..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Rabu, 12 Februari 2025

PENDEKAR NAGA PUTIH EPISODE KETURUNAN DATUK DATUK PERSILATAN

matjenuh

 

KETURUNAN DATUK-DATUK PERSILATAN 
Oleh T. Hidayat 
Cetakan pertama 
Penerbit Cintamedia, Jakarta 
Penyunting : Tarech R. 
Hak cipta pada Penerbit 
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau 
seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit 
T. Hdayat 
Serial Pendekar Naga PuHh 
dalam episode: 
Keturunan Datuk-Datuk Persilatan 
128 haL ; 12 x 18 cm

SATU

"Heyaaa... heyaaa...!" 
Suara bentakan nyaring itu terdengar berkali-kali, merobek 
suasana siang yang sunyi. Debu mengepul mengiringi suara 
derap bergemuruh, yang diselingi suara berderit dari roda-roda 
kereta kuda, menggilas bebatuan. 
Ctarrr.... Ctarrr...! 
Suasana bising itu, masih diselingi pula ledakan cambuk sang 
Kusir, yang merobek-robek angkasa. Semua itu makin 
menambah riuhnya suasana. 
Kereta yang melaju pesat itu ditarik dua ekor kuda, dan 
diikuti beberapa penunggang kuda di belakangnya. Sedangkan 
di bagian depan, terdapat dua orang penunggang kuda lainnya. 
Jelas, rombongan orang berkuda itu merupakan pengawal dari 
kereta kuda itu. 
Rombongan kecil yang membawa sebuah bendera kuning 
berlukiskan seekor harimau belang itu, bergerak cepat 
membelah jalan yang di kiri dan kanannya terdapat pepohonan. 
Melihat dari huruf-huruf yang tertera pada bagian samping 
kereta, jelas mereka sedang mengawal barang. 
Dalam dunia persilatan, rombongan pengawal barang 
Harimau Terbang memang sangat terkenal. Dan, selama 
bertugas, tidak pernah sekali pun perkumpulan itu 
meninggalkan cacat. 
Setiap mendapat pesanan untuk mengantarkan sesuatu, 
mereka selalu menyelesaikan tugas dengan baik. Sehingga, 
nama pengawal barang Harimau Terbang makin terkenal dan 
dipercaya para saudagar kaya.

Kelompok pengawal barang yang bernaung di bawah 
bendera Harimau Terbang, bukan hanya dikenal di kalangan 
saudagar kaya saja. Tapi, kaum rimba persilatan pun banyak 
yang mengikat tali persahabatan dengan kelompok itu. Luasnya 
pergaulan kepala perkumpulan itulah yang membuat mereka 
selalu dapat menyelesaikan tugasnya dengan baik. Karena, 
kaum perampok dan begal merasa segan untuk berurusan 
dengan Kelompok Harimau Terbang. 
Bukan hanya keluasan hubungan ketua perkumpulan itu 
yang membuat para perampok dan begal segan 
mengganggunya. Tapi, kebaikan hati ketua perkumpulan itu 
pun membuat para perampok dan begal menghormatinya. 
Tidak jarang ketua perkumpulan itu memberi hadiah kepada 
mereka sebagai ikatan tali persaudaraan. Semua itu membuat 
Kelompok Harimau Terbang tidak pernah mendapatkan 
gangguan dari para perampok dan begal dalam menunaikan 
tugasnya. 
Tapi, perkumpulan pengantar barang Harimau Terbang itu 
bukan sekumpulan orang-orang penakut dan lemah. Selain 
pemimpinnya seorang tokoh persilatan yang disegani, para 
anggotanya pun rata-rata memilikia kepandaian yang dapat 
diandalkan. Tidak jarang kelompok pengantar barang itu harus 
berurusan dengan para perampok yang tidak mau peduli 
dengan bendera maupun nama ketua mereka. Namun, semua 
itu dapat ditanggulangi dengan baik oleh Kelompok Harimau 
Terbang. Sehingga, nama mereka semakin terkenal dan 
disegani kawan maupun lawan. 
Menjulangnya nama Kelompok Harimau Terbang, membuat 
para saudagar lebih mempercayakan barang-barangnya kepada 
mereka. Sehingga, hampir setiap hari kelompok itu harus 
mengantarkan barang dagang atau upeti para saudagar.

Seperti biasanya, kali ini Kelompok Harimau Terbang 
mendapat kepercayaan dari seorang pelanggannya. Barang 
yang akan mereka antarkan, pesanan seorang saudagar kaya di 
kota kadipaten. 
Setelah agak lama menyusuri jalan lebar yang cukup ramai 
oleh penduduk. Mereka mulai memasuki mulut sebuah hutan. 
Cuaca yang remang-remang karena cahaya matahari terhalang 
rimbun daun pepohonan, membuat rombongan itu bergerak 
lebih lambat dari semula. 
Ketika rombongan pengawal barang itu semakin dalam 
memasuki hutan, mendadak dua orang yang berada di depan 
mengangkat tangannya ke atas. Karuan saja kusir kereta 
barang itu segera menarik tali kudanya. Dan, kereta pun 
berhenti. 
Dua orang dari enam rombongan yang berada di belakang, 
bergerak melarikan kudanya. Begitu tiba di samping 
penunggang kuda terdepan, ia segera menarik tali kudanya. 
"Ada apa, Kakang?" tanya lelaki brewok yang datang dari 
belakang itu dengan nada heran. "Apa kau ingin kita 
beristirahat di dalam hutan ini?" 
"Tidak, Adi Galing. Tapi, sepertinya aku mendengar sesuatu 
yang mencurigakan di sekitar daerah ini," sahut lelaki gagah 
berusia lima putuh tahun, yang sepertinya pimpinan 
rombongan kecil itu. Sambil berkata, ia mengedarkan 
pandangannya dengan sikap waspada. 
"Ah, yang Kakang dengar tadi, mungkin suara binatang 
hutan. Mereka berlarian karena terganggu oleh kehadiran kita. 
Seperti kita ketahui, daerah hutan ini sama sekali tidak rawan. 
Jadi, kecurigaan Kakang itu sama sekali tidak beralasan," 
bantah lelaki brewok yang dipanggil dengan nama Galing itu.

Menilik dari jawabannya, jelas kalau ia sama sekali tidak 
merasa cemas dengan ucapan pimpinannya. 
"Hm...," lelaki gagah yang memimpin rombongan itu hanya 
bergumam pelan menanggapi bantahan anggotanya. "Apakah 
kau tidak mendengarnya, Adi Bana Raga?" tanyanya sambil 
berpaling ke arah kawannya yang berada di sebdah kiri. 
Lelaki berusia empat puluh lima tahun yang merupakan 
orang kedua dalam rombongan itu, terdiam sejenak. Sepertinya 
lelaki yang bernama Ki Bana Raga itu hendak memastikan, 
sebelum menjawab pertanyaan pimpinannya. Setelah 
mendapatkan jawaban, baru ia berpaling ke arah pimpinannya. 
"Munkin aku pun sempat mendengarnya tadi, Kakang. Tapi, 
aku kurang yakin, apakah suara itu patut kita curigai. Selain itu, 
yang kudengar tadi, mungkin tidak sama dengan apa yang 
Kakang Mahinta dengar. Sebab, yang kudengar hanyalah suara-
suara yang mirip jeritan seekor kera," jawab Ki Bana Raga 
dengan wajah yang tetap tenang. Meskipun sebenarnya ia 
merasa curiga, tapi perasaan itu lenyap begitu saja. 
Seperti halnya Galing, Ki Bana Raga tahu kalau Hutan 
Grambang yang mereka lalui itu merupakan daerah yang aman. 
Dan, selama ia bergabung dengan kelompok pengawal barang 
Harimau Terbang, tak pernah sekalipun mereka mendapat 
halangan di hutan itu. Pengalaman itulah yang membuatnya 
bersikap tenang, tanpa rasa curiga sedikit pun. 
"Aneh. Apa yang kudengar, justru berbeda. Bukan suara-
suara itu yang kumaksudkan, Adi Bana Raga. Tapi, gerakan-
gerakan yang mirip dengan langkah kaki manusia itulah yang 
membuat aku curiga," sanggah Ki Mahinta, pimpinan 
rombongan itu, dengan kening berkerut. Jawaban itu 
sepertinya bukti bahwa Ki Mahintalah yang mendengar suara 
itu.

Berbeda dengan Ki Bana Raga, Galing, atau anggota lainnya, 
Ki Mahinta adalah seorang yang sangat berpengalaman, dalam 
kelompok Harimau Terbang. Dan, jasanya terhadap 
perkumpulan pengantar barang itu pun tidak sedikit. Bahkan 
ketua perkumpulan itu sendiri sangat mengagumi Ki Mahinta. 
Ki Mahinta memang memiliki kelebihan, terutama kekuatan 
nalurinya. Sehingga, tidak jarang lelaki gagah itu dapat 
menyelamatkan barang-barang antarannya, dengan cara 
memutar jalan guna menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. 
Meski semua itu hanya bersandar pada kekuatan naluri Ki 
Mahinta, namun seringkali menjadi kenyataan. 
"Hm..., mungkinkah di wilayah Hutan Grambang ini ada 
gerombolan perampok...?" gumam Ki Bana Raga yang jelas-
jelas meragukan dugaan Ki Mahinta. Sambil bergumam, lelaki 
kunis itu mengedarkan pandangannya berkeliling dengan 
kening berkerut. 
"Kemungkinan itu akan selalu ada, Adi Bana Raga. Bisa saja 
gerombolan perampok yang mengungsi dari daerahnya. Dan, 
mereka belum mengenal siapa kita. Jadi, kuharap kalian semua 
selalu waspada...," Ki Mahinta yang tetap mencurigai langkah-
langkah yang didengarnya tadi, mengingatkan kepada 
anggotanya. 
Setelah mendengar perkiraan itu, barulah Ki Bana Raga dan 
Galing mengangguk-anggukkan kepala. Sepertinya kedua orang 
itu mulai dapat menerima alasan yang dikemukakan 
pimpinannya. 
"Kalau begitu aku harus mengingatkan kawan-kawan yang 
lain, Kakang...," ujar Galing yang segera mengajak kawannya 
melarikan kudanya ke belakang kereta. 
Sepeninggal kedua orang anggotanya, Ki Mahinta kembali 
memerintahkan rombongannya untuk bergerak maju. Sambil


tetap menjalankan kudanya perlahan, pimpinan rombongan itu 
tampak senantiasa memusatkan pikirannya. Jelas kalau lelaki 
gagah setengah baya itu telah siap menghadapi segala 
kemungkinan yang bakal terjadi. 
Belum lagi rombongan kecil itu bergerak jauh, tiba-tiba 
terdengar suara berdesingan nyaring. 
Swingngng... syuuut..! 
"Awaaas...!" 
Ki Mahinta yang memang sejak tadi telah bersiap, segera 
berseru mengingatkan anggotanya. Dan, lelaki setengah baya 
itu segera mencabut pedangnya yang tergantung di pinggang 
kirinya. Diputarnya senjata itu hingga membentuk gulungan 
sinar yang membungkus sekujur tubuhnya. 
Trakkk! Trakkk! 
Terdengar suara benturan keras yang disusul bunyi 
berderak. Beberapa batang anak panah yang mengancam 
tubuh Ki Mahinta, langsung berjatuhan dalam keadaan patah! 
Pada saat yang hampir bersamaan, terdengar jeritan susul-
menyusul. Dua orang anggota Kelompok Harimau Terbang, 
terjungkal dari atas punggung kudanya. Tubuh mereka masing-
masing tertancap empat batang anak panah! Sudah dapat 
dipastikan, kedua anggota Ki Mahinta itu tewas akibat serangan 
gelap! 
"Cepat berlindung...!" 
Ki Mahinta sebagai seorang pimpinan, memang patut 
mendapat acungan jempol. Lelaki gagah itu segera dapat 
menguasai keadaan, dan langsung memberikan jalan keluar 
kepada anggotanya yang masih selamat.

Lelaki gagah pimpinan rombongan kecil itu sendiri, tidak 
tinggal diam. Setelah memperingatkan anggota-anggotanya, ia 
segera melesat dan berjumpalitan di udara dengan disertai 
putaran pedangnya. 
Kembali terdengar suara benda berpatahan, ketika tubuh Ki 
Mahinta masih berputar di udara. Entam batang anak panah 
berjatuhan dalam kedaan patah. 
Melihat dari gerakan yang ditunjukkannya, jelas Ki Mahinta 
bukanlah orang yang mudah menjadi sasaran serangan gelap. 
Terbukti lelaki setengah baya itu dapat menyelamatkan 
nyawanya untuk yang kedua kali. 
Dan, untuk kesekian kalinya, Ki Mahinta kembali 
menunjukkan kehebatan ilmu meringankan tubuh. Benturan 
enam batang anak panah itu, ia gunakan sebagai jembatan 
untuk kembali berputaran, kemudian kedua kakinya mendarat 
tepat di samping kereta kuda. 
"Hm..., siapa pun mereka, aku harus membuat perhitungan! 
Kematian kedua orang kita harus dapat ditebus dengan nyawa 
pengecut-pengecut licik itu, Kakang...," geram Ki Bana Raga 
yang sudah berada di samping kereta, sebelum Ki Mahinta tiba. 
"Hal itu boleh saja, Adi. Tapi, kita harus waspada, dan 
jangan bertindak ceroboh. Selain kita tak mengetahui di mana 
mereka berada, juga kita belum mengetahui kekuatan mereka. 
Jadi, kuharap kau jangan bertindak gegabah," pesan Ki 
Mahinta. Meskipun ia menyetujui ucapan pembantunya, tapi 
tetap mengingatkan dengan penuh ketegasan. 
Ki Bana Raga, lelaki berusia empat puluh lima tahun itu 
mengangguk pasti. Kendati rasa kemarahan telah memuncak, 
Ki Bana Raga tetap menghormati ucapan pimpinannya. Hal itu 
membuktikan kalau Ki Mahinta merupakan pimpinan yang 
disukai dan dihormati oleh anggotanya.

Ki Mahinta sendiri, tetap memerintahkan para anggotanya 
untuk berlindung di balik kereta barang. Walaupun saat itu 
serangan gelap dari lawan telah berhenti, Ki Mahinta tidak 
memperkenankan anggotanya bergerak. 
Melihat Ki Mahinta seperti tengah memutar otak mencari 
jalan keluar dari intaian maut itu, para anggotanya, termasuk Ki 
Bana Raga dan Galing, sama sekali tidak berani mengganggu. 
Mereka tetap tenang, meskipun keadaan sepertinya sudah 
mulai aman. 
*** 
Kesunyian yang mencekam dan sangat meresahkan anggota 
pengantar barang Harimau Terbang itu, berlangsung cukup 
lama. Sehingga, beberapa orang di antaranya terlihat sudah 
tidak sabar untuk keluar dari persembunyian. 
"Ingat! Jangan ada yang bergerak, atau keluar dari tempat 
persembunyian ini! Meski keadaan terlihat sudah aman, tapi 
siapa tahu musuh masih menunggu dengan anak-anak 
panahnya. Kuharap kalian semua dapat mengerti dan tidak 
bertindak menuruti kemauan sendiri," pesan Ki Mahinta lagi 
ketika matanya menangkap rasa gelisah beberapa orang 
anggotanya. 
Meskipun Ki Mahinta sendiri tidak merasa tenteram dengan 
kesunyian yang mencekam itu, namun ia tetap menekan 
keinginannya untuk keluar dari persembunyian. 
Setelah beberapa saat kembali terlewat tanpa suatu gerakan 
Ki Mahinta bergerak dengan tubuh membungkuk menghampiri 
Ki Bana Raga

"Bana Raga, kita harus bergerak, untuk memancing 
penyerang-penyerang gelap itu. Dengan demikian, mungkin 
kita bisa mengetahui di mana mereka berada. Kau siap?" tanya 
Ki Mahinta berbisik lirih. 
"Bagaimana caranya, Kakang? Apakah kita harus melompat 
dan menghalau hujan panah mereka?" Ki Bana Raga yang 
sepertinya tidak bisa berpikir dengan baik, dan meminta 
petunjuk dari pimpinannya. 
Dalam menghadapi keadaan genting seperti itu, Ki Mahinta 
lebih berpengalaman daripada dirinya. Sehingga, ia pun 
menanyakan rencana Ki Mahinta. 
"Hm..., sebelum kita memaksa mereka keluar dari 
persembunyiannya, kita terpaksa mengambil risiko menghadapi 
serangan anak panah mereka. Setelah itu, kita harus berusaha 
untuk mencapai kuda-kuda kita. Nah, dengan menunggangi 
kuda, kita paksa mereka untuk keluar," jelas Ki Mahinta 
menerangkan rencana yang telah dipikirkannya dengan 
matang. 
"Baiklah, Kakang. Dan, untuk itu rasanya kita harus 
berpencar. Dengan demikian, kita bisa memecah perhatian 
mereka," ujar Ki Bana Raga yang mulai dapat berpikir setelah 
mendengar rencana pimpinannya itu. 
"Bagus! Rupanya kau juga dapat berpikir baik, Bana Raga," 
puji Ki Mahinta sambil mengembangkan senyum. Sepertinya 
apa yang diusulkan pembantunya itu, memang sejalan dengan 
pikirannya. 
Setelah mereka sepakat dengan rencana itu, Ki Mahinta dan 
Ki Bana Raga berpencar ke kiri dan kanan kereta. Pedang 
mereka telah tergenggam erat-erat. Jelas mereka telah bersiap 
untuk menghadapi segala kemungkinan!

"Sekarang!" 
Setelah berseru demikian, Ki Mahinta melesat dengan 
kecepatan tinggi, sambil memutar pedangnya. Beberapa batang 
anak panah menyambut tubuhnya, dan langsung dipukul 
runtuh dengan putaran senjatanya! Kemudian, tubuhnya 
melesat ke arah seekor kuda yang tengah merumput di bawah 
sebatang pohon. 
"Heyaaa...!" 
Dengan sebuah bentakan nyaring, Ki Mahinta segera 
menggebah kudanya, begitu berada di atas punggung binatang 
itu. Sambil merunduk dengan menggunakan kuda sebagai 
perisai, Ki Mahinta membedal kudanya ke arah semak-semak, 
dari mana hujan anak panah itu berasal! 
Hampir bersamaan dengan Ki Mahinta, Ki Bana Raga pun 
telah pula berhasil menunggangi seekor kuda lainnya. 
Kemudian, ia terus membedal kudanya menuju kerimbunan 
semak. Karena, lelaki kurus itu menduga dari balik kerimbunan 
semak itulah hujan anak panah mengancam dirinya. 
Perhitungan Ki Mahinta ternyata tidak meleset! Begitu kuda 
yang ditungganginya melesat ke arah rimbunan semak-semak, 
beberapa batang anak panah kembali menyambutnya. Sayang, 
meskipun ia berhasil menghalau anak panah yang mengancam 
dirinya, kuda tunggangannya meringkik kesakitan! Enam ba-
tang anak panah menancap di lehernya. 
Tapi, nasib baik ternyata masih berpihak kepada lelaki 
setengah baya itu. Walaupun kuda tunggangannya terluka 
parah, namun ia terus saja menerobos semak belukar tempat 
para penyerang gelap itu bersembunyi. 
"Heaaah...!"
Begitu terlihat beberapa sosok tubuh berpakaian serba hitam 
melompat dari semak-semak, Ki Mahinta segera menjejakkan 
kakinya ke punggung kuda. Seketika itu juga, tubuhnya 
langsung mencelat ke arah delapan orang lelaki yang keluar 
dari gerombolan semak belukar itu. 
Trangngng! Brettt! Brettt! 
Salah satu dari delapan orang berseragam hitam itu, 
langsung tersungkur dengan tubuh bermandi darah! Rupanya ia 
berhasil memapaki sabetan pertama dari senjata Ki Mahinta, 
tapi sabetan kedua tidak bisa dielakkan lagi. Sehingga, pedang 
di tangan lelaki setengah baya itu, merobek lambung lawannya. 
Tujuh orang lelaki berseragam hitam lainnya, langsung 
mencabut pedang, dan mengurung Ki Mahinta. Namun, lelaki 
gagah itu menghadapi lawannya dengan putaran pedang yang 
cepat dan menggetarkan! Pertarungan sengit pun tidak bisa 
dihindarkan lagi! 
Di tempat lain, Ki Bana Raga juga telah berhasil memaksa 
para penyerangnya keluar dari persembunyian. Meskipun untuk 
itu ia terpaksa kehilangan kudanya, namun lelaki tinggi kurus 
itu merasa puas! Maka, begitu orang-orang berseragam hitam 
yang menyerang secara gelap itu berloncatan ke segala arah, Ki 
Bana Raga segera merangsek maju. 
Tapi, bukan main terkejut hati Ki Bana Raga ketika 
mendapat kenyataan lain. Tujuh orang lelaki berseragam hitam 
itu ternyata memiliki kepandaian yang tidak rendah! Sehingga, 
Ki Bana Raga harus bekerja keras untuk menghadapi keroyokan 
lawan-lawannya.

