencelakakanmu, Nyi. 
Tapi karena kau membandel, maka terima saja 
akibatnya! Tinggalkan gadis bertopeng. Dan, per-
gilah dari tempat ini. Aku tidak main-main den-
gan kata-kataku!” dingin terdengar suara pemuda

berbaju kulit harimau itu.
Nyi Durgandi mengeluh pelan menahan geram. 
Tentu saja dia akan malu besar di hadapan kedua 
kawannya, karena dicundangi sedemikian rupa. 
Namun mendadak saja Ki Candul Wereng melom-
pat menyerang Pendekar Pulau Neraka.
“Huh! Bocah bau kencur saja ingin bertingkah 
di hadapanku! Kau akan mampus lebih dulu di 
tanganku!”
“Hm!”
Bayu hanya mendengus dingin. Tubuhnya lan-
tas bergerak ke samping menghindari satu han-
taman bertenaga dalam tinggi. Sementara tangan 
kirinya bergerak menghantam untuk menjajal ke-
kuatan tangan Ki Candul Wereng.
Plak!
“Uhhh...!”
Ki Candul Wereng jadi mengeluh pelan, ketika 
kedua tangannya terhantam sabetan tangan Pen-
dekar Pulau Neraka. Bisa dirasakan kalau tenaga 
dalam pemuda itu kuat bukan main. Namun ma-
na sudi kelemahannya ditunjukkan di depan pe-
muda ini? Tanpa mempedulikan rasa sakit di len-
gannya, kembali dihantamnya dada Pendekar Pu-
lau Neraka dengan tendangan menggeledek berisi 
tenaga dalam penuh. 
“Hiiih!”
Pendekar Pulau Neraka cepat berbalik ke ka-
nan untuk menghindari tendangan lawan. Dan 
bersamaan itu juga kaki kanannya langsung menyapu kepala Ki Candul Wereng.

“Uts!”
Wusss!
Cepat-cepat orang tua itu menundukkan kepa-
la, kemudian melompat ke belakang. Sementara 
Bayu sudah menjejakkan kaki ke tanah. Lalu, tu-
buhnya melenting dan langsung meluruk deras 
dengan kedua kaki bergerak menggunting silih 
berganti menyambar kepala Ki Candul Wereng. 
Bukan main kagetnya orang tua itu melihat se-
rangan aneh dari Pendekar Pulau Neraka. Kedua 
kaki Bayu terus saja mengikutinya dengan seran-
gan-serangan gencar. Dan ini membuat Ki Candul 
Wereng kewalahan. Orang tua itu berusaha me-
nangkis secara berturut-turut.
Plak! Plak!
Namun kedua kaki Pendekar Pulau Neraka 
yang berturut-turut menghantam pinggang kiri 
dan kanan terasa keras bukan main. Wajah Ki 
Candul Wereng kontan meringis menahan sakit 
akibat benturan barusan. Bahkan tubuhnya 
sampai terjajar beberapa langkah. Dan belum lagi 
keseimbangan tubuhnya sempurna, kedua kaki 
Pendekar Pulau Neraka telah bergerak menggunt-
ing lehernya erat-erat.
Tap!
“Hiiih!”
Bukan main kagetnya laki-laki tua itu, menda-
pati lehernya telah terjepit kedua kaki Pendekar 
Pulau Neraka. Namun Ki Candul Wereng tidak 
kurang akal. Langsung dihantamnya dada Bayu 
sekuat tenaga. Sayang, Bayu pun agaknya telah