DUA

Pertempuran yang telah pecah itu, membuat para anggota 
Harimau Terbang yang lainnya bersorak gembira. Tanpa perlu 
menunggu aba-aba lagi, mereka langsung berlompatan keluar 
dari balik persembunyiannya. 
Lima orang anggota Harimau Terbang, termasuk Galing dan 
kusir kereta barang itu, langsung menyerbu ke arena 
pertempuran. Sudah pasti kelima orang itu di bawah pimpinan 
Galing. Karena lelaki brewok itu merupakan orang ketiga 
setelah Ki Mahinta dan Ki Bana Raga. 
Namun, perbuatan Galing dan anggota lainnya itu 
mengejutkan hati Ki Mahinta. Lelaki gagah berusia setengah 
baya itu, merasa cemas dengan tindakan yang dilakukan 
anggotanya. 
"Adi Galing...! Jaga kereta barang...!" sambil menghindari 
sabetan golok salah seorang pengeroyoknya, Ki Mahinta 
berseru mengingatkan anak buahnya yang berwajah brewok 
itu. 
Seruan Ki Mahinta itu, tentu saja membuat Galing sadar 
kalau kereta barang tidak terjaga sama sekali. 
Maka, tanpa banyak cakap lagi, Galing langsung melesat ke 
arah kereta bersama salah seorang kawannya. 
Peringatan Ki Mahinta memang bukan sekadar omongan 
kosong. Lelaki setengah baya yang telah banyak pengalamah 
itu, sudah menduga para penghadang itu pasti mempunyai 
kawan-kawan yang lain. Dan, hal itu memang terbukti! 
Galing dan lelaki tinggi kurus yang berlari dengan maksud 
untuk menjaga kereta barang, terkejut bukan main ketika

mendengar sorak-sorai yang gegap gempita. Wajah lelaki 
brewok dan kawannya itu berubah tegang! Dari sebelah depan 
dan belakang kereta, tampak belasan lelaki berpakaian serba 
hitam menghambur dengan senjata di tangan! 
"Celaka...!" desis Gilang dengan suara bergetar. Meskipun 
ada kilatan gentar di matanya, namun lelaki brewok itu 
bergegas menyilangkan senjatanya di depan dada. Sikapnya 
nampak gagah, meski ia sadar akan ancaman maut. 
"Kita pertahankan isi kereta ini dengan taruhan nyawa, 
Kakang..," desis lelaki kurus di sebelah Galing, yang juga telah 
bersiap menghadapi maut! 
"Tentu, Adi...," sahut Galing dengan suara mantap. 
Sepertinya lelaki brewok itu telah mengambil keputusan untuk 
mempertahankan barang kawalannya dengan taruhan nyawa! 
"Yeaaa...!" 
"Heaaa...!" 
Galing dan kawannya berdiri saling membelakangi satu sama 
lain. Musuh yang datang menyerang sambil berteriak-teriak itu, 
langsung mereka sambut dengan gagah! Sehingga, sebentar 
saja tubuh kedua orang anggota pengawal barang Harimau 
Terbang itu lenyap di tengah kerumunan para pengeroyoknya. 
Ki Mahinta dan Ki Bana Raga sempat menyaksikan kejadian 
itu, hati mereka merasa cemas bukan main! Terlebih lagi Ki 
Mahinta yang paling bertanggung jawab terhadap keselamatan 
kawan-kawannya mau pun barang kawalan mereka. Sehingga, 
wajah lelaki setengah baya itu berubah agak pucat! 
Ketegangan dan kecemasan yang memuncak di hati lelaki 
gagah setengah baya itu, membuatnya semakin memperhebat 
serangan-serangan terhadap lawan. Pedang di tangannya 
berkelebatan menebarkan hawa maut! Sehingga, ketujuh orang

lawannya sempat terkejut, dan berlompatan mundur karena 
amukan lelaki tua itu benar-benar berbahaya! 
"Adi Bana Raga, 'Air Pasang'...!" sambil berlompatan ke arah 
kereta barang, Ki Mahinta berteriak nyaring dengan kata-kata 
yang hanya diketahui oleh setiap anggota Harimau Terbang 
Brettt! 
"Aaakh...!" 
Karena perhatiannya terbagi-bagi, Ki Mahinta terpaksa harus 
menerima akibat dari kelalaiannya! Sebuah sabetan pedang 
salah seorang pengeroyoknya membeset pangkal lengan lelaki 
gagah itu. Meski tidak terlalu dalam, namun cukup membuat 
gerakkan Ki Mahinta agak terhambat. 
"Haiiit...!" 
Ki Mahinta berjumpalitan sambil mengayunkan pedangnya, 
merobek perut lawan yang hampir membuat kepalanya 
terpenggal! 
Brettt! 
"Aaargh...!" 
Pembokong sial itu meraung keras ketika pedang Ki Mahinta 
membuat ususnya terburai keluar! Karuan saja tubuh lelaki itu 
ambruk ke tanah, dan tewas seketika. 
Ki Mahinta bergulingan mendekati kereta barang. Namun, 
delapan orang lelaki berseragam hitam yang semula 
mengeroyok dua orang anggotanya itu berbalik memapakinya. 
Dan, Ki Mahinta tidak mau membuang-buang waktu lagi. 
Pedang di tangannya langsung saja diputar bergulung, 
sehingga membentuk gundukan sinar yang turun naik bagaikan 
ombak laut! 
Wuuuk! Wuuuk!

Amukan lelaki setengah baya itu rupanya cukup mengerikan. 
Terbukti kedelapan orang lawannya itu langsung berlompatan 
mundur! Lawannya menyadari kalau senjata di tangan lelaki 
setengah baya itu memang behar-benar berbahaya! 
"Aaa...!" 
Bukan main pucatnya wajah Ki Mahinta ketika mendengar 
jerit kematian yang susul-menyusul itu. Ia mengenali suara 
teriakan itu seperti ia mengenali suara teriakannya sendiri. 
"Adi Galing...!" suara yang sebenarnya berupa teriakan itu, 
terdengar hampir menyerupai bisikan. Karena selain kesedihan, 
juga ada kemarahan yang terpendam dalam dada lelaki 
setengah baya itu. Sehingga, suara teriakannya tersumbat di 
kerongkongan. 
Belum lagi berbagai perasaan yang bercampur-baur itu 
sempat ditumpahkannya, kembali terdengar jerit kematian dari 
sebelah belakangnya. Sepasang mata tua itu terbelalak 
menyaksikan tiga orang anggotanya, terlempar dengan tubuh 
dipenuhi luka. Karuan saja lelaki setengah baya itu menggereng 
seperti harimau luka. 
"Biadab!" desis Ki Mahinta dengan kemarahan yang sudah 
tidak bisa dibendung lagi. Dengan disertai pekikan nyaring, Ki 
Mahinta melesat sambil memutar senjatanya dengan sekuat 
tenaga. 
Namun, apalah artinya kemarahan seorang Ki Mahinta dalam 
menghadapi keroyokan para perampok yang rata-rata gesit dan 
memiliki kepandaian cukup lumayan itu? Apalagi gerakan-
gerakan mereka sangat kompak dan teratur. Maka, meskipun 
lelaki setengah baya itu mengamuk bagaikan harimau luka, 
tetap saja ia tidak mampu mendesak lawan-lawannya. Malah ia 
sendiri yang mulai terdesak oleh serangan lawan-lawannya.

*** 
Di tempat lain, Ki Bana Raga sendiri sudah terlihat 
kepayahan. Di beberapa bagian tubuhnya, tampak luka akibat 
goresan senjata lawannya. Dan, dari luka itu mengucur darah 
segar. Sehingga, pakaian yang dikenakannya sudah tidak dapat 
dikenali lagi warnanya. 
Tapi, walaupun luka-lukanya terasa perih, Ki Bana Raga 
sama sekali tidak menyerah. Dengan gagah lelaki berusia 
empat puluh lima tahun itu, melakukan perlawanan yang tidak 
bisa dipandang remeh! Bahkan dalam keadaan seperti itu, ia 
masih mampu merobohkan beberapa penyerangnya yang 
terdekat! Sehingga, kegagahan dan perlawanan Ki Bana Raga 
sempat membuat lawan-lawannya berhati-hati, dan tidak 
menyerang sembarangan. 
"Berhenti...!" 
Di tengah bisingnya suara-suara teriakan dan denting 
senjata, tiba-tiba terdengar suara bentakan yang menggelegar! 
Hebatnya, pertempuran yang tengah berlangsung sengit itu 
pun terhenti seketika! 
Belum lagi gema bentakan itu lenyap, tahu-tahu muncul 
sosok tubuh raksasa yang mengenakan rompi dari kulit ular. 
Lengannya yang besar dan berotot itu, tampak ditumbuhi bulu-
bulu halus. Demikian pula dengan wajahnya, dipenuhi oleh 
kumis, cambang, dan jenggot yang lebat, membuat penampilan 
lelaki itu semakin angker. Sedang di kiri dan kanannya tampak 
dua orang lelaki yang juga bertubuh kekar, namun sedikit lebih 
pendek berjalan mengiringi sosok bertubuh raksasa itu. 
"Hidup Ketua Kalya Bantar si Raja Ular Emas...!"

Terdengar teriakan-teriakan memuji dari gerombolan lelaki 
berpakaian hitam yang mengeroyok Ki Mahinta dan Ki Bana 
Raga itu. 
"Ha ha ha...! Mundur, Anak-anak. Biar aku sendiri yang akan 
menghabisi dua cecunguk yang sok jago ini," terdengar suara 
tawa serak dan parau dari lelaki raksasa yang bernama Kalya 
Bantar itu. 
Setelah menghentikan tawanya, ia melangkah menghampiri 
Ki Mahinta dan Ki Bana Raga yang telah berdiri saling 
berdampingan itu. 
"Raja Ular Emas...!" desis Ki Mahinta ketika mendengar dan 
mengenali lelaki bertubuh raksasa dan berwajah bengis itu. 
Dalam nada ucapannya tersembunyi kegentaran. Jelas, Ki 
Mahinta mengetahui Kalya Bantar yang berjuluk Raja Ular Emas 
itu. 
Gerombolan perampok Ular Emas memang bukan nama baru 
bagi telinga Ki Mahinta. Lelaki setengah baya yang semasa 
mudanya gemar berpetualang itu, sudah mengenal siapa 
sesungguhnya Kalya Bantar. Dialah seorang raja perampok 
yang sangat ditakuti di kalangan rimba persilatan. Selain 
kepandaian lelaki itu sendiri tidak rendah, juga para 
pengikutnya rata-rata berkepandaian tinggi. Sehingga, nama 
gerombolan perampok itu sangat ditakuti lawan dan disegani 
kawan. 
Ki Mahinta menatap tajam sosok lelaki bertubuh raksasa itu. 
Ia sudah tahu sejak lama, wilayah Utara adalah daerah 
kekuasaan Raja Ular Emas. Karena itu ia tidak percaya kalau 
gerombolan perampok yang menakutkan itu muncul di daerah 
Selatan. 
"Apa yang membuat gerombolan perampok gila ini sampai 
pindah ke Selatan? Hm..., pasti ada sesuatu yang menyebabkan

mereka meninggalkan daerah ke kuasannya," gumam Ki 
Mahinta dengan kening berkerut dan sepasang mata menyipit. 
Lelaki gagah itu sadar betul kalau nyawa mereka berdua 
seperti telur di ujung tanduk. Ia tahu betapa ganas dan kejinya 
Raja Ular Emas itu. Sepanjang pengetahuannya, tidak pernah 
ada seorang lawan pun yang dibiarkan hidup oleh lelaki 
bertubuh raksasa itu. 
"Tidak ada pilihan lain bagi kita, kecuali melawan mereka 
mati-manan. Biar bagaimanapun mereka pasti tidak akan 
membiarkan kita berdua hidup," bisik Ki Mahinta kepada Ki 
Bana Raga, tanpa mengalihkan pandangannya kepada Raja 
Ular Emas. 
Ki Bana Raga yang juga telah bergabung cukup lama di 
bawah bendera Harimau Terbang, tentu saja tahu akan risiko 
dari pekerjaannya. 
"Benar, Kakang. Kita harus mempertahankan diri sampai titik 
darah terakhir...," Ki Bana Raga balas berbisik dengan tatapan 
mata lurus ke depan. 
"Tidak kuduga kalau kita akan berjumpa di sini, Mahinta. Kau 
tentu masih ingat kepadaku bukan? Ha ha ha..., sayang nama 
Pedang Bintang Timur harus terhapus dari dunia persilatan hari 
ini," ujar Kalya Bantar memperdengarkan suara tawanya yang 
berat dan parau. Menilik dari ucapannya, jelas lelaki bertubuh 
raksasa itu mengenal Ki Mahinta yang memang berasal dari 
Utara. 
Kedua orang tokoh dari golongan yang berbeda itu, memang 
tidak asing satu sama lainnya. Meskipun di antara mereka tidak 
mempunyai dendam secara pribadi, tapi Kalya Bantar si Raja 
Ular Emas tetap menganggap orang-orang golongan putih 
sebagai musuh-musuhnya.

Walaupun mereka tak pernah bertemu dalam sebuah 
pertarungan, tapi hati kecil Kalya Bantar menginginkan 
perjumpaan itu. Tak mengherankan kalau ia memerintahkan 
anak buahnya mundur. Karena ia berkeinginan membunuh Ki 
Mahinta dengan tangannya sendiri. 
"Raja Ular Emas," ujar Ki Mahinta mencoba bersikap tenang, 
"Apa yang membuatmu kesasar hingga sejauh ini? Apakah 
gerombolanmu dikejar-kejar kerajaan?" 
Ki Mahinta memang sengaja melontarkan kata-kata seperti 
itu untuk membangkitkan kemarahan Raja Ular Emas. Sebagai 
orang tokoh tua yang berpengalaman, ia pun tahu kalau 
serangan yang dibarengi dengan kemarahan yang tinggi, akan 
menimbulkan kelalaian. Dan, keadaan seperti itulah yang 
dikehendaki Ki Mahinta. 
"Ha ha ha..., ucapanmu tidak salah, Pedang Bintang Timur. 
Aku memang melarikan diri dari kejaran prajurit kerajaan. Tapi, 
daerah baru ini ternyata cukup menyenangkan. Buktinya, baru 
beberapa hari aku tiba, kau sudah datang mengantarkan 
barang-barang berharga untukku. Dan, aku sangat berterima 
kasih sekali bila kau juga mau menyerahkan kepalamu 
untukku," sambut Kalya Bantar yang ternyata tidak tersinggung 
dengan ejekan lawannya. Sehingga Ki Mahinta sempat 
kehilangan akal dibuatnya. 
"Kau melupakan sesuatu, Raja Ular Emas. Sadarkah kalau 
perbuatanmu ini bisa mengundang kemarahan ketua kami? 
Apabila berita ini sampai terdengar, jangan kau sesali kalau 
dalam dua hari, ribuan anggota pengawal barang Harimau 
Terbang akan mengaduk-aduk seluruh isi hutan ini untuk 
membinasakanmu," gagal dengan ejekan, Ki Mahinta mencoba 
mengancam Raja Ular Emas dengan bayangan-bayangan yang 
menyeramkan.

Tapi, ucapan Ki Mahinta itu hanya disambut dengan tawa 
berkepanjangan. Bahkan beberapa orang anggota gerombolan 
Ular Emas ikut memperdengarkan suara tawanya. Sehingga, Ki 
Mahinta dan Ki Bana Raga mengerutkan kening dan merasa 
heran. Mereka benar-benar tak mengerti mengapa Raja Ular 
Emas dan pengikutnya malah menertawakan ancamannya. 
"Kau jangan coba-coba menakut-nakuti, Mahinta. Apakah 
kau pikir aku begitu bodoh mau kau perdayai dengan ancaman 
palsumu itu? Agar kau tidak penasaran, baiklah kuberi tahu. 
Anggota kelompok pengawal barang Harimau Terbang 
berjumlah kurang lebih empat puluh orang. Bahkan ketua yang 
kau agung-agungkan itu, kini terbaring menanti ajal. Karena ia 
telah menderita keracunan akibat pertarungannya dengan 
seorang tokoh sesat. Meskipun tokoh sesat itu berhasil 
dibunuhnya, namun nyawa ketuamu tidak akan berumur 
panjang. Aku tahu kalian memang sengaja merahasiakan 
masalah ini dari telinga orang-orang persilatan. Tapi, aku si 
Raja Ular Emas, tidak pernah ketinggalan berita. Karena 
telingaku ada di mana-mana. Bahkan aku juga tahu 
gerombolan perampok mana yang paling berkuasa di wilayah 
Selatan ini. Dan, mereka pun sudah takluk di bawah benderaku. 
Ha ha ha...," jelas Kalya Bantar sambil memperdengarkan 
tawanya yang tidak enak didengar telinga. 
Kaget bukan main Ki Mahinta saat mendengar ucapan 
lawannya. Ia tak menduga sama sekali kalau Kalya Bantar telah 
mengetahui rahasia yang disimpan rapat oleh kelompoknya. Ki 
Mahinta sadar kalau ia tidak mempunyai jalan lain, kecuali 
bertarung mati-matian. 
"Kalau begitu, apa lagi yang kau tunggu, Raja Ular Emas? 
Mari kita selesaikan urusan ini tanpa campur tangan anak 
buahmu. Tapi, kalau memang kau takut mati, boleh kau 
merengek meminta bantuan para pengikutmu yang banyak itu,"

Ki Mahinta rupanya masih belum kehilangan akal. Dengan 
cerdiknya lelaki gagah setengah baya itu melontarkan 
perkataan, yang jelas-jelas akan membawa keuntungan bagi 
pihaknya. Kalau Raja Ular Emas maju seorang diri mereka 
mempunyai harapan untuk lolos. Bahkan ada kemungkinan 
mereka dapat merebut kembali barangnya. 
Kalya Bantar pun bukanlah orang bodoh. Kalau ia berani 
menjawab tantangan Ki Mahinta, sudah pasti ada sesuatu yang 
diandalkannya. Dan, jawaban yang keluar dari mulut lelaki 
raksasa itu, ternyata tidak meleset dari harapan Ki Mahinta. 
"Ha ha ha...! Kau memang sangat cerdik, Ki Mahinta. Tapi 
jangan khawatir. Aku akan meluluskan permintaan terakhirmu 
itu. Nah, sekarang bersiapiah untuk melayat ke akhirat," ujar 
Kalya Bantar sambil tertawa terkakak. 
Girang bukan main hati Ki Mahinta mendengar jawaban itu. 
Dengan majunya Raja Ular Emas seorang diri. Ia yakin bisa 
menundukkan lelaki bertubuh raksasa itu. Sepengetahuannya, 
kepandaian yang dimiliki Raja Ular Emas itu, boleh dibilang 
berimbang dengan kepandaiannya. Meskipun itu beberapa 
tahun yang lalu. Apalagi seorang kepala perampok seperti Raja 
Ular Emas. Tentu bukan kemajuan yang diperolehnya selama 
beberapa tahun terakhlr. Bisa jadi malah kepandaian ataupun 
tenaga lelaki raksasa itu berkurang. Hal itu disebabkan Kalya 
Bantar sering membuang-buang hawa murninya dengan 
memuaskan nafsu bejadnya terhadap wanlta-wanita. Pemikiran 
itulah yang membuat Ki Mahinta merasa yakin akan dapat 
menundukkan lawannya. 
Sayang, penilaian Ki Mahinta meleset jauh. Raja Ular Emas 
yang kini dihadapinya, tidaklah dapat disamakan dengan 
beberapa tahun yang lalu. Malah kepandaian yang dimilikinya 
saat itu, mengalami kemajuan yang sangat pesat. Sebuah ilmu 
baru yang diciptakannya telah membuat Raja Ular Emas berani

mencuri benda-benda pusaka istana. Itulah sebabnya mengapa 
ia sampai dikejar-kejar prajurit kerajaan, sehingga ia 
mengungsi ke Selatan. 
"Bagaimana dengan kau sendiri, Mahinta? Apakah kau pun 
akan merengek meminta bantuan kawanmu itu untuk 
mengeroyokku?" Raja Ular Emas pun mencoba mencari 
keuntungan bagi pihaknya. Meskipun ia seorang diri yakin 
dapat menundukkan kedua orang calon lawannya. Namun, ia 
mencoba memancing harga diri calon lawannya. 
Ucapan Kalya Bantar hanya disambut dengan senyum tipis 
oleh Ki Mahinta. Jelas, ia tidak dapat dikelabui dengan ucapan 
lawannya. 
"Raja Ular Emas. Sebenarnya aku sendiri mungkin akan 
dapat menundukkanmu tanpa harus bersusah-payah. Tapi, 
karena kami berd+ua sama-sama bertanggung jawab terhadap 
barang kawalan itu, tentu saja tak ada jalan lain bagi kami 
kecuali bersama-sama pula menghadapimu. Lain halnya kalau 
kau takut menghadapi kami berdua," balas Ki Mahinta dengan 
senyum lebar. Memang cerdik sekali lelaki setengah baya itu. 
"Ha ha ha.... Marilah... marilah kalian berdua maju. Aku Raja 
Ular Emas tidak pernah takut menghadapi siapa pun," tegas 
Kalya Bantar tetap memperdengarkan tawanya yang serak. 
Setelah menghentikan tawanya, lelaki bertubuh raksasa itu 
melangkah beberapa tindak ke depan. 
Ki Mahinta sendiri sudah merenggang dan bergerak ke 
kanan. Senjata di tangannya diputar sedemikian rupa, sehingga 
menimbulkan kilatan-kilatan sinar yang menyilaukan mata. 
Jelas, lelaki setengah baya yang gagah itu mengeluarkan ilmu 
'Pedang Bintang Timur'nya, yang telah mengangkat namanya 
dalam dunia persilatan.

Demikian pula halnya dengan Ki Bana Raga. Meskipun 
sekujur tubuhnya dipenuhi luka sayatan pedang akibat 
pertempuran tadi, namun lelaki gagah itu tetap bertekad untuk 
merebut kembali harta kawalan, yang dirampas oleh anak buah 
Raja Ular Emas. 
Wuuut! Wuuut! 
Meskipun ilmu pedang Ki Bana Raga tidak sehebat Ki 
Mahinta, tapi permainan senjatanya tidak kalah berbahaya 
dengan pimpinannya. 
Raja Ular Emas yang diapit dari dua arah oleh kedua orang 
pentolan Harimau Terbang itu, berdiri pongah sambil 
memperdengarkan suara tawanya yang berkepanjangan. 
Sepertinya lelaki bertubuh raksasa itu merasa yakin dapat 
menundukkan lawan dengan kepandaian yang dimilikinya.

TIGA

"Heaaat…!" 
Diiringi teriakan nyaring sebagai tanda pertempuran sudah 
dimulai, tubuh Ki Mahinta melesat seperti seekor burung besar, 
seraya memutar pedangnya. 
Wuuut! Wuuut! 
Sekali bergerak saja, Ki Mahinta langsung melancarkan 
serangkaian serangan beruntun yang susul-menyusul. Kilatan-
kilatan sinar pedangnya berkelebatan kian kemari mengancam 
keselamatan lawannya! 
Ki Bana Raga pun tidak mau ketinggalan. Begitu mendengar 
teriakan Ki Mahinta, ia segera melesat menyusul kawannya. 
Senjata di tangannya bergerak bersilangan dengan kecepatan 
yang tidak bisa dipandang ringan. Sekali bergerak, ia langsung 
melontarkan tiga buah serangan, yang mengarah ke jalan 
darah kematian di tubuh lawan. 
Namun, sikap Kalya Bantar memang patut mendapat 
acungan jempol. Tokoh sesat Kepala Rampok Ular Emas itu, 
tetap berdiri tenang menanti serangan kedua orang lawannya. 
Meski terlihat lelaki bertubuh raksasa itu tidak menggunakan 
senjata, tapi jangan dikira ia akan berdiam diri dan menerima 
serangan kedua orang lawannya begitu saja. 
"Haiiit...!" 
Tepat kedua batang senjata itu tinggal sejengkal lagi di 
depan tubuhnya, Kalya Bantar bergegas menggerakkan tangan 
kanannya ke arah pinggang. Kemudian, sambil merendahkan 
tubuhnya, lelaki itu mengibaskan lengan kanannya sehingga 
menimbulkan ledakan-ledakan keras yang memekakkan telinga!

Jtarrr! Jtarrr...! 
Bunga-bunga api memercik disertai dengan kepulan asap 
tipis, ketika sebentuk benda panjang bergerak-gerak dan 
meledak-ledak memapaki serangan Ki Mahinta dan Ki Bana 
Raga. Jelas, Kalya Bantar menggunakan sebuah cambuk 
sebagai senjata andalannya! 
Baik Ki Mahinta maupun Ki Bana Raga sempat terkejut 
mendengar ledakan-ledakan keras yang memekakkan telinga 
itu. Menyadari kalau lawan menggunakan senjata, keduanya 
bergerak cepat merubah serangan-serangannya. Pedang di 
tangan kedua orang lelaki gagah itu, diputar setengah 
lingkaran, dan bergerak turun naik sambil menghindari 
sambaran cambuk lawan! 
"Yeaaah...!" 
Jdarrr...! 
Ki Mahinta melakukan lompatan pendek, guna menghindari 
lecutan cambuk yang mengincar kedua kakinya! Begitu 
tubuhnya bergulingan dengan lompatan harimau, detik 
berikutnya tubuh lelaki gagah itu mencelat, bagaikan seekor 
kera yang berpindah dari pohon yang satu, ke lain pohon. 
Gerakan Ki Mahinta memang cepat dan tak terduga sama 
sekali! Berbarengan dengan lompatan itu, pedang di tangannya 
berkeredep mengarah batang leher lawan! Jelas, lelaki gagah 
itu hendak memenggal batang leher Kalya Bantar. 
Bettt! 
Sebagai seorang tokoh sesat dan kepala rampok yang 
banyak pengalaman, Kalya Bantar tentu mengetahui kalau 
nyawanya tengah terancam maut. Tapi, lelaki bertubuh raksasa 
itu sama sekali tidak kelihatan gugup. Dengan sebuah gerakan

indah, tubuhnya merendah disertai dengan uluran lengan kiri 
menyambut tebasan pedang lawan. Dan.... 
Trangngng...! 
"Aiiih...!" 
Terdengar benturan nyaring yang diiringi pijaran bunga api! 
Ki Mahinta sendiri berseru tertahan, tubuhnya terdorong 
mundur akibat terbentur lengan kiri lawan. Namun, dengan 
sebuah gerakan manis, lelaki gagah itu berjumpalitan guna 
mematahkan daya dorong benturan itu, dan mendarat dengan 
kedua kaki terlebih dahulu. 
"Aaah..., mungkinkah raksasa gila itu memiliki ilmu 'Kebal'?" 
desis Ki Mahinta sambil meringis merasakan lengannya yang 
nyeri akibat benturan itu. Kenyataan itu membuat ia sadar 
kalau tenaga dalam lawan masih dua tingkat berada di sebelah 
atasnya. 
Ki Mahinta yang merasa heran dengan kekebalan tubuh 
lawan, menatap tajam penuh selidik ke arah lawan yang tengah 
bertarung dengan Ki Bana Raga. Dan, lelaki gagah itu menarik 
napas lega ketika melihat kilauan cahaya, yang berpendar dari 
pergelangan tangan musuhnya. 
"Pantas dia berani memapaki tebasan pedangku. Rupanya ia 
mengenakan lempengan baja pada kedua pergelangan 
tangannya. Hm..., benar-benar licik dan berbahaya sekali 
raksasa gila itu," gumam Ki Mahinta yang kekhawatirannya 
lenyap, begitu ia mengetahui apa yang membuat lawannya 
berani memapaki tebasan senjatanya. Tanpa membuang-buang 
waktu lagi, lelaki gagah itu melesat membantu Ki Bana Raga 
yang terlihat sudah sangat terdesak! 
Namun, usaha yang dilakukan Ki Mahinta ternyata sedikit 
terlambat! Sebelum ia tiba di arena pertempuran, terdengar

pekik kesakitan, yang disusul dengan terlemparnya tubuh Ki 
Bana Raga dari arena pertempuran! 
"Adi Bana Raga…!" 
Ki Mahinta, si Pedang Bintang Timur, terpaksa menunda 
serangannya. Cepat ia melesat menyambar tubuh kawannya, 
agar tidak sampai terbanting ke tanah. 
"Ughhh...!" 
Ki Bana Raga terbatuk memuntahkan gumpalan darah segar 
dari mulutnya. Melihat luka memanjang seperti terkena cakaran 
harimau itu, Ki Mahinta sadar kalau jiwa rekannya tidak 
mungkin dapat tertolong lagi. Karena luka memanjang itu 
sangat dalam, dan melihat pembengkakan di sepanjang luka 
itu, jelas kalau senjata yang digunakan Raja Ular Emas 
mengandung racun! 
Sedangkan Raja Ular Emas yang menggunakan cambuk 
berduri dan mengandung racun itu, melecutkan senjatanya 
berkali-kali di udara. Seolah-olah lelaki raksasa itu ingin 
mengejek Ki Mahinta. 
Lelaki gagah yang dalam dunia persilatan berjuluk Pedang 
Bintang Timur itu memekik memanggil nama Ki Bana Raga, 
ketika melihat kepala lelaki itu terkulai lemas. Jelas, Ki Bana 
Raga telah menghembuskan napasnya yang terakhir di pelukan 
Ki Mahinta. 
"Keparat keji...!" desis Ki Mahinta dengan wajah berduka. 
Hati lelaki gagah itu sangat terpukul dengan kematian kawan-
kawannya di depan mata kepalanya sendiri. 
"Ha ha ha... jangan merengek seperti anak kecil, Pedang 
Bintang Timur," ejek Kalya Bantar dengan suara sengaja 
ditekan pada julukan Ki Mahinta. Sehingga, Ki Mahinta segera
membalikkan tubuh dan berdiri tegak menghadapi lelaki 
raksasa itu. 
"Licik kau, Raja Ular Emas! Kau sengaja mengoleskan racun 
keji pada tubuh pecut berduri itu! Kau memang pantas untuk 
menjadi penghuni neraka!" maki Ki Mahinta dengan wajah 
merah. Tampak kalau kemarahan lelaki gagah itu terbangkit. 
"Ha ha ha..., hati-hati, Pedang Bintang Timur. Kemarahanmu 
justru akan membawamu ke neraka. Atau kau memang sudah 
siap untuk melayat ke alam yang mengerikan itu?" kembali 
Kalya Bantar melontarkan ejekan-ejekan yang memanaskan 
hati lawannya. 
Menyadari kemarahan akan merugikan dirinya, Ki Mahinta 
berusaha bersikap tenang dengan menarik napas berulang-
ulang. Meskipun demikian, wajahnya tetap merah, menandakan 
kemarahannya sulit dibendung. 
"Haaat..!" 
Karena tak mampu menekan kemarahan di hatinya, Ki 
Mahinta langsung berteriak dan menerjang lawan. Senjata di 
tangan orang tua itu kembali berputaran dengan kilatan-kilatan 
cahaya, yang menyilaukan pandang mata lelaki bertubuh 
raksasa itu. 
Namun, Raja Ular Emas telah siap menghadapi gempuran 
lawannya. Pecut berduri yang telah diolesi racun keji itu 
meledak-ledak dan berputaran menebarkan hawa maut! 
"Hiaaah...!" 
Dibarengi sebuah bentakan pendek yang menggelegar, pecut 
di tangan Raja Ular Emas meluncur cepat mengancam tubuh 
lawannya yang tengah melayang di udara. 
Jtarrr...! Jtarrr...!

Ledakan yang susul-menyusul dengan disertai pijaran bunga 
api itu, memang benar-benar hebat. Karena mampu 
mengacaukan pikiran lawan. Terbukti serangan Ki Mahinta 
langsung kacau karena pengaruh ledakan cambuk dan pijaran 
bunga-bunga api yang bertebaran di sekitar tubuhnya. 
Kenyataan itu, mau tidak mau membuat lelaki tua itu merasa 
kagum akan kemajuan ilmu silat Raja Ular Emas. Dan, ia pun 
sadar kalau lelaki bertubuh raksasa itu bukan lagi 
tandingannya. 
"Heaaah...!" 
Menyadari kepandaian lawan berada di atas, Ki Mahinta pun 
makin memperhebat serangan-serangannya. Sehingga, bentuk 
senjatanya lenyap berganti dengan gulungan sinar bagaikan 
baling-baling raksasa! 
Bettt! Wuuut! 
"Hmh!" 
Raja Ular Emas hanya memperdengarkan suara di hidung, 
ketika ia melihat sabetan pedang lawan mengancam 
lambungnya. Dengan merendahkan tubuh dan menggeser 
langkah dua tindak ke kanan, lelaki bertubuh raksasa itu 
menarik pulang cambuknya sehingga membentuk gulungan di 
tangannya. 
"Hiiih...!" 
Begitu serangan lawan lewat Raja Ular Emas membentak 
nyaring seiring dengan melesatnya cambuk berduri di 
tangannya! 
Rrrt... Brolll! 
"Aaakh...!"

Ki Mahinta menjerit keras ketika tangannya yang memegang 
pedang terkena babatan cambuk lawan, yang langsung ditarik 
pulang oleh Kalya Bantar. Sehingga tangan Ki Mahinta sebatas 
pergelangan, ikut terbawa oleh cambuk berduri lawannya! 
Ki Mahinta terhuyung mundur dengan darah yang 
menyembur deras dari pergelangan tangannya yang putus! 
Wajah lelaki gagah itu menyeringai menahan rasa sakit yang 
luar biasa pada lukanya. Karena luka itu tampak membengkak. 
Jelas racun jahat pada senjata lawannya telah mulai bereaksi. 
"Ha ha ha.... Aku tidak akan membunuhmu sekaligus, 
Mahinta! Tapi, aku ingin agar kau merasakan cambuk berduri 
ini pada sekujur tubuhmu!" ujar Raja Ular Emas tertawa 
berkakakan melihat lawannya tengah sibuk menotok 
pergelangan tangannya, untuk mencegah darah yang terus 
mengalir dari lukanya. 
"Biadab kau, Raja Ular Emas! Kalau mau bunuh, bunuhlah, 
aku tidak takut mati!" teriak Ki Mahinta dengan suara lantang. 
Lelaki gagah itu sadar betul, rengekan hanya akan membuat 
lawan semakin gembira menyaksikan penderitaannya. Itulah 
sebabnya, mengapa Ki Mahinta malah menantang Raja ULar 
Emas dengan suara lantang. 
"Ha ha ha.... Sudah tentu aku akan membunuhmu, Mahinta!" 
ujar Raja Ular Emas. Lalu ia berpaling kepada para pengikutnya 
dan berseru, "Anak-anak, kalian boleh saksikan pertunjukan 
menarik ini...." 
"Heaaah...!" 
Dibarengi sebuah seruan nyaring, cambuk di tangan Raja 
Ular Emas meluncur dengan disertai ledakan-ledakan yang 
memekakkan telinga!


Ki Mahinta yang hanya tinggal menanti maut itu, menatap 
tajam tanpa rasa takut sedikit pun. Dinantinya ujung cambuk 
yang siap merobek tubuhnya itu dengan penuh ketabahan! 
Prattt...! 
Tepat pada saat yang sangat menegangkan bagi Ki Mahinta, 
tiba-tiba melesat sesosok bayangan ramping, yang langsung 
memukul balik luncuran cambuk Raja Ular Emas! 
"Aaah...?!" 
Raja Ular Emas memekik tertanan, ketika merasakan 
tangannya yang memegang cambuk bergetar, akibat tangkisan 
yang dilakukan bayangan ramping itu. Dan, yang membuatnya 
tak percaya, kuda-kuda lelaki bertubuh raksasa itu tergempur. 
Sehingga, ia berdiri terpaku beberapa saat lamanya. Sedang 
sepasang matanya terbelalak ketika ia melihat sosok tubuh 
ramping berdiri di samping Ki Mahinta. 
*** 
Sosok tubuh ramping berpakaian kuning cerah yang telah 
menyelamatkan Ki Mahinta itu, menatap dengan kening 
berkerut ke arah tangan lelaki gagah yang buntung itu. 
"Aaah..., luka tanganmu mengandung racun, Paman...," ujar 
sosok ramping itu agak terkejut. Menilik dari bentuk tubuh dan 
suaranya yang merdu, jelas sosok yang menyelamatkan Ki 
Mahinta itu adalah seorang wanita. 
Prattt..!
Tepat pada saat Ki Mahinta tinggal menunggu maut, tiba-
tiba melesat sesosok bayangan ramping, yang lansung 
memukul balik luncuran cambuk Raja Ular Emas! 
"Aaah...?" Raja Ular Emas memekik tertanan. Tangannya 
yang memegang 
cambuk terasa 
bergetar! 
"Aaah, ya... ya...," 
Ki Mahinta yang 
belum hilang dari rasa 
terkejutnya, hanya 
bisa mengeluarkan 
ucapan itu. Sepertinya 
ia belum dapat 
mempercayai, 
seorang gadis muda 
yang pantas menjadi 
anaknya, ternyata 
dapat memukul balik 
senjata Raja Ular 
Emas. Benar-benar 
sukar untuk 
dipercaya! Kalau saja Ki Mahinta hanya mendengar cerita, 
mungkin orang yang bercerita itu akan ditertawakannya habis-
habisan. 
"Mari kuobati, Paman...." 
Tanpa menanti jawaban dari Ki Mahinta, gadis berpakaian 
kuning cerah itu langsung mengeluarkan sejenis obat bubuk 
berwama putih. Ditaburkannya obat itu pada luka di tangan Ki 
Mahinta. Kemudian, dengan cermat gadis itu merobek lengan 
baju lelaki gagah itu, setelah meminta maaf terlebih dahulu 
sebelumnya.

Untuk kedua kalinya Ki Mahinta kembali dibuat kagum oleh 
kesigapan gadis cantik itu. Sebentar saja, tangannya yang 
terluka telah terbalut rapi, dan tidak lagi merasa nyeri. 
"Terima kasih, Nisanak... Kau hebat dan mengagumkan 
sekali," puji Ki Mahinta yang secara tidak langsung memuji 
kecantikan gadis berpakaian kuning cerah itu. 
"Mengapa Paman sampai berkelahi dengan raksasa itu...?" 
tanya gadis itu tanpa mempedulikan tatapan penuh kagum dari 
Ki Mahinta. Dan, ia tersenyum manis karena tatapan mata lelaki 
tua itu begitu tulus, tanpa maksud-maksud tertentu. 
"Mereka merampok barang yang harus kami antar. Selain 
itu, mereka juga telah membantai semua kawan-kawanku. 
Kalau boleh kutahu, siapakah Nisanak? Dan, mengapa Nisanak 
menolongku?" ujar Ki Mahinta tanpa melepaskan pandang 
matanya dari sosok di depannya. Sosok gadis cantik dan berani 
yang telah menyelamatkan nyawanya dari kekejaman Raja Ular 
Emas. 
"Namaku Aryani. Aku hanya tidak suka melihat kekejaman. 
Begitu aku melihat wajah Paman yang tidak nampak seperti 
orang jahat, maka aku langsung menolong Paman," sahut gadis 
berpakaian kuning cerah yang mengaku bernama Aryani itu. 
"Namamu indah sekali. Kau seperti seorang dewi, yang turun 
dari langit untuk menyelamatkan diriku," desah Ki Mahinta 
seraya mengalihkan pandangannya ke arah Raja Ular Emas. 
Karena ia mendengar langkah kaki lelaki bertubuh raksasa itu 
ke arah mereka. Tampak sorot matanya penuh dengan 
ancaman. 
Aryani yang juga mendengar langkah kepala rampok itu, 
segera membalikkan tubuhnya dan menatap tajam. Sepertinya 
gadis cantik itu tidak merasa gentar sama sekali terhadap Raja

Ular Emas. Sikapnya demikian tenang dengan wajah terulas 
senyum tipis. 
"Hati-hati, Aryani. Kepandaian raksasa gila itu hebat sekali. 
Dia juga kejam, dan tak mengenal ampun," bisik Ki Mahinta 
yang diam-diam merasa khawatir atas keselamatan gadis cantik 
yang telah menolongnya itu. 
"Terima kasih, Paman. Tapi, rasanya aku mampu 
menghadapi raksasa jahat itu. Dia kelihatannya saja kuat dan 
galak. Padahal, ia tidak lebih dari seorang raksasa tolol," ujar 
Aryani dengan suara agak keras. Sepertinya ia memang 
sengaja agar Raja Ular mendengar suaranya. 
"Ha ha ha... Tak kusangka di hutan lebat ini aku bisa 
berjumpa dengan seorang dewi. Hai, Nisanak. Aku akan 
memaafkanmu bila kau bersedia untuk menjadi gundikku. 
Bagaimana? Kau setuju tawaranku?" tanya Kalya Bantar yang 
tidak menjadi marah ketika melihat kecantikan gadis yang telah 
berani mencampuri urusannya itu. Bahkan sepasang matanya 
yang besar itu, sudah bergerak liar menjelajahi sekujur tubuh 
Aryani. 
"Hm.... Ternyata kau bukan hanya tolol, Raksasa Jelek. Tapi 
mulutmu juga harus dibersihkan. Dan, kalau kau tidak sempat 
membersihkannya, biarlah aku yang akan membantumu. Agar 
lain kali kau bisa menjaga perkataanmu itu," cetus Aryani yang 
kedua pipinya menjadi merah mendengar ucapan yang jelas-
jelas telah menyinggung harga dirinya sebagai seorang wardta. 
Maka, begitu ucapannya selesai, tubuh gadis cantik itu sudah 
melesat ke arah Raja Ular Emas. 
Piakkk! 
"Aaakh...!"

Kalya Bantar memekik kesakitan, ketika telapak tangan 
mungil itu telah mendarat di pipi kirinya. Tanpa ampun lagi, pipi 
raksasa itu langsung membengkak. Bahkan bibirnya pecah 
akibat tamparan Aryani yang keras. 
Bukan hanya Kalya Bantar yang tidak mengerti kalau ia bisa 
kena tampar sedemikian mudah. Bahkan Ki Mahinta pun 
sampai terbeliak matanya. Ia hampir tak mempercayai dengan 
apa yang disaksikannya. Gerakan gadis cantik itu memang 
sangat cepat, sehingga sulit ditangkap dengan mata biasa. 
Melihat kenyataan itu, Ki Mahinta sadar kalau Aryani ternyata 
bukan seorang pendekar wanita biasa. Mungkin kepandaian 
gadis cantik itu jauh berada di atas tingkat kepandaiannya. 
"Bangsat! Perempuan sundal...!" 
Kalya Bantar memaki kalang kabut, sambil menyusut cairan 
merah yang membasahi jenggotnya. Raksasa yang sombong itu 
ternyata tidak menyadari kehebatan Aryani. Ia mengira hal itu 
terjadi hanya karena ia tidak siap. 
"Eh, kenapa kau, Raksasa Tolol? Mengapa marah-marah 
seperti seorang kakek kebakaran jenggot? Seharusnya kau 
berterima kasih karena aku telah membantu membersihkan 
mulutmu," ujar Aryani sambil bertolak pinggang dan 
melontarkan senyum mengejek. 
"Setan...! Kau akan rasakan akibat kekurangajaranmu, Gadis 
Busuk!" geram Raja Ular Emas sambil memutar cambuknya 
dengan sekuat tenaga. 
Wuuuk! Wuuuk! 
Angin keras menderu-deru mengiringi putaran cambuk 
berduri kepala rampok itu. Melihat dari tatapan matanya yang 
bengis, jelas bahwa ia benar-benar telah murka! 
"Heaaah...!"

Berbarengan dengan suara bentakan menggelegar, cambuk 
di tangan Raja Ular Emas meledak-ledak keras memekakkan 
telinga. Kemudian meluncur deras mengancam tubuh ramping 
Aryani. Andai saja tubuh ramping itu terkena, dapat dipastikan 
tubuh molek itu akan rusak dan tak berujud lagi. 
Ki Mahinta sendiri sudah bersiap ingin melindungi gadis 
cantik itu. Sepertinya lelaki gagah itu belum yakin akan 
kemampuan Aryani. Karena penampilan Raja Ular Emas benar-
benar menyeramkan. Sehingga, ia sendiri tidak tega 
membiarkan gadis itu menghadapi maut. 
"Tenanglah, Paman. Percayalah, raksasa itu pasti akan 
menjadi jinak sebentar lagi," ucap Aryani sambil 
mengembangkan tangan kanannya mencegah Ki Mahinta. 
Kemudian, lelaki tua itu bergerak mundur ketika Aryani 
memintanya. 
Jtarrr...! Jtarrr...!" 
Tanah di tempat Aryani berpijak meledak hingga membentuk 
beberapa buah lubang. Untunglah gadis cantik itu telah melesat 
menghindarinya. Sehingga, tanah di tempatnya berpijak itulah 
yang menjadi sasaran. 
Ki Mahinta meleletkan lidahnya melihat akibat yang 
ditimbulkan lecutan cambuk Kalya Bantar. Kenyataan itu, 
menyadarkan Ki Mahinta kalau Raja Ular Emas belum 
mengeluarkan seluruh kepandaiannya. Ketika ia bertempur 
dengan kepala perampok itu. Kalau gadis itu tidak 
menolongnya, mungkin ia sudah menjadi mayat. 
Tapi, gadis cantik itu sama sekali tidak merasa gentar, 
melihat akibat lecutan cambuk lawannya. Bahkan ia malah 
mengejek dengan kata-kata yang memanaskan telinga. Karuan 
saja kemarahan Raja Ular Emas makin menggelegak!

"Hik hik hik...! Hanya segitukah kehebatan cambuk 
mautmu?" ejek Aryani sambil berloncatan menghindari ujung 
cambuk yang meledak-ledak mengancamnya. Permainan 
cambuk yang mengerikan dari Raja Ular Emas itu, tidak lebih 
dari permainan anak-anak bagi Aryani.