memperhitungkannya. Bahkan kedua kakinya 
yang menjepit leher Ki Candul Wereng, langsung 
dipererat dengan kekuatan tenaga dalam tinggi. 
Akibatnya....
Kreeek!
“Aaa...!”
***
Ki Candul Wereng menjerit panjang ketika 
ujung lehernya patah digunting kaki Pendekar 
Pulau Neraka. Dan dengan mudah Bayu mendo-
rongnya ke belakang, dan langsung melompat 
menjauhi Ki Candul Wereng. Sementara orang tua 
itu langsung terjungkal ke tanah dan menggele-
par-gelepar tidak berdaya dengan mulut mengelu-
arkan darah segar. Tidak lama kemudian, tubuh-
nya diam tak berkutik. Mati!
“Biadab!” sentak Ki Kermopati, geram.
Bayu berpaling dan menatap tajam ke arah la-
ki-laki tua yang mengeluarkan bentakan barusan.
“Aku tidak pernah main-main dengan kata-
kataku! Pergilah kalian selagi masih ada kesem-
patan!” dengus Pendekar Pulau Neraka dingin.
Kata-kata Pendekar Pulau Neraka terdengar 
menghina. Hal itu karena dia tahu betul, siapa 
mereka bertiga. Ke Kermopati dan Ki Candul We-
reng adalah dua tokoh hitam yang sering berbuat 
sesuka hatinya kepada orang-orang tak berdosa. 
Sedangkan Nyi Durgandi adalah tokoh yang tidak 
jelas golongannya. Namun siapa pun tahu, wanita 
itu memang ugal-ugalan. Dia suka berbuat menurut hawa nafsunya saja, tapi di sisi lain suka pula 
membantu orang yang lemah.
Sementara itu, Nyi Durgandi dan Ki Kermopati 
berpandangan sesaat. Meski geram dan menden-
dam setengah mati, namun keduanya menyadari 
kalau bukanlah tandingan pemuda itu.
“Pendekar Pulau Neraka! Hari ini kau boleh 
menepuk dada. Tapi lain kali, kami akan mem-
buat perhitungan denganmu!” dengus Nyi Dur-
gandi seraya melesat pergi dari tempat itu, diikuti 
Ki Kermopati.
Bayu menatap dingin ke arah mereka. Kemu-
dian kepalanya berpaling ke arah gadis bertopeng 
yang masih tetap tegak berdiri di tempatnya.
“Sekarang urusan kita berdua! Kau harus 
mempertanggungjawabkan perbuatanmu di ha-
dapan Adipati Wiriaraja!” kata Bayu, dingin.
“Huh! Kau kira demikian mudahnya memba-
waku ke sana?!” dengus gadis bertopeng yang ter-
kenal sebagai Bidadari Penyambar Nyawa.
“Suka atau tidak, aku telah berjanji pada Adi-
pati Wiriaraja untuk membawamu ke hadapan-
nya.
Dan janji seorang pendekar harus dipenuhi, 
apa pun rintangannya!” tegas Pendekar Pulau Ne-
raka.
“Hebat! Setelah menolongku, kini kau hendak 
menangkapku dan menyerahkannya ke Adipati 
Wiriaraja untuk diadili?” sahut gadis itu, sinis.
“Jika saja aku belum berjanji untuk menyerah-
kanmu hidup-hidup, tentu sudah sejak tadi ku

biarkan kau dikeroyok tiga orang tadi. Dan aku 
tinggal menunggu hasilnya saja!” kata Bayu, en-
teng.
“Huh! Jadi kau berharap bisa menangkapku 
hidup-hidup, lalu mendapat hadiah dari adipati 
itu?” sindir wanita bertopeng itu.
“Aku tidak mengharapkan hadiahnya!”
“Lalu, apa yang kau inginkan setelah menang-
kapku?”
“Agar orang sepertimu tidak berkeliaran, mem-
buat keonaran di mana-mana dengan segala den-
dammu yang aneh!”
“Dendam aneh?! Tentu saja, karena kau tidak 
mengalami bagaimana pahitnya hidup sengsara! 
Tidak punya kedua orangtua maupun saudara. 
Bahkan menjadi permainan laki-laki diperkosa 
beramai-ramai dan dianiaya...!” Bidadari Penyam-
bar Nyawa berteriak kalap dengan suara mengan-
dung dendam hebat
Bayu tertegun mendengar kata-kata gadis itu. 
Lewat celah sepasang mata topeng yang dikena-
kan gadis itu, bisa terlihat kesedihan di bola ma-
tanya yang berair.
“Hm.... Bagaimana aku bisa mempercayai kata-
katamu? Sejak gadis kecil kau hidup di kadipa-
ten. Tentunya kau sudah bergelimang kebaha-
giaan....,” gumam pemuda itu.
Mendengar kata-kata Pendekar Pulau Neraka, 
kini ganti gadis bertopeng itu yang tertegun. Dita-
tapnya pemuda itu dalam-dalam.
“Siapa! Apa maksud kata-katamu?!”