EMPAT

Pertarungan antara Aryani dan Raja Ular Emas, masih 
berlangsung dengan sengit. Meskipun serangan cambuk Kalya 
Bantar sangat gencar menghujani tubuh gadis itu, namun 
sampai sepuluh jurus, belum sekali pun ujung cambuk itu 
menyentuh tubuh Aryani. Sehingga, Kalya Bantar semakin 
penasaran dibuatnya. 
"Waktu untukmu menyerang sudah cukup, Raksasa Tengik! 
Sekarang aku akan mulai membalas. Bersiap-siapiah...," ujar 
Aryani yang segera menghindari lecutan cambuk ke arah 
dadanya. Kemudian ia berjumpalitan beberapa kali, sebelum 
kakinya mendarat sejauh satu setengah tombak dari tempatnya 
semula. 
"Kuntilanak, mau lari ke mana kau...?" 
Kalya Bantar yang mengIra lawannya hendak meLarikan diri, 
segera mengejar dengan lecutan cambuknya yang meledak-
ledak memercikkan bunga-bunga api. Sepertinya Raja Ular 
Emas memang berniat menghabisi lawannya. 
Tapi kali ini Aryani tidak hanya sekadar mengelak. Dengan 
sepasang telapak tangan terbuka, gadis cantik itu mulai 
membalas serangan-serangan cambuk lawannya. Sambaran-
sambaran angin berbau wangi mulai menebar, mengiringi 
setiap lontaran telapak tangan gadis cantik itu. Bahkan setap 
kali ujung cambuk dipapaki dengan pukulan telapak tangannya, 
selalu saja membalik, membuat Raja Ular Emas terkejut bukan 
kepalang. 
"Heaaah...!" 
Rasa penasaran dan kemarahan, membuat Raja Ular Emas 
menjadi kalap! Sambil menggereng seperti harimau luka,

diputarnya cambuk berduri itu dengan seluruh kekuatan yang 
ada! Akibatnya tentu saja hebat! Sehingga, Aryani sendiri 
sempat mengagumi kepandaian kepala rampok bertubuh 
raksasa itu. 
Setelah pertarungan menginjak jurus keempat puluh, Aryani 
mulai mendesak lawan dengan lontaran tendangan dan 
tamparan-tamparan maut! Kecepatan dan kekuatan yang 
ditunjukkan gadis cantik itu, benar-benar mengejutkan sekali! 
Sehingga, dalam waktu singkat. Raja Ular Emas dibuat tak 
berkutik oleh serangan-serangan gadis itu. 
"Haiiit...!" 
Tepat saat pertarungan menginjak jurus keempat puluh dua, 
Aryani memekik nyaring disertai lesatan tubuhnya yang benar-
benar menggiriskan! Berbarengan dengan itu, telapak tangan 
kanannya meluncur ke depan diiringi wewangian yang 
menebar. Bahkan, dari telapak tangan gadis cantik itu terlihat 
warna kemerahan yang samar! 
Desss...! 
"Aaakh...!" 
Raja Ular Emas memekik ngeri ketika pukulan berbau harum 
yang memabukkan itu menghajar telak dadanya! Karuan saja 
tubuh raksasa itu terjungkal, dan jatuh berdebum di atas tanah! 
"Huaaakh...!" gumpalan darah segar muncrat dari mulut 
Kalya Bantar. Melihat dari warna darahnya yang agak 
kehitaman, Kalya Bantar sadar kalau ia telah mengalami luka 
dalam yang mengandung racun. 
Raja Ular Emas berusaha bangkit meski dengan susah 
payah. Tiba-tiba matanya terbelalak ketika melihat rompi kulit 
ular yang dikenakannya, tampak robek di bagian dada.

Sedangkan dada yang terkena pukulan gadis cantik itu, 
terdapat tanda telapak tangan berwarna kemerahan. 
"Ilmu Pukulan Mawar Beracun?!" desis Kalya Bantar dengan 
wajah pucat! Jelas ia telah cukup mengenal ilmu pukulan yang 
dipergunakan lawan. 
Aryani tersenyum tipis melihat kekagetan Raja Ular Emas. 
Dengan tenang, ia mengayunkan langkah menghampiri kepala 
rampok bertubuh raksasa itu, yang masih terduduk dengan 
napas tersengal-sengal. 
"Kau... apa hubunganmu dengan Raja Racun Merah yang 
menjadi datuk sesat di wilayah Selatan ini...?" tanya Raja Ular 
Emas dengan wajah pucat. Menilik dari cara ia mengucapkan 
nama datuk sesat itu, jelas hati Kalya Bantar dicekam rasa 
takut. 
Ki Mahinta sendiri terperangah ketika mendengar disebutnya 
nama datuk sesat yang menggiriskan itu. Meskipun dalam 
beberapa bulan terakhir ini, nama datuk sesat itu tidak lagi 
terdengar, namun setiap nama itu disebut orang, pengaruhnya 
tetap terasa bagi mereka yang berkecimpung di dalam dunia 
persilatan. Diam-diam lelaki gagah itu menatap penuh selidik 
dan mulai menduga-duga, siapa sesungguhnya gadis cantik 
yang sangat sakti itu. 
"Dia adalah ayahku. Mengapa? Apakah kau ingin bertemu 
dengannya?" Aryani yang sudah dapat menerka ketakutan di 
wajah lelaki bertubuh raksasa itu, sengaja menakut-nakuti 
lawannya. Sepertinya gadis lincah itu ingin melihat sikap Raja 
Ular Emas kalau dikatakan ayahnya berada di sekitar tempat 
mereka bertarung. 
"Kau, putri Raja Racun Merah...?! Dan..., ayahmu juga 
datang bersamamu..?" desis Raja Ular Emas dengan wajah 
semakin pucat. Bahkan ia mengedarkan pandangannya ke

sekeliling hutan itu dengan sepasang mata mendelik. Jelas, 
kalau ia sangat ketakutan! 
Rasa takut yang menyelubungi hati Kalya Bantar tidaklah 
aneh. Karena datuk sesat yang berjuluk Raja Racun Merah itu 
memang terkenal sangat kejam dalam mengambil tindakan. 
Kalau sampai seorang kepala rampok yang kejam seperti Raja 
Ular Emas sudah sedemikian takutnya, dapat dibayangkan 
betapa kejamnya Raja Racun Merah itu. 
"Ya, ayah datang bersamaku. Apakah kau mau 
kupanggilkan?" goda Aryani lagi dengan wajah sungguh-
sungguh. 
"Ah, tidak... tidak...," sambil berkata demikian, Kalya Bantar 
mengisyaratkan kedua orang pembantunya untuk menghampiri. 
Lalu, dengan dipapah kedua orang lelaki kekar itu, Raja Ular 
Emas bergegas meninggalkan tempat itu, dengan disertai 
seluruh anggotanya. 
"Hik hik hik...! Dasar raksasa penakut..." ejek Aryani tertawa 
terpingkal-pingkal melihat raksasa itu bergegas lari 
meninggalkan tempat itu dengan wajah ketakutan. 
Ki Mahinta menatapi kepergian Gerombolan Perampok Ular 
Emas dengan tarikan napas lega. Meskipun ia harus kehilangan 
para anggotanya, namun lelaki tua itu merasa bersyukur. 
Karena barang kawalannya telah selamat. Barang itulah yang 
lebih penting bagi kelompoknya. Sedangkan kematian kawan-
kawannya memang sudah menjadi risiko bagi pekerjaan 
mereka. 
***

"Aryani, benarkah kau putri datuk sesat yang berjuluk Raja 
Racun Merah...?" tanya Ki Mahinta setelah mereka selesai 
menguburkan mayat-mayat yang bergeletakan di tempat itu. 
"Benar, Paman. Apakah Paman juga membenci ayahku...?" 
Aryani balik bertanya dengan sepasang mata menghunjam 
tepat di kedua bola mata Ki Mahinta. Jelas sekali gadis cantik 
itu ingin mengetahui perasaan hati lelaki gagah itu terhadap 
ayahnya. 
"Hm..., secara pribadi, aku memang tidak membencinya. 
Tapi, kebanyakan dari kaum rimba persilatan golongan putih, 
sudah pasti mengecam apa yang pernah diperbuat Raja Racun 
Merah selama ini. Maaf, kalau kukatakan secara terus-terang 
bahwa ayahmu adalah seorang datuk yang kejam dan banyak 
menimbulkan kerusakan dan korban jiwa yang tak terhitung," 
desah Ki Mahinta sambil mengalihkan pandangan matanya ke 
arah lain. Biar bagaimanapun, hati lelaki tua itu merasa tidak 
enak terhadap Aryani yang telah mati-matian menyelamatkan 
dirinya dan nama kelompok pengawal barang Harimau 
Terbang. 
Ki Mahinta sadar kalau tanpa pertolongan gadis cantik, putri 
datuk sesat itu, bukan hanya dirinya saja yang tewas. Bahkan 
kelompok pengawal barang Harimau Terbang mungkin akan 
hancur dan tidak lagi mendapat kepercayaan dari para 
pelanggannya. 
"Aku sadar dengan kejahatan yang pernah dilakukan ayah 
pada waktu yang lalu. Tapi, apakah Paman percaya kalau 
sekarang ini ayahku telah mengundurkan diri, dan tidak pernah 
melakukan kejahatan lagi?" ujar Aryani meminta pendapat Ki 
Mahinta. 
"Ah, jadi lenyapnya Raja Racun Merah tanpa kabar selama 
beberapa bulan terakhir ini, karena beliau sudah membersihkan

diri?" Ki Mahinta sempat kaget mendengar penjelasan Aryani. 
Kalau saja orang lain yang mengatakannya, mungkin ia tidak 
mempercayai sepenuhnya. Tapi, gadis cantik yang jelas-jelas 
membelanya mati-matian, dan juga melihat dari sikap serta 
tutur katanya, mau tidak mau Ki Mahinta mempercayainya. 
Hanya saja ia agak terkejut dengan berita itu. 
"Benar, Pedang Bintang Timur," tiba-tiba terdengar sebuah 
suara berat yang mengejutkan. Bersamaan dengan itu, 
munculah seorang lelaki berusia enam puluh tahun lebih yang 
bertubuh kurus dan mengenakan jubah berwarna merah darah. 
"Ayah...!" Aryani yang semula hanya berbohong ketika 
mengejek Raja Ular Emas terkejut melihat kehadiran lelaki tua 
yang tidak lain dari ayahnya. Serentak gadis cantik itu 
menghambur menyambut kedatangan ayahnya. 
"Aryani...," desah lelaki tua itu sambil memeluk tubuh 
putrinya dengan penuh kasih sayang. 
"Mengapa Ayan berada di tempat ini...?" tanya gadis cantik 
itu bernada tak senang. 
"Maaf, kalau aku terpaksa membuntuti perjalananmu selama 
ini, Anakku. Apakah aku tidak boleh mengkhawatirkan 
keselamatan putri yang satu-satunya?" bantah kakek itu 
tersenyum sambil menatap sepasang mata bening yang 
menentang pandang matanya. 
"Ah, Ayah...," desah gadis cantik itu manja. Dalam saat 
seperti itu kelihatan sekali, betapa tidak berbedanya kedua 
tokoh sesat itu dengan manusia-manusia lain. Tidak nampak 
sedikit pun sinar kejahatan pada wajah keduanya. 
Cukup lama seorang ayah dan anaknya itu melupakan 
kehadiran Ki Mahinta yang terpaku seperti patung. Sekilas ada 
kecurigaan dalam hatinya, ketika melihat kehadiran Raja Racun

Merah. Batinnya mulai menduga kalau semua perbuatan Aryani 
tadi, hanyalah sebuah sandiwara belaka. Dan, munculnya datuk 
sesat yang sangat kejam itu, tentu ada hubungannya dengan 
kereta barang yang dibawanya. 
Dugaan yang membuat Ki Mahinta was-was itu, demikian 
kuat mencengkeram. Sehingga, ia tidak menyadari ketika dua 
pasang mata ayah dan anaknya itu telah menatapnya. 
"Paman Mahinta. Kau kenapa...?" tanya Aryani yang baru 
teringat akan keberadaan orang tua itu. 
Bergegas gadis cantik itu menghampiri bersama ayahnya. 
"Eh...!" Ki Mahinta tersentak sadar dari lamunannya. 
Wajahnya terlihat berubah tegang ketika Raja Racun Merah dan 
Aryani datang menghampiri. 
"Mengapa, Paman...?" tanya Aryani yang tidak mengerti 
kenapa wajah Ki Mahinta tampak tegang. Tanpa curiga sedikit 
pun gadis itu mengulur tangannya bermaksud menyentuh bahu 
orang tua itu. 
Tapi, apa yang dilakukan Ki Mahinta benar-benar membuat 
hati Aryani terkejut. Lelaki tua itu melompat menghindarkan 
diri. Seolah-olah uluran tangan gadis itu hendak mencekik 
lehernya. 
"Paman, kau kenapa...?" rasa penasaran membuat Aryani 
memekik, karena ia benar-benar tidak mengerti mengapa Ki 
Mahinta berbuat demikian aneh. 
"Eh, aku... ah, tidak apa-apa...," sahut Ki Mahinta berusaha 
bersikap wajar. Sayang, ketegangan masih terlihat jelas pada 
raut wajahnya. 
"Hm...," Raja Racun Merah bergumam lirih. Sebagai orang 
tua, dan tokoh sesat yang berpengalaman, ia segera dapat

membaca apa yang tengah terjadi dengan Ki Mahinta. Sekilas 
terlintas sinar penyesalan di mata orang tua itu. 
"Ayah, kenapa dia...?" Aryani yang mendengar gumaman 
ayahnya, membalikkan tubuh dan bertanya kepada ayahnya. 
Sinar matanya yang bening menuntut jawaban jujur. 
"Hhh..., Mahinta tidak bisa disalahkan, Anakku. Wajar kalau 
ia merasa curiga kepada kita. Ingat, kita adalah orang-orang 
sesat yang selalu berbuat kejahatan. Dia curiga, kehadiranku 
dan pertolonganmu tadi mempunyai hubungan, dan bukan 
kejadian yang kebetulan," ujar Raja Racun Merah dengan nada 
penuh penyesalan. 
"Apa..., Paman Mahinta mencurigai kita? Mengapa? Apakah 
dia mengira kita akan merampok kereta barangnya? Kurang 
ajar...!" dari rasa penasaran dan tak mengerti, Aryani berubah 
menjadi marah. Sepertinya gadis cantik itu tidak bisa menerima 
tuduhan Ki Mahinta. 
''Aryani, sudahlah...," Raja Racun Merah mencegah putrinya 
yang hendak menerjang Ki Mahinta. Dicekalnya pergelangan 
gadis cantik yang tengah murka itu. 
''Paman, kau tega menuduh kami sekeji itu? Lalu, apa artinya 
aku menyelamatkanmu? Kau benar-benar tidak tahu budi!" 
Aryani berteriak-teriak marah dan menuding-nuding Ki Mahinta 
yang terlihat menundukkan kepalanya seperti orang yang 
merasa bersalah. 
"Maafkan aku..., aku..., telah bersalah mempunyai dugaan 
yang kotor terhadap niat baikmu, Aryani. Aku..., menyesal..." 
ujar Ki Mahinta terpatah-patah agak serak. 
"Kau sama sekali tidak bersalah, Mahinta. Aku dan anakku 
memang patut untuk dicurigai. Kami berdua memang pernah 
bersalah. Terlebih aku. Karena sebelumnya aku memang

seorang manusia kotor yang sangat kejam. Tapi, apakah salah 
kalau aku berniat meninggalkan dunia sesat itu? Atau, salahkah 
seorang putri datuk sesat tidak mengikuti jejak ayahnya?" 
terdengar suara parau Raja Racun Merah. Sepertinya orang tua 
itu pun merasa kecewa dengan sikap Ki Mahinta yang 
mencurigai mereka. 
"Maafkan aku, Raja Racun, Aryani. Aku..., menyesal sekali. 
Kalau saja kalian meminta nyawaku sebagai tanda penyesalan 
atas sikapku, aku siap," tegas Ki Mahinta yang sepertinya 
benar-benar sangat menyesal atas sikapnya, yang membuat 
ayah dan anaknya itu merasa terpukul. 
Mendengar ucapan itu, Aryani yang tengah memeluk 
ayahnya, segera membalikkan tubuh, dan menatap orang tua 
itu penuh selidik. Sepasang mata indahnya sempat terbelalak 
melihat betapa di tangan kiri Ki Mahinta sudah tergenggam 
pedang telanjang. Bahkan mata pedang itu sudah ditempelkan 
di lehernya. 
"Aku tidak akan meminta nyawamu, Paman Mahinta. Kalau 
kau memang benar-benar telah menyesali tuduhanmu itu, 
rasanya sudah cukup. Bantulah ayah untuk kembali ke jalan 
yang benar, Paman," pinta gadis cantik itu sambil menatap Ki 
Mahinta penuh harap. 
"Ah, aku benar-benar telah berdosa sekali...," desah Ki 
Mahinta lagi, "Sikapmu telah menunjukkan bahwa kau tidak 
kalah dengan gadis-gadis pendekar, Aryani. Bahkan tidak 
sedikit orang-orang golongan putih yang bersikap sombong dan 
mau menang sendiri. Sekali lagi, aku mohon maaf atas sikapku 
yang telah menyakiti hati kalian berdua." 
"Terima kasih, Paman. Aku percaya dengan semua 
ucapanmu itu," ujar Aryani dengan wajah yang kembali berseri. 
Kemudian, ia berpaling kepada ayahnya, "Ayah harap kembali

saja, dan tidak perlu mengkhawatirkan aku. Kelak kalau aku 
sudah puas melihat-lihat dunia yang luas ini, aku akan segera 
kembali percayalah." 
"Hm..., kalau memang itu yang kau inginkan, baiklah. Dan, 
kalau boleh Ayah tahu, ke manakah tujuanmu sekarang?" tanya 
Raja Racun Merah membelai rambut putri satu-satunya yang 
telah membuatnya sadar akan kehidupannya yang sesat selama 
ini. 
"Entahlah, Ayah. Aku belum bisa memastikannya. Tapi, aku 
akan ikut bersama Paman Mahinta untuk mengantarkan barang 
yang ada di dalam kereta itu," jawab Aryani yang segera 
mengambil keputusan untuk mengikuti Ki Mahinta 
mengantarkan barang kawalannya. 
"Hm..., kau bersedia kalau putriku ikut bersamamu, 
Mahinta?" tanya Raja Racun Merah sambil menatap Ki Mahinta. 
"Bukan hanya bersedia, Raja Racun. Aku merasa sangat 
bahagia sekali dapat berjalan bersama putrimu, yang gagah 
dan cantik itu," sahut Ki Mahinta sambil membungkuk hormat 
kepada tokoh sesat yang telah sadar itu. 
"Baiklah. Kutunggu kau di pertapaanku, Aryani...," belum lagi 
gema suara Raja Racun Merah itu lenyap, tubuh orang tua itu 
telah menghilang dari hadapan Aryani dan Ki Mahinta. 
"Baik, Ayah...!" Aryani berseru menjawab perkataan 
ayahnya. 
Ki Mahinta menggeleng-geleng kepala menyaksikan 
kesaktian Raja Racun Merah yang sukar diukur itu. 
Pertemuannya dengan ayah beranak itu, membuat Ki Mahinta 
merasa kepandaiannya sama sekali tidak berarti apa-apa. 
Jangankan dengan Raja Racun Merah. Dengan putrinya pun ia 
kalah jauh.

"Hhh..., demikian banyaknya orang sakti di dunia ini...," 
desah Ki Mahinta menghela napas panjang. 
"Ayolah kita berangkat Paman," Aryani menyadarkan Ki 
Mahinta dari lamunannya. Tanpa banyak cakap lagi, orang tua 
itu segera melompat ke atas kereta, kemudian disusul oleh 
Aryani. 
"Heaaah...!" Aryani yang meminta untuk menjadi kusir 
kereta itu berteriak dan melecutkan cambuk di tangannya. 
Kereta pun mulai bergerak meninggalkan hutan.

LIMA

Gadis cantik itu melangkah ringan menyusuri jalan lebar di 
Kota Kadipaten Jaga Karta. Rambutnya yang panjang dengan 
ikat kepala berwarna kuning cerah, bergoyang mengikuti 
ayunan langkah kakinya. Pakaian yang berwana kuning cerah, 
sangat serasi dengan kulit tubuhnya yang kuning langsat. 
Sehingga, wajah cantiknya tampak semakin memikat. 
Sesekali gadis itu menolehkan kepala ke kiri dan kanan 
dengan senyum selalu menghias di wajahnya. Kelihatan sekali 
kalau gadis cantik, yang tidak lain dari Aryani itu, sangat 
menikmati suasana ramai di sekitarnya. Beberapa orang lelaki 
muda yang tengah duduk di depan kedai makan, melontarkan 
kata-kata godaan, ketika Aryani lewat di depannya. Namun, 
gadis cantik itu sama sekali tidak peduli. Ia terus melangkahkan 
kakinya. 
Setelah mengantarkan Ki Mahinta ke kadipatenan itu, Aryani 
memaksa untuk berpisah. Keikutsertaannya mengantarkan 
lelaki setengah baya itu, memang hanya untuk menjaga agar 
barang yang dibawa Ki Mahinta sampai di tempat tujuan. 
Sesudah tugas itu selesai, Aryani pun pamit. Karena ia hendak 
melanjutkan perantauannya seorang diri. Sehingga, meskipun 
dengan berat hati, Ki Mahinta terpaksa melepaskan kepergian 
gadis cantik yang telah menolongnya. 
Ketika Aryani melewati sebuah kedai makan yang cukup 
besar dan tampak ramai, timbul selera gadis cantik itu untuk 
singgah dan menikmati hidangan. Ia pun mengayunkan 
langkah memasuki kedai makan. 
"Silakan, Nisanak..."

Seorang pelayan berusia sekitar tiga puluh tahun dan 
berwajah ramah, menyambut kedatangan Aryani. Wajah 
pelayan itu sempat berubah ketika melihat sebilah pedang yang 
tergantung di pinggang kiri gadis cantik itu. Sekilas pandang 
pelayan itu pun sadar, kalau gadis cantik itu bukanlah gadis 
lemah. 
Aryani duduk di sebuah meja kosong sambil menunggu 
hidangan yang telah dipesan. Sepasang matanya yang bening 
dan riang itu beredar di sekeliling ruangan yang ramai oleh 
pengunjung. 
Tengah ia menikmati keadaan di sekelilingnya, tiba-tiba 
terdengar suara ribut-ribut yang berasal dari luar kedai. Kening 
gadis cantik itu agak berkerut, ketika ia melihat empat orang 
lelaki muda tampak memasuki kedai. Lagak mereka terlihat 
angkuh. Sehingga, hati Aryani langsung tidak menyukainya. 
"Silakan..., silakan, Tuan Muda...." Sepasang mata Aryani 
menyipit ketika mendengar pelayan yang tadi menyambutnya 
membungkuk-bungkuk hormat, menyebut salah seorang dari 
mereka sebagai 'tuan muda'. Merasa penasaran, ditatapinya 
wajah empat pemuda itu satu persatu. Sepertinya ia ingin 
mengetahui, siapa gerangan yang disebut pelayan itu sebagai 
'tuan muda'. 
Pada saat yang sama, secara kebetulan salah seorang dari 
empat pemuda itu tengah melepaskan pandang ke arah Aryani. 
Sehingga, tanpa sengaja mata keduanya pun bertemu. 
"Hm..., diakah yang disebut sebagai Tuan Muda...?" gumam 
Aryani menatap tajam pemuda bertubuh jangkung yang 
wajahnya tampak bersih, namun tersirat sinar keangkuhan 
pada sepasang mata dan wajah itu. Cepat gadis itu 
mengalihkan matanya, ketika pemuda jangkung itu tidak juga 
berpaling.

Senyum di bibir Aryani terkembang, ketika seorang pelayan 
datang membawakan pesanannya. Sambil meletakkan 
hidangan, pelayan yang usianya sekitar lima puluh tahun itu 
berbisik lirih. 
"Nisanak, harap hati-hati. Salah seorang dari mereka yang 
bertubuh jangkung itu, putra ketua perguruan yang disegani di 
Kadipaten Jaga Karta ini. Kalau dia menggoda, harap jangan 
diladeni." 
"Mengapa, Paman...," Aryani bertanya lirih, sambil berpura-
pura sibuk ikut mengatur hidangan. Sekali lihat saja, gadis yang 
cerdik itu menangkap nada ketakutan dalam ucapan pelayan 
setengah baya itu. Maka, ia pun bertanya sambil berbisik. 
"Lelaki jangkung itu, bermata keranjang. Harap Nisanak 
berhati-hati...," pesan pelayan itu sambil cepat-cepat berlalu. 
Dengan ekor matanya, ia melihat rombongan pemuda itu 
tengah menuju ke arahnya. 
Tanpa banyak tanya lagi, Aryani segera menikmati hidangan 
yang telah dipesannya. Ia sama sekali tidak ambil peduli, ketika 
mendengar langkah langkah kaki berhenti di depannya. 
"Aaah, untunglah masih ada tempat yang kosong. Kebetulan 
ada seorang bidadari di kedai ini. Benar-benar peruntunganmu 
baik sekali, Tuan Muda...," terdengar salah seorang yang 
bersuara seperti perempuan mengoceh. 
Lelaki muda yang bertubuh jangkung itu tersenyum, seraya 
sepasang matanya mengamati tubuh Aryani. Sambil menarik 
sebuah kursi, ia langsung duduk di hadapan putri datuk sesat 
itu. Ketiga kawannya yang lain serentak mengikuti. 
"Boleh aku duduk di sini, Nisanak...?" tanya pemuda 
jangkung itu dengan lagak yang dibuat-buat

Aryani mengangkat kepalanya sejenak. Hatinya ingin 
memaki, karena ucapan pemuda jangkung itu jelas-jelas 
bermaksud menggodanya. Kalau tidak, mengapa setelah duduk 
baru meminta persetujuannya. Batin gadis cantik itu mengomel 
panjang pendek. 
"Silakan, kalian bebas duduk di mana saja. Kedai ini bukan 
milikku," sahut Aryani ketus. Kemudian, ia kembali menunduk 
dan menikmati hidangannya. Meski selera makannya sudah 
lenyap dengan kehadiran empat orang pemuda itu, tapi ia 
berusaha tidak mendamprat mereka di kedai itu. 
"Wah, matanya galak sekali... tapi, indah, dan 
menggemaskan...," celetuk pemuda berwajah bulat yang duduk 
di sebelah kanan Aryani. Terdengar gelak tawa mereka ketika 
mendengar ucapan itu. 
"Hai, sayang kedai sebesar dan sebagus ini banyak 
dikerumuni lalat. Benar-benar menyebalkan...," ujar Aryani 
sambil bangkit, setelah meninggalkan uang sebagai 
pembayaran hidangan yang disantapnya. 
"Kurang ajar...! Berhenti kau, Perempuan Sombong! Kau 
benar-benar kelewatan menyebut kami sebagai lalat-lalat 
menyebalkan! Kau harus minta maaf kepada Tuan Muda 
kami...!" pemuda berwajah bulat yang merasa tersinggung 
dengan umpatan Aryani, bergerak bangkit dan menangkap 
pergelangan gadis cantik yang hendak berlalu itu. 
Meskipun hatinya sudah kesal karena mereka telah 
mengganggu selera makannya, namun Aryani tetap mencoba 
bersabar. Seperti tak disengaja, tangan kanannya yang akan 
dicekal pemuda itu bergerak ke depan, bersamaan dengan 
berbaliknya tubuh gadis cantik itu. 
"Hei, siapa yang mengatakan kalau kalian adalah lalat? Apa 
aku berkata begitu? Aku hanya tidak suka melihat kedai ini

dikerumuni lalat. Nah, apakah kalian berempat ini binatang 
yang bernama lalat?" tukas Aryani tak mau kalah. Sehingga, 
pemuda bertubuh gemuk yang wajahnya bulat itu terdiam 
dengan wajah ketololan. Kemudian mengharapkan bantuan 
kawan-kawannya. 
Senyum sinis di bibir Aryani terkembang, ketika melihat 
pemuda berwajah bulat itu tak bisa menjawab kata-katanya. 
Dengan tenang ia kembali melangkah keluar kedai. Ia sama 
sekali tidak peduli dengan teriakan-teriakan pemuda itu yang 
berusaha mencegah kepergiannya. 
"Hei, berhenti kau, Perempuan Sombong...!" tiba-tiba 
terdengar hardikan, yang kemudian disusul dengan 
berkelebatannya sosok-sosok tubuh menghadang jalan gadis 
itu. Dan, tahu-tahu keempat orang pemuda itu telah berdiri di 
depan Aryani. 
"Apa mau kalian sebenarnya...?" ujar gadis cantik itu sambil 
memandang tajam wajah yang menghadangnya, karena saat 
itu sudah berdiri di luar kedai, maka Aryani pun berniat untuk 
memberi pelajaran kepada orang-orang itu. 
"Setelah menghina kami, apakah kau kira dapat pergi begitu 
saja? Kau harus dihukum, sebelum meninggalkan tempat ini!" 
ujar salah seorang dari mereka sambil menudingkan 
telunjuknya ke wajah gadis cantik itu. 
"Katakan, apa hukuman itu...?" pinta Aryani sambil menatap 
tajam lelaki berwajah bulat yang sepertinya sangat mendendam 
kepada gadis cantik itu. 
"He he he... tidak sulit. Kau harus mencium kami berempat. 
Setelah itu, baru kau boleh pergi dengan bebas," sahut yang 
lainnya cepat sambil terkekeh menyebalkan


Mendengar ucapan kurang ajar itu, wajah Aryani berubah 
merah. Tapi, dengan pandainya gadis cantik itu segera dapat 
menguasai kemarahannya. Lalu, ia melangkah ke arah lelaki 
yang mengajukan permintaan 'hukuman' itu dengan bibir 
tersenyum manis. 
"Baik. Tapi dengan satu syarat, kalian semua harus 
memejamkan mata rapat-rapat, bagaimana?" ujar Aryani 
dengan nada wajar. Sehingga, keempat pemuda itu sama sekali 
tidak merasa curiga. 
Jawaban yang sama sekali tidak disangka-sangka itu, 
membuat mereka terkekeh kegirangan. Sambil membayangkan 
nikmatnya sentuhan bibir gadis cantik itu, keempatnya segera 
memejamkan mata rapat-rapat. 
"Hm..., kalian harus berdiri berjajar. Jadi, aku langsung bisa 
menyelesaikan hukuman itu secepatnya," kembali terdengar 
suara Aryani yang membuat keempat pemuda itu segera 
menuruti ucapannya. 
"Rasakanlah kenikmatan ini...," desis Aryani sambil 
menggerakkan tangannya empat kali berturut-turut. 
Plak! Plak! Plak...! 
Keempat orang lelaki itu berteriak kesakitan! Tubuh mereka 
langsung terpelanting akibat kerasnya tamparan gadis cantik 
itu. Bahkan dua orang di antaranya sampai copot giginya! 
"Bangsat...!" 
Lelaki jangkung yang disebut sebagai 'tuan muda' itu, 
memaki kalang kabut. Tanpa banyak cakap lagi, ia langsung 
melompat menerjang Aryani. Nafsu bejadnya lenyap berganti 
dengan sakit hati yang bergolak di dalam dadanya. Sehingga, 
serangannya pun tidak bisa dipandang ringan.

Bettt! Bettt! 
Serangakaian pukulan dan tendangan dilontarkan pemuda 
jangkung itu, dapat dielakkan secara mudah oleh Aryani. 
Sebagai putri seorang datuk sesat, tentu saja serangan-
serangan itu tidak berarti sama sekali baginya. Bahkan dengan 
gesitnya ia langsung membalas serangan-serangan yang tidak 
kalah berbahaya. 
"Haiiit..!" 
Memasuki jurus yang kedua puluh, Aryani berseru nyaring 
sambil melontarkan sebuah pukulan ke dada lawan. Kecepatan 
geraknya yang memang jauh di atas lawan, membuat pukulan 
itu mendarat telak pada sasarannya. 
Bukkk! 
"Aaakh...!" 
Tanpa ampun lagi, tubuh jangkung itu terjungkal, dan 
terbanting jatuh ke tanah. Darah segar tampak meleleh di 
sudut bibirnya. Melihat seringai di wajahnya, jelas pukulan 
gadis itu cukup mendatangkan rasa sakit pada bagian dalam 
dada Tuan Muda itu. 
"Bunuh gadis itu...!" merasa dipermalukan di depan orang 
banyak, pemuda jangkung itu langsung memerintahkan ketiga 
kawannya untuk membinasakan Aryani. Sedangkan ia sendiri 
sudah mencabut senjata dan langsung mengeroyok gadis cantik 
itu, tanpa malu-malu lagi. 
Di tengah pertarungan yang berlangsung sengit tiba-tiba 
melayang sesosok tubuh tegap ke tengah arena. Sekali 
bergerak, tangan dan kakinya langsung merobohkan tiga orang 
pengeroyok gadis cantik itu.

"Cepat tinggalkan tempat ini! Kalau tidak, kau akan 
mendapat kesulitan besar...!" bisik sosok yang ternyata adalah 
seorang pemuda tampan. Sambil berkata, tangan pemuda itu 
bergerak mencekal pergelangan tangan Aryani. Dan, langsung 
melesat meninggalkan tempat itu. 
Aryani yang sebelumnya mau memberontak, terpaksa 
menunda niatnya. Meski di kepalanya dipenuhi tanda tanya, 
namun gadis cantik itu diam saja ketika pemuda itu terus 
berlari keluar batas kadipaten. Tidak ada sedikit pun bantahan 
dari Aryani, karena gadis itu merasa penasaran, dan ingin 
mengetahui apa sebenarnya maksud pemuda itu menolongnya. 
*** 
Pemuda bertubuh tegap itu baru memperlambat larinya, 
ketika keduanya telah jauh meninggalkan kadipaten. Kemudian, 
ia menghentikan langkahnya. Seperti tidak sadar kalau 
jemarinya masih mencekal pergelangan tangan Aryani, pemuda 
itu enak saja menyandarkan tubuhnya pada sebuah batu besar 
di tepi jalan. 
"Hm..., sekarang kau harus menjelaskan kepadaku, mengapa 
kau membawaku lari, dan mengapa kau begitu suka memegang 
tanganku?" tanya Aryani sambil menatap wajah pemuda itu 
lekat-lekat. Gadis cantik itu sejenak terpaku ketika melihat 
wajah pemuda itu sangat gagah dan tampan. Dan, yang paling 
membuat hatinya lega, ia tidak menemukan sinar 
kekurangajaran pada sepasang mata, yang terlindung alis 
hitam dan tebal itu. "Benar-benar seorang pemuda yang gagah 
dan menarik."

Ketika mendengar ucapan Aryani, pemuda itu baru sadar 
kalau ia masih saja menggenggam pergelangan tangan gadis 
cantik itu. Dengan wajah agak kemerahan, pemuda itu 
bergegas melepaskan genggamannya. 
"Maaf...," desahnya dengan wajah penuh sesal. Kemudian, 
pemuda itu mengalihkan pandangan matanya, disertai dengan 
helaan napas panjang. 
"Hei, kau belum menjawab pertanyaanku...?" ujar Aryani 
setengah memekik. Hatinya sempat kesal karena mengira 
pemuda itu sengaja mengacuhkan pertanyaannya. 
"Oh, maaf..., maaf...," lagi-lagi hanya ucapan itu yang keluar 
dari mulutnya. Sehingga Aryani menjadi jengkel dibuatnya. 
"Ooo, jadi hanya kata-kata itukah sebagai penjelasan atas 
sikapmu yang telah membawaku lari sejauh ini? Sadarkah kau 
kalau aku menghendaki, kepalamu bisa kupukul pecah, setelah 
bisa membawaku ke sini!" karena tidak sanggup menahan 
kejengkelan hatinya, Aryani menghardik pemuda itu dengan 
sepasang mata melotot. 
"Tentu saja aku tahu, Nisanak. Tapi ketahuilah, aku sama 
sekali tidak bermaksud buruk. Sengaja aku membawamu lari 
menghindari perkelahian itu. Karena, lelaki jangkung yang 
bernama Pandala itu adalah putra Ketua Perguruan Gagak 
Putih, yang merupakan perguruan paling terkenal di Kota 
Kadipaten Jaga Karta. Pengaruh perguruan itu sampai ke dalam 
istana kadipaten. Dan, kalau sampai perkelahian itu dilihat 
prajurit kadipaten, mereka bisa menangkapmu, dan 
menuduhmu sebagai pemberontak," jelas pemuda tampan itu, 
yang membuat Aryani terbelalak. Sepertinya ia tidak mengira 
kalau akan sedemikian jauh akibat persolan sepele itu. 
"Hm..., lalu, apakah kau kira aku takut untuk menghadapi 
prajurit Kadipaten Jaga Karta?" Aryani yang sepertinya tidak

mau kalah itu, membantah dengan wajah tersenyum sinis. 
Dengan cerdik, ia menyimpan keterkejutan hatinya. 
"Aku percaya kau tidak takut. Tapi, bukan itu yang 
kukhawatirkan. Tentu dengan kepandaianmu yang tinggi, kau 
dapat membinasakan puluhan, bahkan ratusan prajurit. Nah, 
untuk menghindari peristiwa berdarah itulah terpaksa aku 
memberanikan diri membawamu kemari," tutur pemuda itu 
sambil berusaha untuk tidak membuat Aryani menjadi marah. 
"Hm..., kalau begitu kau benar-benar seorang pemuda yang 
baik. Menilik dari kepandaian dan sikapmu, tentulah kau orang-
orang golongan putih yang menamakan dirinya sebagai 
pembela kebenaran, begitukah?" meski terdapat nada pujian 
dalam ucapan gadis itu, tapi jelas lebih banyak nada ejekan. 
"Aku tidak berani mengatakan, diriku adalah seorang 
pendekar. Apabila sebagai pembela kebenaran yang budiman. 
Rasanya perkataan itu terlalu muluk. Namaku Puja Merta. Dan, 
aku hanya seorang pemuda bodoh, yang mengerti sedikit 
tentang ilmu silat. Kalau aku boleh tahu siapakah, Nisanak?" 
tanya pemuda gagah yang mengaku bernama Puja Merta itu, 
menatap Aryani dengan sepasang mata yang tajam. Nyata 
sekali sinar persahabatan di mata pemuda itu. 
Aryani sendiri sempat tersenyum mendengar ucapan pemuda 
bernama Puja Merta itu. Hatinya sedikit lega merasakan betapa 
pemuda itu seorang yang sabar dan tak sombong. Bahkan 
dalam setiap perkataannya, pemuda itu selalu mengalah 
terhadapnya. Tentu tidak ada alasan lagi bagi gadis cantik itu 
untuk tidak menyukai pemuda seperti Puja Merta. 
"Namaku Aryani. Aku, seorang pengembara yang datang dari 
jauh. Dan, apakah yang sedang kau kerjakan di Kota Kadipaten 
Jaga Karta itu? Atau kau memang tinggal di sana?" tanya 
Aryani setelah memperkenalkan namanya.

"Aku bukan penduduk kadipaten. Secara kebetulan aku 
berada di sana, karena kedua orang tuaku tengah singgah di 
istana kadipaten. Karena merasa tidak betah berada di dalam 
lingkungan itu, aku bemiat melihat-lihat keramaian. Nah, di 
situlah aku melihatmu," jelas Puja Merta sambil melangkahkan 
kakinya perlahan menyusuri tanah berumput. 
"Lalu, dari mana kau mengetahui tentang Perguruan Gagak 
Putih? Sedangkan kau bukan penduduk kadipaten," Aryani yang 
sepertinya merasa penasaran, meminta Puja Merta menjelaskan 
hal itu. 
"Kedua orang tuaku merupakan sahabat Ketua Perguruan 
Gagak Putih. Itulah sebabnya aku mengenal pemuda itu, dan 
juga pengaruh ayahnya. Hm..., sejak tadi aku selalu menjawab 
pertanyaanmu. Kalau aku boleh bertanya, dari mana kau 
mempelajari ilmu silat? Melihat dari gerakanmu, pasti gurumu 
seorang yang memiliki kepandaian tinggi. Siapakah beliau, 
Aryani?" tanya Puja Merta hati-hati. Sepertinya ia merasa 
sedikit tidak enak menanyakan hal itu. Karena berkesan 
menyelidik. 
"Hm..., guruku adalah ayahku sendiri. Beliau dikenal dengan 
julukan Raja Racun Merah. Mungkin kau juga pernah 
mendengar namanya?" jelas Aryani tanpa rasa curiga sedikit 
pun. 
Puja Merta yang mendengar, Aryani adalah putri datuk sesat 
yang berjuluk Raja Racun Merah, tentu saja terkejut bukan 
kepalang. Cepat ia menekan perasaannya yang terguncang, 
agar tidak menyinggung perasaan Aryani. Karena hal itu dapat 
menimbulkan kemarahan di hati gadis cantik itu. 
Tapi, belum lagi Puja Merta sempat menjawab pertanyaan 
Aryani, tiba-tiba terdengar suara berat yang mengejutkan 
mereka berdua. Sebelum gema suara itu sendiri lenyap, si

empunya suara sudah muncul mendatangi Aryani dan Puja 
Merta. 
"Hm..., aku mendengar disebutnya nama Raja Racun Merah. 
Di mana manusia iblis itu? Biar kupatahkan batang lehernya." 
Aryani terkejut bukan main mendengar suara yang jelas-jelas 
menghina ayahnya. Wajar saja kalau gadis cantik itu menjadi 
marah besar. Karena ia memang sangat mencintai ayahnya. 
Lain halnya dengan Puja Merta. Ia mengenal baik suara 
berat yang mengejutkan itu. Dan, wajahnya semakin 
bertambah pucat ketika melihat dua sosok tubuh yang sangat 
ia kenal menghampiri mereka berdua.