“Tentu saja dirimu!”
“Tidak! Maksudku, dari mana kau bisa mendu-
ga kalau aku hidup di kadipaten?”
Bayu tersenyum halus. Kini dimengerti, apa 
maksud pertanyaan gadis bertopeng itu.
“Semua orang mungkin bisa kau tipu. Terma-
suk, aku tadinya. Namun kau membuat kesala-
han besar. Aku tahu persis, siapa wajah cantik di 
balik topeng itu!” sebut Bayu menekankan.
“Kau..., kau...?!”
“Ya! Aku tahu kalau Bidadari Penyambar Nya-
wa adalah putri Adipati Wiriaraja sendiri. Tapi, 
aku tidak mengerti. Alasan apa yang menyebab-
kan kau berbuat seperti ini....”
“Dari..., dari mana kau...?”
Bidadari Penyambar Nyawa kembali tertegun. 
Namun tiba-tiba....
“Huh! Kau bisa saja berkata sesuka hatimu. 
Tapi, tidak mungkin bisa menjebakku!” sentak 
gadis itu. Suaranya terdengar sinis.
“Kau memang bisa berkata begitu. Tapi telah 
kukatakan, kau membuat kekeliruan besar. Ta-
dinya aku tidak menyangka. Pada saat tengah 
berjalan-jalan keluar dari kamar, kulihat sebuah 
bayangan melesat keluar dari kamarmu. Maka 
buru-buru aku ke sana, karena menyangka ada 
seseorang pencuri berusaha menyelinap. Tapi, 
ternyata aku salah duga. Ternyata yang kuda-
patkan bukan pencuri, melainkan seorang wanita. 
Lalu kulihat ke dalam kamarmu. Dan kau ternya-
ta tidak ada. Kemudian kuikuti arah kepergian

mu, dan sampailah di tempat ini,” jelas Bayu.
Lagi-lagi gadis bertopeng itu tertegun. Kali ini, 
dia tidak bisa lagi menutupi dirinya di depan pe-
muda itu.
“Kenapa kau melakukan perbuatan-perbuatan 
seperti itu?” desah Bayu, mulai lunak.
Terdengar gadis itu menarik napas panjang-
panjang dan menghembuskannya kuat-kuat.
“Aku telah berkata yang sesungguhnya, men-
gapa membunuh orang-orang yang tidak kusukai. 
Perlu kau ketahui, aku bukanlah putri kandung 
Kanjeng Gusti Adipati Wiriaraja. Kalau ada lelaki 
yang kuhormati, hanyalah beliau. Karena, Kan-
jeng Gusti Adipati Wiriarajalah yang telah men-
gangkatku dari lembah nista. Aku memang putri 
angkatnya sejak berusia lima belas tahun...,” tu-
tur Bidadari Penyambar Nyawa, lirih.
Gadis itu terdiam. Dan Bayu pun ikut membi-
su. Untuk sesaat mereka terjebak dalam kesu-
nyian. Hujan telah lama reda dan menggenangi 
sawah-sawah di sekitar tempat itu yang semula 
kering kerontang. Suara unggas malam yang ter-
bang melintasi sesekali terdengar.
“Biar bagaimanapun, kau harus bertanggung 
jawab atas perbuatanmu di hadapan ayah ang-
katmu. Kau telah membuat susah hatinya...,” su-
ara Bayu kembali terdengar.
Gadis itu membuka topeng kayu di wajahnya. 
Sehingga, kini terlihat seraut wajah cantik Kunti 
Kameshawara yang tersenyum kecil tanpa makna.
“Tidak!” tegas gadis itu.