ENAM


"Ayah.... Ibu...!" teriak Puja Merta dalam hati. Dan, pemuda 
tampan itu pun menjadi serba-salah, ketika mengetahui orang 
yang mengeluarkan ucapan tadi adalah orang tuanya sendiri. 
Pemuda itu semakin bingung ketika melihat Aryani yang jelas-
jelas marah terhadap ayah dan ibunya. 
"Hm..., Manusia Sombong! Berani sekali menghina ayahku?" 
ujar gadis cantik itu dengan suara lantang. Ia tidak mendengar 
ucapan Puja Merta, karena pemuda itu hanya mengatakannya 
dalam hati, tapi ia agak heran melihat pemuda itu salah 
tingkah. 
"Puja Merta!" lelaki gagah berusia setengah baya itu 
berteriak dengan wajah gelap, ketika melihat putranya berada 
bersama dara cantik, yang ia dengar sebagai putri Raja Racun 
Merah, "Mengapa kau berada di slni? Apa yang kau lakukan 
dengan putri manusia sesat itu?" 
"Kau mengenal kedua orang itu, Puja Merta...?" tanya Aryani 
ketika mendengar salah seorang dari mereka memanggil 
pemuda yang berdiri di sampingnya. Wajah gadis itu terkesan 
curiga ketika melihat Puja Merta gugup. 
"Mereka... ayah ibuku, Aryani. Maafkanlah...," bisik Puja 
Merta lirih. Jelas, pemuda itu tidak ingin kalau suaranya sampai 
terdengar oleh kedua orang tuanya. 
"Ooo..., jadi mereka orang tuamu?" tegas Aryani dengan 
senyum sinis yang menyakitkan hati Puja Merta, "Rupanya kau 
putra pasangan pendekar sombong, yang hanya selalu 
menghina orang lain!" 
"Hei, Gadis Liar!" hardik orang tua perempuan Puja Merta 
sambil menudingkan jari telunjuknya ke wajah Aryani. "Ayahmu

memang seorang manusia keji dan kotor! Apakah kau hendak 
menyangkalnya? Sebagai putri seorang bejad, kau pun pasti 
tidak berbeda dengan ayahmu." 
"Huh, Nenek-nenek bermulut besar! Apakah kau seorang 
malaikat yang suci dan tidak mempunyai kesalahan? Melihat 
dari sikapmu yang sombong itu, aku sudah bisa menduga kalau 
kau menganggap dirimu paling bersih dan paling benar di dunia 
ini. Tapi, menurutku kalian berdualah yang lebih jahat dari 
ayahku!" sahut Aryani ketus tanpa mengenal rasa takut sedikit 
pun. Karena hatinya terasa sakit mendengar penghinaan orang 
tua Puja Merta. 
"Aryani, mereka kedua orang tuaku! Mengapa kau sampai 
hati menghinanya?" Puja Merta yang mendengar hinaan gadis 
cantik itu terhadap kedua orang tuanya, tentu saja tidak bisa 
menerimanya. Ia menatap gadis cantik itu dengan pandangan 
menuntut agar Aryani menarik kembali kata-katanya. 
"Oooh, jadi kalau mereka kedua orang tuamu, lalu aku harus 
mendiamkan mereka menghina ayahku? Puja Merta! Kalau kau 
tidak senang orang tuamu dihina orang, apakah kau pikir aku 
bisa mendiamkan orang-orang busuk yang menghina ayahku? 
Belalah orang tuamu yang sombong itu, aku tidak takut!" 
tantang Aryani yang juga menjadi marah melihat pemuda itu 
menyalahkan dirinya, dan bukan menegur kedua orang tuanya. 
Puja Merta yang diam-diam telah menaruh hati kepada gadis 
cantik itu, tentu saja semakin bertambah bingung. Tapi, biar 
bagaimanapun, ia lebih condong membela kedua orang tuanya 
ketimbang gadis cantik, yang ternyata putri seorang datuk 
sesat itu. Keputusan itu membuatnya tidak mau kalah dengan 
Aryani. 
"Gadis liar ini memang perlu diberi hajaran, agar ia tidak 
semakin kurang ajar...," belum lagi Puja Merta berbuat sesuatu,

tiba-tiba saja wanita yang tidak lain adalah ibu pemuda itu, 
melesat mengirimkan sebuah tendangan ke wajah Aryani. 
"Hm...," Aryani bergumam lirih, dan siap menyambut 
serangan wanita cantik berusia sekitar empat puluh tahun itu. 
"Ibu.... Jangaaan...!" 
Puja Merta tidak menyangka kalau perdebatannya dengan 
Aryani berlanjut menjadi perkelahian. Ia berusaha mencegah, 
tapi sayang ia tak mampu berbuat apa-apa. Sehingga, 
pertarungan pun tidak dapat dihindarkan lagi. 
Serangan-serangan yang dilancarkan orang tua perempuan 
Puja Merta, nampak semakin gencar dan cepat. Rupanya 
wanita cantik, yang tampak jauh lebih muda dari usianya itu, 
merasa penasaran ketika mengetahui kepandaian gadis muda 
itu tidak bisa dipandang enteng. Terbukti, setiap serangan-
serangannya selalu dapat diimbangi oleh gadis berpakaian 
kuning cerah itu. Bahkan serangan balasan gadis itu tidak kalah 
berbahaya! 
Sebagai istri seorang pendekar berjuluk Tangan Malaikat, 
tentu saja wanita berpakaian merah muda itu merasa malu 
kalau tidak mampu menjatuhkan seorang gadis muda seperti 
Aryani. Sehingga, serangan-serangannya yang semula untuk 
memberi pelajaran kepada gadis cantik itu, telah berubah 
menjadi serangan maut yang mematikan! Sudah tentu suasana 
perkelahian makin menghebat yang membuat hati Puja Merta 
menjadi gelisah. 
Pemuda tampan gagah itu berdiri dengan mimik wajah 
sedih. Ia tak tahu harus berbuat apa untuk melerai pertarungan 
yang kelihatan mulai mati-matian itu. Ditahannya keinginan 
untuk membela orang tuanya, karena hal itu pasti akan 
membuat Aryani semakin sakit hati. Selain itu, ia pun tahu

kalau ibunya yang memulai pertarungan. Keraguan itu 
membuatnya hanya berdiri mematung dengan wajah berduka. 
Lain halnya dengan orang tua laki-laki Puja Merta, yang 
berjuluk Tangan Malaikat itu. Kening lelaki separuh baya itu 
nampak berkerut ketika melihat istrinya mulai terdesak oleh 
serangan balasan lawannya, yang semakin hebat dan gencar. 
"Hebat... Gadis itu benar-benar hampir mewarisi seluruh 
kesaktian Raja Racun Merah. Hm..., kalau tidak dicegah dari 
sekarang, kelak wanita itu akan menjadi ancaman bagi 
kehidupan manusia. Bukan tidak mungkin, dalam waktu 
beberapa tahun lagi, ia akan berubah menjadi iblis wanita yang 
lihai dan kejam," gumam Tangan Malaikat sambil mengelus-
elus jenggotnya, yang tampak mulai berwarna putih itu. 
Tangan Malaikat khawatir akan keselamatan istrinya. Dan, 
perasaan itu tidak meleset. Setelah bertarung selama kurang 
lebih empat puluh jurus, tampak Aryani telah menguasai 
lawannya. Gadis cantik putri Raja Racun Merah itu terlihat 
mencecar lawan dengan ilmu andalannya, 'Tangan Racun 
Merah'. Sehingga, istri Pendekar Tangan Malaikat, semakin 
kelabakan karena terkurung oleh bau harum yang menebar dari 
setiap lontaran pukulan lawan. 
"Huh! Kau rasakan pukulanku, Wanita Jahat..!" sambil 
membentak keras, Aryani melontarkan pukulan-pukulannya 
dengan kekuatan penuh. Sehingga, lawan yang memang telah 
kepayahan itu terbelalak matanya. Sedangkan wajahnya pucat 
ketika melihat datangnya serangan maut! 
Wuuus! 
"Aiiih...?!" 
Hantaman telapak tangan kiri Aryani yang meluncur 
mengancam dada kiri lawan, sempat dielakkan meski dengan

susah payah. Sayang, pukulan telapak tangan kanan yang 
datang menyusul seperti sambaran kilat itu, tidak sempat 
dihindarkan lawan. Dan.... 
Bresssh...! 
Apa yang terjdi kemudian, benar-benar diluar dugaan Aryani. 
Pada saat hantaman telapak tangan kanannya meluncur deras, 
sesosok bayangan tinggi besar melesat menyambut 
pukulannya! Sehingga, terjadilah benturan keras yang 
membuat tubuh gadis cantik itu terpental balik dengan 
kerasnya! 
"Aaakh...!" 
Aryani memekik tertahan! Kesadarannya hampir hilang, 
ketika merasakan tubuhnya melayang seperti dilemparkan 
tenaga raksasa! Kemudian ia terbanting keras di atas tanah 
berumput. 
"Curang...!" desis Aryani begitu menyadari orang yang 
memapak serangannya. Dari lelehan darah yang mengalir di 
sudut bibirnya, jelas wanita cantik itu cukup menderita akibat 
benturan tenaga tadi. 
"Aryani...!" 
Puja Merta yang juga tidak menyangka kejadian itu, 
bergegas memburu Aryani Pemuda itu segera membantu 
sahabat barunya. Namun, langkahnya terhenti seketika begitu 
mendengar ucapan Aryani. 
"Mau apa kau...? Apakah kau juga akan mengeroyokku? 
Majulah! Aku tidak takut menghadapi keroyokan keluarga 
pendekar seperti kalian, Manusia-manusia Licik dan Sombong!" 
hardik Aryani yang bergegas bangkit, meski dengan langkah 
agak sempoyongan. Sepasang mata gadis cantik itu menatap 
tajam dan mengandung ejekan. Bahkan ia tampak siap

menyambut serangan Puja Merta, yang sebenarnya berniat 
ingin menolongnya. 
"Aryani..., kau selalu salah mengerti. Aku justru ingin 
menolongmu...," ujar Puja Merta dengan wajah agak pucat. 
"Huh! Pergi saja kepada orang tuamu! Aku tidak butuh 
pertolongan seorang pendekar besar sepertimu!" kembali 
Aryani membentak dan melontarkan kata-kata yang 
menyakitkan hati Puja Merta. 
"Puja Merta, kemari kau! Untuk apa berteman dengan calon 
wanita iblis jahat seperti dia!" Tangan Malaikat yang tentu saja 
merasa tidak senang dengan sikap putranya, membentak keras 
bagai guntur yang menggelegar. Jelas, kalau lelaki gagah itu 
marah melihat sikap putranya yang lemah. 
"Ayah..., aku...." 
"Diam! Gadis itu jelas merupakan bibit kejahatan yang harus 
dilenyapkan! Kalau tidak, di kemudian hati ia akan berubah 
menjadi iblis wanita yang keji! Dan, kelak kau akan menyesal!" 
hardik orang tua itu memotong kalimat Puja Merta. Sehingga, 
meski agak segan, pemuda itu melangkah juga ke arah kedua 
orang tuanya. 
"Orang tua, siapakah kau sebenarnya yang demikian 
sombong dan sangat merendahkan orang lain? Apakah kau 
orang yang paling benar di dunia, sehingga begitu rendahnya 
kau menilai orang lain! Apakah kau merasa sesuci malaikat?" 
desis Aryani dengan tubuh menggigil karena kemarahan yang 
telah mencapai ubun-ubunnya. Gadis cantik itu hampir 
menangis, karena hinaan-hinaan yang dilontarkan lelaki gagah 
itu serasa menusuk-nusuk jantungnya. 
"Hm..., ayahmu tentu sudah mengenalku dengan baik. Aku 
adalah si Tangan Malaikat yang akan mencabut nyawa ayahmu,

dan juga nyawamu! Kalau kau kubiarkan hidup, bukan tidak 
mungkin kau akan menyebarkan malapetaka di muka bumi ini. 
Bahkan mungkin jauh lebih jahat dan keji dari ayahmu sendiri. 
Aku tidak ingin menyesal di kemudian hari. Jadi, bersiapiah 
untuk pergi ke akhirat" Jelas lelaki gagah itu sambil melangkah 
perlahan-lahan menghampiri Aryani. 
Tangan Malaikat memang bukan nama baru dalam dunia 
persilatan. Sepak terjangnya yang tidak mengenal ampun, 
membuat kaum sesat merasa jerih kepadanya. Jangankan 
golongan penjahat tingkat rendahan, bahkan para datuk-datuk 
kaum hitam pun, enggan berurusan dengan pendekar kosen 
itu. 
Sayang, meskipun ia termasuk golongan putih, banyak 
tokoh-tokoh dari golongannya yang tidak suka kepada 
pendekar besar itu. Selain sikapnya yang keras dalam 
menghukum kaum sesat, Tangan Malaikat juga terkenal 
sebagai pendekar yang sombong dan tinggi hati. Sikapnya yang 
selalu memandang rendah orang-orang di bawahnya, sehingga 
membuat pendekar itu dijauhi oleh rekan-rekan segolongan. 
Namun, tidak seorang pun yang berani berkata terus terang. 
Meskipun, mereka tidak menyukai sikap Tangan Malaikat. 
Sebagai tokoh golongan atas, tentu saja banyak kaum rimba 
persilatan yang takut menghadapi kemarahan orang tua sakti 
itu. Itulah sebabnya, mengapa ia membenci Raja Racun Merah, 
dan juga Aryani yang diduganya akan menjadi penurut kekejian 
dan kejahatan tokoh sesat itu. 
Aryani sendiri yang cukup lama mengembara mencari 
pengalaman, baru kali ini berjumpa dengan seorang pendekar 
yang sombong, dan mudah sekali melontarkan hinaan kepada 
dirinya dan ayahnya. Sebenarnya gadis cantik itu merasa 
maklum, bila ada orang yang membenci ayahnya. Karena ia

bukan tidak tahu kesalahan ayahnya di masa lalu. Yang tidak 
bisa ia terima adalah hinaan-hinaan terhadap dirinya. 
Semua orang boleh saja membenci dan menghina ayahnya, 
yang memang bersalah dan jahat. Tapi, mengapa dirinya yang 
tidak pernah berbuat jahat ikut-ikutan dihina? Apakah tidak 
boleh seorang ayah yang jahat mempunyai anak yang tidak 
menuruni sifatnya. Apa sebenarnya kesalahan yang telah ia 
buat sehingga tokoh yang bernama Tangan Malaikat itu sangat 
membencinya? Benar-benar ia tidak dapat menerima 
penghinaan itu! 
"Tangan Malaikat..," desis Aryani seperti hendak mengingat, 
kalau-kalau ayahnya pernah menyinggung tokoh itu dalam 
sebuah ceritanya. 
"Hei, Perempuan Liar...!" 
Aryani yang tengah mengingat-ingat tentang tokoh pendekar 
itu, tersentak kaget ketika mendengar bentakan Tangan 
Malaikat. Cepat ia menoleh dan membalas tatapan mata orang 
tua itu dengan sorot kebencian. 
"Kuberi kau kesempatan untuk bertahan selama dua puluh 
jurus! Kalau kau mampu bertahan, kurelakan kau pergi dari 
tempat ini dengan selamat. Tapi, kalau kau tidak mampu 
menyelamatkan dirimu, jangan salahkan aku bila tanganku 
akan mencabut nyawamu," ujar Tangan Malaikat dengan suara 
berat dan mengandung perbawa kuat. 
"Dengar, Orang Tua Sombong! Aku tidak butuh belas 
kasihmu! Kalaupun aku harus mati di tanganmu, aku tidak 
menyesal. Kematian bukanlah sesuatu yang menakutkan 
bagiku! Seranglah aku, jangan hanya bicaramu saja yang 
besar!" sahut Aryani dengan suara ketus dan kasar.

Hal itu wajar saja. Meskipun pada dasarnya Aryani adalah 
seorang gadis yang lembut dan penuh belas kasih, namun 
karena sejak kecil dididik orang tuanya dalam lingkungan sesat, 
maka tidak heran kalau sikap atau ucapan gadis cantik itu 
cenderung kasar kalau disakiti. 
"Baik. Tapi, kaulah yang harus menyerangku lebih dahulu. 
Sebagai orang yang lebih tua, tentu saja aku tidak mau kalau 
kelak ada orang yang menyalahkan aku, karena tidak memberi 
kesempatan kepadamu untuk membela diri. Mulailah," ujar 
Tangan Malaikat yang berdiri tegak tanpa persiapan. Sebagai 
seorang tokoh tua yang telah berpengalaman, tentu saja ia 
tidak perlu lagi memasang kuda-kuda sebelum bertarung. 
Karena dalam kedudukan bagaimanapun, itu merupakan sikap 
bertarung. 
"Ayah, jangan mendesak Aryani. Aku percaya dia tidak 
sejahat orang tuanya. Tahanlah sikap Ayah, jangan sampai di 
kemudian hari akan mendatangkan sesal yang tak berujung," 
Puja Merta yang merasa kurang setuju dengan sikap ayahnya. 
Kemudian, ia segera berdiri di antara kedua orang yang telah 
siap bertarung itu. 
Menilik dari sikap dan ucapan-ucapannya, jelas Puja Merta 
sama sekali tidak menuruti sifat lelaki gagah itu. Bahkan, ia 
terkesan lembut meskipun diasuh oleh kedua orang tua 
pendekar besar yang terkenal tinggi hati itu. 
"Puja Merta. Menyingkirlah! Beraninya kau menasihati 
Ayahmu? Kau masih terlalu muda untuk mengenal sifat-sifat 
licik dan keji orang-orang golongan sesat. Tapi aku, Ayahmu 
sudah lama berkecimpung di dalam dunia persilatan. Dan, aku 
tahu mana yang harus kutindak," hardik Tangan Malaikat 
dengan suaranya yang berat dan berpengaruh itu. Bahkan, 
wajah orang itu sudah berubah gelap. Karena ia dinasihati oleh 
anaknya sendiri di depan orang lain. Tentu saja hal itu sangat

memalukan dan merendahkan namanya. Untunglah di tempat 
itu hanya mereka berempat. Kalau saja ada tokoh persilatan 
yang lain menyaksikannya, bukan tidak mungkin berita itu akan 
tersebar di kalangan rimba persilatan. 
"Ayah..., aku hanya...." 
"Cukup! Atau kau ingin melawan terhadap Ayahmu?" tukas 
Tangan Malaikat dengan suara menggelegar, karena 
kemarahannya telah memuncak. Bantahan putranya itu benar-
benar membuat orang tua itu hampir menjadi gelap matanya. 
"Puja, minggirlah. Gadis liar itu tidak patut kau bela...," 
terdengar suara orang tua perempuan Puja Merta. Wanita yang 
masih nampak cantik itu segera menyeret putranya untuk 
menjauh. 
"Seranglah aku, Gadis Liar. Jangan membuat ucapan yang 
kuucapkan tadi berubah!" kemarahan karena bantahan 
putranya, ditumpahkan kepada Aryani yang dituduh sebagai 
biang keladi sikap bandel putranya itu. Sehingga, Aryani 
menjadi semakin benci dengan orang tua gagah itu. 
"Baik! Kau pikir aku takut, Orang Tua Sombong!" bentak 
Aryani melengking karena marah. Begitu ucapannya selesai, 
tubuh gadis cantik itu langsung melesat menerjang lawannya. 
"Tunggu!" 
Tapi, sebelum serangan Aryani tiba, tiba-tiba berkelebat dua 
sosok tubuh yang diiringi sebuah bentakan menggelegar seperti 
akan mengguncangkan tempat itu. 
Baik Aryani, Tangan Malaikat, Puja Merta, maupun ibunya, 
serentak menatap sosok berjubah putih dan sosok ramping 
berpakaian hijau yang telah berdiri tegak di tengah arena. 
"Pendekar Naga Putih...?!"

Tangan Malaikat dan istrinya berseru hampir berbarengan. 
Sebagai tokoh persilatan tingkat atas, tentu saja kedua orang 
itu telah mendengar munculnya seorang pendekar muda yang 
telah membuat kaum sesat kelabakan. Selain itu, ciri-ciri 
pendekar muda itu pun telah lama mereka ketahui. Maka, tidak 
heran begitu melihat ciri-ciri pemuda berjubah putih yang 
berdiri di tengah arena, pasangan pendekar besar itu langsung 
mengenalinya dengan baik. 
"Benar, Ki. Aku adalah Panji. Orang-orang rimba persilatan 
menjulukiku sebagai Pendekar Naga Putih. Dan, aku pun sudah 
lama mendengar nama besar Tangan Malaikat, sebagai seorang 
pendekar gagah berbudi tinggi, yang selalu menolong orang-
orang lemah. Terimalah sebagai tanda hormatku...," sambil 
berkata demikian, pemuda berjubah putih yang memang 
adalah Panji itu, segera membungkukkan tubuhnya ke arah 
Tangan Maiaikat dan istrinya. Dari perkataan maupun sikapnya, 
jelas pemuda itu cukup cerdik. 
Kenanga yang berdiri tidak jauh dari Panji, hanya 
mengangguk-anggukkan kepalanya sekejap. Menilik dari sorot 
matanya gadis jelita itu tidak begitu suka dengan pasangan 
pendekar besar itu. 
"Hm..., lalu apa keperluanmu mencampuri urusanku, 
Pendekar Naga Putih? Apakah kau ingin membela gadis liar 
itu?" dalam nada pertanyaan Tangan Malaikat terkandung 
perasaan sinis. Bahkan melihat dari gaya bicara dan sikapnya, 
orang tua itu merasa lebih tinggi tingkatannya dari Panji. Tapi, 
pemuda itu berpura-pura tidak tahu, dan tetap bersikap 
hormat. 
"Maaf, menurutku persoalan ini bukanlah pribadi sifatnya. 
Aku cukup lama bersembunyi dan mendengar semua yang 
kalian ucapkan. Karena gadis yang berpakaian kuning, kalau 
tidak salah bernama Aryani ini, tidak berbuat kesalahan, maka

aku terpaksa mencampuri persoalan kalian. Sebab masalahnya 
terletak pada pertentangan antara golongan hitam dan 
golongan putih. Melihat adanya ketidakadilan di sini, aku 
terpaksa memberanikan diri mencampuri persoalan kalian," 
jelas Panji dengan tutur kata yang teratur baik dan sopan. 
Sehingga, Puja Merta menjadi kagum atas sikap pemuda yang 
berjutuk Pendekar Naga Putih itu. 
Demikian juga halnya dengan Aryani, putri tokoh sesat yang 
semula membenci golongan putih karena sikap Tangan 
Malaikat, menatap kagum ke arah pemuda tampan berjubah 
putih itu. Mendengar ucapan dan sikap pemuda itu, gadis ini 
mulai berubah pandangannya terhadap golongan putih. 
"Pendekar Naga Putih...? Sepertinya ayah pernah bercerita 
tentang pendekar besar yang masih muda itu. Apa yang 
diceritakan ayah memang tidak berlebihan. Pemuda itu begitu 
lembut, sopan, dan sepertinya mempunyai pandangan yang 
lebih luas ketimbang orang tua sombong itu. Bahkan 
wibawanya pun tidak kalah dengan pendekar besar yang 
berpikiran sempit itu...," gumam Aryani sambil menatap lekat-
lekat wajah Pendekar Naga Putih dari samping. Hatinya benar-
benar kagum terhadap pemuda itu.

TUJUH

Tangan Malaikat mengerutkan keningnya dalam-dalam. 
Penjelasan Pendekar Naga Putih menurutnya terlalu berbelit-
belit dan membuatnya tidak sabar. 
"Hm..., dengarlah, Pendekar Naga Putih. Gadis liar ini, putri 
seorang datuk sesat yang sangat jahat dan kejam. Aku ingin 
melenyapkan bibit kejahatan itu, sebelum membahayakan 
orang-orang tak berdosa dan kaum rimba persilatan. Sekarang, 
aku meminta ketegasanmu, dan bukan nasihatmu! Bersedia 
menyingkir, atau terpaksa aku akan menggempurmu!" tegas 
Tangan Malaikat sambil melangkah jauh beberapa tindak. 
Pendekar yang sombong itu sepertinya sedang kumat 
penyakitnya. Sebagai tokoh-tokoh persilatan yang lain, 
senantiasa ingin menjajal ilmu silatnya, Tangan Malaikat pun 
ingin merasakan sampai di mana kehebatan pendekar muda 
yang digembar-gemborkan kaum persilatan itu. 
"Maaf, Ki. Gadis ini meskipun keturunan seorang datuk sesat 
atau biang iblis sekalipun, tapi ia belum pernah melakukan 
kejahatan. Semua ini bisa kupastikan, baik dari tingkah lakunya 
maupun ucapan-ucapannya. Selain itu, ia pun belum tentu akan 
mengikuti jejak ayahnya yang sesat itu," ujar Panji lagi dengan 
sikap dan ucapan tetap lembut. Panji merasa enggan terlibat 
pertarungan dengan pendekar besar itu. Apalagi mereka 
merupakan orang segolongan. 
"Tidak perlu banyak cakap! Sudah kukatakan tadi, aku tidak 
butuh nasihatmu!" tukas Tangan Malaikat lagi. Kali ini wajahnya 
tampak berubah gelap. Sepertinya keputusan pendekar itu 
tidak bisa diubah lagi.