***
Bayu tidak terlalu terkejut mendengar jawaban 
gadis itu. Namun sikapnya mulai bersiap, ketika 
Kunti Kameshawara menudingkan pedang dengan 
gerakan siap hendak menerjangnya.
“Kunti, jangan memaksa...,” teriak Bayu men-
gingatkan.
“Sekian lama aku berguru untuk membalaskan 
dendam berkarat di hatiku pada semua laki-laki 
yang kurang ajar dan tidak kusukai. Sebagian 
dendamku sudah terbalaskan. Namun masih ba-
nyak yang belum kuselesaikan. Aku tidak akan 
berhenti, sebelum mereka semua lenyap dari mu-
ka bumi ini! Tidak seorang pun yang bisa meng-
halangi niatku! Tidak juga kau!” tuding Bidadari 
Penyambar Nyawa ke arah Pendekar Pulau Nera-
ka dengan ujung pedangnya.
“Kalau demikian, tidak ada jalan lain bagiku. 
Suka atau tidak, kau akan kupaksa menghadap
ayah angkatmu!” sahut Bayu menegaskan.
“Kau boleh membawa mayatku! Atau, kau yang 
akan mampus di tempat ini!” dengus Kunti Kame-
shawara lantang.
Gadis itu sudah bersiap akan menyerang, na-
mun....
“Anakku, Kunti.... Hentikan perbuatanmu...!”
Tiba-tiba terdengar suara halus mencegahnya. 
Begitu mereka berpaling, tampaklah Adipati Wi-
riaraja serta Ki Aria Depa yang didampingi kedua 
anak buah terdekatnya. Tanpa ada yang tahu, 
mereka telah berada di tempat itu. Melihat kehadiran mereka, Kunti Kameshawara cepat menjura 
hormat.
“Ayahanda, kenapa bisa berada di sini...?”
Adipati Wiriaraja tersenyum.
“Bayulah yang memberitahukannya padaku. 
Ketika kau tengah bertarung melawan murid-
murid Kelelawar Setan Gantung, Bayu kembali ke 
kadipaten. Dia tahu, pertarungan akan berlang-
sung lama. Apalagi, dia juga melihat kehadiran ti-
ga tokoh tua yang telah menunggumu di balik 
semak-semak...,” jelas Adipati Wiriaraja, seraya 
melangkah mendekati.
“Ayahanda, jangan mendekat!”
Kunti Kameshawara berseru keras memperin-
gatkan, melihat adipati itu melangkah pelan men-
dekatinya.
“Kenapa, Anakku...?”
“Aku tidak pantas menjadi anakmu. Selama
ini, kau selalu memberi kasih sayang. Namun ba-
lasan yang kau terima adalah kesusahan akibat 
perbuatanku. Aku betul-betul anak tidak tahu di-
ri dan tidak tahu berterima kasih...,” kata Kunti 
Kameshawara, terdengar lirih.
“Anakku.... Setiap kesalahan besar yang diper-
buat manusia selalu ada jalan keluarnya. Yakni, 
dengan kembali ke jalan yang benar dan bertobat. 
Demikian juga denganmu. Aku dan ibumu akan 
selalu mengganggapmu sebagai anak kami sendi-
ri, dan akan tetap menghasihimu...,” bujuk ayah 
angkat Kunti Kameshawara.
“Tidak! Aku tidak bisa membalas kebaikan ka