"Pendekar Naga Putih...," Aryani yang semenjak tadi hanya 
diam mendengarkan perdebatan itu, melangkah maju, "Ayahku 
memang sebelumnya manusia kejam dan jahat. Tapi, kalau kau 
percaya, ayahku telah cukup lama mengundurkan diri. Ia telah 
sadar akan sikapnya selama ini." 
Hal itu dikarenakan ia telah menaruh kepercayaan kepada 
pemuda itu. Dan, ia juga yakin akan tanggapan Pendekar Naga 
Putih. 
"Ha ha ha...!" 
Sebelum Panji menanggapi keterangan Aryani, Tangan 
Malaikat tertawa berkakakan. Tawa itu jelas dimaksudkan untuk 
mengejek keterangan gadis keturunan datuk sesat itu, tentu 
saja ia tidak percaya begitu saja mendengar ucapan gadis itu. 
Dan, sepertinya semuanya itu tetap tidak mengubah keputusan 
untuk melenyapkan Aryani. 
"Aku tidak minta pendapatmu, Pendekar Sombong! Tapi, aku 
meminta pendapat Pendekar Naga Putih. Aku yakin pendekar 
yang meskipun masih muda ini mempunyai pandangan yang 
luas, dan jauh berbeda denganmu. Dan, aku percaya 
kepadanya!" seru Aryani yang merasa tersinggung mendengar 
suara tawa lelaki tua yang gagah itu. 
"Hm..., rasanya keteranganmu bisa aku percaya, Aryani...," 
ujar Panji sambil menatap wajah Aryani. Pemuda itu juga 
tersenyum untuk meyakinkan Aryani kalau ia mempercayai 
ucapan gadis itu. 
"Terima kasih, Pendekar Naga Putih...," ucap Aryani lirih. 
Sepertinya ia merasa lega setelah mendengar jawaban Panji. 
"Dengar! Apa pun yang kalian katakan, itu tidak akan 
mengubah pikiranku!" hardik Tangan Malaikat dengan wajah 
merah.
"Maaf, aku terpaksa membelanya...," ujar Panji lirih. 
"Benar, Kakang. Aku pun percaya kalau Aryani tidak 
bersalah, dan patut dibela," Kenaga yang semenjak tadi hanya 
diam, ikut angkat bicara. Jelas gadis jelita itu merasa yakin 
akan keputusan yang diambil kekasihnya. 
"Hm..., kalau begitu bersiaplah...," geram Tangan Malaikat 
yang sepertinya sudah siap melancarkan serangan, "Aku pun 
ingin tahu, sampai di mana kehebatan pendekar muda yang 
tersohor itu," ujar Tangan Malaikat dengan nada sombong. 
"Kenanga, Aryani, kalian pergilah. Cari desa yang terdekat 
dengan daerah ini, aku akan segera menyusul. Persoalan 
seperti ini tidak patut ditebus dengan nyawa. Berhati-hatilah," 
bisik Panji sambil mengedipkan matanya kepada Kenanga. 
Kenanga dan Aryani segera beranjak meninggalkan tempat 
itu sebagai mana dibisikkan Panji. Kenanga mengerti kalau 
kekasihnya hanya berpura-pura saja melayani tantangan 
Tangan Malaikat. Ia pun menyadari kalau sampai pertempuran 
itu meminta nyawa, tentu kelanjutannya akan semakin rumit. 
Maka, tanpa banyak tanya lagi keduanya pun bergegas. 
"Hei, tunggu! Mau ke mana kalian...?" seru Tangan Malaikat 
yang segera mencegah ketika melihat gadis berpakaian hijau 
itu mengajak Aryani meninggalkan tempat itu. Bersamaan 
dengan itu, tubuhnya pun melesat mengejar mereka. 
"Biarkan mereka pergi, Ki...," ujar Panji yang segera 
melompat dan menghadang pengejaran Tangan Malaikat. 
"Bedebah!" bentak lelaki tua itu sambil melontarkan pukulan 
jarak jauhnya ke arah Pendekar Naga Putih. 
Wuuut


Serangkum angin keras berhembus mengancam tubuh Panji. 
Cepat pemuda itu berkelit ke samping, guna menghindarkan 
pukulan maut lawannya. Kemudian ia segera melepaskan 
serangan balasan yang cepat dan susul-menyusul. 
Serangkaian serangan yang dilancarkan Panji bermaksud 
untuk mengalihkan perhatian Tangan Malaikat, ternyata 
membawa hasil yang baik. Lelaki gagah itu menjadi sibuk 
menghindarkan serangan-serangan Pendekar Naga Putih, yang 
memang tidak bisa diabaikan begitu saja. Sehingga, ia terpaksa 
menghadapi serangan pemuda itu, dan tidak mempedulikan 
buruannya lagi. 
Namun, orang tua perempuan Puja Merta sepertinya tidak 
mau membiarkan gadis berpakaian kuning itu lolos. Tanpa 
mempedulikan seruan putranya, wanita cantik itu segera 
melesat, mengejar Kenanga dan Aryani. 
Tentu saja perbuatan wanita itu membuat Panji terkejut, ia 
pun segera melesat meninggalkan Tangan Malaikat, dan 
mencegah istri pendekar besar yang akan mengejar Aryani dan 
Kenanga. 
"Haiiit..!" 
Karena tidak ingin dianggap membokong, Panji memberikan 
isyarat menyerang dengan teriakannya. 
Sehingga, wanita itu membatalkan pengejarannya, dan 
menyambut serangan Pendekar Naga Putih! 
"Haaat..!" 
Sambil berkelit, wanita cantik itu berseru nyaring dan 
melancarkan serangan balasan yang cepat dan kuat! Menilik 
dari angin pukulannya, jelas serangan yang dilontarkan lawan 
sangat berbahaya! Sedangkan serangan Panji hanya dimaksud 
untuk mencegah, dan bukan mencelakakan wanita itu.

"Setan...!" Tangan Malaikat yang merasa dipermainkan Panji, 
segera saja melompat dan langsung menerjang Pendekar Naga 
Putih dengan serangkaian pukulan maut! Jelas serangan-
serangan itu dimaksudkan untuk membunuh! 
Plakkk! Plakkk...! 
Panji yang memang tidak bersungguh-sungguh menghadapi 
waniia itu, cepat merendahkan tubuhnya sambil melepaskan 
dua buah tamparan guna memapaki serangan Tangan Malaikat! 
Sehingga, benturan keras pun terjadi! 
Duarrr! 
"Kurang ajar...!" 
Tangan Malaikat yang merasakan getaran akibat 
berbenturan dengan telapak tangan pemuda itu, mengumpat 
kalang-kabut. Namun, hatinya sempat dibuat kagum oleh 
kekuatan Pendekar Naga Putih. 
Kini matanya pun terbuka, setelah merasakan kehebatan 
tenaga sakti pemuda itu. 
"Hebat..! Itukah 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' yang 
tersohor?" puji Tangan Malaikat sambil tersenyum sinis. 
Meskipun ia telah merasakan kehebatan tenaga dalam lawan, 
namun Tangan Malaikat tidak ingin membuat lawannya besar 
kepala. Sehingga, pujiannya terdengar bernada sinis. 
Panji pun bukan tidak merasa akibat tangkisan itu. Namun, 
ia telah menyadari sebelumnya akan kesaktian lawan. Karena 
itu ia lebih dulu telah bersikap dan waspada. Sehingga, apa 
yang dirasakannya tidaklah terlalu berarti. 
"Yeaaat..!" 
Rupanya Tangan Malaikat tidak ingin membuang-buang 
waktu lagi. Dibarengi sebuah teriakan nyaring, tubuhnya

kembali melesat menerjang Panji. Sementara itu, istrinya telah 
mundur dari arena pertarungan. Karena ia tidak ingin disebut 
mengeroyok. 
Serangan yang dilontarkan lawan kali ini benar-benar 
membuat Panji terkejut! Kedua tangan lawan tampak seperti 
bayangan samar yang terkadang lenyap begitu saja, tanpa 
diketahui ke mana serangannya. Lelaki gagah itu sepertinya 
telah mulai mengeluarkan ilmu andalannya. 
"Hebat! Inikah ilmu 'Tangan Malaikat' yang tersohor itu...?" 
desis Panji, yang tentu saja menjadi kagum bukan main melihat 
kehebatan ilmu lawannya. 
Ilmu 'Tangan Malaikat' yang dimiliki lelaki gagah itu memang 
jauh berbeda dengan ilmu-ilmu tangan kosong lainnya. Cukup 
banyak Panji mengenal jenis-jenis ilmu pukulan tangan kosong 
seperti ilmu 'Tangan Seribu', 'Tinju Delapan Bayangan', dan 
sejenisnya. Semua ilmu-ilmu tangan kosong itu kebanyakan 
bisa merubah pandangan lawan. Sehingga gerakan tangannya 
tampak menjadi banyak, dan sulit ditebak, mana tangan yang 
sesungguhnya. 
Namun, ilmu tangan kosong yang digunakan Tangan 
Malaikat kali ini, benar-benar aneh dan sangat jauh berbeda. 
Ilmu yang digunakan lawannya tampak aneh sekali, dan nyaris 
tidak masuk akal. Tangan itu sama sekali tidak nampak 
berputar, sebagaimana ilmu-ilmu tangan kosong lainnya. 
Sebaliknya, malah yang terlihat bayangan samar-samar, yang 
tampak jelas, tapi di lain saat lenyap dan tidak bisa dilihat oleh 
mata biasa. Sepertinya ilmu 'Tangan Malaikat', memang 
sengaja mengambil nama julukannya melalui gerakan-gerakan 
tangan, yang tak ubahnya seperti tangan malaikat. 
Karuan saja Pendekar Naga Putih menjadi terdesak hebat 
oleh ilmu lawannya, yang memang aneh dan belum pernah

dijumpainya. Melihat kedahsyatan dan keanehan ilmu tersebut, 
memang pantas kalau Tangan Malaikat ditakuti lawan dan 
disegani kawan. Karena ilmu andalan pendekar itu memang 
sukar untuk dilawan! 
"Haiiit...!" 
Ketika pertarungan menginjak jurus ke empat puluh lima, 
secara mengejutkan, Tangan Malaikat berseru nyaring. 
Berbarengan dengan seruan itu, tubuh lelaki setengah baya itu 
berputar secara aneh. Kemudian, tangan kanan lawan tiba-tiba 
telah mengancam dada Panji. 
Wuuuk! 
"Aiiih...?!" 
Panji sempat terpekik kaget karena serangan lawan yang 
mendadak itu. Untunglah ia masih sempat memiringkan 
tubuhnya. Sehingga, telapak tangan lawan lewat setengah 
jengkal di depan dadanya! Sayangnya, gerakan tangan lawan 
tidak berhenti di situ saja! Terbukti, secara aneh pergelangan 
tangan itu berputar, dan langsung menggedor dada kiri Panji! 
Blakkk! 
"Hukh...!" 
Hantaman yang sangat keras itu menghajar telak dada kiri 
Panji! Akibatnya, tubuh pemuda itu terdorong sejauh satu 
tombak lebih. Untunglah lapisan kabut bersinar putih keperakan 
yang menyelimuti tubuhnya, membentengi tubuh pemuda itu. 
Biarpun pada sudut kiri bibirnya tampak cairan merah meleleh, 
tapi pemuda itu tidak mengalami luka dalam yang parah! 
Pukulan lawan yang membuat tubuh Pendekar Naga Putih 
terdorong mundur cukup jauh itu, membuat pikiran Panji 
bekerja dengan baik. Tanpa membuang-buang waktu lagi,

pemuda itu langsung melesat meninggalkan lawannya. Karena 
pemuda itu menggunakan seluruh kemampuan ilmu 
meringankan tubuhnya, maka sekejap saja bayangannya telah 
lenyap di balik lebatnya pepohonan. 
"Jangan lari kau, Pengecut..!" 
Tangan Malaikat yang tidak menduga kalau Panji akan 
melarikan diri, tentu saja menjadi kaget. Walaupun ia berusaha 
mengejar, namun bayangan Pendekar Naga Putih sudah tidak 
nampak lagi. Lelaki tua itu hanya dapat menggeram marah, 
sambil membanting kakinya dengan kesal! 
Karena tidak berhasil mengejar Panji, Tangan Malaikat 
segera kembali ke tempat anak dan istrinya berada. Wajah 
lelaki gagah itu tampak gelap. Jelas ia merasa tak puas dengan 
kejadian yang dialaminya itu. 
"Hm..., kelak kalau aku bertemu lagi dengan pendekar 
pengecut itu, akan kulumat tubuhnya!" geram Tangan Malaikat 
sambil mengepalkan tinjunya erat-erat. 
"Menurutku, tindakan Pendekar Naga Putih justru sangat 
bijaksana, Ayah. Ia sama sekali bukan seorang pengecut, tapi 
perbuatannya itu justru menunjukkan kebesaran jiwanya. Dan, 
untuk melakukan perbuatan itu, ia tak takut dicap sebagai 
seorang pengecut" Puja Merta yang membenarkan tindakan 
Pendekar Naga Putih, membantah tuduhan ayahnya. 
"Sudahlah, Puja. Kau hanya membuat Ayahmu tambah 
penasaran saja," tukas ibunya menasihati Puja Merta. Wanita 
itu rupanya tidak ingin lagi mendengar pertengkaran antara 
suami dan putranya. 
"Kau rupanya sudah tergila-gila oleh kecantikan putri datuk 
sesat itu! Sadarkah kalau kau telah salah menjatuhkan pilihan?" 
ujar Tangan Malaikat dengan suara ketus.

"Sudahlah. Sebaiknya kita segera meninggalkan tempat ini. 
Untuk apa meributkan hal yang sudah lewat?" selak wanita 
yang wajahnya masih tampak cantik dan muda itu. Setelah 
berkata demikian, wanita itu segera menyeret putranya pergi. 
Sebentar kemudian, tempat itu pun kembali sunyi. Hanya 
hembusan angin yang sesekali bertiup keras, dan 
menerbangkan daun-daun kering. 
*** 
"Aku belum mengerti, mengapa kita harus pergi? Apa 
sebenarnya yang direncanakan Pendekar Naga Putih...?" gadis 
cantik itu mengungkapkan ketidakpuasannya kepada gadis 
lainnya yang berwajah jelita, dan mengenakan pakaian serba 
hijau. Siapa lagi kedua gadis muda itu, kalau bukan Kenanga 
dan Aryani. Saat itu keduanya sudah hampir keluar dari perut 
hutan. 
"Kakang Panji tidak menginginkan pertarungan yang 
mengakibatkan korban nyawa. Persoalan ini dianggapnya 
hanya sekadar salah penilaian saja. Kalau kita berdua tetap 
berada di tempat itu, berarti pertarungan akan memakan waktu 
lama, dan bukan tidak mungkin kalau salah satu bisa tewas. 
Kalau Kakang Panji tewas, tentu aku tidak tinggal diam. 
Sedangkan kalau Tangan Malaikat tewas, keluarganya sudah 
pasti akan menuntut balas. Nah, kalau sudah begitu, bukankah 
persoalan akan semakin rumit? Itu yang tidak dikehendaki 
Kakang Panji," ujar Kenanga menjelaskan kenapa mereka 
disuruh pergi. 
Aryani mendengarkan penuh perhatian. Sepasang matanya 
memandangi wajah Kenanga


"Dengan tidak adanya kita di tempat pertarungan, Kakang 
Panji akan lebih mudah meninggalkan lawannya," lanjut 
Kenanga. "Sedangkan langkah berikutnya, kita tunggu saja apa 
yang terjadi. Yang jelas, antara kau dan Tangan Malaikat tidak 
ada persoalan pribadi. Jadi, mustahil kalau pendekar besar itu 
sampai mengejar atau mencari-carimu." 
"Bagaimana kalau pendekar tua yang sombong itu tetap 
berusaha untuk mencari dan melenyapkan aku?" panting Aryani 
karena ingin mendengar tanggapan Kenanga. 
"Kalau memang benar begitu, tentu akan lain persoalannya. 
Dan, kita tidak perlu lagi sungkan-sungkan untuk 
menghadapinya. Karena perbuatannya itu, jelas salah besar," 
ujar Kenanga dengan sikap tegas. 
Aryani terlihat mengangguk puas mendengar jawaban 
Kenanga. Gadis cantik itu memang telah tertarik begitu melihat 
Kenanga, datang bersama Pendekar Naga Putih. Ia pun yakin, 
sebagai seorang sahabat dekat pendekar muda itu, Kenanga 
pasti juga mempunyai pandangan yang tidak jauh berbeda. 
Sehingga, Aryani merasa senang mendapat seorang sahabat 
seperti gadis jelita itu. 
Demiklan pula halnya dengan Kenanga. Semakin lama ia 
mengenal gadis putri datuk sesat itu, semakin yakin hatinya 
kalau Aryani sama sekali tidak memliki niat jahat atau memiliki 
sifat licik. Cara bicara maupun sikap gadis itu telah membuat 
Kenanga semakin merasa sayang terhadap Aryani. Dan, itu 
membuat tekadnya semakin kuat untuk membela gadis cantik 
dan lincah itu dari incaran Tangan Malaikat, yang sudah lama ia 
dengar kesombongan dan kekerasan sikapnya dalam menindak 
kaum sesat. 
"Kalau boleh kutahu, ke manakah tujuan kalian berdua jika 
Kakang Panji sudah menemukan kita?" tanya Aryani sambil lalu.

Meskipun pertanyaan itu seperti basa-basi, tapi sepasang mata 
gadis cantik itu mengharapkan sekali jawaban. 
"Entahlah. Kami tidak pernah menentukan arah tujuan. Ke 
mana kaki kami melangkah, itulah yang kami turuti," sahut 
Kenanga yang memang mereka berdua tidak pernah 
mempunyai tujuan. 
"Jadi, kalian hanya melakukan perjalanan untuk meluaskan 
pengalaman, begitu?" tegas Aryani seperti masih kurang 
percaya. 
"Kira-kira begitulah. Semenjak kecil Kakang Panji dididik 
untuk menjadi pelindung bagi orang-orang lemah. Setelah 
menamatkan pelajarannya, ia pergi merantau untuk 
mengamalkan ilmunya. Sedangkan aku tidak seperti dia. Aku 
hanya mengikuti ke mana Kakang Panji pergi," sahut Kenanga 
menolehkan kepalanya sambil tersenyum kepada Aryani. 
"Hm..., kalian berdua sudah lama kenal...?" selidik Aryani 
lagi. Kali ini tampak nada menggoda dalam pertanyaannya. 
"Yah..., cukup lama. Kakang Panji merupakan seorang 
penolongku," jawab Kenanga singkat. Meskipun ia mulai 
menduga arah kelanjutan keingintahuan gadis itu, tapi Kenanga 
berpura-pura tidak tahu. 
"Aku yakin kau pasti kekasih Pendekar Naga Putih yang 
gagah dan tampan itu bukan? Wah, kau benar-benar beruntung 
sekali mempunyai seorang kekasih seperti pemuda itu. Kalau 
saja aku bisa mendapatkan seorang kekasih seperti Kakang 
Panji, bukan main bahagianya aku...," desah Aryani sambil 
menghela napas panjang. Terkesan nada iri dalam ucapan 
gadis itu. Namun, Kenanga menganggap hal itu suatu yang 
wajar.

Pada saat keduanya telah keluar dari dalam hutan, tiba-tiba 
Kenanga dan Aryani sama-sama menoleh ke belakang. Karena 
mereka mendengar suara langkah kaki yang lembut menuju ke 
arah mereka. 
"Ah, itu Kakang Panji..," seru Kenanga yang merasa lega 
melihat kekasihnya telah menyusul mereka. 
"Apakah mereka tidak mengejarmu..?" Aryani langsung saja 
menyambut kedatangan pemuda itu dengan pertanyaan. 
Sambil bertanya, kepalanya terjulur ke belakang melalui bahu 
Panji. Sepertinya ia ingin memastikan bahwa Tangan Malaikat 
dan keluarga tidak mengejar mereka. 
"Tidak, aku berhasil mengelabui lelaki tua yang gagah itu. 
Sebelum meninggalkan tempat itu, aku terlebih dahulu 
bersembunyi. Setelah mereka pergi, baru aku menyusul 
kalian...," sahut Panji yang segera melangkah dan diikuti kedua 
orang gadis cantik itu. 
"Hhh, syukurlah kalau begitu...," desah Kenanga sambil 
menghela napas lega. 
Beberapa saat kemudian, suasana pun berubah hening. 
Ketiga orang muda ini melangkah menyusuri jalan yang 
semakin melebar. Hembusan angin yang lembut mengiringi 
langkah kaki mereka.


DELAPAN

Sosok tubuh tegap itu melangkah gontai menyusuri jalan 
setapak. Pada wajahnya yang tampan dan gagah itu tersirat 
bayang kesedihan. Rambutnya yang panjang sebahu terurai 
lepas melambai-lambai dipermainkan hembusan angin yang 
sesekali bertiup keras. Sorot matanya tampak demikian sayu. 
Jelas, kalau pemuda itu tengah dilanda kedukaan. 
Pemuda berjubah biru yang tidak lain daripada Puja Merta 
itu, menghela napas tanda hatinya sedang diamuk keresahan. 
Tangannya menyibak ke kiri dan kanan menyingkirkan ranting-
ranting pohon yang terkadang menutupi jalan. 
"Hhh.... Ke mana aku harus mencarimu, Aryani...?" bibir 
yang terkatup rapat itu bergumam pelan. Kepalanya 
menengadah menatap pucuk-pucuk dedaunan pohon. Mungkin 
ia ingin mencari jawaban atas pertanyaan itu. 
Puja Merta yang merasa berdosa terhadap Aryani terpaksa 
meninggalkan tempat kediaman orang tuanya tanpa pamit. Hati 
kecilnya yang merasa yakin kalau gadis cantik itu sama sekali 
tidak memiliki sifat jahat dan kejam, membuatnya bertekad 
untuk mencari gadis cantik itu. Ia ingin meminta pengertian 
Aryani atas ucapan-ucapan ayahnya. Dan, ia ingin meminta 
maaf untuk kesalahan yang diperbuat kedua orang tuanya. 
Itulah yang menyebabkan Puja Merta minggat dari rumahnya, 
tanpa seizin ayah dan ibunya. 
Setelah agak lama menyusuri hutan, tibalah pemuda itu di 
sebuah jalan lebar yang berbatu. Untuk beberapa saat, 
langkahnya terhenti dan melayangkan pandangan ke alam yang 
terbuka luas. Tapi, baru saja beberapa langkah kakinya 
menindak, tiba-tiba terdengar suara tawa yang mengejutkan.

Cepat bagai kilat, pemuda itu berbalik dan mengedarkan 
pandangannya dengan sikap curiga. 
"Hm,.., siapa pun kau, keluarlah! Jangan bersikap seperti 
perempuan!" seru Puja Merta tetap dalam keadaan siap 
menghadapi segala kemungkinan. 
"Ha ha ha...!" 
Suara tawa itu kembali terdengar berkepanjangan. Bahkan 
kali ini seperti datang dari delapan penjuru. Hal itu 
menandakan si empunya suara bukanlah orang sembarangan. 
Paling tidak ia memiliki ilmu tenaga dalam yang sangat tinggi. 
"Hei, Manusia Pengecut! Kalau kau tidak berani 
menampakkan dirimu, lebih baik kau pergi, dan jangan ganggu 
aku!" Puja Merta kembali berteriak lantang dengan sikap 
gagah. Tampak pemuda itu sama sekali tidak merasa gentar, 
meskipun ia sadar orang yang tengah mempermainkannya itu 
memiliki kesaktian yang tinggi. 
"Mengapa kau berteriak-teriak seperti itu, Anak Bodoh? Sejak 
tadi aku telah berdiri di sini. Apakah matamu buta?" terdengar 
suara berat dan parau yang berasal dari sebelah belakang 
pemuda itu. Sehingga, Puja Merta segera berbalik dengan 
wajah agak tegang. 
Puja Merta mengerutkan keningnya ketika melihat sesosok 
tubuh gemuk pendek dan berkepala botak. Lelaki tua yang 
usianya paling tidak sebaya dengan ayahnya itu, terlihat berdiri 
dengan dada membusung. Tentu saja hal itu merupakan 
pemandangan yang lucu. Biarpun lelaki gemuk pendek itu 
berusaha tegak sambil mengempeskan perutnya, tetap saja 
perut buncit itu menonjol ke depan. 
Belum lagi Puja Merta membuka suara untuk bertanya, tiba-
tiba terdengar suara lain dari arah belakangnya. Kemudian

terdengar pula suara dari sebelah kiri dan kanannya. Sehingga 
tubuh pemuda itu, berputar ke kiri dan ke kanan dan ke 
belakang. Jelas, sekali orang-orang itu hendak mempermainkan 
dirinya. 
Dan, hati pemuda itu kian bertambah tegang ketika 
mendapati sosok lain yang kini berjumlah empat orang. Menitik 
dari sikap mereka, pemuda itu sadar kalau keempat orang itu 
pasti berniat tidak baik terhadapnya. Pikiran itu membuatnya 
semakin waspada. 
"Siapa kalian? Mau apa kalian menghadang perjalananku?" 
tegur Puja Merta sambil menatap keempat sosok tubuh itu 
secara bergantian. 
"Hm... kalau kau ingin tahu, kami adalah sahabat-sahabat 
Raja Racun Merah. Kudengar ayahmu yang sombong itu 
hendak membunuh putri sahabat kami itu. Jadi, kedatangan 
kami kemari untuk menunjukkan bahwa Raja Racun Merah 
tidak bisa dibuat main-main," sahut lelaki pendek gemuk 
berkepala botak itu dengan nada mengancam. 
"Huh! Kalian kira aku mudah dibohongi begitu saja? 
Ketahuilah, Raja Racun Merah sudah tidak berurusan lagi 
dengan dunia sesat! Datuk itu telah sadar, dan ingin 
memperbaiki kesalahannya di masa lalu!" bantah Puja Merta 
yang mendengar semua itu dari mulut Aryani sendiri, ketika ia 
mengatakan kepada Pendekar Naga Putih. 
"He he he...! Tentu-tentu. Sahabatku memang telah sadar 
akan kesalahannya. Tapi, ketika mendengar ayahmu menghina 
dan ingin membunuh putri satu-satunya, yang sangat disayang 
melebihi nyawanya sendiri, tentu saja ia tidak tinggal diam. 
Sekarang ia mungkin tengah berhadapan dengan orang tuamu 
yang sombong itu. Sedangkan kami, cukup membawamu untuk 
kami siksa. Karena penghinaan dan sikap ayahmu itu tidak bisa

dimaafkan begitu saja!" ujar lelaki gemuk itu dengan suara 
lantang dan jelas. 
Mendengar keterangan itu, Puja Merta ragu sejenak. Karena 
apa yang dikatakan lelaki gemuk pendek itu, memang dapat 
diterima akal sehat. "Siapa pula yang tidak marah mendengar 
kabar anak gadis satu-satunya akan dibunuh orang. Ayahnya 
sendiri yang merupakan tokoh golongan putih itu akan marah 
dan pasti akan mencabik-cabik orang yang ingin membunuh 
dirinya. Apalagi seorang tokoh sesat dan kejam seperti Raja 
Racun Merah? Sudah pasti datuk sesat itu akan mengamuk!" 
pikir Puja Merta bimbang. 
"Tidak mungkin datuk sesat itu berani mendatangi 
kediamanku! Apalagi untuk menantang ayahku!" desis Puja 
Merta masih belum percaya penuh. Pemuda itu telah mengenal 
orang tuanya, dan tahu akan kesaktian ayahnya yang jarang 
menemui tandingan itu. Sedangkan Raja Racun Merah, meski ia 
belum begitu lama mendengar namanya disebut orang, 
kesaktiannya sama sekali belum diketahui, Sehingga, Puja 
Merta tidak yakin kalau datuk sesat itu berani mati mendatangi 
ayahnya. 
"He he he... jangan kau kira kesaktian Raja Racun Merah 
berada di bawah kepandaian ayahmu. Lihat saja nanti, apakah 
datuk sesat itu berhasil membawa pulang kepala kedua orang 
tuamu atau tidak," tukas lelaki pendek gemuk itu lagi dengan 
keyakinan yang sangat kuat sekali. Sehingga Puja Merta 
menjadi agak cemas. 
Cemas akan keadaan orang tuanya, Puja Merta berbalik dan 
berlari ke dalam hutan kembali. Sepertinya pemuda gagah itu 
hendak kembali ke rumahnya. 
"Berhenti...!"

Terdengar bentakan nyaring, yang disusul berkelebatannya 
sosok tubuh gemuk pendek itu. Hebat sekali gerakan lelaki 
gemuk itu, sungguh tidak sesuai dengan bentuk tubuhnya yang 
bulat. Ternyata ia dapat bergerak cepat seperti kilat! Dalam dua 
kali lompatan saja, lelaki itu telah berdiri menghadang Puja 
Merta di mulut hutan! 
"Heaaat...!" 
Tanpa banyak cakap lagi, Puja Merta langsung melontarkan 
pukulan-pukulan untuk menerobos ke dalam hutan! Tapi lelaki 
gemuk pendek itu, ternyata sangat gesit dan lihai! Empat buah 
pukulan yang dilancarkan secara cepat dan susul-menyusul, 
dapat dielakkannya dengan geseran-geseran langkah aneh. 
Hebatnya, semua serangan itu, tidak satu pun yang dapat 
menyentuh tubuhnya. Padahal, gerak kakinya terlihat agak 
kacau, dan terkesan serampangan. 
"Ringkus pemuda itu! Aku tidak sudi berhadapan dengan 
seorang bocah ingusan!" sambil berseru, lelaki gemuk pendek 
itu mencelat ke belakang, sejauh dua tombak lebih! 
Puja Merta yang bermaksud mengejar lawan, kembali 
menarik mundur langkahnya. Karena ketiga orang kawan lelaki 
gemuk pendek itu, mencecarnya dengan pukulan-pukulan yang 
menimbulkan sambaran angin yang kuat sekali. 
Bettt! Bettt! Bettt! 
Serangkaian serangan yang dilontarkan ketiga orang itu 
secara bergelombang, cukup membuat Puja Merta sibuk untuk 
beberapa saat lamanya. Begitu melihat peluang, pemuda itu 
segera melompat jauh ke belakang, dan siap melakukan 
perlawanan. 
Sebagai seorang putra pendekar besar, tentu saja Puja Merta 
telah dibekali bermacam ilmu-ilmu tinggi. Bahkan ilmu 'Tangan

Malaikat' yang menjadi andalan ayahnya pun, telah puta 
diwariskan kepada putra tunggalnya itu. Sehingga, tingkat 
kepandaian pemuda itu sudah sangat tinggi, dan tidak bisa 
disamakan dengan pemuda-pemuda sebayanya. 
"Hm...," sambil menggeram, Puja Merta memutar tangannya 
ke samping dan ke depan. Gerakannya yang lemas, namun 
jelas mengandung kekuatan tenaga dalam yang tinggi itu, 
sejenak membuat ketiga orang pengeroyoknya mundur 
beberapa tindak. Sepertinya ketiga orang itu, mulai mengatur 
serangan untuk menghadapi pemuda tampan itu. 
"Haiiit..!" 
Dibarengi sebuah bentakan nyaring, tubuh pemuda tampan 
dan gagah itu bergerak dengan langkah-langkah cepat, sambil 
diiringi gerakan tangannya yang cepat pula. Sehingga 
menimbulkan sambaran angin kuat itu. 
"He he he...! Hati-hati, Tiga Iblis Gundul. Ingat, pemuda itu, 
keturunan datuk golongan putih. Kepandaiannya tentu tidak 
dapat dipandang ringan," ujar lelaki gemuk pendek itu terkekeh 
seraya mengingatkan kawannya. 
Tiga lelaki bertubuh kekar yang berkepala gundul itu 
menggeram lirih. Serentak ketiganya berpencar dan 
membentuk tiga sudut. Sepertinya mereka ingin menggunakan 
jurus gabungan dalam menghadapi pemuda itu. 
Lelaki bertubuh kekar yang memiliki kumis seperti tikus, 
yang berdiri di depan pemuda itu, segera bergerak ke kanan 
menghindari pukulan yang mengancam tubuhnya. Gerakannya 
itu langsung disusul oleh kawannya yang berada di sebelah 
kanan, dan sekaligus menggantikan tempatnya. 
Pertarungan pun semakin seru, sehingga membuat lelaki 
gemuk pendek yang menyaksikannya menggeleng-gelengkan

kepala tak sabar. Sepertinya ia sudah merasa gatal ingin turun 
tangan langsung untuk menundukkan keturunan datuk 
golongan putih itu. 
Bahkan ia mulai meremas-remas tangannya, ketika pada 
jurus kedua puluh keadaan masih belum juga berubah. 
"Ah, terlalu lamban, terlalu lamban...!" ucap lelaki pendek 
gemuk itu berulang-ulang. Setelah berkata demikian, tubuh 
gemuk pendek itu langsung melayang ke arah arena 
pertarungan. 
Wuuut! Wuuut! 
Begitu memasuki kancah pertarungan, lelaki pendek gemuk 
itu segera melontarkan serangan-serangan ke arah lawan. 
Menilik dari sambaran angin pukulannya yang mencicit tajam 
itu, jelas tenaga dalam yang dimiliki lawan sangat tinggi sekali! 
Sehingga, meskipun dua buah serangannya berhasil dihindari 
Puja Merta, tapi tubuh pemuda itu sempat terhuyung karena 
kuatnya sambaran angin pukulan lawan. 
"Hm..., mengapa tidak sejak tadi kau ikut mengeroyokku, 
Cebol!" ejek Puja Merta setelah melakukan lompatan panjang 
ke belakang dan menyiapkan ilmu andalannya. 
"He he he...! Aku harus meneliti dulu, sampai di mana ilmu 
yang telah kau pelajari dari ayahmu. Setelah itu, baru aku 
sendiri yang akan membekukmu...," tukas lelaki cebol itu 
terkekeh nyaring. Suara tawanya terdengar sangat berbeda 
sekali. Rasanya suara yang melengking nyaring itu, lebih tepat 
dimiliki seorang perempuan. 
Puja Merta tidak mempedulikan ocehan laki-laki pendek 
gemuk, yang dalam dunia persilatan berjuluk Bocah Iblis. 
Tokoh yang menggiriskan dan sangat kejam itu, sebenarnya 
seorang datuk sesat di wilayah Timur. Melihat dari angin

pukulannya, yang mengandung tenaga dalam tingkat tinggi itu, 
rasanya memang pantas kalau laki-laki pendek gemuk itu 
menjadi seorang datuk. 
"Hiaaah...!" 
Puja Merta yang sudah menyiapkan ilmu 'Tangan Malaikat' 
merendahkan kuda-kudanya, ketika melihat lelaki cebol 
mendorongkan telapak tangannya ke depan. Menduga kalau 
lawan telah melepaskan pukulan jarak jauh, maka pemuda 
tampan itu bersiap menyambutnya. 
Sayang, apa yang diduga pemuda itu sama sekali meleset. 
Kesadarannya baru bangkit, ketika matanya menangkap sinar 
hitam yang menebar mengepung tubuhnya. Tapi, kesadaran itu 
datangnya terlambat! Tubuh pemuda itu tiba-tiba telah 
terbungkus jala halus yang sangat kuat! Belum sempat pemuda 
itu berbuat sesuatu untuk membebaskan dirinya, ia telah 
merasakan sekujur tubuhnya lumpuh! 
Lelaki cebol yang berjuluk Bocah Iblis itu terkekeh penuh 
kemenangan. Rupanya berbarengan dengan dilepaskannya jala 
halus itu, tubuhnya pun ikut melesat cepat dan mengirim 
totokan yang membuat pemuda itu lumpuh! 
"Hei, tahan...!" 
Sebelum Bocah Iblis sempai membawa pergi ta-wanannya, 
tiba-tiba terdengar seruan nyaring yang mengejutkan! Sebelum 
gema suara itu lenyap, tiba-tiba muncul dua sosok tubuh, 
seorang pemuda dan seorang gadis cantik. 
"Hei, tahan...!" 
Sebelum datuk sesat yang berjuluk Bocah Iblis itu sempat 
membawa pergi tawanannya, tiba-tiba terdengar sebuah 
seruan nyaring yang mengejutkan! Sebelum gema suara itu

lenyap dari pendengaran, tiba-tiba muncul dua sosok tubuh, 
seorang pemuda dan seorang gadis cantik. 
"Hm..., bukankah yang kalian tawan itu keturunan Datuk 
Tangan Malaikat?" tegur pemuda tampan berjubah putih itu 
sambil menudingkan jari telunjuknya ke arah Puja Merta yang 
meringkuk dalam keadaan pingsan. 
"He he he.... Tidak kusangka kalau di tempat seperti ini, aku 
berjumpa dengan pendekar besar yang berjuluk Pendekar Naga 
Putih. Apakah dugaanku keliru?" lelaki cebol itu terkekeh tanpa 
mempedulikan ucapan pemuda berjubah putih yang tidak lain 
Panji itu. Sedangkan sosok yang satunya lagi, sudah pasti 
Kenanga. 
"Tidak salah. Dan, 
kalau aku tidak 
keliru, kau pasti 
Datuk sesat dari 
wilayah Timur, yang 
dijutuki orang Bocah 
Iblis...," ujar Panji 
yang rupanya telah 
banyak mendengar 
tentang tokoh sesat 
itu. 
"He he he..., kau 
pun tidak salah. 
Akulah yang dijuluki 
Bocah Iblis itu. Anak-
anak, bawa pergi pemuda keturunan Datuk Tangan Malaikat ini. 
Biar aku yang akan meladeni pendekar muda yang tersohor 
itu," ujar Bocah Iblis sambil menoleh kepada tiga orang anak 
buahnya.

"Tunggu! Kalau kalian ingin pergi tanpa kuganggu, 
tinggalkan pemuda itu...," tegas Panji mengancam. Sambil 
berkata, tubuh pemuda tampan itu langsung mencelat, dan 
mencegah Tiga Iblis Gundul yang akan membawa Puja Merta. 
"Jangan hiraukan dia...!" seru lelaki cebol itu yang segera 
menghadang Pendekar Naga Putih. Tanpa banyak cakap lagi, 
Bocah Iblis langsung melontarkan serangan beruntun ke arah 
Panji. Sehingga, pemuda itu terpaksa melayaninya. Pertarungan 
tidak dapat dicegah lagi. 
Kenanga yang melihat kekasihnya telah bertarung dengan 
lelaki cebol itu, segera melesat merebut Puja Merta dari tangan 
Tiga Iblis Gundul. 
"Haiiit..! Lebih balk kau mundur, Nisanak...," ujar lelaki cebol 
itu yang sempat melihat gerakan Kenanga, meski ia sedang 
bertarung. Dengan cepat ia mengibaskan tangan kirinya. 
Karuan saja gadis jelita itu melompat mundur, ketika mencium 
bau amis yang berbarengan dengan menyebarnya asap putih 
dari tangan Bocah Iblis. Rupanya tokoh sesat itu telah 
menggunakan bubuk beracun untuk mencegah Kenanga. 
Panji yang mendengar kekasihnya memekik sambil 
melindungi wajah dari semburan bubuk putih itu, tentu saja 
menjadi khawatir. Kelengahan itu dipergunakan sebaik-baiknya 
oleh Bocah Iblis untuk melepaskan bubuk beracun ke arah 
Panji. Sehingga, Panji terpaksa mundur ketika sepasang 
matanya terasa perih. 
"Licik...!" desis Panji yang segera mendorongkan telapak 
tangannya, guna mengusir bubuk beracun itu. Tapi, begitu ia 
membuka matanya, bayangan ibbs cebol itu sudah tidak 
nampak. 
"Kurang ajar...! Mereka telah melarikan diri, Kakang," desis 
Kenanga geram. Gadis jelita itu tampak masih agak kabur

pandangannya. Bahkan air matanya tampak mengalir akibat 
bubuk beracun yang mengenai matanya. 
Demikian pula halnya dengan Pendekar Naga Putih. Pemuda 
itu tampak mengerjap-ngerjapkan kedua matanya yang berair. 
Dalam keadaan seperti itu, membuat mereka tidak berani 
mengejar lawan-lawannya. Karena dengan pandangan yang 
masih kabur itu, jelas sangat berbahaya mengejar seorang 
lawan yang lihai seperti datuk wilayah Timur itu. 
"Hhh..., belum lagi kita dapat menemukan jejak Aryani, yang 
pergi entah ke mana. Kini muncul masalah baru yang cukup 
rumit. Mungkinkah kejadian itu merupakan buntut dari 
penghinaan Datuk Tangan Malaikat terhadap Raja Racun 
Merah?" gumam Panji seperti berkata dengan diri sendiri. 
"Maksud Kakang, Raja Racun Merah mau membalas dendam 
atas penghinaan Datuk Tangan Malaikat terhadap dirinya itu? 
Tapi, bukankah datuk sesat wilayah Selatan itu telah bertobat?" 
ujar Kenanga yang sepertinya mulai merasa ragu dengan 
keterangan Aryani. 
"Tapi, mengapa Aryani pergi tanpa pamit kepada kita? Kalau 
memang ia ingin melanjutkan pengembaraan seorang diri, toh 
kita tidak akan melarangnya. Ah..., aneh sekali sikap gadis 
keturunan datuk sesat itu," desah Panji dengan kening 
berkerut. Jelas, ia berpikir keras untuk mencari jawaban dari 
semua pertstiwa yang menurutnya sangat rumit itu. 
"Keadaan pasti akan semakin rumit bila Tangan Malaikat 
mengetahui, putranya diculik orang...," ujar Kenanga lagi 
dengan disertai desahan napas panjang. Gadis jelita itu merasa 
pening dengan pertstiwa yang mereka hadapi kali ini. Karena 
semua masalahnya masih serba gelap. 
"Hm..., sebaiknya kejadian itu tidak perlu kita beritahukan 
kepada Datuk Tangan Malaikat. Kita selidiki saja dulu, apa

sebenarnya yang menjadi penyebab semua kejadian mi," usul 
Panji yang meminta persetujuan kekasihnya. 
"Aku setuju, Kakang. Persoalan ini masih belum jelas. Siapa 
yang bersalah, kita belum bisa mengetahuinya. Ada baiknya 
memang kalau kita saja yang menyelidiki. Dengan demikian, 
mungkin kita dapat menghindarkan hal-hal yang tidak kita 
inginkan," jawab Kenanga penuh semangat. 
"Kalau begitu, tunggu apa lagi...?" sambil berkata demikian, 
Panji menggenggam jemari tangan gadis jelita itu. Kemudian 
keduanya melangkah meninggalkan tempat itu, meski dengan 
mata terasa agak perih. Racun yang disebarkan Iblis Cebol itu 
rupanya tidak berbahaya. Sepertinya senjata itu hanya digu-
nakan untuk mengelabui lawan-lawannya, agar ia bisa 
meloloskan diri. Hal itu telah diketahui Pendekar Naga Putih, 
setelah merasakan tidak adanya pengaruh lain, kecuali rasa 
perih. Itu sebabnya pemuda itu tidak merasa khawatir dengan 
bubuk beracun yang memasuki mata mereka. 
Ke manakah perginya Aryani? Apa yang membuat gadis 
keturunan datuk sesat itu pergi tanpa pamit? Apakah ada 
hubungannya dengan penculik Puja Merta? Bagaimana sikap 
Datuk Tangan Malaikat ketika mengetahui keturunan satu-
satunya itu diculik orang? Lalu, apakah ucapan seorang datuk 
sesat seperti Raja Racun Merah yang hendak mengundurkan 
diri itu dapat dipercaya? Terakhir, mampukah Pendekar Naga 
Putih mengungkapkan rahasia yang tersembunyi di batik semua 
perisriwa itu? Untuk mengetahui kelanjutannya, ikutilah kisah 
berikutnya dari penyelidikan Pendekar Naga Putih dalam 
episode "Tewasnya Raja Racun Merah"!




                                 SELESAI 



Share:

0 comments:

Posting Komentar