lian berdua. Maafkan anakmu yang tidak berbakti 
ini, Ayahanda. Juga sampaikan permintaan 
maafku pada ibu. Aku belum sempat membalas 
kebaikan kalian...,” kembali terdengar suara lirih 
Kunti Kameshawara.
“Kunti Kameshawara, Anakku.... Kembalilah ke 
kadipaten. Ibumu sangat mengkhawatirkan kea-
daanmu...,” bujuk adipati itu.
“Tidak! Aku tidak akan kembali lagi ke kadipa-
ten. Maafkan aku Ayahanda....”
Begitu menyelesaikan kata-katanya tiba-tiba 
saja gadis itu mengangkat pedang pendeknya. 
Dan dengan gerakan cepat, pedang itu langsung 
dihujamkan ke jantungnya, tanpa ada yang bisa 
mencegahnya.
Crab!
“Akh...!”
“Kunti! Oh, tidaaak...!”
Adipati Wiriaraja terkejut bukan main melihat 
apa yang dilakukan putri angkatnya. Bayu sudah 
melompat hendak mencegah, namun pedang di 
tangan Kunti Kameshawara lebih cepat lagi berge-
rak. Disertai keluhan pelan, gadis itu ambruk ke 
tanah dengan darah menetes pelan di sudut bi-
birnya.
Adipati Wiriaraja cepat menghambur, meng-
hampiri anak angkatnya yang telah ambruk di ta-
nah. Langsung dia berjongkok, dan menarik tu-
buh Kunti Kameshawara. Langsung tubuh ramp-
ing itu disandarkan di paha kirinya.
“Anakku.... Kenapa kau harus melakukan
nya...?” tanya Adipati Wiriaraja dengan suara pi-
lu.
“Aku..., aku tidak punya pilihan lagi, Ayahan-
da. Aku tidak bisa menghapus dendamku.... Se..., 
sedangkan kau pasti tidak suka dan melarangku, 
setelah mengetahui siapa sebenarnya aku. Dan..., 
dan aku tidak mungkin bisa membantah per..., 
perkataanmu. Maka, inilah jalan terbaik bagiku. 
Maafkan aku, Ayah...,” kata gadis itu terbata-
bata.
Dan sebentar saja Kunti Kameshawara menge-
jang, lalu terkulai lemah. Rupanya, nyawa lang-
sung melayang dari tubuhnya. Adipati Wiriaraja 
tertunduk lesu sambil membelai-belai pipi anak 
angkatnya.
“Anakku.... Maafkan ayahmu yang tidak bisa 
meredamkan dendammu. Aku memang bukan 
orangtua yang baik, karena tidak mampu mendi-
dikmu. Beristirahatlah dengan tenang, Kunti Ka-
meshawara....”
Suasana kembali hening beberapa saat, sebe-
lum Adipati Wiriaraja membopong putri angkat-
nya. Kepalanya lantas hendak berpaling untuk 
mengucapkan terima kasih pada Pendekar Pulau 
Neraka, namun....
“Ke mana dia?” tanya Adipati Wiriaraja, ketika 
mendapatkan Pendekar Pulau Neraka tidak lagi 
berada di tempatnya.
Ki Aria Depa menggeleng. Demikian pula kedua 
anak buahnya. Rupanya, mereka semua tidak ada 
yang tahu, ke mana Bayu pergi.

“Mungkin dia telah pergi, selagi. kita sibuk 
memperhatikan Kunti Kameshawara. Atau juga, 
karena dia tidak ingin mendapat pamrih atas apa 
yang telah dilakukan pada kita. Namun walau ba-
gaimanapun, aku amat berterima kasih. Dan sua-
tu saat bila bertemu kembali, akan kusampaikan 
sendiri rasa terima kasihku padanya...,” gumam 
Adipati Wiriaraja pelan.
Malam pun semakin merambat bersama din-
gin. Unggas malam tidak terlihat terbang. Mung-
kin hinggap mencari mangsa, atau juga telah le-
lah terbang ke sana kemari. Yang terasa hanya 
sunyi, seperti apa yang dipapakan. Terutama di dada Adipati Wiriaraja.


                               SELESAI

https://matjenuhkhairil.blogspot.com












































Share:

0 comments:

Posting Komentar